Serial Pendekar Naga Putih
Episode Sepasang Pedang Iblis
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Sepasang Pedang Iblis
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
PAGI baru saja datang menggantikan sang malam. Hembusan angin masih terasa sejuk membelai tubuh. Dan, matahari belum menampakkan kegarangannya. Sinarnya yang redup menyapa bumi serta dedaunan. Suara jangkrik pun sesekali masih terdengar.
Di sebuah bangunan perguruan yang dikelilingi pagar terbuat dari kayu bulat terlihat kesibukan. Beberapa murid perguruan tengah berlatih dengan bertelanjang dada. Butir-butir keringat mengalir turun membasahi tubuh mereka.
“Sarpala, kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu...?” tegur seorang lelaki bertubuh gagah pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh sembilan tahun, yang memegang sapu pada tangan kanannya. Pemuda itu tengah berdiri menyaksikan murid-murid yang sedang berlatih. Sehingga tidak menyadari ada orang yang menghampirinya.
“Guru...,” ucap pemuda itu segera membungkukkan tubuh dengan sikap hormat.
“Hm... Apa yang kau pikirkan, Sarpala? Hingga aku harus menegur mu berkali-kali. Apa kau tidak mendengar pertanyaanku?” tanya lelaki bertubuh gagah seraya menatap wajah Sarpala dengan penuh selidik.
“Ampun, Guru. Aku..., aku...,” Sarpala mendadak gugup ketika menyadari kesalahannya. Apalagi, nada teguran itu jelas menyiratkan ketidaksenangan. Tentu saja Sarpala makin merasa bersalah.
“Sudahlah! Lanjutkan pekerjaanmu!” lelaki bertubuh gagah menyela tak sabar.
“Baik..., baik, Guru...,” sahut Sarpala kemudian meninggalkan tempat itu untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“Hhh...,” lelaki gagah itu menghela napas panjang sambil menggeleng-geleng kepala. Setelah bayangan Sarpala lenyap, perhatiannya kembali tertuju ke arah murid-murid yang tengah berlatih.
Ki Baginta, lelaki bertubuh gagah itu bukanlah tokoh rendahan dalam Perguruan Harimau Sakti. Ia merupakan orang ketiga setelah guru dan kakak seperguruannya. Tapi, semua murid Perguruan Harimau Sakti memanggil tokoh-tokoh perguruannya dengan panggilan guru. Kecuali, ketua perguruan yang dipanggil guru besar.
Sementara itu, Sarpala yang bertugas menjaga kebersihan bagian dalam perguruan telah melanjutkan tugasnya kembali. Pemuda bertubuh tegap itu tidak lagi mempedulikan keadaan sekelilingnya. Teguran Ki Baginta membuat pemuda itu semakin tekun menjalankan tugasnya. Sehingga, tanpa sadar Sarpala memasuki ruangan perpustakaan. Seolah-olah tidak menyadari kesalahannya karena, ruangan itu tidak boleh dimasuki murid-murid perguruan termasuk dirinya, Sarpala terus membersihkan ruangan itu.
“Sarpala...!” tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Sarpala hampir jatuh terduduk. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat seraut wajah di belakangnya.
“Ada apa, Ki...?” tanya pemuda itu seperti orang bodoh, membuat wajah lelaki tua yang berdiri di ambang pintu makin bertambah gelap.
“Hm.... Kau sengaja berpura-pura bodoh atau memang ingin mempermainkan aku, Sarpala...?” geram lelaki tua itu seraya melangkah maju mendekati Sarpala. Jelas, terlihat kemarahan tersirat pada sepasang matanya.
Sarpala tidak menjawab. Matanya menatap wajah orang tua itu dengan pandangan tak mengerti. Rupanya, pemuda itu belum menyadari kesalahannya.
“Hm...,” Ki Kumbaranta, penjaga ruang perpustakaan Perguruan Harimau Sakti menggeram jengkel, “Sudah berapa lama kau bekerja di tempat ini?” tanya lelaki tua itu membuat Sarpala merasa heran. Itu terlihat dari pancaran matanya.
“Setengah tahun, Ki...,” jawab Sarpala tidak mengetahui ke mana arah pertanyaan Ki Kumbaranta.
“Sudah cukup lama untuk mengetahui semua peraturan di perguruan ini, bukan?” desak Ki Kumbaranta.
“I…, ya, Ki ”
“Kau tahu tempat apa yang kau masuki ini?” tanya Ki Kumbaranta dengan pandangan yang semakin tajam, membuat dada Sarpala bergetar dan pemuda itu menatap berkeliling.
“Ahhh...?!” Sarpala berseru dengan wajah pucat. Rupanya, pemuda itu baru menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu langsung menjatuhkan tubuhnya berlutut di depan Ki Kumbaranta.
“Ampun, Ki. Aku sungguh tidak sengaja...,” ucap Sarpala setengah merintih.
“Hm.... Kau tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan guru besar kita bila mengetahui perbuatanmu ini...?” ujar Ki Kumbaranta membuat tubuh Sarpala semakin menggigil ketakutan, “Guru besar kita melarang keras setiap murid-murid dan penghuni perguruan masuk ke dalam ruangan perpustakaan, kecuali aku yang diberi wewenang untuk menjaganya...“
“Ampun, Ki. Aku mengaku bersalah. Tapi..., aku benar-benar tidak sengaja melakukannya...,” rintih Sarpala dengan suara gemetar ketakutan. Sebab, Ki Sawung yang menjadi Ketua Perguruan Harimau Sakti, akan menjatuhi hukuman bagi siapa saja yang melanggar peraturan itu. Itu sebabnya, Sarpala ketakutan setengah mati.
Ki Kumbaranta terdiam beberapa saat seraya memperhatikan tubuh menggigil di dekat kakinya. Rupanya, hati orang tua berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tergerak melihat wajah Sarpala yang pucat bagai mayat Setelah menghela napas panjang, terdengar Ki Kumbaranta berkata perlahan.
“Kali ini kuampuni perbuatanmu, dan tidak akan melaporkannya pada guru besar. Tapi ingat! Sekali lagi kau memasuki ruangan ini, kau akan digantung di halaman depan, mengerti...,” ujar Ki Kumbaranta.
“Terima kasih, Ki. aku bersumpah tidak akan mengulangi lagi...,” sahut Sarpala cepat. Hatinya merasa lega bukan main ketika mendengar ucapan Ki Kumbaranta. Berkali-kali pemuda itu membenturkan keningnya ke lantai sebagai ungkapan kelegaan hatinya.
“Pergilah, selesaikan tugasmu di tempat lain...,” ujar Ki Kumbaranta melambaikan tangan pada pemuda itu yang kemudian setengah berlari meninggalkan ruangan perpustakaan.
Ki Kumbaranta hanya menggeleng-geleng menatap kepergian Sarpala. Kemudian, memeriksa seluruh kitab-kitab yang berjajar rapi di ruangan itu. Setelah memastikan kitab-kitab itu masih utuh tanpa ada yang lenyap atau berpindah tempat, Ki Kumbaranta menutup pintu ruang perpustakaan dan beranjak pergi.
Malam sudah lama jatuh. Kegelapan yang menyelimuti permukaan bumi, terkuak oleh bias sinar rembulan yang malam itu muncul penuh. Suara binatang-binatang malam terdengar bersahutan menyemarak- kan suasana malam. Dalam keremangan cahaya rembulan tampak sesosok bayangan hitam berkelebat cepat mendekati bangunan Perguruan Harimau Sakti. Melihat caranya berlari dapat dipastikan ilmu lari cepat sosok itu cukup tinggi.
Dengan melalui bagian samping bangunan, sosok berpakaian hitam melejit ke atas. Bagai seekor burung besar, tubuhnya melayang dan lenyap di sebatang pohon yang tumbuh dekat pagar. Kemudian, meluncur turun setelah memastikan keadaan di sekitar tempat itu aman.
“Hup!”
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, sosok berpakaian hitam itu berjumpalitan beberapa kali, dan menyelinap di balik tembok bagian dalam bangunan induk. Sepasang matanya bergerak liar menembus kegelapan. Sesaat kemudian, sosok itu kembali bergerak menuju sebuah bangunan yang lebih kecil dari bangunan induk.
Seperti sudah hafal akan letak tempat yang ditujunya, sosok berpakaian hitam langsung mendekati sebuah pintu yang di atasnya bertuliskan ‘Ruang Perpustakaan’. Dengan sekali menekankan telapak tangannya pada daun pintu, terdengar suara derit perlahan. Dari sini kembali terlihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh sosok terbalut pakaian serba hitam itu.
Sebab, pintu ruang perpustakaan dapat dibukanya dengan mudah. Padahal, sebelumnya pintu itu terkunci rapat! Setelah menyelinap masuk dan menutup pintu, sosok berpakaian hitam itu menggeledah setiap sudut ruangan. Telapak tangannya bergerak menekan dinding batu tanpa mengganggu rak-rak buku yang berjajar rapi.
“Hm...,” sosok bayangan hitam bergumam perlahan. Kemudian, mengalihkan perhatiannya ke rak-rak buku di sekeliling ruangan, Kelihatannya ia tidak menemukan apa yang dicarinya pada setiap sisi dinding batu ruangan itu.
“Setan! Di mana manusia keparat itu menyembunyikannya? Padahal, menurut guruku benda pusaka itu berada di dalam ruangan ini,” gumam sosok berpakaian hitam itu seraya menyapu seluruh ruangan dengan pandang matanya yang tajam.
Cukup lama sosok bayangan hitam berdiri mematung di tengah ruangan. Kemudian melangkah menuju sebuah rak buku yang berada di samping kanan. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam, ditekannya bagian tepi rak. Maka....
Grrrg!
“Nah?!” Sosok bayangan hitam tersenyum tipis dengan mata berbinar. Rak buku yang ditekannya bergerak perlahan seolah-olah masuk ke dalam dinding. Sedangkan bagian tepi lainnya bergerak keluar. Menunjukkan di belakang rak terdapat sebuah ruang kosong yang tersembunyi.
“Heh heh heh.... Rupanya usahaku tidak sia-sia,” desis sosok berpakaian serba hitam, melihat di depannya menganga sebuah ruangan gelap. Tapi, baru saja kaki kanannya melewati ambang pintu ruangan rahasia itu, tiba-tiba....
Wuuut! Wuuut!
“Haiiit..!”
Terkejut bukan main hati sosok berpakaian hitam. Untunglah ia telah waspada sejak memasuki tempat itu. Sehingga, ketika telinganya menangkap suara berdesing tajam, tubuhnya langsung melenting ke udara. Akibatnya....
Cappp! Cappp!
“Hhh...,” terdengar helaan napas lega sosok itu.Dua batang anak panah yang mengancam tubuhnya meluncur lewat, dan tertancap pada tiang dibelakangnya. “Hm.... Anak panah itu pasti telah dilumuri racun yang mematikan. Untung akuselalu waspada. Kalau tidak, mungkin aku telah tewas...,” desisnya kembali melangkah masuk.
Sosok berpakaian hitam kelihatan sangat tegang saat memasuki ruang rahasia. Nampaknya ia telah siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Urat-urat tubuhnya mulai mengendur ketika tiba di tengah ruangan ternyata bahaya tidak muncul lagi.
“Aaah...?!” Tiba-tiba sosok itu berseru perlahan. Di depannya tampak sebuah benda bersinar menyilaukan mata.
“Pedang Iblis. ?!” desisnya bergetar. Agaknya, sosok berpakaian hitam itu tengah dilanda kegembiraan yang sangat. Terlihat langkahnya bergegas mendekati sebilah pedang sepanjang lengan yang tertancap di sebuah batu besar.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, sosok itu mengulurkan tangannya mencabut pedang bersinar menyilaukan itu. Wajah dan tubuhnya tampak bergetar saat pedang diacungkan di dekat wajahnya. Seolah-olah ada suatu kekuatan aneh merasuk ke dalam tubuhnya melalui pedang di tangannya. Dan, sosok berpakaian hitam menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
Setelah puas menatap Pedang Iblis di tangannya, sosok itu pun mengalihkan perhatiannya. Dan, sepasang matanya kembali bercahaya ketika menemukan warangka pedang tergeletak di bawah batu. Cepat Pedang Iblis dimasukkan ke dalam warangkanya.
“Hm.... Menurut guru, Pedang Iblis ada sepasang? Tapi, aku tidak melihatnya di ruangan ini. Ki Sawung hanya memiliki sebuah? Kalau begitu, ke mana yang satunya lagi...?” gumam sosok berpakaian hitam yang rupanya cukup mengetahui sejarah Pedang Iblis.
Tapi, karena di dalam ruangan ia tidak menemukan pedang yang satunya lagi, sosok berpakaian hitam yang bertubuh tegap itu pun bermaksud meninggalkan ruangan. Baru saja ia menggeser rak yang merupakan pintu kamar rahasia, terdengar suara orang dari luar ruangan perpustakaan. Cepat ia menyelinap di balik rak itu.
Krettt..!
“Hei, mengapa pintu ruangan ini tidak terkunci? Apakah Ki Kumbaranta lupa menguncinya?” terdengar suara agak berat bernada terkejut. Agaknya itu suara peronda yang tengah berkeliling.
“Tidak mungkin Ki Kumbaranta lupa menguncinya. Sebab, ruangan ini merupakan tempat terlarang. Aku rasa ada yang tidak beres di dalam...,” timpal suara kedua dengan agak berbisik.
“Maksudmu..., pencuri...?” ujar suara pertama tak percaya, “Hm Hanya pencuri gila yang berani memasuki kandang macan...”
“Tidak perlu berdebat. Sebaiknya kita periksa ruangan perpustakaan ini untuk memastikannya...,” kata suara ketiga menengahi ucapan kedua orang kawannya yang kelihatannya tidak akan selesai bila tidak dilerai.
“Hm.... Bukankah ruangan ini terlarang bagi kita? Bagaimana jika guru besar tahu? Bisa-bisa kita yang jadi tertuduh. Dan..., hukuman gantung menanti kita...,” bantah orang pertama. Agaknya, lelaki itu merasa takut akan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki ruangan perpustakaan.
“Jangan lupa. Kita bertiga pun akan mendapat hukuman serupa bila ada pencuri yang benar-benar datang dan sekarang tengah menggeledah seisi ruangan...,” desak orang ketiga dengan nada agak tinggi.
“Hm.... Benar juga. Sebaiknya memang kita periksa saja ruangan ini. Kemudian segera melaporkannya pada Ki Kumbaranta...,” ujar suara pertama mengambil keputusan. Setelah menemukan kata sepakat tangannya terulur mendorong daun pintu.
Tapi, ketika pintu sudah terkuak seluruhnya, mendadak sosok bayangan hitam meluncur ke arah mereka dengan pedang bersinar di tangannya!
Bwettt...!
“Aaah...?!” Ketiga peronda itu terpekik kaget. Mereka seperti tersihir oleh pancaran sinar yang keluar dari pedang lawan. Akibatnya....
Brettt! Brettt!
“Aaa...!” Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pe- dang Iblis di tangan sosok berpakaian serba hitam menghirup darah korbannya yang pertama.
“Ha ha ha...! Benar-benar sebuah pedang yang sangat luar biasa! Sekali keluar dari warangkanya, tiga nyawa langsung melayang ke akhirat..!”
Sosok berpakaian hitam sepertinya lupa di mana saat itu ia berada. Sehingga, tawanya tanpa sadar berkumandang mengiringi jerit kematian ketiga peronda. Akibatnya, tentu dapat ditebak. Sebentar saja, terdengar suara langkah-langkah orang mendatangi tempat itu.
“Ada pembunuh...!”
Seorang murid perguruan yang melihat tiga sosok tubuh bersimbah darah, tergeletak di dekat kaki orang berpakaian serba hitam langsung berteriak. Kemudian, bersama belasan orang kawannya segera mengepung sosok terbalut pakaian serba hitam, yang berdiri tegak dengan sinar mata mencorong penuh kebuasan.
“Aaah...?!”
Belasan murid Perguruan Harimau Sakti yang mengepung sosok berpakaian serba hitam langsung bergerak mundur dengan wajah tegang. Rupanya, mereka merasa gentar ketika sepasang mata yang mencorong buas itu merayapi wajah-wajah mereka. Bahkan, beberapa orang di antaranya mengusap leher bagian belakang. Karena bulu kuduk mereka mendadak berdiri ketika bentrok dengan sinar mata yang mengerikan itu.
“Pembunuh laknat! Apa yang kau cari di tempat ini? Mengapa kau bunuh ketiga kawan kami...?” salah seorang murid yang berusaha menekan rasa takutnya mencoba menegur. Meski demikian, ucapannya tetap menyiratkan kegentaran hatinya.
“Hm.... Kalian ingin menyusul mereka rupanya...?” desis sosok berpakaian serba hitam sambil mengeluarkan pedang di pinggangnya. Kembali terdengar seruan-seruan kaget saat Pedang Iblis keluar dari sarungnya. Karena, sinar yang memancar dari badan pedang mengandung kekuatan aneh yang membuat lawan seperti terkena sihir.
“Kau..., siapa...? Apa..., apa yang kau cari di tempat ini..?” meskipun dengan suara gemetar, murid pemberani bertubuh sedang yang tadi menegur kembali mengajukan pertanyaan. Tangannya yang juga gemetar meraba gagang pedang di pinggangnya.
“Hm.... Panggil aku sebagai si Pedang Iblis yang akan mengirim kalian ke neraka...,” desis sosok berpakaian serba hitam datar dan dingin.
“Keparat!” terdengar makian salah seorang murid Perguruan Harimau Sakti yang mengepung sosok berpakaian serba hitam, “Ayo, tangkap dan bunuh manusia jahat itu...! Heaaat..!”
Tanpa menunggu kawan-kawannya yang lain, orang itu pun langsung melompat disertai kelebatan pedangnya yang menimbulkan suara berdesing!
“Yeaaah...!” Sosok berpakaian serba hitam yang mengaku si Pedang Iblis membentak keras. Pedang bersinar menggetarkan di tangannya segera berkelebat membelah kepekatan malam. Dan....
Brettt!
“Akh...!” Sekali bergerak saja, tubuh murid Perguruan Harimau Sakti itu terpental balik. Darah segar menyembur dari luka menganga di tenggorokannya.
Kejadian yang hanya sekejap mata itu, membuat murid-murid lainnya terkejut setengah mati. Rasa gentar semakin kuat membelenggu hati mereka. Sehingga, tak satu pun yang berani bergerak. Mereka seperti patung-patung bisu.
“Haaat..!” Si Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar untuk menambah jumlah korbannya. Saat itu juga tubuhnya bergerak diiringi kelebatan sinar pedangnya yang mengandung hawa maut!
Kembali terdengar jerit kematian susul-menyusul. Empat orang murid menggelepar bagai ayam disembelih. Darah segar menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Pedang Iblis benar-benar haus darah!
“Haaat..!”
Saat Pedang Iblis kembali datang untuk mengambil korban berikutnya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring, kemudian disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang langsung memapaki serangan Pedang Iblis!
Plakkk!
Benturan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu, sempat menyelewengkan arah sambaran Pedang Iblis. Sehingga, sembilan murid Perguruan Harimau Sakti lolos dari kematian.
“Hmh...?!” Si Pedang Iblis mendengus tak senang. Sepasang matanya menyorot tajam, menatap wajah lelaki tua bertubuh gagah yang tadi menggagalkan serangannya.
Sosok orang tua gagah yang ternyata Ki Kumbaranta itu kelihatan terkejut ketika merasakan kekuatan tenaga dalam sosok berpakaian serba hitam. Terlebih lagi ketika melihat dan mengenali pedang berhawa maut di tangan lawan.
“Kau..., mencuri Pedang Iblis...?!” desis Ki Kumbaranta sambil bergerak mundur setelah mengetahui senjata yang tergenggam di tangan sosok berpakaian serba hitam. Jelas, terlihat sinar kegentaran membayang di mata Ki Kumbaranta. Kelihatannya, orang tua itu telah mengetahui kedahsyatan Pedang Iblis.
“Heh heh heh...! Kau rupanya mengenali senjata maut ini, Orang Tua. Kalau begitu, kau pun pasti tahu di mana pedang yang satunya lagi. Ayo, tunjukkan padaku...!” ujar sosok berpakaian serba hitam terkekeh parau. Sikapnya berubah liar dan penuh nafsu membunuh.
“Pencuri laknat...!” geram Ki Kumbaranta melupakan kegentaran hatinya. Sebab, Pedang Iblis yang dicuri sosok berpakaian serba hitam itu adalah tanggung jawabnya. Jika gagal merebut benda keramat itu, sudah pasti Ki Sawung akan menjatuhkan hukuman mati padanya. Untuk itu, Ki Kumbaranta harus bisa merebut Pedang Iblis dengan taruhan nyawanya!
“Haaat...!”
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Kumbaranta segera menerjang dengan sambaran pedangnya. Dalam gebrakan pertama lelaki tua itu langsung menggunakan jurus pedang andalan perguruannya, yang bernama ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Ilmu pedang yang diciptakan pendiri Perguruan Harimau Sakti ternyata tidak bisa dianggap enteng. Selain gerakannya sukar ditebak, benteng pertahanan ilmu pedang itu pun sangat kokoh dan sukar ditembus serangan lawan.
Tentu saja itu tidak aneh. Sebab, Perguruan Harimau Sakti memang terkenal dengan kehebatan ilmu pedang dan ilmu tangan kosongnya. Sejak pendiri pertama perguruan itu, yang merupakan kakek buyut dari Ki Sawung sampai turun-temurun hingga kini. Dan, pencuri yang kini memakai julukan Pedang Iblis itu agaknya mengetahui.
Bwettt..!
Pedang Iblis menarik mundur tubuhnya. Sambaran mata pedang Ki Kumbaranta yang dilakukan bersilangan, sangat sukar untuk ditangkis. Sehingga, ia memutuskan untuk menghindar sambil mempersiapkan jurus-jurus baru menghadapi ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’ yang sudah sangat terkenal ketangguhannya.
Wettt...! Wettt...!
Pedang Iblis berputaran mengaung tajam, ketika majikan barunya menggerakkan pedang pusaka itu untuk membentengi dirinya dari incaran mata pedang lawan. Kemudian, balas menusuk dengan kecepatan kilat.
Sebenarnya tusukan pedang itu tidak terlalu berbahaya, dan akan dapat ditanggulangi dengan mudah oleh Ki Kumbaranta. Tapi, karena senjata yang digunakan lawan bukan pusaka sembarangan, maka serangan sederhana itu berubah menjadi hebat dan membahayakan nyawa lawan. Terutama pancaran sinar Pedang Iblis yang mengandung hawa mukjizat, dan sanggup melumpuhkan semangat lawan tidak memiliki tenaga dalam kuat!
Wuttt...!
“Aiiih...?!” Ki Kumbaranta terpekik kaget ketika mendadak ujung pedang berhawa maut itu tiba di dekat ulu hatinya. Untunglah pada saat-saat terakhir, Ki Kumbaranta tersadar dari pesona mukjizat yang memancar dari badan Pedang Iblis. Secepat kilat lelaki tua bertubuh tegap itu melempar tubuhnya ke belakang. Dan terus berputaran menjauhi lawan.
“Haiiit..!”
Pedang Iblis yang gagal menyerang ke tubuh Ki Kumbaranta memekik nyaring. Tubuhnya berputaran bagai sebuah baling-baling, dan terus menyabetkan pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Harimau Sakti yang hendak mengeroyoknya. Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pedang Iblis kembali meminta korban. Darah segar memercik membasahi permukaan tanah, diiringi robohnya lima murid Perguruan Harimau Sakti dengan leher hampir putus!
“Biadab...!” Ki Kumbaranta menggeram gusar ketika menyaksikan kejadian itu.
Rasa bersalah di hatinya semakin membesar. Karena pedang yang telah puluhan tahun dijaganya, kini berada dalam genggaman orang yang tak bertanggung jawab dan berhati kejam. Sifat si pemegang dan pedang pusaka itu seperti telah menyatu. Sudah pasti ini akan mendatangkan malapetaka bagi orang banyak. Bila pencuri itu berhasil lolos dari tangannya. Sebab itu Ki Kumbaranta harus bisa merebutnya.
Sebelum Ki Kumbaranta menerjang Pedang Iblis, mendadak melayang sesosok bayangan yang langsung menjejakkan kakinya di samping lelaki tua itu.
“Kakang Kumbaranta, apa yang terjadi...?” belum lagi sosok itu mendarat dengan sempurna terdengar tegurannya. Ki Kumbaranta kelihatan menarik napas lega ketika mengetahui siapa orang yang baru datang. Lelaki tua itu telah mengenal dengan baik suara itu.
“Adi Baginta! Syukur kau datang tepat pada waktunya! Orang berpakaian serba hitam itu telah mencuri senjata dari kamar rahasia. Kita harus menangkapnya untuk merebut kembali Pedang Iblis dari tangannya. Kalau tidak, celakalah kita semua...,” sahut Ki Kumbaranta cepat.
Lelaki tua itu merasa gembira karena yang datang Ki Baginta, yang merupakan salah seorang tokoh puncak Perguruan Harimau Sakti. Malah dalam hal kepandaian, Ki Kumbaranta masih berada setingkat di bawah kepandaian Ki Baginta. Maka bantuan Ki Ba- ginta sangat diharapkan untuk merebut kembali senjata keramat berhawa jahat itu.
“Celaka! Kalau begitu, kita harus berusaha untuk mendapatkannya kembali, Kakang..,” sergah Ki Baginta yang tampak sangat terkejut mendengar pusaka keramat perguruan mereka dicuri orang. Maka, tanpa banyak cakap lagi, lelaki bertubuh gagah itu langsung melayang ke arah Pedang Iblis yang tengah menyebar maut dengan membantai murid-muridnya.
“Aaat..!” Ki Baginta yang telah mengetahui keampuhan Pedang Iblis, tidak mau bertele-tele. Begitu menyerang, lelaki gagah itu langsung menggunakan senjatanya. Sebab, Pedang Iblis bukan pusaka sembarangan dan tidak mungkin sanggup dilawannya dengan jurus- jurus tangan kosong. Itu sebabnya begitu menerjang, Ki Baginta langsung menggunakan senjata dan mengeluarkan jurus-jurus pedang andalan perguruannya.
“Hmh...!” Pedang Iblis hanya mendengus melihat serangan Ki Baginta. Seperti telah mendapatkan kekuatan baru, lelaki berpakaian serba hitam langsung bergerak maju memapaki serangan lawan. Pedang di tangannya berkelebat cepat disertai hawa maut yang mendirikan bulu roma!
Trang! Trang!
“Aiiih...?!” Ki Baginta terpekik kaget ketika Pedang Iblis dengan sengaja membenturkan pedangnya, membuat tubuh Ki Baginta terhuyung mundur beberapa langkah. Bahkan, pedang di tangan tokoh ketiga Perguruan Harimau Sakti itu terpapas buntung! Senjata itu tak ubahnya benda lunak ketika berbenturan dengan Pedang Iblis. Pusaka keramat berhawa jahat itu mulai menunjukkan keampuhannya.
“Aaa...!“ Lelaki berpakaian serba hitam agaknya mulai menyadari kelebihan yang didapatnya setelah memegang pusaka keramat itu. Tambahan tenaga yang diperolehnya dari Pedang Iblis, membuat sosok itu semakin yakin dan tidak ragu-ragu lagi menghadapi Ki Baginta serta Ki Kumbaranta. Tampaknya, pedang keramat berhawa jahat itu telah menyatu dengan majikan barunya setelah menghirup darah korbannya. Kenyataan itu semakin membuatnya beringas, dan penuh nafsu membunuh!
“Celaka! Tampaknya Pedang Iblis mulai menunjukkan kehebatannya. Bukan mustahil kekuatan jahat yang tersembunyi di dalamnya telah menular ke dalam tubuh pencuri laknat itu!” desis Ki Kumbaranta yang rupanya mengetahui banyak riwayat Pedang Iblis. Wajah tuanya tampak dibayangi kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. Bahkan, ada gambaran duka membayang pada sepasang matanya. Sepertinya ia merasa ikut menanggung dosa setiap Pedang Iblis meminta korban.
“Hmm...!” Kesadaran bahwa semua itu merupakan tanggung jawabnya, membuat Ki Kumbaranta berlaku nekat! Dengan sebuah gerengan keras lelaki tua itu melesat ke depan disertai putaran pedangnya.
“Kakang! Tahan! Jangan berlaku bodoh...!” Ki Baginta terkejut ketika melihat perbuatan Ki Kumbaranta. Melihat orang tua itu berlaku nekat, Ki Baginta segera menyusuli untuk melindungi orang tua itu dari kematian.
“Yeaaah...!”
Pedang Iblis tampak semakin bertambah buas. Rasa haus akan darah segar yang membuat keampuhannya terpendam kini mulai bangkit Sehingga, baik pancaran cahaya mautnya maupun kekuatan jahat yang tersembunyi di dalamnya hidup kembali.
Bahkan menguasai majikan barunya. Maka, ketika tubuh Ki Kumbaranta melayang ke arahnya, Pedang Iblis langsung bergerak menyambut tanpa mengenal rasa takut sedikit pun! Padahal, serangan yang dilancarkan Ki Kumbaranta bukan seran- gan biasa. Maka....
Brettt! Brettt!
“Aaa...!” Ki Kumbaranta meraung setinggi langit ketika mata pedang lawan merobek tubuhnya dua kali. Darah segar menyembur keluar dari luka menganga di perutnya! Bahkan, lelaki tua itu tidak mengetahui bagaimana cara pedang keramat itu melukai dirinya.
“Kakang...!” Ki Baginta berteriak kaget! la terlambat mencegah malapetaka itu. Tubuh Ki Kumbaranta telah roboh bermandikan darah dengan napas putus!
“Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia persilatan akan kubuat gempar! Pedang Iblis akan menguasai seluruh negeri ini...!” lelaki berpakaian serba hitam terbahak-bahak berkepanjangan.
Tawanya demikian menyeramkan, membuat Ki Baginta bergidik pucat Sepertinya, suara itu bukan datang dari kerongkongan manusia. Melainkan iblis jahat yang kini bersemayam di dalam tubuh majikan baru Pedang Iblis. Ki Baginta tidak bisa berbuat apa-apa ketika sosok berpakaian serba hitam melesat meninggalkan Perguruan Harimau Sakti. Wajah pencuri pedang keramat itu terlihat demikian menyeramkan, menyiratkan perbawa yang sangat kuat Sehingga, orang-orang di sekitar termasuk Ki Baginta tersihir, hingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kepergiannya.
“Hhh...” Ki Baginta menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi. Kesadarannya baru kembali setelah sosok berpakaian hitam lenyap bersama gema suara tawanya. Majikan baru Pedang Iblis itu rupanya telah benar-benar berusaha menjadi iblis jahat yang akan menyebar malapetaka bagi orang banyak!
“Aku harus segera melaporkan kejadian ini pada guru besar,” desis Ki Baginta seraya bergerak bangkit dan meninggalkan tempat itu, setelah memerintahkan sisa-sisa murid perguruan untuk membereskan tempat itu dan mengurus mayat kawan mereka.
Brakkk!
Meja kayu bulat yang tebal dan sangat kuat itu hancur berkeping-keping, terkena hantaman telapak tangan seorang lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun. Wajah lelaki itu tampak merah seperti terbakar. Jelas, ia tengah dilanda kemarahan yang hebat!
“Bagaimana hal ini bisa terjadi, Baginta? Dari mana pencuri laknat itu tahu kita menyembunyikan sebuah pedang keramat dalam ruang perpustakaan? Sadarkah kau bahwa dengan tercurinya senjata yang memiliki pengaruh jahat itu, orang banyak akan terancam bahaya besar! Dan, kita harus bertanggung jawab atas semua dosa yang dilakukan pencuri kurang ajar itu!” bentak lelaki kurus dengan suara bergetar menahan marah yang meledak-ledak di dalam dadanya.
“Ampun, Guru. Aku memang bodoh dan tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah kejadian itu. Bahkan, Ki Kumbaranta telah mengorbankan nyawanya untuk merebut pedang itu. Kami telah lalai, Guru, dan siap menerima hukuman...,” ujar Ki Baginta pasrah kalau memang ia akan dihukum karena kebodohannya itu. Lelaki gagah itu tertunduk tidak berani memandang wajah guru besarnya.
“Hmh...!” Ki Sawung, Guru Besar Perguruan Harimau Sakti menggeram kesal. Jari-jari tangannya mengepal memperdengarkan suara berderak, membuat hati Ki Baginta semakin ciut.
Tapi, lelaki kurus itu tidak bisa menyalahkan muridnya. Karena ia sendiri sadar akan keampuhan Pedang Iblis. Apalagi, setelah senjata pusaka itu meminum darah korbannya. Kekuatan dan pengaruh jahatnya akan bangkit dan sukar untuk dilawan. Jangankan Ki Baginta atau Ki Kumbaranta. Biarpun dirinya yang maju, belum tentu sanggup menghadapi keampuhan Pedang Iblis. Kesadaran itu membuat Ki Sawung terdiam dengan wajah berduka.
“Guru...,” tiba-tiba lelaki yang berada di sebelah Ki Baginta membuka suara. Semenjak tadi lelaki itu hanya terdiam tidak berani mengemukakan perasaan hatinya. Baru ketika Ki Sawung cukup lama membisu ia menggunakan kesempatan itu.
“Hm.... Apa yang ingin kau katakan, Kandala...?” ujar Ki Sawung mengalihkan pandangannya ke arah lelaki kekar bernama Kandala. Meskipun wajahnya masih terlihat gelap, namun sinar matanya sudah tidak segarang tadi. Rupanya, Ki Sawung sudah bisa menekan kemarahan yang dianggapnya tidak banyak membantu untuk memecahkan persoalan besar itu.
Kandala bertubuh kekar dan berusia sekitar tiga puluh tahun. Meskipun usianya lebih muda dari Ki Baginta, namun pemuda berwajah simpatik itu merupakan murid utama Ki Sawung. Dan, kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan Ketua Perguruan Harimau Sakti. Karena hampir semua ilmu yang dimiliki Ki Sawung telah diturunkannya.
Pemuda berwajah keras itu terdiam beberapa saat seolah ingin merangkai kata-kata yang akan disampaikannya. Melihat sikapnya, jelas Kandala merupakan seorang pemuda yang selalu berhati-hati dalam bersikap maupun berbicara. Kandala memang seorang pemuda pendiam dan jarang berbicara jika tidak merasa perlu sekali.
“Guru, meskipun Pedang Iblis merupakan pusaka perguruan kita secara turun-temurun, mengapa tidak dimusnahkan saja mengingat pedang itu memiliki kekuatan jahat yang dapat merubah sifat pemegangnya. Sebenarnya hal ini sudah lama ingin kusampaikan. Tapi, aku takut kalau Guru akan marah. Dan dengan terjadinya peristiwa ini, membuat aku memberanikan diri untuk mengatakannya...,”
Kandala kembali menundukkan wajah setelah mengemukakan pendapatnya. Dirinya memang belum pernah melihat bentuk Pedang Iblis, dan hanya mendengar dari cerita gurunya.
“Kandala..., pikiran semacam itu sudah ada dalam benakku jauh sebelum aku menjabat sebagai Ketua Perguruan Harimau Sakti, untuk menggantikan ayahku yang telah wafat. Berbagai usaha telah kulakukan, seperti juga yang dilakukan ayahku. Tapi, baik kakek guru kalian maupun aku sendiri, tak sanggup untuk menghancurkan senjata keramat itu. Entah terbuat dari bahan apa Pedang Iblis itu, sehingga tidak dapat dilebur dengan api sepanas apa pun. Bahkan, pedang itu tidak dapat dipatahkan kecuali mungkin oleh orang yang memiliki tenaga sakti luar biasa. Dan kekuatan seperti itu hanya ada dalam dongeng,” jelas Ki Sawung yang rupanya juga memiliki pikiran sama dengan Kandala. Malah jauh sebelum pemuda itu menjadi muridnya.
“Guru, selama ini kami hanya mendengar kehebatan Pedang Iblis tanpa tahu riwayat selengkapnya. Dapatkan guru menceritakan pada kami bagaimana asal mula senjata itu tercipta. Dan, siapa pembuat pedang keramat itu?” merasa mendapat angin, Kandala terus mengungkapkan segala perasaan yang ada di dalam hatinya.
Ki Baginta pun mengangguk-anggukkan kepala. Sebab, selama ini Ki Sawung memang belum menceritakan riwayat Pedang Iblis. Lelaki tua itu hanya menceritakan tentang kekuatan jahat yang ada dalam senjata keramat itu, yang akan semakin kuat bila telah meminum darah manusia.
Ki Sawung tidak segera menjawab pertanyaan murid utamanya. Lelaki tua itu menghela napas panjang, dan bangkit dari kursinya. Kemudian melangkah perlahan sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Ki Baginta dan Kandala tahu guru besar mereka tengah berusaha mengingat sejarah Pedang Iblis. Maka, mereka menunggu dengan sabar untuk mengetahui secara jelas riwayat pedang keramat itu.
“Sebenarnya aku ingin mengubur sejarah Pedang Iblis itu. Tapi, dengan adanya malapetaka semalam, membuat aku berpikir lain. Mungkin ada baiknya kalian mengetahui riwayat Sepasang Pedang Iblis itu...,” ujar Ki Sawung setelah terdiam beberapa saat
“Jadi, senjata keramat itu ada sepasang...?” Ki Baginta dan Kandala berseru tertahan hampir berbarengan. Jelas, mereka tidak mengetahui bahwa Pedang Iblis ada sepasang. Sebab, kecuali Ki Sawung dan Ki Kumbaranta memang tidak ada lagi yang mengetahui hal itu.
“Benar. Pedang Iblis berjumlah dua bilah, Pedang Iblis Jantan dan Pedang Iblis Betina,” jelas Ki Sawung lagi membuat Ki Baginta dan Kandala kembali terperanjat
“Ahhh...?!”
“Pedang yang kusimpan di dalam ruangan perpustakaan adalah Jantan,” Ki Sawung melanjutkan ceritanya tanpa peduli akan rasa terkejut kedua muridnya. “Sedang Pedang Iblis Betina telah lenyap sejak ayahku atau kakek guru kalian menjabat sebagai Ketua Perguruan Harimau Sakti. Tidak seorang pun yang tahu kapan Pedang Iblis Betina lenyap, dan siapa yang mencurinya. Sebab, sampai ayahku wafat kabar tentang Pedang Iblis Betina tidak pernah terdengar di kalangan persilatan. Untung senjata keramat itu tidak dapat berbuat banyak tanpa Pedang Iblis Jantan. Tapi, tidak demikian dengan Pedang Iblis Jantan. Senjata keramat itu akan mencari mangsanya bila telah keluar dari tempatnya berada selama puluhan tahun. Itu sebabnya, mengapa ketika Pedang Iblis Betina lenyap tidak pernah terdengar kabarnya. Rupanya pencuri itu tahu pedang curiannya tidak akan berguna banyak tanpa Pedang Iblis Jantan. Sedangkan jalan satu-satunya untuk melenyapkan Pedang Iblis adalah dengan menjauhkannya dari darah manusia. Bila sampai seratus tahun pedang itu tidak mendapatkan korban, maka kekuatan jahat yang ada dalam tubuhnya akan lenyap secara perlahan-lahan. Baru setelah itu Sepasang Pedang Iblis dapat dilebur. Cara itu kudapatkan setelah bersemadi selama satu tahun di sebuah ruangan gelap. Itu sebabnya, mengapa aku menyembunyikan Pedang Iblis Jantan demikian rapi. Hanya aku dan Ki Kumbaranta yang mengetahui tempat penyimpanan pedang keramat itu. Siapa sangka ada orang luar yang tahu tempat penyimpanan Pedang Iblis Jantan, dan berhasil mencurinya...,” Ki Sawung mengakhiri ceritanya dengan desahan napas panjang. Ketika teringat pedang keramat itu telah lenyap, bias kedukaan kembali membayang di wajah lelaki tua bertubuh kurus itu.
Ki Baginta dan Kandala diam terpaku mendengar penjelasan gurunya tentang riwayat Pedang Iblis yang ternyata ada sepasang. Keduanya terdengar menghela napas setelah cukup lama terdiam bagai terkena sihir.
