Serial Pendekar Naga Putih
Episode Mustika Naga Hijau
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Mustika Naga Hijau
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
Matahari cukup lama menampakkan kekuasaannya. Sinarnya yang garang memancar ke seluruh permukaan bumi. Sehingga, hembusan angin pun terasa panas karena teriknya pancaran sinar matahari siang itu. Tampak sesosok tubuh kurus kecil, berlari terseok-seok menerobos semak belukar sebuah hutan. Sosok tubuh kurus itu sesekali berhenti dan terbatuk-batuk hebat.
"Huaaakh...!"
Segumpal darah kental berwarna kehitaman terlompat keluar dari mulutnya. Pertanda sosok kecil kurus itu tengah menderita luka dalam yang cukup parah. Untuk beberapa saat lamanya, sosok kecil kurus yang ternyata seorang kakek renta, nampak berdiri goyah. Dihapusnya lelehan darah yang menetes dari sela bibirnya.
"Hm Jangan harap kau dapat meloloskan diri dari kejaran kami, Tua Bangka Keparat! Hayo, serahkan buntalan kuning itu kepada kami!" terdengar suara bentakan keras yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh, dan langsung mendaratkan kakinya dekat kakek bertubuh kecil kurus itu.
"Hhh.... Hhh.... Jangan mimpi kau, Iblis Kembar! Sampai mati pun, aku tidak akan menyerahkan buntalan kain kuning ini kepadamu.Kecuali, kalian dapat melangkahi mayatku!" sahut kakek kecil kurus itu dengan sepasang mata menatap tajam kearah dua orang, yang dipanggilnya dengan julukan Iblis Kembar.
"Keparat! Tua bangka keras kepala! Apa artinya benda itu buatmu?" geram salah seorang dari Iblis Kembar. "Tubuhmu yang sudah bau tanah itu, tak lagi memerlukannya. Lebih baik buntalan itu kau berikan kepada kami. Dengan begitu, kau telah mempergunakan sisa hidupmu dengan baik"
Mendengar ucapan itu, kakek bertubuh kurus memalingkan wajah dan menatap tajam lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel dari kulit beruang salju. Dirayapinya wajah pucat lelaki botak itu dengan sorot mata yang mengiriskan.
"Hm.... Meskipun benda ini bagiku tidak ada gunanya, tapi untuk diserahkan kepada kalian adalah perbuatan tolol. Dan, dapat mendatangkan penyesalan seumur hidupku. Dengar, Beruang Salju! Walaupun kalian berdua masih terhitung murid keponakanku, tapi untuk memiliki benda ini, kalian berdua tidak mempunyai hak sama sekali. Camkan itu!" sahut kakek kecil kurus itu dengan sinar mata garang.
"Bangsat! Rupanya kau lebih memilih kekerasan daripada jalan damai! Kalau itu yang kau inginkan, terimalah ini!Hiaaat..!"
Dengan dibarengi sebuah bentakan keras, salah seorang dari Iblis Kembar, yang mengenakan mantel terbuat dari kulit beruang hitam, melesat dengan serangan berantai yang menimbulkan gemuruh angin menderu.
Wuuut! Wuuut...!
Sadar akan kedahsyatan serangan lawan, kakek kecil kurus Itu cepat melempar tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali diudara. Namun, orang kedua yang berjuluk Iblis Beruang Salju melesat menyambut tubuh kakek itu sela- gi berada diudara.
"Haaat..!
Disertai sebuah teriakan nyaring, lelaki berkepala botak yang mengenakan mantel beruang salju itu, langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya dengan pengerahan tenaga dalam yang amat kuat
Wusss...!
Serangkum angin keras menderu tajam dan menyambar tubuh kakek kecil kurus yang tengah berjumpalitan di udara. Dan....
Blaggg...!
Hantaman telapak tangan iblis Beruang Salju menghajar telak bagian belakang tubuh kakek itu. Kontan tubuhnya terlempar deras seperti selembar daun kering.
"Huakh!"
Kembali gumpalan darah kental kehitaman terlompat dari mulut kakek itu. Meskipun demikian, kakek itu masih mampu melakukan beberapa kali salto di udara. Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting di atas permukaan tanah. Tampak kedua kaki kakek itu agak gemetar ketika tubuhnya mendarat di atas tanah. Bahkan, cairan merah kehitaman masih menetes perlahan dari sudut bibirnya.
"Yeaaat!"
Iblis Beruang Hitam yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan selagi kakek itu belum siap, segera melesat dengan disertai pukulan-pukulan maut yang dapat mengakibatkan kematian bagi lawannya. Sekali menyerang saja, telah terlontar empat buah pukulan yang mengarah bagian-bagian terlemah di tubuh kakek kecil kurus itu. Walaupun kondisi tubuhnya semakin bertambah parah, ternyata kakek kecil kurus itu bukanlah seorang mangsa yang empuk. Meski agak goyah dari terlihat susah-payah, kakek itu masih mampu mengelakkan serangkaian serangan lawan. Bahkan, sanggup pula mengirimkan serangan balasan ke tubuh Iblis Kembar.
Dukkk!
Tubuh keduanya terjajar mundur akibat tangkisan yang dilakukan Iblis Beruang Hitam. Tubuh kakek itu nampak terjungkal setengah tombak dari lawannya. Jelas, luka dalam di tubuh kakek itu telah membuat tenaganya berkurang jauh. Sehingga, tangkisan itu telah membuatnya kembali memuntahkan darah! Jelas, akibat tangkisan itu telah membuat luka dalamnya semakin bertambah parah.
Melihat keadaan lawannya sudah semakin parah, Iblis Kembar tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Cepat keduanya melompat berbarengan, dan langsung melontarkan pukulan-pukulan maut untuk menghabi- silawannya. Sadar kematian akan segera menjemputnya, kalau la tidak segera bertindak cepat. Maka, dengan sangat terpaksa, kakek itu merogoh sesuatu dari dalam kantung kain yang tergantung di pinggang kanannya.
"Hiaaah...!" Sambil membentak keras, tangan kanan kakek kecil kurus itu mengibas ke depan.
Wrrr.... Wrrr...!
Bagaikan sebuah kitiran, benda-benda berbentuk bulan sabit, berputar dengan suara menderu ke arah tubuh Iblis Kembar! Senjata-senjata rahasia yang panjangnya setengah jengkal itu, bergerak menyambut tubuh dua orang lelaki botak itu.
"Adi Gelang, awasss...!" Lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel kulit beruang hitam, berteriak memperingatkan saudaranya. Sambil berseru, sepasang tangannya memukul bergantian ke arah benda-benda yang tengah meluncur ke arahnya.
Tring! Tring!
Kontan benda-benda berbentuk bulan sabit itu berguguran, akibat hantaman angin pukulan yang berasal dari sepasang tangan Iblis Beruang Hitam. Sehingga, ia terbebas dari ancaman senjata-senjata maut lawannya.
Lain halnya dengan Iblis Beruang Salju. Luncuran senjata-senjata rahasia itu, disambutnya dengan sebatang senjata yang entah kapan dicabut dari sarungnya. Dengan senjata itu ia berhasil memukul runtuh senjata rahasia yang mengancam keselamatannya itu.
"Keparat! Ke mana perginya tua bangka licik itu...!" maki Iblis Beruang Hitam ketika ia tidak lagi melihat tubuh kakek kecil kurus itu di tempatnya berdiri.
"Hm.... Jelas, ia telah melarikan diri selagi kita sibuk menghalau senjata-senjata rahasianya. Hayo, cepat kita kejar, Kakang. Aku yakin dia belum jauh meninggalkan tempat ini. Apalagi luka-lukanya sudah sedemikian parah," usul Iblis Beruang Salju yang menjadi geram melihat kelicikan lawan. Dan, tanpa menunggu jawaban dari saudaranya, tubuh lelaki botak berpakaian mantel beruang salju itu, langsung melesat melakukan pengejaran.
Iblis Beruang Hitam tidak mau ketinggalan. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari saudaranya, segera melesat dengan kecepatan tinggi. Melihat dari kecepatan geraknya, jelas kedua orang lelaki yang berjuluk Iblis Kembar itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang tidak bisa dipandang rendah kepandaiannya. Bahkan, dalam dunia persilatan, kedua lelaki kembar itu telah memiliki nama yang cukup besar dan ditakuti. Baik kalangan hitam sendiri maupun orang-orang golongan putih, yang menamakan dirinya sebagai pendekar-pendekar persilatan.
Setelah agak lama berputaran di dalam hutan itu, akhirnya Iblis Kembar terpaksa menelan kekecewaan. Karena sosok kakek yang mereka cari-cari, telah lenyap tanpa bekas. Seolah-olah tubuh kakek itu, melesak ke dalam bumi. Sehingga, meskipun tiap jengkal pelosok hutan itu sudah mereka jajaki, tetap saja tubuh kakek kecil kurus itu tak berhasil ditemukan.
"Bedebah! Ke mana perginya bangsat tua itu...? Hm.... Kalau sampai dapat kutemukan, akan kulumat dan ku siksa dia habis-habisan!" geram Iblis Beruang Salju yang rupanya masih sangat mendendam karena hampir saja ia menjadi korban senjata rahasia lawannya.
"Sudahlah, Adi. Sebaiknya kita lanjutkan saja pencarian ini. Aku yakin, dengan luka-luka yang dialaminya, tidak mungkin ia dapat lari sampai jauh. Siapa tahu di sekitar daerah ini ada sebuah desa. Nah, di tempat itu, kita bisa mencari keterangan tanpa khawatir akan dicurigai," usul Iblis Beruang Hitam yang merupakan orang tertua di antara mereka berdua. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah meninggalkan hutan.
"Hm..., dicurigai pun aku tidak merasa takut! Yang menjadi pikiranku adalah Siluman Tongkat Beracun! Kalau sampai ia dapat menemukan benda itu lebih dulu, akan sulit bagi kita untuk merebutnya. Hal itulah yang selalu menjadi pikiranku, Kakang," sahut Wingka Gelang yang merupakan orang termuda dari Iblis Kembar itu. Wajahnya terlihat agak tegang ketika ia menyebut nama Siluman Tongkat Beracun. Jelas,nama itu mendatangkan perasaan jerih dalam hatinya.
"Ya, itu salah satu sebab mengapa kita harus bergegas. Hayolah, jangan buang-buang waktu lagi!" ajak Iblis Beruang Hitam tanpa mempedulikan rasa cemas di hati saudaranya.
Tanpa banyak cakap lagi, Iblis Beruang Salju segera mengikuti langkah saudaranya, meninggalkan hutan itu. Sebentar saja, tubuh keduanya telah lenyap di balik bayang-bayang pepohonan lebat yang tumbuh di dalam hutan.
Swiiing...!
Anak panah yang dilepaskan seorang pemuda tampan berusia sekitar sembilan belas tahun, melesat cepat ke arah seekor kijang muda yang tengah merumput.
"Ahhh! Lagi-lagi bidikan ku. meleset, Paman...," sesal pemuda itu sambil memandangi kijang muda yang telah berlari meninggalkan tempat itu. Sedangkan anak panahnya masih bergoyang-goyang pada sebatang pohon yang berada di belakang binatang buruannya
"Sabarlah, Tuan Muda.... Jangan terlalu cepat putus asa. Paman yakin, lain waktu pasti Tuan Muda akan memperoleh hasil seperti yang kita harapkan," bujuk seorang lelaki setengah baya yang berada disamping lelaki muda itu. "Ayo, kita cari di tempat lain."
Sambil berkata demikian, laki-laki setengah baya Itu pun membenahi alat-alat berburunya. Kemudian bergegas bangkit menuju kudanya. Tanpa berkata sepatah pun, lelaki muda berwajah tampan itu pun bangkit dan melangkah mengikuti pamannya. Dengan gerakan yang ringan, tubuhnya melompat ke atas punggung kuda berbulu putih yang menjadi tunggangannya.
"Hm.... Sebentar lagi hari akan gelap, Paman. Tapi, satu ekor binatang pun, belum juga kudapatkan. Hhh..., memang dasar nasibku yang kurang beruntung," desah pemuda itu sambil menjalankan kudanya perlahan.
"Yahhh..., entah mengapa binatang-binatang itu tidak banyak yang tampak. Padahal, biasanya banyak sekali binatang buruan di sekitar tempat ini. Mungkin benar kata-kata Tuan Muda bahwa nasib kita kurang beruntung," sahut lelaki setengah baya yang menunggang seekor kuda berbulu coklat Meskipun kuda yang ditungganginya tidak sekokoh kuda majikannya, namun jelas kuda itu merupakan kuda pilihan.
"Lebih baik kita kembali saja, Paman. Rasanya hari ini aku tidak ingin bermalam di dalam hutan," usul pemuda tampan itu tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan matanya tertuju kedepan.
"Baiklah..., kalau memang itu sudah menjadi keputusan Tuan Muda," sahut lelaki setengah baya itu sambil menarik tali kekang dan membalikkan kudanya.
"Paman, tunggu...!" tiba-tiba pemuda tampan itu berseru sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Sepasang matanya tampak berputar liar ke sekeliling tempat itu.
"Ada apa, Tuan Muda...?" tanya lelaki setengah baya itu yang menjadi tegang ketika melihat wajah majikan mudanya yang tampak tengah dilanda ketegangan.
Tanpa menjawab sepatah pun, pemuda tampan itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Sambil menyiapkan anak panah pada busunrya, kakinya melangkah hati-hati ke arah segerombolan semak didepannya. Namun, wajah yang semula tegang itu terkejut ketika menyaksikan pemandangan di balik semak-semak itu.
Karena yang dilihatnya bukanlah binatang buruan seperti dugaannya semula. Melainkan sesosok tubuh kecil kurus yang tengah tergeletak dengan napas satu-satu. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda tampan itu berdiri terpaku seperti orang linglung. Kesadarannya baru pulih ketika sosok tubuh kurus itu memperdengarkan rintihan halus.
"Kakek, siapakah kau...?! Siapa yang telah melakukan perbuatan kejam ini?" tanya pemuda itu sambil mengangkat tubuh kurus yang tengah menderita luka parah.
"Anak baik..., bawalah aku dari tempat ini. Dan, jangan kau beritahukan kepada siapa pun..., mengenai aku.... Dan kalian berdua harus menyimpan rapat mengenai diriku," ucap kakek kecil kurus itu terbata-bata. Jelas sekali kalau ucapan itu dikeluarkan dengan sisa-sisa tenaganya.
Lelaki setengah baya yang merupakan pelayan pemuda tampan itu, menganggukkan kepalanya ketika mendengar pesan. kakek kecil kurus yang tengah menderita itu. Meskipun berbagai pertanyaan melintas di benaknya, namun semua itu dibuangnya jauh-jauh ketika melihat keadaan kakek yang sangat memerlukan pertolongan itu. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda tampan itu bergegas memondong tubuh kakek itu ke atas punggung kudanya. Kemudian, cepat-cepat .meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh si kakek.
Demikian pula halnya dengan pelayan setengah baya. Tanpa banyak tanya, dia segera melompat ke atas punggung kudanya dan memacu cepat, menyusul kuda majikannya yang telah berada beberapa tombak didepan.
Senja mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Saat itu, dua ekor kuda berderap perlahan menuju halaman belakang sebuah bangunan perguruan.
"Mengapa kita harus melewati jalan belakang, Tuan Muda? Tidakkah perbuatan kita ini akan menimbulkan kecurigaan?" tanya lelaki setengah baya yang berada dibelakang.
"Sudahlah, Paman Tidak perlu banyak tanya. Kau ingat pesan kakek ini tadi? Dia mengatakan agar kehadirannya tidak boleh diketahui orang lain, kecuali kita berdua. Perlu ku ingatkan, agar Paman jangan se-ali-kali mengatakan hal ini kepada siapa pun juga. Mengerti!" ujar pemuda tampan yang dipanggil tuan muda itu. Dan, tampak pada wajahnya tercermin ketidaksenangan hatinya melihat kecerewetan lelaki setengah baya itu.
"Baik, Tuan Muda...," jawab lelaki setengah baya itu agak takut-takut, ketika melihat sinar ketidaksenangan di wajah pemuda itu.
"Hm.... Kau tunggu di sini! Aku akan memeriksa ke dalam. Siapa tahu ada yang memergoki kedatangan kita," ujar pemuda tampan itu seraya melompat turun dari punggung kudanya.
Kemudian kakinya melangkah perlahan ke arah pagar kayu yang mengelilingi bangunan perguruan itu. Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda tampan itu melesat melampaui pagar kayu setinggi dua tombak lebih. Lalu, lenyap ketika tubuhnya melayang turun ke dalam bangunan perguruan itu. Tidak lama kemudian, terdengar suara derit perlahan. Disusul terbukanya pintu belakang bangunan itu. Dan, muncul pemuda tampan yang sebelumnya lenyap di balik pagar kayu bulat itu.
"Paman Wangsa! Ayo, cepat masuk!" seru pemuda itu dengan menekan nada suaranya, agar tidak terdengar oleh orang lain.
"Baik, Tuan Muda...," sahut lelaki setengah baya yang bernama Wangsa. Sesaat kemudian, tubuh kedua orang itu lenyap di balik pintu gerbang belakang bersama kedua kuda tunggangannya.
"Kau masukkan kuda-kuda ini ke kandang. Biar aku yang mengurus kakek ini. Ingat! Jangan kau ceritakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada ayahku sekalipun!" pesan pemuda itu sebelum meninggalkan pelayan bernama Wangsa itu.
Pemuda tampan itu tidak sempat melihat anggukan di wajah pelayannya. Karena seusai bicara ia telah beranjak dari tempat itu, sambil memanggul tubuh kakek kurus dibahunya. Kemudian, dua sosok tubuh itu lenyap di balik pintu kamar yang terbuat dari kayu tebal. Dengan hati-hati, pemuda tampan itu membaringkan tubuh kakek kurus di atas pembaringan.
"Tunggu, Anak Muda...!" cegah kakek itu ketika melihat si pemuda tampan hendak beranjak meninggalkannya.
"Ada apa, Kek? Aku hanya ingin menyiapkan air hangat untuk membersihkan noda darah di tubuhmu," sahut pemuda tampan itu memalingkan wajahnya. Namun, ketika melihat gerakan kakek itu sudah sedemikian lemah, ia bergegas menghampiri.
"Boleh ku tahu namamu, Anak Baik...?" tanya kakek kecil kurus itu mencoba tersenyum, meski senyum itu terlihat lebih mirip seringai kesakitan.
"Namaku Wirya Saka, Kek. Sebenarnya apa yang telah terjadi, Kek? Mengapa kau mengalami luka sedemikian parah?" tanya pemuda tampan yang bernama Wirya Saka itu sambil merayapi wajah kakek di depannya.
"Dengarlah, Wirya. Dunia persilatan memberikan julukan Dewa Kerdil kepadaku. Sedangkan mengenai nama, aku sudah tidak ingat lagi," kakek yang mengaku berjuluk Dewa Kerdil itu menghentikan ucapannya. Lalu, mengambil buntalan kain kuning yang masih tersampir di bahu kirinya.
Wirya Saka sempat terbeliak dan melangkah mundur ketika kakek itu mengeluarkan sebuah batu sebesar telur ayam, yang memancarkan sinar kehijauan.
"Kau tahu apa nama benda ini, Wirya...?" tanya kakek Itu dengan tatapan penuh selidik.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Wirya Saka menggeleng lemah. Namun, sepasang matanya masih mengerjap karena merasa silau dengan sinar kehijauan yang berpendar dari benda bulat di tangan Dewa Kerdil.
"Ketahuilah, Wirya. Benda ini bernama Mustika Naga Hijau yang saat ini keberadaannya telah tersebar di kalangan persilatan. Dan, karena ingin mempertahankan benda inilah, aku sampai mengalami luka, dan bertemu denganmu," lanjut Dewa Kerdil seraya melebarkan senyumnya ketika melihat Wirya Saka masih belum terbebas dari keterkejutannya.
"Tentu benda itu sangat besar sekali artinya, sehingga Kakek mempertahankannya mati-matian," desah Wirya Saka sambil kembali duduk di sisi pembaringan. Sepertinya pemuda itu sudah mulai dapat menghilangkan perasaan kagetnya. Itu tercermin dari perubahan wajahnya yang sudah tenang seperti semula.
"Sebenarnya benda ini sama sekali tidak ada artinya bagiku, Wirya. Tapi bagi orang lain, benda ini akan sangat besar sekali maknanya. Lebih-lebih terhadap seorang pemuda berhati bersih seperti dirimu. Dengan kesediaanmu menolongku, yang sama sekali tidak kau kenal, sudah menunjukkan kalau dirimu adalah seorang pemuda yang berjiwa bersih. Orang seperti dirimu akan menjadi jodoh benda keramat Mustika Naga Hijau," kembali Dewa Kerdil menghentikan ucapannya, dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Seolah-olah ingin dikumpulkan seluruh sisa-sisa kekuatannya untuk menceritakan segala sesuatunya kepada Wirya Saka.
"Begitu hebatkah kegunaan Mustika Naga Hijau sampai-sampai kakek rela mempertahankannya dengan taruhan nyawa?" tanya Wirya Saka yang semakin merasa penasaran dengan benda keramat di tangan kakek itu.
"Benda ini sendiri tidak banyak gunanya. Tapi, rahasia di balik Mustika Naga Hijau inilah yang sekarang menjadi incaran tokoh-tokoh persilatan. Karena benda ini dapat membawa si pemegangnya ke suatu tempat yang menyimpan ilmu-ilmu silat tinggi dari peninggalan seorang tokoh maha sakti, yang hidup ratusan tahun silam. Bahkan, kabarnya di tempat itu terdapat juga tumpukan harta, yang tidak ternilai harganya. Kedua hal itulah yang membuat para tokoh persilatan mengejar-ngejar benda keramat ini. Baik mereka yang mengaku sebagai golongan putih maupun tokoh-tokoh sesat. Mereka semua ingin merebut benda ini dari tanganku. Sekarang kau tentu paham dengan sikapku mempertahankan benda ini mati-matian, bukan?" tanya Dewa Kerdil, menutup ceritanya.
"Wah, menarik sekali ceritamu, Kek. Lalu, mengapa Kakek sendiri tidak berusaha untuk mencari tempat itu? Dan, mengapa diceritakan kepadaku? Bukankah kalau aku berniat jahat, Kakek akan celaka?"
"Benda ini ku curi dari seorang tokoh sesat maha sakti yang menjadi majikanku, lima puluh tahun yang lalu. Karena tokoh sesat itu bersama para pengikutnya selalu mencariku, terpaksa aku menyembunyikan diri dalam sebuah tempat yang jarang didatangi manusia. Setelah aku mendengar berita kematiannya, mulai aku menampakkan diri di dunia ramai dengan maksud untuk mencari tempat penyimpanan pusaka-pusaka tersebut. Sayang, kehadiranku sempat tercium oleh beberapa orang pengikut majikanku yang masih penasaran. Sehingga, untuk kesekian kalinya aku dikejar-kejar mereka. Bahkan, beberapa tokoh golongan putih dan tokoh sesat lainnya ikut pula mengejarku, setelah berita mengenai benda mustika ini semakin tersebar luas. Luka-luka inilah yang ku peroleh selama kurang lebih tiga tahun bermain kucing-kucingan dengan para tokoh persilatan yang mengejarku. Akhirnya aku bertemu denganmu, Wirya," jelas Dewa Kerdil memaksa tersenyum.
"Hm.... Kalau begitu kau tentu mempunyai julukan yang seram sebelumnya. Sebab, dengan mengabdikan diri kepada seorang tokoh sesat, tentunya kau pun bukanlah orang baik-baik. Dan, julukanmu pasti bukan Dewa Kerdil, bukan?" tanya Wirya Saka yang menjadi terkejut setelah mendengar penjelasan kakek kecil kurus itu tentang masa lalunya.
Dewa Kerdil sama sekali tidak menyahut. Nampak keadaannya kian melemah. Beberapa kali tarikan napasnya terdengar seperti suara ayam disembelih. Jelas, kematian kakek itu sudah di ambang pintu.
"Kek...! Kakek...!"
Wirya Saka berteriak menekan suaranya sambil mengguncang-guncangkan tubuh kakek yang matanya sudah terpejam rapat itu. Pemuda ini kian bertambah panik ketika tubuh Dewa Kerdil tetap saja tak bergerak dan tidak merasa kan guncangan tangannya. Wajah Wirya Saka yang semula panik, kembali cerah ketika melihat sepasang mata Dewa Kerdil terbuka perlahan. Dan, kakek yang sebelumnya seorang tokoh sesat itu memaksa tersenyum kepada Wirya Saka.
"Ku..., percayakan.., benda ini kepadamu, Wirya.... Di dalam buntalan kain kuning ini, ada sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya pusaka-pusaka yang tak ternilai itu. Sedangkan Mustika Naga Hijau berguna untuk melindungimu dari hawa beracun yang tersebar di daerah penyimpanan harta dan ilmu-ilmu tinggi itu... Jangan kau Khawatir, Wirya. ilmu-ilmu itu bukan ilmu sesat. Selain itu, kau harus mengubur mayatku seorang diri, tanpa sepengetahuan orang lain. Rahasiakan benda itu dan juga pertemuan kita ini. Sebab, kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan yang mengejarku, maka hidupmu tidak akan pernah tenteram. Ingat itu baik-baik...!" pesan Dewa Kerdil dengan suara tersendat-sendat.
Setelah selesai meninggalkan pesan itu, napas Dewa Kerdil pun putus. Kakek kecil kurus itu tewas setelah menyerahkan Mustika Naga Hijau dan petanya kepada Wirya Saka.
Tentu saja kematian Dewa Kerdil membuat pemuda itu terhenyak lemah. Namun, mengingat pesan-pesan Dewa Kerdil sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, pemuda tampan itu bergegas bangkit. Belum lagi tangannya sempat mengangkat tubuh Dewa Kerdil dari pembaringan, tiba-tiba telinga pemuda itu mendengar bunyi yang mencurigakan.
"Siapa...?" tegur Wirya Saka dengan wajah tegang." Paman Wangsa, kaukah itu...?" Ketika Wirya Saka menangkap suara gerakan orang berlari, meninggalkan tempat itu, cepat tubuhnya berkelebat ke arah ruangan samping kamarnya.
"Hei..! Berhenti...!" seru Wirya Saka ketika melihat sesosok tubuh melesat beberapa tombak di depannya. Tanpa membuang-buang waktu, pemuda itu segera melesat mengejarnya.
"Keparat..!" maki Wirya Saka sewaktu tiba di sekitar bangunan tempat tinggal para murid ayahnya. Dan, pemuda itu kehilangan jejak buruannya.
"Tuan Muda mencari siapa...?" tegur salah seorang murid perguruan yang mendapat tugas jaga malam itu. Sambil bertanya, ia dan tiga orang temannya, mengangguk hormat kepada Wirya Saka. Tapi, tidak segera disambutnya karena masih diliputi rasa bingung. Sehingga, tindakan pemuda itu sempat membuat keempat orang itu merasa heran. Sebab, tidak biasanya anak majikan mereka bersikap masa bodoh.
"Hm.... Kalian ini bagaimana? Apa yang kalian lakukan sampai-sampai ada orang yang berani mengintai ke dalam kamarku. Apa kalian tidak melihat bayangan orang berlari di sekitar tempat ini?" tanya Wirya Saka dengan hati jengkel. Wajah pemuda itu menegang ketika teringat pesan terakhir yang disampaikan Dewa Kerdil.
"Jangan-jangan manusia culas yang mengintai ku itu sempat pula mendengar penjelasan kakek Dewa Kerdil. Kalau memang demikian, celakalah nasib perguruan ini," desah pemuda itu dalam hati.
"Kami... Baru saja tiba di tempat ini, Tuan Muda. Dan, kami tidak melihat adanya bayangan yang Tuan Muda maksudkan. Tapi, kami akan segera mencarinya, kalau Tuan Muda kehendaki," sahut salah seorang yang berkumis tebaldan bertubuh gemuk.
"Tidak, tidak perlu! Mungkin aku yang keliru melihat Sudahlah. Lupakan saja persoalan itu. Mungkin aku hanya salah lihat saja," gumam Wirya Saka yang tiba-tiba saja menjadi gugup ketika mendengar jawaban salah seorang peronda itu.
Untung pemuda itu sempat berpikir cepat Kalau tidak, keadaan akan semakin bertambah runyam. Sebab, bukan tidak mungkin kalau keadaan akan semakin ramai, dan akan menimbulkan kesulitan baginya untuk menguburkan mayat Dewa Kerdil. Setelah berkata demikian, Wirya Saka langsung melesat meninggalkan keempat orang peronda yang terbengong-bengong dan keheranan melihat keanehan sikap pemuda itu. Namun, mereka hanya bisa menggeleng heran, tanpa berani bersuara.
Sementara, sekembalinya ke kamar, Wirya Saka, langsung bergegas menyiapkan penguburan mayat Dewa Kerdil. Dibawanya mayat kakek kurus itu setelah hari larut malam. Itu dilakukannya untuk menghindari penglihatan murid-murid ayahnya.
Rintik hujan yang turun malam itu, membuat hati Wirya Saka semakin lega. Sebab, dalam keadaan' cuaca seperti itu, tentu orang akan enggan berada di luar rumah. Maka, dengan leluasa, pemuda itu berlari menuju ke luar bangunan perguruan.
Jelas, ia tidak menghendaki mayat itu dikuburkan di dalam bangunan. Sebab, hal itu bisa menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benak murid-murid ayahnya. Bahkan, orang tuanya mungkin akan meminta penjelasan kalau itu dilakukan. Itulah sebabnya mengapa Wirya Saka memilih penguburan mayat Dewa Kerdil di luar bangunan perguruan.
"Dari mana saja kau, Wirya...? Mengapa sejak sore aku tidak melihatmu? Apa saja yang kau kerjakan malam-malam begini?" tegur suara berat yang penuh wibawa.
Wirya Saka yang baru saja akan memasuki kamarnya, terkejut bukan main. Sehingga, untuk beberapa saat, tubuhnya, hanya tertegun sambil meme- gangi daun pintu yang terbuka sedikit. Seperti telah mendapatkan ketenangannya kembali, pemuda tampan itu membalikkan tubuhnya sambil tersenyum kepada sosok tinggi gagah yang bernama Ki Panca Saka yang menjadi Ketua Perguruan Cakar Baja.
"Ah, Ayah mengagetkan aku saja. Mengapa Ayah berada di sini? Apakah ada sesuatu yang menjadi pikiran Ayah...?" tanya Wirya Saka dengan sikap yang dibuat setenang mungkin.
"Hm.... Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, Wirya. Tidak biasanya kau menghilang begitu saja seusai berburu. Bahkan, Ki Wangsa seperti takut bertemu denganku. Apa sebenarnya yang telah kalian alami?" tanya Ki Panca Saka sambil menatap tajam bola mata putra satu-satunya itu.
"Maaf, Ayah. Aku.... Aku merasa malu untuk menghadap. Karena kami berdua sama sekali tidak berhasil memperoleh seekor binatang pun. Kuharap Ayah sudi memakluminya," sahut pemuda itu cepat. Diam-diam Wirya Saka merasa bersyukur karena telah mendapatkan alasan yang tepat sebagai pembelaan dirinya. Dan, ia berharap agar ayahnya dapat menerima alasan itu.
"Tapi, tidak seharusnya kau dan Ki Wangsa menghilang begitu saja. Sebab, hal itu bukan sesuatu yang memalukan," ujar Ki Panca Saka yang segera berlalu meninggalkan Wirya Saka.
Sehingga, pemuda tampan itu dapat menarik napas lega. Untunglah saat itu cuaca di depan kamarnya cukup gelap. Sehingga, orang tua itu tidak sempat melihat pakaian yang dikenakan putranya. Kalau saja ayahnya sedikit jeli memperhatikan, tentu ia akan melihat noda-noda tanah yang mengotori pakaian Wirya Saka.
"Hhh..., syukurlah Ayah dapat menerima alasan yang ku ajukan. Kalau saja beliau terus mendesak, bukan mustahil perbuatanku akan diketahuinya," desah Wirya Saka yang segera memasuki kamarnya, se- telah sosok ayahnya lenyap di balik sebuah dinding batu.
Selesai menyalin pakaiannya, pemuda itu bergegas merebahkan tubuh di atas pembaringan. Namun, tubuhnya kembali melonjak bangkit ketika teringat pemberian Dewa Kerdil. Di bawah penerangan sinar obor, Wirya Saka mulai meneliti peta kulit kayu yang telah diawetkan dengan sejenis ramuan. Sehingga, kulit itu menjadi lemas dan tidak mudah pecah.
"Gunung Talang...," desah Wirya Saka ketika melihat garis menyilang. Dan, di bawahnya terdapat goresan huruf-huruf halus. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu menengadahkan kepalanya sambil mengingat ingat letak gunung yang tercantum dalam peta rahasia itu.
Setelah cukup lama mencari daerah gunung itu, dan belum juga diketahuinya, pemuda itu mulai merasa bosan. Disimpannya semua pemberian Dewa Kerdil. Rasa telah dan kantuk, membuat pemuda itu cepat terlelap di atas pembaringannya. Sementara, sang malam semakin bertambah larut. Gerimis sudah lama reda. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang masih setia menemani sepi.
Siraman cahaya hangat matahari pagi, mengiringi ayunan langkah dua orang lelaki berkepala botak yang memasuki mulut Desa Ampenan. Dari mantel beruang yang mereka kenakan, jelas kedua orang lelaki itu adalah Iblis Kembar. Begitu memasuki mulut desa, keduanya melangkah lebar ke arah kedai makan, yang tampak ramai didatangi pengunjung. Kedai itu memang yang terbaik di antara kedai-kedai makan lainnya. Sehingga, wajar kalau kedai itu lebih banyak didatangi pengunjung ketimbang kedai-kedai lainnya.
Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya, kedua orang lelaki botak itu menarik sebuah kursi, yang terdapat pada sebuah meja di sudut ruangan itu. Tempat yang mereka pilih memang sangat baik. Sebab, dari tempat itu mereka bisa melihat orang-orang yang berdatangan maupun yang sudah berada di dalam kedai itu.
Sambil menikmati hidangan yang dipesannya melalui salah seorang pelayan kedai, Iblis Kembar tak henti-hentinya mengedarkan pandangan ke seluruh pengunjung yang berada di ruangan itu. Bahkan, seluruh indra pendengaran mereka telah dikerahkan untuk menangkap pembicaraan para pengunjung kedai.
"Hm.... Kalau saja Tuan Muda sampai mengetahui bahwa kau berani mengintai ke dalam kamarnya, aku tidak bisa membayangkan, hukuman apa yang akan dijatuhkan atas kelancanganmu itu," ujar seorang lelaki gemuk yang wajahnya agak kecoklatan. Nada suaranya terdengar agak ditekan, agar pembicaraannya tidak sampai terdengar orang lain.
"Tapi, aku benar-benar tidak sengaja melakukan perbuatan itu, Kakang. Lagi pula, hanya beberapa kata saja yang sempat kuingat. Sedang yang lainnya sama sekali tidak sempat kudengarkan," sahut lelaki berwajah kurus itu membela diri. Pada wajahnya tampak bayangan rasa khawatir ketika ia melihat sikap kawannya yang tidak senang dengan perbuatannya itu.
"Paling-paling Tuan Muda sedang berbicara kepada Ki Wangsa. Sebab, hanya kepada pelayan itulah beliau terlihat sangat dekat. Dan, pembicaraan mereka tentunya berkisar soal perburuan. Apakah pembicaraan itu yang membuatmu tertarik untuk ikut mendengarkannya?" tanya lelaki gemuk itu lagi sambil menatap wajah kawannya lekat-lekat.
"Kau keliru, Kakang. Tuan Muda bukan tengah berbicara dengan Ki Wangsa, melainkan dengan seorang kakek berpenyakitan. Dan, yang tengah mereka bicarakan saat itu adalah tentang, Kalau tidak salah, sebuah benda pusaka bernama.... Mustika Naga Hijau, atau yah..., sejenis benda mustikalah," jelas lelaki berwajah kurus itu yang sepertinya belum merasa tenang kalau tidak menuturkan pengalamannya itu kepada orang lain.
Dan, setelah menceritakannya, seolah-olah beban yang menindih dadanya terasa agak berkurang. Itulah yang memaksanya membuka mulut dan menceritakannya kepada lelaki gemuk, sahabat akrabnya itu.
"Yaaahhh..., sudahlah. Ayo habiskan makanmu. Kita harus segera kembali ke perguruan. Mungkin saat ini kawan-kawan kita yang berbelanja sudah menunggu-nunggu kedatangan kita. He! Ingat baik-baik! Jangan ceritakan apa yang kau ketahui itu kepada orang lain. Sebab, kalau sampai terdengar oleh Tuan Muda, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu," pesan lelaki gemuk itu sebelum keduanya meninggalkan kedai.
Kedua orang lelaki yang ternyata murid Perguruan Cakar Baja itu, mendadak menghentikan langkahnya ketika mendengar suara teguran pelan dan mengejutkan. Sehingga, mereka serentak menoleh ke arah seorang lelaki kekar yang mengenakan mantel dari kulit beruang salju.
"Maaf, boleh aku bertanya sedikit...?" tegur suara parau itu dengan sikap yang sama sekali tidak menyenangkan. Meskipun kata katanya didahului dengan ucapan maaf, namun sepasang mata orang itu jelas menggambarkan keangkuhan hatinya.
"Silakan, Kisanak. Kalau tidak terlalu sulit, tentu akan kami jawab," sahut lelaki gemuk berwajah ke coklatan itu dengan bersikap tetap tenang, dan menekan kejengkelan hatinya melihat sikap sombong orang itu.
"Aku sempat mendengar tentang Mustika Naga Hijau yang disebut-sebut oleh saudara ini. Tolong jelaskan, siapakah tuan muda yang kalian maksudkan itu? Dan, di mana aku bisa berjumpa dengannya? Perlu kalian ketahui, orang tua yang bersamanya adalah paman guru kami. Beliau dalam keadaan terluka setelah bertempur dengan musuh-musuh yang sangat sakti. Untunglah kami berdua keburu tiba dan menolongnya. Karena musuh terlalu kuat, terpaksa kami lari secara terpisah. Sayang, perbuatan itu telah menyebabkan paman guru kami yang tengah terluka itu hilang, entah ke mana. Ketika mendengar cerita Kisanak, kami segera menduga kalau kakek yang kalian bicarakan itu adalah paman guru kami. Bukankah kakek itu berjuluk Dewa Kerdil...?" tanya lelaki botak yang mengenakan mantel kulit beruang salju itu dengan penjelasan panjang lebar.
"Ah..., ya aku ingat sekarang!" seru lelaki kurus itu sambil bangkit dari kursi. "Tepat sekali! Aku memang mendengar nama Dewa Kerdil dalam pembicaraan itu. Bagaimana kau dapat menebaknya demikian tepat, Kisanak?"
"Ahhh! Maaf, Kisanak. Kawanku ini terlalu berlebihan. Sebenarnya ia hanya menduga-duga saja. Dan, belum tentu apa yang diceritakannya itu benar. Maaf, kami harus segera pergi...," pamit lelaki gemuk yang sepertinya belum percaya penuh akan keterangan lelaki berkepala botak itu. Maka, dengan setengah memaksa, ditariknya lengan kawannya untuk segera meninggalkan kedai makan.
"Hm.... Tidak mengapa, Kisanak," ucap lelaki berkepala botak yang berjuluk Iblis Beruang Salju. Kemurahan hati Iblis Kembar kali ini, bukan karena ia enggan untuk melakukan kekerasan. Tapi, karena belum mengetahui secara jelas tentang keadaan Dewa Kerdil. Itu yang membuatnya bertindak hati-hati. Sebab, biarpun kakek itu telah mengalami luka dalam cukup parah. Jelas, Iblis Kembar tidak berani bertindak ceroboh. Karena itu ia tidak menghalangi kepergian kedua orang murid Perguruan Cakar Baja itu.
Setelah melunasi harga makanan, kedua orang lelaki berkepala botak itu bergegas meninggalkan kedai. Dengan menjaga jarak, Iblis Kembar segera menguntit perjalanan murid-murid Perguruan Cakar Baja, yang telah selesai berbelanja untuk keperluan sehari-hari perguruan mereka. Dan, kini para murid itu bergegas meninggalkan Desa Ampenan.
Rombongan kecil yang berjumlah sekitar sepuluh orang itu, berhenti tepat di depan gerbang Perguruan Cakar Baja. Begitu pintu terbuka, mereka bergegas masuk. Tak seorang murid pun yang sempat memperhatikan dua orang lelaki berkepala botak yang tengah menatap dari kejauhan ke arah pintu perguruan itu dengan senyum terkembang. Siapa lagi kalau bukan Iblis Kembar yang menguntit perjalanan murid-murid Perguruan Cakar Baja sejak dari Desa Ampenan.
"Hm.... Rupanya di sini Dewa Kerdil bersembunyi. Kalau mendengar cerita salah seorang murid Cakar Baja tadi, jelas kakek keparat itu telah menceritakan mengenai Mustika Naga Hijau kepada orang yang disebut tuan muda. Menurut dugaanku, yang disebut tuan muda itu, pasti putra Ki Panca Saka. Mungkin tua bangka keparat itu hendak menyerahkan pusaka keramat itu kepada ketua perguruan ini," ujar Iblis Beruang Salju dengan nada jengkel. Bahkan, sepasang bola matanya nampak menyiratkan sinar berkilat yang tajam dan mengiriskan.
