Serial Pendekar Naga Putih
Episode Siluman Gurun Setan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Siluman Gurun Setan
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
“Aaa...!” Jeritan panjang melengking merobek keheningan malam itu. Desa Bandul yang semula sunyi, mendadak riuh.
Para penduduk yang tengah terbuai mimpi tersentak bangkit. Sebentar saja, suasana yang semula pekat menjadi terang-benderang oleh api-api obor yang bermunculan dari tiap rumah penduduk. Enam orang keamanan desa yang tengah meronda, mendadak terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Seolah hendak memastikan, apakah mereka semua mendengar jeritan itu.
“Kedengarannya seperti dari tempat kediaman kepala desa?” desis salah seorang peronda. Sepasang matanya menatap ragu, meminta pendapat kawan-kawannya.
“Menurutku juga begitu...,” sahut peronda lain, yang bertubuh kurus dan bermata jeli.
Empat peronda lainnya terlihat menganggukkan kepala. Tampaknya mereka sependapat dengan kedua kawan mereka. Kendati demikian, tak seorang pun yang bertindak.
“Hm... Apa lagi yang kalian tunggu? Jeritan tadi jelas menandakan orang itu tengah menghadapi maut...!” salah seorang peronda yang bertubuh tegap, berusia sekitar empat puluh tahun, mengingatkan kawan-kawannya. Kemudian lelaki itu bergegas menuju asal jeritan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kelima peronda lainnya pun segera menghambur. Mereka berlarian menuju tempat kediaman kepala desa. Karena dari situlah suara jeritan berasal.
Para penduduk yang tengah bergerombol dengan obor di tangan, segera menggabungkan diri dengan keenam peronda itu. Rombongan itu pun kian bertambah banyak. Karena sepanjang jalan, selalu saja ada penduduk yang ikut bergabung. Sehingga, sebentar saja telah terbentuk barisan yang cukup panjang bergerak menuju tempat kediaman kepala desa.
“Berhenti...!”
Rombongan peronda dan para penduduk itu sama menghentikan langkah. Di depan pintu gerbang Kepala Desa Bandul, telah berdiri empat orang pengawal.
“Kakang Dirja. Kami mendengar suara jeritan kematian yang berasal dari sekitar tempat ini. Apakah Kakang tidak mendengarnya...?” peronda bertubuh tegap yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju dan melaporkan apa yang didengarnya.
“Aku pun mendengarnya, Rajulit. Sayang, kedatangan kalian sudah terlambat..,” sahut lelaki tinggi kurus yang bernama Dirja. Raut wajahnya membayangkan kedukaan dan penasaran yang dalam.
“Jadi..., apa yang kami dengar tadi...?” Rajulit tidak melanjutkan kalimatnya. Sepasang matanya menatap dengan seribu pertanyaan di dalamnya.
“Salah satu keluarga kepala desa kita kedapatan telah menjadi mayat. Sedangkan pembunuhnya belum diketahui...,” Dirja menjelaskan kepada Rajulit. Sepasang mata lelaki kurus itu menerawang ke langit kelam. Ada api dendam di matanya yang tajam.
“Apakah tidak ada orang yang melihat pembunuh itu, Kakang?” tanya Rajulit penasaran.
Dirja hanya menghela napas sambil menggeleng perlahan. Itu sudah merupakan sebuah jawaban. Peronda bertubuh tegap itu pun menghela napas penuh sesal.
“Saudara-saudara sekalian...!” Dirja mengalihkan pandangan matanya ke rombongan penduduk, “Sebaiknya kalian kembali ke rumah masing-masing. Satu persatu. Mulai malam ini, kalian semua harus berhati-hati. Meski kita semua mengharap peristiwa itu tidak berkelanjutan, tapi kita harus meningkatkan kesiagaan. Jika di antara kalian ada yang melihat seseorang yang mencurigakan, segera laporkan kepadaku”
Setelah mendengar ucapan Dirja, yang merupakan salah seorang sesepuh Desa Bandul, para penduduk pun bergerak meninggalkan tempat itu dengan suara ribut. Suara-suara itu berasal dari pembicaraan para penduduk.
“Kakang. Kalau diizinkan, kami ingin melihat mayat korban...,” Rajulit memecahkan keheningan, setelah di tempat itu hanya tinggal para keamanan desa saja.
“Hm.... Sebaiknya kita tetap di sini, Rajulit. Aku tidak berani mengganggu keluarga Ki Bajuri yang tengah berkabung...,” sahut Ki Dirja meminta pengertian Rajulit.
“Lalu..., apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Rajulit yang memaklumi jawaban Ki Dirja. Sehingga ia mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah. Aku sendiri belum memikirkannya. Yang jelas, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Seperti yang telah kukatakan tadi. Kita harus memasang mata dan telinga. Desa kita banyak didatangi pendatang. Bukan mustahil pembunuh itu adalah salah satu dari kaum pendatang. Untuk itu, mulai sekarang kalian harus lebih memusatkan perhatian kepada kaum pendatang. Bila di antara mereka ada yang bersikap mencurigakan, segera laporkan padaku...,” jelas Ki Dirja. Keenam peronda itu menganggukkan kepala.
Sebentar kemudian, suasana kembali hening. Sepuluh orang keamanan Desa Bandul membiarkan dirinya hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Tak seorang pun yang mengeluarkan suara.
“Rajulit...,” panggilan Ki Dirja memecah keheningan. “Ada apa, Kakang...?” sigap Rajulit menyahuti panggilan itu.
“Sebaiknya kalian lanjutkan perondaan. Saat ini sudah tengah malam. Siapa tahu pembunuh itu masih berkeliaran mencari mangsa...,” ujar Ki Dirja.
“Baiklah, Kakang...,” sahut Rajulit. Kemudian minta diri bersama kelima orang kawannya. Tidak berapa lama kemudian, sosok keenam peronda itu hilang ditelan kegelapan malam.
Malam terus merayap perlahan. Sinar bulan sabit yang menggantung di langit kelam tak mampu menembus kepekatan malam. Suara burung malam terdengar saling bersahutan meningkahi bunyi jangkrik dan binatang-binatang malam. Seluruh penghuni Desa Bandul tak dapat tenang seperti semula. Pembunuhan yang terjadi malam itu, membuat mereka merasa tegang dan gelisah. Desa mereka yang semula aman dan tenteram, kini mulai dilanda malapetaka yang setiap waktu bisa terulang kembali.
Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat menyentuh kulit, tampak sepasang insan muda bergerak menyusuri jalan berdebu. Langkah kudanya diperlambat ketika melewati wilayah pekuburan desa. Tanah pemakaman itu dibanjiri orang-orang yang tengah bergerak meninggalkan tempat itu. Wajah-wajah yang tengah dirundung kedukaan itu, telah menarik perhatian keduanya. Terlihat dari kerutan pada kening mereka berdua.
Rombongan penduduk Desa Bandul yang baru saja selesai memakamkan anggota keluarga kepala desanya, bergerak meninggalkan tanah pekuburan. Beberapa di antara mereka sempat mengerling ke arah pasangan insan muda yang berdiri di tepi jalan yang mereka lalui.
“Hm.... Lagi-lagi kita memasuki desa yang penduduknya tidak bersikap ramah, Kakang...,” gumam dara jelita berpakaian serba hijau kepada pemuda tampan berjubah putih yang berdiri di sebelahnya. Kerlingan beberapa penduduk memang terlihat sinis dan memancarkan kecurigaan.
“Kau harus memakluminya. Mungkin hal itu disebabkan oleh kedukaan di hati mereka. Siapa tahu di balik sikap mereka itu tersembunyi keramahan. Jangan kau masukkan ke dalam hati...,” sahut pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu tampaknya memaklumi sikap para penduduk yang terlihat tidak begitu ramah kepada mereka berdua.
Dara berparas jelita itu menghela napas panjang. Kendati demikian, ia tidak membantah ucapan pemuda tampan berjubah putih.
“Paman, harap berhenti sebentar...!” seru pemuda tampan itu perlahan kepada salah seorang penduduk yang berjalan paling belakang.
“Ada perlu apa, Kisanak...?” tukas lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya kecoklatan, pertanda ia seorang petani. Suara lelaki itu terdengar ketus dan tidak senang.
Pemuda tampan berjubah putih itu menyunggingkan senyum. Tak sedikit pun ia merasa tersinggung dengan sambutan yang tak ramah itu. Pemuda itu tidak mempedulikan jawaban ketus itu.
“Hmmm.... Bolehkah aku bertanya sedikit...?” lanjut pemuda tampan berjubah putih. Tetap dengan ramah dan sopan.
“Hm.... Kau sudah mengajukan pertanyaan, bukan?” tukas petani gemuk itu menyunggingkan senyum sinis.
Senyum pemuda tampan berjubah putih bertambah lebar. Kendati ucapan petani gemuk itu jelas-jelas hendak memancing kemarahannya, namun ia tetap sabar. Keramahan dan kesabarannya masih terpancar jelas pada raut wajah dan sinar matanya. Sehingga, kening petani itu berkerut heran.
“Tampaknya, Paman dan para penduduk lainnya baru saja memakamkan orang penting. Kalau boleh ku tahu, siapakah yang baru saja dimakamkan?” tanya pemuda tampan berjubah putih tanpa mempedulikan keheranan di wajah petani gemuk itu.
“Kalau kau ingin mengetahuinya, tanyakan saja kepada semua penghuni kuburan itu!” setelah memberikan jawaban yang ketus, petani gemuk berwajah coklat membalikkan tubuh dan bergerak menyusul kawan-kawannya.
“Nah, kau lihat sendiri, bukan? Keramahan yang kau tunjukkan, mereka balas dengan sikap sinis dan menjengkelkan. Sudah kukatakan, orang-orang desa itu jelas tidak menyukai kehadiran kita,” dara jelita berpakaian serba hijau itu menyindir kawannya dengan senyum sinis.
“Tidak mengapa, Adikku. Cepat atau lambat, kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan...,” tukas pemuda tampan berjubah putih, masih tetap tersenyum sabar. Tidak sedikit pun terlihat kemarahan di wajahnya, seperti yang ditunjukkan dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Hm.... Pada siapa lagi kau akan bertanya, Kakang?” tanya dara jelita itu seraya mengerutkan kening.
“Hm...,” pemuda tampan berjubah putih hanya bergumam pelan. Kakinya melangkah menyusuri jalan lebar yang menghubungkan Desa Bandul.
Tanpa banyak tanya lagi, dara jelita berpakaian serba hijau bergegas mengikuti. Rasa penasaran masih tersisa pada raut wajahnya. Namun, semua itu hanya disimpannya dalam hati. Karena ia tahu akan sia-sia saja mengatakannya. Gadis itu pun memutuskan untuk berdiam diri.
Di bawah terik sinar matahari, kedua sosok tubuh itu melangkah memasuki perbatasan Desa Bandul. Dan langsung menuju sebuah kedai makan yang cukup banyak didatangi pengunjung. Kedatangan pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau itu, telah menarik perhatian pengunjung. Sosok keduanya memang sangat menarik.
Terutama dara jelita yang memiliki sepasang mata mempesona. Sehingga, hampir seluruh mata laki-laki tertuju kepadanya. Mereka memandang dengan penuh kagum. Bahkan beberapa di antaranya sampai meneguk air liur. Sedangkan sepasang orang muda itu tampak tidak peduli. Dengan tenang, mereka melangkah menuju sebuah meja kosong. Kemudian memanggil pelayan dan memesan makanan.
“Di tempat seperti ini, kita bisa memperoleh banyak keterangan...,” ujar pemuda tampan berjubah putih itu kepada temannya.
Dara Jelita berpakaian serba hijau mengangguk. Sejenak sepasang mata beningnya memandang berkeliling, memperhatikan pengunjung kedai. Kemudian kembali menatap pemuda di depannya.
“Tapi, kelihatannya tidak ada orang yang membicarakan keterangan yang kau inginkan, Kakang...,” tukas dara jelita itu setelah terdiam beberapa saat lamanya. Rupanya, tadi tengah mencari-cari kalau-kalau ada di antara pengunjung yang tengah bercerita tentang kematian yang mereka lihat penguburannya.
“Tidak perlu terburu-buru, dan jangan menimbulkan kecurigaan...,” desah pemuda tampan berjubah putih. Kemudian terdiam, karena pelayan kedai sudah datang membawa pesanan mereka.
“Kalian pasti bukan penduduk desa ini...,” desis pelayan kedai berbisik, “Hati-hatilah...,” lanjutnya mengingatkan. Lalu, pelayan itu bergegas pergi. Sehingga pemuda tampan dan dara jelita itu tidak sempat menanggapi.
Ketika pemuda tampan berjubah putih itu hendak bergerak bangkit untuk memanggil pelayan itu, tiba-tiba beberapa orang melangkah masuk. Lelaki terdepan yang berperawakan tegap, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai. Dan berhenti di wajah pemuda tampan berjubah putih, yang duduk bersama kawannya. Kemudian bergerak mendekat dengan sikap tidak bersahabat. Empat orang lelaki lainnya yang berpakaian serba hitam, mengikuti langkah lelaki tegap itu. Langkah mereka berhenti tepat di hadapan kedua orang muda itu.
“Kalian siapa? Dan apa tujuan kalian singgah di desa ini?” tegur lelaki bertubuh tegap dengan sikap dingin dan tanpa basa-basi. Bahkan jelas-jelas menunjukkan rasa tidak sukanya.
Untuk sesaat, pasangan muda itu saling bertukar pandang. Ada bias keheranan pada wajah keduanya. Mereka tidak mengerti, mengapa sikap lelaki tegap itu tidak menghormati mereka.
“Kisanak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga. Kami berdua adalah perantau yang kebetulan lewat dan hendak melewatkan malam di desa ini,” jawab pemuda tampan berjubah putih, yang ternyata adalah Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Hm...,” lelaki bertubuh tegap yang tidak lain Rajulit, memperdengarkan gumaman kasar. Kemudian melangkah berputar dengan pandangan penuh selidik. Kelihatan sekali ia sangat mencurigai sepasang insan muda itu. Langkahnya berhenti, dan memandang ke arah pinggang dara jelita berpakaian serba hijau. Pada pinggang dara itu terlihat gagang pedang.
“Kalian tentu tidak ingin mencari kesulitan, bukan?” tanya Rajulit tiba-tiba.
“Maaf, kami tidak mengerti maksud ucapan Kisanak,” sahut Panji meminta penjelasan.
“Jawab saja pertanyaanku!” tukas lelaki tegap itu dengan agak keras. “Kalian tidak ingin mendapat kesulitan, bukan?” Rajulit mengulang pertanyaannya.
“Tentu tidak,” sahut Panji tenang dan tidak menunjukkan wajah tersinggung.
Lain halnya dengan Kenanga. Raut wajah dara jelita itu berubah. Rupanya ia merasa tersinggung mendengar bantahan itu. Kalau saja tidak bersama Panji, mungkin sudah dilabraknya lelaki tegap itu.
“Nah. Kalau begitu, cepat serahkan senjatamu,” Rajulit melanjutkan ucapannya seraya memandang dara jelita berpakaian hijau yang berada di sebelah kanannya. Memang hanya Kenanga yang kelihatan membawa senjata. Sedangkan Panji tak terlihat membawa pedang atau senjata lainnya. Karena itu ucapannya ditujukan pada Kenanga.
“Hm...,” mendengar ucapan lelaki tegap itu, Kenanga menggeram gusar. Darahnya mulai panas. Sebab, tanpa alasan yang jelas senjatanya hendak diambil. Tentu saja ia tidak sudi.
Pendekar Naga Putih yang mengetahui gelagat itu, segera mengedipkan matanya ke arah Kenanga. Sehingga, dara jelita itu tidak jadi bangkit dari duduknya, dan mempercayakan jawabannya kepada Panji.
“Kalau boleh kami tahu apa alasannya hingga kami tidak boleh membawa senjata? Dan, apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa ini?” Panji kembali meminta penjelasan. Karena kalau tanpa alasan yang masuk akal, ia pun tidak akan mau menyerahkan Pedang Sinar Bulan kepada lelaki tegap itu. Apa pun yang akan terjadi. Pedang itu merupakan lambang pertunangan mereka.
“Hm... Kalau hanya membantah, mungkin aku masih bisa memaafkan! Tapi, karena kau telah lancang hendak mengetahui keadaan desa kami, sudah cukup rasanya alasan untuk menahan kalian berdua!” tukas Rajulit marah mendengar jawaban pemuda tampan berjubah putih.
Brakkk!
Mendengar ucapan itu, Kenanga langsung menggebrak meja. Sehingga makanan yang berada di atasnya terpental ke udara. Sedangkan dara jelita itu sudah bangkit berdiri dengan sorot mata tajam.
“Kurang ajar! Siapa dirimu sehingga berani berkata demikian kepadaku! Hm... Ingin kulihat, bagaimana kau mengambil senjataku ini dari tanganku!” geram Kenanga seraya memandang Rajulit dengan sinar mata mengancam. Agaknya, dara jelita itu sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
Rajulit dan kawan-kawannya serentak bergerak mundur, tidak menduga akan sikap Kenanga. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat. Kemudian berubah menjadi kemarahan.
“Hm.... Sudah kuduga kalian memang bukan orang baik-baik! Untuk itu aku tidak akan segan-segan lagi...,” Rajulit yang gusar dengan sikap Kenanga segera bersiap menghadapi dara jelita itu.
“Jaga seranganku...!” seru Rajulit. Tangannya diulurkan hendak merampas pedang di pinggang dara jelita itu.
Wuttt…!
Sambaran tangan Rajulit memang cukup cepat dan mengandung tenaga dalam. Sayang, yang kali ini dihadapinya adalah seorang pendekar wanita berkepandaian tinggi. Sehingga, serangannya luput dan mengenai tempat kosong.
“Hm.... Apa yang hendak kau tangkap, Orang Kasar?” ejek Kenanga yang sudah menggeser langkahnya ke samping. Tentu saja serangan yang gagal itu membuat Rajulit semakin naik darah.
“Setan!” geram Rajulit, kembali mempersiapkan serangan berikutnya. Kali ini tak hanya sekadar merampas senjata Kenanga. Tapi juga melontarkan serangan yang bertujuan melukai dara jelita itu.
“Hm...,” gumam Kenanga lirih. Gadis itu ingin memberi pelajaran pada lawan dengan tidak berusaha mengelakkan serangan Rajulit. Tangan kanannya diangkat memapaki pukulan lawan.
Dukkk!
“Aaah...?!” Rajulit memekik kesakitan! Tubuhnya terjajar mundur dan menabrak meja di belakangnya, hingga pengunjung kedai berlarian keluar. Rajulit berusaha bangkit sambil memijat lengannya!
“Perempuan setan!” umpat Rajulit ketika menyadari gadis berparas jelita itu ternyata bukan orang lemah. Lelaki itu hampir tidak percaya hanya dalam sekali gebrak dirinya dapat dirobohkan! Padahal dara jelita itu hanya menangkis dan bukan memukulnya.
“Kepung dan tangkap mereka...!” Merasa tidak bisa menghadapi seorang diri, Rajulit segera memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu. Ia sendiri sudah menghunus pedang.
Melihat keadaan yang akan merugikan pemilik kedai, Panji memberi isyarat pada kekasihnya untuk keluar. Seketika itu juga, tubuh keduanya mencelat keluar kedai.
“Kejar...!” teriak Rajulit sambil berlari keluar diikuti kawan-kawannya.
Jleggg!
Kenanga dan Panji mendarat di halaman depan kedai. Keduanya menunggu kedatangan Rajulit dan kawan-kawannya. Panji sengaja tidak menghindari perselisihan itu. Pemuda itu ingin mengetahui, apa alasan keenam lelaki berseragam serba hitam, yang dengan sengaja ingin mencari keributan.
Beberapa saat kemudian, Rajulit dan kawan-kawannya muncul dengan senjata di tangan. Kali ini, mereka bukan sekadar menakut-nakuti. Tapi hendak melukai Panji dan Kenanga. Semua itu terlihat jelas dalam sinar mata mereka yang menunjukkan kemarahan.
“Haiiit..!”
Begitu menjejakkan kakinya ke tanah, Rajulit langsung melesat ke arah Kenanga dengan pedang di tangan. Kelihatan ia sangat dendam terhadap dara jelita itu, yang telah mengalahkannya di dalam kedai tadi. Lelaki tegap itu hendak membalas kekalahannya.
Wuttt..!
Desingan angin tajam mengiringi datangnya serangan Rajulit. Pedangnya berkelebat cepat mengarah tubuh Kenanga. Namun, dara jelita itu tidak gentar. Kakinya melangkah ke kanan dengan tubuh miring. Ke- mudian membalas dengan sebuah pukulan lurus ke dada lawan.
Bukkk!
“Hukh...!”
Tubuh Rajulit terpental balik dan jatuh bergulingan. Darah segar mengalir turun di sudut bibirnya. Rupanya, pukulan yang cukup keras itu telah mengguncangkan isi dadanya. Sehingga, lelaki berperawakan tegap itu tidak dapat segera bangkit Dadanya terasa sesak, dan sulit untuk bernapas. Melihat kenyataan itu, lima orang kawan Rajulit serentak berlompatan menyerbu. Senjata mereka berdesingan membawa hawa maut!
Wuttt.., bwettt...!
Tapi, apalah artinya serangan kelima keamanan desa itu bagi pendekar seperti Kenanga. Dengan hanya menggeser langkahnya sedikit, seraya mengibaskan lengannya ke kiri dan kanan, pedang di tangan para pengeroyok itu terpental lepas dari genggaman. Bahkan mereka mendapat tendangan dan pukulan dari dara jelita itu. Sehingga, tak seorang pun yang masih berdiri tegak. Semuanya jatuh sambil merintih kesakitan.
“Hm.... Kalau saat ini aku bermaksud mencabut nyawa kalian, siapa yang bisa mencegah?” geram dara jelita itu yang tampaknya kurang puas. Ditatapnya keenam lelaki yang masih terduduk di tanah itu dengan sorot mata tajam. Sehingga, para keamanan desa itu menundukkan kepala dengan wajah seputih kertas. Keberanian maupun kegarangan mereka telah lenyap setelah merasakan hajaran dara jelita itu.
“Hm... Siapa lagi yang hendak membuat kerusuhan di desa ini...?” tiba-tiba terdengar sebuah suara berat dan dalam.
Panji dan Kenanga menoleh ke kanan. Terlihat seorang lelaki gagah datang menghampiri bersama belasan orang berseragam hitam. Lelaki gagah itu tidak lain Ki Dirja, salah seorang sesepuh Desa Bandul yang sangat dihormati. Melihat sosok lelaki gagah itu, Panji segera dapat menilai bahwa orang itu memiliki sikap bijaksana. Maka ia segera melangkah, menyambut kedatangan Ki Dirja yang menatap pemuda itu dengan kening berkerut.
“Siapa kau, Kisanak?” Mengapa bentrok dengan Rajulit dan keamanan desa lainnya?” tegur Ki Dirja seraya meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih, yang kelihatan sangat tenang.
Panji dan Kenanga memperkenalkan diri pada lelaki gagah itu. Menurut Panji, lelaki itu akan mempertimbangkan tindakannya tadi terhadap Rajulit dan kawan-kawannya. Pemuda itu pun menceritakan kejadian itu mulai dari awal sampai yang dilihat Ki Dirja. Tentu dengan harapan agar lelaki gagah itu mempertimbangkan ucapannya.
“Hm...,” Ki Dirja bergumam lirih. Sepasang matanya meneliti sosok Panji dan Kenanga dengan lebih cermat Keningnya berkerut, pertanda lelaki gagah itu tengah berpikir keras.
“Kalau memang benar demikian kejadiannya, aku memaafkan tindakan kalian berdua. Kuharap kalian mau memaafkan kelakuan orang-orangku...,” ujar Ki Dirja setelah berpikir sesaat lamanya. Jawaban yang sangat diharapkan itu membuat Panji dan Kenanga merasa lega.
“Terima kasih atas kebijaksanaanmu, Ki...,” Panji tidak meneruskan ucapannya. Dirinya memang belum mengetahui nama lelaki gagah yang bijaksana itu.
“Dirja. Namaku Ki Dirja...,” tukas lelaki gagah itu seraya tersenyum, karena lupa memperkenalkan na- manya pada Panji dan Kenanga.
“Baiklah, Ki Dirja. Aku ingin meminta izin kepadamu untuk bermalam di desa ini. Karena kalau kami melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar akan kemalaman di jalan...”
Kesempatan baik itu dipergunakan Panji untuk meminta izin singgah di Desa Bandul. Bagaimanapun kejadian dengan Rajulit dan kawan-kawannya telah menimbulkan perasaan tidak enak di hati Panji. Sehingga, ia memberikan alasan seperti itu agar Ki Dirja tidak mencurigainya.
“Silakan..., silakan. Kuharap kalian bisa bermalam dengan tenang di desa yang tidak begitu ramai ini,” sahut Ki Dirja, kemudian mengajak orang-orangnya meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga menganggukkan kepala membalas penghormatan lelaki gagah itu. Mereka tidak bergerak dari tempatnya, sampai rombongan Ki Dirja lenyap dari pandangan.
“Hm.... Kalau saja Rajulit dan kawan-kawannya dapat bersikap bijaksana seperti Ki Dirja, rasanya pertengkaran tadi tidak perlu terjadi...,” gumam Kenanga kemudian. Dara jelita itu tampaknya menyesali sikap Rajulit dan kawan-kawannya.
“Yah. Untunglah Ki Dirja bijaksana, dan tidak menimpakan kesalahan kepada kita. Biar bagaimanapun aku tidak ingin menanam bibit permusuhan...,” timpal Panji perlahan. Kemudian bergegas mengajak Kenanga menuju kedai yang juga menyediakan penginapan. Selain itu, mereka pun belum membayar makanan. Kedua orang muda itu berniat mengganti kerugian akibat perkelahian tadi, yang sedikit banyak telah menimbulkan kerusakan di dalam kedai.
Kegelapan malam menyelimuti permukaan bumi, termasuk juga Desa Bandul. Suasana desa itu kelihatan sunyi. Terlebih setelah terjadinya pembunuhan terhadap salah seorang keluarga dekat kepala desa itu. Kematian yang misterius itu membuat warga desa telah pergi tidur meskipun hari belum jauh malam. Bahkan lampu-lampu di dalam rumah mereka dipadamkan, kecuali obor yang digunakan untuk menerangi halaman rumah.
Tok! Tok! Tok!
Saat malam semakin merayap, terdengar suara kentongan para peronda desa yang berkeliling menjaga keamanan. Penjagaan memang diperketat Mereka khawatir pembunuh misterius itu akan beraksi kembali. Sehingga, hati para peronda itu selalu dilanda ketegangan!
Di salah satu kamar rumah penginapan, Panji terbaring menghadap langit-langit. Keanehan-keanehan yang dialami di desa itu, membuat Panji tidak bisa memicingkan mata. Terlebih ketika ia menangkap suara kentongan peronda. Seringnya suara itu terdengar menimbulkan dugaan, bahwa penduduk Desa Bandul tengah menghadapi sesuatu yang menakutkan.
Pikiran-pikiran itu membuatnya tidak dapat tidur. Yang amat disayangkannya, penduduk desa itu sangat tertutup terhadap para pendatang seperti dirinya dan Kenanga. Sehingga, ia harus memutar otak untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti hatinya.
“Hhh...,” Panji menghela napas panjang berulang-ulang. Kemudian bangkit duduk dari tidurnya, dan bergegas turun dari atas pembaringan. Kelihatan sekali betapa Panji tidak bisa mengindahkan keanehan-keanehan yang terjadi.
Tok! Tok!
Ketukan pada daunn pintu kamarnya membuyarkan lamunan Panji. “Siapa...?” tanya Panji seraya menoleh ke arah pintu, kemudian melangkah menghampiri.
“Aku, Kakang...,” sahut sebuah suara yang terdengar merdu di telinga. Cepat Panji membuka pintu kamarnya. Ia tahu suara itu milik kekasihnya. Kenanga.
“Mengapa belum tidur, Kenanga...?” tanya Panji, kembali menutup daun pintu setelah Kenanga masuk. Mereka memang memesan dua kamar untuk menginap.
“Aku tidak bisa tidur, Kakang. Apa kau juga merasakan hal yang sama denganku?” tukas Kenanga yang duduk di tepi pembaringan dan menatap kekasihnya dengan sorot mata menuntut jawaban.
“Maksudmu, tentang keanehan sikap penduduk desa ini...?” Panji menegasi arah pertanyaan dara jelita itu. Ia pun duduk di tepi pembaringan dekat gadis itu. Keduanya saling tatap. Panji bangkit dari duduknya ketika melihat Kenanga mengangguk. Kemudian melangkah dan membuka jendela. Angin malam yang dingin menerobos masuk menyejukkan udara dalam kamar. Panji berdiri di depan jendela memandang kepekatan malam.
“Penduduk desa ini sepertinya tidak menghendaki campur tangan orang lain. Terutama para pendatang seperti kita. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang membuat mereka bersikap demikian tertutup. Apa sebenarnya yang hendak mereka sembunyikan dari para pendatang...?” gumam Panji tanpa mengalihkan pandang matanya. Seolah tengah berbicara pada dirinya sendiri untuk mengungkap penasaran dalam hatinya.
“Sepertinya di Desa Bandul ini tengah terjadi sesuatu, Kakang. Buktinya, para keamanan desa sangat ketat melakukan perondaan. Hampir setiap saat terdengar bunyi kentongan. Kalau tidak ada apa-apa, tidak mungkin mereka demikian giat melakukan perondaan!” Kenanga yang juga memperhatikan keadaan di desa itu, mengutarakan ganjalan pikirannya.
Panji membalikkan tubuhnya menghadap Kenanga. Kembali terdengar helaan napas yang panjang. Ternyata, yang mengganggu pikirannya juga dirasakan dara jelita itu. Semua itu membuat keduanya tidak bisa melewatkan malam dengan baik. Sampai-sampai Kenanga memerlukan datang ke kamarnya untuk mengutarakan keresahan hatinya.
“Hm.... Lalu apa yang hendak kau lakukan, Kenanga?” tanya Panji, ingin tahu pendapat kekasihnya mengenai persoalan yang mengganggu mereka berdua.
“Aku bermaksud menyelidikinya, Kakang. Hatiku akan tetap penasaran kalau belum mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi di desa ini,” jawab Kenanga tegas dengan semangat terpancar pada sepasang matanya.
Panji tersenyum lebar melihat semangat kekasihnya. Seraya melangkah kembali dan duduk di dekat dara itu. Ditepuknya bahu dara jelita itu dengan lembut. “Kapan kau akan memulainya...?” tanya Panji lagi sambil membelai lembut bahu dara jelita itu. Tampaknya Panji memberi angin terhadap keinginan kekasihnya.
“Sekarang juga, Kakang! Apa kau tidak tergerak untuk menyelidikinya?” jawab Kenanga, heran melihat sikap Panji yang tidak memperlihatkan rasa penasarannya. Sehingga ia mengajukan pertanyaan seperti itu.
“Tentu saja aku pun penasaran dan ingin menyelidikinya. Tapi, karena penduduk desa ini tidak ingin kita mencampuri urusannya, kita harus hati-hati dalam melakukan penyelidikan. Jangan sampai mereka mengetahuinya...,” ujar Panji yang jelas-jelas merupakan ungkapan bahwa dirinya akan menyertai dara jelita itu.
Kenanga mengerti perasaan kekasihnya, dan tersenyum lebar. Dara jelita itu sangat senang mendengarnya. “Kalau begitu, apa lagi yang harus kita tunggu...?” tukas Kenanga seraya bangkit dari duduknya.
Panji segera bangkit berdiri. Ia melesat melalui jendela kamar setelah mematikan pelita yang menerangi kamar. Kenanga sendiri sudah lebih dulu keluar melalui jendela, dan melompat naik ke atas atap rumah penginapan. Setelah merapatkan daun jendela kamarnya, Panji bergegas menyusul Kenanga. Sebentar kemudian, terlihat dua sosok bayangan berkelebat di atas atap rumah-rumah penduduk. Mereka sengaja melewati tempat-tempat yang tersembunyi di kegelapan. Karena tidak ingin bayangan mereka terlihat para peronda yang sedang berkeliling.
Harapan Panji dan Kenanga untuk dapat mengungkapkan keanehan sikap penduduk Desa Bandul musnah. Kendati sepanjang malam mereka mengitari seluruh wilayah desa itu, namun tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Sampai fajar datang, tidak ada suatu kejadian yang menyentakkan keheningan malam.
Setelah sekali lagi mereka mengitari seluruh pelosok Desa Bandul, akhirnya Panji memutuskan untuk kembali ke penginapan. Karena kokok ayam sudah terdengar di sana-sini. Mereka harus segera kembali, agar perbuatan mereka tidak diketahui penduduk desa.
“Hhh.... Malam yang membosankan...!” sungut Kenanga. Tubuhnya dihempaskan ke atas pembaringan. Dara jelita itu agaknya lupa bahwa ia berada di dalam kamar kekasihnya.
“Kenanga...,” panggil Panji ketika melihat dara jelita itu hendak memejamkan mata. Kalau Kenanga sampai tertidur di kamarnya, tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi pemilik penginapan. Panji tidak ingin membuat mereka curiga.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga tanpa membuka mata. Sepertinya dara jelita itu hendak tidur dikamar kekasihnya.
“Kau harus segera kembali ke kamarmu...,” ujar Panji mengingatkan.
“Biarlah aku tidur di sini saja, Kakang...,” jawab Kenanga tetap tidak membuka matanya. Jawaban itu tentu membuat Panji kaget. Berarti Kenanga sadar dengan apa yang diperbuatnya. Melihat dara jelita itu masih tetap berbaring. Panji bergegas menghampiri dan duduk di tepi pembaringan.
“Tidak, Kenanga. Kau harus kembali ke kamarmu. Perbuatanmu bisa menimbulkan berbagai pertanyaan pemilik maupun pelayan kedai. Kalau memang hendak tidur sekamar, mengapa kita harus meminta dua kamar? Kuharap kau mengerti bahwa yang kau lakukan ini tidak benar, Adikku. Terlebih lagi, aku khawatir tak sanggup menahan godaan setan...,” jelas Panji, berusaha memberi pengertian kepada kekasihnya.
Mendengar ucapan kekasihnya yang penuh kekhawatiran, Kenanga membuka mata dan menatap wajah Panji lekat-lekat Keduanya saling bertatapan untuk beberapa saat lamanya.
“Kau tidak ingin berada di dekatku, Kakang?” tiba-tiba saja terlontar pertanyaan yang terdengar aneh di telinga Panji.
“Hm.... Mengapa kau bertanya demikian, Kenanga. Lelaki yang paling tolol sekalipun, rasanya bisa menjawab pertanyaanmu. Apalagi aku yang sangat mencintaimu. Tapi, kita harus melihat keadaan. Saat ini kita tengah menyelidiki sesuatu. Kalau ingin berhasil, kita harus berhati-hati dan pandai-pandai membawa diri,” jawab Panji tersenyum seraya membelai rambut kekasihnya.
“Tapi.... Mengapa kau katakan takut tergoda setan, Kakang. Padahal aku sudah menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Dan meskipun kita belum resmi menjadi suami-istri, aku sudah merasa aku adalah istrimu. Aku tidak takut dan siap melakukan apa saja untukmu, Kakang...,” dara jelita itu masih membantah. Mungkin ucapan itu keluar tanpa disadarinya. Panji agaknya mengetahui hal itu.
“Aku tidak ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi kau, Kenanga. Tapi, kau harus ingat tujuan kita bermalam di desa ini...,” tegas Panji. Kemudian memeluk dan mengecup bibir menantang itu. Sehingga, suasana seketika menjadi sunyi. Yang terdengar hanya deru napas mereka.
“Kembalilah ke kamarmu, Adikku. Jangan biarkan kesucian cinta kita ternoda oleh sebuah keinginan...,” ujar Panji seraya melepaskan pelukan dengan napas terengah. Pemuda itu rupanya mulai terbuai oleh kenikmatan yang barusan mereka rasakan. Panji tidak ingin terseret semakin jauh.
“Baiklah, Kakang...,” sahut Kenanga lalu bangkit dan bergegas menuju kamarnya.
Panji memandangi kepergian kekasihnya sampai lenyap di balik pintu. Pemuda tampan itu menghembuskan napas panjang-panjang. Hampir dirinya tidak sanggup menahan nafsu yang bergejolak di dada. Untunglah ia masih memiliki sedikit kesadaran. Kalau tidak, tentu segalanya akan terjadi. Jika sudah demikian, penyesalan akan selalu menghantui hidupnya.
“Kakang ”
“Ya...,” Panji tersentak dan menoleh ke pintu. Dilihatnya dara jelita itu berdiri di ambang pintu dan tersenyum manis. Wajah jelita itu tampak kemerahan, membuat sosoknya semakin mempesona.
“Tidurlah Kenanga, agar esok tubuhmu kembali segar..,” ujar Panji. Dan melangkah ke pintu, lalu menutupnya rapat-rapat saat kekasihnya berlalu meninggalkan tempat itu.
Panji merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Sebentar kemudian, terdengar dengkurnya yang halus. Pendekar muda itu telah terlelap....
Tok! Tok! Tok!
Panji tersentak bangkit dari tidurnya ketika men- dengar ketukan pada pintu kamarnya. Kakinya melangkah perlahan menghampiri.
“Siapa...?” tanya Panji sebelum membuka pintu. Ia merasa orang yang mengetuk pintu kamarnya bukan Kenanga. Kalau dara jelita itu yang datang, pasti telah memanggilnya terlebih dulu.
“Pelayan, Tuan...,” sahut suara di luar kamar yang kedengaran agak takut-takut.
“Hm.... Ada apa...?” tanya Panji setelah membuka pintu kamarnya. Dilihatnya seorang lelaki bertubuh sedang mengenakan pakaian seorang pelayan, berdiri sambil membungkukkan tubuh dalam-dalam.
“Di luar ada Ki Dirja. Beliau ingin bertemu dengan Tuan,” sahut pelayan itu mengutarakan maksud kedatangannya.
