Serial Pendekar Naga Putih
Episode Tersesat Di Lembah Kematian
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Tersesat Di Lembah Kematian
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
Di bawah siraman cahaya matahari tampak empat orang laki-laki bertampang seram melangkah ringan dan mantap. Pertanda mereka adalah orang-orang persilatan yang berilmu cukup tinggi. Pakaian yang dikenakan keempat orang itu sangat mencolok dan menarik perhatian. Sebab masing-masing dari mereka mempunyai wajah yang sama dengan warna pakaiannya.
Orang pertama, berjubah panjang berwarna merah darah yang sesuai dengan warna kulit wajahnya. Tubuhnya tinggi kekar dan selalu menyunggingkan senyum mengejek. Sedangkan orang kedua, usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan jubah berwarna biru gelap. Wajahnya dihiasi kumis tebal, dan mempunyai sepasang mata yang memancarkan kelicikan hatinya. Sebuah gagang golok besar tampak tersembul di balik punggungnya.
Sementara, orang ketiga dan keempat, masing-masing mengenakan pakaian berwarna kuning pucat dan hijau. Keanehan-keanehan itulah yang membuat keempat orang itu menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Saat matahari sudah tergelincir kearah Barat, keempat orang aneh itu telah memasuki mulut Desa Keranggan. Beberapa petani yang sempat melihat mereka bergegas menghindar. Tampak diwajah mereka ada perasaan ngeri melihat orang-orang aneh dan menyeramkan itu. Sikap para petani yang demikian, rupanya membuat keempat orang-orang aneh itu merasa tersinggung. Salah seorang dari mereka, yang mengenakan jubah berwarna kuning pucat, menoleh dan menatap tajam kearah petani yang bergegas kembali kesawahnya.
“Hei! Kemari kau…!” panggil orang yang berwajah kuning pucat itu dengan suara parau. Sepasang matanya tampak berkilat menyiratkan nafsu membunuh!
Keempat petani yang berpura-pura sibuk itu terkejut sekali mendengar panggilan orang aneh tersebut. Seketika wajah mereka berubah pucat, dan dadanya berdegup keras.
“Keparat! Rupanya kalian sudah bosan hidup!” bentak laki-laki kurus berwajah kuning pucat itu dengan nada semakin tinggi. Jelas, ia merasa marah sekali terhadap keempat petani yang berpura-pura tidak mendengar panggilannya tadi.
“Kami… kami yang Tuan maksudkan…?” tanya salah seorang dari petani itu dengan wajah tegang! Bahkan, nada suaranya terdengar gemetar dan diselimuti rasa takut.
“Hm… Jangan berpura-pura bodoh kau, Orang Tua Peot! Apakah telingamu mau dibuat tuli? Cepat, kau dan ketiga rekanmu naik kemari!” bentak lelaki tinggi kurus berwajah kuning pucat itu sambil menunjukkan tangannya.
“Baik… baik… Tuan…” sahut lelaki setengah baya itu mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, ia bergegas naik diikuti ketiga rekannya.
“Hm… untuk apa kau membuang-buang waktu dengan manusia-manusia tak berguna itu, Adi Sangkuni? Kubur saja mereka disawah,” ujar lelaki berjubah merah dengan wajah bengis dan tersenyum sinis.
Ucapan lelaki bertubuh kekar dan berjubah merah itu menyiratkan perasaan tidak setuju dengan tindakan rekannya yang dianggap membuang-buang waktu saja.
“Sebenarnya aku ingin bermain-main sebentar dengan mereka. Sayang Kakang tidak menyukainya. Baiklah, Kakang. Aku akan memberikan sesuatu yang nikmat buat mereka untuk menuju ke alam kedamaian,” ujar lelaki berjubah kuning pucat itu seaya menyelinapkan tangan kanannya ke dalam jubah.
“Kalian terimalah ini sebagai hadian dariku…” ujarnya sambil mengibaskan tangan kananya kearah keempat orang petani yang baru saja menginjakkan kakinya diatas jalanan lebaritu.
Wuuut…!
Bubuk berwarna kuning dan berbau harum menyebar seiring kibasan tangan Sangkuni. Dan langsung menerpa wajah keempat orang petani itu. Lalu, mereka berteriak-teriak dengan tubuhnya berjumpalitan. Kemudian teriakan itu berubah menjadi lolongan panjang yang mengerikan!
“Akh…!”
“Aaa…!”
Keempat orang petani malang itu terus meraung sambil bergulingan diatas tanah berbatu kerikil. Kedua tangannya sibuk menggaruk seluruh tubuh sambil mendesis-desis bagai orang kesetanan! Tak lama kemudian, tubuh mereka mengejang menahan azab. Lalu tewas dengan sekujur kulit tubuh terkelupas bagai dikuliti.
“He he he…. Kau lihatlah, Kakang. Bukankah permainan itu sungguh mengasyikkan. Sayang, Kakang tidak memperkenankan aku untuk bermain lebih lama,” ujar Sangkuni sambil terkekeh memandang tubuh korbannya dengan sinar mata yang gembira. Jelas, penderitaan keempat petani itu telah menimbulkan rasa bahagia di dalam hatinya.
“Sudahlah. Ayo kita tinggalkan tempat ini…” ajak lelaki berjubah merah darah yang menjadi pimpinan mereka.
Keempat orang aneh yang bersifat mengerikan itupun melangkah lebar meninggalkan tempat tersebut. Luar biasa sekali kekejaman mereka. Hanya kesalahan kecil saja, mereka tega membunuh empat orang petani itu secara keji. Tak sedikitpun tersirat rasa iba diwajah keempat orang aneh itu, meski korbannya merintih dan meraung menahan rasa perih. Justru dengan melihat penderitaan orang itu, mereka memperoleh kepuasan hati. Semakin korbannya kesakitan dan meraung tinggi, semakin puaslah hati mereka. Melihat kekejamannya itu, jelas keempat orang itu merupakan tokoh-tokoh sesat dalam dunia persilatan.
“Hei, Pelayan! Cepat sediakan empat guci tuak dan penganan untuk kami!” teriak orang aneh yang berjubah biru gelap. Padahal, saat itu ia baru saja melangkahkan kakinya melewati pintu kedai, dan belum sempat memilih tempat duduk.
Tentu saja suara yang keras dan bernada dingin itu, membuat para pengunjung kedai terkejut dan menolehkan kepalanya. Namun, ketika mereka melihat penampilan lelaki berjubah biru gelap dan tiga orang lainnya, serentak pengunjung kedai itu menundukkan kepalanya. Bahkan, beberapa pengunjung langsung beranjak meninggalkan bangku-bangkunya.
Kening lelaki berjubah biru gelap yang baru saja menjatuhkan pantatnya di atas kursi itu berkerut dalam. Tindakan pengunjung yang henda kmeninggalkan kedai itu membuat dirinya tersinggung. Dengan gerakan kasar, lelaki berkumis tebal itu bangkit dan menggebrak meja.
Brakkk…!
Enam orang lelaki yang baru saja hendak melangkah keluar kedai itu merasa terkejut. Langkah mereka terhenti dan menolehkan kepala kearah pengunjung aneh itu.
“Dengar! Tidak seorangpun boleh meninggalkan tempat ini!Bagi siapa yang berani membantah, maka kematianlah yang akan diterima!” ancam lelaki berjubah biru gelap itu dengan tatapan mata tajam dan menggetarkan jantung.
Mendengar ancaman yang tegas itu, membuat mereka semua kembali duduk dengan wajah pucat. Kegelisahan membayang jelas di wajah mereka. Namun, tidak semua pengunjung kedai itu bernyali kecil. Dua orang lelaki bertubuh kekar berotot, bergerak bangkit dan melangkah menuju pintu kedai. Mereka tidak gentar sama sekali dengan ancaman lelaki berjubah biru gelap itu. Melihat lagak dua orang bertubuh kekar berotot tersebut, lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha…! Tidak kusangka di tempat ini ada juga orang-orang bernyali harimau. Bagus… bagus…. Benar-benar sangat menyenangkan!” ujar laki-laki itu sambil bangkit dari duduknya.
“He...hehe…! Hati-hati Kakang Gumilang. Siapa tahu kedua orang itu benar-benar harimau buas….!” Cetus lelaki berjubah hijau dengan suara mengejek.
“Ha ha ha…! Justru itu yang kuharapkan, Sura Lejang. Jika mereka betul-betul harimau buas, senang sekali hatiku,” ujar lelaki berjubah biru gelap yang ternyata bernama Gumilang.
Dia melangkah lebar menghampiri kedua lelaki bertubuh kekar itu. Sikapnya terlihat angkuh dan sangat menghina sekali. Tanpa memperdulikan kedua orang itu, ia berdiri diambang pintu dan menghalangi jalan keluar.
“Maaf, Kisanak. Berilah jalan untuk kami lewat…” pinta salah seorang yang berwajah keras dengan bulu-bulu hitam menghias sisi wajahnya. Nada suaranya yang sopan itu mengandung ketegasan.
Lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak mengindahkan permintaanya. Sepasang matanya menatap dingin kearah dua orang lelaki yang berniat meninggalkan kedai itu. Setelah beberapa kali mengulang permintaanya, tapi selalu diabaikan, lelaki berwajah keras itu mulai naik pitam. Dengan tatapan mata yang menyiratkan kemarahan, ia melangkah maju dua tindak ke depan.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dari kami, Kisanak? Mengapa kau menghalangi jalan keluar? Bukankah diantara kita tidak ada persoalan?” tegur lelaki kekar berwajah keras itu dengan suara penasaran. Sepasang tangannya dikepalkan hingga terdengar suara gemeretak. Melihat dari sikap dan tingkahnya, tampak lelaki itu bukanlah seorang sembarangan.
“Hm… Aku tidak akan menghalangimu jika permintaanku kau turuti,” ujar Gumilang dengan suara perlahan, namun terasa menggetarkan hati. Sedang sepasang matanya yang dingin dan setajam mata pisau itu, tetap tidak beralih dari wajah lawan.
“Apa permintaanmu, Kisanak? Selagi masih dalam batas-batas wajar tentu akan kupenuhi. Katakanlah!” sahut lelaki berwajah keras itu dengan menentang pandangan mata Gumilang. Jelas, ia ingin memperlihatkan bahwa dirinya tidak takut berhadapan dengan lelaki berjubah biru gelap.
Mendengar ucapan lawan bicaranya, Gumilang memperlihatkan senyum iblis yang sempat membuat hati lelaki berwajah keras itu bergetar. Karena senyumnya merupakan senyum licik yang mengandung banyak arti.
“Permintaanku tidak banyak dan gampang dipenuhi. Kalau kalian ingin meninggalkan kedai ini, tinggalkan nyawa kalian berdua untukku. Setelah itu kalian boleh pergi tanpa kuganggu,” ucap Gumilang dengan suara dingin dan menantang.
“Bangsat! Rupanya kau sengaja mencari persoalan dengan kami! Kuperingatkan agar kau segera menarik ucapanmu itu. Kalau tidak, tubuhmu akan kulumat habis!” bentak lelaki bertubuh kekar itu dengan wajah merah padam.
“Kisanak. Sadarkan kau, saat ini tengah berhadapan dengan Sepasang Macan Kumbang? Dan perlu kau ketahui tak seorangpun bisa menghalangi keinginan kami. Maka, menyingkirlah kau sebelum kesabaran kami habis!” ancam lelaki yang satunya lagi. Wajahnya yang kehitaman dengan sebaris kumis tebal melintang, tampak semakin gelap.
Nama Sepasang Macan Kumbang memang cukup dikenal dan ditakuti penduduk Desa Keranggan. Tindakan mereka pun sukar ditebak. Terkadang mereka bertindak kasar hanya karena persoalan sepele. Bahkan, tidak jarang mereka membunuh orang yang tidak disukainya, meski tanpa sebab yang jelas. Tapi kedua, orang lelaki kekar berkulit hitam itu, kerap juga menolong penduduk yang ditimpa kesulitan, atau mengusir perampok-perampok yang mengganggu ketentraman Desa Keranggan. Sehingga, Kepala Desa Keranggan pun enggan berurusan dengan Sepasang Macan Kumbang itu.
Selama bertahun-tahun malang melintang di Desa Keranggan tak seorangpun mampu mengalahkannya, membuat mereka menjadi tinggi hati. Semula kedua orang itu tidak mau ambil perduli dengan tingkah empat orang aneh tersebut. Namun karena orang-orang itu seperti sengaja mencari keributan, maka kedua orang itupun tak dapat membiarkan mereka.
Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, sudah hilang kesabarannya ketika mendengar permintaan gila Gumilang. Namun karena saat itu hati mereka sedang gembira, sengaja dia bersikap mengalah. Lain halnya dengan Juwana, orang kedua dari Sepasang Macan Kumbang itu. Dari tatapan matanya yang garang, jelas dia tidak dapat menerima perlakuan Gumilang. Begitu tiba di hadapan lelaki berjubah biru gelap yang berdiri diambang pintu kedai, Juwana mengulurkan tangannya dengan maksud menyingkirkan orang aneh itu dari ambang pintu.
Tindakan Juwana itu sama sekali tidak diperdulikan Gumilang. Lelaki berusia empat puluh tahun yang bermata licik itu tetap mematung dan menghalangi jalan. Padahal, saat itu cengkeraman Juwana sudah menyentuh pangkal lengan kanannya. Tapi, ia tidak mengindahkan sama sekali.
Melihat sikap lelaki berjubah biru gelap itu memandang rendah kepadanya, tentu saja Juwana semakin geram. Dicekalnya pangkal lengan lelaki berjubah biru gelap itu. Lalu, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Juwana membetot tubuh lelaki berjubah birru gelap itu sambil mengeluarkan bentakan nyaring!
“Haaah…!”
Sentakan tangannya yang mampu melemparkan tubuh lelaki dewasa itu, kali ini tidak mampu menghempaskan tubuh lawannya. Meskipun diayakin tenaga sentakannya cukup kuat, tapi tubuh Gumilang tetap saja tak bergeser dari tempatnya.
“Bangsat! Hiaaah…!” Bentakan nyaring terlontar dari mulut Juwana. Dengan mengerahkan tenaga yang lebih kuat, tangannya kembali menyentuh tubuh lelaki berjubah biru gelap itu.
“Ha ha ha…!”
Gumilang tertawa mengejek, setelah melihat wajah Juwana bersimbah peluh. Tubuh lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak bergeming, walaupun Juwana telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Kenyataan itu membuat Juwana makin penasaran! Sadar usahanya sia-sia, dia segera melepaskan cekalan tangannya. Begitu cekalannya ditarik pulang, dia langsung mengirim tamparan keras kewajah Gumilang.
Wuuut…!
“Aiiih… hati-hati dengan tamparan itu, Kisanak. Nanti kepalaku bisa pecah…” ejek Gumilang yang segera merundukkan kepalanya dan lenyap dari hadapan lawan.
“Ehhh…!?” Heran bukan main hati orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu. Tampaknya orang berjubah biru gelap itu sengaja mempermainkan Juwana di depan orang banyak. Dicabut golok besar yang terselip dipingganngya. Lalu, diedarkan pandangannya mencari-cari lawannya yang lenyap tanpa bekas itu.
“Apa yang kau cari, Kisanak…?”
Mendengar suara teguran dari belakangnya, Juwana segera membalikkan tubuh dan membabatkan golok besarnya dengan kecepatan tinggi. Kemarahannya telah memuncak, sehingga dia tidak peduli lagi dengan keadaan disekitarnya. Dalam benaknya hanya satu yang diinginkan, yakni membunuh lelaki berjubah biru gelap yang telah mempermalukan dirirnya di depan orang banyak. Maka, gerakan goloknyapun tidak main-main lagi.
Wuuuk… Crakk…!
Terdengar suara berderak ribut ketika golok besarnya membabat tiang penyangga kedai makan itu. Tentu saja runtuhnya atap kedai membuat pengunjung kalang kabut! Serentak mereka berlarian keluar, tanpa memperdulikan keempat orang aneh yang duduk tenang di mejanya.
Kraaagh…!
Juwana dan Jakulapun bergegas melompat keluar dari kedai yang akan roboh itu. Sebab, mereka tidak ingin terkubur hidup-hidup.
“He....he...he…. Menyenangkan sekali dapat bermain-main denganmu, Kisanak. Ayo kita lanjutkan permainan yang menarik tadi….” Ujar lelaki berjubah biru gelap dengan wajah berwarna kebiruan.
Entah kapan datanngya orang itu yang jelas, dia telah berada di belakang Sepasang Macan Kumbang. Hal ini membuat Juwana dan Jakula tersentak seperti melihat hantu di siang bolong! Aneh! Ternyata tidak hanya lelaki berjubah biru gelap itu saja yang telah berada di luar kedai, melainkan ketiga rekannya sudah berdiri di belakang Gumilang. Padahal ketika atap kedai itu runtuh, mereka masih tetap tenang duduk menikmati hidangannya. Tentu saja kenyataan ini membuat hati Sepasang Macan Kumbang terkejut sekaligus gentar!
Jakula dan Juwana sadar kalau lawan yang di hadapinya adalah tokoh-tokoh sakti kalangan persilatan. Keduanya cepat melompat mundur sambil menghunus senjatanya. Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk Hantu Laut itu, tertawa tergelak melihat tingkah Sepasang Macan Kumbang. Dimuka Gumilang tingkah kedua orang jago-jago itu terasa lucu dan menggelitik perutnya. Sehingga ia terkekeh-kekeh berkepanjangan.
SEPASANG Macan Kumbang bergerak mundur satu setengah tombak. Golok besar yang bagian belakangnya bergerigi tergenggam di tangan mereka dan digerak-gerakkan menyilang di depan dada. Keduanya bersiap-siap menghadapi lawan yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu.
“Hm…. Meski kau memiliki kepandaian seperti iblis neraka, jangan harap kami akan gentar! Majulah, biar kucincang tubuhmu!” bentak Juwana sambil mengobat- abitkan senjatanya. Sementara Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, bergerak merenggang. Maksudnya untuk memecah perhatian lawan.
Wuuuk…! Wuuuk…!
Golok besar ditangan Jakula diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara angin menderu-deru. Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk Hantu Laut itu, sama sekali tidak memperdulikan tingkah Sepasang Macan Kumbang. Ia malah melangkah kedepan, tanpa peduli dengan golok besar yang berkilat tajam di tangan lawan.
“He he he…! Mengapa kalian tidak langsung maju berdua? Ayolah, janga ragu-ragu,” tantang Gumilang sambil memperdengarkan suara tawanya yang serak.
“Bangsat! Kalau itu memang kemauanmu, terimalah ini! Hiaaat…!” Teriakan nyaring yang dilontarkan orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu diiringi sabetan golok besarnya ke arah leher Gumilang.
Wueeet…!
“Hmh…!” Sambil mengeram dingin, Hantu Laut merundukkan kepalanya disertai geseran kaki kanannya selangkah ke belakang. Secepat kaki itu ditarik, serentak Gumilang melesat kembali ke depan dengan tendangan kilat yang mengejutkan!
Zebbb….!
Tendangan kilat yang mengandung kekuatan hebat itu luput, ketika Juwana memiringkan tubuhnya dengan gerakan berputar. Orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu ternyata cukup sigap. Langsung membarengi gerakannya dengan sambaran golok besarnya. Golok besar yang bergerak menyilang dari bawah keatas itu, membuat Gumilang berseru memujinya. Wajah lelaki berwajah kebiruann ini makin berseri melihat kegesitan lawannya.
Beuuut…!
Sambaran golok besar yang membeset dari bawah ke atas itu, dihindari Gumilang dengan menarik tubuhnya ke belakang. Kemudian disusul dengan gerakan berputar, sekaligus melepaskan tendangan yang mengancam batang leher lawannya. Pada saat bersamaan, Jakula meluncur dengan disertai tebasan golok besarnya. Kemudian senjata itu ditebaskan ke arah kaki Gumilang. Menyadari bahaya yang akan mengancam, lelaki berjubah biru gelap itu terpaksa menarik pulang tendangannya, karena tidak diinginkan kakinya termakan senjata lawan.
Jakula ternyata lebih gesit dari saudaranya. Begitu sambaran golonya luput, pergelangan tangannya berputar cepat. Dan golok besar itu kembali berkelebat menusuk dada musuh. Melihat kedua lawannya cukup ulet, Gumilang menjadi tidak sabar. Dijepitnya golok besar Jakula yang meluncur ke arah dada dengan merangkapkan sepasang telapak tangannya.
Syuuut…! Kreppp!
Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya seperti dijepit baja yang amat kuat! Meskipun telah dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming.
“Heaaah…!”
Syuuut…! Kreppp!
Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya seperti dijepit baja yang amat kuat! Meskipun telah dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming.
Pada saat Jakula tengah mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong maju ujung goloknya, tiba-tiba Gumilang menyentakkan golok itu dengan sentakan keras yang dialiri tenaga dalam. Senjata itupun melambung terlepas dari genggaman tangan Jakula. Sedangkan tubuhnya terjengkang kebelakang!
“Yeaaah…!”
Jakula tersentak kaget. Sebelum hilang rasa terkejutnya, Gumilang segera melompat disertai dorongan sepasang telapak tangannya ke arah dada lawan yang terbuka lebar!
Wuuut…! Blaggg…!
“Huaaakh…!”
Darah segar terlompat dari mulut Jakula, ketika sepasang tangan lawan menghantam dadanya dengan telak. Tubuh lelaki kekar itu terlempar bagai sehelai daun kering yang diterbangkan angin!
Brusssh…!
Tubuh Jakula meluncur dan menjebol bilik rumah penduduk yang berada tiga tombak di belakanngya!
“Huaaakh…!” Jakula bangkit. Dan memuntahkan darah berwarna kehitaman. Pertanda lelaki kekar itu mengalami luka dalam yang parah!
Melihat saudaranya terluka, Juwana bertambah kalap. Orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu, langsung melompat seraya mengibaskan golok besarnya. Lawan yang dihadapi Sepasang Macan Kumbang kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Buktinya, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Juwana, dapat dielakkan lelaki berjubah biru gelap itu dengan gampang. Bahkan tepisan telapak tangannya sempat membuat Juwana terbuyung mundur. Itu terjadi setiap kali Gumilang bergeak menepis sambaran golok besar lawannya.
Melihat dari cara Gumilang yang jelas-jelas telah mempermainkan lawannya. Sehingga membuat dada Juwana menyadari dirinya diporak porandakan lawannya. Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia dihina dan dipermainkan dihadapan orang yang menonton pertarungan tersebut. Sikap lawannya itu membuat dia berang dengan serangannya makin ganas dan berbahaya!
“Hiaaat…!” Teriakan marah dan mengguntur itu dilontarkan Juwana, seraya berusaha mendesak lawannya.
Bettt! Bettt!
Golok besar di tangannya digerakkan dengan menggunakan tenaga dalam menyambar berkali-kali. Kelebatan golok orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu diiringi suara angin berkesiutan.
Namun semakin gencar Juwana melancarkan serangan-serangan tidak membuat lawannya terdesak. Bahkan sebaliknya ketika Gumilang mulai melancarkan serangan balasan, orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu terdesak hebat! Gerakan Gumilang yang cepat dan terlihat aneh itu, benar-benar membuat Juwana kewalahan! Tidak sampai lima jurus, sebuah gedoran telapak tangan lawan tidak sempat dielakkannya.
Wuuut…!Blaggg…!
“Hukhhh…!”
Hantaman telapak tangan Gumilang telah menghajar dada kanan Juwana. Lelaki kekar itu terpekik kesakitan. Kontan tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak kebelakang.
Brakkk…!
Pohon sebesar pelukan orang dewasa yang ada di belakang tubuh Juwana, berderak keras ketika tertimpa tubuh lelaki kekar berkumis hitam itu. Tubuh Juwana melorot jatuh bersamaan dengan luruhnya daun-daun pohon akibat benturan tubuhnya. Antara sadar dan tidak, lelaki kekar itu mengeluh lirih. Tampak di sudur bibirnya mengalir cairan kental berwarna merah!
Gumilang melangkah lebar menghampiri tubuh Jakula yang tergeletak pingsan. Tanpa rasa kasihan sedikitpun, diseretnya tubuh orang pertama dari Sepasang Macan Kumbang itu. Kemudian dilemparkannya disamping tubuh Juwana. Lelaki termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu mengerang kesakitan. Cairan berwarna merah kehitaman kembali mengalir dari sudut mulutnya.
“Apa yang hendak kau perbuat terhadap keduaorang berkulit hitam itu, Kakang…?” tanya lelaki berjubah hijau yangbernamaSuraLejang,serayamelangkahmendekati Gumilang yang tengah berdiri menatapi dua sosok tubuh tak berdayaitu. “He... he... he…! Aku akan mencoba keampuhan ramuan racun-racun terbaruku. Kau boleh menebaknya, Adi Suro Lejang. Menurutmu, apa yang akan dialami kedua Macan Kumbang itu, bila cairan ini kusiramkan ke tubuh mereka?” ucap Gumilang tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun. Seolah-olah bukan manusia yang menjadi sasaran untuk menguji keampuhan racunnya itu.
“He he he…! Cepatlah kau siramkan, Kakang. Aku rasa, mereka pasti berkelojotan bagaikan ayam disembelih. Sebuah pertunjukan yang pasti menggembirakan,” ujar Suro Lejang dengan wajah berseri-seri.
Orang-orang berpenampilan aneh itu tampaknya sudah kehilangan perasaan kemanusiaannya. Bagi mereka penderitaan orang lain adalah sebuah tontonan yang menarik dan menyenangkan.
Dengan disaksikan ketiga orang kawannya dan belasan orang penduduk Desa Keranggan, Gumilang meneteskan cairan berwarna biru ke tubuh Juwana dan Jakula. Terdengar tawa iblisnya ketika ia menyelipkan kembali botol kecil, sebesar ibu jari ke dalam lipatan sabuk yang melilit pinggangnya.
“Aaargh….!”
Jakula dan Juwana meraung keras sekali setelah cairan itu membasahi tubuhnya. Asap tipis berbau busuk mengepul disertai jerit kesakitan Sepasang Macan Kumbang itu. Tubuh mreka berkelojotan menahan rasa sakit yang luar biasa! Diraut wajahnya yang berkerut-kerut itu, tergambar jelas siksaan yang hebat.
Cairan berwarna biru itu memang mengerikan seklai. Bila cairan itu diteteskan ke tubuh seseorang, maka membuat pakaiannya akan berlubang. Bahkan daging tubuhnya pun akan berlubang dan terbakar. Seperti yang dialami Sepasang Macan Kumbang itu.
Zesss…!
Terdengar suara berdesis seiring makin melebarnya cairan berwarna biru itu menimpa tubuh mereka. Semakin lama kepulan asap tipis berbau busuk itu, semakin dalam pula lubang ditubuhnya. Akhirnya sekujur tubuh Sepasang Macan Kumbang itu terbakar dan berlubang. Bagaikan binatang buas pemakan daging, cairan itu terus melebar dan menggerogoti daging Jakula dan Juwana. Sehingga seluruh daging kedua orang itu lebur. Yang tersisa, hanya tulang belulang berwarna kehitaman dan berbau busuk.
“Aaah…!”
Beberapa penduduk Desa Keranggan yang menyaksikan korban perbuatan keji empat orang aneh itu,terpekik dengan wajah pucat pasi. Tanpa sadar mereka melangkah mundur. Bahkan, ada beberapa orang lari meninggalkan tempat mengerikan itu. Mereka takut kalau-kalau kejadian itu merembet dan menimpa dirinya.
Sementara keempat orang aneh yang mempunyai sifat kejam seperti iblis itu tertawa terbahak-bahak. Kematian Sepasang Macan Kumbang yang mengerikan itu telah membuat hati mereka merasa puas dan bahagia sekali.
“Ha ha ha…! hebat sekali penemuan barumu itu, Kakang Gumilang. Tapi, sudahkah ramuan itu kau beri nama?” tanya lelaki kurus berjubah kuning pucat yang bernama Sangkuni.
“Ha ha ha…! Tentu saja sudah, Adi Sangkuni. Racun ini kunamakan ‘Carian Neraka’. Cairan beracun ini kelak akan kuperbanyak, agar kau lebih sering menikmati tontonan yang menggembirakan seperti ini,” sahut Gumilang dengan nada penuh kebanggaan. Jelas ia merasa puas sekali dengan hasil yang diperolehnya itu.
“He he he…!” Bukan kau saja yang telah menciptakan racun baru seperti itu, Kakang Gumilang. Akupun telah berhasil membuat racun yang tak kalah hebat dari racunmu,” ujar Suro Lejang sambil mengeluarkan sebuah bumbung bambu dari balik bajunya. Kemudian ia menolehkan kepalanya kearah beberapa penduduk yang masih berada di tempat itu.
Lima belas orang penduduk Desa Keranggan yang terpaku menyaksikan kejadian itu, menjadi pucat ketika melihat tatapan mara orang aneh itu! Tubuh mereka gemetar, kemudian mereka melangkah mundur ketika melihat sorot mata Suro Lejang seperti mata seekor harimau buas itu. tatapan itu tentu saja membuat mereka ketakutan setengah mati!
“He he he…! Kalian cepat maju kemari. Aku akan memberi hadiah yang sangat menarik buat kalian semua. Ayo kemari, jangan takut-takut…” Bujuk Suro Lejang sambil menatap tajam penduduk Desa Keranggan.
“Ampun, Tuan… ampun…!” ucap seorang lelaki berkumis lebat yang menjadi sasaran Suro Lejang. Kedua lututnya gemetar, membuat dirinya terpaku dan tak bisa meninggalkan tempat itu. keringat dingin mengucur deras membasahi pakaiannya. Dan, dari sela-sela pahanya tampak mengucur carian berbau tak sedap. Jelas kalau lelaki itu dilanda ketakutan yang sangat hebat.
Lelaki berpakaian serba hijau itu terkekeh gembira melihat tingkah laku orang itu. Ketakutan dan ketidak- berdayaan calon korbannya membangkitkan rasa bahagia tersendiri di hatinya. Sehingga tawanya pun semakin nyaring dan keras.
“Berhenti….!” Bentak Suro Lejang, ketika mendengar suara langkah kaki beberapa orang yang hendak meninggalkan tempat itu. “Kalau kalian tidak ingin kubuat menyesal telah dilahirkan ke dunia, tetaplah tinggal di tempat!Bagi yang membantah akan kusiksa sampai mati!” ancam lelaki berpakaian serba hijau itu dengan sepasang mata mencorong tajam.
Melihat kebengisan yang terpancar di wajah Suro Lejang. Jelas kalau ancaman itu bukan sekadar gertakan belaka. Delapan orang penduduk Desa Keranggan yang semula hendak meninggalkan tempat itu, segera menghentikan langkahnya. Namun empat orang di antaranya berbuat nekat. Mereka melarikan diri tanpa menghiraukan ancaman lelaki berpakaian serba hijau itu.
“Keparat…!” maki Suro Lejang marah, ketika empat orang penduduk itu kabur.
Belum gema suara makiannya lenyap, tubuh Suro Lejang sudah melesat dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Gerakan yang dilakukan lelaki bengis itu sangat cepat sekali. Sehingga, dalam sekejapan mata, kedua kakinya telah mendarat sejauh dua batang tombak di depan keempat orang penduduk itu.
“Aaah…!”
Karuan saja keempat penduduk Desa Keranggan yang hendak melarikan diri itu terkejut setengah mati! Serasa copot jantung mereka ketika melihat lelaki berpakaian serba hijau yang berwajah bengis itu telah berdiri menghadang jalan mereka.
“Ampunilah kami, Tuan… Kami mengaku salah… ampun, Tuan…”
Keempat orang penduduk desa itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut, dan meratap mohon ampun. Tubuh mereka gemetar hebat melihat sinar mata yang sangat mengerikan dari lelaki bengis itu.
“Kalau memang kalian telah mengaku bersalah, bangkitlah!Jangan takut. Aku tidak akan menyakiti kalian. Bahkan akan kuberi hadiah-hadiah yang sangat menarik atas keberanian kalian meninggalkan tempat ini,” sahut Suro Lejang tersenyum sinis, seraya melangkah maju mendekati keempat orang yang tengah dilanda ketakutan hebat itu.
Mendengar ucapan bernada lembut dan terdengar manis itu, keempat orang penduduk itu pun serentak mengangkat wajahnya. Seolah-olah mereka hendak memastikan kalau lelaki berpakaian serba hijau itu memang benar-benar tidak marah.
“He he he… Bagus… bagus… Pandanglah wajahku. Apakah diriku terlihat seperti orang jahat?” ucap Suro Lejang sambil memamerkan senyumnya. Jemari tangan Suro Lejang meraih kantung kain dibalik pakaiannya. Dikeluarkannya empat butir pil berwarna hijau. Lalu, diberikannya kepada keempat penduduk Desa Keranggan itu.
“Telanlah obat ini. Niscaya tubuh kalian akan bertambah kuat. Dan tenaga kalianpun akan menjadi berlipat ganda,” bujuk Suro Lejang mengangsurkan empat butir pil ditangannya kearah empat orang itu.
Suro Lejang kembali memamerkan senyum manisnya ketika melihat kepala orang-orang itu menggeleng, dan menolak pil yang diangsurrkannya. Karena tidak sabar melihat empat orang itu masih tetap menggelengkan kepalanya, meski telah dibujuk baik-baik. Maka,terpaksa ia menjejalkan pil-pil itu ke dalam mulut empat orang penduduk yang tidak mampu untuk menolaknya lagi.
“Nah, begitu baru enak…!” tawa Suro Lejang kembali menggema ketika melihat pil-pil itu ditelan keempat orang warga Desa Keranggan.
Tidak berapa lama setelah pil-pil itu memasuki kerongkongan mereka, terdengar keluhan-keluhan kesakitan dari mulut keempat orang itu. Masing-masing dari mereka memegangi lehernya erat-erat. Sepasang mata mereka terbelalak seolah-olah hendak melompat keluar dari tempatnya.
“Aiiir… aiiir… Hauuus….!”
Keempat orang penduduk Desa Keranggan itu berteriak-teriak parau sambil memegangi lehernya. Sebab, kerongkongan mereka terasa sangat kering dan panas. Bahkan bibir keempat orang penduduk desa yang sial itu telah pecah-pecah, akibat rasa panas yang menjalari leher dan wajah mereka.
Melihat keadaan keempat orang itu, Suro Lejang dan ketiga orang kawannya tertawa terbahak-bahak. Jelas sekali kalau mereka sangat gembira melihat penderitaan penduduk desa yang tengah sekarat itu. Tawa keempat orang aneh yang kejamnya luar biasavitu terdengar semakin keras, ketika tubuh keempat orang desa itu mulai bergulingan dan berkelojotan menahan rasa sakit yang sangat.
“Ha ha ha…! Kau lihat itu, Kakang Gumilang! Nampaknya mereka sudah semakin menikmati pil pemberianku!” seru Suro Lejang ketika melihat mulutckeempat orang itu mengeluarkan buih berwarna kehijauan.
Gumilang, Sangkuni, dan lelaki berpakaian serbacmerah yang bernama Lawa Gurintang, tertawa semakin keras ketika menyaksikan pemandangancitu. Tubuh-tubuh sengsara yang berkelojotan itu meregang nyawa itu, rupanya menimbulkan kegembiraan di hati mereka. Tawa keempat orang berwatak iblis itu baru terhenti setelah keempat orang pendduk desa yang malang itu menghembuskan napasnya. Penderitaannya yang menyiksa itu lenyap bersamaan dengan keluarnya roh keempat orang malang itu.
"Jahanam! Siapa yang telah melakukan perbuatan biadab ini?”
Suara bentakan nyaring, tiba-tiba terdengar disusul munculnya seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun. Sorot matanya yang tajam tertuju kepada empat orang lelaki berpakaian menyolok itu. Di belakang lelaki tua itu, tampak belasan orang mengenakan seragam putih mengiringinya. Jelas lelaki tua yang masih gagah itu merupakan orang penting di Desa Keranggan.
“He he he… Siapakah kau, Orang Tua? Mengapa memandangi kami seperti itu? Apakah kau manuduh kami yang melakukannya?” bentak lelaki kurus berwajah kuning pucat seraya melangkah maju beberapa tindak. Dan sepasang matanya menyipit menatap wajah lelaki tua itu.
“Hm…. Rupanya kalian orang baru di desa ini. perlu diketahui bahwa aku adalah Ki Bongol. Dan, Desa Keranggan beserta warganya merupakan tanggung jawab- ku. Karena akulah Kepala Desa di sini! Mengapa kalian menghukum wargaku demikian kejam? Apa salah mereka terhadap kalian?” ujar lelaki tua yang bernama Ki Bongol itu menuntut jawaban.
Lelaki berpakaian kuning pucat yang tak lain Sangkuni, tertawa terbahak-bahak. Sikap yang ditunjukkan itu jelas menghina, tak heran wajah Ki Bongol berubah merah menahan geram.
“Ketahuilah, Ki Bongol. Kami adalah Empat Iblis Lembah Beracun. Kehadiran kami didesa ini, meringankan tugasmu. Karena itu kau boleh beristirahat menjadi Kepala Desa. Serahkan saja segala urusan di desa ini kepada kami. Dan semua akan beres,” ujar Sangkuni sambil berkacak pinggang.
