Serial Pendekar Naga Putih
Episode Goa Larangan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Goa Larangan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
CAHAYA kemerahan tampak menghias kaki langit sebelah timur. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun perlahan merambah permukaan bumi. Dan purnama pun muncul menghiasi langit yang kelam. Cahayanya yang kuning keperakan menebar, menguak kegelapan malam.
"Auuung...!"
Seiring dengan munculnya purnama dan hembusan angin dingin yang bertiup keras terdengar lolongan anjing hutan. Gema lolongannya terbawa angin hingga jauh ke Desa Larang. Suara lolongan yang terdengar menyayat hati dan mendirikan bulu roma itu membuat warga Desa Larang semakin rapat memejamkan matanya.
Tapi siapa sangka dalam suasana seperti itu, yang membuat orang enggan ke luar rumah, terlihat dua orang pengendara kuda tengah menerobos kegelapan malam. Dengan bantuan cahaya rembulan, kedua penunggang kuda itu bergerak perlahan menuju Desa Larang.
"Sudah kuduga, kita pasti akan kemalaman di jalan sebelum tiba di Desa Larang. Kalau saja Kakang mau mendengar nasihatku untuk berangkat esok pagi, mungkin tidak akan begini jadinya. Apalagi suasana malam ini begitu menyeramkan. Hhh.... Entah mengapa hatiku berdebar-debar. Mungkin karena kita masih harus melewati tepi Hutan Larangan yang angker itu...," gumam penunggang kuda berwajah kurus dengan sebaris kumis tercukur rapi. Nada suaranya terdengar tak puas menyalahkan kawan seperjalanannya.
"Tapi kita tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum jenazah adikku dimakamkan. Apa kata orang nanti kalau aku tidak ikut mengantar ke kuburan? Kalau saja sakit adikku tidak terlalu parah dan utusannya tidak berpesan agar aku segera datang, mungkin aku tidak akan menjenguknya. Sebab aku tidak suka melewati tepi Hutan Larangan. Sayang, kita tidak bisa melewati jalan la in untuk sampai ke desa adikku. Jadi, yahhh... Terpaksa harus kulakukan. Kuharap kau mau mengerti, Adi Guminta,..," sahut lelaki gagah yang tampak masih diselimuti kedukaan. Rupanya dia masih terkenang adiknya yang pergi untuk selama-lamanya.
Lelaki bertubuh kurus yang bernama Guminta hanya menghela napas panjang. Kedukaan sahabatnya bukan tidak dimengertinya, tapi dia tidak bisa menenteramkan hatinya yang dipenuhi rasa cemas. Karena mereka harus melewati tepi Hutan Larangan untuk sampai kedesa tempat tinggal mereka.
"Auuung...!"
"Binatang keparat! Lolongannya membuat hatiku semakin tak tenang!" umpat Guminta ketika serigala hutan kembali memperdengarkan suaranya yang mendirikan bulu roma.
"Tahan mulut mu, Adi! Jangan terlalu banyak mengumpat Sebaiknya kita berdoa agar selamat sampai ke desa kita." Lelaki gagah yang bernama Jatayu menasihati Guminta agar jangan melontarkan makian setiap kali mendengar lolongan binatang buas.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Lolongan binatang setan itu seolah sengaja diperdengarkan untuk membuat kita ketakutan. Huh! Kalau saja binatang itu berani datang mendekat, akan kuhabisi nyawanya!" geram Guminta tak mau mendengar nasihat Ki Jatayu.
Sesungguhnya lelaki itu sengaja melontarkan kata-kata agar rasa takutnya berkurang. Dan ternyata usahanya cukup berhasil. Sebab dengan banyak berbicara, rasa takutnya bisa terlupakan. Sayang ucapan yang dikeluarkannya terlalu kasar, hingga membuat Ki Jatayu tak senang.
"Biarkan binatang itu melolong sesuka hatinya, Adi. Yang penting kita tetap menjaga sikap dan ucapan agar penghuni Hutan Larangan tidak marah. Aku khawatir ucapanmu akan mencelakakan kita berdua...," Ki Jatayu kembali menasihati Guminta dengan mengingatkan keangkeran Hutan Larangan.
"Kaujangan menakut-nakuti aku, Kakang...," desis Guminta. Wajah lelaki kurus itu berubah pucat ketika mendengar ucapan Ki Jatayu. Apalagi saat itu mereka sudah semakin dekat dengan Hutan Larangan Guminta tidak bisa lagi menyembunyikan rasa takutnya.
"Aku bukan ingin menakut-nakutimu, Adi Guminta. Tapi sekadar mengingatkanmu agar bisa menjaga mulutmu," ujar Ki Jatayu seraya memperlambat lari kudanya saat tepi Hutan Larangan tinggal beberapa tombak lagi di depan mereka.
Wajah Guminta semakin pucat ketika jarak tepi Hutan Larangan bertambah dekat. Jelas terlihat kalau lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh tahun itu tengah dilanda ketakutan yang cukup hebat
"Kakang, lihat...!" Guminta berseru tertahan ketika di depan mereka terlihat dua bulatan berwarna merah.
"Itu..., itu mata setan...!"
Ki Jatayu pun sempat tergetar hatinya ketika melihat dua bulatan berwarna merah darah menghadang perjalanan mereka. Kendati demikian, lelaki gagah itu mencoba untuk tetap bersikap tenang, dan meneliti dengan seksama sepasang mata yang menghadang didepan. Angin dingin bertiup keras membuat dedaunan pohon tersibak. Dan cahaya rembulan yang menerobos dedaunan pohon, jatuh tepat di tempat sepasang mata merah darah itu berada.
"Hhh... Rupanya hanya seekor serigala kesasar," gumam Ki Jatayu menghela napas lega. Tapi rasa lega itu hanya berlangsung sekejap, karena tiba-tiba terdengar suara aneh yang membuat dada mere ka berdebar keras.
"Keaaak..., kik..., kik..., kik,..!"
Suara parau menyeramkan yang sanggup membuat putus nyawa seorang, penakut itu terdengar bergema panjang, disertai hembusan angin dingin yang bertiup keras.
"Ssse..., se..., setaaan!"
Guminta tidak sanggup lagi menahan rasa takut yang mendera hatinya. Bagai orang yang kerasukan setan, kudanya segera dibedal dan melesat secepat anak panah, menerobos kegelapan malam.
"Adi Guminta! Tahaaan!"
Ki Jatayu berusaha mencegah Guminta. Sayang, perbuatan lelaki gagah itu sia-sia, karena Guminta sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekelilingnya. Tapi sebelum Guminta se mpat lari jauh, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam yang mirip kelelawar raksasa, terbang mengejar lelaki kurus itu. Dan....
Breeet! Breeer!
"Aaa...!" Terdengar jerit ke matian panjang merobek keheningan malam. Tubuh Guminta terlempar dari atas punggung kuda dengan pakaian berlumur darah.
"Adi Guminta!"
Ki Jatayu memekik tertahan melihat kejadian itu. Lelaki itu cepat melesat dengan pedang terhunus. Namun, sosok yang mirip kelelawar raksasa itu telah menghilang di balik rimbunan pohon. Dengan tangkas, Ki Jatayu melompat turun dari atas punggung kuda. Rasa takutnya seketika lenyap, terhapus oleh rasa tanggung jawab atas keselamatan kawannya. Tapi nyawa Guminta telah terbang. Lehernya hampir putus akibat cakaran makhluk yang mirip kelelawar raksasa.
"Ah, Adi Guminta...," rintih Ki Jatayu sedih, menyaksikan ke matian kawannya yang begitu mengenaskan.
Ketika teringat akan bayangan hitam yang mirip kelelawar raksasa, Ki Jatayu segera berbalik dengan sigap. Pedangnya disilangkan di depan dada. Sepasang matanya berputar liar meneliti keadaan di sekitarnya. Tapi tak sesosok makhlukpun yang dilihatnya. Hanya kegelapan dan hembusan angin dingin yang didapatinya.
"Hei, Makhluk Keparat! Apa kau sudah merasa puas dengan satu nyawa saja?! Mengapa kau tidak bunuh aku juga? Ayo, tunjukkan rupa mu! Aku, Ki Jatayu saat ini menantangmu untuk bertarung mati-matian...!"
Ki Jatayu berteriak menantang, setelah beberapa saat lamanya sosok makhluk itu tidak juga menampakkan diri. Lelaki gagah itu sudah lupa akan Hutan Larangan yang dianggap keramat dan ditakuti penduduk sekitarnya. Rupanya kematian Guminta membuatnya nekat, dan tidak takut menghadapi ke matian.
Tapi sosok makhluk yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Sehingga lelaki gagah itu menjadi jengkel. Untuk menumpahkan ke marahannya, Ki Jatayu menebaskan pedangnya ke sebatang pohon yang langsung berderak roboh! Sesaat setelah pohon yang dipapasnya itu tumbang, terdengar langkah-langkah kaki lunak berlarian ke arahnya. Cepat Ki Jatayu berbalik sambil menyilangkan pedangnya, siap menghadapi segala kemungkinan.
Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok kecil bermunculan mengepung Ki Jatayu. Terdengar gerengan buas di sana-sini dengan mata semerah saga dan air liur tak henti berjatuhan.
"Setan...!" Bentak Ki Jatayu ketika melihat yang berdatangan mengepungnya adalah belasan ekor serigala kelaparan. Tentu saja lelaki gagah itu marah, karena bukan binatang-binatang kelaparan itu yang ditantangnya.
"Hmmmr..., grrr...!"
Gerengan-gerengan buas binatang kelaparan itu membuat Ki Jatayu sadar kalau dirinya tengah diincar bahaya maut. Maka pedang di tangannya segera berkelebat saat dua ekor serigala menerjangnya dari depan.
"Mampus kau, Binatang Laknat...!" maki Ki Jatayu seraya menebaskan pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam.
Crakkk! Crakkk!
Darah segar muncrat saat pedang Ki Jatayu merobek perut dan leher dua ekor serigala yang menyerangnya. Tapi percikan darah segar itu tidak membuat gentar yang lainnya. Malah serigala-serigala itu semakin bertambah buas. Sehingga Ki Jatayu kewalahan menghadapi serbuan binatang-binatang buas yang licik itu.
"Makhluk keparat..!"
Sesekali terdengar lelaki gagah itu mengumpat ketika beberapa bagian tubuhnya terkoyak oleh taring-taring yang runcing dan tajam. Sehingga Ki Jatayu terpaksa harus bergerak mundur menjauhi tepi Hutan Larangan.
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya pedang di tangan Ki Jatayu kembali menyambar, tiga kali berturut-turut. Akibatnya, tiga ekor serigala yang berada di kanan dan kirinya terjungkal roboh mandi darah. Pada saat yang hampir bersamaan, seekor serigala yang berada di belakangnya melesat mengancam tengkuk Ki Jatayu dengan taringnya yang runcing. Dan...
Crappp!
"Aaa...!" Ki Jatayu memekik kesakitan ketika taring binatang itu tertancap di belakang lehernya. Cepat lelaki gagah itu mengulurkan tangannya mencekal leher serigala buas itu. Kemudian membantingnya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Bukkk!
Tak puas hanya dengan bantingan, lelaki gagah itu mengayunkan telapak kakinya menjejak tubuh binatang itu. Sehingga serigala malang itu melolong ketika telapak kaki Ki Jatayu yang mengandung tenaga dalam kuat itu meluluh- lantakkan tubuhnya.
"Mampus kau, Binatang Laknat...!" bentak Ki Jatayu geram.
Sayang, kemarahan yang melewati batas itu membuatnya lengah. Seekor serigala yang berada di depannya menerkam dengan kedua kaki depan menerjang dada Ki Jatayu. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terjerembab kebelakang. Menyadari kedudukannya sudah tidak dapat lagi bertahan, Ki Jatayu pun mengayunkan pedangnya secara membabi buta.
Terdengar raungan keras berturut-turut disusul robohnya tiga ekor serigala dengan tubuh bermandikan darah. Ki Jatayu sendiri langsung bergulingan menjauhi tempat itu. Dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki gagah itu berusaha bangkit dan melarikan diri menuju desa.
Serigala-serigala kelaparan itu agaknya tidak ingin melepaskan calon korbannya begitu saja. Dengan suara ribut, binatang-binatang kelaparan itu berserabutan mengejar Ki Jatayu.
Dengan mengerahkan seluruh ke mampuannya, Ki Jatayu berlari tersaruk-saruk menerobos kegelapan malam. Untunglah bias-bias cahaya rembulan yang menerobos dedaunan menolong pandangan Ki Jatayu. Sehingga le laki itu dapat menentukan arah larinya dengan tepat. Kalau saja saat itu bulan Bdak muncul penuh, mungkin Ki Jatayu mengalami kesulitan untuk mengenali jalan.
Napas Ki Jatayu sudah hampir putus karena pengerahan tenaga yang melewati batas. Darah yang terus mengalir dari luka-lukanya membuat tenaga lelaki gagah itu se makin lemah. Meski demikian, semangatnya berusaha dikempos, karena menyadari kalau binatang-binatang buas yang mengejarnya sudah semakin dekat. Sayangnya tenaga Ki Jatayu sudah tak sanggup lagi untuk menambah kecepatan larinya. Sehingga tak berapa lama kemudian, seekor serigala yang berada di belakangnya melompat, menerkam punggungnya.
Brukkk!
"Aaah...!" Ki Jatayu terpekik kaget. Tubuhnya yang sudah semakin le mah terjerembab jatuh mencium tanah berumput Untung senjatanya masih tergenggam erat. Dan sambil menggulingkan tubuh ke samping, pedangnya disabetkan ke belakang. Sehingga serigala yang menerkamnya langsung terlempar mandi darah. Ki Jatayu sendiri sudah melompat bangkit meski dengan terhuyung-huyung. Disusulnya peluh yang membasahi wajah dan menghalangipandangan matanya. Menyadari dirinya sudah kembali terkepung, Ki Jatayu memutuskan untuk mempertahankan selembar nyawanya sampai titik darah terakhir.
"Hm.... Majulah kalian! Aku akan mengadu nyawa dengan kalian...!" desis Ki Jatayu seraya menyilangkan pedangnya di depan dada. Siap untuk bertarung mati-matian!
Terdengar gerengan buas di sana-sini. Mata-mata yang merah seperti darah, menatapnya penuh hasrat. Moncong- moncong bertaring runcing dengan air liur yang tak henti-hentinya menetes, siap mengoyak tubuh lelaki gagah itu. Ki Jatayu menekan segala rasa takut dan ngeri yang mencekam jiwanya. Giginya digertakkan kuatkuat untuk membangkitkan semangat dan keberanian yang masih dimiliki.
"Haaat...!"
Diawali sebuah bentakan keras, tubuh Ki Jatayu melayang ke depan mendahului binatang-binatang buas itu. Pedang di tangannya berkelebat menerbitkan cahaya putih, disertai suara berdesing nyaring. Sayang, sambaran pedangnya menemui tempat kosong.
"Setan alas...!"
Ki Jatayu me maki sekenanya ketika sambaran pedangnya ke mbali mengenai tempat kosong. Padahal, untuk serangan itu sisa-sisa tenaganya telah dikerahkan. Sehingga, tubuhnya agak terhuyung ketikaserangan itu tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.
"Aaa...!" Lelaki gagah itu menjerit kesakitan ketika salah seekor binatang itu melekat di punggung dan menancapkan taringnya. Kali ini Ki Jatayu tidak sempat lagi menyabetkan pedangnya ke arah serigala itu. Karena pada saat itu juga serigala-serigala yang lainnya sudah berlompatan menerkam tubuhnya. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terbanting ke atas tanah berumput. Terdengar jeritannya yang panjang merobek kesunyian malam.
Pada saat serigala-serigala buas itu tengah berusaha mengoyak tubuh Ki Jatayu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih yang langsung saja mengibaskan kedua tangannya. Sehingga, binatang-binatang buas itu terlempar ke kiri dan kanan. Beberapa di antaranya langsung tewas dengan tubuh remuk karena terbentur batang pohon.
"Pergi kalian, Binatang-binatang Laknat..!" bentak sosok bayangan putih itu sambil melemparkan serigala-serigala buas dari tubuh Ki Jatayu. Sebentar saja tubuh Ki Jatayu telah terbebas dari keroyokan binatang-binatang buas yang licik itu.
Sosok berjubah panjang warna putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu berjongkok untuk me meriksa keadaan orang yang ditolongnya. Terlihat kepalanya menggeleng ketika menyaksikan luka-luka gigitan serigala di sekujur tubuh lelaki tua yang malang itu. Agaknya pemuda berjubah putih itu sadar kalau nyawa Ki Jatayu sudah tidak mungkin dapat tertolong lagi.
"Ki.,.," pemuda tampan berjubah putih itu memanggil perlahan, ketika melihat sepasang mata Ki Jatayu bergerak membuka. Sayangnya napas orang tua itu tinggal satu-satu. Sehingga, sukar sekali untuk mengeluarkan suara.
Ketika mendengar suara gerengan di belakangnya, pemuda berjubah putih itu segera berbalik dengan sigap. Keadaan Ki Jatayu terpaksa dilupakannya ketika melihat enam ekor serigala berdiri di belakangnya, siap menerkam tubuhnya.
"Hm.... Rupanya kalian masih belum pergi juga!" desis pemuda berjubah putih dengan nada geram.
Jelas sekali terlihat kalau pemuda berjubah putih itu sangat marah pada binatang-binatang buas yang selalu bergerombol dalam mencari mangsa. Perlahan-lahan tubuhnya bergerak bangkit, siap menghadapi serigala-serigala yang sedang kelaparan,
"Hm..." Pemuda berjubah putih yang berperawakan sedang itu mendengus perlahan ketika keenam serigala buas melesat menerkamnya. Dan...
"Heaaah!"
Hebat dan sangat mengagumkan gerakan tubuh pemuda berjubah putih itu. Sekali melesat, sepasang tangannya bergerak ke kiri dan kanan dengan tebasan sisi telapak tangan miring. Akibatnya, keenam serigala buas itu langsung terlempar ke kiri dan kanan dan terbanting keras ke tanah berumput tanpa sanggup bangkit lagi. Tulang-tulang tubuh binatang itu telah remuk akibat hantaman sisi telapak tangan miring yang dilancarkan pemuda berjubah putih. Sungguh mengagumkan!
Setelah memperhatikan keadaan sekeliling dan memastikan serigala-serigala itu sudah menjadi bangkai, pemuda berjubah putih itu melangkah ke arah tubuh Ki Jatayu. Terdengar helaan napas beratnya bernada sesal, melihat lelaki tua yang ditolongnya telah tewas. Mendadak pemuda berjubah putih itu membalikkan tubuhnya. Pendengarannya yang tajam menangkap ada desiran angin di belakangnya. Sepasang matanya mencorong tajam, siap menghadapi ke mungkinan bahaya lain yang datang mengancam.
"Kau,Kenanga...?" tegur pemuda berjubah putih saat mengenali siapa yang baru datang dan menjejakkan kakinya di atas tanah berumput
"Ya. Aku, Kakang...," sahut suara lembut seorang gadis. Rupanya yang baru datang itu memang Kenanga. Dengan demikian, pemuda berjubah putih itupun dapat dikenali dengan mudah. Siapa lagi yang bersama Kenanga kalau bukan Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Aku hampir kehilangan jejakmu, Kakang. Kau berlari terlalu cepat. Untunglah aku mendengar raung ke matian binatang-binatang celaka ini tadi. Sehingga dapat menentukan tempat ini dengan tepat," ujar Kenang sambil melangkah mendekati kekasihnya.
"Kita terlambat, Kenanga. Orang tua malang ini sudah tewas kehabisan darah. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka bekas cakaran dan gigitan binatang itu...," sahut Panji penuh sesal.
"Mengapa kau kecewa, Kakang? Kita hanya manusia biasa. Jadi, wajar saja jika sekali waktu kita gagal menyelamatkan orang dari malapetaka," hibur Kenanga mencoba mengusir rasa kecewa dihati pemuda tampan itu.
"Yahhhh.... Aku pun menyadarinya. Tapi mengapa orang tua ini berada di tempat ini? Dan, apa pula yang menyebabkan binatang-binatang buas itu sampai menyerangnya...?" gumam Panji bertanya-tanya.
"Rasanya jawaban pertanyaanmu tidak sulit, Kakang. Mungkin orang tua itu seorang penge mbara seperti kita, yang ke malaman di jalan. Lalu bertemu dengan serigala-serigala kelaparan yang tengah mencari mangsa. Karena binatang yang menyerangnya terlalu banyak, orang tua itu merasa kewalahan dan tidak bisa me mpertahankan dirinya dari keroyokan gerombolan serigala buas itu...," sahut Kenaga, menduga-duga.
"Kasihan orang tua malang ini...," gumam Panji, iba melihat cara kematian Ki Jatayu yang mengenaskan.
"Sebaiknya kita melewatkan malam di tempat ini. Besok pagi kita kuburkan jenazah orang tua malang ini"
"Terserah Kakang sajalah...," sahut Kenanga tak membantah usul kekasihnya.
Lima sosok tubuh bertampang kasar dengan sinar mata tajam, bergerak memasuki mulut Desa Larang. Begitu melewati mulut desa, mereka langsung menuju sebuah kedai yang terletak disebelah kiri jalan utama.
"Kita beristirahat dulu di kedai itu, sambil bertanya-tanya untuk memastikan arah tujuan kita agar tidak meleset," ujar lelaki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata cekung. Melihat sikap dan caranya berbicara, dapat dipastikan kalau lelaki tinggi kurus itu bertindak sebagai pimpinan dari keempat kawannya.
"Menurutku arah yang kita ambil sudah benar, Kakang. Bukankah desa ini bernama Larang, seperti yang tertera di tiang batu perbatasan desa...?" sahut orang bertubuh pendek gemuk dengan bagian tengah kepalanya botak. Rambut di kepala orang itu hanya tumbuh di kedua asi samping. Dan seluruh permukaan wajahnya dipenuhi bopeng-bopeng bekas penyakit cacar. Sehingga, tidak sedap dipandang mata. Apalagi sepasang matanya yang terlalu besar itu menyiratkan kekejaman. Membuat orang enggan untuk beradu pandang dengannya.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Adi Gumantara. Tapi, akan lebih baik jika kita tahu secara pasti di mana letak Goa Larangan yang kita tuju itu. Sebab, bisa saja hanya nama desa ini yang ha mpir mirip dengan tempat yang kita cari," bantah lelakitinggi kurus sambil mengayun langkahnya mendekati kedai yang tampak cukup ramai oleh pengunjung.
"Perkiraan Kakang Gontang sama persis dengan pemikiranku. Mungkin hanya namanya saja yang hampir mirip. Tapi, siapa tahu tempatnya berjauhan. Jadi, tidak ada salahnya kita bertanya pada pemilik atau pelayan kedai. Dengan demikian, kita bisa mengetahui secara pasti letak Goa Larangan itu...," timpal yang lainnya, mendukung usul pimpinan mereka yang bernama Gontang.
"Heh, tidak kusangka hari ini otakmu bisa berpikir jernih. Adi Kambala. Padahal biasanya kau paling bodoh di antara yang lainnya. Ada kemajuan rupanya, heh...?" dengus Ki Gontang bernada sedikit mengejek.
Namun, lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Kambala tidak merasa tersinggung. Dia hanya terkekeh memamerkan giginya yang hitam dan besar-besar. Pembicaraan kelima orang bertampang kasar itu terhenti saat mereka sudah berada di ambang pintu kedai. Ki Gontang melangkah masuk lebih dulu. Sepasang matanya bergerak menyapu seluruh isi ruangan. Tubuhnya tegak di ambang pintu kedai, membuat sebagian pengunjung menoleh ke arah lelaki tinggi kurus bermata cekung itu.
Tapi pandangan mereka segera beralih ke arah hidangan di atas meja, ketika melihat tampang Ki Gontang yang menyeramkan. Terutama tatapan matanya yang setajam mata elang. Sehingga beberapa orang pengunjung yang dapat menangkap gelagat tidak baik kelima pendatang itu, cepat-cepat menyelesaikan makannya dan bergerak meninggalkan kedai
Ki Gontang hanya mendengus ketika pengunjung yang hendak meninggalkan kedai meminta jalan kepadanya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Kemudian lelaki itu bergerak masuk diikuti empat kawannya.
"Ambilkan kami arak terbaik dan makanan yang paling istimewa di kedai ini. Cepat..!" pinta Ki Gontang kepada pelayan, berusia empatpuluh tahun yang kelihatan agak takut-takut menghampiri kelima lelaki berwajah garang itu.
"Baik..., baik, Tuan...," sahut pelayan itu bergegas menyiapkan pesanan Ki Gontang. "Hei, tunggu dulu...!" seru Gumantara. §eruan lelaki gemuk yang mukanya bopeng- bopeng itu membuat pelayan kedai menahan langkahnya, dan berbalik.
"Ada apa, Tuan...?" tanyanya hati-hati, takut akan berbuat salah.
Agaknya, pelayan kedai itu sudah dapat merabakalau kelima orang ta munya ke mungkinan besar bukanlah orang baik-baik. Meskipun tidak bisa menebaknya dengan pasti, tapi sinar mata kelima orang tamunya jelas me mbayangkan watak yang kejam. Dan pelayan kedai itu tidak ingin mencari penyakit.
"Desa ini bernama Desa Larang, bukan?" tanya Gumantara dengan suara kasar.
"Benar, Tuan...," sahut pelayan itu agak gugup, melihat sorot mata yang demikian tajam menatap wajahnya
"Hm.... Apakah desa ini ada hubungannya dengan Goa Larangan? Tahukah kau, di mana goa itu berada...?" tanya Gumantara langsung pada tujuan.
Mendengar nama Goa Larangan, wajah pelayan itu langsung berubah pias dan tubuhnya gemetar ketakutan. Sehingga, Ki Gontang dan kawan-kawannya merasa heran melihat perubahan yang tiba-tiba itu.
"Hei! Apa kau tidak mendengar pertanyaanku! Mengapa kau begitu ketakutan ketika aku menyebut nama Goa Larangan? Hayo, jawab?!" bentak Gumantara tak sabar ketika melihat pelayan kedai belum juga menjawab pertanyaannya
"Aku..., aku..." Ucapan pelayan kedai itu membuat Gumantara semakin tak sabar. Tangannya langsung mengepal, siap menghajar pelayan kedai yang ketakutan.
"Sabar, Adi Gumantara," cegah Ki Gontang ketika melihat pelayan itu semakin sulit mengeluarkan suara. "Biar aku yang bertanya padanya..."
Gumantara mendengus jengkel. Meskipun demikian, lelaki itu tidak membantah ucapan Ki Gontang. Tapi sepasang matanya yang besar masih tetap menatap tajam wajah pelayan kedai yang ketakutan. Ki Gontang yang dapat menduga pelayan kedai itu pasti mengetahui perihal Goa Larangan, bertindak lebih ramah. Itu dilakukannya untuk menenangkan hati pelayan kedai. Diajaknya pelayan yang gemetar itu untuk duduk di dekatnya. Sementara dia sendiri bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk bahu pelayan kedai bertubuh sedang itu.
"Aku tahu kau pasti mengenal baik tempat yang bernama Goa Larangan itu, bukan? Nah, sekarang tunjukan pada kami, di mana goa itu berada. Jangan takut, kami tidak akan menyakitimu. Malah kami akan memberimu hadiah sebagai imbalan atas petunjuk yang kau berikan. Tentu saja jika petunjukmu itu benar. Kalau tidak, terpaksa aku akan memberi hadiah dalam bentuk lain yang mungkin tidak akan menyenangkan hatimu. Nah, sekarang katakan dengan jujur...," bujuk Ki Gontang yang meskipun suaranya berusaha ditekan selembut mungkin, tapi tetap mengandung nada ancaman didalamnya.
"Goa.... Larangan... terletak di.... Ah Maafkan aku. Tuan. aku tidak bisa memberitahukanmu. Tempat itu dianggap keramat oleh penduduk desa ini. Tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di tempat suci itu, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Apalagi bagi orang luar Desa Larang ini, kepala desa kami melarang keras....," jelas pelayan itu mengungkapkan perihal Goa Larangan pada kelima tamunya.
"Bagus..., bagus! Memang goa itulah yang kami cari. Dan mengenai dilarang atau tidak, kami tak peduli. Sekarang katakan, di mana letak Goa Larangan itu?" desak Ki Gontang tanpa mempedulikan tempat itu keramat atau tidak yang diinginkannya hanyalah keterangan tentang letak goa itu.
"Tapi..., tapi..."
"Keparat! Rupanya kau lebih suka kami menggunakan kekerasan!" Gumantara yang memang berwatak beringas membentak marah. Tangan kanannya langsung bergerak mena mpar pelipis pelayan kedai itu.
Whuuut.. tappp!
Tamparan tangan Gumantara berhenti separuh jalan, karena jari-jari tangan Ki Gontang telah mencekal lengannya. Sehingga, tamparan itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Jangan bodoh. Adi Gumantara! Bersikaplah sabar sedikit. Kita memerlukan keterangan pelayan ini tentang letak Goa Larangan!" geram Ki Gontang jengkel melihat perbuatan kawannya. Gumantara segera menarik lengannya yang dicekal erat jari-jari tangan Ki Gontang.
"Ayo. Katakan, di mana letak goa itu. Kalau tidak, kawanku ini akan segera meremukkan batok kepalamu yang keropos dan tak berguna itu!" Ki Gontang yang mulai kehilangan kesabaran mengeluar kan ancaman, membuat pelayan itu menggigil ketakutan.
"Jangan paksa dia, Kisanak. Tempat yang kalian cari memang merupakan tempat keramat dan suci. Tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di tempat itu, termasuk warga desa ini, kecuali pada saat-saat yang telah ditentukan oleh nenek moyang kami yang merupakan pendiri desa ini"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara tenang dan berwibawa. Membuat Ki Gontang dan yang lainnya segera menoleh ke arah sumber suara itu.
"Hm...," Ki Gontang mendengus ketika melihat seraut wajah berwibawa dengan potongan tubuh tegap, berdiri tegap menatap wajah Ki Gontang dan kawan-kawannya bergantian. "Siapa kau? Mengapa mencampuri urusan kami?" Lelaki gagah itu tersenyum mendengar pertanyaan Ki Gontang.
"Siapa bilang ini bukan urusanku? Sebagai Kepala Keamanan Desa Larang, tentu saja aku bertanggung jawab terhadap segalasesuatu yang terjadi di desa ini. Karena tempat yang kalian cari termasuk wilayah tanggung jawabku, maka sudah sepatutnya aku mencampuri urusan ini," sahut lelaki gagah bertubuh tegap dengan suara tenang, tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati Ki Gontang tidak seorang diri. Sedangkan lelaki gagah itu hanya sendiri tanpa seorang kawan pun mendampinginya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus! Kalau begitu, sekarang tunjukkan dimana letak Goa Larangan!" ujar Ki Gontang tertawa parau mendengar ucapan lelaki bertubuh tegap itu. Ki Gontang mendorong tubuh pelayan kedai itu hingga terjatuh ke lantai bersama kursi yang didudukinya. Lalu kakinya melangkah ke arah lelaki bertubuh tegap.
"Boleh kutahu namamu, Kepala Keamanan Gagah Perkasa...?" tanya Ki Gontang setengah mengejek. Jelas, lelaki tinggi kurusitu memandang remeh lelaki bertubuh tegap yang mengaku sebagai Kepala Keamanan Desa Larang. Rupanya tokoh penting desa itu secara kebetulan sedang berada di kedai makan. Dan mencoba menengahi keributan itu setelah mendengar Goa Larangan disebut-sebut.
"Na maku Kaliga. Aku minta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu tempat keramat kami...," sahut lelaki berperawakan tegap yang mengaku bernama Ki Kaliga. Meskipun sikap dan ucapannya kelihatan tenang. Namun, Ki Kaliga telah mempersiapkan tenaga simpanannya untuk dipergunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Apalagi menghadapi Ki Gontang yang sinar matanya demikian tajam menggetarkan jantung.
"Hm.... Asal kau tahu saja, Ki Kaliga! Melarang kami pergi ke Goa Larangan, sama artinya dengan menantang kami. Karena kami akan melabrak siapa saja yang berani mencegah maksud kami itu. Kau paham?" ujar Ki Gontang seraya menatap tajam wajah Ki Kaliga yang balas menatapnya dengan sorot yang tidak kalah tajam.
"Ah, Kakang Gontang terlalu bertele-tele. Untuk apa meladeni cecunguk itu. Hajar saja, dan paksa dia untuk menunjukkan letak Goa Larangan. Kalau masih membandel juga, siksa saja sampai dia menyesal telah dilahirkan ke dunia ini oleh ibunya," ucap Gumantara tidak sabar melihat sikap Ki Gontang yang dianggapnya terlalu sabar.
Ki Kaliga segera merasakan gelagat yang tidak baik. Melihat sepasang tangan Ki Gontang mulai mengepal, kepala keamanan desa itu segera menggenjot tubuhnya melesat ke luar kedai. Ki Kaliga tidak ingin bertarung di dalam kedai yang nanti akan merugikan pemilik kedai makan itu.
"Hei, mau ke mana kau, Pengecut..?!"
Gumantara yang berewatak berangasan langsung melesat mengejar. Tubuh gemuk yang kelihatan berat itu ternyata mampu bergerak cepat, seolah bukan menjadi halangan baginya. Dari sini dapat ditebak kalau ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang ringan.
Jleg!
Gumantara mendaratkan kedua kakinya dalam jarak satu tombak lebih di hadapan Ki Kaliga. Kepala keamanan desa itu memang bukan ingin melarikan diri seperti yang diduga Gumantara. Terbukti lelaki bertubuh tegap berusia sekitar empatpuluh lima tahun itu sudah berdiri menunggu disamping kedai, yang mempunyai halaman cukup luas untuk digunakan sebagai medan perkelahian.
"He he he...! Kusangka kau sejenis ayam sayur, Ki Kaliga. Ternyata kau termasuk pejaman jenis petarung. Aku suka dengan sikapmu...," ujar Gumantara memperdengarkan tawa yang sumbang dan tidak enak didengar.
"Hm.... Apapun akan kuhadapi untuk mempertahankan kehormatan Desa Larang. Untuk tugas ini, aku siap mempertaruhkan selembar nyawaku!" tegas Ki Kaliga dengan sikap gagah dan penuh wibawa. Bahkan kedua kakinya sudah dilebarkan, siap untuk menghadapi serangan mendadak
"Bagus! Aku ingin lihat, apakah kepandaianmu sehebat sikapmu," ejek Gumantara segera menyiapkan jurusnya untuk menggebrak Ki Kaliga.
Kepala Keamanan Desa Larang pun sudah membuka jurusnya, siap menyambut serangan lawan. Sikap kuda-kuda yang ditunjukkan Ki Kaliga terlihat kokoh, membuat Gumantara mengangguk-angguk sebagai pertanda mengagumi kedudukan kuda-kuda lawan.
Kedua tokoh itu bergerak memutar menyiapkan gebrakan dengan menggunakanjurus pilihan mereka. Sementara, Ki Gontang dan tiga kawannya menyaksikan pertarungan yang akan segera berlangsung dari tepi arena.
Belasan warga Desa Larang kelihatan mengintip dari rumahnya untuk menyaksikan perkelahian itu. Beberapa di antaranya memberanikan diri menyaksikan secara terbuka. Sehingga sebentar saja di sekeliling arena, dalam jarak dua tombak lebih, telah cukup banyak orang yang hendak menyaksikan perkelahian itu.
"Heaaat..!"
Gumantara berteriak keras sebagai tanda kalau serangannya akan dimulai. Tubuh lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu melesat cepat, disertai pukulan susul-menyusul yang menimbulkan desiran angin berkesiutan. Jelas kalau menunjukkan kekuatan yang tersembunyi dalam serangan itu tidak bisa dipandang ringan.
Bettt! Betet!
Serangkaian pukulan yang cepat dan kuat datang mengancam beberapa bagian terlemah tubuh Ki Kaliga. Lelaki tegap itu pun tidak mau tinggal diam. Dengan sebuah gerakan yang indah, tubuhnya meliuk menghindari setiap lontaran pukulan yang dikirimkan lawan. Kemudian membalas dengan tidak kalah hebatnya. Sebentar kemudian, keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru dan menegangkan.
Suara angin pukulan terdengar berkesiutan silih berganti. Membuat arena pertempuran diselimuti kepulan debu akibat geseran kaki dan tendangan mereka. Sehingga bagi orang yang tidak memiliki kepandaian ilmu silat, tidak dapat membedakan antara kepala keamanan desa mereka, dan lelaki gemuk berwajah bopeng. Kedua orang itu hanya tampak seperti dua sosok bayangan yang saling libat dan saling terjang.
"Hiaaat..!"
Gumantara kelihatan sangat bernafsu ingin segera melumpuhkan lawannya. Serangannya datang bertubi-tubi bagai air bah yang mengalir deras. Sehingga dalam jurus-jurus awal, Gumantara berada di atas angin. Sebab, Ki Kaliga lebih banyak bertahan daripada melancarkan serangan. Agaknya tokoh bertubuh tegap itu sengaja hendak menguras tenaga lawan, kemudian balas menyerangnya setelah lawannya mulai kepayahan.
Siasat yang dilancarkan Ki Kaliga ternyata gagal. Meskipun Gumantara terlihat menghambur-hamburkan tenaga, tapi sampai jurus kedua puluh, lelaki gemuk itu masih gencar melancarkan serangannya. Bahkan makin lama kelihatan kian hebat dan berbahaya. Ki Kaliga terkejut melihat kekuatan lawan seperti tak pernah berkurang. Maka, kepala keamanan desa itu pun merubah siasatnya dengan balas menggempur sesekali.
Plak! Plak!
"Aihhh...?!" Terdengar benturan keras berturut-turut, disusul pekik tertahan dari salah seorang petarung.
Terlihat tubuh Ki Kaliga terjajar mundur sejauh empat langkah. Sedangkan tubuh lawannya hanya tergetar di tempat itu me mbuktikan kalau kekuatan tenaga dalam Ki Kaliga masih satu tingkat di bawah lawan. Demikian pula dalam kecepatan. Gumantara masih lebih unggul dari lawannya.
Kenyataan itu membuat Ki Kaliga terperanjat. Tidak disangkanya kalau lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu masih lebih unggul dalam segala hal dari dirinya. Berpikir begitu, Ki Kaliga lebih berhati-hati dan langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan untuk menghadapi lawan.
"Yeaaa...!"
Kembali Gumantara membuka serangan lebih dulu. Kaki dan tangan lelaki gemuk pendek itu bergerak cepat mengirimkan pukulan dan tendangan berbahaya. Dengan sasaran adalah bagian-bagian terlemah tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Ki Kaliga menggeser tubuhnya saat sebuah pukulan lawan datang mengincar pelipisnya. Kemudian dikirimkannya serangan balasan dengan sodokan jari-jari tangan, yang bergerak dari bawah ke atas, mengarah ulu hati lawan. Tapi, Gumantara tampaknya telah mempersiapkan segalanya dengan cermat. Terbukti serangan itu dapat digagalkannya dengan tepisan telapak tangan kiri. Sehingga, serangan Ki Kaliga lewat dari sasaran. Kesempatan baik sewaktu kuda-kuda Ki Kaliga tergempur akibat tepisan tangannya, tidak dilewatkan begitu saja oleh Gumantara. Cepat tubuh lelaki itu berputar sambil mengirimkan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tendangan yang cepatdan kuat itu tidak sempat lagi dihindari Ki Kaliga. Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terdorong ke belakang, dan nyaris jatuh kalau tidak segera melempar tubuhnya dengan bersalto dua kali di udara.