“Ki Dirja...?” desis Panji. Sesaat pemuda itu terdiam berusaha mengingat orang yang bernama Ki Dirja.
“Benar, Tuan,” tukas pelayan menegasi.
“Baik. Sekarang pergilah, dan katakan pada Ki Dirja bahwa aku akan segera menemuinya,” ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menutup pintu kamar, setelah pelayan rumah penginapan itu berlalu dari hadapannya. Sepeninggal pelayan, Panji bergegas menuju kamar Kenanga. Keduanya kemudian menemui Ki Dirja, orang kepercayaan Kepala Desa Bandul.
“Maaf, kalau kedatanganku telah mengganggu istirahat kalian berdua,” sambut Ki Dirja ketika Panji dan Kenanga datang menemuinya di ruangan kedai. Lelaki gagah itu ditemani dua orang berseragam hitam di kiri dan kanannya. Ketiganya mengangguk hormat pada Panji dan Kenanga.
“Tidak mengapa, Ki. Kami hanya merasa heran ketika pelayan menyampaikan pada kami. Kedatangan Ki Dirja yang tidak disangka-sangka, membuat hati kami bertanya-tanya. Ada keperluan apakah kiranya, Ki?” sambut Panji membalas hormat lelaki gagah dan ke- dua pengawalnya. Mereka duduk di ruangan kedai yang saat itu masih lengang.
“Kedatanganku kemari ingin menyampaikan undangan Ki Legawa kepala desa kami, untuk kau dan Kenanga. Hanya itu,” jelas Ki Dirja.
Kenanga maupun Panji mengerutkan kening. Mereka berdua belum mengenal atau bertemu Ki Legawa. Undangan yang mendadak itu membuat mereka heran, hingga keduanya bertukar pandang sesaat.
“Apakah kami telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hati beliau...?” tanya Kenanga. Langsung mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Gadis itu teringat pernah menjatuhkan beberapa orang keamanan desa sewaktu mereka berdua baru tiba di tempat itu.
“Tidak. Kalian sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun! Ki Legawa hanya ingin berkenalan, ketika aku menceritakan perihal kalian kepadanya. Jadi, kalian tidak perlu khawatir. Lagi pula, Ki Legawa seorang yang bijaksana dan selalu ingin berkenalan dengan orang-orang gagah. Kuharap kalian berdua tidak menolaknya...,” jelas Ki Dirja.
Pasangan pendekar muda itu kembali bertukar pandang sekilas.
“Baiklah. Kami akan segera menemuinya,” Panji mengambil keputusan, setelah melihat Kenanga menyerahkan persoalan itu kepadanya.
“Ahhh. Terima kasih. Kalau demikian, mari kita segera berangkat. Kami sudah menyiapkan kuda yang baik untuk kalian berdua,” sahut Ki Dirja yang kelihatan sangat gembira mendengar Panji menerima undangan kepala desanya.
“Wah. Mengapa harus repot-repot, Ki...,” ujar Panji yang agak kaget mendengar Ki Legawa telah menyiapkan kuda untuk dirinya dan Kenanga.
“Tidak perlu merasa sungkan, Panji. Bukankah itu berati Ki Legawa menghormati kalian...,” tukas Ki Dirja tersenyum lebar ketika mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, pasangan pendekar muda itu bergegas mengikuti langkah Ki Dirja. Kendati demikian, Panji merasa agak aneh. Kepala Desa Bandul kelihatan demikian menaruh perhatian terhadap mereka berdua. Sampai, merepotkan diri dengan mengirim kuda-kuda terbaik untuk mereka. Panji menduga ada maksud tersembunyi di balik semua ini. Dan pemuda itu ingin mengetahuinya.
Dengan diiringi Ki Dirja dan dua orang pembantunya, Panji dan Kenanga menjalankan kudanya perlahan menuju tempat kediaman Kepala Desa Bandul. Pemuda itu sengaja tidak berbicara apa-apa sepanjang perjalanan. Semua membisu. Sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah batu yang besar dan berkesan megah.
“Silakan, Saudara Panji...,” ujar Ki Dirja setelah mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda.
“Terima kasih...,” ucap Panji segera mengayunkan langkah memasuki halaman rumah besar itu. Dan terus mengikuti langkah Ki Dirja menuju ruang tamu yang cukup luas.
“Selamat datang di gubukku, Pendekar Naga Putih...,” sambut seorang lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar. Separo rambut di kepalanya botak. Kendati tanpa kumis, wajah lelaki yang diduga Panji adalah Ki Legawa tampak sangat berwibawa. Ada kesan angker pada sikapnya.
Meskipun dadanya berdebar ketika mendengar lelaki tinggi besar itu dapat mengenalinya dengan baik, Panji mencoba untuk tetap tenang. Dengan pandainya pemuda itu menyembunyikan keterkejutan hatinya. Dan tersenyum lebar membalas anggukan Ki Legawa. Namun, sikap hormat Ki Legawa seperti mengandung serangan tersembunyi. Dari sepasang tangan yang menangkup di depan dada dan didorong ke depan, menyambar serangkum angin pukulan yang kuat. Panji segera sadar orang tua itu hendak mengujinya.
“Aku benar-benar kagum dengan ketajaman matamu, Ki. Terimalah hormatku...,” ujar Panji sambil menyatukan kedua tangannya dan didorongkan ke depan dengan tubuh membungkuk.
Dua gelombang tenaga dalam yang kuat saling bertemu tanpa menimbulkan suara yang mencurigakan. Ki Legawa yang merasakan kuda-kudanya goyah, cepat melangkah mundur empat tindak. Wajahnya tampak memerah. Ia hampir saja terjatuh akibat ulahnya sendiri.
“Kau memang tidak mengecewakan, Pendekar Naga Putih...,” puji lelaki tinggi besar itu jujur. Kemudian kembali menyimpan tenaganya, dan tersenyum. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka berdua.
“Kau pun membuat aku kagum, Ki...,” sambung Panji tanpa bermaksud menghibur. Pemuda itu merasa bahwa tenaga dalam lelaki tinggi besar itu memang sangat hebat. Menurutnya, mungkin tidak kalah oleh tenaga dalam yang dimiliki Kenanga. Untuk ukuran seorang kepala desa, tenaga dalam Ki Legawa sudah terhitung sangat hebat.
“Heh heh heh.... Jangan mengejekku, Pendekar Naga Putih. Sudahlah. Kita tidak perlu saling memuji. Silakan duduk,” tukas Ki Legawa menyilakan Panji dan Kenanga. Kemudian lelaki gagah itu menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi bergagang gading.
“Terima kasih,” ucap Panji segera mengajak kekasihnya duduk. Sikap pemuda itu tetap tenang, seperti tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Padahal Kenanga tahu apa yang terjadi tadi. Tapi dara jelita itu tidak berkata apa-apa.
Ki Legawa memanggil pelayan. Lalu memerintahkan untuk menyiapkan jamuan bagi kedua orang tamu terhormatnya itu. Sedangkan Ki Dirja sudah semenjak tadi pergi. Laki-laki gagah itu hanya bertugas mengantarkan Panji dan Kenanga menemui majikannya. Setelah itu, Ki Legawa memerintahkan untuk meninggalkan mereka bertiga.
“Mungkin kau merasa heran karena aku bisa mengenalmu dengan baik, Saudara Panji. Menurutku sendiri hal itu tidak aneh. Nama besarmu telah menggema di kalangan persilatan, sampai ke pelosok-pelosok desa seperti Desa Bandul ini. Hingga aku langsung bisa menduga orang yang diceritakan Ki Dirja adalah Pendekar Naga Putih. Ciri-ciri yang digambarkan pembantuku itu sangat tepat dengan sosok Pendekar Naga Putih yang selama ini telah banyak kudengar,” Tanpa diminta, Ki Legawa menceritakan alasanmengapa ialangsung mengenal Panji sebagai Pendekar Naga Putih.
Panji tersenyum dan menganggukkan kepala. Sekarang ia baru mengerti, mengapa Ki Legawa mengirimkan dua ekor kuda terbaik untuk mereka berdua. Kiranya Kepala Desa Bandul itu telah dapat, menduga dirinya adalah Pendekar Naga Putih. Hal itu tidak terpikir oleh Panji.
Ki Legawa sendiri kelihatan sangat gembira melihat kedatangan pendekar muda yang tersohor itu. Sejak kedatangan Panji, lelaki tinggi besar itu selalu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Bahkan tidak jarang Ki Legawa mengakhiri ucapannya dengan sebuah tawa.
Sehingga, pasangan pendekar muda itu merasasenang dengan sambutan tuan rumah yang sangat ramah. Pembicaraan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang menghidangkan jamuan. Setelah menata hidangan di atas meja, pelayan itu bergegas pergi.
“Silakan dicicipi, Pendekar Naga Putih, Kenanga...,”ujar Ki Legawa seraya tertawa. Sehingga, pasangan pendekar muda itu tidak merasa sungkan untuk mencicipi hidangan itu.
“Ki Legawa...,” ujar Panji setelah keadaan hening sejenak. “Boleh aku mengajukan sedikit pertanyaan yang mengganggu pikiranku sejak tiba di desa ini?” tanya Panji.
Ki Legawa menatap pemuda tampan itu lekat-lekat. “Tentu saja boleh, Pendekar Naga Putih. Aku akan senang sekali seandainya dapat meringankan beban pikiranmu. Apa yang hendak kau tanyakan padaku...?” sahut Ki Legawa masih tetap tersenyum meski terlihat kerutan di keningnya.
Panji lalu mengutarakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Sedangkan Ki Legawa mendengarkan dengan penuh perhatian. Lelaki tinggi bear berusia lima puluh tahun itu kelihatan sangat bersungguh-sungguh mendengarkan ucapan Panji. Hingga tidak memotong cerita pemuda itu sampai selesai.
“Ah. Kiranya persoalan itu yang membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih. Kalau begitu, maafkan sikap penduduk desa ini yang tidak ramah kepadamu,” ujar Ki Legawa agak berduka dan prihatin mendengar cerita Panji.
“Seharusnya para penduduk memang tidak perlu bersikap demikian terhadap pendatang yang singgah di desa ini. Kematian adikku yang saat penguburannya sempat kau lihat itu, telah membuat warga desa ini merasa sangat terpukul! Adikku memang sangat disukai dan dihormati oleh mereka. Sehingga kematiannya membuat warga desa ini membenci dan tidak menyukai para pendatang, tanpa peduli siapa pun pendatang itu,” lanjut Ki Legawa dengan wajah tertunduk dan kelihatan agak berduka.
“Maaf kalau pertanyaanku telah mendatangkan kedukaan di hatimu, Ki...,” ucap Panji yang merasa tidak enak melihat wajah Ki Legawa mendadak keruh.
“Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku sudah merelakan kepergiannya...,” tukas Ki Legawa kemudian mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum.
“Kalau boleh aku tahu, mengapa warga desa ini menimpakan kesalahan pada para pendatang?” tanya Panji. Setelah yakin Ki Legawa telah siap menjawab pertanyaan selanjutnya.
“Begini...,” ujar Ki Legawa setelah menarik napas panjang berulang-ulang, “Beberapa belas tahun silam, ada seorang pemuda tampan dan kaya singgah di desa ini. Pemuda itu rupanya mata keranjang. Ia berani mengganggu istri adikku. Celakanya, perempuan itu menyambut dengan baik. Bahkan nekat melarikan diri bersama pemuda keparat itu. Nah, sejak itulah adikku sering sakit-sakitan. Ia memang sangat mencintai istrinya. Sampai akhirnya penyakit itu membawanya ke lubang kubur. Itu sebabnya, mengapa penduduk desa ini sangat membenci para pendatang...”
Panji menganggukkan kepala mendengar jawaban yang melegakan hatinya itu. Dugaan Kenanga dan dirinya ternyata salah. Kematian adik kandung Ki Legawa bukan karena dibunuh orang. Dan, Panji tidak menyalahkan penduduk Desa Bandul yang membenci para pendatang. Perbuatan pemuda kaya itu memang sangat keji. Jadi, wajar bila warga Desa Bandul membenci mereka berdua. Karena mereka adalah pendatang di desa itu.
“Apakah Ki Legawa tidak berusaha mencari pemuda mata keranjang itu ?” Kenanga rupanya cukup menaruh perhatian terhadap penjelasan Ki Legawa. Hingga mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
“Tidak. Menurutku, seorang istri yang lari bersama lelaki lain, tidak perlu dicari. Jelas perempuan seperti itu tidak mempunyai kesetiaan. Dan tidak perlu dipertahankan. Itu pendapatku. Entah pendapat kalian berdua. Karena pikiran setiap orang berlainan...,” jawab Ki Legawa dengan tegas dan jelas.
“Kami pun berpendapat demikian, Ki,” tukas Panji menimpali. Panji memang mendukung pendapat lelaki tinggi besar itu.
“Jika demikian kejadiannya, kami minta diri, Ki. Kami harus melanjutkan perjalanan...” Setelah pembicaraan di antara mereka selesai, Panji bergegas bangkit dan minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Karena Desa Bandul ternyata aman-aman saja.
“Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih? Menginaplah semalam lagi di desa ini. Setelah hari ini, aku yakin warga Desa Bandul akan menerima keberadaan kalian tanpa rasa benci lagi...,” Ki Legawa berusaha mencegah kepergian Panji dan Kenanga. Kelihatannya ia masih ingin berbincang-bincang lebih lama dengan pendekar muda itu.
“Sekali lagi, terima kasih, Ki. Kami tidak ingin merepotkan. Selain itu, kami memang harus meneruskan perjalanan. Harap Ki Legawa dapat memaklumi dan memaafkan penolakanku ini...” Panji bersikeras hendak pergi.
Sehingga, Ki Legawa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Orang tua itu menyadari bahwa keinginan pendekar muda itu tidak bisa dibantah lagi. Ki Legawa pun mengalah dan mengantarkan pemuda itu sampai ke halaman rumah.
“Kalian boleh pakai kuda itu. Aku menghadiahkannya pada kalian berdua...,” ujar Ki Legawa menunjuk dua ekor kuda yang besar dan terlihat kuat
Kali ini Panji maupun Kenanga tidak menolak. Mereka merasa tidak enak kalau harus menolak pemberian Kepala Desa Bandul itu. Sehingga, Panji memutuskan untuk menerimanya.
“Kami mohon pamit, Ki..,” sebelum membedal kudanya, Panji kembali berpamitan.
Orang tua itu mengangguk dan tersenyum lebar. Ki Legawa masih berdiri memandangi kepulan debu yang ditimbulkan derap kaki kuda. Setelah bayangan sepasang pendekar itu lenyap barulah Ki Legawa melangkah ke dalam rumah.
Sosok bayangan putih itu bergerak cepat di atas atap rumah-rumah penduduk Desa Bandul. Jubahnya yang longgar dan berwarna putih berkibaran ditiup angin. Rambutnya yang panjang dan juga putih dibiarkan terlepas, sehingga menutupi sebagian wajahnya. Sosok yang cukup menyeramkan dan bisa membuat seorang penakut jatuh pingsan bila melihatnya.
Dengan diterangi cahaya rembulan yang redup, sosok bayangan putih itu terus bergerak menuju pusat desa. Dan melayang turun di halaman samping sebuah rumah besar yang megah. Rumah yang megah itu adalah tempat kediaman Kepala Desa Bandul, Ki Legawa. Rupanya tempat itulah tujuan sosok itu.
“Legawa...! Aku datang menagih darahmu...!” sosok berjubah putih itu berkata. Tidak terlalu keras, namun terdengar menyeramkan dan jelas. Seperti datang dari alam lain.
Sosok bayangan putih itu berdiri tegak di halaman samping rumah Ki Legawa. Suara yang parau dan bergetar itu, membuat pengawal-pengawal Ki Legawa berdebar tegang. Wajah mereka berubah pucat! Kendati demikian, mereka memberanikan diri mendatangi asal suara itu.
“Hei. Siapa kau...?!” terdengar teguran setengah membentak dari seorang lelaki gagah. Dia adalah Ki Dirja. Rupanya, lelaki itu pun mendengar seruan barusan. Dan, bergegas keluar mencari sumber suara.
Sosok berjubah putih yang berperawakan jangkung itu bergerak ke tempat yang terlindung kegelapan. Kemudian berlari tegak dengan angkernya. Kelihatan ia tidak gentar, meskipun lelaki gagah itu datang bersama belasan pengawal Kepala Desa Bandul.
“Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku, Dirja. Malam ini bukan bagianmu. Kau tidak perlu ikut campur...,” desis sosok jangkung berpakaian serba putih memperingatkan. Dalam ucapannya jelas tersembunyi ancaman maut!
Ki Dirja kelihatan sangat terkejut mendengar sosok berjubah putih itu mengenalinya. Padahal, saat itu suasana agak gelap dan cukup sulit untuk mengenali orang. Kecuali bila telah mengenalnya dengan baik. Sosok berjubah putih itu sepertinya sangat mengenal dirinya. Terbukti, ia bisa menebaknya dengan tepat. Hingga Ki Dirja heran dibuatnya.
“Hm.... Siapa kau sebenarnya! Dan apa maksud ucapanmu itu?” bentak Ki Dirja marah mendengar ucapan sombong sosok berjubah putih.
“Hah hah hah...!” sosok berjubah putih itu malah memperdengarkan tawa yang mendirikan bulu roma. Ditatapnya wajah Ki Dirja lekat-lekat dengan sorot mata tajam menggetarkan.
Melihat sorot mata itu, Ki Dirja bergidig ngeri. Mata itu seperti bukan milik seorang manusia. Tapi, lebih mirip mata iblis! Sehingga, lelaki gagah itu melangkah mundur beberapa tindak.
“Keparat sombong! Ingin kulihat seperti apa wajahmu...!” desis Ki Dirja. Disambarnya sebatang obor dari tangan anak buahnya. Kemudian dikibaskan ke depan untuk menerangi wajah sosok mengerikan itu.
“Hm...,” sosok berjubah putih bergumam lirih. Tangan kanannya didorong ke depan.
Wusss...!
Serangkum angin keras berhembus, hingga obor di tangan lelaki gagah itu padam seketika. Padahal jarak mereka terpisah cukup jauh, kira-kira dua tombak lebih. Tenaga dalam sosok tubuh tinggi kurus itu ternyata sangat tinggi. Dan Ki Dirja menyadari hal itu.
“Hm.... Aku tahu sekarang! Rupanya, kau yang telah membunuh adik kandung Ki Legawa! Mengakulah! Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa melakukan pembunuhan keji itu?” bentak Ki Dirja mencoba mengorek keterangan dari sosok berjubah putih itu.
“Benar! Akulah Siluman Gurun Setan, yang akan memusnahkan seluruh keluarga Legawa beserta begundal-begundalnya...!” jawab sosok tinggi kurus itu menyebutkan julukannya.
“Keparat! Kalau begitu, aku harus segera meringkusmu...! Anak-anak! Kepung dan tangkap keparat keji itu...!” perintah Ki Dirja seraya meloloskan pedang. Lelaki gagah itu tahu orang yang mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan itu pasti bukan tokoh sembarangan. Dia pernah mendengar nama itu disebut orang. Sayang ia lupa, di mana pernah mendengarnya.
Siluman Gurun Setan hanya tertawa parau dan menyeramkan. Sosoknya tidak bergerak sedikit pun ketika Ki Dirja dan para pengawal Ki Legawa telah bergerak maju untuk mengeroyoknya.
“Hm.... Kalian terlalu memaksa!” desis Siluman Gurun Setan. “Sebaiknya kalian beritahukan kedatanganku pada majikan kalian. Karena hari ini aku akan mengambil salah satu nyawa keluarganya...,” ujar Siluman Gurun Setan yang merasa yakin perbuatannya akan berhasil.
“Siluman keparat! Jangan harap kau dapat berbuat semaumu! Selama aku masih ada, tak akan kubiarkan kau menyentuh anggota keluarga Ki Legawa. Untuk melaksanakan niatmu itu kau harus melangkahi mayatku dulu...!” geram Ki Dirja. Pedangnya dikibaskan ke kiri dan kanan. Kemudian berhenti melintang di atas kepala dengan kedudukan mendatar.
Siluman Gurun Setan kembali bergumam. Sesaat kemudian, sosoknya melayang ke atas atap rumah. Kemudian melesat menerobos kegelapan malam.
“Kejar...!” perintah Ki Legawa pada kawan-kawannya. Ia sendiri sudah berlari mengejar. Sebentar saja, suasana malam yang semula hening berubah ribut oleh derap kaki orang yang berlarian.
Sosok berjubah putih itu terus bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Kemudian melayang turun. Kali ini di bagian belakang bangunan. Tapi baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, terdengar bentakan yang mengejutkan!
“Hm.... Mau lari ke mana, Pembunuh Keji...!” suara yang mengandung tenaga dalam itu, membuat Siluman Gurun Setan menoleh kepala ke sebuah sudut yang agak gelap. Dengan kening berkerut, Siluman Gurun Setan bergerak mundur. Rupanya, di dapat menilai kepandaian lawan dari bentakan itu. Tampak dua sosok tubuh bergerak menghampiri dengan senjata di tangan. Kelihatannya mereka memang telah menunggu kedatangannya.
“Siapa kalian...?” tanya Siluman Gurun Setan pada kedua orang bertampang angker itu. Melihat sikapnya, agaknya sosok tinggi kurus itu baru kali ini berjumpa dengan mereka.
“Hm.... Rupanya kau belum mengenal kami, Penjahat Hina! Nah, dengarkan baik-baik! Kami berdua yang berjuluk Sepasang Golok Perak. Tugas kami adalah mengantarmu ke akhirat. Bersiap-siaplah...!” salah seorang dari mereka berkata sombong. Rupanya mereka merasa yakin akan dapat menundukkan Siluman Gurun Setan.
“Sebutkan julukanmu, agar kematianmu tidak sia-sia...!” bentak yang satunya. Tubuh orang itu lebih tinggi dari kawannya dan agak kurus. Kendati demikian, sikapnya tidak kalah angker.
“Hm.... Rupanya, keparat busuk Legawa telah menyewa jago-jago bayaran untuk menjaga keselamatan keluarganya! Bagus! Majulah kalian berdua...” Siluman Gurun Setan kelihatan tidak kaget meski kedua orang itu memiliki julukan yang cukup bagus. Julukan mereka tidak mengubah pandangannya. Siluman Gurun Setan tetap angker dan garang.
“Keparat..!” desis salah seorang dari kedua jago bayaran itu. Golok perak di tangan kanannya segera dikibaskan. Gerakannya terlihat mantap, menandakan julukan yang disandangnya bukan nama kosong.
Bwettt..!
Kelebatan sinar keperakan itu membuat Siluman Gurun Setan mendengus kasar. Tokoh itu tidak bergerak sedikit pun. Sosoknya tetap tenang dan angker. Kelihatan sekali kalau ia memandang rendah kedua lawannya.
“Haaat...!”
Lelaki bertubuh sedang, yang merupakan orang pertama dari Sepasang Golok Perak, membentak keras! Tubuhnya melayang dengan kelebatan sinar perak yang berdesingan tajam. Tokoh itu nampak sangat bernafsu untuk menghabisi Siluman Gurun Setan, dalam jurus-jurus awal ia langsung mempergunakan ilmu andalannya.
Belum lagi serangan orang pertama itu tiba, orang kedua sudah melesat membantu saudaranya. Golok di tangan kirinya tidak kalah ampuh! Bahkan sedikit membingungkan. Karena ia ternyata kidal!
Bwettt….bwettt...!
“Hmmm...” Siluman Gurun Setan menarik mundur tubuhnya dua langkah. Sehingga serangan kedua orang itu hanya mengenai tempat kosong. Kendati demikian, serangan Sepasang Golok Perak terus bersambungan. Kedua jago itu tidak ingin memberi peluang pada lawan untuk membuka jurus.
“Yiaaah!”
Setelah lewat lima jurus, Siluman Gurun Setan mulai menunjukkan kemampuannya. Dalam lima jurus itu ia telah memperhatikan inti ilmu silat lawan yang hanya mengandalkan kekuatan penyerangan. Sedangkan untuk pertahanan hanya terdapat kelemahan di sana-sini. Siluman Gurun Setan mencoba menerobos pertahanan yang tidak terlalu kuat itu.
Bwettt.., bwettt..!
Kendati hanya menggunakan tangan kosong, serangan lelaki tua berwajah buruk itu tidak kalah berbahaya dengan senjata kedua lawannya. Dari sambaran angin pukulannya, kelihatan tenaga dalam Siluman Gurun Setan masih berada di atas lawan-lawannya. Dan itu dirasakan Sepasang Golok Perak. Mereka tampak kewalahan menghadapi serangan balasan lelaki tua berjubah putih itu. Kedua orang itu mulai tertekan!
“Keparat..!” umpat orang pertama dari Sepasang Golok Perak. Lelaki bertubuh sedang itu kelihatannya sangat penasaran ketika merasa sulit untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan lawannya. Bahkan, beberapa kali pukulan lawan nyaris mengenai tubuhnya. Untunglah ia masih sempat menghindar meskipun dengan susah-payah!
Demikian pula dengan kawannya. Lelaki bertubuh agak gemuk dengan wajah terhias brewok itu, hanya bisa menyumpah-nyumpah ketika merasakan gencarnya serangan lawan. Sehingga, gerakan goloknya agak kacau dan sulit berkembang. Lelaki gemuk itu penasaran bukan main!
“Haaah...!”
Ketika pertempuran memasuki jurus kedua puluh lima, Siluman Gurun Setan tiba-tiba membentak nyaring! Berbarengan dengan itu, sepasang kepalan tangannya bersarang di tubuh salah satu lawannya!
Bukkk!
“Hukh...!” Lelaki bertubuh sedang itu terjungkal ke belakang. Darah segar menyembur dari mulutnya. Kepalan Siluman Gurun Setan yang menghantam dada telah menyumbat pernapasan lelaki itu untuk beberapa saat lamanya. Sehingga, ia terdiam sejenak untuk mengatur jalan napas.
“Haiiit..!” Lelaki gemuk brewok kelihatan sangat geram melihat saudaranya terluka. Golok di tangannya bergerak semakin cepat dan ganas. Membentuk kilatan sinar perak yang berpendaran mengurung tubuh lawan.
Siluman Gurun Setan hanya mendengus kasar. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan menghindari serangan lawan. Gerakannya yang cepat dan mantap, membuat sambaran golok lawan sia-sia. Ke manapun golok itu menyambar, tubuh Siluman Gurun Setan selalu sudah berpindah. Akibatnya, serangan lawan tak satu pun yang menyentuhnya. Bahkan....
“Haaah!” Di saat yang menurutnya sangat tepat, tiba-tiba Siluman Gurun Setan membentak! Kemudian mengirimkan sebuah tendangan berputar yang kuat dan terarah baik!
Desss...!
“Aaakh...!”
Tendangan Siluman Gurun Setan telah menghajar rahang lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu tersentak melintir! Suara yang terdengar menandakan tulang rahang lelaki itu kemungkinan besar remuk.
“Fhangshaaat..!” Lelaki gemuk brewok itu memaki kasar. Suaranya terdengar tidak jelas karena tendangan Siluman Gurun Setan telah merontokkan beberapa buah giginya. Darah segar mengalir tak henti dari mulutnya. Tentu sakitnya tidak bisa dibayangkan lagi.
“Hm.... Kalau begitu, sebagai gantinya malam ini aku akan mengirim kalian berdua ke neraka...!” desis Siluman Gurun Setan. Dan melangkah maju dengan angkernya.
Namun sebelum Siluman Gurun Setan melaksanakan keinginannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang banyak mendatangi tempat itu. Dan sebelum para pemilik suara langkah itu muncul, sesosok bayangan hitam telah berkelebat menghadang jalan Siluman Gurun Setan.
“Heaaat..!”
Dalam keadaan masih melayang di udara, sosok bayangan hitam melontarkan serangan ke arah Siluman Gurun Setan. Sambaran angin pukulannya menunjukkan kekuatan sosok bayangan hitam itu tidak bisa dipandang remeh!
Wusss...!
Siluman Gurun Setan kelihatan agak kaget juga. Dan cepat bertindak ketika sadar serangan itu sangat berbahaya. Kedua tangannya diputar di depan dada. Kemudian didorongkan ke depan menyambut serangan lawan!
Breshhh...!
Dua kekuatan hebat saling berbenturan di udara. Akibatnya, tubuh keduanya terjajar mundur dengan tanpa luka. Kenyataan itu membuat mereka kaget dan saling mengagumi kekuatan lawan.
“Legawa...?!” desis Siluman Gurun Setan ketika mengenali sosok berpakaian serba hitam itu. “Hm... Kepandaianmu rupanya telah maju pesat selama beberapa tahun belakangan ini!” lanjut lelaki tinggi kurus tanpa menyembunyikan kekagumannya.
“Hm... Siapa kau sebenarnya, Manusia Licik? Mengapa memusuhi keluargaku?” tanya lelaki gagah berpakaian serba hitam yang tak lain Ki Legawa, Kepala Desa Bandul. Rupanya dialah yang telah menyelamatkan nyawa Sepasang Golok Perak.
“Belum saatnya kau tahu siapa aku, Legawa! Yang jelas, sampai kiamat pun aku tidak sudi membiarkan kau dan keluargamu hidup tenang!” desis Siluman Gurun Setan yang kelihatan sangat dendam terhadap Ki Legawa. Perasaan itu tergambar jelas pada sorot matanya yang merah menyala.
“Keparat! Kalau begitu, kau harus segera kulenyapkan!” geram Ki Legawa yang segera mempersiapkan jurusnya untuk menggempur Siluman Gurun Setan.
“Hm.... Belum saatnya kita berhadapan, Legawa. Kau harus kusiksa sebelum kukirim ke neraka...!” desis Siluman Gurun Setan menolak bertarung dengan Kepala Desa Bandul. Panggilannya di tempat kediaman Ki Legawa tadi ternyata hanya sekadar ingin menyiksa hati dan pikiran Kepala Desa Bandul itu.
Ki Legawa tidak bisa menerima begitu saja. Ia tidak sudi melepas tokoh itu pergi meninggalkan tempat itu. Ketika melihat Ki Dirja dan para pengawalnya telah berdatangan, Ki Legawa langsung memberi perintah!
“Dirja! Jangan biarkan manusia keparat itu melarikan diri! Kita harus menangkap hidup-hidup!” teriak Ki Legawa yang sudah meloloskan sebatang pedang yang kelihatan sangat ampuh. Lalu bergerak mengejar, melihat Siluman Gurun Setan hendak melarikan diri. Sedangkan Ki Dirja dan para pengawal sudah mengejar lebih dahulu. Mereka berlompatan menghadang dan mengurung lelaki misterius itu.
“Jangan lari kau, Keparat...!” bentak Ki Dirja. Pedangnya diayunkan ke arah Siluman Gurun Setan.
Bwettt..!
“Huhhh!”
Tokoh berjubah putih itu mendengus melihat serangan pedang Dirja. Tangan kirinya bergerak memapaki bacokan pedang. Sedangkan tangan kanannya menyusuli dengan sebuah pukulan keras!
Plakkk!
“Uhhh...?!” Ki Dirja mengeluh kesakitan ketika lengan kanannya membentur lengan lawan yang seperti batang besi. Dan dalam keadaan terhuyung, ia masih diincar puku- lan lawan yang mengandung tenaga dalam kuat!
Wuttt..!
“Aihhh...?!” Siluman Gurun Setan segera menarik serangan, ketika pedang Ki Legawa datang membacok tangannya. Namun, lagi-lagi tokoh misterius tinggi kurus itu menunjukkan kehebatannya. Tangan yang ditarik itu berputar dan meliuk bagai seekor ular. Jari-jari tangannya yang semula mengepal berubah menjadi cengkeraman. Kemudian meluncur hendak mencekal pergelangan Ki Legawa.
Tapi, gerakan Ki Legawa tidak kalah cepat dan hebat. Melihat cengkeraman lawan datang mengancam, cepat lelaki gagah itu bertindak. Cengkeraman tangan itu tidak bisa diremehkan begitu saja. Kalau sampai pergelangannya terkena jari-jari lawan, bukan mustahil tulang-tulangnya akan remuk. Dan Ki Legawa tidak sudi pergelangannya diremukkan lawan. Maka begitu bacokannya gagal, pergelangannya segera diputar. Lalu menyambar cepat ke arah leher lawan.
Wettt…!
Hebat dan sangat cepat serangan Ki Legawa. Keadaan Siluman Gurun Setan sungguh berbahaya sekali!
“Heaaah...!”
Plakkk!
“Uhhh...?!” Tokoh tinggi kurus berjubah putih itu ternyata masih sanggup menyelamatkan lehernya dari ancaman pedang lawan. Cengkeramannya berubah, dan menepis lengan Ki Legawa dengan telapak tangan terbuka. Sehingga, kuda-kuda Ki Legawa tergempur. Tubuh Kepala Desa Bandul itu terjajar mundur beberapa langkah! Perbuatan Siluman Gurun Setan tidak berhenti sampai di situ. Kakinya melesat cepat menyusuli tangkisan barusan dengan sebuah tendangan kilat lurus ke depan. Dan....
Bukkk!
“Ukh...!” Ki Legawa tak lagi sempat menghindar. Tubuhnya terjengkang ke belakang, dan terbanting ke tanah. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya. Agaknya, isi dadanya terguncang oleh kerasnya tendangan lawan.
“Keparat..!” Ki Dirja dan salah seorang dari Sepasang Golok Perak memapaki gusar. Serentak keduanya bergerak dari belakang dan samping Siluman Gurun Setan! Pedang di tangan mereka berkelebat mengancam tokoh misterius itu. Tapi....
“Hahhh...!”
Siluman Gurun Setan membentak keras. Tubuhnya merunduk dengan kuda-kuda rendah. Kemudian mengirimkan sebuah tendangan ke arah Ki Dirja, yang langsung terjungkal roboh. Lalu berputar setengah lingkaran. Cengkeraman diulurkan ke leher salah seorang Sepasang Golok Perak, setelah terlebih dahulu menepiskan senjata lawan.
Kreppp!
“Highhh!” Lelaki bertubuh sedang itu tak sempat menyelamatkan diri. Ketika Siluman Gurun Setan memperketat cengkeramannya, terdengar suara gemeretak tulang patah. Darah segar membasahi jari-jari tangan Siluman Gurun Setan. Karena ujung jari-jari tangannya terbenam dalam daging leher lawan.
“Hihhh!” Diiringi sebuah bentakan keras, Siluman Gurun Setan mengangkat tubuh lawan dengan satu tangan. Kemudian melemparkannya, setelah diputar beberapa kali di atas kepala.
Ngekkk!
Tubuh lelaki malang itu jatuh dengan kepala lebih dulu. Namun karena nyawanya sudah pergi sejak tadi, ia tidak lagi merasakan sakit. Tubuh berperawakan sedang itu diam tak bergerak lagi.
“Khfuhunuh khauuu...!” Lelaki gemuk brewok, kawan lelaki malang itu berteriak marah. Meski kata-katanya terdengar kurang jelas karena luka di rahangnya sangat parah, ia menyerbu dengan senjata di tangan. Kematian saudaranya telah membuatnya lupa akan luka-lukanya.
“Hmh!” Siluman Gurun Setan mendengus kasar. Sebelum serangan lawan tiba, ia sudah melesat lebih dulu dengan serangan mautnya.
Bukkk, desss...!
Hebat dan cepat bukan main serangan Siluman Gurun Setan. Sehingga, lawannya tidak sempat menyelamatkan diri. Sebuah tendangan dan pukulan keras bertubi-tubi mendarat di tubuh lawan. Akibatnya, lelaki gemuk brewok itu terjungkal dalam keadaan sekarat! Melihat tubuh lawannya masih bergerak-gerak, Siluman Gurun Setan melenting ke udara. Kemudian meluncur turun dengan kedua kaki siap dijejakkan ke tubuh lawan!
Ngekkk!
Lelaki gemuk itu terbatuk memuntahkan darah segar. Sepasang matanya mendelik bagai hendak melompat keluar. Sebentar kemudian, ia pun tewas menyusul saudaranya. Siluman Gurun Setan telah membuktikan ucapannya. Setelah mengakhiri hidup Sepasang Golok Perak, Siluman Gurun Setan berpaling ke arah Ki Legawa dan para pengawalnya.
“Ingat, Legawa! Kematian demi kematian akan datang menimpa seluruh sanak keluargamu...!”
Setelah berkata demikian, Siluman Gurun Setan melesat pergi. Dan lenyap ditelan kegelapan malam. Tinggallah Ki Legawa dan pengawal-pengawal berdiri terpaku memandangi kepergian tokoh misterius itu.
Ki Legawa mondar-mandir di ruang utama tempat kediamannya. Tangannya digendong di belakang tubuh. Wajah lelaki gagah itu kelihatan keruh, dan menggambarkan rasa penasaran yang dalam. Di dalam ruangan utama masih terdapat empat orang lain. Dua di antaranya Ki Dirja dan Rajulit. Wajah-wajah mereka kelihatan murung, dan sesekali tampak sedang berpikir keras memecahkan masalah yang mereka hadapi.
“Keparat! Siapa sebenarnya lelaki buruk rupa yang mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan? Padahal, nama tokoh itu sudah lama tidak terdengar di kalangan persilatan. Anehnya, ia kelihatan sangat dendam terhadap seluruh sanak keluargaku. Gila! Benar-benar gila aku dibuatnya...!” geram Ki Legawa sambil tetap mondar-mondir dengan kedua tangan di belakang tubuh.
Ki Dirja dan para sesepuh desa lainnya, hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam dengan menghela napas panjang tanda keresahan hati mereka. Sepertinya, tidak ada satu pun yang dapat diharapkan bisa mencari jalan keluar bagi masalah yang tengah dihadapi kepala desanya.
“Cobalah kalian bantu aku berpikir! Jangan diam saja seperti kambing congek!” karena tidak mendapat sambutan dari para pembantunya, kemarahan Ki Legawa meledak. Ia membentak keempat orang itu dengan wajah merah padam.
“Kami pun tengah berusaha mencari jalan keluarnya, Ki...,” sahut Ki Dirja dengan wajah agak pucat ketika melihat majikannya sangat marah.
