Serial Pendekar Naga Putih
Episode Dewi Baju Merah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Dewi Baju Merah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
MATAHARI baru saja menampakkan kekuasaannya di muka bumi. Dari cakrawala Timur, sinarnya yang hangat menjilati pucuk-pucuk dedaunan yang bergoyang-goyang lembut tertiup angin pagi. Seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun lebih, tengah melangkahkan kakinya yang kecil kurus di atas tanah berumput. Sesekali kepalanya mendongak memandang cakrawala yang jernih.
Setelah berhenti sejenak, bocah laki-laki itu melanjutkan langkahnya ke arah jalan utama yang menuju Desa Tunjung. Meskipun kakinya kurus, namun langkahnya nampak gesit dan kokoh. Sepertinya, dia memang sudah terbiasa berjalan jauh. Wajahnya yang berkulit agak gelap itu telah dibasahi keringat yang mengalir turun ke leher dan pakaian kumalnya.
Begitu memasuki desa, dihampi- rinya sebuah kedai makan yang cukup ramai. Bocah itu berdiri di depan pintu kedai, memperhatikan orang-orang yang sedang menikmati hidangan. Tampak lehernya seperti turun naik karena meneguk air liur ketika melihat orang-orang yang demikian nikmatnya melahap hidangan. Sepasang matanya menatap sayu membayangkan nikmatnya bila mencicipi hidangan itu. Seorang pelayan yang berusia se- kitar tiga puluh tahun, bergegas menghampiri bocah itu. Wajahnya tampak masam dan keningnya berkerut dalam.
"Hei! Kalau hendak mengemis, nanti saja. Hayo pergi sana! Bikin orang kehilangan selera saja!" bentak pelayan itu sambil mendorong tubuh si bocah.
"Paman, aku bersedia mengerjakan apa saja asalkan diberi makan. Aku lapar sekali, Paman," ratap bocah laki-laki itu memandang dengan penuh permohonan.
"Huh! Anak sekecil kau bisa apa?!" hardik pelayan itu, sinis. Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat tatapan memelas bocah bertubuh kumal itu.
"Aku bisa mengerjakan apa saja, Paman. Sungguh!" sahut bocah itu bersemangat. Sepasang matanya bersinar penuh harap.
"Sudah, sudah! Pergi sana! Baumu sudah tidak sedap!" maki si pelayan seraya menggerakkan tangannya mengusir.
Bocah itu tetap tak bergeming sedikit pun. Hal ini membuat pelayan itu naik darah. Maka.... "Hayo, pergi! Atau kau kupukul!"
Bocah itu sama sekali tidak bergerak. Bahkan menatap tajam tanpa gentar.
Plakkk!
Pelayan itu menampar wajah si bocah hingga terpelanting jatuh ke tanah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun, bocah itu langsung bangkit sambil mengusap darah pada bibirnya. Sepasang matanya yang bening berkilat, menatap penuh dendam.
"Bocah setan! Apa minta kupukul lagi?" pelayan itu semakin naik pitam melihat pancaran tantangan pada mata si bocah. Tangan kanannya kembali terangkat, siap melakukan tamparan yang kedua.
Tanpa berkata sepatah kata pun, bocah kurus bertubuh kumal itu berbalik dan melangkah meninggalkan kedai makan. Sesekali kepalanya menoleh memandangi si pelayan yang masih menatapi kepergiannya.
"Bocah sial! Pagi-pagi sudah membikin orang marah," pelayan itu melangkah masuk sambil bersungut-sungut tak puas. Kemudian pekerjaannya kembali diteruskan.
Bocah laki-laki itu meneruskan langkahnya menyusuri jalan utama Desa Tunjung. Bibirnya digigit kuat-kuat menahan rasa perih pada perutnya yang sudah beberapa hari tidak dimasuki makanan. Sepanjang perjalanan sebelum memasuki Desa Tunjung, ia hanya makan dedaunan muda dan minum air sungai yang ditemui.
"Hei, Teman-Teman! Lihat, ada anak jembel gila!" teriak seorang bocah laki-laki berumur sekitar tiga belas tahun. Tubuhnya lebih jangkung daripada si bocah kurus berpakaian kumal yang terus saja melangkah tanpa mempedulikan teriakan itu.
"Hayo, kita lempari batu!" sambut bocah yang lain sambil berlari mendekati anak lelaki jangkung yang menjadi teman sepermainannya. Lima orang lainnya langsung bersorak sambil berlarian mengitari si bocah jembel.
"Heh, Anak Jembel! Siapa namamu? Mau apa kau datang ke desa ini?" tanya seorang bocah gemuk sambil mendorong bocah jembel kurus itu.
"Mungkin hendak mencari sisa- sisa makanan. Lihat saja, tubuhnya begitu kurus. Ia pasti tengah kelaparan," timpal anak jangkung itu, yang kemudian tertawa keras.
Teman-temannya yang berjumlah enam orang itu serentak tertawa-tawa. Telunjuk mereka ditudingkan ke arah si bocah jembel yang hanya terpaku menatap anak-anak nakal itu.
"Heh! Mengapa kau melotot padaku? Marah, ya? Mau menantang berkelahi?" bentak anak jangkung itu sambil mendorong-dorong tubuh bocah jembel ke belakang. Sementara seorang anak lainnya sudah berjongkok di belakang tubuh bocah jembel kurus itu. Akibatnya, tubuh bocah itu terjatuh karena kakinya terlanggar anak gemuk yang berjongkok di belakangnya.
"Ha ha ha...!"
Ketujuh orang anak nakal itu tertawa terpingkal-pingkal sambil me- megangi perut yang mendadak mules melihat adegan yang dianggap sangat menggelikan itu. Si bocah jembel bangkit dan berdiri tegak memandang anak-anak yang mengganggunya itu. Sinar matanya berkilat memancarkan amarah yang masih ditahan. Rupanya dia sama sekali tidak merasa gentar meskipun anak-anak yang mengganggunya itu berjumlah banyak.
"Mengapa kalian menggangguku? Apa salahku kepada kalian?" tegur bocah jembel itu, bernada menuntut.
Mendengar teguran si bocah jembel, ketujuh orang anak nakal itu menghentikan tawanya. Kemudian si jangkung melangkah, mendekatinya dengan mata melotot marah. "Salahmu karena lewat di depan kami tanpa permisi! Apa kau kira kami ini patung?" jawab anak jangkung itu sambil mendorong hingga tubuh kurus itu terhuyung ke belakang dan hampir jatuh.
"Hm.... Apakah orang-orang yang lewat di jalan ini harus meminta izinmu dulu? Memangnya kau raja?" bantah bocah jembel itu tanpa rasa takut sedikit pun. Padahal lawannya jauh lebih besar darinya.
"Kurang ajar! Kau berani menantangku, ya!" bentak anak jangkung itu marah. Tangan kanannya langsung melancarkan pukulan ke wajah bocah jembel.
Digkh!
Si bocah jembel mengaduh kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke atas tanah. Cepat ia bergerak bangkit dan bersiap melawan.
"Ayo, pukul lagi! Jangan dikasihani anak jembel gila itu!" teriak salah seorang anak memberi semangat ke- pada kawannya yang segera disambut sorak-sorai oleh yang lainnya.
Anak jangkung itu kembali memukul dan menendang sekuat tenaganya. Rupanya semangatnya benar-benar terbangkit setelah mendapat dukungan teman-temannya. Namun bocah jembel itu melakukan perlawanan tanpa merasa takut sedikit pun. Meskipun tubuhnya lebih kecil, namun tampak kokoh dan kekar. Apalagi dia terbiasa hidup liar dan keras, sehingga membentuk anak laki-laki yang kuat dan tabah.
Pukulan dan tendangan lawannya yang bertubuh lebih besar itu berkali-kali mendarat di tubuh dan wajahnya. Tapi setiap kali terjatuh, ia langsung bangkit dan melakukan perlawanan sengit. Sepertinya, bocah jembel itu tidak pernah jera dan tidak merasa lelah. Ini karena semangat dan ketabahannya yang tinggi. Dan lama kelamaan pukulan dan tendangannya mulai mendarat di tubuh dan wajah lawannya.
Ketika mendapat pukulan di wajahnya sebanyak tiga kali, anak jangkung itu pun terjatuh sambil menjerit kesakitan. Sebelum anak jangkung itu sempat berdiri, si bocah jembel sudah melompat dan menduduki perutnya. Bahkan kedua tangannya memukul berganti-ganti ke wajah anak jangkung itu hingga matang biru.
Melihat perkembangan yang mendebarkan itu, enam orang lainnya serentak berlari dan menyerang si bocah jembel. Pukulan-pukulan dan tendangan keenam anak nakal itu langsung mendarat di wajah dan seluruh tubuhnya. Akibatnya tubuh dan wajah bocah jembel itu kini bengkak-bengkak.
"Curang! Pengecut! Kalian beraninya main keroyok!" teriak bocah jembel itu sambil berlari menghindar. Otaknya yang cerdik berputar cepat untuk menghadapi keroyokan itu. Ia memang tidak mau melarikan diri. Dia yakin lawan-lawannya pasti akan terus mengejar. Dan kalau tertangkap, pasti akan dipukuli habis-habisan. Bocah jembel yang tabah dan cerdik karena kepahitan hidup yang dijalaninya itu, bergegas mengambil sepotong kayu yang tergeletak di tepi jalan. Kemudian tubuhnya berbalik menghadapi anak-anak nakal itu sambil menggenggam kayu erat-erat
Wajah ketujuh orang anak itu me- mucat ketika melihat lawannya telah menggenggam sepotong kayu sebesar lengan. Mereka pun segera menghambur berpencar meninggalkan tempat itu ketika si bocah jembel maju sambil mengayun- ayunkan kayu ditangannya.
"He he he...! Dasar laki-laki pengecut! Baru melihat sepotong kayu saja sudah terbirit-birit"
Luar biasa sekali bocah jembel itu. Dalam keadaan tubuh dan wajah yang bengkak-bengkak, ia masih dapat tertawa melihat tingkah lawan-lawan yang terbirit-birit meninggalkannya. Sambil tetap menggenggam kayu, si bocah jembel melangkah meninggalkan tempat itu, menuju luar desa. Ia merasa kalau desa itu tidak sudi menerima kehadirannya. Dan untuk itu ia harus pergi. Dan apabila masih tetap berada di desa itu, sudah pasti cemoohan dan gangguanlah yang bakal didapat
"Itu orang gila itu, Ayah!" seru seorang bocah yang bertubuh gemuk sambil menudingkan jari telunjuk ke arah si bocah jembel. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan wajah marah.
"Hei, Anak Jembel! Mau ke mana kau?!" teriak laki-laki berkumis tebal itu sambil berlari menyusul si bocah jembel.
Si bocah kurus itu tertegun ketika melihat ketujuh anak nakal yang tadi mengeroyoknya kini telah kembali sambil membawa orang tua masing-masing. Karena merasa tidak bersalah, maka ia pun berdiri menunggu dengan hati tabah.
"Bocah gila! Mengapa kau memukuli anak kami!" bentak lelaki berkumis lebat itu, geram.
Rupanya ketujuh anak-anak nakal itu telah mengadu kepada orang tuanya masing-masing. Entah apa yang dikatakannya, sehingga para orang tua itu mau saja dibawa menemui si bocah jembel.
"Aku tidak berbuat apa-apa, Paman. Merekalah yang telah mengganggu dan mengeroyokku. Paman semua bisa lihat buktinya di sekujur tubuhku," sahut bocah jembel itu mengatakan kejadian yang sesungguhnya.
"Dia bohong, Ayah! Ketika kami bertujuh tengah bermain-main, tiba-tiba saja dia datang dan mengganggu kami. Lalu, kami pun segera melawannya. Tapi kemudian ia mengambil kayu, lalu memukuliku," kilah anak bertubuh jangkung sambil memperlihatkan bukti berupa bengkak-bengkak di wajahnya. Jelas dia berdusta.
"Keparat! sudah membuat keonaran, masih juga berdusta!" bentak laki-laki berkumis tebal itu sambil melayangkan tangannya menampar kepala si bocah jembel.
Plakkk!
Bocah jembel itu langsung mengaduh kesakitan. Tubuhnya terpelanting dan jatuh berdebuk. Bibirnya kembali pecah dan mengeluarkan darah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun, ia merangkak bangkit. Belum lagi tubuhnya sempat berdiri tegak, tamparan lainnya sudah datang menyusul
Wuuut! Plakkk!
Tamparan yang meluncur ke arah kepala bocah jembel itu tiba-tiba terpental balik diiringi teriakan laki-laki berkumis tebal. Ternyata tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak. Sesaat orang itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi dengan wajah hitam. Rupanya laki-laki itu tewas seketika itu juga!
"He he he...! Anak baik, lihatlah. Orang yang hendak memukulimu itu sudah kukirim ke neraka!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping bocah jembel itu sudah berdiri seorang kakek-kakek. Jenggotnya panjang hingga melewati dadanya. Tangannya tak henti-henti mengelus jenggot putihnya itu. Sikapnya demikian tenang, tanpa merasa telah melakukan pembunuhan. Tentu saja hat itu membuat orang-orang yang ada di situ terkejut. Mereka benar-benar ngeri, sehingga tanpa sadar mundur beberapa langkah.
Bocah jembel itu memandangi wajah kakek tua disebelahnya dengan wajah bingung. Sama sekali sulit dimengerti, mengapa laki-laki berkumis lebat yang kembali hendak menamparnya itu tahu-tahu telah terbanting roboh dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Hahhh! Pembunuh...!" Salah seorang dari keenam orang laki-laki lainnya berteriak keras ketika melihat kawannya telah menjadi mayat
"Pasti kakek itu yang melakukannya! Buktinya, tidak ada orang lain lagi di tempat ini!" tuduh yang lain sambil menuding.
Namun kakek itu hanya terkekeh tanpa mempedulikan teriakan-teriakan ribut dari keenam orang laki-laki berpakaian petani itu. "He he he...! Rupanya kalian ingin mendapat bagian juga! Nih, terimalah!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tahu-tahu saja tubuh kakek itu telah melesat cepat seraya mengibaskan tangannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan yang disusul robohnya keenam orang tua anak-anak nakal itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak. Seketika kepala mereka mengeluarkan darah, bercampur cairan putih kental.
Sementara itu si kakek telah melesat semakin jauh sambil membawa tubuh bocah jembel. Sedangkan di belakangnya para penduduk yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu tampak berteriak-teriak marah sambil berusaha mengejar.
Si bocah jembel benar-benar terkejut Karena tahu-tahu saja tubuhnya telah seperti terbang meninggalkan tempat itu. Sepasang matanya terbelalak kaget melihat pepohonan di sekitarnya terasa berlarian. Ketika menoleh, ia semakin kaget. Ternyata dirinya berada dalam pondongan kakek yang tadi berada di sampingnya.
Kakek itu memang berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah begitu sempurna. Setelah cukup jauh, kakek itu pun menghentikan larinya. Mereka kini telah tiba di sebuah mulut hutan yang cukup lebat, di sebelah Timur Desa Tunjung. Segera diturunkannya bocah yang berada dalam pondongan. Dengan sepasang mata berbinar, tangan kakek itu meraba-raba sekujur tubuh si bocah.
"Hei! Apa yang kau lakukan kepadaku, Kakek?" tanya bocah jembel itu, bingung. Dia berusaha melepaskan tubuhnya dari cengkeraman kakek itu. Namun bocah itu menjadi heran ketika tubuhnya terasa bagai patung, tak bisa digerakkan. Akhirnya ia hanya bisa memandang terbelalak.
"He he he.... Dugaanku ternyata tidak meleset!" ujar kakek itu seraya terkekeh-kekeh. "Susunan tulang bocah ini ternyata sangat baik dan sempurna!" Kakek itu kemudian melepaskan tubuh si bocah, lalu menari-nari bagaikan orang kurang ingatan.
Bocah jembel itu semakin keheranan ketika menyadari kalau seluruh luka memar di tubuh dan wajahnya sudah tidak terasa sakit lagi. Bahkan warna biru kehitaman bekas pukulan anak-anak nakal tadi sudah mulai memudar warnanya. Matanya merayapi seluruh badan yang mulai pulih itu. Tentu saja ia merasa bersyukur dan gembira sekali. Lalu pandangannya kembali dialihkan kepada kakek yang masih menari-nari gembira.
"Aku sangat berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kek. Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi agar aku dapat membayar hutangku ini. Sekarang aku harus pergi untuk meneruskan perjalananku," pamit bocah jembel itu. Dia segera mengayunkan langkah meninggalkan si kakek yang menjadi terkejut dan menghentikan tariannya.
"Hei, hei.... Tunggu dulu! Enak saja pergi. Kalau memang merasa berhutang, sekarang juga aku minta dilunasi," tegas si kakek. Kemudian dia berkelebat, dan tahu-tahu sudah berdiri menghadang jalan si bocah.
"Maaf, Kek. Aku tidak bisa melunasinya sekarang. Aku tidak punya apa-apa sebagai pembayar hutangku," jawab si bocah sambil memandang wajah si kakek penuh selidik. Kini bocah itu semakin yakin kalau kakek berjenggot panjang itu me-lmang kurang waras. Hal itu terlihat jelas dari tingkah laku dan kata-katanya yang seenak perutnya sendiri.
"Kau punya, Bocah. Jika ingin membayar hutangmu itu, ikutlah bersa-lmaku untuk menjadi muridku selama sepuluh tahun. Bagaimana, kau bersedia?" tanya si kakek seraya terkekeh gembira.
"Kau ingin mengambilku sebagai murid? Apa yang akan kau ajarkan padaku, Kek? Kalau hanya menari-nari seperti yang kau lakukan tadi, aku tidak sudi! Tanpa diajarkan pun aku bisa melakukannya," tolak bocah jembel itu.
"Eh, apa betul kau bisa? Coba, ayo tirukan aku," ujar kakek itu dengan wajah gembira. Lalu, kakek berjenggot putih yang panjangnya melewati dada itu menggerak-gerakkan tubuh. Pantatnya lenggak-lenggok seperti bebek berjalan. Kakek itu terus berputar-putar sambil tak henti-hentinya terkekeh.
Aneh sekali! Meskipun hatinya tidak bersedia mengikuti gerakan si kakek, tapi secara tiba-tiba tubuh bocah itu sudah bergerak-gerak mengikuti tarian yang aneh dan lucu. Si bocah berusaha sekuat tenaga menahan. Namun, tetap saja tidak mampu menghentikan lenggak-lenggok tubuhnya. Dia terus saja berputar mengikuti gerakan kakek gila itu.
"Hei? Kakek gila! Kau apakan aku? Mengapa aku tidak bisa menghentikan gerakan tubuhku?" si bocah berteriak-teriak ngeri melihat tubuhnya bergerak semakin cepat mengikuti tarian kakek gila itu.
"He he he.... Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau bisa meniru tarianku? Nah, itu sudah bagus dan sudah betul!" sahut si kakek sambil terkekeh semakin gembira.
"Sudah, Kek. Hentikan! Aku sudah tidak tahan!" pinta bocah jembel itu. Meskipun hatinya diam-diam merasa ngeri, namun bocah jembel yang keras hati dan angkuh itu sama sekali tidak mau memperlihatkannya di hadapan kakek gila itu.
Ketika kakek yang aneh itu menghentikan gerakannya, secara aneh pula gerakan tubuh si bocah berhenti. Karena tidak menduga tarian itu akan berhenti secara mendadak, tentu saja si bocah menjadi hilang keseimbangan tubuhnya. Akibatnya dia terjatuh.
"He he he...!" Melihat tubuh bocah jembel itu terhuyung-huyung dan terjatuh, si kakek gila tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sedang tangan yang satunya lagi menuding-nuding ke arah si bocah.
"Huh! Dasar kakek sinting!" maki si bocah bergumam, lalu bergerak bangkit berdiri dengan wajah berang. "Aku mau pergi!"
Bocah jembel itu lalu melangkah hendak pergi dari situ. Tapi, bukan main terkejut hatinya ketika seluruh tubuh terasa kejang hingga tidak bisa digerakkan. Sedangkan saat itu si kakek masih saja terpingkal-pingkal. Bahkan tubuhnya yang tinggi kurus itu jadi terbungkuk-bungkuk. Namun tiba-tiba, kakek itu menghentikan tawanya secara mendadak.
"Bagaimana? Apakah kau suka menjadi muridku?" tanya kakek itu sambil melangkah menghampiri tubuh si bocah yang tahu-tahu sudah bisa bergerak seperti biasa kembali.
"Hei, Kakek Gila! Apa sih, kehebatanmu? Mengapa kau begitu bersemangat hendak mengambilku sebagai murid? Dan mengapa tidak mencari anak-anak yang lain saja? Mungkin mereka akan suka menjadi muridmu."
"He he he.... Hei, Bocah Jembel! Tahukah, kau. Beribu-ribu bocah lain akan berlutut selama tiga hari tiga malam agar dapat menjadi muridku. Tapi aku tidak mau menerima mereka. Dan kini aku telah jatuhkan pilihan kepadamu. Perlu diketahui, kalau orang yang akan menjadi gurumu ini adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Aku berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih. Aku memilihmu, karena kulihat adanya bakat yang amat baik dalam dirimu. Dan apabila kau menjadi muridku, kujamin dalam jangka waktu sepuluh tahun, kau akan menjadi seorang pendekar hebat yang sulit cari tandingannya. Nah! Apakah kau bersedia?" kata kakek bertubuh kurus itu.
Ternyata kakek itu merupakan seorang tokoh besar yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih. Diam-diam kakek itu pun merasa heran kepada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu suka kepada bocah jembel itu? Bahkan sampai-sampai harus menyebutkan nama besarnya untuk dapat mengambil bocah itu sebagai murid. Benar-benar kejadian yang sulit dimengerti walau oleh kakek itu sendiri.
Bocah jembel yang memiliki kecerdikan luar biasa itu memutar otaknya begitu mendengar ucapan kakek yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih itu. Bibirnya yang kecil namun memiliki tarikan keras itu tersenyum tipis. Sepertinya, hatinya merasa tertarik mendengar kata-kata 'pendekar' yang disebut-sebut kakek berjenggot putih itu. Meskipun usianya baru sepuluh tahun, namun dari pengalaman-pengalaman hidupnya yang selalu berpindah-pindah, bocah itu sudah dapat mengerti apa yang disebut sebagai pendekar. Kata-kata itulah yang membuatnya tertarik.
"Benarkah kau bisa menjadikan diriku sebagai seorang pendekar yang hebat, Kek? Aku pernah melihat seorang laki-laki kekar mampu memukul roboh sebatang pohon yang sangat besar hanya dengan telapak tangannya. Kalau kau bisa melakukannya seperti itu, mungkin aku akan mempertimbangkan tawaranmu," kata bocah jembel itu seraya tersenyum cerdik
"Ha ha ha...!" Meledak tawa si kakek setelah mendengar ucapan si bocah jembel. Kekagumannya terhadap bocah itu semakin bertambah. Bagaimana tidak geli? Sebab biasanya seorang gurulah yang akan menguji calon muridnya. Tapi kali ini justru sebaliknya. Dewa Gila Jenggot Putih dalam dunia persilatan sudah sangat terkenal dan ditakuti. Tapi kini malah akan diuji calon muridnya. Maka hal itu membuat kakek berjenggot putih itu semakin bertambah rasa keinginannya untuk mengambil bocah itu sebagai murid.
"Hm.... Perhatikanlah pohon besar di depanmu itu. Aku bukan saja merobohkannya seperti orang yang pernah kau lihat. Bahkan akan merobohkan pohon itu tanpa harus menyentuhnya," ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya tersenyum gembira.
Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah mundur sejauh empat batang tombak lebih. Dan bersiap melancarkan pukulan. Bocah jembel itu menatap si kakek tanpa berkedip sekejap pun. Keningnya berkerut melihat kedua tangan kakek itu berputar bagai baling-baling. Si bocah membelalakkan mata ketika serangkum angin keras menerpa tubuhnya. Padahal tempatnya berdiri sudah terpisah sejauh lima batang tombak dari kakek itu. Dan...
Wusss! Brakkk!
Dengan gerakan yang seperti terlihat perlahan, kakek itu mendorongkan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka. Akibatnya hebat sekali! Pohon besar itu langsung tumbang sehingga menimbulkan suara berderak keras.
"Wah! Kau hebat sekali, Kakek!" seru bocah kurus dan kumal itu dengan wajah berseri-seri. Ia benar-benar merasa puas setelah menyaksikan kehebatan kakek yang dianggapnya gila itu. Dia mampu memukul roboh sebatang pohon besar tanpa menyentuhnya.
"Huh! Apa sih, hebatnya pukulan seperti itu! Anak-anak kecil pun tentu bisa melakukannya!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, bernada mengejek. Berbarengan dengan itu, muncul seorang kakek jangkung berpakaian serba putih. Dia kini melangkah lebar mendekati mereka. Wajahnya yang berkeriput itu melemparkan senyum sinis dan memandang rendah. Sekali melihat saja, orang sudah dapat menilai kalau kakek itu memiliki sifat sombong dan jumawa.
"He he he.... Pendekar Pedang Kembar, apa maksudmu mengganggu kesenangan orang? Pergilah. Jangan campuri urusan kami," ujar Dewa Gila Jenggot Putih lembut, namun mengandung ancaman. Rupanya Dewa Gila Jenggot Putih tidak suka dengan kedatangan orang yang mengganggunya. Kemudian kepalanya menoleh ke arah si bocah.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Dewa Gila Jenggot Putih sambil mencekal tangan si bocah dan siap meninggalkan tempat itu.
Kakek jangkung berusia sekitar tujuh puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah dari sutra putih itu tertegun mendengar orang telah mengetahui julukannya. Sepasang matanya menatap tajam penuh selidik pada kakek berjenggot putih itu. Diperhatikannya orang di depannya dari kaki sampai kepala. Keningnya tampak berkerut seolah tengah mengerahkan ingatan untuk mengenali kakek itu,
"Hm... Kalau tak salah, kau Dewa Gila Jenggot Putih...!" tebak orang yang dipanggil Pendekar Pedang Kembar itu agak terkejut ketika melihat penampilan kakek gila yang terkekeh memandangnya.
"Hm.... Ternyata ingatanmu belum pikun, Pendekar Pedang Kembar. Mengapa kau tinggalkan rumah mewahmu? Apakah sudah bosan dengan kehidupan yang kau jalani selama ini?" ejek Dewa Gila Jenggot Putih. Dia tidak jadi pergi karena kakek jangkung itu mengenalinya. Sepasang matanya menatap tajam, seolah-olah ingin mengetahui maksud pendekar jangkung itu mendatangi mereka.
"Ha ha ha.... Meskipun sudah hampir sepuluh tahun kita tidak berjumpa, ternyata ingatanmu masih sangat kuat, Dewa Gila. Aku benar-benar kagum kepadamu. Tapi, apa maksudmu memamerkan ilmu pukulan jelek tadi?" tanya Pendekar Pedang Kembar dengan nada menghina.
"He he he.... Semula aku merasa kasihan untuk memukul roboh pohon yang tidak berdosa itu. Tapi hal itu terpaksa kulakukan untuk memancing keluar monyet buruk yang semenjak tadi mengintai kelakuanku. Apakah itu salah?" ejek Dewa Gila Jenggot Putih yang rupanya sudah kumat kegilaannya.
Merah seluruh wajah Pendekar Pedang Kembar mendengar jawaban itu. Sekilas terlihat sinar berkilat pada sepasang bola matanya yang tajam itu. "Jangan berlagak bodoh, Dewa Gila! Aku tahu, pukulan itu sengaja kau pamerkan di hadapan bocah yang tidak suka menjadi muridmu itu," balas kakek jangkung itu, tak mau kalah. Pendekar Pedang Kembar kemudian memandang bocah laki-laki yang berdiri di sebelah kakek gila itu. Dia berpikir, kalau Dewa Gila Jenggot Putih sampai bersedia memamerkan ilmunya di depan si bocah, pastilah anak laki-laki kecil kurus itu memiliki kelebihan. Maka Pendekar Pedang Kembar semakin menatap bocah itu tajam-tajam, seolah-olah hendak menilai bocah itu dengan pandang matanya.
. "Anak baik. Maukah kau ikut bersamaku? Kau akan kubawa ke tempat tinggalku, dan akan kulatih ilmu silat tingkat tinggi. Kau akan kujadikan seorang pendekar digdaya. Ayolah. Ketimbang, kau ikut kakek miskin itu yang untuk makan saja harus mengemis," bujuk Pendekar Pedang Kembar sambil menatap wajah si bocah,lembut
"Kurang ajar kau, Pedang Kembar! Sadarkah, kalau ucapanmu itu bisa mengakibatkan kematianmu?!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih, geram. Sudah susah-susah dia membujuk bocah itu dengan berbagai cara agar mau menjadi muridnya, kini tahu-tahu ada orang datang hendak merebut. Tentu saja hati kakek gila itu menjadi berang bukan kepalang. Dewa Gila Jenggot Putih langsung membanting-banting kaki kanannya dengan gerakan tangan mencak-mencak.
"Hei? Kenapa kau jadi marah-marah, Dewa Gila? Aku kan hanya menawarkan? Kalau memang ia lebih suka ikut aku, bukankah hidupnya akan lebih terjamin?" sahut Pendekar Pedang Kembar yang merasa girang karena telah berhasil memancing kemarahan Dewa Gila Jenggot Putih. Lalu, kembali dipandanginya bocah itu. "Ayo jawab, Bocah. Kau lebih suka ikut denganku atau dengan kakek gila yang tidak menentu hidupnya itu?"
Bocah jembel bertubuh kurus itu tidak segera menjawab. Otaknya yang cerdik kembali berputar mencari jawaban. Kalau melihat Dewa Gila Jenggot Putih yang sepertinya tidak berani bersikap sembarangan terhadap kakek jangkung itu, sudah jelas kalau orang itu memiliki ilmu yang hebat juga. Sulit rasanya untuk mengetahui, siapa yang lebih lihai di antara kedua kakek sakti itu. Maka satu-satunya jalan adalah bertarung. Berarti mereka berdua harus di adu.
"Hm.... Aku tidak tahu, siapa yang lebih sakti diantara Kakek berdua. Tapi aku sudah mengambil keputusan. Aku hanya suka menjadi murid orang yang paling sakti. Dan untuk itu, kalian harus membuktikannya," sahut bocah jembel itu dengan sepasang mata bersinar cerdik.
Dewa Gila Jenggot Putih dan Pendekar Pedang Kembar langsung tersentak mendengar jawaban yang keluar dari mulut bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu. Mereka semakin bertambah kagum dengan kecerdikannya. Hal itu justru semakin membuat hasrat mereka bertambah untuk memiliki bocah yang cerdik luar biasa itu. Bocah seperti itulah yang akan dapat mengangkat nama besar mereka kelak.
"He he he.... Betul sekali ucapanmu itu, Bocah. Ayo, Pedang Kembar. Kita bertarung untuk memperebutkan bocah yang luar biasa ini!" tantang Dewa Gila Jenggot Putih yang sudah melompat maju dan terkekeh gembira. "Aku pun ingin melihat, sampai di mana kemajuan yang kau peroleh selama kurang lebih sepuluh tahun kau mendekam di gedung mewahmu itu!"
Dewa Gila Jenggot Putih telah melintangkan tongkat bambu kuning di depan dadanya. Tongkat bambu itu tidak dapat disamakan dengan tongkat lainnya, karena telah direndam dalam ramuan obat selama bertahun-tahun. Sehingga, kekuatannya tak ubahnya sebatang besi. Apalagi tongkat itu berada di dalam genggaman tokoh sakti seperti Dewa Gila Jenggot Putih. Sudah pasti, kehebatannya menjadi berlipat-lipat.
Pendekar Pedang Kembar yang berasal dari keluarga bangsawan memang jarang sekali keluar meninggalkan rumahnya. Tidak heran kalau tidak begitu mengenal tokoh-tokoh persilatan. Namun terhadap kakek gila, ia cukup mengenalnya. Pada pertemuan pertama tadi, ia tidak begitu mengenalinya. Sebab sepuluh tahun yang lalu, tubuh Dewa Gila Jenggot Putih itu gemuk dan tegap. Sedangkan sekarang yang tampak adalah seorang kakek kurus berjenggot panjang hingga melewati dada. Tentu saja ia agak pangling.
Meskipun kakek gila itu pada beberapa tahun yang lalu pernah mengalahkan 'Ilmu Pedang Kembar'nya, namun ia tidak menjadi gentar. Ilmu pedangnya sekarang sudah meningkat jauh. Sehingga, ia merasa yakin akan dapat menundukkan Dewa Gila Jenggot Putih. Setelah termenung beberapa saat lamanya, Pendekar Pedang Kembar mengangkat kepala menatap Dewa Gila Jenggot Putih. Sambil mengedikkan kepala, kakek itu menjawab tantangan musuh lamanya.
"Hm.... Jangan merasa gembira dulu, Dewa Gila. Jangan harap 'Ilmu Tongkat Delapan Penjuru'mu sekarang mampu menghadapi 'Ilmu Pedang Kembar' yang telah kusempurnakan," sahut kakek jangkung itu, sombong. Meskipun kakek itu seorang pendekar, namun jiwa kebangsawanannya yang selalu memandang rendah orang lain tidak pernah hilang. Sehingga, jarang sekali orang yang menyukainya.
"Menyingkirlah jauh-jauh, Bocah. Akan kuhancurkan kesombongan pendekar bangsawan ini," ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya mengulapkan tangannya mengusir si bocah jembel.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah jembel itu segera melangkahkan kakinya menjauhi tempat yang akan dijadikan arena pertarungan. Sepasang mata bocah itu kini berbinar-binar. Karena dengan kecerdikannya, ia akan menonton pertarungan mengasyikkan. Sekaligus dia bisa mengetahui, siapa di antara kedua orang kakek itu yang lebih tinggi kepandaiannya. Bocah itu duduk menonton di atas sebongkah batu besar yang cukup jauh dari arena pertarungan.
"He he he.... Bersiaplah, Pendekar Pedang Kembar!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih seraya terkekeh. Selesai berkata demikian, kakek itu memutar tongkat bambu kuningnya dengan gerakan cepat dan kuat.
Wuuuk! Wuuuk!
Bentuk tongkat bambu kuning di tangan kakek gila itu lenyap, dan kini menjadi gulungan sinar kuning yang menimbulkan deru angin keras.
Sring! Sring!
Sinar putih menyilaukan mata berpendar ketika sepasang pedang yang tergantung di punggung kakek itu tercabut keluar.
"Yeaaat..!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Pendekar Pedang Kembar melesat disertai ayunan pedang yang mengaung dahsyat. Sepasang pedang kembarnya yang membentuk gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar bagai cahaya kilat di angkasa. Hebat dan ganas sekali serangan kakek jangkung itu, seperti hendak menghabisi lawan dengan sekali serang.
Dengan sebuah gerakan aneh danlucu, tubuh kakek gila itu bergerak kesamping menghindari sebuah tusukan pedang yang mengarah leher. Sambil melompat berputar, tongkat bambu ditangan kanannya menyambar kekepala lawan. Gerakannya demikian cepat tak terduga, sehingga kakek jangkung itu menjadi terkejut melihat serangan balasan yang hebat itu.
Namun Pendekar Pedang Kembar bukanlah tokoh kemarin sore. Meskipun serangan lawan sempat membuatnya terkejut, tidak menjadikannya gugup. Cepat kaki kanannya bergeser sambil merendahkan kuda-kuda dan memiringkan kepalanya. Begitu serangan itu lewat, pedang di tangan kirinya bergerak menyilang dari bawah ke atas, menyambar tubuh lawan.
Wuuut!
Dewa Gila Jenggot Putih melompat ke belakang menghindari sambaran pedang yang membawa hawa maut itu. Tapi dia menjadi terkejut, ketika pedang itu tiba-tiba berputar dan menyambar pinggangnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, bambu kuning di tangannya diputar untuk menyambut sambaran pedang lawan.
Trakkk!
Bertemunya dua senjata itu seketika menimbulkan suara berdentang nyaring bagai dua batang besi yang dibenturkan. Tubuh Pendekar Pedang Kembar terjajar mundur sejauh setengah tombak. Hatinya terkejut bukan main ketika telapak tangan kirinya terasa panas dan kesemutan. Tahulah kakek jangkung itu kalau dalam hal tenaga dalam masih berada di bawah lawannya. Maka ia harus mencari cara lain untuk menutupi kekalahannya itu. Tubuhnya kembali berkelebat menerjang lawan.
"Hm.... Ia benar-benar telah memperoleh kemajuan pesat!" gumam Dewa Gila Jenggot Putih ketika sempat tangannya bergetar akibat menangkis pedang lawan tadi.
Dan memang pada sepuluh tahun yang lalu, kakek jangkung itu tidak mampu menahan hantaman tongkatnya. Tapi kali ini ia hanya terjajar mundur tanpa mengalami luka sedikit pun. Jelas, hal itu membuktikan kalau musuh lamanya itu telah berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Rupanya kesombongannya kali ini cukup beralasan.
Pada saat itu, sepasang pedang kembar di tangan kakek jangkung sudah menyambar-nyambar hebat Dewa Gila Jenggot Putih yang tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran pedang lawan, cepat menyambut dengan putaran tongkat bambu kuningnya. Maka pertarungan pun berlangsung semakin sengit.
Ilmu 'Pedang Kembar' yang dimainkan Pendekar Pedang Kembar benar-benar hebat. Sepasang pedang di tangannya menyambar ganas mengincar titik-titik kelemahan di tubuh lawan. Setiap kali senjata itu menyambar, terdengar suara mengaung tajam yang memekakkan telinga. Maka lawannya harus semakin berhati-hati dalam menanggulanginya.
Selama lima puluh jurus, kedua tokoh sakti itu masih terlihat berimbang. Meskipun Dewa Gila Jenggot Putih hanya bersenjatakan sebatang bambu, namun serangan-serangan balasannya tidak bisa dianggap ringan. Tongkat di tangannya berputar dan bergerak aneh sehingga membuat lawannya kebingungan. Jurus 'Tongkat Delapan Penjuru' yang digunakannya memang mengandung banyak sekali perubahan yang tidak terduga. Bahkan terkadang aneh dan lucu.
Wuuut! Wuuut...!
Memasuki jurus yang keenam puluh, Pendekar Pedang Kembar melancarkan serangan dengan gerakan menggunting. Sepasang pedangnya meluncur cepat ke arah leher lawan. Sudah dapat dipastikan, apabila serangannya itu berhasil, maka kepala lawan pasti akan menggelinding putus. Sebuah serangan yang keji dan ganas.
Menghadapi serangan lawannya kali ini, Dewa Gila Jenggot Putih kembali membuat gerakan yang lucu dan mengejutkan. Begitu sepasang pedang lawan menggunting leher, mendadak tubuhnya berjongkok sambil menyodokkan ujung senjatanya ke ulu hati Pendekar Pedang Kembar. Tentu saja hal itu membuat lawan terkejut dan terpaksa melempar tubuhnya kebelakang.
Sepasang mata Pendekar Pedang Kembar membelalak dengan wajah pucat. Karena pada saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, ujung tongkat lawan masih saja mengincarnya. Dan hatinya semakin terkejut melihat gerakan lawan yang terlihat asing dan aneh. Tampak tubuh lawan yang masih dalam keadaan berjongkok, melompat-lompat bagai seekor katak. Sedangkan tongkat bambu di tangan kakek gila itu melakukan totokan-totokan menyerang bagian tubuhnya yang lemah.
Jelas kalau untuk menghindar, sudah tidak mungkin lagi. Maka kakek jangkung itu segera menggerakkan pedang untuk memapak serangan tongkat yang membingungkan itu. Pendekar Pedang Kembar semakin tercekat hatinya. Karena setiap kali pedangnya menyambar, selalu saja tongkat bambu itu berkelit bagaikan memiliki mata. Bahkan gerakan tongkat itu semakin liar dan cepat. Akibatnya, ketika tongkat bambu itu kembali menyambar untuk yang kesekian kalinya, Pendekar Pedang Kembar tidak mampu lagi menghindar.
Tukkk! Bukkk!
Kakek jangkung itu menjerit keras. Seketika tubuhnya terlempar akibat totokan dan hantaman tongkat yang mengenai paha dan dada. Meskipun terasa sesak, pendekar itu bergerak bangkit. Dari sudut bibirnya terlihat cairan merah mengalir. Itu menandakan kalau tubuhnya telah terluka dalam akibat pukulan lawan.
"He he he...! Kau masih harus belajar selama tiga puluh tahun lagi untuk dapat mengalahkanku, Pedang Buntung," ejek Dewa Gila Jenggot Putih seraya terkekeh gembira.
"Jangan tertawa dulu, Dewa Gila! Aku belum mengaku kalah!" geram Pendekar Pedang Kembar yang kembali sudah bersiap hendak menyerang.
"Hm..., apakah aku harus membunuhmu, baru kau mengaku kalah?" Dewa Gila Jenggot Putih berkerut keningnya melihat lawan sudah bersiap hendak melanjutkan pertarungan. Sepasang matanya berkilat menyiratkan nafsu membunuh.
"Kalau memang mampu, lakukanlah!" sahut kakek jangkung itu yang masih saja menunjukkan ketinggian hatinya meskipun sudah terluka dalam.
"Hm.... Jangan salahkan aku jika tubuhmu akan tergeletak tanpa nyawa!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih. Ternyata di balik kegilaannya, kakek berjenggot putih itu memang menyimpan sifat kejam. Sehingga dalam dunia persilatan ia tidak diakui golongan putih. Padahal dia juga bukan dari golongan hitam. Kali ini sifat kejamnya pun kembali muncul setelah melihat kebandelan lawan yang tidak mau mengaku kalah.
"Hmh...!" Pendekar Pedang Kembar sama sekali tidak menyahut. Terdengar geramannya yang disertai gerakan sepasang senjata yang bergerak di kiri-kanan tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya segera meluncur menerjang lawan.
Dewa Gila Jenggot Putih menggeser tubuhnya ke kiri-kanan untuk menghindari sambaran pedang lawan. Sesekali tongkat bambunya bergerak menangkis, apa bila serangan itu sudah tidak bisa dielakkan. Dan setiap kali menangkis, selalu saja senjata lawan dibuat terpental balik. Lalu, disusulinya dengan totokan ujung tongkat ke jalan darah kematian di tubuh lawan.
Serangan-serangan balasan yang dilancarkan kakek gila itu benar-benar membuat kewalahan Pendekar Pedang Kembar. Apalagi keadaan tubuhnya memang sudah terluka. Sehingga setiap kali pedangnya membentur tongkat lawan. Dadanya terasa semakin sesak dan nyeri. Dan hal itu membuatnya semakin terdesak hebat.
"Hiaaat...!" Pada jurus keempat puluh, tiba-tiba Dewa Gila Jenggot Putih berteriak nyaring. Akibatnya, tubuh lawan langsung bergetar. Saat itu juga ujung tongkatnya meluncur, menotok pelipis lawan sebanyak dua kali.
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek jangkung itu terbanting ketanah. Setelah berkelojotan sesaat tubuh itu pun diam tak bergerak-gerak lagi.Mati. Pada kedua pelipisnya terdapat tanda kebiruan bekas totokan ujung tongkat bambu Dewa Gila Jenggot Putih.
"Huh! Salahmu sendiri yang sengaja mencari kematian!" sambil bersungut-sungut, Dewa Gila Jenggot Putih melangkah meninggalkan mayat lawannya.
"Wah! Kau hebat sekali, Kek!" sorak si bocah sambil berlari menghampiri Dewa Gila Jenggot Putih, Meskipun bocah itu tidak memperhatikan jalannya pertarungan secara keseluruhan, tapi melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar telah roboh dan tak bergerak lagi. Maka dia berlari menyambut kakek gila itu.
