Serigala Siluman

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Serigala Siluman karya T Hidayat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Serigala Siluman
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

KOTARAJA Batu Jajar yang biasanya ramai, kini semakin bertambah ramai. Ini terjadi sejak adanya pengumuman kalauRaja Agung Kandi Lajang membuka kesempatan bagi para tokoh persilatan dan murid-murid perguruan terkemuka untuk menjadi perwira kerajaan. Mereka berbondong-bondong mendatangi kotaraja, karena kesempatan itu memang terbuka untuk umum. Jadi, tidak heran kalau hari itu kotaraja tampak semakin ramai.

Tentu saja yang gembira pada saat-saat seperti itu adalah mereka-mereka yang membuka usaha penginapan atau kedai makan. Dengan dibukanya kesempatan untuk menjadi perwira kerajaan, berarti penginapan dan kedai makan sudah pasti akan memperoleh keuntungan besar dan jauh lebih banyak dari biasanya.

“Silakan... silakan, Tuan-tuan...,” sambut seorang pelayan kedai makan sambil tak henti-hentinya mengumbar senyum.

Pelayan itu berdiri dekat pintu masuk. Bibirnya terus memasang senyum yang menurutnya paling manis. Hal itu dilakukan untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Para pelanggan yang tidak mendapat tempat di bawah, bisadi-tempatkan di tingkat atas. Dan rumah makan yang dinding-dindingnya dari papan itu memang menyediakan tempat dua tingkat.

“Wah! Rumah makanmu ramai sekali, Paman. Tentu kau akan untung besar hari ini,” kata seorang pemuda tampan bertubuh sedang yang tahu-tahu sudah muncul diambang pintu kedai. Dia kemudian melenggang memasuki rumah makan itu. Wajahnya yang halus dan putih dihiasi senyum manis dengan sepasang mata berbinar. Pada bahu kanannya tampak sebuah buntalan pakaian. Dari sini bisa ditebak kalau pemuda itua dalah seorang pendatang.

“Yah! Beginilah, Tuan Muda. Untunglah keramaian seperti ini hanya terjadi setahun sekali. Kalau setiap hari, wah, bisa susah aku,” sahut pelayan bertubuh tinggi kurus itu sembari menyusut peluh dengan sehelai kain yang berbentuk seperti sapu tangan. Kelihatan sekali kalau ia sangat kelelahan.

“Hei? Mengapa, Paman? Bukankah kalau ramai setiap hari kau akan cepat menjadi kaya?” tanya pemuda berwajah tampan itu agak heran mendengar penuturan pelayan itu.

“Tentu saja, Tuan Muda. Kalau setiap hari ramai seperti ini, lalu kapan aku bisa beristirahat dan berkumpul dengan anak istriku?Nah, bukankah itu susah namanya?” jawab pelayan itu sambil terkekeh. Dipersilakannya pemuda tampan itu untuk naik ke tingkat atas, karena ruangan bawah sudah tidak bisa menampung pengunjung lagi.

Pemuda tampan itu tersenyum mendengar gurauan si pelayan bertubuh tinggi kurus yang dikenal bernama Ki Diran. Ia lalu melangkah menuju tempat yang ditunjukkan Ki Diran. Langkahnya terlihat ringan menandakan kalau pemuda itu bukan orang lemah. Mungkin ia seorang tokoh persilatan yang datang ke kotaraja untuk mengikuti atau melihat-lihat pemilihan calon perwira kerajaan. Memang tidak sedikit di antaranya yang hanya datang untuk menonton. Mereka adalah orang yang merasa belum memiliki kepandaian cukup untuk mengikuti ujian itu.

Tidak lama setelah pemuda tampan itu duduk, datang seorang pemuda lain. Tubuhnya lebih tinggi dan lebih tegap dari pemuda tampan itu. Dia mengenakan pakaian berwarna biru cerah. Segera dihampiri kursi yang masih kosong, tempat pemuda tampan tadi duduk menunggu pesanan.

“Bolehkah aku duduk dimeja ini, Kisanak?” tegurpemuda berpakaian biru cerah itu ramah dan sopan.

“Oh, silakan,” sahut pemuda tampan itu. Setelah mempersilakan, diamatinya pemuda yang tengah menarik kursi itu, kemudian kembali menunduk menekuri meja.

Pemuda berpakaian cerah itu segera memanggil pelayan anak buah Ki Diran. Pelayan datang menghampiri dengan langkah terbungkuk-bungkuk penuh hormat. Lalu, dipesannya beberapa makanan. Setelah pelayan itu pergi, pandangannya pun beralih pada pemuda tampan yang telah lebih dulu duduk di situ. Diam-diam dikaguminya juga wajah pemuda di hadapannya itu. Wajah yang halus dan tampan. Bahkan terlalu tampan untuk wajah seorang pria. Hidungnya yang mancung dan bulu mata yang lentik itu lebih tepat kalau untuk wanita.

“Hei, mengapa kau memandangiku begitu rupa? Apakah kau tidak mempunyai pekerjaan lain?” ujar pemuda tampan itu setengah membentak. Mau tak mau beberapa orangcpengunjung menolehkan kepala dengan kening berkerut tak senang. Pemuda berbaju biru cerah itu rupanya tak sadar kalau orang yang tengah dinilainya telah mengangkat kepalanya. Hingga perbuatannya tertangkap basah.

“Eh,oh..., maaf. Aku..., aku sedang melamun. Sama sekali aku tidak memandangimu seperti yang kau sangka itu. Maaf kalau hal itu telah mengganggumu,” ucap pemuda berpakaian biru cerah itu tergagap. Untunglah dia dapat berpikir cepat dan mengajukan alasan yang masuk akal, sehingga tidak menjadi malu karenanya.

Si pemuda tampan hanya mendengus mendengar jawaban itu. Dia memang tidak bisa berbuat apa-apa, karena pemuda berpakaian biru cerah itu terlihat seperti orang yang tengah termenung. Jadi tidak ada alasan untuk marah-marah. Kemudian kepalanya ditolehkan untuk melihat apakah pesanannya sudah disiapkan.

“Hmh! Mengapa lama sekali mereka menyiapkan pesanan- ku?” keluh pemuda tampan itu, lirih. Dia memang tengah berbicara pada dirinya sendiri.

“Sabarlah, Kisanak. Mungkin saat ini mereka tengah mengantarkannya. Maklumlah keadaan begini ramai. Jadi, jika terlambat sedikit, kita harus memakluminya,” sahut pemuda berpakaian biru cerah yang rupanya mendengar keluhan teman semejanya itu. “Mmm... Kau pasti datang kemari karena tertarik dengan ujian calon perwira itu, bukan? Bolehkah aku tahu namamu, Kisanak? Dari pada kita duduk melamun, bukankah ada baiknya kalau saling memperkenalkan diri?”

Pemuda tampan itu menatap kawan semejanya dalam-dalam. Ketika tidak melihat adanya maksud-maksud tertentu di wajah orang itu, hatinya sedikit tenang.

“Jadi laki-laki jangan terlalu cerewet! Kalau ingin berkenalan, akupun tidak keberatan. Tapi kalau hendak bertanya, jangan nyerocos seperti itu!Bagaimana aku bisa menjawabnya?” dengus pemuda tampan itu. Meskipun demikian, jelas kalau dia bukan seorang pemuda sombong. Hal itu terbukti dari sikapnya yang mau menerima perkenalan. Pemuda berpakaian biru cerah itu tersenyum senang. Ia sama sekali tidak tersinggung oleh kata-kata pemuda tampan yang terdengar agak ketus itu. Bahkan sebaliknya malah semakin tertarik.

“Maafkan aku, Kisanak. Perkenalkan, namaku Balira. Seorang pemuda gunung yang datang ingin menonton keramaian di sini. Siapakah namamu, Kisanak?” tanya pemuda berpakaian biru cerah yang mengaku bernama Balira tanpa meninggalkan senyumnya.

“Hm.... Namamu cukup gagah. Cocok dengan wajah dan penampilanmu,” puji pemuda tampan itu. Tanpa perasaan canggung, diamati nyawajah Balira dengan sikap lucu. Dan memang, cara pemuda itu memperhatikan Balira, persis seperti seorang pembeli yang teliti. Hingga mau tidak mau, Balira jadi tersenyum lebar.

“Namaku Lunjita. Kedatanganku kemari juga sama sepertimu,” lanjut pemuda tampan yang ternyata bernama Lunjita.

Setelah saling memperkenalkan nama, kedua pemuda itu pun asyik bercerita sehingga sampai terlupa dengan pesanannya. Mereka baru teringat ketika seorang pelayan datang membawakan makanan yang dipesan tadi. Dan tanpa banyak cakap lagi, mereka bergegas menyantap makanan yang terhidang di atas meja.

*******************

Balira dan Lunjita kini terlihat melangkah keluar dari rumah makan itu. Mereka melangkah bersisian menyusuri jalan yang masih terlihat ramai.

“Kita harus mencari tempat bermalam,” kata Balira ketika keduanya melewati pasar yang sudah mulai sepi. Memang, saat itu hari sudah menjelang sore.

“Ya. Kita harus cepat-cepat, Kakang Balira,” sahut Lunjita seraya menatap wajah pemuda yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Setelah mereka saling menceritakan riwayat masing-masing meskipun serba singkat, baru diketahui kalau Balira lebih tua daripada Lunjita.

“Ayolah! Bisa-bisa kita tidur di emperan kedai kalau sampai tidak mendapatkan tempat bermalam. Maklumlah saat ini kotaraja banyak didatangi orang dari segala penjuru. Dan sudah pasti penginapan-penginapan di sini akan diserbu mereka,” keluh Balira agak khawatir.

Dua orang pemuda yang terlihat sudah akrab itu kemudian berkeliling mencari penginapan yang masih kosong. Namun setiap kali memasuki rumah penginapan, selalu saja ditolak. Karena hampir semua penginapan sudah penuh.

“Celaka! Sebentar lagi hari mulai gelap. Bisa-bisa kita tidur di emperan kedai seperti katamu tadi, Kakang,” keluh Lunjita. Pemuda itu benar-benar kesal, karena sampai kakinya lelah, belum juga mendapatkan tempat menginap.

“Sabarlah, Adi Lunjita. Ayo kita coba di rumah penginapan itu. Siapa tahu nasib kita sedang baik,” ajak Balira menghibur hati kawannya yang jelas-jelas mulai kesal. Sambil berkata demikian, disambarnya tangan Lunjita. Kemudian diseretnya tubuh pemuda itu ke rumah penginapan yang dimaksud.

“Iiih! Apa-apaan sih, kau ini! Mengapa pakai pegang-pegang tangan seperti ini! Kau pikir aku pacarmu, ya?!” bentak Lunjita sambil menyentakkan tangannya dengan gerakan kasar. Wajah pemuda tampan itu nampak merah. Bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, seperti tidak suka.

“Eh?!” Balira tersentak kaget dan menolehkan kepalanya dengan wajah ketololan. Wajah kawannya itu dipandangi dengan kening berkerut. Pemuda itu semakin terkejut melihat sinar kemarahan yang terpancar dari sepasang mata Lunjita. Dia benar-benar heran dan tak mengerti, mengapa kawannya sampai sedemikian marahnya. Padahal, hanya karena tangannya dipegang! Benar-benar aneh pemuda yang satu ini! Balira yang sepertinya sudah mulai dapat meraba sikap sahabat barunya itu, tersenyum kecut.

“Maafkan aku, Adi Lunjita. Mengapa baru begitu saja, kau harus marah-marah dan seperti hendak menelanku hidup-hidup? Aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Dan lagi, apa sih anehnya? Kita kan sama-sama laki-laki. Tidak ada salahnya, bukan?” tanya pemuda gagah itu dengan suara halus. Meskipun dalam nada suaranya jelas terkandung rasa keheranan yang amat besar, tapi berusaha disembunyikannya.

“Bagimu memang tidak apa-apa! Tapi aku sama sekali tidak suka! Sekali lagi kau berbuat seperti itu, terpaksa kau akan kutinggalkan dan aku akan mencari penginapan lain!” sahut Lunjita. Suara pemuda itu benar-benar ketus, disertai kemarahan yang masih tersisa. Setelah berkata demikian, kakinya bergegas melangkah menuju rumah penginapan yang hanya beberapa langkah di depan mereka.

Mendengar ucapan sahabatnya yang baginya terdengar aneh itu, Balira hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum sabar. Benar-benar seorang pemuda aneh dan galak! Kemudian Balira melangkahkan kakinya menyusul Lunjita yang sudah lebih dulu memasuki rumah penginapan.

*******************

Balira mempercepat langkahnya ketika mendengar suara-suara bentakan orang yang bertengkar mulut. Dan pemuda gagah bertubuh tegap itu menjadi terkejut ketika melihat Lunjita tengah mencekal leher baju seorang yang berpakaian pelayan. Tangan kanannya sudah terangkat siap meninju wajah pelayan setengah baya yang menjadi gemetar dan pucat.

“Tahan, Adi Lunjita!” cegah Balira sambil berlari mendekati mereka. Tangan kanan pemuda tegap itu sudah siap hendak menangkap lengan Lunjita. Namun begitu teringat akan peristiwa yang dialami ketika memegang tangan sahabatnya, tangannya segera ditarik kembali. Akhirnya Balira hanya berdiri di samping Lunjita dan membujuknya untuk bersabar.

“Huh! Siapa yang tidak menjadi marah?! Sudah lelah kakiku mengelilingi kotaraja ini untuk mencari penginapan yang masih kosong. Eh, pemilik rumah penginapan butut ini seenak perutnya saja memasang harga. Masih untung aku tidak langsung memukul dan melemparkan tubuh gendutnya keluar!” Lunjita bersungut-sungut dan menyumpah-nyumpah lelaki gendut pemilik rumah makan itu.

Si pemilik rumah makan menarik napas lega setelah leher bajunya dilepaskan Lunjita. Lelaki setengah baya itu memandang Balira, dengan sinar mata penuh ucapan terima kasih.

“Maafkan kelakuan sahabatku itu, Paman. Kami memang sangat membutuhkan tempat menginap. Dan seperti yang dikatakan sahabatku tadi, kami sudah berkeliling sampai lelah namun belum juga mendapatkannya. Jadi wajarlah kalau ia marah-marah mendengar harga sewa yang menurut kami sangat mahal itu. Tolonglah, Paman. Kami benar-benar sangat membutuhkan tempat beristirahat,” pinta Balira, sopan dan ramah. Sehingga si pemilik kedai merasa suka dengan pemuda gagah yang ramah itu.

“Jangan lupa! Satu kamar dengan dua tempat tidur!” timpal Lunjita bernada agak mengancam, sambil bertolak pinggang. Matanya menatap tajam si pemilik rumah penginapan yang wajahnya sudah menjadi pucat kembali.

“Tapi... Tapi..., Tuan Muda... Kami...”

“Turuti saja kata-kataku atau rumah penginapan ini akan kuratakan dengan tanah!” ancam Lunjita memotong ucapan lelaki setengah baya yang menjadi gemetar ketakutan.

“Baik... Baik, Tuan Muda...,” kata pemilik rumah penginapan itu mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Setelah berkata demikian, diajaknya kedua orang tamunya itu ke dalam. Balira dan Lunjita bergegas mengikuti.

“Tidak semestinya kau menakut-nakuti orang tua itu, Lunjita. Setidaknya, jangan mencari keributan di kotaraja ini. Bisa-bisa kita akan mendapat kesulitan nanti,” Balira kembali menasihati sahabatnya ketika mereka melangkah di belakang si pemilik penginapan. Pemuda bertubuh tegap itu merendahkan suaranya agar tidak terdengar orang lain. Karena saat itu mereka tengah melewati lorong yang di kiri-kanannya merupakan kamar tempat tamu menginap.

“Huh! Orang serakah seperti dia itu, harus diberi pelajaran sekali-kali. Enak saja memasang harga sewa semaunya. Apa dikiranya kita anak hartawan yang hendak pelesir?” Lunjita yang masih belum merasa puas itu mengomel menyatakan kedongkolan hatinya.

“Hhh..., sudahlah. Yang penting kita harus berhati-hati dan jangan memancing keributan. Karena pada waktu-waktu seperti ini, di kotaraja berkumpul tokoh persilatan dari berbagai aliran. Dan aku yakin, kepandaian mereka pasti sangat tinggi. Belum lagi tokoh-tokoh kerajaan yang kabarnya banyak memiliki tokoh sakti yang berkepandaian hebat. Dan kalau kita membuat keributan di kotaraja ini, bukankah sama artinya mengusik harimau sedang tidur?” bisik Balira lagi menasihati sahabatnya.

“Kau takut dengan tokoh persilatan yang saat ini berkumpul di kotaraja? Dan kau juga takut mendengar kesaktian tokoh-tokoh istana? Kalau begitu, mengapa datang ke kotaraja ini, Kakang?” tanya Lunjita. Pemuda tampan itu menatap wajah sahabatnya yang diam-diam sangat dikaguminya karena memiliki sikap tenang dan penuh kesabaran.

Tentu saja pandangan yang penuh selidik itu membuat Balira mau tak mau menolehkan kepalanya dan tersenyum sabar. “Hm.... Kau salah, Adi. Kata-kataku itu sama sekali tidak berarti aku takut. Tapi sikap hati-hati dan menjaga kelakuan adalah lebih bijaksana. Dan hal itulah yang selalu kulakukan setiap kali berkunjung ke suatu tempat,” sahut Balira mengemukakan alasannya.

“Hah! Ucapanmu seperti seorang kakek-kakek saja, Kakang. Mendengar kata-katamu, rasanya seperti tengah berjalan bersama guruku,” ujar Lunjita seraya tersenyum menggoda.

“Silakan... silakan, Tuan-tuan Muda,” pemilik penginapan segera mempersilakan kedua orang tamunya untuk memasuki kamar yang disediakan. Setelah itu, dia pamit untuk kembali ke ruang depan.

“Terima kasih, Paman,” Balira mengangguk ramah kepada pemilik penginapan itu. Lalu keduanya bergegas memasuki kamar untuk beristirahat.

*******************

“Auuungngng...!”

Lolongan serigala terdengar melengking memecah keheningan malam. Lolongan itu benar-benar mendirikan bulu roma. Apalagi ditambah angin dingin yang berhembus menggigit kulit, menyambut lolongan yang memilukan itu. Balira yang tengah tidur telentang, tersentak bangkit. Nalurinya sebagai seorang tokoh persilatan menangkap suatu keganjilan dari lolongan serigala itu. Pemuda gagah itu duduk bersila, lalu memejamkan matanya rapat-rapat. Sepertinya, dia ingin menangkap lebih jelas lagi, dari mana asal suara itu.

“Aneh! Padahal wilayah Kotaraja Batu Jajar cukup jauh dari hutan? Mengapa lolongan serigala itu sampai terdengar kemari?” desah Lunjita. Ternyata pemuda tampan itu juga sudah bangkit duduk diatas pembaringannya. Dan dia rupanya merasa terganggu oleh lolongan yang melengking itu. Kepalanya ditolehkan ke arah Balira yang bersemadi dalam keremangan kamar penginapan.

“Kakang, apakah kau juga mendengar lolongan itu?” bisik Lunjita yang tidak bisa menahan rasa herannya. Pemuda tampan berwatak aneh itu sepertinya juga menangkap sesuatu yang ganjil.

“Ya. Aku juga mendengarnya, Adi,” sahut Balira juga dengan suara berbisik. Pemuda gagah itu membuka mata, kemudian menolehkan kepalanya ke arah sahabatnya yang saat itu juga tengah menatapnya.

Belum lagi mereka sempat mengutarakan perasaan masing-masing atas keganjilan itu, tiba-tiba terdengar suara ribut yang membuat keduanya mencelat bangkit dari atas pembaringan. Bagaikan telah bersepakat, mereka segera melesat melalui jendela kamar penginapan. Begitu tiba di luar, mereka langsung melompat naik ke atas atap penginapan. Begitu ringannya mereka melompat, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf tinggi. Mereka kemudian berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Dan mereka memang yakin kalau suara ribut tadi berasal dari sekitar penginapan itu. Dan bukan tidak mungkin kalau suara itu berasal dari salah satu, atau beberapa kamar dipenginapan ini.

“Hei, tunggu...!” teriak Lunjita. Sepasang mata Lunjita sempat melihat empat sosok bayangan berkelebat menuju perbatasan kotaraja. Makabpemuda itu bergegas mengejarnya. Pemuda tampan itu juga sudah menghunus pedang yang memang sengaja dibawa ketika keluar dari kamar penginapan.

Balira pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar keempat sosok bayangan hitam itu. Pemuda gagah itu sempat terkejut ketika mendapat kenyataan kalau keempat sosok bayangan hitam itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sehingga ia dan sahabatnya harus mengerahkan seluruh tenaga agar bisa mengejar. Setelah cukup lama mengejar, Balira dan Lunjita mampu memperpendek jarak dengan empat bayangan itu. Begitu melewati tembok kotaraja sebelah Timur, mereka melambung tinggi, lalu melakukan beberapa kali salto di udara melewati atas kepala keempat sosok bayangan hitam itu. Kemudian kaki mereka mendarat ringan, menghadang jalan orang-orang yang dicurigai itu.

“Siapa kalian?! Dan mengapa kalian melarikan diri seperti pencuri?!” bentak Lunjita dengan sepasang mata mengancam. Tangan kiri pemuda itu bertolak pinggang. Sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang yang ditudingkan ke muka empat sosok berpakaian serba hitam. Kening pemuda tampan itu berkerut ketika melihat wajah keempat orang yang tertutup kain hitam. Sehingga yang tampak hanya matanya saja. Tentu saja hal itu membuat kecurigaan Lunjita semakin kuat.

Keempat orang berpakaian serba hitam itu saling berpandangan satu sama lain, seperti tengah berembuk. Sesaat kemudian, salah seorang dari mereka tampak menganggukkan kepalanya.

Cring! Cring...!

Tanpa banyak bicara lagi, keempat orang berpakaian serba hitam yang juga mengenakan kerudung hitam itu mencabut senjata.