Jawaban yang sangat kurang ajar itu tentu saja membuat pengawal Ki Bongol geram. Kalau saja lelaki tua itu tidak keburu mencegah, tentu pengawal Kepala Desa Keranggan yang marah itu sudah melancarkan serangan kearah lelaki berwajah pucatcyangcberanicberlakuckurang ajar terhadap pimpinannya.
“Hm… Sudah kuduga kedatangan kalian di desa ini mengandung niat tidak baik. Sekarang kau dan ketiga kawanmu itu boleh pilih! Tinggalkancdesa ini,atauterpaksa aku menggunakan kekerasan untuk mengusir kalian?” ancam Ki Bongol tegas.
Sambil berkata demikian, lelaki tua yang masih nampak gagah itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Dan matanya menatap tajam kearah tamu yang telah mengganggu ketentraman desanya.
“Huh! Kau terlalu bertele-tele, Adi Sangkuni! Sudah, bunuh saja orang tua tak berguna itu habis perkara!” ujar Suro Lejang yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu.
Sangkuni yang semula masih hendak menanggapi ucapan Ki Bongol, sejenak menoleh kearah Suro Lejang. Lalu, kembali berpaling menghadap Kepala Desa Keranggan. Sepasang matanya tampak berkilat penuh ancaman!
Ki Bongol sadar tatapan Sangkuni mengandung ancaman maut. Cepat ia mengibaskan tangannya sebagai perintah kepada para pengawalnya untuk mengepung keempat ibls itu. Sementara, ia sendiri sudah meloloskan pedangnya dan menghadapi Sangkuni.
“Hm….!” Sambil menggeram gusar, Sangkuni yang berjuluk Iblis Muka Mayat mengibaskan tangannya kedepan.
Wuuut…!
Serangkum angin pukulan berhembus amat kuat, diiringi hawa busuk yang memualkan perut. Mencium adanya hawa beracun dari pukulan lawan, Ki Bongol melompat kesamping. Kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya, disertai sambaran pedanngya mengancam tubuh lawan.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali melompat, Ki Bongol langsung mengirimkan serangkaian serangan yang cepat dan susul menyusul! Gerakan lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu, ternyata masih sangat berbahaya!Sehingga Sangkunipun sempat berdecak kagum. Lawan yang dihadapi Ki Bongol kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Tak mengherankan ketika Sangkuni melancarkan serangan balasan, lelaki setengah baya itu terdesak hebat!
Namun, Ki Bongol bukanlah jenis orang yang mudah menyerah! Meskipun ia sadar akan kehebatan lawannya, tapi lelaki tua itu tidak gentar sedikitpun. Pedang ditangannya terus berkelebatan guna mengatasi serangan lawan. Perlawanan Kepala Desa Keranggan itu membangkitkan amarah Sangkuni. Ketika pertarungan memasuki jurus kedua puluh tiga, Iblis Muka Mayat melepaskan pukulan berantai yang membuat Ki Bongol kelabakan!
“Haiiit…!” Buggg…!
Serangan lawan yang cepat dan susul menyusul itu membuat Ki Bongol terpaksa menerima pukulan lawan berkali-kali didadanya, tanpa dapat dielakkan.
“Huaaakh…!”
Tubuh lelaki setengah baya itu langsung terjungkal ke belakang! Darah kental berwarna kehitaman muncrat dari mulutnya. Dan tubuh Ki Bongol pun rebah ketanah.
“Ki Bongol…!”
Teriak dua orang lelaki gagah yang merupakan pengawal utama Kepala Desa Keranggan. Mereka serentak menghambur kearah tubuh kepala desanya. Hati mereka terkejut ketika melihat orang tua itu sudah tidak bernapas lagi. Dadanya yang terkena hantaman telapak tangan lawan, tampak hangus bagaikan terbakar!
“Bangsat! Pembunuh keji, terimalah pembalasanku!” teriak seorang berkumis tebal. Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat menerjang Sangkuni.
Wuuut!
Tusukan pedangnya luput ketika Sangkuni memiringkan tubuhnya sedikit. Tanpa membuang waktu lai, lelaki berwajah pucat itu mengirimkan pukulan keras ke arah kepala lawannya!
Prakkk!
Tanpa sempat berteriak, tubuhnya langsung roboh dan tewas seketika. Karena pukulan Sangkuni telah memecahkan batok kepalanya!
Begitu lawannya roboh, Sangkuni merasakan sambaran angin tajam dari belakanngya. Ia cepat merundukkan kepala. Sambil berbalik, Iblis Muka Mayat menjatuhkan tubuhnya dan langsung mengirimkan tendangan kilat ke ulu hati pembokonngya.
Buggg…!
“Hukhhh…!” Pengawal Ki Bongol itu, kontan terjengkang hingga dua tombak!Tubuhnya berkelojotan menahan rasa sakit pada ulu hatinya. Sesaat kemudian tubuhnya diamtak bergerak! Setelah ketiga lawannya menjadi mayat, Sangkuni mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu,tawa iblisnya meledak ketika melihat mayat para pengawal Ki Bongol yang berpakaian serba putih telah tewas bergelimpangan.
“Hm…. Kau terlalu lamban, Adi Sangkuni. Lihat, para pengawal lelaki tua itu telah menjadi mayat, selagi kau menghadapi lawan-lawanmu,” ujar Suro Lejang tertawa terbahak-bahak.
“Ahhh, itu tidak penting, Kakang Suro Lejang. Sekarang lebih baik kita kumpulkan seluruh penduduk Desa Keranggan ini. Lalu, kita umumkan kepala desa yang baru. Siapa lagi, kalau bukan Kakang Lawa Gurintang sebagai kepala desa yang baru!” teriak Sangkuni sambil memandang lelaki tinggi besar berjubah merah yang merupakan orang pertama dari Empat Iblis Lembah Beracun itu.
“Hm… Kalau begitu, apalagi yang kalian tunggu? Cepat kumpulkan orang-orang desa ini! siapa saja yang berani membantah bunuh!” ujar Lawa Gurintang dengan suara dingin.
Mendengar perintah itu, Sangkuni, Suro Lejang serta Gumilang, bergegas menyebar. Kemudian, mereka telah kembali sambil menggiring orang-orang Desa Keranggan ke tanah lapang di depan balai desa. Setelah mereka berkumpul, Sangkuni tampil menghadapi warga desa yang hanya dapat pasrah itu.
“Seluruh warga Desa Keranggan, dengarkan baik-baik! Mulai saat ini, yang menjadi kepala desa kalian adalah Lawa Gurintang! Semua perintah dan peraturannya harus dipatuhi. Siapa saja yang berani membantah, akan dibunuh tanpa ampun!” seru Sangkuni yang membuat semua kepala warga desa itu tertunduk dalam.
Usai menyampaikan semua rencananya, Empat Iblis Lembah Beracun itu segera meninggalkan halaman balai desa. Sedangkan kerumunan warga Desa Keranggan itu dibubarkan, setelah sebelumnya memilih beberapa gadis desa sebagai pemuas nafsu iblis mereka. Sambil tertawa tergelak, Empat Iblis Lembah Beracun melangkah ke arah sebuah rumah besar. Tempat kediaman Kepala Desa Keranggan yang lama yaitu Ki Bongol.
Empat orang lelaki gagah itu bergegas menerobos semak belukar. Mereka bergerak dan memasuki Hutan Keranggan. Melihat wajah-wajah mereka yang pucat, jelas, keempat orang gagah itu tengah menderita luka. Langkah-langkah kaki merekapun terlihat oleng.
“Huaaakh…!”
Lelaki yang berjalan paling belakang, tiba-tiba terguling dan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Wajahnya nampak semakin memucat. Melihat gerakan tubuhnya, ia tidak mampu lagi berdiri. Jelas ia tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan.
“Adi Lungga…!”
Ketiga orang lelaki gagah lainnya serentak berbalik dan menghambur ke arah orang yang bernama Lungga itu. serentak mereka menjatuhkan diri disamping tubuh lelaki berusia tiga puluh tahun yang tergeletak lemah itu.
“Maaa… maafkan aku, Kakang… Aku… Aku tid… tidak sanggup lagi. Larilah kalian. Jangan hiraukan aku…” Ucap Lungga terbata-bata. Nampak lelaki muda itu sangat sukar mengeluarkan ucapannya. Desah napasnya makin melemah, membaut ketiga orang lainnya saling berpandangan satu sama lain.
“Tapi, kami tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, Adi. Kami… kami harus membawamu,” ujar seorang dari ketiga lelaki gagah itu, sambil membelai kening Lungga yang basah oleh peluh.
“Tidak, Kakang Guraba. Kakang bertiga harus selamat dari kejaran iblis itu. Cepatlah, sebelum racun yang mengeram di dalam tubuh kalian menyebar ke seluruh tubuh. Ingatlah! Waktu yang kalian miliki hanya sampai tengah hari. Setelah itu, kalian tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup. Bila hal itu sampai terjadi, habislah kesempatan kita untuk melenyapkan manusia-manusia iblis itu. Dan itu berarti kakang bertiga telah mengecewakan harapanku,” ucap Lungga dengan suara lirih.
“Adi…!” Guraba berseru keras sambil mengguncang-guncangkan tubuh adik seperguruannya. Namun Lungga telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Kepalanya terkulai dalam pangkuan Guraba.
“Bedebah kalian, Iblis-iblis Lembah Beracun! Aku bersumpah akan membalas kematian adik seperguruanku ini!” geram Guraba dengan sepasang mata berkilat tajam. Sementara dua orang lainnya tak mampu berkata-kata, kecuali menundukkan wajahnya dalam-dalam. Jelas kedua orang itu sangat terpukul dengan kematian Lungga. Ketiga orang lelaki gagah itu tengah tenggelam dalam duka, tiba-tiba terdengar langkah kaki ke arah mereka. Ketiganya kaget dan seling berpandangan dengan wajah pucat!
“Kalian berdua larilah. Biar aku yang menghadapi manusia keparat itu!” ujar Guraba dengan suara parau.
“Jangan bodoh, Kakang! Kita berempat saja tidak mampu melawan mereka, apalagi Kakang sendiri. Ingat pesan Adi Lungga! Dia menghendaki agar kita bertiga selamat, dan kelak kita membuat perhitungan dengan mereka. Apakah Kakang tega membiarkan arwah adik seperguruan kita itu tidak tenang? Ayolah kita tinggalkan tempat ini. jangan turuti hawa nafsu yang dapat mencelakakan kita!” bujuk salah seorang yang usianya lima tahun lebih muda dari Guraba.
Kedua sisi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu tampak cemas. Terlebih suara langkah kaki orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar jelas. Guraba yang memang sangat menyayangi adik seperguruannya itu, termenung ketika mendengar ucapan tersebut. Jelas sekali ucapan itu mengena dihatinya. Terbukti ia menolehkan kepalanya dengan gerakan perlahan.
“Lalu, bagaimana dengan Adi Lungga….?” Tanya Guraba bagaikan orang bodoh. Padahal, biasanya dia yang selalu membimbing adik-adik seperguruannya dalam segala hal. Namun kematian Lungga membuat pikiran lelaki gagah itu buntu. Ia tidak tahu lagi harus bebuat apa.
“Terpaksa kita tinggalkan, Kakang. Sebab,jangankan membawa beban, untuk menyelamatkan diri sendiri saja sudah sangat sulit. Apalagi tenaga yang kita miliki sudah semakin susut. Dan, aku yakin Adi Lungga pun dapat memaklumi kesulitan kita,” sahut orang ketiga ikut menimpali. Wajahnya yang berbentuk persegi dengan tarikan bibir menggambarkan kekerasan hatinya itu. Meskipun demikian, nada ucapannya terdengar pelan. Biar bagaimanapun ia memaklumi seberapa besar rasa sayang Guraba terhadap Lungga.
“Tapi….” Guraba rupanya hendak membantah. Ia masih merasa berat untuk meninggalkan mayat adik seperguruannya yang paling bungsu itu.
“Kakang! Kita tidak mempunyai waktu lagi! Dan kalau memang kita tidak mau meninggalkan tempat ini, biarlah kita hadapi mereka bersama-sama! Aku pun tidak takut mati dalam menegakkan keadilan!” Sambil berkata demikian, lelaki kedua yang bernama Pradana itu melangkah dan berdiri tegak disebalah kanan Guraba.
Mendengar ucapan bernada keras yang jelas membayangkan kekerasan hati itu, membuat Guraba tersentak kaget. Dan, sikap yang ditunjukkan Pradana itu membuatnya sadar terhadap ketololan yang dibuatnya.
“Maafkan aku, adi. Seharusnya aku tidak bersikap setolol ini. Mari kita pergi….” Ujar Guraba. Dengan perasaan sedih Guraba melangkah meninggalkan tempat itu. Sesekali kepalanya menoleh kearah tubuh Lungga yag terbujur kaku. Jelas hatinya masih diliputi kesedihan yang mendalam dan tidak tega meninggalkan mayat adik seperguruannya yang paling bungsu itu.
Melihat Guraba sudah melangkah hendak meninggalkan tempat itu, bergegas kedua orang adik seperguruannya mengikuti. Kekesalan diwajah Pradana lenyap ketika melihat wajah kakak seperguruannya masih diliputi rasa duka. Sayang, tindakan ketiga orang lelaki gagah itu terlambat! Di hadapan mereka telah berdiri sesosok tubuh berjubah kuning pucat!
“Iblis Muka Mayat…!”
Seruan Guraba dan Pradana hampir bersamaan. Serentak ketiganya melangkah mundur dengan wajah pucat! Kehadiran tokoh sesat berwatak iblis itu, melenyapkan harapan mereka untuk lolos dari kejarannya.
“He he he…. Mau lari ke mana kalian, Tikus-tikus Busuk? Jangan mimpi dapat lolos dari kematian! Karena kalian telah mencoba melarikan diri, maka kematian kalian semakin menyakitkan,” ujar Sangkuni.
Meskipun ucapan yang dikeluarkannya terdengar penuh ancaman, namun wajah lelaki berwajah pucat itu terlihat gembira. Seolah-olah ia tidak berhadapan dengan musuh, melainkan dengan seorang sahabat. Guraba sudah mengetahui keanehan sifat lawannya, tentu saja menjadi berdebar tegang! Makin gembira hati lelaki kurus itu, semakin menyakitkan cara kematian yang mereka terima. Bayang-bayang yang mengerikan itu memenuhi benak Guraba dan kedua adik seperguruannya.
“Ha ha ha… Lihatlah, Anak-anak.Aku akan memberikan tontonan yang menarik untuk kalian,” ucap Sangkuni kepada belasan pengikutnya yang telah mengepung ketiga pendekar itu.
Sambil memperdengarkan tawanya yang mengekeh. Iblis Muka Mayat mengeluarkan benda kecil berbentuk pipih dari lipatan sabuknya. Guraba dan kedua orang adik seperguruannya memperhatikan benda yang berada di tangan lelaki berwajah pucat itu. Dada mereka berdegup keras ketika melihat Sangkuni menempelkan benda kecil dibibirnya.
Sesaat kemudian, terdengarlah siulan lembut bernada aneh. Suara itu terus menyelusup keseluruh hutan dengan irama yang sangat asing bagi telinga ketiga pendekar itu. Sesaat kemudian, terdengarlah suara berkeresekan di sekeliling tempat itu. Denyut jantung ketiga lelaki gagah itu berdegup keras! Tampak dari segala penjuru semak belukar bermunculan ratusan ekor tikus dan bergerak mengurung Guraba serta kedua orang adik seperguruannya. Tentu saja hal itu membuat wajah mereka pucat dengan mata terbelalak.
“Hah….!”
Ketiga orang pendekar itu gemetar hebat! Ratusan ekor tikus ganas itu bergerak kearah mereka.
“Ba… bagaimana… ini, Kakang…?” ucap Pradana dengan suara gemetar karena rasa ngeri yang mencengkeram hatinya, seraya merapatkan tubuhnya ke Guraba.
Guraba, lelaki gagah berusia lima puluh tahun merupakan orang pertama dari Empat Pendekar Gunung Larang, tidak sempat menyahuti ucapan Pradana. Sebab, dirinya sendiri tengah dilanda rasa ngeri dan jijik!
Sangkuni yang menyaksikan ketiga orang pendekar yang tengah dilanda ketakutan hebat, tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian ia meniup kembali benda kecil yang mengeluarkan irama aneh itu. Serentak ratusan ekor tikus buas dengan mata berwarna merah berlompatan dan saling berebut menerjang ketiga orang pendekar itu.
“Aaa….!”
Guraba dan Pradana dengan napas tersenggal-senggal, serentak menoleh ke belakang. Bukan main ngeri hati mereka menyaksikan pemandangan itu. Tubuh adik seperguruannya yang berada dibelakangnya, tampak tengah berkelojotan, dikeroyok ratusan ekor tikus buas! Sehingga tubuhnya lenyap terselimuti tikus-tikus yang tengah menjadi gila akibat irama tiupan yang masih terus diperdengarkan Sangkuni.
“Heaaat…!”
Kedua orang lelaki gagah yang tengah dilanda kengerian hebat itu juga tak luput mendapat serangan tikus-tikus hutan yang ganas itu, mereka mengibaskan kedua tangan dan kakinya. Namun, kawanan tikus-tikus buas itu tetap saja menyerangnya meski beberapa di antaranya mati akibat pukulan dan tendangan kedua orang itu.bBinatang-binatang menjijikkan itu terus saja merangsek maju menerjang Guraba dan Pradana.bDi tengah sibuknya Guraba dan Pradana mempertahankan selembar nyawanya dari ancaman tikus-tikus buas itu, tiba-tiba melayang sosok bayangan putih menyambar lengan kedua orang itu.
“Haiiit…!”
Setelah berhasil menangkap lengan Guraba dan Pradana, sosok bayangan putih itu berseru nyaring. Tubuhnya kembali melambung dan berjumpalitan beberapavkali diudara bagai seekor burung raksasa. Sosok bayangan putih melayang hingga beberapa tombak dari tempat itu. Dengan gerakan yang ringan, tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun, sosok tubuh itu mendaratkan kakinya ditempat yang aman.
Setelah menurunkan tubuh kedua orang lelaki gagah yang ditolongnya, tangan sosok bayangan putih itu berkelebat cepat. Beberapa ekor tikus yangvmasihvmenempel di tubuh Guraba dan Pradana, kontan berjatuhan tewas. Tanpa sadar Guraba dan Pradana masih berteriak-teriak bagaikan orang gila. Jelas jiwa mereka terguncang dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
Menyaksikan kedua orang lelaki gagah itu terus menjerit-jerit dan berlompatan bagai orang kerasukan setan, kedua tangan sosok berjubah putih itu kembali bergerak. Totokan-totokan kilat yang dilancarkannya membuat Guraba dan Pradana melorot jatuh tak sadarkan diri.
“Kenanga! Bawa kedua orang itu pergi. Biar aku sendiri yang menghadapi manusia-manusia jahat itu…!” seru sosok berjubah putih kepada dara jelita berpakaian hijau yang selebar wajahnya tampak memucat.
Gadis jelita yang bernama Kenanga itu, melangkah maju meski hatinya diliputi rasa jijik. Rupanya terguncang juga pendekar jelita itu ketika melihat ratusan ekor tikus buas bergerak ke arah mereka.
Sosok berjubah putih yang sudah pasti Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu, bergegas menyambar Guraba dan Pradana. Lalu, dihampirinya Kenanga yang tengah melangkah ragu. Diberikannya tubuh kedua orang lelaki itu kepada kekasihnya.
“Kenanga, pergilah dan cari tepat yang aman. Aku akan mengacaukan binatang-binatang menjijikkan itu. Kalau tidak, mereka akan mengejar kita terus,” ujar Panji yang segera membalikkan tubuhnya menghadapi ratusan ekor tikus yang hanya tinggal tiga tombak didepannya.
“Hmh…!” Terdengar geraman lirih dari mulut pemuda tampan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya bergerak saling susul menyusul melancarkan pukulan jarak jauh!
Blarrr…!
Ledakan keras terdengar saling susul menyusul, ketika pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Pendekar Naga Putih memporak porandakan tikus-tikus buas itu. Dan serentak puluhan ekor tikus buas terlempar dalam keadaan tak berbentuk. Darah segar memercik dan menebarkan bau amis yang memualkan perut.
Rupanya binatang-binatang menjijikkan itu merasa gentar juga terhadap amukan Pendekar Naga Putih. Mereka berhenti bergerak dan matanya menatap tajam ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Namun irama siulan yang kembali dialunkan Sangkuni, membuat ratusan ekor tikus itu tersentak gelisah. Meskipun demikian, binatang-binatang buas itu tak satupun menyerang Pendekar Naga Putih. Seolah-olah naluri mereka menangkap adanya bahaya yang terpancar dari tatapan mata pemuda tampan berjubah putih. Sehingga,tikus-tikus buas itu hanya berkeliaran didepan Pendekar Naga Putih dengan gerakan gelisah.
Pendekar Naga Putih sadar, ratusan tikus itu menjadi buas dan liar karena siulan dari lelaki kurus berwajah pucat itu. Maka, ia segera bergegas melompat ke arah Sangkuni. Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melancarkan serangan berbahaya ke arah Iblis Muka Mayat!
Wuuut…! Wuuut…!
Sangkuni yang semula menganggap remeh pemuda tampan berjubah putih itu, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Hembusan angin pukulan yang menderu itu, membuat Sangkuni sadar bahwa serangan pemuda tampan berjubah putih itu tidak bisa dianggap main-main. Tubuhnya segera bergerak ke kiri menghindari hantaman telapak tangan lawan. Namun gerakan yang dilakukan Iblis Muka Mayat itu terlambat. Sehingga, sebuah tamparan yang menyusul hantaman telapak tangan mendarat telak di bahu Iblis Muka Mayat!
Desss…!
Pukulan keras itu membuat tubuh Sangkuni terjengkang, hingga dua batang tombak jauhnya. Tokoh termuda dari Empat Iblis Lembah Beracun itu menjerit kesakitan. Wajahnya yang pucat nampak semakin putih.
“Keparat! Kulumat tubuhmu, Pemuda Setan!” maki Sangkuni. Iblis Muka Mayat itu menjadi berang karena merasa dipermainkan seorang anak muda dihadapan pengikutnya. Kalau saja tokoh sesat Empat Iblis Lembah Beracun itu tidak mengalaminya sendiri, mungkin ia tidak dapat mempercayai begitu saja. Ia yang merasa selama ini selalu mengagulkan kepandaiannya, ternyata dapat dipecundangi lawannya dalam segebrakan saja. Padahal, kalau dilihat dari usia lawannya, paling banyak sekitar dua puluh tahun atau lebih sedikit. Kenyataan itu yang membuat dirinya terpaku dan malu.
“Sebutkan namamu, sebelum tubuhmu kulumat hancur!” bentak Sangkuni sambil menatap tajam sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Mendadak wajah Sangkuni tegang ketika sepasang matanya meneliti sosok tubuh didepannya. Sejenak lelaki berwajah pucat itu merayapi sekujur tubuh Panji dengan kening semakin berkerut. Hatinya berdebar tegang setelah mengetahui ciri-ciri pemuda tampan di depannya, persis dengan gambaran seorang pendekar muda digdaya yang didengarnya berjuluk Pendekar Naga Putih. Bayangan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba persilatan itu, membuat Sangkuni melangkah mundur.
Tokoh termuda Empat Iblis Lembah Beracun itu menggertakkan giginya kuat-kuat. Diusirnya bayangan Pendekar Naga Putih yang telah menciutkan nyalinya. Sangkuni tidak percaya sebelum menyaksikan sendiri ciri- ciri terakhir dari pendekar muda yang memiliki kesaktian yang menggiriskan itu. Lapisan kabut bersinar putih keperakan pada tubuh pemuda didepannya tidak terlihat, membuat keberanian Iblis Muka Mayat kembali muncul.
“Hm…. Seharusnya akulah yang bertanya demikian kepadamu, Kisanak. Siapakah kau? Dan mengapa kau ingin membunuh mereka dengan cara yang sangat kejam?” tanya Panji dengan sinar mata mencorong tajam.
Sikap Pendekar Naga Putih itu terlihat tetap tenang, meskipun ia sadar bahwa lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu merupakan seorang ahli racun yang tidak ada bandingannya. Belum lagi benda kecil yang berada di tangannya yang dapat membuat binatang-binatang menjijikkan seperti tikus-tikus hutan itu menjadi buas dan patuh terhadap perintahnya. Kepandaian yang sangat jarang dimiliki tokoh-tokoh persilatan lainnya.
“Bangasat! Rupanya kau pendekar usilan yang suka mencampuri urusan orang lain! Kalau itu maumu, kubikin mampus kau!” geram Sangkuni yang langsung mengibaskan lengan kanannya dengan gerakan tak terduga.
Melihat cara lawannya melontarkan serangan, Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak berlaku curang dengan memancing lawannya melalui pembicaraan dan makian. Maka, apabila lawan lengah, ia melontarkan serangan dengan gerakan yang sangat mendadak sekali. Dan hal itu sama sekali tidak disukai Pendekar Naga Putih. Sepasang mata Panji mengeluarkan sinar berapi ketika melihat puluhan jarum-jarum halus yang mengandung racun, meluncur kearahnya.
“Hiiih…!” Sambil menggertak marah, Pendekar Naga Putih mendorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Serangkum angin pukulan berhawa dingin menusuk, menderu memapaki puluhan batang jarum beracun itu.
Pyaaar…!
Jarum-jarum beracun yang sedianya hendak merejam tubuh Pendekar Naga Putih, langsung terpukul balik! Dan kini meluncur deras mengancam pemiliknya, si Iblis Muka Mayat!
“Aaah…!”
Tentu saja kenyataan itu kembali membuat Sangkuni terperangah pucat! Bukan berbaliknya jarum-jarum itu yang membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut. Melainkan bentuk jarum-jarum itulah yang membuatnya terperanjat. Sebab, senjata-senjata beracun yang dilontarkan tadi, kini berbalik dalam keadaan memecah menjadi tiga bagian. Sangkuni sadar, pemuda tampan yang kini tengah berhadapan dengannya, jelas bukan pemuda sembarangan. Sebab, hanya tokoh-tokoh tingkat tinggi sajalah yang dapat melakukan hal itu, tapi pemuda tampan yang usianya masih sangat muda itu, ternyata mampu mengatur kekuatan tenaganya melalui jarum-jarum itu.
Ketika jarum-jarum beracun itu mendekati tubuhnya, Sangkuni segera melempar tubuh ke samping dan langsung berguling. Begitu tubuhnya melenting bangkit, tokoh sesat ahli racun itu langsung meniup benda pipih di tangannya. Siulan aneh yang membangkitkan kebuasan tikus-tikus hutan itupun kembali terdengar.
Melihat tikus-tikus hutan yang diam mematung itu kembali bergeark liar, bergegas Pendekar Naga Putih melesat ke arah Sangkuni. Sepasang tangan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan dua buah serangan sekaligus!
Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, tokoh termuda Empat Iblis Lembah Beracun itu melompat bergulingan. Ketika Sangkuni bangkit, hatinya terkejut melihat sepasang tangan lawan masih terus mengejar dan mengancam tubuhnya. Tidak ada kesempatan untuk menghindari, maka dia nekat memapak serangan yang mengarah kelehernya.
Plakkk! Brettt! Desss….!
“Ughhh…!” Sangkuni tidak menduga gerakan lawan sangat cepat! Selagi tubuhnya terhuyung, benda ditangannya langsung direbut pemuda tampan berjubah putih. Bahkan, sebuah hantaman telapak tangan kiri pemuda tampan itu menghajar telak dadanya. Sangkuni pun terjungkal hingga dua batang tombak jauhnya. Darah segar muncrat dari mulut lelaki tinggi kurus itu. Sekujur tubuhnya menggigil hebat akibat ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang merasuk ke dalam tubuhnya.
“Huaaakh…!”
Darah kental berwarna merah pekat kembali muncrat dari mulut Iblis Muka Mayat. Setelah itu, tubuhnya meregang, berkelojotan dan diam tak bergerak lagi. Tewas! Belasan orang lelai berpakaian serba hitam yang semenjak tadi hanya berdiri terpaku, tersentak kaget! Mereka hampir tidak percaya kalau pemimpinnya yang berkepandaian sangat tinggi itu, tewas di tangan seorang pemuda tampan yan tidak mereka kenal.
Pendekar Naga Putih tahu belasan orang itu hanya keroco-keroco Sangkuni. Karenanya mereka dibiarkan hidup. “Sampaikan kepada pemimpinmu yang lain. Katakan bahwa Pendekar Naga Putih telah membunuh saudaranya,” ujar Panji lantang. “Bawa mayat pemimpin kalian ini!” lanjut Panji.
Dengan sikap takut-takut empat laki-laki berseragam hitam itu segera mengangkat mayat Sangkuni, dan membawanya pergi dari hutan itu.
Sepeninggalan belasan orang lelakicberpakaiancserba hitam itu, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya meninggalkan hutan Keranggan. Sekali berkelebat saja, tubuh pemuda tampan itu lenyap di balik lebatnya pepohonan hutan itu.
Sosok tubuh yang mengenakan jubah berwarna putih itu, terus mempercepat larinya menuju arah selatan Hutan Keranggan itu. Begitu tibadi luar hutan, sosok tubuh berjubah putih itu melesat menyusuri jalan lebar yang berbatu-batu. Tidak berapa lama kemudian, tibalah ia di sebuah gubuk kecil di tepi sungai. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung memasuki gubuk itu.
“Ah, kiranya kau, Kakang. Mengapa kau tidak memberi tanda-tanda sebelum masuk?” tegur gadis jelita kepada pemuda tampan berjubah putih. Ia melintangkan pedangnya didepan dada. Jelas kedatangan sosok berjubah putih yang tidak lain dari Panji si Pendekar Naga Putih itu telah membuatnya terkejut.
Pendekar Naga Putih tertawa kecil melihat wajah gadis jelita itu cemberut. Dilangkahkan kakinya mendekati dua balai-balai bambu yang telah reot. Lalu tubuhnya membungkuk, diperiksanya dua sosok tubuh lelaki yang tengah terbaring diatas balai-balai bambu itu.
“Hm… keadaan mereka cukup parah, Kenanga. Jelas mereka tidak mungkin sembuh dalam waktu dekat. Racun yang merasuk ke dalam tubuhnya sangat aneh. Untung daya kerja racun ini sangat lambat. Kalau tidak akibatnya sangat mengerikan,” ujar Panji setelah memeriksa keadaan Guraba dan Pradana.
“Benar, Kakang. Aku sendiri belum mengetahui jenis racun yang mengeram dalam tubuh mereka. Bagaimana dengan Kakang? Apakah sudah dapat mengetahui jenis racun itu?” tanya Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya dengan penuh harap. Sebab ia tahu bahwa kepandaian ilmu pengobatan Pendekar Naga Putih sudah sangat tinggi.
“Hhh… sayang akupun belum mengethuinya secara pasti. Kabar yang kita dengar dalam perjalanan itu ternyata benar. Orang-orang Lembah Beracun itu telah keluar dari tempat kediamannya. Dan kini mereka mulai menebarkan bencana. Entah apa yang dialami penduduk desa itu? ingin rasanya aku menyelidiki desa itu,” ujar Panji sambil melepaskan pandangannya keluar pintu.
“Lalu, bagaimana dengan kedua orang itu, Kakang? Apakah merka akan kita tinggalkan begitu saja?” tanya Kenanga ketika melihat sinar mata kekasihnya yang menyiratkan keinginan hatinya.
“Hm…. begini saja. Kita cari desa terdekat untuk menitipkan kedua pendekar ini. Setelah itu, kau bisa mengobati mereka dengan tenang. Karena pengobatan ini membutuhkan waku cukup lama. Aku berharap kau suka merawatnya. Dan aku sendiri akan pergi menyelidiki Desa Keranggan, bagaimana? Apakah kau setuju dengan pendapatku?” tanya Panji sambil menatap wajah kekasih- nyalekat-lekat.
Sejenak gadis jelita itu terdiam. Kemudian, kakinya melangkah ke arah pintu gubuk yang terbuka lebar. Sambil menyandarkan tubuhnya di pintu gubuk itu, Kenanga melepaskan pandangannya kearah cakrawala biru. Jelas sekali kalau dara jelita itu merasa sangat berat untuk berpisah dengan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih segera menghampiri gadis jelita yang termenung memikirkan usulnya itu. Dipeluknya tubuh Kenanga erat-erat dari belakang. Hingga beberapa saat lamanya kedua pendekar muda itu terdiam tanpa kata.
“Mengapa kita harus berpisah karena persoalan ini, Kakang? Kalau pengobatan ini hanya beberapa hari, bukankah Kakang bisa menunggu? Setelah itu, baru kita bersama-sama menyelidiki Desa Keranggan,” ucap Kenanga dengan suara lirih. Sementara pandangannya tetap tertuju ke langit biru.
“Aku bisa saja mengunggu sampai kedua orang itu sembuh. Tapi, apakah iblis-iblis itu tidak melakukan kejahatan selama beberapa hari itu? Ingat, Kenanga. Kita dilahirkan sebagai pendekar-pendekar yang tidak boleh mengutamakan kepentingan sendiri. Dan kita harus rela mengenyampingkan kepentingan pribadi demi keselamatan orang banyak. Apakah kau telah lupa, atau sengaja tidak mau mengingat segala wejangan yang pernah diberikan guru kita?” ujar Panji menekan nada suaranya agar tetap lembut dan tidak menyinggung perasaan kekasihnya itu.
“Apa yang kau katakan itu benar, Kakang. Aku sadar dengan jalan hidupku yang telah digariskan untuk kita. Tapi, mengingat Kakang menghadapi bahaya seorang diri, rasanya aku tidak bisa membayangkan. Aku takut kehilangan kau, Kakang. Hanya Kakanglah satu-satunya tempat aku menggantungkan harapan untuk mengarungi hidup di dunia ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, Kakang. Aku tidak sanggup membayangkan hari-hari tanpa adanya Kakang di sisiku. Maafkan aku, Kakang. Entah mengapa hatiku menjadi lemah ketika Kakang mengatakan akan pergi sendiri dalam menempuh bahaya itu,” suara dara jelita yang parau itu berganti dengan isak lirih. Membuat Panji terharu.
Pendekar Naga Putih tidak berkata-kata sama sekali, hanya pelukannya saja dipererat, menandakan betapa ia sayang terhadap kekasihnya itu. Hatinya sangat berat untuk berpisah dengan kekasihnya. Tapi, tugas yang diemban sebagai seorang pendekat menuntutnya untuk mengutamakan kepentingan orang banyak. Dan panggilan itu tidak bisa dihindari. Entah berapa lama kedua pendekar itu tenggelam dalam pelukan. Setelah isak Kenanga reda, Pendekar Naga Putih mengangkat wajah kekasihnya. Dihapusnya sisa air mata yang membasahi pipi kekasihnya. Lalu dia menatap lekat-lekat mata kekasihnya.
“Kapan Kakang akan pergi menyelidiki keadaan Desa Keranggan itu?” tanya Kenanga yang sudah dapat membedakan antara kepentingan dirinya dengan orang banyak.vDi wajah dara jelita itu mengembang senyum tulus. Sepasang mata yang bulat dan jernih kembali bercahaya.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dia hanya mengecup bibir kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Jelas Pendekar Naga Putih tengah berusaha untuk meyakinkan kekasihnya itu. Kenanga sama sekali tidak mengelak ketika Pendekar Naga Putih mengecup bibirnya. Bahkan gadis jelita itu membalas dengan hangat. Seolah-olah ia ingin menumpahkan segala kerinduan hatinya. Kenanga tidak ingin melepaskan pelukan kekasihnya.
“Cukup, Kenanga….” Desah Panji sambil melepaskan kecupannya. “Aku takut kita terbakar. Sabaiknya, kita segera membawa kedua orang itu ke desa yang terdekat dari tempat ini,” ucap Panji sambil melepaskan pelukan kekasihnya.
Kenanga mengangguk tanpa kata. Diam-diam ia merasa berterima kasih kepada kekasihnya. Sebab, apa yang dikatakan pemuda tampan itu sama sekali tidak meleset.
“Ayolah, tunggu apa lagi….?” Ajak Panji yang sudah membawa tubuh Guraba dan Pradana di atas bahunya. Sebentar kemudian, keduanya pun sudah melesat meninggalkan gubuk kecil itu.
Sang malam sudah menampakkan kekuasaannya. Bulan sepotong yang menggantung di langit kelam itu, menebarkan cahaya temaram. Bintang di langit tampak berkedip bagaikan mata dara remaja yang tegah dilanda cinta.
Saat itu, sesosok bayangan putih berkelebatan melintas perkebunan menuju Desa Keranggan. Pepohonan yang tumbuh dengan teratur, membuat sosok bayangan puith itu terkadang lenyap, kemudian muncul bagaikan bayangan hantu yang dapat menghilang dari pandangan mata.
