Serial Pendekar Naga Putih
Episode Tragedi Gunung Langkeng
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Tragedi Gunung Langkeng
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
SUASANA pagi di Gunung Langkeng terasa sejuk dan menyegarkan. Kicauan murai yang berloncatan dari dahan ke dahan, semakin menyemarakkan suasana pagi itu. Hembusan angin pun silir-silir lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Sayangnya, suasana pagi yang hening itu dirusak oleh bentakan-bentakan nyaring yang menggetarkan lembah. Gumpalan-gumpalan kabut yang menyelimuti puncak Gunung Langkeng seketika buyar akibat sambaran angin keras yang menerpanya. Di atas puncak gunung itu ternyata dua sosok tubuh tengah bertarung sengit. Jelas sekali kalau kedua sosok tubuh itu berusaha saling menjatuhkan.
"Sambutlah 'Pukulan Memecah Badaiku, Panggali...! Heaaattt..!"
Dibarengi bentakan nyaring yang memekakkan telinga, tubuh orang itu meluruk maju disertai putaran kedua tangannya.
Wuttt! Wuttt!
Angin keras bertiup kencang akibat putaran sepanjang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Dari putaran tangan yang demikian cepat dan hampir tidak terlihat mata, terlontar pukulan-pukulan maut yang sangat berbahaya.
Kehebatan ilmu 'Pukulan Memecah Badai', memang tidak bisa dianggap enteng. Jangankan terkena pukulan. Bahkan anginnya saja, sudah dapat membuat roboh pohon sepelukan orang dewasa. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan yang dilakukan orangitu. Namun, lelaki muda berusia sekitar lima belas tahun yang dipanggil Panggali tidak terlihat gentar sedikit pun!
Melihat datangnya sambaran pukulan yang membuat rambut berkibar, tubuhnya segera digeser doyong ke kanan. Gerakannya juga diikuti langkah kaki kanan yang terayun berputar dan membuat lompatan kecil. Sambil melompat, kaki kirinya terayun menggunakan jurus 'Tendangan Angin Topan'.
"Awas kepalamu, Kuncara!" seru Panggali mengingatkan. Mengetahui serangannya tidak membawa hasil, lelaki muda yang berusia sebaya Panggali itu menarik pulang serangannya. Dan itu pun masih dibarengi liukan tubuhnya, menggunakan kuda-kuda rendah yang tertumpu pada kaki kanan. Maka, tendangan Panggali pun hanya menyambar angin kosong.
Kuncara yang semula berniat mengirimkan serangan balasan, bergegas melempar tubuhnya jauh ke belakang. Dan memang, jurus 'Tendangan Angin Topan' yang dimainkan Panggali memang hebat sekali. Sepasang kakinya terus berputar melakukan serangkaian tendangan yang menderu-deru. Seolah-olah, kedua kakinya tidak pernah menyentuh permukaan tanah.
Benar-benar sebuah jurus tendangan hebat dan sesuai dengan namanya. Karena tidak juga mendapat kesempatan balas menyerang, kesabaran Kuncara pun hilang. Dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya, tangan kanan pemuda itu terangkat untuk menangkis tendangan yang mengancam batang lehernya. Dan....
Wuttt! Plakkk!
"Uhhh...!" Kuncara mengeluh pendek. Tangkisan itu rupanya telah membuatnya cukup menderita kerugian. Keadaannya yang tidak menguntungkan, membuat tubuhnya terdorong hingga setengah tombak. Dan sebelum kuda-kudanya sempat terkuasai, sebuah tendangan keras telah membuat lelaki muda berwajah keras itu terjungkal ke belakang.
Buggg!
"Hugkh...!" Akibat tendangan keras itu, Kuncara terlempar bergulingan sampai tiga tombak jauhnya.
"Kuncara...!" Panggali berlari menghambur ke arah tubuh Kuncara yang tergeletak lemah.
"Kau.. tidak apa-apa, Kuncara...?" tanya Panggali, cemas. Cepat tubuhnya membungkuk, dan memeriksa tubuh Kuncara.
"Tidak perlu khawatir, Panggali. Meskipun tendanganmu tadi cukup keras, namun tidak akan membuatnya terluka parah," tiba-tiba saja seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun telah berdiri di belakang Panggali.
"Eyang...," sapa Panggali, begitu mengetahui kakek yang berdiri di belakangnya. Cepat pemuda itu menjatuhkan diri, berlutut di depan kakek yang tersenyum lembut sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan berwarna putih.
"Eyang...!" Kuncara yang semula rebah itu pun, langsung bangkit saat melihat kedatangan gurunya. Kemudian, ia pun berlutut di samping Panggali.
"Bagaimana, Kuncara...?" tanya kakek itu seraya tersenyum lembut sambil mengusap rambut kedua orang muridnya.
"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya masih tersisa sedikit rasa sesak. Untunglah tendangan itu tidak terlalu keras. Kalau saja Panggali menambah sedikit tenaganya, mungkin aku akan mengalami luka parah," sahut Kuncara sambil menyeringai karena rasa nyeri yang mengganggu pernafasannya.
"Hm.„. Coba kulihat...," pinta kakek itu sambil membungkuk dan meraba dada Kuncara. Kening kakek itu terlihat agak berkerut ketika memeriksa luka akibat tendangan Panggali. Dipijatnya perlahan-lahan bagian dada Kuncara yang terdapat luka memar berwarna kebiruan.
"Hm..„ Untunglah tubuhmu sempat terlindungi oleh tenaga dalam. Sehingga, yang kau derita hanya luka memar saja dan tidak sampai melukai bagian dalam tubuhmu," gumam kakek itu sambil bergerak bangkit. "Teruskanlah latihan kalian. Gerakan-gerakan kalian sudah jauh lebih baik, dan tinggal menyempurnakannya saja."
Sebentar mata tua itu menatap kedua orang muridnya, kemudian kakek itu melangkah meninggalkan kedua orang remaja yang menjadi muridnya.
"Kau mendapat kemajuan yang pesat sekali, Panggali. Padahal, beberapa hari yang lalu kepandaian kita masih seimbang. Tapi hari ini, aku benar-benar tidak sanggup menandingimu. Apakah Eyang Sanca Wisesa memberi petunjuk kepadamu?" tanya Kuncara menyelidik.
Panggali yang ditatap sedemikian rupa oleh saudara seperguruannya, hanya tersenyum disertai helaan napas beratnya. Kakinya melangkah perlahan-lahan ke arah sebuah batu besar yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Setelah keduanya duduk saling berhadapan, Panggali memandangi wajah Kuncara sebelum menjawab pertanyaan.
"Hhh.... Sebenarnya kau tidak akan begitu mudah terkena tendanganku, kalau saja suka menuruti nasihat Eyang Sanca Wisesa untuk selalu menyempurnakan ilmu-ilmu yang diturunkan kepada kita. Aku memang meminta petunjuk beliau setiap kali mendapatkan ilmu baru yang tidak begitu kupahami. Nah! Kalau kau pun ingin memperoleh kemajuan sepertiku, maka rajin-rajinlah melatihnya," jelas Panggali sambil tersenyum menatapi wajah Kuncara yang terlihat menunduk.
"Jadi dengan kata lain, kau tidak suka bila aku sering bermain di dalam hutan setelah selesai berlatih? Hhh ... Aku pergi ke dalam hutan untuk menghilangkan kejenuhan, Panggali. Apakah kau tidak merasa bosan dengan kegiatan kita selama ini? Setiap hari hanya berlatih dan mengerjakan hal-hal yang membosankan! Rasanya, aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat sepi dan terpencil seperti ini," sahut Kuncara, agak kesal mendengar nasihat Panggali kepadanya.
"Bukan begitu maksudku, Kuncara. Aku sama sekali tidak merasa keberatan terhadap apa yang kau lakukan selama ini. Tapi karena kau yang meminta, maka kukatakan apa adanya. Juga, tidak baik mengungkapkan perasaan itu. Ingatlah! Betapa besar budi yang dilimpahkan Eyang Sanca Wisesa. Ia telah bersusah payah mendidik kita selama ini. Dan itu bukan untuk kepentingan beliau, melainkan untuk diri kita sendiri. Lagi pula, kalau kepandaian kita sudah cukup, eyang pasti mengizinkan kita untuk turun melihat dunia ramai. Jadi, simpanlah rasa jenuhmu itu. Dan kalau ingin cepat melihat dunia ramai, rajin-rajinlah berlatih. Dengan begitu, kau bisa lebih cepat meninggalkan tempat ini,"
Panggali menasihati. Di wajahnya terbayang kecemasan melihat betapa Kuncara hanya menunduk seperti tidak sudi mendengarkan ucapannya.
Agak lama kedua orang remaja itu diam, terbawa alam pikiran masing-masing. Suasana pun mendadak hening. Hanya desir angin lembut yang mendesau lirih menerpa tubuh mereka.
"Aku ingin menenangkan pikiran..." Mendadak saja Kuncara bangkit dari duduknya. Dan, tanpa menunggu jawaban dari Panggali, tubuhnya sudah melesat ke arah mulut hutan.
"Hhh..." Panggali hanya dapat menghela napas memandangi punggung Kuncara yang hanya tinggal baying-bayang samar. Pandangan matanya terus saja mengikuti gerak tubuh saudara seperguruannya yang semakin mendekati mulut hutan.
"Anak itu aneh sekali. Entah apa yang dicari di dalam hutan lebat itu? Dan apa lagi yang harus kukatakan pada eyang, apabila beliau menanyakannya? Selama ini, aku memang berbohong dengan mengatakan kalau Kuncara lebih suka berlatih di Hutan Langkeng. Tapi, bagaimana kalau tanpa sepengetahuanku eyang telah mengetahuinya lebih dulu? Ahhh.... Bagaimana seharusnya aku menjelaskan hal ini, agar Kuncara tidak mendapat marah dari eyang?" keluh Panggali dengan wajah bingung.
Karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, maka Panggali pun menyalurkannya melalui latihan. Selesai berlatih, dia pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Kini Panggali telah siap untuk pulang ke pondok, yang letaknya cukup jauh dari tempat latihannya.
Kuncara, pemuda berusia tujuh belas tahun itu berlari menerobos semak belukar. Makin lama, langkahnya semakin jauh memasuki hutan lebat hingga tak berapa lama kemudian, ia tiba di sebuah tempat yang agak terbuka. Ke tempat itulah biasanya pemuda itu menyepi untuk menenangkan pikirannya. Begitu tiba di depan pondok yang memang sengaja dibuatnya, Kuncara tidak segera masuk. Ia duduk termenung di puncak anak tangga yang menuju pintu. Sesekali, terdengar helaan napas berat yang mewakili kegundahan hatinya.
Sepertinya, Kuncara belum bisa menerima kekalahannya tadi oleh Panggali. Menurutnya, ia tidak pernah malas berlatih. Pemuda itu tadi sengaja tidak membantah nasihat Panggali, karena tidak ingin perang mulut dengan saudara seperguruan satu-satunya. Lagi pula kalau mencoba membantah, pasti Panggali yang pandai bicara itu akan dapat mengalahkannya. Dan hal itu tentu akan lebih menyakitkan hati.
"Hhh.... Eyang memang pilih kasih. Beliau pasti memberi petunjuk-petunjuk padanya untuk dapat mengalahkan aku. Ah, eyang telah bertindak tidak adil!" desah pemuda remaja itu geram, sambil meninju telapak tangannya keras-keras.
Kuncara memang sadar kalau Panggali lebih dekat dengan gurunya. Dia sering membantu Eyang Sanca Wisesa dalam tugas sehari-hari. Tidak seperti dirinya, yang lebih suka bermain dan jarang berbicara kepada eyang gurunya. Kalaupun berbicara, pasti hanya nasihat-nasihat membosankan yang akan diterima. Itu yang paling tidak disukai. Dan itu pula yang membuatnya lebih senang menyendiri di dalam Hutan Langkeng ini.
"Yahhh.... Di sini lebih tenang dan hening. Tidak seperti berada dekat eyang ataupun Panggali. Bosan rasanya mendengar nasihat dan petuah yang hanya itu-itu saja," gumam Kuncara yang segera bangkit dan melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.
Kakinya terus melangkah sambil menengadahkan kepala memandangi alam sekelilingnya. Sesekali, ditendangnya batu-batu kecil yang berada di ujung kakinya. Langkahnya terus terayun semakin menjauhi pondok yang dibuatnya sendiri. Dan pemuda itu belum akan kembali ke tempat tinggal gurunya apabila sinar matahari masih setia menyinari permukaan bumi.
Begitulah yang diperbuatnya hampir setiap hari. Tapi, tidak jarang ia pulang dengan membawa kayu bakar untuk menyenangkan hati eyang gurunya maupun Panggali. Wajah tampan dan bersih itu kembali murung ketika teringat saudara seperguruannya. Terbayang kembali ketika tubuhnya terkena tendangan telak Panggali. Teringat akan hal itu, Kuncara langsung meraba dadanya perlahan.
"Hm.... Sudah tidak terasa sakit. Dan luka memarnya pun sudah mulai pudar. Ah! Rupanya Eyang Sanca Wisesa pandai pula mengobati. Apakah kepandaian itu diturunkan juga kepada Panggali? Hm.... Aku harus mencari keterangan tentang hal ini. Kalau ini memang benar ilmu itu diturunkan kepadanya, jelaslah kalau eyang memang pilih kasih," kembali berbagai dugaan memenuhi benak Kuncara. Wajah tampan itu tampak termenung dan terangguk-angguk.
Pikiran-pikiran jelek itu tanpa sadar telah membuat Kuncara kehilangan kepekaan dirinya. Sehingga, ia sama sekali tidak menyadari adanya sepasang mata yang menatap dari balik pepohonan. Sejenak mata bulat dan bening itu berputar merayapi sekelilingnya. Setelah memastikan kalau pemuda itu memang berada seorang diri, maka dia segera menampakkan diri.
"Ehem...! Apa yang tengah dilamunkan, Cah Bagus...? Sepertinya, kau tengah dilanda ke- resahan?" tegur suara merdu bernada genit dari pemilik mata bulat itu.
Tentu saja teguran itu membuat Kuncara terkejut setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya berbalik, langsung menatap tajam ke arah si empunya suara. Keterkejutan di mata pemuda itu berubah menjadi kekaguman yang tidak bisa disembunyikan. Sebab, orang yang menegurnya ternyata seorang wanita yang cantik molek. Apalagi, wanita cantik itu melangkah menghampiri disertai lenggak-lenggok yang sangat memikat! Pinggulnya yang seperti menari-nari itu membuat Kuncara jadi tak sadar menelan ludahnya sendiri.
"Si... siapa... kau, Nyai...?" tanya Kuncara tergagap. Pemuda remaja itu benar-benar terpesona oleh penampilan dan gaya wanita cantik yang penuh daya pikat itu. Sehingga, sepasang mata pemuda itu tak juga beralih dari pinggul padat dan berbentuk indah. Akibatnya hati Kuncara bagai melambung di awang-awang.
"Hik hik hik...! Cah Bagus, kau lupa kalau belum menjawab pertanyaanku? Tapi, itu tidak apa-apa. Aku memang suka kepadamu. Maka, biarlah pertanyaanmu itu kujawab," suara genit yang mendayu-dayu itu kembali mengusik ketenangan Kuncara.
Rasanya pemuda itu bukan tengah mendengarkan orang berbicara, melainkan seperti orang yang bernyanyi menghibur hatinya. Wanita cantik dan genit yang usianya jelas sudah tidak muda lagi itu, meneruskan langkahnya dengan gerakan memikat. Begitu tiba di depan Kuncara, tangannya terulur menyentuh kedua bahu pemuda remaja itu.
"Benarkah kau ingin tahu namaku, Cah Bagus...?" nyanyian merdu itu kembali membuat Kuncara terlena. Melihat dari cara maupun gayanya, jelas kalau wanita cantik itu sangat berpengalaman dalam menghadapi laki-laki. Maka, wajarlah kalau Kuncara hampir tidak berdaya menghadapinya.
"Beb..., benar..., Nyai...," sahut Kuncara sambil berusaha menghindari sentuhan jemari lentik wanita cantik itu. Dengan wajah yang kemerahan, pemuda remaja ini melangkah mundur. Napasnya terasa sesak, karena degup di dadanya terus memukul keras.
"Ihhh..., mengapa menghindar, Cah Bagus? Apakah kau tidak suka kepadaku? Ah! Sayang sekali! Kalau begitu, biarlah aku pergi saja...?" desah wanita cantik itu merajuk. Kemudian, dengan gerakan manja dan amat memikat, wanita cantik yang genit itu berpura-pura membalikkan tubuhnya. Dia segera melenggang meninggalkan Kuncara yang terpaku bagai patung.
"Nanti dulu..., Nyai...!" cegah Kuncara yang separuh hatinya sudah terpikat kecantikan maupun gerak-gerik wanita cantik itu. Sehingga, tanpa sadar kakinya melangkah mengejar. Kemudian, tangannya langsung terulur menyentuh bahu wanita itu.
"Hm, Kau ini bagaimana sih, Cah Bagus? Aku mendekat, kau menghindar. Tapi ketika aku hendak pergi, kau menahannya. Bagaimana ini?" ledek wanita itu, dengan lagak genit disertai senyum memikat.
Mendengar teguran itu kesadaran Kuncara kembali pulih. Tangannya segera ditarik, lalu melangkah mundur sejauh empat tindak. Selebar wajah pemuda itu kembali dironai warna merah. Apalagi ketika dalam benaknya terlintas bayangan Eyang Sanca Wisesa dan Panggali. Apa kata guru dan saudara seperguruannya, bila memergokinya berduaan dengan seorang wanita cantik di tengah hutan? Sudah pasti mereka akan menduga yang tidak-tidak.
Mengingat kedua orang itu, hati Kuncara pun menjadi tegang. Ini tidak boleh sampai diketahui Eyang Sanca Wisesa atau Panggali. Satu-satunya jalan, wanita genit itu harus diusir pergi sebelum salah satu dari mereka ada yang memergokinya. Berpikir demikian, Kuncara pun menatap tajam wanita cantik itu.
"Hm.... Siapa pun adanya kau, sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini! Sadarkah kau, kalau saat ini tengah berada di daerah kediaman Eyang Sanca Wisesa? Jadi, sebelum guruku mengetahuinya, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini," tegas Kuncara dengan sikap berubah.
"Hei!?" Tentu saja wanita genit itu terkejut melihat perubahan sikap Kuncara yang berbalik seperti memusuhinya. Padahal, jelas-jelas kalau pemuda itu sudah tergoda olehnya tadi. Entah pikiran apa yang telah mengubah sikapnya.
"Aiiih.... Mengapa kau berbalik mengancamku, Cah Bagus? Lagi pula, apa yang harus ditakuti dari gurumu itu? Kau tidak berbuat apa-apa, bukan?" bantah wanita cantik itu tersenyum memikat. Sepertinya ia masih mencoba menaklukkan Kuncara dengan senyum dan keelokan tubuhnya. Bahkan sepasang matanya pun mengerling penuh arti.
"Sudahlah! Aku tidak ingin perang mulut denganmu. Sekarang cepat tinggalkan tempat ini. Atau, terpaksa aku akan berbuat kasar!" tegas Kuncara dengan sinar mata mengancam.
Tiba-tiba, sikap wanita cantik itu berbalik ketika mendengar kata-kata Kuncara yang semakin kasar, tingkahnya yang semula penuh daya pikat, kini berubah galak. Sambil bertolak ping- gang, wanita cantik itu balas menatap sambil tersenyum mengejek.
"Hm.... Ingin kulihat, sampai di mana kau bisa memaksa Nyai Kalawirang! Lakukanlah! Jangan hanya bicara saja!" sinis sekali suara wanita cantik yang mengaku bernama Nyai Kalawirang itu. Bahkan nada suaranya mengandung tantangan bagi Kuncara.
"Melihat dari sikapmu, aku yakin kau bukan wanita biasa, Nyai. Mungkin kau orang persilatan berarti yang sering kudengar dari eyang guruku. Tapi, jangan harap aku akan gentar meskipun kau memang dari kalangan kaum rimba persilatan," tegas Kuncara sambil melangkah mundur dan bersiap menghadapi wanita cantik yang penuh daya pikat itu.
"Lakukanlah! Jangan hanya. mulutmu saja yang besar!" kembali Nyai Kalawirang menantang. Sikapnya tetap tenang. Jelas, dia seorang yang sangat yakin akan kepandaian yang dimiliki.
"Baik!" dengus Kuncara yang mulai tersinggung melihat sikap wanita itu. "Sambutlah serangan ini... hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda itu bergerak cepat melontarkan serangan berbahaya. Tapi meskipun hatinya merasa marah, rupanya Kuncara masih memandang wanita itu sebagai orang yang tidak berbahaya. Maka serangan- serangannya pun tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
Bettt! Wuttt!
Nyai Kalawirang tersenyum mengejek melihat serangan Kuncara. Tubuhnya baru bergerak pada saat kepalan lawan hampir mengenai tubuhnya. Enak saja wanita cantik itu menggeser kaki kanannya ke belakang disertai tarikan tubuhnya. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak cepat menepiskan pukulan Kuncara.
Plak!
"Ugkh...!" Tangkisan yang kelihatannya perlahan dan asal gerak saja, ternyata cukup mengejutkan Kuncara. Tubuh pemuda itu terdorong balik ke belakang dan hampir terjatuh. Untung saja tubuhnya buru-buru dilempar dan langsung bersalto di udara.
"Gila! Wanita cantik ini ternyata bukan orang sembarangan!" maki Kuncara begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah. Kepalan tangan kanan pemuda itu terasa linu akibat tepisan telapak tangan Nyai Kalawirang. Namun, Kuncara mencoba menghibur dirinya. Diyakini kalau tenaga dalam yang dikerahkannya tadi hanya sebagian saja dan belum sepenuhnya.
"Bagaimana, Cah Bagus? Apakah masih bersikeras hendak mengusirku? Dengan kepandaianmu yang dangkal itu, jangan harap akan dapat mengalahkan Nyai Kalawirang. Lebih baik, ikutlah bersamaku. Dan kau akan mendapatkan ilmu-ilmu tinggi yang tidak ada tandingannya," bujuk Nyai Kalawirang.
"Hm... Jangan sombong dulu, Nyai. Ilmu yang kugunakan belum seberapa. Tapi kalau memang kau mampu menjatuhkanku kali ini, mungkin tawaranmu akan kupertimbangkan. Syaratnya, kau harus mengalahkan aku kurang dari dua puluh jurus. Bagaimana?" sahut Kuncara. Pemuda itu sepertinya mulai tertarik mendengar tawaran Nyai Kalawirang.
Kuncara bukanlah orang bodoh. Melihat gerakan wanita itu tadi, diyakini kalau kepandaian Nyai Kalawirang sangat tinggi. Dan kalau ternyata wanita itu mampu menjatuhkannya dalam waktu kurang dari dua puluh jurus, tidak ada salahnya wanita genit itu diangkat menjadi guru. Tentu sangat menyenangkan menjadi murid wanita genit yang cantik itu.
"Hik hik hik...!"
Nyai Kalawirang mengikik gembira mendengar syarat yang diajukan Kuncara. la yang sudah dapat menilai kemampuan pemuda remaja itu, tentu saja langsung bisa menebak hasilnya. Terbayang dalam benaknya, betapa pemuda perkasa itu akan bertekuk lutut di bawah telapak kakinya.
"Hik hik hik...! Kalau sudah menjadi muridku, aku bukan saja akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepadamu. Tapi juga suatu ilmu khusus yang tidak akan dapat dilupakan seumur hidupmu," kata Nyai Kalawirang sambil sepasang matanya berkedip-kedip manja.
"Ilmu khusus...?" gumam Kuncara mengulangi ucapan Nyai Kalawirang. Sebagai seorang remaja hijau dan selama hidup belum pernah bergaul dengan wanita, tentu saja Kuncara belum mengerti arah pembicaraan wanita genit itu.
"Ya! Ilmu yang hanya dimiliki Nyai Kalawirang seorang. Dan ilmu itu akan kuturunkan kepadamu, apabila kau mau menjadi muridku," kembali wanita genit yang berusia sekitar empat puluh tahun namun masih cantik itu membujuk Kuncara.
Merasa pening dengan ucapan-ucapan Nyai Kalawirang yang sama sekali tidak dimengerti, kekesalan Kuncara pun kembali bangkit. Sambil melakukan gerak pembukaan jurus 'Pukulan Memecah Badai', ia membentak lawannya.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi! Lebih baik, sekarang bersiap-siaplah menghadapi seranganku ini!" seru Kuncara mengingatkan. "Haiiit...!" Bentakan nyaring berkumandang yang disusul melesatnya tubuh Kuncara ke arah Nyai Kalawirang.
Bettt! Wuttt!
Sepasang tangan pemuda itu bergerak cepat disertai sambaran-sambaran angin tajam yang menderu-deru. Melihat gerakan tangan dan sambaran angin pukulan yang dilontarkan Kuncara, Nyai Kalawirang terbelalak kagum. Jelas kalau hatinya sangat terkejut melihat jurus-jurus yang digunakan pemuda itu.
"Aiiihhh.... Inikah jurus 'Pukulan Memecah Badai' yang menjadi kebanggaan Tua Bangka Sanca Wisesa itu? Hm.... Aku harus mendapatkannya," gumam Nyai Kalawirang penuh minat. Secara sepintas, terbayang senyum licik di bibir wanita cantik itu.
Wuuut!
Kepalan Kuncara yang menimbulkan angin berkesiutan dan mengancam lambung, dielakkan Nyai Kalawirang dengan menarik tubuhnya ke belakang. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kiri dengan gerakan cepat. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak menotok punggung Kuncara. Cepat dan tangkas bukan main gerakannya.
Cuiiit!
Suara angin berkesiutan yang mengancam punggungnya, membuat Kuncara sadar akan ada ancaman pada dirinya. Cepat pemuda itu menjatuhkan tubuhnya kedepan, dan langsung bergulingan menjauh.
"Haiiit..!"
Nyai Kalawirang yang tidak ingin memberi kesempatan bagi lawan untuk menyerang, segera melesat mengejar Kuncara. Sepasang tangan wanita cantik itu bergerak susul-menyusul dan bertubi-tubi. Tentu saja Kuncara menjadi terkejut setengah mati. Sepasang tangan lawan yang terus mengejarnya, membuatnya tidak mempunyai kesempatan bangkit berdiri. Sehingga, ia hanya dapat bergulingan sambil menghindari totokan-totokan yang siap menyambut tubuhnya.
Kesal karena merasa tidak berdaya menghadapi sergapan-sergapan tangan lawan, Kuncara terpaksa berbuat nekat. Pada jurus kedua belas, ketika jari-jari tangan kiri Nyai Kalawirang meluncur ke arah tengkuknya, tiba-tiba tubuh pemuda remaja itu melenting disertai putaran kaki kanannya dalam jurus 'Tendangan Angin Topan', yang merupakan salah satu ilmu andalan Eyang Sanca Wisesa.
"Heaaat..!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Hebat sekali ilmu tendangan yang digunakan Kuncara itu. Sekali melompat saja, sepasang kakinya telah melakukan serangkaian tendangan maut dan berbahaya. Rupanya dalam hal penggunaan 'Tendangan Angin Topan', Kuncara tidak kalah dengan Panggali. Hanya saja, ia kalah matang karena kurang tekun berlatih. Meskipun begitu, gerakan yang dilancarkannya kali ini benar-benar membuat Nyai Kalawirang semakin kagum.
"Aihhh..., ilmu 'Tendangan Angin Topan'. Hebat... Hebat..!" puji wanita genit itu sambil me- lompat mundur menghindari sepasang kaki yang berputaran cepat bagai baling-baling.
Meskipun mulutnya mengeluarkan pujian, namun dari caranya menghadapi serangan-serangan 'Tendangan Angin Topan', Nyai Kalawirang sama sekali tidak mengalami kesulitan. Sepasang kakinya bergerak lincah mengikuti lontaran-lontaran kaki lawan. Jelas dari caranya menghadapi serangan itu, ia seperti sudah mengenal ilmu yang digunakan Kuncara. Pada saat pertarungan memasuki jurus yang kedelapan belas, tiba-tiba saja Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai lesatan tubuhnya yang mengejutkan.
"Haiiit..!"
Berbarengan dengan seruan itu, sepasang lengannya terkembang ke kiri-kanan. Kemudian, tubuhnya berputar balik ketika kaki kanan lawan meluruk ke arah dagunya. Sambil berputar demikian, dengan gerakan aneh sepasang kaki wanita cantik itu meluncur cepat mengancam lambung kiri lawan. Dan...
Desss! Desss!
"Hugkh...!" Tubuh Kuncara yang saat itu tengah melayang di udara, tersentak balik ketika sepasang kaki Nyai Kalawirang berturut-turut menghantam lambungnya. Dan sebelum tubuh pemuda itu sempat mencium tanah, sebuah totokan lawan telah hinggap di dadanya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh Kuncara terbanting keras di atas tanah berumput. Kuncara menggelinjang menahan rasa sakit akibat tendangan dan totokan Nyai Kalawirang yang telak menghantam tubuhnya. Darah segar mengalir dari sudut bibir, disertai erangan lirih.
"Hik hik hik...! Tubuhmu kuat sekali, Cah Bagus. Kalau orang lain yang menerima tendanganku, pasti nyawanya sudah melayang ke akhirat," puji Nyai Kalawirang sambil melangkahkan kakinya menghampiri Kuncara.
Namun, Kuncara sudah tidak dapat mendengar ucapan wanita cantik itu lagi. Luka dalam yang dideritanya, membuat pemuda itu tak sadarkan diri. Sementara, cairan merah terus saja mengalir melalui sela-sela bibirnya. Nyai Kalawirang, tokoh sesat berkepandaian tinggi itu membungkukkan tubuhnya dan memeriksa luka Kuncara.
Wanita cantik namun memiliki sifat cabul dan kejam itu menyunggingkan senyum penuh kemenangan dan siasat licik. Setelah memastikan kalau pemuda remaja itu benar-benar pingsan, diangkatnya tubuh yang terkulai lemah itu. Kemudian, dipondong dan dibawanya ke dalam pondok milik pemuda itu sendiri.
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika tubuh Kuncara yang terbaring lemah di atas balai- balai bambu itu mulai bergerak lemah. Tubuh bagian atasnya yang sudah tidak tertutup pakaian tampak berwarna kemerahan dan dibasahi peluh.
"Ouuuhhh...!" Rintihan lirih yang keluar dari bibirnya terdengar aneh. Perlahan sepasang mata pemuda itu yang juga telah berwarna merah, mulai bergerak membuka. Wajahnya yang tampan itu pun telah dijalari warna merah.
"Kau sudah siuman, Cah Bagus...? Sebentar lagi, kita akan mulai pelajaran yang pasti amat kau sukai," kata Nyai Kalawirang, merayu. Saat itu Nyai Kalawirang duduk ditepi balai-balai tempat tubuh Kuncara terbaring. Sementara, pemuda itu terus saja mendesis-desis, menatap sayu ke arah wanita cantik ini.
"Nyai... Kau..., cantik sekali...," desah Kuncara. Nadanya terdengar bergetar aneh. Sambil berdesah lirih, pemuda itu mengulur tangannya membelai wajah Nyai Kalawirang. Jemari tangan pemuda itu pun tampak bergetar dan berkeringat.
Nyai Kalawirang yang sebenarnya seorang yang memiliki nafsu iblis itu membiarkan saja elusan tangan Kuncara. Malah, pakaiannya pun dilepaskan. Seketika tampaklah dua bukit ranum yang putih dan mulus. Dan yang pasti, sanggup membuat mata Kuncara menari-nari. Desahan napasnya pun seperti terengah-engah. Nyai Kalawirang kemudian menarik tangan pemuda itu ke belahan dadanya.
"Hik hik hik... Marilah, Cah Bagus. Jangan ragu-ragu. Hari ini aku akan membawamu ke dunia lain yang selama ini belum kau temui...," desah wanita Iblis itu,manja. Sepasang tangan Nyai Kalawirang yang berkulit halus itu, melingkar di leher Kuncara. Bahkan, jemari tangannya yang lentik mulai bergerak meraba dan meremas tubuh pemuda itu.
"Aaah..." Desah yang mengandung nafsu iblis meluncur dari bibir Kuncara. Pemuda yang tidak sadar kalau dirinya telah dijelajahi ramuan perangsang itu langsung menyergap tubuh molek Nyai Kalawirang. Langsung digumulinya tubuh tanpa benang sehelai pun itu penuh nafsu.
Tentu saja Nyai Kalawirang yang memang sangat menyukai pemuda-pemuda tampan, menyambutnya penuh kehangatan. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tubuh berlainan jenis itu terus berpacu dalam birahi di dalam pondok di tengah Hutan Langkeng. Di antara desahan napas yang laksana kuda pacu itu kadang terdengar tawa mengikik Nyai Kalawirang.
Sementara Kuncara yang dalam pengaruh obat keji, bagai tak pernah puas dengan apa yang dilakukannya. Keduanya baru menghentikan pergumulan itu saat hari menjadi gelap.Kelelahan yang sangat, membuat mereka tertidur lelap.
"Ouhhh..."
Suara kukuruyuk ayam hutan jantan membangunkan Kuncara dari tidurnya. Bagaikan orang yang baru tersadar dari mimpi, pemuda itu menggosok mata dan memandang berkeliling.
"Aaah...!" Bagaikan disengat kalajengking, Kuncara tersentak bangkit dan melompat turun dengan wajah pucat pasi. Sepasang matanya terbelalak lebar, ketika melihat tubuh Nyai Kalawirang terbaring di sampingnya dalam keadaan polos.
"Apa..., apa yang telah kulakukan!? Mengapa..., mengapa aku tertidur di pondok ini? Oooh"
Kuncara terduduk lesu ketika melihat keadaan dirinya yang tanpa pakaian itu. Ia menatap berganti-ganti dengan mata terbelalak dan bibir bergetar. Ditutupinya seluruh wajah disertai keluhan penuh sesal.
"Aihhh, Cah Bagus. Mengapa bersedih?" tegur Nyai Kalawirang.
Rupanya dia terbangun ketika mendengar suara Kuncara. Tanpa malu-malu lagi, jemari tangannya yang lentik dan halus itu bergayut di leher Kuncara. Dibisikkannya kata-kata mesra yang membuat tubuh pemuda itu bergetar bagai terserang demam.
Kuncara, pemuda polos yang selama hidupnya belum pernah tersentuh wanita itu, langsung menggigil hebat. Apalagi, wanita yang bersamanya adalah orang yang sangat berpengalaman dalam membawa gairah laki-laki. Maka, pemuda itu pun kembali terjebak dalam permainan keji yang menyesatkan.
Perbuatan terkutuk itu kembali terulang. Mereka kembali saling gumul disertai dengus napas yang berpacu. Kuncara, murid Eyang Sanca Wisesa, kembali tak mampu menolak bujukan maupun belaian Nyai Kalawirang. Ia semakin tenggelam dan bertekuk lutut di bawah kekuasaan nafsu wanita itu. Kuncara terkulai lemah setelah melam- piaskan nafsu yang menyentak-nyentak dalam dirinya. Pemuda remaja itu rebah telentang di sisi Nyai Kalawirang yang memandangnya dengan senyum puas.
"Aaahhh..." Tiba-tiba saja Kuncara tersentak dan melepaskan pelukannya pada tubuh Nyai Kalawirang. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding kamar, membuat pemuda itu tersadar dari keadaannya. Cepat ia bangkit dan mengenakan pakaiannya.
"Aku harus segera kembali, Nyai. Eyang Sanca Wisesa dan Panggali tentu tengah mencari-cariku saat ini. Aku tidak ingin kalau mereka sampai menengok kemari dan menemukan kita berdua di tempat ini. Tolong bantu aku mengum- pulkan kayu bakar, Nyai. Mudah-mudahan alasan yang kuberikan kepada mereka bisa diterima," ujar Kuncara.
Napas pemuda itu tampak memburu karena rasa tegang. Wajahnya pun terlihat pucat. Sepertinya ia benar-benar takut apabila perbuatannya bersama Nyai Kalawirang itu sampai diketahui salah satu dari kedua orang itu.
Nyai Kalawirang sebenarnya merasa tidak suka ketika mendengar ucapan Kuncara. Namun mengingat rencana yang telah disusunnya, maka dengan gerakan malas ia pun bangkit. Tanpa berkata apa-apa, dibantunya Kuncara untuk mengumpulkan kayu bakar. Tak berapa lama kemudian, pekerjaan mereka selesai. Setelah menggabung dan mengikat kayu bakar itu kuat-kuat, Kuncara membalikkan tubuhnya. Dipandanginya wajah Nyai Kalawirang, seolah-olah ingin menyimpan wajah cantik itu dalam benaknya.
"Aku pergi dulu, Nyai. Hati-hatilah, jangan sampai kehadiranmu diketahui salah seorang dari mereka," pesan Kuncara dengan napas terengah-engah. Usai berkata demikian, pemuda itu pun bergegas pergi setelah melihat anggukan dan senyum manis Nyai Kalawirang. Sementara, wanita cantik itu berdiri tegak menatapi kepergian Kuncara. Senyum manis yang menghias wajahnya, berubah menjadi senyum sinis.
"Hm.... Tunggulah kau, Sanca Wisesa! Tak lama lagi, aku akan datang mengambil nyawamu!" desis bibir merah menantang itu dengan sorot mata mendirikan bulu roma!
"Ha ha ha...! Bagus, Nyai! Bagus! Rencana pertama kita sudah berjalan mulus. Selangkah lagi, dendam kita akan terbalas lunas berikut bunga-bunganya!"
Tiba-tiba terdengar tawa serak mengguncangkan hutan. Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok bayangan tinggi besar meluncur turun. Sepasang kakinya yang besar dan berat mendarat di atas tanah, di dekat Nyai Kalawirang. Bumi di sekitar tempat itu bagaikan terguncang ketika kaki kakek bertubuh raksasa itu mendarat.
Penampilan kakek itu benar-benar menyeramkan. Tubuhnya yang kekar berotot dipenuhi bulu tebal di sekitar dadanya. Wajahnya panjang, dan rambutnya terurai bebas mirip wajah seekor singa jantan. Bahkan ketika tertawa, nampak sepasang gigi yang menyerupai taring di kiri-kanan mulutnya. Sepasang matanya yang terbentuk panjang berputar-putar tak ubahnya mata binatang buas.
"Hm.... Singa Gurun Setan, kedatanganmu hanya akan membuat rencana kita berantakan. Kalau pemuda yang bernama Kuncara itu sampai melihatmu, mungkin tidak akan pernah datang lagi untuk menemuiku. Bahkan, bisa jadi akan mengadukan keberadaanmu kepada Tua Bangka Sanca Wisesa itu. Sebaiknya, kau sembunyi saja dulu. Nanti setelah kita berhasil menguras semua ilmu Sanca Wisesa melalui pemuda itu, baru kau boleh menampakkan diri di hadapanku," ketus dan dingin sekali sambutan Nyai Kalawirang terhadap kakek bertubuh raksasa yang berjuluk Singa Gurun Setan.
"Ha ha ha... Mengapa mesti marah-marah, Nyai? Apakah kau khawatir kalau lelaki muda yang berdaging segar itu kurebut? Jangan takut, Nyai. Aku sudah paham akan kesenanganmu yang satu itu. Aku janji, tidak akan mengganggunya," tegas Singa Gurun Setan, sama sekali tidak merasa marah melihat sambutan yang tidak menyenangkan itu.
"Huh! Kalau berani mengganggunya, akan kurobek perutmu yang dipenuhi daging manusia itu!" balas Nyai Kalawirang sambil menatap Singa Gurun Setan dengan sinar mata mengancam.
Kakek raksasa itu hanya tertawa berderai mendengar ancaman Nyai Kalawirang yang mendirikan bulu roma. Singa Gurun Setan yang terkenal sebagai tokoh iblis pemakan daging manusia itu melangkahkan kakinya, semakin mendekati Nyai Kalawirang. Tawa seraknya tetap berkumandang mengiringi langkahnya.
"Sudahlah, Nyai. Untuk apa kita bertengkar? Bukankah kita sudah sepakat untuk saling membantu dalam menghadapi Sanca Wisesa itu. Hm.... Kulihat, kepandaian anak muda itu boleh juga, Nyai. Jurus 'Pukulan Pemecah Badai' dan 'Tendangan Angin Topan'nya lumayan juga. Hanya saja, masih banyak terdapat kelemahan di sana- sini. Kau harus dapat membujuk pemuda itu agar mau memperlihatkan ilmu-ilmunya kepada kita. Bagaimana, Nyai? Apakah kau yakin bisa membujuknya?" tanya Singa Gurun Setan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Nyai Kalawirang. Sekilas, terlihat cuping hidung kakek raksasa itu bergerak-gerak ketika mencium bau harum tubuh wanita itu
"Hm.... Rupanya secara diam-diam kau telah melihat semua perbuatanku, ya? Dan kau sengaja menantang harga diriku dengan perkataan konyol itu? Huh! lihat saja nanti! Pemuda itu pasti akan bertekuk lutut dan menuruti semua yang kuminta. Kalau kau tidak yakin akan kemampuanku, silahkan lihat buktinya nanti!" tandas Nyai Kalawirang.
Wanita cantik itu merasa tersinggung atas pertanyaan yang bernada menantang tadi. Meskipun kata-katanya terdengar ketus, namun wanita cantik itu lama sekali tidak menghindar ketika lengan yang besar dan berbulu kasar itu mengelus punggungnya.
Memang aneh dan sukar dimengerti sifat tokoh-tokoh sesat rimba persilatan. Terkadang mereka saling bertengkar hanya karena persoalan sepele. Tapi, tidak jarang pula saling bantu untuk melenyapkan tokoh-tokoh golongan putih yang menjadi musuh mereka. Demikian pula halnya dengan Nyai Kalawirang.
Meskipun sambutan yang meluncur dari bibirnya terasa pedas dan menyakitkan perasaan, namun sama sekali tidak menghindar ketika kakek bertubuh raksasa itu mulai mencium wajah dan lehernya. Malah dari kerongkongannya terdengar erangan manja yang mengundang hasrat
"Marilah, Nyai. Sekarang adalah waktu untuk kita berdua...," desah Singa Gurun Setan dengan napas memburu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, dipondongnya tubuh molek Nyai Kalawirang dan dibawanya masuk ke dalam pondok. Beberapa saat kemudian, yang terdengar hanyalah tawa manja Nyai Kalawirang dan dengus napas Singa Gurun Setan.
"Hik hik hik... Bagus, Kuncara! Kemajuan yang kau peroleh sudah cukup pesat. Aku yakin, tidak lama lagi kau akan dapat menyempurnakan ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu," seru wanita cantik berpakaian serba kuning itu dengan nada agak genit. Siapa lagi kalau bukan Nyai Kalawirang yang tengah menyaksikan Kuncara melatih ilmu-ilmu miliknya.
Hebat sekali kesabaran yang dimiliki wanita cantik itu. Telah hampir tiga bulan Nyai Kalawirang melatih Kuncara dengan menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda remaja itu. Semua itu dilakukan demi tercapainya pembalasan dendam terhadap Eyang Sanca Wisesa yang menjadi musuh lamanya.
Nyai Kalawirang berusaha menghindari kecurigaan pemuda itu dengan jalan mengajarkan ilmu yang dimiliki. Dan melalui pemuda itu pula ilmu-ilmu andalan Eyang Sanca Wisesa dipelajari untuk mencari kelemahannya. Sebab disadari betul, kalau untuk mengalahkan kakek sakti itu harus mengetahui ilmu-ilmunya terlebih dahulu. Untuk itulah ia berusaha mengoreknya melalui pemuda yang telah ditaklukkannya. Itu pun harus dilakukan secara bertahap, karena takut-takut Kuncara jadi curiga.
Bahkan kehadirannya di tempat itu bisa-bisa diketahui Eyang Sanca Wisesa. Maka, akan sia-sialah segala jerih-payahnya selama ini. Pemikiran itu membuat Nyai Kalawirang demikian tekun dan sabar. Dan ia tidak terburu-buru untuk meminta Kuncara memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajari dari kakek yang digdaya itu.
