Pengembala Mayat

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Pengembala Mayat karya T Hidayat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pengembala Mayat
Karya T. Hidayat
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih


SATU

SIANG itu Perguruan Perisai Baja tampak sibuk. Beberapa orang dari rimba persilatan golongan putih berganti-gantian mengunjungi perguruan itu. Rupanya, kedatangan mereka ke situ adalah untuk menyatakan bela sungkawa atas musibah yang menimpa Perguruan Perisai Baja.

"Aneh! Padahal, baru kemarin aku bertemu Ki Jaladri. Dan waktu itu kulihat beliau sehat-sehat saja. Tak nampak sedikit pun kalau tengah menderita sakit. Wajahnya pun segar, dan tak ada tanda-tanda kalau tengah menghadapi suatu masalah," bisik salah seorang tamu yang mengenakan ikat kepala berwarna hitam, kepada seorang tokoh lain yang berada di sebelahnya.

"Ya! Kalau saja aku tidak melihat mayatnya, tentu tidak akan mudah percaya begitu saja. Selama ini aku mengenal beliau sebagai seorang yang tidak pernah usil terhadap urusan orang lain," sahut orang yang diajak bicara.

Rupanya, kedua orang itu adalah sahabat baik Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama Ki Jaladri. Wajah mereka tampak diliputi rasa penasaran.

"Hm.... Menurut salah seorang murid utama, Ki Jaladri tewas tanpa ada seorang murid pun yang mengetahuinya. Untunglah ada seorang pelayan yang menemukan mayat beliau di atas pembaringan, persis seperti orang tertidur saja layaknya. Dan lebih aneh lagi, tak satu pun luka di tubuhnya. Bahkan menderita keracunan pun tidak! Entah, kitanya yangnkurang jeli, atau memang orang tua itu meninggal sewajarnya?" celetuk tokoh lainnya. Dia memakai jubah hijau, dan berikat kepala juga hijau.

Perkataan orang itu ditutup oleh sebuah pertanyaan yang membuat kedua orang yang tengah berbicara itu terdiam dengan kening berkerut. Sejenak suasana menjadi hening, terbawa oleh pikiran masing-masing.

"Sudahlah, Kisanak. Lebih baik kita menunggu perkembangan selanjutnya. Aku yakin kejadian ini tidak akan berhenti begitu saja. Kematian Ki Jaladri pasti akan berbuntut panjang," ujar tokoh yang mengenakan ikat kepala hitam, menyimpulkan.

"Maaf. Kami harus pergi, Kisanak. Dengan adanya kejadian ini, kami harus lebih berhati-hati menjaga perguruan kami." Setelah berpamitan, orang itu melangkah bersama kawannya meninggalkan Perguruan Perisai Baja.

Tidak lama setelah kepergian kedua orang itu, tokoh berwajah gagah yang menyandang pedang beronce merah juga segera berpamitan kepada tuan rumah. Dia meninggalkan Perguruan Perisai Baja dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Satu persatu para tokoh persilatan itu mulai meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Wajah mereka membayangkan rasa penasaran. Memang, kematian ketua perguruan itu merupakan sebuah teka-teki yang belum terungkapkan!

Menjelang sore, tempat itu pun kembali sepi. Hanya ada satu dua orang tamu yang masih berbicara dengan murid-murid utama Ki Jaladri. Sepertinya, mereka adalah para kerabat dekat ketua perguruan itu, dan berniat untuk bermalam di situ.

Para murid perguruan pun mulai membereskan tempat itu. Sedangkan peti mati yang menyimpan mayat Ki Jaladri, tetap berada di tempatnya. Tak seorang pun yang berani memindahkan peti mati gurunya yang berada di beranda depan itu. Bau wewangian menebar memenuhi halaman depan Perguruan Perisai Baja. Peti mati yang berisi mayat Ki Jaladri tetap diam, beku, dan mengandung misteri!

********************

Malam mulai menampakkan kekuasaannya. Perlahan-lahan kegelapan mulai menyelimuti permukaan bumi. Malam itu, sang rembulan bersembunyi di balik gumpalan awan hitam. Angin dingin yang berhembus kencang membuat suasana malam itu terasa semakin mencekam!

Keadaan malam yang menyimpan misteri itu membuat dua orang murid Perguruan Perisai Baja yang ditugaskan menjaga peti mati gurunya menjadi gelisah. Sesekali salah seorang yang bertubuh gemuk melirik ke arah tutup peti mati itu. Sepertinya dia merasa khawatir kalau kalau peti mati itu akan terbuka.

"Perasaanku kok tidak enak ya? Suasana malam ini terasa menyeramkan?" keluh orang gemuk itu kepada kawannya yang tengah asyik melamun. Nada suaranya yang berbisik itu terdengar agak gemetar. Entah karena hawa dingin atau karena rasa takut yang menyelimuti hatinya.

"Ah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Kalau takut, pergilah tidur sana," ujar kawannya, agak kesal karena lamunannya terputus akibat keluhan orang itu.

"Apa kau tidak merasa takut?" tanya si gemuk lagi. Wajah orang itu tampak mulai memucat. Sepasang matanya semakin sering melirik ke arah peti mati yang terpisah tiga tombak dari mereka. Jelas sekali kalau rasa takutnya semakin memuncak.

"Tidak. Mengapa harus takut? Suasana seperti ini sudah sering terjadi. Apalagi musim hujan akan segera datang. Jadi wajar saja kalau hari menjelang musim itu suasana malam akan selalu begini," jawab temannya yang memiliki tubuh kurus, acuh tak acuh. Sepertinya keadaan alam di sekelilingnya tidak begitu dipedulikannya.

"Aneh. Mengapa bulu kudukku tiba-tiba berdiri? Hiiih...!" Sambil berkata demikian, tubuh si gemuk menggelinjang gelisah. Kali ini bukan lagi sekadar melirik ke arah peti mati gurunya, tapi matanya malah tak lepas dari peti mati itu. Keringat dingin tampak mulai menitik membasahi keningnya.

"Ya! Karena sebentar lagi setan-setan akan berdatangan untuk mencekik batang lehermu! Paling tidak agar mulutmu berhenti mengoceh!" bentak si kurus merasa kesal karena kawannya masih saja bicara tak karuan. Namun suaranya tetap ditekan rendah agar tidakbterdengar yang lainnya.

"Aungngng...!"

Baru saja salah seorang penjaga yang bertubuh kurus itu selesai berkata, terdengar lolongan serigala saling bersahutan mengusik perasaan. Hembusan angin dingin bertiup keras hingga membuat tubuh kedua orang penjaga itu menggigil kedinginan. Belum lagi lolongan serigala itu lenyap, terdengar suara kayu yang bergeser dari tempatnya.

Grrrkkk! Si penjaga bertubuh gemuk yang sejak tadi tengah memandangi peti mati itu membelalakkan matanya. Bahkan wajahnya pucat pasi. Penjaga itu menggosokgosokkan matanya dengan punggung tangan, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.

"Penutup peti itu.... Penutup peti itu... bergerak...!" Sambil menunjuk ke arah peti mati Ki Jaladri, orang itu berkata terputus-putus. Keringat dingin tampak semakin banyak membasahi wajah dan tubuhnya.

"Hm...!" Si kurus yang memiliki keberanian, bergumam sambil melangkah mendekati peti mati gurunya. Diperhatikannya tutup peti mati itu dengan teliti.

"Dasar penakut! Ke sini kau! Dan lihat baik-baik, apakah penutup peti mati ini terbuka?!" umpat si kurus itu semakin kesal ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan seperti yang dikatakan kawannya tadi.

"Tapi.... Tapi, tadi...," bantah penjaga yang bertubuh gemuk terbata-bata ketika melihat peti mati itu ternyata masih tetap seperti semula. Sehingga keheranannya timbul.

"Nah! Kau lihat sendiri ’kan! Makanya jangan terlalu terbawa pikiran yang bukan-bukan," kata si kurus menasihati. Dan baru saja mereka hendak melangkah kembali ke tempat semula, kembali terdengar suara yang membuat jantung hampir copot!

"Suara itu.... Suara itu.... Datangnya dari dalam peti mati guru!" bisik si gemuk, serak dan bergetar. Sambil berkata demikian, tangannya mencengkeram pundak kawannya.

Kawannya yang semula merasa tak percaya, langsung tertegun. Karena, kali ini yang didengarnya jelas suara yang memang datang dari dalam peti mati Ki Jaladri. Tapi si kurus itu tak mau mempercayai begitu saja. Dengan hati-hati kakinya melangkah mengitari peti mati gurunya. Diperiksanya sekeliling peti mati gurunya itu. Dan ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, rasa takutnya mulai timbul.

"Tapi mustahil kalau ada mayat yang bisa bangkit lagi," ucap si kurus dalam hati. Kata-kata itu dimaksudkan untuk menenangkan hatinya sendiri yang sempat goyah. Pada saat kedua orang penjaga itu tengah memandangi peti mati gurunya, mendadak...

Brakkk!

Penutup peti mati Ki Jaladri yang telah dipaku kuat-kuat itu, melambung setinggi empat batang tombak! Kemudian penutup peti mati itu melayanglayang jatuh di tanah dalam keadaan utuh! Belum lagi mereka menyadari apa yang tengah terjadi, seketika itu sosok mayat yang berada didalam peti mati itu bangkit dan langsung berdiri tegak dan kaku.

"Aaah...!?"

Kedua penjaga itu berteriak kaget dengan wajah pucat pasi. Kedua kaki mereka gemetar hebat hingga sukar untuk melangkah.

"Gggu.... ru...!" desis mereka bersamaan dengan suara serak dan bergetar. Sepasang mata mereka membelalak lebar.

Tanpa berbicara sepatah kata pun, sosok mayat Ki Jaladri melangkah kaku mendekati dua orang penjaga yang sebenarnya adalah muridnya itu. Sepasang matanya memancarkan warna merah saga dan menyiratkan kematian.

"Tolooong...!!!"

Dua orang penjaga itu menjerit-jerit ketakutan ketika sepasang jari-jari tangan Ki Jaladri terulur ke arah leher mereka. Dan....

Kreppp! Kreppp!

"Eeekh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua penjaga yang naas itu terangkat ke atas. Wajah mereka tampak mulai membiru karena pernapasan tersumbat oleh jari-jari tangan yang sekeras besi. Beberapa murid yang tengah meronda, cepat berlari ketika mendengar jeritan ketakutan itu. Bahkan tiga orang kerabat Ki Jaladri yang tengah menginap serentak berlari menghambur ke arah yang sama.

"Aaah...!"

"Mustahil...!"

"Ki Jaladri! Tidak mungkin...!"

Berbagai seruan terdengar silih berganti ketika para murid dan tiga orang tokoh persilatan itu menyaksikan apa yang terjadi. Serentak mereka surut ke belakang dengan perasaan ngeri dan terkejut.

"Grrrh...!"

Terdengar erangan laksana binatang buas, keluar dari mulut Ki Jaladri. Nampak air liur yang menebarkan bau busuk menetes dari mulutnya yang terbuka lebar. Sesaat kemudian, tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu dilempar ke arah orang-orang yang mengerumuninya.

"Ya, Tuhan... Musibah apa lagi yang akan menimpa perguruan kami?" ucap salah seorang murid utama Perguruan Perisai Baja mengeluh sedih.

Dua orang murid utama perguruan itu cepat melesat menyambar dua sosok tubuh penjaga yang dilemparkan oleh mayat hidup Ki Jaladri itu.

"Mereka.... Mereka telah tewas...!" desis dua orang murid utama perguruan itu, terkejut sekaligus ngeri.

"Hm.... Pasti ada sesuatu yang tidak beres diperguruan ini?" duga salah seorang tokoh persilatan yang merupakan kerabat dekat Ki Jaladri. Ia benar-benar merasa heran dengan kejadiankejadian aneh yang dialami perguruan itu. Belum lagi misteri kematian Ki Jaladri terungkap, kini muncul lagi persoalan baru.

"Pasti ada orang yang menggerakkannya, Kakang! Tapi, apa maksud orang itu sebenarnya?" timpal tokoh lain.

"Mungkin saja ini ulah salah seorang musuh lama Ki Jaladri yang hendak membalas dendam!" sahut yang lain.

"Hhh..., entahlah! Yang terpenting sekarang, apa yang harus kita lakukan terhadap mayat hidup Ki Jaladri ini? Untuk melukainya, rasanya tidak tega. Tapi kalau didiamkan, bisa-bisa kita yang akan dibunuhnya," kata seseorang.

Dia adalah tokoh persilatan yang merupakan sahabat lama Ki Jaladri. Bajunya berwarna kuning, dan celananya hitam. Di kedua sisi pinggangnya tampak terselip dua buah senjata trisula yang terbuat dari baja putih. Tokoh ini dijuluki si Trisula Perak yang cukup terkenal di kalangan rimba persilatan. Itulah sebabnya, mengapa dia menjadi bingung menghadapi mayat hidup kawannya itu.

Saat itu mayat hidup Ki Jaladri sudah melangkah mendekati orang-orang yang berada di depannya. Gerak langkah kakinya nampak kaku dan berat. Samar-samar tercium bau busuk yang memualkan perut. Rupanya tubuh mayat itu pun sudah mulai membusuk.

"Awasss...!" Si Trisula Perak berteriak memperingatkan yang lain ketika melihat mayat itu melompat ke arah mereka. Kedua tangannya terulur ke depan, siap mencengkeram siapa saja.

"Aaa...!" Terdengar jerit kematian yang merobek angkasa.

Tampak seorang murid yang tidak sempat menghindar, langsung menjadi korban mayat hidup itu. Tubuh orang itu melambung tinggi disertai percikan darahnya yang berhamburan ke segala arah. Orang itu kontan ambruk dan tewas. Perutnya robek lebar. Rupanya jari-jari tangan mayat hidup itu telah membeset kulit perutnya. Darahpun mulai menggenang membasahi halaman Perguruan Perisai Baja.

"Maafkan aku, Sahabat. Aku terpaksa melumpuhkanmu!" gumam si Trisula Perak, pelan. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar itu langsung melesat mengirimkan pukulan ke tubuh mayat hidup Ki Jaladri.

Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata mayat hidup Ki Jaladri dapat menghindari dua buah pukulan yang dilontarkan pendekar itu. Bahkan membalas serangan lawan dengan tidak kalah ganas. Angin pukulannya yang disertai bau busuk, menderu tajam hingga menimbulkan suara mencicit

Si Trisula Perak menjatuhkan tubuhnya sambil melepaskan sebuah tendangan kilat. Tendangan itu terus meluncur deras mengancam perut lawan.

Desss!

Tendangan si Trisula Perak tepat menghantam perut mayat hidup Ki Jaladri. Tapi, bukan main terkejutnya hati pendekar itu ketika telapak kakinya terasa bagai menghantam sebongkah besi baja!

"Aaah...!"

Tubuh pendekar itu terdorong deras ke belakang. Secepat kilat tubuhnya berputar beberapa kali kebelakang untuk menjaga serangan susulan. Kedua kaki pendekar berusia setengah baya itu mendarat empuk di atas permukaan tanah. Terlihat seringai kesakitan di wajahnya. Sedangkan tubuh mayat hidup Ki Jaladri hanya terdorong sejauh empat langkah. Dan sepertinya, tendangan pendekar itu tidak berpengaruh sama sekali.

"Gila! Padahal semasa hidupnya Ki Jaladri pasti akan mengalami luka dalam cukup parah akibat tendanganku tadi. Heran, dari mana kekuatan yang berlipat ganda itu diperolehnya?" gumam si Trisula Perak, tak habis pikir.

Keheranan yang dialami pendekar itu memang beralasan. Karena sebagai seorang sahabat yang terdekat, ia tahu betul sampai di mana kepandaian yang dimiliki Ki Jaladri. Meskipun kepandaian satu sama lain tidak berbeda terlalu jauh, tapi pendekar itu masih dapat mengunggulinya. Tapi sekarang, sepertinya mayat hidup itu tidak mungkin dapat diatasi.

"Kakang Darbasena! Kau tidak apa-apa?" tanya salah seorang sahabatnya seraya menghampiri pendekar itu disertai perasaan khawatir.

"Aku tidak apa-apa, Adi Kanjaran. Tapi, hati-hatilah! Kekuatannya telah berlipat ganda. Bahkan kita bertiga pun belum tentu mampu mengungguli kekuatannya," jelas si Trisula Perak yang ternyata bernama Darbasena itu.

"Wah, berbahaya sekali kalau begitu! Lalu, bagaimana kita harus mengatasinya?" sahut tokoh yang dipanggil Kanjaran, bernada cemas.

"Kita terpaksa harus menggunakan senjata. Tidak ada jalan lain, Adi Kanjaran. Sebab dia bukan lagi sahabat kita. Jadi, tidak perlu sungkan-sungkan lagi," tegas Darbasena mengambil keputusan. Selesai berkata demikian, pendekar itu bergegas mencabut sepasang trisula peraknya yang terselip di pinggang.

Sret! Sret!

Sinar putih keperakan seketika berpendar saat sepasang trisula di tangan pendekar itu tersiram cahaya obor. Dengan langkah kuda-kuda yang kokoh, Darbasena melangkah mendekati mayat hidup Ki Jaladri.

Wut! Wut!

Meskipun lawannya menggunakan senjata, namun mayat hidup itu sama sekali tidak merasa gentar. Dua serangan trisula Darbasena malah dipapak dengan telapak tangannya. Tentu saja pendekar itu terkejut, lalu cepat menarik pulang serangannya. Sepasang trisula di tangan Darbasena berputar, lalu kembali meluncur mengancam perut mayat hidup Ki Jaladri. Dari suara desingannya yang tajam, dapat diketahui kalau pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Pada saat yang sama, berkelebat dua bilah pedang kearah mayat hidup itu. Dua serangan itu berasal dari dua orang pendekar lain. Kekuatan dan kecepatan dua batang pedang mereka tidak kalah dengan sepasang trisula di tangan Darbasena. Namun tanpa disangka-sangka, mayat hidup itu merebahkan tubuhnya ke belakang. Meskipun gerakannya terlihat amat kaku, tapi serangan tiga orang pendekar itu manis sekali dapat dihindarinya. Begitu sambaran empat batang senjata itu lolos, tubuh mayat itu kembali bangkit dalam posisi tegak lurus. Secepat kilat kedua tangannya menyambar kearah dua orang pendekar yang memegang pedang.

Bukkk! Plakkk!

Sambaran tangan kanan mayat hidup Ki Jaladri tepat menghantam lambung salah seorang pendekar, sehingga langsung terjengkang beberapa tombak. Tampak darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Namun hebatnya, pendekar itu langsung melenting bangkit berdiri. Sedangkan pendekar lainnya lagi berhasil menangkis sambaran tangan kiri si mayat hidup. Namun, tetap saja tubuhnya terjajar mundur sejauh delapan langkah, sambil menyeringai kesakitan. Rasanya, lengannya tadi bagaikan beradu dengan sebatang besi baja yang amat keras. Tentu saja hal itu membuatnya semakin berhati-hati dalam menghadapinya.

"Bagaimana lukamu, Wijanarka?" tanya Kanjaran kepada kawannya yang terkena hantaman mayat hidup Ki Jaladri itu.

"Uh.... Uh.... Tidak kusangka, ternyata tenaga pukulannya demikian kuat!" sahut tokoh yang dipanggil Wijanarka itu sambil membungkuk memegangi perutnya yang terkena hantaman keras tadi.

"Kepung...!" perintah Darbasena kepada murid-murid Perguruan Perisai Baja untuk mengurung gurunya yang telah berubah menjadi mayat hidup.

Puluhan orang murid yang semula masih ragu-ragu itu cepat berloncatan mengurung mayat hidup Ki Jaladri. Mereka semua sudah mencabut senjata masing-masing, karena sudah menyadari kalau mayat hidup itu bukan lagi gurunya. Sementara itu, mayat hidup Ki Jaladri pun telah menggenggam sebatang pedang milik Wijanarka yang telah terlepas karena terkena pukulannya. Tentu saja hal itu membuatnya semakin berbahaya!

"Yeaaat..!"

Disertai teriakan nyaring, puluhan orang murid Perguruan Perisai Baja berlompatan sambil menyabetkan senjata ke arah mayat gurunya. Sepertinya mayat hidup Ki Jaladri itu kali ini tidak akan lolos dari kematian untuk yang kedua kalinya. Namun, untuk kesekian kalinya tiga orang tokoh persilatan dan para murid Perguruan Perisai Baja kembali terkejut. Ternyata mayat hidup yang dipastikan akan terpanggang puluhan batang pedang itu masih mampu menggerakkan pedang untuk menangkis puluhan batang pedang. Meskipun dengan terpatah-patah, tapi gerakan yang dilakukannya benar-benar menggetarkan.

Tubuh mayat hidup itu melonjak-lonjak bagai seekor kijang yang ketakutan. Setiap kali bergerak, pedang lawan yang tertangkis pasti terpental lepas dari genggaman. Dan sebelum para pengeroyok sempat berbuat sesuatu, mayat hidup itu telah menyabetkan pedangnya dengan kecepatan kilat.

Bret! Bret!

"Aaargh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, para pengeroyok yang terkena sambaran pedangnya kontan terjungkal mandi darah. Dalam satu gebrakan saja, enam orang murid Perguruan Perisai Baja tewas tergeletak di tangan mayat gurunya. Tentu saja hal itu membuat yang lainnya tersentak mundur dengan wajah pucat. Mundurnya para pengeroyok itu ternyata tidak membuat mayat hidup itu berhenti mengamuk. Tubuhnya yang bergerak kaku terus saja menerjang disertai ayunan pedang yang berbau kematian. Sehingga, para pengeroyok yang mulai gentar bergegas berloncatan menjauhi arena maut itu.