Sosok bayangan putih itu terus bergerak. Kali ini tubuhnya berlompatan daru satu atap rumah ke atap lainnya. Jubahnya yang panjang berwarna putih itu, menimbulkan kesan seram bagi seorang yang berjiwa penakut. Apalagi gerakan sosok tubuh itu demikian cepat dan tanpa menimbulkan suara.
Tidak berapa lama kemudian, sosok bayangan putih itu menghentikan larinya. Tubuhnya berdiri tegak di atas sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah penduduk lainnya. Sepasang matanya tampak mencorong tajam, membuat bulu tengkuk orang yang kebetulan melihatnya akan berdiri merinding. Hal itu wajar saja. Sebab, pancaran mata sosok bayangan berjubah putih itu memang sanggup menggetakan hati seorang lelaki yang paling pemberani sekalipun!
“Aneh. Mengapa desa ini nampak sepi sekali? Padahal, hari belum terlalu larut? Di pelataran rumah besar yang merupakan kediaman kepala desa ini tidak terlihat ada penjaga? Hm… Suasana sunyi yang mencurigakan!” gumam sosok tubuh berjubah putih itu sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
Setelah menanti agak lama, keadaan tetap tidak berubah, sesosok tubuh itu bergerak turun dari atas atap. Namun gerak kakinya tertahan ketika lamat-lamat telinganya menangkap suara isak lirih dari salah satu kamar rumah itu. Sosok berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih, tertegun sejenak. Jelas ia hendak memastikan dari mana asal suara isak tangis lirih itu.
Begitu dapat memastikan sumbernya, ia pun segera melayang turun melalui bagian belakang rumah besar itu. Setelah tiba dibawah, Pendekar Naga Putih langsung bergerak menyelinap di tempat-tempat yang agak tersembunyi. Kemudia ia terus bergerak menuju asal suara yang didengarnya. Langkah kaki Pendekar Naga Putih mengarah kesebuah ruangan cukup luas, tanpa penerangan. Sehingga keadaan ditempat itu sangat gelap sekali.
Namun kegelapan itu sama sekali tidak mengganggu penglihatan Pendekar Naga Putih. Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian yang sukar diukur, dengan mudah ia melihat segala yang ada di dalam ruangan itu. Dikerahkannya sedikit tenaga sakti, dengan begitu, sekalipun keadaan itu tanpa disirami secercah cahaya.
Sesosok tubuh ramping tampak terikat disebuah kursi, membuat kening Pendekar Naga Putih berkerut. Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu kalau itu merupakan sebuah perangkap untuknya. Dan sudah diketahuinya semenjak awal. Karena indera keenam pemuda itu dapat merasakan adanya bahaya yang tengah mengintainya. Tapi rasa kasihan melihat penderitaan gadis yang terikat di kursi, membuat ia tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya.
“Hm… Betapa cerobohnya mereka menggunakan perangkap seperti ini. Kalau aku mau, betapa mudahnya menyelamatkan gadis itu dan pergi meninggalkan tempat ini,” gumam Panji yang diam-diam merasa curiga dengan jebakan sederhana itu.
Maka, sambil mengerahkan tenaga untuk melindungi dirinya dari serangan gelap, pemuda tampan itu melangkah ke arah sosok tubuh ramping yang tengah berusaha melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya.
“Tuan… tolonglah bebaskan aku… Bawalah aku pergi dari tempat terkutuk ini…” ratap wanita itu sambil menatap sosok tubuh yang semakin mendekat.
Pendekar Naga Putih terkejut dengan wanita yang minta pertolongan kepada dirinya. Karena dalam suasana gelap gulita, wanita yang tubuhnya diikat di kursi itu mampu melihatnya dengan jelas. Namun setelah ia menyadari warna pakaian yang dikenakannya dapat terlihat jelas dalam kegelapan, membuat kecurigaannya berkurang. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tetap waspada dan tidak melepaskan tenaga pelindung di sekujur tubuhnya.
“Tenanglah, Nyai. Aku akan membebaskanmu,” sahut Panji berbisik sambil mendekati sosok tubuh wanita itu.
Ketika Pendekar Naga Putih berada di depan sosok wanita itu, bergegas ia mengulurkan tangan hendak melepaskan ikatan yang membelit tubuh tawanan wanita itu. Namun sungguh diluar duggan Pendekar Naga Putih! Wanita itu tiba-tiba melontarkan pukulan yang menimbulkan deruan angin keras! Bahkan sambaran angin pukulan itu disertai hawa busuk yang memualkan perut!
Wusss…!
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika diserang secara mendadak! Jarak yang sangat dekat itu, sangat menyulitkan Pendekar Naga Putih untuk menghindar! Sehingga, pukulan wanita itu telak menghajar dadanya!
Desss…!
“Aiiih…!”
Hantaman jarak dekat yang sangat kuat itu, membuat tubuh Pendekar Naga Putih terlempar hingga dua batang tombak! Dinding tebal yang berada dibelakangnya, kontan jebol dihantam tubuh pemuda tampan itu.
Brolll…!
Terdengar suara hiruk pikuk ketika dinding tebal di belakang Pendekar Naga Putih ambrol. Sedangkan tubuh pemuda tampan itu terus meluncur menembus dinding hingga ke luar ruangan. Namun wanita yang melontarkan pukulan ke tubuh Pendekar Naga Putih tidak terlepas dari rasa kaget! Tubuh Panji yang telah terlindung tenaga sakti itu, membuatnya memekik tertahan!
Tubuh ramping itupun terjengkang keras kebelakang! Bahkan kursi yang didudukinya hancur akibat dorongan yang amat kuat. Wanita itu cepat bengkit berdiri sembari meringis. Tangan kanannya yang melontarkan pukulan keras tadi, dipijatnya sambil menyeringai menahan rasa nyeri.
“Keparat! Pemuda itu ternyata sangat cerdik! Ia pasti telah melindungi seluruh tubuhnya dengan tenaga sakti. Benar-benar pandai dia,” umpat wanita bertubuh tinggi langsing itu sambil tetap memijat pergelangan tangan kanannya yang terasa linu.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sudah bangkit berdiri, menahan rasa sesat di dadanya. Cairan merah tampak mengalir disudut bibirnya. Jelas pemuda tampan itu menderita akibat hantaman pada dadanya itu. Untunglah, sebelumnya ia telah melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti yang dimilikinya. Kalau tidak, mungkin saat itu ia sudah tewas.
Pendekar Naga Putih yang ketika bangkit berdiri sudah terkepung puluhan orang, cepat-cepat memusatkan pikiran dan mengerahkan ‘Tenaga Panas Bumi’ yang berasa dari Pedang Naga Langit. Untuk mengetahui apakah tenaga pukulan lawannya mengandung racun. Dan Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya terkena racun. Saat pemuda tampan itu berusaha melenyapkan pengaruh racun dalam tubuhnya. Tiba-tiba terdengar teriakan lantang mengejutkan dirinya!
“Seraaang…!”
Suara teriakan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu, membuat Pendekar Naga Putih tersentak kaget. Cepat ia melompat guna menghindari beberapa mata tombak yang mengancam tubuhnya.
“Hiaaah…!”
Begitu mata-mata tombak yang berkilat lewat dan mengenai tempat kosong, Pendekar Naga Putih membentak nyaring dengan disertai kibasan tangannya. Terdengar jeritan ngeri saat sambaran angin kibasan pemuda tampan itu telak mengenai dada mereka, membuat enam orang penyerangnya terjungkal dan tewas!
Pendekar Naga Putih berusaha meloloskan diri dari kepungan lawan, karena kesehatannya belum pulih. Dia tak menduga kalau tokoh-tokoh Lembah Beracun memiliki banyak pengikut. Pendekar Naga Putih melompat dan bersalto ke belakang, guna menghindari sambaran mata pedang dan ujung tombak lawan. Ia segera melontarkan satu dua pukulan untuk merobohkan pengeroyoknya tanpa harus membunuh. Namun apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih itu terbaca oleh tokoh Lembah Beracun. Memang Pendekar Naga Putih tidak berniat untuk menewaskan para pengikut Empat Iblis Lembah Beracun. Maka mereka segera melancarkan serangan, sehingga membuat pemuda tampan itu menjadi repot!
“Yeaaat…!”
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali menyerang, lelaki berjubah biru gelap melancarkan serangkaian pukulan kearah bagian terlemah ditubuh Pendekar Naga Putih. Hembusan angin berbau amis, menyertai serangan lelaki berjubah biru gelap itu.
Pendekar Naga Putih mengeluarkan ilmu ‘Silat Naga Sakti’nya. Karena salah satu cara untuk lolos dari kepungan adalah merobohkan para pemimpinnya. Maka, serangan lelaki bejubah biru gelap segera dipapak Pendekar Naga Putih dengan menggunakan tangan kiri. Sedang tangan kanannya siap melontarkan pukulan balasan secara tak terduga ketubuh lawannya.
Plakkk!
“Uhhh…!”
Tangkisan Pendekar Naga Putih dialiri kekuatan ‘Tenaga Gerhana Bulan’ itu, membuat Gumilang memekik tertahan!Tubuh lelaki tinggi tegap itu terlempar beberapa tombak jauhnya hingga menabrak tubuh pengikutnya. Dan merekapun terbanting jatuh saling tindih.
Jatuhnya Gumilang tentu saja membuat peluang Pendekar Naga Putih puntuk mengirimkan serangan mematikan! Pukulan tangan kanannya meluncur disertai hembusan angin dingin yang membekukan tubuh!
“Haiiit…!”
Seruan nyaring yang disertai serangkum angin berbau amis, membuat Pendekar Naga Putih menarik pulang serangannya. Cepat tubuh pemuda tampan itu berputar setengah lingkaran dan langsung mengirimkan tamparan kearah penyerang disamping kirinya.
Plakkk! Plakkk!
Suara pekik tertahan terdengar dari mulut seorang wanita, ketika pukulannya berhasil ditangkis Pendekar Naga Putih. Tubuh wanita itu terdorong mundur.
“Haiiit…!”
Sambil berseru nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melambung melewati kepala para pengepunngya. Kemudian berjumpalitan beberapa kali di udara guna membebaskan diri dari kepungan lawan. Namun sebelum tubuh pemuda tampan itu sempat mendarat ketanah, sosok bayangan merah menyusulinya dan langsung melontarkan tendangan keras ke bagian belakang tubuh Pendekar Naga Putih!
Desss…!
“Ughhh…!”
Tendangan sosok tubuh berjubah merah itu, telak menghantam tubuh bagian belakang Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh yang tengah mengapung itu, terlempat deras sejauh lima batang tombak!
Tapi, Pendekar Naga Putih masih mampu mengatur keseimbangan tubuhnya. Hingga, tubuhnya tidak sampai terbanting. Pendekar Naga Putih menjejakkan kedua kakinya dengan baik, meski tubuhnya agak limbung. Rasa nyeri di bagian belakang tubuhnya, membuat pemuda tampan itu menyeringai kesakitan. Lelehan darah mengalir dari sela bibirnya, segera dihapus dengan menggunakan lengan punggunngnya. Lalu, ia kembali bersiap menghadapi lawan yang mengepungnya.
Kepungan yang kembali merapat itu, membuat kemarahan Pendekar Naga Putih bangkit. Apalagi saat itu ia sudah menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan tokoh Lembah Beracun. Tentu saja semua itu membuatnya naik pitam.
“Heaaah…!”
Terdengar bentakan menggeledek keluar dari mulut Pendekar Naga Putih! Orang-orang berpakaian serba hitam yang mengurunngya, terjungkal roboh dalam keadaan pingsan! Sementara orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, langsung tewas!
Bentakan yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu, membuat pembuluh darah mereka pecah! Kontan para pengepungnya berlarian menjauh. Belum lagi hilang rasa terkejut di hati mereka, kejutan lain kembali diperlihatkan Pendekar Naga Putih. Tahu-tahu ditangan pemuda tampan berjubah putih itu telah tergenggam sebilah pedang. Kilauan bercahaya kuning keemasan berpendar dari pedang itu.
“Pedang Naga Langit…!?”
Terdengar seruan kaget bercampur kagum dari tokoh Lembah Beracun. Merekapun mendengar tentang pedang mukjizat yang telah menggemparkan dunia persilatan. Maka tak mengherankan bila tokoh Lembah Beracun terlongong-longong sambil matanya menatap pedang mukjizat di tangan Pendekar Naga Putih!
“Gila dari mana datangnya pedang itu…? Padahal, aku sama sekali tidak melihat pemuda itu menyandang pedang…?” seru Lawa Gurintang yang merasa heran bukan main dengan keberadaan pedang tanpa diketahui dari mana pemuda tampan itu mencabutnya.
“Entahlah! Pedang mukjizat itu muncul begitu saja seiring dengan suara bentakan yang dikeluarkannya. Benar-benar aneh dan sulit untuk dipercaya!” desah Gumilang yang juga tidak mengerti bagaimana pedang itu berada dalam genggaman Pendekar Naga Putih.
“Pemuda itu benar-benar sangat mengagumkan sekali! Sayang, ia seorang musuh yang sangat berbahaya. Kalau tidak, senang sekali memiliki seorang kekasih yang menguasai kepandaian yang sangat tinggi dan langka itu,” ucap seorang wanita cantik bertubuh langsing dan menggiurkan.
“Kau ini ada-ada saja, Nini Lawang. Dalam keadaan seperti ini, masih saja kesenanganmu yang kau pikirkan,” sahut Lawa Gurintang yang tidak senang mendengar wanita cantik itu memuji-muji musuhnya.
Teguran itu disambut Nini Lawang dengan tawa yang dibuat-buat. Lagak wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu, makin menambah daya pikat. Semua gaya yang diperlihatkannya mengundang hasrat birahi laki-laki. Dari sikap dan lagaknya, jelas wanita cantik itu merupakan seorang yang diperbudak nafsu.
Lawa Gurintang menjadi gemas melihat kegenitan wanita itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun usianya lebih muda dari dirinya, namun dalam urusan Perguruan Lembah Beracun, wanita itu terhitung bibi gurunya. Maka, iapun tidak meladeninya lagi. Hanya wajahnya yang makin memerah. Pertanda bahwa hati lelaki berjubah merah darah itu sedang kesal.
“He, Lawa Gurintang. Bagaimana kalau pemuda itu kita tangkap saja hidup-hidup? Dia pasti akan menjadi menurut bila telah kutangani.” Usul Nini Lawang sambil terkekeh genit.
Pendekar Naga Putih sempat mendengar ucapan itu, menjadi merah selebar wajahnya. Ia sadar betul apa maskud ucapan ‘menundukkan’ yang dilontarkan wanita genit itu.
“Hm… Rupanya wanita itulah yang telah mengelabuiku. Entah apa hubungannya dengan tokoh-tokoh Lembah Beracun itu?” gumam Pendekar Naga Putih yang menatap wanita cantik itu dengan penuh selidik.
“Jangan, Nini. Pemuda itu sangat berbahaya sekali. Sebaiknya, kita segera lenyapkan saja, sebelum ia menimbulkan kesulitan lebih besar bagi kita,” sahut Lawa Gurintang yang tidak menyetujui usul Nini Lawang. Kawatir kalau-kalau wanita cantik itu akan berulah, bergegas lelaki tinggi besar berjubah merah itu melompat sambil memberikan aba-aba kepada para pengikutnya.
“Seraaang…!”
Suara teriakan Lawa Gurintang disusul dengan melesatnya tubuh Gumilang dan Suro Lejang. Sedangkan para pengikut tokoh Lembah Beracun itu tak satupun bergerak maju. Lawa Gurintang menjadi marah dan berang.
“Keparat! Mengapa kalian diam saja?Apa kalian ingin kuhukum?” bentak Lawa Gurintang memandang para pengikutnya dengan sinar mata yang menyiratkan maut!
Mendengar ancaman itu, wajah para pengikut tokoh-tokoh Lembah Beracun itu menjadi pucat. Namun ketika mereka memandang ke arah pemuda tampan berjubah putih itu, yang berdiri angker dengan pedang ditangannya, mereka menjadi ragu. Hati mereka gentar. Sehingga tidak ada satu pun orang-orang berpakaian serba hitam itu bergerak maju.
“Bangsat! Kalian sama sekali tak berguna, mampuslah kau,” teriak Lawa Gurintang mengibaskan tangannya ke depan.
Jerit kematian terdengar susul menyusul, dibarengi robohnya empat tubuh lelaki berpakaian serba hitam dalam keadaan tewas!
Pengikut Lawa Gurintang yang lainnya sadar kalau tidak menuruti perintah mereka akan tewas. Dengan perasaan diliputi ketakutan yang amat sangat, mereka bergerak maju ke arah Pendekar Naga Putih.
“Hm… Lebih baik kalian pergilah, jauhi tempat ini! Kalau tidak, aku bisa bertindak lebih kejam dari pada majikanmu itu,” ancam Panji sengaja menakut-nakuti para pengikut tokoh-tokoh Lembah Beracun itu.
“Jangan hiraukan ucapannya! Hayo, serang…!”teriak Lawa Gurintang ketika melihat orang-orangnya menjadi ragu karena ancaman pemuda itu. Sambil berteriak demikian, ia sendiri melompat dengan sambaran senjatanya yang menimbulkan desingan keras!
Pendekar Naga Putih marah dengan tingkah tokoh-tokoh Lembah Beracun itu. segera ia memutar pedang di tangannya. Udara di sekitar arena itu pun berubah-ubah, membuat para pengepung Pendekar Naga Putih tersentak kaget! Terkadang udara panas menyengat dan berganti sewaktu-waktu dapat menjadi dingin menusuk tulang. Para pengikut Lawa Gurintang berlompatan mundur! Kemudian, mereka terus berlari tanpa menghiraukan teriakan pemimpinnya.
“Heaaah…!”
Lawa Gurintang membentak keras sambil mengerahkan hawa murninya untuk mengusir pengaruh yang ditimbulkan putaran pedang lawannya. Hatinya benar-benar terkejut sekali menyaksikan kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu. Diam-diam ia mengakui kalau Pendekar Naga Putih memang patut mendapat pujian dari tokoh-tokoh persilatan.
Demikian pula halnya dengan Nini Lawang. Wanita cantik yang genit dan berwatak cabul itu, berdecak kagum menyaksikan kesaktian pemuda tampan yang telah menarik hatinya. Hasrat untuk mendapat memiliki pemuda tampan itupun semakin kuat mencengkeram jiwanya.
“Hm… Benar-benar seorang pemuda yang hebatdan jarang ada duanya! Aku harus dapat memilikinya,” gumam Nini Lawang berjanji kepada diri sendiri. Setelah menyaksikan kesaktian Pendekar Naga Putih.
“He, Lawa Gurintang, Gumilang, dan kau, Suro Lejang! Ayo kita keroyok pemuda itu! jangan takut!Kalau kita dapat bekerja sama dengan baik, aku yakin pemuda itu akan menyerah,” seru Nini Lawang takabur. Sambil berkata demikian, wanita berwatak cabul itu mengelebatkan selendang yang melilit di pinggang rampinngya.
Ctarrr…. Ctarrr…!
Ujung selendang berwarna merah muda itu meledak-ledak memekakkan telinga. Suara ledakan itu diiringi dengan wewangian yng membuat kepala pening. Jelas, selendang itu telah dilumuri bubuk beracun!
Pendekar Naga Putih dikepung empat orang tokoh Lembah Beracun, namun ia sama sekali tidak merasa gentar!Dengan kuda-kuda rendah dan pedang teracung di atas kepala, pemuda itu bersiap menghadapi keroyokan lawannya.
Sementara keempat orang tokoh Lembah Beracun itu belum menunjukkan tanda-tanda menyerang. Mereka berputaran berganti-ganti arah dengan gerakan yang terkadang cepat, dan di lain saat berubah lamban. Terkadang hanya mengitari tubuh Pendekar Naga Putih. Jelas, mereka tengah meneliti gerak Pendekar Naga Putih guna mencari kelemahan pemuda tampan itu.
“Heaaat…!” Lawa Gurintang, membuka serangan dengan sebuah lesatan panjang dan disertai kibasan tangan kanannya ke depan!
Wuuut…!
Serangkum angin kuat berbau amis menyambar ke arah tubuh Pendekar Naga Putih! Menilik dari suara sambaran angin berkesiutan iu, jelas kekuatan pukulan yang dimiliki Lawa Gurintang sangat hebat! Belum lagi serangan lelaki tinggi besar itu mengenai sasaran, Nini Lawang menyusulinya dengan sambaran ujung selendanngya. Senjata kain lemas sepanjang tiga batang tombak itu meledak-ledak dan mematuk-matuk menincar titik terlemah jalan darah di tubuh Pendekar NagaP utih. Maka, sibuklah pemuda tampan itu mengelakkan ujung selendang yang seperti membayanginya itu.
Jtarrr… Ctarrr…!
“Haiiit…!”
Pendekar Naga Putih menggoyangkan tubuhnya ke samping, menghindari patukan ujung selendang yang mengincar pelipisnya. Berbarengan dengan itu, tangan kirinya didorongkan kedepan untuk menyambut serangan Lawa Gurintang.
Plarrr…!
Ledakan keras terdengar ketika kedua pukulan yang menggunakan tenaga dalam saling bertabrakan. Suaranya menggetarkan bangunan besar tempat pertarungan itu berlangsung!
“Aaah…!”
Terdengar pekik tertahan Lawa Gurintang yang tubuhnya terdorong akibat benturan keras itu. Selagi tubuhnya melambung diudara, tubuh Pendekar Naga Putih melesat mengejar! Pendekar Naga Putih tidak ingin melewatkan kesempatan baik itu, langsung pedangnya dibabatkan ke arah Lawa Gurintang. Pancaran senjata mukjizat yang menimbulkan kilauan sinar kuning keemasan itu mengaung tajam. Sehingga tak ubahnya bagaikan suara ratusan ekor lebah yang marah!
Untunglah, pada saat yang gawat bagi keselamatan tokoh berjubah merah itu, Gumilang dan Suro Lejang datang menolong! Kedua tokoh Lembah Beracun itu langsung menyabetkan senjatanya memapaki sambaran pedang Pendekar Naga Putih!
Singggg…!
Suro Lejang yang bersenjatakan tongkat sepanjang satu tombak, menusukkan ke arah perut Pendekar Naga Putih. Tongkat yang bagian ujunngya terdapat logam tajam berbentuk bulan sabit itu berdesing dengan kecepatan tinggi!
Sedangkan Gumilang mengelebatkan sepasang belati dari baja putih yag berkeredepan bagai sambaran kilat. Sepasang senjata yang panjangnya dua jengkal itu, berkesiutan merobek udara!
Kedua orang tokoh sesat itu tidak bisa dipandang ringan! Pendekar Naga Putih terpaksa menunda serangannya. Pedang Naga Langit ditangannya berputar setengah lingkaran dan langsung memapaki serangan kedua lawannya itu.
Tranngngg! Tranngngg!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika empat batang senjata mapuh itu saling bertumbukan keras! Disusul dengan pekik tertahan Gumilang dan Suro Lejang!
“Aiiih…!”
Tubuh kedua orang tokoh sesat ahli racun itu, terpental hingga dua batang tombak kebelakang! Meskipun senjata mereka telah terpental entah ke mana, namun keduanya sempat mematahkan daya dorong yang dilancarkan Pendekar Naga Putih itu dengan berjumpalitan di udara. Sehingga dapat mendaratkan tubuh dengan kuda-kuda yang cukup kokoh!
Namun, kesialan itu rupanya dialamai Pendekar Naga Putih juga. Sebab, pada waktu ia memukul balik serangan kedua orang tokoh sesat itu, dari belakanngya meluncur serangan Selendang Maut Nini Lawang!
Jtarrr…!
Lecutan ujung selendang wanita berwatak cabul itu, telak mengenai punggung Pendekar Naga Putih!
“Aaakh…!”
Pendekar Naga Putih kesakitan! Tubuhnya terjerembab kedepan akibat lecutan cambuk yang dikerahkan dengan kekuatan hebat itu! Cepat pemuda tampan itu bergulingan menghindari lecutan cambuk yang masih meledak-ledak mengejarnya itu.
Tubuh Pendekar Naga Putih melenting bangkit setelah cukup jauh menghindari serangan Selendang Maut Nini Lawang. Melihat dari raut wajahnya, terlihat tetesan darah segar di sudur bibirnya, jelasnya Pendekar Naga Putih cukup menderita akibat totokan ujung selendang beracun itu. Baru saja pemuda tampan itu bengkit berdiri, Gumilang telah melesat menerjang ke arahnya. Dengan sebatang bambu kecil, yang berbentuk sebuah sumpit, lelaki berjubah biru gelap itu meniupkan beberapa benda bulat sebesar jagung!
Tusss! Tusss!
Benda bulat berwarna biru gelap itu meluncur dengan kecepatan tinggi kearah Pendekar Naga Putih!
Melihat empat buah benda bulat sebesar jagung itu, Pendekar Naga Putih segera dapat menebak kalau benda itu merupakan peluru-peluru beracun! Maka, bergegas ia melompat menghindari luncuran benda-benda maut itu.
Namun Gumilang seperti telah menduga gerakan Pendekar Naga Putih. Dan, tokoh sesat itu kembali menyumpitkan peluru-peluru kearah tubuh lawannya yang tengah berada di udara itu!
Menyadari posisinya yang sulit untuk menghindari lagi, Pendekar Naga Putih pun mengibaskan pedanngya memapaki sambaran benda-benda beracun jahat itu!
Tasss! Tasss!
“Haiii…!”
Kaget bukan main Pendekar Naga Putih ketika benda-benda bulat yang ditebasnya itu, ternyata tidak meledak! Melainkan memercikkan cairan berwarna biru pekat yang muncrat dan menebar. Justru percikan itu jauh lebih berbahaya daripada jarum-jarum beracun. Sebab, cairan biru pekat itu adalah jenis racun mengerikan yang bernama ‘Cairan Neraka’. Cepat Pendekar Naga Putih mengelebatkan senjatanya dan menghalau percikan cairan yang diduganya sangat beracun itu.
Cusss…!
“Aaah…!”
Pemuda tampan berjubah putih itu memekik ngeri ketika setetes cairan beracun itu mengenai bagian perutnya!Pucat wajah Pendekar Naga Putih ketika menyaksikan pakaiannya langsung berlubang bagaikan termakan api! Terlebih-lebih lagi ketika ia merasakan sesuatu yang panas menyebar dari bagian tubuhnya yang terkena cairan beracun itu!
Sadar bahwa tubuhnya telah terkena racun jahat yang sangat mengerikan, cepat Pendekar Naga Putih memusatkan pikirannya dan menyatukan dengan pedang mukjizat ditangannya. Sambil memejamkan mata dan tidak perduli dengan rasa sakit yang dideritanya, Pendekar Naga Putih membentak keras bagaikan hendak merobohkan bangunan tempat kediaman Kepala Desa Keranggan!
“Heaaaah…!”
Luar biasa! Hebat sekali bentakan nyaring yang diteriakkan Pendekar Naga Putih. Hembusan angin bertiup keras bagaikan hendak terjadi topan. Bersamaan dengan bentakan itu, Pedang Naga Langitpun lenyap dan bersatu dengan tubuh Pendekar Naga Putih.
Sedangkan keempat orang tokoh Lembah Beracun itu menggigil hebat akibat bentakan menggelegar Pendekar Naga Putih. Bahkan Suro Lejang yang kepandaiannya paling lemah di antara keempat tokoh sesat itu, sudah melorot jatuh! Jelas, bentakan Pendekar Naga Putih telah membuatnya tak sanggup berdiri tegak.
Apa yang terjadi pada diri Pendekar Naga Putih, benar- benar membuat keempat lawannya terbelalak bagaikan melihat hantu disiang bolong! Tubuh Pendekar Naga Putih menyatu dengan pedang mukjizat Naga Langit, tampak tubuhnya diselimuti dua buah sinar yang sangat menakjubkan!
Lapisan sinar kuning keemasan yang bersumber dari ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, berpendar menyelimuti tubuh sebelah kanannya. Sedangkan bagian kirinya, tampak terbalut lapisan kabut bersinar putih keperakan. Peristiwa itu membuat hati lawan-lawannya terguncang hebat!
“Gila….! Ilmu setan apa lagi yang digunakan pemuda itu?” seru Gumilang dengan wajah pucat bagai mayat! Warna biru yang biasanya terdapat pada wajah lelaki tegap itu, lenyap.
“Iblis…!” desis Lawa Gurintang parau. Jelas hati lelaki tinggi besar itu tengah terancam rasa ngeri yang hebat! Hanya Nini Lawang saja yang tidak mengeluarkan suara. Namun, dari tidak tampaknya lagak genit dan senyum memikat yang selalu menyertai sikapnya. Jelas, wanita genit berwatak cabul itu pun tengah bergetar perasaannya!
Namun peristiwa menggiriskan itu belum selesai! Pendekar Naga Putih tampak melakukan gerakan-gerakan yang menimbulkan suara angin menderu dahsyat! Padahal, gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu pelan sekali. Tapi akibat yang ditimbulkannya sangat menggiriskan! Melihat dari kerut-kerut pada wajahnya, jelas saat itu Pendekar Naga Putih tengah berjuang keras melawan maut!Rupanya jenis racun yang digunakan Gumilang sulit ditaklukan. Meskipun, Pedang Naga Langit telah menyatu dan berubah menjadi kekuatan dahsyat dalam tubuhnya, namun Pendekar Naga Putih harus berjuang menawarkan racun tersebut.
“Kreaaagh…!”
Bersamaan raungan panjang, terdengar suara berkerokotan yang dibarengi kepulan asap kebiruan dan berbau busuk, pertanda Pendekar Naga Putih berhasil melenyapkan racun yang dapat melunakkan dan menghancurkan tubuh korbannya. Dengan napas yang masih memburu dan cucuran keringat membasahi sekujur tubuhnya, tangan pemuda itu bergerak merobek jubah bagian depan tubuhnya.
“Hhh…!” Terdengar helaan nafas lega dari Pendekar Naga Putih, ia melihat sebagian perutnya hanya terdapat luka seperti terjila tapi. Melihat luka seperti terbakar itu, jelas pengaruh racun ‘Cairan Neraka’ yang digunakan Gumilang hanya mampu membakar kulitnya.
“Jahanam keji! Kalian benar-benar iblis yang tidak bisa dibiarkan hidup bebas! Selagi manusia-manusia iblis macam kalian masih bebas berkeliaran di atas dunia ini, bencana akan terus berlanjut. Untuk mencegah bencana itu, kalian sebaiknya harus segera dilenyapkan!” ujar Panji yang kali ini benar-benar dilanda kemarahan hebat!
Melihat wajah pemuda yang selalu tersenyum dan tenang berubah menyeramkan, tanpa sadar empat tokoh Lembah Beracun itu melangkah mundur! Sorot matanya yang mencorong tajam dan menggiriskan dari pemuda tampan itu, membuat wajah manusia kejam itu berubah pucat bagaikan mayat!
Sangat mengerikan memang perbawa yang terpancar dari sosok pemuda berjubah putih itu, sehingga tokoh-tokoh sakti berhati iblis seperti empat tokoh Lembah Beracun itu, ternganga dan tak mampu berbuat apa-apa. Suro Lejang dan Gumilang yang biasanya bertindak kejam dan tak kenal ampun itu gemetar ketakutan! Sehingga, jangankan untuk menyerang lawan, melangkah saja mereka merasa kedua kakinya diganduli beban berat!
“Heaaa…!”
Mendadak Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan nyaring yang menggetarkan jantung! Bersamaan dengan itu, sepasang lengannya didorong bergantian kearah Suro Lejang dan Gumilang yang hanya bisa memandang ketakutan!
Whusss…! Blarrr…!Blarrr…!
“Aaargh…!”
Terdengar ledakan dahsyat yang diiringi jeritan Suro Lejang dan Gumilang! Tubuh kedua tokoh sesat Lembah Beracun itu tersentak ke belakang. Seolah-olah tubuh mereka dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak tampak!
Derrr…!
Tubuh Suro Lejang meluncur menghantam sebatang pohon besar! Tubuh lelaki berjubah hijau itu, terhempas jatuh bersamaan dengan tumbangannya pohon besarvitu. Setelah berkelojotan disertai erang kesaktian, Suro Lejang tewas seketika. Karena seluruh tulang-tulang di dalam tubuhnya remuk akibat pukulan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, yang dilontarkan Pendekar Naga Putih!
Sedangkan Gumilang mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi! Tubuh lelaki berjubah biru gelap itu, jatuh menimpa dinding batu di halaman samping rumah besar itu. Suara berdentam keras yang disusul dengan gemuruh runtuhnya dinding tembok itu, dan diiringi percikan darah segar yang menyebar membasahi permukaan tanah. Gumilang menggelepar kesakitan dengan kepala pecah! Sesaat kemudian, tubuh kedua tokoh Lembah Beracun itu pun meregang dan nyawanya melayang meninggalkan raga.
Apa yang dialami Suro Lejang dan Gumilang benar- benar membuat jiwa Lawa Gurintang maupun Nini Lawang terguncang hebat! Kedua tokoh utama Lembah Beracun itu terbelalak bagai tak percaya dengan kejadian yang berlangsung didepan mata mereka itu! Kedua tokoh sesat yang selama hidupnya bergelimpang kekerasan dan maut itu, terpekik dengan wajah pucat! Keduanya melangkah mundur, hati mereka diliputi rasa ngeri yang hebat!
Apa yang dipertunjukkan Pendekar Naga Putih itu telah melenyapkan keberanian mereka. Namun Nini Lawang menyadari akan bahaya maut yang mengincar mereka. Dengan menguatkan hatinya, wanita cantik berwatak cabul itu memutar Selendang Mautnya dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya.
“Lawa Gurintang, kita serang pemuda gila itu berbarengan. Setelah itu, kita segera melarikan diri. Kemudian, kita pancing pemuda itu ke Lembah Kematian….” Bisik Nini Lawang dengan suara perlahan, namun jelas bagi Lawa Gurintang.
“Baik, Nini,” sahut Lawa Gurintang sembari merogoh sebuah kantung kain di pinggangnya. “Nini, rasanya kita tidak perlu menggempur pemuda itu. dengar! Begitu aku melepaskan isi bumbung bambu ini, larilah dan selamatkan dirimu. Kita bertemu di dekat jalan masuk Lembah Kematian. Bersiaplah!” sambung Lawa Gurintang yang melihat kesempatan itu.
“Pendekar Naga Putih, sambutlah ini…!” seru Lawa Gurintang sambil melontarkan dua buah bumbung bambu yang tutupnya telah terbuka!
Terdengar suara mengaung ribut ketika puluhan ekor lebah salju, beterbangan marah, secara berkelompok mereka meluncur mengeroyok Pendekar Naga Putih!
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih melihat lebah-lebah berwarna putih seperti butiran salju, menyerbu ke arahnya. Pemuda tampan itu sadar bahwa binatang-binatang itu sangat beracun. Sehingga, Pendekar Naga Putih bergegas melompat mundur. Sadar bahwa lebah-lebah itu akan terus mengejar dan memburunya. Maka, ia mengerahkan tenaga gabungannya untuk memukul mati binatang-binatang yang memiliki sengat beracun yang mematikan. Diiringi bentakan nyaring, Pendekar Naga Putih mengibaskan tangannya. Sambaran angin keras bercicitan mengiringi lontaran pukulan pemuda tampan itu.
Tasss! Tasss!
Pendekar Naga Putih kaget ketika pukulannya hanya mampu meruntuhkan beberapa belas ekor lebah. Sedangkan yang lainnya dapat menghindari sambaran angin pukulan dari pemuda tampan itu. Hhati Pendekar Naga Putih bertambah penasaran ketika pukulan yang dikerahkannya, tidak mengenai binatang-binatang itu. Akhirnya, Pendekar Naga Putih tidak lagi mengumbar pukulannya. Ia hanya berdiri sambil mengerahkan tenaga gabungan yang dimilikinya.
Lebah-lebah yang memiliki racun mematikan itu, langsung mengerubuti tubuh Pendekar Naga Putih. Namun lapisan dua buah sinar yang menyelimuti sekujur tubuh pemuda tampan itu, membuat binatang-binatang itu berjatuhan tewas. Sehingga, dalam waktu singkat lebah-lebah salju itu berserakan di bawah kaki Pendekar Naga Putih dalam keadaan hangus atau beku.
Setelahlebah-lebah salju itu mati, Pendekar Naga Putih segear melesat melakukan pengejaran terhadap Lawa Gurintang dan Nini Lawang. Sekejap saja, tubuh pemuda tampan berjubah putih itupun lenyap dibalik rumah-rumah penduduk.
Sosok berjubah putih itu, terus berkelebat cepat bagaikan bayangan hantu. Kegelapan yang mulai sirna membuat gerakannya semakin leluasa. Sehingga, dalam waktu yang singkat sosok tubuh itu telah jauh meninggalkan Desa Keranggan.
Cukup lama sosok bayangan berjubah putih itu berlari degan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata. Gerakannya baru diperlambat setelah ia tiba di daerah perbukitan tandus. Kemudian, sosok tubuh itu menghentikan larinya. Lalu, ia berdiri tegak dan sepasang matanya merayapi daerah sekitarnya. Namun yang dilihatnya hanya gumpalan-gumpalan batu cadas dan pepohonan kering.