“Yeaaat..!” Sambil berteriak nyaring, salah seorang yang berada paling depan langsung melompat dan menyabetkan pedang mengancam Lunjita. Dan memang, pemuda tampan itulah yang paling dekat dengan sasaran.

Wuuut!

Sambaran angin pedang menderu tajam menandakan kalau itu digerakkan oleh tenaga dalam tingkat tinggi. Namun Lujinta sama sekali tidak merasa gentar. Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat mata, pedang yang tergenggam di tangan pemuda itu diangkat untuk memapak senjata lawan.

Trangngng!

Bunga api seketika memercik menerangi sekitarnya akibat benturan dua batang senjata yang dikerahkan lewat tenaga dalam tinggi. Sosok berpakaian serba hitam itu terpekik kaget ketika merasakan tangannya seperti kesemutan akibat benturan itu. Tubuhnya terjajar mundur sejauh empat langkah.

“Keparat!” maki Lunjita yang juga terjajar mundur sejauh dua langkah. Pemuda tampan itu terkejut juga ketika merasakan tangannya bergetar. Mendapat kenyataan kalau tenaganya hanya menang sedikit dari orang itu, Lunjita menjadi marah! Cepat-cepat pedangnya diputar hingga membentuk gulungan sinar putih yang bergerak cepat turun naik. Belum lagi Lunjita sempat menerjang lawannya, sosok berpakaian hitam lainnya lagi sudah menusukkan pedang ke lambung pemuda itu. Bergegas tubuhnya dimiringkan sambil menggeser kaki kanan ke samping. Langsung dilancarkannya serangan balasan.

Terjadilah pertarungan seru antara Lunjita yang dikeroyok dua orang berseragam hitam itu. Terpaksa seluruh kepandaiannya harus dikerahkan untuk menghadapi kedua orang lawannya. Pemuda tampan yang berwatak keras itu mengandalkan kelebihannya dalam hal kecepatan. Tubuhnya berkelebatan cepat disertai sambaran pedang yang membuat kedua lawan harus menguras tenaga menghadapinya.

Balira yang juga berhadapan dengan dua orang berseragam hitam lainnya, sudah mengeluarkan senjata dalam menghadapi keroyokan itu. Tiga batang tongkat pendek yang digabungkan sehingga berbentuk ruyung itu menyambar-nyambar membendung serangan lawan-lawannya. Gerakannya yang mantap dan mengandung kekuatan hebat, ternyata mampu membuat kedua orang pengeroyok itu sibuk dan tidak berani bertindak ceroboh. Maka meskipun pertarungan sudah melewati dua puluh jurus, kedua orang lawan masih juga belum mampu mendesaknya.

“Heaaat..!”

Wuuuk! Wuuuk!

Sambil membentak keras, ruyung di tangan Balira meluncur cepat menyambar salah seorang lawan. Orang itu menarik mundur kaki depannya, lalu mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Namun jurus-jurus serangan yang dilancarkan pemuda gagah itu ternyata memiliki perubahan-perubahan yang tak terduga. Dan tahu-tahu saja, ruyung di tangan pemuda itu berputar dan menyambar kaki lawannya.

“Akh...!” Bukan main terperanjatnya orang itu. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang untuk menyelamatkan kakinya dari hantaman ruyung lawan. Orang itu bersalto sebanyak tiga kali sebelum mendarat di atas tanah.

Sedangkan saat itu, Balira yang sudah menarik pulang senjatanya bergegas menggulingkan tubuhnya ke samping. Karena pada saat yang hampir bersamaan, pedang lawan yang lain sudah meluncur ke arah dada. Sambil bergulingan, pemuda gagah itu melancarkan serangan balasan dengan lontaran ujung ruyungnya, menotok dada kiri lawan.

Bugkh!

“Aaakh...!” Orang itu menjerit kesakitan ketika dada kirinya terhantam ujung ruyung lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terjengkang ke belakang dan roboh dalam keadaan tertotok kaku.

Balira yang semula hendak mengejar, terpaksa menunda gerakannya. Karena saat itu, teriakan sahabatnya terdengar. Pemuda tinggi tegap itu terkejut ketika melihat tubuh sahabatnya terlempar ke belakang dengan derasnya.

“Adi Lunjita...!” Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Balira segera melesat ke arah tubuh sahabatnya yang terkapar tak bergerak. Bukan main cemasnya hati pemuda itu melihat keadaan sahabatnya. Maka terpaksa ketika orang-orang berpakaian serba hitam melarikan diri, dia tidak berusaha dikejar. Mereka kabur sambil memondong salah seorang yang tertotok lumpuh oleh Balira.

“Adi Lunjita...!” seru Balira sambil berjongkok dan memeriksa tubuh sahabatnya. Pemuda gagah itu menarik napas lega ketika mendapati sahabatnya masih bernapas.

Rupanya Lunjita langsung pingsan begitu terkena tendangan salah seorang lawan yang sangat keras. Pada bagian atas dadanya pun terlihat luka yang agak panjang. Sepertinya pemuda tampan itu juga telah terkena sambaran pedang. Karena cuaca di tempat itu agak gelap, dan Balira juga tidak bisa melihat jelas luka sahabatnya, maka tubuh sahabatnya segera diangkat. Tubuh Lunjita kemudian dibawa ke tempat yang agak terang. Pemuda berwajah gagah itu kembali melompati tembok dan memasuki kotaraja. Direbahkannya tubuh Lunjita di bawah sebatang obor yang tertancap di dinding.

Balira meloloskan sabuk yang melilit pinggang sahabatnya. Lalu, dibersihkannya darah yang terdapat di sekitar luka bacokan pedang pada tubuh Lunjita. Untunglah luka itu tidak terlalu dalam, sehingga Lunjita tidak sampai tewas karenanya. Pemuda gagah itu menyingkap baju bagian atas sahabatnya untuk membersihkan luka. Namun matanya menjadi terbelalak ketika melihat buah dada ranum milik seorang gadis remaja yang menyembul dari balik pakaian sahabatnya itu. Sungguh tidak disangka kalau Lunjita ternyata adalah seorang gadis! Balira langsung terpaku bagai patung! Cepat-cepat ditutupnya kembali pakaian sahabatnya, ketika dia tersadar dari rasa kagetnya.

“Ahhh.... Pantas saja sikapnya demikian aneh! Rupanya ia adalah seorang wanita! Aku baru mengerti sekarang, mengapa Lunjita begitu marah ketika tangannya kupegang sewaktu hendak memasuki tempat penginapan.” gumam Balira sambil beranjak bangkit dari duduknya, lalu berdiri mematung memandangi cakrawala yang pekat.

Setelah merenung dan menimbang-nimbang sebentar, akhirnya Balira memutuskan untuk segera kembali ke penginapan. Dipondongnya tubuh sahabatnya yang ternyata seorang gadis dengan tangan yang agak gemetar. Meskipun usianya lebih dari dua puluh satu tahun, namun baru kali inilah Balira berdekatan, bahkan sampai membopong tubuh seorang gadis. Tentu saja hal itu menimbulkan perasaan lain, sehingga membuat tubuhnya panas dingin. Apalagi ketika merasakan betapa lembut dan hangatnya tubuh gadis yang berada dalam pondongannya itu. Semakin kacaulah pikiran Balira.

“Hhh....” Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu menghembuskan napas kuat-kuat sambil menggelengkan kepala mengusir bayangan yang mengganggu. Sambil menekan debaran dalam dada, tubuh Balira segera berkelebat untuk kembali ke penginapan.

*******************

“Hei? Apa yang telah tejadi di tempat itu?” gumam Balira ketika melihat rumah penginapan tempatnya bermalam tampak terang benderang oleh puluhan batang obor. Karena merasa curiga, maka tubuh Lunjita disembunyikannya di tempat yang agak gelap dan tersamar. Kemudian, Balira bergegas menghampiri rumah penginapan itu untuk mencari tahu, apa yang terjadi di sini sehingga rumah penginapan itu dipenuhi orang.

“Semua tamu yang menginap di tempat ini, harap kembali ke kamar masing-masing! Tidak ada seorang pun yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum diperiksa terlebih dahulu!” teriak seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun. Laki-laki yang mengenakan pakaian perwira itu lalu memerintahkan agar para bawahannya menyebar dan menjaga di sekitar rumah penginapan itu.

Balira yang mendengar ucapan perwira itu menjadi terkejut. Didekatinya salah seorang yang berada ditempat itu. “Apakah yang terjadi di tempat ini, Kisanak? Mengapa banyak sekali prajurit kerajaan yang berjaga-jaga?” tanya pemuda gagah itu dengan suara rendah.

“Hm.... Aku pun tidak mengetahuinya secara jelas. Apalagi tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk. Tapi, aku sempat mendengar dari seorang prajurit kalau di dalam rumah penginapan ini telah terjadi pembunuhan. Delapan orang tokoh persilatan yang menginap di tempat ini, kedapatan tewas dengan kepala terpisah dari badan,” jelas lelaki setengah baya itu. Wajahnya tampak membayangkan perasaan ngeri.

“Hei? Siapa yang telah berbuat sedemikian kejam itu, Kisanak? Dan apakah pembunuhnya telah diketahui?” Meskipun Balira sudah mulai dapat menduga orang yang telah melakukan pembunuhan biadab itu, namun berpura-pura tidak mengetahuinya.

“Entahlah! Tidak ada seorang pun yang melihatnya,” jawab orang itu lagi sambil menggelengkan kepala.

Pemuda gagah berusia dua puluh dua tahun yang telah memiliki banyak pengalaman itu, segera memutar otaknya. Dia sadar kalau kembali ke kamar dan mengambil buntalan pakaiannya, adalah perbuatan bodoh. Jelas hal itu bisa jadi akan menambah kesulitan dan kemungkinan akan dicurigai sebagai pembunuh kedelapan orang tokoh persilatan itu. Dan tentu saja hal ini sama sekali tidak diinginkannya. Mendapat pikiran demikian, Balira segera mengurungkan niatnya untuk kembali kepenginapan. Terpaksa buntalan pakaian miliknya dan milik sahabatnya harus ditinggalkan ditempat itu. Lalu, Balira segera kembali ke tempat tubuh sahabatnya disembunyikan.

“Maaf, Sahabatku. Aku terpaksa harus membawamu pergi meninggalkan kotaraja ini,” gumam Balira sambil mengangkat tubuh sahabatnya ke atas pundak.

Setelah mengetahui kalau Lunjita ternyata adalah seorang gadis, pemuda gagah itu menjadi canggung untuk menyebut nama sahabatnya itu. Makanya, ia hanya menyebut dengan panggilan sahabat saja. Dan memang Balira tidak tahu nama sebenarnya dari gadis yang mengaku bernama Lunjita itu. Sambil memondong tubuh sahabatnya, Balira melesat meninggalkan tempat itu. Ia terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, meninggalkan kotaraja.

Pemuda gagah itu berlari melewati tempat dia tadi mengejar empat orang berseragam hitam yang menurutnya adalah pembunuh delapan orang tokoh persilatan di rumah penginapan tempatnya bermalam. Memang, untuk keluar melalui pintu gerbang, sudah tidak mungkin. Balira memang tidak ingin mendapat pertanyaan macam-macam dari penjaga pintu gerbang. Itulah sebabnya, mengapa ia mengambil jalan yang bukan semestinya.

*******************

Saat itu sinar kemerahan sudah mulai muncul di kaki langit sebelah Timur. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan menyambut sang pagi yang mulai menjelang. Balira terus berlari menjauhi kotaraja. Tidak lama kemudian pemuda itu memperlambat langkahnya ketika di hadapannya terlihat sebuah anak sungai. Bergegas diseberanginya sungai yang tidak terlalu lebar itu. Kedua kakinya berkali-kali menotok batu-batu yang menonjol ke permukaan. Begitu sampai di seberang sungai, diturunkan tubuh sahabatnya.

Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu terkejut ketika melihat luka sahabatnya tampak mulai membengkak. Sejenak ia berdiri karena tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi Balira sama sekali buta tentang ilmu pengobatan. Akhirnya, diputuskan untuk menyadarkan sahabatnya saja. Siapa tahu sahabatnya itu mengetahui tentang ilmu pengobatan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Balira segera memencet jalan darah yang terletak di antara hidung dan mulut. Tak berapa lama kemudian, terdengar keluhan lirih dari mulut Lunjita.

“Ohhh...!” Lunjita mengerang sambil memegang bahu kanannya yang terasa sakit ketika hendak bangkit. Akibatnya, kepalanya kembali terkulai di atas tanah berumput.

“Jangan bergerak dulu, Adi... Lunjita,” cegah Balira yang menjadi canggung untuk menyebut nama sahabatnya itu setelah mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik baju Lunjita. Namun Balira berusaha untuk bersikap wajar agar tidak menimbulkan kecurigaan.

“Di mana kita, Kakang?” tanya Lunjita ketika pandangan matanya sudah tidak kabur lagi. Sambil bertanya demikian, pandangannya beredar ke sekitar tempat itu dengan kening berkerut.

“Nantilah kalau kau sudah sehat, baru aku akan menceritakannya,” sahut Balira lembut. Nada suara pemuda itu terdengar agak bergetar.

Memang, sejak mengetahui bahwa sahabatnya itu adalah seorang gadis, ada suatu perasaan aneh yang dialaminya. Dalam pandangannya, Lunjita bukan lagi seorang pemuda tampan yang berwatak aneh, melainkan seorang gadis yang menimbulkan getaran aneh dalam dirinya. Pemuda yang telah lama terjun ke dunia ramai itu pun sadar sepenuhnya kalau dirinya sudah jatuh cinta kepada 'pemuda' sahabatnya itu. Namun hal itu berusaha disembunyikan. Kelak apabila sahabatnya itu telah membuka rahasia tentang dirinya, barulah isi hatinya berani diutarakan.

DUA

Sinar matahari pagi mulai menebar ke seluruh permukaan mayapada. Angin pagi bertiup silir-silir membawa kesegaran. Tampak Balira masih duduk menunggui Lunjita yang terlihat masih terbaring lemah. Pemuda itu duduk bersandar pada sebatang pohon yang ada tidak jauh dari pinggir sungai.

“Uhhh.... Aku haus sekali, Kakang,” rintih Lunjita dengan suara bergetar lemah. Bibirnya tampak pucat dan tubuhnya menggigil bagaikan orang yang terserang demam. Mendengar keluhan sahabatnya, Balira membuka mata yang semula terpejam. Dia memang tengah melakukan semadi untuk memulihkan tubuhnya. Begitu matanya terbuka, wajahnya terlihat khawatir. Terutama ketika melihat keadaan Lunjita yang sepertinya semakin memburuk. Bergegas diraba kening sahabatnya dengan hati cemas. Ia menjadi terkejut ketika merasakan tubuh sahabatnya panas.

“Sebentar, Adi Lunjita. Aku akan mencarikan air untukmu,” sahut pemuda itu.

Balira bergegas bangkit menuju sungai yang tidak jauh dari tempat mereka. Dipetiknya selembar daun yang akan digunakan untuk menampung air sungai yang jernih itu. Sambil menyendok air sungai, otaknya berputar memikirkan keadaan sahabatnya yang diduga telah terserang demam. Mungkinkah senjata yang digunakan empat orang berseragam hitam itu mengandung racun? Kalau tidak, mengapa sahabatnya terserang demam? Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena luka yang tidak terlalu parah, Lunjita sampai terserang demam. Pasti senjata orang-orang itu mengandung racun meskipun bukan jenis yang mematikan. Balira tersentak dari lamunannya ketika lapat-lapat mendengar suara erangan Lunjita. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera melesat meninggalkan sungai

“Jahanam! Apa yang telah kalian lakukan?! Lepaskan dia!” bentak Balira. Pemuda itu menjadi terkejut ketika melihat sahabatnya terguling akibat tendangan yang cukup keras dari seorang laki-laki kurus bertampang licik. Dengan penuh kemarahan, ia langsung melompat menerjang orang itu.

Wuuut!

Balira semakin geram ketika tendangannya berhasil dielakkan orang itu. Tubuhnya berputar cepat, diiringi sabetan kaki mengancam kuda-kuda lawan untuk menjatuhkannya. Pemuda berwajah gagah itu ternyata memiliki perhitungan cermat. Karena begitu tubuh lawan melompat menghindari sambaran kakinya, tangan kanannya meluncur melakukan dorongan ke dada lawan.

Desss!

“Hugkh...! Tubuh orang bertubuh kurus itu langsung terjengkang akibat hantaman telapak tangan yang dialiri tenaga dalam penuh. Balira sempat terkejut ketika orang itu ternyata masih dapat melakukan salto beberapa kali hingga tubuhnya tidak sampai terbanting di tanah. Namun demikian, tak luput dari sudut bibir lawan tampak darah segar menetes dan membasahi pakaian. Sebelum pemuda itu tersadar dari kekagumannya, saat itu sebuah serangan sisi telapak tangan telah menghantam tubuhnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Balira terlempar sejauh dua tombak. Namun dia cepat melenting berdiri sambil meringis menahan rasa nyeri di punggung yang terkena pukulan telak itu.

“Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan dari kami?!” tanya Balira. Dia menjadi tegang melihat belasan orang laki-laki berwajah angker telah mengepung tempat itu. Kekhawatiran semakin nampak di wajahnya, mengingat keadaan sahabatnya yang tengah menderita sakit itu. Dengan sorot mata tajam, Balira berdiri tegak di samping Lunjita. Kelihatannya, pemuda itu siap melindungi sahabatnya dari ancaman belasan orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu.

“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak! Apakah kalian pikir setelah melakukan pembunuhan terhadap delapan orang tokoh persilatan di penginapan itu kalian akan dapat lolos?! Hmh! Jangan mimpi, Kisanak! Lebih baik kau dan kawanmu itu menyerah untuk kemudian kuserahkan kepada prajurit kerajaan!” ujar orang berwajah brewok dan memiliki codet di pipi kirinya, sambil meraba gagang pedang yang menyembul di pinggang dengan sikap mengancam.

“Bangsat! Jaga mulutmu, Kisanak! Apa maksudmu melemparkan tuduhan keji kepada kami? Kami sama sekali tidak melakukan apa-apa!” sahut Balira. Pemuda gagah itu benar-benar menjadi terkejut mendengar tuduhan orang berwajah brewok. Wajahnya yang dilanda ketegangan langsung berubah pucat. Otaknya berputar mencari jawaban, apa yang menyebabkan orang itu menuduhnya telah melakukan pembunuhan keji terhadap delapan tokoh persilatan.

“Ooohhh...” Tiba-tiba terdengar erangan lirih yang keluar dari bibir pucat milik Lunjita. Wajah tampan itu tampak semakin pucat dengan butir-butir keringat yang mengalir deras. Tubuh gadis yang menyamar menjadi pemuda tampan itu bergerak-gerak gelisah sambil sekali memperdengarkan erangan lirih dan rintih kesakitan.

“Adi Lunjita.... Kau..., kau... Apa yang kau rasakan? Bagaimana... keadaanmu?” tanya Balira, cemas.

Pemuda itu membungkuk, memeriksa tubuh sahabatnya yang semakin panas. Dan hal itu membuatnya makin khawatir dan bingung. Belum lagi penyakit sahabatnya itu sembuh, kesulitan lain muncul. Membuat pikirannya semakin kalut.

“Nah! Lihatlah keadaan sahabatmu yang tengah sekarat itu. Ia harus segera mendapatkan pertolongan dan perawatan secepatnya. Lebih baik, menyerah saja. Kemudian akui segala perbuatanmu itu, sebelum keadaan kawanmu semakin memburuk. Tidakkah kau merasa kasihan kepadanya?” ujar si brewok seraya tersenyum penuh kemenangan. “Dan perlu kau ketahui, sahabatmu itu telah terkena racun yang akan dapat menewaskannya dalam waktu dua hari.”

“Keparat! Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?!” bentak Balira tersentak bangkit dan memandang tajam kepada orang itu.

“Hm.... Mudah saja bagiku untuk menebaknya. Lihatlah. Bukankah wajahnya telah dijalari warna kehijauan?” sahut lelaki brewok itu lagi.

Balira tersentak kaget dan secepat kilat menoleh kearah sahabatnya. Hatinya benar-benar tercekat melihat kebenaran ucapan lelaki brewok yang kurang lebih berusia empat puluh tahun itu.

“Sudahlah, Ki. Mengapa kita harus mengulur-ulur waktu? Kalau memang tidak mau menyerah, bunuh saja. Lalu, mayat mereka kita bawa, dan serahkan kepada para prajurit Kerajaan Batu Jajar. Kita bisa katakan kepada para prajurit kalau mereka berdualah yang telah melakukan pembunuhan terhadap delapan orang tokoh persilatan di penginapan itu,” usul seorang pengikut si brewok yang sudah tidak sabar mendengar percakapan itu.

“Benar, Ki. Dan lagi kalau mereka kita tangkap hidup-hidup, pasti akan membantah tuduhan itu. Bahkan jangan-jangan malah melemparkan tuduhan kepada kita. Bukankah hal itu malah akan menyulitkan?” timpal yang lainnya, membenarkan ucapan kawannya.

“Hm.... Benar juga ucapan kalian itu,” gumam si brewok sambil mengusap-usap dagunya dengan kening berkerut. Rupanya hal itu baru disadarinya. “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Bunuh kedua orang pemuda itu!”

Mendengar perintah pemimpinnya, belasan orang laki-laki angker itu serentak berlompatan mengurung Balira dan Lunjita. Sementara pemuda itu segera mencabut ruyungnya. Dia telah bersiap mempertahankan nyawa, dan nyawa sahabatnya.

“Heaaat..!” Dibarengi teriakan nyaring, empat orang berseragam hitam yang berada di sebelah kiri, melompat sambil mengayunkan pedang yang menderu tajam.

Trakkk! Trakkk!

Balira mengayun ruyungnya sekuat tenaga, untuk menangkis dua batang pedang yang menyambar punggung dan lambungnya. Dua orang penyerang itu langsung terjajar mundur. Bahkan pedang mereka telah terpental akibat tangkisan itu. Kemudian, Balira melompat ke samping menghindari dua batang senjata lainnya. Sambil melompat, kaki kanannya melakukan tendangan hingga membuat salah seorang lawan terjungkal ke belakang.