"He he he.... Apalah, hebatnya si Pedang Kembar itu? Ia hanya besar mulut saja. Tapi kepandaiannya, nih," sahut Dewa Gila Jenggot Putih seraya menjentikkan ibu jarinya ke jari kelingking.
"Tapi, mengapa dia tidak bangun lagi, Kek? Apakah dia telah mati?" tanya bocah jembel itu ketika melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar tidak bergerak-gerak lagi.
"Sudahlah. Jangan kau pikirkan manusia sombong itu. Biar dia bawa kesombongannya itu ke akhirat. Ayo, kita pergi," ajak Dewa Gila Jenggot Putih sambil menarik tangan si bocah untuk dibawa meninggalkan tempat itu.
"Kalau dia sudah mati, mengapa tidak dikuburkan?" tanya bocah itu sambil memandang wajah si kakek gila dengan kening berkerut.
"Ah, biarkan saja. Nanti kalau ada orang yang melihat pasti mayatnya akan dikuburkan," sahut Dewa Gila Jenggot Putih. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek itu langsung membawa si bocah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan, kakek gila itu menoleh ke arah si bocah.
"Oh, ya. Siapa namamu, Bocah?"
"Pandu. Itulah namaku, Kek."
"Nah! Kalau begitu, mulai saat ini kau harus memanggilku eyang, mengerti?"
"Baik, Kek... eh, Eyang," sahut bocah yang ternyata bernama Pandu.
"Hiaaat..!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring memecahkan kesunyian pagi di atas puncak Gunung Pancar. Teriakan itu berasal dari mulut seorang pemuda bertubuh sedang, namun nampak sehat dan kuat. Dadanya yang bidang sudah dibanjiri peluh. Itu terlihat jelas karena tubuh bagian atasnya tidak tertutup pakaian.
Pemuda itu memainkan jurus yang gerakan-gerakannya aneh, namun terlihat cepat dan mengandung tenaga dalam kuat. Kedua kakinya bergerak lincah dengan langkah-langkah yang terlihat aneh dan lucu. Tapi jelas kalau itu gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang jarang ada duanya.
Wuuut! Wuuut!
Pukulan dan tendangannya meluncur deras membelah udara hingga menimbulkan angin berkesiutan. Dari langkah kaki dan sambaran pukulannya, jelas sekali kalau pemuda berwajah tampan itu telah menguasai baik ilmu-ilmunya.
"Cukup, Pandu. Sekarang aku ingin melihat kau memainkan 'Ilmu Tongkat Delapan Penjuru' yang merupakan ilmu inti perguruan kita," ujar seorang kakek yang usianya kurang lebih sekitar delapan puluh tahun.
Kakek itu cepat melemparkan sebatang bambu yang berwarna kuning mengkilat dan terlihat sangat kuat Kemudian, kakek yang tak lain dari Dewa Gila Jenggot Putih, mengelus-elus jenggot putihnya yang sudah semakin panjang.
Pemuda tampan berdada bidang itu ternyata Pandu, yang sepuluh tahun lalu dibawa Dewa Gila Jenggot Putih. Bocah jembel berpakaian kumal itu kini telah menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Sepasang matanya tampak memancarkan kecerdikan. Wajahnya yang bulat telur dan beralis tebal hitam itu, membuatnya semakin gagah dan jantan. Pandu benar-benar telah menjelma menjadi seorang pemuda hebat.
Begitu mendengar perintah gurunya, pemuda itu segera menghentikan gerakan. Tubuhnya melambung ke atas setinggi dua tombak ketika mendengar suara berdesing dari belakangnya. Dengan sebuah gerakan indah, tubuh pemuda itu berputar sambil mengulur tangan menangkap tongkat yang dilemparkan gurunya. Kemudian, ia kembali berputar sebanyak dua kali sebelum kakinya mendarat di tanah.
"Haiiit..!" Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, pemuda itu berseru nyaring sambil memutar bambu yang sudah tergenggam erat di tangan.
Wuuut! Wuuut!
Bambu kuning yang panjangnya hampir mencapai satu batang tombak itu lenyap, karena telah membentuk sinar kuning hingga menimbulkan deruan angin tajam. Dari gulungan sinar itu kadang- kadang ujung bambu menyembul, melakukan totokan-totokan yang menimbulkan suara mencicit nyaring. Ini menandakan kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda tampan itu cukup tinggi. Dan memang, hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggi sajalah yang mampu menimbulkan suara itu.
"Cukup!" perintah Dewa Gila Jenggot Putih yang tersenyum-senyum puas melihat betapa hasil didikannya selama ini tidak mengecewakan.
Pandu menutup gerakannya ketika mendengar seruan gurunya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah menghampiri tempat gurunya berada. Meskipun telah berlatih cukup lama, namun sama sekali pemuda itu tidak nampak lelah. Hanya keringatnya saja yang mengalir turun, menandakan kalau telah cukup lama berlatih. Kulitnya yang kecoklatan tampak berkilatan, karena keringatnya terjilat pantulan cahaya matahari.
"Duduklah, Cucuku," ujar Dewa Gila Jenggot Putih sambil menepuk batu pipih di sebelahnya.
"Bagaimana latihanku tadi, Eyang? Apakah sudah terlihat baik?" tanya Pandu setelah duduk di sebelah gurunya. Setiap kali habis berlatih, Pandu selalu meminta pendapat gurunya. Kali ini pun demikian.
"Hm.... Kau selalu menanyakan pendapatku setelah selesai berlatih. Apakah kau sendiri tidak mengetahuinya?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih. Dia kemudian memandang wajah muridnya sambil terkekeh gembira. Diam-diam kakek itu merasa kagum melihat wajah muridnya yang gagah dan tampan itu.
Sama sekali tidak dikira kalau bocah kurus dan kumal yang dulu dibawanya itu ternyata telah menjadi seorang pemuda berwajah jantan dan bertubuh tegap. Tersirat rasa bangga dimatanya, melihat keadaan muridnya yang telah jauh berubah itu. Dan ia langsung tersenyum bila mengingat hal itu.
"Sebenarnya aku juga mengetahui dan merasakan kemajuan yang kuperoleh, Eyang. Tapi rasanya masih belum merasa puas kalau belum mendengar pendapat Eyang," sahut Pandu sambil menyusut peluh yang membasahi wajah dengan pakaiannya. Ketika berlatih tadi, pakaian itu diletakkan di atas batu yang sekarang didudukinya.
"Hm.... Kau harus percaya kepada dirimu sendiri, Cucuku. Sekarang bagaimana kalau kau meminta pendapat kepada orang lain, sedangkan orang itu justru mencela permainanmu? Lalu, apakah penilaiannya akan kau percayai? Padahal kau sendiri tahu kalau permainanmu itu sudah baik dan sempurna. Nah, apa yang akan kau perbuat?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih seraya tersenyum lucu.
"Yah, kutinju saja wajahnya. Sebab apa yang dikatakannya itu bohong. Dan orang berbohong harus dihukum," sahut Pandu seenaknya.
Mendengar jawaban muridnya yang sembarangan itu, Dewa Gila Jenggot Putih tertawa terbahak-bahak. Kakek sakti itu merasa harus tertawa mendengar jawaban lucu muridnya yang memang berwatak gembira dan bicara seenaknya itu. Tapi di balik semua sifat itu, ia tahu kalau muridnya cerdik dan penuh perhitungan dalam menghadapi sesuatu. Dan semua itu sudah dibuktikan Pandu dengan melatih secara sempurna semua ilmu-ilmu yang telah diturunkan. Sebentar kemudian, suara tawa kakek itu pun lenyap. Lalu ditatapnya Pandu dengan wajah sungguh-sungguh.
"Pandu! Tahukah kau, sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih tanpa senyum di wajahnya.
"Hm... Kurang lebih sepuluh tahun, Eyang. Memangnya ada apa, Eyang?" tanya Pandu.
Pemuda itu merasa aneh melihat kesungguhan di wajah gurunya, sehingga menimbulkan rasa heran dalam dirinya. Dan memang, tidak biasanya kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Padahal dalam menurunkan ilmu kepadanya pun, dia tidak pernah kelihatan sungguh-sungguh seperti sekarang.
"Selama ini aku tidak pernah menanyakan riwayatmu, karena merasa belum menemukan waktu yang cocok. Tapi sekarang setelah pelajaranmu tamat, kuminta agar kau sudi menceritakannya," pinta kakek itu seraya menatap wajah muridnya lekat-lekat.
"Jadi ilmu-ilmu yang kupelajari sudah sempurna, Eyang?" tanya Pandu.
"Bukan sempurna, Cucuku. Tapi sudah cukup sempurna. Karena tidak ada satu pun di dunia ini yang sempurna. Dan, jangan sekali-kali menganggap ilmu yang kau miliki itu paling tinggi didunia." Dewa Gila Jenggot Putih selanjutnya memberi nasihat pada Pandu jika nanti terjun dalam rimba persilatan.
Pemuda itu kelihatan sungguh-sungguh mendengarnya.
"Oh, ya. Sekarang ceritakanlah riwayatmu. Apakah kau sudah tidak mempunyai orang tua lagi?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih, menutup nasihatnya.
Pandu tercenung sejenak. Matanya menerawang jauh ke masa silam.
Kadipaten Panjalu yang semula damai dan tenteram, tiba-tiba berubah kacau oleh adanya perang saudara. Perang yang memakan banyak korban jiwa itu merembet sampai ke Desa Surungan. Suasana yang kacau itu membuat orang tidak tahu, mana lawan dan mana kawan. Demikian pula di Desa Surungan. Setiap orang saling bunuh, bila satu sama lain saling mencurigai. Rumah-rumah penduduk dibakar. Demikian pula rumah Kepala Desa Surungan. Bahkan Ki Sumareja yang menjadi kepala desa di situ harus kehilangan rumahnya. Orang-orang berbondong-bondong mengungsi. Di antaranya ada Ki Sumareja dan keluarganya.
"Ayah, aku takut..," ratap seorang bocah perempuan berusia sekitar tujuh tahun.
"Tenanglah, Ratih. Aku ada bersamamu," hibur seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun. Dia adalah kakak dari bocah perempuan itu.
"Cepat sedikit, Pandu! Gerombolan pemberontak itu sebentar lagi akan datang!" ujar Ki Sumareja kepada bocah laki-laki yang bernama Pandu.
Sementara itu, istri Ki Sumareja berjalan cepat tersuruk-suruk mengikuti suami dan dua anaknya. Sedangkan, penduduk yang mengungsi semakin ramai saja. Masalahnya, ketika sampai di ja-mlan utama, mereka bercampur baur dengan penduduk desa-desa lain. Dan belum lagi seluruh pengungsi itu sampai di tempat tujuan, gerombolan pemberontak telah datang lagi. Mereka datang menggunakan kuda sambil mengacung-acungkan senjata. Maka seketika seluruh pengungsi semakin bercerai-berai. Mereka kocar-kacir, tak tahu harus berbuat apa.
"Ayah!" teriak Pandu, ketika pegangannya terlepas dari tangan ayahnya karena terdorong oleh orang-orang yang berlarian bingung.
"Pandu!" Ki Sumareja berusaha meraih anaknya, tapi tak berhasil karena terdorong oleh orang lain. Sementara Ratih masih dalam genggaman tangan satunya. Sedangkan istrinya juga entah berada di mana. Makin lama, jarak mereka semakin jauh. Apalagi para pemberontak telah membantai satu persatu para penduduk.
Perang saudara telah usai. Pihak pemberontak telah berhasil dipadamkan. Namun Ki Sumareja masih berada di tempat pengungsian bersama anak perempuannya, Ratih.
"Ayah, di mana Kakang Pandu?" tanya Ratih, sedih.
"Entahlah, Anakku. Ayah telah memerintahkan pamanmu untuk mencarinya. Tapi, tak berhasil. Kalau dia mati, tapi mayatnya tidak ditemukan," desah Ki Sumareja. Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tampak tabah menghadapi bencana yang menimpa keluarga dan desanya. Bahkan istrinya yang terpisah saat mengungsi, telah ditemukan tewas. Dan kini, mayatnya telah dikuburkan.
"Oh, Tuhan! Selamatkanlah Pandu. Biarlah dia berpisah denganku, asalkan tetap hidup. Suatu saat nanti, pasti dia akan mencariku."
"Hm.... Jadi waktu aku menolongmu di Desa Tunjung itu, kau dalam perjalanan mencari keluargamu?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih ketika Pandu telah menyelesaikan ceritanya.
Kakek itu tampak terharu mendengar cerita muridnya. Itulah sebabnya, mengapa Pandu demikian tabah dan keras hati. Rupanya jiwanya telah terbentuk oleh penderitaan hidup yang dijalani. Betapa kagum hati kakek berjenggot putih itu terhadap Pandu. Bocah jembel dan kurus itu telah melakukan perjalanan dari satu desa ke desa lain untuk mencari keluarganya. Pantas saja tubuhnya demikian kuat meskipun kurus.
"Benar, Eyang. Aku bertanya ke sana kemari, namun tidak ada satu pun yang mengenal ayahku. Lalu, aku singgah di sebuah kedai. Di sana tenagaku kutawarkan dengan harapan akan memperoleh imbalan makanan untuk mengisi perutku yang lapar. Tapi, yang kudapat dari mereka hanyalah hinaan dan pukulan," teringat akan kejadian itu, timbul rasa geram di hati Pandu.
"Hm.... Lalu, apakah sekarang kau masih ingin mencari kedua orang tua dan adik perempuanmu itu?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih lagi.
"Kalau Eyang mengizinkan, aku masih akan berusaha mencari. Aku harus mengetahui nasib mereka, Eyang."
"Tidak ada lagi yang dapat kau pelajari dariku. Semua ilmu yang kumiliki sudah kuturunkan kepadamu. Dan sudah waktunya kau turun gunung untuk mencari pengalaman, sekaligus mematangkan ilmu-ilmu yang telah kau pelajari di sini," jelas Dewa Gila Jenggot Putih tersenyum melihat wajah muridnya yang berseri gembira mendengar ucapannya.
"Terima kasih.... Terima kasih, Eyang. Tapi... bagaimana dengan Eyang? Siapa yang akan melayani segala keperluan Eyang selama aku pergi nanti?"
Wajah Pandu yang semula berseri mendadak muram begitu teringat keadaan gurunya yang sudah sangat tua. Tentu setelah kepergiannya nanti, kakek itu akan merasa kesepian karena tidak ada lagi yang menemaninya. Mengingat hal itu, hati Pandu terasa berat meninggalkan gurunya.
"Jangan pikirkan aku, Pandu. Apakah kau kira aku sudah sedemikian lemah hingga harus selalu diurusi! Huh! Seperti anak kecil saja! Sudahlah. Besok pagi-pagi sekali kau boleh berangkat untuk menambah pengalaman dan mencari kedua orang tua dan adikmu," tegas kakek itu yang dari nada suaranya jelas tidak ingin mendengar bantahan muridnya.
Lalu Dewa Gila Jenggot Putih itu pun memberi wejangan-wejangan yang dianggap perlu. Setelah matahari sudah naik tinggi, barulah mereka beranjak meninggalkan tempat itu dan menuju pondoknya.
Pada saat cahaya kemerahan mulai nampak di kaki langit sebelah Timur, Pandu berpamitan kepada gurunya. Kini dia telah berjalan agak jauh meninggalkan pondok. Pemuda tampan berkulit kecoklatan itu bergegas berlari-lari kecil menuruni lereng gunung. Sesekali ia melompat dengan wajah riang melewati sebongkah batu cukup besar yang menghalangi jalan.
Sudah cukup jauh juga Pandu berlari-lari kecil sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dan kini dia sudah berada di sebelah Barat kaki Gunung Pancar. Pemuda itu terus berlompatan melewati aliran sungai yang membentang di depannya. Kemudian perjalanannya dilanjutkan dengan menggunakan ilmu lari cepat, sekaligus untuk menguji ilmu yang diturunkan gurunya.
Tubuh pemuda itu berkelebat cepat bagaikan bayang-bayang, untuk kemudian lenyap di mulut sebuah hutan. Ketika matahari sudah berada di atas kepalanya, Pandu sudah jauh meninggalkan tempat kediaman gurunya. Kepalanya menoleh ke belakang memandangi puncak Gunung Pancar yang terlihat samar karena tertutup kabut. Hati pemuda tampan itu sempat terharu ketika teringat gurunya kini hanya tinggal seorang diri. Pandu melangkahkan kakinya menyusuri tepian sungai. Ketika melihat betapa jernihnya aliran sungai yang bergemericik, timbul niatnya untuk mandi.
"Hm.... Segar rasanya bila dapat merendam tubuh di air yang jernih dan sejuk itu," gumam Pandu.
Pemuda itu segera melangkahkan kakinya menuju tepian sungai. Ia menyusuri tepian sungai dan mencari tempat yang kira-kira mudah untuk turun kebawah. Mata Pandu merayapi sekitarnya, mencari tempat yang baik. Pemuda tampan itu kemudian melangkahkan kakinya ke tempat yang dimaksud. Karena letak tempatnya berdiri lebih tinggi dari aliran sungai itu, maka wajah pemuda itu menunduk karena jalan ke arah itu sangat becek dan licin.
"Hei, kurang ajar kau! Mau mengintip orang mandi, ya! Keparat, kubunuh kau!"
Bukan main terkejutnya hati Pandu ketika mendengar suara bernada sangat marah. Matanya masih sempat melihat sesosok bayangan yang berkelebat ke balik batu besar yang berada di tengah sungai. Pemuda itu menengok ke sekitarnya, seolah-olah ingin mencari orang yang membuat gadis itu marah. Sudah dapat diterka kalau si empunya suara itu pasti seorang gadis,karena terdengar nyaring dan kecil.
"Hei, siapa yang kau cari?! Dasar pemuda kurang ajar! Mata keranjang! Hayo, cepat pergi!" teriak gadis itu. Dia memang bersembunyi di balik batu besar. Sepasang matanya yang mengintai dari balik batu itu tampak menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepada Pandu.
"Aku...?" gumam Pandu sambil menunjuk dadanya karena memang benar-benar tidak tahu, siapa yang dimaki gadis itu.
"Ya! Kau, pemuda tidak tahu sopan! Memangnya kau pikir siapa lagi yang berada di tempat ini selain kau dan aku!" bentak gadis itu.
Tampaknya dia semakin gemas melihat tingkah Pandu yang seperti berpura-pura tolol. Padahal, memang sesungguhnya pemuda itu sama sekali tidak tahu kalau makian itu ditujukan kepada dirinya.Dengan wajah masih dilanda kebingungan, akhirnya Pandu kembali naik ke atas. Selebar wajahnya merah menahan malu karena dikira mengintip orang mandi.
"Kurang ajar! Memangnya dikira aku ini apanya? Enak saja memaki-maki orang! Huh...! Siapa yang sudi mengintip-intip orang mandi! Dasar perempuan binal!" sambil melangkah naik, Pandu tak henti-hentinya mengomel.
Pemuda itu benar-benar merasa tersinggung mendengar dirinya dimaki-maki seperti itu. Karena dia merasa tidak berbuat apa-apa. Ingin rasanya membalas memaki-maki gadis itu. Pandu melangkahkan kakinya menjauhi sungai. Hilang sudah keinginannya untuk berendam di air sungai yang jernih itu.
"Huh, harus kubalas makian gadis binal itu! Enak saja memaki orang!" umpat Pandu tanpa disadari kalau ucapanya keluar agak keras.
"Apa?! Siapa yang ingin kau balas?! Siapa yang binal? Hayo, jawab?"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di depan Pandu telah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju warna merah. Wajahnya tampak segar kemerahan dengan rambut masih agak basah. Jelas kalau gadis itu baru turun dari sungai. Kaget bukan main Pandu ketika mendengar suara ketus gadis itu. Semua makian yang semula sudah berada di ujung lidahnya terbang entah ke mana. Pemuda tampan itu berdiri bengong memandangi seraut wajah cantik di hadapannya. Cantik sekali!
Sepasang matanya yang membelalak lebar itu demikian indah bagaikan bintang pagi. Kedua pipinya yang halus dan berwarna kemerahan membuatnya semakin cantik. Hidungnya yang kecil mancung membuat orang gemas untuk mencubitnya. Benar-benar gadis yang mempesona.
"Hei! Kau tuli, ya! Kau bisu, ya! Hayo! Bukankah kau ingin membalas makianku? Kenapa kau diam saja?" gadis cantik yang galak itu kembali melontarkan kata-kata makian kepada Pandu.
Bukannya menjawab, Pandu malah semakin melongo bagai orang yang hilang ingatan. Sepasang matanya terpaku menatap bibir tipis berbentuk indah dan segar kemerahan itu. Hati pemuda itu bagai diaduk-aduk melihat bibir yang merah basah bergerak-gerak membetot-betot jiwanya. Begitu terpesonanya hati Pandu sehingga sama sekali tidak mendengar makian yang meluncur dari bibir gadis jelita itu.
Gadis berbaju merah itu menjadi semakin berang melihat sikap pemuda itu yang seperti orang tolol. Kemarahannya pun semakin memuncak, dan tahu-tahu saja tangan kanannya bergerak menampar wajah Pandu.
Plakkk!
Tamparan telapak tangan halus itu membuat Pandu tersadar dari rasa terpesona yang membuatnya terlena. Pipi kiri pemuda itu memerah akibat tamparan tangan cukup keras dari gadis galak itu. Meskipun memiliki sifat galak, namun ia ternyata bukan orang yang kejam. Sebab tamparan itu sama sekali tidak mengandung tenaga dalam. Padahal menilik dari gerakannya, jelas dia memiliki kepandaian yang tidak rendah.
"Oh! Eh! Apa..., apa...?" kata Pandu gugup dengan wajah yang semakin ketakutan.
Hampir saja gadis itu tertawa geli melihat sikap pemuda yang semakin linglung. Itu terlihat jelas dari tarikan bibirnya yang turun naik. Namun gadis itu berusaha untuk tidak tertawa, setelah mengingat perbuatan pemuda tampan yang mengintipnya ketika sedang membersihkan tubuh di sungai.
"Kau..., kau pemuda tolol! Kurang ajar! Mengapa hanya memandangku? Bukankah kau hendak membalas makianku?" bentak gadis jelita itu berusaha menutupi kegelian hatinya.
"Ahhh! Kau..., kau pasti seorang dewi!" desah Pandu melihat kecantikan gadis berbaju merah itu.
Pandu berpikir, bagaimana mungkin ia bisa berada di tempat sepi seperti itu. Sedangkan tempat itu sangat jauh dari pedesaan. Dan lagi, mana mungkin seorang gadis yang demikian cantik jelita seperti itu bisa terbebas dari laki-laki jahil? Rasanya tidak mungkin kalau gadis itu hanya seorang wanita desa biasa?
Pandu yang sudah merasa yakin kalau gadis jelita berbaju merah itu adalah seorang dewi dari kahyangan, langsung menjatuhkan dirinya berlutut di depan gadis itu.
"Ampunkan aku, Dewi. Aku sama sekali tidak bermaksud berbuat buruk terhadap Dewi. Dan sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu Dewi tengah membersihkan diri. Sekali lagi, aku mohon ampun," ucap Pandu sambil mengangguk-anggukkan kepala, takut akan kemarahan gadis jelita yang dianggap sebagai dewi dari kahyangan.
Mula-mula gadis jelita itu merasa terkejut dan heran melihat betapa tiba-tiba pemuda itu berlutut di depannya. Hampir saja kakinya bergerak menendang karena menyangka pemuda itu hendak berbuat kurang ajar lagi. Cepat gerakannya ditahan begitu mendengar ucapan pemuda itu yang terlihat sungguh-sungguh. Gadis jelita berbaju merah itu tak dapat lagi menahan kegelian hatinya, melihat sikap pemuda yang dianggapnya sangat lucu. Terdengarlah suara tawanya yang merdu dan berkepanjangan. Kalau saja si gadis tidak teringat akan perbuatan kurang ajar pemuda itu, mau rasanya ia tertawa sepuas-puasnya. Maka seketika timbul niatnya untuk mempermainkan pemuda yang nampak tolol itu.
"Hm.... Tahukah kau, kesalahanmu itu sangat besar dan tidak mungkin mendapat ampunan!" kata gadis jelita itu. Dia sengaja menyembunyikan senyumnya dengan mengeluarkan suara yang terdengar halus dan mengandung perbawa kuat. Untunglah pemuda itu sedang berlutut sambil menundukkan wajah, sehingga tidak dapat melihat roman wa- jahnya yang mati-matian menahan tawanya.
"Ampun, Dewi. Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Dan aku... aku pun belum sempat melihatnya," sahut Pandu sambil tetap menundukkan wajahnya dalam-dalam. Terbersit harapan di hati pemuda itu ketika mendengar suara sang Dewi yang sudah tidak segalak pada waktu pertama tadi. Meskipun demikian, wajahnya sama sekali tidak berani diangkat. Karena menurut apa yang didengar dari ayahnya dulu, adalah dosa besar dan tidak terampuni apabila berani menatap wajah seorang dewi secara lang- sung. Rupanya cerita-cerita ayahnya semasa kecillah yang membuat Pandu begitu yakin kalau gadis jelita yang saat itu berada di hadapannya adalah seorang dewi.
"Hm.... Meskipun hal itu dilakukan tanpa sengaja, kau harus tetap mendapat hukuman!" bentak gadis jelita itu berusaha sekuat tenaga agar tawanya tidak meledak.
"Ampun, Dewi. Hukuman apa pun, aku akan rela menerimanya. Aku..., bersedia menebus dosa," sahut Pandu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya penuh hormat. Pemuda itu mau menerima hukuman yang akan dijatuhkan sang Dewi, karena merasa yakin kalau hukuman itu tidak sampai membuatnya terluka parah. Apalagi sampai tewas. Sebab, seorang dewi pasti memiliki hati yang bijak dan lembut. Sudah pasti hukuman yang akan dijatuhkan hanya sekadar membuatnya jera, namun tidak akan sampai menyakitkan.
"Bagus! Sekarang kau harus menampar kedua pipimu sendiri sebanyak masing-masing lima kali. Nah, lakukanlah!" perintah gadis jelita itu seraya tersenyum penuh kemenangan melihat betapa dengan mudah kekurangajaran pemuda itu dapat dibalasnya.
"Tapi... Tapi, Dewi..." Pandu hendak membantah demi mendengar hukuman yang aneh itu. Sebab menurut cerita yang di dengarnya, hukuman yang dijatuhkan sang Dewi selalu yang baik-baik. Seperti nasihat ataupun berupa pekerjaan. Tapi mengapa hukuman yang dijatuhkan kepadanya agak lain? Mungkin karena kesalahan yang dilakukan terlalu berat!
"Hm... Kau ingin membantah?" bentak sang Dewi lagi dengan suara yang terdengar marah.
"Tidak, tidak. Mana mungkin aku berani membantah perintah Dewi," sahut Pandu tanpa berani mengangkat kepalanya. Setelah berkata demikian, kedua tangannya digerakkan untuk menampar mukanya sendiri berkali-kali. Hal itu dilakukannya sambil tetap merunduk.
"Hi hi hi... Dasar pemuda bodoh berotak kerbau," gumam gadis jelita berbaju merah itu yang segera melesat cepat meninggalkan Pandu yang tengah menampari mukanya. Setelah memukuli wajahnya sebanyak lima kali, Pandu masih tetap menunduk. Pemuda itu baru berani mengangkat kepala setelah merasa yakin kalau dewi berbaju merah itu sudah pergi jauh dan tidak mungkin terlihat lagi. Wajah pemuda itu terlihat agak sedikit membengkak, karena tamparannya yang cukup keras tadi. Pandu bangkit berdiri memandang ke arah perginya gadis jelita berbaju merah yang dianggapnya seorang dewi itu. Sampai saat itu ia memang masih belum sadar kalau dirinya telah dipermainkan gadis galak yang cerdik itu.
"Dewi... Ah, betapa cantiknya wajahmu. Betapa beruntungnya aku karena telah sempat berlama-lama memandang dan mengagumi wajahmu. Untunglah aku terlambat menyadari kalau kau sebenarnya adalah seorang dewi. Kalau tidak, tentu aku tidak pernah akan dapat melihat kecantikan yang demikian agung dan mempesona," gumam Pandu yang pikirannya jadi melantur tidak karuan.
Tiba-tiba di pikirannya timbul untuk memberontak terhadap peraturan-peraturan dari cerita yang tersebar tentang seorang dewi. Bukankah setiap orang bisa saja menikahi seorang dewi, apabila memang saling menyukai? Biarpun belum pernah ada cerita tentang seorang manusia yang menikah dengan seorang dewi, tapi itu belum tentu berarti tidak boleh! Jadi, mengapa hal itu tidak dicoba? Segala hukuman akan diterimanya, asal dapat mempersunting dewi yang jelita itu. Setelah berpikir demikian, pemuda itu pun kembali melangkahkan kakinya menuju aliran sungai.
Tak lama kemudian, Pandu pun sudah melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Matahari sudah mulai naik. Sinarnya yang kuning keemasan terasa hangat menyentuh tubuh. Mendadak, baru saja beberapa langkah berjalan, pendengarannya yang tajam menangkap denting senjata beradu. Sejenak pemuda itu menghentikan langkah dan semakin mempertajam pendengarannya. Pandu langsung melesat setelah memastikan kalau suara itu pasti berasal dari suatu pertempuran yang cukup seru. Karena selain denting senjata berada juga tertangkap teriakan-teriakan nyaring. Sudah pasti suara itu bukan berasal dari seseorang yang tengah berlatih silat. Jelas itu sebuah pertempuran sengit.
Tubuh pemuda tampan itu terus melesat menuju asal suara pertempuran yang semakin jelas terdengar. Begitu tiba di dekat pertempuran, dada pemuda itu berdebar keras. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan tidak mem- percayai penglihatannya! Betapa tidak! Sebab yang dilihatnya kini adalah seorang gadis berbaju merah yang tengah dikeroyok belasan orang laki-laki berseragam biru gelap.
"Mungkinkah dia si dewi jelita? Tapi mengapa berada di tempat ini? Dan, mengapa pula dikeroyok? Ah, mustahil! Gadis itu sudah pasti orang lain yang kebetulan mengenakan pakaian sama. Tapi, siapa pun gadis berbaju merah itu, yang jelas aku harus menolongnya!" Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh pemuda itu pun segera melesat ke arah pertarungan. Dia hanya menggunakan sepotong ranting sebagai senjata.
"Hiaaat..!" Disertai sebuah lengkingan nyaring, Pandu langsung mengayunkan potongan ranting itu ke arah salah seorang laki-laki berwajah brewok yang tampak tengah mendesak gadis itu.
Wuuut! Wuuut!
Ranting kayu di tangan Pandu berputar cepat dan bergerak mematuk-matuk mengincar jalan darah pada tubuh laki-laki berwajah brewok itu. Tentu saja serangan yang hebat dan cepat itu membuat si brewok terkejut. Cepat tubuhnya melompat mundur, meninggalkan gadis berbaju merah yang hampir dapat ditaklukkannya. Tubuhnya terus berpu- tar beberapa kali di udara sebelum mendarat di atas tanah.
Pandu tidak berusaha mengejar si brewok. Ranting kayunya kembali meluncur mematuk ke arah seorang lawan lain yang tengah menyerang gadis berbaju merah itu. Sedangkan yang seorang lagi sudah melompat mundur begitu melihat seorang pemuda bersenjatakan sebatang ranting kayu ikut-ikutan menyerang. Rupanya ia merasa gentar melihat serangan ujung ranting kayu yang menotok-notok menimbulkan suara berkesiutan. Sedangkan pengeroyok lainnya, menjadi tersentak ketika merasakan sambaran angin tajam dari arah belakangnya. Cepat kakinya bergeser dan melangkah ke samping sebanyak dua langkah. Namun sebuah tendangan kilat pemuda itu yang sama sekali tidak diduga oleh seorang pengeroyok. Akibatnya tubuhnya terlempar dan terbanting keras.
Desss!
Tubuh kurus berwajah pucat itu terus bergulingan hingga dua tombak jauhnya. Namun, ternyata kekuatan tubuh orang tinggi kurus itu hebat sekali. Dia langsung melenting bangkit, seolah-olah tendangan yang cukup keras tadi sama sekali tidak ada artinya. Tapi dari seringainya yang ngeri, jelas kalau tendangan Pandu telah membuatnya sedikit menderita.
Si gadis berbaju merah ternyata juga merasa terkejut atas kehadiran seorang pemuda yang menggunakan ranting sebagai senjatanya. Begitu mengenali wajah si pemuda, matanya terbelalak lebar bagai melihat hantu. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat dan wajah wanita itu kembali seperti biasa. Bahkan pura-pura tidak mengenalinya.
Pandu yang sempat beradu pandang dengan gadis itu, terbelalak kaget. Sesaat kemudian wajah pemuda itu menjadi cerah bagaikan seorang anak kecil yang telah menemukan mainannya kembali.
"Kau... kau, Dewi...!" sebut Pandu dengan suara bergetar. Ingin rasanya pemuda itu melompat memeluk untuk menyatakan betapa besar rasa rindu yang dipendamnya. Untung saja ia bisa menahan dirinya. Kalau tidak, bisa-bisa ia dimaki-maki kembali oleh gadis jelita berbaju merah itu.
Baik Pandu maupun si gadis, tak sempat bercakap meskipun sekejap. Karena pada saat itu, belasan orang berseragam biru gelap yang dipimpin tiga orang tokohnya, telah bergerak mengepung. Beberapa orang di antaranya bahkan sudah melompat menerjang dengan senjata terhunus.
"Hiaaat..!"
Wuuut! Wuuut..!
Si gadis berbaju merah dan Pandu bergerak menghindari serangan enam batang senjata yang berkelebat ke arah mereka. Pemuda tampan berwajah jantan itu marah bukan main ketika teringat kalau gadis baju merah itu hampir dibuat celaka oleh para pengeroyoknya tadi. Tanpa tanggung-tanggung lagi, ranting kayunya segera diputar hingga menimbulkan angin menderu tajam.
"Manusia pengecut! Rasakan kerasnya tongkatku ini!" bentak Pandu gusar.
Bettt! Bukkk! Tukkk!
Dua orang di antara mereka terjengkang akibat hantaman dan totokan ujung ranting kayu di tangan Pandu. Mereka langsung ambruk tak berkutik lagi!
Rupanya dalam kemarahannya, Pandu telah mengerahkan hampir sepertiga tenaganya dalam melancarkan serangan. Empat orang lainnya meloncat mundur dengan wajah pucat. Benar-benar tidak disangka kalau pemuda itu dapat menjatuhkan dua orang kawan mereka hanya sekali serang. Benar-benar sebuah kepandaian yang tidak bisa dipandang ringan. Namun keempat orang itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Karena pada saat itu juga, ranting kayu di tangan Pandu telah menyambar dengan kecepatan menggetarkan.
Bukkk! Bekkk!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika tubuh keempat orang itu terkena hantaman ranting kayu di tangan Pandu. Mereka langsung bertumbangan karena hantaman ranting kayu itu tepat mengenai jalan darah kematian.
"Bangsat! Kubunuh kau...!" teriak lelaki brewok yang merupakan salah satu pimpinan belasan orang itu Disertai teriakan murka, tubuh laki-laki brewok itu melesat menerjang Pandu dengan ayunan senjatanya. Pemuda bertubuh sedang itu hanya perlu menggeser kaki kanannya sedikit, maka serangan lawan hanya menyambar tempat kosong. Sebelum orang itu sempat menarik pulang pedangnya, ranting kayu di tangan Pandu bergerak cepat ke arah ubun-ubun lawan.
Namun Pandu cepat mengurungkan serangan karena pada saat yang sama telinganya mendengar suara berdesing tajam dari arah samping kiri. Secara tak terduga, ranting kayu itu berputar setengah lingkaran dan langsung menotok pergelangan tangan si kurus pucat yang memegang golok besar. Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat seperti mayat itu, terlihat semakin pucat wajahnya. Cepat-cepat pergelangan tangannya diputar ke atas. Dan kini golok besar itu berputar menyambar leher Pandu. Benar-benar sebuah gerakan yang lihai dan berbahaya. Namun Pandu bukanlah pemuda sembarangan.
Sebagai murid kesayangan tokoh sakti yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih, ia pun telah dibekali ilmu-ilmu tinggi. Maka menghadapi serangan yang tak terduga itu, ia pun bersikap tenang. Kaki kanannya segera bergeser melebar dengan kuda-kuda rendah. Pada saat golok besar itu menyambar leher, kepala pemuda tampan itu sudah meliuk dan berputar menggunakan jurus 'Harimau Keluar Gua' yang telah dipelajarinya secara sempurna. Dan tahu-tahu saja, tangan kiri pemuda itu bergerak naik melakukan tusukan ke arah tenggorokan lawan.
Cuiiit...!
"Aaah...!"
Dua buah jari tangan yang keras bagai batang besi itu meluncur deras tak terduga. Orang berwajah pucat itu menjerit tertahan, dan sebisa-bisanya tubuhnya mengegos ke kiri untuk menghindari tusukan yang bisa menamatkan jiwanya. Namun sayang, gerakannya ma- sih kalah cepat dibanding gerakan lawan. Sehingga tusukan jari-jari seke- ras besi itu sempat pula mengenai pundak kanannya, meskipun tidak terlalu telak.
Brettt!
Tubuh tinggi kurus itu terjajar mundur beberapa langkah kebelakang. Baju padbagiann bahunya robek, dan kulit dagingnya sedikitbmengelupas akibat tusukan jari-jari Pandu.Orang itu meringis sambil menekap luka yang terasa panas dan nyeri.Diam-diamha-tinya merasa terkejut melihat keheba-tan lawan yang entah muncul darimana. Sedangkan gadis berbaju merah itu sudah terlibat pertarungan sengit melawan lima orang yang dipimpin seorang laki-laki bertubuh gemuk. Namun, laki-laki gemuk itu memiliki kecepatan yang tidak terduga.
Lima orang berseragam biru gelap itu terus mendesak gadis berbaju merah dengan serangan-serangan cepat dan ganas.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tiba-tiba tubuh gadis itu melompat ke samping kiri sambil menyabetkan pedangnya. Salah seorang pengeroyok yang berada di samping kiri tersentak kaget, sehingga wajahnya berubah pucat. Karena pada saat pedangnya tengah ditarik pulang, pedang di tangan gadis itu telah berkelebat menyambar tubuhnya.
Brettt!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, orang yang malang itu melintir akibat sambaran pedang lawan. Tubuhnya terbanting di atas tanah disertai semburan darah segar dari luka menganga di perutnya. Setelah berkelojotan meregang nyawa, tubuh lelaki malang itu pun diam tak bergerak. Mati.
"Setan betina keparat! Kubunuh kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk yang langsung memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar yang meluncur mengincar tubuh si gadis.
Wuttt!
Namun gadis itu tidak gugup. Dengan gerakan indah, tubuhnya melompat ke kanan dan pedang di tangannya kembali berkelebat menyambar pengeroyoknya yang lain. Hebat sekali perhitungan gadis berbaju merah itu!
Dengan cerdiknya, serangan si gemuk berhasil dihindari dan kini malah mengancamyanglainnya.Kembali terdengar teriakan ngeri ketika pedang di tangan gadis itu keebali menelan korban. Tubuh salah seorang pengeroyok itu kembali terjungkal mandi darah, dan langsung tewas dengan leher berlubang. Tentu saja hal itu semakin menambah kemarahan laki-laki gemuk itu.
"Hi hi hi...! Jangan terlalu sering mengumbar kemarahan, Paman Gendut. Aku khawatir nanti perutmu jadi kempes, dan tubuhmu terbang ke neraka. Kalau sudah begitu, bukankah kau akan menjadi susah sendiri?" ejek gadis jelita itu seraya tertawa lucu.
Hampir meledak rasanya dada lelaki gemuk itu ketika mendengar ejekan lawan. Dengan tatapan bagaikan hendak menelan gadis itu bulat-bulat, pedangnya langsung digerakkan secara bersilangan dengan seluruh tenaganya.
"Hm.... Kalau tadi kau dapat mendesakku, itu karena kalian melakukan pengeroyokan secara curang! Tapi, kali ini jangan harap akan dapat menyentuh tubuhku!" geram gadis berbaju merah itu yang sama sekali tidak merasa gentar melihat kemurkaan lawan.
Lelaki gemuk pendek yang sudah tidak dapat menahan amarahnya, langsung melesat cepat disertai tusukan pedangnya. Senjata di tangannya yang berupa pedang itu berkelebat cepat mengancam titik-titik kelemahan di tubuh lawan.
Namun, si gadis jelita itu pun sudah mempersiapkan ilmu pedang untuk menghadapinya. Meskipun tiga orang berseragam biru gelap lainnya ikut mengeroyok, namun dia sama sekali tidak nampak terdesak. Sinar pedangnya tampak bergulung-gulung melindungi sekujur tubuhnya. Dan setiap kali pedang di tangannya menangkis, seketika sen- jata lawan terpental balik. Hal ini membuktikan kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis itu masih di atas para pengeroyoknya. Sehingga meskipun pertarungan sudah melewati dua puluh jurus, namun belum ada tanda-tanda yang mampu mendesak gadis jelita berbaju merah yang memang sangat lihai itu.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, tiba-tiba gadis itu berseru nyaring hingga membuat pengeroyoknya terkejut. Berbarengan dengan itu, pe- dang di tangannya menyambar cepat ke arah dua orang pengeroyok yang mendadak pucat.
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Dua orang berseragam biru gelap yang menjadi anak buah si gemuk pendek, terlempar ke kiri dan ke kanan akibat sambaran pedang yang didorong kekuatan hebat itu. Keduanya langsung ambruk dan menggelepar bagai ayam dis- embelih. Darah segar memancur keluar dari luka menganga di perut mereka.
Gerakan pedang si gadis, ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Pedang yang telah dibasahi darah itu berputar dan menyambar pengeroyok yang kini tinggal dua orang lagi. Sadar kalau sambaran pedang itu tidak mungkin dapat dielakkan, lelaki gemuk itu tak punya pilihan lain lagi. Dia langsung berbuat nekat memapak dengan pedangnya.
Trangngng!
Terdengar benturan keras yang menimbulkan pijaran api di udara. Tubuh laki-laki gemuk itu terjajar mun- dur, dan matanya membelalak lebar. Pedang di tangannya ternyata hanya ting- gal separuh akibat terpapas pedang ga- dis berbaju merah itu. Sadar kalau tidak mungkin akan menang melawan gadis itu, ia pun berteriak dan melompat jauh meninggalkan arena pertempuran.
"Lari...!" Melihat sang Pemimpin melarikan diri, anak buahnya yang hanya tinggal seorang itu pun bergegas meninggalkan tempat itu. Sedangkan si gadis berbaju merah hanya berdiri memandang sambil tersenyum mengejek.
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar teriakan ngeri yang disusul terlemparnya tiga sosok tubuh yang berlumuran darah. Dua di antaranya langsung diam tak berkutik lagi. Mati. Sedangkan seorang lagi yang wajahnya ditumbuhi brewok, merintih dan berkelojotan sesaat, sebelum akhirnya meng- hembuskan napas yang terakhir. Ketiga orang itu tewas akibat totokan ranting kayu di tangan Pandu yang tepat menge- nai di tengah-tengah kedua alis mereka. Dan kini di tempat itu hanya tinggal seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi kurus.
