Penjagal Alam Akherat

Cerita silat serial Pendekar Naga Putih episode Penjagal Alam Akherat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Penjagal Alam Akherat
Karya T. Hidayat
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat serial Pendekar Naga Putih


SATU

SIANG itu matahari bersinar terik. Sesosok tubuh ramping berpakaian serba hijau bergerak menaiki lereng gunung. Rambutnya yang panjang hingga ke bahu tampak bergoyang lembut mengiringi ayunan langkahnya. Sosok tubuh ramping itu tidak lain adalah gadis bernama Kenanga. Ia bergerak lincah melintasi lereng gunung yang banyak terdapat batu-batu menonjol. Gadis jelita itu sama sekali tidak menemui kesukaran walaupun di atas bahunya terlihat sesosok tubuh berpakaian serba putih yang tergantung lemah.

Wajah cantik bagai bidadari itu tampak pucat dan lelah. Kecemasan atas keadaan Panji yang berada dalam pondongannya, telah membuat gadis jelita itu tak menghiraukan lagi akan dirinya. Pendekar Naga Putih atau Panji belum lagi siuman dari pingsannya. Padahal sudah hampir dua hari Kenanga melakukan perjalanan. Namun, pemuda itu belum juga sadar. Semenjak mereka meninggalkan Lembah Biru (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Raja Iblis dari Utara)

Rasa cemas itu membuat Kenanga menempuh perjalanan Jauh dan melelahkan tanpa mengeluh sedikit pun. Gadis itu hampir tidak pemah berhenti dalam menempuh perjalanan menuju tempat kediaman Eyang Wiku Girting. Keadaan gadis itu tak ubahnya seorang gembel. Setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok dan berbatu terjal itu, Kenanga tiba didepan sebuah pon-dok sederhana di sekitar puncak gunung itu.

"Eyang...!" panggil Kenanga lirih dan bergetar. Belum lagi ia dapat menjangkau pintu pondok itu, ia pun terguling roboh. Kenanga si bidadari jelita itu jatuh pingsan sebelum bertemu dengan si penghuni pondok.

Bunyi suara berdebuk agak keras itu membuat seorang kakek renta membuka pintu pondoknya. Alis kakek tua bertubuh kurus itu berkerut ketika melihat dua sosok tubuh tergeletak di depan pintu pondok-nya. Si kakek bergegas menghampiri dan memeriksa kedua anak muda itu.

"Kasihan. Seorang gadis yang keras hati dan tabah!" Ucap kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kagum, ketika ia memeriksa tubuh Kenanga. "Entah siapa pula pemuda itu, sampai-sampai gadis itu rela mengenyampingkan kesehatannya sendiri!"

Sesaat setelah memeriksa keadaan Kenanga, lalu ia mengangkat tubuh gadis itu ke pondoknya. Diba-ringkan tubuh gadis itu di atas balai-balai yang ter-buat dari bambu dan hanya beralaskan selembar tikar tua. Begitu selesai merebahkan Kenanga, si kakek kembali keluar untuk mengambil tubuh Panji. Si kakek membungkuk memeriksa tubuh Panji yang tergeletak pingsan.

"Eh!" Bagai disengat kalajengking, si kakek terlonjak ke belakang. la menyeringai menahan rasa sakit pada jari tangannya. "Aneh, apa gerangan yang ada dalam tubuh pemuda tampan ini? Totokan jari-jari tanganku seolah-olah amblas ke dasar samudra yang amat dalam. Tenagaku membalik bagai dilemparkan sebuah kekuatan yang hanya ada dalam dongeng. Luar biasa! Aku tidak bisa menggunakan tenaga saktiku untuk memeriksa tubuhnya!"

Si kakek menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis mengerti. Pelahan-lahan si kakek mengangkat tubuh pemuda tampan. Karena sedikit saja ia menggunakan tenaga saktinya, maka celakalah ia! Si kakek membaringkan tubuh Panji di atas balai-balai lainnya yang terletak lebih ke dalam. Hati-hati sekali si kakek membaringkan tubuh pemuda itu. Da-hinya sedikit berkeringat karena ketegangan yang menyelimuti hatinya. Hal itu wajar. Kakek itu tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting yang dicari-cari Kenanga. Sebagai seorang tokoh sakti yang berpengalaman, ia pun tahu bahwa sedikit saja ia melakukan kesalahan, maka bukan tidak mungkin nyawanya sendiri yang akan melayang.

"Heran, bagaimana mereka dapat sampai di tempat ini? Kalau menurut pengamatanku, pemuda itu sudah tak sadarkan diri selama satu hari lebih. Apakah gadis itu yang telah membawanya? Lalu bagaimana cara gadis itu membawanya? Dan mengapa tidak terpengaruh oleh tenaga aneh yang bergolak liar di dalam tubuh pemuda ini? Ahhh, membingungkan!" Desah si kakek yang segera mengusir pikiran-pikiran yang membuat kepalanya pusing.

Tanpa mempedulikan pikirannya yang memusingkan itu, si kakek bergegas memasak air untuk kedua tamunya, terutama Kenanga. Ia tahu bahwa gadis itu baru saja jatuh pingsan ketika tiba di pintu pondoknya. Kemungkinan besar gadis jelita itu pasti mengetahui apa yang telah terjadi dengan pemuda itu.

Beberapa saat kemudian si kakek membawa air masak yang telah dicampur air dingin sebelumnya, sehingga menjadi hangat. Dengan sehelai kain bersih, si kakek mengusap wajah Kenanga yang kotor dan terlihat letih. Setelah membersihkan wajahnya, si kakek mengurut pelahan bagian belakang lehernya. Wajah keriput itu tersenyum ketika melihat Kenanga mulai siuman.

"Ohhh...," terdengar keluhan lirih keluar dari bibir yang indah itu. Eyang Wiku Ginting menghentikan pijatnya, kemudian ia bangkit dan berjalan ke belakang.

Tidak lama sepeninggal Eyang Wiku Ginting, pelahan-lahan Kenanga membuka matanya. Sejenak sepasang mata bintang itu mengerjap-ngerjap membiasakan penglihatannya. Ketika gadis jelita itu mencoba bangkit, sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit. la baru merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit setelah di atas pembaringan.

"Jangan banyak bergerak dulu, Cucuku. Beristirahatlah dan tenangkan hatimu, agar kesehatanmu cepat pulih," kata Eyang Wiku Ginting yang telah berdiri di sisi pembaringan Kenanga. Di tangan kanan si kakek tampak sebuah gelas terbuat dari batang bambu. Bau harum ramuan tercium dari asap yang mengepul dari mulut gelas bambu.

"Kakek, engkaukah yang bernama Eyang Wiku Ginting?" Tanya Kenanga dengan suaranya yang masih lemah.

"Benar, Cucuku. Aku adalah Eyang Wiku Ginting. Nah, sekarang simpan pertanyaanmu dulu sampai kau benar-benar sehat. Minum obat ini selagi masih hangat," jawab si kakek lembut sambil mengangkat kepalanya hati-hati. Lalu ia dekatkan gelas bambu ke mulut gadis itu.

Dengan tangan gemetar, Kenanga mencoba memegang gelas bambu yang disodorkan ke mulutnya. Pelahan-lahan ia menghirup ramuan obat yang terasa pahit mencekik tenggorokannya. Kenanga menyeringai menahan rasa pahit yang amat sangat. Si kakek kem-bali menyerahkan gelas lain sebagai penghilang rasa pahit. Cepat diteguknya air yang disodorkan Eyang Wiku Ginting kepadanya.

"Nah, sekarang tidurlah dulu, Cucuku." Setelah itu baru nanti engkau boleh menceritakan semua yang telah kau alami," ucap si kakek bahagia. Kemudian si kakek pun bergegas meninggalkannya.

Sementara itu di luar pondok, senja sudah mulai nampak redup. Cahaya kemerahan tampak di kaki langit sebelah Barat. Sang mentari kembali ke peraduan meninggalkan cahaya teriknya.

********************

"Nah, sekarang ceritakan. Siapakah engkau sebenarnya, Cucuku? Dan apa yang telah terjadi pada kawanmu itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting pada keesokan harinya. Ketika Kenanga mulai agak sehat Keduanya duduk berhadapan di ruang tengah pondok sederhana itu.

"Eyang, aku adalah Kenanga murid dari Raja Pedang Pemutus Urat. Dan kedatangan aku kemari untuk minta pertolongan Eyang," sahut Kenanga bersimpuh di depan si kakek Eyang Wiku Ginting.

"Hm... di manakah sekarang gurumu itu, Cucuku? Apakah ia baik-baik saja? Lama kami tak saling jumpa." Eyang Wiku Ginting menghela napas berat. Raja Pedang Pemutus Urat adalah adik seperguruan kakek itu. Oleh karena itu Kenanga mengetahui nama dan tempat tinggal kakek itu, karena ia pernah diceritakan oleh Raja Pedang Pemutus Urat itu.

"Eyang, Guru sudah tewas beberapa waktu yang lalu di tangan seorang pemuda licik yang bernama Jaya Sukma," kata Kenanga sedih. Kemudian ia pun menceritakan pula tentang kematian Raja Pedang Pemutus Urat.

"Hm... jadi pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih, yang telah membunuh Jaya Sukma yang terkenal dengan Jari Mautnya itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting terkejut ketika Kenanga memperkenalkan siapa sesungguhnya pemuda yang masih dalam keadaan pingsan itu. Si kakek memang belum mengobati pemuda itu, karena ia ingin mencari keterangan lebih dulu dari Kenanga.

"Benar, Eyang," tegas gadis jelita itu lagi. Kenanga kembali menceritakan awal mula yang membuat pemuda itu sampai pingsan begitu lama.

"Luar biasa! Benar-benar sebuah kejadian yang amat langka dan tidak akan ditemui orang lain!" Seru si kakek menggeleng-geleng kepalanya penuh kekaguman. Setelah Kenanga selesai menceritakannya. "Jadi pendekar muda itu bangkit tepat pada saat gerhana bulan muncul?" Tanya si kakek.

"Begitulah yang aku saksikan, Eyang," jawab Kenanga.

"Tahukah engkau, Cucuku. Tenaga apakah yang dimiliki pemuda itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting penuh selidik. Meskipun ia sudah menduga apa yang telah dialami Pendekar Naga Putih, namun menurutnya hal itu tak akan terjadi tanpa sebab yang jelas.

"Kalau tidak salah, Kakang Panji mempunyai sebuah ilmu yang bernama 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'" sahut Kenanga.

"Hm... aku tahu sekarang! Sebenarnya inti tenaga sakti dalam gerhana bulan itu tidak akan merasuk ke dalam tubuhnya kecuali pemuda itu tengah mengerahkan tenaganya. Menurut ceritamu, pemuda itu tengah dalam keadaan kalap ketika gerhana itu terjadi. Marilah kita lihat, siapa tahu aku dapat membuat siuman dari pingsannya," ajak si kakek seraya men-dekati tubuh Panji yang masih tergolek di atas pembaringan bambu itu.

"Tolong, kau angkat pemuda itu keluar, Cucuku. Aku akan mencoba untuk menyadarkannya. Nanti kalau dalam keadaan sadar aku akan lebih mudah mengobatinya," ujar Eyang Wiku Ginting sambil melangkah keluar.

Semula Kenanga merasa bingung mendengar perintah si kakek. Dalam hati kecilnya bukankah akan lebih baik kalau kakek itu sendiri yang membawanya keluar. Tapi kakek itu kembali menyuruhnya, maka tanpa banyak cakap lagi Kenanga segera mengangkat tubuh pemuda itu dan membawanya keluar. Gadis itu menjadi heran ketika melihat Eyang Wiku Ginting memandanginya dengan kening berkerut setelah berada di luar pondok.

"Cucuku, apakah kau pernah mempelajari 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?" Tanya Eyang Wiku Ginting, dengan rasa penasarannya.

"Mmm... pernah Eyang. Kakang Panji yang mengajarkannya. Itu pun hanya dasar-dasarnya saja, Eyang," sahut Kenanga heran mendengar pertanyaan Eyangnya.

"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam tak jelas. Kemudian ia menyuruh gadis itu untuk meletakkan tubuh Panji di atas rerumputan. "Kau menyingkirlah dulu, Cucuku!" ujar si kakek kepada Kenanga.

Setelah berkata demikian, Eyang Wiku Ginting mengambil jarak kira-kira lima tombak di depan tubuh Panji. Sesaat kemudian, Eyang Wiku Ginting sudah duduk bersila sambil memejamkan matanya.

"Hmhhh!" Eyang Wiku Ginting mendengus agak panjang. Tubuhnya tampak bergetar karena ia tengah mengerahkan tenaga saktinya. Kedua tangannya terangkat dan terulur ke arah tubuh Panji yang tergolek. Tiba-tiba angin keras berhembus ke arah Panji.

Whuuusss!

Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu mulai bergerak pelahan, makin lama makln berguncang keras. Dan secara tiba-tiba, tubuhnya bangkit karena inti 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang mengendap di dalam tubuhnya tidak menerima hembusan tenaga yang dikerahkan Eyang Wiku Ginting.

Sorot matanya tajam dan penuh curiga seolah dirinya merasa terganggu akan kehadiran si kakek. Namun hati nuraninya membisikkan bahwa kakek itu bukanlah orang jahat, terjadilah perang batin di dalam hatinya. Perang antara suatu kekuatan dahsyat membunuh si kakek dan kesadaran kebaikan. Beberapa saat lamanya Panji hanya berdiri tegak menatap Eyang Wiku Ginting.

"Kakang Panji...!" Tiba-tiba muncul suara merdu yang amat dikenalnya. Kenanga menghampirinya.

"Adik Kenanga!" Panggil Panji tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air mukanya yang angker berubah tenang. Namun kekuatan tenaga liar dalam tubuhnya tetap bergolak membutuhkan penyaluran. Eyang Wiku Ginting tahu hal itu. Ia cepat komat-kamit membaca mantera ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh'. Ucapan orang tua itu hanya didengar oleh Kenanga tanpa sepengetahuan Panji.

Kenanga tertegun sejenak mendengar suara halus begitu dekat di telinganya. Tanpa menolehnya ia sudah tahu siapa yang telah mengirimkan suara itu kepadanya. Setelah jelas mengetahui apa yang dikatakan si kakek itu, ia kembali mendekati kekasihnya yang menatap dengan sorot mata tajam.

"Kakang, bukankah engkau merasakan suatu tenaga dahsyat bergolak di dalam tubuhmu?" Tanya Kenanga setelah berada di hadapan Panji. Tatapan gadis itu tampak lembut dan penuh rasa kerinduan.

"Eh, bagaimana kau tahu, Adik Kenanga?" Tanya Panji, heran mendengar gadis pujaannya mengetahui secara pasti tentang apa yang tengah dialaminya saat itu.

"Nah, kalau begitu puaskanlah hatimu dengan cara mengumbar pukulan-pukulanmu sesuka hati. Tapi jangan sampai melukai seorang pun!" kata Kenanga tegas sambil memperhatikan kekasihnya.

Panji bukanlah orang bodoh. Tapi karena baru siuman dari pingsan, ia agak linglung. Ketika ia mendengar ucapan kekasihnya, Panji teringat apa yang harus dilakukannya untuk menjinakkan tenaga liar yang tengah bergolak dalam tubuhnya. Tanpa mengucap sepatah kata, pemuda itu segera berbalik dan melepaskan pandangannya ke sekitar tempat itu.

Kenanga bergegas menyingkir. Ia melihat Panji melangkah ke arah rerimbunan pepohonan besar yang tumbuh di sekitar tempat itu. Saat itu juga sekali ayun tangan Panji dengan tenaga dalamnya menghantam pepohonan.

Wuuusss! Blarrr! Kraaakkkhhh!

Empat pohon besar sekali pukul, berderak dan hancur menjadi beberapa bagian. Luar biasa! Debu pun mengepul tinggi disusul hembusan angin. Ke-nanga dan Eyang Wiku Ginting menggigil kedinginan. Tubuh mereka terasa beku sampal ke tulang sum-sum. Itulah pengaruh tenaga dalam Panji yang telah ia keluarkan. Mereka harus mundur beberapa langkah lagi untuk menghindari pengaruh angin gaib itu.

Sebenarnya bagi Eyang Wiku Ginting sendiri kejadian itu tidaklah terlalu membahayakan. Tingkat ilmu tenaga dalam yang dimilikinya masih di atas ilmu tenaga dalam Panji. Tapi bagi Kenanga, terpaan angin dingin itu dapat membekukan tubuhnya. Untunglah si kakek cepat bertindak melindungi Kenanga.

"Luar biasa sekali tenaga gerhana bulan yang merasuk ke dalam tubuhnya! Tapi sayang tenaga sakti yang dahsyat itu masih sangat liar dan dapat membahayakan orang lain. Kalau saja pemuda itu dapat menjinakkannya rasanya tidak ada seorang tokoh pun yang mampu menghadapinya," tukas Eyang Wiku Ginting dengan wajah sedih.

"Apakah Eyang tidak sanggup untuk menyembuhkannya?" Tanya Kenanga terkejut mendengar desah lirih kakek sakti itu.

"Entahlah, Cucuku. Tapi Eyang akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya. Hanya satu pesan Eyang, janganlah hal ini kau beritahukan kepa-danya. Biar Eyang sendiri yang akan menyampaikannya nanti," kata Eyang Wiku Ginting sambil memandang gadis jelita itu dalam-dalam.

"Baiklah, kalau itu yang Eyang inginkan," jawab Kenanga patuh. Setelah berkata demikian, gadis jelita itu kembali mengalihkan pandangannya ke arah pemuda yang dicintainya belum juga berhenti mengumbar tenaganya itu.

Beberapa saat kemudian, Panji mulai lelah. Pukulan-pukulan yang dilontarkannya tak lagi sekuat dan sedahsyat semula. Ia menjatuhkan kedua lututnya di tanah berumput, kemudian ia pun lemas tergeletak, karena aliran tenaga sakti liar yang luar biasa itu telah terhenti. Napasnya memburu. Pakaian yang dikenakannya basah bermandikan keringat yang tak henti-hentinya mengalir. Eyang Wiku Ginting cepat berlari menghampiri pemuda itu, diikuti Kenanga dari belakang. Begitu tiba di dekat Panji si kakek memerintahkan Kenanga mengangkat tubuh Panji, untuk dibawa ke dalam pondoknya.

Setelah tubuh pemuda itu direbahkan di atas balai-balai, si kakek memberi segelas air ramuan yang sudah disiapkan. Panji segera meneguk ramuan mi-numan itu. Ramuan si kakek itu dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lelah dan sakit pada otot-otot aki-bat amukannya yang banyak mengeluarkan tenaga. Panji harus banyak istirahat, tenaga yang dia umbar melebihi batas tenaga manusia biasa.

Eyang Wiku Ginting tersenyum melihat kedua mata Panji mulai terpejam. Itu menandakan ramuan obatnya mulai bekerja. Ketika Panji telah terlena, si kakek segera melakukan pemeriksaan secara teliti. Dan apa yang ditemukan sangat mengagetkan! Wajah tua itu pun muram seketika.

"Ada apa, Eyang? Apakah Kakang Panji dapat disembuhkan?" Tanya Kenanga yang berada agak jauh dari tempat Panji berbaring itu sambil melangkah. Namun gadis itu segera menahan langkahnya ketika melihat isyarat yang diberikan kakek itu. Kemudian, si kakek mendekati Kenanga yang berada di ruang tengah yang terpisah beberapa langkah dari tempat Panji berbaring.

"Maafkan Eyang, Cucuku. Setelah Eyang memeriksanya secara lebih teliti, rasanya apa yang diderita oleh pemuda itu tak dapat disembuhkan lagi," ujar Eyang Wiku Ginting berat hati.

"Jadi… jadi, Eyang...," Kenanga tak mampu meneruskan ucapannya. Sedetik kemudian, terdengar isak tangis yang membuat si kakek menjadi terharu. Kenanga menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.