Tapi, Gumantara seperti telah memiliki pengalaman yang sangat luas dalam bertarung. Seperti dapat membaca gerakan lawan, tubuh lelaki gemuk pendek itu segera melesat ke depan seraya mendorongkan telapak tangannya ke dada Ki Kaliga, tepat pada saat tubuh lelaki tegap itu meluncur turun dan siap mendarat di atas tanah. Sehingga.....
Desss!
"Huakkkh!" Darah segar menyembur keluar ketika sepasang telapak tangan Gumantara singgah di dada lelaki tegap itu. Akibatnya, tubuh Ki Kaliga terlempar ke belakang sejauh satu tombak! Dan terus jatuh berdebuk di atas tanah berdebu, hingga menimbulkan kepulan debu yang cukup tebal
"He he he...! Ternyata hanya begitu saja kepandaian yang dimiliki seorang keamanan desa!" ejek Gumantara tertawa perlahan dengan sikap semakin angkuh.
Kemudian, lelaki gemuk itu melangkah satu-satu menghampiri Ki Kaliga yang tengah berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa panas dan sesak Lelaki bertubuh tegap itu terbatuk dan mengeluarkan cairan merah. Rupanya hantaman sepasang telapak tangan Gumantara telah mengakibtkan luka dalam yang tidak ringan.
Plak!
Sebelum Ki Kaliga sempat menyadari datangnya serangan, tamparan keras pada pelipisnya membuat lelaki itu tersungkur pingsan.
"Bawa dia, Gumantara...!" perintah Ki Gontang dan segera mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu. Sebentar kemudian, tubuh mereka tinggal bayangan samar dikejauhan.
"Ayo, kita laporkan kejadian ini pada kepala desa...!" ujar seorang warga yang segera berlari untuk melaporkan kejadian itu pada kepala desa. Beberapa orang lainnya ikut menyertai.
"Apa?! Ki Kaliga diculik orang?!" Lelaki tua bertubuh gemuk itu terlontar dari kursinya. Wajahnya yang kelimis dengan kumis tercukur rapi, rampak diliputi keheranan besar. Lelaki yang memiliki sepasang mata setajam elang itu tidak mempercayai laporan yang baru saja disampaikan seorang warganya.
Kepala Desa Larang yang bernama Ki Samiang itu tentu saja tidak bisa me mpercayai laporan warganya begitu saja. Selain mengenal baik siapa Ki Kaliga, Ki Samiang juga tidak mempercayai kalau tangan kanannya itu diculik orang. Mana mungkin Ki Kaliga yang cukup mempunyai ilmu silat itu sampai diculik orang?
"Apa kau tidak salah lihat..?" tanya lelaki gemuk itu kepada salah satu dari tiga orang warga desanya yang datang melaporkan kejadian itu.
"Tidak, Ki. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bahkan masih banyak warga yang menyaksikan kejadian itu. Entah apa yang membuat Ki Kaliga berkelahi dengan salah seorang dari lima lelaki bertampang kasar itu. Dan Ki Kaliga terpukul roboh, lalu dibawa kabur oleh mereka...," lelaki bertubuh sedang dengan kulit muka kecoklatan melengkapi laporannya agar Ki Samiang lebih yakin.
"Aneh?! Benar-benar sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Ki Kaliga dapat begitu mudah dirobohkan lawan? Lagi pula, apa keperluan kelima orang asing itu sampai harus membawa kabur?" gumam Ki Samiang melangkah hilir-mudik sambil menggeleng kepala dengan perasaan tak menentu. Setelah hilir-mudik beberapa kali dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Ki Samiang mendadak menghentikan langkahnya dan kembali menatap ketiga orang warga desanya.
"Lalu, ke mana mereka membawa pergi Ki Kaliga...?" tanya kepala desa itu, mencoba, untuk mempercayai laporan warganya.
"Mereka menuju ke selatan, Ki...," jawab lelaki yang wajahnya kecoklatan dengan mantap.
Sehingga, mau tidak mau Ki Samiang mulai mempercayai laporan itu. Karena ketiga warganya itu terlihat sangat yakin dan tidak ragu-ragu dalam menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkannya. Kelihatannya mereka memang tahu persis dan bukan mendengar dari orang lain.
"Baiklah. Aku akan segera menyelidiki dan mencari kelima orang asing itu. Sekarang kalian boleh kembali ke rumah masing-masing," ujar Ki Samiang mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka mau melapor kan kejadian itu kepadanya. Setelah membungkuk hormat dan mohon diri, ketiga petani itu bergegas meninggalkan rumah besar yang menjadi tempat tinggal kepala desanya.
"Hm.... Tunggu sebentar...!" Tiba-tiba Ki Samiang mencegah kepergian warga desanya yang baru saja tiba di ambang pintu. Sehingga mereka menahan langkah dan membalikkan tubuh.
"Ada yang bisa kami lakukan, Ki...?" salah seorang dari mereka menawarkan bantuan sambil membungkuk hormat.
"Tidak..., tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah benar mereka menuju selatan desa ini?" tanya Ki Samiang seraya menggoyangkan telapak rangannya, menolak dengan halus tawaran warganya
"Pasti, Ki. Kami yakin sekali" Kembali lelaki berwajah kecoklatan menjawab tegas, membuat Ki Samiang mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, mereka akan melewati Hutan Larangan? Atau bukan mustahil mereka telah memasuki hutan itu. Celaka! Aku harus segera mencegah orang-orang asing itu mengotori keramat dan suci warga desa ini" Gumam Ki Samian sambil mengelus dagunya yang licin tanpa jenggot. Wajah lelaki tua itu kelihatan agak tegang ketika teringat tempat angker yang seringkali digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur warga Desa Larang, termasuk dirinya.
"Apakah kami masih diperlukan, Ki...?" Seorang lelaki bertubuh sedang bertanya dengan hati-hati. Agaknya mereka merasa risih harus berdiri seperti itu, dan menyaksikan sikap kepala desanya yang nampak kebingungan dan tegang.
Ki Samiang tersentak dari lamunannya. Cepat kepalanya menoleh ke arah asal suara. Dia baru menyadari ketika melihat tiga orang warganya yang melapor masih berdiri dengan wajah resah.
"Tidak..., tidak. Kalian boleh pergi...," ujar Ki Samiang, membuat ketiga orang itu merasa lega dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Tinggalan Ki Samiang berjalan hilir-mudik sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Beberapa saat kemudian, dia berseru memanggil para pengawalnya. Dan minta disiapkan seekor kuda serta dua belas orang pengawal, untuk menemaninya melakukan pencarian terhadap Ki Kaliga. Tidak berapa lama kemudian, terlihat rombongan kecil penunggang kuda bergerak meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Larang. Mereka adalah Ki Samiang dan dua belas pengawalnya.
Setelah melewati mulut desa, Ki Samiang membedal kudanya yang segera meluncur cepat melintasi jalanan tanah berdebu. Sedangkan kedua belas orang pengawal itu berada setengah tombak di belakangnya. Rombongan itu terus bergerak cepat menuju arah selatan Desa Larang,yang merupakan wilayah hutan yang sangat lebat dan dianggap sebagai tempat suci oleh penduduk Desa Larang.
Pada sebuah persimpangan jalan, Ki Samiang membawa rombongannya mengambil jalan ke arah sebelah kiri, tepat menuju Hutan Larangan. Beberapa pengawal kepala desa itu tampak berwajah tegang. Mereka merasa gentar harus melewati daerah hutan angker itu.
Ki Samiang sendiri berusaha menekan rasa tidak tenang di dalam hatinya. Lelaki tua itu menghibur diri dengan meyakinkan dirinya bahwa mereka hanya akan mencari di sekitar tepi hutan, dan tidak masuk ke dalamnya. Karena itu merupakanpantangan yang tidak boleh dilanggar, kecuali pada waktu-waktu tertentu, seperti mengadakan upacara penyembahan.
Dengan meyakinkan niat itu, hati Ki Samiang sedikit agak tenang. Sehingga, kudanya terus bergerak maju semakin mendekati tepi Hutan Larangan. Tapi, beberapa tombak sebelum mencapai tepi hutan, Ki Samiang menarik tali kekang kudanya. Wajahnya terlihat agak pucat, dan sepasang matanya menyipit, seolah hendak menajamkan penglihatannya.
"Ada apa, Ki...?" tegur seorang pengawal yang berada tepat dibelakangnya.
Nada bicara orang itu terdengar bergetar, menyiratkan ketegangan hati pemiliknya. Dan, Ki Samiang tidak berkata apa-apa. Kepala Desa Larang itu maklum akan perasaan semua penduduk desanya, jika mendekati rimba angker itu.
Pertanyaan pengawal itu tidak dijawab Ki Samiang dengan kata-kata. Laki-laki gemuk itu hanya meluruskan jari telunjuknya ke arah sebuah benda, yang dari kejauhan tampak seperti sesosok tubuh yang berbaring diam.
"Mungkinkah itu Ki Kaliga yang telah dianiaya, kemudian dibunuh kelima orang asing itu, Ki...?" ujar pengawal itu lagi menduga-duga, membuat Ki Samiang mengerutkan keningnya dalam-dalam. Di benak lelaki tua itu tidak terpikir akan dugaan demikian.
"Hm..." Ki Samiang hanya bergumam perlahan meski dadanya terasa berdebar lebih cepat dari biasa. Lalu dia melompat turun dari atas punggung kudanya
"Kalian berdua ikut aku...!" perintah lelaki gemuk itu seraya menunjuk dua pengawal yang berada dibelakangnya.
"Baik, Ki..," sahut keduanya segera bergerak turun dariatas punggung kuda masing-masing.
Kedua pengawal itu melangkah di sisi kiri dan kanan kepala desanya dengan sikap waspada. Meskipun mereka sebenarnya merasa gentar, tapi tidak berani menunjukkannya di depan Ki Samiang. Karena rasa malu dan hormat kepada kepala desa yang baik hati itu. Semakin dekat dengan benda itu, Ki Samiang bertambah yakin kalau benda yang berada tak jauh dari tepi Hutan Larangan itu adalah sesosok tubuh manusia yang telah tewas. Itu dapat diketahui dari bercak-bercak darah yang mulai kering di seluruh pakaian yang terkoyak-koyak itu.
"Itu memang sesosok mayat, Ki...," ujar pengawal yang berada di sebelah kanan Ki Samiang. Sambil berkata demikian, pengawal itu menggeser tubuhnya ke belakang lelaki gemuk itu. Wajahnya tampak pias dan dipenuhi peluh sebesar butir-butir jagung
"Aku tahu. Tapi kita harus memastikannya, apakah benar itu mayat Ki Kaliga. Melihat bercak-bercak darah yang hampir kering di sekujur tubuhnya, pasti itu bukan mayat Ki Kaliga. Karena dia baru beberapa saat yang lalu diculik...," ujar Ki Samiang segera dapat menebak dengan tepat, setelah menenangkan pikirannya.
"Kalau begitu, sosok mayat itu siapa, Ki...?" gumam pengawal yang berada di kiri Ki Samiang. Suaranya tampak kering dan sukar dikeluarkan. Beberapa kali pengawal itu harus meneguk air liurnya untuk membasahi tenggorokan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, kita harus melihatnya dari dekat..," ujar Ki Samiang melanjutkan langkahnya dengan sikap penuh waspada. Karena hati lelaki gemuk itu tak lepas dari rasa tegang dan gentar.
Setelah dengan susah-payah melangkah, akhirnya ketiga orang itu tiba di dekat mayat yang keadaannya hampir tak dapat dikenali lagi. Sekujur tubuh dan wajahnya terkoyak-koyak seperti diserang binatang buas yang kelaparan. Bahkan beberapa anggota tubuhnya sudah tak utuh lagi, kemungkinan besar orang malang itu telah diserang binatang buas penghuni Hutan Larangan.
"Hei! Bukankah ini Guminta, yang beberapa hari lalu pergi bersama Ki Jatayu untuk menengok keluarga orang tua itu di desa sebelah?! Mengapa dia tewas di tepi Hutan Larangan? Dan, ke mana perginya Ki Jatayu...?" ujar salah seorang pengawal. Rupanya dia masih bisa mengenali mayat yang rusak itu.
"Guminta...?" desis Ki Samiang mencoba mengingat nama itu. Setelah beberapa saat orang tua itu baru teringat kalau Guminta adalah salah seorang warganya. Kalau Ki Jatayu sudah dikenalnya dengan baik. Karena nama itu cukup terkenal di kalangan penduduk Desa Larang. Lagi pula, dia adalah seorang guru silat di desanya.
"Rupanya Ki Jatayu dan Guminta hendak pulang ke Desa Larang. Tapi, mereka ke malaman di jalan sebelum mencapai desa. Kemungkinan besar keduanya diserang serigala-serigala kelaparan yang seringkali terlihat di batas desa, saat hari menjelang malam...," ujar Ki Samiang menduga kejadian yang menimpa dua warga desanya itu.
"Jika demikian, mengapa mayat Ki Jatayu tidak berada di sekitar tempat ini? Rasanya mustahil kalau ia melarikan diri ke dalam hutan," timpal salah seorang pengawal dengan suara berbisik. Agaknya dia hampir tidak kuat lagi mengeluarkan suara karena ketakutan.
"Bisa saja Ki Jatayu melakukan kesalahan seperti itu. Karena keadaan malam yang gelap maka ia tidak bisa mengenali jalan dengan baik. Tapi, untuk mencari mayatnya ke dalam hutan jelas tidak mungkin. Itu merupakan pantangan bagi kita," ujar Ki Samiang seraya menghela napas panjang dengan wajah berduka.
Kepala desa itu merasa terpukul dengan kejadian yang baru pertama kali dialami penduduk desanya. Belum lagi Ki Kaliga dapat ditemukan, kini dia harus menerima kenyataan pahit dengan tewasnya Guminta dan lenyapnya Ki Jatayu. Ini merupakan malapeteka bagi penduduk Desa Larang yang selama ini aman dan tenteram.
"Lalu..., apakah kitatidak perlu mengetahui nasib Ki Jatayu, Ki?" tanya salah seorang pengawal dengan muka bodoh. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan, karena Ki Samiang sudah menjelaskannya barusan.
"Bawa mayat itu, dan kita kembali ke desa. Mengenai pencarian terhadap Ki Kaliga, biarlah kita menunggu kelanjutan sepak terjang penculik itu," ujar Ki Samiang segera mengayunkan langkahnya pergi.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua pengawal kepala desa itu cepat-cepat mengangkat mayat Guminta. Kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda. Sebentar kemudian, rombongan itu bergerak kembali ke Desa Larang.
Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau melangkah perlahan memasuki Desa Larang. Pandangan penuh curiga dan tak suka daribeberapa penduduk yang kebetulan berpapasan di jalan, tidak mereka pedulikan. Keduanya terus bergerak maju memasuki desa.
"Hm... Nampaknya penduduk desa ini tidak bersikap ramah kepada kita, Kakang. Mungkin desa ini jarang didatangi orang asing, atau mereka mempunyai kesan buruk terhadap pendatang. Sehingga,mereka curiga dan tak suka melihat kedatangan kita" Dara jelita berpakaian serba hijau itu berkata perlahan, mengungkapkan perasaan hatinya atas sikap dan pandang mata orang-orang desa.
"Biarlah, yang penting kita tidak melakukan kesalahan terhadap mereka. Mungkin dugaan mu memang benar, Kenanga. Mereka mungkin mempunyai pengalaman pahit dengan para pendatang...," sahut pemuda tampan berjubah putih, yang tak lain Panji.
"Tapi..., lama-lama aku jengkel juga, Kakang. Siapa yang tahan jika hampir semua penduduk desa ini memperlihatkan sikap seperti itu"
Dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga, masih tak bisa menghilangkan perasaan tidak enaknya akan sikap dan pandang mata yang seperti membenci dan mengusir mereka dari tempat itu.
"Sudahlah, biarkan saja. Lebih baik kita singgah dulu di kedai itu, Kenanga. Siapa tahu kita bisa mendapat keterangan dari pelayan atau pembicaraan orang-orang yang berada di dalam kedai. Biasanya di dalam kedai sering terjadi pembicaraan yang tanpa sengaja membuat satu kejadian tersebar luas...," ujar Panji seraya menarik lengan kekasihnya.
"Hm.... Hendak ke mana kalian?" Seorang lelaki kekar bercambang bauk tiba-tiba berdiri menghadang di ambang pintu kedai. Sikapnya terlihat seperti sangat membenci kedua pendatang itu.
Pendekar Naga Putih tampak menekan telapak iangan kekasihnya, sebagai isyarat agar persoalan itu segera diserahkan kepadanya. Kelihatannya dara jelita itu mengerti. Terbukti ia hanya berdiri tenang di sebelah Panji, meski dengan sinar mata mengandung rasa penasaran yang dalam.
"Kisanak...," ujar Panji dengan suara tenang dan menyungging senyum ramah. "Kami adalah perantau yang kebetulan melewati desa ini. Dan kami berdua hendak melepaskan lelah di kedai ini"
"Tidak bisa! Kedai ini sudah tutup dan tidak menerima tamu lagi!" bentak lelaki kekar berwajah brewok itu dengan sepasang mata melotot
"Mungkin Kisanak salah. Aku lihat di dalam kedai masih banyak orang yang sedang menikmati, hidangan atau sekadar melepaskan haus. Jelas tidak benar kalau kedai ini sudah tutup. Lagi pula, jika memang tidak menerima tamu lagi, seharusnya pintu kedai ini tidak dibiarkan terbuka...," bantah Panji dengan nada biasa, tanpa kelihatan marah atau menunjukkan sikap tidak senang.
Lelaki brewok yang menyeramkan itu menjadi agak bingung, dan menoleh ke dalam kedai yang memang tampak masih banyak orang yang tengah bersantap. "Meskipun kelihatannya masih buka, tapi sudah tidak ada lagi makanan yang dapat disediakan! Semuanya sudah habis!" Lelaki kekar itu mengajukan alasan lain, setelah terdiam beberapa saat, mencari jawaban yang tepat bagi pasangan pendekar muda itu.
Panji kelihatannya mengalah dengan memperdengarkan helaan napas panjang. Setelah terdiam sesaat, terdengar kata-katanya yang membuat lelaki brewok itu menggertakkan gigi menahan jengkel.
"Kalau begitu..., bisakah Kisanak menunjukkan kedai lain yang masih menerima tamu dan dapat menyediakan makanan untuk kami berdua?"
"Tidak! Semua kedai di desa ini telah ditutup! Kalau kau memang hendak mencari makanan dan tempat melepaskan lelah, silakan cari di desa lain!" geram lelaki brewok itu.
Memang, lelaki brewok itu hampir kehabisan cara untuk menghadapi pemuda tampan yang sepertinya tidak tahu bahwa kehadirannya tidak dikehendaki warga desa. Ketenangan dan kesabaran pemuda itu membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Hm.... Kira-kira berapa lama perjalanan yang harus ditempuh agar kami dapat tiba di desa lain yang kau maksudkan itu...?" tanya Panji, masih dengan suara tenang dan menyunggingkan senyum.
"Keparat!" Akhirnya lelaki kekar berwajah brewok itu tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Dia membentak dengan suara menggelegar pertanda kemarahan hatinya sudah memuncak. "Kau memang tidak tahu diri, Anak Muda! Maka perlu ditindak dengan kekerasan!" Begitu ucapannya selesai, lelaki brewok itu langsung mengayunkan kepalannya yang besar ke dada Pendekar Naga Putih.
Whutrt!
Kepalan yang besar dan kelihatan mengandung tenaga kuat itu meluncur datang. Tapi, Panji seperti tidak menyadari datangnya bahaya. Pemuda berjubah putih itu tetap bersikap tenang. Padahal kepalan itu tinggal setengah jengkal lagi dari dadanya. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!" Lelaki brewok yang semula sudah mengembangkan senyum karena mengira kepalannya akan mengenai sasaran, tiba-tiba memekik kesakitan! Padahal kepalannya tepat mengenai sasaran. Tapi justru dia yang berjingkrak sambil me megangi kepalan kanannya yang tampak membengkak. Lelaki brewok itu mengaduh-aduh tanpa menyadari kalau perbuatannya itu terlihat sangat lucu. Karena sambil melommpat, mulutnya tak henti-hentinya meniup kepalan kanannya.
"Kurang ajar...!" Terdengar suara geraman dari kerumunan penduduk desa yang menyaksikan kejadian itu. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang lelaki berperawakan tinggi kurus menyeruak menghampri Panji. Di belakangnya masih ada enam orang lainnya yang mengikuti.
"Hei, Orang Asing! Sudah kuduga kalau kedatanganmu ke desa ini hanya akan menimbulkan kerusuhan. Rupanya kau sudah merasa menjadi jagoan nomor satu, hanya karena memperlihatkan sedikit kekuatanmu itu! Huh! Orang-orang kurang ajar seperti kalian memang perlu diajar adat. Biar lain kali lebih sopan!" bentak lelaki berperawakan kurus itu sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Pendekar Naga Putih, yang kelihatan tetapi tenang tanpa amarah.
Tidak demikian dengan Kenanga yang berdiri di samping kekasihnya. Kegeraman dan kejengkelan yang sejak tadi ditahannya, tak mampu lagi dibendung ketika mendengar makian kasar lelaki berperawakan kurus yang berlagak seperti Jagoan kampung.
"Hei, Cecak Kering! Enak saja kau menyalahkan kami! Apa kau sudah buta dan tidak melihat siapa yang memulai pertengkaran?! Kalau saja kawanku ini menghendaki, sekali mengibaskan tangannya kalian semua akan pindah ke akhirat, tahu!" bentak Kenanga, tidak mau kalah gertak sambil menuding wajah seperti tengkorak itu.
Ucapan Kenanga tentu saja membuat lelaki kurus itu melangkah mundur agar tidak tertusuk jari tangannya. "Keparat! Sombong sekali kau. Gadis Liar! Biarpun wajahmu cantik seperti bidadari, jangan kira kami tidak tega untuk memberi pelajaran pada mu! Nah, rasakanlah ini...!" bentak lelaki tinggi kurus itu, langsung melontarkan pukulannya.
Agaknya lelaki itu merasa malu dituding-tuding seorang gadis di depan orang banyak. Jika ia tidak menunjukkan siapa dirinya, pasti orang-orang akan menertawakannya. Tapi, dara jelita itu tidak berusaha untuk mengelak, meskipun tahu kalau pukulan lelaki kurus itu lebih berisi daripada pukulan lelaki brewok tadi. Hal itu terbukti dari adanya hawa tenaga dalam dari pukulan lawan.
Whuttt! Kreppp!
Ketika kepalan lelaki kurus itu datang mendekat. Kenanga mengulurkan jari-jari tangannya tanpa menggeser tubuh. Akibatnya, kepalan itu tertangkap dan seperti melekat di telapak tangannya. Tentu saja kejadian yang tak pernah diduga itu membuat lawan kaget
"Ilmu setan...!" desis lelaki tinggi kurus itu terengah-engah dengan wajah berpeluh. Meskipun seluruh tenaganya telah dikerahkan, tapi tetap saja kepalannya tidak bisa dilepaskan.
"Heaaah...!" Merasa penasaran, lelaki tinggi kurus itu membentak keras seraya mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik pulang kepalannya. Sayang, justru saat itu Kenanga sengaja mengendurkah genggamannya. Sehingga....
"Ahhh...?!" Lelaki tinggi kurus itu terkejut bukan main. Ketika tangannya ditarik, tubuhnya langsung jatuh terjengkang ke belakang karena Kenanga telah melepaskan cengkeramannya.
Gusrakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu jatuh melanggar penduduk yang berkerumun di belakangnya. Keadaan menjadi semakin ramai, ketika beberapa penduduk yang terlanggar tubuh lelaki kurus itu ikut terjatuh. Sehingga tubuh mereka saling bertindihan. Merasa telah dipecundangi di depan orang banyak, lelaki kurus itu menjadi marah. Dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang.
Srattt..!
Secercah sinar putih berkelebat diiringi suara berdesing, ketika senjata itu tercabut keluar dari sarungnya. Bersamaan dengan itu, beberapa orang lainnya ikut menghunus senjata. Jelas, tindakan mereka bukan lagi kekerasan biasa. Karena dengan menghunus senjata, bukan tidak mungkin akan ada korban yang jatuh.
"Tahan...!" Panji yang sejak tadi kelihatan sabar dan selalu tersenyum, tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras yang membuat orang-orang Desa Larang terlompat dan jatuh terduduk, termasuk lelaki bertubuh kurusdan kawan-kawannya yang telah menghunus senjata. Akibatnya, mereka merasa gentar setelah merasakan kehebatan pemuda tampan itu.
"Kisanak sekalian. Kami datang ke desa ini tanpa maksud jahat sedikitpun! Kami hanya sekadar singgah untuk melepaskan lelah. Setelah itu, akan meninggalkan desa ini untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, tindakan kalian semakin menjadi-jadi, karena kami terlalu mengalah. Untuk itu, kuharap persoalan selesai sampai di sini, dan biarkan kami pergi.,.," ujar Panji dengan suara lantang.
"Kupikir Kakang tidak bisa naik darah...," goda Kenanga berbisik di telinga kekasihnya, membuat Panji menahan senyum.
Tampaknya bentakan Panji barusan membunt orang-orang Desa Larang belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Mereka bungkam seraya menatap pemuda itu dengan sinar mata bodoh. Melihat semua itu, Panji mengajak Kenanga untuk segera meninggalkan desa itu.
“Tunggu...!"
Baru beberapa langkah sepasang pendekar muda itu berjalan, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang membuat keduanya menghent ikan langkah dan berbalik. Seorang lelaki bertubuh gemuk yang rambut di atas telinganya sebagian memutih, bergerak menghampiri Panji dan Kenanga dengan menunggang seekor kuda jantan berbulu hitam. Setelah dekat, lelaki yang tidak lain Ki Samiang itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Beberapa orang pengawal tampak menyertai laki-laki tua itu dengan keadaan siap tempur.
"Hm.... Kudengar ada orang asing yang mendatangi desa ini dan telah membuat keributan. Apakah kalian berdua orangnya...?" tanya Ki Samiang yang meskipun nadanya lembut tapi jelas menyiratkan ketidak senangan hatinya.
Panji yang melihat wajah orang tua itu kelihatan cukup bijaksana, segera menyentuh tangan kekasihnya agar tidak membuat persoalan baru. Kenanga mengerti isyarat pemuda itu, hingga menahan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya. Dan menyerahkan persoalan itu kepada Panji.
"Maaf, kalau kehadiran kami telah mengganggu penduduk desa ini. Tapi, kami tidak bermaksud buruk apalagi mencari keributan. Kalau memang kedatangan kami dianggap suatu kesalahan, harap dimaafkan. Sekarang, biarkan kami pergi tanpa diganggu," ujar Panji untuk menjawab pertanyaan Ki Samiang dan menunjukkan ketegasan tindakannya. Sehingga, lelaki tua itu tertegun tak bisa berkata-kata lagi.
Melihat orang tua itu terdiam, Panji segera mengajak kekasihnya untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, baru beberapa tindak mengayun langkah, kembali terdengar panggilan yang ditujukan kepada mereka.
"Kisanak, harap tunggu sebentar...," seru Ki Samiang. Nada suaranya kini terdengar lebih lunak. Rupanya ucapan Panji tadi membuat orang tua itu terkesan. Juga merasa yakin kalau pasangan muda itu orang baik-baik, dan mungkin memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu diduganya dari cara pemuda itu berbicara dan bersikap, penuh keyakinan dan ketegasan membuat Ki Samiang kagum.
Semula Panji tidak mengacuhkan panggilan itu. Tapi, ketika mendengar suara langkah orang berlari dibelakangnya, akhirnya pemuda itu menghentikan langkahnya untuk yang kedua kali, dan berbalik menghadap Ki Samiang.
"Kisanak. Setelah mendengar kata-katamu tadi, aku yakin kalau kalian berdua orang baik-baik. Untuk itu, atas nama semua warga Desa Larang, aku minta maaf atas kejadian tidak menyenangkan yang kalian alami," ujar lelaki tua bertubuh gemuk itu sambil menganggukkan kepala.
Panji maupun Kenanga bukanlah orang-orang pendendam. Mereka tentu saja merasa kagum dengan ucapan orang tua itu. Sebab, jarang orang yang mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Apalagi mengingat umur mereka terpaut jauh, hingga membuat Panji tidak enak.
"Kami pun minta maaf apabila ucapan atau kelakuan kami mungkin agak sedikit kasar...," ujar Panji sambil melebarkan senyumnya dengan dada lapang, karena merasa lega persoalan di antara mereka telah selesai.
"Nah, jika demikian, biarlah sekarang aku mengundang kalian berdua ke rumahku. Dan kuharap kalian tidak menolak...," pinta Ki Samiang setengah memaksa. Sehingga Panji maupun Kenanga tidak bisa menolaknya.
"Mudah-mudahan kehadiran kami tidak merepotkan...," ujar Panji yang disambut tawa perlahan oleh Ki Samiang. Sehingga, suasana di antara mereka semakin akrab.
Ki Samiang melangkah mengajak kedua tamunya menuju tempat tinggalnya. Saat itu Panji dan Kenanga belum menduga kalau Ki Samiang adalah Kepala Desa Larang. Tapi, mereka tidak terlalu terkejut, karena dari sikap dan cara berbicara orang tua itu keduanya sudah bisa menebak. Atas permintaan Ki Samiang, Panji dan Kenanga terpaksa harus melewatkan malam ditempat kediaman kepala desa itu.
"Sebenarnya, apa yang membuat orang-orang desa ini tidak suka kepada pendatang, Ki...?" Panji menyempatkan diri untuk mengorek keterangan dari Ki Samiang tentang sikap orang-orang Desa Larang yang menurutnya agak ganjil. Saat itu mereka bertiga tengah duduk di beranda depan sambil menikmati keindahan suasana malam.
"Hhh...!" Ki Samiang menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Panji. Kelihatannya orang tua itu merasa berat untuk mengingat peristiwa pahit yang pernah dialaminya.
"Kejadiannya belum lama berlalu. Kematian ada lima orang pendatang memasuki desa ini. Mereka membuat kekacauan, sehingga Ki Kaliga, yang menjadi kepercayaanku harus turun tangan untuk menghentikannya. Sayang, kelima orang itu bukan tokoh sembarangan. Ki Kaliga dapat ditundukkan oleh salah seorang dari mereka. Entah apa yang mereka inginkan dari kepala keamanan desa itu, sampai-sampai mereka menculiknya...," jelas Ki Samiang membuat Panji dan Kenanga mulai mengerti dan memaklumi sikap orang-orang desa.
"Apakah Ki Samiang sudah bersaha untuk mencari Ki Kaliga?" tanya Kenanga ikut menimpali.
"Kami sudah berusaha untuk mencari kelima orang asing itu. Tapi, sebelum sempat menemukan jejak mereka, ada lagi warga desa kami yang tertimpa musibah. Tepatnya, di dekat Hutan Larangan kami menemukan mayat salah seorang warga desa. Tapi, orang yang satunya lagi tidak dapat kami temukan. Untuk mencarinya ke dalam hutan, tidak mungkin, karena tidak ada seorangpun dari kami yang berani memasuki Hutan Larangan. Itu merupakan pantangan turun-temurun," jelas Ki Samiang lagi.
"Hm.... Apakah orang yang tidak ditemukan mayatnya itu bertubuh gagah berusia kira-kira enam puluh tahun?" tanya Panji saat teringat seorang lelaki tua yang dikeroyok serigala-serigala kelaparan hingga tewas.
"Benar sekali! Apakah kalian pernah melihat atau berjumpa dengannya?" Ki Samiang kelihatan sangat bernafsu ketika mendengar penjelasan Panji tentang ciri-ciri Ki Jatayu. Lelaki tua itu berharap agar Panji benar-benar berjumpa dengan Ki Jatayu.
"Kemarin malam, saat kami berdua melewatkan malam disebuah hutan kecil, ada seorang lelaki tua berperawakan gagah yang diserbu segerombolan serigala kelaparan. Sayang, kami terlambat datang. Orang tua itu telah tewas karena luka-luka di tubuhnya yang terlalu banyak mengeluarkan darah," jelas Panji, membuat Ki Samiang mendekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kelihatan sekali kalau orang tua itu sangat terpukul
"Lalu...," suara Ki Samiang terdengar agak parau ketika melontarkan pertanyaan menggantung itu.
"Setelah malam berganti pagi, kami menguburkan jenazah orang tua itu di dekat sebuah sunga kecil di selatan desa ini," jawab Panji lagi yang mengetahui ke mana arah pertanyaan Ki Samiang.
Kepala Desa Larang itu menarik napas berulang-ulang. Kelihatan sekali kalau dia merasa berduka dengan kejadian yang mengerikan itu.
"Ki, apakah peristiwa seperti ini sudah seringkali terjadi?" Panji baru berani mengajukan pertanyaan ketika Ki Samiang telah me lepaskan kedua telapak tangannya dari wajah.
"Justru karena tidak pernah terjadi sebelumnya maka aku menjadi cemas. Sebab, kemungkinan besar peristiwa ini akan berkelanjutan. Bahkan bukan mustahil, serigala-serigala kelaparan itu akan berkeliaran sampai ke desa. Itu yang aku khawatirkan, Panji," jawab Ki Samiang mengungkapkan kekhawatirannya yang selama ini hanya dipendam dalam hati. Lelaki itu tidak ingin menceritakan perasaannya itu kepada keluarga atau warga Desa Larang. Baru kepada Panji diungkapkannya rasa khawatir itu.
"Kalau sampai demikian, sungguh berbahaya sekali...," desah Panji, memaklumi kekhawatiran Kepala Desa Larang itu.
Kecemasan lelaki itu menandakan dirinya adalah seorang kepala desa yang baik dan penuh tanggung jawab. Kenyataan itu membuat Panji dan Kenanga bertambah hormat padanya.
"Bagaimana jika kami berdua mencegah binatang-binatang kelaparan itu, agar tidak sampai berkeliaran ke desa ini atau desa-desa lainnya?" usul Panji menawarkan bantuan. Rupanya pemuda itu merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang banyak, khususnya warga Desa Larang.
"Pekerjaan itu sangat berbahaya, Panji. Bisa-bisa kau yang akan menjadi korban kebuasan serigala-serigala kelaparan itu. Tidak. Aku tidak ingin kau celaka hanya karena ingin membantu meringankan beban pikiran ini," sahut Ki Samiang tidak bisa menerima usul Panji.
"Jangan pikirkan keselamatan kami, Ki. Tapi, pikirkanlah apa yang akan menimpa warga desa ini bila serigala-serigala kelaparan itu tidak segera dicegah. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi kami berdua. Karena kami hidup berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak kami menemui ancaman maut yang nyaris membawa kematian. Jelasnya, kami berdua bersedia mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak. Itu sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah," ujar Panji mempertahankan pendapatnya untuk membantu Ki Samiang dalam persoalan itu.
Ki Samiang terdiam ketika mendengar ucapan Panji. Kebenaran ucapan pemuda itu memang tidak bisa dibantah. Lelaki tua itu pun tahu kalau kedua orang tamunya benar-benar ingin membantu, tanpa mengharapkan imbalan darinya.
"Panji, serigala-serigala itu ke mungkinan besar penghuni Hutan Larangan yang kami anggap sebagai tempat suci, dan tempat bersemayam roh para leluhur kami. Jelas untuk mengusir pergi binatang binatang itu bertentangan dengan kepercayaan yang kami anut. Itu salah satu alasan yang membuat aku pusing." Akhirnya Ki Samiang mengungkapkan kembali keresahan hatinya. Dan, alasan itu membuat Panji terdiam.
"Jadi, dengan kata lain Ki Samiang hendak membiarkan saja bila serigala-serigala buas itu memasuki desa, lalu mencabik-cabik tubuh bocah tak berdosa dan orang-orang tua lemah, begitu?" ujar Panji setelah beberapa saat lamanya terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk membangkitkan semangat Ki Samiang yang telah lenyap terpengaruh kepercayaan yang dianutnya
"Hhh.... Sebaiknya kita lihat saja kelanjutan malapetaka ini. Jika perkiraanku benar. Terpaksa aku harus melanggar kepercayaan yang selama turun-temurun kami anut, demi keselamatan penduduk Desa Larang yang menjadi tanggung jawabku ini." Karena tidak bisa membantah ucapan Panji, akhirnya Ki Samiang memutuskan untuk melihat kelanjutan kejadian itu lebih dahulu.
"Baiklah, Ki. Aku setuju. Mudah-mudahan apa yang kita khawatirkan tidak menjadi kenyataan" Panji pun akhirnya mengalah dan tidak berusaha untuk mendesak lagi. Tentu saja pemuda itu berharap agar apa yang mereka khawatirkan tidak akan terjadi.
Malam semakin bertambah larut ketika ketiga orang itu terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing. Bintang-bintang yang tampak di angkasa menjadi perhatian mereka. Tiba-tiba....
"Auuung!"
Lolongan serigala terdengar sayup-sayup hingga menembus pendengaran ketiga orang itu. Ki Samiang tersentak bangkit dari duduknya. Seolah lolongan serigala tadi tidak jauh dari tempat itu. Dari sikapnya itu dapat ditebak kalau sejak tadi Ki Samiang masih memikirkannya.
"Mungkinkah malam ini binatang-binatang kelaparan itu kembali me minta korban?" desis Ki Samiang bertanya pada diri sendiri. Wajah lelaki tua itu tampak tegang. Sehingga Panji merasa perlu untuk menenangkan hatinya
"Binatang-binatang itu masih jauh berada di dalam hutan, Ki. Jadi kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Biarlah kami akan meronda untuk berjaga-jaga dan sekaligus menikmati keindahan malam yang cerah ini..," ujar Panji membuat Ki Samiang tersentak dari lamunannya.
Lelaki tua itu menganggukkan kepala, karena meronda memang perlu dilakukan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu, serigala-serigala itu benar-benar akan muncul untuk memasuki Desa Larang.
"Ki Samiang tidak perlu mengkhawatirkan kami. Bukankah di luar banyak peronda desa yang sedang berkeliling? Jadi, anggap saja kami sedang berjalan-jalan mencari udara malam," sebelum meninggalkan orang tua itu, Panji kembali mengingatkan agar Ki Sa miang tidak terlalu dilanda ketegangan.
"Hm.... Terserah kalian. Mudah-mudahan dengan tidur aku bisa melenyapkan segala keruwetan ini...." ujar Ki Samiang sambil melangkah masuk ke rumahnya diiringi pandang mata Panji dan Kenanga. Setelah sosok orang tua itu lenyap di balik pintu, Panji bergerak mengajak kekasihnya mengelilingi desa untuk berjaga-jaga.