"Dugaanku juga begitu, Adi. Dan, kalau sampai pusaka keramat itu diceritakan kepada orang lain. tentu Dewa Kerdil sudah di ambang kematian. Sebab, mustahil ia akan membongkar rahasia itu selagi masih mampu mempertahankannya. Dasar kakek keparat! la lebih suka menyerahkan pusaka itu kepada orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya. Ini suatu penghinaan bagi kita, Adi!" geram Iblis Beruang Hitam dengan wajah gelap.
"Lebih baik kita hancurkan saja perguruan ini, Kakang. Kemudian kita rebut pusaka itu dari tangan Dewa Kerdil. Menurut dugaanku, mungkin ia masih lemah akibat luka-luka yang dideritanya. Bagaimana menurutmu, Kakang?" tanya Iblis Beruang Salju meminta pendapat saudaranya mengenai usul yang dikemukakannya itu.
"Hm Kita harus mengetahui kekuatan perguruan ini. Sebab, nama Garuda Cakar Lima patut kita perhitungkan. Belum lagi, murid-muridnya yang jumlahnya tentu lebih dari lima puluh orang. Dan itu bisa menyulitkan kita, Adi," sahut Iblis Beruang Hitam yang sepertinya lebih mengutamakan berpikir sebelum bertindak.
"Jadi, kau merasa gentar dengan Garuda Cakar Lima dan murid-muridnya, begitu?" sergah Iblis Beruang Salju dengan tarikan bibir yang mengandung ejekan.
"Bukan begitu, Adi. Tapi, kita harus berhati-hati dalam menangani masalah ini. Sekali saja kita salah langkah, semua rencana akan hancur berantakan. Haruskah kita mengorbankan waktu sepuluh tahun, hanya karena kita tidak sabar dengan pusaka yang telah berada di depan mata? Tidak, Adi. Biar kita tunggu sampai hari gelap. Kemudian kita selidiki di mana tua bangka keparat itu berada," kilah Iblis Beruang Hitam yang jelas bertentangan dengan kemauan adiknya.
Setelah berkata demikian, ia langsung membalikkan tubuhnya, meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak tanya lagi, Iblis Beruang Salju segera mengikuti langkah saudaranya. Sekali berkelebat saja, tubuh Iblis Kembar itu lenyap ditelan bayang-bayang pepohonan.
Dalam keremangan cahaya bulan yang temaram, tampak sesosok bayangan hitam berkelebat cepat seperti bayangan hantu. Gerakannya cepat dan ringan, jelas sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, dan jarang ada bandingannya. Tidak lama kemudian, sosok bayangan hitam itu tiba di depan sebuah pintu gerbang perguruan.
Pagar kayu bulat setinggi dua tombak lebih, bukan halangan sama sekali baginya. Sekali kakinya dijejakkan ke tanah, sosok bayangan hitam bertubuh kurus itu melambung dan berputar beberapa kali diudara. Ringan dan tanpa suara sedikit pun, ketika kedua kakinya mendarat di halaman depan perguruan itu. Begitu kakinya menjejak tanah, secepat itu pula tubuhnya kembali melambung ke wuwungan bangunan Utama perguruan itu.
"Hei..! Siapa itu…?!"
Salah seorang penjaga, yang berada di pos atas Gerbang perguruan berseru ketika melihat sosok bayangan hitam itu hinggap di atap bangunan Utama. Meski jarak antara keduanya terpisah sekitar sepuluh tombak lebih, penjaga itu menjerit ketika sosok bayangan hitam itu mengibaskan lengan kanannya. Tanpa ampun lagi, tubuh penjaga itu terlempar jatuh dari pos jaganya. Sedangkan sosok bayangan hitam yang tertangkap sinar obor itu, kembali melesat dan lenyap di balik bayangan dinding-dinding bangunan utama itu.
"Ada pembunuh...!" seorang penjaga yang tengah meronda langsung berteriak ketika melihat penjaga pintu gerbang tergeletak mandi darah. Di tubuhnya tertancap sebilah pisau sepanjang setengah jengkal, yang amblas hingga ke gagangnya.
Salah seorang yang memegang kentongan, langsung memukul benda itu berkali-kali. Terdengar suara kentongan yang bertalu-talu memenuhi seluruh pelosok perguruan. Sebentar saja, tampak puluhan orang berlarian keluar dari dalam bangunan-bangunan kecil yang be- rada di sekitar bangunan utama perguruan itu.
"Di mana pembunuh keji itu...?" tanya seorang lelaki bercambang bauk yang sikapnya nampak gagah dan galak. Di tangan kanannya, tampak tergenggam sebatang pedang yang besar dan berat.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku baru saja tiba di tempat ini, dan melihat penjaga pintu gerbang telah tergeletak tanpa nyawa. Tapi, kematiannya jelas belum lama. Karena darah yang membasahi tubuhnya masih tampak segar," ujar seorang peronda berkumis tipis melaporkan kepada lelaki bercambang bauk itu.
"Hm.... Jelas ada orang yang telah menyusup ke dalam perguruan kita. Cepat menyebar! Cari pembunuh keji itu...!" perintah lelaki bercambang bauk itu dengan suara lantang. Sedangkan ia sendiri telah mengajak enam orang murid, dan bergegas memeriksa sekeliling bangunan dalam perguruan.
Empat kelompok lainnya, yang masing-masing berjumlah sepuluh orang, bergegas menyebar ke empat penjuru. Sedang delapan orang lainnya, tetap tinggal dan berjaga-jaga di depan pintu gerbang.
Sementara itu, sosok bayangan hitam bertubuh jangkung yang telah menewaskan penjaga gerbang terus menyelinap ke dalam bangunan utama Perguruan Cakar Baja. Sosok jangkung itu bergerak dan merapatkan tubuhnya ke dinding ketika ia mendengar suara langkah kaki menuju kearahnya. Sekali tongkat di tangannya bergerak, tiga orang yang melintas di depannya, langsung berkelojotan tewas tanpa sempat berteriak lagi. Sedang salah seorang dibuat tak berdaya dengan totokan jari tangannya yang ampuh.
"Jawab pertanyaanku kalau kau masih kepingin hidup!" ancam sosok jangkung itu sambil menekan jemarinya ke ubun-ubun. "Pernahkah perguruan ini kedatangan seorang laki-laki tua yang tengah menderita luka?"
"Tidak.... Aku.... Aku tidak pernah melihatnya..." sahut lelaki itu dengan suara gagap.
"Hm... Jangan coba-coba membohongi ku, Keparat!" geram sosok jangkung itu semakin menekankan jari-jari tangannya.
"Benar, Tuan... Aku.... Tidak bohong...," rintih lelaki itu menyeringai menahan rasa sakit pada batok kepalanya.
"Bedebah! Mampuslah...!" desis sosok jangkung itu melampiaskan kejengkelan hatinya.
Sekali tekan saja, menyemburlah darah segar dari ubun-ubun orang itu, yang berlubang akibat tekanan jari-jari tangan yang bertenaga kuat itu. Tanpa mempedulikan tubuh korbannya yang melorot tewas, sosok jangkung itu kembali bergerak dan terus keluar dari dalam bangunan utama perguruan itu.
"Bedebah! Ke mana perginya kakek keparat itu? Tidak mungkin ia dapat pergi jauh, setelah dilukai Iblis Kembar. Sedangkan letak perguruan ini dekat sekali dengan Hutan Langkat Jelas, kalau tempat ini merupakan satu-satunya yang termudah untuk menyembunyikan diri. Mungkinkah dugaanku keliru...?" gumam sosok jangkung itu sambil terus bergerak tanpa memperhatikan sekelilingnya.
"Hei...! Berhenti...!"
Bentakan yang cukup mengejutkan itu, membuat lelaki bertubuh jangkung membalikkan tubuhnya secepat kilat. Sepasang matanya tampak mencorong tajam! menatap tujuh orang laki-laki yang berlari menghampirinya.
"Kisanak, siapakah kau...? Dan, apa keperluanmu berada di tempat ini..?" tegur lelaki kekar bercambang bauk sambil meneliti sosok jangkung, yang berada sekitar satu tombak di depannya.
"Hm.... Menilik dari sikapmu, tentunya kau merupakan salah seorang murid utama Garuda Cakar Lima, bukan? Jawab pertanyaanku. Pernahkah perguruan ini kedatangan seorang laki-laki tua dalam keadaan terluka...?" tanya sosok jangkung itu tanpa mempedulikan pertanyaan lelaki bercambang bauk.
"Kurang ajar...! Aku yang seharusnya bertanya kepadamu pembunuh keji! Apa yang kau kerjakan di perguruan kami ini? Atau kau memang sengaja mau mencari keonaran?" bentak lelaki bercambang bauk itu, yang menjadi marah ketika pertanyaannya tidak mendapat jawaban seperti yang diharapkan.
"Jawab pertanyaanku, atau kau akan kukirim ke neraka seperti teman-temanmu yang lain?" sergah sosok jangkung itu dengan-suara dingin, namun mengandung ancaman maut didalamnya.
"Setan...! Tangkap keparat busuk itu...!" seru lelaki bercambang bauk itu yang telah hilang kesabarannya. Kemudian tubuhnya segera melesat dengan disertai putaran sepasang tangannya yang membentuk cakar.
"Hmh...!" Sosok bertubuh jangkung itu memperdengarkan dengusan mengejek ketika melihat serangan lawan. Cepat tubuhnya bergeser ke samping, pada saat cengkeraman lawannya meluncur mengancam tubuhnya. Tongkat di tangan kanannya, langsung berkelebat begitu serangan lawan lewat di samping tubuhnya.
Wukkk...!
Terdengar suara mengaung tajam mengiringi lontaran tongkat yang mengandung kekuatan hebat. Serangkum hawa berbau amis mengiringi sambaran tongkat itu.
"Aaahhh...!"
Lelaki bercambang bauk itu berseru tertahan ketika mencium hawa beracun yang timbul dari sambaran tongkat lawannya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang tanpa berani menangkis sambaran tongkat itu. Kemudian berjumpalitan beberapa kali menjauhi sosok bertubuh jangkung itu. Berbarengan dengan mendaratnya kedua kaki lelaki bercambang bauk itu, terdengar teriakan ngeri susul-menyusul.
"Iblis keji...!" geram lelaki bercambang bauk itu ketika melihat tubuh enam orang kawannya tengah berkelojotan meregang nyawa. Sadar kalau lawannya bukanlah orang semba- rangan, maka sambil menggertakkan giginya kuat-kuat dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang. Dan, langsung diputar sedemikian rupa, sehingga membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
Wuuuk...! Wuuuk...!
"Hm.... Ilmu 'Pedang Kuku Garuda'. Rupanya Garuda Cakar Lima telah menurunkan ilmu pedang itu kepadamu. Bagus! Mari kulihat, apakah ilmu itu sudah pantas dipertontonkan di depan Siluman Tongkat Beracun...!" ejek lelaki jangkung yang mengaku berjuluk Siluman Tongkat Beracun itu dengan nada sombong.
Usai berkata demikian, tongkat di tangannya berputar. sejenak. Kemudian terhenti dan menuding lurus ke arah lawannya. Sedang tangan kirinya dengan telapak terbuka berada di depan kening. Jelas, sosok jangkung itu sudah siap menghadapi ilmu pedang lawannya.
"Heaaat..!"
Tanpa basa-basi lagi, lelaki bercambang bauk itu langsung melompat dengan disertai serangannya yang susul-menyusul. Sedangkan sosok jangkung yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun itu sama sekali tidak bergerak. Dengan kepala tetap menekuri tanah, tongkat di tangannya baru berkelebat pada saat ujung senjata lawan hampir mencapai tubuhnya.
Whuuut..! Trang...!
"Aaakh...!"
Hebat dan cepat bukan main gerakan yang dilakukan Siluman Tongkat Beracun itu. Tongkat yang digerakkan dengan kekuatan hebat itu, langsung membentur pedang lawannya. Sehingga, bukan hanya senjata lelaki bercambang bauk itu yang terpental. Tapi, tubuh lelaki kekar itu pun terjengkang kebelakang! Jelas, tenaga dalam yang dimiliki sosok jangkung itu masih jauh lebih kuat dari lawannya.
Siluman Tongkat Beracun rupanya tidak ingin berlama-lama. Ketika tubuh lawannya terjengkang ke- belakang, lelaki jangkung itu langsung melesat dengan luncuran tongkatnya mengancam tenggorokan lawan.
Whuuut..!
Serangkum angin menderu yang diiringi bau amis menyengat, tercium menyertai tusukan tongkat maut itu.
"Haiiit..!"
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan murid utama Perguruan Cakar Baja itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan diiringi teriakan nyaring menggetarkan jantung. Begitu tiba, sosok bayangan itu langsung memapaki tusukan tongkat itu.
Plakkk!
Lontaran angin pukulan yang meluncur dari telapak tangan sosok bayangan itu, langsung menghantam balik senjata Siluman Tongkat Beracun. Kembali Siluman Tongkat Beracun menunjukkan kehebatannya. Tongkat yang terpukul balik itu, langsung berputar dan meluncur deras ke arah lambung sosok bayangan yang baru tiba itu.
Bettt!
Terkejut bukan main sosok bayangan berpakaian serba putih itu. Sadar kalau sambaran tongkat itu tidak dapat dipandang ringan, maka sosok bayangan itu melenting menghindari sambaran tongkat lawannya.
"Heaaahhh...!"
Sambil membentak keras, sosok bayangan itu berjumpalitan di udara. Kemudian disusul dengan sebuah lontaran pukulan jarak jauh yang menimbulkan deruan angin tajam.
Wusss...!
Serangan yang dilontarkan selagi tubuhnya berada di udara itu, sempat membuat Siluman Tongkat Beracun terperangah kagum. Cepat ia mendorongkan telapak tangan kirinya, menyambut pukulan jarak jauh lawan. Dan....
Bresssh!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga sakti dari kedua tokoh itu. Ledakan keras yang di timbulkannya menggetarkan udara sekitar. Sedang tubuh keduanya melenting dan berjumpalitan guna mematahkan daya dorong yang ditimbulkan benturan itu.
Jleggg! Jleggg!
Kedua sosok tubuh itu sama mendaratkan kakinya dengan waktu berbarengan. Lalu, mereka saling tatap dalam jarak dua setengah tombak.
"Hm.... Kiranya Garuda Cakar Lima yang datang menolong muridnya...," gumam Siluman Tongkat Beracun menyunggingkan senyum sinis. Sedang sepasang matanya meneliti sosok di depannya.
"Siluman Tongkat Beracun...!?" desis lelaki gagah setengah baya itu agak terkejut ketika mengenali sosok jangkung yang hampir menewaskan muridnya itu. "Apa yang mendorongmu membuat keonaran di perguruanku, Siluman Tongkat Beracun...? Setahuku di antara kita tidak pernah ada permusuhan, bukan?" tegur lelaki setengah baya itu dengan kening berkerut tak senang.
"Hm.... Sebenarnya aku pun tidak bermaksud untuk mengurusi segala cecunguk seperti murid-muridmu itu. Tapi, mereka sendiri yang mencari kematian. Terpaksa aku memberi sedikit pelajaran, agar lain kali mereka lebih tahu adat," ujar Siluman Tongkat Beracun dengan suara tetap dingin dan angkuh. Jelas, lelaki, jangkung itu tetap juga memandang sebelah mata, meski yang dihadapinya kali ini guru besar Perguruan Cakar Baja. Semua itu terlihat dari sikap dan nada bicaranya, yang tetap sinis dan mengandung ejekan.
"Apa sebenarnya yang kau cari di perguruanku ini, Siluman tak tahu adat! Kalau memang ada keperluan, mengapa kau datang secara sembunyi seperti maling hina? Bukankah kau bisa menemuiku dan mengatakan keperluanmu?" kembali lelaki gagah yang berjuluk Garuda Cakar Lima itu menegur dengan nada mengandung kemarahan.
"He he he.... Kalau begitu, baiklah kutanyakan langsung kepadamu. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah dalam beberapa hari ini kau pernah kedatangan seorang tamu seorang laki-laki tua yang tengah menderita luka? Coba kau serahkan kakek itu kepadaku. Dan, aku akan pergi tanpa mengganggu ketenangan mu lagi," ujar Siluman Tongkat Beracun sambil menatap tajam lelaki gagah itu.
"Huh! Pertanyaanmu itu sudah terlambat, Manusia Jahat! Apakah kau kira setelah membunuh murid-muridku, kemudian bebas begitu saja. Hm Kau... boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu sebagai ganti nyawa murid-muridku yang telah kau bunuh itu. Sebaiknya, kau bersiap-siap untuk menerima hukuman. Atau, kau mau menyerahkan kepalamu dengan sukarela?" sahut Garuda Cakar Lima yang rupanya marah besar melihat mayat-mayat muridnya yang bergeletakan di tempat itu.
"He he he.... Jangan berlagak sombong kau, Garuda Cakar Lima. Orang lain boleh takut mendengar namamu. Tapi, Siluman Tongkat Beracun akan melenyapkan namamu dari jajaran tokoh-tokoh persilatan, hari ini juga. Bahkan, seluruh murid-muridmu akan kuhabisi tanpa sisa!" geram Siluman Tongkat Beracun dengan nada yang tetap dingin dan tanpa perasaan. Hanya sepasang matanya yang menyorot tajam dan penuh ancaman maut.
"Kau mundurlah, Pragala...," ujar lelaki gagah itu kepada lelaki bercambang bauk yang berada di sebelah kanannya.
"Guru..., apakah tidak sebaiknya kita habiskan saja manusia jahat seperti Siluman Tongkat Beracun itu. Rasanya untuk menghadapi manusia sesat seperti dia, kita tidak perlu menggunakan banyak peraturan. Serahkan saja dia kepada kami...," ujar lelaki bercambang bauk, yang bernama Pragala, sambil menolehkan kepala ke arah puluhan orang murid yang telah berkumpul dan mengepung di sekitar halaman samping perguruan itu.
Sejenak Garuda Cakar Lima menolehkan kepalanya ke arah murid-muridnya yang telah berkumpul mengelilingi tempat itu. Namun, kepala lelaki gagah itu terlihat menggeleng perlahan.
"Tidak, Pragala. Meskipun orang yang kita hadapi ini adalah seorang tokoh golongan sesat, namun sebagai orang-orang gagah kita harus menghadapinya dengan jantan. Apa komentar orang persilatan nanti, bila mendengar berita kematian Siluman Tongkat Beracun karena dikeroyok ketua dan murid-murid Perguruan Cakar Baja? Hm... Aku tidak ingin nama perguruan kita dilecehkan kaum rimba persilatan di kemudian hari. Sebaiknya kalian bersiap-siap saja, agar manusia jahat itu tidak melarikan diri dari tempat ini," ujar Garuda Cakar Lima yang menolak usul muridnya.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah maju dan bersiap menghadapi lawannya.
Sementara Pragala terpaksa melangkah mundur dan memerintahkan teman-temannya untuk berjaga-jaga, agar Siluman Tongkat Beracun tidak dapat meloloskan diri dari perguruan itu.
"Heaaattt..!"
Tanpa menunggu lawannya menyerang lebih dahulu, Siluman Tongkat Beracun langsung melompat dengan disertai putaran tongkatnya.
Whuuut..! Whuuut..!
Hebat sekali memang permainan tongkat tokoh. bertubuh jangkung itu. Angin keras bertiup laksana deruan topan yang akan menerbangkan segala apa yang ada didekatnya. Suara sambaran tongkat itu menderu-deru dengan hebatnya. Sehingga, bentuk tongkat itu lenyap. Dan, yang tampak hanya gulungan sinar berpendar meluncur kearah Garuda Cakar Lima.
Namun, Ketua Perguruan Cakar Baja bukanlah orang lemah. Melihat lawannya mulai membuka serangan, lelaki setengah baya itu bergegas memutar kedua tangannya yang berbentuk cakar. garuda. Terdengar angin bercuitan ketika jari-jari tangan yang terbungkus sarung tangan perak, menyambar-nyambar susul-menyusul.
Meskipun tongkat lawannya telah dilumuri racun jahat, Garuda Cakar Lima sama sekali tidak menjadi gentar. Sebab, sarung tangan perak yang dikenakannya merupakan penolak racun yang ampuh. Sehingga, lelaki setengah baya itu tidak merasa khawatir dengan hawa beracun yang keluar dari senjata lawannya.
"Yeaaat..!"
Whuuut! Whuuut!
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh lelaki setengah baya itu bergerak maju dengan langkah-langkah menyilang, yang terlihat kokoh dan kuat Sedangkan sepasang cakarnya bergerak ke kiri-kanan menimbulkan angin bercuitan.
Bettt!
Sambil menggeser tubuhnya dengan posisi miring, guna menghindari sambaran tongkat lawan, tangan kanan Ketua Perguruan Cakar Baja bergerak cepat menyambar leher lawannya dengan cengkeraman maut Bahkan, serangan balasan itu masih disusul dengan sambaran tangan kiri yang mengancam dada lawannya.
Siluman Tongkat Beracun cepat menarik pulang tongkatnya dengan disertai geseran tubuhnya, yang langsung membentuk kuda-kuda rendah. Sambil mendoyongkan tubuhnya, tokoh sesat itu sempat pula mengirimkan tendangan kilat ke perut lawan Hebat sekali gerakan yang dilakukan lelaki jangkung itu. Bukan saja serangan lawan yang dapat dihindarinya, melainkan mampu pula melontarkan serangan yang cukup berbahaya.
Zebbb! Plakkk!
"Aaahhh...!"
Garuda Cakar Lima yang melihat datangnya tendangan kilat itu, cepat menyampok dengan tangan kiri, yang semula dimaksudkan untuk melancarkan, serangan susulan. Akibatnya tangkisan itu membuat tubuhnya terjajar mundur hingga satu tombak jauhnya. Jelas, kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Siluman Tongkat Beracun masih jauh lebih tinggi dari tenaga dalamnya sendiri.
"Heahhh...!"
Selagi tubuh lawannya terhuyung mundur, Siluman Tongkat Beracun bergegas menyabetkan tongkat di tangan kanannya. dengan kecepatan menggetarkan.
Tentu saja serangan susulan lawannya itu membuat Garuda Cakar Lima tercekat dengan wajah berubah. Sebisa mungkin, lelaki setengah baya ini melemparkan tubuhnya dan bergulingan menghindari serangan maut itu. Sayang, lawannya tidak sudi melepaskannya begitu saja. Siluman Tongkat Beracun terus mencecar Garuda Cakar Lima dengan hantaman-hantaman tongkatnya yang menimbulkan angin menderu tajam.
Gulungan sinar tongkat yang berputar hebat itu, terus bergerak mengejar tubuh Ketua Perguruan Cakar Baja, yang tengah berusaha menyelamatkan dirinya dari incaran senjata lawan. Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dengan disertai gulungan sinar pedang yang mengaung tajam. Dan, langsung menyambut putaran tongkat yang tengah mengejar Garuda Cakar Lima. Dan....
Trang! Trang!
"Aaahhh!"
Terdengar benturan keras beberapa kali, ketika kedua senjata itu saling bertemu di udara. Berbarengan dengan itu, terdengar suara memekik tertahan. Disusul terlemparnya sosok tubuh yang mencoba menyelamatkan Ketua Perguruan Cakar Baja itu. Namun, dengan gerakan yang indah sosok tubuh yang baru tiba itu berputar beberapa kali di udara. Meski agak goyah, sosok tubuh itu dapat mendaratkan kedua kakinya dengan selamat.
"Wirya Saka...! Kau tidak apa-apa ?" tanya Garuda Cakar Lima memburu sosok berpakaian biru muda itu dengan wajah cemas.
Sosok tubuh yang ternyata Wirya Saka itu, menggelengkan kepalanya perlahan. Dari helaan napasnya yang nampak masih memburu, jelas pemuda itu masih merasa tegang dengan apa yang baru saja dialaminya. Sehingga, pertanyaan ayahnya hanya dijawab dengan gelengan kepala.
"Hebat sekali lelaki jangkung itu. Siapakah dia, Ayah? Mengapa Ayah berkelahi dengan dia!..?" tanya Wirya Saka tanpa melepaskan pandangannya dari sosok Siluman Tongkat Beracun.
"Hm.... Dia adalah seorang tokoh sesat yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun. Kedatangannya hendak mencari seorang kakek, yang menurutnya berada di dalam perguruan kita. Tapi, karena ia telah membunuh beberapa murid perguruan kita, terpaksa Ayah! meminta pertanggungjawabannya. Dan, akhirnya kami bertempur. Hhh Untunglah kau datang tepat pada waktunya, Wirya. Kalau tidak, mungkin Ayah sudah melayat ke akhirat Manusia sesat itu benar-benar hebat sekali. Rasanya Ayah pun sulit untuk dapat menang dari dia," ujar Garuda Cakar Lima menghela napas lega karena terbebas dari ancaman tongkat beracun lawannya.
Sementara itu, Siluman Tongkat Beracun kembali melangkah maju beberapa tindak Dengan tatapan mata penuh ancaman, tokoh sesat berilmu tinggi itu bersiap melancarkan serangannya. Jelas, ia bermaksud untuk menghabisi nyawa Ketua Perguruan Cakar Baja.
"Lebih baik kau menyingkirlah, Wirya. Ayah akan mencoba untuk menahan gempuran manusia sesat itu. Apabila kau lihat aku terdesak, sebaiknya tinggalkan tempat ini. Bawa semua murid-murid kita. Kelak setelah keadaan reda, kau boleh kembali dan melanjutkan apa yang selama ini aku lakukan. Sebab, bukan mustahil kalau aku akan tewas di tangan tokoh sesat yang terkenal kejam dan bertangan dingin itu," ujar Garuda Cakar Lima yang segera melangkah maju tanpa menunggu jawaban dari putranya.
Menilik dari sikapnya, jelas lelaki setengah baya itu siap untuk mengadu nyawa dengan lawannya. Kedua sosok tubuh yang siap melanjutkan pertarungan itu, mendadak saling melangkah mundur beberapa tindak ke belakang. Karena pada saat itu, dua sosok bayangan melesat ke tengah arena.
"Ha ha ha.... Tidak kusangka kalau kita telah kedahuluan Siluman Tongkat Beracun, Adi," ucap salah seorang dari dua sosok tubuh yang baru tiba itu.
"Benar, Kakang. Dan, nampaknya di sini telah terjadi keramaian...," sahut sosok tubuh yang satunya lagi dengan suara yang tidak kalah besarnya.
"Iblis Kembar.... Tidak kusangka kalau kalian sampai juga ke tempat ini. Tapi, apakah yang kalian cari di tempat ini...?" sapa Siluman Tongkat Beracun yang berusaha menutupi keterkejutannya ketika melihat dua orang saingannya itu.
"Iblis Kembar...!? Ada apa sebenarnya di perguruanku ini? Mengapa tokoh-tokoh sesat ini sampai tersasar? Entah dari mana mereka mendapatkan kabar yang tidak benar itu...?" gumam Garuda Cakar Lima dengan wajah keheranan melihat ketiga tokoh sesat itu berkumpul di tempat kediamannya.
"Iblis Kembar. Ada keperluan apa sehingga kau menyempatkan diri singgah di tempatku ini...?" tegur Garuda Cakar Lima menatap tajam dua orang yang baru tiba itu.
"Hm.... Tidak perlu kau berpura-pura bodoh, Garuda Cakar Lima. Rasanya bukan rahasia lagi kalau perguruanmu telah menyembunyikan Dewa Kerdil yang tengah kami cari-cari. Sebaiknya kau serahkan saja tua bangka keparat itu, sebelum kami bertindak di luar batas," sahut Iblis Beruang Hitam bernada mengancam.
"Kurang ajar...! Dengar, Manusia-manusia Sesat! Kalau memang kalian mau mencari keributan, rasanya tidak perlu memakai alasan macam-macam. Garuda Cakar Lima siap menghadapi segala macam tikus busuk seperti kalian! Sebab, hanya seorang pengecut saja yang sudi menggunakan akal busuk seperti itu!" geram Garuda Cakar Lima yang menjadi jengkel mendengar alasan yang diajukan Iblis Kembar.
Sedang Wirya Saka sendiri terkejut bukan kepalang ketika mendengar ucapan Iblis Kembar itu. Ia menjadi heran bukan main. Sebab, pemuda itu yakin betul kalau tak seorang pun yang melihatnya pada saat membawa Dewa Kerdil ke dalam perguruan itu. Namun, ketika teringat dengan sesosok bayangan yang pernah mengintai kamarnya, berubah wajah pemuda itu diliputi ketegangan.
"Iblis Beruang Hitam," ujar Wirya Saka sambil melangkah maju dua tindak. "Apa yang kau katakan itu hanyalah kabar bohong belaka. Jelas, penyebar dusta itu adalah orang-orang yang tidak suka kepada kami. Percayalah dengan jawaban ayahku. Sebab, beliau bukan orang pengecut yang tidak berani mengatakan segala apa yang diketahuinya. Sebaiknya kalian tinggalkan tempat ini. Maaf, kalau jawaban kami tidak memuaskan."
"Ha ha ha...!" meledak tawa Iblis Beruang Hitam dan Iblis Beruang Salju demi mendengar ucapan Wirya Saka. Saking kerasnya kedua lelaki kekar itu tertawa, tubuh mereka berguncang-guncang.
"Ha ha ha... Aku ingin bertanya sedikit kepadamu, Garuda Cakar Lima. Pernahkah kau mengajarkan murid-muridmu berbohong? Jawablah dengan jujur," tanya Iblis Beruang Hitam dengan wajah menyunggingkan senyum mengejek.
"Apa maksudmu, Iblis Beruang Hitam..,?!" tegas Garuda Cakar Lima menatap tajam lelaki kekar berpakaian mantel bulu beruang hitam itu. Dari nada suaranya yang terdengar geram, jelas lelaki setengah baya itu merasa tak senang dengan pertanyaan yang diajukan tokoh sesat itu.
"Jawab saja, tidak perlu bertele-tele...," sergah Iblis Beruang Salju yang ikut menimpali sambil melangkah maju dua tindak.
"Hm,... Sudah jelas tidak. Sebab, kami mengutamakan kejujuran dan kegagahan dalam mendidik. Mengapa kau bertanya demikian?" Garuda Cakar Lima balik bertanya dengan kening berkerut dalam. Lelaki setengah baya itu merasa curiga dengan pertanyaan yang aneh itu. Apalagi yang mengajukannya adalah tokoh-tokoh sesat seperti Iblis Kembar, tentu saja pertanyaan itu menimbulkan berbagai dugaan dalam benaknya.
Tiba-tiba saja, Garuda Cakar Lima menoleh ke arah putranya. Diam-diam timbul rasa curiga di hatinya terhadap tingkah Wirya Saka, yang dirasakan agak aneh semenjak kembali dari berburu beberapa hari yang lalu. Dipandanginya wajah pemuda tampan itu penuh selidik.
"Wirya. Kau sama sekali tidak tahu tentang kakek yang dimaksudkan manusia-manusia sesat itu, bukan...?" tegur Garuda Cakar Lima seperti meminta ketegasan putranya dalam hal itu.
Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba dan sama sekali tidak diduganya itu, karuan saja wajah pemuda tampan itu berubah sekejap. Namun, cepat Wirya menguasai perasaannya yang berdebar tegang. Meskipun begitu, karena semenjak kecil ia memang tidak pernah diajarkan untuk berbohong, maka bisikan ayahnya itu hanya membuat kepalanya tertunduk. Dan, itu merupakan sebuah jawaban bag! Garuda Cakar Lima.
"Ahhh...! Mengapa kau tidak mengatakan sebelumnya, Wirya? Kalau sudah begini, Ayah juga yang ikut repot. Apa sebenarnya yang sudah terjadi dengan kakek itu? Perbuatan apakah yang menyebabkan ia bermusuhan dengan manusia-manusia sesat seperti mereka?" tanya Garuda Cakar Lima meminta penjelasan putranya. Tentu saja semua itu diucapkan dengan suara berbisik lirih. Sehingga, hanya mereka berdua saja yang mengetahui.
"Maaf, Ayah. Panjang sekali kalau diceritakan seluruhnya. Yang jelas, ketiga orang ini pasti mau merebut benda Mustika Naga Hijau, yang dimiliki Dewa Kerdil. Dan, benda itu telah diserahkannya kepadaku. Dengan pesan agar aku tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Ayah. Maafkan kelancanganku, Ayah. Dan, Dewa Kerdil sendiri telah tewas dua hari yang lalu," sahut Wirya terpaksa menjelaskan semua yang diketahuinya mengenai kakek yang berjuluk Dewa Kerdil itu.
"Ahhh! Setahuku, yang memiliki benda pusaka itu seorang tokoh sesat, bertubuh kerdil kurus dan berjuluk Setan Kerdil. Mungkinkah kakek itu telah mengganti julukan demi keselamatan dirinya? Lalu, di mana sekarang benda mustika itu, Wirya? Apakah kau masih menyimpannya?" tanya Garuda Cakar Lima yang wajahnya berubah menjadi tegang. Sebab, keterangan putranya itu jelas akan menimbulkan malapetaka bagi perguruannya. Dan, ia sadar betul akan hal itu.
"Benda itu masih ada, dan kusimpan di tempat tersembunyi, Ayah. Tapi, aku tak mengerti sama sekali, dari mana mereka memperoleh berita mengenai keberadaan Dewa Kerdil di kediaman kita? Kalau Ki Wangsa, jelas tidak mungkin menyebarkan cerita ini. Aku tahu betul kesetiaan orang tua itu, Ayah," ujar Wirya Saka, penasaran.
Pembicaraan mereka mendadak terhenti ketika samar-samar terdengar suara berkesiutan yang datang dari sebelah kirinya. Serentak keduanya menoleh sambil siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Terkejut bukan main hati Garuda Cakar Lima dan Wirya Saka ketika menyaksikan apa yang telah dilakukan Iblis Kembar. Karena, tanpa dapat mereka cegah, kedua orang iblis itu telah menyambar tubuh dua orang murid perguruan yang langsung dibekuk dan dibawanya secara paksa.
"Hm.... Kenalilah baik-baik, Garuda Cakar Lima. Bukankah kedua tikus ini adalah murid-muridmu?" geram Iblis Beruang Hitam seraya mencekal batang leher kedua murid Perguruan Cakar Baja itu. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja iblis itu telah menahan muridnya.
"Apa maksudmu, Iblis Beruang Hitam? Lepaskan kedua orang muridku yang tak berdosa itu! Dan, kalau memang jantan, mari kita bertarung sampai seribu jurus!" bentak Garuda Cakar Lima yang segera melangkah maju dengan wajah merah. Jelas, Ketua Perguruan Cakar Baja itu marah sekali dengan perbuatan Iblis Beruang Hitam yang. dinilainya terlalu lancang.
"Hm.... Hayo katakan kepada ketuamu itu! Sebutkan kapan dan di mana kau melihat kakek renta bersama majikan mudamu itu! Tunjukkan kepadaku, siapa orang yang kau sebut sebagai tuan mudamu itu?" bentak Iblis Beruang Hitam sambil menekankan jari-jari tangannya ke tengkuk lelaki berkumis tipis, yang berada dalam cekalan tangan kanannya.
"Aku.... Aku melihatnya secara tak sengaja dua hari yang lalu. Mungkin... Orang yang bersama Tuan Muda Wirya Saka itu yang... Yang kalian cari-cari...," jawab lelaki berwajah lonjong itu sambil menyeringai menahan rasa sakit akibat cengkeraman jari-jari tangan Iblis Beruang Hitam.
"Tunjukkan yang mana orang bernama Wirya Saka Ha..?" desak Iblis Beruang Hitam semakin mempererat cekalannya ke leher orang itu.
"Dia.... Itu yang memakai pakaian biru muda...," tuding lelaki itu ke arah Wirya Saka yang wajahnya menjadi pucat seketika.
"Keparat! Jadi, kau rupanya yang telah berani mengintip kamarku! Jahanam! Mengapa kau berani melakukan perbuatan tercela itu, Ludiga? Kau... Kau benar-benar tidak tahu adat..!" geram Wirya Saka yang menjadi marah besar, setelah mengetahui orang yang telah mengintip kamarnya beberapa hari yang lalu.
"Ampun... Ampun, Tuan Muda.... Aku Benar-benar tidak sengaja melakukannya...," ujar lelaki bernama Ludiga itu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Jelas, Ludiga sangat takut melihat kemarahan pemuda tampan itu. Sepengetahuannya, pemuda itu tidak pernah terlihat sampai sedemikian marahnya. Sehingga, wajah lelaki berkumis tipis itu menjadi pucat.
Wirya Saka yang sudah siap melesat ke arah Ludiga, menahan gerakannya ketika tangan ayahnya mencekal pergelangan kirinya. Sehingga, pemuda itu hanya dapat menatap dengan sinar mata seperti hendak menelan tubuh Ludiga bulat-bulat.
"Tahan emosimu, Wirya. Sebaiknya kau pergi dan tinggalkan daerah ini. Sebab, kalau kau tidak pergi, mereka tentu akan merebut mustika itu dari tanganmu. Dan, bukan tidak mungkin ketiga manusia sesat itu akan membunuhmu. Pergilah. Biar Ayah yang akan? mencoba menahan mereka bersama murid-murid lainnya," ujar Garuda Cakar Lima yang menyadari bahaya tersebut.
"Tapi..., Ayah. Tidakkah sebaiknya kita usir saja mereka...?" bantah Wirya Saka memegangi lengan ayahnya dengan wajah cemas.
"Tidak, Anakku. Kita tidak mungkin dapat menandingi kesaktian ketiga manusia sesat itu. Karena itu Ayah menyuruh kau pergi dari sini sebelum terlambat. Cepatlah! Bawa beberapa orang murid yang dapat kau percaya...," setelah berkata demikian, Garuda Cakar Lima segera melompat maju dan menghadapi ketiga tokoh sesat yang sudah bersiap melancarkan serangan.
Semua murid Perguruan Cakar Baja bergerak maju dengan senjata di tangan. Sepertinya para murid itu telah menyadari sepenuhnya akan bahaya, yang mengancam perguruan dan juga keluarga guru besar mereka.
"Bagus...! Begitulah seharusnya...," ucap Iblis Beruang Hitam dengan suara geraman perlahan, namun mengandung ancaman maut Usai berucap demikian, kedua jari-jari tangannya menekan dengan pen- gerahan tenaga dalam yang kuat. Terdengar suara tulang berderak patah, disusul terkulainya dua orang murid Perguruan Cakar Baja. Dan, langsung keduanya melorot dari cengkeraman tokoh sesat itu.
"Bangsat keji...!" geram Garuda Cakar Lima ketika melihat kedua orang muridnya tewas dalam cengkeraman Iblis Beruang Hitam.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan murka, tubuh Garuda Cakar lima langsung melesat disertai putaran cakarnya, yang menimbulkan angin berkesiutan.
Wuttt..! Wuttt..! Wuttt..!
Sekali menyerang, Garuda Cakar Lima melontarkan serangkaian cengkeraman maut, yang mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh Iblis Beruang Hitam. Sambil mengeluarkan dengusan kasar, lelaki kekar berkepala botak, yang mengenakan mantel bulu beruang hitam itu, menggeser tubuhnya ke kanan.
Dilemparkannya tubuh dua orang murid lawan, yang telah menjadi korban keganasan cengkeramannya. Karena sudah telanjur menerjang, Garuda Cakar Lima bergegas menyambut tubuh dua mayat muridnya itu. Lalu, ditangkapnya dan diletakkan di atas tanah.
Meskipun kedua orang muridnya itu telah menjadi mayat, tapi hati lelaki gagah setengah baya itu tetap tidak tega melemparkannya begitu saja. Selagi Garuda Cakar Lima mengurusi mayat kedua orang muridnya, saat itu pula Iblis Beruang Salju langsung melesat sambil melontarkan serangkaian pukulan maut.
Bettt.! Bettt.! Bettt.!
Karuan saja serangan yang dilakukan secara licik itu, membuat Garuda Cakar Lima menjadi sibuk. Sebab, saat itu keadaannya memang sama sekali tidak siap. Sehingga, terpaksa ia mengangkat kedua tangannya bergantian guna melakukan tangkisan.
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...!"
Garuda Cakar Lima terkejut bukan kepalang ketika tangkisan yang dilakukannya justru membuat! lengannya terasa panas dan linu. Bahkan, kudakudanya tergempur sampai satu tombak jauhnya. Jelas, hal itu menandakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Iblis Beruang Salju berada beberapa tingkat di atasnya.
"Haiiit..!"
Sambil berseru keras, Garuda Cakar Lima menjejakkan kedua kakinya di tanah. Seketika itu pula tubuhnya yang tengah terhuyung melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Hal itu dilakukannya untuk menjaga keamanan dari serangan licik kedua lawannya.
"Gila....' Sama sekali tidak kusangka kalau kepandaian Iblis Kembar ternyata sangat hebat! Hm... Jelas sukar sekali untuk menandingi kedua manusia sesat berkepandaian tinggi ini. Aku harus mencari akal guna menghadapi mereka," gumam Garuda Cakar Lima sambil meringis menahan rasa nyeri pada pergelangan tangannya ketika menangkis tadi.
Sebenarnya, wajar kalau Garuda Cakar Lima merasa terkejut dengan kepandaian lawannya. Sebab, selama ini ia hanya mendengar nama kedua orang tokoh sesat itu. Dan, lelaki gagah itu benar-benar tidak pernah mimpi kalau ia akan berhadapan dengan Iblis Kembar dalam sebuah pertarungan. Walaupun Garuda Cakar Lima sama sekali tidak merasa gentar, namun jelas ada gambaran ketegangan pada wajah tuanya itu.
