Misteri Selendang Biru

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Misteri Selendang Biru Karya T. Hidayat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Misteri Selendang Biru
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih


SATU

Angin pagi bersilir lembut, membawa hawa dingin yang menggigilkan tubuh. Tampak lapisan kabut masih menyelimuti sekeliling Hutan Welang. Dan hawa yang memang sudah dingin itu semakin bertambah dingin. Jarak pandang pun, tak lebih dari satu setengah tombak. Selebihnya kabur karena lapisan kabut. Keadaan itu tentu saja bisa mendatangkan bahaya bagi orang yang melintas di dalam hutan itu. Rasanya hanya orang gila saja yang mau berjalan dalam suasana seperti itu.

Tapi, siapa sangka kalau dalam cuaca seperti itu, masih saja ada sosok-sosok tubuh yang berani melintasi daerah Hutan Welang. Tampak tiga sosok tubuh samar-samar bergerak perlahan menerobos semak be- lukar dan masuk ke dalam hutan.

“Tuan..., saya mau dibawa ke mana...?” ujar seorang di antara ketiga sosok itu menghentikan langkah, dan bertanya dengan suara memelas, mengandung isak tertahan.

“Jangan cerewet!” pertanyaan yang diajukan dengan suara memelas dan mengandung keputusasaan itu, ternyata mendapat sambutan yang tidak ramah.

Bahkan disertai pula dengan sentakan keras, yang membuat tubuh si penanya terjerunuk ke depan, dan hampir tersungkur jatuh. Untunglah tangan sosok di sebelahnya sempat menahan. Kalau tidak, pastilah sosok yang bertanya dengan suara memelas itu akan terjatuh karena sentakan tadi sangat keras.

“Janganlah terlalu banyak bertanya, Nyai. Ikut saja ke mana kami melangkah. Hal itu akan jauh lebih baik, daripada kau selalu melontarkan pertanyaan yang itu-itu saja...,” terdengar sosok ketiga menasehati dengan nada menyiratkan kejengkelan hatinya.

Ditilik dari suaranya jelas sosok itu seorang lelaki. Tapi, sosok bersuara memelas, yang ternyata seorang wanita itu, rupanya tidak merasa takut sama sekali. Kali ini ia malah semakin berani terhadap kedua sosok lelaki tegap yang jelas-jelas membawanya secara paksa itu. Terbukti sosok ramping itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan menyentakkan tangannya dengan keras.

“Kalian benar-benar manusia yang tidak mempunyai perasaan! Sejak kemarin pagi kalian paksa aku berjalan, tanpa istirahat sedikit pun! Sadarkah kalian, kalau saat ini, aku tengah hamil muda? Atau kalian sengaja mau membunuhku dengan cara seperti ini...!” teriak sosok tubuh ramping itu dengan suara melengking, pertanda hatinya marah dan jengkel.

“Keparat kau!” bentak sosok tegap berbahu lebar yang sejak tadi memegang tangannya, sambil melepaskan sebuah tamparan ke arah wajah wanita itu.

Plakkk!

“Ouggghhh...!”

Tamparan keras itu mendarat telak di wajah sasarannya. Dan, tanpa ampun lagi, tubuh wanita malang itu pun terjerembab mencium tanah!

“Binatang...! Mengapa kalian tidak bunuh saja aku! Lebih baik aku mati daripada kalian siksa seperti ini...!” pekik wanita itu dengan suara parau yang mengandung isak. Dibiarkannya lelehan darah mengalir di sela-sela bibir yang pecah akibat tamparan keras di wajahnya tadi.

“Hm..., sebenarnya aku merasa kasihan padamu, Nyi Wintarsih. Tapi, kalau kau memang menginginkan kematian, aku tentu saja tidak keberatan untuk membantumu. Hhh..., sayang kalau bayi dalam kandunganmu harus mati sebelum sempat melihat dunia yang indah ini...,” desis lelaki berbahu lebar itu. Ucapannya seolah hendak mengingatkan wanita bernama Wintarsih itu dengan bayi yang sedang di kandungnya.

“Ooohhh...!” Rupanya Nyai Wintarsih menyadari kembali akan keadaan dirinya, setelah lelaki berbahu lebar itu menyebut-nyebut bayi dalam kandungannya. Hal itu tentu saja semakin menambah kesedihan hati wanita malang itu, maka menangislah ia dengan suara pilu.

“Sebenarnya apa yang kalian inginkan terhadap diriku? Mengapa kalian tidak tinggalkan saja aku di tempat ini?” terdengar rintihan Nyai Wintarsih di sela-sela isak tangisnya.

Mendengar ucapan Nyai Wintarsih, kedua lelaki tegap itu saling bertukar pandang sejenak. Samar-samar terlihat seringai iblis di wajah kedua lelaki itu. Bagai telah mendapatkan pikiran serupa, tampak keduanya mengangguk puas.

“Nyai. Sebenarnya kami tidak sampai hati melakukan semua ini kepadamu. Dan, kami berjanji akan membawamu ke tempat aman, asalkan kau mau meluluskan permintaan kami berdua...,” ucapan yang agak lembut dan seperti menyimpan niat busuk itu terlontar dari mulut lelaki tegap yang wajahnya terhias kumis tebal. Kata-kata itu masih diiringi dengan kerlingan mata liar yang menyapu sekujur wajah dan tubuh wanita di depanya.

Nyai Wintarsih pun sadar akan bahaya yang mengancamnya. Terbukti wanita malang itu kelihatan mulai gelisah. “Apa... apa maksud kalian...?” tanya Nyai Wintarsih dengan suara kering.

Tapi, kedua orang lelaki tegap itu tidak mempedulikan sama sekali ucapan Nyai Wintarsih. Mereka lebih tertarik memperhatikan paha Nyai Wintarsih yang mulus dan menantang yang terlihat ketika kainnya tersibak saat wanita itu bergerak bangkit.

Nyai Wintarsih pun sadar apa yang diinginkan ke- dua orang lelaki tegap itu. Wanita cantik berkulit putih yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu, segera membenahi kain yang dikenakannya. Kemudian bergerak mundur dengan wajah diliputi kecemasan.

“Hm...” Terdengar suara bergumam yang diiringi dengus napas memburu. Dan, seperti orang yang kerasukan setan, kedua lelaki tegap itu bergerak cepat menangkap kedua tangan Nyai Wintarsih. Dan wanita malang itu pun tidak dapat menghindar lagi.

“Lepaskan...! Lepaskan...! Binatang kalian...!” Nyai Wintarsih berteriak sambil meronta-ronta. Tapi, kedua orang lelaki tegap itu tidak mau sama sekali melepaskan lengan wanita itu dari cekalannya.

“Hm..., kau menyingkirlah dulu, Adi. Biar aku yang akan menundukkan wanita ini lebih dulu ,” ujar lelaki tegap berbahu lebar, yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Lelaki berkumis tebal itu langsung menerkam tubuh Nyai Wintarsih dengan buas. Sedang lelaki yang satunya lagi telah bergerak menyingkir sambil tertawa tergelak-gelak.

Apalah daya bagi seorang wanita lemah seperti Nyai Wintarsih. Lelaki tegap yang jelas jauh lebih kuat darinya itu, segera saja melampiaskan nafsu binatangnya dengan leluasa. Hati lelaki berbahu lebar itu sama sekali tidak tergerak, meskipun wanita di bawahnya merintih dengan suara serak yang memilukan. Sepertinya, yang terpikir saat itu hanyalah bagaimana memuaskan nafsu yang menggelora dalam dadanya.

Tidak lama kemudian, lelaki tegap berbahu lebar itu bangkit dengan senyum puas di wajahnya. Sambil mengenakan pakaiannya, ia bergerak meninggalkan Nyai Wintarsih, yang tampak menggeletak dengan pakaian tidak karuan. Lapat-lapat terdengar tangisan pilu dari kerongkongan wanita malang itu.

“Giliranmu, Adi...,” ujar lelaki tegap berbahu lebar itu kepada kawannya, yang memang sudah tidak sabar menunggu giliran. Tanpa banyak cakap lagi, lelaki tegap berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, segera menerkam dan menggeluti tubuh Nyai Wintarsih, tanpa rasa kasihan sedikit pun.

Nyai Wintarsih hanya bisa merintih dan menangis menerima perlakuan biadab dari kedua orang lelaki itu. Wanita malang itu hanya bisa mengutuk dan menyumpah dengan suara serak dan lemah. Karena ia sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan.

“Heh heh heh..., rupanya pertunjukan menarik baru saja usai. Sayang kedatanganku sedikit terlambat..,” tiba-tiba saja terdengar suara kekeh parau yang menggetarkan jantung.

Lelaki tegap bertubuh jangkung, yang baru saja menyelesaikan perbuatan terkutuknya itu, segera melompat ke belakang. Dengan sigap ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan lelaki berbahu lebar sudah meraba gagang pedangnya dengan wajah berubah. Jelas kedua lelaki biadab itu sangat terkejut. Mereka tidak menyangka kalau dalam hutan yang sepi dan jauh dari pedesaan itu, masih ada orang lain selain mereka bertiga.

“Hm..., siapa pun kau. Tunjukkan wujudmu kalau memang mengaku seorang jantan...!” terdengar lelaki tegap berbahu lebar itu membentak seraya menarik senjata di pinggangnya. Jelas ia sadar kalau orang yang mengeluarkan suara tawa terkekeh tadi tentu berniat tidak baik.

Rupanya kedua orang lelaki tegap itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, muncullah sesosok tubuh tinggi kurus sambil memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu tombak. Sosok itu bergerak mendekati tubuh Nyai Wintarsih yang tergeletak pingsan.

“Haiii..., pantas kalian begitu terburu-buru menikmatinya. Rupanya selain wanita ini berwajah cantik, juga memiliki kulit putih dengan bentuk tubuh menggiurkan. Aaahhh..., kalian tidak salah... kalian tidak salah...,” desis bibir yang tampak basah oleh air liur itu sembari meraba dan mengelus tubuh Nyai Wintarsih yang tengah pingsan itu. Menilik dari gerak- gerik serta sikapnya, dapat ditebak kalau sosok tinggi kurus itu memiliki otak yang tidak normal.

“Siapa kau, Orang gila! Dan, apa yang kau kerjakan di tempat ini...?” kembali lelaki tegap berbahu lebar itu mengeluarkan bentakan keras. Rupanya ia sangat tersinggung dengan sosok bertubuh tinggi kurus itu, karena tidak mempedulikan keberadaan mereka berdua.

“Heh heh heh...! Seharusnya akulah yang bertanya kepada kalian berdua. Karena Hutan Welang merupakan daerah kekuasaanku. Dan, keberadaan kalian berdua di tempat ini, jelas telah melanggar daerah kekuasaanku. Tapi, kalian akan kubebaskan dari hukuman, karena telah mengantarkan wanita cantik ini kepadaku. Sekarang pergilah, dan tinggalkan wanita ini untukku...,” sahut sosok tinggi kurus itu yang kembali mengalihkan perhatiannya kepada Nyai Wintarsih. Kemudian bersiap hendak mengangkat tubuh wanita cantik itu untuk dibawanya pergi.

Tapi, kedua orang lelaki tegap yang semula membawa Nyai Wintarsih itu rupanya merasa keberatan. Terbukti keduanya telah bergerak mengurung lelaki bertubuh tinggi kurus itu dari kiri kanan. Di tangan mereka sudah tergenggam pedang telanjang!

“Tidak semudah itu, Orang gila! Wanita itu tidak akan kami biarkan hidup! Bisa-bisa ia menyusahkan kami dikemudian hari nanti. Kalaupun kami harus pergi, wanita itu harus mati terlebih dahulu!” ucapan yang jelas-jelas menyiratkan kecemasan itu terlontar dari mulut lelaki tegap jangkung, yang rupanya tidak setuju dengan keinginan lelaki tinggi kurus itu.

“Keparat! Mengapa kalian begitu serakah? Aku sudah bermurah hati membiarkan kalian keluar dari Hutan Welang dalam keadaan hidup! Tapi, kalian ternyata semakin bertambah kurang ajar! Untuk itu, hukuman kembali kuberlakukan, karena kalian sendiri yang menginginkannya!” terdengar suara lelaki gila bertubuh tinggi kurus itu penuh dengan ancaman maut. Setelah berkata demikian, ia bergerak bangkit dengan sepasang mata mencorong tajam.

“Huh! Jangan kau kira kami takut dengan gertak sambalmu itu, Orang gila! Sebaiknya bersiaplah untuk melayat ke akherat!” suara menggetar penuh kemarahan itu, jelas berasal dari lelaki tegap berbahu lebar. Sepertinya ia merasa tersinggung mendengar ancaman lelaki tinggi kurus berotak miring itu.

“Hm..., sebaiknya segera saja kita habisi orang gila itu, Kakang. Untuk apa meladeni ucapan-ucapannya...,” ujar lelaki tegap jangkung yang rupanya sudah hilang kesabaran itu. Usai berkata demikian, tubuhnya langsung melesat diiringi putaran pedangnya yang menderu tajam!

“Yeaaattt...!”

Whuuuttt...!

Rupanya lelaki jangkung tegap itu bukan hanya besar mulut saja. Menilik dari suara sambaran senjatanya, jelas ia memiliki kekuatan tenaga dalam yang tidak rendah. Bahkan kecepatan geraknya pun membuktikan bahwa lelaki yang jangkung tegap itu bukanlah tokoh rendahan. Sehingga, serangannya pun tentu saja sangat berbahaya!

Tapi, lelaki tinggi kurus berotak miring itu, ternyata bukan orang sembarangan! Meskipun gerak langkahnya terlihat aneh dan tidak beraturan, namun serangan lawan sangat mudah dihindarinya. Bahkan, ia dapat melontarkan serangan balasan yang tidak kalah cepat dan berbahaya daripada serangan lawan!

Beuuuttt..!

Tongkat kuning gading di tangan lelaki berotak miring itu meluncur deras, mengarah leher lawan. Dari suara sambaran angin yang mencicit tajam, jelas tenaga sakti yang dimiliki sosok tinggi kurus itu sangat tinggi. Kepandaiannya itu membuat lawannya tersentak kaget!

“Aaaiiihhh...!?”

Lelaki jangkung tegap itu terkejut bukan main, ketika ujung tongkat lawan nyaris menghajar batang lehernya. Untung ia masih sempat menghindar, meskipun dengan jalan melempar tubuh dan bergulingan di atas rumput Lalu, bergerak bangkit setelah jaraknya agak jauh dari lawan.

“Gila...!? Kepandaian lelaki berotak miring itu ternyata hebat sekali, kakang Wantara...!” desis lelaki jangkung tegap itu dengan wajah agak pucat dan napas memburu. Tampaknya ia sangat terkejut dengan kesaktian lawan, yang sama sekali tidak diduganya.

Lelaki gagah berbahu lebar yang dipanggil dengan nama Wantara itu bukan tidak tahu dengan kejadian yang baru saja dialami kawannya. Ia pun terkejut juga menyaksikan kesaktian orang gila yang mengaku Penguasa Hutan Welang itu.

“Siapa kau sebenarnya, Orang gila? Mengapa kau hendak bermusuhan dengan kami?” tanya Wantara dengan suara kering, karena lelaki berbahu lebar itu belum dapat meredakan rasa kagetnya ketika mengetahui kesaktian lawan. Dari nada ucapannya ter sirat nada kegentaran dan kecemasan.

“Hm..., kaulah yang lebih dulu membangkitkan ke- marahan Ular Welang Tongkat Sakti! Dan, kemarahanku tidak dapat ditarik kembali, sebelum tongkatku ini menghirup darah kalian berdua. Untuk itu, kalian berdua harus mati!” tandas sosok tinggi kurus yang mengaku berjuluk Ular Welang Tongkat Sakti dengan sorotan mata tajam menusuk jantung.

“Ahhh...!”

Mendengar nama Ular Welang Tongkat Sakti, Wantara dan rekannya tersentak mundur, dan wajah mereka berubah pucat! Tentu saja sebagai orang-orang yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, nama itu sudah mereka kenal. Di kalangan orang-orang golongan hitam, nama Ular Welang Tongkat Sakti dikenal sebagai tokoh puncak yang dapat disejajarkan dengan para datuk.

Karuan saja kedua lelaki itu menjadi cemas ketika mengetahui siapa sebenarnya sosok tinggi kurus berotak miring yang tengah mereka hadapi itu. Hal itu membuat mereka sadar kalau jalan untuk menyelamatkan diri sudah tertutup sama sekali. Karena Ular Welang Tongkat Sakti tidak akan berhenti sebelum korbannya menggelepar tewas di ujung tongkatnya.

“Celaka kita, Adi...,” desis Wantara dengan suara bisik bergetar. Tampak lelaki tegap berbahu lebar itu merasa gentar setelah mengetahui lawan yang bakal mereka hadapi.

“Tidak ada jalan lain, Kakang. Kita tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menghadapi iblis gila itu sampai titik darah terakhir. Sebab, sudah pasti ia tidak akan melepaskan kita hidup-hidup,” sahut lelaki tegap jangkung dengan suara bergetar penuh rasa takut. Kendati demikian, terlihat ia mencoba menenangkan hatinya karena menyadari bahwa apapun yang mereka katakan, tidak bakal dapat menyelamatkan nyawa mereka dari kematian. Dan, jalan satu-satunya hanyalah melawan mati-matian!

“Bersiaplah! Waktu kalian sudah habis...,” kembali terdengar ucapan bernada dingin dari Ular Welang Tongkat Sakti. Kata-kata itu merupakan peringatan bahwa kematian akan segera menjemput mereka. Dan....

“Heaaattt...!”

Dibarengi pekik mengguntur yang menggetarkan jantung, tubuh tinggi kurus itu bergerak secepat kilat ke arah Wantara dan kawannya.

Bweeettt...!

“Awaaasss...!”

Wantara cepat memperingati kawannya seraya melesat mundur. Kemudian, ia bersalto ke udara. Setelah berputar beberapa kali, barulah tubuh Wan-tara meluncur turun disertai kibasan pedangnya guna melindungi diri dari serangan lawan. Namun, Ular Welang Tongkat Sakti sama sekali tidak mengejar Wantara. Justru kawannya yang menjadi sasaran serangannya.

“Aiiihhh!”

Lelaki tegap jangkung berusia dua puluh tujuh tahun itu, tentu saja menjadi kelabakan menghadapi serangan gencar Ular Welang Tongkat Sakti. Dalam dua jurus saja keringat dingin sudah mengucur membasahi pakaiannya. Ke mana pun ia mengelak, ujung tongkat lawan selalu mengincar dengan suara bercicitan. Hingga akhirnya....

“Shaaa...!”

Bukkk!

“Huakkkhhh!”

Sebuah pukulan melintang mengarah ke iga lawan, mendarat telak! Akibatnya, tubuh tegap yang jangkung itu terbanting keras disertai darah segar muncrat dari mulutnya! Sedangkan tongkat sosok tinggi kurus itu kembali berkelebat, siap menghabisi nyawa lawan.

“Pergilah kau bersenang-senang ke akherat, Monyet buduk!” desis Ular Welang Tongkat Sakti seraya mengayunkan tongkatnya ke arah batok kepala lawan yang sudah tidak berdaya itu!

“Adi...!” Wantara tentu saja menjadi pucat menyaksikan nyawa kawannya yang bagaikan telur di ujung tanduk itu. Cepat ia berkelebat semampunya mencegah tongkat hitam yang siap mencabut nyawa rekannya itu.

“Tranggg!

“Aaakkkhhh!?”

Usaha yang dilakukan Wantara memang tidak sia-sia. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, maka pedang di tangannya pun berhasil membentur tongkat lawan. Namun, tindakan itu menyebabkan lengan kanannya menderita kelumpuhan sementara. Bahkan senjatanya sendiri terlepas dan terpental entah ke mana. Hal itu mencerminkan tenaga sakti Ular Welang memang jauh berada di atas lawannya.

Bruuuggg!

"Ngggkkk!" Tubuh Wantara jatuh mencium tanah dengan punggung terlebih dahulu. Beberapa saat lamanya lelaki tegap berbahu lebar itu tidak dapat bangkit lagi. Karena selain lengan kanannya terasa lumpuh, dadanya pun terasa sesak, akibat benturan keras tadi.

Sedangkan Ular Welang Tongkat Sakti tidak terpengaruh sama sekali. Meskipun tongkatnya sempat melenceng akibat benturan pedang Wantara. Tapi, ia masih tetap tegar, dan siap melontarkan serangan maut berikutnya.

“Hm...” Ular Welang Tongkat Sakti menggeram sambil melangkah menghampiri kedua orang lawannya yang masih menggeletak di tanah. Sedangkan kedua orang lelaki tegap itu hanya bisa pasrah menanti datangnya malaikat maut!

DUA

“Ooouhhh...”

Ular Welang Tongkat Sakti menahan langkahnya ketika mendengar suara keluhan yang lirih itu. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh ke arah Nyai Wintarsih yang tampak mulai sadar dari pingsannya. Terlihat sinar keraguan di matanya ketika menyaksikan tubuh wanita cantik bernasib malang itu bergerak lemah.

“Hmmm...” Untuk kesekian kalinya, sosok lelaki yang berusa sekitar lima puluh tahun itu kembali menggeram penuh kegusaran. Sejurus kemudian, terlihat ia berbalik dan melangkah mendekati Nyai Wintarsih. Tampak Ular Welang Tongkat Sakti lebih tertarik menghampiri wanita cantik itu ketimbang kedua orang lawannya.