"Kepercayaan yang dianut Ki Samiang beserta warga desanya terasa aneh bagiku, Kakang. Apa yang mereka harapkan dengan menganggap Hutan Larangan sebagai tempat suci dan tempat bersemayam roh-roh leluhur mereka? Apakah itu berarti mereka menyembah roh leluhurnya demi maksud-maksud tertentu?" Sambil melangkah, Kenanga mengemukakan apa yang mengganjal hatinya, sewaktu mendengar penuturan Ki Samiang tadi.
"Hm.... Di dunia ini terdapat bermacam-macam kepercayaan, Kenanga. Semua itu kebanyakan warisan dari leluhur-leluhur mereka. Mungkin mereka mendapatkan apa yang dicarinya setelah melakukan penyembahan pada roh nenek moyang. Kita tidak boleh mengganggunya. Apalagi kalau itu sudah menjadi keyakinan mereka dan diwariskan secara turun-temurun, rasanya sulit untuk dirubah," timpal Panji membuat Kenanga mengangguk-angguk mengerti.
Malam semakin larut saat sepasang pendekar muda itu bergerak menerobos kegelapan malam, yang sesekali ditingkahi hembusan angin dingin. Sejauh itu, belum tampak tanda-tanda adanya sesuatu yang mengancam ketenteraman Desa Larang. Sehingga, kedua pendekar muda itu menarik napas lega.
"Auuung...!"
Saat udara malam semakin dingin, lolongan serigala kembali terdengar, membuat bulu tengkuk meremang. Panji yang sedang berjalan bersama Kenanga menghentikan langkah. Saat itu pendengaran mereka yang tajam menangkap langkah-langkah lembut bergerak menuju desa.
"Kakang, lihat..!" desis Kenanga seraya menunjuk sebuah tempat yang terhalang kerimbunan pohon.
Di kegelapan malam, tampak tiga pasang mata merah menyala tengah menatap mereka tanpa berkedip. Sebagai orang-orang yang telah berpengalaman, tentu saja mereka tahu kalau tiga pasangi mata itu adalah mata serigala!
"Kekhawatiran Ki Samiang ternyata tidak meleset jauh. Meskipun baru tiga ekor yang terlihat, tapi binatang-binatang kelaparan itu benar-benar berkeliaran sampai ke desa ini. Padahal letak hutan yang dimaksud Ki Samiang cukup jauh dari sini," gumam Panji perlahan. Sedangkan matanya tidak beralih dari tiga pasang mata bulat merah menyala dalam kegelapan itu.
"Apa kita akan langsung mengusir binatang-binatang itu, Kakang...?" tanya Kenanga meminta pendapat Panji. Agaknya dara jelita ini tidak ingin bertindak ceroboh dalam menghadapi binatang-binatang buas itu.
"Sebaiknya kita lihat saja dulu, apa yang akan dikerjakan serigala-serigala itu di desa ini...," sahut Panji, yang mulai melangkah mundur untuk memancing binatang liar itu keluar dari kegelapan. Melihat kekasihnya telah bergerak mundur, Kenanga segera mengikuti tanpa banyak tanya. Dara jelita itu tahu apa yang diinginkan Panji.
"Keaaak.... Kik..., kik.., kik..!"
"Hei...?!"
Terkejut bukan kepalang sepasang pendekar muda itu saat melihat sesosok bayangan hitam yang menyerupai kekelawar raksasa, menyeberang dari satu pohon ke pohon lain dengan memperdengarkan tawa yang membuat bulu kuduk merinding.
"Apa itu, Kakang...?" desis Kenanga yang terjajar mundur karena suara dan sosok menyerupai kelelawar raksasa itu begitu tiba-tiba datangnya.
"Hm.... Binatang apa pula itu...?" gumam Panji yang seperti juga Kenanga, tidak melihat secara jelas sosok mirip kelelawar raksasa yag telah lenyap dibalik kerimbunan pohon.
"Tampaknya seperti kelelawar raksasa, Kakang. Tapi, mengapa suaranya demikian aneh dan menyeramkan?" gumam dara jelita itu sambil terap memandang pohon tempat sosok yang mirip kelelawar raksasa itu lenyap.
"Jangan-jangan makhluk itu sejenis binatang penghisap darah. Kita harus tetap siaga, Kenanga. Mungkin saja malam ini akan ada kejadian yang menggemparkan Desa Larang...," sahut Panji, mencoba menduga-duga maksud ke munculan sosok mirip kelelawar itu.
Makhluk itu tidak mungkin manusia, karena sosok bayangan hitam tadi dapat terbang di udara. Dan itu bukan lagi merupakan ilmu meringankan tubuh. Kenyataan itu membuat kepala Panji dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang tak terjawab.
"Apakah kita akan melaporkannya kepada Ki Samiang, Kakang?" tanya Kenanga merasa khawatir jika makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu akan melakukan kejahatan di Desa Larang.
"Sebaiknya jangan dulu. Aku ingin melihat dengan jelas, seperti apa sebenarnya makhluk bersuara mengerikan itu...," sahut Panji seraya mengambil sebuah kerikil dan melemparkannya ke pohon berdaun rimbun yang tingginya mencapai sepuluh tombak.
Krosakkk!
Kerikil yang dilemparkan Panji dengan mengerahkan tenaga dalam itu melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas dari busur. Dan terus menerobos timbunan dedaunan. Sehingga....
"Keaaak...! Kaaak..., kaaak!"
Makhluk yang membuat penasaran sepasang pendekar muda itu melesat keluar dari rimbunan dedaunan sambil memperdengarkan pekik kemarahan. Kemudian terbang mengepakkan sayapnya yang besar dan nampak kokoh. Rupanya makhluk itu hendak berpindah ke pohon lain.
"Hm... Hendak kulihat seperti apa rupamu sebenarnya...," desis Panji segera melayang ke udara untuk mencegah kepergian makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu.
"Haiiit..!"
Dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan, Panji melontarkan pukulan jarak jauh untuk menjatuhkan makhluk aneh dan mengerikan itu.
"Kaaakkk..!"
Makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu seperti tahu ada bahaya yang datang mengancam. Sayapnya yang besar dikepakkan, seolah hendak memapaki pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih.
Plarrr...!
Heran bukan main hati Panji ketika melihat makhluk itu mampu memapaki pukulan jarak jauhnya. Padahal pukulan itu sanggup memecahkan batu karang sebesar kerbau. Tapi, makhluk itu sanggup menahan pukulannya.
"Luar biasa! Hebat sekali kekuatan yang dimilikinya. Makhluk itu bukan saja tidak jatuh, bahkan sanggup menghadapi pukulan jarak jauh yang kulontarkan...," desis Panji heran menyaksikan kejadian itu. Bagaimana mungkin makhluk itu bisa memiliki kekuatan sedemikian hebat sampai mampu meredam kekuatan pukulannya?
"Keaaakhhh...!"
Rupanya makhluk raksasa itu marah terhadap Panji. Terbukti, setelah lenyap di balik pohon, makhluk itu kembali muncul. Malah kali ini menukik turun. Tujuannya adalah Panji yang barusan menyerang dengan pukulan jarak jauh.
"Kakang! Makhluk itu hendak membalas seranganmu!" seru Kenanga cemas ketika melihat makhluk itu mengincar kekasihnya dengan pekikan marah yang menggetarkan jantung.
"Tenanglah, Kenanga. Aku pun ingin tahu sampai di mana kekuatan makhluk aneh itu. Dan apa maksudnya berada di daerah ini,..!" seru Panji yang segera bersiap menyambut serangan makhluk mirip kelelawar raksasa itu.
Werrrr...!
Disertai suara menderu yang timbul dari kepakan sayapnya, makhluk itu meluncur datang menerjang Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Tepat pada saat kedua sayap binatang raksasa itu bergerak hendak menggeprak tubuhnya, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Akibatnya....
Bresssh!
"Keaaakhhh...!"
Makhluk itu memekik keras ketika sepasang telapak Pendekar Naga Putih berbenturan dengan sepasang sayapnya yang besar dan kuat. Akibatnya, tubuh makhluk itu terdorong sejauh satu setengah tombak lebih! Sedangkan Panji sempat terjajar empat langkah ke belakang.
"Hebat! Makhluk itu benar-benar luar biasa! Tenaganya tak ubahnya seperti tenaga dalam tokoh-tokoh persilatan!" ujar Panji setelah memperbaiki kuda-kudanya dan kembali bersiap menghadapi serangan berikutnya.
"Keaaakhhh...!"
Makhluk itu ke mbali muncul dan berputaran di udara setelah sebelumnya menghilang di kerimbunan pohon. Agaknya makhluk itu ragu untuk melanjutkan serangannya. Mungkin ia gentar setelah merasakan kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu. Karena beberapa saat kemudian, sosok makhluk raksasa itu melayang pergi. Caranya pun sangat aneh, yaitu dengan terbang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hi hi hi...! Rupanya kelelawar raksasa itu merasa gentar bertarung denganmu, Kakang. Buktinya ia melarikan diri sambil memekik marah" Kenanga tertawa lirih ketika menyaksikan kelelawar raksasa itu pergi meninggalkan tempat ini. Mungkin kembali ke sarangnya
"Hm... Meskipun begitu, aku tetap penasaran. Kelelawar raksasa itu pasti akan muncul lagi di desa ini. Yang membuat aku bertanya-tanya, dari mana makhluk itu datang? Dan apa yang dicarinya di desa ini?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya masih merasa penasaran, karena seumur hidupnya baru kali ini melihat kelelawar sebesar itu. Bahkan sangat terlatih, dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Buktinya, meskipun Panji telah mengerahkan tiga perempat tenaganya, makhluk itu tidak terluka sedikit pun, kecuali terdorong ke belakang. Ini suatu hal yang sangat luar biasa!
Baru saja Panji berhenti berbicara, terdengar gerengan lirih dari balik kegelapan pohon. Ketika sepasang pendekar muda itu menoleh, mereka tidak lagi melihat tiga pasang mata merah menyala, melainkan puluhan pasang mata yang tengah menatap keduanya dari kegelapan. Rupanya serigala-serigala kelaparan itu telah semakin banyak berkumpul di tempat itu.
"Hm.... Binatang-binatang licik itu rupanya menunggu kawan-kawannya untuk bersama-sama menyerang kita," gumam Kenanga yang diam-diam berdiri juga bulu kuduknya melihat puluhan pasang mata merah di kegelapan malam itu.
Apa yang diduga Kenanga ternyata tidak salah. Setelah berjumlah puluhan, serigala-serigala kelaparan dan buas itu mulai bergerak ke luar dari kegelapan. Terdengar gerengan-gerengan binatang itu sambil bergegas maju dengan langkah-langkah perlahan.
"Binatang-binatang ini jelas sangat berbahaya hingga berani memasuki desa untuk mencari makan. Sebaiknya kita beri pelajaran agar mereka jera datang kembali ke desa ini....." gumam Panji, sambil menunggu binatang-binatang itu tiba dekat
"Haaat..!"
Begitu sertgala-segiala terdepan menerjang Panji dengan lompatan panjang dan moncong terbuka, Pendekar Naga Putih langsung mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan kanan. Terdengar lenguh kesakitan binatang-binatang itu yang berpelantingan terkena tamparan dan tebasan sisi telapak tangannya.
Lain lagi dengan Kenanga. Melihat binatang-binatang itu berlomba menerjang tubuhnya, Pedang Sinar Rembulan-nya langsung diloloskan dari ikat pinggang. Kemudian, membabat serigala-serigala lapar itu dengan ganas.
Crattt! Crattt!
Tanpa ampun lagi, binatang-binatang jahat itu segera bertumbangan satu persatu. Darah segar mengalir membasahi permukaan bumi. Sebentar saja, dara jelita itu sudah merobohkan tiga belas serigala yang mengeroyoknya.
"Hm.... Hayo, majulah kalian...!" tantang Kenanga ketika melihat serigala-serigala itu berlompatan mundur dan berputaran mengelilinginya. Sepertinya binatang-binatang itu ingin mencari kelemahan korbannya.
Sedangkan Panji sendiri sudah merobohkan belasan serigala yang mengeroyoknya. Sehingga, binatang yang biasanya mencari mangsa secara berkelompok itu kelihatan gentar terhadap sepak terjangnya. Terbukti, satu dua ekor binatang itu mulai bergerak menyingkir dan hanya menyaksikan dari kejauhan. Di sinilah letak kelicikan serigala. Kadang tidak ingin bersusah-payah mengeluarkan tenaga, dan hanya menanti sisa dengan penuh kesabaran. Tapi, baik Panji maupun Kenanga bukanlah calon korban yang mudah untuk dimangsa. Sebaliknya, justru binatang- binatang itulah yang menjadi korban amukan sepasang pendekar muda itu.
Selagi Panji dan Kenanga bertempur dengan gerombolan serigala, tiba-tiba terlihat sinar obor bermunculan ditingkahi suara hiruk-pikuk. Tak berapa lama kemudian, muncullah para peronda desa yang berjumlah sekitar sepuluh orang. Kedatangan para peronda itu membuat gerombolan serigala melarikan diri meninggalkan calon mangsanya dalam keadaan utuh dan selamat
"Ah! Syukurlah kalian selamat Ketika mendengar suara serigala-serigala liar itu, langsung lari mencari asal suaranya yang terdengar ribut. Kiranya binatang-binatang kelaparan itu tengah mengeroyok kalian...," ujar pimpinan peronda desa yang berperawakan tegap dengan kumis tebal menghias wajahnya. Para peronda itu kelihatan kaget melihat banyak bangkai serigala di sekitar tempat itu.
"Wah! Kalian benar-benar hebat! Banyak sekali kawanan binatang itu yang tewas di tangan kalian...," puji seorang peronda yang merasa kagum melihat banyaknya bangkai serigala yang tewas oleh amukan kedua orang itu.
Panji hanya tersenyum tanpa merasa bangga akan perbuatannya. Pemuda itu terlihat mengerutkan kening. Pendekar Naga Putih tengah memikirkan, mengapa binatang- binatang itu lari berserabutan ketika para peronda datang? Panji menerka kalau ada yang ditakuti gerombolan serigala itu dari para peronda. Setelah berpikir beberapa saat, mencari jawaban apa yang membuat gerombolan serigala liar itu lari, Panji berhasil menemukan jawabannya. Menurutnya, serigala-serigala liar itu takut oleh sinar obor ditangan para peronda.
"Jika kalian berjumpa dan dikeroyok serigala, gunakanlah obor kalian untuk menyerang. Sebab, serigala-serigala liar itu takut melihat sinar obor...," ujar Panji memberi petunjuk pada para peronda.
"Gerombolan serigala buas itu takut pada sinar obor...?" tanya pimpinan peronda heran mendengar petunjuk yang sangat sederhana itu.
"Kurasa begitu. Sebab, setelah melihat kalian datang, gerombolan serigala liar itu lari berserabutan meninggalkan tempata ini," sahut Panji meyakinkan para peronda yang kemudian mengangguk-anggukkan kepala dengan perasaan lega. Karena merekapun khawatir jika serigala-serigala kelaparan itu akan datang lagi ke Desa Larang. Setelah memberikan petunjuk, Panji berpamitan dan mengajak Kenanga kembali ke rumah Ki Samiang.
"Seekor kelelawar raksasa...? Apa kalian tidak salah lihat?" tanya Ki Samiang setengah tak percaya ketika Panji mengatakan mereka bertemu seekor kelelawar besar sewaktu meronda semalam.
"Benar, Ki. Bahkan aku sempat beradu tenaga dengan makhluk itu, meski tidak terlalu lama. Aku yakin sekali kalau makhluk itu seekor kelelawar raksasa. Hanya yang kurasakan aneh adalah suara teriakannya, yang menurutku lebih mendekati ringkikan kuda...," jelas Panji lagi berusaha meyakinkan Ki Samiang.
"Selain itu, gerombolan serigala kelaparan yang membuat Ki Samiang khawatir, ternyata benar-benar muncul dan menyerang kami. Untunglah para peronda keburu datang. Sehingga kami tidak terluka. Karena serigala-serigala liar itu segera melarikan diri," timpal Kenanga melengkapi cerita Panji.
Dara jelita itu sengaja tidak menceritakan, betapa mereka telah merobohkan puluhan serigala liar. Karena khawatir Ki Samiang semakin tidak percaya dan menganggap mereka telah membual. Selain itu, bangkai-bangkai serigala yang mereka, bunuh telah ditanam oleh para peronda dalam sebuah lubang besar. Dan mereka berdua berpesan agar tidak menyebarluaskan kejadian semalam, agar penduduk tidak merasa was-was.
"Tentang hal itu aku sudah mendapat laporan dari kepala ronda semalam. Untunglah kalian tidak menderita luka-luka. Kalau sampai terjadi, aku akan merasa menyesal sekali...," ujar Ki Samiang setelah menghela napas berulang-ulang.
Agaknya apa yang dipesankan Panji kepada kepala ronda semalam benar-benar dipatuhi. Buktinya, Ki Samiang tidak menyebut-nyebut mengenai serigala yang terbunuh di tangan sepasang pendekar muda itu. Karena dalam pandangan Ki Samiang, kedua orang muda itu hanya orang-orang perantau yang memiliki bekal ilmu silat untuk menjaga diri dari gangguan orang jahat
"Tentang kelelawar besar yang kami ceritakan tadi, menurut ku pasti mempunyai tempat persembunyian. Dan, satu-satunya tempat yang paling aman bagi makhluk raksasa itu adalah Hutan Larangan yang lebat dan hampir tidak pernah dijamah manusia. Untuk itu, kalau Ki Samiangm engizinkan, kami berdua berniat hendak mencari sarang binatang itu dalam Hutan Larangan," ujar Panji mengingatkan Kepala Desa Larangan tentang makhluk raksasa yang dijumpainya semalam.
"Panji, kalau benar makhluk itu ada dan mempunyai sarang di dalam Hutan Larangan. Hanya ada satu tempat yang pantas untuk menjadi tempat persembunyiannya," ujar Ki Samiang seraya menatap wajah pemuda tampan itu dengan sorot mata tajam.
"Maksudmu, Ki...?" tanya Panji menegasi
"Di dalam Hutan Larangan ada sebuah goa yang kami namakan Goa Larangan. Tempat itu cukup luas dan dalam, meskipun gelap karena sinar matahari tidak masuk ke dalamnya. Yang menjadi persoalan, baik hutan maupun goa itu tidak boleh didatangi siapa pun! Kecuali bila kami hendak melakukan penyembahan pada roh leluhur kami. Dan itu biasa dilakukan setelah selesai panen." Ki Samiang kembali menerangkan pada Panji dan Kenanga bahwa kedua tempat itu tidak boleh didatangi.
"Baiklah, Ki. Kami memaklumi dan menghormati kepercayaan yang dianut penduduk desa ini. Tapi, kalau kami boleh tahu, apa kira-kira bentuk sembahan yang diberikan penduduk desa terhadap roh leluhur itu?" tanya Panji menyembunyikan kecurigaannya.
Bagi kaum rimba persilatan seperti Pendekar Naga Putih, tidak ada tempat yang angker atau keramat. Baik itu berupa hutan, bukit atau pegunungan. Karena justru di tempat-tempat sepi dan dianggap seram itulah, tokoh-tokoh tua rimba persilatan pergi mengasingkan diri menunggu ajal datang menjemput. Demikian juga yang dilakukan guru Panji yang berjuluk Malaikat Petir. Panji menduga kalau di dalam Hutan Larangan atau Goa Larangai ada suatu misteri yang membuatnya penasaran dai ingin mengungkapkannya.
"Sebaiknya, lupakan saja soal kelelawar raksasa itu. Bukankah makhluk itu tidak melakukan apa-apa? Siapa tahu binatang itu merupakan jelmaan dari roh leluhur kami yang hendak melindungi keturunannya dari segala bahaya yang datang mengancam. Buktinya, kelelawar besar itu baru muncul di saat serigala-serigala kelaparan itu mengganas dan berkeliaran sampai ke desa ini," ujar Ki Samiang tidak menjawab pertanyaan Panji. Menurutnya suatu hal yang tabu jika harus menjawabnya, karena ini menyangkut upacara suci.
Kenanga hampir tertawa mendengar perkataan kepala desa itu, Untung saja, dara jelita itu bisa menahannya. Panji sendiri menyembunyikan senyumnya ketika mendengar ucapan Ki Samiang. Karena biar bagaimanapun, dia tidak bisa percaya ada orang mati dapat berubah wujud menjadi binatang untuk melindungi keturunannya. Kalaupun ada, itu hanyalah dalam dongeng anak-anak Kendati demikian, Panji tidak membantah. Pemuda itu menganggukkan kepala untuk membuat hati Ki Samiang menjadi tenteram, dan tidak merasa ditertawakan.
"Jika demikian, kami mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah diberikan selama kami berada di desa ini. Harap Ki Samiang sudi memaafkan tindakan kami ini. Bukannya kami berdua tidak kerasan. Tapi sebagai pengelana, rasanya akan lebih bebas jika tinggal di alam terbuka. Selain itu, kami ingin menambah pengalaman dengan melihat bagian lain belahan bumi ini," ujar Panji membuat Ki Samiang terperanjat
"Ah! Mengapa kalian begitu terburu-buru? Tinggallah beberapa hari lagi. Selain itu, masih banyak waktu untuk melanjutkan perjalanan. Karena kalian berdua tidak mempunyai tujuan yang pasti dan harus tiba tepat pada waktunya." Ki Samiang berusaha mencegah kepergian sepasang pendekar muda itu. Tapi, Panji telah membulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan.
"Apa boleh buat. Kami hanya bisa berharap agar lain waktu kalian dapat singgah lagi di desa ini. Pintu rumahku selalu terbuka menyambut kedatangan kalian berdua...," ujar Ki Samiang akhirnya mengalah. Sebab kedua pendekar muda itu sudah tidak bisa ditunda lagi kepergiannya.
"Terima kasih, Ki. Akan kami ingat kata-katamu," ucap Panji yang diam-diam merasa terharu melihat kebaikan Ki Sa miang yang sangat tulus itu.
Kepala Desa Larang itu berdiri di beranda rumahnya mengiringi kepergian sepasang orang muda yang menimbulkan rasa suka di hatinya. Baru setelah bayangan Panji dan Kenanga lenyap dari pandangan, Ki Samiang melangkah masuk kedalam rumahnya.
"Keparat! Kau benar-benar keras kepala! Apa yang membuatmu lebih suka mati daripada menunjukkan di mana letak Goa Larangan?!" bentak lelaki tinggi kurus bermata cekung seraya mengayunkan kakinya menendang tubuh di bawahnya yang meringkuk lemah.
"Aaakh...!" Lelaki gagah itu terguling-guling terkena tendangan keras yang dilancarkan lelaki tinggi kurus bermata cekung yang tidak lain Ki Gontang. Darah segar tampak mengalir dari mulut lelaki gagah yang bernama Ki Kaliga.
"Cepat katakan, dimana letak Goa Larangan itu...?!" Kembali Ki Gontang membentak sambil menarik bangkit tubuh gagah yang wajahnya telah dipenuhi darah.
"Sampai mati pun aku tidak sudi menunjukkannya...," rintih Ki Kaliga dengan suara serak. Lelaki gagah itu ternyata tidak takut menghadapi kematian atau siksaan. Karena berada di dalam Hutan Larangan itu saja sudah merupakan pantangan baginya. Apalagi harus menunjukkan Goa Larangan. Tentu saja Ki Kaliga tidak mau melanggar pantangan itu untuk kedua kalinya.
"Hm.... Baik kalau begitu! Aku ingin lihat sampai di mana kau sanggup menahan siksaan yang akan kuberikan padamu nanti!" geram Ki Gontang hampir kehabisan akal menghadapi kebandelan tawanannya itu.
Sudah beberapa hari ini, sejak dirinya menculik Ki Kaliga dan Desa Larang, Ki Gontang terus memaksanya agar menunjukkan letak Goa Larangan. Tapi, lelaki tua itu tetap tidak mau menunjukkan meskipun harus menerima siksaan yang menyakitkan. Pada hari keempat sejak Ki Kaliga diculik, kesabaran Ki Gontang sudah habis. Maka, siksaan yang akan diberikan pada Ki Kaliga pun jauh lebih hebat dari siksaan sebelumnya.
"Buka semua pakaian yang melekat di tubuhnya...," perintah Ki Gontang pada Kambala yani bertubuh kekar.
Tanpa membantah lagi, Kambala langsung saja melucuti semua pakaian yang menempel ditubuh Ki Kaliga. Tentu saja lelaki gagah itu jadi terkejut bercampur heran.
"Hei, apa yang hendak kalian lakukan?" teriak Ki Kaliga yang hanya dapat berteriak-teriak tanpa mampu melakukan perlawanan. Karena seluruh tenaganya telah terkuras habis akibat siksaan demi siksaan yang dialaminya dalam beberapa hari itu.
"Hm.. Kau rasakan akibat kekerasan sikapmu, Kaliga!" ujar Ki Gontang dengan sorot mata bengis. Tidak sedikit pun terlihat gambaran rasa kasihan pada wajah lelaki itu. Malah dia tampak semakin gembira saat melakukan penyiksaan.
"Bawa dia ke dekat pohon itu..." Kembali Ki Gontang memberi perintah kepada Kambala, yang mematuhinya tanpa membantah sepatah kata pun. Bahkan lelaki kekar itu seperti ikut menikmati pertunjukan yang akan segera disaksikan.
"Nah! Kau lihat, Kaliga. Di pohon ini banyak terdapat semut merah yang gigitannya terasa panas di kulit Kurasa kau pasti akan suka jika tubuhmu kugantung di batang pohon ini agar semut-semut merah menggigiti tubuhmu...," ujar Ki Gontang membuat wajah Ki Kaliga makin bertambah pucat Ngeri hatinya membayangkan siksaan yang akan dijalaninya
"Keparat! Kalian semua memang bukan manusia! Orang seperti kalian pantasnya menjadi penghuni neraka!" teriak Ki Kaliga geram.
"Hm.... Kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Kalau masih membandel, silakan bersenang-senang dengan semut-semut yang manis dan lucu itu...," ujar Ki Gontang sambil memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan.
"Setan! Apa sebenarnya yang kalian cari di dalam Goa Larangan? Jika berharap akan dapat menemukan harta, kalian telah salah tempat. Di gua itu tidak ada sesuatu yang berharga untuk kalian ambil!" teriak Ki Kaliga yang tidak mengerti apa tujuan lima lelaki kasar itu mencari Goa Larangan. Padahal, sepanjang pengetahuan Ki Kaliga, di dalam goa itu tidak ada benda-benda berharga atau benda pusaka. Aneh jika kelima tokoh sesat itu bersikeras hendak mencari Goa Larangan.
"Aku tidak perlu khotbahmu! Katakan, dimana letak Goa Larangan atau kau kugantung di atas pohon itu...!" bentak Ki Gontang jengkel mendengari Ki Kaliga mengulangi kata-kata yang entah sudah berapa kali diucapkan.
Kali ini Ki Kaliga malah membisu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Sikap itu menunjukkan kalau Ki Kaliga masih tetapi mempertahankan kepercayaan yang dianutnya secara turun-temurun. Lelaki gagah itu lebih suka disiksa daripada harus menunjukkan Goa Larangan kepada Ki Gontang dan kawan-kawannya.
"Bedebah! Gantung dia...!" perintah Ki Gontang setelah menunggu beberapa saat lamanya namun bibir Ki Kaliga tetap terkatup rapat
Kambala yang bertindak sebagai algojo, segera mengikat tangan lelaki gagah itu ke belakang. Kemudian, tubuh Ki Kaliga dililit dengan tambang. Dan sekali sentak saja, tubuh lelaki gagah itu terangkat naik, tergantung di pohon. Kemudian Kambala mengikatkan tambang di tangannya ke pohon lain.
Sehingga, tubuh orang kepercayaan Kepala Desa Larang itu terayun-ayun dengan tambang yang mengikat tubuhnya tergantung di dahan pohon. Tak lama kemudian, tampak semut-semut merah bergerak beriringan menyusuri tambang, menuju tubuh Ki Kaliga yang tidak berpakaian. Dan....
"Aaakh.... Aaa!"
Ki Kaliga menjerit-jerit kesakitan ketika semut-semut merah itu menancapkan giginya ke tubuhnya. Rasa panas dan gatal membuat lelaki gagah itu meronta-ronta. Sehingga, tubuhnya terayun-ayun. Tapi, gerakan itu justru membuat semut-semut merah itu semakin tertarik. Maka, semakin banyaklah binatang-binatang kecil itu mengerubuti tubuh Ki Kaliga. Sudah pasti lama-kelamaan kulit dan daging lelaki gagah itu akan terkikis habis.
Melihat betapa Ki Kaliga tetap tidak mau berbicara, Ki Gontang segera mengajak keempat kawannya meninggalkan Ki Kaliga yang tergantung di atas pohon dan dikerubuti semut-semut merah. Agaknya, Ki Gontang mengambil keputusan untuk mencari Goa Larangan tanpa petunjuk
"Kakang. Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui sampai di mana keangkeran Hutan Larangan. Apa kau tidak ingin melihatnya...?" tanya dara berpakaian serba hijau yang wajahnya tampak demikian jelita.
"Hm.... Kau pikir apa yang membuatku ingin cepat-cepat pergi dari rumah Ki Samiang? Bagaimanapun angkernya sebuah hutan, paling hanya karena banyak dihuni binatang buas. Contohnya! Hutan Randu Apus, tempat Eyang Tirtayasa tinggal Keangkeran hutan itu ternyata hanya karena banyak binatang buas yang bertubuh lebih besar dari biasanya. Itu sebabnya, aku ingin melihat apa sebenarnya yang membuat Hutan Larangan tidak ada yang berani memasukinya," jawab Panji, membuat dara jelita itu membelalakkan matanya yang indah.
"Jadi kita hendak pergi ke sana...?" seru Kenanga hampir berteriak kegirangan.
Semula dara jelita itu menduga kalau kekasihnya benar-benar akan melanjutkan perjalanan. Ternyata pemuda itu hanya ingin mengelabui Ki Samiang. Karena orang tua itu tidak mengizinkan mereka memasuki Hutan Larangan.
"Aku tidak bisa melupakan kelelawar raksasa yang kita jumpai semalam. Menurut dugaanku, satu-satunya yang pantas menjadi tempat tinggal makhluk itu adalah Hutan Larangan. Aku harus bertemu dengannya untuk mengetahui secara pasti, apakah binatang itu peliharaan seorang tokoh sakti yang bertapa dan mengasingkan diri di dalam Hutan Larangan? Itu masih harus dibuktikan," ujar Panji menjelaskan tujuannya memasuki Hutan Larangan yang dianggap tempat suci oleh Ki Samiang serta penduduk desanya.
Tapi tidak bagi Panji dan Kenanga, dan tokoh-tokoh persilatan lainnya. Panji sengaja mengambil jalan memutar untuk menghilangkan kecurigaan Ki Samiang, yang mungkin mengirimkan orang untuk mengikuti perjalanannya. Dengan mengambil jalan sebelah barat Desa Larang, itu sudah cukup untuk mengelabui Ki Samiang dan warga desanya.
Pasangan pendekar muda itu mengerahkan ilmu lari cepatnya, setelah cukup jauh meninggalkan Desa Larang. Kemudian kembali berputar menuju Hutan Larangan. Bagi tokoh berkepandaian tinggi seperti Panji dan Kenanga, perjalanan jauh dapat ditempuh dalam waktu singkat. Maka, dengan menggunakan Ilmu lari cepatnya, dalam waktu singkat saja keduanya telah tiba di tepi Hutan Larangan.
"Hm.... Tempat ini memang tampak angker dan menyeramkan. Sepantasnya memang hanya binatang-binatang buas langka saja yang menghuni hutan ini..." gumam Kenanga ketika mereka berdiri beberapa saat sebelum memasuki belantara yang cukup lebat itu.
Tanpa khawatir terhadap binatang buas dan ular berbisa, kedua orang muda itu bergerak merambah Hutan Larangan. Sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk melakukan perjalanan ini. Dan racun binatang berbisa pun tidak membuat mereka gentar. Sebab Panji mempunyai obat pemunah racun yang paling ganas sekalipun. Sehingga perjalanan dapat mereka lakukan dengan cepat
"Hhh.... Kiranya hanya begini saja hutan yang dianggap suci dan keramat oleh Ki Samiang dai warga desanya. Rasanya tidak ada yang perlu ditakuti kecuali jalan yang sangat sulit bagi orang-orang biasa," guma m Kenanga setelah merambah semakin jauh tidak lagi merasakan keangkeran Hutan Larangan. Karena menurutnya memang tidak ada yang harus ditakuti.
"Sebentar, Kenanga..." Tiba-tiba Panji menahan gerak langkahnya sambil menyentuh bahu kekasihnya. Pendekar Naga Putih mendengar suara jeritan yang samar-samar ditangkap indera pendengarannya.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga seraya menoleh ke kiri dan kanan.
"Kita ambil jalan menuju arah barat..." ujar Panji segera mengajak kekasihnya menuju ke barat.
Meski dengan wajah dipenuhi tanda-tanya, Kenanga tidak membantah. Gadis itu tahu kalau kekasihnya mungkin menangkap suara yang belum dapat didengarnya, karena masih terlalu jauh dara jangkauan indera pendengarannya. Setelah cukup lama mereka berlari menerobos se mak belukar, baru dara jelita itu bisa menangkap suara jerit kesakitan, maski masih agak samar.
Sedang bagi Panji sudah semakin jelas terdengar. Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di tempat Ki Kaliga menjalani siksaan. Pemandangan itu membuat Kenanga mengalihkan pandangannya. Sebab di sebuah dahan pohon tampak sesosok lelaki tengah tergantung dengan tubuh polos, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.
"Ihhh...!" Kenanga bergerak menjauhi tubuh Ki Kaliga yang tergantung di atas cabang pohon besar itu.
Sedangkan Panji bertindak cepat dilepaskannya lilitan tambang pada sebatang pohon yang berhubungan langsung dengan tambang yang melilit tubuh Ki Kaliga. Kemudian diturunkannya lelaki yang malang itu dengan perlahan-lahan.
"Terima kasih, Kisanak...," desis Ki Kaliga sambil menggaruk sekujur tubuhnya.
"Jangan lakukan itu, Ki. Aku mempunyai minyak gosok yang dapat mengurangi penderitaanmu...," ujar Panji mencegah perbuatan lelaki tua bertubuh gagah itu.
Lalu Panji mengeluarkan minyak dalam sebuah botol kecil. Kemudian dioleskannya ke sekujur tubuh Ki Kaliga yang berbintil-bintil karena gigitan semut merah. Bukan main gembiranya hari lelaki gagah itu ketika merasakan minyak yang dioleskan pemuda itu sanggup menghilangkan rasa panas dan gatal hanya dalam beberapa saat saja. Tanpa malu-malu lagi, diterimanya sepasang pakaian yang diulurkan Panji. Meskipun agak kekecilan, namun ternyata cukup pantas untuk dikenakan Ki Kaliga.
"Kau pasti Ki Kaliga, orang kepercayaan Ki Samiang yang menjadi Kepala Keamanan Desa Larang, bukan?" terka Panji tanpa ragu. Sebelumnya, pemuda itu memang telah mendapat penjelasan dari Ki Samiang tentang ciri-ciri Ki Kaliga, pada waktu Panji menginap di tempat' kediaman kepala desa itu.
"Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat, Anak Muda. Siapa kau sebenarnya, dan mengapa berani memasuki Hutan Larangan ini?" tanya Ki Kaliga heran. Karena dirinya merasa belum pernah berjumpa dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Namaku Panji, Ki. Dan kedatanganku ke hutan ini untuk melakukan penyelidikan tentang sesuatu yang ingin kuketahui secara pasti. Aku mendapat keterangan dari Ki Samiang tentang ciri-ciri orang kepercayaannya yang diculik lima orang asing. Sekarang kemana perginya kelima orang itu? Apa sebenarnya yang mereka kehendaki...?" ucap Panji menanyakan perihal lima orang asing yang menculik lelaki itu.
"Mereka terus masuk ke dalam hutan untuk mencari Goa Larangan. Aku berkeras tidak mau menunjukkan di mana letak Goa Larangan. Sehingga mereka menyiksaku sedemikian rupa. Lalu meninggalkanku tergantung di cabang pohon yang banyak dihuni semut-semut merah. Hm.... Biar sampai mati pun mereka tidak akan menemukan tempat itu. Karena yang dinamakan Goa Larangan adalah sebuah sumur tua yang lebar dan dalam. Kalau mereka mencari goa di dalam hutan ini, jelas tidak ada...," jawab Ki Kaliga yang tanpa sadar menceritakan semua itu pada Panji yang belum begitu dikenalnya. Entah karena rasa gembira atau pemuda itu mengenal baik Ki Samiang, sehingga Ki Kaliga langsung saja menerangkan tentang Goa Larangan secara jelas pada pemuda itu.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Apakah hendak menyusul kelima orang itu atau kembali ke desa?" tanya Panji mengalihkan perhatian Ki Kaliga agar lupa dengan apa yang baru saja diceritakannya.
"Hm.... Untuk kembali seorang diri rasanya sama dengan bunuh diri. Jika tidak dimangsa harimau atau binatang buas lainnya, mungkin terkena patukan ular berbisa. Hhh Kalian sendiri hendak berbuat apa di hutan ini? Biarlah aku ikut dengan kalian saja," jawab Ki Kaliga yang merasa serba salah.
Lelaki itu tidak mungkin dapat keluar dengan selamat dari hutan itu. Karena banyak binatang binatang berbisa dan binatang buas yang mungkin akan dijumpainya ditengah jalan. Maka dengan sangat terpaksa lelaki itu mengambil keputusan untuk ikut dengan dua orang muda itu.
"Kami hendak mencari Goa Larangan. Apakah Ki Kaliga tidak takut?" pancing Panji ingin mengetahui tanggapan orang tua itu tentang tujuannya. Padahal Pendekar Naga Putih sendiri sebenarnya tidak tahu harus pergi ke mana. Karena niatnya datang ke tempat itu hanya untuk mencari sarang kelelawar raksasa yang membuatnya penasaran.
"Hhh.... Ada apa sebenarnya di dalam Goa Larangan itu? Padahal sepanjang pengetahuanku tidak ada sesuatu yang berharga di dalam sumur tua itu," gumam Ki Kaliga heran.
"Hm... Bagaimana kau tahu kalau di dalam Goa Larangan tidak terdapat apa-apa? Bukankah belum pernah ada seorang pun yang berani memasuki goa itu?" kembali Panji memancing. Pendekar Naga Putih tentu hanya sekadar menduga-duga, mengingat Hutan Larangan dianggap sebagai tempat suci dan keramat. Selain itu, ia pun merasa heran mendengar Ki Kaliga lebih suka disiksa daripada harus memberitahukan letak Goa Larangan pada kelima orang penculiknya.
Mendengar perkataan Panji, Ki Kaliga tampak berpikir keras. Memang, selama ini belum pernah ada orang yang berani masuk ke dalam Goa Larangan. Sehingga, lelaki tua itu tidak menjawab pertanyaan Panji.
"Apa sebenarnya yang kau cari di tempat terlarang itu, Anak Muda?"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Ki Kaliga melontarkan pertanyaan itu pada Panji. Sepasang mata lelaki tua itu meneliti wajah pemuda tampan yang telah menyelamatkannya. Rupanya Ki Kaliga hendak menilai sifat Panji melalui mata pemuda tampan itu.