“Aneh… kemana perginya kedua orang iblis keparat itu? Tidak mungkin kalau mereka tidak tersusul olehku? Menilik dari kepandaian yang mereka memiliki, jelas ilmu lari kedua orang tokoh Lembah Beracun itu tidaklah terlalu tinggi. Kecuali pengetahuan mereka tentang racun. Hanya itulah kelebihan yang mereka miliki,” gumam Panji sambil tetap mengedarkan pendangannya dengan kening berkerut.
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya perlahan sambil tetap waspada. Ia sadar kalau musuh-musuhnya kali ini sangatlah berbahaya. Sekali saja ia lengah, nyawanya dapat melayang. Karena racun-racun yang dipergunakan lawannya sangat jahat dan mematikan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan hatinya. Pendekar Naga Putih menduga kalau kedua orang lawannya tidak bersembunyi di tempat itu.
“Apakah mereka telah kembali keLembah Beracun…?” desah Panji ketika tidak menemukan jejak lawannya.
Munculnya dugaan itu, membuat tubuh Pendekar Naga Putih melesat melakukan pengejaran. Sepertinya pemuda tampan itu sudah mengambil keputusan untuk mengunjungi Lembah Beracun yang menjadi tempat kediaman tokoh-tokoh sesat itu. Dugaan Pendekar Naga Putih semakin kuat ketika dalam perjalanan ia menemukan jejak-jejak kedua orang lawannya itu. Hal itu dapat ditemukannya pada pohon- pohon atau batu-batu yang terdapat di kiri kanan jalan setapak. Meskipun hanya kecurigaan, namun Pendekar Naga Putih tetap melakukan pengejaran tanpa khawatir dijebak lawan.
“Hm… mereka sengaja meninggalkan jejak untukku. Iblis-iblis jahat itu tidak ingin melepaskan aku begitu saja,” gumam Panji sambil meneliti sebuah pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan setapak.
Pendekar Naga Putih mengangguk-anggukkan kepala seraya matanya menatapi pohon besara yang telah mati akibat pukulan beracun. Dengan meneliti jenis racun yang terdapat pada batang pohon itu, ia dapat menduga kalau pukulan itu dilakukan oleh Lawa Gurintang. Sebab, pada batang pohon itu terdapat tanda berwarna merah darah. Dan itu merupakan ciri-ciri racun yang dimiliki oleh Lawa Gurintang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih pun kembali melanjutkan pengejarannya. Untuk mencari Lembah Beracun, tidaklah sukar bagi Pendekar Naga Putih. Selain ia pernah mendengar cerita tentang lembah itu dari eyang gurunya, lembah itu pun mudah ditemukan. Sebab, dalam jarak puluhan batang tombak, hawa beracun yang mematikan itu keluar dalam lembah, menandakan tempat itu dikenali orang.
Itu pula yang menjadi patokannya untuk menemukan Lembah Beracun. Jejak-jejak yang diikuti Pendekar Naga Putih, membawa langkah pemuda tampan itu ke wilayah utara. Tampak sebuah pegunungan yang puncaknya terselimuti kabut tebal di hadapan Pendekar Naga Putih, ia pun mempercepat langkahnya.
“Hm…. Tepat dugaanku. Jejak-jejak ini pasti akan membawaku ke kaki Gunung Puncak Awan Hitam. Mulai dari sini, aku harus lebih berhati-hati….” Gumam Panji yang segera mengambil jalan memutar.
Pendekar Naga Putih tersentak mundur beberapa langkah kebelakang. Hembusan hawa berbau busuk yang menerpanya, menyadarkan pemuda tampan itu kalau lembah yang dicarinya sudah dekat. Pendekar Naga Putih segera melompat mundur dan mengambil obat dalam buntalan pakaiannya. Setelah menelan dua pil berwarna putih dan merah, pemuda tampan itu mengerahkan tenaga dalamnya. Untuk mempercepat daya kerja obat yang ditelannya.
Setelah rasa sesak didadanya lenyap, Pendekar Naga Putih melangkah maju. Kali ini Pendekar Naga Putih melangkah sambil mengerahkan tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari hawa beracun yang terbawa angin. Tenaga gabungan berupa lapisan sinar berwarna kuning keemasan dan putih keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya. Hawa beracun yang terhisap segera ditawarkan oleh dua lapisan sinar tersebut.
Langkah kaki pemuda tampan itu terhenti sejenak, karena ia terantuk tulang belulang yang berserakan. Sementara bau busuk makin kuat menusuk hidunngya, membuat hatinya berdebar tegang.
“Gila….! Padahal Lembah Beracun masih belasan tombak di depanku. Tapi, hawanya sanggup membunuh orang-orang yang hendak mendekatinya. Hahhh… Benar-benar mengerikan sekali. Untunglah, aku memiliki unsur tenaga sakti yang mampu menawarkan segala jenis racun. Kalau tidak, setinggi apapun kepandaian yang kumiliki pasti akan mengalami nasib yang serupa dengan tulang belulang manusia malang itu,” desah Panji sambil melompati seonggok tulang belulang manusia yang telah berwarna hitam. Pendekar Naga Putih terhenti sejenak. Dipandanginya sebuah batu besar berbentuk tengkorak kepala manusia.
“Hm…. Sepertinya batu ini merupakan pintu gerbang Lembah Beracun. Aku harus lebih berhati-hati…” gumam Panjii sambil melompat menuruni lembah.
Kening pemuda sakti itu sempat berkerut dan langkahnya pun terhenti sesaat lamanya. Hati Pendekar Naga Putih diliputi rasa heran ketika di tempat itu ia tidak merasakan adanya hawa beracun. Kenyataan itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benaknya. Rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih menghentikan pengerahan tenaga gabungannya. Setelah kedua sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya lenyap, pemuda tampan itu menarik napas dalam-dalam. Keheranannya makin bertambah tatkala ia tidak merasakan adanya hawa beracun yang terhisap oleh tarikan napasnya.
“Aneh….? Mengapa didalam lembah ini tidak terdapat hawa beracun? Lalu, dari mana datanngya hawa beracun yang tersebar hingga puluhan tombak dari tempatini…?” desah hati Panji yang makin tidak mengerti dengan apa yang di alaminya.
Namun Pendekar Naga Putih tidak memikirkannya lebih jauh. Memang, ada terbesit dalam pikirannya kalau semua itu mungkin merupakan permainan kedua orang buruannya. Maka, sambil tetap meningkatkan kewaspadaan, pemuda tampan itu kembali melangkah menyusuri lembah. Meskipun ia melangkah semakin jauh, namun ia tidak menemukan adanya binatang-binatang beracun. Dan Pendekar Naga Putih tetap melanjutkan langkahnya.
“Huppp!”
Cepat Pendekar Naga Putih mundur sejauh tiga batang tombak ketika tiba-tiba saja serangkum angin berbau busuk menyergapnya. Kemudain, pemuda tampan itu berdiri tegak dengan wajah tegang. Dihembuskannya napas perlahan untuk mengusir bau busuk yang sempat terhisap olehnya. Cepat pemuda tampan itu mengerahkan hawa murni untuk mengusir rasa mual yang menyerangnya.
Sadar bahwa hawa busuk menyengat itu dapat menunda langkahnya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam buntalan pakaiannya. Dioleskannya cairan minyak yang terdapat dalam botol sebesar jari kelingking itu dekat lubang hidungnya. Harum kesturi yang terhisap olehnya, membuat langkah Pendekar Naga Putih kembali terayun memasuki lembah. Pendekar Naga Putih melanjutkan langkahnya perlahan tiba-tiba terngiang di telinga ucapan-ucapan mendiang eyang gurunya.
“Panji, Cucuku. Daerah Lembah Beracun bukan saja sangat berbahaya. Tapi letaknya yang tersembunyi dapat membuat musuhnya tersesat ke Lembah Kematian. Sebab, selain Lembah Beracun, masih ada sebuah lembah yang bernama Lembah Kematian. Jarak antara keduanya boleh dibilang hampir menjadi satu. Memang ada jalan rahasia, tapi hanya diketahui oleh para penghuni Lembah Beracun. Dan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan tersesat di Lembah Kematian,” demikian ucapan Eyang Tirtayasa.
“Apakah Lembah Kematian itu tidak ada penghuninya, Eyang…?” tanya panju saat itu.
“Tentu saja ada, Cucuku. Namun, tokoh gila yang tinggal di Lembah Kematian itu pun tidak pernah menemukan jalan rahasia menuju Lembah Beracun. Selain itu, tokoh gila yang memiliki kepandaian yang tidak lumrah bagi manusia, tidak berusaha untuk mencarinya. Ia pun enggan bermusuhan dengan tokoh-tokoh Lembah Beracun. Kedua penghuni lembah itu tidak pernah saling ganggu. Mereka tidak ingin berselisih satu sama lain. Kepandaian tokoh Lembah Kematian yang sangat tinggi, membuatnya tidak tewas oleh hawa jahat dari Lembah Beracun. Hanya pikirannya saja yang terganggu. Itu sebabnya ia dijuluki Dewa Gila Lembah Kematian. Meski ia tidak jahat, namun setiap orang yang memasuki lembah kediamannya, pasti tidak pernah kembali dengan selamat.”
Pendekar Naga Putih termenung mengingat ucapan eyang gurunya ketika ia hendak terjun ke dunia ramai. Ingatan itu membuatnya semakin waspada.
“Mungkinkah aku telah tersesat ke Lembah Kematian…?” desis Panji dengan wajah tegang!
Ketegangan yang tergurat diwajah Pendekar Naga Putih nampak jelas saat ia teringat sergapan hawa busuk, pemuda tampan itu menduga kalau bau itu berasal dari bangkai manusia yang tersesat dilembah itu.
“Hm… Tidak salah lagi. Tempat ini pastilah Lembah Kematian. Entah sudah berapa banyak manusia tewas di tempat ini? Mungkinkah tokoh berjuluk Dewa Gila Lembah Kematian itu masih hidup?” gumam Pendekar Naga Putih dengan urat-urat syarafnya menegang.
Kebimbangan tergambar jelas diwajah Pendekar Naga Putih. Ingatannya tentang tokoh gila yang menjadi penghuni lembah itu, membuat langkahnya terhenti. Namun, bayangan dua orang buruannya tetap mengganggu pikirannya. Pemuda tampan itu ragu untuk meninggalkan Lembah Kematian. Bayangan dua orang tokoh Lembah Beracun, membuat Pendekar Naga Putih nekat melanjutkan langkahnya.Dia pun berharap agar tokoh menggiriskan itu tewas dimakan usianya.
Namun, langkah Pendekar Naga Putih mendadak terhenti! Suara sambaran angin tertangkap dari arah kirinya, membuat urat syaraf pemuda itu menegang! Dan ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan! Ketika pemuda tampan itu mencium benda-benda berbau busuk yang menusuk cuping hidungnya, cepat ia mendorongkan telapak tangannya dan melontarkan pukulan jarak jauh!
Wuuut…!
Kraghhh! Kraghhh!
Luncuran benda-benda berbau busuk yang berasal dari tulang belulang menusia itu hancur terhantam pukulan Pendekar Naga Putih. Pemuda tampan itu kaget setelah mengetahui benda yang digunakan untuk menyerang dirinya. Belum rasa terkejutnya hilang, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar!
“Ha ha ha…!”
Gema suara tawa itu terus berkumandang seraya menimbulkan hembusan angin yang kencang, membuat pohon-pohon yang tumbuh dilembah itu berderak ribut dan bertumbangan satu persatu.
Pendekar Naga Putih sadar akan kedahsyatan serangan yang dikirim lawannya melalui suara tawa itu, ia cepat mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi isi dadanya. Bukan main kagetnya Pendekar Naga Putih, ketika mendapat kenyataan yang mengejutkan! Sebab, meskipun ia telah mengerahkan seluruh kekuatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan-nya. Pengaruh tawa itu ternyata masih mampu menggetarkan isi dadanya.
“Gila…!” desis Panji ketika merasakan betapa dahsyatnya tenaga yang disalurkan melalui suara tawa itu. Diam-diam hati pemuda sakti itu berebar keras. Dalam benaknya, terlintas sosok tokoh Lembah Kematian, yang memiliki kepandaian tidak lumrah bagi manusia biasa itu. Pendekar Naga Putih sadar yang dihadapinya kali ini seorang lawan yang tangguh dan kepandaiannya sukar diukur! Pendekar Naga Putih menarik nafas lega tat kala suara tawa itu lenyap. Tapi, ia kembali tersentak kaget! Teedengar suara berdesing keras dari dua sosok tubuh, menyerang ke arah tubuhnya.
“Haiiit…!”
Teriakan nyaring yang dibarengi pukulan maut itu membuat Pendekar Naga Putih mengayunkan kedua tangannya secara bergantian!
Wuuut… Wuuut…!
Serangkum angin pukulan mengeluarkan hawa dingin dan panas, meluncur deras kearah dua sosok tubuh yang sedang mengarah ketubuh Pendekar Naga Putih!
Buggg! Desss…!
Dua sosok tubuh yang tengah mengapung diudara itu, tersentak balik akibat hantaman tenaga dahsyat Pendekar Naga Putih!
Namun pemuda tampan itu merasa heran. Karena ia tidak mendengar keluhan dari kedua sosok tubuh yang terhantam pukulannya itu. Ia segera melompat mendekati kedua sosok tubuh yang tergeletak didepannya. Dan apa yang dilihatnya, kembali membuat hati Pendekar Naga Putih dicekam ketegangan hebat!
“Gila….! Siapa yang telah membunuh mereka…?” desis Panji ketika ia mengenali kedua sosok tubuh itu yang ternyata Lawa Gurintang dan Nini Lawang.
Kedua tubuh tokoh Lembah Beracun itu hampir tidak dapat dikenali lagi, membuat Pendekar Naga Putih melompat mundur hingga tiga batang tombak jauhnya. Pemuda tampan itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan otot-otot syarafnya menegang.
“Siapa pun kau, tunjukkan wujudmu! Sebab, melakukan penyerangan secara sembunyi adalah perbuatan seorang pengecut!” seru Panji sambil mengerahkan indera pendengarannya agar dapat menangkap gerakan yang sekecil apapun.
“Ha ha ha…! Kau benar-benar memiliki nyali yang besar Anak Muda! Sayangnya matamu buta. Sehingga, kau tidak melihat bahwa aku berada didekatmu!” suara parau yang membuat kepala Panji menoleh kesamping kirinya.
Ketegangan kembali menyelimuti hati Pendekar Naga Putih. Seluruh indera pendengarannya dikerahkan, tapi tidak mampu menangkap gerakan sosok tinggi kurus itu. Padahal, ia tahu pasti kalau beberapa saat tadi sosok itu sama sekali tidak dilihatnya. Tentu saja kehadiran sosok tinggi kurus itu yang sama sekali tidak diketahuinya itu membuat Pendekar Naga Putih terkejut!
Sosok tinggi kurus berpakaian compang-camping itu, menatap tajam ke arah Pendekar Naga Putih. Rambut, jenggot dan kumisnya yang awut-awutan itu, makin menambah keangkeran dan kegarangan kakek itu. kulit wajahnya nyaris tak berdaging itu, menandakan usianya sudah sangat tua. Matanya bersinar kehijauan, sempat membuat hati Pendekar Naga Putih tergetar. Pemuda tampan itu melangkah mundur beberapa tindak, tanpa sadar. Tapi, ia segera menguasai perasaannya. Dipandanginya wajah kakek itu penuh selidik.
“Maafkan aku, Kakek! Aku mencari kedua manusia yang jahat itu. Karena itu tanpa sengaja aku telah tersesat ketempat ini. Namun karena kedua musuhku telah tewas, aku mohon diri meninggalkan tempat ini,” ucap Panji sopan sambil membungkuk hormat.
“Ha ha ha…! Ucapan apa itu, Bocah? Rupaya kau belum tahu tempat apa yang telah kau masuki ini? Sadarkan kau berhadapan dengan siapa saat ini?” tegur kakek kurus itu.
“Maafkan aku, Kakek. Meskipun aku mengetahui siapa sebenarnya Kakek. Namun karena di antara kita tidak mempunyai persoalan, aku mohon kepada Kakek untuk mengizinkan aku pergi dari tempat ini,” ucap Panji lagi, tetap dengan nada sopan dan penuh rasa hormat.
“Hm… Tidak semudah itu, Bocah!” cetus kakek itu dengan wajah berubah bengis. “Ketahuilah, Bocah. Kau telah memasuki Lembah Kematian. Dan, itu merupakan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan! Siapa pun yang memasuki lembah ini, ia tidak akan kubiarkan keluar dalam keadaan hidup! Mayatnya harus menjadi penghuni Lembah Kematian! Nah, bagaimana kau bisa mengatakan kita tidak mempunyai urusan?” tanya kakek kurus itu dengan tatapan penuh ancaman.
“Kakek, aku menghormatimu, karena aku paham bahwa kau adalah penghuni lembah ini yang berjuluk Dewa Gila. Selain itu, mengingat usia Kakek yang sudah tua, bukankah lebih baik Kakek hidup tenang tanpa permusuhan? Nah, izinkahlah aku meninggalkan lembah ini. Dan, aku akan mengingat Kakek sebagai orang tua yang bijaksana dan baik hati,” sahut Panji berusaha menghindari perkelahian.
Alasan yang dikemukakan pemuda tampan itu, bukan karena rasa takut. Pendekar Naga Putih sadar akan kedahsyatan ilmu kakek itu, namun tidak terbesit rasa takut di hatinya. Hanya karena mengingat tidak adanya permusuhan diantara mereka, maka Pendekar Naga Putih berusaha menghindari perkelahian. Apalagi kedua musuhnya telah tewas di tangan kakek itu. Dan Pendekar Naga Putih merasa persoalannya sudah selesai.
“He he he… Bagus kalau kau telah mengenalku, Bocah. Itu sama artinya kau sudah mengetahui peraturan yang berlaku diLembah Kematian. Dan peraturan itu tidak bisa kau indahkan begitu saja. Sekarang, kau bersiaplah untuk melayat ke akhirat. Karena aku tidak suka membunuh orang tanpa perlawanan,” ujar Dewa Gila Lembah Kematian itu.
Setelah berkata demikian, penghuni Lembah Kematian melangkah kearah Pendekar Naga Putih. Gerakan kakek itu mengejutkan sekali! Langkah kakinya yang terlihat perlahan sekali, tapi membuat tubuhnya meluncur cepat bagai kapas tertiup angin. Sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh kakek itu telah berada satu tombak di depan Pendekar Naga Putih.
“Tunggu dulu, Kakek…!” cegah Panji sambil melangkah mundur hingga satu tombak.
“Ada apa lagi, Bocah?” tanya dengan mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Panji. Tangannya yang semula siap melontarkan pukulan maut, menjadi mengapung di udara.
“Bagaimaan kalau kita bertaruh…?” usul Panji sambil menatap wajah kakek itu lekat-lekat.
“Kurang ajar…! Sadarkah bahwa kau telah melakukan kesalahan besar! Untuk itu kau harus mati tanpa boleh mengajukan permintaan atau apapun yang sejenis dengan itu! Keluarkanlah seluruh kepandaian yang kau miliki!Jalan satu-satunya hanya itu untuk keluar hidup-hidup dari tempat ini hanyalah dengan membunuhku! Dan itu merupakan suatu hal yang mustahil!” bentak Dewa Gila Lembah Kematian.
Pendekar Naga Putih sadar bahwa ia tidak akan mungkin dapat keluar dari Lembah Kematian tanpa mengalahkan penghuninya. Pemuda tampan itu bersiap menyambut serangan Dewa Gila Lembah Kematian! Sejenak Pendekar Naga Putih menoleh kearah dua sosok mayat tokoh Lembah Beracun itu.
“Hm… Rupanya mereka sempat dilihat penghuni Lembah Kematian ketika memasuki Lembah Beracun. Sehingga, kakek gila itu membunuh mereka tanpa ampun,” gumam Panji seraya mengalihkan pandangannya kearah kakek kurus itu.
“He he he… Mereka terpaksa kubunuh. Karena mereka telah berani meninggalkan racun ditempat ini. Aku sudah tidak suka kepada mereka, karena selalu keluar masuk melalui wilayahku. Walaupun untuk memasuki Lembah Beracun harus melalui wilayahku namun kehadiran mereka sempat terlihat olehku, tentu saja tidak bisa kudiamkan begitu saja. Siapa saja yang memasuki lembah ini dan terlihat olehku, mereka harus mati. Sekalipun mereka penghuni Lembah Beracun!” jelas Dewa Gila Lembah Kematian.
“Hm… Jelas aku tidak mungkin keluar dari tempat ini. Tidak ada jalan lain, aku harus menewaskannya agar dapat meninggalkan tempat celaka ini.” gumam Panji yang segera memasang kuda-kudanya dengan tubuh rendah. Hal itu dilakukannya ketika melihat Dewa Gila Lembah Kematian telah siap melontarkan serangan kepadanya. Pendekar Naga Putih menyongsong serangan lawan. Sengaja ia tidak melakukan serangan lebih dahulu. Karena akan membuka pertahanan dirinya.
Dewa Gila Lembah Kematian melihat lawannya belum juga bergerak, mengerutkan kening sejenak. Senyum tipis mengembang di bibirnya ketika melihat posisi Pendekar Naga Putih. Senyum yang menandakan kegembiraan hatinya itu, semakin melebar. Sepertinya dengan melihat posisi lawan, ia dapat menduga bahwa calon korbannya bukan orang sembarangan. Apalagi sikap dan wajah Pendekar Naga Putih tidak mencerminkan rasa takut meski telah mengenal nama julukannya. Jelas, pemuda tampan itu berbeda dengan korban-korban sebelumnya.
“Heaaa…!”
Dibarengi dengan teriakan nyaring, tubuh tinggi kurus itu melesat cepat! Sepasang tangannya yang berbentuk cakar menyambar-nyambar dan menimbulkan suara mencicit tajam. Jelas, serangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang penuh dan berbahaya!
Wuuut…! Wuuut…!
Begitu sambaran lawan tiba, Pendekar Naga Putih cepat menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak dari bawah ke atas dengan menimbulkan angin berkesiutan! Sambaran angin berhawa panas menyengat keluar dari tangan itu, sempat membuat penghuni Lembah Kematian terkejut!
Namun sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang digerakkan dengan kecepatan tinggi itu, tidak membuatnya repot. Dengan gerakan aneh dan lucu, kakek kurus itu menarik perutnya ke dalam dengan gerakan pantat yang megol-megol seperti bebek berjalan. Serangan lawan yang berkecepatan tinggi itu berhasil dipatakannya. Bahkan gerakan itu masih disusul dengan putaran tubuh melingkar. Sambil bergerak, tangan kanannya ikut mengancam tengkuk Pendekar Naga Putih!
Wuuuk…!
Cepat Pendekar Naga Putih menekukkan lututnya dan mendoyongkan tubuh ke belakang. Namun, ia tak menduga sama sekali, pukulan telapak tangan yang luput itu kembali berputar dan langsung bergerak naik mengancam dadanya! Sadar serangan mendadak itu sulit dihindari, Pendekar Naga Putih memutar tangan kiriya untuk memapaki cengkeraman itu!
Plarrr…!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Tubuh keduanya terpental hingga tiga tombak ke belakang! Namun, Dewa Gila Lembah Kematian dapat mematahkannya dengan gerakan tubuh berputar. Sehingga tubuh kakek itu kembali siap dalam posisi kuda-kuda yang kokoh dan aneh.
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri harus melempar tubuhnya ke belakang dan berjumpalitan tiga kali diudara. Kemudian ia dapat mendaratkan kakinya dengan baik. Melihat dari seringai diwajahnya, jelas Pendekar Naga Putih merasakan akibat benturan keras itu.
Dewa Gila Lembah Kematian sendiri, sempat terheran-heran dengan keadaan itu. Sepertinya kakek kurus itu belum dapat mempercayai apa yang menimpanya barusan. Tampak wajah kakek kurus itu terlongong bagaikan orang tolol. Rasa keheranan iu membuatnya makin penasaran. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya kembali meluruk ke arah Pendekar Naga Putih!
Serangan yang dilancarkan Dewa Gila Lembah Kematian kali ini, benar-benar sangat mengerikan sekali! Angin keras berhembus hingga membuat pepohonan di sekitarnya berderak roboh! Bahkan beberapa semak perdu yang akarnya tak kuat menahan putaran angin keras itu langsung tercabut keluar. Sehingga dalam sekejapan saja, tempat itu dipenuhi semak-semak dan dedaunan yang berterbangan!
Melihat kenyataan itu, Pendekar Naga Putih sadar bahwa Dewa Gila Lembah Kematian, memang bermaksud membunuhnya. Pemuda tampan itu segera memusatkan pikirannya, sambil menatap ke arah lawan dengan pandangan tajam. Sesaat kemudian, tercipta dua lapisan sinar menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih!
Hembusan angin yang saling bertentangan menebar disekitar arena pertarungan maut itu. Bahkan ketika Pendekar Naga Putih menggerak-gerakkan tangannya dengan jurus ilmu ‘Silat Naga Sakti’, gulungan angin berwarna kuning keemasan dan putih keperakan berputar kencang membuat arena pertempuran makin kacau balau.
“Ha ha ha…. Tidak kusangka kalau menjelang akhir hayatku ini, aku berhadapan dengan anak muda berilmu tinggi sepertimu. Hm…. Kau memang pantas untuk dikagumi, Bocah! Merupakan kehormatan besar jika aku dapat membunuhmu,” ujar Dewa Gila Lembah Kematian yang mengenali lawannya setelah melihat lapisan kabut bersinar puith keperakan. Meskipun keningnya sempat berkerut ketika melihat sinar lain yang menyelimuti tubuh sebelah kanan pemuda itu, Dewa Gila Lembah Kematian tetap melanjutkan serangannya.
“Yeaaat…!”
Diiringi teriakan panjang, tubuh kakek kurus itu bergerak cepat dengan langkah-langkah aneh. Sepasang tangannya menyambar-nyambar dan menimbulkan angin bercicitan tajam!
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali menyerang, Dewa Gila Lembah Kematian langsung melontarkan serangkaian pukulan maut! Angin pukulannya meluncur datang sebelum cengkeraman maupun kepalan kakek kurus itu tiba. Angin pukulan yang terlontar dari setiap serangan kakek kurus itu tidak dapat dianggap remeh. Sebab, jangankan terkena tubuh manusia, pohon besar dua pelukan orang dewasapun akan roboh bila terkena angin pukulan Dewa Gila Lembah Kematian. Serangan yang dilancarkan kakek kurus itu sangat dahsyat sekali!
Pendekar Naga Putih sendiri sempat repot oleh serangkaian serangan yang mengancam tubuhnya. Ia pun terpaksa bergerak cepat menghindari setiap pukulan lawannya. Nyaris pada gebrakan pertama Pendekar Naga Putih tidak mendapat peluang sedikitpun untuk membalas gempuran lawannya. Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan cepat di antara sambaran-sambaran pukulan lawannya. Terkadang pemuda tampan itu melakukan lompatan panjang, menghindari gempuran yang dilancarkan Dewa Gila Lembah Kematian.
Beruntung Pendekar Naga Putih telah memiliki pendengaran maupun penglihatan yang tajam. Walaupun ia terdesak oleh lontaran pukulan lawan, tapi pemuda tampan tu sempat mengirimkan satu dua pukulan setiap ada kesempatan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Tanpa disadari, keduanya telah bertarung kurang lebih seratus jurus! Meski pertarungan telah berlangsung demikian jauh, namun belum nampak tanda-tanda kelelahan pada diri Dewa Gila Lembah Kematian. Padahal, usianya telah mencapai seratus tahun lebih. Kenyataan itu tentu saja membuat hati Pendekar Naga Putih menjadi kagum. Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus dua puluh, tiba-tiba Dewa Gila Lembah Kematian mengeluarkan pekikan nyaring yang mengejutkan lawna. Berbarengan dengan itu, ia langsung memutar tubuhnya seperti baling-baling.
Pendekar Naga Putih terkejut melihat tubuh lawannya mendadak lenyap! Yang dilihatnya, hanya gulungan angin yang terus mendesaknya. Gerakan lawan yang cepat dan tak terduga itu, membuat Pendekar Naga Putih tidak sempat menghindari pukulan lawan. Dua buah pukulan lawan muncul dari gulungan itu mencelat dan menghantam dada serta perut Pendekar Naga Putih!
Buggg! Desss…!
“Aaakh…!”
Pendekar Naga Putih memekik tertahan ketika dua buah pukulan Dewa Gila Lembah Kematian menghajar telak dadanya dan perutnya! Kontan tubuh Pendekar Naga Putih tersentak keras ke belakang. Dan cairan merah muncrat dari mulutnya.
Brakkk…!
Sebuah pohon besar yang tida tombak berada dibelakangnya, langsung tumbang ketika terhantam tubuh Pendekar Naga Putih. Sedang pemuda tampan itu sendiri, melorot jatuh ketanah. Dadanya serasa remuk. Pendekar Naga Putih bangkit dan mencoba berdiri tegak. Lapisan kabut bersinar putih keperakan, lenyap seketika. Sedangkan lapisan sinar keemasan menebar menyelimuti sekujur tubuh pemuda tampan itu. Sehingga, tubuh Pendekar Naga Putih bagai terselimuti kobaran api yang amat panas!
Sepasang mata Dewa Gila Lembah Kematian terbelalak takjub melihat kenyataan itu! Kakek kurus itu tidak menduga ‘Tenaga Inti Panas Bumi’ tengah melebur luka dalam yang diderita pemuda tampan itu. Bukan hanya lawannya yang merasa heran dengan kejadian itu. Pendekar Naga Putih sendiri terkejut pula dengan apa yang dialaminya. Namun rasa terkejut mereka berbeda. Bagi Pendekar Naga Putih kejadian itu sangat menggembirakan. Sebab makin melebarnya sinar keemasan yang melebur luka dalam tubuhnya, menandakan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’ telah bereaksi bila ada yang tidak beres dalam tubuh pemuda tampan itu.
Kekuatan daya tolak tenaga sakti yang berasal dari Pedang Naga Langit itu, memang mempunyai khasiat untuk meleburkan racun maupun luka dalam. Sehingga dalam beberapa saat saja, luka akibat pukulan Dewa Gila Lembah Kematian lenyap tanpa bekas.
Sedangkan Dewa Gila Lembah Kematian heran bukan main melihat kejadian itu. Sebagai seorang tokoh sakti yang memiliki pengetahuan tinggi, ia segera mengetahui apa yang barusan dialami lawannya. Justru hal itu makin menambah kegembiraan hatinya. Sebab, ia merasa kali ini benar-benar menemui lawan yang tangguh!
Sambil terkekeh parau, Dewa Gila Lembah Kematian kembali menyiapkan serangannya. Sepasang tangannya berputaran bagaikan baling-baling yang kemudian diikuti dengan putaran tubuhnya. Sepertinya kakek kurus itu ingin mengulangi keberhasilan serangannya.
“Haiiit…!” Disertai teriakan nyaring yang memekakkan telinga, tubuh kurus itu melompat dengan serangan-serangan dahsyatnya.
Pendekar Naga Putih pun tidak mau kalah! Dengan membuat gerakan pembukaan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’, tubuh pemuda tampan itu melesat menyambut serangan lawannya! Tubuh kedua tokoh sakti itu saling berputaran dan meluncur deras dengan serangan-serangan dahsyat!
“Yeaaa…!”
“Haaat…!”
Pyarrr…!
Hebat sekali pertemuan kedua tenaga dalam raksasa yang tersalur lewat telapk tangan mereka, luar biasa! Bumi sekitar Lembah Kematian bagaikan diguncang gempa yang hebat! Bahkan beberapa pohon kecil langsung bertumbangan! Demikian pula halnya dengan tubuh kedua orang tokoh itu terdorong ke belakang bagaikan sehelai daun kering!
Namun baik Pendekar Naga Putih maupun Dewa Gila Lembah Kematian memang bukan tokoh-tokoh sembarangan! Sehingga daya luncur tubuh mereka yang deras itu, dapat dipatahkan dengan cara berjumpalitan bebrapa kali di udara. Mereka pun dapat mendarat kembali di atas tanah dengan selamat! Meski kuda-kuda mereka agak goyah ketika menjejak tanah, namun jelas keduanya sama sekali tidak mengalami luka parah.
Pendekar Naga Putih tidak ingin meluangkan kesempatan sedikitpun! Ketika kedua kakinya mendarat meski sedikit goyah, tubuhnya kembali melambung, dan langsung mengirimkan serangannya yang menimbulkan suara mencicit tajam! Serangannya kali ini menggunakan tenaga gabungannya.
“Haaat…!”
Teriakan nyaring bergema dengan diiringi luncuran tubuh Pendekar Naga Putih kearah lawannya! Angin keras berputaran membentuk bulatan-bulatan sinar menyilaukan mata. Dari bulatan dua buah sinar itu, membentuk cakar- cakar naga yang berhawa maut!
Pendekar Naga Putih kembali menggunakan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’untuk kedua kalinya menghadapi Dewa Gila Lembah Kematian. Serangan dahsyat yang dilancarkan pemuda tampan itu sempat membuat penghuni Lembah Kematian menyadari, tidaklah mungkin dapat menghindari serangan itu, maka kakek kurus itupun memapakinya sambil melompat menyambut gempuran pemuda tampan berjubah putih itu!
Dewa Gila belum mengetahui sama sekali keistimewaan jurus lawannya. Sehingga, ketika ia melihat cakar lawan menyambar, cepat dipapakinya dengan tamparan tangan kiri! Kakek kurus itu terkejut bukan main! Cakar lawanyang diduganya hendak mencengkeram dada, tiba-tiba melejit menghindari tamparannya. Gerakan yang licin bagaikan liukan tubuh naga itu, berputar cepat, dan meluruk mengancam lambung Dewa Gila Lembah Kematian! Bahkan disusuli dengan hantaman telapak tangan kearah dada lawan. Maka…
Brettt…! Diesss…!
“Aaakh…!”
Dewa Gila Lembah Kematian menjerit kesakitan ketika cakaran dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih tepat mengenai sasarannya! Dan tubuh kurus itupun langsung terpental deras hingga lima tombak jauhnya. Lalu, terbanting keatas tanah berbatu. Namun daya tahan tokoh sakti Lembah Kematian itu memang tidak lumrah bagi manusia biasa! Secepatnya tubuhnya jatuh, secepat pula ia melompat bangkit, meski agak terhuyung dan limbungke belakang. Cairan merah pun tampak menetes dari sudut bibirnya. Sayang pada saat tubuh kakek kurus itu tertatih mundur, sebuah tendangan keras dari Pendekar Naga Putih telah bersarang di dadanya!
Buggg…!
“Huaaakh…!”
Darah segar langsung menyembur dari mulut kakek kurus itu. tubuhnya kembali terjengkang hingga mencapai tiga batang tombak dan terbanting jatuh tanpa dapat bangkit kembali. Kakek kurus itu menggelepar ditanah, jari tangannya bergerak-gerak menahan rasa sakit bukan kepalang.
Melihat lawannya sudah tergeletak dengan napas satu- satu, Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati mendekatinya. Otot-otot tubuhnya tetap menegang, siap menghadapi serangan mendadak. Namun ketika mendapat kenyataan bahwa Dewa Gila Lembah Kematian sudah tidak mampu bangkit lagi,cepat pemuda tampan itu membungkuk dan memeriksa tubuh kakek kurus itu.
“Maafkan aku, Kakek. Semua ini terjadi karena kau yang memaksaku,” ucap Panji yang bersiap untuk mengobati luka-luka lawannya.
“Kau sama sekali tidak bersalah, Anak Muda. Memang kematian seperti inilah yang kudambakan semenjak dahulu. Aku tidak sudi mati karena penyakit tua. Itulah sebabnya mengapa aku selalu membunuh siapa saja yang memasuki lembah ini. dan sekarang aku benar-benar merasa puas.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, kepala Dewa Gila Lembah Kematian terkulai. Karena nyawanya telah meningggalkan raga. Tokoh sakti menggiriskan itu tewas dengan senyum puas yang menghias wajahnya.
Pendekar Naga Putih termenung sesaat setelah mengetahui Dewa Gila Lembah Kematian benar-benar telah pergi. Beberapa saatckemudian, pemuda tampan itu bergerak bangkit. Digalinya tanah gembur untuk menguburkan ketiga sosok mayat yang tergeletak ditempat itu.
Tak lama kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas meninggalkan Lembah Kematian untuk menjemput kekasihnya. Hatinya lega. Karena bencana yang dibuat oleh tokoh-tokoh Lembah Beracun yang membuatnya sampai tersesat di Lembah Kematian itu telah berakhir.
Hembusan angin bersilir lembut, mengiringi ayunan langkah Pendekar Naga Putih. Sejenak kepala pemuda tampan itu menengadah menatap cakrawala luas. Sepertinya pemuda tampan itu tengah membayangkan petualangan-petualangan lainnya yang merupakan garis perjalanan hidupnya.