Wantara yang melihat ada peluang untuk menyelamatkan diri, segera bergerak bangkit, dan buru-buru ia menyeret tubuh kawannya. Ketika mereka agak jauh dari tempat Ular Welang, segera saja Wantara bersama rekannya mengambil langkah seribu. Sebentar kemudian kedua sosok itu pun lenyap ditelan kelebatan pepohonan hutan.

Ular Welang Tongkat Sakti sepertinya telah melupakan kedua lawannya. Lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu tampak demikian khusyuk memijat dan mengelus tubuh Nyai Wintarsih. Terlihat kilatan aneh yang menyiratkan kesedihan pada sepasang matanya.

“Kau akan segera sembuh, manisku. Bangkitlah, Nyai. Sejak lama, aku memang yakin kalau kau pada akhirnya akan kembali kepadaku...,” suara Ular Welang Tongkat Sakti mengandung perasaan kasih yang mendalam. Entah, apa yang membuat tokoh sesat be-rotak miring itu berujar demikian. Mungkin latar belakang ucapan itulah yang membuat lelaki tua bertubuh kurus itu lebih tertarik untuk menghampiri Nyai Wintarsih ketimbang kedua orang lawannya, yang hampir saja tidak dapat melihat sinar matahari esok pagi.

“Aaahhh!?” Nyai Wintarsih yang baru saja kesadarannya pulih, tersentak seperti disengat kalajengking. Wanita muda berparas cantik itu beringsut menjauhi sosok yang berjongkok di sisi tubuhnya. Telapak tangan yang digenggam Ular Welang Tongkat Sakti segera ditariknya cepat-cepat.

“Pergi...! Pergi...! Manusia biadab kau...!” maki Nyai Wintarsih yang belum mengenali sosok setengah baya itu bukanlah orang yang menodainya secara biadab.

“Aaahhh...!?” Ular Welang Tongkat Sakti bergumam. Rupanya ia cukup terkejut mendengar makian Nyai Wintarsih. Dengan raut wajah berkerut-kerut yang mencerminkan perasaannya yang sakit, sosok tinggi kurus itu bergerak bangkit, dan menatap wanita itu penuh penasaran. Sepertinya tokoh sesat berotak miring itu menuntut penjelasan atas ucapan Nyai Wintarsih.

Nyai Wintarsih rupanya baru dapat mengenali secara jelas sosok tinggi kurus di depannya itu. Wanita cantik bernasib malang itu tampak mengerjap-ngerjapkan kedua matanya dengan perasaan heran.

“Siapakah, Tuan? Ke mana perginya kedua manusia terkutuk itu...?” tanya Nyai Wintarsih seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Ketika ia tidak menemukan kedua orang yang telah berbuat keji terhadapnya, sepasang mata bening itu pun kembali meneliti sosok Ular Welang Tongkat Sakti.

Ular Welang Tongkat Sakti sendiri tampak berusaha tersenyum ketika menyadari kalau sepasang mata bening itu tengah meneliti dirinya. Sayang, senyumnya itu lebih menyerupai seringai. Sehingga, hati Nyai Wintarsih menjadi ciut.

“Kedua orang itu telah kuusir pergi dari tempat ini. Sayang aku belum sempat mencabut nyawa mereka. Karena aku mengkhawatirkan dirimu ketimbang monyet-monyet buduk itu. Sekarang engkau telah menjadi milikku, dan harus ikut bersamaku,” ucap Ular Welang Tongkat Sakti dengan suara tegas. Sepertinya tokoh sesat yang sangat ditakuti lawan dan disegani kawan itu lenyap kemiringan otaknya. Buktinya ia sudah bisa mengenali kalau Nyai Wintarsih bukanlah wanita yang dimaksudkannya.

Sebenarnya, sebelum kejadian pahit yang menimpa dirinya, Ular Welang Tongkat Sakti sama sekali tidak sinting. Pikirannya terganggu setahun silam ketika istrinya pergi bersama seorang tokoh sesat yang lebih muda dan tampan. Meskipun ia telah dapat menemukan dan membunuh keduanya, namun peristiwa itu membuat jiwanya terguncang. Sejak kejadian itulah, nama Ular Welang Tongkat Sakti tidak terdengar lagi. Ia lebih banyak menyembunyikan diri di dalam Hutan Welang. Tidak aneh kalau Wantara dan kawannya tidak mengenali wajah tokoh sesat yang terkenal kejam itu.

Kembali kepada Nyai Wintarsih yang tentu saja menjadi terkejut ketika mendengar ucapan lelaki tinggi kurus itu. Melihat dari raut wajah dan penampilan Ular Welang Tongkat Sakti, sadarlah wanita cantik itu kalau lelaki setengah tua yang berdiri dihadapinya tidak jauh berbeda dengan kedua orang lelaki yang telah menggagahinya secara biadab tadi. Ia merasa terbebas dari mulut ular berbisa, dan masuk ke sarang harimau buas.

“Hm..., mengapa kau tidak menjawab? Apakah kau lebih suka kubawa pergi secara paksa?” tanya Ular Welang Tongkat Sakti seraya meneliti wajah Nyai Wintarsih yang tampak ketakutan.

“Tuan, kasihanilah aku. Biarkanlah aku pergi dari tempat ini. Aku akan berterima kasih sekali bila Tuan tidak mengangguku, dan membiarkan aku pergi sendiri,” Nyai Wintarsih mencoba membujuk Ular Welang Tongkat Sakti dengan suara memelas sambil merangkapkan ke dua tangannya dan menyembah kepada to- koh sesat itu.

“Tidak bisa! Aku sudah merebutmu dari orang-orang tak berguna tadi. Oleh karena itu, kau harus menemaniku tinggal di dalam Hutan Welang ini. Sudah cukup lama aku kesepian. Kini engkau datang seolah Peri Hutan Welang sengaja mengirimkan dirimu untuk menemaniku. Untuk itu, kau harus menjadi istriku, dan tinggal di tempat ini!” tandas Ular Welang Tongkat Sakti.

Lelaki tua bertubuh kurus itu sepertinya tidak ingin mendengar bantahan wanita cantik itu. Tentu saja ucapan itu membuat Nyai Wintarsih semakin ketakutan. Wanita itu merasa ngeri membayangkan dirinya menemani lelaki tua berwajah buruk itu. Namun, Nyai Wintarsih bukanlah orang bodoh. Setelah kepahitan dan penderitaan yang dialaminya, wanita cantik itu tidak sudi untuk mati, sebelum melampiaskan dendamnya terhadap orang-orang yang telah menghina dan menyengsarakan dirinya.

Ia pun sadar kalau sosok tinggi kurus di depannya itu merupakan orang sakti. Terbukti dua orang lelaki yang dikenalnya memiliki kepandaian silat tinggi dapat diusir pergi oleh lelaki setengah baya itu. Merasa kehidupannya telah hancur, Nyai Wintarsih pun mulai memikirkan anak yang ada dalam kandungannya. Maka, mulailah ia mengatur siasat.

“Tuan. Kalau aku suka menyerahkan diri secara sukarela untuk menjadi istrimu, maukah kau memenuhi persyaratan yang akan kuajukan?” tanya Nyai Wintarsih mulai menjalankan siasatnya. Semua itu dilakukan semata-mata demi membalas perbuatan orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.

“Katakan, apa syaratmu itu?” sambut Ular Welang Tongkat Sakti yang kali ini tidak kelihatan sama sekali kalau dirinya berotak miring. Bahkan terlihat sepasang matanya bersinar-sinar mendengar jawaban yang menggembirakan hatinya itu.

“Aku bisa menduga kalau Tuan pastilah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Untuk itu, aku bersedia menjadi istrimu dengan syarat anakku harus lahir terlebih dahulu. Selain itu, Tuan pun harus menurunkan semua ilmu kepandaian Tuan kepada anakku. Kalau persyaratan ini disetujui, barulah aku rela menjadi istri Tuan,” ujar Nyai Wintarsih dengan suara tegas.

“Hua hak hak...!”

Mendengar permintaan Nyai Wintarsih, meledaklah tawa Ular Welang Tongkat Sakti. Sebab, syarat wanita cantik itu sama sekali tidak terasa berat baginya. Selain itu, ia pun tentu saja akan suka menurunkan kepandaiannya kepada anak yang kelak akan lahir dari rahim Nyai Wintarsih.

Nyai Wintarsih terlihat agak cemas ketika sosok tubuh tinggi kurus itu tertawa tergelak di hadapannya. Wanita cantik itu meremas-remas jemari tangannya sendiri. Kelihatan sekali kalau ia sangat tegang menanti jawaban Ular Welang Tongkat Sakti.

“Ayo, ikut aku...,” ujar Ular Welang Tongkat Sakti begitu tawanya berhenti.

“Tidak, sebelum kau menyetujui syaratku...!” bantah Nyai Wintarsih menuntut kepastian seraya meronta melepaskan pergelangan tangannya yang dicekal to- koh sesat itu.

“Ah, bodoh sekali kau, Manis. Aku sudah setuju dan senang sekali dengan persyaratanmu itu...,” sahut Ular Welang Tongkat Sakti cepat. Dan, sebelum Nyai Wintarsih sadar, tokoh sesat itu sudah bergerak mengangkat tubuh wanita cantik itu ke atas bahunya. Kemudian, melesat dengan kecepatan kilat menembus kelebatan Hutan Welang. Sebentar saja sosok mereka pun lenyap ditelan kelebatan pepohonan hutanitu.

*******************

Gadis remaja itu melangkah ringan menyusuri jalan utama sebuah desa. Wajah yang bulat telur itu tampak cantik dan menarik. Membuat orang-orang bila berpapasan dengan gadis itu tidak akan melewatkan kesempatan untuk menikmati kecantikannya. Namun, gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya. Sikapnya tetap tenang dengan matanya menatap lurus ke depan. Sinar berkilat pada sepasang mata bening itu demikian berpengaruh, sehingga membuat orang merasa segan untuk menggodanya.

Setelah cukup jauh melewati mulut desa, mendadak dara remaja itu membelokkan langkahnya ke arah kiri. Kemudian, melangkah masuk ke dalam kedai yang tampak ramai oleh pengunjung. Langkah dara remaja itu terhenti sejenak di ambang pintu. Sepasang matanya menyapu ruangan dalam kedai, mencari tempat kosong.

“Hhh...,” gadis cantik itu menghela napas kecewa ketika melihat tidak ada lagi meja kosong yang tersedia. Dengan desahan berat, ia membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan kedai itu.

“Nisanak, tunggu dulu...!” tiba-tiba terdengar seruan perlahan yang membuat dara remaja itu menunda langkah, dan berbalik hendak melihat siapa yang telah memanggilnya.

“Hm...,” gadis cantik itu hanya bergumam perlahan ketika melihat seorang lelaki setengah baya datang tergopoh-gopoh menghampirinya. Menilik dari sikap dan pakaiannya, mudah ditebak kalau lelaki setengah baya itu pastilah seorang pelayan kedai.

“Nisanak hendak mencicipi hidangan di kedai kami...?” tanya pelayan itu dengan tubuh agak dibungkukkan. Senyum ramahnya pun tampak terkembang seiring dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.

“Hm...,” dara remaja itu bergumam seraya menganggukkan kepala dengan perlahan. “Sayang, di sini sudah tidak ada meja lagi yang tersedia untukku. Karena itu aku bermaksud mencari kedai lain saja,” lanjutnya dengan suara lembut meski terkesan agak dingin dan angkuh.

“Mmm..., kalau Nisanak bersedia, di sudut sana ada sebuah meja kosong yang hanya ditempati seorang pemuda. Tapi, kalau Nisanak merasa keberatan, kami mohon maaf karena kami tidak bisa menyediakan tempat untukmu...,” ujar pelayan itu sambil melurus- kan jari telunjuknya ke arah sudut sebelah kiri kedai itu.

“Hm...,” lagi-lagi dara remaja berwajah cantik itu bergumam tak jelas. Sepasang mata beningnya, tampak menyipit seperti hendak menegasi sosok pemuda tampan berpakaian putih itu. Sedangkan pemuda itu seperti tidak mengetahuinya. Mungkin karena ia terlalu acuh terhadap lingkungan sekelilingnya.

“Bagaimana, Nisanak...?” tanya pelayan setengah baya itu dengan penuh harap.

“Mmm..., baiklah...,” ujar dara cantik itu sembari menyebutkan pesanannya, dan meminta agar disediakan agak cepat. Kemudian ia melangkah menuju ke arah sudut kiri kedai itu. Sedangkan si pelayan setengah baya itu sudah terbungkuk-bungkuk dan bergegas hendak menyiapkan pesanan dara cantik itu.

Setiba di dekat meja yang dituju, dara cantik itu tidak segera menarik kursi. Ia berdiri mengamati pemuda yang tengah asyik menikmati hidangannya.

“Ehhhmmm...,” dara remaja itu berdehem seolah ingin menyatakan kehadirannya, dan menuntut perhatian.

“Ooohhh...! Maaf,” ucap pemuda tampan itu yang segera mengangkat kepalanya, dan menatap sekilas ke arah dara remaja di depannya. “Mmm, ada yang bisa aku bantu...?” lanjut pemuda itu menawarkan diri.

“Meja yang lain sudah terisi penuh. Seorang pelayan menawarkan meja ini untukku,” ujar dara cantik itu dengan suara ketus. Sepertinya ia tidak mau kalau pemuda tampan itu beranggapan bahwa ia sengaja memilih tempat itu. Ucapan itu menunjukkan betapa angkuhnya hati gadis cantik itu. Setelah berkata demikian, ia menarik kursi di depannya dan menghenyakkan pantatnya tanpa berkata apa-apa lagi.

Tapi, pemuda tampan itu tidak peduli sama sekali dengan kehadiran gadis cantik itu. Ia kembali menikmati hidangannya dan acuh tak acuh dengan gadis yang duduk di hadapannya. Sikap pemuda itu menimbulkan rasa penasaran di hati si gadis. Sebab, biasanya di mana ia hadir, selalu saja menjadi pusat perhatian kaum lelaki. Jangankan yang masih muda, kakek-kakek pun, biasanya tidak akan melewatkan kesempatan meski sekedar untuk menikmati kecantikan wajahnya. Tapi..., pemuda di depannya itu acuh tak acuh saja. Hal itu membuat harga dirinya tersinggung!

“Eeehhhmmm...!” Dara remaja itu kembali berdehem. Ia berpura-pura tenggorokannya gatal. Bahkan kali ini suara berdehem terdengar lebih keras dari yang pertama tadi. Pemuda tampan di depannya itu sadar, seraya mengangkat wajahnya, dan mengangguk menawarkan dara remaja itu.

“Terima kasih...,” ujar dara remaja itu sambil melemparkan senyum manis yang dimilikinya. Tapi, wajahnya kembali masam. Karena pemuda di depannya itu telah kembali menikmati hidangannya. Seolah hidangan di atas meja itu jauh lebih menarik ketimbang wajahnya. Lagi-lagi dara remaja yang sadar akan kecantikannya itu menjadi tersinggung.

Kejengkelan hati dara cantik itu terlihat jelas membayang di wajahnya. Sayang ia tidak bisa berbuat apa- apa. Karena pemuda itu memang tidak berbuat kesalahan apapun terhadapnya. Gadis cantik itu hanya bisa meremas-remas jemari tangannya sendiri dengan wajah geram.

“Kisanak...,” panggil dara cantik itu lagi.

Pemuda di depannya kembali mengangkat wajah, dan menatap ke arah gadis cantik itu. Dan, secara tak sengaja, dua pa- sang mata itu saling bertumbukan. Wajah pemuda tampan itu tampak agak kaget melihat ada kilatan marah pada sepasang mata bening milik gadis cantik di depannya itu. Tapi, ia berpura-pura bodoh, seolah tidak mengetahui hal itu.

“Ada apa, Nisanak? Kau hendak menanyakan sesuatu...?” ucap pemuda tampan itu dengan suara tenang dan menyembunyikan suatu perbawa di dalamnya.

Dara cantik itu semula bermaksud memamerkan wajahnya, tapi justru ia sendirilah yang tertegun, setelah melihat secara jelas wajah pemuda yang duduk di hadapannya. Tanpa sadar gadis itu malah mengamati wajah pemuda itu secara teliti.

Namun, raut wajah pemuda itu tetap tenang. Perlahan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu kembali merunduk. Pemuda itu sadar kalau gadis di depannya itu tengah mengamati wajahnya. Seulas senyumnya, menandakan kalau pemuda itu mulai dapat menduga akan pikiran yang ada dalam kepala dara cantik itu.

“Mengapa... kau tersenyum...?” tegur dara cantik itu dengan selebar wajah memerah. Rupanya ia menduga bahwa pemuda itu menertawakan perbuatannya barusan. Tentu saja dara cantik itu menjadi jengah, teringat betapa ia memperhatikan wajah pemuda itu sampai lama.

Pemuda yang berwajah tampan, bersih dan menarik itu, tampak tersenyum. Kening dara di depannya terlihat berkerut tak senang.

“Maaf,” ucap pemuda tampan itu dengan sikap dan nada yang sopan. Sehingga, dara cantik itu kembali kaget. “Aku sama sekali tidak bermaksud menertawakanmu. Hanya saja aku merasa lucu. Karena, kau memanggilku tanpa sebab...,” ujar pemuda itu dengan suara lembut, membuat hati dara remaja itu menjadi lega.

“Ooouhhh...,” sergah dara cantik itu sambil menutupi mulutnya dengan jemari kanannya. Sebentar kemudian, meledaklah tawa dari bibir merah yang tipis dan mempesona itu.

Kini pemuda itu pula yang tertegun. Baru ia menyadari betapa cantik raut wajah yang tengah tertawa dihadapannya itu. Tapi, hal itu hanya berlangsung sekilas. Sebelum dara cantik itu menyadarinya, ia sudah kembali bersikap seperti biasa, tenang dan penuh kematangan.

“Maksudku tadi hanya ingin bertanya tentang nama desa ini kepadamu...,” ujar dara cantik itu setelah tawanya lenyap. Sikapnya kali ini tampak bebas. Tidak seperti semula dingin dan angkuh. Entah, apa yang telah merubah sikap dara cantik itu. Mungkin karena ia mulai tertarik dengan pemuda tampan itu.

“Desa ini bernama Keranggan. Aku pun baru saja mengetahuinya dari tiang batu pembatas desa yang berada sekitar beberapa puluh tombak di dekat mulut desa ini," jelas pemuda tampan itu.

Dara cantik itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Percakapan mereka yang semula hendak dilanjutkannya itu, mendadak terhenti. Karena pesanan yang diminta gadis itu sudah diantarkan seorang pelayan kedai yang lain. Tapi, baru saja pelayan itu meninggalkan meja, mendadak terdengar suara berat bernada kurang ajar. Sehingga, dara cantik itu menunda niatnya untuk mencicipi makanan yang telah terhidang.

“Heh heh heh..., boleh aku menemanimu, manis...?” tegur seorang lelaki jangkung bertubuh kekar. Wajahnya yang brewok dan tak sedap dilihat itu, menyeringai menampakkan gigi-giginya yang kotor dan jarang dibersihkan itu. Karuan saja pemandangan itu membuat selera makan gadis cantik itu hilang.

Rupanya laki-laki brewok itu tidak hanya sendirian. Di sebelah kiri dan kanannya, tampak tiga orang laki-laki yang juga cengengesan dengan tingkah menyebalkan.

“Jangan lupakan kami bertiga, Kakang. Kalau dapat rejeki, bagi-bagilah kawan-kawanmu ini...,” salah seorang dari ketiga lelaki itu menimpali. Dua orang lainnya menyambut dengan gelak tawa keras.

Beberapa pengunjung kedai yang mendengar suara tawa itu, menolehkan kepalanya. Mereka seperti telah menduga bakal ada keributan, segera saja menyelesaikan hidangan, kemudian cepat-cepat berlalu meninggalkan kedai. Sedangkan pemilik kedai dan tiga orang pelayannya, tampak berkumpul dengan wajah cemas. Jelas mereka telah mengenal baik keempat orang lelaki gagah bertingkah laku kasar itu.

Dara cantik yang semula hendak menikmati hidangan yang dipesannya itu menjadi jengkel. Wajah yang semula cerah itu mendadak suram. Senyum manisnya lenyap. Sepasang matanya menyiratkan sinar berkilat penuh nafsu membunuh. Tentu saja pemandangan itu membuat pemuda di depannya terkejut

“Tikus-tikus busuk menjemukan! Kalian rupanya memang sengaja hendak mencari keributan!” bentak dara cantik itu yang bergerak bangkit merayapi wajah-wajah orang-orang itu.

Namun, keempat orang laki-laki itu mana mau berhenti. Bahkan salah seorang di antaranya mengulurkan tangan ke arah dada dara cantik itu. Tentu saja perbuatan itu sudah sangat keterlaluan. Sehingga....

“Bedebah! Kalian semua berjiwa kotor!” maki dara cantik itu yang segera menggeser tubuhnya ke kanan. Gerakan itu masih dibarengi pula dengan uluran tangannya yang langsung menangkap pergelangan tangan lelaki kurang ajar itu.

Kreeeppp!

Gerakan dara cantik itu ternyata sangat gesit. Sekali jambret saja lengan yang bermaksud kurang ajar itu telah tercekal jemari tangannya yang mungil. Kemudian, membetotnya kuat-kuat sembari melontarkan pukulan telapak tangan kanannya, yang langsung mengarah ke dada lelaki itu. Dan....