“Lalu, siapa yang menciptakan Sepasang Pedang Iblis, Guru? Bukankah pusaka itu merupakan warisan turun-temurun perguruan kita?” Kandala masih penasaran karena Ki Sawung belum menyinggung pembuat Sepasang Pedang Iblis dalam ceritanya tadi. Sehingga, Kandala yang menyimak cerita gurunya dengan baik segera menanyakan.
“Pembuat Sepasang Pedang Iblis adalah kakek dari kakek buyut ku. Beliau pun tidak tahu logam bercahaya yang ditemukannya di sebuah sungai ternyata memiliki kekuatan yang demikian ampuh. Kendati membuatnya tidak mudah dan harus menjalani tapa hampir setahun lebih, akhirnya beliau berhasil membuat sepasang pedang dari logam bercahaya itu. Sayang sebelum sepasang pedang itu sempurna pembuatannya, sepasang tokoh sesat telah mencuri senjata itu, setelah melalui pertempuran yang lama dan sengit. Itu sebabnya, badan Sepasang Pedang Iblis masih sangat kasar karena belum sempat diperhalus. Tapi, kakek dari kakek buyut ku berusaha menyembuhkan lukanya dan memperdalam ilmu. Setelah merasa cukup, beliau mengembara untuk mendapatkan Sepasang Pedang Iblis. Usaha beliau memang tidak sia-sia, dan berhasil merebut kembali pedang itu. Tapi beliau terkejut bukan main ketika mengetahui ada hawa jahat yang bersemayam di dalam badan pedang. Maka, beliau berusaha untuk meleburnya kembali. Sayang, pedang yang telah banyak menghirup darah itu tidak bisa dilebur lagi. Sehingga, terpaksa disembunyikan di sebuah tempat yang sekarang menjadi bangunan Perguruan Harimau Sakti. Dan jika sekarang Pedang Iblis Jantan lenyap, besar kemungkinan pencurinya merupakan murid atau keturunan suami istri sesat yang telah merebut Sepasang Pedang Iblis dari kakek buyut ku,” jelas Ki Sawung yang tampak demikian bangga saat menceritakan kakek dari kakek buyutnya. Karena cerita itu kembali mengingatkan bahwa dirinya keturunan orang-orang hebat yang berbudi luhur, dan tidak pernah mengenal takut. Ingatan itu membuat semangatnya bangkit untuk mencari Pedang Iblis Jantan yang lenyap tercuri semalam.
Kandala dan Ki Baginta mengangguk-angguk puas setelah mendengar riwayat Sepasang Pedang Iblis. Mereka pun tampak merasa bangga setelah mengetahui mereka murid dari keturunan tokoh-tokoh hebat pada masa lampau. Cerita itu tanpa sadar semakin menanamkan jiwa kependekaran dalam diri Ki Baginta dan Kandala.
“Sekarang pedang keramat itu lenyap kembali karena kelalaianku. Untuk itu, aku harus mempertanggungjawabkannya. Kau jaga dan pimpin saudara- saudaramu sebaik-baiknya, Baginta. Aku dan Kandala akan meninggalkan perguruan untuk mencari Pedang Iblis Jantan. Dan, jika mungkin mencari Pedang Iblis Betina. Karena bila Pedang Iblis Jantan telah keluar dan meminum darah, ia akan mencari pedang yang menjadi pasangannya itu,” ujar Ki Sawung mengutarakan maksudnya pada Ki Baginta.
“Baik, Guru. Aku akan berusaha melaksanakan amanat Guru dengan sebaik-baiknya...,” ujar Ki Baginta lantang. Hingga, Ki Sawung tersenyum puas.
Sosok berjubah putih dengan perawakan tubuh sedang melangkah perlahan memasuki mulut Desa Karapan. Wajahnya tampak cerah dengan senyum yang ramah dan sabar. Sepasang matanya bening dan tajam. Membuat orang enggan menentang pandang matanya. Seorang pemuda yang tampan, menarik dan menimbulkan rasa hormat bagi orang yang memandangnya.
Di sebelah kanan pemuda tampan berjubah putih tampak seorang dara berpakaian serba hijau. Tubuhnya ramping padat membentuk lekuk-lekuk tubuh yang memikat Ditambah lagi raut wajahnya cantik jelita laksana bidadari dari kayangan. Benar-benar seorang dara yang sangat menarik, membuat mata lelaki tak melewatkan untuk memandangnya meski hanya sekilas.
Pasangan muda yang menarik dan menimbulkan rasa kagum serta iri bagi orang yang memandangnya itu, terus mengayun langkah melewati mulut desa. dan terus menyusuri jalan utama Desa Karapan dengan sikap tenang.
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan, disertai terlemparnya sesosok tubuh dari dalam kedai. Sosok tubuh itu menggelepar bagai ayam disembelih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak. Karena nyawanya telah meninggalkan badan.
Kejadian yang cukup mengejutkan itu, membuat langkah pemuda berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau terhenti. Keduanya berbalik dengan sikap siaga. Melihat cara mereka membalikkan tubuh, dapat ditebak bahwa pasangan muda itu bukan orang sembarangan. Memang, mereka tidak lain adalah Pendekar Naga Putih dan kekasihnya, Kenanga. Agar tidak menarik perhatian orang, Panji dan Ke-lnanga melangkah cepat mendekati sosok tubuh yang telah tewas dengan leher hampir putus.
“Hm Kejam sekali orang yang melakukan pembunuhan itu. Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya, hingga harus tewas dalam keadaan mengerikan...,” desis Kenanga tak senang. Memang, keadaan orang yang meninggal itu sangat mengerikan.
“Tampaknya korban lain akan segera menyusul,” gumam Panji seraya menoleh ke dalam kedai, dan menyaksikan pertempuran berlangsung di dalamnya.
Dugaan Panji tidak meleset. Baru saja ucapannya selesai, kembali terdengar teriakan kematian yang disusul terlemparnya dua sosok tubuh dari dalam kedai. Kedua orang yang malang itu tewas dalam keadaan sama dengan orang pertama.
“Kita harus mencegahnya, Kakang. Kalau tidak korban pasti akan bertambah banyak,” ujar Kenanga tak sabar melihat dua korban lagi datang menyusul. Tapi sebelum mereka bergerak, muncul seorang lelaki gagah diiringi dua belas orang berseragam hitam. Rombongan itu langsung bergerak mendekati kedai. Sehingga, baik Panji dan Kenanga terpaksa menahan langkahnya untuk melihat kelanjutan peristiwa itu.
“Hei, pengacau yang berada di dalam kedai, keluar...!” lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu membentak dengan mengerahkan tenaga sebelumnya. Hingga, suara itu terdengar keras menimbulkan gema yang kuat
“Ha ha ha...!”
Terdengar suara tawa berkakakan menyambut bentakan lelaki tua yang tampak berwibawa itu. Tak berapa lama kemudian, sesosok bayangan hitam meluncur keluar dari dalam kedai, dengan mendobrak pintu depan yang langsung hancur berkeping-keping! Lelaki tua bertubuh gagah melangkah mundur menjaga jarak, agar tidak terlalu dekat dengan sosok berpakaian serba hitam. Sepasang matanya menatap penuh selidik sosok di depannya yang telah menyarungkan pedang di punggung.
“Aku Ki Gulawa, Kepala Desa Karapan. Siapakah Kisanak? Mengapa demikian kejam membunuh orang tanpa kesalahan yang jelas?” tegur lelaki tua bertubuh gagah yang rupanya Kepala Desa Karapan. Pantas saja sikapnya terlihat berwibawa dan tenang.
“Hm.... Siapa bilang aku membunuh orang tanpa kesalahan yang jelas? Dengan berbisik-bisik selagi aku menyantap hidangan, itu sudah merupakan penghinaan bagi Pedang Iblis! Untuk itu mereka harus mati. Aku keberatan, Kisanak...?” sahut lelaki berpakaian serba hitam yang memperkenalkan nama julukannya dengan sikap jumawa. Itu menandakan ia benar-benar yakin akan dapat mengatasi Ki Gulawa dan para pengawalnya.
“Jadi, hanya karena rasa curiga kau membunuh mereka? Sungguh kejam sekali. Sudah pasti aku merasa keberatan dengan perbuatanmu. Dan, aku harus mempertanggungjawabkannya,” ujar Ki Gulawa dengan nada sedikit tinggi. Rupanya, lelaki tua sesepuh Desa Karapan itu mulai jengkel melihat keangkuhan tokoh yang mengaku berjuluk Pedang Iblis.
“Bagaimana cara aku harus mempertanggungjawabkannya, Kisanak? Tunjukkan agar aku mengerti...,” ucap Pedang Iblis tanpa memandang sebelah mata pada orang yang paling dihormati di Desa Karapan. Bahkan Pedang Iblis terkesan memandang remeh lawannya.
“Tangkap dia..!” Ki Gulawa segera memerintahkan kedua belas pengawalnya untuk menangkap Pedang Iblis. Orang tua itu sendiri bergerak mundur untuk memberi tempat bagi para pengawalnya.
“Hm.... Aneh. Mengapa kau malah ingin menambah jumlah korban pedangku, Bapak Kepala Desa...,” ujar Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawanya dengan sikap sombong. Tampak ia tidak merasa gentar menghadapi kepungan para pengawal Kepala Desa Karapan.
Panji yang menyaksikan peristiwa itu mengerutkan kening dalam-dalam. Apalagi, ketika mendengar disebutkannya julukan Pedang Iblis. Sepanjang ingatannya, Eyang Tirta Yasa pernah bercerita tentang tokoh bersenjatakan sepasang pedang. Tokoh itu sepasang suami istri yang amat jahat. Tapi, cerita itu terjadi pada puluhan tahun silam.
“Hm.... Mungkin orang berseragam hitam itu mempunyai hubungan dengan sepasang suami istri yang berjuluk Sepasang Pedang Iblis? Atau hanya julukannya saja yang sama. Melihat pedang yang tergantung di punggungnya cuma satu, kemungkinan besar orang ini hanya meniru-niru julukan sepasang suami istri yang konon sangat jahat dan hebat itu...,” gumam Panji dalam hati. Sehingga, Kenanga tidak tahu apa yang dipikirkan Panji.
Kenanga sendiri sempat tertegun ketika mendengar julukan yang masih sangat asing di telinganya. Meskipun seluruh ingatannya telah dikuras, tetap saja dara cantik itu tidak menemukan julukan Pedang Iblis dalam kepalanya. Kenanga menduga Pedang Iblis adalah tokoh baru yang belum begitu dikenal dalam kalangan rimba persilatan. Meskipun demikian, dari gerak-gerik tokoh itu, gadis itu dapat menduga tingkat kepandaian Pedang Iblis patut diperhitungkan. Menurutnya, kalau tidak dihentikan, Pedang Iblis kelak akan cepat dikenal dalam rimba persilatan.
“Kau pernah mendengar julukan itu, Kakang...?” tanya Kenanga. Sebab, gadis itu sadar pengetahuan kekasihnya tentang tokoh-tokoh persilatan jauh lebih luas dibanding dirinya.
“Aku memang pernah mendengarnya dari guruku. Tapi, Pedang Iblis yang satu ini rasanya hanya meniru-niru saja, meskipun kepandaiannya memang tidak bisa dipandang remeh. Itu dapat ku nilai dari gerak-geriknya yang sigap...,” sahut Panji membuat Kenanga menganggukkan kepala beberapa kali.
Kelihatannya dara jelita itu cukup puas dengan jawaban kekasihnya. Sementara itu, tokoh yang berjuluk Pedang Iblis masih tetap berdiri tegak. Sedangkan para pengawal kepala desa sudah menghunus senjata. Kedua belas orang itu berputar mengelilingi Pedang Iblis.
“Haiiit..!”
Dengan sebuah teriakan nyaring, dua orang pengepung yang berada di belakang menyerang dengan disertai putaran pedang. Satu membabat leher, sedang satunya lagi menusuk lurus ke punggung lawan tepat ke arah jantung.
Wuttt! Syuttt!
Kedua bilah pedang itu meluncur dengan kecepatan yang cukup mengagumkan. Serangan itu jelas bukan merupakan gerak tipu. Sebab, tenaga yang dikerahkan terlihat demikian kuat
Pedang Iblis tetap tegak tanpa menggeser kedudukannya. Seolah-olah ia hendak menyambut datangnya serangan dengan tubuhnya. Tapi, pada saat kedua mata pedang tinggal kira-kira satu jengkal dari sasaran, mendadak tubuh tokoh misterius itu berbalik. Gerakan tangannya demikian cepat mencabut pedang yang tersampir di punggung. Dan....
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul, ketika kedua tubuh pengawal Kepala Desa Karapan roboh bermandikan darah dengan tenggorokan hampir putus. Sedangkan Pedang Iblis sudah mengembalikan senjata ke punggungnya dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Sehingga, bagi orang-orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak akan tahu bagaima-lna caranya lelaki berpakaian serba hitam itu merobohkan kedua penyerangnya.
Demikian pula dengan Panji dan Kenanga. Mereka sangat terkejut melihat kecepatan gerak tokoh yang berjuluk Pedang Iblis. Bahkan, dada Panji sempat bergetar ketika menangkap kilatan sinar yang keluar dari badan pedang tokoh misterius itu.
“Gerakan orang itu benar-benar hebat sekali, Kakang! Rasanya ia memang patut memakai julukan Pedang Iblis. Sambaran pedangnya nyaris tidak tertangkap mataku. Kepandaian tokoh itu tinggi dan sangat berbahaya jika tidak segera ditaklukkan...,” gumam Kenanga diam-diam mengakui kecepatan gerak Pedang Iblis. Meskipun dirinya bisa melakukan hal serupa, tapi Kenanga tetap merasa kagum dengan kehebatan tokoh itu.
“Sayang, belum waktunya kita turun-tangan..,” sahut Panji membuat Kenanga menolehkan kepala dan menatap wajah kekasihnya. Kelihatan sekali dara jelita itu merasa heran dengan jawaban Panji.
“Mengapa, Kakang? Apa kau hendak menunggu sampai sepuluh orang lainnya habis dibantai Pedang Iblis?” desak Kenanga penasaran.
“Bukan itu maksudku. Kalau kita terjun ke arena sekarang, mungkin Kepala Desa Karapan yang bernama Ki Gulawa akan tersinggung dengan perbuatan kita. Itu sudah pasti akan menimbulkan ketidaksenangan dalam hatinya. Karena kita telah mencampuri urusannya. Bisa-bisa kita dituduh bersekongkol dengan Pedang Iblis, dengan berusaha mengacaukan rencana agar tokoh kejam itu bisa lolos...,” Panji mengajukan alasannya agar Kenanga tidak merasa penasaran atas jawabannya tadi.
Setelah mendengar penjelasan Panji, Kenanga pun maklum. Sebab, hal seperti itu bisa saja terjadi. Jika sudah demikian, akan sulit bagi mereka untuk tidak bentrok dengan Ki Gulawa. Apalagi, mereka adalah orang asing di Desa Karapan seperti halnya Pedang Iblis.
“Lalu...,” Kenanga masih menduga kelanjutan ucapan Panji yang sebenarnya sudah selesai.
“Ya, kita tunggu sampai Ki Gulawa turun-tangan. Pada saat lelaki tua itu terancam, baru kita terjun ke arena. Dengan demikian, tidak akan terjadi perselisihan antara kita dengan Kepala Desa Karapan ini,” jelas Panji terpaksa mencari jawaban atas desakan kekasihnya. Sehingga, Kenanga merasa puas.
Sementara itu, Pedang Iblis memperdengarkan tawa yang panjang dan mendirikan bulu roma. Kemudian berhenti tiba-tiba. Sepasang matanya mencorong tajam, membuat sisa pengepungnya bergerak mundur. Wajah Pedang Iblis tampak demikian menyeramkan, tak ubahnya wajah setan penghuni neraka!
Perubahan itu membuat Ki Gulawa merasa khawatir akan keselamatan para pengawalnya. Maka, dengan menekan rasa takut yang menguasai hatinya, lelaki gagah itu melangkah maju dengan pedang di tangan. Kepalanya digerakkan sebagai isyarat agar para pengawalnya mundur dan menyerahkan persoalan itu kepadanya.
“Hati-hati, Ki. Tampaknya orang itu sudah kerasukan setan. Siapa saja yang mendekat pasti akan dibunuhnya...,” bisik salah seorang pengawal yang kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan ke pala desanya.
Ki Gulawa hanya menggumam perlahan. Lelaki gagah itu terus bergerak maju dengan pedang diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara mengaung bagai ratusan lebah marah. Agaknya, orang tua itu menyadari lawannya bukan orang sembarangan. Terbukti ia langsung mengempos semangatnya, memancing keluar seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Ki Gulawa telah siap untuk mempertaruhkan nyawa demi warga Desa Karapan.
Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawa yang parau dan menyakitkan telinga. Tubuhnya tetap tegak, meski Ki Gulawa telah menyiapkan jurus serangannya. Benar-benar sombong sekali tokoh misterius itu. Padahal, kepandaian Ki Gulawa tidak bisa dipandang ringan. Kalau tidak, mana mungkin orang tua itu dapat menjadi Kepala Desa Karapan.
“Hmh...” Ki Gulawa yang merasa diremehkan menggereng marah. Dibarengi dengan bentakan nyaring, lelaki tua itu melesat ke depan disertai kelebatan pedangnya yang mendesing tajam.
Bwettt...
Serangan yang hebat dan sangat mematikan itu, hanya dihindari lawan dengan menarik mundur tubuhnya. Kemudian, langsung membalas dengan sebuah tendangan lurus mengancam ulu hati Ki Gulawa.
“Yeaaah !” Kepala Desa Karapan tidak berusaha menghindar. Pedangnya diputar menyilang menyambut datangnya tendangan lawan. Rupanya, Ki Gulawa hendak membabat putus kaki lawan dengan tebasan pedangnya.
Tapi, pada saat pedang Ki Gulawa hampir membabat kaki lawan sebatas lutut, mendadak Pedang Iblis menarik tendangannya dengan kecepatan yang mengagumkan. Kemudian, kembali menyentak ke depan dengan telapak kaki miring ketika tebasan Ki Gulawa luput!
Plakkk!
Ki Gulawa terpaksa menarik mundur kaki depannya, kemudian mengangkat tangannya melindungi pelipis dari ancaman telapak kaki lawan. Akibatnya, tubuh lelaki tua itu terjajar mundur hampir terpelanting jatuh! Kenyataan itu membuatnya terkejut bukan kepalang!
“Gila! Tenaga manusia jahat itu! Sungguh hebat sekali!” desis Ki Gulawa merasa tangannya lumpuh untuk beberapa saat. Jelas, dalam hal tenaga dalam ia masih kalah jauh oleh lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin berhati-hati.
“Haiiit..!”
Pedang Iblis tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Tubuhnya meluncur ke depan disertai sambaran pedang yang entah kapan dicabut dari sarungnya.
“Yeaaah...!”
Sadar untuk menghindar jelas tidak mungkin, Ki Gulawa terpaksa menyilangkan senjata menyambut serangan lawan. Dan....
Trang!
“Aaah...?!” Bukan main kagetnya hati Ki Gulawa ketika melihat senjatanya putus terpapas senjata lawan. Untung saja ia masih sempat melempar tubuhnya ke belakang. Kalau tidak, ujung pedang lawan mungkin telah merobek tenggorokannya.
Tapi, Ki Gulawa tidak bisa merasa lega dulu. Sebab, Pedang Iblis terus menyusuli serangannya. Pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan itu meluncur menuju tenggorokannya. Kali ini Ki Gulawa tidak mungkin dapat menyelamatkan tenggorokannya dari incaran pedang lawan!
“Haiiit !”
Pada saat yang berbahaya itu, Panji yang memang sudah siap untuk menyelamatkan Ki Gulawa, segera melesat dengan tamparan yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Rupanya, Panji langsung menggunakan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk menyelamatkan Ki Gulawa. Itu merupakan bukti Pendekar Naga Putih tidak memandang ringan lawan.
Plakkk!
Usaha Panji untuk menyelamatkan nyawa Ki Gulawa berhasil dengan baik. Pedang yang memancarkan hawa aneh menggetarkan jantung dan melenyapkan keberanian, menyeleweng dari sasaran. Tapi, tubuh Panji sempat terjajar mundur tiga langkah. Sedangkan tubuh Pedang Iblis melintir bagai gasing. Kenyataan itu membuktikan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ sulit dicari bandingnya!
“Hmrrr...!” Terdengar suara gerengan yang menggetarkan jan-ltung. Panji yang saat itu tengah membawa Ki Gulawa ke tepi arena, menolehkan kepala ketika mendengar suara desingan yang bagai hendak merontokkan jantung!
Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping, seraya mendorong tubuh Ki Gulawa yang langsung ditangkap Kenanga. Cahaya menggetarkan itu terus berkelebatan mencecar Panji. Sehingga, pemuda tampan itu terpaksa harus menggunakan kelincahannya untuk menyelamatkan diri. Sebab, Pedang Iblis benar-benar tidak memberi peluang untuk membalas!
“Yeaaah...!”
Sing...!”
Untuk kesekian kalinya, Pedang Iblis kembali meluncur mengancam tenggorokan Pendekar Naga Putih. Pemuda itu terkejut menyaksikan kecepatan gerak lawan kali ini jauh lebih hebat dibanding sewaktu menghadapi Ki Galuwa. Sehingga, Panji harus menggunakan kelincahannya untuk menghindari tusukan pedang lawan.
“Heaaah...!”
Suatu saat, ketika pedang lawan kembali mengancam tenggorokannya, Panji memiringkan tubuhnya sedikit sambil menepis pergelangan tangan lawan dengan pengerahan tenaga dalam.
Plarrr...!
Tubuh Pedang Iblis terhuyung mundur sejauh satu tombak. Sebab, Panji mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya untuk menepis senjata lawan. Sedangkan tubuh Panji terjajar mundur empat langkah. Tentu saja Panji terkejut bukan main merasakan hebatnya tenaga dalam Pedang Iblis.
“Gila...! Tokoh ini sungguh hebat sekali! Mungkinkah ia keturunan Pedang Iblis terdahulu yang pernah diceritakan eyang...?” gumam Panji mereka-reka. Sepasang matanya menatap tajam sosok lawan yang tengah menyiapkan serangan selanjutnya.
Tapi, Pedang Iblis terkejut ketika merasakan kehebatan lawannya kali ini. Terbukti, ia belum juga memulai serangan dan hanya menatap tajam sosok pemuda tampan berjubah putih. Mungkin ia tengah menilai kehebatan pemuda itu, yang sanggup membuatnya terjajar mundur dengan lengan kesemutan.
“Hm.... Siapa kau? Sebutkan namamu...!” geram Pedang Iblis sambil melangkah menghampiri Panji tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah pendekar muda itu.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa hubunganmu dengan Sepasang Pedang Iblis yang hidup pada puluhan tahun silam?” tanya Panji balas menatap dengan tidak kalah tajamnya. Tapi, pemuda itu sempat tergetar mundur ketika Pedang Iblis menyilangkan senjatanya di depan dada. Pancaran cahaya pedang membuat dada pendekar muda itu bergetar. Panji tahu ada suatu kekuatan tersembunyi yang sangat kuat dalam tubuh pedang di tangan lelaki berpakaian serba hitam.
“Dugaanmu memang tidak meleset. Aku adalah penerus Sepasang Pedang Iblis yang akan melanjutkan cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan!” sahut lelaki berpakaian serba hitam dengan suara datar menggetarkan jantung.
Panji tidak begitu memperhatikan jawaban lawannya. Pemuda itu lebih tertarik dengan pedang di tangannya. Itu terbukti dari pertanyaan yang dikeluarkannya. “Senjatamu itu, benarkah yang bernama Pedang Iblis...?” tanya Panji tanpa mengalihkan pandangannya dari pedang di tangan lawan, yang makin lama dipandang semakin mengguncangkan perasaan.
“Hm.... Senjata ini memang Pedang Iblis. Dan, aku akan mencari pasangannya. Setelah itu, kau tahu sendiri kelanjutannya, bukan...?” sahut Pedang Iblis dengan nada tetap datar dan dingin.
Panji termenung ketika mendengar senjata di tangan lawan bernama Pedang Iblis. Bahkan, tokoh itu mengatakan akan mencari pasangannya. Yang membuat Panji masih belum percaya, kabarnya Sepasang Pedang Iblis sudah lama hilang bersama sepasang tokoh sesat yang memilikinya. Semua itu ia ketahui dari cerita gurunya. Tapi, melihat kekuatan aneh yang muncul dari badan pedang, Panji bisa menilai senjata itu merupakan pusaka yang ampuh dan berbahaya. Semua ingatan itu membuat Panji terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Selagi pemuda tampan berjubah putih itu termenung, Pedang Iblis sudah melesat ke depan dengan serangan mautnya. Tanpa peringan lebih dulu. Jelas, betapa liciknya tokoh yang berjuluk Pedang Iblis itu. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat gemblengan dan pengalaman cukup, Panji dapat menangkap suara desingan yang bagai ratusan lebah marah itu. Meski tanpa peringatan lebih dulu Panji segera mengetahuinya.
Maka, begitu telinganya menangkap desingan tajam, pemuda itu cepat mengangkat kepalanya. Tapi, betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan tubuhnya sukar digerakkan. Bahkan, ia tidak bisa melihat sosok lawan kecuali kilauan yang semakin dekat menuju ke arahnya.
“Gila! Sinar yang keluar dari badan pedang itu jelas mengandung kekuatan sihir yang hebat..!” desis Panji segera menghimpun semangatnya. Dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuatan jahat itu.
“Heaaah...!” Panji meraung keras membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya terpental jatuh. Seiring dengan teriakan itu, muncul lapisan kabut putih bersinar keperakan yang menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Kekuatan yang muncul penuh itu segera mengusir kekuatan jahat yang menguasainya. Sehingga, sewaktu pedang lawan tiba, Panji melompat ke samping dan terus melambung berputaran beberapa kali di udara.
Jleggg!
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Panji langsung membentuk kuda-kuda ‘Naga Sakti Mencengkeram Bumi’, yang merupakan bagian dari rangkaian ilmu ‘Silat Naga Sakti’ warisan Malaikat Petir.
“Hm...” Dengan kedua tangan terkembang dan jari-jari membentuk cakar, Panji siap menghadapi lawan yang sudah meluncur datang dengan serangan susulan.
“Haiiit!”
Pada saat serangan lawan tiba, Panji langsung menyelinap di antara kelebatan sinar pedang lawan. Kemudian, berusaha melancarkan serangan balasan dengan jurus-jurus naga saktinya. Tapi, bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan ada hawa aneh yang mengganggu jalan pikirannya. Kekuatan jahat yang menyebar dari badan pedang lawan ternyata mampu membuat jurus-jurusnya jadi kacau. Sehingga, dalam dua puluh jurus kemudian Panji dapat didesak. Sedangkan ia hanya bisa menggunakan kelincahannya untuk menyelamatkan diri.
“Yeaaah!”
Rasa penasaran membuat Panji mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dan langsung mendorongkan telapak tangannya ke depan menyambut serangan lawan. Akibatnya....
Breshhh!
Hebat sekali apa yang terjadi kemudian. Benturan yang laksana menggetarkan jagat bergema dahsyat! Tubuh Panji terdorong mundur sejauh satu tombak. Sedangkan lawannya terlempar ke belakang dan membentur sebatang pohon besar.
Kraaakh!
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika pohon yang terlanggar tubuh Pedang Iblis tumbang. Sedang tokoh misterius itu terus meluncur sejauh satu tombak lagi. Kenyataan itu membuktikan betapa hebatnya kekuatan tokoh yang berjuluk Pedang Iblis ini.
Panji menghirup udara sebanyak mungkin kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Benturan tadi telah membuat dadanya terasa sesak. Setelah keadaannya pulih, pemuda itu melesat untuk melihat keadaan lawan.
Kenanga, Ki Gulawa dan sepuluh orang pengawal kepala desa bergerak mengikuti Panji. Demikian pula belasan penduduk desa yang menyaksikan pertarungan itu. Sedang penduduk yang masih terpengaruh teriakan Panji tadi masih bergeletakan pingsan di atas tanah berumput Kenanga yang tiba lebih dulu tampak mengerutkan kening ketika melihat kekasihnya berdiri mematung. Bergegas dara jelita itu menghampirinya.
“Bagaimana, Kakang? Apakah Pedang Iblis sudah tewas...?” tanya Kenanga ragu ketika tidak menemukan sosok lelaki berpakaian hitam yang berkepandaian hebat
“Hm... Mungkin ia sudah meninggalkan tempat ini. Sebab, seperti yang kau lihat sendiri tidak ada sesosok manusia pun berada di sini. Pedang Iblis telah melarikan diri. Kemungkinan besar ia akan muncul setelah menemukan Pedang Iblis yang satunya lagi. Hhh.... Sungguh berbahaya sekali...,” desah Panji cemas mengingat betapa berbahayanya tokoh misterius itu bagi keselamatan orang banyak.
Panji merasa berkewajiban untuk melumpuhkan tokoh berjuluk Pedang Iblis. Hanya dirinya sedikit ragu akan dapat menundukkan tokoh itu bila telah memiliki Pedang Iblis yang satunya lagi. Sebab, Panji sudah merasakan betapa hebatnya tokoh itu meski hanya dengan sebilah pedang. Entah bagaimana kehebatan yang dimilikinya bila Sepasang Pedang Iblis telah jatuh ke tangannya.
“Pendekar Naga Putih...!” tiba-tiba terdengar seruan yang membuat pasangan pendekar muda menoleh. Mereka melihat Ki Gulawa tengah bergerak menghampiri. Panji agak heran ketika mendengar Kepala Desa Karapan dapat menebak siapa dirinya.
“Pendekar Naga Putih. Aku sungguh merasa beruntung sekali yang menyelamatkan nyawaku dan penduduk Desa Karapan adalah pendekar yang selama ini kukagumi. Benar-benar merupakan suatu anugerah yang tak ternilai dapat bertemu muka denganmu. Aku mengenalimu setelah melihat ciri-ciri yang selama ini menjadi tanda pengenalmu. Bukankah yang kau gunakan tadi ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’? Sungguh luar biasa. Memang, tepat jika kekuatan itu disebut orang sebagai mukjizat dari sang Pencipta..,” ujar Ki Gulawa yang karena gembiranya langsung berbicara tiada henti bagai anak bebek kehilangan induk.
Sehingga, baik Panji maupun Kenanga hanya bisa tersenyum. Karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menanggapi ucapan Ki Gulawa.
“Ahhh, Ki Gulawa sungguh pandai membuat kepalaku jadi besar. Sudahlah, Ki. Semua itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong,” ujar Panji setelah Ki Gulawa menghentikan kata-katanya.
“Hm.... Kau benar-benar patut dikagumi dan disanjung, Pendekar Naga Putih. Meskipun nama besarmu sudah menjulang mengalahkan tingginya gunung, tapi sikapmu tetap ramah dan rendah hati. Sungguh seorang pendekar besar yang patut dijadikan contoh,” kembali Ki Gulawa mengeluarkan kata-kata pujiannya. Meskipun pujian itu tulus tanpa maksud tersembunyi, tapi Panji tetap merasa risih.
“Sekali lagi terima kasih atas pujianmu, Ki. Dan, karena tokoh berjuluk Pedang Iblis masih akan terus menyebar bencana. Maka, aku harus mengejarnya untuk mencegah kekejamannya,” ujar Panji sekaligus berpamitan untuk meninggalkan Desa Karapan.
Ki Gulawa kelihatan sangat kecewa mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Tapi, alasan yang diberikan pemuda itu memang tidak bisa dipungkiri. Meskipun sebenarnya Ki Gulawa ingin Pendekar Naga Putih singgah di rumahnya, semua itu ditekannya termasuk kekecewaan yang tampak membias di wajah tua itu.
“Maaf, jika aku telah mengecewakan hati Ki Gulawa. Lain kali aku akan singgah ke desa ini dan menemui Aki,” Panji tahu apa yang dipikirkan Ki Gulawa sehingga pemuda itu menghibur dengan janjinya. Membuat wajah orang tua itu berubah cerah.
“Ah, terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku akan menunggu kedatanganmu,” sergah Ki Gulawa tanpa berusaha menyembunyikan kegembiraan hatinya.
“Bagaimana denganku, Ki? Apa aku tidak boleh ikut singgah nanti?” goda Kenanga, membuat Ki Gulawa tersipu.
“Tentu saja, aku pun mengharapkan kedatangan Nisanak beserta Pendekar Naga Putih...,” sahut Ki Gulawa cepat Sehingga, Panji dan Kenanga tersenyum melihat orang tua itu salah tingkah karena ulah Kenanga.
“Kalau begitu, kami pergi dulu, Ki...,” pamit Panji segera mengajak kekasihnya meninggalkan Desa Karapan dengan diiringi pandang mata Ki Gulawa dan para pengawalnya.
“Heya... heyaaa...!”
Suara teriakan-teriakan nyaring berkumandang memecah keheningan pagi yang bening. Ditingkahi suara lecutan cambuk dan derap kaki kuda yang menimbulkan kepulan debu membubung ke angkasa.
Penunggang kuda terdepan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan, adalah seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya ramping padat dengan lekuk sempurna terbungkus sutera merah darah. Rambut bagian atasnya diikat dengan sehelai kain yang juga terbuat dari sutera merah. Sehingga, gadis itu tampak sangat menarik bagi siapa saja yang memandangnya. Hanya sayang, sinar matanya terlihat demikian liar. Seolah membayangkan sifat yang kejam dan genit.
Di belakang dara cantik itu terlihat delapan orang penunggang kuda yang semuanya berpakaian serba hitam. Wajah mereka kelihatan garang pertanda mereka bukan orang baik-baik. Setelah melintasi jalan setapak yang terdapat di sebuah hutan kecil, rombongan itu tiba pada sebuah dataran berbatu yang cukup luas. Sebuah bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak terlihat dari kejauhan.
Gadis cantik berpakaian serba hitam yang menjadi pimpinan rombongan semakin mempercepat lari ku- danya. Sepasang matanya tampak berkilat penuh nafsu ingin segera tiba di bangunan terkurung pagar kayu bulat itu. Melihat sang Pemimpin membedal kudanya, anggota rombongan pun bergegas menyusul. Sehingga, mereka tetap berada setengah tombak di belakang dara cantik berpakaian serba merah itu.
“Haiiit..!”
Begitu tiba di depan gerbang yang bertuliskan ‘Perguruan Harimau Sakti’, dara cantik itu langsung melesat dari atas punggung kudanya. Tubuh ramping itu berputar dua kali sebelum mendaratkan kakinya di depan pintu gerbang. Anggota rombongan yang berjumlah delapan orang segera berlompatan turun dan menghunus senjata. Perbuatan mereka jelas menunjukkan kedatangannya tidak bermaksud baik.
“Hm...” Dara cantik itu bergumam perlahan sambil menyilangkan sepasang tangannya di depan dada. Kedua lengan berkulit halus itu tampak bergerak karena tengah dialiri tenaga dalam kuat
“Hei, apa yang hendak kau lakukan...?!” teriak salah seorang dari dua penjaga yang berada di atas pintu gerbang. Sayang, teguran itu terlambat Sebab, saat itu terdengar bentakan nyaring melengking.
“Hiaaah!”
Rupanya, dara cantik berpakaian serba merah mengeluarkan bentakan sambil mendorongkan telapak tangannya ke arah pintu gerbang. Dan....
Brakkk!
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal langsung hancur berantakan dengan suara keras! Tanpa menunggu kepingan kayu jatuh ke tanah, dara cantik itu menerobos masuk. Demikian pula kedelapan orang pengikutnya.
“Berhenti!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, membuat gadis cantik beserta rombongannya menghentikan langkah dan menoleh ke arah sosok lelaki gagah berusia empat puluh lima tahun. Lelaki yang tidak lain Ki Baginta berdiri tegak menyambut kedatangan para pengacau dengan pedang di tangan. Di belakangnya berkumpul murid-murid perguruan yang berjumlah empat puluh orang lebih. Melihat pedang telanjang di tangan para murid Perguruan Harimau Sakti, jelas mereka telah siap menghadap pertempuran.
“Hm.... Panggil Ki Sawung! Aku mempunyai keperluan penting dengan tua bangka itu...!” bentak dara cantik berpakaian merah dengan sikap yang sangat sombong. Ucapan lancang itu tentu saja membuat murid-murid perguruan menjadi marah.
Ki Baginta merentangkan lengannya mencegah murid-muridnya yang sudah tidak sabar untuk menghajar wanita cantik itu. Sehingga, mereka terpaksa hanya bisa menatap dengan sinar mata penuh kebencian.
“Nisanak, seharusnya aku sebagai tuan rumah yang bertanya lebih dulu padamu. Kau siapa, dan ada keperluan apa dengan guru besar kami? Kalau hanya persoalan sepele, katakan saja padaku. Nanti aku yang akan menyampaikannya...,” ujar Ki Baginta tenang.
Sebagai seorang yang ditugaskan untuk menjaga perguruan selagi Ki Sawung pergi, Ki Baginta tidak mau bertindak ceroboh. Ia kelihatan lebih berhati-hati dalam menentukan sikap. Semua itu karena tanggung jawab yang harus dipikulnya.
“Hm.... Aku tidak mau tahu dengan segala peraturan yang berlaku di sini! Panggil Ki Sawung keluar atau kalian terpaksa harus merasakan tajamnya pedangku...!” ujar gadis cantik berpakaian serba merah berbau ancaman.
Ki Baginta tidak menimpali ucapan dara cantik itu. Dengan sikap yang tetap tenang, lelaki gagah itu melangkah beberapa tindak. Ditatapnya wajah gadis itu dari atas ke bawah seperti tengah menilai seekor ayam aduan. Kemudian, beralih ke arah delapan orang pengikut gadis itu yang rata-rata bertampang kasar dan tidak sedap dipandang. Gadis cantik berpakaian serba merah kelihatan tidak sabar melihat sikap Ki Baginta. Kepalanya bergerak mengangguk sebagai isyarat bagi pengikutnya untuk bergerak.
“Yeaaat..!”
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang tepat berada di belakang gadis berpakaian serba merah segera menerjang Ki Baginta dengan pedang di tangan.
Bettt! Wuttt!
Ki Baginta menggeser mundur langkahnya dengan tubuh miring. Sambaran yang mengancam perut dan lehernya luput menebas angin kosong. Begitu serangan lawan lolos, Ki Baginta kembali menggeser kaki kanannya ke depan. Sepasang tangannya bergerak melakukan tamparan dan pukulan ke arah dua orang lawannya.
Bettt! Bettt!
Terkejut juga hati lelaki gagah itu ketika melihat kegesitan lawan-lawannya. Kedua lelaki kasar itu ternyata mampu menghindari serangan balasannya. Bahkan, masih sempat membalas serangan Ki Baginta dengan tidak kalah berbahayanya.
“Haiiit..!”
Sadar kedua orang itu cukup tangguh dan tidak bisa dirobohkan dalam waktu singkat, Ki Baginta membentak sambil menggenjot tubuhnya yang langsung membubung ke udara dan berputaran beberapa kali, sebelum mendarat di depan murid-muridnya.
“Hmh...!”
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Ki Baginta segera mengisyaratkan murid-muridnya untuk mulai menyerang.
“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Murid-murid Perguruan Harimau Sakti yang semenjak tadi sudah merasa tidak sabar, langsung meluruk ke arah sembilan orang pengacau. Mereka tampak demikian bersemangat untuk mengusir tamu-tamu tak diundang itu.
Melihat murid-murid Perguruan Harimau Sakti datang menyerang, dara cantik itu tersenyum sinis. Kemudian, memerintahkan para pengikutnya untuk menyambut kedatangan lawan. Sedangkan ia sendiri bergerak menyingkir dari arena pertempuran kecil-kecilan yang sudah berkobar.
Demikian pula Ki Baginta. Lelaki gagah itu bergerak menjauhi arena pertempuran. Jelas, Ki Baginta hendak menghadang pimpinan pengacau itu.
“Kau benar-benar keras kepala, Orang Gagah. Rupanya, kau lebih suka mati daripada harus memanggil guru besarmu itu...,” dengus dara cantik berpakaian serba merah yang sudah berhadapan dengan Ki Baginta dalam jarak satu tombak. Kali ini sepasang matanya mengerjap nakal, seolah hendak meruntuhkan kekerasan hati Ki Baginta dengan kecantikan dan kerling matanya.
