Bidadari Iblis

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Bidadari Iblis karya T. Hidayat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Bidadari Iblis
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

Angin pagi bertiup silir-silir lembut, mengiringi langkah kaki sesosok tubuh ramping. Ayunan lang- kahnya ringan. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa melakukan perjalanan jauh. Kepalanya yang terangkat tegak, dan sepasang matanya yang mencorong tajam, membuat wajahnya menimbulkan kesan dingin.

Sosok tubuh ramping yang rupanya seorang wanita cantik itu sama sekali tidak mempedulikan rambutnya yang dipermainkan angin nakal. Langkahnya terus menyusuri jalan lebar, yang menghubungkan dengan sebuah desa. Dan tak lama kemudian, tampaklah sebuah mulut desa membentang di depannya. Maka langkahnya kian dipercepat, hingga sampailah ia di mulut desa.

Beberapa orang lelaki muda yang tengah bergerombol di gardu menatap penuh kagum ke arah sosok tubuh ramping itu. Tiga orang dari mereka sudah bergerak hendak menegur. Tapi langkah mereka tertahan, karena salah seorang berusaha mencegah.

"Mengapa kau mencegah kami...?" Tegur salah seorang pemuda itu tak senang. Sorot matanya tampak menyiratkan kecurigaan.

"Kalau kau tidak berani, jangan mengganggu kesenangan kami. Dan kau jangan ikut campur!" Hardik yang satunya lagi, sambil menyingkirkan lengan yang menghadang jalannya.

"Wanita cantik itu bukan orang sembarangan! Apa kau tidak melihat pedang yang tergantung di pinggangnya?" Desis pemuda beralis tebal itu, memperingatkan.

Mendengar peringatan itu ketiganya serentak menoleh, seraya menatap penuh selidik. Memang apa yang dikatakan kawannya benar. Di pinggang kiri gadis jelita itu tampak tergantung sebilah pedang. Dari sini sudah bisa ditebak kalau si gadis jelita itu adalah orang dari kalangan persilatan.

"Ah! Siapa tahu senjata itu hanya sekadar untuk menakut-nakuti. Melihat dari wajahnya yang cantik dan penuh kelembutan itu, rasanya sukar untuk dipercaya kalau ia memiliki ilmu silat. Untuk apa gadis cantik mempelajari ilmu berkelahi?" Bantah pemuda berbahu lebar yang raut wajahnya tampak keras.

"Kalau memang masih penasaran, ya terserah. Sebagai teman, aku hanya menasihati saja agar kau tidak celaka karena sifat sombongmu itu," kata pemuda beralis tebal itu lagi, menggerakkan bahunya tanda menyerah.

Lelaki berbahu lebar itu hanya menyunggingkan senyum sinis, kemudian menoleh kepada kedua kawannya. "Kalian takut...?" Tanyanya, bernada meremehkan.

"Kami bukan takut. Tapi, apa yang dikatakan kawan kita itu kurasa ada benarnya juga," tukas salah satu dari kedua pemuda itu. Sepertinya, dia merasa gentar melihat pedang yang tergantung di pinggang gadis itu.

"Kau sajalah, Badira. Aku juga tidak ikut," sahut pemuda satunya lagi, seraya kembali duduk.

"Huh! Kalian semua memang penakut! Kalian lihat saja nanti." Sambil berkata demikian, lelaki berbahu lebar yang dipanggil Badira itu melangkah meninggalkan keenam orang kawannya.

"Mudah-mudahan saja ia tidak sampai cidera...," gumam pemuda beralis tebal itu penuh harap.

Sedangkan Badira kini sudah melangkah menghampiri gadis jelita yang tengah memasuki desa. Kening gadis itu tampak berkerut ketika melihat seorang pemuda berjalan ke arahnya. Sorot matanya yang bulat tajam itu tampak memancarkan kecurigaan.

"Hai, Nisanak. Kau hendak ke mana?" Tegur Badira sambil memasang lagak dan senyum yang menurutnya paling manis dan paling ramah.

Gadis jelita berpakaian serba merah itu segera menghentikan langkahnya, ketika Badira menghadang jalannya. Cukup lama sepasang mata indah namun dingin itu merayapi sekujur sosok pemuda gagah di depannya. Sejauh itu, sama sekali tidak keluar sepatah kata pun sebagai jawabannya.

Sikap gadis jelita itu tentu saja membuat Badira salah tingkah. Keningnya tampak berkerut tak senang, ketika gadis jelita itu kemudian menatap tepat di kedua bola mata Badira. Sepertinya, dia tengah menilai pemuda itu.

"Ahhh, sayang! Seorang gadis yang demikian cantik, ternyata bisu dan tuli...," desis Badira, bernada menghina. Jelas sekali kalau ia sangat tersinggung terhadap sikap gadis cantik itu.

"Ternyata, apa yang dikatakan nenek sama sekali tidak salah. Laki-laki di dunia ini semua jahat, dan bermulut keji!" Terdengar bibir mungil itu komat-kamit mengucapkan kata-kata itu. Dan hal ini ternyata membuat Badira tertegun dengan wajah berubah.

"Sial! Rupanya yang ku tegur seorang gadis gila...!" Sambil mengumpat demikian, Badira melangkah berbalik, meninggalkan gadis jelita itu.

"Hmhhh!" Terdengar suara mendengus kasar.

Badira tahu, pasti dengusan itu berasal dari gadis cantik di belakangnya. Tapi, ia sama sekali tidak peduli. Bahkan terus melangkah ke arah kawan-kawannya yang menertawakan kegagalannya. Tapi, Badira yang baru melangkah beberapa tindak tiba-tiba memekik kaget! Dan tahu-tahu saja, tubuhnya terjengkang bagai terangkat keatas!

"Tolooong...!"

Badira baru menjerit-jerit ketakutan, ketika menyadari kalau tubuhnya telah melambung setinggi satu setengah tombak dari permukaan tanah! Karuan saja hal ini membuatnya menjadi ketakutan setengah mati!

"Lagi-lagi ucapan nenek benar. Makhluk yang bernama lelaki itu selain bermulut besar dan jahat, ternyata seorang penakut!" kembali terdengar ucapan yang aneh dari sepasang bibir indah itu.

"Hei, lepaskan kawan kami...!"

Meskipun tidak suka terhadap sifat sombong Badira, namun keenam orang kawannya itutetap saja mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Maka serentak mereka berlarian sambil berteriak-teriak, agar gadis cantik itu tidak sampai mencelakakan kawannya.

Sementara itu si gadis jelita yang berpakaian merah darah hanya tersenyum sinis. Ia tetap saja melambung-lambungkan tubuh Badira dengan sebelah tangannya, tanpa kesukaran sedikit pun! Setiap kali tubuh Badira meluncur turun, telapak tangannya yang halus menyambut, untuk kemudian dilemparkan kembali ke udara. Hal itu dilakukannya berulang-ulang.

“Turunkan kawan kami!" bentak pemuda beralis tebal. Dia sepertinya merasa bertanggung jawab atas keselamatan Badira, hal ini terlihat dari wajahnya yang cemas.

"Hm.... Kau minta kawanmu kubebaskan?" Tanya gadis jelita itu, sambil tetap mempermainkan tubuh Badira.

"Maafkanlah dia.... Bukankah dia tidak mencelakakan dirimu?" Pinta lelaki beralis tebal itu lagi mengingatkan.

"Baik. Nah, terimalah…!" Ujar gadis cantik itu. Setelah berkata demikian, tubuh Badira dilemparkannya ke arah kerumunan keenam orang kawannya.

Blukkk!

"Ahhh...!"

Tentu saja keenam orang pemuda itu berteriak kaget! Tapi sebelum sempat menghindar, tubuh Badira telah menimpa mereka! Karuan saja tubuh ketujuh orang pemuda desa itu berjatuhan saling tindih kemudian mereka bangkit dan membersihkan debu yang mengotori pakaian mereka.

"Perempuan tak tahu adat...!" Lelaki beralis tebal itu pun mengumpat tak senang. Ditatapnya gadis jelita itu dengan wajah merah padam.

"Kalian semua adalah laki-laki keparat. Sepertinya makhluk seperti kalian memang harus dilenyapkan dari bumi ini agar tidak lagi menyakiti hati wanita?" Hardik gadis jelita itu tidak kalah garangnya. Melihat dari sikapnya dan setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, jelas kalau gadis jelita itu sangat membenci kaum laki-laki.

Ucapan gadis jelita itu tentu saja membuat Badira dan kawan-kawannya terkejut setengah mati! Benar-Benar sulit dimengerti, mengapa gadis jelita itu sangat membenci mereka. Padahal, apa yang dilakukannya tadi hanyalah masalah sepele. Tapi, sepertinya gadis itu menganggapnya sebagai suatu kesalahan yang tak terampuni. Keterkejutan Badira dan kawan-kawannya seketika berubah menjadi ketegangan hebat!

Wajah mereka masing-masing menjadi pucat bagai tak teraliri darah, begitu tahu-tahu saja gadis jelita itu telah berdiri beberapa langkah didepan mereka. Padahal, tadi jarak di antara mereka terpisah sekitar dua tombak. Tentu, saja ketujuh orang pemuda itu menjadi ketakutan! Apalagi, mereka sama sekali tidak melihat gadis itu melompat atau melangkah!

"Perempuan siluman...!" Badira dan beberapa orang pemuda lainnya berdesis dengan tubuh gemetar, bagai orang terserang demam!

"Kalianlah siluman jahat yang berujud manusia!" Bentak gadis jelita itu. Setelah berkata demikian, tangan kanannya melayang ke arah tiga orang terdepan, termasuk Badira!

Plakkk! Plakkk!

"Arghhh...!"

"Akhhh...!"

Terdengar suara tamparan yang keras berturut-turut, diiringi jerit kesakitan ketiga orang pemuda yang menjadi sasaran tamparan tangan halus si gadis jelita!

Empat pemuda lainnya termasuk pemuda beralis tebal, hanya menatap dengan mata terbelalak lebar! Tubuh ketiga kawannya yang terkena tamparan gadis jelita itu kontan ambruk. Mereka tampak berkelojotan bagai ayam di sembelih. Tak lama kemudian, ketiga pemuda itu diam tak bergerak! Dari telinga, hidung, dan mulut, mengalir darah segar!

"Iblisss...!" Desis lelaki beralis tebal itu. Tubuhnya menggigil hebat! Hampir ia jatuh pingsan melihat Badira dan dua kawannya yang lain ternyata telah mati akibat tamparan gadis jelita itu! Benar-benar sulit dipercaya!

"Hm..., jangan khawatir. Kalian pun akan segera menyusulnya," kata gadis jelita itu, dingin dan tajam. Sepertinya, ia sama sekali tidak menyesal telah menewaskan ketiga orang pemuda itu.

"Tahaaan...!"

Tangan gadis jelita itu berhenti di udara, ketika terdengar bentakan nyaring mencegahnya!

"Hm..." Terdengar gumaman lirih gadis itu ketika melihat datangnya serombongan orang yang berlari ke arah mereka. Sinar mata yang mencorong tajam itu sekilas beralih, menatap rombongan lelaki berseragam yang mendatanginya.

"Ada apa ini?! Siapa yang membunuh mereka...?" Mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang mata lelaki gagah yang tiba lebih dulu itu menatap ke arah si gadis. Jelas matanya seperti telah menuduh.

"Memang, akulah yang telah membunuh mereka..." desis gadis jelita itu menerangkan, tanpa menunggu pertanyaan lelaki gagah itu.

"Aaah ?!" Lelaki gagah itu memekik tertahan. Kaki laki-laki itu melangkah mundur empat tindak. Jelas, keterangan gadis jelita berpakaian merah darah itu sangat mengejutkannya! Sepasang matanya tampak menyiratkan ketidakpercayaan!

"Nisanak! Benarkah kau yang telah membunuh mereka...?" Tanya lelaki gagah itu setengah tak percaya. Ditatapnya wajah lembut nan jelita itu penuh selidik. Sepertinya, ia masih sukar mempercayai kalau gadis sejelita itu dapat berbuat demikian kejam.

"Benar, Kakang Bonggar. Iblis itulah yang telah membunuh ketiga kawan kami! Meskipun wajahnya secantik bidadari, namun jelas hatinya terselimuti iblis...!" Kata pemuda beralis tebal itu, untuk meyakinkan lelaki gagah yang dipanggil Bonggar.

"Benar, apa yang dikatakan pemuda kurang ajar itu, Bonggar. Bahkan bukan hanya mereka bertiga yang kubunuh. Semua lelaki di dunia ini akan kubunuh! Laki-laki adalah makhluk yang tidak patut hidup di dunia ini...," tegas gadis jelita itu. Sorot matanya tampak penuh kebencian yang mendalam.

"Tapi..., apa salah mereka...?" Bonggar yang sepertinya masih tidak mengerti itu, kembali minta penjelasan.

"Aku tidak ada waktu untuk berbicara denganmu atau semua lelaki di dunia ini. Lebih baik, serahkan nyawa keempat laki-laki itu! Atau, kau juga ingin melayat ke akhirat...?" ancam gadis yang tanpa perasaan. Melihat dari sorot matanya, sepertinya gadis jelita itu siap membuktikan ucapannya.

"Hm Kalau begitu, kau harus kutangkap. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hadapan kepala desa kami," tegas Bonggar, yang mau tidak mau harus mempercayai ucapan gadis jelita itu.

"Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan ,” desis gadis itu dingin, dengan sorot mata tajam. Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis itu telah melayang ke arah Bonggar! Serangannya tampak membawa hawa maut.

Bonggar memang harus berhati-hati menghadapinya. "Kepung, dan tangkap gadis liar itu!"

Sambil berteriak memerintahkan kedua belas orang anak buahnya, Bonggar melesat ke kiri menghindari tamparan lawannya. Namun sayang tindakannya justru mendatangkan bencana bagi yang lainnya! Empat orang pemuda yang tadi masih selamat, kontan terjungkal keras diiringi jerit kematian yang susul-menyusul!

Rupanya gadis jelita itu sengaja menunjukkan kepada Bonggar kalau ucapannya bukanlah sekadar gertakan belaka. Akibatnya, keempat orang pemuda itu tewas oleh perubahan gerakan gadis jelita itu.

"Iblis...!" hardik Bonggar hampir tak percaya, "Wajahmu saja yang seperti bidadari. Tapi, kekejamanmu tidak ubahnya iblis penghuni neraka! Kau..., Bidadari Iblis...!"

"Hm..., Bidadari Iblis...," gumam gadis jelita itu mengulang ucapan Bonggar. Tampaknya ia sama sekali tidak keberatan dengan julukan yang diberikan lawan untuknya. "Ya, akulah Bidadari Iblis yang akan menghukum lelaki-lelaki kurang ajar di permukaan bumi ini Hik hik hik!"

Hati Bonggar bergidik mendengar ucapan yang keluar dari mulut gadis jelita itu. Kini ia benar-benar percaya dengan apa yang diucapkan lawannya. Dan nampaknya semua perkataan gadis itu akan dibuktikannya. Hanya yang sulit dimengerti, mengapa sepertinya gadis jelita itu sangat membenci kaum laki-laki?

Sayang, Bonggar tidak bisa berpikir panjang. Memang, gadis jelita yang dijuluki Bidadari Iblis itu telah menerjangnya kembali. Maka, lelaki gagah itu terpaksa harus menggunakan senjatanya untuk membela diri!

Wuuut! Wuuut!

Bonggar menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan, sambil sesekali menebaskan goloknya untuk membendung gencarnya gempuran gadis itu. Delapan orang anak buahnya yang datang membantu, membuat lelaki gagah itu dapat menarik napas lega, meskipun sesaat. Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang merupakan kepala keamanan di desa itu, terkejut ketika mendengar jerit kematian yang susul-menyusul! Hatinya geram bukan main ketika melihat tiga orang anak buahnya yang terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya.

"Jahanam keji...!" umpat Bonggar. Laki-laki gagah itu semakin kalap menyaksikan kematian anak buahnya itu. Tanpa berpikir dua kali lagi, dia melesat disertai putaran goloknya!

Bettt! Bettt!

Sambaran golok di tangan Bonggar, sepertinya sama sekali tidak menyulitkan lawannya. Gadis jelita itu enak saja bergerak membagi-bagi serangan. Padahal, saat itu Bonggar sadar, kalau lawannya ternyata memiliki kepandaian tinggi!

Kejadian-kejadian yang menimpa anak buahnya benar-benar membuat lelaki gagah itu terpukul! Meskipun telah berusaha sekuat kemampuannya, tetap saja dua belas orang anak buahnya tidak dapat diselamatkannya! Semuanya tewas di tangan Bidadari Iblis, hanya dalam beberapa gebrakan saja! Hal itu benar-benar tidak disangka sama sekali!

"Iblis keji! Kau harus membayar mahal akibat kekejamanmu itu!" Bonggar benar-benar kalap menyaksikan anak buahnya tewas satu-persatu, tanpa mampu dicegah. Sehingga, lelaki gagah itu semakin kalap dibuatnya!

"Tidak perlu terburu-buru. Kau pun akan segera menyusul mereka," ancam gadis jelita itu tanpa rasa sesal sedikit pun dengan apa yang telah dilakukannya.

"Yeaaat...!"

Bonggar yang telah kalap langsung menerjang bagai orang kemasukan setan! Ucapan gadis jelita itu sama sekali tidak diperdulikannya. Yang ada dalam benaknya adalah, membunuh gadis itu secepatnya agar tidak mendatangkan malapetaka bagi orang lain. Sayangnya, ilmu yang dimiliki Bonggar masih terlalu jauh untuk dapat menghentikan lawan. Bahkan tidak sampai sepuluh jurus, lelaki gagah itu sudah terdesak hebat.

"Susul semua kawanmu " Ucapan gadis itu dibarengi sebuah tamparan keras yang mendatangkan deruan angin tajam!

Wuttt!

Bukan main terkejutnya hati Bonggar melihat datangnya tamparan lawan. Kepala lelaki gagah itu terasa pening, karena tidak bisa mengikuti kecepatan gerak lawannya. Sehingga...

Prakkk!

"Highhh!"

Hanya suara itu yang keluar dari kerongkongan Bonggar, saat telapak tangan halus yang mengandung kekuatan hebat itu dan mengandung racun yang sangat ganas itu singgah di pelipis kirinya! Tubuh lelaki gagah itu langsung melintir bagai gangsing! Kemudian, tubuhnya terjerembab di atas tanah dengan genangan darah di sekitar kepalanya. Bonggar langsung tewas di tangan Bidadar iIblis!

Para penduduk desa yang menyaksikan peristiwa berdarah itu, serentak berlarian masuk ke dalam rumah! Sekejap saja, desa itu telah sepi, bagaikan desa mati. Bidadari Iblis hanya tersenyum dingin, kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri jalan utama desa.

DUA

"Hm Ke mana perginya pemilik kedai makan ini?" Gumam dara jelita berpakaian serba merah itu perlahan.

Sepasang mata gadis itu beredar ke sekeliling ruangan. Senyuman sinis tampak terukir di bibirnya, ketika telinganya yang tajam mendengar desah napas memburu. Sejenak gadis yang dalam waktu singkat telah dijuluki Bidadari Iblis itu termenung sambil mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian, langkahnya terayun ke arah sebuah meja. Tidak dipedulikannya suasana kedai yang kosong, tanpa satu sosok pun yang menampakkan diri.