"Yang jelas aku tidak memerlukan harta atau benda-benda pusaka, kalau itu yang kau maksud," jawab Panji, membuat Ki Kaliga mengerutkan keningnya tak mengerti. Sebab hanya kedua hal itulah yang kebanyakan diincar orang. Bahkan diperebutkan sampai dengan taruhan nyawa.
"Lalu...?" desak Ki Kaliga ingin tahu.
"Sudah kubilang sejak tadi. Kami berdua hanya ingin membuktikan sesuatu. Kalau kukatakan, kau pasti tidak akan percaya. Sebaiknya kita segera berangkat menuju Hutan Larangan," ujar Panji membuat Ki Kaliga menjadi serba salah.
Namun, karena melihat wajah pemuda itu yang jelas tidak menampilkan watak jahat atau licik. Akhirnya Ki Kaliga memberanikan diri melanggar larangan itu. Bahkan ia bertindak sebagai penunjuk jalan bagi Panji dan Kenanga. Setelah melewati tempat-tempat yang sukar karena banyak ditumbuhi semak belukar, akhirnya mereka pun tiba di sebuah tanah lapang yang agak luas. Hamparan rumput hijau membentang di hadapan mereka. Tapi langkah Ki Kaliga tertunda ketika di depannya terlihat lima sosok tubuh berdiri tegak seolah sengaja menunggu kedatangan ketiga orang itu.
"He hehe....! Ternyata nasibmu masih baik, Ki Kaliga. Rupanya ada orang yang berbaik hati menemukandan membebaskanmu," ujar lelaki bertubuh kurus dengan sepasang mata cekung ke dalam. Sehingga kedua tulang pipinya tampak menonjol. Siapa lagi orang itu kalau bukan Ki Gontang.
Panji yang melihat kelima orang bertampang kasar itu berdiri menghadang jalan, terus saja melangkah maju, dan baru menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak. Terlihat sepasang mata pemuda tampan itu meneliti sebuah lambang yang tertera di bagian dari pakaian mereka.
"Hm.... Rupanya kalian orang-orang Partai Tapak Darah...," ujar Panji yang langsung mengenali asal kelima lelaki kasar itu. Tidak sulit untuk mengetahuinya. Lambang itu memang merupakan tanda pengenal bagi orang-orang Partai Tapak Darah yang namanya cukup disegani kawan maupun lawan. Partai itu memiliki banyak tokoh-tokoh ternama.
"Bagus kalau kau sudah mengenal kami, Anak Muda. Sekarang kau boleh pergi dari sini. Tinggalkan lelaki keras kepala dan dara jelita itu untuk kami...," ujar Gumantara yang separo kepalanya botak dengan wajah bopeng seperti bekas cacar.
Panji yang telah banyak mendengar Partai Tapak Darah bukan termasuk golongan baik-baik, tentu saja tidak ingin mengalah. Dipandanginya kelima sosok bertampang kasar itu satu persatu. Kemudian terdengar suaranya yang lantang dan jelas.
"Aku tidak peduli siapa kalian. Ada baiknya jika kalian segera angkat kaki dari tempat ini. Hutan suci ini tidak pantas diinjak-injak oleh orang-orang kotor seperti kalian. Nah! Apa lagi yang kalian tunggu...?" ujar Panji dengan sikap tenang membuat kelima orang lelaki kasar itu seperti tak percaya mendengarnya. Bahkan Ki Kaliga sendiri pucat wajahnya. Tidak pernah disangkanya kalau pemuda tampan bertubuh sedang itu tidak merasa gentar. Padahal, Ki Kaliga bukan tandingan salah seorang dari kelima tokoh Partai Tapak Darah itu.
"Hm..." Kambala yang bertubuh sekokoh batu karang, bertindak maju menghampiri Panji. Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak setengah tombak. Tubuh Pendekar Naga Putih hanya setinggi telinga Kambala, karena tubuh lelaki itu memang tergolong tinggi besar, bahkan paling tinggi di antara saudara-saudara seperguruannya.
Panji tidak menampakkan perasaan apa pun Ketenangan sikap pemuda tampan berjubah putih itu membuat Kambala merasa tidak sabar ingin segera meremas tubuh pemuda di hadapannya itu. Tapi, sampai beberapa saat lamanya, kedua orang itu masih tetap saling berhadapan dengan sorot mata tajam. Tak satu pun dari keduanya tampak memulai gerakan. Mereka sama-sama bisu seperti patung batu.
"Heaaah...!"
Tiba-tiba Kambala membentak keras! Sepasang lengannya yang besar terulur hendak mencekal kedua bahu Pendekar Naga Putih. Tapi, pemuda itu tampak tidak berusaha mengelak, sehingga Kambala menyunggingkan senyum mengejek dibibirnya. Tapi...
Kreppp!
"Aaah...?!" Kambala yang mengerahkan tenaganya hendak mengangkat dan membanting tubuh Pendekar Naga Putih, terkejut bukan main! Meskipun seluruh kekuatannya telah dikerahkan, tetap saja tubuh Panji tidak mampu diangkatnya.
"Apa yang kau lakukan, Orang Kuat? Jika hendak memijati tubuhku, jangan begini caranya. Kau harus tahu bagaimana cara memijat yang baik...," ujar Panji yang telah mengerahkan tenaga simpanannya untuk memberatkan tubuhnya menjadi berlipat-lipat
"Setan...!" Sadar kalau dirinya telah dipermainkan, Kambala menjadi murka. Ditariknya kedua tangan yang semula mencengkeram bahu Panji. Kemudian dia melakukan serangan menjepit kepala pemuda itu dengan tepukan telapak tangan yang dibenturkan ke kedua sisi kepala Pendekar Naga Putih.
"Yeaaa!"
Plakkk!
Begitu sepasang telapak tangan Kambala meluncur datang, Panji merendahkan tubuhnya. Sehingga, lelaki kekar itu seperti orang yang bertepuk tangan seorang diri. Tentu saja gerakan itu membuat telapak tangannya terasa pedas bukan main.
"Keparat! Kuremukkan kepalamu...!" Kemurkaan Kambala rupanya sudah naik ke ubun-ubun. Ia menerjang kalang- kabut tanpa peduli lagi dengan keselamatan dirinya. Sehingga....
Desss!
"Aughhh!" Sebuah tendangan keras, telak menghajar dada Kambala yang terlalu bernafsu dalam melancarkan serangan. Sehingga, lelaki kekar itu kecolongan! Tubuhnya terhuyung mundur, dan pada sudut bibirnya terlihat cairan berwarna merah.
Melihat kenyataan itu, Ki Gontang dan yang lain-lainnya sadar kalau pemuda itu tidak bisa dipandang ringan. Bahkan jelas merupakan lawan yang cukup berat. Terbukti dapat mempermainkan Kambala yang kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan yang lainnya. Maka, mereka langsung maju bersama-sama menghadapi pemuda itu. Bahkan masing-masing telah menggenggam sebatang pedang.
"Biar aku bermain-main dengan mereka sebentar, Kenanga...," ujar Panji ketika melihat kekasihnya bersiap hendak masuk ke dalam arena pertarungan. Sehingga, dara jelita itu menahan geraknya dan berdiri di tempat semula.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih telah dikelilingi lima orang lawannya. Meskipun demikian, pemuda itu kelihatan tetap tenang. Sehingga membuat Ki Kaliga bertanya-tanya siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih itu? Mengapa dia kelihatan demikian tenang menghadapi keroyokan lima tokoh sakti? Jawabannya pun segera muncul ketika Panji mengerahkan Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Lapisan kabut bersinar putih, keperakan yang menyelimuti tubuh Panji membuat dirinya dikenali.
"Pendekar Naga Putih...?!" Seruan ribut itu berasal dari lima tokoh Partai Tapak Darah. Tampak mereka sangat terkejut setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menjadi lawan mereka. Ada bayang kegentaran di wajah mereka masing-masing. Namun, mencoba untuk ditutupi dengan sikap angkuh.
Ki Kaliga pun tidak kalah terkejutnya ketika mendengar julukan Pendekar Naga Pulih disebut. Sebuah julukan yang tidak asing di telinganya. Karena lelaki gagah itu salah seorang pengagum pendekar muda itu. Sukar dibayangkan, betapa gembiranya hati Ki Kaliga saat itu. Selain dirinya telah diselamatkan oleh pendekar yang selama ini dikaguminya, dia juga telah mengantarkan Pendekar Naga Putih yang hendak mencari Goa Larangan. Tentu saja setelah mengetahui siapa pemuda itu, Ki Kaliga akan mengantarkannya dengan senang hati.
Jika tadi Ki Kaliga memandang keheranan saat Panji mempermainkan Kambala, kini sinar mata lelaki tua itu bersinar-sinar penuh kegembiraan, karena bisa menyaksikan ilmu andalan yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Bukan main senangnya hati Ki Kaliga membayangkan betapa sebentar lagi dia akan menyaksikan ilmu andalan pendekar muda yang selama ini hanya didengarnya melalui mulut orang lain.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sudah membentuk kuda-kuda ketika lima tokoh Partai. Tapak Darah mulai bergerak berganti-ganti kedudukan. Agaknya setelah mengetahui siapa lawannya, kelima tokoh sesat itu mengandalkan ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh empat orang atau lebih.
"Haaat..!" Gontang yang menjadi pimpinan keempat kawannya berteriak nyaring. Tubuhnya meluncur cepat dengan sabetan yang berdesing tajam.
Bettt..!
Panji menggeser tubuhnya dengan kedudukan miring. Sehingga sabetan pedang lawan lewat di samping tubuhnya. Tapi, sebelum pemuda itu melontarkan serangan balasan, pedang di tangan lawannya sudah berputar balik dengan gerakan menusuk. Bahkan seorang lawannya yang lain ikut membarengi dengan sambaran pedang yang mengancam lambung pemuda itu.
"Haiiit..!"
Panji yang menyadari dirinya akan terjepit jika tetap di tempat semula, segera berseru keras sambil melesat ke udara. Dari atas, tangannya bergerak menampar batok kepala Ki Gontang yang berada di bawahnya.
Lelaki bertubuh kurus dengan sepasang mata cekung itu ternyata mampu bertindak cepat. Tamparan telapak tangan Panji luput karena kuda-kudanya telah direndahkan seraya membuang kepalanya ke belakang. Pada saat itu juga, dua buah sinar pedang meluncur datang mengancam tubuh Pendekar Naga Putih! Padahal saat itu Panji masih berada di udara.
Tapi Panji adalah pemuda gemblengan yang telah terlatih baik. Keadaan sulit itu dapat diatasinya dengan tenang. Meskipun masih berada di udara, sepasang tangannya bergerak terkembang memapaki serangan kedua pedang lawan.
Plak! Plak!
"Ahhh...?!"
Kedua lawannya memekik kaget ketika pedang mereka melenceng, sedangkan tangan mereka terasa dingin hampir membeku. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tangan itu belum dapat digunakan untuk menyerang.
Panji bukan tidak mengetahuinya, tapi pemuda itu lebih memperhatikan lawan yang berada di belakangnya. Sebab, pada saat tubuhnya meluncur turun, pedang lawan sudah siap menyambut luncuran tubuhnya. Tentu saja Pendekar Naga Putih telah mempersiapkan dengan baik cara mengatasi bahaya itu. Cepat kedua kakinya berputar sebelum menyentuh tanah. Satu menendang pergelangan tangan lawan yang memegang pedang, sedang yang lain meluncur ke dada lawan dengan mempergunakan tumit.
Plakkk! Buggg!
"Hukkkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung terlempar ke belakang terkena tendangan keras yang telak menghantam dadanya. Darah segar menetes dari sudut bibirnya, pertanda tendangan Panji telah membuat lawannya terluka dalam.
"Haiiit..!"
"Aaat..!"
Kembali kedua lawannya menerjang maju begitu Panji menjejakkan kakinya ke tanah. Diam-diam Pendekar Naga Putih kagum melihat kehebatan ilmu gabungan lawan. Tapi bukan berarti kalau Panji kewalahan. Sama sekali tidak. Bahkan serangan yang datang cepat saat tubuhnya baru menjejak tanah, dapat dihalaunya dengan kibasan kedua lengan yang membuat tubuh lawan terhuyung. Kemudian, Panji masih sempat memberikan sebuah hantaman ke tubuh Kambala.
Desss...!
Lagi-lagi Kambala harus merasakan kerasnya kepalan pemuda itu. Iganya yang terkena kepalan tangan Pendekar Naga Putih, membuat tubuh lelaki kekar itu tidak sanggup lagi mempertahankan kuda-kudanya. Akibatnya, tubuh kekar itu terbanting ke tanah dengan suara berdebuk keras. Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menerjang maju ke arah dua orang lainnya yang tengah melesat maju dengan putaran pedang yang berdesingan. Tapi...
Bresssh!
"Aaa...!"
Kedua pengeroyok itu memekik ngeri ketika dorongan sepasang telapak tangan Panji membuat tubuh mereka terpental laksana terhantam angin ribut. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh mereka jatuh terguling-guling.
"Aaat..!" Lelaki berwajah bopeng yang bernama Gumantara rupanya merasa penasaran, maka ketika Panji baru saja melontarkan serangan kearah dua orang kawannya, Gumantara memanfaatkan kesempatan itu untuk membabatkan senjatanya ke tengkuk lawan. Panji yang menangkap ada suara berdesing dibelakangnya, langsung membalikkan tubuh dengan cara berjungkir balik ke udara.
Whuuut..!
Tusukan pedang Gumantara meluncur pesat di bawah lawan. Sedangkan Panji yang berada di atas, enak saja menggedorkan telapak tangan kanannya ke punggung lelaki berwajah bopeng itu.
Beggg!
"Ughhh...!" Gumantara langsung tersungkur mencium tanah. Dan sebelum sempat dia melompat bangkit, Panji telah mengirimkan sebuah tamparan ke pelipis lawan.
Plarrr...!
Akibatnya sudah bisa dibayangkan, tubuh Gumantara berputar bagai sebuah gasing. Kemudian ambruk ke tanah dengan nyawa yang telah pindah ke alam baka. Tamparan Panji telah menyebabkan tengkorak kepalanya retak! Kematian Gumantara membuat Ki Gontang menjadi murka. Tanpa perhitungan yang masak, langsung saja dia melesat sambil menusukkan ujung pedangnya tepat menuju jantung Pendekar Naga Putih. Tapi....
Plak! Derrr !
Panji yang malah bergerak maju menyambut datangnya luncuran tubuh lawan, membuat Ki Gontang kaget. Hal itu sama sekali tidak disangkanya. Sehingga tebasan bilah pedangnya berhasil ditepiskan Panji yang bersamaan dengan itu mengirimkan hantaman telapak tangan ke dada lawan.
Tubuh Ki Gontang pun terlempar bagai daun kering yang diterbangkan angin. Kemudian ambruk ke tanah. Darah segar meleleh keluar membasahi bumi. Nyawa Ki Gontang pun melayang dengan tulang dada hancur terkena hantaman Pendekar Naga Putih.
"Haaat..!"
Seperti sebuah baling-baling, tubuh Pendekar Naga Putih berputaran di udara menghampiri Kambala dan seorang rekannya.
Blarrr!
Kali ini tidak ada ampun lagi bagi kedua orang itu. Pukulan jarak jauh Panji membuat tubuh mereka bagai disentakkan sebuah kekuatan raksasa. Sehingga mereka langsung tewas dengan tulang dada melesak ke dalam. Lawan Panji yang tinggal seorang rupanya takut menerima ke matian. Lelaki itu segera melempar pedangnya dan berlutut minta ampun.
"Ampun, Pendekar Naga Putih! Aku belum ingin mati...," ratap lelaki bertubuh sedang itu
"Hm..." Panji hanya mendengus mendengar ratapan lelaki itu. Sebenarnya Pendekar Naga Putih benci dengan lelaki cengeng seperti itu. Tapi, karena ada yang ingin diketahui, maka Panji tidak menghabisi lelaki itu.
"Coba katakan, apa yang kalian cari di tempat ini? Mengapa ingin mencari Goa Larangan? Jawab sejujurnya! Kalau tidak, aku akan mengirimmu ke neraka untuk menemani kawan-kawanmu," ujar Panji mengancam.
"Kedatangan kami ke tempat ini untuk mencari kitab pusaka Partai Tapak Darah. Pimpinan mengutus kami untuk mencarinya di sebuah tempat yang bernama Goa Larangan. Tapi kami tidak berhasil menemukannya di dalam hutan ini," jawab lelaki bertubuh sedang yang Panji tahu berkata jujur.
"Hm.... Siapa yang menyimpan kitab pusaka partaimu di Goa Larangan?" tanya Panji lagi, merasa tertarik dengan jawaban orang itu.
"Seseorang telah mencurinya. Dan kami ditugaskan untuk mengambil kembali pusaka itu sekaligus membawa pencurinya untuk dihukum," jelas lelaki itu dengan suara yang mulai tenang. Tampaknya pembicaraan itu membuatnya rupa kalau mereka adalah musuh.
"Hm.... Paman, coba tunjukkan padaku di mana Goa Larangan itu?" tanya Panji seraya melemparkan pandang ke wajah Ki Kaliga yang duduk termenung memikirkan semua kejadian yang baru dialaminya.
Mendengar dirinya dipanggil, Ki Kaliga langsung menoleh dan bergegas menghampiri Pendekar Naga Putih. "Ada apa, Panji...?" tanya lelaki tua yang tubuhnya masih terlihat gagah itu. Wajah Ki Kaliga tampak cerah, seolah merasa bangga kalau pendekar muda itu memerlukan bantuannya. Perubahan sikap Ki Kaliga itu tentu saja setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih itu.
"Antarkan kami ke Goa Larangan...," pinta Panji yang membuat Ki Kaliga bergegas melangkah tanpa membantah. Tapi ketika ekor matanya menangkap bayangan tokoh Partai Tapak Darah yang ingin ikut, Ki Kaliga tampak bimbang.
"Biarlah dia ikut bersama kita, Paman. Karena dia juga mempunyai kepentingan dengan Goa Larangan," ujar Panji mencoba bersikap adil setelah mendengar penuturan tokoh Partai Tapak Darah. Tapi tentu saja dia akan melihat lebih dulu. Karena bisa saja orang-orang Partai Tapak Darah mengaku-ngaku agar bisa mencuri kitab yang berada di Goa Larangan. Maka berangkatlah Ki Kalinga. Kenanga, Panji dan tokoh Partai Tapak Darah itu menuju Goa Larangan.
Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati jalan yang berbelok-belok, tibalah mereka di dekat sebatang pohon raksasa yang tingginya sekitar lima atau enam belas tombak. Tidak jauh dari pohon raksasa itu ada sebuah lubang sumur yang cukup lebat. Anehnya, meskipun sumur itu berada di dalam sebuah hutan yang cukup subur, tapi dindingnya batu padas yang keras. Sedangkan lubangnya dapat dimasuki kira-kira dua orang.
"Inikah yang dinamakan Goa Larangan, Paman...?" tanya Panji yang jika mencari sendiri pasti tidak akan dapat menemukannya seperti juga orang-orang Partai Tapak Darah. Karena yang dimaksud goa adalah sebuah sumur tua, yang mungkin telah berusia ratusan tahun.
"Benar, Panji. Sumur tua inilah yang bernama Goa Larangan. Leluhur kami yang menamakannya," jawab Ki Kaliga tegas tanpa keraguan sedikitpun
"Nah, Juntala. Inilah Goa Larangan. Lakukan apa yang menjadi keinginanmu...," ujar Panji pada tokoh Partai Tapak Darah yang memperkenalkan diri dengan nama Juntala
Melihat sumur tua yang tadi telah ditemukan bersama saudara-saudara seperguruannya, Juntai tampak bingung. Lelaki itu tidak menyangka kalau sumur tua itulah yang dinamakan Goa Larangan. Mengenai apa sebabnya sumur itu dinamakan demikian, tak seorang pun yang mengetahuinya, termasuk Ki Kaliga.
"Kau tidak ingin mengetahui dasar sumur ini?" tanya Panji ketika melihat Juntala hanya termenung di bibir sumur.
"Aku memang harus melihat dan meneliti sampai kedasarnya," sahut Juntala tersentak dari lamunannya. Lelaki itu segera bersiap hendak menuruni sumur itukarena merasa memikul tanggung jawab penuh untuk dapat menemukan kitab partainya
"Hukuman apa yang menantimu bila kau kembali dengan tangan hampa, Juntala...?" tanya Panji yang mengetahui kalau partai-partai besar beraliran hitam selalu memberi hukuman bagi setiap muridnya yang gagal melaksanakan tugas. Kemungkinan besar Partai Tapak Darah pun demikian.
"Mungkin hukuman gantung. Tapi, ketua kami menekankan agar tidak usah kembali jika gagal...," jawab Juntala yang sikapnya tidak gelisah lagi. Sebab lelaki itu percaya penuh akan kebersihan hati Pendekar Naga Putih.
Panji meninggalkan Juntala yang sudah menuruni sumur setelah menjatuhkan batu terlebih dahulu. Ketika mengetahui kalau sumur tua itu tidak begitu dalam, tokoh Partai Tapak Darah itu langsung melayang turun tanpa ragu. Tangannya bergerak menapak ke kiri dan kanan dinding sumur sebagai penahan daya luncur tubuhnya. Sehingga, lelaki bertubuh sedang itu dapat mendarat dengan baik di dalam sumur.
"Bagaimana ini, Kakang? Mana mungkin kelelawar raksasa itu tinggal di dalam sumur? Kemungkinan besar dugaanmu keliru. Makhluk itu pasti tidak tinggal di hutan ini...," ujar Kenanga yang merasa kecewa setelah melihat apa yang dinamakan Goa Larangan. Karena lubang sumur itu tidak mungkin dapat dilewati kelelawar raksasa yang memiliki sepasang sayap lebar.
"Hm.... Aku pun agak bingung. Satu-satunya dugaanku hanya Hutan Larangan ini. Karena hampir tidak pernah dijamah manusia. Jika makhluk itu tinggal di tempat lain rasanya akan mudah ditemukan orang. Dan sudah pasti akan banyak diburu orang...," jawab Panji yang sepertinya masih tetap yakin kalau kelelawar raksasa itu tinggal didaerah Hutan Larangan. Hanya saja belum bisa diketahui letaknya secara pasti
"Aaa
Pembicaraan Panji dan Kenanga terputus. Suara jeritan yang menyayat itu berasal dari dalam sumur. Siapa lagi yang mengeluarkan jerit kematian itu kalau bukan Juntala. Sebab, hanya tokoh Partai Tapak Darah itulah yang berada di dasar sumur.
"Celaka! Jangan-jangan arwah leluhur kini murka, Pendekar Naga Putih. Kalau sampai itu terjadi, malapetaka akan menggilas Desa Larang! Sudah kubilang kalau tempat ini adalah tempat keramat yang tidak boleh didatangi sembarang orang dan sembarang waktu"
Wajah Ki Kaliga terlihat pucat setelah mendengar jerit ke matian Juntala. Ingatannya kembali pada kepercayaan yang dianutnya. Sehingga mengira ke matian Juntala disebabkan tokoh itu telah berbuat kurang ajar dengan menginjakkan kakinya ditempat suci.
"Tenanglah, Paman. Semua itu hanya khayalan. Aku aka melihat ke dasar sumur, untuk memastikan apakah Juntala sudah tewas atau hanya terkena sengatan binatang berbisa...," ujar Panji menenangkan Ki Kaliga yang kelihatan sangat ketakutan.
"Ki Apakah tidak ada jalan tembus yang berhubungan dengan sumur ini?" tanya Kenanga tiba-tiba. Tapi, dara jelita itu menjadi kecewa ketika melihat gelengan kepala Ki Kaliga.
Saat itu Panji sudah bersiap untuk turun ke dasar sumur. Terlebih dahulu Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk berjaga-jaga bila ada bahaya yang mungkin menantinya di bawah sana.
"Memang sebaiknya kita periksa saja tempat itu, Kakang" Kenanga rupanya hendak ikut masuk ke dalam Goa Larangan.
Panji tidak mencegah, karena baik di dalam sumur atau di luar, sama bahayanya. Maka, pemuda itu tidak berusaha melarang kekasihnya yang ingin ikut turun ke dasar Goa Larangan.
Sementara itu Ki Kaliga sudah duduk bersemadi dengan mulut komat-kamit tak karuan. Entah apa yang diucapkannya, tidak begitu jelas terdengar. Karena lebih mirip orang yang sedang mengomel.
Setelah mempersiapkan tenaganya, Panji pun meluncur turun dengan ringannya. Tidak sulit bagi pemuda itu untuk riba di dasar sumur dengan selamat Beberapa saat kemudian, kedua kakinya sudah menjejak tanah keras yang menjadi dasar Goa Larangan. Yang membuat Panji terkejut di hadapannya ada sebuah lubang besar yang menyerupai mulut goa. Mungkin itulah yang dinamakan Goa Larangan. Sedangkan sumur tua itu hanya merupakan pintu masuk menuju tempat keramat itu.
Beberapa saat setelah Panji tiba di dasar sumur, Kenanga me luncur datang dan langsung mendarat di sebelah kanan kekasihnya. Sepasang mata bulat dara jelita itu tampak terbelalak melihat ada sebuah lubang goa di sebelah kanan dinding sumur.
"Kalau begitu, orang yang menamakan tempat ini sebagai Goa Larangan tidak salah, kakang. Tentu inilah yang dimaksud Goa Larangan yang sesungguhnya. Sedangkan sumur tua ini hanya merupakan pintu masuk...," gumam Kenanga dengan suara perlahan.
"Hm.... Mungkin semakin ke dalam akan bertambah luas. Jadi kemungkinan besar kelelawar raksasa itu bersarang di dalam Goa Larangan ini...,? ujar Panji perlahan sambil bergerak maju.
"Tapi, bagaimana mungkin kelelawar raksasa itu dapat masuk melalui sumur yang jelas tidak akan bisa dilewatinya. Karena sayap kelelawar itu sangat lebar." Kenanga masih belum percaya jika kelelawar raksasa itu bersarang di dalam goa di dasar sumur ini.
"Tenanglah. Yang penting kita harus tetap waspada. Sebab, kematian Juntala mungkin karena serangan gelap yang tidak sempat dielakkannya," bisik Panji seraya bergerak maju perlahan-lahan merapat ke dinding goa.
Kenanga berada di belakang Panji. Dara jelita itu pun bergerak maju dengan merapatkan tubuh pada dinding goa. Sehingga, mereka tidak akan terjebak bila ada lubang-lubang yang mungkin banyak terdapat di dalam goa yang gelap itu. Setelah cukup lama berjalan, tibalah mereka di sebuah tempat yang agak terang. Kagum bukan main hati Panji dan Kenanga ketika mengetahui dari mana asal cahaya yang menerangi tempat itu.
"Emas...!" bisik Panji seraya meraba dinding goa di sekitar ruangan itu. Memang tidak salah, dinding goa di ruangan itu dilapisi emas.
Kenanga pun terpaku sesaat ketika memastikan kalau dinding goa di bagian itu memang dilapisi emas murni. Tapi, karena keduanya tidak terlalu tertarik dengan harta, maka hal itu tidak membuat mereka lupa daratan dan lengah.
"Aihhh...!" Panji menarik mundur kakinya ketika merasa menginjak sesuatu. Dan ketika pemuda itu menengok ke bawah kakinya, dilihatnya tubuh Juntala yang telah menjadi mayat
"Dia tewas keracunan...! Mungkin sewaktu melihat dinding ruangan goa ini terbuat dari emas, Juntala menjadi lupa daratan dan lengah. Akibatnya, dia tidak sempat menghindar dari sengatan binatang berbisa yang hidup di dalam goa ini," ujar Panji, menduga-duga.
"Kita terus saja, Kakang...," usul Kenanga tanpa berniat untuk mengambil emas di dinding goa itu.
"Baik...," sahut Panji terus melangkah maju dengan penuh kewaspadaan.
Baru saja kaki kanan Pendekar Naga Putih bergerak melewati ruangan goa yang dindingnya berlapis emas murni, tiba-tiba....
"Ceeet... Ceeet..!"
Puluhan ekor kelelawar beterbangan keluar. Rupanya mereka merasa terganggu dengan kedatangan kedua orang itu. Sehingga, suasana menjadi gaduh. Panji terpaksa mengibaskan lengannya ke kiri dan kanan memukul runtuh binatang-binatang itu. Sebab, binatang yang kalap itu terbang serabutan menabrak apa saja yang ada di depannya. Termasuk tubuh dan wajah kedua pendekar muda itu. Akibatnya, puluhan ekor kelelawar menggeletak jadi bangkai.
Setelah melewati sarang kelelawar, Panji dan Kenanga tiba di sebuah ruangan besar yang mirip bagian dalam rumah. Bedanya, dinding ruangan goa yang luas itu terbuat dari batu padas yang sangat keras.
"Hm.... Tempat ini terang karena ada kayu api di setiap sudut ruangan. Jelas, tempat ini ada pemiliknya...," gumam Panji semakin waspada dan meningkatkan indera pendengarannya.
"Sungguh hebat sekali. Akhirnya kalian sampai juga di tempat ini..."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau yang membuat Panji dan Kenanga menoleh ke sekeliling ruangan itu. Pasangan pendekar muda itu melangkah mundur dua tindak, ketika melihat sesosok bayangan kelelawar raksasa tergambar di dekat ruangan sebelah depan. Panji segera dapat menebak, sosok yang menyerupai kelelawar raksasa itu tengah merapatkan tubuhnya ke dinding. Sehingga menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan.
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah merasa curiga. Ternyata dugaanku tidak meleset Kelelawar raksasa itu bukan binatang sungguhan, tapi seorang manusia berilmu tinggi yang kemungkinan besar tengah memperdalam suatu ilmu," ujar Panji membuat sosok kelelawar di dinding goa itu mengeluarkan tawa yang mirip ringkikan kuda.
"Kau benar-benar hebat dan cerdas, Pendekar Naga Putih. Aku memang telah memperdalam suatu ilmu dan sudah merampungkannya setahun yang lalu. Untuk semakin memantapkannya, terutama ilmu meringankan tubuh, aku harus membuat sepasang sayap dan keluar pada malam hari. Karena udara malam yang dingin membuat tubuh terasa berat. Dengan begitu, ilmu meringankan tubuhku akan semakin sempurna."
Kelelawar raksasa yang ternyata seorang manusia dan telah mengenal siapa Panji sebenarnya, setelah mereka sempat bentrok sewaktu kelelawar raksasa itu mendatangi Desa Larang beberapa waktu lalu, memberikan penjelasan pada pemuda itu. Rupanya sosok itu yakin kalau Panji tidak akan membongkar rahasianya, karena akan dibunuhnya.
"Jika begitu, ilmu yang kau pelajari berasal dari kitab milik Partai Tapak Darah?" Panji langsung menghubungkan keterangan Juntala dengan ucapan sosok kelelawar raksasa itu. Jelas kini, pencuri kitab yang dicari Juntala itu adalah kelelawar raksasa yang juga dicari Panji.
"Aku salah seorang tokoh partai itu, Pendekar Naga Putih. Karena guru kami bertindak pilih kasih, maka aku memutuskan untuk membawa lari dua buah kitab miliknya. Tapi, sekarang sudah kumusnahkan setelah isinya kupelajari dengan sempurna...," ujar kelelawar raksasa itu lagi dan kembali memperdengarkan tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Licik...!" umpat Panji tanpa merasa gentar kalau tokoh itu akan marah.
"Sekarang tibalah saat kematianmu, Pendekar Naga Putih! Ayo, ikut aku..." Setelah berkata demikian, sosok kelelawar raksasa itu lenyap.
Sementara Panji dan Kenanga yang tidak ingin kehilangan buruannya, bergegas menyusul. Pada sebuah ruangan yang sempit dan berbelok, tiba-tiba kelelawar raksasa itu melayang naik Kemudian lenyap entah kemana.
"Ikuti aku, Pendekar Naga Putih...," terdengar suara berat dari atas. Rupanya kelelawar raksasa itu tahu kalau Panji tengah kebingungan mencarinya.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Panji bergegas melayang naik, disusul kemudian oleh Kenanga. Bukan main herannya sepasang pendekar muda itu ketika mereka kembali ke tempat semula. Rupanya jalan ke luar kelelawar raksasa itu adalah pohon besar yang tumbuh di dekat sumur. Pada bagian tengah pohon itu terdapat lubang yang dijadikan jalan bagi tokoh aneh itu.
"Bersiaplah, Pendekar Naga Putih..." Begitu tiba di luar goa, kelelawar raksasa itu langsung menantang Panji. Agaknya, tokoh itu sudah tidak sabar lagi untuk mencoba ilmu yang telah sekian tahun dipelajarinya.
"Heaaat..!" Begitu Panji bersiap, kelelawar raksasa itu segera melayang disertai serangan yang dahsyat
Werrr!
Angin berhembus keras mengir ingi datangnya sambaran sayap buatan tokoh aneh itu. Pendekar Naga Putih yang sudah menyiapkan jurus dan tenaganya, langsung bergerak memutar sambil menghantamkan telapak tangan kanannya menyambut tamparan sayap kelelawar raksasa itu. Panji merasa penasaran ingin mencoba sampai di mana kekuatan tenaga dalam lawan.
Bresssh!
"Aihhh!" Bukan main terkejutnya tokoh yang kelelawar raksasa itu. Benturan keras dua gelombang tenaga dalam mereka, membuat tubuhnya terlempar mundur sejauh satu tombak lebih.
Demikian pula yang dialami Panji. Meskipun kelihatannya kekuatan mereka berimbang, tapi tetap saja 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' masih lebih unggul meskipun hanya satu tingkat
"Heaat..!"
Rupanya manusia kelalawar itu merasa ditantang setelah mengetahui kekuatannya masih di bawah Pendekar Naga Putih. Maka kali ini tokoh aneh itu menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyerang.
Panji tentu saja tidak memandang rendah Ilmu meringankan tubuh lawannya. Terlebih lagi tokoh itu telah melatihnya sedemikian rupa. Sehingga wajar saja kalau kegesitannya benar-benar sukar untuk dicari bandingannya. Sayang, tokoh itu harus bertarung dengan Pendekar Naga Putih yang selain mendapatkan gemblengan dari tokoh sakti, juga memiliki pengalaman luas dalam bertarung. Sehingga, dalam soal ilmu meringankan tubuh pun manusia kelelawar itu tidak bisa mengunggulinya. Jelasnya, tingkat kepandaian ilmu meringankan tubuh mereka seimbang.
"Keparat" desis manusia kelelawar itu tidak senang melihat kelebihan Pendekar Naga Putih. Maka, serangannya kini terlihat sangat ganas dan banyak menggunakan tipu muslihat
Bettt! Bettt..!
Serangkum angin keras berdesingan tajam ketika tangan yang berkuku runcing itu datang menyambar-nyambar dengan kecepatan yang luar biasa.
"Hm..." Pendekar Naga Putih yang sadar kalau tokoh itu mulai bangkit kegilaannya, segera mengerahkan ilmu andalannya. Sepasang tangannya langsung membentuk cakar naga. Kemudian bergerak memutar saat sambaran cakar lawan datang, dan langsung membalas dengan tidak kalah berbahayanya.
Sebentar kemudian, kedua tokoh digdaya itu telah bertarung sengit Beberapa batang pohon yang berada di arena pertarungan, langsung bertumbangan terlanggar angin pukulan mereka yang berciutan. Benar-benar sebuah pertarungan maut yang sangat mendebarkan.
Kenanga yang menyaksikan pertarungan hebat itu bergegas mencari tempat perlindungan. Dara jelita itu menarik lengan Ki Kaliga yang saat itu masih bersemadi dengan mulut yang tak henti-hentinya berkomat-kamit. Mereka bersembunyi agar tidak terkena angin pukulan nyasar.
Saat itu pertarungan sudah menginjak pada jurus kesembilan puluh dua. Baik Pendekar Naga Putih maupun manusia kelelawar masih belum kelihatan ada yang terdesak. Nampaknya kepandaian kedua tokoh itu memang hampir berimbang. Kalau pun Pendekar Naga Putih masih lebih unggul tapi itu bukan berarti dengan mudah dapat menundukkan lawannya. Apalagi manusia kelelawar itu merupakan tokoh kawakan.
"Heaaat..!"
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya, mereka kembali saling gempur. Semua jurus-jurus tingkat tinggi telah mereka gunakan. Namun, hasilnya tetap belum bisa mendesak lawan. Saat pertarungan menginjak jurus keseratus sepuluh, Panji dan manusia kelelawar sama-sama melenting ke udara. Kemudian saling terjang dengan dorongan sepasang telapak tangan mereka. Maka....
Blarrr!
Bumi laksana diguncang gempa ketika dua tenaga luar biasa beradu di udara. Akibatnya, baik tubuh Pendekar Naga Putih maupun tubuh lawan langsung terlempar kebelakang, seperti daun kering yang diterbangkan angin!
"Haiiit...!"
"Hiaaah...!"
Meskipun benturan itu sudah demikian dahsyatnya, namun kedua tokoh sakti itu masih sanggup berputaran di udara untuk meredam daya dorong yang membuat tubuh mereka seperti terbang. Itu pun baru dapat dilakukan setelah tiga tombak lebih tubuh mereka terdorong. Kedua tokoh itu kembali bergerak mendekat. Panji menyatukan pikirannya untuk memanggil keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Dan sebentar kemudian, muncullah lapisan sinar kuning keemasan yang berpendar menyelimuti bagian kanan tubuh Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Saat itu manusia kelelawar sudah kembali meluruk maju dengan seluruh kekuatannya. Pendekar Naga Putih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Kemudian bergerak maju dengan langkah diseret membuat guratan-guratan yang dalam di tanah. Dan....
Darrr!
"Aaa...!
Dorongan sepasang telapak tangan Panji yang mengandung dua unsur kekuatan gaib, berbenturan hebat dengan pukulan jarak jauh lawan. Akibatnya, tubuh Pendekar Naga Putih melesak ke dalam tanah hampir sebatas lutut. Sedangkan tubuh lawannya terpental keras, membentur batang pohon untuk kemudian ambruk ke tanah dalam keadaan hangus! Kematian manusia kelelawar itu disebabkan oleh kekuatan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang memang sangat dahsyat dan mengandung hawa panas.
"Kakang...?" Kenanga yang sejak tadi merasa cemas akali keselamatan kekasihnya, segera menghambur begitu melihat Panji berhasil melumpuhkan lawannya.
“Kakang..." Dara jelita itu merangkul dan merebahkan kepalanya di dada Panji yang tampak masih lelah. Pemuda itu mengelus rambut Kenanga dengan penuh kasih.
"Aku takut kehilanganmu, Kakang...," ucap Kenanga mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Naga Putih yang masih dibasahi peluh.
"Aku pun takut kehilanganmu, Kenanga...,? desah Panji berbisik di telinga dara jelita itu.
Sementara, Ki Kaliga tampak terpaku menyaksikan pemandangan itu. Lelaki tua itu hanya dapat meneguk air liur melihat ke mesraan sepasang kekasih yang saling mencintai itu.