Belum lagi hilang rasa kagetnya mengenai kehebatan Iblis Kembar, tiba-tiba terdengar teriakan ngeri yang susul-menyusul. Cepat Garuda Cakar Lima menoleh ke arah sebelah kanannya. Dan, ia kembali terkejut ketika melihat beberapa orang murid yang di didiknya berpentalan bagaikan daun-daun kering yang tertiup angin.
"Biadab...!" desisnya ketika menyaksikan amukan Siluman Tongkat Beracun yang telah menelan korban belasan orang muridnya. Karuan saja hati Ketua Perguruan Cakar Baja itu seperti terbakar, sehingga membuat wajahnya menjadi gelap.
"Ha ha ha.... Biarkanlah murid-muridmu itu berpesta dengan Siluman Tongkat Beracun. Lebih baik kita selesaikan dulu persoalan di antara kita," ejek Iblis Beruang Salju yang kembali merangsek maju dengan serangkaian serangan-serangan maut.
Sadar kalau memang ia tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi keadaan itu, maka dengan segenap kekuatannya, disambutnya gempuran Iblis Beruang Salju. Sepasang tangannya yang membentuk cakar garuda, menyambar-nyambar dengan kekuatan hebat. Sehingga, pertarungan kedua orang tokoh itu semakin sengit dan menegangkan.
Sedangkan Iblis Beruang Hitam sendiri, tentu saja tidak mau melepaskan putra Garuda Cakar Lima begitu saja. Sebab, yang menjadi tujuan utamanya, justru pemuda tampan itu. Maka, ketika melihat Wirya Saka dan delapan orang murid ayahnya akan meninggalkan tempat itu, langsung saja tubuh lelaki kekar berkepala botak itu melesat mengejar.
"Hm.... jangan harap kalian dapat meloloskan diri dari kejaranku, Tikus Kecil...!" bentak Iblis Beruang Hitam yang langsung saja melontarkan cengkeraman-cengkeraman maut ke arah Wirya Saka.
Bettt! Bettt! Bettt!
Serangkum angin keras berkesiutan ketika sepasang cakar Iblis Beruang Hitam menyambar susul-menyusul dengan kecepatan kilat. Delapan orang murid perguruan yang ikut melarikan diri bersama pemuda tampan itu, langsung mencabut senjatanya dan menyambut sambaran cakar Iblis Beruang Hitam.
"Tuan Muda! Teruskanlah berlari! Biar kami yang akan menahan beruang tengik ini...!" seru salah seorang dari delapan lelaki gagah itu, sambil mengibaskan senjatanya guna menyambut serangan lawan.
Namun, yang dihadapi murid-murid Perguruan Cakar Baja bukanlah tokoh sembarangan. Jangankan hanya delapan orang. Bahkan, ditambah lima kali lipat lagi pun, belum tentu mereka akan dapat menghalangi gempuran tokoh sesat itu. Maka, wajar kalau hanya dalam dua gebrakan, serangan Iblis Beruang Hitam telah membuat tiga orang lawannya bergeletakan tewas.
Melihat kenyataan itu, karuan saja lima orang lainnya berlompatan mundur dengan wajah pucat. Meskipun demikian, kelima orang murid Garuda Cakar Lima tetap bertekad mencegah lelaki bermantel kulit beruang itu agar tidak mengejar majikannya.
"Haaat..!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, kelima orang itu kembali berlompatan menerjang Iblis Beruang Hitam.
"Hm.... Tikus-tikus busuk tak tahu penyakit..!" geram Iblis Beruang Hitam yang menjadi marah ketika melihat kenekatan lawan-lawannya. Maka, dengan rasa jengkel, lelaki kekar berkepala botak itu langsung! melesat dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya.
Malang sekali nasib kelima orang murid Garuda Cakar Lima. Sebab, dalam beberapa gebrakan saja, tubuh mereka terlempar ke kanan-kiri tersambar cakar-cakar maut yang sekeras baja itu. Kelima orang itu langsung menggelepar dengan tubuh bersimbah darah. Tak lama kemudian, tubuh murid-murid Perguruan Cakar Baja itu diam dan tak bergerak lagi.
Mereka tewas di tangan Iblis Beruang Hitam yang terkenal ganas dan keji itu. Selesai menghabisi kedelapan orang lawannya, Iblis Beruang Hitam langsung melesat melakukan pen- gejaran terhadap Wirya Saka yang menjadi sasaran utamanya. Namun, bukan main geramnya hati tokoh sesat itu ketika ia tidak menemukan jejak buruannya.
"Setan! Ke mana perginya pemuda kurang ajar itu...! Awas! Kalau sampai kutemukan? Akan ku cabik-cabik seluruh tubuhnya!" geram Iblis Beruang Hitam sambil mengepalkan tinjunya sehingga terdengar suara berkerotokan nyaring.
Setelah mencari sampai ke bagian luar bangunan, namun tetap tak ditemukan jejak buruannya, Iblis Beruang Hitam bergegas kembali ke tempat semula dan menemui saudara kembarnya. Iblis Beruang Hitam menghentikan langkahnya ketika dari kejauhan ia melihat saudara kembarnya berlari mendatangi. Sekali lihat saja, sudah dapat diduganya kalau Iblis Beruang Salju telah berhasil menundukkan Garuda Cakar Lima yang menjadi lawan saudaranya itu.
"Bagaimana, Kakang..? Apakah kau sudah berhasil mendapatkan benda mustika itu...?" tegur Iblis Beruang Salju seperti tak sabar untuk mendengar penjelasan dari saudara tuanya itu.
"Hhh..., sayang aku tidak berhasil menemukan bocah keparat itu, Adi? Bagaimana dengan Garuda Cakar Lima? Apakah tua bangka yang sombong itu sudah kau bereskan?" ujar Iblis Beruang Hitam balik bertanya setelah menjawab teguran adiknya.
"Tua bangka keras kepala itu terpaksa kubunuh. Karena meski sudah tidak berdaya setelah ku lukai, tetap saja ia tidak mau memberikan keterangan mengenai benda itu. Sedangkan Siluman Tongkat Beracun telah lebih dulu menghilang, setelah menghabisi seluruh murid Perguruan Cakar Baja. Mungkin saat ini ia tengah melakukan pengejaran terhadap Wirya Saka. Sepertinya ia sudah dapat menduga kalau pemuda itu pasti melarikan diri dari tempat ini," jelas Iblis Beruang Salju dengan wajah kecewa ketika mendengar tentang kegagalan saudara tuanya itu.
"Hm…" Kalau begitu, kita habisi saja seluruh wanita dan anak-anak yang berada di dalam bangunan perguruan ini. Setelah itu, baru kita mencari putra Garuda Cakar Lima," usul Iblis Beruang Hitam yang sepertinya menjadi kalap karena tidak berhasil menemukan benda yang dicari-carinya itu. Usai berkata demikian, kakinya melangkah menuju bangunan utama Perguruan Cakar Baja.
"Percuma, Kakang. Semuanya sudah dibantai habis oleh Siluman Tongkat Beracun. Rupanya saingan kita itu merasa geram dan jengkel. Sehingga, rasa kesalnya dilampiaskan kepada seluruh penghuni perguruan ini. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini," ajak Iblis Beruang Salju sambil memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan. Jelas, lelaki botak bermantel kulit beruang salju itu merasa gembira akan apa yang telah dilakukan Siluman Tongkat Beracun.
"Hm.... Baguslah kalau begitu. Berarti kita tidak perlu mengotori tangan lagi untuk membantai mereka. Ayolah, kita tinggalkan tempat slat ini," ujar Iblis Beruang Hitam yang segera membalikkan tubuhnya, dan mengajak saudaranya untuk meninggalkan Perguruan Cakar Baja. Dalam sekejap mata, tubuh Iblis Kembar lenyap di balik pagar kayu bulat yang mengelilingi perguruan. Dan yang tinggal hanya puluhan mayat murid Perguruan Cakar Baja berikut ketuanya, Garuda Cakar Lima.
Semilir angin pegunungan yang sejuk, mengiringi langkah kaki seorang pemuda tampan berjubah putih. Rambutnya yang panjang berkibar dipermainkan angin. Namun, wajah yang tampan dan bersih itu, selalu terhias senyuman lembut dan tenang. Sehingga, membuat orang suka bila melihatnya. Sebab, penampilan pemuda berjubah putih itu menimbulkan kesan ramah dan murah senyum.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Kedatangannya tepat saat diselenggarakan pekan yang biasa diadakan dua hari setiap minggu. Maka, tidak heran kalau hari itu suasana di Desa Ampenan tampak jauh lebih ramai daribiasanya. Namun, keramaian dan kebisingan itu sama sekali tidak mengganggu langkah pemuda berjubah putih. Kedua kakinya terus terayun menyusuri keramaian itu, dan sampai di sebuah kedai makan yang saat itu sangat ramai dikunjungi orang.
"Ada yang bisa kubantu, Kisanak...?" tanya seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan nada ramah. Menilik dari pakaian yang dikenakannya, jelas lelaki itu merupakan pelayan kedai yang bertugas menyambut pengunjung.
"Wah, ramai sekali kedaimu hari ini, Paman," ucap pemuda tampan itu tersenyum, sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai. Kemudian dipesannya makanan dari pelayan yang datang menghampirinya.
"Begitulah, Kisanak. Selain kedai ini merupakan yang terbaik di Desa Ampenan, kebetulan juga hari ini bertepatan dengan diadakannya pekan. Tentu saja suasana lebih ramai dan bising dari hari-hari biasa. Mmm..., Kisanak dari mana...? Sepertinya baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh...?" tanya pelayan kedai yang bertugas menyambut para tamu itu, setelah melihat pakaian pemuda itu tampak lusuh dan agak berdebu.
"Benar, Paman. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan merasa tertarik melihat ramainya Desa Ampenan. Mmm..., jadi ini adalah Desa Ampenan...?" tegas pemuda tampan itu seraya melebarkan senyumnya dan mengedarkan pandangan melalui jendela di samping kanannya.
"Yah, desa ini bernama Ampenan. Tapi, jangan Kisanak tanyakan mengapa desa ini bernama demikian. Sebab, aku sendiri tidak mengetahui asal-usulnya...," ujar pelayan berwajah ramah itu berseloroh. Sehingga, keduanya sama-sama tertawa.
Pembicaraan keduanya terhenti ketika pelayan yang bertugas melayani pesanan para tamu datang membawa pesanan pemuda berjubah putih itu.
"Terima kasih...," ucap pemuda tampan berjubah putih itu, setelah hidangannya tertata rapi di atas meja. "Silakan dicicipi, Kisanak. Semoga makanan di desa ini sesuai dengan selera mu...," ujar pelayan berwajah ramah itu. Kemudian bergegas meninggalkan pemuda itu. Lalu, dinikmatinya hidangan itu tanpa terburu-buru.
"Ah, Kakang Juladi... Silakan.... Silakan, Kakang...," terdengar pelayan berwajah ramah yang berdiri di dekat pintu kedai itu berseru gembira dan penuh hormat. Seorang lelaki gagah berkumis lebat, nampak melangkah memasuki kedai. Wajah muram itu tersenyum sekilas kepada pelayan yang menyambut kedatangannya. Sehingga membuat pelayan, yang sepertinya telah mengenai baik lelaki gagah itu, mengerutkan kening. Jelas, ia merasa heran dengan kemurungan wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Juladi itu.
"Ada apa, Kakang..? Sepertinya hatimu sedang susah hari ini?" kembali pelayan tua itu bertanya sambil menjajari langkah Juladi yang tengah menuju ke arah meja.
"Hhh..., bencana besar, Adi. Benar-benar mengerikan, dan membuat hati penasaran," sahut Juladi yang segera menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya sambil menghembuskan napas panjang.
"Bencana besar...? Mengerikan...? Apa maksud Kakang? Aku... Aku tidak mengerti...?" gumam pelayan itu mengerutkan keningnya semakin dalam. Kemudian dengan penuh tanda tanya, ia pun segera duduk di sebelah Juladi. Jelas sekali, rasa penasaran hatinya ketika mendengar kata-kata lelaki gagah itu.
"Hhh..., selepas subuh tadi, aku berpamitan kepada kepala desa untuk menjenguk saudaraku yang tengah menderita sakit Karena saudaraku tinggal di desa sebelah, maka dengan sendirinya aku melalui Perguruan Cakar Baja yang letaknya memang berada di luar desa ini. Tahu kau, apa yang menyebabkan aku kembali dan menunda perjalananku itu...?" tanya Juladi menghentikan ceritanya dan menatap pelayan itu lekat-lekat.
Pelayan berwajah ramah itu menggelengkan kepalanya dengan wajah bodoh. Sehingga, Juladi kembali melanjutkan ceritanya.
"Pada saat aku melintasi pintu gerbang perguruan itu, tiba-tiba hatiku merasa tidak enak. Sebab, tidak biasanya Perguruan Cakar Baja sepi dan tidak terlihat seorang pun penjaga. Perasaan tidak enak itu semakin kuat mencengkeram hatiku. Karena semilir angin yang berhembus, menebarkan bau busuk seperti bangkai!" jelas Juladi menekankan kata katanya dengan suara rendah, tapi cukup jelas bagi beberapa orang yang berada tidak jauh dari tempatnya. Termasuk pemuda berjubah putih yang terlihat mulai mengangkat kepalanya perlahan Jelas, ia tertarik dengan cerita lelaki bernama Juladi itu.
"Lalu..., apa yang Kakang lakukan...?" desak pelayan itu sambil merapatkan kursinya dengan perasaan tegang.
"Merasa penasaran, aku segera melompat turun dari punggung kuda, dan melangkah mendekati pintu gerbang. Karena beberapa kali kupanggil tiada sahutan, maka aku, memberanikan diri mengintai dari celah-celah pintu gerbang. Kaget bukan main hatiku ketika menyaksikan pemandangan di halaman depan Perguruan Cakar Baja. Sebab, di sana kulihat puluhan murid perguruan itu tampak bergeletakan dengan bau anyir darah yang memualkan. Setelah memastikan puluhan sosok tubuh itu sudah menjadi mayat, langsung saja aku kembali dan melaporkan kepada kepala desa...," ujar Juladi kembali menghentikan ceritanya. Perlahan diteguknya air yang telah dihidangkan seorang pelayan di atas mejanya.
"Bagaimana, pendapat Ki Cagak? Apa tindakan beliau setelah mendengar laporan Kakang..?" tanya pelayan itu tak sabar.
"Yah, beliau langsung saja menyuruhku untuk menemaninya melihat perguruan itu. Dugaanku ternyata benar, Adi. Puluhan mayat murid-murid Perguruan Cakar Baja bergeletakan dalam keadaan mulai membusuk!"
"Tapi..., mengapa Kakang sekarang berada di sini? Apakah Ki Cagak juga sudah kembali bersama Kakang...?"
"Tidak. Ki Cagak tetap berada di sana. Sedangkan aku diperintahkannya untuk kembali ke desa, guna mengambil peralatan untuk penguburan dan membawa beberapa orang kawan. Wah, aku harus bergegas Adi. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu. Aku hanya singgah sebentar untuk menanyakan kabar tentang anak majikanmu. Apakah dia sudah kembali dari rumah pamannya yang berada di seberang sungai itu?" tanya Juladi agak malu-malu.
Sambil berkata demikian, lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu melirik ke kiri-kanan. Sehingga, beberapa orang yang tengah melihat ke arahnya, langsung saja memalingkan muka dengan wajah kaget.
Juladi yang merupakan tangan kiri Kepala Desa Cagak itu tersenyum tipis. Untunglah suaranya agak direndahkan ketika ia bertanya tentang anak gadis pemilik kedai itu, yang memang sudah lama di incarnya. Dan, tidak ada seorang pun yang mengetahui perasaan hatinya, kecuali pelayan berwajah ramah itu. Sebab, pelayan itu yang selama ini selalu memberikan keterangan semua yang menyangkut anak gadis majikannya. Setelah meneguk tandas minumannya, Juladi pamit. Dan melangkah meninggalkan kedai itu. Sedang pelayan yang menjajari langkahnya mengantar sampai ke ambang pintu.
"Kalau tidak salah, besok Nyai Lasih akan kembali. Nanti kusampaikan kalau Kakang Juladi sudah rindu dan ingin berjumpa. Bagaimana menurutmu, Kakang...?" tegas pelayan itu tersenyum simpul sambil mengerjap-ngerjapkan matanya menggoda.
"Sesuka kaulah...," sahut Juladi sambil bergegas melompat ke atas punggung kudanya. Seraya melambaikan tangannya sebelum meninggalkan kedai.
"Hei, mau ke mana, Kisanak? Mengapa terburu-buru? Apakah hidangan di kedai ini tidak berkenan dengan selera mu...?" tegur pelayan itu ketika membalikkan tubuhnya, dan melihat pemuda berbaju putih yang hendak melangkah keluar.
"Ah, hidangan di kedai ini memang benar-benar memuaskan, Paman. Lihat saja, semua hidangan itu sudah ludes dan berpindah ke dalam perutku," sahut pemuda itu sambil menepuk perutnya perlahan "Sayang aku harus melanjutkan perjalanan. Sehingga tidak bisa berlama-lama disini." Dan sambil tetap tersenyum, pemuda itu kemudian melangkah meninggalkan kedai.
"Hm Seorang pemuda yang ramah dan menarik. Aku suka kepadanya. Kalau saja ia dapat tinggal di desa ini, aku yakin ia akan menjadi rebutan para gadis...," gumam pelayan itu mengikuti langkah pemuda berjubah putih dengan tatapan matanya. Ia baru berbalik setelah bayangan pemuda berjubah putih itu lenyap di tengah keramaian orang-orang yang berbelanja di pekan.
Pemuda berbaju putih yang tidak lain Panji, baru saja mengerahkan ilmu lari cepatnya setelah melalui tempat sunyi. Sengaja kepandaiannya dikerahkan untuk mendahului lelaki gagah bernama Juladi yang] dilihatnya di kedai. Panji yang merasa tertarik dengan cerita lelaki berkumis lebat itu, segera menyelesaikan hidangannya ketika melihat lelaki itu pergi. Setelah cukup lama berlari melintasi hutan kecil dan semak belukar, pemuda tampan itu tiba di sebuah jalan yang cukup lebar.
"Hm..., Juladi dan kawan-kawannya pasti melewati tempat ini. Sepertinya aku telah sampai lebih dulu dari mereka...," gumam Panji yang segera melangkah pelan menyusuri jalan berbatu.
Tidak berapa lama berjalan, pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda di belakangnya. Suara derap yang semakin dekat itu sama sekali tidak dipedulikannya. Kakinya tetap saja melangkah pelan tanpa menoleh ke belakang. Apa yang diperkirakan Panji ternyata tidak meleset Sebab, rombongan orang berkuda yang beberapa tombak di belakangnya memang dipimpin oleh Juladi. Ketika rombongan itu melintas di sampingnya, bergegas Panji menyingkir ke tepi jalan. Kepalanya menoleh sekilas ke arah rombongan itu.
"Eh? Bukankah pemuda berjubah putih itu yang tadi kulihat di kedai? Bagaimana ia tahu-tahu telah berada di tempat ini...?" gumam Juladi sempat mengerutkan keningnya ketika melewati Panji. Tampak gambaran rasa heran diwajah lelaki gagah itu. "Hm... Mungkin hanya pakaiannya saja yang serupa. Sebab, mustahil kalau ia bisa mendahuluiku."
Tanpa mempedulikan Panji lagi, Juladi kembali melarikan kudanya mendahului pemuda berjubah putih itu. Dibuangnya semua dugaan yang sangat mustahil menurut pemikirannya.
Sedang Panji yang tidak menduga kalau lelaki itu sempat memperhatikannya ketika di kedai, menjadi kagum akan ketelitian lelaki gagah itu. Setelah rombongan yang terdiri dari lima belas orang penunggang kuda itu sudah lenyap, kembali Panji melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan ilmu lari cepat. Ia terus membayangi rombongan Juladi. Dan, baru menghentikan larinya ketika mereka tiba di depan sebuah bangunan perguruan.
Ketika seorang di antara dua lelaki yang menjaga di depan gerbang mempersilakan, Juladi beserta rombongannya bergegas memasuki bangunan. Panji keluar dari persembunyian setelah rombongan Juladi dan kedua orang penjaga pintu gerbang itu lenyap di balik pagar kayu bulat, yang mengelilingi bangunan itu. Bagaikan seekor burung besar, tubuh pemuda berjubah putih itu melayang naik di samping kanan bangunan itu. Dan, mendarat ringan pada sebatang cabang pohon yang tumbuh di tempat itu.
"Seluruh penghuni perguruan ini tewas, Juladi, Kecuali mayat Wirya Saka yang belum dapat kita temukan. Baik bagian dalam maupun luar perguruan ini sudah diperiksa dalam jarak puluhan tombak. Namun, tidak seorang pun yang menemukan mayat putra Ketua Perguruan Cakar Baja. Benar-benar mengherankan...," ujar seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun Melihat dari sikap dan cara Juladi menghadapinya, jelas orang tua itu Ki Cagak, Kepala Desa Ampenan.
"Nampaknya, kita memang sukar menemukan penyebab kejadian ini, Ki. Entah bagaimana nasib putra Garuda Cakar Lima itu. Mungkinkah orang yang melakukan pembantaian ini telah menculiknya?" gumam Juladi mengerutkan keningnya sambil menatap Ki Cagak.
"Rasanya tidak mungkin, Juladi. Kejadian ini pasti ada penyebabnya. Melihat dari luka-luka pada tubuh-tubuh mayat ini, jelas kalau yang melakukannya bukan satu orang Entah ini disebabkan karena dendam atau apa. Yang jelas, aku belum bisa menjawabnya. Lebih baik kita kubur dulu mayat-mayat ini. Dan, kita tidak berhak mencampurinya. Menurutku, semua ini ada kaitannya dengan orang-orang rimba persilatan," ucap Ki Cagak yang segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengubur seluruh mayat-mayat itu, agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan penduduk desanya.
"Jadi, kita harus berdiam diri, Ki...?" tanya Juladi menatap tajam wajah orang tua itu menuntut penjelasan.
"Yahhh..., karena kita sama sekali tidak tahu penyebabnya. Bisa saja pelakunya yang bersalah, dan bisa juga perguruan ini yang bersalah. Nah, menurutmu, apa tindakan yang harus lata ambil?" Ki Cagak balik bertanya dengan senyum tipis menghias wajahnya. Jelas, orang tua itu tidak ingin adanya tuduhan tersembunyi yang diajukan pembantunya itu.
Mendengar ucapan kepala desanya, Juladi bungkam. Sebab, ia sendiri tidak mengetahui, siapa yang bersalah dalam kejadian itu. Sehingga, ia tidak bisa menentukan sikap, ke mana harus berpihak.
"Sudahlah, Juladi. Kita hanya orang-orang desa, dan bukan kaum rimba persilatan. Kejadian ini jelas berhubungan dengan kaum persilatan. Karena itu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali para pembantai itu mengganggu ketentraman desa kita. Itu baru menjadi tanggung jawab kita," jelas Ki Cagak yang kemudian melangkah meninggalkan pembantunya, yang masih termenung memikirkan semua ucapan kepala desanya.
Sementara Pendekar Naga Putih yang ikut mendengarkan-pembicaraan kedua orang itu, termenung sesaat Semula ia hendak keluar dari persembunyianya dan menemui kedua orang itu. Namun, ketika ia mendengar bahwa mereka tidak mengetahui secara jelas duduk masalahnya, Panji segera memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, dan mencoba mencari putra Garuda Cakar Lima yang bernama Wirya Saka.
Tanpa sepengetahuan orang-orang yang berada di dalam bangunan itu, tubuh Panji segera melesat meninggalkan tempat itu. Ia memutuskan untuk mengambil jalan ke Selatan. Sebab, menurutnya kalau memang Wirya Saka melarikan diri, tidak mungkin ia melalui tempat sunyi yang dipenuhi semak belukar. Sebaliknya, pemuda itu pasti memilih jalan ramai, yang sama sekali diluar dugaan para pengejarnya.
Pemuda berjubah putih itu melangkah tenang menyusuri jalan berbatu kecil yang cukup lebar. Semilir angin yang membelainya, membuat pikiran Panji teringat akan Kenanga, kekasihnya. Ingatan tentang dara jelita yang ditinggalkannya. di sebuah desa terpencil bernama Desa Pugar, membuatnya tiba-tiba merasa rindu dalam suasana yang sunyi itu.
"Hm.... Dalam kehidupan ini, memang terkadang lebih sering kita mengorbankan perasaan untuk kepentingan orang lain. Seperti yang kembali ku alami. Bencana penyakit menular yang mewabah di Desa Pugar, terpaksa memisahkan aku dari Kenanga. Sebagai seorang pendekar, tentu saja aku tidak bisa tinggal lama di desa itu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau di tempat lain tengah terjadi bencana yang sifatnya berlainan," gumam pemuda tampan berjubah putih itu dalam hari. Sesekali kepalanya yang tertunduk itu terangkat menatap gumpalan mega biru.
Panji menghela napas panjang dan menekan kerinduan yang mendera jiwanya. Sebagai pemuda gemblengan tokoh sakti, ia memiliki kekuatan batin yang melebihi ukuran manusia biasa. Namun, kerinduan itu sulit dilenyapkan seketika. Sebab, pendekar gemblengan seperti Panji tetap manusia biasa, yang memiliki perasaan sebagaimana manusia umumnya. Sehingga, wajar kalau pemuda perkasa itu memiliki perasaan yang sama dengan pemuda-pemuda lain yang sebayanya.
Dan kini, apa yang ditemuinya di dalam perjalanan, telah membuatnya bertekad untuk mengungkapkan rahasia itu. Peristiwa pembantaian di Perguruan Cakar Baja dan lenyapnya putra ketua perguruan itu, telah menimbulkan jiwa kependekarannya. Perjalanannya kali ini karena ia ingin mencari putra Garuda Cakar Lima yang bernama Wirya Saka.
Teringat akan kewajibannya sebagai seorang pendekar, semakin membuat rindunya terhadap Kenanga tersingkir. Karena dirinya telah digariskan untuk melakukan kewajiban seperti itu. Dan, Panji tidak bisa menghindarinya. Semenjak kecil ia telah dididik untuk menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran. Dan, semua itu telah berakar di dalam batinnya. Apalagi ia sangat menyukai kewajibannya itu. Maka, dengan sendirinya Panji tidak merasakan beban dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai seorang pendekar.
Dengan tanpa mengenai lelah dan putus asa, Panji selalu bertanya pada setiap desa atau pedusunan kecil yang disinggahinya. Dan, semua keterangan yang diperolehnya, telah membawa langkah Pendekar Naga Putih semakin jauh memasuki pedalaman wilayah Selatan. Sebab, dari beberapa desa yang pernah disinggahinya, ia mendapat keterangan tentang seorang pemuda asing berwajah lusuh dan selalu menggambarkan kecemasan menuju ke pedalaman Selatan.
Sehingga, Panji berusaha menyelusuri jejak yang diduga pasti jejak Wirya Saka. Apalagi keterangan dari beberapa penduduk desa menggambarkan usia pemuda asing itu sekitar satu atau dua tahun lebih muda darinya. Semakin bertambah kuat dugaan Pendekar Naga Putih, pemuda itu pasti Wirya Saka.
"Hm.... Sebentar lagi kegelapan sudah mulai berkuasa. Aku harus menemukan tempat untuk bermalam. Mudah-mudahan saja ada sebuah desa di sekitar tempat ini. Kalau tidak, terpaksa aku harus bermalam di dalam hutan lagi," gumam Panji, menengadahkan kepalanya, dan menatap sinar jingga yang nampak di kaki langit sebelah Barat. Bergegas pemuda itu mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk berpacu dengan sang waktu. Sekejap saja, tubuhnya telah melesat bagai bayangan hantu yang lenyap di balik pepohonan dan bebatuan besar.
Saat itu, matahari memancar terik. Sinarnya dengan garang menebar ke permukaan bumi. Panasnya sengatan sinar matahari siang itu, membuat hembusan angin terasa hangat. Namun, sosok tubuh yang berpakaian lusuh tampak tidak mempedulikan panasnya sinar matahari. Meski langkahnya nampak lelah, sosok lusuh yang ternyata seorang pemuda tampan itu, tetap melanjutkan perjalanannya.
Peluh yang membasahi wajah dan pakaiannya, sama sekali tidak dipedulikan Wajah tampan itu tampak agak kecoklatan karena sering di sengat cahaya matahari. Ketika tiba di mulut sebuah hutan, pemuda yang usianya paling sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun itu, menghempaskan tubuhnya di bawah pohon berdaun lebat Sehingga, ia terlindung dari sengatan sinar matahari.
"Huhhh...," terdengar helaan napas yang keluar dari mulutnya. Peluh yang berlelehan di wajahnya, dihapusnya dengan lengan baju yang juga kumal itu.
"Gila...! Panas sekali udara siang ini...," desah pemuda itu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan hijau yang tebal. "Ah, aku harus mencari aliran sungai di sekitar tempat ini. Rasanya akan segar kalau tubuh penat ini dapat berendam di air jernih yang sejuk "
Mendapat pikiran demikian, pemuda berwajah lusuh itu bergegas bangkit, dan melangkah memasuki hutan semakin ke dalam. Tidak berapa lama kemudian, tibalah ia di sebuah tepian sungai yang berair jernih. Namun, ketika ia hendak melepaskan pakaiannya, tiba-tiba telinganya menangkap gerakan langkah kaki beberapa orang dari sebelah belakangnya.
Wajah pemuda itu tampak tegang ketika ia melihat belasan orang bertampang kasar dan beringas, bergerak menghampirinya. Tubuh orang-orang itu tinggi besar dengan wajah terhias cambang bauk yang kotor. Jelas, mereka adalah orang-orang liar yang tinggal di wilayah hutan itu.
"Maaf, bolehkah aku tahu, siapakah kalian? Dan adakah yang bisa kubantu...?" sapa pemuda berwajah lusuh itu mencoba bersikap ramah dan bersahabat.
Namun, belasan orang lelaki kasar berwajah menyeramkan itu, sama sekali tidak menanggapi. Mereka terus saja melangkah maju dengan sinar mata mengancam. Melihat dari sikapnya, Jelas rombongan lelaki kasar itu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemuda itu. Rombongan lelaki kasar itu baru menghentikan langkahnya, dalam Jarak satu tombak di hadapan pemuda yang bernama Wirya Saka. Kemudian salah seorang yang sepertinya merupakan pimpinan orang-orang kasar itu, melangkah maju mendekati Wirya Saka.
"Hm..., kau telah lewat di daerah kekuasaan kami tanpa izin! Sekarang, cepat serahkan barang-barangmu!" ujar lelaki bertubuh raksasa itu dengan logat yang aneh dan terdengar kaku.
Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, menyadarkan Wirya Saka kalau saat itu ia tengah berhadapan dengan gerombolan manusia liar, yang sering merampas dan mencelakai orang. Sehingga, tanpa sadar pemuda itu meraba gagang pedang yang tersembunyi di balik pakaiannya. Karena ia sudah menduga kalau perkelahian tidak mungkin dapat dihindarkan. Ia pun tahu orang-orang seperti itu sama sekali tidak memiliki rasa kasihan, dan tanpa peduli siapa pun korbannya.
"Maaf, Kisanak. Aku adalah seorang pengelana miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Bahkan, pakaian yang ku kenakan hampir tidak ada bedanya dengan kalian. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa memberikan sesuatu untuk kalian semua...," sahut Wirya Saka dengan wajah tegang.
Kecemasan yang tergambar di wajah pemuda itu tentu saja merupakan suatu yang wajar. Sebab, selain jumlah kawanan manusia liar itu cukup banyak, mereka tampak bertenaga kuat. Mungkin hal itu disebabkan lingkungan kehidupan mereka yang keras dan penuh tantangan. Sehingga, mereka sama sekali tidak mengenai arti kesopanan.
"Hm..., jangan kau pikir dapat mengelabui aku, Manusia Muda! Kulihat di pinggang kirimu ada bungkusan kain kuning. Nan, coba kau berikan benda itu kepadaku!" sambil berkata demikian, lelaki bertubuh raksasa itu langsung mengulurkan tangannya hendak mengambil bungkusan kain kuning di pinggang Wirya Saka.
Wuttt!
Uluran jari-jari tangan yang tampak kokoh itu, menangkap angin kosong. Karena Wirya Saka telah menggeser tubuhnya dengan melangkah dua tindak kebelakang. Dengan sendirinya sambaran tangan lawannya luput.
"Ghrrr...! Rupanya kau hendak melawan, Anak Muda! Kalau begitu, kau akan ku rencah!" geram lelaki bertubuh seperti raksasa itu segera melompat dan menerkam tubuh pemuda itu.
"Tahan...!" seru Wirya Saka dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, seruannya sempat membuat lelaki kasar itu menghentikan gerakannya.
Terlihat lelaki bertubuh seperti raksasa itu tertegun dengan bola mata miliar. Jelas, suara teriakan pemuda itu sempat membuatnya heran. Sebab, suara teriakan pemuda itu terasa menggetarkan bagian dalam dadanya. Terdengar suara menggereng bagaikan harimau luka, yang keluar dari kerongkongan lelaki itu.
"Kisanak. Harap jangan mencari perkara. Bukankah di antara kita tidak ada permusuhan? Lagi pula, apa untungnya kalian merebut benda tak berharga ini dari tanganku?" ujar Wirya Saka sambil tangan kirinya mengangkat bungkusan kain kuning itu. Sedangkan tangan kanannya tetap memegang hulu pedang Jelas, pemuda itu telah siap bila orang-orang kasar itu memaksakan kehendaknya.
"Kalau memang benda itu tidak berharga, coba tunjukkan kepadaku...!" desak lelaki seperti raksasa itu dengan suara menggeram. Sambil berkata demikian, kakinya melangkah maju mendekati Wirya Saka.
Tentu saja Wirya Saka tidak sudi memenuhi permintaan lelaki itu. Sebab, bila ia menunjukkan benda mustika itu, pasti mereka akan merebutnya. Sehingga, pemuda itu terpaksa bungkam dan kembali menyimpan bungkusan kain kuning itu di pinggangnya.
"Kurang ajar...!" geram lelaki bertubuh raksasa itu dengan wajah gelap. Tangan kanannya bergerak melambai. Gerakan itu jelas merupakan perintah kepada kawan-kawannya untuk menyerbu Wirya Saka.
"Yeaaa...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki bertubuh raksasa bergerak menyerbu Wirya Saka sembari berteriak-teriak serak.
Sadar kalau perkelahian tidak mungkin dapat dihindarkan lagi, Wirya Saka bergegas mencabut keluar senjatanya.
Whuuut..!
Sinar putih berkeredep menyilaukan dengan di sertai suara mengaung tajam. Senjata itu langsung bergerak menyilang beberapa kali dengan menimbulkan suara mendengung. Namun, belasan lelaki kasar bertubuh raksasa itu sepertinya sama sekali tidak mengenai rasa takut Mereka terus bergerak maju, tanpa mempedulikan sambaran pedang pemuda itu.
Bettt! Bettt!
Wirya Saka menggeser langkahnya seraya menarik mundur tubuhnya ke belakang. Sehingga, dua orang yang melancarkan cengkeraman ke tubuhnya hanya mengenai daerah kosong. Gerakan yang dilakukan pemuda itu, ternyata tidak berhenti begitu saja, melainkan pedang di tangannya berkelebat menyilang beberapa kali ke arah dua orang lawan, yang lebih dahulu tiba di dekatnya itu.
Wukkk! Takkk! Takkk!
"Aaah...!"
Kaget bukan main hari Wirya Saka, ketika kedua orang itu menangkis pedangnya dengan tangan telanjang. Dan hebatnya, justru senjata pemuda itu yang berbalik. Seolah yang dihantamnya bukan lengan manusia, melainkan segumpal baru cadas yang keras.
"Gila...!" desis Wirya Saka yang segera melompat mundur dan berjumpalitan beberapa kali menjauhi lawannya.
Dengan wajah keheranan, Wirya Saka menatap mata pedangnya. Pemuda itu baru dapat menarik napas lega ketika mendapati mata pedangnya tidak rusak. Sebab, hatinya merasa khawatir ketika merasakan pedangnya seperti membentur benda keras yang kuat.
Kalau saja ia tidak membuktikannya sendiri, rasanya pemuda itu tidak akan mempercayai kalau ada orang yang mampu menahan tebasan pedangnya dengan tangan telanjang. Bahkan, saat itu sepertinya ia masih belum mempercayai apa yang. baru saja dialaminya itu. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu hanya dapat berdiri dengan mata membelalak.
"Yeaaa...!"
Wirya Saka sadar dari keterpakuannya ketika dikejutkan suara-suara teriakan orang-orang kasar itu. Cepat pemuda itu melompat mundur, menghindari sambaran dua bilah pedang yang mengancam tubuhnya.
Whuuut! Whuuut!
Dua batang senjata yang berdesing nyaring itu, berhasil dielakkannya. Namun, hati pemuda itu terkejut ketika melihat pedang-pedang yang luput dari sasaran itu, bergerak memutar secara aneh dan kembali mengejarnya.
"Haiiit..!"
Menyadari kalau terus-menerus menghindar, senjata-senjata itu tidak akan berhenti mengejarnya. Dengan nekat, pemuda itu mengerahkan segenap kekuatan tenaga saktinya, dan langsung memapaki sambaran dua batang senjata lawannya. Dan....
Trang! Trang!
"Uuuh !"
Putra Garuda Cakar Lima itu kembali memekik untuk kedua kalinya. Sebab, pedang yang dipakai memapaki serangan lawan itu, membalik cepat dan mengancam wajahnya. Segera pemuda itu melemparkan tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
"Gila...! Tenaga mereka ternyata sangat kuat sekali...!" keluh Wirya Saka sambil mengurut tangan kanannya yang terasa bagaikan patah tulang-tulangnya. Kenyataan itu semakin membuat hatinya bertambah cemas. Sadar kalau ia tidak bakal dapat menandingi orang-orang kasar itu, maka Wirya Saka mencoba memutar otaknya, mencari jalan untuk lolos.
"Kepung rapat! Jangan biarkan pemuda itu lolos!"
Terdengar suara parau yang keluar dari mulut pemimpin belasan orang lelaki bertubuh raksasa itu. Hal itu mencerminkan pikirannya cukup cerdik. Sehingga dapat membaca gelagat pada wajah dan sikap Wirya Saka.
"Setan...!" desis Wirya Saka yang menjadi geram melihat lawan-lawannya semakin rapat mengurung. Karuan saja hati pemuda itu semakin bertambah cemas. Dengan mencoba tetap bersikap tenang, Wirya Saka menghadapi belasan orang lelaki kasar itu dengan pedangnya. Diputarnya pedang itu hingga membentuk gulungan sinar, yang membungkus sekujur tubuhnya.
"Heaaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan keras, tubuh pemuda itu melesat menyambut serangan para pengeroyoknya. Menyadari gerakan lawan terlihat rata-rata lambat, Wirya Saka bertempur dengan mengandalkan kecepatan geraknya. Meskipun agak terdesak, Wirya Saka terus berkelebatan di antara sambaran senjata-senjata lawannya! Sesekali pedang di tangannya berkeredep membabat tubuh lawan.
Takkk! Takkk!
"Uuuh...!"
Untuk kesekian kalinya, tubuh pemuda itu kembali terjajar limbung. Karena tebasan pedangnya yang menghantam tubuh lawan telah terbalik, sehingga membuat lengannya ngilu dan kesemutan Tentu saja kenyataan itu makin membuyarkan harapannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman orang-orang liar itu.
Wuttt! Crabbb! Crabbb!
Tiga batang pedang yang besar dan bermata kasar itu, menghantam tanah tempat tubuh pemuda itu terjatuh. Untunglah ia masih sempat bergulingan. Sehingga, tubuhnya tidak sampai menjadi sasaran senjatalawannya. Setelah beberapa kali bergulingan guna menghindari sambaran senjata pengeroyoknya, tubuh Wirya Saka melenting bangkit seraya memutar senjatanya melindungi tubuh.
"Heeeaaa...!"
Wuttt..!
Wirya Saka menggeser tubuhnya ke samping, ketika sebatang senjata lawan menusuk dadanya dengan kekuatan hebat Pemuda itu tidak lagi berani untuk menangkis. Sebab, ia sadar kalau hal itu hanya akan membuatnya rugi. Meskipun disadarinya bahwa tubuh lawannya rata-rata memiliki kekebalan, putra Ketua Perguruan Cakar Baja tetap melancarkan serangan balasan ke arah musuhnya. Pedang di tangannya berkelebat cepat menusuk belakang telinga lawannya yang tengah terjerembab akibat tusukannya yang luput itu.
Crakkk!
"Aaargh...!"
Girang bukan main hati Wirya Saka ketika melihat lawannya meraung keras, terbabat ujung pedangnya yang ternyata mampu melukai lawan. Lelaki bertubuh raksasa yang menjadi korban ujung pedang Wirya Saka, terjajar mundur sambil memegangi telinga kirinya. Dari sela-sela jari tangan orang itu, nampak mengalir darah segar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu langsung melesat dan kembali menusukkan senjatanya ke bagian belakang telinga lawannya. Sebab matanya telah terbuka kalau bagian di tubuh orang itu, ternyata sama sekali tidak kebal seperti di bagian lain tubuh raksasa itu.
"Yeaaat..!"
Dengan diiringi pekikan nyaring yang penuh semangat, Wirya Saka kembali menusukkan ujung pedangnya ke bagian belakang telinga kanan lawannya yang terluka itu.
Crattt!
"Akh...!"