“Ki...,” laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, salah satu dari pembantu Ki Legawa, membuka suara. Ki Legawa mengalihkan pandang matanya ke arah orang gila.
“Kau mempunyai usul untuk mengenyahkan manusia laknat itu, Malingga...?” tanya Ki Legawa dengan sepasang mata penuh harap.
“Hm.... Apakah tidak sebaiknya kita menyewa jago-jago persilatan, seperti yang telah kau lakukan...,” ujar Malingga mengutarakan pikirannya.
“Benar, Ki. Meskipun Sepasang Golok Perak telah tewas di tangan Siluman Gurun Setan, tapi masih banyak jago-jago lainnya yang bersedia dibayar untuk menjaga keselamatan kita...,” Ki Dirja langsung menyetujui usul Malingga. Menurutnya, hanya usul itulah yang paling tepat saat itu.
“Hmh. Percuma!” tolak Ki Legawa mendengus kasar, “Kepandaian Siluman Gurun Setan sangat tinggi. Kalian lihat sendiri buktinya, bukan? Kedua jagoan yang kubayar mahal itu ternyata tidak mempunyai kemampuan. Mereka hanya besar mulut saja!”
Mendengar bantahan Ki Legawa, Ki Dirja dan yang lainnya terdiam. Kemudian kembali berpikir keras untuk menghadapi ancaman Siluman Gurun Setan, yang sewaktu-waktu bisa mencabut nyawa mereka.
“Ah! Aku mempunyai usul yang baik, Ki!” tiba-tiba Rajulit yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, berseru dengan sepasang mata berbinar.
“Coba katakan!” ujar Ki Legawa cepat. Kendati demikian, lelaki gagah itu kelihatan tidak begitu bersemangat.
“Bagaimana kalau kita panggil guru Sepasang Golok Perak. Melihat kepandaian Sepasang Golok Perak, aku yakin gurunya seorang tokoh yang berkepandaian tinggi!” jelas Rajulit Ki Legawa dan para sesepuh Desa Bandul terlihat agak kaget. Usul Rajulit jelas sangat baik.
“Tapi, apa mungkin guru Sepasang Golok Perak bersedia kita bayar...?” gumam Ki Legawa yang rupanya menyetujui usul Rajulit. Hanya ia merasa bimbang tokoh itu bersedia membantunya demi uang.
“Kita tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun, Ki,” lanjut Rajulit. Ucapan itu tentu membuat yang lainnya saling bertukar pandang. Mereka mulai khawatir Rajulit telah terganggu otaknya karena ancaman Siluman Gurun Setan.
“Apa maksudmu, Rajulit!” bentak Ki Legawa, merasa dipermainkan pembantunya itu. Wajahnya semakin merah dan sepasang matanya menyorot tajam.
“Aku tidak main-main, Ki,” sahut Rajulit seraya memamerkan senyum. Kelihatan ia sangat yakin dengan jalan pikirannya. Sehingga, merasa bangga ketika tak seorang pun dapat menebak apa yang akan disampaikannya.
“Kalau begitu, cepat katakan! Apa kau hendak membuatku marah?” kembali Ki Legawa membentak. Melihat Rajulit masih belum juga mengutarakan usulnya.
“Begini, Ki...,” Rajulit melangkah mendekati Ki Legawa. Kemudian berbisik di telinga lelaki gagah itu.
“Ahhh?!” Ki Legawa terkejut ketika mendengar usul yang dibisikkan Rajulit Kendati demikian, wajahnya yang semula keruh kini tampak berseri. Jelas ia menerima usul yang diajukan Rajulit
“Bagaimana, Ki...?” tanya Rajulit menanyakan usulnya. Wajah lelaki tegap itu tampak cerah, ketika melihat raut wajah kepala desanya sudah berubah cerah dan berseri.
“Kau sungguh hebat, Rajulit. Untuk itu, aku akan memberikan hadiah padamu...,” ujar Ki Legawa tersenyum menepuk-nepuk bahu Rajulit Sehingga, lelaki tegap itu tertawa gembira.
Tinggallah Ki Dirja dan yang lainnya terbengong- bengong. Mereka tidak mengetahui usul Rajulit. Terlihat wajah mereka menggambarkan rasa penasaran yang dalam.
“Kalian tenang saja...” Setelah berkata demikian, Ki Legawa bergegas masuk ke dalam kamar. Dan kembali dengan membawa sekantong uang.
Ki Dirja dan sesepuh desa lainnya hanya bisa saling pandang melihat tingkah Ki Legawa. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu kepala desa itu menyampaikannya pada mereka.
“Nah! Pergilah, Rajulit. Ini untuk bekal dalam perjalananmu. Ingat, kau harus secepatnya kembali bersama orang tua itu, paham?” ujar Ki Legawa seraya menyerahkan kantong uang itu pada Rajulit. Dan, memerintahkan lelaki tegap itu agar segera melaksanakan tugasnya.
“Tentu, Ki...,” sahut Rajulit bersemangat. Ia sungguh tidak menduga akan mendapat hadiah yang cukup dari majikannya. Setelah berpamitan kepada yang lain, lelaki tegap itu melangkah lebar meninggalkan ruang utama.
“Sambil menunggu kedatangan Rajulit, sebaiknya kita mengatur persiapan. Agar bila manusia laknat itu datang, kita bisa mempertahankan diri sebaik-baiknya. Dan, akan kukatakan apa yang barusan dibisikkan Rajulit...,” lalu Ki Legawa bergerak meninggalkan ruangan itu, diikuti yang lainnya. Ruang utama pun kembali sunyi.
“Mengapa kau termenung, Kakang. Tidak biasanya kau bersikap seperti ini...,” tegur dara jelita berpakaian serba hijau, sambil menjatuhkan tubuhnya di sebelah pemuda tampan berjubah putih yang tengah melamun. Melihat wajah yang segar kemerahan dan rambut yang basah, dara jelita itu agaknya baru saja selesai membersihkan diri di sungai, yang gemericik airnya terdengar dari tempat itu.
“Hm...,” pemuda tampan berjubah putih bergumam perlahan seraya menarik napas dalam-dalam. Kemudian berpaling menatap wajah jelita di sampingnya.
“Kenanga. Coba kau kaji sekali lagi keterangan Ki Legawa. Aku menemukan kejanggalan dalam cerita itu...,” ujar pemuda tampan berjubah putih menatap wajah jelita itu.
“Kejanggalan?! Kejanggalan bagaimana maksudmu, Kakang?” dara jelita itu bertanya dengan mimik wajah heran. Rupanya, gadis itu sudah tidak memikirkan lagi perihal Desa Bandul.
“Hm... Menurut Ki Legawa, tidak ada kejadian yang menimpa desa yang dipimpinnya itu. Kematian adik kandungnya karena sakit menahun akibat ditinggal istrinya. Bukankah itu yang dikatakan Ki Legawa kepada kita?” jelas Panji mengulang keterangan Ki Legawa.
“Lalu, di mana letak kejanggalan keterangan itu, Kakang?” Kenanga rupanya masih belum mengerti kejanggalan yang dimaksudkan kekasihnya.
“Ah. Kau ini bagaimana? Coba kau ingat-ingat lagi suasana ketika kita menginap di desa itu. Apa yang kau ingat tentang keadaan Desa Bandul malam itu?” Panji mencoba membawa ingatan kekasihnya pada saat mereka bermalam di Desa Bandul.
Mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga termenung beberapa saat Ya! Sekarang baru diingatnya, betapa para peronda Desa Bandul tampak tidak seperti biasanya. Banyak jumlah keamanan yang meronda malam itu, jelas tidak wajar. Itu berarti di Desa Bandul tengah terjadi sesuatu.
“Hm.... Aku ingat sekarang, Kakang. Malam itu memang tampak tidak wajar. Keamanan desa seperti sedang bersiap menunggu kemunculan sesuatu yang menakutkan!” ujar Kenanga mulai merasakan adanya kejanggalan pada cerita Ki Legawa. Orang tua itu mengatakan tidak ada sesuatu yang terjadi di desanya.
“Bagus!” puji Panji tersenyum. “Sedangkan Ki Legawa mengatakan tidak ada kejadian apa-apa di desanya. Jika benar demikian, mengapa perondaan sangat ketat? Aku jadi ragu. Benarkah adik kandung Ki Legawa tewas karena penyakit yang dideritanya...?” lanjut Panji memutar otaknya untuk mengungkapkan rahasia itu.
“Maksudmu, kau mencurigai adik kandung Ki Legawa mati dibunuh orang...?” tanya Kenanga menegasi.
“Kemungkinan besar memang begitu. Anehnya, mengapa Ki Legawa justru menyembunyikan kejadian yang sesungguhnya? Apalagi ia mengenaliku sebagai Pendekar Naga Putih. Menurut perhitungan, seharusnya ia meminta bantuanku untuk mencari pembunuh adiknya. Tapi, mengapa ia malah mengarang cerita yang tidak betul?” ujar Panji lagi. Semakin yakin ada sesuatu yang sengaja disembunyikan Ki Legawa dari mereka berdua.
“Mungkinkah orang tua itu sendiri yang telah membunuh adiknya? Hal seperti itu bisa saja terjadi. Karena kekuasaan ataupun harta. Bagaimana menurutmu, Kakang...?” tukas Kenanga.
“Kemungkinan itu selalu ada. Bisa saja Ki Legawa menyewa orang untuk melenyapkan adik kandungnya. Itu harus kita selidiki. Sebab jika benar demikian, berarti Ki Legawa bukanlah seorang kepala desa yang baik. Kalau adik kandungnya saja tega ia bunuh, apa lagi orang lain...?” timpal Panji, pemuda itu sependapat dengan Kenanga untuk mencurigai Ki Legawa sebagai pembunuh adik kandungnya sendiri.
“Kalau begitu, kita harus segera kembali ke Desa Bandul, Kakang,” ujar Kenanga bersemangat Bahkan dara jelita itu sudah bergerak bangkit dari duduknya.
“Sabar dulu, Kenanga. Semua ini baru dugaan saja. Kita tidak boleh terburu nafsu. Kita harus menyelidikinya lebih dulu. Selain itu, kita tidak bisa menampakkan diri secara terang-terangan di depan penduduk Desa Bandul. Hal itu akan menimbulkan kecurigaan mereka...,” ujar Panji, menasihati Kenanga agar bersikap hati-hati dan jangan bertindak gegabah. Sebab, persoalan itu masih belum jelas. Dan belum ada bukti-bukti yang mendukungnya.
“Jangan khawatir, Kakang. Aku tentu akan berhati-hati. Tapi, yang jelas kita harus kembali ke Desa Bandul,” sahut Kenanga tersenyum.
“Tentu. Ini memang sudah menjadi kewajiban kita...,” tukas Panji kemudian bangkit berdiri.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu sudah bergerak meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka tentu saja Desa Bandul. Mereka ingin mengungkapkan rahasia yang terjadi di desa itu.
“Heyaaa..., heyaaa...!”
Terdengar bentakan-bentakan keras. Ditingkahi suara lecutan cambuk dan derap kaki kuda yang berpacu bagai dikejar setan. Kepulan debu tampak membubung tinggi. Saat itu, si penunggang kuda tengah memacu kudanya di tanah berdebu. Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda bertubuh tegap yang tidak lain Rajulit, menarik tali kekang kudanya. Di depannya terbentang sebuah sungai. Kemudian kudanya dijalankan perlahan menyeberangi sungai.
“Hua hah hah...!”
Baru saja Rajulit tiba di seberang sungai, tiba-tiba terdengar suara tawa berkakakan menyambut kedatangannya. Tentu saja lelaki tegap itu terkejut, dan mengedarkan pandangannya berkeliling. Kemudian menjalankan kudanya perlahan-lahan dengan sikap waspada. Wajahnya tampak tegang. Ia yakin si pemilik suara tawa itu mempunyai niat tidak baik terhadapnya.
Kekhawatiran Rajulit mulai terbukti. Beberapa tombak di depannya, tiba-tiba telah berdiri dua orang lelaki bertampang kasar. Mereka rupanya bersembunyi di semak-semak, menunggu kedatangan lelaki tegap itu. Melihat sikap dan wajah kedua penghadang itu, sadarlah Rajulit bahwa mereka perampok. Maka, kudanya segera diputar. Rajulit hendak melarikan diri dari tempat itu. Tapi....
“Heh heh heh! Hendak lari ke mana, Kisanak?” tegur salah seorang dari dua lelaki bertampang kasar yang muncul dari semak-semak di belakangnya.
Rajulit melihat tidak ada lagi baginya jalan untuk meloloskan diri. “Siapa kalian? Mengapa menghadang perjalananku...?” seru Rajulit dari atas punggung kuda. Tangannya meraba gagang pedang yang tersembul di balik baju.
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak. Maksud kami tentu hendak memintamu agar meninggalkan barang-barang yang kau bawa dengan suka rela. Setelah itu, kau boleh pergi dengan selamat..,” ujar orang yang berdiri tidak jauh dari tepi sungai. Melihat sikapnya, Rajulit dapat menduga lelaki tinggi kurus bermata tajam itu pemimpin kawanan perampok.
“Kalian salah memilih korban, Kisanak. Aku tidak membawa barang-barang berharga. Karena itu, biarkanlah aku lewat Kelak aku akan membalas budi baik kalian....” Rajulit mencoba berdusta dan membujuk keempat perampok itu.
“Begitukah...?” ejek lelaki tinggi kurus bermata tajam dengan sinis. Bersama kawannya, ia melangkah mendekati Rajulit. Demikian pula orang yang berada di belakang lelaki tegap itu.
Melihat para perampok mendekatinya, Rajulit pun tidak tinggal diam. Dengan nekat, kudanya dibedal ke arah semula. Dengan cara itu Rajulit berharap dapat meloloskan diri dari mereka.
“Bangsat! Rupanya kau memilih mati...!” geram lelaki tinggi kurus. Lalu memerintahkan kawan-kawannya untuk mencegah Rajulit. Ia sendiri sudah melompat ke udara, dan mengirimkan tendangan ke kepala penunggang kuda itu.
“Haaat..!”
Rajulit tidak menyangka lelaki tinggi kurus itu akan berbuat demikian. Karena tidak ingin kepalanya dijadikan sasaran tendangan, Rajulit nekat memapaki dengan tangan kiri.
Plakkk!
“Aaah...!” Rajulit memekik kesakitan! Lengannya seperti berbenturan dengan sebatang besi. Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terpelanting dari atas punggung kuda. Kendati demikian, Rajulit masih bisa menyelamatkan diri agar tidak terbanting ke tanah. Tubuhnya berjumpalitan, dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Rajulit selamat walaupun agak terhuyung beberapa langkah.
“Hm.... Rupanya kau lebih sayang harta daripada nyawa. Orang Tolol! Padahal kalau kau mau menyerahkan hartamu, hidupmu masih panjang. Tapi sekarang...,” lelaki tinggi kurus itu tidak menuntaskan kalimatnya. Sepasang matanya menyorot tajam memancarkan nafsu membunuh!
“Keparat! Kalian akan menyesali perbuatan ini..!” bentak Rajulit mencoba mengancam kawanan perampok liar itu.
Tapi, ancaman Rajulit malah membuat mereka tertawa berkakakan. Ucapan lelaki tegap itu mereka anggap sebagai lelucon. Jelas, mereka tidak takut dengan ancaman Rajulit.
“Kau masih ingin sesumbar juga rupanya. Apakah kau mempunyai banyak kawan yang bisa diandalkan untuk membelamu...?” ujar lelaki tinggi kurus itu, masih memperdengarkan sisa-sisa tawanya.
“Hm.... Perlu kalian ketahui! Bila aku tidak kembali dalam beberapa hari, kawan-kawanku akan datang dan menggeledah seluruh tempat yang pernah kulewati. Kalian semua pasti akan dapat mereka temukan!” ujar Rajulit dengan geram. Kalau ia sampai terbunuh ditangan para perampok itu, jelas tugas yang dibebankan kepadanya tidak akan berhasil. Padahal, Ki Legawa tengah menunggu-nunggu kedatangannya.
“Lalu, kau pikir kami takut Heh! Jangan mimpi, Kisanak! Meskipun hal itu benar terjadi, kami akan menghadapinya. Kawan-kawanmu itu akan bernasib sama denganmu...!” tukas lelaki tinggi kurus. Tidak mengindahkan ancaman Rajulit yang sebenarnya cuma siasat agar dapat melepaskan diri dari para perampok.
Mendengar jawaban kepala perampok, Rajulit berpikir beberapa saat. Akhirnya, lelaki tegap itu mengeluarkan kantong uang pemberian Ki Legawa. Dan menimangnya di hadapan para perampok.
“Baiklah,” ujar Rajulit mengalah. Aku akan memberikan uang ini kepada kalian. Dan, kuharap kalian mau melepaskan aku untuk melanjutkan perjalanan”
“Bagus...! Itu baru pikiran sehat..,” tukas lelaki tinggi kurus tersenyum penuh kemenangan. “Cepat, serahkan uang itu kepadaku.”
Tanpa berpikir panjang lagi, Rajulit melemparkan uang itu ke arah kepala perampok. Ia terpaksa merelakan uang pemberian Ki Legawa jatuh ke tangan mereka. Baginya, tugas yang dibebankan di bahunya jauh lebih penting dari sekantong uang. Lalu Rajulit melangkah ke arah kudanya dengan sikap waspada, dan siap menghadapi kelicikan para perampok. Lelaki tegap itu belum bisa percaya mereka akan membebaskannya begitu saja.
Kekhawatiran Rajulit terbukti. Salah seorang perampok tampak memegang tali kekang kudanya. Dan menambatkannya ke sebatang pohon. Maksudnya sudah jelas, agar kuda itu tidak diambil pemiliknya.
“Mengapa kalian tidak menyerahkan kuda itu kepadaku...?” protes Rajulit Hatinya marah melihat para perampok tidak menepati janjinya.
“Hah hah hah...! Bukankah kau tidak mengatakan hendak pergi bersama binatang tungganganmu? Nah, apakah perbuatan kami salah?” elak kepala perampok itu tersenyum sinis. Sehingga, Rajulit jengkel dibuatnya.
“Kisanak. Perjalanan yang harus kutempuh sangat jauh. Aku memerlukan kuda itu untuk mempersingkat waktu. Harap kalian tidak menyulitkanku...,” sadar tidak mungkin sanggup menghadapi keempat perampok itu, maka Rajulit mengeluarkan kata-kata yang terdengar lemah dan penuh permohonan.
“Hm.... Kami tidak peduli dengan urusanmu! Dan, jangan kira kami akan membiarkanmu pergi begitu saja. Heh heh heh. Kami tidak bodoh, Kisanak. Kalau hari ini kau kubebaskan, bukan tidak mungkin lain kali kau akan datang dengan membawa kawan-kawanmu. Jadi, harap kau tidak keberatan meninggalkan nyawamu di tempat ini...,” ujar lelaki tinggi kurus. Dan mengakhiri perkataannya dengan tawa berderai.
“Keparat..! Kalian benar-benar licik!” maki Rajulit. Ia telah ditipu mentah-mentah kawanan perampok itu. Tahulah ia, mereka masih menginginkan nyawanya.
“Bunuh orang itu...!” perintah lelaki tinggi kurus kepada ketiga kawannya. Ia sendiri tetap tegak di tempatnya, menyaksikan anak buahnya membantai lelaki tegap itu.
Rajulit langsung menghunus pedang. Karena sudah tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, selain melawannya dengan sekuat tenaga. Dengan senjata menyilang di depan dada, lelaki tegap itu siap mempertahankan selembar nyawanya.
“Heh heh heh! Bersiaplah untuk melayat ke akhirat, Kawan...,” ejek salah seorang dari ketiga perampok yang mengurung Rajulit. Di tangan mereka tergenggam sebatang pedang.
“Bedebah...!” lagi-lagi Rajulit mengumpat, mengeluarkan kejengkelan hatinya. Sepasang matanya bergerak ke kiri dan kanan memperhatikan langkah ketiga pengeroyoknya.
“Haaat..!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, salah seorang perampok yang berada di depan Rajulit mulai membuka serangan. Kilatan cahaya putih berkelebat mengiringi datangnya sambaran pedang perampok itu
Bwettt...!
Rajulit cepat menggeser langkahnya ke kanan. Pedang di tangannya bergerak melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang cukup mengagumkan.
Trang!
Perampok bertubuh kekar itu rupanya cukup sigap. Lelaki itu masih sempat memutar senjatanya untuk menangkis serangan Rajulit. Akibatnya, senjata mereka berbenturan keras!
“Yeaaa..!”
Sambil membentak nyaring, Rajulit memutar senjatanya dengan menggerakkan pergelangan. Rupanya, dalam benturan itu ia berlaku cerdik dengan membiarkan senjatanya terpental. Dengan demikian, ia dapat mempergunakan tenaga benturan itu untuk melanjutkan serangan. Dan, hasilnya cukup mengejutkan! Tubuh lawan nyaris tersate senjatanya. Untunglah perampok itu segera melempar tubuhnya ke belakang. Sehingga, selamat dari ancaman ujung pedang Rajulit.
“Haaat..!”
“Haiiit..!”
Ketika hendak melanjutkan serangannya, Rajulit terpaksa harus menghadapi dua perampok lainnya yang sudah menerjang maju. Sebentar saja, ketiganya terlibat dalam sebuah perkelahian sengit! Terlebih ketika perampok yang seorang lagi ikut terjun mengeroyok lelaki tegap itu. Rajulit harus menguras seluruh kemampuannya untuk menghadapi keroyokan para perampok itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat Ketika pertarungan memasuki jurus kedua puluh, Rajulit mulai merasakan betapa berat tekanan ketiga perampok itu. Sehingga ia mulai terdesak, dan hanya sesekali melepaskan serangan balasan. Sebab, lawan-lawannya hampir tidak pernah memberi perlawanan untuk membangun serangan. Sampai akhirnya, lelaki tegap itu harus bermain mundur sambil membentengi tubuhnya dengan putaran pedang.
“Hiaaah...!”
Cwittt..!
“Aaah...?!” Rajulit memekik tertahan ketika tubuhnya nyaris tersambar pedang salah seorang lawan. Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuh. Hanya pakaiannya saja yang robek pada bagian lambung. Sedangkan ia sendiri sudah melompat jauh ke belakang untuk menyelamatkan diri dari ancaman pedang pengeroyok lainnya.
Tapi, Rajulit tak selamanya beruntung. Meskipun telah berusaha, tetap saja satu dua serangan pedang lawan menggores tubuhnya. Memang tak terlalu parah. Tapi, cukup untuk membuat tubuhnya semakin lemah. Dan rasa nyeri pada luka goresan pedang lawan memperlambat gerakannya.
Crasss!
“Aaakh...!” Lagi-lagi lelaki tegap itu harus menggigit bibir, ketika ujung pedang seorang pengeroyok melukai pangkal lengan kanannya. Sehingga, pedang di tangannya terlepas dari genggaman. Lepasnya senjata itu membuat Rajulit tidak mungkin lagi sanggup melindungi diri. Saat Rajulit terjajar mundur dengan wajah pucat-pasi, ketiga perampok itu melompat bersamaan sambil menusukkan pedang ke tubuh lelaki tegap itu.
“Aaa...!” Melihat maut sudah siap menjemput, Rajulit memekik ngeri. Lelaki tegap itu memejamkan kedua matanya. Dirinya tidak mungkin dapat lolos dari kematian!
“Aaakh?!”
“Aaa...?!”
Mendadak. Pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba para pengeroyok Rajulit terpelanting ke kiri dan kanan disertai pekik kesakitan. Tubuh ketiganya terbanting, jatuh berdebuk di atas tanah berumput. Teriakan-teriakan itu membuat Rajulit keheranan. Merasa penasaran, lelaki tegap itu membuka kedua matanya untuk melihat apa yang terjadi. Dan....
“Aaah...?!” Rajulit terpekik mundur. Beberapa langkah di hadapannya berdiri sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih. Semula ia menduga sosok tubuh itu Siluman Gurun Setan. Tapi ketika memperhatikan bentuk tubuhnya, Rajulit yakin yang berdiri tegak membelakanginya bukan Siluman Gurun Setan. Apalagi rambutnya tidak putih, meskipun juga panjang seperti halnya tokoh yang tengah menjadi momok desanya.
“Kau tidak apa-apa, Kisanak...?” tanya sosok berjubah putih itu membalikkan tubuhnya. Rupanya, dialah yang telah menyelamatkan nyawa Rajulit dari tangan perampok itu.
“Kau...?!” desis Rajulit Sepasang matanya terbelalak ketika mengenali siapa sosok berjubah “putih. Sebab, ia pernah bentrok dengan penolongnya itu.
”Ya. aku...,” sahut sosok berjubah putih yang ternyata Panji. Pemuda tampan itu tersenyum. Sedikit pun tidak terlihat sorot dendam pada sepasang matanya. Panji malah menunjukkan sikap bersahabat. Sehingga, Rajulit heran dibuatnya.
“Kau kaget melihat kami, Kisanak...?” tegur sebuah suara merdu dari belakang Rajulit
“Kau...?!” Sepasang mata Rajulit kembali terbelalak bagai hendak keluar dari tempatnya. Yang mengeluarkan suara merdu itu tidak lain Kenanga. Dara jelita berpakaian serba hijau itu tentu saja telah dikenalnya. Sehingga, wajahnya semakin bertambah pucat!
“Mengapa terkejut melihat kami, Kisanak? Apa kau pikir kami menaruh dendam kepadamu?” tegur Kenanga, menyadarkan Rajulit agar tidak perlu takut akan pembalasannya. Peristiwa itu memang sudah dilupakan Panji maupun Kenanga. Keduanya tidak menaruh dendam pada Rajulit
“Mengapa..., mengapa kalian menolongku...?” ucapan itu meluncur tanpa dipikirkan lagi. Rajulit jelas merasa heran dengan perbuatan kedua orang itu. Kenyataan itu masih terasa aneh bagi orang seperti dia.
“Mengapa kami berdua menolongmu?” Kenanga mengulang ucapan Rajulit dengan kening berkerut dan bibir tersenyum. “Kami menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Tapi, tentu tidak dengan membabi-buta. Kami harus melihat dulu. Apakah orang itu patut ditolong atau tidak? Ternyata, kau termasuk orang yang patut ditolong. Karena lawan-lawanmu bukan orang baik-baik...,” jelas Kenanga.
Rajulit tertegun, mendengar ucapan dara jelita itu, sadarlah Rajulit bahwa di atas bumi ini masih ada orang yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Dan ia mengalaminya sendiri. “Terima kasih atas pertolongan kalian...,” akhirnya keluar juga ucapan itu dari mulut Rajulit, kendati terdengar lemah. Lelaki tegap itu merasa malu mengingat kelakuannya ketika pertama kali berjumpa dengan pasangan orang muda itu.
Sementara itu, lelaki tinggi kurus bermata tajam yang menjadi pemimpin perampok menggeram gusar. Sepasang matanya menyorot tajam menyapu pemuda tampan berjubah putih, yang telah merobohkan ketiga kawannya dengan sekali gebrak! Meskipun pemuda itu terbukti cukup tangguh, tapi lelaki tinggi kurus itu tidak menunjukkan sikap gentar. Bahkan, bola matanya memancarkan api kemarahan.
“Kurang ajar! Siapa kau yang begitu lancang mencampuri urusanku!” bentak lelaki tinggi kurus. Langkahnya berhenti setengah tombak di depan pemuda tampan berjubah putih.
“Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Kisanak? Aku hanya menyelamatkan nyawa orang yang hampir kalian renggut secara paksa. Dan, itu bukan cuma urusanmu. Tapi telah menjadi urusan setiap orang gagah yang menentang kebathilan. Jadi termasuk urusanku juga,” elak Panji dengan tenang, hingga kepala perampok itu menjadi tertegun. Perkataan pemuda tampan berjubah putih itu baginya terasa rumit dan sulit dimengerti.
“Hm.... Tidak perlu berkhotbah di depanku, Bocah Ingusan! Karena kau telah lancang berani mencampuri urusan Kepalan Geledek, maka kau akan merasakan akibatnya...!” bentak lelaki tinggi kurus seraya memperkenalkan julukannya. Maksudnya tentu agar pemuda itu menjadi gentar. Karena namanya cukup dikenal di sekitar wilayah itu.
Panji merasa geli mendengar julukan lelaki tinggi kurus itu. Julukan yang digunakannya terlalu tinggi untuk ukuran perampok liar seperti dirinya. Tapi Panji tidak menertawakan julukan itu. Kelakuan seperti itu hanya dimiliki orang-orang sombong. Dan dirinya bukan termasuk golongan orang-orang itu.
“Kepalan Geledek, julukanmu cukup gagah dan angker. Tapi, seharusnya julukan itu dimiliki oleh orang-orang berhati bersih yang menentang kejahatan. Kalau kau ingin lebih dikenal serta disukai orang banyak, pergunakanlah kepandaianmu di jalan kebaikan. Kau akan merasakan bedanya...,” sahut Panji menasihati. Dan secara tidak langsung mengatakan bahwa perbuatan Kepalan Geledek kurang terpuji. Dengan ucapan itu, Panji berharap lelaki tinggi kurus itu akan sadar dan mengubah jalan hidupnya yang bergelimang dosa.
“Keparat! Rupanya kau menganggap dirimu sudah terlalu hebat hingga dapat mengalahkanku, begitu! Huh! Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu, Bocah!” Hati Kepalan Geledek tidak tergerak oleh ucapan Panji. Bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi. Lelaki itu telah siap membuka jurus untuk menggempur pemuda tampan berjubah putih.
“Haaat..!”
Kepalan Geledek membuka serangan dengan sebuah pekikan nyaring. Tubuhnya melesat ke depan dengan kepalan susul-menyusul yang menimbulkan sambaran angin tajam. Rupanya, julukan yang disandangnya disesuaikan dengan ilmu andalan yang dimilikinya. Sayang, julukannya tak tepat menurut Panji. Meskipun dari angin pukulan, Panji tahu lelaki itu memiliki tenaga yang cukup kuat, namun gerakannya tak menunjukkan ciri-ciri ilmu silat tinggi. Bahkan terkesan sangat pasaran.
Wuttt..!”
Ketika pukulan tangan kanan lawan tiba, Panji hanya mengangkat tangan kiri tanpa bergeser dari tempatnya semula.
Plakkk!
“Uhhh...?!” Tubuh Kepalan Geledek terdorong balik sejauh satu tombak. Wajah lelaki tinggi kurus itu meringis sambil memijat-mijat lengannya yang terasa linu. Yang menyambut pukulannya barusan seperti bukan lengan yang terdiri dari kulit dan daging, tapi sebatang besi yang sangat keras. Sehingga, bagian lengannya yang tertangkis tampak membiru.
“Ilmu setan...!” desis Kepalan Geledek. Tidak percaya pemuda tampan berjubah putih itu memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Sehingga, ia belum juga sadar lawannya tidak sebanding dengan dirinya.
“Hm.... Jangan terlalu cepat memberi penilaian, Kisanak. Coba kau tunjukkan ilmu ‘Kepalan Geledek’ yang kau banggakan itu...,” ujar Panji tanpa bermaksud menghina. Pemuda itu memang ingin mengetahui sampai di mana kepandaian lelaki tinggi kurus yang berani menyombongkan julukannya itu.
“Bangsaaat.!” dengan kemarahan yang meledak-ledak, Kepalan Geledek kembali menerjang maju. Kemarahan itu telah membuat dirinya lupa akan rasa sakit pada lengannya. Dan kembali merangsek dengan jurus-jurus yang selama ini sangat dibanggakannya.
Wuttt..!
Saat kepalan lawan datang, Panji menyambut dengan telapak tangan terbuka. Dan....
Tap!
Kepalan lelaki tinggi kurus itu tepat mengenai telapak tangan Panji dan melekat ketat Kepalan Geledek pucat wajahnya!
“Uhhh...?!” Kepalan Geledek berusaha menarik tangannya. Namun sampai wajahnya memerah, ia tidak sanggup melepaskan kepalannya dari telapak tangan lawan. Padahal kepalan perampok itu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Namun, tetap saja kepalannya melekat bagai menyatu dengan telapak tangan pemuda itu.
“Haaat..!”
Tiga orang kawanan perampok yang melihat pemimpinnya mengalami kesulitan, segera melesat dengan pedang di tangan. Mereka yang semula yakin pemimpinnya dapat mengalahkan pemuda itu, kini menjadi cemas! Dan menerjang bersama-sama untuk menolong lelaki tinggi kurus itu.
Melihat para perampok itu tetap keras kepala, Panji berniat memberi pelajaran kepada mereka. Maka, ia segera mendorong telapak tangannya. Akibatnya, tanpa ampun tubuh Kepalan Geledek terjungkal ke tanah. Lalu, Panji menotok lumpuh ketiga anggota perampok yang hendak membantu pemimpinnya. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut. Dan, tubuh ketiga perampok itu jatuh ke tanah seperti sehelai karung basah. Mereka rebah dalam keadaan lumpuh kendati sadar sepenuhnya.
“Masih hendak melanjutkan kejahatanmu, Kepalan Geledek?” tanya Panji seraya menghampiri lelaki tinggi kurus yang tengah bergerak bangkit.
Kepalan Geledek yang kini yakin pemuda itu seorang pendekar hebat, hanya berdiri dengan wajah kuyu. Wajah dan sekujur tubuhnya dibanjiri peluh. Karena telah mengerahkan seluruh tenaganya sewaktu hendak melepaskan kepalannya dari telapak tangan pemuda itu. Andaikata pemuda itu hendak membunuhnya, tentu mudah sekali. Selain kepandaian lawan jauh berada di atasnya, ia sendiri sudah kehabisan tenaga. Maka, Kepalan Geledek hanya bisa pasrah menanti apa yang akan dilakukan lawan.
“Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Apa kau seorang dewa yang turun dari langit untuk menghukumku?” tanya Kepalan Geledek dengan napas satu-satu.
“Aku manusia biasa sepertimu, Kisanak. Aku hanya ingin mengingatkanmu agar jangan melanjutkan perbuatanmu selama ini. Pergunakanlah kepandaianmu untuk kebaikan. Percayalah, itu akan membuatmu tenang dan bahagia...,” jawaban Panji tanpa menunjukkan sikap permusuhan. Bahkan pemuda itu tersenyum. Seolah tengah menasihati seorang kawan yang salah memilih jalan.
Kepalan Geledek kelihatan terkesan. “Kalau boleh ku tahu, siapa kau sebenarnya, Kisanak...?” Kepalan Geledek merubah panggilannya.
“Namaku Panji. Aku seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap,” sahut Panji memperkenalkan diri. Sebab, ia melihat lelaki tinggi kurus itu mempertimbangkan ucapannya.
“Bukan itu maksudku. Melihat kehebatanmu, pasti kau mempunyai julukan yang mungkin diberikan orang karena sepak-terjangmu...,” tukas Kepalan Geledek ingin mengetahui julukan pemuda berjubah putih itu.
“Kalau itu yang kau inginkan, baiklah. Julukanku adalah Pendekar Naga Putih. Orang-orang kalangan persilatan memberikan julukan itu kepadaku...,” jawab Panji tanpa kesan sombong sedikit pun.
“Kau..., Pendekar Naga Putih yang terkenal itu...?!” desis Kepalan Geledek. Tampaknya, lelaki itu telah mendengar nama besar pemuda itu. Terbukti ia sangat terkejut ketika mendengar Panji memperkenalkan julukannya.
“Begitulah, Kisanak...,” jelas Panji.
Setelah beberapa saat terpaku, Kepalan Geledek tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya berlutut di hadapan Panji. Tentu saja pemuda itu kaget, la tidak menyangka lelaki tinggi kurus itu akan berbuat demikian.
“Kau telah membuka mataku yang selama ini tertutup kesombongan, Pendekar Naga Putih. Aku kagum dan hormat kepadamu. Kiranya apa yang dikatakan orang tidak berlebihan. Kau memang seorang pendekar berbudi yang rendah hati, dan menjadi panutan bagi banyak orang. Aku takluk kepadamu, Pendekar Naga Putih. Betapa bodohnya aku, tidak melihat gunung yang menjulang tinggi di depan mata!” ujar Kepalan Geledek yang sangat terkesan dengan sikap Panji. Sehingga, menyatakan takluk kepada pendekar muda itu.
Panji menghela napas panjang dengan dada lapang. Pemuda itu sungguh bersyukur mendengar ucapan lelaki tinggi kurus itu. Cepat diangkatnya bangkit berdiri tubuh lelaki itu. Kini keduanya saling bertatapan dalam jarak dekat.
“Aku bangga sekali mendengar ucapanmu, Kisanak. Semoga semua itu datang dari hatimu yang dalam...,” ucap Panji dengan senyum lebar.
“Aku sadar sepenuhnya, Pendekar Naga Putih. Semua itu bukan karena terpaksa. Tapi karena sikapmu yang demikian terpuji. Katakanlah, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku akan menurutinya, Pendekar Naga Putih...,” ujar lelaki tinggi kurus itu dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Seperti yang kukatakan tadi, tinggalkanlah kejahatan yang hanya mendatangkan kebencian serta merugikan orang. Banyak jalan kebaikan yang dapat membuatmu merasa tenang dalam mengarungi kehidupan ini...,” jawab Panji. Pemuda itu merasa yakin kepala perampok itu telah benar-benar sadar akan perbuatannya yang sesat selama ini.
“Aku akan mencobanya, Pendekar Naga Putih. Semoga orang-orang dapat menerimaku tanpa curiga...,” ujar Kepalan Geledek setengah berdoa agar dirinya dapat diterima masyarakat
Panji mengangguk seraya tersenyum. Kemudian melangkah ke arah tiga orang pengikut Kepalan Geledek yang masih terbaring lumpuh. Hanya dengan sekali tepukan, ketiganya kembali pulih seperti sediakala meski masih terasa pegal-pegal. Setelah mengembalikan barang milik Rajulit, Kepalan Geledek berpamitan pada Panji. Juga kepada Kenanga. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
“Hhh...,” Panji menghela napas lega melihat semuanya berjalan sangat baik, seperti yang diharapkannya. Lalu perhatiannya dialihkan pada Rajulit, setelah Kepalan Geledek dan para pengikutnya tidak kelihatan lagi.