Ki Baginta bukan tidak tahu maksud kerjapan mata gadis cantik itu. Namun, mengingat tanggung jawab yang telah diberikan Ki Sawung kepadanya, sikap genit gadis itu tidak diladeninya,
“Tidak perlu banyak cakap lagi, Nisanak. Kau hanya bisa menemui Guru Besar kami bila telah melangkahi mayatku...,” geram Ki Baginta menggertakkan giginya kuat-kuat
“Hm.... Apa susahnya melakukan hal itu...,” sahut gadis cantik itu tersenyum sinis, membuat darah Ki Baginta menggelegak karena merasa diremehkan.
“Mengapa tidak segera kau lakukan...?” balas Ki Baginta segera menyiapkan jurusnya.
“Kalau kau belum mati, bagaimana mungkin aku bisa melangkahi mayatmu? Sebaiknya gorok batang lehermu, baru aku bisa melaksanakan permintaanmu itu...?” ejek gadis berpakaian serba merah berpura-pura bodoh.
Ki Baginta tentu saja mengerti lawannya berpura-pura bodoh. Ia menduga gadis cantik itu hendak mempermainkannya. Sayang, kali ini gadis itu bertemu dengan Ki Baginta yang tidak mudah dipermainkan orang dengan kata-kata maupun ejekan.
“Hm.... Tentu saja sangat mudah bagiku untuk melakukannya sendiri. Tapi..., aku ragu kau mampu melakukannya untukku...,” sambut Ki Baginta seraya memperlihatkan senyum. Ucapan itu sekaligus merupakan ungkapan bahwa Ki Baginta meragukan gadis berpakaian serba merah akan sanggup melawannya.
“Iblis...!” desis gadis berbaju merah, jengkel. Rupanya, gadis itu tahu bahwa dalam hal bersilat lidah, dirinya tidak akan menang menghadapi Ki Baginta yang tampaknya pintar membalikkan kata-kata.
Senyum di bibir Ki Baginta semakin melebar ketika melihat gadis cantik itu menyiapkan jurus untuk menyerangnya. Tapi, lelaki itu tetap tenang dan mengges- er langkahnya ke kanan, membentuk kuda-kuda serong yang kokoh dan indah. Sebagai murid Perguruan Harimau Sakti yang berintikan silat harimau, tentu saja kuda-kuda yang diajarkan mengikuti gerak-gerik harimau. Dan, semua itu telah dipelajari Ki Baginta dengan sempurna. Jadi, tidak aneh jika kuda-kuda yang diperlihatkannya terlihat kokoh dan mencerminkan kejantanan.
“Hm...,” dara cantik berpakaian serba merah mendengus saat melihat kuda-kuda Ki Baginta. Perlahan tangannya bergerak meraba gagang pedang yang tersembul di pinggang. Dan....
Srattt!
Seberkas sinar berhawa aneh yang sanggup mengacaukan pemusatan pikiran, berpendar ketika pedang di pinggang gadis itu keluar dari warangkanya. Ki Baginta terkejut menyaksikan sinar pedang di tangan gadis itu.
“Pedang Iblis Betina...?!” desis Ki Baginta menerka senjata yang dipergunakan lawan.
Lelaki gagah itu langsung dapat menebak dengan tepat Sebab, selain sudah mendengar cerita gurunya tentang sejarah Pedang Iblis, lelaki itu telah menyaksikan dan merasakannya sendiri sewaktu menghadapi pencuri yang beberapa waktu lalu membawa lari Pedang Iblis Jantan dari perguruannya. Kenyataan senjata di tangan lawan adalah Pedang Iblis Betina, membuat Ki Baginta segera dapat meraba maksud kedatangan dara cantik itu ke perguruannya.
“Ahhh, hebat sekali! Rupanya kau sudah tahu nama pusaka keramat di tanganku ini. Kalau begitu, kau pasti tahu tentang pedang keramat yang satunya lagi,” seru gadis cantik itu yang tampak agak kaget ketika mendengar desisan Ki Baginta. Tapi, kekagetannya bercampur kegembiraan. Sebab, tujuannya mendatangi Perguruan Harimau Sakti memang untuk mencari Pedang Iblis Jantan.
“Sebagai keturunan orang-orang gagah pendiri dan pembuat Sepasang Pedang Iblis, tentu saja aku mengetahui sejarah dan keampuhan senjata itu,” sahut Ki Baginta sengaja membanggakan diri untuk melihat sikap gadis cantik pemegang Pedang Iblis Betina.
“Sayang, menurut guruku keampuhan Sepasang Pedang Iblis akan berkurang bila tidak bersatu dan pemegangnya tidak cocok.”
“Bagus, jika kau tahu banyak tentang pedang ini. Aku memang hendak mempersatukannya. Selain itu, aku tidak cocok memegang Pedang Iblis Betina. Karena keampuhan senjata ini akan semakin berlipat bila pemegangnya seorang laki-laki. Demikian pula dengan Pedang Iblis Jantan. Akan lebih baik jika pemegangnya seorang wanita...,” ujar gadis itu tanpa sadar menerangkan apa yang diketahuinya tentang Sepasang Pedang Iblis.
Ki Baginta cukup terkejut mendengar gadis cantik itu tahu banyak mengenai Sepasang Pedang Iblis. Sebab, Ki Sawung tidak bercerita tentang hal itu. Entah gurunya terlupa atau mungkin tidak tahu. Yang jelas Ki Baginta telah mendapat pengetahuan baru tentang Sepasang Pedang Iblis yang ampuh dan mengerikan itu. Maka, lelaki itu tidak berbicara lagi. Hanya mencoba meneliti dan mencari kelemahan yang dimaksud gadis cantik itu. Untuk memancing gadis itu menunjukkan kelemahan yang baru dikatakannya tentu tidak mungkin. Satu-satunya jalan ia harus berusaha merebut Pedang Iblis Betina dari tangan lawan.
Agaknya, gadis cantik itu tahu jalan pikiran Ki Baginta. Terdengar tawanya yang mengejek, membuat wajah Ki Baginta berubah merah. Lelaki itu merasa ditelanjangi lawan.
“Kau bermimpi jika hendak merebut senjata ini dari tanganku, Orang Gagah...,” ejek gadis cantik itu sambil memutar senjatanya.
Melihat hal itu, Ki Baginta langsung melangkah mundur seraya menyiapkan pedangnya di depan dada. Apalagi mengingat keampuhan dan kehebatan Pedang Iblis yang memiliki pancaran hawa jahat itu.
“Haiiit..!”
Diiringi sebuah lengkingan panjang yang menyakitkan telinga, tubuh gadis cantik itu meluncur dengan tusukan pedangnya, mengarah tenggorokan Ki Baginta.
Wuttt! Wuttt..!
Ki Baginta memutar tubuhnya membentuk benteng pertahanan dengan jurus ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Ilmu pedang itu sangat baik untuk menyerang maupun bertahan. Dan, kehebatan ilmu pedang Perguruan Harimau Sakti telah terkenal sejak puluhan tahun silam. Begitu serangan pedang lawan tiba, Ki Baginta menggeser tubuhnya tanpa berusaha menangkis. Sebab, selain telah mengetahui sasaran Pedang Iblis, lelaki itu pun menyadari ketajaman senjata maut itu yang mampu memapas putus senjatanya. Itu sebabnya, ia tidak berani memapaki serangan lawan.
“Yiaaah...!”
Setelah serangan lawan luput, Ki Baginta tidak ingin memberi peluang pada lawan untuk membangun serangan berikutnya. Lelaki gagah itu langsung menyabetkan pedangnya ke tubuh lawan dengan kecepatan dan kekuatan penuh.
Tapi, gadis cantik berpakaian serba merah itu bukan orang sembarangan. Sebagai pemegang Pedang Iblis, tentu saja kepandaian yang dimilikinya harus tinggi. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam kuat saja yang sanggup memegang pedang keramat itu. Kalau tidak, pemegangnya akan menjadi gila oleh pengaruh yang keluar dari senjata maut yang mengerikan itu.
Ki Baginta yang belum mengetahui hal itu berusaha merebut senjata lawan. Terbukti, serangan pedangnya selalu ditujukan ke arah pergelangan tangan lawan. Maksudnya hendak membuat pedang lawan terlepas dari genggaman bila ujung pedangnya berhasil mengenai sasaran.
Gadis cantik itu kelihatan cukup kagum akan ilmu pedang lawan. Berkali-kali terdengar ia berseru, memuji perubahan gerak ilmu pedang Ki Baginta. Tapi, ketika pertempuran telah melewati jurus kesepuluh, gadis cantik itu mulai merubah permainan pedangnya. Bahkan, pancaran sinar dari badan Pedang Iblis mulai menunjukkan keampuhannya. Permainan Ki Baginta terlihat kacau dan serangan-serangannya tidak bisa dikendalikan lagi. Meski demikian, Ki Baginta tidak tahu yang membuat jurus-jurusnya kacau adalah hawa jahat yang keluar dari badan Pedang Iblis. Kalau saja hal itu diketahuinya, mungkin Ki Baginta tidak berani bertempur dalam jarak dekat
“Yiaaat..!”
Lima jurus kemudian, Ki Baginta kelihatan mulai tak berdaya menghadapi serbuan-serbuan lawan. Lelaki gagah itu tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan dengan baik. Bahkan, beberapa kali nyaris menjadi sasaran pedang lawan. Untung incaran ujung pedang lawan selalu pada tenggorokannya. Hingga, ia selalu dapat menghindar sampai jurus kelima belas.
Tapi, gadis cantik itu memang bukan tokoh sembarangan. Melihat keuletan lawan, pada jurus keenam belas tiba-tiba gadis itu memekik nyaring. Sambaran pedangnya meluncur dengan kecepatan tinggi, mengancam tenggorokan lawan.
Bettt..!
Ki Baginta melempar tubuhnya ke belakang, dan terus bergulingan menjauhi lawan. Malang, begitu ia melenting bangkit, mendadak tubuh lawan telah berada di dekatnya, dan langsung menyarangkan sebuah tendangan yang telah menghajar dada.
Desss!
“Huakhhh..!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Baginta terjengkang akibat tendangan keras itu. Darah segar termuntah keluar dari mulutnya. Lelaki gagah itu masih terus terguling-guling sejauh dua tombak!
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan lawannya yang langsung melesat mengejar tubuh Ki Baginta. Pedang Iblis Betina yang berada di tangan kanannya bergerak datar, siap merobek tenggorokan murid utama Perguruan Harimau Sakti itu.
Wesss...!
Pada saat yang menentukan bagi nasib Ki Baginta, tiba-tiba berhembus serangkum angin keras, membuat tubuh gadis cantik berpakaian serba merah itu terhuyung ke samping. Dorongan angin pukulan berhawa dingin itu telah menyelamatkan Ki Baginta dari kematian yang mengerikan.
“Setan...!” gadis cantik berpakaian serba merah mengumpat kesal. Kakinya dijejakkan ke tanah kuat-kuat untuk meredam daya dorong yang amat kuat. Tubuhnya terlihat agak menggigil. Karena pukulan jarak jauh itu mengandung hawa dingin menusuk tulang.
Sementara itu, sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih tampak tengah menarik bangkit Ki Baginta, dan mengangsurkan sebutir pil berwarna putih seperti salju.
“Telanlah, agar luka dalammu tidak semakin parah...,” ujar sosok berjubah putih ketika melihat keraguan di mata lelaki gagah yang ditolongnya.
Ki Baginta tidak segera melaksanakan permintaan penolongnya. Tapi, ketika melihat wajah tampan yang tersenyum penuh persahabatan, dia tidak ragu-ragu lagi dan langsung menelan pil itu. Apa yang dirasakan murid utama Perguruan Harimau Sakti membuatnya merasa gembira. Sebab, beberapa saat setelah obat itu masuk ke dalam perutnya, Ki Baginta merasa suatu hawa mukjizat yang membuat tubuhnya nyaman. Lelaki itu merasa bersyukur sekali mendapat obat luka dalam yang sangat mujarab.
“Terima kasih, Kisanak. Obatmu sungguh luar biasa sekali. Rasanya hanya seorang tabib sakti saja yang memiliki obat seperti ini...,” ujar Ki Baginta menatap sosok pemuda tampan berjubah putih dengan penuh terima kasih.
Sosok berjubah putih yang tidak lain Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih, hanya tersenyum menanggapi ucapan Ki Baginta. Kemudian, mengalihkan perhatiannya ke arah sosok gadis berpakaian serba merah yang tengah menatapnya dengan sorot mata penuh kejengkelan. Tapi begitu Panji berbalik, terlihat ada sorot kekaguman dalam sinar mata gadis itu, yang rupanya tidak bisa disembunyikan.
Kini keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak lebih. Mata gadis cantik itu menjelajahi sekujur tubuh Panji. Seolah hendak menilai dan mengenali siapa pemuda berjubah putih yang memiliki tenaga dalam kuat itu.
Sedang Panji tetap tegak dengan sikap tenang, tanpa rasa permusuhan. Kecuali meneliti pedang di tangan gadis cantik yang membuat keningnya berkerut dalam. Pedang itu mengingatkan Panji pada lelaki berpakaian serba hitam yang tengah dicarinya. Sebab, pedang di tangan gadis cantik berpakaian serba merah sangat mirip dengan pedang yang dimiliki sosok misterius yang pernah bertarung dengannya di Desa Karapan.
Saat itu keadaan murid-murid Perguruan Harimau Sakti benar-benar kacau. Lawan-lawannya yang hanya berjumlah delapan orang ternyata memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, banyak murid-murid Ki Sawung tewas di tangan mereka. Meskipun demikian, murid- murid Perguruan Harimau Sakti tidak putus asa dan merasa gentar. Mereka tetap bertarung dengan semangat tinggi untuk mengusir para pengacau itu.
Dua orang murid Ki Sawung kembali terpelanting roboh terkena sambaran pedang lawan. Namun, ketika keadaan mereka semakin memburuk, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hijau yang langsung terjun ke dalam kancah pertempuran!
Munculnya sosok berpakaian serba hijau yang berpihak pada mereka ternyata membawa perubahan besar. Karena begitu tiba, sosok itu langsung membuat salah seorang lawan terpelanting bermandikan darah, dan tewas seketika itu juga dengan usus terburai! Tentu saja kejadian itu membuat murid-murid Perguruan Harimau Sakti jadi bersemangat! Mereka kembali menyerbu lawan-lawannya dengan semangat berlipat ganda.
“Haiiit...!”
Gerakan sosok berpakaian hijau yang bertubuh ramping memang sungguh hebat. Kembali tubuhnya melesat ke depan dengan lengkingan nyaring yang panjang. Pedang bersinar putih keperakan di tangan kanannya berkelebat cepat, membuat salah seorang lawan tak sempat lagi menyelamatkan diri dari sambaran yang cepat dan kuat itu. Sehingga....
Brettt! Brettt!
“Aaaa..!” Pengikut gadis cantik berpakaian serba merah yang malang itu langsung terjungkal, setelah tubuhnya dibabat pedang lawan sebanyak dua kali. Luka yang memanjang dan cukup dalam serta mengeluarkan banyak darah, mengakibatkan nafasnya melayang seketika itu juga. Kejadian itu kembali membuat hati murid-murid Perguruan Harimau Sakti bersorak gembira!
Sebaliknya, pihak lawan yang menyaksikan kejadian itu menjadi gentar hatinya. Sepak terjang sosok berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga, membuat mereka terkejut bukan main! Sebab, dalam beberapa gebrakan saja dua orang dari mereka tewas terbunuh. Peristiwa itu memaksa mereka bergerak mundur dengan wajah tegang. Rupanya, mereka sadar dara jelita berpakaian serba hijau itu bukan lawan yang sebanding dengan mereka.
“Hm...,” Kenanga bergumam perlahan ketika melihat lawan-lawannya bergerak mundur. Pedang bersinar putih keperakan di tangannya menyilang di depan dada. Dengan langkah tenang, dara jelita itu bergerak mendekati lawan-lawannya yang tampak saling berpandangan satu sama lain.
Terlihat keenam orang bertampang garang itu menganggukkan kepala. Agaknya, mereka telah sepakat untuk menghadapi dara jelita itu sampai titik darah terakhir. Karena untuk meninggalkan arena pertempuran tanpa seizin gadis berpakaian merah, mereka tidak berani. Satu-satunya pilihan bagi mereka adalah bertarung mati-matian.
Kenanga tampaknya tahu apa yang disepakati lawan-lawannya. Terbukti dara jelita itu kembali mempersiapkan jurusnya untuk menghadapi keroyokan lawan yang kini berjumlah enam orang. Pedang sinar putih keperakan di tangannya berputar membentuk gulungan sinar yang bergerak turun-naik, bagai seekor ular raksasa yang siap menerkam mangsanya.
“Haaat...!”
“Yeaaa...!”
Keenam orang bertampang garang itu meluruk ke arah Kenanga dengan serangan yang bertambah buas dan ganas! Sinar enam bilah pedang itu berkelebatan bagai tangan-tangan maut, yang siap menjemput nyawa dara jelita itu ke akhirat.
Tapi, Kenanga telah mempersiapkan diri dengan baik. Maka, ketika keenam bilah pedang itu tiba, gadis itu segera menggerakkan senjatanya menghadapi keroyokan lawan. Tubuhnya yang ramping bergerak cepat Keenam orang pengikut gadis berpakaian merah benar-benar dibuat penasaran. Sebab, setiap kali pedang mereka berkelebat menyambar, tubuh gadis jelita itu selalu saja sudah berpindah tempat Bahkan, tidak jarang tubuh ramping itu bergerak menyelinap di antara enam pedang lawan. Tampaknya, tubuh gadis jelita itu tidak dapat tersentuh ujung pedang mereka. Ini yang membuat keenam lawannya semakin penasaran!
“Haiiit..!”
Ketika pertempuran telah berlangsung cukup lama, tiba-tiba dara jelita itu mengeluarkan pekikan yang mengejutkan! Bersamaan dengan itu, pedang di tangannya berkelebat laksana sambaran kilat di angkasa, yang langsung mengancam tubuh dua pengeroyoknya. Dan....
“Aaa...!”
Dua orang lelaki kasar meraung kesakitan! Tubuh keduanya terpelanting jatuh terkena sabetan pedang Kenanga. Darah segar mengucur keluar mengiringi nyawa mereka yang melayang ke akhirat!
Sebelum empat orang lainnya tersadar dari rasa terkejut, Kenanga sudah menerjang maju dengan kelebatan pedang yang menggetarkan jantung. Pertempuran pun berlangsung sengit Karena keempat lawannya berusaha mati-matian untuk mempertahankan selembar nyawa mereka!
Di bagian lain, Panji tengah bertarung ketat dengan gadis cantik berpakaian serba merah. Serbuan-serbuan yang dilancarkan lawan sempat membuat Panji kewalahan. Apalagi, lawannya seorang gadis dan belum sempat disaksikan kekejamannya. Sehingga Panji merasa jengah untuk melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Ditambah lagi, setiap lontaran serangan Panji selalu dihadapi gadis cantik itu dengan memberikan bagian-bagian tubuhnya yang tabu bagi Panji untuk disentuh tangannya. Sehingga, pemuda itu selalu menarik pulang serangannya setiap kali terlontar. Ini yang membuat Panji agak kewalahan mengha- dapi lawan kali ini.
Sekali dua kali gerakan itu dilakukan Panji, membuat lawannya sadar dan memanfaatkan peluang itu untuk mencari kemenangan. Kelemahan pemuda tampan berjubah putih memberi keleluasaan pada gadis itu untuk melancarkan serangan. Sehingga, Panji terpaksa harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan maut lawannya.
“Perempuan kotor dan licik...!” Ki Baginta yang sesekali sempat melihat kenyataan itu, memaki geram. Lelaki itu tidak menyalahkan Panji yang selalu menarik pulang serangan balasannya. Karena hal itu pun akan dilakukannya bila bertarung dengan seorang wanita muda. Sebagai orang gagah, pantang bagi mereka untuk menyentuh bagian terlarang tubuh seorang gadis, meskipun itu terjadi dalam pertarungan. Jika tidak terpaksa sekali, Ki Baginta pun tidak mau melakukannya.
“Haiiit..!”
Untuk kesekian kalinya, gadis cantik berpakaian serba merah kembali melancarkan sebuah serangan maut Pedang berhawa aneh di tangannya berkelebat cepat mengancam tenggorokan Panji.
Wuttt..!
Panji menarik mundur langkahnya menghindari sabetan maut itu. Kemudian, terus melakukan lompatan pendek ke samping ketika pedang lawan berputar dengan babatan miring. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu langsung melontarkan sebuah hantaman telapak tangan ke bahu kanan lawan yang terbuka.
“Aaah...!” Sadar bahwa dirinya terancam, gadis cantik itu memutar tubuhnya, dan memberikan dadanya untuk menyambut hantaman telapak tangan Panji. Tentu saja pemuda itu terkejut, dan bergegas menarik pulang serangannya, lalu melompat jauh ke belakang. Karena begitu serangannya ditarik pulang, pedang di tangan gadis cantik itu menyambar ke arah perutnya dengan kecepatan kilat!
“Hm...” Setelah mendaratkan kakinya di tanah dalam jarak satu setengah tombak dari lawan. Panji menyilangkan kedua tangannya, siap menggunakan ilmu ‘Silat Naga Sakti’ warisan Malaikat Petir. Meskipun kepandaian gadis cantik pemegang Pedang Iblis masih berada di bawah tingkat kepandaian lelaki berpakaian serba hitam yang juga bersenjatakan Pedang Iblis, tapi kelicikan gadis itu yang memanfaatkan kelemahannya, memaksa Panji harus menggunakan ilmu silat andalannya yang jarang dipergunakan kecuali menghadapi lawan berat
Melihat Pendekar Naga Putih tengah menyiapkan jurus barunya, gadis cantik itu mengerutkan kening. Rupanya, dia dapat menduga kalau jurus yang kali ini dikeluarkan lawan pasti sangat hebat. Satu hal yang membuat gadis itu penasaran, dirinya tidak mengenal siapa pemuda tampan berjubah putih yang memiliki kepandaian hebat itu. Jika bukan karena kelicikannya, mungkin sudah sejak tadi dia dirobohkan pemuda tampan yang menarik hatinya itu.
Tapi ketika melihat Panji mempersiapkan jurus barunya, gadis itu tampak terkejut bukan main. Saat itu tubuh lawan mengeluarkan sinar putih keperakan. “Pendekar Naga Putih...?!” desis gadis cantik berpakaian serba merah terkejut. Ia baru dapat menerka siapa pemuda berjubah putih itu, setelah melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya. Ciri-ciri seperti itu hanya dimiliki satu orang, yang saat itu telah mengguncangkan rimba persilatan dengan sepak-terjangnya yang hebat dan ilmu-ilmu andalan yang tiada bandingannya.
“Pendekar Naga Putih...?!” Ki Baginta pun tidak kalah terkejut mendengar disebutkannya nama Pendekar Naga Putih oleh gadis berpakaian serba merah. Nama besar pendekar muda itu telah didengar dari gurunya. Kenyataan itu membuat Ki Baginta semakin lega. Sebab, kemunculan pendekar muda yang tersohor itu pasti akan dapat menyelamatkan perguruannya dari kemusnahan. Pikiran itu membuat dada Ki Baginta lapang.
Sedangkan wanita berpakaian serba merah tampak mulai diliputi kecemasan. Gadis itu merasa gentar untuk menghadapi pemuda berjubah putih setelah mengetahui jati dirinya. Sepasang matanya mengerling ke kiri dan kanan seperti hendak mencari jalan untuk meloloskan diri. Apalagi, ketika melihat para pengikutnya tinggal dua orang dan tengah didesak seorang gadis berpakaian serba hijau. Semakin sadarlah gadis itu bahwa usahanya untuk mendapatkan Pedang Iblis Jantan tidak mungkin terwujud. Sebab, penghalang yang harus dihadapinya terlalu kuat
“Aaa...!” Hati gadis cantik yang genit dan licik itu semakin tegang, ketika mendengar jeritan pengikutnya yang roboh di tangan gadis cantik berpakaian serba hitam. Melihat kecepatan gerak gadis itu, sadarlah dirinya bahwa jika ia tidak segera meninggalkan tempat itu jelas akan dapat dikalahkan lawan Menghadapi Pendekar Naga Putih saja ia sudah merasa tidak mungkin menang. Apa jadinya jika gadis berpakaian serba hijau ikut turun tangan menghadapinya. Jelas, ia tidak mungkin lagi bisa menggunakan kelicikannya. Dan, sudah pasti dirinya akan kalah. Menyadari kedudukannya berada di pihak yang lemah, mendadak gadis cantik itu melenting ke udara disertai lengkingan panjang menggetarkan jantung.
“Haiiit..!” Tubuh ramping padat terbungkus pakaian sutera merah darah itu berputaran di udara, dan terus melesat ke arah pintu gerbang begitu kedua kakinya menginjak tanah.
Kenanga yang sudah menyelesaikan lawan terakhirnya berseru mencegah. Tubuh dara jelita itu bergegas mengejar gadis berpakaian serba merah yang melarikan diri. Demikian pula dengan Panji. Pemuda tampan itu bergerak cepat melakukan pengejaran dengan mengerahkan ilmu lari cepat. Sayang, ia tidak melihat gelagat lawan yang hendak melarikan diri. Sehingga, setelah gadis itu tiba di dekat pintu gerbang, Panji baru mengejarnya.
Gadis cantik itu rupanya sadar dirinya akan dapat terkejar jika terus melarikan diri. Maka, ketika melihat dara berpakaian serba hijau mengejarnya, cepat ia menghentikan langkah. Kemudian berbalik cepat setelah merogoh sesuatu dari balik pakaian. Dan...
Sing! Sing! Sing...!
Empat cahaya putih berkilauan menyambut tubuh Kenanga. Dara jelita itu pun sadar gadis yang dikejarnya telah melepaskan senjata-senjata rahasia untuk mencegah dirinya. Cepat ia melenting ke udara dan berputaran, sambil menyabetkan senjatanya ke arah dua cahaya putih yang mengancam tubuhnya. Sedangkan dua cahaya lainnya meluncur di bawahnya. Agaknya lawan sudah dapat menebak Kenanga akan melenting ke udara untuk menghindari senjata-senjata rahasia itu. Kenanga terpaksa harus melupakan lawannya sesaat untuk menghalau senjata rahasia itu.
Tring! Tring...!
Dua buah paku berkilat yang cukup besar langsung runtuh terkena tebasan pedangnya. Melihat kilatan di badan paku, Kenanga tahu senjata rahasia itu telah dilumuri racun. Tubuhnya baru meluncur turun, setelah berhasil menggagalkan serangan gelap lawan.
Sedangkan gadis cantik berpakaian serba merah sudah membedal kudanya bagai kesetanan. Sehingga, Kenanga hanya bisa membanting kakinya dengan hati geram.
“Kau tidak apa-apa, Kenanga...?” tanya Panji yang saat itu telah tiba di dekat kekasihnya. Pemuda itu menunda pengejarannya karena melihat kekasihnya terancam senjata gelap yang dilepaskan gadis cantik berpakaian sutera merah tadi.
“Untunglah aku sempat melihat gerakannya ketika mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, Kakang. Kalau tidak, rasanya sulit bagiku untuk menghindari serangan gelap gadis licik itu...,” sahut Kenanga menarik napas lega.
“Syukurlah...,” desah Panji ikut menghela napas lega. Serangan gelap yang dilakukan gadis berpakaian merah begitu tiba-tiba datangnya. Selain itu, Kenanga dalam keadaan berlari cepat. Tentu saja itu sangat berbahaya. Sehingga, Panji sempat cemas akan keselamatan kekasihnya. Untunglah dara jelita itu telah waspada sebelumnya. Kalau tidak, kemungkinan besar serangan gelap itu telah melukainya.
“Hm... Lain kali aku tidak akan membiarkannya lolos. Sebab, ia memiliki pedang yang serupa dengan lelaki berpakaian serba hitam yang kita cari. Dengan demikian, berarti Sepasang Pedang Iblis muncul kembali setelah lenyap sekian puluh tahun. Dan, itu berarti bencana bagi orang banyak...,” gumam Panji dengan wajah membayangkan kecemasan.
Kenanga hanya menghela napas perlahan. Beberapa saat kemudian, pasangan pendekar muda itu membalikkan tubuh, dan menghampiri Ki Baginta yang tengah menatap keduanya dengan pandangan penuh kagum dan hormat
“Kalau boleh ku tahu, apa tujuan wanita berpakaian serba merah itu mengacau perguruan ini, Paman...?” tanya Panji saat mereka bertiga berkumpul di sebuah ruangan di dalam bangunan induk Perguruan Harimau Sakti.
Ki Baginta tidak langsung menjawab pertanyaan pemuda tampan yang diketahuinya Pendekar Naga Putih. Baru setelah menarik napas panjang, lelaki gagah itu menjawabnya. “Sebenarnya, apa yang akan kusampaikan ini merupakan rahasia perguruan kami. Tapi, karena kini masalahnya sudah berkembang semakin jauh, dan mungkin telah banyak orang yang tahu maka aku akan menceritakannya padamu, Pendekar Naga Putih. Selain itu, aku pun akan meminta bantuanmu untuk menyelesaikan persoalan ini...,” ujar Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang. Sebab, menilik dari ucapannya, apa yang akan disampaikan lelaki gagah itu kelihatan sangat rahasia.
“Tentu saja setelah tahu persoalan kami siap membantumu, Paman. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran,” ujar Panji menimpali ucapan Ki Baginta yang membuat lelaki gagah itu tersenyum lega.
“Gadis cantik berpakaian serba merah itu bermaksud hendak mengambil Pedang Iblis yang dimiliki secara turun-temurun oleh guru besar kami. Entah dari mana gadis jahat itu mengetahui perguruan kami menyimpan pusaka keramat yang bernama Pedang Iblis. Mungkin gadis itu merupakan keturunan pencuri Pedang Iblis Betina beberapa puluh tahun silam. Sebab, ia memiliki Pedang Iblis Betina. Dan, kemunculannya itu disebabkan telah lenyapnya Pedang Iblis Jantan dari ruangan rahasia yang hanya diketahui guru besar kami dan seorang kepercayaannya. Karena Pedang Iblis Jantan telah kembali meminta korban, maka pemilik Pedang Iblis Betina pun muncul. Seolah antara kedua pedang keramat itu mempunyai pertalian gaib yang sulit diterima akal sehat,”
Ki Baginta menghentikan ceritanya seraya menghela napas panjang. Kelihatan sekali lelaki gagah itu merasa berduka dengan kejadian yang bertubi-tubi datang melanda perguruannya.
“Paman, apakah pencuri Pedang Iblis Jantan seorang lelaki berpakaian serba hitam...?” Kenanga yang teringat akan pengacau di Desa Karapan langsung menebak.
“Apa kau pernah bertemu dengan pencuri keparat itu, Nisanak? Di mana kalian berjumpa dengannya...?” Ki Baginta kelihatan kaget mendengar pertanyaan Kenanga. Karena dapat menebak dengan tepat, lelaki itu pun menduga Pendekar Naga Putih dan dara jelita berpakaian serba hijau telah bertemu dengan pencuri Pedang Iblis Jantan.
“Benar Paman. Bahkan aku sempat bentrok dengannya. Sayang, ia berhasil meloloskan diri dengan cara yang licik,” timpal Panji menjawab pertanyaan Ki Baginta yang sebenarnya diajukan pada Kenanga.
“Ahhh.... Sayang sekali. Sebab, dengan munculnya pemegang Pedang Iblis Betina keadaan akan semakin bertambah kacau. Terlebih lagi jika Sepasang Pedang Iblis telah bersatu. Sulit sekali untuk mengatasinya. Kita harus mencegah hal itu terjadi, Pendekar Naga Putih. Sebenarnya pemegang Pedang Iblis itu sama-sama tidak cocok. Seharusnya Pedang Iblis Jantan dipegang oleh seorang wanita, dan Pedang Iblis Betina dipegang laki-laki. Dengan begitu, keampuhannya bisa berlipat ganda. Kalau sampai kedua pemegang pedang itu bertemu, rasanya dunia persilatan akan geger. Malapetaka bagi orang banyak akan datang...,” ujar Ki Baginta dengan wajah semakin berduka. Jelas, lelaki gagah itu sangat mengkhawatirkan keselamatan orang banyak.
Penjelasan Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga ikut prihatin. Sebab, kenyataan itu merupakan tanggung jawab mereka sebagai orang-orang gagah yang menegakkan kebenaran dan memberantas segala kebathilan di atas muka bumi.
“Semenjak tadi aku tidak melihat ketua perguruan ini, Paman? Apakah beliau tengah bersemadi di ruang khusus yang tidak boleh diganggu...?” tanya Panji ketika teringat sejak pengacau datang, dirinya tidak melihat Ketua Perguruan Harimau Sakti.
“Guru besar kami tengah melakukan pengejaran terhadap pencuri Pedang Iblis Jantan. Beliau pergi beberapa hari yang lalu bersama Kandala, adik seperguruanku. Mungkin beliau belum mendengar munculnya pemegang Pedang Iblis Betina. Ah, beliau tentu akan semakin cemas bila mengetahui Sepasang Pedang Iblis akan kembali menebar bencana di atas muka bumi ini...,” jawab Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga menganggukkan kepala.
“Kalau demikian, kita harus segera bertindak cepat sebelum kedua Pedang Iblis itu bersatu,” ujar Kenanga sambil menatap wajah mendung Ki Baginta.
“Benar, Nisanak. Sayang, aku tidak bisa meninggalkan perguruan untuk menemani kalian..,” jawab Ki Baginta agak menyesal sebab tidak bisa menemani Pendekar Naga Putih dan Kenanga untuk menghentikan keganasan Pedang Iblis.
“Tak apalah, Paman. Tugas yang diberikan padamu rasanya tidak kalah penting dengan yang akan kami lakukan. Sebaiknya kami pergi sekarang untuk mencari dan mencegah bencana yang akan ditimbulkan Sepasang Pedang Iblis...,” ujar Panji
“Baiklah, kalau begitu. Aku hanya bisa berdoa untuk keberhasilan kalian berdua...,” sahut Ki Baginta seraya bergerak bangkit dari kursinya untuk mengantarkan kepergian pasangan pendekar muda itu.
Panji dan Kenanga segera berpamitan pada lelaki gagah itu. Keduanya menolak dengan halus ketika Ki Baginta hendak menyiapkan kuda untuk mereka.
“Kami biasa melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, Paman. Rasanya itu akan lebih menguntungkan tugas kami. Terima kasih atas kebaikan Paman...,” tolak Panji mengajukan alasan yang dapat dimengerti Ki Baginta.
Lelaki gagah murid utama Ki Sawung itu mengantarkan kepergian Panji dan Kenanga dengan pandang matanya. Setelah bayangan mereka lenyap di kejauhan, Ki Baginta memerintahkan murid-muridnya untuk menutup pintu gerbang yang sudah diperbaiki setelah dirusak gadis berpakaian serba darah.
Seorang gadis cantik berpakaian sutera merah darah membedal kudanya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang seolah-olah takut lawan melakukan pengejaran. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang mengejarnya, gadis itu memperlambat lari kudanya dan berhenti di dekat sebuah sungai.
“Kita istirahat di sini, Putih,” ujarnya sambil melompat turun dari punggung kuda. Ditepuknya leher binatang itu dengan lembut Kemudian, melangkah menuruni sungai yang berair jernih. Setelah membasuh wajahnya yang kotor dilapisi debu, gadis cantik itu kembali bergerak naik ke tepi sungai, dan menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon berdaun lebat yang melindungi tubuhnya dari pancaran sinar matahari.
“Pendekar keparat! Aku terpaksa harus melakukan perjalanan sehari penuh untuk menghindarinya. Untung aku berhasil menghalangi pengejaran mereka dengan senjata rahasiaku. Kalau tidak, mungkin pedang keramat ini telah jatuh ke tangannya,” gumam gadis cantik itu kesal.
Keinginannya untuk memperoleh Pedang Iblis Jantan gagal oleh kemunculan Pendekar Naga Putih di Perguruan Harimau Sakti. Padahal, usahanya nyaris berhasil jika tidak ada pendekar muda itu. Gadis itu mengeluarkan sumpah-serapah yang ditujukan pada Panji yang telah menggagalkan rencananya.
Mendadak, gadis cantik itu bergerak bangkit dan langsung melesat ke atas pohon. Gadis itu mendengar ada suara langkah kaki yang menuju ke arah tempatnya berada. Tentu saja hatinya berdebar tegang. Sebab, ia khawatir langkah kaki itu milik Pendekar Naga Putih yang mungkin mengejarnya.
Tapi, ketika melihat sosok tinggi kurus muncul dari balik semak-semak dan melangkah di bawahnya, terdengar helaan napas lega gadis itu. Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Agaknya, gadis itu mengenali sosok yang muncul dan berdiri tegak di bawah pohon tempatnya duduk tadi.
“Guru...!” Gadis berpakaian serba merah itu meluncur turun sambil berseru riang. Sedangkan sosok bertubuh jangkung yang ternyata seorang nenek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, tersenyum ketika melihat gadis berpakaian serba merah yang kini berdiri di hadapannya dengan senyum manis.
“Dasar murid kurang ajar! Mengapa bersembunyi di atas kepalaku, heh? Apa tidak ada tempat lain untuk bersembunyi?” tegur nenek itu dengan wajah lucu. Meskipun kata-katanya terdengar seperti orang marah, tapi wajahnya kelihatan menyembunyikan senyum yang ditahan. Jelas, nenek itu tidak sungguh-sungguh marah.
“Bagaimana Guru bisa tahu aku bersembunyi di atas pohon...?” tanya gadis cantik yang kelihatan kaget mendengar ucapan gurunya. Sebab, meskipun dirinya tahu nenek itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia sudah menahan napas ketika bersembunyi tadi.
“Kau benar-benar bodoh, Nila! Tentu saja aku bisa mengetahuinya dengan mudah. Lihatlah di belakangmu...,” sahut nenek itu seraya menggerakkan kepalanya ke depan.
“Hik hik hik...!” gadis cantik itu tertawa renyah ketika melihat ke belakang. Ia baru mengerti akan kebodohannya. Tentu saja nenek itu mengetahui keberadaannya. Sebab ia lupa menyembunyikan kuda putih tunggangannya yang telah dikenal baik gurunya.
“Sudah! Nanti saja kau lanjutkan tawamu. Sekarang, coba tunjukkan hasil tugas yang kuberikan padamu...,” ujar nenek itu membuat wajah gadis cantik bernama Nila yang semula kelihatan riang kini berubah mendung.
“Aku gagal, Guru...,” sahut Nila seraya memonyongkan bibirnya dengan sikap manja.
“Heh?! Mengapa bisa gagal? Bukankah kau sudah kubekali Pedang Iblis yang tiada duanya itu? Apa kau tidak mampu mengalahkan Ki Sawung yang kepandaiannya tidak ada seujung kuku jari kelingking ku...?” sergah nenek itu heran mendengar laporan muridnya. Rupanya, nenek itu tidak bisa percaya murid- nya gagal melaksanakan tugas yang menurutnya sangat sepele.
“Bangsat tua itu tidak keluar ketika aku datangi perguruannya,” ujar Nila sambil menundukkan wajahnya yang kelihatan sedih.
“Eh?! Lalu..., mengapa kau sampai gagal...? Siapa yang telah menghalangi mu?” desak nenek itu seraya mengulurkan tangannya mengangkat dagu gadis cantik itu agar menatap ke arahnya.
“Kalau kukatakan, pasti Guru tidak akan percaya...,” rajuk Nila tanpa berusaha melepaskan jari-jari tangan nenek itu dari dagunya.
“Hm.... Coba katakan padaku, siapa orang yang telah menggagalkan tugasmu itu?” suara nenek itu terdengar melunak. Agaknya, ia merasa iba melihat warna kesedihan di wajah murid tunggal yang disayanginya.
“Dia seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih. Dan, sekujur tubuhnya dilapisi kabut bersinar putih keperakan yang mengeluarkan hawa dingin. Guru pasti dapat menerka siapa orang itu...,” sahut Nila tanpa menyebutkan nama penghalang itu kecuali ciri-cirinya. Tampaknya gadis cantik itu ingin mendengar jawaban gurunya yang menurutnya pasti mengetahui perihal pemuda tampan itu.
“Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?” desis nenek itu setelah terdiam beberapa saat dengan kening berkerut Kelihatan sekali ia terkejut saat mendengar ciriciri pemuda tampan yang menghalangi tugas muridnya.