Buuukkk!

“Huakkkhhh!”

Hebat sekali serangan yang dilancarkan dara cantik itu. Hantaman telapak tangannya telak mengenai sasaran! Akibatnya, tubuh lelaki tinggi kurus yang bermaksud kurang ajar terhadap dirinya itu, terjungkal muntah darah!

Tentu saja kenyataan itu membuat tiga orang lainnya tersentak mundur dengan wajah berubah! Mereka sama sekali tidak menyangka kalau dara cantik itu dapat merobohkan kawan mereka hanya dengan sekali gebrak! Ketiganya cepat-cepat meraba pinggang. Terdengar suara berdesingan yang disertai sinar putih berkeredepan. Sebentar saja ketiganya telah menggenggam senjata telanjang!

TIGA

“Hmmm...” Gadis cantik yang mengenakan pakaian serba putih itu bergumam penuh kemarahan! Sinar matanya yang selalu berkilat menakutkan itu, kini semakin bertam- bah tajam. Bahkan tersirat nafsu membunuh di dalamnya!

“Tahan! Hentikan perkelahian...!” tiba-tiba saja, sebelum perkelahian berlanjut, dan mungkin akan menimbulkan korban nyawa, terdengar seruan nyaring menggetarkan. Tahu-tahu saja, di antara kedua pihak yang sedang bertikai itu, berdiri tegak seorang pemuda tampan berjubah putih yang hendak melerai perkelahian itu.

“Hmmm, kau...,” desis bibir merah tipis yang mempesona itu dengan nada dingin dan kecewa. “Rupanya kau berpihak kepada mereka. Bagus! Tapi, jangan kau kira aku takut meskipun kau berada di pihak orang-orang kurang ajar itu...!”

“Nisanak, jangan salah paham. Aku tidak memihak siapapun. Kalau pun mereka bersalah, maafkanlah. Perkelahian hanya akan menimbulkan kerugian dan mungkin korban jiwa. Untuk itu, pikirlah baik-baik sebelum bertindak...,” bujuk pemuda tampan berjubah putih itu yang merupakan teman semeja dara cantik itu.

“Sebaiknya kau tidak usah ikut campur, Kisanak! Kuntilanak itu harus mendapat balasan yang setimpal atas tindakannya tadi...,” niat baik pemuda itu sepertinya tidak mendapat sambutan dari lelaki brewok itu. Bahkan lelaki brewok bertubuh kekar dan berotot itu mengulurkan tangannya, kemudian membetotnya dengan maksud untuk melemparkan tubuh pemuda ber- jubah putih itu ke tepi. Tapi....

“Uuuhhh...!” Bukan main terkejutnya hati lelaki brewok itu ketika tubuh pemuda yang punggung bajunya dicengkeram tidak terlempar sama sekali. Bahkan tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya! Tentu saja kenyataan itu membuatnya marah dan penasaran!

“Bangsat! Heeeaaa...!”

Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki brewok itu membentak dan kembali membetot tangannya. Kali ini ia mengerahkan segenap kekuatan tenaga dalamnya. Lelaki brewok itu tidak peduli kalau tubuh pemuda berjubah putih itu akan patah tulang-tulangnya bila terbanting menghantam meja. Tapi, lagi-lagi perbuatan lelaki brewok itu hanya sia-sia belaka. Meskipun ia telah mengerahkan seluruh kekuatannya, tapi tubuh pemuda berjubah putih itu tidak bergeming sama sekali!

“Uuuhhh...!?” Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali mencoba membetot tubuh pemuda itu. Namun, tetap saja gagal! Dan ia pun terpaksa menyerah dengan napas hampir putus, dan tubuh basah oleh keringat!

“Bangsat sombong!” maki lelaki brewok itu yang kali ini menggunakan pedangnya secara mendatar!

Siiinggg...!

Sinar putih berkeredep disertai suara berdesing tajam! Senjata itu bergerak cepat ke arah pinggang pemuda berjubah putih yang berdiri membelakanginya itu! Namun, sebelum senjata tajam itu menyentuh sasarannya. Tubuh pemuda itu berbalik dengan kecepatan yang tidak bisa ditangkap mata biasa. Berbarengan dengan itu, tangannya tampak terulur menyambut sambaran pedang. Dan....

Tappp! Aaahhh.!?”

“Gila...!?”

Terdengar seruan-seruan kaget, termasuk dara remaja berwajah cantik yang juga menyaksikan tindakan berbahaya dari pemuda berjubah putih itu. Tapi seruan-seruan kaget itu berubah menjadi pekik ketidakpercayaan, saat menyaksikan tindakan lebih lanjut dari pemuda itu. Karena pedang lelaki bre- wok itu tiba-tiba saja terjepit di antara dua buah jari pemuda berjubah putih itu!

“Hebat! Pemuda tampan itu ternyata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu berani melakukannya, meskipun mungkin bisa ,” Dara cantik berpakaian putih itu bergumam lirih. Ia semakin bertambah kagum dengan pemuda itu. Selain tampan dan menarik, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi!

Demikian pula dengan lelaki brewok dan kawan-kawannya. Empat pasang mata mereka membelalak seperti hampir keluar dari tempatnya. Karena tindakan pemuda berjubah putih itu merupakan sesuatu yang mustahil bagi mereka.

“Heaaahhh...!”

Si lelaki brewok rupanya tidak berputus asa. Dengan sebuah bentakan nyaring, ia berusaha menarik senjatanya yang terjepit di antara jari tengah dan telunjuk pemuda itu.

“Sahabat, aku sama sekali tidak bermaksud untuk bermusuhan. Hanya saja aku tidak bisa tinggal diam melihat kejadian yang mungkin dapat membawa korban. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini sebelum semuanya terlambat...,” ujar pemuda tampan berjubah putih itu. Seolah-olah ia tidak mengerahkan tenaga sama sekali untuk menahan lawan. Bahkan wajahnya tetap tenang, tanpa perubahan sedikit pun. Hal itu jelas menandakan betapa kekuatan lelaki brewok itu masih jauh berada di bawah pemuda berjubah putih.

Lelaki brewok itu cukup lama berkutat mencoba membebaskan pedangnya. Pemuda tampan itu akhirnya mengendurkan jepitan jari tangannya yang mirip capit baja itu. Akibatnya....

“Aaahhh...!?” Lelaki brewok itu tidak menyangka kalau pemuda itu akan mengendurkan jepitan tangannya, maka tak ayal lagi tubuh lelaki itu terpental ke belakang akibat tenaga yang dikerahkan untuk mencabut pedangnya itu.

Braaakkk...!

Tubuh kekar berotot itu terhumbalang melanggar sebuah meja di belakangnya, dan hancur berantakan! Sedangkan lelaki brewok itu masih terus meluncur dan jatuh berdebuk.

“Bangsat..!” lagi-lagi lelaki brewok itu memaki kalang kabut. Dengan susah payah, ia berusaha bangkit dan berdiri. Ketiga orang kawannya buru-buru membantunya. Sepertinya keempat orang itu sadar kalau kepandaian pemuda itu tidak mungkin dapat mereka tandingi. Dan segera saja keempat lelaki itu mengambil langkah seribu. Kabur!

“Haaaiiittt...!”

Namun, gadis cantik berpakaian putih itu rupanya belum puas. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tubuh ramping itu melambung dan berputar di udara. Kemudian mendaratkan kakinya tepat beberapa langkah di hadapan keempat lelaki kurang ajar itu.

“Hm..., jangan kalian kira akan begitu mudah meninggalkan tempat ini! Apa yang kalian lakukan padaku, hanya kematian yang patut kalian dapatkan...!” ujar dara remaja berwajah cantik itu dengan nada dan wajah dingin. Terlihat pancaran sinar kebencian pada sepasang mata yang sebenarnya sangat indah itu.

“Bangsat! Jangan kau kira kami takut kepadamu, Kuntilanak! Kalau saja pemuda setan itu tidak ikut campur, kau pasti sudah bertekuk lutut di bawah telapak kakiku,” balas lelaki brewok itu seperti men- dapatkan tempat untuk menumpahkan kemarahan dan rasa penasarannya.

“Hmmm...,” dara remaja yang sepertinya memiliki hati penuh kebencian itu, bergumam tak jelas. Sejurus kemudian, tubuh ramping itu sudah melesat dengan kecepatan kilat!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Melihat datangnya serangan yang jelas-jelas sangat berbahaya dan bisa mematikan itu, keempat lelaki itu segera berpencar dengan senjata terhunus! Sehingga, serangan pertama dara cantik berpakaian serba putih itu mengenai tempat kosong!

Serangan yang dilancarkan gadis cantik itu rupanya berkesinambungan. Sepasang tangan yang membentuk paruh ular itu bergerak meliuk-liuk dan mematuk-matuk dengan suara angin yang bercuitan. Jelas tenaga yang terkandung di dalamnya sangat tinggi sekali. Sasarannya adalah lelaki brewok yang diduga-nya sebagai pimpinan keempat orang lelaki itu.

Zebbb! Zeeebbb!

“Aiiihhh...!”

Dua buah serangan yang meluncur cepat dan mematuk tanpa terduga itu, membuat lawan menjadi kalap! Sadar kalau serangan itu tidak mungkin dapat di- lawan dengan mengelak saja, maka lelaki brewok itu bergegas membabatkan pedangnya. Ia ingin membabat putus jari-jari tangan gadis yang membentuk paruh ular yang mengincar tubuhnya itu.

“Hiaaahhh!”

Whuuuttt...!

Namun, dengan gerakan yang indah dan menakjubkan, gadis cantik itu memutar pergelangan lengannya. Sehingga, mata pedang lawan lewat setengah jengkal di depan pergelangannya. Bahkan pada saat yang bersamaan, dari sebelah kiri dan kanannya datang menyambar senjata lain. Gadis cantik itu cepat merendahkan tubuhnya dengan setengah berjongkok, tapi kedua tangannya bergerak cepat mematuk ke kiri dan ke kanan.

Crabbb! Crabbb!

“Aaakkkhhh...!”

“Aaa...!”

Dua orang pengeroyok bernasib sial itu tidak sem- pat lagi menghindar. Akibatnya, jari-jari tangan lentik itu amblas melukai lambung dan dada kedua orang lawannya! Darah segar mengalir saat dara remaja itu mengeluarkan bentakan seraya mencabut ke luar jari-jari tangannya dari tubuh lawan. Akibat-nya, kedua orang itu terjungkal ke belakang, dan ambruk mencium tanah. Keduanya tampak merintih sambil memegangi luka yang terasa panas itu.

Sepak terjang gadis cantik itu memang benar-benar menggetarkan lawan-lawannya. Bahkan setelah melukai kedua orang lawannya, ia masih sempat melompat berputar seraya mengirimkan tendangan keras, dan bersarang telak di dada lelaki brewok di depannya.

Desss!

“Huakkkhhh...!”

Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu terjungkal keras, hingga menghancurkan sebuah meja di belakangnya. Darah segar muncrat dari mulutnya. Jelas tendangan keras itu telah mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya. Sehingga, ia tidak dapat lagi bangkit berdiri.

“Hmmm...,” dara cantik yang berusia sekitar delapan belas tahun itu menoleh ke arah seorang lawan yang berdiri dengan wajah seputih kertas. Sedangkan ketiga lawannya yang lain masih tampak merintih, menahan rasa sakit akibat gempuran dara cantik itu.

“Tahan...!”

Langkah gadis cantik itu tertahan ketika mendengar suara bentakan nyaring yang menggetarkan dadanya. Entah bagaimana tiba-tiba saja sesosok tubuh berjubah putih itu telah berdiri menghadang jalan gadis itu. Lagi-lagi pemuda tampan berjubah putih itu menghalangi niatnya untuk melenyapkan lawan.

“Hm..., kau lagi. Rupanya kau menjadi sombong dengan kepandaian yang kau miliki itu. Meskipun kesaktianmu seperti malaikat, Wintari tidak akan pernah merasa takut!” desis gadis cantik berpakain serba putih itu dengan wajah gusar. Usai berkata demikian gadis cantik itu meraba pinggangnya. Tiba-tiba saja sehelai selendang berwarna biru tua telah tergenggam di tangan kanannya.

Jtarrr! Ctarrr!

“Mari, tunjukkanlah kesaktianmu kepadaku, pemuda sombong...,” ujar dara remaja yang mengaku bernama Wintari itu sambil memainkan selendang birunya yang meledak-ledak memekakkan telinga.

“Maaf, aku tidak bermaksud untuk bertarung denganmu. Dan, aku pun tidak bermaksud sama sekali untuk menyombongkan kepandaianku yang rendah ini di hadapanmu. Semua itu kulakukan demi untuk mencegah pertumpahan darah yang kuduga pasti akan terjadi. Kepandaianmu memang hebat, Nisanak. Sayang sifatmu terlalu ganas dan cepat memberi hukuman,” sahut pemuda tampan berjubah putih itu dengan wajah yang tetap tenang. Sedikit pun emosinya sama sekali tidak terpancing oleh ucapan Wintari. Pemuda itu benar-benar matang seperti telah memiliki banyak pengalaman.

“Apapun alasanmu, aku tidak mau tahu! Yang pasti, kau telah berpihak kepada mereka! Itu sama artinya dengan kau memusuhi aku!” ujar Wintari dengan wajah geram. Pemuda itu tampak terkejut ketika melihat sinar kebencian pada sepasang mata gadis cantik itu.

“Hm..., mau lari ke mana kalian...? Haaattt...!” bentak Wintari dengan suara keras ketika melihat keempat lawannya hendak melarikan diri. Seiring dengan bentakan itu, selendang biru terlontar dengan kecepatan kilat!

Whuuuttt...!

Namun, gerakan pemuda tampan berjubah putih itu ternyata jauh lebih cepat. Hantaman ujung selendang yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi itu, cepat dipapaki dengan kibasan telapak tangannya, sehingga mengeluarkan sinar putih keperakan.

Plaaarrr...! Plaaarrr...!

“Haaaiii...!?”

Terdengar seruan tertahan dari mulut Wintari. Hantaman telapak tangan pemuda itu mampu membuat ujung selendangnya membalik! Bahkan lengan kanannya sempat tergetar akibat pertemuan tenaga itu. Kenyataan itu membuat Wintari semakin bertambah marah!

“Kurang ajar! Kau memang sengaja hendak mencari permusuhan denganku! Kalau begitu, kita harus bertarung sampai mati...!” desis Wintari menyiratkan kegeraman dan sakit hati. Gadis cantik itu tampak kecewa sekali dengan sikap pemuda tampan yang sempat membuatnya terpesona itu. Sambil menggigit bibirnya menahan kekecewaan, Wintari bergerak ke kiri seolah hendak mencari peluang untuk melontarkan serangan.

Namun, pemuda tampan berjubah putih itu sepertinya merasa enggan untuk bertarung dengan Wintari. Begitu ia melihat keempat orang yang diincar dara remaja itu sudah tidak kelihatan batang hidungnya, pemuda itu pun melesat keluar dari dalam kedai. Sebelum pergi, ia sempat melemparkan belasan keping uang yang langsung tertancap di atas meja. Sepertinya pemuda itu bermaksud hendak mengganti kerugian yang diderita pemilik kedai.

“Hei, jangan lari...!” cegah Wintari ketika melihat pemuda iti melesat meninggalkan kedai. Gadis cantik itu cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk melakukan pengejaran.

“Pengecut! Jangan harap kau dapat lolos dari tanganku...!” bentak gadis cantik itu dengan hati diliputi kemarahan. Sambil melompat, Wintari melepaskan serangan dengan selendang birunya.

Whuuittt...! Jdaaarrr...!

“Haaaiittt...!”

Hampir saja ujung selendang yang suaranya memekakkan telinga itu mengenai sasaran! Untung gerakan pemuda tampan berjubah putih masih jauh lebih cepat dari «erangan lawannya. Dan sambaran selendang biru itu pun hanya mengenai angin kosong.

Namun, kepandaian dara remaja itu dalam memainkan senjatanya benar-benar mengagumkan sekali. Walaupun serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan, Wintari sama sekali tidak putus asa. Dengan diiringi sebuah bentakan nyaring, diputarnya senjata lemas itu, dan kembali meliuk dan mematuk ke arah tubuh lawan yang saat itu masih berada di udara!

“Heaaa.!”

Jdaaarrr! Jdaaarrr!

Serangan selendang biru gadis cantik itu benar- benar maut! Kalau saja pemuda tampan berjubah putih itu tidak memiliki kepandaian tinggi, dapat dipastikan tubuhnya akan tergeletak dihantam sera-ngan lawan. Untung ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu terlihat demikian sempurna. Meskipun serangan lawan sangat gencar mengejarnya, tapi pemuda itu dapat mengelakkan semua serangan ujung selendang lawan yang mematuk-matuk dengan ledakan keras itu.

“Gila! Kepandaian dara remaja itu sangat hebat sekali! Kalau saja ia merupakan seorang murid tokoh sesat, akan celakalah orang-orang yang bermusuhan dengannya,” gumam pemuda itu sambil menghindarkan lecutan selendang lawan. Kemudian pemuda itu meluncur turun sejauh satu setengah tombak dari tempat Wintari berada.

Baru saja kedua kaki pemuda itu menginjak tanah, Wintari kembali membentak keras! Ujung selendangnya meluncur dengan kecepatan menggetarkan, dan siap meremukkan tubuh lawan!

Syuuuttt...!

“Hmmm...” Pemuda tampan berjubah putih itu kali ini tidak kelihatan berusaha menghindar. Dengan kedua kaki terpentang, ia menanti datangnya serangan lawan.

“Heaaahhh!”

Begitu ujung selendang biru lawan hampir mencapai tubuhnya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan bentakan nyaring. Berbarengan dengan tibanya ujung selendang yang mengincar batok kepalanya, pemuda berjubah putih itu menggeser tubuh dengan kedudukan kuda-kuda miring. Tangan kirinya bergerak sigap menangkap ujung selendang lawan!

Wreeettt!

Wintari yang sama sekali tidak menduga kalau lawan akan berbuat nekat, mencoba menarik kembali senjatanya. Sayang gerakannya masih kalah cepat. Akibatnya, ujung selendang biru itu berhasil ditangkap lawan. Kendati demikian, dara remaja itu tidak kehilangan akal sama sekali. Ia cepat membetot seraya mengerahkan segenap tenaga saktinya.

“Heaaahhh!”

Terjadilah tarik-menarik dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Wajah dara remaja yang cantik itu tampak kemerahan. Agaknya gadis cantik itu telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Sedangkan pemuda berjubah putih itu sendiri, tampak sekujur tubuhnya terselimut kabut putih keperakan.

Wrrrttt!

Selendang biru yang menjadi tumpuan adu kekuatan tenaga sakti itu, terlihat semakin menegang! Bah- kan pada ubun-ubun Wintari tampak mengeluarkan kepulan asap tipis. Hal itu menandakan Wintari telah menggunakan tenaga hingga ke puncaknya.

“Yeaaahhh...!”

Setelah agak lama adu kekuatan tarik-menarik itu berlangsung, pemuda tampan berjubah putih itu tiba- tiba membentak nyaring. Seiring dengan bentakan yang menggelegar itu, ia menyentakkan selendang sambil menambah kekuatannya. Akibatnya....

“Aaahhh...!?”

Tubuh gadis cantik itu tampak terangkat naik akibat sentakan keras lawannya. Kendati demikian, Wintari tidak kehilangan akal. Dengan memanfaatkan daya luncur akibat sentakan lawan, gadis cantik itu meluncur ke arah lawan seraya menyiapkan serangan mautnya!

Pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain adalah Panji itu, tentu dapat menduga apa yang akan dilakukan Wintari. Begitu tubuh gadis cantik itu meluncur turun, ia segera melontarkan tusukan jari-jari tangannya yang berbentuk paruh ular itu. Panji cepat berkelit sambil mengirimkan tamparan ke arah bahu lawan.

Whuuuttt! Plakkk!

Wintari yang belum mengetahui pemuda berjubah putih itu, menjadi terkejut bukan main! Ia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu sanggup melontarkan serangan yang memiliki kecepatan kilat! Akibatnya, gadis cantik itu tidak sempat mengelak!

“Aaakkkhhh!?” Wintari terpekik. Tubuhnya kembali terpental balik. Untung Panji tidak berniat mencelakai gadis itu. Kalau tidak, mungkin akibatnya akan lebih parah, dan bukan sekedar luka ringan!

“Heaaahhh...!”

Dara remaja itu kembali menunjukkan kebolehannya. Dengan sebuah seruan nyaring, dara itu berhasil mematahkan daya luncur tubuhnya. Kemudian ia mendaratkan kedua kakinya di atas tanah, setelah bersalto di udara. Meski kedudukannya terlihat agak goyah, namun gadis remaja itu tidak mengalami luka yang mengkhawatirkan.

“Hmmm..., jangan kau pikir aku akan menyerah begitu saja, pemuda sombong! Sejak semula sudah kukatakan bahwa kita akan bertarung sampai mati! Dan, ucapan itu akan kubuktikan...!” geram Wintari sambil bersiap kembali untuk melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong!

“Celaka...!” desis Panji yang mulai kehilangan akal menghadapi dara remaja yang keras hati itu. Karena Panji tidak ingin mencelakai gadis itu, maka pemuda berjubah putih itu berniat untuk tidak melanjutkan pertarungan.