“Nah. Sekarang kau telah bebas, Kisanak. Silakan melanjutkan perjalananmu...,” ujar Panji.
Rajulit kembali mengucapkan terima kasih kepada pasangan pendekar muda itu. Dengan menunggang kudanya, Rajulit berpamitan pada Panji dan Kenanga. Kemudian membedal kudanya meninggalkan tempat itu. Panji dan Kenanga memandangi kepergian lelaki tegap itu sampai lenyap di belokan jalan.
“Mengapa kau tidak mengorek keterangan dari lelaki itu, Kakang?” tanya Kenanga ketika mereka melangkah menyusuri jalan setapak.
“Apa kau sudah bertanya kepadanya...?” Panji balik bertanya. Pemuda itu kelihatan khawatir kalau-kalau Kenanga telah mencari keterangan dari lelaki tegap yang ia tahu orang kepercayaan Ki Legawa.
“Belum, Kakang...,” sahut Kenanga.
“Syukurlah. Sebab, bila kau sampai menanyakan sesuatu, kita bisa mendapat kesulitan. Lelaki tegap itu sangat dekat dengan Ki Legawa. Bahkan termasuk salah seorang sesepuh Desa Bandul. Sengaja aku tidak menanyakan tujuan kepergiannya. Karena aku tahu orang itu tidak akan menjawabnya dengan jujur. Ia akan merasa curiga bila aku bertanya. Dan lagi, aku tidak percaya dengan orang itu. Bukan tidak mungkin kepergiannya atas perintah Ki Legawa, untuk sesuatu yang sangat dirahasiakan...,” ujar Panji yang merasa lega mendengar jawaban kekasihnya.
Dengan demikian, mereka dapat bergerak bebas tanpa diketahui Ki Legawa dan pengikutnya. Suasana di antara mereka kembali hening. Yang terdengar hanya suara langkah kaki kudanya yang menginjak daun-daun kering.
Lelaki berperawakan gagah itu melangkah terburu-buru menuju rumah besar di tengah desa. Siapa lagi lelaki gagah itu kalau bukan Ki Dirja, salah seorang sesepuh Desa Bandul. Tampaknya ia hendak menghadap Ki Legawa.
“Ada apa, Ki...?” tanya Ki Dirja begitu menghadap kepala desanya yang kelihatan beberapa tahun lebih tua dari sebelumnya. Rupanya ancaman Siluman Gurun Setan telah membuat hati Ki Legawa tertekan dan tidak bisa tenang menjalani hari-harinya. Hingga dirinya tidak bisa tidur pulas.
“Keparat! Bangsat itu benar-benar telah membuatku tersiksa!” Ki Legawa langsung menumpahkan kejengkelanya ketika melihat Ki Dirja. Tentu saja yang dimakinya Siluman Gurun Setan. Karena tokoh misterius itu ternyata tidak muncul selama beberapa hari ini. Agaknya, tokoh itu sengaja berbuat demikian agar Ki Legawa senantiasa dilanda ketegangan dan kegelisahan. Sehingga, hampir setiap malam lelaki Ketua Desa Bandul itu berjaga-jaga. Karena khawatir Siluman Gurun Setan akan muncul untuk membuktikan ancamannya.
Perasaan itu ternyata tidak hanya dialami Ki Legawa. Ki Dirja pun tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Ancaman Siluman Gurun Setan terhadapnya telah menggelisahkan lelaki gagah itu. Sehingga sosok Ki Dirja yang biasanya memancarkan wibawa, kini tampak layu karena kurang tidur. Tokoh misterius itu tampaknya telah membuat para sesepuh Desa Bandul dilanda ketegangan.
“Dalam beberapa hari ini aku pun tidak bisa tenang, Ki. Tokoh misterius itu telah mengacaukan hidupku....” Ki Dirja mengungkapkan keluhan serupa, seperti halnya Ki Legawa.
“Rupanya, manusia keparat itu ingin melihat kita mati tersiksa oleh kegelisahan. Malam-malam yang seharusnya bisa membuat kita beristirahat melepaskan lelah, sekarang menjadi sesuatu yang menakutkan. Sedangkan keparat itu tidak juga menampakkan diri. Hm... Kalau aku berhasil melumpuhkannya, akan kusiksa bangsat itu hingga ia merasa menyesal telah dilahirkan ke dunia!” geram Ki Legawa. Lalu bangkit dari kursinya dan melangkah hilir-mudik. Itu yang dilakukannya kalau hatinya sedang resah dan marah. Ki Dirja sudah hafal dengan tingkah-laku majikannya itu.
“Bagaimana dengan Rajulit, Ki? Apakah ia belum kembali?” tanya Ki Dirja mengalihkan pembicaraan.
“Menurut perhitungan, Rajulit kembali siang ini. Mudah-mudahan ia tidak menemui halangan di jalan...,” sahut Ki Legawa seraya menghempaskan tubuhnya ke kursi bergagang gading, yang tak ubahnya merupakan singgasana bagi Kepala Desa Bandul itu.
“Kalau demikian, sebaiknya kita tunggu kedatangan Rajulit. Kuharap, ia berhasil membawa guru Sepasang Golok Perak untuk membantu kita menghadapi Siluman Gurun Setan...,” timpal Ki Dirja harap-harap cemas.
Suasana di antara mereka menjadi hening ketika keduanya membisu mengikuti arus pikiran masing-masing. Hal itu berlangsung cukup lama. Sampai kemudian....
“Kau dengar itu, Dirja...?” ujar Ki Legawa langsung bangkit dari duduknya.
“Mudah-mudahan Rajulit yang datang...,” harap Ki Dirja ketika mendengar suara derap kaki kuda menuju rumah itu. Lelaki itu bangkit dan melangkah mengikuti Ki Legawa.
“Rajulit..!” desis Ki Legawa ketika melihat pembantunya tengah melompat turun dari atas punggung kuda. Cepat lelaki itu menghampiri, diikuti Ki Dirja di belakangnya.
“Mana Setan Jari Pedang? Apa kau tidak berhasil membujuknya?” tanya Ki Legawa ketika tidak melihat ada orang lain datang bersama pembantunya. Kekecewaan tampak jelas pada wajah lelaki tua itu.
“Tenang, Ki. Semuanya berjalan lancar. Sebentar lagi tokoh hebat itu akan berada di tengah-tengah kita. Dan, kita tidak perlu lagi takut dengan ancaman Siluman Gurun Setan. Sudah kukatakan kita tidak perlu membayar. Karena aku mengatakan padanya bahwa muridnya telah dibunuh Siluman Gurun Setan yang mengganas di desa kita. Dan, tepat seperti yang kuduga. Setan Jari Pedang sangat murka mendengar kematian kedua muridnya. Tokoh itu langsung setuju ketika aku mengajaknya ke sini...,” lapor Rajulit sangat bangga dengan keberhasilannya membawa Setan Jari Pedang ke tempat itu.
“Tapi, mengapa kau tidak datang bersamanya? Kapan dia akan datang, Rajulit?” Ki Legawa sepertinya belum bisa tenang kalau belum melihat Setan Jari Pedang. Sehingga, ia kembali bertanya kepada pembantunya itu.
“Jangan khawatir, Ki. Setan Jari Pedang pasti akan datang. Kakek itu tidak akan membiarkan pembunuh kedua muridnya hidup lebih lama. Satu hal yang harus kita ingat. Kendati usianya sudah tua, tapi tokoh itu sangat suka dengan wanita. Agar ia merasa senang tinggal di sini, kita harus menyediakan kesenangannya itu...,” ujar Rajulit Kemudian tertawa mengingat kesukaan Setan Jari Pedang yang kedengarannya tidak lumrah.
“Hoiii. Rajulit! Apa kau sudah menyiapkan kebutuhanku...!” tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud, hingga ketiga sesepuh Desa Bandul terkejut bukan main. Mereka tidak melihat pemilik suara yang melengking tinggi itu.
Belum lagi hilang rasa terkejut di hati mereka. Mendadak, bertiup angin keras yang mengibarkan pakaian dan rambut mereka. Tahu-tahu seorang kakek bertubuh kecil sudah berdiri di dekat ketiga orang itu. Tentu saja Ki Legawa dan Ki Dirja semakin bertambah kaget. Mereka tidak melihat dari mana datangnya kakek cebol itu.
“Heh heh heh...! Bukankah kau yang bernama Ki Legawa dan menjadi kepala desa ini...?” tanpa basa-basi, kakek cebol itu menuding Ki Legawa.
Hingga kening Ki Legawa langsung berkerut melihat sikap urakan kakek itu. Untuk beberapa saat lamanya Ki Legawa dan Ki Dirja meneliti sosok cebol itu dari bawah ke atas. Saat itu juga mereka langsung bisa menduga kakek cebol itu yang berjuluk Setan Jari Pedang. Apalagi, ketika melihat Rajulit mengangguk hormat kepada kakek itu.
“Benar. Akulah Ki Legawa. Selamat datang di desa ini, Kek. Mudah-mudahan sambutanku tidak mengecewakanmu...,” sambut Ki Legawa. Terpaksa menahan kejengkelan hatinya melihat sikap kakek itu, yang sedikit pun tidak menaruh hormat kepadanya. Kalau menuruti kata hatinya, ingin rasanya ia menendang keluar kakek cebol kurang ajar itu. Tapi mengingat ia sangat memerlukan orang tua itu, maka Ki Legawa menahan perasaannya. Dan berusaha menyenangkan hati Setan Jari Pedang.
“Hm.... Sambutanmu sangat mengecewakan, Legawa. Tapi, aku akan memaafkan kelalaianmu bila kesenanganku sudah kau siapkan,” tukas kakek itu sambil terkekeh, memperlihatkan giginya yang kotor. Setan Jari Pedang bukanlah orang yang suka menjaga kebersihan.
“Aku akan segera menyediakannya, Kek. Kuharap kau mau bersabar dulu. Aku baru saja tahu dari Rajulit, jadi tidak sempat menyiapkan sebelumnya. Maafkan atas kelalaianku...,” ujar Ki Legawa menahan rasa kedongkolan hatinya. Baru kali ini ada orang yang berani memerintah dirinya sesuka hati.
“Hm.... Kalau begitu, mengapa kau tidak segera mencarinya. Ayo, cepat! Atau kau ingin kuhajar...!” bentak kakek itu tanpa mempedulikan wajah Ki Legawa yang berubah merah.
Rajulit sendiri menjadi agak pucat. Lelaki tegap itu merasa khawatir jika Ki Legawa sampai marah. Karena dia sendiri pun belum tahu Setan Jari Pedang memiliki perangai yang aneh seperti itu. Kalau saja Rajulit tahu sebelumnya, tentu ia akan mengatakannya kepada Ki Legawa. Agar kepala desanya tidak terkejut dan memakluminya.
“Baik..., baik. Aku akan segera menyiapkannya,” sahut Ki Legawa cepat. Kemudian diajaknya Rajulit masuk ke dalam rumah. Sehingga lelaki tegap itu menjadi ketakutan.
“Maaf, Ki. Aku sungguh tidak menduga Setan Jari Pedang mempunyai sifat seperti itu. Kalau saja aku tahu, tentu jauh-jauh hari sudah kukatakan kepadamu....” Rajulit langsung membela diri sebelum Ki Legawa sempat memarahi. Sehingga, lelaki tua itu hanya bisa menghela napas untuk mengurangi kedongkolan hatinya.
“Hhh.... Sudahlah. Sekarang, cepat carikan apa yang diinginkan kakek itu. Caranya terserah bagaimana caramu sendiri...,” perintah Ki Legawa. Tidak mau tahu bagaimana Rajulit mendapatkan gadis-gadis muda untuk menyenangkan hati Setan Jari Pedang.
“Baik, Ki...,” meskipun bingung, Rajulit tidak membantah. Ia segera mengajak empat orang anak buahnya untuk melaksanakan tugas itu.
Sepeninggal Rajulit, Ki Legawa membawa Setan Jari Pedang masuk ke ruang tengah. Walaupun sebenarnya tidak suka, namun perasaan itu disembunyikannya rapat-rapat. Dan, Ki Legawa berusaha tetap bersikap wajar. Tapi, tingkah Setan Jari Pedang memang sangat urakan. Tanpa meminta izin tuan rumah, kakek itu langsung melangkah dan memeriksa setiap ruangan rumah besar itu. Bahkan setiap kamar dijenguknya. Entah apa yang hendak dilihat kakek sinting itu.
Ki Legawa hanya bisa mengurut dada ketika mendengar jeritan perempuan dari kamar istrinya, kamar gundik serta pelayan-pelayannya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perbuatan kakek sinting itu.
“Kakek sinting itu ternyata lebih gila dari Siluman Gurun Setan! Kalau ia tinggal lama di rumahku, aku bisa mati berdiri karena kelakuannya yang tidak waras itu...!” desis Ki Legawa kepada Ki Dirja, yang juga kelihatan sangat bingung melihat kelakuan Setan Jari Pedang.
“Aaauwww...! Lepaskan aku, lepaskan...!” terdengar suara jeritan perempuan, yang membuat kedua sesepuh Desa Bandul itu melompat ke dalam.
“Heh heh heh...! Di rumahmu ini ternyata banyak sekali wanita molek, Legawa. Aku mengambil perempuan ini dari kamar belakang. Nampaknya ia harus segera kucicipi...,” Setan Jari Pedang menjelaskan tanpa diminta. Sementara wanita yang berada dalam gendongannya meronta-ronta hendak melepaskan diri.
Melihat salah seorang istri mudanya berada dalam gendongan kakek sinting itu, Ki Legawa kembali menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan hanya mengangguk sambil menunjukkan sebuah kamar kosong ketika kakek itu memintanya.
“Heh heh heh...! Kalian boleh saksikan bagaimana kuda binal ini akan segera takluk dengan permainanku...,” ujar Setan Jari Pedang melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebentar kemudian, terdengar istri muda Ki Legawa menjerit-jerit. Entah apa yang dilakukan kakek itu kepadanya.
“Biarkan saja, Ki. Masih banyak perempuan lain yang bisa menggantikan istri mudamu...,” hibur Ki Dirja ketika melihat kegeraman di wajah kepala desanya.
“Kakek sinting itu memang jeli matanya. Ia tahu saja kalau perempuan itu yang tercantik di antara semua istri-istri mudaku...,” desis Ki Legawa yang kelihatan menyesal melihat perempuan yang paling disayanginya dibawa Setan Jari Pedang. Tapi karena ia sangat membutuhkan bantuan kakek sinting itu, maka Ki Legawa hanya bisa pasrah dan berharap agar semua itu cepat berakhir.
“Ke mana kita, Ki...?” tanya salah seorang dari empat lelaki berpakaian serba hitam kepada Rajulit yang berjalan di depannya.
“Ikuti saja aku, dan jangan banyak tanya!” bentak Rajulit dengan tidak mengurangi kecepatan langkahnya. Lelaki tegap itu terus menyusuri jalan kecil yang menuju sungai. Keempat lelaki berpakaian serba hitam, yang merupakan pengawal-pengawal Ki Legawa, tidak bertanya-tanya lagi. Mereka mengikuti ke mana lelaki tegap itu melangkah.
“Nah. Kalian tunggu aku di sini. Ingat! Tidak boleh ada seorang pun yang meninggalkan tempat ini tanpa seizinku!” tegas Rajulit tanpa ingin mendengar adanya bantahan. Kemudian melanjutkan langkahnya seorang diri menuju sungai.
Beberapa perawan desa yang baru saja selesai mencuci pakaian di sungai dan berpapasan dengan lelaki tegap itu, mengangguk takut-takut. Mereka tetap menyapa Rajulit, karena lelaki tegap itu tetua desa mereka. Rajulit sendiri hanya bergumam tak jelas, dan terus melangkah. Dari tempat yang agak tinggi, lelaki tegap itu mengedarkan pandangan ke sekitar tepian sungai. Mulutnya menyungging senyum licik ketika melihat ada seorang gadis masih sibuk mencuci pakaian. Tampaknya gadis itu belum selesai mencuci lalu ditinggalkan kawan-kawannya.
“Hm.... Rupanya keberuntungan masih mengikutiku...,” gumam Rajulit. Dan melangkah cepat menghampiri gadis desa itu.
Suara langkah Rajulit yang sengaja dikeraskan, membuat gadis itu berpaling untuk melihat siapa yang datang. Wajahnya yang manis terlihat menyembunyikan kecemasan. Karena ia kenal baik siapa sebenarnya lelaki tegap itu.
“Belum selesai, Nyai...?” sapa Rajulit Lalu duduk di atas sebuah batu kali.
“Be... lum. Eh, sudah...,” jawab gadis berwajah manis yang mempunyai tahi lalat di bawah dagu. Ia kelihatan gugup menjawab pertanyaan Rajulit. Kelihatan betapa gadis itu sangat ketakutan. Sepasang matanya yang bulat menoleh ke kanan dan kiri. Wajahnya berubah pucat ketika tidak menemukan orang lain di tempat itu kecuali mereka berdua. Cepat pakaian yang dicucinya dibereskan. Kemudian bangkit berdiri hendak meninggalkan tempat itu.
“Mengapa terburu-buru, Nyai...?” tanya Rajulit seraya bangkit dari duduknya.
Gadis manis itu tidak menjawab pertanyaan Rajulit. Langkahnya justru semakin dipercepat. Perbuatan gadis itu memaksa Rajulit melompat dan menangkap lengannya.
“Lepaskan aku, Kakang! Biarkan aku pulang...,” pinta gadis itu yang rupanya telah mengenal baik sifat Rajulit. Ia dapat menduga apa yang diinginkan lelaki tegap itu darinya.
“Hm.... Jangan berpura-pura suci! Kau akan kubawa ke tempat Ki Legawa. Kalau kau membantah, kedua orang tuamu dan adik-adikmu akan celaka...,” ujar Rajulit mengancam gadis manis itu.
“Jangan, Kakang! Aku tidak mau...!” ratap gadis itu tetap tidak sudi ikut bersama Rajulit. Ia memberontak berusaha melepaskan cekalan lelaki tegap itu pada pergelangan tangannya.
Tapi, mana mungkin gadis lemah itu dapat melepaskan cekalan Rajulit yang kuat. Dan ketika lelaki tegap itu meraih pinggang lalu menggendongnya, gadis itu hanya bisa berteriak-teriak minta tolong. Sayang, di sekitar sungai tidak ada orang. Sedangkan tempat itu cukup jauh dari perumahan penduduk. Jadi, sia-sia saja teriakan gadis itu.
“Tunggu...!”
Saat Rajulit bergegas hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang membuat lelaki tegap itu terlonjak kaget. Bentakan itu mengandung kemarahan hebat. Dan dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. Rajulit menoleh ke arah asal suara. Sepasang matanya yang semula memancarkan api kemarahan, tiba- tiba terbelalak. Dan wajahnya berubah pucat! Rajulit dilanda ketakutan hebat!
Suara bentakan itu rupanya datang dari sosok langsing terbungkus pakaian berwarna serba hijau. Sosok itu seorang dara jelita yang kini memandang marah kepada Rajulit Sepasang mata bulatnya berkilat seperti hendak membakar tubuh lelaki tegap itu.
“Hm.... Beginikah sikap seorang sesepuh desa...? Bagus sekali perbuatanmu menculik anak gadis orang! Lepaskan gadis itu, atau kupatahkan batang lehermu...!” geram dara jelita berpakaian serba hijau sambil melangkah maju.
Kemunculan dara jelita itu rupanya tidak sendirian. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda tampan berjubah putih, yang juga memancarkan kemarahan pada sepasang bola matanya yang tajam menikam jantung. Pemuda itu melangkah di belakang gadis jelita berpakaian serba hijau.
“Kalian...?!” desis Rajulit yang telah mengenal baik kedua orang muda itu. Mereka tidak lain Panji dan Kenanga.
Kemunculan pasangan pendekar muda itu tidaklah aneh. Dalam beberapa hari ini, mereka memang memata-matai setiap gerak Ki Legawa dan orang-orangnya. Itu sebabnya mengapa mereka datang pada saat yang tepat!
Menyadari dirinya tidak mungkin dapat selamat, Rajulit segera melepaskan gadis yang ada di bahunya. Kemudian berlari secepat kilat bagai orang dikejar setan!
“Hm.... Jangan harap kau dapat lolos dari tanganku, Keparat!” geram Kenanga lalu menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke udara melewati kepala Rajulit!
Jleggg!
Tubuh Kenanga mendarat tepat di hadapan Rajulit. Lelaki tegap itu rupanya sadar dirinya tidak mungkin dimaafkan. Maka begitu melihat tubuh dara jelita itu menghadang jalannya, Rajulit langsung menghunus senjata dan menerjang Kenanga!
“Kurang ajar! Rupanya kau bukan orang baik-baik! Seharusnya kau kubiarkan mampus di tangan perampok-perampok itu...!” geram Kenanga yang segera menggeser tubuhnya ke samping, kemudian lepaskan sebuah tendangan kilat yang kuat!
Jebbb!
Dalam keadaan panik dan ketakutan, Rajulit berbuat nekat. Ia mengelak secepatnya. Kemudian kembali menerjang dengan pedangnya. Tapi, tingkat kepandaian mereka berbeda jauh. Sehingga dalam beberapa jurus saja, tubuh Rajulit sudah terpelanting terkena tamparan keras Kenanga.
“Perempuan setan...!” maki Rajulit yang baru saja ketahuan belangnya oleh Kenanga dan Panji. Sadar bahwa tidak mungkin dapat menang, Rajulit segera mengeluarkan suitan panjang melengking. Tanda itu dimaksudkan untuk memberi tahu kawan-kawannya bahwa dia menemui kesulitan.
“Hm... Kau boleh undang seluruh teman-temanmu. Laki-Laki Keparat!” desis Kenanga kembali melancarkan serangan.
Kecepatan gerak dara jelita itu menyulitkan Rajulit untuk menyelamatkan diri. Akibatnya, ia dibuat jatuh bangun oleh pukulan dan tendangan lawan. Kenanga memang sengaja tidak langsung membunuh lelaki tegap itu. Gadis itu marah melihat perbuatan Rajulit Ia hendak memberi pelajaran agar Rajulit menjadi jera.
Saat Rajulit tengah dihajar Kenanga, empat orang kawannya datang berlari-lari hendak membantu lelaki tegap itu. Mereka langsung memasuki kancah pertarungan dengan pedang di tangan.
“Hm.... Majulah kalian semua, Tikus-Tikus Busuk!” bentak Kenanga. Tapa mengurangi kecepatan serangannya sedikit pun, kendati harus menghadapi keroyokan lima orang lawan. Dalam waktu singkat, tiga orang pengawal Ki Legawa tergeletak pingsan akibat tamparan keras pada pelipis mereka. Dan dua orang lainnya segera mendapat bagian.
“Haiiih!”
Plakkk..., desss!
Rajulit yang terkena tendangan keras, langsung terjungkal ke belakang. Malang, kepalanya membentur batu kali. Hingga lelaki tegap itu tewas seketika! Sedang pengawal Ki Legawa yang seorang lagi terjerembab terkena tendangan berputar Kenanga. Lelaki itu langsung roboh pingsan. Karena tendangan keras itu tepat mengenai pelipisnya.
“Bagaimana dengan gadis itu, Kakang ?” tanya Kenanga seraya menghampiri Panji dan gadis desa yang masih terisak-isak.
“Tidak apa-apa. Ia hanya terkejut...,” jelas Panji menghilangkan kekhawatiran Kenanga.
“Bisakah kau menceritakan mengapa lelaki itu mengganggumu, Adik Manis?” tanya Kenanga mencoba mencari keterangan dari gadis desa yang usianya sekitar delapan belas tahun itu.
“Kakang Rajulit sering mengganggu gadis-gadis. Bahkan ia tidak segan-segan bertindak kasar, dan mengancam akan mencelakakan keluarga korban bila melawan kehendaknya. Kebanyakan dari gadis-gadis itu akhirnya dijadikan simpanan Ki Legawa. Tapi warga desa tidak bisa berbuat apa-apa. Selain Ki Legawa sangat kuat dan pandai silat, ia pun mempunyai pengikut yang cukup banyak. Sehingga tanpa mengalami kesulitan, Ki Legawa memeras penduduk agar menyerahkan separo hasil panennya. Banyak petani yang berhutang kepadanya. Kemudian menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan istri kesekian atau gundiknya. Dengan begitu, hutang mereka menjadi lunas...,” jelas gadis manis itu dengan lancar. Sepertinya ia mengharap agar Panji dan Kenanga segera menghentikan kekejaman penguasa Desa Bandul.
“Terima kasih, Adik Manis. Sekarang pulanglah. Aku yakin tidak ada lagi yang mengganggumu di jalan...,” ujar Kenanga yang menjadi geram mendengar penuturan gadis lugu itu. Semakin yakinlah Kenanga bahwa kematian adik kandung Ki Legawa akibat ulah kakaknya sendiri. Mungkin ia hendak mencegah perbuatan kakaknya. Hingga, Ki Legawa terpaksa melenyapkannya.
“Hm.... Sayang, bukti-bukti yang ada masih belum kuat. Sehingga kita tidak bisa langsung menuduh Ki Legawa. Sebaiknya kita tunggu sampai dapat menangkap basah perbuatan keji kepala desa laknat itu...,” ujar Panji setelah terdiam beberapa saat Lalu pemuda itu mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
Kegelapan datang menyelimuti permukaan bumi. Bintang di langit tampak berkelip jenaka. Cahaya bulan purnama mengubah, suasana gelap menjadi terang oleh cahayanya yang merata. Malam yang cerah.
Di tengah suasana malam yang indah itu, sesosok bayangan putih bergerak menuju pusat desa. Tubuhnya demikian lincah berlompatan dari satu atap ke atap yang lain. Seolah bayangan putih itu terbang seperti hantu dalam dongeng anak-anak.
Tidak berapa lama kemudian sosok itu tiba di tempat tujuan. Lalu melayang turun di halaman belakang rumah kediaman Kepala Desa Bandul. Siapa lagi sosok berjubah dan berambut putih kalau bukan tokoh misterius yang berjuluk Siluman Gurun Setan. Rupanya, ia datang untuk menepati janji yang pernah diucapkan di hadapan Ki Legawa dan para pembantunya. Apalagi yang diinginkan tokoh itu kalau bukan nyawa!
Namun saat sosok berjubah putih hendak masuk ke dalam rumah dengan melalui dapur, tiba-tiba terdengar suara tawa yang membuat Siluman Gurun Setan berbalik secepat kilat!
“Heh heh heh. Kaukah yang berjuluk Siluman Gurun Setan...?” tegur kakek cebol. Kakek yang tidak lain Setan Jari Pedang itu berdiri angkuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Siapa kau...?” desis Siluman Gurun Setan yang tampaknya tidak mengenal Setan Jari Pedang.
Pertanyaan itu membuat Setan Jari Pedang mengerutkan kening dalam-dalam. Tokoh yang berjuluk Siluman Gurun Setan itu rupanya telah melupakan. Padahal baik Siluman Gurun Setan maupun Setan Jari Pedang sama-sama tokoh kawakan. Kendati mereka tidak sejalan, tapi telah saling mengenal dengan cukup baik. Maka ketika mendengar Siluman Gurun Setan tidak mengenalinya, timbul kecurigaan tentang keaslian tokoh misterius itu yang dikabarkan telah tewas di pertapaannya. Kalau sekarang tiba-tiba muncul, pasti bukan Siluman Gurun Setan yang sesungguhnya.
“Hm.... Kau tidak mengenaliku lagi, Manusia Gurun...!” ujar Setan Jari Pedang yang merasa yakin orang itu bukan Siluman Gurun Setan yang sesungguhnya. Mungkin hanya mempunyai hubungan dengan tokoh hebat yang sangat terkenal pada masa jayanya itu.
“Kau pasti orang sewaan Legawa yang sangat takut akan kematian itu...,” sahut Siluman Gurun Setan dengan angker.
“Jangan menuduh sembarangan, Manusia Keji! Kedatanganku kemari ada hubungannya dengan Sepasang Golok Perak yang telah kau bantai...,” jawab Setan Jari Pedang.
“Apa hubunganmu dengan orang-orang yang mencari nafkah dengan mengandalkan kepandaian untuk membela orang jahat itu...?” tanya Siluman Gurun Setan seraya menatap tajam lelaki cebol itu. Melihat sorot mata kakek cebol yang berkilat tajam, tokoh misterius itu segera dapat menebak kakek itu bukan orang sembarangan. Ia harus berhati-hati untuk menghadapinya.
“Aku adalah gurunya yang hendak menuntut balas! Bersiaplah, Siluman Gurun Setan...,” sahut kakek cebol itu, kemudian bergerak maju dengan tenang dan penuh percaya diri.
“Hm.... Kalau muridnya jahat, pasti gurunya tidak berbeda jauh. Kau sama saja dengan muridmu...,” tukas Siluman Gurun Setan tak mau kalah bicara.
“Kurang ajar...! Kau harus diberi pelajaran untuk menghormati orang lain!” balas Setan Jari Pedang yang sudah siap menggempur pembunuh murid-muridnya.
“Haaat..!”
Sambil berteriak melengking, kakek cebol itu melesat ke depan mengirim serangan maut. Namun Siluman Gurun Setan tidak tinggal diam. Tubuhnya tak kalah cepat bergerak menyambut hujan serangan lawan. Sebentar saja, kedua tokoh itu sudah terlibat sebuah perkelahian sengit!
Keberadaan Setan Jari Pedang rupanya telah diperhitungkan secara tepat. Ketika pertarungan berlangsung, Ki Legawa muncul bersama orang-orangnya. Sehingga, Siluman Gurun Setan terkepung. Sadarlah tokoh misterius itu kalau mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya. Sehingga, tokoh misterius itu terkejut
“Heaaah...!”
Seraya berteriak keras, Siluman Gurun Setan mempergencar serangannya. Tokoh itu hendak, segera merobohkan Setan Jari Pedang. Karena kakek itu merupakan lawan paling tangguh. Sayang, kakek cebol itu tidak mudah ditundukkan. Bahkan mampu membalas serangan Siluman Gurun Setan dengan tidak kalah berbahaya. Akibatnya, Siluman Gurun Setan harus memusatkan pikiran. Sebab kakek cebol itu berkepandaian tinggi.
“Haiiit..!”
Ki Legawa tidak sabar melihat jalannya pertempuran yang baginya terasa lambat. Lelaki itu segera melayang memasuki kancah pertempuran!
Bwettt!
Begitu tiba, Ki Legawa langsung mencecar Siluman Gurun Setan dengan sambaran pedang yang berciutan. Hingga tokoh misterius itu terdesak hebat. Kalau harus menghadapi kedua lawan tangguh itu ia merasa kewalahan!
“Haiiit..!”
Pada saat Siluman Gurun Setan tengah berusaha mengimbangi permainan lawan, tiba-tiba terdengar pekikan melengking tinggi. Disusul dengan melayangnya sesosok bayangan putih dari udara. Setan Jari Pedang dan Ki Legawa kelihatan sangat terkejut melihat bayangan putih yang laksana seekor naga sakti meluncur turun ke arah mereka. Jelas sosok bayangan putih itu berpihak kepada Siluman Gurun Setan!
Plakkk! Plakk!
Setan Jari Pedang dan Ki Legawa berseru tertahan merasakan betapa kuat tenaga gempuran sosok bayangan putih! Bahkan, Ki Legawa terpelanting ketika menangkis serangan tiba-tiba itu. Melihat Ki Legawa terpisah dari kakek cebol itu, Siluman Gurun Setan bergegas menyerbu. Pukulan yang menyambar berciutan sangat mengejutkan Ki Legawa.
“Heaaah...!”
Cepat pedangnya dikelebatkan untuk mematahkan serangan lawan. Lalu menyusuli dengan serangan-serangan gencar! Sehingga, kedua tokoh itu bertarung sengit!
Di tempat lain, sosok bayangan putih yang tidak lain Panji berhadapan dengan Setan Jari Pedang. Kakek cebol itu tidak segera memulai pertempuran. Dipandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih yang sekujur tubuhnya terlapisi kabut putih keperakan.
“Kau..., Pendekar Naga Putih...?” tanya kakek cebol itu menegasi.
“Tidak salah...,” sahut Panji singkat. Pemuda itu pun tidak menyiapkan jurus untuk bertarung. Kendati demikian ia tetap waspada dan siap menghadapi gempuran kakek cebol itu.
“Hm.... Jangan kira kau dapat berbuat seenak perutmu dengan mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih! Aku tidak mempunyai urusan denganmu...!” Setelah berkata demikian, Setan Jati Pedang melesat meninggalkan Panji menuju pertempuran Ki Legawa dan Siluman Gurun Setan.
“Biarkan mereka...!” seru Panji
Dikejarnya kakek cebol itu. Mendadak Setan Jari Pedang berbalik, dan melepaskan serangan licik!
Cwiiittt..!
Suara angin yang bercuitan menandakan betapa hebat serangan kakek cebol itu. Tapi, Pendekar Naga Putih sejak semula sudah siap menghadapi berbagai macam kelicikan lawan. Sambaran lengan Setan Jari Pedang dapat ditepiskan dengan baik!
Tasss...!
Terdengar ledakan kecil ketika dua gelombang tenaga dalam saling berbenturan di udara. Akibatnya, tubuh Setan Jari Pedang terlempar ke belakang. Sedangkan Panji meluncur turun dengan ringan. Kekuatan Panji ternyata masih berada di atas lawan.
“Keparat..!”
Marah bukan main Setan Jari Pedang melihat kenyataan yang mengecewakan itu. Dibarengi sebuah lengkingan panjang, kakek cebol itu kembali melayang ke arah Panji dengan serangan-serangannya yang lebih hebat dan berbahaya!
Pendekar Naga Putih segera menghadapi dengan ilmu ‘Silat Naga Sakti’. Keduanya pun terlibat dalam sebuah pertempuran yang sangat mendebarkan!
Setan Jari Pedang kelihatan sangat bernafsu dapat merobohkan Pendekar Naga Putih. Serangan seperti gelombang air bah itu datang bertubi-tubi dengan gencarnya. Sayang, serangan kakek cebol itu selalu kandas di tengah jalan. Hingga ia semakin penasaran dibuatnya.
Melihat lawan sangat bernafsu meraih kemenangan, Panji tidak tinggal diam. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga mulai menunjukkan keampuhan. Disertai hawa dingin yang menusuk tulang, pemuda itu menerjang maju dengan jurus-jurus andalannya.
Sehingga ketika pertempuran memasuki jurus keseratus dua puluh, Setan Jari Pedang mulai merasakan keampuhan jurus-jurus lawan. Kakek cebol itu mulai terdesak. Ruang gerakannya semakin sempit. Serbuan hawa dingin yang tidak pernah berhenti itu, menyulitkannya untuk membangun serangan. Setan Jari Pedang merasa dirinya bagai dikelilingi dinding-dinding salju yang tak tampak. Akibatnya....
Desss!
“Hakkk!”
Pada jurus keseratus tiga puluh, Setan Jari Pedang tak sanggup lagi menyelamatkan diri. Sebuah hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih, telah melemparkan tubuh kakek cebol itu sejauh dua tombak, dan terus terguling-guling di atas tanah!
“Kurang ajar...!” umpat Setan Jari Pedang marah bukan main melihat dirinya dapat dirobohkan pemuda hebat itu. Meski dadanya terasa agak sesak dan sekujur tubuhnya dijalari hawa dingin, Setan Jari Pedang masih sangat bernafsu melanjutkan pertarungan.
“Haaat!”
Pendekar Naga Putih bergegas untuk menghindari hujan serangan Setan Jari Pedang. Kemudian membalas dengan gempuran yang tidak kalah dahsyat! Keduanya kembali bertarung ketat!
“Hiaaah...!”
Buggg!
Dua puluh jurus kemudian, sebuah tendangan Panji menghantam telak dada kakek cebol itu. Kembali tubuh Setan Jari Pedang terbanting ke tanah. Kali ini tidak segera bangkit. Isi dadanya terasa berguncang hebat! Darah segar menyembur keluar karena luka dalam yang dideritanya.
“Baiklah. Kali ini aku mengaku kalah, Pendekar Naga Putih!” desis Setan Jari Pedang seraya menatap Panji dengan sorot mata penuh dendam. Lalu kakek itu bergerak meninggalkan tempat itu dengan langkah tertatih.
Panji tidak mempedulikan kepergian Setan Jari Pedang. Perhatiannya segera dialihkan pada pertarungan Ki Legawa dan Siluman Gurun Setan. Kelihatannya, Kepala Desa Bandul tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Siluman Gurun Setan mendesak lawan dengan serangan-serangan ganas dan cepat
Perhatian Panji beralih ke tempat lain. Dilihatnya Kenanga tengah bertarung melawan Ki Dirja dan para pengawalnya. Rupanya, dara jelita itu mencegah mereka ketika hendak membantu Ki Legawa yang tengah berjuang menghadapi Siluman Gurun Setan. Sehingga, Ki Dirja dan kawan-kawannya menggempur dara jelita itu.
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang melengking merobek angkasa. Disusul robohnya tubuh Ki Legawa dengan leher hampir putus! Siluman Gurun Setan telah berhasil menamatkan riwayat lawannya.
“Hentikan pertarungan...!”
Ki Dirja dan orang-orangnya yang tengah mengeroyok Kenanga berlompatan mundur. Lalu berpaling ke arah sosok Siluman Gurun Setan. Tokoh itulah yang tadi berteriak menghentikan pertarungan.
“Saudara-saudara sekalian! Ingatkah kalian dengan Ki Raharja, Kepala Desa Bandul yang lama. Ketahuilah. Ki Legawa telah menyebarkan fitnah keji terhadapnya! Ki Raharja tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan Ki Legawa. Dengan sengaja Ki Legawa menyuruh kekasihnya menjebak Ki Raharja. Saat itu Ki Raharja berada seorang diri di tempat kediamannya. Dengan liciknya, Ki Legawa menghasut para pelayan untuk bersembunyi. Kemudian datanglah Yanara, kekasih Ki Legawa. Seperti yang telah mereka rencanakan, Yanara kemudian keluar dari dalam rumah dengan pakaian tidak senonoh, la mengaku telah diperkosa Ki Raharja,” Siluman Gurun Setan menghentikan ceritanya? Sepasang matanya memandang berkeliling. Seolah hendak melihat tanggapan orang-orang di sekitarnya.
