Serial Pendekar Naga Putih
Episode Kumbang Merah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Kumbang Merah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
"Haiiit...!"
Suasana pagi yang tenang di Hutan Ranggat, disentakkan suara teriakan yang nyaring dan menggetarkan. Beberapa ekor burung yang tengah bercengkerama di atas dahan-dalah pohon, beterbangan karena terganggu ketenangannya. Sedangkan sosok tubuh langsing, yang mengenakan pakaian berwarna biru muda itu, mengiringi teriakannya dengan sebuah lesatan kilat. Selarik sinar putih berkeredep menyertai sambaran tangannya.
"Aih...!"
Dua orang lelaki bertampang kasar berteriak kaget ketika melihat datangnya sambaran senjata dari sosok berpakaian biru muda itu. Meskipun dengan wajah pucat, keduanya berusaha mengelakkan serangan maut itu dengan melempar tubuhnya ke belakang, dan bersalto diudara.
Namun, sosok berpakaian biru muda itu bergerak lebih gesit. Begitu serangannya luput, sosok tubuh langsing itu menotolkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting dengan disertai sambaran senjatanya yang mengeluarkan sinar putih.
Wuttt! Wuttt!
Hebat dan cepat sekali putaran senjata yang dilakukan sosok berpakaian biru muda itu. Sambaran angin pedangnya menimbulkan bunyi mengaung tajam. Jelas kalau tenaga yang dimilikinya cukup kuat
Sementara, dua orang lawannya yang masih berputar di udara, semakin pucat wajahnya. Sadar kalau keselamatan mereka terancam, maka keduanya nekat memapaki pedang lawan dengan lontaran pukulan. Rupanya mereka memilih cacat daripada harus tewas di tangan sosok tubuh langsing itu.
"Hmh...!"
Terdengar dengus penuh ejekan dan sosok berpakaian biru muda itu. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, pedang di tangannya diputar dengan gerakan melingkar. Kemudian menyambar cepat ke arah perut kedua orang lelaki bertampang kasar itu. Dan...
Bret! Bret!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Sambaran senjata maut itu merobek bagian depan tubuh mereka. Darah segar menyembur membasahi tanah berumput kering yang berada di bawahnya. Dengan diiringi jerit kematian yang menyayat, tubuh kedua orang itu terbanting dan tewas seketika.
“Tahu rasa kau, Manusia-manusia Busuk...!" Desis sosok berpakaian biru muda itu dengan sinar mata galak. Rupanya ia seorang gadis muda yang cantik dan penuh daya pikat.
Namun, kelegaan di hati gadis cantik itu tidak berlangsung lama. Beberapa lelaki bertampang kasar lainnya, tampak kembali bergerak dan mengepungnya. Sorot kebencian tergambar jelas pada wajah-wajah kasar itu.
"Wanita cantik ini tidak boleh dikasih hati! Terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Kita harus menangkapnya hidup-hidup. Kemudian kita nikmati tubuhnya beramai-ramai, baru kita cincang Kuntilanak itu!" terdengar suara bernada geram yang diucapkan salah seorang dan lelaki kasar itu. Wajahnya yang kehitaman tampak semakin gelap karena hawa marah.
"Benar, Kakang. Kuntilanak ini harus kita siksa sebelum dibunuh!" timpal lelaki bermata picak yang berada di sebelah kanannya. Menilik dari sorot matanya, jelas ucapan itu bukan sekadar gertakan belaka.
"Hm..„" lelaki brewok berkepala botak itu mendengus kasar. Melihat dari sikapnya, dapat dipastikan kalau lelaki itu merupakan pimpinan mereka.
"Serbu...!"
Sambil berteriak, lelaki brewok dan berkepala botak itu meluruk dengan gerakan menyilang. Golok besar yang bergerigi pada bagian matanya, diputar sedemikian rupa sehingga membersitkan kilatan-kilatan maut. Sedangkan sebelas orang pengikutnya, tidak mau ketinggalan. Mereka bergerak menyebar dengan disertai teriakan-teriakan ribut. Kemudian, mereka langsung menyerbu gadis cantik itu dari segala penjuru.
"Hmh!"
Gadis cantik bermata galak itu mengeluarkan dengusan tajam. Tubuhnya yang langsing dan padat itu, berdiri dalam posisi kuda-kuda harimau. Sedangkan pedangnya menyilang didepan dada dengan tangan kiri berada di sebelah dalam. Ketika kawanan lelaki kasar itu tepat berada dalam jarak beberapa tindak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba tubuh langsing itu melesat dengan kecepatan tak terduga.
"Haiiit..!"
Terdengar teriakan gadis itu yang melengking panjang. Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Trang! Bret!
Terdengar jerit kematian ketika sambaran pedang di tangan gadis cantik itu merobek dada salah seorang lawannya, yang berada di sebelah kanan. Tubuh lelaki malang itu terjungkal dan roboh mandi darah. Saat itu juga nyawanya melayang meninggalkan raga.
Bukan main murkanya lelaki berkepala botak itu ketika menyaksikan pengikutnya tewas bersimbah darah.Sambil mengeluarkan geraman keras, tubuh tinggi besar itu langsung melesat maju mengibaskan senjatanya.
Wuttt!
Serangkum angin tajam merobek udara. Kilatan badan golok besar yang tertimpa cahaya matahari, bagaikan tangan-tangan maut yang siap menerkam tubuh lawannya. Tapi, lelaki brewok berkepala botak itu lagi-lagi harus menelan kedongkolannya. Karena sambaran goloknya hanya menerpa angin kosong. Sedangkan tubuh langsing yang terbungkus pakaian biru muda itu, melesat dengan gesit ke sampingnya. Bahkan, pedang di tangannya mengancam lambung iawan. Jelas, kepandaian yang dimilikinya tidak bisa dianggap enteng.
"Setan...!" maki lelaki brewok itu sambil menggulingkan tubuh, menghindari ancaman pedang lawan. Dengan akal licik, dilontarkannya beberapa pisau kecil seraya tetap bergulingan menjauhi incaran senjata lawan.
"Keparat curang...!"
Sosok yang terbungkus pakaian biru muda itu memaki kelicikan lawannya. Pedang di tangannya kembali diputar dan membentuk gulungan sinar yang menyelimuri sekujur tubuhnya. Terdengar suara gemerincing nyaring ketika pisau-pisau sepanjang satu jengkal itu membentur gulungan sinar pedangnya.
"Mampuslah kau...!" maki gadis itu sambil mengibaskan pedangnya, sehingga membentur dua pisau lawannya. Gerakan itu memang dimaksudkan untuk mengembalikan senjata rahasia yang dilepaskan lawannya.
Cappp! Crakkk!
"Ughhh...!"
Lelaki berkepala botak yang baru saja bangkit itu menjerit ngeri. Senjata rahasia yang dilepaskannya menancap di kening dan belahan dadanya. Karuan saja tubuh tinggi besar itu langsung ambruk, dan menggelepar menanti ajal. Darah bercucuran di tanah, dan nyawanya terbang dengan mata terbelalak.
Menyaksikan pemimpin mereka tewas di tangan gadis itu, tanpa diberi perintah lagi, para pengikutnya yang masih selamat berhamburan melarikan diri.
Sedangkan gadis berpakaian biru muda itu, sama sekali tidak berusaha mengejar lawan-lawannya. Hanya matanya tak berkedip mengikuti bayangan tubuh lawannya yang melarikan diri. Seulas senyum mengejek membayang di wajah cantik itu. Mendadak, gadis berpakaian biru muda itu memutar tubuhnya ketika mendengar suara tepukan di belakangnya. Dan, sepasang matanya yang indah itu tertegun menatap sosok pemuda berpakaian sutera putih.
"Hebat, sungguh membuat hatiku benar-benar kagum sekali. Kali ini, kawanan anjing-anjing kelaparan itu benar-benar terkena batunya," sambil mengeluarkan kata-kata yang bernada pujian, kakinya melangkah menghampiri. Bahkan, sepasang matanya yang bersinar tajam itu, sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru muda itu berdiri bengong. Bukan ketampanan sosok berpakaian sutera putih itu yang membuatnya terpaku seperti patung. Tapi, kehadiran sosok itu yang membuatnya terheran-heran. Karena, sama sekali tidak diketahuinya, sejak kapan orang itu datang.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak? Dan, apa maksud ucapanmu itu?" tegur gadis itu dengan suara tajam, dan tidak bersahabat Bahkan sinar mata dan tarikan wajahnya menampakkan rasa curiga.
"Ah! Maaf..., maaf.... Apakah kau benar-benar seorang manusia biasa...?" ujar sosok yang temyata seorang pemuda tampan itu dengan suara gagap. Bahkan, raut wajahnya jelas memancarkan ketidak-percayaan. Seolah- olah bukan gadis itu yang tengah berdiri di hadapannya. Melainkan sesuatu yang telah membuatnya terpesona sekaligus gentar.
Tentu saja gadis itu menjadi heran melihat kelakuan pemuda tampan yang berbicara gagap itu. Namun, sesaat kemudian, sinar matanya kembali berkilat penuh ancaman.
"Kurang ajar...! Apakah kau mengira aku sebangsa siluman?" geram gadis cantik itu marah.
"Ah! Bukan..., bukan itu maksudku. Tapi, kau..., kau cantik sekali. Seperti... seperti seorang dewi dari langit... Maafkan kalau aku bersikap kurang patut," pinta pemuda tampan itu, sambil merangkapkan telapak tangannya dan membungkuk dalam-dalam. Nyata sekali kalau ia tidak bermaksud main-main. Karena semua itu terlihat jelas diwajahnya.
"Kau..., kau kurang ajar...," maki gadis itu, dengan wajah kemerahan dan bibir menyembunyikan senyum senang. Jelas, ia tengah berusaha menutupi rasa bangga karena dipuji pemuda tampan itu. Sehingga, tekanan pada ucapannya tidak sekeras dan seketus semula.
Apa yang dirasakan gadis berpakaian biru muda itu, memang wajar dan bisa terjadi dengan wanita mana saja. Hati wanita mana yang tidak merasa bangga mendengar pujian tentang kecantikannya yang menyamai dewi dari langit? Apalagi yang melontarkan pujian itu seorang pemuda tampan. Tentu saja pujian itu membuat hatinya berbunga.
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Bukan aku bermaksud kurang sopan. Tapi, terus terang apa yang kuucapkan itu, memang keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam, tanpa berniat kurang ajar sedikit pun. Maafkan atas keterusteranganku ini, mmm...," ujar pemuda tarnpan itu menggantung ucapannya. Sepertinya, gadis itu tengah dipancingnya untuk memperkenalkan diri.
"Sudahlah. Di antara kita tidak ada urusan. Aku pergi...," pamit gadis itu yang segera membalikkan tuuhnya hendak meninggalkan Hutan Ranggat.
"Nisanak, tungguuu...!" cegah pemuda tampan itu sambil berlari mengejar. Dan, sekali berkelebat saja, tubuhnya telah berada beberapa tombak dari tempat semula.
Gadis berpakaian biru muda itu menunda larinya, ketika merasakan sambaran angin lewat di samping kanannya. Dan, tanpa diketahuinya pemuda berpakaian sutera berwarna putih itu, telah berdiri di hadapannya dalam jarak satu tombak.
"Hra... Rupanya kau memiliki kepandaian, dan akan berbuat kurang ajar padaku? Hm..., jangan kau kira, aku takut dengan kepandaianmu yang tinggi itu? Majulah...," tantang gadis cantik itu dengan sikap siap tempur. Bahkan, tangan kanannya terlihat sudah meraba gagang pedang dipinggangnya.
"Sabar, sabar dulu, Nisanak," ucap pemuda tampan itu sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya mencegah. "Aku sama sekali tidak bermaksud jelek. Hanya..., kalau boleh, aku ingin mengetahui namamu dan tujuanmu," lanjut pemuda itu dengan nada yang sopan dan simpatik.
Sebenarnya gadis itu sudah merasa marah dan ingin memberikan pelajaran kepada pemuda itu. Namun, melihat sikapnya yang sopan, diam-diam timbul rasa suka di hati gadis itu. Tapi, perasaan itu ditutupinya dengan ucapan ketus dan sinar mata yang dibuat segalak mungkin. Dan, ia pun tidak segera menjawab pertanyaan pemuda itu.
Pemuda tampan itu rupanya menyadari kekeliruan yang dibuatnya. Maka, cepat-cepat ia melanjutkan kata-katanya dan memperkenalkan diri terlebih dahulu. "Mmm..., maaf. Namaku adalah Pradipta. Tujuan perjalananku ke Selatan. Nah, apakah keterangan tentang diriku sudah cukup memenuhi syarat untuk mengenalmu...?" ujar pemuda tampan itu dengan sikap yang sopan dan tidak mencerminkan watak seorang pemuda ceriwis. Sehingga, rasa simpati di hati gadis itu kian bertambah.
"Hm..., sebenarnya aku tidak ingin berkenalan dengan sembarang orang Tapi, melihat sikapmu yang sopan, aku memberi sedikit kelonggaran untuk mengenalku. Namaku Trijanti. Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti. Tapi perjalanan kita satu arah. Nah, apakah sudah cukup keterangan tentang diriku?" balas gadis itu tersenyum.
"Wah, kalau begitu, kita setujuan!" sambut Pradipta, dengan senyum gembira. "Mmm..., bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama-sama...? Tentu saja kalau Nisanak tidak keberatan?" sambung Pradipta masih dengan gayanya yang enak dipandang mata.
"Maaf, sebagai seorang wanita, aku tidak bisa melakukan perjalanan dengan orang yang sama sekali tidak kukenal. Jadi, sebaiknya kita mengambil jalan sendiri-sendiri saja," sahut Trijanti yang segera melangkahkan kakinya melewati pemuda tampan di depannya itu.
"Tapi, bukankah kita sudah berkenalan, Trijanti...?" desak Pradipta yang mengekor di belakang gadis cantik Itu.
Kali ini gadis berpakaian biru muda bernama Trijanti itu tidak mempedulikannya sama sekali. Kakinya terus diayunkan, kemudian berlari cepat meninggalkan pemuda ita Bahkan ia tidak menoleh ke belakang satu kalipun.
"Trijanti...!" panggil Pradipta tanpa berusaha mengejar gadis cantik itu. la hanya berdiri memandangi bayangan Trijanti yang lenyap di balik rimbunnya pepohonan hutan.
Saat itu, kemilau jingga telah merona di ufuk Barat Sebentar kemudian, senja pun merayap menyelimuti permukaan bumi ini. Suara-suara binatang malam pun terdengar menyambut kedatangan sang malam. Trijanti yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di atas pembaringan kayu, menatap kosong ke langit-langit kamar tempatnya melewatkan malam ini. Namun, sepasang mata bening itu tampak menyembunyikan segumpal resah. Semua itu terlihat dari sorot matanya yang hampir tidak berkedip menatapi langit-langit
"Hhh..."
Terdengar sebuah tarikan napas panjang sebagai ungkapan rasa resah. Kemurungan tampak semakin nyata tergambar di wajahnya. Kemudian ia bergerak bangkit dan duduk di atas pembaringan. Masih dengan wajah murung, gadis cantik itu kembali termenung.
"Gila...!" desis gadis cantik itu menghela napas berat "Mengapa wajah pemuda tampan itu tidak mau hilang dari benakku? Apa sebenarnya yang terjadi denganku? Belum pernah aku merasakan keanehan ini. Atau..., apakah aku telah tertarik dengan pemuda bernama Pradipta itu...?"
Setelah bergumam demikian, tubuhnya diluruskan sejenak, kemudian kakinya melangkah gontai ketuar dari dalam kamarnya. Sejak berjumpa Pradipta dua hari yang lalu, Tri-janti merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Mulanya ia tidak begitu mempedulikannya, dan menganggap hal itu sesuatu yang wajar. Namun, makin lama perasaan aneh itu kian berkembang, dan membuat hatinya selalu resah. Dan, ia pun mulai menyadari, apa sebenarnya yang tengah dialami.
Dalam usianya yang sudah mencapai sembilan belas tahun, Trijanti segera dapat menebak perasaan yang terkandung dalam hatinya. Dengan langkah perlahan, gadis cantik yang memiliki kepandaian tinggi itu bergerak menuju taman belakang rumah penginapan yang terletak di Desa Waru itu. Dengan gerakan yang tanpa sema-ngat, Trijanti menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah bangku bambu di dalam taman itu.
"Aneh, mengapa sekarang aku begitu mudah tertarik kepada seorang pemuda?" kembali batin Trijanti bergumam. "Padahal bukan hanya Pradipta saja yang kukenal. Cukup banyak pemuda-pemuda yang gagah dan tampan berkunjung ke tempatku semasa aku berada di Gunung Buntar. Karena sahabat-sahabat guruku kerap berkunjung dan membawa murid-muridnya. Tapi, aku tidak pernah mengalami perasaan seperti saat ini. Perkenalan dengan murid-murid sahabat guruku itu, sama sekali tidak menggangguku, meskipun mereka telah pergi meninggalkan Gunung Buntar. Tapi, mengapa perasaan aneh ini timbul setelah berjumpa dengan Pradipta...?"
Trijanti kembali menghela napas resah. Bayangan pemuda tampan yang telah membuat hatinya gelisah, benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Setiap kali pandangannya diarahkan ke satu benda, selalu saja bayangan Pradipta muncul dengan gaya dan senyumnya yang sangat simpatik itu. Semua gangguan itu tentu saja membuatnya jengkel. Sehingga, tidak jarang wanita cantik itu memukul keningnya perlahan, atau menggoyangkan kepalanya keras-keras. Seolah-olah dengan berbuat demikian, bayangan Pradipta dapat hilang dari benaknya.
Setelah dua hari bayangan itu tidak mau juga lenyap. Kini sadarlah Trijanti kalau dirinya telah jatuh hati kepada pemuda tampan itu. Terkadang ucapan-ucapan pemuda itu terngiang kembali di telinganya. Dan, ingatan itu mau tak mau membuatnya tersenyum seorang diri. Demikian pula halnya dengan malam itu. Keresahan dan rasa ingin berjumpa dengan Pradipta, membuat gadis cantik itu tidak bisa memicingkan mata sekejap pun. Bahkan, kegembiraannya selama ini seperti lenyap. Sehingga, ia merasa hari-hari yang dilaluinya kosong dan tidak menyenangkan.
"Siapa...?"
Tiba-tiba saja Trijanti bergerak bangkit ketika mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Telinga gadis itu sangat jelas menangkapnya. Padahal, saat itu ia tengah tenggelam dalam lamunannya. Tapi, semua itu bukan karena pendengaran Trijanti yang tajam. Melainkan, langkah kaki itu sengaja diberatkan agar gadis itu dapat mendengarnya. Sehingga, meskipun tengah tenggelam dalam lamunan, suara langkah berat itu pasti tertangkap oleh pendengarannya.
"Sss... siapa...?"
Trijanti mengulang pertanyaannya. Dengan suara yang agak gagap dan tegang. Karena, sepasang matanya menangkap sosok berpakaian sutera putih yang tampak gemerlap ditimpa cahaya rembulan.
Sosok tegap berpakaian sutera putih itu melangkah tenang menghampiri Trijanti yang bagaikan tersihir. Gadis itu hanya berdiri dan menatap seperti patung. Sedangkan dadanya bergemuruh dilanda ketegangan.
"Kau...?" jerit hati Trijanti setengah tak percaya. Namun, ucapan itu tidak sampai terucap di bibirnya. Tentu saja, sosok berpakaian putih itu sama sekali tidak mendengarnya.
Sepasang mata Trijanti terbelalak ketika melihat raut wajah sosok tubuh itu. Apalagi pancaran sinar bulan tepat meneranginya. Sehingga, wajah sosok tubuh tegap itu bagaikan mengeluarkan sinar. Ditambah lagi dengan jubah sutera putihnya yang semakin bercahaya. Semua itu benar-benar merupakan pemandangan yang sangat mempesona. Wajar kalau beberapa saat lamanya gadis itu hanya bisa memandang dengan sepasang mata penuh kagum.
"Apa kabar, Dik Trijanti...?" sapa Pradipta lembut Ucapannya lebih mirip dengan suara bisikan.
Namun, bagi Trijanti sendiri, sapaan itu telah membuatnya sadar dari sikap bodohnya Karuan saja gadis cantik itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tampak rona kemerahan pada kedua pipinya. Pertanda ia merasa malu dengan kelakuannya sendiri. Tapi, semua itu merupakan ungkapan perasaan hatinya yang terdalam. Itu yang membuat Trijanti semakin merasa jengah. Sehingga, ia tetap menyembunyikan wajahnya seraya menenangkan hatinya yang tengah bergemuruh.
"Mengapa kau berada di tempat ini? Apa kau memang sengaja menguntitku...?" tegur Trijanti tajam sambii tetap menyembunyikan wajahnya. la tidak ingin pemuda itu mengetahui apa yang tersimpan di matanya. Apabila ia mengangkat wajahnya, tentu saja pemuda itu akan mengetahui perasaannya yang melekat pandangan matanya.
"Maafkan aku, Trijanti... Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Secara jujur kuakui semenjak pertemuan kita di Hutan Ranggat, aku benar-benar tidak bisa melupakanmu. Karena itu aku mengikuti perjalananmu. Sekali lagi aku mohon maaf apabila perbuatanku kau anggap tidak sopan...," sahut pemuda tampan berpakaian sutera putih itu, yang tak lain adalah Pradita. Tak mengherankan bila pemuda tampan itu mengetahui tempat Trjanti menginap. Rupanya ia sengaja menguntit perjalanan gadis cantik itu. Tidak aneh kalau tiba-tiba Pradipta muncul di hadapan Trijanti
"Kau... apa... apa maksudmu sebenarnya..? Tanya Trijanti dengan suara bergetar karena menahan perasaannya. Ucapan pemuda tampan itu telah membuatnya terpaksa mengangkat kepala, dan menata tajam bola mata Pradipta. Seolah ia ingin mencari bukti dari bola mata pemuda yang telah menimbulkan perasaan resah di hatinya itu.
"Trijanti... kau cantik sekali malam ini...," terdengar suara pujian bernada lembut, yang meluncur begitu saja dari mulut Pradipta. Sambil berkata demikian, pemuda itu kembali melangkah mendekati gadis cantik itu, yang membuat hatinya berdebar tak karuan.
"Kau laki-Iaki tidak sopan...! Rupanya kau seorang perayu ulung. Dan, kau sengaja ingin menggoda dan menjeratku! Huh! Sayang, kau salah menilai orang! Rayuan mautmu tidak akan dapat menjebakku...!" Desis Trijanti ketus. Setelah berkata demikian, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak tahan melihat sinar mata pemuda itu, yang sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sehingga, wajah gadis cantik itu pun kembali dijalari warna kemerahan.
"Trijanti..., begitu rendahkah penilaianmu terhadap diriku? Salahkah kalau aku tertarik kepadamu?" dengan suara bergetar Pradipta terus melangkah. Tampak wajahnya agak pucat ketika ia berhenti beberapa langkah di depan gadis cantik itu. Di-tatapnya wajah Trijanti dan sinar matanya seolah-olah menuntut jawaban.
"Hm.... Kita baru saja bertemu dan itu pun hanya sekilas. Mengapa kau begitu mudah melontarkan kata-kata pujian? Aku yakin pujian-pujianmu itu selalu kauucapkan setiap kali berjumpa dengan gadis-gadis cantik lainnya. Nah, apa kau mau menyangkal...?" kembali terdengar suara ketus Trijanti dengan disertai dengusan mengejek. Sedang wajahnya tetap berpaling dan sama sekali tidak menoleh ke arah Pradipta.
"Hhh... apa pun penilaianmu tentang diriku, itu adalah hakmu. Tapi, cobalah kau jawab pertanyaanku ini. Salahkah bila kita melihat sesuatu yang indah kemudian memujinya? Ataukah kau lebih suka dengan sikap munafik dan berpura-pura mencemooh. Padahal, kau bisa melihat pujiannya dari pancaran sinar matanya? Haruskah dia mengatakan kau jelek dan berpura-pura membencimu, tapi Kenyataan yang sesungguhnya justru berlawanan?" ujar Pradipta kembali menyeret langkahnya, sehingga jarak di antara mereka tinggal terpaut satu langkah.
Dengan sangat pandainya, Pradipta terus mendesak Trijanti dengan ucapan dan sikap yang simpatik. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pemuda tampan itu. Sayang, gadis cantik itu tidak melihatnya, karena ia masih saja tidak menoleh ke arah Pradipta. Sehingga, ia pun tidak menyadari bibir pemuda tampan itu tampak menyunggingkan senyum yang mempunyai makna beragam.
"Trijanti...," panggil Pradipta sambil tangannya menyentuh bahu gadis cantik itu. Melihat dari sikap dan caranya menghadapi Trijanti, pemuda itu sudah dapat menebak isi hati gadis cantik di depannya. Tak heran kalau ia semakin berani menyentuh bahu Trijanti.
Trijanti yang ekor matanya melihat gerakan tangan pemuda itu, bergegas melangkah mundur. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam jarak empat langkah. Sekilas terlihat sinar berkilat pada sepasang matanya yang bening. Jelas, kalau ia tidak suka dengan apa yang akan dilakukan Pradipta terhadap dirinya. Tatapan mata Trijanti yang semula menyiratkan kemarahan itu, mendadak lembut ketika beradu pandang dengan pemuda tampan didepannya.
"Pandanglah mataku, Trijanti. Lihatlah, apakah kau menemukan kebohonganku?" ujar Pradipta dengan nada lembut, namun mengandung getar-getar aneh yang tidak mengerti oleh Trijanti.
Tanpa membantah, gadis itu balas menatap sepasang mata tajam pumuda tampan itu.
"Dengarlah, Trijanti. Aku sayang padamu, dan tidak ingin melihat kau murung," desis pemuda tampan itu dengan sepasang mata melekat pada bola mata Trijanti. Sambil berkata demikian, sepasang tangannya memegang kedua bahu gadis cantik itu.
Ucapan lembut yang mengandung getar-getar uneh itu sepertinya mampu meluluhkan hati Trijanti. Sinar matanya tampak mulal meredup. Dan ia tidak herusaha mengelakkan sentuhan tangan Pradipta. Malah gadis cantik itu tidak kuasa lagi menahan perasaan hatinya. Sehingga, ketika tubuhnya dibawa ke dalam pelukan pemuda tampan itu, ia sama sekali tidak memberontak.
"Katakan, Trijanti, apakah kau memiliki perasaan yang sama denganku,..?" bisik Pradipta sambil memeluk lembut tubuh gadis cantik itu. Bahkan, ucapannya diakhiri dengan sebuah kecupan lembut pada rambut Trijanti, yang kepalanya sudah direbahkan ke dada pemuda tampan itu.
"Ya, Kakang, aku pun mempunyai perasaan yang sama denganmu," sahut Trijanti tanpa mengangkat kepalanya dari dada. Ucapannya terdengar seperti sebuah bisikan. Namun, tertangkap jelas ditelinga pemuda tampan yang semakin mempererat pelukannya.
"Kau sayang padaku...?" desak Pradipta lagi, tetap dengan nada yang lembut dan menggetarkan.
"Aku sayang padamu, Kakang...," kembali terdengar jawaban Trijanti menyahuti.
"Ah, syukurlah kalau begitu," desah Pradipta seraya membelai lembut punggung gadis cantik itu. "Hm.... Udara di luar terasa semakin dingin, Adikku. Mari kita kembali ke kamarmu...," ajak pemuda tampan itu sambii mendekatkan bibirnya ke telinga Trijanti. Dan, ajakan itu dijawabnya dengan anggukan kepala.
Dengan sebelah tangan tetap merengkuh tubuh Trijanti, Pradipta melangkah menuju kamar gadis itu. Sedangkan Trijanti sendiri tetap merebahkan kepalanya di bahu pemuda tegap itu. Sebentar ke-mudian kedua tubuh insan berlainan jenis itu lenyap di balik pintu kamar penginapan Trijanti. Sementara di luar malam semakin bertambah larut. Hembusan angin yang dingin semakin keras. Tampak titik-titik air mulai berjatuhan membasahi bumi.
"Ohhh..." Gadis cantik itu mengeluh pendek sambil menggeliatkan tubuhnya yang hanya tertutup selembar kain. Sepasang matanya terlihat mengerjap beberapa kali, untuk kemudian terbuka lebar.
"Aaah. !" Tiba-tiba saja, gadis cantik yang tak lain Trijanti Itu tersentak bangkit seperti disengat kalajengking. Dcngan sepasang mata membelalak lebar, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Sehingga, jeritannya tertahan dan tidak sampai melengking.
"Oh, apa... apa yang telah terjadi dengan diriku? Mengapa... mengapa... ohhh...," Trijanti tak sempat ingin meneruskan ucapannya. Karena ketika ia hendak bergerak bangkit, sekujur tubuhnya dirasakan linu dan nyeri. Sadar kalau sesuatu yang mengerikan telah terjadi tanpa sepengetahuannya, gadis itu pun merintih dan terisak.
Secara samar-samar, Trijanti mulai dapat mengingat apa yang telah dialaminya semalam. Dan, ingatan itu membuat air matanya semakin deras mengalir. Ditahannya tangis yang hendak meledak, agar tidak sampai terdengar penghuni kamar penginapan yang lainnya. Sehingga, hanya terdengar suara isak yang memilukan mengalir dari kerongkongannya.
"Jahanam kau, Pradipta! Pasti kau yang telah melakukan perbuatan keji terhadap diriku!" desis bibir mungil itu bergetar.
Meskipun ia tidak tahu pasti mengapa dan bagaimana kejadian itu menimpa dirinya, Trijanti bergegas bangkit dan menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai. Dengan air mata yang masih tetap bercucuran, gadis cantik itu segera mengenakan pakaiannya. Dan, tanpa merapikan rambutnya terlebih dahulu, tubuh gadis itu telah melesat melalui jendela, terus pergi meninggalkan rumah penginapan, setelah meninggalkan uang sewa kamarnya di atas meja kecil, yang terletak di samping pembaringannya.
Trijanti berlari terus tanpa menghiraukan pandangan mata beberapa orang petani, yang sempat berpapasan dengannya di jalan. Hati gadis cantik itu benar-benar hancur ketika teringat aib yang telah menimpa dirinya. Langkah kakinya terhenti setelah ia berjalan cukup jauh, dan kini ia telah berada di luar perbatasan Desa Waru. Kemudian, ia langsung menjatuhkan kedua lututnya di atas rerumputan yang masih dibasahi embun pagi.
"Guru..., ampunilah kelalaian muridmu yang bodoh dan tak berguna ini..," rintih Trijanti sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Butir-butir air mengalir melalui celah-celah jemarinya yang halus dan lentik itu. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan hati. Entah sudah berapa lama Trijanti tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang dalam itu. Sedusedannya sesekali masih terdengar, meski tubuhnya tetap bersimpuh. Gadis cantik yang bernasib malang itu masih tetap menyesali kecerobohannya.
Ketika raut wajah Pradipta melintas di benaknya, tiba- tiba Trijanti bangkit dengan pandangan liar. Ia berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai cerah. Perlahan-lahan tangan kanannya meraba hulu pedang Terdengar suara nemerincing ketika senjata itu tercabut dari sarungnya.
"Pradipta, Manusia Terkutuk! Demi langit dan bumi, aku bersumpah akan membalas hinaan ini dengan taruhan nyawaku! Sampai ke ujung dunia, aku akan mencarimu, Manusia Keji! Dan, noda yang melekat di tubuhku ini, hanya dapat dicuci dengan darahmu!" ujar Trijanti dengan suara parau dan bergetar. Sumpah itu diucapkannya sambil menengadahkan kepala dan mengacungkan pedangnya kelangit Usai mengucapkan sumpahnya, Trijanti kembali menyarungkan senjatanya.
Wajah cantik yang masih basah oleh genangan air mata itu, kini nampak pucat. Sepasang mata beningnya tidak lagi memancarkan cahaya kehidupan, dingin dan tanpa perasaan. Jelas kalau kejadian yang menimpanya telah membuat Trijanti seperti membenci segala apa yang terlihat matanya.
"Manusia keji tunggulah pembalasanku...!" geram gadis cantik itu, kembali melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan ilmu lari yang dimilikinya.
Cukup lama gadis cantik bemasib malang itu berlari seperti tidak mengenal lelah. Sebuah aliran sungai yang membentang di depannya, membuat langkah Trijanti terhenti. Sambil berdiri tegak, gadis cantik itu menatapi sekelilingnya dengan pandangan tajam. Mendadak saja. Sepasang mata sayu itu, terbelalak ketika secara samar matanya menangkap sesosok bayangan putih yang tengah berlari di seberang sungai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis cantik itu langsung melesat melompati sungai yang cukup lebar itu. Gerakannya yang gesit dan lincah, membuatnya tidak mengalami kesulitan menyeberangi aliran sungai itu. Sebentar saja, ia telah berada di seberang sungai, dan langsung memburu sosok bayangan putih yang dilihatnya tadi.
Geram bukan main hati Trijanti ketika tiba di seberang sungai, sosok bayangan putih itu lenyap dari pandangannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, ia hanya berdiri sambil mengerutkan keningnya seperti tengah memikirkan sosok bayangan putih yang berlari cepat tadi.
"Jahanam kau, Pradipta! Rupanya kau sengaja ingin mempermainkan aku...!" desis Trijanti sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
Kemudian diputuskannya untuk mencari sosok bayangan putih, yang diduganya Pradipta itu. Tubuh ramping itu segera berkelebat mengejar ke arah Barat. Usaha gadis cantik itu tidak sia-sia. Sepasang matanya menangkap sosok bayangan putih yang di-llihatnya tadi. Cepat Trijanti memutar langkah dan bergegas menyusul sosok bayangan itu, yang tengah melintasi daerah perbukitan.
"Jahanam keparat! Jangan lari kau, Iblis...!" teriak Trijanti sambil mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya dalam berlari Karena sosok bayangan putih itu terpisah beberapa puluh tombak di depannya, tampak berlari dengan ringan dan gesit. Sehingga, gadis itu hanya berjuang keras agar dapat mengejarnya. Trijanti semakin mempercepat larinya ketika ia melihat sosok bayangan putih itu berhenti berlari, dan menoleh ke arahnya. Karena sosok tubuh itu sempat menangkap suara teriakan gadis itu. Sehingga ia menunggu kedatangan Trijanti.
"Hm... mau lagi ke mana kau, Manusia Keji! Perbuatan terkutukmu harus kau tebus dengan nyawa!" geram Trijanti. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung melesat dengan putaran senjatanya.
"Eh...?!" Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu, tampak mengerutkan keningnya ketika melihat serangan Trijanti. Sadar kalau serangan itu cukup berbahaya, cepat ia menggeser langkahnya ke belakang dan melanjutkan dengan sebuah lompatan panjang.
"Nisanak, ada apa ini...?" Cegah pemuda tampan itu sambil mengulurkan tangannya kedepan seperti mau menghentikan serangan gadis cantik itu. Sikapnya tampak tetap tenang, dan sepasang matanya yang lembut menyiratkan rasa heran.
Namun, uluran tangan pemuda itu disalah artikan Trijanti. Dikiranya lawan akan membalas serangan, maka gadis cantik berwajah pucat itu segera memutar senjatanya sampai menimbulkan suara mengaung tajam.
"Mampus kau, Bangsat Keji...!" maki Trijanti sambil melompat dan melontarkan serangkaian serangan yang cepat dan ganas!
Whuuut! Whuuut!
Sambaran mata pedang yang berkelebatan itu mengandung bahaya maut, tampak bergulung-gulung mengincar tubuh sosok berjubah putih itu. Sehingga, pemuda tampan itu kembali harus berlompatan untuk menyelamatkan tubuhnya dari kibasan senjata Trijanti.
"Nisanak, tunggu! Apa salahku...?" seru pemuda tampan itu sambil terus berlompatan ke kiri-kanan guna menghindari sambaran pedang yang cepat dan ganas itu.
Hampir menangis Trijanti ketika hampir sepuluh jurus melakukan serangan bertubi-tubi, tapi tak satu pun serangannya mengenal tubuh lawan. Sepertinya sosok tubuh berjubah putih itu hanya bayangan yang selalu mengikuti ke mana senjatanya berkelebat. Jangankan untuk melukai sosok berjubah putih itu, untuk menyentuh jubahnya saja Trijanti tidak mampu melakukannya. Tak heran kalau gadis cantik itu semakin marah dan penasaran dibuatnya.
"Mengapa kau tidak membalas seranganku, Jahanam! Apa kau kira dengan berbaik hati seperti itu aku akan mengampuni dosa-dosamu? Huh! Jangan harap, Manusia Kotor...!" maki Trijanti sambil tetap melontarkan serangannya.
Sosok berjubah putih, yang semula hanya mengelak tanpa melontarkan serangan balasan itu, rupanya mulai kehilangan sabar. Sehingga ketika pedang Trijanti meluncur lurus dan mengancam lambungnya, pemuda tampan itu segera menggeser tubuhnya dengan posisi miring. Ditolaknya pedang di tangan gadis itu dengan sebuah sentilan yang tepat mengenai badan pedang Trijanti.
Terdengar suara bergemerincing nyaring ketika sentilan tangan pemuda itu mengenai pedang di tangan Trijanti, sehingga senjata gadis itu terpental balik dengan kerasnya! Bahkan kuda-kuda gadis cantik itu tergempur sampai mundur. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya kekuatan yang tersembunyi dibalik sentilan jari tangan pemuda itu. Dan rasanya mudah sekali, kalau ia ingin melumpuhkan gadis cantik yang tengah kesetanan itu. Tapi, pemuda itu tidak mau melakukannya. Ia tetap berdiri tegak menatapi tubuh Trijanti yang tengah sempoyongan akibat sentilan jari tangannya.
Trijanti sendiri terbelalak menyaksikan cara pemuda itu melumpuhkan serangan pedangnya. Dan, kalau saja ia tidak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, rasanya sukar sekali untuk percaya. Trijanti menyadari kepandaian yang dimilikinya. Jangankan seorang pemuda seperti lawannya itu, bahkan gurunya sendiri ia tidak yakin berani melakukan tangkisan dengan cara seperti itu. Karena tenaga dalam yang dimilikinya boleh dikatakan jarang dipunyai gadis seusianya. Wajar kalau Trijanti terbengong-bengong menatapi pemuda tampan itu.
Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika dilihatnya wajah pemuda itu. Karena sosok tubuh berjubah putih itu sama sekali bukan Pradipta seperti yang diduganya, meskipun pemuda itu juga sangat tampan, bahkan memiliki perbawa yang amat kuat.
"Nisanak, mengapa kau menyerangku demikian ganas? Rasanya kita belum pernah saling jumpa," ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara yang lembut dan tenang. Hanya sepasang matanya saja yang tajam menatap sosok Trijanti. Sehingga, gadis cantik itu sempat tergetar hatinya.
"Kau... kau bukan Pradipta.... Bukan..., ya, kau bukan pemuda iblis itu...," desis bibir mungil Trijanti dengan gagap dan bergetar. Bahkan, dalam nada ucapannya terkandung isak dan sedu-sedan, yang membuat pemuda itu mengerutkan keningnya, heran.
"Aku memang bukan Pradipta seperti yang kau duga. Namaku Panji. Ada apa sebenarnya, Nisanak?" Tanya pemuda berjubah putih yang ternyata bernama Panji. Sekilas saja, ia sudah dapat meraba, penyebab gadis cantik berwajah pucat itu menyerangnya mati-matian.
"Bukan... kau bukan dia, aku harus mencari iblis terkutuk itu...," setelah bergumam dengan suara yang hampir tak jelas, Trijanti membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan Panji.
"Nisanak, tunggu...!" Panji yang melihat ketidak-beresan pada wanita yang berpenampilan kusut itu, segera berteriak mencegah, dan langsung melesat mengejarnya. Ilmu meringankan tubuh yang sempurna dari pemuda berjubah putih itu, membuatnya mampu bergerak secepat kilat. Sekali lompatan saja, Panji telah berdiri tegak menghadang jalan Trijanti.
"Mau apa kau...? Kau pasti sama jahatnya dengan bangsat Pradipta itu! Dan, kau pun ingin menggunakan ketampanan dan kepandalanmu untuk mencelakai aku, begitu?" bentak Trijanti seraya melompat dengan disertai serangan pedangnya. Sehingga, Panji terpaksa menghindarinya.
"Pergi kau! Pergi...!" sambil berteriak-teriak seperti orang gila, Trijanti mengayunkan senjatanya secara serampangan.