"Cepat keluar, dan sediakan makanan! Kalau tidak, kedai ini akan ku ratakan dengan tanah!" Sambil berkata demikian, telapak tangan gadis itu menggebrak meja di depannya.

Terdengar suara keras, ketika telapak tangan halus itu menghancurkan meja hingga hancur menjadi beberapa keping. Benar-benar mengerikan tenaga dalam yang tersimpan di dalam lengan berkulit halus itu! Gertakan Bidadari Iblis terbukti berhasil. Sesaat se- telah itu, tampak beberapa kepala menyembul dari balik pintu ruangan tengah.

"Cepat layani aku sebaik-baiknya! Kalau tidak..." Bidadari Iblis mengancam sambil memamerkan kepalannya yang mungil ke arah tiga kepala yang dilihatnya itu. Bidadari Iblis tidak perlu menunggu lama. Begitu ucapannya selesai, muncullah tiga sosok tubuh yang melangkah dengan wajah pucat bagai kertas. Bahkan dua di antara mereka sudah terkencing-kencing di celana. Hal itu dapat diketahui dari celana yang basah, dan bau yang tak sedap.

"Dasar laki-laki pengecut...!" Terdengar bibir mungil itu menggerimit tak senang.

"Apa..., apa yang kau inginkan..., Bida... eh, Nisanak?" Tanya seorang lelaki setengah baya itu.

Dia benar-benar menjadi bingung harus memanggil apa kepada dara cantik itu. Tubuhnya tampak menggigil, dengan butir-butir keringat sebesar biji jagung membasahi pakaiannya. Kalau saja Bidadari Iblis kembali membentak, rasanya lelaki tua itu pasti akan jatuh pingsan.

Untungnya, Bidadari Iblis hanya menyebutkan pesanannya, dan meminta agar cepat disediakan. Maka tanpa diperintah lagi, ketiganya sudah berbalik. Mereka saling mendahului meninggalkan dara cantik itu. Karuan saja pemandangan itu membuat si gadis terse-nyum geli. Sayang, sebelum Bidadari Iblis sempat melihat hidangan pesanannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kedai. Cepat dara jelita itu menoleh dengan wajah tak senang.

"Itu dia orangnya, Ki...!"

Dara cantik yang kejam itu mengerutkan keningnya sambil menatap seorang lelaki kurus yang tadi menge- luarkan suara itu. Kemudian, mata bulatnya beralih pada seorang lelaki gagah yang berusia lima puluh tahun lebih. Lelaki gagah yang wajahnya tampak gelap itu mengerutkan keningnya, menatap wajah jelita yang ditunjuk lelaki kurus itu. Pada sinar matanya tampak terbayang sorot keraguan.

"Apa kau yakin kalau gadis yang kelihatan lembut itu yang membunuh Bonggar dan keamanan desa lainnya?" Bisik lelaki gagah itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah jelita di depannya.

"Tidak salah, Ki. Semua orang desa melihatnya. Jelas, perbuatannya sangat kejam! Kalau tidak salah, dia dijuluki Bidadari Iblis...," bisik lelaki kurus itu menekankan ucapannya tanpa ragu-ragu.

"Hm.... Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada yang bertindak sebelum kuperintahkan!" desis lelaki tua itu, tegas. Kemudian kakinya melangkah melewati pintu kedai. Bidadari Iblis kembali membalikkan tubuhnya. Saat itu, hidangan yang dipesannya sudah datang. Dan. Sepeninggal pelayan tua itu, hidangan yang sudah tersedia segera di nikmatinya. Sama sekali tidak dipedulikan kehadiran lelaki gagah itu.

"Maaf, kalau aku terpaksa mengganggu makanmu, Nisanak," tegur lelaki tua itu.

Laki-laki yang sepertinya sangat dihormati itu menarik sebuah kursi tidak jauh dari tempat Bidadari Iblis. Kemudian, dia duduk di situ. Namaku Ki Sangga Watung, Kepala Desa Pesanggrahan ini. Menurut keterangan salah seorang wargaku, kau telah berbuat keonaran. Belasan keamanan desa kami, telah kau bunuh termasuk ketuanya yang bernama Bonggar. Betulkah keterangan yang kudapat itu?" Tanya lelaki tua yang ternyata Kepala Desa Pesanggrahan ini.

Sejenak Bidadari Iblis menghentikan makannya. Ditatapnya lelaki tua yang mengaku bernama Ki Sangga Watung penuh selidik. Sekilas, ada pancaran kekaguman pada sepasang mata bulat dan indah namun dingin itu. Sepertinya, ia merasa kagum atas sikap Kepala Desa Pesanggrahan itu. Pikirnya, meskipun mungkin orang tua itu sudah mengetahuinya, tapi sikap serta ucapannya sangat lembut. Semua itu menandakan kalau Ki Sangga Watung adalah seorang bijaksana, dan memiliki pandangan luas. Itu yang membuatnya merasa kagum.

"Kau percaya dengan keterangan salah seorang wargamu itu, Orang Tua...?" Tanya Bidadari Iblis sambil tersenyum manis dan memabukkan. Senyum itu nampak demikian wajar dan mempesona. Sehingga, menimbulkan keraguan di hati Ki Sangga Watung.

"Aku hanya meminta penjelasanmu. Kalau kau memang bukan seorang pengecut, pasti perbuatan itu kau akui. Lain halnya jika pelakunya bukan dirimu," kata Ki Sangga Watung tetap menekan kemarahannya.

"Hm... Aku bukanlah orang pengecut seperti orang-orangmu itu! Dengarlah, Ki Sangga Watung. Orang-orangmu memang aku yang membunuh! Dan kalau kau ingin membalasnya, aku tidak akan mundur!" Tegas Bidadari Iblis tajam. Kali ini senyumnya berubah sinis dan menghina.

"Kalau benar demikian, kau harus dihukum, Nisanak. Perbuatanmu benar-benar sudah melewati takaran!" Desis Ki Sangga Watung dengan wajah merah padam. Kemarahannya benar-benar terbangkit atas sikap gadis jelita yang jelas-jelas tidak memandangnya itu.

"Lalu, tunggu apa lagi?" Tukas Bidadari Iblis, sinis. Setelah berkata demikian, gadis itu kembali melanjutkan makannya. Sikapnya jelas merupakan hinaan bagi Ki Sangga Watung!

"Kau terlalu sombong, Nisanak! Maaf...," ujar Ki Sangga Watung mengulurkan tangannya, hendak mencengkeram pergelangan Bidadari Iblis.

Serangan itu menandakan kalau Kepala Desa Pesanggrahan masih merasa enggan untuk berhadapan dengan gadis muda yang pantas menjadi anaknya itu. Dari sini dapat dilihat, ternyata Ki Sangga Watung adalah seorang lelaki gagah yang tidak suka mengandalkan kepandaian untuk melawan seorang gadis muda.

Perbuatan Ki Sangga Watung itu justru disalahartikan oleh Bidadari Iblis. Dara jelita itu merasa diremehkan oleh sikap orang tua seperti memandang rendah kepadanya.

"Keraguanmu bisa mendatangkan celaka, Orang Tua...," kata Bidadari Iblis.

Bidadari Iblis cepat mengangkat tangan kirinya menyambut cengkeraman Ki Sangga Watung! Dan....

Plakkk!

"Ahhh...?!" Ki Sangga Watung memekik tertahan! Tangkisan lengan halus itu ternyata membuatnya terjajar, hingga menabrak meja di belakangnya!

Brakkk...!

Meja kayu tebal serta beberapa buah kursi yang tertimpa tubuh orang tua itu berderak ribut, dan berpatahan. Dari sini saja dapat diukur, betapa kuatnya tenaga tangkisan Bidadari Iblis!

"Uhhh...," keluh Ki Sangga Watung. Laki-laki itu memijat pergelangan tangannya yang terasa linu. Kenyataan itu langsung membuatnya sadar. Ternyata gadis muda itu tidak bisa dipandang remeh! Meskipun serangan pertamanya tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, tapi jelas kalau lawannya memang memiliki tenaga dalam tinggi. Sebuah peringatan baginya untuk berhati-hati!

"Kutunggu kau di luar kedai, Bidadari Iblis...!" Sambil berkata demikian, Ki Sangga Watung melesat menuju luar kedai.

"Sesukamulah, Orang Tua...," sahut Bidadari Iblis. Baru saja ucapan itu ke luar dari mulutnya, tubuh dara jelita itu sudah melayang membumbung ke udara!

Brolll...!

Terdengar suara keras ketika bayangan merah itu menerobos atap kedai! Lalu, dengan gerakan yang memperlihatkan kelihaian ilmu meringankan tubuhnya, Bidadari Iblis berputar beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya satu tombak di hadapan Ki Sangga Watung.

"Bidadari Iblis! Apa sebenarnya alasanmu sampai demikian kejam menindak mereka? Apa kesalahan yang mereka perbuat memang patut ditebus dengan nyawa? Atau, kau mempunyai alasan lain?!" Kata Ki Sangga Watung, meminta penjelasan atas perbuatan dara cantik itu.

"Aku benci laki-laki! Hukuman itu memang pantas didapat! Bahkan bukan hanya mereka saja, tapi seluruh laki-laki yang kurang ajar di muka bumi ini! Juga kau, Orang Tua! Di balik sikap lembutmu, pasti tersembunyi hati yang hitam! Rasanya, kau pun pantas dikirim ke alam akhirat!" Desis Bidadari Iblis.

Jawaban dara cantik berpakaian merah darah itu sempat membuat Ki Sangga Watung tersentak. Hatinya mulai men-duga-duga, apa sebenarnya yang telah menimpa gadis jelita itu di masa lalu? Pasti ada penyebabnya, sehingga ia membenci laki-laki. Tapi melihat raut wajah yang jelita serta sosok tubuh indah yang dimilikinya rasanya hanya lelaki gila saja yang mau menyakiti hati gadis itu. Mana mungkin seorang laki-laki waras mau meninggalkan ataupun menyakiti dara jelita di depannya itu? Kalau begitu, apa sebenarnya yang telah terjadi terhadapnya?

"Apa yang tengah kau pikirkan, Orang Tua?" Tanya Bidadari Iblis ketika melihat calon lawannya termenung. Sepasang matanya tampak berkilat, sepertinya tengah menduga apa yang tengah dipikirkan Ki Sangga Watung itu.

"Nisanak! Apa yang membuatmu demikian membenci kaum laki-laki? Apakah kau..."

"Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah untuk mati...!" Potong Bidadari Iblis nyaring. Ucapan Ki Sangga Watung jelas tidak menyenangkan hati dari jelita itu. Maka, tanpa memberi kesempatan bagi lawannya untuk berbicara lagi, Bidadari Iblis melompat menerjang!

"Ki, awasss. !"

Empat orang lelaki berseragam yang berada di kiri-kanan Ki Sangga Watung langsung melesat melindungi kepala desanya, dengan empat batang pedang yang berkeredep menyambut tubuh Bidadari Iblis!

"Huh!" Sambil mendengus, Bidadari Iblis merubah serangannya. Tangan berkulit halus itu berputar cepat, kemudian mengibas secara mengiriskan!

Wuuut...!

Serangkum angin tajam berdesing merobek udara! Akibat-nya, tubuh keempat orang pengawal Kepala Desa Pesanggrahan itu terjungkal tanpa ampun! Bukan kepalang kagetnya Ki Sangga Watung menyaksikan kehebatan Bidadari Iblis! Keempat orang pengawalnya ternyata langsung berkelojotan sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya! Padahal, Ki Sangga Watung tidak melihat adanya pukulan yang mengenai para pengawalnya! Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sukar rasanya untuk mempercayai.

"Itulah pukulan 'Perenggut Nyawa', hasil ciptaan Guruku yang khusus untuk melenyapkan laki-laki kurang ajar di muka bumi ini," jelas Bidadari Iblis melenyapkan keraguan Ki Sangga Watung.

Sepertinya dara jelita itu tahu kalau lawannya sangat terkejut oleh pukulannya. Tanpa menyentuh tubuh lawan, ternyata pukulan itu tetap bisa mendatangkan kematian! Itu baru angin pukulannya saja. Entah, apa akibatnya apabila pukulan maut itu sampai mengenai tubuh korban. Benar-benar sulit dibayangkan oleh Kepala Desa Pesanggrahan ini.

"Siapakah gurumu yang demikian keji itu...?" Tanya Ki Sangga Watung lagi dengan wajah agak pucat. Jelas, gebrakan Bidadari Iblis telah membuatnya sangat terkejut!

"Sudah kukatakan sejak pertama tadi, Orang Tua! Jangan banyak bicara! Simpan tenagamu, agar bisa melindungi nyawamu dari kematian!" Desis Bidadari Iblis dengan sorot mata sedingin es!

"Hm.... Sehebat apa pun kepandaianmu, janganlah lupa. Suatu saat, kau akan dikalahkan lawanmu," ujar Ki Sangga Watung. Rupanya ia sadar kalau dirinya bukan tandingan dara jelita berhati iblis itu.

Bidadari Iblis tersenyum sinis, tanpa menanggapi ucapan Ki Sangga Watung. "Mulailah, Orang Tua. Atau aku yang harus memulainya?" Ejek Bidadari Iblis. Wajahnya tetap dingin, tanpa perasaan.

"Baiklah. Jangan dikira aku takut menghadapi kematian," ujar Ki Sangga Watung, menggeram jengkel.

Setelah berkata demikian, Ki Sangga Watung berpaling kepada salah seorang pengawalnya. "Pergilah ke Gunung Walung. Sampaikan kejadian ini kepada kakekku," bisik Kepala Desa Pesanggrahan itu.

Lalu laki-laki tua itu melangkah maju tanpa menunggu jawaban pengawalnya. Hal itu merupakan suatu tanda kalau ia tidak mau perintahnya dibantah. Lelaki bertubuh kurus itu terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, barulah ia beranjak meninggalkan tempat itu. Tak lama terdengar suara derap kaki kuda ketika lelaki kurus itu pergi untuk menyampaikan pesan kepala desanya.

"Hik hik hik.... Rupanya kau cukup cerdik, dengan meminta bantuan. Jadi sekarang kau sadar. Ternyata kau tidak sanggup bermain-main sebentar denganku?" Terdengar suara tawa dingin yang keluar dari bibir mungil milik Bidadari Iblis.

"Hm.... Sambutlah seranganku...!"

Tanpa mempedulikan ejekan lawannya, Ki Sangga Watung segera melesat membuka serangan! Senjata di tangannya berputar menimbulkan deru angin tajam. Jelas, lelaki tua itu pun memiliki tenaga dalam yang tidak rendah!

"Bagus! Itu baru namanya laki-laki...," ejek Bidadari Iblis, dingin. Sambil berkata demikian, tubuhnya bergeser ke kanan. Begitu tebasan pedang lawan lewat di samping tubuhnya, tangan kirinya menusuk dengan kecepatan kilat!

Bettt!

Ki Sangga Watung merendahkan tubuhnya. Jari-jari tangan lawan yang menimbulkan angin berciutan itu lewat di atas kepalanya. Lelaki tua itu kembali harus menyelamatkan diri dengan lompatan jauh ke belakang, ketika dengan kecepatan menggetarkan, jari-jari tangan lawan berputar setengah lingkaran, dan menusuk lehernya dari bawah ke atas!

Kepala Desa Pesanggrahan terus melompat jauh, dan melakukan beberapa kali salto untuk menghindari serangan maut lawan yang demikian gencar menghujani tubuhnya! Rupanya, Bidadari Iblis tidak kepalang tanggung dalam bertindak. Sedikit pun lawannya tidak diberi kesempatan untuk menarik napas lega! Serangan-serangannya demikian gencar, bagaikan gelombang lautan yang susul-menyusul menuju pantai! Sehingga, wajar saja kalau Ki Sangga Watung sampai terdesak, dan tidak mempunyai kesempatan membalas.

"Tamat riwayatmu, Orang Tua!" Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis mendorongkan telapak tangan kirinya ke depan! Saat itu, kedudukan Ki Sangga Watung sudah sangat berbahaya! Ia terus melangkah mundur menghindari serangan gencar lawannya!

Weees!

Serangkum angin yang terlontar dari telapak tangan dara jelita itu berhembus, mengancam nyawa lawannya!

"Ahhh...?!"

Untunglah Ki Sangga Watung masih sempat menjatuhkan tubuhnya, dan terus bergulingan menjauhkan diri! Meskipun telah berhasil menyelamatkan diri, tapi bukan berarti orang tua itu dapat bernapas lega! Sebab, Bidadari Iblis terus mencecarnya tanpa ampun!

"Heyaaat...!"

Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketiga puluh, Ki Sangga Watung berbuat nekat! Saat tusukan jari-jari lentik itu meluncur mengancam dadanya, maka dipapakinya dengan tebasan pedang!

Wesss!

Sayangnya, lawan ternyata tidak sudi tangannya dibuntungi! Begitu pedang di tangan Ki Sangga Watung berkeredep, cepat bagai kilat tangannya berputar ke bawah! Kemudian tangannya ditarik pulang, berbarengan dengan tusukan jari tangan kanannya yang men- gancam tenggorokan.

Wuuut! Jreppp!

"Arghhh...!" Ki Sangga Watung menjerit ngeri! Jemari tangan lentik itu langsung melesak ke dalam tenggorokannya tanpa dapat dicegah lagi!

"Heaaah!" Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis mencabut jemari kanannya! Kemudian dengan kuda-kuda rendah, telapak tangan kirinya menyusul ke arah dada lawan!

Blaggg!

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjengkang deras ke belakang! Kemudian tubuhnya terbanting di atas tanah, dengan pakaian bagian dada hangus bagai terbakar! Bahkan kulit dan daging yang terkena pukulan tampak meleleh dan berwarna kemerahan! Ki Sangga Watung langsung tewas di tangan Bidadari Iblis dalam keadaan mengerikan!

Tewasnya Kepala Desa Pesanggrahan, membuat belasan orang pengawal serta warga desa yang menyaksikan berserabutan meninggalkan tempat itu! Sekejap saja, suasana yang semula diramaikan penduduk desa, jadi sepi dalam sekejap! Kematian Ki Sangga Watung telah melenyapkan semangat serta keberanian mereka!

Tinggallah kini Bidadari Iblis dengan segala keangkerannya. Setelah beberapa saat terdiam, dara jelita berhati iblis itu pun melangkah meninggalkan mayat korban kekejamannya.

********************

TIGA

Matahari sudah semakin bergeser ke langit sebelah Barat. Sinarnya pun tidak garang lagi. Di bawah mega merah jelaga tampak sosok ramping berpakaian merah darah tengah melangkah tenang bergerak ringan mendaki pegunungan. Hembusan angin dingin pegunungan yang terasa menusuk tulang, tidak dipedulikannya. Bahkan lapisan kabut yang turun menyelimuti punggung gunung, tidak juga membuat langkahnya terhenti. Sorot matanya tampak demikian tajam, seperti berusaha menembus lapisan kabut yang menghalanginya.

Tidak berapa lama kemudian, tibalah sosok tubuh di atas puncak gunung. Di tengah lapisan kabut yang semakin tebal, sosok berpakaian merah itu terus bergerak maju. Langkahnya baru terhenti ketika telah tiba didepan sebuah pondok sederhana. Sejenak, sosok berpakaian merah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman pondok. Kemudian dia kembali bergerak maju beberapa langkah, dan terhenti kembali.