“Hei, mau ke mana kau, pemuda pengecut!” bentak Wintari ketika melihat pemuda itu hendak meninggalkannya. Cepat ia memungut selendangnya dan bergerak mengejar pemuda itu.

Melihat gadis cantik itu mengejarnya, timbul niat lain dalam hati Panji. Pemuda itu sudah merasakan betapa berbahayanya kepandaian yang dimiliki Wintari. Bila gadis itu ditinggalkannya di Desa Keranggan, bukan tidak mungkin Wintari akan mencari keempat orang yang mengganggunya di kedai tadi. Untuk itu Panji berniat membawa Wintari sejauh-jauhnya dari Desa Keranggan.

Pendekar Naga Putih memang sengaja tidak ingin melarikan diri secara sungguh-sungguh. Itu sebabnya gadis cantik itu tidak kehilangan buruannya. Setelah jauh meninggalkan Desa Keranggan, Panji segera mengerahkan ilmu larinya lebih cepat. Dan Wintari pun kehilangan jejak pemuda tampan berjubah putih yang dikejarnya itu.

“Setan...!” maki Wintari sembari membanting-bantingkan kaki kanannya ke tanah. Hati dara remaja itu benar-benar jengkel ketika buruannya tiba-tiba lenyap. Kini, tinggallah ia sendiri di tengah kelebatan hutan. Saat itu hari mulai gelap. Angin senja berhembus keras menerbangkan dedaunan kering. Wintari terpaksa harus melewatkan malam di dalam hutan. Karena untuk mencari tempat menginap jelas sudah tidak keburu.

“Kurang ajar...! Kalau lain kali aku bertemu lagi dengannya, tidak akan kubiarkan ia lolos...!” Wintari berjanji dalam hati seraya mengepalkan tinjunya yang mungil itu erat-erat.

********************

EMPAT

Malam baru saja berganti pagi. Di ufuk sebelah Timur, tampak cahaya matahari bersinar kemerahan. Kendati demikian, jalan utama di Desa Keranggan terlihat dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu lalang. Mereka umumnya para petani yang siap menggarap sawah ladangnya.

Ketika cahaya matahari mulai merata menyinari permukaan tanah desa itu, jalan pun kembali agak sunyi. Hanya ada beberapa orang yang tampak hilir mudik di jalan utama desa itu. Kedai-kedai makan pun terlihat masih sepi. Hanya satu dua orang pengunjung yang terlihat tengah menikmati hidangan. Itu pun kebanyakan para pedagang keliling yang tengah melepaskan lelah sambil mengisi perut.

Saat matahari mulai naik semakin tinggi, terlihat sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba putih melenggang, menyusuri jalan utama Desa Keranggan. Tidak lama kemudian, gadis cantik yang di bagian pinggangnya terbelit selendang berwarna biru tua itu, berbelok dan memasuki sebuah kedai yang paling besar di desa tersebut.

“Aiiih, Nisanak!” sambut seorang pelayan setengah baya ketika sosok tubuh ramping itu tiba di ambang pintu kedai. Wajah gadis cantik itu, tampak menyiratkan sinar kebengisan. Jelas hati dara yang tidak lain dari Wintari itu tengah tidak senang.

“Aku kemari bukan untuk menikmati makananmu!” sungut Wintari dengan nada ketus dan galak.

Mendengar ucapan itu, hati pelayan setengah baya itu menjadi ciut ketakutan. Lelaki itu memang mengenali wanita muda itu sebagai orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.

“Kejadian kemarin bukanlah salah kami, Nisanak,” ujar pelayan setengah baya itu berusaha membela diri. Ia merasa khawatir kalau-kalau dara gadis cantik ituakan mengamuk dan memporak-porandakan kedainya.

“Jelaskan siapa keempat orang lelaki yang kemarin menggangguku? Tunjukkan di mana mereka tinggal...?” kata Wintari dengan suara ketus dan wajah penuh kegeraman. Sepertinya gadis itu sangat mendendam atas kejadian kemarin yang membuatnya terpaksa menerima kenyataan pahit, dan hampir dipecundangi seorang pemuda tampan yang sempat menarik hatinya. Dan, gadis cantik itu menuduh keempat orang itulah yang menyebabkan ia harus bermusuhan dengan pemuda itu. Kalau tidak, tentu ia bisa bersahabat dengan pemuda berjubah, putih yang tidak lain Panji si Pendekar Naga Putih.

“Oh, itu... itu akan kujelaskan, Nisanak...,” sahut pelayan setengah baya itu dengan tubuh gemetar. Beberapa orang pedagang keliling yang sempat melirik ke arah pelayan itu merasa heran. Sesaat kemudian mereka kembali menikmati hidangannya dengan sikap masa bodoh.

“Cepat katakan! Jangan coba-coba berdusta! Kalau tidak, kepalamu akan kupuntir!” ancam Wintari. Hati gadis cantik itu tidak merasa iba sama sekali meski pelayan itu sudah tampak ketakutan sekali.

“Mereka... mereka tinggal di sebuah rumah besar yang terletak di ujung desa ini. Aku... pun tidak menyukai mereka. Karena keempat orang itu seringkali memeras uang kami,” tutur pelayan setengah baya itu mencoba berpihak kepada Wintari.

Namun, dara cantik itu sama sekali tidak peduli. Setelah mendengar penjelasan itu, gadis cantik itu segera mengayunkan langkah menuju rumah yang dimaksud. Dengan agak tergesa, dara remaja itu melangkah menyusuri jalan utama Desa Keranggan. Wintari tidak peduli sama sekali dengan tatapan heran dari beberapa orang wanita yang melihat gadis cantik itu berjalan terburu-buru.

Namun, belum lagi ia tiba di tempat yang ditujunya, dari kejauhan terlihat enam orang lelaki berjalan ke arahnya. Wintari segera mengenali empat orang di antaranya. Ia pun menunda langkahnya. Gadis cantik itu tidak peduli sama sekali ketika seorang lelaki brewok menudingkan jari telunjuk ke arahnya. Jelas keempat orang itu membawa kawannya untuk mencari Wintari.

“Hm..., gadis muda itukah yang telah mempecundangi kalian...?” ujar lelaki tegap berbahu kekar itu. Ucapannya terdengar bernada meremehkan. Jelas lelaki yang berusia sekitar empat puluh delapan tahun itu menganggap enteng sosok Wintari.

Wintari menyipitkan sepasang mata beningnya seperti hendak menegasi sosok tegap berbahu lebar itu. Gadis remaja yang cantik itu tetap berdiri tenang seraya menanti kedatangan calon lawan-lawannya.

“Benar, Ki Wantara. Gadis setan itulah yang telah mencelakakan kami. Hati-hati, Ki. Kepandaiannya sangat tinggi sekali...,” ujar lelaki brewok bertubuh kekar itu mengingatkan.

“Wantara...,” desis bibir merah yang menantang itu sambil mengernyitkan dahinya. Nama itu diucapkan dengan nada penuh rasa dendam yang dalam.

Ki Wantara dan rombongannya berhenti dalam jarak satu tombak dari sosok Wintari. Dirayapinya wajah gadis cantik itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Hm..., Benarkah kau yang bernama Wantara...?” tanya Wintari minta kepastian dari lelaki tegap berbahu lebar yang tengah mengamati wajahnya itu.

“Benar. Akulah Ki Wantara. Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau melukai orang-orangku tanpa sebab?” tanya Ki Wantara bernada teguran.

Tapi, Wintari sama sekali tidak peduli, meskipun jelas-jelas keempat orang lelaki yang kemarin berkelahi dengannya memberikan laporan palsu kepada Ki Wantara.

“Mana kawanmu yang bernama Galangsa itu...?” tanya Wintari tanpa mempedulikan pertanyaan lawan bicaranya. Tampak sepasang matanya mengawasi sosok tegap yang lebih jangkung dari Ki Wantara. Rupanya Wintari menduga kalau lelaki tegap jangkung itu bernama Galangsa. Sebab, empat orang lainnya telah diketahui kepandaiannya. Dan, Wintari yakin kalau di antara keempat orang lelaki yang pernah dihajarnya itu, tidak ada yang bernama Galangsa. Itu sebabnya ia menduga kalau lelaki tegap jangkung yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu yang mungkin bernama Galangsa.

Ki Wantara sendiri sempat terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangkanya itu. Ucapan itu membuatnya mencoba mengenali siapa adanya gadis remaja di hadapannya. Tapi, meski telah berusaha keras memutar otak, lelaki setengah baya itu tetap saja tidak mengenali Wintari. Bahkan Ki Wantara yakin ia belum pernah berjumpa dengan dara remaja yang cantik itu.

“Siapa kau, Nisanak? Dan, ada keperluan apa kau menanyakan kawanku itu?” tanya Ki Wantara tanpa menjawab pertanyaan Wintari. Lelaki tua itu sepertinya ingin mengetahui lebih dulu tentang siapa sesungguhnya gadis cantik berpakaian serba putih itu, sebelum menjawab pertanyaan Wintari.

“Hm..., tidak perlu kau jelaskan, aku sebenarnya sudah bisa menduga yang mana bangsat Galangsa itu!” kata Wintari geram seraya melemparkan pandangan tajam ke arah lelaki tegap jangkung yang sempat membuatnya terkejut.

Ternyata gadis cantik yang tidak dikenalnya sama sekali itu dapat menebak secara tepat dirinya. “Kurang ajar...! Sepertinya kau tidak pernah diajar tata kesopanan oleh orangtua mu! Laporan Barga rupanya tidak salah. Kau memang sengaja datang ke desa ini untuk mencari perkara. Sampai-sampai kau berani melukai orang-orangku yang tidak bersalah,” ujar Ki Wantara geram karena gadis cantik itu sama sekali tidak pernah menjawab pertanyaannya satu pun. Hal itu sudah cukup baginya untuk memberi pelajaran.

“Hm..., anjing-anjing rakus! Aku datang mewakili ibuku untuk mencabut nyawa kalian berdua!” ujar Wintari sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Ki Wantara dan Galangsa. Tampak wajah kedua orang itu menjadi pucat seperti kertas.

“Apa... apa maksudmu, Gadis Gila... ?” Ki Wantara mencoba mengelak meski suaranya terdengar gagap.

Jelas Ki Wantara belum bisa menduga apa yang dimaksudkan gadis cantik itu. Sedangkan lelaki tegap jangkung yang bernama Galangsa sudah menggeram marah. Sebab, ucapan gadis remaja itu merupakan sebuah penghinaan besar! Selama hidupnya, baru dara remaja itulah yang berani memakinya sebagai anjing-anjing rakus. Penghinaan itu sudah cukup membakar kemarahan di dalam dadanya.

“Bedebah! Dasar kau kuntilanak kesasar! Kau berani mati menghina kami dengan perumpamaan kotor itu! Ucapanmu sama dengan mencelakakan dirimu! Kau memang pantas untuk dihajar adat!” bentak Galangsa yang segera melompat, dan mengayunkan pukulannya ke arah Wintari!

“Whuuuttt...!”

“Hmmm...” Wintari hanya bergumam mengejek. Tubuhnya bergerak ke kiri menghindari serangan itu. Kemudian dengan gerak secepat kilat, telapak tangannya bergerak hendak menggedor dada lawan.

Tapi, kepandaian Galangsa tentu saja tidak dapat disamakan dengan lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Barga itu. Dengan menarik pulang kaki depannya, maka hantaman telapak tangan Wintari pun hanya mengenai daerah kosong!

“Bagus! Ternyata kau memiliki kepandaian yang lumayan manusia busuk! Tapi, jangan merasa lega dulu. Sebentar lagi, nyawamu akan segera keluar dari raga busukmu itu!” ejek Wintari yang rupanya merasa yakin kalau ia dapat menundukkan lawannya itu.

“Bedebah! Mulutmu jahat sekali, Nisanak! Kau memang harus diberi pelajaran agar lain kali lebih sopan bila berhadapan dengan orang tua. Dan, kau harus mempertanggungjawabkan ucapanmu yang tidak beralasan itu,” ujar Ki Wantara geram. Lelaki itu rupanya sudah tidak dapat menahan kesabarannya mendengar ucapan-ucapan Wintari yang sangat keterlaluan itu.

“Hm..., jangan kalian berpura-pura bodoh, anjing- anjing rakus! Perbuatan kalian di Hutan Welang pada sembilan belas tahun yang lalu, hanya dapat dicuci bersih dengan darah kotor kalian!” ujar Wintari lagi, yang membuat Ki Wantara dan Galangsa sama-sama terdongak dengan wajah pucat seputih kertas!

“Apa maksudmu...?” Ki Wantara berusaha membantah dengan maksud untuk mendapatkan keterangan secara lebih jelas dari mulut Wintari.

“Hm..., kalian ingat! Waktu itu seorang wanita muda yang tengah hamil dan tidak berdaya, telah kalian nodai secara keji! Perbuatan kalian berdua tidak lebih dari anjing-anjing buduk dan biadab yang tidak memiliki rasa belas kasihan. Untuk itu, bersiaplah kalian menemui malaikat maut!” Wintari akhirnya mengatakan secara jelas tentang persoalan apa yang membuat ia sangat memusuhi dan mendendam terhadap kedua orang itu.

“Benarkah itu, Ki...?” ujar Barga yang selama ini menganggap Ki Wantara dan Galangsa merupakan seorang jagoan tulen yang tidak pernah berbuat kesalahan, tentu saja mereka belum percaya sepenuhnya dengan tuduhan itu.

“Semua itu hanya fitnah, Barga! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dituduhkan kuntilanak itu. Sebaiknya kau pergilah, perketat penjagaan. Biar aku dan Galangsa yang mengurusi kuntilanak ini,” perintah Ki Wantara yang rupanya tidak ingin belangnya diketahui bawahannya.

“Hik hik hik...! Mengapa aku harus berbohong. Buktinya wajahmu pucat ketakutan. Hm..., rupanya kau takut kalau perbuatanmu diketahui orang lain,” ejek Wintari yang membuat Barga menjadi ragu dengan bantahan Ki Wantara. Meski demikian, Barga telah melangkah pergi mematuhi perintah lelaki tua itu.

“Bedebah! Mulutmu benar-benar jahat, perempuan setan! Kucincang tubuhmu!” bentak Ki Wantara dengan suara menggelegar. Usai berkata demikian, lelaki setengah baya itu menghunus senjatanya, dan menerjang Wintari dengan serangan-serangan maut yang mematikan!

Beeettt! Beeet! Beeet!

Serangkaian serangan Ki Wantara sempat membuat dara remaja itu terpaksa melangkah mundur. Kilatan sinar pedang yang berkeredepan, membuat Wintari harus menggunakan kelincahannya guna menyelamatkan diri. Nyata sekali kalau dalam jurus-jurus pertama dara remaja itu belum berniat untuk melontarkan serangan balasan. Ia seperti tengah menguji kelincahannya dalam menghadapi serangan pedang lawan yang demikian gencar itu.

Galangsa yang juga telah menghunus senjatanya, segera melompat ke kancah pertempuran. Rupanyaia tidak sabar melihat serangan kawannya yang belum mampu menundukkan gadis remaja itu. Dengan diawali lengking panjang, tubuh lelaki tegap jangkung itu bergerak menerjang!

“Yeaaa...!”

Whuuuttt..!

Sadar kalau gadis muda itu memiliki kepandaian yang tidak rendah, Galangsa langsung menggunakan jurus-jurus andalannya dalam serangan pertama itu. Dari suara desingan senjatanya dapat ditebak bila lelaki jangkung itu telah mengerahkan tenaga sepenuhnya.

Wintari yang saat itu tengah melompat menghindari sambaran pedang Ki Wantara, tentu saja menangkap desingan tajam dari arah belakangnya. Dara remaja itu pun tahu kalau serangan lawan mengarah pada tengkuknya.

Beeeuttt..!

“Haiiittt..!”

Dengan sebuah pekikan nyaring yang menggetarkan jantung, Wintari melambung dan bersalto di udara. Dalam posisi seperti itu, ia masih sempat melepaskan tendangan kilat ke arah punggung Galangsa yang saat itu berada di depannya. Lelaki tegap jangkung itu sama sekali tidak berusaha menghindar. Pedang yang semula menusuk ke depan itu diputar sedemikian rupa guna menyambut tendangan lawan.

Siiinggg...!

Tendangan yang hanya merupakan gerak tipu itu, cepat ditarik pulang Wintari. Tubuhnya kembali berputar. Kali ini, kedua tangannyalah yang digunakan untuk menyambut serangan pedang lawan, dan sekaligus melontarkan serangan dengan jari-jari membentuk paruh ular.

Plakkk!

“Aaakhhh...!?” Galangsa memekik kesakitan ketika pergelangan tangannya terkena tamparan lawan. Dan, babatan pedangnya melenceng dari sasaran. Jari-jari tangan kiri gadis remaja itu meluncur cepat, dan langsung mendarat tepat di dada sebelah kiri Galangsa.

Tuggg!

“Hukhhh!” Lelaki jangkung bertubuh tegap itu terbatuk ketika merasakan dada kirinya seperti ditotok sebatang besi panas! Karuan saja tubuh lelaki itu terjajar limbung! Untunglah sebelum Wintari mengirim sebuah tendangan, Ki Wantara langsung memotong gerak serangan dara remaja itu!

Whuuuttt...!

Sambaran mata pedang yang berkilat ditimpa cahaya matahari siang itu, lewat sejengkal di bagian depan tubuh Wintari. Gerak serangan balasan dara remaja itu langsung saja terlontar. Sambil memutar tubuhnya, gadis cantik itu langsung melepaskan totokan kilat ke leher lawan. Dan, ketika Ki Wantara berkelit, tahu-tahu saja telapak tangan kanan Wintari mengha- jar dadanya!

Bukkk!

“Huakkk...!” Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah berbahu lebar itu terjungkal sambil memuntahkan darah segar! Belum lagi Ki Wantara sempat bangkit, telapak kaki kanan Wintari yang mungil telah menghantam dada lawan!

“Hukkkhhh!”

Ki Wantara terbeliak matanya ketika merasakan tendangan seperti palu godam menghantam dadanya. Darah segar kembali menyembur dari mulutnya.

“Hihhh!”

Wintari menambah tekanan pada telapak kakinya. Tanpa ampun lagi, Ki Wantara terpaksa merelakan nyawanya meninggalkan raga! Lelaki gagah itu tewas dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya.

“Bangsat! Pembunuh biadab! Ku cincang tubuhmu!” teriak Galangsa bagaikan orang kesurupan menyaksikan kematian Ki Wantara. Tanpa mempedulikan keselamatan dirinya, lelaki jangkung itu menerjang membabi buta!

“Huh! Kematianmu akan segera datang, Galangsa...,” desis Wintari tanpa merasa gentar sedikit pun, meski serangan lawan terlihat sangat berbahaya. Sambil tetap berdiri dengan sebelah kaki berada di atas mayat Ki Wantara, Wintari melolos selendang biru di pinggangnya.

“Yeaaahhh...!” Dibarengi dengan teriakan nyaring, gadis cantik itu melontarkan selendangnya dengan menimbulkan suara berdesing! Akibatnya....

Jdaaarrr!

“Wuaaa...!” Galangsa menjerit ngeri ketika ujung cambuk Wintari meledak keras! Lelaki jangkung itu terhuyung sambi memegangi lengan kanannya yang putus sebatas pergelangan. Darah segar tampak mengucur deras membasahi tanah! Rupanya tangan yang memegang pedang itulah sasaran selendang biru Wintari. Sungguh mengerikan sekali akibat yang ditimbulkan senjata gadis cantik itu.

“Hik hik hik! Kali ini bukan hanya tanganmu yang kubuntungi. Tapi, batang lehermu pun akan kupatahkan seperti pohon itu,” ejek Wintari sambil melontarkan selendangnya ke arah sebatang pohon di sebelah kiri lawan. Dan....

Jdeeerrr!

Krakghhh!

“Aaahhh. !?” Galangsa terjajar mundur ketika menyaksikan pohon sebesar pelukan orang dewasa itu patah, dan tumbang dengan suara berderak ribut! Tepat pada bagian batang yang terkena sambaran ujung selendang Wintari, tampak masih mengepulkan asap tipis. Karuan saja kala menjing lelaki jangkung itu turun naik. Dengan susah payah, Galangsa menelan air liurnya yang terasa kering!

“Nah, seperti itulah akan kubuat batang lehermu, manusia biadab...!” ejek Wintari sembari melangkah perlahan mendekati lawannya. Sedangkan Galangsa melangkah mundur dengan tubuh basah oleh keringat sebesar biji jagung. Jelas lelaki gagah itu tengah mengalami rasa takut yang sangat hebat!

“Heaaa.!” Tiba-tiba saja, Wintari membentak nyaring. Seiring dengan itu, selendang birunya meluncur ke depan!

Jdaaarrr!

“Aaa...!” Galangsa menjerit ketakutan sambil memegangi kepalanya dengan tangan kiri. Lelaki gagah yang telah lenyap keberaniannya itu membuka mata perlahan ke-tika serangan lawan tidak kunjung datang. Namun, sepasang mata itu tampak terbeliak matanya ketika menyaksikan tanah di sebelah kirinya tampak berlubang. Rupanya Wintari sengaja hendak mempermainkan lawannya.