Dan, ketika Panji melompat menjauh, gadis cantik yang hampir gila karena tekanan batin itu, segera melesat melarikan diri. Tampaknya ia merasa takut kalau kejadian yang menimpa dirinya akan terulang kembali.
Panji tidak berusaha melakukan pengejaran. Pemuda itu hanya berdiri tegak, sambil memandangi sosok Trijanti yang kian menjauh. "Kasihan.... Rupanya gadis cantik itu mengalami kejadian yang mengerikan. Entah siapa orang yang disebutnya dengan nama Pradipta itu. Bisa saja orang itu kekasihnya, dan telah mengkhianatinya, atau mungkin juga ia telah tertimpa kemalangan dari seorang penjahat cabul. Hm..., sayang ia masih sulit untuk didekati. Sebaiknya kuikuti saja gadis malang itu. Siapa tahu ia memerlukan bantuan," gumam Panji menduga-duga. Setelah mengambil keputusan begitu, pemuda tampan itu bergegas menyusul Trijanti dan menguntitnya.
Pemuda itu duduk di atas sebuah batu besar, sambil mengawasi beberapa orang yang tengah mencuci dan membersihkan diri di sungai. Sepasang matanya yang tajam, memancarkan pengaruh aneh, dan berputaran liar mengawasi wanita-wanita desa itu. Pada wajah yang tampan itu, tersungging senyum manis ketika telinganya mendengar celoteh gadis-gadis desa yang tampak lugu itu.
"Kenapa terburu-buru, Arum? Matahari belum lagi naik tinggi, lebih baik kita ngobrol-ngobrol saja dulu," ujar seorang gadis berwajah bulat telur, yang pada dagu sebelah kirinya terdapat tahi lalat.
Gadis berwajah mungil dengan bentuk hidung yang mancung, menoleh dan sejenak tersenyum manis. Sedang di pinggang kanannya tersampir keranjang tempat pakaian yang telah dicucinya.
"Sebenarnya aku ingin ikut bergembira dengan kalian. Tapi, aku harus memasak makanan dan mengantarkannya untuk ayahku yang bekerja di ladang. Sebab, ibuku sedang sakit Jadi, akulah yang menggantikannya. Sudah ya, aku pulang duiu," pamit gadis berwajah mungil yang segera melemparkan senyum. Manisnya. Kemudian terus melenggang naik ke atas tepian sungai.
"Hati-hati, Arum. Siapa tahu di tengah jalan kau dibawa lari orang," goda wanita bertahi lalat itu yang disambut tawa berderai gadis-gadis lainnya.
"Biarlah kalau yang menculiknya pemuda tampan dan baik hati...," seru gadis bernama Arum dari tepi sungai.
"Ngaco kamu, mana ada penculik yang baik hati..!" sambut gadis yang lainnya menertawakan.
Namun, gadis manis bernama Arum itu tidak lagi mempedulikan ocehan kawan-kawannya. Dengan wajah yang masih terhias senyum manis, ia bergegas menuju desa. Arum tidak merasa khawatir sama sekali, kendati la berjalan pulang seorang diri. Karena desanya selama ini dikenal paling aman di antara desa-desa yang lainnya. Apalagi setelah kepala desanya digantikan dengan seorang lelaki setengah baya bernama Ki Ringgo. Keadaan desanya semakin bertambah aman, dan tidak pernah terjadi tindak kejahatan.
Ki Ringgo, seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar dan memiliki sikap tegas. Konon orang tua itu pernah menjadi seorang perwira kepercayaan Adipati. Meskipun penduduk Desa Magetan, tempat Arum tinggal tidak ada yang mengetahuinya secara pasti, namun melihat kepandaian dan sikap tegas Ki Ringgo, tentu saja para penduduk desa itu mempercayainya. Apalagi selain terkenal kebaikan dan kedermawanan, orang tua itu pun datang ke Desa Magetan dengan kekayaan yang berlimpah. Sehingga, ketika ada penggantian kepala desa, banyak penduduk yang menunjuk lelaki gagah itu sebagai pengganti kepala desa lama.
Senyum di bibir Arum semakin melebar ketika teringat kepala desanya yang baru itu. Tapi, bukan orang tua gagah itu yang membuatnya tersenyum. Melainkan, putra sulung kepala desa itulah yang membuatnya tersenyum. Dan, hampir semua penduduk tahu kalau putra sulung kepala desa menaruh perhatian terhadapnya. Biasanya pemuda yang menjadi kekasihnya itu, selalu setia menunggunya hingga selesai mencuci. Baru kali ini putra sulung Ki Ringgo itu tidak menemaninya. Karena pemuda itu pergi bersama keluarganya, menjenguk sanak saudaranya yang tengah menderita sakit keras. Itulah sebabnya Arum tidak ditemani pujaan hatinya.
"Aaaw...!"
Mendadak Arum mengeluarkan jeritan tertahan. Sedangkan tempat cuciannya langsung terlempar, karena tangan kanannya digunakan untuk menutupi mulutnya. Sehingga jeritannya tidak terdengar sampai jauh. Tubuh Arum yang langsing padat, dan hanya tertutup kain sebatas dada itu, menggigil hebat. Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat makhluk sebesar lengannya berdiri tegak menghadang di tengah jalan setapak yang akan dilaluinya.
"Uuu... ularrr...," desisnya gemetar, sambil melangkah mundur perlahan.
Sedang makhluk sepanjang satu setengah tombak itu, berdesis-desis menjulur-julurkan lidahnya yang merah bagaikan darah. Binatang berbisa itu menatap tajam ke arah Arum. Sejauh itu ia tetap tidak bergeming dari tempatnya, dan hanya menatap penuh ancaman.
Arum yang sekujur tubuhnya mulai dialiri keringat dingin itu, melangkah perlahan menjauhi binatang berbahaya itu. Malang, ia tidak sempat memperhatikan sebuah batu di belakangnya. Sehingga, tubuh gempal itu terjerembab ketika kakinya tersandung batu itu.
"Ohhh...!" terdengar suara jeritan lirih dan bergetar yang keluar dari tabirnya. Pada saat ia tengah bergerak bangkit, ular beracun itu langsung melesat bagai kilat ke arah Arum, yang hanya mampu memandang dengan wajah seputih kertas.
Tepat pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat cepat, dan langsung tangannya menangkap ular tersebut. Kemudian, kepala ular beracun itu dihantamkannya ke sebuah batu yang terletak di tepi jalan.
Terdengar suara berderak nyaring yang disertai percikan darah segar. Tanpa ampun lagi, kepala ular itu langsung pecah, dan mati seketika itu juga. Hebatnya, semua gerakan itu hanya dilakukan sekejap mata saja. Sehingga, Arum sendiri tidak mengetahui, ular itu tiba-tiba saja mati dengan kepala pecah. Karena matanya memang tidak mampu menangkap apa yang dilakukan sosok bayangan putih itu.
Setelah melempar bangkai ular itu jauh-jauh, sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu, bergegas menoleh ke arah Arum. Senyumnya yang penuh pesona terukir bersamaan dengan tangannya terulur untuk menolong gadis itu bangkit.
Karena belum terlepas dari rasa takut yang menguasainya, Arum mengulurkan tangannya bagai orang linglung. Kedua kakinya terlihat masih gemetar ketika ia mencoba untuk berdiri. Tentu saja tubuhnya jadi limbung, mungkin saja tubuhnya terjatuh kalau saja tangan pemuda tampan itu tidak keburu menangkapnya. Dan, secara tak sengaja, tubuh ramping yang padat dan berkulit lembut itu jatuh ke dalam pelukan pemuda penolongnya itu.
Arum yang belum hilang dari rasa terkejutnya itu langsung menyembunyikan kepalanya di dada pemuda itu. Sebentar kemudian, terdengar sedu-sedannya, yang membuat dadanya turun naik dan tergeser ke tubuh penolongnya. Hal itu dilakukannya dalam keadaan setengah sadar.
"Sudahlah, Arum. Hentikan tangismu. Bukankah bahaya itu sudah lewat...?" bujuk pemuda tampan itu dengan nada lembut dan terdengar penuh kasih. Sambil berkata demikian, jemari tangannya bergerak membelai punggung gadis desa itu, yang sama sekali tidak terlindung pakaian.
Karena selama hidupnya, Arum belum pernah merasakan sentuhan tangan laki-laki, karuan saja gadis desa yang lugu itu tersentak kaget. Cepat ia menyentakkan tubuhnya dari pelukan penolongnya itu, ketika merasakan getaran aneh menyelusup ke seluruh bagian tubuhnya.
"Maafkan aku.... Aku..., aku telah lupa diri, hingga telah...," Arum tidak mampu melanjutkan ucapannya, karena rasa jengah telah membuat kedua pipinya bersemu merah. Sehingga, gadis desa itu terpaksa menundukkan wajahnya sambil memilin-milin kainnya, tanpa sadar. Dan, Arum sendiri tidak menyadari sama sekali kalau kain yang dikenakan sebatas dada itu telah melorot, tampak gumpalan buah dadanya yang ranum. Sehingga, pemuda tampan itu sempat menatap gumpalan bukit kembarnya dengan sinar mata berkilat aneh.
"Tidak mengapa, Arum. Aku memaklumi keadaanmu yang masih terkejut oleh ular tadi," sahut pemuda tampan itu dengan gaya yang sangat memikat dan tutur katanya yang lembut.
"Tuan... dari mana Tuan mengetahui namaku...?" Tanya Arum yang merasa heran mendengar penolongnya itu telah mengetahui namanya. Sehingga, gadis desa itu terpaksa mengangkat kepalanya me-natap pemuda tampan itu.
Deggg!
Jantung di dalam dada Arum berdebar ketika melihat ketampanan wajah penolongnya. Tanpa sadar, ditatapnya sekujur tubuh pemuda itu. Rasa kagumnya semakin bertambah, melihat tubuh penolongnya yang tegap dan gagah. Apalagi pakaian yang dikenakannya terlihat dari bahan mahal.
"Mengapa, Arum? Apakah diriku menakutkan, sehingga kau menjadi terkejut?" kembali terdengar suara lembut pemuda tampan itu, menyadarkan Arum dari pesona yang menguasainya.
"Tuan pasti orang kota. Pakaian yang Tuan kenakan bagus sekali. Harganya pasti mahal," ucap bibir mungil Arum yang rupanya telah lupa kalau pertanyaannya belum dijawab pemuda tampan itu.
"Kalau kau suka, aku bisa membelikannya ke kota. Kau mau...?" ujar pemuda tampan itu sambil melemparkan senyum manisnya. Ucapan itu disertai dengan uluran kedua tangannya yang langsung memegang kedua bahunya yang telanjang.
Pemuda tampan yang tak lain Pradipta itu, tersenyum senang ketika merasakan bahu lembut berkulit halus itu tampak bergetar karena sentuhannya. Kenyataan itu membuat Pradipta tambah berani dan meremas perlahan bahu gadis desa yang lugu itu.
"Ah, tidak..., jangan, Tuan. Aku..., aku..."
"Tidak mengapa, Arum. Kalau kau suka, katakan saja. Aku akan membelikannya dengan senang hati," ujar Pradipta yang masih terus meremas kedua bahu Arum. Sehingga tubuh gadis itu kian menggeletar. Dan sebagai orang yang berpengalaman dalam menghadapi wanita, Pradipta pun tahu kalau Arum telah tertarik padanya. Hanya mungkin karena ia adalah seorang gadis desa. Maka, perasaan malunya telah membuat gadis itu bertahan sekuat tenaga.
"Bukan..., bukan itu maksudku, Tuan. Tapi..., aku malu kalau sampai terlihat orang...," ucap gadis manis itu dengan napas serasa sesak. Dengan perlahan, Arum mencoba meronta dari pegangan penolongnya itu. Kemudian melangkah mundur beberapa tindak dengan wajah pucat bercampur merah.
Arum kembali mundur empat langkah, ketika bayangan wajah kekasihnya melintas di benaknya. Meskipun kekasihnya memang tidak setampan dan segagah pemuda penolongnya itu. Namun kesetiaannya membuat hati gadis itu tidak terpedaya oleh penolongnya.
Pradipta kembali tersenyum memikat. la sama sekali tidak mengejar Arum. Pemuda tampan berwatak cabul yang menyembunyikan silat aslinya di balik kelembutan dan pakaian indah itu, hanya menatap gadis itu dengan sinar mata kagum. Melihat dari sikapnya yang tidak kasar dan tidak terburu nafsu itu, jelas Pradipta merupakan seorang Pemetik Bunga yang telah berpengalaman.
Meskipun dalam dunia persilatan ia dijuluki sebagai Kumbang Merah. Namun, orang jarang mengetahui tentang dirinya. Siapa yang mau percaya kalau pemuda setampan dan segagah Pradipta suka menodai anak-anak gadis orang. Dengan wajah tampan dan penampilannya yang mewah itu, gadis mana yang tidak akan tertarik kepadanya. Ditambah lagi dengan sikapnya yang lembut dan pandai merayu. Sukar rasanya untuk dipercaya kalau Pradipta sebenarnya si Kumbang Merah yang telah menggemparkan wilayah Selatan dengan ulahnya.
Karena di Wilayah Selatan ruang geraknya kian terbatas, maka pemuda tampan berwatak keji itu merantau ke Wilayah Barat. Di daerah yang baru ini tidak banyak orang yang mengetahui tentang dirinya. Dan, ia pun kembali membuat ulah. Kali ini sasarannya adalah Arum, gadis Desa Magetan yang lugu, dan tidak tahu sifat licik kaum persilatan golongan sesat itu.
Apalagi gadis desa itu sama sekali tidak mengetahu tentang persilatan. Maka, wajar saja kalau ia tidak sadar bahwa dirinya tengah diincar pemuda penolongnya itu. Dan, Arum pun sama sekali tidak mengetahui kalau munculnya ular beracun itu. Karena ulah dan kecerdikan Pradipta. Meskipun Pradipta dikenal sebagai penjahat Pemetik Bunga, namun ia tidak mau memaksa korbannya. Semua korban-korbannya secara suka rela menyerahkan diri ke dalam pelukannya. Juka ia menemukan gadis yang menimbulkan hasratnya, tapi sulit ditundukkannya, maka Pradipta tidak segan-segan menggunakan ilmu sihirnya.
Tapi, pemuda berwatak cabul itu tidak ingin menggunakan ilmu sihirnya. Karena sekali pandang saja, ia sudah dapat menebak kalau gadis desa itu akan suka menyerahkan dirinya, bila ia mencoba menjerat gadis desa yang lugu itu dengan ketampanan dan kelembutan sikapnya. Dan, ia yakin akan berhasil baik.
"Kau takut kepadaku, Arum?" ujar Pradipta dengan senyum yang menghias wajahnya. "Apakah diriku mirip dengan seorang penjahat yang suka mengganggu wanita? Dan, bukankah kalau aku mau hal itu sangat mudah kulakukan dengan kepandaianku?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Tapi..., aku sudah mempunyai kekasih. Aku tidak ingin kalau perbuatan Tuan tadi dilihat penduduk desa ini. Mereka pasti akan mengadukannya kepada kekasihku," bantah Arum yang merasa tidak enak karena telah berhutang budi dengan pemuda tampan, yang telah menyelamatkan dirinya dari bahaya.
"Ah, kekasihmu itu pasti sangat tampan dan kaya. Tentu saja aku tidak ada artinya jika dibandingkan dengan pria pujaanmu itu. Ah, betapa beruntungnya pria yang mendapatkan cintamu itu. Arum. Andai saja pria yang mendapatkan cintamu itu adalah aku, alangkah bahagianya," ucap Pradipta yang mulai melancarkan aksinya dengan ucapan-ucapan berupa penyesalan. "Sayang kita terlambat berjumpa. Kalau saja aku bertemu denganmu lebih dulu, tentu aku tdak akan membiarkanmu sendirian melewati tempat ini. Engkau terlalu cantik untuk dilepaskan seorang diri, Arum," lanjut pemuda berwatak cabul itu dengan disertai desahan napas panjang. Bahkan, dengan pandainya Pradipta merubah raut wajahnya menjadi murung dan tampak sangat sedih.
"Tapi, Tuan, aku hanyalah gadis desa yang bodoh dan miskin. Sedangkan Tuan hanya pantas mendampingi wanita-wanita kota atau putri seorang adipati. Bagaimana mungkin aku dapat disamakan dengan mereka?" bantah Arum yang mulai terpancing dengan ucapan-ucapan Pradipta.
Bantahan itu dilontarkan Arum untuk menyembunyikan perasaan hatinya yang tengah dilanda rasa kasmaran. Wanita mana yang tidak bangga mendapat seorang pemuda tampan seperti Pradipta? Apalagi gadis desa seperti Arum, tentu saja hatinya melambung mendengar kata-kata penolongnya itu.
"Ah, aku tidak tahu. Meskipun wajah gadis-gadis kota cantik-cantik, namun tidak ada sinar yang menghiasi parasnya. Dan, semua itu hanya terlihat pada wajahmu. Arum. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku jatuh cinta begitu melihatmu. Kalau saja aku bisa mendapatkan cintamu, hari ini juga aku akan melamar ke orangtuamu. Dan, tidak akan kubiarkan kau berjalan seorang diri seperti sekarang ini," ujar Pradipta melangkah maju perlahan-lahan. Karena gadis itu memperhatikan ucapannya, maka langkah kaki pemuda itu tidak begitu diperhatikan Arum.
Sedangkan hati gadis desa yang lugu itu, semakin berdebar mendengar kata-kata penolongnya itu. Sehingga, Arum semakin lupa dengan bayangan kekasihnya. Jelas, gadis desa itu semakin terpengaruh dengan rayuan pemuda cabul itu.
"Arum..., maukah kau menerima cintaku...?" Tanya Pradipta yang telah berada dua tidak didepan gadis itu. Sedangkan Arum sendiri tidak mendengar pertanyaan pemuda tampan itu. Karena ia tengah terbuai dengan lamunan-lamunan yang indah tentang kehidupan penolongnya yang diduganya anak orang hartawan yang kaya raya.
"Tapi, bagaimana dengan..."
"Pemuda itu tidak mencintaimu dengan sepenuh hati, Arum. Buktinya ia tidak mau menjagamu. Lebih baik ikutlah bersamaku, Arum. Aku akan selalu menjagamu, dan tidak akan pernah meninggalkanmu seorang diri," bujuk Pradipta memotong kalimat yang akan diucapkan gadis itu.
Sedangkan sepasang tangannya kembali berada dikedua bahu gadis desa yang lugu itu. Hati pemuda cabul itu bersorak ketika ia tidak la merasakan perlawanan dari Arum. Dibalasnya tatapan mata gadis desa itu dengan sorot mata lembut membayangkan kasih yang dalam. Sehingga, hati gadis itu semakin terbuai.
"Tapi, apakah kau benar-benar menyayangiku, Kakang. ?" Tanya Arum dengan wajah bodoh.
"Katakanlah, apa bukti yang kau inginkan? Apakah aku harus mengeluarkan hatiku dengan cara membelah dadaku ini? Katakanlah, aku akan menurutinya, demi kau, Arum," tegas Pradipta yang sudah merasa yakin kalau korbannya telah masuk kedalam perangkapnya.
"Iiih, jangan, Kakang. Aku ngeri membayangkannya," sergah gadis desa yang lugu itu dengan mimik wajah yang diliputi perasaan ngeri.
"Kalau begitu biarlah kubuktikan dengan ini...”
Setelah berkata demikian, sebelum Arum menyadarinya, Pradipta telah mengecup bibir Arum dengan sangat perlahan dan penuh perasaan. Kemudian dilepaskannya kembali. Lalu, dipandangnya bibir yang merona merah itu lekat-lekat. Kecupan lembut yang belum pemah dirasakan gadis itu, selama hidupnya. Membuat diri gadis desa itu bagaikan melambung ke angkasa. Sayang, sebelum menyadari kenikmatan itu sepenuhnya, Pradipta telah melepaskannya. Diam-diam hati Arum mengharapkan agar penolongnya itu mengulangi perbuatannya lebih lama. Semua keinginannya itu tentu saja tidak diucapkan melalui kata-kata. Namun, semua itu dapat dilihat Pradipta.
Maka, tanpa menunggu lebih lama lagi, Pradipta kembali mengulangi perbuatannya. Pemuda itu sengaja melakukannya lebih lama dari semula, dengan maksud untuk memancing sambutan gadis desa yang lugu itu. Hati pemuda cabul itu bersorak ketika sepasang lengan Arum memeluk erat tubuhnya. Sepertinya gadis itu tidak ingin membiarkan sang Penolongnya melepaskan ciumannya sebelum ia sempat merasakannya.
Sadar kalau pancingannya telah mengena, maka Pradipta pun mulai menimbulkan rangsangan gadis desa itu. Setelah Arum benar-benar terlena dibuatnya, dibawanya tubuh ramping yang padat itu ke tepi jalan dan direbahkannya di atas rerumputan tebal. Selanjutnya, si Kumbang Merah pun menghisap sari madu bunga desa itu dengan lahapnya. Sedang sang bunga tidak sadar kalau kumbang itu hanya sekadar singgah untuk kemudian kembali terbang mencari bunga segar lainnya.
Lelaki setengah baya itu tergesa-gesa berjalan menyusuri tegalan menuju ke Desa Magetan. Saat itu hari baru saja menjelang petang. Menilik dari pakaian yang penuh lumpur dan cangkul dibahu kanannya jelas kalau lelaki itu adalah seorang petani. Sepertinya petani tua itu terburu-buru pulang ke rumah. Sedangkan para petani lainnya tampak masih sibuk mengurus sawahnya. Begitu memasuki Desa Magetan, petani tua itu langsung memasuki tempat tinggalnya. Tak lama kemudian, terlihat ia tergopoh-gopoh keluar dengan wajah cemas.
"Kau tidak melihat Arum, Nyai...?" Tanya petani setengah baya itu kepada seorang wanita berwajah bulat telur, yang mempunyai tali lalat pada dagu kirinya.
"Tadi sewaktu di sungai, Arum pulang lebih dahulu, Ki Aku kira ia telah di rumah," jawab wanita itu dengan wajah bingung. Karena jelas temannya itu telah kembali lebih dahulu, dan berpamitan kepadanya.
"Aiiih, ke mana anak itu? Tidak biasanya ia pergi tanpa pamit? Istriku bilang ia belum pulang dari mencuci di sungai. Hm... Apakah Ki Ringgo sudah pulang dari menjenguk sanak keluarganya yang di kota?" Tanya petani bertubuh kekar itu dengan wajah penuh harap.
"Ah, benar! Siapa tahu Tuan Muda Jiwala telah menjemputnya, atau mengajak ke rumahnya, Ki," jawab wanita itu seraya melanjutkan menyapu halaman, setelah petani tua itu pergi tanpa pamit.
Kedatangan orang tua Arum, tentu saja membuat Ki Ringgo sekeluarga menjadi terkejut. Apalagi, lelaki bernama Ki Sukriya itu menanyakan perihal anak gadisnya. Karuan saja Jiwala yang berdiri dekat dengan ayahnya menjadi kalang-kabut. Karena la baru saja mau menjenguk kekasihnya dengan menenteng hadiah yang dibawanya dari kota.
"Kapan Arum pergi, Paman...?" Tanya Jiwala yang ingin mengetahui perihal kepergian kekasihnya. Tampak kecemasan membayang pada wajah pemuda itu, karena hatinya merasa tidak enak mendengar kekasihnya lenyap tanpa diketahui seorangpun.
"Hm..., kalau sampai sore ini ia belum kembali, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya. Apalagi kau bilang, anakmu itu pulang lebih dulu sebelum kawan- kawannya selesai mencuci. Hayo, kita harus segera mencarinya...!" terdengar Ki Ringgo mengeluarkan perintahnya. Sedangkan ia sendiri langsung nyiapkan para pembantunya.
Ki Ringgo segera memecah para pembantunya menjadi tiga kelompok. Masing-masing dari mereka, terdiri sekitar sepuluh atau lima bela sorang.
"Kau tunggulah di rumahmu, Ki Sukriya. Begitu kami menemukannya, langsung dikabarkan kepadamu," ujar Ki Ringgo sebelum melakukan pencarian.
"Baik, Ki..." sahut petani setengah baya itu dengan wajah tetap mencerminkan rasa cemas. Namun, ia agak sedikit tenang setelah melihat kepala desanya sendiri langsung turun tangan mencari putrinya. Dan, petani tua itu hanya dapat mengiringi kepergian orang-orang Ki Ringgo dengan tatapan penuh harap.
Jiwala, putra sulung Ki Ringgo yang menjadi kekasih Arum, bergerak ke sebelah Timur desa dengan membawa dua belas orang pembantu ayahnya. Pemuda bertubuh sedang dan berwajah keras itu, sengaja menyusuri jalan yang biasanya digunakan gadis itu lewat seusai mencuci pakaian dari sungai. Sebagai orang yang paling dekat dengan Arum, dan sering jalan bersama dengan gadis itu. Jiwala pun tahu, jalan-jalan yang sering dilalui kekasihnya itu.
Ketika melewati jalan setapak, yang hanya cukup dilalui seekor kuda, tiba-tiba Jiwala mengangkat tangan kanannya sebagai tanda agar rombongannya berhenti. Kemudian, pemuda itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dengan pandangan curiga, diamatinya sebuah batu di tepi jalan yang tampak bernoda darah itu. Melihat dari sikapnya, tentu saja putra sulung Ki Ringgo itu merupakan orang yang sangat teliti. Sehingga, dalam melaku-kan pencarian, ia benar-benar sangat memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Hm..." Jiwala bergumam tak jelas ketika selesai memeriksa noda darah di batu itu. Seraya mengedarkan pandangannya berkeliling dengan penuh ketelitian. Laksana seorang pencari jejak yang ulung, pemuda bertubuh sedang dan padat itu, bergegas bangkit dan memeriksa rerumputan di sekitarnya. Meskipun tidak mengetahui secara jelas tentang darah di batu itu, namun kecurigaannya membuat pemuda itu meneliti lebih seksama. Menurutnya, dalam melakukan pencarian atau penyelidikan, orang harus mencurigai segala sesuatu. Kendati sesuatu itu tidak berarti bagi orang lain.
Kening pemuda itu berkerut ketika menyibak sebuah rumput semak betukar, ditemukannya rerumputan yang rebah dan terlihat cukup lebar. Sekilas pandang saja, Jiwala dapat menduga kalau di tempat itu telah terjadi pergumulan. Setelah agak lama duduk meneliti, kembali Jiwala bergerak bangkit dan meneliti jejak-jejak yang tertinggal di sekitar tempat yang dicurigainya itu.
Ketika la menemukan jejak telapak kaki menuju ke Barat Desa Magetan, cepat diperintahkan rombongannya untuk menerobos semak belukar dan mengikuti jejak telapak kaki itu. Untunglah tanah di sekitar tempat itu sangat lembab, sehingga orang yang melintasinya akan meninggalkan bekas-bekas telapak kaki.
Karena semenjak berusia lima belas tahun ia telah sering bermain-main di sekitar desanya, maka tidak heran kalau Jiwala mengenai baik seluruh wilayah desa kekuasaan ayahnya itu. Ketika arah yang ditempuhnya mulai memasuki sebuah hutan kecil di sebelah Barat desa ini, ingatan Jiwala langsung tertuju pada sebuah pondok sederhana, tempat yang sering digunakan untuk melepas lelati setelah berburu.
Jiwala dengan cekatan menghubung-hubungkan segala sesuatu penemuannya, segera timbul rasa cemas dalam dirinya terhadap nasib yang menimpa kekasihnya. Sejenak pemuda itu memejamkan matanya, takut membayangkan kalau dugaannya itu menjadi kenyataan. Segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu, meskipun semua yang ditemukannya mendekati ciri-ciri dugaannya.
"Heyaaa...!" kecemasannya yang semakin hebat itu, membuat Jiwala membedal kudanya sambil memukul keras bagian belakang tubuh binatang tunggangannya itu. Sehingga, kudanya melonjak kaget dan langsung melesat menerobos jalan setapak, yang di kiri-kanannya banyak menjulur dahan-dahan pohon
Bagaikan orang yang hilang ingatan, pemuda itu membedal kudanya sambil mengobat-abitkan pedang untuk menghalau semak belukar di kiri-kanannya. Tidak dipedulikannya duri-duri halus yang menggores lengan dan tubuhnya. Karena yang terlintas dalam benaknya, segera menemukan Arum.
Setibanya di halaman sebuah gubuk kayu, yang tampak rusak di sana-sini karena hampir tidak terpakai lagi, Jiwala melompat turun dari atas punggung kudanya. Dengan pedang telanjang, pemuda itu melangkah hati-hati mendekati pintu pondok yang setengah terbuka. Hati Jiwala bergemuruh bagai ombak di lautan ketika melihat adanya tanda-tanda penghuni di dalam gubuk setengah reyot itu. Semua itu tampak dari Jejak-jejak baru yang tertinggal dilantai papan dengan gubuk itu.
Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar rombongannya segera menyebar dan mengepung gubuk kayu itu. Setelah gubuk itu dikepung ketat, Jiwala langsung mendobrak pintu kayu itu dengan sebuah tendangan keras. Terdengar suara berderak ribut ketika tendangan Jiwala menghancurkan pintu kayu gubuk itu. Sedangkan pemuda itu sendiri langsung melompat dan menjejakkan kedua kakinya ruangan ditengah. Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan tubuhnya hampir terlompat keluar ketika menyaksikan apa yang terjadi di tengah gubuk itu.
"Arum...!"
Bagaikan orang yang hilang ingatan, Jiwala berteriak melengking menyaksikan pemandangan yang terpampang didepan matanya. Kulit wajah pemuda itu tampak merah dan pucat. Giginya bergemeletukan menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. Sehingga, Jiwala sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya saat itu. Empat langkah di depannya, tampak tubuh kekasihnya tergeletak dengan kain yang tidak karuan. Sementara wajah gadis itu terlihat pucat dan kusut. Jelas, kalau kekasihnya itu telah mengalami suatu kejadian yang sangat mengerikan! Dan, apa yang diduganya tidak meleset sama sekali!
Bagaikan harimau luka, Jiwala meraung keras. Entah menangis atau berteriak marah. Karena suara yang keluar dari kerongkongannya terdengar seperti rintihan, dan teriakan marah. Semua itu akibat pukulan batin yang terlampau berat dialaminya.
Belasan orang pengikut Jiwala terkejut mendengar suara raungan keras itu. Beberapa di antara mereka yang pemberani, langsung berlompatan masuk. Karena mereka mengkhawatirkan sesuatu yang menimpa putra kepala desanya. Ketika mereka tiba di ruangan tengah, ternyata yang dilihatnya tubuh Jiwala, tengah terbungkuk dan mendekap tubuh seorang wanita.
"Den...," seorang di antara enam lelaki pengikut Jiwala itu, memberanikan diri menegur. "Lebih baik kita bawa saja tubuh Arum ke desa. Biar Ki Sukriya dan Ki Ringgo dapat memeriksanya. Siapa tahu Arum masih bisa disembuhkan. Bukankah ia masih hidup?" Tanya lelaki berkumis lebat itu ragu-ragu.
Jiwala terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. Dengan tubuh yang tegang, pemuda itu bangkit perlahan. Meskipun tidak ada suara isak yang keluar dari kerongkongannya, namun jelas Jiwala mengalami kesedihan yang sangat hebat. Tercermin dari butir-butir air bening yang membasahi wajahnya.
"Bangsat keji...! Biadaaab...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, tiba-tiba Jiwala berteriak mengguntur, dan langsung melompat ke arah dinding kayu pondok itu. Tanpa peduli dengan pandangan heran serta cemas para pengikutnya, pemuda itu mengamuk seperti ingin merobohkan gubuk tua itu.
Sadar kalau tidak segera bertindak cepat tubuh Arum bisa terkena pecahan-pecahan kayu yang berhamburan, maka para pengikut Jiwala pun segera membawa tubuh gadis desa yang malang itu keluar. Lalu, membaringkannya di atas rerumputan tebal di bawah sebatang pohon besar. Tidak berapa lama kemudian, di antara gemuruhnya suara pondok yang hendak roboh itu, melesat bayangan Jiwala menerobos kepingan-kepingan kayu. Kemudian, tubuh pemuda itu terjatuh dengan bertumpukan pada kedua lututnya. Sedangkan sekujur tubuhnya terlihat bersimbah peluh.
"Den...," lelaki gemuk berkumis tebal yang merupakan pembantu setianya itu, bergegas menangkap tubuh Jiwala yang tiba-tiba saja roboh ketanah.
Jiwala yang melampiaskan kesedihan dan kemarahannya terhadap kejadian yang menimpa kekasihnya itu, telah kehabisan tenaga. Meskipun lelaki berkumis tebal itu berusaha membantunya bangkit, namun kedua kaki pemuda itu tidak juga mau tegak. Terpaksa tubuh majikan mudanya itu dipondong, dinaikkan ke punggung kudanya dengan posisi tengkurap.
Lelaki berkumis lebat itu, segera mengambil alih pimpilnan rombongan, dan bergerak meninggalkan pondok tua yang telah hancur diamuk Jiwala. Sedangkan Arum yang sudah menjadi mayat itu, dinaikkan ke atas punggung kuda lainnya. Lalu, rombongan itu bergerak menuju desa.
Ki Ringgo yang telah tiba di desa lebih awal, langsung menyambut kedatangan rombongan putra sulungnya. Wajah orang tua itu mengelam ketika menyaksikan dua sosok tubuh tergantung lemah di atas punggung kuda. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tua gagah itu segera memerintahkan pembantu-pembantunya untuk mengangkat tubuh Jiwala dan Arum ke dalam bangunan rumahnya. Hati Kepala Desa Magetan geram sekali ketika mengetahui apa yang telah menimpa Arum, sebelum gadis itu tewas. Wajah lelaki tua yang masih nampak gagah itu menjadi keruh. Sorot matanya tampak tajam dan menyiratkan kemarahan yang terpendam dihatinya.
"Apa yang kau ketahui dari kejadian yang menimpa kekasihmu ini, Jiwala? Apa kau tidak menemukan tanda-tanda yang mungkin dapat menunjukkan pelaku yang bertindak biadab ini?" Tanya Ki Ringgo menatap tajam wajah putranya yang pucat itu.
Jiwala yang telah disadarkan ayahnya, sejenak menundukkan kepala dengan helaan napas berat. Ditekannya rasa sakit dalam dadanya dengan tarikan napas panjang. "Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ayah. Sebab, tidak ada sesuatu tanda-tanda di tempat itu yang bisa dijadikan petunjuk. Ini pasti bukan ulah orang-orang desa, Ayah," jawab Jiwala menatap orang tuanya dengan wajah sayu.
"Hm..., mungkin tanpa sepengetahuan kita, desa ini telah kedatangan seorang penjahat cabul. Dan, secara kebetulan ia melihat Arum berjalan seorang diri setelah mencuci di sungai. Gadis malang ini pasti diseret dan dibawa dengan paksa ke gubuk di tengah hutan ini," ujar Ki Ringgo dengan wajah muram. Sejenak lelaki tua itu menoleh ke arah pembantu yang bertubuh kekar dan bercambang bauk lebat.
"Sepengetahuanku, selama Aki dan Den Jiwa pergi, desa ini tidak kedatangan tamu dari luar. Jadi kalau memang ada dugaan tindakan biadab itu dilakukan oleh orang asing, tentu ia kebetulan lewat dan tidak mungkin singgah di Desa Magetan ini," sahut lelaki bertubuh kekar itu tanpa ditanya lagi. Karena selama kepergian kedua majikannya itu, ia dilimpakan wewenang untuk memimpin desa.
Pada saat mereka tengah berbincang-bincang, seorang lelaki setengah baya menerobos masuk dengan wajah bersimbah peluh. Dari deru napasnya yang tersengal- sengal, dapat diduga kalau orang tua itu datang dengan berlari-lari. Dan, lelaki tua itu tidak lain ayahnya Arum, Ki Sukriya.
"Mana..., mana anakku...?" Ki Sukriya langsung berteriak-teriak sambii mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tengah itu. Dan, ketika di sudut sebelah kiri ruangan itu matanya melihat sesosok tubuh tertutup kain putih, orang tua itu segera menghambur dan menyingkapnya. Kemudian, terdengar suara keluhan dan rintihannya yang tertahan. Arum adalah anak petani itu satu-satunya, dan yang menjadi tumpuan hidup mereka di hari tua.
"Sudahlah, Ki. Meskipun kejadian ini tidak seorang pun yang mengetahuinya, tapi aku bertekad untuk mencari manusia keji itu. Dan, aku berjanji akan menghukum manusia bejad itu," ucap Ki Ringgo sambil menepuk perlahan punggung Ki Sukriya.
"Aku ikut, Ayah...," Jiwala langsung menyahuti begitu mendengar niat ayahnya.
"Tidak, Jiwala. Biar aku saja yang pergi. Sebab, aku tidak ingin kejadian seperti ini sampai terulang lagi di desa kita. Dan, selama kapergianku, kuharap kau dan Wisna dapat menjaga keamanan dan ketenteraman desa kita ini," jawab Ki Ringgo dengan nada yang tidak ingin dibantah. Dan, Jiwala pun mengerti, sehingga ia tidak memaksakan kehendaknya. Apalagi alasan yang dikemukakan orang tua itu memang sangat tepat.
"Kapan Ayah berangkat?!" Lanjut Jiwala tanpa maksud-maksud tersembunyi.
"Hari ini juga. Sebab, menilik dari keadaan mayat Arum, pasti orang yang melakukan kebiadaban itu belum pergi jauh. Dengan berangkat secepatnya, aku berharap dapat menyusulnya. Dan, kalau me-mang diperlukan, aku akan minta pertolongan kawan-kawan dari rimba persilatan," jawab Ki Ringgo yang segera melangkah keluar untuk menyiapkan kudanya, setelah menyiapkan perbekalan yang diperlukannya dalam perjalanan panjang itu.
"Percayalah, Ki. Aku akan berusaha membekuk bangsat keji itu...," kembali Ki Ringgo menghibur orang tua Arum, yang tengah duduk termenung seperti orang hilang ingatan.
Bahkan ketika Ki Ringgo pamit, Ki Sukriya masih tetap membisu seolah-olah tidak memperhatikan lagi keadaan sekelilingnya. Setelah Ki Ringgo lenyap, Jiwala mengajaknya menguburkan mayat Arum, dan orang tua itu pun bangkit dengan langkah lesu.
Sore itu juga, Jiwala dengan dibantu lelaki bercambang bauk bernama Wisna, segera menyiapkan penguburan. Atas persetujuan Ki Sukriya, Jiwala menanam tubuh kekasihnya di halaman belakang gedung ayahnya.
Alam mulai diselimuti kegelapan, ketika upacara penguburan itu selesai. Hanya angin dingin dan suara binatang malam yang masih menemani makam Arum. Sedang orang-orang yang mengantarnya keperistirahatan terakhir, ayahnya dan Jiwala telah kembali ke rumah masing-masing.
"Hm..., kali ini bidikanku pasti tidak akan meleset...," gumam sosok bertubuh ramping dan berambut panjang, seraya membidikkan anak panahnya ke tubuh seekor kijang muda.
Twingngng!
Anak panah yang terlepas dari busurnya itu, langsung melesat dengan suara berdesing nyaring, dan menuju sasarannya. Sayang, kijang muda yang tengah melepaskan dahaga di sebuah aliran sungai itu, sepertinya tahu bahaya yang tengah mengancamnya. Seketika itu juga, la langsung terlonjak, dan melesat dengan kecepatan kilat. Lalu, menghilang di balik gerombolan semak belukar.
"Kurang ajar...!" desis sosok tubuh ramping itu mengumpat dengan wajah masam. "Rupanya hari ini nasibku sedang sial. Sudah lebih dari tiga kali membidik kijang, tapi aku gagal," sambil tak henti-hentinya mengumpat, sosok ramping yang ternyata seorang gadis muda itu, bergegas keluar dari balik sebuah pohon besar.
"Sabarlah, Den Ayu," hibur salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan nada hormat. Menilik dari sikap dan nada bicaranya, jelas lelaki itu seorang pembantunya.
"Paman yakin kalau bidikan Den ayu sudah tepat sasarannya, dan pasti tidak akan meleset," sambung lelaki yang satunya lagi ikut menyahuti.
"Kalau begitu, bagaimana dengan tempat yang pernah Paman ceritakan kepadaku? Bukankah di lembah sebelah Selatan hutan ini banyak terdapat binatang buruan? Mengapa kita tidak ke tempat itu saja? Ujar gadis berambut panjang dan berwajah cantik itu mengingatkan janji salah seorang pembantunya. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, ia segera melangkah mendahuluinya.
