Serial Pendekar Naga Putih
Episode Terjebak Di Perut Bumi
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Terjebak Di Perut Bumi
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa berat yang menggema dan memenuhi wilayah Hutan Sindang. Di antara derai tawa yang bagaikan tak pernah habis, terselip isak tangis seorang wanita yang terdengar demikian lemah dan tak berdaya.
"Cup..., cup Sudah jangan menangis lagi, manis. Jangan khawatir, kau akan kujadikan anakku yang paling tersayang..." Kembali suara berat yang parau itu terdengar ber-gema memenuhi daerah Barat Hutan Sindang.
"Nah, kita sudah sampai...," kata seorang lelaki berwajah brewok dengan dada telanjang. Rambut laki-laki itu panjang, hingga melewati bahu. Bahkan dibiarkan menjuntai, hingga menutupi sebagian wajahnya. Di bahu kanannya tampak sesosok tubuh ramping tak berdaya dalam dekapan tangannya yang berbulu kasar.
"Jangan...! Aku tidak mau...! Tolooong!" Ketika mendengar lelaki brewok itu berkata telah sampai di tempatnya, gadis desa yang hanya mengenakan kain sebatas dada itu kembali meronta. Bahkan berteriak-teriak ketakutan.
"Hus..., hus.... Jangan ribut. Nanti kalau sampai anakku yang lain melihat, mereka tentu akan merasa iri dan marah kepadamu," desis bibir tebal yang tersembunyi di balik brewok tak terurus itu.
Nada bicara dan tingkah laki-laki kasar itu persis seperti seorang bapak yang tengah membujuk anaknya. Tangan yang kekar, dan berbulu menepuk lembut pantat gadis itu. Sepertinya lelaki brewok itu tidak waras. Namun, gadis desa itu sama sekali tidak perduli. la malah semakin keras berteriak-teriak ketakutan. Rasa takut yang hebat dalam dirinya, membuatnya nekad menggigit bahu lelaki raksasa itu.
"Hihhh...!"
"Aakkhh...!?"
Terkejut juga lelaki kasar itu, karena tidak menyangka kalau tangkapannya akan melakukan hal itu terhadapnya. Kekagetan itu, membuat dekapannya seketika mengendor. Wajahnya tampak agak meringis, merasakan nyeri akibat gigitan gadis desa itu.
"Haii...?!"
Rasa terkejut lelaki brewok yang persis orang hutan itu semakin bertambah-tambah. Sebab pada saat dekapannya mengendor, tahu-tahu saja gadis desa yang nekad itu melorot turun. Begitu merasa terbebas, gadis berkulit kuning langsat itu bergerak melarikan diri ke dalam hutan.
"Hua ha ha... Bagus Aku suka sekali main petak umpet. Ayo, anakku cantik. Bersembunyilah. Nanti aku akan mencarimu sampai ketemu..."
Dasar orang gila! Melihat tawanannya lari, lelaki brewok itu malah tertawa-tawa kegirangan. Bahkan menganggap gadis desa itu sengaja mengajaknya bermain petak umpet. Benar-benar sinting!
Tanpa memperdulikan gadis desa yang terus melarikan diri menyusup semak-semak, lelaki kasar berusia sekitar lima puluh tahun itu meraba pinggangnya. Sebentar kemudian, tampaklah sebuah guci kecil tempat menyimpan arak. Semakin jelas sudah. Selain sinting, lelaki kasar itu pun seorang pemabukan.
Cegluk... cegluk!
Terdengar suara tegukan ketika arak di dalam guci kecil itu masuk melewati kerongkongannya. Sepasang mata orang tua gila dan pemabukan itu tampak merem-melek, seperti tengah menghayati nikmatnya butir-butir arak yang melintasi kerongkongan.
"He he he he.... Nikmaaattt..."
Sambil menjilati bibir, orang tua itu terkekeh. Kemudian dia melangkah bergoyang-goyang. Sepertinya, ia telah lupa pada tawanannya yang melarikan diri itu. Tapi ternyata meskipun terlihat agak sinting, pemabukan, dan sedikit pikun, orang tua brewokan berpenampilan kumuh itu sama sekali tidak lupa pada tawanannya yang kabur. Buktinya, dia mulai melangkah ke dalam hutan setelah mengembalikan guci arak ke pinggangnya. Meskipun langkahnya terlihat agak sempoyongan seperti orang akan jatuh, tapi dia terus saja melangkah ke dalam hutan.
"Yaaahhh.... Cah ayo cah, di mana kau sembunyi" Dasar sinting! Sambil melangkah diselingi lompatan-lompatan kecil, orang tua itu bernyanyi-nyanyi sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan tingkah lucu. Bahkan terkadang berhenti, hanya untuk memutar badannya seperti seorang penari. Benar-benar edan!
Setelah kurang lebih dua puluh lima tombak, mendadak orang tua sinting itu menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Kemudian dengan lagak seperti seekor anjing, hidungnya mengendus-endus.
"Hayaaa...! Dasar binatang kurang ajar, tidak tahu diri. Apa tidak ada tempat lain untuk membuang kotoran..."
Orang tua sinting itu mengomel panjang-pendek sambil berjingkat-jingkat, sambil memijat hidungnya yang berbentuk seperti tomat. Rupanya, telapak kakinya yang telanjang menginjak kotoran binatang yang kebetulan masih baru dan hangat. Sambil tidak henti-hentinya mengomel, dia kembali melanjutkan pencariannya dengan tidak terburu-buru. Sepertinya, ia sama sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan buruannya.
Sementara itu, gadis desa yang terus melarikan diri tanpa tujuan, sudah tidak karuan lagi kain yang dikenakannya. Di sana-sini telah robek, tersangkut dahan atau semak berduri. Meskipun kakinya tegores di sana-sini hingga meneteskan darah, tapi gadis desa itu tidak memperdulikannya. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah melarikan diri sejauh-jauhnya.
"Ooohhh "
Untuk yang kesekian kalinya, gadis desa itu kembali terhumbalang jatuh akibat akar pohon yang muncul di permukaan tanah. Tubuhnya terguling-guling ke bawah, karena tanah di depannya agak menurun. Begitu luncuran tubuhnya terhenti, gadis desa yang keras hati itu berusaha bangkit, meski dengan wajah menyeringai. Tak diperdulikannya tambahan luka memar yang diderita, dan kembali berlari dengan napas bagaikan kuda pacu.
Graauurrhhh...!
Tiba-tiba saja terdengar raungan keras yang bagai hendak merontokkan jantung. Suara auman harimau yang menggetar di tengah hutan, membuat langkah gadis itu terhenti seketika. Dia menoleh ke kiri-kanan dengan wajah pucat, dan tubuh menggigil ketakutan!
"Ohhh...?!" Gadis desa itu menyumbat mulutnya dengan jari-jari tangan, sehingga pekikan suaranya agak tertahan. Wajahnya tampak sudah demikian pucat, bagai tak dialiri darah. Sedangkan kedua kakinya menggigil, seperti tak sanggup menahan bobot tubuhnya.
Graurhhh...!
Harimau belang yang tiba-tiba saja muncul di depan gadis itu dalam jarak lima tombak lebih, benar-benar membuat nafasnya seperti putus. Dan ketika harimau buas itu kembali mengaum sambil memperlihatkan taring-taringnya, gadis desa itu sudah tidak sanggup berdiri lagi. Tubuhnya melorot jatuh, bersandarkan sebatang pohon sambil memandang dengan tubuh gemetaran.
Dengan langkah satu-satu, harimau berumur cukup tua itu melangkah ke arah mangsanya. Sesekali langkahnya terhenti, lalu menggereng memperlihatkan taringnya. Sikapnya jelas sangat waspada, dan penuh kehati-hatian. Sepertinya, harimau itu hendak melihat apa yang akan diperbuat calon korbannya.
Grrrhhh!
Setelah jarak antara mereka tinggal kira-kira dua tombak, harimau itu tampak berhenti. Kemudian binatang buas itu, duduk menatap gadis desa yang hampir mati karena ketakutan. Dan diiringi raungan panjang, tubuh harimau itu melesat dengan kuku kaki depan siap merencah tubuh korbannya.
Graunggg...!
"Auuuwww...!" Gadis desa itu berteriak ngeri ketika terkaman harimau belang datang mengancamnya. Dan karena rasa ngeri yang hebat, gadis desa itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya merungkut dengan kedua kaki terlipat.
Deeesss!
Graunggg...! Gusraaakkk...!
Tiba-tiba saja, gadis itu merasa heran ketika mendengar raung kesakitan dari si raja hutan. Bahkan dadanya sempat berdebar tegang, ketika juga ter-dengar suara berdebuk yang menandakan jatuhnya sebuah benda berat. Namun, gadis desa yang semula ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap harimau buas tadi, jadi terpekik kaget. Hal itu terjadi ketika terdengar suara terkekeh yang teramat dikenalnya.
"He he he...! Ayo, Belang. Kau ingin bermain-main dengan majikanmu. He he he.... Jangan takut. Aku tidak suka dagingmu yang alot itu. Tapi yang ku inginkan justru daging muda yang hendak kau santap. Tahukah kau, daging muda itu milikku...?"
Seorang lelaki tua brewokan yang berdirinya bergoyang-goyang, mengomel panjang-pendek kepada harimau itu. Rupanya, orang tua sinting inilah yang menyelamatkan nyawa gadis desa itu dari kematian.
Harimau jantan berumur tua itu menggerang, memperlihatkan taringnya yang tajam berkilat. Walaupun begitu, si Raja Hutan ini sama sekali tidak berusaha maju. Sepertinya, hajaran orang tua sinting pemabukan tadi cukup dirasakannya. Sehingga binatang buas ini agak berhati-hati dalam menerima tantangan orang tua sinting itu.
"He he he,..! Kau takut, Belang? Atau ingin minta bagian dariku...?" tanya orang tua sinting itu yang kini malah berjongkok sambil mengganjal dagunya dengan sebelah tangan.
Sikap orang itu benar-benar berbahaya sekali. Sebab, apabila Si Raja Hutan itu menerkam, akan sulit rasanya untuk menghindar dalam keadaan seperti itu. Tapi, nampaknya orang tua sinting itu sama sekali tidak merasa khawatir. Harimau jantan bertubuh besar ini menjilat-jilat bibirnya, seolah-olah tengah memikirkan tawaran lelaki brewok yang tidak waras itu. Kemudian dia menggereng dengan kepala tegak.
"Eh? Kau ingin merebutnya...? Oho..., tentu saja boleh. Tapi, kau harus merebutnya secara jantan, ya?" ujar orang tua sinting itu, seolah-olah mengerti isyarat sang Raja Hutan. Tampak orang tua itu bangkit berdiri, dan memungut sebatang ranting sebesar ibu jari tangan.
Wuuut! Wuuuttt...!
Bagaikan orang yang tengah mencoba kekuatannya, si pemabuk sinting itu memukul-mukulkan ranting kayu yang dipungutnya ke udara berkali-kali.
"He he he.... Bagus.... Cukup baik, cukup baik.," desis orang tua sinting itu berulang-ulang sambil kembali mengebut-ngebutkan ranting kayu di tangannya. Kemudian, dia berdiri tegak menanti harimau itu bergerak maju.
Tapi sampai beberapa saat lamanya, Raja Hutan itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda menyerang. Binatang buas itu hanya berputar-putar ke kiri dan kanan, sambil menggereng mempertunjukkan taringnya yang runcing.
"Oooh! Rupanya kau tidak ingin memulai? Baiklah. Kalau begitu, aku yang akan membuka serangan. Bersiaplah, Belang," ujar orang tua sinting itu. Rupanya dia memang telah cukup mengerti tingkah laku para penghuni Hutan Sindang. Apalagi, ia pun merupakan salah satu penghuni hutan itu.
Sebenarnya orang tua gila pemabukan yang terlihat lucu itu tidaklah semenarik tingkahnya. Pada dasarnya, sifatnya keji dan tidak mengenal kasihan dan ampun. Meskipun tingkahnya terlihat lucu dan aneh, tapi orang tua itu adalah seorang tokoh sesat yang sangat ditakuti. Banyak sudah perbuatannya yang dikutuk kaum rimba persilatan. Tapi, siapa pula yang berani mencegah kekejamannya? Bahkan tidak sedikit pendekar tua dan muda yang datang hanya untuk mengantar nyawa kepada orang tua itu.
Sehingga lama-kelamaan, nyali kaum persilatan pun mulai mengendor. Jarang ada yang berani menghalangi perbuatan tokoh sinting pemabukan itu. Belakangan ini, tokoh sinting yang dijuluki Pemabuk Berhati Iblis itu kembali melakukan serangkaian kejahatan. Entah, sudah berapa puluh nyawa yang terbang akibat tangannya yang telengas. Dan, gadis desa itu merupakan kejahatan terakhir yang baru saja dilakukannya.
"Hiaaahhh...!"
Orang tua sinting yang berjuluk si Pemabuk Berhati Iblis tampak bergerak maju dengan langkah goyah. Tapi, gerakannya justru sangat hebat dan membingungkan. Tubuh dan kakinya yang bergoyang-goyang membuat orang sulit menebak, apakah orang sinting itu hendak maju atau mundur.
Demikian pula halnya si Raja Hutan. Melihat tubuh lawannya yang bergerak maju bagaikan malas-malasan, membuat kepala binatang itu menggeleng seolah merasa pusing melihat tingkah lawannya.
"He he he...! Bodoh kau, Belang. Awas kepalamu" Sambil bergerak mundur maju dengan langkah goyah, Pemabuk Berhati Iblis menggerakkan ranting kayu di tangan kanannya dengan kecepatan menggetarkan.
Bukkk!
Grauuung...!
Sang Raja Hutan meraung kesakitan! Lecutan ranting sebesar ibu jari tangan itu terasa bagaikan hantaman sebatang besi pada kepalanya. Karuan saja binatang buas itu langsung menggelepar dengan kepala retak. Benar-benar ganas serangan yang dilancarkan orang tua sinting itu. Sekali hajar saja, langsung membuat harimau tewas!
"He he he...! Lihat, anakku. Binatang yang menakut-nakuti mu itu sudah tidur pulas. Rupanya, ia lelah dan mengantuk setelah menggerung-gerung kelaparan. Ayo, bangun manis. Mari kita pulang...," ujar Pemabuk Berhati Iblis itu melangkah maju dan berjongkok membelai punggung gadis desa yang ketakutan.
"Ohhh...!" Gadis desa itu merenggutkan tubuhnya ketika merasakan jari-jari tangan kasar itu merayap ke belahan dadanya yang membusung indah. Segera saja ia bangkit, dan berlari tanpa memperdulikan arah yang ditempuh.
"He he he.... Jadi kau hendak kembali ke tempatku...?" Suara Pemabuk Berhati Iblis membuat langkah gadis itu langsung terhenti. Jelas, ia merasa terkejut mendengar ucapan tadi. Dan apa yang dikatakan orang tua sinting itu memang benar. Dia justru berlari ke arah semula
"Ohhh..." desah gadis desa itu, menahan tangisnya. Ia berdiri menatap Pemabuk Berhati Iblis dengan sinar mata memelas mohon diampuni dan dilepaskan.
"He he he.... Kau benar-benar binal dan menggairahkan, Anakku. Ayo, kemarilah. Jangan takut...," rayu Pemabuk Berhati Iblis.
Kini orang tua sinting itu bergerak maju mendekati si gadis. Dan gerakannya yang sempoyongan itu benar-benar hebat dan mengejutkan. Sebab, tahu-tahu saja sepasang lengannya telah memeluk tubuh gadis desa itu. Padahal, jarak di antara mereka tadi masih sekitar dua tombak lebih. Tentu saja hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh si Pemabuk Berhati Iblis memang sangat hebat.
Gadis desa ini hanya bisa menangis saat lelaki berwatak sinting itu mencium wajahnya. Sepertinya, semua tingkah dan kenekatannya tadi semakin membuat Pemabuk Berhati Iblis merasa semakin terangsang. Sehingga, tanpa sabar lagi segera saja diterkamnya tubuh gadis itu. Namun, nasib baik rupanya masih tetap menaungi gadis desa itu.
Pada saat lelaki sinting itu semakin buas, terdengar sebuah bentakan nyaring yang mengejutkan. Bahkan bentakan itu masih dibarengi sebuah tangan yang mencengkram. Malah tubuh lelaki bercambang bauk yang tengah menggumuli gadis itu langsung dilemparkan.
"Ahhh...!?" Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba itu membuat Pemabuk Berhati Iblis terpekik kaget! Sebab sebelum ia menyadari, tahu-tahu saja tubuhnya terasa melayang ke udara! Untunglah orang tua sinting itu sangat sigap. Maka segera saja ia berputar beberapa kali di udara, sebelum mendarat selamat ditanah.
"Setan alas! Dedemit busuk! Hantu sundal...!" Pemabuk Berhati Iblis mencak-mencak bagaikan cacing kepanasan. Kali ini ia benar-benar marah, karena ada orang yang berani mengganggu kese-nangannya.
Sementara, di depan gadis desa itu telah berdiri seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan sikap tenang tanpa memperdulikan kemarahan lelaki brewok sinting di hadapannya, gadis desa itu ditarik agar bangkit. Sebenarnya bukan main dongkolnya hati Pemabuk Berhati Iblis. Tapi karena tingkahnya seperti orang mabuk, atau tidak waras, maka kemarahan yang diperlihatkannya nampak lucu. Pemuda tampan berjubah putih yang melihat lelaki sinting pemabuk itu seperti tengah bersiap untuk menyerang, segera saja mengangkat tangan kanannya sambil berseru nyaring.
"Tunggu...!"
"Ehhh...?!" lelaki sinting berperawakan gemuk seperti orang hutan itu menahan langkah dengan wajah bingung. "Apa..., apa kau bilang barusan...?"
"Kubilang tunggu dulu. Pemabuk. Apa kau sudah tuli, karena jarang bergaul dengan manusia...?" tegas pemuda tampan berjubah putih dengan wajah tetap tenang. Tenang sekali pemuda itu melepaskan jubah luarnya, lalu diserahkan kepada gadis desa yang kainnya memang sudah tidak patut dikenakan ini.
"Aku...? Berhenti...?" ulang Pemabuk Berhati Iblis sambil menunjuk ujung hidungnya sendiri dengan wajah ketololan. Sepertinya, ia merasa heran karena ada seorang pemuda yang pantas menjadi anaknya, begitu berani mati menyuruhnya berhenti.
"Ya. Kau, orang tua sinting! Bukankah kau yang berjuluk Pemabuk Berhati Iblis? Nah! Kalau benar, berhentilah. Aku ingin bicara denganmu...," tegas pemuda tampan itu lagi tanpa memperdulikan sikap lucu dan ketololan lelaki sinting dihadapannya.
"He he he Lucu! Benar-benar lucu. Padahal, aku seorang iblis kejam yang banyak ditakuti orang-orang sakti. Tapi ternyata masih ada yang berani memerintah. Benar-benar aneh dunia ini. Padahal para tokoh tua banyak yang lari terbirit-birit bila bertemu denganku. Tapi ternyata pemuda yang pantas menjadi anakku ini, memiliki hati macan..."
Pemabuk Berhati Iblis tergelak-gelak sambil memegangi perutnya. Dalam keadaan seperti itu, orang tentu tidak akan percaya kalau orang tua ini memiliki otak yang tidak waras. Sebab, ucapannya demikian rapi tidak ubahnya orang waras.
Pemuda berjubah putih itu sendiri sempat mengerutkan kening mendengar ucapan Pemabuk Berhati Iblis. Dengan pandangan curiga, ditatapnya wajah Pemabuk Berhati Iblis dengan teliti. Seolah-olah ingin diketahui apakah orang tua itu memang tidak waras, atau sengaja berpura-pura gila?
"Pemabuk Berhati Iblis, dengarlah kata-kataku," ujar pemuda berjubah putih itu bernada agak keras. Hal itu dilakukan untuk memancing perhatian orang sinting ini. "Perbuatanmu selama ini sudah keterlaluan, dan tidak bisa lagi dimaafkan! Tanganmu telah dilumuri darah korban-korbanmu yang. tidak berdosa. Sekarang kuminta ketegasan mu. Hentikan perbuatan-perbuatan jahatmu, atau terpaksa aku yang harus menghentikannya"
"Ha...?!" Pemabuk Berhati Iblis terbelalak kaget bagai tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan lagak bodoh, dia pura-pura mengorek telinganya seolah-olah ucapan pemuda tampan berjubah putih itu kurang begitu jelas. "Coba ulangi ucapanmu tadi, Bocah bagus?” pinta Pemabuk Berhati Iblis sambil menelengkan kepalanya seperti ingin mendengarkan lebih jelas. Tentu saja hal itu dilakukan hanya untuk mengejek.
"Hm..., dengarlah baik-baik. Aku, Pendekar Naga Putih memperingatkan agar kau menghentikan semua perbuatan jahatmu selama ini. Jika tidak, akulah yang akan menghentikan mu!"
Terdengar jawaban tegas dan mengandung perbawa menggetarkan dari pemuda tampan itu. Rupanya, pemuda tampan yang mengaku berjuluk Pendekar Naga Putih tidak suka dipandang rendah sedemikian rupa oleh Pemabuk Berhati Iblis. Sehingga julukannya terpaksa disebutkan untuk memancing perhatian tokoh sesat itu.
Pengakuan pemuda berjubah putih berwajah tampan itu, ternyata sangat manjur. Mendengar julukan Pendekar Naga Putih, Pemabuk Berhati Iblis langsung saja terbelalak. Jelas sekali wajah orang sinting itu menampilkan keterkejutan yang sangat
"Benar.... Kau pastilah Pendekar Naga Putih...," desis lelaki tua pemabukan itu sambil menatap Panji dengan sepasang mata yang bergerak liar.
"Hm..,. Hari ini kau telah membantai habis sebuah keluarga petani yang tak berdosa hanya untuk menculik anak gadisnya. Sadarkah kau, bahwa perbuatan itu sangat keji dan dikutuk orang...?" lanjut Panji. Suaranya yang mantap dan mengandung perbawa, membuat orang tua sinting itu segera tersadar.
"He he he.... Ya..., ya. Aku memang selalu melakukan perbuatan jahat. Karena semakin banyak berbuat kejahatan, tentu orang akan semakin takut kepadaku. Ya... ya.... Aku adalah Pemabuk Berhati Iblis si Raja Kejahatan..."
Kegilaan lelaki pemabuk itu rupanya timbul kembali. Terdengarlah ucapan-ucapan ngawur yang tidak beraturan. Panji yang sudah tidak ingin memperpanjang urusan pembicaraan kosong itu, segera saja melompat ke arah lawannya. Kedua kakinya menginjak tanah, tepat satu tombak di hadapan orang tua itu. Pemabuk Berhati Iblis yang mengira pemuda itu telah mulai membuka serangan, segera saja merendahkan tubuhnya sambil mendorong sepasang telapak tangannya ke depan.
"Whuttt...!" Serangkum angin kuat, berhembus seiring terdorongnya sepasang telapak Pemabuk Berhati Iblis.
"Hm...," gumam Panji tak jelas. Segera Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samping kanan dengan kuda-kuda rendah, sehingga angin pukulan berbau amis itu lewat disampingnya.
"Ilmu 'Pukulan Katak Beracun'...!" desis Pendekar Naga Putih. Panji memang langsung mengenali ilmu pukulan tenaga dalam orang tua sinting itu. Diam-diam Pendekar Naga Putih terkejut juga melihat orang tua sinting itu memiliki ilmu pukulan hebat, dan jarang terdapat dalam dunia persilatan.
Pemabuk Berhati Iblis rupanya tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu melihat Pendekar Naga Putih dapat menghindari pukulan jarak jauhnya, tokoh berotak miring itu segera saja melesat seperti seekor katak melompat.
Bweeettt...! .
Pemabuk Berhati Iblis segera menyambar seperti seekor katak melompat.
Bweeettt...!
Pendekar Naga Putih pun menggeser tubuhnya ke kiri, menghindari sambaran cakar lawan yang mengandung racun itu! Pendekar Naga Putih kembali menggeser tubuhnya, menghindari sambaran cakar lawan yang mengandung racun. Hal itu baru disadari ketika merasakan hawa yang menyambar lewat dekat tubuhnya.
"Yiaaahhh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, bergegas pemuda itu memutar tubuhnya dengan sebuah lompatan. Bahkan sekaligus melepaskan sebuah tendangan kilat! Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis yang baru saja menjejakkan kaki dan tangannya di tanah langsung kembali melompat menghindar. Pertarungan pun semakin seru ketika Pemabuk Berhati Iblis mulai melancarkan serangan-serangan gencar. Tapi, Pendekar Naga Putih hanya melayani dengan 'Ilmu Naga Sakti’ yang juga menjadiandalannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertarungan menginjak jurus yang keempat puluh, terlihat Pemabuk Berhati Iblis mulai merubah gerakan-gerakannya. Gerak langkahnya tampak tidak teratur dan bergoyang-goyang. Sesekali orang tua sinting itu meneguk araknya, sambil terus mengelak dan membalas serangan Pendekar Naga Putih dengan gerakan terpatah-patah dan perubahan-perubahan yang mengejutkan!
"Hiaikkkhhh...!"
Tak ubahnya seperti seorang pemabuk tulen, terkadang orang sinting itu seolah-olah bergerak seperti hendak terjatuh. Namun dalam gerakan-gerakan itu tersembunyi serangan-serangan cepat dan mengejutkan! Sehingga, Pendekar Naga Putih yang baru kali ini menghadapi ilmu itu, cukup dibuat kerepotan untuk beberapa jurus lamanya.
Tapi sebagai seorang pendekar yang telah banyak mengalami pertempuran maut, tentu saja Pendekar Naga Putih segera dapat menemukan kelemahan ilmu silat lawannya. Dengan cerdiknya, Panji ikut bergerak mengikuti irama langkah dan tubuh lawannya. Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis sempat dibuat tercengang oleh kecerdikan pemuda itu dalam mencari kelemahan ilmunya.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang kelima puluh lima, terlihat Pendekar Naga Putih mulai melakukan tekanan-tekanan berat pada lawan. Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya selalu dapat memukul balik lontaran pukulan beracun lawan. Tentu saja racun Pemabuk Berhati Iblis yang memang bersifat dingin, tidak mampu menembus pertahanan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang juga memiliki sifat dingin. Bahkan hawa yang terpancar dari tubuh pemuda itu masih jauh lebih kuat daripada racun katak miliknya.
Mendekati jurus yang ke enam puluh, terlihat Pemabuk Berhati Iblis mulai kewalahan. Gerakan-gerakannya pun mulai melambat, karena terganggu pancaran hawa dingin dari tubuh dan sambaran puku- lan lawan. Hal Ini membuat lelaki tua berotak miring itu menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
"Bangsat! Kunyuk bau tengik...!" Sambil berlompatan dan menggeser langkah untuk menghindari serangan-serangan Pendekar Naga Putih, mulut lelaki berotak miring itu tak henti-hentinya mengomel.
"Hiattt..!"
Saat lawan sudah benar-benar tak mampu lagi bertahan lebih lama, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih berseru keras sambil melontarkan dua buah hantaman telapak tangan secara berturut-turut ke tubuh lawan!
"Aaahhh...?!" Bukan main terkejutnya hati tokoh sesat pe- mabukan itu. Maka tanpa dapat dihindari lagi, dua buah hantaman telapak tangan pemuda berjubah putih itu langsung mencapai sasarannya!
Buuukkk! Deeesss!
"Huakhhh...!" Darah segar langsung menyembur dari mulut Pemabuk Berhati Iblis. Tubuh lelaki brewokan itu terlempar bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin! Kemudian, tubuh tinggi kekar itu terbanting jatuh setelah membentur sebatang pohon yang bergerak bagaikan hendak roboh!
Panji melangkah lambat ketika melihat tubuh lawannya tidak dapat bangkit lagi. Tampak Pemabuk Berhati Iblis terlihat menggigil hebat bagaikan orang menderita demam tinggi. Jelas, tokoh sesat yang menggiriskan itu mengalami luka dalam yang sangat parah!
Namun, Pendekar Naga Putih benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau tokoh itu ternyata memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa. Tepat pada saat Panji berdiri membungkuk dekat tubuh lelaki itu, tiba-tiba saja Pemabuk Berhati Iblis mendorong sepasang telapak tangannya dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki! Karuan saja serangan mendadak dalam jarak dekat itu sangat mengejutkan Panji!
Whuuusss...!
Sebagai seorang pendekar yang sering menemukan lawan berat bersifat licik, tentu saja Panji tidak mudah dikelabuhi. Meskipun kelihatannya tidak siap, tapi nyatanya Pendekar Naga Putih dapat menghadapi serangan licik dengan baik. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya langsung bangkit seiring kibasan lengan pemuda itu untuk melumpuhkan pukulan beracun lawannya. Dan...,
Blaaarrr...!
"Hukkkh...!"
Benturan dahsyat pun tidak bisa terelakan lagi. Pemabuk Berhati Iblis mengeluarkan keluhan bagaikan orang tercekik. Bahkan tubuhnya kontan melesak ke dalam bumi, hingga satu jengkal dalamnya. Napas orang tua gila itu langsung putus seketika itu juga!
Pendekar Naga Putih sendiri terjajar mundur dua langkah. Sebab biar bagaimanapun hawa beracun pukulan yang dilepaskan dalam jarak dekat dan tiba-tiba, sedikit banyak telah mempengaruhi tubuhnya pula. Cepat pemuda itu menarik napas beberapa kali sambil mengerahkan hawa murni untuk mengusir pergi hawa beracun yang sempat menyerap ke dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian, baru Panji dapat menarik napas lega setelah terbebas dari hawa beracun pukulan Pemabuk Berhati Iblis.
Sementara itu gadis desa yang diselamatkan langsung memeluk tubuh Pendekar Naga Putih karena rasa tegang dan bersyukurnya. Panji sendiri membelai punggung gadis desa itu, dan menghiburnya ketika mendengar isak tangis lirih.
"Sudahlah, Nisanak. Bahaya telah lewat. Sebaiknya kau tunggu sebentar. Aku hendak menguburkan mayat tokoh sesat itu...," ujar Panji, seraya melepaskan pelukan wanita itu dengan gerakan lembut
“Tapi, bagaimana dengan gadis-gadis lain yang ditawan di tempat kediaman orang tua jahat itu? Apakah tuan Pendekar tidak ingin menolongnya...?" tanya gadis desa itu. Mata basah gadis itu menatap wajah tampan penolongnya. Rupanya, dia masih teringat ucapan Pemabuk Berhati Iblis sebelum melarikan diri.
"Aku sudah mendatangi kediaman tokoh pemabukan ini sebelum menemukan dan mendengar teriakanmu. Di sana, aku hanya menemukan kerangka manusia yang berserakan. Menurutku, Pemabuk Berhati Iblis ini juga pemakan daging manusia...," jelas Panji.
Seketika, gadis desa itu membelalak terkejut. Sebab, semula hanya diduga kalau Pemabuk Berhati Iblis itu hanya hendak merampas keperawanan saja.
Melihat gadis itu jatuh terduduk setelah mendengar keterangannya, Panji bergegas menguburkan mayat Pemabuk Berhati Iblis. Memang, meskipun semasa hidupnya orang tua itu sangat jahat, tapi tetap saja mayatnya harus dikuburkan secara layak. Setelah selesai menanam mayat Pemabuk Berhati Iblis, Pendekar Naga Putih mengajak gadis malang itu kembali ke desa tempat tinggalnya.
"Dari mana saja kau, Kakang? Pantas sejak tadi aku mencarimu, tidak juga ketemu...," Dara berparas jelita yang mengenakan pakaian serba hijau itu langsung menyambut kedatangan pemuda tampan berjubah putih dengan pertanyaan-pertanyaan.
Sedang pemuda tampan berjubah putih yang baru saja tiba di ambang pintu kamar penginapan, hanya tersenyum. Kemudian, dia melangkah masuk dan duduk di tepi pembaringan di samping data jelita itu.
"Aku pikir kau sengaja meninggalkan aku karena sudah merasa bosan...," rungut gadis jelita itu dengan wajah agak mendung. Memang hatinya sempat merasa nelangsa ketika pemuda itu pergi tanpa pamit.
Pemuda berjubah putih itu semakin melebarkan senyumnya. Perlahan tangannya melingkar, memeluk tubuh gadis jelita itu dengan lembut. Dikecupnya kening gadis itu penuh kasih sayang.
"Sebenarnya aku hendak mengajakmu serta, Kenanga. Tapi ketika aku masuk ke kamarmu, ternyata kau masih tertidur pulas. Jadi, terpaksa aku pergi tanpa memberitahukan mu terlebih dahulu," jawab pemuda tampan berjubah putih yang ternyata memang Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih. Rupanya pemuda itu telah kembali setelah me- ngantarkan gadis desa yang ditolongnya dari cengkraman Pemabuk Berhati Iblis. Dan kini dia berusaha menjelaskan duduk perkaranya.
"Mengapa kau tidak membangunkan aku, Kakang...?" masih dengan nada kurang puas, gadis jelita yang memang Kenanga kembali bertanya sambil menatap wajah Panji.
"Hmmm... Aku tidak ingin mengganggu istirahatmu. Lagi pula, aku pergi hanya sebentar. Jadi, kupikir tidak pamit pun tak apalah. Eh, mengapa kau tidak mengunci pintu kamarmu sebelum tidur, Kenanga? Bagaimana kalau yang masuk itu bukan aku. Bisa-bisa celaka...," tanya Panji ketika teringat saat masuk ke dalam kamar gadis itu, pintu memang tidak dikunci.
"Mungkin aku lupa, Kakang. Tapi, aku tak khawatir. Kalau memang ada orang jahat hendak mengganggu ku, tentu aku segera tahu...," elak Kenanga sambil menyandarkan kepalanya ke dada bidang pemuda tampan itu. Sepertinya, gadis jelita itu sudah tidak merajuk lagi.
"Tapi ketika aku masuk, kenapa kau tidak tahu...?" desak Panji lagi, seolah hendak mengetahui apa kira-kira jawaban kekasihnya.
"Mmm.... Mungkin sukma ku tahu kalau orang yang masuk ke dalam kamarku adalah Kakang. Tentu saja aku tidak segera terbangun, karena sukma ku tidak takut meskipun kakak akan berbuat macam-macam," sahut Kenanga, seenaknya, sambil tersenyum menggoda.
"Sukma mu mungkin percaya denganku. Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau tidak takut bila aku berbuat macam-macam terhadapmu?" pancing Panji lagi, seperti ingin mengetahui isi hati dara jelita yang sangat dicintainya.
"Mengapa harus takut? Selain aku sangat yakin terhadap kebersihan hati mu aku pun tidak takut diapa-apakan. Bukankah kalau kau ingin berbuat yang tidak-tidak, sudah dari dulu-dulu dapat melakukannya. Nyatanya, kau tidak pernah. Kau tetap menghormati ku, meskipun aku sendiri telah menyerahkan diriku bulat-bulat untuk mengabdi kepadamu. Jadi, apalagi yang harus kutakutkan...?" elak Kenanga.
Gadis itu kini semakin merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan kekasihnya. Lama gadis itu menikmati kedamaian dalam pelukan pemuda pujaannya. Sejak dulu ia memang sudah pasrah, karena tahu kalau Panji tidak akan pernah mau menodai cinta kasih mereka. Kenanga percaya penuh akan hal itu.
"Terima kasih, Kenanga. Aku benar-benar bahagia menerima kepercayaan dan cinta kasih yang tulus darimu...,"desah Panji sambil menunduk perlahan. Segera dikecupnya bibir indah kekasihnya penuh perasaan.
"Nah, sekarang ceritakanlah. Ke mana kau pergi dari pagi hingga siang ini...?" tanya Kenanga, setelah pemuda itu melepaskan pelukannya.
"Baiklah...," desah Panji. Segera saja Pendekar Naga Putih menceritakan pengalamannya. Sedang Kenanga hanya mendengarkan tanpa memotong cerita kekasihnya sedikitpun.
Malam mulai jatuh. Kegelapan yang merambat menyelimuti permukaan bumi, membuat suasana Desa Jipang menjadi sepi. Penduduk desa yang kebanyakan petani penggarap, sejak tadi telah meringkuk di atas pembaringan. Mereka beristirahat untuk menyediakan tenaga, setelah bekerja keras seharian penuh.
Pendekar Naga Putih saat ini juga, telah terbaring di atas pembaringan. Dia yang bersama kekasihnya menginap di salah satu rumah penginapan desa itu, telah pula berada di dalam kamar masing-masing. Bedanya, Kenanga telah tertidur lelap setelah mendengar cerita Panji tentang pengalamannya dalam menumpas tokoh sesat yang berjuluk Pemabuk Berhati Iblis. Sedangkan saat ini Panji masih belum bisa memejamkan mata. Pemuda itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran tak menentu.
"Aneh...," Bibir pemuda tampan itu menggerimit perlahan, sambil menghela napas beberapa kali dengan perasaan tak menentu. Kemudian, Pendekar Naga Putih bangkit perlahan dan duduk bersila di atas pembaringan. Sebentar kemudian, dia telah terlelap dalam semadinya. Rupanya, Panji memutuskan untuk bersemadi daripada termenung dengan pikiran mengembara.
Keanehan yang dialami Pendekar Naga Putih rupanya mempunyai hubungan erat dengan keadaan di luar penginapan. Memang pada saat menjelang tengah malam, tampak sosok-sosok bayangan hitam bergerak gesit mengepung rumah tempat Panji dan Kenanga menginap. Dari sikap yang mencurigakan, jelas kalau mereka mempunyai maksud tidak baik. Panji yang tengah tenggelam dalam semadinya, tersadar seketika. Pendengarannya yang tajam dan sangat terlatih, menangkap adanya langkah-langkah mencurigakan di luar kamar.
Maka, semadinya cepat-cepat diselesaikan. Dalam kegelapan kamar, karena sejak tadi sudah memadamkan pelita, Panji bergerak perlahan merebahkan dirinya kembali. Ia pura-pura terlelap untuk mengetahui kelanjutan dari langkah-langkah mencurigakan yang didengarnya di luar kamar. Sekejap pemuda itu teringat Pemabuk Berhati Iblis yang tewas di tangannya. Maka, langsung timbul dugaan kalau suara langkah kaki yang mendekati kamarnya pasti mempunyai hubungan dengan tindakannya pagi tadi.