Kuncara yang telah menyelesaikan latihannya, bergegas melangkah menghampiri Nyai Kalawirang. Tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh wanita cantik itu. Lalu dibelainya lembut rambut indah milik wanita yang tengah duduk di anak tangga di depan pintu pondok milik Kuncara sendiri.
"Sabarlah, Kuncara. Kau baru saja selesai berlatih. Lebih baik, bersihkan dulu tubuhmu. Kau tahu, bau kecut keringatmu sungguh mengganggu seleraku," tolak Nyai Kalawirang menepiskan jemari Kuncara yang mulai nakal.
"Hm Bagaimana kalau kau menemaniku, Nyai? Ayolah. Bukankah kita hanya berdua di hutan ini?" Ajak Kuncara sambil menarik lengan wanita cantik itu, dan hendak membawanya pergi menuju aliran sungai.
"Jangan, Kuncara. Berbahaya! Bagaimana kalau saudara seperguruanmu memergoki kita? Kau akan diusir mereka nanti," tolak Nyai Kalawirang. Sebenarnya bukan kepergian Kuncara yang menimbulkan rasa cemas di hatinya. Sebab, kalau sampai pemuda itu diusir pergi dari Gunung Langkeng, bisa hancur rencananya selama ini.
"Mengapa mesti takut, Nyai? Kalau mereka memang berani mengusirku, aku tidak akan kecewa. Bukankah aku akan selalu bersamamu?" bantah Kuncara, tak mau kalah. Kembali ditariknya tangan Nyai Kalawirang.
"Tidak, Kuncara! Kalau memang ingin ku temani, marilah kita pergi ke aliran sungai di kaki Gunung Langkeng ini saja. Kurasa tempat itu jauh lebih aman," usul Nyai Kalawirang yang tidak kuasa menolak keinginan Kuncara.
"Begitu pun boleh. Asal bersamamu, di mana saja aku bersedia, Nyai," sahut Kuncara tanpa berpikir lagi.
"Tunggu dulu, Kuncara...," cegah Nyai Kalawirang ketika melihat adanya kesempatan baik untuk melihat, sampai di mana Kuncara bersedia menuruti permintaannya.
"Ada apa lagi, Nyai...?" Kuncara menoleh ke arah Nyai Kalawirang yang saat itu juga tengah menatapnya. Sementara, alis pemuda itu tampak berkerut.
Nyai Kalawirang tidak segera menjawab pertanyaan Kuncara. Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat, tepat di kedua bola matanya. Sepertinya wanita cantik itu tengah menilai kesungguhan Kuncara. "Benarkah kau bersedia ke mana saja asalkan bersamaku, Kuncara?" tanya Nyai Kalawirang tanpa senyum. Nada suaranya pun terdengar menuntut jawaban pasti.
"Tentu saja, Nyai. Apakah kau masih meragukan cintaku..?" Kuncara balik bertanya. Kerutan di kening pemuda itu terlihat semakin jelas. Sepertinya, ia masih belum mengerti kemana arah pertanyaan wanita genit itu.
"Hm... Apakah kau bersedia memenuhi segala permintaanku?" desak Nyai Kalawirang tanpa mempedulikan pertanyaan Kuncara. Sedikit pun tidak diperlihatkan kemanjaannya kali ini. Sehingga pemuda itu semakin kebingungan.
"Apa sebenarnya maksudmu, Nyai...?"
"Jawab dulu pertanyaanku. Bersediakah kau menuruti segala permintaanku?" tegas Nyai Kalawirang tak peduli dengan kebingungan Kuncara.
"Mmm.... Kalau aku sanggup, tentu akan kupenuhi, Nyai. Tapi coba jelaskan kepadaku, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku," pinta Kuncara yang sepertinya tidak menyukai sikap Nyai Kalawirang saat itu.
"Ah, sudahlah. Ayo, kita pergi...," ajak Nyai Kalawirang sambil menarik tangan pemuda itu. Nyai Kalawirang, iblis betina yang cantik menyudahi pembicaraan ketika melihat sinar kecurigaan di mata pemuda itu. Dengan gerak tubuh membayangkan kemanjaan dan senyum memikat, ditariknya pemuda itu menuruni lereng Gunung Langkeng.
Kuncara pun tidak membantah ajakan wanita yang memang telah membuatnya mabuk asmara. Ia sudah lupa akan kecurigaannya ketika melihat sikap wanita cantik itu telah kembali seperti semula. Genit dan penuh daya pikat.
Kedua insan berlainan jenis itu terus berlari menuruni lereng Gunung Langkeng. Sepanjang perjalanan, tawa dan canda terdengar meningkahi. Mereka tak ubahnya sepasang insan muda yang tengah dimabuk asmara.
Matahari naik semakin tinggi. Sinarnya yang kuning keemasan memancar, mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh. Salah satu di antaranya, adalah seorang pemuda tampan berwajah bersih. Rambutnya yang panjang dan hitam dihiasi ikat kepala berwarna putih. Senyum ramah yang membayangkan kebesaran jiwanya, senantiasa menghias wajahnya. Sepintas saja, orang sudah dapat menebak akan kematangan jiwanya.
Sedangkan yang berjalan di sebelah kirinya adalah seorang wanita muda berpakaian serba hijau. Tubuhnya ramping dan padat berisi. Kulit tubuhnya yang putih dan halus tampak sangat pas dengan warna pakaiannya. Hidungnya kecil mancung dengan sepasang mata yang bersinar cerah bagaikan bintang pagi. Bibirnya yang merah segar dan berbentuk indah, nampak menawan dipandang mata. Sukar sekali menggambarkan kecantikan dan pesona yang terdapat pada diri gadis itu. Yang jelas, rasanya tak seorang lelaki pun sanggup untuk menyimpan kekaguman apabila melihatnya.
"Hhh..., panas sekali udara hari ini. Segar rasanya membayangkan berendam di air pegunungan," gumam gadis jelita itu sambil menyusut peluh di keningnya. "Bagaimana kalau kita beristirahat sejenak di sungai sebelah depan itu, Kakang?"
Pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum menatap kawan seperjalanannya. Sesaat kemudian, tangannya terulur membelai lembut rambut kepala gadis itu yang tebal dan hitam.
"Kau lelah, Kenanga...?" tanya pemuda tampan itu lembut dan mengandung rasa cinta yang dalam. Semua itu jelas terlihat dari sikap dan caranya bertanya.
"Tidak, Kakang. Tapi, suara gemercik air sungai itu seolah-olah mengundangku untuk menikmatinya. Apakah Kakang tidak merasakan keinginan seperti Itu?" kilah dara jelita berpakaian hijau itu yang tak lain adalah Kenanga, kekasih Pendekar Naga Putih.
"Sedikit," jawab pemuda tampan itu tersenyum menggoda. "Biarlah aku menunggumu di sini." Pemuda yang sudah pasti Pendekar Naga Putih itu menghenyakkan pantat di bawah sebatang pohon berdaun rindang.
"Tapi.... Mungkin agak lama, Kakang...," jelas suara jelita itu meragu. Sepertinya ia merasa enggan untuk meninggalkan Pendekar Naga Putih berlama-lama.
"Tidak apa-apa, Kenanga. Biar sampai besok pun, aku akan tetap menunggu," jawab Panji tersenyum lembut
"Kalau begitu, aku akan berendam sampai besok. Aku pergi dulu, Kakang...," balas Kenanga dengan suara manja. Dan, tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu, Kenanga bergegas menuju aliran sungai yang hanya beberapa tombak di depannya.
Dengan senyum manis yang belum meninggalkan wajahnya, gadis jelita itu melangkah riang menuruni sungai. Sepasang matanya berputar mencari tempat yang menurutnya cocok untuk merendam tubuh. Baru saja beberapa tombak melangkah menyusuri tepi sungai, sepasang mata bintang itu terbelalak kaget.
"Tak tahu malu...!" geram Kenanga dengan suara agak keras dan bernada marah. Langsung tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan wajah merah.
Dua sosok tubuh polos yang tengah berendam sambil bercanda itu tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Salah seorang di antaranya bergegas naik. Dia adalah pemuda berwajah tampan. Jelas ia sangat terkejut melihat kehadiran orang lain yang sama sekali tidak diduga itu. Lain halnya dengan teman pemuda itu. Wanita cantik yang berusia sekitar empat puluh tahun itu memandang marah kepada Kenanga. Apalagi, umpatan yang terlontar dari mulut gadis berpakaian hijau itu sempat tertangkap pendengarannya.
"Hei, tunggu...!" teriak wanita cantik yang tak lain Nyai Kalawirang itu.
Setelah mengenakan pakaiannya, wanita genit itu langsung melesat mengejar orang yang dianggap telah mengganggunya. Tubuh Nyai Kalawirang melambung tinggi dan berjumpalitan melewati kepala Kenanga. Dalam sekejapan mata saja, wanita genit itu sudah berdiri bertolak pinggang menghadang jalan
"Coba ulangi ucapanmu tadi...!" bentak Nyai Kalawirang dengan wajah dingin.
"Ucapan apa...?!" Kenanga tak mau kalah gertak. Kata muaknya semakin menjadi-jadi melihat kegalakan wanita genit itu.
"Hm.... Selain usilan, rupanya kau pun seorang pengecut yang tidak mau mengakui ucapanmu!" ejek Nyai Kalawirang dengan nada sangat menghina. Sekilas sepasang mata Kenanga menyiratkan kemarahan mendengar hinaan Nyai Kalawirang. Ditentangnya pandangan mata wanita genit itu tanpa kegentaran sedikit pun.
"Dengar, Nisanak! Aku sudah berusaha untuk tidak mencampuri urusanmu dengan meninggalkan tempat ini. Tapi, ternyata kau sengaja hendak mencari gara-gara. Kau memang tidak tahu malu! Itulah makianku tadi, kalau kau memang ingin mendengarnya lagi!" sahut Kenanga menantang.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia Lancang!" bentak Nyai Kalawirang marah. Begitu ucapannya selesai, tubuh wanita genit itu langsung meluruk dengan sebuah tamparan keras.
Wuuuttt!
"Hm.... Tidak semudah itu, Nyai...," ejek Kenanga yang langsung menggeser tubuhnya doyong ke belakang. Begitu tamparan Nyai Kalawirang lewat tubuhnya dilempar ke belakang sejauh dua tombak
"Tunggu...!" seru Kenanga disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, suaranya sempat membuat Nyai Kalawirang tertegun sejenak.
Meskipun demikian, Nyai Kalawirang tidak sudi untuk menghentikan serangannya. Memang, dengan luputnya tamparan itu telah membuat kemarahannya semakin menggelegak.
"Coba kau tahan yang ini..!" seru Nyai Kalawirang semakin bernafsu.
Bettt! Wuttt!
Rupanya serangan yang dilancarkan iblis betina itu sudah tidak main-main lagi. Sepasang tangannya bergerak cepat saling susul. Sambaran angin pukulannya pun menderu tajam, membuat pakaian Kenanga berkibar dibuatnya. Tapi, lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah gadis sembarangan. Kenanga yang sadar kalau wanita cantik itu memiliki kepandaian tinggi, mulai mengeluarkan kepandaiannya.
Tubuhnya yang ramping itu bergerak cepat menghindari serangan-serangan gencar Nyai Kalawirang. Bahkan gadis jelita itu mulai membangun serangan yang tidak kalah cepat dan berbahaya. Sehingga pertarungan berlangsung semakin ramai dan sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat. Pertempuran yang semula berlangsung di tepi sungai, terus bergeser semakin menjauhi sungai.
"Haiiittt..!"
Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-tiba Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai pen- gerahan tenaga dalam. Seiring seruannya, gerakan wanita genit itu pun berubah. Tubuhnya yang ramping padat itu mulai meliuk-liuk bagaikan seekor ular besar. Kedua kakinya melangkah aneh. Terkadang wanita cantik itu seperti tak peduli akan datangnya sambaran pukulan lawan. Tapi di lain kesempatan, tubuhnya melompat-lompat ganas bagai seekor kuda liar.
"Aihhh...!" Kenanga berseru tertahan ketika hampir saja sambaran tangan kanan lawan mengenai lehernya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang dan langsung melakukan beberapa kali salto di udara. Kedua kakinya mendarat, ketika jarak diantara mereka terpisah sekitar tiga batang tombak jauhnya.
"Mau lari ke mana kau, Keparat! Tak seorang pun yang dapat hidup setelah berani menghina Nyai Kalawirang!" bentak wanita genit itu yang segera mengejar Kenanga dengan serangan-serangan aneh dan membingungkan.
"hhhhmm…" Kenanga yang saat itu tengah menyiapkan jurus 'Bidadari Menabur Bunga', sama sekali tidak mempedulikan ucapan Nyai Kalawirang. Ia hanya bergumam perlahan sambil menggerakkan sepasang tangan menyilang di depan dada. Sejurus kemudian, tubuh dara jelita itu melesat cepat disertai putaran tangannya yang membentuk bulatan-bulatan di udara. Dan dari bulatan-bulatan itu terkadang menyembul totokan maupun tusukan jari-jari tangan yang mengincar kelemahan-kelemahan di tubuh Nyai Kalawirang.
Bettt! Wuttt!
"Haiiit..!" Nyai Kalawirang sempat terkejut melihat kehebatan dan kecepatan gerak lawan. Sambil berseru nyaring, dipapaknya tusukan jari-jari tangan lawan yang tahu-tahu saja telah mengincar tenggorokan.
Plakkk!
Benturan telapak tangan yang menimbulkan ledakan keras itu membuat tubuh keduanya terjajar mundur ke belakang.
"Uhhh...!" Dara jelita berpakaian hijau itu mengeluh lirih. Tangkisan yang dilakukan Nyai Kalawirang membuat tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam wanita genit itu ternyata masih berada diatas kekuatannya. Tentu saja hal itu membuatnya terkejut.
Nyai Kalawirang sendiri sempat merasa terkejut melihat kekuatan tenaga dalam lawannya. Tentu saja hal itu membuatnya semakin penasaran. Maka tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bersiap, tubuh wanita genit itu kembali meluncur dengan serangan-serangan aneh dan ganas.
"Yeaaat..!"
Bettt! Wuttt!
Sekali melompat Nyai Kalawirang langsung melontarkan serangkaian serangan mematikan. Gerakan tangan dan kakinya yang memiliki perubahan tak terduga, membuat Kenanga sibuk menghalaunya. Sehingga dalam beberapa jurus saja, gadis itu terdesak hebat.
"Ihhh..." Kenanga memekik tertahan ketika hampir saja tusukan jari tangan Nyai Kalawirang hampir mengenai pelipisnya. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan ke kanan. Sehingga tusukan jari tangan lawan hanya lewat beberapa jari di samping kepalanya.
Namun, serangan Nyai Kalawirang kali ini memang benar-benar hebat. Tusukan jari-jari yang semula meluncur lurus itu berbalik dan berputar mengancam leher lawan dengan tebasan sisi telapak tangan. Bahkan tanpa tanggung-tanggung lagi, wanita genit itu membarenginya dengan sebuah hantaman telapak tangan kedada.
Tentu saja Kenanga yang tak menyangka perubahan gerak lawan itu menjadi terkejut setengah mati. Cepat tubuhnya diliukkan membuat gerak setengah melingkar dengan kuda-kuda rendah. Sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka melekat di sisi pinggang, siap melontarkan serangan balasan.
Sayang, wanita genit yang licik itu sudah dapat meraba gerakannya. Kedua serangan yang ternyata hanya merupakan gerak tipu itu, mendadak ditarik pulang. Kemudian, tubuhnya langsung berputar dan mengirim sebuah tendangan keras ke arah dada lawan.
Desss!
"Hugkh...!" Tendangan yang tak terduga itu, tentu saja tak mungkin dielakkan Kenanga. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dara jelita itu terjengkang ke belakang. Pada saat tubuh dara jelita itu melayang di udara, sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat dan langsung mengulur tangan menangkap tubuh Kenanga.
Tappp!
Begitu tubuh Kenanga berada dalam pondongannya, sosok bayangan putih itu langsung melenting dan melakukan beberapa kali salto sebelum mendaratkan kakinya ketanah. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok bayangan putih itu, mendaratkan kakinya di atas tanah. Direbahkannya tubuh dara jelita itu di atas rerumputan tebal.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya sosok bayangan putih itu, lembut dan penuh kecemasan. Dihapusnya lelehan darah yang mengalir di sudut bibir Kenanga dengan jemari tangan.
"Dadaku... sakit sekali, Kakang. Rasanya sukar sekali bernapas...," rintih Kenanga lirih. Seringai kenyerian tampak tergambar nyata di wajah jelita itu.
Sosok bayangan putih yang memang Panji itu bergegas mengeluarkan obat dari dalam buntalan pakaiannya. "Telanlah obat ini. Mudah-mudahan dapat mengurangi rasa nyeri di dalam dadamu," ujar Panji lembut.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga yang memang percaya penuh akan kepandaian kekasihnya langsung menelan obat pemberian Panji.
"Nah! Sekarang, istirahatlah. Agar, tenagamu pulih," ujar pemuda tampan itu lagi dengan suara tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak merasa khawatir akan luka dalam yang diderita kekasihnya.
Sejak melihat adanya sosok bayangan putih yang menyelamatkan lawannya, Nyai Kalawirang sudah dapat menilai kehebatan si penolong itu. Untuk menghadapi dara jelita itu saja, ia sudah harus menggunakan ilmu andalannya. Takut kalau-kalau sosok berjubah putih yang sudah pasti kepandaiannya berada di atas gadis itu mendatangkan kesusahan, maka Nyai Kalawirang segera berkelebat meninggalkan tempat itu bersama Kuncara.
Dan tentu saja hal itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Antara lain, takut rencana yang telah disusun berbulan-bulan gagal hanya karena terlalu menuruti amarah. Itulah sebabnya, mengapa ketika Panji menoleh ke arah tempat Nyai Kalawirang berdiri, ia sudah tidak melihat wanita genit itu lagi.
"Hm.... Rupanya ia telah meninggalkan tempat ini selagi aku sibuk mengurusi Kenanga. Entah siapa wanita cantik itu? Melihat akibat tendangannya tadi, aku yakin kalau dia bukan orang sembarangan. Kalau tidak, sulit rasanya bagi wanita itu untuk dapat mengalahkan Kenanga," gumam Panji, setelah mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Ke mana wanita cabul itu, Kakang...?" tanya Kenanga sambil melangkah menghampiri Panji. Rupanya, dia sudah sembuh dari rasa sakit akibat tendangan Nyai Kalawirang tadi.
Pendekar Naga Putih yang tengah termenung memikirkan siapa adanya wanita cantik itu, tersentak dari lamunan. Kepalanya segera ditolehkan ke belakang. Senyumnya mengembang ketika melihat gadis jelita itu tengah melangkah ke arahnya.
"la sudah pergi. Bagaimana dengan lukamu? Apakah sudah benar-benar sembuh...?" tanya Panji tetap berdiri di tempatnya menunggu kedatangan kekasihnya.
"Sudah tidak terasa nyeri lagi, Kakang. Hanya tinggal luka memar yang tidak perlu dikhawatirkan. Dalam beberapa hari, pasti akan hilang dengan sendirinya," sahut Kenanga tersenyum manis. Wajah jelita itu nampak sudah segar kemerahan. Pertanda Kenanga sudah benar-benar sehat.
"Sekarang marilah kita duduk. Ceritakan-lah..., mengapa kau sampai bertarung dengan wanita itu? " pinta Panji yang segera melangkah ke arah sebuah batu pipih dekat pohon besar.
Kenanga yang masih merasa penasaran atas kekalahannya, segera menceritakan awal mula pertarungan tadi. Sedangkan Panji hanya mendengarkan tanpa memotong cerita.
"Begitulah, Kakang. Walaupun sejak semula sudah aku duga kelihaian wanita genit itu, namun sama sekali tidak kusangka kalau sedemikian hebatnya. Melihat dari tingkah laku dan ilmu-ilmunya yang ganas dan penuh tipu daya licik itu, aku dapat menilai kalau wanita itu pasti tokoh sesat yang amat jahat," jelas Kenanga menutup ceritanya.
"Hm Kalau begitu, penyebab perkelahian tadi hanya salah paham saja. Sudahlah. Urusan ini tidak perlu diperpanjang lagi. Sebaiknya, kita teruskan saja perjalanan kita," ajak Panji yang segera bangkit dari duduknya.
"Tapi, Kakang. Rasanya hatiku masih belum puas atas kekalahanku tadi. Ingin sekali aku membalasnya untuk meruntuhkan kesombongan wanita genit itu," Kenanga masih mencoba membantah, karena rasa penasarannya.
"Sudahlah, Kenanga. Tidak ada gunanya menuruti hawa amarah. Kekalahan merupakan sesuatu yang wajar. Dan lagi, kita sama sekali tidak mempunyai urusan dengan kedua orang itu. Kepergian wanita genit itu tadi sudah merupakan isyarat kalau dia tidak ingin bermusuhan dengan kita," bujuk Panji sambil membelai lembut punggung kekasihnya. Kemudian, ditariknya lengan gadis jelita itu untuk pergi meninggalkan kaki Gunung Langkeng.
Karena tidak ingin berbantahan dengan kekasihnya, maka Kenanga tidak menolak ajakan Panji. Meski dengan hati kurang puas, kakinya pun mulai melangkah menjauhi tempat yang telah meninggalkan kenangan pahit baginya.
"Mengapa harus melarikan diri seperti orang pengecut Nyai?" tanya Kuncara. Pemuda itu merasa tidak suka atas perbuatan itu. Saat itu mereka sudah berada di depan pondok yang terdapat di tengah Hutan Langkeng.
"Hm.... Jangan bodoh, Kuncara. Perbuatan ini bukan berarti pengecut. Tapi, itu menandakan kepintaran kita," bantah Nyai Kalawirang agak ketus. Rupanya wanita tokoh sesat ini pun tidak suka dicap sebagai pengecut. Hal itu tersirat jelas pada wajahnya yang cemberut.
"Menandakan kepintaran...? Apa maksud Nyai?" desak Kuncara. Pemuda itu memang belum mengerti, ke mana maksud perkataan Nyai Kalawirang. Ditatapnya wajah wanita genit itu lekat-lekat dengan sinar mata penuh tuntutan.
"Ah! Bodoh sekali kau, Kuncara. Meskipun aku belum tahu secara pasti, tapi jelas ada kemungkinan kalau sosok bayangan putih yang menolong gadis jelita itu memiliki kepandaian tinggi. Kalau aku sampai bertarung dengannya, tentu akan memakan waktu lama. Lalu, bagaimana kalau pertarungan itu sampai terdengar gurumu? Nah! Bukankah hubungan kita akan diketahui gurumu dan saudara seperguruanmu yang bernama Panggali itu? Kau suka kalau mereka mengetahui hubungan kita?" jawab Nyai Kalawirang mengajukan alasannya.
Mendengar penjelasan itu, wajah Kuncara yang semula menyimpan penasaran menjadi pucat. Ia benar-benar tidak berpikir sampai sejauh itu. Tentu saja ucapan Nyai Kalawirang membuatnya tersadar dan merasa bersalah.
"Maafkan aku, Nyai. Kau benar. Kalau sampai guru atau Panggali mengetahui hubungan kita, tentu beliau akan marah sekali," sesal Kuncara menyadari kebodohannya. Melihat pemuda itu menundukkan wajahnya dengan penuh penyesalan, maka sikap Nyai Kalawirang kembali berubah lunak. Dibelainya rambut kepala dan wajah pemuda remaja itu lembut. Dibisikkannya kata-kata yang membuat Kuncara mengangkat wajahnya.
"Sudahlah! Jangan bersedih, Kuncara. Lebih baik tunjukkan ilmu 'Pukulan Memecah Badai' dan 'Tendangan Angin Topan' yang diajarkan gurumu. Aku akan mencoba menunjukkan kelemahan-kelemahan gerakanmu, agar kau tidak kalah apabila bertarung melawan Panggali," bujuk Nyai Kalawirang mengajukan usul, bernada lembut.
"Ah! Kau benar, Nyai. Aku harus dapat menunjukkan kepada Eyang Sanca Wisesa kalau bisa sebaik Panggali," tegas Kuncara, mantap. Semangat pemuda itu terbangkit setelah mendengar ucapan Nyai Kalawirang. Tanpa menunggu lagi, dia bergegas bangkit dan melangkah ke depan pondok yang berhalaman luas.
Kuncara berdiri tegak sambil menghembuskan napasnya berkali-kali sebelum memainkan jurus 'Pukulan Memecah Badai'. Sesaat kemudian, kedua kakinya mulai bergeser ke kiri-kanan membentuk kuda-kuda bagai menunggang kuda.
"Haiiittt..!"
"Bagaimana, Nyai? Apakah jurus-jurusku tadi sudah cukup baik? Mohon petunjuk dari Nyai...," pinta Kuncara setelah menyelesaikan latihannya.
Wajah pemuda itu tampak berseri penuh kebanggaan. Apalagi setelah mendapat pujian dari wanita secantik dan semolek Nyai Kalawirang. Jangankan seorang pemuda hijau seperti Kuncara. Biar lelaki yang memiliki banyak pengalaman pun, akan merasa bangga dipuji perempuan cantik.
"Gerakan-gerakanmu sudah cukup baik, Kuncara. Sekarang, marilah kita berlatih bersama-sama. Pergunakanlah kedua ilmu andalanmu itu. Dan aku akan mencoba menutup kelemahan-kelemahan gerakanmu," ajak Nyai Kalawirang sambil melangkah ke tengah lapangan rumput itu.
"Dengan senang hati, Nyai...," sambut Kuncara tanpa merasa curiga sedikit pun. Sepertinya pemuda itu benar-benar telah menaruh kepercayaan penuh kepada wanita cantik yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dengan penuh kegembiraan, Nyai Kalawirang mulai bersiap menghadapi kedua jurus ampuh Eyang Sanca Wisesa yang diwariskan kepada Kuncara.
Menjelang sore, kedua orang itu baru selesai berlatih. Nyai Kalawirang membiarkan saja ketika Kuncara berpamit hendak kembali ke tempat gurunya. Rupanya, wanita cantik itu masih memikirkan jurus-jurus ampuh yang tadi dimainkan Kuncara.
"Nyai, aku pergi dulu...," pamit Kuncara. Pemuda itu merasa heran melihat Nyai Kalawirang nampak masih termenung bagai patung. Dihampirinya wanita cantik itu, lalu diulurkan tangannya untuk menyentuh kedua bahunya.
"Kenapa, Nyai...?" tanya Kuncara cemas melihat wanita cantik itu hanya menunduk diam.
"Oh...! Aku tidak apa-apa, Kuncara. Hanya merasa agak pening sedikit. Jurus-jurus tadi benar-benar membuat aku pusing," sahut Nyai Kalawirang tersentak dari lamunannya. "Pulanglah. Jangan terlalu mencemaskan diriku,"
"Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu baik-baik, Nyai," ujar Kuncara lembut.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Kuncara menyempatkan untuk mencium lembut bibir Nyai Kalawirang yang merah menantang. Sepeninggal Kuncara, Nyai Kalawirang melangkah memasuki pondok. Jurus-jurus ampuh Eyang Sanca Wisesa masih saja memenuhi benaknya.
Matahari baru saja muncul dan menampakkan kekuasaannya. Saat itu, nampak dua sosok tubuh melangkah meninggalkan pondok tempat kediaman Eyang Sanca Wisesa. Kedua sosok tubuh itu tak lain dari Kuncara dan Panggali. Seperti biasa, setiap pagi mereka selalu berlatih bersama-sama untuk menyempurnakan ilmu-ilmu mereka.
"Kulihat kemajuan yang kau peroleh sudah semakin pesat, Kuncara. Bagaimana kalau pagi ini berlatih bersama-sama untuk melihat kemajuan kita masing-masing?" usul Panggali yang memang selalu memperhatikan kemajuan Kuncara.
Karena merasa tertarik, maka Panggali mengajukan usul itu. Dan kata-kata itu berarti sebuah tantangan bagi Kuncara. Kuncara yang hampir setengah tahun belakangan ini bergaul intim dengan Nyai Kalawirang, tentu saja telah lama menunggu ucapan itu keluar dari mulut Panggali. Sengaja tantangan itu tidak dikeluarkan lebih dulu, karena takut kalau-kalau ucapannya akan menimbulkan kecurigaan Panggali. Maka ketika saudara seperguruannya mengajukan usul yang memang ditunggu-tunggu, ia pun langsung menerima gembira.
"Baiklah, Panggali. Selama setengah tahun ini, aku telah berlatih keras sesuai anjuranmu. Dan rasanya, kali ini aku tidak akan jatuh di tanganmu seperti dulu. Maka kuharap kau berhati-hati," sahut Kuncara. Pemuda itu sudah merasa yakin akan dapat mengalahkan saudara seperguruannya kali ini. Keyakinan itu dikarenakan telah mendapatkan petunjuk dari Nyai Kalawirang. Hal itu tentu saja tanpa sepengetahuan Panggali maupun eyang gurunya.
"Hm.... Bagus. Kalau begitu, kau harus menunjukkan hasil latihanmu selama setengah tahun ini," tantang Panggali seraya tersenyum lebar. Panggali sama sekali tidak merasa tersinggung atas ucapan Kuncara. Sebaliknya, ia malah merasa bersyukur kalau saudara seperguruannya benar-benar telah berlatih keras seperti yang selama ini dianjurkan. Begitu tiba di tempat mereka biasa berla- tih, kedua orang pemuda yang usianya sebaya itu berdiri berhadapan dalam jarak dua batang tombak
"Bersiaplah, Panggali. Harap berhati-hatilah...," pesan Kuncara dengan kepala tegak. Sikap yang ditunjukkan pemuda itu kali ini, benar-benar angkuh dan memandang rendah lawan.
"Aku sudah siap, Kuncara," sahut Panggali sambil menggeser kedua kakinya membentuk kuda-kuda silang. Sambil merendahkan kedua kakinya, Panggali mengulur tangan kirinya yang berbentuk kepalan halus ke arah lawan. Sedangkan tangan kirinya berada di atas kepala dengan telapak-telapak terbuka. Itulah pembukaan jurus kedua dari ilmu 'Pukulan Memecah Badai'.
"Hmh...!" Kuncara mendengus penuh ejekan melihat persiapan Panggali. Lalu ia pun membentuk kuda-kuda rendah dan mempersiapkan jurus 'Tendangan Angin Topan' yang tidak kalah ampuhnya.
"Jaga seranganku, Panggali...! Haaattt...!" Dibarengi sebuah seruan nyaring, tubuh Kuncara meluncur cepat bagaikan anak panah lepas dari busur.
Bettt! Wukkk!
Sepasang kaki Kuncara berputar bagai baling-baling dan langsung mengirimkan serangkaian tendangan kilat ke seluruh kelemahan di tubuh Panggali.
"Bagus..." Sambil berseru memuji, Panggali menggeser kaki kirinya ke samping. Tubuhnya meliuk cepat bagaikan seekor ular menghindari penggebuk. Tangan kanan dan kirinya membarengi dengan pukulan lurus mengancam dada dan lambung Kuncara. Hal itu dilakukan Panggali karena telah mengenal betul akan kelemahan lawan dalam menggunakan ilmu 'Tendangan Angin Topan'.
Tapi, apa yang dilakukan Kuncara benar-benar membuat Panggali terkejut. Ia yang telah lama mengetahui kelemahan Kuncara dalam setiap mengeluarkan ilmu tendangan itu, tentu saja menjadi heran melihat kaki kanan lawan yang berputar tiba-tiba meluncur turun mengancam be- lakang lehernya.Sadar kalau kedudukannya sangat lemah untuk melakukan tangkisan, maka Panggali menggulingkan tubuhnya ke kiri. Karena kalau serangan diteruskan, dialah yang akan menderita kerugian paling parah. Itulah sebabnya, mengapa ia lebih memilih menghindari diri.
Kuncara yang dalam beberapa jurus saja telah berhasil membuat Panggali kalang kabut tertawa sombong. Untuk menunjukkan kalau dirinya berada di atas angin, sengaja Kuncara tidak mengejar Panggali. Dia malah hanya berdiri tegak menanti saudara seperguruannya bangkit.
"Ilmu apa yang kau pergunakan itu, Kun-cara? Setahuku, gerak itu sama sekali tidak terdapat dalam jurus 'Tendangan Angin Topan'? Dari mana kau mendapatkannya?" tegur Panggali den- gan napas agak memburu. Pemuda itu sadar betul, apabila mengenai sasarannya, mungkin ia akan mengalami luka sangat parah. Bahkan mungkin tulang belakang lehernya akan patah akibat tendangan keras Kuncara tadi.
"Hm.... Itulah hasil latihanku selama ini. Sengaja tidak kutunjukkan saat kita berlatih. Maka, wajar saja kalau kau merasa terkejut sudahlah, ayo kita lanjutkan permainan yang menggembirakan ini," tantang Kuncara. Lagak pemuda itu sangat menyakitkan. Nada suaranya pun terdengar sombong dan sangat merendahkan Panggali. Selesai berkata demikian, Kuncara langsung melompat dan melancarkan serangan tanpa menunggu jawaban Panggali. Sepasang kakinya kembali melancarkan tendangan-tendangan yang sangat berbahaya. Karena sasaran yang dituju adalah jalan-jalan darah besar di tubuh Panggali.
Panggali yang menyadari betapa berbahaya serangan Kuncara, hanya berusaha menghindar saja. Namun sesekali sepasang tangannya meluncur melakukan balasan. Bahkan tenaga yang dikerahkan dalam setiap melakukan serangan balasan, dikerahkan seluruhnya. Dan memang, serangan yang dilakukan Kuncara sangat ganas dan membahayakan.
"Haiiittt..!"
Wuttt! Wuttt! Bettt!
Tiga buah tendangan yang dilontarkan Kuncara secara susul-menyusul dapat dielakkan Panggali dengan menarik mundur tubuhnya sambil membungkuk. Kemudian, serangan itu dibalasnya dengan pukulan dan tusukan jari-jari tangan ke tubuh lawan. Gerakan yang dilakukan Panggali itu sudah tepat sekali. Karena, saat itu pertahanan lambung dan perut Kuncara terbuka lebar.
Kuncara yang telah mendapatkan petunjuk dari Nyai Kalawirang tentu mengetahui bagian terlemah jurus serangannya itu. Namun, itu memang disengaja untuk memancing perhatian Panggali. Maka begitu kedua serangan lawan hampir mengenai tubuhnya, barulah tubuhnya berbalik dan melancarkan tendangan berputar secara tak terduga. Dan....
Buggg!
"Huagkh!" Dibarengi melontarnya darah segar dari mulut, tubuh Panggali pun terpental deras ke belakang. Pemuda itu langsung jatuh berdebuk menimbulkan suara keras. Kuncara berlari menghampiri tubuh Panggali yang tergeletak lemah di atas rerumputan.
"Kau hebat.., Kuncara. Kali ini aku mengaku kalah padamu," lirih sekali kata-kata Panggali ketika mengatakan hal itu.
Sedangkan Kuncara hanya tersenyum, lalu pantatnya dijatuhkan di samping Panggali. Terdengar suara tawanya, menandakan kepuasan hati pemuda itu. Sepertinya dia benar-benar puas dengan hasil yang dicapainya itu.
"Kuncara.... Bolehkah aku tahu, dari mana kau mendapatkan gerakan aneh untuk mengisi kelemahan jurusmu tadi?" tanya Panggali. Pemuda itu berusaha bangkit meski terasa sesak. Ditariknya napas menghilangkan rasa se-sak itu. Untunglah tendangan yang dilancarkan Kuncara tidak terlampau keras. Selain itu ia pun telah melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga luka yang dideritanya tidak terlalu parah.
"Tentu saja diriku sendiri Panggali. Sejak kekalahanku dulu aku berusaha mencari penyebabnya. Setelah aku menemukannya, maka kubuat gerakan penuh tipu daya untuk menyamarkan penglihatan lawan. Dan ternyata aku berhasil gemilang," jawab Kuncara lepas, tanpa keraguan sedikitpun.
"Hm...," Panggali hanya bergumam lirih sebagai tanda percaya atas keterangan Kuncara. Sementara, di dalam hati pemuda itu, sama sekali keterangan saudara seperguruannya tidak dipercayai. Diam-diam Panggali berniat menyelidiki kegiatan Kuncara di Hutan Langkeng. Karena tempat itulah satu-satunya tempat bermain Kuncara selama ini.
Tanpa mempedulikan keadaan Panggali, Kuncara bangkit dari duduknya dan berlatih seperti biasa. Sedangkan Panggali beristirahat untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan lukanya. Usai melakukan latihan, Kuncara melangkah menghampiri Panggali yang saat itu telah mnyelesaikan semadinya.
"Aku pergi dulu, Panggali. Silakan berlatih sepuasmu agar lain kali tidak sampai terkena tendanganku." Setelah mengucapkan kata-kata yang membuat kuping Panggali panas, Kuncara berlalu menuju ke dalam Hutan Langkeng seperti biasa.
Sepeninggal Kuncara, Panggali termenung di tempatnya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk menyelidiki kegiatan Kuncara selama ini. Setelah mengambil keputusan, tubuh pemuda itu pun melesat menuju Hutan Langkeng.
Sambil tersenyum-senyum penuh kepuasan, Kuncara melangkah ringan menuju pondok yang didirikannya di tengah Hutan Langkeng. Kelihatan sekali pemuda itu merasa gembira telah berhasil menjatuhkan Panggali.
"Nyai...! Apakah kau ada di dalam...?" seru Kuncara sambil melangkahkan kakinya mendekati pintu pondok yang tertutup rapat.
Belum lagi kakinya menyentuh anak tangga pertama, sesosok tubuh ramping telah berdiri di depan pintu pondok. "Ada apa, Kuncara? Mengapa berteriak-teriak?" tegur Nyai Kalawirang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Wajah wanita genit itu kusut masai. Sambil memamerkan senyumnya yang memikat, Nyai Kalawirang melangkah menuruni anak tangga. Wanita cantik itu tidak berusaha mengelak ketika Kuncara memburunya dan langsung menciumi sambil berbisik parau.
"Aku berhasil, Nyai. Panggali, murid emas eyang guruku itu telah dapat kujatuhkan. Terima kasih atas segala petunjuk yang kau berikan ini, Nyai," ucap Kuncara tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh molek itu.
"Hm.... Bagus kalau begitu. Dan mulai sekarang kau harus mematuhi segala perintahku. Apakah kau bersedia?" tanya Nyai Kalawirang mulai berani menekan pemuda itu.
"Tentu saja, Nyai. Tapi sekarang aku ingin..." Kuncara tidak meneruskan ucapannya. Langsung dipondongnya tubuh molek yang menggairahkan itu ke dalam pondok.
Nyai Kalawirang tentu saja tahu apa yang diinginkan pemuda itu. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini wanita genit itu berusaha melepaskan pelukan Kuncara. "Jangan sekarang, Kuncara. Hari ini aku merasa lelah sekali. Lebih baik, nanti saja kalau aku sudah merasa lebih sehat" elak Nyai Kalawirang. Setelah berkata demikian, wanita cantik itu melangkahkan kakinya menuruni tangga menuju halaman depan pondok.
"Baiklah, Nyai. Kalau kau merasa kurang sehat aku tidak memaksa," sahut Kuncara. Pemuda itu segera berlari mengikuti langkah kaki Nyai Kalawirang. Lalu, dipeluknya tubuh wanita itu dari belakang. Kemudian, diajaknya duduk di atas rerumputan.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan mereka, sepasang mata di balik rimbunan semak belukar menyaksikan semua perbuatan Nyai Kalawirang dan Kuncara dengan sinar mata berkilat. "Hm.... Siapa pun adanya wanita cantik yang bersama Kuncara itu, jelas bukan orang sembarangan. Melihat dari sikap Kuncara yang begitu manis dan penurut, dapat kuduga kalau di antara mereka pasti telah terjalin hubungan erat. Entah sejak kapan Kuncara bergaul dengan wanita cantik yang jelas sangat berbahaya itu?" gumam pemilik sepasang mata di balik rimbunan semak belukar. Siapa lagi orang itu kalau bukan Panggali.
Panggali yang bersifat lebih pendiam dan memiliki pandangan luas, mulai dapat meraba perbuatan Kuncara selama ini. Meskipun baru melihat sekali, namun Panggali sudah dapat menebak kalau wanita cantik yang bersama Kuncara itu bukan orang baik-baik. Maka, iapun berniat mengadukan hal itu kepada eyang gurunya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Panggali segera meninggalkan tempat itu dengan gerakan perlahan. Sebab, sedikit saja menimbulkan suara mencurigakan, bukan tidak mungkin akan terdengar oleh mereka. Sedangkan untuk menangkap basah perbuatan Kuncara, ia tidak berani karena selain belum tahu bagaimana tanggapan Kuncara, wanita cantik itu pun patut diperhitungkan juga. Sebab, bukan tidak mungkin memergoki secara langsung, kedua orang itu akan mengeroyoknya. Dan itu sama sekali tidak diinginkan Panggali. Maka ia pun mengambil keputusan untuk mengadukannya kepada Eyang Sanca Wisesa.
"Kuncara, sebaiknya kau pulang sekarang. Besok, baru kau kembali lagi kemari. Mudah-mudahan besok rasa lelahku sudah hilang," pinta Nyai Kalawirang sambil mengecup lembut wajah Kuncara.
"Hhh.... Sebenarnya aku enggan sekali untuk pulang. Lagi pula hari masih siang. Tapi karena kau kurang sehat baiklah. Tapi, besok aku tidak mau ditolak seperti ini lagi" kata Kuncara, dengan wajah kecewa.
"Tentu, Kuncara. Besok diriku kupersiapkan sebaik mungkin. Hari ini aku benar-benar tidak ingin diganggu," sahut Nyai Kalawirang seraya tersenyum lembut.
Setelah menatap lekat-lekat wajah Nyai Kalawirang, Kuncara segera bangkit dan melangkah meninggalkan tempat itu dengan wajah lesu. Sedangkan Nyai Kalawirang hanya menatapi punggung pemuda itu disertai senyum liciknya.
Sepeninggal Kuncara, dari dalam pondok muncul seraut wajah menyeramkan. Sepasang matanya yang seperti mata binatang liar, berputar sejenak memeriksa keadaan di sekelilingnya. Setelah memastikan kalau di tempat itu hanya tinggal Nyai Kalawirang seorang, barulah kakek berwajah mirip singa jantan itu melangkah keluar dari dalam pondok. Nyai Kalawirang menolehkan kepala ketika telinganya menangkap langkah berat menghampiri tempatnya.
"Hampir saja dia memergoki kita, Nyai. Untunglah dia berteriak sebelumnya. Kalau tidak, entah bagaimana tanggapannya melihat wanita cantik yang diimpikannya berada dalam pelukanku. Malah bisa jadi dia akan mengamuk dan mening- galkanmu," kata kakek menyeramkan yang tak lain dari Singa Gurun Setan. Sambil menjatuhkan tubuhnya di samping Nyai Kalawirang.
"Hm Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditakuti dari pemuda itu. Tapi, alangkah baiknya kalau dia dapat diajak bekerja sama. Sebab, ia merupakan seorang pembantu yang baik dan bisa diandalkan. Bagaimana menurutmu, Singa Gurun Setan?" tanya Nyai Kalawirang mengajukan usul.
"Tapi, apakah tidak terlalu membahayakan, Nyai? Walaupun telah benar-benar jatuh ke dalam pelukanmu, kelihatannya pemuda itu masih belum kau kuasai sepenuhnya," sergah Singa Gurun Setan meragu.
"Jangan khawatir. Mulai besok, aku akan memberikan tekanan-tekanan padanya agar mau mematuhi segala perintahku. Tapi kalau menolak, apa susahnya melenyapkannya?" sahut Nyai Kalawirang yang mulai menunjukkan sifat aslinya.
"Ha ha ha...! Tentu saja tidak sulit, Nyai. Untuk melenyapkan pemuda itu, bagiku semudah membalikkan telapak tangan," sambut Singa Gurun Setan terbahak serak.
Mendengar ucapan itu, Nyai Kalawirang mengikik gembira. Sambil tertawa-tawa kedua orang tokoh sesat itu bangkit berdiri dan melang- kah bergandengan menuju pondok. Tak lama setelah tubuh mereka lenyap di balik pintu, terdengar tertawa cekikikan yang ditingkahi suara derit balai-balai bambu.