Kedua orang lelaki yang usianya tidak berjauhan itu, saling bertukar pandang sejenak. Nyata sekali kebimbangan di wajah mereka. Bahkan, ada kegelisahan dalam sorot mata kedua lelaki itu ketika melihat gadis junjungannya itu sudah melangkah lebih dulu.
"Salahmu, Bawung. Mengapa tempat berbahaya seperti itu kau ceritakan kepada junjungan kita? Bagaimana kalau dia berkeras akan ke Sana? Kepala kita bisa terpisah dari badan, kelau sampai terjadi sesuatu dengan Gusti Ayu!" jelas lelaki bertubuh sedang yang wajahnya ditumbuhi kumis jarang.
Orang dipanggil dengan nama Bawung itu tidak membela diri. Kerena ia memang merasa bersalah, dan tidak mau mengingkari. Hanya saja wajah lelaki yang tinggi dan agak kurus itu, manjadi gelap dan resah.
"Hei, mengapa kalian diam saja? Ayo, cepat...!" gadis cantik yang disebut-sebut sebagai Gusti Ayu itu, berseru ke arah kedua orang pembantunya.
Lelaki yang bernama Bawung, bergegas mendahului kawannya. Kemudian, ia langsung saja memohon maaf kepada junjungannya itu. Bawung tidak berusaha sama sekali menyembunyikan kegelisahannya. Dengan begitu, ia berharap dapat mencegah niat Gusti Ayunya itu.
"Ada apa, Bawung? Mengapa kau seperti orang terserang demam?" Tegur gadis cantik bermata galak itu yang merasa heran melihat kegelisahan pembantunya.
"Anu, maaf, Gusti Ayu. Tempat itu..., terlalu berbahaya. Kabarnya tempat itu telah didiami segerombolan perampok kejam. Jadi, bagaimana kalau kita mencari tempat lain saja?" ujar Bawung mengusulkan.
"Kalau memang ada tempat yang lain, boleh saja, Paman," sahut gadis cantik yang berambut panjang itu tersenyum, sekadar untuk menenangkan perasaan pembantunya.
"Tapi..., untuk hari ini, aku belum bisa menunjukkannya, Gusti Ayu. Sebab, tempat Itu... tempat itu...," Bawung tidak bisa melanjutkan ucapannya. Kerena niatnya hanya untuk mengalihkan perhatian junjungannya saja. Maka, ketika didesak, lelaki berkumis jarang itupun, hanya dapat tersenyum kecut.
"Kalau begitu, kita tetap ke tujuan semula...," tegas gadis cantik itu sambil melangkah melewati Bawung.
"Tapi..., Gusti Ayu...," Bawung masih berusaha mencegah keinginan junjungannya itu, sambil beelari dan mencoba kembali membujuknya.
"Sudah! Kalau kalian berdua takut, aku bisa pergi sendiri." Tiba-tiba saja gadis cantik itu mendamprat pembantunya dengan nada ketus. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia terus mengayun langkahnya.
Bawung dan Gumpita terpaksa mengikuti langkah Gusti Ayu meski dengan perasaan cemas. Karena ikut atau tidak kemungkinannya sama saja bagi mereka berdua. Sehingga, mau tidak mau kedua lelaki itu menguntit di belakang junjungannya itu.
"Berhenti...!"
Ketika ketiganya mulai melintasi daerah perbukitan, mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring yang menggetarkan. Belum lagi ketiganya sempat menyadari, sosok-sosok bayangan hitam berlompatan dari balik batu dan atas pohon. Sekejap kemu-dian, ketiganya telah terkepung puluhan lelaki kasar yang berpakaian lusuh.
"Hm..., rupanya hari ini aku ketiban untung besar. Pantas saja semalam aku bermimpi memeluk rembulan. Aiiih, tidak tahunya pertanda datangnya seorang dewi ke tempatku ini," salah seorang lelaki bertampang kasar itu berkata sambii melangkah ke arah gadis cantik bermata galak itu. Kemudian, langsung menguturkan tangan dengan maksud hendak menyentuh wajah gadis itu.
"Hm..., mau apa kau, Orang Kasar?" Ujar gadis cantik itu dengan suara ketus, sambil menarik mundur tubuhnya sejauh dua langkah. Sehingga, uluran tangan lelaki itu tidak sampai menjangkaunya.
"Eh!?" Lelaki kasar yang memimpin puluhan orang itu, sempat terkejut ketika uluran tangannya luput. Padahal, meskipun terlihat sembarangan, namun jarang ia melihat orang yang mampu untuk menghindari uluran tangannya itu. Karena, bagi orang biasa, uluran tangan lelaki itu terlihat cepat dan sukar ditangkap mata.
"Huh! Kau akan lebih terkejut lagi bila tahu dengan siapa kau sedang berhadapan saat ini!" ucap gadis cantik itu lagi mencoba untuk menggertak lelaki kasar itu. Bahkan bibirnya yang merah, tampak menyunggingkan senyum sinis.
"He he he..., jangan coba-coba untuk menggertakku, gadis cantik. Justru karena kau putri Adipati Sunggara, maka aku sengaja menghadang di sini. Dengan kau berada ditanganku, maka tua bangka itu tidak dapat lagi berbuat semaunya, mengirim pasukan untuk memberantas dan mengusir pergi kami dari daerah ini. Dan, ia pun harus mau menerimaku sebagai menantunya," sahut lelaki kasar yang rupanya seorang kepala rampok sambil terkekeh serak.
"Hik hik hik...! Dasar orang hutan! Apa kau kira mudah menangkapku? Hm! Jangan-jangan justru kau sendiri yang akan terpanggang anak panahku ini," ujar gadis cantik tidak mau kalah gertak. Usai berkata demikian, ia langsung menarik tali busurnya.
Namun, lelaki bertubuh tinggi kekar dan berambut acak-acakan itu, sama sekali tidak merasa gentar. Sambil memperdengarkan tawa seraknya, kedua tangannya bergerak memberikan isyarat agar segera menyerbu ketiga orang itu.
Tanpa diperintah dua kali, gerombolan perampok yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu, langsung meluruk maju. Mereka berteriak-teriak seperti sekumpulan monyet lapar yang dilemparkan pisang.
Namun, gadis cantik yang ternyata putri Adipati Sunggara itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dua buah anak panah yang terpasang di busurnya segera melesat, dan menembus leher dua orang perampok, yang langsung berkelojotan tewas. Karena tidak mungkin menggunakan panahnya karena musuhnya kian dekat, maka gadis itu pun mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya.
Swingngng!
Terdengar suara berdesing ketika senjata itu tercabut keluar dari sarungnya. Kemudian, diputar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan sinar, yang bergulung-gulung dengan hebatnya.
"He he he.... Ayo, mari perlihatkan kepandaianmu di hadapan Raja Kera Kulit Baja, Manisku...," ujar lelaki kekar berambut acak-acakan itu menyeringai buas. Sekali lompat saja, tubuh kekar itu telah berdiri didepan gadis cantik itu.
"Haiitt...!"
Si gadis yang sadar kalau lelaki itu tidak mungkin lagi untuk diajak damai, berseru nyaring dan langsung menusukkan pedangnya dengan kecepatan kilat!
Whuuut!
Serangkum angin tajam berdesing mengiringi luncuran ujung pedang gadis cantik itu, yang mengancam lambung kanan lawannya.
Takkk!
"Aaah...!"
Terkejut bukan main hati gadis itu ketika merasakan ujung pedangnya benar-benar seperti membentur lempengan baja. Bukan hanya tubuh lawannya yang tidak terluka, tapi lengannya yang digunakan untuk menyerang terasa nyeri hingga ke pangkal lengannya. Tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya.
"He he he.... Mengapa terkejut, Manis? Ayo, puaskan hatimu. Dan, kau boleh pilih bagian yang paling lunak," ejek Raja Kera Kulit Baja sambil memperdengarkan kekehnya yang serak.
"Keparat! Jangan merasa sombong dulu kau, Monyet Kudisan!" maki gadis cantik itu yang merasa jengkel mendengar ejekan lawannya.
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, tubuh gadis itu kembali meluncur ke arah lawannya. Pe-dang di tangannya menyambar-nyambar ke sekeliling tubuh lawannya. Jelas, kalau gadis cantik itu tengah berusaha mencari bagian terlemah di tubuh lawannya. Namun, sampai lewat dua puluh jurus, ia belum juga berhasil mengetahui kelemahan di tubuh Raja Kera Kulit Baja. Sehingga, serangan-serangannya pun tampak mulai mengendur.
Sedangkan lawannya hanya tertawa terkekeh serak, sambil sesekali membalas serangan lawannya. Semenjak pertama kepala rampok itu memang sengaja tidak membalas serangan lawannya. la hanya mengelak jika bagian matanya diincar ujung pedang gadis itu. Sedangkan bagian-bagian lainnya, sama sekali tidak dipedulikan. Dan, ketika tenaga gadis itu mulai terlihat surut, Raja Kera Kulit Baja mulai meluncurkan serangan-serangannya.
Whuuut! Whuuut!
Sepasang tangan kepala rampok yang panjang itu seperti tangan seekor gorila, menyambar-nyambar dengan cengkeraman atau totokan-totokan cepat. Sehingga, semakin lama, makin bertambah sibuklah gadis itu menghindari serangan lawannya. Sedang serangan-serangan balasannya tidak mempunyai arti sama sekali. Karena kekebalan tubuh yang dimiliki lawannya seolah-olah tidak mempunyai kelemahan. Itu yang menyulitkan putri Adipati Surangga. Maka, ia pun terpaksa harus pasrah untuk didesak lawannya.
Di tempat lain, Bawung dan Gumpita tampak menderita luka di sekujur tubuhnya. Kedua orang lelaki gagah yang bertugas menjaga keselamatan putri junjungannya itu, bertarung seperti banteng luka. Pedang di tangan keduanya menyambar-nyambar bagaikan tangan-tangan maut, yang siap mengirim nyawa lawannya melayat ke akhirat.
Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan dirinya, namun kedua orang pengawal setia itu, terpaksa harus menyerah setelah bertempur hampir seratus jurus. Itu pun terjadi karena mereka hampir kehabisan tenaga. Sehingga, terpaksa mereka harus merasa puas dengan korban-korban senjata mereka yang tidak kurang dari delapan orang lawan.
Bawung dan Gumpita menjerit setinggi langit, ketika masing-masing tubuh mereka ditusuk empat batang senjata dari segala arah! Darah segar memercik dan membasahi bumi seiring dengan terbangnya nyawa kedua orang pengawal setia putri Ambar Sukma itu. Tubuh keduanya melorot ke tanah dengan mata terbelalak lebar.
"Bawung...! Gumpita...!" gadis cantik itu berteriak kaget ketika mendengar jerit kematian kedua orang pengawalnya. Sementara, ia sendiri tengah berjuang keras untuk menyelamatkan dirinya dari serangan Raja Kera Kulit Baja, yang terus menyambar-nyambar mengincar tubuhnya.
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, gadis cantik bernama Ambar Sukma itu, memekik tertahan. Dan pedang di tangannya terpental akibat sampokan telapak tangan lawannya. Belum lagj gadis cantik itu sempat menyadari bahaya, tiba-tiba pinggangnya telah kena cekal. Lalu, tubuhnya diangkat tinggi-tinggi oleh lawannya.
"Aaah...!"
Ambar Sukma menjerit ngeri. Tapi, jeritan itu bukan karena rasa takut akan kematian, melainkan disebabkan cekalan jari-jari tangan Iawan pada pinggangnya. Sehingga, tubuh putri Adipati Surangga itu gemetar ketakutan.
"He he he.... Sekarang kau tahu bukan, kalau Raja Kera Kulit Baja seorang lelaki perkasa. Nah setelah kau mengetahui, apakah kau masih ingin menolak? Atau kau lebih suka kalau aku melakukan paksaan?" ujar lelaki kepala rampok itu menyeringai dari meneteskan air liur bagaikan binatang lapar.
"Lepaskan gadis itu...!"
Belum lagi Ambar Sukma menjawab ancaman kepala rampok itu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan yang menggetarkan. Bahkan, rasa ngeri yang dialami gadis itu sampai lupa. la menolehkan kepalanya dengan wajah penuh harap.
Raja Kera Kulit Baja pun menoleh ke arah asal suara dengan kening berkerut gusar. Seringainya yang semula lenyap karena bentakan keras tadi, kembali melebar. Karena yang dilihatnya hanyalah seorang pemuda tampan berpakaian mewah. Karuan saja kepala rampok itu memperdengarkan suara tawa mengandung ejekan. Kemudian kembali melanjutkan perbuatannya tanpa mempedulikan ke-hadiran pemuda tampan itu.
Namun, lelaki tinggi besar dengan tubuh dipenuhi otot yang menyembul itu menoleh penuh kegeraman. Ketika ia mendengar jerit kematian yang membuatnya menjadi murka. Menolehkan kepalanya nampak sesosok tubuh melayang ke arahnya. Tanpa pikir panjang lagi, disambutnya luncuran sosok tubuh itu dengan hantaman telapak tangannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Buggg!
Kepala rampok bertubuh kekar itu merasa heran. Karena hantaman telapak tangan mengenai sosok tubuh itu, namun tak sedikit pun sosok tubuh itu mengeluh apa-apa. Padahal jelas sosok tubuh itu terlempar dengan semburan darah segar dari mulutnya. Belum lagi rasa keheranan kepala rampok itu lenyap, kembali ia dikejutkan oleh sambaran angin tajam, yang berasal dari sebelah belakangnya. Sadar kalau serangan itu tidak bisa dipandang ringan, Raja Kera Kulit Baja bergegas menarik tubuhnya ke samping dengan langkah silang, dan setengah berputar.
Bukkk!
"Aaaih...!"
Kaget bukan main hati kepala rampok itu! Karena usahanya untuk menghindar sia-sia, dan tetap saja terkena tendangan keras yang membuatnya mundur sampai menyeringai dan mengusap-usap dadanya. Kemarahan Raja Kera Kulit Baja semakin bertam-bah meluap ketika gadis cantik yang berada dalam cekalannya, tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan, kini ia berada dalam kekuasaan pemuda tampan yang memperingatkannya agar melepaskan Ambar Sukma. Karuan saja darah lelaki kekar berwajah kasar mendidih dibuatnya.
"Keparat..!" desis Raja Kera sambil menolehkan kepalanya untuk memastikan orang yang dihantam dengan telapak tangannya. Sebab, pemuda itu ternyata telah berhasil membebaskan gadis cantik yang menjadi tawanannya.
"Setan...!"
Kali ini kemurkaan kepala rampok itu benar-benar sudah melewati batas! Karena sosok tubuh yang disambutnya dengan hantaman telapak tangannya, ternyata salah seorang pengikutnya sendiri. Dan, orang itu tewas seketika. Entah karena hantaman telapak tangannya, atau memang telah tewas sewaktu melayang ke arahnya. Tapi, Raja Kera Kulit Baja tidak mau ambil peduli. Yang kini menjadi perhatiannya untuk menumpahkan kemarahannya itu, justru pemuda tampan berpakaian mewah, yang kini membalas menatapnya dengan tidak kalah tajam.
Ha ha ha.... Mengapa terkejut, Raja Beruk...?" tegur pemuda tampan itu sambii memperdengarkan suara tawanya yang lunak. Wajah tampan itu tampak semakin menarik ketika la tengah tertawa.
Sehingga, mau tidak mau Ambar Sukma yang berada di samping pemuda tampan itu menatap penuh kagum. Sedangkan kepala rampok itu sendiri, sudah menggereng bagai binatang luka. Tampak tubuhnya mulai direndahkan, persis seperti seekor kera besar yang sedang murka. Sesekali tubuh kekar itu melompat-lompat sambil menggaruk dan berteriak-teriak.
Ambar Sukma yang melihat tingkah-laku kepala rampok itu, tak dapat menahan tawanya. Karena apa yang dilakukan lelaki kekar itu benar-benar sangat lucu dan menggelikan hatinya. Sedangkan kening pemuda tampan itu tampak berkerut, dan menatap penuh perhatian. la sama sekali tidak tertawa sebagaimana halnya Ambar Sukma.
"Jurus Kera Gila...," desis bibir pemuda itu tetap tidak menunjukkan rasa gentar, meski keningnya masih berkerut.
"Jurus Kera Gila...? Eh, kau mengenal gerakan monyet buruk itu, Kisanak? Ah, betapa tololnya aku. Kukira semua gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan dan tidak bermakna," gumam Ambar Sukma dengan wajah keheranan. Bahkan, suara tawanya pun lenyap, dan berganti dengan kekhawatiran. "Kita lari saja. Monyet buruk itu memiliki kepandaian yang tinggi, dan kebal terhadap senjata tajam. Aku takut kau celaka nanti, hanya ingin menolongku...," lanjut gadis cantik itu mengusulkan.
"Ah, terimakasih atas kecemasanmu terhadap diriku, Gusti Ayu. Tapi, demi keselamatan Gusti Ayu yang kupuja dan kujunjung tinggi, rasanya mati adalah suatu kehormatan besar bagiku. Apalagi Gusti Ayu berada disampingku. Ah, tidak ada lagi yang bisa membuat Pradipta gentar, kendati harus menghadapi malaikat maut sekalipun!" sahut pemuda tampan tersenyum, sambil menoleh dan menatap wajah cantik Ambar Sukma.
Terkejut dan juga bangga hati Ambar Sukma mendengar kata-kata yang diucapkan pemuda tampan itu. Namun, sebagai seorang putri Adipati, tentu saja perangai Ambar Sukma tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis umumnya. Apalagi ia sudah terbiasa dengan lingkungan orang-orang yang selalu tunduk dan mentaati perintahnya. Dan, kebiasaan itu membuatnya tak segan-segan mendesak pemuda tampan itu guna memberikan alasan yang tepat, sehubungan dengan ucapan-ucapannya.
"Jadi, hanya karena aku seorang putri Adipati, maka kau bersedia menolongku? Dengan kata lain, kau tidak akan bersedia menolong kalau aku hanya gadis biasa, begitu...?" Tanya Ambar Sukma seperti ingin mengetahui isi hati pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.
"Tidak, Gusti Ayu. Alasan yang sebenarnya, karena aku jatuh hati melihatmu. Dan, demi membela gadis yang telah mencuri hatiku, mati bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Maaf, kalau aku telah lancang, Gusti Ayu...," ucap pemuda tampan, yang ternyata Pradipta itu, dengan nada halus.
Ambar Sukma yang tidak mengenal sama sekali siapa sesungguhnya pemuda tampan itu, tentu saja hatinya berdebar girang. Namun, perasaan itu disembunyikan karena ia ingin mengetahui sampai sejauh mana rasa cinta pemuda itu. la tidak ingin pemuda itu mengetahui perasaannya, sebelum ia dapatmemastikan kesungguhan hatinya untuk mengorbankan nyawa demi membela gadis yang dipujanya.
"Hm..., kalau begitu, kau hadapilah Raja Kera Kulit Baja itu untuk membuktikan cintamu padaku...," ujar Ambar Sukma tanpa senyum. Seolah-olah pemuda itu adalah pembantunya, dan bukan penolongnya. Bahkan, sikap gadis cantik itu berubah. Sepertinya ingin menunjukkan siapa diri yang sebenarnya, dan pemuda seperti apa yang pantas mendampinginya.
Pradipta yang berjuluk si Kumbang Merah bukanlah orang bodoh. la sadar dengan keinginan dan maksud tersembunyi gadis cantik itu. Tapi, kali ini ia tentu saja tidak mau main-main. Sebab. Apabila ia bisa menarik gadis seperti Ambar Sukma ke dalam pelukannya, kehidupannya maupun martabatnya pasti akan naik. Maka, ketika mendengar ucapan Ambar Sukma Pradipta pun segera menyahuti.
"Baik, Gusti Ayu. Akan hamba hadapi manusia kera itu..." setelah berkata demikian, Pradipta melangkah maju menghampiri Raja Kera Kulit Baja. Kemudian berhenti dalam jarak sekitar satu tombak dengan tatapan tajam, diawasinya gerak-gerik lelaki kekar itu.
Raja Kera Kulit Baja pun membalas tatapan pemuda tampan itu dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, sepasang mata yang berwarna merah saga itu, menyiratkan hawa maut.
"Heaaat..!"
Dibarengi pekikan nyaring yang melengking tinggi, tubuh kekar itu melesat bagai kilat ke arah Pradipta. Sepasang tangannya, yang panjang dan ditumbuhi bulu- bulu kasar itu, menyambar-nyambar dan menimbulkan deruan angin yang tajam berkesiutan. Jelas, tenaga yang tersembunyi di dalam sepasang lengan itu sangat kuat dan berbahaya.
Pradipta tetap berdiri dengan tenang tanpa gerakan. Setelah memperhatikan tingkah laku dan gerakan-gerakan lelaki tinggi kekar itu, segera mengetahui inti ilmu silat lawannya. Maka, ketika lawannya melancarkan gebrakan, pemuda tampan itu hanya menggeser tubuhnya sedikit, dan langsung mengirimkan serangan balasan dengan tamparan-tamparan maut.
Terkejut bukan main hati Raja Kera ketika merasakan sambaran angin pukulan lawannya. Ia yang semula memandang rendah pemuda tampan itu, menjadi berdebar. Karena hatinya tidak tenang, maka lelaki kekar itu menjadi sibuk dan terdesak oleh serangan-serangan balasan lawannya yang mengandung kekuatan hebat itu. Namun, kepala rampok itu temyata tidak dapat disamakan dengan penjahat-penjahat kasar biasa. Begitu merasakan kelihaiannya, ia cepat merubah gerakannya. Serangan-serangannya kali ini tampak kacau dan aneh. Persis seperti kera buas yang sedang murka.
"Haaait..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke dua puluh satu, Raja Kera Kulit Baja mengeluarkan pekikan keras yang menggetarkan. Sepasang tangannya menyambar cepat, dan menimbulkan deruan angin yang tajam laksana sambaran pedang. Dan, langsung meluruk deras mengancam tubuh lawannya.
Whuuut! Whuuut!
Pradipta menarik mundur tubuhnya dengan langkah pendek. Sambaran cakar lawannya yang mengancam lambung dan tengkuknya, luput dan lewat sejengkal didepan tubuhnya.
"Hiaaah...!"
Gerakan Pradipta tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Mendadak bentakan nyaring dilontarkan pemuda itu, dan langsung memutar tubuhnya deng tendangan melingkar.
Bukkk!
Hebat dan sangat cepat sekali tendangan yang dilontarkan pemuda tampan itu! Tubuh lawannya terpental seketika. Karena telapak kaki pemuda itu menghantam telak dadanya. Namun, Kumbang Merah mau tidak mau harus mengakui kekebalan tubuh lawannya. Tendangannya yang keras dan menghantam telak, ternnyata hanya mampu membuat tubuh lelaki kekar itu terjajar mundur sejauh enam langkah.
Padahal, menurut perhitungan, tubuh lelaki itu harus terjungkal jatuh dan memuntahkan darah segar. Ternyata tidak dialami sama sekali oleh kepala rampok itu. Hanya gerengan gusar yang terdengar meluncur dari sela-sela bibirnya yang bergetar itu. Seperti tidak merasakan tendangan lawannya, lelaki kekar itu melompat dengan serangan yang lebih dahsyat dan berbahaya!
Tubuhnya yang tinggi besar itu, terkadang melompat-lompat seperti seekor kera gila. Bahkan, terkadang bergulingan di atas tanah, sambii melontarkan cengkeraman-cengkeraman yang berbahaya dan mengandung kekuatan yang bebat.
Kali ini Pradipta tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Kedua tangannya diputar cepat hingga menimbulkan sambaran angin yang menerbangkan dedaunan kering. Seketika itu juga, tubuhnya yang tegap melesat bagai kilat, dan langsung mengirimkan serangan-serangan dahsyat!
Bukan main terperanjatnya hati kepala rampok itu ketika merasakan serbuan lawannya. Tangan pemuda itu seolah-olah menjadi puluhan banyaknya. Sehingga, la bagaikan terkurung di dalam lingkaran serangan pemuda itu.
"Gila...! Setan...!" Raja Kera kulit Baja memaki kalang-kabut. Karena ruang geraknya semakin menyempit Bahkan, setiap kali melontarkan serangan balasan, sepasang tangannya selalu terpental. Seolah-olah tubuh lawannya telah dikelilingi oleh benteng yang sangat kokoh.
Pada saat pertarungan menginjak jurus yang ketiga puluh lima, Raja Kera Kulit Baja yang sudah tidak mampu lagi melontarkan serangan balasan, terpaksa merelakan tubuhnya digedor oleh telapak tangan lawannya yang mengandung kekuatan hebat itu. Maka...,
Blakkk!
"Hukh...!"
Raja Kera Kulit Baja mengeluh pendek ketika telapak tangan Kumbang Merah singgah di perutnya. Belum sempat ia mengatur posisi kudanya-kudanya, kembali sebuah pukulan Iawan menghantam telak dadanya.
Desss...!
"Huakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kekar itu langsung terlempar hingga dua tombak jauhnya. Darah segar menyembur dari dalam mulutnya. Lalu, tubuh raksasa itu terbanting dengan menimbulkan suara berdebuk keras. Namun, kepala rampok itu lagi-lagi menunjukkan kekuatan daya tahan tubuhnya. Meskipun darah di sudut bibirnya telah meleleh dan menyeringai kesakitan, namun lelaki itu berusaha bangkit dan berdiri dengan tatapan mata yang mengancam. Pradipta sendiri, tidak ingin memberikan peluang kepada lawannya. Saat Itu juga, langsung melesat tubuhnya dengan dorongan sepasang tangannya. Dan....
Blaggg...!
Hebat sekali akibat dorongan sepasang telapak tangan pemuda tampan itu! Tubuh Raja Kera Kulit Baja yang tinggi besar itu, tersentak bagai dilempar-kan tangan raksasa! Tubuh kekar itu melayang dan menghantam pohon sebesar dua pelukan orang dewasa!
Pohon besar itu berderak ribut, meskipun tidak roboh oleh benturan keras itu. Namun daun-daunnya langsung berguguran ke tanah, berbareng dengan melorotnya tubuh kekar Raja Kera Kulit Baja. Sepertinya tubuh kepala rampok itu tidak mungkin dapat bangkit lagi. Tubuh kekar itu tidak bergerak, kecuali suara rintihannya yang terdengar perlahan.
Pradipta berdiri tegak sambil menatap tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya itu. Diam-diam ia merasa sayang melihat tubuh yang mempunyai daya tahan yang hebat itu. Sejenak lelaki muda berwajah tampan, namun berhati licik itu, menunduk. Beberapa saat kemudian, ia kembali berdiri tegak, lalu melangkah menghampiri Ambar Sukma yang tidak jauh di belakangnya.
"Bagaimana? Apakah lelaki kurang ajar itu sudah tewas?" Tanya Ambar Sukma ketika melihat tubuh Raja Kera Kulit Baja sudah tidak bergerak-gerak lagi.
"Tenangkanlah hati Gusti Ayu. Kepala rampok itu sudah tidak akan mengganggu lagi," sahut Pradipta sambil sepasang matanya menatap lekat-lekat. Se-pertinya ia tengah menunggu ucapan lain yang akan keluar dari sela-sela bibir indah itu.
"Hm... ke mana tujuanmu, Pradipta?" kembali Ambar Sukma bertanya seperti sambil lalu, dan tidak menuntut jawaban pasti.
"Entahlah, Gusti Ayu. Tapi, kalau memang aku tidak diperlukan lagi, biarlah aku pamit..," ujar pemuda tampan itu sambil membalikkan tubuhnya dan melangkah gontai meninggalkan putri Ambar Sukma yang menjadi tertegun dibuatnya.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis cantik itu berdiri termangu dengan wajah bingung. la benar-benar tidak mengerti sifat pemuda tampan yang menolongnya itu. Padahal waktu pertama kali bertemu, jelas ia mendengar pemuda itu mengucapkan kata-kata cinta kepadanya. Lalu, mengapa ia pergi begitu saja. Seolah-olah Pradipta sudah lupa dengan apa yang yang diucapkannya.
Semula, Ambar Sukma mendiamkan saja keepergian penolongnya itu. Pikirannya baru berubah ketika ingatannya melayang bahwa pemuda seperti Pradipta itu sangat jarang ditemuinya. Seketika itu juga, timbul keinginan gadis cantik itu untuk mengetahui perasaan penolongnya lebih jauh lagi.
"Pradipta, tunggu...!"
Kumbang Merah yang memang sengaja melangkah perlahan, menghentikan ayunan kakinya. Namun, la tidak berusaha untuk menoleh ke arah Ambar Sukma. Karena ia masih merasa ragu dengan pendengarannya.
Ambar Sukma, yang masih tetap berdiri tegak itu, mengerutkan keningnya ketika melihat pemuda itu tidak menoleh. Lalu, ia segera memanggil nama pemuda itu, Pradipta pun menolehkan kepalanya, meski tidak berusaha untuk menghampiri.
Kedua orang Itu saling tatap dalam jarak lima tombak. Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya berdiri tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun. Juga, tidak satu pun dari mereka yang berusaha maju mendekat Sepertinya mereka masih saling menahan diri. Tidak lama kemudian, Pradipta melangkah perlahan dengan pandangan mata tetap tidak terlepas dari wajah Ambar Sukma. Langkah pemuda itu baru terhenti ketika jarak di antara mereka hanya tinggal setengah jangkauan tangan.
"Ada apa, Gusti Ayu...? Apakah aku masih diperlukan di sini?" Tanya pemuda tampan itu sambil menelusuri wajah cantik di hadapannya. Jelas sekali terlihat sepasang mata pemuda tampan itu menyiratkan sinar kekaguman yang tidak disembunyikannya. Pradipta memang sengaja ingin menunjukkan perasaannya kepada gadis itu.
Ambar Sukma bukannya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Pradipta. Maka, tanpa malu-malu lagi, ditentangnya pandangan mata pemuda itu. Perlahan-lahan senyum manis terukir di bibirnya. Pertanda putri Adipati Sunggara itu membalas perasaan hati Pradipta. Semua itu tercermin baik dalam pandangan matanya maupun raut wajahnya.
"Mengapa kau ingin pergi, Pradipta? Tidakkah kau ingin mengantarkan aku pulang ke kadipaten?" Tanya Ambar Sukma dengan senyum yang semakin melebar.
"Aku tidak berani, Gusti Ayu. Tapi kalau memang Gusti Ayu menginginkannya, tentu saja aku tidak bisa menolaknya. Bahkan, dengan senang hati aku akan mengawal hingga ke kadipaten," sahut Pradipta dengan wajah bersinar-sinar.
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu..?" ucap Ambar Sukma tertawa kecil.
"Silakan, Gusti Ayu...," ujar Pradipta menyisih. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya, dan mem-persilakan Ambar Sukma berjalan lebih dahulu.
Ambar Sukma tersenyum melihat lagak yang ditunjukkan Pradipta. Persis seperti seorang pelayan tulen yang siap mengantarkan majikannya. Sehingga, tawanya yang renyah pun kembali terdengar.
"Tidak perlu banyak peradatan, Pradipta. Kita jalan bersama saja seperti halnya dua orang sahabat, ayolah...," ajak Ambar Sukma yang segera melangkahkan kakinya tanpa terburu-buru.
"Gusti Ayu...," panggil Pradipta tiba-tiba dengan suara bergetar aneh. Sedangkan kakinya tetap tidak melangkah. Terlihat wajah pemuda itu tidak lagi seriang semula.
"Ada apa lagi...?" Tanya Ambar Sukma yang segera membalikkan tubuhnya dengan kening berkerut. Namun, hati gadis cantik itu menjadi berdebar ketika melihat wajah Pradipta agak pucat. Bahkan, ketika Ambar Sukma menatap tepat di kedua bola mata pemuda itu, ia melihat pancaran sinar aneh yang membuat hatinya bergetar. Dan, ia tahu makna sorot mata pemuda itu. Sambil menekan debaran dalam dadanya, Ambar Sukma mencoba tersenyum meski dadanya dirasakan berdebar tak karuan. Dan, ia berusaha tetap bersikap wajar. Seolah tidak tahu perasaan yang dialami pemuda itu.
"Ada apa, Pradipta? Mengapa sikapmu tampak aneh? Apakah kau tidak bersedia mengantarkan aku? Katakanlah? Kalau memang kau keberatan, biarlah aku pulang sendiri," ujar Ambar Sukma ketika jarak di antar mereka, hanya terpisah tiga langkah.
"Ah, bukan..., bukan itu, Gusti Ayu.... Tapi, aku... aku..., ingin menanyakan sesuatu kepada Gusti Ayu. Dan, aku harap agar Gusti Ayu tidak menjadi marah karenanya," dengan pandainya Pradipta menyembunyikan sifat-sifat di hadapan gadis cantik itu. Sehingga, baik lagak maupun mimik wajahnya, mengesankan seorang pemuda hijau yang sama sekali belum berpengalaman. Padahal, semua itu merupakan sandiwara saja. Karena semua yang dilakukannya semata-mata ingin menjerat putri Adipati Sunggara.
"Sampaikanlah, Pradipta. Kalau memang apa yang kau ucapkan itu bukan penghinaan, mengapa aku harus marah? Lagi pula kau adalah penolongku Dan, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada diriku, jika kau tidak datang menolong?" sahut Ambar Sukma mencoba bersikap wajar, meskipun debaran dalam dadanya kian bergemuruh. Menilik dari sikapnya dan nada suara pemuda itu, ia dapat menebak apa yang akan diucapkan Pradipta kepadanya.
"Betul Gusti Ayu tidak marah...?" tegas pemuda itu dengan Bngkah yang kian gelisah. Bahkan, terlihat beberapa kali pemuda itu menundukkan wajahnya, sambii menggoyang-goyangkan kakinya kesana-kemari. Sehingga, Ambar Sukma terpaksa menahan tawanya agar tidak menyinggung perasaan penolongnya itu.
"Katakanlah Aku berjanji tidak akan marah...," sahut Ambar Sukma seraya menahan senyumnya.
"Gusti Ayu..., sebenarnya..., sejak pertama melihatmu, aku... aku telah jatuh hati kepadamu. Tapi, terus terang semua ini tidak ada hubungannya de-ngan kesediaanku mengantarkan Gusti Ayu ke kadipaten. Maaf, kalau pernyataanku membuatmu terkejut... Sekali lagi aku mohon maaf...," ujar Pradipta dengan suara menggeletar, dan tarikan napas berkali-kali. Seolah-olah apa yang disampaikannya itu merupakan sesuatu yang sangat sulit dan berat terucapkan. Sikap Pradipta nampak tenang kembali setelah apa yang mengganjal di hatinya, telah diucapkan meski suaranya terdengar gugup, dan patah-patah.
Ambar Sukma sendiri tidak terlalu terkejut, namun wajahnya terlihat berubah sekilas. Senyum di wajah cantik itu semakin melebar. Dan, sepasang mata yang indah menyiratkan sinar kebahagiaan. Namun, semua itu berusaha ditutupinya.
"Setelah melihatku dan jatuh hati kepadaku. Lalu, apa yang kau inginkan selanjutnya? Apakah kau ingin pergi meninggalkan aku, karena aku putri seorang adipati?" ucap Ambar sukma yang sikapnya sudah tenang dan riang. Sehingga, gadis cantik itu berani mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya saat itu.
Pertanyaan yang meluncur dari bibir gadis cantik itu, tentu saja sempat membuat gelagapan lelaki muda yang berjuluk Kumbang Merah itu. Karena, apa yang ditanyakan Ambar Sukma sama sekali di luar perhitungan Pradipta. Sehingga, untuk sesaat lamanya, pemuda itu hanya berdiri dengan wajah bingung, dan tidak mampu mengucap sepatah kata pun.
Pradipta sama sekali tidak mengetahui, kalau sifat gadis itu tidak dapat disamakan dengan putri-putri istana lainnya. Sikapnya yang bebas dan terkadang ugal-ugalan itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, semenjak kecil putri Adipati Sunggara itu lebih suka bergaul dengan orang-orang persilatan, yang mengabdi di kepada ayahnya ketimbang dengan pelayan-pelayannya.
Dan, Adipati Sunggara sendiri tahu akan sifat putri tunggalnya. Sehingga, orang tua itu membicarakan apa yang menjadi kesenangan putrinya. Bahkan, Adipati Sunggara mengizinkan putrinya untuk mempelajari ilmu silat dari tokoh-tokoh Kadipaten. Itulah sebabnya, sikap putri Adipati Sunggara berbeda sekali dengan putri-putri pejabat kadipaten kebanyakan.
"Gusti Ayu. Kau tidak buta, dan bisa meniadakan jurang pemisah di antara kita. Meskipun demikian, aku telah mencoba mengutarakan apa yang mengganjal di hatiku. Barulah hariku merasa lega dan tenang. Walau sebenarnya aku ingin selalu berada di dekatmu, dan mengawalmu ke mana saja. Maaf, kalau semua ini terpaksa kusampaikan," saat mengucapkan kata-kata itu, Pradipta mengangkat wajahnya, dan menatap wajah gadis cantik itu dengan mata agak sayu.
"Pradipta, ini perintah! Katakanlah dengan jujur, apa keinginanmu sebenarnya? Katakanlah aku tidak akan marah," tiba-tiba saja wajah Ambar Sukma berubah keras dan memancarkan perbawa yang mengejutkan hati Pradipta.
Sehingga, pemuda tampan itu kembali melengak, dan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Baiklah, Gusti Ayu...," sahut Pradipta setelah beberapa kali menarik napas panjang. "Aku men-cintaimu, dan ingin mendampingimu sebagai suami...," lanjut Kumbang Merah sambil menatap wajah Ambar Sukma lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menemukan Jawaban pada wajah dan mata gadis cantik itu.
"Hm..., kalau begitu, ayo kita menghadap ayahku...," sahut Ambar Sukma yang tanpa berkata apa-apa lagi, langsung melangkah pergi.
"Tapi... tapi..., Gusti Ayu...," Pradipta terkejut sekali dengan sikap Ambar Sukma, tentu saja ia menjadi bingung. Cepat ia berlari dan mengejar gadis itu. Tanpa sadar, disambarnya tangan Ambar Sukma, lalu digenggamnya erat-erat.
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Kalau kau ingin aku menjadi istrimu, kita harus menghadap ayahku," jawab Ambar Sukma tanpa mempedulikan Pradipta yang kebingungan.
Pradipta, yang dapat menduga kalau ucapan cintanya mendapat sambutan seperti yang diinginkannya, segera melangkah di samping Ambar Suk-ma tanpa berkata- kata lagi. Namun, dari sorot ma-tanya, pemuda tampan berwatak cabul itu terlihat sangat gembira sekali. Tidak lama kemudian, tubuh kedua insan itu lenyap ditelan kelebatan hutan. Kesunyian pun kembali menyelimuti alam di sekitar tempat itu....
Kicau burung terdengar bersahutan, menyambut datangnya matahari pagi. Hembusan angin yang lembut mengiringi langkah kaki sosok tubuh ramping, yang memasuki Kota Kadipaten Kedawung. Wajahnya tetap terangkat lurus. Sedangkan sepasang matanya menyorot dingin dan tajam. Langkah kedua kaki sosok tubuh ramping itu, terlihat kokoh dan menyimpan kekuatan hebat. Kemudian, langkahnya berbelok ketika telah cukup jauh memasuki kota kadipaten.
Tidak dipedulikan pandangan heran beberapa orang warga kota kadipaten itu. Karena di tangan kanannya memang tergenggam sebilah pedang panjang. Dengan sikap dingin dan tenang, sosok tubuh ramping itu menyibakkan daun pintu setinggi pinggangnya. Dan, terus mengambil tempat duduk disudut ruang kedai makan yang cukup besar itu.
Tanpa mempedulikan pengunjung kedai yang menoleh sekilas ke arahnya, sosok tubuh ramping itu membuka tudung bambu yang menyembunyikan wajahnya. Pedang pun diletakkan begitu saja di atas meja. Beberapa pengunjung yang terkejut melihat wajah dan pedang yang diletakkan di atas meja, bergegas memalingkan muka. Hati mereka sempat tergetar ketika memandang sorot mata yang dingin dari sosok tubuh ramping itu.
Tetap dengan air muka tidak berubah, sosok tubuh ramping yang ternyata seorang wanita itu, mengulapkan tangannya dan memanggil pelayan kedai Lalu, dipesannya beberapa jenis makanan. Setelah itu, wajahnya kembali menatap lurus dengan sorot mata yang tetap dingin. Sepertinya ia memang tidak peduli dengan keadaan disekelilingnya.