“Majulah kalian, Manusia-manusia Keparat! Jangan harap aku akan menyerah begitu saja!” tantang Balira. Sambil berkata demikian, Balira memutar ruyungnya hingga membentuk lingkaran sinar merah yang melebar melindungi tubuhnya dan juga tubuh sahabatnya. Sementara, pada saat itu Lunjita hanya dapat mengerang dan merintih kesakitan.

Belasan orang berseragam hitam itu sama sekali tidak mempedulikan kemarahan Balira. Mereka kembali menerjang dan mengirimkan serangan-serangan maut yang mematikan. Mau tak mau Balira menjadi sibuk dan terdesak hebat. Namun sambil menggertakkan gigi, pemuda bertubuh tinggi tegap itu terus memberi perlawanan. Segenap kemampuan yang dimilikinya, langsung dikerahkan.

Wuuuttt!

Desss! Desss!

“Aaakh...!” Dua orang pengeroyok yang hendak membunuh Lunjita terpental bergulingan akibat hantaman ruyung yang mengenai dada dan punggung mereka. Balira terus memutar ruyungnya, mengamuk bagai harimau luka. Namun para pengoroyoknya itu bukanlah orang lemah. Tidak heran meskipun pemuda gagah itu telah mengerahkan seluruh kepandaian, tetap saja masih terdesak hebat

Bukkk! Brettt!

“Aaakh...!” Balira menjerit kesakitan ketika sebuah hantaman kaki salah seorang lawan menghantam keras pinggulnya. Sebelum sempat memperbaiki keadaannya, sebuah kilatan pedang menyambar tubuhnya. Untunglah badannya masih sempat dimiringkan, sehingga hanya menyerempet bahu kanannya. Tubuh pemuda itu terhuyung sambil mendekap lukanya yang mengucurkan darah segar.

“He he he.... Bersiaplah untuk melayat ke neraka, Kisanak!” ejek salah seorang pengeroyoknya seraya terkekeh gembira. Setelah berkata demikian, kembali diterjangnya Balira. Sambaran pedang orang itu tampak mengarah leher Balira.

Wuuuttt!

Sambaran pedang itu berhasil dielakkan Balira dengan merendahkan tubuh dan menggeser kaki kanannya yang membentuk kuda-kuda serong. Kemudian tubuhnya dilempar jauh ke belakang untuk menghindari sambaran pedang lain. Baru saja kakinya menjejak tanah, sebatang pedang lain menusuk dengan kecepatan tak terduga. Cepat pemuda itu mengayunkan ruyungnya untuk menangkis senjata lawan.

Trakkk!

Sambaran ruyung pemuda itu berhasil menggagalkan serangan itu. Namun, sebuah tendangan yang datang dari samping kiri tak sempat dihindarinya lagi.

Bukkk!

“Aaakh...!” Tubuh Balira terlempar disertai jerit kesakitannya. Pemuda gagah itu bergulingan sejauh empat batang tombak untuk menghindari serangan para pengeroyoknya yang lain. Darah segar mulai menetes dari sudut bibirnya. Balira terhuyung limbung karena luka-luka yang diderita. Bibirnya tampak digigit kuat-kuat, lalu kembali ruyungnya diputar untuk melindungi tubuh.

Belasan orang pengeroyok itu kembali menerjang Balira dengan ganas dan tanpa ampun. Karena terlalu bernafsu membunuh pemuda gagah yang telah terluka, belasan orang pengeroyok itu sepertinya sudah melupakan Lunjita yang terbaring lemah tanpa daya.

Bukkk! Desss! Brettt!

"Aaakh...!” Balira jatuh terguling-guling akibat tendangan dan pukulan lawan yang telak mengenai tubuhnya. Sebuah sambaran golok lawan juga telah merobek paha kirinya, meskipun tidak terlalu dalam. Balira masih juga berusaha bangkit walau terpincang-pincang.

“Jangan bunuh dulu! Lebih baik dia kita siksa hingga mau mengakui perbuatannya!” usul salah seorang pengeroyok yang sudah menyarungkan senjatanya.

Kawan-kawannya serentak mengangguk setuju dan ikut menyarungkan senjata. Kemudian mereka kembali menerjang dengan tendangan dan pukulan ke seluruh tubuh Balira. Namun, rupanya pemuda gagah itu masih juga mampu memberi perlawanan. Salah seorang pengeroyok terguling roboh terkena hantaman ruyung pemuda gagah itu. Namun pada saat itu juga, tubuh Balira terkena pukulan dan tendangan beberapa orang lawan.

Plakkk! Desss! Bukkk!

Balira kembali jatuh terguling-guling akibat hantaman keras yang menghajar tubuh dan wajahnya. Darah pun semakin banyak mengalir dari mulut dan wajahnya yang telah biru lebam. Sebelum dapat bangkit, kembali para pengeroyok menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan.

“Oooh...!” Balira merintih dan mengerang menahan rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. Kali ini pemuda itu tidak mampu lagi bangkit. Luka-luka yang dideritanya benar-benar sudah sedemikian parah. Juga keadaan tubuhnya telah sangat lemah, sehingga Balira hanya dapat pasrah menanti ajal yang datang menjemput. Tubuhnya telentang dengan napas tersengal. Keadaannya benar-benar sangat menyedihkan.

“Ha ha ha...! Bersiaplah menerima kematianmu, Anak Muda Sial!” ujar salah seorang pengeroyok yang sudah mencabut pedangnya, siap dihunjamkan ke tubuh Balira yang sudah tak berdaya. Namun, begitu pedang hampir menyentuh kaki Balira, tiba-tiba....

Trang!

“Aaakh...!” Laki-laki berseragam hitam yang siap menghunjamkan pedang, tiba-tiba terpental deras ke belakang. Pedangnya juga terlepas akibat hantaman sebuah kerikil sebesar ibu jari. Tampak sosok tubuh berjubah putih tahu-tahu sudah melangkah tenang mendekati tempat itu. Sorot matanya begitu tajam dan menggetarkan, sehingga membuat belasan orang lelaki berwajah angker yang siap membunuh Balira langsung mundur. Langkah pemuda itu tampak tegap bagai langkah seekor harimau jantan nan perkasa.

“Siapa kau, Kisanak...?” tanya salah seorang dari belasan laki-laki itu. Suaranya agak bergetar karena pengaruh tatapan mata yang menggetarkan jantung. Sedangkan yang lain hanya terpaku bagai patung.

Pemuda tampan yang mengenakan jubah putih sama sekali tidak menjawab. Bahkan kakinya terus saja melangkah mendekati Balira yang tengah merintih menahan sakit. Tanpa mempedulikan belasan orang itu, ia berjongkok dan memeriksa tubuh Balira. Kemudian diberikannya beberapa totokan pada bagian tubuh pemuda gagah yang tergolek tak berdaya akibat luka yang diderita.

“Luka-lukamu cukup parah, Kisanak. Sebaiknya telanlah obat ini agar kesehatanmu cepat pulih,” ujar pemuda tampan itu sambil menyerahkan sebutir obat pulung berwarna putih seperti salju.

Balira memandangi penolongnya penuh rasa terima kasih. Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera ditelannya obat yang diberikan penolongnya itu. Pemuda tinggi tegap berwajah gagah itu membelalak heran ketika merasakan adanya hawa hangat yang berputar di sekitar pusarnya. Hatinya menjadi girang bukan main, karena hawa yang berputar itu terasa nikmat dan menghilangkan segala rasa nyeri akibat luka-lukanya.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Dan kuharap kau juga sudi menolong sahabatku yang tengah keracunan itu,” ucap Balira lirih dan penuh permohonan. Sambil berkata demikian, kepalanya menoleh ke tempat sahabatnya yang tengah tergeletak tadi. Wajah Balira berubah cemas ketika tidak melihat sosok tubuh Lunjita.

“Jangan khawatir. Sahabatmu itu sudah berada di tempat aman. Marilah kita melihatnya,” ajak pemuda tampan berjubah putih itu. Setelah berkata demikian, pemuda itu memapah bangkit tubuh Balira. Karena biarpun luka-luka yang diderita pemuda gagah itu sudah tidak terasa nyeri, namun masih belum mampu bangkit. Pemuda tampan yang ternyata Panji atau berjuluk Pendekar Naga Putih itu bergerak mendekati tubuh Lunjita yang terbaring ditemani seorang gadis jelita berpakaian serba hijau.

Gadis itu cantik sekali! Wajahnya yang putih dan jelita itu terhias senyum manis, membuat orang tak akan pernah puas untuk memandanginya. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan Kenanga, yang sudah pasti datang bersama Panji. Baru beberapa tindak Panji dan Balira melangkah, laki-laki brewok yang sejak tadi hanya menonton pertarungan, berteriak nyaring mengejutkan. Dan pada saat itu juga, tubuhnya melayang sambil melakukan dorongan dengan kedua telapak tangan ke punggung Pendekar Naga Putih.

Wuuusss!

Panji yang merasakan adanya terpaan angin tajam yang menuju punggungnya, cepat mengibaskan tangan kanan tanpa menoleh sedikit pun. Sedangkan, tangan kirinya tetap memapah Balira. Seketika....

TIGA

Bresss!

“Aaakh...! Tubuh lelaki brewok itu terpental balik ketika sepasang telapak tangannya terasa bagai membentur dinding yang amat kokoh. Bahkan dapat menolak balik tenaganya. Cepat-cepat tubuhnya dilempar kebelakang, lalu melakukan beberapa kali salto diudara. Dan kini, kedua kakinya mendarat di atas tanah dengan selamat meskipun agak terhuyung.

Terdengar helaan napasnya yang berat disertai dorongan sepasang tangan ke depan. Laki-laki brewok itu berusaha menghilangkan rasa sesak di dada akibat kibasan tangan Panji tadi. Setelah beberapa kali menyedot dan membuang napas disertai gerakan tangan, dia berdiri tegak menatap punggung kedua orang pemuda yang terpisah beberapa batang tombak didepannya. Si brewok tidak berani melancarkan serangan lagi setelah merasakan akibat perbuatan curangnya itu. Si brewok berdiri terpaku bagaikan orang yang tengah dilanda mimpi buruk. Benar-benar tidak disangka kejadian yang barusan dialaminya. Bagai-mana mungkin kibasan tangan pemuda seusia itu dapat membuat dirinya terpental? Mungkinkah pemuda berjubah putih itu memiliki tenaga dalam tinggi yang melebihi tenaga dalamnya?

“Nah! Sekarang beristirahatlah dulu, Kisanak. Hm.... Bagaimana keadaan orang itu, Kenanga?” kata Panji begitu tiba di dekat Lunjita dan Kenanga. Kemudian Pendekar Naga Putih melangkah mendekati kekasihnya.

“Nampaknya masih bisa tertolong, Kakang. Meskipun racun yang merasuk di tubuhnya termasuk ganas, namun daya kerjanya sangat lambat. Sehingga, sampai saat ini belum terlalu membahayakan nyawanya,” sahut Kenanga sambil memandang kekasihnya.

“Hm.... Kalau begitu, tunggulah di sini. Biar akan kuselesaikan urusan ini dengan mereka,” desah Panji. Pendekar Naga Putih kemudian segera membalikkan tubuhnya. Kini kakinya melangkah mendekati lelaki brewok dan para pengikutnya.

Mereka rupanya masih penasaran terhadap pemuda berjubah putih itu. Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang tombak. Kemudian, pandangannya beredar menyapu wajahwajah angker yang saat itu juga tengah menatapnya.

“Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah yang telah menyebabkan kalian begitu tega menyiksa kedua orang pemuda itu?” tanya Panji. Suara Pendekar Naga Putih terdengar ramah dan nadanya bersahabat. Meskipun dapat diduga kalau wajah mereka bukanlah wajah orang baik-baik, namun pemuda itu berusaha untuk mengetahui duduk persoalannya secara jelas. Sebab hal itu sangat berguna untuk dapat memutuskan sikap yang akan diambil nanti. Sepertinya, Panji mencoba untuk menjadi penengah diantara kedua belah pihak. Dan kalau tadi Pendekar Naga Putih telah bersikap membela kedua orang pemuda itu, hal itu dikarenakan tidak sampai hati melihat Balira dikeroyok dan disiksa. Jadi, bukan berarti kalau ia membela kedua pemuda itu sepenuhnya.

“Hm.... Ketahuilah, Kisanak. Kedua orang pemuda itu adalah pembunuh biadab. Dan saat ini, mereka tengah dicari-cari prajurit Kerajaan Batu Jajar. Kedua orang itu adalah buronan pemerintah! Jadi kalau kau membelanya, maka akan menjadi buronan pemerintah juga! Kalau kau tidak ingin terlibat, serahkanlah kedua orang pemuda itu. Kemudian, kami akan menyerahkannya kepada prajurit kerajaan,” jelas laki-laki brewok itu yang membuat kening Panji berkerut dalam.

“Betulkah ucapanmu itu, Kisanak? Apakah kau melihatnya dengan mata kepala sendiri?” tanya Panji meminta ketegasan. Memang Pendekar Naga Putih sebenarnya tidak yakin akan keterangan yang diberikan lelaki brewok itu. Sebab kalau menilai penampilan kedua pemuda yang kini bersamanya, penjelasan laki-laki itu benar-benar disangsikannya. Sepertinya, Pendekar Naga Putih akan lebih percaya kalau belasan orang itulah yang telah melakukan kejahatan. Karena dari lagak dan nada bicara, jelas kalau belasan orang itu bukanlah dari golongan putih.

“Bangsat! Rupanya kau tidak mempercayai kata-kataku, Kisanak! Kalau kau ingin bukti yang lebih jelas, tanyakanlah kepada pemilik rumah penginapan tempat peristiwa itu terjadi. Kedua orang pemuda itu pun menginap di sana. Dan mereka melarikan diri setelah pembunuhan itu terjadi. Apakah semua bukti itu masih belum cukup?” bentak lelaki brewok itu dengan wajah gelap karena amarahnya mulai terbakar.

“Bukan aku tidak mempercayai kata-katamu, Kisanak. Tapi aku tidak bisa mendengar keterangan sepihak saja. Lebih baik kalian tunggu saja di sini. Aku akan mencoba mengobati salah seorang pemuda yang tengah menderita keracunan itu. Dan setelah mereka sembuh, kita bisa dengar keterangan mereka. Bagaimana? Apakah kau setuju dengan usulku?” tanya Panji meminta pendapat dari lelaki brewok berwajah codet itu.

“Tidak bisa! Kedua orang pemuda itu adalah iblis biadab yang sangat lihai. Kalau mereka telah sembuh, pasti akan melarikan diri! Aku tidak bisa menerima usulmu itu! Lebih baik kau tinggalkan saja tempat ini, dan jangan mencampuri urusan kami. Biar kami yang akan menyelesaikannya sendiri! Kalau kau tidak mau menyerahkan kedua pemuda itu, kami terpaksa merebut dengan jalan kekerasan!” sergah si brewok yang tidak mau menerima usul Panji. Kemudian dia cepat mencabut keluar pedang yang terselip di pinggang.

“Maaf, aku terpaksa membela mereka. Apa lagi, luka-luka mereka masih belum sembuh. Sekali lagi aku mohon maaf,” ucap Panji. Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang, meskipun belasan orang itu telah berlompatan mengurungnya. Wajah tampan itu tetap tersenyum sabar dan sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Bahkan pemuda itu tidak terlihat memasang kuda-kuda sebagaimana layaknya orang yang menghadapi sebuah pertempuran.

“Bangsat! Rupanya kau harus mampus seperti halnya yang akan dialami dua orang pemuda pembunuh itu!” bentak si brewok menggeram penuh kegusaran. “Habisi pemuda usilan itu!”

Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki berseragam hitam segera berlompatan menerjang Panji. Senjata-senjata mereka berkelebat dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

Wuuuttt! Wuuuttt..!

Panji menggeser tubuhnya ke kanan-kiri, menghindari sambaran senjata pengeroyoknya. Kemudian tubuhnya berkelebatan dan menyelinap di antara belasan senjata itu. Maka meskipun para pengeroyok-nya melancarkan serangan secara bergelombang, namun sampai sepuluh jurus lebih belum satu pun senjata yang dapat menyentuh tubuhnya. Jangankan melukai tubuh pendekar muda itu. Bahkan ujung bajunya saja, tidak dapat tersentuh!

Tentu saja hal itu membuat para pengeroyoknya semakin gemas dan penasaran. Laki-laki berwajah brewok yang merupakan pimpinan belasan orang berseragam itu sudah pula ikut membantu. Tapi, tetap saja ia tidak mampu merubah keadaan. Kelihatannya saja Panji terdesak hingga tidak mampu balas menyerang. Padahal justru para pengeroyoknya yang kalang-kabut dan mulai dijalari perasaan gentar.

“Heaaat..!”

Pada jurus yang kelima belas, si brewok berseru nyaring. Tubuhnya kemudian melompat disertai sambaran pedang yang langsung mengancam empat jalan darah kematian di tubuh Panji. Lima orang pengikutnya juga membarenginya dengan tusukan pedang yang mengarah ke beberapa bagian tubuh pemuda berjubah putih itu.

Crakkk! Crakkk...!

“Hahhh...!”

Keenam orang penyerang itu menjadi terkejut ketika tidak mendapati lawan yang tiba-tiba lenyap begitu saja. Akibatnya, senjata-senjata mereka hanya mengenai batu dan tanah berumput.

“Aku di sini, Sahabat-sahabat!” seru Panji. Ternyata Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak sejauh tiga tombak di belakang para pengeroyoknya. Tentu saja hal itu menjadikan para pengeroyoknya terkejut setengah mati. Apalagi setelah mendengar suara pemuda itu, yang datang dari arah belakang mereka.

“Gila! Jangan-jangan pemuda berjubah putih itu bukan manusia! Mana mungkin manusia dapat menghilang seperti setan?” gumam salah seorang pengeroyok yang semakin gentar dan ngeri melihat kesaktian pemuda berjubah putih itu.

“Setan! Mengapa kau bisanya hanya mengelak saja?! Kalau kau memang memiliki kepandaian, hayo! Seranglah kami! Tunjukkan kehebatanmu, Jahanam!” maki lelaki berwajah brewok dengan penuh kebencian. Hatinya benar-benar penasaran, karena setelah melancarkan serangan selama dua puluh jurus, tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan membuatnya benar-benar lelah.

“Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud bertarung dengan kalian. Sebab, di antara kita tidak terdapat permusuhan. Tapi kalau kalian memang menginginkannya, bersiaplah! Sambutlah seranganku!” sahut Panji tenang. Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat lenyap, hingga yang tampak hanyalah bayangan putih yang berkelebat cepat bagaikan hantu.

Plak! Plak! Plak...!

“Aaakh...!”

Setelah Panji melancarkan serangan kurang lebih sebanyak tiga jurus, enam orang di antara pengeroyoknya sudah bertumbangan saling tumpang tindih. Mereka semua rebah pingsan akibat tamparan yang dilancarkan pendekar muda itu, yang dialiri tenaga dalam lumayan. Si brewok semakin murka hatinya melihat akibat serangan yang dilancarkan pemuda tampan itu. Disertai pekik kemarahan, diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus andalan yang sangat jarang digunakan.

Wuuut! Wuuut!

Pedang di tangan si brewok berkelebat hingga bentuknya lenyap, sehingga menyerupai sebentuk sinar yang bergulung-gulung. Sinar pedang itu bergerak turun naik bagai gelombang ombak yang menyerbu pantai. Kalau saja bukan Pendekar Naga Putih, pasti akan tewas dan tidak mampu menghindari jurus maut yang mematikan itu. Menghadapi serangan laki-laki brewok yang memang memiliki kepandaian paling tinggi di antara lainnya, Panji bersikap lebih hati-hati. Kedua kakinya melangkah mundur menghindari sambaran lawan. Sesekali sepasang tangannya bergerak bergantian, menangkis pukulan tangan kiri dan tendangan. Dan setiap kali tangannya bergerak menangkis, tendangan dan pukulan lawan terpental balik. Bahkan tubuhnya juga terjajar mundur ke belakang. Untunglah Panji sampai saat itu masih belum menggunakan seluruh tenaganya.

Pada jurus yang ketiga puluh dua, Panji menggeser kakinya ke kanan disertai egosan tubuhnya. Begitu sambaran pedang si brewok lewat, tangan kirinya bergerak cepat menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Seketika pemuda membarenginya dengan hantaman sikut kanan ke iga lawan. Gerakan yang cepat dan tidak terduga itu membuat lawan tidak mampu lagi menghindar. Dan....

Tappp! Desss!

“Aaakh...!” Tubuh laki-laki brewok itu terpental ke belakang akibat hantaman sikut yang cukup keras itu. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terbanting di atas tanah berumput dan berbatu. Laki-laki itu berusaha bangkit sambil menekap iganya yang terasa remuk. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan merah. Wajahnya yang agak pucat itu menyeringai menahan sakit. Sedangkan sepasang matanya berputar mencari senjatanya yang terlepas dari genggaman.

Panji yang saat itu sudah mendapat gempuran dari pengeroyok lain, segera menyelinap di antara empat batang senjata yang mengancam tubuhnya. Tangan dan kakinya bergerak melakukan tamparan dan tendangan ke arah empat penyerang. Terdengar teriakan-teriakan ngeri, yang disusul terpentalnya tubuh para pengeroyok. Keempat orang itu merintih dan mengaduh menahan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan Panji yang cukup keras tadi. Mereka tidak mampu lagi bergerak, apalagi bangkit berdiri.

Para pengeroyok lainnya yang tinggal tujuh orang langsung bergerak mundur dengan hati gentar. Tak seorang pun dari mereka yang terlihat hendak menyerang kembali. Sepertinya, mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kawan-kawannya yang lain. Kini mereka hanya berdiri sambil menatap pemuda berjubah putih dalam jarak empat tombak. Pendekar Naga Putih yang melihat lawannya tidak bergerak menyerang, hanya tersenyum tenang. Sepasang matanya yang tajam menyapu wajah ketujuh orang yang kembali bergerak mundur dengan hati diliputi ketegangan.