Cras! Cras...!

"Aaa...!"

Lagi empat orang murid Perguruan Perisai Baja yang tak sempat menghindarkan diri menjadi sasaran amukan pedang mayat hidup Ki Jaladri. Mereka langsung tewas seketika dengan usus memburai!

"Heaaat..!"

Darbasena, Kanjaran, dan Wijanarka berteriak sambil menerjang berbarengan. Kali ini mereka sudah tidak lagi memandang mayat hidup itu sebagai kawannya. Maka serangan yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung lagi. Ayunan senjata ketiga orang tokoh itu mengaung tajam membeset udara dingin malam itu.

Perbuatan ketiga orang tokoh itu pun segera diikuti empat orang murid utama Ki Jaladri. Ternyata mereka juga tidak lagi melihat Ki Jaladri sebagai gurunya. Karena, mayat hidup itu ternyata telah tega membunuh murid-muridnya sendiri. Sehingga, rasa keraguan yang memang sudah menipis itu lenyap seketika. Dan kali ini, keempat orang murid utama itu sudah bertekad untuk melenyapkannya.

DUa

"Haiiit..!"

Empat orang murid utama Perguruan Perisai Baja berseru nyaring secara bersamaan sambil mengayunkan senjata ke tubuh mayat hidup guru mereka.

Wut! Wut...!

Trang! Trang!

"Aaah...!"

Namun serangan beruntun dari keempat murid Perguruan Perisai Baja dengan mudah dapat ditangkis oleh pedang si mayat hidup. Tubuh mereka terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sebelum posisi mereka sempat diatur kembali, si mayat hidup sudah mengayunkan senjata mengancam keselamatan keempat orang murid utama itu.

Wut! Trak!

Pada saat yang berbahaya itu, Wijanarka menyabetkan pedang untuk menyelamatkan empat orang murid utama itu. Apa yang dilakukan tokoh itu memang berhasil, meskipun pedangnya harus patah akibat kuatnya ayunan pedang si mayat hidup. Buruburu tokoh itu menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan berikutnya.

"Uhhh...!" Wijanarka berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa sesak akibat kuatnya pengaruh tangkisan senjata si mayat hidup. Kekuatannya yang masih kalah jauh menyebabkan Wijanarka kembali terluka. Memang, lukanya akibat hantaman mayat hidup itu kembali kambuh.

Sementara itu, Darbasena dan Kanjaran sudah bertarung sengit melawan mayat hidup itu. Mereka memang merasa berkewajiban untuk melindungi Perguruan Perisai Baja dari kehancuran. Makanya, kini si mayat hidup terus dicecar dengan seranganserangan hebat dan dahsyat Trisula Perak dan Kanjaran mengerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki. Pengalaman yang telah dialami berkali-kali tadi, membuat mereka harus berhati-hati untuk memapak setiap serangan balasan si mayat hidup. Kedua pendekar itu terus mendesak tanpa berani beradu tangan atau beradu senjata dengan mayat hidup Ki Jaladri.

Sementara itu empat orang murid utama Perguruan Perisai Baja yang lolos dari kematian, segera terjun ke dalam kancah pertempuran. Tentu saja dengan hadirnya mereka, keadaan Darbasena dan Kanjaran semakin bertambah kuat. Dan kini serangan yang dilakukan dua orang tokoh persilatan itu semakin hebat saja. Tapi, mayat hidup Ki Jaladri memang luar biasa!

Walaupun dikeroyok dua orang pendekar dan ditambah empat orang murid utama, tetap saja tidak merasa kewalahan. Malah, ayunan senjatanya semakin ganas dan mengerikan. Pada jurus yang kedua puluh tiga, enam orang tokoh itu mengayunkan senjata secara berbarengan. Mereka menerjang dari enam penjuru. Kali ini, mereka semua yakin kalau tubuh mayat hidup Ketua Perguruan Perisai Baja itu pasti akan tercincang.

Namun, dugaan enam orang tokoh itu kembali keliru. Dengan gerakan cepat luar biasa, tubuh mayat hidup itu menyelinap di tengah-tengah dua pengeroyoknya. Kedua tangannya mengembang ke depan memapak serangan dua orang murid utama Perguruan Perisai Baja.

Plak! Trang!

Pedang di tangan kanan si mayat hidup berhasil menangkis senjata pengeroyoknya. Sedangkan tangan kirinya menepiskan senjata yang mengancam leher. Maka terciptalah celah untuknya meloloskan diri, karena tubuh dua orang pengeroyoknya terjajar ke belakang. Setelah berhasil menerobos kepungan, tubuh mayat hidup itu berputar setengah lingkaran disertai sambaran pedang membabat perut dua orang murid utama itu.

Bret! Cras!

"Aaa...!"

Tubuh dua orang itu melintir dan langsung ambruk ke tanah. Darah seketika menyembur dari luka menganga di perut, sehingga langsung menewaskan dua orang murid utama Perguruan Perisai Baja. Belum lagi rasa terkejut para pengeroyok hilang, tubuh si mayat hidup sudah melompat ke arah Wijanarka disertai ayunan pedangnya. Wijanarka yang saat itu tengah melangkah tertatihtatih, hanya dapat memandang ngeri dengan sepasang mata terbelalak. la tak sempat lagi menghindari bacokan pedang yang menuju batang lehernya itu.

"Hhhk...!" Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tak sempat lagi berteriak, karena batang lehernya tertebas oleh si mayat hidup. Darah pun langsung menyembur dari batang leher yang telah putus itu. Kepala pendekar itu menggelinding, lepas dari tubuhnya.

"Iblis...!" desis Trisula Perak marah melihat kekejaman yang terjadi di depan matanya itu. Setelah memaki penuh kemarahan, tubuh pendekar setengah baya itu melesat disertai tusukan trisula peraknya yang mengarah jantung si mayat hidup.

Saat itu si mayat hidup sudah kembali melompat ke arah kerumunan puluhan murid yang tengah menyaksikan pertarungan berdarah itu. Bukan main pucatnya wajah mereka ketika melihat tubuh mayat gurunya tengah meluncur ke arah mereka.

Terdengar jerit kematian yang saling susul ketika senjata di tangan si mayat hidup kembali meminta korban! Dalam beberapa gebrak saja, tubuh belasan orang murid Perguruan Perisai Baja bergelimpangan tumpang tindih. Darah semakin membanjir, menebarkan bau amis yang memualkan perut. Belum lagi bau busuk yang menebar dari tubuh mayat hidup Ki Jaladri. Yang jelas, bau di sekitar tempat itu semakin tak karuan.

Trang! Trang!

Dua kali sambaran pedang si mayat hidup berhasil digagalkan Darbasena. Meskipun tubuh pendekar itu terdorong beberapa langkah ke belakang, namun tangkisannya berhasil menyelamatkan beberapa orang murid yang nyaris hilang nyawanya. Perbuatan Trisula Perak ternyata telah membuat si mayat hidup menjadi jengkel. Sepasang matanya yang memerah saga menatap tajam ke arah pendekar itu. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat kaku ke arah lawannya.

Wut! Trang! Trang!

"Uhhh...!" Darbasena berhasil menghindari sebuah sabetan yang mengancam lehernya. Dua buah serangan berikutnya juga berhasil ditangkis. Namun karena kekuatan mayat hidup Ki Jaladri memang lebih tinggi, maka tetap saja tubuh laki-laki setengah baya itu terdorong dan terhuyung-huyung ke belakang. Kanjaran dan dua orang murid utama Ki Jaladri yang masih selamat, bergegas melompat untuk menolong Darbasena. Serentak mereka mengayunkan senjata berbarengan ke arah si mayat hidup yang tengah memburu Darbasena. Darbasena memucat wajahnya karena saat itu sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyelamatkan diri. Untunglah, saat itu ketiga orang kawannya berhasil mendahului gerakan si mayat hidup.

Trang! Trang! Brettt!

Pedang di tangan Kanjaran dan salah seorang murid utama berhasil menggunting senjata si mayat hidup. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tiga buah senjata itu mengapung di udara. Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan salah seorang murid utama tepat membeset tubuh si mayat hidup, sehingga terjajar beberapa langkah ke belakang. Ketiga orang itu bergegas berlompatan mundur menjauhi si mayat hidup. Ternyata dari luka di perutnya keluar cairan hijau yang menebarkan bau busuk yang sangat menusuk hidung.

"Hoeeek...!"

Seketika ketiga orang itu memuntahkan isi perutnya karena pengaruh bau busuk itu. Kini mereka semua tak kuasa lagi menahan isi perutnya yang mendadak ingin keluar. Luka yang diderita si mayat hidup itu sebenarnya cukup parah. Tapi sepertinya sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dan selagi keempat orang itu tengah tak berdaya, si mayat hidup melesat mengayunkan senjatanya.

Crak! Crak...!

Kematian demi kematian saling susul ketika pedang di tangan si mayat hidup membacok ke tubuh empat orang tokoh itu. Darah segar kembali muncrat membanjiri pelataran Perguruan Perisai Baja. Setelah menewaskan keempat orang tokoh itu, si mayat hidup kembali berpaling ke arah murid Perguruan Perisai Baja yang tinggal dua puluh tujuh orang.

"Aaah...!"

Wajah dua puluh tujuh orang murid itu pun pucat seketika. Rasanya nyawa mereka telah lepas sebelum sempat terkena senjata si mayat hidup. Bahkan beberapa orang di antaranya langsung jatuh pingsan karena rasa takut yang hebat.

"Aaa...!"

Korban kembali berjatuhan ketika mayat hidup Ki Jaladri mulai membantai murid-muridnya sendiri. Darah memercik memenuhi halaman perguruan itu. Namun demikian, beberapa orang murid nekat melakukan perlawanan sebisanya. Namun, apalah artinya perlawanan itu? Dan memang akhirnya mereka mati tanpa mampu melukai si mayat hidup sedikit pun juga. Sementara itu beberapa orang lainnya langsung melarikan diri tanpa mempedulikan kawan-kawannya. Kini tempat itu kembali jadi hening. Puluhan mayat bergelimpangan tumpang-tindih. Bau anyir darah menebar tertiup hembusan angin malam yang semakin dingin.

Mayat hidup Ki Jaladri melangkah kembali ke arah peti matinya. Sekali lompat saja, tubuh yang kaku itu kembali terbaring di dalamnya. Sedangkan golok di tangannya masih tetap tergenggam erat Sementara penutup peti mati itu kembali bergerak menutupinya. Perlahan-lahan peti mati Ki Jaladri terangkat naik bagai digerakkan tenaga gaib, lalu terus melayang meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Sesaat kemudian, peti mati itu lenyap ditelan kegelapan sang malam.

********************

Malam baru saja berganti pagi ketika kegemparan pecah di Desa Keputih. Para petani yang sedianya hendak berangkat ke sawah, lari tunggang-langgang kembali ke desa. Wajah mereka rata-rata terpancar rasa ketakutan hebat. Ternyata kegemparan itu disebabkan oleh datangnya tujuh orang laki-laki yang berteriak-teriak histeris sambil mengacung-acungkan pedangnya. Wajah mereka rata-rata kotor tak terawat. Begitu juga dengan pakaian mereka yang compang-camping tak ubahnya pakaian pengemis gila.

"Tolong...! Tolong...! Ada orang gila ngamuk...!"

Sambil berlari-lari para petani laki-laki dan perempuan berteriak-teriak ketakutan.

"Hei, siapa kalian?! Apa maksudnya menakut-nakuti penduduk desa kami?" tegur seseorang. Dia adalah laki-laki brewok mengenakan baju putih dan celana berwarna hitam. Tahu-tahu, laki-laki itu telah berdiri menghadang. Tampak di kiri kanannya berdiri masing-masing seorang laki-laki lain yang juga bersikap galak. Yang di sebelah kiri bertubuh tinggi tegap, dan berusia sekitar tiga puluh tahun.

Pakaiannya ketat berwarna biru. Sedangkan yang di sebelah kanan bertubuh sedang, berusia sekitar dua puluh dua tahun. Pakaiannya ketat, berwarna hijau. Sepertinya, mereka adalah keamanan desa itu. Tujuh orang laki-laki bertubuh kotor itu menatap si brewok dengan pandangan kosong dan ketakutan. Melihat dari cara memandang, dapat diduga kalau mereka memang tidak waras. Si brewok dan dua orang kawannya terkejut melihat cara memandang tujuh orang itu. Sejenak mereka menjadi bingung karena tak tahu harus berbuat apa.

"Kakang, kelihatannya mereka tidak waras!" tegas laki-laki berbaju biru yang berada di sebelah kiri si brewok.

"Ya! Sepertinya memang begitu, Adi. Entah harus bagaimana kita menghadapinya?" sahut si brewok terlihat agak bingung begitu mengetahui kalau yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak waras.

"Hm.... Dari mana mereka datang?" gumam laki-laki berbaju hijau, seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Coba dekati dan tanya baik-baik, Kakang," usul laki-laki berbaju biru. Wajahnya yang cukup bersih dan tampan itu terlihat agak khawatir.

"Hm...," si brewok hanya bergumam mendengar usul salah seorang kawannya. Setelah berpikir sejenak, kakinya melangkah perlahan mendekati ketujuh orang itu. Belum lagi si brewok sempat melontarkan pertanyaan, ketujuh orang laki-laki tak waras itu berteriak-teriak ketakutan.

"Jangan.... Jangan bunuh kami.... Ampun...!" ratap salah seorang dari tujuh laki-laki gila itu dengan wajah ketakutan.

Ketujuh laki-laki gila itu bergerak mundur. Mata mereka tampak bergerak liar, penuh rasa takut. Jelas sekali kalau rasa ketakutan itu tidak dibuat-buat. Tentu saja hal itu membuat si brewok menjadi semakin heran.

"Tenanglah, Kisanak. Kami tidak bermaksud melukai atau membunuh kalian," bujuk laki-laki brewok. Sambil berkata demikian, si brewok meneruskan langkahnya mendekati mereka.

"Tidaaak...! Jangaaan...!"

Wajah yang semakin pucat bagaikan dilanda rasa takut yang hebat itu terus bergerak mundur. Beberapa saat kemudian, mereka berhenti. Namun tiba-tiba tubuh mereka menegang dan kemudian bergetar bagai tengah menderita demam yang hebat!

"Keparat kau, Iblis! Kubunuh kau...! Heaaat..!"

Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak marah. Rupanya rasa takut yang memuncak, membuatnya nekat. Sambil berteriak-teriak kalap, laki-laki gila yang berada paling depan melompat menerjang si brewok disertai ayunan pedang.

"Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!"

Sambil terus berteriak-teriak kalap, laki-laki gila itu menyabetkan pedangnya berkali-kali. Si brewok yang tidak menyangka akan mendapat perlakuan demikian, bergegas menghindari bacokan pedang si gila. Kemudian, ia melompat mundur jauh ke belakang ketika serangan itu semakin cepat dan ganas!

Berbarengan dengan mundurnya si brewok, enam orang laki-laki gila lainnya melompat menerjang si brewok yang saat itu sudah dekat dengan dua orang kawannya. Sadar kalau pertarungan tak mungkin dapat dihindari, si brewok dan dua orang temannya bergegas mencabut senjata masing-masing. Karena tidak melihat jalan lain, maka ketiga orang keamanan desa itu menggerakkan senjata untuk melakukan perlawanan.

Wuk! Wut..!

"Aaah...!"

Tiga orang keamanan Desa Keputih itu saling menghindari serangan tujuh orang laki-laki gila itu. Mereka terkejut sekali ketika sadar kalau tujuh orang gila itu ternyata bukan orang sembarangan. Bahkan sepertinya memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah! Tentu saja hal ini membuat tiga orang keamanan desa itu terdesak hebat. Pertarungan yang tidak seimbang dan mendebarkan itu terus berlangsung sengit. Beberapa orang penduduk yang menyaksikan dari tempattempat tersembunyi seketika menjadi cemas. Karena, tiga orang keamanan desa itu tampak terdesak.

"Cepat laporkan kepada Ki Jonggol sebelum mereka terbunuh oleh gerombolan laki-laki gila itu!" perintah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun kepada laki-laki muda yang hanya menonton di sebelahnya.

"Baik, Ki!" jawab si pemuda bergegas keluar dari persembunyiannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada orang yang bernama Ki Jonggol.

Sekitar sepuluh tombak dari tempat pertempuran, tampak seorang pemuda tampan berjubah putih berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan. Wajahnya yang bersih dan tampan itu tampak tenang mengawasi pertempuran yang berlangsung seru itu.

"Hm...." Pemuda tampan itu hanya bergumam lirih ketika lagi-lagi ketiga orang keamanan desa itu harus bergulingan menghindari sabetan pedang ketujuh orang gila itu. Meskipun serangan tujuh orang gila itu tampak sembarangan, namun cukup mengandung tenaga dalam. Akibatnya, ketiga orang keamanan desa itu sepertinya tak mampu mengatasi. Dan kini, keselamatan mereka semakin terancam.

"Hm.... Gerakan ketujuh orang gila itu sepertinya telah terlatih baik. Meskipun kacau, namun tenaga serangan mereka tetap mantap dan membahayakan," gumam pemuda tampan berjubah putih, memberikan penilaian terhadap ketujuh orang gila itu.

"Ya. Tapi kalau saja ketujuh orang itu bertarung satu lawan satu, rasanya si brewok belum tentu akan kalah, Kakang," timpal seorang gadis cantik laksana bidadari. Gadis jelita itu mengenakan pakaian serba hijau. Demikian juga dengan kepalanya yang terikat selembar kain yang juga berwarna hijau. Sudah bisa diduga kalau kedua orang itu adalah Panji dan Kenanga.

"Lihat, Kenanga! Sepertinya ketiga orang itu sudah semakin parah keadaannya. Rasanya tak lama lagi pasti akan terluka!" sentak Panji yang membuat gadis jelita itu kembali menolehkan wajah ke arah pertempuran.

Memang benar apa yang dikatakan Panji. Saat itu ketiga orang keamanan Desa Keputih tampaknya sudah tidak sanggup bertahan lagi. Karena, ketujuh orang gila itu bagai memiliki sumber tenaga yang tak pernah habis. Buktinya, walaupun pertempuran sudah berlangsung cukup lama, namun orang-orang gila itu masih saja nampak segar bagai tak merasa lelah.

Des! Buk!

"Aaakh...!" Tubuh dua orang teman si brewok terjungkal ketika sebuah tendangan dan pukulan lawan tepat menghantam tubuh mereka. Cepat-cepat kedua orang itu bergulingan menjauhi tempat itu.

Wut! Wut!

Sabetan pedang dua laki-laki gila yang mengejar dua orang keamanan desa itu berhasil dihindari. Kemudian tubuh dua orang keamanan desa itu melenting ke atas, lalu mendarat manis beberapa tombak dari dua penyerangnya.

"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"

Sambil terus berteriak-teriak, dua orang laki-laki gila itu terus mengejar lawannya. Wajah mereka tampak semakin beringas bagai binatang buas kelaparan. Wajah dua orang keamanan desa itu semakin pucat. Saat itu dua bilah pedang lawan sudah meluncur ke arah tubuhnya. Dengan gerakan yang semakin melemah, kedua keamanan desa itu mengangkat senjata untuk menangkis serangan.

Trang! Trang!

"Aaah...!" Serangan itu memang berhasil digagalkan. Namun karena tenaga sudah semakin lemah, maka kedua senjata mereka terpental setelah menangkis bacokan yang didorong tenaga dalam tinggi itu. Dua orang itu hanya dapat memejamkan matanya penuh kepasrahan. Karena, pada saat itu pedang di tangan lawan-lawannya sudah kembali berkelebat mengancam tubuh mereka.

Wut! Wut!

Tak! Tak!

"Aaargh...!" Terdengar jeritan keras yang berasal dari mulut kedua orang gila itu. Tubuh mereka langsung mundur sambil memegangi tangan kanan yang tergantung lumpuh. Sedangkan pedang mereka terjatuh ke atas tanah.

Rupanya pada saat yang gawat bagi kedua orang keamanan desa itu, tiba-tiba meluncur dua buah batu kecil yang melesat dengan kecepatan kilat. Dua buah batu itu tepat menghantam pergelangan kedua orang gila yang sudah beringas itu, sehingga senjatanya terlepas dari genggaman. Dengan demikian, selamatlah nyawa dua orang keamanan desa itu.

"Eh...!" Dua orang keamanan desa itu seketika heran saat sambaran pedang lawan tak juga datang. Mereka semakin heran ketika melihat dua orang gila yang semula hendak membunuh, tampak tengah menyeringai menahan sakit. Dua orang gila itu menatap dua orang keamanan desa dengan wajah agak gentar.

Sementara itu, si brewok yang tengah dikeroyok lima laki-laki gila lainnya, tengah mati-matian menyelamatkan diri. Tubuhnya terus bergulingan menghindari sambaran pedang lawan-lawannya. Namun, karena gerakannya sudah semakin lemah dan lambat, maka dia tak dapat lagi menghindari sabetan pedang lawan. Laki-laki brewok itu telentang pasrah menanti datangnya maut yang siap menjemput.

Wut!