Orang pertama, berjubah panjang berwarna merah darah yang sesuai dengan warna kulit wajahnya. Tubuhnya tinggi kekar dan selalu menyunggingkan senyum mengejek. Sedangkan orang kedua, usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan jubah berwarna biru gelap. Wajahnya dihiasi kumis tebal, dan mempunyai sepasang mata yang memancarkan kelicikan hatinya. Sebuah gagang golok besar tampak tersembul di balik punggungnya.
Sementara, orang ketiga dan keempat, masing-masing mengenakan pakaian berwarna kuning pucat dan hijau. Keanehan-keanehan itulah yang membuat keempat orang itu menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Saat matahari sudah tergelincir kearah Barat, keempat orang aneh itu telah memasuki mulut Desa Keranggan. Beberapa petani yang sempat melihat mereka bergegas menghindar. Tampak diwajah mereka ada perasaan ngeri melihat orang-orang aneh dan menyeramkan itu. Sikap para petani yang demikian, rupanya membuat keempat orang-orang aneh itu merasa tersinggung. Salah seorang dari mereka, yang mengenakan jubah berwarna kuning pucat, menoleh dan menatap tajam kearah petani yang bergegas kembali kesawahnya.
“Hei! Kemari kau…!” panggil orang yang berwajah kuning pucat itu dengan suara parau. Sepasang matanya tampak berkilat menyiratkan nafsu membunuh!
Keempat petani yang berpura-pura sibuk itu terkejut sekali mendengar panggilan orang aneh tersebut. Seketika wajah mereka berubah pucat, dan dadanya berdegup keras.
“Keparat! Rupanya kalian sudah bosan hidup!” bentak laki-laki kurus berwajah kuning pucat itu dengan nada semakin tinggi. Jelas, ia merasa marah sekali terhadap keempat petani yang berpura-pura tidak mendengar panggilannya tadi.
“Kami… kami yang Tuan maksudkan…?” tanya salah seorang dari petani itu dengan wajah tegang! Bahkan, nada suaranya terdengar gemetar dan diselimuti rasa takut.
“Hm… Jangan berpura-pura bodoh kau, Orang Tua Peot! Apakah telingamu mau dibuat tuli? Cepat, kau dan ketiga rekanmu naik kemari!” bentak lelaki tinggi kurus berwajah kuning pucat itu sambil menunjukkan tangannya.
“Baik… baik… Tuan…” sahut lelaki setengah baya itu mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, ia bergegas naik diikuti ketiga rekannya.
“Hm… untuk apa kau membuang-buang waktu dengan manusia-manusia tak berguna itu, Adi Sangkuni? Kubur saja mereka disawah,” ujar lelaki berjubah merah dengan wajah bengis dan tersenyum sinis.
Ucapan lelaki bertubuh kekar dan berjubah merah itu menyiratkan perasaan tidak setuju dengan tindakan rekannya yang dianggap membuang-buang waktu saja.
“Sebenarnya aku ingin bermain-main sebentar dengan mereka. Sayang Kakang tidak menyukainya. Baiklah, Kakang. Aku akan memberikan sesuatu yang nikmat buat mereka untuk menuju ke alam kedamaian,” ujar lelaki berjubah kuning pucat itu seaya menyelinapkan tangan kanannya ke dalam jubah.
“Kalian terimalah ini sebagai hadian dariku…” ujarnya sambil mengibaskan tangan kananya kearah keempat orang petani yang baru saja menginjakkan kakinya diatas jalanan lebaritu.
Wuuut…!
Bubuk berwarna kuning dan berbau harum menyebar seiring kibasan tangan Sangkuni. Dan langsung menerpa wajah keempat orang petani itu. Lalu, mereka berteriak-teriak dengan tubuhnya berjumpalitan. Kemudian teriakan itu berubah menjadi lolongan panjang yang mengerikan!
“Akh…!”
“Aaa…!”
Keempat orang petani malang itu terus meraung sambil bergulingan diatas tanah berbatu kerikil. Kedua tangannya sibuk menggaruk seluruh tubuh sambil mendesis-desis bagai orang kesetanan! Tak lama kemudian, tubuh mereka mengejang menahan azab. Lalu tewas dengan sekujur kulit tubuh terkelupas bagai dikuliti.
“He he he…. Kau lihatlah, Kakang. Bukankah permainan itu sungguh mengasyikkan. Sayang, Kakang tidak memperkenankan aku untuk bermain lebih lama,” ujar Sangkuni sambil terkekeh memandang tubuh korbannya dengan sinar mata yang gembira. Jelas, penderitaan keempat petani itu telah menimbulkan rasa bahagia di dalam hatinya.
“Sudahlah. Ayo kita tinggalkan tempat ini…” ajak lelaki berjubah merah darah yang menjadi pimpinan mereka.
Keempat orang aneh yang bersifat mengerikan itupun melangkah lebar meninggalkan tempat tersebut. Luar biasa sekali kekejaman mereka. Hanya kesalahan kecil saja, mereka tega membunuh empat orang petani itu secara keji. Tak sedikitpun tersirat rasa iba diwajah keempat orang aneh itu, meski korbannya merintih dan meraung menahan rasa perih. Justru dengan melihat penderitaan orang itu, mereka memperoleh kepuasan hati. Semakin korbannya kesakitan dan meraung tinggi, semakin puaslah hati mereka. Melihat kekejamannya itu, jelas keempat orang itu merupakan tokoh-tokoh sesat dalam dunia persilatan.
“Hei, Pelayan! Cepat sediakan empat guci tuak dan penganan untuk kami!” teriak orang aneh yang berjubah biru gelap. Padahal, saat itu ia baru saja melangkahkan kakinya melewati pintu kedai, dan belum sempat memilih tempat duduk.
Tentu saja suara yang keras dan bernada dingin itu, membuat para pengunjung kedai terkejut dan menolehkan kepalanya. Namun, ketika mereka melihat penampilan lelaki berjubah biru gelap dan tiga orang lainnya, serentak pengunjung kedai itu menundukkan kepalanya. Bahkan, beberapa pengunjung langsung beranjak meninggalkan bangku-bangkunya.
Kening lelaki berjubah biru gelap yang baru saja menjatuhkan pantatnya di atas kursi itu berkerut dalam. Tindakan pengunjung yang henda kmeninggalkan kedai itu membuat dirinya tersinggung. Dengan gerakan kasar, lelaki berkumis tebal itu bangkit dan menggebrak meja.
Brakkk…!
Enam orang lelaki yang baru saja hendak melangkah keluar kedai itu merasa terkejut. Langkah mereka terhenti dan menolehkan kepala kearah pengunjung aneh itu.
“Dengar! Tidak seorangpun boleh meninggalkan tempat ini!Bagi siapa yang berani membantah, maka kematianlah yang akan diterima!” ancam lelaki berjubah biru gelap itu dengan tatapan mata tajam dan menggetarkan jantung.
Mendengar ancaman yang tegas itu, membuat mereka semua kembali duduk dengan wajah pucat. Kegelisahan membayang jelas di wajah mereka. Namun, tidak semua pengunjung kedai itu bernyali kecil. Dua orang lelaki bertubuh kekar berotot, bergerak bangkit dan melangkah menuju pintu kedai. Mereka tidak gentar sama sekali dengan ancaman lelaki berjubah biru gelap itu. Melihat lagak dua orang bertubuh kekar berotot tersebut, lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha…! Tidak kusangka di tempat ini ada juga orang-orang bernyali harimau. Bagus… bagus…. Benar-benar sangat menyenangkan!” ujar laki-laki itu sambil bangkit dari duduknya.
“He...hehe…! Hati-hati Kakang Gumilang. Siapa tahu kedua orang itu benar-benar harimau buas….!” Cetus lelaki berjubah hijau dengan suara mengejek.
“Ha ha ha…! Justru itu yang kuharapkan, Sura Lejang. Jika mereka betul-betul harimau buas, senang sekali hatiku,” ujar lelaki berjubah biru gelap yang ternyata bernama Gumilang.
Dia melangkah lebar menghampiri kedua lelaki bertubuh kekar itu. Sikapnya terlihat angkuh dan sangat menghina sekali. Tanpa memperdulikan kedua orang itu, ia berdiri diambang pintu dan menghalangi jalan keluar.
“Maaf, Kisanak. Berilah jalan untuk kami lewat…” pinta salah seorang yang berwajah keras dengan bulu-bulu hitam menghias sisi wajahnya. Nada suaranya yang sopan itu mengandung ketegasan.
Lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak mengindahkan permintaanya. Sepasang matanya menatap dingin kearah dua orang lelaki yang berniat meninggalkan kedai itu. Setelah beberapa kali mengulang permintaanya, tapi selalu diabaikan, lelaki berwajah keras itu mulai naik pitam. Dengan tatapan mata yang menyiratkan kemarahan, ia melangkah maju dua tindak ke depan.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dari kami, Kisanak? Mengapa kau menghalangi jalan keluar? Bukankah diantara kita tidak ada persoalan?” tegur lelaki kekar berwajah keras itu dengan suara penasaran. Sepasang tangannya dikepalkan hingga terdengar suara gemeretak. Melihat dari sikap dan tingkahnya, tampak lelaki itu bukanlah seorang sembarangan.
“Hm… Aku tidak akan menghalangimu jika permintaanku kau turuti,” ujar Gumilang dengan suara perlahan, namun terasa menggetarkan hati. Sedang sepasang matanya yang dingin dan setajam mata pisau itu, tetap tidak beralih dari wajah lawan.
“Apa permintaanmu, Kisanak? Selagi masih dalam batas-batas wajar tentu akan kupenuhi. Katakanlah!” sahut lelaki berwajah keras itu dengan menentang pandangan mata Gumilang. Jelas, ia ingin memperlihatkan bahwa dirinya tidak takut berhadapan dengan lelaki berjubah biru gelap.
Mendengar ucapan lawan bicaranya, Gumilang memperlihatkan senyum iblis yang sempat membuat hati lelaki berwajah keras itu bergetar. Karena senyumnya merupakan senyum licik yang mengandung banyak arti.
“Permintaanku tidak banyak dan gampang dipenuhi. Kalau kalian ingin meninggalkan kedai ini, tinggalkan nyawa kalian berdua untukku. Setelah itu kalian boleh pergi tanpa kuganggu,” ucap Gumilang dengan suara dingin dan menantang.
“Bangsat! Rupanya kau sengaja mencari persoalan dengan kami! Kuperingatkan agar kau segera menarik ucapanmu itu. Kalau tidak, tubuhmu akan kulumat habis!” bentak lelaki bertubuh kekar itu dengan wajah merah padam.
“Kisanak. Sadarkan kau, saat ini tengah berhadapan dengan Sepasang Macan Kumbang? Dan perlu kau ketahui tak seorangpun bisa menghalangi keinginan kami. Maka, menyingkirlah kau sebelum kesabaran kami habis!” ancam lelaki yang satunya lagi. Wajahnya yang kehitaman dengan sebaris kumis tebal melintang, tampak semakin gelap.
Nama Sepasang Macan Kumbang memang cukup dikenal dan ditakuti penduduk Desa Keranggan. Tindakan mereka pun sukar ditebak. Terkadang mereka bertindak kasar hanya karena persoalan sepele. Bahkan, tidak jarang mereka membunuh orang yang tidak disukainya, meski tanpa sebab yang jelas. Tapi kedua, orang lelaki kekar berkulit hitam itu, kerap juga menolong penduduk yang ditimpa kesulitan, atau mengusir perampok-perampok yang mengganggu ketentraman Desa Keranggan. Sehingga, Kepala Desa Keranggan pun enggan berurusan dengan Sepasang Macan Kumbang itu.
Selama bertahun-tahun malang melintang di Desa Keranggan tak seorangpun mampu mengalahkannya, membuat mereka menjadi tinggi hati. Semula kedua orang itu tidak mau ambil perduli dengan tingkah empat orang aneh tersebut. Namun karena orang-orang itu seperti sengaja mencari keributan, maka kedua orang itupun tak dapat membiarkan mereka.
Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, sudah hilang kesabarannya ketika mendengar permintaan gila Gumilang. Namun karena saat itu hati mereka sedang gembira, sengaja dia bersikap mengalah. Lain halnya dengan Juwana, orang kedua dari Sepasang Macan Kumbang itu. Dari tatapan matanya yang garang, jelas dia tidak dapat menerima perlakuan Gumilang. Begitu tiba di hadapan lelaki berjubah biru gelap yang berdiri diambang pintu kedai, Juwana mengulurkan tangannya dengan maksud menyingkirkan orang aneh itu dari ambang pintu.
Tindakan Juwana itu sama sekali tidak diperdulikan Gumilang. Lelaki berusia empat puluh tahun yang bermata licik itu tetap mematung dan menghalangi jalan. Padahal, saat itu cengkeraman Juwana sudah menyentuh pangkal lengan kanannya. Tapi, ia tidak mengindahkan sama sekali.
Melihat sikap lelaki berjubah biru gelap itu memandang rendah kepadanya, tentu saja Juwana semakin geram. Dicekalnya pangkal lengan lelaki berjubah biru gelap itu. Lalu, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Juwana membetot tubuh lelaki berjubah birru gelap itu sambil mengeluarkan bentakan nyaring!
“Haaah…!”
Sentakan tangannya yang mampu melemparkan tubuh lelaki dewasa itu, kali ini tidak mampu menghempaskan tubuh lawannya. Meskipun diayakin tenaga sentakannya cukup kuat, tapi tubuh Gumilang tetap saja tak bergeser dari tempatnya.
“Bangsat! Hiaaah…!” Bentakan nyaring terlontar dari mulut Juwana. Dengan mengerahkan tenaga yang lebih kuat, tangannya kembali menyentuh tubuh lelaki berjubah biru gelap itu.
“Ha ha ha…!”
Gumilang tertawa mengejek, setelah melihat wajah Juwana bersimbah peluh. Tubuh lelaki berjubah biru gelap itu tetap tidak bergeming, walaupun Juwana telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Kenyataan itu membuat Juwana makin penasaran! Sadar usahanya sia-sia, dia segera melepaskan cekalan tangannya. Begitu cekalannya ditarik pulang, dia langsung mengirim tamparan keras kewajah Gumilang.
Wuuut…!
“Aiiih… hati-hati dengan tamparan itu, Kisanak. Nanti kepalaku bisa pecah…” ejek Gumilang yang segera merundukkan kepalanya dan lenyap dari hadapan lawan.
“Ehhh…!?” Heran bukan main hati orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu. Tampaknya orang berjubah biru gelap itu sengaja mempermainkan Juwana di depan orang banyak. Dicabut golok besar yang terselip dipingganngya. Lalu, diedarkan pandangannya mencari-cari lawannya yang lenyap tanpa bekas itu.
“Apa yang kau cari, Kisanak…?”
Mendengar suara teguran dari belakangnya, Juwana segera membalikkan tubuh dan membabatkan golok besarnya dengan kecepatan tinggi. Kemarahannya telah memuncak, sehingga dia tidak peduli lagi dengan keadaan disekitarnya. Dalam benaknya hanya satu yang diinginkan, yakni membunuh lelaki berjubah biru gelap yang telah mempermalukan dirirnya di depan orang banyak. Maka, gerakan goloknyapun tidak main-main lagi.
Wuuuk… Crakk…!
Terdengar suara berderak ribut ketika golok besarnya membabat tiang penyangga kedai makan itu. Tentu saja runtuhnya atap kedai membuat pengunjung kalang kabut! Serentak mereka berlarian keluar, tanpa memperdulikan keempat orang aneh yang duduk tenang di mejanya.
Kraaagh…!
Juwana dan Jakulapun bergegas melompat keluar dari kedai yang akan roboh itu. Sebab, mereka tidak ingin terkubur hidup-hidup.
“He....he...he…. Menyenangkan sekali dapat bermain-main denganmu, Kisanak. Ayo kita lanjutkan permainan yang menarik tadi….” Ujar lelaki berjubah biru gelap dengan wajah berwarna kebiruan.
Entah kapan datanngya orang itu yang jelas, dia telah berada di belakang Sepasang Macan Kumbang. Hal ini membuat Juwana dan Jakula tersentak seperti melihat hantu di siang bolong! Aneh! Ternyata tidak hanya lelaki berjubah biru gelap itu saja yang telah berada di luar kedai, melainkan ketiga rekannya sudah berdiri di belakang Gumilang. Padahal ketika atap kedai itu runtuh, mereka masih tetap tenang duduk menikmati hidangannya. Tentu saja kenyataan ini membuat hati Sepasang Macan Kumbang terkejut sekaligus gentar!
Jakula dan Juwana sadar kalau lawan yang di hadapinya adalah tokoh-tokoh sakti kalangan persilatan. Keduanya cepat melompat mundur sambil menghunus senjatanya. Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk Hantu Laut itu, tertawa tergelak melihat tingkah Sepasang Macan Kumbang. Dimuka Gumilang tingkah kedua orang jago-jago itu terasa lucu dan menggelitik perutnya. Sehingga ia terkekeh-kekeh berkepanjangan.
DUA
SEPASANG Macan Kumbang bergerak mundur satu setengah tombak. Golok besar yang bagian belakangnya bergerigi tergenggam di tangan mereka dan digerak-gerakkan menyilang di depan dada. Keduanya bersiap-siap menghadapi lawan yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu.
“Hm…. Meski kau memiliki kepandaian seperti iblis neraka, jangan harap kami akan gentar! Majulah, biar kucincang tubuhmu!” bentak Juwana sambil mengobat- abitkan senjatanya. Sementara Jakula, orang tertua dari Sepasang Macan Kumbang, bergerak merenggang. Maksudnya untuk memecah perhatian lawan.
Wuuuk…! Wuuuk…!
Golok besar ditangan Jakula diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara angin menderu-deru. Gumilang, lelaki berjubah biru gelap yang berjuluk Hantu Laut itu, sama sekali tidak memperdulikan tingkah Sepasang Macan Kumbang. Ia malah melangkah kedepan, tanpa peduli dengan golok besar yang berkilat tajam di tangan lawan.
“He he he…! Mengapa kalian tidak langsung maju berdua? Ayolah, janga ragu-ragu,” tantang Gumilang sambil memperdengarkan suara tawanya yang serak.
“Bangsat! Kalau itu memang kemauanmu, terimalah ini! Hiaaat…!” Teriakan nyaring yang dilontarkan orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu diiringi sabetan golok besarnya ke arah leher Gumilang.
Wueeet…!
“Hmh…!” Sambil mengeram dingin, Hantu Laut merundukkan kepalanya disertai geseran kaki kanannya selangkah ke belakang. Secepat kaki itu ditarik, serentak Gumilang melesat kembali ke depan dengan tendangan kilat yang mengejutkan!
Zebbb….!
Tendangan kilat yang mengandung kekuatan hebat itu luput, ketika Juwana memiringkan tubuhnya dengan gerakan berputar. Orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu ternyata cukup sigap. Langsung membarengi gerakannya dengan sambaran golok besarnya. Golok besar yang bergerak menyilang dari bawah keatas itu, membuat Gumilang berseru memujinya. Wajah lelaki berwajah kebiruann ini makin berseri melihat kegesitan lawannya.
Beuuut…!
Sambaran golok besar yang membeset dari bawah ke atas itu, dihindari Gumilang dengan menarik tubuhnya ke belakang. Kemudian disusul dengan gerakan berputar, sekaligus melepaskan tendangan yang mengancam batang leher lawannya. Pada saat bersamaan, Jakula meluncur dengan disertai tebasan golok besarnya. Kemudian senjata itu ditebaskan ke arah kaki Gumilang. Menyadari bahaya yang akan mengancam, lelaki berjubah biru gelap itu terpaksa menarik pulang tendangannya, karena tidak diinginkan kakinya termakan senjata lawan.
Jakula ternyata lebih gesit dari saudaranya. Begitu sambaran golonya luput, pergelangan tangannya berputar cepat. Dan golok besar itu kembali berkelebat menusuk dada musuh. Melihat kedua lawannya cukup ulet, Gumilang menjadi tidak sabar. Dijepitnya golok besar Jakula yang meluncur ke arah dada dengan merangkapkan sepasang telapak tangannya.
Syuuut…! Kreppp!
Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya seperti dijepit baja yang amat kuat! Meskipun telah dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming.
“Heaaah…!”
Syuuut…! Kreppp!
Terkejut bukan main Jakula ketika merasakan goloknya seperti dijepit baja yang amat kuat! Meskipun telah dikerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendorong ujung golok, namun tetap saja goloknya tidak bergeming.
Pada saat Jakula tengah mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong maju ujung goloknya, tiba-tiba Gumilang menyentakkan golok itu dengan sentakan keras yang dialiri tenaga dalam. Senjata itupun melambung terlepas dari genggaman tangan Jakula. Sedangkan tubuhnya terjengkang kebelakang!
“Yeaaah…!”
Jakula tersentak kaget. Sebelum hilang rasa terkejutnya, Gumilang segera melompat disertai dorongan sepasang telapak tangannya ke arah dada lawan yang terbuka lebar!
Wuuut…! Blaggg…!
“Huaaakh…!”
Darah segar terlompat dari mulut Jakula, ketika sepasang tangan lawan menghantam dadanya dengan telak. Tubuh lelaki kekar itu terlempar bagai sehelai daun kering yang diterbangkan angin!
Brusssh…!
Tubuh Jakula meluncur dan menjebol bilik rumah penduduk yang berada tiga tombak di belakanngya!
“Huaaakh…!” Jakula bangkit. Dan memuntahkan darah berwarna kehitaman. Pertanda lelaki kekar itu mengalami luka dalam yang parah!
Melihat saudaranya terluka, Juwana bertambah kalap. Orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu, langsung melompat seraya mengibaskan golok besarnya. Lawan yang dihadapi Sepasang Macan Kumbang kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Buktinya, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Juwana, dapat dielakkan lelaki berjubah biru gelap itu dengan gampang. Bahkan tepisan telapak tangannya sempat membuat Juwana terbuyung mundur. Itu terjadi setiap kali Gumilang bergeak menepis sambaran golok besar lawannya.
Melihat dari cara Gumilang yang jelas-jelas telah mempermainkan lawannya. Sehingga membuat dada Juwana menyadari dirinya diporak porandakan lawannya. Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia dihina dan dipermainkan dihadapan orang yang menonton pertarungan tersebut. Sikap lawannya itu membuat dia berang dengan serangannya makin ganas dan berbahaya!
“Hiaaat…!” Teriakan marah dan mengguntur itu dilontarkan Juwana, seraya berusaha mendesak lawannya.
Bettt! Bettt!
Golok besar di tangannya digerakkan dengan menggunakan tenaga dalam menyambar berkali-kali. Kelebatan golok orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu diiringi suara angin berkesiutan.
Namun semakin gencar Juwana melancarkan serangan-serangan tidak membuat lawannya terdesak. Bahkan sebaliknya ketika Gumilang mulai melancarkan serangan balasan, orang termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu terdesak hebat! Gerakan Gumilang yang cepat dan terlihat aneh itu, benar-benar membuat Juwana kewalahan! Tidak sampai lima jurus, sebuah gedoran telapak tangan lawan tidak sempat dielakkannya.
Wuuut…!Blaggg…!
“Hukhhh…!”
Hantaman telapak tangan Gumilang telah menghajar dada kanan Juwana. Lelaki kekar itu terpekik kesakitan. Kontan tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak kebelakang.
Brakkk…!
Pohon sebesar pelukan orang dewasa yang ada di belakang tubuh Juwana, berderak keras ketika tertimpa tubuh lelaki kekar berkumis hitam itu. Tubuh Juwana melorot jatuh bersamaan dengan luruhnya daun-daun pohon akibat benturan tubuhnya. Antara sadar dan tidak, lelaki kekar itu mengeluh lirih. Tampak di sudur bibirnya mengalir cairan kental berwarna merah!
Gumilang melangkah lebar menghampiri tubuh Jakula yang tergeletak pingsan. Tanpa rasa kasihan sedikitpun, diseretnya tubuh orang pertama dari Sepasang Macan Kumbang itu. Kemudian dilemparkannya disamping tubuh Juwana. Lelaki termuda dari Sepasang Macan Kumbang itu mengerang kesakitan. Cairan berwarna merah kehitaman kembali mengalir dari sudut mulutnya.
“Apa yang hendak kau perbuat terhadap keduaorang berkulit hitam itu, Kakang…?” tanya lelaki berjubah hijau yangbernamaSuraLejang,serayamelangkahmendekati Gumilang yang tengah berdiri menatapi dua sosok tubuh tak berdayaitu. “He... he... he…! Aku akan mencoba keampuhan ramuan racun-racun terbaruku. Kau boleh menebaknya, Adi Suro Lejang. Menurutmu, apa yang akan dialami kedua Macan Kumbang itu, bila cairan ini kusiramkan ke tubuh mereka?” ucap Gumilang tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun. Seolah-olah bukan manusia yang menjadi sasaran untuk menguji keampuhan racunnya itu.
“He he he…! Cepatlah kau siramkan, Kakang. Aku rasa, mereka pasti berkelojotan bagaikan ayam disembelih. Sebuah pertunjukan yang pasti menggembirakan,” ujar Suro Lejang dengan wajah berseri-seri.
Orang-orang berpenampilan aneh itu tampaknya sudah kehilangan perasaan kemanusiaannya. Bagi mereka penderitaan orang lain adalah sebuah tontonan yang menarik dan menyenangkan.
Dengan disaksikan ketiga orang kawannya dan belasan orang penduduk Desa Keranggan, Gumilang meneteskan cairan berwarna biru ke tubuh Juwana dan Jakula. Terdengar tawa iblisnya ketika ia menyelipkan kembali botol kecil, sebesar ibu jari ke dalam lipatan sabuk yang melilit pinggangnya.
“Aaargh….!”
Jakula dan Juwana meraung keras sekali setelah cairan itu membasahi tubuhnya. Asap tipis berbau busuk mengepul disertai jerit kesakitan Sepasang Macan Kumbang itu. Tubuh mreka berkelojotan menahan rasa sakit yang luar biasa! Diraut wajahnya yang berkerut-kerut itu, tergambar jelas siksaan yang hebat.
Cairan berwarna biru itu memang mengerikan seklai. Bila cairan itu diteteskan ke tubuh seseorang, maka membuat pakaiannya akan berlubang. Bahkan daging tubuhnya pun akan berlubang dan terbakar. Seperti yang dialami Sepasang Macan Kumbang itu.
Zesss…!
Terdengar suara berdesis seiring makin melebarnya cairan berwarna biru itu menimpa tubuh mereka. Semakin lama kepulan asap tipis berbau busuk itu, semakin dalam pula lubang ditubuhnya. Akhirnya sekujur tubuh Sepasang Macan Kumbang itu terbakar dan berlubang. Bagaikan binatang buas pemakan daging, cairan itu terus melebar dan menggerogoti daging Jakula dan Juwana. Sehingga seluruh daging kedua orang itu lebur. Yang tersisa, hanya tulang belulang berwarna kehitaman dan berbau busuk.
“Aaah…!”
Beberapa penduduk Desa Keranggan yang menyaksikan korban perbuatan keji empat orang aneh itu,terpekik dengan wajah pucat pasi. Tanpa sadar mereka melangkah mundur. Bahkan, ada beberapa orang lari meninggalkan tempat mengerikan itu. Mereka takut kalau-kalau kejadian itu merembet dan menimpa dirinya.
Sementara keempat orang aneh yang mempunyai sifat kejam seperti iblis itu tertawa terbahak-bahak. Kematian Sepasang Macan Kumbang yang mengerikan itu telah membuat hati mereka merasa puas dan bahagia sekali.
“Ha ha ha…! hebat sekali penemuan barumu itu, Kakang Gumilang. Tapi, sudahkah ramuan itu kau beri nama?” tanya lelaki kurus berjubah kuning pucat yang bernama Sangkuni.
“Ha ha ha…! Tentu saja sudah, Adi Sangkuni. Racun ini kunamakan ‘Carian Neraka’. Cairan beracun ini kelak akan kuperbanyak, agar kau lebih sering menikmati tontonan yang menggembirakan seperti ini,” sahut Gumilang dengan nada penuh kebanggaan. Jelas ia merasa puas sekali dengan hasil yang diperolehnya itu.
“He he he…!” Bukan kau saja yang telah menciptakan racun baru seperti itu, Kakang Gumilang. Akupun telah berhasil membuat racun yang tak kalah hebat dari racunmu,” ujar Suro Lejang sambil mengeluarkan sebuah bumbung bambu dari balik bajunya. Kemudian ia menolehkan kepalanya kearah beberapa penduduk yang masih berada di tempat itu.
Lima belas orang penduduk Desa Keranggan yang terpaku menyaksikan kejadian itu, menjadi pucat ketika melihat tatapan mara orang aneh itu! Tubuh mereka gemetar, kemudian mereka melangkah mundur ketika melihat sorot mata Suro Lejang seperti mata seekor harimau buas itu. tatapan itu tentu saja membuat mereka ketakutan setengah mati!
“He he he…! Kalian cepat maju kemari. Aku akan memberi hadiah yang sangat menarik buat kalian semua. Ayo kemari, jangan takut-takut…” Bujuk Suro Lejang sambil menatap tajam penduduk Desa Keranggan.
“Ampun, Tuan… ampun…!” ucap seorang lelaki berkumis lebat yang menjadi sasaran Suro Lejang. Kedua lututnya gemetar, membuat dirinya terpaku dan tak bisa meninggalkan tempat itu. keringat dingin mengucur deras membasahi pakaiannya. Dan, dari sela-sela pahanya tampak mengucur carian berbau tak sedap. Jelas kalau lelaki itu dilanda ketakutan yang sangat hebat.
Lelaki berpakaian serba hijau itu terkekeh gembira melihat tingkah laku orang itu. Ketakutan dan ketidak- berdayaan calon korbannya membangkitkan rasa bahagia tersendiri di hatinya. Sehingga tawanya pun semakin nyaring dan keras.
“Berhenti….!” Bentak Suro Lejang, ketika mendengar suara langkah kaki beberapa orang yang hendak meninggalkan tempat itu. “Kalau kalian tidak ingin kubuat menyesal telah dilahirkan ke dunia, tetaplah tinggal di tempat!Bagi yang membantah akan kusiksa sampai mati!” ancam lelaki berpakaian serba hijau itu dengan sepasang mata mencorong tajam.
Melihat kebengisan yang terpancar di wajah Suro Lejang. Jelas kalau ancaman itu bukan sekadar gertakan belaka. Delapan orang penduduk Desa Keranggan yang semula hendak meninggalkan tempat itu, segera menghentikan langkahnya. Namun empat orang di antaranya berbuat nekat. Mereka melarikan diri tanpa menghiraukan ancaman lelaki berpakaian serba hijau itu.
“Keparat…!” maki Suro Lejang marah, ketika empat orang penduduk itu kabur.
Belum gema suara makiannya lenyap, tubuh Suro Lejang sudah melesat dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Gerakan yang dilakukan lelaki bengis itu sangat cepat sekali. Sehingga, dalam sekejapan mata, kedua kakinya telah mendarat sejauh dua batang tombak di depan keempat orang penduduk itu.
“Aaah…!”
Karuan saja keempat penduduk Desa Keranggan yang hendak melarikan diri itu terkejut setengah mati! Serasa copot jantung mereka ketika melihat lelaki berpakaian serba hijau yang berwajah bengis itu telah berdiri menghadang jalan mereka.
“Ampunilah kami, Tuan… Kami mengaku salah… ampun, Tuan…”
Keempat orang penduduk desa itu langsung menjatuhkan dirinya berlutut, dan meratap mohon ampun. Tubuh mereka gemetar hebat melihat sinar mata yang sangat mengerikan dari lelaki bengis itu.
“Kalau memang kalian telah mengaku bersalah, bangkitlah!Jangan takut. Aku tidak akan menyakiti kalian. Bahkan akan kuberi hadiah-hadiah yang sangat menarik atas keberanian kalian meninggalkan tempat ini,” sahut Suro Lejang tersenyum sinis, seraya melangkah maju mendekati keempat orang yang tengah dilanda ketakutan hebat itu.
Mendengar ucapan bernada lembut dan terdengar manis itu, keempat orang penduduk itu pun serentak mengangkat wajahnya. Seolah-olah mereka hendak memastikan kalau lelaki berpakaian serba hijau itu memang benar-benar tidak marah.
“He he he… Bagus… bagus… Pandanglah wajahku. Apakah diriku terlihat seperti orang jahat?” ucap Suro Lejang sambil memamerkan senyumnya. Jemari tangan Suro Lejang meraih kantung kain dibalik pakaiannya. Dikeluarkannya empat butir pil berwarna hijau. Lalu, diberikannya kepada keempat penduduk Desa Keranggan itu.
“Telanlah obat ini. Niscaya tubuh kalian akan bertambah kuat. Dan tenaga kalianpun akan menjadi berlipat ganda,” bujuk Suro Lejang mengangsurkan empat butir pil ditangannya kearah empat orang itu.
Suro Lejang kembali memamerkan senyum manisnya ketika melihat kepala orang-orang itu menggeleng, dan menolak pil yang diangsurrkannya. Karena tidak sabar melihat empat orang itu masih tetap menggelengkan kepalanya, meski telah dibujuk baik-baik. Maka,terpaksa ia menjejalkan pil-pil itu ke dalam mulut empat orang penduduk yang tidak mampu untuk menolaknya lagi.
“Nah, begitu baru enak…!” tawa Suro Lejang kembali menggema ketika melihat pil-pil itu ditelan keempat orang warga Desa Keranggan.
Tidak berapa lama setelah pil-pil itu memasuki kerongkongan mereka, terdengar keluhan-keluhan kesakitan dari mulut keempat orang itu. Masing-masing dari mereka memegangi lehernya erat-erat. Sepasang mata mereka terbelalak seolah-olah hendak melompat keluar dari tempatnya.
“Aiiir… aiiir… Hauuus….!”
Keempat orang penduduk Desa Keranggan itu berteriak-teriak parau sambil memegangi lehernya. Sebab, kerongkongan mereka terasa sangat kering dan panas. Bahkan bibir keempat orang penduduk desa yang sial itu telah pecah-pecah, akibat rasa panas yang menjalari leher dan wajah mereka.
Melihat keadaan keempat orang itu, Suro Lejang dan ketiga orang kawannya tertawa terbahak-bahak. Jelas sekali kalau mereka sangat gembira melihat penderitaan penduduk desa yang tengah sekarat itu. Tawa keempat orang aneh yang kejamnya luar biasavitu terdengar semakin keras, ketika tubuh keempat orang desa itu mulai bergulingan dan berkelojotan menahan rasa sakit yang sangat.
“Ha ha ha…! Kau lihat itu, Kakang Gumilang! Nampaknya mereka sudah semakin menikmati pil pemberianku!” seru Suro Lejang ketika melihat mulutckeempat orang itu mengeluarkan buih berwarna kehijauan.
Gumilang, Sangkuni, dan lelaki berpakaian serbacmerah yang bernama Lawa Gurintang, tertawa semakin keras ketika menyaksikan pemandangancitu. Tubuh-tubuh sengsara yang berkelojotan itu meregang nyawa itu, rupanya menimbulkan kegembiraan di hati mereka. Tawa keempat orang berwatak iblis itu baru terhenti setelah keempat orang pendduk desa yang malang itu menghembuskan napasnya. Penderitaannya yang menyiksa itu lenyap bersamaan dengan keluarnya roh keempat orang malang itu.
TIGA
"Jahanam! Siapa yang telah melakukan perbuatan biadab ini?”
Suara bentakan nyaring, tiba-tiba terdengar disusul munculnya seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun. Sorot matanya yang tajam tertuju kepada empat orang lelaki berpakaian menyolok itu. Di belakang lelaki tua itu, tampak belasan orang mengenakan seragam putih mengiringinya. Jelas lelaki tua yang masih gagah itu merupakan orang penting di Desa Keranggan.
“He he he… Siapakah kau, Orang Tua? Mengapa memandangi kami seperti itu? Apakah kau manuduh kami yang melakukannya?” bentak lelaki kurus berwajah kuning pucat seraya melangkah maju beberapa tindak. Dan sepasang matanya menyipit menatap wajah lelaki tua itu.
“Hm…. Rupanya kalian orang baru di desa ini. perlu diketahui bahwa aku adalah Ki Bongol. Dan, Desa Keranggan beserta warganya merupakan tanggung jawab- ku. Karena akulah Kepala Desa di sini! Mengapa kalian menghukum wargaku demikian kejam? Apa salah mereka terhadap kalian?” ujar lelaki tua yang bernama Ki Bongol itu menuntut jawaban.
Lelaki berpakaian kuning pucat yang tak lain Sangkuni, tertawa terbahak-bahak. Sikap yang ditunjukkan itu jelas menghina, tak heran wajah Ki Bongol berubah merah menahan geram.
“Ketahuilah, Ki Bongol. Kami adalah Empat Iblis Lembah Beracun. Kehadiran kami didesa ini, meringankan tugasmu. Karena itu kau boleh beristirahat menjadi Kepala Desa. Serahkan saja segala urusan di desa ini kepada kami. Dan semua akan beres,” ujar Sangkuni sambil berkacak pinggang.