“Bohong! Siluman itu jelas telah menyebarkan dusta! Kalian jangan percaya! Sebaiknya kita bunuh saja manusia jahat itu!” teriak Ki Dirja yang didukung Malingga serta kerabat dekat keluarga Ki Legawa.
“Tunggu...!”
Melihat gelagat tidak baik, Panji berseru mengerahkan tenaga dalamnya hingga orang-orang itu terhuyung mundur. Kemudian pemuda itu melangkah dan berdiri di samping Siluman Gurun Setan.
“Aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, betapa Ki Legawa telah memerintahkan Rajulit untuk menculik gadis-gadis ini. Bahkan dengan paksa merebut anak gadis orang. Karena orang tua gadis itu tidak mampu membayar hutang-hutangnya kepada Ki Legawa,” ujar Panji mengatasi suara ribut orang-orang itu. Karena ia mengerahkan tenaga dalam, maka suaranya terdengar jelas.
“Selain itu, aku masih mempunyai saksi hidup yang akan membuat kalian percaya dengan keteranganku daripada bau busuk yang keluar dari mulut begundal-begundal Ki Legawa...,” setelah berkata demikian, Siluman Gurun Setan melesat pergi.
Panji segera bertindak mengatasi kebisingan itu. Suara bentakannya yang menggelegar membuat para pengawal Ki Legawa tidak berani berkutik. Keributan yang terjadi di tempat kediaman Ki Legawa telah membangunkan penduduk desa. Terutama bentakan Panji yang laksana ledakan guntur.
Sehingga, tempat itu dipadati warga Desa Bandul. Saat teriakan-teriakan ribut orang-orang Ki Legawa kembali terdengar, Siluman Gurun Setan muncul sambil menggendong sesosok tubuh perempuan. Kemudian menurunkannya dari gendongan.
“Yanara...?!” desis Ki Dirja. Wajahnya berubah pucat. Demikian juga beberapa pengikut dan kerabat dekat Ki Legawa. Mereka menjadi ketakutan melihat wanita itu.
“Nah. Kalian lihat sendiri, bukan? Wajah-wajah iblis itu sekarang berubah pucat! Karena wanita inilah yang mengetahui segala kebusukan Ki Legawa dan begundal-begundalnya. Selain mencelakakan Ki Raharja untuk menguasai desa ini, mereka pun telah meracuni seluruh keluarga Ki Raharja. Sehingga, tidak satu pun dari keluarga kepala desa kalian yang lama selamat. Mereka terkena penyakit yang menjijikkan. Sampai akhirnya, seluruh anggota keluarga Ki Raharja mati dengan tubuh kurus kering akibat racun jahat itu. Sayang, Rajulit dan salah seorang kawannya bertindak ceroboh. Yanara yang diperintahkan Ki Legawa untuk dilenyapkan, malah mereka lahap dengan buas di dalam sebuah hutan. Kemudian meninggalkannya dalam keadaan pingsan. Untunglah aku bertemu dengan wanita malang ini. Dari Yanara-lah aku mengetahui kebusukan Ki Legawa secara lebih terperinci!” Siluman Gurun Setan mengakhiri ceritanya.
“Bunuh manusia-manusia busuk itu!”
“Gantung mereka hidup-hidup...!”
Terdengar teriakan marah di sana-sini. Hingga Ki Dirja dan para pengikut Ki Legawa ketakutan. Para penduduk memang sudah sangat mendendam Ki Legawa dan orang-orangnya. Sehingga, mereka seperti mendapat kesempatan untuk menumpahkan kemarahan itu.
“Saudara-saudara sekalian, harap tenang...!” melihat wanita cantik yang bernama Yanara berusaha berbicara, Panji segera berseru mengatasi kebisingan itu. Sehingga, suasana kembali hening.
“Saudara-saudara sekalian. Perlu kalian ketahui, Ki Raharja yang terpaksa melarikan diri karena merasa tidak bersalah ternyata masih hidup. Sekarang beliau memakai julukan Siluman Gurun Setan...!” Yanara berteriak keras-keras agar para penduduk mendengar perkataannya.
Siluman Gurun Setan berdiri tegak. Kemudian membuka topeng kasar yang selama ini dikenakannya. Tampaklah wajah seorang lelaki gagah berwibawa berusia sekitar lima puluh lima tahun. Lelaki gagah itu tersenyum mengangkat kedua tangannya, ketika mendengar warga Desa Bandul mengelu-elukan namanya. Melihat Ki Raharja masih hidup, hampir sebagian besar keamanan desa berlari memburu dan menjatuhkan tubuhnya memohon ampun lelaki gagah itu.
Ki Dirja dan para pengikut serta keluarga Ki Legawa yang hendak melakukan perlawanan, dengan mudah ditundukkan Panji dan Kenanga. Lalu diserahkan kepada Ki Raharja alias Siluman Gurun Setan. Panji percaya lelaki gagah itu akan bertindak bijaksana untuk menghukum para pengkhianat itu.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tanpa bantuanmu mungkin aku akan gagal...,” ucap Ki Raharja menyalami Panji dengan penuh rasa terima kasih.
Panji dan Kenanga hanya tersenyum. Saat perhatian Ki Raharja kembali tercurah kepada warga desa dan tawanannya, pasangan pendekar muda itu pergi dengan diam-diam. Mereka memang tidak mengharapkan balasan atas apa yang telah mereka lakukan. Keduanya melanjutkan perjalanan untuk menegakkan keadilan di muka bumi...
Para penduduk yang tengah terbuai mimpi tersentak bangkit. Sebentar saja, suasana yang semula pekat menjadi terang-benderang oleh api-api obor yang bermunculan dari tiap rumah penduduk. Enam orang keamanan desa yang tengah meronda, mendadak terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Seolah hendak memastikan, apakah mereka semua mendengar jeritan itu.
“Kedengarannya seperti dari tempat kediaman kepala desa?” desis salah seorang peronda. Sepasang matanya menatap ragu, meminta pendapat kawan-kawannya.
“Menurutku juga begitu...,” sahut peronda lain, yang bertubuh kurus dan bermata jeli.
Empat peronda lainnya terlihat menganggukkan kepala. Tampaknya mereka sependapat dengan kedua kawan mereka. Kendati demikian, tak seorang pun yang bertindak.
“Hm... Apa lagi yang kalian tunggu? Jeritan tadi jelas menandakan orang itu tengah menghadapi maut...!” salah seorang peronda yang bertubuh tegap, berusia sekitar empat puluh tahun, mengingatkan kawan-kawannya. Kemudian lelaki itu bergegas menuju asal jeritan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kelima peronda lainnya pun segera menghambur. Mereka berlarian menuju tempat kediaman kepala desa. Karena dari situlah suara jeritan berasal.
Para penduduk yang tengah bergerombol dengan obor di tangan, segera menggabungkan diri dengan keenam peronda itu. Rombongan itu pun kian bertambah banyak. Karena sepanjang jalan, selalu saja ada penduduk yang ikut bergabung. Sehingga, sebentar saja telah terbentuk barisan yang cukup panjang bergerak menuju tempat kediaman kepala desa.
“Berhenti...!”
Rombongan peronda dan para penduduk itu sama menghentikan langkah. Di depan pintu gerbang Kepala Desa Bandul, telah berdiri empat orang pengawal.
“Kakang Dirja. Kami mendengar suara jeritan kematian yang berasal dari sekitar tempat ini. Apakah Kakang tidak mendengarnya...?” peronda bertubuh tegap yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju dan melaporkan apa yang didengarnya.
“Aku pun mendengarnya, Rajulit. Sayang, kedatangan kalian sudah terlambat..,” sahut lelaki tinggi kurus yang bernama Dirja. Raut wajahnya membayangkan kedukaan dan penasaran yang dalam.
“Jadi..., apa yang kami dengar tadi...?” Rajulit tidak melanjutkan kalimatnya. Sepasang matanya menatap dengan seribu pertanyaan di dalamnya.
“Salah satu keluarga kepala desa kita kedapatan telah menjadi mayat. Sedangkan pembunuhnya belum diketahui...,” Dirja menjelaskan kepada Rajulit. Sepasang mata lelaki kurus itu menerawang ke langit kelam. Ada api dendam di matanya yang tajam.
“Apakah tidak ada orang yang melihat pembunuh itu, Kakang?” tanya Rajulit penasaran.
Dirja hanya menghela napas sambil menggeleng perlahan. Itu sudah merupakan sebuah jawaban. Peronda bertubuh tegap itu pun menghela napas penuh sesal.
“Saudara-saudara sekalian...!” Dirja mengalihkan pandangan matanya ke rombongan penduduk, “Sebaiknya kalian kembali ke rumah masing-masing. Satu persatu. Mulai malam ini, kalian semua harus berhati-hati. Meski kita semua mengharap peristiwa itu tidak berkelanjutan, tapi kita harus meningkatkan kesiagaan. Jika di antara kalian ada yang melihat seseorang yang mencurigakan, segera laporkan kepadaku”
Setelah mendengar ucapan Dirja, yang merupakan salah seorang sesepuh Desa Bandul, para penduduk pun bergerak meninggalkan tempat itu dengan suara ribut. Suara-suara itu berasal dari pembicaraan para penduduk.
“Kakang. Kalau diizinkan, kami ingin melihat mayat korban...,” Rajulit memecahkan keheningan, setelah di tempat itu hanya tinggal para keamanan desa saja.
“Hm.... Sebaiknya kita tetap di sini, Rajulit. Aku tidak berani mengganggu keluarga Ki Bajuri yang tengah berkabung...,” sahut Ki Dirja meminta pengertian Rajulit.
“Lalu..., apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Rajulit yang memaklumi jawaban Ki Dirja. Sehingga ia mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah. Aku sendiri belum memikirkannya. Yang jelas, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Seperti yang telah kukatakan tadi. Kita harus memasang mata dan telinga. Desa kita banyak didatangi pendatang. Bukan mustahil pembunuh itu adalah salah satu dari kaum pendatang. Untuk itu, mulai sekarang kalian harus lebih memusatkan perhatian kepada kaum pendatang. Bila di antara mereka ada yang bersikap mencurigakan, segera laporkan padaku...,” jelas Ki Dirja. Keenam peronda itu menganggukkan kepala.
Sebentar kemudian, suasana kembali hening. Sepuluh orang keamanan Desa Bandul membiarkan dirinya hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Tak seorang pun yang mengeluarkan suara.
“Rajulit...,” panggilan Ki Dirja memecah keheningan. “Ada apa, Kakang...?” sigap Rajulit menyahuti panggilan itu.
“Sebaiknya kalian lanjutkan perondaan. Saat ini sudah tengah malam. Siapa tahu pembunuh itu masih berkeliaran mencari mangsa...,” ujar Ki Dirja.
“Baiklah, Kakang...,” sahut Rajulit. Kemudian minta diri bersama kelima orang kawannya. Tidak berapa lama kemudian, sosok keenam peronda itu hilang ditelan kegelapan malam.
Malam terus merayap perlahan. Sinar bulan sabit yang menggantung di langit kelam tak mampu menembus kepekatan malam. Suara burung malam terdengar saling bersahutan meningkahi bunyi jangkrik dan binatang-binatang malam. Seluruh penghuni Desa Bandul tak dapat tenang seperti semula. Pembunuhan yang terjadi malam itu, membuat mereka merasa tegang dan gelisah. Desa mereka yang semula aman dan tenteram, kini mulai dilanda malapetaka yang setiap waktu bisa terulang kembali.
********************
Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat menyentuh kulit, tampak sepasang insan muda bergerak menyusuri jalan berdebu. Langkah kudanya diperlambat ketika melewati wilayah pekuburan desa. Tanah pemakaman itu dibanjiri orang-orang yang tengah bergerak meninggalkan tempat itu. Wajah-wajah yang tengah dirundung kedukaan itu, telah menarik perhatian keduanya. Terlihat dari kerutan pada kening mereka berdua.
Rombongan penduduk Desa Bandul yang baru saja selesai memakamkan anggota keluarga kepala desanya, bergerak meninggalkan tanah pekuburan. Beberapa di antara mereka sempat mengerling ke arah pasangan insan muda yang berdiri di tepi jalan yang mereka lalui.
“Hm.... Lagi-lagi kita memasuki desa yang penduduknya tidak bersikap ramah, Kakang...,” gumam dara jelita berpakaian serba hijau kepada pemuda tampan berjubah putih yang berdiri di sebelahnya. Kerlingan beberapa penduduk memang terlihat sinis dan memancarkan kecurigaan.
“Kau harus memakluminya. Mungkin hal itu disebabkan oleh kedukaan di hati mereka. Siapa tahu di balik sikap mereka itu tersembunyi keramahan. Jangan kau masukkan ke dalam hati...,” sahut pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu tampaknya memaklumi sikap para penduduk yang terlihat tidak begitu ramah kepada mereka berdua.
Dara berparas jelita itu menghela napas panjang. Kendati demikian, ia tidak membantah ucapan pemuda tampan berjubah putih.
“Paman, harap berhenti sebentar...!” seru pemuda tampan itu perlahan kepada salah seorang penduduk yang berjalan paling belakang.
“Ada perlu apa, Kisanak...?” tukas lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya kecoklatan, pertanda ia seorang petani. Suara lelaki itu terdengar ketus dan tidak senang.
Pemuda tampan berjubah putih itu menyunggingkan senyum. Tak sedikit pun ia merasa tersinggung dengan sambutan yang tak ramah itu. Pemuda itu tidak mempedulikan jawaban ketus itu.
“Hmmm.... Bolehkah aku bertanya sedikit...?” lanjut pemuda tampan berjubah putih. Tetap dengan ramah dan sopan.
“Hm.... Kau sudah mengajukan pertanyaan, bukan?” tukas petani gemuk itu menyunggingkan senyum sinis.
Senyum pemuda tampan berjubah putih bertambah lebar. Kendati ucapan petani gemuk itu jelas-jelas hendak memancing kemarahannya, namun ia tetap sabar. Keramahan dan kesabarannya masih terpancar jelas pada raut wajah dan sinar matanya. Sehingga, kening petani itu berkerut heran.
“Tampaknya, Paman dan para penduduk lainnya baru saja memakamkan orang penting. Kalau boleh ku tahu, siapakah yang baru saja dimakamkan?” tanya pemuda tampan berjubah putih tanpa mempedulikan keheranan di wajah petani gemuk itu.
“Kalau kau ingin mengetahuinya, tanyakan saja kepada semua penghuni kuburan itu!” setelah memberikan jawaban yang ketus, petani gemuk berwajah coklat membalikkan tubuh dan bergerak menyusul kawan-kawannya.
“Nah, kau lihat sendiri, bukan? Keramahan yang kau tunjukkan, mereka balas dengan sikap sinis dan menjengkelkan. Sudah kukatakan, orang-orang desa itu jelas tidak menyukai kehadiran kita,” dara jelita berpakaian serba hijau itu menyindir kawannya dengan senyum sinis.
“Tidak mengapa, Adikku. Cepat atau lambat, kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan...,” tukas pemuda tampan berjubah putih, masih tetap tersenyum sabar. Tidak sedikit pun terlihat kemarahan di wajahnya, seperti yang ditunjukkan dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Hm.... Pada siapa lagi kau akan bertanya, Kakang?” tanya dara jelita itu seraya mengerutkan kening.
“Hm...,” pemuda tampan berjubah putih hanya bergumam pelan. Kakinya melangkah menyusuri jalan lebar yang menghubungkan Desa Bandul.
Tanpa banyak tanya lagi, dara jelita berpakaian serba hijau bergegas mengikuti. Rasa penasaran masih tersisa pada raut wajahnya. Namun, semua itu hanya disimpannya dalam hati. Karena ia tahu akan sia-sia saja mengatakannya. Gadis itu pun memutuskan untuk berdiam diri.
Di bawah terik sinar matahari, kedua sosok tubuh itu melangkah memasuki perbatasan Desa Bandul. Dan langsung menuju sebuah kedai makan yang cukup banyak didatangi pengunjung. Kedatangan pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau itu, telah menarik perhatian pengunjung. Sosok keduanya memang sangat menarik.
Terutama dara jelita yang memiliki sepasang mata mempesona. Sehingga, hampir seluruh mata laki-laki tertuju kepadanya. Mereka memandang dengan penuh kagum. Bahkan beberapa di antaranya sampai meneguk air liur. Sedangkan sepasang orang muda itu tampak tidak peduli. Dengan tenang, mereka melangkah menuju sebuah meja kosong. Kemudian memanggil pelayan dan memesan makanan.
“Di tempat seperti ini, kita bisa memperoleh banyak keterangan...,” ujar pemuda tampan berjubah putih itu kepada temannya.
Dara Jelita berpakaian serba hijau mengangguk. Sejenak sepasang mata beningnya memandang berkeliling, memperhatikan pengunjung kedai. Kemudian kembali menatap pemuda di depannya.
“Tapi, kelihatannya tidak ada orang yang membicarakan keterangan yang kau inginkan, Kakang...,” tukas dara jelita itu setelah terdiam beberapa saat lamanya. Rupanya, tadi tengah mencari-cari kalau-kalau ada di antara pengunjung yang tengah bercerita tentang kematian yang mereka lihat penguburannya.
“Tidak perlu terburu-buru, dan jangan menimbulkan kecurigaan...,” desah pemuda tampan berjubah putih. Kemudian terdiam, karena pelayan kedai sudah datang membawa pesanan mereka.
“Kalian pasti bukan penduduk desa ini...,” desis pelayan kedai berbisik, “Hati-hatilah...,” lanjutnya mengingatkan. Lalu, pelayan itu bergegas pergi. Sehingga pemuda tampan dan dara jelita itu tidak sempat menanggapi.
Ketika pemuda tampan berjubah putih itu hendak bergerak bangkit untuk memanggil pelayan itu, tiba-tiba beberapa orang melangkah masuk. Lelaki terdepan yang berperawakan tegap, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai. Dan berhenti di wajah pemuda tampan berjubah putih, yang duduk bersama kawannya. Kemudian bergerak mendekat dengan sikap tidak bersahabat. Empat orang lelaki lainnya yang berpakaian serba hitam, mengikuti langkah lelaki tegap itu. Langkah mereka berhenti tepat di hadapan kedua orang muda itu.
“Kalian siapa? Dan apa tujuan kalian singgah di desa ini?” tegur lelaki bertubuh tegap dengan sikap dingin dan tanpa basa-basi. Bahkan jelas-jelas menunjukkan rasa tidak sukanya.
Untuk sesaat, pasangan muda itu saling bertukar pandang. Ada bias keheranan pada wajah keduanya. Mereka tidak mengerti, mengapa sikap lelaki tegap itu tidak menghormati mereka.
“Kisanak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini Kenanga. Kami berdua adalah perantau yang kebetulan lewat dan hendak melewatkan malam di desa ini,” jawab pemuda tampan berjubah putih, yang ternyata adalah Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Hm...,” lelaki bertubuh tegap yang tidak lain Rajulit, memperdengarkan gumaman kasar. Kemudian melangkah berputar dengan pandangan penuh selidik. Kelihatan sekali ia sangat mencurigai sepasang insan muda itu. Langkahnya berhenti, dan memandang ke arah pinggang dara jelita berpakaian serba hijau. Pada pinggang dara itu terlihat gagang pedang.
“Kalian tentu tidak ingin mencari kesulitan, bukan?” tanya Rajulit tiba-tiba.
“Maaf, kami tidak mengerti maksud ucapan Kisanak,” sahut Panji meminta penjelasan.
“Jawab saja pertanyaanku!” tukas lelaki tegap itu dengan agak keras. “Kalian tidak ingin mendapat kesulitan, bukan?” Rajulit mengulang pertanyaannya.
“Tentu tidak,” sahut Panji tenang dan tidak menunjukkan wajah tersinggung.
Lain halnya dengan Kenanga. Raut wajah dara jelita itu berubah. Rupanya ia merasa tersinggung mendengar bantahan itu. Kalau saja tidak bersama Panji, mungkin sudah dilabraknya lelaki tegap itu.
“Nah. Kalau begitu, cepat serahkan senjatamu,” Rajulit melanjutkan ucapannya seraya memandang dara jelita berpakaian hijau yang berada di sebelah kanannya. Memang hanya Kenanga yang kelihatan membawa senjata. Sedangkan Panji tak terlihat membawa pedang atau senjata lainnya. Karena itu ucapannya ditujukan pada Kenanga.
“Hm...,” mendengar ucapan lelaki tegap itu, Kenanga menggeram gusar. Darahnya mulai panas. Sebab, tanpa alasan yang jelas senjatanya hendak diambil. Tentu saja ia tidak sudi.
Pendekar Naga Putih yang mengetahui gelagat itu, segera mengedipkan matanya ke arah Kenanga. Sehingga, dara jelita itu tidak jadi bangkit dari duduknya, dan mempercayakan jawabannya kepada Panji.
“Kalau boleh kami tahu apa alasannya hingga kami tidak boleh membawa senjata? Dan, apa sebenarnya yang tengah terjadi di desa ini?” Panji kembali meminta penjelasan. Karena kalau tanpa alasan yang masuk akal, ia pun tidak akan mau menyerahkan Pedang Sinar Bulan kepada lelaki tegap itu. Apa pun yang akan terjadi. Pedang itu merupakan lambang pertunangan mereka.
“Hm... Kalau hanya membantah, mungkin aku masih bisa memaafkan! Tapi, karena kau telah lancang hendak mengetahui keadaan desa kami, sudah cukup rasanya alasan untuk menahan kalian berdua!” tukas Rajulit marah mendengar jawaban pemuda tampan berjubah putih.
Brakkk!
Mendengar ucapan itu, Kenanga langsung menggebrak meja. Sehingga makanan yang berada di atasnya terpental ke udara. Sedangkan dara jelita itu sudah bangkit berdiri dengan sorot mata tajam.
“Kurang ajar! Siapa dirimu sehingga berani berkata demikian kepadaku! Hm... Ingin kulihat, bagaimana kau mengambil senjataku ini dari tanganku!” geram Kenanga seraya memandang Rajulit dengan sinar mata mengancam. Agaknya, dara jelita itu sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
Rajulit dan kawan-kawannya serentak bergerak mundur, tidak menduga akan sikap Kenanga. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat. Kemudian berubah menjadi kemarahan.
“Hm.... Sudah kuduga kalian memang bukan orang baik-baik! Untuk itu aku tidak akan segan-segan lagi...,” Rajulit yang gusar dengan sikap Kenanga segera bersiap menghadapi dara jelita itu.
“Jaga seranganku...!” seru Rajulit. Tangannya diulurkan hendak merampas pedang di pinggang dara jelita itu.
Wuttt…!
Sambaran tangan Rajulit memang cukup cepat dan mengandung tenaga dalam. Sayang, yang kali ini dihadapinya adalah seorang pendekar wanita berkepandaian tinggi. Sehingga, serangannya luput dan mengenai tempat kosong.
“Hm.... Apa yang hendak kau tangkap, Orang Kasar?” ejek Kenanga yang sudah menggeser langkahnya ke samping. Tentu saja serangan yang gagal itu membuat Rajulit semakin naik darah.
“Setan!” geram Rajulit, kembali mempersiapkan serangan berikutnya. Kali ini tak hanya sekadar merampas senjata Kenanga. Tapi juga melontarkan serangan yang bertujuan melukai dara jelita itu.
“Hm...,” gumam Kenanga lirih. Gadis itu ingin memberi pelajaran pada lawan dengan tidak berusaha mengelakkan serangan Rajulit. Tangan kanannya diangkat memapaki pukulan lawan.
Dukkk!
“Aaah...?!” Rajulit memekik kesakitan! Tubuhnya terjajar mundur dan menabrak meja di belakangnya, hingga pengunjung kedai berlarian keluar. Rajulit berusaha bangkit sambil memijat lengannya!
“Perempuan setan!” umpat Rajulit ketika menyadari gadis berparas jelita itu ternyata bukan orang lemah. Lelaki itu hampir tidak percaya hanya dalam sekali gebrak dirinya dapat dirobohkan! Padahal dara jelita itu hanya menangkis dan bukan memukulnya.
“Kepung dan tangkap mereka...!” Merasa tidak bisa menghadapi seorang diri, Rajulit segera memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu. Ia sendiri sudah menghunus pedang.
Melihat keadaan yang akan merugikan pemilik kedai, Panji memberi isyarat pada kekasihnya untuk keluar. Seketika itu juga, tubuh keduanya mencelat keluar kedai.
“Kejar...!” teriak Rajulit sambil berlari keluar diikuti kawan-kawannya.
DUA
Jleggg!
Kenanga dan Panji mendarat di halaman depan kedai. Keduanya menunggu kedatangan Rajulit dan kawan-kawannya. Panji sengaja tidak menghindari perselisihan itu. Pemuda itu ingin mengetahui, apa alasan keenam lelaki berseragam serba hitam, yang dengan sengaja ingin mencari keributan.
Beberapa saat kemudian, Rajulit dan kawan-kawannya muncul dengan senjata di tangan. Kali ini, mereka bukan sekadar menakut-nakuti. Tapi hendak melukai Panji dan Kenanga. Semua itu terlihat jelas dalam sinar mata mereka yang menunjukkan kemarahan.
“Haiiit..!”
Begitu menjejakkan kakinya ke tanah, Rajulit langsung melesat ke arah Kenanga dengan pedang di tangan. Kelihatan ia sangat dendam terhadap dara jelita itu, yang telah mengalahkannya di dalam kedai tadi. Lelaki tegap itu hendak membalas kekalahannya.
Wuttt..!
Desingan angin tajam mengiringi datangnya serangan Rajulit. Pedangnya berkelebat cepat mengarah tubuh Kenanga. Namun, dara jelita itu tidak gentar. Kakinya melangkah ke kanan dengan tubuh miring. Ke- mudian membalas dengan sebuah pukulan lurus ke dada lawan.
Bukkk!
“Hukh...!”
Tubuh Rajulit terpental balik dan jatuh bergulingan. Darah segar mengalir turun di sudut bibirnya. Rupanya, pukulan yang cukup keras itu telah mengguncangkan isi dadanya. Sehingga, lelaki berperawakan tegap itu tidak dapat segera bangkit Dadanya terasa sesak, dan sulit untuk bernapas. Melihat kenyataan itu, lima orang kawan Rajulit serentak berlompatan menyerbu. Senjata mereka berdesingan membawa hawa maut!
Wuttt.., bwettt...!
Tapi, apalah artinya serangan kelima keamanan desa itu bagi pendekar seperti Kenanga. Dengan hanya menggeser langkahnya sedikit, seraya mengibaskan lengannya ke kiri dan kanan, pedang di tangan para pengeroyok itu terpental lepas dari genggaman. Bahkan mereka mendapat tendangan dan pukulan dari dara jelita itu. Sehingga, tak seorang pun yang masih berdiri tegak. Semuanya jatuh sambil merintih kesakitan.
“Hm.... Kalau saat ini aku bermaksud mencabut nyawa kalian, siapa yang bisa mencegah?” geram dara jelita itu yang tampaknya kurang puas. Ditatapnya keenam lelaki yang masih terduduk di tanah itu dengan sorot mata tajam. Sehingga, para keamanan desa itu menundukkan kepala dengan wajah seputih kertas. Keberanian maupun kegarangan mereka telah lenyap setelah merasakan hajaran dara jelita itu.
“Hm... Siapa lagi yang hendak membuat kerusuhan di desa ini...?” tiba-tiba terdengar sebuah suara berat dan dalam.
Panji dan Kenanga menoleh ke kanan. Terlihat seorang lelaki gagah datang menghampiri bersama belasan orang berseragam hitam. Lelaki gagah itu tidak lain Ki Dirja, salah seorang sesepuh Desa Bandul yang sangat dihormati. Melihat sosok lelaki gagah itu, Panji segera dapat menilai bahwa orang itu memiliki sikap bijaksana. Maka ia segera melangkah, menyambut kedatangan Ki Dirja yang menatap pemuda itu dengan kening berkerut.
“Siapa kau, Kisanak?” Mengapa bentrok dengan Rajulit dan keamanan desa lainnya?” tegur Ki Dirja seraya meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih, yang kelihatan sangat tenang.
Panji dan Kenanga memperkenalkan diri pada lelaki gagah itu. Menurut Panji, lelaki itu akan mempertimbangkan tindakannya tadi terhadap Rajulit dan kawan-kawannya. Pemuda itu pun menceritakan kejadian itu mulai dari awal sampai yang dilihat Ki Dirja. Tentu dengan harapan agar lelaki gagah itu mempertimbangkan ucapannya.
“Hm...,” Ki Dirja bergumam lirih. Sepasang matanya meneliti sosok Panji dan Kenanga dengan lebih cermat Keningnya berkerut, pertanda lelaki gagah itu tengah berpikir keras.
“Kalau memang benar demikian kejadiannya, aku memaafkan tindakan kalian berdua. Kuharap kalian mau memaafkan kelakuan orang-orangku...,” ujar Ki Dirja setelah berpikir sesaat lamanya. Jawaban yang sangat diharapkan itu membuat Panji dan Kenanga merasa lega.
“Terima kasih atas kebijaksanaanmu, Ki...,” Panji tidak meneruskan ucapannya. Dirinya memang belum mengetahui nama lelaki gagah yang bijaksana itu.
“Dirja. Namaku Ki Dirja...,” tukas lelaki gagah itu seraya tersenyum, karena lupa memperkenalkan na- manya pada Panji dan Kenanga.
“Baiklah, Ki Dirja. Aku ingin meminta izin kepadamu untuk bermalam di desa ini. Karena kalau kami melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar akan kemalaman di jalan...”
Kesempatan baik itu dipergunakan Panji untuk meminta izin singgah di Desa Bandul. Bagaimanapun kejadian dengan Rajulit dan kawan-kawannya telah menimbulkan perasaan tidak enak di hati Panji. Sehingga, ia memberikan alasan seperti itu agar Ki Dirja tidak mencurigainya.
“Silakan..., silakan. Kuharap kalian bisa bermalam dengan tenang di desa yang tidak begitu ramai ini,” sahut Ki Dirja, kemudian mengajak orang-orangnya meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga menganggukkan kepala membalas penghormatan lelaki gagah itu. Mereka tidak bergerak dari tempatnya, sampai rombongan Ki Dirja lenyap dari pandangan.
“Hm.... Kalau saja Rajulit dan kawan-kawannya dapat bersikap bijaksana seperti Ki Dirja, rasanya pertengkaran tadi tidak perlu terjadi...,” gumam Kenanga kemudian. Dara jelita itu tampaknya menyesali sikap Rajulit dan kawan-kawannya.
“Yah. Untunglah Ki Dirja bijaksana, dan tidak menimpakan kesalahan kepada kita. Biar bagaimanapun aku tidak ingin menanam bibit permusuhan...,” timpal Panji perlahan. Kemudian bergegas mengajak Kenanga menuju kedai yang juga menyediakan penginapan. Selain itu, mereka pun belum membayar makanan. Kedua orang muda itu berniat mengganti kerugian akibat perkelahian tadi, yang sedikit banyak telah menimbulkan kerusakan di dalam kedai.
********************
Kegelapan malam menyelimuti permukaan bumi, termasuk juga Desa Bandul. Suasana desa itu kelihatan sunyi. Terlebih setelah terjadinya pembunuhan terhadap salah seorang keluarga dekat kepala desa itu. Kematian yang misterius itu membuat warga desa telah pergi tidur meskipun hari belum jauh malam. Bahkan lampu-lampu di dalam rumah mereka dipadamkan, kecuali obor yang digunakan untuk menerangi halaman rumah.
Tok! Tok! Tok!
Saat malam semakin merayap, terdengar suara kentongan para peronda desa yang berkeliling menjaga keamanan. Penjagaan memang diperketat Mereka khawatir pembunuh misterius itu akan beraksi kembali. Sehingga, hati para peronda itu selalu dilanda ketegangan!
Di salah satu kamar rumah penginapan, Panji terbaring menghadap langit-langit. Keanehan-keanehan yang dialami di desa itu, membuat Panji tidak bisa memicingkan mata. Terlebih ketika ia menangkap suara kentongan peronda. Seringnya suara itu terdengar menimbulkan dugaan, bahwa penduduk Desa Bandul tengah menghadapi sesuatu yang menakutkan.
Pikiran-pikiran itu membuatnya tidak dapat tidur. Yang amat disayangkannya, penduduk desa itu sangat tertutup terhadap para pendatang seperti dirinya dan Kenanga. Sehingga, ia harus memutar otak untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti hatinya.
“Hhh...,” Panji menghela napas panjang berulang-ulang. Kemudian bangkit duduk dari tidurnya, dan bergegas turun dari atas pembaringan. Kelihatan sekali betapa Panji tidak bisa mengindahkan keanehan-keanehan yang terjadi.
Tok! Tok!
Ketukan pada daunn pintu kamarnya membuyarkan lamunan Panji. “Siapa...?” tanya Panji seraya menoleh ke arah pintu, kemudian melangkah menghampiri.
“Aku, Kakang...,” sahut sebuah suara yang terdengar merdu di telinga. Cepat Panji membuka pintu kamarnya. Ia tahu suara itu milik kekasihnya. Kenanga.
“Mengapa belum tidur, Kenanga...?” tanya Panji, kembali menutup daun pintu setelah Kenanga masuk. Mereka memang memesan dua kamar untuk menginap.
“Aku tidak bisa tidur, Kakang. Apa kau juga merasakan hal yang sama denganku?” tukas Kenanga yang duduk di tepi pembaringan dan menatap kekasihnya dengan sorot mata menuntut jawaban.
“Maksudmu, tentang keanehan sikap penduduk desa ini...?” Panji menegasi arah pertanyaan dara jelita itu. Ia pun duduk di tepi pembaringan dekat gadis itu. Keduanya saling tatap. Panji bangkit dari duduknya ketika melihat Kenanga mengangguk. Kemudian melangkah dan membuka jendela. Angin malam yang dingin menerobos masuk menyejukkan udara dalam kamar. Panji berdiri di depan jendela memandang kepekatan malam.
“Penduduk desa ini sepertinya tidak menghendaki campur tangan orang lain. Terutama para pendatang seperti kita. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang membuat mereka bersikap demikian tertutup. Apa sebenarnya yang hendak mereka sembunyikan dari para pendatang...?” gumam Panji tanpa mengalihkan pandang matanya. Seolah tengah berbicara pada dirinya sendiri untuk mengungkap penasaran dalam hatinya.
“Sepertinya di Desa Bandul ini tengah terjadi sesuatu, Kakang. Buktinya, para keamanan desa sangat ketat melakukan perondaan. Hampir setiap saat terdengar bunyi kentongan. Kalau tidak ada apa-apa, tidak mungkin mereka demikian giat melakukan perondaan!” Kenanga yang juga memperhatikan keadaan di desa itu, mengutarakan ganjalan pikirannya.
Panji membalikkan tubuhnya menghadap Kenanga. Kembali terdengar helaan napas yang panjang. Ternyata, yang mengganggu pikirannya juga dirasakan dara jelita itu. Semua itu membuat keduanya tidak bisa melewatkan malam dengan baik. Sampai-sampai Kenanga memerlukan datang ke kamarnya untuk mengutarakan keresahan hatinya.
“Hm.... Lalu apa yang hendak kau lakukan, Kenanga?” tanya Panji, ingin tahu pendapat kekasihnya mengenai persoalan yang mengganggu mereka berdua.
“Aku bermaksud menyelidikinya, Kakang. Hatiku akan tetap penasaran kalau belum mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi di desa ini,” jawab Kenanga tegas dengan semangat terpancar pada sepasang matanya.
Panji tersenyum lebar melihat semangat kekasihnya. Seraya melangkah kembali dan duduk di dekat dara itu. Ditepuknya bahu dara jelita itu dengan lembut. “Kapan kau akan memulainya...?” tanya Panji lagi sambil membelai lembut bahu dara jelita itu. Tampaknya Panji memberi angin terhadap keinginan kekasihnya.
“Sekarang juga, Kakang! Apa kau tidak tergerak untuk menyelidikinya?” jawab Kenanga, heran melihat sikap Panji yang tidak memperlihatkan rasa penasarannya. Sehingga ia mengajukan pertanyaan seperti itu.
“Tentu saja aku pun penasaran dan ingin menyelidikinya. Tapi, karena penduduk desa ini tidak ingin kita mencampuri urusannya, kita harus hati-hati dalam melakukan penyelidikan. Jangan sampai mereka mengetahuinya...,” ujar Panji yang jelas-jelas merupakan ungkapan bahwa dirinya akan menyertai dara jelita itu.
Kenanga mengerti perasaan kekasihnya, dan tersenyum lebar. Dara jelita itu sangat senang mendengarnya. “Kalau begitu, apa lagi yang harus kita tunggu...?” tukas Kenanga seraya bangkit dari duduknya.
Panji segera bangkit berdiri. Ia melesat melalui jendela kamar setelah mematikan pelita yang menerangi kamar. Kenanga sendiri sudah lebih dulu keluar melalui jendela, dan melompat naik ke atas atap rumah penginapan. Setelah merapatkan daun jendela kamarnya, Panji bergegas menyusul Kenanga. Sebentar kemudian, terlihat dua sosok bayangan berkelebat di atas atap rumah-rumah penduduk. Mereka sengaja melewati tempat-tempat yang tersembunyi di kegelapan. Karena tidak ingin bayangan mereka terlihat para peronda yang sedang berkeliling.
Harapan Panji dan Kenanga untuk dapat mengungkapkan keanehan sikap penduduk Desa Bandul musnah. Kendati sepanjang malam mereka mengitari seluruh wilayah desa itu, namun tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Sampai fajar datang, tidak ada suatu kejadian yang menyentakkan keheningan malam.
Setelah sekali lagi mereka mengitari seluruh pelosok Desa Bandul, akhirnya Panji memutuskan untuk kembali ke penginapan. Karena kokok ayam sudah terdengar di sana-sini. Mereka harus segera kembali, agar perbuatan mereka tidak diketahui penduduk desa.