Pedang salah seorang lawan menderu tajam siap membelah tubuh laki-laki brewok itu. Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan putih berkelebat laksana sambaran kilat. Maka....

Plak!

"Aaah...!" Tubuh orang gila yang siap merajam tubuh si brewok itu terjengkang ke belakang akibat tepisan tangan bayangan putih yang berkelebat tadi. Dan sebelum kelima laki-laki gila itu menyadari apa yang terjadi, tubuh bayangan putih itu kembali berkelebat laksana hantu.

Terdengar suara tamparan lima kali berturut-turut yang disusul robohnya kelima laki-laki gila itu, sehingga diam tak bergerak-gerak lagi. Tamparan itu rupanya telah membuat mereka roboh pingsan.

"Heaaah...!"

Dua orang lain yang tadi menyerang dua teman si brewok berteriak marah! Mereka meraung keras bagai harimau luka, lalu serentak melompat menerjang sosok berbaju putih yang tengah berdiri menatapi lima orang yang telah pingsan tadi. Begitu dua orang itu tiba di dekatnya, sosok baju putih itu langsung berbalik. Dua kali tangannya bergerak melakukan tamparan perlahan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun roboh pingsan menyusul yang lainnya.

EMPAT

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap laki-laki brewok sambil membungkuk hormat, diikuti dua orang temannya.

"Ah! Janganlah terlalu sungkan, Kisanak. Ini memang sudah menjadi kewajiban kita," sambut pemuda berjubah putih, seraya membalas penghormatan ketiga orang keamanan desa itu.

"Kakang, mengapa tidak dibunuh saja orang-orang gila itu? Bukankah setelah sadar nanti mereka akan membuat keonaran kembali?" kata gadis jelita yang berpakaian serba hijau sambil menghampiri sosok berjubah putih yang tidak lain Panji atau lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.

"Kurasa tidak perlu, Kenanga. Kulihat mereka sepertinya bukan orang gila sungguhan. Dari sikap dan tingkah laku mereka tadi, aku menduga kalau mereka telah mengalami suatu kejadian yang membuat jiwa dan pikiran terguncang. Aku akan mencoba memeriksanya. Siapa tahu mereka belum terlambat untuk disembuhkan," sahut Panji tidak menyetujui usul yang diajukan kekasihnya.

"Apakah Kisanak bertiga tidak kenal ketujuh orang gila ini?" tanya Kenanga mengalihkan pandangannya kepada ketiga orang keamanan Desa Keputih itu.

"Sayang sekali kami tidak mengenalnya, Nisanak. Sepertinya mereka berasal dari tempat yang cukup jauh," jawab laki-laki brewok yang kelihatannya merupakan Ketua Keamanan Desa Keputih.

Panji dan Kenanga serta yang lain menolehkan kepala ketika mendengar derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tidak lama kemudian, tampak tiga ekor kuda yang ditunggangi tiga orang laki-laki gagah.

"Siapakah mereka?" tanya Kenanga pelan. Sambil berkata demikian, kepala gadis itu menoleh ke arah si brewok. Jelas pertanyaan itu ditujukan kepada si brewok.

"Orang tua yang berada di tengah adalah kepala desa kami. la dipanggil dengan Ki Jonggol. Sedangkan dua orang yang berada di kiri kanannya adalah para pembantu utamanya," jawab laki-laki brewok itu menerangkan.

Setelah menjawab pertanyaan Kenanga, si brewok bergegas menyambut kepala desa itu bersama dengan dua orang pembantunya. Begitu tiba di tempat kejadian, laki-laki berusia setengah baya yang bernama Ki Jonggol itu bergegas melompat turun dari atas kudanya. Ringan sekali gerakannya. Menandakan kalau kepala desa itu tidak bisa dianggap enteng. Sementara dua orang pembantu utamanya ikut melompat turun dari atas punggung kuda masing-masing.

"Ada apa ini, Gedaran?" tanya Ki Jonggol kepada si brewok yang ternyata bernama Gedaran, sambil sepasang matanya berkeliling merayapi sekitar tempat itu. Kepala desa itu mengerutkan kening ketika pandangannya bertemu dengan Panji dan Kenanga. la menganggukkan kepalanya ketika melihat pemuda berjubah putih itu mengangguk hormat ke arahnya.

"Begini, Ki...." Laki-laki brewok yang bernama Gedaran itu pun segera menceritakan kejadian yang dialami. Sesekali kedua orang temannya ikut pula membantu, melengkapi keterangan si brewok.

"Untunglah kami ditolong pemuda tampan berjubah putih itu, Ki. Kalau tidak, mungkin kami sudah tewas," kata Gedaran menutup keterangannya.

"Hm.... Jadi pemuda berjubah putih itu juga yang telah merobohkan ketujuh orang gila itu?" tanya Ki Jonggol sambil mengarahkan pandangannya kepada Panji dan Kenanga.

Setelah mendapat keterangan dari Gedaran, Ki Jonggol segera melangkahkan kakinya mendekati Panji dan Kenanga. Langkah kepala desa itu terlihat ringan dan mantap. Ini satu bukti lagi kalau kepala desa itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Terima kasih atas pertolonganmu kepada ketiga orang pembantuku itu. Bolehkah aku tahu, siapa nama kalian berdua?" ucap Ki Jonggol sambil menganggukkan kepalanya kepada Panji dan Kenanga.

"Ah! Hanya suatu kebetulan saja, Ki. Namaku Panji. Sedangkan gadis ini adalah tunanganku yang bernama Kenanga," sahut Panji memperkenalkan diri kepada kepala desa itu.

a "Hm.... Panji... Rasanya nama itu sudah pernah kudengar? Panji seorang pemuda tampan yang selalu mengenakan jubah putih dengan sebilah pedang lentur yang selalu melingkar di pinggangnya. Anak Muda, salahkah dugaanku?" tanya Ki Jonggol meminta ketegasan dari pemuda tampan berjubah putih yang tengah berdiri di hadapannya.

"Hm.... Menurutku, banyak sekali pemuda yang memiliki ciri-ciri seperti itu, Ki. Dan lagi...."

"Kalau yang Ki Jonggol maksudkan adalah Pendekar Naga Putih, ya dia inilah orangnya!" potong Kenanga cepat sambil menyunggingkan senyum menggoda di bibirnya ke arah Panji yang hanya melongo karena ucapannya terputus.

"Ah! Sudah kuduga kalau aku berhadapan dengan pendekar muda yang tersohor itu. Maafkanlah sikapku yang kurang hormat tadi, Pendekar Naga Putih. Dan selamat datang di Desa Keputih ini," ucap Ki Jonggol.

Wajah kepala desa itu langsung berseri gembira. Padahal, semula agak angkuh. Panji menjadi tidak enak hatinya mendengar Ki Jonggol memuji-muji dirinya sedemikian rupa. Pemuda itu mengerling ke arah Kenanga dengan sinar mata mengancam.

"Awas kau...!" desis Panji perlahan, karena tidak ingin kata-katanya didengar orang lain.

"Hi hi hi...!" Kenanga hanya tertawa menggoda mendengar ancaman kekasihnya itu. Cepat-cepat tubuhnya digeser menjauhi pemuda itu.

"Hm.... Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap ketujuh orang gila itu, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Jonggol meminta pendapat pemuda itu.

"Panggilah aku dengan nama Panji saja, Ki!" pinta Panji yang merasa risih mendengar kepala desa itu memanggil julukannya.

"Ha ha ha...! Baiklah, Nak Panji," sahut Ki Jonggol sambil tertawa terbahak-bahak. "Memang tidak salah cerita-cerita yang kudengar di dunia persilatan. Pendekar Naga Putih adalah seorang pendekar yang tidak ingin menonjolkan nama julukannya. Kau membuatku semakin bertambah kagum, Panji. Baiklah. Kalau begitu, apa tindakan yang akan kau ambil terhadap ketujuh orang gila itu?"

"Hm.... Apakah Ki Jonggol tidak dapat mengenali siapa mereka?" tanya Panji sebelum mengambil keputusan langkah apa yang akan diambil.

"Tidak. Aku tidak kenal tujuh laki-laki gila itu," sahut kepala desa itu cepat

Nampak di wajah Pendekar Naga Putih tersirat kekecewaan, karena Ki Jonggol tidak mengenali tujuh laki-lagi gila itu.

"Tapi..., eh! Nanti dulu!" sentak Ki Jonggol begitu sepasang matanya menangkap sesuatu yang membuatnya mengerutkan kening. Bergegas orang tua itu membungkuk di dekat salah seorang dari tujuh laki-laki gila itu. Perlahanlahan tangannya terulur menyibak pakaian yang compang-camping itu.

"Perguruan Perisai Baja...!" desis Ki Jonggol terkejut begitu mengenali lambang yang terdapat didada kiri pakaian orang itu. Sejenak laki-laki tua itu termangu tanpa berkata sepatah pun.

"Kau mengenali mereka, Ki?" tanya Panji ketika melihat orang tua itu terdiam.

"Aku tidak kenal mereka. Tapi aku kenal dengan guru mereka yang bernama Ki Jaladri. Tapi, bagaimana murid-murid orang tua itu sampai berkeliaran ke tempat ini? Bahkan dalam keadaan kurang waras. Hm.... Apa yang telah menimpa mereka?" tanya orang tua itu dengan suara berdesah agak pelan. Sepertinya, pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Menurut pengamatanku, mereka sepertinya telah mengalami suatu peristiwa hebat yang membuat jiwa dan pikiran terguncang. Entah peristiwa apa sehingga sedemikian hebat akibatnya," duga Panji memberi gambaran tentang keadaan tujuh orang gila yang ternyata adalah murid Perguruan Perisai Baja.

"Panji. Dapatkah kau menolong mengembalikan ingatan mereka? Mungkin kita akan mendapat keterangan lebih jelas apabila mereka dapat berpikir waras kembali," pinta Ki Jonggol seraya bergegas bangkit dan menatap pemuda itu penuh harap.

"Entahlah, Ki. Tapi aku akan berusaha menyembuhkan mereka'" sahut Panji. Pendekar Naga Putih memang tak berani menjanjikan apa-apa, karena memang belum melakukan pemeriksaan terhadap ketujuh orang itu.

"Kalau begitu, mari singgah di tempatku. Biar orang-orangku yang akan membawa tujuh orang itu," usul Ki Jonggol seraya menatap Panji dan Kenanga bergantian.

"Baiklah, Ki. Mari," kata Panji menerima ajakan Ki Jonggol untuk mengobati ketujuh orang itu di tempat kediamannya.

Dengan wajah berseri, Ki Jonggol segera memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan dua ekor kuda. Panji dan Kenanga diam saja tidak berusaha mencegah niat baik Kepala Desa Keputih itu, karena tidak ingin membuat kegembiraan Ki Jonggol terganggu. Sambil tak henti-hentinya bercerita, Ki Jonggol menjalankan kudanya perlahan-lahan diapit Panji dan Kenanga. Sedangkan dua orang pembantu utamanya berada di belakang mengikuti.

********************

"Bagaimana keadaan mereka, Panji? Apakah masih bisa disembuhkan?" tanya Ki Jonggol ketika melihat pemuda itu keluar dari kamar tempat tujuh orang murid Perguruan Perisai Baja dirawat

"Untunglah belum terlalu parah, Ki. Sehingga tidak terlalu sulit untuk mengobatinya," jawab Panji sambil melangkah menghampiri Ki Jonggol yang duduk bersama Kenanga di ruang tengah.

Panji menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati. Di atas meja tampak telah terhidang segelas teh hangat dan juga beberapa jenis penganan. Bergegas pemuda itu meneguk minuman yang telah disediakan begitu dipersilakan tuan rumah.

"Apakah mereka sudah sadar dari pingsannya?" tanya Ki Jonggol lebih lanjut. Sepertinya laki-laki tua itu sudah tidak sabar untuk segera mengetahui apa yang telah terjadi dengan tujuh orang murid sahabatnya itu.

"Sudah, Ki. Tapi mereka masih memerlukan waktu beberapa hari untuk memulihkan tenaga. Sebab begitu ingatan mereka sudah pulih, mereka masih merasa lelah. Tapi kita tidak dapat mengorek keterangan tentang apa saja yang telah dilakukan selama kehilangan ingatan. Hanya kejadian sebelum ingatan mereka hilang itulah yang dapat diketahui. Oh, ya. Apakah Ki Jonggol tidak pernah berkunjung ke Perguruan Perisai Baja?" tanya pemuda itu begitu teringat kalau Ketua Perguruan Perisai Baja itu adalah salah seorang sahabat Kepala Desa Keputih.

"Pernah, beberapa hari yang lalu. Saat itu, kedatanganku untuk menyatakan bela sungkawa atas wafatnya Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama Ki Jaladri, sahabatku itu. Tapi di sana tidak kutemui kejadian-kejadian aneh. Kalau hanya sekadar bersedih, wajarlah. Karena mereka telah kehilangan guru yang dicintai," jawab Ki Jonggol yang memang pada saat kematian Ki Jaladri ikut hadir di perguruan itu.

"Hm, jadi Ketua Perguruan Perisai Baja sudah meninggal? Apakah meninggalnya karena terbunuh dalam perkelahian atau karena menderita sakit?" tanya Panji lagi, yang sempat terkejut ketika mendengar penjelasan Ki Jonggol.

"Pertanyaan itulah yang belum terjawab oleh sahabat-sahabat Ki Jaladri, termasuk aku. Karena, kematiannya memang aneh sekali. Menurut keterangan muridnya, ia tidak menderita sakit apa-apa. Bahkan tak ada luka sedikit pun, karena dia memang tidak tewas dalam perkelahian. Cobalah kau pikir, Panji. Apakah orang yang begitu sehat, bisa mendadak meninggal begitu saja? Sedangkan pagi harinya, para murid masih bertemu dengannya. Bahkan pelayan yang menyiapkan makanan untuknya pun mengatakan kalau pagi itu Ki Jaladri masih segar bugar. Selesai makan, Ki Jaladri masuk ke kamarnya. Dan ketika si pelayan mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban," Ki Jonggol berhenti sejenak dan meneguk minumannya.

"Lalu, bagaimana seterusnya, Ki?" tanya Kenanga yang sudah tidak sabar ingin segera mendengar penyelesaian cerita itu.

"Sabarlah, Kenanga. Biarkanlah Ki Jonggol beristirahat sejenak," kata Panji sambil menggenggam jemari kekasihnya yang terasa hangat itu.

"Hm.... Sampai di mana ceritaku tadi?" tanya Ki Jonggol setelah meneguk habis air minumnya.

"Sampai si pelayan yang mengetuk-ngetuk pintu kamar Ki Jaladri," sahut Kenanga tak sabar. Nada suara gadis itu terdengar agak jengkel, karena merasa seolah-olah Ki Jonggol memang sengaja hendak menggodanya.

"Oh, ya. Setelah lama mengetuk tapi tak juga mendapat sahutan, pelayan itu memberanikan dirinya membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Dia menjadi heran ketika melihat majikannya tertidur. Namun Ki Jaladri ternyata telah tertidur untuk selama-lamanya," sampai di situ, Ki Jonggol mengakhiri ceritanya.

"Apakah tidak ada tanda-tanda keracunan?" tanya Panji begitu kepala desa itu terdiam.

"Seperti yang kukatakan tadi, Ki Jaladri tak ubahnya meninggal secara wajar," jawab Ki Jonggol menekankan.

"Aneh...!" gumam Panji, heran.

"Ya, memang sangat aneh!" sahut Ki Jonggol dengan suara mendesah mengulangi ucapan Panji.

"Berapa jauhkah letak Perguruan Perisai Baja dari tempat ini, Ki?" tanya Kenanga. Entah sekadar basa-basi, atau karena memang ingin mengetahuinya.

"Hm.... Tidak begitu jauh. Kalau kita menggunakan kuda, paling-paling hanya sekitar setengah hari perjalanan. Kalau kalian berniat ingin mengunjunginya, lebih baik tunggu saja dulu sampai ketujuh orang itu sembuh. Nanti kalian bisa bersama-sama dengan mereka pergi ke sana. Bagaimana?" usul Ki Jonggol.

"Tentu saja, Ki. Lagi pula pengobatan terhadap ketujuh orang itu belum selesai," sahut Panji sambil tersenyum maklum. Pendekar Naga Putih sebenarnya tahu kalau orang tua itu masih menginginkan ia dan Kenanga tinggal di rumahnya.

"Hm.... Kalau kalian ingin beristirahat, mari kuantarkan!" ajak Ki Jonggol seraya bangkit dari duduknya. Dan kini ketiga orang itu meninggalkan ruang tengah.

EMPAT

Sang mentari pagi nampak begitu cerah. Kicauan burung bersahut-sahutan menyambut datangnya pagi. Angin segar bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan, sehingga seperti menari-nari. Seorang pemuda tampan berpakaian serba putih berjalan menyusuri sebuah taman. Wajahnya nampak segar, sesegar udara di pagi ini. Langkahnya perlahan, seraya menikmati suasana yang ceria itu. Di sebelah kirinya, nampak seorang gadis cantik mengenakan pakaian serba hijau. Wajahnya yang cantik tampak memerah di kedua pipinya, sehingga membuatnya semakin mempesona. Angin pagi mempermainkan anak rambutnya yang terjuntai di kening.

"Kakang...," panggil gadis itu, lembut.

"Hm...," gumam pemuda berjubah putih itu seraya menoleh. "Ada apa, Kenanga?" Pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji itu menatap gadis yang memang Kenanga. Saat itu keduanya tengah menikmati suasana pagi di kebun belakang rumah Ki Jonggol.

"Rasanya sudah terlalu lama kita tinggal di sini, lalu kapan mengunjungi Perguruan Perisai Baja? Bukankah ketujuh orang murid perguruan itu sudah sembuh? Jadi, apa lagi yang Kakang tunggu?" tanya Kenanga seolah-olah mengingatkan kekasihnya tentang niat mereka semula.

"Sabarlah, Kenanga. Kita tunggu saja sampai kesehatan ketujuh orang itu benar-benar pulih," sahut Panji sambil menggenggam erat jemari gadis jelita itu.

"Kapan itu, Kakang?" tanya Kenanga agak mendesak.

"Hm.... Mungkin siang ini kita sudah bisa mengunjungi Perguruan Perisai Baja itu," kata Panji seraya tersenyum sabar.

"Betul itu, Kakang?" desak gadis jelita itu setengah berteriak.

"Mengapa harus membohongimu?"

"Aku sudah tidak sabar untuk melihat kebenaran cerita ketujuh orang itu. Rasanya aku masih belum percaya kalau ada orang yang telah mati dapat bangkit kembali. Apalagi menurut cerita mereka, mayat hidup Ki Jaladri itu mengamuk membantai murid-murid dan sahabat-sahabatnya sendiri. Apakah kau juga percaya cerita itu, Kakang?"

"Agaknya aku bisa mempercayainya!" sahut Panji.

Kenanga agak terkejut mendengarnya. Betapa tidak? Sebab dia tahu betul kalau Panji paling tidak suka pada cerita yang berbau takhayul.

"Oh! Jadi Kakang percaya dengan cerita takhayul itu?"

"Eyang Tirta Yasa telah banyak bercerita kepadaku tentang bermacam-macam ilmu yang terdapat di rimba persilatan ini. Dan salah satunya, kurasa mempunyai kaitan erat dengan kejadian yang menimpa Ketua Perguruan Perisai Baja," jelas Panji seraya menghela napas. Kemudian dilangkahkan kakinya mengitari taman itu.

"Apakah Kakang tahu, ilmu apa itu?" tanya Kenanga sambil menggenggam erat lengan Panji.

"Tentu saja. Tapi kuingatkan kepadamu, Kenanga. Jangan kau ceritakan kepada siapa pun termasuk Ki Jonggol!" bisik Panji di telinga gadis jelita itu.

"Baik, Kakang. Aku berjanji!" jawab Kenanga begitu mengetahui kalau kekasihnya bersungguh-sungguh.

Sambil melangkah perlahan, Panji menceritakan tentang ilmu hitam yang dapat membangkitkan mayat. Wajah Kenanga terlihat agak pucat ketika mendengar cerita kekasihnya. Berkali-kali mulutnya ditutup untuk menahan seruan yang keluar dari mulutnya. Jelas sekali kalau Kenanga merasa ngeri mendengar cerita Panji.

"Ihhh.... Mengapa ada ilmu yang sekeji itu ya, Kakang? Entah seperti apa rupanya orang yang memiliki ilmu mengerikan itu!" kata Kenanga sambil mengusap kuduknya yang terasa meremang.

"Sama saja seperti kita dan orang-orang lainnya. Hanya, yang membuat mereka berbeda adalah pancaran sinar matanya yang tajam dan dapat membuat orang terpengaruh hingga menuruti perintahnya," sahut Panji seraya merangkul kekasihnya.

Kenanga menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Getar kasih sayang yang terpancar dari hati mereka membuat Kenanga semakin dalam menyurukkan wajahnya di dada Panji. Sesaat kemudian, wajah cantik itu menengadah, memancarkan pijar kasih lewat sepasang mata indahnya.

"Hm.... Sepertinya ada beberapa orang yang tengah menuju kemari, Kenanga," kata Panji, lembut. Dilepaskan pelukannya dari tubuh gadis jelita itu. Rupanya meskipun dalam keadaan terbuai, telinga Panji masih sempat menangkap gerakan di sekitarnya. Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, tampak delapan orang laki-laki bergegas menghampiri Panji dan Kenanga.