"Gila!" teriak si tinggi kurus berwajah pucat membelalak ngeri. Keberanian orang itu kontan lenyap melihat kehebatan pemuda yang menjadi lawannya itu. Ranting kayu di tangan pemuda itu benar-benar menjadi senjata ampuh, sehingga dapat melubangi tengkorak kepala ketiga orang kawannya. Merasa tidak akan mampu untuk menghadapi lawannya, laki-laki tinggi kurus itu segera melompat jauh ke belakang.
"Anak muda! Hari ini kau boleh tertawa karena telah mengalahkan kami! Tapi, ingat! Di lain kesempatan, hutang ini akan kami balas!" ancam si tinggi kurus sambil melesat pergi.
"Kau... tidak apa-apa, Dewi?" tanya Pandu yang tetap menyebut gadis berbaju merah itu sebagai dewi. Sekarang pemuda itu memang telah tahu kalau gadis itu bukanlah seorang dewi, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai."
"Hm... Apa maksudmu mencampuri urusanku?! Apakah dikiranya aku tidak mampu mengalahkan mereka?!" dengus gadis itu ketus sambil bertolak pinggang. Tidak sedikit pun rasa terima kasih terlihat di wajah gadis itu. Meskipun hati kecilnya mengakui kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya, namun sepertinya ia tidak mau mengakuinya. Benar-benar seorang gadis cantik yang angkuh.
"Aku... aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak suka melihat belasan orang laki-laki itu mengeroyok seorang gadis sepertimu" sahut Pandu, agak gugup melihat sambutan tak menyenangkan dari gadis itu. Diakui, sejak melihat gadis itu hatinya sudah berbunga-bunga. Dan harapannya untuk memiliki gadis jelita itu pun kembali muncul.
Namun bukan main sedihnya hati Pandu ketika melihat kenyataan kalau gadis itu justru tidak menyukainya. Pandu menarik napas panjang, menahan kenyerian dalam dadanya yang seperti ditusuk-tusuk duri tajam.
"Betul, kau tidak bermaksud apa-apa? Hm... Sulit dipercaya kalau kau melakukannya tanpa pamrih tersembunyi? Bagaimana kalau orang lain yang mengalaminya? Apakah kau akan menolongnya?" tanya si gadis sinis. Pandangan matanya yang mengandung cemooh itu, benar-benar membuat jiwa Pandu terpukul.
"Aku pasti akan menolongnya, sekalipun tidak kukenal. Ah! Mengapa kita harus meributkan hal yang tidak ada artinya itu? Mengapa pertemuan kita selalu diwarnai pertengkaran?" keluh Pandu lirih dan hampir tak terdengar.
"Ooo... Jadi kau ingin kita berpegangan tangan atau bermesraan? Begitu?" ejek gadis berbaju merah itu mencibir.
"Oh, tidak. Sama sekali aku tidak ada pikiran begitu!" sentak Pandu dengan wajah agak pucat. Benar-benar tidak disangka kalau gadis itu akan berkata-kata demikian.
"Lalu, apa maumu? Apakah aku harus menyembah-nyembah karena telah kau tolong? Atau aku harus mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sampai bibirku dower? Begitu maumu?" ujar gadis itu dengan nada yang makin tinggi.
"Ahhh...!" Lagi-lagi Pandu harus menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Hatinya benar-benar terpukul mendapat kenyataan kalau gadis yang diam-diam dicintainya ternyata demikian angkuh dan tidak mempunyai perasaan sedikit pun.
Pandu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan luka hati yang terpancar di matanya. Seperti inikah gadis yang telah merenggut seluruh perasaan cintanya? Benarkah gadis yang cantik seperti dewi itu memiliki sifat angkuh dan tak berperasaan? Apa yang telah menyebabkannya sehingga bersikap begitu?
"Hhh..." Pandu menghembuskan napasnya kuat-kuat. Disadari kalau perasaan cintanyalah yang membuatnya tidak tega untuk menyakiti gadis jelita itu. Dan perasaan itu pulalah yang telah membuatnya harus menerima perlakuan gadis itu.
"Hei? Mengapa diam saja? Apakah mulutmu sudah tidak bisa dipakai bicara lagi?" bentak gadis jelita itu.
Seketika Pandu tersadar kalau masih berhadapan dengan si jelita yang galak dan angkuh. Dalam dunia persilatan, gadis itu dijuluki sebagai Dewi Baju Merah. Sepak terjangnya cukup membuat tokoh persilatan berpikir dua kali dalam menghadapinya. Dewi Baju Merah tertegun ketika melihat si pemuda mengangkat kepalanya. Hatinya sangat tergetar melihat sinar mata Pandu yang terlihat sayu dan menyiratkan luka hati.
"Dewi.... Mengapa kau begitu membenciku? Apakah kesalahan yang tak pernah kulakukan itu, tak dapat diampuni?" tanya Pandu berdesah dan bergetar mewakili jiwanya yang terpukul.
Dewi Baju Merah melengos menghindari tatapan yang membuat pikirannya kacau. Nampaknya, gadis itu baru menyadari sikapnya yang telah melewati batas. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak sudi menunjukkan perasaan hatinya. Bahkan tetap saja memasang wajah galak.
"Sudahlah. Terima kasih atas pertolonganmu! Aku pergi...!" ujar gadis jelita itu agak lunak. Tubuhnya pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pandu hanya berdiri terpaku, tanpa tahu harus berbuat apa. Tangannya sudah siap menggapai tergantung diudara. Kata-kata cegahan yang sudah berada di ujung lidahnya, terpaksa ditelan kembali. Karena, ia tidak ingin mendapat makian lagi dari gadis galak itu.
"Hhh..." Pandu menghembuskan napasnya kuat-kuat. Tubuhnya disandarkan disebatang pohon dengan tatapan mata kosong. Tiba-tiba pemuda itu merasakan dunia begitu sunyi dan kosong. Semangat hidupnya mendadak lenyap bersama kepergian Dewi Baju Merah. Hatinya te- rasa sangat sakit mengingat, betapa gadis yang telah membetot seluruh jiwa dan perasaan cintanya justru membencinya. Mampukah ia menjalani hidup ini tanpa kehadiran si jelita di sisinya? Dan apa yang harus dilakukannya sekarang?
"Ohhh...," desah pemuda tampan itu, lirih. Perasaan hatinya yang patah semakin terungkap. Sepintas terbayang kedua orang tua dan adik perempuannya. Semakin berdarahlah luka di hati pemuda yang biasanya keras dan tabah dalam menjalani hidup itu. Tanpa disadari, rasa cinta telah membuatnya menjadi lemah dan cengeng.
Pada saat senja mulai menapak, Pandu bangkit dengan satu keputusan yang telah diambil. Ia bertekad untuk mencari kedua orang tua dan adiknya. Setelah itu, mungkin akan menyepi menemani gurunya di puncak Gunung Pancar. Pandu melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Hembusan angin senja yang sejuk mengiringi langkah kakinya.
"Kita singgah dulu di desa itu, Kakang. Rasanya perutku sudah minta diisi," pinta seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. Wajahnya yang putih, nampak segar dengan sepasang pipi kemerahan. Mau tak mau, orang seperti tak puas-puasnya menikmati kejelitaannya itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang berjalan disebelahnya, menoleh sambil tersenyum lembut. Dari sepasang matanya, terpancar jelas sinar kasih yang dalam. "Ha ha ha.... Aku juga. Sejak tadi malam, perut kita memang belum kemasukan apa-apa," sahut pemuda berjubah putih itu tertawa ketika mendengar suara berkeruyuk dari perut gadis di sampingnya.
"Ih, tidak tahu malu!" omel gadis berbaju serba hijau itu sambil menepuk perutnya perlahan. Bibir gadis itu tampak segar kemerahan, namun seketika cemberut setelah mendengar tawa pemuda tampan yang semakin keras. Dicubitnya pangkal lengan pemuda itu dengan lagak manja.
Pemuda tampan itu bergegas menghindar dan berlari menjauhi. Namun ketika si gadis tidak mengejar, ia pun menghentikan larinya. Lalu, dihampirinya gadis jelita yang tengah membanting-banting kakinya karena kesal.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba mengaku salah. Dan hamba berjanji tidak akan mengulanginya lagi," ujar pemuda itu dengan mimik wajah yang lucu.
Sambil berkata demikian, pemuda itu membuat gerakan sebagaimana seorang abdi yang menghadap junjungannya. Tentu saja gadis itu menjadi geli dibuatnya. Namun, ia berusaha menahan ketawanya.
"Baiklah. Kesalahanmu kuampuni. Tapi kau harus menebusnya dengan membawaku ke kedai makan. Nah, laksanakan!" perintah gadis jelita itu dengan nada dibuat sungguh-sungguh.
"Baik, Tuan Putri." Setelah berkata demikian, si pemuda berjubah putih yang tak lain Panji itu, berkelebat cepat menyambar tubuh si gadis jelita.
"Ihhh...!" Gadis jelita yang sudah pasti Kenanga itu terpekik halus. Sepasang tangannya segera merangkul leher Panji. Karena saat itu juga tubuh pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih sudah melesat cepat menuju mulut desa. Beberapa puluh tombak sebelum mencapai mulut desa, Panji menghentikan larinya. Lalu, diturunkannya tubuh Kenanga sebelum mereka terlihat penduduk.
"Kau jahat, Kakang. Hampir saja jantungku copot," rengek Kenanga sambil memonyongkan mulutnya yang indah itu. Namun sinar matanya jelas memancarkan kebahagiaan yang dalam.
Panji tertawa lembut melihat wajah kekasihnya yang terlihat agak pucat. Mungkin gadis itu terkejut, karena gerakannya demikian cepat dan tak terduga. Tanpa berkata apa-apa lagi, diajaknya Kenanga memasuki desa.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga sudah duduk di sebuah kedai dan memesan makanan. Panji mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Saat itu pelayan sudah datang membawa pesanan mereka.
"Aden berdua bukan penduduk sekitar sini, rupanya," sapa si pelayan setengah berbisik sambil mengatur makanan di atas meja. "Sebaiknya selesai makan nanti, cepat-cepatlah meninggalkan desa ini."
"Eh! Mengapa, Paman?" tanya Panji seraya mengerutkan keningnya mendengar ucapan pelayan setengah baya yang terlihat agak pucat itu. Pemuda itu bertanya dengan suara rendah, sehingga tidak sampai terdengar orang lain. Karena dari suara pelayan itu, jelas tertangkap sesuatu yang tidak wajar.
Belum lagi pelayan itu sempat menjawab pertanyaan Panji, tiba-tiba terdengar suara yang berat dan kasar. Suara itu berasal dari seorang laki- laki tinggi besar berperut buncit.
"Cepat sediakan makanan yang paling enak dan dua guci arak!"
Sambil berkata demikian, pandangannya beredar ke seluruh ruangan kedai. Sepasang mata galak itu menyipit ketika melihat seraut wajah cantik jelita milik Kenanga. Kakinya yang sudah hendak melangkah, tampak meragu ketika melihat gadis jelita itu ditemani seorang pemuda berjubah putih.
Sementara itu, pemilik kedai makan dan pelayannya tengah sibuk menyiapkan pesanan lelaki tinggi besar berperut gendut itu. Wajah mereka nampak pucat dan agak gemetar. Sepertinya mereka sudah mengenal lelaki tinggi besar yang diiringi enam orang berseragam biru gelap itu.
Lelaki tinggi besar berperut gendut itu sudah melangkah ke meja yang berdekatan dengan Panji dan Kenanga. Enam orang lelaki berseragam biru gelap itu juga mengiringinya. Mata mereka bagai hendak melompat keluar ketika melihat wajah Kenanga. Tampak jakun mereka turun naik, menelan air liur ketika melihat wajah yang demikian cantik dan mempesona.
"Mana pesananku?! Cepat..!" teriak lelaki tinggi besar itu sambil menggebrak meja kuat-kuat
Brakkk!
Meja yang terbuat dari kayu murahan itu berderak dan bergetar keras. Untung orang itu memang tidak berniat mematahkannya. Kalau tidak, pasti sudah hancur berantakan dibuatnya.
Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh membawakan pesanan lelaki tinggi besar itu. Setelah meletakkan hidangan di atas meja, ia kembali masuk untuk mengambil dua guci arak yang diminta.
"Mari minum, Nisanak."
Sambil terkekeh menyebalkan, lelaki tinggi-besar itu menoleh ke arah Kenanga. Sedikit pun Panji tidak diliriknya. Padahal pemuda itu tepat berada di sampingnya. Namun Panji bersikap tenang, seolah-olah tidak mendengar ucapan orang itu. Pemuda itu tetap menikmati hidangannya tanpa merasa terganggu sedikit pun.
Kenanga yang memang sudah menduga kalau orang itu pasti akan mencari gara-gara, terpaksa menoleh dan menekan perasaannya. "Terima kasih. Aku tidak biasa minum arak," sahut Kenanga mencoba tersenyum ramah. Gadis jelita itu cepat-cepat memalingkan wajah, dan kembali meneruskan makannya. Hidangannya dinikmati lambat-lambat karena selera makannya telah lenyap atas kehadiran orang- orang kasar itu.
Lelaki tinggi besar berperut gendut itu menoleh ke arah enam orang kawannya yang tertawa terbahak-bahak. Selebar wajahnya menjadi merah karena merasa dipermalukan di depan mereka.
"Kakang, aku yakin gadis jelita itu sebenarnya bersedia menerima tawaranmu. Hanya saja cara kau menawarkan tadi salah," salah seorang kawannya yang berwajah bopeng memanas-manasi.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya lelaki tinggi besar itu menahan kegeramannya.
"Seharusnya Kakang tarik saja. Aku rasa gadis jelita itu pasti tidak akan menolak. Dan soal kawannya, biarlah kami yang akan mengurusnya," sahut orang berwajah bopeng itu setengah berbisik sambil menggerak-gerakkan alis matanya.
Meskipun pembicaraan orang-orang kasar itu tidak terlepas dan pendengaran Panji, namun pemuda berjubah putih itu tetap tenang saja meneruskan makannya. Karena sekali pandang saja, ia tahu kalau orang-orang itu tidak dapat berbuat banyak terhadap kekasihnya. Sehingga, nasib Kenanga rasanya tidak perlu dikhawatirkan lagi. Saat itu si lelaki tinggi besar sudah bangkit dan menghampiri Kenanga. Dengan lagak menyebalkan, tangannya diulurkan dengan maksud mengelus pipi Kenanga.
"Ayolah, Manis. Tidak usah malu-malu," ucapnya seraya terkekeh.
Kenanga yang melihat gerakan orang itu melalui sudut mata, menjadi marah bukan main. Selebar wajahnya menjadi merah melihat sikap kurang ajar orang itu. Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat mata, tangan kiri gadis itu melayang ke arah pipi si lelaki tinggi besar yang tidak sempat menghindar.
Plakkk!
Lelaki tinggi besar itu menjerit keras. Tubuhnya langsung terpelanting, jatuh menimpa meja tempat keenam orang kawannya berada. Meja itu hancur berantakan. Sedangkan keenam lelaki berseragam biru gelap sudah melompat berpencar.
"Bangsat! Perempuan sundal! Kau harus membayar mahal perbuatanmu ini!" bentak lelaki tinggi besar itu kalap. Wajahnya yang hitam dan berkulit kasar tampak membengkak. Tangan kanannya berkelebat mencabut golok besar yang terselip di pinggangnya.
Demikian pula dengan keenam orang lainnya. Mereka sudah bergerak mengepung Kenanga dengan senjata terhunus. Meskipun demikian, wajah mereka tampak bingung. Mereka memang tidak tahu, apa sebenarnya yang dilakukan gadis itu terhadap lelaki tinggi besar yang memang pemimpin mereka. Namun melihat sikap dan wajah pemimpinnya yang bengkak, jelas kalau gadis jelita itu telah menyerangnya.
"Kenanga, mari kita keluar!" seru Panji. Pendekar Naga Putih langsung melompat melalui jendela di sebelah kirinya yang terbuka lebar. Perbuatan pemuda itu diikuti Kenanga. Mereka memang sadar, kalau pertarungan yang akan terjadi bisa merusak seluruh isi ruangan kedai itu.
"Mau lari ke mana kau, Perempuan Liar!" bentak lelaki tinggi besar itu sambil melompat mengejar.
"Hati-hati, Kakang Wangga! Nampaknya mereka bukan orang sembarangan," salah seorang dan keenam lelaki berpakaian biru gelap itu memperingatkan pemimpinnya. Tubuhnya sudah melesat, diikuti lima orang lainnya.
Begitu tiba di luar, ketujuh laki-laki telengas itu tertegun. Gadis jelita yang diduga hendak melarikan diri, ternyata telah berdiri bertolak pinggang seperti menanti kedatangan mereka. Sedangkan pemuda berjubah putih itu nampak berdiri tenang dekat sebatang pohon. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kekhawatiran meskipun Kenanga sudah dikepung lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki tinggi besar itu sudah melompat disertai ayunan goloknya mengancam leher Kenanga. Rupanya ia benar-benar marah karena dipermalukan di depan kawan-kawannya. Tekadnya, leher gadis itu harus putus dengan sekali serang.
Enam orang kawannya pun sudah menerjang dari segala arah. Senjata-senjata mereka terayun dan menusuk keseluruh bagian tubuh Kenanga. Dua orang diantaranya, telah mengayunkan pedang disertai cengkeraman kearah dada gadis berpakaian serba hijau itu. Namun sayang, yang kali ini mereka hadapi bukan seorang gadis sembarangan. Dia adalah seorang dara digdaya, murid Raja Pedang Pemutus Urat. Hampir seluruh kepandaian tokoh sakti itu telah dikuasainya. Apalagi setelah melakukan perjalanan bersama Panji, yang tidak pernah bosan memberi petunjuk-petunjuk untuk menyempurnakan kepandaiannya. Maka sudah pasti kemajuan yang didapat sangatlah pesat
Maka dalam menghadapi keroyokan tujuh orang laki-laki kasar itu, Kenanga sama sekali tidak gugup. Gadis jelita itu berdiri tenang sambil tersenyum manis. Sedikit pun tidak ada hasrat untuk menggunakan pedangnya. Karena gerakan orang-orang itu sudah dapat diukur, sampai di mana kepandaian yang dimiliki lawan-lawannya. Ketika sambaran golok lelaki tinggi besar itu tiba, Kenanga melangkah ke kanan. Maka, sambaran golok yang mengarah lehernya itu pun luput. Kemudian, tubuhnya direndahkan menghindari dua buah sambaran pedang lain. Berbarengan dengan gerakan itu, kedua tangannya bergerak melakukan sodokan siku ke arah dua orang yang membacok dari belakang.
Wuuut! Wuuut! Dugkh! Bughk!
Dua orang pembokong itu berteriak keras. Tubuh mereka terpental ke belakang, lalu terbanting jatuh dengan dada serasa remuk akibat sodokan siku gadis itu. Dari sudut bibir mereka tampak mengalir cairan merah. Jelas sekali kalau hantaman itu sangat keras. Akibatnya untuk beberapa saat kedua orang itu tidak mampu bangkit. Sedangkan dua pengeroyok lain yang melancarkan bacokan sambil bermaksud meremas buah dada Kenanga, dihadapinya dengan egosan ke arah kiri. Kemudian secara berbarengan kaki dan tangannya bergerak melancarkan pukulan dan tendangan. Gerakan yang demikian cepat dan tak terduga itu, membuat kedua lawan Kenanga tercekat dan tak sempat mengelak.
Desss! Jrottt!
Keduanya terbanting roboh akibat pukulan dan tendangan yang sangat keras itu. Yang seorang merintih kesakitan sambil menekap wajahnya yang berdarah akibat pukulan keras gadis itu. Ketika meludah, yang keluar adalah cairan merah, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sedangkan yang seorang lagi, bergulingan sambil memegangi perutnya yang terkena tendangan Kenanga. Orang itu merintih-rintih tanpa mampu bangkit kembali.
Wuuut! Wuuut!
Kenanga menggeser kakinya tiga langkah ke belakang menghindari sambaran senjata dua orang lainnya. Tangan dan kakinya kembali melancarkan serangan balasan, namun cepat ditarik pulang kembali. Karena saat itu, golok si tinggi besar kembali menyambar ke arah perut
Wuuuk!
Gadis jelita itu melompat ke atas, lalu berputaran menghindari sambaran golok lawan. Selagi tubuhnya berputar, kedua tangannya melancarkan tamparan ke pelipis dua orang berpakaian biru gelap yang berada di bawah. Tubuh kedua orang itu pun terbanting pingsan diiringi jerit kesakitan.
"Bangsat! Kubunuh kau, Setan Betina!" maki lelaki tinggi besar itu. Dia benar-benar murka melihat enam orang kawannya sudah tergeletak tak berdaya. Golok di tangannya menyambar dan menusuk berkali-kali. Kemurkaannya semakin menjadi-jadi, karena serangan goloknya selalu saja dapat dielakkan gadis itu secara mudah.
"Haiiit...!"
Setelah lewat lima jurus, Kenanga berteriak nyaring disertai gerakan tubuhnya yang menyelinap di antara serangan golok lawan. Kedua tangannya langsung melancarkan pukulan dan tamparan. Tamparan tangan kanannya meluncur deras mengarah pelipis, sedangkan tangan kirinya memukul dada lawan.
Plakkk! Bugkh!
Tamparan dan pukulan keras itu tepat menghantam sasarannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki tinggi besar itu melintir dan langsung ambruk ke tanah. Pingsan. Dari mulutnya, mengalir darah segar. Sedangkan pelipisnya tampak membengkak. Kenanga memang tidak berniat membunuh lawan-lawannya, sehingga tidak mengeluarkan tenaga sepenuhnya saat bertarung. Kenanga berdiri tegak menatapi lawan-lawannya. Tiga orang, termasuk lelaki tinggi besar itu tergeletak pingsan. Sedangkan empat orang lainnya menatap gadis jelita itu dengan wajah pucat. Sesekali masih terdengar suara rintihan dari mulut mereka.
Panji melangkah tenang menghampiri orang-orang itu. Terlebih dahulu, diperiksanya tiga orang yang pingsan. Kemudian didekatinya empat orang lainnya yang masih merintih kesakitan.
"Hm..„ Siapa sebenarnya kalian? Dan apa yang kalian lakukan di desa ini?" tanya Pendekar Naga Putih dengan sorot mata tajam. Pemuda tampan ini mulai curiga. Dan memang, mungkin saja ketujuh orang itu ada hubungannya dengan nasihat pelayan kedai yang menyuruhnya cepat- cepat meninggalkan desa itu. Jiwa kependekaran Panji seketika tergerak untuk menyelidiki, apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa ini.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar.... Kami..., kami tidak tahu apa-apa..," sahut salah seorang dari mereka dengan wajah yang semakin pucat. Sedangkan tiga orang lainnya menundukkan kepala, seolah-olah takut dengan pertanyaan pemuda tampan itu.
"Kalian akan kubebaskan, asal menceritakan siapa sebenarnya kalian? Dan apa yang tengah terjadi di desa ini? Kalau tidak, maka terpaksa kalian akan kukirim ke akhirat!" ancam Panji yang menjadi semakin curiga. Jelas, rasa takut mereka bukan ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.
Mungkin ada sesuatu yang lebih hebat dan sangat mereka takuti. Tentu saja hal itu membuat Panji semakin ingin mencari jawabnya. Mendengar ancaman pemuda itu yang sepertinya tidak main-main, wajah keempat orang itu terlihat semakin pucat dan gelisah. Beberapa kali mereka menoleh ke kiri-kanan, seperti ada yang ditakuti.
"Hm.... Rupanya kalian lebih suka mati daripada menjawab pertanyaanku! Baiklah kalau itu yang kalian inginkan!" ujar Pendekar Naga Putih, siap membuktikan kata-katanya.
"Ampunkan kami... Ampunkan kami..., kami akan menga."
Belum lagi kata-kata orang itu selesai, terdengar suara berdesing halus. Pendekar Naga Putih, yang pendengarannya sudah sangat tajam, cepat bergerak. Sambil berbalik, tangan kanannya dikibaskan dengan pengerahan tenaga dalam. Terdengar suara berdenting ketika senjata rahasia yang berupa paku-paku berwarna hitam berjatuhan ke tanah. Panji yang berhasil menyampok runtuh paku-paku itu langsung tersentak kaget ketika mendengar teriakan ngeri di belakangnya.
"Biadab!" maki Panji gusar. Hati Pendekar Naga Putih menjadi marah melihat empat orang berseragam biru gelap itu sudah tergeletak tak bernyawa. Pada kening mereka masing- masing tertancap dua batang paku beracun.
"Kakang!" teriak Kenanga.
Saat itu, Kenanga melihat tubuh kekasihnya sudah berkelebat ke depan. Samar-samar gadis jelita itu sempat menangkap tiga sosok bayangan yang melarikan diri ke arah semak-semak. Hatinya merasa khawatir mengingat orang-orang itu menggunakan senjata rahasia yang mengandung racun ganas. Kenanga berpaling kepada tiga sosok tubuh yang semula tergeletak pingsan. Gadis jelita itu menghela napas kecewa karena tubuh orang-orang itu mulai kehitaman. Jelas, mereka telah tewas. Dan pada kening masing-masing telah menancap dua batang paku beracun. Dengan perasaan geram, disimpannya pedang yang tadi digunakan untuk menghalau paku-paku beracun. Rupanya bukan hanya Panji yang mendapat serangan gelap itu. Kenanga pun mengalami hal serupa.
"Uruslah ketujuh mayat ini baik- baik. Jangan takut. Aku yang akan bertanggung jawab atas kejadian ini," ujar Kenanga kepada penduduk desa yang berkerumun di tempat itu.
Meskipun agak takut-takut, para penduduk desa segera melaksanakan perintah gadis jelita itu. Tak berapa lama kemudian, Panji pun muncul seorang diri. Pemuda itu melangkah lesu dengan wajah kecewa.
"Bagaimana, Kakang? Kau tidak berhasil menangkap ketiga orang pembunuh itu?" tanya Kenanga, menyongsong kedatangan Panji.
"Tidak. Selain gerakan mereka cukup cepat, kebun itu pun banyak ditumbuhi semak-semak liar. Sehingga aku kehilangan jejak," sahut Panji sambil menggerakkan bahunya. "Hei? Apakah ketiga orang yang pingsan itu juga tewas?" Pemuda itu mengerutkan keningnya. Pendekar Naga Putih memang curiga ketika melihat para penduduk sibuk mengangkat tubuh ketujuh orang itu.
"Begitulah, Kakang. Salah seorang dari penyerang gelap itu melemparkan senjata rahasia kepadaku dan juga kepada ketiga orang yang tengah tergeletak pingsan itu. Meskipun aku berhasil menyelamatkan diri, namun ketiga orang itu dapat mereka bunuh," jawab Kenanga,singkat. Sepertinya, gadis itu merasa menyesal atas tewasnya ketiga orang yang mungkin akan dapat memberikan keterangan. Dan kini, mereka terpaksa harus menyelidikinya sendiri.
"Tapi, bagaimana mereka tahu kalau ketiga orang itu hanya pingsan?" tanya Panji heran.
"Aku yakin, mereka tidak tahu tentang hal itu, Kakang. Mungkin hanya berjaga-jaga saja. Sepertinya, para penyerang gelap itu takut kalau rahasia mereka terbongkar," jelas Kenanga yang membuat pemuda berjubah putih itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Hm.... Kita harus menyelidiki hal ini, Kenanga. Kita harus tahu, apa yang menyebabkan penyerang gelap itu membunuhi mereka. Sayang, ketujuh orang itu keburu tewas sebelum bisa kita korek keterangannya. Entah dari mana kita harus memulainya?" ujar Panji, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.
Kematian ketujuh orang itu, membuat pemuda ini semakin penasaran. Pendekar Naga Putih bertekad akan menyelidiki rahasia di balik semua kejadian yang baru saja dialaminya itu. Kenanga termenung dan melangkah bolak-balik untuk mencari keputusan memulai penyelidikan. Ternyata bukan hanya Panji saja yang merasa tertarik atas kejadian aneh penuh rahasia itu. Hati gadis jelita ini rupanya sudah tergerak untuk mengungkapnya.
"Hai!" Tiba-tiba saja gadis jelita berpakaian serba hijau itu menjentikkan jarinya dengan wajah berseri. Langkahnya berhenti, lalu menatap Panji dengan sepasang mata berbinar.
"Ada apa? Kau sudah mendapat jawabannya?" tanya Panji memandangi wajah kekasihnya penuh harap. Tentu saja Pendekar Naga Putih menjadi gembira melihat Kenanga. Wajahnya jelas-jelas menggambarkan kalau gadis itu telah menemukan jawaban
"Bagaimana kalau kita kembali ke kedai tadi, Kakang? Perutku masih terasa lapar. Aku tidak sempat menikmati hidanganku, karena ketujuh orang tadi telah membuat selera makanku hilang. Ayolah kita kembali ke sana, Kakang," ajak gadis jelita itu sambil menarik tangan Panji dengan manja.
"Ah! Kau ini ada-ada saja, Kenanga. Kukira kau sudah menemukan jawaban agar penyelidikan kita dimulai. Eh, tak tahunya hanya soal perut," keluh Panji sambil tersenyum melihat kegembiraan kekasihnya. Meskipun agak kecewa, tapi hatinya merasa senang melihat kegembiraan yang terpancar di wajah jelita itu.
"Tenang saja, Kakang. Kujamin kita pasti segera dapat memulai penyelidikan ini. Dan bukan tidak mungkin kalau akan langsung menemukan jawabannya tanpa harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu," sahut gadis jelita itu tersenyum penuh rahasia.
"Hei? Jadi kau benar-benar sudah mendapatkan jawabannya? Tapi, mengapa tidak segera kau katakan padaku?" hati Panji semakin penasaran terhadap tingkah kekasihnya yang seperti sengaja menggoda.
"Hi hi hi..! Kau tidak sabar amat, sih?" ledek Kenanga malah menertawakan kekasihnya.
"Ah! Kau nakal, Kenanga. Senang ya, melihat aku kebingungan seperti orang tolol?" Sambil berkata demikian, Panji mencubit pipi kekasihnya yang halus dan lembut bagai sutra. Hati pemuda itu menjadi gemas karena Kenanga belum juga mau memberitahukan apa yang telah didapatnya itu.
"Ihhh! Kakang genit, ah! Tidak malu ya, dilihat orang banyak?" Meskipun berkata demikian, tapi jelas gadis itu sangat gembira. Karena, cubitan Panji sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan terasa kalau bukan dicubit, melainkan malah lebih tepat dikatakan sebagai belaian. Hal itu tentu saja mendatangkan perasaan tersendiri yang tak dapat diukur nikmatnya.
"Biar saja," sahut Panji membandel. "Mereka pasti merasa iri denganku, sebab hanya dapat mencubit wajahmu dalam mimpi. Sedangkan aku dapat mencubit, bahkan membelainya secara nyata. Malah aku yakin, kau akan minta tambah."
"Uh, enak saja! Siapa yang sudi minta tambah cubitan. Kau pikiraku sudah tidak waras?" rungut gadis jelita itu seraya memonyongkan bibirnya berpura-pura marah.
"Justru karena masih waras, maka kau minta dicubit lagi. Tapi, aku juga tidak akan menolak bila diminta?" sahut Panji tersenyum.
Kenanga tidak menanggapi ucapan Panji. Tanpa berkata apa-apa, tangan gadis itu sudah bergerak mencubit pinggang kekasihnya hingga pemuda itu agak meringis juga. Tentu saja Kenanga tahu kalau itu hanya pura-pura. Sebab cubitannya memang tidak menyakitkan. Canda keduanya terhenti ketika tiba di depan pintu kedai. Mereka bergegas masuk. Kenanga langsung mengulapkan tangannya memanggil pelayan. Gadis jelita itu hanya memesan teh hangat dan penganan kecil, karena memang tidak sungguh-sungguh untuk makan. Tak berapa lama kemudian, pelayan itu pun sudah kembali membawa pesanan Kenanga.
"Sebentar, Paman!" cegah Kenanga ketika pelayan itu hendak melangkah meninggalkan mereka.
"Ada apa, Ni sanak?" tanya pelayan berusia setengah baya itu seraya mengerutkan keningnya. Dia memang mengenali kalau kedua orang muda itu adalah tamu yang datang kekedainya tadi. Dia memang sempat menyaksikan sewaktu Kenanga dan Panji berkelahi, sehingga mampu mengalahkan ketujuh orang lelaki kasar yang mengganggu gadis itu.
"Duduklah bersama kami, Paman. Kami ingin menanyakan sesuatu," ujar Kenanga lagi.
Setelah menoleh ke sekitar ruangan yang sepi karena tidak ada pengunjung lain, barulah lelaki setengah baya itu menuruti ajakan Kenanga. "Apa yang ingin Ni sanak tanyakan? Apa tidak sebaiknya Ni sanak dan Kisanak meninggalkan Desa Kemang ini? Apalagi setelah terjadinya keributan tadi, tentu kawan-kawan mereka tadi akan mencari kalian berdua. Dan itu sangat berbahaya," kata pelayan setengah baya ini merendahkan suaranya hingga terdengar agak berbisik.
"Justru itulah yang menyebabkan kami kembali ke kedai ini, Paman. Sepertinya Paman telah mengenal mereka? Dapatkah kami minta keterangan tentang mereka?" Tanpa basa-basi lagi, Kenanga langsung saja menanyakan ke pokok masalahnya. Sedangkan Panji hanya mengangguk-angguk, karena baru mengerti mengapa Kenanga mengajaknya ke kedai tempat mereka pertama kali singgah tadi.
"Tapi..., berbahaya sekali, Ni sanak.Aku... aku..."
"Ceritakan saja, Paman. Dan kami akan menjamin keselamatanmu," Panji buru-buru memotong ucapan pelayan itu ketika melihat wajah lelaki setengah baya itu nampak pucat dan ketakutan.
"Benar. Ceritakanlah, Paman. Jangan takut Kami berjanji akan melindungi Paman sekeluarga," timpal Kenanga, untuk meyakinkan orang tua itu.
"Baiklah. Aku akan menceritakannya," sahut laki-laki setengah baya itu seraya menarik napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya. Sedangkan kedua orang muda itu menanti dengan sabar. Setelah terlebih dahulu memperhatikan keadaan sekeliling kedai, maka pelayan itu pun mulai bercerita.
"Pada mulanya Desa Kemang ini merupakan desa yang aman dan tenteram," pelayan setengah baya yang mengaku bernama Ki Dampit itu memulai ceritanya. "Tapi, semenjak enam bulan yang lalu, keadaan berubah total. Para penduduk tidak lagi dapat menikmati hasil panennya, karena hampir seluruh hasil panen dirampas gerombolan pendatang yang rata-rata berkepandaian silat dan bertampang bengis. Kepala desa kami, Ki Dawur Soka, mencoba melakukan perlawanan. Sayang, orang-orang yang dipimpin Ki Jampala itu terlampau kuat. Sehingga Ki Dawur Soka dan para pembantunya tidak mampu untuk mengusir orang-orang jahat itu, sehingga mereka tewas di tangan tiga orang kepercayaan Ki Jampala, yang belakangan kami ketahui sebagai Tiga Setan Muara Gandul."
Sebentar Ki Dampit yang sebenarnya pemilik kedai makan itu, menghentikan ceritanya. Sedangkan Kenanga dan Panji mendengarkan penuh perhatian. Sesekali terdengar helaan napas mereka, seperti menahan kegeraman. Namun mereka tidak mau memotong cerita laki-laki setengah baya itu.
"Setelah kepala desa kami tewas, Ki Jampala mengangkat dirinya sebagai Kepala Desa Kemang ini. Sedangkan ketujuh orang yang berkelahi dengan ka- lian tadi, adalah para pengikutnya yang bertugas memunguti pajak dari para penduduk desa. Apalah daya kami yang hanya orang-orang lemah ini? Kami hanya bisa pasrah kepada nasib," Ki Dampit mengakhiri ceritanya dengan helaan napas sedih.
Panji dan Kenanga saling bertukar pandang sejenak. Kedua pendekar digdaya itu turut merasakan penderitaan yang dialami Ki Dampit dan para penduduk lainnya. Dari pertukaran pandang yang hanya sekejap itu, mereka seperti telah bersepakat untuk menyelamatkan penduduk Desa Kemang dari penderitaan yang selama ini dialami mereka.
"Hm.... Berapa banyakkah kira-kira para pengikut Ki Jampala itu, Paman?" tanya Panji yang sudah memutuskan untuk menumpas kejahatan di Desa Kemang ini.
"Sebenarnya para pengikut Ki Jampala ini tidak terlalu banyak. Selain Ki Jampala dan Tiga Setan Muara Gandul, masih ada lagi sekitar dua puluh orang anak buahnya. Tapi, kudengar Ki Jampala masih mempunyai pimpinan lain yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Bahkan Gusti Adipati Kerta Lungga pun tidak berani mengusiknya. Sehingga hampir seluruh desa yang berada di bawah kekuasaan adipati itu, jatuh ke tangan orang yang kalau tidak salah berjuluk Biang Iblis Tan- gan Hitam. Jadi, kalau boleh aku nasihatkan, sebaiknya tinggalkanlah desa ini. Sebab aku yakin sebentar lagi, orang-orang Ki Jampala akan datang untuk mencari kalian berdua," pesan Ki Dampit mengakhiri jawabannya. Rupanya lelaki setengah baya itu tidak tega kalau sampai kedua orang yang telah menimbulkan rasa suka di hatinya akan mendapat celaka.
Panji dan Kenanga merasa terharu atas perhatian orang tua itu. Dan hal itu justru membuat tekad mereka semakin kuat untuk membela penduduk Desa Kemang dengan taruhan nyawa. Sebab sebagai pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, mereka berkewajiban untuk menumpas segala bentuk kejahatan di muka bumi ini. Setelah mendapat keterangan tentang letak kediaman Ki Jampala, Panji dan Kenanga segera berpamitan kepada orang tua itu.
"Terima kasih atas nasihat yang Paman berikan kepada kami berdua. Tapi biar bagaimanapun, kami akan mencoba untuk membebaskan penduduk Desa Kemang ini dari tekanan Ki Jampala dan para begundalnya itu. Kami mohon pamit, Paman," pamit Panji setelah terlebih dahulu membayar harga makanan.
Ki Dampit memandangi kepergian kedua orang muda itu dengan pandangan haru. Hatinya benar-benar tersentuh melihat keikhlasan Panji dan Kenanga yang rela berkorban demi kepentingan penduduk Desa Kemang. Diam-diam orang tua itu berdoa agar kedua anak muda yang digdaya itu dilindungi Yang Maha Kuasa. Orang tua itu mengerjap-ngerjapkan matanya yang mendadak basah. Keharuan dan kekhawatiran telah membuat Ki Dampit menjadi cengeng. Dihapusnya air mata itu dengan punggung tangan, kemudian melangkah masuk setelah kedua anak muda itu lenyap dari pandangannya.
Ketika matahari sudah semakin bergeser ke Barat, Panji dan Kenanga telah tiba di depan sebuah bangunan besar dan cukup megah.
"Hm.... Belum pernah kutemukan seorang kepala desa yang memiliki kediaman sebesar dan sebagus ini. Ki Jampala tak ubahnya seorang raja kecil yang bergelimang kemewahan dari hasil memeras keringat rakyatnya," desah Panji yang menjadi geram melihat keadaan Ki Jampala yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan penduduk Desa Kemang.
"Ya! Orang-orang seperti Ki Jampala itu harus kita basmi, Kakang. Mudah-mudahan penduduk Desa Kemang kembali dapat merasakan ketenteraman dan kehidupan yang lebih layak," sahut Kenanga dengan nada yang bercampur tekanan amarah. Hati kewanitaannya benar-benar tersentuh melihat kehidupan penduduk Desa Kemang yang rata-rata miskin akibat kekejaman orang yang bernama Ki Jampala itu.
"Hei?! Siapa kalian? Mau apa berdiri di situ?" tegur salah seorang penjaga.
Penjaga itu memang sejak tadi curiga melihat kedua orang muda itu berdiri memandangi rumah kepala desanya. Kemudian, dihampirinya Panji dan Kenanga. Seorang penjaga lain tampak ikut menyertai pula. Belum lagi kedua orang penjaga ini sempat mendekat, tiba-tiba terdengar bentakan yang disusul berlompatannya belasan sosok tubuh berpakaian biru gelap.
"Tangkap kedua orang pengacau itu!"
Baik Panji maupun Kenanga, menjadi terkejut mendengar bentakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Keduanya bergerak saling membelakangi dan mengedarkan pandangan ke arah para pengepung yang dipimpin tiga orang berseragam hitam. Salah seorang dari ketiga orang berseragam hitam itu melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya ke wajah Panji.
"Hm.... Rupanya kau benar-benar hendak mencari penyakit, Anak Muda!" ujar orang itu dengan suara mengandung ancaman. Sepasang matanya menyiratkan hawa membunuh.
"Hm.... Kalian rupanya yang melemparkan paku-paku beracun tadi!" kata Panji begitu mengenali pakaian yang dikenakan orang itu. Saat itu juga, Pendekar Naga Putih langsung dapat menduga kalau mereka pasti Tiga Setan Muara Gandul, seperti yang diceritakan Ki Dampit.
"Benar! Aku dan kedua orang saudaraku itulah yang telah memberi peringatan kepada kalian. Tapi, kalau kedatanganmu kemari hendak menyerahkan bidadari jelita itu, mungkin kami akan mempertimbangkannya. Bahkan mungkin Ki Jampala bisa mengampuni perbuatanmu tadi," kata salah seorang dari Tiga Setan Muara Gandul itu sambil menatapi sekujur tubuh Kenanga.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan orang itu, seketika merah selebar wajah Kenanga. Kata-kata yang sudah jelas mengandung niat kotor itu, membuat gadis jelita ini segera melolos pedangnya.
Srettt!
"Hei! Setan jelek! Sadarkah kalau ucapanmu itu telah cukup mengantarmu ke akhirat!" bentak Kenanga berang. Setelah berkata demikian, terdengar suara mengaung dahsyat yang ditimbulkan putaran Pedang Sinar Rembulan di tangan gadis jelita itu.
"Haiiit..!" Disertai bentakan nyaring, tubuh gadis jelita berpakaian hijau itu sudah melompat dan menerjang orang itu.
Wuuut!
Orang tertua dari Tiga Setan Muara Gandul, melompat jauh menghindari sambaran pedang Kenanga. Dan tahu-tahu saja, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang pada kedua sisinya bergerigi. Dari badan pedang yang nampak mengkilat itu, bisa ditebak kalau pedang itu mengandung racun jahat. Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab Tiga Setan Muara Gandul dikenal sebagai tokoh sesat yang ahli menggunakan berbagai jenis racun. Itu pula yang membuat ketiga orang itu sangat ditakuti tokoh rimba persilatan.
Namun hal itu sama sekali tidak membuat Kenanga gentar. Meskipun bukan seorang ahli dalam soal racun, namun sedikit banyak ia sudah mengenal jenis-jenis racun. Memang hal itu tidak mengherankan. Sebab Pendekar Naga Putih adalah seorang yang cukup pandai dalam hal pengobatan. Apalagi sejak dibimbing Raja Obat. Tentu saja pemuda berjubah putih itu semakin bertambah kemajuannya dalam soal pengobatan dan racun. Dalam perantauannya, pemuda itu tak lupa memberi bimbingan kepada Kenanga, gadis yang dicintainya itu. Hal itu pulalah yang menyebabkan Kenanga tidak merasa gentar meskipun lawannya adalah seorang ahli racun.
"Kakang Badra, biar aku yang menghadapi gadis itu," pinta orang termuda dari Tiga Setan Muara Gandul yang segera mencabut senjatanya. Bentuk senjatanya sama dengan yang dipegang orang yang dipanggil Badra itu.
