Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pengemban Dosa Turunan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Pengemban Dosa Turunan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
MATAHARI sudah hampir tenggelam di kaki langit sebelah Barat. Cahaya kemerahan tampak menyala bagaikan kobaran api membakar cakrawala. Senja mulai datang menyapa bumi.
Dalam suasana yang mulai remang-remang itu, tampak dua sosok tubuh bergerak menuju Pantai Timur Laut Bandan. Gerakan keduanya yang sangat ringan dan cepat hanya menimbulkan bayangan yang tak jelas. Meskipun demikian, jelas terlihat kalau kedua sosok bayangan itu adalah lelaki dan perempuan. Hal ini dapat dikenali dari perawakan mereka.
Sosok pertama bertubuh tinggi kurus dan terbungkus jubah panjang berwarna coklat. Bila dilihat secara jelas, tampaklah raut wajahnya yang keras dan memancarkan perbawa yang kuat. Dalam usianya yang kira-kira sekitar enam puluh tahun, lelaki itu terlihat sangat angker dan matang. Bahkan, raut wajah angker itu masih ditambah lagi dengan kumis dan jenggot yang tertata rapi, meski sebagian tampak telah memutih. Jelas, sosok pertama ini adalah orang yang selalu menjaga kesehatan dan kebersihan dirinya.
Berbeda dengan penampilan sosok pertama, sosok kedua yang berlari di sebelah kiri sosok tinggi kurus itu memiliki bentuk tubuh yang langsing dan padat. Secara selintas, orang akan menduga bahwa sosok kedua itu pastilah seorang gadis remaja. Tapi, dugaan ini sama sekali tidak betul. Sebab, sosok ramping padat itu adalah seorang wanita yang telah cukup berumur. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Meskipun demikian, baik wajah maupun tubuhnya tampak masih demikian segar, tak ubahnya seorang gadis remaja.
Kedua sosok yang tengah bergerak menuju Pantai Timur Laut Bandan itu jangan dikira hanya merupakan pasangan suami-istri yang hendak pesiar. Bagi kaum rimba persilatan, sepasang pria-wanita yang memang merupakan pasangan suami-istri itu tidaklah asing lagi.
Selain sangat terkenal dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, keduanya juga merupakan pemimpin tokoh-tokoh persilatan di daerah Timur. Bahkan, mereka memiliki julukan yang cukup menggetarkan, yaitu Sepasang Ular Perak. Demikian-lah julukan yang didapat dari tokoh-tokoh persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Dan, julukan itu pun telah tersebar di empat penjuru angin.
Tidak berapa lama kemudian, kedua sosok pendekar itu pun tibalah di suatu tempat berpasir putih. Mereka tampak menghentikan langkah dan berdiri tegak menatap ombak lautan. Bagaikan hendak menembus keremangan senja, bola-bola mata kedua tokoh itu terus melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan sorot tajam. Jelas, ada sesuatu yang membuat sepa- sang pendekar itu melakukannya.
“Yakinkah kau bahwa iblis keji itu akan memenuhi janjinya, Kakang...?” Sosok wanita cantik yang mengenakan pakaian berwarna hijau muda itu terdengar bertanya dengan suara agak keras. Karena, jika tidak, deburan ombak yang saling bersahutan dan menimbulkan gemuruh bisa menelan ucapannya.
Sosok tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan tidak segera menjawab pertanyaan istrinya. Sepasang matanya masih tetap mengawasi air laut sambil menarik napas perlahan. Beberapa saat kemudian, baru lelaki itu menoleh dan berkata.
“Hhhh..., sebenarnya aku pun tidak begitu yakin akan janji seorang tokoh sesat seperti Elang Laut Utara itu, Nyai. Tapi, entah mengapa, saat ini aku masih percaya terhadap ucapannya. Sepertinya aku benar-benar yakin kalau iblis itu akan muncul untuk menepati janjinya. Sebab, dialah yang mengajukan tantangan ini, bukan kita...” Demikian jawaban yang keluar dari mulut Ular Perak Jantan. Kini semakin jelaslah, apa sebenarnya maksud Sepasang Ular Perak mendatangi Pantai Timur Laut Bandan.
“Sebenarnya, lima belas tahun yang lalu, kita dapat saja melenyapkan iblis itu untuk selamanya, Kakang. Sayang, iblis itu memiliki lidah yang tajam dan pandai memutar kata-kata, sehingga kita berdua dapat ditipunya mentah-mentah. Kalau tidak, rasanya hari ini tidak perlu kita bersusah payah mendatangi tempat itu,” kata Ular Perak Betina dengan nada sedikit menyesali masa lalunya, yang tampaknya berhubungan dengan kedatangan mereka pada senja ini.
“Sudahlah. Tidak baik menyesali sesuatu yang telah lewat. Sebaiknya kita tunggu saja kedatangan iblis itu dengan hati tenang. Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Siapa tahu Elang Laut Utara telah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Dan, bukan tidak mungkin kalau justru kita berdualah yang akan dikalahkannya hari ini. Untuk itu, sebaiknya kau berhati-hati, Nyai. Jangan pandang remeh sebelum mengetahui kepandaiannya yang sekarang...”
Ular Perak Jantan terdengar menasehati istrinya dengan ucapan yang sengaja ditekan, agar istrinya tidak meremehkan orang yang mereka tunggu. Sayang, ucapan Ular Perak Jantan dianggap sebagai tanda takut. Sehingga, wanita cantik yang wajahnya tampak jauh lebih muda dari usianya itu terlihat mencebikkan bibir. Jelas sekali kalau Ular Perak Betina tidak mengindahkan nasihat suaminya.
Hal ini tampaknya memang wajar. Karena, seperti terdengar dari pembicaraan mereka tentang pertemuan dengan ‘iblis’ pada lima belas tahun yang lalu itu, kelihatannya orang yang kini sedang mereka tunggu tidaklah terlalu membahayakan. Bahkan, tampaknya orang itu pernah kalah atau dipecundangi oleh keduanya. Alasan inilah yang mungkin membuat Ular Perak Betina tidak begitu mempedulikan kemungkinan-kemungkinan yang dijabarkan suaminya.
Ular Perak Betina, yang semula terlihat hendak mengungkapkan rasa penasaran hatinya, menunda ucapannya. Sebab, pada saat itu, terlihat suaminya menunjuk ke satu titik yang terombang-ambing dipermainkan ombak lautan.
“Apa itu, Kakang...?” tanya Ular Perak Betina sambil mengerutkan kening dan mencoba mempertajam pandangan matanya. Sayang, karena ombak laut terka- dang seperti menelan untuk kemudian memuntahkan kembali benda itu, dia mengalami kesulitan untuk me- lihatnya secara jelas.
Namun, berbeda dengan istrinya, lelaki tinggi kurus yang memang memiliki tingkatan ilmu lebih tinggi itu segera dapat mengenali benda di tengah laut itu. Tentu saja setelah ia mengerahkan kekuatan tenaga saktinya melalui pandangan mata. Ular Perak Jantan pun mulai dapat menebak, benda apa sebenarnya yang tengah dipermainkan ombak itu.
“Tampaknya benda itu merupakan sosok seorang manusia, Nyai. Dan, kalau pandangan mataku tidak salah, sosok manusia itu adalah orang yang kita tunggu-tunggu. Kau terkejut, bukan...?” tanya Ular Perak Jantan, mengakhiri keterangannya dengan sebuah pertanyaan yang agak bernada sinis.
Ular Perak Betina memang cukup terkejut mendengar keterangan suaminya tentang benda yang tengah dipermainkan ombak itu. Bahkan, sinar matanya memancarkan rasa tidak percaya atas ucapan suaminya.
“Maksudmu..., benda itu sebenarnya adalah Elang Laut Utara, musuh yang sedang kita nanti-nanti...?” tanya Ular Perak Betina, meminta ketegasan suaminya.
“Hhhh..., tampaknya memang begitulah, Nyai. Bahkan, yang lebih membuatku terkejut, Elang Laut Utara tampaknya sama sekali tidak menggunakan perahu untuk mencapai daratan ini dari pulau tempat tinggalnya. Sepertinya ia hanya menggunakan dua potong bambu yang mungkin diikatkan pada kedua telapak kakinya. Kalau saja hal ini benar, iblis itu pastilah telah menggembleng dirinya selama lima belas tahun terakhir ini. Dan, mungkin ia telah memiliki kemajuan yang mengejutkan...,” desis Ular Perak Jantan.
Lelaki tua itu tampak termangu sambil tetap mengawasi sosok yang semakin jelas, karena semakin dekat ke arah mereka. Terdengar Ular Perak Jantan menarik napas berat yang menunjukkan kekhawatirannya.
“Huh! Biarpun kepala iblis itu bertambah menjadi sepuluh dan lengannya menjadi dua puluh pasang, aku tidak akan pernah gentar menghadapinya. Kalau Kakang takut, biar aku saja yang akan menghajar manusia keparat itu! Kali ini ia tidak akan kuberi ampun, agar lain hari tidak lagi membuat susah...!” kata Ular Perak Betina dengan suara lantang, meski agak terkesan sedikit sombong. Kemudian, wanita tua itu melangkah maju beberapa tindak, semakin mendekati gelombang air laut yang berlarian ke pantai.
“Sabar, istriku. Tidak usah terburu nafsu. Kita tunggu saja kedatangannya dengan hati tenang. Usahakan agar kita jangan sampai terpengaruh oleh omongan ataupun tingkahnya yang mungkin saja sengaja ditunjukkan untuk membuat kita lengah. Karena, hal itu akan merugikan diri kita sendiri”
Ular Perak Jantan kembali mengingatkan istrinya yang keras kepala. Dicegahnya langkah wanita cantik itu dengan memegang bahunya perlahan. Sehingga, mau tidak mau, Ular Perak Betina pun menahan langkahnya. Terdengar tarikan napas barat yang berkepanjangan dari wanita cantik itu. Jelas sekali kalau ia terpaksa menuruti kehendak suaminya. Dan, untuk itu, ia harus menekan rasa penasaran di dalam dadanya yang masih saja menggelora.
“Huak hak hak.... Selamat bertemu lagi, Sepasang Ular Perak! Terutama kau, Ular Betina! Kelihatannya semakin lama wajah dan tubuhmu semakin menarik saja. Apakah kau sengaja memeliharanya agar aku bisa melihatnya pada pertemuan ini?”
Terdengar suara terbahak parau yang kemudian disambung lontaran kata-kata tak sopan dari sosok lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. Saat itu tubuhnya tampak masih mengapung dan tengah meluncur satu setengah tombak lagi dari daratan berpasir.
Ular Perak Jantan segera mengajak istrinya untuk bergerak mundur beberapa langkah. Hal itu dilakukannya ketika deburan ombak tampak semakin jauh menjilati bibir pantai, yang terjadi seiring dengan semakin dekatnya sosok lelaki gemuk yang tengah meluncur di lautan itu.
“Huppp...!”
Tepat ketika hampir tiba di tepi pantai, tiba-tiba saja sosok lelaki gemuk itu mengeluarkan sebuah bentakan nyaring. Kemudian, tubuhnya melambung setinggi tiga batang tombak dari atas pasir. Setelah berputaran sebanyak lima sampai enam kali, barulah sosok lelaki yang memang adalah Elang Laut Utara itu melayang turun dengan dua bilah bambu di tangan kanannya. Sepasang bambu itu telah dilepaskan dari ikatannya sewaktu tubuh Elang Laut Utara tengah melambung di udara.
Jelas sudah bahwa apa yang diduga Ular Perak Jantan tidaklah berlebihan. Elang Laut Utara ternyata memang mendatangi daratan dengan menggunakan dua bilah bambu sebagai pijakan sepasang kakinya. Tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Dan, terbukti Elang Laut Utara memang memilikinya.
“Kurang ajar...! Mulutmu ternyata masih saja tetap kotor, Setan Hitam! Sepertinya kau sengaja memamerkan ilmu meringankan tubuhmu agar kami gentar, begitu...?” Tanpa mempedulikan lagi cegahan suaminya, Ular Perak Betina segera saja menudingkan telunjuknya ke wajah lelaki gemuk berkulit hitam itu. Dan, kata-katanya langsung meluncur sebagai tanda kekesalan hatinya yang semenjak tadi hanya dipendam.
Tapi, Elang Laut Utara hanya tertawa-tawa sambil mengangkat-angkat kedua alisnya dengan sepasang mata berbinar. Tampaknya ia merasa senang menyaksikan wanita cantik itu marah-marah. Tentu saja tingkah lelaki gemuk itu semakin membuat hati Ular Perak Betina kian terbakar.
“Keparat...! Kau rupanya sudah tidak sabar untuk merasakan kerasnya kepalanku...!” kata Ular Perak Betina, sambil langsung melontarkan sebuah pukulan lurus menuju dada Elang Laut Utara.
Whuuukkk...!
Hembusan angin keras yang menandakan bahwa pukulan Ular Perak Betina bukanlah main-main terdengar mendesis mengiringi datangnya pukulan itu.
“Heh heh heh...!”
Elang Laut Utara memperdengarkan tawanya yang serak saat bersiap menerima pukulan lawan. Dilihat dari sikapnya yang terlihat masa bodoh itu, jelas bahwa ia memandang remeh serangan lawan yang sebe- narnya mampu untuk meremukkan batok kepala orang biasa. Tapi, sikap itu bisa saja hanya merupakan suatu pancingan agar lawan terpengaruh dan menjadi kacau pikirannya.
“Nyai, tahan...!” Ular Perak Jantan berseru keras untuk mencoba mencegah serangan istrinya. Sayang, teriakannya sedikit terlambat. Karena, saat itu kepalan Ular Perak Betina sudah tinggal satu jengkal lagi jaraknya dari tubuh lawan. Dan....
Bukkk!
“Akkk....!?”
Aneh, meskipun pukulan Ular Perak Betina tepat menghantam dada lawannya secara telak, ternyata justru wanita cantik itulah yang memekik kesakitan sambil memegangi tangannya yang terlihat agak bengkak. Bahkan, tubuh keduanya terlihat sama-sama tergetar mundur sejauh satu batang tombak. Tentu saja kenyataan itu membuat Ular Perak Jantan ternganga setengah tak percaya.
“Gila...!? Ilmu apa yang dipelajari Elang Laut Utara selama lima belas tahun belakangan ini...! Mustahil kemajuannya sampai sedemikian pesat. Mungkinkah ada seorang manusia sakti yang sudi membimbingnya...? Atau... ia menemukan suatu ilmu langka secara kebetulan?”
Ular Perak Jantan tak henti-hentinya bertanya dalam hati. Kenyataan yang baru dilihatnya itu telah menimbulkan berbagai macam dugaan di kepalanya. Sayangnya, tak satu pun dugaan yang dapat menjelaskan kejadian yang baru disaksikannya tadi.
“Hei, mengapa kau hanya manggut-manggut seperti burung pelatuk. Ular Perak Jantan...? Apa kau tidak ingin mencoba melawanku seperti yang dilakukan istrimu barusan? Atau kau takut...?” ejek Elang Laut Utara, yang jelas sengaja memamerkan kekuatannya untuk mengacaukan pikiran lawan.
“Hm..., kau ingin agar aku mencoba kekebalan tubuhmu? Aku justru khawatir, kau akan terluka. Sebaiknya segera kita mulai saja urusan lama di antara kita. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, aku tidak lagi peduli. Yang jelas, apabila kau kembali dapat kami pecundangi, jangan harap kau bisa menikmati hangatnya matahari esok”
Ular Perak Jantan berkata dengan wajah yang tampak kembali tenang. Bahkan, sorot matanya kini telah menunjukkan perbawa seperti biasanya. Jelas sekali, lelaki tua itu telah berhasil meredam rasa terkejutnya. Ular Perak Betina melangkah ke samping suaminya. Tangan kirinya terlihat masih sibuk memijat-mijat kepalan kanannya yang bengkak akibat membentur tubuh Elang Laut Utara. Dan, gambaran rasa penasaran masih terpeta jelas di wajah cantik itu.
“Kakang.... Aku yakin, kekebalan tubuh iblis licik itu disebabkan oleh sebuah benda, dan bukan semata-mata oleh kekuatan tenaga saktinya. Harap engkau sedikit berhati-hati, agar tidak mengalami kejadian seperti aku barusan...,” bisik Ular Perak Betina, yang rupanya dapat langsung merasakan, apa sebenarnya yang terjadi dengan serangannya tadi.
Meskipun tidak tahu secara pasti, benda apa yang telah terbentur oleh kepalannya, ternyata Ular Perak Betina bisa mengira-ngira adanya benda itu dan langsung memperingati suaminya. Sehingga, bila akan menyerang, Ular Perak Jantan sudah mempunyai gambaran tentang benda penolak yang dimiliki Elang Laut Utara, yang mungkin juga bisa melukai lelaki berjubah coklat itu apabila kurang berhati-hati.
“Hm..., aku pun sudah bisa menduganya. Sepertinya, ada sesuatu yang membuat ia berani menerima pukulanmu tanpa takut terluka. Akan ku coba untuk mengetahuinya...,” desis Ular Perak Jantan dengan suara lirih. Setelah berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu melangkah beberapa tindak ke dekat tubuh lawannya.
“Heh he he. Ular Perak Jantan. Setelah sekian belas tahun tidak berjumpa, apakah pertemuan ini tidak kita gunakan beberapa jenak untuk bersenang-senang? tentang persoalan yang lampau, sebaiknya kita tunda saja dulu. Mengapa harus terburu-buru?”
Elang Laut Utara menyambut Ular Perak Jantan dengan tawa sesumbar. Tampaknya lelaki gemuk itu merasa sangat yakin bahwa Sepasang Ular Perak belum mengetahui rahasia kekebalan tubuhnya. Sehingga, ia masih saja tertawa-tawa meremehkan lawannya.
“Oh, kalau memang itu kemauanmu, bersiaplah. Mungkin pukulanku agak sedikit keras dari yang barusan kau terima...” Sadar bahwa kesempatan emas untuk menyingkap rahasia kekebalan tubuh lawannya telah terbuka lebar, Ular Perak Jantan pun segera memanfaatkannya.
“Silakan Tapi, hati-hatilah agar kau tidak sampai terjatuh karenanya...,” ejek Elang Laut Utara sambil bertolak pinggang, seolah-olah menyuruh lawannya memilih bagian yang terlunak dari tubuh gemuknya itu.
“Hm...” Ular Perak Jantan bergumam dengan tatapan mata tajam sebelum melontarkan pukulannya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu tengah menduga, apa yang akan dilakukan Elang Laut Utara apabila ia melontarkan serangannya.
“Haaattt!”
Setelah mengambil keputusan yang dianggapnya tepat, Ular Perak Jantan pun segera berseru nyaring. Berbarengan dengan teriakan itu, tubuhnya yang tinggi kurus melesat ke depan dengan kuda-kuda rendah. Sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa Ular Perak Jantan langsung menggunakan jurus andalannya dalam melancarkan serangan pertama. Tentu saja gerakan yang gesit dan sulit diketahui perubahannya itu membuat Elang Laut Utara terlihat mengerutkan keningnya karena khawatir.
“Tunggu!” Tiba-tiba saja, sebelum serangan Ular Perak Jantan datang, Elang Laut Utara berseru mencegah sambil melangkah mundur menjauhi tempat berdirinya semula. Jelas sekali kalau lelaki berkulit hitam itu tidak berani menganggap remeh serangan ‘Jurus Ular’ yang dilancarkan lawannya.
“Hmh...! Mengapa kau menghindar, Elang Laut Utara? Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk menyerangmu? Mengapa kini kau mencegahnya? Apakah kau berubah pikiran karena takut tubuhmu akan terluka...?” kata Ular Perak Jantan. Lelaki tua bertubuh kurus itu tampaknya sengaja memancing-mancing kemarahan lawannya dengan kata-kata ejekan, yang rupanya sangat mengena.
Elang Laut Utara terlihat menggeram jengkel menahan kedongkolan hatinya. “Setan! Kau pikir, aku takut dengan jurus ular jelekmu itu? Ayo, tunjukkanlah kehebatannya di depanku...!”
Elang Laut Utara berteriak-teriak dengan hati jengkel. Kesombongannya bangkit seketika begitu mendengar ejekan yang menyakitkan dari Ular Perak Jantan. Ia pun terpaksa menantang-nantang jurus andalan lawannya yang tadi siap terlontar ke arah tubuhnya.
“Kau tidak akan mengelak...?” desak Ular Perak Jantan. Pertanyaan yang bernada menantang itu tentu saja sangat sukar dijawab oleh Elang Laut Utara, yang sudah terikat janjinya tadi. Wajahnya pun tampak semakin gelap.
“Hmmmh... Mengelak atau tidak, itu terserah kepadaku! Kalau kau mau menyerang, seranglah! Tidak perlu banyak bacot lagi...!” Akhirnya Elang Laut Utara yang tentu saja tidak mau celaka, terpaksa tidak mempedulikan lagi janjinya. Jelas bahwa tokoh sesat Pantai Timur itu tidak ingin nyawanya melayang hanya karena mempertahankan sebuah janji.
“Ha ha ha...! Rupanya kau benar-benar tidak berani menahan pukulanku dengan kekebalan tubuhmu. Dugaanku ternyata tidak meleset. Kau hanya besar mulut dan tidak mempunyai pendirian tetap, Elang Laut Utara...,” ujar Ular Perak Jantan sambil tertawa berkakakan memegangi perutnya.
Tentu saja suara tawa dan tingkah lelaki tinggi kurus itu membuat wajah Elang Laut Utara semakin bertambah merah. “Keparat...! Kubunuh kau...!” Elang Laut Utara, yang sudah tidak sanggup lagi membendung amarahnya, langsung membentak keras sambil melesat dengan serangkaian serangan mautnya.
Beeettt! Beeet! Beeet!
Sesuai dengan julukan yang diberikan untuknya, lelaki gemuk berkulit hitam itu menerjang dengan mempergunakan cakar-cakar yang membentuk cengkeraman elang. Jari tengah, telunjuk, dan ibu jarinya yang membentuk segitiga langsung menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat. Datangnya sambaran cakar elang itu selalu dibarengi dengan suara bercuitan. Hal ini menandakan bahwa kekuatan yang tersembunyi di dalamnya sangatlah hebat.
Ular Perak Jantan sendiri sempat mengerutkan kening ketika menyaksikan kecepatan dan angin sambaran cakar lawannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, langsung saja lelaki tinggi kurus itu bergerak menghindar. Dan, dilancarkannya serangan balasan dengan tidak kalah sengitnya.
“Yeeeattt...!”
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan itu bergerak dengan kuda-kuda rendah. Sesekali tangannya tampak membentuk paruh ular. Dan, tubuhnya terlihat melesat dengan kecepatan mengejutkan. Gerakannya yang luwes dengan pagutan-pagutan tak terduga sempat pula membuat Elang Laut Utara kebingungan beberapa saat lamanya.
“Yiaaattt...!”
Belum lagi Elang Laut Utara sempat menguasai keadaannya, terdengar lengking nyaring yang disusul dengan terjunnya Ular Perak Betina ke kancah pertarungan. Tentu saja kehadiran wanita cantik ini membuat tokoh sesat berkulit hitam itu terdesak semakin hebat
“Setan belang...!”
Sambil melontarkan makian kalang-kabut, Elang Laut Utara berusaha keras keluar dari kepungan sepasang suami istri pendekar itu. Namun, usahanya bahkan mengakibatkan sebuah pagutan jari tangan Ular Perak Jantan telak menghantam bagian iganya.
Tuggg!
“Aaakkk...?!”
Keanehan pun kembali terjadi. Ular Perak Jantan, yang berhasil menyarangkan pukulannya, justru mengeluarkan pekik tertahan. Untungnya, meskipun pukulan jari-jari tangannya mengenai tubuh lawan secara telak, Ular Perak Jantan masih sempat mengurangi tekanan tenaga dalamnya, bahkan masih sempat pula memiringkan jari-jari tangannya. Sehingga, akibat yang dirasakannya pun tidak terlalu parah.
Sambil menarik napas panjang dan meluruskan tangan kanannya ke atas, Ular Perak Jantan menatap tajam ke arah tubuh lawannya. Ia masih tampak terkejut ketika ujung jari tangannya terasa bagai mematuk sebuah benda lunak yang dapat membalikkan tenaga pukulannya. Untunglah ia tadi sempat menyadarinya dan segera menarik kembali tenaganya.
“Hm... Elang Laut Utara pasti menggunakan semacam baju pusaka di balik pakaian luarnya. Entah dari mana iblis ini bisa mendapatkan pusaka yang sangat ampuh itu...,” desis Ular Perak Jantan, yang sempat melihat kilauan cahaya perak dari balik sobekan pakaian lawan yang terkena patukan ujung jarinya.
Pada saat itu, Elang Laut Utara sudah bertarung menghadapi serbuan Ular Perak Betina. Wanita cantik yang sebelah tangannya tidak lagi dapat digunakan secara utuh itu ternyata masih juga sanggup melepaskan serangkaian serangan maut yang bisa membuat nyawa lawannya melayang. Elang Laut Utara pun merasa agak kerepotan. Apalagi, serangan-serangan lawannya tertuju ke arah seputar leher dan kedua matanya. Tentu saja serangan-serangan berbahaya itu tidak bisa didiamkannya.
“Haaahhh!”
Elang Laut Utara membentak keras sambil mengangkat tubuhnya. Akibatnya, totokan jari tangan lawan yang semula mengincar matanya kini meluncur ke arah dadanya. Tentu saja serangan itu tidak dipedulikan Elang Laut Utara. Sebab, bagian dadanya telah terlindung oleh pakaian pusakanya, Baju Mustika.
Tuuuggg!
Ular Perak Betina, yang tidak sempat lagi menarik kembali serangannya, berteriak kesakitan saat tenaganya membalik. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Elang Laut Utara, yang langsung saja mendorongkan sepasang telapak tangannya ke dada lawan. Akibatnya....
Breeehsss...!
“Aaarghhh...!” Bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin, tubuh Ular Perak Betina terhempas akibat dorongan sepasang telapak tangan yang berkekuatan hebat itu. Darah segar pun langsung menyembur mengiringi jerit melengking yang keluar dari mulut wanita cantik itu.
“Nyai...!” Ular Perak Jantan terkejut bukan main menyaksikan kenyataan dihadapannya. Cepat bagaikan kilat, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke arah lawannya. Kemarahan dan rasa sedih melihat istrinya yang terlempar itu membuat Ular Perak Jantan tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. Terjangan yang dilakukannya kali ini benar-benar merupakan serangan yang mematikan.
Elang Laut Utara, yang melihat datangnya serangan lawan, segera menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tokoh sesat bertubuh pendek itu bergerak menyambut terjangan lawan dengan dorongan sepasang telapak tangannya. Tampaknya ia ingin mengulangi keberhasilannya seperti yang dilakukan terhadap Ular Perak Betina tadi.
“Yeaaattt...!”
“Heaaattt...!”
Diiringi teriakan yang berkepanjangan tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama melambung ke udara. Dan, pada saat yang bersamaan, keduanya saling mendorongkan telapak tangan masing-masing ke depan.
Whuuusss...!
Whuuukkk...!
Sambaran angin keras mengiringi datangnya pukulan jarak jauh yang sama-sama dilontarkan oleh kedua tokoh sakti itu. Akibatnya....
Blaaarrr...!
Benturan keras terdengar bagaikan hendak mengguncangkan bumi. Bukit karang yang berdiri dalam jarak sepuluh batang tombak dari kancah pertarungan pun tampak bergetar. Dan, disusul dengan bergugurannya bebatuan kecil akibat ledakan dari benturan tenaga kedua orang sakti itu.
“Aaahhh...!”
Tubuh Ular Perak Jantan dan Elang Laut Utara sama-sama terlempar deras ke belakang. Pada saat tubuh keduanya tengah melayang di udara, Elang Laut Utara yang rupanya memiliki tenaga sedikit lebih kuat dibanding lawannya segera melepaskan jarum-jarum halus yang tampaknya memang telah dipersiapkan sebelumnya. Akibatnya, jarum-jarum halus yang jelas mengandung racun itu langsung melesat ke arah tubuh Ular Perak Jantan, yang tidak kuasa lagi menghindarinya.
Crabbb! Crabbb!
“Aaakhhh...!” Terdengar pekik kesakitan ketika jarum-jarum halus amblas ke dalam tubuh Ular Perak Jantan. Begitu tubuhnya terbanting di atas tanah, darah segar pun langsung termuntah dari mulutnya. Belum lagi rasa sesak akibat benturan tenaga dengan lawannya mereda, tiba-tiba Ular Perak Jantan merasakan sakit yang tidak wajar. Tubuhnya langsung meregang.
“Auuuhhh.... Auuuhhh...!?”
Ular Perak Jantan terus saja berteriak-teriak sambil menggaruk-garuk beberapa bagian tubuhnya. Sambil terus mendesis-desis, lelaki tinggi kurus itu sibuk menggaruki semua bagian tubuhnya. Bahkan, sampai kulit tubuhnya menjadi lecet dan mengalirkan darah, Ular Perak Jantan tetap tidak peduli, la tetap menggaruk sambil mendesis-desis. Jelas, semua itu akibat bekerjanya racun dari jarum-jarum halus yang dilepaskan Elang Laut Utara.
“Heh heh heh.... Kau rasakanlah akibat racun ‘Ubur-Ubur Laut’ku, Ular Perak Jantan”
Elang Laut Utara terdengar mengeluarkan pula tawa terkekeh serak. Namun, setelah itu, darah segar termuntah pula dari mulutnya. Dari caranya tertawa dan langkahnya yang tertatih-tatih, tampak jelas bahwa tokoh sesat itu pun mengalami luka dalam yang sangat parah. Sambil memperdengarkan tawa seraknya yang sesekali diselingi suara batuk, Elang Laut Utara meninggalkan tubuh kedua lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.
Ular Perak Betina terbujur kaku dengan wajah pucat. Dan, cairan merah terlihat masih terus mengalir melalui sudut bibirnya. Jelas bahwa pukulan tenaga dalam Elang Laut Utara telah menghancurkan bagian dalam tubuh wanita cantik itu dan menewaskannya dengan seketika.
Keadaan Ular Perak Jantan pun tampak sangat menyedihkan. Pakaian yang dikenakan lelaki tinggi kurus itu sudah dibasahi darah segar. Bahkan, jubah panjangnya kini terlihat compang-camping, karena kedua tangannya tidak pernah berhenti menggaruki sekujur tubuhnya. Dengan meninggalkan rupa tubuh yang mengerikan, Ular Perak Jantan pun tidak lama kemudian tewas setelah mengalami siksaan rasa gatal yang tak tertahankan itu.
Ombak Laut Bandan kembali berdebur menuju pantai. Untungnya, letak mayat Sepasang Ular Perak cukup jauh dari tepian pantai. Sehingga, air laut tidak dapat menjangkaunya. Kalau tidak, tubuh kedua orang itu pasti akan terseret dan mungkin pula akan lenyap ditelan dalamnya Laut Bandan.
Kokok ayam hutan terdengar bersahutan menyambut datangnya fajar. Perlahan kemudian, kegelapanpun mulai terusir oleh sinar kemerahan yang kian menerangi tanah. Sang matahari telah memulai tugasnya.Pagi itu, daerah Pantai Timur Laut Bandanyang biasanya selalu sepi tampak didatangi serombongan orang. Gerak mereka rata-rata terlihat gesit dan sangat ringan. Tampak jelas bahwa rombongan itu tidaklah terdiri dari orang-orang kebanyakan. Singkatnya, mereka adalah orang-orang dari kalangan rimba persilatan.
“Kakang, lihat itu...!”
Sosok yang berada di sebelah kiri seorang lelaki terdepan berseru sambil menunjuk ke satu arah ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pantai Timur. Setelah berkata demikian, tubuh lelaki berperawakan sedang itu langsung bergerak mendahului rekan-rekannya yang lain.
“Adi Wilang, tunggu...!”
Lelaki terdepan yang tampaknya merupakan pemimpin rombongan itu berseru mencegah perbuatan kawannya yang dipanggil dengan nama Wilang. Sayang, seruannya sedikit terlambat la pun hanya menghela napas ketika melihat sosok Wilang telah bergerak ke arah dua onggok benda yang juga telah dilihatnya.
Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun yang menjadi pemimpin rombongan itu segera melesat menyusul Wilang. Sebentar saja tubuhnya telah menjajari rekannya. Hal ini menandakan bahwa kepandaian yang dimilikinya masih berada di atas kepandaian Wilang. Padahal, kalau dilihat dari gerakannya, Wilang saja sudah bisa dibilang cukup hebat. Tentu saja dapat dibayangkan, sampai di mana kehebatan lelaki gagah pemimpin rombongan persilatan itu.
“Biadab...!”
Begitu tiba di dekat dua onggok tubuh yang ternyata adalah dua sosok mayat itu, lelaki gagah itu terdengar menggeram sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Jelas sekali kalau ia sangat marah melihat keadaan mayat-mayat di depannya.
“Bangsat keji...!”
Wilang pun tidak kalah marahnya melihat keadaan kedua sosok mayat itu. Bahkan, sepasang matanya sempat terpejam manakala melihat sosok mayat lelaki tinggi kurus yang keadaannya benar-benar menyedihkan. Sehingga, seorang lelaki gagah dan terlatih baik seperti Wilang pun harus bergerak mundur dan membuang muka. Jelas bahwa lelaki bertubuh sedang ini tidak sampai hati menyaksikan keadaan mayat berperawakan tinggi kurus itu.
“Tenanglah, Adi Wilang. Lebih baik kita urus mayat ketua kita ini sebaik-baiknya,” hibur lelaki gagah pemimpin rombongan itu sambil menepuk-nepuk pelan bahu Wilang.
“Di mana mayat manusia keparat itu, Kakang...? Mengapa kita tidak melihatnya di sekitar pantai ini? Apakah mayatnya telah diseret binatang buas? Sebab, kalau sampai bisa membunuh kedua pemimpin kita, mustahil jika ia sendiri bisa selamat,” ujar Wilang seraya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan sepasang mata mencari-cari.
Wilang kemudian bergerak meninggalkan pemimpin rombongannya dan langsung mengelilingi sekitar pantai dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sedangkan lelaki gagah itu hanya bisa menggeleng-gelengkankepala tanpa berusaha untuk mencegah kepergiannya. Delapan orang lelaki gagah lainnya yang tiba belakangan di dekat kedua sosok mayat itu membelalak sesaat bagaikan belum bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tampak sekali kalau pemandangan yang terpampang di depan mata mereka masih belum bisa dipercayai sepenuhnya.
“Mungkinkah ketua kita tewas di tangan Elang Laut Utara...? Rasanya..., aku belum bisa mempercayainya. Pasti iblis licik itu mengundang tokoh lain untuk membantunya. Kalau tidak, mana mungkin ia dapat menewaskan kedua ketua kita...,” kata seorang lelaki tinggi kurus yang berjenggot seperti kambing dengan nada penasaran. Sepasang matanya yang menjorok ke dalam tampak mengawasi sekeliling dengan sorot tajam.
“Elang Laut Utara sama sekali tidak membawa kawan seorang pun, Adi Langga. Dari jejak kaki yang tertinggal di atas pasir putih ini, aku kira jumlah yang bertarung tidak lebih dari tiga orang. Mereka pasti Elang Laut Utara dan Sepasang Ular Perak, ketua kita. Sepertinya pertarungan berlangsung jujur. Karena itu, sulit bagi kita untuk menyalahkan Elang Laut Utara dalam hal ini. Tapi, tentu saja kita harus melenyapkan tokoh sesat itu, karena keberadaannya sangat berbahaya bagi orang banyak. Untuk itu, kita harus mencarinya tapi bukan berdasarkan dendam atas kematian ketua kita...,” kata lelaki gagah itu, mengingatkan rekan-rekannya yang lain. Hal ini diutarakannya karena ia melihat sorot dendam terpancar jelas pada raut wajah rekan-rekannya.
“Kakang Lunggara. Mana bisa iblis keji itu dibilang jujur dalam melakukan pertarungan dengan ketua kita? Jelas-jelas ia menggunakan racun keji untuk menewaskan Ular Perak Jantan. Jadi, menurutku, iblis licik itu memang tidak jujur. Dia harus dilenyapkan dengan ataupun tanpa alasan yang tepat!” bantah lelaki berjenggot kambing yang bernama Langga itu dengan suara tandas. Langga kelihatan sangat menaruh dendam terhadap Elang Laut Utara yang menyebabkan tewasnya Sepasang Ular Perak. Dan, tampaknya tekad lelaki tinggi kurus itu sudah tidak bisa ditawar lagi.
“Menurutku, apa yang dikatakan Langga sama sekali tidak salah. Sebab, tewasnya ketua kita sudah pasti akan mengundang berbagai tanggapan dari kalangan sesat. Dan, bukan mustahil kalau mereka akan semakin berani melakukan tindakan sesat. Untuk itu, tentunya kita harus bekerja lebih keras. Apalagi, saat ini kita sama sekali belum tahu, bagaimana keadaan Elang Laut Utara. Syukur-syukur kalau ia pun tewas. Tapi, kalau tidak, bagaimana...?”
Seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala separuh botak ikut angkat bicara. Sikap dan ucapannya jelas-jelas mendukung tekad Langga. Sehingga, lebih dari separuh tokoh-tokoh yang berada di tempat itu sama-sama menganggukkan kepala. Tentu saja hal ini membuat Lunggara, si pemimpin rombongan, hanya bisa mengusap dada.
Lunggara, yang sedianya ingin membantah ucapan lelaki gemuk yang separuh kepalanya botak itu, menunda niatnya ketika melihat Wilang bergerak datang dengan wajah gelap. Jelas sudah kalau lelaki berperawakan sedang itu tidak berhasil mendapatkan apa yang dicarinya.