"Selamat pagi, Panji, Kenanga...," ucap orang yang melangkah paling depan, yang tidak lain adalah Ki Jonggol, Kepala Desa Keputih. "Wajah kalian cerah sekali pagi ini."

"Selamat pagi, Ki," sahut Panji membungkuk hormat disertai senyuman lebar.

"Selamat pagi, Tuan Pendekar.... Kami sudah merasa benar-benar sehat dan siap mengantarkan Tuan Pendekar berdua," kata salah seorang dari tujuh laki-laki yang datang bersama Ki Jonggol. Sambil berkata demikian, orang itu membungkuk diikuti enam orang lainnya. Mereka adalah tujuh murid Perguruan Perisai Baja yang telah sembuh karena pengobatan Pendekar Naga Putih.

"Syukurlah. Kalau begitu kita bisa segera berangkat untuk melihat keadaan perguruan kalian itu, Kisanak. Oh, ya. Panggil saja aku dengan nama Panji, dan ini Kenanga," pinta Panji yang disambut oleh ketujuh orang itu dengan anggukan kepala.

"Baik.... Baik, Tuan..., eh, Panji," sahut orang itu agak kikuk. Memang, biar bagaimanapun, mereka merasa tak enak menyebut pendekar muda itu dengan nama saja. Tapi karena pemuda itu sendiri yang meminta, maka mereka pun terpaksa menurutinya.

"Ah! Mengapa harus terburu-buru? Nanti siang sajalah kalian berangkat. Lebih baik kita sarapan dulu, mari!" ajak Ki Jonggol. Laki-laki tua itu sepertinya memang merasa berat untuk melepaskan kepergian Pendekar Naga Putih yang amat dikaguminya itu. Makanya, dia berusaha mencari-cari berbagai alasan untuk menahan pendekar muda itu.

"Terima kasih, Ki. Biarlah kami berangkat pagi ini saja. Makin cepat, makin baik," sahut Panji mengharapkan pengertian orang tua itu. Meskipun tidak mengatakan apa-apa, tapi Pendekar Naga Putih dapat menduga kalau orang tua itu masih merasa berat untuk melepaskannya. Karena yang lain pun ikut pula mengatakan hal yang sama, maka Ki Jonggol pun tak dapat menahan lagi.

"Baiklah kalau begitu. Akan kusuruh orang-orangku untuk menyiapkan kuda untuk kalian. Yah, paling tidak untuk mempercepat perjalanan. Bukan begitu, Kisanak?" Ki Jonggol menolehkan kepalanya kepada salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang berada di sebelahnya.

"Memang betul, Panji, Kenanga. Kalau kita menempuh dengan jalan kaki, akan memakan waktu sekitar dua hari. Jadi, sebaiknya terima saja bantuan Ki Jonggol," jelas orang itu, memperkuat kata-kata Ki Jonggol tadi.

"Yah.... Kalau memang harus begitu, apalagi yang kita tunggu?" sahut Panji bergurau.

Setelah segalanya dipersiapkan Ki Jonggol, rombongan kecil itu berangkat meninggalkan Desa Keputih. Ki Jonggol dan kedua orang pembantu utamanya mengantarkan hingga batas desa.

"Kalau persoalan itu sudah beres, singgahlah kembali ke tempatku, Pendekar Naga Putih," pinta Ki Jonggol sambil melepaskan rombongan kecil itu. Ia sengaja memanggil Panji dengan julukannya kembali. Seolah-olah hal itu meninggalkan kesan yang lain dalam hatinya.

"Aku tidak bisa menjanjikannya, Ki. Tapi aku akan berusaha mencari kesempatan untuk berkunjung ke desa yang ramah ini," sahut Panji sambil menggebah kudanya menyusul yang lain. Kepulan debu membumbung tinggi ketika kuda yang ditunggangi Panji melesat meninggalkan mulut Desa Keputih. Makin lama, bayangannya makin hilang ditelan kejauhan.

********************

Menjelang siang, rombongan Panji pun mulai memasuki sebuah hutan kecil yang cukup lebat. Salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang berada di depan, menghentikan lari kudanya.

"Setelah melewati mulut hutan ini, kita akan segera sampai di Perguruan Perisai Baja," jelas laki-laki itu seraya menolehkan kepalanya ke arah Panji dan Kenanga.

"Marilah kita percepat perjalanan. Sebelum hari gelap, kita harus sudah sampai di perguruan kalian agar tidak mendapat kesulitan untuk memeriksanya," timpal Panji.

"Ayolah! Heyaaa...!" Murid Perguruan Perisai Baja yang menjadi petunjuk jalan itu bergegas menggebah kudanya. Binatang tunggangan itu langsung melesat memasuki mulut hutan.

"Heyaaa...!"

Panji, Kenanga, dan enam orang lainnya bergegas pula menggebah kuda mereka yang langsung melesat mengejar orang terdepan. Tidak berapa lama kemudian, tembok bangunan Perguruan Perisai Baja mulai terlihat. Mereka mulai memperlambat lari kuda begitu tempat yang dituju semakin dekat. Pendekar Naga Putih dan yang lain segera menghentikan lari kuda, karena dari jarak belasan tombak sudah tercium bau busuk yang menusuk hidung.

"Uhhh! Rasanya kita tidak bisa memasuki tempat ini, Panji. Dari sini saja aku sudah tidak sanggup menahankan bau busuk yang menyengat itu. Jadi, bagaimana kita akan dapat memeriksanya?" tanya murid yang menjadi penunjuk jalan, sambil menutup hidung dengan selendang yang membelit pinggangnya.

"Yahhh! Sepertinya kita tidak dapat maju lagi, Kakang," kata Kenanga yang juga sudah menutup hidungnya.

"Tidak. Kita harus tetap memeriksanya. Oleskanlah minyak ini di hidung kalian. Mudah-mudahan bau busuk itu tidak mengganggu lagi," ujar Panji. Segera diberikannya sebuah botol kecil yang berisikan cairan berwarna hijau. Botol itu juga diberikan kepada yang lain.

"Wah, minyak ini benar-benar manjur. Apa nama minyak ini, Panji?" tanya salah seorang murid Perguruan Perisai Baja gembira. Memang, bau harum yang menebar dari minyak itu ternyata dapat mengalahkan bau busuk menyengat itu.

"Minyak itu adalah hasil ramuan guruku. Beliau menamakannya 'Minyak Tujuh Bidadari', karena harum yang ditimbulkan laksana harum keringat bidadari. Tapi, jangan tanyakan, mengapa guruku menamakannya demikian. Karena, aku sendiri tidak mengetahuinya," sahut Panji sambil tersenyum.

"Hi hi hi.... Ada-ada saja nama minyak itu," Kenanga terkikik. "Eh, Kakang. Apakah kau sudah pernah mencium bau harum keringat bidadari?"

"Wah! Kalau aku sih bukan saja sudah, bahkan seringkali bidadari itu datang kepadaku," jawab Panji dengan wajah sungguh-sungguh.

"Eh, benarkah itu, Panji...?" tanya tiga orang murid Perguruan Perisai Baja berbarengan.

Sementara itu yang lain memandang dengan setengah tak percaya. Memang, sepengetahuan mereka, bidadari itu hanya ada dalam dongeng. Dan sampai saat ini, belum pernah seorang pun yang menjumpainya. Tentu saja kalau orang lain yang mengatakannya, mereka tak akan mempercayai begitu saja. Bahkan mungkin akan memaki sebagai orang yang tak waras. Tapi yang berkata kali ini adalah Pendekar Naga Putih yang kesaktiannya sangat tinggi. Apalagi wajah pemuda itu jelas-jelas menampakkan kesungguhan. Apakah mungkin kalau pendekar besar itu akan berdusta?

Demikian pula dengan Kenanga. Tadinya, kekasihnya dikira sengaja menggoda. Tapi ketika melihat wajah pemuda itu demikian bersungguh-sungguh, tentu saja gadis jelita itu menjadi kebingungan. Gadis itu memang sudah sering mendengar dari mulut kekasihnya tentang peristiwa-peristiwa mustahil yang dialami pemuda itu. Tapi untuk bertemu dengan bidadari, apakah itu mungkin? Dan sebenarnya, diam-diam Kenanga mulai dijalari kecemburuan.

"Tentu saja benar! Untuk apa aku berbohong kepada kalian? Apa pula untungnya bagiku?" sahut Panji seolah-seolah tak senang ketika melihat sinar ketidakpercayaan di wajah mereka.

"Wah! Sudah tentu kami tidak berani menuduhmu seperti itu, Panji. Tapi, bagaimanakah caranya kau dapat bertemu bidadari itu?" tanya seorang murid Perguruan Perisai Baja yang berkumis tipis. Orang itu menundukkan kepalanya karena tak berani menentang tatapan Panji yang tajam menusuk itu.

"Kakang.... Kau bersungguh-sungguh...?" tanya Kenanga seraya menyentuh lengan kekasihnya. Suara gadis itu terdengar bergetar, menggambarkan perasaan hatinya yang kacau saat itu.

Panji tidak menjawab pertanyaan Kenanga, dan hanya mengangguk membenarkan ucapannya. Lalu pandangannya dialihkan kepada tujuh orang murid Perguruan Perisai Baja yang tengah menanti jawaban. "Hm.... Saat ini pun aku bisa memanggilnya. Kalau ingin menyaksikannya, pejamkanlah mata kalian rapat-rapat. Kau juga, Kenanga. Dan jangan sekali-kali membuka mata sebelum kuperintahkan," ujar Panji dengan suara yang berat dan dalam.

Tanpa banyak cakap lagi, ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja yang ingin membuktikan ucapan Panji bergegas memejamkan mata. Demikian pula Kenanga. Gadis jelita itu pun memejamkan matanya rapat-rapat meskipun hatinya berdebar penuh ketegangan. Panji merapat dan memeluk tubuh kekasihnya erat-erat. Kemudian, dibisikkannya kata-kata yang membuat Kenanga semakin tegang.

"Peluklah aku erat-erat, Kenanga. Agar bidadari itu tidak memelukku apabila datang nanti," bisik Panji lirih hingga tidak terdengar oleh yang lainnya.

"Nah, sekarang bukalah mata kalian!" perintah Panji dengan suara yang berwibawa.

"Oh! Mana..., mana bidadari itu? Aku belum melihatnya, Panji?" tanya salah satu dari ketujuh orang itu sambil mengedarkan pandangannya.

"Wah! Apakah kalian sudah buta? Bukankah saat ini aku tengah berpelukan dengan seorang bidadari?" jawab Panji seraya tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha...!" meledaklah tawa ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja itu ketika mendengar penjelasan Panji.

"Ihhh, Kakang jahat! Kau hampir saja membuatku berhenti bernapas tadi. Padahal aku sudah benarbenar percaya dengan ucapanmu!" teriak gadis jelita itu manja. Seketika dipukulinya dada Panji dengan perasaan gemas.

"Hm, tanyalah kepada mereka kalau tidak percaya. Kisanak, bukankah saat ini aku tengah memeluk bidadari?" tanya Panji kepada ketujuh orang itu.

"Betul! Betul, Panji! Menurut penglihatanku, Nini Kenanga adalah seorang bidadari," jawab laki-laki berkumis tipis sambil tertawa gembira.

"Ya! Kecantikan Nini Kenanga tak ubahnya seperti bidadari," seru yang lain sambil tertawa-tawa.

"Nah! Betul, kan?" kata Panji sambil tersenyum.

"Ah, Kakang...," desah Kenanga manja. Meskipun mulutnya cemberut, tapi hati gadis jelita itu berbungabunga. Perasaan bahagia semakin menggetarkan relung hatinya.

********************

Panji, Kenanga, dan tujuh orang lainnya bergerak memasuki bangunan Perguruan Perisai Baja. Bau busuk yang menyergap tidak lagi mengganggu mereka, karena minyak yang dioleskan di bawah hidung mereka mengusir bau busuk itu.

"Hm.... Tempat ini benar-benar seperti neraka saja layaknya!" desis Kenanga melihat begitu banyaknya mayat membusuk yang saling tumpang tindih. Diam-diam, hati gadis jelita itu mengutuk orang yang telah berbuat keji dengan membangkitkan mayat Ki Jaladri.

"Entah apa maksud orang yang menjadi dalang kejadian ini? Rasanya, mustahil kalau tidak mem punyai maksud-maksud tertentu?" gumam Panji. Kaki pemuda itu terus melangkah di antara puluhan mayat yang bergeletakan. Hati Pendekar Naga Putih menjadi geram melihat kekejaman yang terpampang di depan matanya.

"Entahlah, Panji. Peristiwa ini masih merupakan misteri bagi kami," sahut laki-laki berkumis tipis yang berjalan di belakang pemuda itu. Rupanya ia sempat juga mendengar gumaman pemuda di depannya. Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam bangunan besar itu, rombongan kecil itu pun bergegas keluar.

"Lebih baik kita kuburkan mayat-mayat ini dalam sebuah lubang yang besar," usul Panji. Pemuda itu menatap ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja berganti-ganti, seolah-olah meminta pendapat tentang usulnya.

"Wah, bagaimana kita harus melakukannya, Panji? Mayat-mayat ini sudah sedemikian membusuk. Jadi, bagaimana harus memindahkannya?" bantah salah satu dari ketujuh orang itu. Wajah orang itu tampak pucat ketika membayangkan harus mengangkat mayat-mayat busuk itu, dan memindahkannya ke dalam lubang yang dimaksudkan Panji.

"Hm...," Panji hanya bergumam mendengar jawaban orang itu. Ketika yang lain mengajukan alasan yang sama, pemuda itu terdiam sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.

"Kami sudah tidak berniat untuk tinggal di tempat ini lagi. Jadi menurutku, biar sajalah mayat-mayat ini habis dengan sendirinya," jawab si kumis tipis dengan suara rendah.

Memang, biar bagaimanapun ia masih merasa berat juga untuk meninggalkan tempat itu, karena semenjak kecil telah berada di Perguruan Perisai Baja. Tapi mengingat peristiwa yang telah dialami, membuat mereka berpikir dua kali untuk tinggal disitu.

"Eh, nanti dulu!" seru Panji tiba-tiba. Seolah-olah pemuda itu teringat akan sesuatu yang melintas dalam pikirannya. Keningnya seketika jadi berkerut. "Bukankah menurut keterangan kalian mayat Ki Jaladri berada di dalam peti? Lalu, ke mana perginya peti mati Ki Jaladri?"

"Hm, benar! Bukankah peti mati itu diletakkan didepan ruangan gedung pusat? Lalu, ke mana perginya peti mati guru?" tegas si kumis tipis begitu mendengar kata-kata Panji. Bergegas kakinya melangkah ke tempat peti mati gurunya diletakkan pada beberapa hari yang lalu.

Kesembilan orang itu menjadi terheran-heran ketika mengitari halaman gedung, namun tidak juga menemukan peti mati Ki Jaladri. Berbagai pertanyaan melintas di benak masing-masing?

"Tidak ada lagikah murid-murid lainnya yang berhasil meloloskan diri pada malam kejadian itu?" tanya Panji kepada si kumis tipis yang selalu berada dibelakangnya.

"Tidak, Panji. Hanya kami bertujuh inilah yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian itu," jawab orang itu pasti.

"Hm.... Lalu ke mana perginya peti mati gurumu itu...?" gumam Panji berpikir keras, mencari pemecahan atas kejadian yang penuh teka-teki itu.

"Ayolah kita keluar dari tempat ini, Kakang! Lama-lama aku tidak tahan juga melihat mayat-mayat yang berserakan itu." Sambil berkata demikian, Kenanga melangkahkan kakinya menuju keluar bangunan gedung perguruan itu.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Panji dan ketujuh orang lainnya bergegas mengikuti langkah Kenanga. Sambil melangkah, Panji terus berpikir tentang hilangnya peti mati Ki Jaladri. Rasa penasaran membuat pemuda itu tidak menyerah begitu saja untuk mencari jawaban.

"Apa langkah kita selanjutnya, Panji?" tanya salah seorang murid Perguruan Perisai Baja begitu sudah berada di tempat kuda-kuda mereka tertambat. Mereka semua langsung melompat ke punggung kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan mereka. Jelas, kalau rata-rata ilmu meringankan tubuh mereka telah tinggi.

"Hilangnya peti mati dan sekaligus mayat Ki Jaladri, pasti bukan dengan sendirinya. Aku yakin kalau peristiwa ini akan berbuntut panjang. Dan yang harus dicari sekarang adalah orang yang menjadi biang keladi semua kejadian ini. Dugaanku, orang itu pulalah yang mencuri peti mati dan mayat guru kalian. Sepertinya, mayat guru kalian masih diperlukan orang keji itu," Panji menduga-duga. Dan apa yang dikatakan pemuda itu memang cukup masuk akal.

"Lalu, apa yang harus kita perbuat? Sedangkan kita sendiri tidak tahu, siapa dan di mana adanya orang keji itu?" tanya si kumis tipis. Nada suaranya terdengar putus asa.

"Kembalilah kalian ke Desa Keputih. Dan tinggallah untuk sementara di desa itu. Apabila sudah menemukan manusia keji itu, aku akan segera memberi kabar kepada kalian. Maaf, bukan berartin aku meremehkan kapandaian kalian," ucap Panji menutup kata-katanya.

"Tentu saja, Panji. Kami pun sadar kalau tidak akan mampu untuk menyingkap misteri ini. Selamat tinggal Pendekar Naga Putih. Kami menunggu berita darimu," ucap salah seorang dari mereka yang langsung menggebah kudanya meninggalkan Panji dan Kenanga. Enam orang lainnya bergegas menyusul kawannya meninggalkan tempat itu.

"Heyaaa...!"

Kepulan debu membumbung tinggi ketika tujuh orang murid Perguruan Perisai Baja menggebah kudakuda mereka. Panji dan Kenanga menatap kepergian ketujuh orang itu dengan perasaan haru.

"Kasihan mereka. Mereka tak ubahnya anak-anak ayam kehilangan induknya. Sementara sang Induk yang telah tewas tidak diketahui di mana rimbanya?" desah Panji lirih.

"Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang? Sebentar lagi hari sudah gelap. Tidakkah sebaiknya kita meninggalkan tempat ini?" tanya Kenanga.

Ucapan kekasihnya tadi sebenarnya telah membangkitkan ingatan Kenanga kalau dirinya tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain pemuda kekasihnya itu. Panji menyadari ucapannya ketika melihat sepasang mata indah milik kekasihnya tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan Panji mendekatkan kudanya ke kuda Kenanga. Kuda-kuda itu kemudian merapat Pendekar Naga Putih lalu mengulurkan tangannya mendekap kepala gadis jelita itu. Dibisikkannya kata-kata mesra untuk menghibur hati Kenanga yang teringat akan keadaan dirinya.

"Maafkan aku, Kenanga. Aku tahu, apa yang tengah kau rasakan saat ini. Dan aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi," bisik Panji lirih di telinga kekasihnya.

"Sungguh, Kakang...?" desah Kenanga serak.

Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dikecupnya kening gadis jelita itu. Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga telah memacu kudanya meninggalkan tempat itu.

********************

LIMA

Malam telah larut. Hembusan angin dingin membuat orang enggan untuk ke luar rumah. Gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin, semakin menimbulkan keseraman. Ditambah lagi dengan suara jatuhnya titik-titik air yang menimpa atap-atap rumah, sehingga membuat suasana semakin menyeramkan. Delapan orang prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang Kadipaten Jagalan, tampak berkumpul di gardu jaganya. Rupanya mereka merasa resah mendapati suasana malam yang tidak seperti biasanya.

"Hhh.... Entah mengapa suasana malam ini membuat hatiku tidak tenteram? Ada apa, ya...?" gumam salah seorang prajurit yang bertubuh gemuk, seraya melipat kedua tangan di depan dada. Seolah-olah dengan berbuat demikian, diharapkan akan mendapat ketenangan.

"Benar. Biasanya kalau suasana malam seperti ini, pasti ada suatu kejadian yang menggemparkan. Tapi, mudah-mudahan saja kejadian itu tidak menimpa kita," timpal prajurit lain. Sepertinya, dia punya perasaan yang serupa dengan prajurit gemuk itu.

"Ah, sudahlah! Tugas kita sebagai prajurit adalah menjaga keamanan. Dan kalau ada apa-apa, kitalah yang harus bertanggung jawab. Jadi tidak ada alasan untuk merasa takut atau memikirkan hal yang bukanbukan!" bentak salah seorang prajurit yang lebih tua dari mereka. Agaknya ia tak senang dengan pembicaraan kedua orang temannya itu.

"Ah! Kami tidak mengatakan takut, Kakang. Hanya saja, perasaan kami mengatakan kalau bakal ada sesuatu yang akan terjadi malam ini. Dan kami berharap agar kejadian itu tidak berlangsung di Kadipaten Jagalan ini," bantah prajurit yang bertubuh gemuk.

"Yah, mudah-mudahan saja prasangka kita itu salah!" sahut yang lain, kembali mengharap.

Di saat para prajurit itu tengah berdebat, sebentuk benda yang berbentuk kotak persegi panjang tampak melayang-layang di atas gerbang kadipaten. Benda aneh berwarna coklat tua itu terus bergerak menuju sebuah bangunan besar.

"Hei, lihat! Apa itu?" teriak seorang prajurit yang kebetulan saat itu tengah memandang ke langit, sambil menunjuk ke atas.

"Seperti.... Seperti peti mati...!?" desis salah seorang prajurit dengan suara bergetar dicekam kengerian.