Laki-laki brewok yang menjadi pimpinan dari orang-orang berseragam hitam itu melangkah terbungkuk-bungkuk sambil sesekali menyeringai menahan sakit. Ia melewati pengikutnya yang hanya dapat memandang khawatir. “Hm.... Kali ini kami mengaku kalah kepadamu, Kisanak. Sebutkan namamu agar kelak kami dapat melunasi hutang ini,” kata lelaki brewok itu sambil melemparkan pandangan tajam.

“Maaf, Kisanak. Bukan maksudku untuk membuat permusuhan dengan kalian. Tapi tentu saja aku tidak akan lari dari tanggung jawab ini. Namaku Panji, seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Orang-orang rimba persilatan memberi julukan padaku sebagai Pendekar Naga Putih,” sahut Panji dengan suara tenang dan mantap.

Sama sekali tidak terdengar nada kesombongan ataupun kebanggaan pada saat Panji menyebutkan julukannya yang terkenal itu. Julukannya disebutkan agar apabila orang-orang itu hendak mencarinya akan menjadi lebih mudah. Sebagai seorang pendekar yang berjiwa bersih, maka Pendekar Naga Putih siap menerima akibat perbuatannya itu.

“Kau... Pendekar Naga Putih...!” teriak lelaki brewok itu dengan wajah berubah pucat. Tanpa sadar kedua kakinya melangkah mundur, menjauhi pemuda berjubah putih yang hanya dalam beberapa jurus saja telah dapat membuatnya takluk.

“Pendekar Naga Putih...!”

Beberapa orang pengikut si brewok yang pernah mendengar julukan itu langsung kaget. Rasa gentar hati mereka semakin bertambah, setelah mendengar julukan pemuda berjubah putih yang sangat lihai itu.

“Benar, Kisanak. Akulah Pendekar Naga Putih,” tegas Panji yang menarik napas lega ketika melihat orang-orang berseragam hitam itu memandangnya dengan hati gentar. Diam-diam pemuda itu mencatat dalam hati kalau nama besar kadang-kadang dapat menyelesaikan persoalan tanpa harus menggunakan kekerasan. Hal itu dapat dirasakannya dari pandangan orang-orang yang terlihat segan dan menaruh rasa hormat setelah julukannya diperkenalkan.

Si brewok yang semula belum dapat menerima kekalahannya itu, mengangguk-angguk puas. Sepertinya kekecewaan akibat kekalahan itu dapat terobati begitu mengetahui siapa sebenarnya anak muda yang telah mampu mengalahkannya. Terbersit rasa kebanggaan di hatinya setelah mengetahui kalau pemuda yang telah mengalahkannya, ternyata seorang pendekar muda yang telah tersohor kedigdayaannya. Namun demikian, dalam hati kecilnya tetap tersimpan rasa dendam, karena pendekar muda itu telah mencampuri dan menggagalkan urusannya.

“Baiklah, Pendekar Naga Putih. Kau boleh membawa kedua orang pemuda itu karena kami telah kalah. Tapi, ingat suatu hari nanti, kami akan datang untuk membalas perbuatan usilmu ini,” ancam laki-laki brewok itu lirih, namun mengandung dendam yang dalam. Setelah berkata demikian, si brewok meninggalkan tempat itu sambil memerintahkan para pengikutnya untuk membawa teman-teman mereka yang terluka akibat pertarungan tadi.

Panji berdiri tegak memandangi kepergian belasan orang laki-laki berseragam hitam itu. Pemuda tampan itu menghembuskan napasnya kuat-kuat seolah merasa kecewa dengan kejadian yang baru saja dialaminya. “Hm.... Sulit sekali untuk menghindari permusuhan meskipun aku telah berusaha mengalah dan tidak membuat mereka luka berat,” desah Pendekar Naga Putih penuh sesal.

Tiba-tiba saja pemuda itu tersentak dari lamunan, karena telah lupa menanyakan perihal orang itu. Terutama, siapa dan dari mana mereka. Cepat-cepat Panji melompat ke atas sebongkah baru yang agak tinggi. Namun belasan orang itu tidak dapat ditemukan. Pada kenyataannya, orang-orang itu memang memasuki hutan lebat yang tidak jauh di depannya. Panji membatalkan niatnya untuk mengejar karena sama sekali belum mengetahui keadaan hutan di depannya itu. Dan hal itu sangat berbahaya, sebab mungkin saja di sana banyak terdapat jebakan yang dipasang mereka. Dan bukan tidak mungkin kalau sarang mereka juga di dalam hutan lebat itu.

EMPAT

Balira membuka mata ketika tenaganya terasa sudah hampir pulih. Luka bacokan di paha dan bahu kanannya sudah terbalut rapi. Hanya beberapa luka memar yang masih tergambar diwajahnya. Pemuda gagah itu bangkit berdiri, lalu memandang berkeliling. Kemudian, dihampirinya gadis jelita yang saat itu tengah menunggui Lunjita.

“Nisanak, namaku Balira. Aku mengucapkan ribuan terima kasih atas pertolonganmu dan kawanmu itu. Entah, bagaimana kami bisa membalas kebaikan kalian berdua,” ucap Balira sambil memperkenalkan diri. Tubuhnya juga membungkuk hormat ke arah Kenanga yang tersenyum manis.

“Namaku, Kenanga. Oh, ya. Kau tidak perlu sungkan-sungkan, Ki... eh! Balira. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong selama hal itu masih berada dalam jalan yang lurus? Siapa tahu aku dan Kakang Panji akan membutuhkan pertolongan kalian kelak?” sahut Kenanga juga memperkenalkan diri. Gadis itu juga bangkit dan membalas penghormatan Balira, selayaknya orang persilatan. Keduanya menoleh kepada Panji yang saat itu tengah melangkah mendekati mereka.

“Betul apa yang diucapkan Kenanga, Balira. Dan janganlah merasa berhutang budi. Kami tidak mengharapkan balas budi dari pertolongan kami ini, karena hal itu akan mendatangkan beban bagi hati kalian,” timpal Panji dengan wajah terhias senyum cerah. Pemuda berjubah putih itu cepat membungkuk, ketika Balira memberi penghormatan padanya.

“Terima kasih atas kebaikanmu, Kisanak. Bolehkah aku mengetahui nama besarmu?” tanya Balira. Rupanya pemuda gagah itu belum mengetahui siapa adanya pemuda tampan yang telah menolongnya. Karena pada saat pertempuran berlangsung, ia tengah tenggelam dalam semadi sehingga tidak mendengar pembicaraan Panji dengan orangorang berseragam hitam yang mengeroyok dan menyiksanya tadi.

“Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberi julukan Pendekar Naga Putih kepadaku,” sahut Panji seraya tersenyum.

“Aaahhh...! Maafkan sikapku yang kurang hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih. Sudah lama aku mengagumi namamu. Siapa sangka kalau hari ini dapat berjumpa langsung dengan orangnya. Rasanya aku patut mengucapkan terima kasih kepada orang-orang berseragam hitam yang telah menyiksaku,” ucap Balira gembira. Pemuda gagah itu, kembali membungkuk hormat kepada Panji. Wajahnya seketika berubah cerah, seolah-olah benar-benar telah melupakan rasa sakit akibat penyiksaan belasan orang yang telah mengeroyoknya.

“Hei? Mengapa harus berterima kasih kepada mereka, Balira? Apakah kau merasa senang dengan penyiksaan yang dilakukan orang-orang itu?” Kenanga tak dapat lagi menahan keheranan hatinya, mendengar ucapan pemuda itu. Gadis jelita itu menatap wajah Balira lekat-lekat. Kenanga menduga, jangan-jangan pemuda ini menjadi gila karena luka-lukanya. Tapi, tidak mungkin! Sebab gadis itu melihat wajah Balira nampak sehat dan tidak menunjukkan kelainan apa-apa. Tapi mengapa berkata demikian?

“Ha ha ha...! Tentu saja aku harus mengucapkan terima kasih kepada mereka, Kenanga. Bukankah karena perbuatan mereka aku dapat berjumpa dan bicara langsung dengan Pendekar Naga Putih? Aku benar-benar merasa gembira sekali!” sahut Balira. Pemuda itu tertawa hingga tubuhnya yang tegap berguncang-guncang. Sepertinya ia benar-benar merasa gembira dapat berjumpa pendekar muda yang sudah lama dikaguminya.

“Ooo...,” hanya itu yang keluar dari mulut Kenanga. Gadis itu juga menutupi mulutnya dengan telapak tangan setelah mendengar jawaban Balira. Tawanya terdengar terkikik karena tidak tahan mendengarnya. Benar-benar menggelikan.

“Ah! Kau membuatku malu saja, Balira. Sudahlah. Hentikanlah pujianmu itu. Aku takut kalau-kalau kepalaku akan semakin besar saja karena pujianmu,” desah Panji tersipu mendengar jawaban jujur dari Balira. “Oh, ya. Bagaimana keadaan pemuda yang satunya lagi itu, Kenanga?” tanya Panji. Pendekar Naga Putih sengaja mengalihkan perhatian, dan ternyata pancingannya berhasil baik. Mendengar pertanyaan itu, secara serempak Kenanga dan Balira menoleh ke arah sosok tubuh yang tengah tergolek pulas itu.

“Oh, ya. Bagaimana keadaan Adi Lunjita, Kenanga?” Balira juga bergegas mengikuti Kenanga yang sudah melangkah mendekati tubuh Lunjita yang terlihat masih agak pucat itu.

Mendengar pertanyaan Balira, Kenanga langsung berhenti. Ditolehkan kepalanya dengan kening berkerut. Dipandanginya wajah pemuda gagah itu tajam-tajam, seolah-olah belum mendengar jelas ucapan pemuda itu. “Adi Lunjita...?” gumam Kenanga, seperti bertanya pada dirinya sendiri. Nampaknya, dia merasa heran mendengar sebutan itu.

“Ya. Namanya Lunjita. Dan karena usianya masih lebih muda dariku, maka aku memanggilnya Adi Lunjita,” sahut Balira yang merasa heran melihat sikap Kenanga. Gadis itu seperti merasa bingung mendengar pertanyaan dan sebutan terhadap pemuda tampan yang bernama Lunjita.

“Oh,” Kenanga menganggukkan kepalanya, lalu memaksa untuk tersenyum.

“Aku sudah mengeluarkan semua racun yang mengendap dalam tubuhnya. Ia hanya memerlukan sedikit pengobatan lagi untuk memulihkan tenaganya.”

“Kakang, apakah kau masih menyimpan obat untuk memulihkan tenaga?” tanya Kenanga mengalihkan perhatian kepada Panji yang saat itu juga tengah melangkah di belakangnya.

Sepertinya gadis jelita itu hendak mengobati Lunjita sendiri. Meskipun telah mendapatkan pelajaran ilmu pengobatan dari Panji selama pengembaraan mereka, namun tidak biasanya gadis itu berbuat demikian. Biasanya ia selalu meminta Panji untuk mengobati siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Dan biasanya pula Kenanga hanya menonton, bagaimana caranya Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan. Panji pun sempat tertegun mendengar permintaan gadis jelita itu. Ditatapnya wajah kekasihnya tajam-tajam. Seolah-olah ingin memastikan isi hati gadis itu.

“Mengapa kau menatapku seperti itu, Kakang? Tidak bolehkah aku mencoba menerapkan ilmu pengobatan yang kau ajari selama pengembaraan kita?” desak Kenanga. Gadis itu sama sekali tidak tersinggung melihat cara Panji saat menatapnya. Malah gadis itu tersenyum melihat ada sinar kecemburuan dalam tatapan mata kekasihnya. Hal itu wajar saja, karena orang yang akan diobati Kenanga itu adalah seorang pemuda. Apalagi dia sangat tampan, dan berkulit halus, meskipun usianya paling jauh baru sekitar delapan belas tahun. Namun tetap saja hati Panji merasa tidak enak.

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa heran melihat kau sudah bisa menyembuhkan orang yang terluka karena racun,” sahut Panji, menyembunyikan perasaan hatinya yang sesungguhnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Naga Putih bergegas mengambil sebutir obat pulung berwarna putih seperti salju. Persis seperti yang tadi diberikan kapada Balira.

“Terima kasih, Kakang. Kalian ngobrol-ngobrol saja dulu, dan tidak perlu mengikuti aku. Bisa-bisa aku jadi gugup dan salah mengobati orang jika ditemani,” kilah gadis jelita itu, sehingga membuat Panji dan Balira menahan langkahnya.

Panji dan Balira memutar langkahnya menjauhi Kenanga. Mereka kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun lebat, sehingga tubuh teriindung dari sengatan sinar matahari yang memancar terik.

“Nah, Balira. Sekarang ceritakanlah, apa yang menyebabkan kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang itu?” tanya Panji mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mengganggunya.

Pemuda itu berusaha menekan cemburunya. Karena biar bagaimanapun, Pendekar Naga Putih adalah manusia biasa yang juga bisa dihinggapi rasa cemburu. Dan rasa cemburu itu adalah wajar, selama tidak berlebihan dan tidak buta. Balira yang memang sudah berniat untuk menceritakan persoalannya, menarik napas panjang sejenak. Lalu mulai diceritakannya sebab-sebab orang-orang berseragam hitam itu mengeroyoknya. Pemuda gagah yang berwatak jujur itu menceritakan apa adanya, tanpa mengurangi atau menambahkan ceritanya.

“Sejak semula aku memang sudah merasa ragu kalau kalian yang melakukan perbuatan yang dituduhkan orang-orang itu. Dan aku pun dapat memaklumi, mengapa kau sampai meninggalkan penginapan itu secara diam-diam. Sebab apabila kalian berdua tetap kembali ke penginapan itu, bukan tidak mungkin akan semakin nyatalah tuduhan itu. Karena hanya kau dan sahabatmu itulah yang meninggalkan penginapan. Apalagi kalian berdua membawa-bawa senjata, dan keadaan Lunjita tengah mengalami luka parah,” kata Panji setelah mendengar cerita Balira secara keseluruhan.

Dan Pendekar Naga Putih berjanji untuk menyelidiki kejadian itu. Paling tidak agar kedua pemuda itu dapat tenang dan tidak menjadi buronan pemerintah kerajaan. Balira berkali-kali mengucapkan terima kasih mendengar kesediaan Pendekar Naga Putih membantu penyelidikan. Mereka kemudian kembali terlibat pembicaraan lain tentang belasan orang itu. Juga, tentang keadaan dunia persilatan yang mungkin akan menjadi gempar oleh peristiwa pembunuhan delapan orang tokoh persilatan yang masih merupakan rahasia yang belum terungkap.

Matahari sudah semakin naik tinggi. Balira dan Panji sama-sama termenung dan merayapi daerah sekitarnya dengan pandangan kosong. Sepertinya kedua orang itu tengah terbawa arus pikiran masing-masing. Pendekar Naga Putih dan Balira sama-sama menolehkan kepala ketika mendengar langkah kaki yang mendatangi tempat mereka.

“Bagaimana keadaan sahabatku, Kenanga?” tanya Balira yang segera bangkit dan menyambut kedatangan gadis jelita itu. Melihat dari wajah dan sikapnya, jelas sekali kalau dia sangat mengkhawatirkan keadaan sahabatnya. Dan hal itu kembali membuat kening Kenanga jadi berkerut. Karena sebagai seorang gadis, ia pun dapat merasakan apa yang saat itu tengah dirasakan Balira. Kenanga kembali keheranan melihat sikap dan suara Balira yang terdengar agak bergetar.

“Hm.... Rupanya kau sangat memperhatikan sekali keadaan sahabatmu itu, Balira? Apakah kalian sudah lama menjadi sahabat?” tanya Kenanga seperti memancing tanggapan pemuda gagah itu.

Mendengar pertanyaan gadis itu, selebar wajah Balira berubah kemerahan. Segera ditatapnya wajah Kenanga lekat-lekat, seolah-olah ingin mengetahui maksud gadis itu yang berkata demikian. Balira semakin salah tingkah ketika melihat sinar mata penolongnya yang mengandung godaan.

“Apa..., apa maksudmu bertanya demikian, Kenanga?” tanya Balira gugup. Pemuda gagah itu berusaha menekan gejolak dalam dadanya agar tidak menimbulkan kecurigaan.

“Hei? Kau kenapa, Balira? Apakah pertanyaanku ada yang salah?” Kenanga malah balik bertanya sambil melemparkan senyum. Sementara Panji hanya berdiri bingung melihat sikap kedua orang itu yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.

Balira menyadari kesalahannya ketika mendengar pertanyaan gadis jelita itu. “Betapa bodohnya aku! Mengapa harus gugup hanya karena pertanyaan yang sebenarnya wajar itu?” umpat Balira dalam hati. Berpikir demikian, Balira tersenyum dan berusaha bersikap wajar seperti biasa. Sebab pemuda itu tidak ingin kalau sampai rahasianya terbongkar oleh gadis jelita yang sepertinya sangat cerdik itu.

“Ah! Sama sekali tidak, Kenanga. Pertanyaanmu tidak ada yang salah. Aku memang belum terlalu lama mengenalnya. Tapi kami berdua sudah seperti saudara saja layaknya,” jawab Balira setelah dapat menenangkan perasaannya dan kembali bersikap wajar seperti biasa.

“O, begitu?” kata Kenanga sambil tersenyum menggoda. Sepertinya gadis jelita itu memang sengaja hendak menggoda Balira. Dan memang Balira jelas terlihat salah tingkah dengan perkataannya itu.

“Ya.... Kira-kira begitulah,” desah Balira. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan ke tempat sahabatnya yang terlihat tengah melakukan semadi. Balira yang tidak mau rahasia hatinya diketahui orang lain, bergegas menghindari Kenanga yang nyata-nyata sengaja menggoda dan memancingnya.

“Kau hendak ke mana, Balira?” tanya Panji yang melihat pemuda gagah itu tengah melangkah turun ke sungai yang memang berada tepat di bawah mereka.

“Aku..., aku hendak mencuci muka supaya segar,” jawab Balira yang terus melangkah tanpa mempedulikan kedua orang penolongnya.

Kenanga hanya tersenyum melihat sikap Balira yang salah tingkah itu. Lalu pandangannya dialihkan kepada Panji yang saat itu tengah memandangnya. Panji mengalihkan pandangannya kepada Balira. Ia tidak ingin melihat Kenanga mengetahui perasaan yang terpancar dimatanya. Rupanya bagaimanapun kuatnya batin pendekar muda itu, tapi tetap saja tidak mampu menahan rasa cemburu di hatinya. Meskipun hal itu berusaha ditekan dengan membayangkan hal-hal lain, namun hati kecilnya tetap saja belum dapat menerima perbuatan Kenanga yang jelas-jelas sangat memperhatikan Lunjita, si pemuda berwajah halus dan tampan itu.

“Kau kenapa, Kakang?” tanya gadis jelita itu seraya memegang lembut lengan Panji. Wajah gadis itu nampak terhias senyum meski sikap Panji yang dirasakan agak lain dari biasanya. Namun, sebagai orang yang paling dekat dengan pemuda itu, Kenanga sudah dapat menduga perasaan kekasihnya saat itu.

“Aku tidak apa-apa,” sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera menolehkan kepalanya dan menentang pandangan mata kekasihnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih lahir dan batin pemuda itu dapat menekan rasa cemburunya meskipun dengan sekuat tenaga.

“Hm... Kau membohongi dirimu sendiri, Kakang. Meskipun kau tidak mengatakannya, namun aku tahu apa yang kau rasakan saat ini,” desah gadis jelita itu lembut sambil memegang kedua tangan Panji. Sepasang matanya laksana bintang timur itu, menatap penuh kasih.

“Sungguh! Aku tidak apa-apa, Kenanga,” tegas Panji masih berusaha untuk mengelak. Pemuda itu mencoba tersenyum, namun sayang terlihat agak getir.

“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. Buanglah rasa cemburu di hatimu. Percayalah! Hanya kau laki-laki yang kucintai di dunia ini. Lagi pula, yang kau cemburui itu adalah seorang wanita yang saat ini tengah menyamar sebagai pria,” bisik gadis jelita itu dengan suara lirih.

“Maksudmu pemuda yang bernama Lunjita itu....”

“Ya. Dia Seorang wanita. Aku mengetahuinya pada saat tengah melakukan pengobatan pertama tadi. Itulah sebabnya, mengapa aku tidak memperbolehkan kau untuk mengobatinya. Sebab apabila kau yang mengobatinya, sudah pasti akan lama sembuhnya,” potong Kenanga, cepat

“Hei? Mengapa bisa begitu?” tanya Panji dengan wajah bingung.

“Ya! Sebab sudah pasti Kakang akan berlama-lama mengobatinya. Selain gadis itu cantik, kulitnya pun halus. Nah! Lelaki mana yang tidak suka berlama-lama memandangi kulit tubuh yang halus?” jelas Kenanga seraya tertawa terkikik.

Mendengar ucapan kekasihnya, Panji sama sekali tidak marah. Sebaliknya, dia malah tertawa terbahak-bahak. Sehingga mau tak mau Kenanga menjadi heran dibuatnya. “Ah! Mudah-mudahan saja lain kali dia terluka kembali, dan berjumpa lagi denganku. Dengan begitu, bukankah aku mempunyai kesempatan untuk mengobatinya? Wah! Sudah pasti akan menyenangkan sekali!” ledek Panji sambil tertawa terbahak-bahak.

“Aaa...,” Kenanga merengek manja sambil memukuli dada bidang Pendekar Naga Putih. Sebentar kemudian mereka tertawa gembira.

Balira yang masih berada di sungai mengerutkan keningnya ketika mendengar tawa kedua orang penolongnya itu. Hatinya menduga-duga, mungkin saja Kenanga sudah mengetahui rahasia sahabatnya dan mengatakan kepada Panji. Dan kini mereka berdua menertawakan dirinya. Seketika seluruh wajah Balira berubah merah saat memikirkan hal itu. Dan ia menjadi bertambah malu ketika teringat, bagaimana dia sangat mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya di depan Kenanga tadi. Bahkan gadis jelita itu sempat pula menggodanya meski tidak terlalu kentara. Pemuda tegap berwajah gagah itu semakin kikuk ketika melihat Panji, Kenanga, dan Lunjita tengah melangkah menghampirinya. Untuk menenangkan hatinya, maka Balira berpurapura sibuk menggosok-gosokkan wajah dengan air sungai yang disendok menggunakan kedua tangannya.