“Kita harus mendatangi Pulau Elang untuk memastikan keadaan Elang Laut Utara. Kita harus tahu, tokoh sesat itu masih hidup atau sudah mati. Kalau memang masih hidup, ia harus merasakan kematian yang paling mengerikan dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya...!”
Begitu tiba di tempat rekan-rekannya berkumpul, Wilang langsung mengutarakan dendam di hatinya. Tentu saja ucapan itu disambut dengan teriakan-teriakan setuju.
“Tapi, bagaimana kalau iblis keji itu juga telah tewas...?” celetuk salah seorang di antara mereka.
Para tokoh lainnya langsung berpandangan satu sama lain. Sebab, apabila Elang Laut Utara memang telah tewas, sulit sekali bagi mereka untuk menentukan tindakan.
“Hm..., kalau memang iblis keji itu telah tewas, tentu keturunannyalah yang akan menanggung dosa perbuatannya selama ini...!” tandas Langga. Kata-kata yang diucapkan dengan suara berat dan bergetar itu sempat membuat para tokoh lainnya bergidik ngeri. Sebab, suara lelaki kurus itu demikian kuat menimbulkan pengaruh.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi...? Ayo, kita segera berangkat...”
Kesunyian yang sekejap tadi langsung pecah oleh suara Wilang yang terdengar penuh semangat. Tanpa banyak cakap lagi, para tokoh persilatan itu pun bergegas meninggalkan Pantai Timur Laut Bandan menuju perkampungan nelayan untuk mencari perahu. Sebab, tempat kediaman Elang Laut Utara hanya dapat dicapai melalui jalan laut.
Tanah pekuburan di ujung Desa Gemparan tampak sunyi. Panasnya sinar matahari yang memancar terik membuat suasana di sekitar tempat itu semakin lengang. Tak satu manusia pun terlihat di jalan lebar yang membelah pemakaman itu. Namun, dalam suasana siang yang terik dan kesunyian yang mencekam itu, tampak sesosok tubuh ramping terpekur di sisi sebuah tanah kuburan yang masih merah. Jelas sekali kalau makam yang tengah dihadapinya itu masih baru. Paling tidak, baru beberapa jam makam itu ditimbun.
“Ibu...” Bibir mungil yang basah kemerahan itu terdengar menggerimit perlahan. Wajahnya yang tertunduk terangguk lemah. Sedangkan jemari tangannya menaburkan kembang di atas tanah makam. Sesaat kemudian, sosok yang jelas adalah seorang gadis muda itu mengangkat tubuhnya dan berdiri tegak.
“Doakanlah agar aku dapat bertemu dengan Ayah, Bu. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah memberitahukanmu perihal kedatangan Ayah, yang mendidikku dengan pelajaran ilmu silat setiap kali datang. Semua kulakukan karena janjiku kepada Ayah untuk tidak memberitahukan kedatangannya kepada siapa pun, termasuk juga kepada Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan kesalahanku selama ini. Aku pamit untuk mencari Ayah. Mudah-mudahan Ayah masih tetap tinggal di tempat yang Ibu tunjukkan kepadaku”
Usai berkata demikian, gadis yang tampak baru berusia tujuh belas tahun lebih itu membalikkan tubuhnya, lalu berjalan lambat-lambat menyusuri tanah pekuburan. Gadis muda berwajah manis yang bernama Surni itu kemudian mengangguk sekilas kepada penjaga makam yang berdiri di ujung pekuburan, lalu terus melangkah meninggalkan tempat itu.
“Hm..., menurut keterangan Ibu, aku harus berjalan ke arah Selatan. Apabila sudah menemukan Laut Bandan, aku tinggal mencari pantai sebelah Timurnya. Dari sanalah baru aku bisa mencapai tempat tinggal Ayah secara lebih mudah. Kalaupun sulit untuk mencari tempat tinggalnya, aku harus bertanya tentang seorang tokoh yang berjuluk Elang Laut Utara. Begitu pesan Ayah pada kedatangannya yang terakhir kali. Sedangkan Ibu sendiri hampir tidak pernah memberitahukan apa-apa perihal Ayah kepadaku”
Setelah berpikir demikian, Surni menggunakan ilmu lari cepatnya. Hal itu dilakukannya ketika ia sudah tidak berpapasan lagi dengan seorang pun penduduk Desa Gemparan. Sebab, para penduduk selama ini hanya mengenalnya sebagai gadis desa yang ramah. Tak seorang pun tahu bahwa gadis cantik yang kelihatan lembut itu sebenarnya menyimpan ilmu kepandaian yang tidak sembarangan.
Surni terus bergerak menyusuri jalan lebar yang menuju ke arah Selatan. Tanpa terasa, beberapa jam telah dilaluinya. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak. Perjalanan yang sebenarnya bisa memakan waktu seharian ini ternyata dapat ditempuhnya dua kali lebih cepat. Bahkan, tanpa merasa lelah sedikit pun, Surni langsung melanjutkan perjalanannya. Sebab, pikirnya, ia baru akan beristirahat apabila hari telah menjadi gelap. Selama hari masih terang, gadis muda berparas manis itu tidak akan lama-lama menghentikan perjalanannya.
Bayang kerinduan terhadap ayahnya dan keingintahuannya tentang pendapat orang tua itu mengenai kematian ibunya semakin membuat Surni ingin segera menjumpai ayahnya, yang selama ini secara diam-diam menjenguk dan mengajarkannya ilmu-ilmu silat tingkat tinggi. Sekaranglah Surni baru merasakan, betapa pentingnya mempelajari ilmu silat Kalau saja ayahnya dulu tidak bersungguh-sungguh mendidiknya, belum tentu ia akan memiliki kepandaian setinggi sekarang. Dan, baru kini dirasakan Surni hal itu.
Pengalaman kedua yang membuat gadis itu merasakan betapa pentingnya memiliki ilmu silat adalah ketika ia tengah melewati sebuah hutan. Di tengah perjalanan, pada tengah hari itu, Surni dikejutkan oleh sebuah bentakan keras yang terdengar parau.
“Berhenti...!”
Karena telah terbiasa dengan gerak-gerak silat yang dipelajarinya, kedua kaki Surni langsung bergerak mundur dalam kuda-kuda siap tempur. Sepasang matanya yang bulat dan jernih berputar mengawasi sekitar. Rupanya, setelah melakukan perjalanan selama dua malam, gadis itu menjadi agak terbiasa hidup di alam bebas. Kecerdikan otaknya membuat apa yang didengar dan dilihatnya dapat dipelajarinya dengan baik. Sehingga, secara tak sadar, nalurinya telah bekerja dengan sempurna.
“Heh heh heh...! Hari ini benar-benar merupakan hari keberuntungan bagiku. Siapa sangka pada tengah hari seperti ini ada seekor kelinci yang tersasar...!”
Suara serak dan berat itu disusul oleh munculnya sesosok tubuh jangkung terbungkus pakaian berwarna gading. Sepasang matanya yang lebar tampak berputar mengawasi sekujur tubuh Surni. Lagaknya persis seperti pedagang yang hendak menawar barang dagangan.
Surni sendiri, yang belum sadar akan kedahsyatan ilmu-ilmu yang diturunkan ayahnya, bergerak ke kanan dalam sikap yang tetap siap tempur. Padahal, kalau saja ia tahu siapa sebenarnya orang tua yang telah mendidiknya berlatih ilmu silat, gadis manis itu belum tentu akan setegang ini.
Sebab, Elang Laut Utara merupakan seorang tokoh sesat yang kepandaiannya sejajar dengan datuk-datuk golongan hitam. Tapi, karena Elang Laut Utara lebih sering berada di tempat kediamannya di luar daratan, namanya jarang terdengar di kalangan rimba persilatan. Hanya orang-orang golongan ataslah yang memperhitungkan nama tokoh gemuk berkulit hitam itu. Sedangkan bagi tokoh-tokoh biasa, nama Elang Laut Utara tidak begitu dikenal.
“Siapa kau, Kisanak? Apa maksud ucapanmu itu...?” Dengan sikap yang tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya, Surni mencoba menegur lelaki Jangkung bermata besar itu.
Sedangkan lelaki bertampang kasar itu terlihat menertawakan sikap Surni. Sebab, dengan memasang kuda-kuda siap tempur seperti itu, Surni kelihatan bagai orang yang baru mempelajari beberapa gerak ilmu silat. Hal inilah yang membuat lelaki bermata besar itu tertawa bergelak-gelak.
Meski tawa yang jelas-jelas mengandung nada ejekan itu membuat wajahnya memerah, Surni tetap berusaha untuk menekan rasa marahnya dan terus bersikap tenang, penuh kewaspadaan. Ingatan tentang nasihat ayahnya, yang seringkali mengatakan perihal kelicikan dan kebusukan hati manusia, membuatnya semakin hati-hati menghadapi laki-laki yang tampak seperti seorang perampok tunggal ini.
“Heh heh heh.... Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan kepadamu, karena daerah ini merupakan daerah kekuasaanku. Tapi, karena kau sangat menarik hatiku, maka biarlah aku berbaik hati dengan menjawab pertanyaanmu itu. Aku dikenal sebagai Macan Hutan Jengger. Sedangkan maksudku sudah jelas hendak berkawan denganmu, Gadis Cantik. Mari singgah di tempat kediamanku. Kau pasti akan merasa senang...,” ujar lelaki jangkung itu dengan nada suara yang terdengar demikian angkuh, seolah-olah kepandaian dirinya jauh berada di atas.
“Hm..., maaf. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk singgah di tempatmu, Kisanak. Biarkanlah aku lewat. Lain kali bila ada kesempatan, mungkin tawaranmu bisa kupertimbangkan” Setelah berkata demikian, Surni melangkah menyisi hendak melewati lelaki jangkung yang berjuluk Macan Hutan Jengger itu.
“Haiiittt...! Hendak ke mana kau, Nlsanak? Tidak semudah itu kau boleh pergi dari sini!” Macan Hutan Jengger rupanya tidak bersedia memberikan jalan lewat bagi Surni. Lelaki jangkung itu segera melesat menghadang jalan begitu Surni bergerak hendak meninggalkan tempat itu. Sehingga, gadis manis itu kembali melesat ke belakang dengan sikap seperti semula, siap tempur.
“Hm..., jelas sudah sekarang, apa sebenarnya maksudmu menghadang jalanku! Kalau begitu, terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!” Usai berkata demikian, Surni yang sudah habis kesabarannya segera bergerak maju dengan langkah-langkah ringan, tapi jelas menunjukkan kematangannya berlatih. Macan Hutan Jengger pun sempat tertegun dibuatnya.
“Heh heh heh.... Rupanya kau memiliki kepandaian yang lumayan. Pantas kau berani melawan kepadaku...,” ujar Macan Hutan Jengger seraya melangkah ke kanan guna mengimbangi gerak langkah Surni yang bergerak ke kiri. Sikap yang diambil lelaki jangkung ini jelas menandakan kesombongan hatinya. Kalau tidak, tentu ia akan bergerak ke kiri dan bukan ke kanan yang malah menyambut gerak maju lawan.
“Haaaiiittt...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Surni yang sudah tidak bisa menahan sabar itu langsung saja melontarkan pukulan satu dua yang mendatangkan angin berciutan.
Bweeettt! Bweeettt!
Macan Hutan Jengger sempat terkejut merasakan kuatnya angin pukulan gadis muda itu. Namun, begitu melihat betapa Surni masih ragu-ragu dalam melancarkan serangan-serangannya, sadarlah lelaki jangkung itu kalau gadis remaja yang dihadapinya sama sekali belum berpengalaman menghadapi pertarungan. Dan, tentu saja hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dengan gerak langkah yang cukup gesit, Macan Hutan Jengger menggeser tubuhnya menghindari serangan satu dua yang dilontarkan Surni. Kemudian, dicobanya melontarkan serangan balasan dengan gerak tipu yang tak terduga.
Sehingga, untuk beberapa jurus lamanya, Surni kelihatan sibuk menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Macan Hutan Jengger. Padahal, serangan-serangan yang dilancarkan lelaki jangkung itu tidak terlalu berbahaya. Bahkan, terkadang serangan itu hanya merupakan gertakan kosong. Tapi, karena memang belum berpengalaman, Surni sama sekali tidak mengetahuinya.
“Heaaahhh!”
Sambil membentak keras, suatu ketika Surni nekat bermaksud menyambut sebuah kepalan lawan dengan dorongan telapak tangan kanannya. Dan belum lagi dorongan telapak tangan kanannya tiba, ia langsung menyusulinya dengan sambaran tangan kiri. Tentu saja semua itu dilakukan Surni hanya karena rasa jengkelnya.
Macan Hutan Jengger yang belum mengetahui kehebatan gadis remaja itu tentu saja malah mengeluarkan dengusan mengejek. Tanpa ragu-ragu lagi, kepalannya terus saja meluncur ke dada lawan. Jelas bahwa perampok tunggal ini merasa yakin bahwa gadis itu pasti akan segera dapat dilumpuhkannya.
Plakkk!
“Aaahhh?!” Bukan main terperanjatnya hati Macan Hutan Jengger saat pukulannya bertumbukan dengan telapak tangan kanan gadis cantik itu. Ia semula mengira, Surni akan terjengkang akibat pertemuan tenaga itu. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Pekik tertahan justru keluar dari mulut Macan Hutan Jengger, seiring terpentalnya tubuh perampok tunggal itu sejauh dua batang tombak lebih. Tentu saja kenyataan ini hampir tidak dipercayainya sendiri.
Lain halnya dengan Surni. Gadis cantik putri tokoh sesat itu menjadi bertambah percaya akan kepandaian yang dimilikinya. Dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, tubuh gadis cantik itu pun terbang melanjutkan hantaman telapak tangan kiri sebagai susulan dari tangkisannya.
Whuuuttt...!
“Aaahhh...?!” Datangnya sambaran angin berciutan itu tent saja membuat Macan Hutan Jengger terbelalak pucat Apalagi, saat tangan kiri Surni datang, ia baru saja berusaha untuk memperbaiki kedudukannya yang tadi tergempur telapak tangan kanan lawannya. Akibatnya....
Desss. !
“Huggghhh...!” Tanpa dapat dicegah lagi, hantaman telapak tangan yang mengandung kekuatan hebat itu pun telak bersarang di tubuh Macan Hutan Jengger. Darah segar langsung menyembur seiring tertolaknya tubuh jangkung itu ke belakang.
Bruuuggg!
Dengan menimbulkan suara berdebuk keras, tubuh Macan Hutan Jengger terbanting di atas tanah berumput kering. Lelaki jangkung itu menggeliat dengan sekujur tubuh terasa remuk.
“Huaaakhhh!” Darah segar kembali termuntah ketika lelaki jangkung itu mencoba bergerak bangkit. Sesaat setelah tubuhnya menggeliat dengan rintihan tak jelas, akhirnya Macan Hutan Jengger diam tak bergerak-gerak lagi. Perampok tunggal yang selama ini malang melintang menguasai sekitar wilayah Hutan Jengger harus menerima kematian di tangan seorang gadis remaja yang belum tahu apa-apa perihal dunia persilatan.
Dengan wajah setengah curiga, takut terpancing kelicikan lawan, Surni melangkah hati-hati mendekati tubuh Macan Hutan Jengger. Gadis remaja yang belum tahu bahwa lawannya telah tewas itu terus memandang sosok lawannya dengan tatapan tajam. Sepasang tangannya siap melontarkan pukulan dengan sekuat tenaga. Kening Surni mulai berkerut ketika dalam jarak dua langkah lagi, tubuh lawannya masih tetap terlihat tidak bergerak. Terdengar tarikan napas penuh kelegaan saat gadis itu mengamati napas lawannya yang sudah tidak ada lagi.
“Matikah dia...?” desah Surni yang belum mengetahui kehebatan ilmu warisan ayahnya. Perlahan gadis remaja itu membungkuk dan memeriksa tubuh lawannya secara lebih teliti. Beberapa saat kemudian, barulah Surni bangkit dengan wajah berseri.
“Ayah! Rupanya ilmu yang kau turunkan untukku memang sangat berguna dan hebat. Hari ini, diriku selamat dari kejahatan seseorang dengan menggunakan ilmu-ilmu yang kau ajarkan. Aaah..., mulai sekarang, aku tidak akan pernah takut lagi terhadap apa pun!” ujar Surni sambil menengadahkan kepalanya menatap langit yang tampak cerah.
Beberapa saat kemudian, gadis remaja itu kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini sikapnya lebih tenang dan penuh rasa percaya diri. Semua ini disebabkan oleh pengalaman yang sangat berharga yang didapatnya hari itu.
Siang itu, matahari di atas Pantai Timur Laut Bandan memancar garang. Sinarnya yang kuning keemasan terasa panas bagaikan hendak membakar permukaan bumi. Ditambah lagi, desiran angin laut ikut membawa hawa panas. Sehingga, siapa pun yang berada di tempat itu, sama saja seperti memanggang dirinya dengan sengaja.
Tapi, suasana yang demikian panas itu, bagi beberapa sosok tubuh yang tengah bergerak mendekati Pantai Timur ternyata sama sekali tidak terasa. Sepuluh sosok tubuh tampak bergerak menuju ke arah laut dengan membawa dua buah perahu yang biasa digunakan nelayan untuk mencari ikan.
“Heaaahhh...!”
Begitu air laut mulai terasa menyapu kaki mereka, kesepuluh orang lelaki gagah itu sama-sama membentak sambil melemparkan perahu yang dibawanya ke tengah laut. Bersamaan dengan meluncurnya kedua perahu itu, kembali terdengar bentakan susul-menyusul yang dibarengi berlompatannya kesepuluh sosok tubuh itu mengikuti perahu yang baru dilemparkan tadi.
Hebat! Cara unik yang dipergunakan kesepuluh orang gagah itu untuk menaiki perahu memang benar-benar mengagumkan. Begitu kedua perahu terjatuh di atas air laut, secara hampir bersamaan kesepuluh sosok tubuh itu pun sama-sama menjejakkan kakinya di lantai perahu. Mereka terbagi dalam dua kelompok dengan masing-masing lima orang dalam tiap perahu. Sesaat kemudian, perahu-perahu itu terlihat mulai bergerak mengarungi lautan luas.
“Berapa lama kira-kira kita bisa mencapai Pulau Elang Hitam, Kakang?” ujar seorang lelaki bertubuh gemuk, yang berambut botak pada bagian tengah kepalanya. Meskipun demikian, wajahnya tampak gagah dan memancarkan wibawa yang cukup kuat. Sambil bertanya demikian, kepalanya menoleh ke arah seorang lelaki tinggi gagah yang tampaknya merupa-kan pemimpinnya.
Lelaki tinggi gagah yang bernama Lunggara itu tidak segera menjawab pertanyaan rekannya. Sejenak ia melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan tarikan napas panjang. “Hm..., mungkin menjelang sore nanti, kita bisa tiba di Pulau Elang Hitam. Tapi, kita harus berhati-hati. Siapa tahu Elang Laut Utara sudah menduga kedatangan kita. Dan, jika benar, manusia sesat itu pasti telah mempersiapkan sebuah penyambutan untuk kita”
Ucapan Lunggara terdengar timbul tenggelam karena terhantam oleh kerasnya tiupan angin laut. Meskipun demikian, karena menggunakan tenaga dalamnya, suara lelaki gagah itu dapat tertangkap jelas oleh rekan-rekannya, termasuk juga deh kelima orang yang berada dalam perahu di sebelah kiri perahu yang ditumpangi Lunggara.
“Kalau benar demikian, berarti kita harus mencari tempat mendarat yang tersembunyi. Dengan cara itu, baru kita bisa menghindari jebakan-jebakan yang mungkin saja telah dipersiapkan Elang Laut Utara...!” usul seorang lelaki bertubuh sedang berusia sekitar empat puluh tahun kepada Lunggara.
“Tidak, Adi Wilang,” sahut Lunggara dari perahu sebelah, karena keduanya memang tidak berada dalam satu perahu. “Sebab, kalau memang tokoh sesat itu telah mempersiapkan penyambutan untuk kita, ia pasti telah menjaga tempat-tempat yang menurutnya cukup tersembunyi untuk dijadikan sebagai tempat pendaratan di atas pulau. Menurutku, sebaiknya kita datang secara terang-terangan. Kurasa hal itu lebih baik. Sebab, Elang Laut Utara pasti tidak menduga kalau kita berani datang secara terbuka”
“Hm..., rasanya itu pun tidak jelek. Tapi, ada baiknya kita mendarat secara terpisah. Dengan begitu, mungkin saja Elang Laut Utara dapat kita kecoh. Bagaimana menurutmu, Kakang...?” usul Wilang, yang tampaknya masih berkeras mempertahankan pendapatnya.
“Boleh saja. Tapi ingat, jangan bertindak sendiri- sendiri! Kita harus tetap waspada, meskipun suasana yang akan kita temui nanti terlihat tenang dan aman”
Ki Lunggara menyetujui usul Wilang sambil menyampaikan pesan-pesan yang diucapkannya dengan tegas dan sejelas-jelasnya. Hal itu dilakukannya agar apa yang disampaikan dapat diingat oleh Wilang dan keempat kawannya yang berada di atas perahu terpisah.
Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Masing-masing dari mereka tidak lagi berkata-kata. Pandangan mata kesepuluh orang itu kini tertuju lurus ke sebuah gundukan daratan berwarna kehitaman, yang berbentuk seperti seekor elang raksasa tengah mengembangkan sayapnya. Itulah Pulau Elang Hitam.
“Hm..., bersiap-siaplah” Ki Lunggara mengeluarkan kata-kata peringatan saat melihat Pulau Elang Hitam sudah terpampang beberapa belas tombak di depannya. Wilang, yang mendengar peringatan pemimpinnya, segera berpencar bersalto diikuti kawan seperahunya. Mereka memisahkan diri dari kelompok Ki Lunggara.
“Kita berpisah, Kakang...,” ujar Wilang sebelum memisahkan diri dan bergerak ke kanan. Rupanya lelaki bertubuh sedang yang gerak-geriknya gesit itu tetap hendak melaksanakan niatnya untuk mendatangi pulau secara sembunyi-sembunyi.
Ki Lunggara hanya menganggukkan kepalanya menyahuti ucapan Wilang. Kemudian ia terus bergerak maju mempercepat laju perahunya. Jelas maksudnya hendak mengalihkan perhatian penghuni pulau jika memang telah menanti kedatangannya. Tidak lama kemudian, kelompok Ki Lunggara pun telah mencapai daratan Pulau Elang Hitam. Ketegangan kelima orang lelaki gagah itu berubah menjadi rasa keheranan yang besar. Karena, apa yang mereka duga ternyata meleset.
“Aneh..., mengapa sunyi sekali keadaan pulau ini? Apakah Elang Laut Utara tidak mempunyai pengikut? Atau jangan-jangan semua ini merupakan jebakan untuk kita...?” desah seorang lelaki jangkung berjenggot dengan sepasang mata yang berputar liar mengawasi sekitar tempat pendaratannya.
“Hm..., yang penting tetap siaga. Sebab, mungkin ini merupakan jebakan agar kita lengah...,” gumam Ki Lunggara lirih, menyahuti ucapan salah seorang rekannya.
Lelaki gagah itu sendiri sudah melangkah dengan diapit dua orang rekannya. Sedangkan dua rekannya yang lain menyeret perahu dan menyembunyikannya di tempat yang aman. Sebab, jika perahu itu sampai lenyap, ada kemungkinan mereka akan tinggal terus di atas pulau itu.
“Jangan berkelompok. Usahakan di antara kita saling mengatur jarak...”
Ki Lunggara kembali mengingatkan rekan-rekannya ketika mereka mulai menyusuri pulau. Ucapan itu membuat yang lain segera sadar akan kedudukan mereka. Sebab, dalam keadaan berkelompok, mereka akan lebih mudah diserang secara gelap. Tanpa diperingatkan dua kali, keempat orang tokoh persilatan itu segera mengatur jarak masing-masing.
Ki Lunggara, yang berjalan di tengah, kian berkerut keningnya. Sebab, meski sudah jauh ke dalam pulau, mereka belum juga menemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan, sampai kelompok Ki Lunggara bertemu dengan kelompok Wilang, tetap saja tidak ada tanda-tanda bahaya yang menyambut kehadiran mereka.
“Hm..., mungkinkah Elang Laut Utara tidak mengetahui kedatangan kita...? Atau ia memang sengaja menunggu di tempat kediamannya...?” Wilang yang merasa penasaran bergumam lirih sambil melepaskan pandangannya ke sebuah bangunan yang berada beberapa belas tombak di depan mereka.
“Rasanya tidak mungkin, Adi. Tapi, ada baiknya kalau kita periksa bangunan itu...,” ujar Ki Lunggara, yang segera melangkah mendekati bangunan tempat tinggal Elang Laut Utara. Dan, serentak rekan-rekannya bergerak menyebar tanpa diperintah.
Wilang dan empat orang rekannya bergerak dari gerbang depan. Suasana bangunan itu terlihat sunyi. Sehingga, lelaki bertubuh sedang ini mengira bahwa bangunan itu memang telah ditinggalkan penghuninya. Tapi, baru saja kelimanya bergerak mendekati pintu utama, tiba-tiba dari sebelah dalam melangkah keluar dua orang berpakaian serba hitam. Tanpa dapat dicegah lagi, kedua belah pihak pun berpapasan satu sama lain.
“Hei, siapa kalian...!”
Salah seorang dari lelaki berseragam hitam itu membentak sambil mencabut senjata dari pinggangnya. Tentu saja tidak ada jalan lain bagi Wilang dan kawan-kawannya kecuali menghadapi kedua orang lelaki itu.
“Hm..., kami ingin berjumpa dengan majikanmu yang berjuluk Elang Laut Utara. Cepat kau beritahukan majikanmu kedatangan kami...!” Dengan nada suara tegas, Wilang langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Sebab, memang tidak ada jalan lain baginya kecuali menjawab pertanyaan penghuni Pulau Elang Hitam itu.
“Keparat! Manusia-manusia lancang dari mana kalian? Berani benar kalian berkata seenaknya di pulau ini! Untuk kesalahan-kesalahan itu, kalian harus menerima hukuman yang setimpal!” Setelah berkata demikian, kedua orang lelaki berseragam hitam itu melompat dengan senjata terhunus.
“Tunggu...!”
Meskipun hatinya merasa terbakar, Wilang masih mencoba untuk menghindari pertarungan. Semua itu bukan dikarenakan ia masih bersabar. Tapi, justru Wilang ingin mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan kepadanya dan rekan-rekannya.
“Hm..., apa lagi yang kalian inginkan...?” Salah seorang yang bertubuh tinggi besar dengan wajah terhias brewok bertanya kasar. Jelas sekali, lelaki itu sengaja mengandalkan keseraman wajahnya untuk membuat ciut nyali lawan. Sayang, hal itu tidak berlaku bagi Wilang dan kawan-kawannya. Terbukti mereka tetap tenang menghadapi pertanyaan bernada kasar itu.
“Hm..., tidak banyak yang ingin kuketahui. Pertama, kesalahan apa yang telah kami perbuat, sehingga harus dihukum? Kedua, kalian harus mengatakan, apakah majikan kalian ada di pulau ini? Atau telah lari terbirit-birit karena kedatangan kami? Nah, kurasa pertanyaanku cukup dan pantas, bukan?” ujar Wilang dengan nada seenaknya. Sepertinya ia sama sekali tidak terpengaruh oleh lawan yang sengaja memancing emosinya.
“Bangsat! Sudah memasuki pulau tanpa izin dan berani minta menghadap majikan pulau dengan ucapan seenaknya, ternyata kalian juga berani menghina majikan kami! Rasanya hanya kematian yang pantas untuk orang-orang seperti kalian! Nah, terimalah...!”
Usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu langsung melompat dan menerjang dengan ayunan golok besarnya ke arah Wilang yang memang berada paling depan.
Whyuukkk...!
“Aiiih, luput...” Dengan gerak sembarangan, Wilang menggeser tubuhnya. Dihindarinya serangan golok besar lawan. Bahkan, mulutnya masih sempat melontarkan ucapan mengejek. Tentu saja hati lawan semakin bertambah panas.
“Mampus kau...!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki tinggi besar berwajah brewok itu kembali melontarkan serangannya dengan tidak kepalang tanggung. Sekali lompat saja, lelaki itu langsung melancarkan serangkaian bacokan dan tusukan yang mematikan. Dari suara desingan senjata itu, dapat ditebak kalau tenaga yang dipergunakannya sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan.
Tapi, Wilang sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan sikap yang tetap sengaja mempermainkan lawannya, lelaki bertubuh sedang itu bergerak kian kemari dengan mempergunakan kegesitannya untuk mengecoh lawan. Sehingga, lelaki brewok itu semakin bernafsu untuk segera mencincang tubuh lawannya yang ternyata sangat gesit itu.
Sementara itu lelaki berseragam hitam yang seorang lagi tiba-tiba mengeluarkan suitan panjang yang melengking tinggi. Jelas bahwa suitan itu merupakan isyarat bagi kawan-kawannya yang masih berada di dalam bangunan. Sedangkan lelaki itu sendiri langsung melompat. Diterjangnya tokoh persilatan yang terdekat dengannya.
“Heeeaaattt...!”
Bwettt..!
Golok besar lelaki tinggi kurus itu langsung berdesing mengancam batang leher seorang tokoh bertubuh gemuk, yang bagian tengah kepalanya botak.
“Hm...” Sambil bergumam pelan, lelaki gemuk itu langsung merendahkan tubuhnya. Dan, dilontarkannya serangan balasan berupa tendangan kilat yang lurus mengancam perut lawannya.
Zzzebbb!
“Aiiihhh...?!” Lelaki berseragam hitam, yang sama sekali tidak menyangka kalau lawan dapat melakukan serangan balasan secepat itu, tentu saja terperanjat. Untunglah ia sempat menyadarinya. Tubuhnya langsung ditarik ke belakang. Sehingga, tendangan kaki kanan lawan tidak sampai mencapai tubuhnya. Kemudian, dengan merendahkan badannya lelaki berseragam hitam itu langsung menyabetkan senjatanya secara mendatar. Sasarannya adalah kaki kiri lawan.
“Hm...” Untuk kedua kalinya, lelaki gagah berkepala separuh botak itu bergumam perlahan. Tubuhnya melesat ke udara dengan sebuah lompatan panjang. Berbarengan dengan gerakan itu, sepasang tangannya melakukan tamparan susul-menyusul.
Plakkk! Plakkk!
“Auuughhh...!”
Tamparan yang demikian cepat dan mengejutkan itu tak sempat lagi dihindari lawannya. Langsung saja tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu terguling terkena tamparan keras yang telak menghantam kepalanya.
“Heattt...!”
Lelaki gagah bertubuh gemuk itu kembali berseru nyaring sebelum lawannya dapat berdiri tegak. Sebuah tendangan kilat kembali dilontarkan ke dada lawannya. Dan...
Buggg!
“Huaaakhhh...!” Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berseragam hitam itu langsung terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya. Dengan suara keras, tubuh lelaki berseragam hitam itu ambruk ke tanah. Setelah meregang sesaat dengan rintihan parau, sosok itu pun diam untuk selamanya, mati.
“Hiaaattt...!”
Lelaki gemuk berkepala separuh botak itu menolehkan kepalanya saat mendengar teriakan nyaring yang panjang dan memekakkan telinga. Namun, gerakan sosok tubuh yang berteriak nyaring tadi ternyata datang lebih cepat ketimbang gerakan kepala lelaki gemuk itu. Sehingga, tanpa sempat dihindarkan lagi, sebuah tendangan telak membuat lelaki gemuk itu terpelanting sejauh satu setengah batang tombak.
“Gila...!?” Sambil memaki kalang kabut, lelaki gemuk itu segera melompat bangkit dengan sigapnya. Sepasang matanya hampir tidak percaya ketika melihat sesosok tubuh ramping berparas cantik menatap tajam kepadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia hanya bisa berdiri bengong dengan bibir komat-kamit tanpa sepatah pun ucapan keluar dari mulutnya.
“Hm..., kau harus menerima hukuman yang berat...!” Terdengar desis bernada dingin yang keluar dari sela-sela bibir tipis berbentuk indah itu. Dan, begitu ucapannya selesai, tiba-tiba sebilah pedang berkilat telah tergenggam di tangannya.
“Hiaaahhh...!” Dengan dibarengi bentakan nyaring, sosok ramping berparas cantik itu langsung melesat disertai kibasan pedangnya.
Bweeettt!
“Aaahhh...!” Lelaki gemuk itu baru tersadar saat ia merasakan adanya sambaran hawa maut yang mengancam lehernya. Cepat-cepat ia melempar tubuhnya bergulingan untuk menghindari sambaran pedang yang cepat bagai kilat itu. Namun, sosok ramping berparas cantik itu tidak menghentikan serangannya sampai di situ saja. Dengan gerakan yang lincah dan mengagumkan, ia kembali mengibaskan senjatanya dengan serangkaian serangan maut. Hingga....
Breeet! Breeettt!
“Arkkkhhh!” Karena serangan gadis remaja berparas cantik itu demikian gencar dan sangat cepat, akhirnya lelaki gemuk itu harus merelakan tubuhnya dijadikan sasaran sambaran senjata tajam gadis itu.
“Hm.... Hanya dengan kepandaian secetek itu kau hendak jual lagak di depanku”
Terdengar suara dingin yang mendirikan bulu roma. Benar-benar menyeramkan suara yang dikeluarkan bibir mungil dan indah itu. Senyum dinginnya tersirat saat menyaksikan tubuh korbannya menggelepar bergelimang darah segar.
“Haaattt...!”
Dua belas orang berseragam hitam, yang datang beberapa saat setelah kemunculan gadis cantik itu, segera menghambur ke arah delapan orang tokoh persilatan. Sehingga, mereka yang semenjak tadi tertegun melihat kekejaman dara cantik itu segera mencabut senjata dan melakukan perlawanan. Sebentar saja, pertempuran kacau pun berlangsung seru.
Sementara itu, Wilang yang meladeni lelaki tinggi besar berbrewok ternyata mendapat kenyataan yang hampir tidak dipercayainya. Ia, yang semula menganggap rendah lelaki brewok itu, kini harus bekerja keras untuk menundukkan lawannya. Sebab, kepandaian lawannya itu ternyata cukup tangguh.
“Heaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali melontarkan serangan dengan gerakan-gerakan yang aneh dan mengejutkan. Gerakannya yang terkadang membuka dan menutup itu sempat membuat Wilang sibuk. Padahal, lelaki bertubuh sedang itu bukan orang sembarangan dalam kalangan persilatan. Bahkan, di wilayah Timur, Wilang merupakan seorang tokoh yang pantas untuk diperhitungkan.
Sebagai tokoh keempat di wilayahnya, tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun tidak bisa dianggap remeh. Jadi, wajar saja kalau Wilang merasa penasaran bukan main ketika dalam tiga puluh jurus ia belum juga dapat menundukkan lawannya. Padahal, menurut dugaannya, lelaki tinggi besar itu paling-paling hanya merupakan penjaga atau pembantu rendahan yang melayani segala keperluan Dang Laut Utara.
Sayang, Wilang terlalu menganggap remeh lawannya. Sehingga, ia tidak tampak mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya dalam pertarungan itu. Kesadarannya baru bangkit setelah lebih dari tiga puluh jurus, lawan masih tidak dapat ditundukkannya. Ketika menyadari kenyataan itu, barulah Wilang mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya untuk menggempur lawan.
“Haaattt...!”
Diiringi pekikan nyaring, Wilang merangsek maju dengan pukulan yang berubah-ubah bentuk. Sehingga, dalam lima jurus saja, lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam itu terdesak dan hanya bisa bergerak mundur. Jangankan untuk melontarkan serangan balasan. Untuk menghindari serangan lawan saja, ia benar-benar hampir tidak sanggup.
Whuuukkk...!
Tiba-tiba datang hantaman telapak tangan Wilang yang mengincar lambung lawannya. Tentu saja lawan yang kedudukannya memang sudah tidak tetap itu terhuyung limbung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Wilang untuk melontarkan pukulan mautnya.
“Jeaaahhh...!”
Berbarengan dengan bentakan keras, Wilang melontarkan sebuah pukulan lurus ke pelipis lawan.
Whuuuttt..! Plaaaggg...!
“Aaahhh...!?”
Wilang, yang merasa yakin akan dapat membereskan lawannya, merasa kaget bukan kepalang. Sebab, pada saat pukulannya hampir menewaskan lawan, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan ramping yang langsung menyambut pukulannya. Akibatnya, Wilanglah yang terpekik kesakitan dan terdorong mundur hingga sejarak satu setengah tombak. Tentu saja kenyataan itu membuat Wilang terbelalak
“Gila...!?” maki Wilang sambil mencoba mengetahui, siapa gerangan sosok yang telah membuatnya sangat terkejut tadi. Selintas bayangan Elang Laut Utara terbayang di benaknya. Karena, hanya tokoh sesat itulah menurutnya yang dapat membuatnya gagal melanjutkan serangan.
Tapi, apa yang disaksikan Wilang benar-benar membuatnya hampir tidak percaya. Sesosok tubuh ramping berparas cantik yang pantas menjadi anaknya tampak berdiri angkuh dengan seulas senyum dingin menghias wajahnya. Kening Wilang semakin berkerut ketika melihat si lelaki tinggi besar brewok mengangguk hormat kepada gadis remaja itu.
“Terima kasih, Nona Muda...,” ucap lelaki brewok itu. Dan, ketika gadis remaja itu memberikan isyarat dengan kepalanya, cepat-cepat lelaki tinggi besar itu membaurkan dirinya ke dalam pertempuran yang tengah berlangsung di dekatnya.