"Sudahlah, Cucuku. Semua ini hanya dugaan Eyang saja. Siapa tahu Yang Maha Kuasa berkehendak lain sama sekali tidak kita ketahui," ujar Eyang Wiku Ginting menghibur.

"Berapa lama lagikah umur Kakang Panji, menurut Eyang?" Tanya gadis itu dengan sinar mata minta jawaban sejujurnya.

"Hm... mungkin hanya sekitar enam bulan lagi, Cucuku. Tapi, entahlah! Kita sebagai manusia hanya bisa menduga tanpa bisa menentukan."

"Ohhh... Kakang Panji...," gadis itu menangis sejadi-jadinya begitu ia mendengar keterangan Eyang Wiku Ginting.

********************

DUA

Pagi belum lagi datang. Kegelapan masih menyelimuti alam sekitarnya. Semenrara kokok ayam hutan mulai terdengar bersahut-sahutan, suara jangkrik pun masih terdengar menyemarak. Di tengah keremangan fajar yang mulai merekah, sesosok bayangan putih berkelebat cepat menuruni lereng gunung. Gerakannya yang ringan dan gesit menandakan sosok tubuh itu memiliki ilmu kepandaian yang sulit diukur. Terkadang sosok tubuh itu melayang bagai seekor burung besar yang tengah bermain di angkasa luas. Jubahnya yang putih melambai-lambai diterpa angin gunung.

Bayangan putih itu terus meluncur bagaikan dikejar setan. Sepertinya bayangan itu memang tengah menghindari sesuatu. Sesekali ia menolehkan kepala ke belakang seolah ia merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya. Di kaki langit sebelah Timur tampak cahaya kemerahan. Namun sosok bayangan putih itu masih terus berlari seolah-olah ia sama sekali tidak mengenal rasa lelah sedikit pun. Disaat matahari telah beranjak semakin tinggi, barulah sosok bayangan putih itu menghentikan larinya.

Sosok tubuh berpakaian putih itu ternyata adalah Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Peluh mengalir deras membasahi wajah dan tubuhnya. Pemuda tampan itu menjatuhkan dirinya di atas hamparan rerumputan hijau di tepi kali yang berair jernih. Pelahan-lahan diciduknya air jernih itu dengan kedua tangannya. Air itu disapukan ke wajahnya dengan penuh perasaan. Lama... pemuda itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kemudian, pelahan-lahan telapak tangan itu turun disertai helaan napas beratnya. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Adik Kenanga, maafkan aku. Aku terpaksa meninggalkanmu. Karena aku telah mendengar tentang pembicaraanmu dengan kakek itu. Aku tidak ingin membuatmu lebih menderita, karena memikirkan penyakitku ini Maafkan aku, Adik Kenanga," ucap Panji lirih. Wajah pemuda sakti itu terlihat dingin dan kaku. Senyum yang biasanya selalu menghias wajah tampan itu kini tidak terlihat lagi.

"Hhh...," keluh Panji kembali menutup wajah dengan kedua tangannya. Jelas sekali kalau ia merasa berat untuk meninggalkan wanita yang sangat dicintainya itu. Rupanya pada saat Eyang Wiku Ginting dan Kenanga membicarakan dirinya, rupanya Panji belum terlelap benar. Ia mendengar pembicaraan mereka. Itulah sebabnya mengapa pemuda itu meninggalkan tempat kediaman Eyang. Wiku Ginting pada waktu dini hari. la telah mengambil keputusan untuk tidak menyusahkan orang lain.

Setelah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya pemuda itu bangkit dari duduk. Ia bermaksud untuk kembali ke Gua Bukit Harimau untuk menemani gurunya. Ia ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya itu untuk membaktikan diri kepada sang guru. Setelah berpikir sesaat Pendekar Naga Putih meneruskan perjalanan, dan menyeberangi sungai. Pemuda itu gesit meloncat dari batu yang satu ke batu lainnya yang banyak tersebar di tengah sungai. Lalu ia masuk menyusuri hutan.

Hari mulai gelap ketika pemuda itu tiba di sekitar bukit. Ia memutuskan untuk beristirahat semalam di tempat itu. Baru saja ia mencari ranting untuk membuat api unggun, tiba-tiba badannya menggjgil kedinginan.

"Aaargh...!" Panji meraung kesakitan, sakit yang luar biasa. Tubuh pemuda itu berguling di atas tanah berumput halus. Sesaat kekuatan yang sangat dahsyat melonjak-lonjak di dalam tubuhnya, sehingga tubuh pemuda itu terbanting-banting di atas tanah. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang menyiksa, tubuhnya tiba-tiba terangkat bangkit. Untuk kemudian terhempas ke belakang bagai dihentakkan oleh sesuatu kekuatan yang tak tampak.

Bukkk! Kraaakkk!

"Aaakh...!" Panji meraung keras ketika tubuhnya menghantam sebatang pohon besar yang langsung berderak patah. Karena tak sanggup menahan azab yang menyiksa dirinya itu, Pendekar Naga Putih pun jatuh tak sadarkan diri. Di wajahnya masih terlihat seringai kesakitan. Tubuh Pendekar Naga Putih tergeletak lemah di bawah batang pohon yang tumbang akibat benturan tubuhnya.

********************

"Uhhh...," keluh Panji. Sinar matahari pagi yang hangat membuat ia terbangun. Pemuda itu meringis menahan sakit pada sekujur tubuhnya.

Pelahan-lahan ia memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat pucat dan lebam kebiruan. Rupanya hawa sakti yang merasuki tubuhnya mempengaruhi kulitnya. Keadaan Panji sangat menyedihkan. Tak ubahnya gembel gila penuh daki, dengan tertatih-tatih di-carinya sungai terdekat. Suara gemericik air sungai di balik bukit itu membuat Panji makin mempercepat langkahnya. la langsung menceburkan dirinya ke dalam air tanpa membuka pakaiannya. Setelah merasa tubuhnya agak segar, ia pun melompat naik.

"Hhh... tampaknya kekuatan aneh yang merasuk ke dalam tubuhku ini mulai menunjukkan akibat buruknya," gumam Panji sambil menghda napas dalam-dalam.

Setelah mengganti pakaiannya, pemuda itu pun kembali meneruskan perjalanan. Panji yang telah melihat kulit wajahnya berwarna agak kebiruan, ia segera menutup kepalanya sampai ke lutut agar tidak diketahui orang lain. Setelah agak lama berjalan, tampak di depannya perbatasan desa. Panji mempercepat langkahnya memasuki perbatasan desa itu. la berniat singgah sebentar guna mengisi perutnya, karena sejak kemarin perutnya belum diisi.

"Aneh, mengapa desa ini tampak sepi? Tak ada seorang petani pun yang tampak bekerja di sawah. Juga tak ada satu pun warga di jalan," gumam Panji seraya berhenti sejenak. la mulai curiga dilangkahkan kakinya pelahan-lahan sambil memperhatikan sekelilingnya. Pendekar Naga Putih mengerutkan kening ketika matanya menangkap beberapa sosok tubuh menggele-tak di tengah jalan. Dihampirinya enam sosok tubuh itu penuh curiga.

"Darah!" gumam Panji menyaksikan genangan darah di antara sosok-sosok tubuh yang menjadi mayat itu. "Kalau melihat dari mayat orang-orang ini, peristiwanya belum begitu lama terjadi," kata Panji yang hanya bisa menduga. Panji mengalihkan perhatiannya pada sebuah rumah sederhana yang letaknya paling dekat dengan mulut desa itu. Ia segera menghampiri, dan menarik pintu rumah yang telah rusak itu. Beberapa percikan darah mengotori daun pintu.

"Gila!" Panji memaki kasar ketika melihat apa yang disaksikannya. Lima sosok mayat yang terdiri dari wanita dan anak-anak bergelimpangan di ruang tengah yang porak-poranda itu, di antaranya ada kepala yang terpisah dari anggota badannya.

Panji bergegas lari keluar. Lalu diperiksanya seluruh rumah lainnya di sekitar mulut desa. Sungguh mengerikan! Apa yang ditemuinya benar-benar membuat darah pemuda itu mendidih! Seluruh penghuni rumah yang berada dekat mulut desa itu tewas tanpa tersisa satu pun!

"Biadab! Iblis dari mana yang telah mengamuk di desa ini? Kesalahan apa yang telah dibuat oleh penduduk desa ini sehingga begitu tega menghabisi mereka?!" geram Panji. Wajah pemuda itu memerah menahan rasa marah yang bergelora dalam dadanya. Panji marah sekali! Entah apa yang telah mengakibatkan seluruh penduduk desa itu dibantai habis. Siapa pula yang telah melakukan perbuatan keji ini, pikir Panji tak habis mengerti. Akhirnya Pendekar Naga Putih itu meninggalkan desa yang telah dilanda musibah. la sama sekali tidak memperoleh satu petunjuk pun, karena semua warga desa ini telah dibantai habis!

Kurang lebih setengah hari berjalan, Panji pun tiba di desa lainnya. Beberapa orang petani yang bersiap-siap hendak pulang, menoleh ke arah Panji. Me-reka terheran-heran melihat cara berpakaian pemuda itu. Tapi Panji tidak peduli diperhatikan para petani. Ia terus berjalan memasuki kedai makanan yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Orang-orang yang se-dang duduk memandangnya dengan curiga, tapi Panji tetap tenang memasuki ruangan kedai itu, dan ia memilih tempat duduk di bangku kosong yang berada di pojok ruangan. Pemuda itu makan dengan lahapnya, karena sangat lapar. Ia acuh tak acuh diperhatikan orang, dan nasi pesanannya habis dinikmatinya.

"Tidak salah lagi, pasti dialah si iblis keparat itu!" Bisik seorang tamu yang berkumis tebal kepada teman di sampingnya.

Kawarmya yang diajak bicara menatap Panji semakin tajam. Kedua alisnya bertaut, seolah ia tengah berusaha untuk mengingat-ingat tentang seseorang yang pernah dilihatnya. "Rasanya sulit aku memastikan dia. Lagipula peristiwa pembantaian itu terjadi pada malam hari. Aku sendiri berada agak jauh ketika si iblis itu beraksi," kata temannya ragu-ragu.

Panji duduk tenang di pojok kedai sambil melepaskan lelah. Pada saat itulah seorang lelaki berperawakan gemuk bersama dua orang temannya mendekati Panji dengan wajah sinis.

"Jangan biarkan lolos iblis keparat itu. Kaulah pembunuh yang kami cari," bentak lelaki gemuk lan-tang seraya mengayunkan pedangnya ke arah Panji yang tengah bersantai itu.

Brakkk!

Panji cepat mengelak, sehingga ayunan pedangnya melesat, menghantam meja. Makanan di meja jadi berantakan. "Sabar, Kisanak. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan itu," Panji berusaha menyabarkan orang yang naik pitam itu.

"Jangan berlagak bodoh, iblis Biadab! Heaaat...!" Dua orang kawan laki-laki gendut itu serentak ikut maju menyerang Panji. Senjata tajam mereka bersinar-sinar siap mengancam Panji.

Panji terkesiap Wajahnya pucat pasi. Tenaga dalam dirinya kembali bergejolak. Tidak disangka-sangka para penyerang itu sudah terlempar sebelum mereka mulai menyerang. Semua isi yang ada di kedai berantakan. Bukan main kagetnya mereka menyaksikan perubahan aneh pada diri Panji itu. Sekujur tubuh pemuda itu bersinar putih keperakan disertai hawa dingin. Pengaruh hawa dingin yang dikeluarkan Panji membuat mereka kedinginan sampai gigi mereka bergemeletuk.

"Aaahhh...!?" Panji sendiri terkejut melihat perubahan tubuhnya. la sadar bahwa kekuatan aneh dalam dirinya bisa mencelakakan orang lain, maka ia segera keluar meninggalkan kedai.

"Itu dia! Serbu...!"

Para penyerang itu berteriak-teriak mengepung Panji yang sudah berada di luar kedai. Lelaki gemuk menyuruh mereka untuk membekuk Panji.

"Hei, berhenti! Jangan serang aku! Kalian telah salah menuduh orang!" Seru Panji sambil mengangkat kedua tangannya dengan maksud memberi tanda agar belasan orang itu tidak menyerang. Celaka! Maksud baik Panji dengan cara mengangkat kedua tangannya justru menimbulkan kesulitan baru bagi dirinya. Melalui kedua tangannya hembusan deru angin keluar sendiri tanpa kemauan Panji. Para penyerang berjumpalitan dibuatnya.

"Iblis biadab! Terimalah pembalasan ini! Heaaat..!" Seorang laki-laki tinggi gagah dan berwibawa, melesat menusukkan ujung tombak ke tubuh Panji. Tombak itu sampai berdesing, menandakan bahwa dorongan tombak itu tidak dapat di anggap remeh.

Siuttt! Tukkk!

"Ahhh...!" Terdengar jerit kesakitan ketika ujung tombak tepat mengenai tubuh Panji. Tubuh laki-laki tinggi gagah itu terpental ke belakang. Wajahnya terlihat pucat. Sedang tombaknya sendiri telah patah menjadi tiga bagian.

"Hm...!" Penyerang itu menggeram mengerahkan tenaga dalamnya guna mengusir hawa dingin luar biasa yang merasuk ke dalam tubuhnya.

"Gila! Ilmu iblis apa lagi yang dipergunakan manusia biadab itu?" teriak si tinggi gagah penasaran bercampur gentar. "Ayo, kepung! Hati-hati dengan pukulannya yang dingin menusuk tulang itu!" Perintah laki-laki gagah itu sambil memperingatkan teman-temannya.

Tubuh Panji saat itu tengah bergemetar hebat! Rupanya pengaruh ujung tombak laki-laki itu telah membuat tenaga yang mengendap di dalam tubuhnya semakin bergerak liar.

"Heeeaaa...!" Panji meraung keras kesakitan yang menusuk-nusuk di dalam tubuhnya.

Para penyerang ketakutan melihat perubahan itu. Belasan orang terlempar dan jatuh bergulingan di tanah! Empat orang dari mereka yang memiliki ilmu kepandaian paling rendah, langsung menggelepar tewas! Dari mulut, hidung dan telinga mereka mengeluarkan darah segar. Rupanya raungan dahsyat Panji menyebabkan pembuluh darah di dalam tubuh korban pecah seketika. Dua belas orang lainnya yang memiliki kepandaian tinggi, bergulingan menjauhkan diri. Mereka diam-diam sangat kecut menghadapi Panji yang bukan tandingannya itu.

"Gila! Bagaimana mungkin dalam dua hari saja ilmu kepandaian iblis ini sudah meningkat demikian pesat! Aku jadi meragukannya, Kakang?" Ucap seorang laki-laki tinggi kurus kepada si tinggi gagah bergetar.

"Hm... aku pun mulai meragukannya, Adi Palasa? Tapi bagaimana mungkin kalau dia bukan dari kelompok iblis itu? Lihat saja cara berpakaiannya! Bukankah jarang sekali orang-orang persilatan yang mengenakannya?" Sahut si tinggi gagah meyakinkan teman-nya yang bernama Adi Palasa itu.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Kakang? Jelas kita tidak akan mampu untuk menghadapinya. Karena ilmu kepandaian yang dimiliki orang berkerudung itu rasanya tidak mungkin dapat tertandingi!" Ujar Palasa kepada kawannya bagaikan orang yang putus asa.

Kedua orang itu segera menghentikan pembicaraannya ketika mereka melihat Panji yang mereka kepung itu telah menggerak-gerakkan tangannya ke arah mereka.

"Awaaasss...!"

Duaaarrr!

Terdengar ledakan dahsyat disusul robohnya sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan didepan kedai. Untunglah laki-laki tinggi gagah yang rupanya memimpin belasan orang itu sempat memperingatkan kawan-kawannya, sehingga kedua belas orang itu dapat terhindar dari pukulan maut yang dapat mencerai-beraikan tubuh mereka. Peristiwa itu sangat mengerikan! Mereka terpaku dicekam ketakutan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Kakang, bagaimana ini? Tidak mungkin kita melawannya?" Bisik Palasa yang lebih dulu tersadar mengingatkan laki-laki tinggi besar itu bahwa keadaan mereka benar-benar berbahaya!

"Lebih balk kita sembunyi saja sekarang. Nanti kalau orang berkerudung itu meninggalkan tempat ini, baru kita ikuti dari jauh!" Jawab laki-laki gagah itu terpaksa mengambil keputusan yang amat bertentangan dengan kebiasaan pada dirinya. Setelah berkata demikian, ia pun bergegas hendak meninggalkan tempat itu.

Paji yang pandangannya mulai samar karena pengaruh kekuatan yang menguasainya, kembali mendorongkan telapak tangannya. Kembali deru angin dingin berhembus keras.

Whuuusss! Brooolll!

Kesadaran Panji yang telah dipengaruhi kekuatan dahsyat membuat ia tidak dapat lagi melihat dengan baik. Sehingga sasaran pukulannya pun tidak lagi terarah. Kali ini pukulan mautnya menghantam sebuah pondok kayu yang langsung berderak karena tiang penyangganya telah patah akibat pukulan jarak jauh pemuda itu. Betapa luar biasanya tenaga sakti yang mengendap dalam tubuh pemuda itu.

"Luar biasa! Kalau begini caranya, siapa pula yang akan sanggup menghadapi manusia iblis itu?" kata Palasa sedih.

"Hhh...," gumam laki-laki tinggi gagah yang bersembunyi di sebelah Palasa menghela napas berat. Rupanya ia juga memikirkan hal yang sama dengan kawannya itu. "Eh, lihat! Iblis itu muntah darah! Wah, rupanya ia menderita luka dalam yang cukup parah. Entah siapa manusia sakti yang melukai pemuda itu," suaranya terperangah.

Dari jauh tampak Panji temuyung-huyung mendekap dadanya la terbatuk-batuk dengan mulut me-nyemburkan darah. "Ouuuh... uhuk... uhuk...!" Sambil terbatuk-batuk, Panji berlari meninggalkan desa itu. Gerakan pemuda itu terlihat goyah karena kedua kakinya agak gemetar.

"Hei, dia melarikan diri! Ayo kejar!" teriak laki-laki tinggi gagah itu kepada kawan-kawannya. la langsung melesat memburu Panji yang melarikan diri, dan diikuti teman yang lainnya.

********************

TIGA

Sinar rembulan yang biasanya mcnerangi malam, bersembunyi di balik gumpalan awan. Angin dingin berhembus keras disertai gerimis. Suasana malam kian mencekam. Sesekali tampak kilat bersinar terang disusul gelegar sambaran petir! Sehingga suasana malam itu demikian sunyi dan mencekam. Jalan utama di Desa Jati Alur, tampak lengang dan sepi. Tak seorang penduduk pun terlihat melintas di jalan itu Sepertinya mereka enggan keluar pada saat seperti ini. Rupanya mereka lebih suka tinggal di dalam rumah bersama istri dan anaknya.

Namun tak seorang pun yang akan menyangka kalau pada malam ini sesosok tubuh berkerudung berjalan seorang diri di tengah gerimisnya malam. Langkah kakinya tampak tenang dan tidak terlihat terburu-buru. Seperti, ia sama sekali tidak merasa terganggu oleh cuaca yang buruk itu. Sosok tubuh tinggi sedang dan berkerudung itu terus menyusuri jalan utama Desa Jati Alur. Wajahnya yang tersembunyi di balik kerudung tampak dingin dan kaku. Sorot matanya tajam dan menakutkan! Seandainya ada seorang penduduk desa yang kebetulan melihatnya, pastilah orang itu akan lari terbirit-birit.

Orang berkerudung itu terus berjalan dengan tegar tanpa menoleh sedikit pun. Tiba-tiba ia berhenti sejenak di depan sebuah bangunan tembok yang kokoh. Bangunan tembok itu letaknya hampir di dekat perbatasan Desa Jati Alur. Sesaat diperhatikannya papan nama yang tergantung di atas pintu gerbang bangunan itu. Kemudian, tubuh berkerudung itu melayang bagaikan seekor burung rajawali. Dalam sekejap tubuhnya menghilang di balik tembok bangunan yang kokoh itu.