“Cepatlah, Balira. Bukankah kita hendak menyelidiki pembunuhan itu?” tegur Panji mengingatkan akan rencana mereka.

“Ya, tunggulah sebentar!” sahut Balira tanpa berani menolehkan wajahnya. “Ah, kau sudah sembuh, Adi Lunjita? Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku sudah merasa khawatir sekali melihat keadaanmu yang kian memburuk itu. Untunglah, kedua orang penolong kita yang berkepandaian tinggi ini juga memiliki ilmu pengobatan, sehingga nyawamu masih bisa diselamatkan. Berterima kasihlah kepada mereka, Adi Lunjita,” kata Balira yang merasa girang karena dapat bersikap wajar dan bebas seperti biasa. Pemuda gagah itu tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah Kenanga. Gadis itu tampak agak bingung melihat sikap pemuda itu yang wajar dan tidak dibuat-buat

“Tentu saja aku sudah berterima kasih kepada mereka, Kakang. Lebih-lebih terhadap Nini Kenanga yang telah rela bersusah-payah menyelamatkan diriku,” sahut Lunjita seraya tersenyum manis. Sikapnya tampak wajar, karena memang belum mengetahui kalau rahasia penyamarannya telah diketahui Balira dan Kenanga. Kalau saja ia mengetahuinya, tentu tidak akan bersikap sewajar itu. Bahkan mungkin akan pergi meninggalkan sahabatnya.

Kenanga yang semula menduga kalau Balira sudah mengetahui rahasia itu, juga meragukan dugaannya. Ia hanya berdiri menatap wajah kedua orang sahabat itu dengan pandangan penuh selidik. Gadis itu baru tersadar dari lamunannya ketika mendengar ajakan Panji.

“Ayolah kita ke kotaraja,” ajak Panji kepada ketiga orang itu. Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya mendahului mereka. Tanpa berkata sepatah pun, ketiga orang itu bergegas melangkah mengikuti Panji yang tengah menyeberangi sungai. Saat itu hari sudah menjelang sore.

*******************

LIMA

Malam telah menampakkan kekuasaannya di permukaan bumi. Bulan sepotong yang menggantung menghiasi sang malam, sinarnya tak kuasa menerobos kepekatan. Angin berhembus kencang, menebarkan hawa aneh. Sehingga suasana malam terasa semakin mencekam.

“Auuungngng...!”

Lolongan serigala yang disertai hembusan angin dingin, semakin menimbulkan keseraman. Apalagi, saat itu suasana Kotaraja Batu Jajar tengah dicekam oleh pembunuhan yang belum terungkapkan. Maka, semakin lengkaplah suasana yang mencekam itu. Karena, ternyata korbannya juga meluas ke beberapa penduduk. Semenjak berita pembunuhan tersebar, para penduduk di kota itu sudah menutup pintu rapat-rapat begitu kegelapan mulai menyelimuti bumi. Para suami menyuruh anak istrinya untuk segera tidur, sementara dirinya sendiri berjaga jaga dengan senjata terhunus.

Peristiwa berdarah itu membuat penduduk kotaraja dicekam ketakutan hebat. Dan sedikit ketukan pintu di rumah mereka saja, telah sanggup untuk membuat kalang-kabut. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya ketakutan yang melanda hati mereka. Lain halnya dengan para prajurit kerajaan. Semenjak peristiwa itu, mereka semakin giat berjaga-jaga. Bahkan para prajurit yang meronda pun semakin diperbanyak. Tentu saja hal itu dimaksudkan untuk menenangkan hati penduduk yang tengah dicekam ketakutan. Dan dengan banyaknya peronda yang berkeliaran, diharapkan para penduduk menjadi sedikit tenang.

“Hei? Kalian dengar lolongan serigala itu?” tanya salah seorang prajurit peronda kepada kawannya.

“Ya! Aku pun mendengarnya. Sepertinya, peristiwa itu akan terulang kembali. Bukankah menurut keterangan salah seorang yang melihat, lolongan itu juga terdengar sebelum terjadinya pembunuhan?” timpal kawannya. Suaranya terdengar kering, karena hatinya mulai dilanda ketegangan.

“Jangan ribut! Yang penting saat ini, kita harus lebih meningkatkan kewaspadaan!” bentak seorang perwira yang mengepalai para prajurit. Suaranya ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras. Lalu, anak buahnya yang berjumlah tujuh orang itu diajak untuk mencari sumber lolongan serigala tadi.

Tujuh orang prajurit itu bergegas mengikuti pemimpinnya tanpa banyak bicara lagi. Mereka terus berputar menuju perbatasan sebelah Barat yang memang agak sepi. Dari situ mereka terus ke gardu penjagaan. Ketika mereka hampir mencapai pintu gerbang sebelah Barat, sang Pemimpin mengisyaratkan untuk berhenti dengan menggerakkan tangan kirinya. Wajahnya berubah tegang ketika lapat-lapat tercium bau anyir darah yang dibawa angin. Dengan gerakan perlahan, segera pedang yang tergantung di pinggang dicabutnya. Lalu, kakinya melangkah hati-hati menuju gardu jaga yang hanya tinggal sepuluh tombak di depannya. Keningnya seketika berkerut ketika tidak melihat adanya obor di tempat itu.

“Aneh? Mengapa mereka tidak menggunakan obor?” gumam sang Pemimpin semakin bertambah curiga. Pemimpin itu menoleh ke belakang, lalu meminta sebuah obor yang dipegang salah seorang anak buahnya dengan menggunakan isyarat. Kemudian langkahnya diteruskan dengan lambat-lambat, mendekati gardu jaga.

“Ah...!” Sambil berseru tertahan, perwira itu melompat mundur sejauh setengah tombak lebih. Sepasang matanya membelalak lebar memandang sesosok tubuh yang tergeletak di depannya. Hampir saja kakinya menginjak mayat tanpa kepala, karena perhatiannya tertuju ke gardu jaga.

Tujuh orang prajurit yang mengiringi di belakang, tentu saja juga jadi terkejut melihat pemimpin mereka melompat kebelakang. Tanpa diperintah lagi, mereka segera menyebar sambil menodongkan ujung tombak dan siap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.

“Gila!” maki perwira itu dengan wajah agak pucat. Hati perwira itu kini bertambah geram ketika menemukan lima mayat lain yang juga tanpa kepala. Keenam mayat itu ditemukannya di sepanjang jalan menuju gerbang sebelah Barat. Hati laki-laki gemuk berusia sekitar empat puluh lima tahun itu semakin bertambah cemas akan nasib para penjaga perbatasan.

Setelah memberi isyarat kepada anak buahnya untuk maju, laki-laki bertubuh gemuk itu melangkahkan kakinya. Sikapnya tampak semakin hati-hati. Dan apa yartg dikhawatirkan ternyata beralasan. Sebab di dekat gardu penjagaan itu, terlihat belasan sosok tubuh berseragam prajurit tengah bergeletakan tumpang tindih. Namun hatinya menjadi lega, karena ternyata belasan prajurit itu hanya pingsan.

“Bawa mereka masuk!” perintah perwira itu. Sementara ia sendiri segera mengangkat tubuh kepala jaga yang juga tergeletak pingsan. Kemudian segera disadarkannya mereka satu-persatu.

“Kakang Dirjalaga...!” seru si kepala jaga begitu tersadar dari pingsannya. Cepat-cepat kepala jaga itu memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak di depan hidung kepada perwira yang ternyata bernama Dirjalaga.

“Hm.... Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di tempat ini, Adi?” tanya Dirjalaga. Suaranya terdengar berat karena masih merasa geram dengan adanya kejadian itu.

Kepala jaga itu menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan dirinya. Seolah-olah, apa yang akan disampaikan itu adalah cerita yang sangat menyeramkan. Sehingga, mau tak mau Dirjalaga menjadi tegang juga. Dengan penuh perhatian, Dirjalaga mendengarkan penuturan kepala jaga itu. Sedikit pun, ia tidak memotong cerita orang itu. Tentu saja agar didapat keterangan lengkap dan terperinci.

“Menurut dugaanku, mereka yang terbunuh pasti tokoh persilatan. Mereka berniat menyelidiki tentang pembunuhan delapan tokoh persilatan lain yang terjadi kemarin malam,” jelas si kepala jaga menutup ceritanya.

“Apakah kau tidak mendengar ribut-ribut sebelum keenam orang itu terbunuh?” tanya Dirjalaga seraya, mengerutkan keningnya.

“Sama sekali tidak, Kakang. Semua itu terjadi demikian cepat. Baru saja kami hendak keluar untuk melihatnya, tahu-tahu saja telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar bersama seekor serigala besar bermata merah menakutkan. Dan setelah itu kami tidak ingat apa-apa lagi, sampai tahu-tahu Kakang telah berada di sini,” lanjut kepala jaga itu sungguh-sungguh.

“Jadi, kau tidak tahu apa yang telah membuat kau dan anak buahmu pingsan?” desak Dirjalaga dengan wajah membayangkan keheranan besar.

“Aku tidak tahu, Kakang. Aku hanya melihat sosok tinggi besar itu melompat ke arahku dengan kecepatan luar biasa. Itulah yang kuingat,” jawab orang itu sambil menghela napas berat. Sepertinya ia masih merasa ngeri dengan kejadian yang dialaminya.

“Hm.... Aneh! Mengapa orang itu tidak membunuh kalian?” gumam Dirjalaga yang kemudian beranjak bangkit dan berjalan ke arah pintu. Laki-laki gemuk berkumis lebat itu memutar otaknya berusaha mencari jawaban.

“Mungkin ia tidak ingin berurusan dengan tentara kerajaan, sehingga tidak membunuh kami semua. Sepertinya ia hanya membunuhi semua tokoh persilatan yang datang ke kotaraja ini, Kakang. Hanya saja, untuk apa mereka membunuh, kami belum tahu,” sahut kepala jaga itu mengemukakan pendapatnya.

“Hm.... Dugaanmu itu cukup beralasan, Adi. Tapi, dengan melakukan pembunuhan di wilayah kotaraja, bukankah itu sama artinya menantang pihak pemerintah?” kata Dirjalaga, meminta pendapat

“Sepertinya ia tidak berpikir sejauh itu, Kakang,” kata kepala jaga sambil mengangguk-angguk membenarkan ucapan Dirjalaga.

“Sudahlah. Apa pun maksud pembunuh itu, ia tetap harus berhadapan dengan kita! Aku harus segera kembali. Uruslah mayat-mayat itu baik-baik. Kasihan sekali tokoh-tokoh persilatan itu. Jauh-jauh mereka datang, ternyata hanya untuk menjadi korban pembunuh biadab itu.” Setelah berkata demikian, Dirjalaga segera mengajak anak buahnya untuk meninggalkan tempat itu.

Dirjalaga dan pasukan kecilnya bergegas kembali kepusat kota. Mereka menduga, si pembunuh itu pasti telah berada di dalam kotaraja. Maka mereka harus bergegas untuk mencegah perbuatan orang biadab itu yang mungkin akan melakukan pembunuhan lagi! Belum lagi Dirjalaga dan pasukannya sempat memasuki pusat kota, tiba-tiba saja sepasang matanya menangkap kelebatan beberapa sosok bayangan di depannya. Cepat-cepat ia melompat menghadang.

“Hei, berhenti...!” bentak Dirjalaga. Sambil melompat menghadang, Dirjalaga mencabut keluar senjatahya. Dan perwira itu begitu terkejut melihat sosok tubuh tinggi besar bersama seekor serigala besar yang nampak sangat buas. Di belakangnya, terlihat empat sosok tubuh berseragam hitam yang mengenakan penutup kepala.

“Grrhhh...!”

Serigala bermata merah saga itu menggereng, sambil menatap Dirjalaga. Binatang buas yang siap menerkam itu melangkah mundur sambil menggereng lirih ketika mendengar siulan majikannya. Meskipun begitu, sepasang matanya yang memancarkan kekuatan gaib itu tetap menatap ke arah Dirjalaga.

“Binatang iblis...!” desis Dirjalaga. Tubuh perwira itu bergetar, bahkan terasa lemah ketika sempat beradu pandang dengan sepasang mata liar yang merah dan menakutkan itu. Segera dapat diduga kalau binatang buas itu pasti bukan binatang sembarangan dan tidak dapat disamakan dengan serigala-serigala hutan lainnya. Hal itu terlihat jelas dari perbawa yang terpancar dari penampilannya. Bahkan suara gerengannya pun terasa mengandung kekuatan aneh.

Sosok tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak mempedulikan Dirjalaga. Tangannya digerakkan, agar empat orang berseragam hitam yang berada di belakangnya mengatasi Dirjalaga. Sedangkan ia dan serigala bermata merah itu siap meninggalkan tempat.

“Tunggu...!” teriak Dirjalaga yang segera melompat menghadang sosok tubuh tinggi besar itu. “Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa seizinku, Kisanak! Siapakah kalian? Dan apa maksud kalian berkeliaran pada tengah malam seperti ini?”

Dirjalaga berusaha menekan rasa gentar di hatinya. Meskipun tahu kalau wajahnya saat itu sangatlah tegang, namun Dirjalaga berusaha menunjukkan tanggung jawabnya terhadap tugas.

“Hei, Prajurit! Lebih baik jangan mencampuri urusan kami! Dan biarkanlah ketua kami pergi!” bentak salah seorang berseragam hitam yang bertubuh tinggi kurus. Suaranya terdengar melengking bagai suara wanita.

Dirjalaga menjadi marah melihat empat orang yang telah berdiri menghadang dengan senjata terhunus. Sedangkan orang tinggi besar yang disebut sebagai ketua itu berdiri tegak dibelakang empat orang anak buahnya. Tatapan matanya tajam kearah Dirjalaga yang seketika itu juga jadi gemetar tubuhnya. Sehingga tanpa sadar, kakinya bergerak mundur dengan wajah pucat. Hebat sekali perbawa yang keluar dari sepasang mata tersembunyi di balik kerudung yang menutupi kepala itu. Tujuh orang anak buah Dirjalaga yang semula menodongkan tombak, jatuh terduduk dengan kaki terasa bagai lumpuh. Tubuh mereka bahkan menggigil hebat bagaikan orang terserang demam. Tentu saja hal itu membuat sang Pemimpin semakin terkejut.

“Pergilah kalian, Prajurit-Prajurit Bodoh! Tinggalkan tempat ini sebelum pikiranku berubah!” ancam sosok tubuh tinggi besar itu dengan suara serak dan berat. Nadanya pun terdengar dingin dan kaku sehingga sanggup membuat seorang penakut menjadi pingsan seketika itu juga.

“Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup menjadi seorang pengecut yang hanya jadi bahan tertawaan orang lain!” teriak Dirjalaga mengeraskan hatinya. Sebagai seorang prajurit yang telah terlatih baik, tentu saja ia tidak takut mengorbankan nyawa demi kepentingan negaranya.

Mendengar bantahan Dirjalaga, orang tinggi besar itu terdengar menggeram gusar. Lalu keempat anak buahnya diperintahkan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kemudian, pandangannya kembali dialihkan kepada Dirjalaga yang telah melintangkan pedang di depan dada.

“Bagus...! Hatimu ternyata cukup berani. Hati orang-orang sepertimulah yang sangat dibutuhkan sahabatku ini untuk menambah kekuatan,” kata orang tinggi besar itu, yang kemudian disambut gerengan serigala yang berada disampingnya.

“Apa..., apa maksudmu...?” tanya Dirjalaga dengan wajah semakin pucat. Hatinya bergidik ngeri karena sudah dapat menduga maksud ucapan orang itu.

“Auuungngng...!” Serigala itu tiba-tiba melolong panjang, seperti sudah mengerti ucapan majikannya.

“Nah, dengarlah. Sahabatku ini sudah tidak sabar untuk segera mengunyah hatimu.” Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu pun bersuit perlahan.

“Ahhh...!” Dirjalaga melangkah mundur ketika melihat serigala itu sudah melangkah perlahan mendekatinya. Sedangkan orang tinggi besar itu malah tertawa terbahak-bahak.

“Hiaaa...!” Untuk menguatkan hatinya, Dirjalaga berteriak sekuat-kuatnya. Kemudian senjatanya digerakkan untuk melindungi tubuh.

“Grrhhh...!” Serigala buas itu menggereng lirih sambil memperlihatkan taringnya yang runcing bagaikan ujung-ujung pedang yang siap merobek tubuh. Sepasang matanya yang merah itu menatap calon korbannya lekat-lekat Sesaat kemudian, tubuh binatang itu melompat menerkam.

“Yeaaah...!” Melihat serigala itu sudah mulai menerjang, Dirjalaga mengayunkan senjata untuk menebas putus tubuh binatang itu. Namun laki-laki gemuk itu menjadi terkejut bukan main ketika serigala itu ternyata mampu mengelakkan sambaran senjatanya. Bahkan kecepatannya benar-benar di luar dugaan. Sehingga Dirjalaga terpaksa harus melompat mundur untuk menghindari terkaman binatang itu.

“Binatang keparat, mampuslah!” bentak Dirjalaga kembali mengayunkan senjata ketika serigala itu mengejarnya. Bagaikan orang kemasukan setan, pedangnya diayunkan berkali-kali dengan membabi buta. Namun setiap kali senjatanya menyambar, selalu saja dapat dihindari binatang itu. Dan setelah melakukan serangan selama sepuluh jurus tanpa hasil, akhirnya laki-laki gemuk itu tidak mampu lagi untuk menghindari taring serigala yang menghunjam urat lehernya.

“Aaargh...!” Dirjalaga meraung panjang ketika binatang itu merajam tubuh dan mengambil hatinya. Darah seketika menyembur dari perutnya yang koyak. Lalu, serigala itu melahapnya dengan rakus di depan tujuh orang prajurit yang hanya dapat memandang terbelalak penuh kengerian.

“Auuungngng...!”

Serigala siluman itu melolong panjang setelah menelan habis hati Dirjalaga yang tewas dalam keadaan menyedihkan.

Tubuh ketujuh orang anak buah Dirjalaga menggigil hebat. Tiga orang di antaranya langsung menggeletak pingsan karena tidak sanggup menahan rasa takut yang hebat. Bahkan ada yang sampai terkencing-kencing.

“Hm.... Tikus-tikus tidak berguna! Sebaiknya kalian pun kukirim ke akhirat untuk menemani pemimpinmu itu!” ancam laki-laki tinggi besar sambil melangkah maju mendekati ketujuh orang prajurit itu.

Tanpa mempedulikan rasa takut mereka, tangan orang itu bergerak cepat. Terdengar suara keras yang disertai percikan darah segar, bercampur warna putih kental. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kelima orang prajurit yang masih sadar, langsung tewas dengan kepala pecah. Demikian pula kedua orang lainnya yang semula masih tergeletak pingsan. Mereka juga mengalami nasib yang serupa dengan kelima orang kawannya.

Sambil memperdengarkan tawa iblisnya, sosok tubuh tinggi besar itu berkelebat lenyap bersama anak buah dan binatang peliharaannya yang mengerikan. Malam pun kembali hening. Hanya suara binatang-binatang malam saja yang masih setia menemani kepekatan. Bau anyir darah mulai menyebar ke sekitarnya.

*******************

ENAM

Keesokan harinya suasana kotaraja kembali terjadi kegemparan. Kejadian kali ini bahkan lebih berat dari sebelumnya. Masalahnya, bukan saja mayat dua puluh orang tokoh persilatan saja yang tewas dengan kepala terpisah. Bahkan kini terdapat tujuh mayat prajurit dan seorang perwira. Keadaan di tempat kejadian memang telah dikerumuni orang. Sebagian, malah ada yang muntah-muntah. Di antara kerumunan itu tampak seorang pemuda berjubah putih dan seorang gadis berpakaian serba hijau. Di samping itu, ada pula dua orang pemuda. Seorang bertubuh gagah. Dan seorang lagi berwajah tampan.

“Gila! Ini sudah keterlaluan!” teriak seorang lelaki gagah yang mengenakan pakaian perwira. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya. Makanya, dia langsung mendatangi tempat itu. Dan kini hatinya benar benar marah setelah menyaksikan kekejaman itu.

“Kita harus segera mengambil tindakan. Kalau tidak, maka iblis itu akan semakin mengganas!” tegas laki-laki lain yang berpakaian perwira juga. Laki-laki bertubuh kekar berusia lima puluh tahun lebih itu mengepalkan tinjunya dengan wajah terbakar.

“Ya! Kita harus mengadakan pembersihan! Mulai hari ini, tidak ada seorang pun yang boleh membawa-bawa senjata. Bagi mereka yang akan mengikuti ujian, akan kita kembalikan senjatanya di waktu ujian nanti. Sekarang juga kita harus menyita setiap senjata yang dibawa tokoh-tokoh persilatan.”

Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk segera menguburkan mayat-mayat, kedua orang perwira itu bergegas meninggalkan tempat. Mereka juga segera menyiapkan pasukan untuk mengadakan pembersihan besar besaran.

“Celaka! Kita harus segera meninggalkan kotaraja sekarang juga, Kakang!” bisik seorang gadis cantik berpakaian serba hijau kepada seorang pemuda tampan berjubah putih.

Kemudian keduanya bergegas menyeruak di antara kerumunan orang yang tengah menyaksikan puluhan sosok mayat yang mengerikan itu. Dua orang pemuda lainnya bergegas mengikuti kedua orang itu.

“Hhh..., keadaan sudah semakin gawat! Dengan adanya peraturan yang baru dikeluarkan itu, kita tidak bisa bergerak leluasa untuk melakukan penyelidikan. Entah apa yang harus diperbuat sekarang?” desah pemuda tegap berwajah gagah, dengan suara rendah.