"Hm.... Hati-hatilah, Adi Sugra. Nampaknya gadis jelita itu memiliki kepandaian lumayan," ujar Badra menasihati Sugra yang merupakan orang termuda di antara mereka bertiga.
"Jangan khawatir, Kakang, Aku pasti dapat menundukkan gadis jelita itu," sahut Sugra sombong. Sambil melangkah maju, lelaki muda berusia tiga puluh tahun itu menyeringai. Otaknya membayangkan kalau-kalau akan dapat mengelus-elus kulit yang putih halus itu. Sugra tidak menunggu lama. Saat itu juga tubuhnya sudah melompat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan serangan
Wuuut!
Pedang yang pada kedua sisinya terdapat gerigi itu berkelebat menyambar tubuh Kenanga. Sedangkan tangan kirinya bergerak hendak mencengkeram buah dada gadis itu.
Kenanga marah bukan main melihat serangan yang dilakukan Sugra. Selebar wajahnya memerah menahan malu dan geram. Saat itu juga pedang di tangannya berkelebat, memapak serangan lawan. Dalam kemarahannya, gadis jelita itu sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 'Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga'.
Wuuut! Wuuut!
Sebentuk sinar putih keperakan bergulung-gulung menimbulkan deru angin keras. Sinar pedang gadis jelita itu bergerak menukik dengan kecepatan menggiriskan.
Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua batang pedang yang digerakkan tenaga dalam kuat saling berbenturan menimbulkan percikan bunga api di udara. Akibatnya, Sugra terjajar mundur disertai pekikan kagetnya. Ternyata benturan itu membuat lengannya terasa linu dan nyeri. Tokoh termuda Tiga Setan Muara Gandul itu benar-benar dibuat terkejut oleh kekuatan tenaga dalam lawan
Saat itu Pedang Sinar Rembulan yang sempat tertahan benturan pedang lawan, sudah bergerak berputar menyambar leher Sugra. Tentu saja tokoh sesat berusia tiga puluh tahun itu semakin terkejut. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bersalto di udara.
Wuuut!
"Ahhh...!" Sugra hampir tidak mempercayai pandang matanya. Karena meskipun sudah melompat jauh kebelakang, ternyata sinar putih keperakan itu masih saja mengejarnya. Terpaksa tubuhnya harus bergulingan untuk menyelamatkan nyawanya dari kejaran pedang gadis itu.
Wuuut! Brettt!
Tokoh sesat berusia tiga puluh tahun itu berusaha mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran pedang Kenanga. Namun akhirnya dia tak kuasa lagi menghindar. Meskipun masih bisa menyelamatkan lehernya, namun tak urung bahu kanannya terserempet mata pedang lawan. Diiringi jerit kesakitan, Sugra melempar tubuhnya dan terus bergulingan. Untunglah saat itu, lima orang berseragam biru gelap telah melompat dan menyelamatkan nyawanya dari kejaran sinar putih keperakan.
Trangngng! Trangngng!
Dua prang pengeroyok yang pedangnya tertangkis gadis jelita itu langsung terdorong dengan wajah pucat. Gerakan Kenanga yang demikian kuat dan cepat itu, telah membuat dua orang pengeroyok terbelalak. Ternyata senjata di tangan mereka telah patah menjadi dua bagian.
Sedangkan sambaran tiga batang pedang lainnya, berhasil dihindari dengan merendahkan tubuhnya. Begitu sambaran pedang ketiga orang pengeroyok itu lewat mendadak tubuh gadis jelita itu melenting dan berputar melewati kepala tiga orang pengeroyoknya. Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika sinar putih keperakan berkelebat menyambar punggung tiga orang pengeroyok itu. Mereka langsung ambruk, dan tewas seketika.
"Gila!" teriak Sugra yang matanya semakin terbuka lebar. Sama sekali tak disangka kalau gadis jelita itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam kegentaran mulai menyelimuti hati orang termuda dari Tiga Setan Muara Gandul ini
"Hei?! Ayo, kepung gadis setan itu!" teriak Sugra kalap.
Mendengar teriakan pemimpinnya, delapan orang berseragam biru gelap itu segera berlompatan mengurung Kenanga. Dan tanpa menunggu perintah lagi, langsung diterjangnya gadis jelita itu. Maka Kenanga juga segera menyambut serangan lawan-lawannya.
Pertarungan pun berlangsung semakin seru. Kenanga yang dikeroyok sembilan orang lawan semakin mengamuk hebat Pedang Sinar Rembulannya bergulung dan menyambar-nyambar menggiriskan. Sehingga meskipun dikeroyok banyak lawan, namun gadis jelita itu malah dapat berada di atas angin.
Saat itu pertarungan di tempat lain pun sudah berlangsung sengit. Panji yang menghadapi keroyokan dua di antara Tiga Setan Muara Gandul, dan ditambah tujuh orang berseragam biru gelap, bergerak bagaikan bayangan hantu. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara sambaran-sambaran senjata lawan. Dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, selalu saja ada tubuh lawan yang terpental tanpa mampu bangkit lagi. Tentu saja hal itu membuat para pengeroyoknya menjadi kaget dan sekaligus gentar.
Bukkk! Desss!
Kembali dua orang pengeroyok menjerit ngeri. Tubuh mereka jatuh berdebuk dan pingsan seketika itu juga. Untunglah pemuda itu tidak sembarangan menjatuhkan tangan kejam. Pukulan dan tendangannya memang tidak sampai menewaskan lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul menjadi kalap ketika melihat anak buahnya dijatuhkan pemuda itu dengan mudah. Dibarengi teriakan nyaring, keduanya melompat sambil membacokkan pedang ke leher dan perut Panji.
Wuuut! Wuuuk!
Panji menggeser tubuh ke kanan menghindari bacokan pada lehernya. Sedangkan bacokan pada perut ditepis oleh telapak tangan terbuka hingga senjata itu menyeleweng dan hampir membentur senjata Badra yang masih mengapung di udara. Tentu saja kedua orang itu menjadi terkejut dan berusaha menarik pulangsenjatanya.nBelum lagi hilang rasa terkejut mereka, saat itu kaki Pendekar Naga Putih mencelat naik menghantam rusuk salah seorang dari kedua Tiga Setan Muara Gandul.
Bugkh!
"Hugkh...!" Tubuh Longgata, orang kedua dari Tiga Setan Muara Gandul, terpelanting keras hingga menabrak tubuh Badra yang berada di sebelah kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun tersuruk jatuh saling tindih.
Pemandangan yang dapat menggelitik perut itu tidak sempat dinikmati Pendekar Naga Putih. Karena saat itu, empat orang berseragam biru gelap telah mengayunkan senjata dari empat penjuru. Melihat serangan itu Panji sama sekali tidak bergerak menghindar. Kaki kanannya bergerak ke depan membentuk kuda-kuda serong, dan sangat rendah. Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya yang terbuka bergerak ke kiri dan ke kanan, langsung menghantam dada dua orang penyerangnya. Kedua orang itu langsung terpelanting diiringi jerit kesakitan.
Gerakan yang dilakukan Pendekar Naga Putih tidak berhenti di situ saja. Tubuh pemuda itu meliuk mundur, dan langsung memutar tangan menjepit dua bilah senjata yang menyambar dari kiri-kanannya. Kedua orang itu tidak menyangka kalau lawannya akan menjepit senjata mereka di ketiak. Dan selagi mereka tertegun, tahu-tahu saja sepasang tangan Pendekar Naga Putih menyambar cepat ke arah wajah mereka.
Kedua orang itu langsung menggelepar akibat hantaman kuat yang mengenai pelipis. Beberapa saat kemudian, tubuh keduanya diam tak bergerak lagi. Pingsan. Badra dan Longgata yang sudah bangkit berdiri menjadi terkejut melihat pengikutnya telah tergeletak pingsan. Cepat-cepat keduanya merogoh kantung kain yang tergantung di pinggang.
Werrr! Werrr...!
Terdengar suara berdesingan nyaring ketika kedua orang itu menggerakkan tangan untuk menebarkan senjata-senjata gelap yang mengandung racun ganas.
"Hmh...!" Panji yang sudah membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara berdesing, hanya menggeram lirih. Pendekar muda itu menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Kemudian, didorongkannya dengan telapak tangan terbuka.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang menggigit tulang berhembus dari sepasang telapak tangan pemuda itu, dan langsung memukul runtuh senjata-senjata beracun kedua orang lawannya. Sebelum rasa terkejut kedua lawannya itu lenyap, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat lurus bagaikan sebatang bambu ke arah Badra dan Longgata. Sepasang tangan pemuda itu berputar cepat bagai baling-baling. Malahan kedua orang lawannya itu tidak lagi dapat melihat bentuk tangan Panji. Dan hal itu cukup membuat mereka hanya bisa berdiri tertegun bagaikan terkena pengaruh sihir. Pada saat yang gawat itu, tiba- tiba sesosok bayangan hitam melesat memotong serangan Panji. Bayangan hitam itu langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya menyambut serangan pemuda itu.
Bresss!
Terdengar ledakan keras yang mengguncangkan udara di sekitar tempat itu. Pertemuan tenaga yang amat kuat tadi membuat bayangan hitam terpental balik. Setelah berputar beberapa kali di udara, barulah sepasang kakinya dapat didaratkan dengan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru sosok tubuh itu bergetar. Tubuh orang itu nampak bergoyang-goyang dan agak limbung. Kedua tangannya menekan dada. Bahkan napasnya terlihat agak memburu. Sosok tubuh itu sepertinya telah mengalami luka dalam. Hal itu terlihat dari cairan merah yang merembes disudut bibirnya.
Badra dan Longgata terkejut setelah mendengar nama Pendekar Naga Putih disebut-disebut oleh sosok tubuh itu. Kini mata mereka baru terbuka lebar. Pantas saja pemuda itu demikian hebat sehingga hampir membuat mereka tewas.
"Bunuh pendekar usilan itu!" perintah sosok tubuh yang tak lain dari Ki Jampala itu. Siapa lagi orang yang berani memerintah Tiga Setan Muara Gandul kalau bukan Ki Jampala sendiri. Setelah berkata demikian, lelaki berusia lima puluh tahun itu melompat ke arah Panji yang masih berdiri tegak menatapi ketiga orang lawannya. Namun, sebelum pertarungan itu terjadi, terdengar jerit kematian yang merobek angkasa.
"Adi Sugra...! Keparat! Kubunuh kau...!" teriak Badra yang menjadi kalap ketika melihat tubuh Sugra terlempar disertai semburan darah yang membasahi tubuhnya.
Orang tertua dari Tiga Setan Muara Gandul itu langsung menerjang Kenanga dengan ganas. Sedangkan Longgata menubruk tubuh adik seperguruannya yang sudah tewas dengan luka menganga ditubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga yang telah menamatkan nyawa lawan-lawannya segera menyambut serangan Badra dengan pedangnya. Dalam waktu singkat, keduanya sudah terlibat pertarungan sengit. Longgata pun sudah melompat menerjang Kenanga. Dalam kemarahannya, tokoh sesat itu telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menyerang. Sehingga serangan-serangannya semakin ganas dan dahsyat.
Panji yang semula berniat membantu kekasihnya, segera membatalkan niatnya begitu melihat orang yang memapak serangannya tadi hendak melarikan diri. Cepat pemuda itu melesat dan menghadang orang itu.
"Hm.... Hendak lari ke mana kau, Ki Jampala?" ujar Panji menduga-duga. Sebab, menurutnya siapa lagi orang itu kalau bukan Ki Jampala. Hal itu dapat dilihat dari sikap dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul yang terlihat sangat hormat terhadap orang itu.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami?" tanya Ki Jampala yang tidak dapat menyembunyikan rasa gentarnya. Memang, dari pertemuan tenaga tadi, ia dapat menilai kalau tenaga dalam pemuda itu pasti sangat hebat. Dan itu telah dibuktikan ketika menangkis serangan pemuda itu yang ditujukan kepada dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul tadi.
"Hm.... Kau ingin tahu? Pergilah dan tinggalkan Desa Kemang ini. Hanya itulah yang kuinginkan. Sederhana sekali, bukan?" sahut Panji seraya tersenyum tenang. Diam-diam pendekar itu mengharapkan Ki Jampala mau menuruti permintaannya.
"Ooo, hanya itu. Nah, terimalah ini!" sahut Ki Jampala yang segera melontarkan pukulan maut ke tenggorokan dan dada Panji.
Melihat serangan maut itu, tubuh Panji bergeser ke kiri dan sekaligus melontarkan pukulan balasan yang tidak kalah berbahayanya. Namun lawannya ternyata cukup gesit dan mampu menghindari sambaran tangannya yang menga- rah ke belakang leher Ki Jampala. Bahkan sambil menghindar, orang tua itu masih sempat melepaskan sebuah tendangan kilat ke perut Pendekar Naga Putih.
Zebbb!
Tendangan kilat itu berhasil dihindari Panji dengan merendahkan kuda-kuda sambil meliukkan tubuh ke samping lawan. Tangan kanannya langsung bergerak melepaskan tamparan ke dada Ki Jampala. Laki-laki tua itu merasa terkejut melihat kecepatan gerak lawannya.
Bugkh!
"Hegkh...!" Tubuh lelaki tua itu terjengkang akibat tamparan yang kuat di dada kirinya. Meskipun demikian, ia masih juga berhasil melompat dan bersalto hingga tubuhnya tidak sampai terjatuh ke tanah. Namun sayang, sebelum Ki Jampala berhasil mengatur kedudukannya, tahu-tahu saja telapak kaki Pendekar Naga Putih telah hinggap di dadanya. Tubuh orang tua itu pun langsung terbanting ke tanah hingga menimbulkan suara berdebuk nyaring. Sebelum Ki Jampala sempat bangkit berdiri, telapak kaki Pendekar Naga Putih telah menekan dadanya.
"Kalau kau ingin selamat, cepat katakan! Siapa dan di mana pemimpinmu berada? Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu," ancam Panji sambil menahan tekanan kakinya hingga Ki Jampala terbatuk-batuk. Darah pun semakin banyak mengalir dari mulutnya.
"Apa... apa maksudmu? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan itu?" bantah Ki Jampala mencoba mengelabui pemuda itu.
"Baiklah! Aku tidak akan memaksamu," ujar Panji seraya tersenyum. Setelah berkata demikian, tangannya bergerak melakukan totokan yang dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat.
Ki Jampala menjerit-jerit ketika merasakan rasa nyeri di seluruh bagian tubuhnya. Tubuhnya berguling-guling karena Panji telah melepaskan kakinya yang semula menekan dada Ki Jampala. Panji baru membebaskan Ki Jampala dari penderitaan ketika orang tua itu berteriak-teriak. Dia akhirnya bersedia memberitahukan, apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu.
Setelah mendapatkan keterangan dari Ki Jampala, pemuda itu pun segera meninggalkan orang tua itu setelah terlebih dahulu menotok lumpuh Ki Jampala. Hal itu dimaksudkan agar tidak membahayakan para penduduk apabila menahannya. Dan memang, rupanya para penduduk telah berkumpul di situ karena Ki Dampit telah menceritakan kehadiran dua orang pendekar kepada mereka. Jadi itu semua memang berkat pemilik kedai itu yang berhasil menghimpun penduduk.
Namun, baru beberapa langkah Panji meninggalkan tubuh lawannya, para penduduk yang merasa marah telah mencincang tubuh Ki Jampala beramai-ramai. Pendekar Naga Putih hanya dapat menarik napas melihat kemarahan para penduduk yang tengah melampiaskan dendamnya kepada orang tua itu. Pendekar Naga Putih meneruskan langkahnya mendekati pertempuran lain yang tampaknya juga akan segera berakhir. Panji hanya berdiri memandangi kekasihnya yang tengah mendesak dua orang lawannya.
"Haiiit..!"
Badra dan Longgata benar-benar telah terjepit oleh lingkaran sinar pedang gadis jelita itu. Mereka hanya dapat menangkis tanpa mempunyai kesempatan untuk membalas. Dan ketika Kenanga melompat disertai teriakan dan ayunan pedang, kedua orang tokoh sesat itu tidak mampu lagi menghindar.
Wuuut!
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Kedua orang tokoh sesat itu menjerit ngeri ketika pedang di tangan Kenanga berkelebat dan membeset pangkal lengan dan paha mereka. Dan selagi tubuh keduanya terjajar mundur dengan gerakan limbung, Kenanga sudah melompat. Kedua kakinya langsung menghantam telak dada kedua orang lawannya.
Bukkk! Desss!
Badra dan Longgata yang merupakan dua di antara Tiga Setan Muara Gandul, jatuh berdebuk dan langsung pingsan seketika itu juga. Darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibir kedua tokoh sesat itu. Kenanga menghampiri Panji yang melemparkan senyum kepadanya. Wajah gadis jelita itu tampak kemerahan dengan bintik-bintik keringat yang menghiasi wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, Kenanga terlihat semakin menonjol kecantikannya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau sudah menemukan Ki Jampala?" tanya gadis jelita itu seraya tersenyum manis.
"Sudah. Bahkan aku berhasil mengorek keterangan tentang pimpinannya. Tapi sayang, aku tidak berhasil mencegah orang-orang desa yang menghukum orang tua itu dengan cara mereka sendiri," sahut Panji agak sedikit kecewa.
"Hm.... Lalu, bagaimana dengan kedua orang tokoh sesat ini? Bukankah mereka dapat membahayakan nyawa penduduk apabila tidak dibunuh?" tanya Kenanga yang masih mengkhawatirkan nasib penduduk Desa Kemang apabila kedua tokoh sesat itu dibiarkan begitu saja.
"Mereka telah terluka parah dan tidak mungkin sembuh dalam waktu singkat."
Setelah berkata demikian, Panji mengulapkan tangannya memanggil salah seorang penduduk yang nampaknya cukup berpengaruh. Setelah berpesan agar kedua tokoh sesat itu dilepaskan setelah mereka tersadar dari pingsannya nanti, Panji dan Kenanga segera meninggalkan Desa Kemang untuk mencari Biang Iblis Tangan Hitam yang menjadi sumber kerusuhan di desa itu.
Siang itu, matahari memancar terik. Tampak sesosok tubuh ramping berbaju merah tengah berlari cepat sambil menekap bahu kirinya yang tergantung lemah. Dari sela-sela jari tangan kanannya, nampak cairan merah merembes keluar. Jelas, gadis jelita berbaju merah itu tengah menderita luka.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau melarikan diri, Dewi Baju Merah! Biar sampai ke ujung langit pun, akan tetap kukejar!" teriak seorang lelaki setengah baya sambil berlari mengejar gadis jelita berbaju merah itu. Sedang di belakang lelaki itu, terlihat beberapa sosok tubuh lain yang ikut pula mengejar.
"Ohhh...!" Gadis jelita berbaju merah itu mengeluh sambil memijat lukanya yang semakin terasa panas dan perih. Rasa sakit yang semakin menyiksanya itu membuat gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Tak berapa lama kemudian, gadis yang dipanggil Dewi Baju Merah itu mulai memasuki daerah perbukitan. Jalan yang dipenuhi batu dan menanjak itu, membuat kedua kakinya terasa berat untuk melangkah. Meskipun beberapa kali hampir terjatuh, ia terus saja berusaha untuk melepaskan diri dari kejaran orang-orang yang semakin dekat di belakangnya. Karena kedua kakinya sudah tidak kuat lagi berlari, akhirnya setelah melewati jalan menanjak dan berbatu, Dewi Baju Merah terjatuh di atas tanah berumput kering yang merupakan tanah lapang cukup luas. Di saat gadis jelita itu berusaha bangkit, tahu-tahu saja para pengejarnya telah tiba pula di tempat itu.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang, kau pasti akan dapat kutangkap. Nah! Lihatlah sendiri!" ujar laki-laki setengah baya yang memiliki kening lebar itu.
"Keparat kau, Setan Hitam! Kalau ingin membunuhku, bunuhlah! Aku tidak takut menghadapi kematian!" bentak gadis jelita itu tanpa rasa gentar sedikit pun. Sepasang matanya yang bulat menatap galak.
"Ha ha ha..,! Tidak semudah itu, Dewi Baju Merah! Kau kira aku tidak tahu, siapa kau sebenarnya? Dengan adanya kau di tangan kami, Adipati Kerta Lungga akan menuruti semua permintaan kami." Setelah berkata demikian, meledaklah tawa lelaki berkepala separuh botak itu. Tawanya segera disambut kawan-kawannya.
"Jangan coba-coba menggertakku, Langgawe! Sebelum sempat memberitahukan ayahku, tubuhku hanya akan menjadi mayat yang tak berarti!" teriak Dewi Baju Merah Ternyata dia adalah seorang putri adipati. Setelah berkata demikian, gadis jelita itu mengayunkan belati yang sudah dicabut ke dadanya sendiri.
Tring!
Belum lagi belati itu sempat terhunjam di dada Dewi Baju Merah, seberkas sinar putih berkelebat dan tepat mengenai belati yang siap dihunjamkan. Gadis jelita itu memekik tertahan melihat belatinya terpental akibat hantaman batu kerikil sebesar ibu jari kaki.
"Hm.... Gadis inikah yang telah berani mati menyelidiki tempat kita, Langgawe? Benarkah dia putri Adipati Kerta Lungga?" tegur sebuah suara serak menggetarkan. Wajah laki-laki yang keningnya lebar hingga ke ubun-ubun, berubah pucat ketika mendengar suara berat itu. Cepat tubuhnya berbalik, dan langsung berlutut begitu melihat seorang kakek berusia sekitar delapan puluh tahun telah berdiri di situ.
"Ampun, Ketua. Gadis inilah yang telah menyatroni tempat kita," sahut Langgawe sambil tetap bersujud dan me- nundukkan wajahnya dalam-dalam. Gerakan Langgawe itu diikuti kawan-kawannya yang lain.
"Hm.... Biang Iblis Tangan Hitam! Perlu kau ketahui! Semua perbuatanku, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ayahku! Kalau ingin menghukumku, hukumlah! Aku, Serimpi, pantang takut menghadapi kematian!" tantang Dewi Baju Merah yang ternyata bernama Serimpi. Serentak gadis itu berdiri, lalu menatap tajam ke arah kakek yang berjuluk Biang Iblis Tangan Hitam. Sama sekali tidak diperlihatkan rasa takut maupun gentar.
"He he he.... Seperti yang Langgawe katakan tadi, dengan adanya kau, maka kami akan memaksakan kehendak kami kepada ayahmu," tegas kakek itu seraya terkekeh serak.
"Bangsat! Hiaaat...!" Dewi Baju Merah yang sudah tidak dapat menahan amarah langsung melompat dengan pukulan tangan kanan yang meluncur deras ke dada kakek itu.
Biang Iblis Tangan Hitam sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Dengan sikap tenang, tangannya diulurkan menyambut pukulan gadis itu. Serangkum hawa yang amat kuat membentur tubuh Dewi Baju Merah.
Bukkk!
Gadis jelita itu mengeluh tertahan ketika tubuhnya terbanting kembali ke atas tanah berumput kering.
"He he he...! Anak nakal, kau harus diberi pelajaran terlebih dahulu!" Setelah berkata demikian, kakek itu melangkahkan kakinya, mendekati Dewi Baju Merah. Tangan kanannya terulur hendak menjambret lengan gadis itu.
"Jangan sakiti gadis itu...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok tubuh tegap. Begitu tiba, sosok tubuh itu langsung melepaskan pukulan ke pelipis Biang Iblis Tangan Hitam.
Wuuut! Plakkk!
"Uhhh...!" Sosok tubuh itu mengeluh tertahan ketika tangan Biang Iblis Tangan Hitam yang semula hendak menjamah tubuh Dewi Baju Merah digunakan untuk menangkis serangan. Dan akibatnya, sosok tubuh itu terpental balik. Namun orang itu ternyata sangat gesit! Dengan beberapa kali salto, kedua kakinya mendarat kokoh di atas tanah berumput.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Serimpi?" bentak Biang Iblis Tangan Hitam.
"Kau tidak perlu tahu hubunganku dengan Serimpi! Yang penting, bila kau ingin menyakiti gadis itu, langkahi dulu mayatku!" tegas sosok tubuh itu lantang.
Dewi Baju Merah menahan seruannya begitu mengenali sosok tubuh yang menolongnya itu. Sepasang matanya yang bulat dan indah, nampak menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Lelaki muda yang datang itu adalah Pandu. Pemuda tampan berkulit kecoklatan itu sempat mengerling dengan sudut mata ke arah Dewi Baju Merah.
"Kau... kau pergilah. Mereka akan membunuhmu nanti," ujar Dewi Baju Merah yang bernama asli Serimpi sambil memandang wajah Pandu dengan cemas.
"Tidak, Serimpi. Untuk menyelamatkanmu, aku rela mengorbankan selembar nyawaku," sahut Pandu memanggil Dewi Baju Merah dengan nama yang baru dikenalinya dari Biang Iblis Tangan Hitam tadi.
"Kami akan membantumu, Kisanak." Tiba-tiba terdengar suara halus yang menggetar karena dikerahkan lewat tenaga dalam yang amat kuat.
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu serentak menolehkan kepala ke arah suara itu. Mereka terkejut ketika melihat dua sosok tubuh berpakaian hijau dan putih tengah melangkah mendatangi tempat itu. Diam- diam orang-orang itu menjadi heran. Karena suara yang terdengar dekat tadi, ternyata datang dari orang yang masih terpisah beberapa belas batang tombak dari tempat itu. Dua sosok tubuh yang tak lain adalah Kenanga dan Panji itu memandang tajam orang-orang di sekitarnya. Wajah yang bersih dan tampan itu, tampak terhias senyum cerah.
"Kaukah yang berjuluk Biang Iblis Tangan Hitam? Tadi aku mendengar ada orang yang menyebutkan julukan itu. Itulah yang menyebabkan langkahku tiba di tempat ini," ujar Panji sambil meneliti kakek yang berambut panjang itu.
"Hm.... Kau pasti Pendekar Naga Putih. Aku telah mengenalmu karena melihat dandanan dan gagang Pedang Naga Langit yang tergantung di pundakmu," sahut kakek itu yang sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan pemuda berjubah putih tadi. Sepasang matanya menatap tajam, meneliti sekujur tubuh Panji.
"Biang Iblis! Kedatanganku kemari untuk menghentikan semua sepak terjangmu. Bukankah sebaiknya kepandaianmu itu dipergunakan untuk kebaikan?" ujar Panji dengan sikap tetap tenang.
"He he he...! Untuk menghentikan perbuatanku, kau harus dapat mengalahkanku, Pendekar Naga Putih. Sekarang bersiaplah menerima kematianmu," sahut Biang Iblis Tangan Hitam.
"Heaaat..!" Tanpa menunggu lawannya bersiap terlebih dahulu, Biang Iblis Tangan Hitam sudah melompat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan. Serangkum angin dahsyat bergulung menerjang tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau lawannya bukanlah tokoh sembarangan, mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya langsung didorongkan menyambut sepasang lengan kakek itu.
Blarrr!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga dalam dahsyat itu. Beberapa orang pengikut Biang Iblis Tangan Hitam bahkan sampai terpelanting roboh dan pingsan seketika. Sedangkan yang lainnya berlompatan mundur menjauhi pertarungan itu.
Baik Panji maupun Biang Iblis Tangan Hitam, sama-sama terpental beberapa tombak ke belakang. Namun, keduanya dapat mendaratkan kakinya di tanah tanpa menderita luka yang berarti. Hanya saja, tubuh mereka masing-masing terlihat limbung.
"Kau hebat, Pendekar Naga Putih. Selama puluhan tahun, baru kali inilah kutemukan lawan tangguh dan masih muda. Tapi kau jangan berbangga dulu. Kita lihat saja, apakah kau akan mampu menahan seranganku selanjutnya," kata Biang Iblis Tangan Hitam. Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu kembali melesat dan langsung melancarkan serangan maut.
Melihat serangan-serangan yang dahsyat dan menimbulkan deruan angin keras itu, kedua kaki Panji bergeser secara bergantian untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Sesekali Pendekar Naga Putih menangkis dan membalas dengan pukulan dan tendangan yang tidak kalah dahsyat Sehingga pertarungan pun semakin seru dan mendebarkan.
Sementara di tempat lain, Pandu dan Kenanga telah pula terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Sedangkan Dewi Baju Merah hanya dapat menonton pertarungan itu dengan hati tegang. Rupanya, gadis jelita itu telah mengalami luka dalam yang cukup parah akibat pukulan yang dilancarkan Biang Iblis Tangan Hitam tadi. Sehingga, ia hanya dapat meremas-remas tangan dengan hati cemas. Pertarungan Panji dan Biang Iblis Tangan Hitam, berlangsung semakin mendebarkan! Kedua tokoh sakti itu telah sama-sama mengeluarkan ilmu andalan masing-masing.
"Haiiit..!"
Pada jurus kelima puluh enam, Biang Iblis Tangan Hitam menghantamkan telapak tangan kirinya ke dada Panji.
Wusss!
Dari telapak tangan kiri kakek itu, bergulung asap hitam yang menebarkan bau amis yang memualkan perut. Panji bergegas melompat ke samping sambil melepaskan tamparan ke pelipis lawan. Namun, telapak tangan kiri kakek itu tahu-tahu saja bergerak berputar, dan langsung mendarat di perut Panji.
Bukkk!
"Hugkh...!" Pendekar Naga Putih mengeluh pendek. Tubuhnya terlempar mundur hingga dua batang tombak jauhnya. Pendekar muda itu mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik, sehingga tidak sampai terjatuh karena pukulan yang amat kuat itu. Dari sela-sela bibirnya, terlihat cairan merah merembes keluar.
Pukulan 'Asap Hitam' yang mengandung racun itu ternyata telah melukai bagian dalam tubuhnya. Bergegas Panji mencabut Pedang Naga Langit, dan menorehkan ujungnya pada luka di perutnya. Dalam sekejap saja, racun di tubuh pemuda itu telah lenyap terhisap pedang pusaka itu. Dan kulit perutnya yang semula kehitaman kembali berubah seperti sedia kala
"He he he...! Pedang hebat itu tidak pantas menjadi milikmu, Pendekar Naga Putih! Serahkan saja padaku!" bentak Biang Iblis Tangan Hitam. Laki-laki tua itu begitu terpukau melihat perbawa dan kemukjizatan Pedang Naga Langit yang berada di tangan Panji. Dan sebentar kemudian, tubuh kakek itu langsung melompat dengan cengkeraman kedua tangannya. Cengkeraman kiri mengarah ubun-ubun dan cengkeraman kanannya meluncur, hendak merebut pedang di tangan kanan Pendekar Naga Putih.
Wuuut! Wuuut!
Panji melangkah mundur menghindari cengkeraman maut itu. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak menyabetkan pedang ke tangan kanan lawan yang mencengkeram ubun-ubun Gulungan sinar kuning keemasan itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam tersentak kaget. Dicobanya untuk menarik pulang tangan kirinya. Namun sayang, kakek itu kalah cepat. Dia tidak sempat lagi menyelamatkan tangan kirinya dari sambaran pedang.
Wuuut! Crakkk!
"Aaargh...!" Biang Iblis Tangan Hitam menjerit parau ketika mata pedang membabat buntung tangan kirinya hingga sebatas pergelangan. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang sejauh empat batang tombak untuk menghindari sambaran pedang yang masih terus berkelanjutan.
Wuuut! Wuuut...!
Seluruh wajah Biang Iblis Tangan Hitam pucat. Karena pada saat kedua kakinya baru menjejak tanah, tubuh Panji sudah melesat menerjang. Dalam kemarahannya, pemuda perkasa itu telah mengeluarkan jurus pamungkas 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'. Hebat bukan main jurus terakhir 'Silat Naga Sakti' itu. Sebentuk sinar kekuningan bagai bulatan itu berpendar menyilaukan pandangan lawan. Dari bulatan sinar pedang itu, kadang-kadang menyembul ujung pedang yang bagaikan puluhan banyaknya. Tentu saja hal itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam menjadi buram pandangannya, sehingga tidak mengetahui ujung pedang yang merupakan aslinya. Maka...
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!" Biang Iblis Tangan Hitam meraung dahsyat menggetarkan sekitarnya. Darah segar langsung memercik membasahi rerumputan kering ketika mata pedang Pendekar Naga Putih merobek tubuhnya beberapa kali. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tua itu ambruk dan tewas bermandikan darahnya sendiri.
"Kakang! Kau tidak apa-apa?" tanya Kenanga khawatir. Gadis jelita yang sudah menyelesaikan pertarungannya bersama Pandu semenjak tadi, cepat memeriksa perut Panji. Baju pada bagian perut pemuda itu terlihat hangus bagaikan terbakar api. Dan luka akibat goresan Pedang Naga Langit tampak mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak. Tapi hal ini telah membuat hati dara jelita itu cemas karenanya.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga," sahut Panji seraya tersenyum lembut. Dibelainya rambut kepala gadis jelita itu penuh kasih.
"Syukurlah, Kakang," desah Kenanga seraya memeluk tubuh pemuda pujaannya itu.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Tapi, urusan ini belum selesai seluruhnya. Sebab menurut Serimpi, di tempat kediaman Biang Iblis Tangan Hitam banyak terdapat tawanan yang harus dibebaskan," jelas Pandu sambil membungkuk hormat kepada Panji.
Sementara itu, Serimpi yang luka-lukanya sudah disembuhkan Kenanga, berdiri di belakang Pandu. Wajah gadis itu tampak segar, pertanda telah benar-benar sembuh.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayolah kita ke sana," sahut Panji.
"Mari, ikuti aku!" ujar Serimpi yang menjadi penunjuk jalan.
Pandu, Kenanga, dan Panji segera melesat mengikuti gadis jelita berbaju merah itu.
"Hm..., Rupanya di sinilah sarang Biang Iblis itu," gumam Panji begitu mereka tiba di depan sebuah bangunan besar di dalam Hutan Kemang. Keempat orang pendekar muda itu bergegas memasuki halaman bangunan besar itu.
Belasan orang anak buah Biang Iblis Tangan Hitam yang mencoba menghalangi, satu persatu ambruk dihajar keempat biang itu. Setelah semua penghalang tak berkuak, mereka bergegas menuju tempat tawanan disimpan.
Panji, Kenanga, Pandu, dan Serimpi bergegas membuka pintu-pintu berjeruji yang mengurung puluhan orang wanita. Mereka berumur sekitar enam betas sampai dua puluh tahun dan nampak pucat serta basah oleh air mata. Mereka adalah gadis-gadis desa yang diculik oleh begundal-begundal Biang Iblis Tangan Hitam sebagai pemuas nafsu pemimpin-pemimpin mereka. Pandu yang ikut membebaskan gadis-gadis itu terpaku ketika menatap seorang gadis berwajah bulat telur dan sangat manis. Setitik tahi lalat, tampak menghias sudut bibir sebelah kirinya.
"Kau... kau. Siapakah namamu, dan di mana tinggalmu?" tanya Pandu agak gugup.
Sejenak dalam benak pemuda itu terlintas wajah kedua orang tua dan adik perempuannya yang telah lama dicarinya. Dan tentu saja wajah adiknya masih jelas tergambar dalam benak. Gadis berwajah bulat telur yang manis itu, menunduk malu karena sepasang mata Pandu seperti menjelajahi seluruh wajahnya.
"Namaku Ratih, dan tempat tinggalku di Desa Surungan," sahut gadis itu tersipu.
"Hei? Untuk apa kau tanya-tanya nama orang? Kau suka, ya?" tegur Serimpi. Gadis yang berjuluk Dewi Baju Merah itu tahu-tahu saja sudah berada di samping Pandu. Nada suaranya terdengar ketus dan galak. Sehingga Pandu sempat terkejut karenanya. Namun, pemuda itu seperti tidak mempedulikan.
"Ratih.... Kau..., apakah ayahmu bernama Ki Sumareja dan ibumu bernama Wilarsih?" tanya Pandu. Tubuh pemuda itu menggigil karena tegang. Sehingga, ia tidak lagi mempedulikan sepasang mata yang menatap galak ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan mata Serimpi.
"Bagaimana Kakang dapat mengetahuinya?" tanya Ratih, bingung. Gadis itu merasa heran mendengar nama orang tuanya diketahui pemuda itu. Seketika wajahnya di angkat penuh menyelidik.
"Ah! Ratih, Adikku. Apakah... apakah kau sudah tidak mengenali kakangmu?" sahut Pandu yang sudah tidak tahan untuk memeluk tubuh adik perempuannya itu. Kedua tangan pemuda itu tampak bergetar bagaikan menderita kejang.
Ratih semakin heran ketika mendengar pertanyaan pemuda tampan berkulit kecoklatan itu. Sepasang matanya yang bening memandang wajah pemuda itu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Kau..., kau. Benarkah kau Kakang Pandu?" tanya Ratih dengan bibir bergetar menahan keharuan yang dalam. Sepasang matanya tampak mulai digenangi air mata.
"Ratih, Adikku...!" sebut pemuda itu. Pandu yang benar-benar sudah merasa yakin kalau gadis itu adalah adiknya, langsung mengembangkan tangan lebar-lebar. Direngkuhnya tubuh gadis itu dalam pelukannya. Sepasang matanya sudah basah oleh air mata yang meluncur turun dengan derasnya.
"Kakang...," desah gadis itu serak di antara isak tangisnya yang memilukan.
"Ahhh! Ratih, Adikku. Kau sudah besar dan cantik," desah Pandu seraya melepaskan pelukan dan menatapi wajah adiknya penuh kasih.
Serimpi, Kenanga, dan Panji memalingkan wajahnya karena tak tahan menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita antarkan saja dulu gadis-gadis ini. Peluk cium kalian bisa dilanjutkan nanti!" ujar Serimpi yang membuat Pandu dan Ratih tersadar kalau perbuatan mereka dilihat banyak orang.
Dengan wajah tersipu, Pandu dan Ratih melepaskan pelukannya meskipun tetap berpegangan tangan Kemudian, mereka bergegas mengikuti Serimpi dan para gadis-gadis tawanan yang sudah berjalan lebih dahulu.
"Maaf, Pandu, Serimpi. Aku terpaksa tidak bisa menemani kalian. Aku dan Kenanga harus melanjutkan perjalanan. Nah, sampai jumpa," pamit Panji yang tanpa menunggu jawaban sudah melesat meninggalkan tempat itu bersama Kenanga.
Pandu, Serimpi, Ratih dan yang lainnya hanya dapat memandangi kepergian kedua orang pendekar itu dengan penuh rasa terima kasih. Tak lama kemudian, mereka segera meninggalkan bangunan besar itu untuk mengantarkan gadis-gadis tawanan ke kampung halamannya.
"Bagaimana kabar ayah, Adikku? Apakah baik-baik saja?" tanya Pandu yang sudah tidak sabar ingin mengetahui nasib orang tuanya.
"Ayah baik-baik saja, Kakang. Namun, ibu telah tewas di tangan orang yang baru kuketahui sebagai pemberontak. Berbulan-bulan kami mencarimu semenjak kita terpisah. Namun sayang kami tidak berhasil menemukanmu. Hingga ayah putus asa. Ahhh, ayah pasti akan sangat gembira melihat dirimu selamat, Kakang," sahut Ratih seraya tersenyum bahagia.
Pandu tidak terkejut lagi mendengar kematian ibunya. Kabar itu memang pernah didengar ketika dia mencari-cari keluarganya. Pandu mengelus rambut kepala adiknya penuh kasih sayang. Sekilas diliriknya Serimpi yang melangkah tidak jauh dari mereka berdua. Melihat wajah gadis berbaju merah itu agak cemberut, pemuda itu pamit kepada adiknya sebentar dan memberanikan diri mendekati Serimpi.
"Serimpi, bolehkah aku bicara denganmu sebentar?" pinta Pandu dengan hati berdebar tegang. Wajah pemuda itu tampak agak memucat karena terbawa perasaannya.
"Hm.... Apa yang ingin kau bicarakan, katakanlah," sahut gadis jelita itu. Suaranya masih tetap ketus.
"Apakah tidak sebaiknya kita bicara berdua saja?" tanya Pandu semakin bertambah berani. Memang, pemuda itu merasa harus mendapat keputusan dari gadis jelita itu sekarang juga. Sebab kesempatan seperti itu mungkin tidak akan ditemuinya lagi.
"Hm..." Meskipun Serimpi tidak menyahut, gadis itu melangkah juga mengikuti Pandu yang berjalan ke tepi.
"Serimpi. Aku..., aku ingin berterus terang kepadamu. Semenjak pertemuan kita pertama dulu, aku..., aku telah jatuh cinta kepadamu. Apakah, apakah aku bertepuk sebelah tangan?" tanya Pandu dengan wajah semakin pucat.
Bibir gadis jelita itu tampak menyunggingkan senyum meskipun hanya sekejap. Dan wajah gadis itu berubah kembali seperti semula, galak dan angkuh. "Hm.... Datang saja ke Istana Kadipaten Bangkalan. Di sana kau bisa mengetahui jawabannya," sahut gadis yang berjuluk Dewi Baju Merah itu singkat.
"Hahhh! Kau... kau."
"Benar! Kau takut?" potong Serimpi cepat. Gadis itu sudah menduga kalau Pandu akan terkejut mendengar jawabannya tadi. Sengaja gaun dirinya dibuka untuk menguji sampai di mana dalamnya perasaan cinta pemuda itu terhadapnya.
"Ah! Bukan begitu, aku...,” Pandu semakin gugup mendengar pertanyaan yang terdengar agak sinis itu.
“Apa sih yang ingin kau katakan?” Sejak tadi bisamu cuma aku.., aku saja!" bentak Serimpi tak sabar, sehingga membuat beberapa orang gadis menoleh ke arah mereka dan tersenyum geli.
"Hmm... Serimpi, aku hanyalah seorang rakyat biasa, dan rasanya memang tidak pantas mengharapkan balasan cintamu. Melihat kau tidak marah mendengar pernyataanku tadi pun, sebenarnya sudah merupakan anugerah bagiku. Maafkanlah kelancanganku. Aku tidak tahu kalau kau adalah Gusti Ayu Serimpi yang seharusnya kuhormati," jelas Pandu.
Hati pemuda itu merasa rendah diri begitu mengetahui kalau gadis jelita itu adalah seorang putri adipati. Sebentar kemudian, pemuda itu melangkah lesu meninggalkan Serimpi yang menjadi tertegun dibuatnya.
"Kalau memang tidak suka mempersunting ku, ya sudah! Sana pergi! Tangisi saja nasibmu!" bentak Serimpi di antara isak tangisnya yang lirih.
Pandu menghentikan langkahnya, seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya. Tapi ketika melihat Serimpi membalikkan wajahnya, pemuda itu bergegas menjatuhkan tubuhnya. Langsung diambilnya tangan kanan gadis jelita itu, lalu tanpa ragu dikecupnya dengan mesra.
"Gusti Ayu Serimpi. Apakah Gusti sudah menerima cinta dari rakyat miskin seperti hamba?" tanya Pandu seraya menengadahkan kepalanya menatap wajah yang nampak basah oleh air mata itu.
Serimpi tidak menyahut. Tangannya ditarik perlahan-lahan dari genggaman pemuda itu. Kemudian, dia melesat meninggalkan tempat itu. "Awas kau, Pemuda Bodoh! Kalau tidak datang ke kadipaten, maka aku akan menyusulmu ke Desa Surungan!" tiba-tiba terdengar suara Serimpi dari kejauhan.
Pandu tersenyum lebar mendengar suara gadis jelita pujaan hatinya itu. "Benar-benar seorang gadis aneh dan galak," gumam Pandu sambil melangkah mendekati adiknya. Angin senja berhembus lembut semakin menyegarkan perasaan Pandu yang tengah berbahagia itu.