Begitu tubuhnya mendarat di tanah pekarangan perguruan itu, sepasang matanya bergerak kaku merayapi sekitarnya. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju gedung perguruan itu. Sikapnya tam-pak tenang sekali, ia sama sekali tidak peduli kalau kedatangannya akan diketahui penghuni gedung itu. Baru saja beberapa langkah ia bergerak, tiba-tiba terdengar bentakan keras disusul munculnya empat orang bersenjata tombak.

"Hei, berhenti! Siapa kau?" Gertak salah seorang dari empat orang itu galak.

Tapi si orang berkerudung sama sekali tidak mempedulikan teguran itu. Kakinya terus saja melangkah seolah-olah ia tidak mendengar teguran mereka. Sehingga membuat mereka menjadi marah.

"Hei, keparat! Apakah kau tuli? Berhenti atau senjataku yang akan berbicara!" Bentak yang lain. Siap menodongkan mata tombaknya.

Si orang berkerudung terus... dan terus berjalan. Sosok tubuhnya yang tegar memperlihatkan dirinya tidak gentar ancaman salah seorang penjaga!

"Keparat! Lihat serangan!" teriak seorang penjaga seraya menusukkan mata tombak ke perut lawannya.

Wuuut! Tappp!

"Aaah...!" Si penjaga berteriak kaget ketika tahu-tahu saja tombaknya telah ditangkap si orang berkerudung. Bersamaan dengan itu si penjaga terangkat ke atas. Kemudian diputar-putamya tombak itu.

"Haiii..., Kakang tolong...!" si penjaga berteriak-teriak ketakutan memangil kawan-kawannya. Tapi sebelum kawannya sempat menolong, tahu-tahu saja mata tombak telah merobek perutnya.

"Hhhkkk...!" Darah mengalir dari mulut dan perutnya. Matanya terbeliak bagaikan hendak keluar. Seluruh wajahnya menegang menahan rasa sakit!

"Iblis keji! Rupanya kau sengaja membuat keonaran di sini!"

Teriak seorang penjaga lainnya. Tanpa banyak cakap lagi ia pun menerjang si orang berkerudung yang masih berdiri tegak memegang ujung tombak. Dan pada saat penjaga berikut menyerang lagi dengan ketiga mata tombaknya, si orang berkerudung segera melemparkan mayat si penjaga yang tertembus tombak ke arah kawan-kawannya.

"Aaah...!"

Cappp! Jreppp!

Tanpa dapat dicegah lagi, tiga mata tombak itu pun menancap tubuh si penjaga yang telah menjadi mayat itu. Para penjaga sampai tidak menyadari keadaannya, si orang berkerudung sudah melesat dengan sekali tamparan menyapu kepala mereka. Ketiga orang penjaga itu tak sempat lagi berteriak karena kepala mereka pecah akibat tamparan maut si orang berkerudung yang amat kuat. Mereka pun roboh bermandikan darah. Malang sekali nasib keempat orang penjaga itu.

"Kurang ajar! Kita terlambat, Kakang!" Kata seorang penjaga dengan suara berat menemukan teman-temannya telah menjadi mayat. Di belakangnya berdiri pula para penjaga lain.

"Ahhh... benar-benar keparat sekali manusia ini!" Seru yang lainnya terkejut ketika melihat mayat keempat orang penjaga yang bernasib sial itu. Wajahnya terlihat menegang karena emosinya telah bangkit begitu melihat mayat-mayat itu.

"Hm..., Penjagal Alam Akherat! Hari ini kau tidak akan lolos dari tanganku! Lihatlah di sekelilingmu!" Ujar seorang laki-laki pendek kekar bernada geram.

Mendengar perkataan itu si orang berkerudung tertawa dingin. Ia menganggap ucapan orang itu hanya gertak sambal. Namun, si orang berkerudung agak gentar melihat di sekeliling tempat itu telah muncul puluhan api obor. Suasana di sekitar pekarangan perguruan tampak terang benderang.

"Ha ha ha... lebih baik engkau menyerah secara baik-baik, manusia haus darah. Agar kami dapat memenggal kepalamu sekaligus!" Ejek laki-laki pendek kekar tertawa keras.

Sejenak orang yang dijuluki Penjagal Alam Akherat ragu melihat demikian banyaknya orang yang mengurung tempat itu. Sepasang matanya mulai liar mencari jalan keluar. Tapi belum lagi ia sempat akan kabur, mendadak belasan orang muncul dari dalam gedung.

"Serang...!" Seru si lelaki gagah mengibaskan tangannya kedepan. Setelah berkata demikian, ia pun segera melesat mengayun-ayunkan pedang disertai slutan-siutan tajam.

Wuttt!

Dengan gerakan gesit si orang berkerudung berhasil mengelakkan, lalu ia balas pula dengan tamparan mautnya ke kepala lawan. Si lelaki gagah memiringkan kepalanya sambil melepaskan pukulan tangan kirinya ke arah lambung si orang berkerudung itu.

Bukkk!

"Uuuhhh...!" Pukulan si lelaki gagah tepat menghantam lambung lawan. Anehnya tubuh lawannya tidak apa-apa, malah ia sendiri berbalik yang terjajar mundur sambil memekik kesakitan! Jari-jari tangannya terlihat agak sedikit membengkak, akibat kalah kuat beradu de-ngan si orang berkerudung.

"Gila! Tubuh si iblis keparat itu tak ubahnya se-batang besi baja panas! Hati-hati, kawan-kawan! Berita tentang kesaktian Penjagal Alam Akherat itu benar!" Teriak laki-laki gagah memperingatkan kepada teman-temannya.

"Jangan khawatir, Adi Salangi! Aku ingin melihat sampai di mana kekuatan tubuh iblis ini? Apakah ia akan mampu menahan ilmu pukulanku yang ber-nama 'Tapak Pembeku Darah' ini!?" Sahut laki-laki pendek bertubuh kekar geram. Setelah berkata demi-kian si pendek kekar yang berjuluk Tapak Maut itu memutar kedua tangannya hingga menimbulkan deru angin tajam menggebu-gebu.

"Iblis, sambutlah! Hiaaattt...!"

Disertai teriakan yang mengguntur, si tubuh pendek melesat sambil membentangkan kedua tangannya Hebat sekali orang yang dijuluki Pendekar Tapak Maut. Meski pun tubuhnya pendek, namun gerakannya demikian gesit dan lincah.

Wuttt! Wuttt!

Dua buah tamparan yang dilancarkan si Pendekar Tapak Maut mengenai tempat kosong karena Penjagal Alam Akherat sudah lebih dahulu menghindarkan dirinya ke arah samping. Secepatnya menghindar, secepat itu pula tangan kanannya terulur menjambret wajah lawan. Angin pukulan orang berkerudung itu terdengar mencicit tajam dan menebarkan bau harum yang memabukkan.

"Bangsat licik!" Teriak si Pendekar Tapak Maut terkejut ketika ia mencium bau racun yang memabukkan itu. Cepat ia mengibaskan tangan kanannya memapaki serangan si orang berkerudung.

Dukkk!

"Aiiihhh...!" Si Pendekar Tapak Maut memang berhasil menepis pergelangan tangan lawan sehingga serangan cakar lawan melenceng ke samping. Tapi tenaganya masih kalah kuat oleh si orang berkerudung, maka tubuh pendek itu pun terlempar ke belakang sejauh empat tombak. Dari bibirnya tampak mengalir darah segar.

"Setan! Tenaga dalam iblis itu ternyata masih dua tingkat diatas tenagaku. Hm... Benar-benar lihai sekali kepandaian Penjagal Alam Akherat itu. Entah siapa dia sebenarnya? Dan apa pula maksudnya mengacaukan dunia persilatan?" Ujar Pendekar Tapak Maut. Penasaran karena ilmu yang dibangga-banggakan selama ini ternyata tidak ada artinya di hadapan Penjagal Alam Akherat.

"Sudahlah, Kakang Jarga Lawa. Lebih baik cepat kita bereskan iblis itu sebelum ia berhasil meloloskan diri dari kepungan kita!" Ajak orang tinggi gagah yang bemama Salangi mengingatkan betapa berbahaya jika orang berkerudung itu sampai meloloskan diri.

"Hm... baiklah! Anak-anak, cepat siapkan jaring dan tali!" Perintah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut kepada orang-orang yang memegang obor.

Sementara itu, si orang berkerudung masih bertarung sengit menghadapi belasan pengeroyoknya. Gerakan-gerakan kelima belas orang laki-laki itu sepertinya memang sengaja hanya untuk memancing kemarahan si orang berkerudung. Kelima belas orang itu sesekali melakukan balasan kalau dalam keadaan benar-benar terdesak. Mereka hanya menghindar dan saling melindungi dengan maksud agar lama kelamaan si orang berkerudung akan semakin melemah tenaganya.

Namun, meskipun si orang berkerudung selalu melancarkan serangan-serangan maut yang membutuhkan banyak tenaga. Anehnya kekuatan daya serangnya sama sekali tidak berkurang, seolah-olah Penjagal Alam Akherat itu memiliki sumber tenaga yang tak pernah habis. Hingga lama-kelamaan para pengeroyok itu merasa kelelahan.

"Gila! Tenaga si iblis itu tak ada habisnya!” seru salah seorang pengeroyok itu dengan napas tersengal-sengal.

Kawan-kawannya tidak ada yang menyahut. Karena saat itu mereka benar-benar kerepotan menghadapi gempuran-gempuran si orang berkerudung yang semakin gencar.

"Mundurrr...!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras menyuruh ke lima belas orang itu mundur. Ketika mereka berlompatan mundur, sebuah benda hitam halus menebar jatuh ke arah si orang berkerudung.

"Heaaat...!"

Whuuus!

Melihat adanya sesuatu benda halus yang menebar di sekelilingnya, orang berkerudung itu pun bergegas mendorong, sepasang telapak tangannya ke atas. Serangkum angin pukulan yang amat kuat keluar. Empat buah jala halus yang ditebarkan itu membalik dan menutupi tubuh ke empat orang yang melemparkannya. Keempat orang itu berteriak dan meronta-ronta melepaskan dirinya yang terkurung dalam jala.

Tolong... tolong,.. tolooong...!"

Keempat orang itu menjerit-jerit ketakutan karena tak mampu melepaskan diri dalam kurungan jala itu. Berbarengan dengan membaliknya keempat jala halus itu, kaki orang berkerudung itu langsung menjejakkan kakinya. Ia berjumpalitan beberapa kali di udara, dan terus meluncur menuju atas tembok perguruan itu. Si orang berkerudung berusaha meloloskan diri dari kepungan.

"Hujani dengan panah...!" Si Pendekar Tapak Maut berteriak memberi perintah. Setelah itu tubuhnya langsung melesat diikuti Salangi dan empat orang lainnya mengejar si orang berkerudung.

Werrr! Werrr! Werrr!

Puluhan anak panah menghujani Penjagal Alam Akherat yang melayang di udara. Secepat itu pula ia menangkis serangan anak panah dengan kibasan jubahnya.

"Hiah!"

Trak! Trak! Trak!

Puluhan batang anak panah berjatuhan ke tanah akibat kibasan jubah si orang berkerudung. Belum habis menarik napas Iega, datang lagi serangan berikut. Dua anak panah yang lebih kuat dari puluhan batang anak panah sebelumnya melesat. Dan....

Jreppp! Jrebbb!

"Aaakh...!" Si penjagal Alam Akherat terpekik kesakitan ketika dua anak panah yang terakhir menancap pangkal lengan dan dada kirinya. Seketika ia terjungkal ke bawah. Namun dengan gesit tubuhnya berputar-putar dan mendarat di luar bangunan perguruan itu.

Sambil mengigit bibirnya kuat-kuat, panah itu berhasil dicabut dan langsung dilemparkan ke arah dua orang yang mengejarnya. Tak pelak lagi, panah itu menewaskan mereka seketika. la segera melesat melarikan diri meninggalkan tempat itu. Tubuhnya berkelebat cepat melintasi jalan utama Desa Jati Alur.

"Kejar...! Dia sudah terluka. Tidak mungkin dapat berlari jauh!" teriak si Pendekar Tapak Maut mengobarkan semangat kawan-kawannya.

Suasana malam yang semula gelap dan sunyi menjadi ramai. Jalan utama Desa Jati Alur terang benderang oleh puluhan api obor, hingga suasana malam itu menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan puluhan orang tokoh persilatan yang melakukan pe-ngejaran terhadap si orang berkerudung atau Penjagal Alam Akherat itu.

Si orang berkerudung terus mempercepat larinya dengan gerakan ringan berloncatan dari satu pohon ke pohon lain yang banyak tumbuh di desa itu. Larinya agak terganggu karena lukanya cukup parah dan banyak mengeluarkan darah. Kemudian, ia berhenti sejenak, tangan kanannya bergerak cepat melakukan totokan pada bagian lukanya guna mengurangi luka-nya yang terus-menerus mengeluarkan darah. Setelah ia yakin Iuka yang dideritanya berhenti mengeluarkan darah, ia meneruskan larinya lagi. Karena di belakangnya terdengar langkah-langkah kaki beberapa orang yang berlari mendekatinya.

Sementara itu di tengah sebuah hutan kecil yang letaknya tidak jauh dari Desa Jati Alur, seorang pemuda sedang menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun. Pemuda itu tidak lain adalah Panji, ia ber-maksud ingin bermalam di dalam hutan. la termenung memikirkan kejadian yang terus saja dialaminya. Keningnya berkerut dalam la mencoba untuk mencari-cari apa yang menyebabkan orang-orang itu menganggapnya sebagai iblis pembunuh.

"Hm.. Mungkin kejadian yang kualami tadi ada kaitannya dengan peristiwa terbantainya seluruh penduduk kampung yang kulewati kemarin. Kalau begitu, dunia persilatan saat ini sedang tercemar dengan seorang pembunuh keji," gumam Panji menyimpulkan.

Mendadak Panji bangkit berdiri dari duduknya. Pendengarannya yang terlatih itu mendengar langkah-langkah kaki yang terseok-seok mendekati ke arahnya. Kemudian Panji bergegas memadamkan api unggunnya agar tidak terlihat oleh suara yang mencurigakan itu. Tubuh pemuda itu pun sudah melen-ting ke atas pohon yang berdaun rimbun. la melepaskan pandangannya ke arah datangnya suara itu

Tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang berkerudung lari terseok-seok menuju anak bukit. Panji menduga orang berkerudung itu menderita luka, karena berjalan susah payah. Melihat ciri-ciri orang itu, Panji teringat akan pengalamannya ketika dikeroyok belasan orang di kedai yang disangka ia adalah pembunuhnya karena berpakaian seperti itu. la langsung melesat mengejar sosok berkerudung itu.

"Orang itu pastilah ada hubungannya dengan pembunuh keji, serta buronan penduduk desa," gumam Panji bergegas turun dari pohon. Teka-teki itu harus dipecahkan. Panji tidak mau kehilangan jejak, ia pun mengejarnya.

"Sahabat, berhentilah...!" Seru Panji hampir dekat.

Orang berkerudung itu terkejut setengah mati ketika mendengar ada orang yang menegurnya di tengah hutan. la berhenti sejenak lalu pelahan-lahan membalik-kan badannya dan menatap ke arah orang yang menegurnya. Jelas sekali terlihat kalau si orang berkerudung itu semakin terkejut ketika melihat pakaian yang dikenakan Panji. Sepasang mata yang semula menyipit terbuka lebar-lebar. Diperhatikannya sosok tubuh Panji dari atas hingga ke bawah penuh selidik.

"Siapa kau?!" Tegur si orang berkerudung dingin, dan parau.

Panji melepaskan kerudungnya, dan dibiarkan terjuntai di bawah lehernya. Sehingga wajah pemuda itu tampak terlihat agak jelas. Apalagi saat itu sang rembulan pun sudah mulai muncul menerangi permukaan bumi. Wajah Panji yang dingin dan kaku itu membuat si orang berkerudung meragu sejenak.

"Hm... seharusnya akulah yang bertanya kepadamu! Apa maksudmu menyembunyikan wajah dengan memakai kerudung di kepala itu! Apa pula keperluanmu berkeliaran pada malam-malam begini?" Tanya Panji dengan suara berat dan dingin.

Kedua orang itu saling memandang dengan sikap penuh waspada. Keduanya membisu beberapa saat.

EMPAT

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si orang berkerudung mulai mengulurkan tangannya ke depan. Serangkum angin keras berkesiutan ke arah Panji. Rupanya Penjagal Alam Akherat itu bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul!

Panji terkejut merasa sambaran yang begitu kuat ditimbulkan oleh pukulan orang berkerudung itu. la pun bangkit melawan dengan tenaga sakti yang masih liar itu dalam dirinya yang mulai bergolak menyerangnya itu.

Blubbb!

"Aaa...!" Terdengar suara letupan kecil ketika dua gelombang tenaga sakti itu bertemu di tengah-tengah. Si orang berkerudung berseru terpatah-patah. la terjajar mundur sejauh empat langkah. Sejenak seolah ia tak percaya dengan apa yang dirasakannya saat itu.

Sedangkan tubuh Panji kembali dibalut kabut bersinar putih keperakan. Hawa malam berhembus semakin dingin, sehingga membuat orang berkerudung itu menggigil sesaat Namun, dinginnya udara malam sudah tidak mengganggunya lagi. Sebenarnya tenaga sakti yang dimiliki orang berkerudung sangat hebat! Kalau saja Pendekar Naga Putih alias Panji belum dirasuki tenaga sakti yang masih liar itu, pastilah ia tidak akan sanggup menangkal dorongan telapak tangan si orang berkerudung yang dijuluki Penjagal Alam Akherat itu.

"Hm!" Panji mendengus gusar. Tenaga liar yang bergejolak di dalam tubuhnya semakin kuat melonjak-lonjak, sehingga Panji menyeringai sejenak menahan rasa nyeri yang mengigit la cepat menjulurkan kedua tangannya melakukan dorongan untuk melumpuhkan si orang berkerudung itu.

Wusss!

"Aaahhh...!" Si orang berkerudung menghindar ke samping ketika mendapat serangan dari Panji. Dan secepat kilat ia melancarkan serangan balasan ke leher Panji. Desis angin pukulan yang mencicit tajam menandakan kalau tenaga sakti yang dimiliki orang itu memang sangat kuat dan mematikan!

Mendapat serangan balasan yang berbahaya, Panji segera mengegoskan kepalanya dan langsung melontarkan tamparan telapak tangannya ke kepala orang berkerudung itu.

Wuttt! Brakkk!

Sebatang pohon sebesar tubuh orang dewasa, berderak patah ketika tamparan Panji berhasil dielakkan lawannya lalu menghantam pohon itu keras. Si orang berkerudung sudah melompat mundur dan mempersiapkan serangan berikutnya.

"Kreeeaaa...!" Sambil meraung bagaikan binatang buas yang murka, tubuh orang berkerudung itu melesat melakukan serangan maut ke arah Panji. Sambaran-sambaran angin pukulannya berkesiutan hingga menimbulkan hembusan angin kencang.

Panji meloncat menghindari serangan yang mengancam jalan darah di tubuhnya. Sesekali terlihat dibalasnya pukulan-pukulan maut itu. Pertarungan dua orang sakti itu mem-buat daerah sekitar hutan kecil itu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk angin topan yang hebat!

"Heaaat..!" Tiba-tiba Panji memekik nyaring hingga di sekitar tempat itu bagai dilanda gempa. Tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa ke arah orang berkerudung itu. Kedua tangannya terayun silih berganti melontarkan pukulan-pukulan.

Si orang berkerudung sama sekali tidak menyangka kalau di dalam hutan kecil itu ia menemui lawan yang sangat tangguh dan tegar! la sempat dibuat kalang-kabut, melihat serangan yang tak mungkin dapat dihindarinya itu, Penjagal Alam Akherat mengangkat kedua tangannya menangkis serangan Panji. Dan....