“Tenanglah, Balira. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari kotaraja secepatnya. Setelah itu, baru dipikirkan langkah apa yang akan kita ambil,” sahut pemuda berjubah putih yang tak lain adalah Panji.

“Kakang Panji benar, Kakang Balira,” timpal pemuda tampan berwajah halus yang tak lain Lunjita. “Ayolah kita bergegas sebelum perintah itu menyebar luas. Masalahnya kalau sudah demikian, kita pasti akan kesulitan keluar dari wilayah kotaraja ini.”

Keempat orang sahabat itu segera mengerahkan ilmu lari cepatnya begitu tiba di tempat yang agak sepi. Setidaknya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Panji, Kenanga, Balira dan Lunjita rnenjadi terkejut ketika tahu kalau yang akan meninggalkan kotaraja ternyata bukan hanya mereka berempat. Tapi banyak juga tokoh persilatan lainnya yang sudah bergerak meninggalkan kota itu. Mereka rata-rata bergerak menuju pintu gerbang sebelah Barat, karena hanya di situlah tempat yang sepi dan jarang dilewati orang. Para tokoh persilatan yang hendak meninggalkan kotaraja semakin mempercepat larinya ketika mendengar suara derap kaki kuda di belakang mereka.

“Saudara-saudara harap berhenti sebentar...!”

Terdengar sebuah seruan yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Sehingga sebelum si empunya suara muncul, suaranya sudah terdengar jauh ke depan. Namun tokoh-tokoh persilatan itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan mereka semakin mempercepat larinya menuju pintu gerbang yang hanya tinggal beberapa belas tombak lagi itu. Mereka sebenarnya bukan karena takut menghadapi, tapi hanya sekadar menghindar. Ini dilakukan agar senjata mereka tidak dirampas prajurit. Dan kalau mereka melawan, akan dituduh memberontak.

Bagi Panji dan Kenanga, sebenarnya mudah saja untuk segera melewati pintu gerbang itu. Dan memang, dengan kepandaian yang dimiliki, mereka dapat bergerak jauh lebih cepat daripada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Ini karena ilmu meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf kesempurnaan. Namun karena merasa tidak tega terhadap kedua orang sahabatnya, maka mereka tidak melakukan hal itu. Keduanya tetap berlari di samping Balira dan Lunjita.

“Sahabat-sahabat, sekali lagi kami peringatkan! Berhenti atau kalian semua akan ditangkap dan dituduh sebagai pemberontak!”

Teriakan itu kembali terdengar. Bahkan kali ini disertai sebuah ancaman yang mau tak mau membuat para tokoh persilatan itu agak memperlambat larinya. Beberapa orang di antaranya menoleh ke belakang, untuk melihat rombongan berkuda yang tengah mengejar.

“Persetan dengan ancaman itu! Kalau senjata-senjata kita disita, lalu bagaimana harus melindungi diri dari ancaman pembunuh biadab itu?” rungut salah seorang tokoh. Dia rupanya tidak bersedia mengikuti perintah itu, dan malah semakin mempercepat larinya. Apa lagi pintu gerbang sudah tinggal sekitar sepuluh tombak.

Tentu saja ucapan orang itu membuat yang lain kembali mempercepat larinya. Lagi pula, bagi seorang tokoh persilatan, senjata merupakan nyawa kedua. Dan ingatan itu membuat para tokoh persilatan kembali mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mencapai pintu gerbang. Lelaki gagah berpakaian perwira yang memimpin dua puluh lebih prajurit, menjadi geram ketika melihat para tokoh persilatan tetap membandel. Maka kejengkelannya pun semakin menjadi-jadi.

“Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan seorang pun dari mereka yang melewati pintu gerbang!” teriak perwira itu disertai pengerahan tenaga dalamnya. Akibatnya, suaranya dapat terdengar jelas oleh para prajurit yang menjaga gerbang sebelah Barat itu.

Para prajurit pintu gerbang yang semula tidak mengerti mengapa orang-orang itu berlari menuju pintu gerbang, tersentak kaget setelah mendengar perintah itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, beberapa orang dari penjaga itu bergegas menutup pintu gerbang. Sedangkan kepala jaga pintu gerbang dan prajurit lainnya berdiri menghadang jalan dengan senjata terhunus. Meskipun mereka sama sekali belum mengetahui penyebab para tokoh persilatan itu berlarian, namun gerakan mereka begitu sigap, menuruti perintah atasannya.

Serentak para tokoh persilatan itu menghentikan larinya ketika melihat pintu gerbang telah bergerak menutup. Beberapa orang tokoh persilatan menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah rombongan berkuda yang mengeluarkan perintah itu.

“Tenang, Saudara-Saudara! Aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Tapi kalau boleh bertanya, apakah yang menyebabkan kalian hendak meninggalkan kotaraja ini? Apakah kalian tidak berniat untuk mengikuti ujian yang akan dibuka Gusti Prabu? Bukankah itu yang menjadi tujuan utama kalian untuk datang ke kotaraja ini?” tanya perwira bertubuh tegap dan gagah itu sambil melompat turun dari atas punggung kuda.

Salah seorang tokoh persilatan bergegas maju dan menghadapi perwira gagah itu. “Tuan Perwira. Memang betul, beberapa orang di antara kami mempunyai tujuan seperti yang Tuan katakan itu. Tapi yang membuat kami hendak meninggalkan kotaraja dan membatalkan niat itu, adalah rasa keberatan untuk menyerahkan senjata yang kami miliki. Dan menurut hamba, semua tokoh yang sekarang ada di sini sudah pasti merasa keberatan dengan keputusan yang diambil itu,” jelas tokoh persilatan itu. Dia berwajah tampan dan masih termasuk muda. Usianya paling banyak baru sekitar tiga puluh tahun. Kata-katanya dikeluarkan dengan suara lantang, meskipun tetap penuh rasa hormat. Karena yang dihadapinya itu adalah seorang pembesar kerajaan yang memang harus dihormati.

“Maaf, Kisanak. Keputusan yang kuambil itu tentu saja bukan karena mencurigai kalian semua. Tapi semua ini dilakukan demi kebaikan semua tokoh persilatan yang saat ini berada di dalam kotaraja. Hal itu kuambil agar tidak terjadi perpecahan dan saling curiga di antara kalian. Sedangkan senjata kalian akan kami kembalikan pada saat ujian dilangsungkan. Sedangkan bagi para tokoh yang datang hanya untuk menyaksikan, maka senjatanya akan dikembalikan setelah ujian selesai. Nah, apakah keputusan yang kuambil itu salah?” jelas si perwira itu. Dia sama sekali tidak marah mendengar bantahan tokoh muda itu. Karena semua yang dikatakannya memang sebuah kebenaran.

“Maaf, Tuan Perwira, bukan hamba bermaksud membantah ataupun menentang keputusan yang telah diambil itu. Tapi perlu diketahui, pedang atau senjata lainnya bagi seorang tokoh persilatan merupakan nyawa kedua. Dan lagi, kalau tanpa senjata di tangan, lalu bagaimana kami harus menghadapi si pembunuh apabila datang kepada kami? Sedangkan dengan menggunakan senjata saja kami masih ragu untuk dapat mempertahankan nyawa. Lalu, bagaimana kalau kami tidak bersenjata?” kilah tokoh muda berwajah gagah itu. Dan memang, secara tidak langsung para tokoh lainnya seperti telah menunjuk pemuda itu sebagai wakil mereka. Sehingga, mereka hanya ikut mendengar perdebatan yang berlangsung cukup seru itu.

“Tapi maaf, Kisanak. Sayangnya keputusan itu bukan hanya datang dari seorang saja. Ketentuan itu sudah menjadi keputusan rapat beberapa orang perwira yang bertugas menjaga keamanan penduduk maupun orang-orang yang berada dalam lingkungan kotaraja. Namun demikian, kami juga berjanji akan menjaga keselamatan semua tokoh persilatan yang datang ke kotaraja dengan taruhan nyawa. Jadi, diharap sudilah saudara-saudara menolong kami untuk menyingkap tabir pembunuh yang selama ini masih belum berhasil ditemukan,” sanggah perwira itu dengan suara tenang dan lembut Sikap perwira itu, sama sekali tidak menunjukkan kesombongan. Padahal kalau mau, ia dapat saja memaksa dengan menggunakan kekerasan.

Mendengar ucapan perwira dan janji yang diberikan perwira gagah berusia setengah baya itu, beberapa orang tokoh persilatan segera melangkah maju ke arah rombongan prajurit berkuda itu.

“Baiklah. Kami bersedia kembali dan menyerahkan senjata untuk dititipkan kepada Tuan,” kata salah seorang tokoh persilatan mewakili kawan-kawannya, sambil membungkuk hormat kepada si perwira.

“Terima kasih atas kebijaksanaan saudara-saudara sekalian. Bagaimana dengan yang lainnya?” kata perwira itu sambil tersenyum. Matanya memandang penuh permohonan ke arah delapan orang tokoh persilatan yang masih belum bersedia menyerahkan senjatanya. Termasuk Panji, Kenanga, Balira, dan Lunjita.

Empat orang tokoh itu saling bertukar pandang, seolah-olah meminta pendapat. Sedangkan Panji, Kenanga, dan dua orang sahabatnya menjadi gelisah. Dan memang, niat mereka memasuki kotaraja adalah untuk menyelidiki tentang pembunuhan. Apalagi pedang yang berada pada punggung Pendekar Naga Putih bukanlah senjata sembarangan. Dan bukan tidak mungkin apabila pedang pusakanya diserahkan, para perwira kerajaan akan tertarik dan menahan pedangnya. Memikirkan kemungkinan itu, tentu saja Panji menjadi cemas.

Mestikah menyerahkan diri? Atau terpaksa melarikan diri dan dianggap sebagai pemberontak? Pemuda berjubah putih itu berpikir keras mencari penyelesaian dalam menghadapi keadaan yang sangat sulit ini. Dada Panji berdebar ketika melihat keempat orang tokoh persilatan yang semula bertahan bersamanya, mulai melangkah mendekati pasukan yang dipimpin perwira gagah itu. Sepertinya keempat orang tokoh itu sudah mengambil keputusan yang menurut mereka jalan satu-satunya yang paling baik.

“Aku tidak mungkin menyerahkan senjataku ini, Kenanga. Aku takut mereka akan berpikiran lain begitu melihat pedang pusaka ini,” bisik Panji kepada kekasihnya.

Mendengar bisikan itu, Kenanga baru sadar kalau pedang yang dimiliki kekasihnya bukan pedang sembarangan. Dan mungkin tidak ada duanya dalam dunia persilatan. Sadar kalau pemuda itu menyerahkan keputusan di tangannya, Kenanga terpaksa mengambil keputusan. Padahal, dia semula telah memutuskan untuk menyerahkan diri. Cepat kepalanya menoleh kepada Balira dan Lunjita.

“Bagaimana dengan kalian? Apakah sudah mengambil keputusan?” tanya Kenanga. Dia memang ingin mengetahui, keputusan apa yang akan diambil kedua orang yang pernah diselamatkannya itu. Sepasang matanya yang bening dan indah menatap, menuntut jawaban secepatnya. Sebab saat itu mereka sudah tidak memiliki banyak waktu.

“Nah! Sekarang, tinggal kalian berempat. Bagaimana? Apakah kalian tidak ingin berkorban sedikit demi kepentingan kita bersama?” tanya perwira gagah itu sambil memandangi keempat orang pemuda yang masih belum memberi keputusan.

Melihat Balira dan Lunjita belum juga mengambil keputusan, maka Panji segera melangkahkan kakinya ke depan. Wajah pemuda itu tetap tenang meskipun dadanya berdebar tegang. Ia sadar kalau kotaraja bukanlah tempat yang dapat dibuat main-main. Sebab kota itu boleh dikatakan tempat berkumpulnya orang sakti yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan kerajaan. Biar bagaimanapun tabahnya hati Pendekar Naga Putih, namun tetap merasa tegang mengingat akan hal itu.

“Maaf, Tuan Perwira. Dengan sangat terpaksa, kami tidak bisa memenuhi permintaan itu. Tapi bukan berarti kami tidak bersedia berkorban. Kami rela menyerahkan nyawa demi kepentingan kerajaan. Tapi untuk yang satu ini, kami terpaksa tidak bisa menurutinya. Sekali lagi, mohon maaf,” ucap Pendekar Naga Putih dengan suara lembut dan sopan.

Perwira itu tertegun sejenak mendengar kata-kata Panji yang berani menolak perintahnya. Tapi karena kata-kata pemuda itu sangat sopan dan hormat, ia tidak mempunyai alasan untuk marah. Laki-laki gagah berpakaian perwira itu termenung sejenak seperti hendak mencari jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu.

“Kau tentu mempunyai alasan yang kuat untuk itu, Anak Muda. Boleh kutahu, apa alasanmu itu?” tanya perwira itu seraya tersenyum sabar.

“Maaf, Tuan. Karena beberapa orang yang terbunuh adalah sahabat kami, maka kami telah bertekad untuk mencari pembunuh itu dan menyelesaikannya dengan cara kami sendiri. Selain itu, juga ada alasan kami yang lain. Tapi sayang, hal itu tidak bisa dijelaskan saat ini,” jelas Panji Pendekar Naga Putih sama sekali tidak berdusta.

Sebab menurutnya, setiap tokoh persilatan yang berada pada jalan lurus adalah sahabatnya. Sedangkan alasan yang tidak bisa diceritakannya adalah tentang keterkaitannya kedua orang sahabatnya yaitu Balira dan Lunjita, dengan tuduhan pembunuhan atas delapan tokoh persilatan yang menjadi korban pertama. Masalahnya, kalau hal itu diceritakannya, ada kemungkinan kedua orang sahabatnya akan dibawa dan diperiksa oleh para perwira kerajaan.

Begitu mendengar jawaban pemuda berjubah putih itu, seorang perwira lainnya melompat turun dari atas punggung kuda. Dari raut wajahnya yang gelap, jelas kalau dia merasa marah dengan alasan Pendekar Naga Putih. “Anak muda! Sadarkah kau dengan ucapanmu itu?! Dengan ingin menyelesaikan masalah ini sendiri, berarti telah membuat para perwira kerajaan merasa terhina! Kata-katamu itu sama artinya dengan merendahkan kemampuan kami. Itu sama saja menuduh, kalau kami tidak becus untuk menangkap pembunuh biadab itu! Hm.... Aku jadi ingin mengetahui, sampai di mana kepandaian yang kau miliki sehingga bersikap sombong dihadapan kami, para petugas kerajaan.”

Setelah berkata demikian, perwira yang sepertinya bersifat berangasan itu melangkah maju dan siap bertempur. Sementara itu, perwira gagah yang tadi berbicara dengan Panji tidak berkata apa-apa. Bahkan terlihat bergerak mundur seperti hendak memberikan peluang kepada rekannya. Sepertinya perwira gagah itu juga ingin melihat, sampai di mana kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berjubah putih sehingga ingin menangkap si pembunuh dengan tangannya sendiri.

“Bersiaplah, Anak Muda! Aku hendak menguji kesombonganmu. Dan kalau kepandaianmu ternyata tidak sebesar omonganmu, lebih baik belajar lagi selama sepuluh tahun. Setelah itu, mungkin kau baru boleh menyombongkan diri,” tantang perwira berangasan berwajah kecoklatan itu. Raut wajah perwira itu terlihat keras membayangkan sifat aslinya. Tubuhnya tinggi besar dan terlihat kokoh dan kuat.

Sekali melihat saja, Panji sudah dapat menilai kalau dia pasti memiliki tenaga luar yang besar. Hal itu terlihat jelas dari bentuk tubuhnya yang bagai sebongkah batu karang. “Maaf, Tuan. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Dan aku mohon maaf apabila ucapanku tadi telah menyinggungmu,” ucap Panji dengan suara masih tetap tenang dan sopan.

TUJUH

Perwira berangasan yang tinggi besar dan kokoh itu sama sekali tidak mempedulikan ucapan Panji. Kakinya yang kokoh, terus saja melangkah mendekati pemuda berjubah putih itu. Langkahnya baru berhenti ketika jarak di antara mereka hanya tinggal satu batang tombak lagi.

“Tidak perlu banyak cakap! Dan jangan khawatir! Aku maju bukan atas nama kerajaan, tapi atas namaku sendiri! Kau tidak akan dituduh sebagai pemberontak apabila sanggup mengalahkan aku. Jadi, tidak ada yang perlu ditakuti!” tegas perwira itu sambil memasang kuda-kuda. “Lihat serangan!” Setelah berkata bernada peringatan, perwira itu melompat dan melancarkan pukulan yang menimbulkan desir angin tajam.

Bettt! Bettt!

Panji bergegas melempar tubuhnya ke belakang, menghindari pukulan-pukulan yang mendatangkan angin kuat. Tentu saja hal itu membuat si perwira jadi penasaran. Ternyata pukulannya yang bertubi-tubi dapat dihindari lawan dengan mudah. Maka kini serangan serangannya semakin dipergencar. Bahkan kali ini sudah menggunakan kaki untuk membantu serangan. Melihat betapa lawannya semakin ganas dalam melancarkan serangan, Panji mulai membalas sesekali. Masalahnya, Pendekar Naga Putih tidak ingin dianggap merendahkan lawan. Serangan balasannya itu dimaksudkan hanya untuk menghalau gelombang serangan lawan yang semakin dahsyat dan menggebu-gebu.

Dugkh!

“Uhhh...!” Perwira tinggi besar itu terjajar mundur beberapa langkah ke belakang ketika pukulannya yang mengarah dada ditangkis Pendekar Naga Putih. Lengannya seketika terasa bagai dibenturkan pada sebatang logam bulat yang kuat dan dingin. Dan kini, wajahnya terlihat agak meringis menahankan rasa nyeri akibat tangkisan itu. Namun hal itu tidak membuatnya jera. Malah sebaliknya hatinya semakin penasaran. Perwira itu masih merasa ragu, kalau rasa nyerinya disebabkan tenaga lawan. Dia kemudian menghibur diri dengan menyalahkan kedudukannya yang memang agak lemah pada saat menyerang tadi. Perwira itu kembali bersiap melancarkan serangan berikut.

Pendekar Naga Putih sendiri sebenarnya sempat dibuat terkejut ketika merasakan betapa kuatnya tenaga yang dimiliki perwira itu. Buktinya, tangannya sempat terasa bergetar ketika menangkis pukulan lawan tadi. Dan itu membuatnya lebih berhati-hati dalam melayani serangan serangan selanjutnya.

“Hmh...!” Sambil menggeram keras, perwira tinggi besar itu mendorong telapak tangannya ke atas. Kemudian diturunkan, dan disilangkan di depan dada untuk diteruskan dengan dorongan ke depan disertai hembusan napasnya. Setelah itu, kaki kanannya ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tangan kirinya yang membentuk kepalan, disejajarkan dengan muka dan agak bengkok pada bagian sikutnya. Sedangkan kepalan tangan kanannya dilintangkan di atas kepala dengan punggung kepalan berada di dalam. Sepertinya, kali ini perwira itu telah menyiapkan ilmu andalan untuk menghadapi Panji.

Pendekar Naga Putih yang menyadari akan kekuatan tenaga lawan telah pula mempersiapkan jurusnya. Pemuda itu pun mulai mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Semangatnya dikempos, dan sebagian tenaganya dikerahkan yang kemudian disalurkan ke seluruh anggota tubuhnya. Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih keperakan pun muncul menyelimuti sekujur tubuhnya. Maka pemuda itu kini bagaikan makhluk asing yang turun ke permukaan bumi.

“Pendekar Naga Putih...!”

Beberapa orang tokoh persilatan yang pernah mendengar tentang ciri-ciri pendekar muda itu, berseru tertahan. Nada suara mereka jelas menggambarkan perasaan kagum, girang, dan juga kelegaan. Sebersit harapan mulai tergambar di wajah mereka. Dan memang, dengan kehadiran pendekar muda yang telah mengguncangkan dunia persilatan itu, mereka berharap agar kekacauan yang terjadi di kotaraja segera dapat ditanggulangi Pendekar Naga Putih. Perwira gagah berwajah lembut dan perwira tinggi besar berwatak berangasan, tertegun sejenak. Mereka juga sempat terkejut melihat lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti tubuh pemuda berjubah putih itu. Keterkejutan mereka semakin bertambah ketika mendengar seruan tokoh-tokoh persilatan yang menyebut Pendekar Naga Putih disertai gambaran perasaan masing-masing. Diam-diam mereka merasa kagum terhadap ilmu tingkat tinggi yang dimiliki pendekar kondang itu.

“Ha ha ha...! Bagus... Bagus! Setelah aku mengetahui siapa adanya kau, keinginanku untuk mengujimu semakin besar. Tunjukkanlah kesaktianmu, Pendekar Naga Putih! Sebab, aku memang sudah lama ingin menguji sampai di mana kepandaian tokoh muda yang telah menggegerkan rimba persilatan itu. Ayolah, Pendekar Naga Putih. Jangan kecewakan aku,” pinta perwira tinggi besar itu. Dia memang semakin gembira setelah mengetahui jati diri pemuda berjubah putih yang menjadi lawannya. Hal itu ternyata membuatnya semakin bersemangat.

“Heaaat..!” Diiringi teriakan nyaring, tubuh perwira tinggi besar itu melompat. Dia melancarkan serangan lewat kaki dan tangannya. Serangkum angin berkesiutan mengiringi pukulan dan tendangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi itu.

Namun Pendekar Naga Putih sudah bisa menebak serangan itu. Maka, tubuhnya langsung bergerak ke kiri dan ke kanan menghindari terjangan-terjangan lawan. Sesekali tangannya bergerak menangkis pukulan dan tendangan yang tidak sempat dielakkan. Dan setiap kali pukulan maupun tendangan si perwira itu tertangkis, tubuh tinggi besar itu terdorong mundur dengan wajah meringis menahan sakit. Bahkan beberapa kali terlihat tubuhnya menggigil apabila terkena tangkisan Pendekar Naga Putih yang cukup kuat. Meskipun demikian, perwira itu sama sekali tidak gentar. Serangan-serangannya tetap menggebu-gebu. Maka, mau tak mau Panji menjadi mangkel dibuatnya.