“Kau..., siapakah Nisanak...? Mengapa kau membela orang-orang sesat itu...?” tegur Wilang sambil melangkah maju untuk meneliti lebih dekat sosok ramping berwajah cantik itu.
“Hm..., seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, Kisanak. Ada keperluan apa kau mendatangi tempat ini? Akulah yang kini menjadi pemilik Pulau Elang Hitam. Wajar kalau kau tidak mengetahuinya. Karena, aku pun baru kemarin tiba di pulau ini. Ayahku yang menjadi pemilik pulau ini belum kembali, maka aku mewakilinya menjaga tempat ini dari tangan-tangan jahil seperti kau dan kawan-kawanmu,” ujar gadis remaja berwajah cantik yang tidak lain dari Surni itu. Rupanya gadis itu telah lebih dahulu tiba di Pulau Elang Hitam, yang menjadi tempat kediaman ayahnya.
Kedatangan Surni ke pulau itu pun sesungguhnya tidak diterima dengan mudah oleh para penghuninya. Tapi, berkat kepandaian yang dimilikinya, akhirnya para penghuni pulau itu percaya bahwa Surni adalah putri majikan mereka. Sebab, gadis remaja itu memang menguasai semua ilmu tinggi yang juga dimiliki Elang Laut Utara. Bahkan, ilmu-ilmu rahasia Elang Laut Utara pun dapat dimainkan gadis remaja berwajah cantik itu. Semua itulah yang membuat seluruh penghuni Pulau Elang Hitam percaya akan keterangan Surni. Sehingga, mereka menerima Surni sebagai wakil dari Elang Laut Utara selama tokoh sesat itu belum kembali.
Saat itu, selagi Wilang berhadapan dengan keturunan Elang Laut Utara, terdengar suara orang berlarian mendatangi tempat ini. Hati Wilang bertambah lega ketika tahu kalau yang datang ternyata rombongan Ki Lunggara.
Baru saja Ki Lunggara hendak mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kematian yang susul menyusul. Laki-laki gagah itu kontan menoleh ke arah asal jeritan-jeritan tadi. Demikian pula Wilang dan kelima orang tokoh yang baru tiba itu. Mereka juga menoleh ke arah yang sama.
“Aaahhh...?! Apa yang terjadi terhadap mereka...?” desah Ki Lunggara. Wajah laki-laki gagah itu pucat saat melihat tiga orang rekan Wilang menggelepar di atas tanah sambil melolong mengerikan. Jelas, mereka tengah mengalami suatu penderitaan yang mengerikan!
“Racun Ubur-Ubur Laut...!” Wilang yang melihat ketiga rekannya tengah menggaruki sekujur tubuh, segera saja dapat menebak penyebabnya.
“Hm! Jadi, racun jahat itu pulalah yang telah menyebabkan kematian Ketua Ular Perak Jantan...?” desah Ki Lunggara, teringat akan mayat Ular Perak Jantan yang sekujur kulit dan daging tubuhnya terkelupas.
“Penderitaan mereka harus dihentikan,” Tiba-tiba saja, Wilang mendesis sambil melangkah menghampiri ketiga rekannya yang tengah mengalami penderitaan mengerikan. Lelaki bertubuh sedang itu terlihat menggigit bibirnya kuat-kuat, dengan wajah berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan.
“Adi Wilang! Apa yang hendak kau lakukan...?” tegur Ki Lunggara. Dia memang curiga melihat sikap Wilang. Maka segera saja dia berdiri menghadang jalan. Sehingga mau tidak mau, Wilang harus menghentikan langkahnya.
“Menyingkirlah, Ki. Apakah kau tega melihat penderitaan rekan-rekan kita...?” tandas Wilang tanpa tekanan. Sedangkan sorot matanya lurus ke depan, melewati bahu Ki Lunggara. Jelas, Wilang tidak ingin dihalangi.
“Tapi” Ki Lunggara yang semakin sadar akan apa yang hendak dilakukan Wilang, suaranya jadi tercekat di kerongkongan. Lelaki gagah itu tidak bisa berkata-kata lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk melenyapkan penderitaan rekan-rekan mereka, kecuali dengan cara segera membunuh ketiga tokoh persilatan itu. Tentu saja untuk melaksanakannya, bukan suatu pekerjaan mudah bagi perasaan mereka.
“Arrrkkkhhh...!”
Raung kesakitan penuh kesengsaraan dari ketiga orang tokoh itu, kembali merasuki telinga Wilang dan Ki Lunggara.
Sementara Ki Lunggara sendiri tertunduk lesu, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedangkan Wilang segera melanjutkan langkahnya dengan pedang telanjang. Dengan wajah tengadah dan sepasang mata diluruskan ke langit, Wilang berdiri tegak di hadapan ketiga orang rekannya. Pedang telanjang di tangannya tampak bergetar keras. Jelas, lelaki itu tengah berjuang keras mengalahkan perasaannya. Perlahan-lahan, pedang berkilat itu terangkat. Dan....
Whukkk!
Jrasss! Crasss! Cappp!
“Aaarggghhh !”
Terdengar lengking kematian yang memilukan saling susul. Darah segar kontan berhamburan membasahi tanah. Seiring tetesan darah yang jatuh satu persatu dari badan pedang di tangan Wilang, ketiga sosok tubuh yang tengah sekarat itu pun ambruk hampir bebarengan. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam untuk selamanya. Mati.
“Ooohhh...!”
Empat orang rekan Ki Lunggara, termasuk Langga, sama-sama memalingkan wajah. Mereka seperti ikut larut dalam kepedihan hati Wilang yang terpaksa harus membunuh ketiga rekannya demi menolong dari penderitaan.
“Biadab...! Kucincang tubuh kalian semua, manusia keji...”
Kemarahan dan kesedihan yang meledak-ledak dalam dada Wilang, ditumpahkannya kepada delapan orang lelaki berpakaian hitam yang telah menebarkan racun-racun keji kepada ketiga rekannya. Empat sosok mayat lawan tidak dipedulikannya lagi. Yang terlintas dalam pikirannya saat itu hanyalah membunuh lawan sebanyak-banyaknya untuk menebus nyawa ketiga rekannya.
“Hm...” Amukan Wilang seketika membuat delapan orang sisa pengikut Elang Laut Utara kalang kabut. Dan hal ini juga membuat Surni menatapnya dengan kilatan mata tajam. Sesaat kemudian, tubuh rampingnya telah melesat ke arena pertempuran.
“Hiaaahhh...!” Begitu tiba, Surni langsung melontarkan serangkaian pukulan maut dari jurus ‘Elang Sakti’ warisan ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Wilang kelabakan! Apalagi, tenaga yang mengiringi sambaran cakar elang gadis remaja itu demikian kuat dan mengejutkan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Wilang hanya bermain mundur saja.
Ki Lunggara melihat betapa Wilang terdesak hebat oleh gempuran seorang gadis remaja, maka tentu saja dia menjadi terkejut bukan main. Sadar kalau rekannya tidak segera ditolong bisa celaka. Sehingga, langsung saja Ki Lunggara melesat ke arena pertempuran, seraya melontarkan serangan-serangan cepat untuk membendung serangan gadis remaja itu.
Plakkk! Plakkk!
“Aaahhh...?!”
Dua kali tamparan Ki Lunggara yang dilontarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, bertumbukan dengan serangan Surni. Seketika terdengar ledakan yang cukup keras! Tapi hal itu justru membuat Ki Lunggara memekik kaget, ketika telapak tangannya terasa panas. Bahkan kuda-kudanya pun ikut pula tergempur!
“Gila...?! Siapa sebenarnya gadis muda itu...? Kepandaiannya hebat sekali. Rasanya sangat sulit untuk menundukkannya dalam waktu singkat...,” desah Ki Lunggara sambil menatap tajam wajah dara remaja cantik itu.
Ia benar-benar kagum. Dalam usianya yang masih sangat muda, gadis itu telah berhasil menghimpun kekuatan tenaga sakti yang mungkin tidak di bawah tenaga dalamnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari padanya. Namun, Ki Lunggara tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Masalahnya, Wilang yang masih terus digempur Surni segera berseru mengingatkan rekannya. Dia memang sempat mendengar gumaman yang keluar dari mulut Ki Lunggara.
“Jangan heran, Ki. Gadis itu putri Elang Laut Utara...!” seru Wilang yang saat itu tengah bergerak ke kanan mendekati Ki Lunggara. Maksudnya tentu saja dapat ditebak. Wilang ingin mengajak Ki Lunggara untuk menggempur Surni.
“Hm.... Pantas, kepandaiannya demikian tinggi. Kiranya ia pewaris Elang Laut Utara. Tidak heran...,” desis Ki Lunggara yang segera saja mencabut pedangnya, setelah mengetahui siapa adanya gadis remaja itu. “Kalau begitu, gadis itupun harus dilenyapkan. Biarlah, dia yang memikul semua dosa yang telah dilakukan Ayahnya” Usai berkata demikian, Ki Lunggara segera melesat menggempur Surni.
Sementara pada saat itu, Wilang yang benar-benar sudah kehabisan akal dalam menghadapi gempuran lawan, terpaksa bertindak nekat. Sadar kalau untuk dapat mengalahkannya adalah suatu hal yang mustahil, maka Wilang kali ini tidak berusaha menghindari serangan Surni. Senjatanya segera diputar, membentuk gulungan sinar yang membentengi sekujur tubuhnya. Kemudian, dicobanya untuk bertahan dengan benteng sinar pedang itu.
Sayangnya, Surni tidak kehilangan akal. Pengalaman yang didapatnya selama perjalanan maupun di dalam Pulau Elang Hitam, membuatnya mulai bisa menilai keadaan. Maka ketika melihat tindak upaya Wilang, gadis remaja itupun segera mencecar dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Whuuuk...! Deeebbb! Deeebbb!
“Akkkhhh!” Karuan saja Wilang yang kekuatan tenaga dalamnya memang kalah jauh langsung terjengkang ketika pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Surni membentur benteng sinar pedangnya. Dan kalau saja Ki Lunggara tidak segera menolongnya, mungkin tubuhnya akan terbanting di atas tanah.
“Terima kasih, Ki ,” ucap Wilang. Napas laki-laki bertubuh sedang itu tampak memburu dan wajahnya agak pucat. Bahkan pada sela-sela bibirnya tampak ada cairan merah meleleh. Jelas, Wilang menderita luka akibat pukulan-pukulan yang dilontarkan Surni tadi.
“Aaakkkhhh!”
Jerit kematian dari arena pertempuran yang berada beberapa tombak di belakang membuat terkejut Wilang dan Ki Lunggara. Cepat mereka menoleh, memastikan jerit kematian tadi. Dan untuk kesekian kalinya, kedua orang lelaki gagah itu kembali dilanda rasa geram serta penasaran! Dan ternyata, empat orang rekan mereka terlihat menggelepar terkena ‘Racun Ubur-Ubur Laut’.
“Bedebah...!”
Hampir berbarengan, Ki Lunggara dan Wilang mendesis geram. Namun pada saat hendak melompat ke arah keempat rekan mereka, gadis remaja berkepandaian tinggi itu sudah bergerak lebih dulu dan berdiri menghadang jalan.
“Biarkan mereka dengan kesenangannya sendiri. Urusan kita di sini belum selesai...,” ujar Surni dengan tatapan mata sedingin es. Sehingga, kedua orang tokoh persilatan itu menjadi jengkel.
“Keparat kau, Iblis cilik! Kau benar-benar menuruni sifat jahat Ayahmu. Seharusnya kau memang dilenyapkan agar tidak membuat keresahan di kemudian hari...!” Sambil berkata demikian, Ki Lunggara memutar pedangnya sekuat tenaga. Melihat dari sikapnya, jelas kalau orang tua itu siap bertarung mati-matian!
“Wilang...,” sebelum menerjang Surni, Ki Lunggara mendekat dan berbisik kepada rekannya dengan tatapan tetap lurus ke wajah Surni, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. “Jika aku sudah mulai bergerak menerjang iblis cilik itu, tinggalkanlah pulau celaka ini. Kalau tidak, kawan-kawan kita di daratan sana nanti bakal celaka, apabila gadis itu sampai meninggalkan tempat ini. Jangan bantah ucapanku! Semua ini kulakukan demi kita semua...!”
Wilang hanya terpaku pucat mendengar permintaan Ki Lunggara. Namun karena disadari ada kebenaran pada ucapan lelaki gagah itu, maka Wilang tidak membantah. Dan ketika Ki Lunggara melesat ke arah Surni dengan pekikan keras, Wilang pun ikut melesat meninggalkan pulau itu.
“Yiaaahhh...!”
Bweeettt! Swinggg!
Ki Lunggara menerjang dengan serangkaian sambaran pedangnya, untuk mengalihkan perhatian Surni dari Wilang. Usahanya memang tidak sia-sia. Untuk beberapa saat lamanya, Surni mau tidak mau memang harus menghadapi sambaran pedang lawan yang seperti hendak merencah dirinya. Surni benar-benar telah jauh berubah dalam beberapa hari ini. Gadis remaja itu tidak lagi merasa khawatir, meskipun kilatan pedang lawan seperti mengurungnya. Keyakinan terhadap ilmu-ilmu warisan orang tuanya, membuatnya tidak gugup walau menghadapi serangan sehebat apapun.
Begitupun dalam menghadapi gempuran Ki Lunggara. Dengan menggunakan geseran-geseran ringan, gadis remaja itu selalu saja berhasil menghindari sambaran pedang lawan. Bahkan setelah beberapa jurus, sudah bisa melontarkan serangan sesekali. Malah, serangannya terus semakin dipergencar. Sehingga, kini Ki Lunggara lah yang menjadi kewalahan.
“Heeeaaahhh...!”
Pada suatu kesempatan, Surni tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras! Dan berbarengan dengan itu, tangan kanannya terulur melepaskan sebuah pukulan maut! Ki Lunggara yang memang sudah tidak bisa mempertahankan dirinya lagi, tak sempat lagi menghindari. Dan....
Beggg!
“Huakhhh...!” Tanpa ampun lagi, kepalan mungil itu telah menghajar dada Ki Lunggara! Tubuh lelaki gagah itu terjengkang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulutnya! Kemudian, tubuhnya terhuyung limbung hingga satu setengah tombak lebih jauhnya.
Surni sendiri tidak mau bertindak kepalang tanggung. Saat itu juga, tubuhnya melesat melepaskan sebuah tendangan terbang!
“Yeaaa...!”
Deeesss...!
Ki Lunggara menjerit ngeri! Tubuhnya kontan terpental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak, kemudian terus melaju membentur dinding karang. Tanpa ampun lagi, remuklah tubuh lelaki gagah yang malang itu. Ki Lunggara tewas dengan tubuh hampir hancur!
“Hm...,” Surni hanya bergumam sambil mengulas senyum iblis. Sejenak ia menoleh ke arah pembantu-pembantu ayahnya yang telah tidak tampak lagi, karena tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Surni bergerak meninggalkan tempat itu.
Lelaki berperawakan sedang itu dan berusia sekitar empat puluh tahun, mendayung perahunya sekuat tenaga. Sehingga, perahu yang ditumpanginya melaju cepat membelah air laut. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Wilang yang melarikan diri ke daratan.
Beberapa belas tombak di belakang Wilang, tampaklah dua buah perahu lain yang masing-masing ditumpangi empat orang lelaki berseragam hitam. Melihat adanya lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin orang-orang itu, jelaslah sudah kalau mereka adalah orang-orang Pulau Elang Hitam. Mereka memang tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang.
Wilang sendiri terus mengayuh perahunya mati-matian. Untunglah tenaga dalamnya kuat, sehingga jaraknya semakin bertambah jauh dari para pengejarnya. Sayangnya, Wilang hanya seorang manusia biasa yang mempunyai keterbatasan. Sehingga pada saat tenaganya mulai melemah, jarak di antara mereka pun bertambah dekat.
Apalagi, para pengejarnya berjumlah banyak dan mendayung secara berganti-ganti. Sadar kalau jaraknya semakin bertambah dekat, maka Wilang mengempos semangatnya. Kembali perahunya didayung mati-matian. Begitu tiba di daratan, ia langsung melompat dan berlari dengan langkah terhuyung-huyung.
“Kejar...! Bunuh orang itu...!”
Lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin pengejaran itu langsung saja melompat ke air. Meskipun perahunya masih beberapa tombak lagi dari pantai, sama sekali tidak dipedulikannya. Sehingga, kawan-kawannya pun ikut berlompatan dan mengejar Wilang. Sambil berteriak-teriak ribut untuk melemaskan semangat lawan, lelaki brewok itu memimpin kawan-kawannya mengejar Wilang. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka hanya tinggal tiga tombak lagi.
“Heeeaaa...!”
Ketika jaraknya semakin bertambah dekat, lelaki brewok itu tiba-tiba berteriak sambil melemparkan pisau-pisau terbang untuk menewaskan buruannya!
Ziiing! Ziiinggg!
Suara berdesing tajam merobek udara, seketika membuat Wilang sadar kalau dirinya berada dalam ancaman maut! Maka, meskipun tubuhnya sangat lemah, dia berusaha menghindar dengan melompat ke belakang!
Cappp!
“Aaakhhh...!” Wilang menjerit kesakitan ketika kaki kanannya tertancap sebilah pisau terbang lawan. Gerakannya yang jelas telah jauh berkurang, membuatnya tidak sanggup lagi menyelamatkan diri dari salah sebuah pisau yang dilepaskan lelaki brewok itu. Akibatnya, begitu turun, Wilang langsung terjatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
“Hua ha ha...!” lelaki brewok itu tertawa terbahak- bahak melihat Wilang sudah hampir tidak berdaya. Langsung saja Wilang itu jadi terkurung oleh dia dan rekan-rekannya.
“Bangsat keji...!”
Meski telah terkepung dan tidak mungkin dapat selamat, Wilang sama sekali tidak gentar. Dengan sorot mata tajam berkilat, bibirnya mendesis memaki lawan-lawannya. Sehingga, lelaki brewok itu jadi sempat berang.
“Setan! Kau memang perlu diberi sedikit pelajaran...!” Sambil menggeram marah, lelaki brewok itu mengayunkan kakinya langsung dihantamnya tubuh Wilang yang terlihat hendak bangkit!
Buuukkk!
“Uuuggghhh...!” Wilang memekik dengan tubuh sedikit terangkat akibat kerasnya tendangan lawan. Darah segar segera mengucur dari sudut bibirnya. Juga, terdengar erangan lirih dari mulurnya. Kini Wilang sibuk memijat kaki dan lambungnya yang sama-sama terasa sakit.
“Hm.... Bangkitlah, orang gagah! Apakah golongan pendekar memang terdiri dari orang-orang cengeng...?” ejek lelaki brewok itu dengan kata-kata tajam dan menyakitkan.
Sehingga, meskipun saat itu Wilang merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit, ia berusaha bangkit. Ingin ditunjukkannya kalau golongan putih bukanlah orang- orang cengeng dan lemah seperti yang dikatakan lelaki brewok itu.
“Bagus...,” puji lelaki brewok itu dengan senyum sangat menyakitkan. Ia bergerak maju dua tindak, kemudian siap mengayunkan pukulan ke wajah Wilang yang berdiri tidak tetap, karena kedua kakinya memang dirasakan bagaikan tidak memiliki tulang lagi.
“Tahan...! Menyiksa seorang lawan yang sudah tidak berdaya, bukanlah suatu perbuatan terpuji”
Tiba-tiba saja, saat pukulan lelaki brewok itu siap menghajar wajah Wilang, terdengar teguran halus namun mengandung perbawa amat kuat. Maka, baik Wilang maupun lawan-lawannya sama-sama menoleh ke arah datangnya suara teguran tadi.
Wilang dan kedelapan orang lelaki berseragam hitam itu sama-sama menatap heran. Dari arah asal suara, muncullah seorang pemuda tampan yang memiliki senyum penuh kesabaran. Sepasang matanya yang bulat, tampak memancarkan sinar berkilat. Sehingga, membuat orang bergetar apabila bertatapan dengannya.
Penampilannya terlihat demikian sederhana. Jubahnya berwarna putih, melekat di tubuhnya. Perawakannya pun tidak terlalu kekar, namun terlihat padat. Bahkan seperti menyembunyikan kekuatan menggetarkan. Dan karena penampilannya terkesan ramah dan lembut, maka pandangan kesembilan orang lelaki itupun terlihat sedikit melecehkan. Tetapi begitu melihat sosok lain yang berada di sebelah kanan pemuda tampan itu, maka tatapan mengejek mereka berubah seketika! Bahkan sama-sama membelalakkan mata!
“Siapa..., kalian...?” tegur lelaki brewok itu begitu dapat menguasai keterpanaannya terhadap dara jelita berpakaian serba hijau.
“Hm.... Kami berdua adalah perantau yang kebetulan lewat di tempat ini. Dan karena kalian telah menganiaya orang tak berdaya, tentu saja kami tidak bisa berdiam diri. Itu sama saja tindakan tak berperikemanusiaan, maka harap sobat sudi melepaskan lelaki itu...,” jawab pemuda tampan berjubah putih itu, ringan dan tenang. Sehingga, si brewok dan kawan-kawannya saling bertukar pandangan penuh keheranan.
“Hm...,” gumam lelaki brewok sambil menatap wajah sepasang anak muda itu. Jelas, ia tengah menilai pasangan itu. Apalagi, ketika matanya kembali melahap wajah dara jelita berpakaian hijau. Maka, hatinya pun semakin kuat menduga kalau mereka pasti bukan orang sembarangan. Sebab bukan mustahil pemuda itu akan aman dengan gadis cantik di sampingnya dalam perantauannya. Dan tentu telah banyak penjahat yang telah ditaklukkannya, karena berani mengganggu gadis di sampingnya.
Mendadak saja, lelaki brewok itu menotok lumpuh tubuh Wilang. Kemudian, diberikannya isyarat terhadap ketujuh orang kawannya untuk mengurung pasangan anak muda itu. Rupanya, nafsu birahi lelaki brewok itu sudah bergejolak melihat gadis jelita di depannya. Pikiran untuk memiliki, membuatnya segera saja melumpuhkan Wilang. Kemudian, dia ikut bergerak mengepung pasangan muda itu.
“Hm...” Pemuda tampan berjubah putih itu terlihat hanya tersenyum menyaksikan tingkah calon lawan-lawannya. Melihat dari cara mereka memandang yang tertuju ke arahnya, mengertilah pemuda itu kalau mereka ingin merebut gadis cantik di sampingnya. Itulah yang membuatnya tersenyum.
“Kakang, serahkan mereka padaku...,” ujar gadis berpakaian hijau di samping pemuda itu.
“Hm... Menyingkirlah, Kenanga. Untuk kali ini, biar aku yang akan memberi pelajaran...,” jawab pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara lembut. Nada suaranya jelas menyembunyikan ketegasan yang tidak bisa dibantah. Sehingga, dara jelita yang dipanggil Kenanga itu bergerak menyingkir. Dan sudah pasti, pemuda tampan itu adalah Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Heeeaaa...!”
Baru saja dara jelita itu bergerak mundur, salah seorang dari pengepungnya telah berseru untuk memulai serangan. Tubuhnya meluncur ke depan, dengan tusukan pedang yang mengancam tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak berusaha bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya hanya meliuk sedikit, ketika ujung pedang lawan datang mengancam. Dan begitu lewat satu jari di sisi tubuhnya, tangan Panji langsung saja mencekal pergelangan yang memegang pedang!
Clappp!
“Uuuhhh...!” Gerakan Panji yang memang demikian cepat, membuat lawan tidak sempat lagi melihat. Lelaki berseragam hitam itu tentu saja kaget bukan main, ketika tahu-tahu pergelangan tangannya telah tercekal lawan. Dan sebelum sempat disadari, tahu-tahu saja tubuhnya terasa seperti terbang ke atas sebuah pohon.
Gusraaakkk!
“Tolooong...!” Lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak minta tolong, ketika tubuhnya tersangkut di salah satu ranting pohon.
“Keparat...!” Lelaki brewok yang bertubuh tinggi besar itu menggeram marah melihat kawannya diperlakukan demikian. Dengan teriakan nyaring, tubuhnya langsung melesat diiringi sambaran pedangnya. Serangannya diikuti pula oleh keenam kawannya yang lain.
“Yeaaahhh...!”
Beeettt! Beeet! Beeet!
Ketujuh batang pedang lelaki berseragam hitam itu menyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih. Namun dengan ringannya, tubuh Panji bergerak kian kemari di antara sambaran sinar pedang pengeroyoknya. Sehingga, tak satu pun senjata lawan yang mampu melukai tubuhnya. Bahkan untuk menyentuh jubahnya pun tidak mampu. Tentu saja, kenyataan itu membuat para pengeroyoknya menjadi semakin penasaran.
Namun, Pendekar Naga Putih tidak mau berlama-lama dalam menghadapi mereka. Ketika merasa telah cukup, mulai dilepaskannya tamparan-tamparan ke arah para pengeroyok. Karuan saja, keadaan langsung berubah. Bahkan para pengeroyok itu semakin bertambah terkejut!
Tanpa dapat dicegah lagi, satu persatu para pengeroyok mulai berjatuhan. Dan dalam waktu singkat, hanya tinggal lelaki brewok itu yang masih bertahan. Itupun nampak sudah tidak mungkin bertahan lama. Buktinya, kini tamparan yang dilontarkan Panji sangat sulit dihindari. Hingga, akhirnya....
Whuuut Plakkk!
“Aaakkkhhh!” Tamparan yang cukup keras dan cepat, telah menghantam sisi kepala lelaki brewok itu. Tanpa ampun lagi, tubuhnya yang tinggi besar berputar bagaikan gangsing. Dan tidak lama kemudian, dia ambruk ke tanah. Kepala laki-laki itu kontan terasa pusing, dan perut terasa mual.
“Hm.... Pergilah!. Aku tidak punya urusan pribadi dengan kalian, dan kuharap jangan mengulangi perbuatan-perbuatan jahat seperti ini lagi...,” ujar Pendekar Naga Putih dingin dan menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah menghampiri Wilang yang kali ini menatap penuh kekaguman. Namun, si brewok rupanya masih belum menerima kekalahannya. Dengan gerak perlahan, lelaki tinggi besar itu bangkit berdiri. Dengan licik, tubuhnya melesat sambil mengayunkan senjatanya ke leher pemuda itu, hendak membokong lawannya.
“Kakang awaaas...!” Kenanga yang sempat melihat perbuatan lelaki brewok itu, hanya bisa memperingatkan kekasihnya. Sikapnya hanyalah merupakan kekhawatiran seorang wanita terhadap keselamatan pemuda yang disayanginya. Meskipun, hal itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi, buat Pendekar Naga Putih yang kepandaiannya sudah sangat tinggi.
Suara desingan pedang jelas tertangkap oleh telinga Pendekar Naga Putih. Jangankan, suara sambaran pedang yang sekeras itu. Bahkan yang sepuluh kali lebih halus pun masih dapat tertangkap oleh indra pendengarannya!
Beeeuuuttt!
Panji menundukkan kepala sambil memasang kuda-kuda rendah. Hatinya sempat merasa geram melihat kelicikan lawannya. Maka begitu mata pedang lewat, cepat dia berbalik dan langsung menggedor dada lawan dengan telapak tangan terbuka!
Blaaaggg...!
“Hukhhh...!” Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu langsung saja tersentak deras ke belakang. Darah segar kontan menyembur keluar dari mulutnya. Kemudian, tubuh si brewok jatuh berdebuk nyaring, dan tak bergerak- gerak lagi. Tampaknya dia telah tewas akibat hantaman telapak tangan Panji tadi.
Melihat pimpinannya tewas hanya sekali pukul, tujuh orang berseragam hitam lainnya sama-sama terbelalak dengan wajah pucat! Kemudian, berlangsunglah peristiwa yang sama sekali tidak diduga Pendekar Naga Putih!
“Heaaahhh...!”
Orang pertama yang mengambil senjata dari atas tanah, membentak keras. Kemudian, dia menggorok lehernya sendiri. Darah segar kontan memancur deras dari sayatan mata pedang. Setelah menggelepar sesaat, orang itu pun ambruk dengan napas putus! Kematian orang yang menggorok urat nadi di lehernya sendiri, masih disusul enam orang lainnya. Mereka seperti telah sepakat membunuh diri, setelah melihat kematian pemimpinnya.
Tentu saja kejadian itu membuat Panji terkejut, dan tidak mampu mencegah. Selain jarak terpisah cukup jauh, orang-orang berseragam hitam itu memang telah meletakkan mata pedang di kulit lehernya.
“Hm,... Bagus, mereka telah mengambil keputusan sendiri...,” terdengar gumaman Kenanga yang membuat Panji tersentak dari lamunan. Terdengar helaan napas berat Pendekar Naga Putih ketika melanjutkan langkahnya menghampiri Wilang.
Panji segera memeriksa luka di kaki kanan Wilang, setelah membebaskan totokannya. Kemudian, ditaburkannya obat bubuk pada luka yang terkena pisau terbang tadi. Sedangkan untuk luka-luka memar akibat siksaan lawan, Panji memberikan sebuah obat pulung berwarna putih.
“Terima kasih, Kisanak. Entah apa jadinya kalau saja kau tidak keburu datang menolong. Mudah-mudahan, di satu hari kelak aku bisa melunasi hutang budi ini...,” ucap Wilang sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Lelaki itu diam-diam kagum terhadap kemanjuran obat yang diberikan Panji. Hanya saja, Wilang sama sekali tidak mengucapkannya. Hanya gerak dan wajahnya saja yang jelas-jelas mencerminkan kalau kesehatannya sudah mulai pulih.
“Tidak perlu merasa berhutang budi, Kisanak. Aku sendiri hanya kebetulan lewat. Jadi, rasanya tidak perlu membalasnya...,” tukas Pendekar Naga Putih membalas hormat sambil tersenyum. Dan justru, sikap itu semakin menimbulkan rasa hormat di hati Wilang. Dia sampai bingung, harus berkata apa. Hanya pancaran wajahnya saja yang mencerminkan rasa hormatnya.
“Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi...?” tanya Panji. Semenjak tadi, Pendekar Naga Putih memang merasa penasaran setelah menyaksikan orang-orang berseragam hitam itu melakukan bunuh diri secara berturut-turut. Maka ingin diketahuinya latar belakang kejadian yang sebenarnya.
Wilang tentu saja tidak berkeberatan untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Namun, sebelum lelaki itu sempat bercerita, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang mengandung kemarahan. Serentak, Panji, Wilang, dan Kenanga sama-sama menolehkan kepala memandang ke satu arah.
“Kurang ajar...! Siapa yang telah berani mati membantai murid-murid Ayahku? Hayo, jawab?! Kalau tidak, nyawa kalian bertiga yang akan menjadi gantinya...!” bentak seorang gadis berparas cantik dan manis. Sepasang matanya yang bulat, menyorot tajam ke arah tiga wajah di depannya. Terlihat api kebencian terpancar di sepasang matanya.
Kenanga yang merasa tertantang oleh kata-kata kasar gadis remaja itu, langsung saja bergerak bangkit. Bahkan dengan sorot mata tidak kalah tajam dan menakutkan. Dihadapinya dara remaja itu sambil berkacak pinggang. “Hei, nenek-nenek bawel! Mengapa berteriak-teriak tanpa sebab di tempat ini? Apakah kehilangan sirih?” tanya Kenanga. Melihat dari ucapannya jelas-jelas Kenanga merasa jengkel terhadap dara yang begitu datang langsung marah-marah.
Lain halnya Wilang. Ternyata, nyalinya langsung ciut begitu mengenali dara remaja itu. Perlahan dia beringsut mundur menjauhi gadis yang ternyata putri Elang Laut Utara. Dan rupanya, gadis itu telah tiba pula di tempat ini. Bagi Wilang yang kenal tentu saja tidak aneh melihat gadis itu begitu datang langsung marah-marah. Tentu saja, gadis remaja itu pasti menyangka kalau murid-murid ayahnya telah dibunuh mereka. Sehingga, Wilang yang sudah merasakan kehebatan gadis remaja itu berniat hendak menghindar. Paling tidak, agar tidak sampai terkena amarah gadis remaja yang berkepandaian tinggi itu.
Pendekar Naga Putih sendiri langsung sudah bisa menduga hubungan antara gadis remaja itu dengan orang-orang berseragam hitam yang telah bunuh diri. Tentu saja semua itu diketahui dari ucapan-ucapannya yang baru saja dilontarkan tadi. Maka, Pendekar Naga Putih segera saja bangkit agar tidak terjadi pertumpahan darah di antara kedua orang gadis itu.
Sedangkan putri Elang Laut Utara yang bernama Surni tentu saja semakin mengkelap marah dimaki-maki seperti itu. Dengan bergetar, jari telunjuknya ditudingkan ke wajah Kenanga.
“Setan! Siapa kau?! Apakah kau yang telah membela keparat busuk itu dan membantai murid-murid Ayahku? Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab atas nyawa mereka...!” dengus Surni sambil menoleh ke arah Wilang yang makin ciut nyalinya.
Sebenarnya rasa takut yang dialami Wilang, bukan karena takut. Justru rasa khawatir akan keselamatan kawan-kawannyalah, yang membuatnya jadi takut.
“Nisanak! Bersabarlah sedikit...,” Panji segera saja menimpali ketika melihat gadis remaja itu sudah siap menyerang Kenanga. “Harap kau ketahui, kematian orang-orangmu itu sebenarnya karena mereka telah bunuh diri. Semua itu dapat dilihat dari senjata-senjata yang bergeletakan di dekat mayat mereka.”
Surni menoleh ke arah Panji, menatap penuh selidik. Kilatan kekaguman terlihat, meskipun hanya sekilas memancar di mata gadis remaja itu. Kemudian, terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah mayat murid-murid ayahnya.
“Alasan! Pasti kau ingin membela kekasihmu yang cantik jelita ini, bukan? Pantas saja! Apalagi, tampaknya kekasihmu itu cukup cantik dan genit,” dengus Surni.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Surni merasa panas hatinya melihat pemuda tampan berjubah putih itu berdiri di pihak lawan. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, ucapan-ucapannya keluar begitu saja. Padahal, jelas kata-katanya mengungkapkan apa yang terkandung dalam hatinya saat itu. Dan, Kenanga yang langsung dapat menangkap maksudnya jadi tersenyum sinis.
“Hm..., tentu saja akulah yang akan dibelanya. Apa kau cemburu? Sayang sekali. Carilah laki-laki lain agar kelak ada orang yang membelamu”
Tanpa peduli perasaan Surni, Kenanga langsung saja memojokkannya dengan ucapan yang tajam dan tepat. Akibatnya, wajah Surni memerah karena rahasia hatinya dapat diketahui gadis jelita berpakaian hijau itu.
“Keparat! Apa kau kira aku naksir dengan kekasihmu?! Huh! Mulutmu jahat sekali, dan perlu diberi pelajaran!” Setelah berkata demikian, Surni segera saja melesat menerjang Kenanga!
“Hiaaattt..!”
Surni yang merasa terhina oleh ucapan Kenanga, langsung saja melancarkan serangkaian pukulan dan tendangan yang menimbulkan angin berkesiutan. Nyata sekali sifat kejam gadis remaja itu. Dalam serangan pertama saja, pukulan-pukulan dan tendangannya telah terisi oleh hawa maut Sehingga, Pendekar Naga Putih sendiri sempat mengerutkan keningnya melihat keganasan gadis remaja itu.
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera mengimbangi dengan jurus-jurus andalannya. Apalagi, sekali mendengar angin pukulan lawan, segera saja dapat dinilainya kehebatan tenaga sakti yang dimiliki Surni. Jelas, Kenanga tidak mau tanggung-tanggung lagi.
“Haiiittt..!”
“Heaaattt..!”
Kedua orang wanita itu saling terjang menggunakan jurus-jurus ampuhnya. Tubuh mereka berkelebatan menyerupai dua sosok bayangan samar yang saling libat, teriakan dan sambaran angin pukulan menderu tajam.
“Hebat... Siapa sebenarnya gadis remaja itu? Kepandaiannya sangat tinggi dan ganas. Ilmu-ilmu yang dimilikinya jelas-jelas dari aliran hitam. Entah, murid siapa gadis remaja itu...?” desis Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya merasa kagum melihat gadis remaja itu sanggup menghadapi Kenanga dalam dua puluh jurus lebih. Padahal, kepandaian Kenanga sendiri sudah sangat tinggi, dan jarang tandingannya.
Sedangkan Wilang sudah bergerak semakin menjauhi tempat itu. Lelaki yang usianya hampir separuh baya ini sepertinya telah bertekad meninggalkan tempat itu untuk mengabarkan kepada kawan-kawannya tentang kemunculan seorang gadis remaja keturunan Elang Laut Utara. Namun, ketika Wilang membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu, ia terkejut bukan main. Ternyata pada saat berbalik, tubuhnya hampir bertabrakan dengan sosok berjubah putih.
“Aaahhh?!”
Wilang langsung melompat mundur, dan bersiap menyerang. Tapi ketika mengenali sosok berjubah putih itu, hatinya kontan merasa takut, heran, dan ngeri. Ternyata, sosok berjubah putih itu tak lain dari Pendekar Naga Putih.
“Panji...?!” desis Wilang.
Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal sebelum berbalik tadi, jelas-jelas Panji terlihat masih berdiri membelakanginya sambil menyaksikan pertarungan. Untuk memastikannya, Wilang mencoba menoleh ke belakang. Namun, sosok pemuda berjubah putih itu memang sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Tentu saja kenyataan itu membuat Wilang bergidig. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan atau mendengar kehebatan ilmu meringankan tubuh yang telah begitu tinggi.