“Hhh.... Malam yang membosankan...!” sungut Kenanga. Tubuhnya dihempaskan ke atas pembaringan. Dara jelita itu agaknya lupa bahwa ia berada di dalam kamar kekasihnya.
“Kenanga...,” panggil Panji ketika melihat dara jelita itu hendak memejamkan mata. Kalau Kenanga sampai tertidur di kamarnya, tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi pemilik penginapan. Panji tidak ingin membuat mereka curiga.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga tanpa membuka mata. Sepertinya dara jelita itu hendak tidur dikamar kekasihnya.
“Kau harus segera kembali ke kamarmu...,” ujar Panji mengingatkan.
“Biarlah aku tidur di sini saja, Kakang...,” jawab Kenanga tetap tidak membuka matanya. Jawaban itu tentu membuat Panji kaget. Berarti Kenanga sadar dengan apa yang diperbuatnya. Melihat dara jelita itu masih tetap berbaring. Panji bergegas menghampiri dan duduk di tepi pembaringan.
“Tidak, Kenanga. Kau harus kembali ke kamarmu. Perbuatanmu bisa menimbulkan berbagai pertanyaan pemilik maupun pelayan kedai. Kalau memang hendak tidur sekamar, mengapa kita harus meminta dua kamar? Kuharap kau mengerti bahwa yang kau lakukan ini tidak benar, Adikku. Terlebih lagi, aku khawatir tak sanggup menahan godaan setan...,” jelas Panji, berusaha memberi pengertian kepada kekasihnya.
Mendengar ucapan kekasihnya yang penuh kekhawatiran, Kenanga membuka mata dan menatap wajah Panji lekat-lekat Keduanya saling bertatapan untuk beberapa saat lamanya.
“Kau tidak ingin berada di dekatku, Kakang?” tiba-tiba saja terlontar pertanyaan yang terdengar aneh di telinga Panji.
“Hm.... Mengapa kau bertanya demikian, Kenanga. Lelaki yang paling tolol sekalipun, rasanya bisa menjawab pertanyaanmu. Apalagi aku yang sangat mencintaimu. Tapi, kita harus melihat keadaan. Saat ini kita tengah menyelidiki sesuatu. Kalau ingin berhasil, kita harus berhati-hati dan pandai-pandai membawa diri,” jawab Panji tersenyum seraya membelai rambut kekasihnya.
“Tapi.... Mengapa kau katakan takut tergoda setan, Kakang. Padahal aku sudah menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Dan meskipun kita belum resmi menjadi suami-istri, aku sudah merasa aku adalah istrimu. Aku tidak takut dan siap melakukan apa saja untukmu, Kakang...,” dara jelita itu masih membantah. Mungkin ucapan itu keluar tanpa disadarinya. Panji agaknya mengetahui hal itu.
“Aku tidak ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi kau, Kenanga. Tapi, kau harus ingat tujuan kita bermalam di desa ini...,” tegas Panji. Kemudian memeluk dan mengecup bibir menantang itu. Sehingga, suasana seketika menjadi sunyi. Yang terdengar hanya deru napas mereka.
“Kembalilah ke kamarmu, Adikku. Jangan biarkan kesucian cinta kita ternoda oleh sebuah keinginan...,” ujar Panji seraya melepaskan pelukan dengan napas terengah. Pemuda itu rupanya mulai terbuai oleh kenikmatan yang barusan mereka rasakan. Panji tidak ingin terseret semakin jauh.
“Baiklah, Kakang...,” sahut Kenanga lalu bangkit dan bergegas menuju kamarnya.
Panji memandangi kepergian kekasihnya sampai lenyap di balik pintu. Pemuda tampan itu menghembuskan napas panjang-panjang. Hampir dirinya tidak sanggup menahan nafsu yang bergejolak di dada. Untunglah ia masih memiliki sedikit kesadaran. Kalau tidak, tentu segalanya akan terjadi. Jika sudah demikian, penyesalan akan selalu menghantui hidupnya.
“Kakang ”
“Ya...,” Panji tersentak dan menoleh ke pintu. Dilihatnya dara jelita itu berdiri di ambang pintu dan tersenyum manis. Wajah jelita itu tampak kemerahan, membuat sosoknya semakin mempesona.
“Tidurlah Kenanga, agar esok tubuhmu kembali segar..,” ujar Panji. Dan melangkah ke pintu, lalu menutupnya rapat-rapat saat kekasihnya berlalu meninggalkan tempat itu.
Panji merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Sebentar kemudian, terdengar dengkurnya yang halus. Pendekar muda itu telah terlelap....
********************
TIGA
Tok! Tok! Tok!
Panji tersentak bangkit dari tidurnya ketika men- dengar ketukan pada pintu kamarnya. Kakinya melangkah perlahan menghampiri.
“Siapa...?” tanya Panji sebelum membuka pintu. Ia merasa orang yang mengetuk pintu kamarnya bukan Kenanga. Kalau dara jelita itu yang datang, pasti telah memanggilnya terlebih dulu.
“Pelayan, Tuan...,” sahut suara di luar kamar yang kedengaran agak takut-takut.
“Hm.... Ada apa...?” tanya Panji setelah membuka pintu kamarnya. Dilihatnya seorang lelaki bertubuh sedang mengenakan pakaian seorang pelayan, berdiri sambil membungkukkan tubuh dalam-dalam.
“Di luar ada Ki Dirja. Beliau ingin bertemu dengan Tuan,” sahut pelayan itu mengutarakan maksud kedatangannya.
“Ki Dirja...?” desis Panji. Sesaat pemuda itu terdiam berusaha mengingat orang yang bernama Ki Dirja.
“Benar, Tuan,” tukas pelayan menegasi.
“Baik. Sekarang pergilah, dan katakan pada Ki Dirja bahwa aku akan segera menemuinya,” ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menutup pintu kamar, setelah pelayan rumah penginapan itu berlalu dari hadapannya. Sepeninggal pelayan, Panji bergegas menuju kamar Kenanga. Keduanya kemudian menemui Ki Dirja, orang kepercayaan Kepala Desa Bandul.
“Maaf, kalau kedatanganku telah mengganggu istirahat kalian berdua,” sambut Ki Dirja ketika Panji dan Kenanga datang menemuinya di ruangan kedai. Lelaki gagah itu ditemani dua orang berseragam hitam di kiri dan kanannya. Ketiganya mengangguk hormat pada Panji dan Kenanga.
“Tidak mengapa, Ki. Kami hanya merasa heran ketika pelayan menyampaikan pada kami. Kedatangan Ki Dirja yang tidak disangka-sangka, membuat hati kami bertanya-tanya. Ada keperluan apakah kiranya, Ki?” sambut Panji membalas hormat lelaki gagah dan ke- dua pengawalnya. Mereka duduk di ruangan kedai yang saat itu masih lengang.
“Kedatanganku kemari ingin menyampaikan undangan Ki Legawa kepala desa kami, untuk kau dan Kenanga. Hanya itu,” jelas Ki Dirja.
Kenanga maupun Panji mengerutkan kening. Mereka berdua belum mengenal atau bertemu Ki Legawa. Undangan yang mendadak itu membuat mereka heran, hingga keduanya bertukar pandang sesaat.
“Apakah kami telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hati beliau...?” tanya Kenanga. Langsung mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Gadis itu teringat pernah menjatuhkan beberapa orang keamanan desa sewaktu mereka berdua baru tiba di tempat itu.
“Tidak. Kalian sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun! Ki Legawa hanya ingin berkenalan, ketika aku menceritakan perihal kalian kepadanya. Jadi, kalian tidak perlu khawatir. Lagi pula, Ki Legawa seorang yang bijaksana dan selalu ingin berkenalan dengan orang-orang gagah. Kuharap kalian berdua tidak menolaknya...,” jelas Ki Dirja.
Pasangan pendekar muda itu kembali bertukar pandang sekilas.
“Baiklah. Kami akan segera menemuinya,” Panji mengambil keputusan, setelah melihat Kenanga menyerahkan persoalan itu kepadanya.
“Ahhh. Terima kasih. Kalau demikian, mari kita segera berangkat. Kami sudah menyiapkan kuda yang baik untuk kalian berdua,” sahut Ki Dirja yang kelihatan sangat gembira mendengar Panji menerima undangan kepala desanya.
“Wah. Mengapa harus repot-repot, Ki...,” ujar Panji yang agak kaget mendengar Ki Legawa telah menyiapkan kuda untuk dirinya dan Kenanga.
“Tidak perlu merasa sungkan, Panji. Bukankah itu berati Ki Legawa menghormati kalian...,” tukas Ki Dirja tersenyum lebar ketika mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, pasangan pendekar muda itu bergegas mengikuti langkah Ki Dirja. Kendati demikian, Panji merasa agak aneh. Kepala Desa Bandul kelihatan demikian menaruh perhatian terhadap mereka berdua. Sampai, merepotkan diri dengan mengirim kuda-kuda terbaik untuk mereka. Panji menduga ada maksud tersembunyi di balik semua ini. Dan pemuda itu ingin mengetahuinya.
Dengan diiringi Ki Dirja dan dua orang pembantunya, Panji dan Kenanga menjalankan kudanya perlahan menuju tempat kediaman Kepala Desa Bandul. Pemuda itu sengaja tidak berbicara apa-apa sepanjang perjalanan. Semua membisu. Sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah batu yang besar dan berkesan megah.
“Silakan, Saudara Panji...,” ujar Ki Dirja setelah mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda.
“Terima kasih...,” ucap Panji segera mengayunkan langkah memasuki halaman rumah besar itu. Dan terus mengikuti langkah Ki Dirja menuju ruang tamu yang cukup luas.
“Selamat datang di gubukku, Pendekar Naga Putih...,” sambut seorang lelaki setengah baya bertubuh tinggi besar. Separo rambut di kepalanya botak. Kendati tanpa kumis, wajah lelaki yang diduga Panji adalah Ki Legawa tampak sangat berwibawa. Ada kesan angker pada sikapnya.
Meskipun dadanya berdebar ketika mendengar lelaki tinggi besar itu dapat mengenalinya dengan baik, Panji mencoba untuk tetap tenang. Dengan pandainya pemuda itu menyembunyikan keterkejutan hatinya. Dan tersenyum lebar membalas anggukan Ki Legawa. Namun, sikap hormat Ki Legawa seperti mengandung serangan tersembunyi. Dari sepasang tangan yang menangkup di depan dada dan didorong ke depan, menyambar serangkum angin pukulan yang kuat. Panji segera sadar orang tua itu hendak mengujinya.
“Aku benar-benar kagum dengan ketajaman matamu, Ki. Terimalah hormatku...,” ujar Panji sambil menyatukan kedua tangannya dan didorongkan ke depan dengan tubuh membungkuk.
Dua gelombang tenaga dalam yang kuat saling bertemu tanpa menimbulkan suara yang mencurigakan. Ki Legawa yang merasakan kuda-kudanya goyah, cepat melangkah mundur empat tindak. Wajahnya tampak memerah. Ia hampir saja terjatuh akibat ulahnya sendiri.
“Kau memang tidak mengecewakan, Pendekar Naga Putih...,” puji lelaki tinggi besar itu jujur. Kemudian kembali menyimpan tenaganya, dan tersenyum. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada mereka berdua.
“Kau pun membuat aku kagum, Ki...,” sambung Panji tanpa bermaksud menghibur. Pemuda itu merasa bahwa tenaga dalam lelaki tinggi besar itu memang sangat hebat. Menurutnya, mungkin tidak kalah oleh tenaga dalam yang dimiliki Kenanga. Untuk ukuran seorang kepala desa, tenaga dalam Ki Legawa sudah terhitung sangat hebat.
“Heh heh heh.... Jangan mengejekku, Pendekar Naga Putih. Sudahlah. Kita tidak perlu saling memuji. Silakan duduk,” tukas Ki Legawa menyilakan Panji dan Kenanga. Kemudian lelaki gagah itu menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi bergagang gading.
“Terima kasih,” ucap Panji segera mengajak kekasihnya duduk. Sikap pemuda itu tetap tenang, seperti tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Padahal Kenanga tahu apa yang terjadi tadi. Tapi dara jelita itu tidak berkata apa-apa.
Ki Legawa memanggil pelayan. Lalu memerintahkan untuk menyiapkan jamuan bagi kedua orang tamu terhormatnya itu. Sedangkan Ki Dirja sudah semenjak tadi pergi. Laki-laki gagah itu hanya bertugas mengantarkan Panji dan Kenanga menemui majikannya. Setelah itu, Ki Legawa memerintahkan untuk meninggalkan mereka bertiga.
“Mungkin kau merasa heran karena aku bisa mengenalmu dengan baik, Saudara Panji. Menurutku sendiri hal itu tidak aneh. Nama besarmu telah menggema di kalangan persilatan, sampai ke pelosok-pelosok desa seperti Desa Bandul ini. Hingga aku langsung bisa menduga orang yang diceritakan Ki Dirja adalah Pendekar Naga Putih. Ciri-ciri yang digambarkan pembantuku itu sangat tepat dengan sosok Pendekar Naga Putih yang selama ini telah banyak kudengar,” Tanpa diminta, Ki Legawa menceritakan alasanmengapa ialangsung mengenal Panji sebagai Pendekar Naga Putih.
Panji tersenyum dan menganggukkan kepala. Sekarang ia baru mengerti, mengapa Ki Legawa mengirimkan dua ekor kuda terbaik untuk mereka berdua. Kiranya Kepala Desa Bandul itu telah dapat, menduga dirinya adalah Pendekar Naga Putih. Hal itu tidak terpikir oleh Panji.
Ki Legawa sendiri kelihatan sangat gembira melihat kedatangan pendekar muda yang tersohor itu. Sejak kedatangan Panji, lelaki tinggi besar itu selalu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Bahkan tidak jarang Ki Legawa mengakhiri ucapannya dengan sebuah tawa.
Sehingga, pasangan pendekar muda itu merasasenang dengan sambutan tuan rumah yang sangat ramah. Pembicaraan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang menghidangkan jamuan. Setelah menata hidangan di atas meja, pelayan itu bergegas pergi.
“Silakan dicicipi, Pendekar Naga Putih, Kenanga...,”ujar Ki Legawa seraya tertawa. Sehingga, pasangan pendekar muda itu tidak merasa sungkan untuk mencicipi hidangan itu.
“Ki Legawa...,” ujar Panji setelah keadaan hening sejenak. “Boleh aku mengajukan sedikit pertanyaan yang mengganggu pikiranku sejak tiba di desa ini?” tanya Panji.
Ki Legawa menatap pemuda tampan itu lekat-lekat. “Tentu saja boleh, Pendekar Naga Putih. Aku akan senang sekali seandainya dapat meringankan beban pikiranmu. Apa yang hendak kau tanyakan padaku...?” sahut Ki Legawa masih tetap tersenyum meski terlihat kerutan di keningnya.
Panji lalu mengutarakan apa yang selama ini mengganggu pikirannya. Sedangkan Ki Legawa mendengarkan dengan penuh perhatian. Lelaki tinggi bear berusia lima puluh tahun itu kelihatan sangat bersungguh-sungguh mendengarkan ucapan Panji. Hingga tidak memotong cerita pemuda itu sampai selesai.
“Ah. Kiranya persoalan itu yang membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih. Kalau begitu, maafkan sikap penduduk desa ini yang tidak ramah kepadamu,” ujar Ki Legawa agak berduka dan prihatin mendengar cerita Panji.
“Seharusnya para penduduk memang tidak perlu bersikap demikian terhadap pendatang yang singgah di desa ini. Kematian adikku yang saat penguburannya sempat kau lihat itu, telah membuat warga desa ini merasa sangat terpukul! Adikku memang sangat disukai dan dihormati oleh mereka. Sehingga kematiannya membuat warga desa ini membenci dan tidak menyukai para pendatang, tanpa peduli siapa pun pendatang itu,” lanjut Ki Legawa dengan wajah tertunduk dan kelihatan agak berduka.
“Maaf kalau pertanyaanku telah mendatangkan kedukaan di hatimu, Ki...,” ucap Panji yang merasa tidak enak melihat wajah Ki Legawa mendadak keruh.
“Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku sudah merelakan kepergiannya...,” tukas Ki Legawa kemudian mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum.
“Kalau boleh aku tahu, mengapa warga desa ini menimpakan kesalahan pada para pendatang?” tanya Panji. Setelah yakin Ki Legawa telah siap menjawab pertanyaan selanjutnya.
“Begini...,” ujar Ki Legawa setelah menarik napas panjang berulang-ulang, “Beberapa belas tahun silam, ada seorang pemuda tampan dan kaya singgah di desa ini. Pemuda itu rupanya mata keranjang. Ia berani mengganggu istri adikku. Celakanya, perempuan itu menyambut dengan baik. Bahkan nekat melarikan diri bersama pemuda keparat itu. Nah, sejak itulah adikku sering sakit-sakitan. Ia memang sangat mencintai istrinya. Sampai akhirnya penyakit itu membawanya ke lubang kubur. Itu sebabnya, mengapa penduduk desa ini sangat membenci para pendatang...”
Panji menganggukkan kepala mendengar jawaban yang melegakan hatinya itu. Dugaan Kenanga dan dirinya ternyata salah. Kematian adik kandung Ki Legawa bukan karena dibunuh orang. Dan, Panji tidak menyalahkan penduduk Desa Bandul yang membenci para pendatang. Perbuatan pemuda kaya itu memang sangat keji. Jadi, wajar bila warga Desa Bandul membenci mereka berdua. Karena mereka adalah pendatang di desa itu.
“Apakah Ki Legawa tidak berusaha mencari pemuda mata keranjang itu ?” Kenanga rupanya cukup menaruh perhatian terhadap penjelasan Ki Legawa. Hingga mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
“Tidak. Menurutku, seorang istri yang lari bersama lelaki lain, tidak perlu dicari. Jelas perempuan seperti itu tidak mempunyai kesetiaan. Dan tidak perlu dipertahankan. Itu pendapatku. Entah pendapat kalian berdua. Karena pikiran setiap orang berlainan...,” jawab Ki Legawa dengan tegas dan jelas.
“Kami pun berpendapat demikian, Ki,” tukas Panji menimpali. Panji memang mendukung pendapat lelaki tinggi besar itu.
“Jika demikian kejadiannya, kami minta diri, Ki. Kami harus melanjutkan perjalanan...” Setelah pembicaraan di antara mereka selesai, Panji bergegas bangkit dan minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Karena Desa Bandul ternyata aman-aman saja.
“Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih? Menginaplah semalam lagi di desa ini. Setelah hari ini, aku yakin warga Desa Bandul akan menerima keberadaan kalian tanpa rasa benci lagi...,” Ki Legawa berusaha mencegah kepergian Panji dan Kenanga. Kelihatannya ia masih ingin berbincang-bincang lebih lama dengan pendekar muda itu.
“Sekali lagi, terima kasih, Ki. Kami tidak ingin merepotkan. Selain itu, kami memang harus meneruskan perjalanan. Harap Ki Legawa dapat memaklumi dan memaafkan penolakanku ini...” Panji bersikeras hendak pergi.
Sehingga, Ki Legawa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Orang tua itu menyadari bahwa keinginan pendekar muda itu tidak bisa dibantah lagi. Ki Legawa pun mengalah dan mengantarkan pemuda itu sampai ke halaman rumah.
“Kalian boleh pakai kuda itu. Aku menghadiahkannya pada kalian berdua...,” ujar Ki Legawa menunjuk dua ekor kuda yang besar dan terlihat kuat
Kali ini Panji maupun Kenanga tidak menolak. Mereka merasa tidak enak kalau harus menolak pemberian Kepala Desa Bandul itu. Sehingga, Panji memutuskan untuk menerimanya.
“Kami mohon pamit, Ki..,” sebelum membedal kudanya, Panji kembali berpamitan.
Orang tua itu mengangguk dan tersenyum lebar. Ki Legawa masih berdiri memandangi kepulan debu yang ditimbulkan derap kaki kuda. Setelah bayangan sepasang pendekar itu lenyap barulah Ki Legawa melangkah ke dalam rumah.
********************
Sosok bayangan putih itu bergerak cepat di atas atap rumah-rumah penduduk Desa Bandul. Jubahnya yang longgar dan berwarna putih berkibaran ditiup angin. Rambutnya yang panjang dan juga putih dibiarkan terlepas, sehingga menutupi sebagian wajahnya. Sosok yang cukup menyeramkan dan bisa membuat seorang penakut jatuh pingsan bila melihatnya.
Dengan diterangi cahaya rembulan yang redup, sosok bayangan putih itu terus bergerak menuju pusat desa. Dan melayang turun di halaman samping sebuah rumah besar yang megah. Rumah yang megah itu adalah tempat kediaman Kepala Desa Bandul, Ki Legawa. Rupanya tempat itulah tujuan sosok itu.
“Legawa...! Aku datang menagih darahmu...!” sosok berjubah putih itu berkata. Tidak terlalu keras, namun terdengar menyeramkan dan jelas. Seperti datang dari alam lain.
Sosok bayangan putih itu berdiri tegak di halaman samping rumah Ki Legawa. Suara yang parau dan bergetar itu, membuat pengawal-pengawal Ki Legawa berdebar tegang. Wajah mereka berubah pucat! Kendati demikian, mereka memberanikan diri mendatangi asal suara itu.
“Hei. Siapa kau...?!” terdengar teguran setengah membentak dari seorang lelaki gagah. Dia adalah Ki Dirja. Rupanya, lelaki itu pun mendengar seruan barusan. Dan, bergegas keluar mencari sumber suara.
Sosok berjubah putih yang berperawakan jangkung itu bergerak ke tempat yang terlindung kegelapan. Kemudian berlari tegak dengan angkernya. Kelihatan ia tidak gentar, meskipun lelaki gagah itu datang bersama belasan pengawal Kepala Desa Bandul.
“Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku, Dirja. Malam ini bukan bagianmu. Kau tidak perlu ikut campur...,” desis sosok jangkung berpakaian serba putih memperingatkan. Dalam ucapannya jelas tersembunyi ancaman maut!
Ki Dirja kelihatan sangat terkejut mendengar sosok berjubah putih itu mengenalinya. Padahal, saat itu suasana agak gelap dan cukup sulit untuk mengenali orang. Kecuali bila telah mengenalnya dengan baik. Sosok berjubah putih itu sepertinya sangat mengenal dirinya. Terbukti, ia bisa menebaknya dengan tepat. Hingga Ki Dirja heran dibuatnya.
“Hm.... Siapa kau sebenarnya! Dan apa maksud ucapanmu itu?” bentak Ki Dirja marah mendengar ucapan sombong sosok berjubah putih.
“Hah hah hah...!” sosok berjubah putih itu malah memperdengarkan tawa yang mendirikan bulu roma. Ditatapnya wajah Ki Dirja lekat-lekat dengan sorot mata tajam menggetarkan.
Melihat sorot mata itu, Ki Dirja bergidig ngeri. Mata itu seperti bukan milik seorang manusia. Tapi, lebih mirip mata iblis! Sehingga, lelaki gagah itu melangkah mundur beberapa tindak.
“Keparat sombong! Ingin kulihat seperti apa wajahmu...!” desis Ki Dirja. Disambarnya sebatang obor dari tangan anak buahnya. Kemudian dikibaskan ke depan untuk menerangi wajah sosok mengerikan itu.
“Hm...,” sosok berjubah putih bergumam lirih. Tangan kanannya didorong ke depan.
Wusss...!
Serangkum angin keras berhembus, hingga obor di tangan lelaki gagah itu padam seketika. Padahal jarak mereka terpisah cukup jauh, kira-kira dua tombak lebih. Tenaga dalam sosok tubuh tinggi kurus itu ternyata sangat tinggi. Dan Ki Dirja menyadari hal itu.
“Hm.... Aku tahu sekarang! Rupanya, kau yang telah membunuh adik kandung Ki Legawa! Mengakulah! Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa melakukan pembunuhan keji itu?” bentak Ki Dirja mencoba mengorek keterangan dari sosok berjubah putih itu.
“Benar! Akulah Siluman Gurun Setan, yang akan memusnahkan seluruh keluarga Legawa beserta begundal-begundalnya...!” jawab sosok tinggi kurus itu menyebutkan julukannya.
“Keparat! Kalau begitu, aku harus segera meringkusmu...! Anak-anak! Kepung dan tangkap keparat keji itu...!” perintah Ki Dirja seraya meloloskan pedang. Lelaki gagah itu tahu orang yang mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan itu pasti bukan tokoh sembarangan. Dia pernah mendengar nama itu disebut orang. Sayang ia lupa, di mana pernah mendengarnya.
Siluman Gurun Setan hanya tertawa parau dan menyeramkan. Sosoknya tidak bergerak sedikit pun ketika Ki Dirja dan para pengawal Ki Legawa telah bergerak maju untuk mengeroyoknya.
“Hm.... Kalian terlalu memaksa!” desis Siluman Gurun Setan. “Sebaiknya kalian beritahukan kedatanganku pada majikan kalian. Karena hari ini aku akan mengambil salah satu nyawa keluarganya...,” ujar Siluman Gurun Setan yang merasa yakin perbuatannya akan berhasil.
“Siluman keparat! Jangan harap kau dapat berbuat semaumu! Selama aku masih ada, tak akan kubiarkan kau menyentuh anggota keluarga Ki Legawa. Untuk melaksanakan niatmu itu kau harus melangkahi mayatku dulu...!” geram Ki Dirja. Pedangnya dikibaskan ke kiri dan kanan. Kemudian berhenti melintang di atas kepala dengan kedudukan mendatar.
Siluman Gurun Setan kembali bergumam. Sesaat kemudian, sosoknya melayang ke atas atap rumah. Kemudian melesat menerobos kegelapan malam.
“Kejar...!” perintah Ki Legawa pada kawan-kawannya. Ia sendiri sudah berlari mengejar. Sebentar saja, suasana malam yang semula hening berubah ribut oleh derap kaki orang yang berlarian.
EMPAT
Sosok berjubah putih itu terus bergerak dengan kecepatan yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Kemudian melayang turun. Kali ini di bagian belakang bangunan. Tapi baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, terdengar bentakan yang mengejutkan!
“Hm.... Mau lari ke mana, Pembunuh Keji...!” suara yang mengandung tenaga dalam itu, membuat Siluman Gurun Setan menoleh kepala ke sebuah sudut yang agak gelap. Dengan kening berkerut, Siluman Gurun Setan bergerak mundur. Rupanya, di dapat menilai kepandaian lawan dari bentakan itu. Tampak dua sosok tubuh bergerak menghampiri dengan senjata di tangan. Kelihatannya mereka memang telah menunggu kedatangannya.
“Siapa kalian...?” tanya Siluman Gurun Setan pada kedua orang bertampang angker itu. Melihat sikapnya, agaknya sosok tinggi kurus itu baru kali ini berjumpa dengan mereka.
“Hm.... Rupanya kau belum mengenal kami, Penjahat Hina! Nah, dengarkan baik-baik! Kami berdua yang berjuluk Sepasang Golok Perak. Tugas kami adalah mengantarmu ke akhirat. Bersiap-siaplah...!” salah seorang dari mereka berkata sombong. Rupanya mereka merasa yakin akan dapat menundukkan Siluman Gurun Setan.
“Sebutkan julukanmu, agar kematianmu tidak sia-sia...!” bentak yang satunya. Tubuh orang itu lebih tinggi dari kawannya dan agak kurus. Kendati demikian, sikapnya tidak kalah angker.
“Hm.... Rupanya, keparat busuk Legawa telah menyewa jago-jago bayaran untuk menjaga keselamatan keluarganya! Bagus! Majulah kalian berdua...” Siluman Gurun Setan kelihatan tidak kaget meski kedua orang itu memiliki julukan yang cukup bagus. Julukan mereka tidak mengubah pandangannya. Siluman Gurun Setan tetap angker dan garang.
“Keparat..!” desis salah seorang dari kedua jago bayaran itu. Golok perak di tangan kanannya segera dikibaskan. Gerakannya terlihat mantap, menandakan julukan yang disandangnya bukan nama kosong.
Bwettt..!
Kelebatan sinar keperakan itu membuat Siluman Gurun Setan mendengus kasar. Tokoh itu tidak bergerak sedikit pun. Sosoknya tetap tenang dan angker. Kelihatan sekali kalau ia memandang rendah kedua lawannya.
“Haaat...!”
Lelaki bertubuh sedang, yang merupakan orang pertama dari Sepasang Golok Perak, membentak keras! Tubuhnya melayang dengan kelebatan sinar perak yang berdesingan tajam. Tokoh itu nampak sangat bernafsu untuk menghabisi Siluman Gurun Setan, dalam jurus-jurus awal ia langsung mempergunakan ilmu andalannya.
Belum lagi serangan orang pertama itu tiba, orang kedua sudah melesat membantu saudaranya. Golok di tangan kirinya tidak kalah ampuh! Bahkan sedikit membingungkan. Karena ia ternyata kidal!
Bwettt….bwettt...!
“Hmmm...” Siluman Gurun Setan menarik mundur tubuhnya dua langkah. Sehingga serangan kedua orang itu hanya mengenai tempat kosong. Kendati demikian, serangan Sepasang Golok Perak terus bersambungan. Kedua jago itu tidak ingin memberi peluang pada lawan untuk membuka jurus.
“Yiaaah!”
Setelah lewat lima jurus, Siluman Gurun Setan mulai menunjukkan kemampuannya. Dalam lima jurus itu ia telah memperhatikan inti ilmu silat lawan yang hanya mengandalkan kekuatan penyerangan. Sedangkan untuk pertahanan hanya terdapat kelemahan di sana-sini. Siluman Gurun Setan mencoba menerobos pertahanan yang tidak terlalu kuat itu.
Bwettt.., bwettt..!
Kendati hanya menggunakan tangan kosong, serangan lelaki tua berwajah buruk itu tidak kalah berbahaya dengan senjata kedua lawannya. Dari sambaran angin pukulannya, kelihatan tenaga dalam Siluman Gurun Setan masih berada di atas lawan-lawannya. Dan itu dirasakan Sepasang Golok Perak. Mereka tampak kewalahan menghadapi serangan balasan lelaki tua berjubah putih itu. Kedua orang itu mulai tertekan!
“Keparat..!” umpat orang pertama dari Sepasang Golok Perak. Lelaki bertubuh sedang itu kelihatannya sangat penasaran ketika merasa sulit untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan lawannya. Bahkan, beberapa kali pukulan lawan nyaris mengenai tubuhnya. Untunglah ia masih sempat menghindar meskipun dengan susah-payah!
Demikian pula dengan kawannya. Lelaki bertubuh agak gemuk dengan wajah terhias brewok itu, hanya bisa menyumpah-nyumpah ketika merasakan gencarnya serangan lawan. Sehingga, gerakan goloknya agak kacau dan sulit berkembang. Lelaki gemuk itu penasaran bukan main!
“Haaah...!”
Ketika pertempuran memasuki jurus kedua puluh lima, Siluman Gurun Setan tiba-tiba membentak nyaring! Berbarengan dengan itu, sepasang kepalan tangannya bersarang di tubuh salah satu lawannya!
Bukkk!
“Hukh...!” Lelaki bertubuh sedang itu terjungkal ke belakang. Darah segar menyembur dari mulutnya. Kepalan Siluman Gurun Setan yang menghantam dada telah menyumbat pernapasan lelaki itu untuk beberapa saat lamanya. Sehingga, ia terdiam sejenak untuk mengatur jalan napas.
“Haiiit..!” Lelaki gemuk brewok kelihatan sangat geram melihat saudaranya terluka. Golok di tangannya bergerak semakin cepat dan ganas. Membentuk kilatan sinar perak yang berpendaran mengurung tubuh lawan.
Siluman Gurun Setan hanya mendengus kasar. Tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan menghindari serangan lawan. Gerakannya yang cepat dan mantap, membuat sambaran golok lawan sia-sia. Ke manapun golok itu menyambar, tubuh Siluman Gurun Setan selalu sudah berpindah. Akibatnya, serangan lawan tak satu pun yang menyentuhnya. Bahkan....
“Haaah!” Di saat yang menurutnya sangat tepat, tiba-tiba Siluman Gurun Setan membentak! Kemudian mengirimkan sebuah tendangan berputar yang kuat dan terarah baik!
Desss...!
“Aaakh...!”
Tendangan Siluman Gurun Setan telah menghajar rahang lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu tersentak melintir! Suara yang terdengar menandakan tulang rahang lelaki itu kemungkinan besar remuk.
“Fhangshaaat..!” Lelaki gemuk brewok itu memaki kasar. Suaranya terdengar tidak jelas karena tendangan Siluman Gurun Setan telah merontokkan beberapa buah giginya. Darah segar mengalir tak henti dari mulutnya. Tentu sakitnya tidak bisa dibayangkan lagi.
“Hm.... Kalau begitu, sebagai gantinya malam ini aku akan mengirim kalian berdua ke neraka...!” desis Siluman Gurun Setan. Dan melangkah maju dengan angkernya.
Namun sebelum Siluman Gurun Setan melaksanakan keinginannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang banyak mendatangi tempat itu. Dan sebelum para pemilik suara langkah itu muncul, sesosok bayangan hitam telah berkelebat menghadang jalan Siluman Gurun Setan.
“Heaaat..!”
Dalam keadaan masih melayang di udara, sosok bayangan hitam melontarkan serangan ke arah Siluman Gurun Setan. Sambaran angin pukulannya menunjukkan kekuatan sosok bayangan hitam itu tidak bisa dipandang remeh!
Wusss...!
Siluman Gurun Setan kelihatan agak kaget juga. Dan cepat bertindak ketika sadar serangan itu sangat berbahaya. Kedua tangannya diputar di depan dada. Kemudian didorongkan ke depan menyambut serangan lawan!
Breshhh...!
Dua kekuatan hebat saling berbenturan di udara. Akibatnya, tubuh keduanya terjajar mundur dengan tanpa luka. Kenyataan itu membuat mereka kaget dan saling mengagumi kekuatan lawan.
“Legawa...?!” desis Siluman Gurun Setan ketika mengenali sosok berpakaian serba hitam itu. “Hm... Kepandaianmu rupanya telah maju pesat selama beberapa tahun belakangan ini!” lanjut lelaki tinggi kurus tanpa menyembunyikan kekagumannya.
“Hm... Siapa kau sebenarnya, Manusia Licik? Mengapa memusuhi keluargaku?” tanya lelaki gagah berpakaian serba hitam yang tak lain Ki Legawa, Kepala Desa Bandul. Rupanya dialah yang telah menyelamatkan nyawa Sepasang Golok Perak.
“Belum saatnya kau tahu siapa aku, Legawa! Yang jelas, sampai kiamat pun aku tidak sudi membiarkan kau dan keluargamu hidup tenang!” desis Siluman Gurun Setan yang kelihatan sangat dendam terhadap Ki Legawa. Perasaan itu tergambar jelas pada sorot matanya yang merah menyala.
“Keparat! Kalau begitu, kau harus segera kulenyapkan!” geram Ki Legawa yang segera mempersiapkan jurusnya untuk menggempur Siluman Gurun Setan.
“Hm.... Belum saatnya kita berhadapan, Legawa. Kau harus kusiksa sebelum kukirim ke neraka...!” desis Siluman Gurun Setan menolak bertarung dengan Kepala Desa Bandul. Panggilannya di tempat kediaman Ki Legawa tadi ternyata hanya sekadar ingin menyiksa hati dan pikiran Kepala Desa Bandul itu.
Ki Legawa tidak bisa menerima begitu saja. Ia tidak sudi melepas tokoh itu pergi meninggalkan tempat itu. Ketika melihat Ki Dirja dan para pengawalnya telah berdatangan, Ki Legawa langsung memberi perintah!
“Dirja! Jangan biarkan manusia keparat itu melarikan diri! Kita harus menangkap hidup-hidup!” teriak Ki Legawa yang sudah meloloskan sebatang pedang yang kelihatan sangat ampuh. Lalu bergerak mengejar, melihat Siluman Gurun Setan hendak melarikan diri. Sedangkan Ki Dirja dan para pengawal sudah mengejar lebih dahulu. Mereka berlompatan menghadang dan mengurung lelaki misterius itu.
“Jangan lari kau, Keparat...!” bentak Ki Dirja. Pedangnya diayunkan ke arah Siluman Gurun Setan.
Bwettt..!
“Huhhh!”
Tokoh berjubah putih itu mendengus melihat serangan pedang Dirja. Tangan kirinya bergerak memapaki bacokan pedang. Sedangkan tangan kanannya menyusuli dengan sebuah pukulan keras!
Plakkk!
“Uhhh...?!” Ki Dirja mengeluh kesakitan ketika lengan kanannya membentur lengan lawan yang seperti batang besi. Dan dalam keadaan terhuyung, ia masih diincar puku- lan lawan yang mengandung tenaga dalam kuat!
Wuttt..!
“Aihhh...?!” Siluman Gurun Setan segera menarik serangan, ketika pedang Ki Legawa datang membacok tangannya. Namun, lagi-lagi tokoh misterius tinggi kurus itu menunjukkan kehebatannya. Tangan yang ditarik itu berputar dan meliuk bagai seekor ular. Jari-jari tangannya yang semula mengepal berubah menjadi cengkeraman. Kemudian meluncur hendak mencekal pergelangan Ki Legawa.
Tapi, gerakan Ki Legawa tidak kalah cepat dan hebat. Melihat cengkeraman lawan datang mengancam, cepat lelaki gagah itu bertindak. Cengkeraman tangan itu tidak bisa diremehkan begitu saja. Kalau sampai pergelangannya terkena jari-jari lawan, bukan mustahil tulang-tulangnya akan remuk. Dan Ki Legawa tidak sudi pergelangannya diremukkan lawan. Maka begitu bacokannya gagal, pergelangannya segera diputar. Lalu menyambar cepat ke arah leher lawan.
Wettt…!
Hebat dan sangat cepat serangan Ki Legawa. Keadaan Siluman Gurun Setan sungguh berbahaya sekali!
“Heaaah...!”
Plakkk!