Wajah yang tampak agak pucat, dan tanpa gambaran perasaan itu, mendadak tegang ketika telinganya menangkap pembicaraan dua orang lelaki, yang terpisah beberapa meja dari tempatnya duduk. Dan, seperti ingin mendengarkan secara teliti, maka wanita itu pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Yah..., apalah daya kita yang hanya rakyat biasa ini?" keluh sebuah suara yang mengandung rasa kesal dan ketidak-berdayaan itu.
“Sebenarnya, aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini Setelah adipati yang bergelar Setya Bumi itu memimpin kadipaten, rasanya banyak peraturan yang berubah. Bahkan, pajak untuk para pedagang pun dinaikkan dua kali lipat Hhh..., sayang Adipati Sunggara tidak berumur panjang. Kalau beliau masih menjadi pemimpin kadipaten ini, rasanya tidak mungkin kehidupan rakyat akan sengsara seperti sekarang. Sebab aku tahu betul sifat dan perangai beliau yang lebih mementingkan orang banyak ketimbang dirinya sendiri itu baru namanya pemimpin!" sahut suara lainnya yang terdengar bersemangat memuji-muji Adipati Sunggara, dan menjatuhkan Adipati Setya Bumi.
"Satu lagi yang membuat aku sebal dan muak melihat adipati kita yang baru ini...," tiba-tiba suara lainnya yang semenjak tadi tidak mendengar, ikut mencampuri. "Adipati yang sekarang ini, sepertinya tidak boleh melihat wanita cantik. Walaupun wanita itu istri orang, ia tidak putus semangat. Dan mencari jalan untuk memilikinya meskipun hanya untuk semalam. Tapi, kabar itu baru kudengar. Dan, belum diketahui secara pasti kebenarannya. Kalau melihat ketampanan Adipati Setya Bumi, rasanya setiap wanita pasti akan bertekuk lutut dibawah kakinya. Apalagi kata-katanya yang lembut dan penuh madu, Wah... pokoknya sulit mencari seorang pemuda seperti dia..."
"Ssst..., sudah cukup, apa yang kita bicarakan. Sepertinya ada orang lain yang memperhatikan tingkah laku kita. Jangan-jangan dia pun mendengar cerita kita...? Wah.... Ayo kita segera pergi dari sini..."
Wanita cantik berwajah dingin itu tersentak kaget, ketika melihat salah seorang dari mereka yang berkumis tebal, menoleh ke arahnya. Bahkan, ucapan laki-laki itu sangat jelas terdengar di telinganya. Sehingga, ketika ketiga orang lelaki itu bangkit, ia segera bergegas bangkit tanpa menyentuh hidangan yang telah dipesannya. Tanpa banyak cakap lagi, wanita yang kalau dilihat dari wajahnya berusia sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun itu, bergegas mengikuti ketiga orang laki-laki yang ceritanya menarik hati wanita itu.
"Paman... berhenti sebentar...!" terdengar suara panggilan lirih, namun jelas tertangkap oleh telinga ketiga orang lelaki itu yang tengah melintasi sebuah jalan sepi.
Namun, suara panggilan itu bukannya membuat langkah mereka terhenti, tapi sebaliknya. Ketiga orang lelaki yang berusia sekitar empat puluh atau lima puluh tahun itu, semakin mempercepat langkahnya, dan tidak menoleh sedikit pun. Kenyataan itu tentu saja membuat gadis berwajah pucat menjadi heran.
Sadar kalau ketiga orang lelaki itu menduga dirinya sebagai lawan, maka tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis berwajah pucat itu berseru nyaring. Berbarengan dengan itu, tubuhnya melambung dan berputaran beberapa kali. Sebelum mendarat didepan ketiga orang lelaki itu, yang kontan pucat wajahnya.
"Jangan takut, Paman.... Aku cuma ingin bertanya sedikit, dan bukan mau melukai atau mencelakakan kalian. Sebaliknya aku malah membutuhkan keterangan dari kalian, yang mungkin sangat besar artinya bagiku. Maukah Paman membantuku...?" ujar gadis berwajah pucat yang mengenakan pakaian biru muda itu dengan suara halus, dan tidak terkandung sama sekali sifat yang keji, baik dari pancaran matanya maupun tutur katanya.
Meskipun demikian, ketiga lelaki itu masih merasa ragu dengan ucapan gadis di depannya, yang menurut mereka dapat terbang seperti setan. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, ketiganya hanya berdiri dan saling berpandangan satu sama lain. Kemudian mereka menatap gadis berpakaian biru muda itu, seperti tengah menilainya.
"Percayalah kepadaku, Paman. Kalau aku berniat mencelakai kalian bertiga, tentu sudah kulakukan sejak tadi. Tapi, semua itu tidak kulakukan, karena aku membutuhkan beberapa jawaban dari kalian bertiga. Bagaimana...?" lanjut gadis cantik berwajah pucat itu mencoba menunjuk itikad baiknya. Sambil berkata demikian, pedangnya segera diselipkan ke sabuk yang melilit pinggangnya. Lalu, lalu gadis itu dengan tenang maju beberapa tindak.
"Baikiah, apa yang Nisanak inginkan dari kami...?" akhirnya lelaki berkumis tebal yang bertubuh gemuk, memberanikan diri menanyakan keperluan gadis berwajah pucat itu.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Pertama, sudah berapa lama Adipati Kedawung yang baru memerintah? Kedua, berapa usianya? Terakhir..., siapakah nama adipati itu sebelum menjabat pemimpin kadipaten ini...? Hanya itu yang kuperlukan dari Paman bertiga. Kuharap kalian tidak terlalu sulit memberikan keterangan," ujar gadis cantik ber-wajah pucat itu dengan suara, yang agak lain dari biasa. Sepertinya ada kesan ketegangan dalam suaranya kali ini.
"Aaah..., sayang sekali kami hanya rakyat biasa, Nisanak. Jadi, semua jawabanmu itu sulit kami jawab, kecuali kalau kau menanyakannya kepada salah seorang prajurit kadipaten. Mungkin mereka bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaanmu itu. Sekali lagi kami minta maaf, dan kami harus pergi...," sahut lelaki berkumis tebal itu dengan wajah pucat seperti kapas, bahkan, kata katanya ketika menjawab pun, terdengar bergetar seperti orang dilanda ketakutan. Padahal, pertanyaan gadis berwajah pucat itu tidak perlu ditakuti. Dan, ia pun tidak akan marah bila memang mereka betul-betul tidak mengetahuinya.
Tapi, gadis cantik berwajah pucat itu bukanlah orang bodoh yang menerima begitu saja Jawaban mereka. Tiba-tiba saja pedangnya, tercabut keluar. Sehingga menimbutkan sinar berkeredep yang menyilaukan mata. Dan, serta merta pedang itu telah melintang didepan dada lelaki berkumis tebal yang hendak melewatinya. Karena gadis itu berdiri beberapa langkah didepan mereka.
"Ah...!? Ap... apa ini? Kami... ampunkan kami... Nisanak...," rintih lelaki gemuk berkumis tebal dengan tubuh gemetar. Keringat dingin mulai mengalir ketika pedang yang berkilat-kilat itu, merayap hingga ke lehernya.
"Jawab pertanyaanku, atau terpaksa kepalamu akan kupenggal...," ancam gadis cantik berwajah pucat itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengar!" ucap gadis itu lagi "Aku bukan orang dari kadipaten ini. Jadi, kalian tidak perlu merasa takut kepadaku...?"
"Adipati Setya Bumi sebelumnya bernama Pradipta. la masih muda, sekitar dua puluh tiga tahun. Wajahnya sangat tampan dan gagah. Jabatan adipati disandangnya baru sekitar tiga bulan. Sebenarnya apa keperluan Nyai ingin mengetahui tentang penguasa Kadipaten Kedawung ini...?" Tanya lelaki berkumis tebal itu setelah menjawab semua pertanyaan gadis berwajah pucat itu.
"Aku ingin membunuh jahanam licik itu...!" geram gadis berwajah pucat yang tidak lain Trijanti itu. Di lepaskannya lelaki berkumis tebal itu setelah memperoleh Jawaban.
Ketiga orang lelaki itu berubah pucat wajahnya. Untuk beberapa saat lamanya, mereka saling pandang. Satu sama lain. Jelas, rasa khawatir trepancar di wajah ketiganya.
"Nyai, tunggu...!" seru lelaki berkumis tebal itu ketika melihat Trijanti akan meninggalkan tempat itu.
Trijanti terpaksa menahan langkahnya, dan berbalik menghadapi ketiga orang lelaki yang segera mengerumuninya. Kening wanita berwajah pucat itu berkerut, ketika melihat kekhawatiran di wajah mereka.
"Nyai, sangat berbahaya sekali bila niatmu dilaksanakan. Selain istana kadipaten dijaga prajurit-prajurit tangguh, juga terdapat beberapa tokoh sakti yang mengabdikan diri di istana itu. Sebaiknya niatmu itu diurungkan saja. Kami pun sebenarnya tidak menyukai adipati yang baru itu, tapi kami merasa khawatir terhadap keselamatanmu. Meskipun kami tidak tahu apa yang membuat Nyai mendendam kepada beliau...," ujar lelaki berkumis tebal itu menasihati.
"Hm..., meskipun manusia laknat itu dijaga oleh raja iblis sekalipun, aku tidak takut! Dan, aku tetap akan melaksanakan niatku. Terima kasih atas nasihat kalian...," usai berkata demikian, Trijanti kembali melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya kembali terhenti ketika lelaki berkumis tebal itu memanggilnya.
"Hm.., ada apa lagi, Paman?" Tanya Trijanti mengerutkan keningnya, tak senang.
"Mmm..., kalau memang niat Nyai sudah tidak bisa ditahan lagi, kami mempunyai sedikit berita yang mudah-mudahan bisa mempermudah niatmu itu...," ujar lelaki berkumis tebal itu, yang kembali berhadapan dengan Trijanti.
"Apa itu, Paman...?" Dengan wajah penuh harap, Trijanti menatap lelaki berkumis tebal itu lekat-lekat.
"Kami memperoleh kabar, dalam satu dua hari ini Adipati Setya Bumi akan berburu di hutan sebelah Barat. Biasanya beliau hanya ditemani dua orang pembantu setianya. Nah, pada saat itu, rasanya akan lebih mudah bagimu untuk melaksanakan niat itu...," sahut lelaki gemuk berkumis tebal itu lagi menjelaskan.
"Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Paman sekalian yang sudi menolongku. Sekarang, aku mohon pamit..," tanpa menoleh lagi, Trijanti langsung menggenjot tubuhnya. Dan segera melesat meninggalkan ketiga orang lelaki itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja ia tidak sampai celaka. Sebab, Adipati Setya Bumi konon memiliki kepandaian yang sangat tinggi..," gumam lelaki berkumis tebal itu cemas.
Sedang dua orang lainnya hanya menganggukkan kepala tanpa kata. Mereka masih menatapi sosok bayangan Trijanti yang kian samar.
Suara berderap terdengar dan membuat suasana di sekitar Hutan Jonggol menjadih riuh. Beberapa ekor burung beterbangan meninggalkan pepohonan. Sepertinya mereka merasa terganggu dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. Seorang pemuda tampan yang mengenakan pakaian mewah, duduk di atas punggung kuda berbulu putih. Senyum keangkuhan tampak menghiasi wajahnya. Pemuda tampan itu tidak lain Pradipta, yang kini menjabat sebagai adipati dengan gelar Setya Bumi.
Dengan kelicikan dan kepandaiannya mengambil hati Adipati Sunggara, pemuda itu berhasil menjadi suami dari putri tunggal sang Adipati, yang pernah ditolongnya dari cengkeraman perampok. Ketika Adipati Sunggara ditemukan tewas saat berburu di Hutan Jonggol, maka Pradipta pun ditunjuk sebagai penggantinya. Karena sang Adipati sendiri tidak mempunyai anak laki-laki. Tidak ada seorang pun yang menduga kala Pradipta seorang pemuda licik dan serakah. Juga tak seorang pun yang tahu kalau pemuda tampan itu seorang yang mempunyai watak cabul.
Baru beberapa bulan menduduki jabatan adipati, sifat asli Pradipta mulai terlihat. Tapi, semua itu sudah terlambat! Ambar Sukma sendiri, putri Almarhum Adipati Sunggara, hanya bisa menyesali nasibnya.
Setelah Pradipta menjabat sebagai adipati, maka tak seorang pun yang dapat menghalangi tindakan pemuda itu. Dan, Ambar Sukma sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Adipati Setya Bumi yang selalu menggunakan tangan besi dalam menindak para pembangkang, tentu saja membuat rakyat terpaksa mentaatinya. Sejak pimpinan Kadipaten Kedawung dipegangnya, entah sudah berapa banyak rakyat yang menjadi korban kekejaman pemuda itu, karena setiap pembangkang tidak pernah luput dari hukuman mati. Bahkan, tidak sedikit yang dihukum gantung di alun-alun istana Kadipaten. Semua itu ditunjukkan kepada rakyat sebagai contoh bagi pembangkang-pembangkang lainnya.
Selain kejam, Adipati Setya Bumi hampir tidak pernah mengurusi rakyatnya. Segala sesuatu yang berurusan dengan kadipaten diwakilkannya. Sedangkan kerja adipati muda itu hanya bersenang-senang setiap hari. la tidak mau ambil peduli dengan segala urusan Kadipaten. Menurutnya, semua itu hanya membuat pusing kepalanya. Sehingga, Adipati Setya Bumi lebih suka bersenang-senang, ketimbang mengurusi rakyatnya. Dan, salah satu kesenangannya adalah berburu.
Pradipta yang kini dikenal sebagai Adipati Setya Bumi, menjalankan kuda putihnya agak perlahan. Karena saat itu ia telah berada jauh dari mulut hutan. Sedangkan dua orang pembantu setianya mengiringi di belakangnya. Seperti halnya sang Majikan, mereka pun mengendarai kuda-kuda pilihan.
Ketika ketiga orang itu semakin jauh menerobos hutan, mendadak Adipati Setya Bumi mengangkat tangan kanannya perlahan. Dengan gerakan ringan, tubuhnya melompat turun dari atas punggung kuda. Setelah menyiapkan anak panahnya, pemuda tampan bertubuh tegap itu melangkah perlahan menerobos semak belukar. Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang pembantu setia itu melompat turun dari punggung kudanya masing-masing. Namun, keduanya tetap menunggu di tempat itu, dan tidak mengikuti langkah Adipati Setya Bumi.
Sementara, pemuda tampan itu sendiri, sudah merunduk di balik semak-semak sambil membentangkan anak panahnya. Yang menjadi sasarannya, seekor kijang muda. Binatang itu sama sekali tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya. Karena angin yang bertiup saat itu, berhembus ke arah Adipati Setya Bumi. Sehingga, binatang itu tidak mencium sama sekali bahaya yang mengintainya. Namun, selagi pemuda itu tersenyum membayangkan tubuh kijang muda itu terpanggang anak panahnya, tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan nyaring seiring dengan meluncurnya anak panah yang dilepaskan pemuda itu.
"Haiiit...!"
Berbarengan dengan suara bentakan yang nyaring itu, secercah sinar putih berkeredep mengancam tenggorokan Adipati Setya Bumi. Karuan saja adipati muda itu menjadi geram. Karena binatang buruannya telah melesat lebih dulu ketika mendengar suara yang mengejutkan itu.
Merasa kesenangannya terganggu, pemuda itu menjadi marah bukan main! Sambii menarik mundur tubuhnya, dan merendahkan kaki belakang, serangan pedang lawan pun tuput dari sasarannya. Sedangkan kaki depannya yang terjulur lurus, langsung melakukan serangan balasan dengan sebuah tendangan ujung sepatunya!
Zebbb!
Gerakan sosok tubuh berpakaian biru muda yang menyerangnya itu, ternyata cukup gesit! Dengan sebuah gerakan yang berputar indah, sosok tubuh itu berhasil menghindari sambaran kaki lawannya. Bahkan dengan gerakan itu, ia sempat menyilangkan senjatanya, hingga membentuk goresan menyilang di udara!
"Haiiit...!"
Sambil membentak keras, tubuh Adipati Setya Bumi melambung dan berjumpalitan beberapa kali kebelakang. Dengan demikian, serangan sosok tubuh ramping itu kembali tuput, dan hanya menyambar daerah yang kosong.
"Keparat bosan hidup! Siapa kau...!" bentak Adipati Setya Bumi begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah berumput tebal. Sepasang mata pemuda tampan itu terbelalak ketika mengenali sosok tubuh ramping, yang telah berani mati membokongnya itu. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda hanya berdiri termangu, tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
"Hm..., begitu mudahnya kau melupakan aku, Jahanam Busuk! Jangan harap kau bisa hidup tenteram di dunia ini! Dan, kau harus menebusnya dengar kematian!" geram sosok tubuh ramping yang mengenakan pakaian biru muda itu. la tidak lain adalah Trijanti, si gadis pendekar yang telah diperdaya Pradipta beberapa waktu lalu. Namun, keterkejutan Pradipta hanya berlaku sesaat saja. Wajah tampan itu kembali tersenyum manis. Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Seolah pertemuan itu memang sudah lama dinantikannya.
"Ah..., Adik Trijanti...! Lama sekali kita tidak berjumpa. Maaf, aku terpaksa pergi tanpa pamit kepadamu, karena ada urusan penting dan sangat mendadak. Ah..., berapa rindunya aku kepadamu, Adikku...," ujar Pradipta sambil melangkah maju dengan wajah berseri-seri. Pemuda itu sepertinya sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang diperbuatnya terhadap diri Trijanti.
Sambutan pemuda itu, membuat Trijanti sejenak bingung. Gadis cantik berwajah pucat itu berdiri terpaku, seolah ia tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Namun, ketika teringat akan perbuatan pemuda itu, wajahnya kembali gelap dengan sorot mata yang dingin penuh dendam.
"Huh! Jangan berpura-pura kau, Jahanam Keji! Apakah kau kira aku akan tergoda dengan mulut manismu itu! Maaf saja. Keputusanku telah bulat untuk mencuci aib di tubuhku ini dengan darahmu. Bersiaplah...," desis Trijanti mencoba mengusir bayangan indah yang sempat melintas dibenaknya. Memang gadis cantik berwajah pucat itu jatuh hati kepada Pradipta. Perasaan itu pula yang mengganggunya. Sehingga, gadis itu agak resah hatinya ketika melihat sikap pemuda tampan yang sangat gembira berjumpa dengan dirinya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Adik Trijanti? Bukankah apa yang kita lakukan itu atas dasar suka sama suka? Aku sama sekali tidak memaksamu sedikit pun. Dan, aku yakin kau pun tahu akan hal itu. Bersikaplah tenang, Trijanti. Apakah kau menginginkan semua orang tahu dengan apa yang telah kita perbuat itu? Lihatlah, aku masih menyayangimu, dan bersedia menerimamu sebagai istriku. Kau akan kujadikan permaisuriku di Istana Kadipaten Kedawung. Tahukah kau kalau aku telah menjabat sebagai adipati di daerah ini? Ayolah, Trijanti, jangan bodoh...," bujuk Pradipta atau Adipati Setya Bumi sambil mengayunkan langkahnya menghampiri gadis cantik itu.
Melihat sinar mata yang hangat, kata-kata yang manis dan sikap lembut pemuda tampan itu, pendirian Trijanti pun menjadi goyah. Bagai orang tolol, gadis cantik itu menatap Pradipta dengan penuh selidik. Sepertinya ia ingin memastikan semua ucapan pemuda itu melalui sinar matanya. Dan, hati Trijanti sempat berdebar ketika melihat kehangatan cinta kasih, yang terpancar dari sepasang mata pemuda tampan yang telah menjatuhkan hatinya itu.
"Benarkah... kau mencintaiku, Pradipta...? Dapatkah kata-katamu kupercaya...?" desah gadis cantik berwajah pucat itu dengan bibir gemetar karena terbawa perasaannya. Bahkan, sepasang mata indah itu telah digenangi air bening. Jelas, kalau saat itu Trijanti tengah berperang dalam batinnya.
"Haiiih..., mengapa kau masih meragukan ucapanku, Adik Trijanti? Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan kepercayaanmu? Katakanlah, Adikku. Aku siap melaksanakannya...," bujuk Pradipta lagi. Sementara jarak di antara mereka berdua sudah tinggal beberapa langkah lagi. Bahkan, dengan pandainya Pradipta mengembangkan kedua lengannya untuk meyakinkan dan siap menyambut tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Tapi... tapi...," Trijanti masih merasa ragu meskipun pemuda itu jelas telah siap menerima dirinya. Bahkan, dua titik air bening mulai bergulir membasahi pipinya yang halus. Hati gadis cantik itu sangat terharu dengan apa yang diucapkan Pradipta. Nada suara yang dikeluarkan pemuda itu demikian lembut, dan memancarkan perasaan kasih yang mendalam. Sehingga, getaran di dalam dada Trijanti semakin bergemuruh, dan membuat bukit dadanya bergelombang,
"Katakanlah, Adik Trjanti..., apa yang kau inginkan sebagai bukti cintaku yang tulus kepadamu...? Katakanlah...?" sambil tetap berkata demikian, Pradipta terus melangkah maju semakin mendekat.
Sementara, Trijanti hanya dapat berdiri dengan tubuh bergetar menahan keharuan. Pedang yang semula siap untuk merejam tubuh pemuda tampan itu, kini tergantung lumpuh ditubuhnya.
Sambil terus mengucapkan kata-kata manis, Pradipta, tokoh sesat berjuluk Kumbang Merah, yang kini menjabat sebagai Adipati Setya Bumi di Kadipaten Kedawung itu, melangkah semakin dekat Jarak antara mereka pun tinggal dua langkah lagi. Trijanti sendiri, yang pada dasarnya mencintai pemuda tampan itu, terisak tertahan. Kewaspadaan gadis cantik itu lenyap, berganti rasa haru yang menguasai hatinya. Dan, ketika Pradipta mengulur tangannya, gadis itu sama sekali tidak berusaha mengelak.
Namun, sebagai seorang gadis yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi, Trijanti dapat merasakan sambaran angin yang tajam mengiringi uluran sepasang tangan pemuda itu. Sayangnya, saat itu jarak antara mereka hanya terpisah dua tindak. Sehingga, gadis cantik itu hanya dapat menahan jeritannya dengan sepasang mata terbelalak.
"Mampuslah kau, Gadis Dungu...!" geram Adpati Setya Bumi yang rupanya telah menyiapkan tenaga dalam secara diam-diam. Dan, kini sepasang tangannya, yang membentuk cakar itu, siap merenggut nyawa Trijanti. Karena menurut pemikirannya, gadis itu hanya akan mendatangkan kesulitan pada dirinya.
"Aaah...?!" Gadis cantik berwajah pucat itu hanya dapat mengeluarkan jerit tertahan. Sadar kalau dirinya tidak mungkin lagi selamat, maka Trijanti pasrah dengan memejamkan matanya. Hatinya terasa sakit sekali ketika melihat kekejaman pemuda yang dicintainya itu.
Namun, pada saat yang gawat itu, tiba-tiba seberkas sinar hitam berkeredep menyambut cengkeraman tangan Pradipta. Dari suara berdesing yang ditimbulkannya, jelas kalau sinar hitam itu mengandung kekuatan hebat, dan sulit untuk diukur. Maka, wajar kalau kecepatannya pun hampir tidak tertangkap oleh mata Kumbang Merah, yang sangat kejam dan licik itu.
Tukkk!
"Aaakh...!" Adipati Setya Bumi memekik kesakitan, dan wajahnya berubah pucat! Sedangkan tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah. Tampak pemuda tampan itu meringis seraya mengurut jemari tangannya yang terasa nyeri dan linu.
"Ada apa, Gusti Adipati...?" tegur salah seorang pembantunya, yang telah berdiri di samping pemuda tampan itu. Sedangkan yang satunya lagi telah berdiri di samping kanannya sambil menatap kedepan.
Kening lelaki setengah tua, yang tubuhnya masih nampak kokoh itu, berkerut dalam. Sepasang matanya menatap sosok berjubah putih, segera ia menundukkan kepalanya ketika sepasang mata sosok tubuh itu menentang pandangan matanya. Diam-diam hati lelaki setengah baya itu, yang merupakan orang kepercayaan Pradipta terkejut ketika merasakan pengaruh aneh merasuk ke dalam jiwanya.
"Gila...! Siapa pemuda tampan berjubah putih itu..? Menilik dari sorot matanya, jelas ia memiliki tenaga dalam yang sukar diukur. Bahkan, sepasang matanya mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Sinar mata yang dimiliki pemuda itu rasanya hanya ada dalam dongeng," gumam batin lelaki setengah baya itu dengan wajah berubah pucat.
Sementara, sosok tubuh berjubah putih itu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di samping Trijanti. Dialah yang bernama Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Wajar kalau pertolongan pemuda sakti itu datang tepat pada waktunya. Karena Panji memang menguntit perjalanan gadis cantik itu semenjak pertama mereka bertemu. Sehingga, nyawa Trijanti pun dapat diselamatkannya.
"Kau...," desis Trijanti ketika mengenali sosok berjubah putih yang telah menolongnya itu. Sepasang mata yang bersimbah air mata itu, menatap wajah Panji dengan rasa tak percaya.
"Ya, aku, Panji.... Maaf kalau selama ini aku mengikuti perjalananmu. Karena sejak pertama kali berjumpa, kau menyerangku tanpa sebab, membuat aku curiga. Jadi, aku terpaksa mengikuti perjalananmu, sekadar ingin mengetahui masalah apa sebenarnya yang tengah kau hadapi," jelas Panji dengan wajah tengang. Seulas senyum penuh kesabaran menghias wajah tampannya.
"Betapapun, aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, Kisanak," ucap Trijanti dengan suara perlahan, dan hampir tidak terdengar. Sepasang mata gadis cantik itu nampak sayu, dan menyembunyikan luka hatinya yang dalam.
Setelah menghapus butir air mata yang jatuh di pipinya. Gadis cantik itu kembali memandang penolongnya. Kali ini dia meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu dengan seksama. Sepasang matanya menjelajahi sekujur tubuh penolongnya, dan semakin jelas ketegangan tergambar pada wajahnya. Tiba-tiba meluncur kata-kata dari bibir mungil yang agak pucat itu.
"Kau... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" Tanya gadis cantik itu dengan nada agak ragu. Namun, sorot matanya berharap kalau penolongnya itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Benar, Trijanti...," sahut Panji yang mengenal nama gadis cantik berpakaian biru muda itu dari percakapan antara Trijanti dan Pradipta yang sempat didengarnya. "Sayang apa yang selama ini kau dengar mungkin jauh berbeda dengan apa yang sekarang kau saksikan."
Trijanti menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan guna menahan seruannya. Hanya sepasang matanya yang sayu terbelalak ketika mendengar jawaban Panji. "Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih! Selama ini, hanya namamu saja yang sering kudengar dari cerita guruku. Tapi, dugaanmu salah besar. Karena yang selama ini diceritakan guruku, sama sekali tidak meleset. Dan, apa yang kulihat sekarang, persis seperti yang digambarkan beliau. Kalau saja guruku ikut bersamaku saat ini, beliau tentu sangat gembira sekali...," ujar Trijanti yang mengetahui mengenai diri penolongnya. Sepertinya ia lupa akan keadaan sekelilingnya. Bahkan, pandangan matanya terlihat berbinar-binar menandakan gadis cantik itu sangat gembira dapat bertemu dengan pendekar muda, yang selama ini dikagumi gurunya.
"Keparat! Jadi kau kiranya manusia usil itu, Pendekar Naga Putih! Hm.... Orang lain boleh merasa gentar mendengar julukanmu yang mentereng itu. Tapi, Pradipta yang sekarang bergelar Adipati Setya Bumi, tidak akan mundur selangkah pun! Dan, kau akan membayar mahal akibat keusilanmu itu. Bersiaplah...!" geram Adipati Setya Bumi yang segera mencabut sebatang suling perak dari balik bajunya.
Singngng!
Terdengar suara berdesing nyaring ketika suling perak di tangan Pradipta bergerak menyilang di depan dada. Menilik dari suara desingan senjata itu, jelas mencerminkan tenaga sakti yang hebat dimiliki pemuda itu.
“Trijanti, kau menyingkir dulu. Biar aku menghadapi serbuan Adipati Setya Bumi."
Trijanti yang sadar kalau kepandaian pemuda tampan berwatak cabul itu jauh berada di atas tingkat kepandaiannya, bergegas melangkah mundur tanpa membantah. Hanya sepasang matanya yang menatap tajam dan menyiratkan dendam.
"Burja, Sadira, kalian berdua bereskan gadis itu. Pemuda usil ini bagianku, ingat! Kalau kalian dapat menundukkannya, langsung bunuh saja. Gadis gila itu sangat berbahaya bagai kelangsungan jabatanku...,' terdengar perintah Adipati Setya Bumi kepada kedua orang pengawal setianya.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki setengah baya yang dipanggil dengan nama Burja itu, langsung melangkah menghampiri Trijanti. Di sebelah belakangnya Sadira, lelaki berusia tiga puluh lima tahun, yang menyeliki tubuh tinggi kurus dan bermata cerdik, mengikutinya.
Panji yang mengetahui kepandaian Trijanti melalui ilmu lari cepatnya tentu saja merasa khawatir. Cepat ia menghadang jalan Burja dan Sadira dengan maksud untuk melindungi gadis itu dari ancaman kematian. Sepasang mata pemuda berjubah putih itu menatap tajam bagai hendak menembus tubuh kedua orang pengawal Adipati Setya Bumi.
"Jangan kalian hiraukan pemuda sombong itu!" seru Adipati Setya Bumi kepada kedua pengawal setianya. Kemudian ia berpaling ke arah Panji dengan sorot mata tajam, dan penuh nafsu membunuh. "Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih. Biarkan rnereka mengurus gadis gila itu...," geramnya gusar.
"Heaaat...!" Adipati Setya Bumi yang melihat Pendekar Naga Putih tidak mempedulikan ucapannya menjadi marah! Diiringi dengan teriakan nyaring, tubuh pemuda tampan berwatak cabul itu melesat seperti kilat, dan disertai suara berdesing tajam.
Whuuut! Whuuut!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan, guna menghindari serangan maut lawannya. Gerakan pemuda berjubah putih itu nampak sangat lincah. Sehingga, dalam gebrakan pertama, serangan-serangan Pradipta hanya mampu menyambar angin kosong.
"Bangsat! Apa kau cuma bisa mengelak dengan cara menari-nari seperti badut? Kalau memang kau mempunyai kepandaian, hayo balas seranganku...!" umpat Adipati Setya Bumi yang menjadi kalap karena merasa dipermainkan lawannya.
Namun, Panji sama sekali tidak mempedulikan kemarahan lawannya. Tubuhnya tetap bergerak lincah di antara sambaran senjata Pradipta. Kemudian, sesekali ia melontarkan serangan-serangan balasan, Walaupun tidak terlalu berbahaya, tapi sanggup membendung dan mengurangi desakan lawan.
"Setan!"
Sambil tetap memaki tak habis-habisnya, Adipati Setya bumi terus melontarkan serangan yang kian lama bertambah cepat dan kuat. Tampak Pradipta ingin secepatnya menghabisi nyawa pemuda, yang telah menggagalkan rencananya itu.
"Haiiit...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, mendadak Adipati Setya Bumi mengeluarkan pekikan nyaring yang mengejutkan! Detik itu juga, senjatanya berkeredep dengan kecepatan kilat. Sekali bergerak saja, Pemuda berwatak cabul itu telah melancarkan serangkaian serangan yang mematikan. Bahkan, beberapa totokan dilancarkan susul menyusul dengan kecepatan yang tinggi!
"Hiaaah...!"
Plakkk...!
Panji yang melihat serangan lawannya semakin hebat dan berbahaya, bergegas memapaki sebuah totokan yang meluncur cepat dan mengancam tenggorokannya. Sehingga, tubuh lawannya terjajar mundur sejauh delapan langkah dengan wajah me-ringis. Jelas, kalau Adipati Setya Bumi masih kalah tenaga melawan pendekar muda itu. Pendekar Naga Putih tidak ingin menunda-nunda pertempuran itu. Begitu tubuh lawannya kembali meluncur dengan serangan-serangan mautnya, bergegas Panji menyambutnya dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang telah membuat namanya dikenal dalam rimba persilatan.
Bagaikan seekor ular raksasa, tubuh Pendekar Naga Putih meliuk-liuk dan mengejutkan lawannya. Sedang sepasang tangannya, yang telah membentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat! Hembusan angin dingin selalu menyertai setiap sambaran tangannya. Pradipta yang selama ini hanya mendengar kehebatan pendekar itu, menjadi terkejut bukan main! Ruang geraknya dirasakan semakin sempit. Bahkan, kaki dan tangannya terasa agak kaku. Karuan saja pemuda berwatak cabul itu mengomel panjang.
"Jahanam! Hawa dingin keparat ini benar-benar membuat gerakanku terhambat...!" geram Adipati Setya Bumi yang semakin marah terhadap lawannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh puluh enam, Adipati Setya Bumi merasakan tubuhnya kian sukar bergerak, dan tak sanggup lagi menghindari sebuah hantaman telapak tangan lawannya. Sehingga, hantaman itu menghajar telak dadanya! Dan....
Blaggg!
"Huakhhh. !"
Dibarengi darah segar muncrat dari mulutnya, tubuh pemuda berwatak cabul itu terjungkal ke belakang. Terdengarlah suara berdebuk keras ketika tubuh Adipati Setya Bumi terbanting di atas tanah.
"Hmrrr..."
Pemuda tampan berwatak cabul, yang selalu menebarkan bencana bagi gadis-gadis cantik itu, menggigil hebat! Pukulan telapak tangan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan", tak sanggup ditahannya. Akibatnya, pemuda itu tidak mampu lagi bangkit dan berdiri.
Panji yang tidak bermaksud membunuh lawannya, segera melompat dan menotok lumpuh pemuda tampan berwatak cabul itu. Pendekar Naga Putih yang tengah merunduk dekat tubuh Pradipta, berge-gas menoleh ketika mendengar beberapa langkah kaki datang menghampirinya.
"Trijanti, kau tidak apa-apa...?" Tanya Panji cemas. Kemudian sepasang matanya beralih memandang dua orang lelaki yang mendampingi gadis cantik itu.
"Kenalkan, Pendekar Naga Putih. Kedua orang ini bemama Ki Ringgo. dan Ki Banggali. Merekalah yang telah menolongku dari ancaman kedua pembantu pemuda iblis itu," jelas Trijanti segera memperkenalkan kedua lelaki setengah baya yang mendampinginya, ketika menangkap sinar keheranan di mata Panji.
"Aku sendiri bernama Ambar Sukma, istri jahanam keparat itu," terdengar suara merdu yang menyimpan duka dari sebelah belakang Trijanti, Ki Ringgo dan Ki Banggali.
"Ah, maaf, aku sampai melupakan Gusti Ayu...," ucap Trijanti tersenyum malu. "Beliau ini putri Adipati Sunggara, yang menurut keterangan Paman Banggali, Adipati Sunggara dibunuh oleh pemuda jahanam yang berhati jahat itu...," jelas Trijanti kepada Panji.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Pemuda keji ini pandai sekali menyembunyikan sifat aslinya. Sehingga, Adipati Sunggara bersedia menerimanya sebagai menantu. Selama tinggal di Istana Kadipaten, ia selalu menunjukkan sifat yang menyenangkan. Tapi, itu hanya kurang lebih sebulan. Selebihnya pemuda iblis yang bernama Pradipta itu menampakkan sifat aslinya. Ketika Gusti Adipati berniat berburu ke Hutan Jonggol, beliau meminta Pradipta untuk mengawalnya. Tapi dengan alasan yang cerdik, pemuda itu mengatakan ia ingin tinggal di istana. Sewaktu aku, Gusti Adipati, dan seorang pengawal lainnya tiba di dalam hutan, tiba-tiba muncul perampok yang dipimpin oleh lelaki tinggi besar yang berjuluk Raja Kera Kulit Baja itu," Ki Banggali menunda ceritanya, dan menarik napas.
Panji tidak berusaha sama sekali mendesak kelanjutan cerita itu. Ditunggunya ucapan lelaki setengah tua, yang ternyata salah seorang pembantu setia Almarhum Adipati Sunggara, sepertinya Ki Banggali tahu persis tentang kematian Adipati Kedawung itu.
"Meskipun kepala rampok itu memiliki kepandaian yang tinggi, kami bertiga masih mampu mengatasinya. Tapi, saat kami berada di atas angin, tiba-tiba muncullah pemuda biadab itu. Semula kami menduga kedatangannya bermaksud membela kami. Namun, dengan liciknya, Pradipta menikam tubuh Gusti Adipati Sunggara dari belakang. Maka, Gusti Adipati Sunggara pun tewas. Aku dan kawan-ku berusaha melawan sekuat tenaga. Tapi, karena kepandaian pemuda sangat tinggi, kami berdua pun dapat ditundukkannya. Sayang, pemuda biadab itu tidak sempat memperhatikan secara jeli. Kalau kami tidak tewas karena tusukan senjatanya. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan gerombolan perampok itu. Ternyata mereka dibantai habis untuk menghilangkan jejaknya. Baru setelah pemuda iblis itu lenyap, aku bangkit dan mencoba bertahan hidup. Untunglah pada saat tubuhku menderita luka parah, Ki Ringgo datang menolongku. Setelah saling menceritakan persoalan masing-masing, kami mengerti kalau orang yang dicari Ki Ringgo adalah Pradipta," jelas Ki Banggali menutup ceritanya.
"Lalu, bagaimana Paman bisa sampai di tempat ini bersama dengan prajurit kadipaten...?" Tanya Panji sambil mengedarkan pandangannya ke barisan prajurit berkuda, yang tengah berkumpul di belakang Ki Banggali.
"Tak berapa lama Pradipta pergi, Ki Banggali dan Ki Ringgo rupanya selalu mengikuti perkembangan di kadipaten dan segera mendatangiku," kali ini yang menyahuti adalah Ambar Sukma. "Ketika mendengar keterangan Paman Banggali, aku langsung mempercayainya. Karena beliau selalu setia mendampingi ayahku. Selain itu, aku pun sudah lama mengetahui tentang sifat-sifat jelek suamiku itu. Dengan membawa prajurit-prajurit pilihan, kami berniat hendak menghukum Pradipta. Tapi, ternyata semua telah dapat diselesaikan oleh Pendekar Naga Putih," senyum gadis cantik putri Adipati Sunggara itu melebar ketika mengucapkan kata-kata terakhirnya.
"Sekarang kami akan membawa pemuda biadab ini, untuk dihukum gantung di depan rakyat Kadipaten Kedawung. Dan, kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu kami mengalami kesulitan untuk menundukkan pemuda yang memiliki kepandaian yang tinggi itu," ujar Ki Banggali lagi sambil memerintahkan beberapa orang prajurit untuk mengangkat tubuh Pradipta yang sudah tidak berdaya itu. Tanpa diperintah dua kali, empat orang prajurit bergegas membawa tubuh Pradipta, dan disatukan dengan tubuh Burja serta Sadira.
"Eh, ke mana perginya, Pendekar Naga Putih...?" Ki Banggali yang sempat terlupa akan keberadaan pemuda itu karena tengah sibuk memperhatikan kerja para prajuritnya, menjadi terkejut ketika tidak menemukan sosok pemuda yang menimbulkan rasa kagumnya itu.
Ki Ringgo, Trijanti, dan Ambar Sukma pun sama mengerutkan keningnya. Pendekar Naga Putih telah lenyap tanpa pamit. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, mereka terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Ah, pemuda itu benar-benar seorang pendekar sejati, yang selalu mengulurkan tangannya menolong orang lain tanpa pamrih...," desah Trijanti teringat akan pertolongan pemuda tampan itu ketika dirinya tengah terancam maut.
Sedang yang lainnya hanya mengangguk tanpa kata. Pikiran mereka masih dipenuhi oleh sosok Pendekar Naga Putih yang lenyap begitu saja saat orang lain sibuk, dan tidak memperhatikannya.
Nun jauh di luar Hutan Jonggol, sesosok tubuh berjubah putih melangkah lambat menyusuri jalan berbatu. Dialah Pendekar Naga Putih, yang kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencari kekasihnya.