Pendekar Naga Putih menahan nafasnya ketika mendengar daun jendelanya dibuka dari luar. Meskipun orang yang melakukannya sangat lihai dan hati-hati, tapi tetap saja semua itu tidak terlepas dari pendengaran Pendekar Naga Putih. Malah Panji tetap terbaring tenang, seolah tidak mengetahui hal itu.
Rupanya, sosok-sosok bayangan hitam yang mendatangi kamar Pendekar Naga Putih tidak bodoh. Tanpa melompat masuk, dua diantara mereka langsung melemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang menebarkan bau harum memabukkan.
Panji yang semula mengira kalau orang-orang yang mendekati kamarnya pasti akan melompat masuk, tentu saja menjadi terkejut. Apalagi, serangan senjata rahasia itu sama sekali tidak diduga sebelumnya. Dan karena untuk melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti yang dapat mengeluarkan kabut bersinar jelas dapat diketahui, maka Panji memutuskan untuk segera melompat bangkit. Tubuh Pendekar Naga Putih langsung melayang secepat kilat, menuju jendela kamar yang sedikit terbuka.
Braaakkk...!
Jendela kamar penginapan itu langsung jebol ketika Panji menerobos sambil mendorongkan telapak tangannya ke depan!
"Aaahhh...?!"
Enam sosok tubuh yang berada di luar kamar, menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka berlompatan mundur sambil memberondong senjata rahasia ke arah pemuda itu.
Whuuut! Whuuut! Siuttt...!
Senjata-senjata rahasia yang diduga mengandung racun dielakkan Pendekar Naga Putih dengan berjumpalitan ke atas setinggi beberapa tombak. Kemudian, tubuhnya meluncur turun setelah senjata-senjata gelap itu lewat di bawah kakinya. Pendekar Naga Putih yang baru saja meluncur turun dari udara, langsung disambut kembali oleh serangan-serangan enam sosok bayangan hitam yang rata-rata memiliki ilmu meringankan tubuh hampir sempurna. Tentu saja, hal itu membuatnya menjadi terheran-heran!
"Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih kembali berputar cepat ke depan. Begitu menjejak tanah, sebuah tendangan kaki kanan Panji langsung menghajar salah seorang lawan di belakangnya!
Bukkk!
"Uhhh...!" Sosok berpakaian serba hitam yang terkena tendangan keras pemuda itu langsung terjungkal ke belakang! Tapi, Panji kembali mengerutkan keningnya dengan wajah setengah tak percaya. Memang begitu terjatuh, sosok berpakaian hitam yang terkena tendangan keras itu langsung bangkit dengan sigapnya. Seolah, orang itu sama sekali tidak merasakan kerasnya tendangan Pendekar Naga Putih!
“Tahannn...!" Panji berseru sambil mengangkat tangannya untuk menghentikan pertarungan. Bentakannya yang keras dan menggetarkan isi dada, langsung menghentikan gerakan lawan-lawannya. Bahkan beberapa di antaranya tampak terjajar mundur diiringi keluhannya. Jelas, Panji mengerahkannya dengan tenaga dalam tinggi.
"Siapa kalian...?! Dan mengapa menyerangku tanpa sebab?" tanya Panji. Langsung dirayapinya wajah-wajah yang tersembunyi di balik kain hitam itu.
Namun, tak seorang pun yang menjawab pertanyaan pemuda itu. Mereka saling menatap satu sama lain. Kemudian, salah seorang di antaranya menggerakkan kepala sebagai isyarat. Bagaikan diberi aba-aba, enam sosok berpakaian hitam yang wajahnya terlindungi selembar kain hitam langsung berlompatan ke belakang secara bersamaan. Melihat sikap dan cara mereka, tahulah Panji kalau enam orang pengeroyoknya merupakan sebuah kesatuan yang kompak dan telah terlatih baik.
"Hmmm.... Siapa orang-orang tak dikenal ini...? Nampaknya mereka orang-orang terlatih yang sengaja dipersiapkan untuk membunuh. Gerakan mereka demikian rapi dan kompak...," gumam Pendekar Naga Putih seraya mengerutkan keningnya ketika melihat enam orang itu melompat mundur. Panji yang tengah sibuk memikirkan apa yang hendak dilakukan orang-orang itu selanjutnya, menoleh terkejut mendengar adanya suara pertempuran di tempat lain.
"Kenanga...!" seru Panji, perlahan. Pendekar Naga Putih langsung teringat gadis jelita kekasihnya yang tadi kelihatannya telah tertidur. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera saja melesat menuju kamar kekasihnya yang terletak di sebelah kamarnya. Usaha Pendekar Naga Putih ternyata tidak dibiarkan begitu saja. Enam sosok berpakaian hitam yang semula berlompatan mundur itu bergerak berbarengan, untuk mencegah pemuda itu.
"Haiiittt...!"
"Yeaaattt...!"
Karuan saja perbuatan keenam sosok bayangan hitam yang mencegahnya membuat Panji menjadi geram. Langsung saja tubuhnya berbalik dan menyambut serangan keenam orang itu!
"Hm... Kalian terlalu memaksa! Jangan sesali perbuatan kalian ini...!" geram Pendekar Naga Putih.
Whuuut! Whuuut!
Dua orang di antara mereka bergerak melontarkan pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin tajam! Langsung saja Panji memiringkan tubuhnya, kemudian langsung mengibaskan lengan kirinya menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Breeeshhh...!
Akibatnya tentu saja cukup hebat! Meskipun Panji tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, namun kibasan tangannya tentu saja sanggup meremukkan batu sebesar perut kerbau bunting sekalipun!
"Akhhh...!"
Dua orang berpakaian serba hitam yang terkena samburan angin dari kibasan tangan pemuda itu langsung terlempar deras ke belakang. Untunglah bukan tangan itu yang sampai mengenai tubuh mereka, karena keduanya sempat mundur ke belakang. Tapi meskipun hanya terkena sisa angin pukulan Panji, tak urung keduanya hampir terjungkal mencium tanah!
"Gila....?!" Terdengar dengusan salah seorang dari kedua sosok berpakaian hitam yang menandakan keterkejutannya begitu merasakan kelihaian pemuda tampan berjubah putih yang menjadi lawan mereka.
Bersamaan terdorongnya kedua orang sosok berpakaian hitam, empat lainnya segera bergerak mundur. Mereka seolah-olah sengaja memancing Panji untuk menjauhi kamar kekasihnya.
Panji yang sudah terlanjur geram, sama sekali tidak berpikir demikian. Hal itu karena ia telah percaya terhadap Kenanga. Gadis itu pasti bisa menjaga harga dirinya baik-baik. Memang, melihat kepandaian enam orang yang mengeroyoknya, Panji yakin gadis jelita itu pasti dapat mengatasinya, meskipun jumlah pengeroyok Kenanga mungkin juga sama dengan jumlah para pengeroyoknya. Pikiran itu membuat Panji segera memutuskan untuk menggempur lawan-lawannya.
Segera saja tubuhnya bergerak dengan jurus-jurus 'Ilmu Naga Sakti'nya. Karuan saja, gempuran Panji kali ini mem-buat enam orang laki-laki berpakaian serba hitam itu kelabakan! Untungnya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang rada tinggi juga. Sehingga meskipun agak terdesak, mereka masih juga sempat menyelamatkan diri dari sambaran cakar naga Panji!
Keenam sosok berpakaian serba hitam itu terus berlompatan secara bergantian ke belakang. Sehingga secara perlahan, pertarungan itu terus menjauhi ka- mar Kenanga. Bahkan telah pula keluar dari lingkungan rumah penginapan itu. Ketika desakan-desakan Pendekar Naga Putih semakin menghebat, mendadak keenam sosok tubuh itu meleset menggunakan ilmu larinya. Mereka segera meninggalkan Pendekar Naga Putih yang hanya terlongong heran.
"Hei, berhenti...!"
Pendekar Naga Putih tidak bisa terpaku dalam keheranannya. Maka diputuskannya untuk menangkap salah seorang dari mereka. Maksudnya untuk mencari keterangan, apa maksud orang-orang itu menyerangnya. Segera saja Pendekar Naga Putih melesat melakukan pengejaran! Meskipun ilmu lari lawannya rata-rata sangat mengagumkan, tapi bagi Panji tidak menjadi masalah.
"Haiiittt...!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, tubuh Pendekar Naga Putih telah cepat melayang. Kemudian, dia meluncur turun sejauh satu tombak di hadapan enam orang yang hendak melarikan diri.
"Hahhh...?!"
Keenam orang itu seperti belum mengenal betul, siapa pemuda tampan berjubah putih dihadapan mereka kini. Buktinya, mereka sangat terkejut melihat pemuda itu dapat mengejar dalam waktu singkat. Kini sadarlah keenam orang itu pemuda yang dihadapi bu-kanlah orang sembarangan.
"Hm.... Kalian datang tanpa diundang, dan langsung mencari keributan tanpa sebab. Lalu kini mau pergi begitu saja...? Huh! jangan harap dapat lolos sebelum menjelaskan apa maksud kalian hendak mencelakai ku?" desis Panji sambil melangkah lambat dengan tatapan tajam mencorong, menggetarkan dada lawan-lawannya.
Tanpa sadar, keenam orang lelaki berseragam hitam itu bergerak mundur karena perbawa yang timbul dari wajah maupun tatapan mata pemuda tampan di hadapan mereka demikian menggetarkan! Tapi dengan gerak tak terduga, tiba-tiba saja keenam sosok tubuh terbungkus pakaian hitam itu sama menggerakkan tangan secara berbarengan. Kemudian mereka langsung melemparkan benda-benda bulat sebesar telur burung puyuh ke arah Panji!
Wheeesss! Wheeesss...!
Sekali lihat saja, Panji langsung dapat menduga kalau senjata yang dilontarkan merupakan peledak yang bisa menewaskannya. Cepat-cepat diambilnya keputusan untuk menghindarinya dengan lentingan tinggi ke depan menuju ke arah enam orang berseragam hitam itu. Kemudian, tubuhnya berputar dan meluncur turun dengan kecepatan bagai seekor elang menyambar mangsa!
Namun, gerakan Pendekar Naga Putih ternyata masih kalah cepat. Begitu selesai melemparkan benda-benda bulat itu, keenam lawannya langsung melempar tubuh ke semak-semak yang banyak terdapat di sekitarnya. Bahkan kegelapan malam telah membantu mereka untuk meloloskan diri.
"Kurang ajar...!" desis Panji geram. Kemudian, pemuda itu kembali melenting ketika terdengar ledakan susul-menyusul di belakangnya.
Setelah mendaratkan kakinya di atas tanah, Panji mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya. Begitu ledakkan itu lenyap, keadaan pun sunyi seketika. Namun pemuda itu tetap bermaksud menangkap gerakan-gerakan di sekitarnya. Ia, memang merasa yakin kalau musuh-musuhnya pasti belum lari terlalu jauh.
"Haiiittt...!"
Ketika mendengar langkah yang sangat ringan di sebelah kirinya, cepat Panji berseru keras diiringi lesatan tubuhnya. Jarak sejauh tiga tombak lebih itu ternyata dapat dicapainya dengan sekali lompatan saja.
"Hei?! Mau lari ke mana kau, Pengecut..!" bentak Panji saat melihat sesosok bayangan hitam bergerak hendak melarikan diri. Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali se- belum meluncur turun.
Sosok berpakaian hitam yang hanya seorang itu jelas kelihatan sangat kaget melihat kehadiran Panji. Tanpa banyak bicara lagi, segera saja Panji diberondong dengan senjata-senjata rahasianya.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang sudah mengambil keputusan untuk menawan orang itu hidup-hidup, segera saja bergerak ke samping. Kemudian dia terus melesat dengan cengkeraman kedua tangan siap melumpuhkan lawan. Kepandaian orang itu ternyata tidak begitu tinggi. Nyata sekali kelemahannya saat hanya seorang diri. Jelas, kehebatan serta keuletannya hanya karena kerja sama yang serempak dengan kawan-kawannya. Sedangkan kalau sendiri, sepertinya orang itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Panji.
Kreeeppp! Tuggg...!
"Uhhh...!" Lelaki berpakaian serba hitam yang naas itu tak sanggup lagi menghindari serangan Pendekar Naga Putih. Tubuhnya langsung melorot jatuh seketika itu juga akibat totokan yang dilakukan Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih sempat mencari keterangan dari mulut orang itu, terdengar desingan-desingan senjata rahasia yang mengancam keduanya. Cepat-cepat Panji membalikkan tubuh sambil mengibaskan tangannya, untuk menghalau pergi senjata-senjata yang mengancam nyawanya. Tapi....
"Akhhh...!" Lelaki yang tertotok lumpuh oleh Panji, terdengar mengeluh tertahan. Tak lama kemudian, kepalanya langsung tergolek lemah. Jelas, kalau senjata rahasia yang mengenai orang itu mengandung racun mematikan!
"Bangsat licik !" dengus Panji geram. Pendekar Naga Putih benar-benar menjadi marah ketika melihat orang yang telah dilumpuhkannya tewas, dengan tiga buah jarum halus menancap dalam di bagian lehernya.
Dengan perasaan geram serta penasaran, pemuda itu bergerak bangkit. Namun, ia kembali menunduk memeriksa mayat orang itu ketika teringat orang yang terkena tendangan kerasnya ketika bertarung di penginapan tadi. Pendekar Naga Putih ingin tahu, apa gerangan yang membuat tendangannya bagai tidak berarti bagi orang-orang itu, melalui mayat laki-laki yang baru saja tewas oleh jarum-jarum beracun. Dan pemuda itu menjadi kecewa ketika tidak menemukan apa-apa di balik pakaian lelaki berseragam hitam yang tewas itu. Kini, Panji bergegas kembali ke penginapan, karena jelas tidak mungkin.
Tiba di tempat penginapan, kening Panji jadi berkerut ketika tidak melihat pertempuran lagi. Segera saja pemuda itu berlari ke kamar kekasihnya. Namun, kamar telah kosong tanpa penghuninya.
"Paman.... Apakah di antara para tamu disini ada yang melihat seorang gadis berpakaian serba hijau...?" tanya Panji, menghampiri salah seorang tamu penginapan yang tengah berkerumun dekat kamar kekasihnya.
"Aku tidak tahu, Anak Muda. Ketika mendengar suara ribut-ribut tadi, aku tidak berani keluar dari kamar. Baru setelah keributan tidak terdengar lagi, aku berani keluar kamar. Namun aku tidak melihat siapa-siapa lagi. Apalagi gadis berpakaian hijau kawanmu itu...," jawab lelaki setengah baya yang rupanya tahu kalau Kenanga adalah kawan pemuda itu.
"Kisanak. Aku tadi melihat kawanmu mengejar orang-orang berseragam hitam yang melarikan diri ke arah Selatan. Sepertinya, orang-orang jahat itu merasa gentar terhadap kawanmu yang ternyata sangat hebat ilmu silatnya. Aku sempat melihat ketika ia dikeroyok. Tapi..., aku hanya mengintainya dari balik jendela kamar...," ujar seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun tersenyum malu-malu.
Tapi, Panji sendiri sudah tidak memperdulikan ucapan orang itu selanjutnya. Pemuda itu langsung kabur ketika mendengar Kenanga mengejar lawannya ke arah Selatan. Tentu saja lenyapnya pemuda itu membuat para tamu menjadi gempar!
"Celaka...! Jangan-jangan tadi itu arwahnya yang merasa penasaran..., hiiiyyy...!"
Sambil merinding ketakutan, lelaki berusia tiga puluh tahun itu langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Memang, setelah bicaranya selesai tadi, ia tidak lagi menemukan pemuda tampan berjubah putih itu dihadapannya. Padahal sejak tadi tak seorang pun yang mengalihkan pandangan dari wajah pemuda tampan itu. Tentu saja sebagai orang awam terhadap ilmu silat, mereka menyangka pemuda itu pandai menghilang. Bahkan dianggap sebagai arwah!
Menjelang pagi, Panji kembali ke tempat penginapannya. Pemuda itu gagal mencari kekasihnya. Meski semalaman telah menjelajahi seluruh daerah disekitar Desa Jipang, namun jejak Kenanga tetap tidak ditemukan. Gadis jelita itu seperti lenyap ditelan bumi.
Tanpa sepengetahuan para tamu lain yang juga menginap dipenginapan itu, Panji menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau pemuda itu merasa cemas terhadap keselamatan kekasihnya. Mengingat kelicikan lawan-lawannya semalam, dikhawatirkan kekasihnya terjebak. Bahka nada kemungkinan ditangkap gerombolan orang-orang tak dikenal berpakaian serba hitam. Hanya itu dugaannya dan Panji merasa yakin kalau kekasihnya belum tewas.
Pendekar Naga Putih termenung di atas pembaringannya menghadap langit-langit kamar. Sejauh itu, belum juga ditemukan jawaban tentang orang-orang yang menyatroninya semalam. Meskipun pikirannya telah terkuras, tapi tetap saja jalan itu masih terlalu gelap. Selain itu ia pun merasa, sebagai orang yang selalu terlibat kekerasan, pasti banyak orang dari kalangan sesat yang mengincarnya untuk membalas dendam. Ataupun, melenyapkannya agar perbuatan jahat mereka tidak ada lagi yang menghalangi.
Ketika kamar-kamar penginapan mulai sunyi saat penghuninya tengah menikmati hidangan di kedai depan penginapan, Panji bergegas menuju kamar kekasihnya. Diambilnya buntalan pakaian Kenanga dan disatukan dengan pakaian-pakaiannya. Kemudian, dia menuju ruang makan.
Tapi baru saja Panji merapatkan pintu kamarnya, seorang pelayan bergegas menghampirinya. Meski dengan kening agak berkerut, Panji menghadapi pelayan itu dengan wajah tetap tenang. Setelah menyapa ramah, pelayan itu memperhatikan wajah serta pakaian yang dikenakan Panji. Puas meneliti, pelayan setengah baya itu bertanya ragu-ragu.
"Tuan! Benarkah Tuan yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih...?"
Panji tidak segera menjawab pertanyaan pelayan itu. Sejenak ditatapnya wajah pelayan setengah baya itu dengan sorot mata tajam. Tentu saja pelayan ini menjadi salah tingkah.
"Benar, Paman. Ada apa...?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih menghubungkan pertanyaan pelayan itu dengan kejadian semalam, sehingga membuat kekasihnya lenyap.
"Oooh.... Anu, Tuan pendekar...," sahut lelaki itu dengan sikap berubah jauh. Kali ini, setelah mengetahui kalau pemuda itu adalah seorang pendekar, iapun terlihat agak berlebihan dalam menghormat.
“Ya, Paman. Katakanlah, ada perlu apa...?" desak Panji yang menjadi tak sabar melihat sikap berlebihan orang tua itu. Jelas sikap pemuda itu agak berubah akibat lenyapnya gadis jelita yang sangat dicintainya. Kesabarannya yang selama ini selalu tergambar jelas pada wajah dan senyumnya, mendadak lenyap. Hatinya benar-benar cemas akan nasib Kenanga.
"Ng..., anu.... Di depan ada Tuan Pendekar Garuda Sakti yang hendak bertemu Tuan...," jelas pelayan setengah baya itu sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat.
"Pendekar Garuda Sakti...?" gumam Panji agak merenung. Setelah mengingat sejenak, namun tak juga mengenali orang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti itu, Panji mengangguk mengiyakan.
"Orang itu menunggu di ruang makan, Tuan Pendekar...," jelas pelayan setengah baya itu lagi, ketika melihat pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih termenung.
"Baik. Aku akan segera menemuinya...," sahut Panji, segera melangkah menuju ruang makan mengikuti pelayan itu. Panji terdiam sesaat ketika pelayan penginapan itu menunjuk ke arah seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun. Dia tampak tenang di sebuah sudut yang agak ke depan. Perlahan, pemuda itu melangkah mendekat.
Lelaki gagah yang wajahnya terhias kumis tebal itu bangkit, ketika melihat seorang pemuda tampan berjubah putih menghampirinya. Segera saja tubuhnya membungkuk hormat kepada Panji.
"Pendekar Naga Putih..., benar-benar suatu karunia besar karena aku dapat bertemu denganmu. Begitu mendengar khabar adanya seorang pemuda tampan berjubah putih bersama seorang dara jelita berpakaian hijau menginap di salah satu penginapan Desa Jipang ini, aku langsung saja bergegas ke sini. Sudah lama aku mengagumi sepak terjang mu dalam memerangi kaum sesat, Pendekar Naga Putih. Ah..., benar-benar beruntung sekali aku dapat bertemu langsung dengan pendekar besar yang menggemparkan dunia persilatan"
Lelaki gagah yang mengaku sebagai Pendekar Garuda Sakti itu langsung saja nyerocos sebelum Panji bertanya. Sehingga, pemuda itu merasa sedikit curiga terhadap sikapnya yang seperti terlalu berlebihan.
"Terima kasih atas pujian mu yang rasanya terlalu tinggi untukku itu, sahabat. Tapi, akupun sangat senang berjumpa denganmu. Sayang, aku hanya seorang pengembara yang kebetulan singgah di desa ini. Jadi, maaf kalau belum begitu mendengar tentang Pendekar Garuda Sakti," ucap Panji. Pendekar Naga Putih tampaknya menjadi mudah curiga sejak kejadian semalam, yang menyebabkan hilangnya Kenanga.
"Ah.... Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku memang kurang begitu terkenal di kalangan rimba persilatan. Tapi di daerah sekitar Desa Jipang, boleh dibilang akulah orang nomor satu. Maaf, bukannya bermaksud sombong. Apalah artinya seorang pendekar sepertiku bila dibandingkan nama besarmu, Pendekar Naga Putih. Mmm , oh! Panggil saja aku Gumang. Rasanya, kita akan lebih akrab bila hanya memanggil nama saja...," ujar Pendekar Garuda Sakti lagi sambil mempersilakan pemuda. itu duduk.
"Aku Panji," balas Pendekar Naga Putih, pendek. Panji mulai melenyapkan rasa curiganya terhadap Gumang. Pemuda itu tersenyum dan segera duduk menghadapi lelaki gagah yang mengaku bernama Gumang. Kemudian Pendekar Naga Putih memesan minuman kepada salah seorang pelayan.
"Mmm.... Kalau boleh aku tahu, kira-kira apa keperluan mu denganku, Gumang?" tanya Panji.
"Tidak ada yang khusus, Panji," sahut Gumang. "Jelasnya, aku hanya ingin berjumpa dan agar dapat mengenal lebih jauh denganmu saja. Mmm..., apakah kau tidak ingin memperkenalkan aku dengan tunangan mu? Kudengar, gadis jelita berpakaian hijau yang selalu bersamamu adalah calon istrimu. Betul demikian...?" Lanjut Gumang sambil melirik ke arah pintu yang menghubungkan ruang makan itu dengan kamar-kamar penginapan.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan atau permintaan Gumang. Dia malah meneguk airnya agar tidak kelihatan sedang termenung. Setelah beberapa saat kemudian, Panji menurunkan minumannya dan menatap wajah Pendekar Garuda Sakti didepannya.
"Gumang..." Panggil pemuda itu perlahan, "Sebagai orang nomor satu di daerah ini, pernahkah kau berjumpa orang-orang berseragam hitam, yang kemunculan mereka selalu berkelompok serta memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi...?" Pendekar Naga Putih mencari kesempatan untuk memperoleh keterangan tentang orang-orang yang semalam menyatroninya. Pertanyaan itu baru terpikir saat ia merenungtadi.
"Hm.... Orang-orang berseragam hitam yang muncul berkelompok, dan memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi..," Gumang bergumam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu berusaha berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Panji. Kelihatannya Pendekar Garuda Sakti hendak membantu pemuda itu.
"Kau pernah berjumpa orang-orang seperti yang kusebutkan itu...?" desak Panji lagi, tak sabar menunggu jawabannya.
"Mmm..., belum. Tapi, aku pernah mendengar tentang orang-orang itu. Kalau tidak salah, mereka meru-pakan pembunuh bayaran yang kabarnya sangat ditakuti kalangan persilatan. Mengapa kau tanyakan itu, Pendekar Naga Putih...?" tanya Gumang dengan kening berkerut.
Mau tidak mau, Panji terpaksa menjelaskannya. Sedangkan Pendekar Garuda Sakti mendengarkan penuh perhatian.
"Ah..., benar-benar cari penyakit!" geram Gumang setelah mendengarkan keterangan Panji. Jelas, lelaki gagah itu merasa marah sekali.
"Jadi, mereka berhasil menculik kekasihmu semalam...?" tanya Pendekar Garuda Sakti masih tidak percaya.
"Begitulah. Dan aku akan mencari, ke manapun mereka pergi...!" tegas Panji sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Aku akan mencoba mencari keterangan tentang tempat sembunyinya manusia-manusia laknat itu. Setelah itu, barulah kita bersama-sama menggempurnya!" ujar Gumang dengan semangat menyala-nyala.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu sangat menaruh perhatian terhadap kejadian yang menimpa diri kekasih Pendekar Naga Putih. Setelah berkata demikian, Gumang pamit. Dia berniat menanyakan sahabat-sahabatnya, tentang orang-orang berpakaian hitam yang menculik tunangan Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak meninggalkan penginapan untuk mencari kekasihnya, terpaksa harus menunda niatnya. Karena, Gumang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti menjanjikan untuk mencari keterangan tentang orang-orang yang menculik Kenanga. Sehingga, dia terpaksa menunggu di penginapan itu.
Pendekar Garuda Sakti yang sepertinya sangat bangga dapat melakukan pekerjaan untuk Pendekar Naga Putih, beberapa hari kemudian telah kembali mengunjungi tempat penginapan Panji. Kabar yang dibawanya pun cukup melegakan perasaan pemuda itu.
"Hm.... Jadi mereka memiliki perkumpulan yang cukup kuat?" tegas Panji setelah mendengar keterangan Gumang.
"Benar, Panji. Perkumpulan itu sendiri sangat rahasia. Jarang ada tokoh persilatan yang tahu, di mana sarang perkumpulan pembunuh bayaran yang bernama Naga Hitam itu. Untunglah, ada salah seorang kawanku yang secara tak sengaja pernah tersesat di daerah perkumpulan itu. Sayang, ia tidak mengetahui orang yang menjadi pimpinan perkumpulan pembunuh bayaran itu...," jelas Gumang lagi. Nada suaranya tersirat kebanggaan karena dapat membantu pendekar muda itu.
"Kalau begitu, sekarang juga aku harus menemui mereka," ujar Panji. Pendekar Naga Putih segera saja hendak menyatroni markas kelompok pembunuh bayaran yang telah menculik kekasihnya itu. Tapi, Gumang segera mencegahnya. Sehingga, kening pemuda itu sempat berkerut heran.
"Mengapa, Gumang? Bukankah lebih cepat akan lebih baik?" tanya Panji, seolah tak mengerti apa maksud Gumang sebenarnya sehingga mencegah kepergiannya.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Bukan maksudku mencegah keinginanmu itu. Tapi, aku merasa ragu. apakah mereka benar-benar telah menculik kekasihmu...?" ucap Gumang, menjelaskan duduk perkaranya.
"Sebenarnya aku juga kurang yakin, Gumang. Sebab, kalau benar mereka menculik kekasihku, pasti akan menghubungi ku? Tapi sampai hari ini, mereka ternyata sama sekali tidak menghubungi ku. Bukankah ini aneh...," Panji yang rupanya juga berpikiran sama dengan Pendekar Garuda Sakti, segera saja mengung-kapkan rasa penasarannya.
"Itulah yang ingin kukatakan padamu, Panji. Tapi kalau memang mereka tidak menculiknya, mengapa pula kekasihmu tidak kembali ke penginapan...?" tanya Gumang, mengerutkan keningnya seperti tengah berpikir keras untuk memecahkan masalah yang masih gelap itu.
Pada saat kedua orang itu tengah termenung mengikuti arus pikiran masing-masing, tiba-tiba seorang pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri.
"Tuan..., Tuan...!"
Pelayan setengah baya itu berteriak-teriak berlari ke arah mereka. Tentu saja Panji dan Gumang tersentak kaget, dan menoleh dengan kening berketut.
"Seorang pedagang keliling mengantarkan surat ini. Katanya surat ini untuk Tuan Pendekar Naga Putih...," lapor pelayan setengah baya itu sambil menyodorkan sepucuk surat kepada Panji.
Gumang tidak berkata sepatah pun pada saat Panji tengah membaca gulungan surat itu. Hanya saja, kening lelaki gagah itu agak berkerut melihat ketegangan dan kegusaran di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya mereka benar menculik Kenanga. Perkumpulan pembunuh bayaran Naga Hitam mengundangku untuk datang ke Lembah Bintang. Mereka akan membebaskan Kenanga, apabila aku menyerahkan diri...," gumam Panji menjelaskan isi surat itu. Sehingga, wajah Gumang tampak menegang.
"Lembah Bintang...?" desis Gumang dengan wajah agak pucat. Jelas lelaki gagah itu telah mengetahui lembah yang dimaksudkan kelompok pembunuh bayaran yang bernama Naga Hitam.
"Mengapa, Gumang? Apakah ada sesuatu yang menakutkan di lembah itu...? Apa kau sudah pernah mendatangi tempat itu sebelumnya?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih memang merasa heran melihat wajah sahabat barunya tampak pucat.
"Aku belum pernah ke lembah itu. Tapi kalau boleh ku nasehati, sebaiknya jangan datang ke lembah celaka itu, Panji " ujar Gumang menjelaskan kekhawatirannya. Semua itu tergambar jelas baik dari wajah maupun ucapannya.
"Hm.... Tidak mungkin, Gumang. Apapun yang akan dihadapi nanti, aku tetap harus datang memenuhi undangan mereka!" tegas Panji dengan suara mantap.
Pendekar Garuda Sakti menatap wajah Panji penuh kecemasan. Berkali-kali terdengar helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Beberapa saat lamanya, Gumang terdiam tanpa kata.
"Aku yakin, mereka pasti akan menjebakmu. Sepertinya, mereka telah diperalat orang lain untuk membunuhmu. Dan umpannya adalah kekasihmu yang sekarang di tangan mereka...," desah Gumang tanpa semangat. Wajah Pendekar Garuda Sakti tampak demikian kuyu. Sehingga, Panji semakin merasa suka dan bersyukur mendapatkan seorang kawan sebaik laki-laki gagah itu.
"Meskipun benar begitu, aku tetap akan memenuhi undangan mereka. kalau tidak, apa jadinya nasib kekasihku? Atau, kau mempunyai pikiran lain yang mungkin dapat dijadikan pilihan...?" tanya Panji, hendak mengetahui pendapat Gumang.
Lelaki gagah berkumis tebal itu hanya menggelengkan kepala tak. bergairah. Sepertinya Gumang ikut merasa susah memikirkan masalah yang dihadapi Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain. Aku harus pergi untuk menukar diriku dengan Kenanga. Atau kalau mungkin, aku akan menghadapi mereka untuk membebaskan kekasihku," kembali Panji menandaskan ucapannya yang sepertinya tidak mungkin dapat berubah lagi.
"Hhh Kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk meringankan persoalanmu, senang sekali rasanya. Sayang, aku hanyalah orang bodoh yang tidak mempunyai pendapat lain...," desah Gumang disertai helaan napas beratnya yang berkepanjangan.
"Terima kasih, Gumang. Kau tidak perlu berkecil hati. Apa yang selama beberapa hari ini kau lakukan untukku, itu rasanya sudah lebih dari cukup. Entah, bagaimana aku dapat membayar lunas hutang budi ini..,," kata Panji sambil menepuk-nepuk bahu Gumang.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang lelaki gagah itu sama terdiam tanpa kata. Mereka kembali termenung mengikuti arus pikiran masing-masing. Panji yang merasa tidak enak melihat wajah pendekar itu agak gelap, terpaksa menunda kepergiannya. Dan lagi waktu yang ditentukannya adalah tengah malam. Jadi rasanya masih banyak waktu bagi pemuda itu untuk memikirkan cara terbaik untuk membebaskan kekasihnya.
"Gumang...," panggil Panji dengan suara perlahan.
Namun, lelaki gagah itu tersentak kaget, karena terlalu tenggelam dalam lamunannya. "Ada apa, Panji...?" tanya Pendekar Garuda Sakti dengan mata berbinar. Seolah, ia mengharapkan Pendekar Naga Putih akan memintanya untuk ikut serta memenuhi undangan itu.
"Kira-kira berapa lama untuk bisa mencapai Lembah Bintang itu...?" tanya Panji, sekedar untuk melenyapkan kekakuan di antara mereka.
"Hm.... Untuk mendatangi Lembah Bintang dari Desa Jipang ini, mungkin hanya beberapa jam kalau dilakukan olehmu. Tapi kalau orang lain yang melakukannya termasuk aku, mungkin bisa satu hari satu malam...," jawab Gumang, singkat.
"Kalau begitu, aku harus segera berkemas. Sebab, waktu yang diberikan hanya sampai tengah malam...," kata Panji, segera bangkit dari duduknya.
"Panji...," panggil Gumang menahan langkah pemuda tampan itu, "Hati-hatilah. Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih jauh. Kalaupun aku memaksa ikut untuk menambah pengalaman, itu hanya akan menyusahkanmu saja. Jadi, sebaiknya aku pergi dulu. Semoga kau dapat menyelamatkan kekasihmu..." Gumang akhirnya berpamit kepada Panji, karena memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk pemuda itu.
"Baiklah. Terima kasih atas segala bantuanmu," ucap Panji tanpa berusaha mencegah kepergian lelaki gagah yang begitu mau bersusah payah membantunya. Setelah kepergian Pendekar Garuda Sakti, Panji bergegas ke dalam kamarnya dan membuntal pakaiannya. Usai membayar sewa penginapan, dia berangkat menuju Lembah Bintang.
Panji bergerak cepat meninggalkan Desa Jipang dengan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Pemuda itu berniat tiba lebih awal, agar bisa menyelidiki daerah sekitar Lembah Bintang. Karena diduga, bukan tidak mungkin musuh-musuhnya telah memasang perangkap atau jebakan untuk menewaskannya. Pikiran itulah yang membuat Panji berlari bagaikan orang dikejar setan.
Menjelang senja, Panji telah tiba beberapa puluh tombak di bawah kaki Gunung Burangkang. Memang, dibawah kaki gunung itulah Lembah Bintang terletak. Dengan memperlambat gerak langkah larinya, Pendekar Naga Putih terus mendekati kaki Gunung Burangkang melalui jalan yang agak tersembunyi. Ketika bulan telah menampakkan wajahnya yang bulat, Panji pun telah berada di daerah sekitar Lembah Bintang.
"Aneh.... Lembah yang terdiri dari batu-batu berlumut inikah yang menurut Gumang menyeramkan...?Lalu, dimana letak keangkerannya...?" gumam Panji menatapi lembah di bawahnya dari balik rimbunan semak belukar.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut agak heran melihat Lembah Bintang. Karena sejauh mata memandang, tak satu pun yang bisa menimbulkan keseraman. Sehingga, pemuda itu menjadi tak mengerti ketika dengan rasa takut dan dengan wajah pucat Pendekar Garuda Sakti membicarakan lembah itu.
Ketika malam sudah mulai larut, Panji bergerak hati-hati menuruni lembah. Ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan hingga puncaknya. Pendengarannya dipasang tajam-tajam untuk mendengar suara-suara yang bisa menimbulkan kecurigaan. Sepasang matanya mencorong tajam, bagaikan mata seekor naga di kegelapan. Sedangkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya, siap menyebar melindungi tubuhnya.
"Hua ha ha...! Untuk apa mengendap-endap seperti maling yang hendak mencuri, Pendekar Naga Putih! Kau tidak perlu khawatir. Tempat ini tidak ada jebakan atau perangkap satupun...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergema memenuhi Lembah Bintang, yang disusul suara parau dan berat. Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak mengetahui di mana musuh-musuhnya bersembunyi. Sadar kalau kedatangannya sudah diketahui lawan, Panji pun menegakkan tubuhnya. Sambil melangkah penuh waspada, dikitarinya sekitar Lembah Bintang dengan sorot mata yang bagaikan menyala di kegelapan.
Sementara sinar bulan yang semula memancar, telah tertutup awan hitam, membuat suasa Lembah Bintang menjadi gelap. Apalagi, hembusan angin demikian keras hingga membuat jubahnya berkibar. Tapi, Pendekar Naga Putih terus bergerak maju tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Hei, mengapa kalian bersembunyi? Aku sudah datang memenuhi undangan kalian! Bebaskan kawanku, atau kuhancurkan lembah ini...!" Panji berteriak disertai pengerahan tenaga saktinya. Tentu saja suaranya menimbulkan gaung yang menggetarkan.
Suasana kembali sunyi ketika gema suara pemuda perkasa itu lenyap ditelan hembusan angin yang sangat keras. Beberapa saat kemudian, telinga Pendekar Naga Putih mendengar banyak suara langkah kaki orang daridepannya. Panji termenung sambil mencoba menghitung jumlah lawan melalui langkah-langkah kaki. Kemudian kepalanya diangkat setelah dapat menebak jumlah lawan.
"Hm..., dua belas orang rasanya tidak terlalu banyak. Aneh, mengapa mereka tidak membawa jumlah yang lebih banyak? Ataukah semua yang datang merupakan pentolan pembunuh bayaran perkumpulan Naga Hitam...?" gumam Panji seperti bicara sendiri. Selain itu, Pendekar Naga Putih juga menangkap adanya langkah yang terseret-seret dengan paksa. Berdebar hati Panji, karena diduga langkah terseret itu pastilah langkah kekasihnya yang ditawan mereka.
Panji tidak perlu menunggu lama, karena beberapa saat kemudian tampaklah belasan sosok tubuh yang berlarian menuju ke arah aliran sungai yang membentang di bawahnya. Bergegas pemuda itu mengikutinya, dan baru berhenti dalam jarak tiga tombak. Dan kini tampaklah belasan sosok tubuh terbungkus pakaian hitam.
"Nah, Pendekar Naga Putih! Sekarang kau boleh pilih. Menyerahkan diri agar nyawamu bisa kami cabut, atau terpaksa dara jelita ini kami lemparkan ke sungai" Terdengar salah seorang dari sosok-sosok tubuh itu berteriak memberikan pilihan kepada Pendekar Naga Putih.
Panji melangkah beberapa tombak lagi untuk menegasi raut wajah sosok yang berbicara itu. Tampak seorang lelaki tua berpakaian serba hitam, berusia sekitar enam puluh tahun. Sepasang matanya tampak menyorot tajam menggetarkan jantung. Jelas, hal itu menandakan kalau lelaki tua itu bukan orang sembarangan.
