Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng
Episode Seribu Hawa Kematian
Karya Bastian Tito
Wiro Sableng
Episode Seribu Hawa Kematian
Karya Bastian Tito
1
KALUNG KEPALA SRIGALA
DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur.
“Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia enak-enakan ngorok!” Wiro mengomel sendiri dalam hati.
Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya. Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat dalam kegelapan.
“Eyang, aku mendengar sesuatu...” Wiro berucap dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh tempo hari.
“Eyang...” Karena tidak mendapat sahutan Wiro memanggil kembali. “Lekas bangun! Ada orang...”
“Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau kukencingi tengkukmu?!”
“Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di sekitar kita...”
“Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!” tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang kurus tipis.
“Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencari saat yang tepat untuk melakukan sesuatu...”
“Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka!” kata Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia meneruskan. “Mereka berempat. Mengenakan jubah hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung hitam...”
“Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan Lima Laknat Malam Kliwon!”
“Bukan,” jawab si nenek. “Yang empat ini tidak mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!”
“Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku terancam bahaya!” Pendekar 212 jadi jengkel.
“Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik hik hik!” Si nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti terdengar suara dengkurnya.
Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebat mengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan membentak.
“Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri! Jangan berani berlaku keji!”
Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelah kiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin. Wiro memandang berkeliling.
“Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut! Tidak berani unjukkan diri!” Pendekar 212 memaki. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali. Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satu jengkal!
Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanya dengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata merah mencorong.
“Siapa kalian! Apa mau kalian?!” Wiro ajukan pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas dukungannya.
“Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau menyerahkan kalung perak kepala srigala!” Salah seorang dari empat pengurung membuka suara.
Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. “Eh, kau perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek seperti yang aku dukung ini?!”
“Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalau memang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala srigala terbuat dari perak itu!”
“Benda yang kau cari tidak ada padaku!” jawab Wiro. Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putih yang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di balik pakaiannya.
“Seorang pendekar tidak layak berdusta!” Orang berkerudung di sebelah kiri membentak.
“Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini perempuan semua?!” tanya Wiro.
“Seorang pendekar tidak layak berdusta!” Orang yang tadi berkata ulangi ucapannya.
“Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangan nenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
“Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa tololnya!” Orang berkerudung di samping kanan berucap. Dia memberi isyarat pada tiga kawannya.
Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. “Kami tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kami melihat sendiri kau memasukkannya ke balik pakaian. Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu?!”
“Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian? Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian adalah bangsa penjahat malam. Kalau bukan rampok, pasti maling!”
“Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi pemuda ini!” Orang di samping kiri hilang kesabarannya. Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di depan leher Pendekar 212 berkelebat ke depan.
Breeeetttt!
Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapi tenggorokannya yang jebol!
Empat suitan keras menggelegar di malam dingin. Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat. Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan.
Wuuuuutttt! Wutttt! Bukkk! Bukkk!
Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan Wiro sebagai senjata penangkis menghantam pergelangan mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri karena lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja duduk pejamkan mata di atas pundak muridnya! Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar menderu ganas.
Breeeettt!
Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan jurus Kincir Padi Berputar dia hantamkan tendangan ke arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis dan pahanya yang dipakai menendang telah berada dalam cengkeraman dua tangan berbentuk cakar!
Sedikit saja dia bergerak dan kalau dua lawan mau, maka daging betis dan pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang membuat nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah menempel di batang lehernya!
“Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum mau menyerahkan kalung perak kepala srigala itu?!” Orang berkerudung di depan Wiro membentak. Sepasang matanya berkilat-kilat.
“Tenang... Sabar...” kata Wiro dengan suara bergetar dan tengkuk dingin. “Kau bunuh diriku tak ada gunanya. Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!”
“Dusta besar! Bohong!”
“Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi awas! Kalau kepala srigala itu tidak kalian temukan, jangan iseng mencari kepalaku yang lain! Ha ha ha!”
Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Tidak satupun dari empat orang itu bertindak hendak menggeledah.
“Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam?!” tanya Wiro. “Siapa sudi menggeledah tubuhmu!” teriak orang berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu saja merasa jengah menggerayangi sosok Pendekar 212.
“Panggil Ki Tawang Alu!” Salah satu dari empat orang berkerudung berkata. Lalu salah seorang dari mereka keluarkan suitan keras.
Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk. Pandangan matanya tajam angker.
“Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung kepala srigala ada padanya!”
Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendeng yang ada di atas pundak Wiro. Kakek muka putih ini punya banyak pengalaman dan pandai menilai orang. Sesaat dia tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di samping kanan membentak.
“Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!” Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan dua tangannya. Caranya menggeledah Wiro aneh dan cepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang berkerudung kecewa besar ketika si kakek kemudian berkata sambil mundur.
“Kalung itu tidak ada padanya...!”
“Mana bisa jadi!”
“Tidak mungkin!”
“Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di balik pakaiannya...!”
Ki Tawang Alu menggeleng. “Aku sudah mencari. Tak mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini. Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari benda lain yang dapat menyembuhkan pimpinan kita dari sakitnya...”
Empat orang berkerudung memandang tidak percaya pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk-garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi, empat orang berkerudung hitam mau tak mau akhirnya tinggalkan pula tempat itu. Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
“Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perak kepala srigala itu?!”
Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya. Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak berbentuk kepala srigala bermata merah.
“Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka putih itu! Dari tampangnya kentara kulihat dia bangsa manusia yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan. Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih jauh dari sini! Belum lagi Teluk Akhirat!”
********************
2
KAKEK SEGALA TAHU
BUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun. Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di salah satu puncak bukit di sebelah timur kelihatan berdiri sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang terbuat dari rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa menahan sinar matahari.
Anehnya di dalam teratak atau gubuk itu tampak seorang kakek duduk di atas gundukan batu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tambalan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya hawa yang keluar dari tanah bukit kapur itu seolah tidak terasa olehnya.
Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping lebar terbuat dari bambu yang diputar-putar demikian rupa hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata si kakek jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih rata. Buta!
Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng penyok-penyok tak karuan rupa. Dengan tangan kanannya kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya. Suara berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek tertawa mengekeh seolah bunyi kerontang kaleng rombeng itu lucu menyenangkan.
Dia angkat lagi tangannya lebih tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan itu terasa sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang tua ini jadi berubah. Dua matanya yang putih bergerak berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap saja tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam dan geleng-gelengkan kepala.
“Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggu kesenanganku!” kakek itu berhenti memutar caping di tangan kiri.
Caping bambu itu diletakkannya di atas kepala sementara tangan kanannya yang memegang kaleng masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk tak bergerak seperti merenung. Lalu dia mendongak sambil menghirup siliran angin yang lewat di bawah teratak. Di antara bau hawa kapur yang mengambang di udara dia membaui sesuatu. Kakek ini menyeringai.
Sesaat kemudian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit kapur. Bersamaan dengan itu dirasakannya satu kekuatan yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya yang memegang kaleng rombeng lalu berkata.
“Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamu geblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar berhenti aku jadi tua bangka! Ha ha ha...!” Lalu si kakek goyangkan tangannya. Suara kerontangan kaleng rombeng yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur itu. Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan.
“Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka?!”
Kakek mata putih terkesiap. “Astaga! Ternyata bukan dia! Celaka! Dugaanku meleset! Tapi...” Kakek ini kembali menghirup udara dalam-dalam. “Tapi bau pesing itu! Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang dengan orang lain. Tapi mengapa aku hanya mendengar langkah-langkah kaki satu orang saja? Aku rasa-rasa kenal suara orang yang barusan bicara!” Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. “Aneh, bagaimana mungkin ada makhluk yang namanya manusia setinggi itu!” Si kakek membatin.
“Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa yang tengah kau lakukan?!” Kakek mata putih berteriak.
Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa cekikikan. Sesaat kemudian muncullah si nenek sakti dari Gunung Gede itu, didukung di atas pundak oleh muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau dua matanya buta namun kakek di dalam teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat lewat penciuman, perasaan dan pendengarannya.
“Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa yang kau jadikan tunggangan untuk datang ke bukit kapur ini! Edan betul!”
“Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama Wiro Sableng!”
“Huaaaa ha ha...! Guru dan murid sama sintingnya! Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian hanya datang percuma mencari angin!”
Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto Gendeng dan Wiro.