Pemuda tampan berusia delapan belas tahun itu melangkah lesu sambil menggendong kayu bakar di bahu kanannya. Diletakkannya kayu bakar bawaannya di atas tumpukan kayu bakar lainnya, di samping pondok bambu sederhana. Baru saja pemuda tampan yang tak lain dari Kuncara itu duduk melepaskan lelah, tiba-tiba muncul Panggali menghampiri.
"Kuncara, Eyang Sanca Wisesa memanggilmu. Beliau menunggu di ruang tengah," ujar Panggali begitu tiba di depan Kuncara..Wajah Panggali terlihat tidak ramah dan seperti tengah menyimpan kemarahan.
"Pergilah dulu, aku segera menyusul," sahut Kuncara tanpa semangat. Kepalanya tetap saja menunduk seperti enggan menatap wajah saudara seperguruannya.
"Tidak, Kuncara. Eyang menyuruh kita berdua untuk menghadap sekarang juga," desak Panggali dengan suara yang tidak enak didengar.
Kuncara mengangkat wajahnya mendengar suara Panggali yang lain dari biasanya itu. Dan ketika melihat sinar mata saudara seperguruannya, hatinya berdebar tegang. Jelas sinar mata itu menyiratkan rasa muak penuh hinaan. Tentu saja hati Kuncara semakin tak karuan. Berbagai dugaan semakin memenuhi benaknya.
"Baik, aku segera menghadap...," sahut Kuncara. Pemuda itu menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang dipenuhi debar ketegangan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya dan melangkah mengikuti Panggali.
Kuncara yang dapat meraba sikap Panggali, memutar otaknya untuk mengatur siasat licik. Melihat sikap dan cara Panggali, ia tahu saudara seperguruannya mungkin telah memergoki ketika ia sedang bersama Nyai Kalawirang. Hanya itulah satu-satunya dugaan yang ada dalam hatinya. Sebab selain itu, Kuncara merasa yakin tidak mempunyai kesalahan lain yang patut ditakuti. Maka, otaknya segera bekerja mempersiapkan jawaban apabila dugaannya benar.
"Masuklah...," sambut suara berat dan serak ketika Panggali dan Kuncara memasuki pondok kediaman Eyang Sanca Wisesa.
"Guru... Kami datang menghadap "
Sambil berkata demikian, Panggali dan Kuncara menjatuhkan diri, berlutut di hadapan kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih. Kakek itu bersila sambil memejamkan mata dengan wajah tenang menyiratkan sinar kesabaran.
Saat kedua orang muridnya sudah duduk bersila di depannya, perlahan Eyang Sanca Wisesa membuka kedua matanya. Begitu terbuka, sinar mata yang tajam bagai ujung pedang itu langsung menatap tajam ke bola mata Kuncara.
"Kuncara.... Menurut keterangan Panggali, kau telah bergaul dengan orang luar. Benarkah?" tanya Eyang Sanca Wisesa langsung tanpa basa-basi lagi.
Seketika Kuncara tersentak. Hampir pasti dugaannya benar. "Bergaul dengan orang luar bagaimana, Eyang? Aku sungguh belum mengerti maksud pertanyaan Eyang itu?" jawab Kuncara berbohong, sambil balas menatap pandangan mata Eyang Sanca Wisesa. Bahkan tanpa rasa gentar sedikit pun. Tentu saja hal itu membuat gurunya menjadi ragu.
"Hm.... Coba ceritakan apa yang kau lihat di dalam Hutan Langkeng, Panggali," pinta Eyang Sanca Wisesa mengalihkan pandangan kepada Panggali. Sinar mata yang tajam bagai ujung pedang itu, sejenak membuat Panggali gugup.
Setelah menarik napas berulang-ulang, Panggali segera menceritakan mengenai yang dilihatnya tadi pagi. Sedangkan Eyang Sanca Wisesa mendengarkan dengan kening berkerut.
"Bohong...!" bantah Kuncara dengan suara menggelegar. Sambil berkata demikian, pemuda itu bergegas bangkit dari duduknya. Dengan wajah merah padam, Kuncara menundingkan telunjuknya ke wajah saudara seperguruannya.
"Jelas ini fitnah, Eyang. Aku yakin Panggali hanya merasa iri karena pagi tadi telah kukalahkan ketika berlatih bersama! Dan rasa iri itu membuatnya tega melemparkan fitnah kepadaku!" teriak Kuncara yang menjadi marah bukan main.
"Benar kau kalah berlatih bersama Kuncara, Panggali?" tegur Eyang Sanca Wisesa bernada penuh tuntutan. Jelas kakek itu merasa tidak senang kepada Panggali. Sebab hal itu tidak diceritakan kepadanya.
"Benar, Eyang. Tapi, kekalahanku itu tidak mutlak. Sebab Kuncara telah menggunakan gerak-gerak aneh yang asing bagiku. Karena tidak kuduga, maka aku dapat terkena tendangan Kuncara," sahut Panggali dengan wajah agak pucat.
Diam-diam hati pemuda itu mengutuk kelicikan Kuncara yang ternyata pandai memutarbalikkan kenyataan. Padahal, selama ini ia mengenal Kuncara sebagai orang yang jarang berbicara. Kalaupun berdebat dengannya, Kuncara tidak akan pernah menang. Maka, ia pun heran melihat betapa pandainya pemuda itu hari ini. Sehingga, gurunya pun seperti memihak kepada Kuncara. Dan tentu saja hal itu membuatnya menjadi cemas.
"Tunjukkan gerak-gerak aneh yang disebutkan Panggali itu, Kuncara," pinta Eyang Sanca Wisesa beralih kepada Kuncara.
Tanpa ragu-ragu lagi, Kuncara segera menunjukkan gerakan-gerakan yang digunakan ketika menjatuhkan Panggali. Melihat betapa gurunya mengangguk-anggukkan kepala, hati Kuncara pun menjadi lega.
"Hm.... Bagaimana kau dapat memperoleh gerakan untuk menutup kelemahan permainan jurusmu itu, Kuncara?" tanya Eyang Sanca Wisesa, tanpa nada kemarahan sedikitpun.
"Aku menciptakannya sendiri, Eyang. Pikiran itu kudapatkan setelah kalah bertarung dengan Panggali pada setengah tahun yang lalu. Apakah perbuatanku itu salah, Eyang...?" tanya Kuncara bagaikan orang tak berdosa. Senyum pemuda itu mulai mengembang ketika tidak melihat nada kemarahan lagi dalam setiap pertanyaan gurunya.
"Sama sekali tidak salah. Bahkan aku merasa bangga dengan apa yang telah kau dapatkan itu. Sudahlah. Kalian berdua boleh pergi. Aku ingin beristirahat," ujar Eyang Sanca Wisesa. Setelah berkata demikian kedua mata kakek itu pun kembali terpejam, tanda kalau benar- benar tidak ingin diganggu.
Melihat sikap Eyang Sanca Wisesa, Kuncara dan Panggali pun bergegas bangkit dan meninggalkan pondok itu. Panggali menghentikan langkahnya di depan pintu pondok. Ditatapinya punggung Kuncara yang tanpa banyak cakap lagi langsung meninggalkan pondok Eyang Sanca Wisesa. Diam-diam Panggali berjanji untuk menangkap basah Kuncara.
Benar-benar tidak disangka kalau Kuncara akan demikian pandainya mengelak dari pertanyaan gurunya. Hatinya benar-benar benci memikirkan kata-kata Kuncara yang lancar, dengan wajah tanpa dosa. Apalagi mengingat, betapa ia dibuat malu di hadapan Eyang Sanca Wisesa tadi.
"Hm.... Tunggulah, Kuncara. Aku akan menangkap basah perbuatanmu yang memalukan itu!" ancam Panggali seraya mengepalkan tinjunya erat-erat, hingga menimbulkan suara berkerotokan nyaring.
"Eyang...!"
Pemuda tampan itu berteriak keras cepat menuju pondok tempat kediaman Eyang Wisesa. Begitu tiba di depan pintu pondok, tubuhnya langsung melesat ke dalam. Eyang Sanca Wisesa yang baru saja melangkahkan kakinya mendekati pintu, segera menggeser tubuhnya agar tidak sampai bertubrukan dengan sosok tubuh yang melompat masuk itu.
"Kuncara, ada apa...? Mengapa berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan...?" tegur Eyang Sanca Wisesa begitu dapat mengenali sosok tubuh yang hampir menabraknya.
"Eyang! Dugaanku ternyata benar!" sahut Kuncara. Napas pemuda itu tampak terengah-engah. Di sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir. Sepertinya, dia telah mengalami luka yang cukup parah.
"Kau terluka, Kuncara...?" tanya kakek itu sambil mengulur tangan hendak memeriksa luka di tubuh Kuncara.
"Panggali.... Panggali ternyata sengaja melemparkan fitnah keji kepadaku untuk menutupi perbuatannya. Siang ini, aku memergokinya tengah bermesraan dengan seorang wanita genit berusia sekitar empat puluh tahun. Pasti wajahnya yang cantik itulah, penyebab jatuhnya Panggali ke dalam pelukan wanita itu. Sayang, Panggali tidak menghiraukan nasihatku. Mereka berdua mengeroyokku. Dan akibatnya, aku mengalami luka, Eyang..," lapor Kuncara sambil sesekali menyeringai menekap dadanya.
"Di mana mereka...?" tanya Eyang Sanca Wisesa dengan nada suara yang berusaha menekan kesabaran. Namun, wajah kakek itu nampak pucat jelas hatinya sangat terpukul atas laporan Kuncara.
"Di dalam gua dekat sungai, Eyang...," sahut Kuncara cepat. "Tapi..., wanita yang bersama Panggali itu lihai sekali, Eyang..."
"Hm.... Kau tinggallah di sini...," ujar Eyang Sanca Wisesa cepat.
Belum lagi Kuncara sempat mengangguk, tubuh kakek itu telah lenyap dan hanya tampak bayangannya saja di kejauhan. Senyum iblis pun tersungging di wajah Kuncara.
"Biar tahu rasa kau, Panggali!" gumam pemuda itu seraya tersenyum penuh kemenangan.
Sementara itu, Eyang Sanca Wisesa telah berlari cepat menuju aliran sungai. Dalam waktu yang singkat saja, kakek sakti itu telah tiba di tempat Panggali berada. Wajah kakek itu berubah merah ketika melihat di depan mulut gua itu terdapat dua sosok tubuh yang hampir tak berpakaian. Gemetar seluruh tubuh renta itu didera pukulan batin yang sangat berat.
"Panggali..., keluar kau...!" terdengar bentakan menggeledek yang bergetar keluar dari mulut kakek itu.
Bagaikan disambar petir, pucat selebar wajah Panggali. Seluruh tubuhnya bergetar ketika mendengar suara yang amat dikenalnya. Sedangkan sosok tubuh setengah telanjang lainnya yang tak lain Nyai Kalawirang, melompat keluar setelah mengenakan pakaiannya. Dengan wajah berang, wanita cantik berusia empat puluh tahun itu langsung menuding wajah Eyang Sanca Wisesa.
"Tua bangka tak tahu adat! Kau rupanya memang senang mengintip perbuatan orang, ya! Tidak tahu malu!" maki Nyai Kalawirang tanpa rasa gentar sedikit pun. Bahkan pada wajah cantik itu terlihat senyum penuh ejekan.
"Hm Rupanya kau, Nyai Kalawirang, Masih belum jera juga setelah ku pecundangi pada waktu yang lalu. Sebaiknya pergi, dan tinggalkan tempat ini sebelum kesabaranku habis!" ancam Eyang Sanca Wisesa. Sama sekali orang tua itu tidak mempedulikan Nyai Kalawirang. Karena saat itu perhatiannya lebih tertuju kepada Panggali.
"Huh! Tua bangka sombong! Kau akan rasakan bagianmu nanti!" Setelah mengeluarkan ancaman itu, tubuh Nyai Kalawirang langsung melesat pergi. Dari kejauhan, lapat-lapat terdengar tawanya yang menyebalkan.
Eyang Sanca Wisesa sama sekali tidak mempedulikan kepergian Nyai Kalawirang. Sepasang mata kakek itu sudah terhunjam ke sosok tubuh Panggali yang seluruh tubuhnya gemetar bagai orang terserang demam. Sekilas, terlihat wajah kakek itu menyeringai menahan rasa nyeri di dadanya, menyaksikan kelakuan murid tersayangnya.
Sepertinya, jiwa kakek itu telah terpu- kul hebat.
"Kau sadar atas kesalahanmu, Panggali...?" tegur Eyang Sanca Wisesa dengan suara parau. Dari tekanan nada suaranya, jelas kalau kakek itu berusaha menekan kemarahannya.
"Tapi, Eyang..."
"Sebaiknya segera angkat kaki dari tempat ini. Jangan coba membela diri. Karena, mata kepalaku sendiri yang telah menyaksikan perbuatanmu! Mudah-mudahan setelah kau terjun ke dalam dunia ramai, sifat busukmu itu berubah," geram Eyang Sanca Wisesa. Suaranya terdengar menggeletar menekan kepedihan hatinya.
"Ampunkan aku, Eyang.... Jagalah diri Eyang baik-baik...," rintih Panggali dengan suara parau. Hati pemuda itu benar-benar sedih mendengar kata-kata guru yang disayanginya. Sadar kalau perbuatannya tidak mungkin dapat pengampunan, maka Panggali hanya dapat bersujud di bawah kaki kakek itu.
"Pergilah. Simpan nasihatmu itu untuk dirimu sendiri...," sahut Eyang Sanca Wisesa mengangkat wajahnya menatap langit biru yang jernih. Dari kerut-kerut di wajahnya, jelas sekali kalau kakek itu amat terpukul atas perbuatan Panggali. Terdengar helaan napas berat mewakili kepedihan hatinya.
"Eyang..." Panggali mengangkat tubuhnya bangkit. Dengan mata basah, pemuda itu membalikkan tubuhnya. Kemudian, ia langsung berlari meninggalkan puncak Gunung Langkeng.
Baru beberapa langkah berlari, Panggali membalikkan tubuhnya. Dipandanginya wajah Eyang Sanca Wisesa dari kejauhan. Sepasang mata basah itu terus berputar mengelilingi sekitar puncak itu. Sepertinya, semua kenangan di dalam benaknya ingin disimpan di hati. Setelah puas memandangi semua yang ada di sekitar puncak Gunung Langkeng, Panggali me- mutar tubuhnya. Kemudian, dia melangkah gontai menuruni lereng gunung.
"Ahhh, Panggali... Kau benar-benar telah mengecewakan aku...," bisik kakek itu lirih penuh kedukaan. Dipandanginya punggung pemuda itu dengan perasaan tak menentu. Lama setelah bayangan Panggali menghilang di balik tikungan jalan, barulah Eyang Sanca Wisesa memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Uhhh..." Baru beberapa tindak kakinya melangkah, terlihat wajah kakek itu menyeringai sambil menekap dadanya. Rupanya pukulan batin itu terlampau berat bagi orang setua Eyang Sanca Wisesa. Kedukaan kembali timbul, mengingat murid satu-satunya yang diharapkan dapat meneruskan ilmunya, ternyata telah melakukan perbuatan rendah dan memalukan. Betapa sangat menykitkan.
Eyang Sanca Wisesa menghentikan langkahnya sejenak. Ditatapnya cakrawala, sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Baru setelah itu langkahnya dilanjutkan menuju pondok. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Eyang Sanca Wisesa, sepasang mata basah menatapinya dari balik sebatang pohon besar. Terdengar keluhan lirih dari mulut pemuda itu.
"Ampuni aku, Eyang,... Aku telah menghancurkan harapan dan cita-citamu selama ini...," desah pemuda itu pilu. Setelah bayangan kakek itu lenyap, barulah tubuhnya berputar meninggalkan puncak Gunung Langkeng tempat ia dididik sejak berusia lima tahun. Dari langkah kakinya yang gontai, jelas pemuda itu mengalami pukulan batin atas kejadian tadi.
Sedangkan di tempat lain, di balik rimbunan semak belukar, tampak dua sosok tubuh menatap gembira. Terdengar kekeh serak dan genit dari mulut keduanya. Mereka tak lain adalah Singa Gurun Setan dan Nyai Kalawirang yang merasa bangga melihat keberhasilan siasatnya itu. Mereka pun segera melesat pergi setelah tubuh Eyang Sanca Wisesa dan Panggali lenyap dari pandangan.
Dengan wajah harap-harap cemas, Kuncara berlari-lari kecil memasuki Hutan Langkeng. Ketika Eyang Sanca Wisesa terlihat kembali dengan wajah membayangkan kedukaan, pemuda itu sudah hampir memastikan kalau rencananya berhasil baik. Maka bergegas ditemuinya Nyai Kalawirang.
Pemuda tampan itu sempat tertegun melihat Nyai Kalawirang ternyata telah berdiri menunggunya di depan pondok. Dan yang membuat wajahnya seketika masam adalah, adanya seorang kakek raksasa berwajah menyeramkan berdiri di samping wanita cantik itu. Dengan dada terbakar rasa cemburu, Kuncara menatap tajam ke arah kakek berwajah singa itu.
"Hik hik hik..! Mengapa kau terlihat tidak begitu gembira, Kuncara? Bukankah rencana yang kita buat semalam sudah berhasil dengan baik? Apa lagi yang dirisaukan?" tegur Nyai Kalawirang. Wanita itu berpura-pura tidak mengetahui perasaan Kuncara. Dengan langkah yang dibuat-buat didekatinya Kuncara.
"Siapa kakek muka singa itu, Nyai? Selama ini aku belum pernah melihatnya? Mengapa tahu-tahu berada di tempatku ini?" bisik Kuncara tanpa berusaha menyembunyikan perasaan cemburunya. Sepasang mata pemuda itu tetap mengawasi Singa Gurun Setan dengan sinar mata menyelidik. Sepertinya, Kuncara hendak menilai hubungan antara kakek itu dengan Nyai Kalawirang.
"Ah! Aku sampai lupa!" seru wanita genit itu berpura-pura sambil menampar keningnya perlahan. "Dia adalah sahabat baikku yang berjuluk Singa Gurun Setan. Perlu kau ketahui, Kuncara. Kami adalah dua orang sahabat yang pernah dipecundangi gurumu pada sepuluh tahun yang lalu. Sekarang, kami sudah merasa cukup kuat untuk melakukan pembalasan kepadanya. Nah kau boleh pilih. Ikut bersamaku, atau ingin membela eyang gurumu itu?" Nyai Kalawirang tanpa tedeng aling-aling lagi menekan Kuncara. Melihat dari sikap dan nadanya berbicara, jelas wanita genit itu merasa yakin kalau Kuncara akan lebih memilihnya.
Untuk beberapa saat lamanya, Kuncara termenung. Meskipun sudah lama merasa tidak suka kepada gurunya, namun untuk memilih kedua hal tersebut, ia masih merasa ragu. "Mengapa harus melawan guruku, Nyai? Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja meninggalkan tempat itu tanpa mengganggu beliau? Aku akan turut ke mana kau pergi, Nyai," Akhirnya setelah berpikir beberapa saat lamanya, keluar juga ucapan dari mulut Kuncara. Tapi sayang, ucapan itu sama sekali tidak menyenangkan hati Nyai Kalawirang.
"Tidak bisa, Kuncara. Bila ingin ikut bersamaku dan tetap menjadi kekasihku, harus terlebih dahulu membalaskan sakit hati yang selama ini membuatku tersiksa. Kalau tidak mau, boleh pergi ke mana saja kau suka. Tapi ingat! Jangan campuri dan halangi niatku ini!" ancam Nyai Kalawirang mulai menunjukkan keaslian sifatnya.
"Ha ha ha...! Sebaiknya kita tak usah membuang-buang waktu lagi, Nyai. Ini adalah saat yang paling tepat untuk melakukan pembalasan. Si tua bangka itu pasti sekarang tengah memikir- kan murid kesayangannya. Kesempatan sebaik ini tidak boleh dilewatkan begitu saja." Singa Gurun Setan yang semenjak tadi hanya diam membisu, mulai angkat bicara. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah mendekati Nyai Kalawirang.
"Hm.... Rupanya kaulah yang menghasut Nyai Kalawirang untuk memusuhi guruku, Kakek Jelek! Keparat, Kubunuh kau...!" bentak Kuncara melampiaskan kemarahannya kepada Singa Gurun Setan. Kemudian tubuh pemuda itu langsung melesat, siap melontarkan serangan maut kepada Singa Gurun Setan.
"Kuncara.... Tahan...!" Melihat Kuncara telah melompat dan hen- dak menyerang Singa Gurun Setan, Nyai Kalawirang membentak dan langsung melompat menghadang pemuda itu.
"Mengapa, Nyai?! Biar kubunuh orang yang telah menghasutmu ini!" seru Kuncara dengan wajah pucat. Hati pemuda itu benar-benar telah jatuh ke dalam perangkap cinta Nyai Kalawirang. Akibatnya, terpaksa Kuncara menahan serangannya dan berdiri menatap wanita itu dengan wajah sedih.
"Kuncara! Selain kau tidak bakal menang melawan Singa Gurun Setan, aku pun tidak akan membiarkan perbuatanmu itu!" bentak Nyai Kalawirang. Sama sekali hati wanita itu tidak tersentuh dengan pandangan penuh kasih dari Kuncara.
"Nyai..., kau..., kau tidak mencintaiku lagi...?" tanya Kuncara lirih dan parau. Dalam ucapan pemuda itu terkandung kepedihan yang mendalam. Jelas, kalau Kuncara benar-benar mencintai Nyai Kalawirang. Entah cinta karena nafsu atau memang ucapan itu keluar dari hatinya yang tulus.
"Tentu saja aku masih mencintaimu, Kuncara. Tapi kalau benar-benar mencintaiku, kau harus menuruti semua kata-kata dan perintahku! Kalau tidak, aku tidak akan sudi melihat wajahmu lagi!" sahut Nyai Kalawirang.
Sepertinya Nyai Kalawirang masih memerlukan tenaga pemuda itu untuk kepentingannya. Itulah sebabnya, ia masih berusaha membawa Kuncara ke pihaknya. Kalau tidak, tentu pemuda itu sudah dibunuhnya sejaktadi. Perasaan cinta dan ingin selalu berdekatan dengan Nyai Kalawirang, ternyata telah membutakan mata Kuncara. Padahal, selama ini ia diasuh Eyang Sanca Wisesa. Dan perasaan cinta itu pulalah yang membuat Kuncara terpaksa mengikuti kemauan wanita genit hamba nafsu itu.
"Baiklah, Nyai. Aku akan mematuhi segala perintahmu, asalkan kita tetap bersama," sahut pemuda itu mengambil keputusan.
"Nah! Begitu baru bagus...," seru Nyai Kalawirang gembira. Dan, tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh Kuncara erat-erat.
"Mari kita pergi...," lanjut wanita itu sambil melangkah meninggalkan Hutan Langkeng. Kuncara pun melangkah di belakang Nyai Kalawirang.
Singa Gurun Setan tertawa terbahak-bahak melihat keberhasilan Nyai Kalawirang. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun segera mengiringi di belakang kedua orang itu.
"Hai...! Tua bangka Sanca Wisesa! Keluar kau...! Aku Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Setan datang menagih hutang!" terdengar seruan keras yang ditujukan kepada penghuni pondok di tengah puncak Gunung Langkeng itu. Nyai Kalawirang dan SingaGurun Setan, berdiri berdampingan dengan sikap pongah. Sedangkan Kuncara berdiri di belakang kedua tokoh sesat itu dengan wajah agak pucat. Biar bagaimanapun, pemuda itu masih merasa ragu untuk menyakiti gurunya. Tapi, perasaan cintanya terhadap Nyai Kalawirang, telah membuatnya menjadi sesat.
"Hm.... Nyai Kalawirang, Singa Gurun Setan. Rupanya kalian yang datang," sambut kakek renta yang tak lain dari Eyang Sanca Wisesa..Namun, mata tua itu sejenak tertegun melihat Kuncara di antara mereka. Sekali pandang saja, kakek itu sadar kalau ia telah melakukan kesalahan besar dengan mempercayai murid yang dididiknya sejak berusia lima tahun itu.
"Kuncara.... Kiranya apa yang dikatakan Panggali bukan hanya fitnah belaka. Kau..., kau telah tersesat dengan bersekutu kepada mereka. Kembalilah, Kuncara. Jangan ikuti hawa nafsumu. Kau akan menyesal nanti," bujuk Eyang Sanca Wisesa dengan wajah semakin berduka.
Baru saja ia mengusir pergi Panggali, kini muncul Kuncara murid yang tinggal satu-satunya itu. Dan kedatangan pemuda itu sudah jelas bukan dengan niat baik. Maka semakin berdukalah hati kakek renta itu. Dan ia pun sadar kalau kematiannya sudah berada di ambang pintu.
"Jangan dengarkan ocehan tua bangka bermulut palsu itu, Kuncara. Ingatlah! Tua bangka itu telah berlaku tidak adil. Dia lebih menyayangi Panggali daripada dirimu. Maka, sudah sepatutnya kakek bermulut palsu itu dibinasakan!" bujuk Nyai Kalawirang berbisik di telinga Kuncara. Karena, ia merasa khawatir kalau-kalau pendirian pemuda itu menjadi berubah.
Setelah berkata demikian, Nyai Kalawirang segera melompat ke hadapan Eyang Sanca Wisesa. Perbuatan itu diikuti Singa Gurun Setan. Kedua tokoh sesat itu menatap penuh dendam ke arah lawannya.
"Bersiaplah untuk menerima pembalasan kami, Sanca Wisesa...!" bentak Nyai Kalawirang sambil melolos sebuah cambuk berpucuk sembilan.
Jtarrr! Cterrr!
Terdengar ledakan-ledakan keras ketika Nyai Kalawirang melecutkan cambuk mata sembilannya berkali-kali di udara. Tenaga yang dikerahkannya tidak kepalang tanggung. Memang, wanita itu sadar betul kalau lawannya bukanlah orang sembarangan.
Singa Gurun Setan tidak ketinggalan. Kakek bertubuh raksasa dan berwajah menyeramkan itu pun sudah pula mempersiapkan ilmu andalannya yang amat mengerikan. Kuku-kuku jari tangannya tampak bergetar dan mengepulkan uap tipis dan berbau busuk. Menilik dari bau yang ditimbulkannya, jelas kuku-kuku Singa Gurun Setan mengandung racun jahat yang mematikan. Itulah jurus 'Cakar Siluman Singa' yang membuat nama kakek raksasa itu amat ditakuti dalam kalangan rimba persilatan.
"Hm..." Melihat kedua orang calon lawannya sudah mengeluarkan ilmu andalannya masing-masing, Eyang Sanca Wisesa segera melompat ke halaman samping pondok. Begitu sepasang kakinya hinggap di atas rumput tebal, sepasang tangan kakek itu langsung berputaran hingga menimbulkan deru angin kuat Rupanya, ia sudah pula mengeluarkan ilmu 'Pukulan Memecah Badai' yang merupakan salah satu ilmu andalannya. Dengan ilmu itu pula, pada sepuluh tahun yang lalu Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Setan dapat ditundukkan.
"Majulah kalian...," tantang Eyang Sanca Wisesa dengan suara yang mengandung perbawa kuat. Biarpun melihat adanya Kuncara di antara lawannya, namun kakek itu sama sekali tidak merasa gentar. Meskipun bukan tidak mungkin kalau kedua orang itu telah mempelajari ilmunya melalui Kuncara, tetap saja Eyang Sanca Wisesa memainkan ilmu andalannya itu.
"Haiiit..!"
Disertai teriakan menggeledek bagai singa luka, tubuh Singa Gurun Setan melesat dengan kedua cengkeraman mautnya. Sepasang cakar beracun itu menyambar cepat mengarah leher dan perut Eyang Sanca Wisesa.
Bettt! Wukkk!
Cepat kakek itu menggeser tubuhnya, menghindari cakaran maut lawan. Kemudian, dibalasnya dengan hantaman telapak tangan kanan yang langsung mengancam dada Singa Gurun Setan.
Wuttt!
Hantaman telapak tangan Eyang Sanca Wisesa berhasil dielakkan lawannya. Namun, secepat kilat tubuh kakek itu berputar disertai sebuah tendangan kilat yang meluncur deras ke arah dagu Singa Gurun Setan.
Zebbb!
"Aaaihhh...!" Bukan main terkejutnya kakek raksasa itu melihat serangan yang cepat tak terduga. Untunglah ia tidak kehilangan akal. Begitu tendangan lawan tiba, cepat tubuhnya didoyongkan ke belakang dan langsung melempar tubuh melakukan beberapa kali salto di udara. Selamatlah kakek raksasa itu dari ancaman ilmu 'Tendangan Angin Topan' yang digabungkan secara tak terduga dengan ilmu 'Pukulan Memecah Badai'.
Benar-benar hebat dan mengejutkan hasil perpaduan kedua ilmu dahsyat yang dilakukan Eyang Sanca Wisesa. Kakek sakti dari Gunung Langkeng yang semula berniat mengejar lawan, cepat melompat mundur ketika merasakan sambaran angin kuat disertai ledakan yang mengancam dari samping.
Jtarrr! Cterrr!
Hantaman cambuk yang meledak-ledak memekakkan telinga itu hanya mengenai angin kosong. Karena, Eyang Sanca Wisesa telah bergerak cepat menjauhkan dirinya dari ancaman cambuk maut itu. Bahkan masih sempat melakukan tusukan jari-jari tangan kiri yang meluncur lurus mengancam tubuh Nyai Kalawirang.
Siuuut!
Terdengar suara mencicit tajam ketika jari-jari tangan Eyang Sanca Wisesa menusuk cepat bagai kilat. Nyai Kalawirang bergegas menarik mundur kaki kanannya ke belakang. Sambil berbuat demikian, cambuknya dikibaskan langsung mengancam sembilan jalan darah di tubuh lawannya. Gerakan cambuk itu benar-benar membuat Eyang Sanca Wisesa kewalahan. Belum lagi serangan cambuk Nyai Kalawirang sempat dihalaunya, tahu-tahu dari samping sebelah kanan meluncur cengkeraman Singa Gurun Setan. Dari angin sambarannya, dapat ditebak kalau kakek menyeramkan itu telah mengerahkan seluruh tenaganya.
Jtarrr! Prattt! Desss!
"Aaakh...!" Meskipun Eyang Sanca Wisesa yang dalam keadaan terjepit itu mampu menangkis sambaran cambuk Nyai Kalawirang, namun sebuah tendangan keras telah membuat tubuh kakek renta itu terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya. Rupanya cengkeraman yang dilakukan Singa Gurun Setan hanya merupakan tipuan semata. Akibatnya, tubuh Eyang Sanca Wisesa terjungkal tertendang oleh kakek raksasa yang bersarang tepat didadanya.
Sedangkan Nyai Kalawirang yang cambuknya sempat ditangkis lawan, terdorong mundur beberapa langkah ke belakang. Hal itu dikarenakan, tenaga dalam yang dimilikinya masih berada di bawah tenaga dalam Eyang Sanca Wisesa. Namun, wanita cantik yang genit itu memang patut mendapat pujian. Dorongan tangkisan lawan ternyata dapat dimanfaatkannya sebaik mungkin.
Pada saat tubuhnya terdorong mundur, wanita cantik itu bergegas memutar tubuh dengan menyilangkan kaki depan ke belakang. Dan saat itu juga, tubuhnya yang ramping langsung melesat disertai lecutancambuknya. Saat itu, Eyang Sanca Wisesa yang tengah bergulingan tak sempat lagi untuk menghindari lecutan cambuk Nyai Kalawirang yang datang ber- tubi-tubi.
Ctarrr! Jterrr!
"Aarghhh...!" Eyang Sanca Wisesa meraung ketika ujung cambuk yang runcing itu berkali-kali melecut tubuhnya. Tubuh tua itu menggelepar bagai ayam dis- embelih. Darah pun mengalir dari pakaiannya yang telah terkoyak, akibat lecutan cambuk yang mengandung tenaga dalam tinggi. Belum lagi siksaan itu berakhir, sebuah tendangan keras dari telapak kaki raksasa milik Singa Gurun Setan, telah membuat tubuh renta itu terlontar beberapa tombak.
Bruggg!
"Aaahhh...!" Erang kesakitan meluncur dari mulut kakek renta itu. Wajahnya berkerinyut menahan rasa sakit yang diderita. Tubuh Eyang Sanca Wisesa terkapar lemah, antara sadar dan tidak. Yang menandakan kalau kakek itu masih tersadar adalah erangan lirih yang keluar dari bibirnya.
"Hik hik hik...! Kau tidak akan kubunuh, Tua Bangka! Kematian terlalu enak bagimu!" ejek Nyai Kalawirang. Wanita itu berdiri tegak di dekat tubuh lemah tak berdaya. Kemudian wanita kejam itu menolehkan kepalanya ke arah Kuncara yang hanya dapat memandang dengan wajah pucat
"Kuncara...!" seru Nyai Kalawirang "Cabut senjatamu! Kalau memang benar-benar ingin ikut bersamaku, buntungi kedua lengan dan kaki kakek ini! Biar dia tidak membahayakan kita di kemudian hari."
Nyai Kalawirang sengaja menyuruh Kunca- ra untuk melakukan perbuatan itu. Selain hal itu dapat menunjukkan kesetiaan Kuncara, sekaligus ingin memukul perasaan musuhnya dengan menyuruh muridnya melakukan penyiksaan. Perbua- tan itu tentu akan mendatangkan kedukaan besar bagi Eyang Sanca Wisesa. Benar-benar keji sekali iblis wanita berwajah cantik itu.
Sedangkan Kuncara sendiri langsung pucat wajahnya. Pemuda itu tidak mempunyai pilihan lagi, selain menuruti perintah Nyai Kalawirang. Karena sudah telanjur basah, maka Kuncara berniat menceburkan dirinya sekaligus. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, pemuda itu mencabut pedang yang terselip di pinggang kanannya.
"Ampuni aku, Eyang...!" gumam pemuda itu berbisik lirih. Sebentar kemudian pedang itu diayunkan untuk membabat kedua kaki Eyang Sanca Wisesa, orang tua yang telah mendidiknya dari kecil.
Crakkk! Crakkk!
Aaarghhh...!" Kakek renta itu meraung setinggi langit ketika sepasang kakinya tertebas putus hampir mencapai pangkal paha. Tubuhnya bergulingan bermandikan darah segar yang langsung menyembur dari luka di kedua kakinya. Belum lagi siksaan itu berkurang, pedang di tangan Kuncara kembali menebas dua kali.
Crasss! Crakkk!
Raung kesakitan kembali terdengar merobek angkasa. Tubuh kakek yang malang itu kembali bergulingan didera sengsara. Untunglah Eyang Sanca Wisesa telah jatuh pingsan, sehingga rasa sakit yang meremas jantungnya tidak lagi dirasakan.
"Bagus, Kuncara. Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Biarkan saja tubuh tua bangka itu," perintah Nyai Kalawirang sambil menarik tangan Kuncara dan membawanya pergi.
"Ha ha ha...! Selamat menikmati penderitaan, Sanca Wisesa," ledek Singa Gurun Setan sambil melangkahkan kakinya mengikuti Nyai Kalawirang dan Kuncara yang sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Tinggallah tubuh sengsara Eyang Sanca Wisesa terkapar tak berdaya. Hanya semilir angin puncak Gunung Langkeng saja yang masih setia menemaninya.
Pemuda bertubuh tegap itu melangkah lesu dengan wajah tertunduk. Menilik dari garis-garis wajahnya, jelas kalau dia tengah menderita pukulan batin yang amat berat. Pakaian yang dikenakannya pun lusuh dan kumal, menandakan kalau dia telah cukup lama tidak menggantinya.
"Ohhh..., mengapa semua itu harus kulakukan...? Bagaimana mungkin aku bisa terjatuh ke dalam pelukan wanita iblis itu...?" gumam pemuda berwajah gagah itu penuh sesal.
Dengan wajah geram, ditendangnya sebutir kerikil untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Pemuda gagah yang tak lain dari Panggali itu menghenyakkan tubuhnya di tepi jalan, di bawah sebatang pohon. Ditengadahkan wajahnya, mencoba mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Masih terbayang jelas dalam ingatan Panggali, ketika keesokan pagi setelah ia dan Kuncara dipanggil Eyang Sanca Wisesa, ia pergi menyelidiki ke dalam Hutan Langkeng. Tekadnya yang bulat ingin menangkap basah Kuncara, ternyata telah menyebabkannya terusir dari puncak Gunung Langkeng.
Memang benar, ia telah berhasil menemukan wanita genit yang pernah dilihatnya bersama Kuncara. Bahkan saat itu, wanita genit yang dicurigainya tengah bersama seorang kakek raksasa bermuka singa. Namun, setelah Panggali bertarung dan dikalahkan, ia tidak ingat apa-apa lagi. Ia pun tidak mengerti, mengapa tahu-tahu saja sudah berada di dalam gua bersama wanita genit itu, saat didatangi gurunya. Apalagi saat itu, keadaannya benar-benar sangat memalukan.
"Ahhh..., apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku...?" desah Panggali seraya menekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sepertinya pemuda itu sudah tidak mempedulikan lagi keadaan dirinya yang mirip seorang gembel yang selalu mengganggu. Pikirannya hanyalah, perbuatan terkutuk dan amat memalukan itu.
"Hhh..., aku harus mencari tahu, apa yang telah menyebabkan aku melakukan perbuatan memalukan itu. Satu-satunya orang yang harus kucurigai hanyalah Kuncara. Ya! Pasti dia mengetahui semua ini. Bahkan bukan tidak mungkin kalau semua ini adalah rencananya yang diatur bersama wanita iblis itu. Hm.... Awas kau, Kuncara! Tunggulah pembalasanku...!" geram Panggali sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Namun, semangat pemuda itu kembali luntur ketika teringat wanita cantik dan kakek muka singa yang amat lihai itu. Dugaannya kalau kedua orang itu bersekutu dengan Kuncara membuatnya menjadi lemas. Sebab, tidak mungkin mengalahkan kedua orang itu. Jangankan maju bersama-sama, untuk mengalahkan salah satu dari mereka saja jelas tidak mungkin Entah, bagaimana caranya ia dapat membongkar kebusukan Kuncara. Untuk meminta bantuan gurunya, jelas tidak bisa diharapkan.
"Ohhh..., apa yang harus kulakukan? Kepada siapa aku bisa meminta bantuan? Menghadapi mereka seorang diri, sama saja bunuh diri. Ohhh..., Tuhan. Tolonglah hambamu..." desah Panggali putus asa.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, tiba-tiba Panggali teringat cerita gurunya tentang tokoh-tokoh persilatan. Wajahnya segera ditengadahkan memandang hamparan langit biru. Seolah-olah ia ingin mengingat semua yang pernah diceritakan gurunya tentang pendekar-pendekar pembela kebenaran.
"Ketahuilah, Muridku. Meskipun dalam dunia ini banyak terdapat orang kejam berhati iblis, tapi tidak sedikit pula yang berjiwa bersih. Kelompok orang berjiwa bersih itu dinamakan pendekar-pendekar pembela kebenaran. Dan mereka tidak segan-segan turun tangan membela orang- orang lemah tanpa pamrih. Untuk menjadi orang seperti itulah kalian kudidik di tempat ini."
Panggali mengusap wajahnya perlahan ketika teringat wejangan gurunya. Perlahan ia bangkit berdiri, dan mengayun langkah memasuki perbatasan sebuah desa.
"Desa Teja Mukti...," bibir pemuda tegap itu menggerimit. membaca tulisan yang terdapat pada tiang batu di tepi jalan. "Apakah pendekar-pendekar yang diceritakan Eyang Sanca Wisesa ada di Desa Teja Mukti ini? Kalau ada, bagaimana aku bisa mengetahui kalau ia seorang pendekar yang dimaksud eyang?"
Cukup lama Panggali termenung memikirkan hal itu. Ia yang dari kecil tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, tentu saja menjadi bingung. Seperti diketahui, selama ini ia hanya tinggal di atas puncak Gunung Langkeng. Tidak ada orang lain yang menemaninya, selain Kuncara dan Eyang Sanca Wisesa. Maka wajar saja kalau pemuda gunung itu buta akan kehidupan luar Puncak Gunung Langkeng. Dan ia pun tidak tahu, siapa orang-orang yang disebut sebagai pendekar. Karena, cerita itu hanya didengar dari mulut gurunya saja.
"Hm Orang yang kucari adalah pendekar pemberantas kejahatan," gumam pemuda itu sambil menjentikkan jarinya.
Senyum di wajah Panggali segera mengembang. Sepertinya, dia telah menemukan cara untuk mencari orang yang disebut sebagai pendekar itu. Maka, bergegas kakinya mulai melangkah memasuki batas Desa Teja Mukti. Tak berapa lama kemudian, Panggali tiba di mulut desa. Bagaikan orang bodoh, sepasang matanya berputar merayapi rumah-rumah di sekitarnya. Sepasang mata pemuda itu baru berhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah kedai makan yang tampak ramai dikunjungi orang. Setelah mengacak-acak rambutnya hingga wajahnya tampak seram, pemuda itu pun mengayun langkahnya memasuki kedai. Dipilihnya salah satu meja yang kosong.
"Makan...!" teriak Panggali sambil menggebrak meja hingga menimbulkan suara berderak rebut.
Sebelah kaki pemuda itu naik ke atas kursi. Sedangkan tangan kanannya berada di pinggang. Sikap pemuda itu sudah tak ubahnya seorang jagoan pasar. Puluhan pasang mata serentak menoleh ke arah Panggali. Beberapa di antaranya tampak memandang dengan sinar mata tak senang. Sedangkan yang bernyali kecil, langsung saja angkat kaki meninggalkan kedai makan. Maka dalam sekejap saja, hiruk-pikuklah suasana di dalam kedai makan itu.
"Hm.... Taruh kembali makanan itu. Biar kuberi pelajaran orang yang tak tahu adat ini," geram seorang lelaki brewok bertubuh gemuk.
Sambil berkata demikian, tangannya yang besar dan berbulu lebat itu mendorong pelayan setengah baya. Sehingga, pelayan yang semula hendak menyiapkan permintaan Panggali, kembali ke tempatnya semula. Dengan langkah lebar, lelaki gemuk berwajah brewok itu menghampiri Panggali. Langkahnya sengaja diberat-beratkan, hingga menimbulkan suara berdebum. Hal itu dimaksudkan untuk membuat Panggali gentar.
"Kisanak! Tidak dapatkah kau berlaku sedikit sopan? Sadarkah kau, kalau caramu itu bisa menimbulkan kemarahan orang?" bentak lelaki brewok itu yang menghentikan langkahnya beberapa tindak dari tempat Panggali.
Bentakan keras itu sama sekali tidak membuat Panggali gentar. Dipandanginya orang itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu patah kata pun tidak terlontar dari bibirnya sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Sebaliknya, Panggali malah melontarkan pertanyaan setelah selesai mengamati orang itu.
"Apakah kau seorang pendekar...?" tanya Panggali penuh harap.
Pertanyaan yang dianggap lucu itu tentu saja membuat lelaki brewok dan beberapa orang lainnya tertawa terbahak-bahak. Sehingga, Panggali menjadi heran dibuatnya.
"Apakah pertanyaanku salah...?" ujar pemuda tegap itu mengedarkan pandangannya dengan wajah ketololan.
"Ha ha ha...!"
Kembali orang-orang yang masih tinggal di dalam kedai makan itu tertawa mendengar pertanyaan Panggali. Bahkan beberapa orang di antaranya jatuh terduduk sambil memegangi perut yang terasa mules.
"Ha ha ha...! Kukira kau perampok kesasar. Tak tahunya hanya seorang pemuda gila!" ledek lelaki brewok itu seraya tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar pertanyaan yang baginya jelas sangat lucu.
Melihat betapa semua orang yang berada di kedai itu mentertawai pertanyaannya, keheranan Panggali seketika berubah menjadi kemarahan. Digebraknya meja kuat-kuat dengan wajah merah padam. "Bangsat! Rupanya kalian semua sengaja hendak mengejekku! Apa dipikir aku tidak bisa menampar mulut kalian yang kurang ajar!" bentak Panggali, menggelegar.