"Auuung...!"
Seiring dengan munculnya purnama dan hembusan angin dingin yang bertiup keras terdengar lolongan anjing hutan. Gema lolongannya terbawa angin hingga jauh ke Desa Larang. Suara lolongan yang terdengar menyayat hati dan mendirikan bulu roma itu membuat warga Desa Larang semakin rapat memejamkan matanya.
Tapi siapa sangka dalam suasana seperti itu, yang membuat orang enggan ke luar rumah, terlihat dua orang pengendara kuda tengah menerobos kegelapan malam. Dengan bantuan cahaya rembulan, kedua penunggang kuda itu bergerak perlahan menuju Desa Larang.
"Sudah kuduga, kita pasti akan kemalaman di jalan sebelum tiba di Desa Larang. Kalau saja Kakang mau mendengar nasihatku untuk berangkat esok pagi, mungkin tidak akan begini jadinya. Apalagi suasana malam ini begitu menyeramkan. Hhh.... Entah mengapa hatiku berdebar-debar. Mungkin karena kita masih harus melewati tepi Hutan Larangan yang angker itu...," gumam penunggang kuda berwajah kurus dengan sebaris kumis tercukur rapi. Nada suaranya terdengar tak puas menyalahkan kawan seperjalanannya.
"Tapi kita tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum jenazah adikku dimakamkan. Apa kata orang nanti kalau aku tidak ikut mengantar ke kuburan? Kalau saja sakit adikku tidak terlalu parah dan utusannya tidak berpesan agar aku segera datang, mungkin aku tidak akan menjenguknya. Sebab aku tidak suka melewati tepi Hutan Larangan. Sayang, kita tidak bisa melewati jalan la in untuk sampai ke desa adikku. Jadi, yahhh... Terpaksa harus kulakukan. Kuharap kau mau mengerti, Adi Guminta,..," sahut lelaki gagah yang tampak masih diselimuti kedukaan. Rupanya dia masih terkenang adiknya yang pergi untuk selama-lamanya.
Lelaki bertubuh kurus yang bernama Guminta hanya menghela napas panjang. Kedukaan sahabatnya bukan tidak dimengertinya, tapi dia tidak bisa menenteramkan hatinya yang dipenuhi rasa cemas. Karena mereka harus melewati tepi Hutan Larangan untuk sampai kedesa tempat tinggal mereka.
"Auuung...!"
"Binatang keparat! Lolongannya membuat hatiku semakin tak tenang!" umpat Guminta ketika serigala hutan kembali memperdengarkan suaranya yang mendirikan bulu roma.
"Tahan mulut mu, Adi! Jangan terlalu banyak mengumpat Sebaiknya kita berdoa agar selamat sampai ke desa kita." Lelaki gagah yang bernama Jatayu menasihati Guminta agar jangan melontarkan makian setiap kali mendengar lolongan binatang buas.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Lolongan binatang setan itu seolah sengaja diperdengarkan untuk membuat kita ketakutan. Huh! Kalau saja binatang itu berani datang mendekat, akan kuhabisi nyawanya!" geram Guminta tak mau mendengar nasihat Ki Jatayu.
Sesungguhnya lelaki itu sengaja melontarkan kata-kata agar rasa takutnya berkurang. Dan ternyata usahanya cukup berhasil. Sebab dengan banyak berbicara, rasa takutnya bisa terlupakan. Sayang ucapan yang dikeluarkannya terlalu kasar, hingga membuat Ki Jatayu tak senang.
"Biarkan binatang itu melolong sesuka hatinya, Adi. Yang penting kita tetap menjaga sikap dan ucapan agar penghuni Hutan Larangan tidak marah. Aku khawatir ucapanmu akan mencelakakan kita berdua...," Ki Jatayu kembali menasihati Guminta dengan mengingatkan keangkeran Hutan Larangan.
"Kaujangan menakut-nakuti aku, Kakang...," desis Guminta. Wajah lelaki kurus itu berubah pucat ketika mendengar ucapan Ki Jatayu. Apalagi saat itu mereka sudah semakin dekat dengan Hutan Larangan Guminta tidak bisa lagi menyembunyikan rasa takutnya.
"Aku bukan ingin menakut-nakutimu, Adi Guminta. Tapi sekadar mengingatkanmu agar bisa menjaga mulutmu," ujar Ki Jatayu seraya memperlambat lari kudanya saat tepi Hutan Larangan tinggal beberapa tombak lagi di depan mereka.
Wajah Guminta semakin pucat ketika jarak tepi Hutan Larangan bertambah dekat. Jelas terlihat kalau lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh tahun itu tengah dilanda ketakutan yang cukup hebat
"Kakang, lihat...!" Guminta berseru tertahan ketika di depan mereka terlihat dua bulatan berwarna merah.
"Itu..., itu mata setan...!"
Ki Jatayu pun sempat tergetar hatinya ketika melihat dua bulatan berwarna merah darah menghadang perjalanan mereka. Kendati demikian, lelaki gagah itu mencoba untuk tetap bersikap tenang, dan meneliti dengan seksama sepasang mata yang menghadang didepan. Angin dingin bertiup keras membuat dedaunan pohon tersibak. Dan cahaya rembulan yang menerobos dedaunan pohon, jatuh tepat di tempat sepasang mata merah darah itu berada.
"Hhh... Rupanya hanya seekor serigala kesasar," gumam Ki Jatayu menghela napas lega. Tapi rasa lega itu hanya berlangsung sekejap, karena tiba-tiba terdengar suara aneh yang membuat dada mere ka berdebar keras.
"Keaaak..., kik..., kik..., kik,..!"
Suara parau menyeramkan yang sanggup membuat putus nyawa seorang, penakut itu terdengar bergema panjang, disertai hembusan angin dingin yang bertiup keras.
"Ssse..., se..., setaaan!"
Guminta tidak sanggup lagi menahan rasa takut yang mendera hatinya. Bagai orang yang kerasukan setan, kudanya segera dibedal dan melesat secepat anak panah, menerobos kegelapan malam.
"Adi Guminta! Tahaaan!"
Ki Jatayu berusaha mencegah Guminta. Sayang, perbuatan lelaki gagah itu sia-sia, karena Guminta sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekelilingnya. Tapi sebelum Guminta se mpat lari jauh, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam yang mirip kelelawar raksasa, terbang mengejar lelaki kurus itu. Dan....
Breeet! Breeer!
"Aaa...!" Terdengar jerit ke matian panjang merobek keheningan malam. Tubuh Guminta terlempar dari atas punggung kuda dengan pakaian berlumur darah.
"Adi Guminta!"
Ki Jatayu memekik tertahan melihat kejadian itu. Lelaki itu cepat melesat dengan pedang terhunus. Namun, sosok yang mirip kelelawar raksasa itu telah menghilang di balik rimbunan pohon. Dengan tangkas, Ki Jatayu melompat turun dari atas punggung kuda. Rasa takutnya seketika lenyap, terhapus oleh rasa tanggung jawab atas keselamatan kawannya. Tapi nyawa Guminta telah terbang. Lehernya hampir putus akibat cakaran makhluk yang mirip kelelawar raksasa.
"Ah, Adi Guminta...," rintih Ki Jatayu sedih, menyaksikan ke matian kawannya yang begitu mengenaskan.
Ketika teringat akan bayangan hitam yang mirip kelelawar raksasa, Ki Jatayu segera berbalik dengan sigap. Pedangnya disilangkan di depan dada. Sepasang matanya berputar liar meneliti keadaan di sekitarnya. Tapi tak sesosok makhlukpun yang dilihatnya. Hanya kegelapan dan hembusan angin dingin yang didapatinya.
"Hei, Makhluk Keparat! Apa kau sudah merasa puas dengan satu nyawa saja?! Mengapa kau tidak bunuh aku juga? Ayo, tunjukkan rupa mu! Aku, Ki Jatayu saat ini menantangmu untuk bertarung mati-matian...!"
Ki Jatayu berteriak menantang, setelah beberapa saat lamanya sosok makhluk itu tidak juga menampakkan diri. Lelaki gagah itu sudah lupa akan Hutan Larangan yang dianggap keramat dan ditakuti penduduk sekitarnya. Rupanya kematian Guminta membuatnya nekat, dan tidak takut menghadapi ke matian.
Tapi sosok makhluk yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Sehingga lelaki gagah itu menjadi jengkel. Untuk menumpahkan ke marahannya, Ki Jatayu menebaskan pedangnya ke sebatang pohon yang langsung berderak roboh! Sesaat setelah pohon yang dipapasnya itu tumbang, terdengar langkah-langkah kaki lunak berlarian ke arahnya. Cepat Ki Jatayu berbalik sambil menyilangkan pedangnya, siap menghadapi segala kemungkinan.
Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok kecil bermunculan mengepung Ki Jatayu. Terdengar gerengan buas di sana-sini dengan mata semerah saga dan air liur tak henti berjatuhan.
"Setan...!" Bentak Ki Jatayu ketika melihat yang berdatangan mengepungnya adalah belasan ekor serigala kelaparan. Tentu saja lelaki gagah itu marah, karena bukan binatang-binatang kelaparan itu yang ditantangnya.
"Hmmmr..., grrr...!"
Gerengan-gerengan buas binatang kelaparan itu membuat Ki Jatayu sadar kalau dirinya tengah diincar bahaya maut. Maka pedang di tangannya segera berkelebat saat dua ekor serigala menerjangnya dari depan.
"Mampus kau, Binatang Laknat...!" maki Ki Jatayu seraya menebaskan pedangnya dengan pengerahan tenaga dalam.
Crakkk! Crakkk!
Darah segar muncrat saat pedang Ki Jatayu merobek perut dan leher dua ekor serigala yang menyerangnya. Tapi percikan darah segar itu tidak membuat gentar yang lainnya. Malah serigala-serigala itu semakin bertambah buas. Sehingga Ki Jatayu kewalahan menghadapi serbuan binatang-binatang buas yang licik itu.
"Makhluk keparat..!"
Sesekali terdengar lelaki gagah itu mengumpat ketika beberapa bagian tubuhnya terkoyak oleh taring-taring yang runcing dan tajam. Sehingga Ki Jatayu terpaksa harus bergerak mundur menjauhi tepi Hutan Larangan.
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya pedang di tangan Ki Jatayu kembali menyambar, tiga kali berturut-turut. Akibatnya, tiga ekor serigala yang berada di kanan dan kirinya terjungkal roboh mandi darah. Pada saat yang hampir bersamaan, seekor serigala yang berada di belakangnya melesat mengancam tengkuk Ki Jatayu dengan taringnya yang runcing. Dan...
Crappp!
"Aaa...!" Ki Jatayu memekik kesakitan ketika taring binatang itu tertancap di belakang lehernya. Cepat lelaki gagah itu mengulurkan tangannya mencekal leher serigala buas itu. Kemudian membantingnya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Bukkk!
Tak puas hanya dengan bantingan, lelaki gagah itu mengayunkan telapak kakinya menjejak tubuh binatang itu. Sehingga serigala malang itu melolong ketika telapak kaki Ki Jatayu yang mengandung tenaga dalam kuat itu meluluh- lantakkan tubuhnya.
"Mampus kau, Binatang Laknat...!" bentak Ki Jatayu geram.
Sayang, kemarahan yang melewati batas itu membuatnya lengah. Seekor serigala yang berada di depannya menerkam dengan kedua kaki depan menerjang dada Ki Jatayu. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terjerembab kebelakang. Menyadari kedudukannya sudah tidak dapat lagi bertahan, Ki Jatayu pun mengayunkan pedangnya secara membabi buta.
Terdengar raungan keras berturut-turut disusul robohnya tiga ekor serigala dengan tubuh bermandikan darah. Ki Jatayu sendiri langsung bergulingan menjauhi tempat itu. Dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki gagah itu berusaha bangkit dan melarikan diri menuju desa.
Serigala-serigala kelaparan itu agaknya tidak ingin melepaskan calon korbannya begitu saja. Dengan suara ribut, binatang-binatang kelaparan itu berserabutan mengejar Ki Jatayu.
Dengan mengerahkan seluruh ke mampuannya, Ki Jatayu berlari tersaruk-saruk menerobos kegelapan malam. Untunglah bias-bias cahaya rembulan yang menerobos dedaunan menolong pandangan Ki Jatayu. Sehingga le laki itu dapat menentukan arah larinya dengan tepat. Kalau saja saat itu bulan Bdak muncul penuh, mungkin Ki Jatayu mengalami kesulitan untuk mengenali jalan.
Napas Ki Jatayu sudah hampir putus karena pengerahan tenaga yang melewati batas. Darah yang terus mengalir dari luka-lukanya membuat tenaga lelaki gagah itu se makin lemah. Meski demikian, semangatnya berusaha dikempos, karena menyadari kalau binatang-binatang buas yang mengejarnya sudah semakin dekat. Sayangnya tenaga Ki Jatayu sudah tak sanggup lagi untuk menambah kecepatan larinya. Sehingga tak berapa lama kemudian, seekor serigala yang berada di belakangnya melompat, menerkam punggungnya.
Brukkk!
"Aaah...!" Ki Jatayu terpekik kaget. Tubuhnya yang sudah semakin le mah terjerembab jatuh mencium tanah berumput Untung senjatanya masih tergenggam erat. Dan sambil menggulingkan tubuh ke samping, pedangnya disabetkan ke belakang. Sehingga serigala yang menerkamnya langsung terlempar mandi darah. Ki Jatayu sendiri sudah melompat bangkit meski dengan terhuyung-huyung. Disusulnya peluh yang membasahi wajah dan menghalangipandangan matanya. Menyadari dirinya sudah kembali terkepung, Ki Jatayu memutuskan untuk mempertahankan selembar nyawanya sampai titik darah terakhir.
"Hm.... Majulah kalian! Aku akan mengadu nyawa dengan kalian...!" desis Ki Jatayu seraya menyilangkan pedangnya di depan dada. Siap untuk bertarung mati-matian!
Terdengar gerengan buas di sana-sini. Mata-mata yang merah seperti darah, menatapnya penuh hasrat. Moncong- moncong bertaring runcing dengan air liur yang tak henti-hentinya menetes, siap mengoyak tubuh lelaki gagah itu. Ki Jatayu menekan segala rasa takut dan ngeri yang mencekam jiwanya. Giginya digertakkan kuatkuat untuk membangkitkan semangat dan keberanian yang masih dimiliki.
"Haaat...!"
Diawali sebuah bentakan keras, tubuh Ki Jatayu melayang ke depan mendahului binatang-binatang buas itu. Pedang di tangannya berkelebat menerbitkan cahaya putih, disertai suara berdesing nyaring. Sayang, sambaran pedangnya menemui tempat kosong.
"Setan alas...!"
Ki Jatayu me maki sekenanya ketika sambaran pedangnya ke mbali mengenai tempat kosong. Padahal, untuk serangan itu sisa-sisa tenaganya telah dikerahkan. Sehingga, tubuhnya agak terhuyung ketikaserangan itu tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.
"Aaa...!" Lelaki gagah itu menjerit kesakitan ketika salah seekor binatang itu melekat di punggung dan menancapkan taringnya. Kali ini Ki Jatayu tidak sempat lagi menyabetkan pedangnya ke arah serigala itu. Karena pada saat itu juga serigala-serigala yang lainnya sudah berlompatan menerkam tubuhnya. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terbanting ke atas tanah berumput. Terdengar jeritannya yang panjang merobek kesunyian malam.
Pada saat serigala-serigala buas itu tengah berusaha mengoyak tubuh Ki Jatayu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih yang langsung saja mengibaskan kedua tangannya. Sehingga, binatang-binatang buas itu terlempar ke kiri dan kanan. Beberapa di antaranya langsung tewas dengan tubuh remuk karena terbentur batang pohon.
"Pergi kalian, Binatang-binatang Laknat..!" bentak sosok bayangan putih itu sambil melemparkan serigala-serigala buas dari tubuh Ki Jatayu. Sebentar saja tubuh Ki Jatayu telah terbebas dari keroyokan binatang-binatang buas yang licik itu.
Sosok berjubah panjang warna putih yang ternyata seorang pemuda tampan itu berjongkok untuk me meriksa keadaan orang yang ditolongnya. Terlihat kepalanya menggeleng ketika menyaksikan luka-luka gigitan serigala di sekujur tubuh lelaki tua yang malang itu. Agaknya pemuda berjubah putih itu sadar kalau nyawa Ki Jatayu sudah tidak mungkin dapat tertolong lagi.
"Ki.,.," pemuda tampan berjubah putih itu memanggil perlahan, ketika melihat sepasang mata Ki Jatayu bergerak membuka. Sayangnya napas orang tua itu tinggal satu-satu. Sehingga, sukar sekali untuk mengeluarkan suara.
Ketika mendengar suara gerengan di belakangnya, pemuda berjubah putih itu segera berbalik dengan sigap. Keadaan Ki Jatayu terpaksa dilupakannya ketika melihat enam ekor serigala berdiri di belakangnya, siap menerkam tubuhnya.
"Hm.... Rupanya kalian masih belum pergi juga!" desis pemuda berjubah putih dengan nada geram.
Jelas sekali terlihat kalau pemuda berjubah putih itu sangat marah pada binatang-binatang buas yang selalu bergerombol dalam mencari mangsa. Perlahan-lahan tubuhnya bergerak bangkit, siap menghadapi serigala-serigala yang sedang kelaparan,
"Hm..." Pemuda berjubah putih yang berperawakan sedang itu mendengus perlahan ketika keenam serigala buas melesat menerkamnya. Dan...
"Heaaah!"
Hebat dan sangat mengagumkan gerakan tubuh pemuda berjubah putih itu. Sekali melesat, sepasang tangannya bergerak ke kiri dan kanan dengan tebasan sisi telapak tangan miring. Akibatnya, keenam serigala buas itu langsung terlempar ke kiri dan kanan dan terbanting keras ke tanah berumput tanpa sanggup bangkit lagi. Tulang-tulang tubuh binatang itu telah remuk akibat hantaman sisi telapak tangan miring yang dilancarkan pemuda berjubah putih. Sungguh mengagumkan!
Setelah memperhatikan keadaan sekeliling dan memastikan serigala-serigala itu sudah menjadi bangkai, pemuda berjubah putih itu melangkah ke arah tubuh Ki Jatayu. Terdengar helaan napas beratnya bernada sesal, melihat lelaki tua yang ditolongnya telah tewas. Mendadak pemuda berjubah putih itu membalikkan tubuhnya. Pendengarannya yang tajam menangkap ada desiran angin di belakangnya. Sepasang matanya mencorong tajam, siap menghadapi ke mungkinan bahaya lain yang datang mengancam.
"Kau,Kenanga...?" tegur pemuda berjubah putih saat mengenali siapa yang baru datang dan menjejakkan kakinya di atas tanah berumput
"Ya. Aku, Kakang...," sahut suara lembut seorang gadis. Rupanya yang baru datang itu memang Kenanga. Dengan demikian, pemuda berjubah putih itupun dapat dikenali dengan mudah. Siapa lagi yang bersama Kenanga kalau bukan Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Aku hampir kehilangan jejakmu, Kakang. Kau berlari terlalu cepat. Untunglah aku mendengar raung ke matian binatang-binatang celaka ini tadi. Sehingga dapat menentukan tempat ini dengan tepat," ujar Kenang sambil melangkah mendekati kekasihnya.
"Kita terlambat, Kenanga. Orang tua malang ini sudah tewas kehabisan darah. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka bekas cakaran dan gigitan binatang itu...," sahut Panji penuh sesal.
"Mengapa kau kecewa, Kakang? Kita hanya manusia biasa. Jadi, wajar saja jika sekali waktu kita gagal menyelamatkan orang dari malapetaka," hibur Kenanga mencoba mengusir rasa kecewa dihati pemuda tampan itu.
"Yahhhh.... Aku pun menyadarinya. Tapi mengapa orang tua ini berada di tempat ini? Dan, apa pula yang menyebabkan binatang-binatang buas itu sampai menyerangnya...?" gumam Panji bertanya-tanya.
"Rasanya jawaban pertanyaanmu tidak sulit, Kakang. Mungkin orang tua itu seorang penge mbara seperti kita, yang ke malaman di jalan. Lalu bertemu dengan serigala-serigala kelaparan yang tengah mencari mangsa. Karena binatang yang menyerangnya terlalu banyak, orang tua itu merasa kewalahan dan tidak bisa me mpertahankan dirinya dari keroyokan gerombolan serigala buas itu...," sahut Kenaga, menduga-duga.
"Kasihan orang tua malang ini...," gumam Panji, iba melihat cara kematian Ki Jatayu yang mengenaskan.
"Sebaiknya kita melewatkan malam di tempat ini. Besok pagi kita kuburkan jenazah orang tua malang ini"
"Terserah Kakang sajalah...," sahut Kenanga tak membantah usul kekasihnya.
********************
DUA
Lima sosok tubuh bertampang kasar dengan sinar mata tajam, bergerak memasuki mulut Desa Larang. Begitu melewati mulut desa, mereka langsung menuju sebuah kedai yang terletak disebelah kiri jalan utama.
"Kita beristirahat dulu di kedai itu, sambil bertanya-tanya untuk memastikan arah tujuan kita agar tidak meleset," ujar lelaki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata cekung. Melihat sikap dan caranya berbicara, dapat dipastikan kalau lelaki tinggi kurus itu bertindak sebagai pimpinan dari keempat kawannya.
"Menurutku arah yang kita ambil sudah benar, Kakang. Bukankah desa ini bernama Larang, seperti yang tertera di tiang batu perbatasan desa...?" sahut orang bertubuh pendek gemuk dengan bagian tengah kepalanya botak. Rambut di kepala orang itu hanya tumbuh di kedua asi samping. Dan seluruh permukaan wajahnya dipenuhi bopeng-bopeng bekas penyakit cacar. Sehingga, tidak sedap dipandang mata. Apalagi sepasang matanya yang terlalu besar itu menyiratkan kekejaman. Membuat orang enggan untuk beradu pandang dengannya.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Adi Gumantara. Tapi, akan lebih baik jika kita tahu secara pasti di mana letak Goa Larangan yang kita tuju itu. Sebab, bisa saja hanya nama desa ini yang ha mpir mirip dengan tempat yang kita cari," bantah lelakitinggi kurus sambil mengayun langkahnya mendekati kedai yang tampak cukup ramai oleh pengunjung.
"Perkiraan Kakang Gontang sama persis dengan pemikiranku. Mungkin hanya namanya saja yang hampir mirip. Tapi, siapa tahu tempatnya berjauhan. Jadi, tidak ada salahnya kita bertanya pada pemilik atau pelayan kedai. Dengan demikian, kita bisa mengetahui secara pasti letak Goa Larangan itu...," timpal yang lainnya, mendukung usul pimpinan mereka yang bernama Gontang.
"Heh, tidak kusangka hari ini otakmu bisa berpikir jernih. Adi Kambala. Padahal biasanya kau paling bodoh di antara yang lainnya. Ada kemajuan rupanya, heh...?" dengus Ki Gontang bernada sedikit mengejek.
Namun, lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Kambala tidak merasa tersinggung. Dia hanya terkekeh memamerkan giginya yang hitam dan besar-besar. Pembicaraan kelima orang bertampang kasar itu terhenti saat mereka sudah berada di ambang pintu kedai. Ki Gontang melangkah masuk lebih dulu. Sepasang matanya bergerak menyapu seluruh isi ruangan. Tubuhnya tegak di ambang pintu kedai, membuat sebagian pengunjung menoleh ke arah lelaki tinggi kurus bermata cekung itu.
Tapi pandangan mereka segera beralih ke arah hidangan di atas meja, ketika melihat tampang Ki Gontang yang menyeramkan. Terutama tatapan matanya yang setajam mata elang. Sehingga beberapa orang pengunjung yang dapat menangkap gelagat tidak baik kelima pendatang itu, cepat-cepat menyelesaikan makannya dan bergerak meninggalkan kedai
Ki Gontang hanya mendengus ketika pengunjung yang hendak meninggalkan kedai meminta jalan kepadanya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Kemudian lelaki itu bergerak masuk diikuti empat kawannya.
"Ambilkan kami arak terbaik dan makanan yang paling istimewa di kedai ini. Cepat..!" pinta Ki Gontang kepada pelayan, berusia empatpuluh tahun yang kelihatan agak takut-takut menghampiri kelima lelaki berwajah garang itu.
"Baik..., baik, Tuan...," sahut pelayan itu bergegas menyiapkan pesanan Ki Gontang. "Hei, tunggu dulu...!" seru Gumantara. §eruan lelaki gemuk yang mukanya bopeng- bopeng itu membuat pelayan kedai menahan langkahnya, dan berbalik.
"Ada apa, Tuan...?" tanyanya hati-hati, takut akan berbuat salah.
Agaknya, pelayan kedai itu sudah dapat merabakalau kelima orang ta munya ke mungkinan besar bukanlah orang baik-baik. Meskipun tidak bisa menebaknya dengan pasti, tapi sinar mata kelima orang tamunya jelas me mbayangkan watak yang kejam. Dan pelayan kedai itu tidak ingin mencari penyakit.
"Desa ini bernama Desa Larang, bukan?" tanya Gumantara dengan suara kasar.
"Benar, Tuan...," sahut pelayan itu agak gugup, melihat sorot mata yang demikian tajam menatap wajahnya
"Hm.... Apakah desa ini ada hubungannya dengan Goa Larangan? Tahukah kau, di mana goa itu berada...?" tanya Gumantara langsung pada tujuan.
Mendengar nama Goa Larangan, wajah pelayan itu langsung berubah pias dan tubuhnya gemetar ketakutan. Sehingga, Ki Gontang dan kawan-kawannya merasa heran melihat perubahan yang tiba-tiba itu.
"Hei! Apa kau tidak mendengar pertanyaanku! Mengapa kau begitu ketakutan ketika aku menyebut nama Goa Larangan? Hayo, jawab?!" bentak Gumantara tak sabar ketika melihat pelayan kedai belum juga menjawab pertanyaannya
"Aku..., aku..." Ucapan pelayan kedai itu membuat Gumantara semakin tak sabar. Tangannya langsung mengepal, siap menghajar pelayan kedai yang ketakutan.
"Sabar, Adi Gumantara," cegah Ki Gontang ketika melihat pelayan itu semakin sulit mengeluarkan suara. "Biar aku yang bertanya padanya..."
Gumantara mendengus jengkel. Meskipun demikian, lelaki itu tidak membantah ucapan Ki Gontang. Tapi sepasang matanya yang besar masih tetap menatap tajam wajah pelayan kedai yang ketakutan. Ki Gontang yang dapat menduga pelayan kedai itu pasti mengetahui perihal Goa Larangan, bertindak lebih ramah. Itu dilakukannya untuk menenangkan hati pelayan kedai. Diajaknya pelayan yang gemetar itu untuk duduk di dekatnya. Sementara dia sendiri bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk bahu pelayan kedai bertubuh sedang itu.
"Aku tahu kau pasti mengenal baik tempat yang bernama Goa Larangan itu, bukan? Nah, sekarang tunjukan pada kami, di mana goa itu berada. Jangan takut, kami tidak akan menyakitimu. Malah kami akan memberimu hadiah sebagai imbalan atas petunjuk yang kau berikan. Tentu saja jika petunjukmu itu benar. Kalau tidak, terpaksa aku akan memberi hadiah dalam bentuk lain yang mungkin tidak akan menyenangkan hatimu. Nah, sekarang katakan dengan jujur...," bujuk Ki Gontang yang meskipun suaranya berusaha ditekan selembut mungkin, tapi tetap mengandung nada ancaman didalamnya.
"Goa.... Larangan... terletak di.... Ah Maafkan aku. Tuan. aku tidak bisa memberitahukanmu. Tempat itu dianggap keramat oleh penduduk desa ini. Tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di tempat suci itu, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Apalagi bagi orang luar Desa Larang ini, kepala desa kami melarang keras....," jelas pelayan itu mengungkapkan perihal Goa Larangan pada kelima tamunya.
"Bagus..., bagus! Memang goa itulah yang kami cari. Dan mengenai dilarang atau tidak, kami tak peduli. Sekarang katakan, di mana letak Goa Larangan itu?" desak Ki Gontang tanpa mempedulikan tempat itu keramat atau tidak yang diinginkannya hanyalah keterangan tentang letak goa itu.
"Tapi..., tapi..."
"Keparat! Rupanya kau lebih suka kami menggunakan kekerasan!" Gumantara yang memang berwatak beringas membentak marah. Tangan kanannya langsung bergerak mena mpar pelipis pelayan kedai itu.
Whuuut.. tappp!
Tamparan tangan Gumantara berhenti separuh jalan, karena jari-jari tangan Ki Gontang telah mencekal lengannya. Sehingga, tamparan itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Jangan bodoh. Adi Gumantara! Bersikaplah sabar sedikit. Kita memerlukan keterangan pelayan ini tentang letak Goa Larangan!" geram Ki Gontang jengkel melihat perbuatan kawannya. Gumantara segera menarik lengannya yang dicekal erat jari-jari tangan Ki Gontang.
"Ayo. Katakan, di mana letak goa itu. Kalau tidak, kawanku ini akan segera meremukkan batok kepalamu yang keropos dan tak berguna itu!" Ki Gontang yang mulai kehilangan kesabaran mengeluar kan ancaman, membuat pelayan itu menggigil ketakutan.
"Jangan paksa dia, Kisanak. Tempat yang kalian cari memang merupakan tempat keramat dan suci. Tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di tempat itu, termasuk warga desa ini, kecuali pada saat-saat yang telah ditentukan oleh nenek moyang kami yang merupakan pendiri desa ini"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara tenang dan berwibawa. Membuat Ki Gontang dan yang lainnya segera menoleh ke arah sumber suara itu.
"Hm...," Ki Gontang mendengus ketika melihat seraut wajah berwibawa dengan potongan tubuh tegap, berdiri tegap menatap wajah Ki Gontang dan kawan-kawannya bergantian. "Siapa kau? Mengapa mencampuri urusan kami?" Lelaki gagah itu tersenyum mendengar pertanyaan Ki Gontang.
"Siapa bilang ini bukan urusanku? Sebagai Kepala Keamanan Desa Larang, tentu saja aku bertanggung jawab terhadap segalasesuatu yang terjadi di desa ini. Karena tempat yang kalian cari termasuk wilayah tanggung jawabku, maka sudah sepatutnya aku mencampuri urusan ini," sahut lelaki gagah bertubuh tegap dengan suara tenang, tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati Ki Gontang tidak seorang diri. Sedangkan lelaki gagah itu hanya sendiri tanpa seorang kawan pun mendampinginya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus! Kalau begitu, sekarang tunjukkan dimana letak Goa Larangan!" ujar Ki Gontang tertawa parau mendengar ucapan lelaki bertubuh tegap itu. Ki Gontang mendorong tubuh pelayan kedai itu hingga terjatuh ke lantai bersama kursi yang didudukinya. Lalu kakinya melangkah ke arah lelaki bertubuh tegap.
"Boleh kutahu namamu, Kepala Keamanan Gagah Perkasa...?" tanya Ki Gontang setengah mengejek. Jelas, lelaki tinggi kurusitu memandang remeh lelaki bertubuh tegap yang mengaku sebagai Kepala Keamanan Desa Larang. Rupanya tokoh penting desa itu secara kebetulan sedang berada di kedai makan. Dan mencoba menengahi keributan itu setelah mendengar Goa Larangan disebut-sebut.
"Na maku Kaliga. Aku minta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu tempat keramat kami...," sahut lelaki berperawakan tegap yang mengaku bernama Ki Kaliga. Meskipun sikap dan ucapannya kelihatan tenang. Namun, Ki Kaliga telah mempersiapkan tenaga simpanannya untuk dipergunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Apalagi menghadapi Ki Gontang yang sinar matanya demikian tajam menggetarkan jantung.
"Hm.... Asal kau tahu saja, Ki Kaliga! Melarang kami pergi ke Goa Larangan, sama artinya dengan menantang kami. Karena kami akan melabrak siapa saja yang berani mencegah maksud kami itu. Kau paham?" ujar Ki Gontang seraya menatap tajam wajah Ki Kaliga yang balas menatapnya dengan sorot yang tidak kalah tajam.
"Ah, Kakang Gontang terlalu bertele-tele. Untuk apa meladeni cecunguk itu. Hajar saja, dan paksa dia untuk menunjukkan letak Goa Larangan. Kalau masih membandel juga, siksa saja sampai dia menyesal telah dilahirkan ke dunia ini oleh ibunya," ucap Gumantara tidak sabar melihat sikap Ki Gontang yang dianggapnya terlalu sabar.
Ki Kaliga segera merasakan gelagat yang tidak baik. Melihat sepasang tangan Ki Gontang mulai mengepal, kepala keamanan desa itu segera menggenjot tubuhnya melesat ke luar kedai. Ki Kaliga tidak ingin bertarung di dalam kedai yang nanti akan merugikan pemilik kedai makan itu.
"Hei, mau ke mana kau, Pengecut..?!"
Gumantara yang berewatak berangasan langsung melesat mengejar. Tubuh gemuk yang kelihatan berat itu ternyata mampu bergerak cepat, seolah bukan menjadi halangan baginya. Dari sini dapat ditebak kalau ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dipandang ringan.
Jleg!
Gumantara mendaratkan kedua kakinya dalam jarak satu tombak lebih di hadapan Ki Kaliga. Kepala keamanan desa itu memang bukan ingin melarikan diri seperti yang diduga Gumantara. Terbukti lelaki bertubuh tegap berusia sekitar empatpuluh lima tahun itu sudah berdiri menunggu disamping kedai, yang mempunyai halaman cukup luas untuk digunakan sebagai medan perkelahian.
"He he he...! Kusangka kau sejenis ayam sayur, Ki Kaliga. Ternyata kau termasuk pejaman jenis petarung. Aku suka dengan sikapmu...," ujar Gumantara memperdengarkan tawa yang sumbang dan tidak enak didengar.
"Hm.... Apapun akan kuhadapi untuk mempertahankan kehormatan Desa Larang. Untuk tugas ini, aku siap mempertaruhkan selembar nyawaku!" tegas Ki Kaliga dengan sikap gagah dan penuh wibawa. Bahkan kedua kakinya sudah dilebarkan, siap untuk menghadapi serangan mendadak
"Bagus! Aku ingin lihat, apakah kepandaianmu sehebat sikapmu," ejek Gumantara segera menyiapkan jurusnya untuk menggebrak Ki Kaliga.
Kepala Keamanan Desa Larang pun sudah membuka jurusnya, siap menyambut serangan lawan. Sikap kuda-kuda yang ditunjukkan Ki Kaliga terlihat kokoh, membuat Gumantara mengangguk-angguk sebagai pertanda mengagumi kedudukan kuda-kuda lawan.
Kedua tokoh itu bergerak memutar menyiapkan gebrakan dengan menggunakanjurus pilihan mereka. Sementara, Ki Gontang dan tiga kawannya menyaksikan pertarungan yang akan segera berlangsung dari tepi arena.
Belasan warga Desa Larang kelihatan mengintip dari rumahnya untuk menyaksikan perkelahian itu. Beberapa di antaranya memberanikan diri menyaksikan secara terbuka. Sehingga sebentar saja di sekeliling arena, dalam jarak dua tombak lebih, telah cukup banyak orang yang hendak menyaksikan perkelahian itu.
"Heaaat..!"
Gumantara berteriak keras sebagai tanda kalau serangannya akan dimulai. Tubuh lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu melesat cepat, disertai pukulan susul-menyusul yang menimbulkan desiran angin berkesiutan. Jelas kalau menunjukkan kekuatan yang tersembunyi dalam serangan itu tidak bisa dipandang ringan.
Bettt! Betet!
Serangkaian pukulan yang cepat dan kuat datang mengancam beberapa bagian terlemah tubuh Ki Kaliga. Lelaki tegap itu pun tidak mau tinggal diam. Dengan sebuah gerakan yang indah, tubuhnya meliuk menghindari setiap lontaran pukulan yang dikirimkan lawan. Kemudian membalas dengan tidak kalah hebatnya. Sebentar kemudian, keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru dan menegangkan.
Suara angin pukulan terdengar berkesiutan silih berganti. Membuat arena pertempuran diselimuti kepulan debu akibat geseran kaki dan tendangan mereka. Sehingga bagi orang yang tidak memiliki kepandaian ilmu silat, tidak dapat membedakan antara kepala keamanan desa mereka, dan lelaki gemuk berwajah bopeng. Kedua orang itu hanya tampak seperti dua sosok bayangan yang saling libat dan saling terjang.
"Hiaaat..!"
Gumantara kelihatan sangat bernafsu ingin segera melumpuhkan lawannya. Serangannya datang bertubi-tubi bagai air bah yang mengalir deras. Sehingga dalam jurus-jurus awal, Gumantara berada di atas angin. Sebab, Ki Kaliga lebih banyak bertahan daripada melancarkan serangan. Agaknya tokoh bertubuh tegap itu sengaja hendak menguras tenaga lawan, kemudian balas menyerangnya setelah lawannya mulai kepayahan.
Siasat yang dilancarkan Ki Kaliga ternyata gagal. Meskipun Gumantara terlihat menghambur-hamburkan tenaga, tapi sampai jurus kedua puluh, lelaki gemuk itu masih gencar melancarkan serangannya. Bahkan makin lama kelihatan kian hebat dan berbahaya. Ki Kaliga terkejut melihat kekuatan lawan seperti tak pernah berkurang. Maka, kepala keamanan desa itu pun merubah siasatnya dengan balas menggempur sesekali.
Plak! Plak!
"Aihhh...?!" Terdengar benturan keras berturut-turut, disusul pekik tertahan dari salah seorang petarung.
Terlihat tubuh Ki Kaliga terjajar mundur sejauh empat langkah. Sedangkan tubuh lawannya hanya tergetar di tempat itu me mbuktikan kalau kekuatan tenaga dalam Ki Kaliga masih satu tingkat di bawah lawan. Demikian pula dalam kecepatan. Gumantara masih lebih unggul dari lawannya.
Kenyataan itu membuat Ki Kaliga terperanjat. Tidak disangkanya kalau lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu masih lebih unggul dalam segala hal dari dirinya. Berpikir begitu, Ki Kaliga lebih berhati-hati dan langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan untuk menghadapi lawan.
"Yeaaa...!"
Kembali Gumantara membuka serangan lebih dulu. Kaki dan tangan lelaki gemuk pendek itu bergerak cepat mengirimkan pukulan dan tendangan berbahaya. Dengan sasaran adalah bagian-bagian terlemah tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Ki Kaliga menggeser tubuhnya saat sebuah pukulan lawan datang mengincar pelipisnya. Kemudian dikirimkannya serangan balasan dengan sodokan jari-jari tangan, yang bergerak dari bawah ke atas, mengarah ulu hati lawan. Tapi, Gumantara tampaknya telah mempersiapkan segalanya dengan cermat. Terbukti serangan itu dapat digagalkannya dengan tepisan telapak tangan kiri. Sehingga, serangan Ki Kaliga lewat dari sasaran. Kesempatan baik sewaktu kuda-kuda Ki Kaliga tergempur akibat tepisan tangannya, tidak dilewatkan begitu saja oleh Gumantara. Cepat tubuh lelaki itu berputar sambil mengirimkan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tendangan yang cepatdan kuat itu tidak sempat lagi dihindari Ki Kaliga. Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terdorong ke belakang, dan nyaris jatuh kalau tidak segera melempar tubuhnya dengan bersalto dua kali di udara.