“Mengapa hendak pergi secara diam-diam, Wilang...? Apakah hendak melarikan diri dari kesalahan...?” tegur Pendekar Naga Putih dengan suara berwibawa. Sehingga, Wilang sempat gugup oleh pertanyaan pemuda itu.
“Sungguh, Panji. Aku sama sekali tidak salah. Kalau kau ingin tahu, gadis remaja itu adalah keturunan Elang Laut Utara. Beberapa hari yang lalu, ayahnya telah membunuh ketua perguruan kami yang berjuluk Sepasang Ular Perak. Begitu kami menemukan mayatnya, Elang Laut Utara telah lenyap entah ke mana perginya. Lalu aku dan sembilan orang tokoh lain mendatangi pulau tempat tinggal Elang Laut Utara. Tapi, semua kawanku telah dibantai secara keji oleh iblis betina itu bersama pengikutnya. Hanya aku sendiri yang selamat. Lalu, aku melarikan diri untuk mengabarkan kawan-kawan yang lain, agar tidak sampai celaka di tangan gadis iblis itu. Hal ini kulakukan, karena selain aku, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Elang Laut Utara mempunyai seorang pewaris yang tidak kalah kejam...,” jelas Wilang panjang lebar kepada Panji dengan terpaksa, karena tidak ingin dituduh yang bukan-bukan.
“Maaf, Wilang. Kalau memang demikian, tentu saja aku tidak bisa mencegahmu. Silakan...,” ucap Panji seraya memberi jalan kepada lelaki gagah itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wilang segera bergegas meninggalkan tempat itu.
“Sekali lagi, terima kasih atas pertolonganmu, Panji...,” ucap Wilang sebelum tubuhnya lenyap di kejauhan.
Lelaki gagah bertubuh sedang itu sama sekali tidak tahu kalau pemuda tampan yang dihadapinya adalah Pendekar Naga Putih. Panji sejak tadi memang belum menunjukkan ‘Tenaga Gerhana Bulan’nya. Dan lagi, dia dan Kenanga juga tidak memperkenalkan diri kepada Wilang.
Sepeninggal Wilang, Panji kembali mengalihkan perhatian ke arena pertarungan. Saat itu tampak Kenanga sudah mulai mempergencar serangan-serangannya. Maka meskipun Surni mencoba bertahan, tetap saja dapat didesak gadis jelita itu. Selain lebih berpengalaman, kepandaian Kenanga juga masih berada di atas lawannya.
“Hiaaattt!”
Dalam kemarahannya, Surni memekik keras. Tubuhnya yang tengah didesak tiba-tiba melambung. Kemudian, putri Elang Laut Utara itu menukik cepat dengan sepasang tangan membentuk cakar elang. Siap merencah tubuh lawannya!
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, menyadari kedahsyatan serangan lawan. Cepat-cepat tubuhnya bergeser dengan kuda-kuda rendah, kemudian melambung disertai teriakan nyaring mengejutkan. Itulah jurus ‘Bidadari Menabur Bunga’ warisan gurunya. Bedanya, ilmu pedangnya kali ini dipergunakan dengan tangan kosong. Meskipun begitu, kehebatannya tidak berkurang.
“Yeaaahhh...!”
Dua sosok tubuh yang saling melenting di udara tampaknya telah berniat adu nyawa. Ini terlihat dari jurus-jurus pamungkas yang sama-sama digunakan. Melihat kenyataan itu, Panji tidak tinggal diam. Maka tubuhnya cepat melesat dan langsung menerjang tepat di tengah keduanya. Dengan mempergunakan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, Panji mendorongkan telapak tangannya ke kiri dan ke kanan. Tentu saja, dorongan itu hanya sekedar untuk mencegah agar kedua wanita itu tidak terluka. Tentu saja hal itu dapat dilakukannya, karena tenaga jelmaan Pedang Naga Langit yang dapat digunakan sesuai keinginan.
Bressshhh...!
“Uuuhhh...?!”
“Aaahhh...!?”
Baik Kenanga maupun Surni sama-sama terkejut ketika merasakan sesuatu kekuatan aneh yang amat kuat. Bahkan kekuatan itu telah memaksa tenaga mereka jadi tersedot, untuk kemudian berbalik. Akibatnya mereka jadi terjatuh ke tanah. Untungnya, mereka dapat bertindak sigap sehingga jatuh dengan kedua kaki terlebih dahulu.
“Kakang...?! Apa-apaan ini...?!” sentak Kenanga yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Panji.
“Kenanga, tenanglah. Untuk apa saling membunuh tanpa alasan kuat? Rasanya terlalu terburu-buru kalau berniat mengadu nyawa dalam pertarungan ini...,” sahut Panji dengan tatapan mohon pengertian dari kekasihnya.
Mau tidak mau, Kenanga bungkam tidak membantah lagi. Lain halnya Surni. Perbuatan Panji yang sebenarnya malah menyelamatkan dirinya, dianggap sebagai suatu penghinaan. Bahkan juga keroyokan. Sehingga, sepasang matanya yang penuh kebencian menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih.
“Hmh! Walaupun kepandaian kalian kuakui sangat hebat, tapi jangan sombong dulu! Jangan sukanya main keroyok. Huh! Kalau saja Ayahku masih hidup, rasanya kalian tidak akan selamat dari hukuman. Hm... Hari ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat. Sebagai putri Elang Laut Utara, aku yang bernama Surni tidak akan pernah lupa atas penghinaan ini!”
Usai berkata demikian, Surni segera meninggalkan tempat itu tanpa memberi kesempatan kepada Panji dan Kenanga untuk membantah kata-katanya.
“Hei..., tunggu...!”
Panji yang masih merasa penasaran, segera menjejak tanah. Tubuhnya langsung melambung dan berputar beberapa kali di udara. Kemudian, ke dua kakinya mendarat ringan beberapa langkah di depan Surni.
“Hm.... Rupanya kau masih belum puas, pemuda curang?! Baiklah! Kalau memang menghendaki nyawaku, hari ini juga kita mengadu nyawa...!” tandas Surni sambil menggeser kuda-kudanya.
Sikap gadis itu jelas tidak main-main. Sehingga, Panji yang semula hendak menjelaskan kepada gadis itu, terpaksa menyingkir memberi jalan. Tampaknya keputusan gadis remaja itu memang tidak bisa di rubah lagi.
“Hh.... Sayang sekali kau terlalu keras kepala, Nisanak. Kalau memang hendak pergi, pergilah. Aku tidak akan menahanmu...,” Setelah berkata demikian, Panji menyingkir dan bergerak menghampiri Kenanga. Tidak dipedulikannya lagi ketika Surni melesat dengan memendam sakit hati.
Dara itu berdiri lesuh di bibir sungai. Pandang matanya menerawang jauh, bagai tak bertepi. Dari raut wajahnya yang masam, jelas kalau perasaannya tengah semrawut.
“Ayah.... Kalau saja kau masih ada di sampingku, rasanya tidak mungkin aku akan mengalami penghinaan seperti kemarin. Mereka pasti akan kau hajar habis-habisan, karena berani menghinaku...,” desah gadis remaja itu dengan suara bergetar, menyimpan kedukaan.
Perlahan kepala yang semula tegak itu tertunduk lesu. Kemudian kepala gadis itu kembali tegak, seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sungai. Gadis remaja yang tak lain Surni itu rupanya sangat terpukul sekali atas penghinaan Panji. Itulah yang membuatnya berduka. Apalagi ketika teringat ayahnya yang semenjak kecil telah mendidiknya.
Sehingga menurut anggapannya, kepandaian ayahnya paling hebat. Dan memang, sejak kecil hanya ayahnyalah yang bersamanya. Dan yang diketahuinya, ayahnya sangat sakti. Semua itu sering diperlihatkan ayahnya untuk memancing semangatnya agar giat berlatih.
“Hhh...,” kembali terdengar helaan napas berat, yang mengungkapkan betapa hati gadis remaja itu tengah gundah. Dengan langkah agak gontai, Surni melangkah menyusuri sebuah perkebunan karet. Kepala yang tertunduk itu baru terangkat tegak saat terdengar suara langkah kaki dari depannya. Dengan penuh kecurigaan, Surni menatap enam orang lelaki gagah yang berjalan dari arah yang berlawanan.
“Eh...?!” Surni yang sejak semula memang merasa curiga dengan rombongan enam orang lelaki gagah itu, mengangkat alisnya dengan raut wajah terkejut. Betapa tidak? Salah seorang dari keenam lelaki gagah itu dikenalinya betul. Memang, orang yang dilihatnya adalah Wilang.
“Lihat..! Itu dia gadis kejam putri Elang Laut Utara...!” seru lelaki gagah bertubuh sedang yang memang Wilang, sambil menunjuk ke arah Surni.
Sedangkan lima orang lelaki gagah kawan Wilang, langsung berlompatan dengan gerakan ringan dan gesit. Dalam beberapa lompatan saja, mereka telah rapat mengurung Surni. Melihat bentuk kepungan itu, Surni sadar kalau lawan menggunakan jurus gabungan untuk melumpuhkannya.
“Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan lolos, wanita iblis...!” Wilang tertawa keras seraya melesat dan bergabung bersama kelima rekannya. Melihat dari raut wajahnya yang penuh keyakinan, rupanya Wilang sudah dapat memastikan kalau Surni tidak akan mampu menghadapi kelima orang lelaki gagah temannya.
Surni berdiri tenang, meski hatinya sedikit tegang. Sejak menyadari kalau kepandaiannya bukan yang paling hebat di kolong jagad, keyakinan gadis remaja itu sedikit berkurang. Perasaan itu membuatnya menjadi mudah tegang dalam menghadapi perkelahian. Padahal kalau saja tahu siapa pasangan pendekar yang mengalahkannya kemarin, belum tentu akan merasa berduka seperti itu. Karena memang wajar kalau kalah oleh Pendekar Naga Putih atau Kenanga yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Demikian pula dalam menghadapi kelima orang lelaki gagah yang mulai berputar mengepungnya. Hati Surni sedikit tegang, takut mengalami kekalahan lagi. Padahal, keyakinan hati sangat berperan dalam sebuah perkelahian. Makin tinggi keyakinan seseorang, akan semakin tenanglah dalam menghadapi dan mencari kelemahan lawan. Dalam ketegangan dan rasa takut akan kekalahan, Surni menjadi jengkel. Rasa jengkel itu membuat nafsu membunuhnya menjadi semakin berlipat
“Bangsat kau, lelaki pengecut! Rupanya ini maksudmu melarikan diri! Mengapa hanya lima orang yang kau bawa? Apakah kau yakin mereka mampu menundukkanku...?” terdengar suara Surni yang bernada mengejek. Sambil berkata demikian, dara remaja itu menarik keluar sebilah pedang yang selama ini jarang dipergunakan, dan hanya menghias punggungnya saja.
Sriiinggg...!
Kilatan merah berkeredep ketika Surni menggerakkan senjatanya secara bersilangan, sebelum dilintangkan di depan dada. Sorot matanya yang tajam, menyiratkan tekad untuk bertarung sampai mati.
Wilang yang memang sangat mendendam atas kematian kawan-kawannya di Pulau Elang Hitam, melangkah maju dua tindak sambil menudingkan telunjuk ke wajah Surni.
“Dengar, gadis keparat! Selain telah mengakibatkan kawan-kawanku terbunuh, kau juga pengemban dosa dari semua kejahatan yang dilakukan Elang Laut Utara selama hidupnya! Dan, dosa itu hanya dapat dicuci dengan darahmu! Untuk itu, kau harus mati di tangan kami...,” dengus Wilang yang jelas-jelas memancarkan dendam dan rasa sakit hatinya. Suaranya terdengar lantang dan menggetarkan.
Tapi, Surni bukannya takut mendengar ucapan itu. Rasa jengkel dan nafsu membunuh yang telah menguasai hatinya, membuatnya semakin merasa benci terhadap lelaki bertubuh sedang itu. Maka.... “Yeaaattt..!”
Tanpa banyak ribut lagi, langsung saja Surni meluncur dengan tusukan pedang ke tubuh Wilang. Sepertinya, hal itu sengaja dilakukan selagi Wilang belum siap. Bahkan pedangnya telah tertuju lurus ke jantung Wilang.
Namun, kelima orang lelaki gagah yang mengurung Surni tentu saja tidak tinggal diam. Seiring teriakan nyaring yang melengking, dua dari kelima pengepung langsung melesat disertai putaran pedangnya yang menimbulkan angin menderu tajam. Keduanya langsung memapak serangan Surni
“Haiiittt..!”
Serangan dari dua arah oleh dua orang pengepung membuat Surni terpaksa harus menunda serangannya. Memang, meskipun serangannya mungkin bisa melukai Wilang, tapi dia sendiri juga tidak akan terlepas dari ancaman kedua bilah pedang pengepungnya. Dan, Surni lebih utama memilih keselamatan dirinya.
“Yiaaahhh...!”
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Surni memutar pedangnya merubah serangan. Kali ini pedangnya diputar sedemikian rupa mengelilingi tubuhnya. Hingga, terbentuklah sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan gelombang angin puyuh!
Traaang! Traaang!
Tanpa dapat dicegah lagi, ketiga bilah pedang itu saling berbenturan keras disertai percikan bunga api yang berpencaran!
Surni seketika merasakan telapak tangannya agak bergetar akibat benturan tadi. Maka, tentu saja dia cukup dibuat terkejut. Hal itu menandakan kalau tenaga dalam lawan-lawannya hanya berselisih sedikit di bawahnya. Akibatnya, kini hatinya semakin resah. Tambahan lagi, lawannya berjumlah lima orang, ditambah Wilang yang belum ikut terjun mengeroyoknya. Tentu saja jumlah dan kekuatan lawan membuat Surni seperti tidak mempunyai kesempatan untuk menang.
“Hmhhh! Biar bagaimanapun, aku harus membunuh mereka sebanyak-banyaknya sebelum tubuhku dirajam mereka...,” tekad Surni, yang membuat hatinya menjadi mantap.
“Hiaaattt..!”
Kembali Surni memekik nyaring sambil memutar pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, gundukan sinar merah semakin melebar menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Tapi, lawan Surni kali ini bukan orang sembarangan. Kelima lelaki gagah yang berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun itu dalam kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Algojo Dari Timur. Maka sudah tentu kepandaian yang mereka miliki tidak bisa dipandang remeh. Bahkan Sepasang Ular Perak sendiri merasa hormat dan cukup segan terhadap kelima lelaki gagah yang juga wakil-wakilnya itu. Jelas, kali ini Surni benar-benar menghadapi kesulitan besar!
Dengan teriakan-teriakan nyaring yang susul menyusul, kelima lelaki gagah itu satu persatu melesat disertai putaran senjata untuk menggempur Surni. Tentu saja dengan bertarung seperti itu, Algojo Dari Timur tidak pernah merasa kelelahan. Apalagi untuk kehabisan tenaga. Setiap kali seorang maju menyerang, yang lainnya hanya menunggu, untuk kemudian menggantikannya. Hal itu membuat Surni jadi kebingungan dan terdesak hebat!
“Bangsat...!”
Kejengkelan yang menggumpal di dalam dada, membuat Surni melontarkan makian dengan teriakan melengking. Serangan lawan yang berganti-ganti selain membuat pusing, juga jengkel. Semua itu membuat gerakannya menjadi tidak teratur dan sering kacau. Sehingga, semakin bertambah payahlah keadaannya.
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Secara susul menyusul, kelima lelaki gagah itu kembali berlompatan dengan putaran pedang menderu-deru! Surni yang sudah terdesak dan gerakannya semakin kacau, sepertinya tidak mungkin lagi menyelamatkan diri dari kelima bilah pedang yang berkeredep menyilaukan mata!
Breeet! Breeet!
“Aaakkkhhh...!”
Surni yang berusaha untuk menghindari sambaran kelima bilah senjata lawan, tak urung harus menerima dua di antara kelima bilah pedang yang menggores tubuhnya. Meskipun luka sambaran kedua bilah pedang itu tidak sampai menewaskannya, namun cukup membuatnya semakin sulit melakukan perlawanan. Sementara itu, darah terus mengalir seiring rasa perih yang terasa menggigit tubuhnya.
“Ooohhh...,” keluh Surni, lirih sambil menggigit bibirnya kuat-kuat. Wajah cantiknya tampak mulai memucat. Memang, darah yang keluar cukup banyak, sehingga membuatnya semakin bertambah lemas.
“Hm... Terimalah hukuman atas dosa-dosa yang telah diperbuat Ayahmu, wanita sesat..!”
Begitu suara salah seorang dari mereka lenyap, kelima orang lelaki gagah kembali berlompatan disertai kilatan-kilatan pedang yang susul-menyusul. Akibatnya, Surni yang sudah goyah kuda-kudanya, hanya bisa menunggu datangnya maut yang segera menjemput
“Hiaaattt!”
Pekikan yang susul-menyusul itu semakin mengacaukan jalan pikiran Surni. Seperti tidak tahan akan siksaan itu, akhirnya Surni menjatuhkan senjatanya. Seketika kedua telinganya ditutup dengan tangannya. Terdengar rintihan putus asa dari kerongkongannya.
“Ayaaah...,” dalam keputusasaannya, Surni memanggil nama ayahnya untuk yang terakhir kali. Namun....
Tranggg! Traaang! Traaang!
“Aaakhhh..!”
“Uuughhh..!”
Pada saat ajal Surni sudah hampir tiba, tahu-tahu saja sesosok bayangan hitam berkelebat bagai kilat, langsung memapak pedang kelima lelaki gagah itu. Seiring benturan yang memekakkan telinga dan teriakan-teriakan kesakitan, tubuh kelima Algojo Dari Timur berpentalan hingga sejauh dua tombak lebih! Tentu saja kenyataan itu mengejutkan Wilang yang semula tersenyum melihat keadaan Surni.
“Elang Laut Utara...?!”
Wilang berseru dengan wajah berubah tegang ketika mengenali sosok bertubuh gemuk dan berkulit hitam. Meskipun wajah lelaki itu agak pucat, namun kehadi- rannya benar-benar menggetarkan! Wajar saja kalau mereka terkejut, sebab telah percaya kalau Elang Laut Utara telah tewas. Tapi pada kenyataannya, mereka harus menelan bulat-bulat kenyataan itu. Elang Laut Utara benar-benar masih hidup.
“Benar! Akulah yang datang, manusia-manusia pengecut! Kalian yang mengaku sebagai golongan pendekar, ternyata tak lebih dari pengecut-pengecut rendah! Untuk menghadapi seorang gadis remaja saja, kalian ternyata harus main keroyok! Benar-benar tak tahu malu...!” dengus sosok bertubuh gemuk yang memang Elang Laut Utara, dengan suara parau.
“Oh..., Ayah...!” Surni yang untuk beberapa saat lamanya sempat terpaku menatap sosok ayahnya hampir tak percaya. Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan lelaki gemuk berkulit hitam itu. Betapa tidak? Selama ini ayah yang telah dianggap tewas, ternyata masih hidup.
“Hm.... Enak saja kau menuduh kami sebagai pengecut, Elang Laut Utara. Sadarkah kau dengan ucapanmu itu? Mengapa selama ini kau menghilang dan melepaskan tanggungjawabmu?! Apakah kau pikir kami akan melupakan kebejatanmu begitu saja? Huh! Tidak mungkin! Meskipun kami tidak bisa menemukanmu selama beberapa bulan ini, tapi keturunanmu harus menanggung semua dosa atas perbuatanmu. Untuk itulah kami harus membunuhnya...,” timpal orang tertua dari Algojo Dari Timur.
“Dengar, manusia-manusia sombong! Kalau selama ini aku menghilang, itu karena mengalami luka dalam yang cukup parah akibat bertempur dengan Sepasang Ular Perak. Dan setelah luka-lukaku sembuh kini aku kembali muncul untuk membantai kalian satu persatu. Terutama orang-orang yang telah menyakiti putriku.... Nah, bersiap-siaplah”
Setelah berkata demikian, Elang Laut Utara membawa putrinya ke sebuah pohon, dan menyandarkannya. Kemudian, lelaki gemuk itu sendiri kembali menghampiri Wilang dan Algojo Dari Timur. Sorot matanya demikian tajam dan bengis, membayangkan nafsu membunuh yang menggetarkan!
“Hm...” Sambil mengeluarkan geraman lirih, Elang Laut Utara yang telah melepaskan pedang merah milik putrinya, menyilangkan lengan di depan dada. Jari-jari tangannya yang telah membentuk cakar elang, tampak bergetar karena dialiri tenaga sakti yang maha dahsyat!
Sadar kalau lawan yang kali ini dihadapi merupakan tokoh puncak golongan sesat, Lima Algojo Dari Timur segera menyebar dengan pedang di tangan. Demikian pula halnya Wilang. Lelaki gagah bertubuh sedang itu telah mencabut pedang di pinggangnya.
“Haiiittt...!”
Disertai pekik elang luka, tubuh tokoh sesat berkulit hitam itu bergerak maju dengan langkah-langkah pendek. Gerakannya yang terlihat cepat dan sukar ditangkap mata biasa, sempat membuat lawan-lawannya sesaat kebingungan. Namun, begitu sambaran angin tajam telah tiba semakin dekat, baik Wilang dan Lima Algojo Dari Timur sama-sama bergerak menggempur Elang Laut Utara!
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Terdengar pekikan nyaring susul-menyusul. Seiring pekikan itu, kelima lelaki gagah yang mengepung Elang Laut Utara bergerak berturut-turut disertai putaran senjata. Sedangkan Wilang hanya mengikuti paling belakang. Rupanya, dia memilih menggabungkan diri dengan Lima Algojo Dari Timur dalam menggempur Elang Laut Utara.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran berlangsung sengit! Baik Lima Algojo Dari Timur maupun Wilang benar-benar penasaran melihat tokoh sesat Pulau Elang Hitam itu ternyata sangat gesit dan sukar sekali disentuh. Apalagi, sambaran-sambaran cakar elang datuk sesat itu sangat berbahaya dan berbau maut. Akibatnya, cukup sulit bagi Wilang dan rekan-rekannya dalam mendesak lawan. Bahkan justru mereka sendirilah yang terlihat mulai terdesak, meskipun secara perlahan.
“Heaaahhh...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedua puluh lima, tiba-tiba Elang Laut Utara memekik mengejutkan! Lawan yang tidak menyangka bakal mendapat serangan suara itu, sempat terlonjak mundur beberapa langkah. Dan pada kesempatan itulah, Elang Laut mengibaskan tangan kanannya ke arah para pen- geroyoknya! Seketika, berhamburan jarum-jarum halus berwarna keperakan dari tangannya.
Weeettt!
“Awaaasss...!” Wilang benar-benar menyadari ancaman kematian dari kibasan tangan tokoh sesat itu. Maka, segera saja dia memperingatkan rekan-rekannya. Sementara, ia sendiri telah melompat menghindar sejauh-jauhnya, sambil memutar pedang untuk melindungi diri dari ancaman jarum-jarum halus yang mengerikan.
“Aaakkkhhh...!”
“Aaaa...!”
Namun, dua orang dari Lima Algojo Dari Timur tak sempat menangkap arti peringatan Wilang. Akibatnya, tanpa dapat dicegah lagi mereka menjerit kesakitan. Mereka kemudian ambruk dan menggelepar di atas tanah dengan mulut mendesis-desis dan mengaduh-aduh. Memang, rasa gatal yang hebat telah mulai menyiksa kedua orang gagah itu.
“Hua ha ha...! Lihatlah kedua kawanmu itu, manusia-manusia sombong! Sebentar lagi, kalian juga akan mengalami nasib serupa...!” Elang Laut Utara yang merasa puas melihat hasil kerja jarum-jarum beracunnya, disertai tawa meremehkan.
“Bedebah kau, manusia iblis...!” desis Wilang. Wajah Wilang langsung berubah duka. Ia memang sudah beberapa kali menyaksikan kawan-kawannya tewas akibat kekejaman ‘Racun Ubur-Ubur Laut’, Semua itu membuatnya tidak lagi memikirkan keselamatan diri lagi. Dengan serangan bagai gelombang lautan, digempurnya Elang Laut Utara yang tengah tertawa berkakakan.
Tiga orang dari Lima Algojo Dari Timur yang terpaku beberapa saat menyaksikan dua orang rekannya yang bergulingan sambil mendesis-desis dan menggaruki sekujur tubuh, segera saja ikut menyerbu. Kali ini pertempuran berjalan mati-matian, sehingga serangan-serangan mereka sangat hebat dan mengerikan!
Tapi bagi tokoh sesat kawakan seperti Elang Laut Utara, semua itu sama sekali tidak membuatnya gentar. Dengan jurus-jurus andalan, datuk sesat itu dapat mengimbangi dan bahkan sanggup mendesak keempat pengeroyoknya lewat jurus ‘Elang’nya yang memang sangat hebat.
“Yeaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, ketika memasuki jurus yang ketiga puluh, Elang Laut Utara kembali memekik mengejutkan! Dan berbarengan dengan itu, disusulinya dengan sebuah sambaran cakar elangnya yang mengancam Wilang. Karena, saat itu Wilang memang yang terdekat dengannya.
Breeettt! Breeettt!
“Aaakkkhhh...!”
Sambaran cakar elang datuk sesat itu langsung merobek bahu dan lambung Wilang tanpa ampun. Darah segar segera mengalir dari luka yang cukup dalam dan terasa perih. Dan selagi tubuh Wilang terjajar limbung, Elang Laut Utara kembali melesat hendak menghabisi riwayatnya.
“Mampus kau...!” geram Elang Laut Utara seraya menjulurkan cakar-cakar elangnya, hendak mencabik-cabik tubuh lawan.
“Heeeaaa...!”
Tepat pada saat sepasang cakar elang datuk sesat itu siap mencabik-cabik tubuh lawan, tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring seiring berkelebatnya sesosok bayangan putih.
Plakkk! Plakkk!
“Uuuhhh...?!”
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung memapak serangan Elang Laut Utara. Seketika terdengarlah benturan keras, tak ubahnya ledakan petir di angkasa!
Tubuh Elang Laut Utara tampak terdorong balik, hingga satu tombak lebih. Karuan saja kenyataan itu membuatnya terkejut. Maka begitu mendaratkan kakinya di atas tanah, sepasang matanya langsung menyorot tajam ke arah sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Wilang. Sedangkan sosok itu tetap tenang, tanpa mempedulikan sinar kemarahan yang terbersit pada sepasang mata Elang Laut Utara.
“Keparat! Siapa kau...?!” tegur Elang Laut Utara dengan tatapan menyelidik. Nada ucapan tokoh sesat itu jelas menandakan keraguan hatinya. Memang, datuk sesat itu merasa ragu, meski telah terlintas dalam pikirannya tentang sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm..., Elang Laut Utara! Masih belum cukupkah korban kekejamanmu selama ini? Apakah kau masih tetap ingin menebarkan bencana dengan tanganmu yang sudah berlumuran darah itu? Tidakkah ada niatan untuk meninggalkan semua kejahatan dalam hatimu?” tegur sosok berjubah putih tanpa memperdulikan pertanyaan lawannya. Sepertinya, dia hendak membiarkan Elang Laut Utara memastikan dugaannya sendiri.
Sementara itu, Wilang yang tampak masih belum hilang rasa terkejutnya tampak telah berada di luar arena bersama seorang dara jelita berpakaian serba hijau dan tiga orang rekannya. Mereka semua menatap ke arah pemuda berjubah putih dan Elang Laut Utara yang tengah berhadapan.
Sebagai seorang datuk sesat kawakan yang selama ini malang-melintang menebar bencana tanpa ada yang berani mencegah, apalagi menasihati, tentu saja Elang Laut Utara menjadi terbahak begitu pemuda berjubah putih itu menasehatinya. Sedangkan pemuda tampan yang memang Pendekar Naga Putih, hanya menatap dengan sorot mata tenang. Panji sama sekali tidak tersinggung atau merasa terhina karena diterta- wakan seperti itu.
“Hua ha ha...! Dengarlah, bocah. Meskipun mungkin kau pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga Putih, tapi untuk menasehati Elang Laut Utara, jangan terlalu gegabah. Tapi, baiklah. Aku bersedia menuruti nasihatmu dengan satu syarat. Dan kalau kau menerima syaratku, hari ini juga dunia sesat akan kutinggalkan. Kalau tidak, hm..., aku terpaksa memotes batang lehermu...!” ancam Elang Laut Utara, sungguh-sungguh.
Sehingga, Panji mengerutkan keningnya dengan tatapan curiga. “Katakan, apa syaratmu? Kalau memang dapat kulakukan, akan kupenuhi. Tapi kalau tidak, aku siap bertarung denganmu demi kebenaran...,” tegas Panji. Tatapan matanya mengandung kecurigaan, karena sadar kalau lawannya seorang datuk sesat yang menghalalkan segala cara.
“Hm.... Lihatlah gadis yang tengah terduduk tak berdaya di bawah pohon itu. Dia adalah putriku. Namanya, Surni. Kalau kau bersedia mengambilnya sebagai istri, dunia sesat yang selama ini kugeluti akan kutinggalkan. Bagaimana...?” tanya Elang Laut Utara.
Syarat itu tentu saja sangat mengejutkan hati Panji. Memang tidak mungkin Pendekar Naga Putih dapat memenuhi permintaan gila itu. Lantas, bagaimana dengan Kenanga? “Maaf, Elang Laut Utara, Syaratmu terlalu berat bagiku...,” jawab Pendekar Naga Putih dengan suara agak perlahan. Panji tidak ingin gadis bernama Surni itu sampai mendengarnya, karena tentu perasaannya dapat terpukul dan merasa terhina.
“Bangsat! Sudah kuduga kau tidak akan sudi memenuhinya. Untuk itu, hanya kematianlah yang pantas bagimu...!” Usai berkata demikian, Elang Laut Utara langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus andalan. Bahkan saking marah dan terhinanya, tokoh sesat itu mengumbar ‘Racun Ubur-Ubur Laut’ yang akibatnya sangat berbahaya dan mengerikan!
“Jeaaahhh...!”
Whuuut! Whuuuttt!
Panji yang langsung dapat menduga kedahsyatan racun yang terkandung dalam jarum-jarum halus itu, langsung saja mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi tubuhnya. Sehingga, jarum-jarum itu langsung berjatuhan ketika menyentuh dinding lapisan kabut bersinar putih keperakan yang me- nyelimuti tubuhnya.
Namun, datuk sesat dari Pulau Elang Hitam itu sama sekali tidak merasa putus asa. Sambaran cakar elangnya langsung bergerak susul menyusul, mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sayang, gempuran-gempuran hebat Elang Laut Utara selalu saja kandas, karena tubuh lawannya telah lenyap sebelum serangannya sempat menyentuh. Semua itu terjadi karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Panji masih lebih tinggi daripada lawannya. Akibatnya, kerap kali Elang Laut Utara terdengar menggeram gusar karena selalu terkecoh.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam puluh tiga, tiba-tiba saja Panji mulai merubah gerakannya. Pendekar Naga Putih terlihat mulai memainkan ‘Jurus Naga Sakti’ yang menjadi andalannya. Elang Laut Utara yang memang telah lama mendengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, kali ini benar-benar dibuat terkagum-kagum. Memang, apa yang selama ini didengarnya ternyata masih belum ada apa-apanya dibanding yang disaksikannya sekarang.
“Gila...?!” desis Elang Laut Utara. Saat itu terlihat tubuh Pendekar Naga Putih bergerak luwes, namun jelas mengandung tenaga dalam tinggi. Semua itu dapat dirasakan melalui sambaran angin dingin yang terasa menusuk tulang sum-sum.
“Yeaaattt...!”
Bweeettt...!
“Aiiihhh...!” Bukan main terperanjatnya Elang Laut Utara ketika tahu-tahu cakar lawan telah mendekati tubuhnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya dilempar ke belakang, dan terus berjumpalitan menjauhi Pendekar Naga Putih.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, langsung saja melesat cepat bagai kilat! Bagaikan sebatang tombak, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur lurus disertai putaran sepasang cakarnya! Dan tentu saja Elang Laut Utara sadar akan bahaya yang mengancam.
“Haiiittt...”
Disertai pekikan nyaring, Elang Laut Utara mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, puluhan batang jarum beracun langsung beterbangan ke arah Pendekar Naga Putih. Jelas, maksudnya hendak mencegah serangan lawan. Tapi apa yang terjadi kemudian, benar-benar hampir tidak bisa dipercaya datuk sesat itu. Puluhan batang jarum beracun yang dilepaskannya malah dapat ditahan angin pukulan lawannya. Bahkan, Pendekar Naga Putih dapat mengendalikan, dan memutar balik jarum-jarum beracun itu yang kini mengancam majikannya.
“Gila...?!” Untuk kesekian kalinya, Elang Laut Utara kembali terbelalak menyaksikan kesaktian lawan. Ternyata jarum-jarum yang semula dilepaskan secara berpencar, kini malah berkumpul dan meluncur ke arah dirinya. Dan ketika jaraknya sudah tinggal dua tombak lagi, tiba-tiba saja jarum-jarum itu memecah membentuk tiga kelompok.
“Aaahhh?!”
Elang Laut Utara tidak sanggup lagi mengelakkan luncuran jarum beracun miliknya. Rasa terkejut dan terkesima oleh keanehan yang disaksikan, membuatnya terpaksa harus merasakan jarum-jarum beracunnya sendiri.
“Aaarrrghhh...!”
Elang Laut Utara memekik tinggi ketika tiga kelompok jarum beracunnya malah menembus tubuhnya sendiri. Bahkan kelompok yang terbawah seperti sengaja memecahkan obat penawar yang berada di pinggang kirinya. Tentu saja, musnahnya obat penawar itu membuat Elang Laut Utara melolong dengan wajah ketakutan!
“Ayaaahhh...!” pekik Surni di tengah ketidak berdayaannya. Surni yang melihat tubuh ayahnya ambruk dan langsung menggelepar bagaikan ayam di sembelih, berusaha menghambur. Namun karena keadaannya memang masih lemah, akhirnya malah terjatuh sebelum sampai ke tempat ayahnya berada.
“Ayaaahhh...” Surni hanya bisa merintih sambil menggapaikan tangannya, melihat ayahnya tengah sekarat. Memang, gadis remaja itu sadar akan keganasan ‘Racun Ubur-Ubur Laut’ yang khusus diciptakan ayahnya untuk membunuh lawan. Tapi, siapa sangka kalau akhirnya datuk sesat itu sendiri yang harus merasakan akibat racun kejinya. Surni hanya bisa meneteskan air mata saat menyaksikan tubuh ayahnya dilumuri darah, dan tidak bergerak-gerak lagi. Elang Laut Utara tewas akibat racun yang dibuatnya sendiri, tanpa sempat mengambil obat penawarnya.
Panji bergerak menghampiri Surni. Tanpa berkata sepatah kata pun, segera dibawanya tubuh gadis remaja itu ke tempat yang lebih baik. Dengan penuh perhatian, diobatinya luka-luka Surni yang hanya menatap kosong akibat pukulan bathin atas kematian ayahnya.
“Surni...,” sapa Panji saat gadis remaja itu sudah mulai pulih tenaganya. “Kuharap kau tidak mengikuti jejak kesesatan ayahmu. Kalau ingin berbakti kepadanya, tebarkanlah benih-benih kebaikan di dunia ini. Aku yakin, hal itu akan membuat ayahmu mendapat ketenangan di alam sana...,” ujar Pendekar Naga Putih. Namun, nasihat itu sama sekali tidak ditanggap Surni. Namun demikian, Panji tahu kalau Surni cukup mengerti dan mendengar segala yang disampaikannya barusan.
Surni yang memang pada dasarnya berhati lembut dan penuh kasih, menyadari sepenuhnya akan kejahatan ayahnya. Dan segala nasihat Pendekar Naga Putih yang tadi didengarnya, memang suatu kebenaran mutlak.
Panji, Kenanga, Wilang, dan tiga orang Lima Algojo Dari Timur, hanya berdiri dengan tatapan iba ketika Surni bersimpuh di samping makam ayahnya yang dibuatkan Pendekar Naga Putih tadi.
“Ayah.... Mudah-mudahan di alam sana kau dapat bersatu lagi dengan ibu. Sayang, aku belum sempat menyampaikannya, tapi Ayah keburu meninggal. Semoga Ayah dan Ibu bahagia, dapat berkumpul lagi. Sedangkan aku, akan mencoba meringankan dosa-dosamu dengan berbuat kebaikan. Selamat tinggal, Ayah”
Selesai mengucapkan kalimat itu, Surni membalikkan tubuhnya. Sebelum pergi, masih disempatkannya untuk menoleh ke arah Panji, Kenanga, dan yang lain. Kemudian, gadis itu melangkah perlahan tanpa salam perpisahan.
“Hm.... Semoga saja dia selalu dilindungi Tuhan,” desah Panji yang diam-diam merasa iba terhadap gadis remaja yang telah sebatang kara itu.
Silir angin lembut menyapu hati para tokoh persilatan itu. Mereka merasa lega, karena Surni ternyata dapat mengerti. Bahkan tidak melanjutkan kesesatan Elang Laut Utara.
Dalam suasana yang mulai remang-remang itu, tampak dua sosok tubuh bergerak menuju Pantai Timur Laut Bandan. Gerakan keduanya yang sangat ringan dan cepat hanya menimbulkan bayangan yang tak jelas. Meskipun demikian, jelas terlihat kalau kedua sosok bayangan itu adalah lelaki dan perempuan. Hal ini dapat dikenali dari perawakan mereka.