Setelah berhenti sejenak, bocah laki-laki itu melanjutkan langkahnya ke arah jalan utama yang menuju Desa Tunjung. Meskipun kakinya kurus, namun langkahnya nampak gesit dan kokoh. Sepertinya, dia memang sudah terbiasa berjalan jauh. Wajahnya yang berkulit agak gelap itu telah dibasahi keringat yang mengalir turun ke leher dan pakaian kumalnya.
Begitu memasuki desa, dihampi- rinya sebuah kedai makan yang cukup ramai. Bocah itu berdiri di depan pintu kedai, memperhatikan orang-orang yang sedang menikmati hidangan. Tampak lehernya seperti turun naik karena meneguk air liur ketika melihat orang-orang yang demikian nikmatnya melahap hidangan. Sepasang matanya menatap sayu membayangkan nikmatnya bila mencicipi hidangan itu. Seorang pelayan yang berusia se- kitar tiga puluh tahun, bergegas menghampiri bocah itu. Wajahnya tampak masam dan keningnya berkerut dalam.
"Hei! Kalau hendak mengemis, nanti saja. Hayo pergi sana! Bikin orang kehilangan selera saja!" bentak pelayan itu sambil mendorong tubuh si bocah.
"Paman, aku bersedia mengerjakan apa saja asalkan diberi makan. Aku lapar sekali, Paman," ratap bocah laki-laki itu memandang dengan penuh permohonan.
"Huh! Anak sekecil kau bisa apa?!" hardik pelayan itu, sinis. Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat tatapan memelas bocah bertubuh kumal itu.
"Aku bisa mengerjakan apa saja, Paman. Sungguh!" sahut bocah itu bersemangat. Sepasang matanya bersinar penuh harap.
"Sudah, sudah! Pergi sana! Baumu sudah tidak sedap!" maki si pelayan seraya menggerakkan tangannya mengusir.
Bocah itu tetap tak bergeming sedikit pun. Hal ini membuat pelayan itu naik darah. Maka.... "Hayo, pergi! Atau kau kupukul!"
Bocah itu sama sekali tidak bergerak. Bahkan menatap tajam tanpa gentar.
Plakkk!
Pelayan itu menampar wajah si bocah hingga terpelanting jatuh ke tanah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun, bocah itu langsung bangkit sambil mengusap darah pada bibirnya. Sepasang matanya yang bening berkilat, menatap penuh dendam.
"Bocah setan! Apa minta kupukul lagi?" pelayan itu semakin naik pitam melihat pancaran tantangan pada mata si bocah. Tangan kanannya kembali terangkat, siap melakukan tamparan yang kedua.
Tanpa berkata sepatah kata pun, bocah kurus bertubuh kumal itu berbalik dan melangkah meninggalkan kedai makan. Sesekali kepalanya menoleh memandangi si pelayan yang masih menatapi kepergiannya.
"Bocah sial! Pagi-pagi sudah membikin orang marah," pelayan itu melangkah masuk sambil bersungut-sungut tak puas. Kemudian pekerjaannya kembali diteruskan.
Bocah laki-laki itu meneruskan langkahnya menyusuri jalan utama Desa Tunjung. Bibirnya digigit kuat-kuat menahan rasa perih pada perutnya yang sudah beberapa hari tidak dimasuki makanan. Sepanjang perjalanan sebelum memasuki Desa Tunjung, ia hanya makan dedaunan muda dan minum air sungai yang ditemui.
********************
"Hei, Teman-Teman! Lihat, ada anak jembel gila!" teriak seorang bocah laki-laki berumur sekitar tiga belas tahun. Tubuhnya lebih jangkung daripada si bocah kurus berpakaian kumal yang terus saja melangkah tanpa mempedulikan teriakan itu.
"Hayo, kita lempari batu!" sambut bocah yang lain sambil berlari mendekati anak lelaki jangkung yang menjadi teman sepermainannya. Lima orang lainnya langsung bersorak sambil berlarian mengitari si bocah jembel.
"Heh, Anak Jembel! Siapa namamu? Mau apa kau datang ke desa ini?" tanya seorang bocah gemuk sambil mendorong bocah jembel kurus itu.
"Mungkin hendak mencari sisa- sisa makanan. Lihat saja, tubuhnya begitu kurus. Ia pasti tengah kelaparan," timpal anak jangkung itu, yang kemudian tertawa keras.
Teman-temannya yang berjumlah enam orang itu serentak tertawa-tawa. Telunjuk mereka ditudingkan ke arah si bocah jembel yang hanya terpaku menatap anak-anak nakal itu.
"Heh! Mengapa kau melotot padaku? Marah, ya? Mau menantang berkelahi?" bentak anak jangkung itu sambil mendorong-dorong tubuh bocah jembel ke belakang. Sementara seorang anak lainnya sudah berjongkok di belakang tubuh bocah jembel kurus itu. Akibatnya, tubuh bocah itu terjatuh karena kakinya terlanggar anak gemuk yang berjongkok di belakangnya.
"Ha ha ha...!"
Ketujuh orang anak nakal itu tertawa terpingkal-pingkal sambil me- megangi perut yang mendadak mules melihat adegan yang dianggap sangat menggelikan itu. Si bocah jembel bangkit dan berdiri tegak memandang anak-anak yang mengganggunya itu. Sinar matanya berkilat memancarkan amarah yang masih ditahan. Rupanya dia sama sekali tidak merasa gentar meskipun anak-anak yang mengganggunya itu berjumlah banyak.
"Mengapa kalian menggangguku? Apa salahku kepada kalian?" tegur bocah jembel itu, bernada menuntut.
Mendengar teguran si bocah jembel, ketujuh orang anak nakal itu menghentikan tawanya. Kemudian si jangkung melangkah, mendekatinya dengan mata melotot marah. "Salahmu karena lewat di depan kami tanpa permisi! Apa kau kira kami ini patung?" jawab anak jangkung itu sambil mendorong hingga tubuh kurus itu terhuyung ke belakang dan hampir jatuh.
"Hm.... Apakah orang-orang yang lewat di jalan ini harus meminta izinmu dulu? Memangnya kau raja?" bantah bocah jembel itu tanpa rasa takut sedikit pun. Padahal lawannya jauh lebih besar darinya.
"Kurang ajar! Kau berani menantangku, ya!" bentak anak jangkung itu marah. Tangan kanannya langsung melancarkan pukulan ke wajah bocah jembel.
Digkh!
Si bocah jembel mengaduh kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke atas tanah. Cepat ia bergerak bangkit dan bersiap melawan.
"Ayo, pukul lagi! Jangan dikasihani anak jembel gila itu!" teriak salah seorang anak memberi semangat ke- pada kawannya yang segera disambut sorak-sorai oleh yang lainnya.
Anak jangkung itu kembali memukul dan menendang sekuat tenaganya. Rupanya semangatnya benar-benar terbangkit setelah mendapat dukungan teman-temannya. Namun bocah jembel itu melakukan perlawanan tanpa merasa takut sedikit pun. Meskipun tubuhnya lebih kecil, namun tampak kokoh dan kekar. Apalagi dia terbiasa hidup liar dan keras, sehingga membentuk anak laki-laki yang kuat dan tabah.
Pukulan dan tendangan lawannya yang bertubuh lebih besar itu berkali-kali mendarat di tubuh dan wajahnya. Tapi setiap kali terjatuh, ia langsung bangkit dan melakukan perlawanan sengit. Sepertinya, bocah jembel itu tidak pernah jera dan tidak merasa lelah. Ini karena semangat dan ketabahannya yang tinggi. Dan lama kelamaan pukulan dan tendangannya mulai mendarat di tubuh dan wajah lawannya.
Ketika mendapat pukulan di wajahnya sebanyak tiga kali, anak jangkung itu pun terjatuh sambil menjerit kesakitan. Sebelum anak jangkung itu sempat berdiri, si bocah jembel sudah melompat dan menduduki perutnya. Bahkan kedua tangannya memukul berganti-ganti ke wajah anak jangkung itu hingga matang biru.
Melihat perkembangan yang mendebarkan itu, enam orang lainnya serentak berlari dan menyerang si bocah jembel. Pukulan-pukulan dan tendangan keenam anak nakal itu langsung mendarat di wajah dan seluruh tubuhnya. Akibatnya tubuh dan wajah bocah jembel itu kini bengkak-bengkak.
"Curang! Pengecut! Kalian beraninya main keroyok!" teriak bocah jembel itu sambil berlari menghindar. Otaknya yang cerdik berputar cepat untuk menghadapi keroyokan itu. Ia memang tidak mau melarikan diri. Dia yakin lawan-lawannya pasti akan terus mengejar. Dan kalau tertangkap, pasti akan dipukuli habis-habisan. Bocah jembel yang tabah dan cerdik karena kepahitan hidup yang dijalaninya itu, bergegas mengambil sepotong kayu yang tergeletak di tepi jalan. Kemudian tubuhnya berbalik menghadapi anak-anak nakal itu sambil menggenggam kayu erat-erat
Wajah ketujuh orang anak itu me- mucat ketika melihat lawannya telah menggenggam sepotong kayu sebesar lengan. Mereka pun segera menghambur berpencar meninggalkan tempat itu ketika si bocah jembel maju sambil mengayun- ayunkan kayu ditangannya.
"He he he...! Dasar laki-laki pengecut! Baru melihat sepotong kayu saja sudah terbirit-birit"
Luar biasa sekali bocah jembel itu. Dalam keadaan tubuh dan wajah yang bengkak-bengkak, ia masih dapat tertawa melihat tingkah lawan-lawan yang terbirit-birit meninggalkannya. Sambil tetap menggenggam kayu, si bocah jembel melangkah meninggalkan tempat itu, menuju luar desa. Ia merasa kalau desa itu tidak sudi menerima kehadirannya. Dan untuk itu ia harus pergi. Dan apabila masih tetap berada di desa itu, sudah pasti cemoohan dan gangguanlah yang bakal didapat
********************
"Itu orang gila itu, Ayah!" seru seorang bocah yang bertubuh gemuk sambil menudingkan jari telunjuk ke arah si bocah jembel. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan wajah marah.
"Hei, Anak Jembel! Mau ke mana kau?!" teriak laki-laki berkumis tebal itu sambil berlari menyusul si bocah jembel.
Si bocah kurus itu tertegun ketika melihat ketujuh anak nakal yang tadi mengeroyoknya kini telah kembali sambil membawa orang tua masing-masing. Karena merasa tidak bersalah, maka ia pun berdiri menunggu dengan hati tabah.
"Bocah gila! Mengapa kau memukuli anak kami!" bentak lelaki berkumis lebat itu, geram.
Rupanya ketujuh anak-anak nakal itu telah mengadu kepada orang tuanya masing-masing. Entah apa yang dikatakannya, sehingga para orang tua itu mau saja dibawa menemui si bocah jembel.
"Aku tidak berbuat apa-apa, Paman. Merekalah yang telah mengganggu dan mengeroyokku. Paman semua bisa lihat buktinya di sekujur tubuhku," sahut bocah jembel itu mengatakan kejadian yang sesungguhnya.
"Dia bohong, Ayah! Ketika kami bertujuh tengah bermain-main, tiba-tiba saja dia datang dan mengganggu kami. Lalu, kami pun segera melawannya. Tapi kemudian ia mengambil kayu, lalu memukuliku," kilah anak bertubuh jangkung sambil memperlihatkan bukti berupa bengkak-bengkak di wajahnya. Jelas dia berdusta.
"Keparat! sudah membuat keonaran, masih juga berdusta!" bentak laki-laki berkumis tebal itu sambil melayangkan tangannya menampar kepala si bocah jembel.
Plakkk!
Bocah jembel itu langsung mengaduh kesakitan. Tubuhnya terpelanting dan jatuh berdebuk. Bibirnya kembali pecah dan mengeluarkan darah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun, ia merangkak bangkit. Belum lagi tubuhnya sempat berdiri tegak, tamparan lainnya sudah datang menyusul
Wuuut! Plakkk!
Tamparan yang meluncur ke arah kepala bocah jembel itu tiba-tiba terpental balik diiringi teriakan laki-laki berkumis tebal. Ternyata tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak. Sesaat orang itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi dengan wajah hitam. Rupanya laki-laki itu tewas seketika itu juga!
"He he he...! Anak baik, lihatlah. Orang yang hendak memukulimu itu sudah kukirim ke neraka!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping bocah jembel itu sudah berdiri seorang kakek-kakek. Jenggotnya panjang hingga melewati dadanya. Tangannya tak henti-henti mengelus jenggot putihnya itu. Sikapnya demikian tenang, tanpa merasa telah melakukan pembunuhan. Tentu saja hat itu membuat orang-orang yang ada di situ terkejut. Mereka benar-benar ngeri, sehingga tanpa sadar mundur beberapa langkah.
Bocah jembel itu memandangi wajah kakek tua disebelahnya dengan wajah bingung. Sama sekali sulit dimengerti, mengapa laki-laki berkumis lebat yang kembali hendak menamparnya itu tahu-tahu telah terbanting roboh dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Hahhh! Pembunuh...!" Salah seorang dari keenam orang laki-laki lainnya berteriak keras ketika melihat kawannya telah menjadi mayat
"Pasti kakek itu yang melakukannya! Buktinya, tidak ada orang lain lagi di tempat ini!" tuduh yang lain sambil menuding.
Namun kakek itu hanya terkekeh tanpa mempedulikan teriakan-teriakan ribut dari keenam orang laki-laki berpakaian petani itu. "He he he...! Rupanya kalian ingin mendapat bagian juga! Nih, terimalah!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, tahu-tahu saja tubuh kakek itu telah melesat cepat seraya mengibaskan tangannya. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan yang disusul robohnya keenam orang tua anak-anak nakal itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak. Seketika kepala mereka mengeluarkan darah, bercampur cairan putih kental.
Sementara itu si kakek telah melesat semakin jauh sambil membawa tubuh bocah jembel. Sedangkan di belakangnya para penduduk yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu tampak berteriak-teriak marah sambil berusaha mengejar.
********************
Si bocah jembel benar-benar terkejut Karena tahu-tahu saja tubuhnya telah seperti terbang meninggalkan tempat itu. Sepasang matanya terbelalak kaget melihat pepohonan di sekitarnya terasa berlarian. Ketika menoleh, ia semakin kaget. Ternyata dirinya berada dalam pondongan kakek yang tadi berada di sampingnya.
Kakek itu memang berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah begitu sempurna. Setelah cukup jauh, kakek itu pun menghentikan larinya. Mereka kini telah tiba di sebuah mulut hutan yang cukup lebat, di sebelah Timur Desa Tunjung. Segera diturunkannya bocah yang berada dalam pondongan. Dengan sepasang mata berbinar, tangan kakek itu meraba-raba sekujur tubuh si bocah.
"Hei! Apa yang kau lakukan kepadaku, Kakek?" tanya bocah jembel itu, bingung. Dia berusaha melepaskan tubuhnya dari cengkeraman kakek itu. Namun bocah itu menjadi heran ketika tubuhnya terasa bagai patung, tak bisa digerakkan. Akhirnya ia hanya bisa memandang terbelalak.
"He he he.... Dugaanku ternyata tidak meleset!" ujar kakek itu seraya terkekeh-kekeh. "Susunan tulang bocah ini ternyata sangat baik dan sempurna!" Kakek itu kemudian melepaskan tubuh si bocah, lalu menari-nari bagaikan orang kurang ingatan.
Bocah jembel itu semakin keheranan ketika menyadari kalau seluruh luka memar di tubuh dan wajahnya sudah tidak terasa sakit lagi. Bahkan warna biru kehitaman bekas pukulan anak-anak nakal tadi sudah mulai memudar warnanya. Matanya merayapi seluruh badan yang mulai pulih itu. Tentu saja ia merasa bersyukur dan gembira sekali. Lalu pandangannya kembali dialihkan kepada kakek yang masih menari-nari gembira.
"Aku sangat berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kek. Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi agar aku dapat membayar hutangku ini. Sekarang aku harus pergi untuk meneruskan perjalananku," pamit bocah jembel itu. Dia segera mengayunkan langkah meninggalkan si kakek yang menjadi terkejut dan menghentikan tariannya.
"Hei, hei.... Tunggu dulu! Enak saja pergi. Kalau memang merasa berhutang, sekarang juga aku minta dilunasi," tegas si kakek. Kemudian dia berkelebat, dan tahu-tahu sudah berdiri menghadang jalan si bocah.
"Maaf, Kek. Aku tidak bisa melunasinya sekarang. Aku tidak punya apa-apa sebagai pembayar hutangku," jawab si bocah sambil memandang wajah si kakek penuh selidik. Kini bocah itu semakin yakin kalau kakek berjenggot panjang itu me-lmang kurang waras. Hal itu terlihat jelas dari tingkah laku dan kata-katanya yang seenak perutnya sendiri.
"Kau punya, Bocah. Jika ingin membayar hutangmu itu, ikutlah bersa-lmaku untuk menjadi muridku selama sepuluh tahun. Bagaimana, kau bersedia?" tanya si kakek seraya terkekeh gembira.
"Kau ingin mengambilku sebagai murid? Apa yang akan kau ajarkan padaku, Kek? Kalau hanya menari-nari seperti yang kau lakukan tadi, aku tidak sudi! Tanpa diajarkan pun aku bisa melakukannya," tolak bocah jembel itu.
"Eh, apa betul kau bisa? Coba, ayo tirukan aku," ujar kakek itu dengan wajah gembira. Lalu, kakek berjenggot putih yang panjangnya melewati dada itu menggerak-gerakkan tubuh. Pantatnya lenggak-lenggok seperti bebek berjalan. Kakek itu terus berputar-putar sambil tak henti-hentinya terkekeh.
Aneh sekali! Meskipun hatinya tidak bersedia mengikuti gerakan si kakek, tapi secara tiba-tiba tubuh bocah itu sudah bergerak-gerak mengikuti tarian yang aneh dan lucu. Si bocah berusaha sekuat tenaga menahan. Namun, tetap saja tidak mampu menghentikan lenggak-lenggok tubuhnya. Dia terus saja berputar mengikuti gerakan kakek gila itu.
"Hei? Kakek gila! Kau apakan aku? Mengapa aku tidak bisa menghentikan gerakan tubuhku?" si bocah berteriak-teriak ngeri melihat tubuhnya bergerak semakin cepat mengikuti tarian kakek gila itu.
"He he he.... Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau bisa meniru tarianku? Nah, itu sudah bagus dan sudah betul!" sahut si kakek sambil terkekeh semakin gembira.
"Sudah, Kek. Hentikan! Aku sudah tidak tahan!" pinta bocah jembel itu. Meskipun hatinya diam-diam merasa ngeri, namun bocah jembel yang keras hati dan angkuh itu sama sekali tidak mau memperlihatkannya di hadapan kakek gila itu.
Ketika kakek yang aneh itu menghentikan gerakannya, secara aneh pula gerakan tubuh si bocah berhenti. Karena tidak menduga tarian itu akan berhenti secara mendadak, tentu saja si bocah menjadi hilang keseimbangan tubuhnya. Akibatnya dia terjatuh.
"He he he...!" Melihat tubuh bocah jembel itu terhuyung-huyung dan terjatuh, si kakek gila tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sedang tangan yang satunya lagi menuding-nuding ke arah si bocah.
"Huh! Dasar kakek sinting!" maki si bocah bergumam, lalu bergerak bangkit berdiri dengan wajah berang. "Aku mau pergi!"
Bocah jembel itu lalu melangkah hendak pergi dari situ. Tapi, bukan main terkejut hatinya ketika seluruh tubuh terasa kejang hingga tidak bisa digerakkan. Sedangkan saat itu si kakek masih saja terpingkal-pingkal. Bahkan tubuhnya yang tinggi kurus itu jadi terbungkuk-bungkuk. Namun tiba-tiba, kakek itu menghentikan tawanya secara mendadak.
"Bagaimana? Apakah kau suka menjadi muridku?" tanya kakek itu sambil melangkah menghampiri tubuh si bocah yang tahu-tahu sudah bisa bergerak seperti biasa kembali.
"Hei, Kakek Gila! Apa sih, kehebatanmu? Mengapa kau begitu bersemangat hendak mengambilku sebagai murid? Dan mengapa tidak mencari anak-anak yang lain saja? Mungkin mereka akan suka menjadi muridmu."
"He he he.... Hei, Bocah Jembel! Tahukah, kau. Beribu-ribu bocah lain akan berlutut selama tiga hari tiga malam agar dapat menjadi muridku. Tapi aku tidak mau menerima mereka. Dan kini aku telah jatuhkan pilihan kepadamu. Perlu diketahui, kalau orang yang akan menjadi gurumu ini adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Aku berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih. Aku memilihmu, karena kulihat adanya bakat yang amat baik dalam dirimu. Dan apabila kau menjadi muridku, kujamin dalam jangka waktu sepuluh tahun, kau akan menjadi seorang pendekar hebat yang sulit cari tandingannya. Nah! Apakah kau bersedia?" kata kakek bertubuh kurus itu.
Ternyata kakek itu merupakan seorang tokoh besar yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih. Diam-diam kakek itu pun merasa heran kepada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu suka kepada bocah jembel itu? Bahkan sampai-sampai harus menyebutkan nama besarnya untuk dapat mengambil bocah itu sebagai murid. Benar-benar kejadian yang sulit dimengerti walau oleh kakek itu sendiri.
Bocah jembel yang memiliki kecerdikan luar biasa itu memutar otaknya begitu mendengar ucapan kakek yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih itu. Bibirnya yang kecil namun memiliki tarikan keras itu tersenyum tipis. Sepertinya, hatinya merasa tertarik mendengar kata-kata 'pendekar' yang disebut-sebut kakek berjenggot putih itu. Meskipun usianya baru sepuluh tahun, namun dari pengalaman-pengalaman hidupnya yang selalu berpindah-pindah, bocah itu sudah dapat mengerti apa yang disebut sebagai pendekar. Kata-kata itulah yang membuatnya tertarik.
"Benarkah kau bisa menjadikan diriku sebagai seorang pendekar yang hebat, Kek? Aku pernah melihat seorang laki-laki kekar mampu memukul roboh sebatang pohon yang sangat besar hanya dengan telapak tangannya. Kalau kau bisa melakukannya seperti itu, mungkin aku akan mempertimbangkan tawaranmu," kata bocah jembel itu seraya tersenyum cerdik
"Ha ha ha...!" Meledak tawa si kakek setelah mendengar ucapan si bocah jembel. Kekagumannya terhadap bocah itu semakin bertambah. Bagaimana tidak geli? Sebab biasanya seorang gurulah yang akan menguji calon muridnya. Tapi kali ini justru sebaliknya. Dewa Gila Jenggot Putih dalam dunia persilatan sudah sangat terkenal dan ditakuti. Tapi kini malah akan diuji calon muridnya. Maka hal itu membuat kakek berjenggot putih itu semakin bertambah rasa keinginannya untuk mengambil bocah itu sebagai murid.
"Hm.... Perhatikanlah pohon besar di depanmu itu. Aku bukan saja merobohkannya seperti orang yang pernah kau lihat. Bahkan akan merobohkan pohon itu tanpa harus menyentuhnya," ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya tersenyum gembira.
Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah mundur sejauh empat batang tombak lebih. Dan bersiap melancarkan pukulan. Bocah jembel itu menatap si kakek tanpa berkedip sekejap pun. Keningnya berkerut melihat kedua tangan kakek itu berputar bagai baling-baling. Si bocah membelalakkan mata ketika serangkum angin keras menerpa tubuhnya. Padahal tempatnya berdiri sudah terpisah sejauh lima batang tombak dari kakek itu. Dan...
Wusss! Brakkk!
Dengan gerakan yang seperti terlihat perlahan, kakek itu mendorongkan tangan kiri dengan telapak tangan terbuka. Akibatnya hebat sekali! Pohon besar itu langsung tumbang sehingga menimbulkan suara berderak keras.
DUA
"Wah! Kau hebat sekali, Kakek!" seru bocah kurus dan kumal itu dengan wajah berseri-seri. Ia benar-benar merasa puas setelah menyaksikan kehebatan kakek yang dianggapnya gila itu. Dia mampu memukul roboh sebatang pohon besar tanpa menyentuhnya.
"Huh! Apa sih, hebatnya pukulan seperti itu! Anak-anak kecil pun tentu bisa melakukannya!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, bernada mengejek. Berbarengan dengan itu, muncul seorang kakek jangkung berpakaian serba putih. Dia kini melangkah lebar mendekati mereka. Wajahnya yang berkeriput itu melemparkan senyum sinis dan memandang rendah. Sekali melihat saja, orang sudah dapat menilai kalau kakek itu memiliki sifat sombong dan jumawa.
"He he he.... Pendekar Pedang Kembar, apa maksudmu mengganggu kesenangan orang? Pergilah. Jangan campuri urusan kami," ujar Dewa Gila Jenggot Putih lembut, namun mengandung ancaman. Rupanya Dewa Gila Jenggot Putih tidak suka dengan kedatangan orang yang mengganggunya. Kemudian kepalanya menoleh ke arah si bocah.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Dewa Gila Jenggot Putih sambil mencekal tangan si bocah dan siap meninggalkan tempat itu.
Kakek jangkung berusia sekitar tujuh puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah dari sutra putih itu tertegun mendengar orang telah mengetahui julukannya. Sepasang matanya menatap tajam penuh selidik pada kakek berjenggot putih itu. Diperhatikannya orang di depannya dari kaki sampai kepala. Keningnya tampak berkerut seolah tengah mengerahkan ingatan untuk mengenali kakek itu,
"Hm... Kalau tak salah, kau Dewa Gila Jenggot Putih...!" tebak orang yang dipanggil Pendekar Pedang Kembar itu agak terkejut ketika melihat penampilan kakek gila yang terkekeh memandangnya.
"Hm.... Ternyata ingatanmu belum pikun, Pendekar Pedang Kembar. Mengapa kau tinggalkan rumah mewahmu? Apakah sudah bosan dengan kehidupan yang kau jalani selama ini?" ejek Dewa Gila Jenggot Putih. Dia tidak jadi pergi karena kakek jangkung itu mengenalinya. Sepasang matanya menatap tajam, seolah-olah ingin mengetahui maksud pendekar jangkung itu mendatangi mereka.
"Ha ha ha.... Meskipun sudah hampir sepuluh tahun kita tidak berjumpa, ternyata ingatanmu masih sangat kuat, Dewa Gila. Aku benar-benar kagum kepadamu. Tapi, apa maksudmu memamerkan ilmu pukulan jelek tadi?" tanya Pendekar Pedang Kembar dengan nada menghina.
"He he he.... Semula aku merasa kasihan untuk memukul roboh pohon yang tidak berdosa itu. Tapi hal itu terpaksa kulakukan untuk memancing keluar monyet buruk yang semenjak tadi mengintai kelakuanku. Apakah itu salah?" ejek Dewa Gila Jenggot Putih yang rupanya sudah kumat kegilaannya.
Merah seluruh wajah Pendekar Pedang Kembar mendengar jawaban itu. Sekilas terlihat sinar berkilat pada sepasang bola matanya yang tajam itu. "Jangan berlagak bodoh, Dewa Gila! Aku tahu, pukulan itu sengaja kau pamerkan di hadapan bocah yang tidak suka menjadi muridmu itu," balas kakek jangkung itu, tak mau kalah. Pendekar Pedang Kembar kemudian memandang bocah laki-laki yang berdiri di sebelah kakek gila itu. Dia berpikir, kalau Dewa Gila Jenggot Putih sampai bersedia memamerkan ilmunya di depan si bocah, pastilah anak laki-laki kecil kurus itu memiliki kelebihan. Maka Pendekar Pedang Kembar semakin menatap bocah itu tajam-tajam, seolah-olah hendak menilai bocah itu dengan pandang matanya.
. "Anak baik. Maukah kau ikut bersamaku? Kau akan kubawa ke tempat tinggalku, dan akan kulatih ilmu silat tingkat tinggi. Kau akan kujadikan seorang pendekar digdaya. Ayolah. Ketimbang, kau ikut kakek miskin itu yang untuk makan saja harus mengemis," bujuk Pendekar Pedang Kembar sambil menatap wajah si bocah,lembut
"Kurang ajar kau, Pedang Kembar! Sadarkah, kalau ucapanmu itu bisa mengakibatkan kematianmu?!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih, geram. Sudah susah-susah dia membujuk bocah itu dengan berbagai cara agar mau menjadi muridnya, kini tahu-tahu ada orang datang hendak merebut. Tentu saja hati kakek gila itu menjadi berang bukan kepalang. Dewa Gila Jenggot Putih langsung membanting-banting kaki kanannya dengan gerakan tangan mencak-mencak.
"Hei? Kenapa kau jadi marah-marah, Dewa Gila? Aku kan hanya menawarkan? Kalau memang ia lebih suka ikut aku, bukankah hidupnya akan lebih terjamin?" sahut Pendekar Pedang Kembar yang merasa girang karena telah berhasil memancing kemarahan Dewa Gila Jenggot Putih. Lalu, kembali dipandanginya bocah itu. "Ayo jawab, Bocah. Kau lebih suka ikut denganku atau dengan kakek gila yang tidak menentu hidupnya itu?"
Bocah jembel bertubuh kurus itu tidak segera menjawab. Otaknya yang cerdik kembali berputar mencari jawaban. Kalau melihat Dewa Gila Jenggot Putih yang sepertinya tidak berani bersikap sembarangan terhadap kakek jangkung itu, sudah jelas kalau orang itu memiliki ilmu yang hebat juga. Sulit rasanya untuk mengetahui, siapa yang lebih lihai di antara kedua kakek sakti itu. Maka satu-satunya jalan adalah bertarung. Berarti mereka berdua harus di adu.
"Hm.... Aku tidak tahu, siapa yang lebih sakti diantara Kakek berdua. Tapi aku sudah mengambil keputusan. Aku hanya suka menjadi murid orang yang paling sakti. Dan untuk itu, kalian harus membuktikannya," sahut bocah jembel itu dengan sepasang mata bersinar cerdik.
Dewa Gila Jenggot Putih dan Pendekar Pedang Kembar langsung tersentak mendengar jawaban yang keluar dari mulut bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu. Mereka semakin bertambah kagum dengan kecerdikannya. Hal itu justru semakin membuat hasrat mereka bertambah untuk memiliki bocah yang cerdik luar biasa itu. Bocah seperti itulah yang akan dapat mengangkat nama besar mereka kelak.
"He he he.... Betul sekali ucapanmu itu, Bocah. Ayo, Pedang Kembar. Kita bertarung untuk memperebutkan bocah yang luar biasa ini!" tantang Dewa Gila Jenggot Putih yang sudah melompat maju dan terkekeh gembira. "Aku pun ingin melihat, sampai di mana kemajuan yang kau peroleh selama kurang lebih sepuluh tahun kau mendekam di gedung mewahmu itu!"
Dewa Gila Jenggot Putih telah melintangkan tongkat bambu kuning di depan dadanya. Tongkat bambu itu tidak dapat disamakan dengan tongkat lainnya, karena telah direndam dalam ramuan obat selama bertahun-tahun. Sehingga, kekuatannya tak ubahnya sebatang besi. Apalagi tongkat itu berada di dalam genggaman tokoh sakti seperti Dewa Gila Jenggot Putih. Sudah pasti, kehebatannya menjadi berlipat-lipat.
Pendekar Pedang Kembar yang berasal dari keluarga bangsawan memang jarang sekali keluar meninggalkan rumahnya. Tidak heran kalau tidak begitu mengenal tokoh-tokoh persilatan. Namun terhadap kakek gila, ia cukup mengenalnya. Pada pertemuan pertama tadi, ia tidak begitu mengenalinya. Sebab sepuluh tahun yang lalu, tubuh Dewa Gila Jenggot Putih itu gemuk dan tegap. Sedangkan sekarang yang tampak adalah seorang kakek kurus berjenggot panjang hingga melewati dada. Tentu saja ia agak pangling.
Meskipun kakek gila itu pada beberapa tahun yang lalu pernah mengalahkan 'Ilmu Pedang Kembar'nya, namun ia tidak menjadi gentar. Ilmu pedangnya sekarang sudah meningkat jauh. Sehingga, ia merasa yakin akan dapat menundukkan Dewa Gila Jenggot Putih. Setelah termenung beberapa saat lamanya, Pendekar Pedang Kembar mengangkat kepala menatap Dewa Gila Jenggot Putih. Sambil mengedikkan kepala, kakek itu menjawab tantangan musuh lamanya.
"Hm.... Jangan merasa gembira dulu, Dewa Gila. Jangan harap 'Ilmu Tongkat Delapan Penjuru'mu sekarang mampu menghadapi 'Ilmu Pedang Kembar' yang telah kusempurnakan," sahut kakek jangkung itu, sombong. Meskipun kakek itu seorang pendekar, namun jiwa kebangsawanannya yang selalu memandang rendah orang lain tidak pernah hilang. Sehingga, jarang sekali orang yang menyukainya.
"Menyingkirlah jauh-jauh, Bocah. Akan kuhancurkan kesombongan pendekar bangsawan ini," ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya mengulapkan tangannya mengusir si bocah jembel.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah jembel itu segera melangkahkan kakinya menjauhi tempat yang akan dijadikan arena pertarungan. Sepasang mata bocah itu kini berbinar-binar. Karena dengan kecerdikannya, ia akan menonton pertarungan mengasyikkan. Sekaligus dia bisa mengetahui, siapa di antara kedua orang kakek itu yang lebih tinggi kepandaiannya. Bocah itu duduk menonton di atas sebongkah batu besar yang cukup jauh dari arena pertarungan.
"He he he.... Bersiaplah, Pendekar Pedang Kembar!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih seraya terkekeh. Selesai berkata demikian, kakek itu memutar tongkat bambu kuningnya dengan gerakan cepat dan kuat.
Wuuuk! Wuuuk!
Bentuk tongkat bambu kuning di tangan kakek gila itu lenyap, dan kini menjadi gulungan sinar kuning yang menimbulkan deru angin keras.
Sring! Sring!
Sinar putih menyilaukan mata berpendar ketika sepasang pedang yang tergantung di punggung kakek itu tercabut keluar.
"Yeaaat..!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Pendekar Pedang Kembar melesat disertai ayunan pedang yang mengaung dahsyat. Sepasang pedang kembarnya yang membentuk gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar bagai cahaya kilat di angkasa. Hebat dan ganas sekali serangan kakek jangkung itu, seperti hendak menghabisi lawan dengan sekali serang.
Dengan sebuah gerakan aneh danlucu, tubuh kakek gila itu bergerak kesamping menghindari sebuah tusukan pedang yang mengarah leher. Sambil melompat berputar, tongkat bambu ditangan kanannya menyambar kekepala lawan. Gerakannya demikian cepat tak terduga, sehingga kakek jangkung itu menjadi terkejut melihat serangan balasan yang hebat itu.
Namun Pendekar Pedang Kembar bukanlah tokoh kemarin sore. Meskipun serangan lawan sempat membuatnya terkejut, tidak menjadikannya gugup. Cepat kaki kanannya bergeser sambil merendahkan kuda-kuda dan memiringkan kepalanya. Begitu serangan itu lewat, pedang di tangan kirinya bergerak menyilang dari bawah ke atas, menyambar tubuh lawan.
Wuuut!
Dewa Gila Jenggot Putih melompat ke belakang menghindari sambaran pedang yang membawa hawa maut itu. Tapi dia menjadi terkejut, ketika pedang itu tiba-tiba berputar dan menyambar pinggangnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, bambu kuning di tangannya diputar untuk menyambut sambaran pedang lawan.
Trakkk!
Bertemunya dua senjata itu seketika menimbulkan suara berdentang nyaring bagai dua batang besi yang dibenturkan. Tubuh Pendekar Pedang Kembar terjajar mundur sejauh setengah tombak. Hatinya terkejut bukan main ketika telapak tangan kirinya terasa panas dan kesemutan. Tahulah kakek jangkung itu kalau dalam hal tenaga dalam masih berada di bawah lawannya. Maka ia harus mencari cara lain untuk menutupi kekalahannya itu. Tubuhnya kembali berkelebat menerjang lawan.
"Hm.... Ia benar-benar telah memperoleh kemajuan pesat!" gumam Dewa Gila Jenggot Putih ketika sempat tangannya bergetar akibat menangkis pedang lawan tadi.
Dan memang pada sepuluh tahun yang lalu, kakek jangkung itu tidak mampu menahan hantaman tongkatnya. Tapi kali ini ia hanya terjajar mundur tanpa mengalami luka sedikit pun. Jelas, hal itu membuktikan kalau musuh lamanya itu telah berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu-ilmunya. Rupanya kesombongannya kali ini cukup beralasan.
Pada saat itu, sepasang pedang kembar di tangan kakek jangkung sudah menyambar-nyambar hebat Dewa Gila Jenggot Putih yang tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran pedang lawan, cepat menyambut dengan putaran tongkat bambu kuningnya. Maka pertarungan pun berlangsung semakin sengit.
Ilmu 'Pedang Kembar' yang dimainkan Pendekar Pedang Kembar benar-benar hebat. Sepasang pedang di tangannya menyambar ganas mengincar titik-titik kelemahan di tubuh lawan. Setiap kali senjata itu menyambar, terdengar suara mengaung tajam yang memekakkan telinga. Maka lawannya harus semakin berhati-hati dalam menanggulanginya.
Selama lima puluh jurus, kedua tokoh sakti itu masih terlihat berimbang. Meskipun Dewa Gila Jenggot Putih hanya bersenjatakan sebatang bambu, namun serangan-serangan balasannya tidak bisa dianggap ringan. Tongkat di tangannya berputar dan bergerak aneh sehingga membuat lawannya kebingungan. Jurus 'Tongkat Delapan Penjuru' yang digunakannya memang mengandung banyak sekali perubahan yang tidak terduga. Bahkan terkadang aneh dan lucu.
Wuuut! Wuuut...!
Memasuki jurus yang keenam puluh, Pendekar Pedang Kembar melancarkan serangan dengan gerakan menggunting. Sepasang pedangnya meluncur cepat ke arah leher lawan. Sudah dapat dipastikan, apabila serangannya itu berhasil, maka kepala lawan pasti akan menggelinding putus. Sebuah serangan yang keji dan ganas.
Menghadapi serangan lawannya kali ini, Dewa Gila Jenggot Putih kembali membuat gerakan yang lucu dan mengejutkan. Begitu sepasang pedang lawan menggunting leher, mendadak tubuhnya berjongkok sambil menyodokkan ujung senjatanya ke ulu hati Pendekar Pedang Kembar. Tentu saja hal itu membuat lawan terkejut dan terpaksa melempar tubuhnya kebelakang.
Sepasang mata Pendekar Pedang Kembar membelalak dengan wajah pucat. Karena pada saat kedua kakinya baru saja menjejak tanah, ujung tongkat lawan masih saja mengincarnya. Dan hatinya semakin terkejut melihat gerakan lawan yang terlihat asing dan aneh. Tampak tubuh lawan yang masih dalam keadaan berjongkok, melompat-lompat bagai seekor katak. Sedangkan tongkat bambu di tangan kakek gila itu melakukan totokan-totokan menyerang bagian tubuhnya yang lemah.
Jelas kalau untuk menghindar, sudah tidak mungkin lagi. Maka kakek jangkung itu segera menggerakkan pedang untuk memapak serangan tongkat yang membingungkan itu. Pendekar Pedang Kembar semakin tercekat hatinya. Karena setiap kali pedangnya menyambar, selalu saja tongkat bambu itu berkelit bagaikan memiliki mata. Bahkan gerakan tongkat itu semakin liar dan cepat. Akibatnya, ketika tongkat bambu itu kembali menyambar untuk yang kesekian kalinya, Pendekar Pedang Kembar tidak mampu lagi menghindar.
Tukkk! Bukkk!
Kakek jangkung itu menjerit keras. Seketika tubuhnya terlempar akibat totokan dan hantaman tongkat yang mengenai paha dan dada. Meskipun terasa sesak, pendekar itu bergerak bangkit. Dari sudut bibirnya terlihat cairan merah mengalir. Itu menandakan kalau tubuhnya telah terluka dalam akibat pukulan lawan.
"He he he...! Kau masih harus belajar selama tiga puluh tahun lagi untuk dapat mengalahkanku, Pedang Buntung," ejek Dewa Gila Jenggot Putih seraya terkekeh gembira.
"Jangan tertawa dulu, Dewa Gila! Aku belum mengaku kalah!" geram Pendekar Pedang Kembar yang kembali sudah bersiap hendak menyerang.
"Hm..., apakah aku harus membunuhmu, baru kau mengaku kalah?" Dewa Gila Jenggot Putih berkerut keningnya melihat lawan sudah bersiap hendak melanjutkan pertarungan. Sepasang matanya berkilat menyiratkan nafsu membunuh.
"Kalau memang mampu, lakukanlah!" sahut kakek jangkung itu yang masih saja menunjukkan ketinggian hatinya meskipun sudah terluka dalam.
"Hm.... Jangan salahkan aku jika tubuhmu akan tergeletak tanpa nyawa!" ancam Dewa Gila Jenggot Putih. Ternyata di balik kegilaannya, kakek berjenggot putih itu memang menyimpan sifat kejam. Sehingga dalam dunia persilatan ia tidak diakui golongan putih. Padahal dia juga bukan dari golongan hitam. Kali ini sifat kejamnya pun kembali muncul setelah melihat kebandelan lawan yang tidak mau mengaku kalah.
"Hmh...!" Pendekar Pedang Kembar sama sekali tidak menyahut. Terdengar geramannya yang disertai gerakan sepasang senjata yang bergerak di kiri-kanan tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya segera meluncur menerjang lawan.
Dewa Gila Jenggot Putih menggeser tubuhnya ke kiri-kanan untuk menghindari sambaran pedang lawan. Sesekali tongkat bambunya bergerak menangkis, apa bila serangan itu sudah tidak bisa dielakkan. Dan setiap kali menangkis, selalu saja senjata lawan dibuat terpental balik. Lalu, disusulinya dengan totokan ujung tongkat ke jalan darah kematian di tubuh lawan.
Serangan-serangan balasan yang dilancarkan kakek gila itu benar-benar membuat kewalahan Pendekar Pedang Kembar. Apalagi keadaan tubuhnya memang sudah terluka. Sehingga setiap kali pedangnya membentur tongkat lawan. Dadanya terasa semakin sesak dan nyeri. Dan hal itu membuatnya semakin terdesak hebat.
"Hiaaat...!" Pada jurus keempat puluh, tiba-tiba Dewa Gila Jenggot Putih berteriak nyaring. Akibatnya, tubuh lawan langsung bergetar. Saat itu juga ujung tongkatnya meluncur, menotok pelipis lawan sebanyak dua kali.
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek jangkung itu terbanting ketanah. Setelah berkelojotan sesaat tubuh itu pun diam tak bergerak-gerak lagi.Mati. Pada kedua pelipisnya terdapat tanda kebiruan bekas totokan ujung tongkat bambu Dewa Gila Jenggot Putih.
"Huh! Salahmu sendiri yang sengaja mencari kematian!" sambil bersungut-sungut, Dewa Gila Jenggot Putih melangkah meninggalkan mayat lawannya.
"Wah! Kau hebat sekali, Kek!" sorak si bocah sambil berlari menghampiri Dewa Gila Jenggot Putih, Meskipun bocah itu tidak memperhatikan jalannya pertarungan secara keseluruhan, tapi melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar telah roboh dan tak bergerak lagi. Maka dia berlari menyambut kakek gila itu.
"He he he.... Apalah, hebatnya si Pedang Kembar itu? Ia hanya besar mulut saja. Tapi kepandaiannya, nih," sahut Dewa Gila Jenggot Putih seraya menjentikkan ibu jarinya ke jari kelingking.