"Hm.... Orang gila dari mana yang berani berbuat seperti itu di kadipaten?" geram seorang laki-laki gagah. Kalau dilihat dari pakaiannya, pastilah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari prajurit lain.

"Hei, benda itu meluncur turun!" seru prajurit yang pertama kali melihat peti mati itu.

"Bunyikan tanda bahaya...!" perintah laki-laki gagah itu cepat.

Rupanya sudah mulai bisa diduga kalau peti mati itu tidak bisa dibuat main-main. Sebentar kemudian, tubuh laki-laki gagah itu segera melesat ke arah tempat di mana peti mati akan turun. Tujuh orang prajurit bergegas menyusul pemimpinnya yang telah lebih dahulu menghampiri peti mati itu. Sambil berlarian, tujuh orang prajurit itu bergegas mencabut senjatanya. Dan belum lagi mereka sampai, tiba-tiba....

Blakkk! Begitu menyentuh permukaan tanah, peti mati itu langsung membuka. Tampak sesosok tubuh yang kaku dan berbau busuk melompat keluar dari dalam peti mati.

"Ups...!" Pemimpin jaga yang baru saja menjejakkan kakinya di dekat peti mati, langsung melenting beberapa tombak ke belakang karena bau bangkai yang amat busuk langsung menyergap hidungnya.

"Gila! Mayat hidup?!" teriak pemimpin jaga dengan wajah memucat. Laki-laki itu benar-benar terkejut ketika menyaksikan penampilan sesosok tubuh yang menjijikkan itu. Tadinya disangka kalau di dalam peti mati itu pasti terdapat seseorang yang berniat mengacau kadipaten. Tapi ketika melihat apa yang disaksikannya itu, matanya langsung terbelalak ngeri.

Saat itu tanda bahaya berbunyi melengking memecah kesunyian malam! Tak lama kemudian, terdengar derap langkah kaki puluhan orang yang berlarian mendatangi tempat itu. Beberapa diantaranya terdapat pemimpin-pemimpin pasukan kadipaten.

"Gila! Apa itu...?!" teriak seorang prajurit kepada kawannya. Meskipun sebenarnya melihat dengan jelas, namun pertanyaannya itu terlontar juga dari mulutnya.

"Mayat... Mayat hidup?!" seru kawannya dengan suara bergetar. Sama sekali tidak disangka kalau suasana malam seperti itu harus berhadapan dengan mayat hidup.

"Jangan ada yang bergerak! Kita lihat dulu apa yang akan dilakukannya!" perintah salah seorang perwira kadipaten, lantang.

Si mayat hidup melangkah kaku menuju gedung utama kadipaten. Sepertinya ia akan memasuki bangunan utama yang menjadi tempat kediaman Adipati Gamang Sari.

"Mundur...! Siapkan pasukan panah!" kembali sang Perwira memerintahkan.

Tanpa diperintah dua kali, dua puluh orang prajurit segera mempersiapkan anak panah dan busurnya. Sesaat kemudian, puluhan batang anak panah sudah tertuju ke arah si mayat hidup. Sedangkan si mayat hidup terus saja melangkah mendekati bangunan utama kadipaten. Sepertinya sama sekali tidak dipedulikan teriakan-teriakan yang mencegah langkahnya.

Si perwira yang melihat mayat hidup itu terus saja melangkah maju, segera berteriak kepada prajuritnya untuk melepaskan anak panah. Sesaat kemudian, dua puluh batang anak panah sudah berdesing menuju mayat hidup.

Zingngng! Zingngng!

Trak! Trak!

Begitu puluhan batang anak panah itu meluncur ke arahnya, si mayat hidup bergegas memutar pedang yang tergenggam di tangannya. Belasan batang anak panah langsung runtuh ke tanah dalam keadaan patah. Sedangkan beberapa batang lainnya menancap di tubuh si mayat hidup. Namun sungguh di luar dugaan, anak panah itu seperti tidak berarti apa-apa bagi tubuhnya. Walaupun terluka, tapi tidak merasakan sakit.

Para prajurit kadipaten yang hanya terpisah beberapa tombak dari si mayat hidup, bergegas berloncatan mundur! Ternyata luka akibat anak panah di tubuh si mayat hidup mengeluarkan cairan berwarna kuning bercampur kehijauan. Cairan itu menebarkan bau busuk yang sangat memualkan perut

"Hoekkk...!"

Beberapa orang prajurit yang tak sanggup menahan rasa mual, langsung memuntahkan isi perutnya. Wajah mereka seketika berubah, karena isi perut terus saja melompat keluar.

"Mundur...! Jauhi mayat hidup itu!" si perwira bertindak cepat memerintahkan pasukannya untuk mundur menjauhi mayat hidup yang menjijikkan itu.

"Bagaimana ini, Kakang Wanasa? Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi mayat hidup itu?" tanya salah seorang yang juga berpangkat perwira. Sepertinya orang itu juga merasa bingung ketika melihat mayat hidup itu tidak roboh meskipun tubuhnya tertembus belasan anak panah.

"Hm.... Coba terus hujani dengan anak panah. Kalau seluruh tubuhnya sudah dipenuhi anak panah, masak tidak roboh juga?" ujar perwira yang dipanggil Wanasa, penasaran. Setelah berkata demikian, ia pun kembali memerintahkan prajuritnya untuk melepaskan anak panah.

Zingngng! Zingngng!

Puluhan batang anak panah kembali berdesingan mengancam tubuh si mayat hidup. Belum lagi puluhan batang anak panah itu mengenai sasaran, para prajurit itu kembali melepaskan anak panah berikut. Tapi kali ini si mayat hidup tidak hanya sekadar bertahan. Begitu anak panah gelombang pertama hampir mendekati, pedangnya diputar sambil melompat ke arah barisan pasukan panah itu. Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata tubuh si mayat hidup dapat berputar melakukan beberapa kali salto di udara. Beberapa batang anak panah yang mengancam tubuh langsung runtuh terpukul sambaran pedangnya. Sedangkan anak panah yang lainnya lewat beberapa jengkal di bawah kakinya.

Si perwira yang bernama Wanasa itu terkejut ketika melihat gerakan si mayat hidup. Benar-benar tidak disangka kalau tubuh kaku itu dapat berjumpalitan di udara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melesat disertai ayunan pedangnya. Melihat Wanasa sudah melesat memapak si mayat hidup, empat orang perwira lainnya bergegas mencabut senjatanya. Tubuh mereka segera melesat menyusul.

"Yeaaat..!"

Wut! Wuk...!

Kelima orang perwira itu menyabetkan senjatanya secara susul-menyusul dari berbagai arah. Mendapat serangan yang susul-menyusul dari lima orang perwira itu, ternyata tidak membuat mayat hidup menjadi gentar. Gulungan sinar pedangnya tampak semakin melebar menyelimuti seluruh tubuhnya. Sambaran angin pedangnya menderu tajam ketika mayat hidup itu memapak sabetan senjata lawan-lawannya.

Trang! Trak! Trang...!

"Akh...!"

Kelima orang perwira itu terpental balik ketika pedang mereka tertangkis pedang si mayat hidup. Namun dengan gerakan indah, tubuh mereka berputar beberapa kali di udara, lalu mendarat manis beberapa tombak dari mayat hidup. Wajah mereka tampak menyeringai sambil memijat-mijat tangan kanannya yang terasa linu.

"Bedebah! Tenaga mayat hidup itu ternyata sangat kuat!" maki Wanayasa semakin penasaran.

"Hm.... Kita harus lebih berhati-hati untuk menghadapinya!" timpal perwira lainnya yang juga merasakan hal yang sama.

"Hm.... Ada apa ini ribut-ribut?!"

Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang mengguncangkan dada. Belum lagi gema suara bentakan itu lenyap, dua sosok tubuh berjumpalitan dan mendaratkan kakinya dengan manis di dekat kelima orang perwira yang tengah kebingungan itu.

"Ki Panggitan.... Ki Badaran...!" seru kelima perwira begitu mengenali dua sosok tubuh itu. Bergegas mereka membungkuk hormat kepada kedua orang laki-laki yang baru tiba itu.

"Eh! Siapa yang mengirimkan mayat hidup itu ke tempat ini, Wanasa?" tanya salah satu dari kedua orang gagah itu sambil menatap si mayat hidup penuh selidik.

"Kakang Panggitan! Apakah kau tidak mengenali siapa mayat hidup itu?" seru laki-laki setengah baya yang bernama Ki Badaran. Sepasang matanya menatap tajam ke arah si mayat hidup. Keningnya tampak berkerut meneliti wajah mayat hidup yang saat itu tersiram pantulan sinar obor.

"Hm.... Bukankah dia Ki Jaladri, Ketua Perguruan Perisai Baja? Heran, apa yang telah terjadi dengannya? Dan mengapa mayatnya kesasar sampai kentempat ini?" desis laki-laki berusia enam puluh tahun yang bernama Ki Panggitan itu.

Ki Panggitan dan Ki Badaran adalah tokoh kelas satu yang menjadi tangan kanan Adipati Gamang Sari. Dan kedatangan mereka atas perintah sangbAdipati sendiri karena mendengar ribut-ribut yang mengganggu tidurnya.

"Wanasa. Sementara aku dan Ki Badaran menghadapi si mayat hidup itu, kau siapkan tali yang kuat dan beberapa buah obor!" perintah Ki Panggitan yang rupanya memiliki pengalaman yang sangat luas dalam menghadapi berbagai pertarungan. Memang, sebelum menjadi pengawal pribadi adipati, Ki Panggitan dan Ki Badaran adalah tokoh persilatan yang sangat terkenal dan jarang menemui tandingan. Itulah sebabnya Ki Panggitan langsung saja menyuruh Wanasa untuk menyiapkan peralatan.

Setelah memberi beberapa petunjuk kepada Wanasa dan empat orang lainnya, Ki Panggitan dan Ki Badaran melangkah mendekati mayat hidup. Kedua tokoh itu menghentikan langkahnya dalam jarak tiga tombak di hadapan mayat hidup Ki Jaladri.

"Hm.... Tampaknya ia dikendalikan seseorang, Adi Badaran," jelas Ki Panggitan, pelan. Karena saat itu wajahnya telah tertutup oleh selembar kain hitam. Hal itu dilakukan agar perhatiannya tidak terganggu oleh bau busuk yang menebar dari tubuh mayat hidup itu.

"Betul, Kakang. Entah apa maksud orang itu mengirim mayat hidup ini ke Kadipaten Jagalan?" sahut Ki Badaran yang juga telah menutup sebagian wajahnya dengan kain berwarna hitam.

Perlahan-lahan kedua tokoh kelas satu Kadipaten Jagalan itu melangkah berpencar. Sepasang mata mereka tetap tak lepas dari wajah si mayat hidup. Terlihat Ki Panggitan menganggukkan kepalanya kepada Ki Badaran. Sementara itu, Wanasa dan beberapa anak buahnya telah datang membawa tali untuk menangkap mayat hidup itu.

"Hiaaat..!"

Diiringi bentakan nyaring, kedua tokoh itu mulai menggerakkan kedua tangannya. Sepasang kaki mereka membentuk kuda-kuda silang yang terlihat sangat kokoh dan kuat. Sesaat kemudian, kedua pasang tangan mereka mendorong ke depan menggencet tubuh si mayat hidup dari dua arah.

Wusss!

Dua buah gelombang tenaga dalam yang amat kuat berhembus dari telapak tangan kedua tokoh itu. Tampak kedua tangan Ki Panggitan dan Ki Badaran bergetar kuat. Jelas, mereka telah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Mendapat tekanan dua gelombang tenaga dari arah yang berlawanan itu, ternyata membuat tubuh si mayat hidup bergetar hebat. Sehingga keadaannya tak ubahnya bagai orang terserang demam tinggi. Tepat pada saat tubuh si mayat hidup tengah tak berdaya, Wanasa dan empat orang lainnya bergerak cepat. Dilemparkannya tali-tali itu sehingga langsung melibat tubuh mayat hidup. Dan begitu tali-tali yang dilepaskan kelima orang perwira itu melibat ketat, tubuh si mayat hidup langsung diseret ke arah sebuah tiang.

Sesaat sebelum tubuh si mayat hidup diseret, Ki Panggitan dan Ki Badaran berseru keras sambil menarik pulang tenaga mereka. Tubuh keduanya langsung melenting ke belakang mayat hidup itu.

"Yaaat..!"

Sambil membentak keras, Ki Panggitan dan Ki Badaran mendorongkan telapak tangan mereka, melakukan pukulan jarak jauh.

Wusss! Desss!

Tubuh si mayat hidup kontan tersuruk ke depan ketika dua pasang telapak tangan tokoh-tokoh sakti itu menghantam tubuh bagian belakangnya. Pada saat yang tepat, Wanasa dan empat orang perwira lainnya bergegas menyeret tubuh si mayat hidup ke tiang hukuman. Jarak antara mereka dengan tiang tempat hukuman itu terpisah sekitar empat tombak.

Namun belum lagi mereka berhasil menyeret tubuh si mayat hidup ke tiang itu, keanehan terjadi. Tubuh kaku itu mendadak bangkit dan langsung berjumpalitan ke depan. Kedua kakinya mendarat tepat dua tombak di depan Wanasa dan empat perwira lainnya.

Wut!

Tasss! Tasss! Tasss!

"Aaah...!"

Sebelum para perwira kadipaten itu menyadari apa yang terjadi, mayat hidup itu sudah membabat putus tali-tali yang mengikat tubuhnya. Tak ayal lagi, tubuh kelima orang perwira itu terjajar ke belakang.

"Gila! Bagaimana mungkin ia masih bisa melakukan hal itu?" kata Ki Badaran seperti bertanya pada diri sendiri.

Laki-laki tua itu menjadi terkejut setengah mati melihat mayat hidup dapat membebaskan dirinya. Padahal, menurutnya mayat hidup itu pasti sudah lemah akibat pukulan mereka berdua tadi. Ki Panggitan juga tidak kalah terkejutnya. Sepasang matanya membelalak tak percaya melihat kekuatan lawan. Padahal, jarang sekali terdapat tokoh persilatan yang mampu menahan pukulannya tadi. Apalagi itu dilakukan berbarengan dengan Ki Badaran yang boleh dibilang memiliki kepandaian yang setingkat dengannya.

"Guru...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan yang disusul munculnya seorang pemuda tampan dan gagah. Pakaian berwarna kuning gading yang dikenakannya membuat pemuda itu semakin gagah dan menarik.

"Tuan Muda, mengapa kemari?" tanya Ki Panggitan menegur pemuda tampan yang rupanya adalah putra Adipati Gamang Sati itu.

"Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar ribut-ribut di luar. Dan kedatanganku ke sini untuk melihat apa yang terjadi," sahut pemuda tampan yang dipanggil tuan muda itu cepat.

Rupanya putra adipati yang tampan itu adalah murid dari Ki Panggitan dan Ki Badaran. Hal itu terlihat jelas dari sikapnya yang amat menghormati dua orang tokoh itu. Apalagi pemuda itu memanggil keduanya dengan sebutan guru.

"Hm.... Lebih baik kembali ke tempatmu, Tuan Muda. Di sini terlalu berbahaya buatmu," kata Ki Badaran menasihati muridnya yang juga putra majikannya itu.

"Tidak perlu khawatir, Guru. Aku hanya ingin melihat saja. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman. Apakah hanya melihat saja tidak boleh, Guru?" bantah pemuda tampan itu dengan suara membujuk.

Mendengar jawaban itu, Ki Badaran dan Ki Panggitan hanya dapat saling pandang sambil menggelengkan kepalanya. Dan mereka tak dapat berkata apa-apa lagi ketika melihat pemuda itu sudah berdiri di antara para prajurit kadipaten. Ki Panggitan dan Ki Badaran bergegas melompat ketika mendengar jerit kematian. Ternyata, jeritan itu disusul dengan jatuhnya salah seorang perwira dalam keadaan terluka parah. Kedua tokoh sakti itu bergegas melompat ke arena pertempuran. Gerakan mereka sungguh ringan dan indah. Jelas, kepandaian mereka tidak bisa dianggap enteng.

Saat itu empat orang perwira lainnya tengah berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari terjangan mayat hidup. Sambaran pedang si mayat hidup yang menderu-deru itu membuat mereka terdesak hebat.

Trang!

"Uhhh...!" Begitu tiba, Ki Panggitan langsung memapak senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang dicabut dari pinggang. Meskipun tubuh tokoh itu terjajar mundur, namun sempat menyelamatkan salah seorang perwira dari kematian.

ENAM

Sesaat setelah benturan itu, serangan Ki Badaran meluncur datang. Sepasang pedang pendek ditangannya berkesiutan menyambar tubuh mayat hidup Ki Jaladri.

Wuk!

Trang! Bret!

Tusukan pedang pendek di tangan kanan Ki Badaran berhasil ditangkis lawan. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, pedang di tangan kirinya menyambar cepat membeset perut si mayat hidup. Tubuh kaku itu terbanting roboh disertai semburan cairan kehijauan yang menyembur dari luka di perutnya.

"Aaah...!" Ki Badaran langsung melempar tubuhnya ke belakang dengan beberapa kali salto di udara. Wajah laki-laki tua yang bersembunyi di balik kain hitam itu tampak menyeringai menahan rasa jijik. Tampak beberapa tetes cairan yang berbau busuk itu telah menodai pakaiannya. Bergegas napasnya disedot untuk menahan rasa mual yang menyerang.

"Setan keparat! Menjijikkan!" maki Ki Badaran sambil membuka penutup wajahnya dan meludah berkali-kali.

Meskipun telah terluka pada bagian perutnya, namun mayat hidup Ki Jaladri itu masih saja bangkit seolah-olah tidak merasakan luka itu. Bau busuk semakin menebar memenuhi halaman depan gedung kadipaten. Memang, cairan kehijauan dan ke kuningan itu terus saja mengalir dari luka di perut si mayat hidup.

"Gila! Mayat hidup itu sepertinya tidak merasakan luka yang dideritanya," kata Wanasa dengan wajah menyeringai menahankan rasa jijik.

"Berikan obor-obor itu kepadaku!" pinta Ki Panggitan. Tangannya segera saja terulur menyambar dua batang obor yang dipegang seorang prajurit. Kakek itu kembali menyambar dua batang obor lainnya setelah lebih dulu melemparkan dua batang obor pertama kepada Ki Badaran.

"Adi Badaran, kita coba menerjang mayat hidup itu dengan menggunakan api!" lanjut orang tua itu lagi

"Ah! Betul, Kakang! Mengapa aku sampai melupakannya!" sahut Ki Badaran berseri setelah menerima dua batang obor yang tadi dilemparkan sahabatnya itu.

"Heaaat..!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, dua orang tokoh itu bergegas menerjang si mayat hidup.

Wrrr! Wrrr...!

Empat batang obor itu berkelebat menyambar-nyambar cepat. Tampak lidah api menjilat-jilat mengancam tubuh si mayat hidup.

"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Panggitan! Sepertinya si keparat itu merasa takut terhadap api!" tegas Ki Badaran semakin bersemangat.

"Betul, Adi! Ayo kita bakar mayat pengacau ini!" sahut Ki Panggitan yang menjadi agak lega karena telah menemukan titik kelemahan mayat hidup yang mengerikan itu.

Berrr! Prattt!

"Aaargh...!" Terdengar raungan mengerikan ketika lidah api obor di tangan Ki Panggitan menjilat tubuh si mayat hidup. Seketika itu juga, bagian tubuh yang terjilat lidah api itu menciut dan menebarkan bau sangit!

"Ha ha ha...! Ayo, tunjukkan keganasanmu tadi itu, Mayat Keparat! Ha ha ha...!"

Ki Panggitan tertawa-tawa gembira ketika melihat si mayat hidup semakin bertambah ketakutan. Kedua kakinya terus melangkah mundur menjauhi kedua orang tokoh yang semakin gencar menerjangnya itu. Sekali pun ia tak berani melakukan serangan balasan, karena empat batang obor itu tak hentihentinya menyambar. Terpaksa mayat hidup itu terus mundur menjauhi jilatan lidah api.

"Mengapa kau tidak berani membalas serangan kami, Mayat Keparat! Apakah takut dengan api obor ini?" ejek Ki Badaran sambil terus mencecar si mayat hidup dengan sambaran-sambaran api obornya.

"Yeaaat..!"

Pada jurus ketiga puluh, Ki Panggitan dan Ki Badaran berteriak berbarengan. Tubuh mereka melompat tinggi sambil mengulurkan kedua pasang tangan yang menggenggam obor. Kedua tokoh kelas satu Kadipaten Jagalan itu berjumpalitan melewati kepala si mayat hidup. Begitu tubuh mereka berada diatas kepala si mayat hidup, empat batang obor itu segera dilemparkan disertai dorongan tenaga dalam sepenuhnya.

"Aaa...!" Si mayat hidup menjerit setinggi langit ketika empat batang obor itu menyambar dari empat penjuru. Sesaat kemudian, tubuh mayat hidup itu langsung terbakar oleh empat batang obor.

"Aaaurgh....!" Kembali si mayat hidup meraung mengerikan. Tubuhnya yang sudah terjilat api itu nampak semakin mengecil.

"Mundur...!" teriak Ki Panggitan memerintahkan para prajurit untuk menjauhi tubuh mayat hidup yang tengah terhuyung-huyung sambil meraung-raung keras.