Sosok pertama bertubuh tinggi kurus dan terbungkus jubah panjang berwarna coklat. Bila dilihat secara jelas, tampaklah raut wajahnya yang keras dan memancarkan perbawa yang kuat. Dalam usianya yang kira-kira sekitar enam puluh tahun, lelaki itu terlihat sangat angker dan matang. Bahkan, raut wajah angker itu masih ditambah lagi dengan kumis dan jenggot yang tertata rapi, meski sebagian tampak telah memutih. Jelas, sosok pertama ini adalah orang yang selalu menjaga kesehatan dan kebersihan dirinya.
Berbeda dengan penampilan sosok pertama, sosok kedua yang berlari di sebelah kiri sosok tinggi kurus itu memiliki bentuk tubuh yang langsing dan padat. Secara selintas, orang akan menduga bahwa sosok kedua itu pastilah seorang gadis remaja. Tapi, dugaan ini sama sekali tidak betul. Sebab, sosok ramping padat itu adalah seorang wanita yang telah cukup berumur. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Meskipun demikian, baik wajah maupun tubuhnya tampak masih demikian segar, tak ubahnya seorang gadis remaja.
Kedua sosok yang tengah bergerak menuju Pantai Timur Laut Bandan itu jangan dikira hanya merupakan pasangan suami-istri yang hendak pesiar. Bagi kaum rimba persilatan, sepasang pria-wanita yang memang merupakan pasangan suami-istri itu tidaklah asing lagi.
Selain sangat terkenal dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, keduanya juga merupakan pemimpin tokoh-tokoh persilatan di daerah Timur. Bahkan, mereka memiliki julukan yang cukup menggetarkan, yaitu Sepasang Ular Perak. Demikian-lah julukan yang didapat dari tokoh-tokoh persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan putih. Dan, julukan itu pun telah tersebar di empat penjuru angin.
Tidak berapa lama kemudian, kedua sosok pendekar itu pun tibalah di suatu tempat berpasir putih. Mereka tampak menghentikan langkah dan berdiri tegak menatap ombak lautan. Bagaikan hendak menembus keremangan senja, bola-bola mata kedua tokoh itu terus melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan sorot tajam. Jelas, ada sesuatu yang membuat sepa- sang pendekar itu melakukannya.
“Yakinkah kau bahwa iblis keji itu akan memenuhi janjinya, Kakang...?” Sosok wanita cantik yang mengenakan pakaian berwarna hijau muda itu terdengar bertanya dengan suara agak keras. Karena, jika tidak, deburan ombak yang saling bersahutan dan menimbulkan gemuruh bisa menelan ucapannya.
Sosok tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan tidak segera menjawab pertanyaan istrinya. Sepasang matanya masih tetap mengawasi air laut sambil menarik napas perlahan. Beberapa saat kemudian, baru lelaki itu menoleh dan berkata.
“Hhhh..., sebenarnya aku pun tidak begitu yakin akan janji seorang tokoh sesat seperti Elang Laut Utara itu, Nyai. Tapi, entah mengapa, saat ini aku masih percaya terhadap ucapannya. Sepertinya aku benar-benar yakin kalau iblis itu akan muncul untuk menepati janjinya. Sebab, dialah yang mengajukan tantangan ini, bukan kita...” Demikian jawaban yang keluar dari mulut Ular Perak Jantan. Kini semakin jelaslah, apa sebenarnya maksud Sepasang Ular Perak mendatangi Pantai Timur Laut Bandan.
“Sebenarnya, lima belas tahun yang lalu, kita dapat saja melenyapkan iblis itu untuk selamanya, Kakang. Sayang, iblis itu memiliki lidah yang tajam dan pandai memutar kata-kata, sehingga kita berdua dapat ditipunya mentah-mentah. Kalau tidak, rasanya hari ini tidak perlu kita bersusah payah mendatangi tempat itu,” kata Ular Perak Betina dengan nada sedikit menyesali masa lalunya, yang tampaknya berhubungan dengan kedatangan mereka pada senja ini.
“Sudahlah. Tidak baik menyesali sesuatu yang telah lewat. Sebaiknya kita tunggu saja kedatangan iblis itu dengan hati tenang. Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Siapa tahu Elang Laut Utara telah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari. Dan, bukan tidak mungkin kalau justru kita berdualah yang akan dikalahkannya hari ini. Untuk itu, sebaiknya kau berhati-hati, Nyai. Jangan pandang remeh sebelum mengetahui kepandaiannya yang sekarang...”
Ular Perak Jantan terdengar menasehati istrinya dengan ucapan yang sengaja ditekan, agar istrinya tidak meremehkan orang yang mereka tunggu. Sayang, ucapan Ular Perak Jantan dianggap sebagai tanda takut. Sehingga, wanita cantik yang wajahnya tampak jauh lebih muda dari usianya itu terlihat mencebikkan bibir. Jelas sekali kalau Ular Perak Betina tidak mengindahkan nasihat suaminya.
Hal ini tampaknya memang wajar. Karena, seperti terdengar dari pembicaraan mereka tentang pertemuan dengan ‘iblis’ pada lima belas tahun yang lalu itu, kelihatannya orang yang kini sedang mereka tunggu tidaklah terlalu membahayakan. Bahkan, tampaknya orang itu pernah kalah atau dipecundangi oleh keduanya. Alasan inilah yang mungkin membuat Ular Perak Betina tidak begitu mempedulikan kemungkinan-kemungkinan yang dijabarkan suaminya.
Ular Perak Betina, yang semula terlihat hendak mengungkapkan rasa penasaran hatinya, menunda ucapannya. Sebab, pada saat itu, terlihat suaminya menunjuk ke satu titik yang terombang-ambing dipermainkan ombak lautan.
“Apa itu, Kakang...?” tanya Ular Perak Betina sambil mengerutkan kening dan mencoba mempertajam pandangan matanya. Sayang, karena ombak laut terka- dang seperti menelan untuk kemudian memuntahkan kembali benda itu, dia mengalami kesulitan untuk me- lihatnya secara jelas.
Namun, berbeda dengan istrinya, lelaki tinggi kurus yang memang memiliki tingkatan ilmu lebih tinggi itu segera dapat mengenali benda di tengah laut itu. Tentu saja setelah ia mengerahkan kekuatan tenaga saktinya melalui pandangan mata. Ular Perak Jantan pun mulai dapat menebak, benda apa sebenarnya yang tengah dipermainkan ombak itu.
“Tampaknya benda itu merupakan sosok seorang manusia, Nyai. Dan, kalau pandangan mataku tidak salah, sosok manusia itu adalah orang yang kita tunggu-tunggu. Kau terkejut, bukan...?” tanya Ular Perak Jantan, mengakhiri keterangannya dengan sebuah pertanyaan yang agak bernada sinis.
Ular Perak Betina memang cukup terkejut mendengar keterangan suaminya tentang benda yang tengah dipermainkan ombak itu. Bahkan, sinar matanya memancarkan rasa tidak percaya atas ucapan suaminya.
“Maksudmu..., benda itu sebenarnya adalah Elang Laut Utara, musuh yang sedang kita nanti-nanti...?” tanya Ular Perak Betina, meminta ketegasan suaminya.
“Hhhh..., tampaknya memang begitulah, Nyai. Bahkan, yang lebih membuatku terkejut, Elang Laut Utara tampaknya sama sekali tidak menggunakan perahu untuk mencapai daratan ini dari pulau tempat tinggalnya. Sepertinya ia hanya menggunakan dua potong bambu yang mungkin diikatkan pada kedua telapak kakinya. Kalau saja hal ini benar, iblis itu pastilah telah menggembleng dirinya selama lima belas tahun terakhir ini. Dan, mungkin ia telah memiliki kemajuan yang mengejutkan...,” desis Ular Perak Jantan.
Lelaki tua itu tampak termangu sambil tetap mengawasi sosok yang semakin jelas, karena semakin dekat ke arah mereka. Terdengar Ular Perak Jantan menarik napas berat yang menunjukkan kekhawatirannya.
“Huh! Biarpun kepala iblis itu bertambah menjadi sepuluh dan lengannya menjadi dua puluh pasang, aku tidak akan pernah gentar menghadapinya. Kalau Kakang takut, biar aku saja yang akan menghajar manusia keparat itu! Kali ini ia tidak akan kuberi ampun, agar lain hari tidak lagi membuat susah...!” kata Ular Perak Betina dengan suara lantang, meski agak terkesan sedikit sombong. Kemudian, wanita tua itu melangkah maju beberapa tindak, semakin mendekati gelombang air laut yang berlarian ke pantai.
“Sabar, istriku. Tidak usah terburu nafsu. Kita tunggu saja kedatangannya dengan hati tenang. Usahakan agar kita jangan sampai terpengaruh oleh omongan ataupun tingkahnya yang mungkin saja sengaja ditunjukkan untuk membuat kita lengah. Karena, hal itu akan merugikan diri kita sendiri”
Ular Perak Jantan kembali mengingatkan istrinya yang keras kepala. Dicegahnya langkah wanita cantik itu dengan memegang bahunya perlahan. Sehingga, mau tidak mau, Ular Perak Betina pun menahan langkahnya. Terdengar tarikan napas barat yang berkepanjangan dari wanita cantik itu. Jelas sekali kalau ia terpaksa menuruti kehendak suaminya. Dan, untuk itu, ia harus menekan rasa penasaran di dalam dadanya yang masih saja menggelora.
“Huak hak hak.... Selamat bertemu lagi, Sepasang Ular Perak! Terutama kau, Ular Betina! Kelihatannya semakin lama wajah dan tubuhmu semakin menarik saja. Apakah kau sengaja memeliharanya agar aku bisa melihatnya pada pertemuan ini?”
Terdengar suara terbahak parau yang kemudian disambung lontaran kata-kata tak sopan dari sosok lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. Saat itu tubuhnya tampak masih mengapung dan tengah meluncur satu setengah tombak lagi dari daratan berpasir.
Ular Perak Jantan segera mengajak istrinya untuk bergerak mundur beberapa langkah. Hal itu dilakukannya ketika deburan ombak tampak semakin jauh menjilati bibir pantai, yang terjadi seiring dengan semakin dekatnya sosok lelaki gemuk yang tengah meluncur di lautan itu.
“Huppp...!”
Tepat ketika hampir tiba di tepi pantai, tiba-tiba saja sosok lelaki gemuk itu mengeluarkan sebuah bentakan nyaring. Kemudian, tubuhnya melambung setinggi tiga batang tombak dari atas pasir. Setelah berputaran sebanyak lima sampai enam kali, barulah sosok lelaki yang memang adalah Elang Laut Utara itu melayang turun dengan dua bilah bambu di tangan kanannya. Sepasang bambu itu telah dilepaskan dari ikatannya sewaktu tubuh Elang Laut Utara tengah melambung di udara.
Jelas sudah bahwa apa yang diduga Ular Perak Jantan tidaklah berlebihan. Elang Laut Utara ternyata memang mendatangi daratan dengan menggunakan dua bilah bambu sebagai pijakan sepasang kakinya. Tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Dan, terbukti Elang Laut Utara memang memilikinya.
“Kurang ajar...! Mulutmu ternyata masih saja tetap kotor, Setan Hitam! Sepertinya kau sengaja memamerkan ilmu meringankan tubuhmu agar kami gentar, begitu...?” Tanpa mempedulikan lagi cegahan suaminya, Ular Perak Betina segera saja menudingkan telunjuknya ke wajah lelaki gemuk berkulit hitam itu. Dan, kata-katanya langsung meluncur sebagai tanda kekesalan hatinya yang semenjak tadi hanya dipendam.
Tapi, Elang Laut Utara hanya tertawa-tawa sambil mengangkat-angkat kedua alisnya dengan sepasang mata berbinar. Tampaknya ia merasa senang menyaksikan wanita cantik itu marah-marah. Tentu saja tingkah lelaki gemuk itu semakin membuat hati Ular Perak Betina kian terbakar.
“Keparat...! Kau rupanya sudah tidak sabar untuk merasakan kerasnya kepalanku...!” kata Ular Perak Betina, sambil langsung melontarkan sebuah pukulan lurus menuju dada Elang Laut Utara.
Whuuukkk...!
Hembusan angin keras yang menandakan bahwa pukulan Ular Perak Betina bukanlah main-main terdengar mendesis mengiringi datangnya pukulan itu.
“Heh heh heh...!”
Elang Laut Utara memperdengarkan tawanya yang serak saat bersiap menerima pukulan lawan. Dilihat dari sikapnya yang terlihat masa bodoh itu, jelas bahwa ia memandang remeh serangan lawan yang sebe- narnya mampu untuk meremukkan batok kepala orang biasa. Tapi, sikap itu bisa saja hanya merupakan suatu pancingan agar lawan terpengaruh dan menjadi kacau pikirannya.
“Nyai, tahan...!” Ular Perak Jantan berseru keras untuk mencoba mencegah serangan istrinya. Sayang, teriakannya sedikit terlambat. Karena, saat itu kepalan Ular Perak Betina sudah tinggal satu jengkal lagi jaraknya dari tubuh lawan. Dan....
Bukkk!
“Akkk....!?”
Aneh, meskipun pukulan Ular Perak Betina tepat menghantam dada lawannya secara telak, ternyata justru wanita cantik itulah yang memekik kesakitan sambil memegangi tangannya yang terlihat agak bengkak. Bahkan, tubuh keduanya terlihat sama-sama tergetar mundur sejauh satu batang tombak. Tentu saja kenyataan itu membuat Ular Perak Jantan ternganga setengah tak percaya.
“Gila...!? Ilmu apa yang dipelajari Elang Laut Utara selama lima belas tahun belakangan ini...! Mustahil kemajuannya sampai sedemikian pesat. Mungkinkah ada seorang manusia sakti yang sudi membimbingnya...? Atau... ia menemukan suatu ilmu langka secara kebetulan?”
Ular Perak Jantan tak henti-hentinya bertanya dalam hati. Kenyataan yang baru dilihatnya itu telah menimbulkan berbagai macam dugaan di kepalanya. Sayangnya, tak satu pun dugaan yang dapat menjelaskan kejadian yang baru disaksikannya tadi.
“Hei, mengapa kau hanya manggut-manggut seperti burung pelatuk. Ular Perak Jantan...? Apa kau tidak ingin mencoba melawanku seperti yang dilakukan istrimu barusan? Atau kau takut...?” ejek Elang Laut Utara, yang jelas sengaja memamerkan kekuatannya untuk mengacaukan pikiran lawan.
“Hm..., kau ingin agar aku mencoba kekebalan tubuhmu? Aku justru khawatir, kau akan terluka. Sebaiknya segera kita mulai saja urusan lama di antara kita. Siapa yang menang dan siapa yang kalah, aku tidak lagi peduli. Yang jelas, apabila kau kembali dapat kami pecundangi, jangan harap kau bisa menikmati hangatnya matahari esok”
Ular Perak Jantan berkata dengan wajah yang tampak kembali tenang. Bahkan, sorot matanya kini telah menunjukkan perbawa seperti biasanya. Jelas sekali, lelaki tua itu telah berhasil meredam rasa terkejutnya. Ular Perak Betina melangkah ke samping suaminya. Tangan kirinya terlihat masih sibuk memijat-mijat kepalan kanannya yang bengkak akibat membentur tubuh Elang Laut Utara. Dan, gambaran rasa penasaran masih terpeta jelas di wajah cantik itu.
“Kakang.... Aku yakin, kekebalan tubuh iblis licik itu disebabkan oleh sebuah benda, dan bukan semata-mata oleh kekuatan tenaga saktinya. Harap engkau sedikit berhati-hati, agar tidak mengalami kejadian seperti aku barusan...,” bisik Ular Perak Betina, yang rupanya dapat langsung merasakan, apa sebenarnya yang terjadi dengan serangannya tadi.
Meskipun tidak tahu secara pasti, benda apa yang telah terbentur oleh kepalannya, ternyata Ular Perak Betina bisa mengira-ngira adanya benda itu dan langsung memperingati suaminya. Sehingga, bila akan menyerang, Ular Perak Jantan sudah mempunyai gambaran tentang benda penolak yang dimiliki Elang Laut Utara, yang mungkin juga bisa melukai lelaki berjubah coklat itu apabila kurang berhati-hati.
“Hm..., aku pun sudah bisa menduganya. Sepertinya, ada sesuatu yang membuat ia berani menerima pukulanmu tanpa takut terluka. Akan ku coba untuk mengetahuinya...,” desis Ular Perak Jantan dengan suara lirih. Setelah berkata demikian, lelaki tinggi kurus itu melangkah beberapa tindak ke dekat tubuh lawannya.
“Heh he he. Ular Perak Jantan. Setelah sekian belas tahun tidak berjumpa, apakah pertemuan ini tidak kita gunakan beberapa jenak untuk bersenang-senang? tentang persoalan yang lampau, sebaiknya kita tunda saja dulu. Mengapa harus terburu-buru?”
Elang Laut Utara menyambut Ular Perak Jantan dengan tawa sesumbar. Tampaknya lelaki gemuk itu merasa sangat yakin bahwa Sepasang Ular Perak belum mengetahui rahasia kekebalan tubuhnya. Sehingga, ia masih saja tertawa-tawa meremehkan lawannya.
“Oh, kalau memang itu kemauanmu, bersiaplah. Mungkin pukulanku agak sedikit keras dari yang barusan kau terima...” Sadar bahwa kesempatan emas untuk menyingkap rahasia kekebalan tubuh lawannya telah terbuka lebar, Ular Perak Jantan pun segera memanfaatkannya.
“Silakan Tapi, hati-hatilah agar kau tidak sampai terjatuh karenanya...,” ejek Elang Laut Utara sambil bertolak pinggang, seolah-olah menyuruh lawannya memilih bagian yang terlunak dari tubuh gemuknya itu.
“Hm...” Ular Perak Jantan bergumam dengan tatapan mata tajam sebelum melontarkan pukulannya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu tengah menduga, apa yang akan dilakukan Elang Laut Utara apabila ia melontarkan serangannya.
“Haaattt!”
Setelah mengambil keputusan yang dianggapnya tepat, Ular Perak Jantan pun segera berseru nyaring. Berbarengan dengan teriakan itu, tubuhnya yang tinggi kurus melesat ke depan dengan kuda-kuda rendah. Sekilas pandang saja dapat diketahui bahwa Ular Perak Jantan langsung menggunakan jurus andalannya dalam melancarkan serangan pertama. Tentu saja gerakan yang gesit dan sulit diketahui perubahannya itu membuat Elang Laut Utara terlihat mengerutkan keningnya karena khawatir.
“Tunggu!” Tiba-tiba saja, sebelum serangan Ular Perak Jantan datang, Elang Laut Utara berseru mencegah sambil melangkah mundur menjauhi tempat berdirinya semula. Jelas sekali kalau lelaki berkulit hitam itu tidak berani menganggap remeh serangan ‘Jurus Ular’ yang dilancarkan lawannya.
DUA
“Hmh...! Mengapa kau menghindar, Elang Laut Utara? Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk menyerangmu? Mengapa kini kau mencegahnya? Apakah kau berubah pikiran karena takut tubuhmu akan terluka...?” kata Ular Perak Jantan. Lelaki tua bertubuh kurus itu tampaknya sengaja memancing-mancing kemarahan lawannya dengan kata-kata ejekan, yang rupanya sangat mengena.
Elang Laut Utara terlihat menggeram jengkel menahan kedongkolan hatinya. “Setan! Kau pikir, aku takut dengan jurus ular jelekmu itu? Ayo, tunjukkanlah kehebatannya di depanku...!”
Elang Laut Utara berteriak-teriak dengan hati jengkel. Kesombongannya bangkit seketika begitu mendengar ejekan yang menyakitkan dari Ular Perak Jantan. Ia pun terpaksa menantang-nantang jurus andalan lawannya yang tadi siap terlontar ke arah tubuhnya.
“Kau tidak akan mengelak...?” desak Ular Perak Jantan. Pertanyaan yang bernada menantang itu tentu saja sangat sukar dijawab oleh Elang Laut Utara, yang sudah terikat janjinya tadi. Wajahnya pun tampak semakin gelap.
“Hmmmh... Mengelak atau tidak, itu terserah kepadaku! Kalau kau mau menyerang, seranglah! Tidak perlu banyak bacot lagi...!” Akhirnya Elang Laut Utara yang tentu saja tidak mau celaka, terpaksa tidak mempedulikan lagi janjinya. Jelas bahwa tokoh sesat Pantai Timur itu tidak ingin nyawanya melayang hanya karena mempertahankan sebuah janji.
“Ha ha ha...! Rupanya kau benar-benar tidak berani menahan pukulanku dengan kekebalan tubuhmu. Dugaanku ternyata tidak meleset. Kau hanya besar mulut dan tidak mempunyai pendirian tetap, Elang Laut Utara...,” ujar Ular Perak Jantan sambil tertawa berkakakan memegangi perutnya.
Tentu saja suara tawa dan tingkah lelaki tinggi kurus itu membuat wajah Elang Laut Utara semakin bertambah merah. “Keparat...! Kubunuh kau...!” Elang Laut Utara, yang sudah tidak sanggup lagi membendung amarahnya, langsung membentak keras sambil melesat dengan serangkaian serangan mautnya.
Beeettt! Beeet! Beeet!
Sesuai dengan julukan yang diberikan untuknya, lelaki gemuk berkulit hitam itu menerjang dengan mempergunakan cakar-cakar yang membentuk cengkeraman elang. Jari tengah, telunjuk, dan ibu jarinya yang membentuk segitiga langsung menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat. Datangnya sambaran cakar elang itu selalu dibarengi dengan suara bercuitan. Hal ini menandakan bahwa kekuatan yang tersembunyi di dalamnya sangatlah hebat.
Ular Perak Jantan sendiri sempat mengerutkan kening ketika menyaksikan kecepatan dan angin sambaran cakar lawannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, langsung saja lelaki tinggi kurus itu bergerak menghindar. Dan, dilancarkannya serangan balasan dengan tidak kalah sengitnya.
“Yeeeattt...!”
Lelaki tinggi kurus yang berjuluk Ular Perak Jantan itu bergerak dengan kuda-kuda rendah. Sesekali tangannya tampak membentuk paruh ular. Dan, tubuhnya terlihat melesat dengan kecepatan mengejutkan. Gerakannya yang luwes dengan pagutan-pagutan tak terduga sempat pula membuat Elang Laut Utara kebingungan beberapa saat lamanya.
“Yiaaattt...!”
Belum lagi Elang Laut Utara sempat menguasai keadaannya, terdengar lengking nyaring yang disusul dengan terjunnya Ular Perak Betina ke kancah pertarungan. Tentu saja kehadiran wanita cantik ini membuat tokoh sesat berkulit hitam itu terdesak semakin hebat
“Setan belang...!”
Sambil melontarkan makian kalang-kabut, Elang Laut Utara berusaha keras keluar dari kepungan sepasang suami istri pendekar itu. Namun, usahanya bahkan mengakibatkan sebuah pagutan jari tangan Ular Perak Jantan telak menghantam bagian iganya.
Tuggg!
“Aaakkk...?!”
Keanehan pun kembali terjadi. Ular Perak Jantan, yang berhasil menyarangkan pukulannya, justru mengeluarkan pekik tertahan. Untungnya, meskipun pukulan jari-jari tangannya mengenai tubuh lawan secara telak, Ular Perak Jantan masih sempat mengurangi tekanan tenaga dalamnya, bahkan masih sempat pula memiringkan jari-jari tangannya. Sehingga, akibat yang dirasakannya pun tidak terlalu parah.
Sambil menarik napas panjang dan meluruskan tangan kanannya ke atas, Ular Perak Jantan menatap tajam ke arah tubuh lawannya. Ia masih tampak terkejut ketika ujung jari tangannya terasa bagai mematuk sebuah benda lunak yang dapat membalikkan tenaga pukulannya. Untunglah ia tadi sempat menyadarinya dan segera menarik kembali tenaganya.
“Hm... Elang Laut Utara pasti menggunakan semacam baju pusaka di balik pakaian luarnya. Entah dari mana iblis ini bisa mendapatkan pusaka yang sangat ampuh itu...,” desis Ular Perak Jantan, yang sempat melihat kilauan cahaya perak dari balik sobekan pakaian lawan yang terkena patukan ujung jarinya.
Pada saat itu, Elang Laut Utara sudah bertarung menghadapi serbuan Ular Perak Betina. Wanita cantik yang sebelah tangannya tidak lagi dapat digunakan secara utuh itu ternyata masih juga sanggup melepaskan serangkaian serangan maut yang bisa membuat nyawa lawannya melayang. Elang Laut Utara pun merasa agak kerepotan. Apalagi, serangan-serangan lawannya tertuju ke arah seputar leher dan kedua matanya. Tentu saja serangan-serangan berbahaya itu tidak bisa didiamkannya.
“Haaahhh!”
Elang Laut Utara membentak keras sambil mengangkat tubuhnya. Akibatnya, totokan jari tangan lawan yang semula mengincar matanya kini meluncur ke arah dadanya. Tentu saja serangan itu tidak dipedulikan Elang Laut Utara. Sebab, bagian dadanya telah terlindung oleh pakaian pusakanya, Baju Mustika.
Tuuuggg!
Ular Perak Betina, yang tidak sempat lagi menarik kembali serangannya, berteriak kesakitan saat tenaganya membalik. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Elang Laut Utara, yang langsung saja mendorongkan sepasang telapak tangannya ke dada lawan. Akibatnya....
Breeehsss...!
“Aaarghhh...!” Bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin, tubuh Ular Perak Betina terhempas akibat dorongan sepasang telapak tangan yang berkekuatan hebat itu. Darah segar pun langsung menyembur mengiringi jerit melengking yang keluar dari mulut wanita cantik itu.
“Nyai...!” Ular Perak Jantan terkejut bukan main menyaksikan kenyataan dihadapannya. Cepat bagaikan kilat, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke arah lawannya. Kemarahan dan rasa sedih melihat istrinya yang terlempar itu membuat Ular Perak Jantan tidak lagi memikirkan keselamatan dirinya. Terjangan yang dilakukannya kali ini benar-benar merupakan serangan yang mematikan.
Elang Laut Utara, yang melihat datangnya serangan lawan, segera menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tokoh sesat bertubuh pendek itu bergerak menyambut terjangan lawan dengan dorongan sepasang telapak tangannya. Tampaknya ia ingin mengulangi keberhasilannya seperti yang dilakukan terhadap Ular Perak Betina tadi.
“Yeaaattt...!”
“Heaaattt...!”
Diiringi teriakan yang berkepanjangan tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama melambung ke udara. Dan, pada saat yang bersamaan, keduanya saling mendorongkan telapak tangan masing-masing ke depan.
Whuuusss...!
Whuuukkk...!
Sambaran angin keras mengiringi datangnya pukulan jarak jauh yang sama-sama dilontarkan oleh kedua tokoh sakti itu. Akibatnya....
Blaaarrr...!
Benturan keras terdengar bagaikan hendak mengguncangkan bumi. Bukit karang yang berdiri dalam jarak sepuluh batang tombak dari kancah pertarungan pun tampak bergetar. Dan, disusul dengan bergugurannya bebatuan kecil akibat ledakan dari benturan tenaga kedua orang sakti itu.
“Aaahhh...!”
Tubuh Ular Perak Jantan dan Elang Laut Utara sama-sama terlempar deras ke belakang. Pada saat tubuh keduanya tengah melayang di udara, Elang Laut Utara yang rupanya memiliki tenaga sedikit lebih kuat dibanding lawannya segera melepaskan jarum-jarum halus yang tampaknya memang telah dipersiapkan sebelumnya. Akibatnya, jarum-jarum halus yang jelas mengandung racun itu langsung melesat ke arah tubuh Ular Perak Jantan, yang tidak kuasa lagi menghindarinya.
Crabbb! Crabbb!
“Aaakhhh...!” Terdengar pekik kesakitan ketika jarum-jarum halus amblas ke dalam tubuh Ular Perak Jantan. Begitu tubuhnya terbanting di atas tanah, darah segar pun langsung termuntah dari mulutnya. Belum lagi rasa sesak akibat benturan tenaga dengan lawannya mereda, tiba-tiba Ular Perak Jantan merasakan sakit yang tidak wajar. Tubuhnya langsung meregang.
“Auuuhhh.... Auuuhhh...!?”
Ular Perak Jantan terus saja berteriak-teriak sambil menggaruk-garuk beberapa bagian tubuhnya. Sambil terus mendesis-desis, lelaki tinggi kurus itu sibuk menggaruki semua bagian tubuhnya. Bahkan, sampai kulit tubuhnya menjadi lecet dan mengalirkan darah, Ular Perak Jantan tetap tidak peduli, la tetap menggaruk sambil mendesis-desis. Jelas, semua itu akibat bekerjanya racun dari jarum-jarum halus yang dilepaskan Elang Laut Utara.
“Heh heh heh.... Kau rasakanlah akibat racun ‘Ubur-Ubur Laut’ku, Ular Perak Jantan”
Elang Laut Utara terdengar mengeluarkan pula tawa terkekeh serak. Namun, setelah itu, darah segar termuntah pula dari mulutnya. Dari caranya tertawa dan langkahnya yang tertatih-tatih, tampak jelas bahwa tokoh sesat itu pun mengalami luka dalam yang sangat parah. Sambil memperdengarkan tawa seraknya yang sesekali diselingi suara batuk, Elang Laut Utara meninggalkan tubuh kedua lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.
Ular Perak Betina terbujur kaku dengan wajah pucat. Dan, cairan merah terlihat masih terus mengalir melalui sudut bibirnya. Jelas bahwa pukulan tenaga dalam Elang Laut Utara telah menghancurkan bagian dalam tubuh wanita cantik itu dan menewaskannya dengan seketika.
Keadaan Ular Perak Jantan pun tampak sangat menyedihkan. Pakaian yang dikenakan lelaki tinggi kurus itu sudah dibasahi darah segar. Bahkan, jubah panjangnya kini terlihat compang-camping, karena kedua tangannya tidak pernah berhenti menggaruki sekujur tubuhnya. Dengan meninggalkan rupa tubuh yang mengerikan, Ular Perak Jantan pun tidak lama kemudian tewas setelah mengalami siksaan rasa gatal yang tak tertahankan itu.
Ombak Laut Bandan kembali berdebur menuju pantai. Untungnya, letak mayat Sepasang Ular Perak cukup jauh dari tepian pantai. Sehingga, air laut tidak dapat menjangkaunya. Kalau tidak, tubuh kedua orang itu pasti akan terseret dan mungkin pula akan lenyap ditelan dalamnya Laut Bandan.
*******************
Kokok ayam hutan terdengar bersahutan menyambut datangnya fajar. Perlahan kemudian, kegelapanpun mulai terusir oleh sinar kemerahan yang kian menerangi tanah. Sang matahari telah memulai tugasnya.Pagi itu, daerah Pantai Timur Laut Bandanyang biasanya selalu sepi tampak didatangi serombongan orang. Gerak mereka rata-rata terlihat gesit dan sangat ringan. Tampak jelas bahwa rombongan itu tidaklah terdiri dari orang-orang kebanyakan. Singkatnya, mereka adalah orang-orang dari kalangan rimba persilatan.
“Kakang, lihat itu...!”
Sosok yang berada di sebelah kiri seorang lelaki terdepan berseru sambil menunjuk ke satu arah ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pantai Timur. Setelah berkata demikian, tubuh lelaki berperawakan sedang itu langsung bergerak mendahului rekan-rekannya yang lain.
“Adi Wilang, tunggu...!”
Lelaki terdepan yang tampaknya merupakan pemimpin rombongan itu berseru mencegah perbuatan kawannya yang dipanggil dengan nama Wilang. Sayang, seruannya sedikit terlambat la pun hanya menghela napas ketika melihat sosok Wilang telah bergerak ke arah dua onggok benda yang juga telah dilihatnya.
Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun yang menjadi pemimpin rombongan itu segera melesat menyusul Wilang. Sebentar saja tubuhnya telah menjajari rekannya. Hal ini menandakan bahwa kepandaian yang dimilikinya masih berada di atas kepandaian Wilang. Padahal, kalau dilihat dari gerakannya, Wilang saja sudah bisa dibilang cukup hebat. Tentu saja dapat dibayangkan, sampai di mana kehebatan lelaki gagah pemimpin rombongan persilatan itu.
“Biadab...!”
Begitu tiba di dekat dua onggok tubuh yang ternyata adalah dua sosok mayat itu, lelaki gagah itu terdengar menggeram sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Jelas sekali kalau ia sangat marah melihat keadaan mayat-mayat di depannya.
“Bangsat keji...!”
Wilang pun tidak kalah marahnya melihat keadaan kedua sosok mayat itu. Bahkan, sepasang matanya sempat terpejam manakala melihat sosok mayat lelaki tinggi kurus yang keadaannya benar-benar menyedihkan. Sehingga, seorang lelaki gagah dan terlatih baik seperti Wilang pun harus bergerak mundur dan membuang muka. Jelas bahwa lelaki bertubuh sedang ini tidak sampai hati menyaksikan keadaan mayat berperawakan tinggi kurus itu.
“Tenanglah, Adi Wilang. Lebih baik kita urus mayat ketua kita ini sebaik-baiknya,” hibur lelaki gagah pemimpin rombongan itu sambil menepuk-nepuk pelan bahu Wilang.
“Di mana mayat manusia keparat itu, Kakang...? Mengapa kita tidak melihatnya di sekitar pantai ini? Apakah mayatnya telah diseret binatang buas? Sebab, kalau sampai bisa membunuh kedua pemimpin kita, mustahil jika ia sendiri bisa selamat,” ujar Wilang seraya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan sepasang mata mencari-cari.
Wilang kemudian bergerak meninggalkan pemimpin rombongannya dan langsung mengelilingi sekitar pantai dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sedangkan lelaki gagah itu hanya bisa menggeleng-gelengkankepala tanpa berusaha untuk mencegah kepergiannya. Delapan orang lelaki gagah lainnya yang tiba belakangan di dekat kedua sosok mayat itu membelalak sesaat bagaikan belum bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Tampak sekali kalau pemandangan yang terpampang di depan mata mereka masih belum bisa dipercayai sepenuhnya.
“Mungkinkah ketua kita tewas di tangan Elang Laut Utara...? Rasanya..., aku belum bisa mempercayainya. Pasti iblis licik itu mengundang tokoh lain untuk membantunya. Kalau tidak, mana mungkin ia dapat menewaskan kedua ketua kita...,” kata seorang lelaki tinggi kurus yang berjenggot seperti kambing dengan nada penasaran. Sepasang matanya yang menjorok ke dalam tampak mengawasi sekeliling dengan sorot tajam.
“Elang Laut Utara sama sekali tidak membawa kawan seorang pun, Adi Langga. Dari jejak kaki yang tertinggal di atas pasir putih ini, aku kira jumlah yang bertarung tidak lebih dari tiga orang. Mereka pasti Elang Laut Utara dan Sepasang Ular Perak, ketua kita. Sepertinya pertarungan berlangsung jujur. Karena itu, sulit bagi kita untuk menyalahkan Elang Laut Utara dalam hal ini. Tapi, tentu saja kita harus melenyapkan tokoh sesat itu, karena keberadaannya sangat berbahaya bagi orang banyak. Untuk itu, kita harus mencarinya tapi bukan berdasarkan dendam atas kematian ketua kita...,” kata lelaki gagah itu, mengingatkan rekan-rekannya yang lain. Hal ini diutarakannya karena ia melihat sorot dendam terpancar jelas pada raut wajah rekan-rekannya.
“Kakang Lunggara. Mana bisa iblis keji itu dibilang jujur dalam melakukan pertarungan dengan ketua kita? Jelas-jelas ia menggunakan racun keji untuk menewaskan Ular Perak Jantan. Jadi, menurutku, iblis licik itu memang tidak jujur. Dia harus dilenyapkan dengan ataupun tanpa alasan yang tepat!” bantah lelaki berjenggot kambing yang bernama Langga itu dengan suara tandas. Langga kelihatan sangat menaruh dendam terhadap Elang Laut Utara yang menyebabkan tewasnya Sepasang Ular Perak. Dan, tampaknya tekad lelaki tinggi kurus itu sudah tidak bisa ditawar lagi.
“Menurutku, apa yang dikatakan Langga sama sekali tidak salah. Sebab, tewasnya ketua kita sudah pasti akan mengundang berbagai tanggapan dari kalangan sesat. Dan, bukan mustahil kalau mereka akan semakin berani melakukan tindakan sesat. Untuk itu, tentunya kita harus bekerja lebih keras. Apalagi, saat ini kita sama sekali belum tahu, bagaimana keadaan Elang Laut Utara. Syukur-syukur kalau ia pun tewas. Tapi, kalau tidak, bagaimana...?”
Seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala separuh botak ikut angkat bicara. Sikap dan ucapannya jelas-jelas mendukung tekad Langga. Sehingga, lebih dari separuh tokoh-tokoh yang berada di tempat itu sama-sama menganggukkan kepala. Tentu saja hal ini membuat Lunggara, si pemimpin rombongan, hanya bisa mengusap dada.
Lunggara, yang sedianya ingin membantah ucapan lelaki gemuk yang separuh kepalanya botak itu, menunda niatnya ketika melihat Wilang bergerak datang dengan wajah gelap. Jelas sudah kalau lelaki berperawakan sedang itu tidak berhasil mendapatkan apa yang dicarinya.
“Kita harus mendatangi Pulau Elang untuk memastikan keadaan Elang Laut Utara. Kita harus tahu, tokoh sesat itu masih hidup atau sudah mati. Kalau memang masih hidup, ia harus merasakan kematian yang paling mengerikan dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya...!”
Begitu tiba di tempat rekan-rekannya berkumpul, Wilang langsung mengutarakan dendam di hatinya. Tentu saja ucapan itu disambut dengan teriakan-teriakan setuju.