Di sebelah kanan lelaki tua itu berdiri seorang lelaki tinggi kurus. Tingginya hampir satu setengah kali tinggi manusia biasa. Sepasang mata lelaki jangkung berusia lima puluh tahun lebih itu pun menimbulkan perbawa menggetarkan. Tahulah Panji, ia kini berhadapan dengan datuk-datuk golongan hitam. Memang hanya orang-orang tingkat tinggilah yang memiliki sinar mata demikian tajam!
Sedangkan sepuluh orang lainnya tidak begitu diperhatikannya. Karena wajah mereka terlindung kain hitam. Pendekar Naga Putih pun menduga, mereka itulah orang-orang yang menyatroninya di penginapan. Sepasang mata Panji semakin mencorong ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian hijau yang tubuhnya terikat tali. Dua orang berpakaian hitam tampak memegangi sosok yang jelas seorang wanita itu. Sayang, wajah sosok ramping itu tidak begitu jelas karena terhalang rambutnya yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. Kepala gadis itu tertunduk seperti tidak sadarkan diri.
"Kenanga...!" desis bibir Pendekar Naga Putih dengan hati berdebar. Hati Panji bagaikan teriris melihat kekasihnya sangat menderita, seperti itu. Terdengar suara berkerotokan dari buku-buku jari tangannya ketika tinjunya dikepalkan erat-erat. Pandangan Panji kembali beralih ke arah dua sosok tubuh yang diduga merupakan pimpinan musuh-musuhnya. Setelah menarik napas untuk menenteramkan hatinya, pemuda tampan itu menatap tajam ke arah musuh-musuhnya.
"Rasanya dapat kuduga, siapa kalian berdua, Orang Tua. Kalian adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Tapi, tak kusangka datuk-datuk terhormat seperti kalian demikian bersifat merendah dengan melakukan perbuatan selicik ini. Menurutku, kalian berdua lebih pantas menjadi penjahat-penjahat rendah yang tidak patut untuk menjadi seorang datuk....," geram Panji sambil menatap tajam kedua orang datuk sesat itu.
"He he he he"
Terdengar gema tawa perlahan yang lembut dari sosok bertubuh jangkung yang tak lain Petapa Gunung Kulon. Datuk sesat yang menyembunyikan kekejamannya di balik sifat lembut dan pakaian pertapanya, kelihatannya sama sekali tidak tersinggung oleh ucapan Panji.
"Pendekar Naga Putih! Orang-orang seperti kami yang berdiri di barisan golongan sesat, tidak ada lagi kata licik atau sifat rendah. Bagi kami, semua yang kami lakukan adalah halal. Jadi, tidak ada gunanya memancing harga diri kami agar membebaskan gadismu itu. Lebih baik, putuskanlah. Nyawamu, atau nyawa kekasihmu yang jelita itu," ujar Pertapa Gunung Kulon dengan suara lembut dan terkesan penuh kesabaran.
"Bangsat rendah...!" maki Panji sambil bergerak maju mendekat. Hati pemuda itu merasa geram sekali karena disodorkan pilihan yang sangat sulit.
"Jangan mendekat..!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala botak. Pada telinga kirinya menggantung anting-anting dari emas. Dan dia langsung memerintahkan dua orang anak buahnya yang memegang gadis berpakaian hijau itu, untuk menjauh.
"Hm..., Datuk Naga Hitam!" sentak Panji dengan suara garang, "Kau tidak pantas menjadi seorang datuk kaum sesat, dengan jiwa yang sangat kerdil dan pengecut!"
"He he he.... Makilah sampai mulutmu berbusa, Pendekar Naga Putih. Semua ini kaulah yang mencarinya. Beberapa hari yang lalu, kau telah membunuh saudara seperguruanku di Hutan Sindang. Jadi, sekarang rasakanlah pembalasanku...," sahut Datuk Naga Hitam, kalem. Bahkan makian Pendekar Naga Putih malah disambut dengan gelak tawa yang berkepanjangan.
"Keparat! Pantas kau tidak jauh berbeda dengan tokoh gila pemabukan itu! Rupanya kau ingin membalas dendam terhadapku. Tapi, sayangnya hatimu licik dan rendah. Kau tidak berani menghadapiku secara jantan. Sehingga, harus melakukan perbuatan sehina ini!" geram Panji lagi.
Kini, Pendekar Naga Putih mulai mengerti, mengapa Datuk Naga Hitam sampai ingin membunuhnya. Rupanya datuk sesat itu merupakan saudara seperguruan dari Pemabuk Berhati Iblis yang dibunuhnya beberapa hari yang lalu.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Cepat kau pilih! Nyawamu, atau nyawa kekasihmu...! Ku hitung sampai tiga...!" bentak Datuk Naga Hitam yang tidak ingin memberi kesempatan kepada Pendekar Naga Putih untuk berpikir lebih jauh.
Panji menggeram gusar. Jelas, untuk mengambil keputusan itu sangat sulit baginya. Sejenak ditatapinya wajah sosok tubuh ramping itu dengan sorot tajam. Seolah-olah ia ingin melihat wajah gadis yang tertutup rambut itu. Sayang, Kenanga tidak sadarkan diri. Kalau saja sadar, ada kemungkinan gadis itu memberikan pilihan untuk mengambil keputusan. Kini beban itu harus ditanggung sendiri. Sehingga, tentu saja sukar sekali bagi Panji untuk memutuskannya.
"Dua...! terdengar Datuk Naga Hitam kembali melanjutkan hitungannya.
Pendekar Naga Putih menatap wajah datuk sesat itu berganti-ganti. Kemudian, tatapannya beralih ke arah sosok Kenanga. Seolah-olah dia mengharapkan agar gadis itu sadar dari pingsannya.
"Bawa gadis itu kemari...!" kembali Datuk Naga Hitam memberi perintah ketika Panji belum juga menjawab. Segera saja kedua orang berseragam hitam itu membawa sosok Kenanga ke dekat tebing, siap untuk dijatuhkan ke bawah sungai yang mengalir deras.
"Ti...,"
Tahaan...!" Cepat Panji berteriak mencegah sambil melesat hendak mendekati tebing.
Namun delapan orang berseragam hitam yang sejak tadi memperhatikannya, segera saja membentuk barisan menghadang Pendekar Naga Putih agar tidak mendekat. Tentu saja perbuatan orang-orang berseragam hitam itu membuat Panji jengkel. Bahkan tangannya telah siap terangkat untuk melontarkan pukulan maut.
Melihat Pendekar Naga Putih siap mengamuk, cepat Datuk Naga Hitam memerintahkan untuk melemparkan gadis tawanannya ke dalam sungai. Sehingga, Panji terpaksa menelan kembali kemarahannya.
"Bangsat licik...!" umpat Pendekar Naga Putih, diiringi suara berkerotokan dari jari-jarinya yang mengepal. Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat tak berdaya oleh golongan sesat itu, dengan adanya Kenanga di tangan mereka.
"Sekarang melompatlah ke dalam sungai itu, Pendekar Naga Putih. Jika masih juga membantah, kekasihmu inilah yang akan kulemparkan ke bawah sana!" Datuk Naga Hitam yang sepertinya merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membantah kembali, segera mendorong tubuh gadis tawanannya semakin dekat ke tepi.
"Tunggu...!" seru Panji dengan wajah merah padam, karena tidak berdaya menghadapi kelicikan datuk sesat itu. "Baiklah. Aku akan menuruti perintah kalian, asalkan kekasihku dibebaskan terlebih dahulu."
"Ingat, Pendekar Naga Putih! Bukan kau saja yang berhak mengajukan syarat. Tapi juga kami. Untuk itu, kaulah yang harus menuruti perintah kami," timpal Petapa Gunung Kulon. Sepertinya, datuk sesat yang satu itu juga sudah tidak sabar melihat kebandelan Pendekar Naga Putih.
"Hmmmhhh...!" Panji mengeram gusar mendengar ucapan lawannya. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti kemauan lawan-lawannya.
"Rupanya, sampai di sinilah akhir petualanganku," gumam Panji dalam hati sambil melangkah ke tepi jurang. Pendekar Naga Putih semakin melangkah mendekati jurang yang dibelah oleh sungai yang tampak deras sekali. Langkahnya tampak mantap, penuh kepasrahan pada Yang Maha Pencipta.
"Ingat, manusia-manusia licik! Apabila aku telah tewas dan kalian tidak membebaskan kekasihku maka aku bersumpah akan mengejar kalian! Meskipun, aku sudah berada di alam lain...! Aku tidak akan pernah puas sebelum menghirup darah hitam kalian...!"
Demikian kata-kata terakhir pemuda itu, sehingga membuat bulu roma para tokoh sesat sampai berdiri. Jelas nyali mereka terasa ngeri mendengar sumpah yangdikeluarkandengansuaradingindandataritu. Datuk-datuk sesat itu sama sekali tidak menjawab kata-kata Panji. Mereka hanya berdiri menatap pemuda itu, yang kemudian menerjunkan dirinya ke dalam aliran sungai yang sangat deras.
"Ha ha ha...! Dengan lenyapnya Pendekar Naga Putih, maka tidak akan ada lagi yang berani menghalangi kita...!" Tawa Datuk Naga Hitam berderai, seiring dengan melayangnya tubuh Pendekar Naga Putih ke dasar sungai.
Gadis tawanan yang sejak tadi tak sadarkan diri, terlihat mengangkat kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih melayang-layang. Sekilas, terlihat senyum dingin menghiasi wajahnya yang masih tertutup sebagian rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi gelak tawa yang berkepanjangan, gembong-gembong golongan sesat itu pun pergi meninggalkan tepian sungai. Sementara tubuh Pendekar Naga Putih telah jatuh ke dalam air, dan terus hanyut terbawa arus sungai yang demikian deras.
Sementara itu, tubuh Pendekar Naga Putih terus terseret arus sungai yang mengalir deras. Panji sendiri mencoba menggapai-gapai untuk mencari pegangan, namun arus sungai sangatlah kuat. Di samping itu, di sungai rupanya tidak ada satu pun yang dapat dibuat pegangan. Apalagi, keadaan sangatlah gelap. Sehingga, Panji bagaikan orang buta yang menggapai di kegelapan.
Air sungai yang ganas itu terus menyeret tubuh Pendekar Naga Putih tanpa ampun. Sedangkan pemuda itu sendiri sama sekali tidak berdaya menghadapi keganasan alam. Hingga, akhirnya dia hanya pasrah sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tubuh agar tidak sampai mengalami luka parah. Meskipun sungai itu dengan ganasnya mengombang-ambingkan dan melemparkan tubuhnya kian kemari, Panji tetap berusaha sadar. Karena kalau sampai jatuh pingsan maka kemungkinan untuk hidup sangatlah tipis.
Entah, sudah berapa lama tubuh pemuda itu dipermainkan air sungai. Yang jelas, Panji merasakan tubuhnya sangat lelah, dan tenaganya seperti terkuras habis. Sehingga, batu-batu padas yang bertonjolan di dinding sungai mulai menggores tubuhnya. Darah pun mulai mengalir dari luka-luka kecil yang terasakan sangat perih. Pakaiannya sendiri sudah compang-camping tidak karuan.
Hingga akhirnya, pemuda itu terus terbawa ke sebuah muara yang terdapat pusaran maut. Rupanya, pusaran air itulah yang membuat Lembah Bintang sangat ditakuti. Memang tidak sedikit tokoh persilatan yang tewas di dalam pusaran maut itu.
Panji yang keadaan tubuhnya sudah semakin melemah, mengeluh ketika tahu kalau tubuhnya terseret ke dalam pusaran maut itu. Hingga akhirnya, tubuh pemuda itu tenggelam dan lenyap ke dalam pusaran maut. Pada saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran maut, Panji menarik napas dalam-dalam. Karena, disadari, kalau tubuhnya akan tenggelam ke dalam air yang bagaikan tidak berdasar. Sehingga pada suatu saat, tubuhnya bagaikan dilemparkan air kedaratan!
Bruuuggg!
"Aaakh...!"
Panji menjerit kesakitan ketika tubuhnya membentur benda keras yang dasarnya tidak rata. Karena tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa lelah, akhirnya Panji jatuh tak sadarkan diri. Cukup lama tubuh pemuda perkasa itu tergolek pingsan setelah dipermainkan air sungai yang ganas. Keadaan sekeliling yang remang-remang, membuat Panji yang mulai sadarkan diri itu tidak tahu, apakah hari masih malam atau pagi. Yang jelas, pemuda itu merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk dan sakit-sakit. Maka meskipun telah sadarkan diri, pemuda itu masih belum sanggup untuk bangkit berdiri.
"uh...!” Panji mengerang ketika mencoba bergerak, sekujur tubuhnya dirasakan sangat linu. Goresan-go- resan di seluruh tubuhnya pun menimbulkan rasa pe- rih yang luar biasa. Akhirnya, pemuda itu tidak berusaha bangkit, dan tetap rebah terlentang tanpa bergerak sedikit pun.
Dalam keadaan setengah sadar, Pendekar Naga Putih mencoba mengatur napas dengan maksud memulihkan tenaganya. Hatinya mulai merasa lega ketika tenaga saktinya mulai bergerak menyebar ke seluruh tubuhnya. Meskipun tenaga itu belum dapat digunakan untuk membuatnya sanggup berdiri, tapi Pendekar Naga Putih sudah mulai merasa tenang. Perlahan perhatiannya mulai dialihkan ke sekeliling tempat itu.
"Di manakah sebenarnya aku berada...?" desis Pendekar Naga Putih itu dengan wajah keheranan. Karena, sekelilingnya hanya terdapat dinding-dinding berbatu sangat kasar, persis seperti keadaan dinding goa. Merasa belum percaya akan apa yang dialaminya, Pendekar Naga Putih kembali memejamkan matanya, dan mengatur pernafasannya.
Begitu kesehatannya terasa sudah hampir pulih, Panji bergerak bangkit perlahan. Pemuda itu berdiri tegak sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sebentar kemudian, tampaklah lapisan kabut bersinar putih keperakan menyelubungi sekujur tubuhnya.
"Hhh...," Panji menarik napas penuh kelegaan. Dengan wajah yang mulai nampak segar, pemuda itu merayapi daerah sekitarnya. Namun sejauh matanya memandang, yang terlihat hanyalah dinding-dinding batu kasar yang bertonjolan. Lubang-lubang besar yang terdapat batu-batu runcing di langit-langitnya, membuat Panji sadar kalau dirinya berada di dalam perut bumi. Selain itu ia merasa hawa lembab berbau tanah basah, juga menandakan kalau ia berada jauh di bawah tanah.
Masih dengan pikiran tidak menentu, Panji melangkah menyusuri jalan berair dangkal. Satu-satunya pikiran yang memenuhi benaknya saat itu ialah, mencari jalan keluar untuk mengetahui nasib kekasihnya.
Jalan berair dangkal yang semula disusurinya, makin lama semakin dalam. Sehingga, Panji mengambil jalan melalui sebuah gua yang cukup besar. Dataran di dalam gua itu sangat berbeda jauh dengan yang barusan dilaluinya. Tanah di tempat itu tampak gembur, seperti mengandung pasir. Meski demikian, Panji bertekad untuk mengetahui ke mana lorong gua itu akan membawanya.
"Eh...!?" Panji menancapkan kakinya kuat-kuat ketika tanah yang dipijaknya terasa bergetar. Semula getaran itu dikira ditimbulkan oleh gempa. Namun ketika melihat adanya sesuatu yang menyembul dari dalam tanah, sadarlah Panji bahwa makhluk itulah yang telah membuat tanah di bawahnya bergetar. Cepat pemuda itu melangkah mundur dengan hati tegang!
"Earrrggghhh...!"
Makhluk yang bentuknya sangat aneh dan menyeramkan itu meraung, menatap Panji dengan sepasang mata yang merah menyala. Tubuhnya yang panjang dan dihiasi gelang-gelang di sepanjang badannya, membuat Panji sempat terbelalak dengan kening berkerut.
"Gila! Binatang apa ini...?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Makhluk yang bentuknya mirip seekor ular raksasa itu benar-benar mengerikan. Taring-taringnya yang tajam dengan lendir-lendir di sekitar mulutnya, membuat Panji hendak berbalik dan lari keluar gua. Tapi, niat itu ditundanya ketika dari belakangnya pun mulai bermunculan makhluk-makhluk serupa.
"Aaahhh?!" Panji kembali terpekik mundur melihat makhluk-makhluk menyeramkan itu terus bermunculan di sekelilingnya. Sadar kalau tidak mempunyai jalan lain untuk keluar kecuali menghadapinya, Panji segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Untunglah tenaga saktinya telah dapat bekerja kembali dengan baik. Kalau tidak, rasanya riwayat Pendekar Naga Putih akan berakhir amat mengenaskan!
"Hmmmhhh...!"
Disertai geraman yang menggetarkan langit-langit gua, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan! Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, berhembus keras. Tubuhnya pun telah pula terlindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Broolll...!
Terkejut bukan main hari Pendekar Naga Putih ketika dari bawahnya, tiba-tiba muncul seekor makhluk yang langsung menggigit kaki kanannya. Cepat pemuda itu bertindak, mengayunkan tangannya dengan gerakan membacok!
"Hiaaahhh...!"
Whuuuttt....! Deeesss...!
Makhluk yang berupa seekor ular raksasa dengan tubuh bergelang-gelang itu meraung ketika sisi telapak tangan Panji menghajar telak lehernya. Namun, Panji sendiri sangat terkejut merasakan telapak tangannya bagaikan menghantam sebatang benda kenyal, bagai bongkahan karet saja.
"Gila! Tubuh makhluk celaka ini ternyata sangat kuat dan memiliki kekebalan yang aneh...!?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Sungguh tidak disangka kalau pukulannya hanya membuat makhluk itu meraung kesakitan. Padahal menurut perkiraannya, makhluk aneh itu seharusnya tewas akibat tebasan telapak tangannya. Pendekar Naga Putih terus berpikir keras mencari cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk mengerikan itu. Hingga akhirnya, diputuskannya untuk menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memiliki sifat panas.
"Hm..., mengapa tidak?" desis Panji sambil menarik kembali 'Tenaga Sakti Gerhana' Bulan'nya, "Bukankah makhluk-makhluk celaka ini memiliki tubuh yang dingin dan kenyal. Satu-satunya jalan untuk melenyapkan hanyalah menggunakan tenaga yang bersifat panas" Dengan mengandalkan pikiran itu, Panji segera memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang tercipta dari Pedang Naga Langit.
"Hhh...!" Diiringi helaan nafasnya, muncullah sinar kuning keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Seketika itu juga, hawa panas pun menebar memenuhi lorong gua yang luas itu.
"Earrrggghhh...!
Binatang-binatang aneh itu terlihat marah ketika merasakan adanya hawa panas yang menebar dari tubuh Pendekar Naga Putih. Tanpa memperdulikan kemarahan binatang-binatang itu, Panji segera saja mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.
"Heaaahhh...!"
Whuuusss...! Blaaarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan sekali akibat dorongan sepasang tangan Panji. Balasan makhluk-makhluk mengerikan itu langsung terlempar seiring ledakan keras yang meruntuhkan langit-langit gua. Cepat Panji melompat menghindari batu-batu runcing yang berjatuhan dari langit-langit gua.
Melihat pukulannya berhasil membuat makhuk-makhluk itu hancur berkeping-berkeping, Panji cepat melesat ke depan meninggalkan gua itu. Kemudian, dia terus berlari tanpa memperdulikan air yang membasahi hingga ke lututnya. Entah sudah berapa lama pemuda itu berlari tanpa henti. Langkahnya baru melambat ketika sudah memasuki tempat yang cukup luas. Cepat ia melompat ke darat, ketika melihat adanya tanah lembab di tepi aliran air itu.
"Haaaff!?"
Ketika lewat di depan sebuah mulut gua yang lebar, tiba-tiba saja Panji memekik kaget. Cepat Pendekar Naga Putih menancapkan kedua kakinya di atas tanah hingga melesak melewati mata kaki. Memang pemuda itu merasakan adanya suatu tenaga aneh yang menyeretnya ke dalam gua.
"Gila! apa lagi ini...!?" seru Panji membayangkan makhluk-makhluk aneh yang mungkin akan muncul kembali entah dalam bentuk apa.
Tapi, kekuatan aneh itu semakin kuat menarik tubuhnya. Sehingga Panji terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya, untuk bertahan. Meski demikian, karena tanah yang dipijaknya sangat lembab dan licin, akhirnya tubuhnya terseret ke dalam gua beserta tanah yang memendam kakinya.
"Hi hi hi...!"
Bulu roma di tengkuk Panji meremang ketika telinganya menangkap suara tawa mengikik yang berkepanjangan.
"Gila! Makhluk seperti apa lagi yang akan kutemui di dalam perut bumi ini...?" desis Panji.
Akhirnya Pendekar Naga Putih membiarkan tubuhnya tersedot ke dalam gua besar itu. ia hanya mengimbangi agar tubuhnya tidak sampai terjerunuk kedepan.
Kegelapan dan bau tanah lembab menyambut kedatangan Pendekar Naga Putih di dalam gua itu. Namun, tubuhnya terus tersedot hingga ke sebuah ruangan lebar yang agak terang. Panji sendiri tidak mengerti, apa yang membuat ruangan lebar itu tidak gelap seperti lorong gua yang baru dilaluinya.
Ketika tenaga yang menyedot tubuhnya terasa telah lenyap, Panji segera mengendurkan tenaganya. Untuk beberapa saat lamanya, dia seperti merasa silau oleh pantulan cahaya yang berasal dari dinding dan langit-langit gua. Pancaran sinar kekuningan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, apa yang terkandung di dalam dinding dan langit-langit gua itu.
"Hi hi hi...! Selamat datang, anak manusia...! Akhirnya ada juga orang yang akan menemaniku di perut bumi ini...!"
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika mendengar suara nyaring yang bagai menusuk telinga. Cepat wajahnya menoleh ke arah sumber suara. Dan..., hampir tidak dipercayainya ketika melihat sesosok tubuh ringkih yang rambut putihnya sudah hampir tidak tersisa. Satu-satunya yang membuat Panji mengenali kalau sosok itu wanita adalah buah dada yang menggantung bagai balon kempes di tubuh sosok tulang terbalut kulit keriput itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri bengong menatapi sosok wanita yang sangat tua itu. Nenek yang entah usianya sudah berapa ratus tahun itu hanya mengenakan selembar kain usang, menutupi bagian pinggang hingga ke lututnya. Sedangkan tubuh bagian atasnya polos tanpa selembar benang pun.
"Hei, mengapa menatap ku seperti itu? Kau mempunyai pikiran jelek, ya? Kau suka dengan tubuhku, ya? Ayo, jawab! Mengapa kau diam saja? Berbicaralah! Sudah puluhan tahun aku tidak pernah mendengar suara manusia di sini. Aku rindu sekali mendengar suara manusia untuk kuajak bercakap-cakap. Berbicaralah, Anak Muda tampan! Jangan menyiksaku dengan membisu seperti itu"
Dari marah, suara nenek itu akhirnya terdengar memelas. Dia meminta Panji untuk berbicara atau mengatakan sesuatu agar telinganya bisa mendengar suara makhluk sejenisnya kembali. Jelas, otak nenek itu kurang waras. Sebenarnya Panji merasa geli mendengar nenek itu menuduhnya mempunyai pikiran jelek dan menyukai tubuhnya. Tapi, dia tidak berusaha menyinggung perasaan nenek itu dengan senyumnya. Apalagi dengan tawanya.
"Nenek yang baik. Aku tidak tahu, siapa adanya Nenek. aku berada di sini bukan atas kemauanku sendiri. Tapi, orang-orang jahat di luar sanalah yang membuatku sampai di tempat celaka ini. Namaku Panji. Kau sendiri siapa, Nek?" tanya Panji sambil berdiri tegak, karena nenek itu tengah menghampirinya.
"Bodoh! Kau tidak pantas menyebutku Nenek, Pemuda tolol! Panggil aku, Uyut. Karena, usiaku jauh lebih tua daripada nenekmu yang berada jauh di atas sana. Dan bukan di luar! Huh! Sial betul aku ini. Dapat teman, ternyata seorang pemuda sinting yang berotak udang!" umpat nenek itu menyalahkan ucapan dan sebutan Panji. Bahkan tanpa memperdulikan perasaan Panji, enak saja nenek itu memakinya sebagai pemuda sinting berotak udang.
Tentu saja Panji menjadi kaget mendengarnya. "Sinting...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat merasa kesal karena dirinya dimaki sedemikian rupa. Namun dia tidak berani mengucapkannya, karena khawatir tingkah nenek itu akan semakin menggila. Biar bagaimanapun, ia harus bersyukur dapat bertemu manusia lain di dalam perut bumi ini.
"Eh, dasar pemuda sinting! Mengapa kau malah diam? Ayo, panggil aku Uyut! Atau, kau tidak suka kepadaku, ya? Kau ingin minggat, ya? Ingin meninggalkan aku sendirian, ya? Huh! Tidak bisa..., tidak bisa...," dengus nenek itu sambil menggoyang-goyangkan tangan dengan kepala menggeleng-geleng keras.
"Celaka ...!" desis Panji. Sepertinya, nenek gila itu tidak akan membiarkan Panji pergi dari alam bawah tanah itu. Tentu saja hal itu membuatnya cemas.
"Maaf, Uyut. Aku memang tidak akan pergi dari perut bumi ini. Lagi pula, mana ada jalan keluar dari Neraka ini? Kalaupun ada, pastilah Uyut tidak akan tinggal di sini, bukan?" sahut Panji dengan suara yang cukup keras. Sengaja semua itu dikatakannya untuk memancing pendapat nenek itu. Dan kalau memang ada jalan keluar, pasti nenek itu akan mengatakannya.
"Bagus, kalau kau tidak akan meninggalkan tempat ini. Tapi jangan dikira tidak ada jalan...eh?! Pasti tidak ada jalan keluar. Ya, tidak ada jalan keluar!" kata nenek itu berulang-ulang seperti baru menyadari kalau dirinya telah terpancing untuk mengatakan ada tidaknya jalan keluar.
“Ya, tidak ada jalan keluar. Dan, aku akan terkubur hidup-hidup di sini. Atau, menanti datangnya kematian tanpa mampu mencegah kejahatan yang berlangsung di atas sana...," desah Panji kembali hendak memancing perhatian nenek itu tentang kejahatan yang masih terus berkelanjutan mengotori bumi.
"Kejahatan di atas sana...?" gumam nenek itu termenung sejenak, mengulang ucapan Panji. "Aku tidak perduli dengan segala manusia yang berada di atas sana! Huh! Selama ini mereka pun tidak perduli dengan nasibku! Tidak ada seorang pun yang menolong ku! Aku dibiarkan terkubur hidup-hidup di tempat ini berteman cacing-cacing raksasa dan makhluk-makhluk lain yang tidak bisa kuajak bicara. Lalu, untuk apa harus memikirkan orang-orang sinting di atas sana?"
Mendadak saja nenek itu berteriak-teriak, seolah-olah ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam di dalam hatinya. Ketika diingatkan Panji, maka meluncurlah semua rasa ketidakpuasan dan dendamnya terhadap orang-orang di atas bumi yang dianggap tidak mau menolongnya.
Panji terdiam tanpa menjawab sepatah pun. Dibiarkannya nenek itu mengungkapkan segala isi hatinya yang selama ini terpendam. la menunggu nenek itu menyelesaikan segala perasaannya. Panji berharap, agar perasaan dendam dan tertekan dalam diri nenek itu dapat tersalur lewat ucapan-ucapannya.
"Uyut..," panggil Panji setelah nenek itu menghentikan ucapan dan tangisnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, dipeluknya tubuh renta itu penuh rasa iba. Sebab, apa yang selama ini dialami nenek itu bukan tidak mungkin akan dialaminya juga. Hanya bedanya, ia kini ditemani nenek itu.
Cukup lama nenek itu menangis di dada Panji. Sementara Pendekar Naga Putih membiarkannya, dan membelai-belai punggung nenek itu dengan lembut.
"Aaahhh...!" Mendadak saja, nenek itu menarik tubuhnya dan menjauh dari Panji. Pemuda itu tetap saja tenang, menanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh nenek penghuni perut bumi itu.
"Uyut..!?" Panji yang melihat tubuh nenek itu tiba-tiba limbung dan hendak jatuh, segera saja melesat menangkap tubuh renta itu. Sehingga, tubuh kurus yang hanya tulang terbalut kulit keriput itu tidak sampai terbanting jatuh.
Perlahan-lahan Panji merebahkan tubuh nenek itu di atas sebuah batu pipih, tempat semula nenek itu duduk bersila. Hatinya merasa cemas ketika merasakan denyut jantung yang kian terdengar lemah. Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi heran. Sebab, semula nenek itu kelihatan demikian kuat dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sakit.
"Pan... ji....Itukah namamu, Cucuku...?" tiba-tiba terdengar suara nenek itu lemah.
Maka bergegas Panji mendekat. "Benar, Uyut. Itulah namaku...," sahut Panji dengan suara sedikit keras, agar bisa terdengar nenek itu.
"Pan...ji. Kau jangan merasa heran melihat keadaan ku ini. Kalau selama ini aku kuat bertahan, itu hanya karena tekadku demikian kuat untuk berjumpa dengan bangsaku. Dan setelah melihatmu, penyakit tua yang telah lama ku derita ini, kembali kambuh," tutur nenek itu dengan suara lirih dan hampir tidak terdengar.
Panji menjadi merasa perlu mendekatkan telinganya agar dapat menangkap jelas setiap kata yang diucapkan nenek itu. Dengan sabar, dinantinya kata-kata yang akan meluncur dari bibir tua itu.
"Tahukah kau, Panji? Berapa umurku sekarang? Hampir genap seratus lima puluh tahun! Jadi seratus tahun lebih aku terkubur di dalam perut bumi ini." Nenek itu kembali menghentikan ucapannya. Terdengar tarikan nafasnya yang berulang-ulang. Jelas sekali kalau untuk berbicara pun ia sudah merasa sangat lelah.
“Kuatkanlah hatimu, Uyut. Aku akan mencoba mengobati dan menyembuhkan mu?” ujar Panji yang tiba-tiba merasa iba, dan memutuskan untuk tinggal menemani sisa-sisa umur nenek itu.
"Tidak perlu, Cucuku. Ah..., aku bisa melihat bahwa kau adalah seorang pemuda jujur dan sangat baik. Kepandaian yang kau miliki pun sangat tinggi. Jauh lebih tinggi sebelum aku terlempar ke neraka ini. Tadi pun, aku hampir tidak sanggup menyeret mu kemari. Kau harus keluar dari tempat ini, Cucuku. harus!" tegas nenek itu yang kemudian terbatuk hebat.
Cepat Panji mengurut leher bagian belakang nenek itu perlahan. "Tapi..., bagaimana dengan Uyut sendiri? Tidak. Aku tidak bisa meninggalkan Uyut sendirian disini. Biarlah aku tidak usah melihat dunia lagi. Aku akan tinggal di sini menemani Uyut," jawab Panji tegas. Meskipun semula hendak keluar dari dalam neraka bumi itu, tapi hati Pendekar Naga Putih tidak tega melihat nenek itu tinggal sendiri tanpa ada yang menemani.
"Terima kasih, Cucuku. Tapi, umurku hanya tinggal beberapa hari lagi. Dan aku tidak ingin kau mengalami apa yang selama ini kujalani. Seratus tahun lebih aku harus menekan semua penderitaan ini, akibat ulah musuhku yang mengalahkan aku dalam sebuah pertarungan mati-matian. Selama itu, aku telah membuat jalan keluar dengan menggunakan tanganku sendiri. Sayang, ketika aku berhasil membuat jalan keluar itu, umurku kira-kira sudah seratus empat puluh delapan tahun. Dan aku tidak ingin akan menjadi bahan ejekan orang kalau aku keluar kelak. Untuk itulah aku menetapkan tinggal di perut bumi ini sambil menunggu, kalau-kalau akan ada orang yang datang. Setelah kepergianku yang kurasa tidak lama lagi, pergilah berjalan ke Utara, Cucuku. Kelak kau akan tiba di sebuah pantai. Nah, dari sanalah kau baru bisa menemukan dunia luar. Jangan sia-siakan umurmu di tempat celaka ini...," jelas nenek itu.
Namun, kegembiraan Panji sudah lenyap sejak mengetahui kalau nenek itu ternyata tidak akan berusia lama lagi. Maka iapun memutuskan untuk menemani sisa hidup nenek itu. Karena tanpa nenek itu, bukan tidak mungkin ia akan tetap tinggal di dalam perut bumi menanti kematian datang menjemputnya.
"Biarlah, Uyut. Lupakan tentang jalan keluar itu. Aku ingin pada saat-saat akhir hidup Uyut, akan ada seorang yang menemani dan merawat secara baik. Untuk itu, aku akan tinggal di tempat ini dan merawat Uyut" jawab Panji.
Pendekar Naga Putih terpaksa menundukkan wajahnya, karena tidak ingin kalau nenek itu sempat menangkap adanya binar kekecewaan di matanya. Cukup lama Panji tertunduk sambil menggenggam telapak tangan nenek itu. Kesadarannya baru bangkit setelah merasakan, betapa telapak tangan yang digenggamnya, mulai dingin dan tidak terasa adanya denyutan.
"Uyut..," panggil Panji dengan suara cemas.
Namun, nenek itu tetap diam. Dan dia masih terbaring dengan wajah mengukir senyum bahagia.
"Uyut...!" Dengan suara yang penuh rasa cemas, Panji mengguncangkan tubuh nenek itu. Namun nenek penghuni perut bumi itu tetap terdiam tanpa menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Sadarlah Panji kalau nenek itu telah tiada.
"Aaah Uyut. Betapa besarnya budimu kepadaku. Tanpa adanya kau di tempat ini, rasanya aku tidak mungkin dapat menemukan jalan keluar," desah Panji dengan suara berduka. Dengan perasaan yang masih tidak menentu, Panji mengangkat mayat nenek itu. Kemudian dikuburkannya nenek itu di dalam gua.
"Uyut. Maafkan, kalau aku tidak bisa tinggal lebih lama. Setelah kepergianmu, rasanya aku lebih baik pergi meninggalkan tempat ini. Aku pamit, Uyut..," desah Panji, duduk di samping makam nenek penghuni perut bumi itu.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun melangkah ke arah Utara seperti yang dikatakan nenek penghuni perut bumi sebelum kematiannya.
Setelah berhari-hari menelusuri lorong yang sulit dan berliku-liku, tibalah Panji di sebuah dinding tebing karang yang menjorok ke pantai. Debur ombak yang terdengar dari kejauhan, membuat pemuda itu semakin bersemangat melihat dunia luar kembali. Tidak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih tampak berdiri sambil menarik napas sepuas-puasnya. Ditatapinya air laut yang bagaikan tidak bertepi.
"Ya, Tuhan Akhirnya aku bisa juga melihat dunia kembali...," desah Panji mengucap syukur karena masih bisa keluar dari dalam perut bumi.
Puas menatap laut lepas sambil menghirup udara segar, Panji mulai mengalihkan perhatiannya ke sekitar tempat itu. Ia melihat kalau dirinya berada di bawah sebuah dinding tebing setinggi kira-kira sepuluh tombak dari daratan. Segera saja pemuda itu merayap naik, dengan menanamkan jari-jari tangannya ke dinding tebing. Tentu saja perbuatan itu tidak mudah. Untunglah tenaga sakti yang dimilikinya sudah demikian tinggi, sehingga Panji bisa tiba di atas daratan berbatu karang.
Pendekar Naga Putih yang terlalu merasa gembira karena dapat terbebaskan dari kurungan perut bumi, sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya. Pakaiannya yang lebih mirip gelandangan, tidak sempat diingatnya. Rambut dan wajahnya pun tampak kotor bagaikan tidak pernah dibersihkan. Rasanya, kalau saat itu ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, orang pasti akan senantiasa menertawakannya. Memang keadaan pemuda itu tentu saja sangat jauh berbeda, sebelum terjebak di dalam perut bumi.
Dengan langkah ringan, Panji mengayunkan kakinya menuju ke arah perkampungan nelayan, yang diduganya pasti tidak jauh dari tempatnya berada saat itu. Pemuda itu pun sama sekali tidak menyadari betapa tubuhnya telah menyusut dalam beberapa hari. Sebab, selama berada di dalam perut bumi, dia jarang sekali menemukan makanan untuk mengisi perutnya. Kalau beruntung, dalam dua hari barulah ia bisa mendapatkan seekor ikan yang kebetulan tersasar, atau terjebak di ceruk tanah. Jadi, tidak aneh kalau tubuhnya jauh lebih kurus dari semula.
Ketika memasuki perkampungan nelayan, barulah Pendekar Naga Putih menyadari keadaannya. Beberapa gadis-gadis nelayan yang berpapasan dengannya, bergegas menyingkir sambil memijat hidungnya. Sehingga, pemuda itu tersenyum kecut menyaksikan sikap mereka. Panji yang semula berniat menyingkir untuk membersihkan diri, menahan langkahnya ketika mendengar jeritan yang diiringi gemuruh derap kaki kuda.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya melesat secepat kilat. Kedua kakinya bagaikan tidak menyentuh permukaan pantai berpasir. Sehingga, beberapa orang nelayan yang tengah berlarian sempat terjatuh lemas ketika tubuh Pendekar Naga Putih lewat disampingnya.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan-jeritan ketakutan yang membuat suasana semakin bising. Darah pemuda itu mendidih seketika begitu melihat serombongan orang berkuda mengenakan seragam serba hitam, tengah menyeret-nyeret seorang lelaki tua. Tentu saja lelaki tua itu menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi tali yang menjerat tubuhnya. Sedangkan orang berpakaian hitam yang berada di atas punggung kuda malah terbahak-bahak, seperti merasa gembira melihat penderitaan lelaki tua itu.
"Biadab...!" desis pemuda itu menggertakkan giginya, menahan geram. Hati Pendekar Naga Putih semakin terbakar begitu mengenali kalau para penunggang kuda itu tak lain adalah gerombolan Naga Hitam! Cepat bagai kilat, tubuh pemuda itu melayang dan langsung melakukan tamparan keras ke arah wajah si penunggang kuda.
Whuuuttt! Plakkk!
"Aaakkkh...!"
Laki-laki itu tak sempat lagi menghindari tamparan telak itu tepat menghantam kepalanya. Diiringi jerit kematian, tubuh penunggang kuda itu terjungkal dan tewas seketika dengan kepala retak!