Tidak berapa lama kemudian, tubuh si mayat hidup itu ambruk ke atas tanah. Kobaran api yang membakar tubuhnya semakin mengecil untuk kemudian hilang sama sekali. Dan pada tanah tempat mayat terbakar, hanya ada sedikit cairan yang berbau sangit. Sementara, tubuh si mayat hidup sudah habis termakan api.

"Hhh.... Untunglah kau cukup tanggap menghadapi kelihaian mayat hidup itu. Kalau tidak, entah bagaimana harus mengalahkannya. Hhh, benar-benar berbahaya...!" desah Ki Badaran sambil menggelenggelengkan kepalanya dan menarik napas lega. "Eh, bagaimana kau tahu kalau mayat hidup itu takut dengan api, Kakang?"

"Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak mengetahuinya, Adi. Semula hanya sekadar mencobanya saja. Bukankah tidak ada salahnya? Lagi pula, aku baru teringat akan hal itu pada saat kau telah melukai tubuhnya. Dan lagi kalau orang yang menggunakan obor tidak memiliki tenaga dalam tinggi, rasanya mustahil akan dapat merobohkannya. Buktinya dengan dorongan angin pukulannya saja ia sudah dapat memadamkan api obor yang ditujukan ke tubuhnya," jelas Ki Panggitan.

"Ah! Pantas saja kau tadi menyuruhku untuk mengerahkan tenaga untuk membantu serangan obor itu. Jadi, itu maksudnya?" kata Ki Badaran, sambil tersenyum. Diam-diam tokoh ini semakin mengagumi sahabatnya yang memang memiliki banyak pengalaman.

"Wah! Hebat sekali, Guru! Kalian memang benar-benar pendekar hebat!" Sambil berkata demikian pemuda tampan putra Adipati Jagalan itu melangkah menghampiri kedua gurunya. Jelas sekali kalau pujian yang dilontarkannya itu bukan sekadar basa-basi.

"Ah, Tuan Muda terlalu memuji," ucap Ki Panggitan sambil tersenyum simpul. Meskipun sebenarnya pemuda itu adalah murid kedua tokoh sakti ini, namun tetap saja mereka menyebutnya dengan panggilan tuan muda. Karena, memang merasa risih kalau harus memanggil putra majikannya itu dengan hanya nama saja.

"Lebih baik Tuan Muda kembali ke kamar sekarang, karena sudah tidak ada lagi tontonan yang dapat dilihat," ujar Ki Badaran menimpali.

"Ah! Biarlah aku di sini saja, menemani Guru berdua. Lagi pula sebentar lagi pagi akan datang," kilah pemuda itu.

"Yahhh, kalau memang begitu kemauanmu...," Ki Panggitan tak meneruskan ucapannya. Kakek itu hanya mengangkat bahunya tanda menyerah. Malam pun kembali hening setelah para prajurit membersihkan tempat itu dari mayat-mayat yang bergeletakan.

********************

"Jadi yang menyebabkan kekacauan semalam hanya sesosok mayat?" tanya seorang laki-laki agak gemuk. Dengan pakaian serba merah, laki-laki setengah baya itu berjalan hilir-mudik sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Wajahnya tampak menyiratkan ketidaksenangan atas kejadian yang menimpa kediamannya semalam.

"Betul, Gusti. Hanya sesosok mayat hidup," jawab salah seorang laki-laki berpakaian biru gelap yang bersimpuh beberapa tombak di hadapan laki-laki berpakaian mewah yang tengah marah itu.

"Hm.... Menurut keterangan salah seorang perwira, kau mengenali mayat itu. Coba katakan kepadaku, Ki Panggitan. Siapa nama mayat hidup itu? Dan apakah kau tahu di mana tempat tinggalnya semasa hidup?" tanya laki-laki yang tak lain adalah Adipati Gamang Sati yang menjadi penguasa di seluruh wilayah Kadipaten Jagalan.

"Dia adalah mayat Ki Jaladri yang menjadi Ketua Perguruan Perisai Baja. Hamba mengenalnya semasa masih mengembara di dunia persilatan, Gusti Adipati. Dan belakangan ini, hamba baru mengetahuinya kalau dia telah mendirikan sebuah perguruan," sahut orang tua yang memang Ki Panggitan.

Sementara itu, bersimpuh di sebelah Ki Panggitan adalah Ki Badaran. Kedua pembantu utama Adipati Gamang Sati itu rupanya tengah dimintai keterangan sehubungan dengan peristiwa semalam.

"Apakah Ki Kalianji dan Walanggata juga mengetahui di mana letak Perguruan Perisai Baja itu?" tanya Adipati Gamang Sati lebih lanjut

"Hamba yakin mereka pasti tahu, Gusti. Seperti juga hamba, mereka juga telah lama mengenal Ki Jaladri," jawab Ki Panggitan cepat

"Hm.... Kalau begitu aku akan menugaskan mereka berdua untuk menyelidiki Perguruan Perisai Baja. Berani sekali mereka membuat kekacauan di kadipaten ini!" geram Adipati Gamang Sati dengan wajah merah. Setelah berkata demikian, adipati itu memerintahkan dua orang prajurit untuk memanggil dua orang pembantu utamanya yang lain.

Adipati Gamang Sati memang mempunyai empat orang pembantu utama yang tidak tergabung dalam keprajuritan. Meskipun demikian, kedudukan mereka lebih tinggi dari para perwira kadipaten. Memang, mereka merupakan pengawal khusus yang tugasnya menjaga keselamatan seluruh keluarga Adipati Jagalan. Keempat orang pembantu utama adipati itu adalah tokoh persilatan terkemuka. Bahkan boleh dikatakan merupakan tokoh tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya. Itulah sebabnya, mengapa mereka mengenal hampir seluruh tokoh persilatan, termasuk Ki Jaladri di antaranya. Dan karena merekalah sehingga Kadipaten Jagalan tidak ada yang berani mengganggu. Banyak orang yang merasa enggan untuk mencari permusuhan dengan keempat tokoh kosen itu.

Tidak berapa lama kemudian, prajurit yang ditugaskan untuk memanggil Ki Kalianji dan Walanggata telah kembali menghadap. Di belakang mereka tampak seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, dan seorang lagi berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Langkah mereka tampak tegap dan berisi.

Adipati Gamang Sati mengibaskan tangan untuk menyuruh dua orang prajuritnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan dua orang tokoh itu sudah bersimpuh disamping Ki Panggitan dan Ki Badaran. Dan mereka saling berteguran sekejap. Setelah pintu ruangan kembali ditutup oleh dua orang penjaga tadi, Adipati Gamang Sati mulai mengutarakan maksudnya.

"Ampun, Gusti. Hamba berdua siap melaksanakan perintah!" sahut Ki Kalianji setelah mendengar penuturan sang Adipati.

"Kapan kami harus berangkat, Gusti?" tanya Walanggata hormat.bSuara laki-laki gagah itu terdengar berat dan dalam. Wajahnya pun tampak selalu menyiratkan ketenangan, sebagaimana layaknya orang yang memiliki kepercayaan penuh pada dirinya.

"Pagi ini juga kalian harus berangkat. Selidiki apa maksudnya Perguruan Perisai Baja mengirimkan mayat hidup ketuanya ke kadipaten ini?" perintah Adipati Jagalan.

"Ampun, Gusti. Menurut dugaan hamba, Perguruan Perisai Baja belum tentu terlibat. Harap Gusti jangan mengambil tindakan keras terhadap mereka lebihbdulu, karena belum tentu bersalah," jelas Ki Badaran mengajukan permohonan.

"Tentu saja, Ki Badaran. Aku tidak akan begitu mudah menjatuhkan hukuman kalau memang kesalahannya belum terbukti. Itulah sebabnya mereka berdua kusuruh menyelidikinya. Tapi biar bagaimanapun, aku berterima kasih kepadamu, Ki Badaran. Paling tidak, kau telah mengingatkan aku," jawab Adipati Gamang Sati seraya tersenyum lembut.

"Ayah! Apakah aku boleh menyertai Ki Kalianji dan Paman Walanggata?" pinta seorang pemuda tampan yang sejak tadi hanya terduduk diam mendengarkan pembicaraan antara ayahnya dengan guru-gurunya itu.

"Tidak, Anggada. Pekerjaan ini terlalu berbahaya untukmu. Lebih baik kau di rumah saja untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diajarkan kedua gurumu. Oh, ya. Di mana adikmu Ganesha?" tanya Adipati Gamang Sati mengalihkan pembicaraan.

"Entahlah, Ayah. Sejak pagi tadi aku belum melihatnya," sahut Anggada dengan suara mengandung kekecewaan, karena permintaannya tidak dikabulkan.

"Nah! Ki Kalianji, Walanggata, kalian boleh menyiapkan segala keperluan dalam perjalanan nanti. Dan kau Ki Panggitan dan Ki Badaran, kalian boleh beristirahat," ujar Adipati Gamang Sati mempersilakan.

"Baik, Gusti. Kami mohon pamit," ucap keempat tokoh itu serentak. Setelah membungkuk hormat, keempat tokoh itu melangkah meninggalkan ruangan pertemuan rahasia. Beberapa saat kemudian, Adipati Gamang Sati dan putranya pun meninggalkan tempat itu.

********************

Dua ekor kuda putih melesat cepat melewati pintu gerbang Kadipaten Jagalan. Derap dua ekor kuda yang melesat bagai anak panah itu meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa.

"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"

Dua orang laki-laki yang berada di atas punggung kuda terus menggebah kudanya ke luar wilayah kadipaten. Mereka tak lain adalah Ki Kalianji dan Walanggata yang ditugaskan Adipati Gamang Sati untuk menyelidiki Perguruan Perisai Baja. Tidak berapa lama kemudian, mereka mulai memperlambat lari kudanya, karena saat itu harus melewati daerah perbukitan. Memang, jalan yang dilewati agak sukar. Tentu saja mereka tidak ingin kalau kaki kudanya akan cedera akibat sukarnya jalan yang dilalui.

"Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lain saja, Ki?" tanya Walanggata yang sepertinya tidak suka melewati jalan yang sukar itu.

"Hm.... Hanya jalan inilah satu-satunya yang terdekat, Walanggata. Lagi pula, kalau kita melewati jalan yang di sebelah Selatan sana akan memakan waktu lama. Belum lagi kalau nasib kita sedang sial, sehingga harus berhadapan dengan perampok-perampok yang kadang-kadang berkeliaran di tempat itu," sahut Ki Kalianji yang rupanya lebih tahu arah jalan yang dapat menyingkat perjalanan.

"Kalau tahu di daerah Selatan itu kadang-kadang terjadi perampokan, mengapa Gusti Adipati tidak mengirimkan pasukan untuk menumpasnya? Bukankah perampok-perampok itu dapat mengganggu ketenangan rakyat?" tanya Walanggata yang merasa heran, karena para perampok dibiarkan merajalela begitu saja.

"Ah! Kau seperti tidak tahu saja, Walanggata. Para perampok itu tidak menetap di tempat itu. Entah dari mana mereka datang? Beberapa bulan sebelum kau datang untuk mengabdikan diri ke kadipaten, aku sudah pernah ditugaskan Gusti Adipati untuk menumpas gerombolan perampok itu. Tapi, tak satu pun perampok yang kutemukan. Entah ke mana perginya? Seolah-olah mereka telah mengetahui kalau hari itu prajurit kadipaten akan mengadakan pembersihan. Itulah yang membuatku heran," jelas Ki Kalianji menutup ceritanya.

"Hm.... Memang mengherankan," desis Walanggata bergumam pelan. Setelah mendengar penuturan Ki Kalianji itu, Walanggata pun terdiam.

Selang beberapa waktu kemudian, kedua pengawal pribadi Adipati Gamang Sati itu mulai menyusuri jalan setapak yang cukup rata, sehingga dapat melarikan kuda meskipun tidak terlalu cepat. Sebab tangan mereka kadang-kadang harus menyibakkan ranting pohon yang menjulur ke arah jalan setapak itu. Dan baru saja mereka akan mempercepat lari kudanya, tampak di tengah jalan ada sesuatu yang mencurigakan.

"Hm.... Ada apa pula itu? Mengapa orang itu menggeletak di tengah jalan?" gumam Ki Kalianji yang berada di depan. Sebagai tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman, kecurigaannya langsung timbul. Ditariknya tali kekang untuk memperlambat lari kudanya.

"Ada apa, Ki?" tanya Walanggata yang segera memperlambat lari kudanya. Sambil berkata demikian, kepalanya segera dijulurkan untuk memandang ke depan melalui bahu Ki Kalianji.

"Eh, siapa pula orang yang tergeletak di tengah jalan itu?" tanya Walanggata seraya mengerutkan kening, melihat pemandangan itu.

"Hati-hati, Walanggata! Siapa tahu ini merupakan jebakan. Ingat, kita tengah menjalankan tugas! Jadi bukan tidak mungkin kalau lawan sudah mengetahui kedatangan kita," Ki Kalianji menasihati kawan seperjalanannya. Orang tua itu sengaja merendahkan suaranya agar tidak terdengar orang lain.

"Apakah tempat Perguruan Perisai Baja sudah dekat, Ki?" tanya Walanggata yang rupanya tidak mengetahui letak perguruan itu.

"Belum. Tempat itu masih cukup jauh. Tapi, siapa tahu orang-orang itu sengaja menghadang kita di tempat ini agar tidak terlalu mencolok," jawab Ki Kalianji, kali ini malah berbisik. Memang, jarak mereka dengan orang yang telentang itu sudah semakin dekat. Begitu jarak mereka sudah semakin dekat, Ki Kalianji menjadi heran ketika melihat orang itu sama sekali tidak nampak terluka. Dengan kening berkerut, laki-laki tua itu melompat dari atas punggung kudanya.

"Maaf, Kisanak. Berilah kami jalan untuk lewat," pinta Ki Kalianji sambil membungkuk sopan. Laki-laki itu berkata demikian karena orang yang menghalangi jalannya tampak memandangnya.

Orang itu sama sekali tidak tertidur, apalagi terluka. Tanpa sadar, Ki Kalianji melangkah mundur ketika matanya bertemu dengan sinar mata yang berkilat tajam. Kilatan mata yang ternyata dipancarkan oleh seorang kakek tua itu demikian berpengaruh, sehingga sempat membuat hati Ki Kalianji berdebar tegang.

"He he he...! Boleh aku tahu, ke mana tujuan kalian, Kisanak?" tanya kakek itu. Dia sama sekali tidak mempedulikan permintaan Ki Kalianji. Malah sambil terkekeh menyeramkan, ia bertanya kepada tokoh Kadipaten Jagalan itu.

"Maaf. Kami hanyalah dua orang pengembara yang hanya kebetulan lewat. Dan kami mohon Kisanak sudi memberi jalan untuk lewat," sahut Ki Kalianji. Kali ini suaranya lebih tegas, karena sudah mulai menduga kalau kakek tua itu sengaja mencari garagara.

"He he he...! Sombong sekali kau, anjing-anjing peliharaan Gamang Sati. Rupanya kehidupan yang mewah membuat kalian tidak lagi memandang sebelah mata kepada orang lain. Apakah kalian telah merasa paling hebat? Kalianji, Walanggata, jawab pertanyaanku!" bentak kakek itu.

Bukan main terkejutnya Ki Kalianji dan WalanggataNketika kakek itu menyebut nama mereka. Sejenak keduanya meneliti wajah dan pakaian kakek itu. Dicobanya untuk mengingat-ingat, siapa kakek tua itu sebenarnya. Sebelum kedua orang jagoan kadipaten itu sempat mengenali kakek tua di hadapannya, tiba-tiba seorang pemuda tampan dan jangkung muncul dari balik semak-semak.

TUJUH

"Paman...!" tegur pemuda tampan itu menyapa Ki Kalianji dan Walanggata. Senyum licik tampak membayang di wajahnya yang tampan.

"Tuan Muda Ganesha...!" seru kedua orang jagoan kadipaten itu terkejut. Bergegas mereka membungkuk hormat, karena pemuda itu adalah putra kedua Adipati Gamang Sati yang menjadi junjungan mereka.

"Apa..., apa yang Tuan Muda lakukan di tempat ini?" tanya Ki Kalianji yang merasa heran melihat putra junjungannya berada di tempat yang sebenarnya sangat jauh dari kadipaten.

"Guru, mari ajak mereka ke tempat kita," kata pemuda yang bernama Ganesha, seraya menoleh kepada kakek tua yang masih telentang di tengah jalan. Dari sini saja mudah diketahui kalau antara Ganesha dan kakek tua yang menyeramkan itu terjalin hubungan yang cukup akrab.

"Baik, Tuan Muda," sahut si kakek seraya bangkit dari berbaringnya. Jelas sekali kalau kakek tua itu sangat menghormati Ganesha. Meskipun pemuda itu memanggilnya dengan sebutan guru.

"Mari, Paman...," ajak Ganesha. Kemudian pemuda itu melangkah keluar dari jalan setapak.

Sepertinya dia mengajak kedua jagoan kadipaten memasuki wilayah hutan yang cukup lebat. Meskipun keheranan belum lenyap, tapi kedua jagoan itu melangkah juga mengikuti Ganesha dan si kakek memasuki hutan. Tidak berapa lama kemudian, keempat orang itu tiba di sebuah daerah pemukiman yang hanya terdapat beberapa buah rumah yang dibuat asal jadi.

"Inilah tempat tinggalku, Paman," jelas Ganesha. Dipersilakannya kedua orang itu memasuki sebuah rumah yang lebih bagus dari yang lainnya. Beberapa orang bertampang kasar tampak memperhatikan kedua orang itu dengan kening berkerut. Tapi mereka tampak sangat menghormati Ganesha.

"Hm.... Tempat apa ini? Mengapa Tuan Muda Ganesha memilih tinggal di tempat ini daripada di kadipaten?" gumam Ki Kalianji dalam hati. Sepasang matanya terus merayapi curiga sekelilingnya.

"Apa maksudmu mengajak kami ke tempat ini, Tuan Muda?" tanya Ki Kalianji begitu mereka telah duduk mengitari sebuah kayu yang terbuat dari batang pohon besar.

"Sebenarnya begini, Paman Kalianji dan Walanggata..." Ganesha lalu menceritakan tentang rencananya kepada kedua orang jagoan kadipaten yang kemudian menjadi terkejut setengah mati. Wajah keduanya nampak pucat bagai tak dialiri darah, karena benar-benar tidak menyangka kalau Ganesha akan berbuat seperti itu.

"Tuan Muda! Sadarkah dengan apa yang kau ucapkan itu? Mengapa Tuan Muda sampai hati mengkhianati Gusti Adipati yang begitu menyayangimu? Ini rencana gila! Dan kuminta Tuan Muda memikirkannya sebelum bertindak. Ingat, Tuan Muda masih belum terlambat untuk membatalkan rencana ini!" sergah Ki Kalianji menasihati putra junjungannya itu dengan suara ditekan sehormat mungkin.

"Tidak! Rencana yang telah kususun bersama guruku tetap akan dijalankan. Ketahuilah, Paman. Aku hanyalah seorang putra tiri yang lahir dari salah seorang selir Adipati Gamang Sati. Semua itu kuketahui ketika ayah tengah berbicara dengan bunda. Katanya, Kakang Anggada akan diangkat sebagai adipati untuk menggantikan beliau. Itu sama artinya dengan mencampakkan aku, Paman!" tegas Ganesha berapi-api. Jelas sudah kalau pemuda itu akan melakukan pemberontakan untuk merebut Kadipaten Jagalan.

"Tapi dengan diangkatnya Tuan Muda Anggada nanti, bukan berarti Gusti Adipati akan mencampakkanmu, Tuan Muda," Walanggata ikut angkat bicara.

"Sudahlah! Aku tidak ingin banyak bicara lagi. Sekarang, Paman berdua boleh mengambil keputusan. Ikut denganku, atau akan menjadi mayat hidup yang akan menggemparkan Kadipaten Jagalan untuk kedua kalinya!" Ganesha mulai mengancam kedua orang jagoan kadipaten itu.

"Jadi..., jadi rupanya Tuan Muda yang telah mengirimkan mayat hidup Ki Jaladri untuk mengacaukan Kadipaten Jagalan?" tebak Ki Kalianji kembali terkejut mendengar ucapan yang keluar dari mulut putra tiri junjungannya itu.

"Ya! Dan kalau Paman berdua menolak ajakanku, maka akan bernasib sama dengan Ki Jaladri!" tegas Ganesha dengan sepasang matanya yang mengancam.

"Keparat! Rupanya kau telah berubah menjadi iblis, Ganesha! Kau sengaja membunuh dan memperalat Ketua Perguruan Perisai Baja agar niat busukmu terlaksana! Dan kami pun tidak sudi berkomplot denganmu!" geram Ki Kalianji dengan wajah gelap. Setelah berkata demikian, tubuh laki-laki tua itu segera melompat keluar, diikuti Walanggata.

"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi keputusan kalian, semoga saja tidak menyesal!" desis Ganesha menampakkan sifat aslinya yang kejam. Sesaat kemudian, tubuh pemuda jangkung itu pun melesat mengejar kedua orang jagoan Kadipaten Jagalan itu. Ganesha tertawa terbahak-bahak ketika melihat Ki Kalianji dan Walanggata sudah terkepung puluhan orang anak buahnya.

"Kau mimpi Ganesha! Pasukanmu yang kecil ini tidak mungkin mampu menghadapi prajurit-prajurit Gusti Adipati yang berpuluh kali lebih banyak dari pasukanmu ini!" ejek Walanggata ketika melihat jumlah pengikut pemuda itu yang hanya beberapa puluh orang saja.