Seperti dituturkan dalam serial terdahulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kemasukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya masih tertolong karena seorang kakek kekasihnya di masa muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiro mau tak mau terpaksa mendukungnya.
“Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama ini baik-baik saja?!” Sinto Gendeng bertanya.
Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk– kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek Segala Tahu. Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mata putihnya.
“Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak bisa berjalan sendiri. Kau diturunkan dan didudukkan. Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau pesing, apa yang terjadi denganmu?”
“Dua kakiku lumpuh!” berkata Sinto Gendeng. Rahangnya menggembung.
“Lumpuh? Kau kesambat setan di mana?!” Kakek Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. “Tunggu!” Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek Segala Tahu di bukit kapur itu.
“Tua bangka geblek! Apa yang lucu!” membentak Sinto Gendeng.
“Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau sampai lumpuh begini rupa! Ini akibat terlalu mengobar cinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan jadi lumpuh! Ha ha ha...!”
“Tua bangka sinting!” maki Sinto Gendeng. “Enak saja kau bicara! Wiro! Ceritakan pada kakek gila ini apa yang telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menuduh yang bukan-bukan!”
Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sang guru dia lalu tuturkan malapetaka yang menimpa Sinto Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya dan tarik nafas panjang berulang kali.
“Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek,” kata Wiro memberi tahu. “Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh itu harus dibasmi...”
Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang. “Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah menyingkirkan makhluk kelelawar itu selama dia menguasai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari atas ke bawah, sulit dihindari. Satu-satunya cara, kalian harus menghindari tempat terbuka...”
“Bagaimana mungkin Kek!” kata Wiro pula.
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yang putih berputar-putar. Lalu orang tua ini bertanya. “Sinto, apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Sinar Inti Roh?”
Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro langsung saja memberi tahu. “Eyang memang sudah memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan darinya. Tapi guru menyuruh aku menunggu sampai empat puluh sembilan tahun!”
Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya. “Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa menghancurkan Kelelawar Pemancung Roh...”
“Nah Nek, apa kataku!” Wiro menyeletuk. “Kalau saja kau telah mengajarkan padaku ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku sendiri bisa membereskannya!”
“Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti ini hatiku jadi leleh dan mengajarkan ilmu itu padamu. Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi!”
“Nasibku jelek!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempat dan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan Seribu Hawa Kematian itu...”
“Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk minta petunjukmu...” kata Wiro mulai jengkel melihat tingkah si kakek.
“Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan!” jawab Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng bututnya.
Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan hitam membuat udara menjadi mendung. Petir menyambar beberapa kali dan guntur menggelegar menggetarkan bukit kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya dan goyangkan tangannya berulang kali.
“Itu! Itu kelemahannya!” Si kakek berteriak.
Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu lalu kedipkan matanya pada Wiro. “Apa yang dikatakan tua bangka sinting ini...” bisik Sinto Gendeng pada muridnya.
“Kek, kalau kau memang sudah mengetahui kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera memberi tahu pada kami?” ujar Wiro pula.
“Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut, tidak bisa bergerak kalau ada hujan. Begitu juga Seribu Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatan membunuhnya pada saat hujan turun!”
“Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah disekapnya dengan hawa maut itu!” Sinto Gendeng berkata setengah mengomel. Lalu dia berpaling pada muridnya. “Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja! Kau juga harus mencari akal!”
“Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku lagi butek!” jawab Wiro. “Kalau sulit menghadapi makhluk kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian pada hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan kelumpuhan yang kau derita.”
“Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si Raja Obat sanggup menyembuhkannya?”
“Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang bisa menyembuhkan. Juga tidak ada satu obat pun. Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil...” Kakek Segala Tahu memandang ke arah Wiro. Dia pegang tangan kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya.
“Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisa menyembuhkan gurumu. Harap kau ceritakan padaku...”
“Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa tahu hal itu!” membatin Wiro.
“Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa tidak menjawab ucapanku!” Kakek Segala Tahu membentak. Bola matanya yang putih memandang berputar ke langit.
“Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Eyang adalah sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami gerhana.”
“Weehhhhh!” Sinto Gendeng monyongkan mulutnya yang perot. “Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma satu urusan gila! Mencari bunga matahari mungkin gampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih mungkin. Tapi yang mekar pada saat gerhana matahari dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru akan terjadi seratus tahun lagi. Saat itu aku sudah jadi bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu buat apa aku pikirkan! Hik hik hik!”