"Kenanga..., entah bagaimana nasibmu. Mungkinkah engkau selamat dari kebuasan alam ketika terjadi musibah di kapal dagang itu...?" desah panji sambil menengadahkan kepalanya dan menatap gumpalan awan. Hati pemuda itu semakin gundah ketika teringat nasibnya. (Untuk lebih jelas tentang lenyapnya Kenanga, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Terdampar di Pulau Asing)
Suasana pagi yang tenang di Hutan Ranggat, disentakkan suara teriakan yang nyaring dan menggetarkan. Beberapa ekor burung yang tengah bercengkerama di atas dahan-dalah pohon, beterbangan karena terganggu ketenangannya. Sedangkan sosok tubuh langsing, yang mengenakan pakaian berwarna biru muda itu, mengiringi teriakannya dengan sebuah lesatan kilat. Selarik sinar putih berkeredep menyertai sambaran tangannya.
"Aih...!"
Dua orang lelaki bertampang kasar berteriak kaget ketika melihat datangnya sambaran senjata dari sosok berpakaian biru muda itu. Meskipun dengan wajah pucat, keduanya berusaha mengelakkan serangan maut itu dengan melempar tubuhnya ke belakang, dan bersalto diudara.
Namun, sosok berpakaian biru muda itu bergerak lebih gesit. Begitu serangannya luput, sosok tubuh langsing itu menotolkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting dengan disertai sambaran senjatanya yang mengeluarkan sinar putih.
Wuttt! Wuttt!
Hebat dan cepat sekali putaran senjata yang dilakukan sosok berpakaian biru muda itu. Sambaran angin pedangnya menimbulkan bunyi mengaung tajam. Jelas kalau tenaga yang dimilikinya cukup kuat
Sementara, dua orang lawannya yang masih berputar di udara, semakin pucat wajahnya. Sadar kalau keselamatan mereka terancam, maka keduanya nekat memapaki pedang lawan dengan lontaran pukulan. Rupanya mereka memilih cacat daripada harus tewas di tangan sosok tubuh langsing itu.
"Hmh...!"
Terdengar dengus penuh ejekan dan sosok berpakaian biru muda itu. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, pedang di tangannya diputar dengan gerakan melingkar. Kemudian menyambar cepat ke arah perut kedua orang lelaki bertampang kasar itu. Dan...
Bret! Bret!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Sambaran senjata maut itu merobek bagian depan tubuh mereka. Darah segar menyembur membasahi tanah berumput kering yang berada di bawahnya. Dengan diiringi jerit kematian yang menyayat, tubuh kedua orang itu terbanting dan tewas seketika.
“Tahu rasa kau, Manusia-manusia Busuk...!" Desis sosok berpakaian biru muda itu dengan sinar mata galak. Rupanya ia seorang gadis muda yang cantik dan penuh daya pikat.
Namun, kelegaan di hati gadis cantik itu tidak berlangsung lama. Beberapa lelaki bertampang kasar lainnya, tampak kembali bergerak dan mengepungnya. Sorot kebencian tergambar jelas pada wajah-wajah kasar itu.
"Wanita cantik ini tidak boleh dikasih hati! Terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Kita harus menangkapnya hidup-hidup. Kemudian kita nikmati tubuhnya beramai-ramai, baru kita cincang Kuntilanak itu!" terdengar suara bernada geram yang diucapkan salah seorang dan lelaki kasar itu. Wajahnya yang kehitaman tampak semakin gelap karena hawa marah.
"Benar, Kakang. Kuntilanak ini harus kita siksa sebelum dibunuh!" timpal lelaki bermata picak yang berada di sebelah kanannya. Menilik dari sorot matanya, jelas ucapan itu bukan sekadar gertakan belaka.
"Hm..„" lelaki brewok berkepala botak itu mendengus kasar. Melihat dari sikapnya, dapat dipastikan kalau lelaki itu merupakan pimpinan mereka.
"Serbu...!"
Sambil berteriak, lelaki brewok dan berkepala botak itu meluruk dengan gerakan menyilang. Golok besar yang bergerigi pada bagian matanya, diputar sedemikian rupa sehingga membersitkan kilatan-kilatan maut. Sedangkan sebelas orang pengikutnya, tidak mau ketinggalan. Mereka bergerak menyebar dengan disertai teriakan-teriakan ribut. Kemudian, mereka langsung menyerbu gadis cantik itu dari segala penjuru.
"Hmh!"
Gadis cantik bermata galak itu mengeluarkan dengusan tajam. Tubuhnya yang langsing dan padat itu, berdiri dalam posisi kuda-kuda harimau. Sedangkan pedangnya menyilang didepan dada dengan tangan kiri berada di sebelah dalam. Ketika kawanan lelaki kasar itu tepat berada dalam jarak beberapa tindak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba tubuh langsing itu melesat dengan kecepatan tak terduga.
"Haiiit..!"
Terdengar teriakan gadis itu yang melengking panjang. Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Trang! Bret!
Terdengar jerit kematian ketika sambaran pedang di tangan gadis cantik itu merobek dada salah seorang lawannya, yang berada di sebelah kanan. Tubuh lelaki malang itu terjungkal dan roboh mandi darah. Saat itu juga nyawanya melayang meninggalkan raga.
Bukan main murkanya lelaki berkepala botak itu ketika menyaksikan pengikutnya tewas bersimbah darah.Sambil mengeluarkan geraman keras, tubuh tinggi besar itu langsung melesat maju mengibaskan senjatanya.
Wuttt!
Serangkum angin tajam merobek udara. Kilatan badan golok besar yang tertimpa cahaya matahari, bagaikan tangan-tangan maut yang siap menerkam tubuh lawannya. Tapi, lelaki brewok berkepala botak itu lagi-lagi harus menelan kedongkolannya. Karena sambaran goloknya hanya menerpa angin kosong. Sedangkan tubuh langsing yang terbungkus pakaian biru muda itu, melesat dengan gesit ke sampingnya. Bahkan, pedang di tangannya mengancam lambung iawan. Jelas, kepandaian yang dimilikinya tidak bisa dianggap enteng.
"Setan...!" maki lelaki brewok itu sambil menggulingkan tubuh, menghindari ancaman pedang lawan. Dengan akal licik, dilontarkannya beberapa pisau kecil seraya tetap bergulingan menjauhi incaran senjata lawan.
"Keparat curang...!"
Sosok yang terbungkus pakaian biru muda itu memaki kelicikan lawannya. Pedang di tangannya kembali diputar dan membentuk gulungan sinar yang menyelimuri sekujur tubuhnya. Terdengar suara gemerincing nyaring ketika pisau-pisau sepanjang satu jengkal itu membentur gulungan sinar pedangnya.
"Mampuslah kau...!" maki gadis itu sambil mengibaskan pedangnya, sehingga membentur dua pisau lawannya. Gerakan itu memang dimaksudkan untuk mengembalikan senjata rahasia yang dilepaskan lawannya.
Cappp! Crakkk!
"Ughhh...!"
Lelaki berkepala botak yang baru saja bangkit itu menjerit ngeri. Senjata rahasia yang dilepaskannya menancap di kening dan belahan dadanya. Karuan saja tubuh tinggi besar itu langsung ambruk, dan menggelepar menanti ajal. Darah bercucuran di tanah, dan nyawanya terbang dengan mata terbelalak.
Menyaksikan pemimpin mereka tewas di tangan gadis itu, tanpa diberi perintah lagi, para pengikutnya yang masih selamat berhamburan melarikan diri.
Sedangkan gadis berpakaian biru muda itu, sama sekali tidak berusaha mengejar lawan-lawannya. Hanya matanya tak berkedip mengikuti bayangan tubuh lawannya yang melarikan diri. Seulas senyum mengejek membayang di wajah cantik itu. Mendadak, gadis berpakaian biru muda itu memutar tubuhnya ketika mendengar suara tepukan di belakangnya. Dan, sepasang matanya yang indah itu tertegun menatap sosok pemuda berpakaian sutera putih.
"Hebat, sungguh membuat hatiku benar-benar kagum sekali. Kali ini, kawanan anjing-anjing kelaparan itu benar-benar terkena batunya," sambil mengeluarkan kata-kata yang bernada pujian, kakinya melangkah menghampiri. Bahkan, sepasang matanya yang bersinar tajam itu, sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru muda itu berdiri bengong. Bukan ketampanan sosok berpakaian sutera putih itu yang membuatnya terpaku seperti patung. Tapi, kehadiran sosok itu yang membuatnya terheran-heran. Karena, sama sekali tidak diketahuinya, sejak kapan orang itu datang.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak? Dan, apa maksud ucapanmu itu?" tegur gadis itu dengan suara tajam, dan tidak bersahabat Bahkan sinar mata dan tarikan wajahnya menampakkan rasa curiga.
"Ah! Maaf..., maaf.... Apakah kau benar-benar seorang manusia biasa...?" ujar sosok yang temyata seorang pemuda tampan itu dengan suara gagap. Bahkan, raut wajahnya jelas memancarkan ketidak-percayaan. Seolah- olah bukan gadis itu yang tengah berdiri di hadapannya. Melainkan sesuatu yang telah membuatnya terpesona sekaligus gentar.
Tentu saja gadis itu menjadi heran melihat kelakuan pemuda tampan yang berbicara gagap itu. Namun, sesaat kemudian, sinar matanya kembali berkilat penuh ancaman.
"Kurang ajar...! Apakah kau mengira aku sebangsa siluman?" geram gadis cantik itu marah.
"Ah! Bukan..., bukan itu maksudku. Tapi, kau..., kau cantik sekali. Seperti... seperti seorang dewi dari langit... Maafkan kalau aku bersikap kurang patut," pinta pemuda tampan itu, sambil merangkapkan telapak tangannya dan membungkuk dalam-dalam. Nyata sekali kalau ia tidak bermaksud main-main. Karena semua itu terlihat jelas diwajahnya.
"Kau..., kau kurang ajar...," maki gadis itu, dengan wajah kemerahan dan bibir menyembunyikan senyum senang. Jelas, ia tengah berusaha menutupi rasa bangga karena dipuji pemuda tampan itu. Sehingga, tekanan pada ucapannya tidak sekeras dan seketus semula.
Apa yang dirasakan gadis berpakaian biru muda itu, memang wajar dan bisa terjadi dengan wanita mana saja. Hati wanita mana yang tidak merasa bangga mendengar pujian tentang kecantikannya yang menyamai dewi dari langit? Apalagi yang melontarkan pujian itu seorang pemuda tampan. Tentu saja pujian itu membuat hatinya berbunga.
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Bukan aku bermaksud kurang sopan. Tapi, terus terang apa yang kuucapkan itu, memang keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam, tanpa berniat kurang ajar sedikit pun. Maafkan atas keterusteranganku ini, mmm...," ujar pemuda tarnpan itu menggantung ucapannya. Sepertinya, gadis itu tengah dipancingnya untuk memperkenalkan diri.
"Sudahlah. Di antara kita tidak ada urusan. Aku pergi...," pamit gadis itu yang segera membalikkan tuuhnya hendak meninggalkan Hutan Ranggat.
"Nisanak, tungguuu...!" cegah pemuda tampan itu sambil berlari mengejar. Dan, sekali berkelebat saja, tubuhnya telah berada beberapa tombak dari tempat semula.
Gadis berpakaian biru muda itu menunda larinya, ketika merasakan sambaran angin lewat di samping kanannya. Dan, tanpa diketahuinya pemuda berpakaian sutera berwarna putih itu, telah berdiri di hadapannya dalam jarak satu tombak.
"Hra... Rupanya kau memiliki kepandaian, dan akan berbuat kurang ajar padaku? Hm..., jangan kau kira, aku takut dengan kepandaianmu yang tinggi itu? Majulah...," tantang gadis cantik itu dengan sikap siap tempur. Bahkan, tangan kanannya terlihat sudah meraba gagang pedang dipinggangnya.
"Sabar, sabar dulu, Nisanak," ucap pemuda tampan itu sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya mencegah. "Aku sama sekali tidak bermaksud jelek. Hanya..., kalau boleh, aku ingin mengetahui namamu dan tujuanmu," lanjut pemuda itu dengan nada yang sopan dan simpatik.
Sebenarnya gadis itu sudah merasa marah dan ingin memberikan pelajaran kepada pemuda itu. Namun, melihat sikapnya yang sopan, diam-diam timbul rasa suka di hati gadis itu. Tapi, perasaan itu ditutupinya dengan ucapan ketus dan sinar mata yang dibuat segalak mungkin. Dan, ia pun tidak segera menjawab pertanyaan pemuda itu.
Pemuda tampan itu rupanya menyadari kekeliruan yang dibuatnya. Maka, cepat-cepat ia melanjutkan kata-katanya dan memperkenalkan diri terlebih dahulu. "Mmm..., maaf. Namaku adalah Pradipta. Tujuan perjalananku ke Selatan. Nah, apakah keterangan tentang diriku sudah cukup memenuhi syarat untuk mengenalmu...?" ujar pemuda tampan itu dengan sikap yang sopan dan tidak mencerminkan watak seorang pemuda ceriwis. Sehingga, rasa simpati di hati gadis itu kian bertambah.
"Hm..., sebenarnya aku tidak ingin berkenalan dengan sembarang orang Tapi, melihat sikapmu yang sopan, aku memberi sedikit kelonggaran untuk mengenalku. Namaku Trijanti. Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti. Tapi perjalanan kita satu arah. Nah, apakah sudah cukup keterangan tentang diriku?" balas gadis itu tersenyum.
"Wah, kalau begitu, kita setujuan!" sambut Pradipta, dengan senyum gembira. "Mmm..., bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama-sama...? Tentu saja kalau Nisanak tidak keberatan?" sambung Pradipta masih dengan gayanya yang enak dipandang mata.
"Maaf, sebagai seorang wanita, aku tidak bisa melakukan perjalanan dengan orang yang sama sekali tidak kukenal. Jadi, sebaiknya kita mengambil jalan sendiri-sendiri saja," sahut Trijanti yang segera melangkahkan kakinya melewati pemuda tampan di depannya itu.
"Tapi, bukankah kita sudah berkenalan, Trijanti...?" desak Pradipta yang mengekor di belakang gadis cantik Itu.
Kali ini gadis berpakaian biru muda bernama Trijanti itu tidak mempedulikannya sama sekali. Kakinya terus diayunkan, kemudian berlari cepat meninggalkan pemuda ita Bahkan ia tidak menoleh ke belakang satu kalipun.
"Trijanti...!" panggil Pradipta tanpa berusaha mengejar gadis cantik itu. la hanya berdiri memandangi bayangan Trijanti yang lenyap di balik rimbunnya pepohonan hutan.
********************
Saat itu, kemilau jingga telah merona di ufuk Barat Sebentar kemudian, senja pun merayap menyelimuti permukaan bumi ini. Suara-suara binatang malam pun terdengar menyambut kedatangan sang malam. Trijanti yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di atas pembaringan kayu, menatap kosong ke langit-langit kamar tempatnya melewatkan malam ini. Namun, sepasang mata bening itu tampak menyembunyikan segumpal resah. Semua itu terlihat dari sorot matanya yang hampir tidak berkedip menatapi langit-langit
"Hhh..."
Terdengar sebuah tarikan napas panjang sebagai ungkapan rasa resah. Kemurungan tampak semakin nyata tergambar di wajahnya. Kemudian ia bergerak bangkit dan duduk di atas pembaringan. Masih dengan wajah murung, gadis cantik itu kembali termenung.
"Gila...!" desis gadis cantik itu menghela napas berat "Mengapa wajah pemuda tampan itu tidak mau hilang dari benakku? Apa sebenarnya yang terjadi denganku? Belum pernah aku merasakan keanehan ini. Atau..., apakah aku telah tertarik dengan pemuda bernama Pradipta itu...?"
Setelah bergumam demikian, tubuhnya diluruskan sejenak, kemudian kakinya melangkah gontai ketuar dari dalam kamarnya. Sejak berjumpa Pradipta dua hari yang lalu, Tri-janti merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Mulanya ia tidak begitu mempedulikannya, dan menganggap hal itu sesuatu yang wajar. Namun, makin lama perasaan aneh itu kian berkembang, dan membuat hatinya selalu resah. Dan, ia pun mulai menyadari, apa sebenarnya yang tengah dialami.
Dalam usianya yang sudah mencapai sembilan belas tahun, Trijanti segera dapat menebak perasaan yang terkandung dalam hatinya. Dengan langkah perlahan, gadis cantik yang memiliki kepandaian tinggi itu bergerak menuju taman belakang rumah penginapan yang terletak di Desa Waru itu. Dengan gerakan yang tanpa sema-ngat, Trijanti menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah bangku bambu di dalam taman itu.
"Aneh, mengapa sekarang aku begitu mudah tertarik kepada seorang pemuda?" kembali batin Trijanti bergumam. "Padahal bukan hanya Pradipta saja yang kukenal. Cukup banyak pemuda-pemuda yang gagah dan tampan berkunjung ke tempatku semasa aku berada di Gunung Buntar. Karena sahabat-sahabat guruku kerap berkunjung dan membawa murid-muridnya. Tapi, aku tidak pernah mengalami perasaan seperti saat ini. Perkenalan dengan murid-murid sahabat guruku itu, sama sekali tidak menggangguku, meskipun mereka telah pergi meninggalkan Gunung Buntar. Tapi, mengapa perasaan aneh ini timbul setelah berjumpa dengan Pradipta...?"
Trijanti kembali menghela napas resah. Bayangan pemuda tampan yang telah membuat hatinya gelisah, benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Setiap kali pandangannya diarahkan ke satu benda, selalu saja bayangan Pradipta muncul dengan gaya dan senyumnya yang sangat simpatik itu. Semua gangguan itu tentu saja membuatnya jengkel. Sehingga, tidak jarang wanita cantik itu memukul keningnya perlahan, atau menggoyangkan kepalanya keras-keras. Seolah-olah dengan berbuat demikian, bayangan Pradipta dapat hilang dari benaknya.
Setelah dua hari bayangan itu tidak mau juga lenyap. Kini sadarlah Trijanti kalau dirinya telah jatuh hati kepada pemuda tampan itu. Terkadang ucapan-ucapan pemuda itu terngiang kembali di telinganya. Dan, ingatan itu mau tak mau membuatnya tersenyum seorang diri. Demikian pula halnya dengan malam itu. Keresahan dan rasa ingin berjumpa dengan Pradipta, membuat gadis cantik itu tidak bisa memicingkan mata sekejap pun. Bahkan, kegembiraannya selama ini seperti lenyap. Sehingga, ia merasa hari-hari yang dilaluinya kosong dan tidak menyenangkan.
"Siapa...?"
Tiba-tiba saja Trijanti bergerak bangkit ketika mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Telinga gadis itu sangat jelas menangkapnya. Padahal, saat itu ia tengah tenggelam dalam lamunannya. Tapi, semua itu bukan karena pendengaran Trijanti yang tajam. Melainkan, langkah kaki itu sengaja diberatkan agar gadis itu dapat mendengarnya. Sehingga, meskipun tengah tenggelam dalam lamunan, suara langkah berat itu pasti tertangkap oleh pendengarannya.
"Sss... siapa...?"
Trijanti mengulang pertanyaannya. Dengan suara yang agak gagap dan tegang. Karena, sepasang matanya menangkap sosok berpakaian sutera putih yang tampak gemerlap ditimpa cahaya rembulan.
Sosok tegap berpakaian sutera putih itu melangkah tenang menghampiri Trijanti yang bagaikan tersihir. Gadis itu hanya berdiri dan menatap seperti patung. Sedangkan dadanya bergemuruh dilanda ketegangan.
"Kau...?" jerit hati Trijanti setengah tak percaya. Namun, ucapan itu tidak sampai terucap di bibirnya. Tentu saja, sosok berpakaian putih itu sama sekali tidak mendengarnya.
Sepasang mata Trijanti terbelalak ketika melihat raut wajah sosok tubuh itu. Apalagi pancaran sinar bulan tepat meneranginya. Sehingga, wajah sosok tubuh tegap itu bagaikan mengeluarkan sinar. Ditambah lagi dengan jubah sutera putihnya yang semakin bercahaya. Semua itu benar-benar merupakan pemandangan yang sangat mempesona. Wajar kalau beberapa saat lamanya gadis itu hanya bisa memandang dengan sepasang mata penuh kagum.
DUA
"Apa kabar, Dik Trijanti...?" sapa Pradipta lembut Ucapannya lebih mirip dengan suara bisikan.
Namun, bagi Trijanti sendiri, sapaan itu telah membuatnya sadar dari sikap bodohnya Karuan saja gadis cantik itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tampak rona kemerahan pada kedua pipinya. Pertanda ia merasa malu dengan kelakuannya sendiri. Tapi, semua itu merupakan ungkapan perasaan hatinya yang terdalam. Itu yang membuat Trijanti semakin merasa jengah. Sehingga, ia tetap menyembunyikan wajahnya seraya menenangkan hatinya yang tengah bergemuruh.
"Mengapa kau berada di tempat ini? Apa kau memang sengaja menguntitku...?" tegur Trijanti tajam sambii tetap menyembunyikan wajahnya. la tidak ingin pemuda itu mengetahui apa yang tersimpan di matanya. Apabila ia mengangkat wajahnya, tentu saja pemuda itu akan mengetahui perasaannya yang melekat pandangan matanya.
"Maafkan aku, Trijanti... Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Secara jujur kuakui semenjak pertemuan kita di Hutan Ranggat, aku benar-benar tidak bisa melupakanmu. Karena itu aku mengikuti perjalananmu. Sekali lagi aku mohon maaf apabila perbuatanku kau anggap tidak sopan...," sahut pemuda tampan berpakaian sutera putih itu, yang tak lain adalah Pradita. Tak mengherankan bila pemuda tampan itu mengetahui tempat Trjanti menginap. Rupanya ia sengaja menguntit perjalanan gadis cantik itu. Tidak aneh kalau tiba-tiba Pradipta muncul di hadapan Trijanti
"Kau... apa... apa maksudmu sebenarnya..? Tanya Trijanti dengan suara bergetar karena menahan perasaannya. Ucapan pemuda tampan itu telah membuatnya terpaksa mengangkat kepala, dan menata tajam bola mata Pradipta. Seolah ia ingin mencari bukti dari bola mata pemuda yang telah menimbulkan perasaan resah di hatinya itu.
"Trijanti... kau cantik sekali malam ini...," terdengar suara pujian bernada lembut, yang meluncur begitu saja dari mulut Pradipta. Sambil berkata demikian, pemuda itu kembali melangkah mendekati gadis cantik itu, yang membuat hatinya berdebar tak karuan.
"Kau laki-Iaki tidak sopan...! Rupanya kau seorang perayu ulung. Dan, kau sengaja ingin menggoda dan menjeratku! Huh! Sayang, kau salah menilai orang! Rayuan mautmu tidak akan dapat menjebakku...!" Desis Trijanti ketus. Setelah berkata demikian, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak tahan melihat sinar mata pemuda itu, yang sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sehingga, wajah gadis cantik itu pun kembali dijalari warna kemerahan.
"Trijanti..., begitu rendahkah penilaianmu terhadap diriku? Salahkah kalau aku tertarik kepadamu?" dengan suara bergetar Pradipta terus melangkah. Tampak wajahnya agak pucat ketika ia berhenti beberapa langkah di depan gadis cantik itu. Di-tatapnya wajah Trijanti dan sinar matanya seolah-olah menuntut jawaban.
"Hm.... Kita baru saja bertemu dan itu pun hanya sekilas. Mengapa kau begitu mudah melontarkan kata-kata pujian? Aku yakin pujian-pujianmu itu selalu kauucapkan setiap kali berjumpa dengan gadis-gadis cantik lainnya. Nah, apa kau mau menyangkal...?" kembali terdengar suara ketus Trijanti dengan disertai dengusan mengejek. Sedang wajahnya tetap berpaling dan sama sekali tidak menoleh ke arah Pradipta.
"Hhh... apa pun penilaianmu tentang diriku, itu adalah hakmu. Tapi, cobalah kau jawab pertanyaanku ini. Salahkah bila kita melihat sesuatu yang indah kemudian memujinya? Ataukah kau lebih suka dengan sikap munafik dan berpura-pura mencemooh. Padahal, kau bisa melihat pujiannya dari pancaran sinar matanya? Haruskah dia mengatakan kau jelek dan berpura-pura membencimu, tapi Kenyataan yang sesungguhnya justru berlawanan?" ujar Pradipta kembali menyeret langkahnya, sehingga jarak di antara mereka tinggal terpaut satu langkah.
Dengan sangat pandainya, Pradipta terus mendesak Trijanti dengan ucapan dan sikap yang simpatik. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pemuda tampan itu. Sayang, gadis cantik itu tidak melihatnya, karena ia masih saja tidak menoleh ke arah Pradipta. Sehingga, ia pun tidak menyadari bibir pemuda tampan itu tampak menyunggingkan senyum yang mempunyai makna beragam.
"Trijanti...," panggil Pradipta sambil tangannya menyentuh bahu gadis cantik itu. Melihat dari sikap dan caranya menghadapi Trijanti, pemuda itu sudah dapat menebak isi hati gadis cantik di depannya. Tak heran kalau ia semakin berani menyentuh bahu Trijanti.
Trijanti yang ekor matanya melihat gerakan tangan pemuda itu, bergegas melangkah mundur. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam jarak empat langkah. Sekilas terlihat sinar berkilat pada sepasang matanya yang bening. Jelas, kalau ia tidak suka dengan apa yang akan dilakukan Pradipta terhadap dirinya. Tatapan mata Trijanti yang semula menyiratkan kemarahan itu, mendadak lembut ketika beradu pandang dengan pemuda tampan didepannya.
"Pandanglah mataku, Trijanti. Lihatlah, apakah kau menemukan kebohonganku?" ujar Pradipta dengan nada lembut, namun mengandung getar-getar aneh yang tidak mengerti oleh Trijanti.
Tanpa membantah, gadis itu balas menatap sepasang mata tajam pumuda tampan itu.
"Dengarlah, Trijanti. Aku sayang padamu, dan tidak ingin melihat kau murung," desis pemuda tampan itu dengan sepasang mata melekat pada bola mata Trijanti. Sambil berkata demikian, sepasang tangannya memegang kedua bahu gadis cantik itu.
Ucapan lembut yang mengandung getar-getar uneh itu sepertinya mampu meluluhkan hati Trijanti. Sinar matanya tampak mulal meredup. Dan ia tidak herusaha mengelakkan sentuhan tangan Pradipta. Malah gadis cantik itu tidak kuasa lagi menahan perasaan hatinya. Sehingga, ketika tubuhnya dibawa ke dalam pelukan pemuda tampan itu, ia sama sekali tidak memberontak.
"Katakan, Trijanti, apakah kau memiliki perasaan yang sama denganku,..?" bisik Pradipta sambil memeluk lembut tubuh gadis cantik itu. Bahkan, ucapannya diakhiri dengan sebuah kecupan lembut pada rambut Trijanti, yang kepalanya sudah direbahkan ke dada pemuda tampan itu.
"Ya, Kakang, aku pun mempunyai perasaan yang sama denganmu," sahut Trijanti tanpa mengangkat kepalanya dari dada. Ucapannya terdengar seperti sebuah bisikan. Namun, tertangkap jelas ditelinga pemuda tampan yang semakin mempererat pelukannya.
"Kau sayang padaku...?" desak Pradipta lagi, tetap dengan nada yang lembut dan menggetarkan.
"Aku sayang padamu, Kakang...," kembali terdengar jawaban Trijanti menyahuti.
"Ah, syukurlah kalau begitu," desah Pradipta seraya membelai lembut punggung gadis cantik itu. "Hm.... Udara di luar terasa semakin dingin, Adikku. Mari kita kembali ke kamarmu...," ajak pemuda tampan itu sambii mendekatkan bibirnya ke telinga Trijanti. Dan, ajakan itu dijawabnya dengan anggukan kepala.
Dengan sebelah tangan tetap merengkuh tubuh Trijanti, Pradipta melangkah menuju kamar gadis itu. Sedangkan Trijanti sendiri tetap merebahkan kepalanya di bahu pemuda tegap itu. Sebentar ke-mudian kedua tubuh insan berlainan jenis itu lenyap di balik pintu kamar penginapan Trijanti. Sementara di luar malam semakin bertambah larut. Hembusan angin yang dingin semakin keras. Tampak titik-titik air mulai berjatuhan membasahi bumi.
********************
"Ohhh..." Gadis cantik itu mengeluh pendek sambil menggeliatkan tubuhnya yang hanya tertutup selembar kain. Sepasang matanya terlihat mengerjap beberapa kali, untuk kemudian terbuka lebar.
"Aaah. !" Tiba-tiba saja, gadis cantik yang tak lain Trijanti Itu tersentak bangkit seperti disengat kalajengking. Dcngan sepasang mata membelalak lebar, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Sehingga, jeritannya tertahan dan tidak sampai melengking.
"Oh, apa... apa yang telah terjadi dengan diriku? Mengapa... mengapa... ohhh...," Trijanti tak sempat ingin meneruskan ucapannya. Karena ketika ia hendak bergerak bangkit, sekujur tubuhnya dirasakan linu dan nyeri. Sadar kalau sesuatu yang mengerikan telah terjadi tanpa sepengetahuannya, gadis itu pun merintih dan terisak.
Secara samar-samar, Trijanti mulai dapat mengingat apa yang telah dialaminya semalam. Dan, ingatan itu membuat air matanya semakin deras mengalir. Ditahannya tangis yang hendak meledak, agar tidak sampai terdengar penghuni kamar penginapan yang lainnya. Sehingga, hanya terdengar suara isak yang memilukan mengalir dari kerongkongannya.
"Jahanam kau, Pradipta! Pasti kau yang telah melakukan perbuatan keji terhadap diriku!" desis bibir mungil itu bergetar.
Meskipun ia tidak tahu pasti mengapa dan bagaimana kejadian itu menimpa dirinya, Trijanti bergegas bangkit dan menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai. Dengan air mata yang masih tetap bercucuran, gadis cantik itu segera mengenakan pakaiannya. Dan, tanpa merapikan rambutnya terlebih dahulu, tubuh gadis itu telah melesat melalui jendela, terus pergi meninggalkan rumah penginapan, setelah meninggalkan uang sewa kamarnya di atas meja kecil, yang terletak di samping pembaringannya.
Trijanti berlari terus tanpa menghiraukan pandangan mata beberapa orang petani, yang sempat berpapasan dengannya di jalan. Hati gadis cantik itu benar-benar hancur ketika teringat aib yang telah menimpa dirinya. Langkah kakinya terhenti setelah ia berjalan cukup jauh, dan kini ia telah berada di luar perbatasan Desa Waru. Kemudian, ia langsung menjatuhkan kedua lututnya di atas rerumputan yang masih dibasahi embun pagi.
"Guru..., ampunilah kelalaian muridmu yang bodoh dan tak berguna ini..," rintih Trijanti sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Butir-butir air mengalir melalui celah-celah jemarinya yang halus dan lentik itu. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan hati. Entah sudah berapa lama Trijanti tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang dalam itu. Sedusedannya sesekali masih terdengar, meski tubuhnya tetap bersimpuh. Gadis cantik yang bernasib malang itu masih tetap menyesali kecerobohannya.
Ketika raut wajah Pradipta melintas di benaknya, tiba- tiba Trijanti bangkit dengan pandangan liar. Ia berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai cerah. Perlahan-lahan tangan kanannya meraba hulu pedang Terdengar suara nemerincing ketika senjata itu tercabut dari sarungnya.
"Pradipta, Manusia Terkutuk! Demi langit dan bumi, aku bersumpah akan membalas hinaan ini dengan taruhan nyawaku! Sampai ke ujung dunia, aku akan mencarimu, Manusia Keji! Dan, noda yang melekat di tubuhku ini, hanya dapat dicuci dengan darahmu!" ujar Trijanti dengan suara parau dan bergetar. Sumpah itu diucapkannya sambil menengadahkan kepala dan mengacungkan pedangnya kelangit Usai mengucapkan sumpahnya, Trijanti kembali menyarungkan senjatanya.
Wajah cantik yang masih basah oleh genangan air mata itu, kini nampak pucat. Sepasang mata beningnya tidak lagi memancarkan cahaya kehidupan, dingin dan tanpa perasaan. Jelas kalau kejadian yang menimpanya telah membuat Trijanti seperti membenci segala apa yang terlihat matanya.
"Manusia keji tunggulah pembalasanku...!" geram gadis cantik itu, kembali melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan ilmu lari yang dimilikinya.
Cukup lama gadis cantik bemasib malang itu berlari seperti tidak mengenal lelah. Sebuah aliran sungai yang membentang di depannya, membuat langkah Trijanti terhenti. Sambil berdiri tegak, gadis cantik itu menatapi sekelilingnya dengan pandangan tajam. Mendadak saja. Sepasang mata sayu itu, terbelalak ketika secara samar matanya menangkap sesosok bayangan putih yang tengah berlari di seberang sungai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis cantik itu langsung melesat melompati sungai yang cukup lebar itu. Gerakannya yang gesit dan lincah, membuatnya tidak mengalami kesulitan menyeberangi aliran sungai itu. Sebentar saja, ia telah berada di seberang sungai, dan langsung memburu sosok bayangan putih yang dilihatnya tadi.
Geram bukan main hati Trijanti ketika tiba di seberang sungai, sosok bayangan putih itu lenyap dari pandangannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, ia hanya berdiri sambil mengerutkan keningnya seperti tengah memikirkan sosok bayangan putih yang berlari cepat tadi.
"Jahanam kau, Pradipta! Rupanya kau sengaja ingin mempermainkan aku...!" desis Trijanti sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
Kemudian diputuskannya untuk mencari sosok bayangan putih, yang diduganya Pradipta itu. Tubuh ramping itu segera berkelebat mengejar ke arah Barat. Usaha gadis cantik itu tidak sia-sia. Sepasang matanya menangkap sosok bayangan putih yang di-llihatnya tadi. Cepat Trijanti memutar langkah dan bergegas menyusul sosok bayangan itu, yang tengah melintasi daerah perbukitan.
"Jahanam keparat! Jangan lari kau, Iblis...!" teriak Trijanti sambil mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya dalam berlari Karena sosok bayangan putih itu terpisah beberapa puluh tombak di depannya, tampak berlari dengan ringan dan gesit. Sehingga, gadis itu hanya berjuang keras agar dapat mengejarnya. Trijanti semakin mempercepat larinya ketika ia melihat sosok bayangan putih itu berhenti berlari, dan menoleh ke arahnya. Karena sosok tubuh itu sempat menangkap suara teriakan gadis itu. Sehingga ia menunggu kedatangan Trijanti.
"Hm... mau lagi ke mana kau, Manusia Keji! Perbuatan terkutukmu harus kau tebus dengan nyawa!" geram Trijanti. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung melesat dengan putaran senjatanya.
"Eh...?!" Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu, tampak mengerutkan keningnya ketika melihat serangan Trijanti. Sadar kalau serangan itu cukup berbahaya, cepat ia menggeser langkahnya ke belakang dan melanjutkan dengan sebuah lompatan panjang.
"Nisanak, ada apa ini...?" Cegah pemuda tampan itu sambil mengulurkan tangannya kedepan seperti mau menghentikan serangan gadis cantik itu. Sikapnya tampak tetap tenang, dan sepasang matanya yang lembut menyiratkan rasa heran.
Namun, uluran tangan pemuda itu disalah artikan Trijanti. Dikiranya lawan akan membalas serangan, maka gadis cantik berwajah pucat itu segera memutar senjatanya sampai menimbulkan suara mengaung tajam.
"Mampus kau, Bangsat Keji...!" maki Trijanti sambil melompat dan melontarkan serangkaian serangan yang cepat dan ganas!
Whuuut! Whuuut!
Sambaran mata pedang yang berkelebatan itu mengandung bahaya maut, tampak bergulung-gulung mengincar tubuh sosok berjubah putih itu. Sehingga, pemuda tampan itu kembali harus berlompatan untuk menyelamatkan tubuhnya dari kibasan senjata Trijanti.
"Nisanak, tunggu! Apa salahku...?" seru pemuda tampan itu sambil terus berlompatan ke kiri-kanan guna menghindari sambaran pedang yang cepat dan ganas itu.
Hampir menangis Trijanti ketika hampir sepuluh jurus melakukan serangan bertubi-tubi, tapi tak satu pun serangannya mengenal tubuh lawan. Sepertinya sosok tubuh berjubah putih itu hanya bayangan yang selalu mengikuti ke mana senjatanya berkelebat. Jangankan untuk melukai sosok berjubah putih itu, untuk menyentuh jubahnya saja Trijanti tidak mampu melakukannya. Tak heran kalau gadis cantik itu semakin marah dan penasaran dibuatnya.
"Mengapa kau tidak membalas seranganku, Jahanam! Apa kau kira dengan berbaik hati seperti itu aku akan mengampuni dosa-dosamu? Huh! Jangan harap, Manusia Kotor...!" maki Trijanti sambil tetap melontarkan serangannya.
Sosok berjubah putih, yang semula hanya mengelak tanpa melontarkan serangan balasan itu, rupanya mulai kehilangan sabar. Sehingga ketika pedang Trijanti meluncur lurus dan mengancam lambungnya, pemuda tampan itu segera menggeser tubuhnya dengan posisi miring. Ditolaknya pedang di tangan gadis itu dengan sebuah sentilan yang tepat mengenai badan pedang Trijanti.
Terdengar suara bergemerincing nyaring ketika sentilan tangan pemuda itu mengenai pedang di tangan Trijanti, sehingga senjata gadis itu terpental balik dengan kerasnya! Bahkan kuda-kuda gadis cantik itu tergempur sampai mundur. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya kekuatan yang tersembunyi dibalik sentilan jari tangan pemuda itu. Dan rasanya mudah sekali, kalau ia ingin melumpuhkan gadis cantik yang tengah kesetanan itu. Tapi, pemuda itu tidak mau melakukannya. Ia tetap berdiri tegak menatapi tubuh Trijanti yang tengah sempoyongan akibat sentilan jari tangannya.
Trijanti sendiri terbelalak menyaksikan cara pemuda itu melumpuhkan serangan pedangnya. Dan, kalau saja ia tidak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, rasanya sukar sekali untuk percaya. Trijanti menyadari kepandaian yang dimilikinya. Jangankan seorang pemuda seperti lawannya itu, bahkan gurunya sendiri ia tidak yakin berani melakukan tangkisan dengan cara seperti itu. Karena tenaga dalam yang dimilikinya boleh dikatakan jarang dipunyai gadis seusianya. Wajar kalau Trijanti terbengong-bengong menatapi pemuda tampan itu.
Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika dilihatnya wajah pemuda itu. Karena sosok tubuh berjubah putih itu sama sekali bukan Pradipta seperti yang diduganya, meskipun pemuda itu juga sangat tampan, bahkan memiliki perbawa yang amat kuat.
"Nisanak, mengapa kau menyerangku demikian ganas? Rasanya kita belum pernah saling jumpa," ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara yang lembut dan tenang. Hanya sepasang matanya saja yang tajam menatap sosok Trijanti. Sehingga, gadis cantik itu sempat tergetar hatinya.
"Kau... kau bukan Pradipta.... Bukan..., ya, kau bukan pemuda iblis itu...," desis bibir mungil Trijanti dengan gagap dan bergetar. Bahkan, dalam nada ucapannya terkandung isak dan sedu-sedan, yang membuat pemuda itu mengerutkan keningnya, heran.
"Aku memang bukan Pradipta seperti yang kau duga. Namaku Panji. Ada apa sebenarnya, Nisanak?" Tanya pemuda berjubah putih yang ternyata bernama Panji. Sekilas saja, ia sudah dapat meraba, penyebab gadis cantik berwajah pucat itu menyerangnya mati-matian.
"Bukan... kau bukan dia, aku harus mencari iblis terkutuk itu...," setelah bergumam dengan suara yang hampir tak jelas, Trijanti membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan Panji.
"Nisanak, tunggu...!" Panji yang melihat ketidak-beresan pada wanita yang berpenampilan kusut itu, segera berteriak mencegah, dan langsung melesat mengejarnya. Ilmu meringankan tubuh yang sempurna dari pemuda berjubah putih itu, membuatnya mampu bergerak secepat kilat. Sekali lompatan saja, Panji telah berdiri tegak menghadang jalan Trijanti.
"Mau apa kau...? Kau pasti sama jahatnya dengan bangsat Pradipta itu! Dan, kau pun ingin menggunakan ketampanan dan kepandalanmu untuk mencelakai aku, begitu?" bentak Trijanti seraya melompat dengan disertai serangan pedangnya. Sehingga, Panji terpaksa menghindarinya.
"Pergi kau! Pergi...!" sambil berteriak-teriak seperti orang gila, Trijanti mengayunkan senjatanya secara serampangan.
Dan, ketika Panji melompat menjauh, gadis cantik yang hampir gila karena tekanan batin itu, segera melesat melarikan diri. Tampaknya ia merasa takut kalau kejadian yang menimpa dirinya akan terulang kembali.