Dukkk! Dukkk!

"Aaakh...!" Suara benturan yang ditimbulkan beradunya dua pasang lengan itu telah membuat tanah di sekitar tempat itu bergetar. Sehingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.

Si orang berkerudung menjerit. Tubuhnya terlempar deras bagaikan sehelai daun kering yang diterbangkan angin. Darah segar menyembur dari mulutnya. Dan terbanting di tanah berumput sambil menggigil bagaikan orang terserang demam hebat! Gigi-giginya bergemelutuk tanpa dapat di cegah. Panji berdiri tegak memandangi tubuh orang berkerudung yang masih berusaha membebaskan dirinya dari serangan hawa dingin yang hampir tak tertahankan oleh nya itu.

"Hm...," gumam Panji, seraya diangkat tangannya pelahan-lahan ke atas. Rupanya pemuda itu berniat menghabisi nyawa si orang berkerudung itu yang hanya memandang pasrah.

"Tahan...!" Tiba-tiba Panji dikagetkan bentakan keras, yang membuat Panji menahan gerakannya. Belum lagi ge-ma suara itu lenyap, tahu-tahu beberapa sosok tubuh berlompatan ke tempat itu. Mereka adalah Pendekar Tapak Maut dan kawan-kawannya yang tengah mengejar si orang berkerudung itu. Jarga Lawa yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut terpaku sejenak ketika melihat raut wajah Panji yang dingin dan kaku itu. Tanpa sadar ia mundur selangkah de-ngan wajah agak pucat.

"Ki.... Kisanak, siapakah kau...?" Tanya Pendekar Tapak Maut ragu. Dikiranya Panji adalah kelompok Penjagal Alam Akherat. Karena melihat cara berpakaian pemuda itu memang mirip dengan si orang berkerudung. Hanya saja saat itu kerudung Panji tergantung di belakang lehernya.

"Namaku Panji. Dan orang-orang menjuluki aku sebagai Pendekar Naga Putih," selama berkecimpung dalam dunia ramai, baru kali inilah Panji menyebut-kan sendiri gelarnya Hal itu dilakukan guna menghindarkan kesalahpahaman di antara mereka.

"Pendekar Naga Putih...!" Gumam Jarga Lawa dan tujuh orang kawan-kawannya terkejut.

"Aku sedang bermalam di hutan kecil ini ketika orang aneh itu kulihat berlari seperti menghindari sesuatu Aku terpaksa menghentikannya karena aku mencurigainya," lanjut Panji menerangkan duduk persoalannya.

"Hm...," gumam Jarga Lawa. la belum yakin apa yang dikatakan Panji. Namun, ia juga tidak mau terang-terangan menuduh Panji musuhnya. Sebab, ia sadar orang yang diajak bicara bukan orang sembarangan.

"Aku tahu, para sahabat pasti mencurigaiku karena pakaianku mirip dengan orang ini. Tapi percayalah. aku berkata apa adanya," ujar Panji lagi meyakinkan mereka.

"Hhh... maafkan kami, Kisanak. Kami harus berhati-hati dalam menghadapi setiap orang asing yang kami temui. Apalagi pakaian Kisanak sangat mirip dengan orang-orang berkerudung yang belakangan ini seringkali melakukan pembunuhan yang kekejamannya melebihi iblis," tukas Jarga Lawa merasa tak enak mendengar ucapan Panji.

"Eh, jadi orang berkerudung itu tidak cuma satu?" Tanya Panji heran.

"Itu baru dugaan kami saja, Kisanak. Pernah terjadi beberapa pembunuhan. Dalam waktu bersamaan. Menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuhnya adalah orang-orang yang mengenakan kerudung seperti itu," ujar Jarga Lawa dengan nada sedih. "Nantilah aku ceritakan seluruhnya, Pendekar Naga Putih. Sekarang sebaiknya orang itu kita bawa ke perguruan guna mendapat kepastian, untuk kita usut," lanjut laki-laki pendek kekar itu sambil memerintahkan para pengawalnya untuk mengangkat si orang bertopeng yang kini dalam keadaan pingsan. Belum lagi dua pengawal Jarga Lawa akan mengangkat tubuh si orang berkerudung, tiba-tiba dua sosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh orang berkerudung yang tergolek pingsan itu. Sambil menyambar tubuh orang pingsan itu, tangan mereka mengibas ke kiri dan kanan.

Wuttt! Wuttt!

"Aaahhh...!" Hebat sekali serangan yang ditimbulkan oleh kibasan tangan sosok bayangan hitam itu. Jarga Lawa dan kawan-kawannya terpental didorong oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak. Tubuh kedelapan orang itu bergulingan guna mematahkan kibasan serangan gelap yang dilakukan oleh orang berkerudung itu yang amat kuat. Kedua sosok bayangan yang juga berkerudung itu, terus melesat tanpa mempedulikan Jarga Lawa dan para pengawal. Kedua sosok bayangan itu berlari sambil membawa tubuh temannya yang sekarat itu.

"Hei, berhenti...!" Panji berteriak sambil memburu kedua sosok bayangan itu. Tubuh Panji melayang. Sehingga dalam beberapa kali lompatan, tubuh pemuda itu mendarat didepan dua orang berkerudung yang menjadi terkejut setengah mati, tidak disangka kalau mereka akan terkejar.

"Hm... mau lari ke mana kalian?" Seru Panji berusaha mencegah buronan itu kabur.

Kedua buronan salmg berpandangan satu sama lain, dan keduanya mengangguk berbarengan. Mereka berbalik ke arah Panji serempak seraya berseru lantang.

"Hiaaat!"

Wusss!

Angin keras menderu tajam ketika dua orang berkerudung itu mendorong telapak tangan mereka masing-maang, Pemuda itu pun mengangkat kedua tangannya yang langsung didorong menyambut dorongan dua orang berkerudung itu. Sehingga....

Blarrr!

"Aaa...!"

Terdengar suara ledakan dahsyat yang bagaikan hendak meruntuhkan gunung. Beberapa batang pohon yang tumbuh dekat mereka roboh seketika dan memperdengarkan suara ribut! Benar-benar hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu!

Jarga Lawa dan kawan-kawannya yang telah sampai itu dapat menyaksikan dari kejauhan terdorong mundur dengan wajah pucat pasi. Dada mereka bagaikan digedor oleh sesuatu kekuatan raksasa yang tak tampak! Cepat mereka menjatuhkan diri dan bersemadi guna menenangkan debaran dalam dada mereka.

Sedangkan tubuh kedua orang berkerudung itu terhempas ke belakang beserta sosok tubuh yang dibawanya terpental dengan kerasnya sehingga darah segar menyembur dari mulut kedua orang berkerudung itu. Untunglah kedua orang berkerudung itu dalam melakukan penyerangan dibarengi penyatuan tenaga dalam saktinya. Kalau tidak, pastilah tulang-tulang tubuh kedua sosok berkerudung itu akan remuk, akibat dahsyatnya tenaga sakti liar yang mengeram dalam tubuh Panji. Secepatnya dua orang berkerudung berbalik menghampiri tubuh kawannya yang tergeletak pingsan itu langsung membopongnya serta melakukan beberapa kali salto di udara dan terus menghilang dalam kegelapan malam yang mulai beranjak dini hari.

Panji sendiri, tidak menderita cidera. Pemuda itu hanya tergempur kuda-kudanya. Sehingga tubuhnya hanya terdorong mundur sejauh delapan tindak. Wajahnya yang tetap dingin dan kaku tanpa emosi sedikit pun membuat ia tidak sempat mengejar lawannya karena keburu menghilang.

Didepan Panji terlihat Jarga Lawa bersama kawan-kawannya. Panji melangkah pelahan menghampiri delapan laki-laki gagah yang tengah melakukan semadi. Ditatapinya wajah orang-orang itu satu persatu seolah ia ingin menegaskan kalau-kalau ada di antara mereka yang telah dikenalnya. Pemuda sakti itu menghela napas berat ketika melihat tidak satu pun di antara kedelapan orang pendekar itu yang dikenalnya. Akibat dari tenaga sakti liar itu membuat dirinya menjadi linglung.

Pemuda tampan itu pun melangkah menjauh dan menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Dilayangkan pandangannya ke arah orang-orang berkerudung yang melarikan diri. Ia terpaksa harus menunggu tokoh-tokoh itu menyelesaikan semadinya. Karena ia ingin memperoleh keterangan secara lebih jelas mengenai orang-orang berkerudung yang berjuluk Penjagal Alam Akherat itu.

Panji menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahnya. Tampak seorang laki-laki pendek gemuk dan kekar tengah menghampirinya. Laki-laki itu tak lain adalah Jarga Lawa. Setelah menyelesaikan semadinya dan melihat Pendekar Naga Putih masih berada di tempat itu, maka ia pun bergegas mendekatinya.

"Kau tidak apa-apa, Pendekar Naga Putih?" Tegur Jarga Lawa agak sedikit khawatir.

"Terima kasih, Paman. Aku tidak apa-apa. Kuharap Paman sudi memanggilku dengan nama Panji saja," sahut Panji tersenyum. Pemuda itu tidak sadar kalau senyumnya itu lebih mirip seringai daripada senyum yang dimaksudnya.

"Hm...," gumam Jarga Lawa. "Aneh, mengapa pendekar muda yang sangat sakti ini seperti orang sedang menderita sakit? Wajah tampan itu begitu pucat dingin dan kaku. Hm... Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Dan tampaknya ia tidak ingin melibatkan orang lain dalam persoalannya itu," kata Pende-kar Tapak Maut dalam hati. Ia juga tidak mau mengutarakan kepada Panji karena ia tidak ingin melibatkan dirinya dalam persoalan pendekar ini yang sepertinya tidak ingin diketahui orang lain.

"Marilah singgah di tempatku, Nak Panji. Bukankah aku sudah berjanji akan menceritakan persoalan yang masih gelap ini kepadamu," ajak Pendekar Tangan Maut ramah kepada Panji.

"Baiklah, Paman!" sahut Panji singkat mengikuti pendekar itu yang juga telah mengajak kawan-kawannya.

Lalu mereka pergi meninggalkan hutan. Sinar bulan keperakan menerangi rombongan pendekar. Dari kejauhan lapat-lapat terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan menyambut pagi.

EMPAT

"Sabarlah, Cucuku. Jangan kau turuti kata hatimu," ujar si kakek menghibur kepada seorang gadis jelita berpakaian serba hijau.

Gadis jelita itu tidak lain adalah Kenanga. la menunduk sedih dihadapan kakek yang tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting. Kakek sakti itu membelai rambut kepala gadis yang sudah dianggapnya sebagai cucunya sendiri.

"Tapi, Eyang, saya harus menyusul Kakang Panji. Saya khawatir akan keselamatannya," kata Kenanga yang telah mengetahui kepergian kekasihnya tanpa pamit. Kini ia bersikeras hendak menyusul.

"Cucuku. Eyang tidak akan melarangmu untuk menyusul kekasihmu itu. Tapi, tenangkanlah dulu hatimu. Setelah itu, baru Eyang akan mengijinkanmu untuk menyusulnya," ucap Eyang Wiku Ginting dengan lembut. Walaupun ia baru pertama kali bertemu dengan murid keponakannya itu, ia amat menyayanginya.

"Menurut Eyang, apakah yang telah menyebabkan Kakang Panji nekad minggat? Apakah ia marah padaku, Eyang?" Tanya Kenanga lirih dengan nada sedih.

"Tidak. Eyang rasa ia pergi bukan karena marah kepadamu, Cucuku. Tapi kemungkinan ia mendengar pembicaraan kita. Dan ketika Eyang mengatakan bahwa penyakitnya itu tak bisa disembuhkan, mungkin ia menjadi putus asa. Lalu ia mengambil keputusan untuk meninngalkanmu karena ia tidak ingin kau ikut menderita karena memikirkan penyakitnya itu. Hhh... Sayang ia tidak mendengar pembicaraan kita seluruhnya. Kalau saja ia mendengarnya, pastilah ia tidak melakukan hal yang bodoh seperti itu," kata Eyang Wiku Ginting menghela napas berat. la pun kecewa atas kepergian pendekar muda yang diam-diam amat dikaguminya itu.

"Ya! Oleh karena itulah saya harus menyusulnya, Eyang. Dan saya akan menyampaikan perkataan Eyang yang belum sempat didengarnya itu. Ahhh..., Kakang Panji, mengapa kita harus berpisah lagi?" keluh gadis jelita itu. Sepasang mata yang indah menerawang ke cakrawala biru.

"Pergilah, Cucuku. Semoga engkau dapat bertemu kembali dengan pemuda idamanmu itu. Ahhh... betapa bodohnya dia. Apakah ia tidak melihat kecantikan Cucuku ini. Atau ia memang seorang pemuda yang bodoh," ucap Eyang Wiku Ginting mencoba menghilangkan rasa sedih di antara mereka.

"Ahhh, Eyang...," desah Kenanga tertunduk dengan wajah kemerahan. "Sudahlah! Saya mohon pamit, Eyang," seru gadis itu sambil membungkuk memberi hormat kepada si kakek yang menjadi paman gurunya itu.

"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam lirih. Senyum menghias di wajah tuanya. Padahal ia sendiri merasa berat melepaskan murid keponakannya itu pergi, yang baru beberapa hari dikenalnya.

Belum jauh Kenanga melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tawa berkepanjangan. Kenanga cepat memejamkan matanya guna melawan kekuatan dahsyat yang menyerangnya. Karena suara tawa itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat.

"Ha ha ha...."

Suara tawa itu terus bergema memenuhi seluruh pelosok puncak gunung tempat kediaman Eyang Wiku Ginting. Kenanga yang semula akan menuruni lereng gunung, terpaksa menunda kepergiannya. Gadis itu kembali berlari ke arah pondok gurunya, menurut firasatnya bahwa suara tawa itu menyebarkan hawa maut yang tersembunyi.

"Eyang...!" Kenanga berlari menghampiri si kakek yang tengah berdiri didepan pintu pondok. Wajah Eyang Wiku Ginting yang biasanya selalu tenang itu. Kini tampak tegang dan gelisah. Hingga membuat Kenanga terheran-heran.

"Aihhh, Cucuku, apa yang telah terjadi?" Tegur Eyang Wiku Ginting cemas.

"Aku terpaksa kembali, Eyang. Di tengah jalan aku mendengar orang cekakakan. Siapakah gerangan orang yang mengeluarkan suara tawa yang demikian menyeramkan itu, Eyang?" Tanya Kenanga tanpa mempedulikan pandangan kakek tua itu.

"Entahlah, Cucuku? Tapi yang jelas orang itu pastilah berilmu tinggi, karena suara tawa itu dikeluarkan dari tempat yang cukup jauh," sahut si kakek kecut. Sebagai pendekar yang sangat berpengalaman, Eyang Wiku Ginting sudah dapat menduga bahwa orang yang tertawa aneh itu dapat mengancam keselamatan dirinya dan Kenanga.

"Lebih baik kau cepat tinggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang dan melihatmu, Cucuku. Cepatlah! Sebelum terlambat!" pinta Eyang Wiku Ginting tegas.

Terlambat! Dari kejauhan dua orang berpakaian hitam dan berkerudung muncul, terlihat gelagat mereka datang dengan maksud jahat.

"Cepat pergilah Cucuku. Biar Eyang yang akan menghadapi mereka. Tampaknya mereka tidak bermaksud baik," bisik Eyang Wiku Ginting lagi. Tapi Kenanga tetap tidak berajak dari tempatnya berdiri. Ia enggan meninggalkan kakek seorang diri.

LIMA

"Tidak, Eyang. Biarlah aku tetap di sini bersama Eyang. Aku ingin tahu apa maksud mereka kemari," tegas Kenanga.

Eyang Wiku Ginting terdiam mendengar bantahan gadis itu. Ia dengan was-was memperhatikan kedua orang berkerudung itu datang mendekat. "Siapakah kalian! Ada keperluan apa denganku?" Tanya si kakek ramah. Namun sepasang matanya tajam penuh selidik memandang kedua orang tamu yang tak diundang itu.

"Hm... benarkah aku berhadapan dengan Eyang Wiku Ginting?" Salah seorang berkerudung balik bertanya yang seharusnya ia jawab teguran si kakek itu. Ia sebenarnya tidak pantas mengeluarkan kata-kata kasar kepada seorang kakek seperti Eyang Wiku Ginting.

"Kurang ajar!" maki Kenanga marah. Gadis itu sangat tersinggung melihat kakeknya diperlakukan demikian. Kedua tamu ini tidak tahu sopan santun menyapa kakeknya. Gadis itu cepat naik pitam, dicabut pedang hitamnya dan bersiap menerjang orang-orang berkerudung itu.

Eyang Wiku Ginting cepat menahan Kenanga yang siap dengan pedangnya. Hingga gadis jelita itu terpaksa menahan langkahnya. Si kakek memberi isyarat dengan mengedipkan sebelah matanya agar kenanga menahan diri. "Kau tenanglah, Cucuku. Biar Eyang saja yang membereskan mereka," bisik Eyang Wiku Ginting pelan.

"Benar! Akulah yang bernama Eyang Wiku Ginting. Ada keperluan apakah sahabat berdua mencariku?" Tanya si kakek tersenyum ramah.

"Kami adalah Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Maksud kedatangan kami adalah untuk mengambil nyawamu! Nah, bersiaplah!" ucap orang berkerudung yang satunya lagi.

"Hm..., Penjagal Alam Akherat..?" gumam si kakek sambil mengerutkan kening. la mengingat-ingat sesuatu yang berhubungan dengan dua orang tamu berkerudung itu. "Aku pernah mendengar nama dan sepak terjang kalian di daerah Selatan baru-baru ini. Tidak kusangka hari ini kalian sampai di daerah Barat ini. Dan karena aku tinggal di perbatasan antara Selatan dan Barat maka sasaran pertama kalian adalah aku. Boleh aku tahu, apa maksud kalian menebarkan bencana di kalangan dunia persilatan? Apakah, kalian mencari seseorang untuk membalas dendam, atau ingin menguasai dunia persilatan?"

Kedua tamu berkerudung itu diam membisu. Sorot mata mereka menatap tajam menyiratkan hawa maut yang menggetarkan hah siapa saja yang beradu pandang dengan mereka. Pelahan-lahan tangan mereka terangkat ke atas. Angin dingin menebar menggigit kulit.

"Hm!" Disertai sebuah dengus kasar, tubuh salah seorang dari kedua orang berkerudung itu dengan geram menerjang Eyang Wiku Ginting dan Kenanga. Serangkum angin tajam berhembus keras mengiringi sambaran sepasang tangannya yang bertenaga kuat itu.

"Menyingkirlah, Cucuku!" Seru Eyang Wiku Ginting mendorong Kenanga hingga terdorong beberapa langkah ke sampingnya.

Wuttt!

"Hm..." Eyang Wiku Ginting memiringkan badannya ke kanan sehingga bacokan telapak tangan lawan lewat di sampingnya. Kemudian si kakek melompat ke belakang menghindari tusukan tangan lawan yang menyusul serangan pertamanya yang gagal. Sambaran jari-jari tangan yang menimbulkan suara mencicit tajam itu berhasil pula dihindari kakek itu.

Orang berkerudung yang mengaku Penjagal Alam Akherat itu melompat mengejar tubuh lawannya. Kedua tangannya kembali menyambar berkesiutan mengancam keselamatan kakek itu yang menjadi cukup kerepotan dibuatnya. Beberapa kali serangan si orang berkerudung itu berhasil dihindari Eyang Wiku Ginting dengan melukkan tubuh maupun geseran kaki. Akhirnya kakek itu terpaksa mengangkat tangan kanannya menangkis serangan lawannya yang kali ini tak mungkin dapat dihindari. Selain itu pun ingin menjajaki sampai di mana kira-kira kekuatan tenaga dalam lawannya yang mengaku mempunyai julukan mendirikan bulu roma itu.