“Tapi, bagaimana kalau iblis keji itu juga telah tewas...?” celetuk salah seorang di antara mereka.
Para tokoh lainnya langsung berpandangan satu sama lain. Sebab, apabila Elang Laut Utara memang telah tewas, sulit sekali bagi mereka untuk menentukan tindakan.
“Hm..., kalau memang iblis keji itu telah tewas, tentu keturunannyalah yang akan menanggung dosa perbuatannya selama ini...!” tandas Langga. Kata-kata yang diucapkan dengan suara berat dan bergetar itu sempat membuat para tokoh lainnya bergidik ngeri. Sebab, suara lelaki kurus itu demikian kuat menimbulkan pengaruh.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi...? Ayo, kita segera berangkat...”
Kesunyian yang sekejap tadi langsung pecah oleh suara Wilang yang terdengar penuh semangat. Tanpa banyak cakap lagi, para tokoh persilatan itu pun bergegas meninggalkan Pantai Timur Laut Bandan menuju perkampungan nelayan untuk mencari perahu. Sebab, tempat kediaman Elang Laut Utara hanya dapat dicapai melalui jalan laut.
*******************
TIGA
Tanah pekuburan di ujung Desa Gemparan tampak sunyi. Panasnya sinar matahari yang memancar terik membuat suasana di sekitar tempat itu semakin lengang. Tak satu manusia pun terlihat di jalan lebar yang membelah pemakaman itu. Namun, dalam suasana siang yang terik dan kesunyian yang mencekam itu, tampak sesosok tubuh ramping terpekur di sisi sebuah tanah kuburan yang masih merah. Jelas sekali kalau makam yang tengah dihadapinya itu masih baru. Paling tidak, baru beberapa jam makam itu ditimbun.
“Ibu...” Bibir mungil yang basah kemerahan itu terdengar menggerimit perlahan. Wajahnya yang tertunduk terangguk lemah. Sedangkan jemari tangannya menaburkan kembang di atas tanah makam. Sesaat kemudian, sosok yang jelas adalah seorang gadis muda itu mengangkat tubuhnya dan berdiri tegak.
“Doakanlah agar aku dapat bertemu dengan Ayah, Bu. Maaf kalau selama ini aku tidak pernah memberitahukanmu perihal kedatangan Ayah, yang mendidikku dengan pelajaran ilmu silat setiap kali datang. Semua kulakukan karena janjiku kepada Ayah untuk tidak memberitahukan kedatangannya kepada siapa pun, termasuk juga kepada Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan kesalahanku selama ini. Aku pamit untuk mencari Ayah. Mudah-mudahan Ayah masih tetap tinggal di tempat yang Ibu tunjukkan kepadaku”
Usai berkata demikian, gadis yang tampak baru berusia tujuh belas tahun lebih itu membalikkan tubuhnya, lalu berjalan lambat-lambat menyusuri tanah pekuburan. Gadis muda berwajah manis yang bernama Surni itu kemudian mengangguk sekilas kepada penjaga makam yang berdiri di ujung pekuburan, lalu terus melangkah meninggalkan tempat itu.
“Hm..., menurut keterangan Ibu, aku harus berjalan ke arah Selatan. Apabila sudah menemukan Laut Bandan, aku tinggal mencari pantai sebelah Timurnya. Dari sanalah baru aku bisa mencapai tempat tinggal Ayah secara lebih mudah. Kalaupun sulit untuk mencari tempat tinggalnya, aku harus bertanya tentang seorang tokoh yang berjuluk Elang Laut Utara. Begitu pesan Ayah pada kedatangannya yang terakhir kali. Sedangkan Ibu sendiri hampir tidak pernah memberitahukan apa-apa perihal Ayah kepadaku”
Setelah berpikir demikian, Surni menggunakan ilmu lari cepatnya. Hal itu dilakukannya ketika ia sudah tidak berpapasan lagi dengan seorang pun penduduk Desa Gemparan. Sebab, para penduduk selama ini hanya mengenalnya sebagai gadis desa yang ramah. Tak seorang pun tahu bahwa gadis cantik yang kelihatan lembut itu sebenarnya menyimpan ilmu kepandaian yang tidak sembarangan.
Surni terus bergerak menyusuri jalan lebar yang menuju ke arah Selatan. Tanpa terasa, beberapa jam telah dilaluinya. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak. Perjalanan yang sebenarnya bisa memakan waktu seharian ini ternyata dapat ditempuhnya dua kali lebih cepat. Bahkan, tanpa merasa lelah sedikit pun, Surni langsung melanjutkan perjalanannya. Sebab, pikirnya, ia baru akan beristirahat apabila hari telah menjadi gelap. Selama hari masih terang, gadis muda berparas manis itu tidak akan lama-lama menghentikan perjalanannya.
Bayang kerinduan terhadap ayahnya dan keingintahuannya tentang pendapat orang tua itu mengenai kematian ibunya semakin membuat Surni ingin segera menjumpai ayahnya, yang selama ini secara diam-diam menjenguk dan mengajarkannya ilmu-ilmu silat tingkat tinggi. Sekaranglah Surni baru merasakan, betapa pentingnya mempelajari ilmu silat Kalau saja ayahnya dulu tidak bersungguh-sungguh mendidiknya, belum tentu ia akan memiliki kepandaian setinggi sekarang. Dan, baru kini dirasakan Surni hal itu.
Pengalaman kedua yang membuat gadis itu merasakan betapa pentingnya memiliki ilmu silat adalah ketika ia tengah melewati sebuah hutan. Di tengah perjalanan, pada tengah hari itu, Surni dikejutkan oleh sebuah bentakan keras yang terdengar parau.
“Berhenti...!”
Karena telah terbiasa dengan gerak-gerak silat yang dipelajarinya, kedua kaki Surni langsung bergerak mundur dalam kuda-kuda siap tempur. Sepasang matanya yang bulat dan jernih berputar mengawasi sekitar. Rupanya, setelah melakukan perjalanan selama dua malam, gadis itu menjadi agak terbiasa hidup di alam bebas. Kecerdikan otaknya membuat apa yang didengar dan dilihatnya dapat dipelajarinya dengan baik. Sehingga, secara tak sadar, nalurinya telah bekerja dengan sempurna.
“Heh heh heh...! Hari ini benar-benar merupakan hari keberuntungan bagiku. Siapa sangka pada tengah hari seperti ini ada seekor kelinci yang tersasar...!”
Suara serak dan berat itu disusul oleh munculnya sesosok tubuh jangkung terbungkus pakaian berwarna gading. Sepasang matanya yang lebar tampak berputar mengawasi sekujur tubuh Surni. Lagaknya persis seperti pedagang yang hendak menawar barang dagangan.
Surni sendiri, yang belum sadar akan kedahsyatan ilmu-ilmu yang diturunkan ayahnya, bergerak ke kanan dalam sikap yang tetap siap tempur. Padahal, kalau saja ia tahu siapa sebenarnya orang tua yang telah mendidiknya berlatih ilmu silat, gadis manis itu belum tentu akan setegang ini.
Sebab, Elang Laut Utara merupakan seorang tokoh sesat yang kepandaiannya sejajar dengan datuk-datuk golongan hitam. Tapi, karena Elang Laut Utara lebih sering berada di tempat kediamannya di luar daratan, namanya jarang terdengar di kalangan rimba persilatan. Hanya orang-orang golongan ataslah yang memperhitungkan nama tokoh gemuk berkulit hitam itu. Sedangkan bagi tokoh-tokoh biasa, nama Elang Laut Utara tidak begitu dikenal.
“Siapa kau, Kisanak? Apa maksud ucapanmu itu...?” Dengan sikap yang tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya, Surni mencoba menegur lelaki Jangkung bermata besar itu.
Sedangkan lelaki bertampang kasar itu terlihat menertawakan sikap Surni. Sebab, dengan memasang kuda-kuda siap tempur seperti itu, Surni kelihatan bagai orang yang baru mempelajari beberapa gerak ilmu silat. Hal inilah yang membuat lelaki bermata besar itu tertawa bergelak-gelak.
Meski tawa yang jelas-jelas mengandung nada ejekan itu membuat wajahnya memerah, Surni tetap berusaha untuk menekan rasa marahnya dan terus bersikap tenang, penuh kewaspadaan. Ingatan tentang nasihat ayahnya, yang seringkali mengatakan perihal kelicikan dan kebusukan hati manusia, membuatnya semakin hati-hati menghadapi laki-laki yang tampak seperti seorang perampok tunggal ini.
“Heh heh heh.... Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan kepadamu, karena daerah ini merupakan daerah kekuasaanku. Tapi, karena kau sangat menarik hatiku, maka biarlah aku berbaik hati dengan menjawab pertanyaanmu itu. Aku dikenal sebagai Macan Hutan Jengger. Sedangkan maksudku sudah jelas hendak berkawan denganmu, Gadis Cantik. Mari singgah di tempat kediamanku. Kau pasti akan merasa senang...,” ujar lelaki jangkung itu dengan nada suara yang terdengar demikian angkuh, seolah-olah kepandaian dirinya jauh berada di atas.
“Hm..., maaf. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk singgah di tempatmu, Kisanak. Biarkanlah aku lewat. Lain kali bila ada kesempatan, mungkin tawaranmu bisa kupertimbangkan” Setelah berkata demikian, Surni melangkah menyisi hendak melewati lelaki jangkung yang berjuluk Macan Hutan Jengger itu.
“Haiiittt...! Hendak ke mana kau, Nlsanak? Tidak semudah itu kau boleh pergi dari sini!” Macan Hutan Jengger rupanya tidak bersedia memberikan jalan lewat bagi Surni. Lelaki jangkung itu segera melesat menghadang jalan begitu Surni bergerak hendak meninggalkan tempat itu. Sehingga, gadis manis itu kembali melesat ke belakang dengan sikap seperti semula, siap tempur.
“Hm..., jelas sudah sekarang, apa sebenarnya maksudmu menghadang jalanku! Kalau begitu, terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!” Usai berkata demikian, Surni yang sudah habis kesabarannya segera bergerak maju dengan langkah-langkah ringan, tapi jelas menunjukkan kematangannya berlatih. Macan Hutan Jengger pun sempat tertegun dibuatnya.
“Heh heh heh.... Rupanya kau memiliki kepandaian yang lumayan. Pantas kau berani melawan kepadaku...,” ujar Macan Hutan Jengger seraya melangkah ke kanan guna mengimbangi gerak langkah Surni yang bergerak ke kiri. Sikap yang diambil lelaki jangkung ini jelas menandakan kesombongan hatinya. Kalau tidak, tentu ia akan bergerak ke kiri dan bukan ke kanan yang malah menyambut gerak maju lawan.
“Haaaiiittt...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Surni yang sudah tidak bisa menahan sabar itu langsung saja melontarkan pukulan satu dua yang mendatangkan angin berciutan.
Bweeettt! Bweeettt!
Macan Hutan Jengger sempat terkejut merasakan kuatnya angin pukulan gadis muda itu. Namun, begitu melihat betapa Surni masih ragu-ragu dalam melancarkan serangan-serangannya, sadarlah lelaki jangkung itu kalau gadis remaja yang dihadapinya sama sekali belum berpengalaman menghadapi pertarungan. Dan, tentu saja hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dengan gerak langkah yang cukup gesit, Macan Hutan Jengger menggeser tubuhnya menghindari serangan satu dua yang dilontarkan Surni. Kemudian, dicobanya melontarkan serangan balasan dengan gerak tipu yang tak terduga.
Sehingga, untuk beberapa jurus lamanya, Surni kelihatan sibuk menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Macan Hutan Jengger. Padahal, serangan-serangan yang dilancarkan lelaki jangkung itu tidak terlalu berbahaya. Bahkan, terkadang serangan itu hanya merupakan gertakan kosong. Tapi, karena memang belum berpengalaman, Surni sama sekali tidak mengetahuinya.
“Heaaahhh!”
Sambil membentak keras, suatu ketika Surni nekat bermaksud menyambut sebuah kepalan lawan dengan dorongan telapak tangan kanannya. Dan belum lagi dorongan telapak tangan kanannya tiba, ia langsung menyusulinya dengan sambaran tangan kiri. Tentu saja semua itu dilakukan Surni hanya karena rasa jengkelnya.
Macan Hutan Jengger yang belum mengetahui kehebatan gadis remaja itu tentu saja malah mengeluarkan dengusan mengejek. Tanpa ragu-ragu lagi, kepalannya terus saja meluncur ke dada lawan. Jelas bahwa perampok tunggal ini merasa yakin bahwa gadis itu pasti akan segera dapat dilumpuhkannya.
Plakkk!
“Aaahhh?!” Bukan main terperanjatnya hati Macan Hutan Jengger saat pukulannya bertumbukan dengan telapak tangan kanan gadis cantik itu. Ia semula mengira, Surni akan terjengkang akibat pertemuan tenaga itu. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Pekik tertahan justru keluar dari mulut Macan Hutan Jengger, seiring terpentalnya tubuh perampok tunggal itu sejauh dua batang tombak lebih. Tentu saja kenyataan ini hampir tidak dipercayainya sendiri.
Lain halnya dengan Surni. Gadis cantik putri tokoh sesat itu menjadi bertambah percaya akan kepandaian yang dimilikinya. Dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, tubuh gadis cantik itu pun terbang melanjutkan hantaman telapak tangan kiri sebagai susulan dari tangkisannya.
Whuuuttt...!
“Aaahhh...?!” Datangnya sambaran angin berciutan itu tent saja membuat Macan Hutan Jengger terbelalak pucat Apalagi, saat tangan kiri Surni datang, ia baru saja berusaha untuk memperbaiki kedudukannya yang tadi tergempur telapak tangan kanan lawannya. Akibatnya....
Desss. !
“Huggghhh...!” Tanpa dapat dicegah lagi, hantaman telapak tangan yang mengandung kekuatan hebat itu pun telak bersarang di tubuh Macan Hutan Jengger. Darah segar langsung menyembur seiring tertolaknya tubuh jangkung itu ke belakang.
Bruuuggg!
Dengan menimbulkan suara berdebuk keras, tubuh Macan Hutan Jengger terbanting di atas tanah berumput kering. Lelaki jangkung itu menggeliat dengan sekujur tubuh terasa remuk.
“Huaaakhhh!” Darah segar kembali termuntah ketika lelaki jangkung itu mencoba bergerak bangkit. Sesaat setelah tubuhnya menggeliat dengan rintihan tak jelas, akhirnya Macan Hutan Jengger diam tak bergerak-gerak lagi. Perampok tunggal yang selama ini malang melintang menguasai sekitar wilayah Hutan Jengger harus menerima kematian di tangan seorang gadis remaja yang belum tahu apa-apa perihal dunia persilatan.
Dengan wajah setengah curiga, takut terpancing kelicikan lawan, Surni melangkah hati-hati mendekati tubuh Macan Hutan Jengger. Gadis remaja yang belum tahu bahwa lawannya telah tewas itu terus memandang sosok lawannya dengan tatapan tajam. Sepasang tangannya siap melontarkan pukulan dengan sekuat tenaga. Kening Surni mulai berkerut ketika dalam jarak dua langkah lagi, tubuh lawannya masih tetap terlihat tidak bergerak. Terdengar tarikan napas penuh kelegaan saat gadis itu mengamati napas lawannya yang sudah tidak ada lagi.
“Matikah dia...?” desah Surni yang belum mengetahui kehebatan ilmu warisan ayahnya. Perlahan gadis remaja itu membungkuk dan memeriksa tubuh lawannya secara lebih teliti. Beberapa saat kemudian, barulah Surni bangkit dengan wajah berseri.
“Ayah! Rupanya ilmu yang kau turunkan untukku memang sangat berguna dan hebat. Hari ini, diriku selamat dari kejahatan seseorang dengan menggunakan ilmu-ilmu yang kau ajarkan. Aaah..., mulai sekarang, aku tidak akan pernah takut lagi terhadap apa pun!” ujar Surni sambil menengadahkan kepalanya menatap langit yang tampak cerah.
Beberapa saat kemudian, gadis remaja itu kembali melanjutkan perjalanannya. Kali ini sikapnya lebih tenang dan penuh rasa percaya diri. Semua ini disebabkan oleh pengalaman yang sangat berharga yang didapatnya hari itu.
*******************
Siang itu, matahari di atas Pantai Timur Laut Bandan memancar garang. Sinarnya yang kuning keemasan terasa panas bagaikan hendak membakar permukaan bumi. Ditambah lagi, desiran angin laut ikut membawa hawa panas. Sehingga, siapa pun yang berada di tempat itu, sama saja seperti memanggang dirinya dengan sengaja.
Tapi, suasana yang demikian panas itu, bagi beberapa sosok tubuh yang tengah bergerak mendekati Pantai Timur ternyata sama sekali tidak terasa. Sepuluh sosok tubuh tampak bergerak menuju ke arah laut dengan membawa dua buah perahu yang biasa digunakan nelayan untuk mencari ikan.
“Heaaahhh...!”
Begitu air laut mulai terasa menyapu kaki mereka, kesepuluh orang lelaki gagah itu sama-sama membentak sambil melemparkan perahu yang dibawanya ke tengah laut. Bersamaan dengan meluncurnya kedua perahu itu, kembali terdengar bentakan susul-menyusul yang dibarengi berlompatannya kesepuluh sosok tubuh itu mengikuti perahu yang baru dilemparkan tadi.
Hebat! Cara unik yang dipergunakan kesepuluh orang gagah itu untuk menaiki perahu memang benar-benar mengagumkan. Begitu kedua perahu terjatuh di atas air laut, secara hampir bersamaan kesepuluh sosok tubuh itu pun sama-sama menjejakkan kakinya di lantai perahu. Mereka terbagi dalam dua kelompok dengan masing-masing lima orang dalam tiap perahu. Sesaat kemudian, perahu-perahu itu terlihat mulai bergerak mengarungi lautan luas.
“Berapa lama kira-kira kita bisa mencapai Pulau Elang Hitam, Kakang?” ujar seorang lelaki bertubuh gemuk, yang berambut botak pada bagian tengah kepalanya. Meskipun demikian, wajahnya tampak gagah dan memancarkan wibawa yang cukup kuat. Sambil bertanya demikian, kepalanya menoleh ke arah seorang lelaki tinggi gagah yang tampaknya merupa-kan pemimpinnya.
Lelaki tinggi gagah yang bernama Lunggara itu tidak segera menjawab pertanyaan rekannya. Sejenak ia melepaskan pandangannya ke tengah laut dengan tarikan napas panjang. “Hm..., mungkin menjelang sore nanti, kita bisa tiba di Pulau Elang Hitam. Tapi, kita harus berhati-hati. Siapa tahu Elang Laut Utara sudah menduga kedatangan kita. Dan, jika benar, manusia sesat itu pasti telah mempersiapkan sebuah penyambutan untuk kita”
Ucapan Lunggara terdengar timbul tenggelam karena terhantam oleh kerasnya tiupan angin laut. Meskipun demikian, karena menggunakan tenaga dalamnya, suara lelaki gagah itu dapat tertangkap jelas oleh rekan-rekannya, termasuk juga deh kelima orang yang berada dalam perahu di sebelah kiri perahu yang ditumpangi Lunggara.
“Kalau benar demikian, berarti kita harus mencari tempat mendarat yang tersembunyi. Dengan cara itu, baru kita bisa menghindari jebakan-jebakan yang mungkin saja telah dipersiapkan Elang Laut Utara...!” usul seorang lelaki bertubuh sedang berusia sekitar empat puluh tahun kepada Lunggara.
“Tidak, Adi Wilang,” sahut Lunggara dari perahu sebelah, karena keduanya memang tidak berada dalam satu perahu. “Sebab, kalau memang tokoh sesat itu telah mempersiapkan penyambutan untuk kita, ia pasti telah menjaga tempat-tempat yang menurutnya cukup tersembunyi untuk dijadikan sebagai tempat pendaratan di atas pulau. Menurutku, sebaiknya kita datang secara terang-terangan. Kurasa hal itu lebih baik. Sebab, Elang Laut Utara pasti tidak menduga kalau kita berani datang secara terbuka”
“Hm..., rasanya itu pun tidak jelek. Tapi, ada baiknya kita mendarat secara terpisah. Dengan begitu, mungkin saja Elang Laut Utara dapat kita kecoh. Bagaimana menurutmu, Kakang...?” usul Wilang, yang tampaknya masih berkeras mempertahankan pendapatnya.
“Boleh saja. Tapi ingat, jangan bertindak sendiri- sendiri! Kita harus tetap waspada, meskipun suasana yang akan kita temui nanti terlihat tenang dan aman”
Ki Lunggara menyetujui usul Wilang sambil menyampaikan pesan-pesan yang diucapkannya dengan tegas dan sejelas-jelasnya. Hal itu dilakukannya agar apa yang disampaikan dapat diingat oleh Wilang dan keempat kawannya yang berada di atas perahu terpisah.
Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Masing-masing dari mereka tidak lagi berkata-kata. Pandangan mata kesepuluh orang itu kini tertuju lurus ke sebuah gundukan daratan berwarna kehitaman, yang berbentuk seperti seekor elang raksasa tengah mengembangkan sayapnya. Itulah Pulau Elang Hitam.
EMPAT
“Hm..., bersiap-siaplah” Ki Lunggara mengeluarkan kata-kata peringatan saat melihat Pulau Elang Hitam sudah terpampang beberapa belas tombak di depannya. Wilang, yang mendengar peringatan pemimpinnya, segera berpencar bersalto diikuti kawan seperahunya. Mereka memisahkan diri dari kelompok Ki Lunggara.
“Kita berpisah, Kakang...,” ujar Wilang sebelum memisahkan diri dan bergerak ke kanan. Rupanya lelaki bertubuh sedang yang gerak-geriknya gesit itu tetap hendak melaksanakan niatnya untuk mendatangi pulau secara sembunyi-sembunyi.
Ki Lunggara hanya menganggukkan kepalanya menyahuti ucapan Wilang. Kemudian ia terus bergerak maju mempercepat laju perahunya. Jelas maksudnya hendak mengalihkan perhatian penghuni pulau jika memang telah menanti kedatangannya. Tidak lama kemudian, kelompok Ki Lunggara pun telah mencapai daratan Pulau Elang Hitam. Ketegangan kelima orang lelaki gagah itu berubah menjadi rasa keheranan yang besar. Karena, apa yang mereka duga ternyata meleset.
“Aneh..., mengapa sunyi sekali keadaan pulau ini? Apakah Elang Laut Utara tidak mempunyai pengikut? Atau jangan-jangan semua ini merupakan jebakan untuk kita...?” desah seorang lelaki jangkung berjenggot dengan sepasang mata yang berputar liar mengawasi sekitar tempat pendaratannya.
“Hm..., yang penting tetap siaga. Sebab, mungkin ini merupakan jebakan agar kita lengah...,” gumam Ki Lunggara lirih, menyahuti ucapan salah seorang rekannya.
Lelaki gagah itu sendiri sudah melangkah dengan diapit dua orang rekannya. Sedangkan dua rekannya yang lain menyeret perahu dan menyembunyikannya di tempat yang aman. Sebab, jika perahu itu sampai lenyap, ada kemungkinan mereka akan tinggal terus di atas pulau itu.
“Jangan berkelompok. Usahakan di antara kita saling mengatur jarak...”
Ki Lunggara kembali mengingatkan rekan-rekannya ketika mereka mulai menyusuri pulau. Ucapan itu membuat yang lain segera sadar akan kedudukan mereka. Sebab, dalam keadaan berkelompok, mereka akan lebih mudah diserang secara gelap. Tanpa diperingatkan dua kali, keempat orang tokoh persilatan itu segera mengatur jarak masing-masing.
Ki Lunggara, yang berjalan di tengah, kian berkerut keningnya. Sebab, meski sudah jauh ke dalam pulau, mereka belum juga menemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan, sampai kelompok Ki Lunggara bertemu dengan kelompok Wilang, tetap saja tidak ada tanda-tanda bahaya yang menyambut kehadiran mereka.
“Hm..., mungkinkah Elang Laut Utara tidak mengetahui kedatangan kita...? Atau ia memang sengaja menunggu di tempat kediamannya...?” Wilang yang merasa penasaran bergumam lirih sambil melepaskan pandangannya ke sebuah bangunan yang berada beberapa belas tombak di depan mereka.
“Rasanya tidak mungkin, Adi. Tapi, ada baiknya kalau kita periksa bangunan itu...,” ujar Ki Lunggara, yang segera melangkah mendekati bangunan tempat tinggal Elang Laut Utara. Dan, serentak rekan-rekannya bergerak menyebar tanpa diperintah.
Wilang dan empat orang rekannya bergerak dari gerbang depan. Suasana bangunan itu terlihat sunyi. Sehingga, lelaki bertubuh sedang ini mengira bahwa bangunan itu memang telah ditinggalkan penghuninya. Tapi, baru saja kelimanya bergerak mendekati pintu utama, tiba-tiba dari sebelah dalam melangkah keluar dua orang berpakaian serba hitam. Tanpa dapat dicegah lagi, kedua belah pihak pun berpapasan satu sama lain.
“Hei, siapa kalian...!”
Salah seorang dari lelaki berseragam hitam itu membentak sambil mencabut senjata dari pinggangnya. Tentu saja tidak ada jalan lain bagi Wilang dan kawan-kawannya kecuali menghadapi kedua orang lelaki itu.
“Hm..., kami ingin berjumpa dengan majikanmu yang berjuluk Elang Laut Utara. Cepat kau beritahukan majikanmu kedatangan kami...!” Dengan nada suara tegas, Wilang langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Sebab, memang tidak ada jalan lain baginya kecuali menjawab pertanyaan penghuni Pulau Elang Hitam itu.
“Keparat! Manusia-manusia lancang dari mana kalian? Berani benar kalian berkata seenaknya di pulau ini! Untuk kesalahan-kesalahan itu, kalian harus menerima hukuman yang setimpal!” Setelah berkata demikian, kedua orang lelaki berseragam hitam itu melompat dengan senjata terhunus.
“Tunggu...!”
Meskipun hatinya merasa terbakar, Wilang masih mencoba untuk menghindari pertarungan. Semua itu bukan dikarenakan ia masih bersabar. Tapi, justru Wilang ingin mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan kepadanya dan rekan-rekannya.
“Hm..., apa lagi yang kalian inginkan...?” Salah seorang yang bertubuh tinggi besar dengan wajah terhias brewok bertanya kasar. Jelas sekali, lelaki itu sengaja mengandalkan keseraman wajahnya untuk membuat ciut nyali lawan. Sayang, hal itu tidak berlaku bagi Wilang dan kawan-kawannya. Terbukti mereka tetap tenang menghadapi pertanyaan bernada kasar itu.
“Hm..., tidak banyak yang ingin kuketahui. Pertama, kesalahan apa yang telah kami perbuat, sehingga harus dihukum? Kedua, kalian harus mengatakan, apakah majikan kalian ada di pulau ini? Atau telah lari terbirit-birit karena kedatangan kami? Nah, kurasa pertanyaanku cukup dan pantas, bukan?” ujar Wilang dengan nada seenaknya. Sepertinya ia sama sekali tidak terpengaruh oleh lawan yang sengaja memancing emosinya.
“Bangsat! Sudah memasuki pulau tanpa izin dan berani minta menghadap majikan pulau dengan ucapan seenaknya, ternyata kalian juga berani menghina majikan kami! Rasanya hanya kematian yang pantas untuk orang-orang seperti kalian! Nah, terimalah...!”
Usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu langsung melompat dan menerjang dengan ayunan golok besarnya ke arah Wilang yang memang berada paling depan.
Whyuukkk...!
“Aiiih, luput...” Dengan gerak sembarangan, Wilang menggeser tubuhnya. Dihindarinya serangan golok besar lawan. Bahkan, mulutnya masih sempat melontarkan ucapan mengejek. Tentu saja hati lawan semakin bertambah panas.
“Mampus kau...!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki tinggi besar berwajah brewok itu kembali melontarkan serangannya dengan tidak kepalang tanggung. Sekali lompat saja, lelaki itu langsung melancarkan serangkaian bacokan dan tusukan yang mematikan. Dari suara desingan senjata itu, dapat ditebak kalau tenaga yang dipergunakannya sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan.
Tapi, Wilang sama sekali tidak menjadi gugup. Dengan sikap yang tetap sengaja mempermainkan lawannya, lelaki bertubuh sedang itu bergerak kian kemari dengan mempergunakan kegesitannya untuk mengecoh lawan. Sehingga, lelaki brewok itu semakin bernafsu untuk segera mencincang tubuh lawannya yang ternyata sangat gesit itu.
Sementara itu lelaki berseragam hitam yang seorang lagi tiba-tiba mengeluarkan suitan panjang yang melengking tinggi. Jelas bahwa suitan itu merupakan isyarat bagi kawan-kawannya yang masih berada di dalam bangunan. Sedangkan lelaki itu sendiri langsung melompat. Diterjangnya tokoh persilatan yang terdekat dengannya.
“Heeeaaattt...!”
Bwettt..!
Golok besar lelaki tinggi kurus itu langsung berdesing mengancam batang leher seorang tokoh bertubuh gemuk, yang bagian tengah kepalanya botak.
“Hm...” Sambil bergumam pelan, lelaki gemuk itu langsung merendahkan tubuhnya. Dan, dilontarkannya serangan balasan berupa tendangan kilat yang lurus mengancam perut lawannya.
Zzzebbb!
“Aiiihhh...?!” Lelaki berseragam hitam, yang sama sekali tidak menyangka kalau lawan dapat melakukan serangan balasan secepat itu, tentu saja terperanjat. Untunglah ia sempat menyadarinya. Tubuhnya langsung ditarik ke belakang. Sehingga, tendangan kaki kanan lawan tidak sampai mencapai tubuhnya. Kemudian, dengan merendahkan badannya lelaki berseragam hitam itu langsung menyabetkan senjatanya secara mendatar. Sasarannya adalah kaki kiri lawan.
“Hm...” Untuk kedua kalinya, lelaki gagah berkepala separuh botak itu bergumam perlahan. Tubuhnya melesat ke udara dengan sebuah lompatan panjang. Berbarengan dengan gerakan itu, sepasang tangannya melakukan tamparan susul-menyusul.
Plakkk! Plakkk!
“Auuughhh...!”
Tamparan yang demikian cepat dan mengejutkan itu tak sempat lagi dihindari lawannya. Langsung saja tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu terguling terkena tamparan keras yang telak menghantam kepalanya.
“Heattt...!”
Lelaki gagah bertubuh gemuk itu kembali berseru nyaring sebelum lawannya dapat berdiri tegak. Sebuah tendangan kilat kembali dilontarkan ke dada lawannya. Dan...
Buggg!
“Huaaakhhh...!” Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berseragam hitam itu langsung terjungkal disertai semburan darah segar dari mulutnya. Dengan suara keras, tubuh lelaki berseragam hitam itu ambruk ke tanah. Setelah meregang sesaat dengan rintihan parau, sosok itu pun diam untuk selamanya, mati.
“Hiaaattt...!”
Lelaki gemuk berkepala separuh botak itu menolehkan kepalanya saat mendengar teriakan nyaring yang panjang dan memekakkan telinga. Namun, gerakan sosok tubuh yang berteriak nyaring tadi ternyata datang lebih cepat ketimbang gerakan kepala lelaki gemuk itu. Sehingga, tanpa sempat dihindarkan lagi, sebuah tendangan telak membuat lelaki gemuk itu terpelanting sejauh satu setengah batang tombak.
“Gila...!?” Sambil memaki kalang kabut, lelaki gemuk itu segera melompat bangkit dengan sigapnya. Sepasang matanya hampir tidak percaya ketika melihat sesosok tubuh ramping berparas cantik menatap tajam kepadanya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya ia hanya bisa berdiri bengong dengan bibir komat-kamit tanpa sepatah pun ucapan keluar dari mulutnya.
“Hm..., kau harus menerima hukuman yang berat...!” Terdengar desis bernada dingin yang keluar dari sela-sela bibir tipis berbentuk indah itu. Dan, begitu ucapannya selesai, tiba-tiba sebilah pedang berkilat telah tergenggam di tangannya.
“Hiaaahhh...!” Dengan dibarengi bentakan nyaring, sosok ramping berparas cantik itu langsung melesat disertai kibasan pedangnya.
Bweeettt!
“Aaahhh...!” Lelaki gemuk itu baru tersadar saat ia merasakan adanya sambaran hawa maut yang mengancam lehernya. Cepat-cepat ia melempar tubuhnya bergulingan untuk menghindari sambaran pedang yang cepat bagai kilat itu. Namun, sosok ramping berparas cantik itu tidak menghentikan serangannya sampai di situ saja. Dengan gerakan yang lincah dan mengagumkan, ia kembali mengibaskan senjatanya dengan serangkaian serangan maut. Hingga....
Breeet! Breeettt!
“Arkkkhhh!” Karena serangan gadis remaja berparas cantik itu demikian gencar dan sangat cepat, akhirnya lelaki gemuk itu harus merelakan tubuhnya dijadikan sasaran sambaran senjata tajam gadis itu.
“Hm.... Hanya dengan kepandaian secetek itu kau hendak jual lagak di depanku”
Terdengar suara dingin yang mendirikan bulu roma. Benar-benar menyeramkan suara yang dikeluarkan bibir mungil dan indah itu. Senyum dinginnya tersirat saat menyaksikan tubuh korbannya menggelepar bergelimang darah segar.
“Haaattt...!”
Dua belas orang berseragam hitam, yang datang beberapa saat setelah kemunculan gadis cantik itu, segera menghambur ke arah delapan orang tokoh persilatan. Sehingga, mereka yang semenjak tadi tertegun melihat kekejaman dara cantik itu segera mencabut senjata dan melakukan perlawanan. Sebentar saja, pertempuran kacau pun berlangsung seru.
Sementara itu, Wilang yang meladeni lelaki tinggi besar berbrewok ternyata mendapat kenyataan yang hampir tidak dipercayainya. Ia, yang semula menganggap rendah lelaki brewok itu, kini harus bekerja keras untuk menundukkan lawannya. Sebab, kepandaian lawannya itu ternyata cukup tangguh.
“Heaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali melontarkan serangan dengan gerakan-gerakan yang aneh dan mengejutkan. Gerakannya yang terkadang membuka dan menutup itu sempat membuat Wilang sibuk. Padahal, lelaki bertubuh sedang itu bukan orang sembarangan dalam kalangan persilatan. Bahkan, di wilayah Timur, Wilang merupakan seorang tokoh yang pantas untuk diperhitungkan.
Sebagai tokoh keempat di wilayahnya, tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun tidak bisa dianggap remeh. Jadi, wajar saja kalau Wilang merasa penasaran bukan main ketika dalam tiga puluh jurus ia belum juga dapat menundukkan lawannya. Padahal, menurut dugaannya, lelaki tinggi besar itu paling-paling hanya merupakan penjaga atau pembantu rendahan yang melayani segala keperluan Dang Laut Utara.
Sayang, Wilang terlalu menganggap remeh lawannya. Sehingga, ia tidak tampak mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya dalam pertarungan itu. Kesadarannya baru bangkit setelah lebih dari tiga puluh jurus, lawan masih tidak dapat ditundukkannya. Ketika menyadari kenyataan itu, barulah Wilang mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya untuk menggempur lawan.
“Haaattt...!”
Diiringi pekikan nyaring, Wilang merangsek maju dengan pukulan yang berubah-ubah bentuk. Sehingga, dalam lima jurus saja, lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam itu terdesak dan hanya bisa bergerak mundur. Jangankan untuk melontarkan serangan balasan. Untuk menghindari serangan lawan saja, ia benar-benar hampir tidak sanggup.
Whuuukkk...!
Tiba-tiba datang hantaman telapak tangan Wilang yang mengincar lambung lawannya. Tentu saja lawan yang kedudukannya memang sudah tidak tetap itu terhuyung limbung beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Wilang untuk melontarkan pukulan mautnya.
“Jeaaahhh...!”
Berbarengan dengan bentakan keras, Wilang melontarkan sebuah pukulan lurus ke pelipis lawan.
Whuuuttt..! Plaaaggg...!
“Aaahhh...!?”
Wilang, yang merasa yakin akan dapat membereskan lawannya, merasa kaget bukan kepalang. Sebab, pada saat pukulannya hampir menewaskan lawan, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan ramping yang langsung menyambut pukulannya. Akibatnya, Wilanglah yang terpekik kesakitan dan terdorong mundur hingga sejarak satu setengah tombak. Tentu saja kenyataan itu membuat Wilang terbelalak
“Gila...!?” maki Wilang sambil mencoba mengetahui, siapa gerangan sosok yang telah membuatnya sangat terkejut tadi. Selintas bayangan Elang Laut Utara terbayang di benaknya. Karena, hanya tokoh sesat itulah menurutnya yang dapat membuatnya gagal melanjutkan serangan.
Tapi, apa yang disaksikan Wilang benar-benar membuatnya hampir tidak percaya. Sesosok tubuh ramping berparas cantik yang pantas menjadi anaknya tampak berdiri angkuh dengan seulas senyum dingin menghias wajahnya. Kening Wilang semakin berkerut ketika melihat si lelaki tinggi besar brewok mengangguk hormat kepada gadis remaja itu.
“Terima kasih, Nona Muda...,” ucap lelaki brewok itu. Dan, ketika gadis remaja itu memberikan isyarat dengan kepalanya, cepat-cepat lelaki tinggi besar itu membaurkan dirinya ke dalam pertempuran yang tengah berlangsung di dekatnya.
“Kau..., siapakah Nisanak...? Mengapa kau membela orang-orang sesat itu...?” tegur Wilang sambil melangkah maju untuk meneliti lebih dekat sosok ramping berwajah cantik itu.