"Ha ha ha...! Jangan lupa, Walanggata! Guruku dengan mudah dapat membunuh beberapa orang prajurit kadipaten dan membangkitkannya kembali untuk menghancurkan pasukan junjunganmu itu!" sahut Ganesha.

Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian gurunya yang berwajah lusuh itu. Sepertinya orang tua itu tidak pernah terkena air selama hidupnya, sehingga keadaannya demikian lusuh dan kotor.

"Hm.... Pantas saja selama ini ia tidak pernah suka belajar dengan kita. Rupanya diam-diam telah mendapatkan seorang guru yang jauh lebih pandai dari kita berdua," gumam Ki Kalianji dengan suara rendah.

"Kurasa begitu, Ki. Dan kita harus berhati-hati untuk menghadapinya. Yang jelas, kita belum mengetahui sampai sejauh mana pemuda keparat itu mempelajari ilmu dari gurunya," kata Walanggata mengingatkan, kemudian bergegas mencabut senjatanya.

Ki Kalianji pun tidak ingin ayal-ayalan lagi. Cepatcepat senjata yang berupa sepasang tongkat hitam sepanjang tiga jengkal diloloskan.

Wungngng! Wungngng!

Sepasang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji bergerak saling bersilangan hingga menimbulkan deruan angin tajam. Sadar kalau keadaan mereka berdua tengah terancam, Ki Kalianji langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Demikian pula halnya Walanggata. Senjatanya yang berupa sebilah golok besar bercagak pada ujungnya, sudah melintang di depan dada. Sepasang matanya bergerak memutar memperhatikan gerak langkah para pengepungnya.

"Mundur kalian! Buat lingkaran agar dua ekor tikus itu tidak dapat lari ke mana-mana!" perintah Ganesha sambil melangkah tegap ke tengah lingkaran menghampiri kedua jagoan kelas satu Kadipaten Jagalan.

"Kau ingin menghadapi kami sendirian, Ganesha?" tanya Ki Kalianji heran begitu melihat dan mendengar ucapan pemuda jangkung itu.

"Ha ha ha...! Aku hanya ingin membuktikan kalau ilmu yang kalian miliki itu hanya ilmu pasaran yang rendah!" ejek pemuda jangkung itu sombong. "Nah, jagalah pukulanku! Hiaaat..!"

Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh pemuda jangkung itu melayang disertai kibasan tangannya yang menimbulkan sambaran angin kuat! Ki Kalianji yang berada paling dekat dengan pemuda itu bergegas menggeser tubuhnya menghindari pukulan lawan. Begitu mengetahui kalau yang dihadapi adalah Ganesha, tokoh itu segera menyimpan senjatanya. Selama ini, dia tahu betul kalau Ganesha tidak pernah berlatih silat. Lagi pula tokoh tua itu merasa malu kalau menghadapi lawannya harus menggunakan senjata andalan.

Wut! Bet!

Dua buah tamparan telapak tangan Ganesha mengenai tempat kosong, karena Ki Kalianji sudah terlebih dahulu mengelak. Ki Kalianji langsung melakukan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Ganesha sama sekali tidak berusaha menyingkir ketika pukulan lawan meluncur ke tubuhnya. Pemudanjangkung itu mendengus kasar sambil mengangkat tangan kanan untuk memapak pukulan tokoh kosen dari Kadipaten Jagalan. Rupanya Ganesha memang sengaja hendak mengadu tenaga.

Wut! Plak!

"Aaah...!" Terdengar ledakan keras ketika telapak tangan pemuda jangkung itu bertumbukan dengan kepalan Ki Kalianji. Tokoh tua dari Kadipaten Jagalan itu berseru tertahan merasakan tenaga dalam yang tersembunyi di balik lengan pemuda itu ternyata cukup tinggi. Sehingga pertemuan tenaga dalam itu sempat membuat tubuhnya bergetar.

"Gila! Tidak kusangka tenaga dalam yang dimilikinya sangat kuat!" desis Ki Kalianji terkejut. Cepat kakek tua itu melompat ke belakang dan kembali bersiap.

"Ha ha ha...! Mengapa mundur, Orang Tua? Takut? Nah! Kalau begitu, gunakanlah senjatamu!" ejek Ganesha yang sepertinya tidak merasakan apa apa dalam pertemuan tenaga tadi.

"Huh! Jangan sombong dulu, Pemuda Iblis! Aku masih belum kalah!" bentak Ki Kalianji yang menjadi geram mendengar ejekan pemuda yang pantas menjadi cucunya itu.

"Lebih baik kalian maju berbarengan daripada akan menyesal nanti," ejek Ganesha pongah. Sepertinya pemuda itu merasa yakin sekali dengan kepandaian yang dimilikinya. Hal itu tidaklah terlalu berlebihan, karena Ganesha memang sudah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian kedua orang pembantu utama ayah tirinya itu. Walanggata panas hatinya mendengar ejekan pemuda itu. Dengan wajah gelap, kakinya melangkah menghampiri Ganesha.

"Kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah! Tapi janganlah berteriak-teriak menyambat gurumu apabila terdesak atau terluka nanti!" tegas Walanggata geram. Hatinya benar-benar panas melihat sikap pemuda itu yang meremehkannya.

"Ha ha ha...! Kau gentar pada guruku, Walanggata? Jangan khawatir, karena kedua tanganku masih sanggup menundukkan kalian. Nah! Apa lagi yang ditunggu?" sahut Ganesha sambil tersenyum mengejek.

"Tuan Muda! Orang bijak mengatakan, jika ingin berhasil dalam suatu pekerjaan, maka janganlah menunda-nuda pekerjaanmu. Nah, silakan Tuan Muda beristirahat. Biarlah hamba yang akan menghadapi anjing-anjing peliharaan Adipati Jagalan itu," tiba-tiba kakek tua berwajah kumuh berkata sambil melangkahkan kakinya ke tengah arena.

"Ah, Guru. Berilah kesempatan padaku untuk menguji sampai di mana kemajuan yang telah kuperoleh. Rasanya, hanya kedua orang inilah yang cocok untuk menguji kepandaian yang Guru turunkan," Ganesha mencoba membantah ucapan kakek tua yang menjadi gurunya itu.

"Tidak, Tuan Muda. Kita harus cepat-cepat membereskan mereka. Sebab, naluriku merasakan adanya bahaya lain yang akan mengancam dan menghancurkan rencana kita. Aku tidak dapat mengetahui secara pasti bahaya apa yang akan kita hadapi itu," tegas si kakek tidak menerima bantahan muridnya kali ini.

"Tapi.... Tapi, Guru...," Ganesha masih mencoba membantah alasan yang dikemukakan gurunya. Wajahnya yang tampan nampak menyiratkan kekecewaan.

"Maaf, Tuan Muda. Kali ini hamba terpaksa tidak bisa meluluskan permintaan Tuan Muda. Biarlah dilain kesempatan hamba berjanji akan mencari lawan yang dapat membuatmu tidak merasa sia-sia karena telah mempelajari ilmu-ilmu hamba," kakek tua itu tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya.

"Yah! Kalau memang keputusan Guru tidak dapat ditarik lagi, biarlah kali ini aku mengalah. Tapi Guru harus menepati janji untuk mencarikan lawan yang benar-benar dapat membuat hatiku puas!"

Akhirnya Ganesha terpaksa menuruti perintah gurunya. Pemuda jangkung itu kemudian bergegas melangkah mundur menjauhi arena. Sementara itu, seluruh wajah Ki Kalianji dan Walanggata seketika merah mendengar perdebatan guru dan murid itu. Kedua orang tokoh kosen Kadipaten Jagalan itu benar-benar merasa terhina. Betapa tidak? Karena, kedua orang guru dan murid itu enak saja membicarakan nasib mereka. Seolaholah, mereka dianggap orang pesakitan yang hukumannya tengah diputuskan.

"Bangsat! Manusia sombong! Keparat!" Walanggata yang usianya lebih muda daripada Ki Kalianji tidak dapat lagi membendung kemarahan yang hampir-hampir meledakkan dadanya itu. la memaki-maki marah sambil mencabut golok bercagak yang tadi sudah disimpannya.

"Hiaaat..!" Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh tokoh Kadipaten Jagalan itu segera melompat disertai tebasan golok besarnya.

Wutt!

Angin tajam berhembus keras mengiringi tebasan golok besar bercagak yang diayunkan Walanggata sekuat tenaga.

"Hm...!" Kakek berwajah kumuh itu mendengus kasar bernada mengejek. Tubuhnya bergeser ke samping menghindari tebasan golok Walanggata. Sesaat setelah golok lawan menyambar lewat, tangan kanan kakek itu cepat melakukan totokan jari-jari tangannya yang membentuk paruh bangau. Kecepatan pukulan kakek itu hebat sekali, hingga menimbulkan suara mencicit tajam.

Wusss! Bett!

Walanggata melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari totokan jari tangan yang mengandung maut itu. Setelah melakukan salto beberapa kali, tokoh Kadipaten Jagalan termuda itu mendaratkan kedua kakinya beberapa tombak dari lawannya dengan manis. Rupanya kakek berwajah kumuh itu benar-benar ingin cepat-cepat menyelesaikan pertarungan. Karena, pada saat tubuh Walanggata melompat keudara, tubuh kakek itu pun segera menyusulinya. Sepasang tangannya kali ini membentuk cengkeraman melebar dan siap meremukkan batok kepala lawan.

"Aaah...!" Bukan main terkejutnya Walanggata ketika melihat sepasang tangan lawan sudah mencecar dengan serangan-serangan mematikan. Padahal, posisinya tidak memungkinkan untuk menghindar. Maka tangan kirinya terpaksa diangkat untuk memapak patukan tangan kanan lawan. Berbarengan dengan itu, golok bercagaknya berkelebat membeset perut si kakek.

"Bagus...!" puji kakek lusuh itu.

Mau tak mau dia terpaksa memuji kegesitan dan kesigapan lawannya. Pujian yang keluar dari mulut kakek itu bukanlah suatu pujian kosong ataupun ejekan. Karena, apa yang dilakukan Walanggata memang benar-benar mengagumkan. Buktinya, disaat dirinya terancam, ternyata tokoh itu masih juga sempat melontarkan serangan berbahaya.

Wut! Plak! Plak!

"Aaah...!"

Terdengar suara nyaring ketika sepasang lengan mereka saling bertumbukan. Tubuh Walanggata terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sepasang tangannya terasa seperti lumpuh ketika beradu tangan dengan kakek tua itu. Dan sebelum kuda-kudanya sempat diperbaiki, tubuh lawannya kembali melompat disertai patukan-patukan sepasang tangan ke seluruh tubuh Walanggata. Pucat seluruh paras tokoh Kadipaten Jagalan itu. Dia sadar sepenuhnya kalau kali ini tidak mungkin dapat lolos dari ancaman sepasang tangan yang berbentuk paruh bangau itu. Walanggata hanya mampu memejamkan matanya rapat-rapat menanti datangnya maut

"Yeaaat..!"

Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan tinggi kurus melesat ke tengah-tengah arena pertarungan. Sepasang tangan sosok tubuh itu terdorong ke depan dengan telapak tangan terbuka.

Wusss!

Serangkum angin keras bertiup mengiringi dorongan sepasang telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Gerakannya demikian cepat memotong gerak si kakek yang tengah meluncur mengancam tubuh Walanggata. Dan....

Bresss!

"Aaah...!"

Udara di sekitar arena pertarungan bergetar ketika sepasang tangan sosok tinggi kurus bertemu telapak tangan guru Ganesha. Rupanya dia telah merubah gerakannya begitu melihat sosok tubuh tinggi kurus memotong geraknya. Akibatnya sungguh hebat, tubuh sosok tinggi kurus yang menyambut sepasang telapak tangan kakek tua itu terlempar keras disertai jeritan kesakitan. Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa yang tumbuh di tepi arena. Berbarengan dengan meluncurnya tubuh sosok tinggi kurus itu, sesosok bayangan putih melesat dari arah yang berlawanan. Gerakannya demikian cepat hingga tak ubahnya sebatang anak panah lepas dari busur.

Tappp!

Sosok bayangan putih itu langsung mengulurkan tangannya menangkap sosok tinggi kurus yang hampir menghantam sebatang pohon besar. Dan dengan sebuah gerakan indah, bayangan putih itu melenting ke atas melakukan beberapa kali salto di udara. Tanpa suara sedikit pun, sepasang kakinya mendarat di atas permukaan tanah.

"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan rasa nyeri pada bagian dadamu akan segera lenyap. Dan beristirahatlah sejenak untuk memulihkan tenagamu yang buyar akibat benturan keras tadi," ujar si bayangan putih sambil menyerahkan sebutir obat pulung berwarna putih.

Cepat jari-jari tangan sosok berjubah putih itu bergerak menutup mulut sosok tinggi kurus yang tak lain Ki Kalianji. Karena, dia melihat bibir orang yang ditolongnya bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.

Sementara itu, di arena pertarungan telah bertambah satu orang lagi. Di saat Walanggata hampir tak mampu lagi melindungi tubuhnya dari ancaman serangan si kakek, tahu-tahu saja sesosok tubuh ramping yang terbungkus pakaian serba hijau melesat ke tengah pertarungan. Begitu tiba, dia langsung menusukkan pedangnya ke arah lawan.

"Aaah...!" Tentu saja kakek itu menjerit kaget ketika tahu-tahu saja ujung pedang yang mengeluarkan sinar putih keperakan mengancam beberapa bagian tubuhnya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, menghindari ujung pedang sosok tubuh yang baru tiba itu.

Cuiiit! Cuiiit!

Pedang di tangan sosok tubuh ramping itu terus mengejar tubuh si kakek yang telah melompat beberapa tombak ke belakang. Guru Ganesha itu terus melakukan beberapa kali salto ketika melihat ujung pedang sosok tubuh ramping itu terus mengejarnya.

"Siapa kau, Nisanak?! Mengapa mencampuri urusan kami?" bentak si kakek dengan wajah gelap. Diam-diam ia merasa terkejut sekali melihat kehebatan ilmu pedang wanita jelita yang datang-datang langsung menerjangnya itu. Sosok tubuh ramping itu sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan si kakek. Dengan sikap acuh, wajahnya dipalingkan kepada Walanggata yang saat itu juga tengah menatapnya.

"Te... terima kasih.... Atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Walanggata agak gugup. Sepasang mata laki-laki itu tampak menyiratkan kekaguman yang tak dapat disembunyikan. Walanggata menjadi rikuh ketika melihat orang yang menolongnya ternyata adalah seorang gadis yang memiliki paras sangat cantik.

"Hm...." Sosok tubuh ramping yang ternyata adalah seorang dara jelita itu bergumam dan tersenyum manis. Gadis itu baru tersadar dan senyumnya menghilang ketika melihat orang yang ditolongnya semakin membelalakkan matanya bagaikan orang yang hilang ingatan.

"Maaf.... Maaf, bukan maksudku untuk bersikap kurang ajar. Tapi..., tapi.... Nisanak benar-benar mempesona," ucap Walanggata meminta maaf sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

"Hm.... Sudahlah!" sergah gadis jelita itu mengibaskan tangannya. Untung saja Walanggata cepat menyadari kesalahannya. Kalau tidak, mungkin gadis jelita itu akan menjadi marah melihat sikapnya tadi.

"Kakang, bagaimana luka orang tua itu?" tanya si gadis jelita sambil menolehkan kepalanya ke arah pemuda tampan berjubah putih yang tadi menolong Ki Kalianji.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya segera pulih," sahut pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih. Pemuda itu berbasa-basi sejenak menanyakan keadaan Walanggata, kemudian kembali memandang ke arah kakek tua yang melukai Ki Kalianji tadi.

"Hm...." Kakek tua berwajah kumuh itu menatap tajam ke arah Panji. Sepasang matanya meneliti sosok pemuda berjubah putih itu dari bawah ke atas. Kemudian tanpa mengucapkan sepata kata pun, tubuh kakek itu melesat menerjang Panji.

Bet! Bet!

"Eh...!" Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget melihat serangan yang tak diduga itu. Cepat-cepat tubuhnya digeser ke belakang sehingga serangan kakek itu gagal.

"Perlahan dulu, Kakek Tua...!" seru Panji sambil terus menghindari patukan tangan si kakek yang terus saja memburunya. Pendekar Naga Putih terpaksa memapak serangan kakek itu, karena kalau dibiarkan bisa-bisa dirinya menjadi celaka.

Dukkk!

"Uhhh...!" Tubuh mereka terjajar mundur ketika tangan masing-masing saling berbenturan. Tampak keduanya sama-sama terkejut mengetahui kalau tenaga mereka boleh dibilang berimbang.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya si kakek semakin penasaran ketika mendapat kenyataan kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi.

DELAPAN

"Namaku Panji. Lalu, siapa dirimu, Kisanak?" jawab Panji yang juga menanyakan lawannya. Keduanya saling menatap dengan sinar mata berkilat tajam.

"Kakang! Menurut keterangan dua orang itu, kakek inilah yang telah membunuh dan membangkitkan mayat Ki Jaladri!" bisik gadis jelita yang tak lain adalah Kenanga.

Rupanya selagi Panji berhadapan dengan kakek tua itu, Kenanga bertanya kepada Walanggata dan Ki Kalianji yang tenaganya sudah pulih akibat pertolongan Panji tadi.

"Eh, benarkah...?" tanya Panji sambil menatap Ki Kalianji dan Walanggata bergantian. Pemuda itu seolah-olah ingin mendapat kepastian dari dua orang yang ditolongnya itu.

"Benar, Anak Muda. Dan aku juga bisa menduga, siapa dirimu. Bukankah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?" kata kedua orang tokoh kosen Kadipaten Jagalan, seakan-akan meminta kepastian. Ki Kalianji lalu menceritakan secara singkat, dari mulai kejadian di Kadipaten Jagalan hingga akhirnya ditolong Pendekar Naga Putih dan Kenanga.

"Hm.... Kalau begitu, kami pun mempunyai urusan dengan kakek itu," gumam Panji setelah mendengar keterangan dari Ki Kalianji. Sepasang mata pemuda itu mencorong tajam menatap kakek tua di hadapannya.

"Ha ha ha...! Jangan kau pikir aku akan gentar mendengar namamu, Pendekar Naga Putih!" tegas kakek itu. Dia memang menjadi lebih yakin ketika mendengar Ki Kalianji menyebut pemuda itu dengan julukan yang memang telah diduganya.

"Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini kau tengah berhadapan dengan si Penggembala Mayat" lanjut kakek tua itu terpaksa menyebut julukannya untuk membuat lawan-lawannya gentar.

"Penggembala Mayat..!" seru keempat orang pendekar itu terkejut, karena pernah mendengarbnama tokoh itu dari guru masing-masing.

"Huh! Jangan coba-coba membohongi kami, Kakek Tua. Tokoh yang kau sebutkan itu telah ada semenjak aku masih muda. Jadi kalaupun masih ada, mungkin sudah berusia seratus tahun lebih. Nah, jangan cobacoba menakut-nakuti kami!" sahut Ki Kalianji sambil melontarkan senyum mengejek.

"He he he...! Itulah aku, Kalianji. Walaupun usiaku telah lebih dari seratus tahun, tapi tetap awet muda berkat ilmu-ilmu yang kupelajari. Percaya atau tidak, itu terserah kalian. Sekarang, bersiaplah untuk melayat ke akhirat!" tegas kakek yang berjuluk si Penggembala Mayat itu. Sepasang matanya tampak mengandung ancaman maut

"Kepung dan bunuh mereka...!" teriak Ganesha yang mulai memerintahkan anak buahnya untuk mengepung keempat orang pendekar itu. Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu pun melompat sambil mencabut senjatanya.

"Kalian hadapi yang lainnya. Biar aku yang akan mencoba menghadapi kakek yang berjuluk si Penggembala Mayat itu!" ujar Panji sambil melompat ke arah si Penggembala Mayat yang saat itu tengah menatap tajam ke arahnya.

"Heaaah...!"

Si Penggembala Mayat menggeram sambil mengangkat sepasang tangannya ke atas. Sesaat kemudian, kedua tangan itu perlahan-lahan turun dan terkembang di depan dadanya. Terlihat uap tipis mengepul dari sepasang lengan kakek tua itu. Seketika bau kemenyan pun menebar memenuhi tempat itu. Panji melompat, seolah-olah mengajak kakek itu untuk menjauhi pertarungan lain.

"He he he...! Mau lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih?" ejek Penggembala Mayat ketika melihat tubuh Panji melesat meninggalkannya.

"Hm.... Tidak akan kulakukan perbuatan pengecut itu, Penggembala Mayat! Aku hanya ingin agar pertarungan kita tidak terganggu," sahut Panji yang sudah menghentikan larinya. Tubuh pemuda tampan itu berdiri tegak di sebuah tanah lapang yang cukup luas.

"Nah! Tempat ini rasanya cukup memadai, bukan?" kata Panji, kalem. Pendekar Naga Putih menanti kedatangan tokoh sesat yang berusia seratus tahun lebih itu.

"Hm.... Sambutlah jurus 'Mayat Hidup'ku ini! Hiaaat..!" Setelah berkata demikian, tubuh si Penggembala Mayat meluncur maju menerjang Panji. Meskipun gerakannya terlihat patah-patah, namun kecepatan dan keganasannya malah semakin menggetarkan.