Tapi, Gumantara seperti telah memiliki pengalaman yang sangat luas dalam bertarung. Seperti dapat membaca gerakan lawan, tubuh lelaki gemuk pendek itu segera melesat ke depan seraya mendorongkan telapak tangannya ke dada Ki Kaliga, tepat pada saat tubuh lelaki tegap itu meluncur turun dan siap mendarat di atas tanah. Sehingga.....
Desss!
"Huakkkh!" Darah segar menyembur keluar ketika sepasang telapak tangan Gumantara singgah di dada lelaki tegap itu. Akibatnya, tubuh Ki Kaliga terlempar ke belakang sejauh satu tombak! Dan terus jatuh berdebuk di atas tanah berdebu, hingga menimbulkan kepulan debu yang cukup tebal
"He he he...! Ternyata hanya begitu saja kepandaian yang dimiliki seorang keamanan desa!" ejek Gumantara tertawa perlahan dengan sikap semakin angkuh.
Kemudian, lelaki gemuk itu melangkah satu-satu menghampiri Ki Kaliga yang tengah berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa panas dan sesak Lelaki bertubuh tegap itu terbatuk dan mengeluarkan cairan merah. Rupanya hantaman sepasang telapak tangan Gumantara telah mengakibtkan luka dalam yang tidak ringan.
Plak!
Sebelum Ki Kaliga sempat menyadari datangnya serangan, tamparan keras pada pelipisnya membuat lelaki itu tersungkur pingsan.
"Bawa dia, Gumantara...!" perintah Ki Gontang dan segera mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu. Sebentar kemudian, tubuh mereka tinggal bayangan samar dikejauhan.
"Ayo, kita laporkan kejadian ini pada kepala desa...!" ujar seorang warga yang segera berlari untuk melaporkan kejadian itu pada kepala desa. Beberapa orang lainnya ikut menyertai.
********************
TIGA
"Apa?! Ki Kaliga diculik orang?!" Lelaki tua bertubuh gemuk itu terlontar dari kursinya. Wajahnya yang kelimis dengan kumis tercukur rapi, rampak diliputi keheranan besar. Lelaki yang memiliki sepasang mata setajam elang itu tidak mempercayai laporan yang baru saja disampaikan seorang warganya.
Kepala Desa Larang yang bernama Ki Samiang itu tentu saja tidak bisa me mpercayai laporan warganya begitu saja. Selain mengenal baik siapa Ki Kaliga, Ki Samiang juga tidak mempercayai kalau tangan kanannya itu diculik orang. Mana mungkin Ki Kaliga yang cukup mempunyai ilmu silat itu sampai diculik orang?
"Apa kau tidak salah lihat..?" tanya lelaki gemuk itu kepada salah satu dari tiga orang warga desanya yang datang melaporkan kejadian itu.
"Tidak, Ki. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bahkan masih banyak warga yang menyaksikan kejadian itu. Entah apa yang membuat Ki Kaliga berkelahi dengan salah seorang dari lima lelaki bertampang kasar itu. Dan Ki Kaliga terpukul roboh, lalu dibawa kabur oleh mereka...," lelaki bertubuh sedang dengan kulit muka kecoklatan melengkapi laporannya agar Ki Samiang lebih yakin.
"Aneh?! Benar-benar sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Ki Kaliga dapat begitu mudah dirobohkan lawan? Lagi pula, apa keperluan kelima orang asing itu sampai harus membawa kabur?" gumam Ki Samiang melangkah hilir-mudik sambil menggeleng kepala dengan perasaan tak menentu. Setelah hilir-mudik beberapa kali dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Ki Samiang mendadak menghentikan langkahnya dan kembali menatap ketiga orang warga desanya.
"Lalu, ke mana mereka membawa pergi Ki Kaliga...?" tanya kepala desa itu, mencoba, untuk mempercayai laporan warganya.
"Mereka menuju ke selatan, Ki...," jawab lelaki yang wajahnya kecoklatan dengan mantap.
Sehingga, mau tidak mau Ki Samiang mulai mempercayai laporan itu. Karena ketiga warganya itu terlihat sangat yakin dan tidak ragu-ragu dalam menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkannya. Kelihatannya mereka memang tahu persis dan bukan mendengar dari orang lain.
"Baiklah. Aku akan segera menyelidiki dan mencari kelima orang asing itu. Sekarang kalian boleh kembali ke rumah masing-masing," ujar Ki Samiang mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka mau melapor kan kejadian itu kepadanya. Setelah membungkuk hormat dan mohon diri, ketiga petani itu bergegas meninggalkan rumah besar yang menjadi tempat tinggal kepala desanya.
"Hm.... Tunggu sebentar...!" Tiba-tiba Ki Samiang mencegah kepergian warga desanya yang baru saja tiba di ambang pintu. Sehingga mereka menahan langkah dan membalikkan tubuh.
"Ada yang bisa kami lakukan, Ki...?" salah seorang dari mereka menawarkan bantuan sambil membungkuk hormat.
"Tidak..., tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah benar mereka menuju selatan desa ini?" tanya Ki Samiang seraya menggoyangkan telapak rangannya, menolak dengan halus tawaran warganya
"Pasti, Ki. Kami yakin sekali" Kembali lelaki berwajah kecoklatan menjawab tegas, membuat Ki Samiang mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, mereka akan melewati Hutan Larangan? Atau bukan mustahil mereka telah memasuki hutan itu. Celaka! Aku harus segera mencegah orang-orang asing itu mengotori keramat dan suci warga desa ini" Gumam Ki Samian sambil mengelus dagunya yang licin tanpa jenggot. Wajah lelaki tua itu kelihatan agak tegang ketika teringat tempat angker yang seringkali digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur warga Desa Larang, termasuk dirinya.
"Apakah kami masih diperlukan, Ki...?" Seorang lelaki bertubuh sedang bertanya dengan hati-hati. Agaknya mereka merasa risih harus berdiri seperti itu, dan menyaksikan sikap kepala desanya yang nampak kebingungan dan tegang.
Ki Samiang tersentak dari lamunannya. Cepat kepalanya menoleh ke arah asal suara. Dia baru menyadari ketika melihat tiga orang warganya yang melapor masih berdiri dengan wajah resah.
"Tidak..., tidak. Kalian boleh pergi...," ujar Ki Samiang, membuat ketiga orang itu merasa lega dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Tinggalan Ki Samiang berjalan hilir-mudik sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Beberapa saat kemudian, dia berseru memanggil para pengawalnya. Dan minta disiapkan seekor kuda serta dua belas orang pengawal, untuk menemaninya melakukan pencarian terhadap Ki Kaliga. Tidak berapa lama kemudian, terlihat rombongan kecil penunggang kuda bergerak meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa Larang. Mereka adalah Ki Samiang dan dua belas pengawalnya.
Setelah melewati mulut desa, Ki Samiang membedal kudanya yang segera meluncur cepat melintasi jalanan tanah berdebu. Sedangkan kedua belas orang pengawal itu berada setengah tombak di belakangnya. Rombongan itu terus bergerak cepat menuju arah selatan Desa Larang,yang merupakan wilayah hutan yang sangat lebat dan dianggap sebagai tempat suci oleh penduduk Desa Larang.
Pada sebuah persimpangan jalan, Ki Samiang membawa rombongannya mengambil jalan ke arah sebelah kiri, tepat menuju Hutan Larangan. Beberapa pengawal kepala desa itu tampak berwajah tegang. Mereka merasa gentar harus melewati daerah hutan angker itu.
Ki Samiang sendiri berusaha menekan rasa tidak tenang di dalam hatinya. Lelaki tua itu menghibur diri dengan meyakinkan dirinya bahwa mereka hanya akan mencari di sekitar tepi hutan, dan tidak masuk ke dalamnya. Karena itu merupakanpantangan yang tidak boleh dilanggar, kecuali pada waktu-waktu tertentu, seperti mengadakan upacara penyembahan.
Dengan meyakinkan niat itu, hati Ki Samiang sedikit agak tenang. Sehingga, kudanya terus bergerak maju semakin mendekati tepi Hutan Larangan. Tapi, beberapa tombak sebelum mencapai tepi hutan, Ki Samiang menarik tali kekang kudanya. Wajahnya terlihat agak pucat, dan sepasang matanya menyipit, seolah hendak menajamkan penglihatannya.
"Ada apa, Ki...?" tegur seorang pengawal yang berada tepat dibelakangnya.
Nada bicara orang itu terdengar bergetar, menyiratkan ketegangan hati pemiliknya. Dan, Ki Samiang tidak berkata apa-apa. Kepala Desa Larang itu maklum akan perasaan semua penduduk desanya, jika mendekati rimba angker itu.
Pertanyaan pengawal itu tidak dijawab Ki Samiang dengan kata-kata. Laki-laki gemuk itu hanya meluruskan jari telunjuknya ke arah sebuah benda, yang dari kejauhan tampak seperti sesosok tubuh yang berbaring diam.
"Mungkinkah itu Ki Kaliga yang telah dianiaya, kemudian dibunuh kelima orang asing itu, Ki...?" ujar pengawal itu lagi menduga-duga, membuat Ki Samiang mengerutkan keningnya dalam-dalam. Di benak lelaki tua itu tidak terpikir akan dugaan demikian.
"Hm..." Ki Samiang hanya bergumam perlahan meski dadanya terasa berdebar lebih cepat dari biasa. Lalu dia melompat turun dari atas punggung kudanya
"Kalian berdua ikut aku...!" perintah lelaki gemuk itu seraya menunjuk dua pengawal yang berada dibelakangnya.
"Baik, Ki..," sahut keduanya segera bergerak turun dariatas punggung kuda masing-masing.
Kedua pengawal itu melangkah di sisi kiri dan kanan kepala desanya dengan sikap waspada. Meskipun mereka sebenarnya merasa gentar, tapi tidak berani menunjukkannya di depan Ki Samiang. Karena rasa malu dan hormat kepada kepala desa yang baik hati itu. Semakin dekat dengan benda itu, Ki Samiang bertambah yakin kalau benda yang berada tak jauh dari tepi Hutan Larangan itu adalah sesosok tubuh manusia yang telah tewas. Itu dapat diketahui dari bercak-bercak darah yang mulai kering di seluruh pakaian yang terkoyak-koyak itu.
"Itu memang sesosok mayat, Ki...," ujar pengawal yang berada di sebelah kanan Ki Samiang. Sambil berkata demikian, pengawal itu menggeser tubuhnya ke belakang lelaki gemuk itu. Wajahnya tampak pias dan dipenuhi peluh sebesar butir-butir jagung
"Aku tahu. Tapi kita harus memastikannya, apakah benar itu mayat Ki Kaliga. Melihat bercak-bercak darah yang hampir kering di sekujur tubuhnya, pasti itu bukan mayat Ki Kaliga. Karena dia baru beberapa saat yang lalu diculik...," ujar Ki Samiang segera dapat menebak dengan tepat, setelah menenangkan pikirannya.
"Kalau begitu, sosok mayat itu siapa, Ki...?" gumam pengawal yang berada di kiri Ki Samiang. Suaranya tampak kering dan sukar dikeluarkan. Beberapa kali pengawal itu harus meneguk air liurnya untuk membasahi tenggorokan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, kita harus melihatnya dari dekat..," ujar Ki Samiang melanjutkan langkahnya dengan sikap penuh waspada. Karena hati lelaki gemuk itu tak lepas dari rasa tegang dan gentar.
Setelah dengan susah-payah melangkah, akhirnya ketiga orang itu tiba di dekat mayat yang keadaannya hampir tak dapat dikenali lagi. Sekujur tubuh dan wajahnya terkoyak-koyak seperti diserang binatang buas yang kelaparan. Bahkan beberapa anggota tubuhnya sudah tak utuh lagi, kemungkinan besar orang malang itu telah diserang binatang buas penghuni Hutan Larangan.
"Hei! Bukankah ini Guminta, yang beberapa hari lalu pergi bersama Ki Jatayu untuk menengok keluarga orang tua itu di desa sebelah?! Mengapa dia tewas di tepi Hutan Larangan? Dan, ke mana perginya Ki Jatayu...?" ujar salah seorang pengawal. Rupanya dia masih bisa mengenali mayat yang rusak itu.
"Guminta...?" desis Ki Samiang mencoba mengingat nama itu. Setelah beberapa saat orang tua itu baru teringat kalau Guminta adalah salah seorang warganya. Kalau Ki Jatayu sudah dikenalnya dengan baik. Karena nama itu cukup terkenal di kalangan penduduk Desa Larang. Lagi pula, dia adalah seorang guru silat di desanya.
"Rupanya Ki Jatayu dan Guminta hendak pulang ke Desa Larang. Tapi, mereka ke malaman di jalan sebelum mencapai desa. Kemungkinan besar keduanya diserang serigala-serigala kelaparan yang seringkali terlihat di batas desa, saat hari menjelang malam...," ujar Ki Samiang menduga kejadian yang menimpa dua warga desanya itu.
"Jika demikian, mengapa mayat Ki Jatayu tidak berada di sekitar tempat ini? Rasanya mustahil kalau ia melarikan diri ke dalam hutan," timpal salah seorang pengawal dengan suara berbisik. Agaknya dia hampir tidak kuat lagi mengeluarkan suara karena ketakutan.
"Bisa saja Ki Jatayu melakukan kesalahan seperti itu. Karena keadaan malam yang gelap maka ia tidak bisa mengenali jalan dengan baik. Tapi, untuk mencari mayatnya ke dalam hutan jelas tidak mungkin. Itu merupakan pantangan bagi kita," ujar Ki Samiang seraya menghela napas panjang dengan wajah berduka.
Kepala desa itu merasa terpukul dengan kejadian yang baru pertama kali dialami penduduk desanya. Belum lagi Ki Kaliga dapat ditemukan, kini dia harus menerima kenyataan pahit dengan tewasnya Guminta dan lenyapnya Ki Jatayu. Ini merupakan malapeteka bagi penduduk Desa Larang yang selama ini aman dan tenteram.
"Lalu..., apakah kitatidak perlu mengetahui nasib Ki Jatayu, Ki?" tanya salah seorang pengawal dengan muka bodoh. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan, karena Ki Samiang sudah menjelaskannya barusan.
"Bawa mayat itu, dan kita kembali ke desa. Mengenai pencarian terhadap Ki Kaliga, biarlah kita menunggu kelanjutan sepak terjang penculik itu," ujar Ki Samiang segera mengayunkan langkahnya pergi.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua pengawal kepala desa itu cepat-cepat mengangkat mayat Guminta. Kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda. Sebentar kemudian, rombongan itu bergerak kembali ke Desa Larang.
********************
Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau melangkah perlahan memasuki Desa Larang. Pandangan penuh curiga dan tak suka daribeberapa penduduk yang kebetulan berpapasan di jalan, tidak mereka pedulikan. Keduanya terus bergerak maju memasuki desa.
"Hm... Nampaknya penduduk desa ini tidak bersikap ramah kepada kita, Kakang. Mungkin desa ini jarang didatangi orang asing, atau mereka mempunyai kesan buruk terhadap pendatang. Sehingga,mereka curiga dan tak suka melihat kedatangan kita" Dara jelita berpakaian serba hijau itu berkata perlahan, mengungkapkan perasaan hatinya atas sikap dan pandang mata orang-orang desa.
"Biarlah, yang penting kita tidak melakukan kesalahan terhadap mereka. Mungkin dugaan mu memang benar, Kenanga. Mereka mungkin mempunyai pengalaman pahit dengan para pendatang...," sahut pemuda tampan berjubah putih, yang tak lain Panji.
"Tapi..., lama-lama aku jengkel juga, Kakang. Siapa yang tahan jika hampir semua penduduk desa ini memperlihatkan sikap seperti itu"
Dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga, masih tak bisa menghilangkan perasaan tidak enaknya akan sikap dan pandang mata yang seperti membenci dan mengusir mereka dari tempat itu.
"Sudahlah, biarkan saja. Lebih baik kita singgah dulu di kedai itu, Kenanga. Siapa tahu kita bisa mendapat keterangan dari pelayan atau pembicaraan orang-orang yang berada di dalam kedai. Biasanya di dalam kedai sering terjadi pembicaraan yang tanpa sengaja membuat satu kejadian tersebar luas...," ujar Panji seraya menarik lengan kekasihnya.
"Hm.... Hendak ke mana kalian?" Seorang lelaki kekar bercambang bauk tiba-tiba berdiri menghadang di ambang pintu kedai. Sikapnya terlihat seperti sangat membenci kedua pendatang itu.
Pendekar Naga Putih tampak menekan telapak iangan kekasihnya, sebagai isyarat agar persoalan itu segera diserahkan kepadanya. Kelihatannya dara jelita itu mengerti. Terbukti ia hanya berdiri tenang di sebelah Panji, meski dengan sinar mata mengandung rasa penasaran yang dalam.
"Kisanak...," ujar Panji dengan suara tenang dan menyungging senyum ramah. "Kami adalah perantau yang kebetulan melewati desa ini. Dan kami berdua hendak melepaskan lelah di kedai ini"
"Tidak bisa! Kedai ini sudah tutup dan tidak menerima tamu lagi!" bentak lelaki kekar berwajah brewok itu dengan sepasang mata melotot
"Mungkin Kisanak salah. Aku lihat di dalam kedai masih banyak orang yang sedang menikmati, hidangan atau sekadar melepaskan haus. Jelas tidak benar kalau kedai ini sudah tutup. Lagi pula, jika memang tidak menerima tamu lagi, seharusnya pintu kedai ini tidak dibiarkan terbuka...," bantah Panji dengan nada biasa, tanpa kelihatan marah atau menunjukkan sikap tidak senang.
Lelaki brewok yang menyeramkan itu menjadi agak bingung, dan menoleh ke dalam kedai yang memang tampak masih banyak orang yang tengah bersantap. "Meskipun kelihatannya masih buka, tapi sudah tidak ada lagi makanan yang dapat disediakan! Semuanya sudah habis!" Lelaki kekar itu mengajukan alasan lain, setelah terdiam beberapa saat, mencari jawaban yang tepat bagi pasangan pendekar muda itu.
Panji kelihatannya mengalah dengan memperdengarkan helaan napas panjang. Setelah terdiam sesaat, terdengar kata-katanya yang membuat lelaki brewok itu menggertakkan gigi menahan jengkel.
"Kalau begitu..., bisakah Kisanak menunjukkan kedai lain yang masih menerima tamu dan dapat menyediakan makanan untuk kami berdua?"
"Tidak! Semua kedai di desa ini telah ditutup! Kalau kau memang hendak mencari makanan dan tempat melepaskan lelah, silakan cari di desa lain!" geram lelaki brewok itu.
Memang, lelaki brewok itu hampir kehabisan cara untuk menghadapi pemuda tampan yang sepertinya tidak tahu bahwa kehadirannya tidak dikehendaki warga desa. Ketenangan dan kesabaran pemuda itu membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Hm.... Kira-kira berapa lama perjalanan yang harus ditempuh agar kami dapat tiba di desa lain yang kau maksudkan itu...?" tanya Panji, masih dengan suara tenang dan menyunggingkan senyum.
"Keparat!" Akhirnya lelaki kekar berwajah brewok itu tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Dia membentak dengan suara menggelegar pertanda kemarahan hatinya sudah memuncak. "Kau memang tidak tahu diri, Anak Muda! Maka perlu ditindak dengan kekerasan!" Begitu ucapannya selesai, lelaki brewok itu langsung mengayunkan kepalannya yang besar ke dada Pendekar Naga Putih.
Whutrt!
Kepalan yang besar dan kelihatan mengandung tenaga kuat itu meluncur datang. Tapi, Panji seperti tidak menyadari datangnya bahaya. Pemuda berjubah putih itu tetap bersikap tenang. Padahal kepalan itu tinggal setengah jengkal lagi dari dadanya. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!" Lelaki brewok yang semula sudah mengembangkan senyum karena mengira kepalannya akan mengenai sasaran, tiba-tiba memekik kesakitan! Padahal kepalannya tepat mengenai sasaran. Tapi justru dia yang berjingkrak sambil me megangi kepalan kanannya yang tampak membengkak. Lelaki brewok itu mengaduh-aduh tanpa menyadari kalau perbuatannya itu terlihat sangat lucu. Karena sambil melommpat, mulutnya tak henti-hentinya meniup kepalan kanannya.
"Kurang ajar...!" Terdengar suara geraman dari kerumunan penduduk desa yang menyaksikan kejadian itu. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang lelaki berperawakan tinggi kurus menyeruak menghampri Panji. Di belakangnya masih ada enam orang lainnya yang mengikuti.
"Hei, Orang Asing! Sudah kuduga kalau kedatanganmu ke desa ini hanya akan menimbulkan kerusuhan. Rupanya kau sudah merasa menjadi jagoan nomor satu, hanya karena memperlihatkan sedikit kekuatanmu itu! Huh! Orang-orang kurang ajar seperti kalian memang perlu diajar adat. Biar lain kali lebih sopan!" bentak lelaki berperawakan kurus itu sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Pendekar Naga Putih, yang kelihatan tetapi tenang tanpa amarah.
Tidak demikian dengan Kenanga yang berdiri di samping kekasihnya. Kegeraman dan kejengkelan yang sejak tadi ditahannya, tak mampu lagi dibendung ketika mendengar makian kasar lelaki berperawakan kurus yang berlagak seperti Jagoan kampung.
"Hei, Cecak Kering! Enak saja kau menyalahkan kami! Apa kau sudah buta dan tidak melihat siapa yang memulai pertengkaran?! Kalau saja kawanku ini menghendaki, sekali mengibaskan tangannya kalian semua akan pindah ke akhirat, tahu!" bentak Kenanga, tidak mau kalah gertak sambil menuding wajah seperti tengkorak itu.
Ucapan Kenanga tentu saja membuat lelaki kurus itu melangkah mundur agar tidak tertusuk jari tangannya. "Keparat! Sombong sekali kau. Gadis Liar! Biarpun wajahmu cantik seperti bidadari, jangan kira kami tidak tega untuk memberi pelajaran pada mu! Nah, rasakanlah ini...!" bentak lelaki tinggi kurus itu, langsung melontarkan pukulannya.
Agaknya lelaki itu merasa malu dituding-tuding seorang gadis di depan orang banyak. Jika ia tidak menunjukkan siapa dirinya, pasti orang-orang akan menertawakannya. Tapi, dara jelita itu tidak berusaha untuk mengelak, meskipun tahu kalau pukulan lelaki kurus itu lebih berisi daripada pukulan lelaki brewok tadi. Hal itu terbukti dari adanya hawa tenaga dalam dari pukulan lawan.
Whuttt! Kreppp!
Ketika kepalan lelaki kurus itu datang mendekat. Kenanga mengulurkan jari-jari tangannya tanpa menggeser tubuh. Akibatnya, kepalan itu tertangkap dan seperti melekat di telapak tangannya. Tentu saja kejadian yang tak pernah diduga itu membuat lawan kaget
"Ilmu setan...!" desis lelaki tinggi kurus itu terengah-engah dengan wajah berpeluh. Meskipun seluruh tenaganya telah dikerahkan, tapi tetap saja kepalannya tidak bisa dilepaskan.
"Heaaah...!" Merasa penasaran, lelaki tinggi kurus itu membentak keras seraya mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik pulang kepalannya. Sayang, justru saat itu Kenanga sengaja mengendurkah genggamannya. Sehingga....
EMPAT
"Ahhh...?!" Lelaki tinggi kurus itu terkejut bukan main. Ketika tangannya ditarik, tubuhnya langsung jatuh terjengkang ke belakang karena Kenanga telah melepaskan cengkeramannya.
Gusrakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu jatuh melanggar penduduk yang berkerumun di belakangnya. Keadaan menjadi semakin ramai, ketika beberapa penduduk yang terlanggar tubuh lelaki kurus itu ikut terjatuh. Sehingga tubuh mereka saling bertindihan. Merasa telah dipecundangi di depan orang banyak, lelaki kurus itu menjadi marah. Dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang.
Srattt..!
Secercah sinar putih berkelebat diiringi suara berdesing, ketika senjata itu tercabut keluar dari sarungnya. Bersamaan dengan itu, beberapa orang lainnya ikut menghunus senjata. Jelas, tindakan mereka bukan lagi kekerasan biasa. Karena dengan menghunus senjata, bukan tidak mungkin akan ada korban yang jatuh.
"Tahan...!" Panji yang sejak tadi kelihatan sabar dan selalu tersenyum, tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras yang membuat orang-orang Desa Larang terlompat dan jatuh terduduk, termasuk lelaki bertubuh kurusdan kawan-kawannya yang telah menghunus senjata. Akibatnya, mereka merasa gentar setelah merasakan kehebatan pemuda tampan itu.
"Kisanak sekalian. Kami datang ke desa ini tanpa maksud jahat sedikitpun! Kami hanya sekadar singgah untuk melepaskan lelah. Setelah itu, akan meninggalkan desa ini untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, tindakan kalian semakin menjadi-jadi, karena kami terlalu mengalah. Untuk itu, kuharap persoalan selesai sampai di sini, dan biarkan kami pergi.,.," ujar Panji dengan suara lantang.
"Kupikir Kakang tidak bisa naik darah...," goda Kenanga berbisik di telinga kekasihnya, membuat Panji menahan senyum.
Tampaknya bentakan Panji barusan membunt orang-orang Desa Larang belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Mereka bungkam seraya menatap pemuda itu dengan sinar mata bodoh. Melihat semua itu, Panji mengajak Kenanga untuk segera meninggalkan desa itu.
“Tunggu...!"
Baru beberapa langkah sepasang pendekar muda itu berjalan, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang membuat keduanya menghent ikan langkah dan berbalik. Seorang lelaki bertubuh gemuk yang rambut di atas telinganya sebagian memutih, bergerak menghampiri Panji dan Kenanga dengan menunggang seekor kuda jantan berbulu hitam. Setelah dekat, lelaki yang tidak lain Ki Samiang itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Beberapa orang pengawal tampak menyertai laki-laki tua itu dengan keadaan siap tempur.
"Hm.... Kudengar ada orang asing yang mendatangi desa ini dan telah membuat keributan. Apakah kalian berdua orangnya...?" tanya Ki Samiang yang meskipun nadanya lembut tapi jelas menyiratkan ketidak senangan hatinya.
Panji yang melihat wajah orang tua itu kelihatan cukup bijaksana, segera menyentuh tangan kekasihnya agar tidak membuat persoalan baru. Kenanga mengerti isyarat pemuda itu, hingga menahan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya. Dan menyerahkan persoalan itu kepada Panji.
"Maaf, kalau kehadiran kami telah mengganggu penduduk desa ini. Tapi, kami tidak bermaksud buruk apalagi mencari keributan. Kalau memang kedatangan kami dianggap suatu kesalahan, harap dimaafkan. Sekarang, biarkan kami pergi tanpa diganggu," ujar Panji untuk menjawab pertanyaan Ki Samiang dan menunjukkan ketegasan tindakannya. Sehingga, lelaki tua itu tertegun tak bisa berkata-kata lagi.
Melihat orang tua itu terdiam, Panji segera mengajak kekasihnya untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, baru beberapa tindak mengayun langkah, kembali terdengar panggilan yang ditujukan kepada mereka.
"Kisanak, harap tunggu sebentar...," seru Ki Samiang. Nada suaranya kini terdengar lebih lunak. Rupanya ucapan Panji tadi membuat orang tua itu terkesan. Juga merasa yakin kalau pasangan muda itu orang baik-baik, dan mungkin memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu diduganya dari cara pemuda itu berbicara dan bersikap, penuh keyakinan dan ketegasan membuat Ki Samiang kagum.
Semula Panji tidak mengacuhkan panggilan itu. Tapi, ketika mendengar suara langkah orang berlari dibelakangnya, akhirnya pemuda itu menghentikan langkahnya untuk yang kedua kali, dan berbalik menghadap Ki Samiang.
"Kisanak. Setelah mendengar kata-katamu tadi, aku yakin kalau kalian berdua orang baik-baik. Untuk itu, atas nama semua warga Desa Larang, aku minta maaf atas kejadian tidak menyenangkan yang kalian alami," ujar lelaki tua bertubuh gemuk itu sambil menganggukkan kepala.
Panji maupun Kenanga bukanlah orang-orang pendendam. Mereka tentu saja merasa kagum dengan ucapan orang tua itu. Sebab, jarang orang yang mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Apalagi mengingat umur mereka terpaut jauh, hingga membuat Panji tidak enak.
"Kami pun minta maaf apabila ucapan atau kelakuan kami mungkin agak sedikit kasar...," ujar Panji sambil melebarkan senyumnya dengan dada lapang, karena merasa lega persoalan di antara mereka telah selesai.
"Nah, jika demikian, biarlah sekarang aku mengundang kalian berdua ke rumahku. Dan kuharap kalian tidak menolak...," pinta Ki Samiang setengah memaksa. Sehingga Panji maupun Kenanga tidak bisa menolaknya.
"Mudah-mudahan kehadiran kami tidak merepotkan...," ujar Panji yang disambut tawa perlahan oleh Ki Samiang. Sehingga, suasana di antara mereka semakin akrab.
Ki Samiang melangkah mengajak kedua tamunya menuju tempat tinggalnya. Saat itu Panji dan Kenanga belum menduga kalau Ki Samiang adalah Kepala Desa Larang. Tapi, mereka tidak terlalu terkejut, karena dari sikap dan cara berbicara orang tua itu keduanya sudah bisa menebak. Atas permintaan Ki Samiang, Panji dan Kenanga terpaksa harus melewatkan malam ditempat kediaman kepala desa itu.
"Sebenarnya, apa yang membuat orang-orang desa ini tidak suka kepada pendatang, Ki...?" Panji menyempatkan diri untuk mengorek keterangan dari Ki Samiang tentang sikap orang-orang Desa Larang yang menurutnya agak ganjil. Saat itu mereka bertiga tengah duduk di beranda depan sambil menikmati keindahan suasana malam.
"Hhh...!" Ki Samiang menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Panji. Kelihatannya orang tua itu merasa berat untuk mengingat peristiwa pahit yang pernah dialaminya.
"Kejadiannya belum lama berlalu. Kematian ada lima orang pendatang memasuki desa ini. Mereka membuat kekacauan, sehingga Ki Kaliga, yang menjadi kepercayaanku harus turun tangan untuk menghentikannya. Sayang, kelima orang itu bukan tokoh sembarangan. Ki Kaliga dapat ditundukkan oleh salah seorang dari mereka. Entah apa yang mereka inginkan dari kepala keamanan desa itu, sampai-sampai mereka menculiknya...," jelas Ki Samiang membuat Panji dan Kenanga mulai mengerti dan memaklumi sikap orang-orang desa.
"Apakah Ki Samiang sudah bersaha untuk mencari Ki Kaliga?" tanya Kenanga ikut menimpali.
"Kami sudah berusaha untuk mencari kelima orang asing itu. Tapi, sebelum sempat menemukan jejak mereka, ada lagi warga desa kami yang tertimpa musibah. Tepatnya, di dekat Hutan Larangan kami menemukan mayat salah seorang warga desa. Tapi, orang yang satunya lagi tidak dapat kami temukan. Untuk mencarinya ke dalam hutan, tidak mungkin, karena tidak ada seorangpun dari kami yang berani memasuki Hutan Larangan. Itu merupakan pantangan turun-temurun," jelas Ki Samiang lagi.
"Hm.... Apakah orang yang tidak ditemukan mayatnya itu bertubuh gagah berusia kira-kira enam puluh tahun?" tanya Panji saat teringat seorang lelaki tua yang dikeroyok serigala-serigala kelaparan hingga tewas.
"Benar sekali! Apakah kalian pernah melihat atau berjumpa dengannya?" Ki Samiang kelihatan sangat bernafsu ketika mendengar penjelasan Panji tentang ciri-ciri Ki Jatayu. Lelaki tua itu berharap agar Panji benar-benar berjumpa dengan Ki Jatayu.
"Kemarin malam, saat kami berdua melewatkan malam disebuah hutan kecil, ada seorang lelaki tua berperawakan gagah yang diserbu segerombolan serigala kelaparan. Sayang, kami terlambat datang. Orang tua itu telah tewas karena luka-luka di tubuhnya yang terlalu banyak mengeluarkan darah," jelas Panji, membuat Ki Samiang mendekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kelihatan sekali kalau orang tua itu sangat terpukul
"Lalu...," suara Ki Samiang terdengar agak parau ketika melontarkan pertanyaan menggantung itu.
"Setelah malam berganti pagi, kami menguburkan jenazah orang tua itu di dekat sebuah sunga kecil di selatan desa ini," jawab Panji lagi yang mengetahui ke mana arah pertanyaan Ki Samiang.
Kepala Desa Larang itu menarik napas berulang-ulang. Kelihatan sekali kalau dia merasa berduka dengan kejadian yang mengerikan itu.
"Ki, apakah peristiwa seperti ini sudah seringkali terjadi?" Panji baru berani mengajukan pertanyaan ketika Ki Samiang telah me lepaskan kedua telapak tangannya dari wajah.
"Justru karena tidak pernah terjadi sebelumnya maka aku menjadi cemas. Sebab, kemungkinan besar peristiwa ini akan berkelanjutan. Bahkan bukan mustahil, serigala-serigala kelaparan itu akan berkeliaran sampai ke desa. Itu yang aku khawatirkan, Panji," jawab Ki Samiang mengungkapkan kekhawatirannya yang selama ini hanya dipendam dalam hati. Lelaki itu tidak ingin menceritakan perasaannya itu kepada keluarga atau warga Desa Larang. Baru kepada Panji diungkapkannya rasa khawatir itu.
"Kalau sampai demikian, sungguh berbahaya sekali...," desah Panji, memaklumi kekhawatiran Kepala Desa Larang itu.
Kecemasan lelaki itu menandakan dirinya adalah seorang kepala desa yang baik dan penuh tanggung jawab. Kenyataan itu membuat Panji dan Kenanga bertambah hormat padanya.
"Bagaimana jika kami berdua mencegah binatang-binatang kelaparan itu, agar tidak sampai berkeliaran ke desa ini atau desa-desa lainnya?" usul Panji menawarkan bantuan. Rupanya pemuda itu merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang banyak, khususnya warga Desa Larang.
"Pekerjaan itu sangat berbahaya, Panji. Bisa-bisa kau yang akan menjadi korban kebuasan serigala-serigala kelaparan itu. Tidak. Aku tidak ingin kau celaka hanya karena ingin membantu meringankan beban pikiran ini," sahut Ki Samiang tidak bisa menerima usul Panji.
"Jangan pikirkan keselamatan kami, Ki. Tapi, pikirkanlah apa yang akan menimpa warga desa ini bila serigala-serigala kelaparan itu tidak segera dicegah. Kematian bukanlah hal yang menakutkan bagi kami berdua. Karena kami hidup berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak kami menemui ancaman maut yang nyaris membawa kematian. Jelasnya, kami berdua bersedia mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak. Itu sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah," ujar Panji mempertahankan pendapatnya untuk membantu Ki Samiang dalam persoalan itu.
Ki Samiang terdiam ketika mendengar ucapan Panji. Kebenaran ucapan pemuda itu memang tidak bisa dibantah. Lelaki tua itu pun tahu kalau kedua orang tamunya benar-benar ingin membantu, tanpa mengharapkan imbalan darinya.
"Panji, serigala-serigala itu ke mungkinan besar penghuni Hutan Larangan yang kami anggap sebagai tempat suci, dan tempat bersemayam roh para leluhur kami. Jelas untuk mengusir pergi binatang binatang itu bertentangan dengan kepercayaan yang kami anut. Itu salah satu alasan yang membuat aku pusing." Akhirnya Ki Samiang mengungkapkan kembali keresahan hatinya. Dan, alasan itu membuat Panji terdiam.
"Jadi, dengan kata lain Ki Samiang hendak membiarkan saja bila serigala-serigala buas itu memasuki desa, lalu mencabik-cabik tubuh bocah tak berdosa dan orang-orang tua lemah, begitu?" ujar Panji setelah beberapa saat lamanya terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk membangkitkan semangat Ki Samiang yang telah lenyap terpengaruh kepercayaan yang dianutnya
"Hhh.... Sebaiknya kita lihat saja kelanjutan malapetaka ini. Jika perkiraanku benar. Terpaksa aku harus melanggar kepercayaan yang selama turun-temurun kami anut, demi keselamatan penduduk Desa Larang yang menjadi tanggung jawabku ini." Karena tidak bisa membantah ucapan Panji, akhirnya Ki Samiang memutuskan untuk melihat kelanjutan kejadian itu lebih dahulu.
"Baiklah, Ki. Aku setuju. Mudah-mudahan apa yang kita khawatirkan tidak menjadi kenyataan" Panji pun akhirnya mengalah dan tidak berusaha untuk mendesak lagi. Tentu saja pemuda itu berharap agar apa yang mereka khawatirkan tidak akan terjadi.
Malam semakin bertambah larut ketika ketiga orang itu terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing. Bintang-bintang yang tampak di angkasa menjadi perhatian mereka. Tiba-tiba....
"Auuung!"
Lolongan serigala terdengar sayup-sayup hingga menembus pendengaran ketiga orang itu. Ki Samiang tersentak bangkit dari duduknya. Seolah lolongan serigala tadi tidak jauh dari tempat itu. Dari sikapnya itu dapat ditebak kalau sejak tadi Ki Samiang masih memikirkannya.
"Mungkinkah malam ini binatang-binatang kelaparan itu kembali me minta korban?" desis Ki Samiang bertanya pada diri sendiri. Wajah lelaki tua itu tampak tegang. Sehingga Panji merasa perlu untuk menenangkan hatinya
"Binatang-binatang itu masih jauh berada di dalam hutan, Ki. Jadi kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Biarlah kami akan meronda untuk berjaga-jaga dan sekaligus menikmati keindahan malam yang cerah ini..," ujar Panji membuat Ki Samiang tersentak dari lamunannya.
Lelaki tua itu menganggukkan kepala, karena meronda memang perlu dilakukan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu, serigala-serigala itu benar-benar akan muncul untuk memasuki Desa Larang.
"Ki Samiang tidak perlu mengkhawatirkan kami. Bukankah di luar banyak peronda desa yang sedang berkeliling? Jadi, anggap saja kami sedang berjalan-jalan mencari udara malam," sebelum meninggalkan orang tua itu, Panji kembali mengingatkan agar Ki Sa miang tidak terlalu dilanda ketegangan.
"Hm.... Terserah kalian. Mudah-mudahan dengan tidur aku bisa melenyapkan segala keruwetan ini...." ujar Ki Samiang sambil melangkah masuk ke rumahnya diiringi pandang mata Panji dan Kenanga. Setelah sosok orang tua itu lenyap di balik pintu, Panji bergerak mengajak kekasihnya mengelilingi desa untuk berjaga-jaga.