“Hm..., seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, Kisanak. Ada keperluan apa kau mendatangi tempat ini? Akulah yang kini menjadi pemilik Pulau Elang Hitam. Wajar kalau kau tidak mengetahuinya. Karena, aku pun baru kemarin tiba di pulau ini. Ayahku yang menjadi pemilik pulau ini belum kembali, maka aku mewakilinya menjaga tempat ini dari tangan-tangan jahil seperti kau dan kawan-kawanmu,” ujar gadis remaja berwajah cantik yang tidak lain dari Surni itu. Rupanya gadis itu telah lebih dahulu tiba di Pulau Elang Hitam, yang menjadi tempat kediaman ayahnya.
Kedatangan Surni ke pulau itu pun sesungguhnya tidak diterima dengan mudah oleh para penghuninya. Tapi, berkat kepandaian yang dimilikinya, akhirnya para penghuni pulau itu percaya bahwa Surni adalah putri majikan mereka. Sebab, gadis remaja itu memang menguasai semua ilmu tinggi yang juga dimiliki Elang Laut Utara. Bahkan, ilmu-ilmu rahasia Elang Laut Utara pun dapat dimainkan gadis remaja berwajah cantik itu. Semua itulah yang membuat seluruh penghuni Pulau Elang Hitam percaya akan keterangan Surni. Sehingga, mereka menerima Surni sebagai wakil dari Elang Laut Utara selama tokoh sesat itu belum kembali.
LIMA
Saat itu, selagi Wilang berhadapan dengan keturunan Elang Laut Utara, terdengar suara orang berlarian mendatangi tempat ini. Hati Wilang bertambah lega ketika tahu kalau yang datang ternyata rombongan Ki Lunggara.
Baru saja Ki Lunggara hendak mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kematian yang susul menyusul. Laki-laki gagah itu kontan menoleh ke arah asal jeritan-jeritan tadi. Demikian pula Wilang dan kelima orang tokoh yang baru tiba itu. Mereka juga menoleh ke arah yang sama.
“Aaahhh...?! Apa yang terjadi terhadap mereka...?” desah Ki Lunggara. Wajah laki-laki gagah itu pucat saat melihat tiga orang rekan Wilang menggelepar di atas tanah sambil melolong mengerikan. Jelas, mereka tengah mengalami suatu penderitaan yang mengerikan!
“Racun Ubur-Ubur Laut...!” Wilang yang melihat ketiga rekannya tengah menggaruki sekujur tubuh, segera saja dapat menebak penyebabnya.
“Hm! Jadi, racun jahat itu pulalah yang telah menyebabkan kematian Ketua Ular Perak Jantan...?” desah Ki Lunggara, teringat akan mayat Ular Perak Jantan yang sekujur kulit dan daging tubuhnya terkelupas.
“Penderitaan mereka harus dihentikan,” Tiba-tiba saja, Wilang mendesis sambil melangkah menghampiri ketiga rekannya yang tengah mengalami penderitaan mengerikan. Lelaki bertubuh sedang itu terlihat menggigit bibirnya kuat-kuat, dengan wajah berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan.
“Adi Wilang! Apa yang hendak kau lakukan...?” tegur Ki Lunggara. Dia memang curiga melihat sikap Wilang. Maka segera saja dia berdiri menghadang jalan. Sehingga mau tidak mau, Wilang harus menghentikan langkahnya.
“Menyingkirlah, Ki. Apakah kau tega melihat penderitaan rekan-rekan kita...?” tandas Wilang tanpa tekanan. Sedangkan sorot matanya lurus ke depan, melewati bahu Ki Lunggara. Jelas, Wilang tidak ingin dihalangi.
“Tapi” Ki Lunggara yang semakin sadar akan apa yang hendak dilakukan Wilang, suaranya jadi tercekat di kerongkongan. Lelaki gagah itu tidak bisa berkata-kata lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk melenyapkan penderitaan rekan-rekan mereka, kecuali dengan cara segera membunuh ketiga tokoh persilatan itu. Tentu saja untuk melaksanakannya, bukan suatu pekerjaan mudah bagi perasaan mereka.
“Arrrkkkhhh...!”
Raung kesakitan penuh kesengsaraan dari ketiga orang tokoh itu, kembali merasuki telinga Wilang dan Ki Lunggara.
Sementara Ki Lunggara sendiri tertunduk lesu, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedangkan Wilang segera melanjutkan langkahnya dengan pedang telanjang. Dengan wajah tengadah dan sepasang mata diluruskan ke langit, Wilang berdiri tegak di hadapan ketiga orang rekannya. Pedang telanjang di tangannya tampak bergetar keras. Jelas, lelaki itu tengah berjuang keras mengalahkan perasaannya. Perlahan-lahan, pedang berkilat itu terangkat. Dan....
Whukkk!
Jrasss! Crasss! Cappp!
“Aaarggghhh !”
Terdengar lengking kematian yang memilukan saling susul. Darah segar kontan berhamburan membasahi tanah. Seiring tetesan darah yang jatuh satu persatu dari badan pedang di tangan Wilang, ketiga sosok tubuh yang tengah sekarat itu pun ambruk hampir bebarengan. Sebentar mereka kelojotan, lalu diam untuk selamanya. Mati.
“Ooohhh...!”
Empat orang rekan Ki Lunggara, termasuk Langga, sama-sama memalingkan wajah. Mereka seperti ikut larut dalam kepedihan hati Wilang yang terpaksa harus membunuh ketiga rekannya demi menolong dari penderitaan.
“Biadab...! Kucincang tubuh kalian semua, manusia keji...”
Kemarahan dan kesedihan yang meledak-ledak dalam dada Wilang, ditumpahkannya kepada delapan orang lelaki berpakaian hitam yang telah menebarkan racun-racun keji kepada ketiga rekannya. Empat sosok mayat lawan tidak dipedulikannya lagi. Yang terlintas dalam pikirannya saat itu hanyalah membunuh lawan sebanyak-banyaknya untuk menebus nyawa ketiga rekannya.
“Hm...” Amukan Wilang seketika membuat delapan orang sisa pengikut Elang Laut Utara kalang kabut. Dan hal ini juga membuat Surni menatapnya dengan kilatan mata tajam. Sesaat kemudian, tubuh rampingnya telah melesat ke arena pertempuran.
“Hiaaahhh...!” Begitu tiba, Surni langsung melontarkan serangkaian pukulan maut dari jurus ‘Elang Sakti’ warisan ayahnya. Tentu saja hal ini membuat Wilang kelabakan! Apalagi, tenaga yang mengiringi sambaran cakar elang gadis remaja itu demikian kuat dan mengejutkan. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Wilang hanya bermain mundur saja.
Ki Lunggara melihat betapa Wilang terdesak hebat oleh gempuran seorang gadis remaja, maka tentu saja dia menjadi terkejut bukan main. Sadar kalau rekannya tidak segera ditolong bisa celaka. Sehingga, langsung saja Ki Lunggara melesat ke arena pertempuran, seraya melontarkan serangan-serangan cepat untuk membendung serangan gadis remaja itu.
Plakkk! Plakkk!
“Aaahhh...?!”
Dua kali tamparan Ki Lunggara yang dilontarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, bertumbukan dengan serangan Surni. Seketika terdengar ledakan yang cukup keras! Tapi hal itu justru membuat Ki Lunggara memekik kaget, ketika telapak tangannya terasa panas. Bahkan kuda-kudanya pun ikut pula tergempur!
“Gila...?! Siapa sebenarnya gadis muda itu...? Kepandaiannya hebat sekali. Rasanya sangat sulit untuk menundukkannya dalam waktu singkat...,” desah Ki Lunggara sambil menatap tajam wajah dara remaja cantik itu.
Ia benar-benar kagum. Dalam usianya yang masih sangat muda, gadis itu telah berhasil menghimpun kekuatan tenaga sakti yang mungkin tidak di bawah tenaga dalamnya. Bahkan bisa jadi jauh lebih kuat dari padanya. Namun, Ki Lunggara tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Masalahnya, Wilang yang masih terus digempur Surni segera berseru mengingatkan rekannya. Dia memang sempat mendengar gumaman yang keluar dari mulut Ki Lunggara.
“Jangan heran, Ki. Gadis itu putri Elang Laut Utara...!” seru Wilang yang saat itu tengah bergerak ke kanan mendekati Ki Lunggara. Maksudnya tentu saja dapat ditebak. Wilang ingin mengajak Ki Lunggara untuk menggempur Surni.
“Hm.... Pantas, kepandaiannya demikian tinggi. Kiranya ia pewaris Elang Laut Utara. Tidak heran...,” desis Ki Lunggara yang segera saja mencabut pedangnya, setelah mengetahui siapa adanya gadis remaja itu. “Kalau begitu, gadis itupun harus dilenyapkan. Biarlah, dia yang memikul semua dosa yang telah dilakukan Ayahnya” Usai berkata demikian, Ki Lunggara segera melesat menggempur Surni.
Sementara pada saat itu, Wilang yang benar-benar sudah kehabisan akal dalam menghadapi gempuran lawan, terpaksa bertindak nekat. Sadar kalau untuk dapat mengalahkannya adalah suatu hal yang mustahil, maka Wilang kali ini tidak berusaha menghindari serangan Surni. Senjatanya segera diputar, membentuk gulungan sinar yang membentengi sekujur tubuhnya. Kemudian, dicobanya untuk bertahan dengan benteng sinar pedang itu.
Sayangnya, Surni tidak kehilangan akal. Pengalaman yang didapatnya selama perjalanan maupun di dalam Pulau Elang Hitam, membuatnya mulai bisa menilai keadaan. Maka ketika melihat tindak upaya Wilang, gadis remaja itupun segera mencecar dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Whuuuk...! Deeebbb! Deeebbb!
“Akkkhhh!” Karuan saja Wilang yang kekuatan tenaga dalamnya memang kalah jauh langsung terjengkang ketika pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan Surni membentur benteng sinar pedangnya. Dan kalau saja Ki Lunggara tidak segera menolongnya, mungkin tubuhnya akan terbanting di atas tanah.
“Terima kasih, Ki ,” ucap Wilang. Napas laki-laki bertubuh sedang itu tampak memburu dan wajahnya agak pucat. Bahkan pada sela-sela bibirnya tampak ada cairan merah meleleh. Jelas, Wilang menderita luka akibat pukulan-pukulan yang dilontarkan Surni tadi.
“Aaakkkhhh!”
Jerit kematian dari arena pertempuran yang berada beberapa tombak di belakang membuat terkejut Wilang dan Ki Lunggara. Cepat mereka menoleh, memastikan jerit kematian tadi. Dan untuk kesekian kalinya, kedua orang lelaki gagah itu kembali dilanda rasa geram serta penasaran! Dan ternyata, empat orang rekan mereka terlihat menggelepar terkena ‘Racun Ubur-Ubur Laut’.
“Bedebah...!”
Hampir berbarengan, Ki Lunggara dan Wilang mendesis geram. Namun pada saat hendak melompat ke arah keempat rekan mereka, gadis remaja berkepandaian tinggi itu sudah bergerak lebih dulu dan berdiri menghadang jalan.
“Biarkan mereka dengan kesenangannya sendiri. Urusan kita di sini belum selesai...,” ujar Surni dengan tatapan mata sedingin es. Sehingga, kedua orang tokoh persilatan itu menjadi jengkel.
“Keparat kau, Iblis cilik! Kau benar-benar menuruni sifat jahat Ayahmu. Seharusnya kau memang dilenyapkan agar tidak membuat keresahan di kemudian hari...!” Sambil berkata demikian, Ki Lunggara memutar pedangnya sekuat tenaga. Melihat dari sikapnya, jelas kalau orang tua itu siap bertarung mati-matian!
“Wilang...,” sebelum menerjang Surni, Ki Lunggara mendekat dan berbisik kepada rekannya dengan tatapan tetap lurus ke wajah Surni, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. “Jika aku sudah mulai bergerak menerjang iblis cilik itu, tinggalkanlah pulau celaka ini. Kalau tidak, kawan-kawan kita di daratan sana nanti bakal celaka, apabila gadis itu sampai meninggalkan tempat ini. Jangan bantah ucapanku! Semua ini kulakukan demi kita semua...!”
Wilang hanya terpaku pucat mendengar permintaan Ki Lunggara. Namun karena disadari ada kebenaran pada ucapan lelaki gagah itu, maka Wilang tidak membantah. Dan ketika Ki Lunggara melesat ke arah Surni dengan pekikan keras, Wilang pun ikut melesat meninggalkan pulau itu.
“Yiaaahhh...!”
Bweeettt! Swinggg!
Ki Lunggara menerjang dengan serangkaian sambaran pedangnya, untuk mengalihkan perhatian Surni dari Wilang. Usahanya memang tidak sia-sia. Untuk beberapa saat lamanya, Surni mau tidak mau memang harus menghadapi sambaran pedang lawan yang seperti hendak merencah dirinya. Surni benar-benar telah jauh berubah dalam beberapa hari ini. Gadis remaja itu tidak lagi merasa khawatir, meskipun kilatan pedang lawan seperti mengurungnya. Keyakinan terhadap ilmu-ilmu warisan orang tuanya, membuatnya tidak gugup walau menghadapi serangan sehebat apapun.
Begitupun dalam menghadapi gempuran Ki Lunggara. Dengan menggunakan geseran-geseran ringan, gadis remaja itu selalu saja berhasil menghindari sambaran pedang lawan. Bahkan setelah beberapa jurus, sudah bisa melontarkan serangan sesekali. Malah, serangannya terus semakin dipergencar. Sehingga, kini Ki Lunggara lah yang menjadi kewalahan.
“Heeeaaahhh...!”
Pada suatu kesempatan, Surni tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras! Dan berbarengan dengan itu, tangan kanannya terulur melepaskan sebuah pukulan maut! Ki Lunggara yang memang sudah tidak bisa mempertahankan dirinya lagi, tak sempat lagi menghindari. Dan....
Beggg!
“Huakhhh...!” Tanpa ampun lagi, kepalan mungil itu telah menghajar dada Ki Lunggara! Tubuh lelaki gagah itu terjengkang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulutnya! Kemudian, tubuhnya terhuyung limbung hingga satu setengah tombak lebih jauhnya.
Surni sendiri tidak mau bertindak kepalang tanggung. Saat itu juga, tubuhnya melesat melepaskan sebuah tendangan terbang!
“Yeaaa...!”
Deeesss...!
Ki Lunggara menjerit ngeri! Tubuhnya kontan terpental deras bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak, kemudian terus melaju membentur dinding karang. Tanpa ampun lagi, remuklah tubuh lelaki gagah yang malang itu. Ki Lunggara tewas dengan tubuh hampir hancur!
“Hm...,” Surni hanya bergumam sambil mengulas senyum iblis. Sejenak ia menoleh ke arah pembantu-pembantu ayahnya yang telah tidak tampak lagi, karena tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Surni bergerak meninggalkan tempat itu.
*******************
Lelaki berperawakan sedang itu dan berusia sekitar empat puluh tahun, mendayung perahunya sekuat tenaga. Sehingga, perahu yang ditumpanginya melaju cepat membelah air laut. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Wilang yang melarikan diri ke daratan.
Beberapa belas tombak di belakang Wilang, tampaklah dua buah perahu lain yang masing-masing ditumpangi empat orang lelaki berseragam hitam. Melihat adanya lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin orang-orang itu, jelaslah sudah kalau mereka adalah orang-orang Pulau Elang Hitam. Mereka memang tengah melakukan pengejaran terhadap Wilang.
Wilang sendiri terus mengayuh perahunya mati-matian. Untunglah tenaga dalamnya kuat, sehingga jaraknya semakin bertambah jauh dari para pengejarnya. Sayangnya, Wilang hanya seorang manusia biasa yang mempunyai keterbatasan. Sehingga pada saat tenaganya mulai melemah, jarak di antara mereka pun bertambah dekat.
Apalagi, para pengejarnya berjumlah banyak dan mendayung secara berganti-ganti. Sadar kalau jaraknya semakin bertambah dekat, maka Wilang mengempos semangatnya. Kembali perahunya didayung mati-matian. Begitu tiba di daratan, ia langsung melompat dan berlari dengan langkah terhuyung-huyung.
“Kejar...! Bunuh orang itu...!”
Lelaki tinggi besar berwajah brewok yang memimpin pengejaran itu langsung saja melompat ke air. Meskipun perahunya masih beberapa tombak lagi dari pantai, sama sekali tidak dipedulikannya. Sehingga, kawan-kawannya pun ikut berlompatan dan mengejar Wilang. Sambil berteriak-teriak ribut untuk melemaskan semangat lawan, lelaki brewok itu memimpin kawan-kawannya mengejar Wilang. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, jarak di antara mereka hanya tinggal tiga tombak lagi.
“Heeeaaa...!”
Ketika jaraknya semakin bertambah dekat, lelaki brewok itu tiba-tiba berteriak sambil melemparkan pisau-pisau terbang untuk menewaskan buruannya!
Ziiing! Ziiinggg!
Suara berdesing tajam merobek udara, seketika membuat Wilang sadar kalau dirinya berada dalam ancaman maut! Maka, meskipun tubuhnya sangat lemah, dia berusaha menghindar dengan melompat ke belakang!
Cappp!
“Aaakhhh...!” Wilang menjerit kesakitan ketika kaki kanannya tertancap sebilah pisau terbang lawan. Gerakannya yang jelas telah jauh berkurang, membuatnya tidak sanggup lagi menyelamatkan diri dari salah sebuah pisau yang dilepaskan lelaki brewok itu. Akibatnya, begitu turun, Wilang langsung terjatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
“Hua ha ha...!” lelaki brewok itu tertawa terbahak- bahak melihat Wilang sudah hampir tidak berdaya. Langsung saja Wilang itu jadi terkurung oleh dia dan rekan-rekannya.
“Bangsat keji...!”
Meski telah terkepung dan tidak mungkin dapat selamat, Wilang sama sekali tidak gentar. Dengan sorot mata tajam berkilat, bibirnya mendesis memaki lawan-lawannya. Sehingga, lelaki brewok itu jadi sempat berang.
“Setan! Kau memang perlu diberi sedikit pelajaran...!” Sambil menggeram marah, lelaki brewok itu mengayunkan kakinya langsung dihantamnya tubuh Wilang yang terlihat hendak bangkit!
Buuukkk!
“Uuuggghhh...!” Wilang memekik dengan tubuh sedikit terangkat akibat kerasnya tendangan lawan. Darah segar segera mengucur dari sudut bibirnya. Juga, terdengar erangan lirih dari mulurnya. Kini Wilang sibuk memijat kaki dan lambungnya yang sama-sama terasa sakit.
“Hm.... Bangkitlah, orang gagah! Apakah golongan pendekar memang terdiri dari orang-orang cengeng...?” ejek lelaki brewok itu dengan kata-kata tajam dan menyakitkan.
Sehingga, meskipun saat itu Wilang merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit, ia berusaha bangkit. Ingin ditunjukkannya kalau golongan putih bukanlah orang- orang cengeng dan lemah seperti yang dikatakan lelaki brewok itu.
“Bagus...,” puji lelaki brewok itu dengan senyum sangat menyakitkan. Ia bergerak maju dua tindak, kemudian siap mengayunkan pukulan ke wajah Wilang yang berdiri tidak tetap, karena kedua kakinya memang dirasakan bagaikan tidak memiliki tulang lagi.
“Tahan...! Menyiksa seorang lawan yang sudah tidak berdaya, bukanlah suatu perbuatan terpuji”
Tiba-tiba saja, saat pukulan lelaki brewok itu siap menghajar wajah Wilang, terdengar teguran halus namun mengandung perbawa amat kuat. Maka, baik Wilang maupun lawan-lawannya sama-sama menoleh ke arah datangnya suara teguran tadi.
ENAM
Wilang dan kedelapan orang lelaki berseragam hitam itu sama-sama menatap heran. Dari arah asal suara, muncullah seorang pemuda tampan yang memiliki senyum penuh kesabaran. Sepasang matanya yang bulat, tampak memancarkan sinar berkilat. Sehingga, membuat orang bergetar apabila bertatapan dengannya.
Penampilannya terlihat demikian sederhana. Jubahnya berwarna putih, melekat di tubuhnya. Perawakannya pun tidak terlalu kekar, namun terlihat padat. Bahkan seperti menyembunyikan kekuatan menggetarkan. Dan karena penampilannya terkesan ramah dan lembut, maka pandangan kesembilan orang lelaki itupun terlihat sedikit melecehkan. Tetapi begitu melihat sosok lain yang berada di sebelah kanan pemuda tampan itu, maka tatapan mengejek mereka berubah seketika! Bahkan sama-sama membelalakkan mata!
“Siapa..., kalian...?” tegur lelaki brewok itu begitu dapat menguasai keterpanaannya terhadap dara jelita berpakaian serba hijau.
“Hm.... Kami berdua adalah perantau yang kebetulan lewat di tempat ini. Dan karena kalian telah menganiaya orang tak berdaya, tentu saja kami tidak bisa berdiam diri. Itu sama saja tindakan tak berperikemanusiaan, maka harap sobat sudi melepaskan lelaki itu...,” jawab pemuda tampan berjubah putih itu, ringan dan tenang. Sehingga, si brewok dan kawan-kawannya saling bertukar pandangan penuh keheranan.
“Hm...,” gumam lelaki brewok sambil menatap wajah sepasang anak muda itu. Jelas, ia tengah menilai pasangan itu. Apalagi, ketika matanya kembali melahap wajah dara jelita berpakaian hijau. Maka, hatinya pun semakin kuat menduga kalau mereka pasti bukan orang sembarangan. Sebab bukan mustahil pemuda itu akan aman dengan gadis cantik di sampingnya dalam perantauannya. Dan tentu telah banyak penjahat yang telah ditaklukkannya, karena berani mengganggu gadis di sampingnya.
Mendadak saja, lelaki brewok itu menotok lumpuh tubuh Wilang. Kemudian, diberikannya isyarat terhadap ketujuh orang kawannya untuk mengurung pasangan anak muda itu. Rupanya, nafsu birahi lelaki brewok itu sudah bergejolak melihat gadis jelita di depannya. Pikiran untuk memiliki, membuatnya segera saja melumpuhkan Wilang. Kemudian, dia ikut bergerak mengepung pasangan muda itu.
“Hm...” Pemuda tampan berjubah putih itu terlihat hanya tersenyum menyaksikan tingkah calon lawan-lawannya. Melihat dari cara mereka memandang yang tertuju ke arahnya, mengertilah pemuda itu kalau mereka ingin merebut gadis cantik di sampingnya. Itulah yang membuatnya tersenyum.
“Kakang, serahkan mereka padaku...,” ujar gadis berpakaian hijau di samping pemuda itu.
“Hm... Menyingkirlah, Kenanga. Untuk kali ini, biar aku yang akan memberi pelajaran...,” jawab pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara lembut. Nada suaranya jelas menyembunyikan ketegasan yang tidak bisa dibantah. Sehingga, dara jelita yang dipanggil Kenanga itu bergerak menyingkir. Dan sudah pasti, pemuda tampan itu adalah Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Heeeaaa...!”
Baru saja dara jelita itu bergerak mundur, salah seorang dari pengepungnya telah berseru untuk memulai serangan. Tubuhnya meluncur ke depan, dengan tusukan pedang yang mengancam tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak berusaha bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya hanya meliuk sedikit, ketika ujung pedang lawan datang mengancam. Dan begitu lewat satu jari di sisi tubuhnya, tangan Panji langsung saja mencekal pergelangan yang memegang pedang!
Clappp!
“Uuuhhh...!” Gerakan Panji yang memang demikian cepat, membuat lawan tidak sempat lagi melihat. Lelaki berseragam hitam itu tentu saja kaget bukan main, ketika tahu-tahu pergelangan tangannya telah tercekal lawan. Dan sebelum sempat disadari, tahu-tahu saja tubuhnya terasa seperti terbang ke atas sebuah pohon.
Gusraaakkk!
“Tolooong...!” Lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak minta tolong, ketika tubuhnya tersangkut di salah satu ranting pohon.
“Keparat...!” Lelaki brewok yang bertubuh tinggi besar itu menggeram marah melihat kawannya diperlakukan demikian. Dengan teriakan nyaring, tubuhnya langsung melesat diiringi sambaran pedangnya. Serangannya diikuti pula oleh keenam kawannya yang lain.
“Yeaaahhh...!”
Beeettt! Beeet! Beeet!
Ketujuh batang pedang lelaki berseragam hitam itu menyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih. Namun dengan ringannya, tubuh Panji bergerak kian kemari di antara sambaran sinar pedang pengeroyoknya. Sehingga, tak satu pun senjata lawan yang mampu melukai tubuhnya. Bahkan untuk menyentuh jubahnya pun tidak mampu. Tentu saja, kenyataan itu membuat para pengeroyoknya menjadi semakin penasaran.
Namun, Pendekar Naga Putih tidak mau berlama-lama dalam menghadapi mereka. Ketika merasa telah cukup, mulai dilepaskannya tamparan-tamparan ke arah para pengeroyok. Karuan saja, keadaan langsung berubah. Bahkan para pengeroyok itu semakin bertambah terkejut!
Tanpa dapat dicegah lagi, satu persatu para pengeroyok mulai berjatuhan. Dan dalam waktu singkat, hanya tinggal lelaki brewok itu yang masih bertahan. Itupun nampak sudah tidak mungkin bertahan lama. Buktinya, kini tamparan yang dilontarkan Panji sangat sulit dihindari. Hingga, akhirnya....
Whuuut Plakkk!
“Aaakkkhhh!” Tamparan yang cukup keras dan cepat, telah menghantam sisi kepala lelaki brewok itu. Tanpa ampun lagi, tubuhnya yang tinggi besar berputar bagaikan gangsing. Dan tidak lama kemudian, dia ambruk ke tanah. Kepala laki-laki itu kontan terasa pusing, dan perut terasa mual.
“Hm.... Pergilah!. Aku tidak punya urusan pribadi dengan kalian, dan kuharap jangan mengulangi perbuatan-perbuatan jahat seperti ini lagi...,” ujar Pendekar Naga Putih dingin dan menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah menghampiri Wilang yang kali ini menatap penuh kekaguman. Namun, si brewok rupanya masih belum menerima kekalahannya. Dengan gerak perlahan, lelaki tinggi besar itu bangkit berdiri. Dengan licik, tubuhnya melesat sambil mengayunkan senjatanya ke leher pemuda itu, hendak membokong lawannya.
“Kakang awaaas...!” Kenanga yang sempat melihat perbuatan lelaki brewok itu, hanya bisa memperingatkan kekasihnya. Sikapnya hanyalah merupakan kekhawatiran seorang wanita terhadap keselamatan pemuda yang disayanginya. Meskipun, hal itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi, buat Pendekar Naga Putih yang kepandaiannya sudah sangat tinggi.
Suara desingan pedang jelas tertangkap oleh telinga Pendekar Naga Putih. Jangankan, suara sambaran pedang yang sekeras itu. Bahkan yang sepuluh kali lebih halus pun masih dapat tertangkap oleh indra pendengarannya!
Beeeuuuttt!
Panji menundukkan kepala sambil memasang kuda-kuda rendah. Hatinya sempat merasa geram melihat kelicikan lawannya. Maka begitu mata pedang lewat, cepat dia berbalik dan langsung menggedor dada lawan dengan telapak tangan terbuka!
Blaaaggg...!
“Hukhhh...!” Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi besar itu langsung saja tersentak deras ke belakang. Darah segar kontan menyembur keluar dari mulutnya. Kemudian, tubuh si brewok jatuh berdebuk nyaring, dan tak bergerak- gerak lagi. Tampaknya dia telah tewas akibat hantaman telapak tangan Panji tadi.
Melihat pimpinannya tewas hanya sekali pukul, tujuh orang berseragam hitam lainnya sama-sama terbelalak dengan wajah pucat! Kemudian, berlangsunglah peristiwa yang sama sekali tidak diduga Pendekar Naga Putih!
“Heaaahhh...!”
Orang pertama yang mengambil senjata dari atas tanah, membentak keras. Kemudian, dia menggorok lehernya sendiri. Darah segar kontan memancur deras dari sayatan mata pedang. Setelah menggelepar sesaat, orang itu pun ambruk dengan napas putus! Kematian orang yang menggorok urat nadi di lehernya sendiri, masih disusul enam orang lainnya. Mereka seperti telah sepakat membunuh diri, setelah melihat kematian pemimpinnya.
Tentu saja kejadian itu membuat Panji terkejut, dan tidak mampu mencegah. Selain jarak terpisah cukup jauh, orang-orang berseragam hitam itu memang telah meletakkan mata pedang di kulit lehernya.
“Hm,... Bagus, mereka telah mengambil keputusan sendiri...,” terdengar gumaman Kenanga yang membuat Panji tersentak dari lamunan. Terdengar helaan napas berat Pendekar Naga Putih ketika melanjutkan langkahnya menghampiri Wilang.
Panji segera memeriksa luka di kaki kanan Wilang, setelah membebaskan totokannya. Kemudian, ditaburkannya obat bubuk pada luka yang terkena pisau terbang tadi. Sedangkan untuk luka-luka memar akibat siksaan lawan, Panji memberikan sebuah obat pulung berwarna putih.
“Terima kasih, Kisanak. Entah apa jadinya kalau saja kau tidak keburu datang menolong. Mudah-mudahan, di satu hari kelak aku bisa melunasi hutang budi ini...,” ucap Wilang sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Lelaki itu diam-diam kagum terhadap kemanjuran obat yang diberikan Panji. Hanya saja, Wilang sama sekali tidak mengucapkannya. Hanya gerak dan wajahnya saja yang jelas-jelas mencerminkan kalau kesehatannya sudah mulai pulih.
“Tidak perlu merasa berhutang budi, Kisanak. Aku sendiri hanya kebetulan lewat. Jadi, rasanya tidak perlu membalasnya...,” tukas Pendekar Naga Putih membalas hormat sambil tersenyum. Dan justru, sikap itu semakin menimbulkan rasa hormat di hati Wilang. Dia sampai bingung, harus berkata apa. Hanya pancaran wajahnya saja yang mencerminkan rasa hormatnya.
“Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi...?” tanya Panji. Semenjak tadi, Pendekar Naga Putih memang merasa penasaran setelah menyaksikan orang-orang berseragam hitam itu melakukan bunuh diri secara berturut-turut. Maka ingin diketahuinya latar belakang kejadian yang sebenarnya.
Wilang tentu saja tidak berkeberatan untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Namun, sebelum lelaki itu sempat bercerita, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang mengandung kemarahan. Serentak, Panji, Wilang, dan Kenanga sama-sama menolehkan kepala memandang ke satu arah.
“Kurang ajar...! Siapa yang telah berani mati membantai murid-murid Ayahku? Hayo, jawab?! Kalau tidak, nyawa kalian bertiga yang akan menjadi gantinya...!” bentak seorang gadis berparas cantik dan manis. Sepasang matanya yang bulat, menyorot tajam ke arah tiga wajah di depannya. Terlihat api kebencian terpancar di sepasang matanya.
Kenanga yang merasa tertantang oleh kata-kata kasar gadis remaja itu, langsung saja bergerak bangkit. Bahkan dengan sorot mata tidak kalah tajam dan menakutkan. Dihadapinya dara remaja itu sambil berkacak pinggang. “Hei, nenek-nenek bawel! Mengapa berteriak-teriak tanpa sebab di tempat ini? Apakah kehilangan sirih?” tanya Kenanga. Melihat dari ucapannya jelas-jelas Kenanga merasa jengkel terhadap dara yang begitu datang langsung marah-marah.
Lain halnya Wilang. Ternyata, nyalinya langsung ciut begitu mengenali dara remaja itu. Perlahan dia beringsut mundur menjauhi gadis yang ternyata putri Elang Laut Utara. Dan rupanya, gadis itu telah tiba pula di tempat ini. Bagi Wilang yang kenal tentu saja tidak aneh melihat gadis itu begitu datang langsung marah-marah. Tentu saja, gadis remaja itu pasti menyangka kalau murid-murid ayahnya telah dibunuh mereka. Sehingga, Wilang yang sudah merasakan kehebatan gadis remaja itu berniat hendak menghindar. Paling tidak, agar tidak sampai terkena amarah gadis remaja yang berkepandaian tinggi itu.
Pendekar Naga Putih sendiri langsung sudah bisa menduga hubungan antara gadis remaja itu dengan orang-orang berseragam hitam yang telah bunuh diri. Tentu saja semua itu diketahui dari ucapan-ucapannya yang baru saja dilontarkan tadi. Maka, Pendekar Naga Putih segera saja bangkit agar tidak terjadi pertumpahan darah di antara kedua orang gadis itu.
Sedangkan putri Elang Laut Utara yang bernama Surni tentu saja semakin mengkelap marah dimaki-maki seperti itu. Dengan bergetar, jari telunjuknya ditudingkan ke wajah Kenanga.
“Setan! Siapa kau?! Apakah kau yang telah membela keparat busuk itu dan membantai murid-murid Ayahku? Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab atas nyawa mereka...!” dengus Surni sambil menoleh ke arah Wilang yang makin ciut nyalinya.
Sebenarnya rasa takut yang dialami Wilang, bukan karena takut. Justru rasa khawatir akan keselamatan kawan-kawannyalah, yang membuatnya jadi takut.
“Nisanak! Bersabarlah sedikit...,” Panji segera saja menimpali ketika melihat gadis remaja itu sudah siap menyerang Kenanga. “Harap kau ketahui, kematian orang-orangmu itu sebenarnya karena mereka telah bunuh diri. Semua itu dapat dilihat dari senjata-senjata yang bergeletakan di dekat mayat mereka.”
Surni menoleh ke arah Panji, menatap penuh selidik. Kilatan kekaguman terlihat, meskipun hanya sekilas memancar di mata gadis remaja itu. Kemudian, terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah mayat murid-murid ayahnya.
“Alasan! Pasti kau ingin membela kekasihmu yang cantik jelita ini, bukan? Pantas saja! Apalagi, tampaknya kekasihmu itu cukup cantik dan genit,” dengus Surni.
Entah mengapa, tiba-tiba saja Surni merasa panas hatinya melihat pemuda tampan berjubah putih itu berdiri di pihak lawan. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, ucapan-ucapannya keluar begitu saja. Padahal, jelas kata-katanya mengungkapkan apa yang terkandung dalam hatinya saat itu. Dan, Kenanga yang langsung dapat menangkap maksudnya jadi tersenyum sinis.
“Hm..., tentu saja akulah yang akan dibelanya. Apa kau cemburu? Sayang sekali. Carilah laki-laki lain agar kelak ada orang yang membelamu”
Tanpa peduli perasaan Surni, Kenanga langsung saja memojokkannya dengan ucapan yang tajam dan tepat. Akibatnya, wajah Surni memerah karena rahasia hatinya dapat diketahui gadis jelita berpakaian hijau itu.
“Keparat! Apa kau kira aku naksir dengan kekasihmu?! Huh! Mulutmu jahat sekali, dan perlu diberi pelajaran!” Setelah berkata demikian, Surni segera saja melesat menerjang Kenanga!
TUJUH
“Hiaaattt..!”
Surni yang merasa terhina oleh ucapan Kenanga, langsung saja melancarkan serangkaian pukulan dan tendangan yang menimbulkan angin berkesiutan. Nyata sekali sifat kejam gadis remaja itu. Dalam serangan pertama saja, pukulan-pukulan dan tendangannya telah terisi oleh hawa maut Sehingga, Pendekar Naga Putih sendiri sempat mengerutkan keningnya melihat keganasan gadis remaja itu.
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera mengimbangi dengan jurus-jurus andalannya. Apalagi, sekali mendengar angin pukulan lawan, segera saja dapat dinilainya kehebatan tenaga sakti yang dimiliki Surni. Jelas, Kenanga tidak mau tanggung-tanggung lagi.
“Haiiittt..!”
“Heaaattt..!”
Kedua orang wanita itu saling terjang menggunakan jurus-jurus ampuhnya. Tubuh mereka berkelebatan menyerupai dua sosok bayangan samar yang saling libat, teriakan dan sambaran angin pukulan menderu tajam.
“Hebat... Siapa sebenarnya gadis remaja itu? Kepandaiannya sangat tinggi dan ganas. Ilmu-ilmu yang dimilikinya jelas-jelas dari aliran hitam. Entah, murid siapa gadis remaja itu...?” desis Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya merasa kagum melihat gadis remaja itu sanggup menghadapi Kenanga dalam dua puluh jurus lebih. Padahal, kepandaian Kenanga sendiri sudah sangat tinggi, dan jarang tandingannya.
Sedangkan Wilang sudah bergerak semakin menjauhi tempat itu. Lelaki yang usianya hampir separuh baya ini sepertinya telah bertekad meninggalkan tempat itu untuk mengabarkan kepada kawan-kawannya tentang kemunculan seorang gadis remaja keturunan Elang Laut Utara. Namun, ketika Wilang membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu, ia terkejut bukan main. Ternyata pada saat berbalik, tubuhnya hampir bertabrakan dengan sosok berjubah putih.
“Aaahhh?!”
Wilang langsung melompat mundur, dan bersiap menyerang. Tapi ketika mengenali sosok berjubah putih itu, hatinya kontan merasa takut, heran, dan ngeri. Ternyata, sosok berjubah putih itu tak lain dari Pendekar Naga Putih.
“Panji...?!” desis Wilang.
Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal sebelum berbalik tadi, jelas-jelas Panji terlihat masih berdiri membelakanginya sambil menyaksikan pertarungan. Untuk memastikannya, Wilang mencoba menoleh ke belakang. Namun, sosok pemuda berjubah putih itu memang sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Tentu saja kenyataan itu membuat Wilang bergidig. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan atau mendengar kehebatan ilmu meringankan tubuh yang telah begitu tinggi.
“Mengapa hendak pergi secara diam-diam, Wilang...? Apakah hendak melarikan diri dari kesalahan...?” tegur Pendekar Naga Putih dengan suara berwibawa. Sehingga, Wilang sempat gugup oleh pertanyaan pemuda itu.
“Sungguh, Panji. Aku sama sekali tidak salah. Kalau kau ingin tahu, gadis remaja itu adalah keturunan Elang Laut Utara. Beberapa hari yang lalu, ayahnya telah membunuh ketua perguruan kami yang berjuluk Sepasang Ular Perak. Begitu kami menemukan mayatnya, Elang Laut Utara telah lenyap entah ke mana perginya. Lalu aku dan sembilan orang tokoh lain mendatangi pulau tempat tinggal Elang Laut Utara. Tapi, semua kawanku telah dibantai secara keji oleh iblis betina itu bersama pengikutnya. Hanya aku sendiri yang selamat. Lalu, aku melarikan diri untuk mengabarkan kawan-kawan yang lain, agar tidak sampai celaka di tangan gadis iblis itu. Hal ini kulakukan, karena selain aku, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Elang Laut Utara mempunyai seorang pewaris yang tidak kalah kejam...,” jelas Wilang panjang lebar kepada Panji dengan terpaksa, karena tidak ingin dituduh yang bukan-bukan.
“Maaf, Wilang. Kalau memang demikian, tentu saja aku tidak bisa mencegahmu. Silakan...,” ucap Panji seraya memberi jalan kepada lelaki gagah itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wilang segera bergegas meninggalkan tempat itu.
“Sekali lagi, terima kasih atas pertolonganmu, Panji...,” ucap Wilang sebelum tubuhnya lenyap di kejauhan.
Lelaki gagah bertubuh sedang itu sama sekali tidak tahu kalau pemuda tampan yang dihadapinya adalah Pendekar Naga Putih. Panji sejak tadi memang belum menunjukkan ‘Tenaga Gerhana Bulan’nya. Dan lagi, dia dan Kenanga juga tidak memperkenalkan diri kepada Wilang.
Sepeninggal Wilang, Panji kembali mengalihkan perhatian ke arena pertarungan. Saat itu tampak Kenanga sudah mulai mempergencar serangan-serangannya. Maka meskipun Surni mencoba bertahan, tetap saja dapat didesak gadis jelita itu. Selain lebih berpengalaman, kepandaian Kenanga juga masih berada di atas lawannya.
“Hiaaattt!”
Dalam kemarahannya, Surni memekik keras. Tubuhnya yang tengah didesak tiba-tiba melambung. Kemudian, putri Elang Laut Utara itu menukik cepat dengan sepasang tangan membentuk cakar elang. Siap merencah tubuh lawannya!
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam, menyadari kedahsyatan serangan lawan. Cepat-cepat tubuhnya bergeser dengan kuda-kuda rendah, kemudian melambung disertai teriakan nyaring mengejutkan. Itulah jurus ‘Bidadari Menabur Bunga’ warisan gurunya. Bedanya, ilmu pedangnya kali ini dipergunakan dengan tangan kosong. Meskipun begitu, kehebatannya tidak berkurang.
“Yeaaahhh...!”
Dua sosok tubuh yang saling melenting di udara tampaknya telah berniat adu nyawa. Ini terlihat dari jurus-jurus pamungkas yang sama-sama digunakan. Melihat kenyataan itu, Panji tidak tinggal diam. Maka tubuhnya cepat melesat dan langsung menerjang tepat di tengah keduanya. Dengan mempergunakan ‘Tenaga Inti Panas Bumi’, Panji mendorongkan telapak tangannya ke kiri dan ke kanan. Tentu saja, dorongan itu hanya sekedar untuk mencegah agar kedua wanita itu tidak terluka. Tentu saja hal itu dapat dilakukannya, karena tenaga jelmaan Pedang Naga Langit yang dapat digunakan sesuai keinginan.
Bressshhh...!
“Uuuhhh...?!”
“Aaahhh...!?”
Baik Kenanga maupun Surni sama-sama terkejut ketika merasakan sesuatu kekuatan aneh yang amat kuat. Bahkan kekuatan itu telah memaksa tenaga mereka jadi tersedot, untuk kemudian berbalik. Akibatnya mereka jadi terjatuh ke tanah. Untungnya, mereka dapat bertindak sigap sehingga jatuh dengan kedua kaki terlebih dahulu.
“Kakang...?! Apa-apaan ini...?!” sentak Kenanga yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Panji.
“Kenanga, tenanglah. Untuk apa saling membunuh tanpa alasan kuat? Rasanya terlalu terburu-buru kalau berniat mengadu nyawa dalam pertarungan ini...,” sahut Panji dengan tatapan mohon pengertian dari kekasihnya.
Mau tidak mau, Kenanga bungkam tidak membantah lagi. Lain halnya Surni. Perbuatan Panji yang sebenarnya malah menyelamatkan dirinya, dianggap sebagai suatu penghinaan. Bahkan juga keroyokan. Sehingga, sepasang matanya yang penuh kebencian menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih.
“Hmh! Walaupun kepandaian kalian kuakui sangat hebat, tapi jangan sombong dulu! Jangan sukanya main keroyok. Huh! Kalau saja Ayahku masih hidup, rasanya kalian tidak akan selamat dari hukuman. Hm... Hari ini aku mengaku kalah. Tapi, ingat. Sebagai putri Elang Laut Utara, aku yang bernama Surni tidak akan pernah lupa atas penghinaan ini!”
Usai berkata demikian, Surni segera meninggalkan tempat itu tanpa memberi kesempatan kepada Panji dan Kenanga untuk membantah kata-katanya.
“Hei..., tunggu...!”
Panji yang masih merasa penasaran, segera menjejak tanah. Tubuhnya langsung melambung dan berputar beberapa kali di udara. Kemudian, ke dua kakinya mendarat ringan beberapa langkah di depan Surni.
“Hm.... Rupanya kau masih belum puas, pemuda curang?! Baiklah! Kalau memang menghendaki nyawaku, hari ini juga kita mengadu nyawa...!” tandas Surni sambil menggeser kuda-kudanya.
Sikap gadis itu jelas tidak main-main. Sehingga, Panji yang semula hendak menjelaskan kepada gadis itu, terpaksa menyingkir memberi jalan. Tampaknya keputusan gadis remaja itu memang tidak bisa di rubah lagi.
“Hh.... Sayang sekali kau terlalu keras kepala, Nisanak. Kalau memang hendak pergi, pergilah. Aku tidak akan menahanmu...,” Setelah berkata demikian, Panji menyingkir dan bergerak menghampiri Kenanga. Tidak dipedulikannya lagi ketika Surni melesat dengan memendam sakit hati.
*******************
Dara itu berdiri lesuh di bibir sungai. Pandang matanya menerawang jauh, bagai tak bertepi. Dari raut wajahnya yang masam, jelas kalau perasaannya tengah semrawut.
“Ayah.... Kalau saja kau masih ada di sampingku, rasanya tidak mungkin aku akan mengalami penghinaan seperti kemarin. Mereka pasti akan kau hajar habis-habisan, karena berani menghinaku...,” desah gadis remaja itu dengan suara bergetar, menyimpan kedukaan.
Perlahan kepala yang semula tegak itu tertunduk lesu. Kemudian kepala gadis itu kembali tegak, seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sungai. Gadis remaja yang tak lain Surni itu rupanya sangat terpukul sekali atas penghinaan Panji. Itulah yang membuatnya berduka. Apalagi ketika teringat ayahnya yang semenjak kecil telah mendidiknya.
Sehingga menurut anggapannya, kepandaian ayahnya paling hebat. Dan memang, sejak kecil hanya ayahnyalah yang bersamanya. Dan yang diketahuinya, ayahnya sangat sakti. Semua itu sering diperlihatkan ayahnya untuk memancing semangatnya agar giat berlatih.
“Hhh...,” kembali terdengar helaan napas berat, yang mengungkapkan betapa hati gadis remaja itu tengah gundah. Dengan langkah agak gontai, Surni melangkah menyusuri sebuah perkebunan karet. Kepala yang tertunduk itu baru terangkat tegak saat terdengar suara langkah kaki dari depannya. Dengan penuh kecurigaan, Surni menatap enam orang lelaki gagah yang berjalan dari arah yang berlawanan.
“Eh...?!” Surni yang sejak semula memang merasa curiga dengan rombongan enam orang lelaki gagah itu, mengangkat alisnya dengan raut wajah terkejut. Betapa tidak? Salah seorang dari keenam lelaki gagah itu dikenalinya betul. Memang, orang yang dilihatnya adalah Wilang.
“Lihat..! Itu dia gadis kejam putri Elang Laut Utara...!” seru lelaki gagah bertubuh sedang yang memang Wilang, sambil menunjuk ke arah Surni.
Sedangkan lima orang lelaki gagah kawan Wilang, langsung berlompatan dengan gerakan ringan dan gesit. Dalam beberapa lompatan saja, mereka telah rapat mengurung Surni. Melihat bentuk kepungan itu, Surni sadar kalau lawan menggunakan jurus gabungan untuk melumpuhkannya.
“Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan lolos, wanita iblis...!” Wilang tertawa keras seraya melesat dan bergabung bersama kelima rekannya. Melihat dari raut wajahnya yang penuh keyakinan, rupanya Wilang sudah dapat memastikan kalau Surni tidak akan mampu menghadapi kelima orang lelaki gagah temannya.
Surni berdiri tenang, meski hatinya sedikit tegang. Sejak menyadari kalau kepandaiannya bukan yang paling hebat di kolong jagad, keyakinan gadis remaja itu sedikit berkurang. Perasaan itu membuatnya menjadi mudah tegang dalam menghadapi perkelahian. Padahal kalau saja tahu siapa pasangan pendekar yang mengalahkannya kemarin, belum tentu akan merasa berduka seperti itu. Karena memang wajar kalau kalah oleh Pendekar Naga Putih atau Kenanga yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Demikian pula dalam menghadapi kelima orang lelaki gagah yang mulai berputar mengepungnya. Hati Surni sedikit tegang, takut mengalami kekalahan lagi. Padahal, keyakinan hati sangat berperan dalam sebuah perkelahian. Makin tinggi keyakinan seseorang, akan semakin tenanglah dalam menghadapi dan mencari kelemahan lawan. Dalam ketegangan dan rasa takut akan kekalahan, Surni menjadi jengkel. Rasa jengkel itu membuat nafsu membunuhnya menjadi semakin berlipat
“Bangsat kau, lelaki pengecut! Rupanya ini maksudmu melarikan diri! Mengapa hanya lima orang yang kau bawa? Apakah kau yakin mereka mampu menundukkanku...?” terdengar suara Surni yang bernada mengejek. Sambil berkata demikian, dara remaja itu menarik keluar sebilah pedang yang selama ini jarang dipergunakan, dan hanya menghias punggungnya saja.
Sriiinggg...!
Kilatan merah berkeredep ketika Surni menggerakkan senjatanya secara bersilangan, sebelum dilintangkan di depan dada. Sorot matanya yang tajam, menyiratkan tekad untuk bertarung sampai mati.
Wilang yang memang sangat mendendam atas kematian kawan-kawannya di Pulau Elang Hitam, melangkah maju dua tindak sambil menudingkan telunjuk ke wajah Surni.
“Dengar, gadis keparat! Selain telah mengakibatkan kawan-kawanku terbunuh, kau juga pengemban dosa dari semua kejahatan yang dilakukan Elang Laut Utara selama hidupnya! Dan, dosa itu hanya dapat dicuci dengan darahmu! Untuk itu, kau harus mati di tangan kami...,” dengus Wilang yang jelas-jelas memancarkan dendam dan rasa sakit hatinya. Suaranya terdengar lantang dan menggetarkan.
Tapi, Surni bukannya takut mendengar ucapan itu. Rasa jengkel dan nafsu membunuh yang telah menguasai hatinya, membuatnya semakin merasa benci terhadap lelaki bertubuh sedang itu. Maka.... “Yeaaattt..!”
Tanpa banyak ribut lagi, langsung saja Surni meluncur dengan tusukan pedang ke tubuh Wilang. Sepertinya, hal itu sengaja dilakukan selagi Wilang belum siap. Bahkan pedangnya telah tertuju lurus ke jantung Wilang.
Namun, kelima orang lelaki gagah yang mengurung Surni tentu saja tidak tinggal diam. Seiring teriakan nyaring yang melengking, dua dari kelima pengepung langsung melesat disertai putaran pedangnya yang menimbulkan angin menderu tajam. Keduanya langsung memapak serangan Surni
“Haiiittt..!”
Serangan dari dua arah oleh dua orang pengepung membuat Surni terpaksa harus menunda serangannya. Memang, meskipun serangannya mungkin bisa melukai Wilang, tapi dia sendiri juga tidak akan terlepas dari ancaman kedua bilah pedang pengepungnya. Dan, Surni lebih utama memilih keselamatan dirinya.
“Yiaaahhh...!”
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Surni memutar pedangnya merubah serangan. Kali ini pedangnya diputar sedemikian rupa mengelilingi tubuhnya. Hingga, terbentuklah sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan gelombang angin puyuh!
Traaang! Traaang!
Tanpa dapat dicegah lagi, ketiga bilah pedang itu saling berbenturan keras disertai percikan bunga api yang berpencaran!
Surni seketika merasakan telapak tangannya agak bergetar akibat benturan tadi. Maka, tentu saja dia cukup dibuat terkejut. Hal itu menandakan kalau tenaga dalam lawan-lawannya hanya berselisih sedikit di bawahnya. Akibatnya, kini hatinya semakin resah. Tambahan lagi, lawannya berjumlah lima orang, ditambah Wilang yang belum ikut terjun mengeroyoknya. Tentu saja jumlah dan kekuatan lawan membuat Surni seperti tidak mempunyai kesempatan untuk menang.
“Hmhhh! Biar bagaimanapun, aku harus membunuh mereka sebanyak-banyaknya sebelum tubuhku dirajam mereka...,” tekad Surni, yang membuat hatinya menjadi mantap.
“Hiaaattt..!”
Kembali Surni memekik nyaring sambil memutar pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, gundukan sinar merah semakin melebar menyelimuti tubuh gadis remaja itu.
Tapi, lawan Surni kali ini bukan orang sembarangan. Kelima lelaki gagah yang berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun itu dalam kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Algojo Dari Timur. Maka sudah tentu kepandaian yang mereka miliki tidak bisa dipandang remeh. Bahkan Sepasang Ular Perak sendiri merasa hormat dan cukup segan terhadap kelima lelaki gagah yang juga wakil-wakilnya itu. Jelas, kali ini Surni benar-benar menghadapi kesulitan besar!
Dengan teriakan-teriakan nyaring yang susul menyusul, kelima lelaki gagah itu satu persatu melesat disertai putaran senjata untuk menggempur Surni. Tentu saja dengan bertarung seperti itu, Algojo Dari Timur tidak pernah merasa kelelahan. Apalagi untuk kehabisan tenaga. Setiap kali seorang maju menyerang, yang lainnya hanya menunggu, untuk kemudian menggantikannya. Hal itu membuat Surni jadi kebingungan dan terdesak hebat!
“Bangsat...!”
Kejengkelan yang menggumpal di dalam dada, membuat Surni melontarkan makian dengan teriakan melengking. Serangan lawan yang berganti-ganti selain membuat pusing, juga jengkel. Semua itu membuat gerakannya menjadi tidak teratur dan sering kacau. Sehingga, semakin bertambah payahlah keadaannya.
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Secara susul menyusul, kelima lelaki gagah itu kembali berlompatan dengan putaran pedang menderu-deru! Surni yang sudah terdesak dan gerakannya semakin kacau, sepertinya tidak mungkin lagi menyelamatkan diri dari kelima bilah pedang yang berkeredep menyilaukan mata!
Breeet! Breeet!
“Aaakkkhhh...!”
Surni yang berusaha untuk menghindari sambaran kelima bilah senjata lawan, tak urung harus menerima dua di antara kelima bilah pedang yang menggores tubuhnya. Meskipun luka sambaran kedua bilah pedang itu tidak sampai menewaskannya, namun cukup membuatnya semakin sulit melakukan perlawanan. Sementara itu, darah terus mengalir seiring rasa perih yang terasa menggigit tubuhnya.
“Ooohhh...,” keluh Surni, lirih sambil menggigit bibirnya kuat-kuat. Wajah cantiknya tampak mulai memucat. Memang, darah yang keluar cukup banyak, sehingga membuatnya semakin bertambah lemas.
“Hm... Terimalah hukuman atas dosa-dosa yang telah diperbuat Ayahmu, wanita sesat..!”
Begitu suara salah seorang dari mereka lenyap, kelima orang lelaki gagah kembali berlompatan disertai kilatan-kilatan pedang yang susul-menyusul. Akibatnya, Surni yang sudah goyah kuda-kudanya, hanya bisa menunggu datangnya maut yang segera menjemput
“Hiaaattt!”
Pekikan yang susul-menyusul itu semakin mengacaukan jalan pikiran Surni. Seperti tidak tahan akan siksaan itu, akhirnya Surni menjatuhkan senjatanya. Seketika kedua telinganya ditutup dengan tangannya. Terdengar rintihan putus asa dari kerongkongannya.
“Ayaaah...,” dalam keputusasaannya, Surni memanggil nama ayahnya untuk yang terakhir kali. Namun....
Tranggg! Traaang! Traaang!
“Aaakhhh..!”
“Uuughhh..!”
Pada saat ajal Surni sudah hampir tiba, tahu-tahu saja sesosok bayangan hitam berkelebat bagai kilat, langsung memapak pedang kelima lelaki gagah itu. Seiring benturan yang memekakkan telinga dan teriakan-teriakan kesakitan, tubuh kelima Algojo Dari Timur berpentalan hingga sejauh dua tombak lebih! Tentu saja kenyataan itu mengejutkan Wilang yang semula tersenyum melihat keadaan Surni.
DELAPAN
“Elang Laut Utara...?!”
Wilang berseru dengan wajah berubah tegang ketika mengenali sosok bertubuh gemuk dan berkulit hitam. Meskipun wajah lelaki itu agak pucat, namun kehadi- rannya benar-benar menggetarkan! Wajar saja kalau mereka terkejut, sebab telah percaya kalau Elang Laut Utara telah tewas. Tapi pada kenyataannya, mereka harus menelan bulat-bulat kenyataan itu. Elang Laut Utara benar-benar masih hidup.
“Benar! Akulah yang datang, manusia-manusia pengecut! Kalian yang mengaku sebagai golongan pendekar, ternyata tak lebih dari pengecut-pengecut rendah! Untuk menghadapi seorang gadis remaja saja, kalian ternyata harus main keroyok! Benar-benar tak tahu malu...!” dengus sosok bertubuh gemuk yang memang Elang Laut Utara, dengan suara parau.
“Oh..., Ayah...!” Surni yang untuk beberapa saat lamanya sempat terpaku menatap sosok ayahnya hampir tak percaya. Segera saja dia berlari menghambur ke dalam pelukan lelaki gemuk berkulit hitam itu. Betapa tidak? Selama ini ayah yang telah dianggap tewas, ternyata masih hidup.
“Hm.... Enak saja kau menuduh kami sebagai pengecut, Elang Laut Utara. Sadarkah kau dengan ucapanmu itu? Mengapa selama ini kau menghilang dan melepaskan tanggungjawabmu?! Apakah kau pikir kami akan melupakan kebejatanmu begitu saja? Huh! Tidak mungkin! Meskipun kami tidak bisa menemukanmu selama beberapa bulan ini, tapi keturunanmu harus menanggung semua dosa atas perbuatanmu. Untuk itulah kami harus membunuhnya...,” timpal orang tertua dari Algojo Dari Timur.
“Dengar, manusia-manusia sombong! Kalau selama ini aku menghilang, itu karena mengalami luka dalam yang cukup parah akibat bertempur dengan Sepasang Ular Perak. Dan setelah luka-lukaku sembuh kini aku kembali muncul untuk membantai kalian satu persatu. Terutama orang-orang yang telah menyakiti putriku.... Nah, bersiap-siaplah”
Setelah berkata demikian, Elang Laut Utara membawa putrinya ke sebuah pohon, dan menyandarkannya. Kemudian, lelaki gemuk itu sendiri kembali menghampiri Wilang dan Algojo Dari Timur. Sorot matanya demikian tajam dan bengis, membayangkan nafsu membunuh yang menggetarkan!
“Hm...” Sambil mengeluarkan geraman lirih, Elang Laut Utara yang telah melepaskan pedang merah milik putrinya, menyilangkan lengan di depan dada. Jari-jari tangannya yang telah membentuk cakar elang, tampak bergetar karena dialiri tenaga sakti yang maha dahsyat!
Sadar kalau lawan yang kali ini dihadapi merupakan tokoh puncak golongan sesat, Lima Algojo Dari Timur segera menyebar dengan pedang di tangan. Demikian pula halnya Wilang. Lelaki gagah bertubuh sedang itu telah mencabut pedang di pinggangnya.
“Haiiittt...!”
Disertai pekik elang luka, tubuh tokoh sesat berkulit hitam itu bergerak maju dengan langkah-langkah pendek. Gerakannya yang terlihat cepat dan sukar ditangkap mata biasa, sempat membuat lawan-lawannya sesaat kebingungan. Namun, begitu sambaran angin tajam telah tiba semakin dekat, baik Wilang dan Lima Algojo Dari Timur sama-sama bergerak menggempur Elang Laut Utara!
“Haaattt...!”
“Haaattt...!”
Terdengar pekikan nyaring susul-menyusul. Seiring pekikan itu, kelima lelaki gagah yang mengepung Elang Laut Utara bergerak berturut-turut disertai putaran senjata. Sedangkan Wilang hanya mengikuti paling belakang. Rupanya, dia memilih menggabungkan diri dengan Lima Algojo Dari Timur dalam menggempur Elang Laut Utara.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran berlangsung sengit! Baik Lima Algojo Dari Timur maupun Wilang benar-benar penasaran melihat tokoh sesat Pulau Elang Hitam itu ternyata sangat gesit dan sukar sekali disentuh. Apalagi, sambaran-sambaran cakar elang datuk sesat itu sangat berbahaya dan berbau maut. Akibatnya, cukup sulit bagi Wilang dan rekan-rekannya dalam mendesak lawan. Bahkan justru mereka sendirilah yang terlihat mulai terdesak, meskipun secara perlahan.
“Heaaahhh...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedua puluh lima, tiba-tiba Elang Laut Utara memekik mengejutkan! Lawan yang tidak menyangka bakal mendapat serangan suara itu, sempat terlonjak mundur beberapa langkah. Dan pada kesempatan itulah, Elang Laut mengibaskan tangan kanannya ke arah para pen- geroyoknya! Seketika, berhamburan jarum-jarum halus berwarna keperakan dari tangannya.
Weeettt!
“Awaaasss...!” Wilang benar-benar menyadari ancaman kematian dari kibasan tangan tokoh sesat itu. Maka, segera saja dia memperingatkan rekan-rekannya. Sementara, ia sendiri telah melompat menghindar sejauh-jauhnya, sambil memutar pedang untuk melindungi diri dari ancaman jarum-jarum halus yang mengerikan.
“Aaakkkhhh...!”
“Aaaa...!”
Namun, dua orang dari Lima Algojo Dari Timur tak sempat menangkap arti peringatan Wilang. Akibatnya, tanpa dapat dicegah lagi mereka menjerit kesakitan. Mereka kemudian ambruk dan menggelepar di atas tanah dengan mulut mendesis-desis dan mengaduh-aduh. Memang, rasa gatal yang hebat telah mulai menyiksa kedua orang gagah itu.
“Hua ha ha...! Lihatlah kedua kawanmu itu, manusia-manusia sombong! Sebentar lagi, kalian juga akan mengalami nasib serupa...!” Elang Laut Utara yang merasa puas melihat hasil kerja jarum-jarum beracunnya, disertai tawa meremehkan.
“Bedebah kau, manusia iblis...!” desis Wilang. Wajah Wilang langsung berubah duka. Ia memang sudah beberapa kali menyaksikan kawan-kawannya tewas akibat kekejaman ‘Racun Ubur-Ubur Laut’, Semua itu membuatnya tidak lagi memikirkan keselamatan diri lagi. Dengan serangan bagai gelombang lautan, digempurnya Elang Laut Utara yang tengah tertawa berkakakan.
Tiga orang dari Lima Algojo Dari Timur yang terpaku beberapa saat menyaksikan dua orang rekannya yang bergulingan sambil mendesis-desis dan menggaruki sekujur tubuh, segera saja ikut menyerbu. Kali ini pertempuran berjalan mati-matian, sehingga serangan-serangan mereka sangat hebat dan mengerikan!
Tapi bagi tokoh sesat kawakan seperti Elang Laut Utara, semua itu sama sekali tidak membuatnya gentar. Dengan jurus-jurus andalan, datuk sesat itu dapat mengimbangi dan bahkan sanggup mendesak keempat pengeroyoknya lewat jurus ‘Elang’nya yang memang sangat hebat.
“Yeaaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, ketika memasuki jurus yang ketiga puluh, Elang Laut Utara kembali memekik mengejutkan! Dan berbarengan dengan itu, disusulinya dengan sebuah sambaran cakar elangnya yang mengancam Wilang. Karena, saat itu Wilang memang yang terdekat dengannya.
Breeettt! Breeettt!
“Aaakkkhhh...!”
Sambaran cakar elang datuk sesat itu langsung merobek bahu dan lambung Wilang tanpa ampun. Darah segar segera mengalir dari luka yang cukup dalam dan terasa perih. Dan selagi tubuh Wilang terjajar limbung, Elang Laut Utara kembali melesat hendak menghabisi riwayatnya.
“Mampus kau...!” geram Elang Laut Utara seraya menjulurkan cakar-cakar elangnya, hendak mencabik-cabik tubuh lawan.
“Heeeaaa...!”
Tepat pada saat sepasang cakar elang datuk sesat itu siap mencabik-cabik tubuh lawan, tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring seiring berkelebatnya sesosok bayangan putih.
Plakkk! Plakkk!
“Uuuhhh...?!”
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung memapak serangan Elang Laut Utara. Seketika terdengarlah benturan keras, tak ubahnya ledakan petir di angkasa!
Tubuh Elang Laut Utara tampak terdorong balik, hingga satu tombak lebih. Karuan saja kenyataan itu membuatnya terkejut. Maka begitu mendaratkan kakinya di atas tanah, sepasang matanya langsung menyorot tajam ke arah sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Wilang. Sedangkan sosok itu tetap tenang, tanpa mempedulikan sinar kemarahan yang terbersit pada sepasang mata Elang Laut Utara.
“Keparat! Siapa kau...?!” tegur Elang Laut Utara dengan tatapan menyelidik. Nada ucapan tokoh sesat itu jelas menandakan keraguan hatinya. Memang, datuk sesat itu merasa ragu, meski telah terlintas dalam pikirannya tentang sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm..., Elang Laut Utara! Masih belum cukupkah korban kekejamanmu selama ini? Apakah kau masih tetap ingin menebarkan bencana dengan tanganmu yang sudah berlumuran darah itu? Tidakkah ada niatan untuk meninggalkan semua kejahatan dalam hatimu?” tegur sosok berjubah putih tanpa memperdulikan pertanyaan lawannya. Sepertinya, dia hendak membiarkan Elang Laut Utara memastikan dugaannya sendiri.
Sementara itu, Wilang yang tampak masih belum hilang rasa terkejutnya tampak telah berada di luar arena bersama seorang dara jelita berpakaian serba hijau dan tiga orang rekannya. Mereka semua menatap ke arah pemuda berjubah putih dan Elang Laut Utara yang tengah berhadapan.
Sebagai seorang datuk sesat kawakan yang selama ini malang-melintang menebar bencana tanpa ada yang berani mencegah, apalagi menasihati, tentu saja Elang Laut Utara menjadi terbahak begitu pemuda berjubah putih itu menasehatinya. Sedangkan pemuda tampan yang memang Pendekar Naga Putih, hanya menatap dengan sorot mata tenang. Panji sama sekali tidak tersinggung atau merasa terhina karena diterta- wakan seperti itu.
“Hua ha ha...! Dengarlah, bocah. Meskipun mungkin kau pendekar muda yang berjuluk Pendekar Naga Putih, tapi untuk menasehati Elang Laut Utara, jangan terlalu gegabah. Tapi, baiklah. Aku bersedia menuruti nasihatmu dengan satu syarat. Dan kalau kau menerima syaratku, hari ini juga dunia sesat akan kutinggalkan. Kalau tidak, hm..., aku terpaksa memotes batang lehermu...!” ancam Elang Laut Utara, sungguh-sungguh.
Sehingga, Panji mengerutkan keningnya dengan tatapan curiga. “Katakan, apa syaratmu? Kalau memang dapat kulakukan, akan kupenuhi. Tapi kalau tidak, aku siap bertarung denganmu demi kebenaran...,” tegas Panji. Tatapan matanya mengandung kecurigaan, karena sadar kalau lawannya seorang datuk sesat yang menghalalkan segala cara.
“Hm.... Lihatlah gadis yang tengah terduduk tak berdaya di bawah pohon itu. Dia adalah putriku. Namanya, Surni. Kalau kau bersedia mengambilnya sebagai istri, dunia sesat yang selama ini kugeluti akan kutinggalkan. Bagaimana...?” tanya Elang Laut Utara.
Syarat itu tentu saja sangat mengejutkan hati Panji. Memang tidak mungkin Pendekar Naga Putih dapat memenuhi permintaan gila itu. Lantas, bagaimana dengan Kenanga? “Maaf, Elang Laut Utara, Syaratmu terlalu berat bagiku...,” jawab Pendekar Naga Putih dengan suara agak perlahan. Panji tidak ingin gadis bernama Surni itu sampai mendengarnya, karena tentu perasaannya dapat terpukul dan merasa terhina.
“Bangsat! Sudah kuduga kau tidak akan sudi memenuhinya. Untuk itu, hanya kematianlah yang pantas bagimu...!” Usai berkata demikian, Elang Laut Utara langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan jurus-jurus andalan. Bahkan saking marah dan terhinanya, tokoh sesat itu mengumbar ‘Racun Ubur-Ubur Laut’ yang akibatnya sangat berbahaya dan mengerikan!
“Jeaaahhh...!”
Whuuut! Whuuuttt!
Panji yang langsung dapat menduga kedahsyatan racun yang terkandung dalam jarum-jarum halus itu, langsung saja mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi tubuhnya. Sehingga, jarum-jarum itu langsung berjatuhan ketika menyentuh dinding lapisan kabut bersinar putih keperakan yang me- nyelimuti tubuhnya.
Namun, datuk sesat dari Pulau Elang Hitam itu sama sekali tidak merasa putus asa. Sambaran cakar elangnya langsung bergerak susul menyusul, mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih. Sayang, gempuran-gempuran hebat Elang Laut Utara selalu saja kandas, karena tubuh lawannya telah lenyap sebelum serangannya sempat menyentuh. Semua itu terjadi karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Panji masih lebih tinggi daripada lawannya. Akibatnya, kerap kali Elang Laut Utara terdengar menggeram gusar karena selalu terkecoh.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam puluh tiga, tiba-tiba saja Panji mulai merubah gerakannya. Pendekar Naga Putih terlihat mulai memainkan ‘Jurus Naga Sakti’ yang menjadi andalannya. Elang Laut Utara yang memang telah lama mendengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, kali ini benar-benar dibuat terkagum-kagum. Memang, apa yang selama ini didengarnya ternyata masih belum ada apa-apanya dibanding yang disaksikannya sekarang.
“Gila...?!” desis Elang Laut Utara. Saat itu terlihat tubuh Pendekar Naga Putih bergerak luwes, namun jelas mengandung tenaga dalam tinggi. Semua itu dapat dirasakan melalui sambaran angin dingin yang terasa menusuk tulang sum-sum.
“Yeaaattt...!”
Bweeettt...!
“Aiiihhh...!” Bukan main terperanjatnya Elang Laut Utara ketika tahu-tahu cakar lawan telah mendekati tubuhnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya dilempar ke belakang, dan terus berjumpalitan menjauhi Pendekar Naga Putih.
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, langsung saja melesat cepat bagai kilat! Bagaikan sebatang tombak, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur lurus disertai putaran sepasang cakarnya! Dan tentu saja Elang Laut Utara sadar akan bahaya yang mengancam.
“Haiiittt...”
Disertai pekikan nyaring, Elang Laut Utara mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, puluhan batang jarum beracun langsung beterbangan ke arah Pendekar Naga Putih. Jelas, maksudnya hendak mencegah serangan lawan. Tapi apa yang terjadi kemudian, benar-benar hampir tidak bisa dipercaya datuk sesat itu. Puluhan batang jarum beracun yang dilepaskannya malah dapat ditahan angin pukulan lawannya. Bahkan, Pendekar Naga Putih dapat mengendalikan, dan memutar balik jarum-jarum beracun itu yang kini mengancam majikannya.
“Gila...?!” Untuk kesekian kalinya, Elang Laut Utara kembali terbelalak menyaksikan kesaktian lawan. Ternyata jarum-jarum yang semula dilepaskan secara berpencar, kini malah berkumpul dan meluncur ke arah dirinya. Dan ketika jaraknya sudah tinggal dua tombak lagi, tiba-tiba saja jarum-jarum itu memecah membentuk tiga kelompok.
“Aaahhh?!”
Elang Laut Utara tidak sanggup lagi mengelakkan luncuran jarum beracun miliknya. Rasa terkejut dan terkesima oleh keanehan yang disaksikan, membuatnya terpaksa harus merasakan jarum-jarum beracunnya sendiri.
“Aaarrrghhh...!”
Elang Laut Utara memekik tinggi ketika tiga kelompok jarum beracunnya malah menembus tubuhnya sendiri. Bahkan kelompok yang terbawah seperti sengaja memecahkan obat penawar yang berada di pinggang kirinya. Tentu saja, musnahnya obat penawar itu membuat Elang Laut Utara melolong dengan wajah ketakutan!
“Ayaaahhh...!” pekik Surni di tengah ketidak berdayaannya. Surni yang melihat tubuh ayahnya ambruk dan langsung menggelepar bagaikan ayam di sembelih, berusaha menghambur. Namun karena keadaannya memang masih lemah, akhirnya malah terjatuh sebelum sampai ke tempat ayahnya berada.
“Ayaaahhh...” Surni hanya bisa merintih sambil menggapaikan tangannya, melihat ayahnya tengah sekarat. Memang, gadis remaja itu sadar akan keganasan ‘Racun Ubur-Ubur Laut’ yang khusus diciptakan ayahnya untuk membunuh lawan. Tapi, siapa sangka kalau akhirnya datuk sesat itu sendiri yang harus merasakan akibat racun kejinya. Surni hanya bisa meneteskan air mata saat menyaksikan tubuh ayahnya dilumuri darah, dan tidak bergerak-gerak lagi. Elang Laut Utara tewas akibat racun yang dibuatnya sendiri, tanpa sempat mengambil obat penawarnya.
Panji bergerak menghampiri Surni. Tanpa berkata sepatah kata pun, segera dibawanya tubuh gadis remaja itu ke tempat yang lebih baik. Dengan penuh perhatian, diobatinya luka-luka Surni yang hanya menatap kosong akibat pukulan bathin atas kematian ayahnya.
“Surni...,” sapa Panji saat gadis remaja itu sudah mulai pulih tenaganya. “Kuharap kau tidak mengikuti jejak kesesatan ayahmu. Kalau ingin berbakti kepadanya, tebarkanlah benih-benih kebaikan di dunia ini. Aku yakin, hal itu akan membuat ayahmu mendapat ketenangan di alam sana...,” ujar Pendekar Naga Putih. Namun, nasihat itu sama sekali tidak ditanggap Surni. Namun demikian, Panji tahu kalau Surni cukup mengerti dan mendengar segala yang disampaikannya barusan.
Surni yang memang pada dasarnya berhati lembut dan penuh kasih, menyadari sepenuhnya akan kejahatan ayahnya. Dan segala nasihat Pendekar Naga Putih yang tadi didengarnya, memang suatu kebenaran mutlak.
Panji, Kenanga, Wilang, dan tiga orang Lima Algojo Dari Timur, hanya berdiri dengan tatapan iba ketika Surni bersimpuh di samping makam ayahnya yang dibuatkan Pendekar Naga Putih tadi.
“Ayah.... Mudah-mudahan di alam sana kau dapat bersatu lagi dengan ibu. Sayang, aku belum sempat menyampaikannya, tapi Ayah keburu meninggal. Semoga Ayah dan Ibu bahagia, dapat berkumpul lagi. Sedangkan aku, akan mencoba meringankan dosa-dosamu dengan berbuat kebaikan. Selamat tinggal, Ayah”
Selesai mengucapkan kalimat itu, Surni membalikkan tubuhnya. Sebelum pergi, masih disempatkannya untuk menoleh ke arah Panji, Kenanga, dan yang lain. Kemudian, gadis itu melangkah perlahan tanpa salam perpisahan.
“Hm.... Semoga saja dia selalu dilindungi Tuhan,” desah Panji yang diam-diam merasa iba terhadap gadis remaja yang telah sebatang kara itu.
Silir angin lembut menyapu hati para tokoh persilatan itu. Mereka merasa lega, karena Surni ternyata dapat mengerti. Bahkan tidak melanjutkan kesesatan Elang Laut Utara.
S E L E S A I