"Hm...!"

Dukkk!

"Aaahhh...!" Eyang Wiku Ginting sangat terkejut ketika merasakan tangannya bagaikan berbenturan dengan sebongkah salju yang keras bagaikan baja. Tubuh kakek tua itu terjajar mundur sejauh empat tombak. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri yang mengigit pada pergelangan tangannya.

"Gila! Tenaga dalam orang berkerudung ini luar biasa! Untunglah aku sebelumnya telah menggunakan lebih dari separuh tenagaku sewaktu menangkis serangannya. Kalau tidak, bisa-bisa remuk tulang-tulang lenganku dibuatnya," desah Eyang Wiku Ginting terkejut.

Si orang berkerudung pun tidak kalah terkejutnya dengan tenaga dalam kakek itu. Tubuhnya tergetar mundur sejauh enam tombak ke belakang. Wajah di balik kerudung itu terlihat meringis menahan rasa sakit.

"Eyang...!" Teriak Kenanga sambil berlari memburu ke arah Eyang Wiku Ginting la cemas menyaksikan Eyang Wiku Ginting mengerang kesakitan.

"Tenanglah, Cucuku. Eyang Hdak apa-apa. Sebaiknya engkau cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Engkau sudah lihat betapa dahsyatnya tenaga yang dimiliki orang yang satunya Itu, hingga membuat Eyang kewalahan seperti ini. Entah apa jadinya bila mereka berdua mengeroyok Eyang. Rasanya Eyang tidak akan mampu menghadapi gempuran kedua orang berkerudung itu," Eyang Wiku Ginting kembali mengingatkan gadis itu, akan bahaya yang mengancam.

"Tidak, Eyang Aku akan tetap di sini menemani Eyang!" bantah gadis jelita itu. Pedang hitam yang masih berada di dalam genggamannya itu, sudah melintang didepan dada. Rupanya tekad gadis itu sudah benar-benar tak dapat dibantah lagi.

"Dengarlah, Cucuku. Kematian bukanlah merupakan sesuatu yang mengerikan bagiku. Lagi pula usiaku yang memang sudah demikian lanjut. Sedangkan engkau, masih sangat muda sekali, Cucuku. Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih? Bukankah engkau hendak mencarinya? Lalu, bagaimana mungkin kamu dapat menemukannya kalau kamu tidak segera pergi untuk mencarinya? Mungkin saat ini kekasihmu dalam keadaan sekarat, entah di mana dan tidak ada seorang pun yang berada di sisinya yang dapat meringankan penderitaannya," kata Eyang Wiku Ginting, merasa kewalahan menghadapi kekerasan hati gadis itu, terpaksa menggunakan akalnya untuk membujuk Kenanga.

Mendengar ucapan Eyang Wiku Ginting yang mengingatkan niatnya semula untuk mencari Pendekar Naga Putih, membuat gadis itu termenung sejenak. Terlintas dalam benaknya bayangan tubuh Panji yang rebah tergolek tampak seorang diri di tengah hutan. Ia menarik napas dalam-dalam. Di dalam dirinya sedang berkecamuk dua pilihan yang amat sulit. Pergi meninggalkan Eyang Wiku Ginting atau mencari kekasihnya yang sekarang tidak tahu ke mana rimbanya. Jelas sekali kalau gadis itu tidak berdaya untuk mengambil keputusan.

Eyang Wiku Ginting tersenyum ketika melihat pancingannya membawa hasil. Rasa haru menyeruak di hati tuanya ketika mengetahui apa yang tengah dipikirkan gadis jelita itu. Ditepuk-tepuknya bahu sang cucu seolah-olah dengan cara begitu sang kakek ingin memberi tambahan kekuatan kepada murid ke-ponakannya itu.

"Nah, sekarang pergilah, Cucuku. Semoga kau berhasil menemukan kekasihmu itu," ujar Eyang Wiku Ginting seraya tersenyum lemah.

"Tapi... bagaimana dengan Eyang?" Sahut Kenanga yang masih cemas terhadap nasib paman gurunya.

"Sudahlah, sebelum kau datang pun Eyang selalu menghadapi hal-hal seperti ini. Karena sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat, kita selalu menemukan kejadian yang berbau maut," tukas si kakek itu tenang.

"Baiklah, Eyang, saya pergi dulu. Jagalah diri Eyang baik-baik. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi kelak." Akhirnya Kenanga dengan berat hati pergi meninggalkan paman gurunya, ia melesat keluar pondok terus berlari menuruni lereng bukit itu hingga tak tampak lagi batang hidungnya.

Tentu saja kedua orang berkerudung itu tidak mau membiarkan gadis jelita itu lepas begitu saja. Salah seorang dari mereka sudah melesat untuk mencegah Kenanga.

"Jangan ganggu dia! Bukankah kedatangan kalian kemari untuk berurusan denganku!" Bentak Eyang Wiku Ginting agak gusar ketika melihat salah seorang dari musuhnya hendak menahan kepergian murid keponakannya itu. Teriakannya tidak digubris orang berkerudung yang tetap hendak menahan kepergian gadis jelita itu, maka tubuh si kakek itu pun segera melesat memapaki si orang berkerudung yang siap menangkap Kenanga.

"Huh!"

Wuttt!

Hantaman telapak tangan si kakek berhasil membuat si orang berkerudung menunda maksudnya itu. Ketika serangan telapak tangan lewat disisi tubuhnya, si orang berkerudung membalas melepaskan sebuah tendangan kilat yang meluncur deras menuju lambung Eyang Wiku Ginting. Sesaat kemudian, kedua orang itu pun sudah teriibat dalam sebuah perkelahian sengit!

"Hiaaa!"

Wuttt! Wuttt!

Plak! Plak! Plak!

"Uhhh...!" Tubuh kedua orang sakti itu terjajar mundur ketika beberapa buah pukulan mereka saling berbenturan hingga menimbulkan ledakan-ledakan yang cukup keras.

"Hm!" Si orang berkerudung menggeram gusar karena pada pertemuan tenaga yang kedua kalinya itu, tubuhnya sempat hampir terpelanting akibat kuatnya tenaga yang terkandung dalam tangkisan dan pukulan kakek itu. Dari sini jelas terihat bahwa kekuatan tenaga dalam si orang berkerudung ternyata masih di bawah tenaga dalam Eyang Wiku Ginting.

Sebenarnya wajar saja kalau tenaga yang dimiliki si orang berkerudung masih kalah dengan tenaga yang dimiliki kakek tua itu. Karena kedudukan Eyang Wiku Ginting pada masa itu boleh dibilang termasuk tokoh-tokoh tingkat atas. Dan jarang ada tokoh-tokoh sesat yang berani membuat persoalan dengannya. Hanya saja pada beberapa tahun terakhir ini ia jarang sekali muncul di dunia ramai hingga orang-orang kalangan dunia persilatan hampir melupakan namanya. Namun, hal itu bukan merupakan jaminan bahwa kepandaiannya sudah menurun.

"Hm... mengapa kau berhenti, Penjagal Alam Akherat? Apakah kau merubah keputusanmu dan berniat meninggalkan tempatku ini?" ujar Eyang Wiku Ginting masih tetap ramah meskipun dalam ucapannya itu terkandung ejekan yang tersembunyi.

Si orang berkerudung tidak menanggapi ucapan lawannya itu, sekilas ia menoleh ke arah kawannya yang tengah melangkah menghampirinya. Sejenak terlihat keduanya saling pandang. Sedetik kemudian, dua orang berkerudung itu pun mengalihkan pandang ke arah Eyang Wiku Ginting yang saat itu juga tengah menatap kedua orang lawannya itu. Sadar bahwa mereka serempak akan menyerang, si kakek siap memasang kuda-kuda dan menyilang-kan kedua tangannya.

"Hm..., 'Lapisan Benteng Menahan Pasukan Berkuda'...!" Seru salah seorang berkerudung mendengus mengejek.

"Gila, siapa sebenarnya dua orang yang mengenakan kerudung ini? Kalau mereka dapat mengenali ilmu yang jarang kupergunakan ini, jelas mereka bukan orang sembarangan! Aku harus lebih berhati-hati menghadapinya. Siapa tahu mereka sudah mengetahui akan ketemahan-kelemahan dari ilmuku ini," gumam si kakek mawas diri.

"Hiaaat..!" Disertai teriakan menggelegar, tubuh kedua orang berkerudung itu melesat serentak. Tubuh mereka jungkir balik di udara, kemudian melepaskan serangan dari dua jurusan yang berlawanan. Serangan mereka sangat hebat dan membingungkan.

Melihat lawannya menyerang dari dua jurusan, Eyang Wiku Ginting tidak kalah sigap melepaskan deru angin kuat melalui daya pukul kedua tangannya.

"Aaakh...!" Di luar perhitungan mereka, serangan mereka tidak bisa menembus, seakan-akan ada dinding pemisah yang amat kuat. Akibatnya serangan mereka gagal, bahkan mereka menderita cidera.

"Hiaaat!" Sambil melengking keras, mereka mencoba menembus dinding yang tak tampak itu. Kedua tangan mereka bergerak berganti-bergantian hingga menimbulkan deru angin kencang. Di sekitar arena pertarungan menjadi agak gelap oleh debu-debu kering beterbangan.

"Hekhhh...!" Tenaga dalam Eyang Wiku Ginting kembali bertambah. Wajah si kakek merah padam menangkis tekanan gelombang tenaga dahsyat yang menghimpitnya dari dua arah.

"Hiaaat!" Disertai teriakan keras, tubuh si kakek melambung ke udara melepaskan benteng pertahanannya. Ia sadar, kekuatan tenaganya tak akan mampu menahan tenaga himpitan lawan. Beberapa kali jungkir balik di udara, si kakek langsung menghunus pedang saktinya.

Walaupun Eyang Wiku Ginting lebih banyak mendalami ilmu pengobatan dari pada ilmu silat tapi kepandaian silatnya tidak berbeda jauh dengan adik seperguruannya, si Raja Pedang Pemutus Urat yang tewas di tangan Jaya Sukma. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Jari Maut Pencabut Nyawa)

Wunggg! Wunggg!

Angin pedang menderu berkesiutan ketika Eyang Wiku Ginting menggerakkan pedang di tangannya. Meskipun ia tidak mampu untuk mempelajari 'Ilmu Pedang Pemutus Urat' yang dimiliki adik seperguruannya, namun 'Ilmu Pedang Bunga Teratai' yang dimilikinya tidak bisa dipandang remeh. Saat itu dua orang berkerudung yang menjadi lawannya mendorongkan pukulan telapak tangan jarak jauhnya secara berbarengan.

Wusss! Dhuarrr!

Debu dan daun-daun kering membumbung tinggi ketika pukulan mereka menghantam tanah tempat di mana Eyang Wiku Ginting berdiri. Untunglah si kakek cepat mengelak. Sedikit saja ia lengah, maka tidak ayal lagi pukulan jarak jauh yang dilepaskan lawan dapat menghancurkan tubuhnya.

"Hiaaat..!" teriak si kakek balik menyerang, tubuh renta itu meluncur deras ke arah mereka. Kedua orang kakek. Penglihatan mereka terganggu oleh sinar kilatan yang menyilaukan dari pedang kakek itu yang menyilaukan dari pedang si kakek itu.

Dua orang berkerudung terus berloncatan menghindari sabetan pedang si kakek yang siap mencabut nyawa mereka. Gulungan sinar pedang yang terkadang mirip bunga teratai itu benar-benar membuat dua orang Penjagal Alam Akherat itu dibuat sibuk. Kalau saja kepandaian mereka tidak betul-betul tinggi, rasanya mereka tidak mungkin akan berani menyatroni kediaman kakek sakti itu.

Pada jurus yang keenam puluh tiga, tebasan pedang Eyang Wiku Ginting menderu dalam posisi men-datar. Sinamya yang berwarna kekunigan itu berkeredep Iaksana sambaran kilat yang menerangi permukaan bumi. Salah seorang dari kawannya bergegas menggeser tubuhnya menghindari tebasan maut itu. Sambil menghindari serangan, jari-jari tangan si orang berkerudung meluncur tajam menuju lambung Eyang Wiku Ginting.

CuittH

"Aiilhhh...!" Eyang Wiku Ginting meliukkan tubuhnya sehingga tusukan jari tangan yang dapat mencoblos batu karang itu dapat dihindarinya. Tapi siapa sangka lawannya telah memperhitungkan gerak pukulannya secara cermat Sebuah tendangan kilat meluncur mengancam dada si kakek. Merasa tidak mempunyai peluang lagi untuk menghindari, kakek itu terpaksa menyabetkan pedangnya dengan maksud membabat putus kaki lawan.

Tapi rupanya tendangan si orang berkerudung itu hanya merupakan tipuan! Tepat pada saat sabetan pedang si kakek menyambut kakinya, si orang berkerudung segera menarik pulang tendangannya. Dan pada saat itu juga, sebuah tamparan dari si orang berkerudung yang satunya lagi telah menghantam pelipis kakek itu.

Wuttt! Plakkk!

"Uhhh...!" Tubuh si kakek terpelanting seketika! Tampak darah segar meleleh di sela bibirnya. Untung dalam keadaan terpojok ia sempat menundukkan kepalanya sehingga tamparan dahsyat itu hanya mengenai bahu-nya. Namun, meskipun hanya mengenai bahu, tamparan orang berkerudung itu telah pula membuat dada dalamnya terluka. Entah apa jadinya apabila tamparan itu benar-benar mengenai pelipisnya. Mungkin kepalanya itu akan pecah berantakan!

Kesempatan yang hanya beberapa detik tidak disia-siakan lawan-lawannya. Mereka menghujani pukulan dengan dorongan sepasang telapak tangannya. Tak pelak lagi, serangan dahsyat itu tak dapat dihindarinya. Maka....o

Desss! Bukkk! Desss!

"Aaakh...!" Eyang Wiku Ginting menjerit ngeri ketika hantaman empat pasang telapak tangan yang berkekuatan itu menghantam tubuhnya. Sehingga tubuh tua renta itu terhempas bagai sehelai daun kering yang tertiup angin. Darah segar menyembur dari mulutnya, sebelum tubuh kakek tua itu terbanting di tanah, dua orang berkerudung itu melontarkan pukulan jarak jauh secara bersamaan.

"Hiaaat..!"

Whuuusss! Blaaarrr!

"Aaa...!" Mengerikan sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu. Bagaikan sebuah mercon, tubuh Eyang Wiku Ginting pecah berhamburan diiringi teriakan kematian yang menyayat. Kakek tua sakti itu tewas di tangan dua orang berkerudung yang mengaku sebagai Penjagal-Penjagal Alam Akherat dengan tubuh hancur dan tak dapat dikenali lagi.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dua orang berkerudung itu pun melesat meninggalkan tempat kediaman Eyang Wiku Ginting. Semilir angin bertiup sejuk seolah-olah mengusir si Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu.

********************

ENAM

Di sebuah ruangan pertemuan bangunan induk perguruan yang letaknya di sudut Desa Jati Alur, tampak tujuh orang laki-laki duduk mengitari sebuah meja.

"Jadi bagaimana menurutmu, Nak Panji?" Tanya seorang laki-laki bertubuh pendek. Orang itu tidak lain adalah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tapak Maut. Setelah menceritakan berbagai kejadian yang dialaminya, ia pun meminta pendapat Pendekar Naga Putih yang juga dikenal dengan panggilan akrab Panji.

Panji tidak langsung menjawab. Ia termenung sejenak, memikirkan langkah yang akan mereka ambil untuk menghentikan keganasan kawanan Penjagal Alam Akherat. Kening pemuda itu berkerut, ia seperti tengah berpikir keras.

Jarga Lawa dan lima orang tokoh lainnya tidak berani untuk bertanya lebih lanjut. Mereka sadar apa yang akan dikatakan pemuda itu nanti, bukankah ucapan yang asal jadi saja. Oleh karena itu, mereka hanya berdiam diri saja melihat Panji termenung.

"Paman, kira-kira berapa perguruan silat yang terbesar di wilayah Selatan ini?" Tanya Panji tiba-tiba.

Mendengar pertanyaan yang cukup aneh itu, enam orang tokoh yang hadir dalam pertemuan itu saling memandang tak mengerti. Namun ketika mereka me-lihat kesungguhan Panji, mereka pun mengerti bahwa Panji pasti mempunyai maksud dengan pertanyaan itu.

"Hm... kurang lebih sekitar delapan perguruan. Itu hanya yang terbesar. Sedangkan yang lainnya tidak terhitung," jawab Jarga Lawa. la kelihatan agak bingung karena sama sekali belum dapat menduga jalan pemikiran Panji.

"Menurut cerita yang Paman tuturkan padaku, saat ini hanya tinggal Perguruan Golok Sakti yang belum diganggu kawanan iblis itu. Benar begitu, Paman?" ujar Panji memastikan.

Orang yang berjuluk Pendekar Tapak Maut mengangguk. "Nah, karena hanya tinggal perguruan itu yang belum diganggu, apakah bukan tidak mungkin suatu hari kelak juga mendapat giliran sasaran kawanan Penjagal Alam Akherat?!" tukas Panji lagi.

"Aaahhh...?" gumam para pendekar serentak. Pernyataan Panji menyadarkan mereka bahwa peristiwa itu bisa saja di Perguruan Golok Sakti.

"Ah, betapa bodohnya aku! Mengapa selama ini tidak pernah terlintas dalam pikiranku?" kata Jarga Lawa sambil menepuk dahinya.

"Benar! Mengapa kita tidak pernah berpikir ke sana!" Seru lainnya, yang juga baru tersadar apa yang dikhawatirkan Panji.

"Kalau begitu sasaran mereka kali ini pastilah Perguruan Golok Sakti. Perguruan itulah satu-satunya yang belum ditaklukkan kawanan Penjagal Alam Akherat," sahut yang lainnya menimpali.

"Jika benar demikian, ayolah kita berangkat! Jangan-jangan kita akan kedahuluan oleh iblis-iblis keparat itu!" perintah Jarga Lawa seraya keluar meninggalkan ruang perguruan.

Rombongan para pendekar termasuk Panji bersiap-siap berangkat menuju Perguruan Golok Sakti. Rombongan dipimpin langsung Pendekar Tapak Maut.

"Paman, sebaiknya kita jangan terlalu banyak membawa orang. Biar perjalanan kita bisa lebih cepat," bisik Panji yang berjalan di sisi Jarga Lawa. Panji sengaja berbicara pelan agar tidak didengar teman-temannya yang lain. Salah-salah bisa menyingung perasaan mereka.

"Baiklah, Panji. Aku akan memilih beberapa orang saja yang kira-kira kepandaiannya dapat di andalkan," jawab Jarga Lawa yang langsung menyetujui usul Pendekar Naga Putih alias Panji.

Jarga Lawa pun segera memilih dua belas orang dari perguruan yang berlainan. Kemudian dipilih lagi dua orang tokoh dari tiap-tiap perguruan untuk mewakili perguruan masing-masing. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, maka pagi itu juga rombongan yang terdiri dari sembilan belas orang berangkat meninggalkan Desa Jati Alur.

********************

Tidak seperti biasanya, hari itu halaman Perguruan Golok Sakti tampak ramai. Puluhan orang murid berjajar rapi membentuk sebuah barisan yang cukup panjang. Di muka barisan para murid itu, tampak seorang laki-laki setengah baya yang seluruh wajahnya di tumbuhi brewok, berdiri angker. Sepasang matanya yang bulat dan lebar itu merayapi wajah puluhan orang murid yang berdiri tegang. Di kanan-kirinya tampak dua orang laki-laki gagah berdiri tegap. Pada bagian dada sebelah kiri pakaian mereka bergambar golok bersulam benang perak. Kedua pendekar itu adalah tokoh-tokoh tingkat utama dari Perguruan Golok Sakti.