Kembali lelaki bertubuh raksasa itu menjerit dari terhuyung limbung. Sedangkan tempat yang menjadi sasaran ujung pedang Wirya Saka, tampak darah segar mengucur. Semangat pemuda itu semakin menyala ketika melihat korban senjatanya itu, terjatuh dan menggelepar sekarat Sebab, dua buah jalan darah besar, yang terkena senjata pemuda itu daerah yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian. Terbukti tubuh orang itu diam tak bergerak. Mati.
Dengan semangat yang kembali menggebugebu, Wirya Saka menjadi yakin kalau dirinya dapat lolos dari kepungan orang-orang liar itu. Sebab, kematian salah seorang kawan mereka, telah membuat belasan lelaki bertubuh raksasa lainnya terkejut dan kepungan nya merenggang. "Bunuh manusia muda keparat itu...!" perintah pemimpin yang murka dengan kematian salah seorang pengikutnya.
Sedangkan dirinya sendiri sudah melompat dan menerjang Wirya Saka. Kaget bukan main hati Putra Ketua Perguruan Cakar Baja ketika melihat pimpinan gerombolan orang liar itu ternyata dapat bergerak gesit. Jelas, pemimpin itu berbeda dengan para pengikutnya. Pantas kalau la dijadikan pimpinan.
Wuttt! Wuttt!
"Aiiih...!"
Wirya Saka memekik tertahan ketika hampir saja ujung pedang lawannya membeset kulit tubuhnya. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Sehingga, ujung pedang lawan lewat setengah jengkal di depantubuhnya. Sembari mengeluarkan bentakan nyaring, pemuda itu menusukkan pedangnya ke arah mata lawan. Karena hanya daerah itulah yang terpikir olehnya saat itu.
Trangngng...!
"Aaakh...!"
Terdengar suara benturan keras yang memercikkan pijaran bunga api. Sedangkan pedang di tangan Wirya Saka terlempar lepas dari genggamannya. Bahkan, tubuh pemuda itu terjungkal ke belakang dengan disertai jerit kesakitan. Wirya Saka yang terbanting cukup keras di atas permukaan tanah itu, terbelalak ngeri ketika belasan batang senjata meluruk ke tubuhnya. Pemuda itu terpaksa menyerahkan nasibnya di tangan gerombolan liar itu.
"Hattittt...!"
Tepat saat kematian hampir menjemput Wirya Saka, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring bagai menggetarkan seluruh daerah hutan itu. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih yang langsung membagi bagikan pukulan dan tendangannya dengan kecepatan luar biasa. Sehingga, putra Ketua Perguruan Cakar Baja yang menyaksikan gerakan itu menduga kalau orang yang menolongnya memiliki seribu tangan dan kaki. Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Dan, diiringi pula suara berdebuk nyaring yang seolah-olah mengguncangkan bumi.
Wirya Saka hampir tak percaya melihat sosok tubuh yang mengeluarkan cahaya putih keperakan, sanggup menjatuhkan belasan lelaki raksasa itu, hanya dengan pukulan dan tendangannya saja. Pemandangan itu membuat pemuda ini sadar kalau dirinya telah ditolong oleh seseorang yang memiliki kepandaian yang sukar diukur.
"Bangkitlah, Kisanak. Kau tidak apa-apa, bukan...?" sapa penolongnya itu dengan suara ramah dan wajah menggoreskan senyum tenang.
"Ahhh...!?" Wirya Saka menahan jeritannya ketika melihat wajah penolongnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau penolongnya ternyata masih muda. Dan, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya. Semula ia menduga penolongnya yang sakti itu seorang kakek-kakek yang sangat tua. Karena kenyataannya berbeda dengan prasangkanya, maka Wirya Saka seperti terkesima dan tak mampu untuk bersuara.
"Mengapa, Kisanak...? Apakah wajahku mirip dengan hantu...?" kembali pemuda berjubah putih itu tersenyum kepada Wirya Saka.
"Ah, bukan.... Bukan itu maksudku," sahut Wirya Saka cepat. Tadinya...,eh, semula kusangka kau seorang kakek-kakek. Tapi..., kau..., apakah kau yang dijuluki Pendekar Naga Putih? Dan, pukulan yang kau gunkan untuk menjatuhkan raksasa-raksasa liar itu, bukankah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'."
"Begitulah kaum rimba persilatan menjulukiku, Kisanak," jawab Panji sederhana dan singkat.
"Ah, ayahku Garuda Cakar Lima selalu menceritakan tentang dirimu kepadaku. Beliau berharap agar aku dapat memiliki kepandaian, keramahan dan ketenangan sepertimu, Pendekar Naga Putih. Sayang, beliau sekarang sudah tiada. Sedang nasibku belum lagi lepas dari incaran maut," desah Wirya Saka seraya menundukkan wajahnya menekuri rerumputan. Jelas, rasa kesedihan terpancar pada wajah pemuda itu ketika teringat akan kematian orang-orang yang dicintainya. Hatinya nelangsa mengingat dirinya kini hidup sebatang kara.
"Hm.... Bangkitlah, Wirya. Aku sudah mendengar semua yang telah menimpa keluarga dan perguruanmu. Keberadaanku di sini hanya ingin mencari tahu tentang nasibmu. Syukurlah Tuhan mempertemukan kita. Sehingga, memungkinkan aku mendapat keterangan yang lengkap dan jelas mengenai pembantaian di perguruanmu itu," jelas Panji sambil menepuk perlahan bahu Wirya Saka. Seolah-olah dengan berbuat demikian, ia ingin memberikan kekuatan hall kepada pemuda malang itu.
"Jadi..., jadi kau sudah mengetahuinya?" tegas Wirya Saka mengerutkan keningnya. Sepertinya ia merasa heran mendengar perkataan Pendekar Naga Putih tadi.
"Secara kebetulan aku singgah di Desa Ampenan, dan sempat menyaksikan mayat-mayat yang masih bergeletakan di dalam bangunan Perguruan Cakar Baja. Setelah mendengarkan percakapan Kepala Desa Ampenan, aku pun segera mencarimu. Firasatku mengatakan engkau masih hidup dan mungkin memerlukan bantuan," sahut Panji menjelaskan tentang apa yang diketahuinya.
"Ah, ternyata apa yang sering diceritakan ayah, sama sekali tidak berlebihan. Terima kasih atas kesediaanmu bersusah-payah mencariku dan mau menolongku. Sayang, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa sebagai balasannya," ucap Wirya Saka menundukkan kepalanya merasa terharu dengan apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih kepadanya.
"Hm..., rupanya apa yang diceritakan ayahmu itu belum lengkap. Perlu kau ketahui, Wirya. Sebagai seorang pendekar, kita harus bersedia mengorbankan kepentingan pribadi untuk menolong orang banyak. Dan, semua itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas, tanpa mengharap imbalan apa pun. Meskipun hanya ucapan terima kasih. Sebab sudah menjadi kewajiban kita sebagai pendekar untuk membela kebenaran dan mencegah kemungkaran. Apakah ayahmu belum memberitahukan hal ini?" tanya Panji dengan nada bersahabat.
"Maaf, aku lupa, Pendekar Naga Putih...," desah Wirya Saka dengan suara lirih, hampir tak terdengar.
"Lupakanlah. Dan, kau boleh memanggilku cukup dengan Panji saja. Bagaimana...?" usul pemuda berjubah putih sambil menatap Wirya Saka lekat-lekat.
"Maaf, aku tidak berani, Pendekar Naga Putih. Biarlah aku memanggilmu dengan julukan saja," pinta putra Garuda Cakar Lima dengan nada penuh permohonan. Tampaknya pemuda itu sangat mengagumi sosok Pendekar Naga Putih. Dan, dengan menyebut julukan itu, merupakan suatu kebanggaan baginya.
"Terserahmulah...," ujar Panji seraya mengangkat bahunya.
"Lalu, bagaimana dengan raksasa-raksasa itu? Apakah kau akan membunuhnya? Kurasa hal itu lebih baik. Karena kalau masih dibiarkan berkeliaran, mereka akan selalu mengganggu orang-orang yang kebetulan lewat. di hutan ini," ucap Wirya Saka melemparkan pandangannya ke arah belasan lelaki liar bertubuh tinggi besar dan berotot itu, yang tengah bersiap hendak menerjang kembali.
"Kita lihat saja. Apakah mereka dapat kita tundukkan dengan sedikit tipuan...," sahut Panji yang segera melangkah, mendekati belasan lelaki liar bertubuh raksasa itu. Saat itu juga, Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sehingga, tubuh pemuda itu terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang berpendar menyilaukan mata.
Sengaja Panji mengerahkan tenaga saktinya. Sebab, menurut apa yang diketahuinya, orang-orang liar seperti gerombolan raksasa itu, pastilah memuja sesuatu sebagai dewanya. Dan, ia ingin melihat tanggapan mereka setelah tubuhnya kembali terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan itu.
"Kau..., siapa kau.,.?" desis lelaki bercambang bauk yang memiliki codet pada pipi kirinya, yang menjadi pimpinan gerombolan liar itu. Menilik dari sikap dan suaranya, jelas lelaki raksasa itu merasa tegang dan terpengaruh dengan keadaan Panji, yang memang aneh bagi sebagian orang. Terlebih lagi, bagi mereka yang merupakan orang-orang liar dan jarang bergaul dengan manusia luar.
"Hm.... Aku adalah Dewa Bulan yang sengaja turun untuk memberi peringatan kepada kalian. Sebab, dosa-dosa yang telah kalian lakukan, sudah melebihi takaran...," sahut Panji sengaja mengerahkan kekuatan tenaga saktinya ketika menjawab pertanyaan lelaki bertubuh raksasa itu. Sehingga, suaranya seperti datang dari segala pelosok hutan dan bergema menggetarkan jantung. Dugaan pemuda berjubah putih itu ternyata tidak meleset Wajah lelaki bertubuh raksasa dan pengikutnya nampak pucat ketika mendengar ucapannya. Sehingga, membuat Pendekar Naga Putih melanjutkan sandiwaranya.
"Tapi..., kami..., tidak bersalah. Yang kami lakukan hanya meminta pajak bagi orang yang lewat di wilayah hutan ini. Apakah itu merupakan dosa...?" bantah lelaki bertubuh raksasa itu sambil menahan hawa dingin yang terpancar dari tubuh Pendekar Naga Putih. Sehingga, hawa dingin itu telah membuat tubuh beberapa orang dari mereka sampai menggigil cukup hebat.
"Hm.... Rupanya kalian masih hendak menyangkal. Kalian memang patut untuk dihukum...!" kembali suara Panji terdengar bergaung bagaikan datang dari setiap pelosok hutan.
"Kau penipu...! Aku tidak percaya kalau kau memang Dewa Bulan yang kami sembah itu. Tunjukkan tanda-tandamu yang lain...?" teriak pemimpin gerombolan liar itu mencoba menekan rasa takutnya. Meski sebenarnya ia mulai percaya dengan ucapan sosok tubuh terselimut kabut putih keperakan itu, namun ia berusaha untuk tidak mempercayainya begitu saja.
"Heaaat..!" Sambil mengeluarkan pekikan keras, lelaki codet itu merangsek maju dengan sambaran pedangnya, yang menimbulkan desingan angin tajam dan berhawa maut.
Wirya Saka yang melihat penolongnya tidak mencoba menghindar, tentu saja menjadi tegang. Sebab, ia tahu betapa kuatnya tenaga lelaki codet itu. Ngeri hatinya membayangkan tubuh Pendekar Naga Putih kalau sampai terobek oleh senjata lawan. Namun, apa yang disaksikan Wirya Saka, benar-benar hampir tidak bisa dipercayainya. Sebab, pada saat pedang lelaki codet bertubuh raksasa itu datang menyambar, mendadak tubuh Pendekar Naga Putih! raib dari pandangan. Sehingga, tebasan senjata itu hanya mengenai tempat kosong.
"Gila...! Pendekar muda yang sakti itu ternyata! bisa pula raib dari pandangan!? Entah ilmu apa yang telah dipergunakannya?" desah Wirya Saka dengan kekaguman yang semakin bertambah.
"Eh!?" lelaki codet bertubuh raksasa itu menoleh ke kiri dan kanan. Karena ia telah kehilangan sasarannya. Karuan saja keringat dingin mengalir membasahi kening dan wajahnya. Hatinya semakin kuat menduga, kalau pemuda itu benar-benar Dewa Bulan yang disembahnya.
"Bagaimana? Apakah kau masih merasa penasaran...?" tiba-tiba saja, terdengar sebuah teguran halus. Namun, mengandung ketegasan dan perbawa yang amat kuat.
"Ahhh...! Ampunkan aku..., ampunkan aku.,.. Hukumlah aku kalau memang dianggap telah melakukan dosa. Hukumlah aku, Dewa Bulan Yang Agung...," ujar lelaki codet itu yang langsung saja menjatuhkan tubuh berlutut di depan Panji, yang serta-merta muncul di belakang belasan orang lelaki bertubuh raksasa itu.
Diam-diam hati Panji merasa geli menyaksikan betapa semua orang yang berada di tempat itu kebingungan mencarinya. Padahal, ia hanya menggunakan kecepatan geraknya untuk mengelabui mata lawan. Dan, ia benar-benar tidak menyangka kalau Wirya Saka dapat pula dikecohnya. Sebab, pemuda itu terlihat kebingungan dan mencari-carinya.
Kenyataan itu membuat Panji menjadi gembira. Karena hal itu menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah hampir mencapai puncak kesempurnaan. Sehingga, orang-orang berkepandaian tinggi seperti Wirya Saka dan lelaki codet itu pandangan matanya dapat mudah dikelabui.
"Hm.... Bangkitlah kalian semua!" ujar Panji, nada suaranya terdengar sangat menggetarkan. "Untuk kali ini, aku hanya memberikan peringatan keras, tanpa hukuman! Tapi ingat! Lain kali aku akan datang untuk mengambil nyawa kalian semua, paham?"
"Kami mengerti, Dewa Bulan Yang Agung. Mulai saat ini, kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang sudah-sudah. Semoga, Dewa Bulan Yang Agung selalu memberikan keberkahan kepada kami," ujar lelaki codet itu mewakili kawan-kawannya seraya tetap bersujud mencium rerumputan.
Sehingga, mereka tidak sadar kalau saat itu Panji sudah melesat membawa Wirya Saka, dan meninggalkan hutan itu. Tindakan itu dilakukan Panji karena dianggapnya sudah selesai. Maka, pemuda berjubah putih itu pergi dengan membawa serta Wirya Saka.
Sementara rombongan lelaki bertubuh raksasa itu, masih tetap berlutut tanpa berani mengangkat kepalanya. Padahal, orang yang mereka sembah telah jauh meninggalkan hutan itu.
Setelah merasa cukup jauh meninggalkan hutan, Panji menghentikan larinya. Diturunkannya tubuh Wirya Saka yang berada diatas bahunya.
"Maaf, aku terpaksa melakukan ini kepadamu, Wirya...," ucap Panji sambil menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon, yang tumbuh di tepi jalan berbatu.
"Ah, kau membuatku malu saja, Pendekar Naga Putih. Seharusnya aku yang meminta maaf. Karena telah membuatmu susah," kilah Wirya Saka yang juga ikut duduk di samping Panji. Bahkan, pemuda itu langsung menyandarkan tubuhnya ke batang pohon.
"Hm..., sudahlah. Sekarang ada baiknya kau menceritakan masalah yang tengah kau hadapi. Tapi, kalau kau merasa keberatan atau persoalanmu terlalu rahasia, aku tidak akan mendesaknya," ucap Panji setelah beberapa saat keduanya terdiam.
'Tentu saja aku tidak keberatan untuk menceritakannya kepadamu, Pendekar Naga Putih," sahut putra Garuda Cakar Lima cepat. Dan, untuk menunjukkan kalau ia memang tidak merasa keberatan, segera dipaparkannya duduk persoalan, yang membuat keluarga terbantai habis. Panji mendengarkan penuturan pemuda itu dengan tekun. Tidak sekali pun ia memotong cerita yang tengah dibeberkan Wirya Saka. Sehingga, apa yang diceritakan pemuda itu, tertangkap jelas olehnya.
"Hm.... Jadi benda bernama Mustika Naga Hijau peninggalan Dewa Kerdil itu yang menyebabkan kematian ayah dan saudara-saudara seperguruanmu?" tanya Panji seraya mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita Wirya Saka hingga selesai.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Dan, aku yakin kalau mereka tidak akan berhenti sebelum benda ini mereka miliki," jawab Wirya Saka seraya melepaskan pandangan ke langit yang cerah.
"Hm.... Apakah Iblis Kembar dan Siluman Tongkat Beracun mengetahui tempat penyimpanan harta dan ilmu-ilmu tinggi itu, seperti yang kau ceritakan?" tanya Panji ingin tahu.
"Entahlah! Kalau mengingat Dewa Kerdil dikejar selama bertahun-tahun, ada kemungkinan mereka mengetahui tempat penyimpanan harta dan ilmu-ilmu tinggi peninggalan tokoh maha sakti ratusan tahun yang lalu itu. Tapi, karena benda mustika ini merupakan kunci untuk membuka tempat penyimpanan itu, maka mereka mengejar-ngejar Dewa Kerdil tanpa mengenai lelah," sahut Wirya Saka menduga-duga.
"Lalu, apa kegunaan Mustika Naga Hijau itu...?" Panji semakin merasa tertarik dengan cerita Wirya Saka. Sepertinya ingin mengetahui secara lebih jelas.
"Kalau menurut catatan yang ada dalam peta ini, aku harus meletakkan Mustika Naga Hijau tepat saat bulan purnama di depan Gua Ular. Sedangkan letak gua itu di sekitar Gunung Talang. Sebab, pintu gua yang tertutup oleh dinding baru padas tebal itu, hanya dapat terbuka bila sinar Mustika Naga Hijau yang berpendar karena bias sinar purnama yang menyorot tepat di pintu gua itu. Eh, apakah kau mengetahui letak Gunung Talang, Pendekar Naga Putih...?" tanya Wirya Saka ketika teringat kalau ia sama sekali belum mengetahui letak gunung itu. Sedangkan, pada peta yang diberikan Dewa Kerdil, dikatakan letak gunung itu berada di wilayah Selatan. Dan, tempatnya yang tepat sama sekali tidak tertulis.
"Hm.... Tidak sulit untuk mencari Gunung Talang itu, Wirya. Justru Gua Ular itu yang sukar ditemukan. Sebab, bukan hanya satu gua yang terdapat di sekitar gunung itu. Rasanya akan memakan waktu lama untuk menemukan gua yang kau maksudkan itu," sahut Panji yang memang mengetahui letak Gunung Talang yang dicari Wirya Saka.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Di dalam peta ini, jelas sekali di tunjukkan letak gua itu. Dan, menurutku tidak sulit untuk menemukannya."
"Hm.... Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu...? Ayolah kita berangkat!" ajak Panji segera bangkit berdiri.
Tanpa banyak cakap lagi, Wirya Saka melompat bangkit dengan wajah cerah. Dengan adanya Pendekar Naga Putih bersamanya, Wirya Saka yakin segala rintangan akan dapat dihadapi. la tidak perlu merasa cemas lagi dengan Iblis Kembar dan Siluman Tongkat Beracun. Karena semua itu pasti tidak akan sulit dihadapi sahabat barunya yang menjadi penolongnya itu. Tentu Wirya Saka yang telah mengetahui kesaktian Panji, menjadi tenang.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras, yang disusul dengan berlebatnya dua sosok tubuh dan langsung menghadang Panji dan Wirya Saka. Sehingga, kedua pemuda itu menghentikan langkah.
"Iblis Kembar...!" desis Wirya Saka yang sempat merasa kaget dengan kehadiran dua orang lelaki kembar berkepala botak dan bertubuh kekar berotot itu.
Panji sendiri sudah dapat menebak kedua lelaki kembar itu. Dan, ia sama sekali tidak merasa terkejut dengan kehadiran mereka yang menghadang perjala- nannya. Malah kakinya melangkah, mendekati kedua tokoh sesat yang namanya tersohor sebagai tokoh-tokoh kelas satu dari kalangan sesat. Bahkan, kekejaman mereka telah sampai pula di telinga Pendekar Naga Putih. Maka, pertemuan itu memang sesuatu yang telah lama diharapkan Panji. Sebab, kabar yang sering didengarnya, kedua tokoh sesat itu sangat sukar dicari. Seperti juga dirinya, Iblis Kembar tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.
"Pendekar Naga Putih...!?" gumam sepasang manusia sesat itu agak terkejut melihat Panji bersama pemuda buruan mereka.
"Hm.... Pendekar Naga Putih. Apa maksudmu melakukan perjalanan bersama bocah setan itu? Atau kau pun menginginkan Mustika Naga Hijau dengan berpura-pura menolongnya?" sindir Iblis Beruang Hitam menatap Panji dengan kening berkerut Kemudian ia berpaling kepada Wirya Saka.
"Hei, Bocah! Ketahuilah, orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu juga mempunyai niat seperti kami. Jika kau sudah dapat menemukan Gua Ular, maka pemuda yang berpura-pura menolongmu, akan merebut Mustika Naga Hijau, dan menyerakahinya. Ha ha ha...! Kau telah ditipunya mentah-mentah, Bocah!"
"Benar, Bocah. Lebih baik kau bekerja sama dengan kami. Sejahat-jahatnya Iblis Kembar, tidak akan melupakan orang yang telah berjasa. Dan, kau akan mendapat bagian bila mau bekerja sama dengan kami. Bagaimana?" bujuk Iblis Beruang Salju menimpali ucapan saudara tuanya.
Namun, Wirya Saka bukanlah bocah kemarin sore yang bisa dibujuk dengan kata-kata manis. Putra Ketua Garuda Cakar Lima sudah sering mendengar cerita tentang kegagahan dan kejujuran Pendekar Naga Putih dari mendiang ayahnya. Tentu saja, ia tidak terpengaruh dengan bujukan Iblis Kembar. Bahkan, dengan senyum lebar, pemuda itu balas mengejek lawannya.
"Aku tidak keberatan untuk bekerja sama denganmu, Iblis Kembar. Tapi, aku mempunyai satu syarat yang harus kau penuhi, tentu saja kalau kau setuju," ujar Wirya Saka tenang.
Sedangkan Panji sendiri hanya berdiri tenang, tanpa terpengaruh dengan perkataan-perkataan ketiga orang itu. Senyum di bibir Pendekar Naga Putih tetap menghias wajahnya. Hanya tatapan matanya saja yang menyorot tajam ke wajah Iblis Kembar berganti-ganti.
"Katakan apa syaratmu, Bocah? Aku pasti akan menyetujuinya," sambut Iblis Beruang Salju dengan wajah berseri. Tentu saja ia merasa gembira mendengar pemuda itu mau bekerja sama dengan mereka, berdua.
"Tidak sulit," jawab Wirya Saka sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Merangkaklah kalian berdua seperti anjing kudisan, yang menggonggong karena lapar dan ingin meminta tulang kepada majikannya. Nah, bukankah syarat itu sangat mudah?"
Merah wajah Iblis Kembar mendengar penghinaan yang tidak kepalang tanggung itu. Selama hidup, baru kali ini mereka mendapat hinaan dari seorang pemuda yang masih hijau. Tentu saja semua itu tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Jangankan seorang pemuda hijau seperti Wirya Saka, tokoh-tokoh rimba persilatan akan berpikir seribu kali untuk melontarkan hinaan itu kepada Iblis Kembar.
Maka, dapatlah dibayangkan betapa murkanya kedua tokoh sesat itu mendengar syarat yang diajukan Wirya Saka. Bahkan, tubuh keduanya menggigil karena kemarahan yang menggelegak seperti akan meledakkan dada mereka.
"Jahanam! Kurobek mulutmu yang busuk itu, Bocah Setan...!" geram Iblis Beruang Hitam yang tak sanggup menahan kemarahannya, sambil meluncur dengan cengkeraman maut yang mengarah wajah Wirya Saka.
Plakkk!
"Aihhh...!"
Iblis Beruang Hitam berseru tertahan, ketika telapak tangannya terasa bagaikan membentur bongkahan salju yang amat dingin. Sehingga, tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak. Hal itu disebabkan ia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melontarkan cengkeraman maut itu.
Sedangkan di depan Wirya Saka telah berdiri Pendekar Naga Putih, yang sekujur tubuhnya telah terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan. Jelas, Panji yang telah memapaki cengkeraman Iblis Beruang Hitam. Karena, lelaki berjubah putih itu tidak tinggal diam ketika melihat Wirya Saka terancam maut.
"Keparat! Jadi kau benar-benar hendak berha- dapan dengan kami, Pendekar Naga Putih? Baik Kalau memang itu yang kau inginkan! Jangan sesali nasibmu yang sial itu!" geram Iblis Beruang Hitam yang kembali menyiapkan jurus-jurusnya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
Sadar kalau lawan yang dihadapi kali ini bukanlah orang sembarangan, maka Iblis Beruang Salju tidak tinggal diam. Keduanya segera bergerak maju ke arah Pendekar Naga Putih dengan langkah cepat, dan gerakan tangan yang menimbulkan angin menderu tajam.
Panji bukan tidak tahu akan kehebatan kedua lawannya, maka begitu bergerak, ia langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang menjadi andalannya.
Wuttt! Wuttt!
Terdengar suara berdesingan, yang disertai sambaran angin dingin menembus tulang, ketika sepasang cakar naga Panji menyambar-nyambar memapaki serangan lawannya.
"Yeaaa...!"
Iblis Kembar berteriak nyaring seraya melontarkan serangan-serangan mautnya, secara bergantian dan susul-menyusul. Sepertinya, mereka hendak menutup kemungkinan bagi lawan untuk melontarkan serangan balasan.
Wukkk! Wukkk!
Panji menarik tubuhnya doyong ke belakang, ketika cakar Iblis Beruang Hitam meluncur ke arah wajahnya. Sedangkan cengkeraman Iblis Beruang Salju yang mengancam lambung kanannya, ditepiskan dengan menggunakan telapak tangan kirinya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Begitu tubuh Iblis Beruang Salju terjajar mundur, tubuh pemuda Itu mengegos berputar disertai liukan tubuhnya, yang bagaikan seekor naga muncul di atas permukaan laut, dan begitu kepalanya menyembul ke luar, sepasang cakar Panji telah melesat mencengkeram dada dan lambung Iblis Beruang Hitam.
Karuan saja Iblis Beruang Hitam yang tidak menyangka lawan dapat bergerak demikian cepat, menjadi kelabakan. Namun, sebagai seorang tokoh sakti, yang ilmunya telah mendarah daging, langsung tubuhnya diturunkan merendah dengan menekankan bobot tubuh pada kaki belakang yang menekuk.
Sedangkan kaki depannya menjulur lurus ke muka. Semua itu dilakukannya dengan kuda-kuda yang sangat rendah. Dan begitu serangan lawan luput, lelaki berkepala botak yang mengenakan mantel kulit beruang hitam itu, langsung melangkah mundur sambil melepaskan sebuah tendangan kilat dengan menggunakan kaki depannya.
Zebbb!
Melihat datangnya tendangan kilat yang mendadak itu Panji memiringkan tubuhnya sambil menepiskan tangan itu dengan telapak tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya terlontar lurus menggedor dada lawannya.
Plakkk! Buggg!
"Hugkh...!"
Tubuh Iblis Beruang Hitam, terlempar mundur sejauh satu tombak lebih. Meskipun hantaman itu tidak terlalu keras, namun cukup membuat pernafasannya bagaikan tersumbat! Dan, pada sudut bibirnya tampak cairan merah merembes keluar. Jelas, pukulan telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat mengguncangkan isi dada tokoh sesat itu.
Panji yang semula berniat mengejar lawannya mendadak dikejutkan oleh teriakan Wirya Saka. Dan ketika Pendekar Naga Putih menoleh, tampak Wirya Saka tengah berjuang mati-matian guna menyelamatkan dirinya dan sambaran tongkat lelaki jangkung yang diputarnya mengincar tubuh putra Garuda Cakar Baja.
Desss!
"Aaargh...!"
Karena kepandaian yang dimiliki Wirya Saka memang masih jauh di bawah lawannya, maka tanpa dapat dihindari lagi, hantaman tongkat lelaki jangkung itu telak bersarang di punggungnya, setelah mencoba bertahan selama sepuluh jurus. Tubuh Wirya Saka terlempar bagai sehelai daun kering yang diterbangkan angin.
Menyaksikan kejadian itu, cepat Pendekar Naga Putih melesat dan menyambut tubuh Wirya Saka yang tengah mengapung di udara. Dengan mengulur kedua tangannya, maka selamatkan Wirya Saka. Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting mencium tanah. Namun, selagi tubuh Panji mengapung dan menangkap Wirya Saka, lelaki jangkung yang bersenjatakan sebatang tongkat itu melesat dengan tusukan ujung tongkatnya ke arah tubuh Pendekar Naga Putih. Dan....
Tukkk!
"Hugkh...!"
Panji mengeluh pendek ketika ujung tongkat lelaki jangkung yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun, menghantam telak dada kanannya. Sehingga, tubuh pemuda berjubah putih itu sempat tersentak balik dalam keadaan oleng. Tapi tidak percuma Panji dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih. Meski dadanya dirasakan sesak dan gatal, pemuda itu masih dapat menyelamatkan dirinya agar tidak sampai terbanting di tanah. Dengan melakukan beberapa kali salto, kedua kakinya dapat mendarat dengan selamat di tempat yang cukup aman.
Begitu menjejak tanah, cepat Panji menurunkan tubuh Wirya Saka, dan langsung merogoh buntalan pakaiannya. Ditelannya pil berwarna putih seperti salju, guna menghilangkan rasa sakit yang dideritanya akibat hantaman tongkat lawan. Pemuda berjubah putih itu sadar kalau senjata yang digunakan lawannya mengandung racun jahat.
Dan, untuk mencegahnya la harus bertindak cepat. Sayang, Pendekar Naga Putih tidak keburu untuk mengobati Wirya Saka, karena Iblis Kembar maupun Siluman Tongkat Beracun telah melesat ke arahnya secara bersamaan Dan, dari angin pukulan yang ditimbulkan sambaran tangan mereka, jelas serangan itu mengandung maut. Sadar kalau posisinya masih lemah, bergegas Pendekar Naga Putih memantekkan kuda-kudanya dengan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Sehingga, sepasang kakinya bagaikan tertanam di dalam bumi.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Panji mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan guna menyambut serangan ketiga orang lawannya. Maka....
Bresssh! Blakkk! Desss!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Benturan dahsyat yang seolah-olah akan mengguncangkan alam sekitar di arena pertarungan itu, terdengar berdentam nyaring menggetarkan udara. Disusul dengan teriakan-teriakan tertahan, dan terlemparnya tubuh Iblis Beruang Hitam serta Siluman Tongkat Beracun. Karena serangan kedua tokoh sesat itu berhasil dipapak dengan dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Iblis Beruang Salju yang melejit mengelakkan sambaran tangan Panji, berhasil mengirimkan hantaman telapak tangannya, yang telak mengenai dada bagian atas pemuda berjubah putih itu. Sehingga tubuh pemuda itu tergetar, dan agak doyong ke belakang. Sedangkan sepasang kakinya yang laksana tertanam di dalam tanah, sama sekali tidak terangkat. Hanya tanah tempat telapak kaki pemuda itu berpijak tampak amblas hingga dalamnya satu jengkal. Sementara dari sudut bibir Pendekar Naga Putih, tampak darah segar merembes keluar. Jelas, Panji tidak luput dari luka akibat hantaman telapak tangan Iblis Beruang Salju.
Iblis Beruang Salju sendiri begitu berhasil menyarangkan serangannya, kembali melontarkan sebuah tendangan kilat yang meluncur deras ke arah perut Pendekar Naga Putih yang tengah bergoyang-goyang akibat benturan dahsyat jadi. Sehingga....
Desss!
"Huagkh !"
Untuk ketiga kalinya, tubuh Panji kembali menerima hantaman keras dari salah seorang lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda perkasa itu langsung terjungkal dengan disertai semburan darah segar yang keluar dari mulutnya. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih masih mampu mempertahankan dirinya agar tidak sampai terbanting ke tanah. Tapi, tampak tubuh pemuda itu terhuyung ketika berusaha memantek kedua kakinya untuk menahan daya dorong yang masih tersisa akibat hantaman keras lawannya.
"Hmh..." Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam.
Kemudian, secara perlahan, sepasang tangannya bergerak terkembang ke atas dan tetap dalam bentuk cakar naga, dengan telapak tangan menghadap ke bumi. Gerakan itu dibarengi pula dengan kedua lutut ditekuk, sehingga membentuk kuda-kuda menunggang kuda. Terdengar helaan napasnya yang berkepanjangan. Wajah Pendekar Naga Putih yang semula memucat, tampak mulai berubah seperti semula. Jelas, Panji tengah berusaha untuk mengusir rasa sesak seperti menyumbat jalan napasnya.
"Huagkh!"
Gumpalan darah segar kembali terlompat dari mulut Panji. Bersamaan dengan itu, rongga dadanya terasa agak longgar. Kekhawatiran akan nasib Wirya Saka, yang saat itu berada dekat dengan tempat berdiri Iblis Beruang Salju, membuat Panji segera melesat kembali ke arah lawannya. Dan langsung melontarkan serangkaian serangan yang cepat dan menggetarkan!
Iblis Beruang Salju terpaksa melayani Pendekar Naga Putih seorang diri, tanpa rasa gentar sedikit pun. Karena ia tahu keadaan Pendekar Naga Putih saat ini sudah tidak sekuat semula. Luka dalam yang dideritanya sedikit banyak telah mengurangi kedahsyatan tenaga saktinya. Sehingga, Iblis Beruang Salju pun menyambutnya dengan tidak kalah ganas. Pertarungan kembali berlanjut dengan sengit.
Tapi, meski tenaganya tidak sehebat semula, namun untuk menghadapi Iblis Beruang Salju seorang diri, tidaklah membuat Pendekar Naga Putih kesulitan Bahkan, dalam jurus-jurus yang kedua puluh lima tampak Panji menguasai pertarungan. Sedangkan lawannya, tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melontarkan serangan balasan. Karena ruang geraknya terasa seperti dihimpit dinding-dinding salju yang seolah-olah membekukan aliran darahnya.
Untunglah Iblis Beruang Salju tidak terlalu aneh dengan hawa dingin. Sehingga, meskipun sambaran cakar naga Panji selalu disarati gulungan hawa dingin menusuk kulit, namun tidaklah terlalu menyulitkan lawannya. Justru, sambaran cakar pemuda itulah yang amat dikhawatirkannya. Ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, Pendekar Naga Putih berhasil menyarangkan sebuah sambaran cakarnya, yang langsung merobek tubuh Iblis Beruang Salju.
"Heaaah...!"
Brettt!
"Aaakh...!"
Iblis Beruang Salju menjerit parau ketika tubuh depannya terasa perih terkena sambaran jari-jari tangan lawannya. Bahkan, tubuhnya sempat melintir bagaikan gangsing akibat kerasnya sambaran cakar pemuda itu. Saat itu, Panji yang berniat hendak mengejar lawannya, terpaksa menunda langkahnya ketika merasakan adanya sambaran angin dan belakangnya. Cepat pemuda itu berbalik dan menjejakkan kakinya ketika melihat datangnya serangan dan seorang lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel kulit beruang hitam. Siapa lagi penyerang licik itu kalau bukan orang tertua dari Iblis Kembar.
Begitu menjejakkan kakinya, tubuh Panji langsung melambung dan berputar dengan kepala berada di bawah. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi tegak lurus, dan berada di atas. Berbarengan dengan itu, sepasang cakar Panji bergerak cepat menggencet kepala lawannya dari kiri dan kanan.
Wukkk! Prakkk...!
"Aaargh...!"
Iblis Beruang Hitam meraung setinggi langit ketika sepasang cakar naga Pendekar Naga Putih, menghantam telak kedua sisi kepalanya. Darah segar mengalir dari mulut tokoh sesat itu seiring dengan suara gemeretak bunyi tulang kepala yang remuk. Dengan tubuh limbung, Iblis Beruang Hitam terjerumus ke depan bagaikan orang mabuk. Kemudian terjerembab di atas tanah berumput, dan menggelepar sekarat.
"Kakang...!" Melihat keadaan saudaranya, Iblis Beruang Salju berteriak parau dan langsung menghambur kearah tubuh Iblis Beruang Hitam, yang menggelepar bagaikan ayam disembelih. Dan, darah segar semakin banyak menggenang di sekitar kepalanya.
"Kakang...!" terdengar Iblis Beruang Hitam berseru serak ketika ia mengangkat tubuh itu, ternyata telah terkulai tewas.
Bagaikan banteng luka, Iblis Beruang Salju menoleh kearah Pendekar Naga Putih penuh ancaman. Perlahan dilepaskannya tubuh Iblis Beruang Hitam dari pelukannya. Kemudian ia melompat dan menerjang Panji seperti orang kerasukan setan!
"Heaaa...!"
Panji yang melihat lawannya menyerang secara membabi-buta, sama sekali tidak gentar. Dengan penuh ketenangan, pemuda berjubah putih itu bergerak menghindari setiap sambaran pukulan dan cengkeraman lawannya. Dan, itu tidak terlalu sulit baginya. Apalagi, lawannya tengah dilanda kemarahan yang menggelegak, maka semakin mudah bagi Pendekar Naga Putih menghadapinya.
"Haaat..!"
Ketika melihat kesempatan baik, Panji segera melontarkan sebuah tendangan kilat ke arah perut lawannya.
Bukkk!
Tubuh Iblis Beruang Salju tersentak ke belakang ketika tendangan lawan telak bersarang di perutnya. Namun, bagaikan tidak merasakan sakit, lelaki botak bertubuh kekar dan berotot itu kembali melompat bangkit dan langsung menerjang kalap.
Sadar kalau lawannya benar-benar telah kesetanan, Panji segera merendahkan kuda-kudanya, siap menyambut datangnya serangan itu. Dan, pada saat cengkeraman-cengkeraman lawan hampir mendekatinya, Pendekar Naga Putih langsung melontarkan pukulan jarak jauh dengan telapak tangan terbuka.
Whusss...! Blaggg...!
Bagaikan dilempar sebuah tangan raksasa yang tak tampak, tubuh Iblis Beruang Salju terlonjak ke belakang dengan diiringi raung kematiannya. Dan semburan darah segar memercik membasahi permukaan tanah berumput di sekitar tempat itu. Setelah menggelepar sesaat, tubuh tokoh sesat itu terkulai tewas. Hantaman pukulan jarak jauh Panji telah meremukkan bagian dalam dadanya. Sehingga, Iblis Beruang Salju menyusul saudaranya yang telah lebih dahulu pergi.
Teringat akan lawannya yang tinggal seorang, Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Namun, sosok Siluman Tongkat Beracun ternyata telah lenyap tanpa bekas.
"Hm..., rupanya ia telah meninggalkan tempat ini dengan diam-diam. Syukurlah kalau begitu," desah Panji yang segera melangkah ke arah tubuh Wirya Saka yang masih tergeletak pingsan.
Panji menarik napas lega ketika mendapati Wirya Saka masih belum terlambat untuk diobati. Maka pemuda berjubah putih itu bertindak cepat untuk segera menyadarkan dan mengembalikan kesehatan putra Garuda Cakar Baja itu.
Setelah kesehatan Wirya Saka pulih seperti sediakala, Pendekar Naga Putih segera mengantarkannya ke Gunung Talang. Beberapa hari kemudian, kedua orang pemuda itu tiba di tempat tujuan.
"Sekarang kita tinggal mencari Gua Ular, Pendekar Naga Putih," seru Wirya Saka dengan nada gembira. Sedang panggilannya terhadap Panji tetap tidak berubah.
"Di sebelah mana kira-kira letak Gua Ular itu Wirya...?" tanya Pendekar Naga Putih seraya menoleh ke arah Wirya Saka yang jelas sekali tampak kegembiraan pada wajah dan tingkahnya.
"Menurut keterangan di peta ini, Gua Ular terletak di sebelah Timur Gunung Talang. Ayolah kita cari tempat itu..." ajak Wirya Saka yang segera berlari mendahului Panji.
Ketika matahari sudah semakin naik tinggi, tibalah kedua orang pemuda itu di depan sebuah gua, tibalah bagian mulutnya tertutup sebuah dinding batu padas yang berkilat karena terlalu tua. Dan, semak belukar tampak menutupi mulut gua. Sehingga, bila orang tidak memperhatikannya, tentu tidak akan menyangka kalau itu merupakan mulut gua.
"Tidak salah lagi. Ini pasti Gua Ular seperti yang tercantum di peta!" teriak Wirya Saka seraya melompat-lompat bagaikan orang kesurupan.
Sementara Panji hanya tersenyum-senyum menyaksikan tingkah Wirya Saka yang seperti anak kecil menemukan kembali boneka kesayangannya. Merasa tugasnya sudah selesai, tubuh Panji segera berkelebat meninggalkan Wirya Saka yang masih melompat-lompat
"Pendekar Naga Putih.... Pendekar Naga Putih..,!" panggil Wirya Saka yang baru teringat akan keberadaan Panji. Namun, meskipun mencari ke daerah sekitar, tetap saja sosok Pendekar Naga Putih tidak dapat ditemukannya.
"Ah..., Kakang Panji benar-benar seorang pendekar sejati yang tidak mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya. Kalau kelak aku sudah menguasai ilmu-ilmu tinggi di Gua Ular, akan kuikuti jejak Kakang Panji..." janji Wirya Saka sambil melangkah kembali menuju Gua Ular. Hembusan angin sore yang bersilir lembut, mengiringi langkah kaki pemuda itu.