“Siapa lagi yang dapat menghalangiku selain pemuda itu. Ia benar-benar tampan sekali, Guru. Ah, andai aku bisa mendapatkan pasangan seperti Pendekar Naga Putih, alangkah bahagianya...,” desah Nila membayangkan pemuda tampan berjubah putih.
“Hm...,” nenek itu bergumam tanpa kata. Jika memang pendekar muda itu yang menghalangi muridnya, tentu saja ia tidak bisa menyalahkan murid tunggalnya. Karena ia sadar kepandaian muridnya bukan tandingan pendekar besar itu.
Dari termenung dengan kepala terangguk-angguk, tiba-tiba nenek itu mengangkat kepalanya dengan wajah bersungguh-sungguh. Rupanya nenek itu tengah mengerahkan indera pendengarannya untuk menangkap lebih jelas suara yang didengarnya secara samar.
“Ada orang datang...”
Sebelum Nila sempat bertanya atas sikap aneh gurunya, nenek itu sudah mengajaknya bersembunyi setelah lebih dulu menggebah kuda putih milik muridnya, yang langsung mencongklang pergi meninggalkan tempat itu. Nila tidak membantah perintah gurunya. Meskipun gadis itu belum menangkap suara langkah orang yang mendatangi tempat itu, tapi ia percaya dengan pendengaran gurunya. Sebab, meskipun nenek itu telah mendidiknya selama belasan tahun, tapi belum semua ilmu nenek itu diturunkan padanya. Sehingga, kepandaiannya masih beberapa tingkat di bawah nenek itu.
Dugaan nenek bertubuh jangkung itu ternyata tidak melesat. Beberapa saat kemudian, Nila mulai menangkap suara langkah kaki lembut menghampiri tempat mereka berada. Gadis cantik itu segera dapat menilai orang yang datang bukan tokoh sembarangan. Karena langkah kakinya demikian lembut, pertanda orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, dari tempat nenek jangkung itu muncul sesosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam hendak melintas di dekat persembunyian mereka. Tapi, dalam jarak satu setengah tombak dari tempat persembunyian Nila dan gurunya, sosok berpakaian serba hitam menahan langkahnya. Kepalanya tegak dengan telinga bergerak-gerak. Rupanya, ia merasa curiga akan keadaan di sekitarnya, dan mengerahkan indera pendengaran untuk menang- kap suara-suara yang mencurigakan.
Setelah cukup lama terdiam, sosok berpakaian serba hitam kembali melanjutkan langkahnya dengan hati-hati. Meskipun ia tidak mendengar suara-suara yang mencurigakan di sekitar tempat itu, tapi sikapnya terlihat sangat waspada hingga membuat Nila dan gurunya kagum. Tiba-tiba wajah nenek itu berubah tegang, setelah sosok berpakaian serba hitam lewat beberapa langkah dari tempat persembunyiannya. Nila merasakan ketegangan gurunya. Aliran napas nenek itu terdengar lebih cepat dari biasa.
“Hei, tunggu...!” seru nenek itu langsung melesat keluar dari tempat persembunyiannya.
Tentu saja Nila yang tidak mengetahui penyebabnya menjadi heran. Tapi, tak urung gadis itu ikut melompat keluar dari semak-semak. Sedangkan sesosok berpakaian serba hitam sudah melesat jauh ke depan. Kemudian, membalikkan tubuhnya dengan sikap siap tempur. Sehingga, baik Nila maupun gurunya terpaksa menahan langkah agar tidak terlalu dekat dengan sosok berpakaian serba hitam itu.
“Hm.... Sudah kuduga ada yang tidak beres di tempat ini Kiranya kalian berdua sedang bermain kucing-kucingan. Apa tidak ada pekerjaan lain yang dapat kalian lakukan selain mengintip orang lewat..?” tegur sosok berpakaian serba hitam yang tidak lain si Pedang Iblis.
Nila sudah siap melontarkan sumpah serapah pada sosok itu. Tapi, gadis cantik itu menahan kedongkolannya ketika gurunya mencegah dengan gerakan tangan. Meskipun hatinya geram, Nila tidak berani membantah isyarat gurunya.
Nenek bertubuh jangkung tidak mempedulikan kata-kata yang seharusnya dapat membuat hatinya marah. Tampaknya wanita tua itu lebih tertarik pada ga- gang pedang yang tergantung di punggung sosok berpakaian serba hitam itu. Sehingga, si Pedang Iblis terkejut dan merasa curiga akan sikap nenek itu yang mengamati punggungnya dengan sorot mata tajam dan bersinar aneh.
“Anak muda, coba berikan pedangmu sebentar...,” ujar nenek itu penuh minat Bersamaan dengan itu tubuhnya meluncur ke depan bagai tidak menginjak bumi. Tangan kanannya yang panjang terulur hendak merebut pedang yang tergantung di punggung lelaki berpakaian serba hitam itu.
Si Pedang Iblis yang memang merasa curiga dengan sikap aneh nenek itu segera bergerak mengelak. Tentu saja pedang kebanggaannya tidak akan dibiarkan tersentuh tangan orang lain, meski hanya untuk dilihat. Apalagi oleh orang yang tidak dikenalnya seperti nenek itu.
Wuttt..!
Sambaran jari-jari tangan perempuan tua itu luput dari sasaran. Tapi, itu bukan berarti usahanya berhenti sampai di situ. Tangan nenek itu terus bergerak mengejar tubuh lawan. Tujuannya tetap gagang pedang yang tersembul dari balik punggung lelaki berpakaian serba hitam.
Ketika beberapa kali mengelak, ternyata lengan itu masih terus mengejar. Si Pedang Iblis kelihatan sangat jengkel. Maka, ketika dirinya menghindar dan tangan itu tetap mengejar, lelaki itu tidak berusaha lagi untuk menghindar. Malah sengaja menunggu tangan nenek itu tiba. Dan....
Wuttt..!
Dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, Si Pedang Iblis mencabut keluar senjatanya yang langsung berputar menyambar tangan nenek itu pada bagian sambungan sikunya.
“Aiiih...!” Nenek itu terpekik kaget Cepat tangannya ditarik pulang, dan terus melompat jauh ke belakang. Karena sinar aneh yang keluar dari badan pedang lawan membuat hatinya guncang. Untunglah nenek itu bertindak cepat Jika tidak, bukan mustahil lengannya telah terbabat putus oleh pedang lelaki itu.
“Pedang Iblis Jantan?!” Seruan kaget bercampur heran keluar dari mulut Nila dan gurunya. Pantas nenek itu bersikeras hendak merebut pedang di punggung lelaki berpakaian serba hitam. Rupanya, meski hanya melihat gagangnya, nenek itu tahu senjata yang dibawa orang itu adalah Pedang Iblis Jantan. Hal itu tentu tidak aneh. Sebab, nenek itu memiliki pedang yang serupa dengan milik le- laki berpakaian serba hitam.
Pedang Iblis tersurut mundur ketika mendengar ke-dua orang itu mengenali senjata kebanggaannya. Sepasang matanya bergerak liar penuh nafsu membunuh. Lelaki itu tidak ingin mereka merebut senjatanya. Nenek bertubuh jangkung rupanya mengetahui gelagat itu. Cepat ia memerintahkan muridnya untuk segera mengeluarkan Pedang Iblis Betina yang tergantung di pinggang gadis itu. Nila pun tahu maksud isyarat gurunya, maka tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung dicabut keluar dari sarungnya.
Srattt…!
Secercah sinar aneh yang menimbulkan hawa maut mengerikan berpendar seiring tercabutnya Pedang Iblis Betina dari pinggang gadis cantik itu. Sehingga....
“Pedang Iblis Betina. ?!” seru sosok berpakaian serba hitam tidak kalah terkejut dengan mereka berdua ketika melihat pedang di tangannya tadi. Kini ia baru mengerti, mengapa nenek itu mengenali senjatanya meski hanya melihat gagangnya saja.
Anehnya, Nila dan lelaki berpakaian serba hitam sama melangkah maju, ketika kedua pedang keramat itu tergenggam di tangan masing-masing. Keduanya seperti tidak sadar akan perbuatan mereka. Sedangkan nenek itu tertawa berkakakan seperti orang kemasukan setan. Tidak ada kekhawatiran sedikit pun muridnya akan bertarung dengan pemegang Pedang Iblis Jantan. Tampaknya, nenek itu telah menduga kelanjutan peristiwa itu.
Sementara Nila maupun lelaki itu terus bergerak maju dengan pandangan lurus ke depan. Setelah jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi keduanya berhenti. Kemudian, sama-sama mengangkat pedangnya ke atas. Dan...!
Trang...!
Sepasang Pedang Iblis saling berbenturan, untuk kemudian melekat satu sama lain seolah menyatu. Sedangkan pemegang senjata itu masih terus berpandangan. Kemudian, tangan kiri masing-masing terulur dan bersentuhan sedikit demi sedikit. Lalu, bagai ditarik kekuatan yang tak tampak mereka saling berpelukan erat. Entah siapa yang memulai lebih dulu. Yang jelas kedua orang itu sudah berangkulan dengan ketatnya.
Cukup lama dua orang muda itu saling rangkul. Beberapa saat kemudian, senjata keduanya turun secara perlahan-lahan. Lalu, tanpa malu-malu lagi mereka bercumbu di depan mata nenek bertubuh jangkung yang masih memperdengarkan tawa yang melengking tinggi. Agaknya, nenek itu memang tidak ingin mencegah apa yang dilakukan muridnya dengan lelaki berpakaian serba hitam. Malah ia menyaksikan dengan mata tak berkedip.
“Bagus..., bagus! Kini, baik Sepasang Pedang Iblis maupun pemiliknya sudah bersatu...,” ujar nenek itu ketika melihat tubuh muridnya dan lelaki berpakaian serba hitam sudah melepaskan rangkulan masing-masing. Keduanya tergeletak lemas dengan peluh yang membasahi pakaian mereka.
Tidak berapa lama kemudian, Nila dan si Pedang Iblis bangkit dengan wajah cerah. Setelah saling tatap dengan sinar mata penuh kemesraan, mereka meraih senjata masing-masing yang tergeletak di tanah berumput. Lalu saling mengangsurkan pedang. Seperti telah mendapat kata sepakat, mereka menukar senjata miliknya.
“Hih hih hih...! Sekarang kalian telah resmi menjadi suami istri. Pedang Iblis telah menyatukan pemiliknya. Dan, mulai sekarang kalian kuberi julukan Sepasang Pedang Iblis...!” ujar nenek yang rupanya telah mengetahui sejarah Pedang Iblis.
Pada awalnya Pedang Iblis adalah milik sepasang suami istri kalangan sesat. Itu sebabnya, mengapa Nila dan lelaki berpakaian serba hitam langsung melakukan perbuatan yang hanya patut dilakukan sepasang suami istri. Rupanya, kekuatan gaib dalam pedang yang telah menyatukan mereka berdua.
“Celaka...!” Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat ketiga orang itu terkejut, dan memalingkan wajah ke arah da- tangnya suara.
“Bagus kau datang, Ki Sawung...,” desis nenek bertubuh jangkung parau ketika mengenali orang yang mengeluarkan suara.
Rupanya, peristiwa aneh yang baru terjadi membuat ketiga orang itu lengah. Hingga tidak mengetahui kedatangan lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun yang tidak lain Ki Sawung, Ketua Perguruan Harimau Sakti dan keturunan langsung pembuat Sepasang Pe- dang Iblis.
“Nini Karundeng! Rupanya, kau yang menjadi biang keladi semua ini! Ternyata dirimu semakin tua semakin bertambah jahat dan licik,” geram Ki Sawung marah ketika mengenali wanita tua bertubuh jangkung.
“Heh heh heh...! Kini Sepasang Pedang Iblis telah bersatu kembali. Dan, tugas pertamanya adalah membunuhmu, Ki Sawung! Sebab, kau satu-satunya keturunan pembuat Sepasang Pedang Iblis yang masih hidup!” desis Nini Karundeng dengan suara yang mendirikan bulu roma. Kemudian, beralih pada sepasang orang muda yang telah resmi menjadi penerus Sepa- sang Pedang Iblis, “Lakukanlah tugas pertama kalian sebaik-baiknya...”
Ki Sawung yang didampingi Kandala, pemuda berwajah simpatik murid utamanya, langsung bergerak surut ke belakang beberapa langkah. Mereka sadar ucapan Nini Karundeng akan segera terbukti.
Srattt..!
Hampir bersamaan Ki Sawung dan Kandala meloloskan pedang dari warangkanya masing-masing. Kemudian menyilangkan di depan dada, siap menghadapi Sepasang Pedang Iblis. Ketika gadis cantik dan lelaki berpakaian serba hitam melangkah semakin dekat, wajah Ki Sawung tampak berubah. Keningnya berkerut dalam menatap sosok lelaki berpakaian serba hitam yang memegang Pedang Iblis Betina di tangan. Lelaki tua itu beru-lsaha mengingat-ingat wajah pemuda yang berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu. Tapi, ia lupa-lupa ingat di mana pernah melihatnya.
“Coba perhatikan lelaki berpakaian serba hitam itu, Kandala. Rasanya aku pernah melihatnya. Apa kau pernah berjumpa dengan pemuda itu sebelumnya...?” bisik Ki Sawung ternyata tidak bisa mengingat di mana pernah melihat pemuda itu.
Kandala yang juga seperti pernah berjumpa dengan pemuda berpakaian serba hitam berusaha mengingatnya. Tapi, meskipun seluruh ingatannya dikerahkan, tetap saja ia tidak bisa mengingat dengan baik di mana pernah melihat pemuda itu. Akhirnya Kandala hanya bisa menjawab dengan lemah disertai gelengan kepala perlahan.
“Aku pun tidak dapat mengenalinya, Guru. Meskipun aku yakin pernah melihatnya...,” jawab Kandala sambil menatap wajah pemuda berpakaian serba hitam.
Ki Sawung menghela napas panjang. Meskipun ia tidak ingat di mana dan kapan pernah melihat pemuda itu, tapi ia yakin sosok pemuda berpakaian serba hitam tidak asing baginya. Sementara itu, Sepasang Pedang Iblis telah menghentikan langkah dalam jarak kurang lebih satu tombak dari guru dan murid itu. Kemudian, kedua Pedang Iblis disatukan hingga memperdengarkan suara berdenting cukup nyaring.
“Aaah...?!”
Akibatnya sungguh hebat sekali. Ki Sawung dan Kandala tergetar mundur dengan wajah pucat. Sebab, dari badan pedang yang disatukan itu muncul sinar berkilau yang membuat dada mereka terasa sesak. Agaknya, kekhawatiran yang selama ini dirasakan Ki Sawung akan terwujud. Sepasang Pedang Iblis benar-benar menunjukkan keampuhannya yang berlipat ganda bila telah bersatu. Baru hawanya saja sudah membuat tubuh mereka bergetar. Entah apa jadinya bila senjata itu digunakan untuk menyerang mereka.
“Hati-hati, Kandala. Usahakan untuk tidak selalu memandang sinar yang keluar dari badan pedang mereka. Selain dapat membuyarkan pemusatan pikiran kita, sinar itu juga mengandung kekuatan sihir. Sinarnya mampu membuat tubuh lawan tidak bergerak saat senjata berkelebat hendak merenggut nyawa korbannya...,” bisik Ki Sawung mengingatkan muridnya sebelum mereka menghadapi pertempuran.
Kandala yang menyadari hal itu menganggukkan kepala perlahan. Kemudian, memusatkan pikirannya dengan kekuatan batin agar tidak mudah terpengaruh sihir yang keluar dari tubuh Sepasang Pedang Iblis.
“Haiiit..!”
Sepasang Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar ingin segera menghirup darah mereka berdua. Dibarengi sebuah lengkingan panjang, tubuh keduanya melesat ke depan. Satu menerjang Ki Sawung, sedang yang satunya lagi menggempur Kandala.
Ki Sawung segera memejamkan mata dan mengandalkan indera pendengaran untuk menghadapi serangan lelaki berpakaian serba hitam. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa memainkan jurus ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’ yang merupakan ilmu pedang turun-temurun dan tidak diragukan lagi kehebatannya.
Wuttt! Wuttt..!
Pedang yang tergenggam di tangan Ki Sawung pun bukan senjata sembarangan. Pedang itu merupakan sebuah pusaka ampuh. Meski tidak sehebat Sepasang Pedang Iblis, tapi jarang orang yang memilikinya. Karena senjata itu merupakan lambang kebesaran Perguruan Harimau Sakti. Pedang itu selalu berpindah tangan bila ketua lama wafat atau mengundurkan diri karena sudah terlalu tua. Itu sebabnya, mengapa Ki Sawung tidak ragu untuk memapaki serangan lawan dengan pedangnya. Sebab orang tua itu yakin akan kekuatan pedangnya. Sebentar kemudian, kedua tokoh itu telah bertarung sengit!
Dalam jurus-jurus awal kelihatan Ki Sawung dapat mengimbangi permainan lawan. Karena orang tua itu memiliki ilmu khusus yang telah diyakininya selama bertahun-tahun. Ilmu itu memang dipersiapkan kakek buyutnya bila sewaktu-waktu Sepasang Pedang Iblis jatuh ke tangan orang jahat. Jurus itu adalah gabungan kekuatan lahir dan kekuatan batin. Dan merupakan bagian ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Sayang ilmu itu belum diwariskan Ki Sawung pada Kandala. Sebab menurutnya, murid utamanya itu belum cukup kuat untuk menerima.
“Heaaat..!”
Ketika pertempuran, menginjak jurus kedua puluh, terlihat lawan mulai melakukan tekanan-tekanan berat dengan serangan bertubi-tubi. Seolah Ki Sawung tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan bala- san. Sehingga, orang tua itu mulai terdesak hebat!
Ki Sawung mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan diri dari serangan gencar bagai tak berkesudahan itu. Pedang di tangannya diputar membentuk gulungan sinar yang bergerak turun naik dengan suara mengaung tajam. Meski demikian, tetap saja orang tua itu kecolongan sebuah tendangan lawan saat menangkis tusukan pedang yang mengancam tenggorokan.
Bukkk!
“Aaakh...!” Ki Sawung terpental ke belakang sejauh satu setengah tombak. Tendangan itu keras bukan main, sehingga tubuh lelaki tua itu masih terus bergulingan satu tombak lagi.
“Huakh...!”
Darah segar menyembur keluar ketika Ki Sawung berusaha bangkit dengan bertelekan pedang. Wajah orang tua itu nampak pucat. Tendangan itu serasa membuat isi perutnya rontok!
“Heattt..!”
Pedang Iblis Jantan kembali memekik hendak menghabisi lawan yang sudah di ambang kematian. Senjata di tangannya berkilau mengancam tenggorokan lawan yang kelihatan sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menghindar.
“Yiaaat..!”
Tepat pada saat mata Pedang Iblis Jantan tinggal satu jengkal lebih dari sasaran, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang menggetarkan isi dada. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih yang langsung melontarkan pukulan jarak jauh berhawa dingin menusuk tulang. Dan...
Breshhh...!”
Terdengar letupan keras menggetarkan udara di sekitar tempat itu. Tubuh lelaki berpakaian serba hitam terjajar mundur. Pukulan jarak jauh itu membentur pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sehingga, Ki Sawung luput dari kematian.
“Keparat..!” umpatan itu keluar dari mulut lelaki berpakaian serba hitam yang marah karena serangannya gagal. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah sosok berjubah putih yang berdiri tegak membelakangi tubuh Ki Sawung.
“Kau...?!” desis lelaki berpakaian serba hitam yang kini menyandang julukan Pedang Iblis Jantan. Lelaki muda itu kelihatan agak terkejut dan gentar. Sebab, dirinya pernah bertarung dan nyaris tewas di tangan pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.
“Ya, aku...,” sahut Panji tenang. Pemuda itu diam-diam merasa bersyukur kedatangannya pada saat yang tepat Sedikit saja terlambat, mungkin ia tidak berhasil menyelamatkan nyawa Ketua Perguruan Harimau Sakti.
“Hm.... Kali ini jangan harap kau dapat menundukanku!” geram Pedang Iblis Jantan sambil menyilangkan senjatanya di depan dada. Kemudian diputarnya hingga menimbulkan suara mengaung tajam.
“Haaat..!”
Seiring dengan suara bentakan nyaring, Pedang Iblis Jantan meluruk ke arah Panji dengan serangan yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan!
Wuttt..!
Cepat Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya. Kemudian balas menyerang dengan jurus ‘Ilmu Silat Naga Sakti’. Sebentar kemudian, kedua tokoh muda itu telah saling terjang dengan hebatnya. Sehingga, suasana di arena pertempuran jadi agak gelap. Karena angin pukulan mereka menggugurkan dedaunan dan memecahkan bebatuan. Dapat dibayangkan betapa mengerikan pertarungan maut itu. Hingga Ki Sawung harus menyeret langkah menjauhi arena pertarungan yang membuat dadanya terasa sesak.
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Pedang Iblis Betina dan Kandala, murid andalan Perguruan Harimau Sakti, berlangsung tidak seimbang. Nila yang kekuatan dan kehebatannya semakin meningkat berkat Pedang Iblis Jantan yang digunakannya, mendesak Kandala sejak dari jurus pertama. Hingga, pemuda gagah itu harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri dari setiap incaran ujung pedang lawan yang memang sangat hebat. Berkali-kali pemuda itu melempar tubuhnya bergulingan untuk menyelamatkan selembar nyawanya dari incaran maut Sampai sejauh itu Kandala masih dapat menyelamatkan diri meski dengan sudah payah.
“Haiiit..!”
Untuk yang kesekian kalinya, Nila kembali melancarkan serangan dengan teriakan yang mengguncangkan jantung. Sinar pedangnya yang mengandung kekuatan sihir berkelebat mengancam tenggorokan lawan. Sungguh kasihan pemuda gagah itu. Tenaganya benar-benar dikuras untuk menyelamatkan diri dari kejaran maut!
Tusukan pedang yang meluncur datang laksana sambaran kilat, membuat Kandala harus melempar tubuhnya jauh ke belakang. Kemudian terus bergulingan, dan baru melenting bangkit setelah yakin dirinya berada cukup jauh dari incaran ujung pedang lawan.
Tapi kendati demikian, Nila yang tak ubahnya iblis betina haus darah tidak mau membiarkan lawan sempat menarik napas. Tubuhnya yang ramping padat kembali melesat mengejar lawan. Pedang di tangannya berputaran menimbulkan suara berdengung menyakitkan telinga.
“Heaaah...!”
Pemuda itu memekik sekuat-kuatnya untuk melenyapkan pengaruh yang serasa memecah gendang telinga. Dan, pengerahan tenaga dalam itu membuatnya lengah. Sehingga, Kandala hanya bisa membelalakkan mata saat ujung pedang lawan meluncur semakin deras!
Trang!
Bunga api berpijar disertai suara berdentang nyaring yang menulikan telinga. Rupanya, pada saat yang gawat itu seberkas cahaya putih keperakan datang menyambut luncuran pedang Nila. Akibatnya, baik tubuh gadis cantik berpakaian serba merah maupun pemilik pedang bersinar putih keperakan terpental ke belakang. Kenyataan itu menunjukkan kekuatan mereka berimbang!
“Keparat! Manusia bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan Pedang Iblis Betina...?!” geram Nila yang sudah memperbaiki kedudukannya dari daya dorong yang amat kuat itu. Sepasang mata gadis cantik itu tampak liar dengan nafsu membunuh yang mengerikan.
“Menyingkirlah, Kisanak. Biar aku yang menghadapi iblis betina ini...,” ujar sosok berpakaian serba hijau pada Kandala yang hanya bisa menganggukkan kepala dan menggeser tubuhnya ke tepi arena.
Rupanya pemuda itu masih belum bisa mengeluarkan suara. Hatinya masih bergetar mengingat dirinya hampir tewas oleh ujung Pedang Iblis Jantan di tangan gadis cantik berpakaian serba merah itu.
Sosok ramping berpakaian serba hijau itu adalah Kenanga. Seperti halnya Panji, kedatangan gadis itu memang sangat tepat waktunya. Sehingga, Kandala lolos dari ancaman maut. Kedua wanita yang sama-sama cantik dan mempesona itu saling berhadapan dalam jarak dua tombak dengan sorot mata tajam. Meskipun akhirnya Kenanga harus mengalah dan membuang pandangannya ke arah lain.
Dara jelita itu tak sanggup menentang pandang mata Nila yang demikian tajam menusuk jantung. Bahkan, Kenanga merasakan ada semacam kengerian ketika menentang pandang mata yang tak ubahnya mata iblis itu.
“Gila! Perempuan itu seperti bukan manusia! Matanya demikian tajam hingga membuat jantungku berdebar...,” desis Kenanga tanpa mengurangi kewaspadaannya. Gadis itu sadar lawan yang kali ini dihadapinya tidak bisa dipandang remeh. Terlebih dengan adanya Pedang Iblis dalam genggaman wanita itu. Maka, dara jelita itu akan bersikap lebih hati-hati untuk menghadapi lawan yang satu ini.
“Hmh...!” Nila mendengus kasar bagai banteng luka. Pedang Iblis Jantan yang tergenggam di tangannya diputar menyelimuti sekujur tubuhnya. Seolah gadis cantik itu hendak membentengi dirinya dengan kekuatan yang bersemayam di dalam badan pedang itu.
Melihat lawan sudah membuka jurus, Kenanga menggeser langkahnya ke kanan beberapa tindak. Pedang Sinar Rembulan yang tergenggam erat di tangannya membuat hati dara jelita itu bertambah mantap. Gadis itu yakin pedang di tangannya tidak kalah ampuh dengan Pedang Iblis Jantan. Hanya Pedang Sinar Rembulan tidak memiliki kekuatan jahat di dalamnya. Meski demikian, kekuatannya tidak diragukan lagi.
“Heaat..!”
Nila langsung membuka serangan dengan teriakan melengking tinggi yang menggetarkan tempat itu. Disusul lesatan tubuhnya yang cepat laksana sambaran kilat Pedang Iblis Jantan di tangan kanannya bergerak bagai seekor ular yang meliuk-liuk, dengan pendaran sinar yang membuat dada Kenanga berdebar tegang dan gelisah..
“Hm...” Untuk melenyapkan keresahan di dalam hatinya, Kenanga memutar pedangnya dengan sekuat tenaga. Sehingga, pancaran sinar putih keperakan bergulung- gulung menyelimuti tubuh dara jelita itu. Kemudian, langsung bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan menyambut serangan pedang lawan!
Trang! Trang!
Terdengar benturan keras berturut-turut ketika senjata mereka bertemu di udara. Percikan bunga api menandai kerasnya benturan yang terjadi. Bahkan, tubuh kedua gadis itu terdorong ke belakang sejauh satu tombak.
“Haaat..!”
“Hiaaat..!”
Kembali keduanya saling gempur dengan menggunakan jurus-jurus andalan yang sama cepat dan hebatnya. Sehingga, pertarungan berlangsung semakin seru dan mendebarkan.
Pada saat yang bersamaan, Panji tengah berusaha keras untuk mengimbangi permainan lawan. Lelaki berpakaian serba hitam yang berjuluk Pedang Iblis Betina tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk menarik napas. Senjata maut di tangannya selalu mengarah ke bagian-bagian terlemah di tubuh Panji. Terlebih tenggorokan pemuda itu yang selalu menjadi incaran utama. Memang sudah menjadi ciri pemegang Sepasang Pedang Iblis. Seolah senjata keramat berhawa jahat itu hendak menghirup darah korbannya melalui urat besar di tenggorokan.
Meskipun telah menggunakan ilmu ‘Silat Naga Sakti’ ternyata Pendekar Naga Putih masih kerepotan mengatasi serangan lawan. Sehingga, pemuda itu lebih banyak menghindar daripada membalas serangan lawan. Akibatnya, gerakan itu membuatnya terdesak.
“Heaaat..!”
Untuk kesekian kalinya dalam jurus yang kesembilan puluh, si Pedang Iblis Betina kembali mengeluarkan pekikan yang merontokkan jantung. Pedang di tangannya bergulung-gulung seolah hendak menekan gerak langkah Panji. Sehingga, pendekar muda itu harus mengerahkan seluruh kelincahan dan kekuatannya untuk menyelamatkan diri.
Crakkk!
Sebatang pohon sepelukan orang dewasa yang berada di sebelah kanan Panji langsung putus terpapas Pedang Iblis Betina. Sedangkan Panji sudah melesat ke udara sambil melepaskan sebuah tendangan yang mengancam punggung lawan.
Bukkk!
Meskipun tendangan itu tidak terlalu kuat, namun sempat membuat tubuh lawan terjerembab hampir mencium tanah. Untunglah kuda-kuda Pedang Iblis Betina cukup kokoh, sehingga tokoh sesat itu dapat berbalik dan menyabetkan pedangnya dengan gerakan berputar ke belakang.
Plakkk!
Karena tubuhnya masih berada di udara, Pendekar Naga Putih tidak mungkin mengelakkan serangan maut itu. Maka tangannya segera digerakkan untuk menepis telapak tangan lawan. Kemudian tubuhnya berputaran dan meluncur turun dengan manis.
“Grrrrg...!”
Pedang Iblis Betina kelihatan semakin murka ketika merasakan tepisan tangan lawan yang sempat membuat serangannya melenceng dari sasaran. Sepasang mata lelaki berpakaian serba hitam itu menyorot tajam dengan nafsu membunuh yang menggelegak. Jelas, ia sangat penasaran melihat keuletan dan kehebatan Pendekar Naga Putih.
Nini Karundeng yang menyaksikan pertarungan itu dari tempat yang agak tersembunyi jadi tidak sabar. Bahkan, kekhawatirannya timbul ketika melihat kehebatan Panji dan Kenanga. Maka, segera diperintahkannya Sepasang Pedang Iblis untuk bersatu melalui ilmu ‘Mengirim Suara dari Jauh’.
Nila yang mendapat bisikan dari gurunya baru sadar akan hal itu. Maka, serangannya makin diperhebat hingga memaksa Kenanga harus bermain mundur.
“Yiaaah...!”
Ketika Kenanga melompat jauh ke belakang untuk menghindari tusukan pedang lawan, Nila melejit berjungkir balik di udara, dan mendarat di arena pertarungan Pendekar Naga Putih yang tengah berhadapan dengan Pedang Iblis Betina. Begitu memasuki arena, gadis itu langsung melancarkan serangan ke arah Pendekar Naga Putih. Sehingga, pemuda itu terkejut dan melompat ke belakang menghindari serangan gelap itu.
Lelaki berpakaian serba hitam rupanya sudah mendapat bisikan Nini Karundeng. Terbukti, kakinya langsung melangkah mundur mengikuti gerak langkah pasangannya. Kemudian, kedua pedang mereka dibenturkan.
“Aaah...?!” Panji terpekik kaget ketika benturan Sepasang Pe- dang Iblis terasa bagai ledakan petir. Bahkan pancaran sinar pedang itu membuatnya tidak bisa melihat mereka, kecuali pancaran sinar berhawa aneh yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Ada rasa kengerian menyergap perasaan pendekar muda itu hingga Panji terkejut!
“Celaka! Rupanya, bila sepasang senjata itu bersatu, kehebatan dan pengaruh yang ditimbulkannya semakin mengerikan! Entah bagaimana aku harus melumpuhkannya...?” desis Panji dengan dada berdebar tegang.
Melihat kekasihnya seperti terpengaruh oleh kekuatan jahat Sepasang Pedang Iblis, Kenanga menjadi cemas. Cepat gadis itu melesat menghampari, dan meluncur turun di samping Panji.
“Kakang...,” panggil Kenanga seraya menyentuh tubuh kekasihnya. Tampaknya, dara jelita itu khawatir Panji akan kehilangan kesadarannya karena pengaruh sihir Sepasang Pedang Iblis.
“Kenanga...,” desis Panji dengan suara kering, membuat dara jelita itu terkejut. Kenanga menangkap ada nada kegentaran dalam suara kekasihnya.
“Kau..., merasa gentar menghadapi mereka, Kakang...?” tanya dara jelita itu.
“Tidak, Kenanga. Biarpun harus mati di tangan mereka, aku tidak akan pernah gentar. Tapi, perasaan itu muncul begitu saja tanpa dapat ku cegah. Perasaan ini timbul karena pengaruh Sepasang Pedang Iblis yang memiliki kekuatan aneh...,” sahut Panji yang membuat Kenanga mengangguk maklum. Gadis itu pun merasakan hal yang sama saat berhadapan dan menatap sinar pedang gadis berpakaian serba merah.
“Aku pun sempat merasakannya, Kakang. Pedang di tangan mereka benar-benar luar biasa, sanggup membangkitkan rasa gentar tanpa kita mampu mencegahnya...,” gumam Kenanga membuat Panji semakin yakin perasaan itu muncul karena Sepasang Pedang Iblis yang membangkitkannya. Tentu saja perasaan itu dapat memecah permusuhan pikiran lawan. Sehingga, serangan-serangan lawan jadi kacau dan tak terarah.
“Kakang, Pedang Pusaka Naga Langit..,” tiba-tiba Kenanga mengingatkan kekasihnya akan pedang mukjizat yang kini menyatu dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Bahkan, berubah menjadi suatu kekuatan hebat berhawa panas membakar.
“Ah. Kau benar. Kenanga. Mungkin hanya pusaka mukjizat itu yang sanggup meredam kekuatan iblis dalam tubuh Sepasang Pedang Iblis...,” ujar Panji baru teringat akan pusaka yang dimilikinya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera menyatukan kekuatan batinnya dengan Pedang Naga Langit. Sesaat kemudian, Panji mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi diiringi bentakan yang mengguntur!
“Pedang Naga Langit..!”
Hebat sekali akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda itu. Pepohonan berderak ribut. Angin keras bertiup merontokkan dedaunan. Dan, ledakan petir sambung-menyambung di angkasa, bersamaan dengan terciptanya sebilah pedang yang berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pedang-pedang biasa. Cahaya kuning keemasan berpendar menyilaukan mata, dan hawa panas yang menyengat membuat dedaunan mendadak layu!
Kenanga sendiri jatuh terduduk lemas akibat bentakan dahsyat itu. Untunglah dara jelita itu memiliki tenaga dalam kuat, dan telah memperoleh dasar-dasar ilmu ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang diajarkan kekasihnya. Sehingga, bentakan itu hanya membuat kedua lututnya lemas tanpa mempengaruhi isi dadanya.
Nini Karundeng kelihatan pucat. Tubuhnya terhuyung mundur sejauh setengah tombak. Nenek itu tampak terkejut sekali ketika mendengar bentakan mengguntur Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya membelalak hampir melompat keluar melihat sebilah pedang bersinar kuning keemasan di tangan kanan pendekar muda itu.
“Gila! Apakah pemuda setan itu memiliki kekuatan sihir tinggi? Kalau tidak, bagaimana ia bisa menciptakan sebilah pedang yang demikian hebatnya...?” desis Nini Karundeng semakin gentar pada Pendekar Naga Putih. Ternyata pemuda itu memiliki kepandaian yang sukar diukur. Bahkan, banyak memiliki ilmu-ilmu langka yang tidak ada duanya.
Demikian pula dengan Sepasang Pedang Iblis. Keduanya terjajar mundur meski hanya dua langkah. Dada mereka sempat terguncang oleh bentakan mengguntur itu. Kendati demikian, kegarangan di wajah mereka tidak juga pudar. Sosok Sepasang Pedang Iblis tetap sanggup membuat nyali lawan ciut!
Setelah Pedang Naga Langit tergenggam di tangannya, perlahan-lahan Panji mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Rasa gentar yang semula menguasai hatinya perlahan lenyap. Pemuda itu semakin yakin akan dapat mengalahkan Sepasang Pedang Iblis yang memang sangat tangguh dan berbahaya.
“Hm...” Disertai sebuah geraman lirih, Pendekar Naga Putih memutar pedang di tangannya dengan sepenuh tenaga. Deruan angin keras berputaran membentuk gelombang sinar kuning keemasan yang bergulung-gulung dengan hebatnya.
“Heaaa..!”
Sepasang Pedang Iblis rupanya tidak terpengaruh oleh kemunculan Pedang Naga Langit. Mereka menyerbu dengan teriakan yang memekakkan telinga.
Bettt! Bettt!
Sepasang Pedang Iblis yang memancarkan hawa gaib itu tidak lagi dirasakan Panji. Agaknya, pancaran cahaya gaib Pedang Naga Langit mampu meredam kekuatan sihir Pedang Iblis. Sehingga, ketika sepasang pedang lawan tiba, pemuda itu hanya menggeser tubuhnya ke samping. Kemudian balas menyerang dengan sambaran pedangnya!
Bettt..!
Bukan main terkejutnya Sepasang Pedang Iblis ketika merasakan serangkum angin panas mengiringi sambaran pedang Pendekar Naga Putih. Cepat keduanya melompat mundur.
“Heaaa...!”
Panji tidak menghentikan serangannya sampai di situ. Pemuda itu menerjang maju disertai sambaran pedang yang mengaung tajam. Sehingga, kedua lawannya terpaksa mengangkat senjata untuk memapak sambaran pedangnya. Dan....
Trakkk!
“Aaakh...!”
Sepasang Pedang Iblis memekik kaget melihat senjata mereka melekat ketat tidak bisa ditarik pulang. Bahkan, keduanya merasakan kekuatan menghisap yang sangat kuat dari pedang lawan.
Pendekar Naga Putih sendiri sempat kaget melihat pedangnya melekat erat dengan Sepasang Pedang Iblis. Ketika merasakan ada daya hisap yang luar biasa dari tubuh pedangnya, Panji pun mengerti kekuatan jahat yang ada dalam Sepasang Pedang Iblis tengah dimusnahkan Pedang Naga Langit. Sampai akhirnya....
Krakkkh..!
“Aaa...!
Bersamaan dengan hancurnya Sepasang Pedang Iblis menjadi abu, kedua majikannya meraung setinggi langit. Kemudian terjerembab ke belakang seraya memuntahkan darah segar. Setelah berkelojotan sesaat, keduanya pun menghembuskan napas terakhir.
Ki Sawung, Kandala, dan Kenanga baru melangkah mendekat setelah melihat Panji berdiri tegak di dekat mayat lawan-lawannya. Mereka menarik napas lega ketika mengetahui Sepasang Pedang Iblis telah musnah bersama majikannya yang tewas.
“Ahhh...?! Aku ingat sekarang, Guru!” seru Kandala membuat Ki Sawung, Kenanga, dan Panji menoleh kearahnya, “Pemuda ini adalah Sarpala yang bertugas membersihkan bagian dalam bangunan induk!”
Ki Sawung yang memang jarang bertemu muka dengan murid-murid dan pembantunya, teringat samar-samar pada pemuda bertubuh tegap yang menjadi pembantu di perguruannya. Rupanya, pemuda itu masuk ke dalam perguruannya dengan suatu maksud jahat. Terbayang dalam ingatan Ki Sawung, saat ia menemukan Sarpala yang dalam keadaan terluka. Lelaki tua itu menolongnya dengan mempekerjakan pemuda itu di perguruannya. Ternyata semua itu hanya akal licik Sarpala, yang kemungkinan besar murid Sepasang Pedang Iblis terdahulu, semasa kakek dari kakek buyutnya. Tapi kini semua itu sudah berakhir, dan ia merasa lega.
Guru dan murid itu tampak tercenung menatap wajah kedua sosok mayat yang menggeletak di depannya. Sehingga, mereka tidak sadar Pendekar Naga Putih dan kekasihnya telah pergi meninggalkan tempat itu. Setelah pasangan pendekar muda itu lenyap entah ke mana, baru mereka mencari-cari.
“Hm Pendekar Naga Putih memang seorang tokoh berhati mulia yang patut dijadikan contoh. Pemuda itu tidak mengharapkan balasan di balik pertolongannya, meskipun hanya ucapan terima kasih...,” gumam Ki Sawung semakin bertambah kagum dengan pendekar muda yang perkasa itu.
“Ke mana perginya nenek tua yang bernama Nini Karundeng, Guru?” tanya Kandala teringat akan nenek bertubuh jangkung yang tidak kelihatan batang hidungnya.
“Hm.... Kurasa perempuan tua licik itu telah melarikan diri setelah melihat Sepasang Pedang Iblis tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Aku yakin nenek itu tidak akan berani muncul lagi. Sebab, Sepasang Pedang Iblis telah musnah menjadi debu. Sudahlah, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini...,” ajak Ki Sawung segera melangkah meninggalkan tempat itu diikuti Kandala di sampingnya.