"Murid-muridku sekalian, dengarlah!" Teriak laki-laki brewok lantang. Suaranya yang didorong tenaga dalam itu terdengar nyaring hingga barisan yang paling belakang. Hal ini menandakan bahwa kekuatan tenaga dalam si brewok itu sudah sangat tinggi. "Hari ini, aku sengaja mengumpulkan kalian. Karena perguruan kita mungkin akan menjadi sasaran kebiadaban Penjagal-Penjagal Alam Akherat yang pada saat ini tengah mengganas. Jadi aku minta agar kalian bersiap-siap. Dan kalau ada sesuatu yang mencurigakan, kalian harus cepat melapor, mengerti!"

"Kami mengerti, Guru!" Sahut para murid serentak.

Setelah memberikan beberapa pesan lainnya yang kira-kira diperlukan, maka laki-laki brewok yang juga adalah ketua Perguruan Golok Sakti itu pun segera membubarkan murid-muridnya. Puluhan orang murid membubarkan diri. Mereka segera melaksanakan tugas masing-masing yang dibe-rikan gurunya. Sedangkan dua orang laki-laki gagah yang berpakaian biru muda, mengiringi guru besar mereka yang berjalan memasuki bangunan induk perguruan.

"Guru, benarkah kawanan Penjagal Alam Akherat itu akan menyerang perguruan kita?" Tanya salah seorang berseragam biru muda itu kepada sang Guru. Rupanya ia belum merasa yakin apa yang dikatakan gurunya tadi.

"Entahlah, Prawida. Aku sendiri masih meragukan hal itu. Tapi tidak ada salahnya kita bersiap-siap. Karena beberapa perguruan terbesar di wilayah ini telah hancur ditaklukkan Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Siapa tahu mereka mengincar..." Sahut sang guru yang dalam rimba persilatan dijuluki Pendekar Golok Kembar.

"Jadi masih kabar burung?" Tanya lelaki berseragam biru muda yang lainnya.

"Hm..." Pendekar Golok Kembar hanya bergumam, sehingga membuat kedua orang itu terdiam. Mereka sadar bahwa guru mereka sudah tidak ingin membicarakan masalah itu lagi.

Belum sampai Hga orang itu menginjakkan kaki di pintu, tiba-tiba terdengar jeritan menyayat. Mereka saling memandang penuh tandatanya. Kemudian mereka meluncur menuju ke tempat asal suara jeritan tadi. Pendekar Golok Kembar dan dua orang murid uta-manya itu terkejut ketika mereka melihat dari kejauhan dua orang berpakaian hitam-hitam sedang mengamuk dikeroyok belasan orang murid Perguruan Golok Sakti. Para pengeroyok banyak yang berjatuhan.

"Guru, sepertinya kedua orang berkerudung...!?" Kata murid utama yang bernama Prawida tak berani meneruskan ucapannya.

"Ya! Itulah mereka, kawanan Penjagal Alam Akherat!" Tukas sang guru tegas. la geram melihat belasan orang muridnya bergeletakan tak bernyawa.

"Tapi... Bukankah biasanya mereka datang malam hari?" Tanya murid utama yang satunya lagi tak percaya.

"Hm... mungkin iblis-iblis keparat itu sudah tak sabar untuk membantai kita," sahut Pendekar Golok Kembar, seraya melambungkan tubuhnya ke udara. Dengan beberapa kali putaran, kedua kakinya mendarat tepat di tengah-tengah arena perkelahian yang sedang berlangsung itu.

"Tahan...!" teriak keras sang guru. Sambil membentak keras ketua Perguruan Golok Sakti mendorongkan sepasang telapak tangannya kedepan. Angin pukulannya menderu keras mengejutkan si orang berkerudung yang berada dua tombak di hadapannya.

"Hm!" Sambil mendengus keras si orang berkerudung melompat ke belakang. Tangan kanannya dikibaskan menyambut dorongan ketua Perguruan Golok Sakti.

Bresss!

"Uhhh...!" Terdengar suara letupan kecil di udara ketika dua gelombang tenaga sakti itu saling bertemu. Pendekar Golok Kembar terpekik kaget. Tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah ke belakang. la benar-benar merasa terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga si orang berkerudung itu tidak berada di bawahnya.

Sedangkan si orang berkerudung sendiri tidak kalah terkejutnya ketika merasakan kekuatan tenaga orang yang menyerangnya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ketika berbenturan dengan laki-laki brewok yang baru tiba itu. Si orang berkerudung melakukan beberapa kali salto guna mematahkan doro-ngan itu. Kedua kakinya mendarat ringan beberapa tombak di depan lawannya.

"Guru...!" teriak kedua murid utamanya.

Dua orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid utama bergegas menghampiri Pendekar Golok Kembar. Kedua orang itu sempat terkejut ketika melihat tubuh guru besar mereka sempat terdorong akibat benturan tenaga sakti si orang berkerudung. Meskipun mereka sudah mendengar tentang kehebatan Penjagal Alam Akherat. Namun sama sekali di luar dugaan mereka kalau iblis-iblis itu dapat memukul mundur guru besarnya hanya dalam segebrakkan saja.

"Hm... kalian berhati-hatilah! Kepandaian Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu sepertinya tidak berada di bawah kepandaianku," bisik sang guru memperingatkan dua orang murid utamanya.

Mendengar peringatan gurunya, kedua orang laki-laki berpakaian biru itu mengangguk mengiyakan. Mereka pun sadar bahwa kepandaian orang-orang berkerudung itu memang sangat tinggi. Dan hal itu telah mereka lihat sendiri ketika guru mereka mengadu tenaga dengan salah seorang dari dua orang berkerudung itu.

Saat itu juga, sang guru memerintahkan semua murid-murid dan dua murid utamanya segera mun-dur. Mereka berdiri dan membentuk lingkaran dalam jarak sepuluh tombak dari kedua orang berkerudung itu. Senjata mereka masih tergenggam erat dan siap untuk hertempur kembali.

"Hm..., Penjagal-penjagal Alam Akherat! Kedata-ngan kalian memang sudah kami tunggu-tunggu, tapi tidak kusangka kalian datang demikian cepat. Nah, sekarang mari kita selesaikan urusan ini," seru Pendekar Golok Kembar siap dengan golok kembarnya yang memancarkan sinar keperakan.

Dua orang berkerudung itu hanya menggeram pelahan tanpa menjawab ucapan lawannya Sedetik kemudian, keduanya menggeser kaki masing-masing dan berpencar ke arah yang berlawanan.

"Gggrh...!" Dibarengi sebuah geraman yang menggetarkan jantung, Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu pun melompat berbarengan ke arah lawan-lawannya.

"Kalian hadapilah orang berkerudung yang di sebelah kanan. Biar aku akan menghadapi orang berkerudung yang berada di sebelah kiri," perintah Pendekar Golok Kembar kepada kedua orang murid utamanya itu.

Mendengar perintah gurunya, dua orang laki-laki gagah itu serentak melompat menyambut serangan si orang berkerudung. Sesaat kemudian, mereka pun sudah saling serang dengan ganas. Prawida yang merupakan murid tertua dari Perguruan Golok Sakti mengisyaratkan kepada adik seperguruannya agar mereka melakukan pertempuran berpasangan. Karena dengan cara bertempur seperti itu mereka dapat saling melindungi dan tenaga tangkisan atau pukulan mereka pun akan lebih kuat daripada melakukan pertempuran sendiri-sendiri.

Wuuut!

Sebuah tamparan telapak tangan lawan berhasil dihindarkan Prawida dengan baik. Dan pada detik itu juga adik seperguruannya melontarkan sebuah pukulan yang disusul babatan goloknya mengancam lambung si orang berkerudung.

Dua serangan berbahaya meluncur cepat. Si orang berkerudung bukan menghindari malah sebaliknya melangkah maju menyambut serangan lawan. Tentu hal itu sengaja mereka lakukan agar lawan terkecoh. Dua murid andalan guru besar dari Perguruan Golok Sakti itu begitu bernapsu untuk menghabisi lawannya.

Plakkk! Bukkk! Desss!

"Aaakh...!"

Dengan kecepatan yang tak tampak oleh mata, si orang berkerudung bergerak menangkis serangan lawannya, hingga serangan golok lawan luput dari tubuhnya. Demikian cepatnya gerakan Penjagal Alam Akherat itu, hingga pemuda yang bernama Prawida tak sempat lagi untuk menyelamatkan adik seperguruannya dari hantaman lawan.

Tubuh laki-laki gagah, murid kedua dari Perguruan Golok Sakti itu terlempar ke belakang. Darah pun mengucur deras dari mulutnya. Rupanya pukulan dan tendangan si orang berkerudung telah menghantam dada dan lambungnya. Tanpa sempat berpesan lagi, adik seperguruan Prawida tewas seketika. Bagian dada dan lambungnya telah remuk akibat hantaman yang sangat kuat itu.

"Keparat! Kau harus menebusnya dengan nyawamu! Lihat pukulanku!" Teriak Prawida marah ketika melihat adik seperguruannya telah tewas. Tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi, Prawida mengamuk. Tapi sayang yang dihadapinya kali ini bukan tokoh sembarangan. Orang berkerudung yang berjuluk Penjagal Alam Akherat itu adalah tokoh yang sangat ditakuti. Kepandaian ilmu silatnya sangat tinggi, jarang tertandingi meski oleh tokoh-tokoh tingkatan atas sekalipun. Wajarlah kalau serangan-serangan yang dilontarkan Prawida sama sekali tidak ada artinya buat si orang berkerudung itu.

"Hm!" Si orang berkerudung mendengus kasar. Sedetik kemudian, tubuhnya melompat ke belakang menjauhi Prawida. Tapi ia sama sekali tidak bersiap untuk menyerang. Orang itu hanya berdiri tegak sambil menatap lawannya.

Sementara itu, pertarungan lain berlangsung sengit antara Pendekar Golok Kembar dan Penjagal Alam Akherat yang lainnya, tampak berlangsung se-ngit. Sepasang golok perak di tangan laki-laki brewok itu berkelebat cepat dan menyambar-nyambar. Pe-mimpin Perguruan Golok Sakti itu benar-benar telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menundukkan si orang berkerudung yang satunya lagi.

"Hiaaat...!"

Pada jurus yang keempat puluh tujuh, ketua Perguruan Golok Sakti membentak keras sambil mengibas-ngibaskan gotoknya secara bersilangan. Kilatan-kilatan mata golok yang memantulkan sinar matahari sangat menyilaukan membuat si orang berkerudung terpaku untuk beberapa saat lamanya. Dan pada saat sepasang golok itu hampir membabat batang lehernya, si orang berkerudung menundukkan kepalanya. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan hati Pendekar Golok Kembar. Karena sabetan sepasang goloknya yang luput itu, membuat tubuhnya kehilangan kese-imbangan. Namun hal itu bukan sesuatu yang menyulitkan baginya. Dengan sebuah gerakan yang indah laki-laki brewok itu mengayunkan kedua golok-nya ke bawah kuat-kuat. Sedetik kemudian tubuhnya meluncur dan berputar mejauhi lawannya.

Tapi begitu kedua kakinya mendarat ringan, tahu-tahu saja sepasang tangan lawan telah mengancam lambung dan pelipisnya. Cepat ia memutar tubuhnya hingga serangan itu mengenai tempat kosong. Secepat ia mengelak, secepat itu pula ia melempar tubuhnya ke belakang sambil melepaskan dua buah tendangan kilat yang mengarah dada si orang berkerudung. Gerakan si orang berkerudung pun tidak kalah cepatnya. Begitu kedua kaki lawannya naik, ia pun bergegas menarik pulang kedua tangannya dan langsung melakukan tangkisan dengan pengerahan tenaga dalamnya yang terkenal sangat kuat itu. Maka....

Plakkk! Plakkk!

"Aaakh...!" Pendekar Golok Kembar memekik pelahan ketika sepasang tangan lawan menepiskan kakinya Tubuh pendekar itu terguling-guling menjauhi tempat lawannya berada. Setelah merasa agak jauh dari lawannya, laki-laki brewok itu pun melenting bangkit. Kedua kakinya yang masih terasa linu itu agak gemetar ketika ia gunakan untuk menahan berat tubuhnya.

"Huh! Jangan merasa takabur dulu Keparat! Aku masih belum kalah!" Seru ketua Perguruan Golok Sakti geram. Seraya kembali melintangkan sepasang golok peraknya didepan dada dan siap melakukan serangan balasan.

Si orang berkerudung melangkah tenang menghampiri lawannya. Sepasang matanya menatap tajam penuh hawa membunuh.

"Heaaat..!" Dengan teriakan keras, tubuh Pendekar Golok Sakti melesat ke arah lawannya. Kedua golok kembar-nya menyambar ganas membentuk dua gulungan sinar perak yang melindungi tubuhnya Sedetik kemudian salah satu mata goloknya menyembul dari balik gulungan sinar dan meluncur mengancam tenggorokan lawan.

Ketua Perguruan Golok Sakti sempat terkejut ketika melihat orang berkerudung itu sama sekali tidak menghindari serangannya. Sedetik kemudian meragu karena la tidak mengetahui apa maksud lawannya berbuat demikian. Hingga perbuatan lawannya itu sempat membuat konsentrasinya terganggu.

Memang itu yang diharapkan si orang berkerudung. Dengan terpecahnya konsentrasi lawan, maka serangannya pun menjadi berkurang kekuatan dan ketepatannya. Dan ketika mata golok itu hampir menyentuh kulit leher lawannya, tangan kiri Penjaga Alam Akherat bergerak secepat kilat melakukan tangkisan dari dalam keluar. Secepat tangan kirinya menangkis, secepat itu pula tangan kanannya bergerak menggedor dada lawannya yang terbuka lebar itu.

Plakkk! Bukkk!

"Uhhh...!" Pendekar Golok Kembar terpelanting disertai keluhannya yang lirih. Darah tampak mengalir dari sela-sela bibirnya. Untunglah pada saat telapak tangan lawannya meluncur ke arah dada ia masih sempat untuk memiringkan tubuhnya hingga hantaman itu tidak terlalu telak mengenainya. Kalau tidak, jangan harap ia sempat untuk bernapas lagi.

Pada saat tubuh lawannya berputar limbung. Penjagal Alam Akherat melompat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya. Rupanya ia berniat menghabisi nyawa ketua Perguruan Golok Sakti yang tengah tak berdaya itu. Sehingga pendekar itu hanya dapat memandang pasrah.

Blarrr!

"Aaargh...!" Suara benturan bagaikan hendak merobohkan gedung perguruan itu, yang diiringi teriakan ngeri membelah langit. Tubuh si orang berkerudung terpental balik dengan dahsyatnya. Darah segar menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terbanting di tanah dan menggelepar gelepar disertai suara erangan dari mulutnya. Sesaat kemudian tubuh Penjagal Alam Akherat itu diam tak bergerak lagi. Si orang berkerudung itu tewas seketika akibat benturan gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu.

Sementara itu, di tengah-tengah arena pertarungan telah berdiri sesosok tubuh berjubah putih. Kabut bersinar putih keperakan berpendar mengelilingi tubuhnya hingga jarak dua tombak. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Naga Putih. Pemuda itu yang telah memapaki pukulan maut yang dilancarkan orang berkerudung itu. Sesaat setelah kehadiran pemuda itu, beberapa sosok tubuh lainnya berloncatan memasuki halaman perguruan itu.

"Ki Palasana...!" Teriak seorang dari mereka yang bertubuh pendek berlari mendatangi Pendekar Golok Kembar. Orang yang tak lain dari Jarga Lawa itu telah mengenali Ketua Perguruan Golok Sakti.

"Ahhh, Jarga Lawa, terima kasih atas kedatanganmu yang benar-benar sangat kubutuhkan ini." sambut Ketua Perguruan Golok Sakti yang ternyata bernama Ki Palasana. Keduanya berangkulan erat bagai dua orang sahabat yang sudah lama tak jumpa.

TUJUH

Di tengah suasana gembira dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu tiba-tiba dikejutkan oleh suara jerit melengking merobek langit. Suara jerit itu dibarengi dengan terlempamya sesosok tubuh yang menyemburkan darah segar dari mulutnya.

"Prawida...!" Teriak Ki Palasana tersentak dan bergegas melepaskan pelukkannya dari Jarga Lawa. Se-cepat kilat ketua Perguruan Golok Sakti memburu tubuh murid utamanya yang telah tergolek tak bernyawa di tanah.

Rupanya pada saat yang hampir bersamaan dengan tewasnya salah seorang Penjagal Alam Akherat, Prawida bertarung mati-matian dalam keadaan terdesak! Sehingga ketika pukulan lawannya meluncur ke arah bagian bawah perutnya, ia sudah tak dapat mengindari serangan lawan. Akibatnya pukulan si orang berkerudung yang sangat kuat itu bersarang tepat dan menghancurkan bagian dalam perutnya.

"Prawida...!" Guru Besar Perguruan Golok Sakti itu memanggil parau. Namun, murid utama yang sangat disayanginya itu telah tewas tanpa sempat mengetahui apa-apa lagi.

Jarga Lawa yang sudah berada di sampingnya berusaha mencegah Ki Palasana yang sudah siap untuk mengadu nyawa dengan Penjagal Alam Akherat yang telah membunuh muridnya itu. "Sabarlah, Ki Palasana. Jangan memperturutkan emosi yang hanya akan membawa kerugian pada dirimu. Mari kita hadapi iblis keparat itu bersama-sama," ujar Pendekar Tapak Maut, yang juga turut prihatin.

Hari Ki Palasana sedikit terhibur mendengar nasihat sahabatnya itu. Karena apa yang diucapkan Jarga Lawa benar tidak dapat dibantah. Pendekar Golok Sakti menatap wajah sahabatnya lekat-lekat. "Terima kasih, Jarga Lawa. Kedatanganmu benar-benar sangat berarti bagi diriku," sahut Ki Palasana serak karena rasa haru yang menyesak dadanya.

"Kepung iblis berkerudung itu! Jangan biarkan dia lolos!" Jarga Lawa berteriak memerintahkan kawan-kawannya dan puluhan orang murid Perguruan Golok Sakti."

Saat itu juga puluhan orang murid dan belasan tokoh perguruan lainnya serentak mengurung si Penjagal Alam Akherat. Sehingga orang berkerudung itu berada di dalam lingkaran yang dibuat oleh puluhan orang itu.

Si orang berkerudung tampak gelisah. la menoleh ke kiri dan kanan mencari jalan untuk meloloskan diri. Sesaat kemudian tubuhnya melambung dan berniat menjebol barisan pengepung yang berada di sebelah kirinya.

Sesosok tubuh bersinar putih keperakan menyambut terjangan orang berkerudung itu dengan dorongan telapak tangannya. Penjagal Alam Akherat itu rupanya sadar bahwa tenaganya tidak dapat menandingi tenaga dalam Pendekar Naga Putih. Maka ia pun melempar tubuhnya ke samping dan mendarat kembali di tengah-tengah kurungan orang-orang. Sedangkan tubuh Panji juga mendarat ringan di tanah, dan Panji kembali menjejakkan kakinya menghampiri Pendekar Tapak Maut.

"Paman, sebaiknya kita lepaskan orang berkerudung itu. Biar aku yang akan mengikutinya. Siapa tahu ada seorang tokoh yang tersembunyi di balik mereka," bisik Panji memberikan usul yang sudah berada di sampingnya.

Sejenak terlihat sinar keraguan di mata Pendekar Tapak Maut. Biar bagaimanapun juga sebenarnya ia lebih suka kalau orang berkerudung itu dibunuh saja. Tapi ketika ia mendengar alasan yang dikemukakan pemuda itu, maka pendekar itu pun mengangguk menyetujui.

"Terima kasih, Paman!" jawab Panji berseri.

Maka ketika Penjagal Alam Akherat itu kembali hendak meloloskan diri, Panji tidak mencoba untuk mencegahnya.