Panji tidak berusaha melakukan pengejaran. Pemuda itu hanya berdiri tegak, sambil memandangi sosok Trijanti yang kian menjauh. "Kasihan.... Rupanya gadis cantik itu mengalami kejadian yang mengerikan. Entah siapa orang yang disebutnya dengan nama Pradipta itu. Bisa saja orang itu kekasihnya, dan telah mengkhianatinya, atau mungkin juga ia telah tertimpa kemalangan dari seorang penjahat cabul. Hm..., sayang ia masih sulit untuk didekati. Sebaiknya kuikuti saja gadis malang itu. Siapa tahu ia memerlukan bantuan," gumam Panji menduga-duga. Setelah mengambil keputusan begitu, pemuda tampan itu bergegas menyusul Trijanti dan menguntitnya.
********************
TIGA
Pemuda itu duduk di atas sebuah batu besar, sambil mengawasi beberapa orang yang tengah mencuci dan membersihkan diri di sungai. Sepasang matanya yang tajam, memancarkan pengaruh aneh, dan berputaran liar mengawasi wanita-wanita desa itu. Pada wajah yang tampan itu, tersungging senyum manis ketika telinganya mendengar celoteh gadis-gadis desa yang tampak lugu itu.
"Kenapa terburu-buru, Arum? Matahari belum lagi naik tinggi, lebih baik kita ngobrol-ngobrol saja dulu," ujar seorang gadis berwajah bulat telur, yang pada dagu sebelah kirinya terdapat tahi lalat.
Gadis berwajah mungil dengan bentuk hidung yang mancung, menoleh dan sejenak tersenyum manis. Sedang di pinggang kanannya tersampir keranjang tempat pakaian yang telah dicucinya.
"Sebenarnya aku ingin ikut bergembira dengan kalian. Tapi, aku harus memasak makanan dan mengantarkannya untuk ayahku yang bekerja di ladang. Sebab, ibuku sedang sakit Jadi, akulah yang menggantikannya. Sudah ya, aku pulang duiu," pamit gadis berwajah mungil yang segera melemparkan senyum. Manisnya. Kemudian terus melenggang naik ke atas tepian sungai.
"Hati-hati, Arum. Siapa tahu di tengah jalan kau dibawa lari orang," goda wanita bertahi lalat itu yang disambut tawa berderai gadis-gadis lainnya.
"Biarlah kalau yang menculiknya pemuda tampan dan baik hati...," seru gadis bernama Arum dari tepi sungai.
"Ngaco kamu, mana ada penculik yang baik hati..!" sambut gadis yang lainnya menertawakan.
Namun, gadis manis bernama Arum itu tidak lagi mempedulikan ocehan kawan-kawannya. Dengan wajah yang masih terhias senyum manis, ia bergegas menuju desa. Arum tidak merasa khawatir sama sekali, kendati la berjalan pulang seorang diri. Karena desanya selama ini dikenal paling aman di antara desa-desa yang lainnya. Apalagi setelah kepala desanya digantikan dengan seorang lelaki setengah baya bernama Ki Ringgo. Keadaan desanya semakin bertambah aman, dan tidak pernah terjadi tindak kejahatan.
Ki Ringgo, seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar dan memiliki sikap tegas. Konon orang tua itu pernah menjadi seorang perwira kepercayaan Adipati. Meskipun penduduk Desa Magetan, tempat Arum tinggal tidak ada yang mengetahuinya secara pasti, namun melihat kepandaian dan sikap tegas Ki Ringgo, tentu saja para penduduk desa itu mempercayainya. Apalagi selain terkenal kebaikan dan kedermawanan, orang tua itu pun datang ke Desa Magetan dengan kekayaan yang berlimpah. Sehingga, ketika ada penggantian kepala desa, banyak penduduk yang menunjuk lelaki gagah itu sebagai pengganti kepala desa lama.
Senyum di bibir Arum semakin melebar ketika teringat kepala desanya yang baru itu. Tapi, bukan orang tua gagah itu yang membuatnya tersenyum. Melainkan, putra sulung kepala desa itulah yang membuatnya tersenyum. Dan, hampir semua penduduk tahu kalau putra sulung kepala desa menaruh perhatian terhadapnya. Biasanya pemuda yang menjadi kekasihnya itu, selalu setia menunggunya hingga selesai mencuci. Baru kali ini putra sulung Ki Ringgo itu tidak menemaninya. Karena pemuda itu pergi bersama keluarganya, menjenguk sanak saudaranya yang tengah menderita sakit keras. Itulah sebabnya Arum tidak ditemani pujaan hatinya.
"Aaaw...!"
Mendadak Arum mengeluarkan jeritan tertahan. Sedangkan tempat cuciannya langsung terlempar, karena tangan kanannya digunakan untuk menutupi mulutnya. Sehingga jeritannya tidak terdengar sampai jauh. Tubuh Arum yang langsing padat, dan hanya tertutup kain sebatas dada itu, menggigil hebat. Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat makhluk sebesar lengannya berdiri tegak menghadang di tengah jalan setapak yang akan dilaluinya.
"Uuu... ularrr...," desisnya gemetar, sambil melangkah mundur perlahan.
Sedang makhluk sepanjang satu setengah tombak itu, berdesis-desis menjulur-julurkan lidahnya yang merah bagaikan darah. Binatang berbisa itu menatap tajam ke arah Arum. Sejauh itu ia tetap tidak bergeming dari tempatnya, dan hanya menatap penuh ancaman.
Arum yang sekujur tubuhnya mulai dialiri keringat dingin itu, melangkah perlahan menjauhi binatang berbahaya itu. Malang, ia tidak sempat memperhatikan sebuah batu di belakangnya. Sehingga, tubuh gempal itu terjerembab ketika kakinya tersandung batu itu.
"Ohhh...!" terdengar suara jeritan lirih dan bergetar yang keluar dari tabirnya. Pada saat ia tengah bergerak bangkit, ular beracun itu langsung melesat bagai kilat ke arah Arum, yang hanya mampu memandang dengan wajah seputih kertas.
Tepat pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat cepat, dan langsung tangannya menangkap ular tersebut. Kemudian, kepala ular beracun itu dihantamkannya ke sebuah batu yang terletak di tepi jalan.
Terdengar suara berderak nyaring yang disertai percikan darah segar. Tanpa ampun lagi, kepala ular itu langsung pecah, dan mati seketika itu juga. Hebatnya, semua gerakan itu hanya dilakukan sekejap mata saja. Sehingga, Arum sendiri tidak mengetahui, ular itu tiba-tiba saja mati dengan kepala pecah. Karena matanya memang tidak mampu menangkap apa yang dilakukan sosok bayangan putih itu.
Setelah melempar bangkai ular itu jauh-jauh, sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu, bergegas menoleh ke arah Arum. Senyumnya yang penuh pesona terukir bersamaan dengan tangannya terulur untuk menolong gadis itu bangkit.
Karena belum terlepas dari rasa takut yang menguasainya, Arum mengulurkan tangannya bagai orang linglung. Kedua kakinya terlihat masih gemetar ketika ia mencoba untuk berdiri. Tentu saja tubuhnya jadi limbung, mungkin saja tubuhnya terjatuh kalau saja tangan pemuda tampan itu tidak keburu menangkapnya. Dan, secara tak sengaja, tubuh ramping yang padat dan berkulit lembut itu jatuh ke dalam pelukan pemuda penolongnya itu.
Arum yang belum hilang dari rasa terkejutnya itu langsung menyembunyikan kepalanya di dada pemuda itu. Sebentar kemudian, terdengar sedu-sedannya, yang membuat dadanya turun naik dan tergeser ke tubuh penolongnya. Hal itu dilakukannya dalam keadaan setengah sadar.
"Sudahlah, Arum. Hentikan tangismu. Bukankah bahaya itu sudah lewat...?" bujuk pemuda tampan itu dengan nada lembut dan terdengar penuh kasih. Sambil berkata demikian, jemari tangannya bergerak membelai punggung gadis desa itu, yang sama sekali tidak terlindung pakaian.
Karena selama hidupnya, Arum belum pernah merasakan sentuhan tangan laki-laki, karuan saja gadis desa yang lugu itu tersentak kaget. Cepat ia menyentakkan tubuhnya dari pelukan penolongnya itu, ketika merasakan getaran aneh menyelusup ke seluruh bagian tubuhnya.
"Maafkan aku.... Aku..., aku telah lupa diri, hingga telah...," Arum tidak mampu melanjutkan ucapannya, karena rasa jengah telah membuat kedua pipinya bersemu merah. Sehingga, gadis desa itu terpaksa menundukkan wajahnya sambil memilin-milin kainnya, tanpa sadar. Dan, Arum sendiri tidak menyadari sama sekali kalau kain yang dikenakan sebatas dada itu telah melorot, tampak gumpalan buah dadanya yang ranum. Sehingga, pemuda tampan itu sempat menatap gumpalan bukit kembarnya dengan sinar mata berkilat aneh.
"Tidak mengapa, Arum. Aku memaklumi keadaanmu yang masih terkejut oleh ular tadi," sahut pemuda tampan itu dengan gaya yang sangat memikat dan tutur katanya yang lembut.
"Tuan... dari mana Tuan mengetahui namaku...?" Tanya Arum yang merasa heran mendengar penolongnya itu telah mengetahui namanya. Sehingga, gadis desa itu terpaksa mengangkat kepalanya me-natap pemuda tampan itu.
Deggg!
Jantung di dalam dada Arum berdebar ketika melihat ketampanan wajah penolongnya. Tanpa sadar, ditatapnya sekujur tubuh pemuda itu. Rasa kagumnya semakin bertambah, melihat tubuh penolongnya yang tegap dan gagah. Apalagi pakaian yang dikenakannya terlihat dari bahan mahal.
"Mengapa, Arum? Apakah diriku menakutkan, sehingga kau menjadi terkejut?" kembali terdengar suara lembut pemuda tampan itu, menyadarkan Arum dari pesona yang menguasainya.
"Tuan pasti orang kota. Pakaian yang Tuan kenakan bagus sekali. Harganya pasti mahal," ucap bibir mungil Arum yang rupanya telah lupa kalau pertanyaannya belum dijawab pemuda tampan itu.
"Kalau kau suka, aku bisa membelikannya ke kota. Kau mau...?" ujar pemuda tampan itu sambil melemparkan senyum manisnya. Ucapan itu disertai dengan uluran kedua tangannya yang langsung memegang kedua bahunya yang telanjang.
Pemuda tampan yang tak lain Pradipta itu, tersenyum senang ketika merasakan bahu lembut berkulit halus itu tampak bergetar karena sentuhannya. Kenyataan itu membuat Pradipta tambah berani dan meremas perlahan bahu gadis desa yang lugu itu.
"Ah, tidak..., jangan, Tuan. Aku..., aku..."
"Tidak mengapa, Arum. Kalau kau suka, katakan saja. Aku akan membelikannya dengan senang hati," ujar Pradipta yang masih terus meremas kedua bahu Arum. Sehingga tubuh gadis itu kian menggeletar. Dan sebagai orang yang berpengalaman dalam menghadapi wanita, Pradipta pun tahu kalau Arum telah tertarik padanya. Hanya mungkin karena ia adalah seorang gadis desa. Maka, perasaan malunya telah membuat gadis itu bertahan sekuat tenaga.
"Bukan..., bukan itu maksudku, Tuan. Tapi..., aku malu kalau sampai terlihat orang...," ucap gadis manis itu dengan napas serasa sesak. Dengan perlahan, Arum mencoba meronta dari pegangan penolongnya itu. Kemudian melangkah mundur beberapa tindak dengan wajah pucat bercampur merah.
Arum kembali mundur empat langkah, ketika bayangan wajah kekasihnya melintas di benaknya. Meskipun kekasihnya memang tidak setampan dan segagah pemuda penolongnya itu. Namun kesetiaannya membuat hati gadis itu tidak terpedaya oleh penolongnya.
Pradipta kembali tersenyum memikat. la sama sekali tidak mengejar Arum. Pemuda tampan berwatak cabul yang menyembunyikan silat aslinya di balik kelembutan dan pakaian indah itu, hanya menatap gadis itu dengan sinar mata kagum. Melihat dari sikapnya yang tidak kasar dan tidak terburu nafsu itu, jelas Pradipta merupakan seorang Pemetik Bunga yang telah berpengalaman.
Meskipun dalam dunia persilatan ia dijuluki sebagai Kumbang Merah. Namun, orang jarang mengetahui tentang dirinya. Siapa yang mau percaya kalau pemuda setampan dan segagah Pradipta suka menodai anak-anak gadis orang. Dengan wajah tampan dan penampilannya yang mewah itu, gadis mana yang tidak akan tertarik kepadanya. Ditambah lagi dengan sikapnya yang lembut dan pandai merayu. Sukar rasanya untuk dipercaya kalau Pradipta sebenarnya si Kumbang Merah yang telah menggemparkan wilayah Selatan dengan ulahnya.
Karena di Wilayah Selatan ruang geraknya kian terbatas, maka pemuda tampan berwatak keji itu merantau ke Wilayah Barat. Di daerah yang baru ini tidak banyak orang yang mengetahui tentang dirinya. Dan, ia pun kembali membuat ulah. Kali ini sasarannya adalah Arum, gadis Desa Magetan yang lugu, dan tidak tahu sifat licik kaum persilatan golongan sesat itu.
Apalagi gadis desa itu sama sekali tidak mengetahu tentang persilatan. Maka, wajar saja kalau ia tidak sadar bahwa dirinya tengah diincar pemuda penolongnya itu. Dan, Arum pun sama sekali tidak mengetahui kalau munculnya ular beracun itu. Karena ulah dan kecerdikan Pradipta. Meskipun Pradipta dikenal sebagai penjahat Pemetik Bunga, namun ia tidak mau memaksa korbannya. Semua korban-korbannya secara suka rela menyerahkan diri ke dalam pelukannya. Juka ia menemukan gadis yang menimbulkan hasratnya, tapi sulit ditundukkannya, maka Pradipta tidak segan-segan menggunakan ilmu sihirnya.
Tapi, pemuda berwatak cabul itu tidak ingin menggunakan ilmu sihirnya. Karena sekali pandang saja, ia sudah dapat menebak kalau gadis desa itu akan suka menyerahkan dirinya, bila ia mencoba menjerat gadis desa yang lugu itu dengan ketampanan dan kelembutan sikapnya. Dan, ia yakin akan berhasil baik.
"Kau takut kepadaku, Arum?" ujar Pradipta dengan senyum yang menghias wajahnya. "Apakah diriku mirip dengan seorang penjahat yang suka mengganggu wanita? Dan, bukankah kalau aku mau hal itu sangat mudah kulakukan dengan kepandaianku?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Tapi..., aku sudah mempunyai kekasih. Aku tidak ingin kalau perbuatan Tuan tadi dilihat penduduk desa ini. Mereka pasti akan mengadukannya kepada kekasihku," bantah Arum yang merasa tidak enak karena telah berhutang budi dengan pemuda tampan, yang telah menyelamatkan dirinya dari bahaya.
"Ah, kekasihmu itu pasti sangat tampan dan kaya. Tentu saja aku tidak ada artinya jika dibandingkan dengan pria pujaanmu itu. Ah, betapa beruntungnya pria yang mendapatkan cintamu itu. Arum. Andai saja pria yang mendapatkan cintamu itu adalah aku, alangkah bahagianya," ucap Pradipta yang mulai melancarkan aksinya dengan ucapan-ucapan berupa penyesalan. "Sayang kita terlambat berjumpa. Kalau saja aku bertemu denganmu lebih dulu, tentu aku tdak akan membiarkanmu sendirian melewati tempat ini. Engkau terlalu cantik untuk dilepaskan seorang diri, Arum," lanjut pemuda berwatak cabul itu dengan disertai desahan napas panjang. Bahkan, dengan pandainya Pradipta merubah raut wajahnya menjadi murung dan tampak sangat sedih.
"Tapi, Tuan, aku hanyalah gadis desa yang bodoh dan miskin. Sedangkan Tuan hanya pantas mendampingi wanita-wanita kota atau putri seorang adipati. Bagaimana mungkin aku dapat disamakan dengan mereka?" bantah Arum yang mulai terpancing dengan ucapan-ucapan Pradipta.
Bantahan itu dilontarkan Arum untuk menyembunyikan perasaan hatinya yang tengah dilanda rasa kasmaran. Wanita mana yang tidak bangga mendapat seorang pemuda tampan seperti Pradipta? Apalagi gadis desa seperti Arum, tentu saja hatinya melambung mendengar kata-kata penolongnya itu.
"Ah, aku tidak tahu. Meskipun wajah gadis-gadis kota cantik-cantik, namun tidak ada sinar yang menghiasi parasnya. Dan, semua itu hanya terlihat pada wajahmu. Arum. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku jatuh cinta begitu melihatmu. Kalau saja aku bisa mendapatkan cintamu, hari ini juga aku akan melamar ke orangtuamu. Dan, tidak akan kubiarkan kau berjalan seorang diri seperti sekarang ini," ujar Pradipta melangkah maju perlahan-lahan. Karena gadis itu memperhatikan ucapannya, maka langkah kaki pemuda itu tidak begitu diperhatikan Arum.
Sedangkan hati gadis desa yang lugu itu, semakin berdebar mendengar kata-kata penolongnya itu. Sehingga, Arum semakin lupa dengan bayangan kekasihnya. Jelas, gadis desa itu semakin terpengaruh dengan rayuan pemuda cabul itu.
"Arum..., maukah kau menerima cintaku...?" Tanya Pradipta yang telah berada dua tidak didepan gadis itu. Sedangkan Arum sendiri tidak mendengar pertanyaan pemuda tampan itu. Karena ia tengah terbuai dengan lamunan-lamunan yang indah tentang kehidupan penolongnya yang diduganya anak orang hartawan yang kaya raya.
"Tapi, bagaimana dengan..."
"Pemuda itu tidak mencintaimu dengan sepenuh hati, Arum. Buktinya ia tidak mau menjagamu. Lebih baik ikutlah bersamaku, Arum. Aku akan selalu menjagamu, dan tidak akan pernah meninggalkanmu seorang diri," bujuk Pradipta memotong kalimat yang akan diucapkan gadis itu.
Sedangkan sepasang tangannya kembali berada dikedua bahu gadis desa yang lugu itu. Hati pemuda cabul itu bersorak ketika ia tidak la merasakan perlawanan dari Arum. Dibalasnya tatapan mata gadis desa itu dengan sorot mata lembut membayangkan kasih yang dalam. Sehingga, hati gadis itu semakin terbuai.
"Tapi, apakah kau benar-benar menyayangiku, Kakang. ?" Tanya Arum dengan wajah bodoh.
"Katakanlah, apa bukti yang kau inginkan? Apakah aku harus mengeluarkan hatiku dengan cara membelah dadaku ini? Katakanlah, aku akan menurutinya, demi kau, Arum," tegas Pradipta yang sudah merasa yakin kalau korbannya telah masuk kedalam perangkapnya.
"Iiih, jangan, Kakang. Aku ngeri membayangkannya," sergah gadis desa yang lugu itu dengan mimik wajah yang diliputi perasaan ngeri.
"Kalau begitu biarlah kubuktikan dengan ini...”
Setelah berkata demikian, sebelum Arum menyadarinya, Pradipta telah mengecup bibir Arum dengan sangat perlahan dan penuh perasaan. Kemudian dilepaskannya kembali. Lalu, dipandangnya bibir yang merona merah itu lekat-lekat. Kecupan lembut yang belum pemah dirasakan gadis itu, selama hidupnya. Membuat diri gadis desa itu bagaikan melambung ke angkasa. Sayang, sebelum menyadari kenikmatan itu sepenuhnya, Pradipta telah melepaskannya. Diam-diam hati Arum mengharapkan agar penolongnya itu mengulangi perbuatannya lebih lama. Semua keinginannya itu tentu saja tidak diucapkan melalui kata-kata. Namun, semua itu dapat dilihat Pradipta.
Maka, tanpa menunggu lebih lama lagi, Pradipta kembali mengulangi perbuatannya. Pemuda itu sengaja melakukannya lebih lama dari semula, dengan maksud untuk memancing sambutan gadis desa yang lugu itu. Hati pemuda cabul itu bersorak ketika sepasang lengan Arum memeluk erat tubuhnya. Sepertinya gadis itu tidak ingin membiarkan sang Penolongnya melepaskan ciumannya sebelum ia sempat merasakannya.
Sadar kalau pancingannya telah mengena, maka Pradipta pun mulai menimbulkan rangsangan gadis desa itu. Setelah Arum benar-benar terlena dibuatnya, dibawanya tubuh ramping yang padat itu ke tepi jalan dan direbahkannya di atas rerumputan tebal. Selanjutnya, si Kumbang Merah pun menghisap sari madu bunga desa itu dengan lahapnya. Sedang sang bunga tidak sadar kalau kumbang itu hanya sekadar singgah untuk kemudian kembali terbang mencari bunga segar lainnya.
********************
EMPAT
Lelaki setengah baya itu tergesa-gesa berjalan menyusuri tegalan menuju ke Desa Magetan. Saat itu hari baru saja menjelang petang. Menilik dari pakaian yang penuh lumpur dan cangkul dibahu kanannya jelas kalau lelaki itu adalah seorang petani. Sepertinya petani tua itu terburu-buru pulang ke rumah. Sedangkan para petani lainnya tampak masih sibuk mengurus sawahnya. Begitu memasuki Desa Magetan, petani tua itu langsung memasuki tempat tinggalnya. Tak lama kemudian, terlihat ia tergopoh-gopoh keluar dengan wajah cemas.
"Kau tidak melihat Arum, Nyai...?" Tanya petani setengah baya itu kepada seorang wanita berwajah bulat telur, yang mempunyai tali lalat pada dagu kirinya.
"Tadi sewaktu di sungai, Arum pulang lebih dahulu, Ki Aku kira ia telah di rumah," jawab wanita itu dengan wajah bingung. Karena jelas temannya itu telah kembali lebih dahulu, dan berpamitan kepadanya.
"Aiiih, ke mana anak itu? Tidak biasanya ia pergi tanpa pamit? Istriku bilang ia belum pulang dari mencuci di sungai. Hm... Apakah Ki Ringgo sudah pulang dari menjenguk sanak keluarganya yang di kota?" Tanya petani bertubuh kekar itu dengan wajah penuh harap.
"Ah, benar! Siapa tahu Tuan Muda Jiwala telah menjemputnya, atau mengajak ke rumahnya, Ki," jawab wanita itu seraya melanjutkan menyapu halaman, setelah petani tua itu pergi tanpa pamit.
Kedatangan orang tua Arum, tentu saja membuat Ki Ringgo sekeluarga menjadi terkejut. Apalagi, lelaki bernama Ki Sukriya itu menanyakan perihal anak gadisnya. Karuan saja Jiwala yang berdiri dekat dengan ayahnya menjadi kalang-kabut. Karena la baru saja mau menjenguk kekasihnya dengan menenteng hadiah yang dibawanya dari kota.
"Kapan Arum pergi, Paman...?" Tanya Jiwala yang ingin mengetahui perihal kepergian kekasihnya. Tampak kecemasan membayang pada wajah pemuda itu, karena hatinya merasa tidak enak mendengar kekasihnya lenyap tanpa diketahui seorangpun.
"Hm..., kalau sampai sore ini ia belum kembali, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya. Apalagi kau bilang, anakmu itu pulang lebih dulu sebelum kawan- kawannya selesai mencuci. Hayo, kita harus segera mencarinya...!" terdengar Ki Ringgo mengeluarkan perintahnya. Sedangkan ia sendiri langsung nyiapkan para pembantunya.
Ki Ringgo segera memecah para pembantunya menjadi tiga kelompok. Masing-masing dari mereka, terdiri sekitar sepuluh atau lima bela sorang.
"Kau tunggulah di rumahmu, Ki Sukriya. Begitu kami menemukannya, langsung dikabarkan kepadamu," ujar Ki Ringgo sebelum melakukan pencarian.
"Baik, Ki..." sahut petani setengah baya itu dengan wajah tetap mencerminkan rasa cemas. Namun, ia agak sedikit tenang setelah melihat kepala desanya sendiri langsung turun tangan mencari putrinya. Dan, petani tua itu hanya dapat mengiringi kepergian orang-orang Ki Ringgo dengan tatapan penuh harap.
Jiwala, putra sulung Ki Ringgo yang menjadi kekasih Arum, bergerak ke sebelah Timur desa dengan membawa dua belas orang pembantu ayahnya. Pemuda bertubuh sedang dan berwajah keras itu, sengaja menyusuri jalan yang biasanya digunakan gadis itu lewat seusai mencuci pakaian dari sungai. Sebagai orang yang paling dekat dengan Arum, dan sering jalan bersama dengan gadis itu. Jiwala pun tahu, jalan-jalan yang sering dilalui kekasihnya itu.
Ketika melewati jalan setapak, yang hanya cukup dilalui seekor kuda, tiba-tiba Jiwala mengangkat tangan kanannya sebagai tanda agar rombongannya berhenti. Kemudian, pemuda itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dengan pandangan curiga, diamatinya sebuah batu di tepi jalan yang tampak bernoda darah itu. Melihat dari sikapnya, tentu saja putra sulung Ki Ringgo itu merupakan orang yang sangat teliti. Sehingga, dalam melaku-kan pencarian, ia benar-benar sangat memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Hm..." Jiwala bergumam tak jelas ketika selesai memeriksa noda darah di batu itu. Seraya mengedarkan pandangannya berkeliling dengan penuh ketelitian. Laksana seorang pencari jejak yang ulung, pemuda bertubuh sedang dan padat itu, bergegas bangkit dan memeriksa rerumputan di sekitarnya. Meskipun tidak mengetahui secara jelas tentang darah di batu itu, namun kecurigaannya membuat pemuda itu meneliti lebih seksama. Menurutnya, dalam melakukan pencarian atau penyelidikan, orang harus mencurigai segala sesuatu. Kendati sesuatu itu tidak berarti bagi orang lain.
Kening pemuda itu berkerut ketika menyibak sebuah rumput semak betukar, ditemukannya rerumputan yang rebah dan terlihat cukup lebar. Sekilas pandang saja, Jiwala dapat menduga kalau di tempat itu telah terjadi pergumulan. Setelah agak lama duduk meneliti, kembali Jiwala bergerak bangkit dan meneliti jejak-jejak yang tertinggal di sekitar tempat yang dicurigainya itu.
Ketika la menemukan jejak telapak kaki menuju ke Barat Desa Magetan, cepat diperintahkan rombongannya untuk menerobos semak belukar dan mengikuti jejak telapak kaki itu. Untunglah tanah di sekitar tempat itu sangat lembab, sehingga orang yang melintasinya akan meninggalkan bekas-bekas telapak kaki.
Karena semenjak berusia lima belas tahun ia telah sering bermain-main di sekitar desanya, maka tidak heran kalau Jiwala mengenai baik seluruh wilayah desa kekuasaan ayahnya itu. Ketika arah yang ditempuhnya mulai memasuki sebuah hutan kecil di sebelah Barat desa ini, ingatan Jiwala langsung tertuju pada sebuah pondok sederhana, tempat yang sering digunakan untuk melepas lelati setelah berburu.
Jiwala dengan cekatan menghubung-hubungkan segala sesuatu penemuannya, segera timbul rasa cemas dalam dirinya terhadap nasib yang menimpa kekasihnya. Sejenak pemuda itu memejamkan matanya, takut membayangkan kalau dugaannya itu menjadi kenyataan. Segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu, meskipun semua yang ditemukannya mendekati ciri-ciri dugaannya.
"Heyaaa...!" kecemasannya yang semakin hebat itu, membuat Jiwala membedal kudanya sambil memukul keras bagian belakang tubuh binatang tunggangannya itu. Sehingga, kudanya melonjak kaget dan langsung melesat menerobos jalan setapak, yang di kiri-kanannya banyak menjulur dahan-dahan pohon
Bagaikan orang yang hilang ingatan, pemuda itu membedal kudanya sambil mengobat-abitkan pedang untuk menghalau semak belukar di kiri-kanannya. Tidak dipedulikannya duri-duri halus yang menggores lengan dan tubuhnya. Karena yang terlintas dalam benaknya, segera menemukan Arum.
Setibanya di halaman sebuah gubuk kayu, yang tampak rusak di sana-sini karena hampir tidak terpakai lagi, Jiwala melompat turun dari atas punggung kudanya. Dengan pedang telanjang, pemuda itu melangkah hati-hati mendekati pintu pondok yang setengah terbuka. Hati Jiwala bergemuruh bagai ombak di lautan ketika melihat adanya tanda-tanda penghuni di dalam gubuk setengah reyot itu. Semua itu tampak dari Jejak-jejak baru yang tertinggal dilantai papan dengan gubuk itu.
Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar rombongannya segera menyebar dan mengepung gubuk kayu itu. Setelah gubuk itu dikepung ketat, Jiwala langsung mendobrak pintu kayu itu dengan sebuah tendangan keras. Terdengar suara berderak ribut ketika tendangan Jiwala menghancurkan pintu kayu gubuk itu. Sedangkan pemuda itu sendiri langsung melompat dan menjejakkan kedua kakinya ruangan ditengah. Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan tubuhnya hampir terlompat keluar ketika menyaksikan apa yang terjadi di tengah gubuk itu.
"Arum...!"
Bagaikan orang yang hilang ingatan, Jiwala berteriak melengking menyaksikan pemandangan yang terpampang didepan matanya. Kulit wajah pemuda itu tampak merah dan pucat. Giginya bergemeletukan menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. Sehingga, Jiwala sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya saat itu. Empat langkah di depannya, tampak tubuh kekasihnya tergeletak dengan kain yang tidak karuan. Sementara wajah gadis itu terlihat pucat dan kusut. Jelas, kalau kekasihnya itu telah mengalami suatu kejadian yang sangat mengerikan! Dan, apa yang diduganya tidak meleset sama sekali!
Bagaikan harimau luka, Jiwala meraung keras. Entah menangis atau berteriak marah. Karena suara yang keluar dari kerongkongannya terdengar seperti rintihan, dan teriakan marah. Semua itu akibat pukulan batin yang terlampau berat dialaminya.
Belasan orang pengikut Jiwala terkejut mendengar suara raungan keras itu. Beberapa di antara mereka yang pemberani, langsung berlompatan masuk. Karena mereka mengkhawatirkan sesuatu yang menimpa putra kepala desanya. Ketika mereka tiba di ruangan tengah, ternyata yang dilihatnya tubuh Jiwala, tengah terbungkuk dan mendekap tubuh seorang wanita.
"Den...," seorang di antara enam lelaki pengikut Jiwala itu, memberanikan diri menegur. "Lebih baik kita bawa saja tubuh Arum ke desa. Biar Ki Sukriya dan Ki Ringgo dapat memeriksanya. Siapa tahu Arum masih bisa disembuhkan. Bukankah ia masih hidup?" Tanya lelaki berkumis lebat itu ragu-ragu.
Jiwala terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. Dengan tubuh yang tegang, pemuda itu bangkit perlahan. Meskipun tidak ada suara isak yang keluar dari kerongkongannya, namun jelas Jiwala mengalami kesedihan yang sangat hebat. Tercermin dari butir-butir air bening yang membasahi wajahnya.
"Bangsat keji...! Biadaaab...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, tiba-tiba Jiwala berteriak mengguntur, dan langsung melompat ke arah dinding kayu pondok itu. Tanpa peduli dengan pandangan heran serta cemas para pengikutnya, pemuda itu mengamuk seperti ingin merobohkan gubuk tua itu.
Sadar kalau tidak segera bertindak cepat tubuh Arum bisa terkena pecahan-pecahan kayu yang berhamburan, maka para pengikut Jiwala pun segera membawa tubuh gadis desa yang malang itu keluar. Lalu, membaringkannya di atas rerumputan tebal di bawah sebatang pohon besar. Tidak berapa lama kemudian, di antara gemuruhnya suara pondok yang hendak roboh itu, melesat bayangan Jiwala menerobos kepingan-kepingan kayu. Kemudian, tubuh pemuda itu terjatuh dengan bertumpukan pada kedua lututnya. Sedangkan sekujur tubuhnya terlihat bersimbah peluh.
"Den...," lelaki gemuk berkumis tebal yang merupakan pembantu setianya itu, bergegas menangkap tubuh Jiwala yang tiba-tiba saja roboh ketanah.
Jiwala yang melampiaskan kesedihan dan kemarahannya terhadap kejadian yang menimpa kekasihnya itu, telah kehabisan tenaga. Meskipun lelaki berkumis tebal itu berusaha membantunya bangkit, namun kedua kaki pemuda itu tidak juga mau tegak. Terpaksa tubuh majikan mudanya itu dipondong, dinaikkan ke punggung kudanya dengan posisi tengkurap.
Lelaki berkumis lebat itu, segera mengambil alih pimpilnan rombongan, dan bergerak meninggalkan pondok tua yang telah hancur diamuk Jiwala. Sedangkan Arum yang sudah menjadi mayat itu, dinaikkan ke atas punggung kuda lainnya. Lalu, rombongan itu bergerak menuju desa.
********************
Ki Ringgo yang telah tiba di desa lebih awal, langsung menyambut kedatangan rombongan putra sulungnya. Wajah orang tua itu mengelam ketika menyaksikan dua sosok tubuh tergantung lemah di atas punggung kuda. Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tua gagah itu segera memerintahkan pembantu-pembantunya untuk mengangkat tubuh Jiwala dan Arum ke dalam bangunan rumahnya. Hati Kepala Desa Magetan geram sekali ketika mengetahui apa yang telah menimpa Arum, sebelum gadis itu tewas. Wajah lelaki tua yang masih nampak gagah itu menjadi keruh. Sorot matanya tampak tajam dan menyiratkan kemarahan yang terpendam dihatinya.
"Apa yang kau ketahui dari kejadian yang menimpa kekasihmu ini, Jiwala? Apa kau tidak menemukan tanda-tanda yang mungkin dapat menunjukkan pelaku yang bertindak biadab ini?" Tanya Ki Ringgo menatap tajam wajah putranya yang pucat itu.
Jiwala yang telah disadarkan ayahnya, sejenak menundukkan kepala dengan helaan napas berat. Ditekannya rasa sakit dalam dadanya dengan tarikan napas panjang. "Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ayah. Sebab, tidak ada sesuatu tanda-tanda di tempat itu yang bisa dijadikan petunjuk. Ini pasti bukan ulah orang-orang desa, Ayah," jawab Jiwala menatap orang tuanya dengan wajah sayu.
"Hm..., mungkin tanpa sepengetahuan kita, desa ini telah kedatangan seorang penjahat cabul. Dan, secara kebetulan ia melihat Arum berjalan seorang diri setelah mencuci di sungai. Gadis malang ini pasti diseret dan dibawa dengan paksa ke gubuk di tengah hutan ini," ujar Ki Ringgo dengan wajah muram. Sejenak lelaki tua itu menoleh ke arah pembantu yang bertubuh kekar dan bercambang bauk lebat.
"Sepengetahuanku, selama Aki dan Den Jiwa pergi, desa ini tidak kedatangan tamu dari luar. Jadi kalau memang ada dugaan tindakan biadab itu dilakukan oleh orang asing, tentu ia kebetulan lewat dan tidak mungkin singgah di Desa Magetan ini," sahut lelaki bertubuh kekar itu tanpa ditanya lagi. Karena selama kepergian kedua majikannya itu, ia dilimpakan wewenang untuk memimpin desa.
Pada saat mereka tengah berbincang-bincang, seorang lelaki setengah baya menerobos masuk dengan wajah bersimbah peluh. Dari deru napasnya yang tersengal- sengal, dapat diduga kalau orang tua itu datang dengan berlari-lari. Dan, lelaki tua itu tidak lain ayahnya Arum, Ki Sukriya.
"Mana..., mana anakku...?" Ki Sukriya langsung berteriak-teriak sambii mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tengah itu. Dan, ketika di sudut sebelah kiri ruangan itu matanya melihat sesosok tubuh tertutup kain putih, orang tua itu segera menghambur dan menyingkapnya. Kemudian, terdengar suara keluhan dan rintihannya yang tertahan. Arum adalah anak petani itu satu-satunya, dan yang menjadi tumpuan hidup mereka di hari tua.
"Sudahlah, Ki. Meskipun kejadian ini tidak seorang pun yang mengetahuinya, tapi aku bertekad untuk mencari manusia keji itu. Dan, aku berjanji akan menghukum manusia bejad itu," ucap Ki Ringgo sambil menepuk perlahan punggung Ki Sukriya.
"Aku ikut, Ayah...," Jiwala langsung menyahuti begitu mendengar niat ayahnya.
"Tidak, Jiwala. Biar aku saja yang pergi. Sebab, aku tidak ingin kejadian seperti ini sampai terulang lagi di desa kita. Dan, selama kapergianku, kuharap kau dan Wisna dapat menjaga keamanan dan ketenteraman desa kita ini," jawab Ki Ringgo dengan nada yang tidak ingin dibantah. Dan, Jiwala pun mengerti, sehingga ia tidak memaksakan kehendaknya. Apalagi alasan yang dikemukakan orang tua itu memang sangat tepat.
"Kapan Ayah berangkat?!" Lanjut Jiwala tanpa maksud-maksud tersembunyi.
"Hari ini juga. Sebab, menilik dari keadaan mayat Arum, pasti orang yang melakukan kebiadaban itu belum pergi jauh. Dengan berangkat secepatnya, aku berharap dapat menyusulnya. Dan, kalau me-mang diperlukan, aku akan minta pertolongan kawan-kawan dari rimba persilatan," jawab Ki Ringgo yang segera melangkah keluar untuk menyiapkan kudanya, setelah menyiapkan perbekalan yang diperlukannya dalam perjalanan panjang itu.
"Percayalah, Ki. Aku akan berusaha membekuk bangsat keji itu...," kembali Ki Ringgo menghibur orang tua Arum, yang tengah duduk termenung seperti orang hilang ingatan.
Bahkan ketika Ki Ringgo pamit, Ki Sukriya masih tetap membisu seolah-olah tidak memperhatikan lagi keadaan sekelilingnya. Setelah Ki Ringgo lenyap, Jiwala mengajaknya menguburkan mayat Arum, dan orang tua itu pun bangkit dengan langkah lesu.
Sore itu juga, Jiwala dengan dibantu lelaki bercambang bauk bernama Wisna, segera menyiapkan penguburan. Atas persetujuan Ki Sukriya, Jiwala menanam tubuh kekasihnya di halaman belakang gedung ayahnya.
Alam mulai diselimuti kegelapan, ketika upacara penguburan itu selesai. Hanya angin dingin dan suara binatang malam yang masih menemani makam Arum. Sedang orang-orang yang mengantarnya keperistirahatan terakhir, ayahnya dan Jiwala telah kembali ke rumah masing-masing.
********************
LIMA
"Hm..., kali ini bidikanku pasti tidak akan meleset...," gumam sosok bertubuh ramping dan berambut panjang, seraya membidikkan anak panahnya ke tubuh seekor kijang muda.
Twingngng!
Anak panah yang terlepas dari busurnya itu, langsung melesat dengan suara berdesing nyaring, dan menuju sasarannya. Sayang, kijang muda yang tengah melepaskan dahaga di sebuah aliran sungai itu, sepertinya tahu bahaya yang tengah mengancamnya. Seketika itu juga, la langsung terlonjak, dan melesat dengan kecepatan kilat. Lalu, menghilang di balik gerombolan semak belukar.
"Kurang ajar...!" desis sosok tubuh ramping itu mengumpat dengan wajah masam. "Rupanya hari ini nasibku sedang sial. Sudah lebih dari tiga kali membidik kijang, tapi aku gagal," sambil tak henti-hentinya mengumpat, sosok ramping yang ternyata seorang gadis muda itu, bergegas keluar dari balik sebuah pohon besar.
"Sabarlah, Den Ayu," hibur salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan nada hormat. Menilik dari sikap dan nada bicaranya, jelas lelaki itu seorang pembantunya.
"Paman yakin kalau bidikan Den ayu sudah tepat sasarannya, dan pasti tidak akan meleset," sambung lelaki yang satunya lagi ikut menyahuti.
"Kalau begitu, bagaimana dengan tempat yang pernah Paman ceritakan kepadaku? Bukankah di lembah sebelah Selatan hutan ini banyak terdapat binatang buruan? Mengapa kita tidak ke tempat itu saja? Ujar gadis berambut panjang dan berwajah cantik itu mengingatkan janji salah seorang pembantunya. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, ia segera melangkah mendahuluinya.