"Sahabat! Kalau kau datang hendak bertamu, masuklah...!"

Terdengar teguran halus yang berasal dari dalam pondok. Padahal, pintu pondok itu masih tertutup rapat. Dan herannya si penghuni pondok ternyata sudah tahu akan kedatangan sosok berpakaian merah darah itu. Dari sini saja sudah dapat ditebak, si empunya pondok itu ternyata bukanlah orang sembarangan!

Sosok berpakaian merah darah itupun tertegun sejenak. Ada keheranan dan kekaguman terlintas pada sepasang bola matanya yang dingin. Meskipun hanya sekilas, tapi teguran itu membuat langkahnya agak ragu."

"Begawan Cindra Putra! Kedatanganku bukan untuk bertamu, tapi hendak mencabut nyawamu!" Sahut sosok berpakaian merah itu datar. Tubuhnya tegak menghadap pintu pondok, setelah maju dua tindak.

Untuk beberapa saat lamanya, tidak terdengar jawaban dari dalam pondok. Suasana seketika jadi hening. Sosok tubuh berpakaian merah darah itu sepertinya sudah tidak sabar. Semua itu terlihat jelas dari tubuhnya yang kelihatan tidak bisa diam. Baru saja kakinya siap melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara berderit seiring terbukanya pintu pondok.

Seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih tampak muncul dari dalam pondok. Pakaiannya hanya berupa kain putih yang dilibatkan ke tubuhnya. Rambutnya putih, dan tergulung ke atas. Jenggot dan kumisnya panjang hingga ke dada, juga berwarna putih. Sorot matanya tampak demikian lembut, disertai senyum sabar yang selalu menghias wajahnya. Sosok kakek yang bernama Begawan Cindra Putra itu benar-benar merupakan gambaran seorang pertapa sejati.

"Eyang Begawan! Dialah Bidadari Iblis yang membantai Bonggar serta kawan-kawan yang lain. Jangan-jangan, Ki Sangga Watung pun telah dibunuhnya pula...," kata seorang lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Seraya menyembulkan kepalanya dari dalam pondok. Dia bukan lain adalah salah seorang pengawal Ki Sangga Watung, yang mendapat tugas untuk pergi ke Gunung Walung ini. Rupanya dia telah di sini sejak tadi.

"Hm.... Tetaplah di dalam pondok. Kalau dia dapat mencapai tempat ini dalam waktu singkat, jelas kepandaiannya tidak bisa dibuat main-main. Entah, apa keperluannya hingga datang mencariku? Anehnya, ia pun telah mengenalku?"

Bisik Begawan Cindra Putra tanpa melepaskan pandangannya dari sosok berpakaian merah darah itu. Meskipun suasana puncak Gunung Walung saat itu dipenuhi kabut yang turun, tapi semua itu tidak menghalangi pandangan sang Begawan. Sedangkan lelaki kurus di belakang kakek itu hanya melihat adanya bayangan merah, meskipun sudah dapat menebak siapa orangnya.

Mendengar ucapan Begawan Cindra Putra, lelaki kurus itu kembali menarik kepalanya, dan menutup pintu pondok.

"Nisanak! Benarkah kau yang berjuluk Bidadari Iblis? Dan, bagaimana kau bisa menemukan tempat ini dalam waktu singkat? Apakah di antara kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Begawan Cindra Putra sambil menatap tak berkedip ke arah sosok berpakaian merah darah yang memang Bidadari Iblis.

"Begawan Cindra Putra," sebut Bidadari Iblis, datar. "Sebenarnya aku mendapat kesulitan untuk mencari tempat tinggalmu. Dan sebagaimana petunjuk guruku, dari Desa Pesanggrahan itulah satu-satunya jalan untuk mengetahui keberadaanmu. Sengaja lelaki kurus yang ditugaskan Ki Sangga Watung itu tidak kubunuh, agar tempat tinggalmu bisa kuketahui. Kalau saja lelaki kurus itu tidak kuperlukan, apakah dikira ia bisa dengan selamat tiba di Gunung Walung ini?"

"Maaf! Ada urusan apa di antara kita, sehingga kau membuat keonaran di Desa Pesanggrahan? Lalu, apakah Ki Sangga Watung telah kau bunuh pula?" Tanya Begawan Cindra Putra tetap sabar, dan tersenyum lembut.

"Aku tidak tahu, urusan apa di antara guruku dengan kalian di masa lalu. Tugasku hanyalah mencabut nyawa seluruh keluarga dan kerabatmu yang telah membuat guruku menderita seumur hidupnya. Sekarang bersiaplah, Kakek Tua! Aku akan mencabut nyawamu?" Kembali terdengar nada dingin dan datar ancaman Bidadari Iblis. Kemudian sosok berwajah jelita itu merenggang, dan siap melontarkan serangan.

"Siapakah gurumu yang demikian mendendam terhadap keluarga dan kerabatku, Nisanak? Anggaplah jawabanmu sebagai hadiah kematian orang tua lemah seperti diriku ini. Sehingga nanti aku tidak mati penasaran," pinta Begawan Cindra Putra tetap tanpa hawa amarah. Hanya gambaran penasaran terbayang di wajahnya.

"Tidak perlu! Justru guruku ingin membuatmu dan yang lainnya mati penasaran! Dengan demikian, penderitaan selama bertahun-tahun dapat berkurang," tandas Bidadari Iblis dengan nada tajam.

Begawan Cindra Putra menghela napas berat penuh sesal. Bukan kematian yang membuat kakek tua itu bersedih. Tapi, justru dendam yang meracuni wanita muda berparas jelita itulah yang membuatnya berduka.

"Hahhh Kasihan sekali kau, Nisanak. Dalam usia yang demikian muda, racun dendam sudah demikian dalam masuk di hatimu. Entah, siapa gerangan gurumu yang demikian kejam menjejali bibit-bibit kebencian itu?" Desah Begawan Cindra Putra sambil menundukkan wajahnya, menekuri rerumputan basah.

"Orang Tua! Apa pun yang kau katakan, semua itu tidak akan merubah keputusanku! Jadi, sebaiknya bersiaplah! Aku tidak mempunyai banyak waktu!" Desis bibir mungil dan indah itu tak sabar.

"Nisanak..."

"Cukup! Sambut seranganku...!"

Tanpa memberi kesempatan pada Begawan Cindra Putra untuk menyelesaikan kalimatnya, Bidadari Iblis sudah melesat cepat dengan tamparan-tamparan mautnya! Serangan-serangan ganas dara jelita itu mau tidak mau memaksa Begawan Cindra Putra untuk mengadakan perlawanan. Biar bagaimanapun, kakek itu tentu saja tidak sudi menyerahkan nyawanya sia-sia. Apalagi ia pun belum tahu, siapa guru wanita muda jelita itu. Juga, mengapa guru Bidadari Iblis itu demikian mendendam terhadap keluarga maupun kerabatnya. Alasan-alasan itulah yang memaksanya harus terpaksa melayani lawannya.

"Haaait...!"

Bidadari Iblis sepertinya sangat bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawannya. Serangan-serangan demikian ganas dan gencar! Sepasang telapak tangannya menyambar-nyambar diiringi suara bercicitan. Jelas, wanita jelita itu telah mengeluarkan tenaga dalam sepenuhnya untuk menamatkan riwayat lawan secepatnya!

Begawan Cindra Putra sendiri tentu saja harus mengerahkan seluruh kelincahannya untuk menghindari serangan-serangan berhawa maut dari lawannya. Namun sampai sejauh itu, ia belum melancarkan serangan balasan yang berarti. Hanya sesekali, dibalasnya serangan Bidadari Iblis. Namun, itupun kalau benar-benar sudah sangat terdesak. Kalau tidak, kakek itu hanya mengelak sambil meneliti gerak lawan. Sepertinya, Begawan Cindra Putra hendak mengenali jenis ilmu silat yang dimainkan lawannya. Dengan begitu, diharapkan guru Bidadari Iblis yang demikian kejam dan tega meracuni muridnya dengan bibit-bibit kebencian dapat dikenali.

Tapi, usaha Begawan Cindra Putra sepertinya menemui jalan buntu. Ternyata, gerak ilmu silat lawannya benar-benar aneh dan sulit dikenali. Melihat dari ilmu-ilmu silat yang terkadang kacau tak beraturan itu, Begawan Cindra Putra menduga kalau lawannya pasti tidak hanya belajar dari satu guru. Memang, kakek itu melihat banyak gerakan aneh yang kadang tidak selaras dengan ilmu-ilmu lainnya yang dimainkan wanita lawannya.

"Nisanak! Tampaknya kau belajar dari beberapa guru pandai. Apakah semua gurumu mendendam kepada seluruh keluarga dan kerabatku?" Tanya Begawan Cindra Putra sambil menggeser tubuhnya menghindari hantaman telapak maut lawan. Sepertinya, kakek itu tidak bisa memendam rasa penasaran di hatinya.

"Tidak! Guruku hanya seorang di dunia ini. Karena kebaikan hatinya, maka aku bertekad untuk membalaskan semua dendamnya!" Sahut Bidadari Iblis tanpa menghentikan serangan-serangannya. Bahkan gerakannya tampak semakin cepat dan ganas!

Jelas, dara jelita itu tidak mau memberikan kesempatan bagi lawannya untuk berbicara lebih banyak lagi. Dan, untuk mencegah kecerewetan kakek itu, gempuran-gempurannya dipergencar. Usaha Bidadari Iblis jelas berhasil baik. Begawan Cindra Putra tidak lagi sempat berbicara, dan semakin sibuk membendung gelombang serangannya yang demikian gencar dan berbahaya!

"Yiaaat...!"

Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh puluh, tiba-tiba Bidadari Iblis berseru nyaring! Telapak tangannya tampak digosok-gosokkan satu sama lain! Gesekan-gesekan sepasang telapak tangan halus itu ternyata cukup menggetarkan! Seketika gumpalan asap tebal kebiruan muncul dari sepasang tangannya! Bahkan samar-samar tercium bau harum yang memabukkan! Jelas ilmu yang tengah disiapkan Bidadari Iblis mengandung racun ganas!

Begawan Cindra Putra melompat mundur sejauh satu tombak lebih. Jelas, kakek itu sangat terkejut melihat ilmu yang tengah dipersiapkan lawannya! "Ilmu Keji...!" desis Begawan Cindra Putra, geram. Sepertinya, kakek pertapa itu merasa kasihan melihat dara jelita yang berwajah lembut itu telah diracuni ilmu silat keji, yang jelas dimaksudkan untuk membunuh. Pemikiran itulah yang membuatnya geram. Sadar kalau ilmu yang dipersiapkan lawannya itu pastilah sangat ganas dan berbahaya, maka Begawan Cindra Putra pun segera menyiapkan ilmu andalannya!

"Hmmmh..."

Terdengar suara menggereng lirih yang keluar dari kerongkongan Begawan Cindra Putra. Perlahan kakek itu mendorongkan kedua lengannya ke atas dengan telapak terbuka. Sepasang tangan itu kemudian turun ke sisi pinggang dalam keadaan terkepal. Lalu sambil membentuk kuda-kuda rendah dengan kaki bersilangan, Begawan Cindra Putra mengembangkan kedua lengannya ke kiri dan kanan. Sepasang lengannya tampak bergetar, menandakan betapa kuatnya tenaga yang mengalir ke dalamnya!

"Yiaaat...!"

Bidadari Iblis berseru nyaring, diiringi lesatan tubuhnya yang menggetarkan! Berbarengan gerakan itu, sepasang telapak tangannya yang terbuka, melontarkan pukulan susul menyusul!

Wusss! Wusss!

Hembusan angin yang bau harum memabukkan, mencicit tajam mengancam tubuh Begawan Cindra Putra! Dari suaranya yang mendesing-desing menyakitkan telinga, bisa diduga kalau tenaga dalam yang digunakan Bidadari Iblis sangat tinggi! Belum lagi, ditambah hawa beracun yang keluar dari setiap lontaran pukulannya! Tidak heran kalau wanita berparas jelita itu berani mati menyatroni kediaman Begawan Cindra Putra!

Kepandaian yang dimilik Begawan Cindra Putra sendiri sebenarnya sudah sangat tinggi. Bahkan di kalangan rimba persilatan, kakek itu merupakan tokoh kelas atas yang sangat disegani dan dihormati. Tidak banyak tokoh tua yang seangkatan dengannya memiliki ilmu demikian tinggi. Dan kalau saja Bidadari Iblis berani mendatangi kakek itu beberapa tahun sebelumya, mungkin tidak akan mampu untuk mengimbangi kesaktian Begawan Cindra Putra. Sayangnya, usia yang semakin tua membuat Begawan Cindra Putra tidak lagi segesit dan sehebat beberapa tahun yang lalu. Jadi wajar saja kalau dalam menghadapi tokoh muda yang sakti dan kejam seperti Bidadari Iblis, kakek itu terpaksa harus bekerja keras mengerahkan seluruh kekuatannya.

Sedangkan Bidadari Iblis sendiri merupakan lawan yang cukup berat. Dalam usianya yang masih sangat muda ternyata memiliki kesaktian ganas dan tinggi. Kekuatan yang dimilikinya tampak meningkat dan semakin sempurna, sehingga memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dari lawannya. Semuanya merupakan modal utama untuk memenangkan pertempuran ini. Kekuatan dan kegesitan Begawan Cindra Putra terlihat semakin menurun, ketika pertempuran telah berlangsung lebih dari seratus jurus.

"Hiaaah...!"

Ketika pertarungan menginjak jurus yang keseratus lima puluh, Begawan Cindra Putra terlihat semakin payah! Beberapa pukulan maut lawannya nyaris menghajar tubuh kurus itu! Dan gerakan yang semakin lambat itu, membuat Bidadari Iblis semakin ganas! Sehingga pada suatu kesempatan, wanita itu melesat cepat dengan sebuah tamparan keras, tanpa dapat dicegah Begawan Cindra Putra. Laki-laki tua itu hanya bisa terbelalak, melihat serangan tiba.

Blaggg!

Tamparan telapak tangan halus yang disertai bau harum memabukkan itu telak menghantam dada terbungkus tulang Begawan Cindra Putra! Akibatnya, tubuh kurus itu terlempar diiringi pekikan ngerinya! Pada saat tubuh Begawan Cindra Putra masih melayang di udara, tokoh sesat berwajah jelita itu sudah kembali mendorongkan sepasang telapak tangannya!

"Bresssh...!"

"Aaa...!"

Terdengar jerit kematian yang menyayat ketika sepasang telapak tangan bertenaga dahsyat itu telak menghajar tubuh sang Begawan! Semburan darah segar mengiringi terlemparnya tubuh tua Begawan Cindra Putra, yang langsung terjatuh ke dalam jurang!

"Guru...," bisik Bidadari Iblis tengadah ke langit, "Kini musuhmu hanya tinggal seorang. Semoga kau senang karenanya."

Setelah berkata demikian, wanita jelita itu melangkah meninggalkan puncak Gunung Walung. Tidak dipedulikannya sosok lelaki kurus yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu pondok. Bidadari Iblis terus melangkah menuruni lereng Gunung Walung yang kembali hening dan sunyi....

********************

Sepeninggal Bidadari Iblis, lelaki kurus itu belum juga keluar dari dalam pondok. Sepertinya, ia merasa khawatir kalau-kalau wanita jelita berhati iblis itu belum benar-benar meninggalkan puncak Gunung Walung. Entah, sampai berapa lama lelaki kurus pembantu setia Kepala Desa Pesanggrahan itu berdiam diri di dalam pondok. Debaran dalam dadanya belum juga lenyap. Bahkan wajah kurus itu demikian pucat, karena ketakutan yang hebat telah melanda dirinya.

Kematian Begawan Cindra Putra benar-benar sulit diterima. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, rasanya memang sukar dipercaya. Hampir mustahil kalau orang tua yang dianggapnya sangat sakti dan sangat dipujanya ternyata dapat dikalahkan seorang gadis muda. Rasanya, ia seperti tengah bermimpi saja. Namun, mau tidak mau ia harus menerima kenyataan mengiriskan itu.

Setelah cukup lama dan merasa yakin kalau Bidadari Iblis benar-benar telah meninggalkan puncak Gunung Walung, barulah lelaki kurus itu berani keluar dari dalam pondok. Itupun dilakukannya sambil mengendap-endap, dan melalui pintu pondok sebelah belakang. Sambil menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah gelisah, lelaki kurus itu bergerak menuju tebing yang telah menelan tubuh Begawan Cindra Putra. Ditelusurinya ceceran darah yang masih basah itu. Langkahnya baru terhenti di tepi jurang, tempat cairan darah di atas rerumputan itu berakhir.

"Aaah...! Sudah dapat dipastikan, Eyang Begawan Cindra Putra tewas di bawah sana...," gumam lelaki kurus itu sambil menjengukkan kepalanya ke dalam jurang. Tapi, tiada satu pun yang dapat dilihatnya di dalam jurang yang bagai tak memiliki dasar itu. Apalagi hari sudah menjelang malam, tanpa ada penerangan sedikit pun. Setelah agak lama meneliti dan yakin Begawan Cindra Putra sudah tidak ada harapan hidup, lelaki kurus itu pun melangkah pergi.

"Aku harus melaporkan kejadian ini kepada Ki Dasa Penang. Atau jangan-jangan..., Bidadari Iblis sudah berada di sana. Sebab, sempat kudengar tadi ucapannya yang hendak membantai seluruh keluarga dan kerabat Eyang Begawan. Aaah...! Apa yang harus kulakukan sekarang?" Desah lelaki kurus itu gelisah...? "Biarlah. Terlambat ataupun tidak, yang penting aku harus menemui Ki Dasa Penang..."

Keputusan yang telah bulat ini membuat lelaki kurus itu bergegas meninggalkan puncak Gunung Walung. Sebentar kemudian, ia sudah menuruni lereng. Kini di tangannya telah tergenggam sebatang obor untuk menerangi jalan yang akan dilaluinya.

********************

EMPAT

Dalam dunia persilatan, segala kejadian yang menimpa tokoh-tokoh persilatan cepat sekali tersebar luas. Apalagi, kematian itu menyangkut seorang tokoh sakti kelas atas. Maka tidak heran kalau dalam waktu singkat saja, berita tentang kematian Begawan Cindra Putra telah tersebar di kalangan rimba persilatan.

Dalam dunia persilatan, kejadian ini sangat langka. Sehingga, mau tak mau telah mengundang berbagai pendapat tentang kematian tokoh sakti yang kabarnya telah lama mengasingkan diri itu. Hal itu dikaitkan pula dengan terbantainya keamanan Desa Pesanggrahan, berikut Ki Sangga Watung yang menjadi kepala desa itu.

Kaum persilatan golongan putih tentu saja menjadi marah besar atas peristiwa berdarah itu. Sehingga julukan Bidadari Iblis pun semakin berdengung, dan membuat golongan putih harus bangkit. Apalagi, tokoh sesat berwajah jelita itu bukan hanya membunuh Begawan Cindra Putra, Ki Sangga Watung, dan keamanan-keamanan Desa Pesanggrahan. Bahkan cukup banyak kejadian-kejadian sesudah itu yang dikaitkan dengan Bidadari Iblis!