Jawaban yang sangat kurang ajar itu tentu saja membuat pengawal Ki Bongol geram. Kalau saja lelaki tua itu tidak keburu mencegah, tentu pengawal Kepala Desa Keranggan yang marah itu sudah melancarkan serangan kearah lelaki berwajah pucatcyangcberanicberlakuckurang ajar terhadap pimpinannya.
“Hm… Sudah kuduga kedatangan kalian di desa ini mengandung niat tidak baik. Sekarang kau dan ketiga kawanmu itu boleh pilih! Tinggalkancdesa ini,atauterpaksa aku menggunakan kekerasan untuk mengusir kalian?” ancam Ki Bongol tegas.
Sambil berkata demikian, lelaki tua yang masih nampak gagah itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Dan matanya menatap tajam kearah tamu yang telah mengganggu ketentraman desanya.
“Huh! Kau terlalu bertele-tele, Adi Sangkuni! Sudah, bunuh saja orang tua tak berguna itu habis perkara!” ujar Suro Lejang yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu.
Sangkuni yang semula masih hendak menanggapi ucapan Ki Bongol, sejenak menoleh kearah Suro Lejang. Lalu, kembali berpaling menghadap Kepala Desa Keranggan. Sepasang matanya tampak berkilat penuh ancaman!
Ki Bongol sadar tatapan Sangkuni mengandung ancaman maut. Cepat ia mengibaskan tangannya sebagai perintah kepada para pengawalnya untuk mengepung keempat ibls itu. Sementara, ia sendiri sudah meloloskan pedangnya dan menghadapi Sangkuni.
“Hm….!” Sambil menggeram gusar, Sangkuni yang berjuluk Iblis Muka Mayat mengibaskan tangannya kedepan.
Wuuut…!
Serangkum angin pukulan berhembus amat kuat, diiringi hawa busuk yang memualkan perut. Mencium adanya hawa beracun dari pukulan lawan, Ki Bongol melompat kesamping. Kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya, disertai sambaran pedanngya mengancam tubuh lawan.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali melompat, Ki Bongol langsung mengirimkan serangkaian serangan yang cepat dan susul menyusul! Gerakan lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu, ternyata masih sangat berbahaya!Sehingga Sangkunipun sempat berdecak kagum. Lawan yang dihadapi Ki Bongol kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Tak mengherankan ketika Sangkuni melancarkan serangan balasan, lelaki setengah baya itu terdesak hebat!
Namun, Ki Bongol bukanlah jenis orang yang mudah menyerah! Meskipun ia sadar akan kehebatan lawannya, tapi lelaki tua itu tidak gentar sedikitpun. Pedang ditangannya terus berkelebatan guna mengatasi serangan lawan. Perlawanan Kepala Desa Keranggan itu membangkitkan amarah Sangkuni. Ketika pertarungan memasuki jurus kedua puluh tiga, Iblis Muka Mayat melepaskan pukulan berantai yang membuat Ki Bongol kelabakan!
“Haiiit…!” Buggg…!
Serangan lawan yang cepat dan susul menyusul itu membuat Ki Bongol terpaksa menerima pukulan lawan berkali-kali didadanya, tanpa dapat dielakkan.
“Huaaakh…!”
Tubuh lelaki setengah baya itu langsung terjungkal ke belakang! Darah kental berwarna kehitaman muncrat dari mulutnya. Dan tubuh Ki Bongol pun rebah ketanah.
“Ki Bongol…!”
Teriak dua orang lelaki gagah yang merupakan pengawal utama Kepala Desa Keranggan. Mereka serentak menghambur kearah tubuh kepala desanya. Hati mereka terkejut ketika melihat orang tua itu sudah tidak bernapas lagi. Dadanya yang terkena hantaman telapak tangan lawan, tampak hangus bagaikan terbakar!
“Bangsat! Pembunuh keji, terimalah pembalasanku!” teriak seorang berkumis tebal. Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat menerjang Sangkuni.
Wuuut!
Tusukan pedangnya luput ketika Sangkuni memiringkan tubuhnya sedikit. Tanpa membuang waktu lai, lelaki berwajah pucat itu mengirimkan pukulan keras ke arah kepala lawannya!
Prakkk!
Tanpa sempat berteriak, tubuhnya langsung roboh dan tewas seketika. Karena pukulan Sangkuni telah memecahkan batok kepalanya!
Begitu lawannya roboh, Sangkuni merasakan sambaran angin tajam dari belakanngya. Ia cepat merundukkan kepala. Sambil berbalik, Iblis Muka Mayat menjatuhkan tubuhnya dan langsung mengirimkan tendangan kilat ke ulu hati pembokonngya.
Buggg…!
“Hukhhh…!” Pengawal Ki Bongol itu, kontan terjengkang hingga dua tombak!Tubuhnya berkelojotan menahan rasa sakit pada ulu hatinya. Sesaat kemudian tubuhnya diamtak bergerak! Setelah ketiga lawannya menjadi mayat, Sangkuni mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu,tawa iblisnya meledak ketika melihat mayat para pengawal Ki Bongol yang berpakaian serba putih telah tewas bergelimpangan.
“Hm…. Kau terlalu lamban, Adi Sangkuni. Lihat, para pengawal lelaki tua itu telah menjadi mayat, selagi kau menghadapi lawan-lawanmu,” ujar Suro Lejang tertawa terbahak-bahak.
“Ahhh, itu tidak penting, Kakang Suro Lejang. Sekarang lebih baik kita kumpulkan seluruh penduduk Desa Keranggan ini. Lalu, kita umumkan kepala desa yang baru. Siapa lagi, kalau bukan Kakang Lawa Gurintang sebagai kepala desa yang baru!” teriak Sangkuni sambil memandang lelaki tinggi besar berjubah merah yang merupakan orang pertama dari Empat Iblis Lembah Beracun itu.
“Hm… Kalau begitu, apalagi yang kalian tunggu? Cepat kumpulkan orang-orang desa ini! siapa saja yang berani membantah bunuh!” ujar Lawa Gurintang dengan suara dingin.
Mendengar perintah itu, Sangkuni, Suro Lejang serta Gumilang, bergegas menyebar. Kemudian, mereka telah kembali sambil menggiring orang-orang Desa Keranggan ke tanah lapang di depan balai desa. Setelah mereka berkumpul, Sangkuni tampil menghadapi warga desa yang hanya dapat pasrah itu.
“Seluruh warga Desa Keranggan, dengarkan baik-baik! Mulai saat ini, yang menjadi kepala desa kalian adalah Lawa Gurintang! Semua perintah dan peraturannya harus dipatuhi. Siapa saja yang berani membantah, akan dibunuh tanpa ampun!” seru Sangkuni yang membuat semua kepala warga desa itu tertunduk dalam.
Usai menyampaikan semua rencananya, Empat Iblis Lembah Beracun itu segera meninggalkan halaman balai desa. Sedangkan kerumunan warga Desa Keranggan itu dibubarkan, setelah sebelumnya memilih beberapa gadis desa sebagai pemuas nafsu iblis mereka. Sambil tertawa tergelak, Empat Iblis Lembah Beracun melangkah ke arah sebuah rumah besar. Tempat kediaman Kepala Desa Keranggan yang lama yaitu Ki Bongol.
********************
Empat orang lelaki gagah itu bergegas menerobos semak belukar. Mereka bergerak dan memasuki Hutan Keranggan. Melihat wajah-wajah mereka yang pucat, jelas, keempat orang gagah itu tengah menderita luka. Langkah-langkah kaki merekapun terlihat oleng.
“Huaaakh…!”
Lelaki yang berjalan paling belakang, tiba-tiba terguling dan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Wajahnya nampak semakin memucat. Melihat gerakan tubuhnya, ia tidak mampu lagi berdiri. Jelas ia tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan.
“Adi Lungga…!”
Ketiga orang lelaki gagah lainnya serentak berbalik dan menghambur ke arah orang yang bernama Lungga itu. serentak mereka menjatuhkan diri disamping tubuh lelaki berusia tiga puluh tahun yang tergeletak lemah itu.
“Maaa… maafkan aku, Kakang… Aku… Aku tid… tidak sanggup lagi. Larilah kalian. Jangan hiraukan aku…” Ucap Lungga terbata-bata. Nampak lelaki muda itu sangat sukar mengeluarkan ucapannya. Desah napasnya makin melemah, membaut ketiga orang lainnya saling berpandangan satu sama lain.
“Tapi, kami tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, Adi. Kami… kami harus membawamu,” ujar seorang dari ketiga lelaki gagah itu, sambil membelai kening Lungga yang basah oleh peluh.
“Tidak, Kakang Guraba. Kakang bertiga harus selamat dari kejaran iblis itu. Cepatlah, sebelum racun yang mengeram di dalam tubuh kalian menyebar ke seluruh tubuh. Ingatlah! Waktu yang kalian miliki hanya sampai tengah hari. Setelah itu, kalian tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup. Bila hal itu sampai terjadi, habislah kesempatan kita untuk melenyapkan manusia-manusia iblis itu. Dan itu berarti kakang bertiga telah mengecewakan harapanku,” ucap Lungga dengan suara lirih.
“Adi…!” Guraba berseru keras sambil mengguncang-guncangkan tubuh adik seperguruannya. Namun Lungga telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Kepalanya terkulai dalam pangkuan Guraba.
“Bedebah kalian, Iblis-iblis Lembah Beracun! Aku bersumpah akan membalas kematian adik seperguruanku ini!” geram Guraba dengan sepasang mata berkilat tajam. Sementara dua orang lainnya tak mampu berkata-kata, kecuali menundukkan wajahnya dalam-dalam. Jelas kedua orang itu sangat terpukul dengan kematian Lungga. Ketiga orang lelaki gagah itu tengah tenggelam dalam duka, tiba-tiba terdengar langkah kaki ke arah mereka. Ketiganya kaget dan seling berpandangan dengan wajah pucat!
“Kalian berdua larilah. Biar aku yang menghadapi manusia keparat itu!” ujar Guraba dengan suara parau.
“Jangan bodoh, Kakang! Kita berempat saja tidak mampu melawan mereka, apalagi Kakang sendiri. Ingat pesan Adi Lungga! Dia menghendaki agar kita bertiga selamat, dan kelak kita membuat perhitungan dengan mereka. Apakah Kakang tega membiarkan arwah adik seperguruan kita itu tidak tenang? Ayolah kita tinggalkan tempat ini. jangan turuti hawa nafsu yang dapat mencelakakan kita!” bujuk salah seorang yang usianya lima tahun lebih muda dari Guraba.
Kedua sisi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu tampak cemas. Terlebih suara langkah kaki orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar jelas. Guraba yang memang sangat menyayangi adik seperguruannya itu, termenung ketika mendengar ucapan tersebut. Jelas sekali ucapan itu mengena dihatinya. Terbukti ia menolehkan kepalanya dengan gerakan perlahan.
“Lalu, bagaimana dengan Adi Lungga….?” Tanya Guraba bagaikan orang bodoh. Padahal, biasanya dia yang selalu membimbing adik-adik seperguruannya dalam segala hal. Namun kematian Lungga membuat pikiran lelaki gagah itu buntu. Ia tidak tahu lagi harus bebuat apa.
“Terpaksa kita tinggalkan, Kakang. Sebab,jangankan membawa beban, untuk menyelamatkan diri sendiri saja sudah sangat sulit. Apalagi tenaga yang kita miliki sudah semakin susut. Dan, aku yakin Adi Lungga pun dapat memaklumi kesulitan kita,” sahut orang ketiga ikut menimpali. Wajahnya yang berbentuk persegi dengan tarikan bibir menggambarkan kekerasan hatinya itu. Meskipun demikian, nada ucapannya terdengar pelan. Biar bagaimanapun ia memaklumi seberapa besar rasa sayang Guraba terhadap Lungga.
“Tapi….” Guraba rupanya hendak membantah. Ia masih merasa berat untuk meninggalkan mayat adik seperguruannya yang paling bungsu itu.
“Kakang! Kita tidak mempunyai waktu lagi! Dan kalau memang kita tidak mau meninggalkan tempat ini, biarlah kita hadapi mereka bersama-sama! Aku pun tidak takut mati dalam menegakkan keadilan!” Sambil berkata demikian, lelaki kedua yang bernama Pradana itu melangkah dan berdiri tegak disebalah kanan Guraba.
Mendengar ucapan bernada keras yang jelas membayangkan kekerasan hati itu, membuat Guraba tersentak kaget. Dan, sikap yang ditunjukkan Pradana itu membuatnya sadar terhadap ketololan yang dibuatnya.
“Maafkan aku, adi. Seharusnya aku tidak bersikap setolol ini. Mari kita pergi….” Ujar Guraba. Dengan perasaan sedih Guraba melangkah meninggalkan tempat itu. Sesekali kepalanya menoleh kearah tubuh Lungga yag terbujur kaku. Jelas hatinya masih diliputi kesedihan yang mendalam dan tidak tega meninggalkan mayat adik seperguruannya yang paling bungsu itu.
Melihat Guraba sudah melangkah hendak meninggalkan tempat itu, bergegas kedua orang adik seperguruannya mengikuti. Kekesalan diwajah Pradana lenyap ketika melihat wajah kakak seperguruannya masih diliputi rasa duka. Sayang, tindakan ketiga orang lelaki gagah itu terlambat! Di hadapan mereka telah berdiri sesosok tubuh berjubah kuning pucat!
“Iblis Muka Mayat…!”
Seruan Guraba dan Pradana hampir bersamaan. Serentak ketiganya melangkah mundur dengan wajah pucat! Kehadiran tokoh sesat berwatak iblis itu, melenyapkan harapan mereka untuk lolos dari kejarannya.
“He he he…. Mau lari ke mana kalian, Tikus-tikus Busuk? Jangan mimpi dapat lolos dari kematian! Karena kalian telah mencoba melarikan diri, maka kematian kalian semakin menyakitkan,” ujar Sangkuni.
Meskipun ucapan yang dikeluarkannya terdengar penuh ancaman, namun wajah lelaki berwajah pucat itu terlihat gembira. Seolah-olah ia tidak berhadapan dengan musuh, melainkan dengan seorang sahabat. Guraba sudah mengetahui keanehan sifat lawannya, tentu saja menjadi berdebar tegang! Makin gembira hati lelaki kurus itu, semakin menyakitkan cara kematian yang mereka terima. Bayang-bayang yang mengerikan itu memenuhi benak Guraba dan kedua adik seperguruannya.
“Ha ha ha… Lihatlah, Anak-anak.Aku akan memberikan tontonan yang menarik untuk kalian,” ucap Sangkuni kepada belasan pengikutnya yang telah mengepung ketiga pendekar itu.
Sambil memperdengarkan tawanya yang mengekeh. Iblis Muka Mayat mengeluarkan benda kecil berbentuk pipih dari lipatan sabuknya. Guraba dan kedua orang adik seperguruannya memperhatikan benda yang berada di tangan lelaki berwajah pucat itu. Dada mereka berdegup keras ketika melihat Sangkuni menempelkan benda kecil dibibirnya.
Sesaat kemudian, terdengarlah siulan lembut bernada aneh. Suara itu terus menyelusup keseluruh hutan dengan irama yang sangat asing bagi telinga ketiga pendekar itu. Sesaat kemudian, terdengarlah suara berkeresekan di sekeliling tempat itu. Denyut jantung ketiga lelaki gagah itu berdegup keras! Tampak dari segala penjuru semak belukar bermunculan ratusan ekor tikus dan bergerak mengurung Guraba serta kedua orang adik seperguruannya. Tentu saja hal itu membuat wajah mereka pucat dengan mata terbelalak.
“Hah….!”
Ketiga orang pendekar itu gemetar hebat! Ratusan ekor tikus ganas itu bergerak kearah mereka.
“Ba… bagaimana… ini, Kakang…?” ucap Pradana dengan suara gemetar karena rasa ngeri yang mencengkeram hatinya, seraya merapatkan tubuhnya ke Guraba.
Guraba, lelaki gagah berusia lima puluh tahun merupakan orang pertama dari Empat Pendekar Gunung Larang, tidak sempat menyahuti ucapan Pradana. Sebab, dirinya sendiri tengah dilanda rasa ngeri dan jijik!
Sangkuni yang menyaksikan ketiga orang pendekar yang tengah dilanda ketakutan hebat, tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian ia meniup kembali benda kecil yang mengeluarkan irama aneh itu. Serentak ratusan ekor tikus buas dengan mata berwarna merah berlompatan dan saling berebut menerjang ketiga orang pendekar itu.
EMPAT
“Aaa….!”
Guraba dan Pradana dengan napas tersenggal-senggal, serentak menoleh ke belakang. Bukan main ngeri hati mereka menyaksikan pemandangan itu. Tubuh adik seperguruannya yang berada dibelakangnya, tampak tengah berkelojotan, dikeroyok ratusan ekor tikus buas! Sehingga tubuhnya lenyap terselimuti tikus-tikus yang tengah menjadi gila akibat irama tiupan yang masih terus diperdengarkan Sangkuni.
“Heaaat…!”
Kedua orang lelaki gagah yang tengah dilanda kengerian hebat itu juga tak luput mendapat serangan tikus-tikus hutan yang ganas itu, mereka mengibaskan kedua tangan dan kakinya. Namun, kawanan tikus-tikus buas itu tetap saja menyerangnya meski beberapa di antaranya mati akibat pukulan dan tendangan kedua orang itu.bBinatang-binatang menjijikkan itu terus saja merangsek maju menerjang Guraba dan Pradana.bDi tengah sibuknya Guraba dan Pradana mempertahankan selembar nyawanya dari ancaman tikus-tikus buas itu, tiba-tiba melayang sosok bayangan putih menyambar lengan kedua orang itu.
“Haiiit…!”
Setelah berhasil menangkap lengan Guraba dan Pradana, sosok bayangan putih itu berseru nyaring. Tubuhnya kembali melambung dan berjumpalitan beberapavkali diudara bagai seekor burung raksasa. Sosok bayangan putih melayang hingga beberapa tombak dari tempat itu. Dengan gerakan yang ringan, tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun, sosok tubuh itu mendaratkan kakinya ditempat yang aman.
Setelah menurunkan tubuh kedua orang lelaki gagah yang ditolongnya, tangan sosok bayangan putih itu berkelebat cepat. Beberapa ekor tikus yangvmasihvmenempel di tubuh Guraba dan Pradana, kontan berjatuhan tewas. Tanpa sadar Guraba dan Pradana masih berteriak-teriak bagaikan orang gila. Jelas jiwa mereka terguncang dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
Menyaksikan kedua orang lelaki gagah itu terus menjerit-jerit dan berlompatan bagai orang kerasukan setan, kedua tangan sosok berjubah putih itu kembali bergerak. Totokan-totokan kilat yang dilancarkannya membuat Guraba dan Pradana melorot jatuh tak sadarkan diri.
“Kenanga! Bawa kedua orang itu pergi. Biar aku sendiri yang menghadapi manusia-manusia jahat itu…!” seru sosok berjubah putih kepada dara jelita berpakaian hijau yang selebar wajahnya tampak memucat.
Gadis jelita yang bernama Kenanga itu, melangkah maju meski hatinya diliputi rasa jijik. Rupanya terguncang juga pendekar jelita itu ketika melihat ratusan ekor tikus buas bergerak ke arah mereka.
Sosok berjubah putih yang sudah pasti Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu, bergegas menyambar Guraba dan Pradana. Lalu, dihampirinya Kenanga yang tengah melangkah ragu. Diberikannya tubuh kedua orang lelaki itu kepada kekasihnya.
“Kenanga, pergilah dan cari tepat yang aman. Aku akan mengacaukan binatang-binatang menjijikkan itu. Kalau tidak, mereka akan mengejar kita terus,” ujar Panji yang segera membalikkan tubuhnya menghadapi ratusan ekor tikus yang hanya tinggal tiga tombak didepannya.
“Hmh…!” Terdengar geraman lirih dari mulut pemuda tampan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua tangannya bergerak saling susul menyusul melancarkan pukulan jarak jauh!
Blarrr…!
Ledakan keras terdengar saling susul menyusul, ketika pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Pendekar Naga Putih memporak porandakan tikus-tikus buas itu. Dan serentak puluhan ekor tikus buas terlempar dalam keadaan tak berbentuk. Darah segar memercik dan menebarkan bau amis yang memualkan perut.
Rupanya binatang-binatang menjijikkan itu merasa gentar juga terhadap amukan Pendekar Naga Putih. Mereka berhenti bergerak dan matanya menatap tajam ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Namun irama siulan yang kembali dialunkan Sangkuni, membuat ratusan ekor tikus itu tersentak gelisah. Meskipun demikian, binatang-binatang buas itu tak satupun menyerang Pendekar Naga Putih. Seolah-olah naluri mereka menangkap adanya bahaya yang terpancar dari tatapan mata pemuda tampan berjubah putih. Sehingga,tikus-tikus buas itu hanya berkeliaran didepan Pendekar Naga Putih dengan gerakan gelisah.
Pendekar Naga Putih sadar, ratusan tikus itu menjadi buas dan liar karena siulan dari lelaki kurus berwajah pucat itu. Maka, ia segera bergegas melompat ke arah Sangkuni. Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melancarkan serangan berbahaya ke arah Iblis Muka Mayat!
Wuuut…! Wuuut…!
Sangkuni yang semula menganggap remeh pemuda tampan berjubah putih itu, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Hembusan angin pukulan yang menderu itu, membuat Sangkuni sadar bahwa serangan pemuda tampan berjubah putih itu tidak bisa dianggap main-main. Tubuhnya segera bergerak ke kiri menghindari hantaman telapak tangan lawan. Namun gerakan yang dilakukan Iblis Muka Mayat itu terlambat. Sehingga, sebuah tamparan yang menyusul hantaman telapak tangan mendarat telak di bahu Iblis Muka Mayat!
Desss…!
Pukulan keras itu membuat tubuh Sangkuni terjengkang, hingga dua batang tombak jauhnya. Tokoh termuda dari Empat Iblis Lembah Beracun itu menjerit kesakitan. Wajahnya yang pucat nampak semakin putih.
“Keparat! Kulumat tubuhmu, Pemuda Setan!” maki Sangkuni. Iblis Muka Mayat itu menjadi berang karena merasa dipermainkan seorang anak muda dihadapan pengikutnya. Kalau saja tokoh sesat Empat Iblis Lembah Beracun itu tidak mengalaminya sendiri, mungkin ia tidak dapat mempercayai begitu saja. Ia yang merasa selama ini selalu mengagulkan kepandaiannya, ternyata dapat dipecundangi lawannya dalam segebrakan saja. Padahal, kalau dilihat dari usia lawannya, paling banyak sekitar dua puluh tahun atau lebih sedikit. Kenyataan itu yang membuat dirinya terpaku dan malu.
“Sebutkan namamu, sebelum tubuhmu kulumat hancur!” bentak Sangkuni sambil menatap tajam sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Mendadak wajah Sangkuni tegang ketika sepasang matanya meneliti sosok tubuh didepannya. Sejenak lelaki berwajah pucat itu merayapi sekujur tubuh Panji dengan kening semakin berkerut. Hatinya berdebar tegang setelah mengetahui ciri-ciri pemuda tampan di depannya, persis dengan gambaran seorang pendekar muda digdaya yang didengarnya berjuluk Pendekar Naga Putih. Bayangan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba persilatan itu, membuat Sangkuni melangkah mundur.
Tokoh termuda Empat Iblis Lembah Beracun itu menggertakkan giginya kuat-kuat. Diusirnya bayangan Pendekar Naga Putih yang telah menciutkan nyalinya. Sangkuni tidak percaya sebelum menyaksikan sendiri ciri- ciri terakhir dari pendekar muda yang memiliki kesaktian yang menggiriskan itu. Lapisan kabut bersinar putih keperakan pada tubuh pemuda didepannya tidak terlihat, membuat keberanian Iblis Muka Mayat kembali muncul.
“Hm…. Seharusnya akulah yang bertanya demikian kepadamu, Kisanak. Siapakah kau? Dan mengapa kau ingin membunuh mereka dengan cara yang sangat kejam?” tanya Panji dengan sinar mata mencorong tajam.
Sikap Pendekar Naga Putih itu terlihat tetap tenang, meskipun ia sadar bahwa lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu merupakan seorang ahli racun yang tidak ada bandingannya. Belum lagi benda kecil yang berada di tangannya yang dapat membuat binatang-binatang menjijikkan seperti tikus-tikus hutan itu menjadi buas dan patuh terhadap perintahnya. Kepandaian yang sangat jarang dimiliki tokoh-tokoh persilatan lainnya.
“Bangasat! Rupanya kau pendekar usilan yang suka mencampuri urusan orang lain! Kalau itu maumu, kubikin mampus kau!” geram Sangkuni yang langsung mengibaskan lengan kanannya dengan gerakan tak terduga.
Melihat cara lawannya melontarkan serangan, Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak berlaku curang dengan memancing lawannya melalui pembicaraan dan makian. Maka, apabila lawan lengah, ia melontarkan serangan dengan gerakan yang sangat mendadak sekali. Dan hal itu sama sekali tidak disukai Pendekar Naga Putih. Sepasang mata Panji mengeluarkan sinar berapi ketika melihat puluhan jarum-jarum halus yang mengandung racun, meluncur kearahnya.
“Hiiih…!” Sambil menggertak marah, Pendekar Naga Putih mendorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Serangkum angin pukulan berhawa dingin menusuk, menderu memapaki puluhan batang jarum beracun itu.
Pyaaar…!
Jarum-jarum beracun yang sedianya hendak merejam tubuh Pendekar Naga Putih, langsung terpukul balik! Dan kini meluncur deras mengancam pemiliknya, si Iblis Muka Mayat!
“Aaah…!”
Tentu saja kenyataan itu kembali membuat Sangkuni terperangah pucat! Bukan berbaliknya jarum-jarum itu yang membuat lelaki tinggi kurus itu terkejut. Melainkan bentuk jarum-jarum itulah yang membuatnya terperanjat. Sebab, senjata-senjata beracun yang dilontarkan tadi, kini berbalik dalam keadaan memecah menjadi tiga bagian. Sangkuni sadar, pemuda tampan yang kini tengah berhadapan dengannya, jelas bukan pemuda sembarangan. Sebab, hanya tokoh-tokoh tingkat tinggi sajalah yang dapat melakukan hal itu, tapi pemuda tampan yang usianya masih sangat muda itu, ternyata mampu mengatur kekuatan tenaganya melalui jarum-jarum itu.
Ketika jarum-jarum beracun itu mendekati tubuhnya, Sangkuni segera melempar tubuh ke samping dan langsung berguling. Begitu tubuhnya melenting bangkit, tokoh sesat ahli racun itu langsung meniup benda pipih di tangannya. Siulan aneh yang membangkitkan kebuasan tikus-tikus hutan itupun kembali terdengar.
Melihat tikus-tikus hutan yang diam mematung itu kembali bergeark liar, bergegas Pendekar Naga Putih melesat ke arah Sangkuni. Sepasang tangan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan dua buah serangan sekaligus!
Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, tokoh termuda Empat Iblis Lembah Beracun itu melompat bergulingan. Ketika Sangkuni bangkit, hatinya terkejut melihat sepasang tangan lawan masih terus mengejar dan mengancam tubuhnya. Tidak ada kesempatan untuk menghindari, maka dia nekat memapak serangan yang mengarah kelehernya.
Plakkk! Brettt! Desss….!
“Ughhh…!” Sangkuni tidak menduga gerakan lawan sangat cepat! Selagi tubuhnya terhuyung, benda ditangannya langsung direbut pemuda tampan berjubah putih. Bahkan, sebuah hantaman telapak tangan kiri pemuda tampan itu menghajar telak dadanya. Sangkuni pun terjungkal hingga dua batang tombak jauhnya. Darah segar muncrat dari mulut lelaki tinggi kurus itu. Sekujur tubuhnya menggigil hebat akibat ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang merasuk ke dalam tubuhnya.
“Huaaakh…!”
Darah kental berwarna merah pekat kembali muncrat dari mulut Iblis Muka Mayat. Setelah itu, tubuhnya meregang, berkelojotan dan diam tak bergerak lagi. Tewas! Belasan orang lelai berpakaian serba hitam yang semenjak tadi hanya berdiri terpaku, tersentak kaget! Mereka hampir tidak percaya kalau pemimpinnya yang berkepandaian sangat tinggi itu, tewas di tangan seorang pemuda tampan yan tidak mereka kenal.
Pendekar Naga Putih tahu belasan orang itu hanya keroco-keroco Sangkuni. Karenanya mereka dibiarkan hidup. “Sampaikan kepada pemimpinmu yang lain. Katakan bahwa Pendekar Naga Putih telah membunuh saudaranya,” ujar Panji lantang. “Bawa mayat pemimpin kalian ini!” lanjut Panji.
Dengan sikap takut-takut empat laki-laki berseragam hitam itu segera mengangkat mayat Sangkuni, dan membawanya pergi dari hutan itu.
Sepeninggalan belasan orang lelakicberpakaiancserba hitam itu, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya meninggalkan hutan Keranggan. Sekali berkelebat saja, tubuh pemuda tampan itu lenyap di balik lebatnya pepohonan hutan itu.
********************
DUA
Sosok tubuh yang mengenakan jubah berwarna putih itu, terus mempercepat larinya menuju arah selatan Hutan Keranggan itu. Begitu tibadi luar hutan, sosok tubuh berjubah putih itu melesat menyusuri jalan lebar yang berbatu-batu. Tidak berapa lama kemudian, tibalah ia di sebuah gubuk kecil di tepi sungai. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung memasuki gubuk itu.
“Ah, kiranya kau, Kakang. Mengapa kau tidak memberi tanda-tanda sebelum masuk?” tegur gadis jelita kepada pemuda tampan berjubah putih. Ia melintangkan pedangnya didepan dada. Jelas kedatangan sosok berjubah putih yang tidak lain dari Panji si Pendekar Naga Putih itu telah membuatnya terkejut.
Pendekar Naga Putih tertawa kecil melihat wajah gadis jelita itu cemberut. Dilangkahkan kakinya mendekati dua balai-balai bambu yang telah reot. Lalu tubuhnya membungkuk, diperiksanya dua sosok tubuh lelaki yang tengah terbaring diatas balai-balai bambu itu.
“Hm… keadaan mereka cukup parah, Kenanga. Jelas mereka tidak mungkin sembuh dalam waktu dekat. Racun yang merasuk ke dalam tubuhnya sangat aneh. Untung daya kerja racun ini sangat lambat. Kalau tidak akibatnya sangat mengerikan,” ujar Panji setelah memeriksa keadaan Guraba dan Pradana.
“Benar, Kakang. Aku sendiri belum mengetahui jenis racun yang mengeram dalam tubuh mereka. Bagaimana dengan Kakang? Apakah sudah dapat mengetahui jenis racun itu?” tanya Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya dengan penuh harap. Sebab ia tahu bahwa kepandaian ilmu pengobatan Pendekar Naga Putih sudah sangat tinggi.
“Hhh… sayang akupun belum mengethuinya secara pasti. Kabar yang kita dengar dalam perjalanan itu ternyata benar. Orang-orang Lembah Beracun itu telah keluar dari tempat kediamannya. Dan kini mereka mulai menebarkan bencana. Entah apa yang dialami penduduk desa itu? ingin rasanya aku menyelidiki desa itu,” ujar Panji sambil melepaskan pandangannya keluar pintu.
“Lalu, bagaimana dengan kedua orang itu, Kakang? Apakah merka akan kita tinggalkan begitu saja?” tanya Kenanga ketika melihat sinar mata kekasihnya yang menyiratkan keinginan hatinya.
“Hm…. begini saja. Kita cari desa terdekat untuk menitipkan kedua pendekar ini. Setelah itu, kau bisa mengobati mereka dengan tenang. Karena pengobatan ini membutuhkan waku cukup lama. Aku berharap kau suka merawatnya. Dan aku sendiri akan pergi menyelidiki Desa Keranggan, bagaimana? Apakah kau setuju dengan pendapatku?” tanya Panji sambil menatap wajah kekasih- nyalekat-lekat.
Sejenak gadis jelita itu terdiam. Kemudian, kakinya melangkah ke arah pintu gubuk yang terbuka lebar. Sambil menyandarkan tubuhnya di pintu gubuk itu, Kenanga melepaskan pandangannya kearah cakrawala biru. Jelas sekali kalau dara jelita itu merasa sangat berat untuk berpisah dengan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih segera menghampiri gadis jelita yang termenung memikirkan usulnya itu. Dipeluknya tubuh Kenanga erat-erat dari belakang. Hingga beberapa saat lamanya kedua pendekar muda itu terdiam tanpa kata.
“Mengapa kita harus berpisah karena persoalan ini, Kakang? Kalau pengobatan ini hanya beberapa hari, bukankah Kakang bisa menunggu? Setelah itu, baru kita bersama-sama menyelidiki Desa Keranggan,” ucap Kenanga dengan suara lirih. Sementara pandangannya tetap tertuju ke langit biru.
“Aku bisa saja mengunggu sampai kedua orang itu sembuh. Tapi, apakah iblis-iblis itu tidak melakukan kejahatan selama beberapa hari itu? Ingat, Kenanga. Kita dilahirkan sebagai pendekar-pendekar yang tidak boleh mengutamakan kepentingan sendiri. Dan kita harus rela mengenyampingkan kepentingan pribadi demi keselamatan orang banyak. Apakah kau telah lupa, atau sengaja tidak mau mengingat segala wejangan yang pernah diberikan guru kita?” ujar Panji menekan nada suaranya agar tetap lembut dan tidak menyinggung perasaan kekasihnya itu.
“Apa yang kau katakan itu benar, Kakang. Aku sadar dengan jalan hidupku yang telah digariskan untuk kita. Tapi, mengingat Kakang menghadapi bahaya seorang diri, rasanya aku tidak bisa membayangkan. Aku takut kehilangan kau, Kakang. Hanya Kakanglah satu-satunya tempat aku menggantungkan harapan untuk mengarungi hidup di dunia ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, Kakang. Aku tidak sanggup membayangkan hari-hari tanpa adanya Kakang di sisiku. Maafkan aku, Kakang. Entah mengapa hatiku menjadi lemah ketika Kakang mengatakan akan pergi sendiri dalam menempuh bahaya itu,” suara dara jelita yang parau itu berganti dengan isak lirih. Membuat Panji terharu.
Pendekar Naga Putih tidak berkata-kata sama sekali, hanya pelukannya saja dipererat, menandakan betapa ia sayang terhadap kekasihnya itu. Hatinya sangat berat untuk berpisah dengan kekasihnya. Tapi, tugas yang diemban sebagai seorang pendekat menuntutnya untuk mengutamakan kepentingan orang banyak. Dan panggilan itu tidak bisa dihindari. Entah berapa lama kedua pendekar itu tenggelam dalam pelukan. Setelah isak Kenanga reda, Pendekar Naga Putih mengangkat wajah kekasihnya. Dihapusnya sisa air mata yang membasahi pipi kekasihnya. Lalu dia menatap lekat-lekat mata kekasihnya.
“Kapan Kakang akan pergi menyelidiki keadaan Desa Keranggan itu?” tanya Kenanga yang sudah dapat membedakan antara kepentingan dirinya dengan orang banyak.vDi wajah dara jelita itu mengembang senyum tulus. Sepasang mata yang bulat dan jernih kembali bercahaya.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dia hanya mengecup bibir kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Jelas Pendekar Naga Putih tengah berusaha untuk meyakinkan kekasihnya itu. Kenanga sama sekali tidak mengelak ketika Pendekar Naga Putih mengecup bibirnya. Bahkan gadis jelita itu membalas dengan hangat. Seolah-olah ia ingin menumpahkan segala kerinduan hatinya. Kenanga tidak ingin melepaskan pelukan kekasihnya.
“Cukup, Kenanga….” Desah Panji sambil melepaskan kecupannya. “Aku takut kita terbakar. Sabaiknya, kita segera membawa kedua orang itu ke desa yang terdekat dari tempat ini,” ucap Panji sambil melepaskan pelukan kekasihnya.
Kenanga mengangguk tanpa kata. Diam-diam ia merasa berterima kasih kepada kekasihnya. Sebab, apa yang dikatakan pemuda tampan itu sama sekali tidak meleset.
“Ayolah, tunggu apa lagi….?” Ajak Panji yang sudah membawa tubuh Guraba dan Pradana di atas bahunya. Sebentar kemudian, keduanya pun sudah melesat meninggalkan gubuk kecil itu.
********************
Sang malam sudah menampakkan kekuasaannya. Bulan sepotong yang menggantung di langit kelam itu, menebarkan cahaya temaram. Bintang di langit tampak berkedip bagaikan mata dara remaja yang tegah dilanda cinta.
Saat itu, sesosok bayangan putih berkelebatan melintas perkebunan menuju Desa Keranggan. Pepohonan yang tumbuh dengan teratur, membuat sosok bayangan puith itu terkadang lenyap, kemudian muncul bagaikan bayangan hantu yang dapat menghilang dari pandangan mata.
Sosok bayangan putih itu terus bergerak. Kali ini tubuhnya berlompatan daru satu atap rumah ke atap lainnya. Jubahnya yang panjang berwarna putih itu, menimbulkan kesan seram bagi seorang yang berjiwa penakut. Apalagi gerakan sosok tubuh itu demikian cepat dan tanpa menimbulkan suara.