Tentu saja bentakan yang didorong tenaga dalam tinggi itu sangat mengejutkan. Tawa yang riuh rendah langsung lenyap seketika. Bahkan beberapa orang di antaranya yang jelas tidak memiliki kepandaian silat, langsung terduduk lemas di atas kursinya. Wajah mereka pun pucat pasi akibat bentakan yang mengguncangkan jantung itu.
"Dasar orang gila! Mulutmulah yang harus kutampar...!" seru lelaki brewok itu balas memaki Panggali. Seperti ingin membuktikan ucapannya, laki-laki brewok itu langsung mengayun tangan menampar mulut pemuda yang dianggap orang gila.
"Ha..." Melihat datangnya tamparan yang baginya lambat itu, Panggali hanya mengeluarkan suara mengejek. Tamparan itu sama sekali tidak dielakkan. Karena sekali melihat saja, langsung dapat dinilai kalau lelaki brewok itu hanya menggunakan tenaga kasar dalam melakukan tamparan.
Plakkk!
"Aaaduhhh...!" Lelaki gemuk brewok itu berteriak kesakitan ketika tamparannya tepat menghantam pipi Panggali. Tubuh gemuk itu kontan terjajar mundur menabrak meja di belakangnya, hingga menimbulkan suara hiruk-pikuk.
Orang-orang yang berada di dalam kedai itu melongo keheranan. Jelas-jelas mereka melihat wajah pemuda itu terkena tamparan. Tapi, mengapa yang terjatuh justru orang yang menampar? Benar-benar tak masuk akal kejadian itu.
Sedangkan bagi Panggali sendiri, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai murid kesayangan Eyang Sanca Wisesa, tentu saja dia telah memiliki tenaga dalam tinggi. Dan tenaga itu disalurkannya ke wajah, untuk melindungi dari tamparan si brewok. Tentu saja lelaki brewok yang tidak memiliki tenaga dalam terjungkal dibuatnya.
"Pemuda iblis...!" desis beberapa orang pengunjung kedai yang tidak mengerti ilmu silat.
Mereka langsung mengambil langkah seribu, meninggalkan kedai itu. Sedangkan empat orang lainnya termasuk si brewok, langsung mengurung Panggali dengan senjata terhunus. Menilik gerakannya, jelas kalau mereka hanyalah memiliki ilmu silat pasaran yang mengandalkan tenaga kasar saja. Panggali hanya bergumam menghadapi kurungan empat orang kasar itu. la pun melesat keluar kedai karena tidak ingin merugikan pemilik kedai.
"Bangsat! Mau lari ke mana kau, Pemuda Gila...!" teriak lelaki brewok itu sambil melompat mengejar.
Perbuatan lelaki brewok itu diikuti ketiga orang kawannya. Mereka kembali langsung mengurung Panggali di depan kedai. Pemuda itu memang sengaja menunggu pengeroyoknya. Dan baginya, memang lebih baik bertarung di luar kedai agar orang yang menyaksikannya lebih banyak. Tentu saja dengan harapan, agar ada pendekar yang ikut melihat perbuatannya.
"Serbu....!" seru laki-laki brewok itu sambil melompat maju disertai ayunan senjatanya.
Panggali berdiri tenang menghadapi empat batang golok yang mengancamnya. Begitu serangan tiba, tubuh pemuda itu menyelinap di antara sinar golok pengeroyoknya. Gerakan itu dibarengi kibasan tangan yang hampir tidak terlihat mata.
Wuttt! Wuttt!
Plakkk! Plakkk! Plakkk!
Sekali bergerak saja, empat orang pengeroyok langsung jatuh berdebuk di atas tanah. Senjata-senjata mereka terpental entah ke mana. Terdengar rintih kesakitan dari mulut keempat orang kasar itu. Karena, masing-masing telah terkena tamparan tangan Panggali yang cukup untuk menghentikan keroyokan.
Pemuda gagah bertubuh tegap itu berdiri memandangi tubuh keempat pengeroyoknya. Pada wajahnya tampak jelas kekecewaan melihat pengroyoknya dapat dirobohkan hanya sekali gebrak saja. Dan hal ini justru membuat Panggali kecewa. Lamunan pemuda itu mendadak buyar ketika terdengar bentakan keras mengandung tenaga dalam.
"Manusia keparat dari mana yang berani mengacau desa ini...!" bentak suara berat itu. Sebentar kemudian, berkelebat dua sosok tubuh ke tengah bekas arena pertarungan.
Panggali cepat menolehkan kepala dengan senyum lebar menghias wajah. Sebab dari bentakan itu, jelas terkandung tenaga dalam tinggi. Bayangan tentang pendekar rimba persilatan pun melintas di benaknya.
"Hm Kedua orang itu pasti yang dinamakan pendekar," gumamnya penuh harap. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Panggali pun memutar tubuhnya langsung melangkah mendekati kedua orang yang baru tiba.
Kedua orang yang baru tiba itu langsung menghunus senjata begitu melihat Panggali melangkah mendekati. Melihat dari pakaian dan rambut pemuda itu, mereka menduga kalau Panggali adalah orang gila.
"Aha.... Kalian pasti pendekar-pendekar rimba persilatan. Ayo, majulah. Serang aku..." tantang Panggali, persis seperti orang kurang waras.
"Kurang ajar! Dasar orang gila! Ayo kita tangkap dia, Kakang Jumena...," ujar laki-laki berkepala botak yang memiliki tubuh kekar berotot.
Setelah berkata demikian, laki-laki besar itu langsung melesat sambil menyabetkan pedang dengan gerakan menyilang. Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Jumena itu segera melesat menyusuli kawannya. Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan sinar menyilaukan mata. Sepintas saja, dapat ditebak kalau orang yang bernama Jumena itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawannya. Hal itu dapat dilihat dari caranya memainkan senjata.
"Hiaaattt..!"
Wuttt! Bettt!
"Bagus...!" puji Panggali gembira sambil menggeser kaki kanannya ke samping dengan kuda-kuda rendah. Sambil mengelak sepasang tangannya langsung melontarkan dua buah pukulan ke arah perut dan dada kedua orang pengeroyoknya.
Zebbb! Wukkk!
Serangan balasan yang cepat dan kuat itu tentu saja membuat kedua orang lawan terkejut. Cepat keduanya memutar tubuh, membentuk lingkaran. Itu dilakukan untuk menghindari ancaman pukulan Panggali. Bahkan mereka langsung melancarkan serangan balasan yang cukup berbahaya.
"Ah.... Bagus...!" lagi-lagi terdengar pujian dari mulut Panggali.
Sambaran senjata lawan yang mengancam leher dan lambung, dielakkan pemuda itu dengan menarik mundur kaki depan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Gerakan yang dilakukan Panggali tidak berhenti sampai di situ saja. Pemuda bertubuh tegap itu langsung membalas dengan pukulan dan tendangan cepat dan mengejutkan.
Namun, kekompakan gerak kedua orang lawannya itu memang benar-benar hebat. Sehingga, Panggali semakin gembira dibuatnya. Pertarungan yang cukup seru dan ramai itu tentu saja menarik perhatian penduduk Desa Teja Mukti. Sehingga setelah pertarungan berlangsung selama dua puluh jurus, tempat itu sudah dipadati penduduk setempat.
"Dalam beberapa jurus lagi, kedua orang pembantu kepala desa itu pasti akan kalah, Kakang...," bisik seorang dara jelita berpakaian hijau. Gadis itu berdiri diantara kerumunan penduduk di samping seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih. Melihat dari sikap dan caranya menilai, jelas kalau dara jelita itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi.
"Ya! Kerjasama kedua orang itu memang cukup baik. Tapi sayang, pemuda yang dikira orang gila itu memiliki kepandaian di atas mereka. Bahkan sepertinya tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi keroyokan lawannya. Entah apa maksudnya membuat kekacauan desa ini?" sahut pemuda tampan itu yang juga berbisik. Sedangkan sepasang matanya yang tajam, tetap tidak beralih dari arena pertarungan.
"Hiaaat..!"
Ketika pertarungan telah memasuki jurus yang kedua puluh lima, tiba-tiba saja Panggali berseru nyaring mengejutkan kedua orang pengeroyoknya. Berbarengan teriakan itu, tiba-tiba saja gerakannya dirubah.
Wuttt! Wukkk!
Apa yang dilakukan Panggali benar-benar mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke kiri-kanan, menimbulkan sambaran angin kuat. Rupanya, pemuda tegap itu telah mengeluarkan salah satu ilmu andalannya, 'Pukulan Memecah Badai'. Bukan hanya kedua orang pengeroyok itu saja yang menjadi terkejut melihat perubahan gerak lawan. Bahkan dara jelita berpakaian hijau dan pemuda tampan berjubah putih itu juga memandang kagum.
"Lihat! Pemuda itu mulai mengeluarkan ilmu andalannya..." bisik pemuda berjubah putih, persis di telinga dara jelita yang berdiri di samping kirinya.
"Apa tidak membahayakan kedua orang pembantu kepala desa itu, Kakang...?" tanya dara berpakaian serba hijau itu terlihat agak camas.
"Lihat saja...," sahut pemuda berjubah putih itu sambil tetap mengikuti jalannya pertarungan.
Saat itu, Jumena dan orang berkepala botak tampak sudah semakin terdesak hebat. Serangan-serangan Panggali yang menimbulkan sambaran angin kuat benar-benar membuat mereka tak berkutik. Sehingga, mereka hanya dapat bermain mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
"Hihhh...!" Sambil membentak, Panggali mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Serangan angin kuat menyambar kedua orang pengeroyok yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat.
Wusss!
Namun tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan putih yang langsung memapak serangan Panggali.
Bresss!
Terdengar benturan keras yang membuat udara di sekitar tempat itu bergetar keras. Bahkan disusul dengan terlemparnya tubuh Panggali sejauh dua batang tombak ke belakang. Namun, kelincahan pemuda bertubuh tegap itu memang patut dipuji. Dengan beberapa kali putaran manis, daya lontar itu berhasil dipunahkan. Sehingga, Panggali dapat mendarat manis di tanah. Meskipun ketika menyentuh tanah gerakannya limbung, tapi perbuatan pemuda itu telah membuat para penduduk terpukau kagum.
Sementara, di tengah arena pertarungan telah berdiri gagah sesosok tubuh berjubah putih. Sedangkan Jumena dan lelaki kekar berkepala botak yang mengeroyok Panggali masih berdiri pucat di belakang sosok tubuh itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," lirih dan agak bergetar ucapan lelaki tinggi kurus yang bernama Jumena itu. Karena, saat itu hatinya masih diliputi ketegangan.
Sedangkan sosok berjubah putih itu mengangguk ramah sambil memamerkan senyum lembut.
"Siapa kau, Kisanak..? Tenaga dalammu hebat sekali...," seru Panggali merasa terkejut bukan main merasakan kekuatan tenaga dalam pemuda berjubah putih itu. "Namaku, Panji. Orang-orang rimba persilatan menjuluki ku sebagai Pendekar Naga Putih. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu dan mengapa kau seperti sengaja mencari keributan?" sahut Panji yang balik melontarkan pertanyaan. Nada suara pemuda itu sama sekali tidak mengandung permusuhan. Bahkan terkesan bersahabat.
"Pendekar Naga Putih... Pendekar Naga Putih...," gumam Panggali mencoba mengingat-ingat. Jelas, sepertinya ia pernah mendengar julukan itu sebelumnya.
Pemuda tampan berjubah putih yang memang Pendekar Naga Putih itu memandang Panggali dengan kening berkerut. Tadi julukannya sengaja diperkenalkan, sebab sempat didengar tadi kalau pemuda bertubuh tegap itu seperti sengaja hendak mencari orang yang menggunakan julukan pendekar. Maka, dirinya diperkenalkan untuk melihat tanggapan pemuda gagah itu.
"Ahhh..., aku ingat sekarang. Guru pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang telah mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini. Dan pendekar muda itu berjuluk Pendekar Naga Putih, Kaukah pendekar muda itu, Kisanak..?" tanya Panggali dengan suara penuh harap. Bahkan tatapan sepasang matanya pun jelas menggambarkan harapan.
"Seingatku, julukan Pendekar Naga Putih adalah pemberian orang-orang rimba persilatan. Sedangkan tentang terguncangnya dunia persilatan karena kehadiranku, sama sekali tidak kuketahui. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu," sahut Panji, seolah-olah merasa menyesal karena tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan.
"Aku tidak peduli semua itu. Yang kubutuhkan adalah seorang pendekar sakti. Karena, aku sangat membutuhkan bantuannya. Kulihat kepandaianmu tadi sangat hebat. Tapi, aku belum begitu yakin kalau belum mencoba secara sungguh-sungguh. Sekarang bersiaplah! Jaga dirimu baik-baik kalau tidak ingin celaka atau tewas karenanya," tegas Panggali tanpa senyum.
Dan begitu ucapan pemuda itu selesai, kedua telapak kakinya bergeser membentuk kuda-kuda seperti menunggang kuda. Gerakan itu dibarengi putaran sepasang tangannya kemudian bergerak turun naik seiring langkah kakinya.
Bettt! Bettt!
Panji sempat tertegun melihat akibat yang ditimbulkan gerakan lawan. Hembusan angin keras yang menerpa tubuhnya, membuat pemuda tampan ini sadar akan bahayanya serangan itu. "Kisanak! Jangan gegabah! Perbuatanmu ini sangat berbahaya...!" seru Panji mengingatkan.
Tapi karena Pendekar Naga Putih melihat pemuda itu seperti tak peduli, maka napasnya disedot dalam-dalam. Dikerahkannya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk menghadapi gempuran yang sudah pasti sangat dahsyat itu.
Wusss!
Hawa dingin menusuk tulang langsung menyebar berbarengan dengan terbentuknya lapi- san kabut putih bersinar yang menyelimuti seluruh tubuh pemuda tampan itu.
"Sambutlah pukulanku! Hiaaattt..!"
Diawali teriakan mengguntur, tubuh Panggali langsung melesat disertai dorongan kedua telapak tangannya dalam jurus 'Pukulan Memecah Badai' yang konon kedahsyatannya tidak diragukan.
Sadar betapa berbahayanya serangan lawan, maka tubuh Panji pun segera melesat memapak dengan dorongan sepasang telapak tangan.
"Hiattt..!"
Blarrr...!
Ledakan keras terdengar menggetarkan udara di sekitar arena pertarungan, disusul berpentalnya tubuh Panggali diiringi suara jerit kengeriannya.
Brugkh!
Kembali suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh Panggali terbanting ke atas tanah. Pemuda bertubuh tegap itu menggigil bagaikan terserang demam hebat. Bahkan di sekeliling tubuhnya, muncul kabut putih yang menandakan kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah merasuk ke dalam tubuhnya.
Sedangkan Panji sendiri, tetap tak bergeming di tempatnya. Walaupun tenaga dalamnya tidak dikerahkan sampai ke puncak, namun sudah cukup untuk menghadapi gempuran Panggali. Hal itu tentu saja sudah diketahuinya sejak semula. Entah apa yang akan dialami Panggali apabila Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga sepenuhnya.
Melihat keadaan lawan, Panji pun bergegas menghampiri. Pemuda itu membungkukkan tubuh, memeriksa tubuh Panggali. Menilik dari wajah Pendekar Naga Putih yang tenang setelah memeriksa tubuh lawannya, dapat ditebak kalau nyawa pemuda itu masih bisa diselamatkan.
Panji menjejalkan sebutir obat pulung berwarna merah setelah memijat dan menghapus darah di sudut bibir pemuda itu. Semua perbuatannya dilakukan cepat dan penuh ketelitian. Tak berapa lama kemudian, terlihat Panggali mulai membuka kedua kelopak matanya. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat wajah Panji di dekatnya.
"Jelas, kaulah orang yang kucari-cari, Pendekar Naga Putih. Marilah kita segera pergi ke Gunung Langkeng. Di sanalah kepandaianmu dibutuhkan," ajak Panggali begitu sadar dari pingsannya.
"Sabarlah, Kisanak. Pulihkan dulu kesehatanmu. Setelah itu, barulah kita bicarakan masalah yang tengah kau hadapi itu," sergah Panji. Bibir Pendekar Naga Putih tersenyum melihat semangat dan ketabahan pemuda gagah itu. Lalu, Panji bangkit dan melangkah mendekati Kenanga yang tengah menantinya.
Setelah Panggali menyelesaikan semadi dan menceritakan persoalannya, maka Panji dan Kenanga mengikuti pemuda gagah itu. Tujuan mereka adalah Gunung Langkeng, tempat kediaman Eyang Sanca Wisesa.
"Tolong.... Tolong...!"
Seorang gadis manis bertubuh ramping dan berpakaian awut-awutan berlari cepat sambil berteriak-teriak. Tidak dipedulikan lagi telapak kakinya yang telanjang sehingga menginjak duri tajam. Wajahnya yang bulat telur itu, tampak pucat dan basah oleh air mata.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Manis. Percuma saja berteriak-teriak. Tempat ini sangat jauh dari perumahan penduduk," ujar seorang pemuda tampan bertelanjang dada yang mengejarnya sambil tertawa gembira.
Gadis manis itu terus saja berlari tanpa mempedulikan arah. Yang terpikir hanyalah melarikan diri sejauh-jauhnya untuk menghindari pemuda tampan di belakangnya. Pakaian yang dikenakannya pun sudah semakin tak karuan. Banyak sobekan di sana-sini akibat tersangkut ranting- ranting pohon.
Sedangkan pemuda tampan yang mengejarnya seperti sengaja mempermainkan gadis itu. Padahal kalau dilihat dari caranya berlari, jelas kepandaian silatnya tidak rendah. Sekilas saja, sudah dapat ditebak kalau pemuda itu tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan pengejaran. Sehingga, pemuda itu tak ubahnya bagai seekor harimau yang mempermainkan buruannya. Tengah asyiknya pemuda tampan itu melakukan pengejaran sambil tertawa-tawa gembira, tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan yang langsung menyambar tubuh gadis itu.
Weeesss! Tappp!
"Auw…!" Terdengar pekik tertahan dari gadis manis itu ketika merasakan tubuhnya ditangkap dan langsung dibawa terbang. Sekejap kemudian, sosok bayangan itu pun lenyap bersama gadis dalam pondongannya. Keduanya menghilang begitu saja, di balik semak belukar yang tumbuh rapat.
Bukan main terkejutnya pemuda tampan itu ketika melihat buruannya lenyap disambar sosok tubuh yang memiliki gerakan cepat bagai kilat, sambil bertolak pinggang, pemuda itu berdiri angkuh merayapi sekitarnya.
"Hei! Manusia pengecut! Tunjukkan dirimu kalau benar-benar jantan! Jangan bisanya hanya main sembunyi seperti maling!" bentak pemuda tampan itu mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, gema suaranya terdengar jauh hingga belasan tombak
"Hm Siapa yang pengecut, Kuncara? Dan siapa pula maling itu?" terdengar ejekan yang berasal dari belakang pemuda tampan bernama Kuncara itu.
Pemuda tampan bertelanjang baju itu memang Kuncara. Rupanya, nafsu iblis yang dibangkitkan Nyai Kalawirang sudah semakin menggila. Sehingga, pemuda itu mulai tidak puas hanya dengan menggauli Nyai Kalawirang. Maka diculiknya gadis-gadis desa untuk dijadikan pemuas nafsu iblisnya.
"Oh! Rupanya kau, Panggali. Sedang apa kau di sini, Murid Murtad?" ejek Kuncara. Sama sekali dia tidak merasa gentar melihat kedatangan Panggali. Sebab, ia yakin dengan kepandaian yang dimilikinya sekarang. Jadi jelas, Panggali dengan mudah akan dapat ditundukkannya. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya demikian sombong.
"Setan! Kaulah murid murtad yang durhaka itu, Kuncara. Kau bukan saja telah memfitnah-ku dengan menggunakan Nyai Kalawirang! Tapi yang lebih keji lagi, kau tega menyiksa guru hanya karena tubuh molek wanita iblis itu! Kau benar-benar manusia iblis! Sepantasnya, kau tidak hidup bersama manusia! Lebih tepat kau bersama-sama iblis-iblis Hutan Langkeng!" bentak Panggali.
Pemuda itu rupanya sudah mengunjungi Gunung Langkeng dan menemukan tubuh sengsara gurunya. Dan memang, Eyang Sanca Wisesa masih bisa diselamatkan karena Panggali, Pendekar Naga Putih, dan Kenanga cepat datang. Kemudian Panji mengobatinya, agar darah yang keluar dari tubuh tua itu berhenti. Dan ketika Eyang Sanca Wisesa sadar, ia menyuruh Panggali untuk mencari Kuncara, saudara seperguruannya yang murtad itu.
Kuncara sempat bergetar hatinya ketika mendengar ucapan Panggali. Jelas, saudara seperguruannya itu telah kembali ke puncak dan menemukan tubuh gurunya yang telah cacat. Kuncara pun sadar, kalau Eyang Wisesa lah yang telah menyuruh pemuda itu untuk mencarinya. Namun, semua perasaan itu kembali ditekannya. Dan sikapnya pun kembali sombong.
"Hm.... Rupanya kau sampai pula ke tempat ini, Murid Emas?" kembali Kuncara mengejek disertai senyum liciknya.
"Setelah beberapa hari mengikuti jejakmu, aku singgah di desa yang kehilangan gadis-gadis dan pemuda-pemuda tampan. Sungguh tak kusangka kalau itu semua adalah hasil perbuatan biadabmu, Kuncara. Kau benar-benar telah berubah menjadi iblis! Tak ada lagi hukuman yang lebih tepat untukmu, selain kematian!" bentak Panggali.
Semula Panggali hanya menduga bahwa Kuncara hanya terbujuk rayuan Nyai Kalawirang saja. Tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Panggali benar-benar tidak mengerti. Mengapa Kuncara telah berubah sedemikian jauhnya. Sedikit pun tidak terlihat bekas-bekas hasil didikan Eyang Sanca Wisesa.
"Tidak usah berpura-pura suci, Panggali. Bukankah kau juga pernah menikmati kehangatan tubuh Nyai Kalawirang? Dan kalau sekarang ingin menikmati gadis manis milikku itu, tidak usah malu-malu. Ambillah. Aku masih bisa mencari yang lain," kata Kuncara mencoba mengingatkan tentang perbuatan Panggali dengan Nyai Kalawirang.
"Dasar manusia kotor! Jangan dikira aku tidak tahu, mengapa aku sampai berbuat begitu. Semua itu adalah hasil permainan sihir Singa Gurun Setan. Guru telah memberitahukan kepadaku. Jadi jelas, perbuatanku itu sama sekali bukan karena kemauanku sendiri. Dan guru pun telah menyadari kekeliruannya," sahut Panggali. Rupanya pemuda itu telah mendapat penjelasan dari Eyang Sanca Wisesa. Itu semua diceritakan gurunya setelah sembuh berkat perawatan Pendekar Naga Putih yang datang bersamanya.
"Jadi, apa maumu sekarang?" tantang Kuncara dengan lagak sangat sombong.
"Menghukum mu! Aku akan membawamu hidup atau mati ke hadapan Eyang Sanca Wisesa! Bersiaplah...!" geram Panggali. Pemuda itu segera mencabut keluar pedang yang terselip di pinggangnya. Sengaja senjatanya digunakan, karena Kuncara telah benar-benar lihai.
"Hm.... Pantas nyalimu menjadi besar. Rupanya kau membawa teman," ejek Kuncara begitu melihat tiga sosok tubuh di belakang Panggali. Salah satu di antaranya adalah gadis buruannya ta-di. Sepasang mata pemuda itu pun sempat menyipit ketika melihat seraut wajah yang amat jelita di antara ketiga orang itu.
"Ha ha ha Ada apa ribut-ribut, Kuncara? Hei? Rupanya kita kedatangan daging-daging segar hari ini."
Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang menggema. Belum lagi gema suara serak itu hilang, terdengar suara berdebum mengiringi kemunculan seorang kakek raksasa bermuka singa. Siapa lagi kalau bukan Singa Gurun Setan si pemakan daging manusia. Rupanya, penciumannya yang sudah seperti binatang buas itu telah membaui daging-daging segar. Sehingga, ia pun mendatangi sumber bau itu.
"Hik hik hik... Jangan serakah, Kakek Rakus! Ingat! Dua orang anak tampan itu harus menemaniku dulu sebelum dimasukkan ke dalam perut buncitmu," ujar suara merdu sosok tubuh ramping yang menyusuli kedatangan kakek raksasa itu. Begitu tiba, sepasang mata wanita cantik berhati iblis itu merayapi wajah Panji yang berada di belakang Panggali. Jelas, Nyai Kalawirang merasa tertarik dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Pendekar Naga Putih.... Merekalah dedengkot yang menyebabkan semua kejadian di perguruanku. Keduanya memiliki kepandaian sangat tinggi. Kuharap berhati-hatilah untuk menghadapinya," seru Panggali.
Pemuda itu sengaja mengeraskan suaranya ketika memanggil Pendekar Naga Putih. Hal itu dimaksudkan untuk membuat gentar hati kedua orang tokoh sesat itu. Setelah berkata demikian, Panggali kembali menoleh ke arah Kuncara. Pedang terhunus di tangannya sudah berputar membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
"Mari kita selesaikan urusan kita, Kuncara...!" dengus Panggali. Pemuda itu segera bergerak mendekati saudara seperguruannya yang murtad. Dan tanpa basa-basi lagi dia langsung melompat menerjang Kuncara.
"Hiaaattt..!"
Wukkk! Wukkk!
Melihat Panggali sudah mulai membuka serangan, maka Kuncara pun tidak tinggal diam. Tubuhnya melesat memapak serangan lawan. Sehingga dalam waktu yang singkat saja, keduanya sudah terlibat sebuah pertarungan hidup atau mati.
Sementara itu, Singa Gurun Setan dan Nyai Kalawirang tengah menatap tajam ke arah Panji. Dipandanginya pemuda tampan berjubah putih itu dari atas ke bawah.
"Anak muda! Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih," tanya Singa Gurun Setan seperti tak percaya. Meskipun kakek bertubuh raksasa itu telah lama mendengar sepak terjang Pendekar Naga Putih, namun sama sekali tidak menyangka kalau orangnya ternyata masih demikian muda. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa ragu dihatinya.
"Benar! Akulah yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Apakah penampilanku mengecewakanmu?" tanya Panji seraya tersenyum tenang. Kemudian, pemuda itu melangkah maju setelah terlebih dahulu membisikkan sesuatu ke telinga kekasihnya.
"Awasi pertarungan itu. Kulihat, kepandaian Panggali masih di bawah kepandaian Kuncara," bisik Panji sebagai isyarat agar kekasihnya bersiap-siap turun tangan apabila Panggali terdesak. Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu setengah tombak dari kedua orang tokoh sesat itu. Sikapnya terlihat tetap tenang, dengan wajah terhias senyum.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, Singa Gurun Setan. Melihat dari sikapnya yang tenang, jelas pemuda ini berisi. Kita harus menyingkirkannya sebelum membuat susah," ujar Nyai Kalawirang yang mulai percaya akan ucapan Panggali tentang Pendekar Naga Putih.
"Benar! Tidak peduli siapa pun dirimu, Anak Muda. Yang jelas, hari ini kau akan menjadi santapanku!" ancam Singa Gurun Setan menggeram bagai seekor singajantan. Sepasang tangan kakek bertubuh raksasa itu terkembang membentuk cakar. Dan itu pun masih dibarengi tatapan matanya yang mengandung kekuatan sihir.
Jangan dipandang rendah tatapan sepasang mata kakek raksasa itu. Akibatnya, lawan yang tidak terlatih kuat tenaga dalamnya akan terpaku hanya karena pandangan tajam menusuk jantung itu. Tapi, yang kali ini dihadapi Singa Gurun Setan adalah Pendekar Naga Putih. Dan pemuda itu telah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai jenis ilmu sihir. Sekali pandang saja, Panji langsung dapat menilai kalau kepandaian sihir yang dimiliki lawannya ini terhitung masih rendah tingkatannya. Sehingga untuk menghadapinya, ia tidak perlu menggunakan Pedang Naga Langit yang tergantung dipunggung.
"Heeeaaa...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, Singa Gurun Setan mulai membuka serangan. Tubuhnya yang tinggi besar itu meluruk disertai sambaran kuku-kukunya yang mengandung racun ganas.
Melihat lawan sudah mulai menyerang, Panji bergegas mengerahkan tenaga dalamnya. Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyebar mengelilingi tubuhnya. Munculnya lapisan kabut yang melindungi sekujur tubuh Panji, ternyata disertai tiupan hawa dingin menusuk tulang.
Bukan main terperanjatnya Nyai Kalawirang menyaksikan lapisan kabut dan hawa dingin menusuk itu. Sadar kalau pemuda yang menjadi lawannya memang benar-benar Pendekar Naga Putih, maka wanita itu pun segera melesat membantu kawannya.
"Haittt..!"
Sambil melompat, wanita cantik berhati iblis itu langsung mengeluarkan senjata ampuhnya. Cambuk mata sembilan di tangannya meluncur mematuk-matuk ke sembilan jalan darah kematian di tubuh lawannya. Benar-benar sebuah serangan keji yang berbahaya.
Tapi, Pendekar Naga Putih pun sudah tidak akan bersikap lunak lagi. Setelah mendengar sepak terjang kedua orang itu dari Panggali, Panji berniat melenyapkan kedua tokoh sesat kawakan yang sudah tidak mungkin disadarkan kembali. Terbukti, perbuatan balas dendam mereka terhadap Eyang Sanca Wisesa yang di luar batas perikemanusiaan. Padahal kakek itu pernah mengampuni mereka dengan harapan agar dapat sadar. Tapi kenyataannya, mereka semakin ganas dan brutal. Maka, Panji pun tidak mempunyai pilihan lagi selain melenyapkan mereka.
Itulah sebabnya, mengapa begitu memapak serangan kedua orang lawannya, Pendekar Naga Putih langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Padahal, biasanya ilmu andalan itu hanya digunakan apabila sudah sangat terdesak. Tak lain, karena ingin mempersingkat pertarungan, Panji langsung mengerahkannya.
Tentu saja gempuran yang dilakukan pemuda itu hebat bukan kepalang. Sambaran-sambaran cakar naganya yang diiringi hawa dingin menusuk, membuat kedua orang lawannya bagaikan dikelilingi benteng salju. Apalagi serangan-serangan yang dilancarkan mereka, selalu saja terpental balik akibat lapisan kabut yang mengelilingi tubuh pemuda berjubah putih itu. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati kedua tokoh sesat itu melihat kehebatan lawannya kali ini.
"Yeaaattt..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh, Singa Gurun Setan yang merasa penasaran tiba-tiba memekik nyaring. Sepasang tangannya yang besar dan berbulu lebat itu menyambar cepat menimbulkan deru angin keras.
Wuttt! Wukkk!
Sepasang cakar beracun kakek raksasa itu meluncur deras mengancam dada dan lambung Pendekar Naga Putih. Melihat kecepatan dan kekuatannya, jelas kalau Singa Gurun Setan telah mengeluarkan segenap tenaga dalamnya. Tentu saja serangan itu tidak bisa dibuat main-main. Belum lagi sambaran maut itu tiba, Nyai Kalawirang membarenginya dengan lecutan cambuk mata sembilan yang meledak-ledak menulikan telinga. Kesembilan mata cambuk wanita genit itu langsung meluncur ke titik-titik terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sungguh berbahaya keadaan pemuda itu.
Namun Pendekar Naga Putih yang sekarang, bukanlah pendekar hijau. Puluhan pengalaman bertarung yang pernah dihadapinya, telah membuat perhitungan pemuda itu semakin masak dan teliti. Maka ketika serangan dari berbagai arah itu datang mengancam tubuhnya, Pendekar Naga Putih segera menarik rapat kedua telapak kakinya dan merendahkan tubuh dengan menekuk lutut. Sepasang tangannya yang semula merangkap di depan dada, dsentakkan ke kiri kanan disertai luncuran tubuhnya.
"Heaaat...!"
Hebat sekali jurus 'Naga Sakti Naik ke Langit' yang dipancarkan Pendekar Naga Putih. Serangkum hawa dingin yang amat kuat bergelombang mengiringi luncuran tubuhnya.
Bresss...!
"Aaakh...!" Terdengar jerit kesakitan yang disusul terpentalnya tubuh kedua orang lawannya. Hantaman sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang mengibas, ternyata mampu membuat mereka tak sanggup bertahan. Memang hebat jurus yang dikerahkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh kedua orang lawannya bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin.
Tubuh Singa Gurun Setan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk keras. Sedangkan Nyai Kalawirang masih dapat menyelamatkan dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara. Itu disebabkan, wanita cantik itu menggunakan senjata. Sehingga, tangannya tidak langsung bersentuhan dengan lengan Pendekar Naga Putih. Maka, akibatnya pun tidak terlalu parah.
Lain halnya dengan Singa Gurun Setan. Karena menyerang dengan menggunakan cakar, maka akibat yang dideritanya lebih parah daripada Nyai Kalawirang. Sehingga, keseimbangan tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi. Tapi, Pendekar Naga Putih rupanya tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Singa Gurun Setan yang baru saja berdiri tegak itu, kembali diterjangnya dengan dua kali sambaran cakarnya.
Bukan main terkejutnya hati kakek bertubuh raksasa. Wajahnya yang menyeramkan langsung pucat begitu melihat bahaya maut yang datang mengancam. Meskipun telah berusaha mengelak, namun sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang bagai ular hidup itu tetap saja menghajar telak tubuhnya.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!" Raungan panjang menggema bagai hendak mengguncangkan hutan, disusul melintirnya tubuh raksasa itu. Seketika semburan darah segar keluar dari mulutnya. Bahkan juga terdapat luka menganga di tubuhnya. Bumi bagaikan berguncang ketika tubuh raksasa itu ambruk dengan kulit tubuh membiru. Singa Gurun Setan langsung tewas dalam keadaan beku.
Nyai Kalawirang menjerit bagai binatang luka. Kematian kawan dan juga kekasihnya itu, membuatnya nekat membokong Panji dengan lecutan cambuk.
Ctar! Jtarrr!
Cambuk mata sembilan di tangan Nyai Kalawirang meledak-ledak dahsyat menimbulkan gumpalan-gumpalan asap hitam. Kesembilan ujung cambuk itu meluncur deras mengancam ba- gian belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tidak tahu akan datangnya ancaman maut itu. Namun begitu lecutan ujung-ujung cambuk itu siap merejam tubuhnya, tahu-tahu saja tubuhnya melenting tinggi melewati ujung-ujung cambuk lawan.
"Heyattt..!"
Dibarengi pekik yang menggetarkan jantung, tubuh Panji berputar di udara. Pendekar Naga Putih langsung meluncur deras, sambil mengerahkan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Dapat dibayangkan, betapa ngeri hati Nyai Kaliwirang ketika melihat tubuh lawan meluncur datang disertai hawa dingin yang membekukan urat-urat tubuhnya. Akibatnya, wanita cantik yang selama hidupnya tidak mengenal arti kata takut itu menjadi pucat wajahnya. Saat itu, bukan lagi tubuh Pendekar Naga putih yang dilihatnya. Melainkan Malaikat Pencabut Nyawa yang tengah menghampirinya. Maka....
Breshhh!
"Wuaaa...!" Nyai Kalawirang menjerit setinggi langit ketika sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih telak menghantam punggungnya. Tubuh molek itu terlempar deras bagai selembar daun kering.
"Hegkhhh...!" Begitu terbanting di atas tanah berumput, tubuh wanita cantik yang semasa hidupnya sangat menggairahkan itu berkelojotan bagai ayam disembelih. Sesaat kemudian, Nyai Kalawirang pun tewas dalam keadaan tubuh yang dingin dan beku.
"Hhh..." Panji menarik napas melihat mayat kedua orang lawannya itu. Terselip sedikit rasa sesal di hatinya, karena terpaksa harus membunuh kedua orang lawannya. Namun, kekejaman kedua orang tokoh sesat itu memang sudah melewati takaran. Tak lama kemudian, pemuda itu pun melangkahkan kakinya meninggalkan mayat kedua orang lawannya. Sementara itu, pertarungan yang berlangsung di tempat lain, sudah pula mencapai puncaknya.
"Haaattt..!" Kuncara yang sudah semakin mendesak lawan, tiba-tiba berseru nyaring sambil melompat tinggi. Kedua kakinya bergerak cepat melakukan serangkaian tendangan lewat jurus 'Tendangan Angin Topan' yang telah dipadukan dengan gerakan aneh.
Desss! Buggg! Diggg!
"Aaakhhh...!" Tiga kali tendangan yang dilakukan Kuncara telak menghantam dada dan perut Panggali. Tubuh pemuda tegap itu kontan terjengkang keras ke belakang. Untunglah pada saat Kuncara ingin menyusuli serangannya, sesosok bayangan hijau berkelebat cepat memapak. Sehingga, tendangan yang dimaksudkan untuk menghabisi nyawa Panggali bertumbukkan dengan sepasang lengan berjari-jari lentik.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Tubuh keduanya yang tengah melambung di udara itu langsung terpental balik. Namun, masing-masing ternyata mampu mengimbangi daya lontarnya. Sehingga, dengan beberapa kali putaran di udara satu sama lain dapat mendarat selamat.
Sosok berpakaian hijau yang tak lain dari Kenanga menahan langkahnya ketika sebuah tepukan halus menyentuh bahu kanan. Wanita jelita itu menarik napas lega ketika melihat orang yang menepuk bahunya.
"Kakang...," desah dara jelita itu tersenyum manis ketika melihat kekasihnya selamat.
Pemuda yang tak lain Panji itu mengangguk sebagai isyarat agar Kenanga mundur. Sebab sekali lihat saja, Pendekar Naga Putih dapat menilai kepandaian Kuncara. "Kuncara, sadarlah. Kembalilah kepada gurumu. Tinggalkan semua kesesatan yang selama ini kau lakukan. Aku yakin, gurumu pasti akan memberi pengampunan," bujuk Panji mencoba menyadarkan Kuncara dari kesesatannya.
"Huh! Apakah kau kira setelah mampu mengalahkan kedua orang bodoh itu dirimu kau anggap paling hebat! Hm.... Jangan mimpi, Kisanak! Meskipun kau memiliki delapan tangan, namun aku tidak akan gentar! Aku siap mengadu nyawa denganmu!" bentak Kuncara dengan wajah merah padam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu melipat kedua tangannya di depan dada. Dihembuskannya napas perlahan-lahan sambil menggerakkan kedua tangan ke arah berlawanan. Jelas, pemuda itu tidak berhasil dibujuk Panji.
"Sadarlah, Kuncara. Percuma kau..."
"Jangan banyak bacot! Sambutlah pukulanku...! Yeaattt..!" Sambil berteriak memotong ucapan Panji, Kuncara langsung melompat disertai pukulan-pukulan maut yang berbahaya.
Bettt! Bettt!
Merasa percuma mengajak Kuncara kembali ke jalan yang benar, Pendekar Naga Putih tidak lagi banyak cakap. Cepat-cepat tubuhnya bergeser ke belakang menghindari ancaman pukulan Kuncara yang bertubi-tubi. Sampai lima jurus pemuda itu menyerang, Panji belum juga melancarkan serangan balasan. Sepertinya, ia masih menunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Yeaaa. !" Bagaikan orang kemasukan setan, Kuncara terus saja mengumbar pukulan-pukulan yang diselingi tendangan maut. Namun, sampai sejauh itu, Panji tetap saja mengelak sambil sesekali menangkis jika terpaksa. Pada saat pertarungan memasuki jurus ketiga puluh dua, Panji yang melihat adanya kesempatan baik langsung mengirim tendangan maut ke perut Kuncara.
Zebbb!
Ternyata Kuncara cukup awas. Tendangan lawan dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh ke samping kanan. Tapi sayang, kegesitan Kuncara masih belum dapat mengimbangi Pendekar Naga Putih. Tahu-tahu saja, tebasan telapak tangan miring pemuda itu telah singgah di punggung Kuncara.
Desss!
"Higkhhh...!" Hantaman telak itu kontan membuat tubuh Kuncara terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tapi sebelum pemuda itu sempat memperbaiki kuda-kudanya, kembali sebuah tamparan telak telah membuatnya tersungkur ke atas tanah.
Brukkk!
Kuncara menggeliat menahan rasa sakit pada dadanya. Hantaman telapak tangan Pende-ar Naga Putih terasa bagaikan merontokkan isi dadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, Kuncara hanya dapat mengerang sambil menggeliat-geliat menahan rasa sakit dan nyeri yang menusuk-nusuk dadanya.
"Sadarlah, Kuncara. Petualanganmu sudah berakhir. Kau masih sangat muda. Dan masih banyak yang dapat dilakukan untuk menebus kesalahanmu itu," Pendekar Naga Putih yang telah berada di dekat tubuh Kuncara kembali mencoba membujuknya.
"Orang sepertinya tidak seharusnya dibiarkan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan marah dari arah belakang Pendekar Naga Putih.
Tapi pada saat Pendekar Naga Putih menolehkan kepalanya, tahu-tahu saja Panggali berkelebat sambil mengayunkan pedangnya.
"Yeaaa..!"
Crakkk...!
Seketika itu juga, kepala Kuncara menggelinding terpisah dari tubuhnya. Panggali berdiri tegak dengan pedang yang masih berlumuran darah segar.
"Semoga Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahanmu, Kuncara," gumam Panggali, serak. Sebab, biar bagaimanapun Kuncara adalah saudara seperguruannya yang hidup bersamanya sejak kecil. Sebenci-bencinya terhadap Kuncara, tapi ketika melihat mayat saudara seperguruannya itu, hatinya tersentuh juga.
"Sudahlah, Panggali. Lebih baik kuburkan mayat-mayat ini. Setelah itu, kembalilah ke puncak Gunung Langkeng. Kasihan gurumu yang cacat itu. Kau harus menemaninya," hibur Panji sambil menepuk perlahan bahu Panggali.
Tanpa banyak cakap lagi, Panggali dan Pendekar Naga Putih segera menguburkan ketiga mayat lawan-lawannya. Panggali masih sempat termenung sejenak di samping makam Kuncara yang masih basah. Tak berapa lama kemudian, Panggali bangkit dan mendekati Pendekar Naga Putih yang saat itu sudah bersama Kenanga dan gadis desa yang hampir menjadi korban kebiadaban Kuncara.
"Panggali. Antarkanlah gadis itu kembali ke desanya. Aku pergi dulu...," pamit Pendekar Naga Putih.
Sebelum Panggali sempat mengucapkan rasa terima kasihnya, tiba-tiba bayangan kedua orang pendekar itu sudah lenyap ditelan keremangan hutan.
"Mari kuantarkan pulang, Nisanak. Di manakah desa tempat tinggalmu?" tanya Panggali menatap wajah manis di depannya. Ada getar aneh menyelinap di relung hati pemuda itu ketika melihat wajah gadis di depannya.
"Tidak ada gunanya kembali ke desa kelahiranku. Semua keluargaku sudah dibunuh orang yang bernama Kuncara itu. Kalau Kakang Panggali tidak keberatan, biarlah aku ikut bersamamu," pinta gadis desa yang manis itu, polos.
"Tapi, aku hanya orang gunung. Lagi pula, disana sangat sepi. Kau pasti tidak akan betah." Meskipun bibirnya berkata demikian, namun hati kecil Panggali ingin mendengar gadis manis itu bersikeras ikut dengannya. Ditunggunya jawaban yang keluar dari bibir merah basah itu dengan hati berdebar tegang.
"Biarlah! Asalkan, Kakang tidak keberatan," sahut gadis itu tersipu malu.
Merasa yakin kalau gadis itu memiliki perasaan yang sama dengannya, maka Panggali mengulur tangan menggandeng bahu tubuh ramping di sampingnya. Hatinya berdebar gembira ketika tidak merasakan adanya penolakan. Senja pun jatuh, meneduhi hati kedua insan yang kini sudah saling cinta itu.
Sayangnya, suasana pagi yang hening itu dirusak oleh bentakan-bentakan nyaring yang menggetarkan lembah. Gumpalan-gumpalan kabut yang menyelimuti puncak Gunung Langkeng seketika buyar akibat sambaran angin keras yang menerpanya. Di atas puncak gunung itu ternyata dua sosok tubuh tengah bertarung sengit. Jelas sekali kalau kedua sosok tubuh itu berusaha saling menjatuhkan.