"Awaaas...!" Jarga Lawa dan Ki Palasana berteriak serempak memperingatkan para pengepung untuk menghindari. Beberapa orang pengepung yang tak sempat menghindarkan diri, terpelanting tewas akibat hantaman telapak tangan orang berkerudung yang mengandung maut itu. Begitu kepungannya terbuka. Penjagal Alam Akherat itu langsung melarikan diri tanpa menoleh lagi ke belakang. Sehingga ia sama sekali tidak sadar bahwa beberapa tombak di belakangnya, tampak Pendekar Naga Putih membayanginya.

********************

Sepeninggal Panji, Jarga Lawa atau Pendekar Tapak Maut menghampiri mayat Penjagal Alam Akherat yang tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Ki Palasana dan Salangi ikut mendampingi, begitu tiba Jarga Lawa membungkuk dan menyingkap kerudung yang selama ini menyembunyikan wajah Penjagal Alam Akherat itu. Ki Palasana dan Salangi menunggu tegang.

"Ahhh...!" Tiga orang tokoh rimba persilatan itu tersentak mundur ketika menyaksikan wajah si orang berkerudung yang selama ini tersembunyi itu membelalak pucat bagaikan melihat hantu di siang bolong!

"Ini... ini...," Salangi, laki-laki berusia empat puluh tahun itu tak sanggup meneruskan kata-katanya. Laki-laki gagah itu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah-olah tak percaya apa yang dilihatnya.

"Gila! Benar juga apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih itu ada benarnya. Pastilah ada orang di belakang layar yang mengendalikan serta mempengaruhi mereka!" Seru ketua Perguruan Golok Sakti terdengar penuh kegeraman.

Sementara Jarga Lawa hanya berdiri tercenung. Tak sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Hanya wajahnya saja yang sebentar merah sebentar pucat menandakan bahwa hari pendekar itu tengah terguncang! Keributan di dekat mayat orang berkerudung itu mengundang perhatian yang lainnya. Beberapa orang tokoh persilaian lain bergegas mendatangi mayat berkerudung dengan wajah penasaran.

"Guru...!" Tiba-tiba dua orang laki-laki yang mengenakan pakaian kuning gading menyeruak di antara kerumunan para tokoh itu. Keduanya serentak berlutut di sisi mayat si orang berkerudung itu. Rupanya si orang berkerudung itu adalah ketua perguruan mereka yang beberapa bulan lalu menghilang.

"Guru... mengapa... mengapa... ahhh," laki-laki berpakaian kuning gading yang usianya lebih tua dari kawannya tak mampu untuk meneruskan kata-katanya. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa guru yang mereka hormati itu sampai tega berbuat demikian. Hal itu yang membuat mereka tak sanggup untuk meneruskan kata-katanya.

"Sudahlah, Suraga. Kita semua belum mengetahui apakah gurumu melakukan perbuatan-perbuatannya selama ini dengan kesadaran atau beliau dalam pengaruh suatu kekuatan yang tidak mampu untuk dilawannya, dan hal ini menjadi kewajiban kita untuk menyelidikinya," ujar Jarga Lawa menghibur sambil menepuk-nepuk bahu Suraga. Seolah dengan cara begitu ia ingin memberikan tambahan kekuatan bagi Suraga menghadapi kenyataan pahit.

"Benar, Suraga! Siapa tahu guru kami yang lenyap tanpa jejak itu termasuk kawan Penjagal Alam Akherat yang kini masih hidup itu," sahut seorang laki-laki berpakaian merah hati. Di bagian dadanya tergambar kepalan tangan bersulam benang putih. Ia adalah salah seorang tokoh Perguruan Kepalan Sakti yang juga sedang mencari gurunya.

"Demikian pula halnya dengan guru kami. Ia menghilang beberapa bulan yang lalu," tutur orang pendekar lain menimpali.

"Hm.. Aku pun telah mendengar tentang hal itu. Tapi aku sama sekali tidak menduga kalau Penjagal Alam Akherat yang seorang ini adalah guru besar Suraga. Sebaiknya hal ini kita rundingkan dengan Pendekar Naga Putih nanti. Kita akan meminta kepada pendekar muda itu agar tidak segera membunuh Penjagal Alam Akherat lainnya. Sebab siapa tahu kalau para penjagal yang masih tersisa itu adalah guru kalian yang lenyap tanpa berita itu," ujar Jarga Lawa mengambil keputusan demi untuk menenangkan para tokoh-tokoh perguruan yang sekarang berkumpul di Perguruan Golok Sakti.

"Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Jarga Lawa," ki Palasana ikut pula angkat bicara. Ia merupakan satu-satunya tokoh kelas atas di tempat itu, maka para tokoh dari beberapa perguruan itu pun mengangguk setuju.

********************

Dengan menggunakan ilmu 'Lari Terbang di Atas Angin', Panji terus mengikuti si orang berkerudung. Ilmu lari cepat yang dipergunakan Panji memang hebat sekali! Kedua kakinya bergerak cepat bagaikan tidak menyentuh permukaan tanah, sehingga si orang berkerudung yang memiliki kepandaian tinggi itu pula sampai tidak mendengar suara langkah kaki Panji si Pendekar Naga Putih itu.

Penjagal Alam Akherat memperlambat larinya ketika ia hampir mencapai kaki bukit. Kedua kakinya berloncatan lincah menotol bebatuan yang menonjol di atas permukaan sebuah kali. Setelah melewati kali yang membujur di kaki bukit itu, si orang berkerudung menghentikan langkahnya sejenak. Ditolehkan kepalanya ke belakang guna memastikan bahwa dirinya tidak diikuti lawan.

Panji yang masih berada di seberang kali bergegas melompat ke atas pohon ketika ia melihat si orang berkerudung menghentikan langkahnya. Untunglah gerakan yang dilakukan pemuda itu sangat cepat sehingga Penjagal Alam Akherat itu tidak keburu memergokinya. Setelah memastikan bahwa ia tidak diikuti, si orang berkerudung itu pun bergegas mendekati bukit di depannya. Tubuhnya yang tinggi besar itu berlompatan bagaikan seekor burung besar yang tengah bermain-main di angkasa luas.

Selang beberapa waktu kemudian, si orang berkerudung itu pun tiba didepan sebuah bangunan tua yang di kelilingi tembok yang sudah mulai rusak di beberapa bagian. Tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya lagi, ia pun bergegas memasuki halaman bangunan tua itu. Begitu mengetahui tempat tinggal Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu, Panji pun bergegas kembali melaporkan kepada Jarga Lawa. Kali ini ia mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari yang dimilikinya dengan maksud agar ia dapat tiba di Perguruan Golok Sakti secepat mungkin. Dalam waktu sekejap tubuh pemuda itu berubah wujud menjadi bayangan samar-samar yang berkelebatan seperti hantu.

Panji tiba di Perguruan Golok Sakti itu, disambut hangat oleh belasan orang tokoh dari berbagai perguruan. Kecemasan yang menyelimuti perasaan mereka lenyap seketika begitu mereka melihat Pendekar Naga Putih tiba dengan selamat.

"Bagaimana, Nak Panji? Apa kau sudah menemukan tempat persembunyian iblis-iblis itu?" Tanya seorang tokoh Perguruan Kepalan Sakti tak sabar.

"Sabarlah, Adi. Biar pemuda ini beristirahat dulu," ujar Jarga Lawa menengahi. "Mari kita bicara di da-lam saja," ajak pendekar itu sambil menggamit tangan pemuda itu dan dibawanya masuk ke dalam pendopo Perguruan Golok Sakti.

"Ada apa ini, Paman? Mengapa mereka tampak cemas? Apakah ada sesuatu yang terjadi sepeninggalku tadi?" Tanya Panji sambil mengikuti Jarga Lawa.

"Nantilah aku ceritakan!" Sahut Pendekar Tapak Maut cepat.

Dengan ditemani Ki Palasana, Salangi, Suraga dan beberapa orang tokoh lainnya, Jarga Lawa menceritakan apa-apa yang telah terjadi di tempat itu. Wajah Panji yang dingin dan kaku itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi ketika mendengar cerita Jarga Lawa. Meskipun semua yang diceritakan pendekar itu tak luput dari pendengarannya.

"Oleh karena itu, maka kami bersepakat meminta bantuanmu untuk melumpuhkan Penjagal-Penjagal Alam Akherat yang masih ada tanpa membunuhnya. Kami khawatir di antara para penjagal yang masih ada itu adalah salah seorang dari ketua-ketua perguruan yang lenyap," ujar Jarga Lawa mengakhiri ceritanya dalam nada penuh harapan.

"Jadi, orang berkerudung yang kubunuh itu adalah salah seorang ketua perguruan yang menyamar itu?" Tanya Panji penasaran.

"Ya, begitulah. Tapi yang kami khawatirkan adalah ada orang di belakang layar yang mengendahkan atau mempengaruhi mereka, seperti dugaanmu itu," jawab Pendekar Tapak Maut itu.

"Tapi... Rasanya sulit sekali untuk melumpuhkan orang berkerudung itu tanpa harus melukainya. Sebab kepandaian yang dimilikinya boleh dibilang jarang terdapat di dunia persilatan pada masa kini. Tapi, akan kucoba mengusahakannya, Paman," janji Panji meskipun ia sendiri merasa ragu bisa melakukan itu. Namun, untuk tidak membuat hati para tokoh pendekar itu resah, Panji terpaksa menyanggupinya.

"Nah, sekarang kita harus segera berangkat! Sebagai kepala rombongan ini, kurasa Ki Palasana-lah orang yang tepat. Selain ia lebih berpengalaman, Ki Palasana merupakan orang yang paling tua di antara kita. Bagaimana?" usul Jarga Lawa.

Tanpa ragu-ragu lagi, belasan tokoh pendekar dari beberapa perguruan silat mengangguk setuju. Mereka percaya apa yang dikatakan Pendekar Tapak Maut, karena mereka sudah mengenal siapa itu Ki Palasana yang dijuluki Pendekar Golok Kembar. Setelah semua tokoh menyetujui, maka mereka pun membuat beberapa rencana. Hari itu juga rombongan yang terdiri dari dua puluh orang tokoh persilatan segera berangkat menuju tempat persembunyian Penjagal Alam Akherat.

********************

Di bawah siraman cahaya matahari siang itu, dua puluh orang tokoh persilatan pimpinan Pendekar Golok Kembar tampak tengah mendaki bukit tempat kediaman Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Para tokoh rimba persilatan itu berjalan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh agar kedatangan mereka tidak segera diketahuinya. Wajah-wajah mereka tampak diliputi tegang! Karena mereka sadar bahwa dengan memasuki tempat itu, sama saja memasuki sa-rang harimau. Taruhannya adalah nyawa!

Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tiba di sekitar tanah lapang yang merupakan puncak bukit ini. Dua puluh orang tokoh itu bergegas merapatkan tubuhnya ke pepohonan yang banyak tumbuh di se-kitar tempat ini. Didepan mereka tampak sebuah bangunan tua berdiri angker!

"Biar, aku yang akan menyelidikinya sebentar," ujar Panji melihat puluhan orang tokoh itu tampak ragu-ragu. Begitu ucapannya selesai tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan mereka. Mau tidak mau para tokoh itu menggelengkan kepala melihat kepandaian ilmu silat yang dimiliki pemuda tampan itu.

"Luar biasa! Pemuda itu tak ubahnya seperti orang yang pandai menghilang saja!" gumam salah seorang tokoh yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan Panji.

Tidak lama kemudian, terlihat pendekar muda yang mereka bicarakan itu tampak memberikan isyarat bahwa keadaan didepan mereka aman. Cepat Pendekar Golok Kembar menggerakkan tangannya agar para tokoh memecah menjadi dua kelompok. Mereka segera bergerak mendekati bangunan tua itu dari arah samping. Jarga Lawa memimpin delapan orang tokoh melewati samping sebelah kiri. Ki Palasana dan sembilan orang tokoh lainnya mendekati bangunan dari samping kanan. Sedangkan Pendekar Naga Putih yang masuk duluan melalui depan bangunan, bergerak cepat menotok dua orang penjaga gerbang. Dua orang penjaga itu melorot jatuh sebelum sempat berteriak. Dengan kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata, pemuda itu melesat menuju samping gedung. Ia mengerutkan keningnya ketika pada bagian samping kanan gedung itu ia melihat empat sosok tubuh menggeletak berlumuran darah.

"Hm... rupanya Ki Palasana sudah masuk ke dalam," gumam Panji pelahan. Secepat kilat Panji menjejakkan kakinya ke atas bangunan ketika ia mendengar suara pertempuran yang berasal dari bagian samping kiri bangunan. Di tempat itu terlihat rombongan yang dipimpin Jarga Lawa tengah bertarung melawan enam orang penjaga yang rupanya memergoki rombongan Pendekar Tapak Maut itu.

"Terlihat Paman Jarga Lawa tidak mengalami kesulitan, dalam menghadapi enam orang penjaga bersama-sama kawan-kawannya," kata Panji dalam hati, melihat akan hal itu ia berniat meninggalkan tempat pertempuran. Tapi matanya tertumbuk delapan orang penjaga lainnya yang berlari menghampiri arena pertarungan. Hingga langkah kakinya tertahan.

Jarga Lawa dan Suraga melompat menghadang kedelapan orang penjaga yang mendatangi tempat itu. Kedua orang pendekar itu segera menerjang lawan-lawannya cepat dan ganas. Karena keduanya ingin cepat-cepat menyelesaikan sebelum diketahui oleh penjaga-penjaga lainnya. Namun Jarga Lawa dan Suraga terkejut mendapat perlawanan sengit. Delapan orang penjaga yang baru datang itu ternyata lebih hebat dari enam orang sebelumnya. Hingga dalam lima jurus mereka menerjang tapi senjata-senjata mereka belum juga dapat melukai tubuh lawan-lawannya. Tentu saja hal itu membuat mereka cemas!

Delapan orang penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi terus mendesak Jarga Lawa dan Suraga yang menjadi lawan mereka. Sinar-sinar pedang mereka berkelebatan mencari sasaran, sehingga Jarga Lawa dan Suraga kewalahan dibuatnya. Cepat keduanya melompat kebelakang guna mempersiapkan serangan berikutnya.

"Hiaaa...!" Disertai teriakan yang nyaring, tubuh Jarga Lawa dan Suraga melayang ke arah delapan orang lawannya. Senjata Suraga menderu membentuk gulungan-gulungan cahaya yang menyilaukan mata.

Traaang!

Brettt! Brettt!

"Aaakh...!"

Dua di antara delapan orang penjaga itu terguling mandi darah. Tebasan golok Suraga meskipun berhasil drtangkis lawannya. Tapi ia masih bisa menem-bus dan membabat tubuh dua orang lawannya berkat kelihaiannya. Hingga tewas!

Desss! Desss!

"Aaargh...!"

Kembali terdengar dua jeritan kematian yang merobek udara, disusul terlempamya dua orang penjaga lainnya. Tubuh kedua orang itu terbanting keras di tanah. Darah segar menyembur dari mulut mereka hingga dua orang itu menghembuskan napas terakhir. Pada bagian dada mereka tampak memerah akibat hantaman telapak tangan Jarga Lawa yang amat kuat itu.

"Keparat!" Salah seorang penjaga yang berwajah kehltaman menggeram marah, ia meluncur cepat ke arah dua orang pendekar itu.

Jarga Lawa dan Suraga melompat menghindari se-rangan yang berbahaya itu. Pada saat senjata lawan lewat di sampingnya, Jarga Lawa melepaskan sebuah tendangan kilat yang meluncur deras ke lambung lawannya. Si penjaga itu rupanya cukup cerdik. Secepat itu juga, senjatanya memutar dan menebas kaki Pendekar Tapak Maut Cepat Jarga Lawa menarik pulang tendangannya. Sambil melompat berputar, pendekar itu melakukan sebuah tendangan ke pelipis si penjaga berwajah kehitaman itu. Dan....

Blakkk!

"Aduhhh!" Penjaga itu menjerit kesakitan ketika tumit Pendekar Tapak Maut tepat menghantam pelipisnya. Tubuh orang itu melintir bagaikan sebuah gasing. Sesaat kemudian, ia pun ambruk dan tak mampu bangkit lagi karena tengkorak kepalanya telah retak akibat tendangan maut yang dilakukan Jarga Lawa.

Kini tinggal tiga orang penjaga lagi yang masih tersisa, dan berniat melarikan diri dari tempat itu. Namun, wajah mereka mendadak pucat ketika didepan mereka berjajar tujuh orang pendekar dengan tatapan penuh ancaman. Rupanya para kawanan pendekar itu telah pula menghabisi keenam orang musuhnya.

Panji yang merasa bahwa Jarga Lawa dan yang lainnya tidak membutuhkan bantuan, bergegas meninggalkan arena pertarungan. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat di atas atap bangunan itu. la berniat untuk mencari orang berkerudung yang sampai saat ini belum juga muncul.

"Aaakh...!" Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang membelah udara. Parqi mendengar suara teriakan mempercepat larinya dan mencari dari mana asal suara teriakan itu. Alangkah terkejutnya Pendekar Naga Putih ketika melihat rombongan yang dipimpin Ki Palasana tengah bertarung sengit melawan orang berkerudung yang dicari-carinya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh Pariji meluncur dari atas atap dan langsung menerjunkan dirinya ke dalam kancah pertarungan.

DELAPAN

Dukkk!

"Uhhh...!" Terdengar suara benturan keras ketika Panji menangkis pukulan orang berkerudung yang mengancam salah seorang anggota rombongan Ki Palasana. Penjagal Alam Akherat itu mengeluh dan tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah kebelakang. Si orang berkerudung menggigil sesaat menahan hawa dingin yang masuk ke dalam tubuhnya.

"Grhhh...!" Penjagal Alam Akherat itu menggeram marah ketika melihat kemunculan pemuda berpakaian serba putih itu. Selintas terlihat kegentaran yang terpancar dari matanya. Sedetik kemudian rasa gentar sudah berubah menjadi beringas!

"Nak Panji, dalam melumpuhkannya hati-hati tanpa harus membunuh. Siapa tahu orang berkerudung itu adalah salah satu dari ketua perkumpulan yang hilang," bisik Ki Palasana mengingatkan pemuda itu akan janjinya.

"Akan kucoba, Ki!" sahut Panji cepat menenangkan hati ketua Perguruan Golok Sakti dan yang lainnya.

"Hm!" Sambil mendengus gusar, tubuh si Penjagal Alam Akherat melayang ke arah Panji dengan tangan terkembang, deru angin mengiringi serangannya. Rupanya dalam kemarahannya orang berkerudung itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih yang diketahui kepandaiannya.

Untunglah Panji cepat menguasai dirinya agar kekuatan tenaga sakti liar yang meronta-ronta di dalam tubuhnya terkendalikan. Lapisan kabut bersinar putih keperakan berpendar di sekeliling tubuh-nya. Beberapa orang pendekar segera menyingkir dari tempat itu ketika merasakan hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka.

"Gila! Kekuatan tenaga sakti yang dimiliki pemuda itu rasanya mustahil mengingat usianya yang masih demikian muda?!" Gumam Salangi, seolah tak percaya apa yang disaksikannya.

Panji berkelebat di antara sambaran pukulan-pukulan maut lawannya. Sampai saat itu ia masih dapat menguasai alam pikirannya sehingga ia tidak sampai melepaskan pukulan-pukulan pembawa maut bagi si orang berkerudung itu. Ia hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya guna menghindari serangan Penjagal Alam Akherat itu. Sambil terus menghindari, sesekali Panji membalas serangan lawan. Serangan balasannya itu dimaksudkan hanya untuk meredam pukulan-pukulan maut lawan agar tidak sampai terdesak. Pemuda itu masih tetap lebih banyak menghindar, guna mencari kelemahan lawan.

"Hiaaat"

Wuttt! Wuttt!