“Hik hik hik!” Wintari tertawa menyaksikan wajah Galangsa yang pucat dan jiwanya tersiksa dengan perlakuannya. Sambil tertawa, gadis cantik itu terus saja mempermainkan Galangsa dengan mengarahkan ujung selendangnya ke tanah di kiri dan kanan lelaki gagah itu. Galangsa akhirnya jatuh terduduk dengan tubuh lemas. Rasa takut akibat perlakuan Wintari, membuat lelaki gagah itu tak mampu berdiri.

“Hai, mengapa kau, Galangsa. Ke mana keganasanmu saat menghancurkan kehidupan ibuku? Hayo, tunjukkan kejantananmu!” ejek Wintari seperti belum puas mempermainkan korbannya.

“Perempuan setan! Kalau mau bunuh, bunuhlah! Tidak perlu kau menyiksaku seperti ini!” teriak Galangsa dengan suara parau. Lelaki yang pernah menodai ibu gadis cantik itu, terlihat pasrah dan siap tewas di tangan gadis cantik itu.

“Hm..., kalau begitu, bersiaplah...,” desis Wintari sambil memainkan selendang birunya. Kemudian, dengan dibarengi suara keras, Wintari melontarkan se- lendang birunya ke arah sasaran.

Wrrrttt...!

Selendang biru Wintari meluncur dan langsung melibat leher Galangsa. Dan....

“Hahhh!” Dengan sebuah bentakan keras, Wintari membetot selendangnya! Darah segar langsung menyembur seiring dengan menggelindingnya kepala Galangsa yang putus akibat sentakan gadis cantik itu.

“Ibu, dua orang musuhmu telah kukirim ke akherat. Sekarang tinggal mencari biang keladi dari kesengsaraanmu...,” desah Wintari berbisik lirih sambil me- nundukkan kepalanya dalam-dalam.

Beberapa orang penduduk yang sempat menyaksikan pembunuhan itu, langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Sedangkan Wintari sudah melenggang pergi meninggalkan tempat itu.

********************

LIMA

Pemuda tampan yang pesolek itu berlari cepat menyusuri jalan utama Desa Keranggan. Menilik dari caranya berlari, dapat ditebak kalau ia bukanlah seorang pemuda sembarangan. Tubuhnya yang meluncur cepat dengan telapak kaki seperti tidak menyentuh permukaan tanah, mencerminkan kalau pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.

Beberapa tombak di belakang pemuda itu, tampak empat sosok tubuh menyertainya. Meskipun mereka terlihat berusaha keras untuk mengimbangi lari pemuda itu, tetap saja mereka tertinggal jauh. Hal itu menandakan kalau ilmu lari keempat sosok tubuh itu masih jauh berada di bawah pemuda tampan pesolek didepannya.

“Ehhhh!?”

Mendadak pemuda tampan yang mengenakan pakaian berwarna biru tua itu merandek. Kemudian, ia merunduk dan memeriksa cairan merah yang membasahi tanah. Setelah memeriksa sekelilingnya, pemuda itu berdiri menanti kedatangan keempat orang lelaki di belakangnya.

“Di sinikah pertempuran itu terjadi, Barga...?” tanya pemuda tampan itu kepada seorang lelaki brewok bertubuh kekar dan berotot.

“Benar, Tuan Muda. Di tempat inilah hamba meninggalkan Ki Wantara dan Kakang Galangsa. Mereka sudah pasti telah menggempur perempuan setan itu,” jelas Barga menjawab pertanyaan pemuda tampan pesolek itu. Ia sendiri memandangi sekelilingnya seolah mencari sosok Ki Wantara dan Galangsa.

“Hm..., ke mana Ki Wantara dan Galangsa pergi? Apakah perempuan yang kau maksudkan itu telah melarikan diri, lalu mereka berdua melakukan pengejarran...?” desah pemuda berpakaian biru tua itu dengan kening berkerut dalam.

“Hm..., sebaiknya kita tanyakan saja kepada penduduk di sekitar tempat ini, Tuan Muda. Aku yakin mereka pasti ada yang mengetahuinya,” usul Barga yang rupanya tidak bisa memberikan keterangan yang pasti mengenai pertanyaan pemuda itu.

“Hm..., kalau begitu, cepat kau panggil penghuni rumah di sekitar tempat kejadian ini...,” perintah pemuda itu dengan suara berwibawa. Nada ucapannya jelas menunjukkan bahwa pemuda itu sudah terbiasa memerintah, dan tidak ingin dibantah.

Tanpa banyak cakap lagi, lelaki brewok bernama Barga itu segera mendatangi tiga buah rumah yang ada di sekitar tempat itu. Lalu, membawa penghuninya untuk menghadap tuan mudanya.

“Tuan Muda Pungga Rasa...,” ucap enam orang penduduk itu sembari mengangguk hormat. Mereka terdiri dari tiga orang wanita setengah baya, seorang kakek, dan dua wanita tanggung berusia sekitar dua belas tahun.

Pemuda tampan pesolek yang bernama Pungga Rasa itu hanya bergumam dengan kepala tegak. Sikap pemuda itu jelas menunjukkan bahwa Pungga Rasa memiliki sifat yang angkuh. “Hm..., aku ingin bertanya kepada kalian tentang pertempuran yang mungkin terjadi di tempat ini. Kalau ada yang mengetahui, segeralah buka mulut,” ujar Pungga Rasa tanpa memandang sebelah mata pun kepada enam orang penduduk itu. Ucapannya lebih terkesan memberi perintah ketimbang bertanya.

“Kalau yang Tuan Muda maksudkan adalah Ki Wantara dan Galangsa, keduanya telah tewas di tangan seorang gadis muda berwajah cantik yang sangat kejam. Kemudian, ia membawa pergi kedua mayat itu entah ke mana. Yang pasti, ia pergi meninggalkan desa ini,” tutur seorang kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun. Jawabannya demikian jelas dan tegas tanpa keraguan sedikitpun, sehingga Pungga Rasa cenderung mempercayainya.

“Kau tidak tahu ke arah mana perempuan kejam itu pergi?” tanya Pungga Rasa lagi dengan wajah gelap. Jelas kalau pemuda pesolek itu menyimpan kemarahan ketika mendengar kedua orang pembantunya telah tewas terbunuh.

“Ke arah Selatan...,” sahut kakek itu lagi sembari menudingkan jari telunjuknya ke sebelah belakang Pungga Rasa.

“Hm..., kalian kembalilah, dan laporkan kejadian ini kepada ayah. Aku akan mencoba mengejar pembunuh itu. Siapa tahu ia belum pergi jauh,” perintah Pungga Rasa kepada Barga dan kawan-kawannya.

Tanpa menunggu jawaban dari pembantunya, pemuda itu sudah melesat menuju ke arah Selatan. Sebentar saja, tubuhnya terlihat seperti bayang-bayang samar yang akhirnya lenyap di kejauhan.

Barga segera mengajak ketiga kawannya untuk mematuhi perintah pemuda pesolek itu. Ditinggalkannya keenam orang penduduk itu tanpa ucapan terima kasih sedikit pun, meski hanya basa-basi kepada penduduk itu.

********************

Pungga Rasa berlari cepat dengan mengerahkan kepandaiannya agar bisa segera menemukan pembunuh kedua orang pembantunya itu. Ilmu larinya yang memang tidak rendah, membuat pemuda itu bergerak cepat Sebentar saja ia telah meninggalkan perbatasan Desa Keranggan. Lalu, menyusuri daerah hutan kecil dan menyeberangi sungai kecil yang melintang.

Tanpa merasa lelah sedikit pun, Pungga Rasa mengaduk-aduk hutan kecil itu untuk mencari buruannya. Hingga, akhirnya pemuda itu menghentikan usahanya. Karena tidak satu pun makhluk bernama manusia da- pat ditemuinya di tempat itu.

“Hm..., ke mana perginya perempuan setan itu...? Mungkinkah aku telah mengambil jalan yang salah...?” gumam Pungga Rasa seraya menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar.

Tiba-tiba saja, pemuda yang tengah termenung memikirkan langkah selanjutnya, menangkap suara langkah kaki ringan. Cepat ia melayang naik ke atas pohon, dan mengedarkan pandangan matanya di sekeliling.

“Hm...,” Pungga Rasa bergumam saat melihat sesosok tubuh yang tengah menyusuri hutan kecil itu. Cepat ia melayang turun dan berlari ke arah sosok tubuh yang hanya berjarak beberapa belas tombak dari tempatnya semula.

“Berhenti...!” bentak Pungga Rasa yang langsung melompat dan berdiri tegak menghalangi jalan orang itu. Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki setengah baya dan nampak gagah itu tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Pungga Rasa lekat-lekat, seolah ingin menerka apa maksud pemuda itu menghadang perjalanannya.

“Siapa kau? Mengapa kau berkeliaran di dalam hutan ini?” tanya Pungga Rasa. Ia lupa kalau hutan kecil itu bukanlah milik nenek moyangnya.

“Heh he he...! Kau lucu sekali Anak Muda,” sosok tubuh gagah yang tampak menyandang sebilah pedang dipunggungnya itu, malah terkekeh mendengar pertanyaan Pungga Rasa. Dan, pemuda pesolek itu menjadi jengkel dibuatnya.

“Diam! Aku tidak menyuruhmu tertawa! Jawab saja pertanyaanku, atau aku akan memaksa dengan kepalan tangan ini,” ujar Pungga Rasa sambil membalas tatapan mata lelaki gagah setengah baya itu dengan mata mencorong tajam.

“Hm..., siapa adanya aku, itu bukanlah persoalan penting. Tapi, sejak kapan ada larangan orang berjalan di dalam hutan? Apakah hutan kecil ini telah kau beli, hingga tidak boleh orang lain berkeliaran di tempat ini selain dirimu? Nah, ayo jawablah pertanyaanku, Anak Muda?” ujar lelaki gagah itu tersenyum ketika melihat wajah pemuda yang berdiri di hadapannya tampak kebingungan.

“Bangsat! Kau ternyata pintar bersilat lidah, Orang Tua! Aku terpaksa menggunakan kepalan ini, agar kau bisa berbicara denganku...!” geram Pungga Rasa yang merasa kalah bicara. Begitu ucapannya selesai, pemuda pesolek itu segera bersiap melontarkan serangan. Adanya gagang pedang di punggung lelaki tua itu, membuat Pungga Rasa sadar kalau lawannya juga berasal dari kalangan rimba persilatan. Sehingga, dengan cerdik pemuda itu melangkah dan berputar tanpa terburu-buru menyerang.

“Heh heh heh..., mengapa kau tidak langsung melontarkan kepalanmu, Anak Muda? Kau begitu kaya akan kata-kata makian, hingga aku merasa penasaran dan ingin merasakan apakah kepalamu setajam lidahmu,” ujar lelaki setengah baya itu memancing kemarahan pemuda tampan itu.

“Bedebah! Kalau itu maumu, rasakanlah...!” hardik Pungga Rasa yang segera melompat dengan disertai serangan yang cepat dan kuat. Dan lelaki setengah baya itu mau tidak mau melontarkan pujian tanda kekaguman hatinya.

“Bagus... bagus...! Kepandaianmu ternyata cukup hebat, Anak Muda...,” puji lelaki setengah baya itu sambil melompat dan menggeser tubuhnya guna menghindari pukulan lawan.

Setelah dua jurus Pungga Rasa melancarkan serangan, lelaki gagah itu mengangkat telapak tangannya saat pukulan datang ke arah wajahnya.

Plakkk!

“Uhhh...!”

“Hei...?!”

Meskipun tubuh Pungga Rasa sempat terjajar mundur akibat benturan keras itu, namun dari mulut lawannya terdengar suara berseru kaget. Jelas ketika terjadi benturan lelaki tua itu merasakan kekuatan lawannya yang masih muda itu.

“Hm..., Anak Muda. Katakan, apa hubunganmu dengan Ki Panda Rasa si Jari Pedang itu...?” tanya lelaki setengah baya itu seraya menatap lekat-lekat wajah lawannya. Tentu saja lelaki tua itu bukan tokoh rendahan. Terbukti dalam beberapa gebrak saja ia telah dapat mengenali ilmu silat lawan.

Melihat lawannya berdiri tegak dan melontarkan pertanyaan demikian, Pungga Rasa tersentak kaget. Namun, keangkuhannya tetap tidak tergoyahkan. Jawaban yang ke luar dari mulutnya pun tidak enak terdengar di telinga.

“Mengapa, Orang Tua? Apakah kau akan lari terbirit-birit seandainya aku mengakui kalau orang yang kau sebutkan itu adalah ayahku?” sahut Pungga Rasa dengan suara bernada mengejek dan melecehkan lelaki gagah yang menjadi lawannya itu.

“Heh heh heh...! Bukan main! Aku benar-benar kagum terhadap si tua itu yang mampu mendidik putranya dengan baik. Meskipun kata-katamu terdengar pedas dan menyiratkan keangkuhan, tapi aku bisa memaafkanmu. Perlu kau tahu, aku adalah sahabat ayahmu. Dan aku berniat singgah ke tempatnya,” ujar lelaki gagah berusia separuh baya itu dengan sorot mata kagum, meski ada pancaran kecewa. Lelaki setengah baya itu kagum atas kepandaian Pungga Rasa, dan agak kecewa melihat sikap putra sahabatnya yang angkuh itu.

“Sebutkan namamu! Jangan kau kira aku akan percaya dengan bualanmu itu!” bentak Pungga Rasa yang masih curiga dan tidak mau mempercayai ucapan lawannya begitu saja. Pungga Rasa mengira kalau lelaki gagah itu merasa gentar, setelah berbenturan dengan tenaganya tadi.

“Mengenai nama, aku sudah lama melupakannya. Tapi, orang-orang memanggilku sebagai Pendekar Tangan Kilat. Dan, kau pastilah Pungga Rasa. Aku pernah berkunjung saat kau baru berusia kurang lebih dua tahun. Tentu saja aku tidak bisa mengenali dirimu. Karena kau telah menjelma menjadi seorang pemuda gagah dan hebat,” sahut lelaki setengah baya itu mengakhiri keterangannya dengan sebuah pujian, hingga membuat kepala Pungga Rasa makin bertambah besar.

Mendengar jawaban itu, Pungga Rasa tertegun bimbang. Ditelitinya wajah orang yang bernama Pendekar Tangan Kilat itu. Kendati ia pernah mendengar nama itu dari ayahnya, namun karena sifat angkuhnya membuat pemuda itu tidak sudi minta maaf. Sikap Pungga Rasa itu sebenarnya wajar saja. Semenjak berusia empat tahun, ia telah ditinggal oleh ibunya. Kematian sang ibu yang diakibatkan oleh penyakit tak tersembuhkan itu, membuat Ki Panda Rasa mendidik putranya dengan manja.

Itulah sebab-nya mengapa Pungga Rasa tumbuh sebagai seorang pemuda yang angkuh dan cenderung memandang rendah orang lain. Apalagi, setelah ayahnya yang kaya raya dan cukup disegani kalangan rimba persilatan itu diangkat sebagai Kepala Desa Keranggan. Maka, sifat angkuh pemudabpesolek itu semakin menjadi-jadi. Dan semua itu bisa dilihat oleh Pendekar Tangan Kilat Tapi, ia sadar bahwa pemuda itu belum begitu mengenalnya, dan lelaki gagah itu pun memaklumi diri pemuda pesolek itu.

“Mengapa kau malah termenung, Pungga Rasa? Sekarang aku bukan lagi seorang musuh. Tapi, seorang sahabat yang hendak bertamu. Untuk itu, bawalah aku ke tempat tinggalmu,” ujar Pendekar Tangan Kilat itu ketawa melihat pemuda yang ia yakin bernama Pungga Rasa itu termenung.

“Hm..., ikuti aku...,” sahut Pungga Rasa singkat tanpa rasa hormat sedikit pun. Pemuda itu pun segera melesat dengan menggunakan ilmu larinya. Pendekar Tangan Kilat itu pun berusaha mengimbangi. Karena ia tahu kalau pemuda itu masih mengujinya. Mereka pun seperti berkejaran menuju Desa Keranggan.

********************

“Kurang ajar! Ini benar-benar keterlaluan! Perempuan setan itu sama sekali tidak memandang mukaku!” umpat lelaki gagah berkumis tebal itu dengan wajah merah padam. Seraya bangkit berdiri, ia menggebrak meja bulat di sampingnya.

Brakkk...!

Meja bulat berukir yang terbuat dari kayu jati tebal pilihan itu, berderak patah! Kemudian ia melangkah ke arah dua buah kepala yang terbungkus kain putih bernoda darah itu.

“Di mana kalian menemukan kepala Ki Wantara dan Galangsa ini? Apakah tidak ada pesan dari perempuan setan itu?” tanya lelaki gagah berpakaian mewah itu sambil memandang seorang lelaki brewok bertubuh kekar, yang tidak lain bernama Barga itu. Sedangkan yang ditanya menunduk tanpa berani mengangkat wajahnya.

“Di depan pintu gerbang, Tuan Besar. Kedua kepala itu digantung di atasnya...,” jelas Barga dengan suara yang agak parau. Jelas lelaki brewok itu sangat takut terhadap lelaki gagah berkumis tebal yang tengah1 dilanda kemarahan besar itu.

“Bedebah...!” lagi-lagi lelaki gagah itu menyumpah dengan tangan terkepal erat. Bagaimana ia tidak menjadi marah? Sebab, pagi itu para pembantunya telah menemukan dua buah kepala yang digantung di atas pintu gerbang. Dan, kepala itu adalah milik Ki Wantara dan Galangsa, yang tewas terbunuh oleh seorang gadis muda berkepandaian tinggi. Yang lebih membuat lelaki itu marah, karena perempuan muda itu dengan sengaja mengirimkan kepala korbannya ke rumah Kepala Desa Keranggan. Tentu saja hal itu membuat Ki Panda Rasa menjadi murka bukan main.

“Kakang Panda Rasa..,” panggil lelaki gagah berusia lima puluh tahun itu ikut bicara. Tampak di punggung lelaki itu tergantung pedang berkilat. Dan lelaki setengah baya itu tidak lain adalah Pendekar Tangan Kilat yang bermaksud bertamu di tempat itu. Ia adalah sahabat lama Ki Punda Rasa.

Ki Panda Rasa menoleh ke arah asal suara. Lelaki berkumis tebal itu tersenyum sambil menatap ke arah Pendekar Tangan Kilat.

“Sebenarnya apa yang telah terjadi di Desa Keranggan ini? Mengapa kedua orang pembantu setiamu itu sampai dibunuh orang secara kejam? Apakah mereka memang mempunyai musuh? Lalu ia dijebak dan dibunuh secara licik?” tanya Pendekar Tangan Kilat itu. Tokoh itu memang tidak mengetahui sama sekali duduk persoalannya.

“Hm..., entahlah, Adi. Aku sendiri sama sekali belum jelas. Menurut laporan orang-orangku, kemarin mereka dihajar habis-habisan orang seorang gadis muda yang sakti. Hal itu pun baru aku ketahui semalam dari laporan Barga,” jelas Ki Panda Rasa sambil menunjuk ke arah lelaki brewok yang duduk bersila beberapa langkah di depannya, “Lalu mereka melapor kepada Wantara dan Galangsa. Aku tidak habis pikir, mengapa gadis muda itu membunuh mereka demikian kejam, dan mengirimkan kedua kepala pembantuku itu ke tempat ini. Seolah-olah ia sengaja hendak menteror rumah ini. Menurut Barga, gadis muda itu sangat dendam terhadap Ki Wantara dan Galangsa. Entah, apa yang telah dilakukan kedua orang pembantuku itu pada waktu-waktu yang lalu. Tapi, biar bagaimanapun, perbuatan gadis muda itu tidak bisa kubiarkan begitu saja! Ia harus diberi pelajaran!” ujar Ki Panda Rasa geram mengingat tindakan perempuan muda yang misterius itu.

“Hm..., kalau begitu Kakang tidak perlu bersusah-susah dulu. Mumpung aku kebetulan berada di sini, biarlah aku mencoba membantu untuk membekuk gadis muda itu,” Pendekar Tangan Kilat menawarkan bantuannya untuk mencari si pembunuh itu.

“Ah, kau tidak usah repot-repot, Adi...,” Ki Panda Rasa berusaha menolak karena ia tidak ingin menyusahkan tamunya.

Tapi, Pendekar Tangan Kilat tersenyum dan menoleh ke arah Barga. “Coba kau sebutkan ciri-ciri pembunuh itu, Barga...?” ucap Pendekar Tangan Kilat meminta penjelasan.

“Ia seorang gadis muda berusia sekitar delapan belas tahun. Wajahnya cantik, dan mengenakan pakaian serba putih,” jelas Barga memberikan gambaran tentang sosok pembunuh itu.

“Hm..., kalau begitu, aku berangkat sekarang, Kakang. Kalau dalam tiga hari aku belum kembali, anggaplah usahaku telah gagal,” ujar Pendekar Tangan Kilat sambil berkemas untuk mencari pembunuh Ki Wantara dan Galangsa.

“Ayah, biarlah aku menyertai Pendekar Tangan Kilat, hitung-hitung mencari pengalaman. Rasanya tidak adil kalau kita sebagai orang yang bersangkutan hanya duduk-duduk saja. Sedangkan tamu kita sibuk mencari biang keladi dari pembunuhan ini,” seorang pemuda tampan pesolek bergerak bangkit dari kursinya. Dengan pandainya ia mengemukakan alasan agar diizinkan untuk pergi menyertai Pendekar Tangan Kilat Sehingga, lelaki setengah baya itu tersenyum mendengar permintaan putranya itu.