Kebangkitan dan kemarahan golongan putih ternyata juga ditanggapi oleh kaum sesat. Bahkan para tokoh sesat menjuluki wanita cantik berpakaian merah darah itu sebagai Bidadari Salju. Julukan itu diberikan karena sikapnya dan wajahnya yang selalu tampil dingin seperti salju. Dan kemunculannya itu jelas membuat kaum golongan sesat menyambut gembira. Dengan terbunuhnya tokoh-tokoh golongan putih, berarti membuat kaum sesat merasa yakin kalau Bidadari Salju berpihak kepada mereka.

Kemunculan tokoh jelita berhati iblis itu tidak hanya disambut suka ria oleh golongan sesat. Bahkan kini mereka semakin berani terang-terangan melakukan kejahatan! Gerombolan perampok yang selama ini bergerak sembunyi-sembunyi karena tekanan golongan putih, kini berani menjarah harta benda penduduk baik pagi maupun siang hari. Sehingga, keadaan semakin bertambah keruh dan kacau!

Demikian pula halnya pada pagi hari ini. Serombongan perampok yang menjuluki dirinya Perampok Jubah Merah, bergerak menuju sebuah desa. Beberapa orang petani yang tengah sibuk menggarap sawah ladang, menatap dengan wajah pucat!

"Gerombolan Perampok Jubah Merah...?!" Desis seorang petani berusia empat puluh tahun. Dia menatap gemetar ke arah serombongan orang berkuda yang melintas di atas jalan lebar. Bukan hanya petani berhidung besar itu saja yang menjadi ketakutan. Bahkan belasan petani lain yang tengah sibuk mencangkul serentak terhenti dan me- mandang terbeliak, bagaikan melihat hantu berkelia- ran di siang hari!

"Celaka! Apa yang harus kita lakukan...?" Desah seorang petani muda bertubuh tegap. Raut wajahnya yang terlihat keras dan telah basah oleh lumpur, tampak berubah tegang dan pucat. Sedangkan tangan kanannya masih menggenggam cangkul.

"Larilah ke desa! Laporkan kedatangan iblis-iblis biadab itu kepada Ki Gandir!" Usul petani berhidung lebar yang saat itu sudah bergerombol bersama petani lainnya.

"Benar. Cepatlah kau pergi, sebelum mereka menggondol harta benda kita. Bisa-bisa istri dan anak perempuan kita pun akan jadi sasaran mereka...," sambut seorang petani setengah baya dengan wajah gelisah.

“Tapi, apakah tidak sebaiknya kita semua kembali ke desa? Siapa tahu saja kehadiran kita beramai-ramai bisa menjadi bantuan yang berarti bagi Ki Gandir...," usul petani muda itu.

"Baik. Ayolah..."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, belasan orang petani itu pun bergegas meninggalkan sawahnya. Kemudian mereka bergabung dengan para petani lain, dan beramai-ramai bergerak kembali ke desa untuk menyelamatkan harta dan keluarga mereka.

********************

"Heyaaa... heyaaa...!"

Seorang lelaki brewok bertubuh gemuk berteriak-teriak ketika menerobos mulut desa bersama rombongannya! Jubahnya yang panjang dan berwarna merah darah itu berkibaran mengikuti ayunan tubuhnya di atas punggung kudahitam.

"Cegah mereka...!"

Seorang lelaki gagah yang rupanya adalah kepala keamanan desa itu mencabut pedangnya. Dengan gagah, dipimpinnya dua belas orang anak buahnya untuk menghalau Perampok Jubah Merah!

Pertempuran kecil pun tidak dapat dihindari lagi! Lelaki brewok yang menjadi pimpinan Perampok Jubah Merah mengibaskan golok besarnya untuk merobohkan penghadang di depannya! Seketika darah tertumpah membasahi bumi! Korban-korban mulai berjatuhan saling tumpang-tindih!

Pada saat pertempuran tengah berkecamuk itu, muncullah seorang pemuda tampan berjubah putih yang keluar dari dalam kedai. Begitu tiba, pemuda tampan itu langsung melesat memapak tebasan golok besar pemimpin gerombolan perampok itu!

Plakkk!

"Aaahk...?!"

Bukan main terkejutnya lelaki brewok itu ketika golok di tangannya terpental balik, akibat tepisan telapak tangan seorang pemuda tampan! Bahkan tubuh gemuk itu sampai terjatuh dari atas punggung kudanya! Benar-benar sukar dipercaya kejadian yang menimpa dirinya.

"Siapa..., kau...!" Bentak lelaki brewok itu sambil menatap gentar sosok berjubah putih yang sudah berdiri tegak di hadapannya.

"Hm.... Siapa aku, kau tidak perlu tahu. Perintahkan anak buahmu untuk meninggalkan Desa Pucung ini, sebelum semuanya terlambat!" tegas pemuda tampan berjubah putih itu. Meski suaranya terdengar pelan, namun ketegasannya jelas membuat lelaki brewok itu tersirap kaget!

"Bedebah! Kau pikir, kau siapa! Benar-benar lancang mulutmu berbicara! Lebih baik, jaga lehermu agar tidak putus!" Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu mengayunkan golok besarnya ke leher lawan! Dari suara desingannya dapat ditebak kalau dia memiliki tenaga luar yang amat kuat!

Wuuuk!

Kemarahan lelaki brewok itu semakin menjadi-jadi. Golok besarnya ternyata hanya mengenai angin kosong! Sedangkan lawannya sudah lenyap entah ke mana!

"Hm…. Siapa yang kau cari, Kerbau Dungu! Aku berada di belakangmu," terdengar suara yang mengejutkan dari belakang.

"Bangsat!"

Tanpa menoleh lagi, lelaki brewok itu menyabetkan golok besarnya ke belakang tubuhnya! Gerakannya cukup cepat dan kuat! Sehingga apabila golok besar itu sampai mengenai tubuh lawan, dapat dipastikan tubuh pemuda berjubah putih itu akan terbelah menjadi dua bagian!

Trakkk!

"Hahhh?!"

Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat lelaki brewok itu terbeliak! Golok besar di tangannya langsung patah menjadi dua, ketika bertemu sosok berjubah putih yang terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan!

"Pendekar Naga Putih...!"

Bagaikan melihat hantu di siang hari, lelaki brewok itu bergetar mundur dengan wajah pucat! Sebab langsung bisa dikenali, siapa adanya sosok yang sekujur tubuhnya mengeluarkan sinar putih keperakan itu.

Begitu mengetahui dengan siapa berhadapan, keberanian lelaki brewok itu langsung saja lenyap! Memang pendekar itu sudah sangat dikenalnya. Tidak sedikit tokoh sesat kelas atas yang tewas di tangan pemuda tampan itu. Karuan saja lelaki brewok itu menjatuhkan diri berlutut, sambil memohon ampun! Rupanya, kepala rampok yang terkenal ganas itu tahu kalau pendekar muda yang tersohor itu bukan tandingannya. Kalaupun nekat melawan, hanya kematianlah yang bakal diterimanya.

"Ampun..., Tuan Pendekar.... Ampun...," lelaki brewok yang tidak pernah mengenai takut itu membenturkan keningnya berkali-kali memohon ampun kepada pemuda berjubah putih, yang tak lain dari Panji atau berjuluk Pendekar Naga Putih.

Panji sendiri sama sekali tidak mempedulikan, dan malah berpaling ke arah pertempuran. Terdengar bentakan yang menggelegar! "Hentikan pertempuran...!"

Hebat luar biasa pengaruh bentakan Pendekar Naga Putih! Pertarungan yang ramai dan semerawut itu langsung saja terhenti mendadak! Memang, untuk sesaat lamanya tubuh mereka bagaikan dialiri tenaga aneh hingga terasa kaku. Beberapa saat setelah pengaruh bentakan Pendekar Naga Putih lenyap, orang-orang yang tadi bertarung itu serentak menoleh ke arah seorang pemuda tampan berjubah putih. Para anggota perampok tadi terbelalak tak percaya melihat ketua mereka tengah bersimpuh di bawah kaki pemuda tampan itu.

"Anak-anak, lepaskanlah senjata kalian. Hari ini kita sedang mengalami nasib sial, karena telah berjumpa dengan Pendekar Naga Putih," ujar lelaki brewok itu yang belum juga bangkit dari sujudnya.

Sambil berkata demikian, matanya melirik perlahan ke arah Panji yang saat itu memang tengah membelakanginya. Kemudian, dengan sekuat tenaga, golok besarnya yang sudah buntung ditebaskan ke leher Pendekar Naga Putih. Licik sekali perbuatannya.

Sayang, sepertinya kepala perampok itu belum tahu banyak tentang Pendekar Naga Putih. Kalau tahu, mana mungkin berani berlaku sebodoh itu?! Karena pada saat golok besar itu berdesing, tentu saja suaranya tertangkap telinga Panji yang sangat peka itu. Selanjutnya, terciptalah lapisan kabut putih keperakan yang langsung menyelimuti tubuh Panji. Bahkan lapisan kabut itu tampak berpendar hampir, tiga jengkal dari tubuh pemuda itu.

Trakkk!

"Aaargh...?"

Kepala Gerombolan Perampok Jubah Merah itu memekik kesakitan! Golok buntung di tangannya yang diambil dari atas tanah langsung terbelah lagi menjadi tiga bagian! Bahkan tubuh gemuk itu sendiri terjungkal, hingga satu setengah tombak jauhnya! Padahal, golok buntung masih beberapa jengkal dari sasaran!

"Rupanya, kau lebih memilih mati daripada bertobat..," desah Panji membalikkan tubuhnya.

Pendekar Naga Putih menatap lelaki brewok yang terbujur di atas tanah itu. Darah segar tampak mengalir tak henti-henti dari sela-sela bibirnya. Sepertinya, dia termakan tenaga pukulannya sendiri yang berbalik. Itulah salah satu keistimewaan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', apabila dikerahkan sepenuhnya. Semua itu hanya bisa dilakukan Panji terhadap tokoh-tokoh persilatan kelas menengah ke bawah. Andai yang menyerangnya merupakan tokoh kelas atas, pemuda itu jelas bisa terluka dalam.

Tidak lama Pendekar Naga Putih menatap sosok brewok di depannya itu. Sebab, kepala perampok itu langsung saja menggelepar tewas setelah beberapa saat mengerang menahan sakit! Baru saja lelaki brewok itu menghembuskan napasnya yang terakhir, terdengarlah derap kaki kuda mendatangi tempat itu dari sebelah Timur desa. Sedangkan dari arah mulut desa, tampak puluhan orang petani dengan berbagai macam senjata berlarian mendatangi.

Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun langsung melompat turun dari atas punggung kudanya. Keningnya sempat berkerut melihat para anggota perampok tampak berlutut tanda menyerah. Lelaki tua itu baru mengerti setelah melihat mayat lelaki brewok yang memang telah lama dikenalinya sebagai Pemimpin Gerombolan Perampok Jubah Merah.

"Siapa yang telah membunuhnya...?" Tanya lelaki tua itu dengan tarikan napas lega. Meskipun mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang mata tua itu menatap Panji penuh selidik. Sepasang matanya agak menyipit, seolah-olah ingin menegasi sosok Panji.

"Pemuda itulah yang telah menyelamatkan desa kita, Ki. Dia..., Pendekar Naga Putih...," jelas lelaki gagah yang merupakan kepala keamanan desa itu.

"Aaah.... Sudah kuduga, kau memang pendekar muda yang gagah perkasa itu. Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga Putih. Entah bagaimana nasib kami, seandainya kau tidak membantu...," ucap lelaki tua itu yang tak lain adalah Ki Gandir, Kepala Desa Pucung.

"Tidak perlu berlebihan, Ki. Bukankah tolong menolong itu sudah menjadi kewajiban kita semua. Nah! Karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon diri," pamit Panji yang berniat hendak meninggalkan Desa Pucung itu.

"Tapi, alangkah bahagianya hati kami bila kau sudi singgah di tempat kami," pinta Ki Gandir penuh harap.

"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud menolak niat baik itu. Tapi, ada suatu tugas yang harus segera kuselesaikan. Jadi, harap kau maafkanlah sikapku ini," tolak Panji, tulus.

Ki Gandir dan para pembantunya tidak kuasa lagi untuk mencegah kepergian pemuda perkasa itu. Mereka hanya bisa menatap sosok berjubah putih itu dengan tatapan kagum. Baru setelah sosok Panji lenyap, mereka sibuk membereskan para perampok yang telah menyerah.

Pemuda tampan berjubah putih itu melangkah menyusuri jalan lebar. Makin lama jalan yang dilaluinya semakin menyempit. Persawahan yang sepanjang jalan tadi terhampar di kiri-kanannya, kini tidak tampak lagi. Hanya pohon-pohon dan semak belukar yang memenuhi tepi jalan. Pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji itu terus saja melangkah perlahan. Terkadang kepala yang tertunduk menengadah, menatap langit cerah. Sesekali terdengar helaan napasnya yang berat. Jelas, hati Pendekar Naga Putih tengah dilanda kegelisahan.

Kegelisahan yang tengah melanda hati pendekar muda itu dapat dimaklumi. Tidak heran, karena sudah cukup lama ia berpisah dengan kekasihnya yang kini tak tentu rimbanya. Bahkan sampai saat itu Panji tidak tahu, apakah Kenanga masih hidup, atau sudah tewas tertelan gelombang lautan ganas. (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Terdampar di Pulau Asing).

Kini sebelum dapat mengetahui nasib kekasihnya, sebuah keguncangan telah melanda dunia persilatan. Tewasnya seorang tokoh kelas atas yang mengasingkan diri telah sampai ke telinga Panji. Bahkan kematian tokoh sakti yang menurut kabar terbunuh oleh seorang tokoh sesat berparas cantik yang berjuluk Bidadari Iblis, masih diiringi pula oleh bangkitnya para tokoh sesat. Hingga, ketika singgah di beberapa desa dalam usaha pencariannya terhadap Kenanga, Panji harus mengusir gerombolan-gerombolan perampok yang semakin mengganas. Terakhir, pemuda itu kembali menyelamatkan Desa Pucung dari kehancuran.

"Hhh.... Mungkinkah Kenanga memang sudah tewas...?" Desah Panji dengan perasaan kacau.

Pemuda sakti itu berusaha menekan kepedihan hatinya dengan menarik napas dalam-dalam. Setiap kali teringat akan dara jelita pujaannya, hatinya merasa seperti ditusuk-tusuk. Hanya karena semenjak kecil telah menerima gemblengan gurunyalah yang membuat pemuda itu tetap kelihatan tegar dan bersemangat.

Semenjak kehilangan kekasihnya, boleh dibilang semangat hidup pemuda itu telah lenyap sebagian. Kini, seringkali ia berpikir untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan. Tapi kewajibannya sebagai, seorang pendekar, membuatnya tidak bisa memikirkan kepentingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Sehingga sambil tetap melaksanakan kewajibannya, tak henti-hentinya dia mencari keterangan tentang Kenanga. Meskipun harapan untuk dapat berjumpa sangat tipis.

"Hhh...," kembali terdengar helaan napas berat pemuda itu sebagai tanda keresahan hatinya.

Tanpa terasa, langkah pemuda itu telah membawanya ke sebuah perbukitan padas. Sejenak Pendekar Naga Putih menghentikan langkahnya sambil menatapi bebatuan yang terhampar di sekitarnya. Hembusan angin yang tiba-tiba bertiup keras, membuat jubahnya yang panjang berkibaran. Panji yang baru saja hendak kembali melanjutkan perjalanan, langsung tertegun menelengkan kepalanya. Lapat-lapat, telinganya yang tajam menangkap adanya suara-suara orang bertempur.

"Hm.... Jelas, pendengaranku tidak salah. Pasti ada orang yang tengah bertarung di sekitar daerah ini. Menilik dari suaranya, rasanya pertempuran itu cukup ramai. Mungkinkah gerombolan perampok tengah menjarah di sekitar daerah perbukitan yang gersang ini? Atau tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pedesaan?" Gumam Panji sambil berusaha memastikan arah suara orang bertempur itu.

Namun karena suara-suara itu terkadang lenyap, Panji pun hanya bisa memastikan kalau tempat pertempuran itu cukup jauh dari dirinya. Sebenarnya kalau bukan Pendekar Naga Putih yang berdiri di tempat itu, belum tentu akan dapat menangkap suara-suara pertempuran yang terkadang lenyap terbawa hembusan angin. Kalau Panji dapat menangkapnya, itu karena kepandaiannya yang sudah sulit untuk diukur. Sehingga, tidak sulit bagi orang seperti Pendekar Naga Putih untuk menangkap suara pertempuran itu.

Agar dapat lebih jelas menangkap suara, Panji bergerak maju ke sekeliling tempat itu, hingga tiga tombak jauhnya. Setelah suara itu tertangkap secara jelas, ia pun segera dapat menentukan, dari arah mana pertarungan itu berasal. Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke arah Barat, yang diyakininya sebagai suara pertempuran itu berasal.

LIMA

Pendekar Naga Putih terus berlari sambil mengerahkan ilmu lari cepatnya. Tingkat kepandaiannya yang sudah sangat tinggi, membuat tubuh pemuda itu tidak dapat tertangkap mata biasa. Yang terlihat hanyalah secercah sinar putih keperakan yang berkelebatan bagai tak menyentuh permukaan tanah.

Tidak berapa lama kemudian, dalam jarak sekitar belasan tombak, Panji sudah menyaksikan sosok bayangan merah yang tengah menghadapi keroyokan lima orang laki-laki gagah. Melihat ciri-ciri sosok ramping terbungkus pakaian merah darah, Panji tahu kalau orang yang tengah dikeroyok itu tak lain dari Bidadari Iblis, atau yang juga berjuluk Bidadari Salju. Hal itu dapat ditebaknya, karena telah banyak mendengar tentang ciri-ciri tokoh sesat yang saat ini telah membuat kalangan rimba persilatan gempar!

Tanpa pikir panjang lagi, Panji pun segera mendekat ke arah arena pertarungan. Melihat kelima orang lelaki gagah yang diyakininya sebagai para pendekar telah mampu menguasai arena, pemuda itupun tidak berniat membantu. Ia hanya berdiri menonton dalam jarak tiga tombak. Meskipun begitu, Panji siap turun tangan apabila diperlukan. Sosok bayangan merah itu tampak kerepotan. Namun, dia masih mampu untuk melontarkan pukulan-pukulan maut sesekali. Hal itu membuat Panji merasa khawatir akan nasib kelima orang gagah itu.

Panji menjadi kagum bukan main terhadap kepandaian Bidadari Iblis. Melihat kesaktian tokoh wanita sesat itu Panji mengerti mengapa tokoh sakti seperti Begawan Cindra Putra sampai tewas di tangannya. Selain ganas dan lincah, ternyata Bidadari Iblis pun memiliki pukulan beracun yang sangat berbahaya!

"Eh...?!" Tiba-tiba Panji tersentak kaget. Ternyata beberapa gerakan tokoh sesat wanita itu seperti pernah dilihatnya. Bahkan hampir sangat dikenalinya. Meskipun gerakan itu kadang dirangkai dengan gerakan aneh dan keji, tapi hal itu membuatnya penasaran!