Tidak berapa lama kemudian, sosok bayangan putih itu menghentikan larinya. Tubuhnya berdiri tegak di atas sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah penduduk lainnya. Sepasang matanya tampak mencorong tajam, membuat bulu tengkuk orang yang kebetulan melihatnya akan berdiri merinding. Hal itu wajar saja. Sebab, pancaran mata sosok bayangan berjubah putih itu memang sanggup menggetakan hati seorang lelaki yang paling pemberani sekalipun!
“Aneh. Mengapa desa ini nampak sepi sekali? Padahal, hari belum terlalu larut? Di pelataran rumah besar yang merupakan kediaman kepala desa ini tidak terlihat ada penjaga? Hm… Suasana sunyi yang mencurigakan!” gumam sosok tubuh berjubah putih itu sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
Setelah menanti agak lama, keadaan tetap tidak berubah, sesosok tubuh itu bergerak turun dari atas atap. Namun gerak kakinya tertahan ketika lamat-lamat telinganya menangkap suara isak lirih dari salah satu kamar rumah itu. Sosok berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih, tertegun sejenak. Jelas ia hendak memastikan dari mana asal suara isak tangis lirih itu.
Begitu dapat memastikan sumbernya, ia pun segera melayang turun melalui bagian belakang rumah besar itu. Setelah tiba dibawah, Pendekar Naga Putih langsung bergerak menyelinap di tempat-tempat yang agak tersembunyi. Kemudia ia terus bergerak menuju asal suara yang didengarnya. Langkah kaki Pendekar Naga Putih mengarah kesebuah ruangan cukup luas, tanpa penerangan. Sehingga keadaan ditempat itu sangat gelap sekali.
Namun kegelapan itu sama sekali tidak mengganggu penglihatan Pendekar Naga Putih. Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian yang sukar diukur, dengan mudah ia melihat segala yang ada di dalam ruangan itu. Dikerahkannya sedikit tenaga sakti, dengan begitu, sekalipun keadaan itu tanpa disirami secercah cahaya.
Sesosok tubuh ramping tampak terikat disebuah kursi, membuat kening Pendekar Naga Putih berkerut. Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu kalau itu merupakan sebuah perangkap untuknya. Dan sudah diketahuinya semenjak awal. Karena indera keenam pemuda itu dapat merasakan adanya bahaya yang tengah mengintainya. Tapi rasa kasihan melihat penderitaan gadis yang terikat di kursi, membuat ia tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya.
“Hm… Betapa cerobohnya mereka menggunakan perangkap seperti ini. Kalau aku mau, betapa mudahnya menyelamatkan gadis itu dan pergi meninggalkan tempat ini,” gumam Panji yang diam-diam merasa curiga dengan jebakan sederhana itu.
Maka, sambil mengerahkan tenaga untuk melindungi dirinya dari serangan gelap, pemuda tampan itu melangkah ke arah sosok tubuh ramping yang tengah berusaha melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuhnya.
“Tuan… tolonglah bebaskan aku… Bawalah aku pergi dari tempat terkutuk ini…” ratap wanita itu sambil menatap sosok tubuh yang semakin mendekat.
Pendekar Naga Putih terkejut dengan wanita yang minta pertolongan kepada dirinya. Karena dalam suasana gelap gulita, wanita yang tubuhnya diikat di kursi itu mampu melihatnya dengan jelas. Namun setelah ia menyadari warna pakaian yang dikenakannya dapat terlihat jelas dalam kegelapan, membuat kecurigaannya berkurang. Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tetap waspada dan tidak melepaskan tenaga pelindung di sekujur tubuhnya.
“Tenanglah, Nyai. Aku akan membebaskanmu,” sahut Panji berbisik sambil mendekati sosok tubuh wanita itu.
Ketika Pendekar Naga Putih berada di depan sosok wanita itu, bergegas ia mengulurkan tangan hendak melepaskan ikatan yang membelit tubuh tawanan wanita itu. Namun sungguh diluar duggan Pendekar Naga Putih! Wanita itu tiba-tiba melontarkan pukulan yang menimbulkan deruan angin keras! Bahkan sambaran angin pukulan itu disertai hawa busuk yang memualkan perut!
Wusss…!
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika diserang secara mendadak! Jarak yang sangat dekat itu, sangat menyulitkan Pendekar Naga Putih untuk menghindar! Sehingga, pukulan wanita itu telak menghajar dadanya!
Desss…!
“Aiiih…!”
Hantaman jarak dekat yang sangat kuat itu, membuat tubuh Pendekar Naga Putih terlempar hingga dua batang tombak! Dinding tebal yang berada dibelakangnya, kontan jebol dihantam tubuh pemuda tampan itu.
Brolll…!
Terdengar suara hiruk pikuk ketika dinding tebal di belakang Pendekar Naga Putih ambrol. Sedangkan tubuh pemuda tampan itu terus meluncur menembus dinding hingga ke luar ruangan. Namun wanita yang melontarkan pukulan ke tubuh Pendekar Naga Putih tidak terlepas dari rasa kaget! Tubuh Panji yang telah terlindung tenaga sakti itu, membuatnya memekik tertahan!
Tubuh ramping itupun terjengkang keras kebelakang! Bahkan kursi yang didudukinya hancur akibat dorongan yang amat kuat. Wanita itu cepat bengkit berdiri sembari meringis. Tangan kanannya yang melontarkan pukulan keras tadi, dipijatnya sambil menyeringai menahan rasa nyeri.
“Keparat! Pemuda itu ternyata sangat cerdik! Ia pasti telah melindungi seluruh tubuhnya dengan tenaga sakti. Benar-benar pandai dia,” umpat wanita bertubuh tinggi langsing itu sambil tetap memijat pergelangan tangan kanannya yang terasa linu.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sudah bangkit berdiri, menahan rasa sesat di dadanya. Cairan merah tampak mengalir disudut bibirnya. Jelas pemuda tampan itu menderita akibat hantaman pada dadanya itu. Untunglah, sebelumnya ia telah melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti yang dimilikinya. Kalau tidak, mungkin saat itu ia sudah tewas.
Pendekar Naga Putih yang ketika bangkit berdiri sudah terkepung puluhan orang, cepat-cepat memusatkan pikiran dan mengerahkan ‘Tenaga Panas Bumi’ yang berasa dari Pedang Naga Langit. Untuk mengetahui apakah tenaga pukulan lawannya mengandung racun. Dan Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya terkena racun. Saat pemuda tampan itu berusaha melenyapkan pengaruh racun dalam tubuhnya. Tiba-tiba terdengar teriakan lantang mengejutkan dirinya!
“Seraaang…!”
Suara teriakan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu, membuat Pendekar Naga Putih tersentak kaget. Cepat ia melompat guna menghindari beberapa mata tombak yang mengancam tubuhnya.
“Hiaaah…!”
Begitu mata-mata tombak yang berkilat lewat dan mengenai tempat kosong, Pendekar Naga Putih membentak nyaring dengan disertai kibasan tangannya. Terdengar jeritan ngeri saat sambaran angin kibasan pemuda tampan itu telak mengenai dada mereka, membuat enam orang penyerangnya terjungkal dan tewas!
Pendekar Naga Putih berusaha meloloskan diri dari kepungan lawan, karena kesehatannya belum pulih. Dia tak menduga kalau tokoh-tokoh Lembah Beracun memiliki banyak pengikut. Pendekar Naga Putih melompat dan bersalto ke belakang, guna menghindari sambaran mata pedang dan ujung tombak lawan. Ia segera melontarkan satu dua pukulan untuk merobohkan pengeroyoknya tanpa harus membunuh. Namun apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih itu terbaca oleh tokoh Lembah Beracun. Memang Pendekar Naga Putih tidak berniat untuk menewaskan para pengikut Empat Iblis Lembah Beracun. Maka mereka segera melancarkan serangan, sehingga membuat pemuda tampan itu menjadi repot!
“Yeaaat…!”
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali menyerang, lelaki berjubah biru gelap melancarkan serangkaian pukulan kearah bagian terlemah ditubuh Pendekar Naga Putih. Hembusan angin berbau amis, menyertai serangan lelaki berjubah biru gelap itu.
Pendekar Naga Putih mengeluarkan ilmu ‘Silat Naga Sakti’nya. Karena salah satu cara untuk lolos dari kepungan adalah merobohkan para pemimpinnya. Maka, serangan lelaki bejubah biru gelap segera dipapak Pendekar Naga Putih dengan menggunakan tangan kiri. Sedang tangan kanannya siap melontarkan pukulan balasan secara tak terduga ketubuh lawannya.
Plakkk!
“Uhhh…!”
Tangkisan Pendekar Naga Putih dialiri kekuatan ‘Tenaga Gerhana Bulan’ itu, membuat Gumilang memekik tertahan!Tubuh lelaki tinggi tegap itu terlempar beberapa tombak jauhnya hingga menabrak tubuh pengikutnya. Dan merekapun terbanting jatuh saling tindih.
Jatuhnya Gumilang tentu saja membuat peluang Pendekar Naga Putih puntuk mengirimkan serangan mematikan! Pukulan tangan kanannya meluncur disertai hembusan angin dingin yang membekukan tubuh!
“Haiiit…!”
Seruan nyaring yang disertai serangkum angin berbau amis, membuat Pendekar Naga Putih menarik pulang serangannya. Cepat tubuh pemuda tampan itu berputar setengah lingkaran dan langsung mengirimkan tamparan kearah penyerang disamping kirinya.
Plakkk! Plakkk!
Suara pekik tertahan terdengar dari mulut seorang wanita, ketika pukulannya berhasil ditangkis Pendekar Naga Putih. Tubuh wanita itu terdorong mundur.
“Haiiit…!”
Sambil berseru nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melambung melewati kepala para pengepunngya. Kemudian berjumpalitan beberapa kali di udara guna membebaskan diri dari kepungan lawan. Namun sebelum tubuh pemuda tampan itu sempat mendarat ketanah, sosok bayangan merah menyusulinya dan langsung melontarkan tendangan keras ke bagian belakang tubuh Pendekar Naga Putih!
Desss…!
“Ughhh…!”
Tendangan sosok tubuh berjubah merah itu, telak menghantam tubuh bagian belakang Pendekar Naga Putih. Sehingga, tubuh yang tengah mengapung itu, terlempat deras sejauh lima batang tombak!
Tapi, Pendekar Naga Putih masih mampu mengatur keseimbangan tubuhnya. Hingga, tubuhnya tidak sampai terbanting. Pendekar Naga Putih menjejakkan kedua kakinya dengan baik, meski tubuhnya agak limbung. Rasa nyeri di bagian belakang tubuhnya, membuat pemuda tampan itu menyeringai kesakitan. Lelehan darah mengalir dari sela bibirnya, segera dihapus dengan menggunakan lengan punggunngnya. Lalu, ia kembali bersiap menghadapi lawan yang mengepungnya.
ENAM
Kepungan yang kembali merapat itu, membuat kemarahan Pendekar Naga Putih bangkit. Apalagi saat itu ia sudah menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan tokoh Lembah Beracun. Tentu saja semua itu membuatnya naik pitam.
“Heaaah…!”
Terdengar bentakan menggeledek keluar dari mulut Pendekar Naga Putih! Orang-orang berpakaian serba hitam yang mengurunngya, terjungkal roboh dalam keadaan pingsan! Sementara orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, langsung tewas!
Bentakan yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu, membuat pembuluh darah mereka pecah! Kontan para pengepungnya berlarian menjauh. Belum lagi hilang rasa terkejut di hati mereka, kejutan lain kembali diperlihatkan Pendekar Naga Putih. Tahu-tahu ditangan pemuda tampan berjubah putih itu telah tergenggam sebilah pedang. Kilauan bercahaya kuning keemasan berpendar dari pedang itu.
“Pedang Naga Langit…!?”
Terdengar seruan kaget bercampur kagum dari tokoh Lembah Beracun. Merekapun mendengar tentang pedang mukjizat yang telah menggemparkan dunia persilatan. Maka tak mengherankan bila tokoh Lembah Beracun terlongong-longong sambil matanya menatap pedang mukjizat di tangan Pendekar Naga Putih!
“Gila dari mana datangnya pedang itu…? Padahal, aku sama sekali tidak melihat pemuda itu menyandang pedang…?” seru Lawa Gurintang yang merasa heran bukan main dengan keberadaan pedang tanpa diketahui dari mana pemuda tampan itu mencabutnya.
“Entahlah! Pedang mukjizat itu muncul begitu saja seiring dengan suara bentakan yang dikeluarkannya. Benar-benar aneh dan sulit untuk dipercaya!” desah Gumilang yang juga tidak mengerti bagaimana pedang itu berada dalam genggaman Pendekar Naga Putih.
“Pemuda itu benar-benar sangat mengagumkan sekali! Sayang, ia seorang musuh yang sangat berbahaya. Kalau tidak, senang sekali memiliki seorang kekasih yang menguasai kepandaian yang sangat tinggi dan langka itu,” ucap seorang wanita cantik bertubuh langsing dan menggiurkan.
“Kau ini ada-ada saja, Nini Lawang. Dalam keadaan seperti ini, masih saja kesenanganmu yang kau pikirkan,” sahut Lawa Gurintang yang tidak senang mendengar wanita cantik itu memuji-muji musuhnya.
Teguran itu disambut Nini Lawang dengan tawa yang dibuat-buat. Lagak wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu, makin menambah daya pikat. Semua gaya yang diperlihatkannya mengundang hasrat birahi laki-laki. Dari sikap dan lagaknya, jelas wanita cantik itu merupakan seorang yang diperbudak nafsu.
Lawa Gurintang menjadi gemas melihat kegenitan wanita itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun usianya lebih muda dari dirinya, namun dalam urusan Perguruan Lembah Beracun, wanita itu terhitung bibi gurunya. Maka, iapun tidak meladeninya lagi. Hanya wajahnya yang makin memerah. Pertanda bahwa hati lelaki berjubah merah darah itu sedang kesal.
“He, Lawa Gurintang. Bagaimana kalau pemuda itu kita tangkap saja hidup-hidup? Dia pasti akan menjadi menurut bila telah kutangani.” Usul Nini Lawang sambil terkekeh genit.
Pendekar Naga Putih sempat mendengar ucapan itu, menjadi merah selebar wajahnya. Ia sadar betul apa maskud ucapan ‘menundukkan’ yang dilontarkan wanita genit itu.
“Hm… Rupanya wanita itulah yang telah mengelabuiku. Entah apa hubungannya dengan tokoh-tokoh Lembah Beracun itu?” gumam Pendekar Naga Putih yang menatap wanita cantik itu dengan penuh selidik.
“Jangan, Nini. Pemuda itu sangat berbahaya sekali. Sebaiknya, kita segera lenyapkan saja, sebelum ia menimbulkan kesulitan lebih besar bagi kita,” sahut Lawa Gurintang yang tidak menyetujui usul Nini Lawang. Kawatir kalau-kalau wanita cantik itu akan berulah, bergegas lelaki tinggi besar berjubah merah itu melompat sambil memberikan aba-aba kepada para pengikutnya.
“Seraaang…!”
Suara teriakan Lawa Gurintang disusul dengan melesatnya tubuh Gumilang dan Suro Lejang. Sedangkan para pengikut tokoh Lembah Beracun itu tak satupun bergerak maju. Lawa Gurintang menjadi marah dan berang.
“Keparat! Mengapa kalian diam saja?Apa kalian ingin kuhukum?” bentak Lawa Gurintang memandang para pengikutnya dengan sinar mata yang menyiratkan maut!
Mendengar ancaman itu, wajah para pengikut tokoh-tokoh Lembah Beracun itu menjadi pucat. Namun ketika mereka memandang ke arah pemuda tampan berjubah putih itu, yang berdiri angker dengan pedang ditangannya, mereka menjadi ragu. Hati mereka gentar. Sehingga tidak ada satu pun orang-orang berpakaian serba hitam itu bergerak maju.
“Bangsat! Kalian sama sekali tak berguna, mampuslah kau,” teriak Lawa Gurintang mengibaskan tangannya ke depan.
Jerit kematian terdengar susul menyusul, dibarengi robohnya empat tubuh lelaki berpakaian serba hitam dalam keadaan tewas!
Pengikut Lawa Gurintang yang lainnya sadar kalau tidak menuruti perintah mereka akan tewas. Dengan perasaan diliputi ketakutan yang amat sangat, mereka bergerak maju ke arah Pendekar Naga Putih.
“Hm… Lebih baik kalian pergilah, jauhi tempat ini! Kalau tidak, aku bisa bertindak lebih kejam dari pada majikanmu itu,” ancam Panji sengaja menakut-nakuti para pengikut tokoh-tokoh Lembah Beracun itu.
“Jangan hiraukan ucapannya! Hayo, serang…!”teriak Lawa Gurintang ketika melihat orang-orangnya menjadi ragu karena ancaman pemuda itu. Sambil berteriak demikian, ia sendiri melompat dengan sambaran senjatanya yang menimbulkan desingan keras!
Pendekar Naga Putih marah dengan tingkah tokoh-tokoh Lembah Beracun itu. segera ia memutar pedang di tangannya. Udara di sekitar arena itu pun berubah-ubah, membuat para pengepung Pendekar Naga Putih tersentak kaget! Terkadang udara panas menyengat dan berganti sewaktu-waktu dapat menjadi dingin menusuk tulang. Para pengikut Lawa Gurintang berlompatan mundur! Kemudian, mereka terus berlari tanpa menghiraukan teriakan pemimpinnya.
“Heaaah…!”
Lawa Gurintang membentak keras sambil mengerahkan hawa murninya untuk mengusir pengaruh yang ditimbulkan putaran pedang lawannya. Hatinya benar-benar terkejut sekali menyaksikan kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu. Diam-diam ia mengakui kalau Pendekar Naga Putih memang patut mendapat pujian dari tokoh-tokoh persilatan.
Demikian pula halnya dengan Nini Lawang. Wanita cantik yang genit dan berwatak cabul itu, berdecak kagum menyaksikan kesaktian pemuda tampan yang telah menarik hatinya. Hasrat untuk mendapat memiliki pemuda tampan itupun semakin kuat mencengkeram jiwanya.
“Hm… Benar-benar seorang pemuda yang hebatdan jarang ada duanya! Aku harus dapat memilikinya,” gumam Nini Lawang berjanji kepada diri sendiri. Setelah menyaksikan kesaktian Pendekar Naga Putih.
“He, Lawa Gurintang, Gumilang, dan kau, Suro Lejang! Ayo kita keroyok pemuda itu! jangan takut!Kalau kita dapat bekerja sama dengan baik, aku yakin pemuda itu akan menyerah,” seru Nini Lawang takabur. Sambil berkata demikian, wanita berwatak cabul itu mengelebatkan selendang yang melilit di pinggang rampinngya.
Ctarrr…. Ctarrr…!
Ujung selendang berwarna merah muda itu meledak-ledak memekakkan telinga. Suara ledakan itu diiringi dengan wewangian yng membuat kepala pening. Jelas, selendang itu telah dilumuri bubuk beracun!
Pendekar Naga Putih dikepung empat orang tokoh Lembah Beracun, namun ia sama sekali tidak merasa gentar!Dengan kuda-kuda rendah dan pedang teracung di atas kepala, pemuda itu bersiap menghadapi keroyokan lawannya.
Sementara keempat orang tokoh Lembah Beracun itu belum menunjukkan tanda-tanda menyerang. Mereka berputaran berganti-ganti arah dengan gerakan yang terkadang cepat, dan di lain saat berubah lamban. Terkadang hanya mengitari tubuh Pendekar Naga Putih. Jelas, mereka tengah meneliti gerak Pendekar Naga Putih guna mencari kelemahan pemuda tampan itu.
“Heaaat…!” Lawa Gurintang, membuka serangan dengan sebuah lesatan panjang dan disertai kibasan tangan kanannya ke depan!
Wuuut…!
Serangkum angin kuat berbau amis menyambar ke arah tubuh Pendekar Naga Putih! Menilik dari suara sambaran angin berkesiutan iu, jelas kekuatan pukulan yang dimiliki Lawa Gurintang sangat hebat! Belum lagi serangan lelaki tinggi besar itu mengenai sasaran, Nini Lawang menyusulinya dengan sambaran ujung selendanngya. Senjata kain lemas sepanjang tiga batang tombak itu meledak-ledak dan mematuk-matuk menincar titik terlemah jalan darah di tubuh Pendekar NagaP utih. Maka, sibuklah pemuda tampan itu mengelakkan ujung selendang yang seperti membayanginya itu.
Jtarrr… Ctarrr…!
“Haiiit…!”
Pendekar Naga Putih menggoyangkan tubuhnya ke samping, menghindari patukan ujung selendang yang mengincar pelipisnya. Berbarengan dengan itu, tangan kirinya didorongkan kedepan untuk menyambut serangan Lawa Gurintang.
Plarrr…!
Ledakan keras terdengar ketika kedua pukulan yang menggunakan tenaga dalam saling bertabrakan. Suaranya menggetarkan bangunan besar tempat pertarungan itu berlangsung!
“Aaah…!”
Terdengar pekik tertahan Lawa Gurintang yang tubuhnya terdorong akibat benturan keras itu. Selagi tubuhnya melambung diudara, tubuh Pendekar Naga Putih melesat mengejar! Pendekar Naga Putih tidak ingin melewatkan kesempatan baik itu, langsung pedangnya dibabatkan ke arah Lawa Gurintang. Pancaran senjata mukjizat yang menimbulkan kilauan sinar kuning keemasan itu mengaung tajam. Sehingga tak ubahnya bagaikan suara ratusan ekor lebah yang marah!
Untunglah, pada saat yang gawat bagi keselamatan tokoh berjubah merah itu, Gumilang dan Suro Lejang datang menolong! Kedua tokoh Lembah Beracun itu langsung menyabetkan senjatanya memapaki sambaran pedang Pendekar Naga Putih!
Singggg…!
Suro Lejang yang bersenjatakan tongkat sepanjang satu tombak, menusukkan ke arah perut Pendekar Naga Putih. Tongkat yang bagian ujunngya terdapat logam tajam berbentuk bulan sabit itu berdesing dengan kecepatan tinggi!
Sedangkan Gumilang mengelebatkan sepasang belati dari baja putih yag berkeredepan bagai sambaran kilat. Sepasang senjata yang panjangnya dua jengkal itu, berkesiutan merobek udara!
Kedua orang tokoh sesat itu tidak bisa dipandang ringan! Pendekar Naga Putih terpaksa menunda serangannya. Pedang Naga Langit ditangannya berputar setengah lingkaran dan langsung memapaki serangan kedua lawannya itu.
Tranngngg! Tranngngg!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika empat batang senjata mapuh itu saling bertumbukan keras! Disusul dengan pekik tertahan Gumilang dan Suro Lejang!
“Aiiih…!”
Tubuh kedua orang tokoh sesat ahli racun itu, terpental hingga dua batang tombak kebelakang! Meskipun senjata mereka telah terpental entah ke mana, namun keduanya sempat mematahkan daya dorong yang dilancarkan Pendekar Naga Putih itu dengan berjumpalitan di udara. Sehingga dapat mendaratkan tubuh dengan kuda-kuda yang cukup kokoh!
Namun, kesialan itu rupanya dialamai Pendekar Naga Putih juga. Sebab, pada waktu ia memukul balik serangan kedua orang tokoh sesat itu, dari belakanngya meluncur serangan Selendang Maut Nini Lawang!
Jtarrr…!
Lecutan ujung selendang wanita berwatak cabul itu, telak mengenai punggung Pendekar Naga Putih!
“Aaakh…!”
Pendekar Naga Putih kesakitan! Tubuhnya terjerembab kedepan akibat lecutan cambuk yang dikerahkan dengan kekuatan hebat itu! Cepat pemuda tampan itu bergulingan menghindari lecutan cambuk yang masih meledak-ledak mengejarnya itu.
Tubuh Pendekar Naga Putih melenting bangkit setelah cukup jauh menghindari serangan Selendang Maut Nini Lawang. Melihat dari raut wajahnya, terlihat tetesan darah segar di sudur bibirnya, jelasnya Pendekar Naga Putih cukup menderita akibat totokan ujung selendang beracun itu. Baru saja pemuda tampan itu bengkit berdiri, Gumilang telah melesat menerjang ke arahnya. Dengan sebatang bambu kecil, yang berbentuk sebuah sumpit, lelaki berjubah biru gelap itu meniupkan beberapa benda bulat sebesar jagung!
Tusss! Tusss!
Benda bulat berwarna biru gelap itu meluncur dengan kecepatan tinggi kearah Pendekar Naga Putih!
Melihat empat buah benda bulat sebesar jagung itu, Pendekar Naga Putih segera dapat menebak kalau benda itu merupakan peluru-peluru beracun! Maka, bergegas ia melompat menghindari luncuran benda-benda maut itu.
Namun Gumilang seperti telah menduga gerakan Pendekar Naga Putih. Dan, tokoh sesat itu kembali menyumpitkan peluru-peluru kearah tubuh lawannya yang tengah berada di udara itu!
Menyadari posisinya yang sulit untuk menghindari lagi, Pendekar Naga Putih pun mengibaskan pedanngya memapaki sambaran benda-benda beracun jahat itu!
Tasss! Tasss!
“Haiii…!”
Kaget bukan main Pendekar Naga Putih ketika benda-benda bulat yang ditebasnya itu, ternyata tidak meledak! Melainkan memercikkan cairan berwarna biru pekat yang muncrat dan menebar. Justru percikan itu jauh lebih berbahaya daripada jarum-jarum beracun. Sebab, cairan biru pekat itu adalah jenis racun mengerikan yang bernama ‘Cairan Neraka’. Cepat Pendekar Naga Putih mengelebatkan senjatanya dan menghalau percikan cairan yang diduganya sangat beracun itu.
Cusss…!
“Aaah…!”
Pemuda tampan berjubah putih itu memekik ngeri ketika setetes cairan beracun itu mengenai bagian perutnya!Pucat wajah Pendekar Naga Putih ketika menyaksikan pakaiannya langsung berlubang bagaikan termakan api! Terlebih-lebih lagi ketika ia merasakan sesuatu yang panas menyebar dari bagian tubuhnya yang terkena cairan beracun itu!
Sadar bahwa tubuhnya telah terkena racun jahat yang sangat mengerikan, cepat Pendekar Naga Putih memusatkan pikirannya dan menyatukan dengan pedang mukjizat ditangannya. Sambil memejamkan mata dan tidak perduli dengan rasa sakit yang dideritanya, Pendekar Naga Putih membentak keras bagaikan hendak merobohkan bangunan tempat kediaman Kepala Desa Keranggan!
“Heaaaah…!”
Luar biasa! Hebat sekali bentakan nyaring yang diteriakkan Pendekar Naga Putih. Hembusan angin bertiup keras bagaikan hendak terjadi topan. Bersamaan dengan bentakan itu, Pedang Naga Langitpun lenyap dan bersatu dengan tubuh Pendekar Naga Putih.
Sedangkan keempat orang tokoh Lembah Beracun itu menggigil hebat akibat bentakan menggelegar Pendekar Naga Putih. Bahkan Suro Lejang yang kepandaiannya paling lemah di antara keempat tokoh sesat itu, sudah melorot jatuh! Jelas, bentakan Pendekar Naga Putih telah membuatnya tak sanggup berdiri tegak.
TUJUH
Apa yang terjadi pada diri Pendekar Naga Putih, benar- benar membuat keempat lawannya terbelalak bagaikan melihat hantu disiang bolong! Tubuh Pendekar Naga Putih menyatu dengan pedang mukjizat Naga Langit, tampak tubuhnya diselimuti dua buah sinar yang sangat menakjubkan!
Lapisan sinar kuning keemasan yang bersumber dari ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, berpendar menyelimuti tubuh sebelah kanannya. Sedangkan bagian kirinya, tampak terbalut lapisan kabut bersinar putih keperakan. Peristiwa itu membuat hati lawan-lawannya terguncang hebat!
“Gila….! Ilmu setan apa lagi yang digunakan pemuda itu?” seru Gumilang dengan wajah pucat bagai mayat! Warna biru yang biasanya terdapat pada wajah lelaki tegap itu, lenyap.
“Iblis…!” desis Lawa Gurintang parau. Jelas hati lelaki tinggi besar itu tengah terancam rasa ngeri yang hebat! Hanya Nini Lawang saja yang tidak mengeluarkan suara. Namun, dari tidak tampaknya lagak genit dan senyum memikat yang selalu menyertai sikapnya. Jelas, wanita genit berwatak cabul itu pun tengah bergetar perasaannya!
Namun peristiwa menggiriskan itu belum selesai! Pendekar Naga Putih tampak melakukan gerakan-gerakan yang menimbulkan suara angin menderu dahsyat! Padahal, gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu pelan sekali. Tapi akibat yang ditimbulkannya sangat menggiriskan! Melihat dari kerut-kerut pada wajahnya, jelas saat itu Pendekar Naga Putih tengah berjuang keras melawan maut!Rupanya jenis racun yang digunakan Gumilang sulit ditaklukan. Meskipun, Pedang Naga Langit telah menyatu dan berubah menjadi kekuatan dahsyat dalam tubuhnya, namun Pendekar Naga Putih harus berjuang menawarkan racun tersebut.
“Kreaaagh…!”
Bersamaan raungan panjang, terdengar suara berkerokotan yang dibarengi kepulan asap kebiruan dan berbau busuk, pertanda Pendekar Naga Putih berhasil melenyapkan racun yang dapat melunakkan dan menghancurkan tubuh korbannya. Dengan napas yang masih memburu dan cucuran keringat membasahi sekujur tubuhnya, tangan pemuda itu bergerak merobek jubah bagian depan tubuhnya.
“Hhh…!” Terdengar helaan nafas lega dari Pendekar Naga Putih, ia melihat sebagian perutnya hanya terdapat luka seperti terjila tapi. Melihat luka seperti terbakar itu, jelas pengaruh racun ‘Cairan Neraka’ yang digunakan Gumilang hanya mampu membakar kulitnya.
“Jahanam keji! Kalian benar-benar iblis yang tidak bisa dibiarkan hidup bebas! Selagi manusia-manusia iblis macam kalian masih bebas berkeliaran di atas dunia ini, bencana akan terus berlanjut. Untuk mencegah bencana itu, kalian sebaiknya harus segera dilenyapkan!” ujar Panji yang kali ini benar-benar dilanda kemarahan hebat!
Melihat wajah pemuda yang selalu tersenyum dan tenang berubah menyeramkan, tanpa sadar empat tokoh Lembah Beracun itu melangkah mundur! Sorot matanya yang mencorong tajam dan menggiriskan dari pemuda tampan itu, membuat wajah manusia kejam itu berubah pucat bagaikan mayat!
Sangat mengerikan memang perbawa yang terpancar dari sosok pemuda berjubah putih itu, sehingga tokoh-tokoh sakti berhati iblis seperti empat tokoh Lembah Beracun itu, ternganga dan tak mampu berbuat apa-apa. Suro Lejang dan Gumilang yang biasanya bertindak kejam dan tak kenal ampun itu gemetar ketakutan! Sehingga, jangankan untuk menyerang lawan, melangkah saja mereka merasa kedua kakinya diganduli beban berat!
“Heaaa…!”
Mendadak Pendekar Naga Putih mengeluarkan pekikan nyaring yang menggetarkan jantung! Bersamaan dengan itu, sepasang lengannya didorong bergantian kearah Suro Lejang dan Gumilang yang hanya bisa memandang ketakutan!
Whusss…! Blarrr…!Blarrr…!
“Aaargh…!”
Terdengar ledakan dahsyat yang diiringi jeritan Suro Lejang dan Gumilang! Tubuh kedua tokoh sesat Lembah Beracun itu tersentak ke belakang. Seolah-olah tubuh mereka dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak tampak!
Derrr…!
Tubuh Suro Lejang meluncur menghantam sebatang pohon besar! Tubuh lelaki berjubah hijau itu, terhempas jatuh bersamaan dengan tumbangannya pohon besarvitu. Setelah berkelojotan disertai erang kesaktian, Suro Lejang tewas seketika. Karena seluruh tulang-tulang di dalam tubuhnya remuk akibat pukulan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, yang dilontarkan Pendekar Naga Putih!
Sedangkan Gumilang mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi! Tubuh lelaki berjubah biru gelap itu, jatuh menimpa dinding batu di halaman samping rumah besar itu. Suara berdentam keras yang disusul dengan gemuruh runtuhnya dinding tembok itu, dan diiringi percikan darah segar yang menyebar membasahi permukaan tanah. Gumilang menggelepar kesakitan dengan kepala pecah! Sesaat kemudian, tubuh kedua tokoh Lembah Beracun itu pun meregang dan nyawanya melayang meninggalkan raga.
Apa yang dialami Suro Lejang dan Gumilang benar- benar membuat jiwa Lawa Gurintang maupun Nini Lawang terguncang hebat! Kedua tokoh utama Lembah Beracun itu terbelalak bagai tak percaya dengan kejadian yang berlangsung didepan mata mereka itu! Kedua tokoh sesat yang selama hidupnya bergelimpang kekerasan dan maut itu, terpekik dengan wajah pucat! Keduanya melangkah mundur, hati mereka diliputi rasa ngeri yang hebat!
Apa yang dipertunjukkan Pendekar Naga Putih itu telah melenyapkan keberanian mereka. Namun Nini Lawang menyadari akan bahaya maut yang mengincar mereka. Dengan menguatkan hatinya, wanita cantik berwatak cabul itu memutar Selendang Mautnya dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya.
“Lawa Gurintang, kita serang pemuda gila itu berbarengan. Setelah itu, kita segera melarikan diri. Kemudian, kita pancing pemuda itu ke Lembah Kematian….” Bisik Nini Lawang dengan suara perlahan, namun jelas bagi Lawa Gurintang.
“Baik, Nini,” sahut Lawa Gurintang sembari merogoh sebuah kantung kain di pinggangnya. “Nini, rasanya kita tidak perlu menggempur pemuda itu. dengar! Begitu aku melepaskan isi bumbung bambu ini, larilah dan selamatkan dirimu. Kita bertemu di dekat jalan masuk Lembah Kematian. Bersiaplah!” sambung Lawa Gurintang yang melihat kesempatan itu.
“Pendekar Naga Putih, sambutlah ini…!” seru Lawa Gurintang sambil melontarkan dua buah bumbung bambu yang tutupnya telah terbuka!
Terdengar suara mengaung ribut ketika puluhan ekor lebah salju, beterbangan marah, secara berkelompok mereka meluncur mengeroyok Pendekar Naga Putih!
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih melihat lebah-lebah berwarna putih seperti butiran salju, menyerbu ke arahnya. Pemuda tampan itu sadar bahwa binatang-binatang itu sangat beracun. Sehingga, Pendekar Naga Putih bergegas melompat mundur. Sadar bahwa lebah-lebah itu akan terus mengejar dan memburunya. Maka, ia mengerahkan tenaga gabungannya untuk memukul mati binatang-binatang yang memiliki sengat beracun yang mematikan. Diiringi bentakan nyaring, Pendekar Naga Putih mengibaskan tangannya. Sambaran angin keras bercicitan mengiringi lontaran pukulan pemuda tampan itu.
Tasss! Tasss!
Pendekar Naga Putih kaget ketika pukulannya hanya mampu meruntuhkan beberapa belas ekor lebah. Sedangkan yang lainnya dapat menghindari sambaran angin pukulan dari pemuda tampan itu. Hhati Pendekar Naga Putih bertambah penasaran ketika pukulan yang dikerahkannya, tidak mengenai binatang-binatang itu. Akhirnya, Pendekar Naga Putih tidak lagi mengumbar pukulannya. Ia hanya berdiri sambil mengerahkan tenaga gabungan yang dimilikinya.
Lebah-lebah yang memiliki racun mematikan itu, langsung mengerubuti tubuh Pendekar Naga Putih. Namun lapisan dua buah sinar yang menyelimuti sekujur tubuh pemuda tampan itu, membuat binatang-binatang itu berjatuhan tewas. Sehingga, dalam waktu singkat lebah-lebah salju itu berserakan di bawah kaki Pendekar Naga Putih dalam keadaan hangus atau beku.
Setelahlebah-lebah salju itu mati, Pendekar Naga Putih segear melesat melakukan pengejaran terhadap Lawa Gurintang dan Nini Lawang. Sekejap saja, tubuh pemuda tampan berjubah putih itupun lenyap dibalik rumah-rumah penduduk.
********************
Sosok berjubah putih itu, terus berkelebat cepat bagaikan bayangan hantu. Kegelapan yang mulai sirna membuat gerakannya semakin leluasa. Sehingga, dalam waktu yang singkat sosok tubuh itu telah jauh meninggalkan Desa Keranggan.
Cukup lama sosok bayangan berjubah putih itu berlari degan kecepatan yang sulit ditangkap oleh mata. Gerakannya baru diperlambat setelah ia tiba di daerah perbukitan tandus. Kemudian, sosok tubuh itu menghentikan larinya. Lalu, ia berdiri tegak dan sepasang matanya merayapi daerah sekitarnya. Namun yang dilihatnya hanya gumpalan-gumpalan batu cadas dan pepohonan kering.