Panji sendiri sudah langsung menyambar tubuh nelayan setengah baya itu, setelah dilepaskan dari ikatan yang membelit tubuhnya. Kemudian dia langsung melarikannya ke tempat yang aman. Setelah meletakkan tubuh lelaki setengah tua itu, Panji kembali melesat ke luar. Sepasang matanya berputar dengan sorot menggetarkan ketika mendengar jeritan seorang wanita.
"Biadab...! Rupanya setan-setan keparat itu semakin merajalela ke berbagai tempat!" desis Panji melihat salah seorang anggota rombongan penunggang kuda itu tengah berusaha menodai seorang gadis putri nelayan.
Peristiwa yang terjadi di depan sebuah rumah nelayan itu, merupakan satu bukti kalau kelompok kaum sesat yang semula tak dikenal itu sudah menampakkan diri secara terang-terangan, sejak mereka menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas di Lembah Bintang. Tanpa membuang-buang waktu, Panji kembali melesat ke dekat lelaki yang hendak memperkosa gadis nelayan itu secara biadab. Begitu tiba, tangannya langsung mengangkat naik tubuh lelaki itu.
"Heaaahhh!" Dibarengi bentakan keras, Panji melemparkan tubuh lelaki itu sekuat tenaga!
Braaakkk...!
Lemparan Panji yang sekuat tenaga, tentu saja berakibat sangat hebat! Tubuh orang itu melayang deras, dan membentur tiang penyangga rumah hingga berderak patah! Bahkan tubuh orang itu langsung tertancap di patahan tiang!
"Aaa...!" Darah segar menyembur seiring jerit kematian yang melengking merobek udara! Sebentar kemudian, tubuh lelaki itu pun terkulai tewas.
Tanpa memperdulikan korbannya, Panji kembali mengamuk menggiriskan! Para penunggang kuda yang berjumlah dua puluh orang itu beterbangan bagaikan diamuk badai! Tak satu pun dari mereka yang selamat dari tangan maut Pendekar Naga Putih! Sehingga dalam waktu sebentar saja, habislah seluruh anggota pembunuh bayaran Naga Hitam!
Para nelayan beserta keluarganya yang semula bersembunyi di dalam rumah, bergegas keluar. Mereka bersorak menyambut kemenangan Panji. Bahkan, gadis-gadis nelayan yang semula menyingkir ketika pemuda itu lewat di sampingnya, kini malah berebutan mengerumuninya.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum tanpa tahu harus berkata apa. Perlahan kemudian, tangan pemuda itu terangkat ke atas. Anehnya, isyarat itu langsung membuat teriakan-teriakan gembira lenyap. Rupanya penduduk perkampungan nelayan itu sangat mengagumi pemuda berwajah kotor dengan pakaian seperti jembel itu.
Pada saat suasana hening itu, tampak dua orang lelaki gagah menyeruak mendekati Panji. Begitu berhadapan, keduanya langsung membungkuk hormat ke arah Pendekar Naga Putih.
"Kisanak, kepandaianmu sangat hebat. Kami benar-benar sangat kagum dan berterima kasih kepadamu. Perlu kau tahu, orang-orang yang berpakaian hitam itu adalah kelompok kaum sesat yang saat ini tengah merajalela tanpa ada yang berani mencegahnya," jelas salah satu dari kedua orang itu tanpa diminta.
Rupanya kedua orang itu sempat melihat sepak terjang Panji yang menggiriskan, ketika menghadapi gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam tadi.
"Benar, Kisanak. Melihat kepandaianmu, rasanya orang seperti kaulah yang selama ini kami cari-cari. Bersediakah Kisanak bergabung dengan kami untuk memberantas gerombolan manusia laknat itu...?" tanya orang bertubuh gemuk pendek dengan sepasang alis hitam berbentuk golok.
"Sebenarnya kami tengah berusaha menghubungi seorang pendekar pengelana yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Sayangnya kami mendapat khabar, pendekar muda yang sakti itu telah tewas di tangan Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Padahal, saat ini dunia persilatan sangat memerlukan orang seperti dia...," ujar orang pertama lagi, yang tubuhnya tinggi kurus dengan sepasang mata cerdik.
"Mmm... Kalau kalian melihatku sewaktu membasmi gerombolan sesat itu, mengapa tidak turun tangan untuk mencegah mereka? Apakah kaum golongan putih telah demikian pengecut hingga membiarkan kejahatan merajalela di mana-mana...?" tukas Panji, menyahuti sebelum salah seorang di antara kedua orang itu berbicara kembali. Nada ucapan pemuda itu jelas-jelas sebuah teguran.
"Maaf, kami berdua datang terlambat," sahut lelaki pendek gemuk dengan nada bersalah, "Kami terpaksa hanya menyaksikan ketika kau menghabisi manusia-manusia laknat itu. Selain itu, mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Meskipun kami berdua tidak takut mati, tapi untuk menghadapi gerombolan itu rasanya tidak akan sanggup," jawab lelaki itu membela diri.
"Hm.... Kalau begitu, mari bawa aku kepada ketua kelompok kalian...," ujar Panji tetap dengan nada yang datar.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Putih, karena ingin melihat, apakah ada di antara para tokoh golongan putih yang akan mengenalnya dalam keadaan demikian.
"Aaah...! Marilah, Kisanak. Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur, pasti akan gembira menyambut kedatanganmu...," sambut lelaki tinggi kurus itu cepat. Kelihatan sekali kalau ia merasa sangat gembira mendengar pernyataan pemuda yang telah disaksikan sendiri kesaktiannya.
Sambil melangkah meninggalkan perkampungan nelayan, Panji meminta agar kedua orang lelaki gagah itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi dalam dunia persilatan. Kedua orang lelaki gagah itu sendiri nampaknya sangat bangga bisa menceritakan kepada pemuda itu tentang peristiwa yang telah membuat golongan putih kalang kabut. Pendekar Naga Putih sendiri hanya menganggukkan kepala sambil menoleh ke arah kedua orang itu berganti-ganti. Memang kedua lelaki gagah itu bercerita secara bergantian.
Panji berhenti sejenak di depan sebuah rumah besar yang terletak di dalam sebuah hutan. Diam-diam bibirnya tersenyum sendiri. Ingin rasanya pemuda itu segera bertemu Pendekar Garuda Sakti. Panji bermaksud tidak akan memperkenalkan dirinya, karena ingin melihat apakah lelaki gagah yang pernah berjumpa dengannya di Desa Jipang masih dapat mengenali dirinya yang telah berubah ini.
"Mari, Kisanak...!"
Lamunan Panji tentang pertemuan pertamanya dengan Pendekar Garuda Sakti buyar, ketika lelaki gagah bertubuh pendek gemuk itu mempersilakannya masuk. Segera saja pemuda itu melangkah mengikutinya. Kening pemuda itu sempat berkerut melihat banyaknya tokoh persilatan yang telah berkumpul di tempat itu. Melihat semua itu, Pendekar Naga Putih mulai dapat meraba kejadian yang melanda negeri itu semenjak dirinya lenyap di dalam perut bumi.
"Selamat datang di tempat ini, Kisanak...," sapa seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun lebih yang duduk di kursi terbuat dari kayu tebal. Lelaki gagah itu segera bangkit diiringi orang di sebelah kanannya. Meskipun telah berumur, namun orang itu terlihat masih tampan dan segar. Kedua orang itu membungkuk hormat ke arah Panji yang segera membalasnya.
"Terima kasih atas kesediaan kalian menerimaku...," sahut Panji menyembunyikan senyumnya.
Ternyata lelaki gagah yang dikenali sebagai Pendekar Garuda Sakti itu sama sekali tidak mengenalinya. Hanya saja, lelaki gagah yang dikenal Panji bernama Gumang itu seperti menatapnya penuh selidik. Tapi, Panji berpura-pura bodoh.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu, Kisanak. Syukurlah kau bersedia membantu kami. Karena pada saat-saat seperti ini, kami memang sangat membutuhkan orang-orang pandai untuk menanggulangi kaum sesat yang semakin merajalela.
"Oh.... Inikah pemuda yang telah membantai habis orang-orang biadab itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara bening dan merdu yang membuat wajah Panji agak pucat. Karena dikenalinya betul suara merdu itu. Panji yang menoleh ke arah asal suara itu, menjadi berdebar tegang. Ditahannya keinginan untuk menyebut nama seorang dara jelita berpakaian serba hijau, yang tengah berdiri menatapnya dengan wajah tegang.
"Kau... ah...! Kau Kakang Panji...!?"
Tiba-tiba saja, sebelum Panji sempat menyebutkan nama seorang dara jelita, gadis itu sudah keburu menghambur ke dalam pelukan Panji. Gadis yang tak lain dari Kenanga itu tampaknya dapat mengenal Panji, bagaimanapun rupa kekasihnya saat itu.
"Kakang...!" Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga langsung memeluk tubuh pemuda berpakaian gembel itu erat-erat. Terdengar ledakan tangisnya yang tidak bias dibendung.
"Kenanga...," Akhirnya keluar juga suara itu dari mulut Panji. Pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya penuh kerinduan. Mereka sama sekali lupa kalau saat itu banyak orang di sekeliling yang memandang bingung.
"Kakang, ke mana saja kau selama ini? Apa yang telah terjadi denganmu? Menurut kabar yang kudengar, kau telah tewas di dalam Lembah Bintang. Lalu, mengapa kau tiba-tiba muncul dalam keadaan seperti ini...?" Kenanga langsung memberondong kekasihnya dengan pertanyaan-pertanyaan, begitu mereka saling melepaskan rangkulan.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, tentu saja Panji menjadi heran. Tapi Pendekar Naga Putih segera mengerti. Dia ingat ketika disuruh memilih oleh datuk- datuk sesat itu, Kenanga tengah tak sadarkan diri. Jadi wajar saja kalau gadis itu tidak tahu.
"Hm.... Syukurlah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon memenuhi janjinya untuk membebaskan mu. Saat itu, kau tengah pingsan dalam tawanan mereka dan...,"
"Aku pingsan...? Ditawan mereka...? Apa maksud mu, Kakang? Aku sama sekali tidak pernah tertawan mereka. Karena, saat aku dikeroyok sewaktu di penginapan Desa Jipang, ada Pendekar Gunung Batur yang kebetulan menyelamatkanku. Karena saat itu aku jatuh pingsan akibat racun mereka, maka Pendekar Gunung Batur membawaku ke tempat tinggalnya. Jadi, aku sama sekali tidak tertawan seperti katamu itu," sergah Kenanga.
"Hm..., aku ingat sekarang. Pantas saja kedua iblis itu tidak memperlihatkan secara jelas gadis yang ditawannya. Gadis itu rupanya sengaja diberi pakaian hijau yang serupa dengan pakaianmu. Rambutnya yang panjang ditutupi ke wajahnya. Bangsat! kalau begitu aku telah tertipu mentah-mentah!" geram Panji.
Panji langsung teringat saat mendekati gadis tawanan berpakaian serba hijau itu, Datuk Naga Hitam dan kawan-kawannya selalu mencegah dan berusaha agar tidak sampai melihat jelas wajah gadis yang dikiranya sebagai Kenanga.
"Untunglah kau selamat, Pendekar Naga Putih. Sejak pertama kali kau datang tadi, aku sudah merasa curiga. Tapi, aku tidak yakin kalau itu adalah kau. Sebab, tak seorang pun yang pernah selamat dari pusaran maut di muara sungai Lembah Bintang. Syukurlah Tuhan masih melindungimu dan kita semua." Pendekar Garuda Sakti yang memang pernah mengenal pemuda itu, segera saja menyahuti.
Tentu saja kedatangan pemuda yang ternyata Pendekar Naga Putih itu, disambut meriah tokoh-tokoh persilatan yang tergabung di bawah pimpinan Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
"Terima kasih, Gumang. Dan aku pun telah mendengar semua dari dua orang tokoh yang mengajakku ke mari tadi. Rasanya, memang sudah saatnya kejahatan manusia-manusia sesat itu kita berantas...," ucap Panji yang masih tak lepas dari pelukan Kenanga. Sepertinya gadis jelita itu sama sekali tidak peduli, meskipun tubuh kekasihnya mengeluarkan bau tak sedap saat itu. Semua itu lenyap ditelan kerinduan dan rasa cintanya yang mendalam.
"Kalau begitu, kita harus menyusun rencana untuk menghancurkan Datuk Naga Hitam dan begundal-begundalnya...," ujar Pendekar Naga Putih lagi.
"Rasanya, kita tidak perlu menyatroni mereka, Pendekar Naga Putih. Menurut beberapa orang tokoh yang menyelidiki kegiatan gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam, mereka melihat adanya dua orang anggota gerombolan itu yang sempat melarikan diri pada waktu kau memberantas kawan-kawannya di perkampungan nelayan. Jadi menurut perkiraan ku, mereka sendirilah yang akan datang ke tempat kita ini," jelas Pendekar Garuda Sakti.
"Kalau begitu, kita hanya tinggal menunggu mereka saja. Hm..., apakah kau sudah mempersiapkan penyambutan untuk mereka, Gumang?" tanya Panji dengan sorot mata kagum. Pemuda itu merasa agak bersalah, karena sempat mencurigai Gumang pada waktu di Desa Jipang. Tapi kini Panji tahu, lelaki gagah itu memang merupakan seorang pendekar yang pantas dikagumi. Terbukti, ia dapat menyatukan tokoh-tokoh persilatan yang dimusuhi kelompok kaum sesat Naga Hitam.
"Tentu saja aku sudah mempersiapkannya dengan baik, Panji. Hanya satu hal yang ku takutkan...," Gumang tidak segera menyelesaikan kalimatnya. Sepertinya, ia hendak melihat sambutan Pendekar Naga Putih.
"Oh, ya. Tentu saja aku akan bersiap untuk itu...," sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja mengetahui, kalau yang dimaksudkan Pendekar Garuda Sakti adalah kehadiran dua datuk sesat yang memang tidak mungkin dapat ditandingi oleh Gumang maupun Pendekar Gunung Batur. Tentu saja Panji mengerti.
"Hm..., Kalau begitu, bagaimana apabila kau membersihkan tubuhmu dulu, Kakang? Menurutku, kau pasti tidak pernah membersihkan tubuhmu sejak lenyap ditelan pusaran maut Lembah Bintang," Kenanga mengingatkan. Gadis jelita itu menutup hidungnya untuk menggoda Panji. Semua itu jelas dari pancaran matanya yang berbinar.
"Hm.... Tapi kau tetap suka kan...," bisik Panji yang tentu saja hanya bisa didengar oleh gadis jelita itu.
Kenanga sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan Panji. Setelah berpamitan kepada Gumang dan Pendekar Gunung Batur, Kenanga pun mengantarkan pemuda itu untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian.
Saat itu, senja baru menampakkan kekuasaannya. Semburat cahaya kemerahan tampak menghias kaki langit sebelah Barat. Hembusan angin bersilir lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Di tengah siraman senja, bangunan tua yang menjadi tempat tinggal tokoh persilatan, tampak sunyi. Hanya satu dua orang yang terlihat hilir-mudik dengan senjata di pinggang. Sikap mereka tampak sedikit tegang, karena menurut perhitungan Pendekar Garuda Sakti kemungkinan malam atau senja hari itu pihak golongan sesat akan mendatangi mereka.
Sedangkan di bagian dalam bangunan tua yang terletak di sebelah Timur Hutan Bajang, tampak beberapa orang berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat. Sepertinya, mereka tengah merencanakan untuk mengatur siasat dan pembagian tugas dalam meng-hadapi musuh yang akan menyerang.
"Jika Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon memang akan muncul, biarlah jadi bagian Pendekar Naga Putih. Kita harus mengakui, kalau tidak mungkin sanggup menghadapi kedua datuk sesat itu, kecuali Pendekar Naga Putih. Justru karena adanya saudara kita. Pendekar Naga Putih-lah, maka aku berani menanggung akibatnya untuk menghadapi mereka. Kalau tidak, mungkin aku akan mengajak kalian semua untuk mengungsi, seperti yang selama ini kita lakukan. Rasanya, sekaranglah saatnya bagi golongan putih untuk bangkit!" kata Pendekar Garuda Sakti penuh semangat.
Tokoh lainnya hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Karena, apa yang dikatakan lelaki gagah itu memang tidak berlebihan. Dan mereka semua tahu akan hal itu. Pendekar Garuda Sakti menatapi rekan-rekannya, seolah menunggu pendapat dari tokoh lainnya. Setelah beberapa saat tidak ada yang angkat suara, lelaki gagah itu pun melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, pertemuan ini kututup. Sebagaimana yang telah kita bicarakan tadi, semua harus siaga di tempat masing-masing. Tidak ada seorang pun yang boleh bergerak, sebelum mendengar tanda dariku. Kurasa cukup sekian"
Setelah berkata demikian, Pendekar Garuda Sakti bangkit dari duduknya diikuti para tokoh lain. Satu persatu mereka meninggalkan ruang pertemuan untuk melaksanakan apa yang barusan dibicarakan.
Baru saja Pendekar Garuda Sakti membubarkan pertemuan itu, mendadak dari depan telah terdengar suara ribut-ribut. Segera saja para tokoh itu berlompatan keluar dengan senjata di tangan. Rupanya, perhitungan mereka meleset! Padahal dugaan sebelumnya musuh akan menyerang saat malam datang.
"Aku pergi dulu...," Panji yang memang tidak ikut bergabung dengan para tokoh persilatan lain, segera saja berpamitan. Belum lagi gaung suaranya hilang, tubuhnya telah lenyap seperti asap tertiup angin. Setelah tubuh Pendekar Naga Putih lenyap, Pendekar Garuda Sakti, Pendekar Gunung Batur, Kenanga, serta para tokoh lainnya segera saja berlari menuju gerbang depan. Di tangan mereka telah tergenggam senjataterhunus.
Begitu tiba di gerbang depan, para tokoh itu langsung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran yang telah ramai berkobar. Meskipun rencana mereka ternyata berantakan, namun para tokoh persilatan itu tetap berjuang gigih! Tidak ada lagi rasa takut dalam hati mereka. Yang terpikirkan saat itu hanyalah mengusir musuh secepatnya, atau membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Pendekar Garuda Sakti sendiri sudah menghadapi seorang lelaki bertubuh gemuk yang wajahnya terlindung kain hitam. Melihat betapa laki-laki gemuk itu banyak menewaskan rekan-rekannya, langsung saja Pendekar Garuda Sakti menggempurnya dengan pedang telanjang!
"Hiaaattt...!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, Gumang yang berjuluk si Pendekar Garuda Sakti mengibaskan senjatanya, memapak sambaran pedang lelaki gemuk itu yang hendak mencelakakan salah seorang rekannya. Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan serangan, dan memutar senjatanya menyambut serangan Gumang. Sebentar saja, mereka segera terlibat dalam sebuah pertarungan sengit! Gumang yang telah menyaksikan kehebatan lawan, segera saja mengerahkan seluruh kepandaian untuk menundukkan lawan secepat mungkin.
Beeettt! Beeettt!
Senjata yang berupa golok besar di tangan lelaki gagah berkumis tebal itu berputar dan meliuk-liuk cepat. Tidak percuma Gumang mendapat julukan sebagai Pendekar Garuda Sakti. Hal ini terbukti dari gempuran-gempurannya yang cepat dan kuat laksana amukan seekor garuda yang sedang marah!
Tapi, lelaki gemuk berseragam hitam itu pun ternyata bukan orang lemah. Senjata di tangannya yang berupa sebilah pedang lemas, mengaung-ngaung mengincar tubuh lawan. Gerakannya pun tak kalah cepat dibanding Gumang. Apalagi, senjata yang digunakannya dapat pula digunakan untuk melibat. Sehingga, pertarungan di antara kedua orang tokoh itu pun berlangsung seru dan terlihat seimbang!
Di tempat lain, Kenanga juga mendapat seorang lawan yang cukup tangguh. Wanita cantik berambut panjang yang menjadi lawannya, ternyata seorang tokoh berilmu tinggi. Julukannya cukup membuat orang gentar. Yakni, Peri Sungai Alur!
Sayangnya yang kali ini dihadapi Peri Sungai Alur tidak dapat disamakan dengan lawan-lawannya yang terdahulu. Sebelum bertemu dengan Pendekar Naga Putih pun, Kenanga merupakan seorang gadis yang sulit dicari tandingannya. Baik dalam ilmu silat maupun kejelitaannya. Apalagi, setelah bertemu dan melakukan petualangan bersama Pendekar Naga Putih. Tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun maju pesat.
Dalam menghadapi Peri Sungai Alur, Kenanga yang menggunakan Pedang Sinar Bulan, mulai mendesak lawannya melalui jurus-jurus andalan. Bahkan dalam kesempatan itu, dicobanya menggunakan ilmu 'Pedang Naga Sakti' yang diajarkan kekasihnya.
Kehebatan ilmu 'Pedang Naga Sakti', tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang lain yang ada di kolong langit ini. Meskipun Kenanga baru mempelajarinya beberapa jurus, namun kehebatannya tampak jelas. Terbukti, Peri Sungai Alur tampak kelabakan menghadapi serangan gadis jelita itu. Sehingga dalam tiga puluh jurus saja, Peri Sungai Alur hanya bisa bermain mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
"Yiaaattt...!"
Kenanga kembali mengeluarkan bentakan nyaring, disertai tusukan pedangnya yang mengaung tajam! Kilatan sinar putih yang berpendar dari badan pedang, membuat Peri Sungai Alur semakin kewalahan!
"Aaahhh...!"
Peri Sungai Alur memekik tertahan ketika hampir saja pedang lawan menggores lengan atasnya. Untunglah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga pedang itu lewat dua jari dari sasarannya. Tapi, Kenanga rupanya jauh lebih cerdik dari lawan. Begitu tusukannya luput, cepat pedangnya ditarik pulang dengan geseran kearah sasaran. Dan...
Breeettt...!
"Aaakh...!"
Mata pedang Kenanga langsung menggores pangkal lengan Peri Sungai Alur yang tak sempat lagi menghindar. Tubuh wanita cantik itu terjajar limbung beberapa langkah ke samping. Dan Kenanga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Cepat tubuhnya melesat dengan jurus 'Bidadari Menabur Bunga'.
"Yeaaattt...!"
Sinar putih keperakan yang bergulung-gulung itu tentu saja membuat Peri Sungai Alur menjadi gugup bukan main! Akibatnya, ia tidak sanggup lagi menghindari gulungan sinar pedang gadis jelita yang menjadi lawannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaa...!"
Peri Sungai Alur meraung keras ketika gulungan sinar putih keperakan yang ditimbulkan Pedang Sinar Bulan di tangan Kenanga merobek-robek tubuhnya! Darah segar kontan menyembur dari beberapa luka berlubang di tubuh wanita cantik pengikut Datuk Naga Hitam.
Kenanga menatap tajam tubuh lawannya yang terbanting berlumuran darah. Setelah yakin kalau Peri Sungai Alur tidak bernyawa lagi, gadis itu pun segera berpindah ke arena lain untuk membantu rekan-rekannya
Setelah berpamitan kepada kawan-kawannya, Panji segera bergerak menuju ke luar bangunan. Kemudian, terus melesat ke arah samping dan terus ke depan. Ketika melihat beberapa orang berpakaian serba hitam hendak menghadangnya, Pendekar Naga Putih langsung merobohkan lawan-lawannya dengan pukulan-pukulan maut.
Enam orang berseragam hitam yang bernasib sial langsung saja beterbangan bagaikan lalat menghampiri pelita. Mereka tewas seketika akibat pukulan maut yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Kemudian, Panji terus melesat kedepan.
Pendekar Naga Putih baru menghentikan larinya ketika dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh yang tidak mungkin dapat dilupakannya. Mereka tak lain adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Rupanya, mereka hanya menyaksikan para pengikutnya yang tengah bertarung melawan tokoh-tokoh golongan putih. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dikerahkannya 'Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh' kepada kedua orang tokoh sesat itu.
"Hei, badut-badut konyol! Tidakkah kalian ingin ikut meramaikan suasana denganku...?"
Suara bisikan Panji ternyata terdengar jelas di telinga kedua orang gembong kaum sesat itu. Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon, segera saja menoleh dengan wajah terkejut. Hati mereka semakin berdebar tegang saat melihat sesosok tubuh berjubah putih, tengah berdiri menatap mereka dari jarak sepuluh tombak di belakang.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Datuk Naga Hitam dengan suara agak bergetar. Jelas sekali kalau tokoh sesat bertubuh gemuk itu terkejut melihat sosok Panji. Padahal setahunya pemuda itu telah tewas di dalam pusaran maut.
"Mustahil...?! Pasti ada orang yang hendak menakut-nakuti kita...," terdengar suara Petapa Gunung Kulon yang hampir-hampir tidak terdengar. Tokoh sesat bertubuh jangkung itu menelan ludahnya yang terasa pahit dan kering. Rupanya tokoh yang ukuran tubuhnya melebihi manusia biasa itu merasa gentar melihat sosok Pendekar Naga Putih.
Tapi walaupun hati agak berdebar, kedua datuk sesat itu melangkah juga menghampiri sosok Pendekar Naga Putih. Mereka mencoba meyakini, kalau-kalau itu adalah orang lain yang menyamar sebagai Pendekar Naga Putih. Padahal menurut mereka, Pendekar Naga Putih telah tewas kurang lebih sebulan yang lalu. Dan, mereka pun menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
"Hm.... Kalian terkejut melihatku, Badut-badut konyol...?" tegur Panji begitu kedua orang gembong kaum sesat itu datang mendekat.
"Haaahhh...?!"
Baik Datuk Naga Hitam maupun Petapa Gunung Kulon sama-sama terbelalak kaget, tak ubahnya melihat hantu di siang bolong! Mereka terpaku menatap sosok Pendekar Naga Putih yang tersenyum membalas tatapan kedua gembong kaum sesat itu.
"Kau.... Kau, Pendekar Naga Putih...! Bagaimana kau bisa selamat dari pusaran maut itu...?" desis Datuk Naga Hitam, setengah tak percaya dengan keberadaan pemuda didepannya.
"Mustahil...! Kau pasti orang lain yang sengaja menyamar sebagai Pendekar Naga Putih untuk menakuti kami. Hm.... Kau tahu, Kisanak. Tidak satu makhluk pun yang dapat selamat dari pusaran maut itu...," kata Petapa Gunung Kulon sambil meyakinkan hatinya bahwa pemuda itu bukanlah Pendekar Naga Putih. Apalagi, sosok tubuh Panji sekarang memang lebih kurus dari semula.
"Hm.... Aku tidak perduli pendapat kalian, Manusia-manusia keji! Yang penting, sekarang kedatangan ku untuk membunuh kalian. Hhh...! Kalian berdua telah membuat kesalahan besar yang tidak mungkin dapat ku maafkan. Malah, kehadiran kalian di muka bumi ini hanya membuat orang-orang lain celaka. Jadi, tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaiknya, bersiaplah menerima hukuman!" ujar Panji de-ngan tekanan nada datar dan dingin. Sorot matanya juga tampak berkilat menatap kedua orang lawannya.
"Setan! Siapa pun adanya kau, Datuk Naga Hitam tidak takut! Dan kaulah yang akan kukirim ke neraka...!" Sambil berkata demikian, Datuk Naga Hitam mencabut keluar sebuah pedang berwarna hitam yang jelas mengandung racun mematikan. Kemudian pedang itu dilintangkan di depan dadanya, siap untuk bertarung.
Begitu pula sikap yang diambil Petapa Gunung Kulon. Tokoh sesat bertubuh tinggi luar biasa itu meloloskan tasbih yang selalu menghias lehernya. Jangan dipandang ringan senjata itu. Meskipun hanya terdiri dari kayu, namun telah direndam dalam ramuan khusus. Sehingga, kayu-kayu bulat sebesar kelereng itu menjadi sekeras besi.
Melihat kedua orang lawan sudah saling mengeluarkan senjata, Pendekar Naga Putih memejamkan matanya sejenak, untuk memusatkan tenaga batinnya. Sekejap kemudian, terciptalah sebatang pedang bersinar kekuningan di tangan kanannya.
"Nah, mulailah...," desis Panji tanpa mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya.
Tentu saja Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon tidak melihat kapan tangan pemuda itu bergerak mencabut senjata.
"Heaaahhh...!"
Tanpa mempedulikan dari mana pemuda itu mem-peroleh pedang, Datuk Naga Hitam segera saja memulai serangan diiringi sebuah teriakan nyaring! Tubuh lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh lima tahun lebih itu segera melesat disertai putaran pedangnya yang mengaung bagai ratusan lebah marah!
Bersamaan dengan itu, Petapa Gunung Kulon tidak mau telah dengan rekannya. Tokoh bertubuh tinggi luar biasa itu bergerak dengan langkah-langkah panjang, mendekati Pendekar Naga Putih. Tasbih di tangannya berputaran, menyambar-nyambar menimbulkan suara yang menyakitkan telinga. Jelas tenaga sakti kedua orang tokoh itu tidak bisa dipandang ringan.
Tapi, Panji tidak mau berdiam diri menanti datangnya serangan kedua orang datuk sesat itu. Cepat bagai kilat, pemuda itu melesat memapak serangan pedang Datuk Naga Hitam. Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa gentar dengan racun ganas di badan pedang lawan. Karena, Pedang Naga Langitnya sendiri adalah sebuah senjata langka yang dapat memusnahkan segala macam jenis racun.
"Yeaaattt..!"
Diiringi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih memutar senjatanya dengan jurus ilmu 'Pedang Naga Sakti'nya. Langsung saja cahaya kekuningan berpendar menyilaukan mata. Sebentar saja pertarungan antara tokoh-tokoh sakti dunia persilatan itu berlangsung mendebarkan! Ketiga orang tokoh menggiriskan itu saling terjang dengan dahsyatnya! Sehingga, tubuh mereka tidak lagi dapat terlihat mata. Mereka hanya merupakan tiga sosok bayangan yang saling desak dan saling libat!
Debu dan bebatuan yang berada di sekitar arena pertempuran ketiga tokoh sakti itu, berpentalan ke segala arah, karena terkena sepakan dan angin sambaran senjata. Bahkan, saking hebatnya sambaran serta gerakan kaki mereka, batu-batu yang terpental jauh, langsung mengenai tubuh orang-orang yang bertempur di arena lain. Padahal, jarak antara pertempuran ketiga orang tokoh itu dengan pertempuran lain terpisah sekitar delapan tombak. Maka dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan tokoh-tokoh sakti itu.
Beberapa orang tokoh persilatan yang tengah bertarung melawan kelompok Naga Hitam, tiba-tiba terpental roboh akibat batu sebesar kepalan tangan yang mampir ke tubuh dan kepala mereka. Tidak sedikit di antaranya yang terluka mengalirkan darah. Tentu saja, kejadian itu membuat yang lain bergegas lari menjauh, agar tidak terkena batu-batu nyasar.
"Hiaaattt...!"
Ketika pertarungan itu telah lewat dari enam puluh jurus, tiba-tiba saja Datuk Naga Hitam memekik nyaring dan menggetarkan! Orang-orang yang tidak terlalu tinggi tenaga dalamnya, langsung roboh sambil menekap kedua telinga. Padahal, mereka berada sepuluh tombak lebih dari ketiga tokoh itu. Maka dapat dibayangkan, betapa mengerikannya akibat pekikan Datuk Naga Hitam!
Tapi bagi Panji sendiri, pekikan itu tidak terlalu berarti. Tubuhnya yang terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan, tentu saja tidak bisa ditembus pekikan yang bagaimanapun kerasnya. Walaupun begitu, Pendekar Naga Putih tidak memandang enteng serangan yang dilancarkan Datuk Naga Hitam. Maka seiring pekikan dahsyat dari lawan, tubuh pemuda itu segera bergeser dengan lompatan pendek. Sehingga sambaran pedang lawan hanya menembus angin kosong saja. Dan begitu senjata lawan lewat, segera saja dilontarkan serangan balasan dengan kecepatan sukar diikuti mata.
Syuuuttt...!
Terdengar suara berdecit tajam mengiringi luncuran sinar kuning yang berasal dari pedang Pendekar Naga Putih!
"Aaa...!?"
Datuk Naga Hitam memekik tertahan ketika pedang di tangan Panji meluruk deras ke arah jantungnya. Tanpa pikir panjang lagi, tokoh sesat bertubuh gemuk itu langsung melempar tubuhnya ke belakang, dan terus berjumpalitan beberapa kali untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Pendekar Naga Putih yang hendak menyusuli serangannya yang gagal itu, terpaksa menundanya ketika mendengar dengungan tajam dari arah kanan. Cepat tubuhnya menunduk, menghindari sambaran biji-biji tasbih yang mungkin bisa meremukkan kepalanya. Kemudian, tubuh pemuda itu berputar secepat kilat disertai sebuah tendangan mengejutkan! Petapa Gunung Kulon yang tidak sempat lagi menghindari diri, segera saja mengangkat tangan kirinya untuk menangkis tendangan yang mengancam kepalanya. Tapi akibatnya...
Plaaakkk!
"Aaahhh...!?"
Kakek itu kontan memekik kaget! Bahkan akibat tangkisannya, kuda-kudanya jadi tergempur hingga tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak! Dan tanpa diduga, telapak tangannya yang digunakan untuk menangkis terasa demikian nyeri disertai hawa dingin yang merembes masuk sebatas siku. Hal itu langsung membuat lengan kiri Petapa Gunung Kulon serasa lumpuh untuk beberapa saat lamanya!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini selagi tubuh lawannya terjajar mundur. Cepat ia kembali melompat, menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya.
Wueeettt! Wueeettt!
"Aaahhh...!?"
Untuk kedua kalinya, Petapa Gunung Kulon memekik kaget! Pendaran sinar kuning keemasan yang membentuk bulatan-bulatan menyilaukan mata, membuatnya terjajar mundur beberapa langkah sambil melindungi matanya. Akibatnya...,
Breeettt! Breeettt! Breeettt! Breeettt!
"Arrrggghhh...!"
Petapa Gunung Kulon meraung panjang ketika pedang Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuhnya! Pada saat itu, rupanya Datuk Naga Hitam malah mengambil kesempatan. Dia berusaha menusuk Panji dari belakang!
"Arrrggghhh...!"
Bagai binatang luka, Petapa Gunung Kulon meraung parau saat pedang lawan merobek-robek tubuhnya! Darah segar kontan menyembur, membasahi tanah berumput kering. Dan begitu tubuh kakek jangkung itu ambruk ke tanah, terdengar suara berdebuk keras disertai lepasnya nyawa dari raganya.
Datuk Naga Hitam rupanya hendak mempergunakan kesempatan, sewaktu Panji menikamkan pedangnya ke tubuh Petapa Gunung Kulon tampak tubuh orang tua gemuk itu meluncur dengan ujung pedang tertuju lurus ke punggung Pendekar Naga Putih yang saat itu membelakanginya!
Wuuuttt...!
Ujungnya pedang hitam di tangan Datuk Naga Hitam meluncur lurus dengan suara mengaung tajam! Sayang Pendekar Naga Putih tidak semudah itu dibokong. Telinganya yang tajam, sempat menangkap adanya bahaya yang datang dari belakang. Maka dengan gerakan tak terduga, saat ujung pedang hitam itu tinggal sejengkal dari punggungnya, tubuh Pendekar Naga Putih cepat melenting berputar ke belakang melampaui kepala lawan. Gerakan itu masih dibarengi pula dengan tusukan pedangnya yang tepat mendarat di tengkuk Datuk Naga Hitam!
Craaabbb...!
"Highhh...!"
Datuk Naga Hitam hanya bisa mengeluarkan suara seperti orang tercekik, karena pedang di tangan lawannya amblas hingga tembus ke leher depan! Darah segar segera menyembur, saat Pendekar Naga Putih mencabut kembali pedangnya. Kemudian, pemuda itu masih juga sempat mengirimkan sebuah jejakan ke tubuh belakang lawannya. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu ambruk ke tanah disertai semburan darah dan mulut! Bagaikan seekor ayam yang disembelih, tubuh Datuk Naga Hitam menggelepar-gelepar sebelum kemudian melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya itu.
"Hhh...," Terdengar helaan napas kelegaan dari mulut Pendekar Naga Putih ketika melihat kedua orang lawannya telah tewas. Ketika tidak mendengar suara-suara pertarungan di tempat lain, Panji segera menolehkan kepala. Tampak pertarungan telah berakhir. Tiba-tiba ada suara yang memanggil.
"Kakang...," Kenanga datang berlari-lari kecil menghampiri pemuda itu. "Aku sudah menemukan, siapa orang yang menyamar sebagai diriku ketika di Lembah Bintang...," lapor gadis jelita itu dengan napas masih memburu. Rupanya, Kenanga baru saja menyelesaikan pertarungan terakhirnya. Tampak pedang di tangannya masih berlumuran darah.
"Oh ya...? Siapa wanita itu...?" tanya Panji dengan wajah setengah tak percaya.
"Wanita itu berwajah cantik dan berambut panjang. Dia adalah Peri Sungai Alur. Aku bisa menduga, karena hanya dialah satu-satunya wanita dari sekian banyak anggota Datuk Naga Hitam...," jelas Kenanga penuh kepuasan, karena bisa menemukan penyebab celakanya pemuda pujaan hatinya.
"Lalu, ke mana sekarang wanita itu...?" tanya Pendekar Naga Putih lagi.
"Dia sudah kubunuh sejak tadi...," jawab Kenanga singkat. Sepertinya, dia tidak begitu suka jika Panji menanyakan wanita cantik itu.
"Hm.... Lebih baik, kita segera pergi. Bukankah tidak ada persoalan lagi di tempat ini...?" ujar Panji. Pendekar Naga Putih menatap gadis jelita itu untuk mendapat kepastian. Ketika melihat anggukan Kenanga, pemuda itu segera saja mengajaknya pergi.
"Pendekar Naga Putih.... Tunggu...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan yang menahan langkah Panji dan Kenanga. Mereka menoleh ke arah dua orang lelaki gagah yang tak lain dari Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
"Maaf, sahabat-sahabat. Kami harus melanjutkan perjalanan!" sahut Panji sambil melambaikan tangan kepada kedua orang gagah itu. Kenanga juga ikut melambaikan tangannya. Setelah itu, tubuh mereka segera berkelebat, menerobos kegelapan malam.
Tinggallah Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur yang hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala menatap kepergian pasangan pendekar muda yang sakti itu.
Terdengar suara tawa berat yang menggema dan memenuhi wilayah Hutan Sindang. Di antara derai tawa yang bagaikan tak pernah habis, terselip isak tangis seorang wanita yang terdengar demikian lemah dan tak berdaya.