"Tapi, mengapa dia tidak bangun lagi, Kek? Apakah dia telah mati?" tanya bocah jembel itu ketika melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar tidak bergerak-gerak lagi.
"Sudahlah. Jangan kau pikirkan manusia sombong itu. Biar dia bawa kesombongannya itu ke akhirat. Ayo, kita pergi," ajak Dewa Gila Jenggot Putih sambil menarik tangan si bocah untuk dibawa meninggalkan tempat itu.
"Kalau dia sudah mati, mengapa tidak dikuburkan?" tanya bocah itu sambil memandang wajah si kakek gila dengan kening berkerut.
"Ah, biarkan saja. Nanti kalau ada orang yang melihat pasti mayatnya akan dikuburkan," sahut Dewa Gila Jenggot Putih. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek itu langsung membawa si bocah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan, kakek gila itu menoleh ke arah si bocah.
"Oh, ya. Siapa namamu, Bocah?"
"Pandu. Itulah namaku, Kek."
"Nah! Kalau begitu, mulai saat ini kau harus memanggilku eyang, mengerti?"
"Baik, Kek... eh, Eyang," sahut bocah yang ternyata bernama Pandu.
********************
TIGA
"Hiaaat..!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring memecahkan kesunyian pagi di atas puncak Gunung Pancar. Teriakan itu berasal dari mulut seorang pemuda bertubuh sedang, namun nampak sehat dan kuat. Dadanya yang bidang sudah dibanjiri peluh. Itu terlihat jelas karena tubuh bagian atasnya tidak tertutup pakaian.
Pemuda itu memainkan jurus yang gerakan-gerakannya aneh, namun terlihat cepat dan mengandung tenaga dalam kuat. Kedua kakinya bergerak lincah dengan langkah-langkah yang terlihat aneh dan lucu. Tapi jelas kalau itu gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang jarang ada duanya.
Wuuut! Wuuut!
Pukulan dan tendangannya meluncur deras membelah udara hingga menimbulkan angin berkesiutan. Dari langkah kaki dan sambaran pukulannya, jelas sekali kalau pemuda berwajah tampan itu telah menguasai baik ilmu-ilmunya.
"Cukup, Pandu. Sekarang aku ingin melihat kau memainkan 'Ilmu Tongkat Delapan Penjuru' yang merupakan ilmu inti perguruan kita," ujar seorang kakek yang usianya kurang lebih sekitar delapan puluh tahun.
Kakek itu cepat melemparkan sebatang bambu yang berwarna kuning mengkilat dan terlihat sangat kuat Kemudian, kakek yang tak lain dari Dewa Gila Jenggot Putih, mengelus-elus jenggot putihnya yang sudah semakin panjang.
Pemuda tampan berdada bidang itu ternyata Pandu, yang sepuluh tahun lalu dibawa Dewa Gila Jenggot Putih. Bocah jembel berpakaian kumal itu kini telah menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Sepasang matanya tampak memancarkan kecerdikan. Wajahnya yang bulat telur dan beralis tebal hitam itu, membuatnya semakin gagah dan jantan. Pandu benar-benar telah menjelma menjadi seorang pemuda hebat.
Begitu mendengar perintah gurunya, pemuda itu segera menghentikan gerakan. Tubuhnya melambung ke atas setinggi dua tombak ketika mendengar suara berdesing dari belakangnya. Dengan sebuah gerakan indah, tubuh pemuda itu berputar sambil mengulur tangan menangkap tongkat yang dilemparkan gurunya. Kemudian, ia kembali berputar sebanyak dua kali sebelum kakinya mendarat di tanah.
"Haiiit..!" Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, pemuda itu berseru nyaring sambil memutar bambu yang sudah tergenggam erat di tangan.
Wuuut! Wuuut!
Bambu kuning yang panjangnya hampir mencapai satu batang tombak itu lenyap, karena telah membentuk sinar kuning hingga menimbulkan deruan angin tajam. Dari gulungan sinar itu kadang- kadang ujung bambu menyembul, melakukan totokan-totokan yang menimbulkan suara mencicit nyaring. Ini menandakan kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda tampan itu cukup tinggi. Dan memang, hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggi sajalah yang mampu menimbulkan suara itu.
"Cukup!" perintah Dewa Gila Jenggot Putih yang tersenyum-senyum puas melihat betapa hasil didikannya selama ini tidak mengecewakan.
Pandu menutup gerakannya ketika mendengar seruan gurunya. Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah menghampiri tempat gurunya berada. Meskipun telah berlatih cukup lama, namun sama sekali pemuda itu tidak nampak lelah. Hanya keringatnya saja yang mengalir turun, menandakan kalau telah cukup lama berlatih. Kulitnya yang kecoklatan tampak berkilatan, karena keringatnya terjilat pantulan cahaya matahari.
"Duduklah, Cucuku," ujar Dewa Gila Jenggot Putih sambil menepuk batu pipih di sebelahnya.
"Bagaimana latihanku tadi, Eyang? Apakah sudah terlihat baik?" tanya Pandu setelah duduk di sebelah gurunya. Setiap kali habis berlatih, Pandu selalu meminta pendapat gurunya. Kali ini pun demikian.
"Hm.... Kau selalu menanyakan pendapatku setelah selesai berlatih. Apakah kau sendiri tidak mengetahuinya?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih. Dia kemudian memandang wajah muridnya sambil terkekeh gembira. Diam-diam kakek itu merasa kagum melihat wajah muridnya yang gagah dan tampan itu.
Sama sekali tidak dikira kalau bocah kurus dan kumal yang dulu dibawanya itu ternyata telah menjadi seorang pemuda berwajah jantan dan bertubuh tegap. Tersirat rasa bangga dimatanya, melihat keadaan muridnya yang telah jauh berubah itu. Dan ia langsung tersenyum bila mengingat hal itu.
"Sebenarnya aku juga mengetahui dan merasakan kemajuan yang kuperoleh, Eyang. Tapi rasanya masih belum merasa puas kalau belum mendengar pendapat Eyang," sahut Pandu sambil menyusut peluh yang membasahi wajah dengan pakaiannya. Ketika berlatih tadi, pakaian itu diletakkan di atas batu yang sekarang didudukinya.
"Hm.... Kau harus percaya kepada dirimu sendiri, Cucuku. Sekarang bagaimana kalau kau meminta pendapat kepada orang lain, sedangkan orang itu justru mencela permainanmu? Lalu, apakah penilaiannya akan kau percayai? Padahal kau sendiri tahu kalau permainanmu itu sudah baik dan sempurna. Nah, apa yang akan kau perbuat?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih seraya tersenyum lucu.
"Yah, kutinju saja wajahnya. Sebab apa yang dikatakannya itu bohong. Dan orang berbohong harus dihukum," sahut Pandu seenaknya.
Mendengar jawaban muridnya yang sembarangan itu, Dewa Gila Jenggot Putih tertawa terbahak-bahak. Kakek sakti itu merasa harus tertawa mendengar jawaban lucu muridnya yang memang berwatak gembira dan bicara seenaknya itu. Tapi di balik semua sifat itu, ia tahu kalau muridnya cerdik dan penuh perhitungan dalam menghadapi sesuatu. Dan semua itu sudah dibuktikan Pandu dengan melatih secara sempurna semua ilmu-ilmu yang telah diturunkan. Sebentar kemudian, suara tawa kakek itu pun lenyap. Lalu ditatapnya Pandu dengan wajah sungguh-sungguh.
"Pandu! Tahukah kau, sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih tanpa senyum di wajahnya.
"Hm... Kurang lebih sepuluh tahun, Eyang. Memangnya ada apa, Eyang?" tanya Pandu.
Pemuda itu merasa aneh melihat kesungguhan di wajah gurunya, sehingga menimbulkan rasa heran dalam dirinya. Dan memang, tidak biasanya kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Padahal dalam menurunkan ilmu kepadanya pun, dia tidak pernah kelihatan sungguh-sungguh seperti sekarang.
"Selama ini aku tidak pernah menanyakan riwayatmu, karena merasa belum menemukan waktu yang cocok. Tapi sekarang setelah pelajaranmu tamat, kuminta agar kau sudi menceritakannya," pinta kakek itu seraya menatap wajah muridnya lekat-lekat.
"Jadi ilmu-ilmu yang kupelajari sudah sempurna, Eyang?" tanya Pandu.
"Bukan sempurna, Cucuku. Tapi sudah cukup sempurna. Karena tidak ada satu pun di dunia ini yang sempurna. Dan, jangan sekali-kali menganggap ilmu yang kau miliki itu paling tinggi didunia." Dewa Gila Jenggot Putih selanjutnya memberi nasihat pada Pandu jika nanti terjun dalam rimba persilatan.
Pemuda itu kelihatan sungguh-sungguh mendengarnya.
"Oh, ya. Sekarang ceritakanlah riwayatmu. Apakah kau sudah tidak mempunyai orang tua lagi?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih, menutup nasihatnya.
Pandu tercenung sejenak. Matanya menerawang jauh ke masa silam.
********************
Kadipaten Panjalu yang semula damai dan tenteram, tiba-tiba berubah kacau oleh adanya perang saudara. Perang yang memakan banyak korban jiwa itu merembet sampai ke Desa Surungan. Suasana yang kacau itu membuat orang tidak tahu, mana lawan dan mana kawan. Demikian pula di Desa Surungan. Setiap orang saling bunuh, bila satu sama lain saling mencurigai. Rumah-rumah penduduk dibakar. Demikian pula rumah Kepala Desa Surungan. Bahkan Ki Sumareja yang menjadi kepala desa di situ harus kehilangan rumahnya. Orang-orang berbondong-bondong mengungsi. Di antaranya ada Ki Sumareja dan keluarganya.
"Ayah, aku takut..," ratap seorang bocah perempuan berusia sekitar tujuh tahun.
"Tenanglah, Ratih. Aku ada bersamamu," hibur seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun. Dia adalah kakak dari bocah perempuan itu.
"Cepat sedikit, Pandu! Gerombolan pemberontak itu sebentar lagi akan datang!" ujar Ki Sumareja kepada bocah laki-laki yang bernama Pandu.
Sementara itu, istri Ki Sumareja berjalan cepat tersuruk-suruk mengikuti suami dan dua anaknya. Sedangkan, penduduk yang mengungsi semakin ramai saja. Masalahnya, ketika sampai di ja-mlan utama, mereka bercampur baur dengan penduduk desa-desa lain. Dan belum lagi seluruh pengungsi itu sampai di tempat tujuan, gerombolan pemberontak telah datang lagi. Mereka datang menggunakan kuda sambil mengacung-acungkan senjata. Maka seketika seluruh pengungsi semakin bercerai-berai. Mereka kocar-kacir, tak tahu harus berbuat apa.
"Ayah!" teriak Pandu, ketika pegangannya terlepas dari tangan ayahnya karena terdorong oleh orang-orang yang berlarian bingung.
"Pandu!" Ki Sumareja berusaha meraih anaknya, tapi tak berhasil karena terdorong oleh orang lain. Sementara Ratih masih dalam genggaman tangan satunya. Sedangkan istrinya juga entah berada di mana. Makin lama, jarak mereka semakin jauh. Apalagi para pemberontak telah membantai satu persatu para penduduk.
********************
Perang saudara telah usai. Pihak pemberontak telah berhasil dipadamkan. Namun Ki Sumareja masih berada di tempat pengungsian bersama anak perempuannya, Ratih.
"Ayah, di mana Kakang Pandu?" tanya Ratih, sedih.
"Entahlah, Anakku. Ayah telah memerintahkan pamanmu untuk mencarinya. Tapi, tak berhasil. Kalau dia mati, tapi mayatnya tidak ditemukan," desah Ki Sumareja. Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tampak tabah menghadapi bencana yang menimpa keluarga dan desanya. Bahkan istrinya yang terpisah saat mengungsi, telah ditemukan tewas. Dan kini, mayatnya telah dikuburkan.
"Oh, Tuhan! Selamatkanlah Pandu. Biarlah dia berpisah denganku, asalkan tetap hidup. Suatu saat nanti, pasti dia akan mencariku."
********************
"Hm.... Jadi waktu aku menolongmu di Desa Tunjung itu, kau dalam perjalanan mencari keluargamu?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih ketika Pandu telah menyelesaikan ceritanya.
Kakek itu tampak terharu mendengar cerita muridnya. Itulah sebabnya, mengapa Pandu demikian tabah dan keras hati. Rupanya jiwanya telah terbentuk oleh penderitaan hidup yang dijalani. Betapa kagum hati kakek berjenggot putih itu terhadap Pandu. Bocah jembel dan kurus itu telah melakukan perjalanan dari satu desa ke desa lain untuk mencari keluarganya. Pantas saja tubuhnya demikian kuat meskipun kurus.
"Benar, Eyang. Aku bertanya ke sana kemari, namun tidak ada satu pun yang mengenal ayahku. Lalu, aku singgah di sebuah kedai. Di sana tenagaku kutawarkan dengan harapan akan memperoleh imbalan makanan untuk mengisi perutku yang lapar. Tapi, yang kudapat dari mereka hanyalah hinaan dan pukulan," teringat akan kejadian itu, timbul rasa geram di hati Pandu.
"Hm.... Lalu, apakah sekarang kau masih ingin mencari kedua orang tua dan adik perempuanmu itu?" tanya Dewa Gila Jenggot Putih lagi.
"Kalau Eyang mengizinkan, aku masih akan berusaha mencari. Aku harus mengetahui nasib mereka, Eyang."
"Tidak ada lagi yang dapat kau pelajari dariku. Semua ilmu yang kumiliki sudah kuturunkan kepadamu. Dan sudah waktunya kau turun gunung untuk mencari pengalaman, sekaligus mematangkan ilmu-ilmu yang telah kau pelajari di sini," jelas Dewa Gila Jenggot Putih tersenyum melihat wajah muridnya yang berseri gembira mendengar ucapannya.
"Terima kasih.... Terima kasih, Eyang. Tapi... bagaimana dengan Eyang? Siapa yang akan melayani segala keperluan Eyang selama aku pergi nanti?"
Wajah Pandu yang semula berseri mendadak muram begitu teringat keadaan gurunya yang sudah sangat tua. Tentu setelah kepergiannya nanti, kakek itu akan merasa kesepian karena tidak ada lagi yang menemaninya. Mengingat hal itu, hati Pandu terasa berat meninggalkan gurunya.
"Jangan pikirkan aku, Pandu. Apakah kau kira aku sudah sedemikian lemah hingga harus selalu diurusi! Huh! Seperti anak kecil saja! Sudahlah. Besok pagi-pagi sekali kau boleh berangkat untuk menambah pengalaman dan mencari kedua orang tua dan adikmu," tegas kakek itu yang dari nada suaranya jelas tidak ingin mendengar bantahan muridnya.
Lalu Dewa Gila Jenggot Putih itu pun memberi wejangan-wejangan yang dianggap perlu. Setelah matahari sudah naik tinggi, barulah mereka beranjak meninggalkan tempat itu dan menuju pondoknya.
********************
EMPAT
Pada saat cahaya kemerahan mulai nampak di kaki langit sebelah Timur, Pandu berpamitan kepada gurunya. Kini dia telah berjalan agak jauh meninggalkan pondok. Pemuda tampan berkulit kecoklatan itu bergegas berlari-lari kecil menuruni lereng gunung. Sesekali ia melompat dengan wajah riang melewati sebongkah batu cukup besar yang menghalangi jalan.
Sudah cukup jauh juga Pandu berlari-lari kecil sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dan kini dia sudah berada di sebelah Barat kaki Gunung Pancar. Pemuda itu terus berlompatan melewati aliran sungai yang membentang di depannya. Kemudian perjalanannya dilanjutkan dengan menggunakan ilmu lari cepat, sekaligus untuk menguji ilmu yang diturunkan gurunya.
Tubuh pemuda itu berkelebat cepat bagaikan bayang-bayang, untuk kemudian lenyap di mulut sebuah hutan. Ketika matahari sudah berada di atas kepalanya, Pandu sudah jauh meninggalkan tempat kediaman gurunya. Kepalanya menoleh ke belakang memandangi puncak Gunung Pancar yang terlihat samar karena tertutup kabut. Hati pemuda tampan itu sempat terharu ketika teringat gurunya kini hanya tinggal seorang diri. Pandu melangkahkan kakinya menyusuri tepian sungai. Ketika melihat betapa jernihnya aliran sungai yang bergemericik, timbul niatnya untuk mandi.
"Hm.... Segar rasanya bila dapat merendam tubuh di air yang jernih dan sejuk itu," gumam Pandu.
Pemuda itu segera melangkahkan kakinya menuju tepian sungai. Ia menyusuri tepian sungai dan mencari tempat yang kira-kira mudah untuk turun kebawah. Mata Pandu merayapi sekitarnya, mencari tempat yang baik. Pemuda tampan itu kemudian melangkahkan kakinya ke tempat yang dimaksud. Karena letak tempatnya berdiri lebih tinggi dari aliran sungai itu, maka wajah pemuda itu menunduk karena jalan ke arah itu sangat becek dan licin.
"Hei, kurang ajar kau! Mau mengintip orang mandi, ya! Keparat, kubunuh kau!"
Bukan main terkejutnya hati Pandu ketika mendengar suara bernada sangat marah. Matanya masih sempat melihat sesosok bayangan yang berkelebat ke balik batu besar yang berada di tengah sungai. Pemuda itu menengok ke sekitarnya, seolah-olah ingin mencari orang yang membuat gadis itu marah. Sudah dapat diterka kalau si empunya suara itu pasti seorang gadis,karena terdengar nyaring dan kecil.
"Hei, siapa yang kau cari?! Dasar pemuda kurang ajar! Mata keranjang! Hayo, cepat pergi!" teriak gadis itu. Dia memang bersembunyi di balik batu besar. Sepasang matanya yang mengintai dari balik batu itu tampak menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepada Pandu.
"Aku...?" gumam Pandu sambil menunjuk dadanya karena memang benar-benar tidak tahu, siapa yang dimaki gadis itu.
"Ya! Kau, pemuda tidak tahu sopan! Memangnya kau pikir siapa lagi yang berada di tempat ini selain kau dan aku!" bentak gadis itu.
Tampaknya dia semakin gemas melihat tingkah Pandu yang seperti berpura-pura tolol. Padahal, memang sesungguhnya pemuda itu sama sekali tidak tahu kalau makian itu ditujukan kepada dirinya.Dengan wajah masih dilanda kebingungan, akhirnya Pandu kembali naik ke atas. Selebar wajahnya merah menahan malu karena dikira mengintip orang mandi.
"Kurang ajar! Memangnya dikira aku ini apanya? Enak saja memaki-maki orang! Huh...! Siapa yang sudi mengintip-intip orang mandi! Dasar perempuan binal!" sambil melangkah naik, Pandu tak henti-hentinya mengomel.
Pemuda itu benar-benar merasa tersinggung mendengar dirinya dimaki-maki seperti itu. Karena dia merasa tidak berbuat apa-apa. Ingin rasanya membalas memaki-maki gadis itu. Pandu melangkahkan kakinya menjauhi sungai. Hilang sudah keinginannya untuk berendam di air sungai yang jernih itu.
"Huh, harus kubalas makian gadis binal itu! Enak saja memaki orang!" umpat Pandu tanpa disadari kalau ucapanya keluar agak keras.
"Apa?! Siapa yang ingin kau balas?! Siapa yang binal? Hayo, jawab?"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja di depan Pandu telah berdiri seorang gadis cantik mengenakan baju warna merah. Wajahnya tampak segar kemerahan dengan rambut masih agak basah. Jelas kalau gadis itu baru turun dari sungai. Kaget bukan main Pandu ketika mendengar suara ketus gadis itu. Semua makian yang semula sudah berada di ujung lidahnya terbang entah ke mana. Pemuda tampan itu berdiri bengong memandangi seraut wajah cantik di hadapannya. Cantik sekali!
Sepasang matanya yang membelalak lebar itu demikian indah bagaikan bintang pagi. Kedua pipinya yang halus dan berwarna kemerahan membuatnya semakin cantik. Hidungnya yang kecil mancung membuat orang gemas untuk mencubitnya. Benar-benar gadis yang mempesona.
"Hei! Kau tuli, ya! Kau bisu, ya! Hayo! Bukankah kau ingin membalas makianku? Kenapa kau diam saja?" gadis cantik yang galak itu kembali melontarkan kata-kata makian kepada Pandu.
Bukannya menjawab, Pandu malah semakin melongo bagai orang yang hilang ingatan. Sepasang matanya terpaku menatap bibir tipis berbentuk indah dan segar kemerahan itu. Hati pemuda itu bagai diaduk-aduk melihat bibir yang merah basah bergerak-gerak membetot-betot jiwanya. Begitu terpesonanya hati Pandu sehingga sama sekali tidak mendengar makian yang meluncur dari bibir gadis jelita itu.
Gadis berbaju merah itu menjadi semakin berang melihat sikap pemuda itu yang seperti orang tolol. Kemarahannya pun semakin memuncak, dan tahu-tahu saja tangan kanannya bergerak menampar wajah Pandu.
Plakkk!
Tamparan telapak tangan halus itu membuat Pandu tersadar dari rasa terpesona yang membuatnya terlena. Pipi kiri pemuda itu memerah akibat tamparan tangan cukup keras dari gadis galak itu. Meskipun memiliki sifat galak, namun ia ternyata bukan orang yang kejam. Sebab tamparan itu sama sekali tidak mengandung tenaga dalam. Padahal menilik dari gerakannya, jelas dia memiliki kepandaian yang tidak rendah.
"Oh! Eh! Apa..., apa...?" kata Pandu gugup dengan wajah yang semakin ketakutan.
Hampir saja gadis itu tertawa geli melihat sikap pemuda yang semakin linglung. Itu terlihat jelas dari tarikan bibirnya yang turun naik. Namun gadis itu berusaha untuk tidak tertawa, setelah mengingat perbuatan pemuda tampan yang mengintipnya ketika sedang membersihkan tubuh di sungai.
"Kau..., kau pemuda tolol! Kurang ajar! Mengapa hanya memandangku? Bukankah kau hendak membalas makianku?" bentak gadis jelita itu berusaha menutupi kegelian hatinya.
"Ahhh! Kau..., kau pasti seorang dewi!" desah Pandu melihat kecantikan gadis berbaju merah itu.
Pandu berpikir, bagaimana mungkin ia bisa berada di tempat sepi seperti itu. Sedangkan tempat itu sangat jauh dari pedesaan. Dan lagi, mana mungkin seorang gadis yang demikian cantik jelita seperti itu bisa terbebas dari laki-laki jahil? Rasanya tidak mungkin kalau gadis itu hanya seorang wanita desa biasa?
Pandu yang sudah merasa yakin kalau gadis jelita berbaju merah itu adalah seorang dewi dari kahyangan, langsung menjatuhkan dirinya berlutut di depan gadis itu.
"Ampunkan aku, Dewi. Aku sama sekali tidak bermaksud berbuat buruk terhadap Dewi. Dan sama sekali tidak mengetahui kalau saat itu Dewi tengah membersihkan diri. Sekali lagi, aku mohon ampun," ucap Pandu sambil mengangguk-anggukkan kepala, takut akan kemarahan gadis jelita yang dianggap sebagai dewi dari kahyangan.
Mula-mula gadis jelita itu merasa terkejut dan heran melihat betapa tiba-tiba pemuda itu berlutut di depannya. Hampir saja kakinya bergerak menendang karena menyangka pemuda itu hendak berbuat kurang ajar lagi. Cepat gerakannya ditahan begitu mendengar ucapan pemuda itu yang terlihat sungguh-sungguh. Gadis jelita berbaju merah itu tak dapat lagi menahan kegelian hatinya, melihat sikap pemuda yang dianggapnya sangat lucu. Terdengarlah suara tawanya yang merdu dan berkepanjangan. Kalau saja si gadis tidak teringat akan perbuatan kurang ajar pemuda itu, mau rasanya ia tertawa sepuas-puasnya. Maka seketika timbul niatnya untuk mempermainkan pemuda yang nampak tolol itu.
"Hm.... Tahukah kau, kesalahanmu itu sangat besar dan tidak mungkin mendapat ampunan!" kata gadis jelita itu. Dia sengaja menyembunyikan senyumnya dengan mengeluarkan suara yang terdengar halus dan mengandung perbawa kuat. Untunglah pemuda itu sedang berlutut sambil menundukkan wajah, sehingga tidak dapat melihat roman wa- jahnya yang mati-matian menahan tawanya.
"Ampun, Dewi. Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Dan aku... aku pun belum sempat melihatnya," sahut Pandu sambil tetap menundukkan wajahnya dalam-dalam. Terbersit harapan di hati pemuda itu ketika mendengar suara sang Dewi yang sudah tidak segalak pada waktu pertama tadi. Meskipun demikian, wajahnya sama sekali tidak berani diangkat. Karena menurut apa yang didengar dari ayahnya dulu, adalah dosa besar dan tidak terampuni apabila berani menatap wajah seorang dewi secara lang- sung. Rupanya cerita-cerita ayahnya semasa kecillah yang membuat Pandu begitu yakin kalau gadis jelita yang saat itu berada di hadapannya adalah seorang dewi.
"Hm.... Meskipun hal itu dilakukan tanpa sengaja, kau harus tetap mendapat hukuman!" bentak gadis jelita itu berusaha sekuat tenaga agar tawanya tidak meledak.
"Ampun, Dewi. Hukuman apa pun, aku akan rela menerimanya. Aku..., bersedia menebus dosa," sahut Pandu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya penuh hormat. Pemuda itu mau menerima hukuman yang akan dijatuhkan sang Dewi, karena merasa yakin kalau hukuman itu tidak sampai membuatnya terluka parah. Apalagi sampai tewas. Sebab, seorang dewi pasti memiliki hati yang bijak dan lembut. Sudah pasti hukuman yang akan dijatuhkan hanya sekadar membuatnya jera, namun tidak akan sampai menyakitkan.
"Bagus! Sekarang kau harus menampar kedua pipimu sendiri sebanyak masing-masing lima kali. Nah, lakukanlah!" perintah gadis jelita itu seraya tersenyum penuh kemenangan melihat betapa dengan mudah kekurangajaran pemuda itu dapat dibalasnya.
"Tapi... Tapi, Dewi..." Pandu hendak membantah demi mendengar hukuman yang aneh itu. Sebab menurut cerita yang di dengarnya, hukuman yang dijatuhkan sang Dewi selalu yang baik-baik. Seperti nasihat ataupun berupa pekerjaan. Tapi mengapa hukuman yang dijatuhkan kepadanya agak lain? Mungkin karena kesalahan yang dilakukan terlalu berat!
"Hm... Kau ingin membantah?" bentak sang Dewi lagi dengan suara yang terdengar marah.
"Tidak, tidak. Mana mungkin aku berani membantah perintah Dewi," sahut Pandu tanpa berani mengangkat kepalanya. Setelah berkata demikian, kedua tangannya digerakkan untuk menampar mukanya sendiri berkali-kali. Hal itu dilakukannya sambil tetap merunduk.
"Hi hi hi... Dasar pemuda bodoh berotak kerbau," gumam gadis jelita berbaju merah itu yang segera melesat cepat meninggalkan Pandu yang tengah menampari mukanya. Setelah memukuli wajahnya sebanyak lima kali, Pandu masih tetap menunduk. Pemuda itu baru berani mengangkat kepala setelah merasa yakin kalau dewi berbaju merah itu sudah pergi jauh dan tidak mungkin terlihat lagi. Wajah pemuda itu terlihat agak sedikit membengkak, karena tamparannya yang cukup keras tadi. Pandu bangkit berdiri memandang ke arah perginya gadis jelita berbaju merah yang dianggapnya seorang dewi itu. Sampai saat itu ia memang masih belum sadar kalau dirinya telah dipermainkan gadis galak yang cerdik itu.
"Dewi... Ah, betapa cantiknya wajahmu. Betapa beruntungnya aku karena telah sempat berlama-lama memandang dan mengagumi wajahmu. Untunglah aku terlambat menyadari kalau kau sebenarnya adalah seorang dewi. Kalau tidak, tentu aku tidak pernah akan dapat melihat kecantikan yang demikian agung dan mempesona," gumam Pandu yang pikirannya jadi melantur tidak karuan.
Tiba-tiba di pikirannya timbul untuk memberontak terhadap peraturan-peraturan dari cerita yang tersebar tentang seorang dewi. Bukankah setiap orang bisa saja menikahi seorang dewi, apabila memang saling menyukai? Biarpun belum pernah ada cerita tentang seorang manusia yang menikah dengan seorang dewi, tapi itu belum tentu berarti tidak boleh! Jadi, mengapa hal itu tidak dicoba? Segala hukuman akan diterimanya, asal dapat mempersunting dewi yang jelita itu. Setelah berpikir demikian, pemuda itu pun kembali melangkahkan kakinya menuju aliran sungai.
Tak lama kemudian, Pandu pun sudah melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Matahari sudah mulai naik. Sinarnya yang kuning keemasan terasa hangat menyentuh tubuh. Mendadak, baru saja beberapa langkah berjalan, pendengarannya yang tajam menangkap denting senjata beradu. Sejenak pemuda itu menghentikan langkah dan semakin mempertajam pendengarannya. Pandu langsung melesat setelah memastikan kalau suara itu pasti berasal dari suatu pertempuran yang cukup seru. Karena selain denting senjata berada juga tertangkap teriakan-teriakan nyaring. Sudah pasti suara itu bukan berasal dari seseorang yang tengah berlatih silat. Jelas itu sebuah pertempuran sengit.
Tubuh pemuda tampan itu terus melesat menuju asal suara pertempuran yang semakin jelas terdengar. Begitu tiba di dekat pertempuran, dada pemuda itu berdebar keras. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan tidak mem- percayai penglihatannya! Betapa tidak! Sebab yang dilihatnya kini adalah seorang gadis berbaju merah yang tengah dikeroyok belasan orang laki-laki berseragam biru gelap.
"Mungkinkah dia si dewi jelita? Tapi mengapa berada di tempat ini? Dan, mengapa pula dikeroyok? Ah, mustahil! Gadis itu sudah pasti orang lain yang kebetulan mengenakan pakaian sama. Tapi, siapa pun gadis berbaju merah itu, yang jelas aku harus menolongnya!" Setelah mengambil keputusan demikian, tubuh pemuda itu pun segera melesat ke arah pertarungan. Dia hanya menggunakan sepotong ranting sebagai senjata.
"Hiaaat..!" Disertai sebuah lengkingan nyaring, Pandu langsung mengayunkan potongan ranting itu ke arah salah seorang laki-laki berwajah brewok yang tampak tengah mendesak gadis itu.
Wuuut! Wuuut!
Ranting kayu di tangan Pandu berputar cepat dan bergerak mematuk-matuk mengincar jalan darah pada tubuh laki-laki berwajah brewok itu. Tentu saja serangan yang hebat dan cepat itu membuat si brewok terkejut. Cepat tubuhnya melompat mundur, meninggalkan gadis berbaju merah yang hampir dapat ditaklukkannya. Tubuhnya terus berpu- tar beberapa kali di udara sebelum mendarat di atas tanah.
Pandu tidak berusaha mengejar si brewok. Ranting kayunya kembali meluncur mematuk ke arah seorang lawan lain yang tengah menyerang gadis berbaju merah itu. Sedangkan yang seorang lagi sudah melompat mundur begitu melihat seorang pemuda bersenjatakan sebatang ranting kayu ikut-ikutan menyerang. Rupanya ia merasa gentar melihat serangan ujung ranting kayu yang menotok-notok menimbulkan suara berkesiutan. Sedangkan pengeroyok lainnya, menjadi tersentak ketika merasakan sambaran angin tajam dari arah belakangnya. Cepat kakinya bergeser dan melangkah ke samping sebanyak dua langkah. Namun sebuah tendangan kilat pemuda itu yang sama sekali tidak diduga oleh seorang pengeroyok. Akibatnya tubuhnya terlempar dan terbanting keras.
Desss!
Tubuh kurus berwajah pucat itu terus bergulingan hingga dua tombak jauhnya. Namun, ternyata kekuatan tubuh orang tinggi kurus itu hebat sekali. Dia langsung melenting bangkit, seolah-olah tendangan yang cukup keras tadi sama sekali tidak ada artinya. Tapi dari seringainya yang ngeri, jelas kalau tendangan Pandu telah membuatnya sedikit menderita.
Si gadis berbaju merah ternyata juga merasa terkejut atas kehadiran seorang pemuda yang menggunakan ranting sebagai senjatanya. Begitu mengenali wajah si pemuda, matanya terbelalak lebar bagai melihat hantu. Namun hal itu hanya berlangsung sesaat dan wajah wanita itu kembali seperti biasa. Bahkan pura-pura tidak mengenalinya.
Pandu yang sempat beradu pandang dengan gadis itu, terbelalak kaget. Sesaat kemudian wajah pemuda itu menjadi cerah bagaikan seorang anak kecil yang telah menemukan mainannya kembali.
"Kau... kau, Dewi...!" sebut Pandu dengan suara bergetar. Ingin rasanya pemuda itu melompat memeluk untuk menyatakan betapa besar rasa rindu yang dipendamnya. Untung saja ia bisa menahan dirinya. Kalau tidak, bisa-bisa ia dimaki-maki kembali oleh gadis jelita berbaju merah itu.
Baik Pandu maupun si gadis, tak sempat bercakap meskipun sekejap. Karena pada saat itu, belasan orang berseragam biru gelap yang dipimpin tiga orang tokohnya, telah bergerak mengepung. Beberapa orang di antaranya bahkan sudah melompat menerjang dengan senjata terhunus.
"Hiaaat..!"
Wuuut! Wuuut..!
Si gadis berbaju merah dan Pandu bergerak menghindari serangan enam batang senjata yang berkelebat ke arah mereka. Pemuda tampan berwajah jantan itu marah bukan main ketika teringat kalau gadis baju merah itu hampir dibuat celaka oleh para pengeroyoknya tadi. Tanpa tanggung-tanggung lagi, ranting kayunya segera diputar hingga menimbulkan angin menderu tajam.
"Manusia pengecut! Rasakan kerasnya tongkatku ini!" bentak Pandu gusar.
Bettt! Bukkk! Tukkk!
Dua orang di antara mereka terjengkang akibat hantaman dan totokan ujung ranting kayu di tangan Pandu. Mereka langsung ambruk tak berkutik lagi!
Rupanya dalam kemarahannya, Pandu telah mengerahkan hampir sepertiga tenaganya dalam melancarkan serangan. Empat orang lainnya meloncat mundur dengan wajah pucat. Benar-benar tidak disangka kalau pemuda itu dapat menjatuhkan dua orang kawan mereka hanya sekali serang. Benar-benar sebuah kepandaian yang tidak bisa dipandang ringan. Namun keempat orang itu tidak sempat berpikir lebih jauh. Karena pada saat itu juga, ranting kayu di tangan Pandu telah menyambar dengan kecepatan menggetarkan.
Bukkk! Bekkk!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika tubuh keempat orang itu terkena hantaman ranting kayu di tangan Pandu. Mereka langsung bertumbangan karena hantaman ranting kayu itu tepat mengenai jalan darah kematian.
"Bangsat! Kubunuh kau...!" teriak lelaki brewok yang merupakan salah satu pimpinan belasan orang itu Disertai teriakan murka, tubuh laki-laki brewok itu melesat menerjang Pandu dengan ayunan senjatanya. Pemuda bertubuh sedang itu hanya perlu menggeser kaki kanannya sedikit, maka serangan lawan hanya menyambar tempat kosong. Sebelum orang itu sempat menarik pulang pedangnya, ranting kayu di tangan Pandu bergerak cepat ke arah ubun-ubun lawan.
Namun Pandu cepat mengurungkan serangan karena pada saat yang sama telinganya mendengar suara berdesing tajam dari arah samping kiri. Secara tak terduga, ranting kayu itu berputar setengah lingkaran dan langsung menotok pergelangan tangan si kurus pucat yang memegang golok besar. Laki-laki tinggi kurus berwajah pucat seperti mayat itu, terlihat semakin pucat wajahnya. Cepat-cepat pergelangan tangannya diputar ke atas. Dan kini golok besar itu berputar menyambar leher Pandu. Benar-benar sebuah gerakan yang lihai dan berbahaya. Namun Pandu bukanlah pemuda sembarangan.
Sebagai murid kesayangan tokoh sakti yang berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih, ia pun telah dibekali ilmu-ilmu tinggi. Maka menghadapi serangan yang tak terduga itu, ia pun bersikap tenang. Kaki kanannya segera bergeser melebar dengan kuda-kuda rendah. Pada saat golok besar itu menyambar leher, kepala pemuda tampan itu sudah meliuk dan berputar menggunakan jurus 'Harimau Keluar Gua' yang telah dipelajarinya secara sempurna. Dan tahu-tahu saja, tangan kiri pemuda itu bergerak naik melakukan tusukan ke arah tenggorokan lawan.
Cuiiit...!
"Aaah...!"
Dua buah jari tangan yang keras bagai batang besi itu meluncur deras tak terduga. Orang berwajah pucat itu menjerit tertahan, dan sebisa-bisanya tubuhnya mengegos ke kiri untuk menghindari tusukan yang bisa menamatkan jiwanya. Namun sayang, gerakannya ma- sih kalah cepat dibanding gerakan lawan. Sehingga tusukan jari-jari seke- ras besi itu sempat pula mengenai pundak kanannya, meskipun tidak terlalu telak.
Brettt!
Tubuh tinggi kurus itu terjajar mundur beberapa langkah kebelakang. Baju padbagiann bahunya robek, dan kulit dagingnya sedikitbmengelupas akibat tusukan jari-jari Pandu.Orang itu meringis sambil menekap luka yang terasa panas dan nyeri.Diam-diamha-tinya merasa terkejut melihat keheba-tan lawan yang entah muncul darimana. Sedangkan gadis berbaju merah itu sudah terlibat pertarungan sengit melawan lima orang yang dipimpin seorang laki-laki bertubuh gemuk. Namun, laki-laki gemuk itu memiliki kecepatan yang tidak terduga.
Lima orang berseragam biru gelap itu terus mendesak gadis berbaju merah dengan serangan-serangan cepat dan ganas.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tiba-tiba tubuh gadis itu melompat ke samping kiri sambil menyabetkan pedangnya. Salah seorang pengeroyok yang berada di samping kiri tersentak kaget, sehingga wajahnya berubah pucat. Karena pada saat pedangnya tengah ditarik pulang, pedang di tangan gadis itu telah berkelebat menyambar tubuhnya.
Brettt!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, orang yang malang itu melintir akibat sambaran pedang lawan. Tubuhnya terbanting di atas tanah disertai semburan darah segar dari luka menganga di perutnya. Setelah berkelojotan meregang nyawa, tubuh lelaki malang itu pun diam tak bergerak. Mati.
"Setan betina keparat! Kubunuh kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk yang langsung memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar yang meluncur mengincar tubuh si gadis.
Wuttt!
Namun gadis itu tidak gugup. Dengan gerakan indah, tubuhnya melompat ke kanan dan pedang di tangannya kembali berkelebat menyambar pengeroyoknya yang lain. Hebat sekali perhitungan gadis berbaju merah itu!
Dengan cerdiknya, serangan si gemuk berhasil dihindari dan kini malah mengancamyanglainnya.Kembali terdengar teriakan ngeri ketika pedang di tangan gadis itu keebali menelan korban. Tubuh salah seorang pengeroyok itu kembali terjungkal mandi darah, dan langsung tewas dengan leher berlubang. Tentu saja hal itu semakin menambah kemarahan laki-laki gemuk itu.
"Hi hi hi...! Jangan terlalu sering mengumbar kemarahan, Paman Gendut. Aku khawatir nanti perutmu jadi kempes, dan tubuhmu terbang ke neraka. Kalau sudah begitu, bukankah kau akan menjadi susah sendiri?" ejek gadis jelita itu seraya tertawa lucu.
Hampir meledak rasanya dada lelaki gemuk itu ketika mendengar ejekan lawan. Dengan tatapan bagaikan hendak menelan gadis itu bulat-bulat, pedangnya langsung digerakkan secara bersilangan dengan seluruh tenaganya.
"Hm.... Kalau tadi kau dapat mendesakku, itu karena kalian melakukan pengeroyokan secara curang! Tapi, kali ini jangan harap akan dapat menyentuh tubuhku!" geram gadis berbaju merah itu yang sama sekali tidak merasa gentar melihat kemurkaan lawan.
Lelaki gemuk pendek yang sudah tidak dapat menahan amarahnya, langsung melesat cepat disertai tusukan pedangnya. Senjata di tangannya yang berupa pedang itu berkelebat cepat mengancam titik-titik kelemahan di tubuh lawan.
Namun, si gadis jelita itu pun sudah mempersiapkan ilmu pedang untuk menghadapinya. Meskipun tiga orang berseragam biru gelap lainnya ikut mengeroyok, namun dia sama sekali tidak nampak terdesak. Sinar pedangnya tampak bergulung-gulung melindungi sekujur tubuhnya. Dan setiap kali pedang di tangannya menangkis, seketika sen- jata lawan terpental balik. Hal ini membuktikan kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis itu masih di atas para pengeroyoknya. Sehingga meskipun pertarungan sudah melewati dua puluh jurus, namun belum ada tanda-tanda yang mampu mendesak gadis jelita berbaju merah yang memang sangat lihai itu.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, tiba-tiba gadis itu berseru nyaring hingga membuat pengeroyoknya terkejut. Berbarengan dengan itu, pe- dang di tangannya menyambar cepat ke arah dua orang pengeroyok yang mendadak pucat.
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Dua orang berseragam biru gelap yang menjadi anak buah si gemuk pendek, terlempar ke kiri dan ke kanan akibat sambaran pedang yang didorong kekuatan hebat itu. Keduanya langsung ambruk dan menggelepar bagai ayam dis- embelih. Darah segar memancur keluar dari luka menganga di perut mereka.
Gerakan pedang si gadis, ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Pedang yang telah dibasahi darah itu berputar dan menyambar pengeroyok yang kini tinggal dua orang lagi. Sadar kalau sambaran pedang itu tidak mungkin dapat dielakkan, lelaki gemuk itu tak punya pilihan lain lagi. Dia langsung berbuat nekat memapak dengan pedangnya.
Trangngng!
Terdengar benturan keras yang menimbulkan pijaran api di udara. Tubuh laki-laki gemuk itu terjajar mun- dur, dan matanya membelalak lebar. Pedang di tangannya ternyata hanya ting- gal separuh akibat terpapas pedang ga- dis berbaju merah itu. Sadar kalau tidak mungkin akan menang melawan gadis itu, ia pun berteriak dan melompat jauh meninggalkan arena pertempuran.
"Lari...!" Melihat sang Pemimpin melarikan diri, anak buahnya yang hanya tinggal seorang itu pun bergegas meninggalkan tempat itu. Sedangkan si gadis berbaju merah hanya berdiri memandang sambil tersenyum mengejek.
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar teriakan ngeri yang disusul terlemparnya tiga sosok tubuh yang berlumuran darah. Dua di antaranya langsung diam tak berkutik lagi. Mati. Sedangkan seorang lagi yang wajahnya ditumbuhi brewok, merintih dan berkelojotan sesaat, sebelum akhirnya meng- hembuskan napas yang terakhir. Ketiga orang itu tewas akibat totokan ranting kayu di tangan Pandu yang tepat menge- nai di tengah-tengah kedua alis mereka. Dan kini di tempat itu hanya tinggal seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi kurus.
"Gila!" teriak si tinggi kurus berwajah pucat membelalak ngeri. Keberanian orang itu kontan lenyap melihat kehebatan pemuda yang menjadi lawannya itu. Ranting kayu di tangan pemuda itu benar-benar menjadi senjata ampuh, sehingga dapat melubangi tengkorak kepala ketiga orang kawannya. Merasa tidak akan mampu untuk menghadapi lawannya, laki-laki tinggi kurus itu segera melompat jauh ke belakang.