Di sebuah bangunan perguruan yang dikelilingi pagar terbuat dari kayu bulat terlihat kesibukan. Beberapa murid perguruan tengah berlatih dengan bertelanjang dada. Butir-butir keringat mengalir turun membasahi tubuh mereka.
“Sarpala, kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu...?” tegur seorang lelaki bertubuh gagah pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh sembilan tahun, yang memegang sapu pada tangan kanannya. Pemuda itu tengah berdiri menyaksikan murid-murid yang sedang berlatih. Sehingga tidak menyadari ada orang yang menghampirinya.
“Guru...,” ucap pemuda itu segera membungkukkan tubuh dengan sikap hormat.
“Hm... Apa yang kau pikirkan, Sarpala? Hingga aku harus menegur mu berkali-kali. Apa kau tidak mendengar pertanyaanku?” tanya lelaki bertubuh gagah seraya menatap wajah Sarpala dengan penuh selidik.
“Ampun, Guru. Aku..., aku...,” Sarpala mendadak gugup ketika menyadari kesalahannya. Apalagi, nada teguran itu jelas menyiratkan ketidaksenangan. Tentu saja Sarpala makin merasa bersalah.
“Sudahlah! Lanjutkan pekerjaanmu!” lelaki bertubuh gagah menyela tak sabar.
“Baik..., baik, Guru...,” sahut Sarpala kemudian meninggalkan tempat itu untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“Hhh...,” lelaki gagah itu menghela napas panjang sambil menggeleng-geleng kepala. Setelah bayangan Sarpala lenyap, perhatiannya kembali tertuju ke arah murid-murid yang tengah berlatih.
Ki Baginta, lelaki bertubuh gagah itu bukanlah tokoh rendahan dalam Perguruan Harimau Sakti. Ia merupakan orang ketiga setelah guru dan kakak seperguruannya. Tapi, semua murid Perguruan Harimau Sakti memanggil tokoh-tokoh perguruannya dengan panggilan guru. Kecuali, ketua perguruan yang dipanggil guru besar.
Sementara itu, Sarpala yang bertugas menjaga kebersihan bagian dalam perguruan telah melanjutkan tugasnya kembali. Pemuda bertubuh tegap itu tidak lagi mempedulikan keadaan sekelilingnya. Teguran Ki Baginta membuat pemuda itu semakin tekun menjalankan tugasnya. Sehingga, tanpa sadar Sarpala memasuki ruangan perpustakaan. Seolah-olah tidak menyadari kesalahannya karena, ruangan itu tidak boleh dimasuki murid-murid perguruan termasuk dirinya, Sarpala terus membersihkan ruangan itu.
“Sarpala...!” tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Sarpala hampir jatuh terduduk. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat seraut wajah di belakangnya.
“Ada apa, Ki...?” tanya pemuda itu seperti orang bodoh, membuat wajah lelaki tua yang berdiri di ambang pintu makin bertambah gelap.
“Hm.... Kau sengaja berpura-pura bodoh atau memang ingin mempermainkan aku, Sarpala...?” geram lelaki tua itu seraya melangkah maju mendekati Sarpala. Jelas, terlihat kemarahan tersirat pada sepasang matanya.
Sarpala tidak menjawab. Matanya menatap wajah orang tua itu dengan pandangan tak mengerti. Rupanya, pemuda itu belum menyadari kesalahannya.
“Hm...,” Ki Kumbaranta, penjaga ruang perpustakaan Perguruan Harimau Sakti menggeram jengkel, “Sudah berapa lama kau bekerja di tempat ini?” tanya lelaki tua itu membuat Sarpala merasa heran. Itu terlihat dari pancaran matanya.
“Setengah tahun, Ki...,” jawab Sarpala tidak mengetahui ke mana arah pertanyaan Ki Kumbaranta.
“Sudah cukup lama untuk mengetahui semua peraturan di perguruan ini, bukan?” desak Ki Kumbaranta.
“I…, ya, Ki ”
“Kau tahu tempat apa yang kau masuki ini?” tanya Ki Kumbaranta dengan pandangan yang semakin tajam, membuat dada Sarpala bergetar dan pemuda itu menatap berkeliling.
“Ahhh...?!” Sarpala berseru dengan wajah pucat. Rupanya, pemuda itu baru menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda itu langsung menjatuhkan tubuhnya berlutut di depan Ki Kumbaranta.
“Ampun, Ki. Aku sungguh tidak sengaja...,” ucap Sarpala setengah merintih.
“Hm.... Kau tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan guru besar kita bila mengetahui perbuatanmu ini...?” ujar Ki Kumbaranta membuat tubuh Sarpala semakin menggigil ketakutan, “Guru besar kita melarang keras setiap murid-murid dan penghuni perguruan masuk ke dalam ruangan perpustakaan, kecuali aku yang diberi wewenang untuk menjaganya...“
“Ampun, Ki. Aku mengaku bersalah. Tapi..., aku benar-benar tidak sengaja melakukannya...,” rintih Sarpala dengan suara gemetar ketakutan. Sebab, Ki Sawung yang menjadi Ketua Perguruan Harimau Sakti, akan menjatuhi hukuman bagi siapa saja yang melanggar peraturan itu. Itu sebabnya, Sarpala ketakutan setengah mati.
Ki Kumbaranta terdiam beberapa saat seraya memperhatikan tubuh menggigil di dekat kakinya. Rupanya, hati orang tua berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tergerak melihat wajah Sarpala yang pucat bagai mayat Setelah menghela napas panjang, terdengar Ki Kumbaranta berkata perlahan.
“Kali ini kuampuni perbuatanmu, dan tidak akan melaporkannya pada guru besar. Tapi ingat! Sekali lagi kau memasuki ruangan ini, kau akan digantung di halaman depan, mengerti...,” ujar Ki Kumbaranta.
“Terima kasih, Ki. aku bersumpah tidak akan mengulangi lagi...,” sahut Sarpala cepat. Hatinya merasa lega bukan main ketika mendengar ucapan Ki Kumbaranta. Berkali-kali pemuda itu membenturkan keningnya ke lantai sebagai ungkapan kelegaan hatinya.
“Pergilah, selesaikan tugasmu di tempat lain...,” ujar Ki Kumbaranta melambaikan tangan pada pemuda itu yang kemudian setengah berlari meninggalkan ruangan perpustakaan.
Ki Kumbaranta hanya menggeleng-geleng menatap kepergian Sarpala. Kemudian, memeriksa seluruh kitab-kitab yang berjajar rapi di ruangan itu. Setelah memastikan kitab-kitab itu masih utuh tanpa ada yang lenyap atau berpindah tempat, Ki Kumbaranta menutup pintu ruang perpustakaan dan beranjak pergi.
********************
Malam sudah lama jatuh. Kegelapan yang menyelimuti permukaan bumi, terkuak oleh bias sinar rembulan yang malam itu muncul penuh. Suara binatang-binatang malam terdengar bersahutan menyemarak- kan suasana malam. Dalam keremangan cahaya rembulan tampak sesosok bayangan hitam berkelebat cepat mendekati bangunan Perguruan Harimau Sakti. Melihat caranya berlari dapat dipastikan ilmu lari cepat sosok itu cukup tinggi.
Dengan melalui bagian samping bangunan, sosok berpakaian hitam melejit ke atas. Bagai seekor burung besar, tubuhnya melayang dan lenyap di sebatang pohon yang tumbuh dekat pagar. Kemudian, meluncur turun setelah memastikan keadaan di sekitar tempat itu aman.
“Hup!”
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, sosok berpakaian hitam itu berjumpalitan beberapa kali, dan menyelinap di balik tembok bagian dalam bangunan induk. Sepasang matanya bergerak liar menembus kegelapan. Sesaat kemudian, sosok itu kembali bergerak menuju sebuah bangunan yang lebih kecil dari bangunan induk.
Seperti sudah hafal akan letak tempat yang ditujunya, sosok berpakaian hitam langsung mendekati sebuah pintu yang di atasnya bertuliskan ‘Ruang Perpustakaan’. Dengan sekali menekankan telapak tangannya pada daun pintu, terdengar suara derit perlahan. Dari sini kembali terlihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh sosok terbalut pakaian serba hitam itu.
Sebab, pintu ruang perpustakaan dapat dibukanya dengan mudah. Padahal, sebelumnya pintu itu terkunci rapat! Setelah menyelinap masuk dan menutup pintu, sosok berpakaian hitam itu menggeledah setiap sudut ruangan. Telapak tangannya bergerak menekan dinding batu tanpa mengganggu rak-rak buku yang berjajar rapi.
“Hm...,” sosok bayangan hitam bergumam perlahan. Kemudian, mengalihkan perhatiannya ke rak-rak buku di sekeliling ruangan, Kelihatannya ia tidak menemukan apa yang dicarinya pada setiap sisi dinding batu ruangan itu.
“Setan! Di mana manusia keparat itu menyembunyikannya? Padahal, menurut guruku benda pusaka itu berada di dalam ruangan ini,” gumam sosok berpakaian hitam itu seraya menyapu seluruh ruangan dengan pandang matanya yang tajam.
Cukup lama sosok bayangan hitam berdiri mematung di tengah ruangan. Kemudian melangkah menuju sebuah rak buku yang berada di samping kanan. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam, ditekannya bagian tepi rak. Maka....
Grrrg!
“Nah?!” Sosok bayangan hitam tersenyum tipis dengan mata berbinar. Rak buku yang ditekannya bergerak perlahan seolah-olah masuk ke dalam dinding. Sedangkan bagian tepi lainnya bergerak keluar. Menunjukkan di belakang rak terdapat sebuah ruang kosong yang tersembunyi.
“Heh heh heh.... Rupanya usahaku tidak sia-sia,” desis sosok berpakaian serba hitam, melihat di depannya menganga sebuah ruangan gelap. Tapi, baru saja kaki kanannya melewati ambang pintu ruangan rahasia itu, tiba-tiba....
Wuuut! Wuuut!
“Haiiit..!”
Terkejut bukan main hati sosok berpakaian hitam. Untunglah ia telah waspada sejak memasuki tempat itu. Sehingga, ketika telinganya menangkap suara berdesing tajam, tubuhnya langsung melenting ke udara. Akibatnya....
Cappp! Cappp!
“Hhh...,” terdengar helaan napas lega sosok itu.Dua batang anak panah yang mengancam tubuhnya meluncur lewat, dan tertancap pada tiang dibelakangnya. “Hm.... Anak panah itu pasti telah dilumuri racun yang mematikan. Untung akuselalu waspada. Kalau tidak, mungkin aku telah tewas...,” desisnya kembali melangkah masuk.
Sosok berpakaian hitam kelihatan sangat tegang saat memasuki ruang rahasia. Nampaknya ia telah siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Urat-urat tubuhnya mulai mengendur ketika tiba di tengah ruangan ternyata bahaya tidak muncul lagi.
“Aaah...?!” Tiba-tiba sosok itu berseru perlahan. Di depannya tampak sebuah benda bersinar menyilaukan mata.
“Pedang Iblis. ?!” desisnya bergetar. Agaknya, sosok berpakaian hitam itu tengah dilanda kegembiraan yang sangat. Terlihat langkahnya bergegas mendekati sebilah pedang sepanjang lengan yang tertancap di sebuah batu besar.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, sosok itu mengulurkan tangannya mencabut pedang bersinar menyilaukan itu. Wajah dan tubuhnya tampak bergetar saat pedang diacungkan di dekat wajahnya. Seolah-olah ada suatu kekuatan aneh merasuk ke dalam tubuhnya melalui pedang di tangannya. Dan, sosok berpakaian hitam menyadari apa yang terjadi pada dirinya.
Setelah puas menatap Pedang Iblis di tangannya, sosok itu pun mengalihkan perhatiannya. Dan, sepasang matanya kembali bercahaya ketika menemukan warangka pedang tergeletak di bawah batu. Cepat Pedang Iblis dimasukkan ke dalam warangkanya.
“Hm.... Menurut guru, Pedang Iblis ada sepasang? Tapi, aku tidak melihatnya di ruangan ini. Ki Sawung hanya memiliki sebuah? Kalau begitu, ke mana yang satunya lagi...?” gumam sosok berpakaian hitam yang rupanya cukup mengetahui sejarah Pedang Iblis.
Tapi, karena di dalam ruangan ia tidak menemukan pedang yang satunya lagi, sosok berpakaian hitam yang bertubuh tegap itu pun bermaksud meninggalkan ruangan. Baru saja ia menggeser rak yang merupakan pintu kamar rahasia, terdengar suara orang dari luar ruangan perpustakaan. Cepat ia menyelinap di balik rak itu.
Krettt..!
“Hei, mengapa pintu ruangan ini tidak terkunci? Apakah Ki Kumbaranta lupa menguncinya?” terdengar suara agak berat bernada terkejut. Agaknya itu suara peronda yang tengah berkeliling.
“Tidak mungkin Ki Kumbaranta lupa menguncinya. Sebab, ruangan ini merupakan tempat terlarang. Aku rasa ada yang tidak beres di dalam...,” timpal suara kedua dengan agak berbisik.
“Maksudmu..., pencuri...?” ujar suara pertama tak percaya, “Hm Hanya pencuri gila yang berani memasuki kandang macan...”
“Tidak perlu berdebat. Sebaiknya kita periksa ruangan perpustakaan ini untuk memastikannya...,” kata suara ketiga menengahi ucapan kedua orang kawannya yang kelihatannya tidak akan selesai bila tidak dilerai.
“Hm.... Bukankah ruangan ini terlarang bagi kita? Bagaimana jika guru besar tahu? Bisa-bisa kita yang jadi tertuduh. Dan..., hukuman gantung menanti kita...,” bantah orang pertama. Agaknya, lelaki itu merasa takut akan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki ruangan perpustakaan.
“Jangan lupa. Kita bertiga pun akan mendapat hukuman serupa bila ada pencuri yang benar-benar datang dan sekarang tengah menggeledah seisi ruangan...,” desak orang ketiga dengan nada agak tinggi.
“Hm.... Benar juga. Sebaiknya memang kita periksa saja ruangan ini. Kemudian segera melaporkannya pada Ki Kumbaranta...,” ujar suara pertama mengambil keputusan. Setelah menemukan kata sepakat tangannya terulur mendorong daun pintu.
Tapi, ketika pintu sudah terkuak seluruhnya, mendadak sosok bayangan hitam meluncur ke arah mereka dengan pedang bersinar di tangannya!
Bwettt...!
“Aaah...?!” Ketiga peronda itu terpekik kaget. Mereka seperti tersihir oleh pancaran sinar yang keluar dari pedang lawan. Akibatnya....
Brettt! Brettt!
“Aaa...!” Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pe- dang Iblis di tangan sosok berpakaian serba hitam menghirup darah korbannya yang pertama.
“Ha ha ha...! Benar-benar sebuah pedang yang sangat luar biasa! Sekali keluar dari warangkanya, tiga nyawa langsung melayang ke akhirat..!”
Sosok berpakaian hitam sepertinya lupa di mana saat itu ia berada. Sehingga, tawanya tanpa sadar berkumandang mengiringi jerit kematian ketiga peronda. Akibatnya, tentu dapat ditebak. Sebentar saja, terdengar suara langkah-langkah orang mendatangi tempat itu.
“Ada pembunuh...!”
Seorang murid perguruan yang melihat tiga sosok tubuh bersimbah darah, tergeletak di dekat kaki orang berpakaian serba hitam langsung berteriak. Kemudian, bersama belasan orang kawannya segera mengepung sosok terbalut pakaian serba hitam, yang berdiri tegak dengan sinar mata mencorong penuh kebuasan.
“Aaah...?!”
Belasan murid Perguruan Harimau Sakti yang mengepung sosok berpakaian serba hitam langsung bergerak mundur dengan wajah tegang. Rupanya, mereka merasa gentar ketika sepasang mata yang mencorong buas itu merayapi wajah-wajah mereka. Bahkan, beberapa orang di antaranya mengusap leher bagian belakang. Karena bulu kuduk mereka mendadak berdiri ketika bentrok dengan sinar mata yang mengerikan itu.
“Pembunuh laknat! Apa yang kau cari di tempat ini? Mengapa kau bunuh ketiga kawan kami...?” salah seorang murid yang berusaha menekan rasa takutnya mencoba menegur. Meski demikian, ucapannya tetap menyiratkan kegentaran hatinya.
“Hm.... Kalian ingin menyusul mereka rupanya...?” desis sosok berpakaian serba hitam sambil mengeluarkan pedang di pinggangnya. Kembali terdengar seruan-seruan kaget saat Pedang Iblis keluar dari sarungnya. Karena, sinar yang memancar dari badan pedang mengandung kekuatan aneh yang membuat lawan seperti terkena sihir.
“Kau..., siapa...? Apa..., apa yang kau cari di tempat ini..?” meskipun dengan suara gemetar, murid pemberani bertubuh sedang yang tadi menegur kembali mengajukan pertanyaan. Tangannya yang juga gemetar meraba gagang pedang di pinggangnya.
“Hm.... Panggil aku sebagai si Pedang Iblis yang akan mengirim kalian ke neraka...,” desis sosok berpakaian serba hitam datar dan dingin.
“Keparat!” terdengar makian salah seorang murid Perguruan Harimau Sakti yang mengepung sosok berpakaian serba hitam, “Ayo, tangkap dan bunuh manusia jahat itu...! Heaaat..!”
Tanpa menunggu kawan-kawannya yang lain, orang itu pun langsung melompat disertai kelebatan pedangnya yang menimbulkan suara berdesing!
“Yeaaah...!” Sosok berpakaian serba hitam yang mengaku si Pedang Iblis membentak keras. Pedang bersinar menggetarkan di tangannya segera berkelebat membelah kepekatan malam. Dan....
Brettt!
“Akh...!” Sekali bergerak saja, tubuh murid Perguruan Harimau Sakti itu terpental balik. Darah segar menyembur dari luka menganga di tenggorokannya.
Kejadian yang hanya sekejap mata itu, membuat murid-murid lainnya terkejut setengah mati. Rasa gentar semakin kuat membelenggu hati mereka. Sehingga, tak satu pun yang berani bergerak. Mereka seperti patung-patung bisu.
“Haaat..!” Si Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar untuk menambah jumlah korbannya. Saat itu juga tubuhnya bergerak diiringi kelebatan sinar pedangnya yang mengandung hawa maut!
Kembali terdengar jerit kematian susul-menyusul. Empat orang murid menggelepar bagai ayam disembelih. Darah segar menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Pedang Iblis benar-benar haus darah!
“Haaat..!”
Saat Pedang Iblis kembali datang untuk mengambil korban berikutnya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring, kemudian disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang langsung memapaki serangan Pedang Iblis!
Plakkk!
Benturan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu, sempat menyelewengkan arah sambaran Pedang Iblis. Sehingga, sembilan murid Perguruan Harimau Sakti lolos dari kematian.
“Hmh...?!” Si Pedang Iblis mendengus tak senang. Sepasang matanya menyorot tajam, menatap wajah lelaki tua bertubuh gagah yang tadi menggagalkan serangannya.
Sosok orang tua gagah yang ternyata Ki Kumbaranta itu kelihatan terkejut ketika merasakan kekuatan tenaga dalam sosok berpakaian serba hitam. Terlebih lagi ketika melihat dan mengenali pedang berhawa maut di tangan lawan.
“Kau..., mencuri Pedang Iblis...?!” desis Ki Kumbaranta sambil bergerak mundur setelah mengetahui senjata yang tergenggam di tangan sosok berpakaian serba hitam. Jelas, terlihat sinar kegentaran membayang di mata Ki Kumbaranta. Kelihatannya, orang tua itu telah mengetahui kedahsyatan Pedang Iblis.
“Heh heh heh...! Kau rupanya mengenali senjata maut ini, Orang Tua. Kalau begitu, kau pun pasti tahu di mana pedang yang satunya lagi. Ayo, tunjukkan padaku...!” ujar sosok berpakaian serba hitam terkekeh parau. Sikapnya berubah liar dan penuh nafsu membunuh.
“Pencuri laknat...!” geram Ki Kumbaranta melupakan kegentaran hatinya. Sebab, Pedang Iblis yang dicuri sosok berpakaian serba hitam itu adalah tanggung jawabnya. Jika gagal merebut benda keramat itu, sudah pasti Ki Sawung akan menjatuhkan hukuman mati padanya. Untuk itu, Ki Kumbaranta harus bisa merebut Pedang Iblis dengan taruhan nyawanya!
DUA
“Haaat...!”
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Kumbaranta segera menerjang dengan sambaran pedangnya. Dalam gebrakan pertama lelaki tua itu langsung menggunakan jurus pedang andalan perguruannya, yang bernama ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Ilmu pedang yang diciptakan pendiri Perguruan Harimau Sakti ternyata tidak bisa dianggap enteng. Selain gerakannya sukar ditebak, benteng pertahanan ilmu pedang itu pun sangat kokoh dan sukar ditembus serangan lawan.
Tentu saja itu tidak aneh. Sebab, Perguruan Harimau Sakti memang terkenal dengan kehebatan ilmu pedang dan ilmu tangan kosongnya. Sejak pendiri pertama perguruan itu, yang merupakan kakek buyut dari Ki Sawung sampai turun-temurun hingga kini. Dan, pencuri yang kini memakai julukan Pedang Iblis itu agaknya mengetahui.
Bwettt..!
Pedang Iblis menarik mundur tubuhnya. Sambaran mata pedang Ki Kumbaranta yang dilakukan bersilangan, sangat sukar untuk ditangkis. Sehingga, ia memutuskan untuk menghindar sambil mempersiapkan jurus-jurus baru menghadapi ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’ yang sudah sangat terkenal ketangguhannya.
Wettt...! Wettt...!
Pedang Iblis berputaran mengaung tajam, ketika majikan barunya menggerakkan pedang pusaka itu untuk membentengi dirinya dari incaran mata pedang lawan. Kemudian, balas menusuk dengan kecepatan kilat.
Sebenarnya tusukan pedang itu tidak terlalu berbahaya, dan akan dapat ditanggulangi dengan mudah oleh Ki Kumbaranta. Tapi, karena senjata yang digunakan lawan bukan pusaka sembarangan, maka serangan sederhana itu berubah menjadi hebat dan membahayakan nyawa lawan. Terutama pancaran sinar Pedang Iblis yang mengandung hawa mukjizat, dan sanggup melumpuhkan semangat lawan tidak memiliki tenaga dalam kuat!
Wuttt...!
“Aiiih...?!” Ki Kumbaranta terpekik kaget ketika mendadak ujung pedang berhawa maut itu tiba di dekat ulu hatinya. Untunglah pada saat-saat terakhir, Ki Kumbaranta tersadar dari pesona mukjizat yang memancar dari badan Pedang Iblis. Secepat kilat lelaki tua bertubuh tegap itu melempar tubuhnya ke belakang. Dan terus berputaran menjauhi lawan.
“Haiiit..!”
Pedang Iblis yang gagal menyerang ke tubuh Ki Kumbaranta memekik nyaring. Tubuhnya berputaran bagai sebuah baling-baling, dan terus menyabetkan pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Harimau Sakti yang hendak mengeroyoknya. Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pedang Iblis kembali meminta korban. Darah segar memercik membasahi permukaan tanah, diiringi robohnya lima murid Perguruan Harimau Sakti dengan leher hampir putus!
“Biadab...!” Ki Kumbaranta menggeram gusar ketika menyaksikan kejadian itu.
Rasa bersalah di hatinya semakin membesar. Karena pedang yang telah puluhan tahun dijaganya, kini berada dalam genggaman orang yang tak bertanggung jawab dan berhati kejam. Sifat si pemegang dan pedang pusaka itu seperti telah menyatu. Sudah pasti ini akan mendatangkan malapetaka bagi orang banyak. Bila pencuri itu berhasil lolos dari tangannya. Sebab itu Ki Kumbaranta harus bisa merebutnya.
Sebelum Ki Kumbaranta menerjang Pedang Iblis, mendadak melayang sesosok bayangan yang langsung menjejakkan kakinya di samping lelaki tua itu.
“Kakang Kumbaranta, apa yang terjadi...?” belum lagi sosok itu mendarat dengan sempurna terdengar tegurannya. Ki Kumbaranta kelihatan menarik napas lega ketika mengetahui siapa orang yang baru datang. Lelaki tua itu telah mengenal dengan baik suara itu.
“Adi Baginta! Syukur kau datang tepat pada waktunya! Orang berpakaian serba hitam itu telah mencuri senjata dari kamar rahasia. Kita harus menangkapnya untuk merebut kembali Pedang Iblis dari tangannya. Kalau tidak, celakalah kita semua...,” sahut Ki Kumbaranta cepat.
Lelaki tua itu merasa gembira karena yang datang Ki Baginta, yang merupakan salah seorang tokoh puncak Perguruan Harimau Sakti. Malah dalam hal kepandaian, Ki Kumbaranta masih berada setingkat di bawah kepandaian Ki Baginta. Maka bantuan Ki Ba- ginta sangat diharapkan untuk merebut kembali senjata keramat berhawa jahat itu.
“Celaka! Kalau begitu, kita harus berusaha untuk mendapatkannya kembali, Kakang..,” sergah Ki Baginta yang tampak sangat terkejut mendengar pusaka keramat perguruan mereka dicuri orang. Maka, tanpa banyak cakap lagi, lelaki bertubuh gagah itu langsung melayang ke arah Pedang Iblis yang tengah menyebar maut dengan membantai murid-muridnya.
“Aaat..!” Ki Baginta yang telah mengetahui keampuhan Pedang Iblis, tidak mau bertele-tele. Begitu menyerang, lelaki gagah itu langsung menggunakan senjatanya. Sebab, Pedang Iblis bukan pusaka sembarangan dan tidak mungkin sanggup dilawannya dengan jurus- jurus tangan kosong. Itu sebabnya begitu menerjang, Ki Baginta langsung menggunakan senjata dan mengeluarkan jurus-jurus pedang andalan perguruannya.
“Hmh...!” Pedang Iblis hanya mendengus melihat serangan Ki Baginta. Seperti telah mendapatkan kekuatan baru, lelaki berpakaian serba hitam langsung bergerak maju memapaki serangan lawan. Pedang di tangannya berkelebat cepat disertai hawa maut yang mendirikan bulu roma!
Trang! Trang!
“Aiiih...?!” Ki Baginta terpekik kaget ketika Pedang Iblis dengan sengaja membenturkan pedangnya, membuat tubuh Ki Baginta terhuyung mundur beberapa langkah. Bahkan, pedang di tangan tokoh ketiga Perguruan Harimau Sakti itu terpapas buntung! Senjata itu tak ubahnya benda lunak ketika berbenturan dengan Pedang Iblis. Pusaka keramat berhawa jahat itu mulai menunjukkan keampuhannya.
“Aaa...!“ Lelaki berpakaian serba hitam agaknya mulai menyadari kelebihan yang didapatnya setelah memegang pusaka keramat itu. Tambahan tenaga yang diperolehnya dari Pedang Iblis, membuat sosok itu semakin yakin dan tidak ragu-ragu lagi menghadapi Ki Baginta serta Ki Kumbaranta. Tampaknya, pedang keramat berhawa jahat itu telah menyatu dengan majikan barunya setelah menghirup darah korbannya. Kenyataan itu semakin membuatnya beringas, dan penuh nafsu membunuh!
“Celaka! Tampaknya Pedang Iblis mulai menunjukkan kehebatannya. Bukan mustahil kekuatan jahat yang tersembunyi di dalamnya telah menular ke dalam tubuh pencuri laknat itu!” desis Ki Kumbaranta yang rupanya mengetahui banyak riwayat Pedang Iblis. Wajah tuanya tampak dibayangi kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. Bahkan, ada gambaran duka membayang pada sepasang matanya. Sepertinya ia merasa ikut menanggung dosa setiap Pedang Iblis meminta korban.
“Hmm...!” Kesadaran bahwa semua itu merupakan tanggung jawabnya, membuat Ki Kumbaranta berlaku nekat! Dengan sebuah gerengan keras lelaki tua itu melesat ke depan disertai putaran pedangnya.
“Kakang! Tahan! Jangan berlaku bodoh...!” Ki Baginta terkejut ketika melihat perbuatan Ki Kumbaranta. Melihat orang tua itu berlaku nekat, Ki Baginta segera menyusuli untuk melindungi orang tua itu dari kematian.
“Yeaaah...!”
Pedang Iblis tampak semakin bertambah buas. Rasa haus akan darah segar yang membuat keampuhannya terpendam kini mulai bangkit Sehingga, baik pancaran cahaya mautnya maupun kekuatan jahat yang tersembunyi di dalamnya hidup kembali.
Bahkan menguasai majikan barunya. Maka, ketika tubuh Ki Kumbaranta melayang ke arahnya, Pedang Iblis langsung bergerak menyambut tanpa mengenal rasa takut sedikit pun! Padahal, serangan yang dilancarkan Ki Kumbaranta bukan seran- gan biasa. Maka....
Brettt! Brettt!
“Aaa...!” Ki Kumbaranta meraung setinggi langit ketika mata pedang lawan merobek tubuhnya dua kali. Darah segar menyembur keluar dari luka menganga di perutnya! Bahkan, lelaki tua itu tidak mengetahui bagaimana cara pedang keramat itu melukai dirinya.
“Kakang...!” Ki Baginta berteriak kaget! la terlambat mencegah malapetaka itu. Tubuh Ki Kumbaranta telah roboh bermandikan darah dengan napas putus!
“Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia persilatan akan kubuat gempar! Pedang Iblis akan menguasai seluruh negeri ini...!” lelaki berpakaian serba hitam terbahak-bahak berkepanjangan.
Tawanya demikian menyeramkan, membuat Ki Baginta bergidik pucat Sepertinya, suara itu bukan datang dari kerongkongan manusia. Melainkan iblis jahat yang kini bersemayam di dalam tubuh majikan baru Pedang Iblis. Ki Baginta tidak bisa berbuat apa-apa ketika sosok berpakaian serba hitam melesat meninggalkan Perguruan Harimau Sakti. Wajah pencuri pedang keramat itu terlihat demikian menyeramkan, menyiratkan perbawa yang sangat kuat Sehingga, orang-orang di sekitar termasuk Ki Baginta tersihir, hingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kepergiannya.
“Hhh...” Ki Baginta menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi. Kesadarannya baru kembali setelah sosok berpakaian hitam lenyap bersama gema suara tawanya. Majikan baru Pedang Iblis itu rupanya telah benar-benar berusaha menjadi iblis jahat yang akan menyebar malapetaka bagi orang banyak!
“Aku harus segera melaporkan kejadian ini pada guru besar,” desis Ki Baginta seraya bergerak bangkit dan meninggalkan tempat itu, setelah memerintahkan sisa-sisa murid perguruan untuk membereskan tempat itu dan mengurus mayat kawan mereka.
********************
Brakkk!
Meja kayu bulat yang tebal dan sangat kuat itu hancur berkeping-keping, terkena hantaman telapak tangan seorang lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun. Wajah lelaki itu tampak merah seperti terbakar. Jelas, ia tengah dilanda kemarahan yang hebat!
“Bagaimana hal ini bisa terjadi, Baginta? Dari mana pencuri laknat itu tahu kita menyembunyikan sebuah pedang keramat dalam ruang perpustakaan? Sadarkah kau bahwa dengan tercurinya senjata yang memiliki pengaruh jahat itu, orang banyak akan terancam bahaya besar! Dan, kita harus bertanggung jawab atas semua dosa yang dilakukan pencuri kurang ajar itu!” bentak lelaki kurus dengan suara bergetar menahan marah yang meledak-ledak di dalam dadanya.
“Ampun, Guru. Aku memang bodoh dan tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah kejadian itu. Bahkan, Ki Kumbaranta telah mengorbankan nyawanya untuk merebut pedang itu. Kami telah lalai, Guru, dan siap menerima hukuman...,” ujar Ki Baginta pasrah kalau memang ia akan dihukum karena kebodohannya itu. Lelaki gagah itu tertunduk tidak berani memandang wajah guru besarnya.
“Hmh...!” Ki Sawung, Guru Besar Perguruan Harimau Sakti menggeram kesal. Jari-jari tangannya mengepal memperdengarkan suara berderak, membuat hati Ki Baginta semakin ciut.
Tapi, lelaki kurus itu tidak bisa menyalahkan muridnya. Karena ia sendiri sadar akan keampuhan Pedang Iblis. Apalagi, setelah senjata pusaka itu meminum darah korbannya. Kekuatan dan pengaruh jahatnya akan bangkit dan sukar untuk dilawan. Jangankan Ki Baginta atau Ki Kumbaranta. Biarpun dirinya yang maju, belum tentu sanggup menghadapi keampuhan Pedang Iblis. Kesadaran itu membuat Ki Sawung terdiam dengan wajah berduka.
“Guru...,” tiba-tiba lelaki yang berada di sebelah Ki Baginta membuka suara. Semenjak tadi lelaki itu hanya terdiam tidak berani mengemukakan perasaan hatinya. Baru ketika Ki Sawung cukup lama membisu ia menggunakan kesempatan itu.
“Hm.... Apa yang ingin kau katakan, Kandala...?” ujar Ki Sawung mengalihkan pandangannya ke arah lelaki kekar bernama Kandala. Meskipun wajahnya masih terlihat gelap, namun sinar matanya sudah tidak segarang tadi. Rupanya, Ki Sawung sudah bisa menekan kemarahan yang dianggapnya tidak banyak membantu untuk memecahkan persoalan besar itu.
Kandala bertubuh kekar dan berusia sekitar tiga puluh tahun. Meskipun usianya lebih muda dari Ki Baginta, namun pemuda berwajah simpatik itu merupakan murid utama Ki Sawung. Dan, kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan Ketua Perguruan Harimau Sakti. Karena hampir semua ilmu yang dimiliki Ki Sawung telah diturunkannya.
Pemuda berwajah keras itu terdiam beberapa saat seolah ingin merangkai kata-kata yang akan disampaikannya. Melihat sikapnya, jelas Kandala merupakan seorang pemuda yang selalu berhati-hati dalam bersikap maupun berbicara. Kandala memang seorang pemuda pendiam dan jarang berbicara jika tidak merasa perlu sekali.
“Guru, meskipun Pedang Iblis merupakan pusaka perguruan kita secara turun-temurun, mengapa tidak dimusnahkan saja mengingat pedang itu memiliki kekuatan jahat yang dapat merubah sifat pemegangnya. Sebenarnya hal ini sudah lama ingin kusampaikan. Tapi, aku takut kalau Guru akan marah. Dan dengan terjadinya peristiwa ini, membuat aku memberanikan diri untuk mengatakannya...,”
Kandala kembali menundukkan wajah setelah mengemukakan pendapatnya. Dirinya memang belum pernah melihat bentuk Pedang Iblis, dan hanya mendengar dari cerita gurunya.
“Kandala..., pikiran semacam itu sudah ada dalam benakku jauh sebelum aku menjabat sebagai Ketua Perguruan Harimau Sakti, untuk menggantikan ayahku yang telah wafat. Berbagai usaha telah kulakukan, seperti juga yang dilakukan ayahku. Tapi, baik kakek guru kalian maupun aku sendiri, tak sanggup untuk menghancurkan senjata keramat itu. Entah terbuat dari bahan apa Pedang Iblis itu, sehingga tidak dapat dilebur dengan api sepanas apa pun. Bahkan, pedang itu tidak dapat dipatahkan kecuali mungkin oleh orang yang memiliki tenaga sakti luar biasa. Dan kekuatan seperti itu hanya ada dalam dongeng,” jelas Ki Sawung yang rupanya juga memiliki pikiran sama dengan Kandala. Malah jauh sebelum pemuda itu menjadi muridnya.
“Guru, selama ini kami hanya mendengar kehebatan Pedang Iblis tanpa tahu riwayat selengkapnya. Dapatkan guru menceritakan pada kami bagaimana asal mula senjata itu tercipta. Dan, siapa pembuat pedang keramat itu?” merasa mendapat angin, Kandala terus mengungkapkan segala perasaan yang ada di dalam hatinya.
Ki Baginta pun mengangguk-anggukkan kepala. Sebab, selama ini Ki Sawung memang belum menceritakan riwayat Pedang Iblis. Lelaki tua itu hanya menceritakan tentang kekuatan jahat yang ada dalam senjata keramat itu, yang akan semakin kuat bila telah meminum darah manusia.
Ki Sawung tidak segera menjawab pertanyaan murid utamanya. Lelaki tua itu menghela napas panjang, dan bangkit dari kursinya. Kemudian melangkah perlahan sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Ki Baginta dan Kandala tahu guru besar mereka tengah berusaha mengingat sejarah Pedang Iblis. Maka, mereka menunggu dengan sabar untuk mengetahui secara jelas riwayat pedang keramat itu.
“Sebenarnya aku ingin mengubur sejarah Pedang Iblis itu. Tapi, dengan adanya malapetaka semalam, membuat aku berpikir lain. Mungkin ada baiknya kalian mengetahui riwayat Sepasang Pedang Iblis itu...,” ujar Ki Sawung setelah terdiam beberapa saat
“Jadi, senjata keramat itu ada sepasang...?” Ki Baginta dan Kandala berseru tertahan hampir berbarengan. Jelas, mereka tidak mengetahui bahwa Pedang Iblis ada sepasang. Sebab, kecuali Ki Sawung dan Ki Kumbaranta memang tidak ada lagi yang mengetahui hal itu.
“Benar. Pedang Iblis berjumlah dua bilah, Pedang Iblis Jantan dan Pedang Iblis Betina,” jelas Ki Sawung lagi membuat Ki Baginta dan Kandala kembali terperanjat
“Ahhh...?!”
“Pedang yang kusimpan di dalam ruangan perpustakaan adalah Jantan,” Ki Sawung melanjutkan ceritanya tanpa peduli akan rasa terkejut kedua muridnya. “Sedang Pedang Iblis Betina telah lenyap sejak ayahku atau kakek guru kalian menjabat sebagai Ketua Perguruan Harimau Sakti. Tidak seorang pun yang tahu kapan Pedang Iblis Betina lenyap, dan siapa yang mencurinya. Sebab, sampai ayahku wafat kabar tentang Pedang Iblis Betina tidak pernah terdengar di kalangan persilatan. Untung senjata keramat itu tidak dapat berbuat banyak tanpa Pedang Iblis Jantan. Tapi, tidak demikian dengan Pedang Iblis Jantan. Senjata keramat itu akan mencari mangsanya bila telah keluar dari tempatnya berada selama puluhan tahun. Itu sebabnya, mengapa ketika Pedang Iblis Betina lenyap tidak pernah terdengar kabarnya. Rupanya pencuri itu tahu pedang curiannya tidak akan berguna banyak tanpa Pedang Iblis Jantan. Sedangkan jalan satu-satunya untuk melenyapkan Pedang Iblis adalah dengan menjauhkannya dari darah manusia. Bila sampai seratus tahun pedang itu tidak mendapatkan korban, maka kekuatan jahat yang ada dalam tubuhnya akan lenyap secara perlahan-lahan. Baru setelah itu Sepasang Pedang Iblis dapat dilebur. Cara itu kudapatkan setelah bersemadi selama satu tahun di sebuah ruangan gelap. Itu sebabnya, mengapa aku menyembunyikan Pedang Iblis Jantan demikian rapi. Hanya aku dan Ki Kumbaranta yang mengetahui tempat penyimpanan pedang keramat itu. Siapa sangka ada orang luar yang tahu tempat penyimpanan Pedang Iblis Jantan, dan berhasil mencurinya...,” Ki Sawung mengakhiri ceritanya dengan desahan napas panjang. Ketika teringat pedang keramat itu telah lenyap, bias kedukaan kembali membayang di wajah lelaki tua bertubuh kurus itu.
Ki Baginta dan Kandala diam terpaku mendengar penjelasan gurunya tentang riwayat Pedang Iblis yang ternyata ada sepasang. Keduanya terdengar menghela napas setelah cukup lama terdiam bagai terkena sihir.
“Lalu, siapa yang menciptakan Sepasang Pedang Iblis, Guru? Bukankah pusaka itu merupakan warisan turun-temurun perguruan kita?” Kandala masih penasaran karena Ki Sawung belum menyinggung pembuat Sepasang Pedang Iblis dalam ceritanya tadi. Sehingga, Kandala yang menyimak cerita gurunya dengan baik segera menanyakan.