Nah, bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah Wirya Saka selanjutnya, silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Pendekar Gila.
"Huaaakh...!"
Segumpal darah kental berwarna kehitaman terlompat keluar dari mulutnya. Pertanda sosok kecil kurus itu tengah menderita luka dalam yang cukup parah. Untuk beberapa saat lamanya, sosok kecil kurus yang ternyata seorang kakek renta, nampak berdiri goyah. Dihapusnya lelehan darah yang menetes dari sela bibirnya.
"Hm Jangan harap kau dapat meloloskan diri dari kejaran kami, Tua Bangka Keparat! Hayo, serahkan buntalan kuning itu kepada kami!" terdengar suara bentakan keras yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh, dan langsung mendaratkan kakinya dekat kakek bertubuh kecil kurus itu.
"Hhh.... Hhh.... Jangan mimpi kau, Iblis Kembar! Sampai mati pun, aku tidak akan menyerahkan buntalan kain kuning ini kepadamu.Kecuali, kalian dapat melangkahi mayatku!" sahut kakek kecil kurus itu dengan sepasang mata menatap tajam kearah dua orang, yang dipanggilnya dengan julukan Iblis Kembar.
"Keparat! Tua bangka keras kepala! Apa artinya benda itu buatmu?" geram salah seorang dari Iblis Kembar. "Tubuhmu yang sudah bau tanah itu, tak lagi memerlukannya. Lebih baik buntalan itu kau berikan kepada kami. Dengan begitu, kau telah mempergunakan sisa hidupmu dengan baik"
Mendengar ucapan itu, kakek bertubuh kurus memalingkan wajah dan menatap tajam lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel dari kulit beruang salju. Dirayapinya wajah pucat lelaki botak itu dengan sorot mata yang mengiriskan.
"Hm.... Meskipun benda ini bagiku tidak ada gunanya, tapi untuk diserahkan kepada kalian adalah perbuatan tolol. Dan, dapat mendatangkan penyesalan seumur hidupku. Dengar, Beruang Salju! Walaupun kalian berdua masih terhitung murid keponakanku, tapi untuk memiliki benda ini, kalian berdua tidak mempunyai hak sama sekali. Camkan itu!" sahut kakek kecil kurus itu dengan sinar mata garang.
"Bangsat! Rupanya kau lebih memilih kekerasan daripada jalan damai! Kalau itu yang kau inginkan, terimalah ini!Hiaaat..!"
Dengan dibarengi sebuah bentakan keras, salah seorang dari Iblis Kembar, yang mengenakan mantel terbuat dari kulit beruang hitam, melesat dengan serangan berantai yang menimbulkan gemuruh angin menderu.
Wuuut! Wuuut...!
Sadar akan kedahsyatan serangan lawan, kakek kecil kurus Itu cepat melempar tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali diudara. Namun, orang kedua yang berjuluk Iblis Beruang Salju melesat menyambut tubuh kakek itu sela- gi berada diudara.
"Haaat..!
Disertai sebuah teriakan nyaring, lelaki berkepala botak yang mengenakan mantel beruang salju itu, langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya dengan pengerahan tenaga dalam yang amat kuat
Wusss...!
Serangkum angin keras menderu tajam dan menyambar tubuh kakek kecil kurus yang tengah berjumpalitan di udara. Dan....
Blaggg...!
Hantaman telapak tangan iblis Beruang Salju menghajar telak bagian belakang tubuh kakek itu. Kontan tubuhnya terlempar deras seperti selembar daun kering.
"Huakh!"
Kembali gumpalan darah kental kehitaman terlompat dari mulut kakek itu. Meskipun demikian, kakek itu masih mampu melakukan beberapa kali salto di udara. Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting di atas permukaan tanah. Tampak kedua kaki kakek itu agak gemetar ketika tubuhnya mendarat di atas tanah. Bahkan, cairan merah kehitaman masih menetes perlahan dari sudut bibirnya.
"Yeaaat!"
Iblis Beruang Hitam yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan selagi kakek itu belum siap, segera melesat dengan disertai pukulan-pukulan maut yang dapat mengakibatkan kematian bagi lawannya. Sekali menyerang saja, telah terlontar empat buah pukulan yang mengarah bagian-bagian terlemah di tubuh kakek kecil kurus itu. Walaupun kondisi tubuhnya semakin bertambah parah, ternyata kakek kecil kurus itu bukanlah seorang mangsa yang empuk. Meski agak goyah dari terlihat susah-payah, kakek itu masih mampu mengelakkan serangkaian serangan lawan. Bahkan, sanggup pula mengirimkan serangan balasan ke tubuh Iblis Kembar.
Dukkk!
Tubuh keduanya terjajar mundur akibat tangkisan yang dilakukan Iblis Beruang Hitam. Tubuh kakek itu nampak terjungkal setengah tombak dari lawannya. Jelas, luka dalam di tubuh kakek itu telah membuat tenaganya berkurang jauh. Sehingga, tangkisan itu telah membuatnya kembali memuntahkan darah! Jelas, akibat tangkisan itu telah membuat luka dalamnya semakin bertambah parah.
Melihat keadaan lawannya sudah semakin parah, Iblis Kembar tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Cepat keduanya melompat berbarengan, dan langsung melontarkan pukulan-pukulan maut untuk menghabi- silawannya. Sadar kematian akan segera menjemputnya, kalau la tidak segera bertindak cepat. Maka, dengan sangat terpaksa, kakek itu merogoh sesuatu dari dalam kantung kain yang tergantung di pinggang kanannya.
"Hiaaah...!" Sambil membentak keras, tangan kanan kakek kecil kurus itu mengibas ke depan.
Wrrr.... Wrrr...!
Bagaikan sebuah kitiran, benda-benda berbentuk bulan sabit, berputar dengan suara menderu ke arah tubuh Iblis Kembar! Senjata-senjata rahasia yang panjangnya setengah jengkal itu, bergerak menyambut tubuh dua orang lelaki botak itu.
"Adi Gelang, awasss...!" Lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel kulit beruang hitam, berteriak memperingatkan saudaranya. Sambil berseru, sepasang tangannya memukul bergantian ke arah benda-benda yang tengah meluncur ke arahnya.
Tring! Tring!
Kontan benda-benda berbentuk bulan sabit itu berguguran, akibat hantaman angin pukulan yang berasal dari sepasang tangan Iblis Beruang Hitam. Sehingga, ia terbebas dari ancaman senjata-senjata maut lawannya.
Lain halnya dengan Iblis Beruang Salju. Luncuran senjata-senjata rahasia itu, disambutnya dengan sebatang senjata yang entah kapan dicabut dari sarungnya. Dengan senjata itu ia berhasil memukul runtuh senjata rahasia yang mengancam keselamatannya itu.
"Keparat! Ke mana perginya tua bangka licik itu...!" maki Iblis Beruang Hitam ketika ia tidak lagi melihat tubuh kakek kecil kurus itu di tempatnya berdiri.
"Hm.... Jelas, ia telah melarikan diri selagi kita sibuk menghalau senjata-senjata rahasianya. Hayo, cepat kita kejar, Kakang. Aku yakin dia belum jauh meninggalkan tempat ini. Apalagi luka-lukanya sudah sedemikian parah," usul Iblis Beruang Salju yang menjadi geram melihat kelicikan lawan. Dan, tanpa menunggu jawaban dari saudaranya, tubuh lelaki botak berpakaian mantel beruang salju itu, langsung melesat melakukan pengejaran.
Iblis Beruang Hitam tidak mau ketinggalan. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari saudaranya, segera melesat dengan kecepatan tinggi. Melihat dari kecepatan geraknya, jelas kedua orang lelaki yang berjuluk Iblis Kembar itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang tidak bisa dipandang rendah kepandaiannya. Bahkan, dalam dunia persilatan, kedua lelaki kembar itu telah memiliki nama yang cukup besar dan ditakuti. Baik kalangan hitam sendiri maupun orang-orang golongan putih, yang menamakan dirinya sebagai pendekar-pendekar persilatan.
Setelah agak lama berputaran di dalam hutan itu, akhirnya Iblis Kembar terpaksa menelan kekecewaan. Karena sosok kakek yang mereka cari-cari, telah lenyap tanpa bekas. Seolah-olah tubuh kakek itu, melesak ke dalam bumi. Sehingga, meskipun tiap jengkal pelosok hutan itu sudah mereka jajaki, tetap saja tubuh kakek kecil kurus itu tak berhasil ditemukan.
"Bedebah! Ke mana perginya bangsat tua itu...? Hm.... Kalau sampai dapat kutemukan, akan kulumat dan ku siksa dia habis-habisan!" geram Iblis Beruang Salju yang rupanya masih sangat mendendam karena hampir saja ia menjadi korban senjata rahasia lawannya.
"Sudahlah, Adi. Sebaiknya kita lanjutkan saja pencarian ini. Aku yakin, dengan luka-luka yang dialaminya, tidak mungkin ia dapat lari sampai jauh. Siapa tahu di sekitar daerah ini ada sebuah desa. Nah, di tempat itu, kita bisa mencari keterangan tanpa khawatir akan dicurigai," usul Iblis Beruang Hitam yang merupakan orang tertua di antara mereka berdua. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah meninggalkan hutan.
"Hm..., dicurigai pun aku tidak merasa takut! Yang menjadi pikiranku adalah Siluman Tongkat Beracun! Kalau sampai ia dapat menemukan benda itu lebih dulu, akan sulit bagi kita untuk merebutnya. Hal itulah yang selalu menjadi pikiranku, Kakang," sahut Wingka Gelang yang merupakan orang termuda dari Iblis Kembar itu. Wajahnya terlihat agak tegang ketika ia menyebut nama Siluman Tongkat Beracun. Jelas,nama itu mendatangkan perasaan jerih dalam hatinya.
"Ya, itu salah satu sebab mengapa kita harus bergegas. Hayolah, jangan buang-buang waktu lagi!" ajak Iblis Beruang Hitam tanpa mempedulikan rasa cemas di hati saudaranya.
Tanpa banyak cakap lagi, Iblis Beruang Salju segera mengikuti langkah saudaranya, meninggalkan hutan itu. Sebentar saja, tubuh keduanya telah lenyap di balik bayang-bayang pepohonan lebat yang tumbuh di dalam hutan.
********************
Swiiing...!
Anak panah yang dilepaskan seorang pemuda tampan berusia sekitar sembilan belas tahun, melesat cepat ke arah seekor kijang muda yang tengah merumput.
"Ahhh! Lagi-lagi bidikan ku. meleset, Paman...," sesal pemuda itu sambil memandangi kijang muda yang telah berlari meninggalkan tempat itu. Sedangkan anak panahnya masih bergoyang-goyang pada sebatang pohon yang berada di belakang binatang buruannya
"Sabarlah, Tuan Muda.... Jangan terlalu cepat putus asa. Paman yakin, lain waktu pasti Tuan Muda akan memperoleh hasil seperti yang kita harapkan," bujuk seorang lelaki setengah baya yang berada disamping lelaki muda itu. "Ayo, kita cari di tempat lain."
Sambil berkata demikian, laki-laki setengah baya Itu pun membenahi alat-alat berburunya. Kemudian bergegas bangkit menuju kudanya. Tanpa berkata sepatah pun, lelaki muda berwajah tampan itu pun bangkit dan melangkah mengikuti pamannya. Dengan gerakan yang ringan, tubuhnya melompat ke atas punggung kuda berbulu putih yang menjadi tunggangannya.
"Hm.... Sebentar lagi hari akan gelap, Paman. Tapi, satu ekor binatang pun, belum juga kudapatkan. Hhh..., memang dasar nasibku yang kurang beruntung," desah pemuda itu sambil menjalankan kudanya perlahan.
"Yahhh..., entah mengapa binatang-binatang itu tidak banyak yang tampak. Padahal, biasanya banyak sekali binatang buruan di sekitar tempat ini. Mungkin benar kata-kata Tuan Muda bahwa nasib kita kurang beruntung," sahut lelaki setengah baya yang menunggang seekor kuda berbulu coklat Meskipun kuda yang ditungganginya tidak sekokoh kuda majikannya, namun jelas kuda itu merupakan kuda pilihan.
"Lebih baik kita kembali saja, Paman. Rasanya hari ini aku tidak ingin bermalam di dalam hutan," usul pemuda tampan itu tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan matanya tertuju kedepan.
"Baiklah..., kalau memang itu sudah menjadi keputusan Tuan Muda," sahut lelaki setengah baya itu sambil menarik tali kekang dan membalikkan kudanya.
"Paman, tunggu...!" tiba-tiba pemuda tampan itu berseru sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Sepasang matanya tampak berputar liar ke sekeliling tempat itu.
"Ada apa, Tuan Muda...?" tanya lelaki setengah baya itu yang menjadi tegang ketika melihat wajah majikan mudanya yang tampak tengah dilanda ketegangan.
Tanpa menjawab sepatah pun, pemuda tampan itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Sambil menyiapkan anak panah pada busunrya, kakinya melangkah hati-hati ke arah segerombolan semak didepannya. Namun, wajah yang semula tegang itu terkejut ketika menyaksikan pemandangan di balik semak-semak itu.
Karena yang dilihatnya bukanlah binatang buruan seperti dugaannya semula. Melainkan sesosok tubuh kecil kurus yang tengah tergeletak dengan napas satu-satu. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda tampan itu berdiri terpaku seperti orang linglung. Kesadarannya baru pulih ketika sosok tubuh kurus itu memperdengarkan rintihan halus.
"Kakek, siapakah kau...?! Siapa yang telah melakukan perbuatan kejam ini?" tanya pemuda itu sambil mengangkat tubuh kurus yang tengah menderita luka parah.
"Anak baik..., bawalah aku dari tempat ini. Dan, jangan kau beritahukan kepada siapa pun..., mengenai aku.... Dan kalian berdua harus menyimpan rapat mengenai diriku," ucap kakek kecil kurus itu terbata-bata. Jelas sekali kalau ucapan itu dikeluarkan dengan sisa-sisa tenaganya.
Lelaki setengah baya yang merupakan pelayan pemuda tampan itu, menganggukkan kepalanya ketika mendengar pesan. kakek kecil kurus yang tengah menderita itu. Meskipun berbagai pertanyaan melintas di benaknya, namun semua itu dibuangnya jauh-jauh ketika melihat keadaan kakek yang sangat memerlukan pertolongan itu. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda tampan itu bergegas memondong tubuh kakek itu ke atas punggung kudanya. Kemudian, cepat-cepat .meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh si kakek.
Demikian pula halnya dengan pelayan setengah baya. Tanpa banyak tanya, dia segera melompat ke atas punggung kudanya dan memacu cepat, menyusul kuda majikannya yang telah berada beberapa tombak didepan.
********************
DUA
Senja mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Saat itu, dua ekor kuda berderap perlahan menuju halaman belakang sebuah bangunan perguruan.
"Mengapa kita harus melewati jalan belakang, Tuan Muda? Tidakkah perbuatan kita ini akan menimbulkan kecurigaan?" tanya lelaki setengah baya yang berada dibelakang.
"Sudahlah, Paman Tidak perlu banyak tanya. Kau ingat pesan kakek ini tadi? Dia mengatakan agar kehadirannya tidak boleh diketahui orang lain, kecuali kita berdua. Perlu ku ingatkan, agar Paman jangan se-ali-kali mengatakan hal ini kepada siapa pun juga. Mengerti!" ujar pemuda tampan yang dipanggil tuan muda itu. Dan, tampak pada wajahnya tercermin ketidaksenangan hatinya melihat kecerewetan lelaki setengah baya itu.
"Baik, Tuan Muda...," jawab lelaki setengah baya itu agak takut-takut, ketika melihat sinar ketidaksenangan di wajah pemuda itu.
"Hm.... Kau tunggu di sini! Aku akan memeriksa ke dalam. Siapa tahu ada yang memergoki kedatangan kita," ujar pemuda tampan itu seraya melompat turun dari punggung kudanya.
Kemudian kakinya melangkah perlahan ke arah pagar kayu yang mengelilingi bangunan perguruan itu. Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda tampan itu melesat melampaui pagar kayu setinggi dua tombak lebih. Lalu, lenyap ketika tubuhnya melayang turun ke dalam bangunan perguruan itu. Tidak lama kemudian, terdengar suara derit perlahan. Disusul terbukanya pintu belakang bangunan itu. Dan, muncul pemuda tampan yang sebelumnya lenyap di balik pagar kayu bulat itu.
"Paman Wangsa! Ayo, cepat masuk!" seru pemuda itu dengan menekan nada suaranya, agar tidak terdengar oleh orang lain.
"Baik, Tuan Muda...," sahut lelaki setengah baya yang bernama Wangsa. Sesaat kemudian, tubuh kedua orang itu lenyap di balik pintu gerbang belakang bersama kedua kuda tunggangannya.
"Kau masukkan kuda-kuda ini ke kandang. Biar aku yang mengurus kakek ini. Ingat! Jangan kau ceritakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada ayahku sekalipun!" pesan pemuda itu sebelum meninggalkan pelayan bernama Wangsa itu.
Pemuda tampan itu tidak sempat melihat anggukan di wajah pelayannya. Karena seusai bicara ia telah beranjak dari tempat itu, sambil memanggul tubuh kakek kurus dibahunya. Kemudian, dua sosok tubuh itu lenyap di balik pintu kamar yang terbuat dari kayu tebal. Dengan hati-hati, pemuda tampan itu membaringkan tubuh kakek kurus di atas pembaringan.
"Tunggu, Anak Muda...!" cegah kakek itu ketika melihat si pemuda tampan hendak beranjak meninggalkannya.
"Ada apa, Kek? Aku hanya ingin menyiapkan air hangat untuk membersihkan noda darah di tubuhmu," sahut pemuda tampan itu memalingkan wajahnya. Namun, ketika melihat gerakan kakek itu sudah sedemikian lemah, ia bergegas menghampiri.
"Boleh ku tahu namamu, Anak Baik...?" tanya kakek kecil kurus itu mencoba tersenyum, meski senyum itu terlihat lebih mirip seringai kesakitan.
"Namaku Wirya Saka, Kek. Sebenarnya apa yang telah terjadi, Kek? Mengapa kau mengalami luka sedemikian parah?" tanya pemuda tampan yang bernama Wirya Saka itu sambil merayapi wajah kakek di depannya.
"Dengarlah, Wirya. Dunia persilatan memberikan julukan Dewa Kerdil kepadaku. Sedangkan mengenai nama, aku sudah tidak ingat lagi," kakek yang mengaku berjuluk Dewa Kerdil itu menghentikan ucapannya. Lalu, mengambil buntalan kain kuning yang masih tersampir di bahu kirinya.
Wirya Saka sempat terbeliak dan melangkah mundur ketika kakek itu mengeluarkan sebuah batu sebesar telur ayam, yang memancarkan sinar kehijauan.
"Kau tahu apa nama benda ini, Wirya...?" tanya kakek Itu dengan tatapan penuh selidik.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Wirya Saka menggeleng lemah. Namun, sepasang matanya masih mengerjap karena merasa silau dengan sinar kehijauan yang berpendar dari benda bulat di tangan Dewa Kerdil.
"Ketahuilah, Wirya. Benda ini bernama Mustika Naga Hijau yang saat ini keberadaannya telah tersebar di kalangan persilatan. Dan, karena ingin mempertahankan benda inilah, aku sampai mengalami luka, dan bertemu denganmu," lanjut Dewa Kerdil seraya melebarkan senyumnya ketika melihat Wirya Saka masih belum terbebas dari keterkejutannya.
"Tentu benda itu sangat besar sekali artinya, sehingga Kakek mempertahankannya mati-matian," desah Wirya Saka sambil kembali duduk di sisi pembaringan. Sepertinya pemuda itu sudah mulai dapat menghilangkan perasaan kagetnya. Itu tercermin dari perubahan wajahnya yang sudah tenang seperti semula.
"Sebenarnya benda ini sama sekali tidak ada artinya bagiku, Wirya. Tapi bagi orang lain, benda ini akan sangat besar sekali maknanya. Lebih-lebih terhadap seorang pemuda berhati bersih seperti dirimu. Dengan kesediaanmu menolongku, yang sama sekali tidak kau kenal, sudah menunjukkan kalau dirimu adalah seorang pemuda yang berjiwa bersih. Orang seperti dirimu akan menjadi jodoh benda keramat Mustika Naga Hijau," kembali Dewa Kerdil menghentikan ucapannya, dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Seolah-olah ingin dikumpulkan seluruh sisa-sisa kekuatannya untuk menceritakan segala sesuatunya kepada Wirya Saka.
"Begitu hebatkah kegunaan Mustika Naga Hijau sampai-sampai kakek rela mempertahankannya dengan taruhan nyawa?" tanya Wirya Saka yang semakin merasa penasaran dengan benda keramat di tangan kakek itu.
"Benda ini sendiri tidak banyak gunanya. Tapi, rahasia di balik Mustika Naga Hijau inilah yang sekarang menjadi incaran tokoh-tokoh persilatan. Karena benda ini dapat membawa si pemegangnya ke suatu tempat yang menyimpan ilmu-ilmu silat tinggi dari peninggalan seorang tokoh maha sakti, yang hidup ratusan tahun silam. Bahkan, kabarnya di tempat itu terdapat juga tumpukan harta, yang tidak ternilai harganya. Kedua hal itulah yang membuat para tokoh persilatan mengejar-ngejar benda keramat ini. Baik mereka yang mengaku sebagai golongan putih maupun tokoh-tokoh sesat. Mereka semua ingin merebut benda ini dari tanganku. Sekarang kau tentu paham dengan sikapku mempertahankan benda ini mati-matian, bukan?" tanya Dewa Kerdil, menutup ceritanya.
"Wah, menarik sekali ceritamu, Kek. Lalu, mengapa Kakek sendiri tidak berusaha untuk mencari tempat itu? Dan, mengapa diceritakan kepadaku? Bukankah kalau aku berniat jahat, Kakek akan celaka?"
"Benda ini ku curi dari seorang tokoh sesat maha sakti yang menjadi majikanku, lima puluh tahun yang lalu. Karena tokoh sesat itu bersama para pengikutnya selalu mencariku, terpaksa aku menyembunyikan diri dalam sebuah tempat yang jarang didatangi manusia. Setelah aku mendengar berita kematiannya, mulai aku menampakkan diri di dunia ramai dengan maksud untuk mencari tempat penyimpanan pusaka-pusaka tersebut. Sayang, kehadiranku sempat tercium oleh beberapa orang pengikut majikanku yang masih penasaran. Sehingga, untuk kesekian kalinya aku dikejar-kejar mereka. Bahkan, beberapa tokoh golongan putih dan tokoh sesat lainnya ikut pula mengejarku, setelah berita mengenai benda mustika ini semakin tersebar luas. Luka-luka inilah yang ku peroleh selama kurang lebih tiga tahun bermain kucing-kucingan dengan para tokoh persilatan yang mengejarku. Akhirnya aku bertemu denganmu, Wirya," jelas Dewa Kerdil memaksa tersenyum.
"Hm.... Kalau begitu kau tentu mempunyai julukan yang seram sebelumnya. Sebab, dengan mengabdikan diri kepada seorang tokoh sesat, tentunya kau pun bukanlah orang baik-baik. Dan, julukanmu pasti bukan Dewa Kerdil, bukan?" tanya Wirya Saka yang menjadi terkejut setelah mendengar penjelasan kakek kecil kurus itu tentang masa lalunya.
Dewa Kerdil sama sekali tidak menyahut. Nampak keadaannya kian melemah. Beberapa kali tarikan napasnya terdengar seperti suara ayam disembelih. Jelas, kematian kakek itu sudah di ambang pintu.
"Kek...! Kakek...!"
Wirya Saka berteriak menekan suaranya sambil mengguncang-guncangkan tubuh kakek yang matanya sudah terpejam rapat itu. Pemuda ini kian bertambah panik ketika tubuh Dewa Kerdil tetap saja tak bergerak dan tidak merasa kan guncangan tangannya. Wajah Wirya Saka yang semula panik, kembali cerah ketika melihat sepasang mata Dewa Kerdil terbuka perlahan. Dan, kakek yang sebelumnya seorang tokoh sesat itu memaksa tersenyum kepada Wirya Saka.
"Ku..., percayakan.., benda ini kepadamu, Wirya.... Di dalam buntalan kain kuning ini, ada sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya pusaka-pusaka yang tak ternilai itu. Sedangkan Mustika Naga Hijau berguna untuk melindungimu dari hawa beracun yang tersebar di daerah penyimpanan harta dan ilmu-ilmu tinggi itu... Jangan kau Khawatir, Wirya. ilmu-ilmu itu bukan ilmu sesat. Selain itu, kau harus mengubur mayatku seorang diri, tanpa sepengetahuan orang lain. Rahasiakan benda itu dan juga pertemuan kita ini. Sebab, kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan yang mengejarku, maka hidupmu tidak akan pernah tenteram. Ingat itu baik-baik...!" pesan Dewa Kerdil dengan suara tersendat-sendat.
Setelah selesai meninggalkan pesan itu, napas Dewa Kerdil pun putus. Kakek kecil kurus itu tewas setelah menyerahkan Mustika Naga Hijau dan petanya kepada Wirya Saka.
Tentu saja kematian Dewa Kerdil membuat pemuda itu terhenyak lemah. Namun, mengingat pesan-pesan Dewa Kerdil sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, pemuda tampan itu bergegas bangkit. Belum lagi tangannya sempat mengangkat tubuh Dewa Kerdil dari pembaringan, tiba-tiba telinga pemuda itu mendengar bunyi yang mencurigakan.
"Siapa...?" tegur Wirya Saka dengan wajah tegang." Paman Wangsa, kaukah itu...?" Ketika Wirya Saka menangkap suara gerakan orang berlari, meninggalkan tempat itu, cepat tubuhnya berkelebat ke arah ruangan samping kamarnya.
"Hei..! Berhenti...!" seru Wirya Saka ketika melihat sesosok tubuh melesat beberapa tombak di depannya. Tanpa membuang-buang waktu, pemuda itu segera melesat mengejarnya.
"Keparat..!" maki Wirya Saka sewaktu tiba di sekitar bangunan tempat tinggal para murid ayahnya. Dan, pemuda itu kehilangan jejak buruannya.
"Tuan Muda mencari siapa...?" tegur salah seorang murid perguruan yang mendapat tugas jaga malam itu. Sambil bertanya, ia dan tiga orang temannya, mengangguk hormat kepada Wirya Saka. Tapi, tidak segera disambutnya karena masih diliputi rasa bingung. Sehingga, tindakan pemuda itu sempat membuat keempat orang itu merasa heran. Sebab, tidak biasanya anak majikan mereka bersikap masa bodoh.
"Hm.... Kalian ini bagaimana? Apa yang kalian lakukan sampai-sampai ada orang yang berani mengintai ke dalam kamarku. Apa kalian tidak melihat bayangan orang berlari di sekitar tempat ini?" tanya Wirya Saka dengan hati jengkel. Wajah pemuda itu menegang ketika teringat pesan terakhir yang disampaikan Dewa Kerdil.
"Jangan-jangan manusia culas yang mengintai ku itu sempat pula mendengar penjelasan kakek Dewa Kerdil. Kalau memang demikian, celakalah nasib perguruan ini," desah pemuda itu dalam hati.
"Kami... Baru saja tiba di tempat ini, Tuan Muda. Dan, kami tidak melihat adanya bayangan yang Tuan Muda maksudkan. Tapi, kami akan segera mencarinya, kalau Tuan Muda kehendaki," sahut salah seorang yang berkumis tebaldan bertubuh gemuk.
"Tidak, tidak perlu! Mungkin aku yang keliru melihat Sudahlah. Lupakan saja persoalan itu. Mungkin aku hanya salah lihat saja," gumam Wirya Saka yang tiba-tiba saja menjadi gugup ketika mendengar jawaban salah seorang peronda itu.
Untung pemuda itu sempat berpikir cepat Kalau tidak, keadaan akan semakin bertambah runyam. Sebab, bukan tidak mungkin kalau keadaan akan semakin ramai, dan akan menimbulkan kesulitan baginya untuk menguburkan mayat Dewa Kerdil. Setelah berkata demikian, Wirya Saka langsung melesat meninggalkan keempat orang peronda yang terbengong-bengong dan keheranan melihat keanehan sikap pemuda itu. Namun, mereka hanya bisa menggeleng heran, tanpa berani bersuara.
Sementara, sekembalinya ke kamar, Wirya Saka, langsung bergegas menyiapkan penguburan mayat Dewa Kerdil. Dibawanya mayat kakek kurus itu setelah hari larut malam. Itu dilakukannya untuk menghindari penglihatan murid-murid ayahnya.
Rintik hujan yang turun malam itu, membuat hati Wirya Saka semakin lega. Sebab, dalam keadaan' cuaca seperti itu, tentu orang akan enggan berada di luar rumah. Maka, dengan leluasa, pemuda itu berlari menuju ke luar bangunan perguruan.
Jelas, ia tidak menghendaki mayat itu dikuburkan di dalam bangunan. Sebab, hal itu bisa menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benak murid-murid ayahnya. Bahkan, orang tuanya mungkin akan meminta penjelasan kalau itu dilakukan. Itulah sebabnya mengapa Wirya Saka memilih penguburan mayat Dewa Kerdil di luar bangunan perguruan.
********************
"Dari mana saja kau, Wirya...? Mengapa sejak sore aku tidak melihatmu? Apa saja yang kau kerjakan malam-malam begini?" tegur suara berat yang penuh wibawa.
Wirya Saka yang baru saja akan memasuki kamarnya, terkejut bukan main. Sehingga, untuk beberapa saat, tubuhnya, hanya tertegun sambil meme- gangi daun pintu yang terbuka sedikit. Seperti telah mendapatkan ketenangannya kembali, pemuda tampan itu membalikkan tubuhnya sambil tersenyum kepada sosok tinggi gagah yang bernama Ki Panca Saka yang menjadi Ketua Perguruan Cakar Baja.
"Ah, Ayah mengagetkan aku saja. Mengapa Ayah berada di sini? Apakah ada sesuatu yang menjadi pikiran Ayah...?" tanya Wirya Saka dengan sikap yang dibuat setenang mungkin.
"Hm.... Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, Wirya. Tidak biasanya kau menghilang begitu saja seusai berburu. Bahkan, Ki Wangsa seperti takut bertemu denganku. Apa sebenarnya yang telah kalian alami?" tanya Ki Panca Saka sambil menatap tajam bola mata putra satu-satunya itu.
"Maaf, Ayah. Aku.... Aku merasa malu untuk menghadap. Karena kami berdua sama sekali tidak berhasil memperoleh seekor binatang pun. Kuharap Ayah sudi memakluminya," sahut pemuda itu cepat. Diam-diam Wirya Saka merasa bersyukur karena telah mendapatkan alasan yang tepat sebagai pembelaan dirinya. Dan, ia berharap agar ayahnya dapat menerima alasan itu.
"Tapi, tidak seharusnya kau dan Ki Wangsa menghilang begitu saja. Sebab, hal itu bukan sesuatu yang memalukan," ujar Ki Panca Saka yang segera berlalu meninggalkan Wirya Saka.
Sehingga, pemuda tampan itu dapat menarik napas lega. Untunglah saat itu cuaca di depan kamarnya cukup gelap. Sehingga, orang tua itu tidak sempat melihat pakaian yang dikenakan putranya. Kalau saja ayahnya sedikit jeli memperhatikan, tentu ia akan melihat noda-noda tanah yang mengotori pakaian Wirya Saka.
"Hhh..., syukurlah Ayah dapat menerima alasan yang ku ajukan. Kalau saja beliau terus mendesak, bukan mustahil perbuatanku akan diketahuinya," desah Wirya Saka yang segera memasuki kamarnya, se- telah sosok ayahnya lenyap di balik sebuah dinding batu.
Selesai menyalin pakaiannya, pemuda itu bergegas merebahkan tubuh di atas pembaringan. Namun, tubuhnya kembali melonjak bangkit ketika teringat pemberian Dewa Kerdil. Di bawah penerangan sinar obor, Wirya Saka mulai meneliti peta kulit kayu yang telah diawetkan dengan sejenis ramuan. Sehingga, kulit itu menjadi lemas dan tidak mudah pecah.
"Gunung Talang...," desah Wirya Saka ketika melihat garis menyilang. Dan, di bawahnya terdapat goresan huruf-huruf halus. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu menengadahkan kepalanya sambil mengingat ingat letak gunung yang tercantum dalam peta rahasia itu.
Setelah cukup lama mencari daerah gunung itu, dan belum juga diketahuinya, pemuda itu mulai merasa bosan. Disimpannya semua pemberian Dewa Kerdil. Rasa telah dan kantuk, membuat pemuda itu cepat terlelap di atas pembaringannya. Sementara, sang malam semakin bertambah larut. Gerimis sudah lama reda. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang masih setia menemani sepi.
********************
Siraman cahaya hangat matahari pagi, mengiringi ayunan langkah dua orang lelaki berkepala botak yang memasuki mulut Desa Ampenan. Dari mantel beruang yang mereka kenakan, jelas kedua orang lelaki itu adalah Iblis Kembar. Begitu memasuki mulut desa, keduanya melangkah lebar ke arah kedai makan, yang tampak ramai didatangi pengunjung. Kedai itu memang yang terbaik di antara kedai-kedai makan lainnya. Sehingga, wajar kalau kedai itu lebih banyak didatangi pengunjung ketimbang kedai-kedai lainnya.
Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya, kedua orang lelaki botak itu menarik sebuah kursi, yang terdapat pada sebuah meja di sudut ruangan itu. Tempat yang mereka pilih memang sangat baik. Sebab, dari tempat itu mereka bisa melihat orang-orang yang berdatangan maupun yang sudah berada di dalam kedai itu.
Sambil menikmati hidangan yang dipesannya melalui salah seorang pelayan kedai, Iblis Kembar tak henti-hentinya mengedarkan pandangan ke seluruh pengunjung yang berada di ruangan itu. Bahkan, seluruh indra pendengaran mereka telah dikerahkan untuk menangkap pembicaraan para pengunjung kedai.
"Hm.... Kalau saja Tuan Muda sampai mengetahui bahwa kau berani mengintai ke dalam kamarnya, aku tidak bisa membayangkan, hukuman apa yang akan dijatuhkan atas kelancanganmu itu," ujar seorang lelaki gemuk yang wajahnya agak kecoklatan. Nada suaranya terdengar agak ditekan, agar pembicaraannya tidak sampai terdengar orang lain.
"Tapi, aku benar-benar tidak sengaja melakukan perbuatan itu, Kakang. Lagi pula, hanya beberapa kata saja yang sempat kuingat. Sedang yang lainnya sama sekali tidak sempat kudengarkan," sahut lelaki berwajah kurus itu membela diri. Pada wajahnya tampak bayangan rasa khawatir ketika ia melihat sikap kawannya yang tidak senang dengan perbuatannya itu.
"Paling-paling Tuan Muda sedang berbicara kepada Ki Wangsa. Sebab, hanya kepada pelayan itulah beliau terlihat sangat dekat. Dan, pembicaraan mereka tentunya berkisar soal perburuan. Apakah pembicaraan itu yang membuatmu tertarik untuk ikut mendengarkannya?" tanya lelaki gemuk itu lagi sambil menatap wajah kawannya lekat-lekat.
"Kau keliru, Kakang. Tuan Muda bukan tengah berbicara dengan Ki Wangsa, melainkan dengan seorang kakek berpenyakitan. Dan, yang tengah mereka bicarakan saat itu adalah tentang, Kalau tidak salah, sebuah benda pusaka bernama.... Mustika Naga Hijau, atau yah..., sejenis benda mustikalah," jelas lelaki berwajah kurus itu yang sepertinya belum merasa tenang kalau tidak menuturkan pengalamannya itu kepada orang lain.
Dan, setelah menceritakannya, seolah-olah beban yang menindih dadanya terasa agak berkurang. Itulah yang memaksanya membuka mulut dan menceritakannya kepada lelaki gemuk, sahabat akrabnya itu.
"Yaaahhh..., sudahlah. Ayo habiskan makanmu. Kita harus segera kembali ke perguruan. Mungkin saat ini kawan-kawan kita yang berbelanja sudah menunggu-nunggu kedatangan kita. He! Ingat baik-baik! Jangan ceritakan apa yang kau ketahui itu kepada orang lain. Sebab, kalau sampai terdengar oleh Tuan Muda, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu," pesan lelaki gemuk itu sebelum keduanya meninggalkan kedai.
Kedua orang lelaki yang ternyata murid Perguruan Cakar Baja itu, mendadak menghentikan langkahnya ketika mendengar suara teguran pelan dan mengejutkan. Sehingga, mereka serentak menoleh ke arah seorang lelaki kekar yang mengenakan mantel dari kulit beruang salju.
"Maaf, boleh aku bertanya sedikit...?" tegur suara parau itu dengan sikap yang sama sekali tidak menyenangkan. Meskipun kata katanya didahului dengan ucapan maaf, namun sepasang mata orang itu jelas menggambarkan keangkuhan hatinya.
"Silakan, Kisanak. Kalau tidak terlalu sulit, tentu akan kami jawab," sahut lelaki gemuk berwajah ke coklatan itu dengan bersikap tetap tenang, dan menekan kejengkelan hatinya melihat sikap sombong orang itu.
"Aku sempat mendengar tentang Mustika Naga Hijau yang disebut-sebut oleh saudara ini. Tolong jelaskan, siapakah tuan muda yang kalian maksudkan itu? Dan, di mana aku bisa berjumpa dengannya? Perlu kalian ketahui, orang tua yang bersamanya adalah paman guru kami. Beliau dalam keadaan terluka setelah bertempur dengan musuh-musuh yang sangat sakti. Untunglah kami berdua keburu tiba dan menolongnya. Karena musuh terlalu kuat, terpaksa kami lari secara terpisah. Sayang, perbuatan itu telah menyebabkan paman guru kami yang tengah terluka itu hilang, entah ke mana. Ketika mendengar cerita Kisanak, kami segera menduga kalau kakek yang kalian bicarakan itu adalah paman guru kami. Bukankah kakek itu berjuluk Dewa Kerdil...?" tanya lelaki botak yang mengenakan mantel kulit beruang salju itu dengan penjelasan panjang lebar.
"Ah..., ya aku ingat sekarang!" seru lelaki kurus itu sambil bangkit dari kursi. "Tepat sekali! Aku memang mendengar nama Dewa Kerdil dalam pembicaraan itu. Bagaimana kau dapat menebaknya demikian tepat, Kisanak?"
"Ahhh! Maaf, Kisanak. Kawanku ini terlalu berlebihan. Sebenarnya ia hanya menduga-duga saja. Dan, belum tentu apa yang diceritakannya itu benar. Maaf, kami harus segera pergi...," pamit lelaki gemuk yang sepertinya belum percaya penuh akan keterangan lelaki berkepala botak itu. Maka, dengan setengah memaksa, ditariknya lengan kawannya untuk segera meninggalkan kedai makan.
"Hm.... Tidak mengapa, Kisanak," ucap lelaki berkepala botak yang berjuluk Iblis Beruang Salju. Kemurahan hati Iblis Kembar kali ini, bukan karena ia enggan untuk melakukan kekerasan. Tapi, karena belum mengetahui secara jelas tentang keadaan Dewa Kerdil. Itu yang membuatnya bertindak hati-hati. Sebab, biarpun kakek itu telah mengalami luka dalam cukup parah. Jelas, Iblis Kembar tidak berani bertindak ceroboh. Karena itu ia tidak menghalangi kepergian kedua orang murid Perguruan Cakar Baja itu.
Setelah melunasi harga makanan, kedua orang lelaki berkepala botak itu bergegas meninggalkan kedai. Dengan menjaga jarak, Iblis Kembar segera menguntit perjalanan murid-murid Perguruan Cakar Baja, yang telah selesai berbelanja untuk keperluan sehari-hari perguruan mereka. Dan, kini para murid itu bergegas meninggalkan Desa Ampenan.
********************
TIGA
Rombongan kecil yang berjumlah sekitar sepuluh orang itu, berhenti tepat di depan gerbang Perguruan Cakar Baja. Begitu pintu terbuka, mereka bergegas masuk. Tak seorang murid pun yang sempat memperhatikan dua orang lelaki berkepala botak yang tengah menatap dari kejauhan ke arah pintu perguruan itu dengan senyum terkembang. Siapa lagi kalau bukan Iblis Kembar yang menguntit perjalanan murid-murid Perguruan Cakar Baja sejak dari Desa Ampenan.
"Hm.... Rupanya di sini Dewa Kerdil bersembunyi. Kalau mendengar cerita salah seorang murid Cakar Baja tadi, jelas kakek keparat itu telah menceritakan mengenai Mustika Naga Hijau kepada orang yang disebut tuan muda. Menurut dugaanku, yang disebut tuan muda itu, pasti putra Ki Panca Saka. Mungkin tua bangka keparat itu hendak menyerahkan pusaka keramat itu kepada ketua perguruan ini," ujar Iblis Beruang Salju dengan nada jengkel. Bahkan, sepasang bola matanya nampak menyiratkan sinar berkilat yang tajam dan mengiriskan.
"Dugaanku juga begitu, Adi. Dan, kalau sampai pusaka keramat itu diceritakan kepada orang lain. tentu Dewa Kerdil sudah di ambang kematian. Sebab, mustahil ia akan membongkar rahasia itu selagi masih mampu mempertahankannya. Dasar kakek keparat! la lebih suka menyerahkan pusaka itu kepada orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya. Ini suatu penghinaan bagi kita, Adi!" geram Iblis Beruang Hitam dengan wajah gelap.