“Sinto,” kata Kakek Segala Tahu setelah menggoyangkan kalengnya dua kali. “Yang berkata adalah Suro Ageng. Orang yang bisa dipercaya. Ucapannya mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu merupakan satu tamsil yang harus diselidik dan dikaji lebih dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan sekarat. Lalu apa kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernah ada satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga matahari?”
“Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak ingat hal itu!” kata Sinto Gendeng pula. Sesaat wajahnya yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya memancarkan sinar penuh harapan.
“Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhana matahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari sungguhan?”
“Mungkin memang perlu diselidiki.” kata Sinto Gendeng sambil manggut-manggut hingga lima tusuk konde perak yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang dan berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian berpaling pada muridnya. “Wiro, kau harus bawa aku ke puncak Pegunungan Dieng!”
“Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa sembuh!” jawab Wiro namun dalam hati mengeluh, “Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan aku musti mendukung nenek bau pesing ini! Remuk aku!”
Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan berbisik. “Aku tahu omelan yang barusan kau ucapkan dalam hati...”
“Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek itu mengomel kalang kabut!” kata Wiro balas berbisik.
“Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini?!” Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. “Aku tahu Pegunungan Dieng jauh dari sini! Sedang Teluk Akhirat lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu apa yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuh sangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar Pemancung Roh itu lebih dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat lebih dulu! Kau dengar itu anak setan?!”
“Aku dengar nenek set...” Wiro tertawa cekikikan dan cepat tutup mulutnya, “Maafkan aku Nek. Karena kau terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah ikut-ikutan memanggilmu nenek set... Ha ha ha!”
Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar seperti mau melompat dari rongganya. Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah goyangkan kaleng rombengnya dia berkata,
“Aku merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu Sinto. Anak muda, benda apakah itu? Coba keluarkan, mau kulihat!”
Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis pikir bagaimana orang tua yang matanya buta ini mampu mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu menembus pandang dan mengetahui apa yang disimpannya di balik baju. Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di telapak kiri Kakek Segala Tahu lalu jari-jari si kakek ditekuknya hingga membentuk genggaman.
“Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan?!” bertanya Kakek Segala Tahu.
Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, “Waktu pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku. Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat dari perak putih. Memiliki sepasang mata merah.” Lalu Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan benda itu.
“Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang benda ini!” kata Kakek Segala Tahu seraya mendongak ke langit, “Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau sampai salah memberikan pada orang lain. Aku mencium bau penyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda banyak malapetaka mengelilingi kalung ini...”
“Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus susah memikirkan!” kata Sinto Gendeng.
Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, “Wiro, simpan benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selama kalung kepala srigala itu ada padamu, kau bakal menghadapi cobaan berat...”
“Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu Kek,” menyahuti Wiro.
Kakek Segala Tahu tersenyum, “Bagaimana kau bisa tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam keadaan bugil rela menyerahkan kehormatannya asal kalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!”
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan,
“Anak setan! Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku khawatir kau tidak sanggup menghadapi cobaan sekali ini. Hik hik hik...”
Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar ucapan dan kekehan sang guru.
********************
3
EMPAT GADIS BUGIL
"Sebentar lagi malam akan turun. Sebaiknya kau menyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada mata air. Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus sekali!”
Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan pakaiannya basah oleh keringat. Namun dasar pemuda konyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan,
“Eyang, sebenarnya kau lebih baik tidak terlalu banyak minum. Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus-terusan!”
“Anak setan!” Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar meringis kesakitan. “Kau benar-benar murid tidak berbudi. Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek mempermainkanku!”
“Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku sangat letih. Apa kita boleh berhenti barang sebentar?”
Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. “Kita baru berhenti kalau sudah sampai di kaki bukit sana!”
“Eyang...”
“Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin yang kuajarkan padamu. Selama perjalanan kulihat kau tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu?!”
“Eyang, aku tak punya maksud memperlambat perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya sudah cukup cepat. Kalau kupergunakan ilmu lari Kaki Angin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap di atas pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu hilang keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau sampai begitu nanti aku lagi yang kena omelan...”
“Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu!” kata Sinto Gendeng.
“Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja,” kata Wiro. Dalam hati dia berucap, “Nenek cerewet! Awas kau! Akan kukerjai kau agar tahu rasa!”
Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat laksana anak panah lepas dari busur. Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlari membuat tubuhnya dan tubuh sang guru yang didukung laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak tenggelam itu.
Wiro sengaja lari secepat yang bisa dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya berlari biasa tetapi sesekali melompat atau berjingkrak atau menikung tak karuan hingga tubuh si nenek yang didukungnya terlontar-lontar malang melintang di atas pundaknya. Kadang-kadang dia memperlambat larinya dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong muridnya niscaya akan terlempar jatuh!
Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah pohon-pohon bercabang rendah. Kalau Sinto Gendeng tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh ke belakang atau ke samping niscaya kepala atau dadanya akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah cabang pohon besar Sinto Gendeng tidak keburu rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya tinggal kulit membalut tulang dihantamkan ke depan.
Braaaakkk!
Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancur berantakan.
“Anak setan! Kau mau membunuh aku?!” Si nenek menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak rambut Wiro.
“Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang agar aku mempergunakan ilmu lari Kaki Angin. Aku mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku mau membunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil mendukungmu dengan ilmu lari itu bisa berbahaya!”
“Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau mengerjai diriku!” kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala muridnya dua kali hingga Wiro terpekik kesakitan. “Sudah! Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki Angin!”
Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, “Nah sekarang akhirnya kau menyerah juga! Rasakan...” Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya dikucuri cairan hangat.
“Nek! Kau kencing ya?!” teriak Wiro sambil pencongkan mulut dan hidungnya.
“Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangan kira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa! Hik hik hik!” Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa cekikikan. Kalau saja yang ada di atas pundaknya itu bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro membantingkan orang itu ke tanah!
********************
BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu sampai di tepi rimba belantara yang membentang sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro melihat sebuah telaga kecil di antara pohon-pohon besar. Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera menurunkan si nenek lalu mandi membersihkan diri. Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bau oleh pesing kencingnya sang guru. Namun ketika sampai di tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap.
“Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi menyejukkan diri...”
“Wah, aku keduluan...” ucap Wiro dalam hati.
“Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintip orang!”
“Nek!” kata Wiro jadi kesal, “Perawan saja yang mandi belum tentu aku intip. Apalagi kau yang sudah tua renta begini! Apa untungnya?!”
Sinto Gendeng tertawa panjang. “Mengintip anak gadis mandi sudah biasa! Tapi mengintip nenek-nenek bugil jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin tahu bagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik hik hik!”
“Kalau aku amit-amit Nek!” jawab Wiro.
Mereka sampai ditepi telaga. Wiro langsung menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro berkata, “Eyang, kau boleh mandi sampai pagi. Biar aku bisa istirahat yang lama...”
“Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil kau harus segera datang!”
Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu pohon besar dia duduk bersandar dan lunjurkan kaki. Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa kali. Sesaat ketika dia hendak memejamkan mata dari atas pohon besar tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat, melayang turun laksana empat burung raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling dia jadi terkejut lalu menyeringai.
“Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat apa lagi?! Mau membetot putus leherku atau menjebol jantungku dengan cakar srigala kalian?!”
Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah masing-masing terpampang gambar kepala srigala berwarna putih perak dengan mata merah menyorot. Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh yang kemarin malam sebelumnya telah mencegat Pendekar 212. Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah lalu berkata,
“Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala srigala itu ada padamu! Kau sembunyikan di satu tempat di balik pakaianmu!”
Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah berubah seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Lalu dia menyambung ucapan temanya, “Kemarim malam kami masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!”
“Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah sekujur tubuhku! Dia tidak menemukan kalung itu! Mana kakek muka mayat itu? Siapa namanya?!”
“Dia tidak ada di sini!” jawab orang berkerudung di ujung kiri.
“Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!”
“Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak mempercayai dirinya!”
“Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!”
“Bagaimana aku harus menerangkan!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling. “Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangi sendiri menggeledah tubuhku! Silahkan saja!” Wiro lalu kembangkan dada pakaiannya.
Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah kanan yang sejak tadi diam saja maju mendekati Wiro.
“Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu. Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu dicuri orang sepuluh hari lalu. Kami tidak tahu siapa pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon, mungkin juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami tidak perlu nyawa ataupun darahmu. Kami sangat memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai penukarnya akan kami penuhi!”
“Apakah kalung itu memang milik kalian?” Wiro bertanya.
“Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarang dia sedang terbaring sakit. Hanya kalung itu...”
“Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!” tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong ucapan temannya.
“Namamu Rembulan...?” ujar Wiro seraya menatap sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua lobang kecil di bagian depan kerudung hitam. Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau saja aku bisa melihat wajahmu, pasti kau secantik bulan purnama empat belas hari...”
Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari mulutnya. Dalam hati dia membatin. “Apa yang orang bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi ah... Mengapa aku merasa tertarik padanya?” Di balik kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah.
Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan Wiro. “Namaku Mentari Pagi...”
“Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak!” kata Wiro sambil tersenyum
Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi lanjutkan ucapannya, “Kalung itu bagi kami sama nilainya dengan jiwa kami. Kami benar-benar membutuhkan. Kami tidak tahu mengapa kau punya niat jahat menyembunyikan kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!”
“Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku. Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki Tawang Alu menggeledah diriku. Selain itu bagaimana aku tahu pasti kalung itu memang milik kalian?”
Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak di dada jubah hitamnya. “Kau saksikan sendiri. Gambar kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada padamu!”
“Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh sekaligus! Lalu apa itu berarti kalung kepala srigala perak itu milikku!”
Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata-kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, “Kalau kubunuh pemuda ini lalu ternyata kalung itu memang tidak ada padanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu tidak mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar. Tapi aku yakin kalung itu ada padanya!” Mentari Pagi memandang pada ketiga kawannya, memberi tanda dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung satu persatu anggukkan kepala.
Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya pada Pendekar 212. “Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami menyirap kabar bahwa kau adalah seorang pemuda hidung belang...”
“Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa menuduh aku hidung belang?!” kata Wiro dengan suara keras sambil usap-usap hidungnya. “Eh! Kalian dengar baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku yang akan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku? Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang? Aku atau kalian berempat!”
Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan keluarkan suara-suara marah. “Kau enak saja bicara ngacok!” bentak Mentari Pagi.
Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi kembali membuka mulut, “Kau mau mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu kami bersedia menyerahkan diri kami padamu...”
“Menyerahkan diri bagaimana?!” tanya Wiro setengah melongo.
“Jangan berpura-pura!” jawab Mentari Pagi. “Kau boleh memiliki diri kami malam ini...”
“Kalian... Empat-empatnya?!”
Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke balik semak belukar setinggi dada.
“Eh! Kau mau ke mana?!” tanya Pendekar 212.
Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di balik semak-semak dia tanggalkan jubah hitamnya. Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar yang jadi penghalang tidak seberapa lebat lagi pula demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas sosok tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu.
Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semak belukar yang sama. Seperti Mentari Pagi satu persatu mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua mata Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang mengalir dalam pembuluh di sekujur badannya menjadi panas. Jantungnya berdegup keras.
“Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidak tahu wajah kalian, jangan-jangan kalian empat nenek yang punya kesaktian menipu pandangan mataku...”
Ucapan itu keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh tiga kawannya tiba-tiba gerakkan tangan masing-masing, menarik lepas kerudung hitam yang selama ini menutupi kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihat wajah ke empat orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut dua langkah sambil garuk-garuk kepala!
4
SINTO GENDENG LENYAP
“YA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyata empat gadis berwajah cantik!” Wiro tegak terkesiap sambil garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan ternyata paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah cantik, namun ada bayangan sifat angkuh serta kehendak memaksakan wibawa. “Ini rupanya cobaan yang dikatakan Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah menghadapi cobaan ini? Gila! Mengapa urusan bisa jadi kapiran seperti ini?!”
“Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh datang ke balik semak belukar ini!” Mentari Pagi berkata.
“Aku... Tidak... tidak!” kata Wiro sambil goyangkan kepala.
“Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak akan memenuhi janji, kalau begitu datanglah ke sini. Kau boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa saja pada kami...”
Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain. “Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa menolong akan kulakukan! Aku bukan manusia yang menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi melakukan seperti apa yang kalian katakan...!”
Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya. “Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!”
Rembulan tiba-tiba berkata, “Mentari, lihat! Dia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu kalung kepala srigala perak yang kita cari!”
Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke arah Wiro yang saat itu memang sudah mengeluarkan kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itu dia masih berdiri dengan kepala mengarah ke jurusan lain, tak berani memandang ke arah semak belukar.
“Lekas kenakan jubah dan kerudung!” Mentari Pagi berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing. Lalu melangkah ke hadapan Wiro.
Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah Mentari Pagi.
“Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah memberikan barang ini pada kalian!”
“Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalah milik pimpinan kami dan segera akan kami sampaikan kepadanya!” kata Mentari Pagi pula.
“Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah, hatiku lega sekarang...” kata Wiro pula lalu tersenyum.
“Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang sangat berharga ini!” Mentari Pagi cepat-cepat memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kain yang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya.
“Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu yang hendak kau minta dari kami?”
“Tidak... Aku tidak minta apa-apa...” jawab Wiro.
“Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai imbalan?” tanya Mentari Pagi.
“Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi...”
Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali memandang pada Pendekar 212. “Jika kau tidak meminta apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa kami jawab?”
“Pertanyaan...?” Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau pertanyaan memang banyak!”
“Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu persatu.” kata Mentari Pagi pula.
“Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakan pakaian dan kerudung serba hitam seperti ini? Lalu gambar kepala srigala itu? Aku juga melihat tangan kalian bisa berubah menjadi seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Kata kalian kalung perak itu adalah milik pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang menderita sakit apa?”
“Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!” Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk menjawab. Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan sesaat jadi kikuk. Matanya menatap wajah Pendekar 212 sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya jadi gemetar.
“Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebut Bumi Hitam. Kami bermukim di lereng bukit timur Gunung Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang konon hanya bisa disembuhkan dengan Kalung Perak Kepala Srigala.
Selain itu kalung tersebut adalah pusaka Kelompok Bumi Hitam yang merupakan pertanda bahwa pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagai pimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan karena kami semua adalah perempuan yang rata-rata berusia muda...”
“Dan cantik-cantik!” sambung Wiro lalu tertawa lebar.
“Apakah kau masih ada pertanyaan lain?” ujar gadis bernama Mentari Pagi.
Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara ringkas pada empat orang gadis lalu bertanya, “Apa kalian pernah mendengar asap beracun yang disebut Seribu Hawa Kematian itu? Lalu apakah kalian tahu kelemahan serta cara menghadapinya? Menurut seorang sahabat dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus menghindari tempat terbuka dan pada saat hujan turun. Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan sahabatku itu?”
Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung. Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. “Apa yang dikatakan sahabatmu itu memang betul. Tetapi ada satu cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat mematikan itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dari api. Api bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak selamanya. Api yang telah berubah menjadi asap atau hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api juga.”
Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. “Terima kasih Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau pimpinan kalian sedang sakit dan kalian sudah dapatkan kalung kepala srigala itu sebagai obatnya, sebaiknya kalian lekas-lekas menemuinya.”
“Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada orang ini. Jika kau mengizinkan...”
Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap. “Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia tidak pernah jauh dari air. Konon dia bisa dilukai tapi tak bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada dalam jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup yang tidak diketahui apa dan di mana beradanya...”
“Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam dirinya sendiri. Tapi dititipkan pada makhluk lain.” Wiro geleng-geleng kepala.
“Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan bernama Wiro Sableng?”
Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. “Apa artinya satu nama, apa pula artinya sebuah julukan? Aku ya manusia biasa, begini saja adanya seperti yang kalian lihat. Aku ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku Eyang Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan akibat Seribu Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat atau cara penyembuhannya?”
“Kami tidak bisa memberikan jawaban,” kata Mentari Pagi. “Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke tempat kami di lereng timur Gunung Merapi. Mungkin pimpinan kami bisa menolong...”
“Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat kalian...” kata Wiro pula.
“Satu lagi pertanyaan dariku,” Rembulan kini yang berkata, “Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak? Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang bernama Anggini?”
Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Rembulan, dari mana kabar itu kau dapatkan?”
“Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah diundang datang ke lereng timur Gunung Merapi. Dalam satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut si kakek sudah lama sekali dia tidak bertemu denganmu dan tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang bernama Anggini itu...”
Wiro garuk kepalanya habis-habisan. “Maksud kakek itu baik. Tapi...”
“Tapi apa?” tanya Mentari Pagi. “Anggini tidak suka padamu, atau kau yang tidak tertarik padanya?”
“Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas sana...” kata Wiro sambil menunjuk ke atas. “Siapa tahu Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku berjodoh dengan salah satu dari kalian!”
Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil. Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada kawan-kawannya lalu berkata, “Kami pergi sekarang! Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikan Kalung Kepala Srigala...” Keempat gadis itu lalu menjura.
Wiro balas menghormat seraya berkata, “Aku juga berterima kasih. Kalian semua telah memberikan kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan kulupakan seumur hidup!”
Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya, “Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan kuceritakan bagaimana hebatnya kesetiaan kalian padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya...”
“Kami harap...” kata Mentari Pagi dengan suara agak gemetar, “Hal itu jangan kau ceritakan pada Pelangi Indah. Kami...”
“Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidak akan menceritakan apapun pada pimpinan kalian,” kata Wiro pula sambil tersenyum.
“Terima kasih...” kata Mentari Pagi seraya menjura sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya. Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak meninggalkan tempat itu.
“Ada apa...?” tanya Wiro agak heran.
“Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada artinya kalau tidak disertai satu tindakan yang tulus...”
“Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan, Mentari Pagi. Apakah...”
Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu cepat sekali keempatnya berkelebat, dua dari kiri, dua dari kanan.
Cup! Cup! Cup! Cup!
“Hai!” Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan yang barusan dicium oleh empat gadis itu. Pipi sang pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wiro hanya bisa bertegak diam. Di kejauhan, dalam gelapnya malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu.
********************
DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat Mentari Pagi mendekati Rembulan dan berkata,
“Sahabatku Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan keras...”
“He, apa maksudmu Mentari Pagi?” tanya Rembulan.
Mentari Pagi tersenyum. “Dari caramu menghadapi pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta dari pandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau suka padanya...”
Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata-kata Mentari Pagi. “Kau menggodaku! Kalau dua teman yang lain sempat mendengar, kabar yang bukan-bukan pasti akan segera menebar...”
Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulan yang untuk beberapa saat lamanya masih tegak tertegun.
“Anggini...” katanya dalam hati. “Aku juga belum pernah melihatmu. Secantik apakah dirimu?”
********************
5
TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis dari kelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di tempat itu.
“Dewa Tuak... Bagaimana orang tua itu seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan muridnya?” Wiro garuk-garuk kepala. “Ah! Mengapa hal itu harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku. Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu Seribu Hawa Kematian sudah kuketahui.”
Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang Sinto Gendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian. Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di sekitarnya. Eyang Sinto Gendeng tidak kelihatan.
“Ke mana perginya orang tua itu?” pikir Wiro. “Kalau masih mandi mengapa tak ada dalam telaga. Pakaiannya tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai mandi mengapa tidak memanggil aku, memberi tahu? Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu...”
Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut benda itu. Ketika diperhatikan berdebarlah dada Pendekar 212.
“Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng...” katanya dengan suara bergetar. Wiro memandang berkeliling. Hanya kegelapan yang kelihatan.
“Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana?!” Wiro berteriak memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. “Nek! Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak akan kudukung lagi kau!”
Wiro terdiam sesaat. “Tidak mungkin nenek itu bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari dalam telaga! Setahuku sekitar kawasan ini tidak ada binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol macan! Lalu kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya menculik nenek tua bangka dan bau pesing begitu?”
Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi, “Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang Sinto Gendeng. Jika sampai menancap di batu mungkin sekali telah dipergunakan untuk menyerang seseorang! Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di tempat ini!”
Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah belakang. Wiro cepat berpaling sambil hantamkan tangan kirinya.
Bukkkk!
Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa perih panas. Di depan sana seorang kakek muka putih berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan tadi namun dia masih bisa keluarkan ucapan.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata memang bukan nama kosong belaka!”
Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia segera mengenali kakek muka putih itu. “Ki Tawang Alu!” teriak Wiro geram.
S E L E S A I