“Hmmm...,” Ki Panda Rasa sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak berdaya. Sebab, alasan yang dikemukakan oleh putranya itu benar-benar sulit untuk dibantah.

“Ayolah, Paman. Ayah sudah mengizinkan...,” ujar Pungga Rasa sambil menarik lengan Pendekar Tangan Kilat itu agar segera meninggalkan ruang pertemuan itu.

“Heh he he...!” Pendekar Tangan Kilat terkekeh berkepanjangan. Keduanya beranjak diiringi tatapan Ki Panda Rasa yang hanya mengangguk ketika sahabatnya itu berpamitan bersama putranya.

ENAM

“Ke arah mana kita, Paman...?” tanya pemuda tampan pesolek berpakaian biru tua itu. Ia menoleh ke arah lelaki yang berjalan di sebelah kanannya. Saat itu mereka tengah menyusuri jalan utama Desa Keranggan.

“Hm..., aku pun belum bisa memastikannya, Pungga Rasa. Tapi, dengan mengirimkan kepala itu ke rumahmu, bisa jadi ia masih berada di sekitar Desa Keranggan ini. Bukan mustahil kalau saat ini ia tengah mengawasi kita berdua. Untuk itu, ada baiknya kita menuju ke daerah yang sepi. Jika dugaanku tidak meleset, ia pasti akan menghadang kita,” ujar lelaki setengah baya itu yang tidak lain adalah Pendekar Tangan Kilat.

Mendengar jawaban itu, Pungga Rasa mengedarkan pandangannya berkeliling. Maksudnya hendak mencari sosok yang tengah mereka buru itu. Namun, yang terlihat hanya penduduk desa. Sedangkan sosok gadis muda berpakaian putih yang dicarinya itu, tidak ada sama sekali tanda-tandanya.

“Jangan bertindak bodoh, Pungga Rasa. Perbuatanmu itu bisa mendatangkan kerugian bagi kita. Sebab, kalau sampai ia mengetahui kita curiga, bisa-bisa gagal apa yang telah kuperhitungkan. Sebaiknya bersikaplah tenang, seolah tidak tahu apa-apa. Dengan demikian, besar kemungkinan dugaanku tidak meleset..,” bisik Pendekar Tangan Kilat tanpa mengalihkan pandang matanya yang tertuju lurus ke depan.

Pungga Rasa segera menyadari sikapnya yang terlalu terburu-buru itu. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda yang biasanya sombong dan tidak mau kalah itu, mengikuti anjuran Pendekar Tangan Kilat. Hal itu bukan berarti ia mau saja menurut setiap anjuran sahabat ayahnya itu. Keinginannya untuk segera berjumpa dengan pembunuh itulah yang membuatnya menuruti nasihat Pendekar Tangan Kilat

Kedua orang gagah yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu bergerak terus ke arah Selatan. Hanya jalan di bagian Selatan itulah yang jarang dilewati orang. Selain itu, di bagian Selatan Desa Keranggan itu masih banyak terdapat hutan-hutan kecil. Itu sebabnya Pendekar Tangan Kilat cenderung memilih jalan itu. Dengan melalui jalan yang jarang dilewati orang itu, ia berharap pembunuh yang dicarinya akan muncul seperti apa yang diperhitungkannya.

“Ingat, Pungga Rasa. Tetaplah berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Jangan sekali-kali bersikap gelisah. Sebab, kalau pembunuh itu memang tengah mengincar kita, mungkin dia tidak akan muncul apabila sikap dan gerak-gerikmu menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Tetaplah bersikap tenang dan berpura-pura bodoh,” Pendekar Tangan Kilat kembali mengingatkan putra sahabatnya itu, ketika mereka telah melewati batas Desa Keranggan.

Pungga Rasa sama sekali tidak menyahut. Bisikan lirih itu dijawabnya dengan anggukan kepala saja. Meski telah diingatkan, hati pemuda itu tetap tegang. Bukan dikarenakan rasa takut, melainkan ia ingin segera melihat dan berjumpa dengan pembunuh itu. Sehingga, agak sulit bagi pemuda tampan pesolek itu untuk menenangkan perasaannya.

Serrr... seeerrr...!

Mendadak, pada saat keduanya mulai memasuki daerah hutan kecil yang banyak ditumbuhi pepohonan dan semak belukar, tiba-tiba saja mereka mendengar suara berdesir tajam. Sebagai orang-orang yang telah terlatih dengan baik, tentu saja mereka dapat menangkap suara yang mencurigakan itu.

“Awaaasss...!”

Meskipun sadar kalau Pungga Rasa mendengar suara yang mencurigakan, tak urung Pendekar Tangan Kilat itu berseru memperingatkan. Sedangkan tubuh lelaki gagah setengah baya itu sudah melenting ke udara. Tubuhnya baru meluncur turun, setelah bersalto di udara. Demikian pula halnya dengan Pungga Rasa. Pemuda tampan pesolek itu pun sudah menjejakkan kakinya ke tanah. Tapi, apa yang dilakukan pemuda itu sangat berlawanan sekali dengan Pendekar Tangan Kilat. Kalau lelaki gagah setengah baya itu melompat jauh untuk menghindari serangan gelap, Pungga Rasa hanya berputar ke atas. Kemudian, kedua tangannya terulur menangkap benda-benda pipih yang menyerang mereka.

“Haiiittt..!”

Tappp! Tappp!

Gerakan yang dilakukan pemuda itu memang sangat mengagumkan! Sekali sambar saja, ia telah berhasil menangkap beberapa benda pipih yang digunakan untuk menyerang secara gelap. Kemudian ia berputar, dan meluncur turun dengan gerakan yang indah.

“Gila! Yang digunakan sebagai senjata rahasia itu ternyata hanya daun pohon...?!” desis Pungga Rasa yang terkejut bukan main ketika mengenali benda apa yang berada di tangannya itu.

“Dedaunan pohon...?!” gumam Pendekar Tangan Kilat yang juga terkejut melihat senjata rahasia itu. Sebab, hal itu membuktikan bahwa si penyerang memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hal itulah yang membuat mereka terkejut bukan kepalang.

Pungga Rasa melangkah maju memandang ke sekeliling. Pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar. Bahkan ia merasa penasaran! “Hei, manusia pengecut keluarlah! Aku tahu kau menguntit kami sejak dari desa! Aku memang sengaja datang untuk mencarimu!” seru Pungga Rasa dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam melalui suaranya. Sehingga kata-katanya bergema hingga belasan tombak jauhnya.

“Hik hik hik...!” seman Pungga Rasa disambut suara tawa nyaring berkepanjangan. Bahkan suara tawa itu pun mengandung kekuatan tenaga dalam yang menggetarkan jantung. Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat mengerahkan pula tenaga dalamnya guna melindungi isi dada dari guncangan tersebut

“Bagus kalau kalian telah mengetahui kehadiranku. Aku sengaja melepaskan senjata rahasia itu guna memancing ucapan yang bakal keluar dari mulut kalian! Rupanya aku tidak salah terka, kepergian kalian memang sengaja mencariku. Hal itu sudah cukup sebagai alasan untuk melenyapkan kalian berdua!” terdengar suara melengking nyaring. Seiring dengan melayangnya sesosok tubuh ramping yang terbungkus pakaian serba putih. Sosok itu tidak lain adalah Wintari!

Pungga Rasa yang memang sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan pembunuh misterius itu, segera saja melangkah maju beberapa tindak. Langkahnya sempat terhenti ketika melihat kecantikan wajah dara remaja itu. Selintas ada pikiran menyayangkan betapa sosok cantik itu hams menjadi pembunuh para pembantunya, sehingga harus bermusuhan dengannya. Namun, pikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh. Ketika ia teringat betapa kejamnya tindakan gadis cantik itu.

“Hm..., kami memang sengaja mencarimu, pembunuh keji! Entah setan apa yang telah membujukmu bertindak demikian. Tapi, apapun alasanmu kau tetap akan kubawa ke hadapan ayahku...!” geram Pungga Rasa yang segera bersiap untuk melontarkan serangannya.

“Hik hik hik...! Dengarlah pemuda pesolek. Jangankan hanya kalian berdua. Ditambah dengan ayahmu, kakekmu, dan buyutmu pun, aku sama sekali tidak gentar! Mari, majulah...!” tantang Wintari tersenyum mengejek. Hati Pungga Rasa semakin bertambah geram dibuatnya.

“Pungga Rasa, sabarlah...,” Pendekar Tangan Kilat mencoba untuk mencegah putra sahabatnya itu. Lelaki gagah itu bermaksud hendak mengorek keterangan lebih dulu dari mulut dara remaja itu. Ia ingin mengetahui apa penyebab gadis muda itu melakukan pembunuhan itu. Sayang Pungga Rasa tidak mau peduli sama sekali. Pemuda tampan pesolek itu sudah melesat mengirimkan serangannya.

“Haaattt...!”

Sesuai dengan julukan orang tuanya yang bergelar Jari Pedang, maka ilmu silat Pungga Rasa pun lebih mengandalkan tangan kosong. Namun, tentu saja serangan-serangan pemuda itu tidak bisa dipandang ringan. Sebagai putra seorang pendekar terkenal, Pungga Rasa telah dibekali ilmu-ilmu tinggi yang tentu saja jarang dimiliki pemuda seusianya.

“Haiiittt...!”

Wintari pun tidak tinggal diam. Gadis muda itu langsung melesat begitu melihat lawannya telah mulai membuka serangan. Jari-jari tangannya yang halus sudah membentuk paruh ular, yang segera meliuk-liuk dan mematuk bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.

Bweeettt...!

Dengan memiringkan tubuhnya ke kiri, kepalan tangan Pungga Rasa pun lewat setengah jengkal di dekat tubuh Wintari. Kemudian, langsung membalas dengan patukan jari-jari tangannya.

Zeeebbb...!

Jari-jari tangan dara remaja itu meluncur deras mengancam tenggorokan Pungga Rasa dengan menimbulkan suara bercuitan tajam. Jelas serangan gadis cantik itu sangat berbahaya dan bisa mendatangkan kematian bagi lawan.

Pungga Rasa sama sekali tidak gugup. Dengan tenang pemuda itu merendahkan tubuhnya. Begitu serangan lawan luput, tubuhnya langsung berputar dan mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah dada lawan.

Plakkk!

“Aaahhh...?!”

Gerakan yang dilakukan Wintari ternyata jauh lebih cepat! Dengan telapak tangan kanan, dipapakinya tendangan Pungga Rasa. Pemuda itu terpekik kaget! Tubuhnya terhuyung mundur! Karena tenaga dalam dara remaja itu ternyata lebih kuat ketimbang tenaga dalam Pungga Rasa.

“Bersiaplah untuk melayat ke neraka...!” seru Wintari yang melesat dengan totokan jari-jari tangannya ketika Pungga Rasa terhuyung! Sepasang tangan dara cantik itu meliuk dan meluncur ke arah dua bagian terlemah di tubuh lawan!

Melihat datangnya hujan serangan selagi kedudukannya tidak memungkinkan mengelak, tentu saja Pungga Rasa terkejut bukan main! Tidak ada jalan lain baginya, kecuali mengerahkan seluruh tenaga dalamnya guna melindungi tubuh agar tidak mengalami luka terlalu parah. Karena untuk menghindar jelas tidak mungkin lagi.

Whuuut...! Whuuut! Plakkk! Plakkk!

“Aaaiiihhh...?!”

Terdengar suara benturan keras ketika serangan Wintari bertumbukan dengan sepasang lengan Pendekar Tangan Kilat. Namun, justru lelaki gagah itu terpekik kaget! Tubuhnya terdorong balik! Tentu saja hati pendekar tua itu terkejut bukan main! Ia sama sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam gadis muda itu jauh lebih kuat.

Pungga Rasa tidak peduli sama sekali dengan apa yang terjadi barusan. Yang ia tahu, nyawanya telah diselamatkan oleh Pendekar Tangan Kilat. Rupanya pendekar itu pun tahu kalau putra sahabatnya tengah terancam. Langsung saja ia turun tangan menyambut serangan Wintari. Usahanya berhasil baik. Pungga Rasa telah selamat, tapi Pendekar Tangan Kilat harus mengakui kehebatan lawan, meskipun hanya seorang gadis muda.

“Hm..., rasanya kita harus menghadapinya bersama-sama, Pungga Rasa. Kesaktian gadis muda itu benar-benar hampir tidak bisa kupercaya. Rasanya aku sudah mulai bisa meraba kalau gadis cantik itu murid dari tokoh sesat. Sayang aku belum bisa mengenali ilmu silatnya. Untuk itu diperlukan beberapa puluh jurus agar bisa mengetahui siapa guru gadis kejam itu...,” bisik Pendekar Tangan Kilat mendekati Pungga Rasa.

Pemuda pesolek itu tampak menganggukkan kepala. Sepertinya ia sadar kalau kepandaian gadis muda itu bukan tandingannya. Pungga Rasa memang tidak gentar. Tapi, ia lebih setuju untuk menggempur lawan secara bersama-sama. Wintari sama sekali tidak merasa gentar sedikit pun, ketika ia melihat kedua orang lawannya telahsiap untuk mengeroyok. Perlahan ia meloloskan selendang biru yang membelit pinggangnya, dan bersiap melanjutkan pertarungan.

“Haiiittt...!”

Wintari membuka serangan terlebih dahulu. Tubuh ramping terbungkus pakaian serba putih itu melesat ke arah lawan-lawannya. Selendang birunya meliuk dan mematuk-matuk cepat.

Jdaaarrr...! Jtaaarrr...!

“Heeeaaattt...!”

“Yeaaa...!”

Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat berseru nyaring. Secara bersamaan, keduanya melenting dan bersalto ke udara. Kemudian, mereka mendaratkan kakinya sejauh dua tombak dari tempat lawan berada.

“Gila...!” Pendekar Tangan Kilat berdesis takjub saat melihat tanah tempat mereka semula berpijak, telah berlubang besar dan masih mengepulkan asap tipis. Sadarlah tokoh tua itu kalau gadis muda yang dihadapinya benar-benar memiliki kesaktian yang menggetarkan jantung!

Pungga Rasa sendiri sampai meleletkan lidahnya dengan wajah membayangkan perasaan ngeri. Ternyata dara remaja itu memiliki kepandaian sangat tinggi, membuat pemuda itu mengubah gerakan dan memainkan ‘Ilmu Jari Pedang’ yang menjadi andalan keluarganya.

Demikian pula dengan Pendekar Tangan Kilat, Pedang di punggungnya berdesing, dan secepat kilat telah tergenggam di tangan kirinya. Jelas tokoh tua itu hendak menggabungkan ilmu tangan kosong dengan ilmu pedang untuk menghadapi Wintari. Kendatipun ia lebih dikenal dengan ‘Ilmu Tangan Kilat’. Namun pedang di tangan kirinya hanya digunakan untuk menghadapi serangan selendang biru lawan.

“Yeeeaaa...!”

Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh kedua lelaki gagah itu melesat ke arah lawan. Kemudian, langsung melontarkan serangan yang susul-menyusul dan mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh dara remaja itu. Tentu saja pertarungan pun semakin bertambah seru dan mendebarkan!

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, pertarungan telah menginjak pada jurus yang ketiga puluh dua. Kendati demikian, Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat tetap saja belum bisa menundukkan lawannya. Bahkan untuk mendesak lawan pun keduanya tidak mampu berbuat banyak. Karena selendang biru lawan benar-benar sangat ampuh sekali. Senjata gadis cantik itu seolah-olah sebuah benteng yang amat kuat. Bahkan seringkali membuat keduanya menjadi repot.

Senjata Wintari merupakan benteng pertahanan yang sukar ditembus, dan tak jarang pula senjata itu melesat cepat dan mengarah pada titik-titik jalan darah besar di tubuh kedua orang lawannya. Ketika pertarungan hampir mencapai jurus yang keempat puluh, justru Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat dibuat repot oleh lawannya.

“Haaaiiittt...!”

Lagi-lagi Wintari berseru nyaring seraya melontarkan senjata ampuhnya. Selendang biru di tangan kanan gadis cantik itu meliuk bagaikan seekor ular hidup! Kemudian, meluncur cepat dan mematuk-matuk dengan suara mencicit tajam!

Deeerrr...!

Kraaakkkghhh...!

Sebatang pohon besar yang berada di belakang Pendekar Tangan Kilat, langsung berderak tumbang dihantam selendang biru Wintari! Untunglah tokoh tua itu sempat menundukkan kepalanya dengan kuda-kuda rendah. Kalau tidak, bukan tidak mungkin kepalanya lepas dari tubuhnya dan menggelinding ke tanah.

Setelah gagal dari sasaran, selendang biru yang menebarkan hawa maut itu berputar dan meliuk-liuk dengan kecepatan yang menggiriskan! Kali ini yang menjadi sasarannya adalah Pungga Rasa yang tentu saja menjadi kelabakan bukan main!

Jtaaarrr...! Taaarrr...!

Pungga Rasa berlompatan ke kiri dan ke kanan guna menghindari selendang yang mematuk-matuk dengan suara memekakkan telinga itu. Ia benar-benar tidak diberi kesempatan untuk membalas serangan Wintari. Akhirnya Pungga Rasa harus menelan kenyataan pahit!

Daaarrr...!

“Huaaakkkhhh...!”

Sebuah hantaman keras ujung selendang lawan, berhasil mengenai bagian dada Pungga Rasa. Tak ayal lagi, tubuh pemuda pesolek itu terlempar sejauh dua tombak lebih! Dan darah segar pun muncrat dari mulutnya!

Bruuuggg!

Tubuh pemuda pesolek itu terbanting keras di atas tanah! Saat itu juga, selendang biru Wintari kembali meluncur hendak menghabisi nyawa lawannya!

Jdaaarrr...!

“Aaahhh...!” Rerumputan tempat Pungga Rasa tergeletak, berhamburan disertai bongkahan tanah sebesar kepalan. Untunglah pemuda pesolek itu masih sempat bergulingan menghindarinya. Sehingga, ia selamat dari ledakan maut itu!

“Haaattt...!”

Wintari yang tengah memburu Pungga Rasa dengan sambaran senjatanya, tiba-tiba berbalik dengan kecepatan yang mengagumkan, gadis cantik itu segera melontarkan selendang birunya ke arah Pendekar Tangan Kilat yang rupanya hendak menyelamatkan putra sahabatnya dari kematian. Pedang di tangan kiri tokoh tua itu berkeredepan dengan suara mendesing-desing. Sedang tangan kanannya terlihat bergerak, seolah berubah menjadi banyak! Itulah ‘Jurus Ilmu Tangan Kilat’ yang membuat namanya dikenal oleh tokoh-tokoh rimba persilatan!

Melihat ilmu lawan yang cukup tinggi itu, tidaklah membuat Wintari menjadi gugup. Gadis muda berwajah cantik itu mampu membendung serangan gencar lawannya. Bahkan, ia mulai melontarkan serangan gencar. Sehingga Pendekar Tangan Kilat terdesak hebat!

Daaarrr...! Deeerrr...!

Pendekar Tangan Kilat melenting ke udara, guna menghindari ledakan maut senjata lawan. Namun, kepandaian Wintari dalam memainkan selendang birunya, benar-benar sukar ditebak. Saat lawannya melenting ke udara, senjata dara cantik itu telah meluncur dan mengejar tubuh lawannya! Dan....

Daaarrr!

“Aaakkkhhh...!”

Tokoh tua itu memekik kesakitan! Tanpa ampun lagi, tubuhnya terpental deras! Darah segar muntah dari mulutnya! Sedangkan tubuh Pendekar Tangan Kilat terbanting jatuh, dan kembali memuntahkan darah segar! Jelas hantaman yang diterima tokoh tua itu masih jauh lebih kuat dari apa yang dirasakan Pungga Rasa.

“Hm..., sekarang mampuslah kau, Orang Tua usil...!” desis Wintari dengan suara dingin dan menggetarkan jantung. Usai berkata demikian, ia kembali melontarkan senjatanya yang siap merenggut nyawa Pendekar Tangan Kilat!

Nasib baik rupanya masih berpihak kepada Pendekar Tangan Kilat. Saat senjata berhawa maut itu meluncur ke arah tubuhnya yang menggeletak di tanah, terdengar seruan nyaring, yang disusul melayangnya sesosok bayangan putih! Kemudian, langsung memapaki selendang biru Wintari!

Plaaarrr!

“Uuuhhh...?!” Wintari memekik tertahan! Ujung selendangnya bagaikan bertemu dengan sebuah benda kenyal! Sehingga senjata yang meluncur deras itu berbalik mengancam pemiliknya!

“Haaahhh!” Namun, dara cantik itu tidak kehilangan akal. Dengan sebuah bentakan nyaring, tangannya menyentak kuat! Dan, ujung selendang itu pun kembali meliuk, dan dapat ditarik pulang tanpa membahayakan dirinya.

“Keparat! Lagi-lagi kau...!” desis Wintari setelah mengenali orang yang telah memukul balik senjatanya itu.

“Hmmm...,” pemuda tampan yang mengenakan jubah putih itu hanya bergumam perlahan. Sepasang matanya menatap tajam sosok Wintari. Hati dara remaja yang cantik itu sempat bergetar dibuatnya.

“Huhhh!” Wintari mendengus dan mengalihkan pandangannya. Jelas ia tidak mampu menentang pandangan mata pemuda tampan itu. Karena tatapan pemuda itu mampu membuat aliran darahnya mengalir lebih cepat dari biasa. Selain itu, Wintari pun merasakan perbawa yang amat kuat terpancar dari sepasang bola mata pemuda berjubah putih itu.