"Cup..., cup Sudah jangan menangis lagi, manis. Jangan khawatir, kau akan kujadikan anakku yang paling tersayang..." Kembali suara berat yang parau itu terdengar ber-gema memenuhi daerah Barat Hutan Sindang.
"Nah, kita sudah sampai...," kata seorang lelaki berwajah brewok dengan dada telanjang. Rambut laki-laki itu panjang, hingga melewati bahu. Bahkan dibiarkan menjuntai, hingga menutupi sebagian wajahnya. Di bahu kanannya tampak sesosok tubuh ramping tak berdaya dalam dekapan tangannya yang berbulu kasar.
"Jangan...! Aku tidak mau...! Tolooong!" Ketika mendengar lelaki brewok itu berkata telah sampai di tempatnya, gadis desa yang hanya mengenakan kain sebatas dada itu kembali meronta. Bahkan berteriak-teriak ketakutan.
"Hus..., hus.... Jangan ribut. Nanti kalau sampai anakku yang lain melihat, mereka tentu akan merasa iri dan marah kepadamu," desis bibir tebal yang tersembunyi di balik brewok tak terurus itu.
Nada bicara dan tingkah laki-laki kasar itu persis seperti seorang bapak yang tengah membujuk anaknya. Tangan yang kekar, dan berbulu menepuk lembut pantat gadis itu. Sepertinya lelaki brewok itu tidak waras. Namun, gadis desa itu sama sekali tidak perduli. la malah semakin keras berteriak-teriak ketakutan. Rasa takut yang hebat dalam dirinya, membuatnya nekad menggigit bahu lelaki raksasa itu.
"Hihhh...!"
"Aakkhh...!?"
Terkejut juga lelaki kasar itu, karena tidak menyangka kalau tangkapannya akan melakukan hal itu terhadapnya. Kekagetan itu, membuat dekapannya seketika mengendor. Wajahnya tampak agak meringis, merasakan nyeri akibat gigitan gadis desa itu.
"Haii...?!"
Rasa terkejut lelaki brewok yang persis orang hutan itu semakin bertambah-tambah. Sebab pada saat dekapannya mengendor, tahu-tahu saja gadis desa yang nekad itu melorot turun. Begitu merasa terbebas, gadis berkulit kuning langsat itu bergerak melarikan diri ke dalam hutan.
"Hua ha ha... Bagus Aku suka sekali main petak umpet. Ayo, anakku cantik. Bersembunyilah. Nanti aku akan mencarimu sampai ketemu..."
Dasar orang gila! Melihat tawanannya lari, lelaki brewok itu malah tertawa-tawa kegirangan. Bahkan menganggap gadis desa itu sengaja mengajaknya bermain petak umpet. Benar-benar sinting!
Tanpa memperdulikan gadis desa yang terus melarikan diri menyusup semak-semak, lelaki kasar berusia sekitar lima puluh tahun itu meraba pinggangnya. Sebentar kemudian, tampaklah sebuah guci kecil tempat menyimpan arak. Semakin jelas sudah. Selain sinting, lelaki kasar itu pun seorang pemabukan.
Cegluk... cegluk!
Terdengar suara tegukan ketika arak di dalam guci kecil itu masuk melewati kerongkongannya. Sepasang mata orang tua gila dan pemabukan itu tampak merem-melek, seperti tengah menghayati nikmatnya butir-butir arak yang melintasi kerongkongan.
"He he he he.... Nikmaaattt..."
Sambil menjilati bibir, orang tua itu terkekeh. Kemudian dia melangkah bergoyang-goyang. Sepertinya, ia telah lupa pada tawanannya yang melarikan diri itu. Tapi ternyata meskipun terlihat agak sinting, pemabukan, dan sedikit pikun, orang tua brewokan berpenampilan kumuh itu sama sekali tidak lupa pada tawanannya yang kabur. Buktinya, dia mulai melangkah ke dalam hutan setelah mengembalikan guci arak ke pinggangnya. Meskipun langkahnya terlihat agak sempoyongan seperti orang akan jatuh, tapi dia terus saja melangkah ke dalam hutan.
"Yaaahhh.... Cah ayo cah, di mana kau sembunyi" Dasar sinting! Sambil melangkah diselingi lompatan-lompatan kecil, orang tua itu bernyanyi-nyanyi sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan tingkah lucu. Bahkan terkadang berhenti, hanya untuk memutar badannya seperti seorang penari. Benar-benar edan!
Setelah kurang lebih dua puluh lima tombak, mendadak orang tua sinting itu menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Kemudian dengan lagak seperti seekor anjing, hidungnya mengendus-endus.
"Hayaaa...! Dasar binatang kurang ajar, tidak tahu diri. Apa tidak ada tempat lain untuk membuang kotoran..."
Orang tua sinting itu mengomel panjang-pendek sambil berjingkat-jingkat, sambil memijat hidungnya yang berbentuk seperti tomat. Rupanya, telapak kakinya yang telanjang menginjak kotoran binatang yang kebetulan masih baru dan hangat. Sambil tidak henti-hentinya mengomel, dia kembali melanjutkan pencariannya dengan tidak terburu-buru. Sepertinya, ia sama sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan buruannya.
******************
Sementara itu, gadis desa yang terus melarikan diri tanpa tujuan, sudah tidak karuan lagi kain yang dikenakannya. Di sana-sini telah robek, tersangkut dahan atau semak berduri. Meskipun kakinya tegores di sana-sini hingga meneteskan darah, tapi gadis desa itu tidak memperdulikannya. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah melarikan diri sejauh-jauhnya.
"Ooohhh "
Untuk yang kesekian kalinya, gadis desa itu kembali terhumbalang jatuh akibat akar pohon yang muncul di permukaan tanah. Tubuhnya terguling-guling ke bawah, karena tanah di depannya agak menurun. Begitu luncuran tubuhnya terhenti, gadis desa yang keras hati itu berusaha bangkit, meski dengan wajah menyeringai. Tak diperdulikannya tambahan luka memar yang diderita, dan kembali berlari dengan napas bagaikan kuda pacu.
Graauurrhhh...!
Tiba-tiba saja terdengar raungan keras yang bagai hendak merontokkan jantung. Suara auman harimau yang menggetar di tengah hutan, membuat langkah gadis itu terhenti seketika. Dia menoleh ke kiri-kanan dengan wajah pucat, dan tubuh menggigil ketakutan!
"Ohhh...?!" Gadis desa itu menyumbat mulutnya dengan jari-jari tangan, sehingga pekikan suaranya agak tertahan. Wajahnya tampak sudah demikian pucat, bagai tak dialiri darah. Sedangkan kedua kakinya menggigil, seperti tak sanggup menahan bobot tubuhnya.
Graurhhh...!
Harimau belang yang tiba-tiba saja muncul di depan gadis itu dalam jarak lima tombak lebih, benar-benar membuat nafasnya seperti putus. Dan ketika harimau buas itu kembali mengaum sambil memperlihatkan taring-taringnya, gadis desa itu sudah tidak sanggup berdiri lagi. Tubuhnya melorot jatuh, bersandarkan sebatang pohon sambil memandang dengan tubuh gemetaran.
Dengan langkah satu-satu, harimau berumur cukup tua itu melangkah ke arah mangsanya. Sesekali langkahnya terhenti, lalu menggereng memperlihatkan taringnya. Sikapnya jelas sangat waspada, dan penuh kehati-hatian. Sepertinya, harimau itu hendak melihat apa yang akan diperbuat calon korbannya.
Grrrhhh!
Setelah jarak antara mereka tinggal kira-kira dua tombak, harimau itu tampak berhenti. Kemudian binatang buas itu, duduk menatap gadis desa yang hampir mati karena ketakutan. Dan diiringi raungan panjang, tubuh harimau itu melesat dengan kuku kaki depan siap merencah tubuh korbannya.
Graunggg...!
"Auuuwww...!" Gadis desa itu berteriak ngeri ketika terkaman harimau belang datang mengancamnya. Dan karena rasa ngeri yang hebat, gadis desa itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya merungkut dengan kedua kaki terlipat.
Deeesss!
Graunggg...! Gusraaakkk...!
Tiba-tiba saja, gadis itu merasa heran ketika mendengar raung kesakitan dari si raja hutan. Bahkan dadanya sempat berdebar tegang, ketika juga ter-dengar suara berdebuk yang menandakan jatuhnya sebuah benda berat. Namun, gadis desa yang semula ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap harimau buas tadi, jadi terpekik kaget. Hal itu terjadi ketika terdengar suara terkekeh yang teramat dikenalnya.
"He he he...! Ayo, Belang. Kau ingin bermain-main dengan majikanmu. He he he.... Jangan takut. Aku tidak suka dagingmu yang alot itu. Tapi yang ku inginkan justru daging muda yang hendak kau santap. Tahukah kau, daging muda itu milikku...?"
Seorang lelaki tua brewokan yang berdirinya bergoyang-goyang, mengomel panjang-pendek kepada harimau itu. Rupanya, orang tua sinting inilah yang menyelamatkan nyawa gadis desa itu dari kematian.
Harimau jantan berumur tua itu menggerang, memperlihatkan taringnya yang tajam berkilat. Walaupun begitu, si Raja Hutan ini sama sekali tidak berusaha maju. Sepertinya, hajaran orang tua sinting pemabukan tadi cukup dirasakannya. Sehingga binatang buas ini agak berhati-hati dalam menerima tantangan orang tua sinting itu.
"He he he,..! Kau takut, Belang? Atau ingin minta bagian dariku...?" tanya orang tua sinting itu yang kini malah berjongkok sambil mengganjal dagunya dengan sebelah tangan.
Sikap orang itu benar-benar berbahaya sekali. Sebab, apabila Si Raja Hutan itu menerkam, akan sulit rasanya untuk menghindar dalam keadaan seperti itu. Tapi, nampaknya orang tua sinting itu sama sekali tidak merasa khawatir. Harimau jantan bertubuh besar ini menjilat-jilat bibirnya, seolah-olah tengah memikirkan tawaran lelaki brewok yang tidak waras itu. Kemudian dia menggereng dengan kepala tegak.
"Eh? Kau ingin merebutnya...? Oho..., tentu saja boleh. Tapi, kau harus merebutnya secara jantan, ya?" ujar orang tua sinting itu, seolah-olah mengerti isyarat sang Raja Hutan. Tampak orang tua itu bangkit berdiri, dan memungut sebatang ranting sebesar ibu jari tangan.
Wuuut! Wuuuttt...!
Bagaikan orang yang tengah mencoba kekuatannya, si pemabuk sinting itu memukul-mukulkan ranting kayu yang dipungutnya ke udara berkali-kali.
"He he he.... Bagus.... Cukup baik, cukup baik.," desis orang tua sinting itu berulang-ulang sambil kembali mengebut-ngebutkan ranting kayu di tangannya. Kemudian, dia berdiri tegak menanti harimau itu bergerak maju.
Tapi sampai beberapa saat lamanya, Raja Hutan itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda menyerang. Binatang buas itu hanya berputar-putar ke kiri dan kanan, sambil menggereng mempertunjukkan taringnya yang runcing.
"Oooh! Rupanya kau tidak ingin memulai? Baiklah. Kalau begitu, aku yang akan membuka serangan. Bersiaplah, Belang," ujar orang tua sinting itu. Rupanya dia memang telah cukup mengerti tingkah laku para penghuni Hutan Sindang. Apalagi, ia pun merupakan salah satu penghuni hutan itu.
Sebenarnya orang tua gila pemabukan yang terlihat lucu itu tidaklah semenarik tingkahnya. Pada dasarnya, sifatnya keji dan tidak mengenal kasihan dan ampun. Meskipun tingkahnya terlihat lucu dan aneh, tapi orang tua itu adalah seorang tokoh sesat yang sangat ditakuti. Banyak sudah perbuatannya yang dikutuk kaum rimba persilatan. Tapi, siapa pula yang berani mencegah kekejamannya? Bahkan tidak sedikit pendekar tua dan muda yang datang hanya untuk mengantar nyawa kepada orang tua itu.
Sehingga lama-kelamaan, nyali kaum persilatan pun mulai mengendor. Jarang ada yang berani menghalangi perbuatan tokoh sinting pemabukan itu. Belakangan ini, tokoh sinting yang dijuluki Pemabuk Berhati Iblis itu kembali melakukan serangkaian kejahatan. Entah, sudah berapa puluh nyawa yang terbang akibat tangannya yang telengas. Dan, gadis desa itu merupakan kejahatan terakhir yang baru saja dilakukannya.
"Hiaaahhh...!"
Orang tua sinting yang berjuluk si Pemabuk Berhati Iblis tampak bergerak maju dengan langkah goyah. Tapi, gerakannya justru sangat hebat dan membingungkan. Tubuh dan kakinya yang bergoyang-goyang membuat orang sulit menebak, apakah orang sinting itu hendak maju atau mundur.
Demikian pula halnya si Raja Hutan. Melihat tubuh lawannya yang bergerak maju bagaikan malas-malasan, membuat kepala binatang itu menggeleng seolah merasa pusing melihat tingkah lawannya.
"He he he...! Bodoh kau, Belang. Awas kepalamu" Sambil bergerak mundur maju dengan langkah goyah, Pemabuk Berhati Iblis menggerakkan ranting kayu di tangan kanannya dengan kecepatan menggetarkan.
Bukkk!
Grauuung...!
Sang Raja Hutan meraung kesakitan! Lecutan ranting sebesar ibu jari tangan itu terasa bagaikan hantaman sebatang besi pada kepalanya. Karuan saja binatang buas itu langsung menggelepar dengan kepala retak. Benar-benar ganas serangan yang dilancarkan orang tua sinting itu. Sekali hajar saja, langsung membuat harimau tewas!
"He he he...! Lihat, anakku. Binatang yang menakut-nakuti mu itu sudah tidur pulas. Rupanya, ia lelah dan mengantuk setelah menggerung-gerung kelaparan. Ayo, bangun manis. Mari kita pulang...," ujar Pemabuk Berhati Iblis itu melangkah maju dan berjongkok membelai punggung gadis desa yang ketakutan.
"Ohhh...!" Gadis desa itu merenggutkan tubuhnya ketika merasakan jari-jari tangan kasar itu merayap ke belahan dadanya yang membusung indah. Segera saja ia bangkit, dan berlari tanpa memperdulikan arah yang ditempuh.
"He he he.... Jadi kau hendak kembali ke tempatku...?" Suara Pemabuk Berhati Iblis membuat langkah gadis itu langsung terhenti. Jelas, ia merasa terkejut mendengar ucapan tadi. Dan apa yang dikatakan orang tua sinting itu memang benar. Dia justru berlari ke arah semula
"Ohhh..." desah gadis desa itu, menahan tangisnya. Ia berdiri menatap Pemabuk Berhati Iblis dengan sinar mata memelas mohon diampuni dan dilepaskan.
"He he he.... Kau benar-benar binal dan menggairahkan, Anakku. Ayo, kemarilah. Jangan takut...," rayu Pemabuk Berhati Iblis.
Kini orang tua sinting itu bergerak maju mendekati si gadis. Dan gerakannya yang sempoyongan itu benar-benar hebat dan mengejutkan. Sebab, tahu-tahu saja sepasang lengannya telah memeluk tubuh gadis desa itu. Padahal, jarak di antara mereka tadi masih sekitar dua tombak lebih. Tentu saja hal itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh si Pemabuk Berhati Iblis memang sangat hebat.
Gadis desa ini hanya bisa menangis saat lelaki berwatak sinting itu mencium wajahnya. Sepertinya, semua tingkah dan kenekatannya tadi semakin membuat Pemabuk Berhati Iblis merasa semakin terangsang. Sehingga, tanpa sabar lagi segera saja diterkamnya tubuh gadis itu. Namun, nasib baik rupanya masih tetap menaungi gadis desa itu.
Pada saat lelaki sinting itu semakin buas, terdengar sebuah bentakan nyaring yang mengejutkan. Bahkan bentakan itu masih dibarengi sebuah tangan yang mencengkram. Malah tubuh lelaki bercambang bauk yang tengah menggumuli gadis itu langsung dilemparkan.
"Ahhh...!?" Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba itu membuat Pemabuk Berhati Iblis terpekik kaget! Sebab sebelum ia menyadari, tahu-tahu saja tubuhnya terasa melayang ke udara! Untunglah orang tua sinting itu sangat sigap. Maka segera saja ia berputar beberapa kali di udara, sebelum mendarat selamat ditanah.
"Setan alas! Dedemit busuk! Hantu sundal...!" Pemabuk Berhati Iblis mencak-mencak bagaikan cacing kepanasan. Kali ini ia benar-benar marah, karena ada orang yang berani mengganggu kese-nangannya.
DUA
Sementara, di depan gadis desa itu telah berdiri seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan sikap tenang tanpa memperdulikan kemarahan lelaki brewok sinting di hadapannya, gadis desa itu ditarik agar bangkit. Sebenarnya bukan main dongkolnya hati Pemabuk Berhati Iblis. Tapi karena tingkahnya seperti orang mabuk, atau tidak waras, maka kemarahan yang diperlihatkannya nampak lucu. Pemuda tampan berjubah putih yang melihat lelaki sinting pemabuk itu seperti tengah bersiap untuk menyerang, segera saja mengangkat tangan kanannya sambil berseru nyaring.
"Tunggu...!"
"Ehhh...?!" lelaki sinting berperawakan gemuk seperti orang hutan itu menahan langkah dengan wajah bingung. "Apa..., apa kau bilang barusan...?"
"Kubilang tunggu dulu. Pemabuk. Apa kau sudah tuli, karena jarang bergaul dengan manusia...?" tegas pemuda tampan berjubah putih dengan wajah tetap tenang. Tenang sekali pemuda itu melepaskan jubah luarnya, lalu diserahkan kepada gadis desa yang kainnya memang sudah tidak patut dikenakan ini.
"Aku...? Berhenti...?" ulang Pemabuk Berhati Iblis sambil menunjuk ujung hidungnya sendiri dengan wajah ketololan. Sepertinya, ia merasa heran karena ada seorang pemuda yang pantas menjadi anaknya, begitu berani mati menyuruhnya berhenti.
"Ya. Kau, orang tua sinting! Bukankah kau yang berjuluk Pemabuk Berhati Iblis? Nah! Kalau benar, berhentilah. Aku ingin bicara denganmu...," tegas pemuda tampan itu lagi tanpa memperdulikan sikap lucu dan ketololan lelaki sinting dihadapannya.
"He he he Lucu! Benar-benar lucu. Padahal, aku seorang iblis kejam yang banyak ditakuti orang-orang sakti. Tapi ternyata masih ada yang berani memerintah. Benar-benar aneh dunia ini. Padahal para tokoh tua banyak yang lari terbirit-birit bila bertemu denganku. Tapi ternyata pemuda yang pantas menjadi anakku ini, memiliki hati macan..."
Pemabuk Berhati Iblis tergelak-gelak sambil memegangi perutnya. Dalam keadaan seperti itu, orang tentu tidak akan percaya kalau orang tua ini memiliki otak yang tidak waras. Sebab, ucapannya demikian rapi tidak ubahnya orang waras.
Pemuda berjubah putih itu sendiri sempat mengerutkan kening mendengar ucapan Pemabuk Berhati Iblis. Dengan pandangan curiga, ditatapnya wajah Pemabuk Berhati Iblis dengan teliti. Seolah-olah ingin diketahui apakah orang tua itu memang tidak waras, atau sengaja berpura-pura gila?
"Pemabuk Berhati Iblis, dengarlah kata-kataku," ujar pemuda berjubah putih itu bernada agak keras. Hal itu dilakukan untuk memancing perhatian orang sinting ini. "Perbuatanmu selama ini sudah keterlaluan, dan tidak bisa lagi dimaafkan! Tanganmu telah dilumuri darah korban-korbanmu yang. tidak berdosa. Sekarang kuminta ketegasan mu. Hentikan perbuatan-perbuatan jahatmu, atau terpaksa aku yang harus menghentikannya"
"Ha...?!" Pemabuk Berhati Iblis terbelalak kaget bagai tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan lagak bodoh, dia pura-pura mengorek telinganya seolah-olah ucapan pemuda tampan berjubah putih itu kurang begitu jelas. "Coba ulangi ucapanmu tadi, Bocah bagus?” pinta Pemabuk Berhati Iblis sambil menelengkan kepalanya seperti ingin mendengarkan lebih jelas. Tentu saja hal itu dilakukan hanya untuk mengejek.
"Hm..., dengarlah baik-baik. Aku, Pendekar Naga Putih memperingatkan agar kau menghentikan semua perbuatan jahatmu selama ini. Jika tidak, akulah yang akan menghentikan mu!"
Terdengar jawaban tegas dan mengandung perbawa menggetarkan dari pemuda tampan itu. Rupanya, pemuda tampan yang mengaku berjuluk Pendekar Naga Putih tidak suka dipandang rendah sedemikian rupa oleh Pemabuk Berhati Iblis. Sehingga julukannya terpaksa disebutkan untuk memancing perhatian tokoh sesat itu.
Pengakuan pemuda berjubah putih berwajah tampan itu, ternyata sangat manjur. Mendengar julukan Pendekar Naga Putih, Pemabuk Berhati Iblis langsung saja terbelalak. Jelas sekali wajah orang sinting itu menampilkan keterkejutan yang sangat
"Benar.... Kau pastilah Pendekar Naga Putih...," desis lelaki tua pemabukan itu sambil menatap Panji dengan sepasang mata yang bergerak liar.
"Hm..,. Hari ini kau telah membantai habis sebuah keluarga petani yang tak berdosa hanya untuk menculik anak gadisnya. Sadarkah kau, bahwa perbuatan itu sangat keji dan dikutuk orang...?" lanjut Panji. Suaranya yang mantap dan mengandung perbawa, membuat orang tua sinting itu segera tersadar.
"He he he.... Ya..., ya. Aku memang selalu melakukan perbuatan jahat. Karena semakin banyak berbuat kejahatan, tentu orang akan semakin takut kepadaku. Ya... ya.... Aku adalah Pemabuk Berhati Iblis si Raja Kejahatan..."
Kegilaan lelaki pemabuk itu rupanya timbul kembali. Terdengarlah ucapan-ucapan ngawur yang tidak beraturan. Panji yang sudah tidak ingin memperpanjang urusan pembicaraan kosong itu, segera saja melompat ke arah lawannya. Kedua kakinya menginjak tanah, tepat satu tombak di hadapan orang tua itu. Pemabuk Berhati Iblis yang mengira pemuda itu telah mulai membuka serangan, segera saja merendahkan tubuhnya sambil mendorong sepasang telapak tangannya ke depan.
"Whuttt...!" Serangkum angin kuat, berhembus seiring terdorongnya sepasang telapak Pemabuk Berhati Iblis.
"Hm...," gumam Panji tak jelas. Segera Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samping kanan dengan kuda-kuda rendah, sehingga angin pukulan berbau amis itu lewat disampingnya.
"Ilmu 'Pukulan Katak Beracun'...!" desis Pendekar Naga Putih. Panji memang langsung mengenali ilmu pukulan tenaga dalam orang tua sinting itu. Diam-diam Pendekar Naga Putih terkejut juga melihat orang tua sinting itu memiliki ilmu pukulan hebat, dan jarang terdapat dalam dunia persilatan.
Pemabuk Berhati Iblis rupanya tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu melihat Pendekar Naga Putih dapat menghindari pukulan jarak jauhnya, tokoh berotak miring itu segera saja melesat seperti seekor katak melompat.
Bweeettt...! .
Pemabuk Berhati Iblis segera menyambar seperti seekor katak melompat.
Bweeettt...!
Pendekar Naga Putih pun menggeser tubuhnya ke kiri, menghindari sambaran cakar lawan yang mengandung racun itu! Pendekar Naga Putih kembali menggeser tubuhnya, menghindari sambaran cakar lawan yang mengandung racun. Hal itu baru disadari ketika merasakan hawa yang menyambar lewat dekat tubuhnya.
"Yiaaahhh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, bergegas pemuda itu memutar tubuhnya dengan sebuah lompatan. Bahkan sekaligus melepaskan sebuah tendangan kilat! Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis yang baru saja menjejakkan kaki dan tangannya di tanah langsung kembali melompat menghindar. Pertarungan pun semakin seru ketika Pemabuk Berhati Iblis mulai melancarkan serangan-serangan gencar. Tapi, Pendekar Naga Putih hanya melayani dengan 'Ilmu Naga Sakti’ yang juga menjadiandalannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertarungan menginjak jurus yang keempat puluh, terlihat Pemabuk Berhati Iblis mulai merubah gerakan-gerakannya. Gerak langkahnya tampak tidak teratur dan bergoyang-goyang. Sesekali orang tua sinting itu meneguk araknya, sambil terus mengelak dan membalas serangan Pendekar Naga Putih dengan gerakan terpatah-patah dan perubahan-perubahan yang mengejutkan!
"Hiaikkkhhh...!"
Tak ubahnya seperti seorang pemabuk tulen, terkadang orang sinting itu seolah-olah bergerak seperti hendak terjatuh. Namun dalam gerakan-gerakan itu tersembunyi serangan-serangan cepat dan mengejutkan! Sehingga, Pendekar Naga Putih yang baru kali ini menghadapi ilmu itu, cukup dibuat kerepotan untuk beberapa jurus lamanya.
Tapi sebagai seorang pendekar yang telah banyak mengalami pertempuran maut, tentu saja Pendekar Naga Putih segera dapat menemukan kelemahan ilmu silat lawannya. Dengan cerdiknya, Panji ikut bergerak mengikuti irama langkah dan tubuh lawannya. Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis sempat dibuat tercengang oleh kecerdikan pemuda itu dalam mencari kelemahan ilmunya.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang kelima puluh lima, terlihat Pendekar Naga Putih mulai melakukan tekanan-tekanan berat pada lawan. Lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya selalu dapat memukul balik lontaran pukulan beracun lawan. Tentu saja racun Pemabuk Berhati Iblis yang memang bersifat dingin, tidak mampu menembus pertahanan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang juga memiliki sifat dingin. Bahkan hawa yang terpancar dari tubuh pemuda itu masih jauh lebih kuat daripada racun katak miliknya.
Mendekati jurus yang ke enam puluh, terlihat Pemabuk Berhati Iblis mulai kewalahan. Gerakan-gerakannya pun mulai melambat, karena terganggu pancaran hawa dingin dari tubuh dan sambaran puku- lan lawan. Hal Ini membuat lelaki tua berotak miring itu menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
"Bangsat! Kunyuk bau tengik...!" Sambil berlompatan dan menggeser langkah untuk menghindari serangan-serangan Pendekar Naga Putih, mulut lelaki berotak miring itu tak henti-hentinya mengomel.
"Hiattt..!"
Saat lawan sudah benar-benar tak mampu lagi bertahan lebih lama, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih berseru keras sambil melontarkan dua buah hantaman telapak tangan secara berturut-turut ke tubuh lawan!
"Aaahhh...?!" Bukan main terkejutnya hati tokoh sesat pe- mabukan itu. Maka tanpa dapat dihindari lagi, dua buah hantaman telapak tangan pemuda berjubah putih itu langsung mencapai sasarannya!
Buuukkk! Deeesss!
"Huakhhh...!" Darah segar langsung menyembur dari mulut Pemabuk Berhati Iblis. Tubuh lelaki brewokan itu terlempar bagaikan selembar daun kering yang diterbangkan angin! Kemudian, tubuh tinggi kekar itu terbanting jatuh setelah membentur sebatang pohon yang bergerak bagaikan hendak roboh!
Panji melangkah lambat ketika melihat tubuh lawannya tidak dapat bangkit lagi. Tampak Pemabuk Berhati Iblis terlihat menggigil hebat bagaikan orang menderita demam tinggi. Jelas, tokoh sesat yang menggiriskan itu mengalami luka dalam yang sangat parah!
Namun, Pendekar Naga Putih benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau tokoh itu ternyata memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa. Tepat pada saat Panji berdiri membungkuk dekat tubuh lelaki itu, tiba-tiba saja Pemabuk Berhati Iblis mendorong sepasang telapak tangannya dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki! Karuan saja serangan mendadak dalam jarak dekat itu sangat mengejutkan Panji!
Whuuusss...!
Sebagai seorang pendekar yang sering menemukan lawan berat bersifat licik, tentu saja Panji tidak mudah dikelabuhi. Meskipun kelihatannya tidak siap, tapi nyatanya Pendekar Naga Putih dapat menghadapi serangan licik dengan baik. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya langsung bangkit seiring kibasan lengan pemuda itu untuk melumpuhkan pukulan beracun lawannya. Dan...,
Blaaarrr...!
"Hukkkh...!"
Benturan dahsyat pun tidak bisa terelakan lagi. Pemabuk Berhati Iblis mengeluarkan keluhan bagaikan orang tercekik. Bahkan tubuhnya kontan melesak ke dalam bumi, hingga satu jengkal dalamnya. Napas orang tua gila itu langsung putus seketika itu juga!
Pendekar Naga Putih sendiri terjajar mundur dua langkah. Sebab biar bagaimanapun hawa beracun pukulan yang dilepaskan dalam jarak dekat dan tiba-tiba, sedikit banyak telah mempengaruhi tubuhnya pula. Cepat pemuda itu menarik napas beberapa kali sambil mengerahkan hawa murni untuk mengusir pergi hawa beracun yang sempat menyerap ke dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian, baru Panji dapat menarik napas lega setelah terbebas dari hawa beracun pukulan Pemabuk Berhati Iblis.
Sementara itu gadis desa yang diselamatkan langsung memeluk tubuh Pendekar Naga Putih karena rasa tegang dan bersyukurnya. Panji sendiri membelai punggung gadis desa itu, dan menghiburnya ketika mendengar isak tangis lirih.
"Sudahlah, Nisanak. Bahaya telah lewat. Sebaiknya kau tunggu sebentar. Aku hendak menguburkan mayat tokoh sesat itu...," ujar Panji, seraya melepaskan pelukan wanita itu dengan gerakan lembut
“Tapi, bagaimana dengan gadis-gadis lain yang ditawan di tempat kediaman orang tua jahat itu? Apakah tuan Pendekar tidak ingin menolongnya...?" tanya gadis desa itu. Mata basah gadis itu menatap wajah tampan penolongnya. Rupanya, dia masih teringat ucapan Pemabuk Berhati Iblis sebelum melarikan diri.
"Aku sudah mendatangi kediaman tokoh pemabukan ini sebelum menemukan dan mendengar teriakanmu. Di sana, aku hanya menemukan kerangka manusia yang berserakan. Menurutku, Pemabuk Berhati Iblis ini juga pemakan daging manusia...," jelas Panji.
Seketika, gadis desa itu membelalak terkejut. Sebab, semula hanya diduga kalau Pemabuk Berhati Iblis itu hanya hendak merampas keperawanan saja.
Melihat gadis itu jatuh terduduk setelah mendengar keterangannya, Panji bergegas menguburkan mayat Pemabuk Berhati Iblis. Memang, meskipun semasa hidupnya orang tua itu sangat jahat, tapi tetap saja mayatnya harus dikuburkan secara layak. Setelah selesai menanam mayat Pemabuk Berhati Iblis, Pendekar Naga Putih mengajak gadis malang itu kembali ke desa tempat tinggalnya.
"Dari mana saja kau, Kakang? Pantas sejak tadi aku mencarimu, tidak juga ketemu...," Dara berparas jelita yang mengenakan pakaian serba hijau itu langsung menyambut kedatangan pemuda tampan berjubah putih dengan pertanyaan-pertanyaan.
Sedang pemuda tampan berjubah putih yang baru saja tiba di ambang pintu kamar penginapan, hanya tersenyum. Kemudian, dia melangkah masuk dan duduk di tepi pembaringan di samping data jelita itu.
"Aku pikir kau sengaja meninggalkan aku karena sudah merasa bosan...," rungut gadis jelita itu dengan wajah agak mendung. Memang hatinya sempat merasa nelangsa ketika pemuda itu pergi tanpa pamit.
Pemuda berjubah putih itu semakin melebarkan senyumnya. Perlahan tangannya melingkar, memeluk tubuh gadis jelita itu dengan lembut. Dikecupnya kening gadis itu penuh kasih sayang.
"Sebenarnya aku hendak mengajakmu serta, Kenanga. Tapi ketika aku masuk ke kamarmu, ternyata kau masih tertidur pulas. Jadi, terpaksa aku pergi tanpa memberitahukan mu terlebih dahulu," jawab pemuda tampan berjubah putih yang ternyata memang Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih. Rupanya pemuda itu telah kembali setelah me- ngantarkan gadis desa yang ditolongnya dari cengkraman Pemabuk Berhati Iblis. Dan kini dia berusaha menjelaskan duduk perkaranya.
"Mengapa kau tidak membangunkan aku, Kakang...?" masih dengan nada kurang puas, gadis jelita yang memang Kenanga kembali bertanya sambil menatap wajah Panji.
"Hmmm... Aku tidak ingin mengganggu istirahatmu. Lagi pula, aku pergi hanya sebentar. Jadi, kupikir tidak pamit pun tak apalah. Eh, mengapa kau tidak mengunci pintu kamarmu sebelum tidur, Kenanga? Bagaimana kalau yang masuk itu bukan aku. Bisa-bisa celaka...," tanya Panji ketika teringat saat masuk ke dalam kamar gadis itu, pintu memang tidak dikunci.
"Mungkin aku lupa, Kakang. Tapi, aku tak khawatir. Kalau memang ada orang jahat hendak mengganggu ku, tentu aku segera tahu...," elak Kenanga sambil menyandarkan kepalanya ke dada bidang pemuda tampan itu. Sepertinya, gadis jelita itu sudah tidak merajuk lagi.
"Tapi ketika aku masuk, kenapa kau tidak tahu...?" desak Panji lagi, seolah hendak mengetahui apa kira-kira jawaban kekasihnya.
"Mmm.... Mungkin sukma ku tahu kalau orang yang masuk ke dalam kamarku adalah Kakang. Tentu saja aku tidak segera terbangun, karena sukma ku tidak takut meskipun kakak akan berbuat macam-macam," sahut Kenanga, seenaknya, sambil tersenyum menggoda.
"Sukma mu mungkin percaya denganku. Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau tidak takut bila aku berbuat macam-macam terhadapmu?" pancing Panji lagi, seperti ingin mengetahui isi hati dara jelita yang sangat dicintainya.
"Mengapa harus takut? Selain aku sangat yakin terhadap kebersihan hati mu aku pun tidak takut diapa-apakan. Bukankah kalau kau ingin berbuat yang tidak-tidak, sudah dari dulu-dulu dapat melakukannya. Nyatanya, kau tidak pernah. Kau tetap menghormati ku, meskipun aku sendiri telah menyerahkan diriku bulat-bulat untuk mengabdi kepadamu. Jadi, apalagi yang harus kutakutkan...?" elak Kenanga.
Gadis itu kini semakin merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan kekasihnya. Lama gadis itu menikmati kedamaian dalam pelukan pemuda pujaannya. Sejak dulu ia memang sudah pasrah, karena tahu kalau Panji tidak akan pernah mau menodai cinta kasih mereka. Kenanga percaya penuh akan hal itu.
"Terima kasih, Kenanga. Aku benar-benar bahagia menerima kepercayaan dan cinta kasih yang tulus darimu...,"desah Panji sambil menunduk perlahan. Segera dikecupnya bibir indah kekasihnya penuh perasaan.
"Nah, sekarang ceritakanlah. Ke mana kau pergi dari pagi hingga siang ini...?" tanya Kenanga, setelah pemuda itu melepaskan pelukannya.
"Baiklah...," desah Panji. Segera saja Pendekar Naga Putih menceritakan pengalamannya. Sedang Kenanga hanya mendengarkan tanpa memotong cerita kekasihnya sedikitpun.
******************
TIGA
Malam mulai jatuh. Kegelapan yang merambat menyelimuti permukaan bumi, membuat suasana Desa Jipang menjadi sepi. Penduduk desa yang kebanyakan petani penggarap, sejak tadi telah meringkuk di atas pembaringan. Mereka beristirahat untuk menyediakan tenaga, setelah bekerja keras seharian penuh.
Pendekar Naga Putih saat ini juga, telah terbaring di atas pembaringan. Dia yang bersama kekasihnya menginap di salah satu rumah penginapan desa itu, telah pula berada di dalam kamar masing-masing. Bedanya, Kenanga telah tertidur lelap setelah mendengar cerita Panji tentang pengalamannya dalam menumpas tokoh sesat yang berjuluk Pemabuk Berhati Iblis. Sedangkan saat ini Panji masih belum bisa memejamkan mata. Pemuda itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran tak menentu.
"Aneh...," Bibir pemuda tampan itu menggerimit perlahan, sambil menghela napas beberapa kali dengan perasaan tak menentu. Kemudian, Pendekar Naga Putih bangkit perlahan dan duduk bersila di atas pembaringan. Sebentar kemudian, dia telah terlelap dalam semadinya. Rupanya, Panji memutuskan untuk bersemadi daripada termenung dengan pikiran mengembara.
Keanehan yang dialami Pendekar Naga Putih rupanya mempunyai hubungan erat dengan keadaan di luar penginapan. Memang pada saat menjelang tengah malam, tampak sosok-sosok bayangan hitam bergerak gesit mengepung rumah tempat Panji dan Kenanga menginap. Dari sikap yang mencurigakan, jelas kalau mereka mempunyai maksud tidak baik. Panji yang tengah tenggelam dalam semadinya, tersadar seketika. Pendengarannya yang tajam dan sangat terlatih, menangkap adanya langkah-langkah mencurigakan di luar kamar.
Maka, semadinya cepat-cepat diselesaikan. Dalam kegelapan kamar, karena sejak tadi sudah memadamkan pelita, Panji bergerak perlahan merebahkan dirinya kembali. Ia pura-pura terlelap untuk mengetahui kelanjutan dari langkah-langkah mencurigakan yang didengarnya di luar kamar. Sekejap pemuda itu teringat Pemabuk Berhati Iblis yang tewas di tangannya. Maka, langsung timbul dugaan kalau suara langkah kaki yang mendekati kamarnya pasti mempunyai hubungan dengan tindakannya pagi tadi.
Pendekar Naga Putih menahan nafasnya ketika mendengar daun jendelanya dibuka dari luar. Meskipun orang yang melakukannya sangat lihai dan hati-hati, tapi tetap saja semua itu tidak terlepas dari pendengaran Pendekar Naga Putih. Malah Panji tetap terbaring tenang, seolah tidak mengetahui hal itu.