“Uhhh...?!” Tokoh tinggi kurus berjubah putih itu ternyata masih sanggup menyelamatkan lehernya dari ancaman pedang lawan. Cengkeramannya berubah, dan menepis lengan Ki Legawa dengan telapak tangan terbuka. Sehingga, kuda-kuda Ki Legawa tergempur. Tubuh Kepala Desa Bandul itu terjajar mundur beberapa langkah! Perbuatan Siluman Gurun Setan tidak berhenti sampai di situ. Kakinya melesat cepat menyusuli tangkisan barusan dengan sebuah tendangan kilat lurus ke depan. Dan....
Bukkk!
“Ukh...!” Ki Legawa tak lagi sempat menghindar. Tubuhnya terjengkang ke belakang, dan terbanting ke tanah. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya. Agaknya, isi dadanya terguncang oleh kerasnya tendangan lawan.
“Keparat..!” Ki Dirja dan salah seorang dari Sepasang Golok Perak memapaki gusar. Serentak keduanya bergerak dari belakang dan samping Siluman Gurun Setan! Pedang di tangan mereka berkelebat mengancam tokoh misterius itu. Tapi....
“Hahhh...!”
Siluman Gurun Setan membentak keras. Tubuhnya merunduk dengan kuda-kuda rendah. Kemudian mengirimkan sebuah tendangan ke arah Ki Dirja, yang langsung terjungkal roboh. Lalu berputar setengah lingkaran. Cengkeraman diulurkan ke leher salah seorang Sepasang Golok Perak, setelah terlebih dahulu menepiskan senjata lawan.
Kreppp!
“Highhh!” Lelaki bertubuh sedang itu tak sempat menyelamatkan diri. Ketika Siluman Gurun Setan memperketat cengkeramannya, terdengar suara gemeretak tulang patah. Darah segar membasahi jari-jari tangan Siluman Gurun Setan. Karena ujung jari-jari tangannya terbenam dalam daging leher lawan.
“Hihhh!” Diiringi sebuah bentakan keras, Siluman Gurun Setan mengangkat tubuh lawan dengan satu tangan. Kemudian melemparkannya, setelah diputar beberapa kali di atas kepala.
Ngekkk!
Tubuh lelaki malang itu jatuh dengan kepala lebih dulu. Namun karena nyawanya sudah pergi sejak tadi, ia tidak lagi merasakan sakit. Tubuh berperawakan sedang itu diam tak bergerak lagi.
“Khfuhunuh khauuu...!” Lelaki gemuk brewok, kawan lelaki malang itu berteriak marah. Meski kata-katanya terdengar kurang jelas karena luka di rahangnya sangat parah, ia menyerbu dengan senjata di tangan. Kematian saudaranya telah membuatnya lupa akan luka-lukanya.
“Hmh!” Siluman Gurun Setan mendengus kasar. Sebelum serangan lawan tiba, ia sudah melesat lebih dulu dengan serangan mautnya.
Bukkk, desss...!
Hebat dan cepat bukan main serangan Siluman Gurun Setan. Sehingga, lawannya tidak sempat menyelamatkan diri. Sebuah tendangan dan pukulan keras bertubi-tubi mendarat di tubuh lawan. Akibatnya, lelaki gemuk brewok itu terjungkal dalam keadaan sekarat! Melihat tubuh lawannya masih bergerak-gerak, Siluman Gurun Setan melenting ke udara. Kemudian meluncur turun dengan kedua kaki siap dijejakkan ke tubuh lawan!
Ngekkk!
Lelaki gemuk itu terbatuk memuntahkan darah segar. Sepasang matanya mendelik bagai hendak melompat keluar. Sebentar kemudian, ia pun tewas menyusul saudaranya. Siluman Gurun Setan telah membuktikan ucapannya. Setelah mengakhiri hidup Sepasang Golok Perak, Siluman Gurun Setan berpaling ke arah Ki Legawa dan para pengawalnya.
“Ingat, Legawa! Kematian demi kematian akan datang menimpa seluruh sanak keluargamu...!”
Setelah berkata demikian, Siluman Gurun Setan melesat pergi. Dan lenyap ditelan kegelapan malam. Tinggallah Ki Legawa dan pengawal-pengawal berdiri terpaku memandangi kepergian tokoh misterius itu.
********************
LIMA
Ki Legawa mondar-mandir di ruang utama tempat kediamannya. Tangannya digendong di belakang tubuh. Wajah lelaki gagah itu kelihatan keruh, dan menggambarkan rasa penasaran yang dalam. Di dalam ruangan utama masih terdapat empat orang lain. Dua di antaranya Ki Dirja dan Rajulit. Wajah-wajah mereka kelihatan murung, dan sesekali tampak sedang berpikir keras memecahkan masalah yang mereka hadapi.
“Keparat! Siapa sebenarnya lelaki buruk rupa yang mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan? Padahal, nama tokoh itu sudah lama tidak terdengar di kalangan persilatan. Anehnya, ia kelihatan sangat dendam terhadap seluruh sanak keluargaku. Gila! Benar-benar gila aku dibuatnya...!” geram Ki Legawa sambil tetap mondar-mondir dengan kedua tangan di belakang tubuh.
Ki Dirja dan para sesepuh desa lainnya, hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam dengan menghela napas panjang tanda keresahan hati mereka. Sepertinya, tidak ada satu pun yang dapat diharapkan bisa mencari jalan keluar bagi masalah yang tengah dihadapi kepala desanya.
“Cobalah kalian bantu aku berpikir! Jangan diam saja seperti kambing congek!” karena tidak mendapat sambutan dari para pembantunya, kemarahan Ki Legawa meledak. Ia membentak keempat orang itu dengan wajah merah padam.
“Kami pun tengah berusaha mencari jalan keluarnya, Ki...,” sahut Ki Dirja dengan wajah agak pucat ketika melihat majikannya sangat marah.
“Ki...,” laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, salah satu dari pembantu Ki Legawa, membuka suara. Ki Legawa mengalihkan pandang matanya ke arah orang gila.
“Kau mempunyai usul untuk mengenyahkan manusia laknat itu, Malingga...?” tanya Ki Legawa dengan sepasang mata penuh harap.
“Hm.... Apakah tidak sebaiknya kita menyewa jago-jago persilatan, seperti yang telah kau lakukan...,” ujar Malingga mengutarakan pikirannya.
“Benar, Ki. Meskipun Sepasang Golok Perak telah tewas di tangan Siluman Gurun Setan, tapi masih banyak jago-jago lainnya yang bersedia dibayar untuk menjaga keselamatan kita...,” Ki Dirja langsung menyetujui usul Malingga. Menurutnya, hanya usul itulah yang paling tepat saat itu.
“Hmh. Percuma!” tolak Ki Legawa mendengus kasar, “Kepandaian Siluman Gurun Setan sangat tinggi. Kalian lihat sendiri buktinya, bukan? Kedua jagoan yang kubayar mahal itu ternyata tidak mempunyai kemampuan. Mereka hanya besar mulut saja!”
Mendengar bantahan Ki Legawa, Ki Dirja dan yang lainnya terdiam. Kemudian kembali berpikir keras untuk menghadapi ancaman Siluman Gurun Setan, yang sewaktu-waktu bisa mencabut nyawa mereka.
“Ah! Aku mempunyai usul yang baik, Ki!” tiba-tiba Rajulit yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, berseru dengan sepasang mata berbinar.
“Coba katakan!” ujar Ki Legawa cepat. Kendati demikian, lelaki gagah itu kelihatan tidak begitu bersemangat.
“Bagaimana kalau kita panggil guru Sepasang Golok Perak. Melihat kepandaian Sepasang Golok Perak, aku yakin gurunya seorang tokoh yang berkepandaian tinggi!” jelas Rajulit Ki Legawa dan para sesepuh Desa Bandul terlihat agak kaget. Usul Rajulit jelas sangat baik.
“Tapi, apa mungkin guru Sepasang Golok Perak bersedia kita bayar...?” gumam Ki Legawa yang rupanya menyetujui usul Rajulit. Hanya ia merasa bimbang tokoh itu bersedia membantunya demi uang.
“Kita tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun, Ki,” lanjut Rajulit. Ucapan itu tentu membuat yang lainnya saling bertukar pandang. Mereka mulai khawatir Rajulit telah terganggu otaknya karena ancaman Siluman Gurun Setan.
“Apa maksudmu, Rajulit!” bentak Ki Legawa, merasa dipermainkan pembantunya itu. Wajahnya semakin merah dan sepasang matanya menyorot tajam.
“Aku tidak main-main, Ki,” sahut Rajulit seraya memamerkan senyum. Kelihatan ia sangat yakin dengan jalan pikirannya. Sehingga, merasa bangga ketika tak seorang pun dapat menebak apa yang akan disampaikannya.
“Kalau begitu, cepat katakan! Apa kau hendak membuatku marah?” kembali Ki Legawa membentak. Melihat Rajulit masih belum juga mengutarakan usulnya.
“Begini, Ki...,” Rajulit melangkah mendekati Ki Legawa. Kemudian berbisik di telinga lelaki gagah itu.
“Ahhh?!” Ki Legawa terkejut ketika mendengar usul yang dibisikkan Rajulit Kendati demikian, wajahnya yang semula keruh kini tampak berseri. Jelas ia menerima usul yang diajukan Rajulit
“Bagaimana, Ki...?” tanya Rajulit menanyakan usulnya. Wajah lelaki tegap itu tampak cerah, ketika melihat raut wajah kepala desanya sudah berubah cerah dan berseri.
“Kau sungguh hebat, Rajulit. Untuk itu, aku akan memberikan hadiah padamu...,” ujar Ki Legawa tersenyum menepuk-nepuk bahu Rajulit Sehingga, lelaki tegap itu tertawa gembira.
Tinggallah Ki Dirja dan yang lainnya terbengong- bengong. Mereka tidak mengetahui usul Rajulit. Terlihat wajah mereka menggambarkan rasa penasaran yang dalam.
“Kalian tenang saja...” Setelah berkata demikian, Ki Legawa bergegas masuk ke dalam kamar. Dan kembali dengan membawa sekantong uang.
Ki Dirja dan sesepuh desa lainnya hanya bisa saling pandang melihat tingkah Ki Legawa. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu kepala desa itu menyampaikannya pada mereka.
“Nah! Pergilah, Rajulit. Ini untuk bekal dalam perjalananmu. Ingat, kau harus secepatnya kembali bersama orang tua itu, paham?” ujar Ki Legawa seraya menyerahkan kantong uang itu pada Rajulit. Dan, memerintahkan lelaki tegap itu agar segera melaksanakan tugasnya.
“Tentu, Ki...,” sahut Rajulit bersemangat. Ia sungguh tidak menduga akan mendapat hadiah yang cukup dari majikannya. Setelah berpamitan kepada yang lain, lelaki tegap itu melangkah lebar meninggalkan ruang utama.
“Sambil menunggu kedatangan Rajulit, sebaiknya kita mengatur persiapan. Agar bila manusia laknat itu datang, kita bisa mempertahankan diri sebaik-baiknya. Dan, akan kukatakan apa yang barusan dibisikkan Rajulit...,” lalu Ki Legawa bergerak meninggalkan ruangan itu, diikuti yang lainnya. Ruang utama pun kembali sunyi.
********************
“Mengapa kau termenung, Kakang. Tidak biasanya kau bersikap seperti ini...,” tegur dara jelita berpakaian serba hijau, sambil menjatuhkan tubuhnya di sebelah pemuda tampan berjubah putih yang tengah melamun. Melihat wajah yang segar kemerahan dan rambut yang basah, dara jelita itu agaknya baru saja selesai membersihkan diri di sungai, yang gemericik airnya terdengar dari tempat itu.
“Hm...,” pemuda tampan berjubah putih bergumam perlahan seraya menarik napas dalam-dalam. Kemudian berpaling menatap wajah jelita di sampingnya.
“Kenanga. Coba kau kaji sekali lagi keterangan Ki Legawa. Aku menemukan kejanggalan dalam cerita itu...,” ujar pemuda tampan berjubah putih menatap wajah jelita itu.
“Kejanggalan?! Kejanggalan bagaimana maksudmu, Kakang?” dara jelita itu bertanya dengan mimik wajah heran. Rupanya, gadis itu sudah tidak memikirkan lagi perihal Desa Bandul.
“Hm... Menurut Ki Legawa, tidak ada kejadian yang menimpa desa yang dipimpinnya itu. Kematian adik kandungnya karena sakit menahun akibat ditinggal istrinya. Bukankah itu yang dikatakan Ki Legawa kepada kita?” jelas Panji mengulang keterangan Ki Legawa.
“Lalu, di mana letak kejanggalan keterangan itu, Kakang?” Kenanga rupanya masih belum mengerti kejanggalan yang dimaksudkan kekasihnya.
“Ah. Kau ini bagaimana? Coba kau ingat-ingat lagi suasana ketika kita menginap di desa itu. Apa yang kau ingat tentang keadaan Desa Bandul malam itu?” Panji mencoba membawa ingatan kekasihnya pada saat mereka bermalam di Desa Bandul.
Mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga termenung beberapa saat Ya! Sekarang baru diingatnya, betapa para peronda Desa Bandul tampak tidak seperti biasanya. Banyak jumlah keamanan yang meronda malam itu, jelas tidak wajar. Itu berarti di Desa Bandul tengah terjadi sesuatu.
“Hm.... Aku ingat sekarang, Kakang. Malam itu memang tampak tidak wajar. Keamanan desa seperti sedang bersiap menunggu kemunculan sesuatu yang menakutkan!” ujar Kenanga mulai merasakan adanya kejanggalan pada cerita Ki Legawa. Orang tua itu mengatakan tidak ada sesuatu yang terjadi di desanya.
“Bagus!” puji Panji tersenyum. “Sedangkan Ki Legawa mengatakan tidak ada kejadian apa-apa di desanya. Jika benar demikian, mengapa perondaan sangat ketat? Aku jadi ragu. Benarkah adik kandung Ki Legawa tewas karena penyakit yang dideritanya...?” lanjut Panji memutar otaknya untuk mengungkapkan rahasia itu.
“Maksudmu, kau mencurigai adik kandung Ki Legawa mati dibunuh orang...?” tanya Kenanga menegasi.
“Kemungkinan besar memang begitu. Anehnya, mengapa Ki Legawa justru menyembunyikan kejadian yang sesungguhnya? Apalagi ia mengenaliku sebagai Pendekar Naga Putih. Menurut perhitungan, seharusnya ia meminta bantuanku untuk mencari pembunuh adiknya. Tapi, mengapa ia malah mengarang cerita yang tidak betul?” ujar Panji lagi. Semakin yakin ada sesuatu yang sengaja disembunyikan Ki Legawa dari mereka berdua.
“Mungkinkah orang tua itu sendiri yang telah membunuh adiknya? Hal seperti itu bisa saja terjadi. Karena kekuasaan ataupun harta. Bagaimana menurutmu, Kakang...?” tukas Kenanga.
“Kemungkinan itu selalu ada. Bisa saja Ki Legawa menyewa orang untuk melenyapkan adik kandungnya. Itu harus kita selidiki. Sebab jika benar demikian, berarti Ki Legawa bukanlah seorang kepala desa yang baik. Kalau adik kandungnya saja tega ia bunuh, apa lagi orang lain...?” timpal Panji, pemuda itu sependapat dengan Kenanga untuk mencurigai Ki Legawa sebagai pembunuh adik kandungnya sendiri.
“Kalau begitu, kita harus segera kembali ke Desa Bandul, Kakang,” ujar Kenanga bersemangat Bahkan dara jelita itu sudah bergerak bangkit dari duduknya.
“Sabar dulu, Kenanga. Semua ini baru dugaan saja. Kita tidak boleh terburu nafsu. Kita harus menyelidikinya lebih dulu. Selain itu, kita tidak bisa menampakkan diri secara terang-terangan di depan penduduk Desa Bandul. Hal itu akan menimbulkan kecurigaan mereka...,” ujar Panji, menasihati Kenanga agar bersikap hati-hati dan jangan bertindak gegabah. Sebab, persoalan itu masih belum jelas. Dan belum ada bukti-bukti yang mendukungnya.
“Jangan khawatir, Kakang. Aku tentu akan berhati-hati. Tapi, yang jelas kita harus kembali ke Desa Bandul,” sahut Kenanga tersenyum.
“Tentu. Ini memang sudah menjadi kewajiban kita...,” tukas Panji kemudian bangkit berdiri.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu sudah bergerak meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka tentu saja Desa Bandul. Mereka ingin mengungkapkan rahasia yang terjadi di desa itu.
********************
“Heyaaa..., heyaaa...!”
Terdengar bentakan-bentakan keras. Ditingkahi suara lecutan cambuk dan derap kaki kuda yang berpacu bagai dikejar setan. Kepulan debu tampak membubung tinggi. Saat itu, si penunggang kuda tengah memacu kudanya di tanah berdebu. Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda bertubuh tegap yang tidak lain Rajulit, menarik tali kekang kudanya. Di depannya terbentang sebuah sungai. Kemudian kudanya dijalankan perlahan menyeberangi sungai.
“Hua hah hah...!”
Baru saja Rajulit tiba di seberang sungai, tiba-tiba terdengar suara tawa berkakakan menyambut kedatangannya. Tentu saja lelaki tegap itu terkejut, dan mengedarkan pandangannya berkeliling. Kemudian menjalankan kudanya perlahan-lahan dengan sikap waspada. Wajahnya tampak tegang. Ia yakin si pemilik suara tawa itu mempunyai niat tidak baik terhadapnya.
Kekhawatiran Rajulit mulai terbukti. Beberapa tombak di depannya, tiba-tiba telah berdiri dua orang lelaki bertampang kasar. Mereka rupanya bersembunyi di semak-semak, menunggu kedatangan lelaki tegap itu. Melihat sikap dan wajah kedua penghadang itu, sadarlah Rajulit bahwa mereka perampok. Maka, kudanya segera diputar. Rajulit hendak melarikan diri dari tempat itu. Tapi....
“Heh heh heh! Hendak lari ke mana, Kisanak?” tegur salah seorang dari dua lelaki bertampang kasar yang muncul dari semak-semak di belakangnya.
Rajulit melihat tidak ada lagi baginya jalan untuk meloloskan diri. “Siapa kalian? Mengapa menghadang perjalananku...?” seru Rajulit dari atas punggung kuda. Tangannya meraba gagang pedang yang tersembul di balik baju.
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak. Maksud kami tentu hendak memintamu agar meninggalkan barang-barang yang kau bawa dengan suka rela. Setelah itu, kau boleh pergi dengan selamat..,” ujar orang yang berdiri tidak jauh dari tepi sungai. Melihat sikapnya, Rajulit dapat menduga lelaki tinggi kurus bermata tajam itu pemimpin kawanan perampok.
“Kalian salah memilih korban, Kisanak. Aku tidak membawa barang-barang berharga. Karena itu, biarkanlah aku lewat Kelak aku akan membalas budi baik kalian....” Rajulit mencoba berdusta dan membujuk keempat perampok itu.
“Begitukah...?” ejek lelaki tinggi kurus bermata tajam dengan sinis. Bersama kawannya, ia melangkah mendekati Rajulit. Demikian pula orang yang berada di belakang lelaki tegap itu.
Melihat para perampok mendekatinya, Rajulit pun tidak tinggal diam. Dengan nekat, kudanya dibedal ke arah semula. Dengan cara itu Rajulit berharap dapat meloloskan diri dari mereka.
“Bangsat! Rupanya kau memilih mati...!” geram lelaki tinggi kurus. Lalu memerintahkan kawan-kawannya untuk mencegah Rajulit. Ia sendiri sudah melompat ke udara, dan mengirimkan tendangan ke kepala penunggang kuda itu.
“Haaat..!”
Rajulit tidak menyangka lelaki tinggi kurus itu akan berbuat demikian. Karena tidak ingin kepalanya dijadikan sasaran tendangan, Rajulit nekat memapaki dengan tangan kiri.
Plakkk!
“Aaah...!” Rajulit memekik kesakitan! Lengannya seperti berbenturan dengan sebatang besi. Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terpelanting dari atas punggung kuda. Kendati demikian, Rajulit masih bisa menyelamatkan diri agar tidak terbanting ke tanah. Tubuhnya berjumpalitan, dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu. Rajulit selamat walaupun agak terhuyung beberapa langkah.
“Hm.... Rupanya kau lebih sayang harta daripada nyawa. Orang Tolol! Padahal kalau kau mau menyerahkan hartamu, hidupmu masih panjang. Tapi sekarang...,” lelaki tinggi kurus itu tidak menuntaskan kalimatnya. Sepasang matanya menyorot tajam memancarkan nafsu membunuh!
“Keparat! Kalian akan menyesali perbuatan ini..!” bentak Rajulit mencoba mengancam kawanan perampok liar itu.
Tapi, ancaman Rajulit malah membuat mereka tertawa berkakakan. Ucapan lelaki tegap itu mereka anggap sebagai lelucon. Jelas, mereka tidak takut dengan ancaman Rajulit.
“Kau masih ingin sesumbar juga rupanya. Apakah kau mempunyai banyak kawan yang bisa diandalkan untuk membelamu...?” ujar lelaki tinggi kurus itu, masih memperdengarkan sisa-sisa tawanya.
“Hm.... Perlu kalian ketahui! Bila aku tidak kembali dalam beberapa hari, kawan-kawanku akan datang dan menggeledah seluruh tempat yang pernah kulewati. Kalian semua pasti akan dapat mereka temukan!” ujar Rajulit dengan geram. Kalau ia sampai terbunuh ditangan para perampok itu, jelas tugas yang dibebankan kepadanya tidak akan berhasil. Padahal, Ki Legawa tengah menunggu-nunggu kedatangannya.
“Lalu, kau pikir kami takut Heh! Jangan mimpi, Kisanak! Meskipun hal itu benar terjadi, kami akan menghadapinya. Kawan-kawanmu itu akan bernasib sama denganmu...!” tukas lelaki tinggi kurus. Tidak mengindahkan ancaman Rajulit yang sebenarnya cuma siasat agar dapat melepaskan diri dari para perampok.
Mendengar jawaban kepala perampok, Rajulit berpikir beberapa saat. Akhirnya, lelaki tegap itu mengeluarkan kantong uang pemberian Ki Legawa. Dan menimangnya di hadapan para perampok.
“Baiklah,” ujar Rajulit mengalah. Aku akan memberikan uang ini kepada kalian. Dan, kuharap kalian mau melepaskan aku untuk melanjutkan perjalanan”
“Bagus...! Itu baru pikiran sehat..,” tukas lelaki tinggi kurus tersenyum penuh kemenangan. “Cepat, serahkan uang itu kepadaku.”
Tanpa berpikir panjang lagi, Rajulit melemparkan uang itu ke arah kepala perampok. Ia terpaksa merelakan uang pemberian Ki Legawa jatuh ke tangan mereka. Baginya, tugas yang dibebankan di bahunya jauh lebih penting dari sekantong uang. Lalu Rajulit melangkah ke arah kudanya dengan sikap waspada, dan siap menghadapi kelicikan para perampok. Lelaki tegap itu belum bisa percaya mereka akan membebaskannya begitu saja.
Kekhawatiran Rajulit terbukti. Salah seorang perampok tampak memegang tali kekang kudanya. Dan menambatkannya ke sebatang pohon. Maksudnya sudah jelas, agar kuda itu tidak diambil pemiliknya.
“Mengapa kalian tidak menyerahkan kuda itu kepadaku...?” protes Rajulit Hatinya marah melihat para perampok tidak menepati janjinya.
“Hah hah hah...! Bukankah kau tidak mengatakan hendak pergi bersama binatang tungganganmu? Nah, apakah perbuatan kami salah?” elak kepala perampok itu tersenyum sinis. Sehingga, Rajulit jengkel dibuatnya.
“Kisanak. Perjalanan yang harus kutempuh sangat jauh. Aku memerlukan kuda itu untuk mempersingkat waktu. Harap kalian tidak menyulitkanku...,” sadar tidak mungkin sanggup menghadapi keempat perampok itu, maka Rajulit mengeluarkan kata-kata yang terdengar lemah dan penuh permohonan.
“Hm.... Kami tidak peduli dengan urusanmu! Dan, jangan kira kami akan membiarkanmu pergi begitu saja. Heh heh heh. Kami tidak bodoh, Kisanak. Kalau hari ini kau kubebaskan, bukan tidak mungkin lain kali kau akan datang dengan membawa kawan-kawanmu. Jadi, harap kau tidak keberatan meninggalkan nyawamu di tempat ini...,” ujar lelaki tinggi kurus. Dan mengakhiri perkataannya dengan tawa berderai.
“Keparat..! Kalian benar-benar licik!” maki Rajulit. Ia telah ditipu mentah-mentah kawanan perampok itu. Tahulah ia, mereka masih menginginkan nyawanya.
“Bunuh orang itu...!” perintah lelaki tinggi kurus kepada ketiga kawannya. Ia sendiri tetap tegak di tempatnya, menyaksikan anak buahnya membantai lelaki tegap itu.
Rajulit langsung menghunus pedang. Karena sudah tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, selain melawannya dengan sekuat tenaga. Dengan senjata menyilang di depan dada, lelaki tegap itu siap mempertahankan selembar nyawanya.
“Heh heh heh! Bersiaplah untuk melayat ke akhirat, Kawan...,” ejek salah seorang dari ketiga perampok yang mengurung Rajulit. Di tangan mereka tergenggam sebatang pedang.
“Bedebah...!” lagi-lagi Rajulit mengumpat, mengeluarkan kejengkelan hatinya. Sepasang matanya bergerak ke kiri dan kanan memperhatikan langkah ketiga pengeroyoknya.
ENAM
“Haaat..!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, salah seorang perampok yang berada di depan Rajulit mulai membuka serangan. Kilatan cahaya putih berkelebat mengiringi datangnya sambaran pedang perampok itu
Bwettt...!
Rajulit cepat menggeser langkahnya ke kanan. Pedang di tangannya bergerak melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang cukup mengagumkan.
Trang!
Perampok bertubuh kekar itu rupanya cukup sigap. Lelaki itu masih sempat memutar senjatanya untuk menangkis serangan Rajulit. Akibatnya, senjata mereka berbenturan keras!
“Yeaaa..!”
Sambil membentak nyaring, Rajulit memutar senjatanya dengan menggerakkan pergelangan. Rupanya, dalam benturan itu ia berlaku cerdik dengan membiarkan senjatanya terpental. Dengan demikian, ia dapat mempergunakan tenaga benturan itu untuk melanjutkan serangan. Dan, hasilnya cukup mengejutkan! Tubuh lawan nyaris tersate senjatanya. Untunglah perampok itu segera melempar tubuhnya ke belakang. Sehingga, selamat dari ancaman ujung pedang Rajulit.
“Haaat..!”
“Haiiit..!”
Ketika hendak melanjutkan serangannya, Rajulit terpaksa harus menghadapi dua perampok lainnya yang sudah menerjang maju. Sebentar saja, ketiganya terlibat dalam sebuah perkelahian sengit! Terlebih ketika perampok yang seorang lagi ikut terjun mengeroyok lelaki tegap itu. Rajulit harus menguras seluruh kemampuannya untuk menghadapi keroyokan para perampok itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat Ketika pertarungan memasuki jurus kedua puluh, Rajulit mulai merasakan betapa berat tekanan ketiga perampok itu. Sehingga ia mulai terdesak, dan hanya sesekali melepaskan serangan balasan. Sebab, lawan-lawannya hampir tidak pernah memberi perlawanan untuk membangun serangan. Sampai akhirnya, lelaki tegap itu harus bermain mundur sambil membentengi tubuhnya dengan putaran pedang.
“Hiaaah...!”
Cwittt..!
“Aaah...?!” Rajulit memekik tertahan ketika tubuhnya nyaris tersambar pedang salah seorang lawan. Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuh. Hanya pakaiannya saja yang robek pada bagian lambung. Sedangkan ia sendiri sudah melompat jauh ke belakang untuk menyelamatkan diri dari ancaman pedang pengeroyok lainnya.
Tapi, Rajulit tak selamanya beruntung. Meskipun telah berusaha, tetap saja satu dua serangan pedang lawan menggores tubuhnya. Memang tak terlalu parah. Tapi, cukup untuk membuat tubuhnya semakin lemah. Dan rasa nyeri pada luka goresan pedang lawan memperlambat gerakannya.
Crasss!
“Aaakh...!” Lagi-lagi lelaki tegap itu harus menggigit bibir, ketika ujung pedang seorang pengeroyok melukai pangkal lengan kanannya. Sehingga, pedang di tangannya terlepas dari genggaman. Lepasnya senjata itu membuat Rajulit tidak mungkin lagi sanggup melindungi diri. Saat Rajulit terjajar mundur dengan wajah pucat-pasi, ketiga perampok itu melompat bersamaan sambil menusukkan pedang ke tubuh lelaki tegap itu.
“Aaa...!” Melihat maut sudah siap menjemput, Rajulit memekik ngeri. Lelaki tegap itu memejamkan kedua matanya. Dirinya tidak mungkin dapat lolos dari kematian!
“Aaakh?!”
“Aaa...?!”
Mendadak. Pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba para pengeroyok Rajulit terpelanting ke kiri dan kanan disertai pekik kesakitan. Tubuh ketiganya terbanting, jatuh berdebuk di atas tanah berumput. Teriakan-teriakan itu membuat Rajulit keheranan. Merasa penasaran, lelaki tegap itu membuka kedua matanya untuk melihat apa yang terjadi. Dan....
“Aaah...?!” Rajulit terpekik mundur. Beberapa langkah di hadapannya berdiri sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih. Semula ia menduga sosok tubuh itu Siluman Gurun Setan. Tapi ketika memperhatikan bentuk tubuhnya, Rajulit yakin yang berdiri tegak membelakanginya bukan Siluman Gurun Setan. Apalagi rambutnya tidak putih, meskipun juga panjang seperti halnya tokoh yang tengah menjadi momok desanya.
“Kau tidak apa-apa, Kisanak...?” tanya sosok berjubah putih itu membalikkan tubuhnya. Rupanya, dialah yang telah menyelamatkan nyawa Rajulit dari tangan perampok itu.
“Kau...?!” desis Rajulit Sepasang matanya terbelalak ketika mengenali siapa sosok berjubah “putih. Sebab, ia pernah bentrok dengan penolongnya itu.
”Ya. aku...,” sahut sosok berjubah putih yang ternyata Panji. Pemuda tampan itu tersenyum. Sedikit pun tidak terlihat sorot dendam pada sepasang matanya. Panji malah menunjukkan sikap bersahabat. Sehingga, Rajulit heran dibuatnya.
“Kau kaget melihat kami, Kisanak...?” tegur sebuah suara merdu dari belakang Rajulit
“Kau...?!” Sepasang mata Rajulit kembali terbelalak bagai hendak keluar dari tempatnya. Yang mengeluarkan suara merdu itu tidak lain Kenanga. Dara jelita berpakaian serba hijau itu tentu saja telah dikenalnya. Sehingga, wajahnya semakin bertambah pucat!
“Mengapa terkejut melihat kami, Kisanak? Apa kau pikir kami menaruh dendam kepadamu?” tegur Kenanga, menyadarkan Rajulit agar tidak perlu takut akan pembalasannya. Peristiwa itu memang sudah dilupakan Panji maupun Kenanga. Keduanya tidak menaruh dendam pada Rajulit
“Mengapa..., mengapa kalian menolongku...?” ucapan itu meluncur tanpa dipikirkan lagi. Rajulit jelas merasa heran dengan perbuatan kedua orang itu. Kenyataan itu masih terasa aneh bagi orang seperti dia.
“Mengapa kami berdua menolongmu?” Kenanga mengulang ucapan Rajulit dengan kening berkerut dan bibir tersenyum. “Kami menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Tapi, tentu tidak dengan membabi-buta. Kami harus melihat dulu. Apakah orang itu patut ditolong atau tidak? Ternyata, kau termasuk orang yang patut ditolong. Karena lawan-lawanmu bukan orang baik-baik...,” jelas Kenanga.
Rajulit tertegun, mendengar ucapan dara jelita itu, sadarlah Rajulit bahwa di atas bumi ini masih ada orang yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Dan ia mengalaminya sendiri. “Terima kasih atas pertolongan kalian...,” akhirnya keluar juga ucapan itu dari mulut Rajulit, kendati terdengar lemah. Lelaki tegap itu merasa malu mengingat kelakuannya ketika pertama kali berjumpa dengan pasangan orang muda itu.
Sementara itu, lelaki tinggi kurus bermata tajam yang menjadi pemimpin perampok menggeram gusar. Sepasang matanya menyorot tajam menyapu pemuda tampan berjubah putih, yang telah merobohkan ketiga kawannya dengan sekali gebrak! Meskipun pemuda itu terbukti cukup tangguh, tapi lelaki tinggi kurus itu tidak menunjukkan sikap gentar. Bahkan, bola matanya memancarkan api kemarahan.
“Kurang ajar! Siapa kau yang begitu lancang mencampuri urusanku!” bentak lelaki tinggi kurus. Langkahnya berhenti setengah tombak di depan pemuda tampan berjubah putih.
“Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Kisanak? Aku hanya menyelamatkan nyawa orang yang hampir kalian renggut secara paksa. Dan, itu bukan cuma urusanmu. Tapi telah menjadi urusan setiap orang gagah yang menentang kebathilan. Jadi termasuk urusanku juga,” elak Panji dengan tenang, hingga kepala perampok itu menjadi tertegun. Perkataan pemuda tampan berjubah putih itu baginya terasa rumit dan sulit dimengerti.
“Hm.... Tidak perlu berkhotbah di depanku, Bocah Ingusan! Karena kau telah lancang berani mencampuri urusan Kepalan Geledek, maka kau akan merasakan akibatnya...!” bentak lelaki tinggi kurus seraya memperkenalkan julukannya. Maksudnya tentu agar pemuda itu menjadi gentar. Karena namanya cukup dikenal di sekitar wilayah itu.
Panji merasa geli mendengar julukan lelaki tinggi kurus itu. Julukan yang digunakannya terlalu tinggi untuk ukuran perampok liar seperti dirinya. Tapi Panji tidak menertawakan julukan itu. Kelakuan seperti itu hanya dimiliki orang-orang sombong. Dan dirinya bukan termasuk golongan orang-orang itu.
“Kepalan Geledek, julukanmu cukup gagah dan angker. Tapi, seharusnya julukan itu dimiliki oleh orang-orang berhati bersih yang menentang kejahatan. Kalau kau ingin lebih dikenal serta disukai orang banyak, pergunakanlah kepandaianmu di jalan kebaikan. Kau akan merasakan bedanya...,” sahut Panji menasihati. Dan secara tidak langsung mengatakan bahwa perbuatan Kepalan Geledek kurang terpuji. Dengan ucapan itu, Panji berharap lelaki tinggi kurus itu akan sadar dan mengubah jalan hidupnya yang bergelimang dosa.
“Keparat! Rupanya kau menganggap dirimu sudah terlalu hebat hingga dapat mengalahkanku, begitu! Huh! Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu, Bocah!” Hati Kepalan Geledek tidak tergerak oleh ucapan Panji. Bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi. Lelaki itu telah siap membuka jurus untuk menggempur pemuda tampan berjubah putih.
“Haaat..!”
Kepalan Geledek membuka serangan dengan sebuah pekikan nyaring. Tubuhnya melesat ke depan dengan kepalan susul-menyusul yang menimbulkan sambaran angin tajam. Rupanya, julukan yang disandangnya disesuaikan dengan ilmu andalan yang dimilikinya. Sayang, julukannya tak tepat menurut Panji. Meskipun dari angin pukulan, Panji tahu lelaki itu memiliki tenaga yang cukup kuat, namun gerakannya tak menunjukkan ciri-ciri ilmu silat tinggi. Bahkan terkesan sangat pasaran.
Wuttt..!”
Ketika pukulan tangan kanan lawan tiba, Panji hanya mengangkat tangan kiri tanpa bergeser dari tempatnya semula.
Plakkk!
“Uhhh...?!” Tubuh Kepalan Geledek terdorong balik sejauh satu tombak. Wajah lelaki tinggi kurus itu meringis sambil memijat-mijat lengannya yang terasa linu. Yang menyambut pukulannya barusan seperti bukan lengan yang terdiri dari kulit dan daging, tapi sebatang besi yang sangat keras. Sehingga, bagian lengannya yang tertangkis tampak membiru.
“Ilmu setan...!” desis Kepalan Geledek. Tidak percaya pemuda tampan berjubah putih itu memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Sehingga, ia belum juga sadar lawannya tidak sebanding dengan dirinya.
“Hm.... Jangan terlalu cepat memberi penilaian, Kisanak. Coba kau tunjukkan ilmu ‘Kepalan Geledek’ yang kau banggakan itu...,” ujar Panji tanpa bermaksud menghina. Pemuda itu memang ingin mengetahui sampai di mana kepandaian lelaki tinggi kurus yang berani menyombongkan julukannya itu.
“Bangsaaat.!” dengan kemarahan yang meledak-ledak, Kepalan Geledek kembali menerjang maju. Kemarahan itu telah membuat dirinya lupa akan rasa sakit pada lengannya. Dan kembali merangsek dengan jurus-jurus yang selama ini sangat dibanggakannya.
Wuttt..!
Saat kepalan lawan datang, Panji menyambut dengan telapak tangan terbuka. Dan....
Tap!
Kepalan lelaki tinggi kurus itu tepat mengenai telapak tangan Panji dan melekat ketat Kepalan Geledek pucat wajahnya!
“Uhhh...?!” Kepalan Geledek berusaha menarik tangannya. Namun sampai wajahnya memerah, ia tidak sanggup melepaskan kepalannya dari telapak tangan lawan. Padahal kepalan perampok itu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Namun, tetap saja kepalannya melekat bagai menyatu dengan telapak tangan pemuda itu.
“Haaat..!”
Tiga orang kawanan perampok yang melihat pemimpinnya mengalami kesulitan, segera melesat dengan pedang di tangan. Mereka yang semula yakin pemimpinnya dapat mengalahkan pemuda itu, kini menjadi cemas! Dan menerjang bersama-sama untuk menolong lelaki tinggi kurus itu.