"Aneh! Sepertinya aku mengenali beberapa gerakan yang digunakan Bidadari Iblis itu? Tapi..., ah! Tidak mungkin...?!" Gumam Panji dengan kening berkerut.

"Haaait...!”

Pada suatu kesempatan Bidadari Iblis berseru nyaring, disertai lesatan tubuhnya yang mengejutkan! Sambil berputar di udara, sosok berpakaian merah darah itu melontarkan pukulan-pukulan berbau harum yang jelas mengandung racun!

"Aaah...!"

Untuk kedua kalinya Panji memekik tertahan! Dadanya pun berdebar keras! Jelas teriakan Bidadari Iblislah yang membuat pemuda itu terkejut!

“Tidak mungkin...!" Desis Panji kembali dengan dada yang kian berdentam keras, "Mungkin hanya suaranya saja yang sama, atau aku telah terpengaruh bayang-bayang yang kubuat sendiri...?"

Merasa penasaran, Panji mengerahkan tenaga saktinya ke arah pertarungan itu. Hal itu dilakukan untuk mempertajam pandang matanya, karena pertarungan itu demikian cepat sehingga tidak bisa terlihat jelas. Sejak tadi keenam sosok di arena itu hanya tampak bayang-bayangnya saja. Sehingga, Panji tidak bisa mengenali orang yang tengah bertarung. Debaran dada Pendekar Naga Putih kian kuat! Bahkan sepasang matanya perlahan membesar. Begitu setelah dapat melihat lebih jelas, ternyata sosok bayangan merah yang ramping itu sangat dikenalnya!

"Aaah..., tidak mungkin kalau Kenanga sampai berubah demikian jauh? Apalagi tindakannya yang kudengar belakangan ini, tidak ubahnya seperti iblis keji...? Tapi..., sosok itu mengapa demikian mirip Kenanga...? Atau pandanganku saja yang salah...?" Desis Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Seolah, pemuda itu berusaha keras mengusir bayangan-bayangan yang mengganggunya.

Setelah merasa hatinya agak tenang, Panji kembali menatap ke arah pertarungan. Kali ini, sosok bayangan merah itu terlihat mulai terdesak kelima orang la- wannya. Tokoh wanita sesat itu, terlihat tidak sempat lagi untuk melontarkan pukulan-pukulan balasannya. Meski agak berdebar, Panji sempat menarik napas lega melihat keadaan itu.

"Hiaaa...!"

Bidadari Iblis yang kelihatan sudah semakin terjepit itu tak sempat lagi mengelakkan sebuah tendangan keras salah seorang lawan! Akibatnya, tubuhnya yang kini membelakangi Panji jadi terjengkang, dan jatuh beberapa langkah di sebelah kanan pemuda itu! Dan....

"Aaah...?!"

Bagai disengat kalajengking, Panji terbeliak mundur beberapa langkah! Saat tubuhnya terjatuh, wajah Bidadari Iblis terlihat jelas oleh Panji. Tentu saja raut wajah jelita sosok berpakaian merah darah itu yang membuatnya bergetar!

"Kenanga...?!" Desis Panji dengan wajah semakin memucat! Memang wajah tokoh sesat wanita jelita itu memang mirip sekali dengan kekasihnya yang telah hilang selama ini.

Bidadari Iblis menoleh setelah bangkit berdiri. Ditatapnya pemuda tampan itu dengan kening berkerut. Tokoh sesat jelita itu tertegun ketika mendengar pemuda itu menyebutkan sebuah nama yang sepertinya tidak asing di telinganya. Sayangnya, Bidadari Iblis tidak mengerti, mengapa nama yang disebutkan pemuda itu menimbulkan kesan mendalam jauh di relung hatinya.

"Kau..., siapakah...?"

Perlahan bibir mungil tokoh sesat yang wajahnya sangat mirip Kenanga itu menggerimit. Yang membuat Panji merasa aneh, adalah bergetarnya suara tokoh sesat wanita itu.

Panji sendiri yang kini dapat melihat jelas dengan lama wajah tokoh sesat itu, meragukan bantahan pikirannya. Sekarang ia merasa yakin kalau wajah itu adalah wajah kekasihnya yang hilang.

"Aku..., Panji...," jawab Panji hampir berbisik. Sedangkan sepasang matanya tak lepas dari raut wajah jelita di hadapannya.

"Panji.... Panji...?" Bidadari Iblis pun sempat tertegun ketika Panji menyebutkan namanya. Beberapa kali terdengar bibir mungil itu berbisik mengulang nama pemuda itu. Nyata sekali kalau nama pemuda itu mendatangkan sesuatu yang aneh dalam lubuk hatinya.

"Kau pernah mengenai nama itu sebelumnya, Nisanak? Adakah artinya nama itu bagimu? Apakah nama itu pernah dekat di hatimu...?"

Panji yang melihat Bidadari Iblis termenung sambil membisikkan namanya berulang-ulang, menjadi penasaran. Pena-saran untuk menyingkap tokoh penuh teka-teki ini.

"Ya..., ya. Sepertinya nama Panji tidak asing bagiku? Tapi, aku lupa di mana pernah mendengarnya? Anehnya..., nama itu membuat aku merasa sedih dan rindu...? Sepertinya, nama itu pernah sangat dekat di hatiku?"

Bisik Bidadari Iblis lirih. Beberapa kali kepalanya ditelengkan, seolah-olah berusaha keras untuk menegasi wajah tampan di depannya. Cukup lama dara jelita berpakaian merah itu termenung. Sepertinya, ia tengah berusaha keras mengingat nama itu. Sehingga, Panji semakin leluasa merayapi raut wajah tokoh sesat berjuluk Bidadari Iblis itu. Makin lama pemuda itu meneliti, semakin yakin hatinya kalau tokoh sesat itu pasti kekasihnya yang telah lama dicarinya. Dan Panji pun mulai menduga. Semenjak mereka terpisah, pasti ada sesuatu yang terjadi terhadap kekasihnya.

"Panji..., Panji...," Bidadari Iblis kembali membisikkan nama pemuda itu berulang-ulang. Kali ini, bukan hanya suaranya saja yang bergetar. Bahkan sepasang mata indah itu mulai merebak. Keluhan aneh bernada sedih terlontar lirih dari kerongkongannya.

"Kisanak! Dapatkah kau ceritakan tentang gadis yang kau sebut sebagai Kenanga? Dan..., apa hubungan gadis itu denganmu...? Apakah..., ia cantik dan seusia denganku...?" Tanya Bidadari Iblis.

Kini mulai terdengar isak lirih wanita itu. Tidak dirasakannya lagi akibat tendangan lawan yang menghantam perutnya tadi. Semua rasa sakit itu lenyap terendam perasaannya yang ia tidak tahu kenapa menjadi demikian mudah tersentuh, setelah mendengar nama 'Panji'.

Sayang sebelum keterangan itu dapat diperoleh, kelima orang musuhnya telah kembali menerjang. Sehingga, Bidadari Iblis membalikkan tubuhnya menghadapi kelima orang tokoh persilatan itu. Namun kelima orang tokoh persilatan golongan putih yang sudah kembali bersiap hendak mengeroyok Bidadari Iblis, segera menghentikan langkahnya. Mereka menatap pemuda berjubah putih di samping tokoh wanita sesat itu, dengan pandangan penuh selidik.

"Kau..., bukankah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...? Mengapa kau diam saja? Tidakkah kau sadar kalau gadis jelita yang kau ajak bicara ini adalah seorang iblis keji? Lenyapkanlah dia, sebelum menebar bencana bagi tokoh lainnya!" Ujar seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun melihat pendekar muda itu sama sekali tidak bertindak. Malah, sepertinya dia telah mengenal tokoh wanita sesat itu dengan baik.

"Sahabat," panggil Panji pelan, "Benar, aku adalah Pendekar Naga Putih. Dan kalau kalian percaya padaku, biarlah tokoh sesat ini aku yang membereskan. Tapi, aku mempunyai satu permintaan kepada kalian"

"Apa yang kau inginkan...?" Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal, bertanya tak sabar.

"Tinggalkanlah tokoh ini kepadaku. Percayalah, aku akan membereskannya," ujar Panji yang kini semakin yakin kalau Bidadari Iblis adalah Kenanga, kekasihnya yang hilang itu. Panji pun merasa pasti kalau ada sesuatu yang menimpa kekasihnya, hingga seperti lupa akan masa lalunya. Keyakinan itu diperoleh setelah melihat sikap Bidadari Iblis yang sepertinya ingin mengetahui latar belakang gadis bernama Kenanga.

"Tidak bisa, Pendekar Naga Putih! Aku dan Witarsa adalah murid Begawan Cindra Putra yang telah dibunuh wanita iblis itu! Dan kami harus menuntut balas! Kalau kau memang tidak mau menangkap atau melenyapkannya, kami berlima pun sanggup melakukannya!" Lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu menolak permintaan Panji.

"Benar, apa yang dikatakan Sucipta itu, Pendekar Naga Putih. Kalau kau tidak tega membunuh tokoh yang memang berwajah mempesona ini, biar kami yang membereskannya! Jangan dikira kau saja yang mampu mencegah kejahatan!" Sindir lelaki berkumis lebat itu dengan wajah sinis.

"Tapi, aku mengenal baik wanita berjuluk Bidadari Iblis ini, Sahabat. Dan aku yakin, semua ini pasti bukan semata-mata karena kemauannya. Ia sendiri tidak tahu, apa yang dilakukannya adalah sebuah kesesatan! Ia telah lupa akan masa lalunya. Jadi, aku minta dengan sangat agar kalian semua mengerti. Percayalah, aku akan berusaha keras untuk mengembalikan ingatannya. Setelah itu, kejahatannya pun akan lenyap dengan sendirinya," jelas Pendekar Naga Putih lagi, memohon pengertian kelima orang pendekar itu.

Sucipta dan Witarsa yang paling mendendam karena kematian gurunya, tentu saja tidak sudi melepaskan pembunuh gurunya begitu saja. Mereka yang saat kematian Begawan Cindra Putra tengah mengembara meluaskan pengalaman, tentu saja segera kembali begitu mendengar kabar tentang kematian gurunya. Dan kini setelah bertemu pembunuh gurunya, tahu-tahu saja muncul Pendekar Naga Putih yang meminta agar mereka mau melepaskannya. Tentu saja kedua orang itu menolak mentah-mentah.

"Hm.... Untuk apa banyak bicara lagi! Pendekar Naga Putih jelas-jelas hendak menghalangi kita! Sekalian saja kita bereskan pendekar muda yang telah menjadi besar kepala karena kebesaran namanya itu!" Timpal lelaki bertubuh kekar yang berkumis tebal, geram.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kakang Klaban?" Sambut Sucipta yang memang sudah tidak sabar untuk segera membalaskan kematian gurunya.

"Maaf, aku terpaksa melawan kalian...," ucap Panji. Tampaknya Pendekar Naga Putih telah mengambil keputusan untuk membela Bidadari Iblis. Karena menurutnya, tokoh sesat wanita yang ternyata kekasihnya itu pasti diperalat tokoh keji. Dan Kenanga mungkin sengaja dibuat melupakan masa lalunya, untuk lebih mudah diperalat.

"Hm.... Tidak perlu banyak ribut!" Lelaki kekar bernama Klaban itu segera saja membentak keras, diiringi sambaran pedangnya!

Plakkk!

Sambil melesat menyambut sambaran pedang itu, Panji memiringkan tubuhnya menghindari tebasan senjata Sucipta yang berdesing membabat lehernya! Untunglah pemuda itu sempat merendahkan tubuhnya, sehingga pedang lawan lewat dua jengkal di atas kepalanya!

"Haaait...!"

Panji yang tengah dalam keadaan hampir berjongkok, segera saja melompat ke belakang! Memang saat itu Witarsa tengah meluruk maju dengan putaran pedangnya yang membentuk gundukan sinar berkilauan. Melihat caranya menyerang, jelas tingkat kepandaian lelaki itu memang tidak bisa dibuat main-main! Sebentar saja, Panji sudah kewalahan menghadapi keroyokan kelima orang tokoh persilatan itu! Sehingga, mau tidak mau harus mengerahkan kepandaiannya untuk membendung gempuran mereka.

Bidadari Iblis yang menyaksikan pemuda bernama Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah bertarung melawan lima orang yang tadi mengeroyoknya, sejenak berdiri bimbang. Untuk beberapa saat lamanya, ia hanya tertegun bagai patung. Pikiran hendak membantu pemuda tampan yang serasa tidak asing baginya, tiba-tiba saja lenyap. Justru ia kini teringat akan tugas yang harus diselesaikannya.

"Ahhh, biarlah. Setelah tugasku selesai, aku akan mencari pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu," gumam Bidadari Iblis.

Diam-diam ada sesuatu perasaan aneh yang menyelinap di hati wanita itu. Dia merasa malu sendiri karena sempat membayangkan menjadi kekasih Pendekar Naga Putih. Tentu saja ia menjadi risih. Karena selama ini, ia selalu membenci laki-laki seperti yang ditanamkan gurunya. Setelah teringat akan tugasnya, Bidadari Iblis pun melesat pergi meninggalkan arena pertarungan. Tentu saja perbuatannya itu tanpa sepengetahuan Panji yang tengah membelakanginya.

"Hei! Jangan lari kau, Iblis Keji...!"

Sucipta yang sempat melihat tokoh sesat itu hendak melarikan diri, berusaha mengejar. Tubuhnya melambung ke udara dengan kecepatan mengagumkan! Kemudian, dia berputar beberapa kali sebelum menginjak tanah!

Panji sendiri sempat merasa terkejut mendengar teriakan Sucipta. Cepat-cepat ia ikut melambung dan berputar, dengan maksud mencegah lelaki itu melakukan pengejaran terhadap Bidadari Iblis. Tentu saja perbuatan itu dilakukan bukan semata-mata hendak menyelamatkan Bidadari Iblis, tapi demi keselamatan Suciptalah yang dikhawatirkannya. Jelas, dengan melakukan pengejaran seorang diri, itu sama artinya menyerahkan nyawa! Itulah yang membuat Panji melesat menghadang Sucipta melakukan pengejaran.

"Setan! Kau benar-benar sudah terpikat kecantikan iblis betina itu rupanya!" Geram Sucipta ketika kakinya mendarat ditanah. Tubuh Pendekar Naga Putih kini telah berdiri menghadang jalan. Maka tentu saja lelaki gagah itu semakin jengkel!

"Hiaaat...!"

Sucipta memutar senjatanya sedemikian rupa, hingga membentuk gundukan sinar yang bergerak tu- run-naik menyelimuti sekujur tubuhnya! Dibarengi bentakan keras, tubuh lelaki gagah itu bergerak ke arah Panji dengan serangan-serangan mautnya!

Sebagai seorang murid tokoh sakti seperti Begawan Cindra Putra, tentu saja kepandaian Sucipta sudah tinggi. Apalagi, pelajarannya telah ditamatkan tiga tahun yang lalu. Sehingga, dia sudah cukup banyak makan asam garam dunia persilatan. Jadi tidak heran kalau serangan-serangannya sangat berbahaya!

Sayangnya, yang kali ini dihadapi Sucipta bukanlah pendekar kemarin sore. Dalam soal pengalaman serta kematangan ilmu silat, tentu saja Sucipta boleh dibilang ketinggalan jauh oleh Pendekar Naga Putih. Jadi sehebat-hebatnya gempuran yang dilancarkan murid Begawan Cindra Putra itu, selalu saja dapat di imbangi Panji. Bahkan kalau saja pemuda itu berniat menjatuhkan, rasanya tidak terlalu sulit. Tapi, hal itu tidak ingin dilakukan. Ia hanya berusaha agar serangan lawan tidak sampai mengenai tubuhnya.

Witarsa, Klaban, dan dua orang tokoh lainnya segera saja bergabung dengan Sucipta. Mereka kembali mengeroyok Pendekar Naga Putih, dan menggempurnya habis-habisan! Lenyapnya Bidadari Iblis, tentu saja juga melenyapkan gairah bertarung Panji. Sejak mula pun, ia memang hanya menghalangi kelima orang itu agar tidak mencelakakan tokoh sesat jelita itu. Maka begitu melihat kesempatan, pemuda itu segera mencelat jauh ke belakang, dan terus melarikan diri!

"Keparat! Jangan lari kau, Pendekar Pengecut..!" Sambil berteriak-teriak marah, Sucipta dan Witarsa segera melesat mengejar! Mereka merasa penasaran dengan Pendekar Naga Putih yang tiba-tiba melarikan diri. Sementara, Klaban dan dua orang tokoh lainnya pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera saja mengerahkan ilmu lari cepat untuk mengejar Pendekar Naga Putih!

ENAM

Pendekar Naga Putih terus melesat dengan pengerahan segenap kekuatan ilmu larinya untuk mengejar Bidadari Iblis. Meskipun telah berusaha semampunya, namun sosok bayangan merah itu tidak juga berhasil dikejarnya. Akhirnya, pemuda itu menghentikan larinya sambil menghembuskan napas kecewa. Panji melangkah perlahan sambil memikirkan persoalan yang ternyata semakin rumit. Bidadari Iblis yang telah menebar kekejaman itu, ternyata adalah Kenanga yang sekaligus kekasihnya.

Sedangkan gadis jelita itu seperti tidak sadar terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Jelas, Kenanga telah kehilangan ingatan! Dengan demikian, berarti Panji harus dapat menemukan orang yang telah begitu tega memperalatkekasihnya.

"Ah! persoalan ini telah berkembang semakin pelik. Selain harus mencari penyebabnya, aku pun sudah pasti mesti berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan putih yang memusuhi Kenanga.Entah, bagaimana caranya agar para tokoh persilatan yang hendak melenyapkan Kenanga dapat menerima alasanku? Mungkin bukan hanya kelima orang tokoh itu saja yang tengah memburu Bidadari Iblis...," desah Panji.

Pendekar Naga Putih memang menjadi serba salah. Di satu pihak, ia harus membela kekasihnya. Tapi dilain pihak ia pun harus berhadapan dengan para tokoh persilatan golongan putih. Alasan terakhir itulah yang membuatnya gelisah! Pendekar Naga Putih yang tengah melangkah ringan sambil berusaha menyelesaikan masalah itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sebuah jerit kesakitan membuat wajah pemuda itu menegang seketika!

"Kenanga...?!" desis Panji, gelisah. Pemuda itu kenal betul suara melengking tadi. Dan yang membuat dadanya berdebar adalah, si empunya suara pastilah tengah menderita kesakitan!

"Hiaaa...!"

Jerit kesakitan itu kini terdengar berganti dengan pekik kemarahan! Otak Pendekar Naga Putih pun langsung bekerja cepat! Merasa yakin kalau kekasihnya yang kini dikenal sebagai Bidadari Iblis tengah menghadapi bahaya, maka tubuhnya segera melesat tanpa pikir panjang lagi!

Bukan main pucatnya wajah Pendekar Naga Putih ketika menyaksikan apa yang terjadi di depannya. Beberapa belas tombak di depan pemuda tampan itu, tampak sesosok tubuh terbungkus pakaian merah darah tengah jatuh bangun menahan gempuran seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Sepertinya laki-laki itu tidak memberi kesempatan kepada sosok berpakaian merah untuk membangun serangan!