“Pendekar Naga Putih...?!” seru Pendekar Tangan Kilat dengan nada gembira. Jelas ia telah mengenal sosok tubuh berjubah putih itu. Karena, di sekeliling tubuh pemuda yang membelakanginya itu terdapat lapisan kabut bersinar putih keperakan. Siapa lagi orang yang memiliki ciri-ciri khas seperti itu kalau bukan Panji atau lebih dikenal Pendekar Naga Putih.

Pungga Rasa tentu saja menjadi terkejut ketika mendengar nama pendekar besar itu. Sebab, ayahnya seringkali menyebut dan memuji Pendekar Naga Putih. Meski sambil mendekap dadanya yang masih terasa sakit, pemuda pesolek itu melangkah mendekati Panji dan Pendekar Tangan Kilat

Panji cepat menyodorkan dua buah pil berwarna putih seperti salju. Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Tangan Kilat langsung mengambilnya sebuah. Karena ia pun telah mendengar tentang keahlian Pendekar Naga Putih dalam hal pengobatan. Melihat itu, Pungga Rasa pun segera mengambil sisanya. Tanpa keraguan sedikit pun, mereka langsung menelan pil berwarna putih seperti salju itu.

TUJUH

“Hm..., mengapa kau selalu mencampuri urusanku, Pemuda Usil?” tegur Wintari sambil menatap tajam Pendekar Naga Putih dengan sorot mata menyiratkan kemarahan.

“Nisanak. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri urusanmu. Tapi, aku mengenal salah seorang dari calon korbanmu ini sebagai tokoh golongan putih, yang selalu menyebarkan kebaikan. Jadi, yang kulakukan hanyalah sekedar menyelamatkan nyawa orang tak berdosa dari kejahatanmu. Selain itu, aku pun telah menyelamatkan dirimu dari perbuatan dosa. Seharusnya engkau bersyukur, dan bukannya marah-marah...,” sergah Panji dengan suara tenang tanpa tekanan emosi sedikit pun. Bahkan wajah pemuda tampan itu terhias senyum sabar dan penuh kelembutan. Dan Wintari pun tidak mampu menyanggahnya.

“Hm..., apapun alasanmu, aku tidak peduli! Yang jelas, kau sengaja ingin bermusuhan denganku! Kalau memang itu yang kau inginkan, aku tidak akan menghindar! Sekarang bersiaplah...,” karena tidak ingin berdebat dengan pemuda tampan itu lebih jauh, Wintari langsung bersiap melontarkan serangan.

“Jangan terlalu memaksaku, Nisanak. Kau telah tersesat jauh. Sebaiknya sadarilah sejak dini, agar kau tidak menyesal di kemudian hari...,” Panji masih mencoba membujuk Wintari dan menghindari perkelahian. Sepertinya pemuda tampan itu masih merasa sayang kalau dara remaja seusia Wintari harus terlibat kejahatan.

“Tidak perlu banyak bicara! Hadapilah seranganku, atau aku terpaksa membunuhmu, meski tanpa perlawanan...,” ancam Wintari yang sudah bergerak ke kiri seraya menggerakkan selendang birunya.

“Hati-hati, Pendekar Naga Putih. Selendang biru di tangan perempuan liar itu sangat berbahaya sekali...,” ujar Pendekar Tangan Kilat yang tidak tahu kalau Panji pernah bertarung dengan Wintari.

Panji sendiri hanya mengangguk dengan melepaskan senyum. “Gadis itu memang sulit untuk diajak berdamai. Wataknya sangat keras. Selain itu, yang lebih berbahaya justru kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi. Aku akan ingat pesan Paman itu. Mudah-mudahan ia berbaik hati, dan tidak melukaiku. Apalagi sampai membuatku tewas,” ujar Panji merendah. Meskipun ia tahu akan kesaktian dara remaja yang akan dihadapinya itu, namun ia tidak meremehkan peringatan Pendekar Tangan Kilat.

“Sambut seranganku! Haaattt...!”

Wintari langsung membuka serangannya dengan menggunakan senjata andalannya, yang memang sangat ampuh dan berbahaya itu. Panji sendiri sudah menggeser kakinya menjauhi Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa. Hal itu dilakukannya agar kedua orang itu tidak menjadi sasaran serangan Wintari.

Daaarrr...! Jdeeerrr...!

“Heaaahhh...!” Pendekar Naga Putih melesat ke samping menghindari dua buah serangan lawan yang mengincar kepala dan dadanya. Kemudian, terus bergerak maju dengan langkah menyilang. Kecepatan geraknya sempat membuat Wintari kehilangan buruannya.

Kendati demikian, dara remaja itu sama sekali tidak kehilangan akal. Cepat senjatanya ditarik pulang sambil menggeser langkahnya beberapa tindak ke belakang. Dan, segera melontarkan kembali senjatanya ke arah bayangan putih yang tengah bergerak di sebelah kanannya.

Wreeettt...!

Dengan kecepatan yang mengagumkan, selendang biru di tangan Wintari kembali meliuk dan mematuk-matuk bagaikan seekor ular hidup! Panji sendiri bergerak terus menghindar dengan menggunakan kecepatan geraknya. Sesekali tangannya bergerak menepiskan senjata lawan dengan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’nya. Hal itu membuat Wintari berkali-kali memekik tertahan. Karena setiap kali senjatanya bertemu dengan telapak tangan lawan, tubuhnya tergetar mundur! Bahkan lengan kanannya terasa kesemutan. Kenyataan itu membuat Wintari sadar kalau tenaganya masih kalah beberapa tingkat dari pemuda tampan berjubah putih itu.

“Gila! Demikian tinggikah kepandaian pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih?” gumam Wintari yang memang belum pernah mendengar nama besar Panji. Hal itu dikarenakan ia belum begitu lama bertualang di rimba persilatan. Apalagi, sejak terjun ke dunia ramai ia tidak pernah bergaul dengan tokoh-tokoh persilatan di dua golongan. Wajar kalau Wintari sama sekali tidak tahu kalau yang tengah dihadapinya itu adalah seorang pendekar besar yang telah mengguncang rimba persilatan.

Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama masih muda itu, terlihat semakin seru. Terlihat jelas Wintari berusaha mati-matian untuk menundukkan lawannya. Sayang, setiap kali senjatanya bergerak mengancam tubuh Pendekar Naga Putih, selalu saja membalik. Kalau tidak telapak tangan pemuda itu yang membuat senjata andalan gadis cantik itu berbalik. Tentu lapisan kabut bersinar putih keperakan yang melindungi sekujur tubuh Panji, yang membuat senjata Wintari membalik. Sehingga, betapapun dara remaja itu berusaha mendesak lawan, tetap saja sia-sia.

“Nisanak, aku datang membantumu...!” Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang kedua puluh, tiba-tiba terdengar seruan nyaring membahana. Sesaat kemudian, sebelum gema suara itu lenyap, sesosok bayangan merah melayang dan langsung terjun ke kancah pertarungan!

“Yeaaahhh...!”

Begitu tiba, sosok bayangan merah itu langsung melontarkan serangan-serangan mautnya ke tubuh Pendekar Naga Putih.

Whuuut...!

Datangnya serangan yang mengancam lambung kanannya, membuat Panji mengulurkan tangan dan menyambut datangnya pukulan itu. Dan....

Plakkk!

“Aaakhhh...!” Terdengar sosok bayangan merah itu memekik kesakitan! Belum lagi ia sempat memperbaiki kuda-kudanya yang tergempur itu, Panji sudah menyusuli dengan sebuah dorongan telapak tangan kirinya!

“Yeaaahhh...!”

Serangan yang cepatnya bagaikan sambaran kilat itu, tentu saja membuat si bayangan merah terkejut! Cepat tangan kirinya bergerak menyilang dari atas ke bawah, dan langsung membentur lengan Panji!

Plakkk!

Untuk kedua kalinya sepasang lengan yang terisi tenaga dalam itu kembali saling berbenturan. Kali ini rupanya Panji menambah kekuatannya. Terbukti bayangan merah itu memekik kesakitan! Bahkan tubuhnya bukan lagi terhuyung. Malah lebih parah lagi, karena tangkisannya itu justru membuat tubuhnya terjengkang hingga satu tombak jauhnya!

“Heaaahhh...!”

Kendati demikian, sosok bayangan merah itu ternyata tidak kehilangan akal. Dengan menghentakkan kedua tangannya ke tanah, tubuhnya melambung berjungkir balik. Sehingga, tidak sampai terbanting ke tanah!

“Bagus...!” puji Pendekar Naga Putih melihat kelincahan sosok bayangan merah itu. Memang, apa yang dilakukan lawannya sangat mengagumkan sekali. “Hmmm..., terdengar sosok bayangan merah itu menggeram gusar. Ia kembali mengatur kedudukannya, dan siap melontarkan serangan berikutnya.

Hadirnya sosok bayangan merah itu ternyata sama sekali tidak membuat Wintari senang. Buktinya, dara remaja itu malah menarik kembali serangannya, dan melompat mundur ke belakang, seperti yang dilakukan Panji.

“Ehhh?!”

“Hm..., rupanya kau ingin memanfaatkan pertarungan ini untuk keuntunganmu, Ular Merah?” tegur Panji kepada sosok bayangan merah yang tampak celingukan, dan merasa heran melihat perkelahian terhenti.

“Hm..., Pendekar Naga Putih! Biar sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa melupakan perbuatanmu! Kematian adik seperguruanku, harus ditebus oleh nyawamu!” bentak sosok berpakaian merah yang berjuluk Ular Merah itu. Pada bola matanya tampak jelas sorot dendam yang membara.

“Ular Merah Soka Lengkang adalah manusia jahat yang pantas untuk dilenyapkan. Aku terpaksa mencabut nyawanya, karena ia tidak mau merubah jalan hidupnya yang kotor itu. Sebagai seorang kakak seperguruan yang baik, seharusnya kau tidak menuruti jejak manusia sesat itu. Sebaiknya kau pergilah, dan lupakan tentang kejadian itu...,” sahut Panji dengan sikap tenang. Dan tidak tampak sedikit pun kemarahan dalam sinar matanya. Panji memang tidak menghentikan pertarungan yang disebabkan oleh dendam itu.

“Bedebah!” Ular Merah memaki gusar. Tokoh sesat itu sudah mencabut keluar senjata berbentuk pedang yang berkelok-kelok seperti keris. Warna merah darah pada badan pedang, menandakan senjata itu telah dilumuri racun jahat.

“Orang Tua, kalau kau memang mempunyai dendam dengan Pendekar Naga Putih, silakan urus sendiri, dan jangan ajak aku mencampurinya!” ujar Wintari yang semula hanya diam, mulai angkat bicara. Ucapan itu jelas dimaksudkan bahwa ia tidak sudi untuk bersama-sama mengeroyok Panji. “Dan, kau pendekar sombong. Biarlah kali ini aku membebaskan nyawa kedua anjing kurap itu. Tapi, ingat! Lain kali aku akan datang lagi untuk mengambil nyawa mereka,” lanjut Wintari yang jelas-jelas bukan sekedar ancaman kosong. Setelah berkata demikian, dara remaja itu pun melesat meninggalkan tempat itu.

“Hei...?!”

Ular Merah yang memang semula mengandalkan dara remaja itu untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih, tentu saja menjadi terkejut bukan main. Wajahnya tampak gelisah, dan memandang berganti-ganti ke arah Panji serta bayangan sosok Wintari yang kian menjauh.

“Bagaimana, Ular Merah? Apakah kau masih ingin melanjutkan perkelahian...?” tanya Panji yang memang tahu kalau tokoh sesat itu memiliki hati licik. Sebab, telah beberapa kali Ular Merah hendak mencelakainya secara curang. Untuk menghadapi Panji secara langsung ia tidak berani. Kalaupun tadi ia berani menyerang, hal itu dikarenakan Ular Merah melihat kepandaian Wintari yang tinggi. Ia bermaksud memanfaatkan dara remaja itu untuk sama-sama mengeroyok. Tapi ia kini malah menjadi bingung ketika melihat Wintari pergi.

“Bedebah!” lagi-lagi Ular Merah memaki gusar. Setelah berkata demikian, ia bergerak meninggalkan tempat itu.

“Hua ha ha...!” Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa tergelak melihat tingkah laku Ular Merah yang lari terbirit-birit.

Sedangkan Panji sendiri hanya tersenyum melihat tokoh sesat itu melarikan diri. Kendati demikian, pemuda itu yakin kalau Ular Merah tidak akan pernah berhenti memburunya, sebelum dendamnya terlampiaskan.

“Nah, sekarang akulah yang mohon diri. Dara remaja itu sangat berbahaya sekali. Aku harus membuntutinya, dan menyadarkannya. Kalau tidak, ia akan terus menyebar bencana. Entah apa yang membuat kalian berdua sampai bermusuhan dengannya...?” ujar Panji yang siap hendak meninggalkan Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa.

“Kami pun belum mengetahuinya, Pendekar Naga Putih. Tapi, melihat sikapnya, jelas ia tidak akan berhenti sebelum kami terbunuh. Bahkan, kemarin ia telah membunuh dan mengirimkan kepala dua orang pembantu setia Ki Panda Rasa. Hhh..., benar-benar membuat hati penasaran...,” gumam Pendekar Tangan Kilat seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sungguh tidak mengerti dengan sikap gadis muda itu.

“Ki Panda Rasa...? Maksudmu, Ki Panda Rasa si Jari Pedang itu?” tanya Panji meminta ketegasan. Jelas pemuda itu telah pula mendengar tokoh yang berjuluk Jari Pedang. Karena memang nama itu cukup tersohor di kalangan persilatan.

“Benar. Memang tokoh itulah yang kumaksudkankan...,” sahut Pendekar Tangan Kilat, terlihat wajahnya cerah ketika mendengar Pendekar Naga Putih menyebut nama besar sahabatnya itu.

“Aneh...? Apakah dara remaja itu memusuhinya? Mengapa sampai demikian...?” tanya Panji menjadi tertarik, dan menunda langkahnya.

“Hm..., mengenai siapa yang dimusuhinya, aku sendiri belum jelas. Tapi, dengan mengirimkan dua kepala korbannya ke rumah Ki Panda Rasa, tentunya gadis muda itu berniat tidak baik. Atau bisa jadi, gadis itu masih dendam terhadap Barga dan ketiga kawannya. Menurut apa yang kudengar, keempat orang itu sempat dihajar habis-habisan oleh gadis itu di sebuah kedai makan di Desa Keranggan,” jelas Pendekar Tangan Kilat yang membuat Pendekar Naga Putih semakin tertarik.

“Hmmm..., apakah di antara keempat orang itu ada yang berwajah brewok dan bertubuh kekar berotot..?” tanya Pendekar Naga Putih yang teringat dengan kejadian di kedai beberapa waktu lalu. Sebab, ia pun berada di kedai itu juga, dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Di kedai itu pula ia pertama kali berjumpa dengan dara remaja berpakaian serba putih itu.

“Dialah yang bernama Barga!” sahut Pungga Rasa, karena pemuda tampan pesolek itu merasa heran mendengar Panji mengetahui ciri-ciri pembantunya. Pungga Rasa menduga kalau Pendekar Naga Putih itu mengetahui lebih jelas kejadian itu.

“Bagaimana kau bisa menebak demikian tepat mengenai ciri-ciri Barga, Pendekar Naga Putih...?” Pendekar Tangan Kilat tidak bisa menahan pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya itu. Pungga Rasa yang juga memiliki pertanyaan serupa, ikut menunggu jawaban dari mulut pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hm.... Aku memang berada di tempat kejadian itu. Dan, kesalahan memang terletak pada Barga dan kawan-kawannya. Mereka ingin berbuat kurang ajar terhadap diri gadis cantik itu. Tapi, kalau hanya itu persoalannya, rasanya terlalu remeh alasan gadis itu untuk membunuh. Entah kalau gadis itu merasa sakit hati dan belum puas dengan apa yang dilakukannya terhadap keempat lelaki itu,” ujar Panji yang membuat Pungga Rasa mengerutkan keningnya.

“Tapi, menurut keterangan Barga, justru perempuan setan itu yang menghajar mereka tanpa sebab. Itu sebabnya Ki Wantara dan Galangsa menjadi tidak senang ketika menerima laporan dari Barga. Dan mereka ingin memberi pelajaran terhadap gadis itu. Tapi, justru mereka berdualah yang menjadi korban kekejaman gadis liar itu,” sanggah Pungga Rasa menjelaskan apa yang diketahuinya dari laporan Barga.

“Hm..., kalau begitu, orang-orang kamu sendiri yang salah, Pungga Rasa. Aku lebih condong mempercayai keterangan Pendekar Naga Putih. Apalagi ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Aku yakin kalau Barga dan ketiga kawannya tidak mungkin dapat selamat, kalau tidak ada yang menolongnya. Bukan begitu, Pendekar Naga Putih...?” ujar Pendekar Tangan Kilat.

Lelaki setengah tua ini tidak percaya kalau kawan-kawannya dapat selamat dari tangan maut gadis itu! Sedangkan ia sendiri yang dibantu Pungga Rasa, tidak sanggup menandingi kesaktian dara berpakaian serba putih itu. Andaikata Pendekar Naga Putih tidak keburu muncul, mungkin mereka berdua sudah tidak bisa melihat matahari esok pagi. Karena itu Pendekar Tangan Kilat tahu siapa yang membantu Barga dan kawan-kawannya.

Pungga Rasa yang juga telah merasakan kesaktian gadis berpakaian serba putih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang sering mendengar suara-suara sumbang dari penduduk desa tentang sikap Barga dan kawan-kawannya. Tapi, ia belum melihat dengan mata kepala sendiri, juga belum pernah mendapat laporan dari penduduk. Karena itu suara-suara sumbang tidak begitu dipedulikannya. Tapi, ucapan itu sekarang justru datang dari seorang pendekar besar, yang tidak mungkin berbohong.

“Kalau begitu, aku akan memberi pelajaran kepada para pembantu ayahku itu,” geram Pungga Rasa. Meskipun pemuda tampan pesolek itu memiliki sifat angkuh, namun tidak menyukai kejahatan. Biar jelek bagaimanapun sifat pemuda itu, jiwa kependekaran ayahnya tetap menurun kepadanya.

“Ada baiknya kau ikut serta dengan kami, Pendekar Naga Putih. Rasanya gadis itu tidak perlu kau cari. Ia pasti akan menyatroni kediaman Ki Panda Rasa,” usul Pendekar Tangan Kilat yang segera disetujui oleh Pungga Rasa.

“Hm..., baiklah. Aku pun ingin mencari keterangan mengenai persoalan ini. Siapa tahu Ki Panda Rasa pernah bermusuhan dengan keluarga atau pun guru dari gadis itu...,” sahut Panji yang teringat dengan Ular Merah yang selalu dendam atas kematian saudara seperguruannya di tangan pemuda itu.

Tidak berapa lama kemudian, berangkatlah ketiga orang gagah itu menuju tempat kediaman Ki Panda Rasa, yang menjadi Kepala Desa Keranggan.

********************

DELAPAN

Matahari saat itu makin bergeser ke arah Barat Dua sosok tubuh tampak bergerak menuju tempat kediaman Kepala Desa Keranggan. Mereka adalah seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun sambil memegang sebatang tongkat hitam, dan seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih. Namun, wajah wanita itu terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Meski demikian, sisa-sisa kecantikan masih jelas membayang di wajahnya.

“Hei, berhenti...!”

Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring ketika kedua sosok tubuh itu hendak melewati pintu gerbang depan. Bersamaan dengan itu, muncullah lelaki brewok bertubuh kekar bersama tiga orang lainnya. Mereka adalah Barga dan kawan-kawannya. Kemudian, berturut-turut muncul pula belasan lelaki berpakaian hitam, yang merupakan keamanan Desa Keranggan.

“Heh heh heh...!” kakek bertubuh tinggi kurus itu terkekeh memperlihatkan giginya yang hanya tinggal beberapa buah. Tanpa mempedulikan bentakan itu, ia terus saja melangkah masuk disertai wanita di sebelahnya.

“Kepung mereka...!” Barga segera memberi perintah ketika melihat kedua orang itu sama sekali tidak mempedulikan seruannya. Sebentar saja, kedua sosok tubuh itu telah terkepung rapat Belasan sinar pedang berkeredep, bagaikan iblis-iblis haus darah!

“Hm..., tikus-tikus busuk, kalian hanya mencari mampus...!” gumam kakek itu sambil melesat berputaran. Tongkat di tangan kanannya bergerak cepat, menimbulkan suara berdesing tajam! Dan....

Breeettt! Breeet! Breeet!

“Arrrghhh!”

“Aaa!”

Terdengar jerit kematian susul-menyusul yang disertai semburan darah segar membasahi bumi. Sekali gebrak saja, delapan orang keamanan Desa Keranggan tersungkur tewas!

“Iblisss...!” desis Barga terkejut bukan kepalang menyaksikan kejadian itu. Wajahnya yang semula garang, berubah pucat! Sekilas pandang saja, lelaki brewok itu sadar kalau kakek itu sama sekali bukan tandingan mereka.

“Mundur. !” kembali Barga memberi perintah kepada kawan-kawannya yang tinggal tujuh orang itu.