Kedua orang lelaki yang usianya tidak berjauhan itu, saling bertukar pandang sejenak. Nyata sekali kebimbangan di wajah mereka. Bahkan, ada kegelisahan dalam sorot mata kedua lelaki itu ketika melihat gadis junjungannya itu sudah melangkah lebih dulu.
"Salahmu, Bawung. Mengapa tempat berbahaya seperti itu kau ceritakan kepada junjungan kita? Bagaimana kalau dia berkeras akan ke Sana? Kepala kita bisa terpisah dari badan, kelau sampai terjadi sesuatu dengan Gusti Ayu!" jelas lelaki bertubuh sedang yang wajahnya ditumbuhi kumis jarang.
Orang dipanggil dengan nama Bawung itu tidak membela diri. Kerena ia memang merasa bersalah, dan tidak mau mengingkari. Hanya saja wajah lelaki yang tinggi dan agak kurus itu, manjadi gelap dan resah.
"Hei, mengapa kalian diam saja? Ayo, cepat...!" gadis cantik yang disebut-sebut sebagai Gusti Ayu itu, berseru ke arah kedua orang pembantunya.
Lelaki yang bernama Bawung, bergegas mendahului kawannya. Kemudian, ia langsung saja memohon maaf kepada junjungannya itu. Bawung tidak berusaha sama sekali menyembunyikan kegelisahannya. Dengan begitu, ia berharap dapat mencegah niat Gusti Ayunya itu.
"Ada apa, Bawung? Mengapa kau seperti orang terserang demam?" Tegur gadis cantik bermata galak itu yang merasa heran melihat kegelisahan pembantunya.
"Anu, maaf, Gusti Ayu. Tempat itu..., terlalu berbahaya. Kabarnya tempat itu telah didiami segerombolan perampok kejam. Jadi, bagaimana kalau kita mencari tempat lain saja?" ujar Bawung mengusulkan.
"Kalau memang ada tempat yang lain, boleh saja, Paman," sahut gadis cantik yang berambut panjang itu tersenyum, sekadar untuk menenangkan perasaan pembantunya.
"Tapi..., untuk hari ini, aku belum bisa menunjukkannya, Gusti Ayu. Sebab, tempat Itu... tempat itu...," Bawung tidak bisa melanjutkan ucapannya. Kerena niatnya hanya untuk mengalihkan perhatian junjungannya saja. Maka, ketika didesak, lelaki berkumis jarang itupun, hanya dapat tersenyum kecut.
"Kalau begitu, kita tetap ke tujuan semula...," tegas gadis cantik itu sambil melangkah melewati Bawung.
"Tapi..., Gusti Ayu...," Bawung masih berusaha mencegah keinginan junjungannya itu, sambil beelari dan mencoba kembali membujuknya.
"Sudah! Kalau kalian berdua takut, aku bisa pergi sendiri." Tiba-tiba saja gadis cantik itu mendamprat pembantunya dengan nada ketus. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia terus mengayun langkahnya.
Bawung dan Gumpita terpaksa mengikuti langkah Gusti Ayu meski dengan perasaan cemas. Karena ikut atau tidak kemungkinannya sama saja bagi mereka berdua. Sehingga, mau tidak mau kedua lelaki itu menguntit di belakang junjungannya itu.
"Berhenti...!"
Ketika ketiganya mulai melintasi daerah perbukitan, mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring yang menggetarkan. Belum lagi ketiganya sempat menyadari, sosok-sosok bayangan hitam berlompatan dari balik batu dan atas pohon. Sekejap kemu-dian, ketiganya telah terkepung puluhan lelaki kasar yang berpakaian lusuh.
"Hm..., rupanya hari ini aku ketiban untung besar. Pantas saja semalam aku bermimpi memeluk rembulan. Aiiih, tidak tahunya pertanda datangnya seorang dewi ke tempatku ini," salah seorang lelaki bertampang kasar itu berkata sambii melangkah ke arah gadis cantik bermata galak itu. Kemudian, langsung menguturkan tangan dengan maksud hendak menyentuh wajah gadis itu.
"Hm..., mau apa kau, Orang Kasar?" Ujar gadis cantik itu dengan suara ketus, sambil menarik mundur tubuhnya sejauh dua langkah. Sehingga, uluran tangan lelaki itu tidak sampai menjangkaunya.
"Eh!?" Lelaki kasar yang memimpin puluhan orang itu, sempat terkejut ketika uluran tangannya luput. Padahal, meskipun terlihat sembarangan, namun jarang ia melihat orang yang mampu untuk menghindari uluran tangannya itu. Karena, bagi orang biasa, uluran tangan lelaki itu terlihat cepat dan sukar ditangkap mata.
"Huh! Kau akan lebih terkejut lagi bila tahu dengan siapa kau sedang berhadapan saat ini!" ucap gadis cantik itu lagi mencoba untuk menggertak lelaki kasar itu. Bahkan bibirnya yang merah, tampak menyunggingkan senyum sinis.
"He he he..., jangan coba-coba untuk menggertakku, gadis cantik. Justru karena kau putri Adipati Sunggara, maka aku sengaja menghadang di sini. Dengan kau berada ditanganku, maka tua bangka itu tidak dapat lagi berbuat semaunya, mengirim pasukan untuk memberantas dan mengusir pergi kami dari daerah ini. Dan, ia pun harus mau menerimaku sebagai menantunya," sahut lelaki kasar yang rupanya seorang kepala rampok sambil terkekeh serak.
"Hik hik hik...! Dasar orang hutan! Apa kau kira mudah menangkapku? Hm! Jangan-jangan justru kau sendiri yang akan terpanggang anak panahku ini," ujar gadis cantik tidak mau kalah gertak. Usai berkata demikian, ia langsung menarik tali busurnya.
Namun, lelaki bertubuh tinggi kekar dan berambut acak-acakan itu, sama sekali tidak merasa gentar. Sambil memperdengarkan tawa seraknya, kedua tangannya bergerak memberikan isyarat agar segera menyerbu ketiga orang itu.
Tanpa diperintah dua kali, gerombolan perampok yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu, langsung meluruk maju. Mereka berteriak-teriak seperti sekumpulan monyet lapar yang dilemparkan pisang.
Namun, gadis cantik yang ternyata putri Adipati Sunggara itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dua buah anak panah yang terpasang di busurnya segera melesat, dan menembus leher dua orang perampok, yang langsung berkelojotan tewas. Karena tidak mungkin menggunakan panahnya karena musuhnya kian dekat, maka gadis itu pun mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya.
Swingngng!
Terdengar suara berdesing ketika senjata itu tercabut keluar dari sarungnya. Kemudian, diputar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan sinar, yang bergulung-gulung dengan hebatnya.
"He he he.... Ayo, mari perlihatkan kepandaianmu di hadapan Raja Kera Kulit Baja, Manisku...," ujar lelaki kekar berambut acak-acakan itu menyeringai buas. Sekali lompat saja, tubuh kekar itu telah berdiri didepan gadis cantik itu.
"Haiitt...!"
Si gadis yang sadar kalau lelaki itu tidak mungkin lagi untuk diajak damai, berseru nyaring dan langsung menusukkan pedangnya dengan kecepatan kilat!
Whuuut!
Serangkum angin tajam berdesing mengiringi luncuran ujung pedang gadis cantik itu, yang mengancam lambung kanan lawannya.
Takkk!
"Aaah...!"
Terkejut bukan main hati gadis itu ketika merasakan ujung pedangnya benar-benar seperti membentur lempengan baja. Bukan hanya tubuh lawannya yang tidak terluka, tapi lengannya yang digunakan untuk menyerang terasa nyeri hingga ke pangkal lengannya. Tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya.
"He he he.... Mengapa terkejut, Manis? Ayo, puaskan hatimu. Dan, kau boleh pilih bagian yang paling lunak," ejek Raja Kera Kulit Baja sambil memperdengarkan kekehnya yang serak.
"Keparat! Jangan merasa sombong dulu kau, Monyet Kudisan!" maki gadis cantik itu yang merasa jengkel mendengar ejekan lawannya.
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, tubuh gadis itu kembali meluncur ke arah lawannya. Pe-dang di tangannya menyambar-nyambar ke sekeliling tubuh lawannya. Jelas, kalau gadis cantik itu tengah berusaha mencari bagian terlemah di tubuh lawannya. Namun, sampai lewat dua puluh jurus, ia belum juga berhasil mengetahui kelemahan di tubuh Raja Kera Kulit Baja. Sehingga, serangan-serangannya pun tampak mulai mengendur.
Sedangkan lawannya hanya tertawa terkekeh serak, sambil sesekali membalas serangan lawannya. Semenjak pertama kepala rampok itu memang sengaja tidak membalas serangan lawannya. la hanya mengelak jika bagian matanya diincar ujung pedang gadis itu. Sedangkan bagian-bagian lainnya, sama sekali tidak dipedulikan. Dan, ketika tenaga gadis itu mulai terlihat surut, Raja Kera Kulit Baja mulai meluncurkan serangan-serangannya.
Whuuut! Whuuut!
Sepasang tangan kepala rampok yang panjang itu seperti tangan seekor gorila, menyambar-nyambar dengan cengkeraman atau totokan-totokan cepat. Sehingga, semakin lama, makin bertambah sibuklah gadis itu menghindari serangan lawannya. Sedang serangan-serangan balasannya tidak mempunyai arti sama sekali. Karena kekebalan tubuh yang dimiliki lawannya seolah-olah tidak mempunyai kelemahan. Itu yang menyulitkan putri Adipati Surangga. Maka, ia pun terpaksa harus pasrah untuk didesak lawannya.
Di tempat lain, Bawung dan Gumpita tampak menderita luka di sekujur tubuhnya. Kedua orang lelaki gagah yang bertugas menjaga keselamatan putri junjungannya itu, bertarung seperti banteng luka. Pedang di tangan keduanya menyambar-nyambar bagaikan tangan-tangan maut, yang siap mengirim nyawa lawannya melayat ke akhirat.
Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan dirinya, namun kedua orang pengawal setia itu, terpaksa harus menyerah setelah bertempur hampir seratus jurus. Itu pun terjadi karena mereka hampir kehabisan tenaga. Sehingga, terpaksa mereka harus merasa puas dengan korban-korban senjata mereka yang tidak kurang dari delapan orang lawan.
Bawung dan Gumpita menjerit setinggi langit, ketika masing-masing tubuh mereka ditusuk empat batang senjata dari segala arah! Darah segar memercik dan membasahi bumi seiring dengan terbangnya nyawa kedua orang pengawal setia putri Ambar Sukma itu. Tubuh keduanya melorot ke tanah dengan mata terbelalak lebar.
"Bawung...! Gumpita...!" gadis cantik itu berteriak kaget ketika mendengar jerit kematian kedua orang pengawalnya. Sementara, ia sendiri tengah berjuang keras untuk menyelamatkan dirinya dari serangan Raja Kera Kulit Baja, yang terus menyambar-nyambar mengincar tubuhnya.
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, gadis cantik bernama Ambar Sukma itu, memekik tertahan. Dan pedang di tangannya terpental akibat sampokan telapak tangan lawannya. Belum lagj gadis cantik itu sempat menyadari bahaya, tiba-tiba pinggangnya telah kena cekal. Lalu, tubuhnya diangkat tinggi-tinggi oleh lawannya.
"Aaah...!"
Ambar Sukma menjerit ngeri. Tapi, jeritan itu bukan karena rasa takut akan kematian, melainkan disebabkan cekalan jari-jari tangan Iawan pada pinggangnya. Sehingga, tubuh putri Adipati Surangga itu gemetar ketakutan.
"He he he.... Sekarang kau tahu bukan, kalau Raja Kera Kulit Baja seorang lelaki perkasa. Nah setelah kau mengetahui, apakah kau masih ingin menolak? Atau kau lebih suka kalau aku melakukan paksaan?" ujar lelaki kepala rampok itu menyeringai dari meneteskan air liur bagaikan binatang lapar.
"Lepaskan gadis itu...!"
Belum lagi Ambar Sukma menjawab ancaman kepala rampok itu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan yang menggetarkan. Bahkan, rasa ngeri yang dialami gadis itu sampai lupa. la menolehkan kepalanya dengan wajah penuh harap.
Raja Kera Kulit Baja pun menoleh ke arah asal suara dengan kening berkerut gusar. Seringainya yang semula lenyap karena bentakan keras tadi, kembali melebar. Karena yang dilihatnya hanyalah seorang pemuda tampan berpakaian mewah. Karuan saja kepala rampok itu memperdengarkan suara tawa mengandung ejekan. Kemudian kembali melanjutkan perbuatannya tanpa mempedulikan ke-hadiran pemuda tampan itu.
Namun, lelaki tinggi besar dengan tubuh dipenuhi otot yang menyembul itu menoleh penuh kegeraman. Ketika ia mendengar jerit kematian yang membuatnya menjadi murka. Menolehkan kepalanya nampak sesosok tubuh melayang ke arahnya. Tanpa pikir panjang lagi, disambutnya luncuran sosok tubuh itu dengan hantaman telapak tangannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Buggg!
Kepala rampok bertubuh kekar itu merasa heran. Karena hantaman telapak tangan mengenai sosok tubuh itu, namun tak sedikit pun sosok tubuh itu mengeluh apa-apa. Padahal jelas sosok tubuh itu terlempar dengan semburan darah segar dari mulutnya. Belum lagi rasa keheranan kepala rampok itu lenyap, kembali ia dikejutkan oleh sambaran angin tajam, yang berasal dari sebelah belakangnya. Sadar kalau serangan itu tidak bisa dipandang ringan, Raja Kera Kulit Baja bergegas menarik tubuhnya ke samping dengan langkah silang, dan setengah berputar.
Bukkk!
"Aaaih...!"
Kaget bukan main hati kepala rampok itu! Karena usahanya untuk menghindar sia-sia, dan tetap saja terkena tendangan keras yang membuatnya mundur sampai menyeringai dan mengusap-usap dadanya. Kemarahan Raja Kera Kulit Baja semakin bertam-bah meluap ketika gadis cantik yang berada dalam cekalannya, tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan, kini ia berada dalam kekuasaan pemuda tampan yang memperingatkannya agar melepaskan Ambar Sukma. Karuan saja darah lelaki kekar berwajah kasar mendidih dibuatnya.
"Keparat..!" desis Raja Kera sambil menolehkan kepalanya untuk memastikan orang yang dihantam dengan telapak tangannya. Sebab, pemuda itu ternyata telah berhasil membebaskan gadis cantik yang menjadi tawanannya.
"Setan...!"
Kali ini kemurkaan kepala rampok itu benar-benar sudah melewati batas! Karena sosok tubuh yang disambutnya dengan hantaman telapak tangannya, ternyata salah seorang pengikutnya sendiri. Dan, orang itu tewas seketika. Entah karena hantaman telapak tangannya, atau memang telah tewas sewaktu melayang ke arahnya. Tapi, Raja Kera Kulit Baja tidak mau ambil peduli. Yang kini menjadi perhatiannya untuk menumpahkan kemarahannya itu, justru pemuda tampan berpakaian mewah, yang kini membalas menatapnya dengan tidak kalah tajam.
Ha ha ha.... Mengapa terkejut, Raja Beruk...?" tegur pemuda tampan itu sambii memperdengarkan suara tawanya yang lunak. Wajah tampan itu tampak semakin menarik ketika la tengah tertawa.
Sehingga, mau tidak mau Ambar Sukma yang berada di samping pemuda tampan itu menatap penuh kagum. Sedangkan kepala rampok itu sendiri, sudah menggereng bagai binatang luka. Tampak tubuhnya mulai direndahkan, persis seperti seekor kera besar yang sedang murka. Sesekali tubuh kekar itu melompat-lompat sambil menggaruk dan berteriak-teriak.
Ambar Sukma yang melihat tingkah-laku kepala rampok itu, tak dapat menahan tawanya. Karena apa yang dilakukan lelaki kekar itu benar-benar sangat lucu dan menggelikan hatinya. Sedangkan kening pemuda tampan itu tampak berkerut, dan menatap penuh perhatian. la sama sekali tidak tertawa sebagaimana halnya Ambar Sukma.
"Jurus Kera Gila...," desis bibir pemuda itu tetap tidak menunjukkan rasa gentar, meski keningnya masih berkerut.
"Jurus Kera Gila...? Eh, kau mengenal gerakan monyet buruk itu, Kisanak? Ah, betapa tololnya aku. Kukira semua gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan dan tidak bermakna," gumam Ambar Sukma dengan wajah keheranan. Bahkan, suara tawanya pun lenyap, dan berganti dengan kekhawatiran. "Kita lari saja. Monyet buruk itu memiliki kepandaian yang tinggi, dan kebal terhadap senjata tajam. Aku takut kau celaka nanti, hanya ingin menolongku...," lanjut gadis cantik itu mengusulkan.
"Ah, terimakasih atas kecemasanmu terhadap diriku, Gusti Ayu. Tapi, demi keselamatan Gusti Ayu yang kupuja dan kujunjung tinggi, rasanya mati adalah suatu kehormatan besar bagiku. Apalagi Gusti Ayu berada disampingku. Ah, tidak ada lagi yang bisa membuat Pradipta gentar, kendati harus menghadapi malaikat maut sekalipun!" sahut pemuda tampan tersenyum, sambil menoleh dan menatap wajah cantik Ambar Sukma.
Terkejut dan juga bangga hati Ambar Sukma mendengar kata-kata yang diucapkan pemuda tampan itu. Namun, sebagai seorang putri Adipati, tentu saja perangai Ambar Sukma tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis umumnya. Apalagi ia sudah terbiasa dengan lingkungan orang-orang yang selalu tunduk dan mentaati perintahnya. Dan, kebiasaan itu membuatnya tak segan-segan mendesak pemuda tampan itu guna memberikan alasan yang tepat, sehubungan dengan ucapan-ucapannya.
"Jadi, hanya karena aku seorang putri Adipati, maka kau bersedia menolongku? Dengan kata lain, kau tidak akan bersedia menolong kalau aku hanya gadis biasa, begitu...?" Tanya Ambar Sukma seperti ingin mengetahui isi hati pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.
"Tidak, Gusti Ayu. Alasan yang sebenarnya, karena aku jatuh hati melihatmu. Dan, demi membela gadis yang telah mencuri hatiku, mati bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Maaf, kalau aku telah lancang, Gusti Ayu...," ucap pemuda tampan, yang ternyata Pradipta itu, dengan nada halus.
Ambar Sukma yang tidak mengenal sama sekali siapa sesungguhnya pemuda tampan itu, tentu saja hatinya berdebar girang. Namun, perasaan itu disembunyikan karena ia ingin mengetahui sampai sejauh mana rasa cinta pemuda itu. la tidak ingin pemuda itu mengetahui perasaannya, sebelum ia dapatmemastikan kesungguhan hatinya untuk mengorbankan nyawa demi membela gadis yang dipujanya.
"Hm..., kalau begitu, kau hadapilah Raja Kera Kulit Baja itu untuk membuktikan cintamu padaku...," ujar Ambar Sukma tanpa senyum. Seolah-olah pemuda itu adalah pembantunya, dan bukan penolongnya. Bahkan, sikap gadis cantik itu berubah. Sepertinya ingin menunjukkan siapa diri yang sebenarnya, dan pemuda seperti apa yang pantas mendampinginya.
Pradipta yang berjuluk si Kumbang Merah bukanlah orang bodoh. la sadar dengan keinginan dan maksud tersembunyi gadis cantik itu. Tapi, kali ini ia tentu saja tidak mau main-main. Sebab. Apabila ia bisa menarik gadis seperti Ambar Sukma ke dalam pelukannya, kehidupannya maupun martabatnya pasti akan naik. Maka, ketika mendengar ucapan Ambar Sukma Pradipta pun segera menyahuti.
"Baik, Gusti Ayu. Akan hamba hadapi manusia kera itu..." setelah berkata demikian, Pradipta melangkah maju menghampiri Raja Kera Kulit Baja. Kemudian berhenti dalam jarak sekitar satu tombak dengan tatapan tajam, diawasinya gerak-gerik lelaki kekar itu.
ENAM
Raja Kera Kulit Baja pun membalas tatapan pemuda tampan itu dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, sepasang mata yang berwarna merah saga itu, menyiratkan hawa maut.
"Heaaat..!"
Dibarengi pekikan nyaring yang melengking tinggi, tubuh kekar itu melesat bagai kilat ke arah Pradipta. Sepasang tangannya, yang panjang dan ditumbuhi bulu- bulu kasar itu, menyambar-nyambar dan menimbulkan deruan angin yang tajam berkesiutan. Jelas, tenaga yang tersembunyi di dalam sepasang lengan itu sangat kuat dan berbahaya.
Pradipta tetap berdiri dengan tenang tanpa gerakan. Setelah memperhatikan tingkah laku dan gerakan-gerakan lelaki tinggi kekar itu, segera mengetahui inti ilmu silat lawannya. Maka, ketika lawannya melancarkan gebrakan, pemuda tampan itu hanya menggeser tubuhnya sedikit, dan langsung mengirimkan serangan balasan dengan tamparan-tamparan maut.
Terkejut bukan main hati Raja Kera ketika merasakan sambaran angin pukulan lawannya. Ia yang semula memandang rendah pemuda tampan itu, menjadi berdebar. Karena hatinya tidak tenang, maka lelaki kekar itu menjadi sibuk dan terdesak oleh serangan-serangan balasan lawannya yang mengandung kekuatan hebat itu. Namun, kepala rampok itu temyata tidak dapat disamakan dengan penjahat-penjahat kasar biasa. Begitu merasakan kelihaiannya, ia cepat merubah gerakannya. Serangan-serangannya kali ini tampak kacau dan aneh. Persis seperti kera buas yang sedang murka.
"Haaait..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke dua puluh satu, Raja Kera Kulit Baja mengeluarkan pekikan keras yang menggetarkan. Sepasang tangannya menyambar cepat, dan menimbulkan deruan angin yang tajam laksana sambaran pedang. Dan, langsung meluruk deras mengancam tubuh lawannya.
Whuuut! Whuuut!
Pradipta menarik mundur tubuhnya dengan langkah pendek. Sambaran cakar lawannya yang mengancam lambung dan tengkuknya, luput dan lewat sejengkal didepan tubuhnya.
"Hiaaah...!"
Gerakan Pradipta tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Mendadak bentakan nyaring dilontarkan pemuda itu, dan langsung memutar tubuhnya deng tendangan melingkar.
Bukkk!
Hebat dan sangat cepat sekali tendangan yang dilontarkan pemuda tampan itu! Tubuh lawannya terpental seketika. Karena telapak kaki pemuda itu menghantam telak dadanya. Namun, Kumbang Merah mau tidak mau harus mengakui kekebalan tubuh lawannya. Tendangannya yang keras dan menghantam telak, ternnyata hanya mampu membuat tubuh lelaki kekar itu terjajar mundur sejauh enam langkah.
Padahal, menurut perhitungan, tubuh lelaki itu harus terjungkal jatuh dan memuntahkan darah segar. Ternyata tidak dialami sama sekali oleh kepala rampok itu. Hanya gerengan gusar yang terdengar meluncur dari sela-sela bibirnya yang bergetar itu. Seperti tidak merasakan tendangan lawannya, lelaki kekar itu melompat dengan serangan yang lebih dahsyat dan berbahaya!
Tubuhnya yang tinggi besar itu, terkadang melompat-lompat seperti seekor kera gila. Bahkan, terkadang bergulingan di atas tanah, sambii melontarkan cengkeraman-cengkeraman yang berbahaya dan mengandung kekuatan yang bebat.
Kali ini Pradipta tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Kedua tangannya diputar cepat hingga menimbulkan sambaran angin yang menerbangkan dedaunan kering. Seketika itu juga, tubuhnya yang tegap melesat bagai kilat, dan langsung mengirimkan serangan-serangan dahsyat!
Bukan main terperanjatnya hati kepala rampok itu ketika merasakan serbuan lawannya. Tangan pemuda itu seolah-olah menjadi puluhan banyaknya. Sehingga, la bagaikan terkurung di dalam lingkaran serangan pemuda itu.
"Gila...! Setan...!" Raja Kera kulit Baja memaki kalang-kabut. Karena ruang geraknya semakin menyempit Bahkan, setiap kali melontarkan serangan balasan, sepasang tangannya selalu terpental. Seolah-olah tubuh lawannya telah dikelilingi oleh benteng yang sangat kokoh.
Pada saat pertarungan menginjak jurus yang ketiga puluh lima, Raja Kera Kulit Baja yang sudah tidak mampu lagi melontarkan serangan balasan, terpaksa merelakan tubuhnya digedor oleh telapak tangan lawannya yang mengandung kekuatan hebat itu. Maka...,
Blakkk!
"Hukh...!"
Raja Kera Kulit Baja mengeluh pendek ketika telapak tangan Kumbang Merah singgah di perutnya. Belum sempat ia mengatur posisi kudanya-kudanya, kembali sebuah pukulan Iawan menghantam telak dadanya.
Desss...!
"Huakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kekar itu langsung terlempar hingga dua tombak jauhnya. Darah segar menyembur dari dalam mulutnya. Lalu, tubuh raksasa itu terbanting dengan menimbulkan suara berdebuk keras. Namun, kepala rampok itu lagi-lagi menunjukkan kekuatan daya tahan tubuhnya. Meskipun darah di sudut bibirnya telah meleleh dan menyeringai kesakitan, namun lelaki itu berusaha bangkit dan berdiri dengan tatapan mata yang mengancam. Pradipta sendiri, tidak ingin memberikan peluang kepada lawannya. Saat Itu juga, langsung melesat tubuhnya dengan dorongan sepasang tangannya. Dan....
Blaggg...!
Hebat sekali akibat dorongan sepasang telapak tangan pemuda tampan itu! Tubuh Raja Kera Kulit Baja yang tinggi besar itu, tersentak bagai dilempar-kan tangan raksasa! Tubuh kekar itu melayang dan menghantam pohon sebesar dua pelukan orang dewasa!
Pohon besar itu berderak ribut, meskipun tidak roboh oleh benturan keras itu. Namun daun-daunnya langsung berguguran ke tanah, berbareng dengan melorotnya tubuh kekar Raja Kera Kulit Baja. Sepertinya tubuh kepala rampok itu tidak mungkin dapat bangkit lagi. Tubuh kekar itu tidak bergerak, kecuali suara rintihannya yang terdengar perlahan.
Pradipta berdiri tegak sambil menatap tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya itu. Diam-diam ia merasa sayang melihat tubuh yang mempunyai daya tahan yang hebat itu. Sejenak lelaki muda berwajah tampan, namun berhati licik itu, menunduk. Beberapa saat kemudian, ia kembali berdiri tegak, lalu melangkah menghampiri Ambar Sukma yang tidak jauh di belakangnya.
"Bagaimana? Apakah lelaki kurang ajar itu sudah tewas?" Tanya Ambar Sukma ketika melihat tubuh Raja Kera Kulit Baja sudah tidak bergerak-gerak lagi.
"Tenangkanlah hati Gusti Ayu. Kepala rampok itu sudah tidak akan mengganggu lagi," sahut Pradipta sambil sepasang matanya menatap lekat-lekat. Se-pertinya ia tengah menunggu ucapan lain yang akan keluar dari sela-sela bibir indah itu.
"Hm... ke mana tujuanmu, Pradipta?" kembali Ambar Sukma bertanya seperti sambil lalu, dan tidak menuntut jawaban pasti.
"Entahlah, Gusti Ayu. Tapi, kalau memang aku tidak diperlukan lagi, biarlah aku pamit..," ujar pemuda tampan itu sambil membalikkan tubuhnya dan melangkah gontai meninggalkan putri Ambar Sukma yang menjadi tertegun dibuatnya.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis cantik itu berdiri termangu dengan wajah bingung. la benar-benar tidak mengerti sifat pemuda tampan yang menolongnya itu. Padahal waktu pertama kali bertemu, jelas ia mendengar pemuda itu mengucapkan kata-kata cinta kepadanya. Lalu, mengapa ia pergi begitu saja. Seolah-olah Pradipta sudah lupa dengan apa yang yang diucapkannya.
Semula, Ambar Sukma mendiamkan saja keepergian penolongnya itu. Pikirannya baru berubah ketika ingatannya melayang bahwa pemuda seperti Pradipta itu sangat jarang ditemuinya. Seketika itu juga, timbul keinginan gadis cantik itu untuk mengetahui perasaan penolongnya lebih jauh lagi.
"Pradipta, tunggu...!"
Kumbang Merah yang memang sengaja melangkah perlahan, menghentikan ayunan kakinya. Namun, la tidak berusaha untuk menoleh ke arah Ambar Sukma. Karena ia masih merasa ragu dengan pendengarannya.
Ambar Sukma, yang masih tetap berdiri tegak itu, mengerutkan keningnya ketika melihat pemuda itu tidak menoleh. Lalu, ia segera memanggil nama pemuda itu, Pradipta pun menolehkan kepalanya, meski tidak berusaha untuk menghampiri.
Kedua orang Itu saling tatap dalam jarak lima tombak. Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya berdiri tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun. Juga, tidak satu pun dari mereka yang berusaha maju mendekat Sepertinya mereka masih saling menahan diri. Tidak lama kemudian, Pradipta melangkah perlahan dengan pandangan mata tetap tidak terlepas dari wajah Ambar Sukma. Langkah pemuda itu baru terhenti ketika jarak di antara mereka hanya tinggal setengah jangkauan tangan.
"Ada apa, Gusti Ayu...? Apakah aku masih diperlukan di sini?" Tanya pemuda tampan itu sambil menelusuri wajah cantik di hadapannya. Jelas sekali terlihat sepasang mata pemuda tampan itu menyiratkan sinar kekaguman yang tidak disembunyikannya. Pradipta memang sengaja ingin menunjukkan perasaannya kepada gadis itu.
Ambar Sukma bukannya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Pradipta. Maka, tanpa malu-malu lagi, ditentangnya pandangan mata pemuda itu. Perlahan-lahan senyum manis terukir di bibirnya. Pertanda putri Adipati Sunggara itu membalas perasaan hati Pradipta. Semua itu tercermin baik dalam pandangan matanya maupun raut wajahnya.
"Mengapa kau ingin pergi, Pradipta? Tidakkah kau ingin mengantarkan aku pulang ke kadipaten?" Tanya Ambar Sukma dengan senyum yang semakin melebar.
"Aku tidak berani, Gusti Ayu. Tapi kalau memang Gusti Ayu menginginkannya, tentu saja aku tidak bisa menolaknya. Bahkan, dengan senang hati aku akan mengawal hingga ke kadipaten," sahut Pradipta dengan wajah bersinar-sinar.
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu..?" ucap Ambar Sukma tertawa kecil.
"Silakan, Gusti Ayu...," ujar Pradipta menyisih. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya, dan mem-persilakan Ambar Sukma berjalan lebih dahulu.
Ambar Sukma tersenyum melihat lagak yang ditunjukkan Pradipta. Persis seperti seorang pelayan tulen yang siap mengantarkan majikannya. Sehingga, tawanya yang renyah pun kembali terdengar.
"Tidak perlu banyak peradatan, Pradipta. Kita jalan bersama saja seperti halnya dua orang sahabat, ayolah...," ajak Ambar Sukma yang segera melangkahkan kakinya tanpa terburu-buru.
"Gusti Ayu...," panggil Pradipta tiba-tiba dengan suara bergetar aneh. Sedangkan kakinya tetap tidak melangkah. Terlihat wajah pemuda itu tidak lagi seriang semula.
"Ada apa lagi...?" Tanya Ambar Sukma yang segera membalikkan tubuhnya dengan kening berkerut. Namun, hati gadis cantik itu menjadi berdebar ketika melihat wajah Pradipta agak pucat. Bahkan, ketika Ambar Sukma menatap tepat di kedua bola mata pemuda itu, ia melihat pancaran sinar aneh yang membuat hatinya bergetar. Dan, ia tahu makna sorot mata pemuda itu. Sambil menekan debaran dalam dadanya, Ambar Sukma mencoba tersenyum meski dadanya dirasakan berdebar tak karuan. Dan, ia berusaha tetap bersikap wajar. Seolah tidak tahu perasaan yang dialami pemuda itu.
"Ada apa, Pradipta? Mengapa sikapmu tampak aneh? Apakah kau tidak bersedia mengantarkan aku? Katakanlah? Kalau memang kau keberatan, biarlah aku pulang sendiri," ujar Ambar Sukma ketika jarak di antar mereka, hanya terpisah tiga langkah.
"Ah, bukan..., bukan itu, Gusti Ayu.... Tapi, aku... aku..., ingin menanyakan sesuatu kepada Gusti Ayu. Dan, aku harap agar Gusti Ayu tidak menjadi marah karenanya," dengan pandainya Pradipta menyembunyikan sifat-sifat di hadapan gadis cantik itu. Sehingga, baik lagak maupun mimik wajahnya, mengesankan seorang pemuda hijau yang sama sekali belum berpengalaman. Padahal, semua itu merupakan sandiwara saja. Karena semua yang dilakukannya semata-mata ingin menjerat putri Adipati Sunggara.
"Sampaikanlah, Pradipta. Kalau memang apa yang kau ucapkan itu bukan penghinaan, mengapa aku harus marah? Lagi pula kau adalah penolongku Dan, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada diriku, jika kau tidak datang menolong?" sahut Ambar Sukma mencoba bersikap wajar, meskipun debaran dalam dadanya kian bergemuruh. Menilik dari sikapnya dan nada suara pemuda itu, ia dapat menebak apa yang akan diucapkan Pradipta kepadanya.
"Betul Gusti Ayu tidak marah...?" tegas pemuda itu dengan Bngkah yang kian gelisah. Bahkan, terlihat beberapa kali pemuda itu menundukkan wajahnya, sambii menggoyang-goyangkan kakinya kesana-kemari. Sehingga, Ambar Sukma terpaksa menahan tawanya agar tidak menyinggung perasaan penolongnya itu.
"Katakanlah Aku berjanji tidak akan marah...," sahut Ambar Sukma seraya menahan senyumnya.
"Gusti Ayu..., sebenarnya..., sejak pertama melihatmu, aku... aku telah jatuh hati kepadamu. Tapi, terus terang semua ini tidak ada hubungannya de-ngan kesediaanku mengantarkan Gusti Ayu ke kadipaten. Maaf, kalau pernyataanku membuatmu terkejut... Sekali lagi aku mohon maaf...," ujar Pradipta dengan suara menggeletar, dan tarikan napas berkali-kali. Seolah-olah apa yang disampaikannya itu merupakan sesuatu yang sangat sulit dan berat terucapkan. Sikap Pradipta nampak tenang kembali setelah apa yang mengganjal di hatinya, telah diucapkan meski suaranya terdengar gugup, dan patah-patah.
Ambar Sukma sendiri tidak terlalu terkejut, namun wajahnya terlihat berubah sekilas. Senyum di wajah cantik itu semakin melebar. Dan, sepasang mata yang indah menyiratkan sinar kebahagiaan. Namun, semua itu berusaha ditutupinya.
"Setelah melihatku dan jatuh hati kepadaku. Lalu, apa yang kau inginkan selanjutnya? Apakah kau ingin pergi meninggalkan aku, karena aku putri seorang adipati?" ucap Ambar sukma yang sikapnya sudah tenang dan riang. Sehingga, gadis cantik itu berani mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya saat itu.
Pertanyaan yang meluncur dari bibir gadis cantik itu, tentu saja sempat membuat gelagapan lelaki muda yang berjuluk Kumbang Merah itu. Karena, apa yang ditanyakan Ambar Sukma sama sekali di luar perhitungan Pradipta. Sehingga, untuk sesaat lamanya, pemuda itu hanya berdiri dengan wajah bingung, dan tidak mampu mengucap sepatah kata pun.
Pradipta sama sekali tidak mengetahui, kalau sifat gadis itu tidak dapat disamakan dengan putri-putri istana lainnya. Sikapnya yang bebas dan terkadang ugal-ugalan itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, semenjak kecil putri Adipati Sunggara itu lebih suka bergaul dengan orang-orang persilatan, yang mengabdi di kepada ayahnya ketimbang dengan pelayan-pelayannya.
Dan, Adipati Sunggara sendiri tahu akan sifat putri tunggalnya. Sehingga, orang tua itu membicarakan apa yang menjadi kesenangan putrinya. Bahkan, Adipati Sunggara mengizinkan putrinya untuk mempelajari ilmu silat dari tokoh-tokoh Kadipaten. Itulah sebabnya, sikap putri Adipati Sunggara berbeda sekali dengan putri-putri pejabat kadipaten kebanyakan.
"Gusti Ayu. Kau tidak buta, dan bisa meniadakan jurang pemisah di antara kita. Meskipun demikian, aku telah mencoba mengutarakan apa yang mengganjal di hatiku. Barulah hariku merasa lega dan tenang. Walau sebenarnya aku ingin selalu berada di dekatmu, dan mengawalmu ke mana saja. Maaf, kalau semua ini terpaksa kusampaikan," saat mengucapkan kata-kata itu, Pradipta mengangkat wajahnya, dan menatap wajah gadis cantik itu dengan mata agak sayu.
"Pradipta, ini perintah! Katakanlah dengan jujur, apa keinginanmu sebenarnya? Katakanlah aku tidak akan marah," tiba-tiba saja wajah Ambar Sukma berubah keras dan memancarkan perbawa yang mengejutkan hati Pradipta.
Sehingga, pemuda tampan itu kembali melengak, dan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Baiklah, Gusti Ayu...," sahut Pradipta setelah beberapa kali menarik napas panjang. "Aku men-cintaimu, dan ingin mendampingimu sebagai suami...," lanjut Kumbang Merah sambil menatap wajah Ambar Sukma lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menemukan Jawaban pada wajah dan mata gadis cantik itu.
"Hm..., kalau begitu, ayo kita menghadap ayahku...," sahut Ambar Sukma yang tanpa berkata apa-apa lagi, langsung melangkah pergi.
"Tapi... tapi..., Gusti Ayu...," Pradipta terkejut sekali dengan sikap Ambar Sukma, tentu saja ia menjadi bingung. Cepat ia berlari dan mengejar gadis itu. Tanpa sadar, disambarnya tangan Ambar Sukma, lalu digenggamnya erat-erat.
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Kalau kau ingin aku menjadi istrimu, kita harus menghadap ayahku," jawab Ambar Sukma tanpa mempedulikan Pradipta yang kebingungan.
Pradipta, yang dapat menduga kalau ucapan cintanya mendapat sambutan seperti yang diinginkannya, segera melangkah di samping Ambar Suk-ma tanpa berkata- kata lagi. Namun, dari sorot ma-tanya, pemuda tampan berwatak cabul itu terlihat sangat gembira sekali. Tidak lama kemudian, tubuh kedua insan itu lenyap ditelan kelebatan hutan. Kesunyian pun kembali menyelimuti alam di sekitar tempat itu....
********************
TUJUH
Kicau burung terdengar bersahutan, menyambut datangnya matahari pagi. Hembusan angin yang lembut mengiringi langkah kaki sosok tubuh ramping, yang memasuki Kota Kadipaten Kedawung. Wajahnya tetap terangkat lurus. Sedangkan sepasang matanya menyorot dingin dan tajam. Langkah kedua kaki sosok tubuh ramping itu, terlihat kokoh dan menyimpan kekuatan hebat. Kemudian, langkahnya berbelok ketika telah cukup jauh memasuki kota kadipaten.
Tidak dipedulikan pandangan heran beberapa orang warga kota kadipaten itu. Karena di tangan kanannya memang tergenggam sebilah pedang panjang. Dengan sikap dingin dan tenang, sosok tubuh ramping itu menyibakkan daun pintu setinggi pinggangnya. Dan, terus mengambil tempat duduk disudut ruang kedai makan yang cukup besar itu.
Tanpa mempedulikan pengunjung kedai yang menoleh sekilas ke arahnya, sosok tubuh ramping itu membuka tudung bambu yang menyembunyikan wajahnya. Pedang pun diletakkan begitu saja di atas meja. Beberapa pengunjung yang terkejut melihat wajah dan pedang yang diletakkan di atas meja, bergegas memalingkan muka. Hati mereka sempat tergetar ketika memandang sorot mata yang dingin dari sosok tubuh ramping itu.
Tetap dengan air muka tidak berubah, sosok tubuh ramping yang ternyata seorang wanita itu, mengulapkan tangannya dan memanggil pelayan kedai Lalu, dipesannya beberapa jenis makanan. Setelah itu, wajahnya kembali menatap lurus dengan sorot mata yang tetap dingin. Sepertinya ia memang tidak peduli dengan keadaan disekelilingnya.