“Pembuat Sepasang Pedang Iblis adalah kakek dari kakek buyut ku. Beliau pun tidak tahu logam bercahaya yang ditemukannya di sebuah sungai ternyata memiliki kekuatan yang demikian ampuh. Kendati membuatnya tidak mudah dan harus menjalani tapa hampir setahun lebih, akhirnya beliau berhasil membuat sepasang pedang dari logam bercahaya itu. Sayang sebelum sepasang pedang itu sempurna pembuatannya, sepasang tokoh sesat telah mencuri senjata itu, setelah melalui pertempuran yang lama dan sengit. Itu sebabnya, badan Sepasang Pedang Iblis masih sangat kasar karena belum sempat diperhalus. Tapi, kakek dari kakek buyut ku berusaha menyembuhkan lukanya dan memperdalam ilmu. Setelah merasa cukup, beliau mengembara untuk mendapatkan Sepasang Pedang Iblis. Usaha beliau memang tidak sia-sia, dan berhasil merebut kembali pedang itu. Tapi beliau terkejut bukan main ketika mengetahui ada hawa jahat yang bersemayam di dalam badan pedang. Maka, beliau berusaha untuk meleburnya kembali. Sayang, pedang yang telah banyak menghirup darah itu tidak bisa dilebur lagi. Sehingga, terpaksa disembunyikan di sebuah tempat yang sekarang menjadi bangunan Perguruan Harimau Sakti. Dan jika sekarang Pedang Iblis Jantan lenyap, besar kemungkinan pencurinya merupakan murid atau keturunan suami istri sesat yang telah merebut Sepasang Pedang Iblis dari kakek buyut ku,” jelas Ki Sawung yang tampak demikian bangga saat menceritakan kakek dari kakek buyutnya. Karena cerita itu kembali mengingatkan bahwa dirinya keturunan orang-orang hebat yang berbudi luhur, dan tidak pernah mengenal takut. Ingatan itu membuat semangatnya bangkit untuk mencari Pedang Iblis Jantan yang lenyap tercuri semalam.
Kandala dan Ki Baginta mengangguk-angguk puas setelah mendengar riwayat Sepasang Pedang Iblis. Mereka pun tampak merasa bangga setelah mengetahui mereka murid dari keturunan tokoh-tokoh hebat pada masa lampau. Cerita itu tanpa sadar semakin menanamkan jiwa kependekaran dalam diri Ki Baginta dan Kandala.
“Sekarang pedang keramat itu lenyap kembali karena kelalaianku. Untuk itu, aku harus mempertanggungjawabkannya. Kau jaga dan pimpin saudara- saudaramu sebaik-baiknya, Baginta. Aku dan Kandala akan meninggalkan perguruan untuk mencari Pedang Iblis Jantan. Dan, jika mungkin mencari Pedang Iblis Betina. Karena bila Pedang Iblis Jantan telah keluar dan meminum darah, ia akan mencari pedang yang menjadi pasangannya itu,” ujar Ki Sawung mengutarakan maksudnya pada Ki Baginta.
“Baik, Guru. Aku akan berusaha melaksanakan amanat Guru dengan sebaik-baiknya...,” ujar Ki Baginta lantang. Hingga, Ki Sawung tersenyum puas.
********************
TIGA
Sosok berjubah putih dengan perawakan tubuh sedang melangkah perlahan memasuki mulut Desa Karapan. Wajahnya tampak cerah dengan senyum yang ramah dan sabar. Sepasang matanya bening dan tajam. Membuat orang enggan menentang pandang matanya. Seorang pemuda yang tampan, menarik dan menimbulkan rasa hormat bagi orang yang memandangnya.
Di sebelah kanan pemuda tampan berjubah putih tampak seorang dara berpakaian serba hijau. Tubuhnya ramping padat membentuk lekuk-lekuk tubuh yang memikat Ditambah lagi raut wajahnya cantik jelita laksana bidadari dari kayangan. Benar-benar seorang dara yang sangat menarik, membuat mata lelaki tak melewatkan untuk memandangnya meski hanya sekilas.
Pasangan muda yang menarik dan menimbulkan rasa kagum serta iri bagi orang yang memandangnya itu, terus mengayun langkah melewati mulut desa. dan terus menyusuri jalan utama Desa Karapan dengan sikap tenang.
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan, disertai terlemparnya sesosok tubuh dari dalam kedai. Sosok tubuh itu menggelepar bagai ayam disembelih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak. Karena nyawanya telah meninggalkan badan.
Kejadian yang cukup mengejutkan itu, membuat langkah pemuda berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau terhenti. Keduanya berbalik dengan sikap siaga. Melihat cara mereka membalikkan tubuh, dapat ditebak bahwa pasangan muda itu bukan orang sembarangan. Memang, mereka tidak lain adalah Pendekar Naga Putih dan kekasihnya, Kenanga. Agar tidak menarik perhatian orang, Panji dan Ke-lnanga melangkah cepat mendekati sosok tubuh yang telah tewas dengan leher hampir putus.
“Hm Kejam sekali orang yang melakukan pembunuhan itu. Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya, hingga harus tewas dalam keadaan mengerikan...,” desis Kenanga tak senang. Memang, keadaan orang yang meninggal itu sangat mengerikan.
“Tampaknya korban lain akan segera menyusul,” gumam Panji seraya menoleh ke dalam kedai, dan menyaksikan pertempuran berlangsung di dalamnya.
Dugaan Panji tidak meleset. Baru saja ucapannya selesai, kembali terdengar teriakan kematian yang disusul terlemparnya dua sosok tubuh dari dalam kedai. Kedua orang yang malang itu tewas dalam keadaan sama dengan orang pertama.
“Kita harus mencegahnya, Kakang. Kalau tidak korban pasti akan bertambah banyak,” ujar Kenanga tak sabar melihat dua korban lagi datang menyusul. Tapi sebelum mereka bergerak, muncul seorang lelaki gagah diiringi dua belas orang berseragam hitam. Rombongan itu langsung bergerak mendekati kedai. Sehingga, baik Panji dan Kenanga terpaksa menahan langkahnya untuk melihat kelanjutan peristiwa itu.
“Hei, pengacau yang berada di dalam kedai, keluar...!” lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu membentak dengan mengerahkan tenaga sebelumnya. Hingga, suara itu terdengar keras menimbulkan gema yang kuat
“Ha ha ha...!”
Terdengar suara tawa berkakakan menyambut bentakan lelaki tua yang tampak berwibawa itu. Tak berapa lama kemudian, sesosok bayangan hitam meluncur keluar dari dalam kedai, dengan mendobrak pintu depan yang langsung hancur berkeping-keping! Lelaki tua bertubuh gagah melangkah mundur menjaga jarak, agar tidak terlalu dekat dengan sosok berpakaian serba hitam. Sepasang matanya menatap penuh selidik sosok di depannya yang telah menyarungkan pedang di punggung.
“Aku Ki Gulawa, Kepala Desa Karapan. Siapakah Kisanak? Mengapa demikian kejam membunuh orang tanpa kesalahan yang jelas?” tegur lelaki tua bertubuh gagah yang rupanya Kepala Desa Karapan. Pantas saja sikapnya terlihat berwibawa dan tenang.
“Hm.... Siapa bilang aku membunuh orang tanpa kesalahan yang jelas? Dengan berbisik-bisik selagi aku menyantap hidangan, itu sudah merupakan penghinaan bagi Pedang Iblis! Untuk itu mereka harus mati. Aku keberatan, Kisanak...?” sahut lelaki berpakaian serba hitam yang memperkenalkan nama julukannya dengan sikap jumawa. Itu menandakan ia benar-benar yakin akan dapat mengatasi Ki Gulawa dan para pengawalnya.
“Jadi, hanya karena rasa curiga kau membunuh mereka? Sungguh kejam sekali. Sudah pasti aku merasa keberatan dengan perbuatanmu. Dan, aku harus mempertanggungjawabkannya,” ujar Ki Gulawa dengan nada sedikit tinggi. Rupanya, lelaki tua sesepuh Desa Karapan itu mulai jengkel melihat keangkuhan tokoh yang mengaku berjuluk Pedang Iblis.
“Bagaimana cara aku harus mempertanggungjawabkannya, Kisanak? Tunjukkan agar aku mengerti...,” ucap Pedang Iblis tanpa memandang sebelah mata pada orang yang paling dihormati di Desa Karapan. Bahkan Pedang Iblis terkesan memandang remeh lawannya.
“Tangkap dia..!” Ki Gulawa segera memerintahkan kedua belas pengawalnya untuk menangkap Pedang Iblis. Orang tua itu sendiri bergerak mundur untuk memberi tempat bagi para pengawalnya.
“Hm.... Aneh. Mengapa kau malah ingin menambah jumlah korban pedangku, Bapak Kepala Desa...,” ujar Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawanya dengan sikap sombong. Tampak ia tidak merasa gentar menghadapi kepungan para pengawal Kepala Desa Karapan.
Panji yang menyaksikan peristiwa itu mengerutkan kening dalam-dalam. Apalagi, ketika mendengar disebutkannya julukan Pedang Iblis. Sepanjang ingatannya, Eyang Tirta Yasa pernah bercerita tentang tokoh bersenjatakan sepasang pedang. Tokoh itu sepasang suami istri yang amat jahat. Tapi, cerita itu terjadi pada puluhan tahun silam.
“Hm.... Mungkin orang berseragam hitam itu mempunyai hubungan dengan sepasang suami istri yang berjuluk Sepasang Pedang Iblis? Atau hanya julukannya saja yang sama. Melihat pedang yang tergantung di punggungnya cuma satu, kemungkinan besar orang ini hanya meniru-niru julukan sepasang suami istri yang konon sangat jahat dan hebat itu...,” gumam Panji dalam hati. Sehingga, Kenanga tidak tahu apa yang dipikirkan Panji.
Kenanga sendiri sempat tertegun ketika mendengar julukan yang masih sangat asing di telinganya. Meskipun seluruh ingatannya telah dikuras, tetap saja dara cantik itu tidak menemukan julukan Pedang Iblis dalam kepalanya. Kenanga menduga Pedang Iblis adalah tokoh baru yang belum begitu dikenal dalam kalangan rimba persilatan. Meskipun demikian, dari gerak-gerik tokoh itu, gadis itu dapat menduga tingkat kepandaian Pedang Iblis patut diperhitungkan. Menurutnya, kalau tidak dihentikan, Pedang Iblis kelak akan cepat dikenal dalam rimba persilatan.
“Kau pernah mendengar julukan itu, Kakang...?” tanya Kenanga. Sebab, gadis itu sadar pengetahuan kekasihnya tentang tokoh-tokoh persilatan jauh lebih luas dibanding dirinya.
“Aku memang pernah mendengarnya dari guruku. Tapi, Pedang Iblis yang satu ini rasanya hanya meniru-niru saja, meskipun kepandaiannya memang tidak bisa dipandang remeh. Itu dapat ku nilai dari gerak-geriknya yang sigap...,” sahut Panji membuat Kenanga menganggukkan kepala beberapa kali.
Kelihatannya dara jelita itu cukup puas dengan jawaban kekasihnya. Sementara itu, tokoh yang berjuluk Pedang Iblis masih tetap berdiri tegak. Sedangkan para pengawal kepala desa sudah menghunus senjata. Kedua belas orang itu berputar mengelilingi Pedang Iblis.
“Haiiit..!”
Dengan sebuah teriakan nyaring, dua orang pengepung yang berada di belakang menyerang dengan disertai putaran pedang. Satu membabat leher, sedang satunya lagi menusuk lurus ke punggung lawan tepat ke arah jantung.
Wuttt! Syuttt!
Kedua bilah pedang itu meluncur dengan kecepatan yang cukup mengagumkan. Serangan itu jelas bukan merupakan gerak tipu. Sebab, tenaga yang dikerahkan terlihat demikian kuat
Pedang Iblis tetap tegak tanpa menggeser kedudukannya. Seolah-olah ia hendak menyambut datangnya serangan dengan tubuhnya. Tapi, pada saat kedua mata pedang tinggal kira-kira satu jengkal dari sasaran, mendadak tubuh tokoh misterius itu berbalik. Gerakan tangannya demikian cepat mencabut pedang yang tersampir di punggung. Dan....
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul, ketika kedua tubuh pengawal Kepala Desa Karapan roboh bermandikan darah dengan tenggorokan hampir putus. Sedangkan Pedang Iblis sudah mengembalikan senjata ke punggungnya dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Sehingga, bagi orang-orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak akan tahu bagaima-lna caranya lelaki berpakaian serba hitam itu merobohkan kedua penyerangnya.
Demikian pula dengan Panji dan Kenanga. Mereka sangat terkejut melihat kecepatan gerak tokoh yang berjuluk Pedang Iblis. Bahkan, dada Panji sempat bergetar ketika menangkap kilatan sinar yang keluar dari badan pedang tokoh misterius itu.
“Gerakan orang itu benar-benar hebat sekali, Kakang! Rasanya ia memang patut memakai julukan Pedang Iblis. Sambaran pedangnya nyaris tidak tertangkap mataku. Kepandaian tokoh itu tinggi dan sangat berbahaya jika tidak segera ditaklukkan...,” gumam Kenanga diam-diam mengakui kecepatan gerak Pedang Iblis. Meskipun dirinya bisa melakukan hal serupa, tapi Kenanga tetap merasa kagum dengan kehebatan tokoh itu.
“Sayang, belum waktunya kita turun-tangan..,” sahut Panji membuat Kenanga menolehkan kepala dan menatap wajah kekasihnya. Kelihatan sekali dara jelita itu merasa heran dengan jawaban Panji.
“Mengapa, Kakang? Apa kau hendak menunggu sampai sepuluh orang lainnya habis dibantai Pedang Iblis?” desak Kenanga penasaran.
“Bukan itu maksudku. Kalau kita terjun ke arena sekarang, mungkin Kepala Desa Karapan yang bernama Ki Gulawa akan tersinggung dengan perbuatan kita. Itu sudah pasti akan menimbulkan ketidaksenangan dalam hatinya. Karena kita telah mencampuri urusannya. Bisa-bisa kita dituduh bersekongkol dengan Pedang Iblis, dengan berusaha mengacaukan rencana agar tokoh kejam itu bisa lolos...,” Panji mengajukan alasannya agar Kenanga tidak merasa penasaran atas jawabannya tadi.
Setelah mendengar penjelasan Panji, Kenanga pun maklum. Sebab, hal seperti itu bisa saja terjadi. Jika sudah demikian, akan sulit bagi mereka untuk tidak bentrok dengan Ki Gulawa. Apalagi, mereka adalah orang asing di Desa Karapan seperti halnya Pedang Iblis.
“Lalu...,” Kenanga masih menduga kelanjutan ucapan Panji yang sebenarnya sudah selesai.
“Ya, kita tunggu sampai Ki Gulawa turun-tangan. Pada saat lelaki tua itu terancam, baru kita terjun ke arena. Dengan demikian, tidak akan terjadi perselisihan antara kita dengan Kepala Desa Karapan ini,” jelas Panji terpaksa mencari jawaban atas desakan kekasihnya. Sehingga, Kenanga merasa puas.
Sementara itu, Pedang Iblis memperdengarkan tawa yang panjang dan mendirikan bulu roma. Kemudian berhenti tiba-tiba. Sepasang matanya mencorong tajam, membuat sisa pengepungnya bergerak mundur. Wajah Pedang Iblis tampak demikian menyeramkan, tak ubahnya wajah setan penghuni neraka!
Perubahan itu membuat Ki Gulawa merasa khawatir akan keselamatan para pengawalnya. Maka, dengan menekan rasa takut yang menguasai hatinya, lelaki gagah itu melangkah maju dengan pedang di tangan. Kepalanya digerakkan sebagai isyarat agar para pengawalnya mundur dan menyerahkan persoalan itu kepadanya.
“Hati-hati, Ki. Tampaknya orang itu sudah kerasukan setan. Siapa saja yang mendekat pasti akan dibunuhnya...,” bisik salah seorang pengawal yang kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan ke pala desanya.
Ki Gulawa hanya menggumam perlahan. Lelaki gagah itu terus bergerak maju dengan pedang diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara mengaung bagai ratusan lebah marah. Agaknya, orang tua itu menyadari lawannya bukan orang sembarangan. Terbukti ia langsung mengempos semangatnya, memancing keluar seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Ki Gulawa telah siap untuk mempertaruhkan nyawa demi warga Desa Karapan.
Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawa yang parau dan menyakitkan telinga. Tubuhnya tetap tegak, meski Ki Gulawa telah menyiapkan jurus serangannya. Benar-benar sombong sekali tokoh misterius itu. Padahal, kepandaian Ki Gulawa tidak bisa dipandang ringan. Kalau tidak, mana mungkin orang tua itu dapat menjadi Kepala Desa Karapan.
“Hmh...” Ki Gulawa yang merasa diremehkan menggereng marah. Dibarengi dengan bentakan nyaring, lelaki tua itu melesat ke depan disertai kelebatan pedangnya yang mendesing tajam.
Bwettt...
Serangan yang hebat dan sangat mematikan itu, hanya dihindari lawan dengan menarik mundur tubuhnya. Kemudian, langsung membalas dengan sebuah tendangan lurus mengancam ulu hati Ki Gulawa.
“Yeaaah !” Kepala Desa Karapan tidak berusaha menghindar. Pedangnya diputar menyilang menyambut datangnya tendangan lawan. Rupanya, Ki Gulawa hendak membabat putus kaki lawan dengan tebasan pedangnya.
Tapi, pada saat pedang Ki Gulawa hampir membabat kaki lawan sebatas lutut, mendadak Pedang Iblis menarik tendangannya dengan kecepatan yang mengagumkan. Kemudian, kembali menyentak ke depan dengan telapak kaki miring ketika tebasan Ki Gulawa luput!
Plakkk!
Ki Gulawa terpaksa menarik mundur kaki depannya, kemudian mengangkat tangannya melindungi pelipis dari ancaman telapak kaki lawan. Akibatnya, tubuh lelaki tua itu terjajar mundur hampir terpelanting jatuh! Kenyataan itu membuatnya terkejut bukan kepalang!
“Gila! Tenaga manusia jahat itu! Sungguh hebat sekali!” desis Ki Gulawa merasa tangannya lumpuh untuk beberapa saat. Jelas, dalam hal tenaga dalam ia masih kalah jauh oleh lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin berhati-hati.
“Haiiit..!”
Pedang Iblis tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Tubuhnya meluncur ke depan disertai sambaran pedang yang entah kapan dicabut dari sarungnya.
“Yeaaah...!”
Sadar untuk menghindar jelas tidak mungkin, Ki Gulawa terpaksa menyilangkan senjata menyambut serangan lawan. Dan....
Trang!
“Aaah...?!” Bukan main kagetnya hati Ki Gulawa ketika melihat senjatanya putus terpapas senjata lawan. Untung saja ia masih sempat melempar tubuhnya ke belakang. Kalau tidak, ujung pedang lawan mungkin telah merobek tenggorokannya.
Tapi, Ki Gulawa tidak bisa merasa lega dulu. Sebab, Pedang Iblis terus menyusuli serangannya. Pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan itu meluncur menuju tenggorokannya. Kali ini Ki Gulawa tidak mungkin dapat menyelamatkan tenggorokannya dari incaran pedang lawan!
“Haiiit !”
Pada saat yang berbahaya itu, Panji yang memang sudah siap untuk menyelamatkan Ki Gulawa, segera melesat dengan tamparan yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Rupanya, Panji langsung menggunakan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk menyelamatkan Ki Gulawa. Itu merupakan bukti Pendekar Naga Putih tidak memandang ringan lawan.
Plakkk!
Usaha Panji untuk menyelamatkan nyawa Ki Gulawa berhasil dengan baik. Pedang yang memancarkan hawa aneh menggetarkan jantung dan melenyapkan keberanian, menyeleweng dari sasaran. Tapi, tubuh Panji sempat terjajar mundur tiga langkah. Sedangkan tubuh Pedang Iblis melintir bagai gasing. Kenyataan itu membuktikan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ sulit dicari bandingnya!
“Hmrrr...!” Terdengar suara gerengan yang menggetarkan jan-ltung. Panji yang saat itu tengah membawa Ki Gulawa ke tepi arena, menolehkan kepala ketika mendengar suara desingan yang bagai hendak merontokkan jantung!
Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping, seraya mendorong tubuh Ki Gulawa yang langsung ditangkap Kenanga. Cahaya menggetarkan itu terus berkelebatan mencecar Panji. Sehingga, pemuda tampan itu terpaksa harus menggunakan kelincahannya untuk menyelamatkan diri. Sebab, Pedang Iblis benar-benar tidak memberi peluang untuk membalas!
“Yeaaah...!”
Sing...!”
Untuk kesekian kalinya, Pedang Iblis kembali meluncur mengancam tenggorokan Pendekar Naga Putih. Pemuda itu terkejut menyaksikan kecepatan gerak lawan kali ini jauh lebih hebat dibanding sewaktu menghadapi Ki Galuwa. Sehingga, Panji harus menggunakan kelincahannya untuk menghindari tusukan pedang lawan.
“Heaaah...!”
Suatu saat, ketika pedang lawan kembali mengancam tenggorokannya, Panji memiringkan tubuhnya sedikit sambil menepis pergelangan tangan lawan dengan pengerahan tenaga dalam.
Plarrr...!
Tubuh Pedang Iblis terhuyung mundur sejauh satu tombak. Sebab, Panji mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya untuk menepis senjata lawan. Sedangkan tubuh Panji terjajar mundur empat langkah. Tentu saja Panji terkejut bukan main merasakan hebatnya tenaga dalam Pedang Iblis.
“Gila...! Tokoh ini sungguh hebat sekali! Mungkinkah ia keturunan Pedang Iblis terdahulu yang pernah diceritakan eyang...?” gumam Panji mereka-reka. Sepasang matanya menatap tajam sosok lawan yang tengah menyiapkan serangan selanjutnya.
Tapi, Pedang Iblis terkejut ketika merasakan kehebatan lawannya kali ini. Terbukti, ia belum juga memulai serangan dan hanya menatap tajam sosok pemuda tampan berjubah putih. Mungkin ia tengah menilai kehebatan pemuda itu, yang sanggup membuatnya terjajar mundur dengan lengan kesemutan.
“Hm.... Siapa kau? Sebutkan namamu...!” geram Pedang Iblis sambil melangkah menghampiri Panji tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah pendekar muda itu.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa hubunganmu dengan Sepasang Pedang Iblis yang hidup pada puluhan tahun silam?” tanya Panji balas menatap dengan tidak kalah tajamnya. Tapi, pemuda itu sempat tergetar mundur ketika Pedang Iblis menyilangkan senjatanya di depan dada. Pancaran cahaya pedang membuat dada pendekar muda itu bergetar. Panji tahu ada suatu kekuatan tersembunyi yang sangat kuat dalam tubuh pedang di tangan lelaki berpakaian serba hitam.
“Dugaanmu memang tidak meleset. Aku adalah penerus Sepasang Pedang Iblis yang akan melanjutkan cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan!” sahut lelaki berpakaian serba hitam dengan suara datar menggetarkan jantung.
Panji tidak begitu memperhatikan jawaban lawannya. Pemuda itu lebih tertarik dengan pedang di tangannya. Itu terbukti dari pertanyaan yang dikeluarkannya. “Senjatamu itu, benarkah yang bernama Pedang Iblis...?” tanya Panji tanpa mengalihkan pandangannya dari pedang di tangan lawan, yang makin lama dipandang semakin mengguncangkan perasaan.
“Hm.... Senjata ini memang Pedang Iblis. Dan, aku akan mencari pasangannya. Setelah itu, kau tahu sendiri kelanjutannya, bukan...?” sahut Pedang Iblis dengan nada tetap datar dan dingin.
Panji termenung ketika mendengar senjata di tangan lawan bernama Pedang Iblis. Bahkan, tokoh itu mengatakan akan mencari pasangannya. Yang membuat Panji masih belum percaya, kabarnya Sepasang Pedang Iblis sudah lama hilang bersama sepasang tokoh sesat yang memilikinya. Semua itu ia ketahui dari cerita gurunya. Tapi, melihat kekuatan aneh yang muncul dari badan pedang, Panji bisa menilai senjata itu merupakan pusaka yang ampuh dan berbahaya. Semua ingatan itu membuat Panji terdiam untuk beberapa saat lamanya.
EMPAT
Selagi pemuda tampan berjubah putih itu termenung, Pedang Iblis sudah melesat ke depan dengan serangan mautnya. Tanpa peringan lebih dulu. Jelas, betapa liciknya tokoh yang berjuluk Pedang Iblis itu. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat gemblengan dan pengalaman cukup, Panji dapat menangkap suara desingan yang bagai ratusan lebah marah itu. Meski tanpa peringatan lebih dulu Panji segera mengetahuinya.
Maka, begitu telinganya menangkap desingan tajam, pemuda itu cepat mengangkat kepalanya. Tapi, betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan tubuhnya sukar digerakkan. Bahkan, ia tidak bisa melihat sosok lawan kecuali kilauan yang semakin dekat menuju ke arahnya.
“Gila! Sinar yang keluar dari badan pedang itu jelas mengandung kekuatan sihir yang hebat..!” desis Panji segera menghimpun semangatnya. Dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuatan jahat itu.
“Heaaah...!” Panji meraung keras membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya terpental jatuh. Seiring dengan teriakan itu, muncul lapisan kabut putih bersinar keperakan yang menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Kekuatan yang muncul penuh itu segera mengusir kekuatan jahat yang menguasainya. Sehingga, sewaktu pedang lawan tiba, Panji melompat ke samping dan terus melambung berputaran beberapa kali di udara.
Jleggg!
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Panji langsung membentuk kuda-kuda ‘Naga Sakti Mencengkeram Bumi’, yang merupakan bagian dari rangkaian ilmu ‘Silat Naga Sakti’ warisan Malaikat Petir.
“Hm...” Dengan kedua tangan terkembang dan jari-jari membentuk cakar, Panji siap menghadapi lawan yang sudah meluncur datang dengan serangan susulan.
“Haiiit!”
Pada saat serangan lawan tiba, Panji langsung menyelinap di antara kelebatan sinar pedang lawan. Kemudian, berusaha melancarkan serangan balasan dengan jurus-jurus naga saktinya. Tapi, bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan ada hawa aneh yang mengganggu jalan pikirannya. Kekuatan jahat yang menyebar dari badan pedang lawan ternyata mampu membuat jurus-jurusnya jadi kacau. Sehingga, dalam dua puluh jurus kemudian Panji dapat didesak. Sedangkan ia hanya bisa menggunakan kelincahannya untuk menyelamatkan diri.
“Yeaaah!”
Rasa penasaran membuat Panji mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, dan langsung mendorongkan telapak tangannya ke depan menyambut serangan lawan. Akibatnya....
Breshhh!
Hebat sekali apa yang terjadi kemudian. Benturan yang laksana menggetarkan jagat bergema dahsyat! Tubuh Panji terdorong mundur sejauh satu tombak. Sedangkan lawannya terlempar ke belakang dan membentur sebatang pohon besar.
Kraaakh!
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika pohon yang terlanggar tubuh Pedang Iblis tumbang. Sedang tokoh misterius itu terus meluncur sejauh satu tombak lagi. Kenyataan itu membuktikan betapa hebatnya kekuatan tokoh yang berjuluk Pedang Iblis ini.
Panji menghirup udara sebanyak mungkin kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Benturan tadi telah membuat dadanya terasa sesak. Setelah keadaannya pulih, pemuda itu melesat untuk melihat keadaan lawan.
Kenanga, Ki Gulawa dan sepuluh orang pengawal kepala desa bergerak mengikuti Panji. Demikian pula belasan penduduk desa yang menyaksikan pertarungan itu. Sedang penduduk yang masih terpengaruh teriakan Panji tadi masih bergeletakan pingsan di atas tanah berumput Kenanga yang tiba lebih dulu tampak mengerutkan kening ketika melihat kekasihnya berdiri mematung. Bergegas dara jelita itu menghampirinya.
“Bagaimana, Kakang? Apakah Pedang Iblis sudah tewas...?” tanya Kenanga ragu ketika tidak menemukan sosok lelaki berpakaian hitam yang berkepandaian hebat
“Hm... Mungkin ia sudah meninggalkan tempat ini. Sebab, seperti yang kau lihat sendiri tidak ada sesosok manusia pun berada di sini. Pedang Iblis telah melarikan diri. Kemungkinan besar ia akan muncul setelah menemukan Pedang Iblis yang satunya lagi. Hhh.... Sungguh berbahaya sekali...,” desah Panji cemas mengingat betapa berbahayanya tokoh misterius itu bagi keselamatan orang banyak.
Panji merasa berkewajiban untuk melumpuhkan tokoh berjuluk Pedang Iblis. Hanya dirinya sedikit ragu akan dapat menundukkan tokoh itu bila telah memiliki Pedang Iblis yang satunya lagi. Sebab, Panji sudah merasakan betapa hebatnya tokoh itu meski hanya dengan sebilah pedang. Entah bagaimana kehebatan yang dimilikinya bila Sepasang Pedang Iblis telah jatuh ke tangannya.
“Pendekar Naga Putih...!” tiba-tiba terdengar seruan yang membuat pasangan pendekar muda menoleh. Mereka melihat Ki Gulawa tengah bergerak menghampiri. Panji agak heran ketika mendengar Kepala Desa Karapan dapat menebak siapa dirinya.
“Pendekar Naga Putih. Aku sungguh merasa beruntung sekali yang menyelamatkan nyawaku dan penduduk Desa Karapan adalah pendekar yang selama ini kukagumi. Benar-benar merupakan suatu anugerah yang tak ternilai dapat bertemu muka denganmu. Aku mengenalimu setelah melihat ciri-ciri yang selama ini menjadi tanda pengenalmu. Bukankah yang kau gunakan tadi ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’? Sungguh luar biasa. Memang, tepat jika kekuatan itu disebut orang sebagai mukjizat dari sang Pencipta..,” ujar Ki Gulawa yang karena gembiranya langsung berbicara tiada henti bagai anak bebek kehilangan induk.
Sehingga, baik Panji maupun Kenanga hanya bisa tersenyum. Karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menanggapi ucapan Ki Gulawa.
“Ahhh, Ki Gulawa sungguh pandai membuat kepalaku jadi besar. Sudahlah, Ki. Semua itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong,” ujar Panji setelah Ki Gulawa menghentikan kata-katanya.
“Hm.... Kau benar-benar patut dikagumi dan disanjung, Pendekar Naga Putih. Meskipun nama besarmu sudah menjulang mengalahkan tingginya gunung, tapi sikapmu tetap ramah dan rendah hati. Sungguh seorang pendekar besar yang patut dijadikan contoh,” kembali Ki Gulawa mengeluarkan kata-kata pujiannya. Meskipun pujian itu tulus tanpa maksud tersembunyi, tapi Panji tetap merasa risih.
“Sekali lagi terima kasih atas pujianmu, Ki. Dan, karena tokoh berjuluk Pedang Iblis masih akan terus menyebar bencana. Maka, aku harus mengejarnya untuk mencegah kekejamannya,” ujar Panji sekaligus berpamitan untuk meninggalkan Desa Karapan.
Ki Gulawa kelihatan sangat kecewa mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Tapi, alasan yang diberikan pemuda itu memang tidak bisa dipungkiri. Meskipun sebenarnya Ki Gulawa ingin Pendekar Naga Putih singgah di rumahnya, semua itu ditekannya termasuk kekecewaan yang tampak membias di wajah tua itu.
“Maaf, jika aku telah mengecewakan hati Ki Gulawa. Lain kali aku akan singgah ke desa ini dan menemui Aki,” Panji tahu apa yang dipikirkan Ki Gulawa sehingga pemuda itu menghibur dengan janjinya. Membuat wajah orang tua itu berubah cerah.
“Ah, terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku akan menunggu kedatanganmu,” sergah Ki Gulawa tanpa berusaha menyembunyikan kegembiraan hatinya.
“Bagaimana denganku, Ki? Apa aku tidak boleh ikut singgah nanti?” goda Kenanga, membuat Ki Gulawa tersipu.
“Tentu saja, aku pun mengharapkan kedatangan Nisanak beserta Pendekar Naga Putih...,” sahut Ki Gulawa cepat Sehingga, Panji dan Kenanga tersenyum melihat orang tua itu salah tingkah karena ulah Kenanga.
“Kalau begitu, kami pergi dulu, Ki...,” pamit Panji segera mengajak kekasihnya meninggalkan Desa Karapan dengan diiringi pandang mata Ki Gulawa dan para pengawalnya.
********************
“Heya... heyaaa...!”
Suara teriakan-teriakan nyaring berkumandang memecah keheningan pagi yang bening. Ditingkahi suara lecutan cambuk dan derap kaki kuda yang menimbulkan kepulan debu membubung ke angkasa.
Penunggang kuda terdepan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan, adalah seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya ramping padat dengan lekuk sempurna terbungkus sutera merah darah. Rambut bagian atasnya diikat dengan sehelai kain yang juga terbuat dari sutera merah. Sehingga, gadis itu tampak sangat menarik bagi siapa saja yang memandangnya. Hanya sayang, sinar matanya terlihat demikian liar. Seolah membayangkan sifat yang kejam dan genit.
Di belakang dara cantik itu terlihat delapan orang penunggang kuda yang semuanya berpakaian serba hitam. Wajah mereka kelihatan garang pertanda mereka bukan orang baik-baik. Setelah melintasi jalan setapak yang terdapat di sebuah hutan kecil, rombongan itu tiba pada sebuah dataran berbatu yang cukup luas. Sebuah bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak terlihat dari kejauhan.
Gadis cantik berpakaian serba hitam yang menjadi pimpinan rombongan semakin mempercepat lari ku- danya. Sepasang matanya tampak berkilat penuh nafsu ingin segera tiba di bangunan terkurung pagar kayu bulat itu. Melihat sang Pemimpin membedal kudanya, anggota rombongan pun bergegas menyusul. Sehingga, mereka tetap berada setengah tombak di belakang dara cantik berpakaian serba merah itu.
“Haiiit..!”
Begitu tiba di depan gerbang yang bertuliskan ‘Perguruan Harimau Sakti’, dara cantik itu langsung melesat dari atas punggung kudanya. Tubuh ramping itu berputar dua kali sebelum mendaratkan kakinya di depan pintu gerbang. Anggota rombongan yang berjumlah delapan orang segera berlompatan turun dan menghunus senjata. Perbuatan mereka jelas menunjukkan kedatangannya tidak bermaksud baik.
“Hm...” Dara cantik itu bergumam perlahan sambil menyilangkan sepasang tangannya di depan dada. Kedua lengan berkulit halus itu tampak bergerak karena tengah dialiri tenaga dalam kuat
“Hei, apa yang hendak kau lakukan...?!” teriak salah seorang dari dua penjaga yang berada di atas pintu gerbang. Sayang, teguran itu terlambat Sebab, saat itu terdengar bentakan nyaring melengking.
“Hiaaah!”
Rupanya, dara cantik berpakaian serba merah mengeluarkan bentakan sambil mendorongkan telapak tangannya ke arah pintu gerbang. Dan....
Brakkk!
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal langsung hancur berantakan dengan suara keras! Tanpa menunggu kepingan kayu jatuh ke tanah, dara cantik itu menerobos masuk. Demikian pula kedelapan orang pengikutnya.
“Berhenti!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, membuat gadis cantik beserta rombongannya menghentikan langkah dan menoleh ke arah sosok lelaki gagah berusia empat puluh lima tahun. Lelaki yang tidak lain Ki Baginta berdiri tegak menyambut kedatangan para pengacau dengan pedang di tangan. Di belakangnya berkumpul murid-murid perguruan yang berjumlah empat puluh orang lebih. Melihat pedang telanjang di tangan para murid Perguruan Harimau Sakti, jelas mereka telah siap menghadap pertempuran.
“Hm.... Panggil Ki Sawung! Aku mempunyai keperluan penting dengan tua bangka itu...!” bentak dara cantik berpakaian merah dengan sikap yang sangat sombong. Ucapan lancang itu tentu saja membuat murid-murid perguruan menjadi marah.
Ki Baginta merentangkan lengannya mencegah murid-muridnya yang sudah tidak sabar untuk menghajar wanita cantik itu. Sehingga, mereka terpaksa hanya bisa menatap dengan sinar mata penuh kebencian.
“Nisanak, seharusnya aku sebagai tuan rumah yang bertanya lebih dulu padamu. Kau siapa, dan ada keperluan apa dengan guru besar kami? Kalau hanya persoalan sepele, katakan saja padaku. Nanti aku yang akan menyampaikannya...,” ujar Ki Baginta tenang.
Sebagai seorang yang ditugaskan untuk menjaga perguruan selagi Ki Sawung pergi, Ki Baginta tidak mau bertindak ceroboh. Ia kelihatan lebih berhati-hati dalam menentukan sikap. Semua itu karena tanggung jawab yang harus dipikulnya.
“Hm.... Aku tidak mau tahu dengan segala peraturan yang berlaku di sini! Panggil Ki Sawung keluar atau kalian terpaksa harus merasakan tajamnya pedangku...!” ujar gadis cantik berpakaian serba merah berbau ancaman.
Ki Baginta tidak menimpali ucapan dara cantik itu. Dengan sikap yang tetap tenang, lelaki gagah itu melangkah beberapa tindak. Ditatapnya wajah gadis itu dari atas ke bawah seperti tengah menilai seekor ayam aduan. Kemudian, beralih ke arah delapan orang pengikut gadis itu yang rata-rata bertampang kasar dan tidak sedap dipandang. Gadis cantik berpakaian serba merah kelihatan tidak sabar melihat sikap Ki Baginta. Kepalanya bergerak mengangguk sebagai isyarat bagi pengikutnya untuk bergerak.
“Yeaaat..!”
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang tepat berada di belakang gadis berpakaian serba merah segera menerjang Ki Baginta dengan pedang di tangan.
Bettt! Wuttt!
Ki Baginta menggeser mundur langkahnya dengan tubuh miring. Sambaran yang mengancam perut dan lehernya luput menebas angin kosong. Begitu serangan lawan lolos, Ki Baginta kembali menggeser kaki kanannya ke depan. Sepasang tangannya bergerak melakukan tamparan dan pukulan ke arah dua orang lawannya.
Bettt! Bettt!
Terkejut juga hati lelaki gagah itu ketika melihat kegesitan lawan-lawannya. Kedua lelaki kasar itu ternyata mampu menghindari serangan balasannya. Bahkan, masih sempat membalas serangan Ki Baginta dengan tidak kalah berbahayanya.
“Haiiit..!”
Sadar kedua orang itu cukup tangguh dan tidak bisa dirobohkan dalam waktu singkat, Ki Baginta membentak sambil menggenjot tubuhnya yang langsung membubung ke udara dan berputaran beberapa kali, sebelum mendarat di depan murid-muridnya.
“Hmh...!”
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Ki Baginta segera mengisyaratkan murid-muridnya untuk mulai menyerang.
“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Murid-murid Perguruan Harimau Sakti yang semenjak tadi sudah merasa tidak sabar, langsung meluruk ke arah sembilan orang pengacau. Mereka tampak demikian bersemangat untuk mengusir tamu-tamu tak diundang itu.
Melihat murid-murid Perguruan Harimau Sakti datang menyerang, dara cantik itu tersenyum sinis. Kemudian, memerintahkan para pengikutnya untuk menyambut kedatangan lawan. Sedangkan ia sendiri bergerak menyingkir dari arena pertempuran kecil-kecilan yang sudah berkobar.
Demikian pula Ki Baginta. Lelaki gagah itu bergerak menjauhi arena pertempuran. Jelas, Ki Baginta hendak menghadang pimpinan pengacau itu.
“Kau benar-benar keras kepala, Orang Gagah. Rupanya, kau lebih suka mati daripada harus memanggil guru besarmu itu...,” dengus dara cantik berpakaian serba merah yang sudah berhadapan dengan Ki Baginta dalam jarak satu tombak. Kali ini sepasang matanya mengerjap nakal, seolah hendak meruntuhkan kekerasan hati Ki Baginta dengan kecantikan dan kerling matanya.
Ki Baginta bukan tidak tahu maksud kerjapan mata gadis cantik itu. Namun, mengingat tanggung jawab yang telah diberikan Ki Sawung kepadanya, sikap genit gadis itu tidak diladeninya,
“Tidak perlu banyak cakap lagi, Nisanak. Kau hanya bisa menemui Guru Besar kami bila telah melangkahi mayatku...,” geram Ki Baginta menggertakkan giginya kuat-kuat
“Hm.... Apa susahnya melakukan hal itu...,” sahut gadis cantik itu tersenyum sinis, membuat darah Ki Baginta menggelegak karena merasa diremehkan.