Dua buah pukulan yang memperdengarkan suara mencicit tajam lewat di sisi kepala Panji. Ketika pemuda itu memiringkan kepalanya menghindari pukulan itu. Pada saat itu juga, tangannya bergerak melakukan beberapa kali totokan kilat. Namun, alangkah terkejutnya Panji ketika melihat lawannya sama sekali tidak berusaha untuk menghindarkan totokannya itu. Pendekar Naga Putih terpaksa menarik pulang totokan kilatnya. Tentu saja Panji menjadi geram melihat kelicikan lawan. Dan posisi Panji kini menjadi lebih sulit, karena setiap kali ia melakukan totokan, si orang berkerudung sama sekali tidak berusaha mengelak. Malah ia sengaja membarenginya dengan pukulan yang mematikan!

Sehingga dalam jurus-jurus berikutnya, Panji dibuat sibuk oleh pukulan-pukulan yang dilancarkan lawannya. Si orang berkerudung kini tidak merasa kuatir dengan serangan-serangan pemuda itu yang dianggapnya tidak membahayakan keselamatannya. Karena si orang berkerudung sudah membaca maksud yang tersembunyi di balik pikiran pemuda itu.

"Keparat licik!" Maki Panji gusar, karena ia benar-benar dibuat tidak berdaya oleh si orang berkerudung.

Pada jurus yang keempat puluh tujuh, sebuah pukulan si orang berkerudung tak dapat lagi dihindari Panji. Pukulan yang didorong tenaga yang amat kuat itu menghantam dada Panji.

Bukkk!

"Ahhh...!?" Apa yang terjadi?! Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan itu terbelalak! Para tokoh persilatan itu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang disaksikannya itu!

Aneh! Pukulan si orang berkerudung luput menghantam dada Panji. Lapisan kabut yang melindungi tubuh Panji berpendar menyilaukan mata! Disertai jeritan kengerian, tubuh si orang berkerudung terpental dan menghantam sebuah tembok yang berada di belakangnya. Tembok batu yang kokoh itu hancur berantakan hingga menimbulkan suara ribut!

Ki Palasana dan para tokoh yang lainnya begitu tersadar dari keterkejutannya langsung berlari memburu ke arah si orang berkerudung. Wajah mereka memucat ketika melihat tubuh si orang berkerudung yang tergeletak tak berdaya itu tampak di kelilingi oleh kabut yang bersinar putih keperakan seperti kabut yang selalu menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih. Tubuh Penjagal Alam Akherat itu mengejang kaku bagaikan mayat yang dibekukan di dalam gumpalan es!

"Gila! Padahal kekuatan tenaga dalam orang berkerudung ini sudah tak ada yang menandingi. Tapi ternyata kekuatannya itu tak berarti banyak bagi pemuda itu! Entah kekuatan apa yang dimiliki pemuda itu hingga sampai sedemikian dahsyatnya!" gumam Ki Palasana tak habis mengerri dengan keja-dian yang disaksikannya itu.

Jangankan orang lain. Sedangkan Panji sendiri sampai terkejut ketika menyaksikan kejadian yang dialaminya itu. Pemuda itu memang merasakan suatu kekuatan raksasa bergolak di dalam tubuhnya. Dan kekuatan raksasa itu membobol keluar ketika pukulan Penjagal Alam Akherat menghantam dadanya. Pemuda itu baru menyadari betapa dahsyatnya kekuatan tenaga sakti liar yang tersembunyi di dalam tubuhnya. Dan hal itu membuatnya semakin menyadari betapa berbahayanya. Kemudian Panji menghampiri Ki Palasana.

"Maafkan aku, Paman. Aku... Aku sama sekali tidak bermaksud membunuhnya." Ujar Panji ketika ia sudah berada di samping Pendekar Golok Kembar yang tengah memperhatikan mayat orang berkerudung itu.

Ki Palasana mengangguk lemah. la pun mengetahui bahwa kejadian itu memang bukan kehendak Pendekar Naga Putih. Ketua Perguruan Golok Sakti itu berdiri dan menepuk-nepuk bahu Panji pelahan agar pemuda itu tidak terlalu merasa telah berbuat kesalahan.

"Benar, Nak Panji. Meskipun mayat orang berkerudung ini adalah ketua perguruan kami, namun kami sama sekali tidak menyalahkanmu. Karena kami tahu bahwa engkau sudah berusaha untuk tidak membunuhnya. Jadi janganlah engkau merasa bersalah atas kematiannya," selak laki-laki gagah berpakaian merah hari dari Perguruan Kepalan Sakti kepada pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat Panji menjadi lega, karena orang berkerudung yang menjadi mayat itu adalah Ketua Perguruan Kepalan Sakti itu.

"Terima kasih, Kisanak. Ucapanmu itu benar-benar telah membuatku menjadi lega," sahut Panji, tersenyum menyeringai dengan rasa nyeri pada dirinya.

"Hm... entah apa yang tengah diderita pemuda ini. Tampaknya ia begitu tertekan sekali," kata Ki Palasana dalam hati melihat senyum yang aneh di wajah pemuda yang dikaguminya itu. Sebagai seorang pendekar yang telah memiliki pengalaman yang luas, pendekar itu dapat mengetahui bahwa anak muda yang dikaguminya itu tengah mengalami suatu tekanan batin yang cukup hebat.

"Setan belang! Siapa pula yang telah berani mati membuat keonaran ditempatku ini?" Tiba-tiba terdengar bentakan yang menggeledek. Dan belum suara gema itu lenyap. Sesosok tubuh kurus telah melayang turun.

Panji dan para tokoh persilatan yang berada di tempat itu terkejut di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh tinggi kurus yang berambut panjang. Orang itu berdiri dalam jarak lima tombak. Sinar matanya liar menyapu wajah para tokoh persilatan yang berada di hadapannya itu. Sesaat orang tinggi kurus itu termangu ketika melihat sosok tubuh berpakaian hitam yang telah menjadi mayat itu. Sepasang matanya bergerak menyelidik seolah ia ingin mencari siapa gerangan yang telah membunuh orang berpakaian hitam itu.

Sebelum orang tinggi kurus yang menyeramkan itu membuka suaranya, tiba-tiba beberapa sosok tubuh melayang dan mendarat ringan di dekat Panji dan yang lainnya. Mereka tidak lain adalah Jarga Lawa, Suraga dan para tokoh lainnya yang telah selesai membunuh para penjaga.

"Ke mana yang lainnya, Jarga?" Tanya Ki Palasana ketika melihat kedatangan Jarga Lawa yang hanya di-iringi enam orang itu.

"Mereka telah tewas, Ki," sahut Jarga Lawa lesu. Setelah berkata demikian, pendekar itu menolehkan wajahnya ke arah laki-laki tinggi kurus yang kebetulan saat itu juga menatap tajam ke arahnya. Sesaat kening pendekar itu berkerut seolah sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Ki Kalianjar...!?" Gumam Pendekar Tapak Maut agak terkejut.

"Kau mengenai kakek tinggi kurus itu, Paman?" Tanya Panji yang mendengar gumam Jarga Lawa ingin tahu.

"He he he... rupanya kau masih ingat kepadaku, Jarga Lawa," ujar kakek tinggi kurus itu sambil mempermainkan jenggotnya yang panjang dan berwarna putih itu.

"Dia adalah kakak seperguruan guruku yang telah menyeleweng dari perguruan. Dia telah diusir oleh kakek guruku sepuluh tahun yang lalu karena tertangkap basah ketika hendak menodai istri guruku. Entah apa keperluannya ia muncul di tempat ini?" Tutur Jarga Lawa dengan suara rendah.

"Sepertinya dialah orang di belakang layar yang tengah mempengaruhi ketua-ketua perguruan dan membentuknya menjadi Penjagat-Penjagal Alam Akherat. Mungkin tujuannya adalah untuk membalas sakit hatinya itu," jelas Panji menduga-duga.

"He he he... Tidak salah apa yang kau katakan itu, Anak Muda. Memang aku yang telah melakukan penculikan-penculikan terhadap beberapa ketua perguruan di daerah Selatan ini pada beberapa bulan yang lalu. Kemudian kuberi minuman sejenis ramuan kepada mereka hingga mereka tak ubahnya sesosok mayat hidup yang selalu mematuhi perintahku. Lalu aku perintahkan kepada mereka untuk membunuh siapa saja yang mereka jumpai terutama membinasakan seluruh perguruan yang ada di daerah Selatan ini." Tutur kakek itu terkekeh gembira karena usahanya telah berhasil dengan baik.

"Keparat! Kau sembunyikan di mana guruku sekarang?" Teriak Pendekar Tapak Maut menggeram marah ketika mendengar pengakuan Ki Kalianjar. la benar-benar tidak menduga sama sekali bahwa biang keladi dari bencana yang terjadi selama ini adalah eyang gurunya yang sesat itu.

"He he he... dia hanya tinggal menunggu kematiannya saja karena telah dilukai oleh seorang yang berkepandaian lebih tinggi darinya," sahut kakek tua yang bernama Ki Kalianjar itu terkekeh.

"Tapi mengapa para Penjagal Alam Akherat yang kau perintah itu tidak mempergunakan ilmu aslinya?" Desak Ki Palasana penasaran.

"Tentu saja aku tidak sebodoh itu membiarkan mereka mempergunakan ilmunya sendiri. Kalau begitu caranya bisa berantakan rencanaku karena kalian tidak mungkin mau untuk menghadapi guru kalian sendiri. Karena itu aku sengaja memasukkan ke dalam tubuh mereka sejenis ramuan dari tumbuhan yang dapat melipat gandakan kekuatan tenaga dalam mereka. Juga kulatih mereka dengan ilmu baru yang kuciptakan selama sepuluh tahun. Dengan demikian, maka rencanaku pun berjalan mulus. He he he...!" Kakek itu membuka rahasia yang selama ini disimpannya, karena ia begitu yakin para tokoh persilatan itu tidak akan berumur panjang.

"Keparat kau manusia sesat! Terimalah pembalasanku! Hiaaat..!" Sambil berteriak keras, Jarga Lawa melompat dan menerjang dengan menggunakan ilmu andalannya.

"He he he. Kau ingin memamerkan ilmu 'Tapak Pembeku Darah' itu kepadaku, Jarga Lawa. Nah, kau lihat baik-baik bahwa ilmu andalanmu itu tak lebih dari sekadar permainan anak-anak," seru Ki Kalianjar mengejek sambil menggeser kaki kanannya hingga hantaman telapak tangan Jarga Lawa mengenai tempat kosong. Begitu pula dengan dua buah serangan lainnya. Kedua serangan itu pun dapat dielakkannya dengan mudah. Tentu saja hal itu membuat Jarga Lawa penasaran. Dengan mengempos semangatnya pendekar itu kembali menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.

"Hm!" Sambil mendengus gusar, Ki KaBanjar mengangkat lengannya memapak pukulan telapak tangan yang dilancarkan Jarga Lawa. Dan....

Plakkk! Plakkk! Desss!

"Hukkk...!" Tubuh Jarga Lawa terlempar mundur akibat tangkisan yang luar biasa kuatnya. Sebelum ia sempat bertindak, tahu-tahu saja kepalan lawan telah bersarang di perutnya. Pendekar Tapak Maut terlempar keras. Darah segar menyembur dari mulutnya. Untunglah pada saat itu Panji melompat dan menang-kap tubuh pendekar itu. Kalau tidak, tubuh pendekar itu past akan membentur tembok di belakangnya.

"Berisrirahatlah, Paman. Biar aku yang akan mencoba untuk menghadapi kakek itu," ujar Pendekar Naga Putih sambil menyerahkan tubuh Pendekar Tapak Maut kepada tokoh yang lainnya. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar muda itu melompat ke-hadapan Ki KaBanjar.

"Siapa kau, Anak Muda? Rasanya aku belum pernah mengenalmu?" Tanya kakek itu sambil menatap seluruh tubuh Panji penuh selidik. Tiba-tiba sepasang mata kakek itu tertumbuk pada gagang pedang yang melingkar di pinggang pemuda itu. "Hm... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih, Anak Muda?"

"Benar! Akulah Pendekar Naga Putih yang akan mengakhiri segala kejahatanmu, Kakek lblis!" Jawab Panji yang membuat sepasang mata kakek itu terbelalak.

"He he he... Orang lain boleh takut mendengar nama julukanmu, Pendekar Naga Putih. Tapi kali ini aku akan membuatmu jatuh berlutut dan mencium telapak kakiku," ujar Ki KaBanjar bersumbar.

"Hm... kalau begitu bersiaplah, Kakek Tua!" Seru Panji memperingatkan. Darah Panji mendidih di benaknya terbayang mayat-mayat penduduk desa yang ditemuinya dl dalam perjalanan. "Orang seperti kakek ini tidak pantas untuk dibiarkan hidup lebih lama. Karena la hanya akan menimbulkan bencana di muka bumi ini," kata Panji daiam hati.

Tenaga sakti yang mengendap di dalam tubuh pemuda itu seketika bergolak. Ia menarik napas dalam-dalam seraya menggerakkan tangan membentuk cakar naga. Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu pun meluncur ke arah lawan. Kedua tangannya menyambar-nyambar laksana seekor naga yang sedang murka!

Sadar bahwa ia berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang terkenal itu, Ki Kalianjar segera mengeluarkan ilmu andalannya. Sesaat kemudian tubuh kakek itu berputar cepat bagaikan baling-baling, sehingga tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang samar yang meluncur ke tubuh lawan. Sesekali jari-jari tangannya muncul memapaki ke tubuh lawan. Sesekali jari-jari tangannya muncul secara tak terduga, siap mengancam tubuh lawannya.

Begitu bayangan kakek itu hampir di dekat Panji, tiba-tiba saja bayangan tubuh orang itu terpecah menjadi tujuh bagian. Itu salah satu keistimewaan ilmunya yang bernama 'Tujuh Bayangan Iblis'. Namun, daya tangkap sepasang mata Panji tentu tidak bisa disamakan dengan daya tangkap orang lain. Hingga di mata orang lain bayangan kakek itu tampak terpecah-pecah, tapi bagi Panji hal itu tidak berlaku. Oleh karena itu mengapa Panji dapat menghindari cengkeraman lawannya demikian mudah.

Wuttt! Wuttt!

Kembali dua kali cengkeraman kakek itu berhasil dielakkan Panji. Dan pemuda itu pun langsung membalasnya dengan tidak kalah cepat. Jari-jari tangan Panji yang membentuk cakar naga menyambar secepat kilat ke arah tenggorokan lawan.

Werrrt!

"Hm!" Ki Kalianjar mendengus sambil memiringkan kepalanya sehingga serangan pemuda itu menyambar angin. Sambil memiringkan kepalanya, kakek itu melepaskan tendangan kilat ke lambung Panji. Namun dengan cepat tangan yang mencakar itu menepis tendangan Ki Kalianjar.

Plakkk!

"Uhhh...!" Tubuh kedua orang sakti itu terpental mundur. Wajah Ki Kalianjar menyeringai menahan rasa sakit Tulang keringnya terhantam lengan Panji. Ia merasakan tulang kakinya seperti baru saja bertemu dengan gumpalan salju yang sekeras bagai baja. Kakek itu terlihat agak terpincang-pincang.

"Uh, Bangsat Keparat! Rasakan pembalasanku!" Teriak Ki Kalianjar menggeram marah. Di tangannya telah tergenggam sebatang tongkat berkepala ular.

"Hiaaat..!" Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh si kakek melesat sambil memutar tongkatnya hingga menimbulkan deru angin dahsyat. Debu, daun-daun kerihg dan batu kerikil beterbangan bagaikan dilanda angin topan yang hebat!

Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan dari jarak jauh, terpaksa berlari menghindari, karena batu-batu kecil yang beterbangan mengenai tubuh mereka. Hingga para tokoh persilatan terpaksa harus bersembunyi.

"Mudah-mudahan saja Pendekar Naga Putih dapat mengatasi kakek iblis itu," desah Jarga Lawa yang terlihat cemas, melihat kepandaian yang dimiliki eyang gurunya yang sesat itu. Setelah menghilang sepuluh tahun.

"Aku rasa pemuda itu mampu menundukkan si kakek itu," kata Ki Palasana yakin. Ia sudah melihat bagaimana Panji menghadapi Penjagal Alam Akherat yang akhirnya tewas begitu pukulannya mengenai tubuh pemuda itu. Hal ini membuat pendekar itu merasa yakin.

Saat itu pertarungan sudah memasuki pada jurus yang ke sembilan puluh tujuh. Tubuh Ki Kalianjar melesat ke arah Panji sambil mengayunkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur mengancam kepala Panji. Panji merendahkan tubuhnya sedikit dalam menghadapi sambaran tongkat lawan. Dan secepat kilat tangan kanannya meluncur menghantam tepat di tengah-tengah tongkat itu.

Wuuut! Krakkk!

"Aaakh...!" Ki Kalianjar menjerit kaget! Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah. Dari sela-sela bibirnya tampak menetes darah segar. Sedangkan tongkat kepala ularnya telah patah menjadi dua bagian. Wajah kakek itu pucat bagaikan tak dialiri darah. Ia sama sekali tidak menyangka kecepatan Panji melebihi kecepatan geraknya sendiri. Dan hal itu benar-benar di luar perhitungannya!

"Keparaaat!" Geram Ki Kalianjar sambil menyeka darah yang menetes dari sela-sela bibirnya. Tangkisan pemuda itu rupanya juga telah membuat dadanya sesak. Kedua tangannya cepat melakukan gerakan untuk mengusir hawa dingin yang merasuk ke tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali meluncur sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya.

"Yeaaat..!" Angin keras menderu menyertai dorongan sepasang telapak tangan kakek sakti itu. Rupanya kali ini ia benar-benar hendak mengadu nyawa dengan Pendekar Naga Putih.

"Hiaaat..!"

Melihat lawannya melompat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya, Panji pun berseru keras. Detik itu juga tubuhnya meluncur dengan dorongan telapak tangannya. Kabut bersinar putih keperakan berpendar disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Beberapa orang pendekar yang tenaga dalamnya kurang kuat, jatuh melorot ketika mendengar teriakan Panji yang melebihi ledakan guntur. Sedang yang lainnya cepat mengerahkan tenaga batin guna melin-dungi dada mereka agar tidak terguncang.

Blarrr!

"Aaa...!" Luar biasa! Benturan dua gelombang tenaga sakti yang dahsyat telah menggetarkan bangunan tua di sekitarnya. Beberapa bagian runtuh karena pengaruh getaran yang ditimbulkan benturan itu.

Tubuh Ki Kalianjar melayang bagaikan sehelai daun kering yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu terus meluncur menabrak dinding bangunan hingga jebol! Darah segar seketika muncrat dari mulut kakek tua itu. Setelah menjebol dinding, tubuh orang tua itu pun jatuh berdebuk di atas runtuhan tembok itu. Darah terus mengalir menggenang di bagian kepalanya karena pembuluh darah kepala orang tua itu telah pecah akibat benturan yang sangat dahsyat itu! Ki Kalianjar tewas seketika itu juga.

Sedangkan Panji masih jungkir balik di udara. Guna mematahkan akibat benturan yang hebat itu. Pemuda itu benar-benar kagum akan kekuatan tenaga dalam kakek tua itu yang benar-benar hampir mencapai titik kesempurnaan. Panji mendarat ringan di tanah. Wajahnya tetap dingin dan kaku.

"Nak Panji! Kau tidak apa-apa?" Tanya Jarga Lawa setelah mendatangi pemuda itu. Wajah Jarga Lawa itu tampak cemas. Sepertinya ia mengkhawatirkan ke-adaan pemuda itu.

"Terima kasih, Paman, aku tidak apa-apa," jawab Panji cepat. Setelah berkata demikian, Panji segera mohon pamit kepada Jarga Lawa, yang berjuluk Pendekar Tapak Maut itu. "Maaf, Paman, aku harus pergi," pamit Panji. Tanpa menunggu jawaban Pendekar Tapak Maut, tubuh pemuda itu sudah melesat meninggalkan tempat itu.

Jarga Lawa tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah kepergian Panji. Lalu ia menghampiri kawan-kawannya yang tengah berkerumun di dekat mayat Ki Kalianjar. Sang Matahari sudah naik semakin tinggi. Tak lama kemudian, kegelapan pun mulai nampak di permukaan bumi.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.