Melihat pertarungan tak seimbang itu karuan saja Pendekar Naga Putih menjadi marah. Maka tubuhnya cepat mencelat disertai pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuhnya!

"Tahaaan...!"

Disertai bentakan menggelegar, Panji langsung mendarat di tengah arena! Begitu tiba, sepasang tangannya langsung melontarkan dua buah tamparan untuk menyambut serangan lelaki tinggi besar itu!

Wuuut! Wuuut!

Plakkk! Plakkk!

"Aaah...?!"

Karena disertai pengerahan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya, tentu saja tamparan Pendekar Naga Putih berakibat sangat dahsyat! Lelaki tinggi besar itu kontan terjengkang, untung saja ia segera melompat tinggi ke udara, berputar dua kali sebelum mendarat di atas tanah. Sehingga tubuhnya tidak jadi terbanting di tanah.

"Bedebah! Bangsat mana yangberanimembokongku?" Teriak lelaki tinggi besar itumenyumpahserapah.Kening lelaki yang wajahnya ditumbuhi brewok itu berkerut melihat seorang pemuda tampan berjubah putih tahu-tahu telah berdiri dihadapannya. Jelas, pemuda itulah yang telah menangkis serangannya tadi!

"Pan... ji...," desah Bidadari Iblis meragu, setengah percaya. "Mengapa kau menolongku...?"

Rasa ketidakpercayaan Bidadari Iblis tentu saja bisa dimaklumi. Setelah mengenal pemuda tampan bernama Panji itu, ia pun sadar kalau mereka berbeda golongan. Kini setelah melihat pendekar muda itu menolongnya dari serangan lawan, tentu saja ia merasa heran.

"Kenanga...," panggil Panji bergetar penuh kerinduan. Ditatapnya wajah jelita itu dengan penuh kasih. Dan yang ditatap hanya membalas dengan sinar mata sayu, tanpa gairah hidup sama sekali. Sepertinya, Bidadari Iblis tak mengerti kenapa dirinya jadi begini. Namun, dia susah untuk menjawabnya.

"Kau..., kekasihku. Jadi..., tentu saja aku menolongmu. Kau benar-benar tidak bisa mengingat siapa aku...?" Tanya Panji pilu. Hati pemuda tampan itu merasa sedih sekali melihat nasib yang menimpa dara yang dicintainya.

"Pan..., ji. Meskipun semenjak mendengar namamu kurasakan suatu kerinduan yang tidak ku mengerti, tapi aku belum bisa yakin dengan dugaanmu itu. Andaikan saja aku benar-benar kekasihmu yang bernama Kenanga, alangkah bahagianya aku...," desah Bidadari Iblis tertunduk, disertai lelehan air mata yang mulai turun membasahi pipi halusnya.

"Kenanga Aku yakin, kau pasti kekasihku. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang telah terjadi denganmu. Dan aku ingin, jelaskanlah padaku...," ujar Panji sambil memegang bahu Bidadari Iblis, yang tidak berusaha mengelak. Karena, diam-diam ia pun sangat kagum dan menyukai pendekar muda itu.

"Hei! Kalian pikir, siapa aku ini, hah! Seenaknya saja berbicara tanpa mempedulikan keberadaanku."

Pembicaraan Panji dan Bidadari Iblis terputus ketika terdengar bentakan menggelegar bagaikan ledakkan petir di angkasa! Serentak keduanya menoleh dan memandang ke arah lelaki tinggi besar bercambang bauk, yang menatap marah kepada mereka! Sedangkan lelaki brewok itu sudah melangkah beberapa tindak sambil menatap dan meneliti sekujur tubuh Panji. Jelas, ia tengah berusaha menduga pemuda berjubah putih itu.

"Anak muda! Jawablah pertanyaanku! Apakah kau yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih? Hm. Dari akibatnya bisa ku tebak kalau tenaga yang kau kerahkan tadi adalah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'!" kata lelaki tinggi besar itu menatap tajam.

"Dugaan paman sendiri sama sekali tidak keliru. Orang memang memberi julukan Pendekar Naga Putih kepadaku, dan kalau tebakanku tidak keliru, kau pasti Pendekar Tangan Geledek yang sangat tersohor itu!" sahut Panji.

"Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku! Hm. Tahukah kau, siapa gadis mempesona yang kau bela itu? Dia adalah Bidadari Iblis! Wanita keparat itu telah banyak menebar bencana, termasuk membunuh Begawan Cindra Putra dan Ki Sangga Watung, salah seorang keluarga dekat pertapa sakti itu. Lalu, apa maksudmu membelanya? Apa kau sudah tergila-gila oleh kecantikannya?!" Kembali lelaki tinggi besar yang ternyata berjuluk Pendekar Tangan Geledek itu menghardik Pendekar Naga Putih.

Lelaki bertubuh tinggi besar dan berusia enam puluh tahun itu memang bukan nama baru dalam dunia persilatan. Bahkan kabarnya kepandaiannya tidak berada di bawah kepandaian Begawan Cindra Putra. Tokoh sakti ini memang sahabat lama Begawan Cindra Putra pertapa sakti itu. Dia langsung saja meninggalkan tempat kediamannya di Selatan, ketika mendengar sahabatnya terbunuh oleh Bidadari Iblis yang merupakan tokoh baru bagi telinganya. Dan pada saat itu hampir berhasil menamatkan riwayat Bidadari Iblis, tahu-tahu saja muncul Pendekar Naga Putih menyelamatkan wanita berhati keji itu. Maka tentu saja Pendekar Tangan Geledek menjadi marah besar!

"Akupun pernah mendengarnya, Paman. Tapi kalau Paman percaya, gadis yang berjuluk Bidadari Iblis ini adalah kekasihku yang telah lama lenyap, ketika kami berlayar. Kapal yang membawa kami pecah di hantam badai, sehingga kami berpisah. Dan Setelah bertemu, kekasihku yang bernama Kenanga itu ternyata telah kehilangan ingatannya. Aku menduga, ada orang telah memperalat dan menjejalinya dengan racun-racun kebencian. Kuharap Paman mau mengerti keadaanku yang sulit ini," jelas Pendekar Naga Putih panjang lebar, kepada tokoh sakti itu. Maksudnya, memang untuk menghindari pertarungan yang mungkin saja terjadi.

"Hm.... Keteranganmu memang bagus dan masuk akal juga, Pendekar Naga Putih. Tapi, bagaimana dengan wanita iblis itu? Apakah ia pun mengakui kalau kau sebagai kekasihnya yang hilang?" Sahut Pendekar Tangan Geledek, menyakitkan!

"Hm.... Aku memang sama sekali tidak tahu latar belakangku. Yang ku tahu dari guruku, aku telah diasuhnya semenjak kecil. Dan dia juga membekali ilmu- ilmu tinggi agar aku kelak tidak terhina dan menderita seperti beliau," jawab Bidadari Iblis seadanya.

Sepertinya, Bidadari Iblis memang tidak tahu menahu tentang apa yang diceritakan Panji. Apalagi ia tidak sudi dikatakan sebagai seorang pengecut yang ingin berlindung di balik keperkasaan seorang pemuda seperti Pendekar Naga Putih.

"Nah, dengarlah sendiri apa yang dikatakan wanita keji itu? Jelas, kau telah mengada-ada?" ujar Pendekar Tangan Geledek dengan senyum menghina.

"Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku memang wanita jahat yang tidak pantas berdampingan denganmu. Dan akupun tidak sudi dikatakan sebagai orang pengecut yang ingin berlindung di balik nama besarmu," tegas Bidadari Iblis sengaja menekankan nada bicaranya untuk menguatkan hatinya, sambil menghapus lelehan darah yang tersisa di sudut bibirnya.

"He he he.... kasihan kau, Pendekar Naga Putih. Cinta mu ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi biar bagaimanapun, aku kagum kepadamu, Bidadari Iblis. Karena, kau sadar akan kejahatan dirimu," sahut Pendekar Tangan Geledek kembali. Sengaja ia mengatakan kalau mengagumi Bidadari Iblis. Maksudnya untuk mengingatkan kalau Pendekar Naga Putih dan Bidadari Iblis berbeda golongan. Dan itu tidak bisa dibantah.

"Sudah kuduga, kau tidak akan percaya begitu saja dengan keteranganku, Paman. Tapi, aku tetap pada pendirianku. Sekali lagi, aku mohon maaf," ucap Panji tetap sopan dan hormat. Memang biar bagaimanapun, Pendekar Tangan Geledek merupakan angkatan yang lebih tua darinya.

"Hm Kalau begitu, Aku akan menantangmu, Pendekar Naga Putih," geram Pendekar Tangan Geledek tak bisa ditawar lagi.

Setelah berkata demikian, lelaki tinggi besar itu telah bersiap diri menghadapi sebuah pertarungan dahsyat dengan memasang kuda-kudanya. Dari sini saja bisa ditebak kalau Pendekar Tangan Geledek sadar akan kepandaian lawan yang kini harus dihadapinya. Melihat lawannya telah bersiap, Panji pun menggeser langkahnya. Rupanya, Pendekar Naga Putih sadar kalau tidak bisa menghindari pertarungan lagi!

"Hiaaat..!"

Pendekar Tangan Geledek berteriak nyaring sebagai tanda kalau ia telah memulai serangan!

Darrr.... Darrr...!

Terdengar ledakan-ledakan keras yang diiringi kilauan cahaya panas yang memenuhi arena pertarungan. Lelaki tinggi besar itu langsung menggunakan ilmu andalannya dalam penyerangan pertama. Itu menandakan kalau ia tidak memandang rendah Pendekar Naga Putih. Panji pun tidak sungkan-sungkan lagi. Sepasang tangannya langsung saja membentuk cakar naga. Bahkan sekujur tubuhnya pun telah terlapisi kabut bersinar putih keperakan.

Wuuut! Darrr!

"Haiiih !"

Beberapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Pendekar Tangan Geledek berhasil dielakkan Panji dengan meliukkan tubuhnya dan menggeser kakinya dua langkah ke samping. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu langsung membalas dengan cengkeraman-cengkeraman maut yang diiringi sambaran angin dingin menusuk tulang!

Bettt.... Whusss !

Serangan yang dilakukan Pendekar Naga Putih benar-benar mengagumkan! Tubuhnya yang meliuk-liuk bagaikan seekor ular raksasa itu, masih diiringi pula dengan lontaran pukulan dan cengkeramannya!

Tapi, Pendekar Tangan Geledek pun tidak kalah gesitnya. Tubuhnya yang tinggi besar dan kelihatan berat itu, ternyata dapat bergerak lincah! Beberapa serangan Panji yang gagal, langsung dibayar kontan dengan serangkaian pukulan maut disertai ledakan-ledakan memekakkan telinga! Sehingga, beberapa kali gerakan Pendekar Naga Putih terlihat agak kacau karena terpengaruh ledakan yang seperti datang dari delapan penjuru!

Ketika pertempuran memasuki jurus yang kedelapan puluh, Pendekar Tangan Geledek mengeluarkan pekikan nyaring! Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya bergerak susul-menyusul mengincar tubuh lawan!

"Haiiit...!"

Hebat dan sangat berbahaya serangkaian serangan yang dilontarkan Pendekar Tangan Geledek kali ini! Untuk beberapa saat lamanya Panji dibuat sibuk menghindar sambil sesekali menangkis serangan-serangan maut. Sepasang tangan lawan yang bagaikan mengelilingi tubuhnya, masih diiringi pula oleh ledakan-ledakan menyakitkan telinga!

Wuuut... Darrr!

"Uts!"

Cepat Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samping kanan sambil merendahkan tubuhnya. Begitu hantaman telapak tangan lawan lewat di atas kepalanya, langsung saja dilontarkannya sebuah hantaman telapak tangan ke perut lawan!

"Aaah...?!"

Terkejut bukan main Pendekar Tangan Geledek melihat kesigapan serta kecepatan gerak lawannya! Maka, tak dapat dihindari lagi....

Desss...!

"Uhkkk...!"

Bagai disentak tangan raksasa yang tak tampak, tubuh tinggi besar itu terlempar tanpa ampun! Segumpal darah segar menyembur dari mulutnya, hingga percikannya menodai jubah Panji! Namun pukulan yang telak dan keras itu rupanya tidak sampai membuat Pendekar Tangan Geledek tewas! Bahkan lelaki tinggi besar itu sempat melakukan putaran beberapa kali di udara, sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting di atas tanah!

"Hm..." Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pendekar Tangan Geledek menarik napas beberapa kali, disertai gerakan kedua tangannya. Maksudnya jelas, untuk meredakan guncangan dalam tubuhnya akibat hantaman lawan.

"Kau memang patut mendapat pujian, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar kagum padamu. Dalam usia yang masih ter-bilang sangat muda, kau ternyata telah memiliki kepandaian tinggi. Sayangnya, tindakanmu kali ini salah besar. Aku benar-benar menyesal sekali," ujar Pendekar Tangan Geledek dengan mimik wajah berduka. Nyata sekali kalau orang tua sakti itu merasa sedih melihat tindakan Panji yang membela Kenanga. Menurutnya, tindakan itu adalah sebuah kesalahan besar, karena membela seorang tokoh sesat yang semestinya dilenyapkan!

"Maaf, Paman. Apa yang tadi kuceritakan kepadamu, bukanlah semata-mata alasan yang kucari-cari. Semua itu adalah benar, Paman. Itulah sebabnya, aku terpaksa harus membelanya dengan taruhan nyawaku. Kalau saja Paman mau percaya, kukira pertempuran ini tidak perlu terjadi," jelas Pendekar Naga Putih, juga dengan wajah menyesal.

Bidadari Iblis sendiri yang semenjak tadi menyaksikan pertarungan kedua orang sakti itu, mulai beranjak perlahan. Sikapnya jelas menunjukkan kalau ia hendak meninggalkan tempat itu untuk menghindar dari Panji dan Pendekar Tangan Geledek.

Tepat pada saat menoleh ke belakang, Pendekar Naga Putih terkejut bukan main. Ternyata bayangan Bidadari Iblis telah berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Kenanga, tunggu...!" Sambil berteriak mencegah kepergian dara jelita berpakaian merah darah itu, tubuh Panji segera melayang melakukan pengejaran!

Pendekar Tangan Geledek pun tidak tinggal diam. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya segera melambung ke udara. Dia berputaran lima kali, sebelum turun di hadapan Panji.

"Tunggu! Persoalan di antara kita belum selesai, Pendekar Naga Putih!" Cegah Pendekar Tangan Geledek. Laki-laki tinggi besar itu menghadang beberapa langkah di depan Panji. Jelas, dia masih merasa penasaran oleh pertarungan yang menurutnya belum berakhir tadi.

"Ki Pringgada, tahan pemuda itu...!" Terdengar sebuah seruan nyaring, menyebut nama asli Pendekar Tangan Geledek. Belum lagi gema suara itu lenyap, muncullah Sucipta, Witarsa, Klaban, dan dua orang tokoh lain yang mengejar Panji.

"Celaka...!" desis Panji.

Pendekar Naga Putih agak terkejut melihat kedatangan lima orang tokoh persilatan yang dua di antaranya adalah murid Begawan Cindra Putra. Pemuda itu menjadi cemas, karena menyadari harus terpaksa berhadapan dengan orang-orang segolongan. Tapi semuanya demi membela kekasihnya.

TUJUH

"Hm... Mau kabur ke mana kau, Pendekar Naga Putih ?" kata Sucipta.

Laki-laki itu penasaran sekali terhadap Panji. Dia menuduh Pendekar Naga Putih sebagai penyebab lolosnya Bidadari Iblis dari tangan mereka. Dan kini, lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu melangkah maju beberapa tindak, setelah menyalami Pendekar Tangan Geledek. Memang, tokoh tinggi besar yang bernama Ki Pringgada itu adalah sahabat lama gurunya.

Melihat keenam tokoh itu sudah mengurung dirinya, Pendekar Naga Putih segera mengatur kedudukannya. Kemudian, pandangannya beredar dengan sorot mata penuh sesal.

"Pendekar Naga Putih! Kalau kau bersedia berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami lagi, tindakanmu yang telah keliru itu akan ku maafkan. Berjanjilah," usul Ki Pringgada. Rupanya, Ki Pringgada tidak tega melihat sorot mata Pendekar Naga Putih yang penuh sesal itu karena Pendekar Naga Putih menyadari kesalahannya. Itulah sebabnya, mengapa dia mengusulkan demikian.

"Hm..... Benar! Kalau lain kali kau berjanji tidak akan ikut campur dalam masalah ini, aku pun tidak keberatan memaafkan tindakanmu tadi. Bukan begitu, kawan-kawan...?" Sambung Sucipta, seraya meminta pendapat keempat kawannya yang lain. Lelaki gagah itu tersenyum puas ketika melihat keempat kawannya mengangguk setuju.

"Hhh..." Panji menghela napas berat berkepanjangan ketika mendengar ucapan tokoh-tokoh persilatan itu. Sorot sesal di matanya terlihat semakin jelas. Tapi yang di sesalkan Panji justru bukan tindakannya, melainkan sikap serta keluhuran budi tokoh-tokoh itu. Tentu saja, karena ia tidak bisa menuruti kemauan mereka.

"Sahabat sekalian," sebut Panji setelah termenung sejenak. "Sebenarnya, aku pun sangat menyesali kejadian ini. Tapi, sayangnya aku tidak bisa menerima usul yang sangat bijaksana itu. Aku benar-benar harapkan pengertian kalian. Percayalah! Tokoh sesat yang dijuluki Bidadari Iblis itu, sesungguhnya adalah kekasihku yang telah lama menghilang!"

Semua mata memandang Pendekar Tangan Geledek tanpa suara sedikit pun. Rupanya, Pendekar Naga Putih diberi kesempatan untuk membela diri. Tapi itu bukan berarti mereka mempercayai sepenuhnya. Dan kewaspadaan tetap menjadi patokan mereka, agar tidak cepat percaya begitu saja kepada Pendekar Naga Putih.

"Dan aku yakin, semua perbuatannya pastilah dilakukan tanpa sadar. Bukan tidak mungkin kalau kekasihku itu telah diperalat seorang tokoh sesat yang mendendam terhadap Begawan Cindra Putra atau korban-korban lainnya. Aku kenal betul, kalau Bidadari Iblis sesungguhnya adalah Kenanga. Jadi tidak mungkin perbuatannya dilandasi oleh kesadaran penuh!" Sambung Pendekar Naga Putih. Masih belum ada yang bersuara.

Bahkan keenam tokoh persilatan itu saling berpandangan. Sepertinya, mereka satu sama bin ingin meminta pendapat. Namun belum juga ada yang berbicara, Pendekar Naga Putih pun membuka mulut.

"Semua alasan itulah yang membuat pendirianku tidak dapat dirubah. Kalau saja persoalan ini menimpa salah seorang dari kalian, apakah yang akan kalian perbuat? Apakah kalian rela dengan membiarkan kekasih kalian dibunuh? Padahal kalian tahu, dia sama sekali tidak bersalah! Perbuatan itu hanya dilandasi oleh ketidakberdayaan, karena pikirannya terganggu." Jelas Panji, sehingga membuat keenam tokoh persilatan itu terdiam beberapa saat lamanya.