“Aneh… kemana perginya kedua orang iblis keparat itu? Tidak mungkin kalau mereka tidak tersusul olehku? Menilik dari kepandaian yang mereka memiliki, jelas ilmu lari kedua orang tokoh Lembah Beracun itu tidaklah terlalu tinggi. Kecuali pengetahuan mereka tentang racun. Hanya itulah kelebihan yang mereka miliki,” gumam Panji sambil tetap mengedarkan pendangannya dengan kening berkerut.
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya perlahan sambil tetap waspada. Ia sadar kalau musuh-musuhnya kali ini sangatlah berbahaya. Sekali saja ia lengah, nyawanya dapat melayang. Karena racun-racun yang dipergunakan lawannya sangat jahat dan mematikan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan hatinya. Pendekar Naga Putih menduga kalau kedua orang lawannya tidak bersembunyi di tempat itu.
“Apakah mereka telah kembali keLembah Beracun…?” desah Panji ketika tidak menemukan jejak lawannya.
Munculnya dugaan itu, membuat tubuh Pendekar Naga Putih melesat melakukan pengejaran. Sepertinya pemuda tampan itu sudah mengambil keputusan untuk mengunjungi Lembah Beracun yang menjadi tempat kediaman tokoh-tokoh sesat itu. Dugaan Pendekar Naga Putih semakin kuat ketika dalam perjalanan ia menemukan jejak-jejak kedua orang lawannya itu. Hal itu dapat ditemukannya pada pohon- pohon atau batu-batu yang terdapat di kiri kanan jalan setapak. Meskipun hanya kecurigaan, namun Pendekar Naga Putih tetap melakukan pengejaran tanpa khawatir dijebak lawan.
“Hm… mereka sengaja meninggalkan jejak untukku. Iblis-iblis jahat itu tidak ingin melepaskan aku begitu saja,” gumam Panji sambil meneliti sebuah pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan setapak.
Pendekar Naga Putih mengangguk-anggukkan kepala seraya matanya menatapi pohon besara yang telah mati akibat pukulan beracun. Dengan meneliti jenis racun yang terdapat pada batang pohon itu, ia dapat menduga kalau pukulan itu dilakukan oleh Lawa Gurintang. Sebab, pada batang pohon itu terdapat tanda berwarna merah darah. Dan itu merupakan ciri-ciri racun yang dimiliki oleh Lawa Gurintang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih pun kembali melanjutkan pengejarannya. Untuk mencari Lembah Beracun, tidaklah sukar bagi Pendekar Naga Putih. Selain ia pernah mendengar cerita tentang lembah itu dari eyang gurunya, lembah itu pun mudah ditemukan. Sebab, dalam jarak puluhan batang tombak, hawa beracun yang mematikan itu keluar dalam lembah, menandakan tempat itu dikenali orang.
Itu pula yang menjadi patokannya untuk menemukan Lembah Beracun. Jejak-jejak yang diikuti Pendekar Naga Putih, membawa langkah pemuda tampan itu ke wilayah utara. Tampak sebuah pegunungan yang puncaknya terselimuti kabut tebal di hadapan Pendekar Naga Putih, ia pun mempercepat langkahnya.
“Hm…. Tepat dugaanku. Jejak-jejak ini pasti akan membawaku ke kaki Gunung Puncak Awan Hitam. Mulai dari sini, aku harus lebih berhati-hati….” Gumam Panji yang segera mengambil jalan memutar.
Pendekar Naga Putih tersentak mundur beberapa langkah kebelakang. Hembusan hawa berbau busuk yang menerpanya, menyadarkan pemuda tampan itu kalau lembah yang dicarinya sudah dekat. Pendekar Naga Putih segera melompat mundur dan mengambil obat dalam buntalan pakaiannya. Setelah menelan dua pil berwarna putih dan merah, pemuda tampan itu mengerahkan tenaga dalamnya. Untuk mempercepat daya kerja obat yang ditelannya.
Setelah rasa sesak didadanya lenyap, Pendekar Naga Putih melangkah maju. Kali ini Pendekar Naga Putih melangkah sambil mengerahkan tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari hawa beracun yang terbawa angin. Tenaga gabungan berupa lapisan sinar berwarna kuning keemasan dan putih keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya. Hawa beracun yang terhisap segera ditawarkan oleh dua lapisan sinar tersebut.
Langkah kaki pemuda tampan itu terhenti sejenak, karena ia terantuk tulang belulang yang berserakan. Sementara bau busuk makin kuat menusuk hidunngya, membuat hatinya berdebar tegang.
“Gila….! Padahal Lembah Beracun masih belasan tombak di depanku. Tapi, hawanya sanggup membunuh orang-orang yang hendak mendekatinya. Hahhh… Benar-benar mengerikan sekali. Untunglah, aku memiliki unsur tenaga sakti yang mampu menawarkan segala jenis racun. Kalau tidak, setinggi apapun kepandaian yang kumiliki pasti akan mengalami nasib yang serupa dengan tulang belulang manusia malang itu,” desah Panji sambil melompati seonggok tulang belulang manusia yang telah berwarna hitam. Pendekar Naga Putih terhenti sejenak. Dipandanginya sebuah batu besar berbentuk tengkorak kepala manusia.
“Hm…. Sepertinya batu ini merupakan pintu gerbang Lembah Beracun. Aku harus lebih berhati-hati…” gumam Panjii sambil melompat menuruni lembah.
Kening pemuda sakti itu sempat berkerut dan langkahnya pun terhenti sesaat lamanya. Hati Pendekar Naga Putih diliputi rasa heran ketika di tempat itu ia tidak merasakan adanya hawa beracun. Kenyataan itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benaknya. Rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih menghentikan pengerahan tenaga gabungannya. Setelah kedua sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya lenyap, pemuda tampan itu menarik napas dalam-dalam. Keheranannya makin bertambah tatkala ia tidak merasakan adanya hawa beracun yang terhisap oleh tarikan napasnya.
“Aneh….? Mengapa didalam lembah ini tidak terdapat hawa beracun? Lalu, dari mana datanngya hawa beracun yang tersebar hingga puluhan tombak dari tempatini…?” desah hati Panji yang makin tidak mengerti dengan apa yang di alaminya.
Namun Pendekar Naga Putih tidak memikirkannya lebih jauh. Memang, ada terbesit dalam pikirannya kalau semua itu mungkin merupakan permainan kedua orang buruannya. Maka, sambil tetap meningkatkan kewaspadaan, pemuda tampan itu kembali melangkah menyusuri lembah. Meskipun ia melangkah semakin jauh, namun ia tidak menemukan adanya binatang-binatang beracun. Dan Pendekar Naga Putih tetap melanjutkan langkahnya.
“Huppp!”
Cepat Pendekar Naga Putih mundur sejauh tiga batang tombak ketika tiba-tiba saja serangkum angin berbau busuk menyergapnya. Kemudain, pemuda tampan itu berdiri tegak dengan wajah tegang. Dihembuskannya napas perlahan untuk mengusir bau busuk yang sempat terhisap olehnya. Cepat pemuda tampan itu mengerahkan hawa murni untuk mengusir rasa mual yang menyerangnya.
Sadar bahwa hawa busuk menyengat itu dapat menunda langkahnya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam buntalan pakaiannya. Dioleskannya cairan minyak yang terdapat dalam botol sebesar jari kelingking itu dekat lubang hidungnya. Harum kesturi yang terhisap olehnya, membuat langkah Pendekar Naga Putih kembali terayun memasuki lembah. Pendekar Naga Putih melanjutkan langkahnya perlahan tiba-tiba terngiang di telinga ucapan-ucapan mendiang eyang gurunya.
“Panji, Cucuku. Daerah Lembah Beracun bukan saja sangat berbahaya. Tapi letaknya yang tersembunyi dapat membuat musuhnya tersesat ke Lembah Kematian. Sebab, selain Lembah Beracun, masih ada sebuah lembah yang bernama Lembah Kematian. Jarak antara keduanya boleh dibilang hampir menjadi satu. Memang ada jalan rahasia, tapi hanya diketahui oleh para penghuni Lembah Beracun. Dan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan tersesat di Lembah Kematian,” demikian ucapan Eyang Tirtayasa.
“Apakah Lembah Kematian itu tidak ada penghuninya, Eyang…?” tanya panju saat itu.
“Tentu saja ada, Cucuku. Namun, tokoh gila yang tinggal di Lembah Kematian itu pun tidak pernah menemukan jalan rahasia menuju Lembah Beracun. Selain itu, tokoh gila yang memiliki kepandaian yang tidak lumrah bagi manusia, tidak berusaha untuk mencarinya. Ia pun enggan bermusuhan dengan tokoh-tokoh Lembah Beracun. Kedua penghuni lembah itu tidak pernah saling ganggu. Mereka tidak ingin berselisih satu sama lain. Kepandaian tokoh Lembah Kematian yang sangat tinggi, membuatnya tidak tewas oleh hawa jahat dari Lembah Beracun. Hanya pikirannya saja yang terganggu. Itu sebabnya ia dijuluki Dewa Gila Lembah Kematian. Meski ia tidak jahat, namun setiap orang yang memasuki lembah kediamannya, pasti tidak pernah kembali dengan selamat.”
Pendekar Naga Putih termenung mengingat ucapan eyang gurunya ketika ia hendak terjun ke dunia ramai. Ingatan itu membuatnya semakin waspada.
“Mungkinkah aku telah tersesat ke Lembah Kematian…?” desis Panji dengan wajah tegang!
DELAPAN
Ketegangan yang tergurat diwajah Pendekar Naga Putih nampak jelas saat ia teringat sergapan hawa busuk, pemuda tampan itu menduga kalau bau itu berasal dari bangkai manusia yang tersesat dilembah itu.
“Hm… Tidak salah lagi. Tempat ini pastilah Lembah Kematian. Entah sudah berapa banyak manusia tewas di tempat ini? Mungkinkah tokoh berjuluk Dewa Gila Lembah Kematian itu masih hidup?” gumam Pendekar Naga Putih dengan urat-urat syarafnya menegang.
Kebimbangan tergambar jelas diwajah Pendekar Naga Putih. Ingatannya tentang tokoh gila yang menjadi penghuni lembah itu, membuat langkahnya terhenti. Namun, bayangan dua orang buruannya tetap mengganggu pikirannya. Pemuda tampan itu ragu untuk meninggalkan Lembah Kematian. Bayangan dua orang tokoh Lembah Beracun, membuat Pendekar Naga Putih nekat melanjutkan langkahnya.Dia pun berharap agar tokoh menggiriskan itu tewas dimakan usianya.
Namun, langkah Pendekar Naga Putih mendadak terhenti! Suara sambaran angin tertangkap dari arah kirinya, membuat urat syaraf pemuda itu menegang! Dan ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan! Ketika pemuda tampan itu mencium benda-benda berbau busuk yang menusuk cuping hidungnya, cepat ia mendorongkan telapak tangannya dan melontarkan pukulan jarak jauh!
Wuuut…!
Kraghhh! Kraghhh!
Luncuran benda-benda berbau busuk yang berasal dari tulang belulang menusia itu hancur terhantam pukulan Pendekar Naga Putih. Pemuda tampan itu kaget setelah mengetahui benda yang digunakan untuk menyerang dirinya. Belum rasa terkejutnya hilang, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar!
“Ha ha ha…!”
Gema suara tawa itu terus berkumandang seraya menimbulkan hembusan angin yang kencang, membuat pohon-pohon yang tumbuh dilembah itu berderak ribut dan bertumbangan satu persatu.
Pendekar Naga Putih sadar akan kedahsyatan serangan yang dikirim lawannya melalui suara tawa itu, ia cepat mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi isi dadanya. Bukan main kagetnya Pendekar Naga Putih, ketika mendapat kenyataan yang mengejutkan! Sebab, meskipun ia telah mengerahkan seluruh kekuatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan-nya. Pengaruh tawa itu ternyata masih mampu menggetarkan isi dadanya.
“Gila…!” desis Panji ketika merasakan betapa dahsyatnya tenaga yang disalurkan melalui suara tawa itu. Diam-diam hati pemuda sakti itu berebar keras. Dalam benaknya, terlintas sosok tokoh Lembah Kematian, yang memiliki kepandaian tidak lumrah bagi manusia biasa itu. Pendekar Naga Putih sadar yang dihadapinya kali ini seorang lawan yang tangguh dan kepandaiannya sukar diukur! Pendekar Naga Putih menarik nafas lega tat kala suara tawa itu lenyap. Tapi, ia kembali tersentak kaget! Teedengar suara berdesing keras dari dua sosok tubuh, menyerang ke arah tubuhnya.
“Haiiit…!”
Teriakan nyaring yang dibarengi pukulan maut itu membuat Pendekar Naga Putih mengayunkan kedua tangannya secara bergantian!
Wuuut… Wuuut…!
Serangkum angin pukulan mengeluarkan hawa dingin dan panas, meluncur deras kearah dua sosok tubuh yang sedang mengarah ketubuh Pendekar Naga Putih!
Buggg! Desss…!
Dua sosok tubuh yang tengah mengapung diudara itu, tersentak balik akibat hantaman tenaga dahsyat Pendekar Naga Putih!
Namun pemuda tampan itu merasa heran. Karena ia tidak mendengar keluhan dari kedua sosok tubuh yang terhantam pukulannya itu. Ia segera melompat mendekati kedua sosok tubuh yang tergeletak didepannya. Dan apa yang dilihatnya, kembali membuat hati Pendekar Naga Putih dicekam ketegangan hebat!
“Gila….! Siapa yang telah membunuh mereka…?” desis Panji ketika ia mengenali kedua sosok tubuh itu yang ternyata Lawa Gurintang dan Nini Lawang.
Kedua tubuh tokoh Lembah Beracun itu hampir tidak dapat dikenali lagi, membuat Pendekar Naga Putih melompat mundur hingga tiga batang tombak jauhnya. Pemuda tampan itu mengedarkan pandangannya berkeliling dengan otot-otot syarafnya menegang.
“Siapa pun kau, tunjukkan wujudmu! Sebab, melakukan penyerangan secara sembunyi adalah perbuatan seorang pengecut!” seru Panji sambil mengerahkan indera pendengarannya agar dapat menangkap gerakan yang sekecil apapun.
“Ha ha ha…! Kau benar-benar memiliki nyali yang besar Anak Muda! Sayangnya matamu buta. Sehingga, kau tidak melihat bahwa aku berada didekatmu!” suara parau yang membuat kepala Panji menoleh kesamping kirinya.
Ketegangan kembali menyelimuti hati Pendekar Naga Putih. Seluruh indera pendengarannya dikerahkan, tapi tidak mampu menangkap gerakan sosok tinggi kurus itu. Padahal, ia tahu pasti kalau beberapa saat tadi sosok itu sama sekali tidak dilihatnya. Tentu saja kehadiran sosok tinggi kurus itu yang sama sekali tidak diketahuinya itu membuat Pendekar Naga Putih terkejut!
Sosok tinggi kurus berpakaian compang-camping itu, menatap tajam ke arah Pendekar Naga Putih. Rambut, jenggot dan kumisnya yang awut-awutan itu, makin menambah keangkeran dan kegarangan kakek itu. kulit wajahnya nyaris tak berdaging itu, menandakan usianya sudah sangat tua. Matanya bersinar kehijauan, sempat membuat hati Pendekar Naga Putih tergetar. Pemuda tampan itu melangkah mundur beberapa tindak, tanpa sadar. Tapi, ia segera menguasai perasaannya. Dipandanginya wajah kakek itu penuh selidik.
“Maafkan aku, Kakek! Aku mencari kedua manusia yang jahat itu. Karena itu tanpa sengaja aku telah tersesat ketempat ini. Namun karena kedua musuhku telah tewas, aku mohon diri meninggalkan tempat ini,” ucap Panji sopan sambil membungkuk hormat.
“Ha ha ha…! Ucapan apa itu, Bocah? Rupaya kau belum tahu tempat apa yang telah kau masuki ini? Sadarkan kau berhadapan dengan siapa saat ini?” tegur kakek kurus itu.
“Maafkan aku, Kakek. Meskipun aku mengetahui siapa sebenarnya Kakek. Namun karena di antara kita tidak mempunyai persoalan, aku mohon kepada Kakek untuk mengizinkan aku pergi dari tempat ini,” ucap Panji lagi, tetap dengan nada sopan dan penuh rasa hormat.
“Hm… Tidak semudah itu, Bocah!” cetus kakek itu dengan wajah berubah bengis. “Ketahuilah, Bocah. Kau telah memasuki Lembah Kematian. Dan, itu merupakan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan! Siapa pun yang memasuki lembah ini, ia tidak akan kubiarkan keluar dalam keadaan hidup! Mayatnya harus menjadi penghuni Lembah Kematian! Nah, bagaimana kau bisa mengatakan kita tidak mempunyai urusan?” tanya kakek kurus itu dengan tatapan penuh ancaman.
“Kakek, aku menghormatimu, karena aku paham bahwa kau adalah penghuni lembah ini yang berjuluk Dewa Gila. Selain itu, mengingat usia Kakek yang sudah tua, bukankah lebih baik Kakek hidup tenang tanpa permusuhan? Nah, izinkahlah aku meninggalkan lembah ini. Dan, aku akan mengingat Kakek sebagai orang tua yang bijaksana dan baik hati,” sahut Panji berusaha menghindari perkelahian.
Alasan yang dikemukakan pemuda tampan itu, bukan karena rasa takut. Pendekar Naga Putih sadar akan kedahsyatan ilmu kakek itu, namun tidak terbesit rasa takut di hatinya. Hanya karena mengingat tidak adanya permusuhan diantara mereka, maka Pendekar Naga Putih berusaha menghindari perkelahian. Apalagi kedua musuhnya telah tewas di tangan kakek itu. Dan Pendekar Naga Putih merasa persoalannya sudah selesai.
“He he he… Bagus kalau kau telah mengenalku, Bocah. Itu sama artinya kau sudah mengetahui peraturan yang berlaku diLembah Kematian. Dan peraturan itu tidak bisa kau indahkan begitu saja. Sekarang, kau bersiaplah untuk melayat ke akhirat. Karena aku tidak suka membunuh orang tanpa perlawanan,” ujar Dewa Gila Lembah Kematian itu.
Setelah berkata demikian, penghuni Lembah Kematian melangkah kearah Pendekar Naga Putih. Gerakan kakek itu mengejutkan sekali! Langkah kakinya yang terlihat perlahan sekali, tapi membuat tubuhnya meluncur cepat bagai kapas tertiup angin. Sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh kakek itu telah berada satu tombak di depan Pendekar Naga Putih.
“Tunggu dulu, Kakek…!” cegah Panji sambil melangkah mundur hingga satu tombak.
“Ada apa lagi, Bocah?” tanya dengan mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Panji. Tangannya yang semula siap melontarkan pukulan maut, menjadi mengapung di udara.
“Bagaimaan kalau kita bertaruh…?” usul Panji sambil menatap wajah kakek itu lekat-lekat.
“Kurang ajar…! Sadarkah bahwa kau telah melakukan kesalahan besar! Untuk itu kau harus mati tanpa boleh mengajukan permintaan atau apapun yang sejenis dengan itu! Keluarkanlah seluruh kepandaian yang kau miliki!Jalan satu-satunya hanya itu untuk keluar hidup-hidup dari tempat ini hanyalah dengan membunuhku! Dan itu merupakan suatu hal yang mustahil!” bentak Dewa Gila Lembah Kematian.
Pendekar Naga Putih sadar bahwa ia tidak akan mungkin dapat keluar dari Lembah Kematian tanpa mengalahkan penghuninya. Pemuda tampan itu bersiap menyambut serangan Dewa Gila Lembah Kematian! Sejenak Pendekar Naga Putih menoleh kearah dua sosok mayat tokoh Lembah Beracun itu.
“Hm… Rupanya mereka sempat dilihat penghuni Lembah Kematian ketika memasuki Lembah Beracun. Sehingga, kakek gila itu membunuh mereka tanpa ampun,” gumam Panji seraya mengalihkan pandangannya kearah kakek kurus itu.
“He he he… Mereka terpaksa kubunuh. Karena mereka telah berani meninggalkan racun ditempat ini. Aku sudah tidak suka kepada mereka, karena selalu keluar masuk melalui wilayahku. Walaupun untuk memasuki Lembah Beracun harus melalui wilayahku namun kehadiran mereka sempat terlihat olehku, tentu saja tidak bisa kudiamkan begitu saja. Siapa saja yang memasuki lembah ini dan terlihat olehku, mereka harus mati. Sekalipun mereka penghuni Lembah Beracun!” jelas Dewa Gila Lembah Kematian.
“Hm… Jelas aku tidak mungkin keluar dari tempat ini. Tidak ada jalan lain, aku harus menewaskannya agar dapat meninggalkan tempat celaka ini.” gumam Panji yang segera memasang kuda-kudanya dengan tubuh rendah. Hal itu dilakukannya ketika melihat Dewa Gila Lembah Kematian telah siap melontarkan serangan kepadanya. Pendekar Naga Putih menyongsong serangan lawan. Sengaja ia tidak melakukan serangan lebih dahulu. Karena akan membuka pertahanan dirinya.
Dewa Gila Lembah Kematian melihat lawannya belum juga bergerak, mengerutkan kening sejenak. Senyum tipis mengembang di bibirnya ketika melihat posisi Pendekar Naga Putih. Senyum yang menandakan kegembiraan hatinya itu, semakin melebar. Sepertinya dengan melihat posisi lawan, ia dapat menduga bahwa calon korbannya bukan orang sembarangan. Apalagi sikap dan wajah Pendekar Naga Putih tidak mencerminkan rasa takut meski telah mengenal nama julukannya. Jelas, pemuda tampan itu berbeda dengan korban-korban sebelumnya.
“Heaaa…!”
Dibarengi dengan teriakan nyaring, tubuh tinggi kurus itu melesat cepat! Sepasang tangannya yang berbentuk cakar menyambar-nyambar dan menimbulkan suara mencicit tajam. Jelas, serangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang penuh dan berbahaya!
Wuuut…! Wuuut…!
Begitu sambaran lawan tiba, Pendekar Naga Putih cepat menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak dari bawah ke atas dengan menimbulkan angin berkesiutan! Sambaran angin berhawa panas menyengat keluar dari tangan itu, sempat membuat penghuni Lembah Kematian terkejut!
Namun sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang digerakkan dengan kecepatan tinggi itu, tidak membuatnya repot. Dengan gerakan aneh dan lucu, kakek kurus itu menarik perutnya ke dalam dengan gerakan pantat yang megol-megol seperti bebek berjalan. Serangan lawan yang berkecepatan tinggi itu berhasil dipatakannya. Bahkan gerakan itu masih disusul dengan putaran tubuh melingkar. Sambil bergerak, tangan kanannya ikut mengancam tengkuk Pendekar Naga Putih!
Wuuuk…!
Cepat Pendekar Naga Putih menekukkan lututnya dan mendoyongkan tubuh ke belakang. Namun, ia tak menduga sama sekali, pukulan telapak tangan yang luput itu kembali berputar dan langsung bergerak naik mengancam dadanya! Sadar serangan mendadak itu sulit dihindari, Pendekar Naga Putih memutar tangan kiriya untuk memapaki cengkeraman itu!
Plarrr…!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Tubuh keduanya terpental hingga tiga tombak ke belakang! Namun, Dewa Gila Lembah Kematian dapat mematahkannya dengan gerakan tubuh berputar. Sehingga tubuh kakek itu kembali siap dalam posisi kuda-kuda yang kokoh dan aneh.
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri harus melempar tubuhnya ke belakang dan berjumpalitan tiga kali diudara. Kemudian ia dapat mendaratkan kakinya dengan baik. Melihat dari seringai diwajahnya, jelas Pendekar Naga Putih merasakan akibat benturan keras itu.
Dewa Gila Lembah Kematian sendiri, sempat terheran-heran dengan keadaan itu. Sepertinya kakek kurus itu belum dapat mempercayai apa yang menimpanya barusan. Tampak wajah kakek kurus itu terlongong bagaikan orang tolol. Rasa keheranan iu membuatnya makin penasaran. Tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya kembali meluruk ke arah Pendekar Naga Putih!
Serangan yang dilancarkan Dewa Gila Lembah Kematian kali ini, benar-benar sangat mengerikan sekali! Angin keras berhembus hingga membuat pepohonan di sekitarnya berderak roboh! Bahkan beberapa semak perdu yang akarnya tak kuat menahan putaran angin keras itu langsung tercabut keluar. Sehingga dalam sekejapan saja, tempat itu dipenuhi semak-semak dan dedaunan yang berterbangan!
Melihat kenyataan itu, Pendekar Naga Putih sadar bahwa Dewa Gila Lembah Kematian, memang bermaksud membunuhnya. Pemuda tampan itu segera memusatkan pikirannya, sambil menatap ke arah lawan dengan pandangan tajam. Sesaat kemudian, tercipta dua lapisan sinar menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih!
Hembusan angin yang saling bertentangan menebar disekitar arena pertarungan maut itu. Bahkan ketika Pendekar Naga Putih menggerak-gerakkan tangannya dengan jurus ilmu ‘Silat Naga Sakti’, gulungan angin berwarna kuning keemasan dan putih keperakan berputar kencang membuat arena pertempuran makin kacau balau.
“Ha ha ha…. Tidak kusangka kalau menjelang akhir hayatku ini, aku berhadapan dengan anak muda berilmu tinggi sepertimu. Hm…. Kau memang pantas untuk dikagumi, Bocah! Merupakan kehormatan besar jika aku dapat membunuhmu,” ujar Dewa Gila Lembah Kematian yang mengenali lawannya setelah melihat lapisan kabut bersinar puith keperakan. Meskipun keningnya sempat berkerut ketika melihat sinar lain yang menyelimuti tubuh sebelah kanan pemuda itu, Dewa Gila Lembah Kematian tetap melanjutkan serangannya.
“Yeaaat…!”
Diiringi teriakan panjang, tubuh kakek kurus itu bergerak cepat dengan langkah-langkah aneh. Sepasang tangannya menyambar-nyambar dan menimbulkan angin bercicitan tajam!
Bettt! Bettt! Bettt!
Sekali menyerang, Dewa Gila Lembah Kematian langsung melontarkan serangkaian pukulan maut! Angin pukulannya meluncur datang sebelum cengkeraman maupun kepalan kakek kurus itu tiba. Angin pukulan yang terlontar dari setiap serangan kakek kurus itu tidak dapat dianggap remeh. Sebab, jangankan terkena tubuh manusia, pohon besar dua pelukan orang dewasapun akan roboh bila terkena angin pukulan Dewa Gila Lembah Kematian. Serangan yang dilancarkan kakek kurus itu sangat dahsyat sekali!
Pendekar Naga Putih sendiri sempat repot oleh serangkaian serangan yang mengancam tubuhnya. Ia pun terpaksa bergerak cepat menghindari setiap pukulan lawannya. Nyaris pada gebrakan pertama Pendekar Naga Putih tidak mendapat peluang sedikitpun untuk membalas gempuran lawannya. Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan cepat di antara sambaran-sambaran pukulan lawannya. Terkadang pemuda tampan itu melakukan lompatan panjang, menghindari gempuran yang dilancarkan Dewa Gila Lembah Kematian.
Beruntung Pendekar Naga Putih telah memiliki pendengaran maupun penglihatan yang tajam. Walaupun ia terdesak oleh lontaran pukulan lawan, tapi pemuda tampan tu sempat mengirimkan satu dua pukulan setiap ada kesempatan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Tanpa disadari, keduanya telah bertarung kurang lebih seratus jurus! Meski pertarungan telah berlangsung demikian jauh, namun belum nampak tanda-tanda kelelahan pada diri Dewa Gila Lembah Kematian. Padahal, usianya telah mencapai seratus tahun lebih. Kenyataan itu tentu saja membuat hati Pendekar Naga Putih menjadi kagum. Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus dua puluh, tiba-tiba Dewa Gila Lembah Kematian mengeluarkan pekikan nyaring yang mengejutkan lawna. Berbarengan dengan itu, ia langsung memutar tubuhnya seperti baling-baling.
Pendekar Naga Putih terkejut melihat tubuh lawannya mendadak lenyap! Yang dilihatnya, hanya gulungan angin yang terus mendesaknya. Gerakan lawan yang cepat dan tak terduga itu, membuat Pendekar Naga Putih tidak sempat menghindari pukulan lawan. Dua buah pukulan lawan muncul dari gulungan itu mencelat dan menghantam dada serta perut Pendekar Naga Putih!
Buggg! Desss…!
“Aaakh…!”
Pendekar Naga Putih memekik tertahan ketika dua buah pukulan Dewa Gila Lembah Kematian menghajar telak dadanya dan perutnya! Kontan tubuh Pendekar Naga Putih tersentak keras ke belakang. Dan cairan merah muncrat dari mulutnya.
Brakkk…!
Sebuah pohon besar yang tida tombak berada dibelakangnya, langsung tumbang ketika terhantam tubuh Pendekar Naga Putih. Sedang pemuda tampan itu sendiri, melorot jatuh ketanah. Dadanya serasa remuk. Pendekar Naga Putih bangkit dan mencoba berdiri tegak. Lapisan kabut bersinar putih keperakan, lenyap seketika. Sedangkan lapisan sinar keemasan menebar menyelimuti sekujur tubuh pemuda tampan itu. Sehingga, tubuh Pendekar Naga Putih bagai terselimuti kobaran api yang amat panas!
Sepasang mata Dewa Gila Lembah Kematian terbelalak takjub melihat kenyataan itu! Kakek kurus itu tidak menduga ‘Tenaga Inti Panas Bumi’ tengah melebur luka dalam yang diderita pemuda tampan itu. Bukan hanya lawannya yang merasa heran dengan kejadian itu. Pendekar Naga Putih sendiri terkejut pula dengan apa yang dialaminya. Namun rasa terkejut mereka berbeda. Bagi Pendekar Naga Putih kejadian itu sangat menggembirakan. Sebab makin melebarnya sinar keemasan yang melebur luka dalam tubuhnya, menandakan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’ telah bereaksi bila ada yang tidak beres dalam tubuh pemuda tampan itu.
Kekuatan daya tolak tenaga sakti yang berasal dari Pedang Naga Langit itu, memang mempunyai khasiat untuk meleburkan racun maupun luka dalam. Sehingga dalam beberapa saat saja, luka akibat pukulan Dewa Gila Lembah Kematian lenyap tanpa bekas.
Sedangkan Dewa Gila Lembah Kematian heran bukan main melihat kejadian itu. Sebagai seorang tokoh sakti yang memiliki pengetahuan tinggi, ia segera mengetahui apa yang barusan dialami lawannya. Justru hal itu makin menambah kegembiraan hatinya. Sebab, ia merasa kali ini benar-benar menemui lawan yang tangguh!
Sambil terkekeh parau, Dewa Gila Lembah Kematian kembali menyiapkan serangannya. Sepasang tangannya berputaran bagaikan baling-baling yang kemudian diikuti dengan putaran tubuhnya. Sepertinya kakek kurus itu ingin mengulangi keberhasilan serangannya.
“Haiiit…!” Disertai teriakan nyaring yang memekakkan telinga, tubuh kurus itu melompat dengan serangan-serangan dahsyatnya.
Pendekar Naga Putih pun tidak mau kalah! Dengan membuat gerakan pembukaan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’, tubuh pemuda tampan itu melesat menyambut serangan lawannya! Tubuh kedua tokoh sakti itu saling berputaran dan meluncur deras dengan serangan-serangan dahsyat!
“Yeaaa…!”
“Haaat…!”
Pyarrr…!
Hebat sekali pertemuan kedua tenaga dalam raksasa yang tersalur lewat telapk tangan mereka, luar biasa! Bumi sekitar Lembah Kematian bagaikan diguncang gempa yang hebat! Bahkan beberapa pohon kecil langsung bertumbangan! Demikian pula halnya dengan tubuh kedua orang tokoh itu terdorong ke belakang bagaikan sehelai daun kering!
Namun baik Pendekar Naga Putih maupun Dewa Gila Lembah Kematian memang bukan tokoh-tokoh sembarangan! Sehingga daya luncur tubuh mereka yang deras itu, dapat dipatahkan dengan cara berjumpalitan bebrapa kali di udara. Mereka pun dapat mendarat kembali di atas tanah dengan selamat! Meski kuda-kuda mereka agak goyah ketika menjejak tanah, namun jelas keduanya sama sekali tidak mengalami luka parah.
Pendekar Naga Putih tidak ingin meluangkan kesempatan sedikitpun! Ketika kedua kakinya mendarat meski sedikit goyah, tubuhnya kembali melambung, dan langsung mengirimkan serangannya yang menimbulkan suara mencicit tajam! Serangannya kali ini menggunakan tenaga gabungannya.
“Haaat…!”
Teriakan nyaring bergema dengan diiringi luncuran tubuh Pendekar Naga Putih kearah lawannya! Angin keras berputaran membentuk bulatan-bulatan sinar menyilaukan mata. Dari bulatan dua buah sinar itu, membentuk cakar- cakar naga yang berhawa maut!
Pendekar Naga Putih kembali menggunakan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’untuk kedua kalinya menghadapi Dewa Gila Lembah Kematian. Serangan dahsyat yang dilancarkan pemuda tampan itu sempat membuat penghuni Lembah Kematian menyadari, tidaklah mungkin dapat menghindari serangan itu, maka kakek kurus itupun memapakinya sambil melompat menyambut gempuran pemuda tampan berjubah putih itu!
Dewa Gila belum mengetahui sama sekali keistimewaan jurus lawannya. Sehingga, ketika ia melihat cakar lawan menyambar, cepat dipapakinya dengan tamparan tangan kiri! Kakek kurus itu terkejut bukan main! Cakar lawanyang diduganya hendak mencengkeram dada, tiba-tiba melejit menghindari tamparannya. Gerakan yang licin bagaikan liukan tubuh naga itu, berputar cepat, dan meluruk mengancam lambung Dewa Gila Lembah Kematian! Bahkan disusuli dengan hantaman telapak tangan kearah dada lawan. Maka…
Brettt…! Diesss…!
“Aaakh…!”
Dewa Gila Lembah Kematian menjerit kesakitan ketika cakaran dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih tepat mengenai sasarannya! Dan tubuh kurus itupun langsung terpental deras hingga lima tombak jauhnya. Lalu, terbanting keatas tanah berbatu. Namun daya tahan tokoh sakti Lembah Kematian itu memang tidak lumrah bagi manusia biasa! Secepatnya tubuhnya jatuh, secepat pula ia melompat bangkit, meski agak terhuyung dan limbungke belakang. Cairan merah pun tampak menetes dari sudut bibirnya. Sayang pada saat tubuh kakek kurus itu tertatih mundur, sebuah tendangan keras dari Pendekar Naga Putih telah bersarang di dadanya!
Buggg…!
“Huaaakh…!”
Darah segar langsung menyembur dari mulut kakek kurus itu. tubuhnya kembali terjengkang hingga mencapai tiga batang tombak dan terbanting jatuh tanpa dapat bangkit kembali. Kakek kurus itu menggelepar ditanah, jari tangannya bergerak-gerak menahan rasa sakit bukan kepalang.
Melihat lawannya sudah tergeletak dengan napas satu- satu, Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati mendekatinya. Otot-otot tubuhnya tetap menegang, siap menghadapi serangan mendadak. Namun ketika mendapat kenyataan bahwa Dewa Gila Lembah Kematian sudah tidak mampu bangkit lagi,cepat pemuda tampan itu membungkuk dan memeriksa tubuh kakek kurus itu.
“Maafkan aku, Kakek. Semua ini terjadi karena kau yang memaksaku,” ucap Panji yang bersiap untuk mengobati luka-luka lawannya.
“Kau sama sekali tidak bersalah, Anak Muda. Memang kematian seperti inilah yang kudambakan semenjak dahulu. Aku tidak sudi mati karena penyakit tua. Itulah sebabnya mengapa aku selalu membunuh siapa saja yang memasuki lembah ini. dan sekarang aku benar-benar merasa puas.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, kepala Dewa Gila Lembah Kematian terkulai. Karena nyawanya telah meningggalkan raga. Tokoh sakti menggiriskan itu tewas dengan senyum puas yang menghias wajahnya.
Pendekar Naga Putih termenung sesaat setelah mengetahui Dewa Gila Lembah Kematian benar-benar telah pergi. Beberapa saatckemudian, pemuda tampan itu bergerak bangkit. Digalinya tanah gembur untuk menguburkan ketiga sosok mayat yang tergeletak ditempat itu.
Tak lama kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas meninggalkan Lembah Kematian untuk menjemput kekasihnya. Hatinya lega. Karena bencana yang dibuat oleh tokoh-tokoh Lembah Beracun yang membuatnya sampai tersesat di Lembah Kematian itu telah berakhir.
Hembusan angin bersilir lembut, mengiringi ayunan langkah Pendekar Naga Putih. Sejenak kepala pemuda tampan itu menengadah menatap cakrawala luas. Sepertinya pemuda tampan itu tengah membayangkan petualangan-petualangan lainnya yang merupakan garis perjalanan hidupnya.
S E L E S A I