"Sambutlah 'Pukulan Memecah Badaiku, Panggali...! Heaaattt..!"
Dibarengi bentakan nyaring yang memekakkan telinga, tubuh orang itu meluruk maju disertai putaran kedua tangannya.
Wuttt! Wuttt!
Angin keras bertiup kencang akibat putaran sepanjang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Dari putaran tangan yang demikian cepat dan hampir tidak terlihat mata, terlontar pukulan-pukulan maut yang sangat berbahaya.
Kehebatan ilmu 'Pukulan Memecah Badai', memang tidak bisa dianggap enteng. Jangankan terkena pukulan. Bahkan anginnya saja, sudah dapat membuat roboh pohon sepelukan orang dewasa. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan yang dilakukan orangitu. Namun, lelaki muda berusia sekitar lima belas tahun yang dipanggil Panggali tidak terlihat gentar sedikit pun!
Melihat datangnya sambaran pukulan yang membuat rambut berkibar, tubuhnya segera digeser doyong ke kanan. Gerakannya juga diikuti langkah kaki kanan yang terayun berputar dan membuat lompatan kecil. Sambil melompat, kaki kirinya terayun menggunakan jurus 'Tendangan Angin Topan'.
"Awas kepalamu, Kuncara!" seru Panggali mengingatkan. Mengetahui serangannya tidak membawa hasil, lelaki muda yang berusia sebaya Panggali itu menarik pulang serangannya. Dan itu pun masih dibarengi liukan tubuhnya, menggunakan kuda-kuda rendah yang tertumpu pada kaki kanan. Maka, tendangan Panggali pun hanya menyambar angin kosong.
Kuncara yang semula berniat mengirimkan serangan balasan, bergegas melempar tubuhnya jauh ke belakang. Dan memang, jurus 'Tendangan Angin Topan' yang dimainkan Panggali memang hebat sekali. Sepasang kakinya terus berputar melakukan serangkaian tendangan yang menderu-deru. Seolah-olah, kedua kakinya tidak pernah menyentuh permukaan tanah.
Benar-benar sebuah jurus tendangan hebat dan sesuai dengan namanya. Karena tidak juga mendapat kesempatan balas menyerang, kesabaran Kuncara pun hilang. Dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya, tangan kanan pemuda itu terangkat untuk menangkis tendangan yang mengancam batang lehernya. Dan....
Wuttt! Plakkk!
"Uhhh...!" Kuncara mengeluh pendek. Tangkisan itu rupanya telah membuatnya cukup menderita kerugian. Keadaannya yang tidak menguntungkan, membuat tubuhnya terdorong hingga setengah tombak. Dan sebelum kuda-kudanya sempat terkuasai, sebuah tendangan keras telah membuat lelaki muda berwajah keras itu terjungkal ke belakang.
Buggg!
"Hugkh...!" Akibat tendangan keras itu, Kuncara terlempar bergulingan sampai tiga tombak jauhnya.
"Kuncara...!" Panggali berlari menghambur ke arah tubuh Kuncara yang tergeletak lemah.
"Kau.. tidak apa-apa, Kuncara...?" tanya Panggali, cemas. Cepat tubuhnya membungkuk, dan memeriksa tubuh Kuncara.
"Tidak perlu khawatir, Panggali. Meskipun tendanganmu tadi cukup keras, namun tidak akan membuatnya terluka parah," tiba-tiba saja seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun telah berdiri di belakang Panggali.
"Eyang...," sapa Panggali, begitu mengetahui kakek yang berdiri di belakangnya. Cepat pemuda itu menjatuhkan diri, berlutut di depan kakek yang tersenyum lembut sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan berwarna putih.
"Eyang...!" Kuncara yang semula rebah itu pun, langsung bangkit saat melihat kedatangan gurunya. Kemudian, ia pun berlutut di samping Panggali.
"Bagaimana, Kuncara...?" tanya kakek itu seraya tersenyum lembut sambil mengusap rambut kedua orang muridnya.
"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya masih tersisa sedikit rasa sesak. Untunglah tendangan itu tidak terlalu keras. Kalau saja Panggali menambah sedikit tenaganya, mungkin aku akan mengalami luka parah," sahut Kuncara sambil menyeringai karena rasa nyeri yang mengganggu pernafasannya.
"Hm.„. Coba kulihat...," pinta kakek itu sambil membungkuk dan meraba dada Kuncara. Kening kakek itu terlihat agak berkerut ketika memeriksa luka akibat tendangan Panggali. Dipijatnya perlahan-lahan bagian dada Kuncara yang terdapat luka memar berwarna kebiruan.
"Hm..„ Untunglah tubuhmu sempat terlindungi oleh tenaga dalam. Sehingga, yang kau derita hanya luka memar saja dan tidak sampai melukai bagian dalam tubuhmu," gumam kakek itu sambil bergerak bangkit. "Teruskanlah latihan kalian. Gerakan-gerakan kalian sudah jauh lebih baik, dan tinggal menyempurnakannya saja."
Sebentar mata tua itu menatap kedua orang muridnya, kemudian kakek itu melangkah meninggalkan kedua orang remaja yang menjadi muridnya.
"Kau mendapat kemajuan yang pesat sekali, Panggali. Padahal, beberapa hari yang lalu kepandaian kita masih seimbang. Tapi hari ini, aku benar-benar tidak sanggup menandingimu. Apakah Eyang Sanca Wisesa memberi petunjuk kepadamu?" tanya Kuncara menyelidik.
Panggali yang ditatap sedemikian rupa oleh saudara seperguruannya, hanya tersenyum disertai helaan napas beratnya. Kakinya melangkah perlahan-lahan ke arah sebuah batu besar yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Setelah keduanya duduk saling berhadapan, Panggali memandangi wajah Kuncara sebelum menjawab pertanyaan.
"Hhh.... Sebenarnya kau tidak akan begitu mudah terkena tendanganku, kalau saja suka menuruti nasihat Eyang Sanca Wisesa untuk selalu menyempurnakan ilmu-ilmu yang diturunkan kepada kita. Aku memang meminta petunjuk beliau setiap kali mendapatkan ilmu baru yang tidak begitu kupahami. Nah! Kalau kau pun ingin memperoleh kemajuan sepertiku, maka rajin-rajinlah melatihnya," jelas Panggali sambil tersenyum menatapi wajah Kuncara yang terlihat menunduk.
"Jadi dengan kata lain, kau tidak suka bila aku sering bermain di dalam hutan setelah selesai berlatih? Hhh ... Aku pergi ke dalam hutan untuk menghilangkan kejenuhan, Panggali. Apakah kau tidak merasa bosan dengan kegiatan kita selama ini? Setiap hari hanya berlatih dan mengerjakan hal-hal yang membosankan! Rasanya, aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi di tempat sepi dan terpencil seperti ini," sahut Kuncara, agak kesal mendengar nasihat Panggali kepadanya.
"Bukan begitu maksudku, Kuncara. Aku sama sekali tidak merasa keberatan terhadap apa yang kau lakukan selama ini. Tapi karena kau yang meminta, maka kukatakan apa adanya. Juga, tidak baik mengungkapkan perasaan itu. Ingatlah! Betapa besar budi yang dilimpahkan Eyang Sanca Wisesa. Ia telah bersusah payah mendidik kita selama ini. Dan itu bukan untuk kepentingan beliau, melainkan untuk diri kita sendiri. Lagi pula, kalau kepandaian kita sudah cukup, eyang pasti mengizinkan kita untuk turun melihat dunia ramai. Jadi, simpanlah rasa jenuhmu itu. Dan kalau ingin cepat melihat dunia ramai, rajin-rajinlah berlatih. Dengan begitu, kau bisa lebih cepat meninggalkan tempat ini,"
Panggali menasihati. Di wajahnya terbayang kecemasan melihat betapa Kuncara hanya menunduk seperti tidak sudi mendengarkan ucapannya.
Agak lama kedua orang remaja itu diam, terbawa alam pikiran masing-masing. Suasana pun mendadak hening. Hanya desir angin lembut yang mendesau lirih menerpa tubuh mereka.
"Aku ingin menenangkan pikiran..." Mendadak saja Kuncara bangkit dari duduknya. Dan, tanpa menunggu jawaban dari Panggali, tubuhnya sudah melesat ke arah mulut hutan.
"Hhh..." Panggali hanya dapat menghela napas memandangi punggung Kuncara yang hanya tinggal baying-bayang samar. Pandangan matanya terus saja mengikuti gerak tubuh saudara seperguruannya yang semakin mendekati mulut hutan.
"Anak itu aneh sekali. Entah apa yang dicari di dalam hutan lebat itu? Dan apa lagi yang harus kukatakan pada eyang, apabila beliau menanyakannya? Selama ini, aku memang berbohong dengan mengatakan kalau Kuncara lebih suka berlatih di Hutan Langkeng. Tapi, bagaimana kalau tanpa sepengetahuanku eyang telah mengetahuinya lebih dulu? Ahhh.... Bagaimana seharusnya aku menjelaskan hal ini, agar Kuncara tidak mendapat marah dari eyang?" keluh Panggali dengan wajah bingung.
Karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, maka Panggali pun menyalurkannya melalui latihan. Selesai berlatih, dia pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Kini Panggali telah siap untuk pulang ke pondok, yang letaknya cukup jauh dari tempat latihannya.
********************
Kuncara, pemuda berusia tujuh belas tahun itu berlari menerobos semak belukar. Makin lama, langkahnya semakin jauh memasuki hutan lebat hingga tak berapa lama kemudian, ia tiba di sebuah tempat yang agak terbuka. Ke tempat itulah biasanya pemuda itu menyepi untuk menenangkan pikirannya. Begitu tiba di depan pondok yang memang sengaja dibuatnya, Kuncara tidak segera masuk. Ia duduk termenung di puncak anak tangga yang menuju pintu. Sesekali, terdengar helaan napas berat yang mewakili kegundahan hatinya.
Sepertinya, Kuncara belum bisa menerima kekalahannya tadi oleh Panggali. Menurutnya, ia tidak pernah malas berlatih. Pemuda itu tadi sengaja tidak membantah nasihat Panggali, karena tidak ingin perang mulut dengan saudara seperguruan satu-satunya. Lagi pula kalau mencoba membantah, pasti Panggali yang pandai bicara itu akan dapat mengalahkannya. Dan hal itu tentu akan lebih menyakitkan hati.
"Hhh.... Eyang memang pilih kasih. Beliau pasti memberi petunjuk-petunjuk padanya untuk dapat mengalahkan aku. Ah, eyang telah bertindak tidak adil!" desah pemuda remaja itu geram, sambil meninju telapak tangannya keras-keras.
Kuncara memang sadar kalau Panggali lebih dekat dengan gurunya. Dia sering membantu Eyang Sanca Wisesa dalam tugas sehari-hari. Tidak seperti dirinya, yang lebih suka bermain dan jarang berbicara kepada eyang gurunya. Kalaupun berbicara, pasti hanya nasihat-nasihat membosankan yang akan diterima. Itu yang paling tidak disukai. Dan itu pula yang membuatnya lebih senang menyendiri di dalam Hutan Langkeng ini.
"Yahhh.... Di sini lebih tenang dan hening. Tidak seperti berada dekat eyang ataupun Panggali. Bosan rasanya mendengar nasihat dan petuah yang hanya itu-itu saja," gumam Kuncara yang segera bangkit dan melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.
Kakinya terus melangkah sambil menengadahkan kepala memandangi alam sekelilingnya. Sesekali, ditendangnya batu-batu kecil yang berada di ujung kakinya. Langkahnya terus terayun semakin menjauhi pondok yang dibuatnya sendiri. Dan pemuda itu belum akan kembali ke tempat tinggal gurunya apabila sinar matahari masih setia menyinari permukaan bumi.
Begitulah yang diperbuatnya hampir setiap hari. Tapi, tidak jarang ia pulang dengan membawa kayu bakar untuk menyenangkan hati eyang gurunya maupun Panggali. Wajah tampan dan bersih itu kembali murung ketika teringat saudara seperguruannya. Terbayang kembali ketika tubuhnya terkena tendangan telak Panggali. Teringat akan hal itu, Kuncara langsung meraba dadanya perlahan.
"Hm.... Sudah tidak terasa sakit. Dan luka memarnya pun sudah mulai pudar. Ah! Rupanya Eyang Sanca Wisesa pandai pula mengobati. Apakah kepandaian itu diturunkan juga kepada Panggali? Hm.... Aku harus mencari keterangan tentang hal ini. Kalau ini memang benar ilmu itu diturunkan kepadanya, jelaslah kalau eyang memang pilih kasih," kembali berbagai dugaan memenuhi benak Kuncara. Wajah tampan itu tampak termenung dan terangguk-angguk.
Pikiran-pikiran jelek itu tanpa sadar telah membuat Kuncara kehilangan kepekaan dirinya. Sehingga, ia sama sekali tidak menyadari adanya sepasang mata yang menatap dari balik pepohonan. Sejenak mata bulat dan bening itu berputar merayapi sekelilingnya. Setelah memastikan kalau pemuda itu memang berada seorang diri, maka dia segera menampakkan diri.
"Ehem...! Apa yang tengah dilamunkan, Cah Bagus...? Sepertinya, kau tengah dilanda ke- resahan?" tegur suara merdu bernada genit dari pemilik mata bulat itu.
Tentu saja teguran itu membuat Kuncara terkejut setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya berbalik, langsung menatap tajam ke arah si empunya suara. Keterkejutan di mata pemuda itu berubah menjadi kekaguman yang tidak bisa disembunyikan. Sebab, orang yang menegurnya ternyata seorang wanita yang cantik molek. Apalagi, wanita cantik itu melangkah menghampiri disertai lenggak-lenggok yang sangat memikat! Pinggulnya yang seperti menari-nari itu membuat Kuncara jadi tak sadar menelan ludahnya sendiri.
"Si... siapa... kau, Nyai...?" tanya Kuncara tergagap. Pemuda remaja itu benar-benar terpesona oleh penampilan dan gaya wanita cantik yang penuh daya pikat itu. Sehingga, sepasang mata pemuda itu tak juga beralih dari pinggul padat dan berbentuk indah. Akibatnya hati Kuncara bagai melambung di awang-awang.
"Hik hik hik...! Cah Bagus, kau lupa kalau belum menjawab pertanyaanku? Tapi, itu tidak apa-apa. Aku memang suka kepadamu. Maka, biarlah pertanyaanmu itu kujawab," suara genit yang mendayu-dayu itu kembali mengusik ketenangan Kuncara.
Rasanya pemuda itu bukan tengah mendengarkan orang berbicara, melainkan seperti orang yang bernyanyi menghibur hatinya. Wanita cantik dan genit yang usianya jelas sudah tidak muda lagi itu, meneruskan langkahnya dengan gerakan memikat. Begitu tiba di depan Kuncara, tangannya terulur menyentuh kedua bahu pemuda remaja itu.
"Benarkah kau ingin tahu namaku, Cah Bagus...?" nyanyian merdu itu kembali membuat Kuncara terlena. Melihat dari cara maupun gayanya, jelas kalau wanita cantik itu sangat berpengalaman dalam menghadapi laki-laki. Maka, wajarlah kalau Kuncara hampir tidak berdaya menghadapinya.
"Beb..., benar..., Nyai...," sahut Kuncara sambil berusaha menghindari sentuhan jemari lentik wanita cantik itu. Dengan wajah yang kemerahan, pemuda remaja ini melangkah mundur. Napasnya terasa sesak, karena degup di dadanya terus memukul keras.
"Ihhh..., mengapa menghindar, Cah Bagus? Apakah kau tidak suka kepadaku? Ah! Sayang sekali! Kalau begitu, biarlah aku pergi saja...?" desah wanita cantik itu merajuk. Kemudian, dengan gerakan manja dan amat memikat, wanita cantik yang genit itu berpura-pura membalikkan tubuhnya. Dia segera melenggang meninggalkan Kuncara yang terpaku bagai patung.
"Nanti dulu..., Nyai...!" cegah Kuncara yang separuh hatinya sudah terpikat kecantikan maupun gerak-gerik wanita cantik itu. Sehingga, tanpa sadar kakinya melangkah mengejar. Kemudian, tangannya langsung terulur menyentuh bahu wanita itu.
"Hm, Kau ini bagaimana sih, Cah Bagus? Aku mendekat, kau menghindar. Tapi ketika aku hendak pergi, kau menahannya. Bagaimana ini?" ledek wanita itu, dengan lagak genit disertai senyum memikat.
Mendengar teguran itu kesadaran Kuncara kembali pulih. Tangannya segera ditarik, lalu melangkah mundur sejauh empat tindak. Selebar wajah pemuda itu kembali dironai warna merah. Apalagi ketika dalam benaknya terlintas bayangan Eyang Sanca Wisesa dan Panggali. Apa kata guru dan saudara seperguruannya, bila memergokinya berduaan dengan seorang wanita cantik di tengah hutan? Sudah pasti mereka akan menduga yang tidak-tidak.
Mengingat kedua orang itu, hati Kuncara pun menjadi tegang. Ini tidak boleh sampai diketahui Eyang Sanca Wisesa atau Panggali. Satu-satunya jalan, wanita genit itu harus diusir pergi sebelum salah satu dari mereka ada yang memergokinya. Berpikir demikian, Kuncara pun menatap tajam wanita cantik itu.
"Hm.... Siapa pun adanya kau, sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini! Sadarkah kau, kalau saat ini tengah berada di daerah kediaman Eyang Sanca Wisesa? Jadi, sebelum guruku mengetahuinya, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini," tegas Kuncara dengan sikap berubah.
"Hei!?" Tentu saja wanita genit itu terkejut melihat perubahan sikap Kuncara yang berbalik seperti memusuhinya. Padahal, jelas-jelas kalau pemuda itu sudah tergoda olehnya tadi. Entah pikiran apa yang telah mengubah sikapnya.
"Aiiih.... Mengapa kau berbalik mengancamku, Cah Bagus? Lagi pula, apa yang harus ditakuti dari gurumu itu? Kau tidak berbuat apa-apa, bukan?" bantah wanita cantik itu tersenyum memikat. Sepertinya ia masih mencoba menaklukkan Kuncara dengan senyum dan keelokan tubuhnya. Bahkan sepasang matanya pun mengerling penuh arti.
"Sudahlah! Aku tidak ingin perang mulut denganmu. Sekarang cepat tinggalkan tempat ini. Atau, terpaksa aku akan berbuat kasar!" tegas Kuncara dengan sinar mata mengancam.
Tiba-tiba, sikap wanita cantik itu berbalik ketika mendengar kata-kata Kuncara yang semakin kasar, tingkahnya yang semula penuh daya pikat, kini berubah galak. Sambil bertolak ping- gang, wanita cantik itu balas menatap sambil tersenyum mengejek.
"Hm.... Ingin kulihat, sampai di mana kau bisa memaksa Nyai Kalawirang! Lakukanlah! Jangan hanya bicara saja!" sinis sekali suara wanita cantik yang mengaku bernama Nyai Kalawirang itu. Bahkan nada suaranya mengandung tantangan bagi Kuncara.
"Melihat dari sikapmu, aku yakin kau bukan wanita biasa, Nyai. Mungkin kau orang persilatan berarti yang sering kudengar dari eyang guruku. Tapi, jangan harap aku akan gentar meskipun kau memang dari kalangan kaum rimba persilatan," tegas Kuncara sambil melangkah mundur dan bersiap menghadapi wanita cantik yang penuh daya pikat itu.
"Lakukanlah! Jangan hanya. mulutmu saja yang besar!" kembali Nyai Kalawirang menantang. Sikapnya tetap tenang. Jelas, dia seorang yang sangat yakin akan kepandaian yang dimiliki.
"Baik!" dengus Kuncara yang mulai tersinggung melihat sikap wanita itu. "Sambutlah serangan ini... hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda itu bergerak cepat melontarkan serangan berbahaya. Tapi meskipun hatinya merasa marah, rupanya Kuncara masih memandang wanita itu sebagai orang yang tidak berbahaya. Maka serangan- serangannya pun tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
Bettt! Wuttt!
Nyai Kalawirang tersenyum mengejek melihat serangan Kuncara. Tubuhnya baru bergerak pada saat kepalan lawan hampir mengenai tubuhnya. Enak saja wanita cantik itu menggeser kaki kanannya ke belakang disertai tarikan tubuhnya. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak cepat menepiskan pukulan Kuncara.
Plak!
"Ugkh...!" Tangkisan yang kelihatannya perlahan dan asal gerak saja, ternyata cukup mengejutkan Kuncara. Tubuh pemuda itu terdorong balik ke belakang dan hampir terjatuh. Untung saja tubuhnya buru-buru dilempar dan langsung bersalto di udara.
"Gila! Wanita cantik ini ternyata bukan orang sembarangan!" maki Kuncara begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah. Kepalan tangan kanan pemuda itu terasa linu akibat tepisan telapak tangan Nyai Kalawirang. Namun, Kuncara mencoba menghibur dirinya. Diyakini kalau tenaga dalam yang dikerahkannya tadi hanya sebagian saja dan belum sepenuhnya.
"Bagaimana, Cah Bagus? Apakah masih bersikeras hendak mengusirku? Dengan kepandaianmu yang dangkal itu, jangan harap akan dapat mengalahkan Nyai Kalawirang. Lebih baik, ikutlah bersamaku. Dan kau akan mendapatkan ilmu-ilmu tinggi yang tidak ada tandingannya," bujuk Nyai Kalawirang.
"Hm... Jangan sombong dulu, Nyai. Ilmu yang kugunakan belum seberapa. Tapi kalau memang kau mampu menjatuhkanku kali ini, mungkin tawaranmu akan kupertimbangkan. Syaratnya, kau harus mengalahkan aku kurang dari dua puluh jurus. Bagaimana?" sahut Kuncara. Pemuda itu sepertinya mulai tertarik mendengar tawaran Nyai Kalawirang.
Kuncara bukanlah orang bodoh. Melihat gerakan wanita itu tadi, diyakini kalau kepandaian Nyai Kalawirang sangat tinggi. Dan kalau ternyata wanita itu mampu menjatuhkannya dalam waktu kurang dari dua puluh jurus, tidak ada salahnya wanita genit itu diangkat menjadi guru. Tentu sangat menyenangkan menjadi murid wanita genit yang cantik itu.
"Hik hik hik...!"
Nyai Kalawirang mengikik gembira mendengar syarat yang diajukan Kuncara. la yang sudah dapat menilai kemampuan pemuda remaja itu, tentu saja langsung bisa menebak hasilnya. Terbayang dalam benaknya, betapa pemuda perkasa itu akan bertekuk lutut di bawah telapak kakinya.
"Hik hik hik...! Kalau sudah menjadi muridku, aku bukan saja akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepadamu. Tapi juga suatu ilmu khusus yang tidak akan dapat dilupakan seumur hidupmu," kata Nyai Kalawirang sambil sepasang matanya berkedip-kedip manja.
"Ilmu khusus...?" gumam Kuncara mengulangi ucapan Nyai Kalawirang. Sebagai seorang remaja hijau dan selama hidup belum pernah bergaul dengan wanita, tentu saja Kuncara belum mengerti arah pembicaraan wanita genit itu.
"Ya! Ilmu yang hanya dimiliki Nyai Kalawirang seorang. Dan ilmu itu akan kuturunkan kepadamu, apabila kau mau menjadi muridku," kembali wanita genit yang berusia sekitar empat puluh tahun namun masih cantik itu membujuk Kuncara.
Merasa pening dengan ucapan-ucapan Nyai Kalawirang yang sama sekali tidak dimengerti, kekesalan Kuncara pun kembali bangkit. Sambil melakukan gerak pembukaan jurus 'Pukulan Memecah Badai', ia membentak lawannya.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi! Lebih baik, sekarang bersiap-siaplah menghadapi seranganku ini!" seru Kuncara mengingatkan. "Haiiit...!" Bentakan nyaring berkumandang yang disusul melesatnya tubuh Kuncara ke arah Nyai Kalawirang.
Bettt! Wuttt!
Sepasang tangan pemuda itu bergerak cepat disertai sambaran-sambaran angin tajam yang menderu-deru. Melihat gerakan tangan dan sambaran angin pukulan yang dilontarkan Kuncara, Nyai Kalawirang terbelalak kagum. Jelas kalau hatinya sangat terkejut melihat jurus-jurus yang digunakan pemuda itu.
"Aiiihhh.... Inikah jurus 'Pukulan Memecah Badai' yang menjadi kebanggaan Tua Bangka Sanca Wisesa itu? Hm.... Aku harus mendapatkannya," gumam Nyai Kalawirang penuh minat. Secara sepintas, terbayang senyum licik di bibir wanita cantik itu.
Wuuut!
Kepalan Kuncara yang menimbulkan angin berkesiutan dan mengancam lambung, dielakkan Nyai Kalawirang dengan menarik tubuhnya ke belakang. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kiri dengan gerakan cepat. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak menotok punggung Kuncara. Cepat dan tangkas bukan main gerakannya.
Cuiiit!
Suara angin berkesiutan yang mengancam punggungnya, membuat Kuncara sadar akan ada ancaman pada dirinya. Cepat pemuda itu menjatuhkan tubuhnya kedepan, dan langsung bergulingan menjauh.
"Haiiit..!"
Nyai Kalawirang yang tidak ingin memberi kesempatan bagi lawan untuk menyerang, segera melesat mengejar Kuncara. Sepasang tangan wanita cantik itu bergerak susul-menyusul dan bertubi-tubi. Tentu saja Kuncara menjadi terkejut setengah mati. Sepasang tangan lawan yang terus mengejarnya, membuatnya tidak mempunyai kesempatan bangkit berdiri. Sehingga, ia hanya dapat bergulingan sambil menghindari totokan-totokan yang siap menyambut tubuhnya.
Kesal karena merasa tidak berdaya menghadapi sergapan-sergapan tangan lawan, Kuncara terpaksa berbuat nekat. Pada jurus kedua belas, ketika jari-jari tangan kiri Nyai Kalawirang meluncur ke arah tengkuknya, tiba-tiba tubuh pemuda remaja itu melenting disertai putaran kaki kanannya dalam jurus 'Tendangan Angin Topan', yang merupakan salah satu ilmu andalan Eyang Sanca Wisesa.
"Heaaat..!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Hebat sekali ilmu tendangan yang digunakan Kuncara itu. Sekali melompat saja, sepasang kakinya telah melakukan serangkaian tendangan maut dan berbahaya. Rupanya dalam hal penggunaan 'Tendangan Angin Topan', Kuncara tidak kalah dengan Panggali. Hanya saja, ia kalah matang karena kurang tekun berlatih. Meskipun begitu, gerakan yang dilancarkannya kali ini benar-benar membuat Nyai Kalawirang semakin kagum.
"Aihhh..., ilmu 'Tendangan Angin Topan'. Hebat... Hebat..!" puji wanita genit itu sambil me- lompat mundur menghindari sepasang kaki yang berputaran cepat bagai baling-baling.
Meskipun mulutnya mengeluarkan pujian, namun dari caranya menghadapi serangan-serangan 'Tendangan Angin Topan', Nyai Kalawirang sama sekali tidak mengalami kesulitan. Sepasang kakinya bergerak lincah mengikuti lontaran-lontaran kaki lawan. Jelas dari caranya menghadapi serangan itu, ia seperti sudah mengenal ilmu yang digunakan Kuncara. Pada saat pertarungan memasuki jurus yang kedelapan belas, tiba-tiba saja Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai lesatan tubuhnya yang mengejutkan.
"Haiiit..!"
Berbarengan dengan seruan itu, sepasang lengannya terkembang ke kiri-kanan. Kemudian, tubuhnya berputar balik ketika kaki kanan lawan meluruk ke arah dagunya. Sambil berputar demikian, dengan gerakan aneh sepasang kaki wanita cantik itu meluncur cepat mengancam lambung kiri lawan. Dan...
Desss! Desss!
"Hugkh...!" Tubuh Kuncara yang saat itu tengah melayang di udara, tersentak balik ketika sepasang kaki Nyai Kalawirang berturut-turut menghantam lambungnya. Dan sebelum tubuh pemuda itu sempat mencium tanah, sebuah totokan lawan telah hinggap di dadanya. Maka tanpa ampun lagi, tubuh Kuncara terbanting keras di atas tanah berumput. Kuncara menggelinjang menahan rasa sakit akibat tendangan dan totokan Nyai Kalawirang yang telak menghantam tubuhnya. Darah segar mengalir dari sudut bibir, disertai erangan lirih.
"Hik hik hik...! Tubuhmu kuat sekali, Cah Bagus. Kalau orang lain yang menerima tendanganku, pasti nyawanya sudah melayang ke akhirat," puji Nyai Kalawirang sambil melangkahkan kakinya menghampiri Kuncara.
Namun, Kuncara sudah tidak dapat mendengar ucapan wanita cantik itu lagi. Luka dalam yang dideritanya, membuat pemuda itu tak sadarkan diri. Sementara, cairan merah terus saja mengalir melalui sela-sela bibirnya. Nyai Kalawirang, tokoh sesat berkepandaian tinggi itu membungkukkan tubuhnya dan memeriksa luka Kuncara.
Wanita cantik namun memiliki sifat cabul dan kejam itu menyunggingkan senyum penuh kemenangan dan siasat licik. Setelah memastikan kalau pemuda remaja itu benar-benar pingsan, diangkatnya tubuh yang terkulai lemah itu. Kemudian, dipondong dan dibawanya ke dalam pondok milik pemuda itu sendiri.
********************
DUA
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika tubuh Kuncara yang terbaring lemah di atas balai- balai bambu itu mulai bergerak lemah. Tubuh bagian atasnya yang sudah tidak tertutup pakaian tampak berwarna kemerahan dan dibasahi peluh.
"Ouuuhhh...!" Rintihan lirih yang keluar dari bibirnya terdengar aneh. Perlahan sepasang mata pemuda itu yang juga telah berwarna merah, mulai bergerak membuka. Wajahnya yang tampan itu pun telah dijalari warna merah.
"Kau sudah siuman, Cah Bagus...? Sebentar lagi, kita akan mulai pelajaran yang pasti amat kau sukai," kata Nyai Kalawirang, merayu. Saat itu Nyai Kalawirang duduk ditepi balai-balai tempat tubuh Kuncara terbaring. Sementara, pemuda itu terus saja mendesis-desis, menatap sayu ke arah wanita cantik ini.
"Nyai... Kau..., cantik sekali...," desah Kuncara. Nadanya terdengar bergetar aneh. Sambil berdesah lirih, pemuda itu mengulur tangannya membelai wajah Nyai Kalawirang. Jemari tangan pemuda itu pun tampak bergetar dan berkeringat.
Nyai Kalawirang yang sebenarnya seorang yang memiliki nafsu iblis itu membiarkan saja elusan tangan Kuncara. Malah, pakaiannya pun dilepaskan. Seketika tampaklah dua bukit ranum yang putih dan mulus. Dan yang pasti, sanggup membuat mata Kuncara menari-nari. Desahan napasnya pun seperti terengah-engah. Nyai Kalawirang kemudian menarik tangan pemuda itu ke belahan dadanya.
"Hik hik hik... Marilah, Cah Bagus. Jangan ragu-ragu. Hari ini aku akan membawamu ke dunia lain yang selama ini belum kau temui...," desah wanita Iblis itu,manja. Sepasang tangan Nyai Kalawirang yang berkulit halus itu, melingkar di leher Kuncara. Bahkan, jemari tangannya yang lentik mulai bergerak meraba dan meremas tubuh pemuda itu.
"Aaah..." Desah yang mengandung nafsu iblis meluncur dari bibir Kuncara. Pemuda yang tidak sadar kalau dirinya telah dijelajahi ramuan perangsang itu langsung menyergap tubuh molek Nyai Kalawirang. Langsung digumulinya tubuh tanpa benang sehelai pun itu penuh nafsu.
Tentu saja Nyai Kalawirang yang memang sangat menyukai pemuda-pemuda tampan, menyambutnya penuh kehangatan. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tubuh berlainan jenis itu terus berpacu dalam birahi di dalam pondok di tengah Hutan Langkeng. Di antara desahan napas yang laksana kuda pacu itu kadang terdengar tawa mengikik Nyai Kalawirang.
Sementara Kuncara yang dalam pengaruh obat keji, bagai tak pernah puas dengan apa yang dilakukannya. Keduanya baru menghentikan pergumulan itu saat hari menjadi gelap.Kelelahan yang sangat, membuat mereka tertidur lelap.
********************
"Ouhhh..."
Suara kukuruyuk ayam hutan jantan membangunkan Kuncara dari tidurnya. Bagaikan orang yang baru tersadar dari mimpi, pemuda itu menggosok mata dan memandang berkeliling.
"Aaah...!" Bagaikan disengat kalajengking, Kuncara tersentak bangkit dan melompat turun dengan wajah pucat pasi. Sepasang matanya terbelalak lebar, ketika melihat tubuh Nyai Kalawirang terbaring di sampingnya dalam keadaan polos.
"Apa..., apa yang telah kulakukan!? Mengapa..., mengapa aku tertidur di pondok ini? Oooh"
Kuncara terduduk lesu ketika melihat keadaan dirinya yang tanpa pakaian itu. Ia menatap berganti-ganti dengan mata terbelalak dan bibir bergetar. Ditutupinya seluruh wajah disertai keluhan penuh sesal.
"Aihhh, Cah Bagus. Mengapa bersedih?" tegur Nyai Kalawirang.
Rupanya dia terbangun ketika mendengar suara Kuncara. Tanpa malu-malu lagi, jemari tangannya yang lentik dan halus itu bergayut di leher Kuncara. Dibisikkannya kata-kata mesra yang membuat tubuh pemuda itu bergetar bagai terserang demam.
Kuncara, pemuda polos yang selama hidupnya belum pernah tersentuh wanita itu, langsung menggigil hebat. Apalagi, wanita yang bersamanya adalah orang yang sangat berpengalaman dalam membawa gairah laki-laki. Maka, pemuda itu pun kembali terjebak dalam permainan keji yang menyesatkan.
Perbuatan terkutuk itu kembali terulang. Mereka kembali saling gumul disertai dengus napas yang berpacu. Kuncara, murid Eyang Sanca Wisesa, kembali tak mampu menolak bujukan maupun belaian Nyai Kalawirang. Ia semakin tenggelam dan bertekuk lutut di bawah kekuasaan nafsu wanita itu. Kuncara terkulai lemah setelah melam- piaskan nafsu yang menyentak-nyentak dalam dirinya. Pemuda remaja itu rebah telentang di sisi Nyai Kalawirang yang memandangnya dengan senyum puas.
"Aaahhh..." Tiba-tiba saja Kuncara tersentak dan melepaskan pelukannya pada tubuh Nyai Kalawirang. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding kamar, membuat pemuda itu tersadar dari keadaannya. Cepat ia bangkit dan mengenakan pakaiannya.
"Aku harus segera kembali, Nyai. Eyang Sanca Wisesa dan Panggali tentu tengah mencari-cariku saat ini. Aku tidak ingin kalau mereka sampai menengok kemari dan menemukan kita berdua di tempat ini. Tolong bantu aku mengum- pulkan kayu bakar, Nyai. Mudah-mudahan alasan yang kuberikan kepada mereka bisa diterima," ujar Kuncara.
Napas pemuda itu tampak memburu karena rasa tegang. Wajahnya pun terlihat pucat. Sepertinya ia benar-benar takut apabila perbuatannya bersama Nyai Kalawirang itu sampai diketahui salah satu dari kedua orang itu.
Nyai Kalawirang sebenarnya merasa tidak suka ketika mendengar ucapan Kuncara. Namun mengingat rencana yang telah disusunnya, maka dengan gerakan malas ia pun bangkit. Tanpa berkata apa-apa, dibantunya Kuncara untuk mengumpulkan kayu bakar. Tak berapa lama kemudian, pekerjaan mereka selesai. Setelah menggabung dan mengikat kayu bakar itu kuat-kuat, Kuncara membalikkan tubuhnya. Dipandanginya wajah Nyai Kalawirang, seolah-olah ingin menyimpan wajah cantik itu dalam benaknya.
"Aku pergi dulu, Nyai. Hati-hatilah, jangan sampai kehadiranmu diketahui salah seorang dari mereka," pesan Kuncara dengan napas terengah-engah. Usai berkata demikian, pemuda itu pun bergegas pergi setelah melihat anggukan dan senyum manis Nyai Kalawirang. Sementara, wanita cantik itu berdiri tegak menatapi kepergian Kuncara. Senyum manis yang menghias wajahnya, berubah menjadi senyum sinis.
"Hm.... Tunggulah kau, Sanca Wisesa! Tak lama lagi, aku akan datang mengambil nyawamu!" desis bibir merah menantang itu dengan sorot mata mendirikan bulu roma!
TIGA
"Ha ha ha...! Bagus, Nyai! Bagus! Rencana pertama kita sudah berjalan mulus. Selangkah lagi, dendam kita akan terbalas lunas berikut bunga-bunganya!"
Tiba-tiba terdengar tawa serak mengguncangkan hutan. Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok bayangan tinggi besar meluncur turun. Sepasang kakinya yang besar dan berat mendarat di atas tanah, di dekat Nyai Kalawirang. Bumi di sekitar tempat itu bagaikan terguncang ketika kaki kakek bertubuh raksasa itu mendarat.
Penampilan kakek itu benar-benar menyeramkan. Tubuhnya yang kekar berotot dipenuhi bulu tebal di sekitar dadanya. Wajahnya panjang, dan rambutnya terurai bebas mirip wajah seekor singa jantan. Bahkan ketika tertawa, nampak sepasang gigi yang menyerupai taring di kiri-kanan mulutnya. Sepasang matanya yang terbentuk panjang berputar-putar tak ubahnya mata binatang buas.
"Hm.... Singa Gurun Setan, kedatanganmu hanya akan membuat rencana kita berantakan. Kalau pemuda yang bernama Kuncara itu sampai melihatmu, mungkin tidak akan pernah datang lagi untuk menemuiku. Bahkan, bisa jadi akan mengadukan keberadaanmu kepada Tua Bangka Sanca Wisesa itu. Sebaiknya, kau sembunyi saja dulu. Nanti setelah kita berhasil menguras semua ilmu Sanca Wisesa melalui pemuda itu, baru kau boleh menampakkan diri di hadapanku," ketus dan dingin sekali sambutan Nyai Kalawirang terhadap kakek bertubuh raksasa yang berjuluk Singa Gurun Setan.
"Ha ha ha... Mengapa mesti marah-marah, Nyai? Apakah kau khawatir kalau lelaki muda yang berdaging segar itu kurebut? Jangan takut, Nyai. Aku sudah paham akan kesenanganmu yang satu itu. Aku janji, tidak akan mengganggunya," tegas Singa Gurun Setan, sama sekali tidak merasa marah melihat sambutan yang tidak menyenangkan itu.
"Huh! Kalau berani mengganggunya, akan kurobek perutmu yang dipenuhi daging manusia itu!" balas Nyai Kalawirang sambil menatap Singa Gurun Setan dengan sinar mata mengancam.
Kakek raksasa itu hanya tertawa berderai mendengar ancaman Nyai Kalawirang yang mendirikan bulu roma. Singa Gurun Setan yang terkenal sebagai tokoh iblis pemakan daging manusia itu melangkahkan kakinya, semakin mendekati Nyai Kalawirang. Tawa seraknya tetap berkumandang mengiringi langkahnya.
"Sudahlah, Nyai. Untuk apa kita bertengkar? Bukankah kita sudah sepakat untuk saling membantu dalam menghadapi Sanca Wisesa itu. Hm.... Kulihat, kepandaian anak muda itu boleh juga, Nyai. Jurus 'Pukulan Pemecah Badai' dan 'Tendangan Angin Topan'nya lumayan juga. Hanya saja, masih banyak terdapat kelemahan di sana- sini. Kau harus dapat membujuk pemuda itu agar mau memperlihatkan ilmu-ilmunya kepada kita. Bagaimana, Nyai? Apakah kau yakin bisa membujuknya?" tanya Singa Gurun Setan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Nyai Kalawirang. Sekilas, terlihat cuping hidung kakek raksasa itu bergerak-gerak ketika mencium bau harum tubuh wanita itu
"Hm.... Rupanya secara diam-diam kau telah melihat semua perbuatanku, ya? Dan kau sengaja menantang harga diriku dengan perkataan konyol itu? Huh! lihat saja nanti! Pemuda itu pasti akan bertekuk lutut dan menuruti semua yang kuminta. Kalau kau tidak yakin akan kemampuanku, silahkan lihat buktinya nanti!" tandas Nyai Kalawirang.
Wanita cantik itu merasa tersinggung atas pertanyaan yang bernada menantang tadi. Meskipun kata-katanya terdengar ketus, namun wanita cantik itu lama sekali tidak menghindar ketika lengan yang besar dan berbulu kasar itu mengelus punggungnya.
Memang aneh dan sukar dimengerti sifat tokoh-tokoh sesat rimba persilatan. Terkadang mereka saling bertengkar hanya karena persoalan sepele. Tapi, tidak jarang pula saling bantu untuk melenyapkan tokoh-tokoh golongan putih yang menjadi musuh mereka. Demikian pula halnya dengan Nyai Kalawirang.
Meskipun sambutan yang meluncur dari bibirnya terasa pedas dan menyakitkan perasaan, namun sama sekali tidak menghindar ketika kakek bertubuh raksasa itu mulai mencium wajah dan lehernya. Malah dari kerongkongannya terdengar erangan manja yang mengundang hasrat
"Marilah, Nyai. Sekarang adalah waktu untuk kita berdua...," desah Singa Gurun Setan dengan napas memburu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, dipondongnya tubuh molek Nyai Kalawirang dan dibawanya masuk ke dalam pondok. Beberapa saat kemudian, yang terdengar hanyalah tawa manja Nyai Kalawirang dan dengus napas Singa Gurun Setan.
********************
"Hik hik hik... Bagus, Kuncara! Kemajuan yang kau peroleh sudah cukup pesat. Aku yakin, tidak lama lagi kau akan dapat menyempurnakan ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu," seru wanita cantik berpakaian serba kuning itu dengan nada agak genit. Siapa lagi kalau bukan Nyai Kalawirang yang tengah menyaksikan Kuncara melatih ilmu-ilmu miliknya.
Hebat sekali kesabaran yang dimiliki wanita cantik itu. Telah hampir tiga bulan Nyai Kalawirang melatih Kuncara dengan menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda remaja itu. Semua itu dilakukan demi tercapainya pembalasan dendam terhadap Eyang Sanca Wisesa yang menjadi musuh lamanya.
Nyai Kalawirang berusaha menghindari kecurigaan pemuda itu dengan jalan mengajarkan ilmu yang dimiliki. Dan melalui pemuda itu pula ilmu-ilmu andalan Eyang Sanca Wisesa dipelajari untuk mencari kelemahannya. Sebab disadari betul, kalau untuk mengalahkan kakek sakti itu harus mengetahui ilmu-ilmunya terlebih dahulu. Untuk itulah ia berusaha mengoreknya melalui pemuda yang telah ditaklukkannya. Itu pun harus dilakukan secara bertahap, karena takut-takut Kuncara jadi curiga.
Bahkan kehadirannya di tempat itu bisa-bisa diketahui Eyang Sanca Wisesa. Maka, akan sia-sialah segala jerih-payahnya selama ini. Pemikiran itu membuat Nyai Kalawirang demikian tekun dan sabar. Dan ia tidak terburu-buru untuk meminta Kuncara memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajari dari kakek yang digdaya itu.
Kuncara yang telah menyelesaikan latihannya, bergegas melangkah menghampiri Nyai Kalawirang. Tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh wanita cantik itu. Lalu dibelainya lembut rambut indah milik wanita yang tengah duduk di anak tangga di depan pintu pondok milik Kuncara sendiri.
"Sabarlah, Kuncara. Kau baru saja selesai berlatih. Lebih baik, bersihkan dulu tubuhmu. Kau tahu, bau kecut keringatmu sungguh mengganggu seleraku," tolak Nyai Kalawirang menepiskan jemari Kuncara yang mulai nakal.
"Hm Bagaimana kalau kau menemaniku, Nyai? Ayolah. Bukankah kita hanya berdua di hutan ini?" Ajak Kuncara sambil menarik lengan wanita cantik itu, dan hendak membawanya pergi menuju aliran sungai.