"Kepercayaan yang dianut Ki Samiang beserta warga desanya terasa aneh bagiku, Kakang. Apa yang mereka harapkan dengan menganggap Hutan Larangan sebagai tempat suci dan tempat bersemayam roh-roh leluhur mereka? Apakah itu berarti mereka menyembah roh leluhurnya demi maksud-maksud tertentu?" Sambil melangkah, Kenanga mengemukakan apa yang mengganjal hatinya, sewaktu mendengar penuturan Ki Samiang tadi.
"Hm.... Di dunia ini terdapat bermacam-macam kepercayaan, Kenanga. Semua itu kebanyakan warisan dari leluhur-leluhur mereka. Mungkin mereka mendapatkan apa yang dicarinya setelah melakukan penyembahan pada roh nenek moyang. Kita tidak boleh mengganggunya. Apalagi kalau itu sudah menjadi keyakinan mereka dan diwariskan secara turun-temurun, rasanya sulit untuk dirubah," timpal Panji membuat Kenanga mengangguk-angguk mengerti.
Malam semakin larut saat sepasang pendekar muda itu bergerak menerobos kegelapan malam, yang sesekali ditingkahi hembusan angin dingin. Sejauh itu, belum tampak tanda-tanda adanya sesuatu yang mengancam ketenteraman Desa Larang. Sehingga, kedua pendekar muda itu menarik napas lega.
LIMA
"Auuung...!"
Saat udara malam semakin dingin, lolongan serigala kembali terdengar, membuat bulu tengkuk meremang. Panji yang sedang berjalan bersama Kenanga menghentikan langkah. Saat itu pendengaran mereka yang tajam menangkap langkah-langkah lembut bergerak menuju desa.
"Kakang, lihat..!" desis Kenanga seraya menunjuk sebuah tempat yang terhalang kerimbunan pohon.
Di kegelapan malam, tampak tiga pasang mata merah menyala tengah menatap mereka tanpa berkedip. Sebagai orang-orang yang telah berpengalaman, tentu saja mereka tahu kalau tiga pasangi mata itu adalah mata serigala!
"Kekhawatiran Ki Samiang ternyata tidak meleset jauh. Meskipun baru tiga ekor yang terlihat, tapi binatang-binatang kelaparan itu benar-benar berkeliaran sampai ke desa ini. Padahal letak hutan yang dimaksud Ki Samiang cukup jauh dari sini," gumam Panji perlahan. Sedangkan matanya tidak beralih dari tiga pasang mata bulat merah menyala dalam kegelapan itu.
"Apa kita akan langsung mengusir binatang-binatang itu, Kakang...?" tanya Kenanga meminta pendapat Panji. Agaknya dara jelita ini tidak ingin bertindak ceroboh dalam menghadapi binatang-binatang buas itu.
"Sebaiknya kita lihat saja dulu, apa yang akan dikerjakan serigala-serigala itu di desa ini...," sahut Panji, yang mulai melangkah mundur untuk memancing binatang liar itu keluar dari kegelapan. Melihat kekasihnya telah bergerak mundur, Kenanga segera mengikuti tanpa banyak tanya. Dara jelita itu tahu apa yang diinginkan Panji.
"Keaaak.... Kik..., kik.., kik..!"
"Hei...?!"
Terkejut bukan kepalang sepasang pendekar muda itu saat melihat sesosok bayangan hitam yang menyerupai kekelawar raksasa, menyeberang dari satu pohon ke pohon lain dengan memperdengarkan tawa yang membuat bulu kuduk merinding.
"Apa itu, Kakang...?" desis Kenanga yang terjajar mundur karena suara dan sosok menyerupai kelelawar raksasa itu begitu tiba-tiba datangnya.
"Hm.... Binatang apa pula itu...?" gumam Panji yang seperti juga Kenanga, tidak melihat secara jelas sosok mirip kelelawar raksasa yag telah lenyap dibalik kerimbunan pohon.
"Tampaknya seperti kelelawar raksasa, Kakang. Tapi, mengapa suaranya demikian aneh dan menyeramkan?" gumam dara jelita itu sambil terap memandang pohon tempat sosok yang mirip kelelawar raksasa itu lenyap.
"Jangan-jangan makhluk itu sejenis binatang penghisap darah. Kita harus tetap siaga, Kenanga. Mungkin saja malam ini akan ada kejadian yang menggemparkan Desa Larang...," sahut Panji, mencoba menduga-duga maksud ke munculan sosok mirip kelelawar itu.
Makhluk itu tidak mungkin manusia, karena sosok bayangan hitam tadi dapat terbang di udara. Dan itu bukan lagi merupakan ilmu meringankan tubuh. Kenyataan itu membuat kepala Panji dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang tak terjawab.
"Apakah kita akan melaporkannya kepada Ki Samiang, Kakang?" tanya Kenanga merasa khawatir jika makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu akan melakukan kejahatan di Desa Larang.
"Sebaiknya jangan dulu. Aku ingin melihat dengan jelas, seperti apa sebenarnya makhluk bersuara mengerikan itu...," sahut Panji seraya mengambil sebuah kerikil dan melemparkannya ke pohon berdaun rimbun yang tingginya mencapai sepuluh tombak.
Krosakkk!
Kerikil yang dilemparkan Panji dengan mengerahkan tenaga dalam itu melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas dari busur. Dan terus menerobos timbunan dedaunan. Sehingga....
"Keaaak...! Kaaak..., kaaak!"
Makhluk yang membuat penasaran sepasang pendekar muda itu melesat keluar dari rimbunan dedaunan sambil memperdengarkan pekik kemarahan. Kemudian terbang mengepakkan sayapnya yang besar dan nampak kokoh. Rupanya makhluk itu hendak berpindah ke pohon lain.
"Hm... Hendak kulihat seperti apa rupamu sebenarnya...," desis Panji segera melayang ke udara untuk mencegah kepergian makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu.
"Haiiit..!"
Dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan, Panji melontarkan pukulan jarak jauh untuk menjatuhkan makhluk aneh dan mengerikan itu.
"Kaaakkk..!"
Makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu seperti tahu ada bahaya yang datang mengancam. Sayapnya yang besar dikepakkan, seolah hendak memapaki pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih.
Plarrr...!
Heran bukan main hati Panji ketika melihat makhluk itu mampu memapaki pukulan jarak jauhnya. Padahal pukulan itu sanggup memecahkan batu karang sebesar kerbau. Tapi, makhluk itu sanggup menahan pukulannya.
"Luar biasa! Hebat sekali kekuatan yang dimilikinya. Makhluk itu bukan saja tidak jatuh, bahkan sanggup menghadapi pukulan jarak jauh yang kulontarkan...," desis Panji heran menyaksikan kejadian itu. Bagaimana mungkin makhluk itu bisa memiliki kekuatan sedemikian hebat sampai mampu meredam kekuatan pukulannya?
"Keaaakhhh...!"
Rupanya makhluk raksasa itu marah terhadap Panji. Terbukti, setelah lenyap di balik pohon, makhluk itu kembali muncul. Malah kali ini menukik turun. Tujuannya adalah Panji yang barusan menyerang dengan pukulan jarak jauh.
"Kakang! Makhluk itu hendak membalas seranganmu!" seru Kenanga cemas ketika melihat makhluk itu mengincar kekasihnya dengan pekikan marah yang menggetarkan jantung.
"Tenanglah, Kenanga. Aku pun ingin tahu sampai di mana kekuatan makhluk aneh itu. Dan apa maksudnya berada di daerah ini,..!" seru Panji yang segera bersiap menyambut serangan makhluk mirip kelelawar raksasa itu.
Werrrr...!
Disertai suara menderu yang timbul dari kepakan sayapnya, makhluk itu meluncur datang menerjang Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Tepat pada saat kedua sayap binatang raksasa itu bergerak hendak menggeprak tubuhnya, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Akibatnya....
Bresssh!
"Keaaakhhh...!"
Makhluk itu memekik keras ketika sepasang telapak Pendekar Naga Putih berbenturan dengan sepasang sayapnya yang besar dan kuat. Akibatnya, tubuh makhluk itu terdorong sejauh satu setengah tombak lebih! Sedangkan Panji sempat terjajar empat langkah ke belakang.
"Hebat! Makhluk itu benar-benar luar biasa! Tenaganya tak ubahnya seperti tenaga dalam tokoh-tokoh persilatan!" ujar Panji setelah memperbaiki kuda-kudanya dan kembali bersiap menghadapi serangan berikutnya.
"Keaaakhhh...!"
Makhluk itu ke mbali muncul dan berputaran di udara setelah sebelumnya menghilang di kerimbunan pohon. Agaknya makhluk itu ragu untuk melanjutkan serangannya. Mungkin ia gentar setelah merasakan kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu. Karena beberapa saat kemudian, sosok makhluk raksasa itu melayang pergi. Caranya pun sangat aneh, yaitu dengan terbang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hi hi hi...! Rupanya kelelawar raksasa itu merasa gentar bertarung denganmu, Kakang. Buktinya ia melarikan diri sambil memekik marah" Kenanga tertawa lirih ketika menyaksikan kelelawar raksasa itu pergi meninggalkan tempat ini. Mungkin kembali ke sarangnya
"Hm... Meskipun begitu, aku tetap penasaran. Kelelawar raksasa itu pasti akan muncul lagi di desa ini. Yang membuat aku bertanya-tanya, dari mana makhluk itu datang? Dan apa yang dicarinya di desa ini?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya masih merasa penasaran, karena seumur hidupnya baru kali ini melihat kelelawar sebesar itu. Bahkan sangat terlatih, dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Buktinya, meskipun Panji telah mengerahkan tiga perempat tenaganya, makhluk itu tidak terluka sedikit pun, kecuali terdorong ke belakang. Ini suatu hal yang sangat luar biasa!
Baru saja Panji berhenti berbicara, terdengar gerengan lirih dari balik kegelapan pohon. Ketika sepasang pendekar muda itu menoleh, mereka tidak lagi melihat tiga pasang mata merah menyala, melainkan puluhan pasang mata yang tengah menatap keduanya dari kegelapan. Rupanya serigala-serigala kelaparan itu telah semakin banyak berkumpul di tempat itu.
"Hm.... Binatang-binatang licik itu rupanya menunggu kawan-kawannya untuk bersama-sama menyerang kita," gumam Kenanga yang diam-diam berdiri juga bulu kuduknya melihat puluhan pasang mata merah di kegelapan malam itu.
Apa yang diduga Kenanga ternyata tidak salah. Setelah berjumlah puluhan, serigala-serigala kelaparan dan buas itu mulai bergerak ke luar dari kegelapan. Terdengar gerengan-gerengan binatang itu sambil bergegas maju dengan langkah-langkah perlahan.
"Binatang-binatang ini jelas sangat berbahaya hingga berani memasuki desa untuk mencari makan. Sebaiknya kita beri pelajaran agar mereka jera datang kembali ke desa ini....." gumam Panji, sambil menunggu binatang-binatang itu tiba dekat
"Haaat..!"
Begitu sertgala-segiala terdepan menerjang Panji dengan lompatan panjang dan moncong terbuka, Pendekar Naga Putih langsung mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan kanan. Terdengar lenguh kesakitan binatang-binatang itu yang berpelantingan terkena tamparan dan tebasan sisi telapak tangannya.
Lain lagi dengan Kenanga. Melihat binatang-binatang itu berlomba menerjang tubuhnya, Pedang Sinar Rembulan-nya langsung diloloskan dari ikat pinggang. Kemudian, membabat serigala-serigala lapar itu dengan ganas.
Crattt! Crattt!
Tanpa ampun lagi, binatang-binatang jahat itu segera bertumbangan satu persatu. Darah segar mengalir membasahi permukaan bumi. Sebentar saja, dara jelita itu sudah merobohkan tiga belas serigala yang mengeroyoknya.
"Hm.... Hayo, majulah kalian...!" tantang Kenanga ketika melihat serigala-serigala itu berlompatan mundur dan berputaran mengelilinginya. Sepertinya binatang-binatang itu ingin mencari kelemahan korbannya.
Sedangkan Panji sendiri sudah merobohkan belasan serigala yang mengeroyoknya. Sehingga, binatang yang biasanya mencari mangsa secara berkelompok itu kelihatan gentar terhadap sepak terjangnya. Terbukti, satu dua ekor binatang itu mulai bergerak menyingkir dan hanya menyaksikan dari kejauhan. Di sinilah letak kelicikan serigala. Kadang tidak ingin bersusah-payah mengeluarkan tenaga, dan hanya menanti sisa dengan penuh kesabaran. Tapi, baik Panji maupun Kenanga bukanlah calon korban yang mudah untuk dimangsa. Sebaliknya, justru binatang- binatang itulah yang menjadi korban amukan sepasang pendekar muda itu.
Selagi Panji dan Kenanga bertempur dengan gerombolan serigala, tiba-tiba terlihat sinar obor bermunculan ditingkahi suara hiruk-pikuk. Tak berapa lama kemudian, muncullah para peronda desa yang berjumlah sekitar sepuluh orang. Kedatangan para peronda itu membuat gerombolan serigala melarikan diri meninggalkan calon mangsanya dalam keadaan utuh dan selamat
"Ah! Syukurlah kalian selamat Ketika mendengar suara serigala-serigala liar itu, langsung lari mencari asal suaranya yang terdengar ribut. Kiranya binatang-binatang kelaparan itu tengah mengeroyok kalian...," ujar pimpinan peronda desa yang berperawakan tegap dengan kumis tebal menghias wajahnya. Para peronda itu kelihatan kaget melihat banyak bangkai serigala di sekitar tempat itu.
"Wah! Kalian benar-benar hebat! Banyak sekali kawanan binatang itu yang tewas di tangan kalian...," puji seorang peronda yang merasa kagum melihat banyaknya bangkai serigala yang tewas oleh amukan kedua orang itu.
Panji hanya tersenyum tanpa merasa bangga akan perbuatannya. Pemuda itu terlihat mengerutkan kening. Pendekar Naga Putih tengah memikirkan, mengapa binatang- binatang itu lari berserabutan ketika para peronda datang? Panji menerka kalau ada yang ditakuti gerombolan serigala itu dari para peronda. Setelah berpikir beberapa saat, mencari jawaban apa yang membuat gerombolan serigala liar itu lari, Panji berhasil menemukan jawabannya. Menurutnya, serigala-serigala liar itu takut oleh sinar obor ditangan para peronda.
"Jika kalian berjumpa dan dikeroyok serigala, gunakanlah obor kalian untuk menyerang. Sebab, serigala-serigala liar itu takut melihat sinar obor...," ujar Panji memberi petunjuk pada para peronda.
"Gerombolan serigala buas itu takut pada sinar obor...?" tanya pimpinan peronda heran mendengar petunjuk yang sangat sederhana itu.
"Kurasa begitu. Sebab, setelah melihat kalian datang, gerombolan serigala liar itu lari berserabutan meninggalkan tempata ini," sahut Panji meyakinkan para peronda yang kemudian mengangguk-anggukkan kepala dengan perasaan lega. Karena merekapun khawatir jika serigala-serigala kelaparan itu akan datang lagi ke Desa Larang. Setelah memberikan petunjuk, Panji berpamitan dan mengajak Kenanga kembali ke rumah Ki Samiang.
********************
"Seekor kelelawar raksasa...? Apa kalian tidak salah lihat?" tanya Ki Samiang setengah tak percaya ketika Panji mengatakan mereka bertemu seekor kelelawar besar sewaktu meronda semalam.
"Benar, Ki. Bahkan aku sempat beradu tenaga dengan makhluk itu, meski tidak terlalu lama. Aku yakin sekali kalau makhluk itu seekor kelelawar raksasa. Hanya yang kurasakan aneh adalah suara teriakannya, yang menurutku lebih mendekati ringkikan kuda...," jelas Panji lagi berusaha meyakinkan Ki Samiang.
"Selain itu, gerombolan serigala kelaparan yang membuat Ki Samiang khawatir, ternyata benar-benar muncul dan menyerang kami. Untunglah para peronda keburu datang. Sehingga kami tidak terluka. Karena serigala-serigala liar itu segera melarikan diri," timpal Kenanga melengkapi cerita Panji.
Dara jelita itu sengaja tidak menceritakan, betapa mereka telah merobohkan puluhan serigala liar. Karena khawatir Ki Samiang semakin tidak percaya dan menganggap mereka telah membual. Selain itu, bangkai-bangkai serigala yang mereka, bunuh telah ditanam oleh para peronda dalam sebuah lubang besar. Dan mereka berdua berpesan agar tidak menyebarluaskan kejadian semalam, agar penduduk tidak merasa was-was.
"Tentang hal itu aku sudah mendapat laporan dari kepala ronda semalam. Untunglah kalian tidak menderita luka-luka. Kalau sampai terjadi, aku akan merasa menyesal sekali...," ujar Ki Samiang setelah menghela napas berulang-ulang.
Agaknya apa yang dipesankan Panji kepada kepala ronda semalam benar-benar dipatuhi. Buktinya, Ki Samiang tidak menyebut-nyebut mengenai serigala yang terbunuh di tangan sepasang pendekar muda itu. Karena dalam pandangan Ki Samiang, kedua orang muda itu hanya orang-orang perantau yang memiliki bekal ilmu silat untuk menjaga diri dari gangguan orang jahat
"Tentang kelelawar besar yang kami ceritakan tadi, menurut ku pasti mempunyai tempat persembunyian. Dan, satu-satunya tempat yang paling aman bagi makhluk raksasa itu adalah Hutan Larangan yang lebat dan hampir tidak pernah dijamah manusia. Untuk itu, kalau Ki Samiangm engizinkan, kami berdua berniat hendak mencari sarang binatang itu dalam Hutan Larangan," ujar Panji mengingatkan Kepala Desa Larangan tentang makhluk raksasa yang dijumpainya semalam.
"Panji, kalau benar makhluk itu ada dan mempunyai sarang di dalam Hutan Larangan. Hanya ada satu tempat yang pantas untuk menjadi tempat persembunyiannya," ujar Ki Samiang seraya menatap wajah pemuda tampan itu dengan sorot mata tajam.
"Maksudmu, Ki...?" tanya Panji menegasi
"Di dalam Hutan Larangan ada sebuah goa yang kami namakan Goa Larangan. Tempat itu cukup luas dan dalam, meskipun gelap karena sinar matahari tidak masuk ke dalamnya. Yang menjadi persoalan, baik hutan maupun goa itu tidak boleh didatangi siapa pun! Kecuali bila kami hendak melakukan penyembahan pada roh leluhur kami. Dan itu biasa dilakukan setelah selesai panen." Ki Samiang kembali menerangkan pada Panji dan Kenanga bahwa kedua tempat itu tidak boleh didatangi.
"Baiklah, Ki. Kami memaklumi dan menghormati kepercayaan yang dianut penduduk desa ini. Tapi, kalau kami boleh tahu, apa kira-kira bentuk sembahan yang diberikan penduduk desa terhadap roh leluhur itu?" tanya Panji menyembunyikan kecurigaannya.
Bagi kaum rimba persilatan seperti Pendekar Naga Putih, tidak ada tempat yang angker atau keramat. Baik itu berupa hutan, bukit atau pegunungan. Karena justru di tempat-tempat sepi dan dianggap seram itulah, tokoh-tokoh tua rimba persilatan pergi mengasingkan diri menunggu ajal datang menjemput. Demikian juga yang dilakukan guru Panji yang berjuluk Malaikat Petir. Panji menduga kalau di dalam Hutan Larangan atau Goa Larangai ada suatu misteri yang membuatnya penasaran dai ingin mengungkapkannya.
"Sebaiknya, lupakan saja soal kelelawar raksasa itu. Bukankah makhluk itu tidak melakukan apa-apa? Siapa tahu binatang itu merupakan jelmaan dari roh leluhur kami yang hendak melindungi keturunannya dari segala bahaya yang datang mengancam. Buktinya, kelelawar besar itu baru muncul di saat serigala-serigala kelaparan itu mengganas dan berkeliaran sampai ke desa ini," ujar Ki Samiang tidak menjawab pertanyaan Panji. Menurutnya suatu hal yang tabu jika harus menjawabnya, karena ini menyangkut upacara suci.
Kenanga hampir tertawa mendengar perkataan kepala desa itu, Untung saja, dara jelita itu bisa menahannya. Panji sendiri menyembunyikan senyumnya ketika mendengar ucapan Ki Samiang. Karena biar bagaimanapun, dia tidak bisa percaya ada orang mati dapat berubah wujud menjadi binatang untuk melindungi keturunannya. Kalaupun ada, itu hanyalah dalam dongeng anak-anak Kendati demikian, Panji tidak membantah. Pemuda itu menganggukkan kepala untuk membuat hati Ki Samiang menjadi tenteram, dan tidak merasa ditertawakan.
"Jika demikian, kami mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah diberikan selama kami berada di desa ini. Harap Ki Samiang sudi memaafkan tindakan kami ini. Bukannya kami berdua tidak kerasan. Tapi sebagai pengelana, rasanya akan lebih bebas jika tinggal di alam terbuka. Selain itu, kami ingin menambah pengalaman dengan melihat bagian lain belahan bumi ini," ujar Panji membuat Ki Samiang terperanjat
"Ah! Mengapa kalian begitu terburu-buru? Tinggallah beberapa hari lagi. Selain itu, masih banyak waktu untuk melanjutkan perjalanan. Karena kalian berdua tidak mempunyai tujuan yang pasti dan harus tiba tepat pada waktunya." Ki Samiang berusaha mencegah kepergian sepasang pendekar muda itu. Tapi, Panji telah membulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan.
"Apa boleh buat. Kami hanya bisa berharap agar lain waktu kalian dapat singgah lagi di desa ini. Pintu rumahku selalu terbuka menyambut kedatangan kalian berdua...," ujar Ki Samiang akhirnya mengalah. Sebab kedua pendekar muda itu sudah tidak bisa ditunda lagi kepergiannya.
"Terima kasih, Ki. Akan kami ingat kata-katamu," ucap Panji yang diam-diam merasa terharu melihat kebaikan Ki Sa miang yang sangat tulus itu.
Kepala Desa Larang itu berdiri di beranda rumahnya mengiringi kepergian sepasang orang muda yang menimbulkan rasa suka di hatinya. Baru setelah bayangan Panji dan Kenanga lenyap dari pandangan, Ki Samiang melangkah masuk kedalam rumahnya.
********************
ENAM
"Keparat! Kau benar-benar keras kepala! Apa yang membuatmu lebih suka mati daripada menunjukkan di mana letak Goa Larangan?!" bentak lelaki tinggi kurus bermata cekung seraya mengayunkan kakinya menendang tubuh di bawahnya yang meringkuk lemah.
"Aaakh...!" Lelaki gagah itu terguling-guling terkena tendangan keras yang dilancarkan lelaki tinggi kurus bermata cekung yang tidak lain Ki Gontang. Darah segar tampak mengalir dari mulut lelaki gagah yang bernama Ki Kaliga.
"Cepat katakan, dimana letak Goa Larangan itu...?!" Kembali Ki Gontang membentak sambil menarik bangkit tubuh gagah yang wajahnya telah dipenuhi darah.
"Sampai mati pun aku tidak sudi menunjukkannya...," rintih Ki Kaliga dengan suara serak. Lelaki gagah itu ternyata tidak takut menghadapi kematian atau siksaan. Karena berada di dalam Hutan Larangan itu saja sudah merupakan pantangan baginya. Apalagi harus menunjukkan Goa Larangan. Tentu saja Ki Kaliga tidak mau melanggar pantangan itu untuk kedua kalinya.
"Hm.... Baik kalau begitu! Aku ingin lihat sampai di mana kau sanggup menahan siksaan yang akan kuberikan padamu nanti!" geram Ki Gontang hampir kehabisan akal menghadapi kebandelan tawanannya itu.
Sudah beberapa hari ini, sejak dirinya menculik Ki Kaliga dan Desa Larang, Ki Gontang terus memaksanya agar menunjukkan letak Goa Larangan. Tapi, lelaki tua itu tetap tidak mau menunjukkan meskipun harus menerima siksaan yang menyakitkan. Pada hari keempat sejak Ki Kaliga diculik, kesabaran Ki Gontang sudah habis. Maka, siksaan yang akan diberikan pada Ki Kaliga pun jauh lebih hebat dari siksaan sebelumnya.
"Buka semua pakaian yang melekat di tubuhnya...," perintah Ki Gontang pada Kambala yani bertubuh kekar.
Tanpa membantah lagi, Kambala langsung saja melucuti semua pakaian yang menempel ditubuh Ki Kaliga. Tentu saja lelaki gagah itu jadi terkejut bercampur heran.
"Hei, apa yang hendak kalian lakukan?" teriak Ki Kaliga yang hanya dapat berteriak-teriak tanpa mampu melakukan perlawanan. Karena seluruh tenaganya telah terkuras habis akibat siksaan demi siksaan yang dialaminya dalam beberapa hari itu.
"Hm.. Kau rasakan akibat kekerasan sikapmu, Kaliga!" ujar Ki Gontang dengan sorot mata bengis. Tidak sedikit pun terlihat gambaran rasa kasihan pada wajah lelaki itu. Malah dia tampak semakin gembira saat melakukan penyiksaan.
"Bawa dia ke dekat pohon itu..." Kembali Ki Gontang memberi perintah kepada Kambala, yang mematuhinya tanpa membantah sepatah kata pun. Bahkan lelaki kekar itu seperti ikut menikmati pertunjukan yang akan segera disaksikan.
"Nah! Kau lihat, Kaliga. Di pohon ini banyak terdapat semut merah yang gigitannya terasa panas di kulit Kurasa kau pasti akan suka jika tubuhmu kugantung di batang pohon ini agar semut-semut merah menggigiti tubuhmu...," ujar Ki Gontang membuat wajah Ki Kaliga makin bertambah pucat Ngeri hatinya membayangkan siksaan yang akan dijalaninya
"Keparat! Kalian semua memang bukan manusia! Orang seperti kalian pantasnya menjadi penghuni neraka!" teriak Ki Kaliga geram.
"Hm.... Kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Kalau masih membandel, silakan bersenang-senang dengan semut-semut yang manis dan lucu itu...," ujar Ki Gontang sambil memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan.
"Setan! Apa sebenarnya yang kalian cari di dalam Goa Larangan? Jika berharap akan dapat menemukan harta, kalian telah salah tempat. Di gua itu tidak ada sesuatu yang berharga untuk kalian ambil!" teriak Ki Kaliga yang tidak mengerti apa tujuan lima lelaki kasar itu mencari Goa Larangan. Padahal, sepanjang pengetahuan Ki Kaliga, di dalam goa itu tidak ada benda-benda berharga atau benda pusaka. Aneh jika kelima tokoh sesat itu bersikeras hendak mencari Goa Larangan.
"Aku tidak perlu khotbahmu! Katakan, dimana letak Goa Larangan atau kau kugantung di atas pohon itu...!" bentak Ki Gontang jengkel mendengari Ki Kaliga mengulangi kata-kata yang entah sudah berapa kali diucapkan.
Kali ini Ki Kaliga malah membisu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Sikap itu menunjukkan kalau Ki Kaliga masih tetapi mempertahankan kepercayaan yang dianutnya secara turun-temurun. Lelaki gagah itu lebih suka disiksa daripada harus menunjukkan Goa Larangan kepada Ki Gontang dan kawan-kawannya.
"Bedebah! Gantung dia...!" perintah Ki Gontang setelah menunggu beberapa saat lamanya namun bibir Ki Kaliga tetap terkatup rapat
Kambala yang bertindak sebagai algojo, segera mengikat tangan lelaki gagah itu ke belakang. Kemudian, tubuh Ki Kaliga dililit dengan tambang. Dan sekali sentak saja, tubuh lelaki gagah itu terangkat naik, tergantung di pohon. Kemudian Kambala mengikatkan tambang di tangannya ke pohon lain.
Sehingga, tubuh orang kepercayaan Kepala Desa Larang itu terayun-ayun dengan tambang yang mengikat tubuhnya tergantung di dahan pohon. Tak lama kemudian, tampak semut-semut merah bergerak beriringan menyusuri tambang, menuju tubuh Ki Kaliga yang tidak berpakaian. Dan....
"Aaakh.... Aaa!"
Ki Kaliga menjerit-jerit kesakitan ketika semut-semut merah itu menancapkan giginya ke tubuhnya. Rasa panas dan gatal membuat lelaki gagah itu meronta-ronta. Sehingga, tubuhnya terayun-ayun. Tapi, gerakan itu justru membuat semut-semut merah itu semakin tertarik. Maka, semakin banyaklah binatang-binatang kecil itu mengerubuti tubuh Ki Kaliga. Sudah pasti lama-kelamaan kulit dan daging lelaki gagah itu akan terkikis habis.
Melihat betapa Ki Kaliga tetap tidak mau berbicara, Ki Gontang segera mengajak keempat kawannya meninggalkan Ki Kaliga yang tergantung di atas pohon dan dikerubuti semut-semut merah. Agaknya, Ki Gontang mengambil keputusan untuk mencari Goa Larangan tanpa petunjuk
********************
"Kakang. Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui sampai di mana keangkeran Hutan Larangan. Apa kau tidak ingin melihatnya...?" tanya dara berpakaian serba hijau yang wajahnya tampak demikian jelita.
"Hm.... Kau pikir apa yang membuatku ingin cepat-cepat pergi dari rumah Ki Samiang? Bagaimanapun angkernya sebuah hutan, paling hanya karena banyak dihuni binatang buas. Contohnya! Hutan Randu Apus, tempat Eyang Tirtayasa tinggal Keangkeran hutan itu ternyata hanya karena banyak binatang buas yang bertubuh lebih besar dari biasanya. Itu sebabnya, aku ingin melihat apa sebenarnya yang membuat Hutan Larangan tidak ada yang berani memasukinya," jawab Panji, membuat dara jelita itu membelalakkan matanya yang indah.
"Jadi kita hendak pergi ke sana...?" seru Kenanga hampir berteriak kegirangan.
Semula dara jelita itu menduga kalau kekasihnya benar-benar akan melanjutkan perjalanan. Ternyata pemuda itu hanya ingin mengelabui Ki Samiang. Karena orang tua itu tidak mengizinkan mereka memasuki Hutan Larangan.
"Aku tidak bisa melupakan kelelawar raksasa yang kita jumpai semalam. Menurut dugaanku, satu-satunya yang pantas menjadi tempat tinggal makhluk itu adalah Hutan Larangan. Aku harus bertemu dengannya untuk mengetahui secara pasti, apakah binatang itu peliharaan seorang tokoh sakti yang bertapa dan mengasingkan diri di dalam Hutan Larangan? Itu masih harus dibuktikan," ujar Panji menjelaskan tujuannya memasuki Hutan Larangan yang dianggap tempat suci oleh Ki Samiang serta penduduk desanya.
Tapi tidak bagi Panji dan Kenanga, dan tokoh-tokoh persilatan lainnya. Panji sengaja mengambil jalan memutar untuk menghilangkan kecurigaan Ki Samiang, yang mungkin mengirimkan orang untuk mengikuti perjalanannya. Dengan mengambil jalan sebelah barat Desa Larang, itu sudah cukup untuk mengelabui Ki Samiang dan warga desanya.
Pasangan pendekar muda itu mengerahkan ilmu lari cepatnya, setelah cukup jauh meninggalkan Desa Larang. Kemudian kembali berputar menuju Hutan Larangan. Bagi tokoh berkepandaian tinggi seperti Panji dan Kenanga, perjalanan jauh dapat ditempuh dalam waktu singkat. Maka, dengan menggunakan Ilmu lari cepatnya, dalam waktu singkat saja keduanya telah tiba di tepi Hutan Larangan.
"Hm.... Tempat ini memang tampak angker dan menyeramkan. Sepantasnya memang hanya binatang-binatang buas langka saja yang menghuni hutan ini..." gumam Kenanga ketika mereka berdiri beberapa saat sebelum memasuki belantara yang cukup lebat itu.
Tanpa khawatir terhadap binatang buas dan ular berbisa, kedua orang muda itu bergerak merambah Hutan Larangan. Sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk melakukan perjalanan ini. Dan racun binatang berbisa pun tidak membuat mereka gentar. Sebab Panji mempunyai obat pemunah racun yang paling ganas sekalipun. Sehingga perjalanan dapat mereka lakukan dengan cepat
"Hhh.... Kiranya hanya begini saja hutan yang dianggap suci dan keramat oleh Ki Samiang dai warga desanya. Rasanya tidak ada yang perlu ditakuti kecuali jalan yang sangat sulit bagi orang-orang biasa," guma m Kenanga setelah merambah semakin jauh tidak lagi merasakan keangkeran Hutan Larangan. Karena menurutnya memang tidak ada yang harus ditakuti.
"Sebentar, Kenanga..." Tiba-tiba Panji menahan gerak langkahnya sambil menyentuh bahu kekasihnya. Pendekar Naga Putih mendengar suara jeritan yang samar-samar ditangkap indera pendengarannya.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga seraya menoleh ke kiri dan kanan.
"Kita ambil jalan menuju arah barat..." ujar Panji segera mengajak kekasihnya menuju ke barat.
Meski dengan wajah dipenuhi tanda-tanya, Kenanga tidak membantah. Gadis itu tahu kalau kekasihnya mungkin menangkap suara yang belum dapat didengarnya, karena masih terlalu jauh dara jangkauan indera pendengarannya. Setelah cukup lama mereka berlari menerobos se mak belukar, baru dara jelita itu bisa menangkap suara jerit kesakitan, maski masih agak samar.
Sedang bagi Panji sudah semakin jelas terdengar. Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di tempat Ki Kaliga menjalani siksaan. Pemandangan itu membuat Kenanga mengalihkan pandangannya. Sebab di sebuah dahan pohon tampak sesosok lelaki tengah tergantung dengan tubuh polos, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.
"Ihhh...!" Kenanga bergerak menjauhi tubuh Ki Kaliga yang tergantung di atas cabang pohon besar itu.
Sedangkan Panji bertindak cepat dilepaskannya lilitan tambang pada sebatang pohon yang berhubungan langsung dengan tambang yang melilit tubuh Ki Kaliga. Kemudian diturunkannya lelaki yang malang itu dengan perlahan-lahan.
"Terima kasih, Kisanak...," desis Ki Kaliga sambil menggaruk sekujur tubuhnya.
"Jangan lakukan itu, Ki. Aku mempunyai minyak gosok yang dapat mengurangi penderitaanmu...," ujar Panji mencegah perbuatan lelaki tua bertubuh gagah itu.
Lalu Panji mengeluarkan minyak dalam sebuah botol kecil. Kemudian dioleskannya ke sekujur tubuh Ki Kaliga yang berbintil-bintil karena gigitan semut merah. Bukan main gembiranya hari lelaki gagah itu ketika merasakan minyak yang dioleskan pemuda itu sanggup menghilangkan rasa panas dan gatal hanya dalam beberapa saat saja. Tanpa malu-malu lagi, diterimanya sepasang pakaian yang diulurkan Panji. Meskipun agak kekecilan, namun ternyata cukup pantas untuk dikenakan Ki Kaliga.
"Kau pasti Ki Kaliga, orang kepercayaan Ki Samiang yang menjadi Kepala Keamanan Desa Larang, bukan?" terka Panji tanpa ragu. Sebelumnya, pemuda itu memang telah mendapat penjelasan dari Ki Samiang tentang ciri-ciri Ki Kaliga, pada waktu Panji menginap di tempat' kediaman kepala desa itu.
"Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat, Anak Muda. Siapa kau sebenarnya, dan mengapa berani memasuki Hutan Larangan ini?" tanya Ki Kaliga heran. Karena dirinya merasa belum pernah berjumpa dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Namaku Panji, Ki. Dan kedatanganku ke hutan ini untuk melakukan penyelidikan tentang sesuatu yang ingin kuketahui secara pasti. Aku mendapat keterangan dari Ki Samiang tentang ciri-ciri orang kepercayaannya yang diculik lima orang asing. Sekarang kemana perginya kelima orang itu? Apa sebenarnya yang mereka kehendaki...?" ucap Panji menanyakan perihal lima orang asing yang menculik lelaki itu.
"Mereka terus masuk ke dalam hutan untuk mencari Goa Larangan. Aku berkeras tidak mau menunjukkan di mana letak Goa Larangan. Sehingga mereka menyiksaku sedemikian rupa. Lalu meninggalkanku tergantung di cabang pohon yang banyak dihuni semut-semut merah. Hm.... Biar sampai mati pun mereka tidak akan menemukan tempat itu. Karena yang dinamakan Goa Larangan adalah sebuah sumur tua yang lebar dan dalam. Kalau mereka mencari goa di dalam hutan ini, jelas tidak ada...," jawab Ki Kaliga yang tanpa sadar menceritakan semua itu pada Panji yang belum begitu dikenalnya. Entah karena rasa gembira atau pemuda itu mengenal baik Ki Samiang, sehingga Ki Kaliga langsung saja menerangkan tentang Goa Larangan secara jelas pada pemuda itu.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Apakah hendak menyusul kelima orang itu atau kembali ke desa?" tanya Panji mengalihkan perhatian Ki Kaliga agar lupa dengan apa yang baru saja diceritakannya.
"Hm.... Untuk kembali seorang diri rasanya sama dengan bunuh diri. Jika tidak dimangsa harimau atau binatang buas lainnya, mungkin terkena patukan ular berbisa. Hhh Kalian sendiri hendak berbuat apa di hutan ini? Biarlah aku ikut dengan kalian saja," jawab Ki Kaliga yang merasa serba salah.
Lelaki itu tidak mungkin dapat keluar dengan selamat dari hutan itu. Karena banyak binatang binatang berbisa dan binatang buas yang mungkin akan dijumpainya ditengah jalan. Maka dengan sangat terpaksa lelaki itu mengambil keputusan untuk ikut dengan dua orang muda itu.
"Kami hendak mencari Goa Larangan. Apakah Ki Kaliga tidak takut?" pancing Panji ingin mengetahui tanggapan orang tua itu tentang tujuannya. Padahal Pendekar Naga Putih sendiri sebenarnya tidak tahu harus pergi ke mana. Karena niatnya datang ke tempat itu hanya untuk mencari sarang kelelawar raksasa yang membuatnya penasaran.
"Hhh.... Ada apa sebenarnya di dalam Goa Larangan itu? Padahal sepanjang pengetahuanku tidak ada sesuatu yang berharga di dalam sumur tua itu," gumam Ki Kaliga heran.
"Hm... Bagaimana kau tahu kalau di dalam Goa Larangan tidak terdapat apa-apa? Bukankah belum pernah ada seorang pun yang berani memasuki goa itu?" kembali Panji memancing. Pendekar Naga Putih tentu hanya sekadar menduga-duga, mengingat Hutan Larangan dianggap sebagai tempat suci dan keramat. Selain itu, ia pun merasa heran mendengar Ki Kaliga lebih suka disiksa daripada harus memberitahukan letak Goa Larangan pada kelima orang penculiknya.
Mendengar perkataan Panji, Ki Kaliga tampak berpikir keras. Memang, selama ini belum pernah ada orang yang berani masuk ke dalam Goa Larangan. Sehingga, lelaki tua itu tidak menjawab pertanyaan Panji.
"Apa sebenarnya yang kau cari di tempat terlarang itu, Anak Muda?"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Ki Kaliga melontarkan pertanyaan itu pada Panji. Sepasang mata lelaki tua itu meneliti wajah pemuda tampan yang telah menyelamatkannya. Rupanya Ki Kaliga hendak menilai sifat Panji melalui mata pemuda tampan itu.