"Anak muda! Hari ini kau boleh tertawa karena telah mengalahkan kami! Tapi, ingat! Di lain kesempatan, hutang ini akan kami balas!" ancam si tinggi kurus sambil melesat pergi.
LIMA
"Kau... tidak apa-apa, Dewi?" tanya Pandu yang tetap menyebut gadis berbaju merah itu sebagai dewi. Sekarang pemuda itu memang telah tahu kalau gadis itu bukanlah seorang dewi, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai."
"Hm... Apa maksudmu mencampuri urusanku?! Apakah dikiranya aku tidak mampu mengalahkan mereka?!" dengus gadis itu ketus sambil bertolak pinggang. Tidak sedikit pun rasa terima kasih terlihat di wajah gadis itu. Meskipun hati kecilnya mengakui kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya, namun sepertinya ia tidak mau mengakuinya. Benar-benar seorang gadis cantik yang angkuh.
"Aku... aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak suka melihat belasan orang laki-laki itu mengeroyok seorang gadis sepertimu" sahut Pandu, agak gugup melihat sambutan tak menyenangkan dari gadis itu. Diakui, sejak melihat gadis itu hatinya sudah berbunga-bunga. Dan harapannya untuk memiliki gadis jelita itu pun kembali muncul.
Namun bukan main sedihnya hati Pandu ketika melihat kenyataan kalau gadis itu justru tidak menyukainya. Pandu menarik napas panjang, menahan kenyerian dalam dadanya yang seperti ditusuk-tusuk duri tajam.
"Betul, kau tidak bermaksud apa-apa? Hm... Sulit dipercaya kalau kau melakukannya tanpa pamrih tersembunyi? Bagaimana kalau orang lain yang mengalaminya? Apakah kau akan menolongnya?" tanya si gadis sinis. Pandangan matanya yang mengandung cemooh itu, benar-benar membuat jiwa Pandu terpukul.
"Aku pasti akan menolongnya, sekalipun tidak kukenal. Ah! Mengapa kita harus meributkan hal yang tidak ada artinya itu? Mengapa pertemuan kita selalu diwarnai pertengkaran?" keluh Pandu lirih dan hampir tak terdengar.
"Ooo... Jadi kau ingin kita berpegangan tangan atau bermesraan? Begitu?" ejek gadis berbaju merah itu mencibir.
"Oh, tidak. Sama sekali aku tidak ada pikiran begitu!" sentak Pandu dengan wajah agak pucat. Benar-benar tidak disangka kalau gadis itu akan berkata-kata demikian.
"Lalu, apa maumu? Apakah aku harus menyembah-nyembah karena telah kau tolong? Atau aku harus mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya sampai bibirku dower? Begitu maumu?" ujar gadis itu dengan nada yang makin tinggi.
"Ahhh...!" Lagi-lagi Pandu harus menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Hatinya benar-benar terpukul mendapat kenyataan kalau gadis yang diam-diam dicintainya ternyata demikian angkuh dan tidak mempunyai perasaan sedikit pun.
Pandu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan luka hati yang terpancar di matanya. Seperti inikah gadis yang telah merenggut seluruh perasaan cintanya? Benarkah gadis yang cantik seperti dewi itu memiliki sifat angkuh dan tak berperasaan? Apa yang telah menyebabkannya sehingga bersikap begitu?
"Hhh..." Pandu menghembuskan napasnya kuat-kuat. Disadari kalau perasaan cintanyalah yang membuatnya tidak tega untuk menyakiti gadis jelita itu. Dan perasaan itu pulalah yang telah membuatnya harus menerima perlakuan gadis itu.
"Hei? Mengapa diam saja? Apakah mulutmu sudah tidak bisa dipakai bicara lagi?" bentak gadis jelita itu.
Seketika Pandu tersadar kalau masih berhadapan dengan si jelita yang galak dan angkuh. Dalam dunia persilatan, gadis itu dijuluki sebagai Dewi Baju Merah. Sepak terjangnya cukup membuat tokoh persilatan berpikir dua kali dalam menghadapinya. Dewi Baju Merah tertegun ketika melihat si pemuda mengangkat kepalanya. Hatinya sangat tergetar melihat sinar mata Pandu yang terlihat sayu dan menyiratkan luka hati.
"Dewi.... Mengapa kau begitu membenciku? Apakah kesalahan yang tak pernah kulakukan itu, tak dapat diampuni?" tanya Pandu berdesah dan bergetar mewakili jiwanya yang terpukul.
Dewi Baju Merah melengos menghindari tatapan yang membuat pikirannya kacau. Nampaknya, gadis itu baru menyadari sikapnya yang telah melewati batas. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak sudi menunjukkan perasaan hatinya. Bahkan tetap saja memasang wajah galak.
"Sudahlah. Terima kasih atas pertolonganmu! Aku pergi...!" ujar gadis jelita itu agak lunak. Tubuhnya pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pandu hanya berdiri terpaku, tanpa tahu harus berbuat apa. Tangannya sudah siap menggapai tergantung diudara. Kata-kata cegahan yang sudah berada di ujung lidahnya, terpaksa ditelan kembali. Karena, ia tidak ingin mendapat makian lagi dari gadis galak itu.
"Hhh..." Pandu menghembuskan napasnya kuat-kuat. Tubuhnya disandarkan disebatang pohon dengan tatapan mata kosong. Tiba-tiba pemuda itu merasakan dunia begitu sunyi dan kosong. Semangat hidupnya mendadak lenyap bersama kepergian Dewi Baju Merah. Hatinya te- rasa sangat sakit mengingat, betapa gadis yang telah membetot seluruh jiwa dan perasaan cintanya justru membencinya. Mampukah ia menjalani hidup ini tanpa kehadiran si jelita di sisinya? Dan apa yang harus dilakukannya sekarang?
"Ohhh...," desah pemuda tampan itu, lirih. Perasaan hatinya yang patah semakin terungkap. Sepintas terbayang kedua orang tua dan adik perempuannya. Semakin berdarahlah luka di hati pemuda yang biasanya keras dan tabah dalam menjalani hidup itu. Tanpa disadari, rasa cinta telah membuatnya menjadi lemah dan cengeng.
Pada saat senja mulai menapak, Pandu bangkit dengan satu keputusan yang telah diambil. Ia bertekad untuk mencari kedua orang tua dan adiknya. Setelah itu, mungkin akan menyepi menemani gurunya di puncak Gunung Pancar. Pandu melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Hembusan angin senja yang sejuk mengiringi langkah kakinya.
********************
"Kita singgah dulu di desa itu, Kakang. Rasanya perutku sudah minta diisi," pinta seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. Wajahnya yang putih, nampak segar dengan sepasang pipi kemerahan. Mau tak mau, orang seperti tak puas-puasnya menikmati kejelitaannya itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang berjalan disebelahnya, menoleh sambil tersenyum lembut. Dari sepasang matanya, terpancar jelas sinar kasih yang dalam. "Ha ha ha.... Aku juga. Sejak tadi malam, perut kita memang belum kemasukan apa-apa," sahut pemuda berjubah putih itu tertawa ketika mendengar suara berkeruyuk dari perut gadis di sampingnya.
"Ih, tidak tahu malu!" omel gadis berbaju serba hijau itu sambil menepuk perutnya perlahan. Bibir gadis itu tampak segar kemerahan, namun seketika cemberut setelah mendengar tawa pemuda tampan yang semakin keras. Dicubitnya pangkal lengan pemuda itu dengan lagak manja.
Pemuda tampan itu bergegas menghindar dan berlari menjauhi. Namun ketika si gadis tidak mengejar, ia pun menghentikan larinya. Lalu, dihampirinya gadis jelita yang tengah membanting-banting kakinya karena kesal.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba mengaku salah. Dan hamba berjanji tidak akan mengulanginya lagi," ujar pemuda itu dengan mimik wajah yang lucu.
Sambil berkata demikian, pemuda itu membuat gerakan sebagaimana seorang abdi yang menghadap junjungannya. Tentu saja gadis itu menjadi geli dibuatnya. Namun, ia berusaha menahan ketawanya.
"Baiklah. Kesalahanmu kuampuni. Tapi kau harus menebusnya dengan membawaku ke kedai makan. Nah, laksanakan!" perintah gadis jelita itu dengan nada dibuat sungguh-sungguh.
"Baik, Tuan Putri." Setelah berkata demikian, si pemuda berjubah putih yang tak lain Panji itu, berkelebat cepat menyambar tubuh si gadis jelita.
"Ihhh...!" Gadis jelita yang sudah pasti Kenanga itu terpekik halus. Sepasang tangannya segera merangkul leher Panji. Karena saat itu juga tubuh pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih sudah melesat cepat menuju mulut desa. Beberapa puluh tombak sebelum mencapai mulut desa, Panji menghentikan larinya. Lalu, diturunkannya tubuh Kenanga sebelum mereka terlihat penduduk.
"Kau jahat, Kakang. Hampir saja jantungku copot," rengek Kenanga sambil memonyongkan mulutnya yang indah itu. Namun sinar matanya jelas memancarkan kebahagiaan yang dalam.
Panji tertawa lembut melihat wajah kekasihnya yang terlihat agak pucat. Mungkin gadis itu terkejut, karena gerakannya demikian cepat dan tak terduga. Tanpa berkata apa-apa lagi, diajaknya Kenanga memasuki desa.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga sudah duduk di sebuah kedai dan memesan makanan. Panji mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Saat itu pelayan sudah datang membawa pesanan mereka.
"Aden berdua bukan penduduk sekitar sini, rupanya," sapa si pelayan setengah berbisik sambil mengatur makanan di atas meja. "Sebaiknya selesai makan nanti, cepat-cepatlah meninggalkan desa ini."
"Eh! Mengapa, Paman?" tanya Panji seraya mengerutkan keningnya mendengar ucapan pelayan setengah baya yang terlihat agak pucat itu. Pemuda itu bertanya dengan suara rendah, sehingga tidak sampai terdengar orang lain. Karena dari suara pelayan itu, jelas tertangkap sesuatu yang tidak wajar.
Belum lagi pelayan itu sempat menjawab pertanyaan Panji, tiba-tiba terdengar suara yang berat dan kasar. Suara itu berasal dari seorang laki- laki tinggi besar berperut buncit.
"Cepat sediakan makanan yang paling enak dan dua guci arak!"
Sambil berkata demikian, pandangannya beredar ke seluruh ruangan kedai. Sepasang mata galak itu menyipit ketika melihat seraut wajah cantik jelita milik Kenanga. Kakinya yang sudah hendak melangkah, tampak meragu ketika melihat gadis jelita itu ditemani seorang pemuda berjubah putih.
Sementara itu, pemilik kedai makan dan pelayannya tengah sibuk menyiapkan pesanan lelaki tinggi besar berperut gendut itu. Wajah mereka nampak pucat dan agak gemetar. Sepertinya mereka sudah mengenal lelaki tinggi besar yang diiringi enam orang berseragam biru gelap itu.
Lelaki tinggi besar berperut gendut itu sudah melangkah ke meja yang berdekatan dengan Panji dan Kenanga. Enam orang lelaki berseragam biru gelap itu juga mengiringinya. Mata mereka bagai hendak melompat keluar ketika melihat wajah Kenanga. Tampak jakun mereka turun naik, menelan air liur ketika melihat wajah yang demikian cantik dan mempesona.
"Mana pesananku?! Cepat..!" teriak lelaki tinggi besar itu sambil menggebrak meja kuat-kuat
Brakkk!
Meja yang terbuat dari kayu murahan itu berderak dan bergetar keras. Untung orang itu memang tidak berniat mematahkannya. Kalau tidak, pasti sudah hancur berantakan dibuatnya.
Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh membawakan pesanan lelaki tinggi besar itu. Setelah meletakkan hidangan di atas meja, ia kembali masuk untuk mengambil dua guci arak yang diminta.
"Mari minum, Nisanak."
Sambil terkekeh menyebalkan, lelaki tinggi-besar itu menoleh ke arah Kenanga. Sedikit pun Panji tidak diliriknya. Padahal pemuda itu tepat berada di sampingnya. Namun Panji bersikap tenang, seolah-olah tidak mendengar ucapan orang itu. Pemuda itu tetap menikmati hidangannya tanpa merasa terganggu sedikit pun.
Kenanga yang memang sudah menduga kalau orang itu pasti akan mencari gara-gara, terpaksa menoleh dan menekan perasaannya. "Terima kasih. Aku tidak biasa minum arak," sahut Kenanga mencoba tersenyum ramah. Gadis jelita itu cepat-cepat memalingkan wajah, dan kembali meneruskan makannya. Hidangannya dinikmati lambat-lambat karena selera makannya telah lenyap atas kehadiran orang- orang kasar itu.
Lelaki tinggi besar berperut gendut itu menoleh ke arah enam orang kawannya yang tertawa terbahak-bahak. Selebar wajahnya menjadi merah karena merasa dipermalukan di depan mereka.
"Kakang, aku yakin gadis jelita itu sebenarnya bersedia menerima tawaranmu. Hanya saja cara kau menawarkan tadi salah," salah seorang kawannya yang berwajah bopeng memanas-manasi.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya lelaki tinggi besar itu menahan kegeramannya.
"Seharusnya Kakang tarik saja. Aku rasa gadis jelita itu pasti tidak akan menolak. Dan soal kawannya, biarlah kami yang akan mengurusnya," sahut orang berwajah bopeng itu setengah berbisik sambil menggerak-gerakkan alis matanya.
Meskipun pembicaraan orang-orang kasar itu tidak terlepas dan pendengaran Panji, namun pemuda berjubah putih itu tetap tenang saja meneruskan makannya. Karena sekali pandang saja, ia tahu kalau orang-orang itu tidak dapat berbuat banyak terhadap kekasihnya. Sehingga, nasib Kenanga rasanya tidak perlu dikhawatirkan lagi. Saat itu si lelaki tinggi besar sudah bangkit dan menghampiri Kenanga. Dengan lagak menyebalkan, tangannya diulurkan dengan maksud mengelus pipi Kenanga.
"Ayolah, Manis. Tidak usah malu-malu," ucapnya seraya terkekeh.
Kenanga yang melihat gerakan orang itu melalui sudut mata, menjadi marah bukan main. Selebar wajahnya menjadi merah melihat sikap kurang ajar orang itu. Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat mata, tangan kiri gadis itu melayang ke arah pipi si lelaki tinggi besar yang tidak sempat menghindar.
Plakkk!
Lelaki tinggi besar itu menjerit keras. Tubuhnya langsung terpelanting, jatuh menimpa meja tempat keenam orang kawannya berada. Meja itu hancur berantakan. Sedangkan keenam lelaki berseragam biru gelap sudah melompat berpencar.
"Bangsat! Perempuan sundal! Kau harus membayar mahal perbuatanmu ini!" bentak lelaki tinggi besar itu kalap. Wajahnya yang hitam dan berkulit kasar tampak membengkak. Tangan kanannya berkelebat mencabut golok besar yang terselip di pinggangnya.
Demikian pula dengan keenam orang lainnya. Mereka sudah bergerak mengepung Kenanga dengan senjata terhunus. Meskipun demikian, wajah mereka tampak bingung. Mereka memang tidak tahu, apa sebenarnya yang dilakukan gadis itu terhadap lelaki tinggi besar yang memang pemimpin mereka. Namun melihat sikap dan wajah pemimpinnya yang bengkak, jelas kalau gadis jelita itu telah menyerangnya.
"Kenanga, mari kita keluar!" seru Panji. Pendekar Naga Putih langsung melompat melalui jendela di sebelah kirinya yang terbuka lebar. Perbuatan pemuda itu diikuti Kenanga. Mereka memang sadar, kalau pertarungan yang akan terjadi bisa merusak seluruh isi ruangan kedai itu.
"Mau lari ke mana kau, Perempuan Liar!" bentak lelaki tinggi besar itu sambil melompat mengejar.
"Hati-hati, Kakang Wangga! Nampaknya mereka bukan orang sembarangan," salah seorang dan keenam lelaki berpakaian biru gelap itu memperingatkan pemimpinnya. Tubuhnya sudah melesat, diikuti lima orang lainnya.
Begitu tiba di luar, ketujuh laki-laki telengas itu tertegun. Gadis jelita yang diduga hendak melarikan diri, ternyata telah berdiri bertolak pinggang seperti menanti kedatangan mereka. Sedangkan pemuda berjubah putih itu nampak berdiri tenang dekat sebatang pohon. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kekhawatiran meskipun Kenanga sudah dikepung lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki tinggi besar itu sudah melompat disertai ayunan goloknya mengancam leher Kenanga. Rupanya ia benar-benar marah karena dipermalukan di depan kawan-kawannya. Tekadnya, leher gadis itu harus putus dengan sekali serang.
Enam orang kawannya pun sudah menerjang dari segala arah. Senjata-senjata mereka terayun dan menusuk keseluruh bagian tubuh Kenanga. Dua orang diantaranya, telah mengayunkan pedang disertai cengkeraman kearah dada gadis berpakaian serba hijau itu. Namun sayang, yang kali ini mereka hadapi bukan seorang gadis sembarangan. Dia adalah seorang dara digdaya, murid Raja Pedang Pemutus Urat. Hampir seluruh kepandaian tokoh sakti itu telah dikuasainya. Apalagi setelah melakukan perjalanan bersama Panji, yang tidak pernah bosan memberi petunjuk-petunjuk untuk menyempurnakan kepandaiannya. Maka sudah pasti kemajuan yang didapat sangatlah pesat
Maka dalam menghadapi keroyokan tujuh orang laki-laki kasar itu, Kenanga sama sekali tidak gugup. Gadis jelita itu berdiri tenang sambil tersenyum manis. Sedikit pun tidak ada hasrat untuk menggunakan pedangnya. Karena gerakan orang-orang itu sudah dapat diukur, sampai di mana kepandaian yang dimiliki lawan-lawannya. Ketika sambaran golok lelaki tinggi besar itu tiba, Kenanga melangkah ke kanan. Maka, sambaran golok yang mengarah lehernya itu pun luput. Kemudian, tubuhnya direndahkan menghindari dua buah sambaran pedang lain. Berbarengan dengan gerakan itu, kedua tangannya bergerak melakukan sodokan siku ke arah dua orang yang membacok dari belakang.
Wuuut! Wuuut! Dugkh! Bughk!
Dua orang pembokong itu berteriak keras. Tubuh mereka terpental ke belakang, lalu terbanting jatuh dengan dada serasa remuk akibat sodokan siku gadis itu. Dari sudut bibir mereka tampak mengalir cairan merah. Jelas sekali kalau hantaman itu sangat keras. Akibatnya untuk beberapa saat kedua orang itu tidak mampu bangkit. Sedangkan dua pengeroyok lain yang melancarkan bacokan sambil bermaksud meremas buah dada Kenanga, dihadapinya dengan egosan ke arah kiri. Kemudian secara berbarengan kaki dan tangannya bergerak melancarkan pukulan dan tendangan. Gerakan yang demikian cepat dan tak terduga itu, membuat kedua lawan Kenanga tercekat dan tak sempat mengelak.
Desss! Jrottt!
Keduanya terbanting roboh akibat pukulan dan tendangan yang sangat keras itu. Yang seorang merintih kesakitan sambil menekap wajahnya yang berdarah akibat pukulan keras gadis itu. Ketika meludah, yang keluar adalah cairan merah, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sedangkan yang seorang lagi, bergulingan sambil memegangi perutnya yang terkena tendangan Kenanga. Orang itu merintih-rintih tanpa mampu bangkit kembali.
Wuuut! Wuuut!
Kenanga menggeser kakinya tiga langkah ke belakang menghindari sambaran senjata dua orang lainnya. Tangan dan kakinya kembali melancarkan serangan balasan, namun cepat ditarik pulang kembali. Karena saat itu, golok si tinggi besar kembali menyambar ke arah perut
Wuuuk!
Gadis jelita itu melompat ke atas, lalu berputaran menghindari sambaran golok lawan. Selagi tubuhnya berputar, kedua tangannya melancarkan tamparan ke pelipis dua orang berpakaian biru gelap yang berada di bawah. Tubuh kedua orang itu pun terbanting pingsan diiringi jerit kesakitan.
"Bangsat! Kubunuh kau, Setan Betina!" maki lelaki tinggi besar itu. Dia benar-benar murka melihat enam orang kawannya sudah tergeletak tak berdaya. Golok di tangannya menyambar dan menusuk berkali-kali. Kemurkaannya semakin menjadi-jadi, karena serangan goloknya selalu saja dapat dielakkan gadis itu secara mudah.
"Haiiit...!"
Setelah lewat lima jurus, Kenanga berteriak nyaring disertai gerakan tubuhnya yang menyelinap di antara serangan golok lawan. Kedua tangannya langsung melancarkan pukulan dan tamparan. Tamparan tangan kanannya meluncur deras mengarah pelipis, sedangkan tangan kirinya memukul dada lawan.
Plakkk! Bugkh!
Tamparan dan pukulan keras itu tepat menghantam sasarannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki tinggi besar itu melintir dan langsung ambruk ke tanah. Pingsan. Dari mulutnya, mengalir darah segar. Sedangkan pelipisnya tampak membengkak. Kenanga memang tidak berniat membunuh lawan-lawannya, sehingga tidak mengeluarkan tenaga sepenuhnya saat bertarung. Kenanga berdiri tegak menatapi lawan-lawannya. Tiga orang, termasuk lelaki tinggi besar itu tergeletak pingsan. Sedangkan empat orang lainnya menatap gadis jelita itu dengan wajah pucat. Sesekali masih terdengar suara rintihan dari mulut mereka.
Panji melangkah tenang menghampiri orang-orang itu. Terlebih dahulu, diperiksanya tiga orang yang pingsan. Kemudian didekatinya empat orang lainnya yang masih merintih kesakitan.
"Hm..„ Siapa sebenarnya kalian? Dan apa yang kalian lakukan di desa ini?" tanya Pendekar Naga Putih dengan sorot mata tajam. Pemuda tampan ini mulai curiga. Dan memang, mungkin saja ketujuh orang itu ada hubungannya dengan nasihat pelayan kedai yang menyuruhnya cepat- cepat meninggalkan desa itu. Jiwa kependekaran Panji seketika tergerak untuk menyelidiki, apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa ini.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar.... Kami..., kami tidak tahu apa-apa..," sahut salah seorang dari mereka dengan wajah yang semakin pucat. Sedangkan tiga orang lainnya menundukkan kepala, seolah-olah takut dengan pertanyaan pemuda tampan itu.
"Kalian akan kubebaskan, asal menceritakan siapa sebenarnya kalian? Dan apa yang tengah terjadi di desa ini? Kalau tidak, maka terpaksa kalian akan kukirim ke akhirat!" ancam Panji yang menjadi semakin curiga. Jelas, rasa takut mereka bukan ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.
Mungkin ada sesuatu yang lebih hebat dan sangat mereka takuti. Tentu saja hal itu membuat Panji semakin ingin mencari jawabnya. Mendengar ancaman pemuda itu yang sepertinya tidak main-main, wajah keempat orang itu terlihat semakin pucat dan gelisah. Beberapa kali mereka menoleh ke kiri-kanan, seperti ada yang ditakuti.
"Hm.... Rupanya kalian lebih suka mati daripada menjawab pertanyaanku! Baiklah kalau itu yang kalian inginkan!" ujar Pendekar Naga Putih, siap membuktikan kata-katanya.
"Ampunkan kami... Ampunkan kami..., kami akan menga."
Belum lagi kata-kata orang itu selesai, terdengar suara berdesing halus. Pendekar Naga Putih, yang pendengarannya sudah sangat tajam, cepat bergerak. Sambil berbalik, tangan kanannya dikibaskan dengan pengerahan tenaga dalam. Terdengar suara berdenting ketika senjata rahasia yang berupa paku-paku berwarna hitam berjatuhan ke tanah. Panji yang berhasil menyampok runtuh paku-paku itu langsung tersentak kaget ketika mendengar teriakan ngeri di belakangnya.
"Biadab!" maki Panji gusar. Hati Pendekar Naga Putih menjadi marah melihat empat orang berseragam biru gelap itu sudah tergeletak tak bernyawa. Pada kening mereka masing- masing tertancap dua batang paku beracun.
"Kakang!" teriak Kenanga.
Saat itu, Kenanga melihat tubuh kekasihnya sudah berkelebat ke depan. Samar-samar gadis jelita itu sempat menangkap tiga sosok bayangan yang melarikan diri ke arah semak-semak. Hatinya merasa khawatir mengingat orang-orang itu menggunakan senjata rahasia yang mengandung racun ganas. Kenanga berpaling kepada tiga sosok tubuh yang semula tergeletak pingsan. Gadis jelita itu menghela napas kecewa karena tubuh orang-orang itu mulai kehitaman. Jelas, mereka telah tewas. Dan pada kening masing-masing telah menancap dua batang paku beracun. Dengan perasaan geram, disimpannya pedang yang tadi digunakan untuk menghalau paku-paku beracun. Rupanya bukan hanya Panji yang mendapat serangan gelap itu. Kenanga pun mengalami hal serupa.
"Uruslah ketujuh mayat ini baik- baik. Jangan takut. Aku yang akan bertanggung jawab atas kejadian ini," ujar Kenanga kepada penduduk desa yang berkerumun di tempat itu.
Meskipun agak takut-takut, para penduduk desa segera melaksanakan perintah gadis jelita itu. Tak berapa lama kemudian, Panji pun muncul seorang diri. Pemuda itu melangkah lesu dengan wajah kecewa.
"Bagaimana, Kakang? Kau tidak berhasil menangkap ketiga orang pembunuh itu?" tanya Kenanga, menyongsong kedatangan Panji.
"Tidak. Selain gerakan mereka cukup cepat, kebun itu pun banyak ditumbuhi semak-semak liar. Sehingga aku kehilangan jejak," sahut Panji sambil menggerakkan bahunya. "Hei? Apakah ketiga orang yang pingsan itu juga tewas?" Pemuda itu mengerutkan keningnya. Pendekar Naga Putih memang curiga ketika melihat para penduduk sibuk mengangkat tubuh ketujuh orang itu.
"Begitulah, Kakang. Salah seorang dari penyerang gelap itu melemparkan senjata rahasia kepadaku dan juga kepada ketiga orang yang tengah tergeletak pingsan itu. Meskipun aku berhasil menyelamatkan diri, namun ketiga orang itu dapat mereka bunuh," jawab Kenanga,singkat. Sepertinya, gadis itu merasa menyesal atas tewasnya ketiga orang yang mungkin akan dapat memberikan keterangan. Dan kini, mereka terpaksa harus menyelidikinya sendiri.
"Tapi, bagaimana mereka tahu kalau ketiga orang itu hanya pingsan?" tanya Panji heran.
"Aku yakin, mereka tidak tahu tentang hal itu, Kakang. Mungkin hanya berjaga-jaga saja. Sepertinya, para penyerang gelap itu takut kalau rahasia mereka terbongkar," jelas Kenanga yang membuat pemuda berjubah putih itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Hm.... Kita harus menyelidiki hal ini, Kenanga. Kita harus tahu, apa yang menyebabkan penyerang gelap itu membunuhi mereka. Sayang, ketujuh orang itu keburu tewas sebelum bisa kita korek keterangannya. Entah dari mana kita harus memulainya?" ujar Panji, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri.
Kematian ketujuh orang itu, membuat pemuda ini semakin penasaran. Pendekar Naga Putih bertekad akan menyelidiki rahasia di balik semua kejadian yang baru saja dialaminya itu. Kenanga termenung dan melangkah bolak-balik untuk mencari keputusan memulai penyelidikan. Ternyata bukan hanya Panji saja yang merasa tertarik atas kejadian aneh penuh rahasia itu. Hati gadis jelita ini rupanya sudah tergerak untuk mengungkapnya.
"Hai!" Tiba-tiba saja gadis jelita berpakaian serba hijau itu menjentikkan jarinya dengan wajah berseri. Langkahnya berhenti, lalu menatap Panji dengan sepasang mata berbinar.
"Ada apa? Kau sudah mendapat jawabannya?" tanya Panji memandangi wajah kekasihnya penuh harap. Tentu saja Pendekar Naga Putih menjadi gembira melihat Kenanga. Wajahnya jelas-jelas menggambarkan kalau gadis itu telah menemukan jawaban
"Bagaimana kalau kita kembali ke kedai tadi, Kakang? Perutku masih terasa lapar. Aku tidak sempat menikmati hidanganku, karena ketujuh orang tadi telah membuat selera makanku hilang. Ayolah kita kembali ke sana, Kakang," ajak gadis jelita itu sambil menarik tangan Panji dengan manja.
"Ah! Kau ini ada-ada saja, Kenanga. Kukira kau sudah menemukan jawaban agar penyelidikan kita dimulai. Eh, tak tahunya hanya soal perut," keluh Panji sambil tersenyum melihat kegembiraan kekasihnya. Meskipun agak kecewa, tapi hatinya merasa senang melihat kegembiraan yang terpancar di wajah jelita itu.
"Tenang saja, Kakang. Kujamin kita pasti segera dapat memulai penyelidikan ini. Dan bukan tidak mungkin kalau akan langsung menemukan jawabannya tanpa harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu," sahut gadis jelita itu tersenyum penuh rahasia.
"Hei? Jadi kau benar-benar sudah mendapatkan jawabannya? Tapi, mengapa tidak segera kau katakan padaku?" hati Panji semakin penasaran terhadap tingkah kekasihnya yang seperti sengaja menggoda.
"Hi hi hi..! Kau tidak sabar amat, sih?" ledek Kenanga malah menertawakan kekasihnya.
"Ah! Kau nakal, Kenanga. Senang ya, melihat aku kebingungan seperti orang tolol?" Sambil berkata demikian, Panji mencubit pipi kekasihnya yang halus dan lembut bagai sutra. Hati pemuda itu menjadi gemas karena Kenanga belum juga mau memberitahukan apa yang telah didapatnya itu.
"Ihhh! Kakang genit, ah! Tidak malu ya, dilihat orang banyak?" Meskipun berkata demikian, tapi jelas gadis itu sangat gembira. Karena, cubitan Panji sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan terasa kalau bukan dicubit, melainkan malah lebih tepat dikatakan sebagai belaian. Hal itu tentu saja mendatangkan perasaan tersendiri yang tak dapat diukur nikmatnya.
"Biar saja," sahut Panji membandel. "Mereka pasti merasa iri denganku, sebab hanya dapat mencubit wajahmu dalam mimpi. Sedangkan aku dapat mencubit, bahkan membelainya secara nyata. Malah aku yakin, kau akan minta tambah."
"Uh, enak saja! Siapa yang sudi minta tambah cubitan. Kau pikiraku sudah tidak waras?" rungut gadis jelita itu seraya memonyongkan bibirnya berpura-pura marah.
"Justru karena masih waras, maka kau minta dicubit lagi. Tapi, aku juga tidak akan menolak bila diminta?" sahut Panji tersenyum.
Kenanga tidak menanggapi ucapan Panji. Tanpa berkata apa-apa, tangan gadis itu sudah bergerak mencubit pinggang kekasihnya hingga pemuda itu agak meringis juga. Tentu saja Kenanga tahu kalau itu hanya pura-pura. Sebab cubitannya memang tidak menyakitkan. Canda keduanya terhenti ketika tiba di depan pintu kedai. Mereka bergegas masuk. Kenanga langsung mengulapkan tangannya memanggil pelayan. Gadis jelita itu hanya memesan teh hangat dan penganan kecil, karena memang tidak sungguh-sungguh untuk makan. Tak berapa lama kemudian, pelayan itu pun sudah kembali membawa pesanan Kenanga.
"Sebentar, Paman!" cegah Kenanga ketika pelayan itu hendak melangkah meninggalkan mereka.
"Ada apa, Ni sanak?" tanya pelayan berusia setengah baya itu seraya mengerutkan keningnya. Dia memang mengenali kalau kedua orang muda itu adalah tamu yang datang kekedainya tadi. Dia memang sempat menyaksikan sewaktu Kenanga dan Panji berkelahi, sehingga mampu mengalahkan ketujuh orang lelaki kasar yang mengganggu gadis itu.
"Duduklah bersama kami, Paman. Kami ingin menanyakan sesuatu," ujar Kenanga lagi.
Setelah menoleh ke sekitar ruangan yang sepi karena tidak ada pengunjung lain, barulah lelaki setengah baya itu menuruti ajakan Kenanga. "Apa yang ingin Ni sanak tanyakan? Apa tidak sebaiknya Ni sanak dan Kisanak meninggalkan Desa Kemang ini? Apalagi setelah terjadinya keributan tadi, tentu kawan-kawan mereka tadi akan mencari kalian berdua. Dan itu sangat berbahaya," kata pelayan setengah baya ini merendahkan suaranya hingga terdengar agak berbisik.
"Justru itulah yang menyebabkan kami kembali ke kedai ini, Paman. Sepertinya Paman telah mengenal mereka? Dapatkah kami minta keterangan tentang mereka?" Tanpa basa-basi lagi, Kenanga langsung saja menanyakan ke pokok masalahnya. Sedangkan Panji hanya mengangguk-angguk, karena baru mengerti mengapa Kenanga mengajaknya ke kedai tempat mereka pertama kali singgah tadi.
"Tapi..., berbahaya sekali, Ni sanak.Aku... aku..."
"Ceritakan saja, Paman. Dan kami akan menjamin keselamatanmu," Panji buru-buru memotong ucapan pelayan itu ketika melihat wajah lelaki setengah baya itu nampak pucat dan ketakutan.
"Benar. Ceritakanlah, Paman. Jangan takut Kami berjanji akan melindungi Paman sekeluarga," timpal Kenanga, untuk meyakinkan orang tua itu.
"Baiklah. Aku akan menceritakannya," sahut laki-laki setengah baya itu seraya menarik napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya. Sedangkan kedua orang muda itu menanti dengan sabar. Setelah terlebih dahulu memperhatikan keadaan sekeliling kedai, maka pelayan itu pun mulai bercerita.
"Pada mulanya Desa Kemang ini merupakan desa yang aman dan tenteram," pelayan setengah baya yang mengaku bernama Ki Dampit itu memulai ceritanya. "Tapi, semenjak enam bulan yang lalu, keadaan berubah total. Para penduduk tidak lagi dapat menikmati hasil panennya, karena hampir seluruh hasil panen dirampas gerombolan pendatang yang rata-rata berkepandaian silat dan bertampang bengis. Kepala desa kami, Ki Dawur Soka, mencoba melakukan perlawanan. Sayang, orang-orang yang dipimpin Ki Jampala itu terlampau kuat. Sehingga Ki Dawur Soka dan para pembantunya tidak mampu untuk mengusir orang-orang jahat itu, sehingga mereka tewas di tangan tiga orang kepercayaan Ki Jampala, yang belakangan kami ketahui sebagai Tiga Setan Muara Gandul."
Sebentar Ki Dampit yang sebenarnya pemilik kedai makan itu, menghentikan ceritanya. Sedangkan Kenanga dan Panji mendengarkan penuh perhatian. Sesekali terdengar helaan napas mereka, seperti menahan kegeraman. Namun mereka tidak mau memotong cerita laki-laki setengah baya itu.
"Setelah kepala desa kami tewas, Ki Jampala mengangkat dirinya sebagai Kepala Desa Kemang ini. Sedangkan ketujuh orang yang berkelahi dengan ka- lian tadi, adalah para pengikutnya yang bertugas memunguti pajak dari para penduduk desa. Apalah daya kami yang hanya orang-orang lemah ini? Kami hanya bisa pasrah kepada nasib," Ki Dampit mengakhiri ceritanya dengan helaan napas sedih.
Panji dan Kenanga saling bertukar pandang sejenak. Kedua pendekar digdaya itu turut merasakan penderitaan yang dialami Ki Dampit dan para penduduk lainnya. Dari pertukaran pandang yang hanya sekejap itu, mereka seperti telah bersepakat untuk menyelamatkan penduduk Desa Kemang dari penderitaan yang selama ini dialami mereka.
"Hm.... Berapa banyakkah kira-kira para pengikut Ki Jampala itu, Paman?" tanya Panji yang sudah memutuskan untuk menumpas kejahatan di Desa Kemang ini.
"Sebenarnya para pengikut Ki Jampala ini tidak terlalu banyak. Selain Ki Jampala dan Tiga Setan Muara Gandul, masih ada lagi sekitar dua puluh orang anak buahnya. Tapi, kudengar Ki Jampala masih mempunyai pimpinan lain yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Bahkan Gusti Adipati Kerta Lungga pun tidak berani mengusiknya. Sehingga hampir seluruh desa yang berada di bawah kekuasaan adipati itu, jatuh ke tangan orang yang kalau tidak salah berjuluk Biang Iblis Tan- gan Hitam. Jadi, kalau boleh aku nasihatkan, sebaiknya tinggalkanlah desa ini. Sebab aku yakin sebentar lagi, orang-orang Ki Jampala akan datang untuk mencari kalian berdua," pesan Ki Dampit mengakhiri jawabannya. Rupanya lelaki setengah baya itu tidak tega kalau sampai kedua orang yang telah menimbulkan rasa suka di hatinya akan mendapat celaka.
Panji dan Kenanga merasa terharu atas perhatian orang tua itu. Dan hal itu justru membuat tekad mereka semakin kuat untuk membela penduduk Desa Kemang dengan taruhan nyawa. Sebab sebagai pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, mereka berkewajiban untuk menumpas segala bentuk kejahatan di muka bumi ini. Setelah mendapat keterangan tentang letak kediaman Ki Jampala, Panji dan Kenanga segera berpamitan kepada orang tua itu.
"Terima kasih atas nasihat yang Paman berikan kepada kami berdua. Tapi biar bagaimanapun, kami akan mencoba untuk membebaskan penduduk Desa Kemang ini dari tekanan Ki Jampala dan para begundalnya itu. Kami mohon pamit, Paman," pamit Panji setelah terlebih dahulu membayar harga makanan.
Ki Dampit memandangi kepergian kedua orang muda itu dengan pandangan haru. Hatinya benar-benar tersentuh melihat keikhlasan Panji dan Kenanga yang rela berkorban demi kepentingan penduduk Desa Kemang. Diam-diam orang tua itu berdoa agar kedua anak muda yang digdaya itu dilindungi Yang Maha Kuasa. Orang tua itu mengerjap-ngerjapkan matanya yang mendadak basah. Keharuan dan kekhawatiran telah membuat Ki Dampit menjadi cengeng. Dihapusnya air mata itu dengan punggung tangan, kemudian melangkah masuk setelah kedua anak muda itu lenyap dari pandangannya.
********************
ENAM
Ketika matahari sudah semakin bergeser ke Barat, Panji dan Kenanga telah tiba di depan sebuah bangunan besar dan cukup megah.
"Hm.... Belum pernah kutemukan seorang kepala desa yang memiliki kediaman sebesar dan sebagus ini. Ki Jampala tak ubahnya seorang raja kecil yang bergelimang kemewahan dari hasil memeras keringat rakyatnya," desah Panji yang menjadi geram melihat keadaan Ki Jampala yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan penduduk Desa Kemang.
"Ya! Orang-orang seperti Ki Jampala itu harus kita basmi, Kakang. Mudah-mudahan penduduk Desa Kemang kembali dapat merasakan ketenteraman dan kehidupan yang lebih layak," sahut Kenanga dengan nada yang bercampur tekanan amarah. Hati kewanitaannya benar-benar tersentuh melihat kehidupan penduduk Desa Kemang yang rata-rata miskin akibat kekejaman orang yang bernama Ki Jampala itu.
"Hei?! Siapa kalian? Mau apa berdiri di situ?" tegur salah seorang penjaga.
Penjaga itu memang sejak tadi curiga melihat kedua orang muda itu berdiri memandangi rumah kepala desanya. Kemudian, dihampirinya Panji dan Kenanga. Seorang penjaga lain tampak ikut menyertai pula. Belum lagi kedua orang penjaga ini sempat mendekat, tiba-tiba terdengar bentakan yang disusul berlompatannya belasan sosok tubuh berpakaian biru gelap.
"Tangkap kedua orang pengacau itu!"
Baik Panji maupun Kenanga, menjadi terkejut mendengar bentakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Keduanya bergerak saling membelakangi dan mengedarkan pandangan ke arah para pengepung yang dipimpin tiga orang berseragam hitam. Salah seorang dari ketiga orang berseragam hitam itu melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya ke wajah Panji.
"Hm.... Rupanya kau benar-benar hendak mencari penyakit, Anak Muda!" ujar orang itu dengan suara mengandung ancaman. Sepasang matanya menyiratkan hawa membunuh.
"Hm.... Kalian rupanya yang melemparkan paku-paku beracun tadi!" kata Panji begitu mengenali pakaian yang dikenakan orang itu. Saat itu juga, Pendekar Naga Putih langsung dapat menduga kalau mereka pasti Tiga Setan Muara Gandul, seperti yang diceritakan Ki Dampit.
"Benar! Aku dan kedua orang saudaraku itulah yang telah memberi peringatan kepada kalian. Tapi, kalau kedatanganmu kemari hendak menyerahkan bidadari jelita itu, mungkin kami akan mempertimbangkannya. Bahkan mungkin Ki Jampala bisa mengampuni perbuatanmu tadi," kata salah seorang dari Tiga Setan Muara Gandul itu sambil menatapi sekujur tubuh Kenanga.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan orang itu, seketika merah selebar wajah Kenanga. Kata-kata yang sudah jelas mengandung niat kotor itu, membuat gadis jelita ini segera melolos pedangnya.
Srettt!
"Hei! Setan jelek! Sadarkah kalau ucapanmu itu telah cukup mengantarmu ke akhirat!" bentak Kenanga berang. Setelah berkata demikian, terdengar suara mengaung dahsyat yang ditimbulkan putaran Pedang Sinar Rembulan di tangan gadis jelita itu.
"Haiiit..!" Disertai bentakan nyaring, tubuh gadis jelita berpakaian hijau itu sudah melompat dan menerjang orang itu.
Wuuut!
Orang tertua dari Tiga Setan Muara Gandul, melompat jauh menghindari sambaran pedang Kenanga. Dan tahu-tahu saja, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang pada kedua sisinya bergerigi. Dari badan pedang yang nampak mengkilat itu, bisa ditebak kalau pedang itu mengandung racun jahat. Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab Tiga Setan Muara Gandul dikenal sebagai tokoh sesat yang ahli menggunakan berbagai jenis racun. Itu pula yang membuat ketiga orang itu sangat ditakuti tokoh rimba persilatan.
Namun hal itu sama sekali tidak membuat Kenanga gentar. Meskipun bukan seorang ahli dalam soal racun, namun sedikit banyak ia sudah mengenal jenis-jenis racun. Memang hal itu tidak mengherankan. Sebab Pendekar Naga Putih adalah seorang yang cukup pandai dalam hal pengobatan. Apalagi sejak dibimbing Raja Obat. Tentu saja pemuda berjubah putih itu semakin bertambah kemajuannya dalam soal pengobatan dan racun. Dalam perantauannya, pemuda itu tak lupa memberi bimbingan kepada Kenanga, gadis yang dicintainya itu. Hal itu pulalah yang menyebabkan Kenanga tidak merasa gentar meskipun lawannya adalah seorang ahli racun.
"Kakang Badra, biar aku yang menghadapi gadis itu," pinta orang termuda dari Tiga Setan Muara Gandul yang segera mencabut senjatanya. Bentuk senjatanya sama dengan yang dipegang orang yang dipanggil Badra itu.