Rupanya, sosok-sosok bayangan hitam yang mendatangi kamar Pendekar Naga Putih tidak bodoh. Tanpa melompat masuk, dua diantara mereka langsung melemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang menebarkan bau harum memabukkan.
Panji yang semula mengira kalau orang-orang yang mendekati kamarnya pasti akan melompat masuk, tentu saja menjadi terkejut. Apalagi, serangan senjata rahasia itu sama sekali tidak diduga sebelumnya. Dan karena untuk melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti yang dapat mengeluarkan kabut bersinar jelas dapat diketahui, maka Panji memutuskan untuk segera melompat bangkit. Tubuh Pendekar Naga Putih langsung melayang secepat kilat, menuju jendela kamar yang sedikit terbuka.
Braaakkk...!
Jendela kamar penginapan itu langsung jebol ketika Panji menerobos sambil mendorongkan telapak tangannya ke depan!
"Aaahhh...?!"
Enam sosok tubuh yang berada di luar kamar, menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka berlompatan mundur sambil memberondong senjata rahasia ke arah pemuda itu.
Whuuut! Whuuut! Siuttt...!
Senjata-senjata rahasia yang diduga mengandung racun dielakkan Pendekar Naga Putih dengan berjumpalitan ke atas setinggi beberapa tombak. Kemudian, tubuhnya meluncur turun setelah senjata-senjata gelap itu lewat di bawah kakinya. Pendekar Naga Putih yang baru saja meluncur turun dari udara, langsung disambut kembali oleh serangan-serangan enam sosok bayangan hitam yang rata-rata memiliki ilmu meringankan tubuh hampir sempurna. Tentu saja, hal itu membuatnya menjadi terheran-heran!
"Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih kembali berputar cepat ke depan. Begitu menjejak tanah, sebuah tendangan kaki kanan Panji langsung menghajar salah seorang lawan di belakangnya!
Bukkk!
"Uhhh...!" Sosok berpakaian serba hitam yang terkena tendangan keras pemuda itu langsung terjungkal ke belakang! Tapi, Panji kembali mengerutkan keningnya dengan wajah setengah tak percaya. Memang begitu terjatuh, sosok berpakaian hitam yang terkena tendangan keras itu langsung bangkit dengan sigapnya. Seolah, orang itu sama sekali tidak merasakan kerasnya tendangan Pendekar Naga Putih!
“Tahannn...!" Panji berseru sambil mengangkat tangannya untuk menghentikan pertarungan. Bentakannya yang keras dan menggetarkan isi dada, langsung menghentikan gerakan lawan-lawannya. Bahkan beberapa di antaranya tampak terjajar mundur diiringi keluhannya. Jelas, Panji mengerahkannya dengan tenaga dalam tinggi.
"Siapa kalian...?! Dan mengapa menyerangku tanpa sebab?" tanya Panji. Langsung dirayapinya wajah-wajah yang tersembunyi di balik kain hitam itu.
Namun, tak seorang pun yang menjawab pertanyaan pemuda itu. Mereka saling menatap satu sama lain. Kemudian, salah seorang di antaranya menggerakkan kepala sebagai isyarat. Bagaikan diberi aba-aba, enam sosok berpakaian hitam yang wajahnya terlindungi selembar kain hitam langsung berlompatan ke belakang secara bersamaan. Melihat sikap dan cara mereka, tahulah Panji kalau enam orang pengeroyoknya merupakan sebuah kesatuan yang kompak dan telah terlatih baik.
"Hmmm.... Siapa orang-orang tak dikenal ini...? Nampaknya mereka orang-orang terlatih yang sengaja dipersiapkan untuk membunuh. Gerakan mereka demikian rapi dan kompak...," gumam Pendekar Naga Putih seraya mengerutkan keningnya ketika melihat enam orang itu melompat mundur. Panji yang tengah sibuk memikirkan apa yang hendak dilakukan orang-orang itu selanjutnya, menoleh terkejut mendengar adanya suara pertempuran di tempat lain.
"Kenanga...!" seru Panji, perlahan. Pendekar Naga Putih langsung teringat gadis jelita kekasihnya yang tadi kelihatannya telah tertidur. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera saja melesat menuju kamar kekasihnya yang terletak di sebelah kamarnya. Usaha Pendekar Naga Putih ternyata tidak dibiarkan begitu saja. Enam sosok berpakaian hitam yang semula berlompatan mundur itu bergerak berbarengan, untuk mencegah pemuda itu.
"Haiiittt...!"
"Yeaaattt...!"
Karuan saja perbuatan keenam sosok bayangan hitam yang mencegahnya membuat Panji menjadi geram. Langsung saja tubuhnya berbalik dan menyambut serangan keenam orang itu!
"Hm... Kalian terlalu memaksa! Jangan sesali perbuatan kalian ini...!" geram Pendekar Naga Putih.
Whuuut! Whuuut!
Dua orang di antara mereka bergerak melontarkan pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin tajam! Langsung saja Panji memiringkan tubuhnya, kemudian langsung mengibaskan lengan kirinya menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Breeeshhh...!
Akibatnya tentu saja cukup hebat! Meskipun Panji tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, namun kibasan tangannya tentu saja sanggup meremukkan batu sebesar perut kerbau bunting sekalipun!
"Akhhh...!"
Dua orang berpakaian serba hitam yang terkena samburan angin dari kibasan tangan pemuda itu langsung terlempar deras ke belakang. Untunglah bukan tangan itu yang sampai mengenai tubuh mereka, karena keduanya sempat mundur ke belakang. Tapi meskipun hanya terkena sisa angin pukulan Panji, tak urung keduanya hampir terjungkal mencium tanah!
"Gila....?!" Terdengar dengusan salah seorang dari kedua sosok berpakaian hitam yang menandakan keterkejutannya begitu merasakan kelihaian pemuda tampan berjubah putih yang menjadi lawan mereka.
Bersamaan terdorongnya kedua orang sosok berpakaian hitam, empat lainnya segera bergerak mundur. Mereka seolah-olah sengaja memancing Panji untuk menjauhi kamar kekasihnya.
Panji yang sudah terlanjur geram, sama sekali tidak berpikir demikian. Hal itu karena ia telah percaya terhadap Kenanga. Gadis itu pasti bisa menjaga harga dirinya baik-baik. Memang, melihat kepandaian enam orang yang mengeroyoknya, Panji yakin gadis jelita itu pasti dapat mengatasinya, meskipun jumlah pengeroyok Kenanga mungkin juga sama dengan jumlah para pengeroyoknya. Pikiran itu membuat Panji segera memutuskan untuk menggempur lawan-lawannya.
Segera saja tubuhnya bergerak dengan jurus-jurus 'Ilmu Naga Sakti'nya. Karuan saja, gempuran Panji kali ini mem-buat enam orang laki-laki berpakaian serba hitam itu kelabakan! Untungnya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang rada tinggi juga. Sehingga meskipun agak terdesak, mereka masih juga sempat menyelamatkan diri dari sambaran cakar naga Panji!
Keenam sosok berpakaian serba hitam itu terus berlompatan secara bergantian ke belakang. Sehingga secara perlahan, pertarungan itu terus menjauhi ka- mar Kenanga. Bahkan telah pula keluar dari lingkungan rumah penginapan itu. Ketika desakan-desakan Pendekar Naga Putih semakin menghebat, mendadak keenam sosok tubuh itu meleset menggunakan ilmu larinya. Mereka segera meninggalkan Pendekar Naga Putih yang hanya terlongong heran.
"Hei, berhenti...!"
Pendekar Naga Putih tidak bisa terpaku dalam keheranannya. Maka diputuskannya untuk menangkap salah seorang dari mereka. Maksudnya untuk mencari keterangan, apa maksud orang-orang itu menyerangnya. Segera saja Pendekar Naga Putih melesat melakukan pengejaran! Meskipun ilmu lari lawannya rata-rata sangat mengagumkan, tapi bagi Panji tidak menjadi masalah.
"Haiiittt...!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, tubuh Pendekar Naga Putih telah cepat melayang. Kemudian, dia meluncur turun sejauh satu tombak di hadapan enam orang yang hendak melarikan diri.
"Hahhh...?!"
Keenam orang itu seperti belum mengenal betul, siapa pemuda tampan berjubah putih dihadapan mereka kini. Buktinya, mereka sangat terkejut melihat pemuda itu dapat mengejar dalam waktu singkat. Kini sadarlah keenam orang itu pemuda yang dihadapi bu-kanlah orang sembarangan.
"Hm.... Kalian datang tanpa diundang, dan langsung mencari keributan tanpa sebab. Lalu kini mau pergi begitu saja...? Huh! jangan harap dapat lolos sebelum menjelaskan apa maksud kalian hendak mencelakai ku?" desis Panji sambil melangkah lambat dengan tatapan tajam mencorong, menggetarkan dada lawan-lawannya.
Tanpa sadar, keenam orang lelaki berseragam hitam itu bergerak mundur karena perbawa yang timbul dari wajah maupun tatapan mata pemuda tampan di hadapan mereka demikian menggetarkan! Tapi dengan gerak tak terduga, tiba-tiba saja keenam sosok tubuh terbungkus pakaian hitam itu sama menggerakkan tangan secara berbarengan. Kemudian mereka langsung melemparkan benda-benda bulat sebesar telur burung puyuh ke arah Panji!
Wheeesss! Wheeesss...!
Sekali lihat saja, Panji langsung dapat menduga kalau senjata yang dilontarkan merupakan peledak yang bisa menewaskannya. Cepat-cepat diambilnya keputusan untuk menghindarinya dengan lentingan tinggi ke depan menuju ke arah enam orang berseragam hitam itu. Kemudian, tubuhnya berputar dan meluncur turun dengan kecepatan bagai seekor elang menyambar mangsa!
Namun, gerakan Pendekar Naga Putih ternyata masih kalah cepat. Begitu selesai melemparkan benda-benda bulat itu, keenam lawannya langsung melempar tubuh ke semak-semak yang banyak terdapat di sekitarnya. Bahkan kegelapan malam telah membantu mereka untuk meloloskan diri.
"Kurang ajar...!" desis Panji geram. Kemudian, pemuda itu kembali melenting ketika terdengar ledakan susul-menyusul di belakangnya.
Setelah mendaratkan kakinya di atas tanah, Panji mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya. Begitu ledakkan itu lenyap, keadaan pun sunyi seketika. Namun pemuda itu tetap bermaksud menangkap gerakan-gerakan di sekitarnya. Ia, memang merasa yakin kalau musuh-musuhnya pasti belum lari terlalu jauh.
"Haiiittt...!"
Ketika mendengar langkah yang sangat ringan di sebelah kirinya, cepat Panji berseru keras diiringi lesatan tubuhnya. Jarak sejauh tiga tombak lebih itu ternyata dapat dicapainya dengan sekali lompatan saja.
"Hei?! Mau lari ke mana kau, Pengecut..!" bentak Panji saat melihat sesosok bayangan hitam bergerak hendak melarikan diri. Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali se- belum meluncur turun.
Sosok berpakaian hitam yang hanya seorang itu jelas kelihatan sangat kaget melihat kehadiran Panji. Tanpa banyak bicara lagi, segera saja Panji diberondong dengan senjata-senjata rahasianya.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang sudah mengambil keputusan untuk menawan orang itu hidup-hidup, segera saja bergerak ke samping. Kemudian dia terus melesat dengan cengkeraman kedua tangan siap melumpuhkan lawan. Kepandaian orang itu ternyata tidak begitu tinggi. Nyata sekali kelemahannya saat hanya seorang diri. Jelas, kehebatan serta keuletannya hanya karena kerja sama yang serempak dengan kawan-kawannya. Sedangkan kalau sendiri, sepertinya orang itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Panji.
Kreeeppp! Tuggg...!
"Uhhh...!" Lelaki berpakaian serba hitam yang naas itu tak sanggup lagi menghindari serangan Pendekar Naga Putih. Tubuhnya langsung melorot jatuh seketika itu juga akibat totokan yang dilakukan Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih sempat mencari keterangan dari mulut orang itu, terdengar desingan-desingan senjata rahasia yang mengancam keduanya. Cepat-cepat Panji membalikkan tubuh sambil mengibaskan tangannya, untuk menghalau pergi senjata-senjata yang mengancam nyawanya. Tapi....
"Akhhh...!" Lelaki yang tertotok lumpuh oleh Panji, terdengar mengeluh tertahan. Tak lama kemudian, kepalanya langsung tergolek lemah. Jelas, kalau senjata rahasia yang mengenai orang itu mengandung racun mematikan!
"Bangsat licik !" dengus Panji geram. Pendekar Naga Putih benar-benar menjadi marah ketika melihat orang yang telah dilumpuhkannya tewas, dengan tiga buah jarum halus menancap dalam di bagian lehernya.
Dengan perasaan geram serta penasaran, pemuda itu bergerak bangkit. Namun, ia kembali menunduk memeriksa mayat orang itu ketika teringat orang yang terkena tendangan kerasnya ketika bertarung di penginapan tadi. Pendekar Naga Putih ingin tahu, apa gerangan yang membuat tendangannya bagai tidak berarti bagi orang-orang itu, melalui mayat laki-laki yang baru saja tewas oleh jarum-jarum beracun. Dan pemuda itu menjadi kecewa ketika tidak menemukan apa-apa di balik pakaian lelaki berseragam hitam yang tewas itu. Kini, Panji bergegas kembali ke penginapan, karena jelas tidak mungkin.
Tiba di tempat penginapan, kening Panji jadi berkerut ketika tidak melihat pertempuran lagi. Segera saja pemuda itu berlari ke kamar kekasihnya. Namun, kamar telah kosong tanpa penghuninya.
"Paman.... Apakah di antara para tamu disini ada yang melihat seorang gadis berpakaian serba hijau...?" tanya Panji, menghampiri salah seorang tamu penginapan yang tengah berkerumun dekat kamar kekasihnya.
"Aku tidak tahu, Anak Muda. Ketika mendengar suara ribut-ribut tadi, aku tidak berani keluar dari kamar. Baru setelah keributan tidak terdengar lagi, aku berani keluar kamar. Namun aku tidak melihat siapa-siapa lagi. Apalagi gadis berpakaian hijau kawanmu itu...," jawab lelaki setengah baya yang rupanya tahu kalau Kenanga adalah kawan pemuda itu.
"Kisanak. Aku tadi melihat kawanmu mengejar orang-orang berseragam hitam yang melarikan diri ke arah Selatan. Sepertinya, orang-orang jahat itu merasa gentar terhadap kawanmu yang ternyata sangat hebat ilmu silatnya. Aku sempat melihat ketika ia dikeroyok. Tapi..., aku hanya mengintainya dari balik jendela kamar...," ujar seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun tersenyum malu-malu.
Tapi, Panji sendiri sudah tidak memperdulikan ucapan orang itu selanjutnya. Pemuda itu langsung kabur ketika mendengar Kenanga mengejar lawannya ke arah Selatan. Tentu saja lenyapnya pemuda itu membuat para tamu menjadi gempar!
"Celaka...! Jangan-jangan tadi itu arwahnya yang merasa penasaran..., hiiiyyy...!"
Sambil merinding ketakutan, lelaki berusia tiga puluh tahun itu langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Memang, setelah bicaranya selesai tadi, ia tidak lagi menemukan pemuda tampan berjubah putih itu dihadapannya. Padahal sejak tadi tak seorang pun yang mengalihkan pandangan dari wajah pemuda tampan itu. Tentu saja sebagai orang awam terhadap ilmu silat, mereka menyangka pemuda itu pandai menghilang. Bahkan dianggap sebagai arwah!
******************
EMPAT
Menjelang pagi, Panji kembali ke tempat penginapannya. Pemuda itu gagal mencari kekasihnya. Meski semalaman telah menjelajahi seluruh daerah disekitar Desa Jipang, namun jejak Kenanga tetap tidak ditemukan. Gadis jelita itu seperti lenyap ditelan bumi.
Tanpa sepengetahuan para tamu lain yang juga menginap dipenginapan itu, Panji menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau pemuda itu merasa cemas terhadap keselamatan kekasihnya. Mengingat kelicikan lawan-lawannya semalam, dikhawatirkan kekasihnya terjebak. Bahka nada kemungkinan ditangkap gerombolan orang-orang tak dikenal berpakaian serba hitam. Hanya itu dugaannya dan Panji merasa yakin kalau kekasihnya belum tewas.
Pendekar Naga Putih termenung di atas pembaringannya menghadap langit-langit kamar. Sejauh itu, belum juga ditemukan jawaban tentang orang-orang yang menyatroninya semalam. Meskipun pikirannya telah terkuras, tapi tetap saja jalan itu masih terlalu gelap. Selain itu ia pun merasa, sebagai orang yang selalu terlibat kekerasan, pasti banyak orang dari kalangan sesat yang mengincarnya untuk membalas dendam. Ataupun, melenyapkannya agar perbuatan jahat mereka tidak ada lagi yang menghalangi.
Ketika kamar-kamar penginapan mulai sunyi saat penghuninya tengah menikmati hidangan di kedai depan penginapan, Panji bergegas menuju kamar kekasihnya. Diambilnya buntalan pakaian Kenanga dan disatukan dengan pakaian-pakaiannya. Kemudian, dia menuju ruang makan.
Tapi baru saja Panji merapatkan pintu kamarnya, seorang pelayan bergegas menghampirinya. Meski dengan kening agak berkerut, Panji menghadapi pelayan itu dengan wajah tetap tenang. Setelah menyapa ramah, pelayan itu memperhatikan wajah serta pakaian yang dikenakan Panji. Puas meneliti, pelayan setengah baya itu bertanya ragu-ragu.
"Tuan! Benarkah Tuan yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih...?"
Panji tidak segera menjawab pertanyaan pelayan itu. Sejenak ditatapnya wajah pelayan setengah baya itu dengan sorot mata tajam. Tentu saja pelayan ini menjadi salah tingkah.
"Benar, Paman. Ada apa...?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih menghubungkan pertanyaan pelayan itu dengan kejadian semalam, sehingga membuat kekasihnya lenyap.
"Oooh.... Anu, Tuan pendekar...," sahut lelaki itu dengan sikap berubah jauh. Kali ini, setelah mengetahui kalau pemuda itu adalah seorang pendekar, iapun terlihat agak berlebihan dalam menghormat.
“Ya, Paman. Katakanlah, ada perlu apa...?" desak Panji yang menjadi tak sabar melihat sikap berlebihan orang tua itu. Jelas sikap pemuda itu agak berubah akibat lenyapnya gadis jelita yang sangat dicintainya. Kesabarannya yang selama ini selalu tergambar jelas pada wajah dan senyumnya, mendadak lenyap. Hatinya benar-benar cemas akan nasib Kenanga.
"Ng..., anu.... Di depan ada Tuan Pendekar Garuda Sakti yang hendak bertemu Tuan...," jelas pelayan setengah baya itu sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat.
"Pendekar Garuda Sakti...?" gumam Panji agak merenung. Setelah mengingat sejenak, namun tak juga mengenali orang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti itu, Panji mengangguk mengiyakan.
"Orang itu menunggu di ruang makan, Tuan Pendekar...," jelas pelayan setengah baya itu lagi, ketika melihat pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih termenung.
"Baik. Aku akan segera menemuinya...," sahut Panji, segera melangkah menuju ruang makan mengikuti pelayan itu. Panji terdiam sesaat ketika pelayan penginapan itu menunjuk ke arah seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun. Dia tampak tenang di sebuah sudut yang agak ke depan. Perlahan, pemuda itu melangkah mendekat.
Lelaki gagah yang wajahnya terhias kumis tebal itu bangkit, ketika melihat seorang pemuda tampan berjubah putih menghampirinya. Segera saja tubuhnya membungkuk hormat kepada Panji.
"Pendekar Naga Putih..., benar-benar suatu karunia besar karena aku dapat bertemu denganmu. Begitu mendengar khabar adanya seorang pemuda tampan berjubah putih bersama seorang dara jelita berpakaian hijau menginap di salah satu penginapan Desa Jipang ini, aku langsung saja bergegas ke sini. Sudah lama aku mengagumi sepak terjang mu dalam memerangi kaum sesat, Pendekar Naga Putih. Ah..., benar-benar beruntung sekali aku dapat bertemu langsung dengan pendekar besar yang menggemparkan dunia persilatan"
Lelaki gagah yang mengaku sebagai Pendekar Garuda Sakti itu langsung saja nyerocos sebelum Panji bertanya. Sehingga, pemuda itu merasa sedikit curiga terhadap sikapnya yang seperti terlalu berlebihan.
"Terima kasih atas pujian mu yang rasanya terlalu tinggi untukku itu, sahabat. Tapi, akupun sangat senang berjumpa denganmu. Sayang, aku hanya seorang pengembara yang kebetulan singgah di desa ini. Jadi, maaf kalau belum begitu mendengar tentang Pendekar Garuda Sakti," ucap Panji. Pendekar Naga Putih tampaknya menjadi mudah curiga sejak kejadian semalam, yang menyebabkan hilangnya Kenanga.
"Ah.... Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku memang kurang begitu terkenal di kalangan rimba persilatan. Tapi di daerah sekitar Desa Jipang, boleh dibilang akulah orang nomor satu. Maaf, bukannya bermaksud sombong. Apalah artinya seorang pendekar sepertiku bila dibandingkan nama besarmu, Pendekar Naga Putih. Mmm , oh! Panggil saja aku Gumang. Rasanya, kita akan lebih akrab bila hanya memanggil nama saja...," ujar Pendekar Garuda Sakti lagi sambil mempersilakan pemuda. itu duduk.
"Aku Panji," balas Pendekar Naga Putih, pendek. Panji mulai melenyapkan rasa curiganya terhadap Gumang. Pemuda itu tersenyum dan segera duduk menghadapi lelaki gagah yang mengaku bernama Gumang. Kemudian Pendekar Naga Putih memesan minuman kepada salah seorang pelayan.
"Mmm.... Kalau boleh aku tahu, kira-kira apa keperluan mu denganku, Gumang?" tanya Panji.
"Tidak ada yang khusus, Panji," sahut Gumang. "Jelasnya, aku hanya ingin berjumpa dan agar dapat mengenal lebih jauh denganmu saja. Mmm..., apakah kau tidak ingin memperkenalkan aku dengan tunangan mu? Kudengar, gadis jelita berpakaian hijau yang selalu bersamamu adalah calon istrimu. Betul demikian...?" Lanjut Gumang sambil melirik ke arah pintu yang menghubungkan ruang makan itu dengan kamar-kamar penginapan.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan atau permintaan Gumang. Dia malah meneguk airnya agar tidak kelihatan sedang termenung. Setelah beberapa saat kemudian, Panji menurunkan minumannya dan menatap wajah Pendekar Garuda Sakti didepannya.
"Gumang..." Panggil pemuda itu perlahan, "Sebagai orang nomor satu di daerah ini, pernahkah kau berjumpa orang-orang berseragam hitam, yang kemunculan mereka selalu berkelompok serta memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi...?" Pendekar Naga Putih mencari kesempatan untuk memperoleh keterangan tentang orang-orang yang semalam menyatroninya. Pertanyaan itu baru terpikir saat ia merenungtadi.
"Hm.... Orang-orang berseragam hitam yang muncul berkelompok, dan memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi..," Gumang bergumam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu berusaha berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Panji. Kelihatannya Pendekar Garuda Sakti hendak membantu pemuda itu.
"Kau pernah berjumpa orang-orang seperti yang kusebutkan itu...?" desak Panji lagi, tak sabar menunggu jawabannya.
"Mmm..., belum. Tapi, aku pernah mendengar tentang orang-orang itu. Kalau tidak salah, mereka meru-pakan pembunuh bayaran yang kabarnya sangat ditakuti kalangan persilatan. Mengapa kau tanyakan itu, Pendekar Naga Putih...?" tanya Gumang dengan kening berkerut.
Mau tidak mau, Panji terpaksa menjelaskannya. Sedangkan Pendekar Garuda Sakti mendengarkan penuh perhatian.
"Ah..., benar-benar cari penyakit!" geram Gumang setelah mendengarkan keterangan Panji. Jelas, lelaki gagah itu merasa marah sekali.
"Jadi, mereka berhasil menculik kekasihmu semalam...?" tanya Pendekar Garuda Sakti masih tidak percaya.
"Begitulah. Dan aku akan mencari, ke manapun mereka pergi...!" tegas Panji sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Aku akan mencoba mencari keterangan tentang tempat sembunyinya manusia-manusia laknat itu. Setelah itu, barulah kita bersama-sama menggempurnya!" ujar Gumang dengan semangat menyala-nyala.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu sangat menaruh perhatian terhadap kejadian yang menimpa diri kekasih Pendekar Naga Putih. Setelah berkata demikian, Gumang pamit. Dia berniat menanyakan sahabat-sahabatnya, tentang orang-orang berpakaian hitam yang menculik tunangan Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak meninggalkan penginapan untuk mencari kekasihnya, terpaksa harus menunda niatnya. Karena, Gumang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti menjanjikan untuk mencari keterangan tentang orang-orang yang menculik Kenanga. Sehingga, dia terpaksa menunggu di penginapan itu.
******************
Pendekar Garuda Sakti yang sepertinya sangat bangga dapat melakukan pekerjaan untuk Pendekar Naga Putih, beberapa hari kemudian telah kembali mengunjungi tempat penginapan Panji. Kabar yang dibawanya pun cukup melegakan perasaan pemuda itu.
"Hm.... Jadi mereka memiliki perkumpulan yang cukup kuat?" tegas Panji setelah mendengar keterangan Gumang.
"Benar, Panji. Perkumpulan itu sendiri sangat rahasia. Jarang ada tokoh persilatan yang tahu, di mana sarang perkumpulan pembunuh bayaran yang bernama Naga Hitam itu. Untunglah, ada salah seorang kawanku yang secara tak sengaja pernah tersesat di daerah perkumpulan itu. Sayang, ia tidak mengetahui orang yang menjadi pimpinan perkumpulan pembunuh bayaran itu...," jelas Gumang lagi. Nada suaranya tersirat kebanggaan karena dapat membantu pendekar muda itu.
"Kalau begitu, sekarang juga aku harus menemui mereka," ujar Panji. Pendekar Naga Putih segera saja hendak menyatroni markas kelompok pembunuh bayaran yang telah menculik kekasihnya itu. Tapi, Gumang segera mencegahnya. Sehingga, kening pemuda itu sempat berkerut heran.
"Mengapa, Gumang? Bukankah lebih cepat akan lebih baik?" tanya Panji, seolah tak mengerti apa maksud Gumang sebenarnya sehingga mencegah kepergiannya.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Bukan maksudku mencegah keinginanmu itu. Tapi, aku merasa ragu. apakah mereka benar-benar telah menculik kekasihmu...?" ucap Gumang, menjelaskan duduk perkaranya.
"Sebenarnya aku juga kurang yakin, Gumang. Sebab, kalau benar mereka menculik kekasihku, pasti akan menghubungi ku? Tapi sampai hari ini, mereka ternyata sama sekali tidak menghubungi ku. Bukankah ini aneh...," Panji yang rupanya juga berpikiran sama dengan Pendekar Garuda Sakti, segera saja mengung-kapkan rasa penasarannya.
"Itulah yang ingin kukatakan padamu, Panji. Tapi kalau memang mereka tidak menculiknya, mengapa pula kekasihmu tidak kembali ke penginapan...?" tanya Gumang, mengerutkan keningnya seperti tengah berpikir keras untuk memecahkan masalah yang masih gelap itu.
Pada saat kedua orang itu tengah termenung mengikuti arus pikiran masing-masing, tiba-tiba seorang pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri.
"Tuan..., Tuan...!"
Pelayan setengah baya itu berteriak-teriak berlari ke arah mereka. Tentu saja Panji dan Gumang tersentak kaget, dan menoleh dengan kening berketut.
"Seorang pedagang keliling mengantarkan surat ini. Katanya surat ini untuk Tuan Pendekar Naga Putih...," lapor pelayan setengah baya itu sambil menyodorkan sepucuk surat kepada Panji.
Gumang tidak berkata sepatah pun pada saat Panji tengah membaca gulungan surat itu. Hanya saja, kening lelaki gagah itu agak berkerut melihat ketegangan dan kegusaran di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya mereka benar menculik Kenanga. Perkumpulan pembunuh bayaran Naga Hitam mengundangku untuk datang ke Lembah Bintang. Mereka akan membebaskan Kenanga, apabila aku menyerahkan diri...," gumam Panji menjelaskan isi surat itu. Sehingga, wajah Gumang tampak menegang.
"Lembah Bintang...?" desis Gumang dengan wajah agak pucat. Jelas lelaki gagah itu telah mengetahui lembah yang dimaksudkan kelompok pembunuh bayaran yang bernama Naga Hitam.
"Mengapa, Gumang? Apakah ada sesuatu yang menakutkan di lembah itu...? Apa kau sudah pernah mendatangi tempat itu sebelumnya?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih memang merasa heran melihat wajah sahabat barunya tampak pucat.
"Aku belum pernah ke lembah itu. Tapi kalau boleh ku nasehati, sebaiknya jangan datang ke lembah celaka itu, Panji " ujar Gumang menjelaskan kekhawatirannya. Semua itu tergambar jelas baik dari wajah maupun ucapannya.
"Hm.... Tidak mungkin, Gumang. Apapun yang akan dihadapi nanti, aku tetap harus datang memenuhi undangan mereka!" tegas Panji dengan suara mantap.
Pendekar Garuda Sakti menatap wajah Panji penuh kecemasan. Berkali-kali terdengar helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Beberapa saat lamanya, Gumang terdiam tanpa kata.
"Aku yakin, mereka pasti akan menjebakmu. Sepertinya, mereka telah diperalat orang lain untuk membunuhmu. Dan umpannya adalah kekasihmu yang sekarang di tangan mereka...," desah Gumang tanpa semangat. Wajah Pendekar Garuda Sakti tampak demikian kuyu. Sehingga, Panji semakin merasa suka dan bersyukur mendapatkan seorang kawan sebaik laki-laki gagah itu.
"Meskipun benar begitu, aku tetap akan memenuhi undangan mereka. kalau tidak, apa jadinya nasib kekasihku? Atau, kau mempunyai pikiran lain yang mungkin dapat dijadikan pilihan...?" tanya Panji, hendak mengetahui pendapat Gumang.
Lelaki gagah berkumis tebal itu hanya menggelengkan kepala tak. bergairah. Sepertinya Gumang ikut merasa susah memikirkan masalah yang dihadapi Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain. Aku harus pergi untuk menukar diriku dengan Kenanga. Atau kalau mungkin, aku akan menghadapi mereka untuk membebaskan kekasihku," kembali Panji menandaskan ucapannya yang sepertinya tidak mungkin dapat berubah lagi.
"Hhh Kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk meringankan persoalanmu, senang sekali rasanya. Sayang, aku hanyalah orang bodoh yang tidak mempunyai pendapat lain...," desah Gumang disertai helaan napas beratnya yang berkepanjangan.
"Terima kasih, Gumang. Kau tidak perlu berkecil hati. Apa yang selama beberapa hari ini kau lakukan untukku, itu rasanya sudah lebih dari cukup. Entah, bagaimana aku dapat membayar lunas hutang budi ini..,," kata Panji sambil menepuk-nepuk bahu Gumang.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang lelaki gagah itu sama terdiam tanpa kata. Mereka kembali termenung mengikuti arus pikiran masing-masing. Panji yang merasa tidak enak melihat wajah pendekar itu agak gelap, terpaksa menunda kepergiannya. Dan lagi waktu yang ditentukannya adalah tengah malam. Jadi rasanya masih banyak waktu bagi pemuda itu untuk memikirkan cara terbaik untuk membebaskan kekasihnya.
"Gumang...," panggil Panji dengan suara perlahan.
Namun, lelaki gagah itu tersentak kaget, karena terlalu tenggelam dalam lamunannya. "Ada apa, Panji...?" tanya Pendekar Garuda Sakti dengan mata berbinar. Seolah, ia mengharapkan Pendekar Naga Putih akan memintanya untuk ikut serta memenuhi undangan itu.
"Kira-kira berapa lama untuk bisa mencapai Lembah Bintang itu...?" tanya Panji, sekedar untuk melenyapkan kekakuan di antara mereka.
"Hm.... Untuk mendatangi Lembah Bintang dari Desa Jipang ini, mungkin hanya beberapa jam kalau dilakukan olehmu. Tapi kalau orang lain yang melakukannya termasuk aku, mungkin bisa satu hari satu malam...," jawab Gumang, singkat.
"Kalau begitu, aku harus segera berkemas. Sebab, waktu yang diberikan hanya sampai tengah malam...," kata Panji, segera bangkit dari duduknya.
"Panji...," panggil Gumang menahan langkah pemuda tampan itu, "Hati-hatilah. Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih jauh. Kalaupun aku memaksa ikut untuk menambah pengalaman, itu hanya akan menyusahkanmu saja. Jadi, sebaiknya aku pergi dulu. Semoga kau dapat menyelamatkan kekasihmu..." Gumang akhirnya berpamit kepada Panji, karena memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk pemuda itu.
"Baiklah. Terima kasih atas segala bantuanmu," ucap Panji tanpa berusaha mencegah kepergian lelaki gagah yang begitu mau bersusah payah membantunya. Setelah kepergian Pendekar Garuda Sakti, Panji bergegas ke dalam kamarnya dan membuntal pakaiannya. Usai membayar sewa penginapan, dia berangkat menuju Lembah Bintang.
******************
LIMA
Panji bergerak cepat meninggalkan Desa Jipang dengan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Pemuda itu berniat tiba lebih awal, agar bisa menyelidiki daerah sekitar Lembah Bintang. Karena diduga, bukan tidak mungkin musuh-musuhnya telah memasang perangkap atau jebakan untuk menewaskannya. Pikiran itulah yang membuat Panji berlari bagaikan orang dikejar setan.
Menjelang senja, Panji telah tiba beberapa puluh tombak di bawah kaki Gunung Burangkang. Memang, dibawah kaki gunung itulah Lembah Bintang terletak. Dengan memperlambat gerak langkah larinya, Pendekar Naga Putih terus mendekati kaki Gunung Burangkang melalui jalan yang agak tersembunyi. Ketika bulan telah menampakkan wajahnya yang bulat, Panji pun telah berada di daerah sekitar Lembah Bintang.
"Aneh.... Lembah yang terdiri dari batu-batu berlumut inikah yang menurut Gumang menyeramkan...?Lalu, dimana letak keangkerannya...?" gumam Panji menatapi lembah di bawahnya dari balik rimbunan semak belukar.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut agak heran melihat Lembah Bintang. Karena sejauh mata memandang, tak satu pun yang bisa menimbulkan keseraman. Sehingga, pemuda itu menjadi tak mengerti ketika dengan rasa takut dan dengan wajah pucat Pendekar Garuda Sakti membicarakan lembah itu.
Ketika malam sudah mulai larut, Panji bergerak hati-hati menuruni lembah. Ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan hingga puncaknya. Pendengarannya dipasang tajam-tajam untuk mendengar suara-suara yang bisa menimbulkan kecurigaan. Sepasang matanya mencorong tajam, bagaikan mata seekor naga di kegelapan. Sedangkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya, siap menyebar melindungi tubuhnya.
"Hua ha ha...! Untuk apa mengendap-endap seperti maling yang hendak mencuri, Pendekar Naga Putih! Kau tidak perlu khawatir. Tempat ini tidak ada jebakan atau perangkap satupun...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergema memenuhi Lembah Bintang, yang disusul suara parau dan berat. Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak mengetahui di mana musuh-musuhnya bersembunyi. Sadar kalau kedatangannya sudah diketahui lawan, Panji pun menegakkan tubuhnya. Sambil melangkah penuh waspada, dikitarinya sekitar Lembah Bintang dengan sorot mata yang bagaikan menyala di kegelapan.
Sementara sinar bulan yang semula memancar, telah tertutup awan hitam, membuat suasa Lembah Bintang menjadi gelap. Apalagi, hembusan angin demikian keras hingga membuat jubahnya berkibar. Tapi, Pendekar Naga Putih terus bergerak maju tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Hei, mengapa kalian bersembunyi? Aku sudah datang memenuhi undangan kalian! Bebaskan kawanku, atau kuhancurkan lembah ini...!" Panji berteriak disertai pengerahan tenaga saktinya. Tentu saja suaranya menimbulkan gaung yang menggetarkan.
Suasana kembali sunyi ketika gema suara pemuda perkasa itu lenyap ditelan hembusan angin yang sangat keras. Beberapa saat kemudian, telinga Pendekar Naga Putih mendengar banyak suara langkah kaki orang daridepannya. Panji termenung sambil mencoba menghitung jumlah lawan melalui langkah-langkah kaki. Kemudian kepalanya diangkat setelah dapat menebak jumlah lawan.
"Hm..., dua belas orang rasanya tidak terlalu banyak. Aneh, mengapa mereka tidak membawa jumlah yang lebih banyak? Ataukah semua yang datang merupakan pentolan pembunuh bayaran perkumpulan Naga Hitam...?" gumam Panji seperti bicara sendiri. Selain itu, Pendekar Naga Putih juga menangkap adanya langkah yang terseret-seret dengan paksa. Berdebar hati Panji, karena diduga langkah terseret itu pastilah langkah kekasihnya yang ditawan mereka.
Panji tidak perlu menunggu lama, karena beberapa saat kemudian tampaklah belasan sosok tubuh yang berlarian menuju ke arah aliran sungai yang membentang di bawahnya. Bergegas pemuda itu mengikutinya, dan baru berhenti dalam jarak tiga tombak. Dan kini tampaklah belasan sosok tubuh terbungkus pakaian hitam.
"Nah, Pendekar Naga Putih! Sekarang kau boleh pilih. Menyerahkan diri agar nyawamu bisa kami cabut, atau terpaksa dara jelita ini kami lemparkan ke sungai" Terdengar salah seorang dari sosok-sosok tubuh itu berteriak memberikan pilihan kepada Pendekar Naga Putih.
Panji melangkah beberapa tombak lagi untuk menegasi raut wajah sosok yang berbicara itu. Tampak seorang lelaki tua berpakaian serba hitam, berusia sekitar enam puluh tahun. Sepasang matanya tampak menyorot tajam menggetarkan jantung. Jelas, hal itu menandakan kalau lelaki tua itu bukan orang sembarangan.