"Uts!" Panji berseru kaget. Bergegas tubuhnya dilempar ke belakang. Sedikit saja terlambat, sudah dapat dibayangkan kalau tubuh pemuda itu pasti akan terhantam jari-jari tangan yang berkuku panjang itu.

"Gila! Ilmu kakek ini ternyata dapat mengaburkan pandangan! Hm.... Pastilah ilmu 'Mayat Hidup' itu telah digabungkan dengan sejenis ilmu sihir. Aku harus lebih berhati-hati untuk menghadapinya!" desis Pendekar Naga Putih, terkejut Memang gerak lawannya ternyata mampu mengaburkan pandangannya.

Wettt! Wettt!

Saat itu si Penggembala Mayat sudah melangkah maju. Sepasang tangannya bergerak-gerak kaku, seperti terlonjak-lonjak. Dan setiap kali tangannya menyambar, selalu saja membuat bulu kuduk Panji meremang. Seolah-olah hawa yang keluar dari sepasang tangan kakek itu berasal dari alam lain.

"Hmh...!" Dengan sebuah geraman menggetarkan, sepasang tangan Panji bergerak turun naik. Jari-jari tangannya tampak bergetar karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' mulai mengalir ke seluruh urat-urat tubuhnya. Sesaat kemudian, selapis kabut tipis yang bersinar putih keperakan pun mulai menyelimuti sekujur tubuhnya.

Wusss!

Hawa dingin yang menusuk tulang berhembus ketika Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan. Dalam sekejap saja, sekitar arena pertarungan itu telah dipenuhi hawa yang amat dingin.

"Heaaat..!" Dibarengi teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melompat memapaki serangan lawan. Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar naga mulai menyambar-nyambar ganas. Setiap sambarannya, serangkum hawa dingin ikut pula menyertai.

Tak lama kemudian, kedua tokoh sakti itu telah saling menerjang dahsyat. Sambaran angin pukulan kedua tokoh itu menerbangkan apa saja yang ada disekitarnya. Pohon-pohon di dekatnya langsung bertumbangan menimbulkan suara gemuruh ketika pukulan-pukulan nyasar menghantamnya. Sehingga, suasana di sekitar arena pertempuran sudah sedemikian semrawut, tak terurus.

"Yeaaat..!"

Bet! Bet!

Memasuki jurus kelima puluh satu, tubuh si Penggembala Mayat tiba-tiba meliuk disertai teriakan yang mengejutkan. Sepasang tangannya menyambar ganas mengancam bagian perut Pendekar Naga Putih. Pemuda itu bergerak cepat menggeser tubuhnya hingga serangan jari-jari tangan lawan lewat beberapa jari di sampingnya. Begitu serangan lawan luput, cakar naga Panji berkelebat cepat mengancam dada dan ubun-ubun lawan.

Si Penggembala Mayat memutar kaki kirinya dengan gerakan amat kaku. Tapi anehnya, serangan Panji tidak berhasil mengenai sasarannya. Bahkan tiba-tiba saja tubuh kakek itu terjatuh dalam posisi tengkurap. Dan sesaat kemudian, tubuhnya melenting bangkit dan meluncur ke arah lawan bagai sebatang bambu yang dilontarkan.

Panji yang sama sekali tidak menduga gerakan lawan, sempat terkejut dibuatnya. Bergegas tubuhnya melompat ke samping sejauh satu tombak. Namun kembali Pendekar Naga Putih terkejut untuk yang kedua kalinya. Karena, tubuh yang tengah meluncur kaku dengan kaki berada di bagian depan itu, mendadak berputar dan kembali mengancamnya. Sadar kalau tidak mungkin harus menghindari terus-menerus, maka Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya memapak sepasang kaki yang mengancam tubuhnya. Segenap tenaga saktinya segera disalurkan. Memang, Pendekar Naga Putih tahu betul kalau tenaga dalam lawan pasti sangat tinggi.

Dukkk! Plakkk!

"Uuuh...!"

Terdengar letukan yang menggetarkan ketika dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat saling berbenturan keras. Beberapa batang pohon di dekat arena pertarungan berderak ribut. Daun-daunnya seketika berguguran akibat kerasnya getaran yang ditimbulkan pertemuan dua tenaga raksasa itu.

Akibat benturan itu, sempat pula mengejutkan Panji. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah kebelakang. Telapak tangan dan tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Diam-diam hati pemuda itu semakin terkejut dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki kakek tua itu. Meskipun tangkisan Pendekar Naga Putih tadi sempat menghentikan daya luncur tubuh lawan, tapi tidak berarti ancaman itu sudah lewat. Sebab tubuh kaku laksana mayat itu kini kembali meluncur mengancamnya. Bahkan kecepatannya semakin pesat.

Des! Des!

"Ugh...!" Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terjajar mundur itu terlonjak keras ke belakang. Karena sepasang telapak kaki lawan telak menghantam dada dan perutnya. Darah seketika menyembur dari mulut pemuda itu! Dan tubuhnya yang meluncur beberapa tombak langsung menghantam sebatang pohon sebesar sepelukan orang dewasa. Pemuda itu melorot ke atas tanah berbarengan dengan tumbangnya pohon. Pada saat itu juga si Penggembala Mayat kembali menerjang dan siap meremukkan tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terduduk itu. Sepasang telapak kakinya yang tengah dialiri tenaga dahsyat siap menjejak tubuh Panji.

Blarrr!

Tanah dan bebatuan berhamburan disertai kepulan debu yang membumbung tinggi. Diduga, tubuh Pendekar Naga Putih pasti telah hancur bersama kepulan debu tadi. Namun, untung Panji sempat melempar tubuhnya bergulingan menghindari jejakan kaki lawannya.

"Gila...!" desis Panji. Pendekar Naga Putih terbelalak ngeri melihat sebuah lubang sebesar kubangan kerbau, tempat tadi tubuhnya berada. Dan hal itu semakin membuatnya sadar kalau lawannya kali ini benar-benar tidak bisa dibuat main-main. Panji menarik napas dalam-dalam dan berulangulang untuk menghilangkan rasa nyeri yang menyerang dadanya. Di sudut bibirnya, tampak cairan merah yang menetes perlahan. Begitu rasa nyerinya berkurang, Pendekar Naga Putih bergegas bangkit dan siap melanjutkan pertarungan yang menentukan itu.

Sesaat kemudian, keduanya kembali terlibat dalam pertarungan mati-matian. Mereka saling menyerang dahsyat. Suasana di sekitar tempat pertarungan tak ubahnya bagai dilanda angin topan dahsyat Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu benar-benar dahsyat dan mengerikan sekali.

Di arena lain, Kenanga, Ki Kalianji, dan Walanggata tengah berupaya mempertahankan selembar nyawa mereka. Ganesha yang dibantu hampir tiga puluh orang pengikutnya menerjang ketiga orang pendekar itu tanpa ampun. Kenanga yang mengetahui kalau kekuatan pengeroyoknya terletak pada pemuda jangkung itu, bergegas melompat menghadapi Ganesha. Pedang Sinar Rembulan yang berada di tangannya berkelebat cepat mengancam tubuh lawan.

Wut!

"Aaakh...!" Bukan main terkejutnya Ganesha ketika tiba-tiba saja serangkum angin tajam yang berhawa dingin menyambar perutnya. Bergegas ditinggalkannya Ki Kalianji dan tubuhnya segera dilempar ke belakang untuk menghindari serangan berbahaya itu.

"Nisanak! Mengapa kau membela kedua orang tak tahu diuntung itu? Bukankah lebih baik ikut denganku? Percayalah, aku akan mengangkatmu menjadi permaisuriku yang paling kusayangi. Marilah ikut denganku. Aku berjanji tidak akan menyianyiakanmu," bujuk Ganesha. Sinar mata pemuda itu memang mengandung kekuatan sihir. Meskipun ilmu sihirnya belum sempurna, namun sepasang matanya sudah dapat melumpuhkan semangat lawan yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi.

"Nisanak! Jangan pandang matanya! Pemuda itu telah menggunakan ilmu sihir untuk merayumu!" Ki Kalianji berteriak memperingatkan ketika melihat gadis jelita itu terpaku mendengar kata-kata Ganesha.

"Ah...! Bangsat keji! Rupanya kau benar-benar pemuda bejat!" teriak Kenanga yang segera tersadar begitu mendengar teriakan Ki Kalianji. Gadis itu cepat-cepat memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh tubuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuh Kenanga melesat disertai sambaran pedangnya yang menggiriskan.

"Keparat kau, Kalianji! Tunggulah bagianmu nanti!" ancam Ganesha yang semakin membenci tokoh tua Kadipaten Jagalan itu. Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu bergegas melompat menghindari sambaran pedang Kenanga.

"Ki Kalianji! Hadapilah begundal-begundal pemuda itu, berdua dengan Walanggata. Biar keparat ini menjadi bagianku!" teriak Kenanga sambil menyabetkan senjatanya berulang-ulang. Sepertinya gadis jelita itu menjadi marah sekali ketika hampir saja termakan ilmu sihir pemuda itu.

Wut! Wut!

Ganesha menggeser tubuhnya ke samping menghindari dua buah tusukan yang mengancam ulu hati dan tenggorokannya. Kemudian, secepat kilat diberikannya serangan balasan dengan tidak kalah ganasnya.

Trang!

Bunga api berpijar ketika Kenanga menangkis pedang lawan yang mengancam tubuhnya. Keduanya terjajar mundur dan memeriksa pedang masingmasing. Setelah yakin kalau tidak mengalami kerusakan, keduanya kembali saling serang dengan hebatnya.

Sementara itu, Ki Kalianji dan Walanggata sangat terkejut ketika mendapat kenyataan kalau para pengeroyoknya itu ternyata sangat gesit dan lincah. Sehingga dalam beberapa jurus saja kedua tokoh kosen Kadipaten Jagalan itu harus menguras tenaga untuk dapat melindungi dirinya. Ki Kalianji dan Walanggata benar-benar dibuat kewalahan oleh kerjasama pengeroyoknya yang sangat kompak. Sepertinya para pengikut Ganesha telah dilatih sedemikian rupa sehingga dapat bekerja sama dengan baik.

"Yeaaat..!" Rasa penasaran yang kian memuncak membuat Ki Kalianji menjadi geram. Sambil berteriak keras, dia melompat disertai ayunan sepasang tongkat pendeknya.

Wut! Wut!

Dua batang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji berkelebat cepat menimbulkan deru angin keras. Dua senjata kembar itu meluncur deras mengancam dua orang lawan yang berada di samping kiri. Melihat dua orang kawannya terancam, para pengeroyok lain segera berlompatan sambil membabatkan pedang ke tubuh Ki Kalianji. Paling tidak, mereka berharap kakek itu akan menunda serangan untuk menyambut ancaman senjata mereka.

Tapi kali ini rupanya Ki Kalianji telah mempertimbangkan serangannya secara masak. Sebab, begitu enam batang golok lain meluncur mengancamnya, tubuh kakek itu tiba-tiba melenting ke belakang enam penyerangnya. Sambil berputaran diudara, sepasang tongkat hitam di tangannya menyambar kepala empat orang penyerang.

Wut! Wut..!

Prak! Prak! Crok...!

Tanpa sempat menjerit lagi, empat orang pengeroyok itu kontan roboh dengan kepala pecah. Darah yang bercampur otak, seketika berhamburan membasahi arena pertarungan. Tentu saja hal itu membuat para pengeroyok lain menjadi terkejut setengah mati. Amukan Ki Kalianji tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali melenting ke arah dua orang lainnya. Sepasang tongkatnya terayun ke arah punggung mereka.

Buk! Buk...!

"Aaakh...!"

Terdengar jerit kesakitan ketika tongkat hitam ditangan kakek itu tepat menghantam punggung dua orang lawannya. Tubuh mereka langsung tersungkur disertai semburan darah segar dari mulut. Dua orang itu kontan tewas dengan tulang punggung remuk.

Berbarengan dengan itu, terdengar jerit kematian yang menyayat hati. Empat orang pengikut Ganesha terjungkal mandi darah. Rupanya Walanggata tidak mau ketinggalan oleh kawannya. Golok bercagaknya telah pula memakan korban.

Di tengah ramainya pertempuran berlangsung, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda datang ke arah pertempuran. Menilik suaranya yang bergemuruh, dapat dipastikan kalau rombongan berkuda itu tidak kurang dari dua puluh orang. Tentu saja hal itu membuat orang-orang yang tengah bertempur menjadi cemas. Karena, mereka belum dapat menerka kawan atau lawan.

"Tuan Muda Anggada...!"

Ki Kalianji dan Walanggata berteriak gembira begitu dapat mengenali orang yang berada di barisan paling depan dan telah dekat dengan arena pertempuran.

"Paman...!" seru pemuda yang memang Anggada adanya itu. Wajah pemuda itu menjadi heran ketika melihat kedua orang pengawal setia ayahnya tampak tengah dikeroyok puluhan orang kasar. Bergegas pemuda itu memerintahkan para pengikutnya untuk membantu kedua orang tokoh Kadipaten Jagalan itu.

Kedua orang tokoh kosen itu langsung menghampiri tuan mudanya. Setelah memberi hormat, Ki Kalianji lalu menceritakan duduk persoalannya secara singkat. Kening Anggada seketika berkerut mendengar penuturan kedua orang kepercayaan ayahnya itu.

"Hm.... Kalau saja aku tidak menyaksikannya sendiri, pastilah aku belum dapat menerima keterangan Paman ini," desah Anggada yang segera memalingkan wajah ke arah yang ditunjuk Ki Kalianji. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat adiknya tengah bertarung dengan seorang gadis cantik.

"Ganesha...!" desis Anggada hampir tak terdengar. Wajah tampan itu mendadak murung. Karena biarpun Ganesha bukan adik kandungnya, namun sangat disayanginya. Dan tentu saja kejadian itu membuatnya sangat terpukul.

"Tuan Muda, marilah kita tangkap dia hidup-hidup sebelum gadis jelita itu membunuhnya," usul Walanggata ketika melihat kemurungan menyelimuti wajah putra junjungannya. Sekilas saja dia tahu kalau Anggada merasa berat untuk melakukan tindakan kejam terhadap adiknya.

"Paman berdua sajalah yang melakukannya. Aku tidak sampai hati melakukan hal itu," sahut Anggada sambil membalikkan tubuhnya melangkah ke arah pertempuran yang berkecamuk. Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuh pemuda itu bergegas melompat ke dalam kancah pertempuran membantu para prajuritnya. Kedukaan membuat pemuda itu mengamuk hebat, sehingga dalam beberapa jurus saja enam orang lawan telah tergeletak tewas. Sepertinya Anggada bermaksud menumpahkan kekecewaan hatinya kepada para pengikut adiknya.

Sementara itu, pertarungan Panji melawan si Penggembala Mayat sudah semakin memuncak. Jurus-jurus andalan telah digunakan untuk menundukkan satu sama lain. Tapi sampai sejauh itu, keduanya masih berimbang meskipun di pihak Pendekar Naga Putih telah menderita luka dalam akibat hantaman lawan.

"Hm.... Ternyata nama Pendekar Naga Putih bukan sekadar nama kosong belaka. Aku benar-benar kagum dengan kepandaian yang kau miliki, Anak Muda. Tapi, kali ini kau terpaksa harus melepaskan nyawa dan gelarmu di tangan si Penggembala Mayat!" kata kakek itu yang diam-diam merasa kagum dengan kehebatan Panji.

"Hiaaah...!" Dibarengi bentakan menggemuruh, tubuh Penggembala Mayat tiba-tiba berputar cepat bagai sebuah gangsing. Sesekali jari-jari tangannya menyembul dari balik lingkaran yang diciptakannya itu.

Panji melempar tubuhnya, lalu bergulingan ketika tahu-tahu saja jari-jari tangan lawan telah berada di depan tubuhnya. Pemuda itu langsung berputaran beberapa kali ke belakang karena serangan-serangan lawan terus saja mengejar.

Des! Buk!

"Huakkk...!" Darah segar muncrat keluar dari mulut Pendekar Naga Putih ketika hantaman sisi dan telapak tangan lawan singgah di lambung dan perutnya. Tubuh pemuda itu terjungkal bergulingan hingga beberapa tombak jauhnya. Panji berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa sesak. Lebih-lebih perut dan punggungnya yang terasa remuk akibat hantaman lawan.

Selagi tubuh Pendekar Naga Putih bergerak bangkit, si Penggembala Mayat kembali meluruk menerjang lawannya. Sepertinya kakek tua itu memang benar-benar hendak menghabisi nyawa Panji. Pada saat yang gawat itu, Panji teringat akan pedang pusaka yang tersampir di punggungnya. Tangan kanannya cepat bergerak meraba gagang pedang.

"Yeaaa...!"

Desss! Crak!

"Ugh...!"

"Aaargh...!"

Terdengar keluhan yang keluar dari mulut Panji. Berbarengan dengan itu, si Penggembala Mayat meraung setinggi langit. Ternyata pada saat telapak tangannya menghantam dada, Panji memiringkan tubuhnya. Sehingga, hantaman telapak tangan kakek itu hanya menyerempet bahu Pendekar Naga Putih. Pada saat itu juga, Panji membarengi dengan sabetan Pedang Naga Langit yang membabat pinggang si Penggembala Mayat hingga tubuh kakek itu terbelah menjadi dua bagian. Darah segar seketika memercik membasahi tanah.

Tubuh si Penggembala Mayat terbanting di atas tanah dalam keadaan terpisah. Perlahan-lahan tubuh kakek itu mengerut, seolah-olah darahnya terhisap oleh sesuatu yang tak tampak. Si Penggembala Mayat kini tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan. Panji menatap pedang di tangannya dengan sepasang mata membelalak. Ternyata noda darah yang terdapat di badan pedang, perlahan menguap untuk kemudian hilang tanpa bekas. Pedang Naga Langit kembali bersih dan berkilau, seolah-olah tidak pernah terkena darah. Bergegas pedangnya disimpan kembali di punggung.

Pertempuran lain pun sepertinya telah pula usai. Semua pengikut Ganesha telah dapat dibinasakan. Sedangkan pemuda itu sendiri telah dapat ditaklukkan oleh Kenanga. Tubuhnya tertotok sehingga harus digotong oleh beberapa prajurit. Kenanga, Ki Kalianji, Walanggata, dan seorang pemuda tampan melangkah menghampiri Panji yang masih terduduk lemah.

"Kakang, kau tidak apa-apa....?" tanya Kenanga cemas. Bergegas gadis jelita itu menubruk kekasihnya yang belum juga bangkit itu.

"Ah! Aku tidak apa-apa, Kenanga. Hanya luka biasa. Sebentar juga kesehatanku sudah pulih seperti biasa," sahut Panji seraya tersenyum, untuk melegakan perasaan kekasihnya itu.

"Pendekar Naga Putih, kami mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu yang telah menyelamatkan dua orang pamanku ini. Ingin sekali aku mengajakmu untuk menghadap ayahku. Tapi, semua itu terserah dirimu," ujar Anggada yang rupanya sudah diberi tahu kalau pemuda yang menolong dua orang pembantu ayahnya itu adalah Pendekar Naga Putih.

"Ah, terima kasih atas kebaikan Tuan Muda. Tapi sayang, kali ini kami tidak bisa memenuhi permintaan Tuan Muda. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan," sahut Panji menolak halus ajakan pemuda tampan itu.

"Baiklah kalau begitu, Pendekar Naga Putih. Dan kini kami pergi dulu. Dan jangan lupa, kalau ada kesempatan singgahlah di tempat kami. Kami menanti kedatanganmu," ucap Anggada seraya melompat ke atas punggung kudanya. Dan kini rombongan itu kembali ke kadipaten dengan membawa Ganesha yang telah berhasil ditawan.

Pendekar Naga Putih dan Kenanga memandangi kepergian rombongan berkuda itu. Kesunyian pun mulai terasa ketika rombongan berkuda itu telah lenyap dari pandangan. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun saling berpandangan mesra. Kenanga mengerutkan keningnya ketika melihat wajah kekasihnya meringis menahan sakit.

"Kakang...! Kau... kau kenapa...!" tanya Kenanga ketika melihat wajah Pendekar Naga Putih tampak semakin memucat. Bergegas dirangkulnya tubuh pemuda itu ketika terlihat hendak roboh. Kenanga semakin kalang-kabut ketika melihat kekasihnya tak sadarkan diri. Diraihnya tubuh Panji ke dalam pelukannya, seolah-olah dengan berbuat begitu kekasihnya diharapkan segera tersadar. Tapi mendadak saja Panji membuka kedua matanya dan langsung memeluk tubuh gadis cantik itu erat-erat.

"Kakang jahat!" teriak Kenanga sambil berusaha melepaskan pelukan kekasihnya. Gadis jelita itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan kekasihnya. Dan kini malah merebahkan kepalanya di dada pemuda pujaannya.

"Mengapa Kakang selalu saja menggodaku?" bisik gadis itu lirih, sambil menengadahkan wajahnya memandang Panji.

Panji hanya tertawa mendengar pertanyaan kekasihnya itu. Dikecupnya sepasang mata indah itu. "Ayolah. Bukankah kita harus ke Desa Keputih untuk memberitahukan kepada tujuh orang murid Ki Jaladri kalau tugas kita sudah selesai," ajak Panji diiringi senyum manis.

Tak berapa lama kemudian, keduanya melangkah meninggalkan hutan itu. Sinar kemerahan tampak menyemburat di kaki langit sebelah Barat. Sebentar lagi, senja akan turun mengiringi langkah sepasang pendekar itu.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.