“Mengapa tidak segera kau lakukan...?” balas Ki Baginta segera menyiapkan jurusnya.
“Kalau kau belum mati, bagaimana mungkin aku bisa melangkahi mayatmu? Sebaiknya gorok batang lehermu, baru aku bisa melaksanakan permintaanmu itu...?” ejek gadis berpakaian serba merah berpura-pura bodoh.
Ki Baginta tentu saja mengerti lawannya berpura-pura bodoh. Ia menduga gadis cantik itu hendak mempermainkannya. Sayang, kali ini gadis itu bertemu dengan Ki Baginta yang tidak mudah dipermainkan orang dengan kata-kata maupun ejekan.
“Hm.... Tentu saja sangat mudah bagiku untuk melakukannya sendiri. Tapi..., aku ragu kau mampu melakukannya untukku...,” sambut Ki Baginta seraya memperlihatkan senyum. Ucapan itu sekaligus merupakan ungkapan bahwa Ki Baginta meragukan gadis berpakaian serba merah akan sanggup melawannya.
“Iblis...!” desis gadis berbaju merah, jengkel. Rupanya, gadis itu tahu bahwa dalam hal bersilat lidah, dirinya tidak akan menang menghadapi Ki Baginta yang tampaknya pintar membalikkan kata-kata.
Senyum di bibir Ki Baginta semakin melebar ketika melihat gadis cantik itu menyiapkan jurus untuk menyerangnya. Tapi, lelaki itu tetap tenang dan mengges- er langkahnya ke kanan, membentuk kuda-kuda serong yang kokoh dan indah. Sebagai murid Perguruan Harimau Sakti yang berintikan silat harimau, tentu saja kuda-kuda yang diajarkan mengikuti gerak-gerik harimau. Dan, semua itu telah dipelajari Ki Baginta dengan sempurna. Jadi, tidak aneh jika kuda-kuda yang diperlihatkannya terlihat kokoh dan mencerminkan kejantanan.
“Hm...,” dara cantik berpakaian serba merah mendengus saat melihat kuda-kuda Ki Baginta. Perlahan tangannya bergerak meraba gagang pedang yang tersembul di pinggang. Dan....
Srattt!
Seberkas sinar berhawa aneh yang sanggup mengacaukan pemusatan pikiran, berpendar ketika pedang di pinggang gadis itu keluar dari warangkanya. Ki Baginta terkejut menyaksikan sinar pedang di tangan gadis itu.
“Pedang Iblis Betina...?!” desis Ki Baginta menerka senjata yang dipergunakan lawan.
Lelaki gagah itu langsung dapat menebak dengan tepat Sebab, selain sudah mendengar cerita gurunya tentang sejarah Pedang Iblis, lelaki itu telah menyaksikan dan merasakannya sendiri sewaktu menghadapi pencuri yang beberapa waktu lalu membawa lari Pedang Iblis Jantan dari perguruannya. Kenyataan senjata di tangan lawan adalah Pedang Iblis Betina, membuat Ki Baginta segera dapat meraba maksud kedatangan dara cantik itu ke perguruannya.
“Ahhh, hebat sekali! Rupanya kau sudah tahu nama pusaka keramat di tanganku ini. Kalau begitu, kau pasti tahu tentang pedang keramat yang satunya lagi,” seru gadis cantik itu yang tampak agak kaget ketika mendengar desisan Ki Baginta. Tapi, kekagetannya bercampur kegembiraan. Sebab, tujuannya mendatangi Perguruan Harimau Sakti memang untuk mencari Pedang Iblis Jantan.
“Sebagai keturunan orang-orang gagah pendiri dan pembuat Sepasang Pedang Iblis, tentu saja aku mengetahui sejarah dan keampuhan senjata itu,” sahut Ki Baginta sengaja membanggakan diri untuk melihat sikap gadis cantik pemegang Pedang Iblis Betina.
“Sayang, menurut guruku keampuhan Sepasang Pedang Iblis akan berkurang bila tidak bersatu dan pemegangnya tidak cocok.”
“Bagus, jika kau tahu banyak tentang pedang ini. Aku memang hendak mempersatukannya. Selain itu, aku tidak cocok memegang Pedang Iblis Betina. Karena keampuhan senjata ini akan semakin berlipat bila pemegangnya seorang laki-laki. Demikian pula dengan Pedang Iblis Jantan. Akan lebih baik jika pemegangnya seorang wanita...,” ujar gadis itu tanpa sadar menerangkan apa yang diketahuinya tentang Sepasang Pedang Iblis.
Ki Baginta cukup terkejut mendengar gadis cantik itu tahu banyak mengenai Sepasang Pedang Iblis. Sebab, Ki Sawung tidak bercerita tentang hal itu. Entah gurunya terlupa atau mungkin tidak tahu. Yang jelas Ki Baginta telah mendapat pengetahuan baru tentang Sepasang Pedang Iblis yang ampuh dan mengerikan itu. Maka, lelaki itu tidak berbicara lagi. Hanya mencoba meneliti dan mencari kelemahan yang dimaksud gadis cantik itu. Untuk memancing gadis itu menunjukkan kelemahan yang baru dikatakannya tentu tidak mungkin. Satu-satunya jalan ia harus berusaha merebut Pedang Iblis Betina dari tangan lawan.
Agaknya, gadis cantik itu tahu jalan pikiran Ki Baginta. Terdengar tawanya yang mengejek, membuat wajah Ki Baginta berubah merah. Lelaki itu merasa ditelanjangi lawan.
“Kau bermimpi jika hendak merebut senjata ini dari tanganku, Orang Gagah...,” ejek gadis cantik itu sambil memutar senjatanya.
Melihat hal itu, Ki Baginta langsung melangkah mundur seraya menyiapkan pedangnya di depan dada. Apalagi mengingat keampuhan dan kehebatan Pedang Iblis yang memiliki pancaran hawa jahat itu.
LIMA
“Haiiit..!”
Diiringi sebuah lengkingan panjang yang menyakitkan telinga, tubuh gadis cantik itu meluncur dengan tusukan pedangnya, mengarah tenggorokan Ki Baginta.
Wuttt! Wuttt..!
Ki Baginta memutar tubuhnya membentuk benteng pertahanan dengan jurus ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Ilmu pedang itu sangat baik untuk menyerang maupun bertahan. Dan, kehebatan ilmu pedang Perguruan Harimau Sakti telah terkenal sejak puluhan tahun silam. Begitu serangan pedang lawan tiba, Ki Baginta menggeser tubuhnya tanpa berusaha menangkis. Sebab, selain telah mengetahui sasaran Pedang Iblis, lelaki itu pun menyadari ketajaman senjata maut itu yang mampu memapas putus senjatanya. Itu sebabnya, ia tidak berani memapaki serangan lawan.
“Yiaaah...!”
Setelah serangan lawan luput, Ki Baginta tidak ingin memberi peluang pada lawan untuk membangun serangan berikutnya. Lelaki gagah itu langsung menyabetkan pedangnya ke tubuh lawan dengan kecepatan dan kekuatan penuh.
Tapi, gadis cantik berpakaian serba merah itu bukan orang sembarangan. Sebagai pemegang Pedang Iblis, tentu saja kepandaian yang dimilikinya harus tinggi. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam kuat saja yang sanggup memegang pedang keramat itu. Kalau tidak, pemegangnya akan menjadi gila oleh pengaruh yang keluar dari senjata maut yang mengerikan itu.
Ki Baginta yang belum mengetahui hal itu berusaha merebut senjata lawan. Terbukti, serangan pedangnya selalu ditujukan ke arah pergelangan tangan lawan. Maksudnya hendak membuat pedang lawan terlepas dari genggaman bila ujung pedangnya berhasil mengenai sasaran.
Gadis cantik itu kelihatan cukup kagum akan ilmu pedang lawan. Berkali-kali terdengar ia berseru, memuji perubahan gerak ilmu pedang Ki Baginta. Tapi, ketika pertempuran telah melewati jurus kesepuluh, gadis cantik itu mulai merubah permainan pedangnya. Bahkan, pancaran sinar dari badan Pedang Iblis mulai menunjukkan keampuhannya. Permainan Ki Baginta terlihat kacau dan serangan-serangannya tidak bisa dikendalikan lagi. Meski demikian, Ki Baginta tidak tahu yang membuat jurus-jurusnya kacau adalah hawa jahat yang keluar dari badan Pedang Iblis. Kalau saja hal itu diketahuinya, mungkin Ki Baginta tidak berani bertempur dalam jarak dekat
“Yiaaat..!”
Lima jurus kemudian, Ki Baginta kelihatan mulai tak berdaya menghadapi serbuan-serbuan lawan. Lelaki gagah itu tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan dengan baik. Bahkan, beberapa kali nyaris menjadi sasaran pedang lawan. Untung incaran ujung pedang lawan selalu pada tenggorokannya. Hingga, ia selalu dapat menghindar sampai jurus kelima belas.
Tapi, gadis cantik itu memang bukan tokoh sembarangan. Melihat keuletan lawan, pada jurus keenam belas tiba-tiba gadis itu memekik nyaring. Sambaran pedangnya meluncur dengan kecepatan tinggi, mengancam tenggorokan lawan.
Bettt..!
Ki Baginta melempar tubuhnya ke belakang, dan terus bergulingan menjauhi lawan. Malang, begitu ia melenting bangkit, mendadak tubuh lawan telah berada di dekatnya, dan langsung menyarangkan sebuah tendangan yang telah menghajar dada.
Desss!
“Huakhhh..!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Baginta terjengkang akibat tendangan keras itu. Darah segar termuntah keluar dari mulutnya. Lelaki gagah itu masih terus terguling-guling sejauh dua tombak!
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan lawannya yang langsung melesat mengejar tubuh Ki Baginta. Pedang Iblis Betina yang berada di tangan kanannya bergerak datar, siap merobek tenggorokan murid utama Perguruan Harimau Sakti itu.
Wesss...!
Pada saat yang menentukan bagi nasib Ki Baginta, tiba-tiba berhembus serangkum angin keras, membuat tubuh gadis cantik berpakaian serba merah itu terhuyung ke samping. Dorongan angin pukulan berhawa dingin itu telah menyelamatkan Ki Baginta dari kematian yang mengerikan.
“Setan...!” gadis cantik berpakaian serba merah mengumpat kesal. Kakinya dijejakkan ke tanah kuat-kuat untuk meredam daya dorong yang amat kuat. Tubuhnya terlihat agak menggigil. Karena pukulan jarak jauh itu mengandung hawa dingin menusuk tulang.
Sementara itu, sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih tampak tengah menarik bangkit Ki Baginta, dan mengangsurkan sebutir pil berwarna putih seperti salju.
“Telanlah, agar luka dalammu tidak semakin parah...,” ujar sosok berjubah putih ketika melihat keraguan di mata lelaki gagah yang ditolongnya.
Ki Baginta tidak segera melaksanakan permintaan penolongnya. Tapi, ketika melihat wajah tampan yang tersenyum penuh persahabatan, dia tidak ragu-ragu lagi dan langsung menelan pil itu. Apa yang dirasakan murid utama Perguruan Harimau Sakti membuatnya merasa gembira. Sebab, beberapa saat setelah obat itu masuk ke dalam perutnya, Ki Baginta merasa suatu hawa mukjizat yang membuat tubuhnya nyaman. Lelaki itu merasa bersyukur sekali mendapat obat luka dalam yang sangat mujarab.
“Terima kasih, Kisanak. Obatmu sungguh luar biasa sekali. Rasanya hanya seorang tabib sakti saja yang memiliki obat seperti ini...,” ujar Ki Baginta menatap sosok pemuda tampan berjubah putih dengan penuh terima kasih.
Sosok berjubah putih yang tidak lain Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih, hanya tersenyum menanggapi ucapan Ki Baginta. Kemudian, mengalihkan perhatiannya ke arah sosok gadis berpakaian serba merah yang tengah menatapnya dengan sorot mata penuh kejengkelan. Tapi begitu Panji berbalik, terlihat ada sorot kekaguman dalam sinar mata gadis itu, yang rupanya tidak bisa disembunyikan.
Kini keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak lebih. Mata gadis cantik itu menjelajahi sekujur tubuh Panji. Seolah hendak menilai dan mengenali siapa pemuda berjubah putih yang memiliki tenaga dalam kuat itu.
Sedang Panji tetap tegak dengan sikap tenang, tanpa rasa permusuhan. Kecuali meneliti pedang di tangan gadis cantik yang membuat keningnya berkerut dalam. Pedang itu mengingatkan Panji pada lelaki berpakaian serba hitam yang tengah dicarinya. Sebab, pedang di tangan gadis cantik berpakaian serba merah sangat mirip dengan pedang yang dimiliki sosok misterius yang pernah bertarung dengannya di Desa Karapan.
Saat itu keadaan murid-murid Perguruan Harimau Sakti benar-benar kacau. Lawan-lawannya yang hanya berjumlah delapan orang ternyata memiliki kepandaian tinggi. Sehingga, banyak murid-murid Ki Sawung tewas di tangan mereka. Meskipun demikian, murid- murid Perguruan Harimau Sakti tidak putus asa dan merasa gentar. Mereka tetap bertarung dengan semangat tinggi untuk mengusir para pengacau itu.
Dua orang murid Ki Sawung kembali terpelanting roboh terkena sambaran pedang lawan. Namun, ketika keadaan mereka semakin memburuk, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hijau yang langsung terjun ke dalam kancah pertempuran!
Munculnya sosok berpakaian serba hijau yang berpihak pada mereka ternyata membawa perubahan besar. Karena begitu tiba, sosok itu langsung membuat salah seorang lawan terpelanting bermandikan darah, dan tewas seketika itu juga dengan usus terburai! Tentu saja kejadian itu membuat murid-murid Perguruan Harimau Sakti jadi bersemangat! Mereka kembali menyerbu lawan-lawannya dengan semangat berlipat ganda.
“Haiiit...!”
Gerakan sosok berpakaian hijau yang bertubuh ramping memang sungguh hebat. Kembali tubuhnya melesat ke depan dengan lengkingan nyaring yang panjang. Pedang bersinar putih keperakan di tangan kanannya berkelebat cepat, membuat salah seorang lawan tak sempat lagi menyelamatkan diri dari sambaran yang cepat dan kuat itu. Sehingga....
Brettt! Brettt!
“Aaaa..!” Pengikut gadis cantik berpakaian serba merah yang malang itu langsung terjungkal, setelah tubuhnya dibabat pedang lawan sebanyak dua kali. Luka yang memanjang dan cukup dalam serta mengeluarkan banyak darah, mengakibatkan nafasnya melayang seketika itu juga. Kejadian itu kembali membuat hati murid-murid Perguruan Harimau Sakti bersorak gembira!
Sebaliknya, pihak lawan yang menyaksikan kejadian itu menjadi gentar hatinya. Sepak terjang sosok berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga, membuat mereka terkejut bukan main! Sebab, dalam beberapa gebrakan saja dua orang dari mereka tewas terbunuh. Peristiwa itu memaksa mereka bergerak mundur dengan wajah tegang. Rupanya, mereka sadar dara jelita berpakaian serba hijau itu bukan lawan yang sebanding dengan mereka.
“Hm...,” Kenanga bergumam perlahan ketika melihat lawan-lawannya bergerak mundur. Pedang bersinar putih keperakan di tangannya menyilang di depan dada. Dengan langkah tenang, dara jelita itu bergerak mendekati lawan-lawannya yang tampak saling berpandangan satu sama lain.
Terlihat keenam orang bertampang garang itu menganggukkan kepala. Agaknya, mereka telah sepakat untuk menghadapi dara jelita itu sampai titik darah terakhir. Karena untuk meninggalkan arena pertempuran tanpa seizin gadis berpakaian merah, mereka tidak berani. Satu-satunya pilihan bagi mereka adalah bertarung mati-matian.
Kenanga tampaknya tahu apa yang disepakati lawan-lawannya. Terbukti dara jelita itu kembali mempersiapkan jurusnya untuk menghadapi keroyokan lawan yang kini berjumlah enam orang. Pedang sinar putih keperakan di tangannya berputar membentuk gulungan sinar yang bergerak turun-naik, bagai seekor ular raksasa yang siap menerkam mangsanya.
“Haaat...!”
“Yeaaa...!”
Keenam orang bertampang garang itu meluruk ke arah Kenanga dengan serangan yang bertambah buas dan ganas! Sinar enam bilah pedang itu berkelebatan bagai tangan-tangan maut, yang siap menjemput nyawa dara jelita itu ke akhirat.
Tapi, Kenanga telah mempersiapkan diri dengan baik. Maka, ketika keenam bilah pedang itu tiba, gadis itu segera menggerakkan senjatanya menghadapi keroyokan lawan. Tubuhnya yang ramping bergerak cepat Keenam orang pengikut gadis berpakaian merah benar-benar dibuat penasaran. Sebab, setiap kali pedang mereka berkelebat menyambar, tubuh gadis jelita itu selalu saja sudah berpindah tempat Bahkan, tidak jarang tubuh ramping itu bergerak menyelinap di antara enam pedang lawan. Tampaknya, tubuh gadis jelita itu tidak dapat tersentuh ujung pedang mereka. Ini yang membuat keenam lawannya semakin penasaran!
“Haiiit..!”
Ketika pertempuran telah berlangsung cukup lama, tiba-tiba dara jelita itu mengeluarkan pekikan yang mengejutkan! Bersamaan dengan itu, pedang di tangannya berkelebat laksana sambaran kilat di angkasa, yang langsung mengancam tubuh dua pengeroyoknya. Dan....
“Aaa...!”
Dua orang lelaki kasar meraung kesakitan! Tubuh keduanya terpelanting jatuh terkena sabetan pedang Kenanga. Darah segar mengucur keluar mengiringi nyawa mereka yang melayang ke akhirat!
Sebelum empat orang lainnya tersadar dari rasa terkejut, Kenanga sudah menerjang maju dengan kelebatan pedang yang menggetarkan jantung. Pertempuran pun berlangsung sengit Karena keempat lawannya berusaha mati-matian untuk mempertahankan selembar nyawa mereka!
Di bagian lain, Panji tengah bertarung ketat dengan gadis cantik berpakaian serba merah. Serbuan-serbuan yang dilancarkan lawan sempat membuat Panji kewalahan. Apalagi, lawannya seorang gadis dan belum sempat disaksikan kekejamannya. Sehingga Panji merasa jengah untuk melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Ditambah lagi, setiap lontaran serangan Panji selalu dihadapi gadis cantik itu dengan memberikan bagian-bagian tubuhnya yang tabu bagi Panji untuk disentuh tangannya. Sehingga, pemuda itu selalu menarik pulang serangannya setiap kali terlontar. Ini yang membuat Panji agak kewalahan mengha- dapi lawan kali ini.
Sekali dua kali gerakan itu dilakukan Panji, membuat lawannya sadar dan memanfaatkan peluang itu untuk mencari kemenangan. Kelemahan pemuda tampan berjubah putih memberi keleluasaan pada gadis itu untuk melancarkan serangan. Sehingga, Panji terpaksa harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan maut lawannya.
“Perempuan kotor dan licik...!” Ki Baginta yang sesekali sempat melihat kenyataan itu, memaki geram. Lelaki itu tidak menyalahkan Panji yang selalu menarik pulang serangan balasannya. Karena hal itu pun akan dilakukannya bila bertarung dengan seorang wanita muda. Sebagai orang gagah, pantang bagi mereka untuk menyentuh bagian terlarang tubuh seorang gadis, meskipun itu terjadi dalam pertarungan. Jika tidak terpaksa sekali, Ki Baginta pun tidak mau melakukannya.
“Haiiit..!”
Untuk kesekian kalinya, gadis cantik berpakaian serba merah kembali melancarkan sebuah serangan maut Pedang berhawa aneh di tangannya berkelebat cepat mengancam tenggorokan Panji.
Wuttt..!
Panji menarik mundur langkahnya menghindari sabetan maut itu. Kemudian, terus melakukan lompatan pendek ke samping ketika pedang lawan berputar dengan babatan miring. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu langsung melontarkan sebuah hantaman telapak tangan ke bahu kanan lawan yang terbuka.
“Aaah...!” Sadar bahwa dirinya terancam, gadis cantik itu memutar tubuhnya, dan memberikan dadanya untuk menyambut hantaman telapak tangan Panji. Tentu saja pemuda itu terkejut, dan bergegas menarik pulang serangannya, lalu melompat jauh ke belakang. Karena begitu serangannya ditarik pulang, pedang di tangan gadis cantik itu menyambar ke arah perutnya dengan kecepatan kilat!
“Hm...” Setelah mendaratkan kakinya di tanah dalam jarak satu setengah tombak dari lawan. Panji menyilangkan kedua tangannya, siap menggunakan ilmu ‘Silat Naga Sakti’ warisan Malaikat Petir. Meskipun kepandaian gadis cantik pemegang Pedang Iblis masih berada di bawah tingkat kepandaian lelaki berpakaian serba hitam yang juga bersenjatakan Pedang Iblis, tapi kelicikan gadis itu yang memanfaatkan kelemahannya, memaksa Panji harus menggunakan ilmu silat andalannya yang jarang dipergunakan kecuali menghadapi lawan berat
Melihat Pendekar Naga Putih tengah menyiapkan jurus barunya, gadis cantik itu mengerutkan kening. Rupanya, dia dapat menduga kalau jurus yang kali ini dikeluarkan lawan pasti sangat hebat. Satu hal yang membuat gadis itu penasaran, dirinya tidak mengenal siapa pemuda tampan berjubah putih yang memiliki kepandaian hebat itu. Jika bukan karena kelicikannya, mungkin sudah sejak tadi dia dirobohkan pemuda tampan yang menarik hatinya itu.
Tapi ketika melihat Panji mempersiapkan jurus barunya, gadis itu tampak terkejut bukan main. Saat itu tubuh lawan mengeluarkan sinar putih keperakan. “Pendekar Naga Putih...?!” desis gadis cantik berpakaian serba merah terkejut. Ia baru dapat menerka siapa pemuda berjubah putih itu, setelah melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya. Ciri-ciri seperti itu hanya dimiliki satu orang, yang saat itu telah mengguncangkan rimba persilatan dengan sepak-terjangnya yang hebat dan ilmu-ilmu andalan yang tiada bandingannya.
“Pendekar Naga Putih...?!” Ki Baginta pun tidak kalah terkejut mendengar disebutkannya nama Pendekar Naga Putih oleh gadis berpakaian serba merah. Nama besar pendekar muda itu telah didengar dari gurunya. Kenyataan itu membuat Ki Baginta semakin lega. Sebab, kemunculan pendekar muda yang tersohor itu pasti akan dapat menyelamatkan perguruannya dari kemusnahan. Pikiran itu membuat dada Ki Baginta lapang.
Sedangkan wanita berpakaian serba merah tampak mulai diliputi kecemasan. Gadis itu merasa gentar untuk menghadapi pemuda berjubah putih setelah mengetahui jati dirinya. Sepasang matanya mengerling ke kiri dan kanan seperti hendak mencari jalan untuk meloloskan diri. Apalagi, ketika melihat para pengikutnya tinggal dua orang dan tengah didesak seorang gadis berpakaian serba hijau. Semakin sadarlah gadis itu bahwa usahanya untuk mendapatkan Pedang Iblis Jantan tidak mungkin terwujud. Sebab, penghalang yang harus dihadapinya terlalu kuat
“Aaa...!” Hati gadis cantik yang genit dan licik itu semakin tegang, ketika mendengar jeritan pengikutnya yang roboh di tangan gadis cantik berpakaian serba hitam. Melihat kecepatan gerak gadis itu, sadarlah dirinya bahwa jika ia tidak segera meninggalkan tempat itu jelas akan dapat dikalahkan lawan Menghadapi Pendekar Naga Putih saja ia sudah merasa tidak mungkin menang. Apa jadinya jika gadis berpakaian serba hijau ikut turun tangan menghadapinya. Jelas, ia tidak mungkin lagi bisa menggunakan kelicikannya. Dan, sudah pasti dirinya akan kalah. Menyadari kedudukannya berada di pihak yang lemah, mendadak gadis cantik itu melenting ke udara disertai lengkingan panjang menggetarkan jantung.
“Haiiit..!” Tubuh ramping padat terbungkus pakaian sutera merah darah itu berputaran di udara, dan terus melesat ke arah pintu gerbang begitu kedua kakinya menginjak tanah.
Kenanga yang sudah menyelesaikan lawan terakhirnya berseru mencegah. Tubuh dara jelita itu bergegas mengejar gadis berpakaian serba merah yang melarikan diri. Demikian pula dengan Panji. Pemuda tampan itu bergerak cepat melakukan pengejaran dengan mengerahkan ilmu lari cepat. Sayang, ia tidak melihat gelagat lawan yang hendak melarikan diri. Sehingga, setelah gadis itu tiba di dekat pintu gerbang, Panji baru mengejarnya.
Gadis cantik itu rupanya sadar dirinya akan dapat terkejar jika terus melarikan diri. Maka, ketika melihat dara berpakaian serba hijau mengejarnya, cepat ia menghentikan langkah. Kemudian berbalik cepat setelah merogoh sesuatu dari balik pakaian. Dan...
Sing! Sing! Sing...!
Empat cahaya putih berkilauan menyambut tubuh Kenanga. Dara jelita itu pun sadar gadis yang dikejarnya telah melepaskan senjata-senjata rahasia untuk mencegah dirinya. Cepat ia melenting ke udara dan berputaran, sambil menyabetkan senjatanya ke arah dua cahaya putih yang mengancam tubuhnya. Sedangkan dua cahaya lainnya meluncur di bawahnya. Agaknya lawan sudah dapat menebak Kenanga akan melenting ke udara untuk menghindari senjata-senjata rahasia itu. Kenanga terpaksa harus melupakan lawannya sesaat untuk menghalau senjata rahasia itu.
Tring! Tring...!
Dua buah paku berkilat yang cukup besar langsung runtuh terkena tebasan pedangnya. Melihat kilatan di badan paku, Kenanga tahu senjata rahasia itu telah dilumuri racun. Tubuhnya baru meluncur turun, setelah berhasil menggagalkan serangan gelap lawan.
Sedangkan gadis cantik berpakaian serba merah sudah membedal kudanya bagai kesetanan. Sehingga, Kenanga hanya bisa membanting kakinya dengan hati geram.
“Kau tidak apa-apa, Kenanga...?” tanya Panji yang saat itu telah tiba di dekat kekasihnya. Pemuda itu menunda pengejarannya karena melihat kekasihnya terancam senjata gelap yang dilepaskan gadis cantik berpakaian sutera merah tadi.
“Untunglah aku sempat melihat gerakannya ketika mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, Kakang. Kalau tidak, rasanya sulit bagiku untuk menghindari serangan gelap gadis licik itu...,” sahut Kenanga menarik napas lega.
“Syukurlah...,” desah Panji ikut menghela napas lega. Serangan gelap yang dilakukan gadis berpakaian merah begitu tiba-tiba datangnya. Selain itu, Kenanga dalam keadaan berlari cepat. Tentu saja itu sangat berbahaya. Sehingga, Panji sempat cemas akan keselamatan kekasihnya. Untunglah dara jelita itu telah waspada sebelumnya. Kalau tidak, kemungkinan besar serangan gelap itu telah melukainya.
“Hm... Lain kali aku tidak akan membiarkannya lolos. Sebab, ia memiliki pedang yang serupa dengan lelaki berpakaian serba hitam yang kita cari. Dengan demikian, berarti Sepasang Pedang Iblis muncul kembali setelah lenyap sekian puluh tahun. Dan, itu berarti bencana bagi orang banyak...,” gumam Panji dengan wajah membayangkan kecemasan.
Kenanga hanya menghela napas perlahan. Beberapa saat kemudian, pasangan pendekar muda itu membalikkan tubuh, dan menghampiri Ki Baginta yang tengah menatap keduanya dengan pandangan penuh kagum dan hormat
ENAM
“Kalau boleh ku tahu, apa tujuan wanita berpakaian serba merah itu mengacau perguruan ini, Paman...?” tanya Panji saat mereka bertiga berkumpul di sebuah ruangan di dalam bangunan induk Perguruan Harimau Sakti.
Ki Baginta tidak langsung menjawab pertanyaan pemuda tampan yang diketahuinya Pendekar Naga Putih. Baru setelah menarik napas panjang, lelaki gagah itu menjawabnya. “Sebenarnya, apa yang akan kusampaikan ini merupakan rahasia perguruan kami. Tapi, karena kini masalahnya sudah berkembang semakin jauh, dan mungkin telah banyak orang yang tahu maka aku akan menceritakannya padamu, Pendekar Naga Putih. Selain itu, aku pun akan meminta bantuanmu untuk menyelesaikan persoalan ini...,” ujar Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang. Sebab, menilik dari ucapannya, apa yang akan disampaikan lelaki gagah itu kelihatan sangat rahasia.
“Tentu saja setelah tahu persoalan kami siap membantumu, Paman. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran,” ujar Panji menimpali ucapan Ki Baginta yang membuat lelaki gagah itu tersenyum lega.
“Gadis cantik berpakaian serba merah itu bermaksud hendak mengambil Pedang Iblis yang dimiliki secara turun-temurun oleh guru besar kami. Entah dari mana gadis jahat itu mengetahui perguruan kami menyimpan pusaka keramat yang bernama Pedang Iblis. Mungkin gadis itu merupakan keturunan pencuri Pedang Iblis Betina beberapa puluh tahun silam. Sebab, ia memiliki Pedang Iblis Betina. Dan, kemunculannya itu disebabkan telah lenyapnya Pedang Iblis Jantan dari ruangan rahasia yang hanya diketahui guru besar kami dan seorang kepercayaannya. Karena Pedang Iblis Jantan telah kembali meminta korban, maka pemilik Pedang Iblis Betina pun muncul. Seolah antara kedua pedang keramat itu mempunyai pertalian gaib yang sulit diterima akal sehat,”
Ki Baginta menghentikan ceritanya seraya menghela napas panjang. Kelihatan sekali lelaki gagah itu merasa berduka dengan kejadian yang bertubi-tubi datang melanda perguruannya.
“Paman, apakah pencuri Pedang Iblis Jantan seorang lelaki berpakaian serba hitam...?” Kenanga yang teringat akan pengacau di Desa Karapan langsung menebak.
“Apa kau pernah bertemu dengan pencuri keparat itu, Nisanak? Di mana kalian berjumpa dengannya...?” Ki Baginta kelihatan kaget mendengar pertanyaan Kenanga. Karena dapat menebak dengan tepat, lelaki itu pun menduga Pendekar Naga Putih dan dara jelita berpakaian serba hijau telah bertemu dengan pencuri Pedang Iblis Jantan.
“Benar Paman. Bahkan aku sempat bentrok dengannya. Sayang, ia berhasil meloloskan diri dengan cara yang licik,” timpal Panji menjawab pertanyaan Ki Baginta yang sebenarnya diajukan pada Kenanga.
“Ahhh.... Sayang sekali. Sebab, dengan munculnya pemegang Pedang Iblis Betina keadaan akan semakin bertambah kacau. Terlebih lagi jika Sepasang Pedang Iblis telah bersatu. Sulit sekali untuk mengatasinya. Kita harus mencegah hal itu terjadi, Pendekar Naga Putih. Sebenarnya pemegang Pedang Iblis itu sama-sama tidak cocok. Seharusnya Pedang Iblis Jantan dipegang oleh seorang wanita, dan Pedang Iblis Betina dipegang laki-laki. Dengan begitu, keampuhannya bisa berlipat ganda. Kalau sampai kedua pemegang pedang itu bertemu, rasanya dunia persilatan akan geger. Malapetaka bagi orang banyak akan datang...,” ujar Ki Baginta dengan wajah semakin berduka. Jelas, lelaki gagah itu sangat mengkhawatirkan keselamatan orang banyak.
Penjelasan Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga ikut prihatin. Sebab, kenyataan itu merupakan tanggung jawab mereka sebagai orang-orang gagah yang menegakkan kebenaran dan memberantas segala kebathilan di atas muka bumi.
“Semenjak tadi aku tidak melihat ketua perguruan ini, Paman? Apakah beliau tengah bersemadi di ruang khusus yang tidak boleh diganggu...?” tanya Panji ketika teringat sejak pengacau datang, dirinya tidak melihat Ketua Perguruan Harimau Sakti.
“Guru besar kami tengah melakukan pengejaran terhadap pencuri Pedang Iblis Jantan. Beliau pergi beberapa hari yang lalu bersama Kandala, adik seperguruanku. Mungkin beliau belum mendengar munculnya pemegang Pedang Iblis Betina. Ah, beliau tentu akan semakin cemas bila mengetahui Sepasang Pedang Iblis akan kembali menebar bencana di atas muka bumi ini...,” jawab Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga menganggukkan kepala.
“Kalau demikian, kita harus segera bertindak cepat sebelum kedua Pedang Iblis itu bersatu,” ujar Kenanga sambil menatap wajah mendung Ki Baginta.
“Benar, Nisanak. Sayang, aku tidak bisa meninggalkan perguruan untuk menemani kalian..,” jawab Ki Baginta agak menyesal sebab tidak bisa menemani Pendekar Naga Putih dan Kenanga untuk menghentikan keganasan Pedang Iblis.
“Tak apalah, Paman. Tugas yang diberikan padamu rasanya tidak kalah penting dengan yang akan kami lakukan. Sebaiknya kami pergi sekarang untuk mencari dan mencegah bencana yang akan ditimbulkan Sepasang Pedang Iblis...,” ujar Panji
“Baiklah, kalau begitu. Aku hanya bisa berdoa untuk keberhasilan kalian berdua...,” sahut Ki Baginta seraya bergerak bangkit dari kursinya untuk mengantarkan kepergian pasangan pendekar muda itu.
Panji dan Kenanga segera berpamitan pada lelaki gagah itu. Keduanya menolak dengan halus ketika Ki Baginta hendak menyiapkan kuda untuk mereka.
“Kami biasa melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, Paman. Rasanya itu akan lebih menguntungkan tugas kami. Terima kasih atas kebaikan Paman...,” tolak Panji mengajukan alasan yang dapat dimengerti Ki Baginta.
Lelaki gagah murid utama Ki Sawung itu mengantarkan kepergian Panji dan Kenanga dengan pandang matanya. Setelah bayangan mereka lenyap di kejauhan, Ki Baginta memerintahkan murid-muridnya untuk menutup pintu gerbang yang sudah diperbaiki setelah dirusak gadis berpakaian serba darah.
********************
Seorang gadis cantik berpakaian sutera merah darah membedal kudanya dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang seolah-olah takut lawan melakukan pengejaran. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang mengejarnya, gadis itu memperlambat lari kudanya dan berhenti di dekat sebuah sungai.
“Kita istirahat di sini, Putih,” ujarnya sambil melompat turun dari punggung kuda. Ditepuknya leher binatang itu dengan lembut Kemudian, melangkah menuruni sungai yang berair jernih. Setelah membasuh wajahnya yang kotor dilapisi debu, gadis cantik itu kembali bergerak naik ke tepi sungai, dan menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon berdaun lebat yang melindungi tubuhnya dari pancaran sinar matahari.
“Pendekar keparat! Aku terpaksa harus melakukan perjalanan sehari penuh untuk menghindarinya. Untung aku berhasil menghalangi pengejaran mereka dengan senjata rahasiaku. Kalau tidak, mungkin pedang keramat ini telah jatuh ke tangannya,” gumam gadis cantik itu kesal.
Keinginannya untuk memperoleh Pedang Iblis Jantan gagal oleh kemunculan Pendekar Naga Putih di Perguruan Harimau Sakti. Padahal, usahanya nyaris berhasil jika tidak ada pendekar muda itu. Gadis itu mengeluarkan sumpah-serapah yang ditujukan pada Panji yang telah menggagalkan rencananya.
Mendadak, gadis cantik itu bergerak bangkit dan langsung melesat ke atas pohon. Gadis itu mendengar ada suara langkah kaki yang menuju ke arah tempatnya berada. Tentu saja hatinya berdebar tegang. Sebab, ia khawatir langkah kaki itu milik Pendekar Naga Putih yang mungkin mengejarnya.
Tapi, ketika melihat sosok tinggi kurus muncul dari balik semak-semak dan melangkah di bawahnya, terdengar helaan napas lega gadis itu. Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Agaknya, gadis itu mengenali sosok yang muncul dan berdiri tegak di bawah pohon tempatnya duduk tadi.
“Guru...!” Gadis berpakaian serba merah itu meluncur turun sambil berseru riang. Sedangkan sosok bertubuh jangkung yang ternyata seorang nenek berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, tersenyum ketika melihat gadis berpakaian serba merah yang kini berdiri di hadapannya dengan senyum manis.
“Dasar murid kurang ajar! Mengapa bersembunyi di atas kepalaku, heh? Apa tidak ada tempat lain untuk bersembunyi?” tegur nenek itu dengan wajah lucu. Meskipun kata-katanya terdengar seperti orang marah, tapi wajahnya kelihatan menyembunyikan senyum yang ditahan. Jelas, nenek itu tidak sungguh-sungguh marah.
“Bagaimana Guru bisa tahu aku bersembunyi di atas pohon...?” tanya gadis cantik yang kelihatan kaget mendengar ucapan gurunya. Sebab, meskipun dirinya tahu nenek itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia sudah menahan napas ketika bersembunyi tadi.
“Kau benar-benar bodoh, Nila! Tentu saja aku bisa mengetahuinya dengan mudah. Lihatlah di belakangmu...,” sahut nenek itu seraya menggerakkan kepalanya ke depan.
“Hik hik hik...!” gadis cantik itu tertawa renyah ketika melihat ke belakang. Ia baru mengerti akan kebodohannya. Tentu saja nenek itu mengetahui keberadaannya. Sebab ia lupa menyembunyikan kuda putih tunggangannya yang telah dikenal baik gurunya.
“Sudah! Nanti saja kau lanjutkan tawamu. Sekarang, coba tunjukkan hasil tugas yang kuberikan padamu...,” ujar nenek itu membuat wajah gadis cantik bernama Nila yang semula kelihatan riang kini berubah mendung.
“Aku gagal, Guru...,” sahut Nila seraya memonyongkan bibirnya dengan sikap manja.
“Heh?! Mengapa bisa gagal? Bukankah kau sudah kubekali Pedang Iblis yang tiada duanya itu? Apa kau tidak mampu mengalahkan Ki Sawung yang kepandaiannya tidak ada seujung kuku jari kelingking ku...?” sergah nenek itu heran mendengar laporan muridnya. Rupanya, nenek itu tidak bisa percaya murid- nya gagal melaksanakan tugas yang menurutnya sangat sepele.
“Bangsat tua itu tidak keluar ketika aku datangi perguruannya,” ujar Nila sambil menundukkan wajahnya yang kelihatan sedih.
“Eh?! Lalu..., mengapa kau sampai gagal...? Siapa yang telah menghalangi mu?” desak nenek itu seraya mengulurkan tangannya mengangkat dagu gadis cantik itu agar menatap ke arahnya.
“Kalau kukatakan, pasti Guru tidak akan percaya...,” rajuk Nila tanpa berusaha melepaskan jari-jari tangan nenek itu dari dagunya.
“Hm.... Coba katakan padaku, siapa orang yang telah menggagalkan tugasmu itu?” suara nenek itu terdengar melunak. Agaknya, ia merasa iba melihat warna kesedihan di wajah murid tunggal yang disayanginya.
“Dia seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih. Dan, sekujur tubuhnya dilapisi kabut bersinar putih keperakan yang mengeluarkan hawa dingin. Guru pasti dapat menerka siapa orang itu...,” sahut Nila tanpa menyebutkan nama penghalang itu kecuali ciri-cirinya. Tampaknya gadis cantik itu ingin mendengar jawaban gurunya yang menurutnya pasti mengetahui perihal pemuda tampan itu.
“Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?” desis nenek itu setelah terdiam beberapa saat dengan kening berkerut Kelihatan sekali ia terkejut saat mendengar ciriciri pemuda tampan yang menghalangi tugas muridnya.
“Siapa lagi yang dapat menghalangiku selain pemuda itu. Ia benar-benar tampan sekali, Guru. Ah, andai aku bisa mendapatkan pasangan seperti Pendekar Naga Putih, alangkah bahagianya...,” desah Nila membayangkan pemuda tampan berjubah putih.