Di sebelah kanan lelaki tua itu berdiri seorang lelaki tinggi kurus. Tingginya hampir satu setengah kali tinggi manusia biasa. Sepasang mata lelaki jangkung berusia lima puluh tahun lebih itu pun menimbulkan perbawa menggetarkan. Tahulah Panji, ia kini berhadapan dengan datuk-datuk golongan hitam. Memang hanya orang-orang tingkat tinggilah yang memiliki sinar mata demikian tajam!
Sedangkan sepuluh orang lainnya tidak begitu diperhatikannya. Karena wajah mereka terlindung kain hitam. Pendekar Naga Putih pun menduga, mereka itulah orang-orang yang menyatroninya di penginapan. Sepasang mata Panji semakin mencorong ketika melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian hijau yang tubuhnya terikat tali. Dua orang berpakaian hitam tampak memegangi sosok yang jelas seorang wanita itu. Sayang, wajah sosok ramping itu tidak begitu jelas karena terhalang rambutnya yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. Kepala gadis itu tertunduk seperti tidak sadarkan diri.
"Kenanga...!" desis bibir Pendekar Naga Putih dengan hati berdebar. Hati Panji bagaikan teriris melihat kekasihnya sangat menderita, seperti itu. Terdengar suara berkerotokan dari buku-buku jari tangannya ketika tinjunya dikepalkan erat-erat. Pandangan Panji kembali beralih ke arah dua sosok tubuh yang diduga merupakan pimpinan musuh-musuhnya. Setelah menarik napas untuk menenteramkan hatinya, pemuda tampan itu menatap tajam ke arah musuh-musuhnya.
"Rasanya dapat kuduga, siapa kalian berdua, Orang Tua. Kalian adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Tapi, tak kusangka datuk-datuk terhormat seperti kalian demikian bersifat merendah dengan melakukan perbuatan selicik ini. Menurutku, kalian berdua lebih pantas menjadi penjahat-penjahat rendah yang tidak patut untuk menjadi seorang datuk....," geram Panji sambil menatap tajam kedua orang datuk sesat itu.
"He he he he"
Terdengar gema tawa perlahan yang lembut dari sosok bertubuh jangkung yang tak lain Petapa Gunung Kulon. Datuk sesat yang menyembunyikan kekejamannya di balik sifat lembut dan pakaian pertapanya, kelihatannya sama sekali tidak tersinggung oleh ucapan Panji.
"Pendekar Naga Putih! Orang-orang seperti kami yang berdiri di barisan golongan sesat, tidak ada lagi kata licik atau sifat rendah. Bagi kami, semua yang kami lakukan adalah halal. Jadi, tidak ada gunanya memancing harga diri kami agar membebaskan gadismu itu. Lebih baik, putuskanlah. Nyawamu, atau nyawa kekasihmu yang jelita itu," ujar Pertapa Gunung Kulon dengan suara lembut dan terkesan penuh kesabaran.
"Bangsat rendah...!" maki Panji sambil bergerak maju mendekat. Hati pemuda itu merasa geram sekali karena disodorkan pilihan yang sangat sulit.
"Jangan mendekat..!" bentak seorang lelaki bertubuh gemuk dan berkepala botak. Pada telinga kirinya menggantung anting-anting dari emas. Dan dia langsung memerintahkan dua orang anak buahnya yang memegang gadis berpakaian hijau itu, untuk menjauh.
"Hm..., Datuk Naga Hitam!" sentak Panji dengan suara garang, "Kau tidak pantas menjadi seorang datuk kaum sesat, dengan jiwa yang sangat kerdil dan pengecut!"
"He he he.... Makilah sampai mulutmu berbusa, Pendekar Naga Putih. Semua ini kaulah yang mencarinya. Beberapa hari yang lalu, kau telah membunuh saudara seperguruanku di Hutan Sindang. Jadi, sekarang rasakanlah pembalasanku...," sahut Datuk Naga Hitam, kalem. Bahkan makian Pendekar Naga Putih malah disambut dengan gelak tawa yang berkepanjangan.
"Keparat! Pantas kau tidak jauh berbeda dengan tokoh gila pemabukan itu! Rupanya kau ingin membalas dendam terhadapku. Tapi, sayangnya hatimu licik dan rendah. Kau tidak berani menghadapiku secara jantan. Sehingga, harus melakukan perbuatan sehina ini!" geram Panji lagi.
Kini, Pendekar Naga Putih mulai mengerti, mengapa Datuk Naga Hitam sampai ingin membunuhnya. Rupanya datuk sesat itu merupakan saudara seperguruan dari Pemabuk Berhati Iblis yang dibunuhnya beberapa hari yang lalu.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Cepat kau pilih! Nyawamu, atau nyawa kekasihmu...! Ku hitung sampai tiga...!" bentak Datuk Naga Hitam yang tidak ingin memberi kesempatan kepada Pendekar Naga Putih untuk berpikir lebih jauh.
Panji menggeram gusar. Jelas, untuk mengambil keputusan itu sangat sulit baginya. Sejenak ditatapinya wajah sosok tubuh ramping itu dengan sorot tajam. Seolah-olah ia ingin melihat wajah gadis yang tertutup rambut itu. Sayang, Kenanga tidak sadarkan diri. Kalau saja sadar, ada kemungkinan gadis itu memberikan pilihan untuk mengambil keputusan. Kini beban itu harus ditanggung sendiri. Sehingga, tentu saja sukar sekali bagi Panji untuk memutuskannya.
"Dua...! terdengar Datuk Naga Hitam kembali melanjutkan hitungannya.
Pendekar Naga Putih menatap wajah datuk sesat itu berganti-ganti. Kemudian, tatapannya beralih ke arah sosok Kenanga. Seolah-olah dia mengharapkan agar gadis itu sadar dari pingsannya.
"Bawa gadis itu kemari...!" kembali Datuk Naga Hitam memberi perintah ketika Panji belum juga menjawab. Segera saja kedua orang berseragam hitam itu membawa sosok Kenanga ke dekat tebing, siap untuk dijatuhkan ke bawah sungai yang mengalir deras.
"Ti...,"
Tahaan...!" Cepat Panji berteriak mencegah sambil melesat hendak mendekati tebing.
Namun delapan orang berseragam hitam yang sejak tadi memperhatikannya, segera saja membentuk barisan menghadang Pendekar Naga Putih agar tidak mendekat. Tentu saja perbuatan orang-orang berseragam hitam itu membuat Panji jengkel. Bahkan tangannya telah siap terangkat untuk melontarkan pukulan maut.
Melihat Pendekar Naga Putih siap mengamuk, cepat Datuk Naga Hitam memerintahkan untuk melemparkan gadis tawanannya ke dalam sungai. Sehingga, Panji terpaksa menelan kembali kemarahannya.
"Bangsat licik...!" umpat Pendekar Naga Putih, diiringi suara berkerotokan dari jari-jarinya yang mengepal. Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat tak berdaya oleh golongan sesat itu, dengan adanya Kenanga di tangan mereka.
"Sekarang melompatlah ke dalam sungai itu, Pendekar Naga Putih. Jika masih juga membantah, kekasihmu inilah yang akan kulemparkan ke bawah sana!" Datuk Naga Hitam yang sepertinya merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membantah kembali, segera mendorong tubuh gadis tawanannya semakin dekat ke tepi.
"Tunggu...!" seru Panji dengan wajah merah padam, karena tidak berdaya menghadapi kelicikan datuk sesat itu. "Baiklah. Aku akan menuruti perintah kalian, asalkan kekasihku dibebaskan terlebih dahulu."
"Ingat, Pendekar Naga Putih! Bukan kau saja yang berhak mengajukan syarat. Tapi juga kami. Untuk itu, kaulah yang harus menuruti perintah kami," timpal Petapa Gunung Kulon. Sepertinya, datuk sesat yang satu itu juga sudah tidak sabar melihat kebandelan Pendekar Naga Putih.
"Hmmmhhh...!" Panji mengeram gusar mendengar ucapan lawannya. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti kemauan lawan-lawannya.
"Rupanya, sampai di sinilah akhir petualanganku," gumam Panji dalam hati sambil melangkah ke tepi jurang. Pendekar Naga Putih semakin melangkah mendekati jurang yang dibelah oleh sungai yang tampak deras sekali. Langkahnya tampak mantap, penuh kepasrahan pada Yang Maha Pencipta.
"Ingat, manusia-manusia licik! Apabila aku telah tewas dan kalian tidak membebaskan kekasihku maka aku bersumpah akan mengejar kalian! Meskipun, aku sudah berada di alam lain...! Aku tidak akan pernah puas sebelum menghirup darah hitam kalian...!"
Demikian kata-kata terakhir pemuda itu, sehingga membuat bulu roma para tokoh sesat sampai berdiri. Jelas nyali mereka terasa ngeri mendengar sumpah yangdikeluarkandengansuaradingindandataritu. Datuk-datuk sesat itu sama sekali tidak menjawab kata-kata Panji. Mereka hanya berdiri menatap pemuda itu, yang kemudian menerjunkan dirinya ke dalam aliran sungai yang sangat deras.
"Ha ha ha...! Dengan lenyapnya Pendekar Naga Putih, maka tidak akan ada lagi yang berani menghalangi kita...!" Tawa Datuk Naga Hitam berderai, seiring dengan melayangnya tubuh Pendekar Naga Putih ke dasar sungai.
Gadis tawanan yang sejak tadi tak sadarkan diri, terlihat mengangkat kepalanya. Matanya menatap tajam ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih melayang-layang. Sekilas, terlihat senyum dingin menghiasi wajahnya yang masih tertutup sebagian rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi gelak tawa yang berkepanjangan, gembong-gembong golongan sesat itu pun pergi meninggalkan tepian sungai. Sementara tubuh Pendekar Naga Putih telah jatuh ke dalam air, dan terus hanyut terbawa arus sungai yang demikian deras.
******************
Sementara itu, tubuh Pendekar Naga Putih terus terseret arus sungai yang mengalir deras. Panji sendiri mencoba menggapai-gapai untuk mencari pegangan, namun arus sungai sangatlah kuat. Di samping itu, di sungai rupanya tidak ada satu pun yang dapat dibuat pegangan. Apalagi, keadaan sangatlah gelap. Sehingga, Panji bagaikan orang buta yang menggapai di kegelapan.
Air sungai yang ganas itu terus menyeret tubuh Pendekar Naga Putih tanpa ampun. Sedangkan pemuda itu sendiri sama sekali tidak berdaya menghadapi keganasan alam. Hingga, akhirnya dia hanya pasrah sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tubuh agar tidak sampai mengalami luka parah. Meskipun sungai itu dengan ganasnya mengombang-ambingkan dan melemparkan tubuhnya kian kemari, Panji tetap berusaha sadar. Karena kalau sampai jatuh pingsan maka kemungkinan untuk hidup sangatlah tipis.
Entah, sudah berapa lama tubuh pemuda itu dipermainkan air sungai. Yang jelas, Panji merasakan tubuhnya sangat lelah, dan tenaganya seperti terkuras habis. Sehingga, batu-batu padas yang bertonjolan di dinding sungai mulai menggores tubuhnya. Darah pun mulai mengalir dari luka-luka kecil yang terasakan sangat perih. Pakaiannya sendiri sudah compang-camping tidak karuan.
Hingga akhirnya, pemuda itu terus terbawa ke sebuah muara yang terdapat pusaran maut. Rupanya, pusaran air itulah yang membuat Lembah Bintang sangat ditakuti. Memang tidak sedikit tokoh persilatan yang tewas di dalam pusaran maut itu.
Panji yang keadaan tubuhnya sudah semakin melemah, mengeluh ketika tahu kalau tubuhnya terseret ke dalam pusaran maut itu. Hingga akhirnya, tubuh pemuda itu tenggelam dan lenyap ke dalam pusaran maut. Pada saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran maut, Panji menarik napas dalam-dalam. Karena, disadari, kalau tubuhnya akan tenggelam ke dalam air yang bagaikan tidak berdasar. Sehingga pada suatu saat, tubuhnya bagaikan dilemparkan air kedaratan!
Bruuuggg!
"Aaakh...!"
Panji menjerit kesakitan ketika tubuhnya membentur benda keras yang dasarnya tidak rata. Karena tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa lelah, akhirnya Panji jatuh tak sadarkan diri. Cukup lama tubuh pemuda perkasa itu tergolek pingsan setelah dipermainkan air sungai yang ganas. Keadaan sekeliling yang remang-remang, membuat Panji yang mulai sadarkan diri itu tidak tahu, apakah hari masih malam atau pagi. Yang jelas, pemuda itu merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk dan sakit-sakit. Maka meskipun telah sadarkan diri, pemuda itu masih belum sanggup untuk bangkit berdiri.
"uh...!” Panji mengerang ketika mencoba bergerak, sekujur tubuhnya dirasakan sangat linu. Goresan-go- resan di seluruh tubuhnya pun menimbulkan rasa pe- rih yang luar biasa. Akhirnya, pemuda itu tidak berusaha bangkit, dan tetap rebah terlentang tanpa bergerak sedikit pun.
Dalam keadaan setengah sadar, Pendekar Naga Putih mencoba mengatur napas dengan maksud memulihkan tenaganya. Hatinya mulai merasa lega ketika tenaga saktinya mulai bergerak menyebar ke seluruh tubuhnya. Meskipun tenaga itu belum dapat digunakan untuk membuatnya sanggup berdiri, tapi Pendekar Naga Putih sudah mulai merasa tenang. Perlahan perhatiannya mulai dialihkan ke sekeliling tempat itu.
"Di manakah sebenarnya aku berada...?" desis Pendekar Naga Putih itu dengan wajah keheranan. Karena, sekelilingnya hanya terdapat dinding-dinding berbatu sangat kasar, persis seperti keadaan dinding goa. Merasa belum percaya akan apa yang dialaminya, Pendekar Naga Putih kembali memejamkan matanya, dan mengatur pernafasannya.
ENAM
Begitu kesehatannya terasa sudah hampir pulih, Panji bergerak bangkit perlahan. Pemuda itu berdiri tegak sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sebentar kemudian, tampaklah lapisan kabut bersinar putih keperakan menyelubungi sekujur tubuhnya.
"Hhh...," Panji menarik napas penuh kelegaan. Dengan wajah yang mulai nampak segar, pemuda itu merayapi daerah sekitarnya. Namun sejauh matanya memandang, yang terlihat hanyalah dinding-dinding batu kasar yang bertonjolan. Lubang-lubang besar yang terdapat batu-batu runcing di langit-langitnya, membuat Panji sadar kalau dirinya berada di dalam perut bumi. Selain itu ia merasa hawa lembab berbau tanah basah, juga menandakan kalau ia berada jauh di bawah tanah.
Masih dengan pikiran tidak menentu, Panji melangkah menyusuri jalan berair dangkal. Satu-satunya pikiran yang memenuhi benaknya saat itu ialah, mencari jalan keluar untuk mengetahui nasib kekasihnya.
Jalan berair dangkal yang semula disusurinya, makin lama semakin dalam. Sehingga, Panji mengambil jalan melalui sebuah gua yang cukup besar. Dataran di dalam gua itu sangat berbeda jauh dengan yang barusan dilaluinya. Tanah di tempat itu tampak gembur, seperti mengandung pasir. Meski demikian, Panji bertekad untuk mengetahui ke mana lorong gua itu akan membawanya.
"Eh...!?" Panji menancapkan kakinya kuat-kuat ketika tanah yang dipijaknya terasa bergetar. Semula getaran itu dikira ditimbulkan oleh gempa. Namun ketika melihat adanya sesuatu yang menyembul dari dalam tanah, sadarlah Panji bahwa makhluk itulah yang telah membuat tanah di bawahnya bergetar. Cepat pemuda itu melangkah mundur dengan hati tegang!
"Earrrggghhh...!"
Makhluk yang bentuknya sangat aneh dan menyeramkan itu meraung, menatap Panji dengan sepasang mata yang merah menyala. Tubuhnya yang panjang dan dihiasi gelang-gelang di sepanjang badannya, membuat Panji sempat terbelalak dengan kening berkerut.
"Gila! Binatang apa ini...?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Makhluk yang bentuknya mirip seekor ular raksasa itu benar-benar mengerikan. Taring-taringnya yang tajam dengan lendir-lendir di sekitar mulutnya, membuat Panji hendak berbalik dan lari keluar gua. Tapi, niat itu ditundanya ketika dari belakangnya pun mulai bermunculan makhluk-makhluk serupa.
"Aaahhh?!" Panji kembali terpekik mundur melihat makhluk-makhluk menyeramkan itu terus bermunculan di sekelilingnya. Sadar kalau tidak mempunyai jalan lain untuk keluar kecuali menghadapinya, Panji segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Untunglah tenaga saktinya telah dapat bekerja kembali dengan baik. Kalau tidak, rasanya riwayat Pendekar Naga Putih akan berakhir amat mengenaskan!
"Hmmmhhh...!"
Disertai geraman yang menggetarkan langit-langit gua, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan! Serangkum angin dingin yang menusuk tulang, berhembus keras. Tubuhnya pun telah pula terlindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Broolll...!
Terkejut bukan main hari Pendekar Naga Putih ketika dari bawahnya, tiba-tiba muncul seekor makhluk yang langsung menggigit kaki kanannya. Cepat pemuda itu bertindak, mengayunkan tangannya dengan gerakan membacok!
"Hiaaahhh...!"
Whuuuttt....! Deeesss...!
Makhluk yang berupa seekor ular raksasa dengan tubuh bergelang-gelang itu meraung ketika sisi telapak tangan Panji menghajar telak lehernya. Namun, Panji sendiri sangat terkejut merasakan telapak tangannya bagaikan menghantam sebatang benda kenyal, bagai bongkahan karet saja.
"Gila! Tubuh makhluk celaka ini ternyata sangat kuat dan memiliki kekebalan yang aneh...!?" desis Panji sambil melangkah mundur.
Sungguh tidak disangka kalau pukulannya hanya membuat makhluk itu meraung kesakitan. Padahal menurut perkiraannya, makhluk aneh itu seharusnya tewas akibat tebasan telapak tangannya. Pendekar Naga Putih terus berpikir keras mencari cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk mengerikan itu. Hingga akhirnya, diputuskannya untuk menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memiliki sifat panas.
"Hm..., mengapa tidak?" desis Panji sambil menarik kembali 'Tenaga Sakti Gerhana' Bulan'nya, "Bukankah makhluk-makhluk celaka ini memiliki tubuh yang dingin dan kenyal. Satu-satunya jalan untuk melenyapkan hanyalah menggunakan tenaga yang bersifat panas" Dengan mengandalkan pikiran itu, Panji segera memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang tercipta dari Pedang Naga Langit.
"Hhh...!" Diiringi helaan nafasnya, muncullah sinar kuning keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Seketika itu juga, hawa panas pun menebar memenuhi lorong gua yang luas itu.
"Earrrggghhh...!
Binatang-binatang aneh itu terlihat marah ketika merasakan adanya hawa panas yang menebar dari tubuh Pendekar Naga Putih. Tanpa memperdulikan kemarahan binatang-binatang itu, Panji segera saja mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.
"Heaaahhh...!"
Whuuusss...! Blaaarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan sekali akibat dorongan sepasang tangan Panji. Balasan makhluk-makhluk mengerikan itu langsung terlempar seiring ledakan keras yang meruntuhkan langit-langit gua. Cepat Panji melompat menghindari batu-batu runcing yang berjatuhan dari langit-langit gua.
Melihat pukulannya berhasil membuat makhuk-makhluk itu hancur berkeping-berkeping, Panji cepat melesat ke depan meninggalkan gua itu. Kemudian, dia terus berlari tanpa memperdulikan air yang membasahi hingga ke lututnya. Entah sudah berapa lama pemuda itu berlari tanpa henti. Langkahnya baru melambat ketika sudah memasuki tempat yang cukup luas. Cepat ia melompat ke darat, ketika melihat adanya tanah lembab di tepi aliran air itu.
"Haaaff!?"
Ketika lewat di depan sebuah mulut gua yang lebar, tiba-tiba saja Panji memekik kaget. Cepat Pendekar Naga Putih menancapkan kedua kakinya di atas tanah hingga melesak melewati mata kaki. Memang pemuda itu merasakan adanya suatu tenaga aneh yang menyeretnya ke dalam gua.
"Gila! apa lagi ini...!?" seru Panji membayangkan makhluk-makhluk aneh yang mungkin akan muncul kembali entah dalam bentuk apa.
Tapi, kekuatan aneh itu semakin kuat menarik tubuhnya. Sehingga Panji terpaksa mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya, untuk bertahan. Meski demikian, karena tanah yang dipijaknya sangat lembab dan licin, akhirnya tubuhnya terseret ke dalam gua beserta tanah yang memendam kakinya.
"Hi hi hi...!"
Bulu roma di tengkuk Panji meremang ketika telinganya menangkap suara tawa mengikik yang berkepanjangan.
"Gila! Makhluk seperti apa lagi yang akan kutemui di dalam perut bumi ini...?" desis Panji.
Akhirnya Pendekar Naga Putih membiarkan tubuhnya tersedot ke dalam gua besar itu. ia hanya mengimbangi agar tubuhnya tidak sampai terjerunuk kedepan.
Kegelapan dan bau tanah lembab menyambut kedatangan Pendekar Naga Putih di dalam gua itu. Namun, tubuhnya terus tersedot hingga ke sebuah ruangan lebar yang agak terang. Panji sendiri tidak mengerti, apa yang membuat ruangan lebar itu tidak gelap seperti lorong gua yang baru dilaluinya.
Ketika tenaga yang menyedot tubuhnya terasa telah lenyap, Panji segera mengendurkan tenaganya. Untuk beberapa saat lamanya, dia seperti merasa silau oleh pantulan cahaya yang berasal dari dinding dan langit-langit gua. Pancaran sinar kekuningan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, apa yang terkandung di dalam dinding dan langit-langit gua itu.
"Hi hi hi...! Selamat datang, anak manusia...! Akhirnya ada juga orang yang akan menemaniku di perut bumi ini...!"
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika mendengar suara nyaring yang bagai menusuk telinga. Cepat wajahnya menoleh ke arah sumber suara. Dan..., hampir tidak dipercayainya ketika melihat sesosok tubuh ringkih yang rambut putihnya sudah hampir tidak tersisa. Satu-satunya yang membuat Panji mengenali kalau sosok itu wanita adalah buah dada yang menggantung bagai balon kempes di tubuh sosok tulang terbalut kulit keriput itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri bengong menatapi sosok wanita yang sangat tua itu. Nenek yang entah usianya sudah berapa ratus tahun itu hanya mengenakan selembar kain usang, menutupi bagian pinggang hingga ke lututnya. Sedangkan tubuh bagian atasnya polos tanpa selembar benang pun.
"Hei, mengapa menatap ku seperti itu? Kau mempunyai pikiran jelek, ya? Kau suka dengan tubuhku, ya? Ayo, jawab! Mengapa kau diam saja? Berbicaralah! Sudah puluhan tahun aku tidak pernah mendengar suara manusia di sini. Aku rindu sekali mendengar suara manusia untuk kuajak bercakap-cakap. Berbicaralah, Anak Muda tampan! Jangan menyiksaku dengan membisu seperti itu"
Dari marah, suara nenek itu akhirnya terdengar memelas. Dia meminta Panji untuk berbicara atau mengatakan sesuatu agar telinganya bisa mendengar suara makhluk sejenisnya kembali. Jelas, otak nenek itu kurang waras. Sebenarnya Panji merasa geli mendengar nenek itu menuduhnya mempunyai pikiran jelek dan menyukai tubuhnya. Tapi, dia tidak berusaha menyinggung perasaan nenek itu dengan senyumnya. Apalagi dengan tawanya.
"Nenek yang baik. Aku tidak tahu, siapa adanya Nenek. aku berada di sini bukan atas kemauanku sendiri. Tapi, orang-orang jahat di luar sanalah yang membuatku sampai di tempat celaka ini. Namaku Panji. Kau sendiri siapa, Nek?" tanya Panji sambil berdiri tegak, karena nenek itu tengah menghampirinya.
"Bodoh! Kau tidak pantas menyebutku Nenek, Pemuda tolol! Panggil aku, Uyut. Karena, usiaku jauh lebih tua daripada nenekmu yang berada jauh di atas sana. Dan bukan di luar! Huh! Sial betul aku ini. Dapat teman, ternyata seorang pemuda sinting yang berotak udang!" umpat nenek itu menyalahkan ucapan dan sebutan Panji. Bahkan tanpa memperdulikan perasaan Panji, enak saja nenek itu memakinya sebagai pemuda sinting berotak udang.
Tentu saja Panji menjadi kaget mendengarnya. "Sinting...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat merasa kesal karena dirinya dimaki sedemikian rupa. Namun dia tidak berani mengucapkannya, karena khawatir tingkah nenek itu akan semakin menggila. Biar bagaimanapun, ia harus bersyukur dapat bertemu manusia lain di dalam perut bumi ini.
"Eh, dasar pemuda sinting! Mengapa kau malah diam? Ayo, panggil aku Uyut! Atau, kau tidak suka kepadaku, ya? Kau ingin minggat, ya? Ingin meninggalkan aku sendirian, ya? Huh! Tidak bisa..., tidak bisa...," dengus nenek itu sambil menggoyang-goyangkan tangan dengan kepala menggeleng-geleng keras.
"Celaka ...!" desis Panji. Sepertinya, nenek gila itu tidak akan membiarkan Panji pergi dari alam bawah tanah itu. Tentu saja hal itu membuatnya cemas.
"Maaf, Uyut. Aku memang tidak akan pergi dari perut bumi ini. Lagi pula, mana ada jalan keluar dari Neraka ini? Kalaupun ada, pastilah Uyut tidak akan tinggal di sini, bukan?" sahut Panji dengan suara yang cukup keras. Sengaja semua itu dikatakannya untuk memancing pendapat nenek itu. Dan kalau memang ada jalan keluar, pasti nenek itu akan mengatakannya.
"Bagus, kalau kau tidak akan meninggalkan tempat ini. Tapi jangan dikira tidak ada jalan...eh?! Pasti tidak ada jalan keluar. Ya, tidak ada jalan keluar!" kata nenek itu berulang-ulang seperti baru menyadari kalau dirinya telah terpancing untuk mengatakan ada tidaknya jalan keluar.
“Ya, tidak ada jalan keluar. Dan, aku akan terkubur hidup-hidup di sini. Atau, menanti datangnya kematian tanpa mampu mencegah kejahatan yang berlangsung di atas sana...," desah Panji kembali hendak memancing perhatian nenek itu tentang kejahatan yang masih terus berkelanjutan mengotori bumi.
"Kejahatan di atas sana...?" gumam nenek itu termenung sejenak, mengulang ucapan Panji. "Aku tidak perduli dengan segala manusia yang berada di atas sana! Huh! Selama ini mereka pun tidak perduli dengan nasibku! Tidak ada seorang pun yang menolong ku! Aku dibiarkan terkubur hidup-hidup di tempat ini berteman cacing-cacing raksasa dan makhluk-makhluk lain yang tidak bisa kuajak bicara. Lalu, untuk apa harus memikirkan orang-orang sinting di atas sana?"
Mendadak saja nenek itu berteriak-teriak, seolah-olah ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam di dalam hatinya. Ketika diingatkan Panji, maka meluncurlah semua rasa ketidakpuasan dan dendamnya terhadap orang-orang di atas bumi yang dianggap tidak mau menolongnya.
Panji terdiam tanpa menjawab sepatah pun. Dibiarkannya nenek itu mengungkapkan segala isi hatinya yang selama ini terpendam. la menunggu nenek itu menyelesaikan segala perasaannya. Panji berharap, agar perasaan dendam dan tertekan dalam diri nenek itu dapat tersalur lewat ucapan-ucapannya.
"Uyut..," panggil Panji setelah nenek itu menghentikan ucapan dan tangisnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, dipeluknya tubuh renta itu penuh rasa iba. Sebab, apa yang selama ini dialami nenek itu bukan tidak mungkin akan dialaminya juga. Hanya bedanya, ia kini ditemani nenek itu.
Cukup lama nenek itu menangis di dada Panji. Sementara Pendekar Naga Putih membiarkannya, dan membelai-belai punggung nenek itu dengan lembut.
"Aaahhh...!" Mendadak saja, nenek itu menarik tubuhnya dan menjauh dari Panji. Pemuda itu tetap saja tenang, menanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh nenek penghuni perut bumi itu.
"Uyut..!?" Panji yang melihat tubuh nenek itu tiba-tiba limbung dan hendak jatuh, segera saja melesat menangkap tubuh renta itu. Sehingga, tubuh kurus yang hanya tulang terbalut kulit keriput itu tidak sampai terbanting jatuh.
Perlahan-lahan Panji merebahkan tubuh nenek itu di atas sebuah batu pipih, tempat semula nenek itu duduk bersila. Hatinya merasa cemas ketika merasakan denyut jantung yang kian terdengar lemah. Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi heran. Sebab, semula nenek itu kelihatan demikian kuat dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sakit.
"Pan... ji....Itukah namamu, Cucuku...?" tiba-tiba terdengar suara nenek itu lemah.
Maka bergegas Panji mendekat. "Benar, Uyut. Itulah namaku...," sahut Panji dengan suara sedikit keras, agar bisa terdengar nenek itu.
"Pan...ji. Kau jangan merasa heran melihat keadaan ku ini. Kalau selama ini aku kuat bertahan, itu hanya karena tekadku demikian kuat untuk berjumpa dengan bangsaku. Dan setelah melihatmu, penyakit tua yang telah lama ku derita ini, kembali kambuh," tutur nenek itu dengan suara lirih dan hampir tidak terdengar.
Panji menjadi merasa perlu mendekatkan telinganya agar dapat menangkap jelas setiap kata yang diucapkan nenek itu. Dengan sabar, dinantinya kata-kata yang akan meluncur dari bibir tua itu.
"Tahukah kau, Panji? Berapa umurku sekarang? Hampir genap seratus lima puluh tahun! Jadi seratus tahun lebih aku terkubur di dalam perut bumi ini." Nenek itu kembali menghentikan ucapannya. Terdengar tarikan nafasnya yang berulang-ulang. Jelas sekali kalau untuk berbicara pun ia sudah merasa sangat lelah.
“Kuatkanlah hatimu, Uyut. Aku akan mencoba mengobati dan menyembuhkan mu?” ujar Panji yang tiba-tiba merasa iba, dan memutuskan untuk tinggal menemani sisa-sisa umur nenek itu.
"Tidak perlu, Cucuku. Ah..., aku bisa melihat bahwa kau adalah seorang pemuda jujur dan sangat baik. Kepandaian yang kau miliki pun sangat tinggi. Jauh lebih tinggi sebelum aku terlempar ke neraka ini. Tadi pun, aku hampir tidak sanggup menyeret mu kemari. Kau harus keluar dari tempat ini, Cucuku. harus!" tegas nenek itu yang kemudian terbatuk hebat.
Cepat Panji mengurut leher bagian belakang nenek itu perlahan. "Tapi..., bagaimana dengan Uyut sendiri? Tidak. Aku tidak bisa meninggalkan Uyut sendirian disini. Biarlah aku tidak usah melihat dunia lagi. Aku akan tinggal di sini menemani Uyut," jawab Panji tegas. Meskipun semula hendak keluar dari dalam neraka bumi itu, tapi hati Pendekar Naga Putih tidak tega melihat nenek itu tinggal sendiri tanpa ada yang menemani.
"Terima kasih, Cucuku. Tapi, umurku hanya tinggal beberapa hari lagi. Dan aku tidak ingin kau mengalami apa yang selama ini kujalani. Seratus tahun lebih aku harus menekan semua penderitaan ini, akibat ulah musuhku yang mengalahkan aku dalam sebuah pertarungan mati-matian. Selama itu, aku telah membuat jalan keluar dengan menggunakan tanganku sendiri. Sayang, ketika aku berhasil membuat jalan keluar itu, umurku kira-kira sudah seratus empat puluh delapan tahun. Dan aku tidak ingin akan menjadi bahan ejekan orang kalau aku keluar kelak. Untuk itulah aku menetapkan tinggal di perut bumi ini sambil menunggu, kalau-kalau akan ada orang yang datang. Setelah kepergianku yang kurasa tidak lama lagi, pergilah berjalan ke Utara, Cucuku. Kelak kau akan tiba di sebuah pantai. Nah, dari sanalah kau baru bisa menemukan dunia luar. Jangan sia-siakan umurmu di tempat celaka ini...," jelas nenek itu.
Namun, kegembiraan Panji sudah lenyap sejak mengetahui kalau nenek itu ternyata tidak akan berusia lama lagi. Maka iapun memutuskan untuk menemani sisa hidup nenek itu. Karena tanpa nenek itu, bukan tidak mungkin ia akan tetap tinggal di dalam perut bumi menanti kematian datang menjemputnya.
"Biarlah, Uyut. Lupakan tentang jalan keluar itu. Aku ingin pada saat-saat akhir hidup Uyut, akan ada seorang yang menemani dan merawat secara baik. Untuk itu, aku akan tinggal di tempat ini dan merawat Uyut" jawab Panji.
Pendekar Naga Putih terpaksa menundukkan wajahnya, karena tidak ingin kalau nenek itu sempat menangkap adanya binar kekecewaan di matanya. Cukup lama Panji tertunduk sambil menggenggam telapak tangan nenek itu. Kesadarannya baru bangkit setelah merasakan, betapa telapak tangan yang digenggamnya, mulai dingin dan tidak terasa adanya denyutan.
"Uyut..," panggil Panji dengan suara cemas.
Namun, nenek itu tetap diam. Dan dia masih terbaring dengan wajah mengukir senyum bahagia.
"Uyut...!" Dengan suara yang penuh rasa cemas, Panji mengguncangkan tubuh nenek itu. Namun nenek penghuni perut bumi itu tetap terdiam tanpa menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Sadarlah Panji kalau nenek itu telah tiada.
"Aaah Uyut. Betapa besarnya budimu kepadaku. Tanpa adanya kau di tempat ini, rasanya aku tidak mungkin dapat menemukan jalan keluar," desah Panji dengan suara berduka. Dengan perasaan yang masih tidak menentu, Panji mengangkat mayat nenek itu. Kemudian dikuburkannya nenek itu di dalam gua.
"Uyut. Maafkan, kalau aku tidak bisa tinggal lebih lama. Setelah kepergianmu, rasanya aku lebih baik pergi meninggalkan tempat ini. Aku pamit, Uyut..," desah Panji, duduk di samping makam nenek penghuni perut bumi itu.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun melangkah ke arah Utara seperti yang dikatakan nenek penghuni perut bumi sebelum kematiannya.
******************
TUJUH
Setelah berhari-hari menelusuri lorong yang sulit dan berliku-liku, tibalah Panji di sebuah dinding tebing karang yang menjorok ke pantai. Debur ombak yang terdengar dari kejauhan, membuat pemuda itu semakin bersemangat melihat dunia luar kembali. Tidak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih tampak berdiri sambil menarik napas sepuas-puasnya. Ditatapinya air laut yang bagaikan tidak bertepi.
"Ya, Tuhan Akhirnya aku bisa juga melihat dunia kembali...," desah Panji mengucap syukur karena masih bisa keluar dari dalam perut bumi.
Puas menatap laut lepas sambil menghirup udara segar, Panji mulai mengalihkan perhatiannya ke sekitar tempat itu. Ia melihat kalau dirinya berada di bawah sebuah dinding tebing setinggi kira-kira sepuluh tombak dari daratan. Segera saja pemuda itu merayap naik, dengan menanamkan jari-jari tangannya ke dinding tebing. Tentu saja perbuatan itu tidak mudah. Untunglah tenaga sakti yang dimilikinya sudah demikian tinggi, sehingga Panji bisa tiba di atas daratan berbatu karang.
Pendekar Naga Putih yang terlalu merasa gembira karena dapat terbebaskan dari kurungan perut bumi, sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya. Pakaiannya yang lebih mirip gelandangan, tidak sempat diingatnya. Rambut dan wajahnya pun tampak kotor bagaikan tidak pernah dibersihkan. Rasanya, kalau saat itu ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, orang pasti akan senantiasa menertawakannya. Memang keadaan pemuda itu tentu saja sangat jauh berbeda, sebelum terjebak di dalam perut bumi.
Dengan langkah ringan, Panji mengayunkan kakinya menuju ke arah perkampungan nelayan, yang diduganya pasti tidak jauh dari tempatnya berada saat itu. Pemuda itu pun sama sekali tidak menyadari betapa tubuhnya telah menyusut dalam beberapa hari. Sebab, selama berada di dalam perut bumi, dia jarang sekali menemukan makanan untuk mengisi perutnya. Kalau beruntung, dalam dua hari barulah ia bisa mendapatkan seekor ikan yang kebetulan tersasar, atau terjebak di ceruk tanah. Jadi, tidak aneh kalau tubuhnya jauh lebih kurus dari semula.
Ketika memasuki perkampungan nelayan, barulah Pendekar Naga Putih menyadari keadaannya. Beberapa gadis-gadis nelayan yang berpapasan dengannya, bergegas menyingkir sambil memijat hidungnya. Sehingga, pemuda itu tersenyum kecut menyaksikan sikap mereka. Panji yang semula berniat menyingkir untuk membersihkan diri, menahan langkahnya ketika mendengar jeritan yang diiringi gemuruh derap kaki kuda.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya melesat secepat kilat. Kedua kakinya bagaikan tidak menyentuh permukaan pantai berpasir. Sehingga, beberapa orang nelayan yang tengah berlarian sempat terjatuh lemas ketika tubuh Pendekar Naga Putih lewat disampingnya.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan-jeritan ketakutan yang membuat suasana semakin bising. Darah pemuda itu mendidih seketika begitu melihat serombongan orang berkuda mengenakan seragam serba hitam, tengah menyeret-nyeret seorang lelaki tua. Tentu saja lelaki tua itu menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi tali yang menjerat tubuhnya. Sedangkan orang berpakaian hitam yang berada di atas punggung kuda malah terbahak-bahak, seperti merasa gembira melihat penderitaan lelaki tua itu.
"Biadab...!" desis pemuda itu menggertakkan giginya, menahan geram. Hati Pendekar Naga Putih semakin terbakar begitu mengenali kalau para penunggang kuda itu tak lain adalah gerombolan Naga Hitam! Cepat bagai kilat, tubuh pemuda itu melayang dan langsung melakukan tamparan keras ke arah wajah si penunggang kuda.
Whuuuttt! Plakkk!
"Aaakkkh...!"
Laki-laki itu tak sempat lagi menghindari tamparan telak itu tepat menghantam kepalanya. Diiringi jerit kematian, tubuh penunggang kuda itu terjungkal dan tewas seketika dengan kepala retak!