"Lebih baik kita hancurkan saja perguruan ini, Kakang. Kemudian kita rebut pusaka itu dari tangan Dewa Kerdil. Menurut dugaanku, mungkin ia masih lemah akibat luka-luka yang dideritanya. Bagaimana menurutmu, Kakang?" tanya Iblis Beruang Salju meminta pendapat saudaranya mengenai usul yang dikemukakannya itu.
"Hm Kita harus mengetahui kekuatan perguruan ini. Sebab, nama Garuda Cakar Lima patut kita perhitungkan. Belum lagi, murid-muridnya yang jumlahnya tentu lebih dari lima puluh orang. Dan itu bisa menyulitkan kita, Adi," sahut Iblis Beruang Hitam yang sepertinya lebih mengutamakan berpikir sebelum bertindak.
"Jadi, kau merasa gentar dengan Garuda Cakar Lima dan murid-muridnya, begitu?" sergah Iblis Beruang Salju dengan tarikan bibir yang mengandung ejekan.
"Bukan begitu, Adi. Tapi, kita harus berhati-hati dalam menangani masalah ini. Sekali saja kita salah langkah, semua rencana akan hancur berantakan. Haruskah kita mengorbankan waktu sepuluh tahun, hanya karena kita tidak sabar dengan pusaka yang telah berada di depan mata? Tidak, Adi. Biar kita tunggu sampai hari gelap. Kemudian kita selidiki di mana tua bangka keparat itu berada," kilah Iblis Beruang Hitam yang jelas bertentangan dengan kemauan adiknya.
Setelah berkata demikian, ia langsung membalikkan tubuhnya, meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak tanya lagi, Iblis Beruang Salju segera mengikuti langkah saudaranya. Sekali berkelebat saja, tubuh Iblis Kembar itu lenyap ditelan bayang-bayang pepohonan.
********************
Dalam keremangan cahaya bulan yang temaram, tampak sesosok bayangan hitam berkelebat cepat seperti bayangan hantu. Gerakannya cepat dan ringan, jelas sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, dan jarang ada bandingannya. Tidak lama kemudian, sosok bayangan hitam itu tiba di depan sebuah pintu gerbang perguruan.
Pagar kayu bulat setinggi dua tombak lebih, bukan halangan sama sekali baginya. Sekali kakinya dijejakkan ke tanah, sosok bayangan hitam bertubuh kurus itu melambung dan berputar beberapa kali diudara. Ringan dan tanpa suara sedikit pun, ketika kedua kakinya mendarat di halaman depan perguruan itu. Begitu kakinya menjejak tanah, secepat itu pula tubuhnya kembali melambung ke wuwungan bangunan Utama perguruan itu.
"Hei..! Siapa itu…?!"
Salah seorang penjaga, yang berada di pos atas Gerbang perguruan berseru ketika melihat sosok bayangan hitam itu hinggap di atap bangunan Utama. Meski jarak antara keduanya terpisah sekitar sepuluh tombak lebih, penjaga itu menjerit ketika sosok bayangan hitam itu mengibaskan lengan kanannya. Tanpa ampun lagi, tubuh penjaga itu terlempar jatuh dari pos jaganya. Sedangkan sosok bayangan hitam yang tertangkap sinar obor itu, kembali melesat dan lenyap di balik bayangan dinding-dinding bangunan utama itu.
"Ada pembunuh...!" seorang penjaga yang tengah meronda langsung berteriak ketika melihat penjaga pintu gerbang tergeletak mandi darah. Di tubuhnya tertancap sebilah pisau sepanjang setengah jengkal, yang amblas hingga ke gagangnya.
Salah seorang yang memegang kentongan, langsung memukul benda itu berkali-kali. Terdengar suara kentongan yang bertalu-talu memenuhi seluruh pelosok perguruan. Sebentar saja, tampak puluhan orang berlarian keluar dari dalam bangunan-bangunan kecil yang be- rada di sekitar bangunan utama perguruan itu.
"Di mana pembunuh keji itu...?" tanya seorang lelaki bercambang bauk yang sikapnya nampak gagah dan galak. Di tangan kanannya, tampak tergenggam sebatang pedang yang besar dan berat.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku baru saja tiba di tempat ini, dan melihat penjaga pintu gerbang telah tergeletak tanpa nyawa. Tapi, kematiannya jelas belum lama. Karena darah yang membasahi tubuhnya masih tampak segar," ujar seorang peronda berkumis tipis melaporkan kepada lelaki bercambang bauk itu.
"Hm.... Jelas ada orang yang telah menyusup ke dalam perguruan kita. Cepat menyebar! Cari pembunuh keji itu...!" perintah lelaki bercambang bauk itu dengan suara lantang. Sedangkan ia sendiri telah mengajak enam orang murid, dan bergegas memeriksa sekeliling bangunan dalam perguruan.
Empat kelompok lainnya, yang masing-masing berjumlah sepuluh orang, bergegas menyebar ke empat penjuru. Sedang delapan orang lainnya, tetap tinggal dan berjaga-jaga di depan pintu gerbang.
Sementara itu, sosok bayangan hitam bertubuh jangkung yang telah menewaskan penjaga gerbang terus menyelinap ke dalam bangunan utama Perguruan Cakar Baja. Sosok jangkung itu bergerak dan merapatkan tubuhnya ke dinding ketika ia mendengar suara langkah kaki menuju kearahnya. Sekali tongkat di tangannya bergerak, tiga orang yang melintas di depannya, langsung berkelojotan tewas tanpa sempat berteriak lagi. Sedang salah seorang dibuat tak berdaya dengan totokan jari tangannya yang ampuh.
"Jawab pertanyaanku kalau kau masih kepingin hidup!" ancam sosok jangkung itu sambil menekan jemarinya ke ubun-ubun. "Pernahkah perguruan ini kedatangan seorang laki-laki tua yang tengah menderita luka?"
"Tidak.... Aku.... Aku tidak pernah melihatnya..." sahut lelaki itu dengan suara gagap.
"Hm... Jangan coba-coba membohongi ku, Keparat!" geram sosok jangkung itu semakin menekankan jari-jari tangannya.
"Benar, Tuan... Aku.... Tidak bohong...," rintih lelaki itu menyeringai menahan rasa sakit pada batok kepalanya.
"Bedebah! Mampuslah...!" desis sosok jangkung itu melampiaskan kejengkelan hatinya.
Sekali tekan saja, menyemburlah darah segar dari ubun-ubun orang itu, yang berlubang akibat tekanan jari-jari tangan yang bertenaga kuat itu. Tanpa mempedulikan tubuh korbannya yang melorot tewas, sosok jangkung itu kembali bergerak dan terus keluar dari dalam bangunan utama perguruan itu.
"Bedebah! Ke mana perginya kakek keparat itu? Tidak mungkin ia dapat pergi jauh, setelah dilukai Iblis Kembar. Sedangkan letak perguruan ini dekat sekali dengan Hutan Langkat Jelas, kalau tempat ini merupakan satu-satunya yang termudah untuk menyembunyikan diri. Mungkinkah dugaanku keliru...?" gumam sosok jangkung itu sambil terus bergerak tanpa memperhatikan sekelilingnya.
"Hei...! Berhenti...!"
Bentakan yang cukup mengejutkan itu, membuat lelaki bertubuh jangkung membalikkan tubuhnya secepat kilat. Sepasang matanya tampak mencorong tajam! menatap tujuh orang laki-laki yang berlari menghampirinya.
"Kisanak, siapakah kau...? Dan, apa keperluanmu berada di tempat ini..?" tegur lelaki kekar bercambang bauk sambil meneliti sosok jangkung, yang berada sekitar satu tombak di depannya.
"Hm.... Menilik dari sikapmu, tentunya kau merupakan salah seorang murid utama Garuda Cakar Lima, bukan? Jawab pertanyaanku. Pernahkah perguruan ini kedatangan seorang laki-laki tua dalam keadaan terluka...?" tanya sosok jangkung itu tanpa mempedulikan pertanyaan lelaki bercambang bauk.
"Kurang ajar...! Aku yang seharusnya bertanya kepadamu pembunuh keji! Apa yang kau kerjakan di perguruan kami ini? Atau kau memang sengaja mau mencari keonaran?" bentak lelaki bercambang bauk itu, yang menjadi marah ketika pertanyaannya tidak mendapat jawaban seperti yang diharapkan.
"Jawab pertanyaanku, atau kau akan kukirim ke neraka seperti teman-temanmu yang lain?" sergah sosok jangkung itu dengan-suara dingin, namun mengandung ancaman maut didalamnya.
"Setan...! Tangkap keparat busuk itu...!" seru lelaki bercambang bauk itu yang telah hilang kesabarannya. Kemudian tubuhnya segera melesat dengan disertai putaran sepasang tangannya yang membentuk cakar.
"Hmh...!" Sosok bertubuh jangkung itu memperdengarkan dengusan mengejek ketika melihat serangan lawan. Cepat tubuhnya bergeser ke samping, pada saat cengkeraman lawannya meluncur mengancam tubuhnya. Tongkat di tangan kanannya, langsung berkelebat begitu serangan lawan lewat di samping tubuhnya.
Wukkk...!
Terdengar suara mengaung tajam mengiringi lontaran tongkat yang mengandung kekuatan hebat. Serangkum hawa berbau amis mengiringi sambaran tongkat itu.
"Aaahhh...!"
Lelaki bercambang bauk itu berseru tertahan ketika mencium hawa beracun yang timbul dari sambaran tongkat lawannya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang tanpa berani menangkis sambaran tongkat itu. Kemudian berjumpalitan beberapa kali menjauhi sosok bertubuh jangkung itu. Berbarengan dengan mendaratnya kedua kaki lelaki bercambang bauk itu, terdengar teriakan ngeri susul-menyusul.
"Iblis keji...!" geram lelaki bercambang bauk itu ketika melihat tubuh enam orang kawannya tengah berkelojotan meregang nyawa. Sadar kalau lawannya bukanlah orang semba- rangan, maka sambil menggertakkan giginya kuat-kuat dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang. Dan, langsung diputar sedemikian rupa, sehingga membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
Wuuuk...! Wuuuk...!
"Hm.... Ilmu 'Pedang Kuku Garuda'. Rupanya Garuda Cakar Lima telah menurunkan ilmu pedang itu kepadamu. Bagus! Mari kulihat, apakah ilmu itu sudah pantas dipertontonkan di depan Siluman Tongkat Beracun...!" ejek lelaki jangkung yang mengaku berjuluk Siluman Tongkat Beracun itu dengan nada sombong.
Usai berkata demikian, tongkat di tangannya berputar. sejenak. Kemudian terhenti dan menuding lurus ke arah lawannya. Sedang tangan kirinya dengan telapak terbuka berada di depan kening. Jelas, sosok jangkung itu sudah siap menghadapi ilmu pedang lawannya.
"Heaaat..!"
Tanpa basa-basi lagi, lelaki bercambang bauk itu langsung melompat dengan disertai serangannya yang susul-menyusul. Sedangkan sosok jangkung yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun itu sama sekali tidak bergerak. Dengan kepala tetap menekuri tanah, tongkat di tangannya baru berkelebat pada saat ujung senjata lawan hampir mencapai tubuhnya.
Whuuut..! Trang...!
"Aaakh...!"
Hebat dan cepat bukan main gerakan yang dilakukan Siluman Tongkat Beracun itu. Tongkat yang digerakkan dengan kekuatan hebat itu, langsung membentur pedang lawannya. Sehingga, bukan hanya senjata lelaki bercambang bauk itu yang terpental. Tapi, tubuh lelaki kekar itu pun terjengkang kebelakang! Jelas, tenaga dalam yang dimiliki sosok jangkung itu masih jauh lebih kuat dari lawannya.
Siluman Tongkat Beracun rupanya tidak ingin berlama-lama. Ketika tubuh lawannya terjengkang ke- belakang, lelaki jangkung itu langsung melesat dengan luncuran tongkatnya mengancam tenggorokan lawan.
Whuuut..!
Serangkum angin menderu yang diiringi bau amis menyengat, tercium menyertai tusukan tongkat maut itu.
"Haiiit..!"
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan murid utama Perguruan Cakar Baja itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan diiringi teriakan nyaring menggetarkan jantung. Begitu tiba, sosok bayangan itu langsung memapaki tusukan tongkat itu.
Plakkk!
Lontaran angin pukulan yang meluncur dari telapak tangan sosok bayangan itu, langsung menghantam balik senjata Siluman Tongkat Beracun. Kembali Siluman Tongkat Beracun menunjukkan kehebatannya. Tongkat yang terpukul balik itu, langsung berputar dan meluncur deras ke arah lambung sosok bayangan yang baru tiba itu.
Bettt!
Terkejut bukan main sosok bayangan berpakaian serba putih itu. Sadar kalau sambaran tongkat itu tidak dapat dipandang ringan, maka sosok bayangan itu melenting menghindari sambaran tongkat lawannya.
"Heaaahhh...!"
Sambil membentak keras, sosok bayangan itu berjumpalitan di udara. Kemudian disusul dengan sebuah lontaran pukulan jarak jauh yang menimbulkan deruan angin tajam.
Wusss...!
Serangan yang dilontarkan selagi tubuhnya berada di udara itu, sempat membuat Siluman Tongkat Beracun terperangah kagum. Cepat ia mendorongkan telapak tangan kirinya, menyambut pukulan jarak jauh lawan. Dan....
Bresssh!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga sakti dari kedua tokoh itu. Ledakan keras yang di timbulkannya menggetarkan udara sekitar. Sedang tubuh keduanya melenting dan berjumpalitan guna mematahkan daya dorong yang ditimbulkan benturan itu.
Jleggg! Jleggg!
Kedua sosok tubuh itu sama mendaratkan kakinya dengan waktu berbarengan. Lalu, mereka saling tatap dalam jarak dua setengah tombak.
"Hm.... Kiranya Garuda Cakar Lima yang datang menolong muridnya...," gumam Siluman Tongkat Beracun menyunggingkan senyum sinis. Sedang sepasang matanya meneliti sosok di depannya.
"Siluman Tongkat Beracun...!?" desis lelaki gagah setengah baya itu agak terkejut ketika mengenali sosok jangkung yang hampir menewaskan muridnya itu. "Apa yang mendorongmu membuat keonaran di perguruanku, Siluman Tongkat Beracun...? Setahuku di antara kita tidak pernah ada permusuhan, bukan?" tegur lelaki setengah baya itu dengan kening berkerut tak senang.
"Hm.... Sebenarnya aku pun tidak bermaksud untuk mengurusi segala cecunguk seperti murid-muridmu itu. Tapi, mereka sendiri yang mencari kematian. Terpaksa aku memberi sedikit pelajaran, agar lain kali mereka lebih tahu adat," ujar Siluman Tongkat Beracun dengan suara tetap dingin dan angkuh. Jelas, lelaki, jangkung itu tetap juga memandang sebelah mata, meski yang dihadapinya kali ini guru besar Perguruan Cakar Baja. Semua itu terlihat dari sikap dan nada bicaranya, yang tetap sinis dan mengandung ejekan.
"Apa sebenarnya yang kau cari di perguruanku ini, Siluman tak tahu adat! Kalau memang ada keperluan, mengapa kau datang secara sembunyi seperti maling hina? Bukankah kau bisa menemuiku dan mengatakan keperluanmu?" kembali lelaki gagah yang berjuluk Garuda Cakar Lima itu menegur dengan nada mengandung kemarahan.
"He he he.... Kalau begitu, baiklah kutanyakan langsung kepadamu. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah dalam beberapa hari ini kau pernah kedatangan seorang tamu seorang laki-laki tua yang tengah menderita luka? Coba kau serahkan kakek itu kepadaku. Dan, aku akan pergi tanpa mengganggu ketenangan mu lagi," ujar Siluman Tongkat Beracun sambil menatap tajam lelaki gagah itu.
"Huh! Pertanyaanmu itu sudah terlambat, Manusia Jahat! Apakah kau kira setelah membunuh murid-muridku, kemudian bebas begitu saja. Hm Kau... boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu sebagai ganti nyawa murid-muridku yang telah kau bunuh itu. Sebaiknya, kau bersiap-siap untuk menerima hukuman. Atau, kau mau menyerahkan kepalamu dengan sukarela?" sahut Garuda Cakar Lima yang rupanya marah besar melihat mayat-mayat muridnya yang bergeletakan di tempat itu.
"He he he.... Jangan berlagak sombong kau, Garuda Cakar Lima. Orang lain boleh takut mendengar namamu. Tapi, Siluman Tongkat Beracun akan melenyapkan namamu dari jajaran tokoh-tokoh persilatan, hari ini juga. Bahkan, seluruh murid-muridmu akan kuhabisi tanpa sisa!" geram Siluman Tongkat Beracun dengan nada yang tetap dingin dan tanpa perasaan. Hanya sepasang matanya yang menyorot tajam dan penuh ancaman maut.
"Kau mundurlah, Pragala...," ujar lelaki gagah itu kepada lelaki bercambang bauk yang berada di sebelah kanannya.
"Guru..., apakah tidak sebaiknya kita habiskan saja manusia jahat seperti Siluman Tongkat Beracun itu. Rasanya untuk menghadapi manusia sesat seperti dia, kita tidak perlu menggunakan banyak peraturan. Serahkan saja dia kepada kami...," ujar lelaki bercambang bauk, yang bernama Pragala, sambil menolehkan kepala ke arah puluhan orang murid yang telah berkumpul dan mengepung di sekitar halaman samping perguruan itu.
Sejenak Garuda Cakar Lima menolehkan kepalanya ke arah murid-muridnya yang telah berkumpul mengelilingi tempat itu. Namun, kepala lelaki gagah itu terlihat menggeleng perlahan.
"Tidak, Pragala. Meskipun orang yang kita hadapi ini adalah seorang tokoh golongan sesat, namun sebagai orang-orang gagah kita harus menghadapinya dengan jantan. Apa komentar orang persilatan nanti, bila mendengar berita kematian Siluman Tongkat Beracun karena dikeroyok ketua dan murid-murid Perguruan Cakar Baja? Hm... Aku tidak ingin nama perguruan kita dilecehkan kaum rimba persilatan di kemudian hari. Sebaiknya kalian bersiap-siap saja, agar manusia jahat itu tidak melarikan diri dari tempat ini," ujar Garuda Cakar Lima yang menolak usul muridnya.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah maju dan bersiap menghadapi lawannya.
Sementara Pragala terpaksa melangkah mundur dan memerintahkan teman-temannya untuk berjaga-jaga, agar Siluman Tongkat Beracun tidak dapat meloloskan diri dari perguruan itu.
EMPAT
"Heaaattt..!"
Tanpa menunggu lawannya menyerang lebih dahulu, Siluman Tongkat Beracun langsung melompat dengan disertai putaran tongkatnya.
Whuuut..! Whuuut..!
Hebat sekali memang permainan tongkat tokoh. bertubuh jangkung itu. Angin keras bertiup laksana deruan topan yang akan menerbangkan segala apa yang ada didekatnya. Suara sambaran tongkat itu menderu-deru dengan hebatnya. Sehingga, bentuk tongkat itu lenyap. Dan, yang tampak hanya gulungan sinar berpendar meluncur kearah Garuda Cakar Lima.
Namun, Ketua Perguruan Cakar Baja bukanlah orang lemah. Melihat lawannya mulai membuka serangan, lelaki setengah baya itu bergegas memutar kedua tangannya yang berbentuk cakar. garuda. Terdengar angin bercuitan ketika jari-jari tangan yang terbungkus sarung tangan perak, menyambar-nyambar susul-menyusul.
Meskipun tongkat lawannya telah dilumuri racun jahat, Garuda Cakar Lima sama sekali tidak menjadi gentar. Sebab, sarung tangan perak yang dikenakannya merupakan penolak racun yang ampuh. Sehingga, lelaki setengah baya itu tidak merasa khawatir dengan hawa beracun yang keluar dari senjata lawannya.
"Yeaaat..!"
Whuuut! Whuuut!
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh lelaki setengah baya itu bergerak maju dengan langkah-langkah menyilang, yang terlihat kokoh dan kuat Sedangkan sepasang cakarnya bergerak ke kiri-kanan menimbulkan angin bercuitan.
Bettt!
Sambil menggeser tubuhnya dengan posisi miring, guna menghindari sambaran tongkat lawan, tangan kanan Ketua Perguruan Cakar Baja bergerak cepat menyambar leher lawannya dengan cengkeraman maut Bahkan, serangan balasan itu masih disusul dengan sambaran tangan kiri yang mengancam dada lawannya.
Siluman Tongkat Beracun cepat menarik pulang tongkatnya dengan disertai geseran tubuhnya, yang langsung membentuk kuda-kuda rendah. Sambil mendoyongkan tubuhnya, tokoh sesat itu sempat pula mengirimkan tendangan kilat ke perut lawan Hebat sekali gerakan yang dilakukan lelaki jangkung itu. Bukan saja serangan lawan yang dapat dihindarinya, melainkan mampu pula melontarkan serangan yang cukup berbahaya.
Zebbb! Plakkk!
"Aaahhh...!"
Garuda Cakar Lima yang melihat datangnya tendangan kilat itu, cepat menyampok dengan tangan kiri, yang semula dimaksudkan untuk melancarkan, serangan susulan. Akibatnya tangkisan itu membuat tubuhnya terjajar mundur hingga satu tombak jauhnya. Jelas, kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Siluman Tongkat Beracun masih jauh lebih tinggi dari tenaga dalamnya sendiri.
"Heahhh...!"
Selagi tubuh lawannya terhuyung mundur, Siluman Tongkat Beracun bergegas menyabetkan tongkat di tangan kanannya. dengan kecepatan menggetarkan.
Tentu saja serangan susulan lawannya itu membuat Garuda Cakar Lima tercekat dengan wajah berubah. Sebisa mungkin, lelaki setengah baya ini melemparkan tubuhnya dan bergulingan menghindari serangan maut itu. Sayang, lawannya tidak sudi melepaskannya begitu saja. Siluman Tongkat Beracun terus mencecar Garuda Cakar Lima dengan hantaman-hantaman tongkatnya yang menimbulkan angin menderu tajam.
Gulungan sinar tongkat yang berputar hebat itu, terus bergerak mengejar tubuh Ketua Perguruan Cakar Baja, yang tengah berusaha menyelamatkan dirinya dari incaran senjata lawan. Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dengan disertai gulungan sinar pedang yang mengaung tajam. Dan, langsung menyambut putaran tongkat yang tengah mengejar Garuda Cakar Lima. Dan....
Trang! Trang!
"Aaahhh!"
Terdengar benturan keras beberapa kali, ketika kedua senjata itu saling bertemu di udara. Berbarengan dengan itu, terdengar suara memekik tertahan. Disusul terlemparnya sosok tubuh yang mencoba menyelamatkan Ketua Perguruan Cakar Baja itu. Namun, dengan gerakan yang indah sosok tubuh yang baru tiba itu berputar beberapa kali di udara. Meski agak goyah, sosok tubuh itu dapat mendaratkan kedua kakinya dengan selamat.
"Wirya Saka...! Kau tidak apa-apa ?" tanya Garuda Cakar Lima memburu sosok berpakaian biru muda itu dengan wajah cemas.
Sosok tubuh yang ternyata Wirya Saka itu, menggelengkan kepalanya perlahan. Dari helaan napasnya yang nampak masih memburu, jelas pemuda itu masih merasa tegang dengan apa yang baru saja dialaminya. Sehingga, pertanyaan ayahnya hanya dijawab dengan gelengan kepala.
"Hebat sekali lelaki jangkung itu. Siapakah dia, Ayah? Mengapa Ayah berkelahi dengan dia!..?" tanya Wirya Saka tanpa melepaskan pandangannya dari sosok Siluman Tongkat Beracun.
"Hm.... Dia adalah seorang tokoh sesat yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun. Kedatangannya hendak mencari seorang kakek, yang menurutnya berada di dalam perguruan kita. Tapi, karena ia telah membunuh beberapa murid perguruan kita, terpaksa Ayah! meminta pertanggungjawabannya. Dan, akhirnya kami bertempur. Hhh Untunglah kau datang tepat pada waktunya, Wirya. Kalau tidak, mungkin Ayah sudah melayat ke akhirat Manusia sesat itu benar-benar hebat sekali. Rasanya Ayah pun sulit untuk dapat menang dari dia," ujar Garuda Cakar Lima menghela napas lega karena terbebas dari ancaman tongkat beracun lawannya.
Sementara itu, Siluman Tongkat Beracun kembali melangkah maju beberapa tindak Dengan tatapan mata penuh ancaman, tokoh sesat berilmu tinggi itu bersiap melancarkan serangannya. Jelas, ia bermaksud untuk menghabisi nyawa Ketua Perguruan Cakar Baja.
"Lebih baik kau menyingkirlah, Wirya. Ayah akan mencoba untuk menahan gempuran manusia sesat itu. Apabila kau lihat aku terdesak, sebaiknya tinggalkan tempat ini. Bawa semua murid-murid kita. Kelak setelah keadaan reda, kau boleh kembali dan melanjutkan apa yang selama ini aku lakukan. Sebab, bukan mustahil kalau aku akan tewas di tangan tokoh sesat yang terkenal kejam dan bertangan dingin itu," ujar Garuda Cakar Lima yang segera melangkah maju tanpa menunggu jawaban dari putranya.
Menilik dari sikapnya, jelas lelaki setengah baya itu siap untuk mengadu nyawa dengan lawannya. Kedua sosok tubuh yang siap melanjutkan pertarungan itu, mendadak saling melangkah mundur beberapa tindak ke belakang. Karena pada saat itu, dua sosok bayangan melesat ke tengah arena.
"Ha ha ha.... Tidak kusangka kalau kita telah kedahuluan Siluman Tongkat Beracun, Adi," ucap salah seorang dari dua sosok tubuh yang baru tiba itu.
"Benar, Kakang. Dan, nampaknya di sini telah terjadi keramaian...," sahut sosok tubuh yang satunya lagi dengan suara yang tidak kalah besarnya.
"Iblis Kembar.... Tidak kusangka kalau kalian sampai juga ke tempat ini. Tapi, apakah yang kalian cari di tempat ini...?" sapa Siluman Tongkat Beracun yang berusaha menutupi keterkejutannya ketika melihat dua orang saingannya itu.
"Iblis Kembar...!? Ada apa sebenarnya di perguruanku ini? Mengapa tokoh-tokoh sesat ini sampai tersasar? Entah dari mana mereka mendapatkan kabar yang tidak benar itu...?" gumam Garuda Cakar Lima dengan wajah keheranan melihat ketiga tokoh sesat itu berkumpul di tempat kediamannya.
"Iblis Kembar. Ada keperluan apa sehingga kau menyempatkan diri singgah di tempatku ini...?" tegur Garuda Cakar Lima menatap tajam dua orang yang baru tiba itu.
"Hm.... Tidak perlu kau berpura-pura bodoh, Garuda Cakar Lima. Rasanya bukan rahasia lagi kalau perguruanmu telah menyembunyikan Dewa Kerdil yang tengah kami cari-cari. Sebaiknya kau serahkan saja tua bangka keparat itu, sebelum kami bertindak di luar batas," sahut Iblis Beruang Hitam bernada mengancam.
"Kurang ajar...! Dengar, Manusia-manusia Sesat! Kalau memang kalian mau mencari keributan, rasanya tidak perlu memakai alasan macam-macam. Garuda Cakar Lima siap menghadapi segala macam tikus busuk seperti kalian! Sebab, hanya seorang pengecut saja yang sudi menggunakan akal busuk seperti itu!" geram Garuda Cakar Lima yang menjadi jengkel mendengar alasan yang diajukan Iblis Kembar.
Sedang Wirya Saka sendiri terkejut bukan kepalang ketika mendengar ucapan Iblis Kembar itu. Ia menjadi heran bukan main. Sebab, pemuda itu yakin betul kalau tak seorang pun yang melihatnya pada saat membawa Dewa Kerdil ke dalam perguruan itu. Namun, ketika teringat dengan sesosok bayangan yang pernah mengintai kamarnya, berubah wajah pemuda itu diliputi ketegangan.
"Iblis Beruang Hitam," ujar Wirya Saka sambil melangkah maju dua tindak. "Apa yang kau katakan itu hanyalah kabar bohong belaka. Jelas, penyebar dusta itu adalah orang-orang yang tidak suka kepada kami. Percayalah dengan jawaban ayahku. Sebab, beliau bukan orang pengecut yang tidak berani mengatakan segala apa yang diketahuinya. Sebaiknya kalian tinggalkan tempat ini. Maaf, kalau jawaban kami tidak memuaskan."
"Ha ha ha...!" meledak tawa Iblis Beruang Hitam dan Iblis Beruang Salju demi mendengar ucapan Wirya Saka. Saking kerasnya kedua lelaki kekar itu tertawa, tubuh mereka berguncang-guncang.
"Ha ha ha... Aku ingin bertanya sedikit kepadamu, Garuda Cakar Lima. Pernahkah kau mengajarkan murid-muridmu berbohong? Jawablah dengan jujur," tanya Iblis Beruang Hitam dengan wajah menyunggingkan senyum mengejek.
"Apa maksudmu, Iblis Beruang Hitam..,?!" tegas Garuda Cakar Lima menatap tajam lelaki kekar berpakaian mantel bulu beruang hitam itu. Dari nada suaranya yang terdengar geram, jelas lelaki setengah baya itu merasa tak senang dengan pertanyaan yang diajukan tokoh sesat itu.
"Jawab saja, tidak perlu bertele-tele...," sergah Iblis Beruang Salju yang ikut menimpali sambil melangkah maju dua tindak.
"Hm,... Sudah jelas tidak. Sebab, kami mengutamakan kejujuran dan kegagahan dalam mendidik. Mengapa kau bertanya demikian?" Garuda Cakar Lima balik bertanya dengan kening berkerut dalam. Lelaki setengah baya itu merasa curiga dengan pertanyaan yang aneh itu. Apalagi yang mengajukannya adalah tokoh-tokoh sesat seperti Iblis Kembar, tentu saja pertanyaan itu menimbulkan berbagai dugaan dalam benaknya.
Tiba-tiba saja, Garuda Cakar Lima menoleh ke arah putranya. Diam-diam timbul rasa curiga di hatinya terhadap tingkah Wirya Saka, yang dirasakan agak aneh semenjak kembali dari berburu beberapa hari yang lalu. Dipandanginya wajah pemuda tampan itu penuh selidik.
"Wirya. Kau sama sekali tidak tahu tentang kakek yang dimaksudkan manusia-manusia sesat itu, bukan...?" tegur Garuda Cakar Lima seperti meminta ketegasan putranya dalam hal itu.
Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba dan sama sekali tidak diduganya itu, karuan saja wajah pemuda tampan itu berubah sekejap. Namun, cepat Wirya menguasai perasaannya yang berdebar tegang. Meskipun begitu, karena semenjak kecil ia memang tidak pernah diajarkan untuk berbohong, maka bisikan ayahnya itu hanya membuat kepalanya tertunduk. Dan, itu merupakan sebuah jawaban bag! Garuda Cakar Lima.
"Ahhh...! Mengapa kau tidak mengatakan sebelumnya, Wirya? Kalau sudah begini, Ayah juga yang ikut repot. Apa sebenarnya yang sudah terjadi dengan kakek itu? Perbuatan apakah yang menyebabkan ia bermusuhan dengan manusia-manusia sesat seperti mereka?" tanya Garuda Cakar Lima meminta penjelasan putranya. Tentu saja semua itu diucapkan dengan suara berbisik lirih. Sehingga, hanya mereka berdua saja yang mengetahui.
"Maaf, Ayah. Panjang sekali kalau diceritakan seluruhnya. Yang jelas, ketiga orang ini pasti mau merebut benda Mustika Naga Hijau, yang dimiliki Dewa Kerdil. Dan, benda itu telah diserahkannya kepadaku. Dengan pesan agar aku tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Ayah. Maafkan kelancanganku, Ayah. Dan, Dewa Kerdil sendiri telah tewas dua hari yang lalu," sahut Wirya terpaksa menjelaskan semua yang diketahuinya mengenai kakek yang berjuluk Dewa Kerdil itu.
"Ahhh! Setahuku, yang memiliki benda pusaka itu seorang tokoh sesat, bertubuh kerdil kurus dan berjuluk Setan Kerdil. Mungkinkah kakek itu telah mengganti julukan demi keselamatan dirinya? Lalu, di mana sekarang benda mustika itu, Wirya? Apakah kau masih menyimpannya?" tanya Garuda Cakar Lima yang wajahnya berubah menjadi tegang. Sebab, keterangan putranya itu jelas akan menimbulkan malapetaka bagi perguruannya. Dan, ia sadar betul akan hal itu.
"Benda itu masih ada, dan kusimpan di tempat tersembunyi, Ayah. Tapi, aku tak mengerti sama sekali, dari mana mereka memperoleh berita mengenai keberadaan Dewa Kerdil di kediaman kita? Kalau Ki Wangsa, jelas tidak mungkin menyebarkan cerita ini. Aku tahu betul kesetiaan orang tua itu, Ayah," ujar Wirya Saka, penasaran.
Pembicaraan mereka mendadak terhenti ketika samar-samar terdengar suara berkesiutan yang datang dari sebelah kirinya. Serentak keduanya menoleh sambil siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Terkejut bukan main hati Garuda Cakar Lima dan Wirya Saka ketika menyaksikan apa yang telah dilakukan Iblis Kembar. Karena, tanpa dapat mereka cegah, kedua orang iblis itu telah menyambar tubuh dua orang murid perguruan yang langsung dibekuk dan dibawanya secara paksa.
"Hm.... Kenalilah baik-baik, Garuda Cakar Lima. Bukankah kedua tikus ini adalah murid-muridmu?" geram Iblis Beruang Hitam seraya mencekal batang leher kedua murid Perguruan Cakar Baja itu. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja iblis itu telah menahan muridnya.
"Apa maksudmu, Iblis Beruang Hitam? Lepaskan kedua orang muridku yang tak berdosa itu! Dan, kalau memang jantan, mari kita bertarung sampai seribu jurus!" bentak Garuda Cakar Lima yang segera melangkah maju dengan wajah merah. Jelas, Ketua Perguruan Cakar Baja itu marah sekali dengan perbuatan Iblis Beruang Hitam yang. dinilainya terlalu lancang.
"Hm.... Hayo katakan kepada ketuamu itu! Sebutkan kapan dan di mana kau melihat kakek renta bersama majikan mudamu itu! Tunjukkan kepadaku, siapa orang yang kau sebut sebagai tuan mudamu itu?" bentak Iblis Beruang Hitam sambil menekankan jari-jari tangannya ke tengkuk lelaki berkumis tipis, yang berada dalam cekalan tangan kanannya.
"Aku.... Aku melihatnya secara tak sengaja dua hari yang lalu. Mungkin... Orang yang bersama Tuan Muda Wirya Saka itu yang... Yang kalian cari-cari...," jawab lelaki berwajah lonjong itu sambil menyeringai menahan rasa sakit akibat cengkeraman jari-jari tangan Iblis Beruang Hitam.
"Tunjukkan yang mana orang bernama Wirya Saka Ha..?" desak Iblis Beruang Hitam semakin mempererat cekalannya ke leher orang itu.
"Dia.... Itu yang memakai pakaian biru muda...," tuding lelaki itu ke arah Wirya Saka yang wajahnya menjadi pucat seketika.
"Keparat! Jadi, kau rupanya yang telah berani mengintip kamarku! Jahanam! Mengapa kau berani melakukan perbuatan tercela itu, Ludiga? Kau... Kau benar-benar tidak tahu adat..!" geram Wirya Saka yang menjadi marah besar, setelah mengetahui orang yang telah mengintip kamarnya beberapa hari yang lalu.
"Ampun... Ampun, Tuan Muda.... Aku Benar-benar tidak sengaja melakukannya...," ujar lelaki bernama Ludiga itu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Jelas, Ludiga sangat takut melihat kemarahan pemuda tampan itu. Sepengetahuannya, pemuda itu tidak pernah terlihat sampai sedemikian marahnya. Sehingga, wajah lelaki berkumis tipis itu menjadi pucat.
Wirya Saka yang sudah siap melesat ke arah Ludiga, menahan gerakannya ketika tangan ayahnya mencekal pergelangan kirinya. Sehingga, pemuda itu hanya dapat menatap dengan sinar mata seperti hendak menelan tubuh Ludiga bulat-bulat.
"Tahan emosimu, Wirya. Sebaiknya kau pergi dan tinggalkan daerah ini. Sebab, kalau kau tidak pergi, mereka tentu akan merebut mustika itu dari tanganmu. Dan, bukan tidak mungkin ketiga manusia sesat itu akan membunuhmu. Pergilah. Biar Ayah yang akan? mencoba menahan mereka bersama murid-murid lainnya," ujar Garuda Cakar Lima yang menyadari bahaya tersebut.
"Tapi..., Ayah. Tidakkah sebaiknya kita usir saja mereka...?" bantah Wirya Saka memegangi lengan ayahnya dengan wajah cemas.
"Tidak, Anakku. Kita tidak mungkin dapat menandingi kesaktian ketiga manusia sesat itu. Karena itu Ayah menyuruh kau pergi dari sini sebelum terlambat. Cepatlah! Bawa beberapa orang murid yang dapat kau percaya...," setelah berkata demikian, Garuda Cakar Lima segera melompat maju dan menghadapi ketiga tokoh sesat yang sudah bersiap melancarkan serangan.
Semua murid Perguruan Cakar Baja bergerak maju dengan senjata di tangan. Sepertinya para murid itu telah menyadari sepenuhnya akan bahaya, yang mengancam perguruan dan juga keluarga guru besar mereka.
LIMA
"Bagus...! Begitulah seharusnya...," ucap Iblis Beruang Hitam dengan suara geraman perlahan, namun mengandung ancaman maut Usai berucap demikian, kedua jari-jari tangannya menekan dengan pen- gerahan tenaga dalam yang kuat. Terdengar suara tulang berderak patah, disusul terkulainya dua orang murid Perguruan Cakar Baja. Dan, langsung keduanya melorot dari cengkeraman tokoh sesat itu.
"Bangsat keji...!" geram Garuda Cakar Lima ketika melihat kedua orang muridnya tewas dalam cengkeraman Iblis Beruang Hitam.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan murka, tubuh Garuda Cakar lima langsung melesat disertai putaran cakarnya, yang menimbulkan angin berkesiutan.
Wuttt..! Wuttt..! Wuttt..!
Sekali menyerang, Garuda Cakar Lima melontarkan serangkaian cengkeraman maut, yang mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh Iblis Beruang Hitam. Sambil mengeluarkan dengusan kasar, lelaki kekar berkepala botak, yang mengenakan mantel bulu beruang hitam itu, menggeser tubuhnya ke kanan.
Dilemparkannya tubuh dua orang murid lawan, yang telah menjadi korban keganasan cengkeramannya. Karena sudah telanjur menerjang, Garuda Cakar Lima bergegas menyambut tubuh dua mayat muridnya itu. Lalu, ditangkapnya dan diletakkan di atas tanah.
Meskipun kedua orang muridnya itu telah menjadi mayat, tapi hati lelaki gagah setengah baya itu tetap tidak tega melemparkannya begitu saja. Selagi Garuda Cakar Lima mengurusi mayat kedua orang muridnya, saat itu pula Iblis Beruang Salju langsung melesat sambil melontarkan serangkaian pukulan maut.
Bettt.! Bettt.! Bettt.!
Karuan saja serangan yang dilakukan secara licik itu, membuat Garuda Cakar Lima menjadi sibuk. Sebab, saat itu keadaannya memang sama sekali tidak siap. Sehingga, terpaksa ia mengangkat kedua tangannya bergantian guna melakukan tangkisan.
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...!"
Garuda Cakar Lima terkejut bukan kepalang ketika tangkisan yang dilakukannya justru membuat! lengannya terasa panas dan linu. Bahkan, kudakudanya tergempur sampai satu tombak jauhnya. Jelas, hal itu menandakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Iblis Beruang Salju berada beberapa tingkat di atasnya.
"Haiiit..!"
Sambil berseru keras, Garuda Cakar Lima menjejakkan kedua kakinya di tanah. Seketika itu pula tubuhnya yang tengah terhuyung melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Hal itu dilakukannya untuk menjaga keamanan dari serangan licik kedua lawannya.
"Gila....' Sama sekali tidak kusangka kalau kepandaian Iblis Kembar ternyata sangat hebat! Hm... Jelas sukar sekali untuk menandingi kedua manusia sesat berkepandaian tinggi ini. Aku harus mencari akal guna menghadapi mereka," gumam Garuda Cakar Lima sambil meringis menahan rasa nyeri pada pergelangan tangannya ketika menangkis tadi.
Sebenarnya, wajar kalau Garuda Cakar Lima merasa terkejut dengan kepandaian lawannya. Sebab, selama ini ia hanya mendengar nama kedua orang tokoh sesat itu. Dan, lelaki gagah itu benar-benar tidak pernah mimpi kalau ia akan berhadapan dengan Iblis Kembar dalam sebuah pertarungan. Walaupun Garuda Cakar Lima sama sekali tidak merasa gentar, namun jelas ada gambaran ketegangan pada wajah tuanya itu.
Belum lagi hilang rasa kagetnya mengenai kehebatan Iblis Kembar, tiba-tiba terdengar teriakan ngeri yang susul-menyusul. Cepat Garuda Cakar Lima menoleh ke arah sebelah kanannya. Dan, ia kembali terkejut ketika melihat beberapa orang murid yang di didiknya berpentalan bagaikan daun-daun kering yang tertiup angin.