"Jangan, Kuncara. Berbahaya! Bagaimana kalau saudara seperguruanmu memergoki kita? Kau akan diusir mereka nanti," tolak Nyai Kalawirang. Sebenarnya bukan kepergian Kuncara yang menimbulkan rasa cemas di hatinya. Sebab, kalau sampai pemuda itu diusir pergi dari Gunung Langkeng, bisa hancur rencananya selama ini.
"Mengapa mesti takut, Nyai? Kalau mereka memang berani mengusirku, aku tidak akan kecewa. Bukankah aku akan selalu bersamamu?" bantah Kuncara, tak mau kalah. Kembali ditariknya tangan Nyai Kalawirang.
"Tidak, Kuncara! Kalau memang ingin ku temani, marilah kita pergi ke aliran sungai di kaki Gunung Langkeng ini saja. Kurasa tempat itu jauh lebih aman," usul Nyai Kalawirang yang tidak kuasa menolak keinginan Kuncara.
"Begitu pun boleh. Asal bersamamu, di mana saja aku bersedia, Nyai," sahut Kuncara tanpa berpikir lagi.
"Tunggu dulu, Kuncara...," cegah Nyai Kalawirang ketika melihat adanya kesempatan baik untuk melihat, sampai di mana Kuncara bersedia menuruti permintaannya.
"Ada apa lagi, Nyai...?" Kuncara menoleh ke arah Nyai Kalawirang yang saat itu juga tengah menatapnya. Sementara, alis pemuda itu tampak berkerut.
Nyai Kalawirang tidak segera menjawab pertanyaan Kuncara. Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat, tepat di kedua bola matanya. Sepertinya wanita cantik itu tengah menilai kesungguhan Kuncara. "Benarkah kau bersedia ke mana saja asalkan bersamaku, Kuncara?" tanya Nyai Kalawirang tanpa senyum. Nada suaranya pun terdengar menuntut jawaban pasti.
"Tentu saja, Nyai. Apakah kau masih meragukan cintaku..?" Kuncara balik bertanya. Kerutan di kening pemuda itu terlihat semakin jelas. Sepertinya, ia masih belum mengerti kemana arah pertanyaan wanita genit itu.
"Hm... Apakah kau bersedia memenuhi segala permintaanku?" desak Nyai Kalawirang tanpa mempedulikan pertanyaan Kuncara. Sedikit pun tidak diperlihatkan kemanjaannya kali ini. Sehingga pemuda itu semakin kebingungan.
"Apa sebenarnya maksudmu, Nyai...?"
"Jawab dulu pertanyaanku. Bersediakah kau menuruti segala permintaanku?" tegas Nyai Kalawirang tak peduli dengan kebingungan Kuncara.
"Mmm.... Kalau aku sanggup, tentu akan kupenuhi, Nyai. Tapi coba jelaskan kepadaku, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku," pinta Kuncara yang sepertinya tidak menyukai sikap Nyai Kalawirang saat itu.
"Ah, sudahlah. Ayo, kita pergi...," ajak Nyai Kalawirang sambil menarik tangan pemuda itu. Nyai Kalawirang, iblis betina yang cantik menyudahi pembicaraan ketika melihat sinar kecurigaan di mata pemuda itu. Dengan gerak tubuh membayangkan kemanjaan dan senyum memikat, ditariknya pemuda itu menuruni lereng Gunung Langkeng.
Kuncara pun tidak membantah ajakan wanita yang memang telah membuatnya mabuk asmara. Ia sudah lupa akan kecurigaannya ketika melihat sikap wanita cantik itu telah kembali seperti semula. Genit dan penuh daya pikat.
Kedua insan berlainan jenis itu terus berlari menuruni lereng Gunung Langkeng. Sepanjang perjalanan, tawa dan canda terdengar meningkahi. Mereka tak ubahnya sepasang insan muda yang tengah dimabuk asmara.
********************
Matahari naik semakin tinggi. Sinarnya yang kuning keemasan memancar, mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh. Salah satu di antaranya, adalah seorang pemuda tampan berwajah bersih. Rambutnya yang panjang dan hitam dihiasi ikat kepala berwarna putih. Senyum ramah yang membayangkan kebesaran jiwanya, senantiasa menghias wajahnya. Sepintas saja, orang sudah dapat menebak akan kematangan jiwanya.
Sedangkan yang berjalan di sebelah kirinya adalah seorang wanita muda berpakaian serba hijau. Tubuhnya ramping dan padat berisi. Kulit tubuhnya yang putih dan halus tampak sangat pas dengan warna pakaiannya. Hidungnya kecil mancung dengan sepasang mata yang bersinar cerah bagaikan bintang pagi. Bibirnya yang merah segar dan berbentuk indah, nampak menawan dipandang mata. Sukar sekali menggambarkan kecantikan dan pesona yang terdapat pada diri gadis itu. Yang jelas, rasanya tak seorang lelaki pun sanggup untuk menyimpan kekaguman apabila melihatnya.
"Hhh..., panas sekali udara hari ini. Segar rasanya membayangkan berendam di air pegunungan," gumam gadis jelita itu sambil menyusut peluh di keningnya. "Bagaimana kalau kita beristirahat sejenak di sungai sebelah depan itu, Kakang?"
Pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum menatap kawan seperjalanannya. Sesaat kemudian, tangannya terulur membelai lembut rambut kepala gadis itu yang tebal dan hitam.
"Kau lelah, Kenanga...?" tanya pemuda tampan itu lembut dan mengandung rasa cinta yang dalam. Semua itu jelas terlihat dari sikap dan caranya bertanya.
"Tidak, Kakang. Tapi, suara gemercik air sungai itu seolah-olah mengundangku untuk menikmatinya. Apakah Kakang tidak merasakan keinginan seperti Itu?" kilah dara jelita berpakaian hijau itu yang tak lain adalah Kenanga, kekasih Pendekar Naga Putih.
"Sedikit," jawab pemuda tampan itu tersenyum menggoda. "Biarlah aku menunggumu di sini." Pemuda yang sudah pasti Pendekar Naga Putih itu menghenyakkan pantat di bawah sebatang pohon berdaun rindang.
"Tapi.... Mungkin agak lama, Kakang...," jelas suara jelita itu meragu. Sepertinya ia merasa enggan untuk meninggalkan Pendekar Naga Putih berlama-lama.
"Tidak apa-apa, Kenanga. Biar sampai besok pun, aku akan tetap menunggu," jawab Panji tersenyum lembut
"Kalau begitu, aku akan berendam sampai besok. Aku pergi dulu, Kakang...," balas Kenanga dengan suara manja. Dan, tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu, Kenanga bergegas menuju aliran sungai yang hanya beberapa tombak di depannya.
Dengan senyum manis yang belum meninggalkan wajahnya, gadis jelita itu melangkah riang menuruni sungai. Sepasang matanya berputar mencari tempat yang menurutnya cocok untuk merendam tubuh. Baru saja beberapa tombak melangkah menyusuri tepi sungai, sepasang mata bintang itu terbelalak kaget.
"Tak tahu malu...!" geram Kenanga dengan suara agak keras dan bernada marah. Langsung tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan wajah merah.
Dua sosok tubuh polos yang tengah berendam sambil bercanda itu tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Salah seorang di antaranya bergegas naik. Dia adalah pemuda berwajah tampan. Jelas ia sangat terkejut melihat kehadiran orang lain yang sama sekali tidak diduga itu. Lain halnya dengan teman pemuda itu. Wanita cantik yang berusia sekitar empat puluh tahun itu memandang marah kepada Kenanga. Apalagi, umpatan yang terlontar dari mulut gadis berpakaian hijau itu sempat tertangkap pendengarannya.
"Hei, tunggu...!" teriak wanita cantik yang tak lain Nyai Kalawirang itu.
Setelah mengenakan pakaiannya, wanita genit itu langsung melesat mengejar orang yang dianggap telah mengganggunya. Tubuh Nyai Kalawirang melambung tinggi dan berjumpalitan melewati kepala Kenanga. Dalam sekejapan mata saja, wanita genit itu sudah berdiri bertolak pinggang menghadang jalan
"Coba ulangi ucapanmu tadi...!" bentak Nyai Kalawirang dengan wajah dingin.
"Ucapan apa...?!" Kenanga tak mau kalah gertak. Kata muaknya semakin menjadi-jadi melihat kegalakan wanita genit itu.
"Hm.... Selain usilan, rupanya kau pun seorang pengecut yang tidak mau mengakui ucapanmu!" ejek Nyai Kalawirang dengan nada sangat menghina. Sekilas sepasang mata Kenanga menyiratkan kemarahan mendengar hinaan Nyai Kalawirang. Ditentangnya pandangan mata wanita genit itu tanpa kegentaran sedikit pun.
"Dengar, Nisanak! Aku sudah berusaha untuk tidak mencampuri urusanmu dengan meninggalkan tempat ini. Tapi, ternyata kau sengaja hendak mencari gara-gara. Kau memang tidak tahu malu! Itulah makianku tadi, kalau kau memang ingin mendengarnya lagi!" sahut Kenanga menantang.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia Lancang!" bentak Nyai Kalawirang marah. Begitu ucapannya selesai, tubuh wanita genit itu langsung meluruk dengan sebuah tamparan keras.
Wuuuttt!
"Hm.... Tidak semudah itu, Nyai...," ejek Kenanga yang langsung menggeser tubuhnya doyong ke belakang. Begitu tamparan Nyai Kalawirang lewat tubuhnya dilempar ke belakang sejauh dua tombak
"Tunggu...!" seru Kenanga disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, suaranya sempat membuat Nyai Kalawirang tertegun sejenak.
Meskipun demikian, Nyai Kalawirang tidak sudi untuk menghentikan serangannya. Memang, dengan luputnya tamparan itu telah membuat kemarahannya semakin menggelegak.
"Coba kau tahan yang ini..!" seru Nyai Kalawirang semakin bernafsu.
Bettt! Wuttt!
Rupanya serangan yang dilancarkan iblis betina itu sudah tidak main-main lagi. Sepasang tangannya bergerak cepat saling susul. Sambaran angin pukulannya pun menderu tajam, membuat pakaian Kenanga berkibar dibuatnya. Tapi, lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah gadis sembarangan. Kenanga yang sadar kalau wanita cantik itu memiliki kepandaian tinggi, mulai mengeluarkan kepandaiannya.
Tubuhnya yang ramping itu bergerak cepat menghindari serangan-serangan gencar Nyai Kalawirang. Bahkan gadis jelita itu mulai membangun serangan yang tidak kalah cepat dan berbahaya. Sehingga pertarungan berlangsung semakin ramai dan sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat. Pertempuran yang semula berlangsung di tepi sungai, terus bergeser semakin menjauhi sungai.
"Haiiittt..!"
Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-tiba Nyai Kalawirang berseru nyaring disertai pen- gerahan tenaga dalam. Seiring seruannya, gerakan wanita genit itu pun berubah. Tubuhnya yang ramping padat itu mulai meliuk-liuk bagaikan seekor ular besar. Kedua kakinya melangkah aneh. Terkadang wanita cantik itu seperti tak peduli akan datangnya sambaran pukulan lawan. Tapi di lain kesempatan, tubuhnya melompat-lompat ganas bagai seekor kuda liar.
"Aihhh...!" Kenanga berseru tertahan ketika hampir saja sambaran tangan kanan lawan mengenai lehernya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang dan langsung melakukan beberapa kali salto di udara. Kedua kakinya mendarat, ketika jarak diantara mereka terpisah sekitar tiga batang tombak jauhnya.
"Mau lari ke mana kau, Keparat! Tak seorang pun yang dapat hidup setelah berani menghina Nyai Kalawirang!" bentak wanita genit itu yang segera mengejar Kenanga dengan serangan-serangan aneh dan membingungkan.
"hhhhmm…" Kenanga yang saat itu tengah menyiapkan jurus 'Bidadari Menabur Bunga', sama sekali tidak mempedulikan ucapan Nyai Kalawirang. Ia hanya bergumam perlahan sambil menggerakkan sepasang tangan menyilang di depan dada. Sejurus kemudian, tubuh dara jelita itu melesat cepat disertai putaran tangannya yang membentuk bulatan-bulatan di udara. Dan dari bulatan-bulatan itu terkadang menyembul totokan maupun tusukan jari-jari tangan yang mengincar kelemahan-kelemahan di tubuh Nyai Kalawirang.
Bettt! Wuttt!
"Haiiit..!" Nyai Kalawirang sempat terkejut melihat kehebatan dan kecepatan gerak lawan. Sambil berseru nyaring, dipapaknya tusukan jari-jari tangan lawan yang tahu-tahu saja telah mengincar tenggorokan.
Plakkk!
Benturan telapak tangan yang menimbulkan ledakan keras itu membuat tubuh keduanya terjajar mundur ke belakang.
"Uhhh...!" Dara jelita berpakaian hijau itu mengeluh lirih. Tangkisan yang dilakukan Nyai Kalawirang membuat tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam wanita genit itu ternyata masih berada diatas kekuatannya. Tentu saja hal itu membuatnya terkejut.
Nyai Kalawirang sendiri sempat merasa terkejut melihat kekuatan tenaga dalam lawannya. Tentu saja hal itu membuatnya semakin penasaran. Maka tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk bersiap, tubuh wanita genit itu kembali meluncur dengan serangan-serangan aneh dan ganas.
"Yeaaat..!"
Bettt! Wuttt!
Sekali melompat Nyai Kalawirang langsung melontarkan serangkaian serangan mematikan. Gerakan tangan dan kakinya yang memiliki perubahan tak terduga, membuat Kenanga sibuk menghalaunya. Sehingga dalam beberapa jurus saja, gadis itu terdesak hebat.
"Ihhh..." Kenanga memekik tertahan ketika hampir saja tusukan jari tangan Nyai Kalawirang hampir mengenai pelipisnya. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan ke kanan. Sehingga tusukan jari tangan lawan hanya lewat beberapa jari di samping kepalanya.
Namun, serangan Nyai Kalawirang kali ini memang benar-benar hebat. Tusukan jari-jari yang semula meluncur lurus itu berbalik dan berputar mengancam leher lawan dengan tebasan sisi telapak tangan. Bahkan tanpa tanggung-tanggung lagi, wanita genit itu membarenginya dengan sebuah hantaman telapak tangan kedada.
Tentu saja Kenanga yang tak menyangka perubahan gerak lawan itu menjadi terkejut setengah mati. Cepat tubuhnya diliukkan membuat gerak setengah melingkar dengan kuda-kuda rendah. Sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka melekat di sisi pinggang, siap melontarkan serangan balasan.
Sayang, wanita genit yang licik itu sudah dapat meraba gerakannya. Kedua serangan yang ternyata hanya merupakan gerak tipu itu, mendadak ditarik pulang. Kemudian, tubuhnya langsung berputar dan mengirim sebuah tendangan keras ke arah dada lawan.
Desss!
"Hugkh...!" Tendangan yang tak terduga itu, tentu saja tak mungkin dielakkan Kenanga. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dara jelita itu terjengkang ke belakang. Pada saat tubuh dara jelita itu melayang di udara, sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat dan langsung mengulur tangan menangkap tubuh Kenanga.
Tappp!
Begitu tubuh Kenanga berada dalam pondongannya, sosok bayangan putih itu langsung melenting dan melakukan beberapa kali salto sebelum mendaratkan kakinya ketanah. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok bayangan putih itu, mendaratkan kakinya di atas tanah. Direbahkannya tubuh dara jelita itu di atas rerumputan tebal.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya sosok bayangan putih itu, lembut dan penuh kecemasan. Dihapusnya lelehan darah yang mengalir di sudut bibir Kenanga dengan jemari tangan.
"Dadaku... sakit sekali, Kakang. Rasanya sukar sekali bernapas...," rintih Kenanga lirih. Seringai kenyerian tampak tergambar nyata di wajah jelita itu.
Sosok bayangan putih yang memang Panji itu bergegas mengeluarkan obat dari dalam buntalan pakaiannya. "Telanlah obat ini. Mudah-mudahan dapat mengurangi rasa nyeri di dalam dadamu," ujar Panji lembut.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga yang memang percaya penuh akan kepandaian kekasihnya langsung menelan obat pemberian Panji.
"Nah! Sekarang, istirahatlah. Agar, tenagamu pulih," ujar pemuda tampan itu lagi dengan suara tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak merasa khawatir akan luka dalam yang diderita kekasihnya.
Sejak melihat adanya sosok bayangan putih yang menyelamatkan lawannya, Nyai Kalawirang sudah dapat menilai kehebatan si penolong itu. Untuk menghadapi dara jelita itu saja, ia sudah harus menggunakan ilmu andalannya. Takut kalau-kalau sosok berjubah putih yang sudah pasti kepandaiannya berada di atas gadis itu mendatangkan kesusahan, maka Nyai Kalawirang segera berkelebat meninggalkan tempat itu bersama Kuncara.
Dan tentu saja hal itu dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Antara lain, takut rencana yang telah disusun berbulan-bulan gagal hanya karena terlalu menuruti amarah. Itulah sebabnya, mengapa ketika Panji menoleh ke arah tempat Nyai Kalawirang berdiri, ia sudah tidak melihat wanita genit itu lagi.
"Hm.... Rupanya ia telah meninggalkan tempat ini selagi aku sibuk mengurusi Kenanga. Entah siapa wanita cantik itu? Melihat akibat tendangannya tadi, aku yakin kalau dia bukan orang sembarangan. Kalau tidak, sulit rasanya bagi wanita itu untuk dapat mengalahkan Kenanga," gumam Panji, setelah mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Ke mana wanita cabul itu, Kakang...?" tanya Kenanga sambil melangkah menghampiri Panji. Rupanya, dia sudah sembuh dari rasa sakit akibat tendangan Nyai Kalawirang tadi.
Pendekar Naga Putih yang tengah termenung memikirkan siapa adanya wanita cantik itu, tersentak dari lamunan. Kepalanya segera ditolehkan ke belakang. Senyumnya mengembang ketika melihat gadis jelita itu tengah melangkah ke arahnya.
"la sudah pergi. Bagaimana dengan lukamu? Apakah sudah benar-benar sembuh...?" tanya Panji tetap berdiri di tempatnya menunggu kedatangan kekasihnya.
"Sudah tidak terasa nyeri lagi, Kakang. Hanya tinggal luka memar yang tidak perlu dikhawatirkan. Dalam beberapa hari, pasti akan hilang dengan sendirinya," sahut Kenanga tersenyum manis. Wajah jelita itu nampak sudah segar kemerahan. Pertanda Kenanga sudah benar-benar sehat.
"Sekarang marilah kita duduk. Ceritakan-lah..., mengapa kau sampai bertarung dengan wanita itu? " pinta Panji yang segera melangkah ke arah sebuah batu pipih dekat pohon besar.
Kenanga yang masih merasa penasaran atas kekalahannya, segera menceritakan awal mula pertarungan tadi. Sedangkan Panji hanya mendengarkan tanpa memotong cerita.
"Begitulah, Kakang. Walaupun sejak semula sudah aku duga kelihaian wanita genit itu, namun sama sekali tidak kusangka kalau sedemikian hebatnya. Melihat dari tingkah laku dan ilmu-ilmunya yang ganas dan penuh tipu daya licik itu, aku dapat menilai kalau wanita itu pasti tokoh sesat yang amat jahat," jelas Kenanga menutup ceritanya.
"Hm Kalau begitu, penyebab perkelahian tadi hanya salah paham saja. Sudahlah. Urusan ini tidak perlu diperpanjang lagi. Sebaiknya, kita teruskan saja perjalanan kita," ajak Panji yang segera bangkit dari duduknya.
"Tapi, Kakang. Rasanya hatiku masih belum puas atas kekalahanku tadi. Ingin sekali aku membalasnya untuk meruntuhkan kesombongan wanita genit itu," Kenanga masih mencoba membantah, karena rasa penasarannya.
"Sudahlah, Kenanga. Tidak ada gunanya menuruti hawa amarah. Kekalahan merupakan sesuatu yang wajar. Dan lagi, kita sama sekali tidak mempunyai urusan dengan kedua orang itu. Kepergian wanita genit itu tadi sudah merupakan isyarat kalau dia tidak ingin bermusuhan dengan kita," bujuk Panji sambil membelai lembut punggung kekasihnya. Kemudian, ditariknya lengan gadis jelita itu untuk pergi meninggalkan kaki Gunung Langkeng.
Karena tidak ingin berbantahan dengan kekasihnya, maka Kenanga tidak menolak ajakan Panji. Meski dengan hati kurang puas, kakinya pun mulai melangkah menjauhi tempat yang telah meninggalkan kenangan pahit baginya.
********************
EMPAT
"Mengapa harus melarikan diri seperti orang pengecut Nyai?" tanya Kuncara. Pemuda itu merasa tidak suka atas perbuatan itu. Saat itu mereka sudah berada di depan pondok yang terdapat di tengah Hutan Langkeng.
"Hm.... Jangan bodoh, Kuncara. Perbuatan ini bukan berarti pengecut. Tapi, itu menandakan kepintaran kita," bantah Nyai Kalawirang agak ketus. Rupanya wanita tokoh sesat ini pun tidak suka dicap sebagai pengecut. Hal itu tersirat jelas pada wajahnya yang cemberut.
"Menandakan kepintaran...? Apa maksud Nyai?" desak Kuncara. Pemuda itu memang belum mengerti, ke mana maksud perkataan Nyai Kalawirang. Ditatapnya wajah wanita genit itu lekat-lekat dengan sinar mata penuh tuntutan.
"Ah! Bodoh sekali kau, Kuncara. Meskipun aku belum tahu secara pasti, tapi jelas ada kemungkinan kalau sosok bayangan putih yang menolong gadis jelita itu memiliki kepandaian tinggi. Kalau aku sampai bertarung dengannya, tentu akan memakan waktu lama. Lalu, bagaimana kalau pertarungan itu sampai terdengar gurumu? Nah! Bukankah hubungan kita akan diketahui gurumu dan saudara seperguruanmu yang bernama Panggali itu? Kau suka kalau mereka mengetahui hubungan kita?" jawab Nyai Kalawirang mengajukan alasannya.
Mendengar penjelasan itu, wajah Kuncara yang semula menyimpan penasaran menjadi pucat. Ia benar-benar tidak berpikir sampai sejauh itu. Tentu saja ucapan Nyai Kalawirang membuatnya tersadar dan merasa bersalah.
"Maafkan aku, Nyai. Kau benar. Kalau sampai guru atau Panggali mengetahui hubungan kita, tentu beliau akan marah sekali," sesal Kuncara menyadari kebodohannya. Melihat pemuda itu menundukkan wajahnya dengan penuh penyesalan, maka sikap Nyai Kalawirang kembali berubah lunak. Dibelainya rambut kepala dan wajah pemuda remaja itu lembut. Dibisikkannya kata-kata yang membuat Kuncara mengangkat wajahnya.
"Sudahlah! Jangan bersedih, Kuncara. Lebih baik tunjukkan ilmu 'Pukulan Memecah Badai' dan 'Tendangan Angin Topan' yang diajarkan gurumu. Aku akan mencoba menunjukkan kelemahan-kelemahan gerakanmu, agar kau tidak kalah apabila bertarung melawan Panggali," bujuk Nyai Kalawirang mengajukan usul, bernada lembut.
"Ah! Kau benar, Nyai. Aku harus dapat menunjukkan kepada Eyang Sanca Wisesa kalau bisa sebaik Panggali," tegas Kuncara, mantap. Semangat pemuda itu terbangkit setelah mendengar ucapan Nyai Kalawirang. Tanpa menunggu lagi, dia bergegas bangkit dan melangkah ke depan pondok yang berhalaman luas.
Kuncara berdiri tegak sambil menghembuskan napasnya berkali-kali sebelum memainkan jurus 'Pukulan Memecah Badai'. Sesaat kemudian, kedua kakinya mulai bergeser ke kiri-kanan membentuk kuda-kuda bagai menunggang kuda.
"Haiiittt..!"
"Bagaimana, Nyai? Apakah jurus-jurusku tadi sudah cukup baik? Mohon petunjuk dari Nyai...," pinta Kuncara setelah menyelesaikan latihannya.
Wajah pemuda itu tampak berseri penuh kebanggaan. Apalagi setelah mendapat pujian dari wanita secantik dan semolek Nyai Kalawirang. Jangankan seorang pemuda hijau seperti Kuncara. Biar lelaki yang memiliki banyak pengalaman pun, akan merasa bangga dipuji perempuan cantik.
"Gerakan-gerakanmu sudah cukup baik, Kuncara. Sekarang, marilah kita berlatih bersama-sama. Pergunakanlah kedua ilmu andalanmu itu. Dan aku akan mencoba menutup kelemahan-kelemahan gerakanmu," ajak Nyai Kalawirang sambil melangkah ke tengah lapangan rumput itu.
"Dengan senang hati, Nyai...," sambut Kuncara tanpa merasa curiga sedikit pun. Sepertinya pemuda itu benar-benar telah menaruh kepercayaan penuh kepada wanita cantik yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dengan penuh kegembiraan, Nyai Kalawirang mulai bersiap menghadapi kedua jurus ampuh Eyang Sanca Wisesa yang diwariskan kepada Kuncara.
Menjelang sore, kedua orang itu baru selesai berlatih. Nyai Kalawirang membiarkan saja ketika Kuncara berpamit hendak kembali ke tempat gurunya. Rupanya, wanita cantik itu masih memikirkan jurus-jurus ampuh yang tadi dimainkan Kuncara.
"Nyai, aku pergi dulu...," pamit Kuncara. Pemuda itu merasa heran melihat Nyai Kalawirang nampak masih termenung bagai patung. Dihampirinya wanita cantik itu, lalu diulurkan tangannya untuk menyentuh kedua bahunya.
"Kenapa, Nyai...?" tanya Kuncara cemas melihat wanita cantik itu hanya menunduk diam.
"Oh...! Aku tidak apa-apa, Kuncara. Hanya merasa agak pening sedikit. Jurus-jurus tadi benar-benar membuat aku pusing," sahut Nyai Kalawirang tersentak dari lamunannya. "Pulanglah. Jangan terlalu mencemaskan diriku,"
"Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu baik-baik, Nyai," ujar Kuncara lembut.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Kuncara menyempatkan untuk mencium lembut bibir Nyai Kalawirang yang merah menantang. Sepeninggal Kuncara, Nyai Kalawirang melangkah memasuki pondok. Jurus-jurus ampuh Eyang Sanca Wisesa masih saja memenuhi benaknya.
********************
LIMA
Matahari baru saja muncul dan menampakkan kekuasaannya. Saat itu, nampak dua sosok tubuh melangkah meninggalkan pondok tempat kediaman Eyang Sanca Wisesa. Kedua sosok tubuh itu tak lain dari Kuncara dan Panggali. Seperti biasa, setiap pagi mereka selalu berlatih bersama-sama untuk menyempurnakan ilmu-ilmu mereka.
"Kulihat kemajuan yang kau peroleh sudah semakin pesat, Kuncara. Bagaimana kalau pagi ini berlatih bersama-sama untuk melihat kemajuan kita masing-masing?" usul Panggali yang memang selalu memperhatikan kemajuan Kuncara.
Karena merasa tertarik, maka Panggali mengajukan usul itu. Dan kata-kata itu berarti sebuah tantangan bagi Kuncara. Kuncara yang hampir setengah tahun belakangan ini bergaul intim dengan Nyai Kalawirang, tentu saja telah lama menunggu ucapan itu keluar dari mulut Panggali. Sengaja tantangan itu tidak dikeluarkan lebih dulu, karena takut kalau-kalau ucapannya akan menimbulkan kecurigaan Panggali. Maka ketika saudara seperguruannya mengajukan usul yang memang ditunggu-tunggu, ia pun langsung menerima gembira.
"Baiklah, Panggali. Selama setengah tahun ini, aku telah berlatih keras sesuai anjuranmu. Dan rasanya, kali ini aku tidak akan jatuh di tanganmu seperti dulu. Maka kuharap kau berhati-hati," sahut Kuncara. Pemuda itu sudah merasa yakin akan dapat mengalahkan saudara seperguruannya kali ini. Keyakinan itu dikarenakan telah mendapatkan petunjuk dari Nyai Kalawirang. Hal itu tentu saja tanpa sepengetahuan Panggali maupun eyang gurunya.
"Hm.... Bagus. Kalau begitu, kau harus menunjukkan hasil latihanmu selama setengah tahun ini," tantang Panggali seraya tersenyum lebar. Panggali sama sekali tidak merasa tersinggung atas ucapan Kuncara. Sebaliknya, ia malah merasa bersyukur kalau saudara seperguruannya benar-benar telah berlatih keras seperti yang selama ini dianjurkan. Begitu tiba di tempat mereka biasa berla- tih, kedua orang pemuda yang usianya sebaya itu berdiri berhadapan dalam jarak dua batang tombak
"Bersiaplah, Panggali. Harap berhati-hatilah...," pesan Kuncara dengan kepala tegak. Sikap yang ditunjukkan pemuda itu kali ini, benar-benar angkuh dan memandang rendah lawan.
"Aku sudah siap, Kuncara," sahut Panggali sambil menggeser kedua kakinya membentuk kuda-kuda silang. Sambil merendahkan kedua kakinya, Panggali mengulur tangan kirinya yang berbentuk kepalan halus ke arah lawan. Sedangkan tangan kirinya berada di atas kepala dengan telapak-telapak terbuka. Itulah pembukaan jurus kedua dari ilmu 'Pukulan Memecah Badai'.
"Hmh...!" Kuncara mendengus penuh ejekan melihat persiapan Panggali. Lalu ia pun membentuk kuda-kuda rendah dan mempersiapkan jurus 'Tendangan Angin Topan' yang tidak kalah ampuhnya.
"Jaga seranganku, Panggali...! Haaattt...!" Dibarengi sebuah seruan nyaring, tubuh Kuncara meluncur cepat bagaikan anak panah lepas dari busur.
Bettt! Wukkk!
Sepasang kaki Kuncara berputar bagai baling-baling dan langsung mengirimkan serangkaian tendangan kilat ke seluruh kelemahan di tubuh Panggali.
"Bagus..." Sambil berseru memuji, Panggali menggeser kaki kirinya ke samping. Tubuhnya meliuk cepat bagaikan seekor ular menghindari penggebuk. Tangan kanan dan kirinya membarengi dengan pukulan lurus mengancam dada dan lambung Kuncara. Hal itu dilakukan Panggali karena telah mengenal betul akan kelemahan lawan dalam menggunakan ilmu 'Tendangan Angin Topan'.
Tapi, apa yang dilakukan Kuncara benar-benar membuat Panggali terkejut. Ia yang telah lama mengetahui kelemahan Kuncara dalam setiap mengeluarkan ilmu tendangan itu, tentu saja menjadi heran melihat kaki kanan lawan yang berputar tiba-tiba meluncur turun mengancam be- lakang lehernya.Sadar kalau kedudukannya sangat lemah untuk melakukan tangkisan, maka Panggali menggulingkan tubuhnya ke kiri. Karena kalau serangan diteruskan, dialah yang akan menderita kerugian paling parah. Itulah sebabnya, mengapa ia lebih memilih menghindari diri.
Kuncara yang dalam beberapa jurus saja telah berhasil membuat Panggali kalang kabut tertawa sombong. Untuk menunjukkan kalau dirinya berada di atas angin, sengaja Kuncara tidak mengejar Panggali. Dia malah hanya berdiri tegak menanti saudara seperguruannya bangkit.
"Ilmu apa yang kau pergunakan itu, Kun-cara? Setahuku, gerak itu sama sekali tidak terdapat dalam jurus 'Tendangan Angin Topan'? Dari mana kau mendapatkannya?" tegur Panggali den- gan napas agak memburu. Pemuda itu sadar betul, apabila mengenai sasarannya, mungkin ia akan mengalami luka sangat parah. Bahkan mungkin tulang belakang lehernya akan patah akibat tendangan keras Kuncara tadi.
"Hm.... Itulah hasil latihanku selama ini. Sengaja tidak kutunjukkan saat kita berlatih. Maka, wajar saja kalau kau merasa terkejut sudahlah, ayo kita lanjutkan permainan yang menggembirakan ini," tantang Kuncara. Lagak pemuda itu sangat menyakitkan. Nada suaranya pun terdengar sombong dan sangat merendahkan Panggali. Selesai berkata demikian, Kuncara langsung melompat dan melancarkan serangan tanpa menunggu jawaban Panggali. Sepasang kakinya kembali melancarkan tendangan-tendangan yang sangat berbahaya. Karena sasaran yang dituju adalah jalan-jalan darah besar di tubuh Panggali.
Panggali yang menyadari betapa berbahaya serangan Kuncara, hanya berusaha menghindar saja. Namun sesekali sepasang tangannya meluncur melakukan balasan. Bahkan tenaga yang dikerahkan dalam setiap melakukan serangan balasan, dikerahkan seluruhnya. Dan memang, serangan yang dilakukan Kuncara sangat ganas dan membahayakan.
"Haiiittt..!"
Wuttt! Wuttt! Bettt!
Tiga buah tendangan yang dilontarkan Kuncara secara susul-menyusul dapat dielakkan Panggali dengan menarik mundur tubuhnya sambil membungkuk. Kemudian, serangan itu dibalasnya dengan pukulan dan tusukan jari-jari tangan ke tubuh lawan. Gerakan yang dilakukan Panggali itu sudah tepat sekali. Karena, saat itu pertahanan lambung dan perut Kuncara terbuka lebar.
Kuncara yang telah mendapatkan petunjuk dari Nyai Kalawirang tentu mengetahui bagian terlemah jurus serangannya itu. Namun, itu memang disengaja untuk memancing perhatian Panggali. Maka begitu kedua serangan lawan hampir mengenai tubuhnya, barulah tubuhnya berbalik dan melancarkan tendangan berputar secara tak terduga. Dan....
Buggg!
"Huagkh!" Dibarengi melontarnya darah segar dari mulut, tubuh Panggali pun terpental deras ke belakang. Pemuda itu langsung jatuh berdebuk menimbulkan suara keras. Kuncara berlari menghampiri tubuh Panggali yang tergeletak lemah di atas rerumputan.
"Kau hebat.., Kuncara. Kali ini aku mengaku kalah padamu," lirih sekali kata-kata Panggali ketika mengatakan hal itu.
Sedangkan Kuncara hanya tersenyum, lalu pantatnya dijatuhkan di samping Panggali. Terdengar suara tawanya, menandakan kepuasan hati pemuda itu. Sepertinya dia benar-benar puas dengan hasil yang dicapainya itu.
"Kuncara.... Bolehkah aku tahu, dari mana kau mendapatkan gerakan aneh untuk mengisi kelemahan jurusmu tadi?" tanya Panggali. Pemuda itu berusaha bangkit meski terasa sesak. Ditariknya napas menghilangkan rasa se-sak itu. Untunglah tendangan yang dilancarkan Kuncara tidak terlampau keras. Selain itu ia pun telah melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga luka yang dideritanya tidak terlalu parah.
"Tentu saja diriku sendiri Panggali. Sejak kekalahanku dulu aku berusaha mencari penyebabnya. Setelah aku menemukannya, maka kubuat gerakan penuh tipu daya untuk menyamarkan penglihatan lawan. Dan ternyata aku berhasil gemilang," jawab Kuncara lepas, tanpa keraguan sedikitpun.
"Hm...," Panggali hanya bergumam lirih sebagai tanda percaya atas keterangan Kuncara. Sementara, di dalam hati pemuda itu, sama sekali keterangan saudara seperguruannya tidak dipercayai. Diam-diam Panggali berniat menyelidiki kegiatan Kuncara di Hutan Langkeng. Karena tempat itulah satu-satunya tempat bermain Kuncara selama ini.
Tanpa mempedulikan keadaan Panggali, Kuncara bangkit dari duduknya dan berlatih seperti biasa. Sedangkan Panggali beristirahat untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan lukanya. Usai melakukan latihan, Kuncara melangkah menghampiri Panggali yang saat itu telah mnyelesaikan semadinya.
"Aku pergi dulu, Panggali. Silakan berlatih sepuasmu agar lain kali tidak sampai terkena tendanganku." Setelah mengucapkan kata-kata yang membuat kuping Panggali panas, Kuncara berlalu menuju ke dalam Hutan Langkeng seperti biasa.
Sepeninggal Kuncara, Panggali termenung di tempatnya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya diputuskan untuk menyelidiki kegiatan Kuncara selama ini. Setelah mengambil keputusan, tubuh pemuda itu pun melesat menuju Hutan Langkeng.
********************
Sambil tersenyum-senyum penuh kepuasan, Kuncara melangkah ringan menuju pondok yang didirikannya di tengah Hutan Langkeng. Kelihatan sekali pemuda itu merasa gembira telah berhasil menjatuhkan Panggali.
"Nyai...! Apakah kau ada di dalam...?" seru Kuncara sambil melangkahkan kakinya mendekati pintu pondok yang tertutup rapat.
Belum lagi kakinya menyentuh anak tangga pertama, sesosok tubuh ramping telah berdiri di depan pintu pondok. "Ada apa, Kuncara? Mengapa berteriak-teriak?" tegur Nyai Kalawirang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Wajah wanita genit itu kusut masai. Sambil memamerkan senyumnya yang memikat, Nyai Kalawirang melangkah menuruni anak tangga. Wanita cantik itu tidak berusaha mengelak ketika Kuncara memburunya dan langsung menciumi sambil berbisik parau.
"Aku berhasil, Nyai. Panggali, murid emas eyang guruku itu telah dapat kujatuhkan. Terima kasih atas segala petunjuk yang kau berikan ini, Nyai," ucap Kuncara tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh molek itu.
"Hm.... Bagus kalau begitu. Dan mulai sekarang kau harus mematuhi segala perintahku. Apakah kau bersedia?" tanya Nyai Kalawirang mulai berani menekan pemuda itu.
"Tentu saja, Nyai. Tapi sekarang aku ingin..." Kuncara tidak meneruskan ucapannya. Langsung dipondongnya tubuh molek yang menggairahkan itu ke dalam pondok.
Nyai Kalawirang tentu saja tahu apa yang diinginkan pemuda itu. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini wanita genit itu berusaha melepaskan pelukan Kuncara. "Jangan sekarang, Kuncara. Hari ini aku merasa lelah sekali. Lebih baik, nanti saja kalau aku sudah merasa lebih sehat" elak Nyai Kalawirang. Setelah berkata demikian, wanita cantik itu melangkahkan kakinya menuruni tangga menuju halaman depan pondok.
"Baiklah, Nyai. Kalau kau merasa kurang sehat aku tidak memaksa," sahut Kuncara. Pemuda itu segera berlari mengikuti langkah kaki Nyai Kalawirang. Lalu, dipeluknya tubuh wanita itu dari belakang. Kemudian, diajaknya duduk di atas rerumputan.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan mereka, sepasang mata di balik rimbunan semak belukar menyaksikan semua perbuatan Nyai Kalawirang dan Kuncara dengan sinar mata berkilat. "Hm.... Siapa pun adanya wanita cantik yang bersama Kuncara itu, jelas bukan orang sembarangan. Melihat dari sikap Kuncara yang begitu manis dan penurut, dapat kuduga kalau di antara mereka pasti telah terjalin hubungan erat. Entah sejak kapan Kuncara bergaul dengan wanita cantik yang jelas sangat berbahaya itu?" gumam pemilik sepasang mata di balik rimbunan semak belukar. Siapa lagi orang itu kalau bukan Panggali.
Panggali yang bersifat lebih pendiam dan memiliki pandangan luas, mulai dapat meraba perbuatan Kuncara selama ini. Meskipun baru melihat sekali, namun Panggali sudah dapat menebak kalau wanita cantik yang bersama Kuncara itu bukan orang baik-baik. Maka, iapun berniat mengadukan hal itu kepada eyang gurunya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Panggali segera meninggalkan tempat itu dengan gerakan perlahan. Sebab, sedikit saja menimbulkan suara mencurigakan, bukan tidak mungkin akan terdengar oleh mereka. Sedangkan untuk menangkap basah perbuatan Kuncara, ia tidak berani karena selain belum tahu bagaimana tanggapan Kuncara, wanita cantik itu pun patut diperhitungkan juga. Sebab, bukan tidak mungkin memergoki secara langsung, kedua orang itu akan mengeroyoknya. Dan itu sama sekali tidak diinginkan Panggali. Maka ia pun mengambil keputusan untuk mengadukannya kepada Eyang Sanca Wisesa.
********************
"Kuncara, sebaiknya kau pulang sekarang. Besok, baru kau kembali lagi kemari. Mudah-mudahan besok rasa lelahku sudah hilang," pinta Nyai Kalawirang sambil mengecup lembut wajah Kuncara.
"Hhh.... Sebenarnya aku enggan sekali untuk pulang. Lagi pula hari masih siang. Tapi karena kau kurang sehat baiklah. Tapi, besok aku tidak mau ditolak seperti ini lagi" kata Kuncara, dengan wajah kecewa.
"Tentu, Kuncara. Besok diriku kupersiapkan sebaik mungkin. Hari ini aku benar-benar tidak ingin diganggu," sahut Nyai Kalawirang seraya tersenyum lembut.
Setelah menatap lekat-lekat wajah Nyai Kalawirang, Kuncara segera bangkit dan melangkah meninggalkan tempat itu dengan wajah lesu. Sedangkan Nyai Kalawirang hanya menatapi punggung pemuda itu disertai senyum liciknya.
Sepeninggal Kuncara, dari dalam pondok muncul seraut wajah menyeramkan. Sepasang matanya yang seperti mata binatang liar, berputar sejenak memeriksa keadaan di sekelilingnya. Setelah memastikan kalau di tempat itu hanya tinggal Nyai Kalawirang seorang, barulah kakek berwajah mirip singa jantan itu melangkah keluar dari dalam pondok. Nyai Kalawirang menolehkan kepala ketika telinganya menangkap langkah berat menghampiri tempatnya.
"Hampir saja dia memergoki kita, Nyai. Untunglah dia berteriak sebelumnya. Kalau tidak, entah bagaimana tanggapannya melihat wanita cantik yang diimpikannya berada dalam pelukanku. Malah bisa jadi dia akan mengamuk dan mening- galkanmu," kata kakek menyeramkan yang tak lain dari Singa Gurun Setan. Sambil menjatuhkan tubuhnya di samping Nyai Kalawirang.
"Hm Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu ditakuti dari pemuda itu. Tapi, alangkah baiknya kalau dia dapat diajak bekerja sama. Sebab, ia merupakan seorang pembantu yang baik dan bisa diandalkan. Bagaimana menurutmu, Singa Gurun Setan?" tanya Nyai Kalawirang mengajukan usul.
"Tapi, apakah tidak terlalu membahayakan, Nyai? Walaupun telah benar-benar jatuh ke dalam pelukanmu, kelihatannya pemuda itu masih belum kau kuasai sepenuhnya," sergah Singa Gurun Setan meragu.
"Jangan khawatir. Mulai besok, aku akan memberikan tekanan-tekanan padanya agar mau mematuhi segala perintahku. Tapi kalau menolak, apa susahnya melenyapkannya?" sahut Nyai Kalawirang yang mulai menunjukkan sifat aslinya.
"Ha ha ha...! Tentu saja tidak sulit, Nyai. Untuk melenyapkan pemuda itu, bagiku semudah membalikkan telapak tangan," sambut Singa Gurun Setan terbahak serak.
Mendengar ucapan itu, Nyai Kalawirang mengikik gembira. Sambil tertawa-tawa kedua orang tokoh sesat itu bangkit berdiri dan melang- kah bergandengan menuju pondok. Tak lama setelah tubuh mereka lenyap di balik pintu, terdengar tertawa cekikikan yang ditingkahi suara derit balai-balai bambu.
********************
Pemuda tampan berusia delapan belas tahun itu melangkah lesu sambil menggendong kayu bakar di bahu kanannya. Diletakkannya kayu bakar bawaannya di atas tumpukan kayu bakar lainnya, di samping pondok bambu sederhana. Baru saja pemuda tampan yang tak lain dari Kuncara itu duduk melepaskan lelah, tiba-tiba muncul Panggali menghampiri.
"Kuncara, Eyang Sanca Wisesa memanggilmu. Beliau menunggu di ruang tengah," ujar Panggali begitu tiba di depan Kuncara..Wajah Panggali terlihat tidak ramah dan seperti tengah menyimpan kemarahan.