Panji sendiri sudah langsung menyambar tubuh nelayan setengah baya itu, setelah dilepaskan dari ikatan yang membelit tubuhnya. Kemudian dia langsung melarikannya ke tempat yang aman. Setelah meletakkan tubuh lelaki setengah tua itu, Panji kembali melesat ke luar. Sepasang matanya berputar dengan sorot menggetarkan ketika mendengar jeritan seorang wanita.
"Biadab...! Rupanya setan-setan keparat itu semakin merajalela ke berbagai tempat!" desis Panji melihat salah seorang anggota rombongan penunggang kuda itu tengah berusaha menodai seorang gadis putri nelayan.
Peristiwa yang terjadi di depan sebuah rumah nelayan itu, merupakan satu bukti kalau kelompok kaum sesat yang semula tak dikenal itu sudah menampakkan diri secara terang-terangan, sejak mereka menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas di Lembah Bintang. Tanpa membuang-buang waktu, Panji kembali melesat ke dekat lelaki yang hendak memperkosa gadis nelayan itu secara biadab. Begitu tiba, tangannya langsung mengangkat naik tubuh lelaki itu.
"Heaaahhh!" Dibarengi bentakan keras, Panji melemparkan tubuh lelaki itu sekuat tenaga!
Braaakkk...!
Lemparan Panji yang sekuat tenaga, tentu saja berakibat sangat hebat! Tubuh orang itu melayang deras, dan membentur tiang penyangga rumah hingga berderak patah! Bahkan tubuh orang itu langsung tertancap di patahan tiang!
"Aaa...!" Darah segar menyembur seiring jerit kematian yang melengking merobek udara! Sebentar kemudian, tubuh lelaki itu pun terkulai tewas.
Tanpa memperdulikan korbannya, Panji kembali mengamuk menggiriskan! Para penunggang kuda yang berjumlah dua puluh orang itu beterbangan bagaikan diamuk badai! Tak satu pun dari mereka yang selamat dari tangan maut Pendekar Naga Putih! Sehingga dalam waktu sebentar saja, habislah seluruh anggota pembunuh bayaran Naga Hitam!
Para nelayan beserta keluarganya yang semula bersembunyi di dalam rumah, bergegas keluar. Mereka bersorak menyambut kemenangan Panji. Bahkan, gadis-gadis nelayan yang semula menyingkir ketika pemuda itu lewat di sampingnya, kini malah berebutan mengerumuninya.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum tanpa tahu harus berkata apa. Perlahan kemudian, tangan pemuda itu terangkat ke atas. Anehnya, isyarat itu langsung membuat teriakan-teriakan gembira lenyap. Rupanya penduduk perkampungan nelayan itu sangat mengagumi pemuda berwajah kotor dengan pakaian seperti jembel itu.
Pada saat suasana hening itu, tampak dua orang lelaki gagah menyeruak mendekati Panji. Begitu berhadapan, keduanya langsung membungkuk hormat ke arah Pendekar Naga Putih.
"Kisanak, kepandaianmu sangat hebat. Kami benar-benar sangat kagum dan berterima kasih kepadamu. Perlu kau tahu, orang-orang yang berpakaian hitam itu adalah kelompok kaum sesat yang saat ini tengah merajalela tanpa ada yang berani mencegahnya," jelas salah satu dari kedua orang itu tanpa diminta.
Rupanya kedua orang itu sempat melihat sepak terjang Panji yang menggiriskan, ketika menghadapi gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam tadi.
"Benar, Kisanak. Melihat kepandaianmu, rasanya orang seperti kaulah yang selama ini kami cari-cari. Bersediakah Kisanak bergabung dengan kami untuk memberantas gerombolan manusia laknat itu...?" tanya orang bertubuh gemuk pendek dengan sepasang alis hitam berbentuk golok.
"Sebenarnya kami tengah berusaha menghubungi seorang pendekar pengelana yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Sayangnya kami mendapat khabar, pendekar muda yang sakti itu telah tewas di tangan Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Padahal, saat ini dunia persilatan sangat memerlukan orang seperti dia...," ujar orang pertama lagi, yang tubuhnya tinggi kurus dengan sepasang mata cerdik.
"Mmm... Kalau kalian melihatku sewaktu membasmi gerombolan sesat itu, mengapa tidak turun tangan untuk mencegah mereka? Apakah kaum golongan putih telah demikian pengecut hingga membiarkan kejahatan merajalela di mana-mana...?" tukas Panji, menyahuti sebelum salah seorang di antara kedua orang itu berbicara kembali. Nada ucapan pemuda itu jelas-jelas sebuah teguran.
"Maaf, kami berdua datang terlambat," sahut lelaki pendek gemuk dengan nada bersalah, "Kami terpaksa hanya menyaksikan ketika kau menghabisi manusia-manusia laknat itu. Selain itu, mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Meskipun kami berdua tidak takut mati, tapi untuk menghadapi gerombolan itu rasanya tidak akan sanggup," jawab lelaki itu membela diri.
"Hm.... Kalau begitu, mari bawa aku kepada ketua kelompok kalian...," ujar Panji tetap dengan nada yang datar.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Putih, karena ingin melihat, apakah ada di antara para tokoh golongan putih yang akan mengenalnya dalam keadaan demikian.
"Aaah...! Marilah, Kisanak. Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur, pasti akan gembira menyambut kedatanganmu...," sambut lelaki tinggi kurus itu cepat. Kelihatan sekali kalau ia merasa sangat gembira mendengar pernyataan pemuda yang telah disaksikan sendiri kesaktiannya.
Sambil melangkah meninggalkan perkampungan nelayan, Panji meminta agar kedua orang lelaki gagah itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi dalam dunia persilatan. Kedua orang lelaki gagah itu sendiri nampaknya sangat bangga bisa menceritakan kepada pemuda itu tentang peristiwa yang telah membuat golongan putih kalang kabut. Pendekar Naga Putih sendiri hanya menganggukkan kepala sambil menoleh ke arah kedua orang itu berganti-ganti. Memang kedua lelaki gagah itu bercerita secara bergantian.
******************
Panji berhenti sejenak di depan sebuah rumah besar yang terletak di dalam sebuah hutan. Diam-diam bibirnya tersenyum sendiri. Ingin rasanya pemuda itu segera bertemu Pendekar Garuda Sakti. Panji bermaksud tidak akan memperkenalkan dirinya, karena ingin melihat apakah lelaki gagah yang pernah berjumpa dengannya di Desa Jipang masih dapat mengenali dirinya yang telah berubah ini.
"Mari, Kisanak...!"
Lamunan Panji tentang pertemuan pertamanya dengan Pendekar Garuda Sakti buyar, ketika lelaki gagah bertubuh pendek gemuk itu mempersilakannya masuk. Segera saja pemuda itu melangkah mengikutinya. Kening pemuda itu sempat berkerut melihat banyaknya tokoh persilatan yang telah berkumpul di tempat itu. Melihat semua itu, Pendekar Naga Putih mulai dapat meraba kejadian yang melanda negeri itu semenjak dirinya lenyap di dalam perut bumi.
"Selamat datang di tempat ini, Kisanak...," sapa seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun lebih yang duduk di kursi terbuat dari kayu tebal. Lelaki gagah itu segera bangkit diiringi orang di sebelah kanannya. Meskipun telah berumur, namun orang itu terlihat masih tampan dan segar. Kedua orang itu membungkuk hormat ke arah Panji yang segera membalasnya.
"Terima kasih atas kesediaan kalian menerimaku...," sahut Panji menyembunyikan senyumnya.
Ternyata lelaki gagah yang dikenali sebagai Pendekar Garuda Sakti itu sama sekali tidak mengenalinya. Hanya saja, lelaki gagah yang dikenal Panji bernama Gumang itu seperti menatapnya penuh selidik. Tapi, Panji berpura-pura bodoh.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu, Kisanak. Syukurlah kau bersedia membantu kami. Karena pada saat-saat seperti ini, kami memang sangat membutuhkan orang-orang pandai untuk menanggulangi kaum sesat yang semakin merajalela.
"Oh.... Inikah pemuda yang telah membantai habis orang-orang biadab itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara bening dan merdu yang membuat wajah Panji agak pucat. Karena dikenalinya betul suara merdu itu. Panji yang menoleh ke arah asal suara itu, menjadi berdebar tegang. Ditahannya keinginan untuk menyebut nama seorang dara jelita berpakaian serba hijau, yang tengah berdiri menatapnya dengan wajah tegang.
"Kau... ah...! Kau Kakang Panji...!?"
Tiba-tiba saja, sebelum Panji sempat menyebutkan nama seorang dara jelita, gadis itu sudah keburu menghambur ke dalam pelukan Panji. Gadis yang tak lain dari Kenanga itu tampaknya dapat mengenal Panji, bagaimanapun rupa kekasihnya saat itu.
"Kakang...!" Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga langsung memeluk tubuh pemuda berpakaian gembel itu erat-erat. Terdengar ledakan tangisnya yang tidak bias dibendung.
"Kenanga...," Akhirnya keluar juga suara itu dari mulut Panji. Pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya penuh kerinduan. Mereka sama sekali lupa kalau saat itu banyak orang di sekeliling yang memandang bingung.
"Kakang, ke mana saja kau selama ini? Apa yang telah terjadi denganmu? Menurut kabar yang kudengar, kau telah tewas di dalam Lembah Bintang. Lalu, mengapa kau tiba-tiba muncul dalam keadaan seperti ini...?" Kenanga langsung memberondong kekasihnya dengan pertanyaan-pertanyaan, begitu mereka saling melepaskan rangkulan.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, tentu saja Panji menjadi heran. Tapi Pendekar Naga Putih segera mengerti. Dia ingat ketika disuruh memilih oleh datuk- datuk sesat itu, Kenanga tengah tak sadarkan diri. Jadi wajar saja kalau gadis itu tidak tahu.
"Hm.... Syukurlah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon memenuhi janjinya untuk membebaskan mu. Saat itu, kau tengah pingsan dalam tawanan mereka dan...,"
"Aku pingsan...? Ditawan mereka...? Apa maksud mu, Kakang? Aku sama sekali tidak pernah tertawan mereka. Karena, saat aku dikeroyok sewaktu di penginapan Desa Jipang, ada Pendekar Gunung Batur yang kebetulan menyelamatkanku. Karena saat itu aku jatuh pingsan akibat racun mereka, maka Pendekar Gunung Batur membawaku ke tempat tinggalnya. Jadi, aku sama sekali tidak tertawan seperti katamu itu," sergah Kenanga.
"Hm..., aku ingat sekarang. Pantas saja kedua iblis itu tidak memperlihatkan secara jelas gadis yang ditawannya. Gadis itu rupanya sengaja diberi pakaian hijau yang serupa dengan pakaianmu. Rambutnya yang panjang ditutupi ke wajahnya. Bangsat! kalau begitu aku telah tertipu mentah-mentah!" geram Panji.
Panji langsung teringat saat mendekati gadis tawanan berpakaian serba hijau itu, Datuk Naga Hitam dan kawan-kawannya selalu mencegah dan berusaha agar tidak sampai melihat jelas wajah gadis yang dikiranya sebagai Kenanga.
"Untunglah kau selamat, Pendekar Naga Putih. Sejak pertama kali kau datang tadi, aku sudah merasa curiga. Tapi, aku tidak yakin kalau itu adalah kau. Sebab, tak seorang pun yang pernah selamat dari pusaran maut di muara sungai Lembah Bintang. Syukurlah Tuhan masih melindungimu dan kita semua." Pendekar Garuda Sakti yang memang pernah mengenal pemuda itu, segera saja menyahuti.
Tentu saja kedatangan pemuda yang ternyata Pendekar Naga Putih itu, disambut meriah tokoh-tokoh persilatan yang tergabung di bawah pimpinan Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
"Terima kasih, Gumang. Dan aku pun telah mendengar semua dari dua orang tokoh yang mengajakku ke mari tadi. Rasanya, memang sudah saatnya kejahatan manusia-manusia sesat itu kita berantas...," ucap Panji yang masih tak lepas dari pelukan Kenanga. Sepertinya gadis jelita itu sama sekali tidak peduli, meskipun tubuh kekasihnya mengeluarkan bau tak sedap saat itu. Semua itu lenyap ditelan kerinduan dan rasa cintanya yang mendalam.
"Kalau begitu, kita harus menyusun rencana untuk menghancurkan Datuk Naga Hitam dan begundal-begundalnya...," ujar Pendekar Naga Putih lagi.
"Rasanya, kita tidak perlu menyatroni mereka, Pendekar Naga Putih. Menurut beberapa orang tokoh yang menyelidiki kegiatan gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam, mereka melihat adanya dua orang anggota gerombolan itu yang sempat melarikan diri pada waktu kau memberantas kawan-kawannya di perkampungan nelayan. Jadi menurut perkiraan ku, mereka sendirilah yang akan datang ke tempat kita ini," jelas Pendekar Garuda Sakti.
"Kalau begitu, kita hanya tinggal menunggu mereka saja. Hm..., apakah kau sudah mempersiapkan penyambutan untuk mereka, Gumang?" tanya Panji dengan sorot mata kagum. Pemuda itu merasa agak bersalah, karena sempat mencurigai Gumang pada waktu di Desa Jipang. Tapi kini Panji tahu, lelaki gagah itu memang merupakan seorang pendekar yang pantas dikagumi. Terbukti, ia dapat menyatukan tokoh-tokoh persilatan yang dimusuhi kelompok kaum sesat Naga Hitam.
"Tentu saja aku sudah mempersiapkannya dengan baik, Panji. Hanya satu hal yang ku takutkan...," Gumang tidak segera menyelesaikan kalimatnya. Sepertinya, ia hendak melihat sambutan Pendekar Naga Putih.
"Oh, ya. Tentu saja aku akan bersiap untuk itu...," sahut Panji. Pendekar Naga Putih segera saja mengetahui, kalau yang dimaksudkan Pendekar Garuda Sakti adalah kehadiran dua datuk sesat yang memang tidak mungkin dapat ditandingi oleh Gumang maupun Pendekar Gunung Batur. Tentu saja Panji mengerti.
"Hm..., Kalau begitu, bagaimana apabila kau membersihkan tubuhmu dulu, Kakang? Menurutku, kau pasti tidak pernah membersihkan tubuhmu sejak lenyap ditelan pusaran maut Lembah Bintang," Kenanga mengingatkan. Gadis jelita itu menutup hidungnya untuk menggoda Panji. Semua itu jelas dari pancaran matanya yang berbinar.
"Hm.... Tapi kau tetap suka kan...," bisik Panji yang tentu saja hanya bisa didengar oleh gadis jelita itu.
Kenanga sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan Panji. Setelah berpamitan kepada Gumang dan Pendekar Gunung Batur, Kenanga pun mengantarkan pemuda itu untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian.
******************
DELAPAN
Saat itu, senja baru menampakkan kekuasaannya. Semburat cahaya kemerahan tampak menghias kaki langit sebelah Barat. Hembusan angin bersilir lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Di tengah siraman senja, bangunan tua yang menjadi tempat tinggal tokoh persilatan, tampak sunyi. Hanya satu dua orang yang terlihat hilir-mudik dengan senjata di pinggang. Sikap mereka tampak sedikit tegang, karena menurut perhitungan Pendekar Garuda Sakti kemungkinan malam atau senja hari itu pihak golongan sesat akan mendatangi mereka.
Sedangkan di bagian dalam bangunan tua yang terletak di sebelah Timur Hutan Bajang, tampak beberapa orang berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat. Sepertinya, mereka tengah merencanakan untuk mengatur siasat dan pembagian tugas dalam meng-hadapi musuh yang akan menyerang.
"Jika Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon memang akan muncul, biarlah jadi bagian Pendekar Naga Putih. Kita harus mengakui, kalau tidak mungkin sanggup menghadapi kedua datuk sesat itu, kecuali Pendekar Naga Putih. Justru karena adanya saudara kita. Pendekar Naga Putih-lah, maka aku berani menanggung akibatnya untuk menghadapi mereka. Kalau tidak, mungkin aku akan mengajak kalian semua untuk mengungsi, seperti yang selama ini kita lakukan. Rasanya, sekaranglah saatnya bagi golongan putih untuk bangkit!" kata Pendekar Garuda Sakti penuh semangat.
Tokoh lainnya hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Karena, apa yang dikatakan lelaki gagah itu memang tidak berlebihan. Dan mereka semua tahu akan hal itu. Pendekar Garuda Sakti menatapi rekan-rekannya, seolah menunggu pendapat dari tokoh lainnya. Setelah beberapa saat tidak ada yang angkat suara, lelaki gagah itu pun melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, pertemuan ini kututup. Sebagaimana yang telah kita bicarakan tadi, semua harus siaga di tempat masing-masing. Tidak ada seorang pun yang boleh bergerak, sebelum mendengar tanda dariku. Kurasa cukup sekian"
Setelah berkata demikian, Pendekar Garuda Sakti bangkit dari duduknya diikuti para tokoh lain. Satu persatu mereka meninggalkan ruang pertemuan untuk melaksanakan apa yang barusan dibicarakan.
Baru saja Pendekar Garuda Sakti membubarkan pertemuan itu, mendadak dari depan telah terdengar suara ribut-ribut. Segera saja para tokoh itu berlompatan keluar dengan senjata di tangan. Rupanya, perhitungan mereka meleset! Padahal dugaan sebelumnya musuh akan menyerang saat malam datang.
"Aku pergi dulu...," Panji yang memang tidak ikut bergabung dengan para tokoh persilatan lain, segera saja berpamitan. Belum lagi gaung suaranya hilang, tubuhnya telah lenyap seperti asap tertiup angin. Setelah tubuh Pendekar Naga Putih lenyap, Pendekar Garuda Sakti, Pendekar Gunung Batur, Kenanga, serta para tokoh lainnya segera saja berlari menuju gerbang depan. Di tangan mereka telah tergenggam senjataterhunus.
Begitu tiba di gerbang depan, para tokoh itu langsung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran yang telah ramai berkobar. Meskipun rencana mereka ternyata berantakan, namun para tokoh persilatan itu tetap berjuang gigih! Tidak ada lagi rasa takut dalam hati mereka. Yang terpikirkan saat itu hanyalah mengusir musuh secepatnya, atau membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Pendekar Garuda Sakti sendiri sudah menghadapi seorang lelaki bertubuh gemuk yang wajahnya terlindung kain hitam. Melihat betapa laki-laki gemuk itu banyak menewaskan rekan-rekannya, langsung saja Pendekar Garuda Sakti menggempurnya dengan pedang telanjang!
"Hiaaattt...!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, Gumang yang berjuluk si Pendekar Garuda Sakti mengibaskan senjatanya, memapak sambaran pedang lelaki gemuk itu yang hendak mencelakakan salah seorang rekannya. Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan serangan, dan memutar senjatanya menyambut serangan Gumang. Sebentar saja, mereka segera terlibat dalam sebuah pertarungan sengit! Gumang yang telah menyaksikan kehebatan lawan, segera saja mengerahkan seluruh kepandaian untuk menundukkan lawan secepat mungkin.
Beeettt! Beeettt!
Senjata yang berupa golok besar di tangan lelaki gagah berkumis tebal itu berputar dan meliuk-liuk cepat. Tidak percuma Gumang mendapat julukan sebagai Pendekar Garuda Sakti. Hal ini terbukti dari gempuran-gempurannya yang cepat dan kuat laksana amukan seekor garuda yang sedang marah!
Tapi, lelaki gemuk berseragam hitam itu pun ternyata bukan orang lemah. Senjata di tangannya yang berupa sebilah pedang lemas, mengaung-ngaung mengincar tubuh lawan. Gerakannya pun tak kalah cepat dibanding Gumang. Apalagi, senjata yang digunakannya dapat pula digunakan untuk melibat. Sehingga, pertarungan di antara kedua orang tokoh itu pun berlangsung seru dan terlihat seimbang!
Di tempat lain, Kenanga juga mendapat seorang lawan yang cukup tangguh. Wanita cantik berambut panjang yang menjadi lawannya, ternyata seorang tokoh berilmu tinggi. Julukannya cukup membuat orang gentar. Yakni, Peri Sungai Alur!
Sayangnya yang kali ini dihadapi Peri Sungai Alur tidak dapat disamakan dengan lawan-lawannya yang terdahulu. Sebelum bertemu dengan Pendekar Naga Putih pun, Kenanga merupakan seorang gadis yang sulit dicari tandingannya. Baik dalam ilmu silat maupun kejelitaannya. Apalagi, setelah bertemu dan melakukan petualangan bersama Pendekar Naga Putih. Tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun maju pesat.
Dalam menghadapi Peri Sungai Alur, Kenanga yang menggunakan Pedang Sinar Bulan, mulai mendesak lawannya melalui jurus-jurus andalan. Bahkan dalam kesempatan itu, dicobanya menggunakan ilmu 'Pedang Naga Sakti' yang diajarkan kekasihnya.
Kehebatan ilmu 'Pedang Naga Sakti', tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang lain yang ada di kolong langit ini. Meskipun Kenanga baru mempelajarinya beberapa jurus, namun kehebatannya tampak jelas. Terbukti, Peri Sungai Alur tampak kelabakan menghadapi serangan gadis jelita itu. Sehingga dalam tiga puluh jurus saja, Peri Sungai Alur hanya bisa bermain mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
"Yiaaattt...!"
Kenanga kembali mengeluarkan bentakan nyaring, disertai tusukan pedangnya yang mengaung tajam! Kilatan sinar putih yang berpendar dari badan pedang, membuat Peri Sungai Alur semakin kewalahan!
"Aaahhh...!"
Peri Sungai Alur memekik tertahan ketika hampir saja pedang lawan menggores lengan atasnya. Untunglah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga pedang itu lewat dua jari dari sasarannya. Tapi, Kenanga rupanya jauh lebih cerdik dari lawan. Begitu tusukannya luput, cepat pedangnya ditarik pulang dengan geseran kearah sasaran. Dan...
Breeettt...!
"Aaakh...!"
Mata pedang Kenanga langsung menggores pangkal lengan Peri Sungai Alur yang tak sempat lagi menghindar. Tubuh wanita cantik itu terjajar limbung beberapa langkah ke samping. Dan Kenanga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Cepat tubuhnya melesat dengan jurus 'Bidadari Menabur Bunga'.
"Yeaaattt...!"
Sinar putih keperakan yang bergulung-gulung itu tentu saja membuat Peri Sungai Alur menjadi gugup bukan main! Akibatnya, ia tidak sanggup lagi menghindari gulungan sinar pedang gadis jelita yang menjadi lawannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaa...!"
Peri Sungai Alur meraung keras ketika gulungan sinar putih keperakan yang ditimbulkan Pedang Sinar Bulan di tangan Kenanga merobek-robek tubuhnya! Darah segar kontan menyembur dari beberapa luka berlubang di tubuh wanita cantik pengikut Datuk Naga Hitam.
Kenanga menatap tajam tubuh lawannya yang terbanting berlumuran darah. Setelah yakin kalau Peri Sungai Alur tidak bernyawa lagi, gadis itu pun segera berpindah ke arena lain untuk membantu rekan-rekannya
******************
Setelah berpamitan kepada kawan-kawannya, Panji segera bergerak menuju ke luar bangunan. Kemudian, terus melesat ke arah samping dan terus ke depan. Ketika melihat beberapa orang berpakaian serba hitam hendak menghadangnya, Pendekar Naga Putih langsung merobohkan lawan-lawannya dengan pukulan-pukulan maut.
Enam orang berseragam hitam yang bernasib sial langsung saja beterbangan bagaikan lalat menghampiri pelita. Mereka tewas seketika akibat pukulan maut yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Kemudian, Panji terus melesat kedepan.
Pendekar Naga Putih baru menghentikan larinya ketika dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh yang tidak mungkin dapat dilupakannya. Mereka tak lain adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Rupanya, mereka hanya menyaksikan para pengikutnya yang tengah bertarung melawan tokoh-tokoh golongan putih. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dikerahkannya 'Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh' kepada kedua orang tokoh sesat itu.
"Hei, badut-badut konyol! Tidakkah kalian ingin ikut meramaikan suasana denganku...?"
Suara bisikan Panji ternyata terdengar jelas di telinga kedua orang gembong kaum sesat itu. Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon, segera saja menoleh dengan wajah terkejut. Hati mereka semakin berdebar tegang saat melihat sesosok tubuh berjubah putih, tengah berdiri menatap mereka dari jarak sepuluh tombak di belakang.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Datuk Naga Hitam dengan suara agak bergetar. Jelas sekali kalau tokoh sesat bertubuh gemuk itu terkejut melihat sosok Panji. Padahal setahunya pemuda itu telah tewas di dalam pusaran maut.
"Mustahil...?! Pasti ada orang yang hendak menakut-nakuti kita...," terdengar suara Petapa Gunung Kulon yang hampir-hampir tidak terdengar. Tokoh sesat bertubuh jangkung itu menelan ludahnya yang terasa pahit dan kering. Rupanya tokoh yang ukuran tubuhnya melebihi manusia biasa itu merasa gentar melihat sosok Pendekar Naga Putih.
Tapi walaupun hati agak berdebar, kedua datuk sesat itu melangkah juga menghampiri sosok Pendekar Naga Putih. Mereka mencoba meyakini, kalau-kalau itu adalah orang lain yang menyamar sebagai Pendekar Naga Putih. Padahal menurut mereka, Pendekar Naga Putih telah tewas kurang lebih sebulan yang lalu. Dan, mereka pun menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
"Hm.... Kalian terkejut melihatku, Badut-badut konyol...?" tegur Panji begitu kedua orang gembong kaum sesat itu datang mendekat.
"Haaahhh...?!"
Baik Datuk Naga Hitam maupun Petapa Gunung Kulon sama-sama terbelalak kaget, tak ubahnya melihat hantu di siang bolong! Mereka terpaku menatap sosok Pendekar Naga Putih yang tersenyum membalas tatapan kedua gembong kaum sesat itu.
"Kau.... Kau, Pendekar Naga Putih...! Bagaimana kau bisa selamat dari pusaran maut itu...?" desis Datuk Naga Hitam, setengah tak percaya dengan keberadaan pemuda didepannya.
"Mustahil...! Kau pasti orang lain yang sengaja menyamar sebagai Pendekar Naga Putih untuk menakuti kami. Hm.... Kau tahu, Kisanak. Tidak satu makhluk pun yang dapat selamat dari pusaran maut itu...," kata Petapa Gunung Kulon sambil meyakinkan hatinya bahwa pemuda itu bukanlah Pendekar Naga Putih. Apalagi, sosok tubuh Panji sekarang memang lebih kurus dari semula.
"Hm.... Aku tidak perduli pendapat kalian, Manusia-manusia keji! Yang penting, sekarang kedatangan ku untuk membunuh kalian. Hhh...! Kalian berdua telah membuat kesalahan besar yang tidak mungkin dapat ku maafkan. Malah, kehadiran kalian di muka bumi ini hanya membuat orang-orang lain celaka. Jadi, tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaiknya, bersiaplah menerima hukuman!" ujar Panji de-ngan tekanan nada datar dan dingin. Sorot matanya juga tampak berkilat menatap kedua orang lawannya.
"Setan! Siapa pun adanya kau, Datuk Naga Hitam tidak takut! Dan kaulah yang akan kukirim ke neraka...!" Sambil berkata demikian, Datuk Naga Hitam mencabut keluar sebuah pedang berwarna hitam yang jelas mengandung racun mematikan. Kemudian pedang itu dilintangkan di depan dadanya, siap untuk bertarung.
Begitu pula sikap yang diambil Petapa Gunung Kulon. Tokoh sesat bertubuh tinggi luar biasa itu meloloskan tasbih yang selalu menghias lehernya. Jangan dipandang ringan senjata itu. Meskipun hanya terdiri dari kayu, namun telah direndam dalam ramuan khusus. Sehingga, kayu-kayu bulat sebesar kelereng itu menjadi sekeras besi.
Melihat kedua orang lawan sudah saling mengeluarkan senjata, Pendekar Naga Putih memejamkan matanya sejenak, untuk memusatkan tenaga batinnya. Sekejap kemudian, terciptalah sebatang pedang bersinar kekuningan di tangan kanannya.
"Nah, mulailah...," desis Panji tanpa mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya.
Tentu saja Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon tidak melihat kapan tangan pemuda itu bergerak mencabut senjata.
"Heaaahhh...!"
Tanpa mempedulikan dari mana pemuda itu mem-peroleh pedang, Datuk Naga Hitam segera saja memulai serangan diiringi sebuah teriakan nyaring! Tubuh lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh lima tahun lebih itu segera melesat disertai putaran pedangnya yang mengaung bagai ratusan lebah marah!
Bersamaan dengan itu, Petapa Gunung Kulon tidak mau telah dengan rekannya. Tokoh bertubuh tinggi luar biasa itu bergerak dengan langkah-langkah panjang, mendekati Pendekar Naga Putih. Tasbih di tangannya berputaran, menyambar-nyambar menimbulkan suara yang menyakitkan telinga. Jelas tenaga sakti kedua orang tokoh itu tidak bisa dipandang ringan.
Tapi, Panji tidak mau berdiam diri menanti datangnya serangan kedua orang datuk sesat itu. Cepat bagai kilat, pemuda itu melesat memapak serangan pedang Datuk Naga Hitam. Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa gentar dengan racun ganas di badan pedang lawan. Karena, Pedang Naga Langitnya sendiri adalah sebuah senjata langka yang dapat memusnahkan segala macam jenis racun.
"Yeaaattt..!"
Diiringi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih memutar senjatanya dengan jurus ilmu 'Pedang Naga Sakti'nya. Langsung saja cahaya kekuningan berpendar menyilaukan mata. Sebentar saja pertarungan antara tokoh-tokoh sakti dunia persilatan itu berlangsung mendebarkan! Ketiga orang tokoh menggiriskan itu saling terjang dengan dahsyatnya! Sehingga, tubuh mereka tidak lagi dapat terlihat mata. Mereka hanya merupakan tiga sosok bayangan yang saling desak dan saling libat!
Debu dan bebatuan yang berada di sekitar arena pertempuran ketiga tokoh sakti itu, berpentalan ke segala arah, karena terkena sepakan dan angin sambaran senjata. Bahkan, saking hebatnya sambaran serta gerakan kaki mereka, batu-batu yang terpental jauh, langsung mengenai tubuh orang-orang yang bertempur di arena lain. Padahal, jarak antara pertempuran ketiga orang tokoh itu dengan pertempuran lain terpisah sekitar delapan tombak. Maka dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan tokoh-tokoh sakti itu.
Beberapa orang tokoh persilatan yang tengah bertarung melawan kelompok Naga Hitam, tiba-tiba terpental roboh akibat batu sebesar kepalan tangan yang mampir ke tubuh dan kepala mereka. Tidak sedikit di antaranya yang terluka mengalirkan darah. Tentu saja, kejadian itu membuat yang lain bergegas lari menjauh, agar tidak terkena batu-batu nyasar.
"Hiaaattt...!"
Ketika pertarungan itu telah lewat dari enam puluh jurus, tiba-tiba saja Datuk Naga Hitam memekik nyaring dan menggetarkan! Orang-orang yang tidak terlalu tinggi tenaga dalamnya, langsung roboh sambil menekap kedua telinga. Padahal, mereka berada sepuluh tombak lebih dari ketiga tokoh itu. Maka dapat dibayangkan, betapa mengerikannya akibat pekikan Datuk Naga Hitam!
Tapi bagi Panji sendiri, pekikan itu tidak terlalu berarti. Tubuhnya yang terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan, tentu saja tidak bisa ditembus pekikan yang bagaimanapun kerasnya. Walaupun begitu, Pendekar Naga Putih tidak memandang enteng serangan yang dilancarkan Datuk Naga Hitam. Maka seiring pekikan dahsyat dari lawan, tubuh pemuda itu segera bergeser dengan lompatan pendek. Sehingga sambaran pedang lawan hanya menembus angin kosong saja. Dan begitu senjata lawan lewat, segera saja dilontarkan serangan balasan dengan kecepatan sukar diikuti mata.
Syuuuttt...!
Terdengar suara berdecit tajam mengiringi luncuran sinar kuning yang berasal dari pedang Pendekar Naga Putih!
"Aaa...!?"
Datuk Naga Hitam memekik tertahan ketika pedang di tangan Panji meluruk deras ke arah jantungnya. Tanpa pikir panjang lagi, tokoh sesat bertubuh gemuk itu langsung melempar tubuhnya ke belakang, dan terus berjumpalitan beberapa kali untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Pendekar Naga Putih yang hendak menyusuli serangannya yang gagal itu, terpaksa menundanya ketika mendengar dengungan tajam dari arah kanan. Cepat tubuhnya menunduk, menghindari sambaran biji-biji tasbih yang mungkin bisa meremukkan kepalanya. Kemudian, tubuh pemuda itu berputar secepat kilat disertai sebuah tendangan mengejutkan! Petapa Gunung Kulon yang tidak sempat lagi menghindari diri, segera saja mengangkat tangan kirinya untuk menangkis tendangan yang mengancam kepalanya. Tapi akibatnya...
Plaaakkk!
"Aaahhh...!?"
Kakek itu kontan memekik kaget! Bahkan akibat tangkisannya, kuda-kudanya jadi tergempur hingga tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak! Dan tanpa diduga, telapak tangannya yang digunakan untuk menangkis terasa demikian nyeri disertai hawa dingin yang merembes masuk sebatas siku. Hal itu langsung membuat lengan kiri Petapa Gunung Kulon serasa lumpuh untuk beberapa saat lamanya!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini selagi tubuh lawannya terjajar mundur. Cepat ia kembali melompat, menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya.
Wueeettt! Wueeettt!
"Aaahhh...!?"
Untuk kedua kalinya, Petapa Gunung Kulon memekik kaget! Pendaran sinar kuning keemasan yang membentuk bulatan-bulatan menyilaukan mata, membuatnya terjajar mundur beberapa langkah sambil melindungi matanya. Akibatnya...,
Breeettt! Breeettt! Breeettt! Breeettt!
"Arrrggghhh...!"
Petapa Gunung Kulon meraung panjang ketika pedang Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuhnya! Pada saat itu, rupanya Datuk Naga Hitam malah mengambil kesempatan. Dia berusaha menusuk Panji dari belakang!
"Arrrggghhh...!"
Bagai binatang luka, Petapa Gunung Kulon meraung parau saat pedang lawan merobek-robek tubuhnya! Darah segar kontan menyembur, membasahi tanah berumput kering. Dan begitu tubuh kakek jangkung itu ambruk ke tanah, terdengar suara berdebuk keras disertai lepasnya nyawa dari raganya.
Datuk Naga Hitam rupanya hendak mempergunakan kesempatan, sewaktu Panji menikamkan pedangnya ke tubuh Petapa Gunung Kulon tampak tubuh orang tua gemuk itu meluncur dengan ujung pedang tertuju lurus ke punggung Pendekar Naga Putih yang saat itu membelakanginya!
Wuuuttt...!
Ujungnya pedang hitam di tangan Datuk Naga Hitam meluncur lurus dengan suara mengaung tajam! Sayang Pendekar Naga Putih tidak semudah itu dibokong. Telinganya yang tajam, sempat menangkap adanya bahaya yang datang dari belakang. Maka dengan gerakan tak terduga, saat ujung pedang hitam itu tinggal sejengkal dari punggungnya, tubuh Pendekar Naga Putih cepat melenting berputar ke belakang melampaui kepala lawan. Gerakan itu masih dibarengi pula dengan tusukan pedangnya yang tepat mendarat di tengkuk Datuk Naga Hitam!
Craaabbb...!
"Highhh...!"
Datuk Naga Hitam hanya bisa mengeluarkan suara seperti orang tercekik, karena pedang di tangan lawannya amblas hingga tembus ke leher depan! Darah segar segera menyembur, saat Pendekar Naga Putih mencabut kembali pedangnya. Kemudian, pemuda itu masih juga sempat mengirimkan sebuah jejakan ke tubuh belakang lawannya. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu ambruk ke tanah disertai semburan darah dan mulut! Bagaikan seekor ayam yang disembelih, tubuh Datuk Naga Hitam menggelepar-gelepar sebelum kemudian melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya itu.
"Hhh...," Terdengar helaan napas kelegaan dari mulut Pendekar Naga Putih ketika melihat kedua orang lawannya telah tewas. Ketika tidak mendengar suara-suara pertarungan di tempat lain, Panji segera menolehkan kepala. Tampak pertarungan telah berakhir. Tiba-tiba ada suara yang memanggil.
"Kakang...," Kenanga datang berlari-lari kecil menghampiri pemuda itu. "Aku sudah menemukan, siapa orang yang menyamar sebagai diriku ketika di Lembah Bintang...," lapor gadis jelita itu dengan napas masih memburu. Rupanya, Kenanga baru saja menyelesaikan pertarungan terakhirnya. Tampak pedang di tangannya masih berlumuran darah.
"Oh ya...? Siapa wanita itu...?" tanya Panji dengan wajah setengah tak percaya.
"Wanita itu berwajah cantik dan berambut panjang. Dia adalah Peri Sungai Alur. Aku bisa menduga, karena hanya dialah satu-satunya wanita dari sekian banyak anggota Datuk Naga Hitam...," jelas Kenanga penuh kepuasan, karena bisa menemukan penyebab celakanya pemuda pujaan hatinya.
"Lalu, ke mana sekarang wanita itu...?" tanya Pendekar Naga Putih lagi.
"Dia sudah kubunuh sejak tadi...," jawab Kenanga singkat. Sepertinya, dia tidak begitu suka jika Panji menanyakan wanita cantik itu.
"Hm.... Lebih baik, kita segera pergi. Bukankah tidak ada persoalan lagi di tempat ini...?" ujar Panji. Pendekar Naga Putih menatap gadis jelita itu untuk mendapat kepastian. Ketika melihat anggukan Kenanga, pemuda itu segera saja mengajaknya pergi.
"Pendekar Naga Putih.... Tunggu...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan yang menahan langkah Panji dan Kenanga. Mereka menoleh ke arah dua orang lelaki gagah yang tak lain dari Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
"Maaf, sahabat-sahabat. Kami harus melanjutkan perjalanan!" sahut Panji sambil melambaikan tangan kepada kedua orang gagah itu. Kenanga juga ikut melambaikan tangannya. Setelah itu, tubuh mereka segera berkelebat, menerobos kegelapan malam.
Tinggallah Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur yang hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala menatap kepergian pasangan pendekar muda yang sakti itu.
S E L E S A I