Wajah yang tampak agak pucat, dan tanpa gambaran perasaan itu, mendadak tegang ketika telinganya menangkap pembicaraan dua orang lelaki, yang terpisah beberapa meja dari tempatnya duduk. Dan, seperti ingin mendengarkan secara teliti, maka wanita itu pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Yah..., apalah daya kita yang hanya rakyat biasa ini?" keluh sebuah suara yang mengandung rasa kesal dan ketidak-berdayaan itu.
“Sebenarnya, aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini Setelah adipati yang bergelar Setya Bumi itu memimpin kadipaten, rasanya banyak peraturan yang berubah. Bahkan, pajak untuk para pedagang pun dinaikkan dua kali lipat Hhh..., sayang Adipati Sunggara tidak berumur panjang. Kalau beliau masih menjadi pemimpin kadipaten ini, rasanya tidak mungkin kehidupan rakyat akan sengsara seperti sekarang. Sebab aku tahu betul sifat dan perangai beliau yang lebih mementingkan orang banyak ketimbang dirinya sendiri itu baru namanya pemimpin!" sahut suara lainnya yang terdengar bersemangat memuji-muji Adipati Sunggara, dan menjatuhkan Adipati Setya Bumi.
"Satu lagi yang membuat aku sebal dan muak melihat adipati kita yang baru ini...," tiba-tiba suara lainnya yang semenjak tadi tidak mendengar, ikut mencampuri. "Adipati yang sekarang ini, sepertinya tidak boleh melihat wanita cantik. Walaupun wanita itu istri orang, ia tidak putus semangat. Dan mencari jalan untuk memilikinya meskipun hanya untuk semalam. Tapi, kabar itu baru kudengar. Dan, belum diketahui secara pasti kebenarannya. Kalau melihat ketampanan Adipati Setya Bumi, rasanya setiap wanita pasti akan bertekuk lutut dibawah kakinya. Apalagi kata-katanya yang lembut dan penuh madu, Wah... pokoknya sulit mencari seorang pemuda seperti dia..."
"Ssst..., sudah cukup, apa yang kita bicarakan. Sepertinya ada orang lain yang memperhatikan tingkah laku kita. Jangan-jangan dia pun mendengar cerita kita...? Wah.... Ayo kita segera pergi dari sini..."
Wanita cantik berwajah dingin itu tersentak kaget, ketika melihat salah seorang dari mereka yang berkumis tebal, menoleh ke arahnya. Bahkan, ucapan laki-laki itu sangat jelas terdengar di telinganya. Sehingga, ketika ketiga orang lelaki itu bangkit, ia segera bergegas bangkit tanpa menyentuh hidangan yang telah dipesannya. Tanpa banyak cakap lagi, wanita yang kalau dilihat dari wajahnya berusia sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun itu, bergegas mengikuti ketiga orang laki-laki yang ceritanya menarik hati wanita itu.
"Paman... berhenti sebentar...!" terdengar suara panggilan lirih, namun jelas tertangkap oleh telinga ketiga orang lelaki itu yang tengah melintasi sebuah jalan sepi.
Namun, suara panggilan itu bukannya membuat langkah mereka terhenti, tapi sebaliknya. Ketiga orang lelaki yang berusia sekitar empat puluh atau lima puluh tahun itu, semakin mempercepat langkahnya, dan tidak menoleh sedikit pun. Kenyataan itu tentu saja membuat gadis berwajah pucat menjadi heran.
Sadar kalau ketiga orang lelaki itu menduga dirinya sebagai lawan, maka tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis berwajah pucat itu berseru nyaring. Berbarengan dengan itu, tubuhnya melambung dan berputaran beberapa kali. Sebelum mendarat didepan ketiga orang lelaki itu, yang kontan pucat wajahnya.
"Jangan takut, Paman.... Aku cuma ingin bertanya sedikit, dan bukan mau melukai atau mencelakakan kalian. Sebaliknya aku malah membutuhkan keterangan dari kalian, yang mungkin sangat besar artinya bagiku. Maukah Paman membantuku...?" ujar gadis berwajah pucat yang mengenakan pakaian biru muda itu dengan suara halus, dan tidak terkandung sama sekali sifat yang keji, baik dari pancaran matanya maupun tutur katanya.
Meskipun demikian, ketiga lelaki itu masih merasa ragu dengan ucapan gadis di depannya, yang menurut mereka dapat terbang seperti setan. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, ketiganya hanya berdiri dan saling berpandangan satu sama lain. Kemudian mereka menatap gadis berpakaian biru muda itu, seperti tengah menilainya.
"Percayalah kepadaku, Paman. Kalau aku berniat mencelakai kalian bertiga, tentu sudah kulakukan sejak tadi. Tapi, semua itu tidak kulakukan, karena aku membutuhkan beberapa jawaban dari kalian bertiga. Bagaimana...?" lanjut gadis cantik berwajah pucat itu mencoba menunjuk itikad baiknya. Sambil berkata demikian, pedangnya segera diselipkan ke sabuk yang melilit pinggangnya. Lalu, lalu gadis itu dengan tenang maju beberapa tindak.
"Baikiah, apa yang Nisanak inginkan dari kami...?" akhirnya lelaki berkumis tebal yang bertubuh gemuk, memberanikan diri menanyakan keperluan gadis berwajah pucat itu.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Pertama, sudah berapa lama Adipati Kedawung yang baru memerintah? Kedua, berapa usianya? Terakhir..., siapakah nama adipati itu sebelum menjabat pemimpin kadipaten ini...? Hanya itu yang kuperlukan dari Paman bertiga. Kuharap kalian tidak terlalu sulit memberikan keterangan," ujar gadis cantik ber-wajah pucat itu dengan suara, yang agak lain dari biasa. Sepertinya ada kesan ketegangan dalam suaranya kali ini.
"Aaah..., sayang sekali kami hanya rakyat biasa, Nisanak. Jadi, semua jawabanmu itu sulit kami jawab, kecuali kalau kau menanyakannya kepada salah seorang prajurit kadipaten. Mungkin mereka bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaanmu itu. Sekali lagi kami minta maaf, dan kami harus pergi...," sahut lelaki berkumis tebal itu dengan wajah pucat seperti kapas, bahkan, kata katanya ketika menjawab pun, terdengar bergetar seperti orang dilanda ketakutan. Padahal, pertanyaan gadis berwajah pucat itu tidak perlu ditakuti. Dan, ia pun tidak akan marah bila memang mereka betul-betul tidak mengetahuinya.
Tapi, gadis cantik berwajah pucat itu bukanlah orang bodoh yang menerima begitu saja Jawaban mereka. Tiba-tiba saja pedangnya, tercabut keluar. Sehingga menimbutkan sinar berkeredep yang menyilaukan mata. Dan, serta merta pedang itu telah melintang didepan dada lelaki berkumis tebal yang hendak melewatinya. Karena gadis itu berdiri beberapa langkah didepan mereka.
"Ah...!? Ap... apa ini? Kami... ampunkan kami... Nisanak...," rintih lelaki gemuk berkumis tebal dengan tubuh gemetar. Keringat dingin mulai mengalir ketika pedang yang berkilat-kilat itu, merayap hingga ke lehernya.
"Jawab pertanyaanku, atau terpaksa kepalamu akan kupenggal...," ancam gadis cantik berwajah pucat itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengar!" ucap gadis itu lagi "Aku bukan orang dari kadipaten ini. Jadi, kalian tidak perlu merasa takut kepadaku...?"
"Adipati Setya Bumi sebelumnya bernama Pradipta. la masih muda, sekitar dua puluh tiga tahun. Wajahnya sangat tampan dan gagah. Jabatan adipati disandangnya baru sekitar tiga bulan. Sebenarnya apa keperluan Nyai ingin mengetahui tentang penguasa Kadipaten Kedawung ini...?" Tanya lelaki berkumis tebal itu setelah menjawab semua pertanyaan gadis berwajah pucat itu.
"Aku ingin membunuh jahanam licik itu...!" geram gadis berwajah pucat yang tidak lain Trijanti itu. Di lepaskannya lelaki berkumis tebal itu setelah memperoleh Jawaban.
Ketiga orang lelaki itu berubah pucat wajahnya. Untuk beberapa saat lamanya, mereka saling pandang. Satu sama lain. Jelas, rasa khawatir trepancar di wajah ketiganya.
"Nyai, tunggu...!" seru lelaki berkumis tebal itu ketika melihat Trijanti akan meninggalkan tempat itu.
Trijanti terpaksa menahan langkahnya, dan berbalik menghadapi ketiga orang lelaki yang segera mengerumuninya. Kening wanita berwajah pucat itu berkerut, ketika melihat kekhawatiran di wajah mereka.
"Nyai, sangat berbahaya sekali bila niatmu dilaksanakan. Selain istana kadipaten dijaga prajurit-prajurit tangguh, juga terdapat beberapa tokoh sakti yang mengabdikan diri di istana itu. Sebaiknya niatmu itu diurungkan saja. Kami pun sebenarnya tidak menyukai adipati yang baru itu, tapi kami merasa khawatir terhadap keselamatanmu. Meskipun kami tidak tahu apa yang membuat Nyai mendendam kepada beliau...," ujar lelaki berkumis tebal itu menasihati.
"Hm..., meskipun manusia laknat itu dijaga oleh raja iblis sekalipun, aku tidak takut! Dan, aku tetap akan melaksanakan niatku. Terima kasih atas nasihat kalian...," usai berkata demikian, Trijanti kembali melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya kembali terhenti ketika lelaki berkumis tebal itu memanggilnya.
"Hm.., ada apa lagi, Paman?" Tanya Trijanti mengerutkan keningnya, tak senang.
"Mmm..., kalau memang niat Nyai sudah tidak bisa ditahan lagi, kami mempunyai sedikit berita yang mudah-mudahan bisa mempermudah niatmu itu...," ujar lelaki berkumis tebal itu, yang kembali berhadapan dengan Trijanti.
"Apa itu, Paman...?" Dengan wajah penuh harap, Trijanti menatap lelaki berkumis tebal itu lekat-lekat.
"Kami memperoleh kabar, dalam satu dua hari ini Adipati Setya Bumi akan berburu di hutan sebelah Barat. Biasanya beliau hanya ditemani dua orang pembantu setianya. Nah, pada saat itu, rasanya akan lebih mudah bagimu untuk melaksanakan niat itu...," sahut lelaki gemuk berkumis tebal itu lagi menjelaskan.
"Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Paman sekalian yang sudi menolongku. Sekarang, aku mohon pamit..," tanpa menoleh lagi, Trijanti langsung menggenjot tubuhnya. Dan segera melesat meninggalkan ketiga orang lelaki itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja ia tidak sampai celaka. Sebab, Adipati Setya Bumi konon memiliki kepandaian yang sangat tinggi..," gumam lelaki berkumis tebal itu cemas.
Sedang dua orang lainnya hanya menganggukkan kepala tanpa kata. Mereka masih menatapi sosok bayangan Trijanti yang kian samar.
********************
Suara berderap terdengar dan membuat suasana di sekitar Hutan Jonggol menjadih riuh. Beberapa ekor burung beterbangan meninggalkan pepohonan. Sepertinya mereka merasa terganggu dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. Seorang pemuda tampan yang mengenakan pakaian mewah, duduk di atas punggung kuda berbulu putih. Senyum keangkuhan tampak menghiasi wajahnya. Pemuda tampan itu tidak lain Pradipta, yang kini menjabat sebagai adipati dengan gelar Setya Bumi.
Dengan kelicikan dan kepandaiannya mengambil hati Adipati Sunggara, pemuda itu berhasil menjadi suami dari putri tunggal sang Adipati, yang pernah ditolongnya dari cengkeraman perampok. Ketika Adipati Sunggara ditemukan tewas saat berburu di Hutan Jonggol, maka Pradipta pun ditunjuk sebagai penggantinya. Karena sang Adipati sendiri tidak mempunyai anak laki-laki. Tidak ada seorang pun yang menduga kala Pradipta seorang pemuda licik dan serakah. Juga tak seorang pun yang tahu kalau pemuda tampan itu seorang yang mempunyai watak cabul.
Baru beberapa bulan menduduki jabatan adipati, sifat asli Pradipta mulai terlihat. Tapi, semua itu sudah terlambat! Ambar Sukma sendiri, putri Almarhum Adipati Sunggara, hanya bisa menyesali nasibnya.
Setelah Pradipta menjabat sebagai adipati, maka tak seorang pun yang dapat menghalangi tindakan pemuda itu. Dan, Ambar Sukma sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Adipati Setya Bumi yang selalu menggunakan tangan besi dalam menindak para pembangkang, tentu saja membuat rakyat terpaksa mentaatinya. Sejak pimpinan Kadipaten Kedawung dipegangnya, entah sudah berapa banyak rakyat yang menjadi korban kekejaman pemuda itu, karena setiap pembangkang tidak pernah luput dari hukuman mati. Bahkan, tidak sedikit yang dihukum gantung di alun-alun istana Kadipaten. Semua itu ditunjukkan kepada rakyat sebagai contoh bagi pembangkang-pembangkang lainnya.
Selain kejam, Adipati Setya Bumi hampir tidak pernah mengurusi rakyatnya. Segala sesuatu yang berurusan dengan kadipaten diwakilkannya. Sedangkan kerja adipati muda itu hanya bersenang-senang setiap hari. la tidak mau ambil peduli dengan segala urusan Kadipaten. Menurutnya, semua itu hanya membuat pusing kepalanya. Sehingga, Adipati Setya Bumi lebih suka bersenang-senang, ketimbang mengurusi rakyatnya. Dan, salah satu kesenangannya adalah berburu.
Pradipta yang kini dikenal sebagai Adipati Setya Bumi, menjalankan kuda putihnya agak perlahan. Karena saat itu ia telah berada jauh dari mulut hutan. Sedangkan dua orang pembantu setianya mengiringi di belakangnya. Seperti halnya sang Majikan, mereka pun mengendarai kuda-kuda pilihan.
Ketika ketiga orang itu semakin jauh menerobos hutan, mendadak Adipati Setya Bumi mengangkat tangan kanannya perlahan. Dengan gerakan ringan, tubuhnya melompat turun dari atas punggung kuda. Setelah menyiapkan anak panahnya, pemuda tampan bertubuh tegap itu melangkah perlahan menerobos semak belukar. Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang pembantu setia itu melompat turun dari punggung kudanya masing-masing. Namun, keduanya tetap menunggu di tempat itu, dan tidak mengikuti langkah Adipati Setya Bumi.
Sementara, pemuda tampan itu sendiri, sudah merunduk di balik semak-semak sambil membentangkan anak panahnya. Yang menjadi sasarannya, seekor kijang muda. Binatang itu sama sekali tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya. Karena angin yang bertiup saat itu, berhembus ke arah Adipati Setya Bumi. Sehingga, binatang itu tidak mencium sama sekali bahaya yang mengintainya. Namun, selagi pemuda itu tersenyum membayangkan tubuh kijang muda itu terpanggang anak panahnya, tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan nyaring seiring dengan meluncurnya anak panah yang dilepaskan pemuda itu.
"Haiiit...!"
Berbarengan dengan suara bentakan yang nyaring itu, secercah sinar putih berkeredep mengancam tenggorokan Adipati Setya Bumi. Karuan saja adipati muda itu menjadi geram. Karena binatang buruannya telah melesat lebih dulu ketika mendengar suara yang mengejutkan itu.
Merasa kesenangannya terganggu, pemuda itu menjadi marah bukan main! Sambii menarik mundur tubuhnya, dan merendahkan kaki belakang, serangan pedang lawan pun tuput dari sasarannya. Sedangkan kaki depannya yang terjulur lurus, langsung melakukan serangan balasan dengan sebuah tendangan ujung sepatunya!
Zebbb!
Gerakan sosok tubuh berpakaian biru muda yang menyerangnya itu, ternyata cukup gesit! Dengan sebuah gerakan yang berputar indah, sosok tubuh itu berhasil menghindari sambaran kaki lawannya. Bahkan dengan gerakan itu, ia sempat menyilangkan senjatanya, hingga membentuk goresan menyilang di udara!
"Haiiit...!"
Sambil membentak keras, tubuh Adipati Setya Bumi melambung dan berjumpalitan beberapa kali kebelakang. Dengan demikian, serangan sosok tubuh ramping itu kembali tuput, dan hanya menyambar daerah yang kosong.
"Keparat bosan hidup! Siapa kau...!" bentak Adipati Setya Bumi begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah berumput tebal. Sepasang mata pemuda tampan itu terbelalak ketika mengenali sosok tubuh ramping, yang telah berani mati membokongnya itu. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda hanya berdiri termangu, tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
"Hm..., begitu mudahnya kau melupakan aku, Jahanam Busuk! Jangan harap kau bisa hidup tenteram di dunia ini! Dan, kau harus menebusnya dengar kematian!" geram sosok tubuh ramping yang mengenakan pakaian biru muda itu. la tidak lain adalah Trijanti, si gadis pendekar yang telah diperdaya Pradipta beberapa waktu lalu. Namun, keterkejutan Pradipta hanya berlaku sesaat saja. Wajah tampan itu kembali tersenyum manis. Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Seolah pertemuan itu memang sudah lama dinantikannya.
"Ah..., Adik Trijanti...! Lama sekali kita tidak berjumpa. Maaf, aku terpaksa pergi tanpa pamit kepadamu, karena ada urusan penting dan sangat mendadak. Ah..., berapa rindunya aku kepadamu, Adikku...," ujar Pradipta sambil melangkah maju dengan wajah berseri-seri. Pemuda itu sepertinya sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang diperbuatnya terhadap diri Trijanti.
Sambutan pemuda itu, membuat Trijanti sejenak bingung. Gadis cantik berwajah pucat itu berdiri terpaku, seolah ia tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Namun, ketika teringat akan perbuatan pemuda itu, wajahnya kembali gelap dengan sorot mata yang dingin penuh dendam.
"Huh! Jangan berpura-pura kau, Jahanam Keji! Apakah kau kira aku akan tergoda dengan mulut manismu itu! Maaf saja. Keputusanku telah bulat untuk mencuci aib di tubuhku ini dengan darahmu. Bersiaplah...," desis Trijanti mencoba mengusir bayangan indah yang sempat melintas dibenaknya. Memang gadis cantik berwajah pucat itu jatuh hati kepada Pradipta. Perasaan itu pula yang mengganggunya. Sehingga, gadis itu agak resah hatinya ketika melihat sikap pemuda tampan yang sangat gembira berjumpa dengan dirinya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Adik Trijanti? Bukankah apa yang kita lakukan itu atas dasar suka sama suka? Aku sama sekali tidak memaksamu sedikit pun. Dan, aku yakin kau pun tahu akan hal itu. Bersikaplah tenang, Trijanti. Apakah kau menginginkan semua orang tahu dengan apa yang telah kita perbuat itu? Lihatlah, aku masih menyayangimu, dan bersedia menerimamu sebagai istriku. Kau akan kujadikan permaisuriku di Istana Kadipaten Kedawung. Tahukah kau kalau aku telah menjabat sebagai adipati di daerah ini? Ayolah, Trijanti, jangan bodoh...," bujuk Pradipta atau Adipati Setya Bumi sambil mengayunkan langkahnya menghampiri gadis cantik itu.
Melihat sinar mata yang hangat, kata-kata yang manis dan sikap lembut pemuda tampan itu, pendirian Trijanti pun menjadi goyah. Bagai orang tolol, gadis cantik itu menatap Pradipta dengan penuh selidik. Sepertinya ia ingin memastikan semua ucapan pemuda itu melalui sinar matanya. Dan, hati Trijanti sempat berdebar ketika melihat kehangatan cinta kasih, yang terpancar dari sepasang mata pemuda tampan yang telah menjatuhkan hatinya itu.
"Benarkah... kau mencintaiku, Pradipta...? Dapatkah kata-katamu kupercaya...?" desah gadis cantik berwajah pucat itu dengan bibir gemetar karena terbawa perasaannya. Bahkan, sepasang mata indah itu telah digenangi air bening. Jelas, kalau saat itu Trijanti tengah berperang dalam batinnya.
"Haiiih..., mengapa kau masih meragukan ucapanku, Adik Trijanti? Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan kepercayaanmu? Katakanlah, Adikku. Aku siap melaksanakannya...," bujuk Pradipta lagi. Sementara jarak di antara mereka berdua sudah tinggal beberapa langkah lagi. Bahkan, dengan pandainya Pradipta mengembangkan kedua lengannya untuk meyakinkan dan siap menyambut tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Tapi... tapi...," Trijanti masih merasa ragu meskipun pemuda itu jelas telah siap menerima dirinya. Bahkan, dua titik air bening mulai bergulir membasahi pipinya yang halus. Hati gadis cantik itu sangat terharu dengan apa yang diucapkan Pradipta. Nada suara yang dikeluarkan pemuda itu demikian lembut, dan memancarkan perasaan kasih yang mendalam. Sehingga, getaran di dalam dada Trijanti semakin bergemuruh, dan membuat bukit dadanya bergelombang,
"Katakanlah, Adik Trjanti..., apa yang kau inginkan sebagai bukti cintaku yang tulus kepadamu...? Katakanlah...?" sambil tetap berkata demikian, Pradipta terus melangkah maju semakin mendekat.
Sementara, Trijanti hanya dapat berdiri dengan tubuh bergetar menahan keharuan. Pedang yang semula siap untuk merejam tubuh pemuda tampan itu, kini tergantung lumpuh ditubuhnya.
DELAPAN
Sambil terus mengucapkan kata-kata manis, Pradipta, tokoh sesat berjuluk Kumbang Merah, yang kini menjabat sebagai Adipati Setya Bumi di Kadipaten Kedawung itu, melangkah semakin dekat Jarak antara mereka pun tinggal dua langkah lagi. Trijanti sendiri, yang pada dasarnya mencintai pemuda tampan itu, terisak tertahan. Kewaspadaan gadis cantik itu lenyap, berganti rasa haru yang menguasai hatinya. Dan, ketika Pradipta mengulur tangannya, gadis itu sama sekali tidak berusaha mengelak.
Namun, sebagai seorang gadis yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi, Trijanti dapat merasakan sambaran angin yang tajam mengiringi uluran sepasang tangan pemuda itu. Sayangnya, saat itu jarak antara mereka hanya terpisah dua tindak. Sehingga, gadis cantik itu hanya dapat menahan jeritannya dengan sepasang mata terbelalak.
"Mampuslah kau, Gadis Dungu...!" geram Adpati Setya Bumi yang rupanya telah menyiapkan tenaga dalam secara diam-diam. Dan, kini sepasang tangannya, yang membentuk cakar itu, siap merenggut nyawa Trijanti. Karena menurut pemikirannya, gadis itu hanya akan mendatangkan kesulitan pada dirinya.
"Aaah...?!" Gadis cantik berwajah pucat itu hanya dapat mengeluarkan jerit tertahan. Sadar kalau dirinya tidak mungkin lagi selamat, maka Trijanti pasrah dengan memejamkan matanya. Hatinya terasa sakit sekali ketika melihat kekejaman pemuda yang dicintainya itu.
Namun, pada saat yang gawat itu, tiba-tiba seberkas sinar hitam berkeredep menyambut cengkeraman tangan Pradipta. Dari suara berdesing yang ditimbulkannya, jelas kalau sinar hitam itu mengandung kekuatan hebat, dan sulit untuk diukur. Maka, wajar kalau kecepatannya pun hampir tidak tertangkap oleh mata Kumbang Merah, yang sangat kejam dan licik itu.
Tukkk!
"Aaakh...!" Adipati Setya Bumi memekik kesakitan, dan wajahnya berubah pucat! Sedangkan tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah. Tampak pemuda tampan itu meringis seraya mengurut jemari tangannya yang terasa nyeri dan linu.
"Ada apa, Gusti Adipati...?" tegur salah seorang pembantunya, yang telah berdiri di samping pemuda tampan itu. Sedangkan yang satunya lagi telah berdiri di samping kanannya sambil menatap kedepan.
Kening lelaki setengah tua, yang tubuhnya masih nampak kokoh itu, berkerut dalam. Sepasang matanya menatap sosok berjubah putih, segera ia menundukkan kepalanya ketika sepasang mata sosok tubuh itu menentang pandangan matanya. Diam-diam hati lelaki setengah baya itu, yang merupakan orang kepercayaan Pradipta terkejut ketika merasakan pengaruh aneh merasuk ke dalam jiwanya.
"Gila...! Siapa pemuda tampan berjubah putih itu..? Menilik dari sorot matanya, jelas ia memiliki tenaga dalam yang sukar diukur. Bahkan, sepasang matanya mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Sinar mata yang dimiliki pemuda itu rasanya hanya ada dalam dongeng," gumam batin lelaki setengah baya itu dengan wajah berubah pucat.
Sementara, sosok tubuh berjubah putih itu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di samping Trijanti. Dialah yang bernama Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Wajar kalau pertolongan pemuda sakti itu datang tepat pada waktunya. Karena Panji memang menguntit perjalanan gadis cantik itu semenjak pertama mereka bertemu. Sehingga, nyawa Trijanti pun dapat diselamatkannya.
"Kau...," desis Trijanti ketika mengenali sosok berjubah putih yang telah menolongnya itu. Sepasang mata yang bersimbah air mata itu, menatap wajah Panji dengan rasa tak percaya.
"Ya, aku, Panji.... Maaf kalau selama ini aku mengikuti perjalananmu. Karena sejak pertama kali berjumpa, kau menyerangku tanpa sebab, membuat aku curiga. Jadi, aku terpaksa mengikuti perjalananmu, sekadar ingin mengetahui masalah apa sebenarnya yang tengah kau hadapi," jelas Panji dengan wajah tengang. Seulas senyum penuh kesabaran menghias wajah tampannya.
"Betapapun, aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, Kisanak," ucap Trijanti dengan suara perlahan, dan hampir tidak terdengar. Sepasang mata gadis cantik itu nampak sayu, dan menyembunyikan luka hatinya yang dalam.
Setelah menghapus butir air mata yang jatuh di pipinya. Gadis cantik itu kembali memandang penolongnya. Kali ini dia meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu dengan seksama. Sepasang matanya menjelajahi sekujur tubuh penolongnya, dan semakin jelas ketegangan tergambar pada wajahnya. Tiba-tiba meluncur kata-kata dari bibir mungil yang agak pucat itu.
"Kau... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" Tanya gadis cantik itu dengan nada agak ragu. Namun, sorot matanya berharap kalau penolongnya itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Benar, Trijanti...," sahut Panji yang mengenal nama gadis cantik berpakaian biru muda itu dari percakapan antara Trijanti dan Pradipta yang sempat didengarnya. "Sayang apa yang selama ini kau dengar mungkin jauh berbeda dengan apa yang sekarang kau saksikan."
Trijanti menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan guna menahan seruannya. Hanya sepasang matanya yang sayu terbelalak ketika mendengar jawaban Panji. "Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih! Selama ini, hanya namamu saja yang sering kudengar dari cerita guruku. Tapi, dugaanmu salah besar. Karena yang selama ini diceritakan guruku, sama sekali tidak meleset. Dan, apa yang kulihat sekarang, persis seperti yang digambarkan beliau. Kalau saja guruku ikut bersamaku saat ini, beliau tentu sangat gembira sekali...," ujar Trijanti yang mengetahui mengenai diri penolongnya. Sepertinya ia lupa akan keadaan sekelilingnya. Bahkan, pandangan matanya terlihat berbinar-binar menandakan gadis cantik itu sangat gembira dapat bertemu dengan pendekar muda, yang selama ini dikagumi gurunya.
"Keparat! Jadi kau kiranya manusia usil itu, Pendekar Naga Putih! Hm.... Orang lain boleh merasa gentar mendengar julukanmu yang mentereng itu. Tapi, Pradipta yang sekarang bergelar Adipati Setya Bumi, tidak akan mundur selangkah pun! Dan, kau akan membayar mahal akibat keusilanmu itu. Bersiaplah...!" geram Adipati Setya Bumi yang segera mencabut sebatang suling perak dari balik bajunya.
Singngng!
Terdengar suara berdesing nyaring ketika suling perak di tangan Pradipta bergerak menyilang di depan dada. Menilik dari suara desingan senjata itu, jelas mencerminkan tenaga sakti yang hebat dimiliki pemuda itu.
“Trijanti, kau menyingkir dulu. Biar aku menghadapi serbuan Adipati Setya Bumi."
Trijanti yang sadar kalau kepandaian pemuda tampan berwatak cabul itu jauh berada di atas tingkat kepandaiannya, bergegas melangkah mundur tanpa membantah. Hanya sepasang matanya yang menatap tajam dan menyiratkan dendam.
"Burja, Sadira, kalian berdua bereskan gadis itu. Pemuda usil ini bagianku, ingat! Kalau kalian dapat menundukkannya, langsung bunuh saja. Gadis gila itu sangat berbahaya bagai kelangsungan jabatanku...,' terdengar perintah Adipati Setya Bumi kepada kedua orang pengawal setianya.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki setengah baya yang dipanggil dengan nama Burja itu, langsung melangkah menghampiri Trijanti. Di sebelah belakangnya Sadira, lelaki berusia tiga puluh lima tahun, yang menyeliki tubuh tinggi kurus dan bermata cerdik, mengikutinya.
Panji yang mengetahui kepandaian Trijanti melalui ilmu lari cepatnya tentu saja merasa khawatir. Cepat ia menghadang jalan Burja dan Sadira dengan maksud untuk melindungi gadis itu dari ancaman kematian. Sepasang mata pemuda berjubah putih itu menatap tajam bagai hendak menembus tubuh kedua orang pengawal Adipati Setya Bumi.
"Jangan kalian hiraukan pemuda sombong itu!" seru Adipati Setya Bumi kepada kedua pengawal setianya. Kemudian ia berpaling ke arah Panji dengan sorot mata tajam, dan penuh nafsu membunuh. "Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih. Biarkan rnereka mengurus gadis gila itu...," geramnya gusar.
"Heaaat...!" Adipati Setya Bumi yang melihat Pendekar Naga Putih tidak mempedulikan ucapannya menjadi marah! Diiringi dengan teriakan nyaring, tubuh pemuda tampan berwatak cabul itu melesat seperti kilat, dan disertai suara berdesing tajam.
Whuuut! Whuuut!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan, guna menghindari serangan maut lawannya. Gerakan pemuda berjubah putih itu nampak sangat lincah. Sehingga, dalam gebrakan pertama, serangan-serangan Pradipta hanya mampu menyambar angin kosong.
"Bangsat! Apa kau cuma bisa mengelak dengan cara menari-nari seperti badut? Kalau memang kau mempunyai kepandaian, hayo balas seranganku...!" umpat Adipati Setya Bumi yang menjadi kalap karena merasa dipermainkan lawannya.
Namun, Panji sama sekali tidak mempedulikan kemarahan lawannya. Tubuhnya tetap bergerak lincah di antara sambaran senjata Pradipta. Kemudian, sesekali ia melontarkan serangan-serangan balasan, Walaupun tidak terlalu berbahaya, tapi sanggup membendung dan mengurangi desakan lawan.
"Setan!"
Sambil tetap memaki tak habis-habisnya, Adipati Setya bumi terus melontarkan serangan yang kian lama bertambah cepat dan kuat. Tampak Pradipta ingin secepatnya menghabisi nyawa pemuda, yang telah menggagalkan rencananya itu.
"Haiiit...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, mendadak Adipati Setya Bumi mengeluarkan pekikan nyaring yang mengejutkan! Detik itu juga, senjatanya berkeredep dengan kecepatan kilat. Sekali bergerak saja, Pemuda berwatak cabul itu telah melancarkan serangkaian serangan yang mematikan. Bahkan, beberapa totokan dilancarkan susul menyusul dengan kecepatan yang tinggi!
"Hiaaah...!"
Plakkk...!
Panji yang melihat serangan lawannya semakin hebat dan berbahaya, bergegas memapaki sebuah totokan yang meluncur cepat dan mengancam tenggorokannya. Sehingga, tubuh lawannya terjajar mundur sejauh delapan langkah dengan wajah me-ringis. Jelas, kalau Adipati Setya Bumi masih kalah tenaga melawan pendekar muda itu. Pendekar Naga Putih tidak ingin menunda-nunda pertempuran itu. Begitu tubuh lawannya kembali meluncur dengan serangan-serangan mautnya, bergegas Panji menyambutnya dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang telah membuat namanya dikenal dalam rimba persilatan.
Bagaikan seekor ular raksasa, tubuh Pendekar Naga Putih meliuk-liuk dan mengejutkan lawannya. Sedang sepasang tangannya, yang telah membentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat! Hembusan angin dingin selalu menyertai setiap sambaran tangannya. Pradipta yang selama ini hanya mendengar kehebatan pendekar itu, menjadi terkejut bukan main! Ruang geraknya dirasakan semakin sempit. Bahkan, kaki dan tangannya terasa agak kaku. Karuan saja pemuda berwatak cabul itu mengomel panjang.
"Jahanam! Hawa dingin keparat ini benar-benar membuat gerakanku terhambat...!" geram Adipati Setya Bumi yang semakin marah terhadap lawannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh puluh enam, Adipati Setya Bumi merasakan tubuhnya kian sukar bergerak, dan tak sanggup lagi menghindari sebuah hantaman telapak tangan lawannya. Sehingga, hantaman itu menghajar telak dadanya! Dan....
Blaggg!
"Huakhhh. !"
Dibarengi darah segar muncrat dari mulutnya, tubuh pemuda berwatak cabul itu terjungkal ke belakang. Terdengarlah suara berdebuk keras ketika tubuh Adipati Setya Bumi terbanting di atas tanah.
"Hmrrr..."
Pemuda tampan berwatak cabul, yang selalu menebarkan bencana bagi gadis-gadis cantik itu, menggigil hebat! Pukulan telapak tangan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan", tak sanggup ditahannya. Akibatnya, pemuda itu tidak mampu lagi bangkit dan berdiri.
Panji yang tidak bermaksud membunuh lawannya, segera melompat dan menotok lumpuh pemuda tampan berwatak cabul itu. Pendekar Naga Putih yang tengah merunduk dekat tubuh Pradipta, berge-gas menoleh ketika mendengar beberapa langkah kaki datang menghampirinya.
"Trijanti, kau tidak apa-apa...?" Tanya Panji cemas. Kemudian sepasang matanya beralih memandang dua orang lelaki yang mendampingi gadis cantik itu.
"Kenalkan, Pendekar Naga Putih. Kedua orang ini bemama Ki Ringgo. dan Ki Banggali. Merekalah yang telah menolongku dari ancaman kedua pembantu pemuda iblis itu," jelas Trijanti segera memperkenalkan kedua lelaki setengah baya yang mendampinginya, ketika menangkap sinar keheranan di mata Panji.
"Aku sendiri bernama Ambar Sukma, istri jahanam keparat itu," terdengar suara merdu yang menyimpan duka dari sebelah belakang Trijanti, Ki Ringgo dan Ki Banggali.
"Ah, maaf, aku sampai melupakan Gusti Ayu...," ucap Trijanti tersenyum malu. "Beliau ini putri Adipati Sunggara, yang menurut keterangan Paman Banggali, Adipati Sunggara dibunuh oleh pemuda jahanam yang berhati jahat itu...," jelas Trijanti kepada Panji.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Pemuda keji ini pandai sekali menyembunyikan sifat aslinya. Sehingga, Adipati Sunggara bersedia menerimanya sebagai menantu. Selama tinggal di Istana Kadipaten, ia selalu menunjukkan sifat yang menyenangkan. Tapi, itu hanya kurang lebih sebulan. Selebihnya pemuda iblis yang bernama Pradipta itu menampakkan sifat aslinya. Ketika Gusti Adipati berniat berburu ke Hutan Jonggol, beliau meminta Pradipta untuk mengawalnya. Tapi dengan alasan yang cerdik, pemuda itu mengatakan ia ingin tinggal di istana. Sewaktu aku, Gusti Adipati, dan seorang pengawal lainnya tiba di dalam hutan, tiba-tiba muncul perampok yang dipimpin oleh lelaki tinggi besar yang berjuluk Raja Kera Kulit Baja itu," Ki Banggali menunda ceritanya, dan menarik napas.
Panji tidak berusaha sama sekali mendesak kelanjutan cerita itu. Ditunggunya ucapan lelaki setengah tua, yang ternyata salah seorang pembantu setia Almarhum Adipati Sunggara, sepertinya Ki Banggali tahu persis tentang kematian Adipati Kedawung itu.
"Meskipun kepala rampok itu memiliki kepandaian yang tinggi, kami bertiga masih mampu mengatasinya. Tapi, saat kami berada di atas angin, tiba-tiba muncullah pemuda biadab itu. Semula kami menduga kedatangannya bermaksud membela kami. Namun, dengan liciknya, Pradipta menikam tubuh Gusti Adipati Sunggara dari belakang. Maka, Gusti Adipati Sunggara pun tewas. Aku dan kawan-ku berusaha melawan sekuat tenaga. Tapi, karena kepandaian pemuda sangat tinggi, kami berdua pun dapat ditundukkannya. Sayang, pemuda biadab itu tidak sempat memperhatikan secara jeli. Kalau kami tidak tewas karena tusukan senjatanya. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan gerombolan perampok itu. Ternyata mereka dibantai habis untuk menghilangkan jejaknya. Baru setelah pemuda iblis itu lenyap, aku bangkit dan mencoba bertahan hidup. Untunglah pada saat tubuhku menderita luka parah, Ki Ringgo datang menolongku. Setelah saling menceritakan persoalan masing-masing, kami mengerti kalau orang yang dicari Ki Ringgo adalah Pradipta," jelas Ki Banggali menutup ceritanya.
"Lalu, bagaimana Paman bisa sampai di tempat ini bersama dengan prajurit kadipaten...?" Tanya Panji sambil mengedarkan pandangannya ke barisan prajurit berkuda, yang tengah berkumpul di belakang Ki Banggali.
"Tak berapa lama Pradipta pergi, Ki Banggali dan Ki Ringgo rupanya selalu mengikuti perkembangan di kadipaten dan segera mendatangiku," kali ini yang menyahuti adalah Ambar Sukma. "Ketika mendengar keterangan Paman Banggali, aku langsung mempercayainya. Karena beliau selalu setia mendampingi ayahku. Selain itu, aku pun sudah lama mengetahui tentang sifat-sifat jelek suamiku itu. Dengan membawa prajurit-prajurit pilihan, kami berniat hendak menghukum Pradipta. Tapi, ternyata semua telah dapat diselesaikan oleh Pendekar Naga Putih," senyum gadis cantik putri Adipati Sunggara itu melebar ketika mengucapkan kata-kata terakhirnya.
"Sekarang kami akan membawa pemuda biadab ini, untuk dihukum gantung di depan rakyat Kadipaten Kedawung. Dan, kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu kami mengalami kesulitan untuk menundukkan pemuda yang memiliki kepandaian yang tinggi itu," ujar Ki Banggali lagi sambil memerintahkan beberapa orang prajurit untuk mengangkat tubuh Pradipta yang sudah tidak berdaya itu. Tanpa diperintah dua kali, empat orang prajurit bergegas membawa tubuh Pradipta, dan disatukan dengan tubuh Burja serta Sadira.
"Eh, ke mana perginya, Pendekar Naga Putih...?" Ki Banggali yang sempat terlupa akan keberadaan pemuda itu karena tengah sibuk memperhatikan kerja para prajuritnya, menjadi terkejut ketika tidak menemukan sosok pemuda yang menimbulkan rasa kagumnya itu.
Ki Ringgo, Trijanti, dan Ambar Sukma pun sama mengerutkan keningnya. Pendekar Naga Putih telah lenyap tanpa pamit. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, mereka terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Ah, pemuda itu benar-benar seorang pendekar sejati, yang selalu mengulurkan tangannya menolong orang lain tanpa pamrih...," desah Trijanti teringat akan pertolongan pemuda tampan itu ketika dirinya tengah terancam maut.
Sedang yang lainnya hanya mengangguk tanpa kata. Pikiran mereka masih dipenuhi oleh sosok Pendekar Naga Putih yang lenyap begitu saja saat orang lain sibuk, dan tidak memperhatikannya.
********************
Nun jauh di luar Hutan Jonggol, sesosok tubuh berjubah putih melangkah lambat menyusuri jalan berbatu. Dialah Pendekar Naga Putih, yang kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencari kekasihnya.
"Kenanga..., entah bagaimana nasibmu. Mungkinkah engkau selamat dari kebuasan alam ketika terjadi musibah di kapal dagang itu...?" desah panji sambil menengadahkan kepalanya dan menatap gumpalan awan. Hati pemuda itu semakin gundah ketika teringat nasibnya. (Untuk lebih jelas tentang lenyapnya Kenanga, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Terdampar di Pulau Asing)
S E L E S A I