"Pergilah dulu, aku segera menyusul," sahut Kuncara tanpa semangat. Kepalanya tetap saja menunduk seperti enggan menatap wajah saudara seperguruannya.
"Tidak, Kuncara. Eyang menyuruh kita berdua untuk menghadap sekarang juga," desak Panggali dengan suara yang tidak enak didengar.
Kuncara mengangkat wajahnya mendengar suara Panggali yang lain dari biasanya itu. Dan ketika melihat sinar mata saudara seperguruannya, hatinya berdebar tegang. Jelas sinar mata itu menyiratkan rasa muak penuh hinaan. Tentu saja hati Kuncara semakin tak karuan. Berbagai dugaan semakin memenuhi benaknya.
"Baik, aku segera menghadap...," sahut Kuncara. Pemuda itu menarik napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang dipenuhi debar ketegangan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya dan melangkah mengikuti Panggali.
Kuncara yang dapat meraba sikap Panggali, memutar otaknya untuk mengatur siasat licik. Melihat sikap dan cara Panggali, ia tahu saudara seperguruannya mungkin telah memergoki ketika ia sedang bersama Nyai Kalawirang. Hanya itulah satu-satunya dugaan yang ada dalam hatinya. Sebab selain itu, Kuncara merasa yakin tidak mempunyai kesalahan lain yang patut ditakuti. Maka, otaknya segera bekerja mempersiapkan jawaban apabila dugaannya benar.
"Masuklah...," sambut suara berat dan serak ketika Panggali dan Kuncara memasuki pondok kediaman Eyang Sanca Wisesa.
"Guru... Kami datang menghadap "
Sambil berkata demikian, Panggali dan Kuncara menjatuhkan diri, berlutut di hadapan kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih. Kakek itu bersila sambil memejamkan mata dengan wajah tenang menyiratkan sinar kesabaran.
Saat kedua orang muridnya sudah duduk bersila di depannya, perlahan Eyang Sanca Wisesa membuka kedua matanya. Begitu terbuka, sinar mata yang tajam bagai ujung pedang itu langsung menatap tajam ke bola mata Kuncara.
"Kuncara.... Menurut keterangan Panggali, kau telah bergaul dengan orang luar. Benarkah?" tanya Eyang Sanca Wisesa langsung tanpa basa-basi lagi.
Seketika Kuncara tersentak. Hampir pasti dugaannya benar. "Bergaul dengan orang luar bagaimana, Eyang? Aku sungguh belum mengerti maksud pertanyaan Eyang itu?" jawab Kuncara berbohong, sambil balas menatap pandangan mata Eyang Sanca Wisesa. Bahkan tanpa rasa gentar sedikit pun. Tentu saja hal itu membuat gurunya menjadi ragu.
"Hm.... Coba ceritakan apa yang kau lihat di dalam Hutan Langkeng, Panggali," pinta Eyang Sanca Wisesa mengalihkan pandangan kepada Panggali. Sinar mata yang tajam bagai ujung pedang itu, sejenak membuat Panggali gugup.
Setelah menarik napas berulang-ulang, Panggali segera menceritakan mengenai yang dilihatnya tadi pagi. Sedangkan Eyang Sanca Wisesa mendengarkan dengan kening berkerut.
"Bohong...!" bantah Kuncara dengan suara menggelegar. Sambil berkata demikian, pemuda itu bergegas bangkit dari duduknya. Dengan wajah merah padam, Kuncara menundingkan telunjuknya ke wajah saudara seperguruannya.
"Jelas ini fitnah, Eyang. Aku yakin Panggali hanya merasa iri karena pagi tadi telah kukalahkan ketika berlatih bersama! Dan rasa iri itu membuatnya tega melemparkan fitnah kepadaku!" teriak Kuncara yang menjadi marah bukan main.
"Benar kau kalah berlatih bersama Kuncara, Panggali?" tegur Eyang Sanca Wisesa bernada penuh tuntutan. Jelas kakek itu merasa tidak senang kepada Panggali. Sebab hal itu tidak diceritakan kepadanya.
"Benar, Eyang. Tapi, kekalahanku itu tidak mutlak. Sebab Kuncara telah menggunakan gerak-gerak aneh yang asing bagiku. Karena tidak kuduga, maka aku dapat terkena tendangan Kuncara," sahut Panggali dengan wajah agak pucat.
Diam-diam hati pemuda itu mengutuk kelicikan Kuncara yang ternyata pandai memutarbalikkan kenyataan. Padahal, selama ini ia mengenal Kuncara sebagai orang yang jarang berbicara. Kalaupun berdebat dengannya, Kuncara tidak akan pernah menang. Maka, ia pun heran melihat betapa pandainya pemuda itu hari ini. Sehingga, gurunya pun seperti memihak kepada Kuncara. Dan tentu saja hal itu membuatnya menjadi cemas.
"Tunjukkan gerak-gerak aneh yang disebutkan Panggali itu, Kuncara," pinta Eyang Sanca Wisesa beralih kepada Kuncara.
Tanpa ragu-ragu lagi, Kuncara segera menunjukkan gerakan-gerakan yang digunakan ketika menjatuhkan Panggali. Melihat betapa gurunya mengangguk-anggukkan kepala, hati Kuncara pun menjadi lega.
"Hm.... Bagaimana kau dapat memperoleh gerakan untuk menutup kelemahan permainan jurusmu itu, Kuncara?" tanya Eyang Sanca Wisesa, tanpa nada kemarahan sedikitpun.
"Aku menciptakannya sendiri, Eyang. Pikiran itu kudapatkan setelah kalah bertarung dengan Panggali pada setengah tahun yang lalu. Apakah perbuatanku itu salah, Eyang...?" tanya Kuncara bagaikan orang tak berdosa. Senyum pemuda itu mulai mengembang ketika tidak melihat nada kemarahan lagi dalam setiap pertanyaan gurunya.
"Sama sekali tidak salah. Bahkan aku merasa bangga dengan apa yang telah kau dapatkan itu. Sudahlah. Kalian berdua boleh pergi. Aku ingin beristirahat," ujar Eyang Sanca Wisesa. Setelah berkata demikian kedua mata kakek itu pun kembali terpejam, tanda kalau benar- benar tidak ingin diganggu.
Melihat sikap Eyang Sanca Wisesa, Kuncara dan Panggali pun bergegas bangkit dan meninggalkan pondok itu. Panggali menghentikan langkahnya di depan pintu pondok. Ditatapinya punggung Kuncara yang tanpa banyak cakap lagi langsung meninggalkan pondok Eyang Sanca Wisesa. Diam-diam Panggali berjanji untuk menangkap basah Kuncara.
Benar-benar tidak disangka kalau Kuncara akan demikian pandainya mengelak dari pertanyaan gurunya. Hatinya benar-benar benci memikirkan kata-kata Kuncara yang lancar, dengan wajah tanpa dosa. Apalagi mengingat, betapa ia dibuat malu di hadapan Eyang Sanca Wisesa tadi.
"Hm.... Tunggulah, Kuncara. Aku akan menangkap basah perbuatanmu yang memalukan itu!" ancam Panggali seraya mengepalkan tinjunya erat-erat, hingga menimbulkan suara berkerotokan nyaring.
********************
"Eyang...!"
Pemuda tampan itu berteriak keras cepat menuju pondok tempat kediaman Eyang Wisesa. Begitu tiba di depan pintu pondok, tubuhnya langsung melesat ke dalam. Eyang Sanca Wisesa yang baru saja melangkahkan kakinya mendekati pintu, segera menggeser tubuhnya agar tidak sampai bertubrukan dengan sosok tubuh yang melompat masuk itu.
"Kuncara, ada apa...? Mengapa berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan...?" tegur Eyang Sanca Wisesa begitu dapat mengenali sosok tubuh yang hampir menabraknya.
"Eyang! Dugaanku ternyata benar!" sahut Kuncara. Napas pemuda itu tampak terengah-engah. Di sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir. Sepertinya, dia telah mengalami luka yang cukup parah.
"Kau terluka, Kuncara...?" tanya kakek itu sambil mengulur tangan hendak memeriksa luka di tubuh Kuncara.
"Panggali.... Panggali ternyata sengaja melemparkan fitnah keji kepadaku untuk menutupi perbuatannya. Siang ini, aku memergokinya tengah bermesraan dengan seorang wanita genit berusia sekitar empat puluh tahun. Pasti wajahnya yang cantik itulah, penyebab jatuhnya Panggali ke dalam pelukan wanita itu. Sayang, Panggali tidak menghiraukan nasihatku. Mereka berdua mengeroyokku. Dan akibatnya, aku mengalami luka, Eyang..," lapor Kuncara sambil sesekali menyeringai menekap dadanya.
"Di mana mereka...?" tanya Eyang Sanca Wisesa dengan nada suara yang berusaha menekan kesabaran. Namun, wajah kakek itu nampak pucat jelas hatinya sangat terpukul atas laporan Kuncara.
"Di dalam gua dekat sungai, Eyang...," sahut Kuncara cepat. "Tapi..., wanita yang bersama Panggali itu lihai sekali, Eyang..."
"Hm.... Kau tinggallah di sini...," ujar Eyang Sanca Wisesa cepat.
Belum lagi Kuncara sempat mengangguk, tubuh kakek itu telah lenyap dan hanya tampak bayangannya saja di kejauhan. Senyum iblis pun tersungging di wajah Kuncara.
"Biar tahu rasa kau, Panggali!" gumam pemuda itu seraya tersenyum penuh kemenangan.
Sementara itu, Eyang Sanca Wisesa telah berlari cepat menuju aliran sungai. Dalam waktu yang singkat saja, kakek sakti itu telah tiba di tempat Panggali berada. Wajah kakek itu berubah merah ketika melihat di depan mulut gua itu terdapat dua sosok tubuh yang hampir tak berpakaian. Gemetar seluruh tubuh renta itu didera pukulan batin yang sangat berat.
"Panggali..., keluar kau...!" terdengar bentakan menggeledek yang bergetar keluar dari mulut kakek itu.
Bagaikan disambar petir, pucat selebar wajah Panggali. Seluruh tubuhnya bergetar ketika mendengar suara yang amat dikenalnya. Sedangkan sosok tubuh setengah telanjang lainnya yang tak lain Nyai Kalawirang, melompat keluar setelah mengenakan pakaiannya. Dengan wajah berang, wanita cantik berusia empat puluh tahun itu langsung menuding wajah Eyang Sanca Wisesa.
"Tua bangka tak tahu adat! Kau rupanya memang senang mengintip perbuatan orang, ya! Tidak tahu malu!" maki Nyai Kalawirang tanpa rasa gentar sedikit pun. Bahkan pada wajah cantik itu terlihat senyum penuh ejekan.
"Hm Rupanya kau, Nyai Kalawirang, Masih belum jera juga setelah ku pecundangi pada waktu yang lalu. Sebaiknya pergi, dan tinggalkan tempat ini sebelum kesabaranku habis!" ancam Eyang Sanca Wisesa. Sama sekali orang tua itu tidak mempedulikan Nyai Kalawirang. Karena saat itu perhatiannya lebih tertuju kepada Panggali.
"Huh! Tua bangka sombong! Kau akan rasakan bagianmu nanti!" Setelah mengeluarkan ancaman itu, tubuh Nyai Kalawirang langsung melesat pergi. Dari kejauhan, lapat-lapat terdengar tawanya yang menyebalkan.
Eyang Sanca Wisesa sama sekali tidak mempedulikan kepergian Nyai Kalawirang. Sepasang mata kakek itu sudah terhunjam ke sosok tubuh Panggali yang seluruh tubuhnya gemetar bagai orang terserang demam. Sekilas, terlihat wajah kakek itu menyeringai menahan rasa nyeri di dadanya, menyaksikan kelakuan murid tersayangnya.
Sepertinya, jiwa kakek itu telah terpu- kul hebat.
********************
Panggali berdiri dengan wajah tertunduk pucat. Tidak ada bantahan sedikit pun yang terlontar dari mulutnya. Sebab disadari sepenuhnya kalau bantahan itu tidak akan dapat melunakkan hati kakek yang berhati keras dan tegas dalam melatih dirinya dan Kuncara. Hanya ia tidak mengerti, mengapa semua itu harus dilakukannya?"Kau sadar atas kesalahanmu, Panggali...?" tegur Eyang Sanca Wisesa dengan suara parau. Dari tekanan nada suaranya, jelas kalau kakek itu berusaha menekan kemarahannya.
"Tapi, Eyang..."
"Sebaiknya segera angkat kaki dari tempat ini. Jangan coba membela diri. Karena, mata kepalaku sendiri yang telah menyaksikan perbuatanmu! Mudah-mudahan setelah kau terjun ke dalam dunia ramai, sifat busukmu itu berubah," geram Eyang Sanca Wisesa. Suaranya terdengar menggeletar menekan kepedihan hatinya.
"Ampunkan aku, Eyang.... Jagalah diri Eyang baik-baik...," rintih Panggali dengan suara parau. Hati pemuda itu benar-benar sedih mendengar kata-kata guru yang disayanginya. Sadar kalau perbuatannya tidak mungkin dapat pengampunan, maka Panggali hanya dapat bersujud di bawah kaki kakek itu.
"Pergilah. Simpan nasihatmu itu untuk dirimu sendiri...," sahut Eyang Sanca Wisesa mengangkat wajahnya menatap langit biru yang jernih. Dari kerut-kerut di wajahnya, jelas sekali kalau kakek itu amat terpukul atas perbuatan Panggali. Terdengar helaan napas berat mewakili kepedihan hatinya.
"Eyang..." Panggali mengangkat tubuhnya bangkit. Dengan mata basah, pemuda itu membalikkan tubuhnya. Kemudian, ia langsung berlari meninggalkan puncak Gunung Langkeng.
Baru beberapa langkah berlari, Panggali membalikkan tubuhnya. Dipandanginya wajah Eyang Sanca Wisesa dari kejauhan. Sepasang mata basah itu terus berputar mengelilingi sekitar puncak itu. Sepertinya, semua kenangan di dalam benaknya ingin disimpan di hati. Setelah puas memandangi semua yang ada di sekitar puncak Gunung Langkeng, Panggali me- mutar tubuhnya. Kemudian, dia melangkah gontai menuruni lereng gunung.
"Ahhh, Panggali... Kau benar-benar telah mengecewakan aku...," bisik kakek itu lirih penuh kedukaan. Dipandanginya punggung pemuda itu dengan perasaan tak menentu. Lama setelah bayangan Panggali menghilang di balik tikungan jalan, barulah Eyang Sanca Wisesa memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Uhhh..." Baru beberapa tindak kakinya melangkah, terlihat wajah kakek itu menyeringai sambil menekap dadanya. Rupanya pukulan batin itu terlampau berat bagi orang setua Eyang Sanca Wisesa. Kedukaan kembali timbul, mengingat murid satu-satunya yang diharapkan dapat meneruskan ilmunya, ternyata telah melakukan perbuatan rendah dan memalukan. Betapa sangat menykitkan.
Eyang Sanca Wisesa menghentikan langkahnya sejenak. Ditatapnya cakrawala, sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Baru setelah itu langkahnya dilanjutkan menuju pondok. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Eyang Sanca Wisesa, sepasang mata basah menatapinya dari balik sebatang pohon besar. Terdengar keluhan lirih dari mulut pemuda itu.
"Ampuni aku, Eyang,... Aku telah menghancurkan harapan dan cita-citamu selama ini...," desah pemuda itu pilu. Setelah bayangan kakek itu lenyap, barulah tubuhnya berputar meninggalkan puncak Gunung Langkeng tempat ia dididik sejak berusia lima tahun. Dari langkah kakinya yang gontai, jelas pemuda itu mengalami pukulan batin atas kejadian tadi.
Sedangkan di tempat lain, di balik rimbunan semak belukar, tampak dua sosok tubuh menatap gembira. Terdengar kekeh serak dan genit dari mulut keduanya. Mereka tak lain adalah Singa Gurun Setan dan Nyai Kalawirang yang merasa bangga melihat keberhasilan siasatnya itu. Mereka pun segera melesat pergi setelah tubuh Eyang Sanca Wisesa dan Panggali lenyap dari pandangan.
********************
Dengan wajah harap-harap cemas, Kuncara berlari-lari kecil memasuki Hutan Langkeng. Ketika Eyang Sanca Wisesa terlihat kembali dengan wajah membayangkan kedukaan, pemuda itu sudah hampir memastikan kalau rencananya berhasil baik. Maka bergegas ditemuinya Nyai Kalawirang.
Pemuda tampan itu sempat tertegun melihat Nyai Kalawirang ternyata telah berdiri menunggunya di depan pondok. Dan yang membuat wajahnya seketika masam adalah, adanya seorang kakek raksasa berwajah menyeramkan berdiri di samping wanita cantik itu. Dengan dada terbakar rasa cemburu, Kuncara menatap tajam ke arah kakek berwajah singa itu.
"Hik hik hik..! Mengapa kau terlihat tidak begitu gembira, Kuncara? Bukankah rencana yang kita buat semalam sudah berhasil dengan baik? Apa lagi yang dirisaukan?" tegur Nyai Kalawirang. Wanita itu berpura-pura tidak mengetahui perasaan Kuncara. Dengan langkah yang dibuat-buat didekatinya Kuncara.
"Siapa kakek muka singa itu, Nyai? Selama ini aku belum pernah melihatnya? Mengapa tahu-tahu berada di tempatku ini?" bisik Kuncara tanpa berusaha menyembunyikan perasaan cemburunya. Sepasang mata pemuda itu tetap mengawasi Singa Gurun Setan dengan sinar mata menyelidik. Sepertinya, Kuncara hendak menilai hubungan antara kakek itu dengan Nyai Kalawirang.
"Ah! Aku sampai lupa!" seru wanita genit itu berpura-pura sambil menampar keningnya perlahan. "Dia adalah sahabat baikku yang berjuluk Singa Gurun Setan. Perlu kau ketahui, Kuncara. Kami adalah dua orang sahabat yang pernah dipecundangi gurumu pada sepuluh tahun yang lalu. Sekarang, kami sudah merasa cukup kuat untuk melakukan pembalasan kepadanya. Nah kau boleh pilih. Ikut bersamaku, atau ingin membela eyang gurumu itu?" Nyai Kalawirang tanpa tedeng aling-aling lagi menekan Kuncara. Melihat dari sikap dan nadanya berbicara, jelas wanita genit itu merasa yakin kalau Kuncara akan lebih memilihnya.
Untuk beberapa saat lamanya, Kuncara termenung. Meskipun sudah lama merasa tidak suka kepada gurunya, namun untuk memilih kedua hal tersebut, ia masih merasa ragu. "Mengapa harus melawan guruku, Nyai? Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja meninggalkan tempat itu tanpa mengganggu beliau? Aku akan turut ke mana kau pergi, Nyai," Akhirnya setelah berpikir beberapa saat lamanya, keluar juga ucapan dari mulut Kuncara. Tapi sayang, ucapan itu sama sekali tidak menyenangkan hati Nyai Kalawirang.
"Tidak bisa, Kuncara. Bila ingin ikut bersamaku dan tetap menjadi kekasihku, harus terlebih dahulu membalaskan sakit hati yang selama ini membuatku tersiksa. Kalau tidak mau, boleh pergi ke mana saja kau suka. Tapi ingat! Jangan campuri dan halangi niatku ini!" ancam Nyai Kalawirang mulai menunjukkan keaslian sifatnya.
"Ha ha ha...! Sebaiknya kita tak usah membuang-buang waktu lagi, Nyai. Ini adalah saat yang paling tepat untuk melakukan pembalasan. Si tua bangka itu pasti sekarang tengah memikir- kan murid kesayangannya. Kesempatan sebaik ini tidak boleh dilewatkan begitu saja." Singa Gurun Setan yang semenjak tadi hanya diam membisu, mulai angkat bicara. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah mendekati Nyai Kalawirang.
"Hm.... Rupanya kaulah yang menghasut Nyai Kalawirang untuk memusuhi guruku, Kakek Jelek! Keparat, Kubunuh kau...!" bentak Kuncara melampiaskan kemarahannya kepada Singa Gurun Setan. Kemudian tubuh pemuda itu langsung melesat, siap melontarkan serangan maut kepada Singa Gurun Setan.
"Kuncara.... Tahan...!" Melihat Kuncara telah melompat dan hen- dak menyerang Singa Gurun Setan, Nyai Kalawirang membentak dan langsung melompat menghadang pemuda itu.
"Mengapa, Nyai?! Biar kubunuh orang yang telah menghasutmu ini!" seru Kuncara dengan wajah pucat. Hati pemuda itu benar-benar telah jatuh ke dalam perangkap cinta Nyai Kalawirang. Akibatnya, terpaksa Kuncara menahan serangannya dan berdiri menatap wanita itu dengan wajah sedih.
"Kuncara! Selain kau tidak bakal menang melawan Singa Gurun Setan, aku pun tidak akan membiarkan perbuatanmu itu!" bentak Nyai Kalawirang. Sama sekali hati wanita itu tidak tersentuh dengan pandangan penuh kasih dari Kuncara.
"Nyai..., kau..., kau tidak mencintaiku lagi...?" tanya Kuncara lirih dan parau. Dalam ucapan pemuda itu terkandung kepedihan yang mendalam. Jelas, kalau Kuncara benar-benar mencintai Nyai Kalawirang. Entah cinta karena nafsu atau memang ucapan itu keluar dari hatinya yang tulus.
"Tentu saja aku masih mencintaimu, Kuncara. Tapi kalau benar-benar mencintaiku, kau harus menuruti semua kata-kata dan perintahku! Kalau tidak, aku tidak akan sudi melihat wajahmu lagi!" sahut Nyai Kalawirang.
Sepertinya Nyai Kalawirang masih memerlukan tenaga pemuda itu untuk kepentingannya. Itulah sebabnya, ia masih berusaha membawa Kuncara ke pihaknya. Kalau tidak, tentu pemuda itu sudah dibunuhnya sejaktadi. Perasaan cinta dan ingin selalu berdekatan dengan Nyai Kalawirang, ternyata telah membutakan mata Kuncara. Padahal, selama ini ia diasuh Eyang Sanca Wisesa. Dan perasaan cinta itu pulalah yang membuat Kuncara terpaksa mengikuti kemauan wanita genit hamba nafsu itu.
"Baiklah, Nyai. Aku akan mematuhi segala perintahmu, asalkan kita tetap bersama," sahut pemuda itu mengambil keputusan.
"Nah! Begitu baru bagus...," seru Nyai Kalawirang gembira. Dan, tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh Kuncara erat-erat.
"Mari kita pergi...," lanjut wanita itu sambil melangkah meninggalkan Hutan Langkeng. Kuncara pun melangkah di belakang Nyai Kalawirang.
Singa Gurun Setan tertawa terbahak-bahak melihat keberhasilan Nyai Kalawirang. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun segera mengiringi di belakang kedua orang itu.
********************
"Hai...! Tua bangka Sanca Wisesa! Keluar kau...! Aku Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Setan datang menagih hutang!" terdengar seruan keras yang ditujukan kepada penghuni pondok di tengah puncak Gunung Langkeng itu. Nyai Kalawirang dan SingaGurun Setan, berdiri berdampingan dengan sikap pongah. Sedangkan Kuncara berdiri di belakang kedua tokoh sesat itu dengan wajah agak pucat. Biar bagaimanapun, pemuda itu masih merasa ragu untuk menyakiti gurunya. Tapi, perasaan cintanya terhadap Nyai Kalawirang, telah membuatnya menjadi sesat.
"Hm.... Nyai Kalawirang, Singa Gurun Setan. Rupanya kalian yang datang," sambut kakek renta yang tak lain dari Eyang Sanca Wisesa..Namun, mata tua itu sejenak tertegun melihat Kuncara di antara mereka. Sekali pandang saja, kakek itu sadar kalau ia telah melakukan kesalahan besar dengan mempercayai murid yang dididiknya sejak berusia lima tahun itu.
"Kuncara.... Kiranya apa yang dikatakan Panggali bukan hanya fitnah belaka. Kau..., kau telah tersesat dengan bersekutu kepada mereka. Kembalilah, Kuncara. Jangan ikuti hawa nafsumu. Kau akan menyesal nanti," bujuk Eyang Sanca Wisesa dengan wajah semakin berduka.
Baru saja ia mengusir pergi Panggali, kini muncul Kuncara murid yang tinggal satu-satunya itu. Dan kedatangan pemuda itu sudah jelas bukan dengan niat baik. Maka semakin berdukalah hati kakek renta itu. Dan ia pun sadar kalau kematiannya sudah berada di ambang pintu.
"Jangan dengarkan ocehan tua bangka bermulut palsu itu, Kuncara. Ingatlah! Tua bangka itu telah berlaku tidak adil. Dia lebih menyayangi Panggali daripada dirimu. Maka, sudah sepatutnya kakek bermulut palsu itu dibinasakan!" bujuk Nyai Kalawirang berbisik di telinga Kuncara. Karena, ia merasa khawatir kalau-kalau pendirian pemuda itu menjadi berubah.
Setelah berkata demikian, Nyai Kalawirang segera melompat ke hadapan Eyang Sanca Wisesa. Perbuatan itu diikuti Singa Gurun Setan. Kedua tokoh sesat itu menatap penuh dendam ke arah lawannya.
"Bersiaplah untuk menerima pembalasan kami, Sanca Wisesa...!" bentak Nyai Kalawirang sambil melolos sebuah cambuk berpucuk sembilan.
Jtarrr! Cterrr!
Terdengar ledakan-ledakan keras ketika Nyai Kalawirang melecutkan cambuk mata sembilannya berkali-kali di udara. Tenaga yang dikerahkannya tidak kepalang tanggung. Memang, wanita itu sadar betul kalau lawannya bukanlah orang sembarangan.
Singa Gurun Setan tidak ketinggalan. Kakek bertubuh raksasa dan berwajah menyeramkan itu pun sudah pula mempersiapkan ilmu andalannya yang amat mengerikan. Kuku-kuku jari tangannya tampak bergetar dan mengepulkan uap tipis dan berbau busuk. Menilik dari bau yang ditimbulkannya, jelas kuku-kuku Singa Gurun Setan mengandung racun jahat yang mematikan. Itulah jurus 'Cakar Siluman Singa' yang membuat nama kakek raksasa itu amat ditakuti dalam kalangan rimba persilatan.
"Hm..." Melihat kedua orang calon lawannya sudah mengeluarkan ilmu andalannya masing-masing, Eyang Sanca Wisesa segera melompat ke halaman samping pondok. Begitu sepasang kakinya hinggap di atas rumput tebal, sepasang tangan kakek itu langsung berputaran hingga menimbulkan deru angin kuat Rupanya, ia sudah pula mengeluarkan ilmu 'Pukulan Memecah Badai' yang merupakan salah satu ilmu andalannya. Dengan ilmu itu pula, pada sepuluh tahun yang lalu Nyai Kalawirang dan Singa Gurun Setan dapat ditundukkan.
"Majulah kalian...," tantang Eyang Sanca Wisesa dengan suara yang mengandung perbawa kuat. Biarpun melihat adanya Kuncara di antara lawannya, namun kakek itu sama sekali tidak merasa gentar. Meskipun bukan tidak mungkin kalau kedua orang itu telah mempelajari ilmunya melalui Kuncara, tetap saja Eyang Sanca Wisesa memainkan ilmu andalannya itu.
"Haiiit..!"
Disertai teriakan menggeledek bagai singa luka, tubuh Singa Gurun Setan melesat dengan kedua cengkeraman mautnya. Sepasang cakar beracun itu menyambar cepat mengarah leher dan perut Eyang Sanca Wisesa.
Bettt! Wukkk!
Cepat kakek itu menggeser tubuhnya, menghindari cakaran maut lawan. Kemudian, dibalasnya dengan hantaman telapak tangan kanan yang langsung mengancam dada Singa Gurun Setan.
Wuttt!
Hantaman telapak tangan Eyang Sanca Wisesa berhasil dielakkan lawannya. Namun, secepat kilat tubuh kakek itu berputar disertai sebuah tendangan kilat yang meluncur deras ke arah dagu Singa Gurun Setan.
Zebbb!
"Aaaihhh...!" Bukan main terkejutnya kakek raksasa itu melihat serangan yang cepat tak terduga. Untunglah ia tidak kehilangan akal. Begitu tendangan lawan tiba, cepat tubuhnya didoyongkan ke belakang dan langsung melempar tubuh melakukan beberapa kali salto di udara. Selamatlah kakek raksasa itu dari ancaman ilmu 'Tendangan Angin Topan' yang digabungkan secara tak terduga dengan ilmu 'Pukulan Memecah Badai'.
Benar-benar hebat dan mengejutkan hasil perpaduan kedua ilmu dahsyat yang dilakukan Eyang Sanca Wisesa. Kakek sakti dari Gunung Langkeng yang semula berniat mengejar lawan, cepat melompat mundur ketika merasakan sambaran angin kuat disertai ledakan yang mengancam dari samping.
Jtarrr! Cterrr!
Hantaman cambuk yang meledak-ledak memekakkan telinga itu hanya mengenai angin kosong. Karena, Eyang Sanca Wisesa telah bergerak cepat menjauhkan dirinya dari ancaman cambuk maut itu. Bahkan masih sempat melakukan tusukan jari-jari tangan kiri yang meluncur lurus mengancam tubuh Nyai Kalawirang.
Siuuut!
Terdengar suara mencicit tajam ketika jari-jari tangan Eyang Sanca Wisesa menusuk cepat bagai kilat. Nyai Kalawirang bergegas menarik mundur kaki kanannya ke belakang. Sambil berbuat demikian, cambuknya dikibaskan langsung mengancam sembilan jalan darah di tubuh lawannya. Gerakan cambuk itu benar-benar membuat Eyang Sanca Wisesa kewalahan. Belum lagi serangan cambuk Nyai Kalawirang sempat dihalaunya, tahu-tahu dari samping sebelah kanan meluncur cengkeraman Singa Gurun Setan. Dari angin sambarannya, dapat ditebak kalau kakek menyeramkan itu telah mengerahkan seluruh tenaganya.
Jtarrr! Prattt! Desss!
"Aaakh...!" Meskipun Eyang Sanca Wisesa yang dalam keadaan terjepit itu mampu menangkis sambaran cambuk Nyai Kalawirang, namun sebuah tendangan keras telah membuat tubuh kakek renta itu terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya. Rupanya cengkeraman yang dilakukan Singa Gurun Setan hanya merupakan tipuan semata. Akibatnya, tubuh Eyang Sanca Wisesa terjungkal tertendang oleh kakek raksasa yang bersarang tepat didadanya.
Sedangkan Nyai Kalawirang yang cambuknya sempat ditangkis lawan, terdorong mundur beberapa langkah ke belakang. Hal itu dikarenakan, tenaga dalam yang dimilikinya masih berada di bawah tenaga dalam Eyang Sanca Wisesa. Namun, wanita cantik yang genit itu memang patut mendapat pujian. Dorongan tangkisan lawan ternyata dapat dimanfaatkannya sebaik mungkin.
Pada saat tubuhnya terdorong mundur, wanita cantik itu bergegas memutar tubuh dengan menyilangkan kaki depan ke belakang. Dan saat itu juga, tubuhnya yang ramping langsung melesat disertai lecutancambuknya. Saat itu, Eyang Sanca Wisesa yang tengah bergulingan tak sempat lagi untuk menghindari lecutan cambuk Nyai Kalawirang yang datang ber- tubi-tubi.
Ctarrr! Jterrr!
"Aarghhh...!" Eyang Sanca Wisesa meraung ketika ujung cambuk yang runcing itu berkali-kali melecut tubuhnya. Tubuh tua itu menggelepar bagai ayam dis- embelih. Darah pun mengalir dari pakaiannya yang telah terkoyak, akibat lecutan cambuk yang mengandung tenaga dalam tinggi. Belum lagi siksaan itu berakhir, sebuah tendangan keras dari telapak kaki raksasa milik Singa Gurun Setan, telah membuat tubuh renta itu terlontar beberapa tombak.
Bruggg!
"Aaahhh...!" Erang kesakitan meluncur dari mulut kakek renta itu. Wajahnya berkerinyut menahan rasa sakit yang diderita. Tubuh Eyang Sanca Wisesa terkapar lemah, antara sadar dan tidak. Yang menandakan kalau kakek itu masih tersadar adalah erangan lirih yang keluar dari bibirnya.
"Hik hik hik...! Kau tidak akan kubunuh, Tua Bangka! Kematian terlalu enak bagimu!" ejek Nyai Kalawirang. Wanita itu berdiri tegak di dekat tubuh lemah tak berdaya. Kemudian wanita kejam itu menolehkan kepalanya ke arah Kuncara yang hanya dapat memandang dengan wajah pucat
"Kuncara...!" seru Nyai Kalawirang "Cabut senjatamu! Kalau memang benar-benar ingin ikut bersamaku, buntungi kedua lengan dan kaki kakek ini! Biar dia tidak membahayakan kita di kemudian hari."
Nyai Kalawirang sengaja menyuruh Kunca- ra untuk melakukan perbuatan itu. Selain hal itu dapat menunjukkan kesetiaan Kuncara, sekaligus ingin memukul perasaan musuhnya dengan menyuruh muridnya melakukan penyiksaan. Perbua- tan itu tentu akan mendatangkan kedukaan besar bagi Eyang Sanca Wisesa. Benar-benar keji sekali iblis wanita berwajah cantik itu.
Sedangkan Kuncara sendiri langsung pucat wajahnya. Pemuda itu tidak mempunyai pilihan lagi, selain menuruti perintah Nyai Kalawirang. Karena sudah telanjur basah, maka Kuncara berniat menceburkan dirinya sekaligus. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, pemuda itu mencabut pedang yang terselip di pinggang kanannya.
"Ampuni aku, Eyang...!" gumam pemuda itu berbisik lirih. Sebentar kemudian pedang itu diayunkan untuk membabat kedua kaki Eyang Sanca Wisesa, orang tua yang telah mendidiknya dari kecil.
Crakkk! Crakkk!
Aaarghhh...!" Kakek renta itu meraung setinggi langit ketika sepasang kakinya tertebas putus hampir mencapai pangkal paha. Tubuhnya bergulingan bermandikan darah segar yang langsung menyembur dari luka di kedua kakinya. Belum lagi siksaan itu berkurang, pedang di tangan Kuncara kembali menebas dua kali.
Crasss! Crakkk!
Raung kesakitan kembali terdengar merobek angkasa. Tubuh kakek yang malang itu kembali bergulingan didera sengsara. Untunglah Eyang Sanca Wisesa telah jatuh pingsan, sehingga rasa sakit yang meremas jantungnya tidak lagi dirasakan.
"Bagus, Kuncara. Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Biarkan saja tubuh tua bangka itu," perintah Nyai Kalawirang sambil menarik tangan Kuncara dan membawanya pergi.
"Ha ha ha...! Selamat menikmati penderitaan, Sanca Wisesa," ledek Singa Gurun Setan sambil melangkahkan kakinya mengikuti Nyai Kalawirang dan Kuncara yang sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Tinggallah tubuh sengsara Eyang Sanca Wisesa terkapar tak berdaya. Hanya semilir angin puncak Gunung Langkeng saja yang masih setia menemaninya.
********************
Pemuda bertubuh tegap itu melangkah lesu dengan wajah tertunduk. Menilik dari garis-garis wajahnya, jelas kalau dia tengah menderita pukulan batin yang amat berat. Pakaian yang dikenakannya pun lusuh dan kumal, menandakan kalau dia telah cukup lama tidak menggantinya.
"Ohhh..., mengapa semua itu harus kulakukan...? Bagaimana mungkin aku bisa terjatuh ke dalam pelukan wanita iblis itu...?" gumam pemuda berwajah gagah itu penuh sesal.
Dengan wajah geram, ditendangnya sebutir kerikil untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Pemuda gagah yang tak lain dari Panggali itu menghenyakkan tubuhnya di tepi jalan, di bawah sebatang pohon. Ditengadahkan wajahnya, mencoba mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Masih terbayang jelas dalam ingatan Panggali, ketika keesokan pagi setelah ia dan Kuncara dipanggil Eyang Sanca Wisesa, ia pergi menyelidiki ke dalam Hutan Langkeng. Tekadnya yang bulat ingin menangkap basah Kuncara, ternyata telah menyebabkannya terusir dari puncak Gunung Langkeng.
Memang benar, ia telah berhasil menemukan wanita genit yang pernah dilihatnya bersama Kuncara. Bahkan saat itu, wanita genit yang dicurigainya tengah bersama seorang kakek raksasa bermuka singa. Namun, setelah Panggali bertarung dan dikalahkan, ia tidak ingat apa-apa lagi. Ia pun tidak mengerti, mengapa tahu-tahu saja sudah berada di dalam gua bersama wanita genit itu, saat didatangi gurunya. Apalagi saat itu, keadaannya benar-benar sangat memalukan.
"Ahhh..., apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku...?" desah Panggali seraya menekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sepertinya pemuda itu sudah tidak mempedulikan lagi keadaan dirinya yang mirip seorang gembel yang selalu mengganggu. Pikirannya hanyalah, perbuatan terkutuk dan amat memalukan itu.
"Hhh..., aku harus mencari tahu, apa yang telah menyebabkan aku melakukan perbuatan memalukan itu. Satu-satunya orang yang harus kucurigai hanyalah Kuncara. Ya! Pasti dia mengetahui semua ini. Bahkan bukan tidak mungkin kalau semua ini adalah rencananya yang diatur bersama wanita iblis itu. Hm.... Awas kau, Kuncara! Tunggulah pembalasanku...!" geram Panggali sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Namun, semangat pemuda itu kembali luntur ketika teringat wanita cantik dan kakek muka singa yang amat lihai itu. Dugaannya kalau kedua orang itu bersekutu dengan Kuncara membuatnya menjadi lemas. Sebab, tidak mungkin mengalahkan kedua orang itu. Jangankan maju bersama-sama, untuk mengalahkan salah satu dari mereka saja jelas tidak mungkin Entah, bagaimana caranya ia dapat membongkar kebusukan Kuncara. Untuk meminta bantuan gurunya, jelas tidak bisa diharapkan.
"Ohhh..., apa yang harus kulakukan? Kepada siapa aku bisa meminta bantuan? Menghadapi mereka seorang diri, sama saja bunuh diri. Ohhh..., Tuhan. Tolonglah hambamu..." desah Panggali putus asa.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, tiba-tiba Panggali teringat cerita gurunya tentang tokoh-tokoh persilatan. Wajahnya segera ditengadahkan memandang hamparan langit biru. Seolah-olah ia ingin mengingat semua yang pernah diceritakan gurunya tentang pendekar-pendekar pembela kebenaran.
"Ketahuilah, Muridku. Meskipun dalam dunia ini banyak terdapat orang kejam berhati iblis, tapi tidak sedikit pula yang berjiwa bersih. Kelompok orang berjiwa bersih itu dinamakan pendekar-pendekar pembela kebenaran. Dan mereka tidak segan-segan turun tangan membela orang- orang lemah tanpa pamrih. Untuk menjadi orang seperti itulah kalian kudidik di tempat ini."
Panggali mengusap wajahnya perlahan ketika teringat wejangan gurunya. Perlahan ia bangkit berdiri, dan mengayun langkah memasuki perbatasan sebuah desa.
"Desa Teja Mukti...," bibir pemuda tegap itu menggerimit. membaca tulisan yang terdapat pada tiang batu di tepi jalan. "Apakah pendekar-pendekar yang diceritakan Eyang Sanca Wisesa ada di Desa Teja Mukti ini? Kalau ada, bagaimana aku bisa mengetahui kalau ia seorang pendekar yang dimaksud eyang?"
Cukup lama Panggali termenung memikirkan hal itu. Ia yang dari kecil tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, tentu saja menjadi bingung. Seperti diketahui, selama ini ia hanya tinggal di atas puncak Gunung Langkeng. Tidak ada orang lain yang menemaninya, selain Kuncara dan Eyang Sanca Wisesa. Maka wajar saja kalau pemuda gunung itu buta akan kehidupan luar Puncak Gunung Langkeng. Dan ia pun tidak tahu, siapa orang-orang yang disebut sebagai pendekar. Karena, cerita itu hanya didengar dari mulut gurunya saja.
"Hm Orang yang kucari adalah pendekar pemberantas kejahatan," gumam pemuda itu sambil menjentikkan jarinya.
Senyum di wajah Panggali segera mengembang. Sepertinya, dia telah menemukan cara untuk mencari orang yang disebut sebagai pendekar itu. Maka, bergegas kakinya mulai melangkah memasuki batas Desa Teja Mukti. Tak berapa lama kemudian, Panggali tiba di mulut desa. Bagaikan orang bodoh, sepasang matanya berputar merayapi rumah-rumah di sekitarnya. Sepasang mata pemuda itu baru berhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah kedai makan yang tampak ramai dikunjungi orang. Setelah mengacak-acak rambutnya hingga wajahnya tampak seram, pemuda itu pun mengayun langkahnya memasuki kedai. Dipilihnya salah satu meja yang kosong.
"Makan...!" teriak Panggali sambil menggebrak meja hingga menimbulkan suara berderak rebut.
Sebelah kaki pemuda itu naik ke atas kursi. Sedangkan tangan kanannya berada di pinggang. Sikap pemuda itu sudah tak ubahnya seorang jagoan pasar. Puluhan pasang mata serentak menoleh ke arah Panggali. Beberapa di antaranya tampak memandang dengan sinar mata tak senang. Sedangkan yang bernyali kecil, langsung saja angkat kaki meninggalkan kedai makan. Maka dalam sekejap saja, hiruk-pikuklah suasana di dalam kedai makan itu.
"Hm.... Taruh kembali makanan itu. Biar kuberi pelajaran orang yang tak tahu adat ini," geram seorang lelaki brewok bertubuh gemuk.
Sambil berkata demikian, tangannya yang besar dan berbulu lebat itu mendorong pelayan setengah baya. Sehingga, pelayan yang semula hendak menyiapkan permintaan Panggali, kembali ke tempatnya semula. Dengan langkah lebar, lelaki gemuk berwajah brewok itu menghampiri Panggali. Langkahnya sengaja diberat-beratkan, hingga menimbulkan suara berdebum. Hal itu dimaksudkan untuk membuat Panggali gentar.
"Kisanak! Tidak dapatkah kau berlaku sedikit sopan? Sadarkah kau, kalau caramu itu bisa menimbulkan kemarahan orang?" bentak lelaki brewok itu yang menghentikan langkahnya beberapa tindak dari tempat Panggali.
Bentakan keras itu sama sekali tidak membuat Panggali gentar. Dipandanginya orang itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu patah kata pun tidak terlontar dari bibirnya sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. Sebaliknya, Panggali malah melontarkan pertanyaan setelah selesai mengamati orang itu.
"Apakah kau seorang pendekar...?" tanya Panggali penuh harap.
Pertanyaan yang dianggap lucu itu tentu saja membuat lelaki brewok dan beberapa orang lainnya tertawa terbahak-bahak. Sehingga, Panggali menjadi heran dibuatnya.
"Apakah pertanyaanku salah...?" ujar pemuda tegap itu mengedarkan pandangannya dengan wajah ketololan.
"Ha ha ha...!"
Kembali orang-orang yang masih tinggal di dalam kedai makan itu tertawa mendengar pertanyaan Panggali. Bahkan beberapa orang di antaranya jatuh terduduk sambil memegangi perut yang terasa mules.
"Ha ha ha...! Kukira kau perampok kesasar. Tak tahunya hanya seorang pemuda gila!" ledek lelaki brewok itu seraya tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar pertanyaan yang baginya jelas sangat lucu.
Melihat betapa semua orang yang berada di kedai itu mentertawai pertanyaannya, keheranan Panggali seketika berubah menjadi kemarahan. Digebraknya meja kuat-kuat dengan wajah merah padam. "Bangsat! Rupanya kalian semua sengaja hendak mengejekku! Apa dipikir aku tidak bisa menampar mulut kalian yang kurang ajar!" bentak Panggali, menggelegar.