"Biadab...!" desisnya ketika menyaksikan amukan Siluman Tongkat Beracun yang telah menelan korban belasan orang muridnya. Karuan saja hati Ketua Perguruan Cakar Baja itu seperti terbakar, sehingga membuat wajahnya menjadi gelap.
"Ha ha ha.... Biarkanlah murid-muridmu itu berpesta dengan Siluman Tongkat Beracun. Lebih baik kita selesaikan dulu persoalan di antara kita," ejek Iblis Beruang Salju yang kembali merangsek maju dengan serangkaian serangan-serangan maut.
Sadar kalau memang ia tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi keadaan itu, maka dengan segenap kekuatannya, disambutnya gempuran Iblis Beruang Salju. Sepasang tangannya yang membentuk cakar garuda, menyambar-nyambar dengan kekuatan hebat. Sehingga, pertarungan kedua orang tokoh itu semakin sengit dan menegangkan.
Sedangkan Iblis Beruang Hitam sendiri, tentu saja tidak mau melepaskan putra Garuda Cakar Lima begitu saja. Sebab, yang menjadi tujuan utamanya, justru pemuda tampan itu. Maka, ketika melihat Wirya Saka dan delapan orang murid ayahnya akan meninggalkan tempat itu, langsung saja tubuh lelaki kekar berkepala botak itu melesat mengejar.
"Hm.... jangan harap kalian dapat meloloskan diri dari kejaranku, Tikus Kecil...!" bentak Iblis Beruang Hitam yang langsung saja melontarkan cengkeraman-cengkeraman maut ke arah Wirya Saka.
Bettt! Bettt! Bettt!
Serangkum angin keras berkesiutan ketika sepasang cakar Iblis Beruang Hitam menyambar susul-menyusul dengan kecepatan kilat. Delapan orang murid perguruan yang ikut melarikan diri bersama pemuda tampan itu, langsung mencabut senjatanya dan menyambut sambaran cakar Iblis Beruang Hitam.
"Tuan Muda! Teruskanlah berlari! Biar kami yang akan menahan beruang tengik ini...!" seru salah seorang dari delapan lelaki gagah itu, sambil mengibaskan senjatanya guna menyambut serangan lawan.
Namun, yang dihadapi murid-murid Perguruan Cakar Baja bukanlah tokoh sembarangan. Jangankan hanya delapan orang. Bahkan, ditambah lima kali lipat lagi pun, belum tentu mereka akan dapat menghalangi gempuran tokoh sesat itu. Maka, wajar kalau hanya dalam dua gebrakan, serangan Iblis Beruang Hitam telah membuat tiga orang lawannya bergeletakan tewas.
Melihat kenyataan itu, karuan saja lima orang lainnya berlompatan mundur dengan wajah pucat. Meskipun demikian, kelima orang murid Garuda Cakar Lima tetap bertekad mencegah lelaki bermantel kulit beruang itu agar tidak mengejar majikannya.
"Haaat..!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, kelima orang itu kembali berlompatan menerjang Iblis Beruang Hitam.
"Hm.... Tikus-tikus busuk tak tahu penyakit..!" geram Iblis Beruang Hitam yang menjadi marah ketika melihat kenekatan lawan-lawannya. Maka, dengan rasa jengkel, lelaki kekar berkepala botak itu langsung! melesat dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya.
Malang sekali nasib kelima orang murid Garuda Cakar Lima. Sebab, dalam beberapa gebrakan saja, tubuh mereka terlempar ke kanan-kiri tersambar cakar-cakar maut yang sekeras baja itu. Kelima orang itu langsung menggelepar dengan tubuh bersimbah darah. Tak lama kemudian, tubuh murid-murid Perguruan Cakar Baja itu diam dan tak bergerak lagi.
Mereka tewas di tangan Iblis Beruang Hitam yang terkenal ganas dan keji itu. Selesai menghabisi kedelapan orang lawannya, Iblis Beruang Hitam langsung melesat melakukan pen- gejaran terhadap Wirya Saka yang menjadi sasaran utamanya. Namun, bukan main geramnya hati tokoh sesat itu ketika ia tidak menemukan jejak buruannya.
"Setan! Ke mana perginya pemuda kurang ajar itu...! Awas! Kalau sampai kutemukan? Akan ku cabik-cabik seluruh tubuhnya!" geram Iblis Beruang Hitam sambil mengepalkan tinjunya sehingga terdengar suara berkerotokan nyaring.
Setelah mencari sampai ke bagian luar bangunan, namun tetap tak ditemukan jejak buruannya, Iblis Beruang Hitam bergegas kembali ke tempat semula dan menemui saudara kembarnya. Iblis Beruang Hitam menghentikan langkahnya ketika dari kejauhan ia melihat saudara kembarnya berlari mendatangi. Sekali lihat saja, sudah dapat diduganya kalau Iblis Beruang Salju telah berhasil menundukkan Garuda Cakar Lima yang menjadi lawan saudaranya itu.
"Bagaimana, Kakang..? Apakah kau sudah berhasil mendapatkan benda mustika itu...?" tegur Iblis Beruang Salju seperti tak sabar untuk mendengar penjelasan dari saudara tuanya itu.
"Hhh..., sayang aku tidak berhasil menemukan bocah keparat itu, Adi? Bagaimana dengan Garuda Cakar Lima? Apakah tua bangka yang sombong itu sudah kau bereskan?" ujar Iblis Beruang Hitam balik bertanya setelah menjawab teguran adiknya.
"Tua bangka keras kepala itu terpaksa kubunuh. Karena meski sudah tidak berdaya setelah ku lukai, tetap saja ia tidak mau memberikan keterangan mengenai benda itu. Sedangkan Siluman Tongkat Beracun telah lebih dulu menghilang, setelah menghabisi seluruh murid Perguruan Cakar Baja. Mungkin saat ini ia tengah melakukan pengejaran terhadap Wirya Saka. Sepertinya ia sudah dapat menduga kalau pemuda itu pasti melarikan diri dari tempat ini," jelas Iblis Beruang Salju dengan wajah kecewa ketika mendengar tentang kegagalan saudara tuanya itu.
"Hm…" Kalau begitu, kita habisi saja seluruh wanita dan anak-anak yang berada di dalam bangunan perguruan ini. Setelah itu, baru kita mencari putra Garuda Cakar Lima," usul Iblis Beruang Hitam yang sepertinya menjadi kalap karena tidak berhasil menemukan benda yang dicari-carinya itu. Usai berkata demikian, kakinya melangkah menuju bangunan utama Perguruan Cakar Baja.
"Percuma, Kakang. Semuanya sudah dibantai habis oleh Siluman Tongkat Beracun. Rupanya saingan kita itu merasa geram dan jengkel. Sehingga, rasa kesalnya dilampiaskan kepada seluruh penghuni perguruan ini. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini," ajak Iblis Beruang Salju sambil memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan. Jelas, lelaki botak bermantel kulit beruang salju itu merasa gembira akan apa yang telah dilakukan Siluman Tongkat Beracun.
"Hm.... Baguslah kalau begitu. Berarti kita tidak perlu mengotori tangan lagi untuk membantai mereka. Ayolah, kita tinggalkan tempat slat ini," ujar Iblis Beruang Hitam yang segera membalikkan tubuhnya, dan mengajak saudaranya untuk meninggalkan Perguruan Cakar Baja. Dalam sekejap mata, tubuh Iblis Kembar lenyap di balik pagar kayu bulat yang mengelilingi perguruan. Dan yang tinggal hanya puluhan mayat murid Perguruan Cakar Baja berikut ketuanya, Garuda Cakar Lima.
********************
Semilir angin pegunungan yang sejuk, mengiringi langkah kaki seorang pemuda tampan berjubah putih. Rambutnya yang panjang berkibar dipermainkan angin. Namun, wajah yang tampan dan bersih itu, selalu terhias senyuman lembut dan tenang. Sehingga, membuat orang suka bila melihatnya. Sebab, penampilan pemuda berjubah putih itu menimbulkan kesan ramah dan murah senyum.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Kedatangannya tepat saat diselenggarakan pekan yang biasa diadakan dua hari setiap minggu. Maka, tidak heran kalau hari itu suasana di Desa Ampenan tampak jauh lebih ramai daribiasanya. Namun, keramaian dan kebisingan itu sama sekali tidak mengganggu langkah pemuda berjubah putih. Kedua kakinya terus terayun menyusuri keramaian itu, dan sampai di sebuah kedai makan yang saat itu sangat ramai dikunjungi orang.
"Ada yang bisa kubantu, Kisanak...?" tanya seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan nada ramah. Menilik dari pakaian yang dikenakannya, jelas lelaki itu merupakan pelayan kedai yang bertugas menyambut pengunjung.
"Wah, ramai sekali kedaimu hari ini, Paman," ucap pemuda tampan itu tersenyum, sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai. Kemudian dipesannya makanan dari pelayan yang datang menghampirinya.
"Begitulah, Kisanak. Selain kedai ini merupakan yang terbaik di Desa Ampenan, kebetulan juga hari ini bertepatan dengan diadakannya pekan. Tentu saja suasana lebih ramai dan bising dari hari-hari biasa. Mmm..., Kisanak dari mana...? Sepertinya baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh...?" tanya pelayan kedai yang bertugas menyambut para tamu itu, setelah melihat pakaian pemuda itu tampak lusuh dan agak berdebu.
"Benar, Paman. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan merasa tertarik melihat ramainya Desa Ampenan. Mmm..., jadi ini adalah Desa Ampenan...?" tegas pemuda tampan itu seraya melebarkan senyumnya dan mengedarkan pandangan melalui jendela di samping kanannya.
"Yah, desa ini bernama Ampenan. Tapi, jangan Kisanak tanyakan mengapa desa ini bernama demikian. Sebab, aku sendiri tidak mengetahui asal-usulnya...," ujar pelayan berwajah ramah itu berseloroh. Sehingga, keduanya sama-sama tertawa.
Pembicaraan keduanya terhenti ketika pelayan yang bertugas melayani pesanan para tamu datang membawa pesanan pemuda berjubah putih itu.
"Terima kasih...," ucap pemuda tampan berjubah putih itu, setelah hidangannya tertata rapi di atas meja. "Silakan dicicipi, Kisanak. Semoga makanan di desa ini sesuai dengan selera mu...," ujar pelayan berwajah ramah itu. Kemudian bergegas meninggalkan pemuda itu. Lalu, dinikmatinya hidangan itu tanpa terburu-buru.
"Ah, Kakang Juladi... Silakan.... Silakan, Kakang...," terdengar pelayan berwajah ramah yang berdiri di dekat pintu kedai itu berseru gembira dan penuh hormat. Seorang lelaki gagah berkumis lebat, nampak melangkah memasuki kedai. Wajah muram itu tersenyum sekilas kepada pelayan yang menyambut kedatangannya. Sehingga membuat pelayan, yang sepertinya telah mengenai baik lelaki gagah itu, mengerutkan kening. Jelas, ia merasa heran dengan kemurungan wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Juladi itu.
"Ada apa, Kakang..? Sepertinya hatimu sedang susah hari ini?" kembali pelayan tua itu bertanya sambil menjajari langkah Juladi yang tengah menuju ke arah meja.
"Hhh..., bencana besar, Adi. Benar-benar mengerikan, dan membuat hati penasaran," sahut Juladi yang segera menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya sambil menghembuskan napas panjang.
"Bencana besar...? Mengerikan...? Apa maksud Kakang? Aku... Aku tidak mengerti...?" gumam pelayan itu mengerutkan keningnya semakin dalam. Kemudian dengan penuh tanda tanya, ia pun segera duduk di sebelah Juladi. Jelas sekali, rasa penasaran hatinya ketika mendengar kata-kata lelaki gagah itu.
"Hhh..., selepas subuh tadi, aku berpamitan kepada kepala desa untuk menjenguk saudaraku yang tengah menderita sakit Karena saudaraku tinggal di desa sebelah, maka dengan sendirinya aku melalui Perguruan Cakar Baja yang letaknya memang berada di luar desa ini. Tahu kau, apa yang menyebabkan aku kembali dan menunda perjalananku itu...?" tanya Juladi menghentikan ceritanya dan menatap pelayan itu lekat-lekat.
Pelayan berwajah ramah itu menggelengkan kepalanya dengan wajah bodoh. Sehingga, Juladi kembali melanjutkan ceritanya.
"Pada saat aku melintasi pintu gerbang perguruan itu, tiba-tiba hatiku merasa tidak enak. Sebab, tidak biasanya Perguruan Cakar Baja sepi dan tidak terlihat seorang pun penjaga. Perasaan tidak enak itu semakin kuat mencengkeram hatiku. Karena semilir angin yang berhembus, menebarkan bau busuk seperti bangkai!" jelas Juladi menekankan kata katanya dengan suara rendah, tapi cukup jelas bagi beberapa orang yang berada tidak jauh dari tempatnya. Termasuk pemuda berjubah putih yang terlihat mulai mengangkat kepalanya perlahan Jelas, ia tertarik dengan cerita lelaki bernama Juladi itu.
"Lalu..., apa yang Kakang lakukan...?" desak pelayan itu sambil merapatkan kursinya dengan perasaan tegang.
"Merasa penasaran, aku segera melompat turun dari punggung kuda, dan melangkah mendekati pintu gerbang. Karena beberapa kali kupanggil tiada sahutan, maka aku, memberanikan diri mengintai dari celah-celah pintu gerbang. Kaget bukan main hatiku ketika menyaksikan pemandangan di halaman depan Perguruan Cakar Baja. Sebab, di sana kulihat puluhan murid perguruan itu tampak bergeletakan dengan bau anyir darah yang memualkan. Setelah memastikan puluhan sosok tubuh itu sudah menjadi mayat, langsung saja aku kembali dan melaporkan kepada kepala desa...," ujar Juladi kembali menghentikan ceritanya. Perlahan diteguknya air yang telah dihidangkan seorang pelayan di atas mejanya.
"Bagaimana, pendapat Ki Cagak? Apa tindakan beliau setelah mendengar laporan Kakang..?" tanya pelayan itu tak sabar.
"Yah, beliau langsung saja menyuruhku untuk menemaninya melihat perguruan itu. Dugaanku ternyata benar, Adi. Puluhan mayat murid-murid Perguruan Cakar Baja bergeletakan dalam keadaan mulai membusuk!"
"Tapi..., mengapa Kakang sekarang berada di sini? Apakah Ki Cagak juga sudah kembali bersama Kakang...?"
"Tidak. Ki Cagak tetap berada di sana. Sedangkan aku diperintahkannya untuk kembali ke desa, guna mengambil peralatan untuk penguburan dan membawa beberapa orang kawan. Wah, aku harus bergegas Adi. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu. Aku hanya singgah sebentar untuk menanyakan kabar tentang anak majikanmu. Apakah dia sudah kembali dari rumah pamannya yang berada di seberang sungai itu?" tanya Juladi agak malu-malu.
Sambil berkata demikian, lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu melirik ke kiri-kanan. Sehingga, beberapa orang yang tengah melihat ke arahnya, langsung saja memalingkan muka dengan wajah kaget.
Juladi yang merupakan tangan kiri Kepala Desa Cagak itu tersenyum tipis. Untunglah suaranya agak direndahkan ketika ia bertanya tentang anak gadis pemilik kedai itu, yang memang sudah lama di incarnya. Dan, tidak ada seorang pun yang mengetahui perasaan hatinya, kecuali pelayan berwajah ramah itu. Sebab, pelayan itu yang selama ini selalu memberikan keterangan semua yang menyangkut anak gadis majikannya. Setelah meneguk tandas minumannya, Juladi pamit. Dan melangkah meninggalkan kedai itu. Sedang pelayan yang menjajari langkahnya mengantar sampai ke ambang pintu.
"Kalau tidak salah, besok Nyai Lasih akan kembali. Nanti kusampaikan kalau Kakang Juladi sudah rindu dan ingin berjumpa. Bagaimana menurutmu, Kakang...?" tegas pelayan itu tersenyum simpul sambil mengerjap-ngerjapkan matanya menggoda.
"Sesuka kaulah...," sahut Juladi sambil bergegas melompat ke atas punggung kudanya. Seraya melambaikan tangannya sebelum meninggalkan kedai.
"Hei, mau ke mana, Kisanak? Mengapa terburu-buru? Apakah hidangan di kedai ini tidak berkenan dengan selera mu...?" tegur pelayan itu ketika membalikkan tubuhnya, dan melihat pemuda berbaju putih yang hendak melangkah keluar.
"Ah, hidangan di kedai ini memang benar-benar memuaskan, Paman. Lihat saja, semua hidangan itu sudah ludes dan berpindah ke dalam perutku," sahut pemuda itu sambil menepuk perutnya perlahan "Sayang aku harus melanjutkan perjalanan. Sehingga tidak bisa berlama-lama disini." Dan sambil tetap tersenyum, pemuda itu kemudian melangkah meninggalkan kedai.
"Hm Seorang pemuda yang ramah dan menarik. Aku suka kepadanya. Kalau saja ia dapat tinggal di desa ini, aku yakin ia akan menjadi rebutan para gadis...," gumam pelayan itu mengikuti langkah pemuda berjubah putih dengan tatapan matanya. Ia baru berbalik setelah bayangan pemuda berjubah putih itu lenyap di tengah keramaian orang-orang yang berbelanja di pekan.
********************
ENAM
Pemuda berbaju putih yang tidak lain Panji, baru saja mengerahkan ilmu lari cepatnya setelah melalui tempat sunyi. Sengaja kepandaiannya dikerahkan untuk mendahului lelaki gagah bernama Juladi yang] dilihatnya di kedai. Panji yang merasa tertarik dengan cerita lelaki berkumis lebat itu, segera menyelesaikan hidangannya ketika melihat lelaki itu pergi. Setelah cukup lama berlari melintasi hutan kecil dan semak belukar, pemuda tampan itu tiba di sebuah jalan yang cukup lebar.
"Hm..., Juladi dan kawan-kawannya pasti melewati tempat ini. Sepertinya aku telah sampai lebih dulu dari mereka...," gumam Panji yang segera melangkah pelan menyusuri jalan berbatu.
Tidak berapa lama berjalan, pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda di belakangnya. Suara derap yang semakin dekat itu sama sekali tidak dipedulikannya. Kakinya tetap saja melangkah pelan tanpa menoleh ke belakang. Apa yang diperkirakan Panji ternyata tidak meleset Sebab, rombongan orang berkuda yang beberapa tombak di belakangnya memang dipimpin oleh Juladi. Ketika rombongan itu melintas di sampingnya, bergegas Panji menyingkir ke tepi jalan. Kepalanya menoleh sekilas ke arah rombongan itu.
"Eh? Bukankah pemuda berjubah putih itu yang tadi kulihat di kedai? Bagaimana ia tahu-tahu telah berada di tempat ini...?" gumam Juladi sempat mengerutkan keningnya ketika melewati Panji. Tampak gambaran rasa heran diwajah lelaki gagah itu. "Hm... Mungkin hanya pakaiannya saja yang serupa. Sebab, mustahil kalau ia bisa mendahuluiku."
Tanpa mempedulikan Panji lagi, Juladi kembali melarikan kudanya mendahului pemuda berjubah putih itu. Dibuangnya semua dugaan yang sangat mustahil menurut pemikirannya.
Sedang Panji yang tidak menduga kalau lelaki itu sempat memperhatikannya ketika di kedai, menjadi kagum akan ketelitian lelaki gagah itu. Setelah rombongan yang terdiri dari lima belas orang penunggang kuda itu sudah lenyap, kembali Panji melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan ilmu lari cepat. Ia terus membayangi rombongan Juladi. Dan, baru menghentikan larinya ketika mereka tiba di depan sebuah bangunan perguruan.
Ketika seorang di antara dua lelaki yang menjaga di depan gerbang mempersilakan, Juladi beserta rombongannya bergegas memasuki bangunan. Panji keluar dari persembunyian setelah rombongan Juladi dan kedua orang penjaga pintu gerbang itu lenyap di balik pagar kayu bulat, yang mengelilingi bangunan itu. Bagaikan seekor burung besar, tubuh pemuda berjubah putih itu melayang naik di samping kanan bangunan itu. Dan, mendarat ringan pada sebatang cabang pohon yang tumbuh di tempat itu.
"Seluruh penghuni perguruan ini tewas, Juladi, Kecuali mayat Wirya Saka yang belum dapat kita temukan. Baik bagian dalam maupun luar perguruan ini sudah diperiksa dalam jarak puluhan tombak. Namun, tidak seorang pun yang menemukan mayat putra Ketua Perguruan Cakar Baja. Benar-benar mengherankan...," ujar seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun Melihat dari sikap dan cara Juladi menghadapinya, jelas orang tua itu Ki Cagak, Kepala Desa Ampenan.
"Nampaknya, kita memang sukar menemukan penyebab kejadian ini, Ki. Entah bagaimana nasib putra Garuda Cakar Lima itu. Mungkinkah orang yang melakukan pembantaian ini telah menculiknya?" gumam Juladi mengerutkan keningnya sambil menatap Ki Cagak.
"Rasanya tidak mungkin, Juladi. Kejadian ini pasti ada penyebabnya. Melihat dari luka-luka pada tubuh-tubuh mayat ini, jelas kalau yang melakukannya bukan satu orang Entah ini disebabkan karena dendam atau apa. Yang jelas, aku belum bisa menjawabnya. Lebih baik kita kubur dulu mayat-mayat ini. Dan, kita tidak berhak mencampurinya. Menurutku, semua ini ada kaitannya dengan orang-orang rimba persilatan," ucap Ki Cagak yang segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengubur seluruh mayat-mayat itu, agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan penduduk desanya.
"Jadi, kita harus berdiam diri, Ki...?" tanya Juladi menatap tajam wajah orang tua itu menuntut penjelasan.
"Yahhh..., karena kita sama sekali tidak tahu penyebabnya. Bisa saja pelakunya yang bersalah, dan bisa juga perguruan ini yang bersalah. Nah, menurutmu, apa tindakan yang harus lata ambil?" Ki Cagak balik bertanya dengan senyum tipis menghias wajahnya. Jelas, orang tua itu tidak ingin adanya tuduhan tersembunyi yang diajukan pembantunya itu.
Mendengar ucapan kepala desanya, Juladi bungkam. Sebab, ia sendiri tidak mengetahui, siapa yang bersalah dalam kejadian itu. Sehingga, ia tidak bisa menentukan sikap, ke mana harus berpihak.
"Sudahlah, Juladi. Kita hanya orang-orang desa, dan bukan kaum rimba persilatan. Kejadian ini jelas berhubungan dengan kaum persilatan. Karena itu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali para pembantai itu mengganggu ketentraman desa kita. Itu baru menjadi tanggung jawab kita," jelas Ki Cagak yang kemudian melangkah meninggalkan pembantunya, yang masih termenung memikirkan semua ucapan kepala desanya.
Sementara Pendekar Naga Putih yang ikut mendengarkan-pembicaraan kedua orang itu, termenung sesaat Semula ia hendak keluar dari persembunyianya dan menemui kedua orang itu. Namun, ketika ia mendengar bahwa mereka tidak mengetahui secara jelas duduk masalahnya, Panji segera memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, dan mencoba mencari putra Garuda Cakar Lima yang bernama Wirya Saka.
Tanpa sepengetahuan orang-orang yang berada di dalam bangunan itu, tubuh Panji segera melesat meninggalkan tempat itu. Ia memutuskan untuk mengambil jalan ke Selatan. Sebab, menurutnya kalau memang Wirya Saka melarikan diri, tidak mungkin ia melalui tempat sunyi yang dipenuhi semak belukar. Sebaliknya, pemuda itu pasti memilih jalan ramai, yang sama sekali diluar dugaan para pengejarnya.
********************
Pemuda berjubah putih itu melangkah tenang menyusuri jalan berbatu kecil yang cukup lebar. Semilir angin yang membelainya, membuat pikiran Panji teringat akan Kenanga, kekasihnya. Ingatan tentang dara jelita yang ditinggalkannya. di sebuah desa terpencil bernama Desa Pugar, membuatnya tiba-tiba merasa rindu dalam suasana yang sunyi itu.
"Hm.... Dalam kehidupan ini, memang terkadang lebih sering kita mengorbankan perasaan untuk kepentingan orang lain. Seperti yang kembali ku alami. Bencana penyakit menular yang mewabah di Desa Pugar, terpaksa memisahkan aku dari Kenanga. Sebagai seorang pendekar, tentu saja aku tidak bisa tinggal lama di desa itu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau di tempat lain tengah terjadi bencana yang sifatnya berlainan," gumam pemuda tampan berjubah putih itu dalam hari. Sesekali kepalanya yang tertunduk itu terangkat menatap gumpalan mega biru.
Panji menghela napas panjang dan menekan kerinduan yang mendera jiwanya. Sebagai pemuda gemblengan tokoh sakti, ia memiliki kekuatan batin yang melebihi ukuran manusia biasa. Namun, kerinduan itu sulit dilenyapkan seketika. Sebab, pendekar gemblengan seperti Panji tetap manusia biasa, yang memiliki perasaan sebagaimana manusia umumnya. Sehingga, wajar kalau pemuda perkasa itu memiliki perasaan yang sama dengan pemuda-pemuda lain yang sebayanya.
Dan kini, apa yang ditemuinya di dalam perjalanan, telah membuatnya bertekad untuk mengungkapkan rahasia itu. Peristiwa pembantaian di Perguruan Cakar Baja dan lenyapnya putra ketua perguruan itu, telah menimbulkan jiwa kependekarannya. Perjalanannya kali ini karena ia ingin mencari putra Garuda Cakar Lima yang bernama Wirya Saka.
Teringat akan kewajibannya sebagai seorang pendekar, semakin membuat rindunya terhadap Kenanga tersingkir. Karena dirinya telah digariskan untuk melakukan kewajiban seperti itu. Dan, Panji tidak bisa menghindarinya. Semenjak kecil ia telah dididik untuk menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran. Dan, semua itu telah berakar di dalam batinnya. Apalagi ia sangat menyukai kewajibannya itu. Maka, dengan sendirinya Panji tidak merasakan beban dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai seorang pendekar.
Dengan tanpa mengenai lelah dan putus asa, Panji selalu bertanya pada setiap desa atau pedusunan kecil yang disinggahinya. Dan, semua keterangan yang diperolehnya, telah membawa langkah Pendekar Naga Putih semakin jauh memasuki pedalaman wilayah Selatan. Sebab, dari beberapa desa yang pernah disinggahinya, ia mendapat keterangan tentang seorang pemuda asing berwajah lusuh dan selalu menggambarkan kecemasan menuju ke pedalaman Selatan.
Sehingga, Panji berusaha menyelusuri jejak yang diduga pasti jejak Wirya Saka. Apalagi keterangan dari beberapa penduduk desa menggambarkan usia pemuda asing itu sekitar satu atau dua tahun lebih muda darinya. Semakin bertambah kuat dugaan Pendekar Naga Putih, pemuda itu pasti Wirya Saka.
"Hm.... Sebentar lagi kegelapan sudah mulai berkuasa. Aku harus menemukan tempat untuk bermalam. Mudah-mudahan saja ada sebuah desa di sekitar tempat ini. Kalau tidak, terpaksa aku harus bermalam di dalam hutan lagi," gumam Panji, menengadahkan kepalanya, dan menatap sinar jingga yang nampak di kaki langit sebelah Barat. Bergegas pemuda itu mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk berpacu dengan sang waktu. Sekejap saja, tubuhnya telah melesat bagai bayangan hantu yang lenyap di balik pepohonan dan bebatuan besar.
********************
Saat itu, matahari memancar terik. Sinarnya dengan garang menebar ke permukaan bumi. Panasnya sengatan sinar matahari siang itu, membuat hembusan angin terasa hangat. Namun, sosok tubuh yang berpakaian lusuh tampak tidak mempedulikan panasnya sinar matahari. Meski langkahnya nampak lelah, sosok lusuh yang ternyata seorang pemuda tampan itu, tetap melanjutkan perjalanannya.
Peluh yang membasahi wajah dan pakaiannya, sama sekali tidak dipedulikan Wajah tampan itu tampak agak kecoklatan karena sering di sengat cahaya matahari. Ketika tiba di mulut sebuah hutan, pemuda yang usianya paling sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun itu, menghempaskan tubuhnya di bawah pohon berdaun lebat Sehingga, ia terlindung dari sengatan sinar matahari.
"Huhhh...," terdengar helaan napas yang keluar dari mulutnya. Peluh yang berlelehan di wajahnya, dihapusnya dengan lengan baju yang juga kumal itu.
"Gila...! Panas sekali udara siang ini...," desah pemuda itu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan hijau yang tebal. "Ah, aku harus mencari aliran sungai di sekitar tempat ini. Rasanya akan segar kalau tubuh penat ini dapat berendam di air jernih yang sejuk "
Mendapat pikiran demikian, pemuda berwajah lusuh itu bergegas bangkit, dan melangkah memasuki hutan semakin ke dalam. Tidak berapa lama kemudian, tibalah ia di sebuah tepian sungai yang berair jernih. Namun, ketika ia hendak melepaskan pakaiannya, tiba-tiba telinganya menangkap gerakan langkah kaki beberapa orang dari sebelah belakangnya.
Wajah pemuda itu tampak tegang ketika ia melihat belasan orang bertampang kasar dan beringas, bergerak menghampirinya. Tubuh orang-orang itu tinggi besar dengan wajah terhias cambang bauk yang kotor. Jelas, mereka adalah orang-orang liar yang tinggal di wilayah hutan itu.
"Maaf, bolehkah aku tahu, siapakah kalian? Dan adakah yang bisa kubantu...?" sapa pemuda berwajah lusuh itu mencoba bersikap ramah dan bersahabat.
Namun, belasan orang lelaki kasar berwajah menyeramkan itu, sama sekali tidak menanggapi. Mereka terus saja melangkah maju dengan sinar mata mengancam. Melihat dari sikapnya, Jelas rombongan lelaki kasar itu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemuda itu. Rombongan lelaki kasar itu baru menghentikan langkahnya, dalam Jarak satu tombak di hadapan pemuda yang bernama Wirya Saka. Kemudian salah seorang yang sepertinya merupakan pimpinan orang-orang kasar itu, melangkah maju mendekati Wirya Saka.
"Hm..., kau telah lewat di daerah kekuasaan kami tanpa izin! Sekarang, cepat serahkan barang-barangmu!" ujar lelaki bertubuh raksasa itu dengan logat yang aneh dan terdengar kaku.
Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, menyadarkan Wirya Saka kalau saat itu ia tengah berhadapan dengan gerombolan manusia liar, yang sering merampas dan mencelakai orang. Sehingga, tanpa sadar pemuda itu meraba gagang pedang yang tersembunyi di balik pakaiannya. Karena ia sudah menduga kalau perkelahian tidak mungkin dapat dihindarkan. Ia pun tahu orang-orang seperti itu sama sekali tidak memiliki rasa kasihan, dan tanpa peduli siapa pun korbannya.
"Maaf, Kisanak. Aku adalah seorang pengelana miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Bahkan, pakaian yang ku kenakan hampir tidak ada bedanya dengan kalian. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa memberikan sesuatu untuk kalian semua...," sahut Wirya Saka dengan wajah tegang.
Kecemasan yang tergambar di wajah pemuda itu tentu saja merupakan suatu yang wajar. Sebab, selain jumlah kawanan manusia liar itu cukup banyak, mereka tampak bertenaga kuat. Mungkin hal itu disebabkan lingkungan kehidupan mereka yang keras dan penuh tantangan. Sehingga, mereka sama sekali tidak mengenai arti kesopanan.
"Hm..., jangan kau pikir dapat mengelabui aku, Manusia Muda! Kulihat di pinggang kirimu ada bungkusan kain kuning. Nan, coba kau berikan benda itu kepadaku!" sambil berkata demikian, lelaki bertubuh raksasa itu langsung mengulurkan tangannya hendak mengambil bungkusan kain kuning di pinggang Wirya Saka.
Wuttt!
Uluran jari-jari tangan yang tampak kokoh itu, menangkap angin kosong. Karena Wirya Saka telah menggeser tubuhnya dengan melangkah dua tindak kebelakang. Dengan sendirinya sambaran tangan lawannya luput.
"Ghrrr...! Rupanya kau hendak melawan, Anak Muda! Kalau begitu, kau akan ku rencah!" geram lelaki bertubuh seperti raksasa itu segera melompat dan menerkam tubuh pemuda itu.
"Tahan...!" seru Wirya Saka dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, seruannya sempat membuat lelaki kasar itu menghentikan gerakannya.
Terlihat lelaki bertubuh seperti raksasa itu tertegun dengan bola mata miliar. Jelas, suara teriakan pemuda itu sempat membuatnya heran. Sebab, suara teriakan pemuda itu terasa menggetarkan bagian dalam dadanya. Terdengar suara menggereng bagaikan harimau luka, yang keluar dari kerongkongan lelaki itu.
"Kisanak. Harap jangan mencari perkara. Bukankah di antara kita tidak ada permusuhan? Lagi pula, apa untungnya kalian merebut benda tak berharga ini dari tanganku?" ujar Wirya Saka sambil tangan kirinya mengangkat bungkusan kain kuning itu. Sedangkan tangan kanannya tetap memegang hulu pedang Jelas, pemuda itu telah siap bila orang-orang kasar itu memaksakan kehendaknya.
"Kalau memang benda itu tidak berharga, coba tunjukkan kepadaku...!" desak lelaki seperti raksasa itu dengan suara menggeram. Sambil berkata demikian, kakinya melangkah maju mendekati Wirya Saka.
Tentu saja Wirya Saka tidak sudi memenuhi permintaan lelaki itu. Sebab, bila ia menunjukkan benda mustika itu, pasti mereka akan merebutnya. Sehingga, pemuda itu terpaksa bungkam dan kembali menyimpan bungkusan kain kuning itu di pinggangnya.
"Kurang ajar...!" geram lelaki bertubuh raksasa itu dengan wajah gelap. Tangan kanannya bergerak melambai. Gerakan itu jelas merupakan perintah kepada kawan-kawannya untuk menyerbu Wirya Saka.
"Yeaaa...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki bertubuh raksasa bergerak menyerbu Wirya Saka sembari berteriak-teriak serak.
Sadar kalau perkelahian tidak mungkin dapat dihindarkan lagi, Wirya Saka bergegas mencabut keluar senjatanya.
Whuuut..!
Sinar putih berkeredep menyilaukan dengan di sertai suara mengaung tajam. Senjata itu langsung bergerak menyilang beberapa kali dengan menimbulkan suara mendengung. Namun, belasan lelaki kasar bertubuh raksasa itu sepertinya sama sekali tidak mengenai rasa takut Mereka terus bergerak maju, tanpa mempedulikan sambaran pedang pemuda itu.
Bettt! Bettt!
Wirya Saka menggeser langkahnya seraya menarik mundur tubuhnya ke belakang. Sehingga, dua orang yang melancarkan cengkeraman ke tubuhnya hanya mengenai daerah kosong. Gerakan yang dilakukan pemuda itu, ternyata tidak berhenti begitu saja, melainkan pedang di tangannya berkelebat menyilang beberapa kali ke arah dua orang lawan, yang lebih dahulu tiba di dekatnya itu.
Wukkk! Takkk! Takkk!
"Aaah...!"
Kaget bukan main hari Wirya Saka, ketika kedua orang itu menangkis pedangnya dengan tangan telanjang. Dan hebatnya, justru senjata pemuda itu yang berbalik. Seolah yang dihantamnya bukan lengan manusia, melainkan segumpal baru cadas yang keras.
"Gila...!" desis Wirya Saka yang segera melompat mundur dan berjumpalitan beberapa kali menjauhi lawannya.
Dengan wajah keheranan, Wirya Saka menatap mata pedangnya. Pemuda itu baru dapat menarik napas lega ketika mendapati mata pedangnya tidak rusak. Sebab, hatinya merasa khawatir ketika merasakan pedangnya seperti membentur benda keras yang kuat.
Kalau saja ia tidak membuktikannya sendiri, rasanya pemuda itu tidak akan mempercayai kalau ada orang yang mampu menahan tebasan pedangnya dengan tangan telanjang. Bahkan, saat itu sepertinya ia masih belum mempercayai apa yang. baru saja dialaminya itu. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu hanya dapat berdiri dengan mata membelalak.
TUJUH
"Yeaaa...!"
Wirya Saka sadar dari keterpakuannya ketika dikejutkan suara-suara teriakan orang-orang kasar itu. Cepat pemuda itu melompat mundur, menghindari sambaran dua bilah pedang yang mengancam tubuhnya.
Whuuut! Whuuut!
Dua batang senjata yang berdesing nyaring itu, berhasil dielakkannya. Namun, hati pemuda itu terkejut ketika melihat pedang-pedang yang luput dari sasaran itu, bergerak memutar secara aneh dan kembali mengejarnya.
"Haiiit..!"
Menyadari kalau terus-menerus menghindar, senjata-senjata itu tidak akan berhenti mengejarnya. Dengan nekat, pemuda itu mengerahkan segenap kekuatan tenaga saktinya, dan langsung memapaki sambaran dua batang senjata lawannya. Dan....
Trang! Trang!
"Uuuh !"
Putra Garuda Cakar Lima itu kembali memekik untuk kedua kalinya. Sebab, pedang yang dipakai memapaki serangan lawan itu, membalik cepat dan mengancam wajahnya. Segera pemuda itu melemparkan tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
"Gila...! Tenaga mereka ternyata sangat kuat sekali...!" keluh Wirya Saka sambil mengurut tangan kanannya yang terasa bagaikan patah tulang-tulangnya. Kenyataan itu semakin membuat hatinya bertambah cemas. Sadar kalau ia tidak bakal dapat menandingi orang-orang kasar itu, maka Wirya Saka mencoba memutar otaknya, mencari jalan untuk lolos.
"Kepung rapat! Jangan biarkan pemuda itu lolos!"
Terdengar suara parau yang keluar dari mulut pemimpin belasan orang lelaki bertubuh raksasa itu. Hal itu mencerminkan pikirannya cukup cerdik. Sehingga dapat membaca gelagat pada wajah dan sikap Wirya Saka.
"Setan...!" desis Wirya Saka yang menjadi geram melihat lawan-lawannya semakin rapat mengurung. Karuan saja hati pemuda itu semakin bertambah cemas. Dengan mencoba tetap bersikap tenang, Wirya Saka menghadapi belasan orang lelaki kasar itu dengan pedangnya. Diputarnya pedang itu hingga membentuk gulungan sinar, yang membungkus sekujur tubuhnya.
"Heaaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan keras, tubuh pemuda itu melesat menyambut serangan para pengeroyoknya. Menyadari gerakan lawan terlihat rata-rata lambat, Wirya Saka bertempur dengan mengandalkan kecepatan geraknya. Meskipun agak terdesak, Wirya Saka terus berkelebatan di antara sambaran senjata-senjata lawannya! Sesekali pedang di tangannya berkeredep membabat tubuh lawan.
Takkk! Takkk!
"Uuuh...!"
Untuk kesekian kalinya, tubuh pemuda itu kembali terjajar limbung. Karena tebasan pedangnya yang menghantam tubuh lawan telah terbalik, sehingga membuat lengannya ngilu dan kesemutan Tentu saja kenyataan itu makin membuyarkan harapannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman orang-orang liar itu.
Wuttt! Crabbb! Crabbb!
Tiga batang pedang yang besar dan bermata kasar itu, menghantam tanah tempat tubuh pemuda itu terjatuh. Untunglah ia masih sempat bergulingan. Sehingga, tubuhnya tidak sampai menjadi sasaran senjatalawannya. Setelah beberapa kali bergulingan guna menghindari sambaran senjata pengeroyoknya, tubuh Wirya Saka melenting bangkit seraya memutar senjatanya melindungi tubuh.
"Heeeaaa...!"
Wuttt..!
Wirya Saka menggeser tubuhnya ke samping, ketika sebatang senjata lawan menusuk dadanya dengan kekuatan hebat Pemuda itu tidak lagi berani untuk menangkis. Sebab, ia sadar kalau hal itu hanya akan membuatnya rugi. Meskipun disadarinya bahwa tubuh lawannya rata-rata memiliki kekebalan, putra Ketua Perguruan Cakar Baja tetap melancarkan serangan balasan ke arah musuhnya. Pedang di tangannya berkelebat cepat menusuk belakang telinga lawannya yang tengah terjerembab akibat tusukannya yang luput itu.
Crakkk!
"Aaargh...!"
Girang bukan main hati Wirya Saka ketika melihat lawannya meraung keras, terbabat ujung pedangnya yang ternyata mampu melukai lawan. Lelaki bertubuh raksasa yang menjadi korban ujung pedang Wirya Saka, terjajar mundur sambil memegangi telinga kirinya. Dari sela-sela jari tangan orang itu, nampak mengalir darah segar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu langsung melesat dan kembali menusukkan senjatanya ke bagian belakang telinga lawannya. Sebab matanya telah terbuka kalau bagian di tubuh orang itu, ternyata sama sekali tidak kebal seperti di bagian lain tubuh raksasa itu.
"Yeaaat..!"
Dengan diiringi pekikan nyaring yang penuh semangat, Wirya Saka kembali menusukkan ujung pedangnya ke bagian belakang telinga kanan lawannya yang terluka itu.
Crattt!
"Akh...!"
Kembali lelaki bertubuh raksasa itu menjerit dari terhuyung limbung. Sedangkan tempat yang menjadi sasaran ujung pedang Wirya Saka, tampak darah segar mengucur. Semangat pemuda itu semakin menyala ketika melihat korban senjatanya itu, terjatuh dan menggelepar sekarat Sebab, dua buah jalan darah besar, yang terkena senjata pemuda itu daerah yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian. Terbukti tubuh orang itu diam tak bergerak. Mati.