Pendekar Tangan Geledek sendiri mulai merasa ragu ketika melihat kekerasan hati Pendekar Naga Putih. Memang, kalau semua itu hanya merupakan alasan yang dicari-cari. Maka mungkin Pendekar Naga Putih masih berkeras mempertahankan alasannya. Sedangkan saat ini, pemuda itu sudah terkurung enam orang berkepandaian tinggi. Lalu, mengapa nyawanya rela dikorbankan hanya untuk membela seorang tokoh sesat yang baru dikenalnya?

Ternyata, bukan Ki Pringgada seorang yang mulai berubah pendiriannya. Bahkan kelima orang tokoh lainnya tampak mulai ragu. Jelas, kebulatan tekad Pendekar Tangan Geledek telah menggoyahkan hati mereka.

"Sahabat sekalian! Boleh aku mengajukan sebuah usul, atau anggaplah sebagai usul permintaan?" pinta Panji yang membuat keenam tokoh persilatan itu saling berpandangan sejenak.

"Hm..., katakanlah. Mungkin kami dapat mempertimbangkannya," Ki Pringgada yang merasa lebih tua dari yang lain segera menyahuti.

"Terima kasih atas kesediaan kalian...," desah Panji. Kembali, hatinya dicekam keharuan melihat sikap tokoh-tokoh persilatan itu. "Begini. Marilah kita saling membantu untuk menyingkap masalah ini. Andaikata tidak ada tokoh lain di belakang Bidadari Iblis, aku berjanji akan menangkap dan menyerahkannya kepada kalian, termasuk juga diriku. Tapi seandainya dugaanku benar, aku mohon kalian memberikan kesempatan kepadaku untuk membuktikan kalau Bidadari Iblis sesungguhnya tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya selama ini. Kalian boleh meminta agar dia bercerita tentang masa lalunya. Bagaimana?"

"Hm.... Permintaanmu cukup berat, Pendekar Naga Putih. Aku khawatir sebelum kita bisa menemukannya kembali, korban lain sudah akan berjatuhan lagi. Seandainya semua itu terjadi, apa kau mau bertanggung jawab?" Kata Sucipta, mencoba memojokkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, Panji menjadi terdiam untuk mencari jawabannya.

"Mmm.... Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku ingin bertanya sedikit. Menurut kabar yang kudengar, bukankah Begawan Cindra Putra dan Ki Sangga Watung memiliki hubungan yang cukup erat? Kalau boleh tahu, apa hubungan di antara mereka?" Tanya Pendekar Tangan Geledek. Sepertinya pemuda itu tengah mencoba untuk memecahkan sesuatu yang menjadi dugaannya.

"Apa maksud pertanyaanmu, Pendekar Naga Putih?" Tanya Sucipta. Laki-laki itu tak senang. Karena bukannya menjawab, tapi Pendekar Naga Putih malah bertanya yang aneh-aneh kepadanya.

"Jawab saja, Sucipta. Aku ingin tahu, apa yang ada dalam kepala pemuda itu," tukas Pendekar Tangan Geledek, segera. Sepertinya, orang tua itu ingin mengetahui apa yang akan dikatakan Panji setelah mendengar jawaban Sucipta nanti.

"Hm.... Eyang Begawan Cindra Putra merupakan Paman Kakek Ki Sangga Watung. Jadi, Ki Sangga Watung adalah saudara jauhnya. Nah, apa kau sudah puas? Atau, masih ada pertanyaan lain yang hendak diajukan?" Jawab Sucipta, agak ketus. Tapi Panji sama sekali tidak mengindahkannya.

"Hm.... Setelah Ki Sangga Watung, masih berapa orang lagi, keluarga Begawan Cindra Putra?" Tanya Pendekar Tangan Geledek lagi setelah termenung sesaat lamanya.

"Masih ada seorang. Namanya, Ki Dasa Penang," jawab Sucipta cepat. Kening laki-laki gagah itu tampak berkerut. Sepertinya ia mulai dapat menduga, ke mana tujuan semua pertanyaan Panji itu.

"Pendekar Naga Putih, apakah kau menduga...,"

"Maaf. Ini hanya baru dugaanku saja, Sucipta. Bisa jadi aku keliru," potong Panji cepat.

"Di manakah Ki Dasa Penang tinggal?" Kemudian sambil melangkah maju beberapa tindak, Pendekar Tangan Geledek membuka suara lagi.

"Beliau tinggal di Desa Kemang...," sahut Sucipta dengan wajah agak tegang.

"Mudah-mudahan tidak keliru. Ayolah kita segera ke sana," ajak Panji yang segera melesat menggunakan ilmu lari cepatnya.

Pendekar Tangan Geledek sejenak bertukar pandang dengan yang lainnya. Sejurus kemudian, keenam orang tokoh persilatan itu pun bergegas menyusul Pendekar Naga Putih.

Hari masih pagi, ketika seorang penunggang kuda memacu tunggangannya membelah jalan lebar. Kuda hitam yang berlari bagai dikejar setan itu, terus menerobos mulut sebuah desa. Beberapa orang petani yang terlambat berangkat ke sawah, segera menyingkir ke tepi jika tidak ingin terlanggar. Terdengar sumpah-serapah mereka yang merasa jengkel oleh si penunggang kuda itu.

Sedangkan penunggang kuda itu sendiri sama sekali tidak ambil peduli. Bahkan sama sekali tidak memperlambat lari kudanya, walaupun saat itu tengah melintasi jalan utama desa. Lelaki kurus yang menunggang kuda berbulu hitam itu baru menarik tali kekang, setelah tiba di depan sebuah rumah besar yang letaknya agak terpencil.

Lelaki itu langsung saja menerobos masuk, setelah melompat turun dari atas punggung kudanya. Bahkan sama sekali tidak dipedulikan lagi binatang tunggangannya yang belum ditambatkan. Jelas, dia tengah terburu-buru.

"Hei, berhenti...!"

Baru saja beberapa langkah kakinya melewati pintu halaman depan rumah besar itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat lelaki itu terlompat kaget. Dan tahu-tahu saja, dua orang lelaki bertubuh tegap telah berdiri menghadang jalan masuk.

"Siapa kau?! Mengapa tanpa permisi lagi berani memasuki tempat ini? Apa kau tidak pernah belajar sopan-santun?" Hardik seorang lelaki yang berkumis jarang. Sepasang mata lelaki itu tampak melotot galak. Bahkan tangan kanannya sudah meraba gagang pedang yang tersembul di balik bajunya.

"Aku ingin berjumpa Ki Dasa Penang. Tolong beri tahu, karena berita yang kubawa ini sangat penting buat majikan kalian," jawab lelaki bertubuh kurus itu dengan napas masih memburu.

"Kami adalah murid-muridnya. Kalau kau ada kepentingan, sampaikan saja kepada kami. Nanti kami yang akan memberitahukannya kepada guru kami," ujar lelaki berkumis jarang itu lagi tanpa mempedulikan bantahan lelaki kurus itu.

Tapi lelaki kurus itu sama sekali tidak mau meninggalkan tempat walau kedua murid Ki Dasa Penang menghardiknya. Bahkan saking jengkelnya, lelaki tegap yang berhidung pesek mendorong tubuhnya yang kurus hingga terjengkang kebelakang.

"Kalian tidak tahu, berita yang akan kusampaikan ini menyangkut mati hidupnya guru kalian! Aku adalah orang kepercayaan Ki Sangga Watung yang telah tewas terbunuh oleh seorang wanita iblis! Bahkan Eyang Begawan Cindra Putra pun sudah pula dibunuhnya! Nah, apa kalian masih juga tidak membawaku menghadap guru kalian itu?" teriak lelaki kurus itu saking jengkelnya.

Disebutnya nama Eyang Begawan Cindra Putra, membuat wajah kedua orang murid Ki Dasa Penang pucat seketika. Meskipun mereka tidak kenal Ki Sangga Watung, tapi nama Begawan Cindra Putra tentu saja telah mereka dengar. Karena, Ki Dasa Penang pernah menceritakan tentang orang tua sakti yang masih terhitung kakeknya itu. Sehingga, tanpa banyak cakap lagi, mereka pun segera membawa lelaki kurus itu menghadap guru mereka.

"Guru.... Mohon ampun kalau kami menghadap tanpa diperintah. Tapi lelaki kurus ini jelas memaksa kami berdua. Katanya Eyang Begawan Cindra Putra telah tewas terbunuh," lapor lelaki yang berhidung pesek sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam kepada seorang lelaki gagah yang tengah membelakangi.

Saat itu, Ki Dasa Penang tengah berada di taman belakang rumahnya. Mendengar ucapan itu, Ki Dasa Penang cepat membalikkan tubuhnya. Ditatapnya ketiga orang itu lekat- lekat. Jelas Ki Dasa Penang belum percaya sepenuhnya akan ucapan muridnya.

"Benar apa yang dikatakan muridku itu, Kisanak? Lalu, kau ini siapa? Dan, dari mana berita ini kau dapatkan?" Tanya Ki Dasa Penang dengan suara berat dan dalam.

"Maaf, Ki. Namaku Ganta. Aku adalah seorang pembantu di keluarga Ki Sangga Watung. Pada Saat hendak berhadapan dengan tokoh sesat bernama Bidadari Iblis, beliau menyuruh aku mengabarkan kejadian itu kepada Eyang Begawan Cindra Putra. Namun belum lama aku tiba di kediaman Eyang Begawan. Muncullah Bidadari Iblis. Rupanya setelah membunuh Ki Sangga Watung, wanita iblis itu mengikuti perjalananku. Katanya dia akan membantai semua keluarga serta kerabat Eyang Begawan, sebelum bertempur dan menewaskan beliau. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, Ki," jelas lelaki kurus bernama Ganta.

"Kalau ceritamu benar, mengapa tokoh sesat itu tidak membunuhmu? Apa dia sengaja melepaskanmu, agar bisa menceritakan semua ini kepadaku?!" Desah Ki Dasa Penang seperti meragukan cerita Ganta.

"Sepertinya, tokoh sesat berhati keji itu memang sengaja tidak membunuhku. Akupun tidak begitu jelas, apa sebabnya? Yang jelas, ia sangat mendendam terhadap keluarga serta kerabat Eyang Begawan. Menurut yang kudengar, tokoh itu mengatakan kalau Eyang Begawan dan keluarganya telah membuat gurunya menderita. Hanya itulah yang sempat kuketahui," jelas Ganta lagi dengan wajah sungguh-sungguh.

"Hm.... Lelaki atau wanita, guru tokoh yang berjuluk Bida-dari Iblis itu?" Tanya Ki Dasa Penang lagi. Kali ini keningnya tampak berkerut. Jelas, lelaki gagah berpakaian mewah itu mulai berpikir keras.

"Dia..., tidak menyebutkannya, Ki...," jawab Ganta dengan wajah menyesal.

"Hm..., baiklah kalau begitu. Terima kasih atas pemberitahuan mu ini. Sekarang silakan kau beristirahat. Tentunya kau lelah setelah menempuh perjalanan panjang dan jauh," ujar Ki Dasa Penang yang segera memanggil pelayannya untuk mengantarkan Ganta beristirahat.

Baru saja beberapa saat Ganta meninggalkan teman belakang, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan merah yang langsung menjejakkan kakinya beberapa langkah di depan Ki Dasa Penang dan kedua orang muridnya. Karuan saja ketiga orang itu melompat mundur dengan kuda-kuda siap tempur.

"Siapa kau...?!" Bentak Ki Dasa Penang sambil meneliti sosok ramping berwajah jelita .yang terbungkus pakaian berwarna merah darah.

"Hik hik hik...," sosok yang tak lain Bidadari Iblis itu terkekeh merdu. Kejelitaan wajah wanita itu tampak semakin mem- pesona saat tertawa. Sepasang lesung pipit di kedua pipinya nampak nyata.

"Kaukah yang berjuluk Bidadari Iblis...?" tegur Ki Dasa Penang setelah berhasil mengusir pesona yang menguasainya. Lelaki gagah itu mulai dapat menebak tamunya. Memang, wajah wanita itu sangat cantik. Dia tak ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit.

"Benar. Tapi, kedatanganku pun juga hendak membawamu pergi. Bukankah kau belum pernah melayat ke neraka?" Desis bibir indah itu dingin dan datar. Bahkan sorot mata yang seharusnya menjatuhkan hati setiap pria, tampak berkesan mengiriskan.

Kedua orang murid Ki Dasa Penang pun tidak tinggal diam. Tanpa menunggu perintah gurunya lagi, kedua lelaki muda bertubuh tegap itu langsung menghunus senjata, dan lompat menerjang!

"Haaat...!"

"Yiaaat..!"

Wuuut! Wuuuk!

Dua orang murid Ki Dasa Penang langsung mengkelebatkan pedang mereka ke arah Bidadari Iblis. Kilatan sinar pedang tampak saling berlomba untuk melenyapkan lawan.

"Hm...!" Bidadari Iblis hanya mendengus kasar. Berbarengan dengan itu, tubuhnya merendah agak membungkuk. Sepasang tangannya yang halus mengibas ke kiri dan kanan, begitu mata pedang lawan lewat di atas kepala dan sisi tubuhnya!

Plakkk! Plakkk!

"Ughhh...!"

"Aaakh...!"

Tubuh kedua orang murid Ki Dasa Penang langsung terjungkal ke belakang! Tamparan wanita iblis itu masing-masing telah menghantam bahu mereka. Akibatnya mereka meringis menahan nyeri yang menusuk sampai ke tulang!

Bidadari Iblis sendiri sempat terkejut melihat kepandaian kedua orang murid Ki Dasa Penang itu. Sungguh tak diduga kalau kedua orang lelaki tegap itu ternyata memiliki kepandaian lumayan. Keheranan tokoh wanita sesat itu sebenarnya tidak aneh. Memang, meskipun kedua orang itu mempunyai ilmu silat, Ki Dasa Penang sebenarnya tidak bersungguh-sungguh mengajarkan. Selain kedua orang itu tidak mempunyai bakat, sebelumnya mereka juga hanya kacung. Hanya karena rasa kasihanlah yang membuat Ki Dasa Penang menurunkan beberapa jenis ilmu silatnya kepada kedua orang kacung itu. Sedangkan dalam arti yang sebenarnya, Ki Dasa Penang sama sekali tidak mempunyai seorang murid. Jadi, wajar saja kalau kedua orang itu demikian mudah terkena pukulan Bidadari Iblis.

"Haiiit...!"

"Heaaat...!"

Sebelum Ki Dasa Penang sempat mencegah, kedua orang muridnya itu kembali melompat dengan putaran senjatanya!

"Hahhh!" Melihat hal ini Bidadari Iblis menjadi jengkel bukan main. Maka langsung saja sepasang telapak tangannya didorongkan ke depan! Dan....

Blagggh! Desss...!

Sambaran angin pukulan berbau harum itu langsung saja membuat kacung Ki Dasa Penang terjungkal tanpa ampun! Setelah menggelepar dengan bagian dada hangus, kedua orang itu pun tewas seketika!

"Bangsat, pembunuh keji !" umpat Ki Dasa Penang dengan wajah bagai terbakar! Lelaki gagah itu kini sudah siap menerjang Bidadari Iblis!

"Tunggu! Aku hanya disuruh guruku untuk menyampaikan pesan kepadamu. Kalau tidak, tentu kau sudah menggeletak seperti mereka. Esok pada saat matahari terbit, kau sudah harus berada di kaki Gunung Sindur! Aku yakin kau bukan seorang lelaki pengecut!" Setelah berkata demikian, Bidadari Iblis melesat meninggalkan Ki Dasa Penang yang masih tertegun tak mengerti.

"Tunggu!" Ki Dasa Penang terlambat mencegah. Pada saat kesadarannya tergugah, sosok tubuh merah itu telah lenyap dari pandangannya. Akhirnya meski dengan wajah penasaran, hari itu juga lelaki gagah ini meninggalkan tempat kediamannya. Tujuannya adalah ke Gunung Sindur.

********************

DELAPAN

Sosok tubuh gagah terbungkus jubah berwarna coklat itu berdiri tegak di atas sebuah dataran yang agak tinggi. Sepasang matanya menatap lurus ke arah puncak Gunung Sindur yang terselimuti kabut tebal. Sinar matahari yang baru saja menampakkan kekuasaannya, tak mampu mengusir tebalnya kabut yang menyelimuti puncak gunung itu.

"Hhh..." Dengan sebuah hembusan napas panjang, lelaki gagah yang tak lain Ki Dasa Penang itu mengayun langkahnya perlahan. Setelah menyeberangi sebuah aliran sungai yang cukup lebar, langkahnya berhenti. Sejenak diedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Belum selesai Ki Dasa Penang meneliti daerah di sekitarnya, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang panjang dan menyakitkan telinga.

"Hik hik hik!"

Meskipun gema suara tawa itu sanggup membuat seorang penakut lari terbirit-birit, namun Ki Dasa Penang tetap bersikap tenang. Tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan getaran tawa yang membuat dadanya seketika berdebar. Setelah gangguan suara tawa itu dapat ditanggulanginya, lelaki gagah itu menatap lurus kesatu tempat suara tawa diduga berasal.

"Bidadari Iblis! Keluarlah...! Bukankah kau yang mengundangku ke tempat ini? Mengapa mesti sembunyi!" Teriak Ki Dasa Penang sambil mengerahkan tenaga dalam melalui suaranya. Sehingga, gemanya bergaung memenuhi daerah itu.

"Hi hi hi...! Ternyata kau masih tetap sombong dan bermulut besar Dasa Penang."

Berbarengan dengan suara jawaban itu, muncullah dua sosok tubuh yang membuat kening lelaki gagah itu berkerut dalam. Jelas, Ki Dasa Penang berusaha mengenali sosok yang muncul dari samping kirinya itu.

"Nyi Prihasti...?! Tidak salahkah penglihatanku...?!" Desis Ki Dasa Penang sambil menggosok kedua matanya, setengah tak percaya. Rupanya lelaki gagah itu telah mengenai sosok yang berjalan di sebelah Bidadari Iblis.

Wajah sosok wanita berusia lima puluh tahun itu tampak terlihat jauh lebih tua dibanding usianya. Garis-garis wajahnya tampak menggambarkan penderitaan yang panjang, bagai tak berkesudahan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, nenek itu ternyata tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap. Ia nampak berjalan menggunakan kedua tangannya, karena sepasang kakinya buntung hampir mencapai pangkal paha.

"Benar. Akulah Prihasti, orang yang kau buat menderita dengan bantuan Begawan Cindra Putra. Kau terkejut Dasa Penang," Ujar wanita yang bernama Nyi Prihasti itu. Tekanan nada suaranya terdengar penuh dendam. Bahkan sorot matanya tampak menyiratkan api kebencian yang mendalam.

"Tapi aku dan Eyang Begawan sama sekali tidak bermaksud menyiksamu, Nyi. Aku... akupun menyesal atas kejadian itu," tukas Ki Dasa Penang dengan wajah sedih.

"Lihatlah lelaki itu baik-baik, Muridku. Tiga puluh tahun yang lalu, aku sangat mengagumi dan mencintainya. Dan dia pun menyambut uluran cintaku. Sayangnya, lelaki bernama Dasa Penang itu ternyata seorang pengecut dan bermulut besar. Dengan alasan berbeda golongan, aku ditinggalkannya atas perintah orangtuanya. Termasuk, Begawan Cindra Putra yang merupakan guru sekaligus uwaknya," tutur Nyi Prihasti.