Tentu saja bentakan yang didorong tenaga dalam tinggi itu sangat mengejutkan. Tawa yang riuh rendah langsung lenyap seketika. Bahkan beberapa orang di antaranya yang jelas tidak memiliki kepandaian silat, langsung terduduk lemas di atas kursinya. Wajah mereka pun pucat pasi akibat bentakan yang mengguncangkan jantung itu.
"Dasar orang gila! Mulutmulah yang harus kutampar...!" seru lelaki brewok itu balas memaki Panggali. Seperti ingin membuktikan ucapannya, laki-laki brewok itu langsung mengayun tangan menampar mulut pemuda yang dianggap orang gila.
"Ha..." Melihat datangnya tamparan yang baginya lambat itu, Panggali hanya mengeluarkan suara mengejek. Tamparan itu sama sekali tidak dielakkan. Karena sekali melihat saja, langsung dapat dinilai kalau lelaki brewok itu hanya menggunakan tenaga kasar dalam melakukan tamparan.
Plakkk!
"Aaaduhhh...!" Lelaki gemuk brewok itu berteriak kesakitan ketika tamparannya tepat menghantam pipi Panggali. Tubuh gemuk itu kontan terjajar mundur menabrak meja di belakangnya, hingga menimbulkan suara hiruk-pikuk.
Orang-orang yang berada di dalam kedai itu melongo keheranan. Jelas-jelas mereka melihat wajah pemuda itu terkena tamparan. Tapi, mengapa yang terjatuh justru orang yang menampar? Benar-benar tak masuk akal kejadian itu.
Sedangkan bagi Panggali sendiri, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai murid kesayangan Eyang Sanca Wisesa, tentu saja dia telah memiliki tenaga dalam tinggi. Dan tenaga itu disalurkannya ke wajah, untuk melindungi dari tamparan si brewok. Tentu saja lelaki brewok yang tidak memiliki tenaga dalam terjungkal dibuatnya.
"Pemuda iblis...!" desis beberapa orang pengunjung kedai yang tidak mengerti ilmu silat.
Mereka langsung mengambil langkah seribu, meninggalkan kedai itu. Sedangkan empat orang lainnya termasuk si brewok, langsung mengurung Panggali dengan senjata terhunus. Menilik gerakannya, jelas kalau mereka hanyalah memiliki ilmu silat pasaran yang mengandalkan tenaga kasar saja. Panggali hanya bergumam menghadapi kurungan empat orang kasar itu. la pun melesat keluar kedai karena tidak ingin merugikan pemilik kedai.
"Bangsat! Mau lari ke mana kau, Pemuda Gila...!" teriak lelaki brewok itu sambil melompat mengejar.
Perbuatan lelaki brewok itu diikuti ketiga orang kawannya. Mereka kembali langsung mengurung Panggali di depan kedai. Pemuda itu memang sengaja menunggu pengeroyoknya. Dan baginya, memang lebih baik bertarung di luar kedai agar orang yang menyaksikannya lebih banyak. Tentu saja dengan harapan, agar ada pendekar yang ikut melihat perbuatannya.
"Serbu....!" seru laki-laki brewok itu sambil melompat maju disertai ayunan senjatanya.
Panggali berdiri tenang menghadapi empat batang golok yang mengancamnya. Begitu serangan tiba, tubuh pemuda itu menyelinap di antara sinar golok pengeroyoknya. Gerakan itu dibarengi kibasan tangan yang hampir tidak terlihat mata.
Wuttt! Wuttt!
Plakkk! Plakkk! Plakkk!
Sekali bergerak saja, empat orang pengeroyok langsung jatuh berdebuk di atas tanah. Senjata-senjata mereka terpental entah ke mana. Terdengar rintih kesakitan dari mulut keempat orang kasar itu. Karena, masing-masing telah terkena tamparan tangan Panggali yang cukup untuk menghentikan keroyokan.
Pemuda gagah bertubuh tegap itu berdiri memandangi tubuh keempat pengeroyoknya. Pada wajahnya tampak jelas kekecewaan melihat pengroyoknya dapat dirobohkan hanya sekali gebrak saja. Dan hal ini justru membuat Panggali kecewa. Lamunan pemuda itu mendadak buyar ketika terdengar bentakan keras mengandung tenaga dalam.
"Manusia keparat dari mana yang berani mengacau desa ini...!" bentak suara berat itu. Sebentar kemudian, berkelebat dua sosok tubuh ke tengah bekas arena pertarungan.
Panggali cepat menolehkan kepala dengan senyum lebar menghias wajah. Sebab dari bentakan itu, jelas terkandung tenaga dalam tinggi. Bayangan tentang pendekar rimba persilatan pun melintas di benaknya.
"Hm Kedua orang itu pasti yang dinamakan pendekar," gumamnya penuh harap. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Panggali pun memutar tubuhnya langsung melangkah mendekati kedua orang yang baru tiba.
Kedua orang yang baru tiba itu langsung menghunus senjata begitu melihat Panggali melangkah mendekati. Melihat dari pakaian dan rambut pemuda itu, mereka menduga kalau Panggali adalah orang gila.
"Aha.... Kalian pasti pendekar-pendekar rimba persilatan. Ayo, majulah. Serang aku..." tantang Panggali, persis seperti orang kurang waras.
"Kurang ajar! Dasar orang gila! Ayo kita tangkap dia, Kakang Jumena...," ujar laki-laki berkepala botak yang memiliki tubuh kekar berotot.
Setelah berkata demikian, laki-laki besar itu langsung melesat sambil menyabetkan pedang dengan gerakan menyilang. Lelaki tinggi kurus yang dipanggil Jumena itu segera melesat menyusuli kawannya. Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan sinar menyilaukan mata. Sepintas saja, dapat ditebak kalau orang yang bernama Jumena itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawannya. Hal itu dapat dilihat dari caranya memainkan senjata.
"Hiaaattt..!"
Wuttt! Bettt!
"Bagus...!" puji Panggali gembira sambil menggeser kaki kanannya ke samping dengan kuda-kuda rendah. Sambil mengelak sepasang tangannya langsung melontarkan dua buah pukulan ke arah perut dan dada kedua orang pengeroyoknya.
Zebbb! Wukkk!
Serangan balasan yang cepat dan kuat itu tentu saja membuat kedua orang lawan terkejut. Cepat keduanya memutar tubuh, membentuk lingkaran. Itu dilakukan untuk menghindari ancaman pukulan Panggali. Bahkan mereka langsung melancarkan serangan balasan yang cukup berbahaya.
"Ah.... Bagus...!" lagi-lagi terdengar pujian dari mulut Panggali.
Sambaran senjata lawan yang mengancam leher dan lambung, dielakkan pemuda itu dengan menarik mundur kaki depan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Gerakan yang dilakukan Panggali tidak berhenti sampai di situ saja. Pemuda bertubuh tegap itu langsung membalas dengan pukulan dan tendangan cepat dan mengejutkan.
Namun, kekompakan gerak kedua orang lawannya itu memang benar-benar hebat. Sehingga, Panggali semakin gembira dibuatnya. Pertarungan yang cukup seru dan ramai itu tentu saja menarik perhatian penduduk Desa Teja Mukti. Sehingga setelah pertarungan berlangsung selama dua puluh jurus, tempat itu sudah dipadati penduduk setempat.
"Dalam beberapa jurus lagi, kedua orang pembantu kepala desa itu pasti akan kalah, Kakang...," bisik seorang dara jelita berpakaian hijau. Gadis itu berdiri diantara kerumunan penduduk di samping seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih. Melihat dari sikap dan caranya menilai, jelas kalau dara jelita itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi.
"Ya! Kerjasama kedua orang itu memang cukup baik. Tapi sayang, pemuda yang dikira orang gila itu memiliki kepandaian di atas mereka. Bahkan sepertinya tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi keroyokan lawannya. Entah apa maksudnya membuat kekacauan desa ini?" sahut pemuda tampan itu yang juga berbisik. Sedangkan sepasang matanya yang tajam, tetap tidak beralih dari arena pertarungan.
"Hiaaat..!"
Ketika pertarungan telah memasuki jurus yang kedua puluh lima, tiba-tiba saja Panggali berseru nyaring mengejutkan kedua orang pengeroyoknya. Berbarengan teriakan itu, tiba-tiba saja gerakannya dirubah.
Wuttt! Wukkk!
Apa yang dilakukan Panggali benar-benar mengejutkan. Sepasang tangannya mengibas ke kiri-kanan, menimbulkan sambaran angin kuat. Rupanya, pemuda tegap itu telah mengeluarkan salah satu ilmu andalannya, 'Pukulan Memecah Badai'. Bukan hanya kedua orang pengeroyok itu saja yang menjadi terkejut melihat perubahan gerak lawan. Bahkan dara jelita berpakaian hijau dan pemuda tampan berjubah putih itu juga memandang kagum.
"Lihat! Pemuda itu mulai mengeluarkan ilmu andalannya..." bisik pemuda berjubah putih, persis di telinga dara jelita yang berdiri di samping kirinya.
"Apa tidak membahayakan kedua orang pembantu kepala desa itu, Kakang...?" tanya dara berpakaian serba hijau itu terlihat agak camas.
"Lihat saja...," sahut pemuda berjubah putih itu sambil tetap mengikuti jalannya pertarungan.
Saat itu, Jumena dan orang berkepala botak tampak sudah semakin terdesak hebat. Serangan-serangan Panggali yang menimbulkan sambaran angin kuat benar-benar membuat mereka tak berkutik. Sehingga, mereka hanya dapat bermain mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
"Hihhh...!" Sambil membentak, Panggali mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Serangan angin kuat menyambar kedua orang pengeroyok yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat.
Wusss!
Namun tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan putih yang langsung memapak serangan Panggali.
Bresss!
Terdengar benturan keras yang membuat udara di sekitar tempat itu bergetar keras. Bahkan disusul dengan terlemparnya tubuh Panggali sejauh dua batang tombak ke belakang. Namun, kelincahan pemuda bertubuh tegap itu memang patut dipuji. Dengan beberapa kali putaran manis, daya lontar itu berhasil dipunahkan. Sehingga, Panggali dapat mendarat manis di tanah. Meskipun ketika menyentuh tanah gerakannya limbung, tapi perbuatan pemuda itu telah membuat para penduduk terpukau kagum.
Sementara, di tengah arena pertarungan telah berdiri gagah sesosok tubuh berjubah putih. Sedangkan Jumena dan lelaki kekar berkepala botak yang mengeroyok Panggali masih berdiri pucat di belakang sosok tubuh itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," lirih dan agak bergetar ucapan lelaki tinggi kurus yang bernama Jumena itu. Karena, saat itu hatinya masih diliputi ketegangan.
Sedangkan sosok berjubah putih itu mengangguk ramah sambil memamerkan senyum lembut.
********************
DELAPAN
"Siapa kau, Kisanak..? Tenaga dalammu hebat sekali...," seru Panggali merasa terkejut bukan main merasakan kekuatan tenaga dalam pemuda berjubah putih itu. "Namaku, Panji. Orang-orang rimba persilatan menjuluki ku sebagai Pendekar Naga Putih. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu dan mengapa kau seperti sengaja mencari keributan?" sahut Panji yang balik melontarkan pertanyaan. Nada suara pemuda itu sama sekali tidak mengandung permusuhan. Bahkan terkesan bersahabat.
"Pendekar Naga Putih... Pendekar Naga Putih...," gumam Panggali mencoba mengingat-ingat. Jelas, sepertinya ia pernah mendengar julukan itu sebelumnya.
Pemuda tampan berjubah putih yang memang Pendekar Naga Putih itu memandang Panggali dengan kening berkerut. Tadi julukannya sengaja diperkenalkan, sebab sempat didengar tadi kalau pemuda bertubuh tegap itu seperti sengaja hendak mencari orang yang menggunakan julukan pendekar. Maka, dirinya diperkenalkan untuk melihat tanggapan pemuda gagah itu.
"Ahhh..., aku ingat sekarang. Guru pernah bercerita tentang seorang pendekar muda yang telah mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini. Dan pendekar muda itu berjuluk Pendekar Naga Putih, Kaukah pendekar muda itu, Kisanak..?" tanya Panggali dengan suara penuh harap. Bahkan tatapan sepasang matanya pun jelas menggambarkan harapan.
"Seingatku, julukan Pendekar Naga Putih adalah pemberian orang-orang rimba persilatan. Sedangkan tentang terguncangnya dunia persilatan karena kehadiranku, sama sekali tidak kuketahui. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu," sahut Panji, seolah-olah merasa menyesal karena tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan.
"Aku tidak peduli semua itu. Yang kubutuhkan adalah seorang pendekar sakti. Karena, aku sangat membutuhkan bantuannya. Kulihat kepandaianmu tadi sangat hebat. Tapi, aku belum begitu yakin kalau belum mencoba secara sungguh-sungguh. Sekarang bersiaplah! Jaga dirimu baik-baik kalau tidak ingin celaka atau tewas karenanya," tegas Panggali tanpa senyum.
Dan begitu ucapan pemuda itu selesai, kedua telapak kakinya bergeser membentuk kuda-kuda seperti menunggang kuda. Gerakan itu dibarengi putaran sepasang tangannya kemudian bergerak turun naik seiring langkah kakinya.
Bettt! Bettt!
Panji sempat tertegun melihat akibat yang ditimbulkan gerakan lawan. Hembusan angin keras yang menerpa tubuhnya, membuat pemuda tampan ini sadar akan bahayanya serangan itu. "Kisanak! Jangan gegabah! Perbuatanmu ini sangat berbahaya...!" seru Panji mengingatkan.
Tapi karena Pendekar Naga Putih melihat pemuda itu seperti tak peduli, maka napasnya disedot dalam-dalam. Dikerahkannya 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk menghadapi gempuran yang sudah pasti sangat dahsyat itu.
Wusss!
Hawa dingin menusuk tulang langsung menyebar berbarengan dengan terbentuknya lapi- san kabut putih bersinar yang menyelimuti seluruh tubuh pemuda tampan itu.
"Sambutlah pukulanku! Hiaaattt..!"
Diawali teriakan mengguntur, tubuh Panggali langsung melesat disertai dorongan kedua telapak tangannya dalam jurus 'Pukulan Memecah Badai' yang konon kedahsyatannya tidak diragukan.
Sadar betapa berbahayanya serangan lawan, maka tubuh Panji pun segera melesat memapak dengan dorongan sepasang telapak tangan.
"Hiattt..!"
Blarrr...!
Ledakan keras terdengar menggetarkan udara di sekitar arena pertarungan, disusul berpentalnya tubuh Panggali diiringi suara jerit kengeriannya.
Brugkh!
Kembali suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh Panggali terbanting ke atas tanah. Pemuda bertubuh tegap itu menggigil bagaikan terserang demam hebat. Bahkan di sekeliling tubuhnya, muncul kabut putih yang menandakan kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah merasuk ke dalam tubuhnya.
Sedangkan Panji sendiri, tetap tak bergeming di tempatnya. Walaupun tenaga dalamnya tidak dikerahkan sampai ke puncak, namun sudah cukup untuk menghadapi gempuran Panggali. Hal itu tentu saja sudah diketahuinya sejak semula. Entah apa yang akan dialami Panggali apabila Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga sepenuhnya.
Melihat keadaan lawan, Panji pun bergegas menghampiri. Pemuda itu membungkukkan tubuh, memeriksa tubuh Panggali. Menilik dari wajah Pendekar Naga Putih yang tenang setelah memeriksa tubuh lawannya, dapat ditebak kalau nyawa pemuda itu masih bisa diselamatkan.
Panji menjejalkan sebutir obat pulung berwarna merah setelah memijat dan menghapus darah di sudut bibir pemuda itu. Semua perbuatannya dilakukan cepat dan penuh ketelitian. Tak berapa lama kemudian, terlihat Panggali mulai membuka kedua kelopak matanya. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat wajah Panji di dekatnya.
"Jelas, kaulah orang yang kucari-cari, Pendekar Naga Putih. Marilah kita segera pergi ke Gunung Langkeng. Di sanalah kepandaianmu dibutuhkan," ajak Panggali begitu sadar dari pingsannya.
"Sabarlah, Kisanak. Pulihkan dulu kesehatanmu. Setelah itu, barulah kita bicarakan masalah yang tengah kau hadapi itu," sergah Panji. Bibir Pendekar Naga Putih tersenyum melihat semangat dan ketabahan pemuda gagah itu. Lalu, Panji bangkit dan melangkah mendekati Kenanga yang tengah menantinya.
Setelah Panggali menyelesaikan semadi dan menceritakan persoalannya, maka Panji dan Kenanga mengikuti pemuda gagah itu. Tujuan mereka adalah Gunung Langkeng, tempat kediaman Eyang Sanca Wisesa.
********************
"Tolong.... Tolong...!"
Seorang gadis manis bertubuh ramping dan berpakaian awut-awutan berlari cepat sambil berteriak-teriak. Tidak dipedulikan lagi telapak kakinya yang telanjang sehingga menginjak duri tajam. Wajahnya yang bulat telur itu, tampak pucat dan basah oleh air mata.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Manis. Percuma saja berteriak-teriak. Tempat ini sangat jauh dari perumahan penduduk," ujar seorang pemuda tampan bertelanjang dada yang mengejarnya sambil tertawa gembira.
Gadis manis itu terus saja berlari tanpa mempedulikan arah. Yang terpikir hanyalah melarikan diri sejauh-jauhnya untuk menghindari pemuda tampan di belakangnya. Pakaian yang dikenakannya pun sudah semakin tak karuan. Banyak sobekan di sana-sini akibat tersangkut ranting- ranting pohon.
Sedangkan pemuda tampan yang mengejarnya seperti sengaja mempermainkan gadis itu. Padahal kalau dilihat dari caranya berlari, jelas kepandaian silatnya tidak rendah. Sekilas saja, sudah dapat ditebak kalau pemuda itu tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan pengejaran. Sehingga, pemuda itu tak ubahnya bagai seekor harimau yang mempermainkan buruannya. Tengah asyiknya pemuda tampan itu melakukan pengejaran sambil tertawa-tawa gembira, tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan yang langsung menyambar tubuh gadis itu.
Weeesss! Tappp!
"Auw…!" Terdengar pekik tertahan dari gadis manis itu ketika merasakan tubuhnya ditangkap dan langsung dibawa terbang. Sekejap kemudian, sosok bayangan itu pun lenyap bersama gadis dalam pondongannya. Keduanya menghilang begitu saja, di balik semak belukar yang tumbuh rapat.
Bukan main terkejutnya pemuda tampan itu ketika melihat buruannya lenyap disambar sosok tubuh yang memiliki gerakan cepat bagai kilat, sambil bertolak pinggang, pemuda itu berdiri angkuh merayapi sekitarnya.
"Hei! Manusia pengecut! Tunjukkan dirimu kalau benar-benar jantan! Jangan bisanya hanya main sembunyi seperti maling!" bentak pemuda tampan itu mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, gema suaranya terdengar jauh hingga belasan tombak
"Hm Siapa yang pengecut, Kuncara? Dan siapa pula maling itu?" terdengar ejekan yang berasal dari belakang pemuda tampan bernama Kuncara itu.
Pemuda tampan bertelanjang baju itu memang Kuncara. Rupanya, nafsu iblis yang dibangkitkan Nyai Kalawirang sudah semakin menggila. Sehingga, pemuda itu mulai tidak puas hanya dengan menggauli Nyai Kalawirang. Maka diculiknya gadis-gadis desa untuk dijadikan pemuas nafsu iblisnya.
"Oh! Rupanya kau, Panggali. Sedang apa kau di sini, Murid Murtad?" ejek Kuncara. Sama sekali dia tidak merasa gentar melihat kedatangan Panggali. Sebab, ia yakin dengan kepandaian yang dimilikinya sekarang. Jadi jelas, Panggali dengan mudah akan dapat ditundukkannya. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya demikian sombong.
"Setan! Kaulah murid murtad yang durhaka itu, Kuncara. Kau bukan saja telah memfitnah-ku dengan menggunakan Nyai Kalawirang! Tapi yang lebih keji lagi, kau tega menyiksa guru hanya karena tubuh molek wanita iblis itu! Kau benar-benar manusia iblis! Sepantasnya, kau tidak hidup bersama manusia! Lebih tepat kau bersama-sama iblis-iblis Hutan Langkeng!" bentak Panggali.
Pemuda itu rupanya sudah mengunjungi Gunung Langkeng dan menemukan tubuh sengsara gurunya. Dan memang, Eyang Sanca Wisesa masih bisa diselamatkan karena Panggali, Pendekar Naga Putih, dan Kenanga cepat datang. Kemudian Panji mengobatinya, agar darah yang keluar dari tubuh tua itu berhenti. Dan ketika Eyang Sanca Wisesa sadar, ia menyuruh Panggali untuk mencari Kuncara, saudara seperguruannya yang murtad itu.
Kuncara sempat bergetar hatinya ketika mendengar ucapan Panggali. Jelas, saudara seperguruannya itu telah kembali ke puncak dan menemukan tubuh gurunya yang telah cacat. Kuncara pun sadar, kalau Eyang Wisesa lah yang telah menyuruh pemuda itu untuk mencarinya. Namun, semua perasaan itu kembali ditekannya. Dan sikapnya pun kembali sombong.
"Hm.... Rupanya kau sampai pula ke tempat ini, Murid Emas?" kembali Kuncara mengejek disertai senyum liciknya.
"Setelah beberapa hari mengikuti jejakmu, aku singgah di desa yang kehilangan gadis-gadis dan pemuda-pemuda tampan. Sungguh tak kusangka kalau itu semua adalah hasil perbuatan biadabmu, Kuncara. Kau benar-benar telah berubah menjadi iblis! Tak ada lagi hukuman yang lebih tepat untukmu, selain kematian!" bentak Panggali.
Semula Panggali hanya menduga bahwa Kuncara hanya terbujuk rayuan Nyai Kalawirang saja. Tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Panggali benar-benar tidak mengerti. Mengapa Kuncara telah berubah sedemikian jauhnya. Sedikit pun tidak terlihat bekas-bekas hasil didikan Eyang Sanca Wisesa.
"Tidak usah berpura-pura suci, Panggali. Bukankah kau juga pernah menikmati kehangatan tubuh Nyai Kalawirang? Dan kalau sekarang ingin menikmati gadis manis milikku itu, tidak usah malu-malu. Ambillah. Aku masih bisa mencari yang lain," kata Kuncara mencoba mengingatkan tentang perbuatan Panggali dengan Nyai Kalawirang.
"Dasar manusia kotor! Jangan dikira aku tidak tahu, mengapa aku sampai berbuat begitu. Semua itu adalah hasil permainan sihir Singa Gurun Setan. Guru telah memberitahukan kepadaku. Jadi jelas, perbuatanku itu sama sekali bukan karena kemauanku sendiri. Dan guru pun telah menyadari kekeliruannya," sahut Panggali. Rupanya pemuda itu telah mendapat penjelasan dari Eyang Sanca Wisesa. Itu semua diceritakan gurunya setelah sembuh berkat perawatan Pendekar Naga Putih yang datang bersamanya.
"Jadi, apa maumu sekarang?" tantang Kuncara dengan lagak sangat sombong.
"Menghukum mu! Aku akan membawamu hidup atau mati ke hadapan Eyang Sanca Wisesa! Bersiaplah...!" geram Panggali. Pemuda itu segera mencabut keluar pedang yang terselip di pinggangnya. Sengaja senjatanya digunakan, karena Kuncara telah benar-benar lihai.
"Hm.... Pantas nyalimu menjadi besar. Rupanya kau membawa teman," ejek Kuncara begitu melihat tiga sosok tubuh di belakang Panggali. Salah satu di antaranya adalah gadis buruannya ta-di. Sepasang mata pemuda itu pun sempat menyipit ketika melihat seraut wajah yang amat jelita di antara ketiga orang itu.
"Ha ha ha Ada apa ribut-ribut, Kuncara? Hei? Rupanya kita kedatangan daging-daging segar hari ini."
Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang menggema. Belum lagi gema suara serak itu hilang, terdengar suara berdebum mengiringi kemunculan seorang kakek raksasa bermuka singa. Siapa lagi kalau bukan Singa Gurun Setan si pemakan daging manusia. Rupanya, penciumannya yang sudah seperti binatang buas itu telah membaui daging-daging segar. Sehingga, ia pun mendatangi sumber bau itu.
"Hik hik hik... Jangan serakah, Kakek Rakus! Ingat! Dua orang anak tampan itu harus menemaniku dulu sebelum dimasukkan ke dalam perut buncitmu," ujar suara merdu sosok tubuh ramping yang menyusuli kedatangan kakek raksasa itu. Begitu tiba, sepasang mata wanita cantik berhati iblis itu merayapi wajah Panji yang berada di belakang Panggali. Jelas, Nyai Kalawirang merasa tertarik dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Pendekar Naga Putih.... Merekalah dedengkot yang menyebabkan semua kejadian di perguruanku. Keduanya memiliki kepandaian sangat tinggi. Kuharap berhati-hatilah untuk menghadapinya," seru Panggali.
Pemuda itu sengaja mengeraskan suaranya ketika memanggil Pendekar Naga Putih. Hal itu dimaksudkan untuk membuat gentar hati kedua orang tokoh sesat itu. Setelah berkata demikian, Panggali kembali menoleh ke arah Kuncara. Pedang terhunus di tangannya sudah berputar membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
"Mari kita selesaikan urusan kita, Kuncara...!" dengus Panggali. Pemuda itu segera bergerak mendekati saudara seperguruannya yang murtad. Dan tanpa basa-basi lagi dia langsung melompat menerjang Kuncara.
"Hiaaattt..!"
Wukkk! Wukkk!
Melihat Panggali sudah mulai membuka serangan, maka Kuncara pun tidak tinggal diam. Tubuhnya melesat memapak serangan lawan. Sehingga dalam waktu yang singkat saja, keduanya sudah terlibat sebuah pertarungan hidup atau mati.
Sementara itu, Singa Gurun Setan dan Nyai Kalawirang tengah menatap tajam ke arah Panji. Dipandanginya pemuda tampan berjubah putih itu dari atas ke bawah.
"Anak muda! Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih," tanya Singa Gurun Setan seperti tak percaya. Meskipun kakek bertubuh raksasa itu telah lama mendengar sepak terjang Pendekar Naga Putih, namun sama sekali tidak menyangka kalau orangnya ternyata masih demikian muda. Tentu saja hal itu menimbulkan rasa ragu dihatinya.
"Benar! Akulah yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Apakah penampilanku mengecewakanmu?" tanya Panji seraya tersenyum tenang. Kemudian, pemuda itu melangkah maju setelah terlebih dahulu membisikkan sesuatu ke telinga kekasihnya.
"Awasi pertarungan itu. Kulihat, kepandaian Panggali masih di bawah kepandaian Kuncara," bisik Panji sebagai isyarat agar kekasihnya bersiap-siap turun tangan apabila Panggali terdesak. Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu setengah tombak dari kedua orang tokoh sesat itu. Sikapnya terlihat tetap tenang, dengan wajah terhias senyum.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, Singa Gurun Setan. Melihat dari sikapnya yang tenang, jelas pemuda ini berisi. Kita harus menyingkirkannya sebelum membuat susah," ujar Nyai Kalawirang yang mulai percaya akan ucapan Panggali tentang Pendekar Naga Putih.
"Benar! Tidak peduli siapa pun dirimu, Anak Muda. Yang jelas, hari ini kau akan menjadi santapanku!" ancam Singa Gurun Setan menggeram bagai seekor singajantan. Sepasang tangan kakek bertubuh raksasa itu terkembang membentuk cakar. Dan itu pun masih dibarengi tatapan matanya yang mengandung kekuatan sihir.
Jangan dipandang rendah tatapan sepasang mata kakek raksasa itu. Akibatnya, lawan yang tidak terlatih kuat tenaga dalamnya akan terpaku hanya karena pandangan tajam menusuk jantung itu. Tapi, yang kali ini dihadapi Singa Gurun Setan adalah Pendekar Naga Putih. Dan pemuda itu telah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai jenis ilmu sihir. Sekali pandang saja, Panji langsung dapat menilai kalau kepandaian sihir yang dimiliki lawannya ini terhitung masih rendah tingkatannya. Sehingga untuk menghadapinya, ia tidak perlu menggunakan Pedang Naga Langit yang tergantung dipunggung.
"Heeeaaa...!"
Dibarengi bentakan menggeledek, Singa Gurun Setan mulai membuka serangan. Tubuhnya yang tinggi besar itu meluruk disertai sambaran kuku-kukunya yang mengandung racun ganas.
Melihat lawan sudah mulai menyerang, Panji bergegas mengerahkan tenaga dalamnya. Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyebar mengelilingi tubuhnya. Munculnya lapisan kabut yang melindungi sekujur tubuh Panji, ternyata disertai tiupan hawa dingin menusuk tulang.
Bukan main terperanjatnya Nyai Kalawirang menyaksikan lapisan kabut dan hawa dingin menusuk itu. Sadar kalau pemuda yang menjadi lawannya memang benar-benar Pendekar Naga Putih, maka wanita itu pun segera melesat membantu kawannya.
"Haittt..!"
Sambil melompat, wanita cantik berhati iblis itu langsung mengeluarkan senjata ampuhnya. Cambuk mata sembilan di tangannya meluncur mematuk-matuk ke sembilan jalan darah kematian di tubuh lawannya. Benar-benar sebuah serangan keji yang berbahaya.
Tapi, Pendekar Naga Putih pun sudah tidak akan bersikap lunak lagi. Setelah mendengar sepak terjang kedua orang itu dari Panggali, Panji berniat melenyapkan kedua tokoh sesat kawakan yang sudah tidak mungkin disadarkan kembali. Terbukti, perbuatan balas dendam mereka terhadap Eyang Sanca Wisesa yang di luar batas perikemanusiaan. Padahal kakek itu pernah mengampuni mereka dengan harapan agar dapat sadar. Tapi kenyataannya, mereka semakin ganas dan brutal. Maka, Panji pun tidak mempunyai pilihan lagi selain melenyapkan mereka.
Itulah sebabnya, mengapa begitu memapak serangan kedua orang lawannya, Pendekar Naga Putih langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Padahal, biasanya ilmu andalan itu hanya digunakan apabila sudah sangat terdesak. Tak lain, karena ingin mempersingkat pertarungan, Panji langsung mengerahkannya.
Tentu saja gempuran yang dilakukan pemuda itu hebat bukan kepalang. Sambaran-sambaran cakar naganya yang diiringi hawa dingin menusuk, membuat kedua orang lawannya bagaikan dikelilingi benteng salju. Apalagi serangan-serangan yang dilancarkan mereka, selalu saja terpental balik akibat lapisan kabut yang mengelilingi tubuh pemuda berjubah putih itu. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati kedua tokoh sesat itu melihat kehebatan lawannya kali ini.
"Yeaaattt..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh, Singa Gurun Setan yang merasa penasaran tiba-tiba memekik nyaring. Sepasang tangannya yang besar dan berbulu lebat itu menyambar cepat menimbulkan deru angin keras.
Wuttt! Wukkk!
Sepasang cakar beracun kakek raksasa itu meluncur deras mengancam dada dan lambung Pendekar Naga Putih. Melihat kecepatan dan kekuatannya, jelas kalau Singa Gurun Setan telah mengeluarkan segenap tenaga dalamnya. Tentu saja serangan itu tidak bisa dibuat main-main. Belum lagi sambaran maut itu tiba, Nyai Kalawirang membarenginya dengan lecutan cambuk mata sembilan yang meledak-ledak menulikan telinga. Kesembilan mata cambuk wanita genit itu langsung meluncur ke titik-titik terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sungguh berbahaya keadaan pemuda itu.
Namun Pendekar Naga Putih yang sekarang, bukanlah pendekar hijau. Puluhan pengalaman bertarung yang pernah dihadapinya, telah membuat perhitungan pemuda itu semakin masak dan teliti. Maka ketika serangan dari berbagai arah itu datang mengancam tubuhnya, Pendekar Naga Putih segera menarik rapat kedua telapak kakinya dan merendahkan tubuh dengan menekuk lutut. Sepasang tangannya yang semula merangkap di depan dada, dsentakkan ke kiri kanan disertai luncuran tubuhnya.
"Heaaat...!"
Hebat sekali jurus 'Naga Sakti Naik ke Langit' yang dipancarkan Pendekar Naga Putih. Serangkum hawa dingin yang amat kuat bergelombang mengiringi luncuran tubuhnya.
Bresss...!
"Aaakh...!" Terdengar jerit kesakitan yang disusul terpentalnya tubuh kedua orang lawannya. Hantaman sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang mengibas, ternyata mampu membuat mereka tak sanggup bertahan. Memang hebat jurus yang dikerahkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh kedua orang lawannya bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin.
Tubuh Singa Gurun Setan terbanting jatuh, menimbulkan suara berdebuk keras. Sedangkan Nyai Kalawirang masih dapat menyelamatkan dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara. Itu disebabkan, wanita cantik itu menggunakan senjata. Sehingga, tangannya tidak langsung bersentuhan dengan lengan Pendekar Naga Putih. Maka, akibatnya pun tidak terlalu parah.
Lain halnya dengan Singa Gurun Setan. Karena menyerang dengan menggunakan cakar, maka akibat yang dideritanya lebih parah daripada Nyai Kalawirang. Sehingga, keseimbangan tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi. Tapi, Pendekar Naga Putih rupanya tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Singa Gurun Setan yang baru saja berdiri tegak itu, kembali diterjangnya dengan dua kali sambaran cakarnya.
Bukan main terkejutnya hati kakek bertubuh raksasa. Wajahnya yang menyeramkan langsung pucat begitu melihat bahaya maut yang datang mengancam. Meskipun telah berusaha mengelak, namun sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang bagai ular hidup itu tetap saja menghajar telak tubuhnya.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!" Raungan panjang menggema bagai hendak mengguncangkan hutan, disusul melintirnya tubuh raksasa itu. Seketika semburan darah segar keluar dari mulutnya. Bahkan juga terdapat luka menganga di tubuhnya. Bumi bagaikan berguncang ketika tubuh raksasa itu ambruk dengan kulit tubuh membiru. Singa Gurun Setan langsung tewas dalam keadaan beku.
Nyai Kalawirang menjerit bagai binatang luka. Kematian kawan dan juga kekasihnya itu, membuatnya nekat membokong Panji dengan lecutan cambuk.
Ctar! Jtarrr!
Cambuk mata sembilan di tangan Nyai Kalawirang meledak-ledak dahsyat menimbulkan gumpalan-gumpalan asap hitam. Kesembilan ujung cambuk itu meluncur deras mengancam ba- gian belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tidak tahu akan datangnya ancaman maut itu. Namun begitu lecutan ujung-ujung cambuk itu siap merejam tubuhnya, tahu-tahu saja tubuhnya melenting tinggi melewati ujung-ujung cambuk lawan.
"Heyattt..!"
Dibarengi pekik yang menggetarkan jantung, tubuh Panji berputar di udara. Pendekar Naga Putih langsung meluncur deras, sambil mengerahkan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Dapat dibayangkan, betapa ngeri hati Nyai Kaliwirang ketika melihat tubuh lawan meluncur datang disertai hawa dingin yang membekukan urat-urat tubuhnya. Akibatnya, wanita cantik yang selama hidupnya tidak mengenal arti kata takut itu menjadi pucat wajahnya. Saat itu, bukan lagi tubuh Pendekar Naga putih yang dilihatnya. Melainkan Malaikat Pencabut Nyawa yang tengah menghampirinya. Maka....
Breshhh!
"Wuaaa...!" Nyai Kalawirang menjerit setinggi langit ketika sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih telak menghantam punggungnya. Tubuh molek itu terlempar deras bagai selembar daun kering.
"Hegkhhh...!" Begitu terbanting di atas tanah berumput, tubuh wanita cantik yang semasa hidupnya sangat menggairahkan itu berkelojotan bagai ayam disembelih. Sesaat kemudian, Nyai Kalawirang pun tewas dalam keadaan tubuh yang dingin dan beku.
"Hhh..." Panji menarik napas melihat mayat kedua orang lawannya itu. Terselip sedikit rasa sesal di hatinya, karena terpaksa harus membunuh kedua orang lawannya. Namun, kekejaman kedua orang tokoh sesat itu memang sudah melewati takaran. Tak lama kemudian, pemuda itu pun melangkahkan kakinya meninggalkan mayat kedua orang lawannya. Sementara itu, pertarungan yang berlangsung di tempat lain, sudah pula mencapai puncaknya.
"Haaattt..!" Kuncara yang sudah semakin mendesak lawan, tiba-tiba berseru nyaring sambil melompat tinggi. Kedua kakinya bergerak cepat melakukan serangkaian tendangan lewat jurus 'Tendangan Angin Topan' yang telah dipadukan dengan gerakan aneh.
Desss! Buggg! Diggg!
"Aaakhhh...!" Tiga kali tendangan yang dilakukan Kuncara telak menghantam dada dan perut Panggali. Tubuh pemuda tegap itu kontan terjengkang keras ke belakang. Untunglah pada saat Kuncara ingin menyusuli serangannya, sesosok bayangan hijau berkelebat cepat memapak. Sehingga, tendangan yang dimaksudkan untuk menghabisi nyawa Panggali bertumbukkan dengan sepasang lengan berjari-jari lentik.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Tubuh keduanya yang tengah melambung di udara itu langsung terpental balik. Namun, masing-masing ternyata mampu mengimbangi daya lontarnya. Sehingga, dengan beberapa kali putaran di udara satu sama lain dapat mendarat selamat.
Sosok berpakaian hijau yang tak lain dari Kenanga menahan langkahnya ketika sebuah tepukan halus menyentuh bahu kanan. Wanita jelita itu menarik napas lega ketika melihat orang yang menepuk bahunya.
"Kakang...," desah dara jelita itu tersenyum manis ketika melihat kekasihnya selamat.
Pemuda yang tak lain Panji itu mengangguk sebagai isyarat agar Kenanga mundur. Sebab sekali lihat saja, Pendekar Naga Putih dapat menilai kepandaian Kuncara. "Kuncara, sadarlah. Kembalilah kepada gurumu. Tinggalkan semua kesesatan yang selama ini kau lakukan. Aku yakin, gurumu pasti akan memberi pengampunan," bujuk Panji mencoba menyadarkan Kuncara dari kesesatannya.
"Huh! Apakah kau kira setelah mampu mengalahkan kedua orang bodoh itu dirimu kau anggap paling hebat! Hm.... Jangan mimpi, Kisanak! Meskipun kau memiliki delapan tangan, namun aku tidak akan gentar! Aku siap mengadu nyawa denganmu!" bentak Kuncara dengan wajah merah padam.
Setelah berkata demikian, pemuda itu melipat kedua tangannya di depan dada. Dihembuskannya napas perlahan-lahan sambil menggerakkan kedua tangan ke arah berlawanan. Jelas, pemuda itu tidak berhasil dibujuk Panji.
"Sadarlah, Kuncara. Percuma kau..."
"Jangan banyak bacot! Sambutlah pukulanku...! Yeaattt..!" Sambil berteriak memotong ucapan Panji, Kuncara langsung melompat disertai pukulan-pukulan maut yang berbahaya.
Bettt! Bettt!
Merasa percuma mengajak Kuncara kembali ke jalan yang benar, Pendekar Naga Putih tidak lagi banyak cakap. Cepat-cepat tubuhnya bergeser ke belakang menghindari ancaman pukulan Kuncara yang bertubi-tubi. Sampai lima jurus pemuda itu menyerang, Panji belum juga melancarkan serangan balasan. Sepertinya, ia masih menunggu kesempatan baik untuk menyerang.
"Yeaaa. !" Bagaikan orang kemasukan setan, Kuncara terus saja mengumbar pukulan-pukulan yang diselingi tendangan maut. Namun, sampai sejauh itu, Panji tetap saja mengelak sambil sesekali menangkis jika terpaksa. Pada saat pertarungan memasuki jurus ketiga puluh dua, Panji yang melihat adanya kesempatan baik langsung mengirim tendangan maut ke perut Kuncara.
Zebbb!
Ternyata Kuncara cukup awas. Tendangan lawan dapat dielakkan dengan memiringkan tubuh ke samping kanan. Tapi sayang, kegesitan Kuncara masih belum dapat mengimbangi Pendekar Naga Putih. Tahu-tahu saja, tebasan telapak tangan miring pemuda itu telah singgah di punggung Kuncara.
Desss!
"Higkhhh...!" Hantaman telak itu kontan membuat tubuh Kuncara terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tapi sebelum pemuda itu sempat memperbaiki kuda-kudanya, kembali sebuah tamparan telak telah membuatnya tersungkur ke atas tanah.
Brukkk!
Kuncara menggeliat menahan rasa sakit pada dadanya. Hantaman telapak tangan Pende-ar Naga Putih terasa bagaikan merontokkan isi dadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, Kuncara hanya dapat mengerang sambil menggeliat-geliat menahan rasa sakit dan nyeri yang menusuk-nusuk dadanya.
"Sadarlah, Kuncara. Petualanganmu sudah berakhir. Kau masih sangat muda. Dan masih banyak yang dapat dilakukan untuk menebus kesalahanmu itu," Pendekar Naga Putih yang telah berada di dekat tubuh Kuncara kembali mencoba membujuknya.
"Orang sepertinya tidak seharusnya dibiarkan hidup!" tiba-tiba saja terdengar teriakan marah dari arah belakang Pendekar Naga Putih.
Tapi pada saat Pendekar Naga Putih menolehkan kepalanya, tahu-tahu saja Panggali berkelebat sambil mengayunkan pedangnya.
"Yeaaa..!"
Crakkk...!
Seketika itu juga, kepala Kuncara menggelinding terpisah dari tubuhnya. Panggali berdiri tegak dengan pedang yang masih berlumuran darah segar.
"Semoga Tuhan mengampuni kesalahan-kesalahanmu, Kuncara," gumam Panggali, serak. Sebab, biar bagaimanapun Kuncara adalah saudara seperguruannya yang hidup bersamanya sejak kecil. Sebenci-bencinya terhadap Kuncara, tapi ketika melihat mayat saudara seperguruannya itu, hatinya tersentuh juga.
"Sudahlah, Panggali. Lebih baik kuburkan mayat-mayat ini. Setelah itu, kembalilah ke puncak Gunung Langkeng. Kasihan gurumu yang cacat itu. Kau harus menemaninya," hibur Panji sambil menepuk perlahan bahu Panggali.
Tanpa banyak cakap lagi, Panggali dan Pendekar Naga Putih segera menguburkan ketiga mayat lawan-lawannya. Panggali masih sempat termenung sejenak di samping makam Kuncara yang masih basah. Tak berapa lama kemudian, Panggali bangkit dan mendekati Pendekar Naga Putih yang saat itu sudah bersama Kenanga dan gadis desa yang hampir menjadi korban kebiadaban Kuncara.
"Panggali. Antarkanlah gadis itu kembali ke desanya. Aku pergi dulu...," pamit Pendekar Naga Putih.
Sebelum Panggali sempat mengucapkan rasa terima kasihnya, tiba-tiba bayangan kedua orang pendekar itu sudah lenyap ditelan keremangan hutan.
"Mari kuantarkan pulang, Nisanak. Di manakah desa tempat tinggalmu?" tanya Panggali menatap wajah manis di depannya. Ada getar aneh menyelinap di relung hati pemuda itu ketika melihat wajah gadis di depannya.
"Tidak ada gunanya kembali ke desa kelahiranku. Semua keluargaku sudah dibunuh orang yang bernama Kuncara itu. Kalau Kakang Panggali tidak keberatan, biarlah aku ikut bersamamu," pinta gadis desa yang manis itu, polos.
"Tapi, aku hanya orang gunung. Lagi pula, disana sangat sepi. Kau pasti tidak akan betah." Meskipun bibirnya berkata demikian, namun hati kecil Panggali ingin mendengar gadis manis itu bersikeras ikut dengannya. Ditunggunya jawaban yang keluar dari bibir merah basah itu dengan hati berdebar tegang.
"Biarlah! Asalkan, Kakang tidak keberatan," sahut gadis itu tersipu malu.
Merasa yakin kalau gadis itu memiliki perasaan yang sama dengannya, maka Panggali mengulur tangan menggandeng bahu tubuh ramping di sampingnya. Hatinya berdebar gembira ketika tidak merasakan adanya penolakan. Senja pun jatuh, meneduhi hati kedua insan yang kini sudah saling cinta itu.
S E L E S A I