"Yang jelas aku tidak memerlukan harta atau benda-benda pusaka, kalau itu yang kau maksud," jawab Panji, membuat Ki Kaliga mengerutkan keningnya tak mengerti. Sebab hanya kedua hal itulah yang kebanyakan diincar orang. Bahkan diperebutkan sampai dengan taruhan nyawa.
"Lalu...?" desak Ki Kaliga ingin tahu.
"Sudah kubilang sejak tadi. Kami berdua hanya ingin membuktikan sesuatu. Kalau kukatakan, kau pasti tidak akan percaya. Sebaiknya kita segera berangkat menuju Hutan Larangan," ujar Panji membuat Ki Kaliga menjadi serba salah.
Namun, karena melihat wajah pemuda itu yang jelas tidak menampilkan watak jahat atau licik. Akhirnya Ki Kaliga memberanikan diri melanggar larangan itu. Bahkan ia bertindak sebagai penunjuk jalan bagi Panji dan Kenanga. Setelah melewati tempat-tempat yang sukar karena banyak ditumbuhi semak belukar, akhirnya mereka pun tiba di sebuah tanah lapang yang agak luas. Hamparan rumput hijau membentang di hadapan mereka. Tapi langkah Ki Kaliga tertunda ketika di depannya terlihat lima sosok tubuh berdiri tegak seolah sengaja menunggu kedatangan ketiga orang itu.
"He hehe....! Ternyata nasibmu masih baik, Ki Kaliga. Rupanya ada orang yang berbaik hati menemukandan membebaskanmu," ujar lelaki bertubuh kurus dengan sepasang mata cekung ke dalam. Sehingga kedua tulang pipinya tampak menonjol. Siapa lagi orang itu kalau bukan Ki Gontang.
Panji yang melihat kelima orang bertampang kasar itu berdiri menghadang jalan, terus saja melangkah maju, dan baru menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak. Terlihat sepasang mata pemuda tampan itu meneliti sebuah lambang yang tertera di bagian dari pakaian mereka.
"Hm.... Rupanya kalian orang-orang Partai Tapak Darah...," ujar Panji yang langsung mengenali asal kelima lelaki kasar itu. Tidak sulit untuk mengetahuinya. Lambang itu memang merupakan tanda pengenal bagi orang-orang Partai Tapak Darah yang namanya cukup disegani kawan maupun lawan. Partai itu memiliki banyak tokoh-tokoh ternama.
"Bagus kalau kau sudah mengenal kami, Anak Muda. Sekarang kau boleh pergi dari sini. Tinggalkan lelaki keras kepala dan dara jelita itu untuk kami...," ujar Gumantara yang separo kepalanya botak dengan wajah bopeng seperti bekas cacar.
Panji yang telah banyak mendengar Partai Tapak Darah bukan termasuk golongan baik-baik, tentu saja tidak ingin mengalah. Dipandanginya kelima sosok bertampang kasar itu satu persatu. Kemudian terdengar suaranya yang lantang dan jelas.
"Aku tidak peduli siapa kalian. Ada baiknya jika kalian segera angkat kaki dari tempat ini. Hutan suci ini tidak pantas diinjak-injak oleh orang-orang kotor seperti kalian. Nah! Apa lagi yang kalian tunggu...?" ujar Panji dengan sikap tenang membuat kelima orang lelaki kasar itu seperti tak percaya mendengarnya. Bahkan Ki Kaliga sendiri pucat wajahnya. Tidak pernah disangkanya kalau pemuda tampan bertubuh sedang itu tidak merasa gentar. Padahal, Ki Kaliga bukan tandingan salah seorang dari kelima tokoh Partai Tapak Darah itu.
"Hm..." Kambala yang bertubuh sekokoh batu karang, bertindak maju menghampiri Panji. Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak setengah tombak. Tubuh Pendekar Naga Putih hanya setinggi telinga Kambala, karena tubuh lelaki itu memang tergolong tinggi besar, bahkan paling tinggi di antara saudara-saudara seperguruannya.
Panji tidak menampakkan perasaan apa pun Ketenangan sikap pemuda tampan berjubah putih itu membuat Kambala merasa tidak sabar ingin segera meremas tubuh pemuda di hadapannya itu. Tapi, sampai beberapa saat lamanya, kedua orang itu masih tetap saling berhadapan dengan sorot mata tajam. Tak satu pun dari keduanya tampak memulai gerakan. Mereka sama-sama bisu seperti patung batu.
TUJUH
"Heaaah...!"
Tiba-tiba Kambala membentak keras! Sepasang lengannya yang besar terulur hendak mencekal kedua bahu Pendekar Naga Putih. Tapi, pemuda itu tampak tidak berusaha mengelak, sehingga Kambala menyunggingkan senyum mengejek dibibirnya. Tapi...
Kreppp!
"Aaah...?!" Kambala yang mengerahkan tenaganya hendak mengangkat dan membanting tubuh Pendekar Naga Putih, terkejut bukan main! Meskipun seluruh kekuatannya telah dikerahkan, tetap saja tubuh Panji tidak mampu diangkatnya.
"Apa yang kau lakukan, Orang Kuat? Jika hendak memijati tubuhku, jangan begini caranya. Kau harus tahu bagaimana cara memijat yang baik...," ujar Panji yang telah mengerahkan tenaga simpanannya untuk memberatkan tubuhnya menjadi berlipat-lipat
"Setan...!" Sadar kalau dirinya telah dipermainkan, Kambala menjadi murka. Ditariknya kedua tangan yang semula mencengkeram bahu Panji. Kemudian dia melakukan serangan menjepit kepala pemuda itu dengan tepukan telapak tangan yang dibenturkan ke kedua sisi kepala Pendekar Naga Putih.
"Yeaaa!"
Plakkk!
Begitu sepasang telapak tangan Kambala meluncur datang, Panji merendahkan tubuhnya. Sehingga, lelaki kekar itu seperti orang yang bertepuk tangan seorang diri. Tentu saja gerakan itu membuat telapak tangannya terasa pedas bukan main.
"Keparat! Kuremukkan kepalamu...!" Kemurkaan Kambala rupanya sudah naik ke ubun-ubun. Ia menerjang kalang- kabut tanpa peduli lagi dengan keselamatan dirinya. Sehingga....
Desss!
"Aughhh!" Sebuah tendangan keras, telak menghajar dada Kambala yang terlalu bernafsu dalam melancarkan serangan. Sehingga, lelaki kekar itu kecolongan! Tubuhnya terhuyung mundur, dan pada sudut bibirnya terlihat cairan berwarna merah.
Melihat kenyataan itu, Ki Gontang dan yang lain-lainnya sadar kalau pemuda itu tidak bisa dipandang ringan. Bahkan jelas merupakan lawan yang cukup berat. Terbukti dapat mempermainkan Kambala yang kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan yang lainnya. Maka, mereka langsung maju bersama-sama menghadapi pemuda itu. Bahkan masing-masing telah menggenggam sebatang pedang.
"Biar aku bermain-main dengan mereka sebentar, Kenanga...," ujar Panji ketika melihat kekasihnya bersiap hendak masuk ke dalam arena pertarungan. Sehingga, dara jelita itu menahan geraknya dan berdiri di tempat semula.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih telah dikelilingi lima orang lawannya. Meskipun demikian, pemuda itu kelihatan tetap tenang. Sehingga membuat Ki Kaliga bertanya-tanya siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih itu? Mengapa dia kelihatan demikian tenang menghadapi keroyokan lima tokoh sakti? Jawabannya pun segera muncul ketika Panji mengerahkan Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Lapisan kabut bersinar putih, keperakan yang menyelimuti tubuh Panji membuat dirinya dikenali.
"Pendekar Naga Putih...?!" Seruan ribut itu berasal dari lima tokoh Partai Tapak Darah. Tampak mereka sangat terkejut setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan yang menjadi lawan mereka. Ada bayang kegentaran di wajah mereka masing-masing. Namun, mencoba untuk ditutupi dengan sikap angkuh.
Ki Kaliga pun tidak kalah terkejutnya ketika mendengar julukan Pendekar Naga Pulih disebut. Sebuah julukan yang tidak asing di telinganya. Karena lelaki gagah itu salah seorang pengagum pendekar muda itu. Sukar dibayangkan, betapa gembiranya hati Ki Kaliga saat itu. Selain dirinya telah diselamatkan oleh pendekar yang selama ini dikaguminya, dia juga telah mengantarkan Pendekar Naga Putih yang hendak mencari Goa Larangan. Tentu saja setelah mengetahui siapa pemuda itu, Ki Kaliga akan mengantarkannya dengan senang hati.
Jika tadi Ki Kaliga memandang keheranan saat Panji mempermainkan Kambala, kini sinar mata lelaki tua itu bersinar-sinar penuh kegembiraan, karena bisa menyaksikan ilmu andalan yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Bukan main senangnya hati Ki Kaliga membayangkan betapa sebentar lagi dia akan menyaksikan ilmu andalan pendekar muda yang selama ini hanya didengarnya melalui mulut orang lain.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sudah membentuk kuda-kuda ketika lima tokoh Partai. Tapak Darah mulai bergerak berganti-ganti kedudukan. Agaknya setelah mengetahui siapa lawannya, kelima tokoh sesat itu mengandalkan ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh empat orang atau lebih.
"Haaat..!" Gontang yang menjadi pimpinan keempat kawannya berteriak nyaring. Tubuhnya meluncur cepat dengan sabetan yang berdesing tajam.
Bettt..!
Panji menggeser tubuhnya dengan kedudukan miring. Sehingga sabetan pedang lawan lewat di samping tubuhnya. Tapi, sebelum pemuda itu melontarkan serangan balasan, pedang di tangan lawannya sudah berputar balik dengan gerakan menusuk. Bahkan seorang lawannya yang lain ikut membarengi dengan sambaran pedang yang mengancam lambung pemuda itu.
"Haiiit..!"
Panji yang menyadari dirinya akan terjepit jika tetap di tempat semula, segera berseru keras sambil melesat ke udara. Dari atas, tangannya bergerak menampar batok kepala Ki Gontang yang berada di bawahnya.
Lelaki bertubuh kurus dengan sepasang mata cekung itu ternyata mampu bertindak cepat. Tamparan telapak tangan Panji luput karena kuda-kudanya telah direndahkan seraya membuang kepalanya ke belakang. Pada saat itu juga, dua buah sinar pedang meluncur datang mengancam tubuh Pendekar Naga Putih! Padahal saat itu Panji masih berada di udara.
Tapi Panji adalah pemuda gemblengan yang telah terlatih baik. Keadaan sulit itu dapat diatasinya dengan tenang. Meskipun masih berada di udara, sepasang tangannya bergerak terkembang memapaki serangan kedua pedang lawan.
Plak! Plak!
"Ahhh...?!"
Kedua lawannya memekik kaget ketika pedang mereka melenceng, sedangkan tangan mereka terasa dingin hampir membeku. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tangan itu belum dapat digunakan untuk menyerang.
Panji bukan tidak mengetahuinya, tapi pemuda itu lebih memperhatikan lawan yang berada di belakangnya. Sebab, pada saat tubuhnya meluncur turun, pedang lawan sudah siap menyambut luncuran tubuhnya. Tentu saja Pendekar Naga Putih telah mempersiapkan dengan baik cara mengatasi bahaya itu. Cepat kedua kakinya berputar sebelum menyentuh tanah. Satu menendang pergelangan tangan lawan yang memegang pedang, sedang yang lain meluncur ke dada lawan dengan mempergunakan tumit.
Plakkk! Buggg!
"Hukkkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung terlempar ke belakang terkena tendangan keras yang telak menghantam dadanya. Darah segar menetes dari sudut bibirnya, pertanda tendangan Panji telah membuat lawannya terluka dalam.
"Haiiit..!"
"Aaat..!"
Kembali kedua lawannya menerjang maju begitu Panji menjejakkan kakinya ke tanah. Diam-diam Pendekar Naga Putih kagum melihat kehebatan ilmu gabungan lawan. Tapi bukan berarti kalau Panji kewalahan. Sama sekali tidak. Bahkan serangan yang datang cepat saat tubuhnya baru menjejak tanah, dapat dihalaunya dengan kibasan kedua lengan yang membuat tubuh lawan terhuyung. Kemudian, Panji masih sempat memberikan sebuah hantaman ke tubuh Kambala.
Desss...!
Lagi-lagi Kambala harus merasakan kerasnya kepalan pemuda itu. Iganya yang terkena kepalan tangan Pendekar Naga Putih, membuat tubuh lelaki kekar itu tidak sanggup lagi mempertahankan kuda-kudanya. Akibatnya, tubuh kekar itu terbanting ke tanah dengan suara berdebuk keras. Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menerjang maju ke arah dua orang lainnya yang tengah melesat maju dengan putaran pedang yang berdesingan. Tapi...
Bresssh!
"Aaa...!"
Kedua pengeroyok itu memekik ngeri ketika dorongan sepasang telapak tangan Panji membuat tubuh mereka terpental laksana terhantam angin ribut. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh mereka jatuh terguling-guling.
"Aaat..!" Lelaki berwajah bopeng yang bernama Gumantara rupanya merasa penasaran, maka ketika Panji baru saja melontarkan serangan kearah dua orang kawannya, Gumantara memanfaatkan kesempatan itu untuk membabatkan senjatanya ke tengkuk lawan. Panji yang menangkap ada suara berdesing dibelakangnya, langsung membalikkan tubuh dengan cara berjungkir balik ke udara.
Whuuut..!
Tusukan pedang Gumantara meluncur pesat di bawah lawan. Sedangkan Panji yang berada di atas, enak saja menggedorkan telapak tangan kanannya ke punggung lelaki berwajah bopeng itu.
Beggg!
"Ughhh...!" Gumantara langsung tersungkur mencium tanah. Dan sebelum sempat dia melompat bangkit, Panji telah mengirimkan sebuah tamparan ke pelipis lawan.
Plarrr...!
Akibatnya sudah bisa dibayangkan, tubuh Gumantara berputar bagai sebuah gasing. Kemudian ambruk ke tanah dengan nyawa yang telah pindah ke alam baka. Tamparan Panji telah menyebabkan tengkorak kepalanya retak! Kematian Gumantara membuat Ki Gontang menjadi murka. Tanpa perhitungan yang masak, langsung saja dia melesat sambil menusukkan ujung pedangnya tepat menuju jantung Pendekar Naga Putih. Tapi....
Plak! Derrr !
Panji yang malah bergerak maju menyambut datangnya luncuran tubuh lawan, membuat Ki Gontang kaget. Hal itu sama sekali tidak disangkanya. Sehingga tebasan bilah pedangnya berhasil ditepiskan Panji yang bersamaan dengan itu mengirimkan hantaman telapak tangan ke dada lawan.
Tubuh Ki Gontang pun terlempar bagai daun kering yang diterbangkan angin. Kemudian ambruk ke tanah. Darah segar meleleh keluar membasahi bumi. Nyawa Ki Gontang pun melayang dengan tulang dada hancur terkena hantaman Pendekar Naga Putih.
"Haaat..!"
Seperti sebuah baling-baling, tubuh Pendekar Naga Putih berputaran di udara menghampiri Kambala dan seorang rekannya.
Blarrr!
Kali ini tidak ada ampun lagi bagi kedua orang itu. Pukulan jarak jauh Panji membuat tubuh mereka bagai disentakkan sebuah kekuatan raksasa. Sehingga mereka langsung tewas dengan tulang dada melesak ke dalam. Lawan Panji yang tinggal seorang rupanya takut menerima ke matian. Lelaki itu segera melempar pedangnya dan berlutut minta ampun.
"Ampun, Pendekar Naga Putih! Aku belum ingin mati...," ratap lelaki bertubuh sedang itu
"Hm..." Panji hanya mendengus mendengar ratapan lelaki itu. Sebenarnya Pendekar Naga Putih benci dengan lelaki cengeng seperti itu. Tapi, karena ada yang ingin diketahui, maka Panji tidak menghabisi lelaki itu.
"Coba katakan, apa yang kalian cari di tempat ini? Mengapa ingin mencari Goa Larangan? Jawab sejujurnya! Kalau tidak, aku akan mengirimmu ke neraka untuk menemani kawan-kawanmu," ujar Panji mengancam.
"Kedatangan kami ke tempat ini untuk mencari kitab pusaka Partai Tapak Darah. Pimpinan mengutus kami untuk mencarinya di sebuah tempat yang bernama Goa Larangan. Tapi kami tidak berhasil menemukannya di dalam hutan ini," jawab lelaki bertubuh sedang yang Panji tahu berkata jujur.
"Hm.... Siapa yang menyimpan kitab pusaka partaimu di Goa Larangan?" tanya Panji lagi, merasa tertarik dengan jawaban orang itu.
"Seseorang telah mencurinya. Dan kami ditugaskan untuk mengambil kembali pusaka itu sekaligus membawa pencurinya untuk dihukum," jelas lelaki itu dengan suara yang mulai tenang. Tampaknya pembicaraan itu membuatnya rupa kalau mereka adalah musuh.
"Hm.... Paman, coba tunjukkan padaku di mana Goa Larangan itu?" tanya Panji seraya melemparkan pandang ke wajah Ki Kaliga yang duduk termenung memikirkan semua kejadian yang baru dialaminya.
Mendengar dirinya dipanggil, Ki Kaliga langsung menoleh dan bergegas menghampiri Pendekar Naga Putih. "Ada apa, Panji...?" tanya lelaki tua yang tubuhnya masih terlihat gagah itu. Wajah Ki Kaliga tampak cerah, seolah merasa bangga kalau pendekar muda itu memerlukan bantuannya. Perubahan sikap Ki Kaliga itu tentu saja setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih itu.
"Antarkan kami ke Goa Larangan...," pinta Panji yang membuat Ki Kaliga bergegas melangkah tanpa membantah. Tapi ketika ekor matanya menangkap bayangan tokoh Partai Tapak Darah yang ingin ikut, Ki Kaliga tampak bimbang.
"Biarlah dia ikut bersama kita, Paman. Karena dia juga mempunyai kepentingan dengan Goa Larangan," ujar Panji mencoba bersikap adil setelah mendengar penuturan tokoh Partai Tapak Darah. Tapi tentu saja dia akan melihat lebih dulu. Karena bisa saja orang-orang Partai Tapak Darah mengaku-ngaku agar bisa mencuri kitab yang berada di Goa Larangan. Maka berangkatlah Ki Kalinga. Kenanga, Panji dan tokoh Partai Tapak Darah itu menuju Goa Larangan.
********************
DELAPAN
Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati jalan yang berbelok-belok, tibalah mereka di dekat sebatang pohon raksasa yang tingginya sekitar lima atau enam belas tombak. Tidak jauh dari pohon raksasa itu ada sebuah lubang sumur yang cukup lebat. Anehnya, meskipun sumur itu berada di dalam sebuah hutan yang cukup subur, tapi dindingnya batu padas yang keras. Sedangkan lubangnya dapat dimasuki kira-kira dua orang.
"Inikah yang dinamakan Goa Larangan, Paman...?" tanya Panji yang jika mencari sendiri pasti tidak akan dapat menemukannya seperti juga orang-orang Partai Tapak Darah. Karena yang dimaksud goa adalah sebuah sumur tua, yang mungkin telah berusia ratusan tahun.
"Benar, Panji. Sumur tua inilah yang bernama Goa Larangan. Leluhur kami yang menamakannya," jawab Ki Kaliga tegas tanpa keraguan sedikitpun
"Nah, Juntala. Inilah Goa Larangan. Lakukan apa yang menjadi keinginanmu...," ujar Panji pada tokoh Partai Tapak Darah yang memperkenalkan diri dengan nama Juntala
Melihat sumur tua yang tadi telah ditemukan bersama saudara-saudara seperguruannya, Juntai tampak bingung. Lelaki itu tidak menyangka kalau sumur tua itulah yang dinamakan Goa Larangan. Mengenai apa sebabnya sumur itu dinamakan demikian, tak seorang pun yang mengetahuinya, termasuk Ki Kaliga.
"Kau tidak ingin mengetahui dasar sumur ini?" tanya Panji ketika melihat Juntala hanya termenung di bibir sumur.
"Aku memang harus melihat dan meneliti sampai kedasarnya," sahut Juntala tersentak dari lamunannya. Lelaki itu segera bersiap hendak menuruni sumur itukarena merasa memikul tanggung jawab penuh untuk dapat menemukan kitab partainya
"Hukuman apa yang menantimu bila kau kembali dengan tangan hampa, Juntala...?" tanya Panji yang mengetahui kalau partai-partai besar beraliran hitam selalu memberi hukuman bagi setiap muridnya yang gagal melaksanakan tugas. Kemungkinan besar Partai Tapak Darah pun demikian.
"Mungkin hukuman gantung. Tapi, ketua kami menekankan agar tidak usah kembali jika gagal...," jawab Juntala yang sikapnya tidak gelisah lagi. Sebab lelaki itu percaya penuh akan kebersihan hati Pendekar Naga Putih.
Panji meninggalkan Juntala yang sudah menuruni sumur setelah menjatuhkan batu terlebih dahulu. Ketika mengetahui kalau sumur tua itu tidak begitu dalam, tokoh Partai Tapak Darah itu langsung melayang turun tanpa ragu. Tangannya bergerak menapak ke kiri dan kanan dinding sumur sebagai penahan daya luncur tubuhnya. Sehingga, lelaki bertubuh sedang itu dapat mendarat dengan baik di dalam sumur.
"Bagaimana ini, Kakang? Mana mungkin kelelawar raksasa itu tinggal di dalam sumur? Kemungkinan besar dugaanmu keliru. Makhluk itu pasti tidak tinggal di hutan ini...," ujar Kenanga yang merasa kecewa setelah melihat apa yang dinamakan Goa Larangan. Karena lubang sumur itu tidak mungkin dapat dilewati kelelawar raksasa yang memiliki sepasang sayap lebar.
"Hm.... Aku pun agak bingung. Satu-satunya dugaanku hanya Hutan Larangan ini. Karena hampir tidak pernah dijamah manusia. Jika makhluk itu tinggal di tempat lain rasanya akan mudah ditemukan orang. Dan sudah pasti akan banyak diburu orang...," jawab Panji yang sepertinya masih tetap yakin kalau kelelawar raksasa itu tinggal didaerah Hutan Larangan. Hanya saja belum bisa diketahui letaknya secara pasti
"Aaa
Pembicaraan Panji dan Kenanga terputus. Suara jeritan yang menyayat itu berasal dari dalam sumur. Siapa lagi yang mengeluarkan jerit kematian itu kalau bukan Juntala. Sebab, hanya tokoh Partai Tapak Darah itulah yang berada di dasar sumur.
"Celaka! Jangan-jangan arwah leluhur kini murka, Pendekar Naga Putih. Kalau sampai itu terjadi, malapetaka akan menggilas Desa Larang! Sudah kubilang kalau tempat ini adalah tempat keramat yang tidak boleh didatangi sembarang orang dan sembarang waktu"
Wajah Ki Kaliga terlihat pucat setelah mendengar jerit ke matian Juntala. Ingatannya kembali pada kepercayaan yang dianutnya. Sehingga mengira ke matian Juntala disebabkan tokoh itu telah berbuat kurang ajar dengan menginjakkan kakinya ditempat suci.
"Tenanglah, Paman. Semua itu hanya khayalan. Aku aka melihat ke dasar sumur, untuk memastikan apakah Juntala sudah tewas atau hanya terkena sengatan binatang berbisa...," ujar Panji menenangkan Ki Kaliga yang kelihatan sangat ketakutan.
"Ki Apakah tidak ada jalan tembus yang berhubungan dengan sumur ini?" tanya Kenanga tiba-tiba. Tapi, dara jelita itu menjadi kecewa ketika melihat gelengan kepala Ki Kaliga.
Saat itu Panji sudah bersiap untuk turun ke dasar sumur. Terlebih dahulu Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk berjaga-jaga bila ada bahaya yang mungkin menantinya di bawah sana.
"Memang sebaiknya kita periksa saja tempat itu, Kakang" Kenanga rupanya hendak ikut masuk ke dalam Goa Larangan.
Panji tidak mencegah, karena baik di dalam sumur atau di luar, sama bahayanya. Maka, pemuda itu tidak berusaha melarang kekasihnya yang ingin ikut turun ke dasar Goa Larangan.
Sementara itu Ki Kaliga sudah duduk bersemadi dengan mulut komat-kamit tak karuan. Entah apa yang diucapkannya, tidak begitu jelas terdengar. Karena lebih mirip orang yang sedang mengomel.
Setelah mempersiapkan tenaganya, Panji pun meluncur turun dengan ringannya. Tidak sulit bagi pemuda itu untuk riba di dasar sumur dengan selamat Beberapa saat kemudian, kedua kakinya sudah menjejak tanah keras yang menjadi dasar Goa Larangan. Yang membuat Panji terkejut di hadapannya ada sebuah lubang besar yang menyerupai mulut goa. Mungkin itulah yang dinamakan Goa Larangan. Sedangkan sumur tua itu hanya merupakan pintu masuk menuju tempat keramat itu.
Beberapa saat setelah Panji tiba di dasar sumur, Kenanga me luncur datang dan langsung mendarat di sebelah kanan kekasihnya. Sepasang mata bulat dara jelita itu tampak terbelalak melihat ada sebuah lubang goa di sebelah kanan dinding sumur.
"Kalau begitu, orang yang menamakan tempat ini sebagai Goa Larangan tidak salah, kakang. Tentu inilah yang dimaksud Goa Larangan yang sesungguhnya. Sedangkan sumur tua ini hanya merupakan pintu masuk...," gumam Kenanga dengan suara perlahan.
"Hm.... Mungkin semakin ke dalam akan bertambah luas. Jadi kemungkinan besar kelelawar raksasa itu bersarang di dalam Goa Larangan ini...,? ujar Panji perlahan sambil bergerak maju.
"Tapi, bagaimana mungkin kelelawar raksasa itu dapat masuk melalui sumur yang jelas tidak akan bisa dilewatinya. Karena sayap kelelawar itu sangat lebar." Kenanga masih belum percaya jika kelelawar raksasa itu bersarang di dalam goa di dasar sumur ini.
"Tenanglah. Yang penting kita harus tetap waspada. Sebab, kematian Juntala mungkin karena serangan gelap yang tidak sempat dielakkannya," bisik Panji seraya bergerak maju perlahan-lahan merapat ke dinding goa.
Kenanga berada di belakang Panji. Dara jelita itu pun bergerak maju dengan merapatkan tubuh pada dinding goa. Sehingga, mereka tidak akan terjebak bila ada lubang-lubang yang mungkin banyak terdapat di dalam goa yang gelap itu. Setelah cukup lama berjalan, tibalah mereka di sebuah tempat yang agak terang. Kagum bukan main hati Panji dan Kenanga ketika mengetahui dari mana asal cahaya yang menerangi tempat itu.
"Emas...!" bisik Panji seraya meraba dinding goa di sekitar ruangan itu. Memang tidak salah, dinding goa di ruangan itu dilapisi emas.
Kenanga pun terpaku sesaat ketika memastikan kalau dinding goa di bagian itu memang dilapisi emas murni. Tapi, karena keduanya tidak terlalu tertarik dengan harta, maka hal itu tidak membuat mereka lupa daratan dan lengah.
"Aihhh...!" Panji menarik mundur kakinya ketika merasa menginjak sesuatu. Dan ketika pemuda itu menengok ke bawah kakinya, dilihatnya tubuh Juntala yang telah menjadi mayat
"Dia tewas keracunan...! Mungkin sewaktu melihat dinding ruangan goa ini terbuat dari emas, Juntala menjadi lupa daratan dan lengah. Akibatnya, dia tidak sempat menghindar dari sengatan binatang berbisa yang hidup di dalam goa ini," ujar Panji, menduga-duga.
"Kita terus saja, Kakang...," usul Kenanga tanpa berniat untuk mengambil emas di dinding goa itu.
"Baik...," sahut Panji terus melangkah maju dengan penuh kewaspadaan.
Baru saja kaki kanan Pendekar Naga Putih bergerak melewati ruangan goa yang dindingnya berlapis emas murni, tiba-tiba....
"Ceeet... Ceeet..!"
Puluhan ekor kelelawar beterbangan keluar. Rupanya mereka merasa terganggu dengan kedatangan kedua orang itu. Sehingga, suasana menjadi gaduh. Panji terpaksa mengibaskan lengannya ke kiri dan kanan memukul runtuh binatang-binatang itu. Sebab, binatang yang kalap itu terbang serabutan menabrak apa saja yang ada di depannya. Termasuk tubuh dan wajah kedua pendekar muda itu. Akibatnya, puluhan ekor kelelawar menggeletak jadi bangkai.
Setelah melewati sarang kelelawar, Panji dan Kenanga tiba di sebuah ruangan besar yang mirip bagian dalam rumah. Bedanya, dinding ruangan goa yang luas itu terbuat dari batu padas yang sangat keras.
"Hm.... Tempat ini terang karena ada kayu api di setiap sudut ruangan. Jelas, tempat ini ada pemiliknya...," gumam Panji semakin waspada dan meningkatkan indera pendengarannya.
"Sungguh hebat sekali. Akhirnya kalian sampai juga di tempat ini..."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau yang membuat Panji dan Kenanga menoleh ke sekeliling ruangan itu. Pasangan pendekar muda itu melangkah mundur dua tindak, ketika melihat sesosok bayangan kelelawar raksasa tergambar di dekat ruangan sebelah depan. Panji segera dapat menebak, sosok yang menyerupai kelelawar raksasa itu tengah merapatkan tubuhnya ke dinding. Sehingga menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan.
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah merasa curiga. Ternyata dugaanku tidak meleset Kelelawar raksasa itu bukan binatang sungguhan, tapi seorang manusia berilmu tinggi yang kemungkinan besar tengah memperdalam suatu ilmu," ujar Panji membuat sosok kelelawar di dinding goa itu mengeluarkan tawa yang mirip ringkikan kuda.
"Kau benar-benar hebat dan cerdas, Pendekar Naga Putih. Aku memang telah memperdalam suatu ilmu dan sudah merampungkannya setahun yang lalu. Untuk semakin memantapkannya, terutama ilmu meringankan tubuh, aku harus membuat sepasang sayap dan keluar pada malam hari. Karena udara malam yang dingin membuat tubuh terasa berat. Dengan begitu, ilmu meringankan tubuhku akan semakin sempurna."
Kelelawar raksasa yang ternyata seorang manusia dan telah mengenal siapa Panji sebenarnya, setelah mereka sempat bentrok sewaktu kelelawar raksasa itu mendatangi Desa Larang beberapa waktu lalu, memberikan penjelasan pada pemuda itu. Rupanya sosok itu yakin kalau Panji tidak akan membongkar rahasianya, karena akan dibunuhnya.
"Jika begitu, ilmu yang kau pelajari berasal dari kitab milik Partai Tapak Darah?" Panji langsung menghubungkan keterangan Juntala dengan ucapan sosok kelelawar raksasa itu. Jelas kini, pencuri kitab yang dicari Juntala itu adalah kelelawar raksasa yang juga dicari Panji.
"Aku salah seorang tokoh partai itu, Pendekar Naga Putih. Karena guru kami bertindak pilih kasih, maka aku memutuskan untuk membawa lari dua buah kitab miliknya. Tapi, sekarang sudah kumusnahkan setelah isinya kupelajari dengan sempurna...," ujar kelelawar raksasa itu lagi dan kembali memperdengarkan tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Licik...!" umpat Panji tanpa merasa gentar kalau tokoh itu akan marah.
"Sekarang tibalah saat kematianmu, Pendekar Naga Putih! Ayo, ikut aku..." Setelah berkata demikian, sosok kelelawar raksasa itu lenyap.
Sementara Panji dan Kenanga yang tidak ingin kehilangan buruannya, bergegas menyusul. Pada sebuah ruangan yang sempit dan berbelok, tiba-tiba kelelawar raksasa itu melayang naik Kemudian lenyap entah kemana.
"Ikuti aku, Pendekar Naga Putih...," terdengar suara berat dari atas. Rupanya kelelawar raksasa itu tahu kalau Panji tengah kebingungan mencarinya.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Panji bergegas melayang naik, disusul kemudian oleh Kenanga. Bukan main herannya sepasang pendekar muda itu ketika mereka kembali ke tempat semula. Rupanya jalan ke luar kelelawar raksasa itu adalah pohon besar yang tumbuh di dekat sumur. Pada bagian tengah pohon itu terdapat lubang yang dijadikan jalan bagi tokoh aneh itu.
"Bersiaplah, Pendekar Naga Putih..." Begitu tiba di luar goa, kelelawar raksasa itu langsung menantang Panji. Agaknya, tokoh itu sudah tidak sabar lagi untuk mencoba ilmu yang telah sekian tahun dipelajarinya.
"Heaaat..!" Begitu Panji bersiap, kelelawar raksasa itu segera melayang disertai serangan yang dahsyat
Werrr!
Angin berhembus keras mengir ingi datangnya sambaran sayap buatan tokoh aneh itu. Pendekar Naga Putih yang sudah menyiapkan jurus dan tenaganya, langsung bergerak memutar sambil menghantamkan telapak tangan kanannya menyambut tamparan sayap kelelawar raksasa itu. Panji merasa penasaran ingin mencoba sampai di mana kekuatan tenaga dalam lawan.
Bresssh!
"Aihhh!" Bukan main terkejutnya tokoh yang kelelawar raksasa itu. Benturan keras dua gelombang tenaga dalam mereka, membuat tubuhnya terlempar mundur sejauh satu tombak lebih.
Demikian pula yang dialami Panji. Meskipun kelihatannya kekuatan mereka berimbang, tapi tetap saja 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' masih lebih unggul meskipun hanya satu tingkat
"Heaat..!"
Rupanya manusia kelalawar itu merasa ditantang setelah mengetahui kekuatannya masih di bawah Pendekar Naga Putih. Maka kali ini tokoh aneh itu menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyerang.
Panji tentu saja tidak memandang rendah Ilmu meringankan tubuh lawannya. Terlebih lagi tokoh itu telah melatihnya sedemikian rupa. Sehingga wajar saja kalau kegesitannya benar-benar sukar untuk dicari bandingannya. Sayang, tokoh itu harus bertarung dengan Pendekar Naga Putih yang selain mendapatkan gemblengan dari tokoh sakti, juga memiliki pengalaman luas dalam bertarung. Sehingga, dalam soal ilmu meringankan tubuh pun manusia kelelawar itu tidak bisa mengunggulinya. Jelasnya, tingkat kepandaian ilmu meringankan tubuh mereka seimbang.
"Keparat" desis manusia kelelawar itu tidak senang melihat kelebihan Pendekar Naga Putih. Maka, serangannya kini terlihat sangat ganas dan banyak menggunakan tipu muslihat
Bettt! Bettt..!
Serangkum angin keras berdesingan tajam ketika tangan yang berkuku runcing itu datang menyambar-nyambar dengan kecepatan yang luar biasa.
"Hm..." Pendekar Naga Putih yang sadar kalau tokoh itu mulai bangkit kegilaannya, segera mengerahkan ilmu andalannya. Sepasang tangannya langsung membentuk cakar naga. Kemudian bergerak memutar saat sambaran cakar lawan datang, dan langsung membalas dengan tidak kalah berbahayanya.
Sebentar kemudian, kedua tokoh digdaya itu telah bertarung sengit Beberapa batang pohon yang berada di arena pertarungan, langsung bertumbangan terlanggar angin pukulan mereka yang berciutan. Benar-benar sebuah pertarungan maut yang sangat mendebarkan.
Kenanga yang menyaksikan pertarungan hebat itu bergegas mencari tempat perlindungan. Dara jelita itu menarik lengan Ki Kaliga yang saat itu masih bersemadi dengan mulut yang tak henti-hentinya berkomat-kamit. Mereka bersembunyi agar tidak terkena angin pukulan nyasar.
Saat itu pertarungan sudah menginjak pada jurus kesembilan puluh dua. Baik Pendekar Naga Putih maupun manusia kelelawar masih belum kelihatan ada yang terdesak. Nampaknya kepandaian kedua tokoh itu memang hampir berimbang. Kalau pun Pendekar Naga Putih masih lebih unggul tapi itu bukan berarti dengan mudah dapat menundukkan lawannya. Apalagi manusia kelelawar itu merupakan tokoh kawakan.
"Heaaat..!"
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya, mereka kembali saling gempur. Semua jurus-jurus tingkat tinggi telah mereka gunakan. Namun, hasilnya tetap belum bisa mendesak lawan. Saat pertarungan menginjak jurus keseratus sepuluh, Panji dan manusia kelelawar sama-sama melenting ke udara. Kemudian saling terjang dengan dorongan sepasang telapak tangan mereka. Maka....
Blarrr!
Bumi laksana diguncang gempa ketika dua tenaga luar biasa beradu di udara. Akibatnya, baik tubuh Pendekar Naga Putih maupun tubuh lawan langsung terlempar kebelakang, seperti daun kering yang diterbangkan angin!
"Haiiit...!"
"Hiaaah...!"
Meskipun benturan itu sudah demikian dahsyatnya, namun kedua tokoh sakti itu masih sanggup berputaran di udara untuk meredam daya dorong yang membuat tubuh mereka seperti terbang. Itu pun baru dapat dilakukan setelah tiga tombak lebih tubuh mereka terdorong. Kedua tokoh itu kembali bergerak mendekat. Panji menyatukan pikirannya untuk memanggil keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Dan sebentar kemudian, muncullah lapisan sinar kuning keemasan yang berpendar menyelimuti bagian kanan tubuh Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Saat itu manusia kelelawar sudah kembali meluruk maju dengan seluruh kekuatannya. Pendekar Naga Putih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Kemudian bergerak maju dengan langkah diseret membuat guratan-guratan yang dalam di tanah. Dan....
Darrr!
"Aaa...!
Dorongan sepasang telapak tangan Panji yang mengandung dua unsur kekuatan gaib, berbenturan hebat dengan pukulan jarak jauh lawan. Akibatnya, tubuh Pendekar Naga Putih melesak ke dalam tanah hampir sebatas lutut. Sedangkan tubuh lawannya terpental keras, membentur batang pohon untuk kemudian ambruk ke tanah dalam keadaan hangus! Kematian manusia kelelawar itu disebabkan oleh kekuatan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang memang sangat dahsyat dan mengandung hawa panas.
"Kakang...?" Kenanga yang sejak tadi merasa cemas akali keselamatan kekasihnya, segera menghambur begitu melihat Panji berhasil melumpuhkan lawannya.
“Kakang..." Dara jelita itu merangkul dan merebahkan kepalanya di dada Panji yang tampak masih lelah. Pemuda itu mengelus rambut Kenanga dengan penuh kasih.
"Aku takut kehilanganmu, Kakang...," ucap Kenanga mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Naga Putih yang masih dibasahi peluh.
"Aku pun takut kehilanganmu, Kenanga...,? desah Panji berbisik di telinga dara jelita itu.
Sementara, Ki Kaliga tampak terpaku menyaksikan pemandangan itu. Lelaki tua itu hanya dapat meneguk air liur melihat ke mesraan sepasang kekasih yang saling mencintai itu.
S E L E S A I