Bidadari Iblis menatap orang yang bernama Ki Dasa Penang tajam-tajam. Kabut kebencian terhadap laki- laki, tampak kembali menyelimuti hatinya. Dia memang telah dipengaruhi racun kebencian terhadap laki-laki oleh Nyi Prihasti.

"Aku mendesaknya agar bertanggung jawab. Kuakui, kami pernah berhubungan seperti suami-istri, meskipun belum resmi menikah. Tapi dengan sangat liciknya, Dasa Penang bersama Begawan Cindra Putra mengajakku bertarung habis-habisan. Tubuhku terjatuh ke dalam jurang saat sebuah pukulan Begawan Cindra Putra mengenai tubuhku. Gunung Sindur inilah yang menjadi saksi bisunya. Pertempuran itu terjadi memang di salah satu tebing gunung ini," tutur perempuan tua itu.

Nyi Prihasti mengatur napasnya yang agak memburu, karena terlalu bernafsu dalam menceritakan kisah yang baginya sangat menyakitkan itu.

"Maafkan aku atas kejadian itu, Prihasti. Aku sungguh menyesalinya. Seharusnya, hal itu tidak perlu terjadi seandainya kau tidak mendesakku. Syukurlah kau selamat. Sekarang, marilah kita lupakan semua peristiwa pahit itu. Biarlah kematian Ki Sangga Watung dan Begawan Cindra Putra kuanggap sebagai penebus dosa kami. Aku ikhlas, dan tidak akan menuntutmu," bujuk Ki Dasa Penang. Laki-laki tua itu menatap wajah wanita yang pernah menjadi kekasihnya penuh harap. Jelas dia ingin mengakhiri dendam di antara mereka.

"Nah, dengarlah apa yang diucapkan lelaki gagah bernama Dasa Penang itu, Muridku? Meskipun telah tua bangka, namun sifat pengecutnya tidak juga hilang. Ia sengaja membujukku untuk melupakan dendam. Padahal, tujuan yang sesungguhnya adalah untuk menyelamatkan dirinya dari kematian. Benar-benar manusia licik!" Geram Nyi Prihasti, dengan tarikan bibir sinis. Rupanya wanita cacat itu tidak menerima usul Ki Dasa Penang.

"Tapi, Prihasti..."

"Diam! Tidak perlu membantah lagi!" Potong Nyi Prihasti sambil melotot. "Kau kira setelah menjalani penderitaan puluhan tahun, aku akan melupakannya begitu saja? Tidak, Dasa Penang. Bertahun-tahun aku harus hidup dengan kedua kaki lumpuh. Dan akhirnya, aku harus membuntunginya karena sudah tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Kau tahu, Dasa Penang? Hanya kekuatan dendam dalam tubuhkulah yang membuatku mampu untuk bertahan hidup!"

Kalau Ki Dasa Penang agak dekat, pasti dia melihat bola mata Nyi Prihasti berkaca-kaca. Memang, setegar-tegarnya wanita, dia tak akan lepas dari kodratnya. Menangis, walau hanya sedikit saja.

"Setelah menciptakan sebuah ilmu dengan susah payah, akhirnya dendamku mulai terwujud atas bantuan muridku ini. Sekarang tinggal kau seorang yang harus kulenyapkan dari muka bumi ini. Setelah itu, matipun aku puas, Dasa Penang. Nah, sebaiknya bersiaplah untuk menerima hukumanmu," desis Nyi Prihasti sambil menghapus air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya.

"Tunggu, Prihasti...!" cegah Ki Dasa Penang. Rupanya, laki-laki tua itu menjadi lenyap kemarahannya setelah mengetahui siapa sebenarnya tokoh di balik semua kejadian yang menimpa saudara-saudaranya.

Tapi Nyi Prihasti sudah tidak bisa dicegah lagi. Bersama muridnya, nenek buntung itu menerjang Ki Dasa Penang tanpa ampun! Angin pukulan yang berbau harum, menebar dan menyambar-nyambar di sekeliling tubuh lelaki gagah itu. Karuan saja Ki Dasa Penang menjadi kewalahan dibuatnya. Namun sebagai seorang pendekar kawakan, Ki Dasa Penang pun tidak mudah ditundukkan dalam waktu singkat. Lelaki gagah itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membendung serangan gencar kedua orang lawannya.

"Heaaat..!"

Ki Dasa Penang berseru nyaring sambil menggerakkan sepasang tangannya untuk menghalau serangan Nyi Prihasti dan Bidadari Iblis. Sayangnya kepandaian pengeroyoknya itu masih beberapa tingkat di bawahnya. Terutama sekali Bidadari Iblis yang bergerak bagaikan burung walet. Demikian gesit dan sulit untuk menentukan, dari mana wanita jelita itu melontarkan serangan! Tubuh yang terbungkus pakaian merah darah itu selalu berpindah-pindah dengan kecepatan sukar ditangkap mata. Sehingga dalam beberapa puluh jurus saja, Ki Dasa Penang jadi terdesak hebat.

"Hiaaah...!"

Zebbb!

Bukan hanya sepasang tangan Bidadari Iblis itu saja yang berbahaya. Ternyata sepasang kaki wanita jelita itupun dapat bergerak cepat, melepaskan serangkaian tendangan kilat! Akibatnya ketika Ki Dasa Penang bergerak ke samping menghindarkan hantaman telapak tangan Nyi Prihasti, sebuah tendangan Bidadari Iblis telak menghajar tubuhnya!

Desss!

"Hukhhh!"

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terpental deras ke belakang. Darah segar menyembur dari mulut laki-laki itu, dan langsung membasahi tanah berumput. Meskipun demikian, secepat kilat Ki Dasa Penang melompat bangkit, dan segera mengatur pernapasannya.

"Mampus kau, lelaki pengecut...!"

Nyi Prihasti yang sudah tidak bisa menahan gumpalan kebencian di dadanya, segera melontarkan jarum-jarum beracun untuk segera menamatkan riwayat Ki Dasa Penang!

Seeeng... seeeng...!

Puluhan batang jarum halus yang mengandung racun mematikan meluncur deras, mengancam tubuh Ki Dasa Penang! Untunglah lelaki gagah itu masih sempat melempar tubuhnya, dan terus bergulingan menjauhi lawan.

"Tamat riwayatmu, Orang Tua Kejam!"

Ki Dasa Penang yang baru saja melompat bangun, terkejut bukan main ketika mendengar bentakan nyaring itu! Tahu-tahu saja, sebuah tamparan telapak tangan Bidadari Iblis sudah meluncur deras mengancam dadanya!

Whuuut!

Tepat pada saat telapak tangan Bidadari Iblis tinggal satu jengkal lagi menghantam tubuh Ki Dasa Penang, mendadak saja sesosok bayangan putih melayang memasuki arena dengan kecepatan luar biasa! Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung menepiskan telapak tangan yang mengancam nyawa Ki Dasa Penang!

Plakkk!

"Aaah...!?"

Akibat tepisan sosok tubuh berjubah putih itu, Bidadari Iblis langsung memekik tertahan! Tubuhnya kontan terpental ke samping, dan terhuyung hingga satu tombak lebih! Karuan saja Bidadari Iblis heran bukan main! Sebab, baru kali ini ia bertemu orang yang demikian hebat tenaga dalamnya!

"Kau..., Panji...!?" Desis bibir mungil itu agak bergetar.

Jelas, Bidadari Iblis sangat terkejut begitu mengenali adanya sosok bayangan putih yang menggagalkan pukulannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya wanita jelita itu hanya dapat berdiri terpaku.

"Benar, Kenanga. Aku Panji kekasihmu. Apakah kau masih belum dapat mengingatku?" Sahut Panji lembut menggambarkan kerinduan mendalam.

"Tapi..., betulkah aku Kenanga? Mengapa aku tidak bisa ingat sedikit pun?" Desah Bidadari Iblis sambil menatap Panji bingung.

"Hm.... Kalau kau bersedia, aku akan mencoba untuk mengembalikan ingatanmu. Bagaimana?" Usul Panji yang rupanya sudah memikirkan apa yang akan dilakukan apabila bertemu kembali dengan kekasihnya yang hilang itu.

"Mmm..., baiklah. Aku bersedia...," jawab Kenanga. Entah mengapa, Bidadari Iblis telah menaruh kepercayaan penuh kepada Panji. Padahal dia belum begitu ingat terhadap pemuda tampan itu.

"Berdirilah dengan tenang. Pejamkan mata, dan kosongkan pikiranmu. Aku akan menyatukan tenaga dalamku ke dalam tubuhmu," ujar Panji memberi petunjuk.

Setelah melihat Bidadari Iblis telah siap menerima pemindahan tenaga saktinya, Panji segera memusatkan pikiran. Sesaat kemudian, terbentuklah lapisan sinar kuning keemasan di seluruh tubuh pemuda itu. Akhirnya begitu seluruh sinar yang melapisi tubuhnya berkumpul di telapak tangannya, Panji membentak nyaring!

"Hiaaah!"

Menakjubkan sekali! Gumpalan sinar keemasan yang semula berkumpul di kedua telapak tangan Pendekar Naga Putih langsung meluncur seiring bentakan pemuda itu! Sinar keemasan itu langsung meresap ke dalam tubuh Bidadari Iblis, setelah sebelumnya menyelimuti sekujur tubuh dara jelita itu. Rupanya, 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' dapat menyembuhkan ingatan tokoh mengiriskan itu dari dalam tubuh.

"Oooh..." Tidak berapa lama kemudian, terdengar keluhan lirih dari bibir dara berpakaian merah darah itu. Panji cepat berkelebat, menangkap tubuh Bidadari Iblis yang tampak hendak terjatuh. Dengan lembut, tubuh dara jelita itu direbahkan di atas rerumputan di bawah sebatang pohon berdaun rindang. Sambil menunggui dara jelita itu tersadar, Panji menatap ke arah pertempuran di depannya.

Saat itu, pertarungan yang kini terjadi antara Ki Dasa Penang dan Nyi Prihasti sudah terlihat mencapai puncaknya. Kelihatan sekali kalau Ki Dasa Penang sudah bisa menguasai lawannya. Beberapa tombak di sebelah kiri arena pertarungan, tampak Pendekar Tangan Geledek, Sucipta, Witarsa, Klaban, dan dua orang tokoh lainnya tengah menyaksikan penuh perhatian. Tak seorang pun dari kelima tokoh itu terlihat hendak membantu. Sepertinya, mereka yakin kalau Ki Dasa Penang dapat menundukkan Nyi Prihasti.

Sebenarnya, kepandaian Nyi Prihasti masih di bawah Ki Dasa Penang. Apalagi, keadaan tubuh wanita sesat itu sudah tidak lengkap. Maka, sudah pasti Ki Dasa Penang memiliki lebih banyak kesempatan dan kelebihan dibanding lawannya. Tapi cara bertarung Nyi Prihasti yang seperti orang kemasukan setan itulah yang menyulitkannya untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan. Selain itu, ada rasa risih di hati Ki Dasa Penang karena lawannya cacat.

Sedang Nyi Prihasti sendiri sama sekali tidak peduli dengan keengganan lawannya. Tekad untuk membunuh Ki Dasa Penang dengan tangannya sendiri, membuatnya terus mengumbar pukulan-pukulan maut dan juga senjata beracun tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.

"Heaaat...!"

Ketika pertempuran memasuki jurus yang kedelapan puluh, Nyi Prihasti berseru nyaring hingga mengejutkan lawannya! Tepat pada saat yang sama, tubuh wanita buntung itu melompat tinggi sambil mengibaskan kedua tangannya susul menyusul!

Siiing... siiing!

Dengan memperdengarkan suara berdesing halus, jarum-jarum beracun yang dilontarkan menebar, mengincar beberapa bagian pada tubuh Ki Dasa Penang. Bahkan sebelum jarum-jarum itu tiba pada sasaran, tokoh sesat yang hatinya sudah diselimuti dendam itu masih menyusulinya dengan dorongan sepasang telapak tangan!

Wusss!

Serangkum angin keras berhawa panas yang menebarkan bau harum memabukkan, mengiringi dorongan sepasang telapak tangan wanita tua itu! Jelas ia memang hendak mencabut nyawa Ki Dasa Penang. Padahal dalam perkelahian itu, Ki Dasa Penang terlihat lebih banyak mengalah.

Dua buah serangan maut yang mematikan itu tentu saja membuat tokoh-tokoh persilatan yang menyaksikan, pertarungan menahan napas tegang. Begitu pula Panji. Pendekar Naga Putih pun ikut mencemaskan nasib Ki Dasa Penang.

"Haaait...!" Disertai pekikan keras, tubuh Ki Dasa Penang melambung ke atas. Sehingga, jarum-jarum beracun itu lewat dua jengkal di bawah kakinya. Sambil meluncur turun, lelaki gagah itu mendorong sepasang tangan ke depan dengan pukulan jarak jauhnya. Rupanya Ki Dasa Penang bermaksud menyambut pukulan beracun lawannya!

Wusss...!

Bresssh...!

Terdengar letupan keras yang membuat daun-daun pohon di sekitar pertarungan berguguran ke tanah! Tubuh Nyi Prihasti sendiri, terpental ke belakang disertai semburan darah segar dari mulutnya! Wanita tua berkaki buntung itu melorot jatuh, setelah membentur sebatang pohon hingga berderak roboh!

Sementara Ki Dasa Penang terpental balik hingga sejauh dua setengah tombak! Untungnya, tubuhnya masih dapat diselamatkan begitu bersalto dua kali di udara. Meski agak terhuyung, lelaki gagah itu berhasil mendarat selamat. Dari lelehan darah di sudut bibirnya, bisa ditebak kalau Ki Dasa Penang menderita luka dalam, meski tidak begitu parah. Sucipta dan Witarsa cepat menghambur ke arah Ki Dasa Penang yang masih terhitung paman gurunya itu.

"Bagaimana keadaanmu, Ki...?"

"Hhh Tidak terlalu mengkhawatirkan. Bagaimana kalian tahu kalau aku berada di tempat ini?" Tanya Ki Dasa Penang menatap wajah Sucipta dan Witarsa berganti-ganti.

"Dari tempat kediamanmu. Kami mendapat keterangan dari seorang pelayan tentang wanita berpakaian merah darah yang mengundangmu ke kaki Gunung Sindur. Lalu, langsung saja kami kemari," jelas Sucipta. Wajahnya tampak menyiratkan kelegaan, karena masalah ini boleh dibilang sudah selesai.

Setelah saling bertegur sapa dengan yang lain, Ki Dasa Penang bersama tokoh lain bergegas mendekati Nyi Prihasti yang masih terbaring lemah. Wanita tua berkaki buntung itu seperti tengah berada antara sadar dan tidak. Hanya rintihannya saja yang menandakan kalau tokoh itu masih hidup.

Di tempat lain, Bidadari Iblis mulai mengeluh, dan tersadar dari pingsannya. Dara jelita itu sejenak menggosok-gosok kan kedua matanya dengan punggung tangan. Kemudian matanya merayapi sekitarnya dengan wajah heran.

"Kau..., Kakang Panji ?!" Pekik dara jelita itu ketika sepasang matanya membentur seraut wajah tampan yang mengenakan jubah putih. Tanpa ragu-ragu lagi, Bidadari Iblis yang memang Kenanga itupun langsung saja merangkul Panji erat-erat.

"Kau ke mana saja, Kakang. Lama sekali tidak bertemu," desah Kenanga di telinga Panji. Suaranya terdengar begitu merdu dan penuh kerinduan.

"Kaulah yang harus menceritakan kepadaku lebih dahulu. Mengapa kau berubah menjadi tokoh sesat,” sergah Panji yang ingin penjelasan tentang pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukan gadis itu.

"Tokoh sesat?! Apa maksudmu, Kakang? Setahuku, seorang wanita tua telah menyelamatkan diriku yang sudah hampir mati, ketika terdampar di daratan. Setelah itu, ia membawaku ke tempat tinggalnya kemudian mengobati luka-lukaku. Dan baru sekaranglah aku tersadar. Lalu, mengapa Kakang mengatakan kalau aku berubah sesat?" Tanya Kenanga, jelas tidak mengetahui perbuatannya selama ini.

"Hm.... Mari kita lihat, apakah nenek itu masih hidup. Mudah-mudahan saja ia mau menerangkan, apa yang telah dilakukannya terhadap dirimu?" Ajak Panji sambil mengajak Kenanga mendekati para tokoh persilatan yang tengah mengerumuni Nyi Prihasti.

"Maaf...," ucap Panji sambil membawa kekasihnya dan duduk di samping Nyi Prihasti. Kemudian, Pendekar Naga Putih menotok beberapa jalan darah penting di tubuh wanita tua itu untuk melancarkan peredaran darahnya sementara waktu.

"Muridku...," terdengar suara parau Nyi Prihasti ketika membuka matanya, mendapati wajah Kenanga di sampingnya.

"Nek. Menurut Kakang Panji, selama ini aku telah berbuat sesat dengan membunuh tokoh-tokoh persilatan. Menurutnya, hanya kau yang bisa menjelaskan. Tolonglah jelaskan kepadaku, Nek?" Pinta Kenanga berbisik di telinga Nyi Prihasti. Memang, wanita tua yang tengah sekarat itu tidak lagi bisa mendengar dengan baik.

"Nek! Sebelum kematian menjemputmu, apa salahnya kau berbuat baik untuk yang pertama kali dan terakhir. Jelaskanlah, Nek. Kami semua sangat butuh keteranganmu," Panji yang melihat Nyi Prihasti kembali memejamkan matanya, segera berbisik sedikit agak keras.

“Pada saat gadis jelita itu pingsan, aku menjejalinya ramuan perampas ingatan. Setelah sadar, aku menurunkan ilmu yang dapat mempengaruhi pikiran seseorang. Betapapun baik orang itu sebelumnya, ia akan berubah menjadi iblis keji apabila mempelajari ilmu itu. Tenaga beracun yang mengalir di dalam tubuhnya memang bisa menyumbat jalan darah di otaknya. Lalu, gadis yang menjadi muridku itu kugunakan untuk melampiaskan dendam kepada bajingan Dasa Penang dan semua orang yang membuatku menderita..., maafkan aku, Muridku. Sekarang aku puas. Rasanya, kematian memang jalan satu-satunya untuk melenyapkan dendamku. Nah, aku harus pergi. Selamat ting... galll...!"

Kepala Nyi Prihasti langsung terkulai lemas begitu ucapannya selesai. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga. Sebuah kepuasan tampak tergambar pada bibirnya yang tersenyum.

"Nah! Persoalan kini sudah selesai jelas. Kuharap kalian semua dapat memaafkan kesalahan kekasihku ini," kata Pendekar Naga Putih kepada para tokoh persilatan itu.

Ki Dasa Penang dan yang lain hanya bisa menganggukkan kepala tanda mengerti. Sehingga, hati Panji menjadi lega.

"Kalau begitu, aku mohon pamit. Kekasihku ini masih memerlukan beberapa kali pengobatan lagi, untuk melenyap-kan sisa-sisa tenaga beracun yang mengendap dalam tubuhnya," pamit Pendekar Naga Putih yang segera membawa Kenanga meninggalkan Gunung Sindur.

"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki Dasa Penang dan tokoh persilatan lainnya melepas kepergian Pendekar Naga Putih.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.