Wuuut! Bettt!

Pendekar Naga Putih memiringkan tubuh ke kiri membiarkan pukulan dan tendangan lawan lewat sisi tubuhnya. Saat itu juga tangan kiri pemuda itu melakukan serangan balasan ke dada lawan yang terbuka. Perwira tinggi besar itu terlihat kaget, karena sama sekali tidak menyangka kalau lawan akan membalas serangan demikian mendadak. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindari hantaman punggung tangan lawan. Namun sayang, gerakan Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih cepat. Sehingga meskipun tidak terlalu telak, tetap saja tubuh tinggi besar itu terdorong mundur ketika kepalan Panji mengenai dadanya.

Bugkh!

“Heghk...!” Tubuh tinggi besar itu terdorong sejauh dua batang tombak lebih disertai jeritan kesakitan. Wajah perwira itu memucat dan giginya bergemeletuk menahan hawa dingin yang menyelusup ke dalam tubuhnya, akibat pukulan Pendekar Naga Putih. Dari kedua sudut bibirnya tampak mengalir cairan kental berwarna merah.

“Hhh..., hhh.... Kau hebat, Pendekar Naga Putih. Rasanya aku tidak perlu melanjutkan pertarungan ini. Kini aku yakin kalau aku tidak mungkin dapat menandingimu. Kupikir, kalau kau bertangan kejam, pasti tubuhku akan terbujur kaku. Itukah ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang telah tersohor di dunia persilatan?” kata perwira bertubuh tinggi besar itu jujur. Namun dengan napas tersengal Ternyata di balik kekerasan dan keberangasannya, perwira itu merupakan seorang yang jujur hingga mau mengakui kesalahannya. Dan itu jarang sekali didapat dalam diri tokoh-tokoh persilatan.

“Benar, Tuan Perwira. Maaf kalau aku telah berlaku lancang kepadamu,” ucap Panji sambil membungkuk hormat kepada perwira itu. Permintaan maaf pemuda itu karena dua hal. Pertama karena lelaki tinggi besar itu adalah seorang perwira kerajaan yang sudah sepatutnya dihormati rakyat. Kedua, karena meskipun sifatnya kasar, namun ternyata memiliki kejujuran hingga tidak malu mengakui kekalahannya. Dan itu membuat Pendekar Naga Putih merasa kagum dan semakin menaruh hormat kepada lawannya.

“Pendekar Naga Putih. Karena kau telah berhasil mengalahkan kawanku, maka kau kuberikan pengecualian. Kau dan ketiga kawanmu, kami izinkan untuk menyimpan senjata. Satu permintaan kami, kuharap tidak menolak untuk tetap berada dalam kotaraja. Kita akan bekerja sama untuk menangkap si pembunuh. Bagaimana?” tanya perwira lain yang berwajah lembut dan penyabar itu.

Melihat sikap dan kata-kata kedua orang perwira kerajaan itu, Panji merasa tidak enak menolak. Pemuda berjubah putih itu menoleh ke arah tiga orang lainnya, seolah olah meminta persetujuan. Dan ketika melihat Kenanga, Balira, dan Lunjita mengangguk setuju, maka Pendekar Naga Putih memberi keputusan. Meskipun, tanpa perlu dengan kata-kata.

“Baiklah, Tuan Perwira. Dengan senang hati, kami bersedia membantu Tuan untuk membekuk si pembunuh yang telah mengganggu ketenangan penduduk kotaraja dan tokoh persilatan yang saat ini tengah berkumpul di sini,” kata Panji sambil membungkuk penuh hormat

“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Dengan bantuanmu, kami yakin pembunuh keji itu akan segera dapat dibekuk. Sekarang aku akan mengundang kalian berempat ke rumahku. Marilah,” ajak perwira berwajah lembut itu seraya tersenyum.

Setelah mengucapkan terima kasih, Panji, Kenanga, dan dua orang sahabatnya, segera meninggalkan gerbang Barat. Mereka mengikuti kedua orang perwira Kerajaan Baru Jajar itu.

*******************

Malam itu bulan menampakkan diri seutuhnya. Sinarnya yang kuning keemasan, seperti menimbulkan kedamaian. Paling tidak, akan membuat hati menjadi tenteram. Namun malam purnama yang biasanya ramai oleh anak-anak yang berlarian dan bersenda gurau itu, kini nampak sunyi dan mencekam. Bahkan para orang tua telah menyuruh anak dan istrinya segera masuk dan mengunci pintu serta jendela rumah rapat-rapat. Karena si pembunuh yang menurut kabar selalu ditemani seekor serigala siluman itu masih berkeliaran dan mencari korban lain.

Angin dingin berhembus keras di saat malam sudah semakin larut. Sedangkan para prajurit kerajaan tetap menunaikan tugasnya, meronda ke seluruh pelosok kotaraja. Hembusan angin dingin tak lagi dirasakan. Mereka memang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Hanya saja, hati mereka selalu dicekam rasa takut. Apalagi bila teringat si pembunuh keji yang belum tertangkap itu. Di saat malam sudah semakin larut, terdengar lolongan serigala yang memecah keheningan dan kesunyian malam. Suaranya yang merintih dan panjang itu, membuat hati para penduduk semakin dicekam rasa takut yang menghebat.

“Hm.... Sepertinya pembunuh itu mulai bergerak, Tuan Perwira,” gumam seorang pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji, kepada perwira disebelahnya. Saat itu mereka memang masih berkumpul di rumah perwira berwajah gagah dan lembut itu.

“Benar. Dan kini sudah waktunya kita berpencar. Dan ingat, apabila di antara kita ada yang memergoki, harap memberikan tanda. Dan kalau bisa tahan mereka sekuat tenaga sampai yang lain datang. Ayolah kita bergegas,” ajak perwira itu sambil beranjak bangkit dari kursinya.

Setelah tiba di luar rumah, rombongan itu dipecah menjadi beberapa kelompok. Panji dan Lunjita bergerak ke sebelah Barat kotaraja, ditemani dua puluh prajurit kerajaan. Sementara Kenanga dan Balira bergerak ke Timur, ditemani dua puluh orang prajurit. Sedangkan kedua orang perwira itu memimpin enam puluh orang prajurit, dan bergerak ke Selatan kotaraja. Di bagian Utara sengaja tidak dilakukan perondaan, karena tidak seorang tokoh persilatan pun yang menginap di Utara kotaraja.

“Lunjita, tetaplah pimpin mereka menuju arah Barat. Aku akan berkeliling sebentar, dan akan segera kembali. Kalau salah satu dari kalian menemukan sesuatu yang mencurigakan, beri tanda kepadaku,” kata Panji yang segera melesat begitu melihat Lunjita menganggukkan kepala.

Tubuh Pendekar Naga Putih segera melambung ke atas atap rumah penduduk begitu Lunjita dan para prajurit sudah tidak terlihat lagi. Kemudian Panji berloncatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Rombongannya ditinggalkan bukan karena merasa memiliki kepandaian tinggi. Tapi, Pendekar Naga Putih berpikir kalau terus mengikuti para prajurit itu, maka perjalanan akan lambat. Bahkan bisa-bisa pembunuh itu telah melakukan rencananya. Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Naga Putih sengaja memisahkan diri. Hal itu tak lain agar ia dapat bertindak lebih leluasa lagi. Dan apabila telah menemukan pembunuh itu, maka ia akan segera memberi tanda secepatnya. Pendekar Naga Putih memang tidak ingin dianggap sombong. Apalagi menganggap rendah orang lain.

Belum lagi Panji berlari jauh, tiba-tiba sepasang matanya yang tajam menangkap gerakan beberapa sosok tubuh dekat sebuah rumah penginapan yang cukup luas. Sosok-sosok tubuh itu bergerak melalui taman belakang penginapan yang dipenuhi berbagai macam tanaman hias. Cepat pemuda itu meluncur turun dari atas atap, lalu mengintai keempat sosok tubuh itu.

“Hm.... Rupanya keempat orang berseragam itulah yang dulu pernah bentrok dengan Balira dan Lunjita. Tapi, kemana orang tinggi besar yang ditemani serigala siluman seperti yang dilaporkan penjaga gerbang Barat itu? Rasanya tidak mungkin kalau keempat orang itu hanya perampok rendah yang menggunakan kesempatan ini? Dari gerak-gerik, jelas mereka berkepandaian rata-rata cukup tinggi,” gumam Panji pelan.

Pandangan Pendekar Naga Putih beredar ke sekeliling, kalau-kalau orang yang dimaksud telah berada di sekitar tempat itu. Masalahnya, Panji tidak melihat adanya orang tinggi besar yang selalu ditemani seekor serigala. Maka kini pemuda berjubah putih itu bergerak gesit menyelinap masuk ke dalam rumah penginapan.

“Eh!” Pendekar Naga Putih menarik tubuhnya ke tempat yang agak tersembunyi ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar tengah melangkah tenang. Di samping kanannya tampak seekor binatang yang hampir sebesar anak kuda! “Berhenti...!” seru Panji.

Sosok tubuh itu langsung berpaling cepat. Namun begitu melihat kalau yang menghentikannya hanya seorang pemuda, tawanya langsung meledak. Hanya saja, bernada menghina. Serigala yang memiliki mata semerah darah itu, menatap Panji sambil menggereng lirih memperlihatkan taringnya yang runcing dan bagaikan ujung pedang.

“Grrhhh...!”

Bukan main terkejutnya Panji ketika merasakan semangatnya bagai terbang akibat pengaruh pandangan mata serigala itu. Cepat napasnya disedot dalam-dalam, dan tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan pengaruh itu.

“Auuungngng...!”

Tiba-tiba saja serigala berbulu hitam yang ukurannya melebihi serigala biasa itu melolong menggetarkan sukma. Hebat sekali pengaruh lolongan itu. Akibatnya, tubuh Panji yang semula berdiri tegak, nampak terhuyung limbung sambil menekap dadanya yang berdebar keras.

“Heaaah...!” Pendekar Naga Putih langsung mengeluarkan pekikan keras yang menggetarkan jantung. Selapis kabut bersinar putih keperakan nampak mulai menyelimuti tubuhnya. Rupanya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah dikerahkannya. Ilmu dahsyat itu digunakan untuk melawan pengaruh pandangan maupun lolongan yang mengandung ilmu hitam.

“Keparat! Kiranya kau Pendekar Naga Putih! Pantas saja kau berani mencegahku!” bentak orang tinggi besar berkerudung yang mengenakan jubah hitam pekat itu. Suaranya yang serak dan sember itu bergetar penuh kemarahan. Sepasang matanya berkilat tajam seakan-akan hendak menelan tubuh Panji bulat-bulat.

Sementara para penghuni rumah penginapan itu serentak berhamburan keluar, ketika mendengar pekikan Panji dan lolongan serigala. Para tokoh persilatan yang bermalam dirumah penginapan itu berlari keluar dari kamar masing-masing dengan senjata terhunus. Keadaan semakin bertambah kacau ketika tiba-tiba saja sebagian dari para tokoh persilatan, menyerang sebagian yang lain. Sehingga pertempuran sengit yang semrawut pun segera pecah.

Di tempat lain, para penduduk yang tengah dicengkeram ketakutan, semakin bertambah kalang-kabut. Bahkan tidak sedikit yang menyembunyikan diri di kolong tempat tidur dengan tubuh menggigil hebat. Dapat dibayangkan, betapa tersiksanya hati para penduduk kotaraja saat itu. Sementara itu, tanpa diduga, orang bertubuh tinggi besar bersama serigalanya melesat cepat keluar penginapan. Hal itu dilakukan pada saat Pendekar Naga Putih sedikit lengah akibat kegaduhan yang terjadi di dalam penginapan.

DELAPAN

Pendekar Naga Putih yang melihat orang bertubuh tinggi besar itu melarikan diri bersama binatang peliharaannya, bergegas mengejar. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Seluruh ilmu larinya memang telah dikerahkan. Ini dilakukan karena merasa khawatir kalau orang itu sampai lolos dari tangannya. Namun belum lagi jauh melakukan pengejaran, tahu-tahu saja empat sosok bayangan hitam berkelebat menghadangnya. Tanpa banyak bicara lagi, keempat bayangan itu langsung menyerang dengan pedang telanjang. Dari suara sambaran pedang yang menderu tajam, Pendekar Naga Putih tahu kalau serangan itu tidak bisa dianggap main-main.

“Heaaat..!” Disertai pengerahan ilmu 'Pekikan Naga Marah', tubuh pemuda itu melambung ke udara beberapa jengkal di atas kepala lawan-lawannya yang tengah terhuyung-huyung. Ini adalah akibat pekikannya yang juga merupakan serangan melalui suara. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah. Tubuhnya kembali melambung dan melesat bagai anak panah yang terlepas dari busur.

Hati Pendekar Naga Putih semakin marah ketika sempat melihat belasan orang prajurit yang dipimpin Lunjita bergeletakan tewas berlumuran darah. Sedangkan pemuda tampan itu sendiri terlihat tengah berjuang keras mempertahankan selembar nyawanya dari ancaman serangan serigala siluman. Keadaan delapan orang prajurit yang masih hidup itu juga terlihat tengah terancam maut. Ini terbukti ketika sosok tubuh tinggi besar yang berkerudung kepala dan berjubah hitam itu telah melompat menyerang dengan tamparan yang menimbulkan suara mencicit tajam. Sudah dapat dipastikan kalau sisa para prajurit itu pastilah tidak berumur panjang.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera berkelebat menerjang orang tinggi besar itu dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tangan kanannya meluncur, melakukan tamparan untuk menyelamatkan nyawa kedelapan orang prajurit dari kematian.

“Heaaat..!”

Plarrr!

Tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih disambut telapak tangan lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Delapan orang prajurit itu terhuyung mundur sambil menekap kedua telinga masing-masing. Memang, suara yang ditimbulkan oleh beradunya dua telapak tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu begitu dahsyat. Bahkan mampu membuat udara di sekitar tempat itu bergetar hebat. Akibat yang dialami kedua orang tokoh itu juga tidak kalah hebatnya. Tubuh mereka satu sama lain terpental ke belakang sejauh tiga tombak. Namun keduanya bergerak indah, lalu melakukan beberapa kali putaran di udara. Dan kini mereka mendarat manis di tanah. Satu sama lain tampak saling tatap, seperti menunggu serangan berikut.

“Gila! Tenaga orang itu hebat sekali!” desis Panji. Pendekar Naga Putih merasa terkejut bukan main ketika merasakan lengannya nyeri dan ngilu akibat pertemuan tenaga tadi. Untunglah kepandaiannya telah meningkat jauh. Meskipun dalam pengembaraan, Pendekar Naga Putih tidak pernah melewatkan waktu-waktu luangnya untuk melatih ilmu-ilmunya maupun tenaga dalamnya. Latihan-latihan yang sering dilakukannya ternyata tidak sia-sia. Kepandaian dan tenaganya dirasa telah meningkat jauh.

“He he he...! Ternyata kau boleh juga, Pendekar Naga Putih!” puji orang tinggi besar itu sambil memperdengarkan tawanya.

Panji sama sekali tidak mempedulikan pujian lawannya. Justru, Pendekar Naga Putih malah merasa khawatir dengan keselamatan Lunjita. Maka kepalanya langsung ditolehkan untuk melihat keadaan sahabatnya. Bergegas Panji melompat dengan kecepatan luar biasa ke arah Lunjita. Dan memang, pada saat itu sahabatnya terlihat dalam bahaya.

“Hiaaa...!”

Wusss!

Sambil berteriak nyaring, Pendekar Naga Putih mendorong sepasang telapak tangannya ke arah serigala siluman yang saat itu tengah melompat mengancam leher Lunjita. Sementara pemuda tampan itu hanya dapat berteriak ngeri, tanpa berbuat sesuatu. Tubuhnya serasa kaku akibat raungan serigala itu yang terasa menggetarkan jantung.

Bugkh!

“Khaiiiingngng...!”

Hantaman sepasang telapak tangan Panji tepat menghantam tubuh serigala itu hingga terlempar beberapa tombak ke samping. Binatang buas itu menguik, lalu terbanting di atas tanah. Namun Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika serigala itu ternyata dapat langsung bangkit, dan tidak terpengaruh oleh pukulannya. Padahal, pukulannya itu sebenarnya sanggup untuk membunuh seorang tokoh persilatan tingkat pertengahan. Tapi bagi binatang itu sama sekali tidak berarti apa-apa.

“Binatang siluman...!” desis Panji yang sudah memapah tubuh Lunjita.

Sepertinya hati pemuda tampan itu terguncang hebat. Setelah lolos dari maut, sekujur tubuhnya terasa lemas bagaikan tak bertulang. Untunglah Panji sempat menangkapnya sehingga tidak sampai terjatuh.

Saat itu terdengar derap langkah orang berlari yang bergemuruh. Panji menjadi lega ketika melihat rombongan Kenanga dan dua orang perwira yang juga bersama rombongannya telah tiba pula di tempat itu. Rupanya kedua rombongan itu segera berdatangan ketika mendengar pekikan Pendekar Naga Putih pada waktu berada di penginapan. Tentu saja Panji merasa bersyukur dengan datangnya kedua rombongan itu.

Begitu tiba, delapan puluh orang prajurit langsung bergerak membentuk lingkaran. Mereka kini telah mengepung orang tinggi besar yang berkerudung dan berjubah hitam, bersama serigala dan empat orang anak buahnya yang juga mengenakan pakaian serba hitam dan penutup kepala yang juga berwarna hitam.

Tiba-tiba terdengar teriakan panjang dan melengking menusuk telinga. Pada saat yang sama, tubuh orang tinggi besar itu berkelebat dan membagi-bagi pukulan-pukulan mautnya kepada puluhan prajurit yang mengepung tempat itu. Sekali menggerakkan tangan saja, enam orang prajurit terdepan langsung roboh dengan kepala pecah. Sedangkan beberapa orang lain yang terkena sambaran angin pukulannya terpental dan pingsan seketika itu juga.

Demikian pula empat orang berseragam hitam dan serigala bermata semerah darah itu. Mereka ternyata juga telah mengamuk dan merobohkan beberapa orang prajurit kerajaan. Sehingga, mau tak mau kepungan itu pun semakin merenggang. Betapa tidak? Karena para prajurit itu merasa ngeri juga melihat sepak terjang orang-orang itu yang sangat ganas dan mengandung maut.

Pendekar Naga Putih yang melihat keadaan itu tentu saja menjadi cemas bukan main. Kemudian, kepalanya menoleh kepada Balira yang saat itu juga tengah memandangnya. Panji segera bergerak menghampiri Balira.

“Balira! Jagalah sahabatmu ini dan bawa ke tepi!” perintah Panji yang segera menyerahkan tubuh Lunjita kepada Balira.

“Kenanga! Hadapi serigala siluman itu! Hati-hati, ia berbahaya sekali. Binatang itu mempunyai pengaruh gaib yang hebat, sehingga dapat melumpuhkan lawan lewat tatapan dan lolongannya!” Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih sendiri lalu melesat ke arah sosok tubuh tinggi besar yang saat itu tengah dikeroyok dua orang perwira dan para prajurit.

“Akulah lawanmu, Manusia Ibiis!” bentak Panji. Tubuh Pendekar Naga Putih langsung menerjang sosok tinggi besar itu dengan serangan serangan yang cepat dan dahsyat. Begitu menyerang, Panji langsung menggunakan 'Ilmu Naga Sakti'nya. Hasilnya, serangannya itu sangat dahsyat dan menggiriskan. Keduanya kini segera terlibat dalam pertempuran sengit dan mati-matian.

Sedangkan dua orang perwira kerajaan sudah memimpin anak buahnya untuk mengeroyok empat orang berseragam hitam yang sepertinya merupakan pembantu utama tokoh tinggi besar yang selalu membawa serigala itu. Mereka juga segera terlibat pertarungan yang seru dan sengit. Bahkan Kenanga juga telah mencabut keluar 'Pedang Sinar Bulan' yang menebarkan angin dingin itu. Gadis jelita itu memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar putih keperakan yang bergerak turun-naik melindungi tubuhnya.

Sambil memekik nyaring, gadis berpakaian serba hijau itu langsung menyerang serigala siluman. Tentu saja dia menghindari pandangan mata binatang siluman itu, sebagaimana yang dipesankan Panji. Karena kalau sampai memandang, ia akan terpengaruh kekuatan ilmu hitam yang terpancar dari sepasang bola mata buas berwarna merah bagaikan darah. Pertempuran ini pun tidak kalah dahsyatnya dengan pertempuranpertempuran lainnya.

Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan lelaki tinggi besar yang mengenakan kerudung dan jubah hitam itu, semakin lama semakin terkejut melihat kesaktian lawannya. Sehingga untuk dapat mengalahkan, rasanya pemuda itu harus menguras seluruh ilmu yang dimiliki.

“He he he...! Keluarkan seluruh kesaktianmu, Pendekar Naga Putih! Akulah si Mata Iblis Perenggut Nyawa yang akan segera mengakhiri petualanganmu!” ejek orang tinggi besar yang mengaku berjuluk Mata Iblis Perenggut Nyawa sambil terkekeh seram.

Panji sempat terkejut begitu mengetahui orang yang kini menjadi lawannya. Julukan itu memang pernah didengarnya. Mata Iblis Perenggut Nyawa adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian dan kekejaman melebihi iblis. Tapi, mengapa tokoh sesat itu tiba-tiba muncul ke dunia ramai dan membuat kekacauan? Bukankah menurut kabar yang pernah didengar, tokoh sesat itu telah lama menghilang dan kabarnya menjadi seorang pertapa yang mengasingkan diri. Apakah berita yang pernah didengarnya itu salah? Atau orang tinggi besar ini hanya mengaku-aku saja untuk membuat lawan menjadi terpecah perhatiannya?

“Haaat..!”

Berbagai pertanyaan yang memenuhi pikiran Panji kontan lenyap seketika. Karena saat perhatiannya sedang terpecah itu, si Mata Iblis Perenggut Nyawa telah melancarkan serangan secara licik.