"Hm.... Hati-hatilah, Adi Sugra. Nampaknya gadis jelita itu memiliki kepandaian lumayan," ujar Badra menasihati Sugra yang merupakan orang termuda di antara mereka bertiga.
"Jangan khawatir, Kakang, Aku pasti dapat menundukkan gadis jelita itu," sahut Sugra sombong. Sambil melangkah maju, lelaki muda berusia tiga puluh tahun itu menyeringai. Otaknya membayangkan kalau-kalau akan dapat mengelus-elus kulit yang putih halus itu. Sugra tidak menunggu lama. Saat itu juga tubuhnya sudah melompat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan serangan
Wuuut!
Pedang yang pada kedua sisinya terdapat gerigi itu berkelebat menyambar tubuh Kenanga. Sedangkan tangan kirinya bergerak hendak mencengkeram buah dada gadis itu.
Kenanga marah bukan main melihat serangan yang dilakukan Sugra. Selebar wajahnya memerah menahan malu dan geram. Saat itu juga pedang di tangannya berkelebat, memapak serangan lawan. Dalam kemarahannya, gadis jelita itu sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 'Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga'.
Wuuut! Wuuut!
Sebentuk sinar putih keperakan bergulung-gulung menimbulkan deru angin keras. Sinar pedang gadis jelita itu bergerak menukik dengan kecepatan menggiriskan.
Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua batang pedang yang digerakkan tenaga dalam kuat saling berbenturan menimbulkan percikan bunga api di udara. Akibatnya, Sugra terjajar mundur disertai pekikan kagetnya. Ternyata benturan itu membuat lengannya terasa linu dan nyeri. Tokoh termuda Tiga Setan Muara Gandul itu benar-benar dibuat terkejut oleh kekuatan tenaga dalam lawan
Saat itu Pedang Sinar Rembulan yang sempat tertahan benturan pedang lawan, sudah bergerak berputar menyambar leher Sugra. Tentu saja tokoh sesat berusia tiga puluh tahun itu semakin terkejut. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bersalto di udara.
Wuuut!
"Ahhh...!" Sugra hampir tidak mempercayai pandang matanya. Karena meskipun sudah melompat jauh kebelakang, ternyata sinar putih keperakan itu masih saja mengejarnya. Terpaksa tubuhnya harus bergulingan untuk menyelamatkan nyawanya dari kejaran pedang gadis itu.
Wuuut! Brettt!
Tokoh sesat berusia tiga puluh tahun itu berusaha mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran pedang Kenanga. Namun akhirnya dia tak kuasa lagi menghindar. Meskipun masih bisa menyelamatkan lehernya, namun tak urung bahu kanannya terserempet mata pedang lawan. Diiringi jerit kesakitan, Sugra melempar tubuhnya dan terus bergulingan. Untunglah saat itu, lima orang berseragam biru gelap telah melompat dan menyelamatkan nyawanya dari kejaran sinar putih keperakan.
Trangngng! Trangngng!
Dua prang pengeroyok yang pedangnya tertangkis gadis jelita itu langsung terdorong dengan wajah pucat. Gerakan Kenanga yang demikian kuat dan cepat itu, telah membuat dua orang pengeroyok terbelalak. Ternyata senjata di tangan mereka telah patah menjadi dua bagian.
Sedangkan sambaran tiga batang pedang lainnya, berhasil dihindari dengan merendahkan tubuhnya. Begitu sambaran pedang ketiga orang pengeroyok itu lewat mendadak tubuh gadis jelita itu melenting dan berputar melewati kepala tiga orang pengeroyoknya. Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika sinar putih keperakan berkelebat menyambar punggung tiga orang pengeroyok itu. Mereka langsung ambruk, dan tewas seketika.
"Gila!" teriak Sugra yang matanya semakin terbuka lebar. Sama sekali tak disangka kalau gadis jelita itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam kegentaran mulai menyelimuti hati orang termuda dari Tiga Setan Muara Gandul ini
"Hei?! Ayo, kepung gadis setan itu!" teriak Sugra kalap.
Mendengar teriakan pemimpinnya, delapan orang berseragam biru gelap itu segera berlompatan mengurung Kenanga. Dan tanpa menunggu perintah lagi, langsung diterjangnya gadis jelita itu. Maka Kenanga juga segera menyambut serangan lawan-lawannya.
Pertarungan pun berlangsung semakin seru. Kenanga yang dikeroyok sembilan orang lawan semakin mengamuk hebat Pedang Sinar Rembulannya bergulung dan menyambar-nyambar menggiriskan. Sehingga meskipun dikeroyok banyak lawan, namun gadis jelita itu malah dapat berada di atas angin.
Saat itu pertarungan di tempat lain pun sudah berlangsung sengit. Panji yang menghadapi keroyokan dua di antara Tiga Setan Muara Gandul, dan ditambah tujuh orang berseragam biru gelap, bergerak bagaikan bayangan hantu. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara sambaran-sambaran senjata lawan. Dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, selalu saja ada tubuh lawan yang terpental tanpa mampu bangkit lagi. Tentu saja hal itu membuat para pengeroyoknya menjadi kaget dan sekaligus gentar.
Bukkk! Desss!
Kembali dua orang pengeroyok menjerit ngeri. Tubuh mereka jatuh berdebuk dan pingsan seketika itu juga. Untunglah pemuda itu tidak sembarangan menjatuhkan tangan kejam. Pukulan dan tendangannya memang tidak sampai menewaskan lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul menjadi kalap ketika melihat anak buahnya dijatuhkan pemuda itu dengan mudah. Dibarengi teriakan nyaring, keduanya melompat sambil membacokkan pedang ke leher dan perut Panji.
Wuuut! Wuuuk!
Panji menggeser tubuh ke kanan menghindari bacokan pada lehernya. Sedangkan bacokan pada perut ditepis oleh telapak tangan terbuka hingga senjata itu menyeleweng dan hampir membentur senjata Badra yang masih mengapung di udara. Tentu saja kedua orang itu menjadi terkejut dan berusaha menarik pulangsenjatanya.nBelum lagi hilang rasa terkejut mereka, saat itu kaki Pendekar Naga Putih mencelat naik menghantam rusuk salah seorang dari kedua Tiga Setan Muara Gandul.
Bugkh!
"Hugkh...!" Tubuh Longgata, orang kedua dari Tiga Setan Muara Gandul, terpelanting keras hingga menabrak tubuh Badra yang berada di sebelah kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun tersuruk jatuh saling tindih.
Pemandangan yang dapat menggelitik perut itu tidak sempat dinikmati Pendekar Naga Putih. Karena saat itu, empat orang berseragam biru gelap telah mengayunkan senjata dari empat penjuru. Melihat serangan itu Panji sama sekali tidak bergerak menghindar. Kaki kanannya bergerak ke depan membentuk kuda-kuda serong, dan sangat rendah. Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya yang terbuka bergerak ke kiri dan ke kanan, langsung menghantam dada dua orang penyerangnya. Kedua orang itu langsung terpelanting diiringi jerit kesakitan.
Gerakan yang dilakukan Pendekar Naga Putih tidak berhenti di situ saja. Tubuh pemuda itu meliuk mundur, dan langsung memutar tangan menjepit dua bilah senjata yang menyambar dari kiri-kanannya. Kedua orang itu tidak menyangka kalau lawannya akan menjepit senjata mereka di ketiak. Dan selagi mereka tertegun, tahu-tahu saja sepasang tangan Pendekar Naga Putih menyambar cepat ke arah wajah mereka.
Kedua orang itu langsung menggelepar akibat hantaman kuat yang mengenai pelipis. Beberapa saat kemudian, tubuh keduanya diam tak bergerak lagi. Pingsan. Badra dan Longgata yang sudah bangkit berdiri menjadi terkejut melihat pengikutnya telah tergeletak pingsan. Cepat-cepat keduanya merogoh kantung kain yang tergantung di pinggang.
Werrr! Werrr...!
Terdengar suara berdesingan nyaring ketika kedua orang itu menggerakkan tangan untuk menebarkan senjata-senjata gelap yang mengandung racun ganas.
"Hmh...!" Panji yang sudah membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara berdesing, hanya menggeram lirih. Pendekar muda itu menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Kemudian, didorongkannya dengan telapak tangan terbuka.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang menggigit tulang berhembus dari sepasang telapak tangan pemuda itu, dan langsung memukul runtuh senjata-senjata beracun kedua orang lawannya. Sebelum rasa terkejut kedua lawannya itu lenyap, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat lurus bagaikan sebatang bambu ke arah Badra dan Longgata. Sepasang tangan pemuda itu berputar cepat bagai baling-baling. Malahan kedua orang lawannya itu tidak lagi dapat melihat bentuk tangan Panji. Dan hal itu cukup membuat mereka hanya bisa berdiri tertegun bagaikan terkena pengaruh sihir. Pada saat yang gawat itu, tiba- tiba sesosok bayangan hitam melesat memotong serangan Panji. Bayangan hitam itu langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya menyambut serangan pemuda itu.
Bresss!
Terdengar ledakan keras yang mengguncangkan udara di sekitar tempat itu. Pertemuan tenaga yang amat kuat tadi membuat bayangan hitam terpental balik. Setelah berputar beberapa kali di udara, barulah sepasang kakinya dapat didaratkan dengan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru sosok tubuh itu bergetar. Tubuh orang itu nampak bergoyang-goyang dan agak limbung. Kedua tangannya menekan dada. Bahkan napasnya terlihat agak memburu. Sosok tubuh itu sepertinya telah mengalami luka dalam. Hal itu terlihat dari cairan merah yang merembes disudut bibirnya.
Badra dan Longgata terkejut setelah mendengar nama Pendekar Naga Putih disebut-disebut oleh sosok tubuh itu. Kini mata mereka baru terbuka lebar. Pantas saja pemuda itu demikian hebat sehingga hampir membuat mereka tewas.
"Bunuh pendekar usilan itu!" perintah sosok tubuh yang tak lain dari Ki Jampala itu. Siapa lagi orang yang berani memerintah Tiga Setan Muara Gandul kalau bukan Ki Jampala sendiri. Setelah berkata demikian, lelaki berusia lima puluh tahun itu melompat ke arah Panji yang masih berdiri tegak menatapi ketiga orang lawannya. Namun, sebelum pertarungan itu terjadi, terdengar jerit kematian yang merobek angkasa.
"Adi Sugra...! Keparat! Kubunuh kau...!" teriak Badra yang menjadi kalap ketika melihat tubuh Sugra terlempar disertai semburan darah yang membasahi tubuhnya.
Orang tertua dari Tiga Setan Muara Gandul itu langsung menerjang Kenanga dengan ganas. Sedangkan Longgata menubruk tubuh adik seperguruannya yang sudah tewas dengan luka menganga ditubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga yang telah menamatkan nyawa lawan-lawannya segera menyambut serangan Badra dengan pedangnya. Dalam waktu singkat, keduanya sudah terlibat pertarungan sengit. Longgata pun sudah melompat menerjang Kenanga. Dalam kemarahannya, tokoh sesat itu telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menyerang. Sehingga serangan-serangannya semakin ganas dan dahsyat.
Panji yang semula berniat membantu kekasihnya, segera membatalkan niatnya begitu melihat orang yang memapak serangannya tadi hendak melarikan diri. Cepat pemuda itu melesat dan menghadang orang itu.
"Hm.... Hendak lari ke mana kau, Ki Jampala?" ujar Panji menduga-duga. Sebab, menurutnya siapa lagi orang itu kalau bukan Ki Jampala. Hal itu dapat dilihat dari sikap dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul yang terlihat sangat hormat terhadap orang itu.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami?" tanya Ki Jampala yang tidak dapat menyembunyikan rasa gentarnya. Memang, dari pertemuan tenaga tadi, ia dapat menilai kalau tenaga dalam pemuda itu pasti sangat hebat. Dan itu telah dibuktikan ketika menangkis serangan pemuda itu yang ditujukan kepada dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul tadi.
"Hm.... Kau ingin tahu? Pergilah dan tinggalkan Desa Kemang ini. Hanya itulah yang kuinginkan. Sederhana sekali, bukan?" sahut Panji seraya tersenyum tenang. Diam-diam pendekar itu mengharapkan Ki Jampala mau menuruti permintaannya.
"Ooo, hanya itu. Nah, terimalah ini!" sahut Ki Jampala yang segera melontarkan pukulan maut ke tenggorokan dan dada Panji.
Melihat serangan maut itu, tubuh Panji bergeser ke kiri dan sekaligus melontarkan pukulan balasan yang tidak kalah berbahayanya. Namun lawannya ternyata cukup gesit dan mampu menghindari sambaran tangannya yang menga- rah ke belakang leher Ki Jampala. Bahkan sambil menghindar, orang tua itu masih sempat melepaskan sebuah tendangan kilat ke perut Pendekar Naga Putih.
Zebbb!
Tendangan kilat itu berhasil dihindari Panji dengan merendahkan kuda-kuda sambil meliukkan tubuh ke samping lawan. Tangan kanannya langsung bergerak melepaskan tamparan ke dada Ki Jampala. Laki-laki tua itu merasa terkejut melihat kecepatan gerak lawannya.
Bugkh!
"Hegkh...!" Tubuh lelaki tua itu terjengkang akibat tamparan yang kuat di dada kirinya. Meskipun demikian, ia masih juga berhasil melompat dan bersalto hingga tubuhnya tidak sampai terjatuh ke tanah. Namun sayang, sebelum Ki Jampala berhasil mengatur kedudukannya, tahu-tahu saja telapak kaki Pendekar Naga Putih telah hinggap di dadanya. Tubuh orang tua itu pun langsung terbanting ke tanah hingga menimbulkan suara berdebuk nyaring. Sebelum Ki Jampala sempat bangkit berdiri, telapak kaki Pendekar Naga Putih telah menekan dadanya.
"Kalau kau ingin selamat, cepat katakan! Siapa dan di mana pemimpinmu berada? Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu," ancam Panji sambil menahan tekanan kakinya hingga Ki Jampala terbatuk-batuk. Darah pun semakin banyak mengalir dari mulutnya.
"Apa... apa maksudmu? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan itu?" bantah Ki Jampala mencoba mengelabui pemuda itu.
"Baiklah! Aku tidak akan memaksamu," ujar Panji seraya tersenyum. Setelah berkata demikian, tangannya bergerak melakukan totokan yang dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat.
Ki Jampala menjerit-jerit ketika merasakan rasa nyeri di seluruh bagian tubuhnya. Tubuhnya berguling-guling karena Panji telah melepaskan kakinya yang semula menekan dada Ki Jampala. Panji baru membebaskan Ki Jampala dari penderitaan ketika orang tua itu berteriak-teriak. Dia akhirnya bersedia memberitahukan, apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu.
Setelah mendapatkan keterangan dari Ki Jampala, pemuda itu pun segera meninggalkan orang tua itu setelah terlebih dahulu menotok lumpuh Ki Jampala. Hal itu dimaksudkan agar tidak membahayakan para penduduk apabila menahannya. Dan memang, rupanya para penduduk telah berkumpul di situ karena Ki Dampit telah menceritakan kehadiran dua orang pendekar kepada mereka. Jadi itu semua memang berkat pemilik kedai itu yang berhasil menghimpun penduduk.
Namun, baru beberapa langkah Panji meninggalkan tubuh lawannya, para penduduk yang merasa marah telah mencincang tubuh Ki Jampala beramai-ramai. Pendekar Naga Putih hanya dapat menarik napas melihat kemarahan para penduduk yang tengah melampiaskan dendamnya kepada orang tua itu. Pendekar Naga Putih meneruskan langkahnya mendekati pertempuran lain yang tampaknya juga akan segera berakhir. Panji hanya berdiri memandangi kekasihnya yang tengah mendesak dua orang lawannya.
"Haiiit..!"
Badra dan Longgata benar-benar telah terjepit oleh lingkaran sinar pedang gadis jelita itu. Mereka hanya dapat menangkis tanpa mempunyai kesempatan untuk membalas. Dan ketika Kenanga melompat disertai teriakan dan ayunan pedang, kedua orang tokoh sesat itu tidak mampu lagi menghindar.
Wuuut!
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Kedua orang tokoh sesat itu menjerit ngeri ketika pedang di tangan Kenanga berkelebat dan membeset pangkal lengan dan paha mereka. Dan selagi tubuh keduanya terjajar mundur dengan gerakan limbung, Kenanga sudah melompat. Kedua kakinya langsung menghantam telak dada kedua orang lawannya.
Bukkk! Desss!
Badra dan Longgata yang merupakan dua di antara Tiga Setan Muara Gandul, jatuh berdebuk dan langsung pingsan seketika itu juga. Darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibir kedua tokoh sesat itu. Kenanga menghampiri Panji yang melemparkan senyum kepadanya. Wajah gadis jelita itu tampak kemerahan dengan bintik-bintik keringat yang menghiasi wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, Kenanga terlihat semakin menonjol kecantikannya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau sudah menemukan Ki Jampala?" tanya gadis jelita itu seraya tersenyum manis.
"Sudah. Bahkan aku berhasil mengorek keterangan tentang pimpinannya. Tapi sayang, aku tidak berhasil mencegah orang-orang desa yang menghukum orang tua itu dengan cara mereka sendiri," sahut Panji agak sedikit kecewa.
"Hm.... Lalu, bagaimana dengan kedua orang tokoh sesat ini? Bukankah mereka dapat membahayakan nyawa penduduk apabila tidak dibunuh?" tanya Kenanga yang masih mengkhawatirkan nasib penduduk Desa Kemang apabila kedua tokoh sesat itu dibiarkan begitu saja.
"Mereka telah terluka parah dan tidak mungkin sembuh dalam waktu singkat."
Setelah berkata demikian, Panji mengulapkan tangannya memanggil salah seorang penduduk yang nampaknya cukup berpengaruh. Setelah berpesan agar kedua tokoh sesat itu dilepaskan setelah mereka tersadar dari pingsannya nanti, Panji dan Kenanga segera meninggalkan Desa Kemang untuk mencari Biang Iblis Tangan Hitam yang menjadi sumber kerusuhan di desa itu.
********************
TUJUH
Siang itu, matahari memancar terik. Tampak sesosok tubuh ramping berbaju merah tengah berlari cepat sambil menekap bahu kirinya yang tergantung lemah. Dari sela-sela jari tangan kanannya, nampak cairan merah merembes keluar. Jelas, gadis jelita berbaju merah itu tengah menderita luka.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau melarikan diri, Dewi Baju Merah! Biar sampai ke ujung langit pun, akan tetap kukejar!" teriak seorang lelaki setengah baya sambil berlari mengejar gadis jelita berbaju merah itu. Sedang di belakang lelaki itu, terlihat beberapa sosok tubuh lain yang ikut pula mengejar.
"Ohhh...!" Gadis jelita berbaju merah itu mengeluh sambil memijat lukanya yang semakin terasa panas dan perih. Rasa sakit yang semakin menyiksanya itu membuat gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat.
Tak berapa lama kemudian, gadis yang dipanggil Dewi Baju Merah itu mulai memasuki daerah perbukitan. Jalan yang dipenuhi batu dan menanjak itu, membuat kedua kakinya terasa berat untuk melangkah. Meskipun beberapa kali hampir terjatuh, ia terus saja berusaha untuk melepaskan diri dari kejaran orang-orang yang semakin dekat di belakangnya. Karena kedua kakinya sudah tidak kuat lagi berlari, akhirnya setelah melewati jalan menanjak dan berbatu, Dewi Baju Merah terjatuh di atas tanah berumput kering yang merupakan tanah lapang cukup luas. Di saat gadis jelita itu berusaha bangkit, tahu-tahu saja para pengejarnya telah tiba pula di tempat itu.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang, kau pasti akan dapat kutangkap. Nah! Lihatlah sendiri!" ujar laki-laki setengah baya yang memiliki kening lebar itu.
"Keparat kau, Setan Hitam! Kalau ingin membunuhku, bunuhlah! Aku tidak takut menghadapi kematian!" bentak gadis jelita itu tanpa rasa gentar sedikit pun. Sepasang matanya yang bulat menatap galak.
"Ha ha ha..,! Tidak semudah itu, Dewi Baju Merah! Kau kira aku tidak tahu, siapa kau sebenarnya? Dengan adanya kau di tangan kami, Adipati Kerta Lungga akan menuruti semua permintaan kami." Setelah berkata demikian, meledaklah tawa lelaki berkepala separuh botak itu. Tawanya segera disambut kawan-kawannya.
"Jangan coba-coba menggertakku, Langgawe! Sebelum sempat memberitahukan ayahku, tubuhku hanya akan menjadi mayat yang tak berarti!" teriak Dewi Baju Merah Ternyata dia adalah seorang putri adipati. Setelah berkata demikian, gadis jelita itu mengayunkan belati yang sudah dicabut ke dadanya sendiri.
Tring!
Belum lagi belati itu sempat terhunjam di dada Dewi Baju Merah, seberkas sinar putih berkelebat dan tepat mengenai belati yang siap dihunjamkan. Gadis jelita itu memekik tertahan melihat belatinya terpental akibat hantaman batu kerikil sebesar ibu jari kaki.
"Hm.... Gadis inikah yang telah berani mati menyelidiki tempat kita, Langgawe? Benarkah dia putri Adipati Kerta Lungga?" tegur sebuah suara serak menggetarkan. Wajah laki-laki yang keningnya lebar hingga ke ubun-ubun, berubah pucat ketika mendengar suara berat itu. Cepat tubuhnya berbalik, dan langsung berlutut begitu melihat seorang kakek berusia sekitar delapan puluh tahun telah berdiri di situ.
"Ampun, Ketua. Gadis inilah yang telah menyatroni tempat kita," sahut Langgawe sambil tetap bersujud dan me- nundukkan wajahnya dalam-dalam. Gerakan Langgawe itu diikuti kawan-kawannya yang lain.
"Hm.... Biang Iblis Tangan Hitam! Perlu kau ketahui! Semua perbuatanku, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ayahku! Kalau ingin menghukumku, hukumlah! Aku, Serimpi, pantang takut menghadapi kematian!" tantang Dewi Baju Merah yang ternyata bernama Serimpi. Serentak gadis itu berdiri, lalu menatap tajam ke arah kakek yang berjuluk Biang Iblis Tangan Hitam. Sama sekali tidak diperlihatkan rasa takut maupun gentar.
"He he he.... Seperti yang Langgawe katakan tadi, dengan adanya kau, maka kami akan memaksakan kehendak kami kepada ayahmu," tegas kakek itu seraya terkekeh serak.
"Bangsat! Hiaaat...!" Dewi Baju Merah yang sudah tidak dapat menahan amarah langsung melompat dengan pukulan tangan kanan yang meluncur deras ke dada kakek itu.
Biang Iblis Tangan Hitam sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Dengan sikap tenang, tangannya diulurkan menyambut pukulan gadis itu. Serangkum hawa yang amat kuat membentur tubuh Dewi Baju Merah.
Bukkk!
Gadis jelita itu mengeluh tertahan ketika tubuhnya terbanting kembali ke atas tanah berumput kering.
"He he he...! Anak nakal, kau harus diberi pelajaran terlebih dahulu!" Setelah berkata demikian, kakek itu melangkahkan kakinya, mendekati Dewi Baju Merah. Tangan kanannya terulur hendak menjambret lengan gadis itu.
"Jangan sakiti gadis itu...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok tubuh tegap. Begitu tiba, sosok tubuh itu langsung melepaskan pukulan ke pelipis Biang Iblis Tangan Hitam.
Wuuut! Plakkk!
"Uhhh...!" Sosok tubuh itu mengeluh tertahan ketika tangan Biang Iblis Tangan Hitam yang semula hendak menjamah tubuh Dewi Baju Merah digunakan untuk menangkis serangan. Dan akibatnya, sosok tubuh itu terpental balik. Namun orang itu ternyata sangat gesit! Dengan beberapa kali salto, kedua kakinya mendarat kokoh di atas tanah berumput.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Serimpi?" bentak Biang Iblis Tangan Hitam.
"Kau tidak perlu tahu hubunganku dengan Serimpi! Yang penting, bila kau ingin menyakiti gadis itu, langkahi dulu mayatku!" tegas sosok tubuh itu lantang.
Dewi Baju Merah menahan seruannya begitu mengenali sosok tubuh yang menolongnya itu. Sepasang matanya yang bulat dan indah, nampak menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Lelaki muda yang datang itu adalah Pandu. Pemuda tampan berkulit kecoklatan itu sempat mengerling dengan sudut mata ke arah Dewi Baju Merah.
"Kau... kau pergilah. Mereka akan membunuhmu nanti," ujar Dewi Baju Merah yang bernama asli Serimpi sambil memandang wajah Pandu dengan cemas.
"Tidak, Serimpi. Untuk menyelamatkanmu, aku rela mengorbankan selembar nyawaku," sahut Pandu memanggil Dewi Baju Merah dengan nama yang baru dikenalinya dari Biang Iblis Tangan Hitam tadi.
"Kami akan membantumu, Kisanak." Tiba-tiba terdengar suara halus yang menggetar karena dikerahkan lewat tenaga dalam yang amat kuat.
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu serentak menolehkan kepala ke arah suara itu. Mereka terkejut ketika melihat dua sosok tubuh berpakaian hijau dan putih tengah melangkah mendatangi tempat itu. Diam- diam orang-orang itu menjadi heran. Karena suara yang terdengar dekat tadi, ternyata datang dari orang yang masih terpisah beberapa belas batang tombak dari tempat itu. Dua sosok tubuh yang tak lain adalah Kenanga dan Panji itu memandang tajam orang-orang di sekitarnya. Wajah yang bersih dan tampan itu, tampak terhias senyum cerah.
"Kaukah yang berjuluk Biang Iblis Tangan Hitam? Tadi aku mendengar ada orang yang menyebutkan julukan itu. Itulah yang menyebabkan langkahku tiba di tempat ini," ujar Panji sambil meneliti kakek yang berambut panjang itu.
"Hm.... Kau pasti Pendekar Naga Putih. Aku telah mengenalmu karena melihat dandanan dan gagang Pedang Naga Langit yang tergantung di pundakmu," sahut kakek itu yang sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan pemuda berjubah putih tadi. Sepasang matanya menatap tajam, meneliti sekujur tubuh Panji.
"Biang Iblis! Kedatanganku kemari untuk menghentikan semua sepak terjangmu. Bukankah sebaiknya kepandaianmu itu dipergunakan untuk kebaikan?" ujar Panji dengan sikap tetap tenang.
"He he he...! Untuk menghentikan perbuatanku, kau harus dapat mengalahkanku, Pendekar Naga Putih. Sekarang bersiaplah menerima kematianmu," sahut Biang Iblis Tangan Hitam.
"Heaaat..!" Tanpa menunggu lawannya bersiap terlebih dahulu, Biang Iblis Tangan Hitam sudah melompat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan. Serangkum angin dahsyat bergulung menerjang tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau lawannya bukanlah tokoh sembarangan, mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya langsung didorongkan menyambut sepasang lengan kakek itu.
Blarrr!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga dalam dahsyat itu. Beberapa orang pengikut Biang Iblis Tangan Hitam bahkan sampai terpelanting roboh dan pingsan seketika. Sedangkan yang lainnya berlompatan mundur menjauhi pertarungan itu.
Baik Panji maupun Biang Iblis Tangan Hitam, sama-sama terpental beberapa tombak ke belakang. Namun, keduanya dapat mendaratkan kakinya di tanah tanpa menderita luka yang berarti. Hanya saja, tubuh mereka masing-masing terlihat limbung.
"Kau hebat, Pendekar Naga Putih. Selama puluhan tahun, baru kali inilah kutemukan lawan tangguh dan masih muda. Tapi kau jangan berbangga dulu. Kita lihat saja, apakah kau akan mampu menahan seranganku selanjutnya," kata Biang Iblis Tangan Hitam. Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu kembali melesat dan langsung melancarkan serangan maut.
Melihat serangan-serangan yang dahsyat dan menimbulkan deruan angin keras itu, kedua kaki Panji bergeser secara bergantian untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Sesekali Pendekar Naga Putih menangkis dan membalas dengan pukulan dan tendangan yang tidak kalah dahsyat Sehingga pertarungan pun semakin seru dan mendebarkan.
Sementara di tempat lain, Pandu dan Kenanga telah pula terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Sedangkan Dewi Baju Merah hanya dapat menonton pertarungan itu dengan hati tegang. Rupanya, gadis jelita itu telah mengalami luka dalam yang cukup parah akibat pukulan yang dilancarkan Biang Iblis Tangan Hitam tadi. Sehingga, ia hanya dapat meremas-remas tangan dengan hati cemas. Pertarungan Panji dan Biang Iblis Tangan Hitam, berlangsung semakin mendebarkan! Kedua tokoh sakti itu telah sama-sama mengeluarkan ilmu andalan masing-masing.
"Haiiit..!"
Pada jurus kelima puluh enam, Biang Iblis Tangan Hitam menghantamkan telapak tangan kirinya ke dada Panji.
Wusss!
Dari telapak tangan kiri kakek itu, bergulung asap hitam yang menebarkan bau amis yang memualkan perut. Panji bergegas melompat ke samping sambil melepaskan tamparan ke pelipis lawan. Namun, telapak tangan kiri kakek itu tahu-tahu saja bergerak berputar, dan langsung mendarat di perut Panji.
Bukkk!
"Hugkh...!" Pendekar Naga Putih mengeluh pendek. Tubuhnya terlempar mundur hingga dua batang tombak jauhnya. Pendekar muda itu mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik, sehingga tidak sampai terjatuh karena pukulan yang amat kuat itu. Dari sela-sela bibirnya, terlihat cairan merah merembes keluar.
Pukulan 'Asap Hitam' yang mengandung racun itu ternyata telah melukai bagian dalam tubuhnya. Bergegas Panji mencabut Pedang Naga Langit, dan menorehkan ujungnya pada luka di perutnya. Dalam sekejap saja, racun di tubuh pemuda itu telah lenyap terhisap pedang pusaka itu. Dan kulit perutnya yang semula kehitaman kembali berubah seperti sedia kala
"He he he...! Pedang hebat itu tidak pantas menjadi milikmu, Pendekar Naga Putih! Serahkan saja padaku!" bentak Biang Iblis Tangan Hitam. Laki-laki tua itu begitu terpukau melihat perbawa dan kemukjizatan Pedang Naga Langit yang berada di tangan Panji. Dan sebentar kemudian, tubuh kakek itu langsung melompat dengan cengkeraman kedua tangannya. Cengkeraman kiri mengarah ubun-ubun dan cengkeraman kanannya meluncur, hendak merebut pedang di tangan kanan Pendekar Naga Putih.
Wuuut! Wuuut!
Panji melangkah mundur menghindari cengkeraman maut itu. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak menyabetkan pedang ke tangan kanan lawan yang mencengkeram ubun-ubun Gulungan sinar kuning keemasan itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam tersentak kaget. Dicobanya untuk menarik pulang tangan kirinya. Namun sayang, kakek itu kalah cepat. Dia tidak sempat lagi menyelamatkan tangan kirinya dari sambaran pedang.
Wuuut! Crakkk!
"Aaargh...!" Biang Iblis Tangan Hitam menjerit parau ketika mata pedang membabat buntung tangan kirinya hingga sebatas pergelangan. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang sejauh empat batang tombak untuk menghindari sambaran pedang yang masih terus berkelanjutan.
Wuuut! Wuuut...!
Seluruh wajah Biang Iblis Tangan Hitam pucat. Karena pada saat kedua kakinya baru menjejak tanah, tubuh Panji sudah melesat menerjang. Dalam kemarahannya, pemuda perkasa itu telah mengeluarkan jurus pamungkas 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'. Hebat bukan main jurus terakhir 'Silat Naga Sakti' itu. Sebentuk sinar kekuningan bagai bulatan itu berpendar menyilaukan pandangan lawan. Dari bulatan sinar pedang itu, kadang-kadang menyembul ujung pedang yang bagaikan puluhan banyaknya. Tentu saja hal itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam menjadi buram pandangannya, sehingga tidak mengetahui ujung pedang yang merupakan aslinya. Maka...
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!" Biang Iblis Tangan Hitam meraung dahsyat menggetarkan sekitarnya. Darah segar langsung memercik membasahi rerumputan kering ketika mata pedang Pendekar Naga Putih merobek tubuhnya beberapa kali. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tua itu ambruk dan tewas bermandikan darahnya sendiri.
"Kakang! Kau tidak apa-apa?" tanya Kenanga khawatir. Gadis jelita yang sudah menyelesaikan pertarungannya bersama Pandu semenjak tadi, cepat memeriksa perut Panji. Baju pada bagian perut pemuda itu terlihat hangus bagaikan terbakar api. Dan luka akibat goresan Pedang Naga Langit tampak mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak. Tapi hal ini telah membuat hati dara jelita itu cemas karenanya.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga," sahut Panji seraya tersenyum lembut. Dibelainya rambut kepala gadis jelita itu penuh kasih.
"Syukurlah, Kakang," desah Kenanga seraya memeluk tubuh pemuda pujaannya itu.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Tapi, urusan ini belum selesai seluruhnya. Sebab menurut Serimpi, di tempat kediaman Biang Iblis Tangan Hitam banyak terdapat tawanan yang harus dibebaskan," jelas Pandu sambil membungkuk hormat kepada Panji.
Sementara itu, Serimpi yang luka-lukanya sudah disembuhkan Kenanga, berdiri di belakang Pandu. Wajah gadis itu tampak segar, pertanda telah benar-benar sembuh.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayolah kita ke sana," sahut Panji.
"Mari, ikuti aku!" ujar Serimpi yang menjadi penunjuk jalan.
Pandu, Kenanga, dan Panji segera melesat mengikuti gadis jelita berbaju merah itu.
********************
DELAPAN
"Hm..., Rupanya di sinilah sarang Biang Iblis itu," gumam Panji begitu mereka tiba di depan sebuah bangunan besar di dalam Hutan Kemang. Keempat orang pendekar muda itu bergegas memasuki halaman bangunan besar itu.
Belasan orang anak buah Biang Iblis Tangan Hitam yang mencoba menghalangi, satu persatu ambruk dihajar keempat biang itu. Setelah semua penghalang tak berkuak, mereka bergegas menuju tempat tawanan disimpan.
Panji, Kenanga, Pandu, dan Serimpi bergegas membuka pintu-pintu berjeruji yang mengurung puluhan orang wanita. Mereka berumur sekitar enam betas sampai dua puluh tahun dan nampak pucat serta basah oleh air mata. Mereka adalah gadis-gadis desa yang diculik oleh begundal-begundal Biang Iblis Tangan Hitam sebagai pemuas nafsu pemimpin-pemimpin mereka. Pandu yang ikut membebaskan gadis-gadis itu terpaku ketika menatap seorang gadis berwajah bulat telur dan sangat manis. Setitik tahi lalat, tampak menghias sudut bibir sebelah kirinya.
"Kau... kau. Siapakah namamu, dan di mana tinggalmu?" tanya Pandu agak gugup.
Sejenak dalam benak pemuda itu terlintas wajah kedua orang tua dan adik perempuannya yang telah lama dicarinya. Dan tentu saja wajah adiknya masih jelas tergambar dalam benak. Gadis berwajah bulat telur yang manis itu, menunduk malu karena sepasang mata Pandu seperti menjelajahi seluruh wajahnya.
"Namaku Ratih, dan tempat tinggalku di Desa Surungan," sahut gadis itu tersipu.
"Hei? Untuk apa kau tanya-tanya nama orang? Kau suka, ya?" tegur Serimpi. Gadis yang berjuluk Dewi Baju Merah itu tahu-tahu saja sudah berada di samping Pandu. Nada suaranya terdengar ketus dan galak. Sehingga Pandu sempat terkejut karenanya. Namun, pemuda itu seperti tidak mempedulikan.
"Ratih.... Kau..., apakah ayahmu bernama Ki Sumareja dan ibumu bernama Wilarsih?" tanya Pandu. Tubuh pemuda itu menggigil karena tegang. Sehingga, ia tidak lagi mempedulikan sepasang mata yang menatap galak ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan mata Serimpi.
"Bagaimana Kakang dapat mengetahuinya?" tanya Ratih, bingung. Gadis itu merasa heran mendengar nama orang tuanya diketahui pemuda itu. Seketika wajahnya di angkat penuh menyelidik.
"Ah! Ratih, Adikku. Apakah... apakah kau sudah tidak mengenali kakangmu?" sahut Pandu yang sudah tidak tahan untuk memeluk tubuh adik perempuannya itu. Kedua tangan pemuda itu tampak bergetar bagaikan menderita kejang.
Ratih semakin heran ketika mendengar pertanyaan pemuda tampan berkulit kecoklatan itu. Sepasang matanya yang bening memandang wajah pemuda itu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Kau..., kau. Benarkah kau Kakang Pandu?" tanya Ratih dengan bibir bergetar menahan keharuan yang dalam. Sepasang matanya tampak mulai digenangi air mata.
"Ratih, Adikku...!" sebut pemuda itu. Pandu yang benar-benar sudah merasa yakin kalau gadis itu adalah adiknya, langsung mengembangkan tangan lebar-lebar. Direngkuhnya tubuh gadis itu dalam pelukannya. Sepasang matanya sudah basah oleh air mata yang meluncur turun dengan derasnya.
"Kakang...," desah gadis itu serak di antara isak tangisnya yang memilukan.
"Ahhh! Ratih, Adikku. Kau sudah besar dan cantik," desah Pandu seraya melepaskan pelukan dan menatapi wajah adiknya penuh kasih.
Serimpi, Kenanga, dan Panji memalingkan wajahnya karena tak tahan menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita antarkan saja dulu gadis-gadis ini. Peluk cium kalian bisa dilanjutkan nanti!" ujar Serimpi yang membuat Pandu dan Ratih tersadar kalau perbuatan mereka dilihat banyak orang.
Dengan wajah tersipu, Pandu dan Ratih melepaskan pelukannya meskipun tetap berpegangan tangan Kemudian, mereka bergegas mengikuti Serimpi dan para gadis-gadis tawanan yang sudah berjalan lebih dahulu.
"Maaf, Pandu, Serimpi. Aku terpaksa tidak bisa menemani kalian. Aku dan Kenanga harus melanjutkan perjalanan. Nah, sampai jumpa," pamit Panji yang tanpa menunggu jawaban sudah melesat meninggalkan tempat itu bersama Kenanga.
Pandu, Serimpi, Ratih dan yang lainnya hanya dapat memandangi kepergian kedua orang pendekar itu dengan penuh rasa terima kasih. Tak lama kemudian, mereka segera meninggalkan bangunan besar itu untuk mengantarkan gadis-gadis tawanan ke kampung halamannya.
"Bagaimana kabar ayah, Adikku? Apakah baik-baik saja?" tanya Pandu yang sudah tidak sabar ingin mengetahui nasib orang tuanya.
"Ayah baik-baik saja, Kakang. Namun, ibu telah tewas di tangan orang yang baru kuketahui sebagai pemberontak. Berbulan-bulan kami mencarimu semenjak kita terpisah. Namun sayang kami tidak berhasil menemukanmu. Hingga ayah putus asa. Ahhh, ayah pasti akan sangat gembira melihat dirimu selamat, Kakang," sahut Ratih seraya tersenyum bahagia.
Pandu tidak terkejut lagi mendengar kematian ibunya. Kabar itu memang pernah didengar ketika dia mencari-cari keluarganya. Pandu mengelus rambut kepala adiknya penuh kasih sayang. Sekilas diliriknya Serimpi yang melangkah tidak jauh dari mereka berdua. Melihat wajah gadis berbaju merah itu agak cemberut, pemuda itu pamit kepada adiknya sebentar dan memberanikan diri mendekati Serimpi.
"Serimpi, bolehkah aku bicara denganmu sebentar?" pinta Pandu dengan hati berdebar tegang. Wajah pemuda itu tampak agak memucat karena terbawa perasaannya.
"Hm.... Apa yang ingin kau bicarakan, katakanlah," sahut gadis jelita itu. Suaranya masih tetap ketus.
"Apakah tidak sebaiknya kita bicara berdua saja?" tanya Pandu semakin bertambah berani. Memang, pemuda itu merasa harus mendapat keputusan dari gadis jelita itu sekarang juga. Sebab kesempatan seperti itu mungkin tidak akan ditemuinya lagi.
"Hm..." Meskipun Serimpi tidak menyahut, gadis itu melangkah juga mengikuti Pandu yang berjalan ke tepi.
"Serimpi. Aku..., aku ingin berterus terang kepadamu. Semenjak pertemuan kita pertama dulu, aku..., aku telah jatuh cinta kepadamu. Apakah, apakah aku bertepuk sebelah tangan?" tanya Pandu dengan wajah semakin pucat.
Bibir gadis jelita itu tampak menyunggingkan senyum meskipun hanya sekejap. Dan wajah gadis itu berubah kembali seperti semula, galak dan angkuh. "Hm.... Datang saja ke Istana Kadipaten Bangkalan. Di sana kau bisa mengetahui jawabannya," sahut gadis yang berjuluk Dewi Baju Merah itu singkat.
"Hahhh! Kau... kau."
"Benar! Kau takut?" potong Serimpi cepat. Gadis itu sudah menduga kalau Pandu akan terkejut mendengar jawabannya tadi. Sengaja gaun dirinya dibuka untuk menguji sampai di mana dalamnya perasaan cinta pemuda itu terhadapnya.
"Ah! Bukan begitu, aku...,” Pandu semakin gugup mendengar pertanyaan yang terdengar agak sinis itu.
“Apa sih yang ingin kau katakan?” Sejak tadi bisamu cuma aku.., aku saja!" bentak Serimpi tak sabar, sehingga membuat beberapa orang gadis menoleh ke arah mereka dan tersenyum geli.
"Hmm... Serimpi, aku hanyalah seorang rakyat biasa, dan rasanya memang tidak pantas mengharapkan balasan cintamu. Melihat kau tidak marah mendengar pernyataanku tadi pun, sebenarnya sudah merupakan anugerah bagiku. Maafkanlah kelancanganku. Aku tidak tahu kalau kau adalah Gusti Ayu Serimpi yang seharusnya kuhormati," jelas Pandu.
Hati pemuda itu merasa rendah diri begitu mengetahui kalau gadis jelita itu adalah seorang putri adipati. Sebentar kemudian, pemuda itu melangkah lesu meninggalkan Serimpi yang menjadi tertegun dibuatnya.
"Kalau memang tidak suka mempersunting ku, ya sudah! Sana pergi! Tangisi saja nasibmu!" bentak Serimpi di antara isak tangisnya yang lirih.
Pandu menghentikan langkahnya, seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya. Tapi ketika melihat Serimpi membalikkan wajahnya, pemuda itu bergegas menjatuhkan tubuhnya. Langsung diambilnya tangan kanan gadis jelita itu, lalu tanpa ragu dikecupnya dengan mesra.
"Gusti Ayu Serimpi. Apakah Gusti sudah menerima cinta dari rakyat miskin seperti hamba?" tanya Pandu seraya menengadahkan kepalanya menatap wajah yang nampak basah oleh air mata itu.
Serimpi tidak menyahut. Tangannya ditarik perlahan-lahan dari genggaman pemuda itu. Kemudian, dia melesat meninggalkan tempat itu. "Awas kau, Pemuda Bodoh! Kalau tidak datang ke kadipaten, maka aku akan menyusulmu ke Desa Surungan!" tiba-tiba terdengar suara Serimpi dari kejauhan.
Pandu tersenyum lebar mendengar suara gadis jelita pujaan hatinya itu. "Benar-benar seorang gadis aneh dan galak," gumam Pandu sambil melangkah mendekati adiknya. Angin senja berhembus lembut semakin menyegarkan perasaan Pandu yang tengah berbahagia itu.
S E L E S A I