“Heh heh heh! Mengapa harus lari? Bukankah kalian ingin segera menjenguk neraka?” ejek kakek tinggi.kurus itu sambil berkelebat disertai sambaran tongkatnya!

“Haiiittt..!”

Namun, sebelum tongkat berhawa maut itu mencabut nyawa lawannya, tiba-tiba terdengar seruan nyaring. Disusul kemudian, dengan meluncurnya sebuah bayangan yang langsung menyambut tongkat kakek itu.

Whuuut!

Hantaman telapak tangan lelaki tua yang bertubuh tinggi gagah itu luput. Tongkat yang semula mengarah pada perut lawan, malah berbalik mengincar lambung kirinya!

Bweeettt!

“Aaaiiihhh...!” sosok lelaki gagah itu memekik tertahan! Jelas kalau ia tidak menyangka kalau tongkat itu bergerak dengan cepat! Untunglah ia masih bisa mengelak dengan menjatuhkan tubuhnya, dan terus bergulingan menjauh.

“Ular Welang, tahan...!” tiba-tiba terdengar suara wanita teman perjalanan lelaki tua itu berteriak mencegah, tepat pada saat kakek tinggi kurus itu hendak mengirimkan serangan susulan. Dan, seketika itu pula kakek yang berjuluk Ular Welang Tongkat Sakti itu segera menghentikan serangannya.

Teriakan wanita berpakaian serba hitam itu, tentu saja membuat sosok lelaki gagah itu bisa menarik napas lega. Seraya melenting bangkit, dan menatap kedua tamu yang tak diundangnya itu lekat-lekat.

“Kau... Win... tarsih...?!” seru lelaki gagah yang tak lain dari Ki Panda Rasa itu dengan wajah pucat! Bahkan suaranya terdengar gemetar penuh ketegangan dan ketidakpercayaan.

“Hm..., kau ternyata masih mengingatku, lelaki bangsat! Mana Wantara dan Galangsa? Suruh mereka keluar untuk menerima hukuman!” bentak wanita berpakaian hitam itu dengan sorot mata penuh kebencian dan dendam.

“Mengapa... kau mencari mereka...?” tanya Ki Panda Rasa seperti orang bodoh.

“Hm..., akibat perbuatan terkutukmu, aku masih harus menerima penghinaan oleh kedua orang pembantumu itu. Mereka yang kau suruh membuang aku jauh-jauh, telah memperkosaku secara biadab...!” jelas wanita yang ternyata Wintarsih itu dengan suara parau.

“Aaahhh...?!” Ki Panda Rasa terpekik dengan wajah semakin pucat. Tubuh lelaki gagah yang selama hidupnya tidak pernah mengenal takut itu, tampak gemetar hebat!

“Satu hal lagi. Anak yang ku kandung itu kini telah besar dan sangat cantik, apakah ia belum datang untuk mengambil nyawamu?” lanjut Nyai Wintarsih tanpa mempedulikan keterkejutan Ki Panda Rasa.

“Aaahhh...?!” untuk kesekian kalinya, Ki Panda Rasa hanya bisa terpekik kaget. Kini ia baru mengerti mengapa Ki Wantara dan Galangsa dibunuh secara kejam deh seorang gadis muda misterius itu. Rupanya gadis itu adalah putri Nyai Wintarsih yang telah membalaskan dendam ibunya.

“Lelaki keparat! Mengapa sekarang kau hanya bisa ber ah-uh saja? Mana kegagahanmu?” ejek Nyai Wintarsih dengan senyum sinis. Wanita itu segera menoleh ke arah Ular Welang Tongkat Sakti yang ada di sebelah kirinya, “Hajar lelaki bangsat itu! Siksa sebelum dibunuh!” ujar Nyai Wintarsih dengan nada memerintah.

“Baik, istriku...,” sahut kakek tinggi kurus itu yang langsung melangkah maju mendekati Ki Panda Rasa.

“Ular Welang Tongkat Sakti...?!” desis Ki Panda Rasa yang semakin terkejut melihat tokoh sesat yang menggiriskan itu. Sebagai tokoh yang berpengalaman luas, tentu saja ia mengenal dan mengetahui kesaktian tokoh sesat itu. Tanpa banyak cakap lagi, Ki Panda Rasa segera mempersiapkan ilmu andalannya.

“Terimalah kematianmu...!” geram Ular Welang Tongkat Sakti sambil menerjang dengan putaran tongkatnya.

Bweeet! Bweeet!

Hebat sekali serangan yang dilancarkan kakek itu. Putaran tongkat hitam di tangannya seolah menciptakan angin topan yang keras. Senjata itu sendiri terus bergerak dengan diiringi suara bercicitan nyaring!

“Haaaiii...?!”

Berkali-kali Ki Panda Rasa berseru tertahan. Untunglah ia masih dapat menyelamatkan dirinya dari incaran senjata berhawa maut itu. Meski demikian, hal itu bukan berarti Ki Panda Rasa bisa bernapas lega. Sebab, ujung tongkat lawan mendesaknya tenis. Kalau saja lelaki gagah itu tidak memiliki kepandaian tinggi, ia pasti sudah tergeletak sejak jurus-jurus pertama tadi.

“Kena...!”

Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ketiga puluh enam, tiba-tiba saja Ular Welang Tongkat Sakti berseru mengejutkan! Dan, tahu-tahu saja Ki Panda Rasa memekik kesakitan! Tampak lambung kirinya terkena hantaman tongkat lawan!

Buggg!

“Aaakkkhhh...!” Darah segar memercik dari mulut Ki Panda Rasa. Sedangkan tubuhnya yang tinggi gagah itu terjajar limbung! Sementara, tongkat lawan siap mengirim serangan susulan.

Whuuuttt...!

Kali ini, selagi tubuh Ki Panda Rasa terhuyung limbung, ujung tongkat lawan meluncur dan menghantam keras pada dada kanan lawan!

Plakkk!

“Haaaiii...!”

Dalam keadaan yang berbahaya itu mendadak, muncul sesosok bayangan yang mengeluarkan sinar putih keperakan. Sosok putih itu langsung memapaki ujung tongkat kakek tinggi kurus itu. Dan Ular Welang Tongkat Sakti terpekik kaget! Kuda-kudanya tergempur mundur beberapa langkah!

“Pendekar Naga Putih...?!”

Terdengar seruan berbeda yang ke luar dari mulut Ki Panda Rasa dan Ular Welang Tongkat Sakti. Ki Panda Rasa merasa lega melihat kehadiran pemuda tampan berjubah putih itu. Sebaliknya, Ular Welang Tongkat Sakti terlihat geram dengan kemunculan pendekar besar itu. Setelah kemunculan Pendekar Naga Putih, berturut-turut muncullah Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat

“Ayah...?!” seru pemuda pesolek itu langsung menghambur ke arah ayahnya yang terlihat mengalami luka.

“Ibu...?!” tiba-tiba terdengar seruan lain yang disusul munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian berwarna putih. Siapa lagi wanita cantik itu kalau bukan Wintari, “Mengapa ibu berada di sini?” tanya dara remaja itu heran.

“Aku merasa cemas, karena kau pergi cukup lama, Anakku,” sahut Wintarsih yang langsung memeluk dan menciumi putrinya itu.

“Hm..., lelaki keparat itukah yang telah membuat hidupmu sengsara, ibu...?” tanya Wintari sambil melepaskan pandang matanya ke arah Ki Panda Rasa. Begitu melihat ibunya mengangguk, Wintari langsung melepaskan pelukan, dan menghampiri Ki Panda Rasa yang saat itu bersama Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat.

“Kau harus menebus kesengsaraan ibuku dengan nyawamu lelaki keparat...!” bentak Wintari yang langsung meloloskan selendang birunya. Kemudian, gadis cantik itu segera menerjang Ki Panda Rasa dengan serangan-serangan maut.

Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa tentu saja tidak tinggal diam. Meskipun sadar bahwa mereka berdua bukan tandingan gadis cantik itu. Tapi, demi menyelamatkan Ki Panda Rasa, keduanya bergerak menyambut serangan Wintari. Sebentar saja, pertarungan sengitpun berlangsung!

Ki Panda Rasa sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Wajah lelaki gagah itu terlihat penuh dengan rasa sesal. Ia hanya menunduk dan berdiri di tepi arena pertarungan itu.

“Hm... mau ke mana kau, Pendekar Naga Putih...?” tegur Ular Welang Tongkat Sakti ketika melihat Panji hendak memasuki kancah pertempuran di sebelahnya. Bahkan, kakek itu sudah melesat disertai putaran tongkat hitamnya.

Bweeeet! Bweeet!

“Haaaiiittt...!”

Panji menjejak tanah dengan kedua kakinya. Seketika itu juga, tubuhnya melambung dan bersalto diudara. Ketika meluncur turun, sepasang tangannya yang telah membentuk cakar naga, langsung meng- ancam kepalalawan!

Whuuut! Whuuut!

“Hm...,” Ular Welang Tongkat Sakti bergumam tak jelas. Sambil menggeser tubuhnya beberapa langkah, tongkat di tangannya diputar untuk menyambut terjangan Pendekar Naga Putih!

Plakkk! Plakkk!

“Uuuhhh...?!” Lagi-lagi Ular Welang Tongkat Sakti mengeluh pendek. Benturan tongkatnya dengan telapak tangan pemuda itu membuat tubuhnya terjajar limbung. Tenaga saktinya jauh beberapa tingkat di bawah lawannya.

“Ular Welang, aku datang membantu...!”

Saat Panji hendak menyusuli serangannya, tiba-tiba terdengar seruan nyaring. Sosok bayangan merah berkelebat dan langsung mengirim serangan, membuat pemuda itu terpaksa menunda gerakan, dan melangkah ke samping.

Beeeuuuttt...!

Selarik sinar merah yang diiringi bau busuk, berkelebat di depan tubuh Panji. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu langsung mengegos ke kanan, dan mengirimkan pukulan kilat ke arah dada sosok bayangan merah itu!

Whuuuk...!

“Haiiittt...!”

Pukulan Panji lewat di atas bahu lawannya yang merunduk dengan kuda-kuda rendah! Ketika ia hendak menyusuli dengan hantaman tangan kiri, tahu-tahu saja terdengar suara berdesing tajam dari sebelah belakangnya. Cepat pemuda itu menggeser kakinya ke samping dengan gerakan bersilang dan memutar!

Namun, suara berdesing tajam yang datangnya dari tongkat Ular Welang, cepat bergerak melingkar, dan mengancam pelipis Pendekar Naga Putih. Panji pun segera mengangkat tangannya guna memapaki tebasan tongkat lawan.

Ular Welang Tongkat Sakti yang sadar akan kekuatan lawannya, tidak mau lagi berbenturan. Tongkatnya kembali diputar melingkar dengan kecepatan kilat! Bersamaan dengan itu, dari sebelah belakangnya datang seberkas sinar merah berbau busuk! Dan Panji terpaksa harus melesat ke udara dan bersalto sebelum mendaratkan kedua kakinya dengan ringan.

“Heeeaaattt...!”

“Yeeeaaa...!”

Sosok bayangan merah yang tidak lain Ular Merah itu segera menyerbu bersama-sama dengan Ular We- lang Tongkat Sakti. Senjata keduanya bergerak cepat mengancam tubuh lawan. Pertarungan pun kembali berlanjut lebih seru dari semula!

Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertarungan mulai menginjak jurus keempat puluh, Panji berhasil mendesak lawannya dengan ‘Ilmu Silat Naga Sakti’. Bahkan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya mulai membawa pengaruh bagi gerakan kedua orang lawannya. Sehingga, kedua tokoh sesat itu semakin terdesak, dan kian sulit untuk melancarkan serangan balasan! Akibatnya....

Deeesss!

“Aaarrrghhh!”

Ular Merah yang kepandaiannya lebih rendah, memekik ngeri! Sebuah hantaman cakar Panji menyambar telak dadanya! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tokoh sesat itu terpental dan membentur dinding pekarangan rumah Ki Panda Rasa!

Deeerrr...!

“Huuukhhh!”

Dinding batu yang kokoh itu jebol dengan suara berderak ribut! Sedangkan tubuh Ular Merah tampak menggelepar dan tewas dengan tulang-tulang remuk! Berakhirlah dendam kesumat di dalam dadanya. Karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga.

Ular Welang Tongkat Sakti pun tidak luput dari gempuran hebat Pendekar Naga Putih. Terbukti setelah lewat tiga puluh jurus Ular Merah menemui ajal, kakek itu pun harus merasakan dahsyatnya tenaga berhawa dingin dari pemuda berjubah putih itu.

“Yeaaahhh!”

Bressshhh...!

Disertai bentakan mengguntur, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya dan langsung menggedor dada Ular Welang. Akibatnya, tentu saja sangat mengerikan! Diiringi pekik kematian, tubuh Ular Welang Tongkat Sakti terlempar deras hingga tiga tombak jauhnya! Darah segar berceceran dari mulut kakek tua itu!

“Ular Welang...!?” Wintarsih memekik dan menghambur ke arah tubuh suaminya yang menggelepar bagaikan ayam disembelih itu. Namun, tokoh sesat yang menggiriskan itu telah menghembuskan napasnya. Karena tulang dadanya remuk akibat hantaman dahsyat barusan. Dari mulutnya masih terlihat darah segar meleleh. Jelas bagian dalam dadanya pun hancur akibat gempuran dahsyat itu.

Sedangkan Pendekar Naga Putih telah menoleh ke arah pertempuran di sebelah kanannya. Tubuh pemuda itu segera melesat ketika melihat Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa menjadi bulan-bulanan selendang biru Wintari.

“Haiiittt...!”

Plaaarrr...!

“Uuuhhh...!”

Wintari terpelanting ke belakang akibat telapak tangan Panji yang memapaki senjatanya. Hal itu terjadi karena tenaga yang dikerahkan Panji hampir mencapai puncaknya. Kendati demikian, Wintari segera bergerak bangkit, dan siap bertarung mati-matian. Sementara Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat telah bergerak ke tepi. Sepertinya kedua orang gagah itu menyerahkan segalanya kepada Pendekar Naga Putih.

“Tahan...!”

Saat Wintari dan Panji telah siap saling gempur, tiba-tiba melayang sesosok tubuh yang langsung mendarat di antara ke duanya. Dia adalah Ki Panda Rasa.

“Pertarungan ini tidak perlu dilanjutkan! Akulah yang menjadi biang keladinya. Biarlah aku yang akan menerima hukuman atas kekhilafanku di masa lalu...,” ujar Ki Panda Rasa dengan suara lantang. Ia berdiri tegak dan siap menerima hantaman selendang Wintari.

“Tunggu...!”

Wintari yang siap akan menghabisi nyawa lelaki gagah itu, menahan gerakannya. “Ibu...?!” seru dara remaja itu kelihatan bingung melihat raut wajah ibunya.

“Panda Rasa! Kalau kau memang benar-benar siap menerima hukuman, ceritakanlah kepada semua orang di sini mengenai apa yang telah kau perbuat atas diriku!” suara Wintarsih terdengar masih mengandung isak tertahan. Jelas hati wanita berpakaian hitam itu tersentuh melihat kepasrahan Ki Panda Rasa.

“Wintarsih. Aku memang telah melakukan kejahatan yang tidak bisa diampuni olehmu. Sejak lama aku telah siap menantikan datangnya kematian. Ketahuilah, aku pun sangat tersiksa dengan apa yang telah kulakukan itu. Kalau pun sekarang aku harus membeberkan apa yang telah kulakukan di depan orang banyak, semua itu tidak akan bisa mengurangi rasa bersalah di hatiku. Karena kau meminta, maka aku akan segera mengatakannya...,” ucap Ki Panda Rasa sambil menatap lekat ke wajah wanita itu. Hati Wintarsih sempat tergetar melihat tatapan penuh cinta kasih itu.

“Tunggu...!” sebelum Ki Panda Rasa mengucapkan apa yang pernah dilakukannya, Panji berseru seraya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Kemudian pemuda berjubah putih itu melangkah maju beberapa tindak.

“Nyai Wintarsih,” ucap Panji yang mengenal nama wanita itu dari ucapan Ki Panda Rasa, “Rasanya apapun yang akan diucapkan Ki Panda Rasa, hanya akan membuka aib kalian berdua. Apabila kejadian ini sampai terdengar orang lain, bukan hanya kau dan Ki Panda Rasa yang akan tersiksa. Tapi, putrimu pun akan merasa rendah diri dan dilecehkan orang lain. Itukah yang kau kehendaki...?” ujar Panji yang membuat Wintarsih bingung.

Tentu saja baginya tidak menjadi masalah. Tapi, sebagai seorang ibu, ia tidak rela kalau putrinya kelak dicemooh orang banyak. Sehingga, wanita itu tidak bisa membantah ucapan Pendekar Naga Putih.

“Karena Ki Panda Rasa sudah siap menerima apa pun hukuman yang akan kau jatuhkan, sebaiknya persoalan ini kita bicarakan di dalam. Aku pun ingin mendengar persoalan yang sebenarnya. Setelah itu, barulah Nyai memutuskan. Aku akan menjadi saksi, dan siap menegakkan keadilan yang Nyai pinta...,” usul Panji yang membuat Ki Panda Rasa mengangguk setuju.

“Apa yang dikatakan pemuda ini benar, Wintarsih. Aku pun sangat menyesal, dan siap menerima hukuman,” ujar Ki Panda Rasa yang membuat Wintarsih terpaksa menganggukkan kepala. Maka, ia pun mengikuti langkah Panji, Ki Panda Rasa, Pungga Rasa, Pendekar Tangan Kilat, juga Wintari yang sepertinya hanya mengikuti kemauan ibunya.

“Sembilan belas tahun yang lalu, saat Pungga Rasa berumur empat tahun, terjadilah peristiwa terkutuk itu,” Ki Panda Rasa memulai ceritanya, saat mereka telah duduk mengelilingi sebuah meja bulat. “Semenjak istriku tewas karena penyakit menular berjangkit di desa ini, aku merawat Pungga Rasa dengan dibantu oleh Wintarsih. Dia, begitu tekun melayani segala keperluanku, juga putraku. Karena kami selalu berdekatan setiap hari, timbullah rasa cintaku terhadap Wintarsih. Uluran tanganku mendapat sambutan darinya. Suatu malam, kami berhubungan sebagaimana layaknya suami istri. Beberapa bulan kemudian, Wintarsih mengatakan kepadaku bahwa ia hamil. Timbullah sifat pengecutku. Karena tidak ingin pandangan orang dan tokoh-tokoh persilatan melecehkanku, karena telah menghamili seorang pembantu, diam-diam aku menyuruh Wantara dan Galangsa membuang Wintarsih jauh-jauh. Tidak kusangka sama sekali kalau mereka telah berbuat keji terhadapnya...,” tutur Ki Panda Rasa dengan wajah menunduk dan penuh rasa sesal yang dalam. Wintarsih pun ikut menangis terisak-isak. Karena biar bagaimanapun ia masih mencintai Ki Panda Rasa.

Panji, Ki Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat mengangguk-angguk kepalanya mendengar penjelasan lelaki gagah itu.

“Ki Panda Rasa,” panggil Panji setelah agak lama lelaki gagah itu terdiam, “Andaikata kau diberi kesempatan untuk menebus dosamu dengan memelihara mereka berdua, apakah kau masih merasa malu kepada orang-orang di sekelilingmu, dan sahabat-sahabatmu?” tanya Panji dengan hati-hati.

“Terserah kepada Wintarsih. Asalkan mereka mau mengampuni dan menerimaku. Aku bersedia melakukan apa saja yang mereka inginkan,” sahut Ki Panda Rasa mantap, tanpa keraguan sedikitpun. Untuk menunjukkan rasa penyesalannya, lelaki gagah itu bangkit dan menghampiri Wintarsih yang juga bangkit dari kursinya.

Wintari yang masih merasa curiga, segera beranjak bangkit dan siap melindungi ibunya. Meskipun Wintari sempat tersentuh hatinya setelah mendengar pengakuan lelaki gagah itu. Tetapi ia belum percaya sepenuhnya dengan lelaki itu.

Kedua insan berlainan jenis itu saling berdiri berhadapan dalam jarak dua langkah. Secara tak terduga, Ki Panda Rasa menjatuhkan dirinya seraya memeluk kaki Nyai Wintarsih.

“Ampuni aku, Wintarsih. Aku benar-benar menyesal. Dan, kalau kau memang menghendaki kematianku, aku pasrah...,” desis Ki Panda Rasa yang melakukan semua itu karena rasa penyesalan yang mendalam, bukan karena ia takut terhadap pembalasan wanita itu.

Wintarsih terdiam dengan air mata berlinang. Hati wanita itu yang semula beku dan dipenuhi dendam, perlahan pudar menyaksikan perbuatan lelaki gagah, pendekar terkenal, dan seorang kepala desa, mau merendahkan dirinya. Pertahanan wanita itu pun luluh.

“Kakang...,” tubuh Nyai Wintarsih melorot jatuh. Dipeluknya tubuh Ki Panda Rasa dengan segenap rasa cintanya. Tanpa ragu lagi, Ki Panda Rasa pun memeluk tubuh Nyai Wintarsih erat-erat. Tinggallah Wintari dan Ki Pungga Rasa terbengong-bengong, dan saling melempar pandang.

Melihat persoalan itu telah selesai dengan baik, diam-diam Panji menyelinap pergi. Ia teringat dengan Kenanga yang tinggal bersama bibinya yang akan melahirkan putranya itu. Dan Panji berniat menjenguk kekasihnya.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.