Dengan semangat yang kembali menggebugebu, Wirya Saka menjadi yakin kalau dirinya dapat lolos dari kepungan orang-orang liar itu. Sebab, kematian salah seorang kawan mereka, telah membuat belasan lelaki bertubuh raksasa lainnya terkejut dan kepungan nya merenggang. "Bunuh manusia muda keparat itu...!" perintah pemimpin yang murka dengan kematian salah seorang pengikutnya.
Sedangkan dirinya sendiri sudah melompat dan menerjang Wirya Saka. Kaget bukan main hati Putra Ketua Perguruan Cakar Baja ketika melihat pimpinan gerombolan orang liar itu ternyata dapat bergerak gesit. Jelas, pemimpin itu berbeda dengan para pengikutnya. Pantas kalau la dijadikan pimpinan.
Wuttt! Wuttt!
"Aiiih...!"
Wirya Saka memekik tertahan ketika hampir saja ujung pedang lawannya membeset kulit tubuhnya. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Sehingga, ujung pedang lawan lewat setengah jengkal di depantubuhnya. Sembari mengeluarkan bentakan nyaring, pemuda itu menusukkan pedangnya ke arah mata lawan. Karena hanya daerah itulah yang terpikir olehnya saat itu.
Trangngng...!
"Aaakh...!"
Terdengar suara benturan keras yang memercikkan pijaran bunga api. Sedangkan pedang di tangan Wirya Saka terlempar lepas dari genggamannya. Bahkan, tubuh pemuda itu terjungkal ke belakang dengan disertai jerit kesakitan. Wirya Saka yang terbanting cukup keras di atas permukaan tanah itu, terbelalak ngeri ketika belasan batang senjata meluruk ke tubuhnya. Pemuda itu terpaksa menyerahkan nasibnya di tangan gerombolan liar itu.
"Hattittt...!"
Tepat saat kematian hampir menjemput Wirya Saka, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring bagai menggetarkan seluruh daerah hutan itu. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih yang langsung membagi bagikan pukulan dan tendangannya dengan kecepatan luar biasa. Sehingga, putra Ketua Perguruan Cakar Baja yang menyaksikan gerakan itu menduga kalau orang yang menolongnya memiliki seribu tangan dan kaki. Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Dan, diiringi pula suara berdebuk nyaring yang seolah-olah mengguncangkan bumi.
Wirya Saka hampir tak percaya melihat sosok tubuh yang mengeluarkan cahaya putih keperakan, sanggup menjatuhkan belasan lelaki raksasa itu, hanya dengan pukulan dan tendangannya saja. Pemandangan itu membuat pemuda ini sadar kalau dirinya telah ditolong oleh seseorang yang memiliki kepandaian yang sukar diukur.
"Bangkitlah, Kisanak. Kau tidak apa-apa, bukan...?" sapa penolongnya itu dengan suara ramah dan wajah menggoreskan senyum tenang.
"Ahhh...!?" Wirya Saka menahan jeritannya ketika melihat wajah penolongnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau penolongnya ternyata masih muda. Dan, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya. Semula ia menduga penolongnya yang sakti itu seorang kakek-kakek yang sangat tua. Karena kenyataannya berbeda dengan prasangkanya, maka Wirya Saka seperti terkesima dan tak mampu untuk bersuara.
"Mengapa, Kisanak...? Apakah wajahku mirip dengan hantu...?" kembali pemuda berjubah putih itu tersenyum kepada Wirya Saka.
"Ah, bukan.... Bukan itu maksudku," sahut Wirya Saka cepat. Tadinya...,eh, semula kusangka kau seorang kakek-kakek. Tapi..., kau..., apakah kau yang dijuluki Pendekar Naga Putih? Dan, pukulan yang kau gunkan untuk menjatuhkan raksasa-raksasa liar itu, bukankah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'."
"Begitulah kaum rimba persilatan menjulukiku, Kisanak," jawab Panji sederhana dan singkat.
"Ah, ayahku Garuda Cakar Lima selalu menceritakan tentang dirimu kepadaku. Beliau berharap agar aku dapat memiliki kepandaian, keramahan dan ketenangan sepertimu, Pendekar Naga Putih. Sayang, beliau sekarang sudah tiada. Sedang nasibku belum lagi lepas dari incaran maut," desah Wirya Saka seraya menundukkan wajahnya menekuri rerumputan. Jelas, rasa kesedihan terpancar pada wajah pemuda itu ketika teringat akan kematian orang-orang yang dicintainya. Hatinya nelangsa mengingat dirinya kini hidup sebatang kara.
"Hm.... Bangkitlah, Wirya. Aku sudah mendengar semua yang telah menimpa keluarga dan perguruanmu. Keberadaanku di sini hanya ingin mencari tahu tentang nasibmu. Syukurlah Tuhan mempertemukan kita. Sehingga, memungkinkan aku mendapat keterangan yang lengkap dan jelas mengenai pembantaian di perguruanmu itu," jelas Panji sambil menepuk perlahan bahu Wirya Saka. Seolah-olah dengan berbuat demikian, ia ingin memberikan kekuatan hall kepada pemuda malang itu.
"Jadi..., jadi kau sudah mengetahuinya?" tegas Wirya Saka mengerutkan keningnya. Sepertinya ia merasa heran mendengar perkataan Pendekar Naga Putih tadi.
"Secara kebetulan aku singgah di Desa Ampenan, dan sempat menyaksikan mayat-mayat yang masih bergeletakan di dalam bangunan Perguruan Cakar Baja. Setelah mendengarkan percakapan Kepala Desa Ampenan, aku pun segera mencarimu. Firasatku mengatakan engkau masih hidup dan mungkin memerlukan bantuan," sahut Panji menjelaskan tentang apa yang diketahuinya.
"Ah, ternyata apa yang sering diceritakan ayah, sama sekali tidak berlebihan. Terima kasih atas kesediaanmu bersusah-payah mencariku dan mau menolongku. Sayang, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa sebagai balasannya," ucap Wirya Saka menundukkan kepalanya merasa terharu dengan apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih kepadanya.
"Hm..., rupanya apa yang diceritakan ayahmu itu belum lengkap. Perlu kau ketahui, Wirya. Sebagai seorang pendekar, kita harus bersedia mengorbankan kepentingan pribadi untuk menolong orang banyak. Dan, semua itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas, tanpa mengharap imbalan apa pun. Meskipun hanya ucapan terima kasih. Sebab sudah menjadi kewajiban kita sebagai pendekar untuk membela kebenaran dan mencegah kemungkaran. Apakah ayahmu belum memberitahukan hal ini?" tanya Panji dengan nada bersahabat.
"Maaf, aku lupa, Pendekar Naga Putih...," desah Wirya Saka dengan suara lirih, hampir tak terdengar.
"Lupakanlah. Dan, kau boleh memanggilku cukup dengan Panji saja. Bagaimana...?" usul pemuda berjubah putih sambil menatap Wirya Saka lekat-lekat.
"Maaf, aku tidak berani, Pendekar Naga Putih. Biarlah aku memanggilmu dengan julukan saja," pinta putra Garuda Cakar Lima dengan nada penuh permohonan. Tampaknya pemuda itu sangat mengagumi sosok Pendekar Naga Putih. Dan, dengan menyebut julukan itu, merupakan suatu kebanggaan baginya.
"Terserahmulah...," ujar Panji seraya mengangkat bahunya.
"Lalu, bagaimana dengan raksasa-raksasa itu? Apakah kau akan membunuhnya? Kurasa hal itu lebih baik. Karena kalau masih dibiarkan berkeliaran, mereka akan selalu mengganggu orang-orang yang kebetulan lewat. di hutan ini," ucap Wirya Saka melemparkan pandangannya ke arah belasan lelaki liar bertubuh tinggi besar dan berotot itu, yang tengah bersiap hendak menerjang kembali.
"Kita lihat saja. Apakah mereka dapat kita tundukkan dengan sedikit tipuan...," sahut Panji yang segera melangkah, mendekati belasan lelaki liar bertubuh raksasa itu. Saat itu juga, Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sehingga, tubuh pemuda itu terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang berpendar menyilaukan mata.
Sengaja Panji mengerahkan tenaga saktinya. Sebab, menurut apa yang diketahuinya, orang-orang liar seperti gerombolan raksasa itu, pastilah memuja sesuatu sebagai dewanya. Dan, ia ingin melihat tanggapan mereka setelah tubuhnya kembali terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan itu.
"Kau..., siapa kau.,.?" desis lelaki bercambang bauk yang memiliki codet pada pipi kirinya, yang menjadi pimpinan gerombolan liar itu. Menilik dari sikap dan suaranya, jelas lelaki raksasa itu merasa tegang dan terpengaruh dengan keadaan Panji, yang memang aneh bagi sebagian orang. Terlebih lagi, bagi mereka yang merupakan orang-orang liar dan jarang bergaul dengan manusia luar.
"Hm.... Aku adalah Dewa Bulan yang sengaja turun untuk memberi peringatan kepada kalian. Sebab, dosa-dosa yang telah kalian lakukan, sudah melebihi takaran...," sahut Panji sengaja mengerahkan kekuatan tenaga saktinya ketika menjawab pertanyaan lelaki bertubuh raksasa itu. Sehingga, suaranya seperti datang dari segala pelosok hutan dan bergema menggetarkan jantung. Dugaan pemuda berjubah putih itu ternyata tidak meleset Wajah lelaki bertubuh raksasa dan pengikutnya nampak pucat ketika mendengar ucapannya. Sehingga, membuat Pendekar Naga Putih melanjutkan sandiwaranya.
"Tapi..., kami..., tidak bersalah. Yang kami lakukan hanya meminta pajak bagi orang yang lewat di wilayah hutan ini. Apakah itu merupakan dosa...?" bantah lelaki bertubuh raksasa itu sambil menahan hawa dingin yang terpancar dari tubuh Pendekar Naga Putih. Sehingga, hawa dingin itu telah membuat tubuh beberapa orang dari mereka sampai menggigil cukup hebat.
"Hm.... Rupanya kalian masih hendak menyangkal. Kalian memang patut untuk dihukum...!" kembali suara Panji terdengar bergaung bagaikan datang dari setiap pelosok hutan.
"Kau penipu...! Aku tidak percaya kalau kau memang Dewa Bulan yang kami sembah itu. Tunjukkan tanda-tandamu yang lain...?" teriak pemimpin gerombolan liar itu mencoba menekan rasa takutnya. Meski sebenarnya ia mulai percaya dengan ucapan sosok tubuh terselimut kabut putih keperakan itu, namun ia berusaha untuk tidak mempercayainya begitu saja.
"Heaaat..!" Sambil mengeluarkan pekikan keras, lelaki codet itu merangsek maju dengan sambaran pedangnya, yang menimbulkan desingan angin tajam dan berhawa maut.
Wirya Saka yang melihat penolongnya tidak mencoba menghindar, tentu saja menjadi tegang. Sebab, ia tahu betapa kuatnya tenaga lelaki codet itu. Ngeri hatinya membayangkan tubuh Pendekar Naga Putih kalau sampai terobek oleh senjata lawan. Namun, apa yang disaksikan Wirya Saka, benar-benar hampir tidak bisa dipercayainya. Sebab, pada saat pedang lelaki codet bertubuh raksasa itu datang menyambar, mendadak tubuh Pendekar Naga Putih! raib dari pandangan. Sehingga, tebasan senjata itu hanya mengenai tempat kosong.
"Gila...! Pendekar muda yang sakti itu ternyata! bisa pula raib dari pandangan!? Entah ilmu apa yang telah dipergunakannya?" desah Wirya Saka dengan kekaguman yang semakin bertambah.
"Eh!?" lelaki codet bertubuh raksasa itu menoleh ke kiri dan kanan. Karena ia telah kehilangan sasarannya. Karuan saja keringat dingin mengalir membasahi kening dan wajahnya. Hatinya semakin kuat menduga, kalau pemuda itu benar-benar Dewa Bulan yang disembahnya.
"Bagaimana? Apakah kau masih merasa penasaran...?" tiba-tiba saja, terdengar sebuah teguran halus. Namun, mengandung ketegasan dan perbawa yang amat kuat.
"Ahhh...! Ampunkan aku..., ampunkan aku.,.. Hukumlah aku kalau memang dianggap telah melakukan dosa. Hukumlah aku, Dewa Bulan Yang Agung...," ujar lelaki codet itu yang langsung saja menjatuhkan tubuh berlutut di depan Panji, yang serta-merta muncul di belakang belasan orang lelaki bertubuh raksasa itu.
Diam-diam hati Panji merasa geli menyaksikan betapa semua orang yang berada di tempat itu kebingungan mencarinya. Padahal, ia hanya menggunakan kecepatan geraknya untuk mengelabui mata lawan. Dan, ia benar-benar tidak menyangka kalau Wirya Saka dapat pula dikecohnya. Sebab, pemuda itu terlihat kebingungan dan mencari-carinya.
Kenyataan itu membuat Panji menjadi gembira. Karena hal itu menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah hampir mencapai puncak kesempurnaan. Sehingga, orang-orang berkepandaian tinggi seperti Wirya Saka dan lelaki codet itu pandangan matanya dapat mudah dikelabui.
"Hm.... Bangkitlah kalian semua!" ujar Panji, nada suaranya terdengar sangat menggetarkan. "Untuk kali ini, aku hanya memberikan peringatan keras, tanpa hukuman! Tapi ingat! Lain kali aku akan datang untuk mengambil nyawa kalian semua, paham?"
"Kami mengerti, Dewa Bulan Yang Agung. Mulai saat ini, kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang sudah-sudah. Semoga, Dewa Bulan Yang Agung selalu memberikan keberkahan kepada kami," ujar lelaki codet itu mewakili kawan-kawannya seraya tetap bersujud mencium rerumputan.
Sehingga, mereka tidak sadar kalau saat itu Panji sudah melesat membawa Wirya Saka, dan meninggalkan hutan itu. Tindakan itu dilakukan Panji karena dianggapnya sudah selesai. Maka, pemuda berjubah putih itu pergi dengan membawa serta Wirya Saka.
Sementara rombongan lelaki bertubuh raksasa itu, masih tetap berlutut tanpa berani mengangkat kepalanya. Padahal, orang yang mereka sembah telah jauh meninggalkan hutan itu.
********************
DELAPAN
Setelah merasa cukup jauh meninggalkan hutan, Panji menghentikan larinya. Diturunkannya tubuh Wirya Saka yang berada diatas bahunya.
"Maaf, aku terpaksa melakukan ini kepadamu, Wirya...," ucap Panji sambil menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon, yang tumbuh di tepi jalan berbatu.
"Ah, kau membuatku malu saja, Pendekar Naga Putih. Seharusnya aku yang meminta maaf. Karena telah membuatmu susah," kilah Wirya Saka yang juga ikut duduk di samping Panji. Bahkan, pemuda itu langsung menyandarkan tubuhnya ke batang pohon.
"Hm..., sudahlah. Sekarang ada baiknya kau menceritakan masalah yang tengah kau hadapi. Tapi, kalau kau merasa keberatan atau persoalanmu terlalu rahasia, aku tidak akan mendesaknya," ucap Panji setelah beberapa saat keduanya terdiam.
'Tentu saja aku tidak keberatan untuk menceritakannya kepadamu, Pendekar Naga Putih," sahut putra Garuda Cakar Lima cepat. Dan, untuk menunjukkan kalau ia memang tidak merasa keberatan, segera dipaparkannya duduk persoalan, yang membuat keluarga terbantai habis. Panji mendengarkan penuturan pemuda itu dengan tekun. Tidak sekali pun ia memotong cerita yang tengah dibeberkan Wirya Saka. Sehingga, apa yang diceritakan pemuda itu, tertangkap jelas olehnya.
"Hm.... Jadi benda bernama Mustika Naga Hijau peninggalan Dewa Kerdil itu yang menyebabkan kematian ayah dan saudara-saudara seperguruanmu?" tanya Panji seraya mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita Wirya Saka hingga selesai.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Dan, aku yakin kalau mereka tidak akan berhenti sebelum benda ini mereka miliki," jawab Wirya Saka seraya melepaskan pandangan ke langit yang cerah.
"Hm.... Apakah Iblis Kembar dan Siluman Tongkat Beracun mengetahui tempat penyimpanan harta dan ilmu-ilmu tinggi itu, seperti yang kau ceritakan?" tanya Panji ingin tahu.
"Entahlah! Kalau mengingat Dewa Kerdil dikejar selama bertahun-tahun, ada kemungkinan mereka mengetahui tempat penyimpanan harta dan ilmu-ilmu tinggi peninggalan tokoh maha sakti ratusan tahun yang lalu itu. Tapi, karena benda mustika ini merupakan kunci untuk membuka tempat penyimpanan itu, maka mereka mengejar-ngejar Dewa Kerdil tanpa mengenai lelah," sahut Wirya Saka menduga-duga.
"Lalu, apa kegunaan Mustika Naga Hijau itu...?" Panji semakin merasa tertarik dengan cerita Wirya Saka. Sepertinya ingin mengetahui secara lebih jelas.
"Kalau menurut catatan yang ada dalam peta ini, aku harus meletakkan Mustika Naga Hijau tepat saat bulan purnama di depan Gua Ular. Sedangkan letak gua itu di sekitar Gunung Talang. Sebab, pintu gua yang tertutup oleh dinding baru padas tebal itu, hanya dapat terbuka bila sinar Mustika Naga Hijau yang berpendar karena bias sinar purnama yang menyorot tepat di pintu gua itu. Eh, apakah kau mengetahui letak Gunung Talang, Pendekar Naga Putih...?" tanya Wirya Saka ketika teringat kalau ia sama sekali belum mengetahui letak gunung itu. Sedangkan, pada peta yang diberikan Dewa Kerdil, dikatakan letak gunung itu berada di wilayah Selatan. Dan, tempatnya yang tepat sama sekali tidak tertulis.
"Hm.... Tidak sulit untuk mencari Gunung Talang itu, Wirya. Justru Gua Ular itu yang sukar ditemukan. Sebab, bukan hanya satu gua yang terdapat di sekitar gunung itu. Rasanya akan memakan waktu lama untuk menemukan gua yang kau maksudkan itu," sahut Panji yang memang mengetahui letak Gunung Talang yang dicari Wirya Saka.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Di dalam peta ini, jelas sekali di tunjukkan letak gua itu. Dan, menurutku tidak sulit untuk menemukannya."
"Hm.... Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu...? Ayolah kita berangkat!" ajak Panji segera bangkit berdiri.
Tanpa banyak cakap lagi, Wirya Saka melompat bangkit dengan wajah cerah. Dengan adanya Pendekar Naga Putih bersamanya, Wirya Saka yakin segala rintangan akan dapat dihadapi. la tidak perlu merasa cemas lagi dengan Iblis Kembar dan Siluman Tongkat Beracun. Karena semua itu pasti tidak akan sulit dihadapi sahabat barunya yang menjadi penolongnya itu. Tentu Wirya Saka yang telah mengetahui kesaktian Panji, menjadi tenang.
********************
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras, yang disusul dengan berlebatnya dua sosok tubuh dan langsung menghadang Panji dan Wirya Saka. Sehingga, kedua pemuda itu menghentikan langkah.
"Iblis Kembar...!" desis Wirya Saka yang sempat merasa kaget dengan kehadiran dua orang lelaki kembar berkepala botak dan bertubuh kekar berotot itu.
Panji sendiri sudah dapat menebak kedua lelaki kembar itu. Dan, ia sama sekali tidak merasa terkejut dengan kehadiran mereka yang menghadang perjala- nannya. Malah kakinya melangkah, mendekati kedua tokoh sesat yang namanya tersohor sebagai tokoh-tokoh kelas satu dari kalangan sesat. Bahkan, kekejaman mereka telah sampai pula di telinga Pendekar Naga Putih. Maka, pertemuan itu memang sesuatu yang telah lama diharapkan Panji. Sebab, kabar yang sering didengarnya, kedua tokoh sesat itu sangat sukar dicari. Seperti juga dirinya, Iblis Kembar tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.
"Pendekar Naga Putih...!?" gumam sepasang manusia sesat itu agak terkejut melihat Panji bersama pemuda buruan mereka.
"Hm.... Pendekar Naga Putih. Apa maksudmu melakukan perjalanan bersama bocah setan itu? Atau kau pun menginginkan Mustika Naga Hijau dengan berpura-pura menolongnya?" sindir Iblis Beruang Hitam menatap Panji dengan kening berkerut Kemudian ia berpaling kepada Wirya Saka.
"Hei, Bocah! Ketahuilah, orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu juga mempunyai niat seperti kami. Jika kau sudah dapat menemukan Gua Ular, maka pemuda yang berpura-pura menolongmu, akan merebut Mustika Naga Hijau, dan menyerakahinya. Ha ha ha...! Kau telah ditipunya mentah-mentah, Bocah!"
"Benar, Bocah. Lebih baik kau bekerja sama dengan kami. Sejahat-jahatnya Iblis Kembar, tidak akan melupakan orang yang telah berjasa. Dan, kau akan mendapat bagian bila mau bekerja sama dengan kami. Bagaimana?" bujuk Iblis Beruang Salju menimpali ucapan saudara tuanya.
Namun, Wirya Saka bukanlah bocah kemarin sore yang bisa dibujuk dengan kata-kata manis. Putra Ketua Garuda Cakar Lima sudah sering mendengar cerita tentang kegagahan dan kejujuran Pendekar Naga Putih dari mendiang ayahnya. Tentu saja, ia tidak terpengaruh dengan bujukan Iblis Kembar. Bahkan, dengan senyum lebar, pemuda itu balas mengejek lawannya.
"Aku tidak keberatan untuk bekerja sama denganmu, Iblis Kembar. Tapi, aku mempunyai satu syarat yang harus kau penuhi, tentu saja kalau kau setuju," ujar Wirya Saka tenang.
Sedangkan Panji sendiri hanya berdiri tenang, tanpa terpengaruh dengan perkataan-perkataan ketiga orang itu. Senyum di bibir Pendekar Naga Putih tetap menghias wajahnya. Hanya tatapan matanya saja yang menyorot tajam ke wajah Iblis Kembar berganti-ganti.
"Katakan apa syaratmu, Bocah? Aku pasti akan menyetujuinya," sambut Iblis Beruang Salju dengan wajah berseri. Tentu saja ia merasa gembira mendengar pemuda itu mau bekerja sama dengan mereka, berdua.
"Tidak sulit," jawab Wirya Saka sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Merangkaklah kalian berdua seperti anjing kudisan, yang menggonggong karena lapar dan ingin meminta tulang kepada majikannya. Nah, bukankah syarat itu sangat mudah?"
Merah wajah Iblis Kembar mendengar penghinaan yang tidak kepalang tanggung itu. Selama hidup, baru kali ini mereka mendapat hinaan dari seorang pemuda yang masih hijau. Tentu saja semua itu tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Jangankan seorang pemuda hijau seperti Wirya Saka, tokoh-tokoh rimba persilatan akan berpikir seribu kali untuk melontarkan hinaan itu kepada Iblis Kembar.
Maka, dapatlah dibayangkan betapa murkanya kedua tokoh sesat itu mendengar syarat yang diajukan Wirya Saka. Bahkan, tubuh keduanya menggigil karena kemarahan yang menggelegak seperti akan meledakkan dada mereka.
"Jahanam! Kurobek mulutmu yang busuk itu, Bocah Setan...!" geram Iblis Beruang Hitam yang tak sanggup menahan kemarahannya, sambil meluncur dengan cengkeraman maut yang mengarah wajah Wirya Saka.
Plakkk!
"Aihhh...!"
Iblis Beruang Hitam berseru tertahan, ketika telapak tangannya terasa bagaikan membentur bongkahan salju yang amat dingin. Sehingga, tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak. Hal itu disebabkan ia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melontarkan cengkeraman maut itu.
Sedangkan di depan Wirya Saka telah berdiri Pendekar Naga Putih, yang sekujur tubuhnya telah terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan. Jelas, Panji yang telah memapaki cengkeraman Iblis Beruang Hitam. Karena, lelaki berjubah putih itu tidak tinggal diam ketika melihat Wirya Saka terancam maut.
"Keparat! Jadi kau benar-benar hendak berha- dapan dengan kami, Pendekar Naga Putih? Baik Kalau memang itu yang kau inginkan! Jangan sesali nasibmu yang sial itu!" geram Iblis Beruang Hitam yang kembali menyiapkan jurus-jurusnya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
Sadar kalau lawan yang dihadapi kali ini bukanlah orang sembarangan, maka Iblis Beruang Salju tidak tinggal diam. Keduanya segera bergerak maju ke arah Pendekar Naga Putih dengan langkah cepat, dan gerakan tangan yang menimbulkan angin menderu tajam.
Panji bukan tidak tahu akan kehebatan kedua lawannya, maka begitu bergerak, ia langsung mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang menjadi andalannya.
Wuttt! Wuttt!
Terdengar suara berdesingan, yang disertai sambaran angin dingin menembus tulang, ketika sepasang cakar naga Panji menyambar-nyambar memapaki serangan lawannya.
"Yeaaa...!"
Iblis Kembar berteriak nyaring seraya melontarkan serangan-serangan mautnya, secara bergantian dan susul-menyusul. Sepertinya, mereka hendak menutup kemungkinan bagi lawan untuk melontarkan serangan balasan.
Wukkk! Wukkk!
Panji menarik tubuhnya doyong ke belakang, ketika cakar Iblis Beruang Hitam meluncur ke arah wajahnya. Sedangkan cengkeraman Iblis Beruang Salju yang mengancam lambung kanannya, ditepiskan dengan menggunakan telapak tangan kirinya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Begitu tubuh Iblis Beruang Salju terjajar mundur, tubuh pemuda Itu mengegos berputar disertai liukan tubuhnya, yang bagaikan seekor naga muncul di atas permukaan laut, dan begitu kepalanya menyembul ke luar, sepasang cakar Panji telah melesat mencengkeram dada dan lambung Iblis Beruang Hitam.
Karuan saja Iblis Beruang Hitam yang tidak menyangka lawan dapat bergerak demikian cepat, menjadi kelabakan. Namun, sebagai seorang tokoh sakti, yang ilmunya telah mendarah daging, langsung tubuhnya diturunkan merendah dengan menekankan bobot tubuh pada kaki belakang yang menekuk.
Sedangkan kaki depannya menjulur lurus ke muka. Semua itu dilakukannya dengan kuda-kuda yang sangat rendah. Dan begitu serangan lawan luput, lelaki berkepala botak yang mengenakan mantel kulit beruang hitam itu, langsung melangkah mundur sambil melepaskan sebuah tendangan kilat dengan menggunakan kaki depannya.
Zebbb!
Melihat datangnya tendangan kilat yang mendadak itu Panji memiringkan tubuhnya sambil menepiskan tangan itu dengan telapak tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya terlontar lurus menggedor dada lawannya.
Plakkk! Buggg!
"Hugkh...!"
Tubuh Iblis Beruang Hitam, terlempar mundur sejauh satu tombak lebih. Meskipun hantaman itu tidak terlalu keras, namun cukup membuat pernafasannya bagaikan tersumbat! Dan, pada sudut bibirnya tampak cairan merah merembes keluar. Jelas, pukulan telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat mengguncangkan isi dada tokoh sesat itu.
Panji yang semula berniat mengejar lawannya mendadak dikejutkan oleh teriakan Wirya Saka. Dan ketika Pendekar Naga Putih menoleh, tampak Wirya Saka tengah berjuang mati-matian guna menyelamatkan dirinya dan sambaran tongkat lelaki jangkung yang diputarnya mengincar tubuh putra Garuda Cakar Baja.
Desss!
"Aaargh...!"
Karena kepandaian yang dimiliki Wirya Saka memang masih jauh di bawah lawannya, maka tanpa dapat dihindari lagi, hantaman tongkat lelaki jangkung itu telak bersarang di punggungnya, setelah mencoba bertahan selama sepuluh jurus. Tubuh Wirya Saka terlempar bagai sehelai daun kering yang diterbangkan angin.
Menyaksikan kejadian itu, cepat Pendekar Naga Putih melesat dan menyambut tubuh Wirya Saka yang tengah mengapung di udara. Dengan mengulur kedua tangannya, maka selamatkan Wirya Saka. Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting mencium tanah. Namun, selagi tubuh Panji mengapung dan menangkap Wirya Saka, lelaki jangkung yang bersenjatakan sebatang tongkat itu melesat dengan tusukan ujung tongkatnya ke arah tubuh Pendekar Naga Putih. Dan....
Tukkk!
"Hugkh...!"
Panji mengeluh pendek ketika ujung tongkat lelaki jangkung yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun, menghantam telak dada kanannya. Sehingga, tubuh pemuda berjubah putih itu sempat tersentak balik dalam keadaan oleng. Tapi tidak percuma Panji dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih. Meski dadanya dirasakan sesak dan gatal, pemuda itu masih dapat menyelamatkan dirinya agar tidak sampai terbanting di tanah. Dengan melakukan beberapa kali salto, kedua kakinya dapat mendarat dengan selamat di tempat yang cukup aman.
Begitu menjejak tanah, cepat Panji menurunkan tubuh Wirya Saka, dan langsung merogoh buntalan pakaiannya. Ditelannya pil berwarna putih seperti salju, guna menghilangkan rasa sakit yang dideritanya akibat hantaman tongkat lawan. Pemuda berjubah putih itu sadar kalau senjata yang digunakan lawannya mengandung racun jahat.
Dan, untuk mencegahnya la harus bertindak cepat. Sayang, Pendekar Naga Putih tidak keburu untuk mengobati Wirya Saka, karena Iblis Kembar maupun Siluman Tongkat Beracun telah melesat ke arahnya secara bersamaan Dan, dari angin pukulan yang ditimbulkan sambaran tangan mereka, jelas serangan itu mengandung maut. Sadar kalau posisinya masih lemah, bergegas Pendekar Naga Putih memantekkan kuda-kudanya dengan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Sehingga, sepasang kakinya bagaikan tertanam di dalam bumi.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Panji mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan guna menyambut serangan ketiga orang lawannya. Maka....
Bresssh! Blakkk! Desss!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Benturan dahsyat yang seolah-olah akan mengguncangkan alam sekitar di arena pertarungan itu, terdengar berdentam nyaring menggetarkan udara. Disusul dengan teriakan-teriakan tertahan, dan terlemparnya tubuh Iblis Beruang Hitam serta Siluman Tongkat Beracun. Karena serangan kedua tokoh sesat itu berhasil dipapak dengan dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Iblis Beruang Salju yang melejit mengelakkan sambaran tangan Panji, berhasil mengirimkan hantaman telapak tangannya, yang telak mengenai dada bagian atas pemuda berjubah putih itu. Sehingga tubuh pemuda itu tergetar, dan agak doyong ke belakang. Sedangkan sepasang kakinya yang laksana tertanam di dalam tanah, sama sekali tidak terangkat. Hanya tanah tempat telapak kaki pemuda itu berpijak tampak amblas hingga dalamnya satu jengkal. Sementara dari sudut bibir Pendekar Naga Putih, tampak darah segar merembes keluar. Jelas, Panji tidak luput dari luka akibat hantaman telapak tangan Iblis Beruang Salju.
Iblis Beruang Salju sendiri begitu berhasil menyarangkan serangannya, kembali melontarkan sebuah tendangan kilat yang meluncur deras ke arah perut Pendekar Naga Putih yang tengah bergoyang-goyang akibat benturan dahsyat jadi. Sehingga....
Desss!
"Huagkh !"
Untuk ketiga kalinya, tubuh Panji kembali menerima hantaman keras dari salah seorang lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda perkasa itu langsung terjungkal dengan disertai semburan darah segar yang keluar dari mulutnya. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih masih mampu mempertahankan dirinya agar tidak sampai terbanting ke tanah. Tapi, tampak tubuh pemuda itu terhuyung ketika berusaha memantek kedua kakinya untuk menahan daya dorong yang masih tersisa akibat hantaman keras lawannya.
"Hmh..." Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam.
Kemudian, secara perlahan, sepasang tangannya bergerak terkembang ke atas dan tetap dalam bentuk cakar naga, dengan telapak tangan menghadap ke bumi. Gerakan itu dibarengi pula dengan kedua lutut ditekuk, sehingga membentuk kuda-kuda menunggang kuda. Terdengar helaan napasnya yang berkepanjangan. Wajah Pendekar Naga Putih yang semula memucat, tampak mulai berubah seperti semula. Jelas, Panji tengah berusaha untuk mengusir rasa sesak seperti menyumbat jalan napasnya.
"Huagkh!"
Gumpalan darah segar kembali terlompat dari mulut Panji. Bersamaan dengan itu, rongga dadanya terasa agak longgar. Kekhawatiran akan nasib Wirya Saka, yang saat itu berada dekat dengan tempat berdiri Iblis Beruang Salju, membuat Panji segera melesat kembali ke arah lawannya. Dan langsung melontarkan serangkaian serangan yang cepat dan menggetarkan!
Iblis Beruang Salju terpaksa melayani Pendekar Naga Putih seorang diri, tanpa rasa gentar sedikit pun. Karena ia tahu keadaan Pendekar Naga Putih saat ini sudah tidak sekuat semula. Luka dalam yang dideritanya sedikit banyak telah mengurangi kedahsyatan tenaga saktinya. Sehingga, Iblis Beruang Salju pun menyambutnya dengan tidak kalah ganas. Pertarungan kembali berlanjut dengan sengit.
Tapi, meski tenaganya tidak sehebat semula, namun untuk menghadapi Iblis Beruang Salju seorang diri, tidaklah membuat Pendekar Naga Putih kesulitan Bahkan, dalam jurus-jurus yang kedua puluh lima tampak Panji menguasai pertarungan. Sedangkan lawannya, tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melontarkan serangan balasan. Karena ruang geraknya terasa seperti dihimpit dinding-dinding salju yang seolah-olah membekukan aliran darahnya.
Untunglah Iblis Beruang Salju tidak terlalu aneh dengan hawa dingin. Sehingga, meskipun sambaran cakar naga Panji selalu disarati gulungan hawa dingin menusuk kulit, namun tidaklah terlalu menyulitkan lawannya. Justru, sambaran cakar pemuda itulah yang amat dikhawatirkannya. Ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, Pendekar Naga Putih berhasil menyarangkan sebuah sambaran cakarnya, yang langsung merobek tubuh Iblis Beruang Salju.
"Heaaah...!"
Brettt!
"Aaakh...!"
Iblis Beruang Salju menjerit parau ketika tubuh depannya terasa perih terkena sambaran jari-jari tangan lawannya. Bahkan, tubuhnya sempat melintir bagaikan gangsing akibat kerasnya sambaran cakar pemuda itu. Saat itu, Panji yang berniat hendak mengejar lawannya, terpaksa menunda langkahnya ketika merasakan adanya sambaran angin dan belakangnya. Cepat pemuda itu berbalik dan menjejakkan kakinya ketika melihat datangnya serangan dan seorang lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel kulit beruang hitam. Siapa lagi penyerang licik itu kalau bukan orang tertua dari Iblis Kembar.
Begitu menjejakkan kakinya, tubuh Panji langsung melambung dan berputar dengan kepala berada di bawah. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi tegak lurus, dan berada di atas. Berbarengan dengan itu, sepasang cakar Panji bergerak cepat menggencet kepala lawannya dari kiri dan kanan.
Wukkk! Prakkk...!
"Aaargh...!"
Iblis Beruang Hitam meraung setinggi langit ketika sepasang cakar naga Pendekar Naga Putih, menghantam telak kedua sisi kepalanya. Darah segar mengalir dari mulut tokoh sesat itu seiring dengan suara gemeretak bunyi tulang kepala yang remuk. Dengan tubuh limbung, Iblis Beruang Hitam terjerumus ke depan bagaikan orang mabuk. Kemudian terjerembab di atas tanah berumput, dan menggelepar sekarat.
"Kakang...!" Melihat keadaan saudaranya, Iblis Beruang Salju berteriak parau dan langsung menghambur kearah tubuh Iblis Beruang Hitam, yang menggelepar bagaikan ayam disembelih. Dan, darah segar semakin banyak menggenang di sekitar kepalanya.
"Kakang...!" terdengar Iblis Beruang Hitam berseru serak ketika ia mengangkat tubuh itu, ternyata telah terkulai tewas.
Bagaikan banteng luka, Iblis Beruang Salju menoleh kearah Pendekar Naga Putih penuh ancaman. Perlahan dilepaskannya tubuh Iblis Beruang Hitam dari pelukannya. Kemudian ia melompat dan menerjang Panji seperti orang kerasukan setan!
"Heaaa...!"
Panji yang melihat lawannya menyerang secara membabi-buta, sama sekali tidak gentar. Dengan penuh ketenangan, pemuda berjubah putih itu bergerak menghindari setiap sambaran pukulan dan cengkeraman lawannya. Dan, itu tidak terlalu sulit baginya. Apalagi, lawannya tengah dilanda kemarahan yang menggelegak, maka semakin mudah bagi Pendekar Naga Putih menghadapinya.
"Haaat..!"
Ketika melihat kesempatan baik, Panji segera melontarkan sebuah tendangan kilat ke arah perut lawannya.
Bukkk!
Tubuh Iblis Beruang Salju tersentak ke belakang ketika tendangan lawan telak bersarang di perutnya. Namun, bagaikan tidak merasakan sakit, lelaki botak bertubuh kekar dan berotot itu kembali melompat bangkit dan langsung menerjang kalap.
Sadar kalau lawannya benar-benar telah kesetanan, Panji segera merendahkan kuda-kudanya, siap menyambut datangnya serangan itu. Dan, pada saat cengkeraman-cengkeraman lawan hampir mendekatinya, Pendekar Naga Putih langsung melontarkan pukulan jarak jauh dengan telapak tangan terbuka.
Whusss...! Blaggg...!
Bagaikan dilempar sebuah tangan raksasa yang tak tampak, tubuh Iblis Beruang Salju terlonjak ke belakang dengan diiringi raung kematiannya. Dan semburan darah segar memercik membasahi permukaan tanah berumput di sekitar tempat itu. Setelah menggelepar sesaat, tubuh tokoh sesat itu terkulai tewas. Hantaman pukulan jarak jauh Panji telah meremukkan bagian dalam dadanya. Sehingga, Iblis Beruang Salju menyusul saudaranya yang telah lebih dahulu pergi.
Teringat akan lawannya yang tinggal seorang, Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Namun, sosok Siluman Tongkat Beracun ternyata telah lenyap tanpa bekas.
"Hm..., rupanya ia telah meninggalkan tempat ini dengan diam-diam. Syukurlah kalau begitu," desah Panji yang segera melangkah ke arah tubuh Wirya Saka yang masih tergeletak pingsan.
Panji menarik napas lega ketika mendapati Wirya Saka masih belum terlambat untuk diobati. Maka pemuda berjubah putih itu bertindak cepat untuk segera menyadarkan dan mengembalikan kesehatan putra Garuda Cakar Baja itu.
********************
Setelah kesehatan Wirya Saka pulih seperti sediakala, Pendekar Naga Putih segera mengantarkannya ke Gunung Talang. Beberapa hari kemudian, kedua orang pemuda itu tiba di tempat tujuan.
"Sekarang kita tinggal mencari Gua Ular, Pendekar Naga Putih," seru Wirya Saka dengan nada gembira. Sedang panggilannya terhadap Panji tetap tidak berubah.
"Di sebelah mana kira-kira letak Gua Ular itu Wirya...?" tanya Pendekar Naga Putih seraya menoleh ke arah Wirya Saka yang jelas sekali tampak kegembiraan pada wajah dan tingkahnya.
"Menurut keterangan di peta ini, Gua Ular terletak di sebelah Timur Gunung Talang. Ayolah kita cari tempat itu..." ajak Wirya Saka yang segera berlari mendahului Panji.
Ketika matahari sudah semakin naik tinggi, tibalah kedua orang pemuda itu di depan sebuah gua, tibalah bagian mulutnya tertutup sebuah dinding batu padas yang berkilat karena terlalu tua. Dan, semak belukar tampak menutupi mulut gua. Sehingga, bila orang tidak memperhatikannya, tentu tidak akan menyangka kalau itu merupakan mulut gua.
"Tidak salah lagi. Ini pasti Gua Ular seperti yang tercantum di peta!" teriak Wirya Saka seraya melompat-lompat bagaikan orang kesurupan.
Sementara Panji hanya tersenyum-senyum menyaksikan tingkah Wirya Saka yang seperti anak kecil menemukan kembali boneka kesayangannya. Merasa tugasnya sudah selesai, tubuh Panji segera berkelebat meninggalkan Wirya Saka yang masih melompat-lompat
"Pendekar Naga Putih.... Pendekar Naga Putih..,!" panggil Wirya Saka yang baru teringat akan keberadaan Panji. Namun, meskipun mencari ke daerah sekitar, tetap saja sosok Pendekar Naga Putih tidak dapat ditemukannya.
"Ah..., Kakang Panji benar-benar seorang pendekar sejati yang tidak mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya. Kalau kelak aku sudah menguasai ilmu-ilmu tinggi di Gua Ular, akan kuikuti jejak Kakang Panji..." janji Wirya Saka sambil melangkah kembali menuju Gua Ular. Hembusan angin sore yang bersilir lembut, mengiringi langkah kaki pemuda itu.
Nah, bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah Wirya Saka selanjutnya, silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Pendekar Gila.
S E L E S A I