“Hm...,” nenek itu bergumam tanpa kata. Jika memang pendekar muda itu yang menghalangi muridnya, tentu saja ia tidak bisa menyalahkan murid tunggalnya. Karena ia sadar kepandaian muridnya bukan tandingan pendekar besar itu.
Dari termenung dengan kepala terangguk-angguk, tiba-tiba nenek itu mengangkat kepalanya dengan wajah bersungguh-sungguh. Rupanya nenek itu tengah mengerahkan indera pendengarannya untuk menangkap lebih jelas suara yang didengarnya secara samar.
“Ada orang datang...”
Sebelum Nila sempat bertanya atas sikap aneh gurunya, nenek itu sudah mengajaknya bersembunyi setelah lebih dulu menggebah kuda putih milik muridnya, yang langsung mencongklang pergi meninggalkan tempat itu. Nila tidak membantah perintah gurunya. Meskipun gadis itu belum menangkap suara langkah orang yang mendatangi tempat itu, tapi ia percaya dengan pendengaran gurunya. Sebab, meskipun nenek itu telah mendidiknya selama belasan tahun, tapi belum semua ilmu nenek itu diturunkan padanya. Sehingga, kepandaiannya masih beberapa tingkat di bawah nenek itu.
Dugaan nenek bertubuh jangkung itu ternyata tidak melesat. Beberapa saat kemudian, Nila mulai menangkap suara langkah kaki lembut menghampiri tempat mereka berada. Gadis cantik itu segera dapat menilai orang yang datang bukan tokoh sembarangan. Karena langkah kakinya demikian lembut, pertanda orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, dari tempat nenek jangkung itu muncul sesosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam hendak melintas di dekat persembunyian mereka. Tapi, dalam jarak satu setengah tombak dari tempat persembunyian Nila dan gurunya, sosok berpakaian serba hitam menahan langkahnya. Kepalanya tegak dengan telinga bergerak-gerak. Rupanya, ia merasa curiga akan keadaan di sekitarnya, dan mengerahkan indera pendengaran untuk menang- kap suara-suara yang mencurigakan.
Setelah cukup lama terdiam, sosok berpakaian serba hitam kembali melanjutkan langkahnya dengan hati-hati. Meskipun ia tidak mendengar suara-suara yang mencurigakan di sekitar tempat itu, tapi sikapnya terlihat sangat waspada hingga membuat Nila dan gurunya kagum. Tiba-tiba wajah nenek itu berubah tegang, setelah sosok berpakaian serba hitam lewat beberapa langkah dari tempat persembunyiannya. Nila merasakan ketegangan gurunya. Aliran napas nenek itu terdengar lebih cepat dari biasa.
“Hei, tunggu...!” seru nenek itu langsung melesat keluar dari tempat persembunyiannya.
Tentu saja Nila yang tidak mengetahui penyebabnya menjadi heran. Tapi, tak urung gadis itu ikut melompat keluar dari semak-semak. Sedangkan sesosok berpakaian serba hitam sudah melesat jauh ke depan. Kemudian, membalikkan tubuhnya dengan sikap siap tempur. Sehingga, baik Nila maupun gurunya terpaksa menahan langkah agar tidak terlalu dekat dengan sosok berpakaian serba hitam itu.
“Hm.... Sudah kuduga ada yang tidak beres di tempat ini Kiranya kalian berdua sedang bermain kucing-kucingan. Apa tidak ada pekerjaan lain yang dapat kalian lakukan selain mengintip orang lewat..?” tegur sosok berpakaian serba hitam yang tidak lain si Pedang Iblis.
Nila sudah siap melontarkan sumpah serapah pada sosok itu. Tapi, gadis cantik itu menahan kedongkolannya ketika gurunya mencegah dengan gerakan tangan. Meskipun hatinya geram, Nila tidak berani membantah isyarat gurunya.
Nenek bertubuh jangkung tidak mempedulikan kata-kata yang seharusnya dapat membuat hatinya marah. Tampaknya wanita tua itu lebih tertarik pada ga- gang pedang yang tergantung di punggung sosok berpakaian serba hitam itu. Sehingga, si Pedang Iblis terkejut dan merasa curiga akan sikap nenek itu yang mengamati punggungnya dengan sorot mata tajam dan bersinar aneh.
TUJUH
“Anak muda, coba berikan pedangmu sebentar...,” ujar nenek itu penuh minat Bersamaan dengan itu tubuhnya meluncur ke depan bagai tidak menginjak bumi. Tangan kanannya yang panjang terulur hendak merebut pedang yang tergantung di punggung lelaki berpakaian serba hitam itu.
Si Pedang Iblis yang memang merasa curiga dengan sikap aneh nenek itu segera bergerak mengelak. Tentu saja pedang kebanggaannya tidak akan dibiarkan tersentuh tangan orang lain, meski hanya untuk dilihat. Apalagi oleh orang yang tidak dikenalnya seperti nenek itu.
Wuttt..!
Sambaran jari-jari tangan perempuan tua itu luput dari sasaran. Tapi, itu bukan berarti usahanya berhenti sampai di situ. Tangan nenek itu terus bergerak mengejar tubuh lawan. Tujuannya tetap gagang pedang yang tersembul dari balik punggung lelaki berpakaian serba hitam.
Ketika beberapa kali mengelak, ternyata lengan itu masih terus mengejar. Si Pedang Iblis kelihatan sangat jengkel. Maka, ketika dirinya menghindar dan tangan itu tetap mengejar, lelaki itu tidak berusaha lagi untuk menghindar. Malah sengaja menunggu tangan nenek itu tiba. Dan....
Wuttt..!
Dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, Si Pedang Iblis mencabut keluar senjatanya yang langsung berputar menyambar tangan nenek itu pada bagian sambungan sikunya.
“Aiiih...!” Nenek itu terpekik kaget Cepat tangannya ditarik pulang, dan terus melompat jauh ke belakang. Karena sinar aneh yang keluar dari badan pedang lawan membuat hatinya guncang. Untunglah nenek itu bertindak cepat Jika tidak, bukan mustahil lengannya telah terbabat putus oleh pedang lelaki itu.
“Pedang Iblis Jantan?!” Seruan kaget bercampur heran keluar dari mulut Nila dan gurunya. Pantas nenek itu bersikeras hendak merebut pedang di punggung lelaki berpakaian serba hitam. Rupanya, meski hanya melihat gagangnya, nenek itu tahu senjata yang dibawa orang itu adalah Pedang Iblis Jantan. Hal itu tentu tidak aneh. Sebab, nenek itu memiliki pedang yang serupa dengan milik le- laki berpakaian serba hitam.
Pedang Iblis tersurut mundur ketika mendengar ke-dua orang itu mengenali senjata kebanggaannya. Sepasang matanya bergerak liar penuh nafsu membunuh. Lelaki itu tidak ingin mereka merebut senjatanya. Nenek bertubuh jangkung rupanya mengetahui gelagat itu. Cepat ia memerintahkan muridnya untuk segera mengeluarkan Pedang Iblis Betina yang tergantung di pinggang gadis itu. Nila pun tahu maksud isyarat gurunya, maka tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung dicabut keluar dari sarungnya.
Srattt…!
Secercah sinar aneh yang menimbulkan hawa maut mengerikan berpendar seiring tercabutnya Pedang Iblis Betina dari pinggang gadis cantik itu. Sehingga....
“Pedang Iblis Betina. ?!” seru sosok berpakaian serba hitam tidak kalah terkejut dengan mereka berdua ketika melihat pedang di tangannya tadi. Kini ia baru mengerti, mengapa nenek itu mengenali senjatanya meski hanya melihat gagangnya saja.
Anehnya, Nila dan lelaki berpakaian serba hitam sama melangkah maju, ketika kedua pedang keramat itu tergenggam di tangan masing-masing. Keduanya seperti tidak sadar akan perbuatan mereka. Sedangkan nenek itu tertawa berkakakan seperti orang kemasukan setan. Tidak ada kekhawatiran sedikit pun muridnya akan bertarung dengan pemegang Pedang Iblis Jantan. Tampaknya, nenek itu telah menduga kelanjutan peristiwa itu.
Sementara Nila maupun lelaki itu terus bergerak maju dengan pandangan lurus ke depan. Setelah jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi keduanya berhenti. Kemudian, sama-sama mengangkat pedangnya ke atas. Dan...!
Trang...!
Sepasang Pedang Iblis saling berbenturan, untuk kemudian melekat satu sama lain seolah menyatu. Sedangkan pemegang senjata itu masih terus berpandangan. Kemudian, tangan kiri masing-masing terulur dan bersentuhan sedikit demi sedikit. Lalu, bagai ditarik kekuatan yang tak tampak mereka saling berpelukan erat. Entah siapa yang memulai lebih dulu. Yang jelas kedua orang itu sudah berangkulan dengan ketatnya.
Cukup lama dua orang muda itu saling rangkul. Beberapa saat kemudian, senjata keduanya turun secara perlahan-lahan. Lalu, tanpa malu-malu lagi mereka bercumbu di depan mata nenek bertubuh jangkung yang masih memperdengarkan tawa yang melengking tinggi. Agaknya, nenek itu memang tidak ingin mencegah apa yang dilakukan muridnya dengan lelaki berpakaian serba hitam. Malah ia menyaksikan dengan mata tak berkedip.
“Bagus..., bagus! Kini, baik Sepasang Pedang Iblis maupun pemiliknya sudah bersatu...,” ujar nenek itu ketika melihat tubuh muridnya dan lelaki berpakaian serba hitam sudah melepaskan rangkulan masing-masing. Keduanya tergeletak lemas dengan peluh yang membasahi pakaian mereka.
Tidak berapa lama kemudian, Nila dan si Pedang Iblis bangkit dengan wajah cerah. Setelah saling tatap dengan sinar mata penuh kemesraan, mereka meraih senjata masing-masing yang tergeletak di tanah berumput. Lalu saling mengangsurkan pedang. Seperti telah mendapat kata sepakat, mereka menukar senjata miliknya.
“Hih hih hih...! Sekarang kalian telah resmi menjadi suami istri. Pedang Iblis telah menyatukan pemiliknya. Dan, mulai sekarang kalian kuberi julukan Sepasang Pedang Iblis...!” ujar nenek yang rupanya telah mengetahui sejarah Pedang Iblis.
Pada awalnya Pedang Iblis adalah milik sepasang suami istri kalangan sesat. Itu sebabnya, mengapa Nila dan lelaki berpakaian serba hitam langsung melakukan perbuatan yang hanya patut dilakukan sepasang suami istri. Rupanya, kekuatan gaib dalam pedang yang telah menyatukan mereka berdua.
“Celaka...!” Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat ketiga orang itu terkejut, dan memalingkan wajah ke arah da- tangnya suara.
“Bagus kau datang, Ki Sawung...,” desis nenek bertubuh jangkung parau ketika mengenali orang yang mengeluarkan suara.
Rupanya, peristiwa aneh yang baru terjadi membuat ketiga orang itu lengah. Hingga tidak mengetahui kedatangan lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun yang tidak lain Ki Sawung, Ketua Perguruan Harimau Sakti dan keturunan langsung pembuat Sepasang Pe- dang Iblis.
“Nini Karundeng! Rupanya, kau yang menjadi biang keladi semua ini! Ternyata dirimu semakin tua semakin bertambah jahat dan licik,” geram Ki Sawung marah ketika mengenali wanita tua bertubuh jangkung.
“Heh heh heh...! Kini Sepasang Pedang Iblis telah bersatu kembali. Dan, tugas pertamanya adalah membunuhmu, Ki Sawung! Sebab, kau satu-satunya keturunan pembuat Sepasang Pedang Iblis yang masih hidup!” desis Nini Karundeng dengan suara yang mendirikan bulu roma. Kemudian, beralih pada sepasang orang muda yang telah resmi menjadi penerus Sepa- sang Pedang Iblis, “Lakukanlah tugas pertama kalian sebaik-baiknya...”
Ki Sawung yang didampingi Kandala, pemuda berwajah simpatik murid utamanya, langsung bergerak surut ke belakang beberapa langkah. Mereka sadar ucapan Nini Karundeng akan segera terbukti.
Srattt..!
Hampir bersamaan Ki Sawung dan Kandala meloloskan pedang dari warangkanya masing-masing. Kemudian menyilangkan di depan dada, siap menghadapi Sepasang Pedang Iblis. Ketika gadis cantik dan lelaki berpakaian serba hitam melangkah semakin dekat, wajah Ki Sawung tampak berubah. Keningnya berkerut dalam menatap sosok lelaki berpakaian serba hitam yang memegang Pedang Iblis Betina di tangan. Lelaki tua itu beru-lsaha mengingat-ingat wajah pemuda yang berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu. Tapi, ia lupa-lupa ingat di mana pernah melihatnya.
“Coba perhatikan lelaki berpakaian serba hitam itu, Kandala. Rasanya aku pernah melihatnya. Apa kau pernah berjumpa dengan pemuda itu sebelumnya...?” bisik Ki Sawung ternyata tidak bisa mengingat di mana pernah melihat pemuda itu.
Kandala yang juga seperti pernah berjumpa dengan pemuda berpakaian serba hitam berusaha mengingatnya. Tapi, meskipun seluruh ingatannya dikerahkan, tetap saja ia tidak bisa mengingat dengan baik di mana pernah melihat pemuda itu. Akhirnya Kandala hanya bisa menjawab dengan lemah disertai gelengan kepala perlahan.
“Aku pun tidak dapat mengenalinya, Guru. Meskipun aku yakin pernah melihatnya...,” jawab Kandala sambil menatap wajah pemuda berpakaian serba hitam.
Ki Sawung menghela napas panjang. Meskipun ia tidak ingat di mana dan kapan pernah melihat pemuda itu, tapi ia yakin sosok pemuda berpakaian serba hitam tidak asing baginya. Sementara itu, Sepasang Pedang Iblis telah menghentikan langkah dalam jarak kurang lebih satu tombak dari guru dan murid itu. Kemudian, kedua Pedang Iblis disatukan hingga memperdengarkan suara berdenting cukup nyaring.
“Aaah...?!”
Akibatnya sungguh hebat sekali. Ki Sawung dan Kandala tergetar mundur dengan wajah pucat. Sebab, dari badan pedang yang disatukan itu muncul sinar berkilau yang membuat dada mereka terasa sesak. Agaknya, kekhawatiran yang selama ini dirasakan Ki Sawung akan terwujud. Sepasang Pedang Iblis benar-benar menunjukkan keampuhannya yang berlipat ganda bila telah bersatu. Baru hawanya saja sudah membuat tubuh mereka bergetar. Entah apa jadinya bila senjata itu digunakan untuk menyerang mereka.
“Hati-hati, Kandala. Usahakan untuk tidak selalu memandang sinar yang keluar dari badan pedang mereka. Selain dapat membuyarkan pemusatan pikiran kita, sinar itu juga mengandung kekuatan sihir. Sinarnya mampu membuat tubuh lawan tidak bergerak saat senjata berkelebat hendak merenggut nyawa korbannya...,” bisik Ki Sawung mengingatkan muridnya sebelum mereka menghadapi pertempuran.
Kandala yang menyadari hal itu menganggukkan kepala perlahan. Kemudian, memusatkan pikirannya dengan kekuatan batin agar tidak mudah terpengaruh sihir yang keluar dari tubuh Sepasang Pedang Iblis.
“Haiiit..!”
Sepasang Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar ingin segera menghirup darah mereka berdua. Dibarengi sebuah lengkingan panjang, tubuh keduanya melesat ke depan. Satu menerjang Ki Sawung, sedang yang satunya lagi menggempur Kandala.
Ki Sawung segera memejamkan mata dan mengandalkan indera pendengaran untuk menghadapi serangan lelaki berpakaian serba hitam. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa memainkan jurus ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’ yang merupakan ilmu pedang turun-temurun dan tidak diragukan lagi kehebatannya.
Wuttt! Wuttt..!
Pedang yang tergenggam di tangan Ki Sawung pun bukan senjata sembarangan. Pedang itu merupakan sebuah pusaka ampuh. Meski tidak sehebat Sepasang Pedang Iblis, tapi jarang orang yang memilikinya. Karena senjata itu merupakan lambang kebesaran Perguruan Harimau Sakti. Pedang itu selalu berpindah tangan bila ketua lama wafat atau mengundurkan diri karena sudah terlalu tua. Itu sebabnya, mengapa Ki Sawung tidak ragu untuk memapaki serangan lawan dengan pedangnya. Sebab orang tua itu yakin akan kekuatan pedangnya. Sebentar kemudian, kedua tokoh itu telah bertarung sengit!
Dalam jurus-jurus awal kelihatan Ki Sawung dapat mengimbangi permainan lawan. Karena orang tua itu memiliki ilmu khusus yang telah diyakininya selama bertahun-tahun. Ilmu itu memang dipersiapkan kakek buyutnya bila sewaktu-waktu Sepasang Pedang Iblis jatuh ke tangan orang jahat. Jurus itu adalah gabungan kekuatan lahir dan kekuatan batin. Dan merupakan bagian ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Sayang ilmu itu belum diwariskan Ki Sawung pada Kandala. Sebab menurutnya, murid utamanya itu belum cukup kuat untuk menerima.
“Heaaat..!”
Ketika pertempuran, menginjak jurus kedua puluh, terlihat lawan mulai melakukan tekanan-tekanan berat dengan serangan bertubi-tubi. Seolah Ki Sawung tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan bala- san. Sehingga, orang tua itu mulai terdesak hebat!
Ki Sawung mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan diri dari serangan gencar bagai tak berkesudahan itu. Pedang di tangannya diputar membentuk gulungan sinar yang bergerak turun naik dengan suara mengaung tajam. Meski demikian, tetap saja orang tua itu kecolongan sebuah tendangan lawan saat menangkis tusukan pedang yang mengancam tenggorokan.
Bukkk!
“Aaakh...!” Ki Sawung terpental ke belakang sejauh satu setengah tombak. Tendangan itu keras bukan main, sehingga tubuh lelaki tua itu masih terus bergulingan satu tombak lagi.
“Huakh...!”
Darah segar menyembur keluar ketika Ki Sawung berusaha bangkit dengan bertelekan pedang. Wajah orang tua itu nampak pucat. Tendangan itu serasa membuat isi perutnya rontok!
“Heattt..!”
Pedang Iblis Jantan kembali memekik hendak menghabisi lawan yang sudah di ambang kematian. Senjata di tangannya berkilau mengancam tenggorokan lawan yang kelihatan sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menghindar.
“Yiaaat..!”
Tepat pada saat mata Pedang Iblis Jantan tinggal satu jengkal lebih dari sasaran, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang menggetarkan isi dada. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih yang langsung melontarkan pukulan jarak jauh berhawa dingin menusuk tulang. Dan...
Breshhh...!”
Terdengar letupan keras menggetarkan udara di sekitar tempat itu. Tubuh lelaki berpakaian serba hitam terjajar mundur. Pukulan jarak jauh itu membentur pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sehingga, Ki Sawung luput dari kematian.
“Keparat..!” umpatan itu keluar dari mulut lelaki berpakaian serba hitam yang marah karena serangannya gagal. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah sosok berjubah putih yang berdiri tegak membelakangi tubuh Ki Sawung.
“Kau...?!” desis lelaki berpakaian serba hitam yang kini menyandang julukan Pedang Iblis Jantan. Lelaki muda itu kelihatan agak terkejut dan gentar. Sebab, dirinya pernah bertarung dan nyaris tewas di tangan pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.
“Ya, aku...,” sahut Panji tenang. Pemuda itu diam-diam merasa bersyukur kedatangannya pada saat yang tepat Sedikit saja terlambat, mungkin ia tidak berhasil menyelamatkan nyawa Ketua Perguruan Harimau Sakti.
“Hm.... Kali ini jangan harap kau dapat menundukanku!” geram Pedang Iblis Jantan sambil menyilangkan senjatanya di depan dada. Kemudian diputarnya hingga menimbulkan suara mengaung tajam.
“Haaat..!”
Seiring dengan suara bentakan nyaring, Pedang Iblis Jantan meluruk ke arah Panji dengan serangan yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan!
Wuttt..!
Cepat Pendekar Naga Putih menarik mundur tubuhnya. Kemudian balas menyerang dengan jurus ‘Ilmu Silat Naga Sakti’. Sebentar kemudian, kedua tokoh muda itu telah saling terjang dengan hebatnya. Sehingga, suasana di arena pertempuran jadi agak gelap. Karena angin pukulan mereka menggugurkan dedaunan dan memecahkan bebatuan. Dapat dibayangkan betapa mengerikan pertarungan maut itu. Hingga Ki Sawung harus menyeret langkah menjauhi arena pertarungan yang membuat dadanya terasa sesak.
DELAPAN
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Pedang Iblis Betina dan Kandala, murid andalan Perguruan Harimau Sakti, berlangsung tidak seimbang. Nila yang kekuatan dan kehebatannya semakin meningkat berkat Pedang Iblis Jantan yang digunakannya, mendesak Kandala sejak dari jurus pertama. Hingga, pemuda gagah itu harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri dari setiap incaran ujung pedang lawan yang memang sangat hebat. Berkali-kali pemuda itu melempar tubuhnya bergulingan untuk menyelamatkan selembar nyawanya dari incaran maut Sampai sejauh itu Kandala masih dapat menyelamatkan diri meski dengan sudah payah.
“Haiiit..!”
Untuk yang kesekian kalinya, Nila kembali melancarkan serangan dengan teriakan yang mengguncangkan jantung. Sinar pedangnya yang mengandung kekuatan sihir berkelebat mengancam tenggorokan lawan. Sungguh kasihan pemuda gagah itu. Tenaganya benar-benar dikuras untuk menyelamatkan diri dari kejaran maut!
Tusukan pedang yang meluncur datang laksana sambaran kilat, membuat Kandala harus melempar tubuhnya jauh ke belakang. Kemudian terus bergulingan, dan baru melenting bangkit setelah yakin dirinya berada cukup jauh dari incaran ujung pedang lawan.
Tapi kendati demikian, Nila yang tak ubahnya iblis betina haus darah tidak mau membiarkan lawan sempat menarik napas. Tubuhnya yang ramping padat kembali melesat mengejar lawan. Pedang di tangannya berputaran menimbulkan suara berdengung menyakitkan telinga.
“Heaaah...!”
Pemuda itu memekik sekuat-kuatnya untuk melenyapkan pengaruh yang serasa memecah gendang telinga. Dan, pengerahan tenaga dalam itu membuatnya lengah. Sehingga, Kandala hanya bisa membelalakkan mata saat ujung pedang lawan meluncur semakin deras!
Trang!
Bunga api berpijar disertai suara berdentang nyaring yang menulikan telinga. Rupanya, pada saat yang gawat itu seberkas cahaya putih keperakan datang menyambut luncuran pedang Nila. Akibatnya, baik tubuh gadis cantik berpakaian serba merah maupun pemilik pedang bersinar putih keperakan terpental ke belakang. Kenyataan itu menunjukkan kekuatan mereka berimbang!
“Keparat! Manusia bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan Pedang Iblis Betina...?!” geram Nila yang sudah memperbaiki kedudukannya dari daya dorong yang amat kuat itu. Sepasang mata gadis cantik itu tampak liar dengan nafsu membunuh yang mengerikan.
“Menyingkirlah, Kisanak. Biar aku yang menghadapi iblis betina ini...,” ujar sosok berpakaian serba hijau pada Kandala yang hanya bisa menganggukkan kepala dan menggeser tubuhnya ke tepi arena.
Rupanya pemuda itu masih belum bisa mengeluarkan suara. Hatinya masih bergetar mengingat dirinya hampir tewas oleh ujung Pedang Iblis Jantan di tangan gadis cantik berpakaian serba merah itu.
Sosok ramping berpakaian serba hijau itu adalah Kenanga. Seperti halnya Panji, kedatangan gadis itu memang sangat tepat waktunya. Sehingga, Kandala lolos dari ancaman maut. Kedua wanita yang sama-sama cantik dan mempesona itu saling berhadapan dalam jarak dua tombak dengan sorot mata tajam. Meskipun akhirnya Kenanga harus mengalah dan membuang pandangannya ke arah lain.
Dara jelita itu tak sanggup menentang pandang mata Nila yang demikian tajam menusuk jantung. Bahkan, Kenanga merasakan ada semacam kengerian ketika menentang pandang mata yang tak ubahnya mata iblis itu.
“Gila! Perempuan itu seperti bukan manusia! Matanya demikian tajam hingga membuat jantungku berdebar...,” desis Kenanga tanpa mengurangi kewaspadaannya. Gadis itu sadar lawan yang kali ini dihadapinya tidak bisa dipandang remeh. Terlebih dengan adanya Pedang Iblis dalam genggaman wanita itu. Maka, dara jelita itu akan bersikap lebih hati-hati untuk menghadapi lawan yang satu ini.
“Hmh...!” Nila mendengus kasar bagai banteng luka. Pedang Iblis Jantan yang tergenggam di tangannya diputar menyelimuti sekujur tubuhnya. Seolah gadis cantik itu hendak membentengi dirinya dengan kekuatan yang bersemayam di dalam badan pedang itu.
Melihat lawan sudah membuka jurus, Kenanga menggeser langkahnya ke kanan beberapa tindak. Pedang Sinar Rembulan yang tergenggam erat di tangannya membuat hati dara jelita itu bertambah mantap. Gadis itu yakin pedang di tangannya tidak kalah ampuh dengan Pedang Iblis Jantan. Hanya Pedang Sinar Rembulan tidak memiliki kekuatan jahat di dalamnya. Meski demikian, kekuatannya tidak diragukan lagi.
“Heaat..!”
Nila langsung membuka serangan dengan teriakan melengking tinggi yang menggetarkan tempat itu. Disusul lesatan tubuhnya yang cepat laksana sambaran kilat Pedang Iblis Jantan di tangan kanannya bergerak bagai seekor ular yang meliuk-liuk, dengan pendaran sinar yang membuat dada Kenanga berdebar tegang dan gelisah..
“Hm...” Untuk melenyapkan keresahan di dalam hatinya, Kenanga memutar pedangnya dengan sekuat tenaga. Sehingga, pancaran sinar putih keperakan bergulung- gulung menyelimuti tubuh dara jelita itu. Kemudian, langsung bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan menyambut serangan pedang lawan!
Trang! Trang!
Terdengar benturan keras berturut-turut ketika senjata mereka bertemu di udara. Percikan bunga api menandai kerasnya benturan yang terjadi. Bahkan, tubuh kedua gadis itu terdorong ke belakang sejauh satu tombak.
“Haaat..!”
“Hiaaat..!”
Kembali keduanya saling gempur dengan menggunakan jurus-jurus andalan yang sama cepat dan hebatnya. Sehingga, pertarungan berlangsung semakin seru dan mendebarkan.
Pada saat yang bersamaan, Panji tengah berusaha keras untuk mengimbangi permainan lawan. Lelaki berpakaian serba hitam yang berjuluk Pedang Iblis Betina tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada lawan untuk menarik napas. Senjata maut di tangannya selalu mengarah ke bagian-bagian terlemah di tubuh Panji. Terlebih tenggorokan pemuda itu yang selalu menjadi incaran utama. Memang sudah menjadi ciri pemegang Sepasang Pedang Iblis. Seolah senjata keramat berhawa jahat itu hendak menghirup darah korbannya melalui urat besar di tenggorokan.
Meskipun telah menggunakan ilmu ‘Silat Naga Sakti’ ternyata Pendekar Naga Putih masih kerepotan mengatasi serangan lawan. Sehingga, pemuda itu lebih banyak menghindar daripada membalas serangan lawan. Akibatnya, gerakan itu membuatnya terdesak.
“Heaaat..!”
Untuk kesekian kalinya dalam jurus yang kesembilan puluh, si Pedang Iblis Betina kembali mengeluarkan pekikan yang merontokkan jantung. Pedang di tangannya bergulung-gulung seolah hendak menekan gerak langkah Panji. Sehingga, pendekar muda itu harus mengerahkan seluruh kelincahan dan kekuatannya untuk menyelamatkan diri.
Crakkk!
Sebatang pohon sepelukan orang dewasa yang berada di sebelah kanan Panji langsung putus terpapas Pedang Iblis Betina. Sedangkan Panji sudah melesat ke udara sambil melepaskan sebuah tendangan yang mengancam punggung lawan.
Bukkk!
Meskipun tendangan itu tidak terlalu kuat, namun sempat membuat tubuh lawan terjerembab hampir mencium tanah. Untunglah kuda-kuda Pedang Iblis Betina cukup kokoh, sehingga tokoh sesat itu dapat berbalik dan menyabetkan pedangnya dengan gerakan berputar ke belakang.
Plakkk!
Karena tubuhnya masih berada di udara, Pendekar Naga Putih tidak mungkin mengelakkan serangan maut itu. Maka tangannya segera digerakkan untuk menepis telapak tangan lawan. Kemudian tubuhnya berputaran dan meluncur turun dengan manis.
“Grrrrg...!”
Pedang Iblis Betina kelihatan semakin murka ketika merasakan tepisan tangan lawan yang sempat membuat serangannya melenceng dari sasaran. Sepasang mata lelaki berpakaian serba hitam itu menyorot tajam dengan nafsu membunuh yang menggelegak. Jelas, ia sangat penasaran melihat keuletan dan kehebatan Pendekar Naga Putih.
Nini Karundeng yang menyaksikan pertarungan itu dari tempat yang agak tersembunyi jadi tidak sabar. Bahkan, kekhawatirannya timbul ketika melihat kehebatan Panji dan Kenanga. Maka, segera diperintahkannya Sepasang Pedang Iblis untuk bersatu melalui ilmu ‘Mengirim Suara dari Jauh’.
Nila yang mendapat bisikan dari gurunya baru sadar akan hal itu. Maka, serangannya makin diperhebat hingga memaksa Kenanga harus bermain mundur.
“Yiaaah...!”
Ketika Kenanga melompat jauh ke belakang untuk menghindari tusukan pedang lawan, Nila melejit berjungkir balik di udara, dan mendarat di arena pertarungan Pendekar Naga Putih yang tengah berhadapan dengan Pedang Iblis Betina. Begitu memasuki arena, gadis itu langsung melancarkan serangan ke arah Pendekar Naga Putih. Sehingga, pemuda itu terkejut dan melompat ke belakang menghindari serangan gelap itu.
Lelaki berpakaian serba hitam rupanya sudah mendapat bisikan Nini Karundeng. Terbukti, kakinya langsung melangkah mundur mengikuti gerak langkah pasangannya. Kemudian, kedua pedang mereka dibenturkan.
“Aaah...?!” Panji terpekik kaget ketika benturan Sepasang Pe- dang Iblis terasa bagai ledakan petir. Bahkan pancaran sinar pedang itu membuatnya tidak bisa melihat mereka, kecuali pancaran sinar berhawa aneh yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Ada rasa kengerian menyergap perasaan pendekar muda itu hingga Panji terkejut!
“Celaka! Rupanya, bila sepasang senjata itu bersatu, kehebatan dan pengaruh yang ditimbulkannya semakin mengerikan! Entah bagaimana aku harus melumpuhkannya...?” desis Panji dengan dada berdebar tegang.
Melihat kekasihnya seperti terpengaruh oleh kekuatan jahat Sepasang Pedang Iblis, Kenanga menjadi cemas. Cepat gadis itu melesat menghampari, dan meluncur turun di samping Panji.
“Kakang...,” panggil Kenanga seraya menyentuh tubuh kekasihnya. Tampaknya, dara jelita itu khawatir Panji akan kehilangan kesadarannya karena pengaruh sihir Sepasang Pedang Iblis.
“Kenanga...,” desis Panji dengan suara kering, membuat dara jelita itu terkejut. Kenanga menangkap ada nada kegentaran dalam suara kekasihnya.
“Kau..., merasa gentar menghadapi mereka, Kakang...?” tanya dara jelita itu.
“Tidak, Kenanga. Biarpun harus mati di tangan mereka, aku tidak akan pernah gentar. Tapi, perasaan itu muncul begitu saja tanpa dapat ku cegah. Perasaan ini timbul karena pengaruh Sepasang Pedang Iblis yang memiliki kekuatan aneh...,” sahut Panji yang membuat Kenanga mengangguk maklum. Gadis itu pun merasakan hal yang sama saat berhadapan dan menatap sinar pedang gadis berpakaian serba merah.
“Aku pun sempat merasakannya, Kakang. Pedang di tangan mereka benar-benar luar biasa, sanggup membangkitkan rasa gentar tanpa kita mampu mencegahnya...,” gumam Kenanga membuat Panji semakin yakin perasaan itu muncul karena Sepasang Pedang Iblis yang membangkitkannya. Tentu saja perasaan itu dapat memecah permusuhan pikiran lawan. Sehingga, serangan-serangan lawan jadi kacau dan tak terarah.
“Kakang, Pedang Pusaka Naga Langit..,” tiba-tiba Kenanga mengingatkan kekasihnya akan pedang mukjizat yang kini menyatu dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Bahkan, berubah menjadi suatu kekuatan hebat berhawa panas membakar.
“Ah. Kau benar. Kenanga. Mungkin hanya pusaka mukjizat itu yang sanggup meredam kekuatan iblis dalam tubuh Sepasang Pedang Iblis...,” ujar Panji baru teringat akan pusaka yang dimilikinya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera menyatukan kekuatan batinnya dengan Pedang Naga Langit. Sesaat kemudian, Panji mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi diiringi bentakan yang mengguntur!
“Pedang Naga Langit..!”
Hebat sekali akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda itu. Pepohonan berderak ribut. Angin keras bertiup merontokkan dedaunan. Dan, ledakan petir sambung-menyambung di angkasa, bersamaan dengan terciptanya sebilah pedang yang berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pedang-pedang biasa. Cahaya kuning keemasan berpendar menyilaukan mata, dan hawa panas yang menyengat membuat dedaunan mendadak layu!
Kenanga sendiri jatuh terduduk lemas akibat bentakan dahsyat itu. Untunglah dara jelita itu memiliki tenaga dalam kuat, dan telah memperoleh dasar-dasar ilmu ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang diajarkan kekasihnya. Sehingga, bentakan itu hanya membuat kedua lututnya lemas tanpa mempengaruhi isi dadanya.
Nini Karundeng kelihatan pucat. Tubuhnya terhuyung mundur sejauh setengah tombak. Nenek itu tampak terkejut sekali ketika mendengar bentakan mengguntur Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya membelalak hampir melompat keluar melihat sebilah pedang bersinar kuning keemasan di tangan kanan pendekar muda itu.
“Gila! Apakah pemuda setan itu memiliki kekuatan sihir tinggi? Kalau tidak, bagaimana ia bisa menciptakan sebilah pedang yang demikian hebatnya...?” desis Nini Karundeng semakin gentar pada Pendekar Naga Putih. Ternyata pemuda itu memiliki kepandaian yang sukar diukur. Bahkan, banyak memiliki ilmu-ilmu langka yang tidak ada duanya.
Demikian pula dengan Sepasang Pedang Iblis. Keduanya terjajar mundur meski hanya dua langkah. Dada mereka sempat terguncang oleh bentakan mengguntur itu. Kendati demikian, kegarangan di wajah mereka tidak juga pudar. Sosok Sepasang Pedang Iblis tetap sanggup membuat nyali lawan ciut!
Setelah Pedang Naga Langit tergenggam di tangannya, perlahan-lahan Panji mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Rasa gentar yang semula menguasai hatinya perlahan lenyap. Pemuda itu semakin yakin akan dapat mengalahkan Sepasang Pedang Iblis yang memang sangat tangguh dan berbahaya.
“Hm...” Disertai sebuah geraman lirih, Pendekar Naga Putih memutar pedang di tangannya dengan sepenuh tenaga. Deruan angin keras berputaran membentuk gelombang sinar kuning keemasan yang bergulung-gulung dengan hebatnya.
“Heaaa..!”
Sepasang Pedang Iblis rupanya tidak terpengaruh oleh kemunculan Pedang Naga Langit. Mereka menyerbu dengan teriakan yang memekakkan telinga.
Bettt! Bettt!
Sepasang Pedang Iblis yang memancarkan hawa gaib itu tidak lagi dirasakan Panji. Agaknya, pancaran cahaya gaib Pedang Naga Langit mampu meredam kekuatan sihir Pedang Iblis. Sehingga, ketika sepasang pedang lawan tiba, pemuda itu hanya menggeser tubuhnya ke samping. Kemudian balas menyerang dengan sambaran pedangnya!
Bettt..!
Bukan main terkejutnya Sepasang Pedang Iblis ketika merasakan serangkum angin panas mengiringi sambaran pedang Pendekar Naga Putih. Cepat keduanya melompat mundur.
“Heaaa...!”
Panji tidak menghentikan serangannya sampai di situ. Pemuda itu menerjang maju disertai sambaran pedang yang mengaung tajam. Sehingga, kedua lawannya terpaksa mengangkat senjata untuk memapak sambaran pedangnya. Dan....
Trakkk!
“Aaakh...!”
Sepasang Pedang Iblis memekik kaget melihat senjata mereka melekat ketat tidak bisa ditarik pulang. Bahkan, keduanya merasakan kekuatan menghisap yang sangat kuat dari pedang lawan.
Pendekar Naga Putih sendiri sempat kaget melihat pedangnya melekat erat dengan Sepasang Pedang Iblis. Ketika merasakan ada daya hisap yang luar biasa dari tubuh pedangnya, Panji pun mengerti kekuatan jahat yang ada dalam Sepasang Pedang Iblis tengah dimusnahkan Pedang Naga Langit. Sampai akhirnya....
Krakkkh..!
“Aaa...!
Bersamaan dengan hancurnya Sepasang Pedang Iblis menjadi abu, kedua majikannya meraung setinggi langit. Kemudian terjerembab ke belakang seraya memuntahkan darah segar. Setelah berkelojotan sesaat, keduanya pun menghembuskan napas terakhir.
Ki Sawung, Kandala, dan Kenanga baru melangkah mendekat setelah melihat Panji berdiri tegak di dekat mayat lawan-lawannya. Mereka menarik napas lega ketika mengetahui Sepasang Pedang Iblis telah musnah bersama majikannya yang tewas.
“Ahhh...?! Aku ingat sekarang, Guru!” seru Kandala membuat Ki Sawung, Kenanga, dan Panji menoleh kearahnya, “Pemuda ini adalah Sarpala yang bertugas membersihkan bagian dalam bangunan induk!”
Ki Sawung yang memang jarang bertemu muka dengan murid-murid dan pembantunya, teringat samar-samar pada pemuda bertubuh tegap yang menjadi pembantu di perguruannya. Rupanya, pemuda itu masuk ke dalam perguruannya dengan suatu maksud jahat. Terbayang dalam ingatan Ki Sawung, saat ia menemukan Sarpala yang dalam keadaan terluka. Lelaki tua itu menolongnya dengan mempekerjakan pemuda itu di perguruannya. Ternyata semua itu hanya akal licik Sarpala, yang kemungkinan besar murid Sepasang Pedang Iblis terdahulu, semasa kakek dari kakek buyutnya. Tapi kini semua itu sudah berakhir, dan ia merasa lega.
Guru dan murid itu tampak tercenung menatap wajah kedua sosok mayat yang menggeletak di depannya. Sehingga, mereka tidak sadar Pendekar Naga Putih dan kekasihnya telah pergi meninggalkan tempat itu. Setelah pasangan pendekar muda itu lenyap entah ke mana, baru mereka mencari-cari.
“Hm Pendekar Naga Putih memang seorang tokoh berhati mulia yang patut dijadikan contoh. Pemuda itu tidak mengharapkan balasan di balik pertolongannya, meskipun hanya ucapan terima kasih...,” gumam Ki Sawung semakin bertambah kagum dengan pendekar muda yang perkasa itu.
“Ke mana perginya nenek tua yang bernama Nini Karundeng, Guru?” tanya Kandala teringat akan nenek bertubuh jangkung yang tidak kelihatan batang hidungnya.
“Hm.... Kurasa perempuan tua licik itu telah melarikan diri setelah melihat Sepasang Pedang Iblis tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Aku yakin nenek itu tidak akan berani muncul lagi. Sebab, Sepasang Pedang Iblis telah musnah menjadi debu. Sudahlah, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini...,” ajak Ki Sawung segera melangkah meninggalkan tempat itu diikuti Kandala di sampingnya.
S E L E S A I