Plakkk! Bughk!

Pukulan tangan kiri yang mengarah kepala Pendekar Naga Putih berhasil ditangkis. Tapi tusukan jari-jari tangan kanan iblis licik itu telah menyusul dan mematuk keras dadanya. Seketika tubuh pemuda itu pun terlempar mundur hingga dua batang tombak jauhnya. Sepasang kakinya terlihat agak goyah hingga membuat tubuhnya limbung. Untunglah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya kini telah meningkat jauh dan telah mampu melindungi tubuh dari pukulan yang bagaimana kuatnya!

Meskipun tenaga itu masih belum sempurna, namun telah mampu menolak pukulan, sehingga tidak membuatnya terluka. Hanya saja, dadanya yang terkena tusukan jari jari tangan lawan yang sekeras baja itu agak terasa nyeri dan sesak. Meskipun tidak membuatnya terluka dalam, tapi cukup membuat gerakannya agak terhambat.

Wusss!

Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya ke belakang ketika lawan telah mendorong sepasang telapak tangannya dengan pukulan yang mematikan. Pemuda itu langsung berjungkir balik di udara beberapa kali, lalu mendarat sejauh empat batang tombak dari tempat lawannya berdiri. Sadar kalau lawannya memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Pendekar Naga Putih segera menyedot napas banyak-banyak. Ini dilakukan untuk mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya semakin melebar dan berpendar menebarkan hawa dingin yang menggigit tulang. Maka seketika orang-orang yang bertempur di dekatnya, serentak berlari menghindar. Tentu saja, mereka tidak tahan oleh hawa dingin yang terpancar keluar dari tubuh pendekar muda yang digdaya itu.

Mata Iblis Perenggut Nyawa mau tak mau harus mengakui kehebatan ilmu yang dimiliki pemuda itu. Terus terang, ia pun semakin bertambah kagum terhadap Pendekar Naga Putih yang ternyata memang bukan sebuah julukan kosong itu. Bagaikan seekor naga yang murka, tubuh Panji bergerak cepat menyerbu lawannya. Kedua tangannya yang berbentuk cakar naga menyambar-nyambar menimbulkan desiran angin yang mencicit tajam. Sepertinya, kali ini Pendekar Naga Putih sudah tidak main-main lagi. Mau tak mau, lawannya harus semakin waspada dalam menghadapi hujan serangan yang mengancam nyawanya.

Makin lama serangan yang dilancarkan Pendekar Naga Putih semakin ganas dan menggiriskan. Tubuhnya kadang-kadang berkelebat menyerang tubuh bagian atas lawannya. Dan di lain saat, juga sudah menukik turun dengan kecepatan menggetarkan. Serangannya tak ubahnya amukan seekor naga murka. Maka, tokoh sakti seperti Mata Iblis Perenggut Nyawa sempat juga dibuat bergetar, ngeri oleh amukan pendekar muda itu.

“Hiyaaa...!”bDibarengi teriakan nyaring yang disertai pengerahan ilmu 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji yang tengah berada di udara tiba-tiba menukik cepat dan langsung melancarkan serangan. Dikerahkannya jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus terakhir dari rangkaian 'Ilmu Naga Sakti' yang dimilikinya.

Plakkk! Desss! Brettt!

“Aaargh...!” Mata Iblis Perenggut Nyawa meraung dahsyat merobek angkasa yang pekat. Meskipun berhasil menangkis serangan, namun tetap saja tubuhnya terkena cakaran dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih yang berkekuatan dahsyat!

Tubuh tinggi besar itu terlempar disertai percikan darah yang keluar dari luka di dadanya yang memanjang dan cukup dalam akibat cakar naga lawannya. Mata Iblis Perenggut Nyawa terbanting keras menimbulkan suara berdebuk nyaring. Tubuhnya tampak menggigil hebat akibat hawa dingin yang merasuk ke tubuhnya. Wajahnya terlihat agak membiru dan cairan merah tampak menetes keluar dari sela-sela bibirnya. Pukulan yang dilancarkan Pendekar Naga Putih ternyata telah membuat luka dalam ditubuhnya.

Dan kini manusia iblis itu tak mampu bangkit! Dia tergeletak dengan napas terengah-engah. Sepasang matanya bahkan membelalak lebar. Sedangkan empat orang berseragam hitam yang merupakan pengawal-pengawal Mata Iblis Perenggut Nyawa, sudah tergeletak dengan tubuh mandi darah akibat amukan prajurit kerajaan yang dipimpin dua orang perwira gagah yang ternyata berkepandaian tinggi itu.

Panji menarik napas lega melihat keadaan sudah dikuasai pihaknya. Setelah menotok lumpuh musuhnya yang belum tewas itu, Pendekar Naga Putih bergegas melangkah kearah Kenanga, Balira, dan Lunjita yang tengah mengeroyok serigala siluman. Pendekar Naga Putih yang semula berniat hendak membantu, mengurungkan niatnya. Pada kenyataannya, tampak ketiga orang itu sudah hampir menyelesaikan pertarungan yang melelahkan.

“Hiaaat..!”

Kenanga, Balira, dan Lunjita serentak berteriak nyaring dan melompat menusukkan senjata secara berbarengan pada saat binatang siluman itu tengah melompat menerjang salah seorang dari mereka. Serigala siluman yang mengerikan itu langsung menguik dan melolong panjang ketika tiga batang senjata telah memanggang tubuhnya di tiga tempat. Hampir bersamaan, ketiganya mencabut senjata masing-masing untuk kemudian dibacokkan ketubuh serigala itu. Darah seketika berhamburan ketika tubuh binatang yang ditakuti itu terbelah menjadi tiga bagian!

Tiga pendekar muda itu memandangi mayat serigala siluman dengan tarikan napas lega. Setelah pertarungan selesai, mereka baru merasa lelah. Terus terang, mereka bergidik ngeri membayangkan apa jadinya jika menghadapi binatang siluman itu seorang diri. Sedangkan dengan keroyokan saja, mereka baru dapat membunuh binatang itu setelah bertarung lebih dari lima puluh jurus! Benar-benar binatang yang luar biasa!

“Hei, Balira! Apakah kau masih mengenali orang ini?” seru Panji yang saat itu tengah berdiri memandangi mayat-mayat yang baru saja dikeluarkan dari rumah penginapan.

“Hei!? Bukankah orang-orang ini yang mengeroyok dan menyiksaku di dekat aliran sungai beberapa hari yang lalu!” seru Balira sambil memandangi mayat orang-orang yang pernah mengeroyoknya, di antara mayat yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang.

“Aku tahu sekarang!” kata Balira sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mereka sengaja memfitnahku untuk menghilangkan jejak. Dan aku yakin, orang-orang ini pasti mempunyai hubungan dengan pembunuh yang selalu membawa serigala siluman itu. Betul kan?”

“Benar! Mereka memang anak buah pembunuh itu yang rupanya telah menyusup ke kotaraja dan berbaur dengan para tokoh persilatan yang hendak mengikuti ujian,” yang menyahuti kali ini adalah perwira tinggi tegap berwatak berangasan namun berhati jujur. Dia adalah perwira yang pernah dikalahkan Panji belum lama ini

SEMBILAN

“Menurut dugaan Paman Perwira, kira-kira apa yang menyebabkan mereka melakukan kekacauan ini?” tanya Panji yang sudah menyebut perwira itu dengan panggilan 'paman' atas kehendak perwira itu sendiri.

Saat itu, Pendekar Naga Putih, Kenanga, Balira, dan Lunjita memang sudah berkumpul di dekat bekas arena pertempuran. Mereka dikelilingi dua orang perwira dan beberapa prajurit yang tersisa. Sementara, tokoh-tokoh persilatan yang bertarung di rumah penginapan sudah pula berkumpul di situ. Mereka tampak berbincang-bincang satu sama lain.

“Hm.... Menurut keterangan beberapa orang tawanan yang kami paksa berbicara, mereka mengaku sebagai murid Perguruan Harimau Hitam. Sedangkan empat orang berseragam hitam itu adalah pemimpin mereka di empat penjuru yang bekerja sama untuk melakukan kekacauan ini. Mungkin karena merasa kurang yakin, lalu mereka mengundang tokoh sesat berjuluk Mata Iblis Perenggut Nyawa yang telah kau pecundangi itu, Panji,” jelas perwira tinggi gagah itu.

“Tapi, apa yang menjadi tujuan utama mereka?” selak Balira yang jadi tidak sabar ketika perwira itu menghentikan ceritanya.

“Keempat pemimpin Perguruan Harimau Hitam itu meminta pertolongan kepada paman guru mereka, yaitu Mata Iblis Perenggut Nyawa untuk melakukan kekacauan. Tokoh sesat itu kemudian membunuhi tokoh-tokoh persilatan yang datang untuk mengikuti ujian. Dengan kepandaian yang dimiliki tokoh sesat itu, pekerjaan mereka akan menjadi lebih mudah. Iblis itu memang dapat melakukan pembunuhan secara gelap dan tanpa kesulitan. Sedangkan tujuan mereka sudah jelas, agar para peserta ujian menjadi ketakutan dan segera meninggalkan kotaraja tanpa berani kembali. Dengan demikian, maka hanya murid-murid Perguruan Harimau Hitam itulah yang akan mengikuti ujian calon perwira. Dan jika sudah menjadi perwira di kerajaan ini, maka akan semakin kuatlah kedudukan serta pengaruh perguruan mereka. Untunglah kita telah dapat menggagalkan rencana mereka. Sungguh aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya kelak apabila Kerajaan Batu Jajar dikuasai tokoh-tokoh sesat yang kejam seperti mereka. Aku merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Tanpa bantuanmu, aku rasa belum tentu kejahatan ini dapat dibongkar,” jelas perwira itu. Matanya memandang Panji penuh rasa terima kasih.

“Ah! Tanpa bantuan yang lain, apa artinya kepandaianku, Paman Perwira,” elak Panji merendah, sehingga membuat si perwira semakin bertambah kagum.

“Dengan jasa kalian yang besar ini, aku dapat memohonkan jabatan kepada kalian tanpa harus melalui ujian. Bagaimana?” tanya perwira itu sambil memandang Panji, Balira, dan Lunjita bergantian.

“Terima kasih, Paman Perwira. Rasanya aku lebih suka hidup bebas tanpa harus terikat,” ucap Panji, menolak jabatan yang disodorkan perwira bertubuh tinggi dan gagah yang berwatak jujur itu.

Ada terbersit sinar kekecewaan di mata perwira itu. Tapi dia cukup memahami. Memang sebagai pendekar pengembara, jarang ada yang bersedia terikat oleh aturan-aturan kerajaan.

“Karena urusan ini sudah selesai, maka kami mohon pamit,” kata Panji sambil memegang lengan Kenanga yang sejak tadi hanya mendengarkan pembicaraan itu. Setelah berpamitan kepada Balira dan Lunjita, maka kedua orang pendekar muda itu bergegas meninggalkan tempat itu.

“Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih!” cegah perwira satunya lagi yang memiliki wajah gagah dan berwatak harus menahan langkah Panji dan Kenanga.

Panji seketika menahan langkahnya, dan menoleh ke arah perwira yang tengah berdiri di dekat tubuh Mata Iblis Perenggut Nyawa yang masih tertotok lumpuh. Bergegas pemuda itu menghampiri bersama kekasihnya.

“Bagaimana dengan tokoh sesat ini? Aku khawatir setelah sembuh nanti, dia akan mudah meloloskan diri dari tahanan. Karena selain memiliki kepandaian tinggi, tokoh ini juga memiliki ilmu hitam yang mengerikan,” kata perwira gagah berwatak lembut, meminta pendapat Pendekar Naga Putih.

“Bagaimana kalau kita lenyapkan saja kepandaiannya, Paman Perwira?” sahut Panji setelah termenung beberapa saat lamanya.

Ketika pemuda itu melihat si perwira mengangguk, maka Pendekar Naga Putih menghantamkan sisi telapak tangannya pada kedua jalan darah besar yang terletak pada kedua bahu tokoh sesat itu. Seketika terdengar teriakan kesakitan daribmulut tokoh itu, yang kemudian pingsan akibat kelumpuhan pada kedua lengannya.

“Nah! Sekarang, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kepandaiannya lagi. Sebab sedikit saja tenaga dalamnya dikerahkan, maka seketika itu juga dia akan tewas dengan rasan sakit yang hebat. Maka dengan demikian, ilmu hitamnya juga tidak berguna lagi. Karena, ilmu itu harus disertai pengerahan tenaga dalam,” jelas Pendekar Naga Putih.

Setelah menyelesaikan persoalan itu, maka kedua pendekar itu langsung melesat pergi meninggalkan kotaraja. Setelah kepergian Panji dan Kenanga, Balira dan Lunjita segera minta diri kepada kedua orang perwira kerajaan yang baik hati itu.

“Baiklah, Balira, Lunjita. Dan kalau suatu hari nanti kalian berniat untuk mengabdikan diri kepada kerajaan, temuilah kami berdua. Jangan ragu-ragu,” pesan perwira tinggi tegap berwatak berangasan itu.

“Baik, Paman Perwira. Sekarang kami mohon diri,” pinta Balira dan Lunjita seraya mengangguk hormat kepada kedua perwira itu. Kemudian keduanya pun melesat meninggalkan tempat itu diiringi pandangan mata kedua perwira Kerajaan Batu Jajar.

*******************

Kita berpisah di sini saja, Kakang Balira. Aku akan mengambil jalan ke arah Selatan,” pamit Lunjita tiba-tiba, ketika keduanya telah jauh meninggalkan gerbang kotaraja.

Saat itu mereka tengah menyusuri daerah yang dikiri kanannya terdapat hamparan sawah yang luas.

“Mengapa, Adi Lunjita? Apakah kau tidak suka jalan bersamaku? Kau hendak ke mana?” desak Balira. Pemuda gagah itu langsung menoleh ke arah Lunjita dengan wajah berubah karena merasa terkejut mendengar ucapan sahabatnya.

“Mmm.... Aku sudah memutuskan untuk kembali keperguruan. Rasanya, sudah tidak ada keinginan lagi untuk melihat keramaian atau melakukan pengembaraan. Setelah mengalami peristiwa-peristiwa itu, baru kusadari kalau kepandaian yang kumiliki masih sangat rendah. Dan aku harus berlatih lebih giat lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmuku. Kau sendiri hendak ke mana, Kakang?” tanya Lunjita yang merasa heran melihat perubahan wajah sahabatnya itu.

Balira mengalihkan pandangannya ke langit cerah membiru. Jelas sekali kalau hatinya merasa berat berpisah dengan pemuda sahabatnya itu. Sepasang matanya menerawang jauh ke depan dengan tatapan hampa.

“Kau kenapa, Kakang? Apakah kau sakit?” tanya Lunjita seraya menatap wajah pemuda gagah itu dengan hati cemas. Dipegangnya lengan pemuda itu, disertai tatapan menyelidik.

Mendengar pertanyaan yang bernada penuh kekhawatiran itu, Balira menolehkan kepalanya dan memandang sayu kearah Lunjita. Tangan kanannya bergerak memegang tangan sahabatnya yang masih menggenggam lengan kirinya. “Setelah semua kejadian yang kita alami bersama-sama ini, haruskah kita berpisah, Lunjita?” tanya Balira. Suara pemuda gagah itu terdengar bergetar. Sedangkan tangan kanannya sudah menggenggam jemari tangan Lunjita dengan hangat. Tatapan matanya pun sayu, menyiratkan sinar aneh yang membuat sahabatnya terkejut.

“Apa..., apa maksudmu, Kakang Balira...?” desak Lunjita sambil menarik tangannya yang digenggam Balira. Nada suaranya terdengar ketus dan agak bergetar. Pemuda tampan berkulit halus itu tersentak mundur dengan wajah agak memucat. Hatinya benar-benar terkejut melihat perubahan sikap Balira terhadap dirinya.

“Apakah..., kau..., kau....” Lunjita melangkah mundur sambil menudingkan telunjuknya ke wajah sahabatnya dengan bibir bergetar. Wajah tampan itu semakin pucat begitu mulai dapat menduga, apa yang membuat pemuda gagah itu tiba-tiba bersikap aneh.

“Maafkan aku, Adi Lunjita,” ucap Balira yang merasa lidahnya kelu untuk menyebutkan nama sahabat yang rahasianya telah diketahui itu. “Aku... tidak sengaja melakukannya. Aku sungguh tidak sengaja melakukannya. Aku baru mengetahui kalau kau sebenarnya seorang wanita pada saat berniat mengobati lukamu yang cukup parah beberapa waktu yang lalu. Maafkan aku....” Balira menundukkan wajahnya, tidak berani menentang pandang mata sahabatnya.

“Kurang ajar...!” seru Lunjita di antara isak tangisnya. Jelas, dia merasa malu karena rahasianya telah diketahui Balira. Selebar wajahnya menjadi merah teringat apa yang telah dilakukan pemuda itu di saat dirinya pingsan.

Plakkk!

Balira mengeluh pendek ketika tahu-tahu saja telapak tangan sahabatnya mendarat di wajahnya. Tubuh pemuda itu terpelanting karena dalam kemarahannya, Lunjita telah mengerahkan tenaga dalam saat melakukan tamparan keras tadi. Darah langsung menetes dari sudut bibirnya. Pemuda gagah itu bergerak bangkit tanpa berani mengangkat wajahnya yang sudah pucat itu.

“Hukumlah aku kalau memang perbuatanku yang terdorong rasa cemas akan keselamatanmu itu kau anggap salah,” kata Balira. Pemuda gagah itu segera mengangkat kepalanya dan menatap wajah Lunjita dengan perasaan cinta yang dalam dan tulus. Hatinya terasa pedih melihat wajah sahabatnya yang telahbdibasahi air mata.

Lunjita jatuh terduduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahu 'pemuda' itu berguncang-guncang menahan tangis. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengalir air bening. Hati Balira semakin dilanda rasa bersalah, ketika melihat akibat perbuatannya yang tanpa sengaja telah menimbulkan kedukaan hebat dalam diri sahabatnya. Terdorong rasa cintanya yang dalam, pemuda gagah itu melangkah menghampiri Lunjita yang sebenarnya adalah seorang gadis.

Balira menduga, mengapa gadis itu melakukan penyamaran. Ini dilakukannya agar perjalanannya akan lebih aman dan tidak perlu merasa khawatir diganggu orang-orang jahat. Berbeda apabila ia melakukan perjalanan sebagai seorang wanita yang sudah pasti akan menarik perhatian.

Setelah tangisnya agak mereda, mendadak Lunjita bangkit sambil menghapus air matanya. Ditatapnya dalam-dalam wajah Balira yang masih berdiri tegak di depannya. Ia sempat tertegun melihat betapa pucat dan sedihnya wajah pemuda gagah itu.

“Sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa itu. Maafkan atas kekasaranku tadi” Sesudah berkata demikian, Lunjita membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu.

“Lunjita, tunggu...!” cegah Balira sambil melompat dan menangkap tangan sahabatnya itu.

“Ada apa lagi? Mengapa kau menahanku?” tanya Lunjita tanpa membalikkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, cekalan tangan Balira pada lengannya dilepaskan.

“Lunjita, atau siapa pun kau sebenarnya. Aku..., aku mencintaimu.” Akhirnya keluar juga pengakuan itu dari mulut Balira. Suaranya demikian lirih, bahkan hampir tidak terdengar.

Tubuh gadis yang menyamar sebagai laki-laki itu bergetar begitu mendengar pengakuan Balira. Dadanya bergelombang menahan sedu-sedan yang terasa menyesakkan dadanya. Balira melangkah perlahan dan berdiri di hadapan gadis itu yang menundukkan wajahnya dalam-dalam. Pemuda gagah itu memberanikan diri mengulurkan tangannya, memegang kedua bahu yang masih terguncang lembut

“Aku menunggu keputusanmu,” desah pemuda gagah itu dengan suara bergetar penuh ketegangan. “Jawablah. Aku akan menerimanya meskipun keputusan itu adalah sesuatu yang menyakitkan.”

Gadis yang masih dalam keadaan menyamar itu mengangkat kepalanya lambat-lambat. Sepasang mata indah yang dibasahi genangan air mata itu menatap sayu mengungkapkan perasaan hatinya. Hati Balira berdebar melihat sinar mata yang berbicara tanpa kata itu. Tanpa perasaan ragu lagi, pemuda gagah itu menarik tubuh Lunjita dengan gerakan perlahan. Bukan main gembiranya hati Balira ketika tidak merasakan adanya perlawanan dari gadis itu. Dipeluknya tubuh gadis itu penuh kehangatan dan kasih sayang.

“Ahhhh... Betapa bahagianya hatiku,” bisik Balira yang semakin mempererat pelukannya.

“Kakang! Tentunya kau bertanya-tanya, mengapa aku melakukan penyamaran, bukan?” tiba-tiba Lunjita seperti membuat pengakuan.

Balira langsung menjauhkan wajahnya, dari wajah Lunjita. Ditatapnya dalam-dalam wajah gadis itu.

“Sebenarnya, namaku Lestari. Aku berniat ingin ikut ujian calon perwira. Dan karena ujian itu untuk kaum laki-laki, maka aku menyamar sebagai laki-laki. Tapi sebelum ujian berlangsung, aku telah terluka oleh empat orang berseragam hitam itu. Dan sebenarnya, aku mengikuti ujian itu hanya untuk menguji ilmu-ilmu yang kumiliki. Namun ternyata, aku belum berarti apa-apa,” jelas Lunjita yang ternyata bernama Lestari itu.

“Ah, sudahlah. Apa pun alasanmu, kau tetap seorang gadis. Dan yang penting sekarang, perdalamlah ilmu-ilmumu. Suatu saat nanti, kita juga harus menjadi pendekar sejati seperti Pendekar Naga Putih dan Kenanga.”

Lestari tersenyum. Seketika dipeluknya Balira kembali. Dan ini membuat hati pemuda itu gembira. Hembusan angin bersilir lembut, menyirami bunga-bunga cinta yang semakin mekar di hati kedua insan yang bahagia itu.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.