Melihat para perampok itu tetap keras kepala, Panji berniat memberi pelajaran kepada mereka. Maka, ia segera mendorong telapak tangannya. Akibatnya, tanpa ampun tubuh Kepalan Geledek terjungkal ke tanah. Lalu, Panji menotok lumpuh ketiga anggota perampok yang hendak membantu pemimpinnya. Terdengar pekik kesakitan berturut-turut. Dan, tubuh ketiga perampok itu jatuh ke tanah seperti sehelai karung basah. Mereka rebah dalam keadaan lumpuh kendati sadar sepenuhnya.
“Masih hendak melanjutkan kejahatanmu, Kepalan Geledek?” tanya Panji seraya menghampiri lelaki tinggi kurus yang tengah bergerak bangkit.
Kepalan Geledek yang kini yakin pemuda itu seorang pendekar hebat, hanya berdiri dengan wajah kuyu. Wajah dan sekujur tubuhnya dibanjiri peluh. Karena telah mengerahkan seluruh tenaganya sewaktu hendak melepaskan kepalannya dari telapak tangan pemuda itu. Andaikata pemuda itu hendak membunuhnya, tentu mudah sekali. Selain kepandaian lawan jauh berada di atasnya, ia sendiri sudah kehabisan tenaga. Maka, Kepalan Geledek hanya bisa pasrah menanti apa yang akan dilakukan lawan.
“Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Apa kau seorang dewa yang turun dari langit untuk menghukumku?” tanya Kepalan Geledek dengan napas satu-satu.
“Aku manusia biasa sepertimu, Kisanak. Aku hanya ingin mengingatkanmu agar jangan melanjutkan perbuatanmu selama ini. Pergunakanlah kepandaianmu untuk kebaikan. Percayalah, itu akan membuatmu tenang dan bahagia...,” jawaban Panji tanpa menunjukkan sikap permusuhan. Bahkan pemuda itu tersenyum. Seolah tengah menasihati seorang kawan yang salah memilih jalan.
Kepalan Geledek kelihatan terkesan. “Kalau boleh ku tahu, siapa kau sebenarnya, Kisanak...?” Kepalan Geledek merubah panggilannya.
“Namaku Panji. Aku seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap,” sahut Panji memperkenalkan diri. Sebab, ia melihat lelaki tinggi kurus itu mempertimbangkan ucapannya.
“Bukan itu maksudku. Melihat kehebatanmu, pasti kau mempunyai julukan yang mungkin diberikan orang karena sepak-terjangmu...,” tukas Kepalan Geledek ingin mengetahui julukan pemuda berjubah putih itu.
“Kalau itu yang kau inginkan, baiklah. Julukanku adalah Pendekar Naga Putih. Orang-orang kalangan persilatan memberikan julukan itu kepadaku...,” jawab Panji tanpa kesan sombong sedikit pun.
“Kau..., Pendekar Naga Putih yang terkenal itu...?!” desis Kepalan Geledek. Tampaknya, lelaki itu telah mendengar nama besar pemuda itu. Terbukti ia sangat terkejut ketika mendengar Panji memperkenalkan julukannya.
“Begitulah, Kisanak...,” jelas Panji.
Setelah beberapa saat terpaku, Kepalan Geledek tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya berlutut di hadapan Panji. Tentu saja pemuda itu kaget, la tidak menyangka lelaki tinggi kurus itu akan berbuat demikian.
“Kau telah membuka mataku yang selama ini tertutup kesombongan, Pendekar Naga Putih. Aku kagum dan hormat kepadamu. Kiranya apa yang dikatakan orang tidak berlebihan. Kau memang seorang pendekar berbudi yang rendah hati, dan menjadi panutan bagi banyak orang. Aku takluk kepadamu, Pendekar Naga Putih. Betapa bodohnya aku, tidak melihat gunung yang menjulang tinggi di depan mata!” ujar Kepalan Geledek yang sangat terkesan dengan sikap Panji. Sehingga, menyatakan takluk kepada pendekar muda itu.
Panji menghela napas panjang dengan dada lapang. Pemuda itu sungguh bersyukur mendengar ucapan lelaki tinggi kurus itu. Cepat diangkatnya bangkit berdiri tubuh lelaki itu. Kini keduanya saling bertatapan dalam jarak dekat.
“Aku bangga sekali mendengar ucapanmu, Kisanak. Semoga semua itu datang dari hatimu yang dalam...,” ucap Panji dengan senyum lebar.
“Aku sadar sepenuhnya, Pendekar Naga Putih. Semua itu bukan karena terpaksa. Tapi karena sikapmu yang demikian terpuji. Katakanlah, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku akan menurutinya, Pendekar Naga Putih...,” ujar lelaki tinggi kurus itu dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Seperti yang kukatakan tadi, tinggalkanlah kejahatan yang hanya mendatangkan kebencian serta merugikan orang. Banyak jalan kebaikan yang dapat membuatmu merasa tenang dalam mengarungi kehidupan ini...,” jawab Panji. Pemuda itu merasa yakin kepala perampok itu telah benar-benar sadar akan perbuatannya yang sesat selama ini.
“Aku akan mencobanya, Pendekar Naga Putih. Semoga orang-orang dapat menerimaku tanpa curiga...,” ujar Kepalan Geledek setengah berdoa agar dirinya dapat diterima masyarakat
Panji mengangguk seraya tersenyum. Kemudian melangkah ke arah tiga orang pengikut Kepalan Geledek yang masih terbaring lumpuh. Hanya dengan sekali tepukan, ketiganya kembali pulih seperti sediakala meski masih terasa pegal-pegal. Setelah mengembalikan barang milik Rajulit, Kepalan Geledek berpamitan pada Panji. Juga kepada Kenanga. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
“Hhh...,” Panji menghela napas lega melihat semuanya berjalan sangat baik, seperti yang diharapkannya. Lalu perhatiannya dialihkan pada Rajulit, setelah Kepalan Geledek dan para pengikutnya tidak kelihatan lagi.
“Nah. Sekarang kau telah bebas, Kisanak. Silakan melanjutkan perjalananmu...,” ujar Panji.
Rajulit kembali mengucapkan terima kasih kepada pasangan pendekar muda itu. Dengan menunggang kudanya, Rajulit berpamitan pada Panji dan Kenanga. Kemudian membedal kudanya meninggalkan tempat itu. Panji dan Kenanga memandangi kepergian lelaki tegap itu sampai lenyap di belokan jalan.
“Mengapa kau tidak mengorek keterangan dari lelaki itu, Kakang?” tanya Kenanga ketika mereka melangkah menyusuri jalan setapak.
“Apa kau sudah bertanya kepadanya...?” Panji balik bertanya. Pemuda itu kelihatan khawatir kalau-kalau Kenanga telah mencari keterangan dari lelaki tegap yang ia tahu orang kepercayaan Ki Legawa.
“Belum, Kakang...,” sahut Kenanga.
“Syukurlah. Sebab, bila kau sampai menanyakan sesuatu, kita bisa mendapat kesulitan. Lelaki tegap itu sangat dekat dengan Ki Legawa. Bahkan termasuk salah seorang sesepuh Desa Bandul. Sengaja aku tidak menanyakan tujuan kepergiannya. Karena aku tahu orang itu tidak akan menjawabnya dengan jujur. Ia akan merasa curiga bila aku bertanya. Dan lagi, aku tidak percaya dengan orang itu. Bukan tidak mungkin kepergiannya atas perintah Ki Legawa, untuk sesuatu yang sangat dirahasiakan...,” ujar Panji yang merasa lega mendengar jawaban kekasihnya.
Dengan demikian, mereka dapat bergerak bebas tanpa diketahui Ki Legawa dan pengikutnya. Suasana di antara mereka kembali hening. Yang terdengar hanya suara langkah kaki kudanya yang menginjak daun-daun kering.
********************
TUJUH
Lelaki berperawakan gagah itu melangkah terburu-buru menuju rumah besar di tengah desa. Siapa lagi lelaki gagah itu kalau bukan Ki Dirja, salah seorang sesepuh Desa Bandul. Tampaknya ia hendak menghadap Ki Legawa.
“Ada apa, Ki...?” tanya Ki Dirja begitu menghadap kepala desanya yang kelihatan beberapa tahun lebih tua dari sebelumnya. Rupanya ancaman Siluman Gurun Setan telah membuat hati Ki Legawa tertekan dan tidak bisa tenang menjalani hari-harinya. Hingga dirinya tidak bisa tidur pulas.
“Keparat! Bangsat itu benar-benar telah membuatku tersiksa!” Ki Legawa langsung menumpahkan kejengkelanya ketika melihat Ki Dirja. Tentu saja yang dimakinya Siluman Gurun Setan. Karena tokoh misterius itu ternyata tidak muncul selama beberapa hari ini. Agaknya, tokoh itu sengaja berbuat demikian agar Ki Legawa senantiasa dilanda ketegangan dan kegelisahan. Sehingga, hampir setiap malam lelaki Ketua Desa Bandul itu berjaga-jaga. Karena khawatir Siluman Gurun Setan akan muncul untuk membuktikan ancamannya.
Perasaan itu ternyata tidak hanya dialami Ki Legawa. Ki Dirja pun tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Ancaman Siluman Gurun Setan terhadapnya telah menggelisahkan lelaki gagah itu. Sehingga sosok Ki Dirja yang biasanya memancarkan wibawa, kini tampak layu karena kurang tidur. Tokoh misterius itu tampaknya telah membuat para sesepuh Desa Bandul dilanda ketegangan.
“Dalam beberapa hari ini aku pun tidak bisa tenang, Ki. Tokoh misterius itu telah mengacaukan hidupku....” Ki Dirja mengungkapkan keluhan serupa, seperti halnya Ki Legawa.
“Rupanya, manusia keparat itu ingin melihat kita mati tersiksa oleh kegelisahan. Malam-malam yang seharusnya bisa membuat kita beristirahat melepaskan lelah, sekarang menjadi sesuatu yang menakutkan. Sedangkan keparat itu tidak juga menampakkan diri. Hm... Kalau aku berhasil melumpuhkannya, akan kusiksa bangsat itu hingga ia merasa menyesal telah dilahirkan ke dunia!” geram Ki Legawa. Lalu bangkit dari kursinya dan melangkah hilir-mudik. Itu yang dilakukannya kalau hatinya sedang resah dan marah. Ki Dirja sudah hafal dengan tingkah-laku majikannya itu.
“Bagaimana dengan Rajulit, Ki? Apakah ia belum kembali?” tanya Ki Dirja mengalihkan pembicaraan.
“Menurut perhitungan, Rajulit kembali siang ini. Mudah-mudahan ia tidak menemui halangan di jalan...,” sahut Ki Legawa seraya menghempaskan tubuhnya ke kursi bergagang gading, yang tak ubahnya merupakan singgasana bagi Kepala Desa Bandul itu.
“Kalau demikian, sebaiknya kita tunggu kedatangan Rajulit. Kuharap, ia berhasil membawa guru Sepasang Golok Perak untuk membantu kita menghadapi Siluman Gurun Setan...,” timpal Ki Dirja harap-harap cemas.
Suasana di antara mereka menjadi hening ketika keduanya membisu mengikuti arus pikiran masing-masing. Hal itu berlangsung cukup lama. Sampai kemudian....
“Kau dengar itu, Dirja...?” ujar Ki Legawa langsung bangkit dari duduknya.
“Mudah-mudahan Rajulit yang datang...,” harap Ki Dirja ketika mendengar suara derap kaki kuda menuju rumah itu. Lelaki itu bangkit dan melangkah mengikuti Ki Legawa.
“Rajulit..!” desis Ki Legawa ketika melihat pembantunya tengah melompat turun dari atas punggung kuda. Cepat lelaki itu menghampiri, diikuti Ki Dirja di belakangnya.
“Mana Setan Jari Pedang? Apa kau tidak berhasil membujuknya?” tanya Ki Legawa ketika tidak melihat ada orang lain datang bersama pembantunya. Kekecewaan tampak jelas pada wajah lelaki tua itu.
“Tenang, Ki. Semuanya berjalan lancar. Sebentar lagi tokoh hebat itu akan berada di tengah-tengah kita. Dan, kita tidak perlu lagi takut dengan ancaman Siluman Gurun Setan. Sudah kukatakan kita tidak perlu membayar. Karena aku mengatakan padanya bahwa muridnya telah dibunuh Siluman Gurun Setan yang mengganas di desa kita. Dan, tepat seperti yang kuduga. Setan Jari Pedang sangat murka mendengar kematian kedua muridnya. Tokoh itu langsung setuju ketika aku mengajaknya ke sini...,” lapor Rajulit sangat bangga dengan keberhasilannya membawa Setan Jari Pedang ke tempat itu.
“Tapi, mengapa kau tidak datang bersamanya? Kapan dia akan datang, Rajulit?” Ki Legawa sepertinya belum bisa tenang kalau belum melihat Setan Jari Pedang. Sehingga, ia kembali bertanya kepada pembantunya itu.
“Jangan khawatir, Ki. Setan Jari Pedang pasti akan datang. Kakek itu tidak akan membiarkan pembunuh kedua muridnya hidup lebih lama. Satu hal yang harus kita ingat. Kendati usianya sudah tua, tapi tokoh itu sangat suka dengan wanita. Agar ia merasa senang tinggal di sini, kita harus menyediakan kesenangannya itu...,” ujar Rajulit Kemudian tertawa mengingat kesukaan Setan Jari Pedang yang kedengarannya tidak lumrah.
“Hoiii. Rajulit! Apa kau sudah menyiapkan kebutuhanku...!” tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud, hingga ketiga sesepuh Desa Bandul terkejut bukan main. Mereka tidak melihat pemilik suara yang melengking tinggi itu.
Belum lagi hilang rasa terkejut di hati mereka. Mendadak, bertiup angin keras yang mengibarkan pakaian dan rambut mereka. Tahu-tahu seorang kakek bertubuh kecil sudah berdiri di dekat ketiga orang itu. Tentu saja Ki Legawa dan Ki Dirja semakin bertambah kaget. Mereka tidak melihat dari mana datangnya kakek cebol itu.
“Heh heh heh...! Bukankah kau yang bernama Ki Legawa dan menjadi kepala desa ini...?” tanpa basa-basi, kakek cebol itu menuding Ki Legawa.
Hingga kening Ki Legawa langsung berkerut melihat sikap urakan kakek itu. Untuk beberapa saat lamanya Ki Legawa dan Ki Dirja meneliti sosok cebol itu dari bawah ke atas. Saat itu juga mereka langsung bisa menduga kakek cebol itu yang berjuluk Setan Jari Pedang. Apalagi, ketika melihat Rajulit mengangguk hormat kepada kakek itu.
“Benar. Akulah Ki Legawa. Selamat datang di desa ini, Kek. Mudah-mudahan sambutanku tidak mengecewakanmu...,” sambut Ki Legawa. Terpaksa menahan kejengkelan hatinya melihat sikap kakek itu, yang sedikit pun tidak menaruh hormat kepadanya. Kalau menuruti kata hatinya, ingin rasanya ia menendang keluar kakek cebol kurang ajar itu. Tapi mengingat ia sangat memerlukan orang tua itu, maka Ki Legawa menahan perasaannya. Dan berusaha menyenangkan hati Setan Jari Pedang.
“Hm.... Sambutanmu sangat mengecewakan, Legawa. Tapi, aku akan memaafkan kelalaianmu bila kesenanganku sudah kau siapkan,” tukas kakek itu sambil terkekeh, memperlihatkan giginya yang kotor. Setan Jari Pedang bukanlah orang yang suka menjaga kebersihan.
“Aku akan segera menyediakannya, Kek. Kuharap kau mau bersabar dulu. Aku baru saja tahu dari Rajulit, jadi tidak sempat menyiapkan sebelumnya. Maafkan atas kelalaianku...,” ujar Ki Legawa menahan rasa kedongkolan hatinya. Baru kali ini ada orang yang berani memerintah dirinya sesuka hati.
“Hm.... Kalau begitu, mengapa kau tidak segera mencarinya. Ayo, cepat! Atau kau ingin kuhajar...!” bentak kakek itu tanpa mempedulikan wajah Ki Legawa yang berubah merah.
Rajulit sendiri menjadi agak pucat. Lelaki tegap itu merasa khawatir jika Ki Legawa sampai marah. Karena dia sendiri pun belum tahu Setan Jari Pedang memiliki perangai yang aneh seperti itu. Kalau saja Rajulit tahu sebelumnya, tentu ia akan mengatakannya kepada Ki Legawa. Agar kepala desanya tidak terkejut dan memakluminya.
“Baik..., baik. Aku akan segera menyiapkannya,” sahut Ki Legawa cepat. Kemudian diajaknya Rajulit masuk ke dalam rumah. Sehingga lelaki tegap itu menjadi ketakutan.
“Maaf, Ki. Aku sungguh tidak menduga Setan Jari Pedang mempunyai sifat seperti itu. Kalau saja aku tahu, tentu jauh-jauh hari sudah kukatakan kepadamu....” Rajulit langsung membela diri sebelum Ki Legawa sempat memarahi. Sehingga, lelaki tua itu hanya bisa menghela napas untuk mengurangi kedongkolan hatinya.
“Hhh.... Sudahlah. Sekarang, cepat carikan apa yang diinginkan kakek itu. Caranya terserah bagaimana caramu sendiri...,” perintah Ki Legawa. Tidak mau tahu bagaimana Rajulit mendapatkan gadis-gadis muda untuk menyenangkan hati Setan Jari Pedang.
“Baik, Ki...,” meskipun bingung, Rajulit tidak membantah. Ia segera mengajak empat orang anak buahnya untuk melaksanakan tugas itu.
Sepeninggal Rajulit, Ki Legawa membawa Setan Jari Pedang masuk ke ruang tengah. Walaupun sebenarnya tidak suka, namun perasaan itu disembunyikannya rapat-rapat. Dan, Ki Legawa berusaha tetap bersikap wajar. Tapi, tingkah Setan Jari Pedang memang sangat urakan. Tanpa meminta izin tuan rumah, kakek itu langsung melangkah dan memeriksa setiap ruangan rumah besar itu. Bahkan setiap kamar dijenguknya. Entah apa yang hendak dilihat kakek sinting itu.
Ki Legawa hanya bisa mengurut dada ketika mendengar jeritan perempuan dari kamar istrinya, kamar gundik serta pelayan-pelayannya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perbuatan kakek sinting itu.
“Kakek sinting itu ternyata lebih gila dari Siluman Gurun Setan! Kalau ia tinggal lama di rumahku, aku bisa mati berdiri karena kelakuannya yang tidak waras itu...!” desis Ki Legawa kepada Ki Dirja, yang juga kelihatan sangat bingung melihat kelakuan Setan Jari Pedang.
“Aaauwww...! Lepaskan aku, lepaskan...!” terdengar suara jeritan perempuan, yang membuat kedua sesepuh Desa Bandul itu melompat ke dalam.
“Heh heh heh...! Di rumahmu ini ternyata banyak sekali wanita molek, Legawa. Aku mengambil perempuan ini dari kamar belakang. Nampaknya ia harus segera kucicipi...,” Setan Jari Pedang menjelaskan tanpa diminta. Sementara wanita yang berada dalam gendongannya meronta-ronta hendak melepaskan diri.
Melihat salah seorang istri mudanya berada dalam gendongan kakek sinting itu, Ki Legawa kembali menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan hanya mengangguk sambil menunjukkan sebuah kamar kosong ketika kakek itu memintanya.
“Heh heh heh...! Kalian boleh saksikan bagaimana kuda binal ini akan segera takluk dengan permainanku...,” ujar Setan Jari Pedang melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebentar kemudian, terdengar istri muda Ki Legawa menjerit-jerit. Entah apa yang dilakukan kakek itu kepadanya.
“Biarkan saja, Ki. Masih banyak perempuan lain yang bisa menggantikan istri mudamu...,” hibur Ki Dirja ketika melihat kegeraman di wajah kepala desanya.
“Kakek sinting itu memang jeli matanya. Ia tahu saja kalau perempuan itu yang tercantik di antara semua istri-istri mudaku...,” desis Ki Legawa yang kelihatan menyesal melihat perempuan yang paling disayanginya dibawa Setan Jari Pedang. Tapi karena ia sangat membutuhkan bantuan kakek sinting itu, maka Ki Legawa hanya bisa pasrah dan berharap agar semua itu cepat berakhir.
********************
“Ke mana kita, Ki...?” tanya salah seorang dari empat lelaki berpakaian serba hitam kepada Rajulit yang berjalan di depannya.
“Ikuti saja aku, dan jangan banyak tanya!” bentak Rajulit dengan tidak mengurangi kecepatan langkahnya. Lelaki tegap itu terus menyusuri jalan kecil yang menuju sungai. Keempat lelaki berpakaian serba hitam, yang merupakan pengawal-pengawal Ki Legawa, tidak bertanya-tanya lagi. Mereka mengikuti ke mana lelaki tegap itu melangkah.
“Nah. Kalian tunggu aku di sini. Ingat! Tidak boleh ada seorang pun yang meninggalkan tempat ini tanpa seizinku!” tegas Rajulit tanpa ingin mendengar adanya bantahan. Kemudian melanjutkan langkahnya seorang diri menuju sungai.
Beberapa perawan desa yang baru saja selesai mencuci pakaian di sungai dan berpapasan dengan lelaki tegap itu, mengangguk takut-takut. Mereka tetap menyapa Rajulit, karena lelaki tegap itu tetua desa mereka. Rajulit sendiri hanya bergumam tak jelas, dan terus melangkah. Dari tempat yang agak tinggi, lelaki tegap itu mengedarkan pandangan ke sekitar tepian sungai. Mulutnya menyungging senyum licik ketika melihat ada seorang gadis masih sibuk mencuci pakaian. Tampaknya gadis itu belum selesai mencuci lalu ditinggalkan kawan-kawannya.
“Hm.... Rupanya keberuntungan masih mengikutiku...,” gumam Rajulit. Dan melangkah cepat menghampiri gadis desa itu.
Suara langkah Rajulit yang sengaja dikeraskan, membuat gadis itu berpaling untuk melihat siapa yang datang. Wajahnya yang manis terlihat menyembunyikan kecemasan. Karena ia kenal baik siapa sebenarnya lelaki tegap itu.
“Belum selesai, Nyai...?” sapa Rajulit Lalu duduk di atas sebuah batu kali.
“Be... lum. Eh, sudah...,” jawab gadis berwajah manis yang mempunyai tahi lalat di bawah dagu. Ia kelihatan gugup menjawab pertanyaan Rajulit. Kelihatan betapa gadis itu sangat ketakutan. Sepasang matanya yang bulat menoleh ke kanan dan kiri. Wajahnya berubah pucat ketika tidak menemukan orang lain di tempat itu kecuali mereka berdua. Cepat pakaian yang dicucinya dibereskan. Kemudian bangkit berdiri hendak meninggalkan tempat itu.
“Mengapa terburu-buru, Nyai...?” tanya Rajulit seraya bangkit dari duduknya.
Gadis manis itu tidak menjawab pertanyaan Rajulit. Langkahnya justru semakin dipercepat. Perbuatan gadis itu memaksa Rajulit melompat dan menangkap lengannya.
“Lepaskan aku, Kakang! Biarkan aku pulang...,” pinta gadis itu yang rupanya telah mengenal baik sifat Rajulit. Ia dapat menduga apa yang diinginkan lelaki tegap itu darinya.
“Hm.... Jangan berpura-pura suci! Kau akan kubawa ke tempat Ki Legawa. Kalau kau membantah, kedua orang tuamu dan adik-adikmu akan celaka...,” ujar Rajulit mengancam gadis manis itu.
“Jangan, Kakang! Aku tidak mau...!” ratap gadis itu tetap tidak sudi ikut bersama Rajulit. Ia memberontak berusaha melepaskan cekalan lelaki tegap itu pada pergelangan tangannya.
Tapi, mana mungkin gadis lemah itu dapat melepaskan cekalan Rajulit yang kuat. Dan ketika lelaki tegap itu meraih pinggang lalu menggendongnya, gadis itu hanya bisa berteriak-teriak minta tolong. Sayang, di sekitar sungai tidak ada orang. Sedangkan tempat itu cukup jauh dari perumahan penduduk. Jadi, sia-sia saja teriakan gadis itu.
“Tunggu...!”
Saat Rajulit bergegas hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang membuat lelaki tegap itu terlonjak kaget. Bentakan itu mengandung kemarahan hebat. Dan dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. Rajulit menoleh ke arah asal suara. Sepasang matanya yang semula memancarkan api kemarahan, tiba- tiba terbelalak. Dan wajahnya berubah pucat! Rajulit dilanda ketakutan hebat!
Suara bentakan itu rupanya datang dari sosok langsing terbungkus pakaian berwarna serba hijau. Sosok itu seorang dara jelita yang kini memandang marah kepada Rajulit Sepasang mata bulatnya berkilat seperti hendak membakar tubuh lelaki tegap itu.
“Hm.... Beginikah sikap seorang sesepuh desa...? Bagus sekali perbuatanmu menculik anak gadis orang! Lepaskan gadis itu, atau kupatahkan batang lehermu...!” geram dara jelita berpakaian serba hijau sambil melangkah maju.
Kemunculan dara jelita itu rupanya tidak sendirian. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda tampan berjubah putih, yang juga memancarkan kemarahan pada sepasang bola matanya yang tajam menikam jantung. Pemuda itu melangkah di belakang gadis jelita berpakaian serba hijau.
“Kalian...?!” desis Rajulit yang telah mengenal baik kedua orang muda itu. Mereka tidak lain Panji dan Kenanga.
Kemunculan pasangan pendekar muda itu tidaklah aneh. Dalam beberapa hari ini, mereka memang memata-matai setiap gerak Ki Legawa dan orang-orangnya. Itu sebabnya mengapa mereka datang pada saat yang tepat!
Menyadari dirinya tidak mungkin dapat selamat, Rajulit segera melepaskan gadis yang ada di bahunya. Kemudian berlari secepat kilat bagai orang dikejar setan!
“Hm.... Jangan harap kau dapat lolos dari tanganku, Keparat!” geram Kenanga lalu menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke udara melewati kepala Rajulit!
DELAPAN
Jleggg!
Tubuh Kenanga mendarat tepat di hadapan Rajulit. Lelaki tegap itu rupanya sadar dirinya tidak mungkin dimaafkan. Maka begitu melihat tubuh dara jelita itu menghadang jalannya, Rajulit langsung menghunus senjata dan menerjang Kenanga!
“Kurang ajar! Rupanya kau bukan orang baik-baik! Seharusnya kau kubiarkan mampus di tangan perampok-perampok itu...!” geram Kenanga yang segera menggeser tubuhnya ke samping, kemudian lepaskan sebuah tendangan kilat yang kuat!
Jebbb!
Dalam keadaan panik dan ketakutan, Rajulit berbuat nekat. Ia mengelak secepatnya. Kemudian kembali menerjang dengan pedangnya. Tapi, tingkat kepandaian mereka berbeda jauh. Sehingga dalam beberapa jurus saja, tubuh Rajulit sudah terpelanting terkena tamparan keras Kenanga.
“Perempuan setan...!” maki Rajulit yang baru saja ketahuan belangnya oleh Kenanga dan Panji. Sadar bahwa tidak mungkin dapat menang, Rajulit segera mengeluarkan suitan panjang melengking. Tanda itu dimaksudkan untuk memberi tahu kawan-kawannya bahwa dia menemui kesulitan.
“Hm... Kau boleh undang seluruh teman-temanmu. Laki-Laki Keparat!” desis Kenanga kembali melancarkan serangan.
Kecepatan gerak dara jelita itu menyulitkan Rajulit untuk menyelamatkan diri. Akibatnya, ia dibuat jatuh bangun oleh pukulan dan tendangan lawan. Kenanga memang sengaja tidak langsung membunuh lelaki tegap itu. Gadis itu marah melihat perbuatan Rajulit Ia hendak memberi pelajaran agar Rajulit menjadi jera.
Saat Rajulit tengah dihajar Kenanga, empat orang kawannya datang berlari-lari hendak membantu lelaki tegap itu. Mereka langsung memasuki kancah pertarungan dengan pedang di tangan.
“Hm.... Majulah kalian semua, Tikus-Tikus Busuk!” bentak Kenanga. Tapa mengurangi kecepatan serangannya sedikit pun, kendati harus menghadapi keroyokan lima orang lawan. Dalam waktu singkat, tiga orang pengawal Ki Legawa tergeletak pingsan akibat tamparan keras pada pelipis mereka. Dan dua orang lainnya segera mendapat bagian.
“Haiiih!”
Plakkk..., desss!
Rajulit yang terkena tendangan keras, langsung terjungkal ke belakang. Malang, kepalanya membentur batu kali. Hingga lelaki tegap itu tewas seketika! Sedang pengawal Ki Legawa yang seorang lagi terjerembab terkena tendangan berputar Kenanga. Lelaki itu langsung roboh pingsan. Karena tendangan keras itu tepat mengenai pelipisnya.
“Bagaimana dengan gadis itu, Kakang ?” tanya Kenanga seraya menghampiri Panji dan gadis desa yang masih terisak-isak.
“Tidak apa-apa. Ia hanya terkejut...,” jelas Panji menghilangkan kekhawatiran Kenanga.
“Bisakah kau menceritakan mengapa lelaki itu mengganggumu, Adik Manis?” tanya Kenanga mencoba mencari keterangan dari gadis desa yang usianya sekitar delapan belas tahun itu.
“Kakang Rajulit sering mengganggu gadis-gadis. Bahkan ia tidak segan-segan bertindak kasar, dan mengancam akan mencelakakan keluarga korban bila melawan kehendaknya. Kebanyakan dari gadis-gadis itu akhirnya dijadikan simpanan Ki Legawa. Tapi warga desa tidak bisa berbuat apa-apa. Selain Ki Legawa sangat kuat dan pandai silat, ia pun mempunyai pengikut yang cukup banyak. Sehingga tanpa mengalami kesulitan, Ki Legawa memeras penduduk agar menyerahkan separo hasil panennya. Banyak petani yang berhutang kepadanya. Kemudian menyerahkan anak gadisnya untuk dijadikan istri kesekian atau gundiknya. Dengan begitu, hutang mereka menjadi lunas...,” jelas gadis manis itu dengan lancar. Sepertinya ia mengharap agar Panji dan Kenanga segera menghentikan kekejaman penguasa Desa Bandul.
“Terima kasih, Adik Manis. Sekarang pulanglah. Aku yakin tidak ada lagi yang mengganggumu di jalan...,” ujar Kenanga yang menjadi geram mendengar penuturan gadis lugu itu. Semakin yakinlah Kenanga bahwa kematian adik kandung Ki Legawa akibat ulah kakaknya sendiri. Mungkin ia hendak mencegah perbuatan kakaknya. Hingga, Ki Legawa terpaksa melenyapkannya.
“Hm.... Sayang, bukti-bukti yang ada masih belum kuat. Sehingga kita tidak bisa langsung menuduh Ki Legawa. Sebaiknya kita tunggu sampai dapat menangkap basah perbuatan keji kepala desa laknat itu...,” ujar Panji setelah terdiam beberapa saat Lalu pemuda itu mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
********************
Kegelapan datang menyelimuti permukaan bumi. Bintang di langit tampak berkelip jenaka. Cahaya bulan purnama mengubah, suasana gelap menjadi terang oleh cahayanya yang merata. Malam yang cerah.
Di tengah suasana malam yang indah itu, sesosok bayangan putih bergerak menuju pusat desa. Tubuhnya demikian lincah berlompatan dari satu atap ke atap yang lain. Seolah bayangan putih itu terbang seperti hantu dalam dongeng anak-anak.
Tidak berapa lama kemudian sosok itu tiba di tempat tujuan. Lalu melayang turun di halaman belakang rumah kediaman Kepala Desa Bandul. Siapa lagi sosok berjubah dan berambut putih kalau bukan tokoh misterius yang berjuluk Siluman Gurun Setan. Rupanya, ia datang untuk menepati janji yang pernah diucapkan di hadapan Ki Legawa dan para pembantunya. Apalagi yang diinginkan tokoh itu kalau bukan nyawa!
Namun saat sosok berjubah putih hendak masuk ke dalam rumah dengan melalui dapur, tiba-tiba terdengar suara tawa yang membuat Siluman Gurun Setan berbalik secepat kilat!
“Heh heh heh. Kaukah yang berjuluk Siluman Gurun Setan...?” tegur kakek cebol. Kakek yang tidak lain Setan Jari Pedang itu berdiri angkuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Siapa kau...?” desis Siluman Gurun Setan yang tampaknya tidak mengenal Setan Jari Pedang.
Pertanyaan itu membuat Setan Jari Pedang mengerutkan kening dalam-dalam. Tokoh yang berjuluk Siluman Gurun Setan itu rupanya telah melupakan. Padahal baik Siluman Gurun Setan maupun Setan Jari Pedang sama-sama tokoh kawakan. Kendati mereka tidak sejalan, tapi telah saling mengenal dengan cukup baik. Maka ketika mendengar Siluman Gurun Setan tidak mengenalinya, timbul kecurigaan tentang keaslian tokoh misterius itu yang dikabarkan telah tewas di pertapaannya. Kalau sekarang tiba-tiba muncul, pasti bukan Siluman Gurun Setan yang sesungguhnya.
“Hm.... Kau tidak mengenaliku lagi, Manusia Gurun...!” ujar Setan Jari Pedang yang merasa yakin orang itu bukan Siluman Gurun Setan yang sesungguhnya. Mungkin hanya mempunyai hubungan dengan tokoh hebat yang sangat terkenal pada masa jayanya itu.
“Kau pasti orang sewaan Legawa yang sangat takut akan kematian itu...,” sahut Siluman Gurun Setan dengan angker.
“Jangan menuduh sembarangan, Manusia Keji! Kedatanganku kemari ada hubungannya dengan Sepasang Golok Perak yang telah kau bantai...,” jawab Setan Jari Pedang.
“Apa hubunganmu dengan orang-orang yang mencari nafkah dengan mengandalkan kepandaian untuk membela orang jahat itu...?” tanya Siluman Gurun Setan seraya menatap tajam lelaki cebol itu. Melihat sorot mata kakek cebol yang berkilat tajam, tokoh misterius itu segera dapat menebak kakek itu bukan orang sembarangan. Ia harus berhati-hati untuk menghadapinya.
“Aku adalah gurunya yang hendak menuntut balas! Bersiaplah, Siluman Gurun Setan...,” sahut kakek cebol itu, kemudian bergerak maju dengan tenang dan penuh percaya diri.
“Hm.... Kalau muridnya jahat, pasti gurunya tidak berbeda jauh. Kau sama saja dengan muridmu...,” tukas Siluman Gurun Setan tak mau kalah bicara.
“Kurang ajar...! Kau harus diberi pelajaran untuk menghormati orang lain!” balas Setan Jari Pedang yang sudah siap menggempur pembunuh murid-muridnya.
“Haaat..!”
Sambil berteriak melengking, kakek cebol itu melesat ke depan mengirim serangan maut. Namun Siluman Gurun Setan tidak tinggal diam. Tubuhnya tak kalah cepat bergerak menyambut hujan serangan lawan. Sebentar saja, kedua tokoh itu sudah terlibat sebuah perkelahian sengit!
Keberadaan Setan Jari Pedang rupanya telah diperhitungkan secara tepat. Ketika pertarungan berlangsung, Ki Legawa muncul bersama orang-orangnya. Sehingga, Siluman Gurun Setan terkepung. Sadarlah tokoh misterius itu kalau mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya. Sehingga, tokoh misterius itu terkejut
“Heaaah...!”
Seraya berteriak keras, Siluman Gurun Setan mempergencar serangannya. Tokoh itu hendak, segera merobohkan Setan Jari Pedang. Karena kakek itu merupakan lawan paling tangguh. Sayang, kakek cebol itu tidak mudah ditundukkan. Bahkan mampu membalas serangan Siluman Gurun Setan dengan tidak kalah berbahaya. Akibatnya, Siluman Gurun Setan harus memusatkan pikiran. Sebab kakek cebol itu berkepandaian tinggi.
“Haiiit..!”
Ki Legawa tidak sabar melihat jalannya pertempuran yang baginya terasa lambat. Lelaki itu segera melayang memasuki kancah pertempuran!
Bwettt!
Begitu tiba, Ki Legawa langsung mencecar Siluman Gurun Setan dengan sambaran pedang yang berciutan. Hingga tokoh misterius itu terdesak hebat. Kalau harus menghadapi kedua lawan tangguh itu ia merasa kewalahan!
“Haiiit..!”
Pada saat Siluman Gurun Setan tengah berusaha mengimbangi permainan lawan, tiba-tiba terdengar pekikan melengking tinggi. Disusul dengan melayangnya sesosok bayangan putih dari udara. Setan Jari Pedang dan Ki Legawa kelihatan sangat terkejut melihat bayangan putih yang laksana seekor naga sakti meluncur turun ke arah mereka. Jelas sosok bayangan putih itu berpihak kepada Siluman Gurun Setan!
Plakkk! Plakk!
Setan Jari Pedang dan Ki Legawa berseru tertahan merasakan betapa kuat tenaga gempuran sosok bayangan putih! Bahkan, Ki Legawa terpelanting ketika menangkis serangan tiba-tiba itu. Melihat Ki Legawa terpisah dari kakek cebol itu, Siluman Gurun Setan bergegas menyerbu. Pukulan yang menyambar berciutan sangat mengejutkan Ki Legawa.
“Heaaah...!”
Cepat pedangnya dikelebatkan untuk mematahkan serangan lawan. Lalu menyusuli dengan serangan-serangan gencar! Sehingga, kedua tokoh itu bertarung sengit!
Di tempat lain, sosok bayangan putih yang tidak lain Panji berhadapan dengan Setan Jari Pedang. Kakek cebol itu tidak segera memulai pertempuran. Dipandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih yang sekujur tubuhnya terlapisi kabut putih keperakan.
“Kau..., Pendekar Naga Putih...?” tanya kakek cebol itu menegasi.
“Tidak salah...,” sahut Panji singkat. Pemuda itu pun tidak menyiapkan jurus untuk bertarung. Kendati demikian ia tetap waspada dan siap menghadapi gempuran kakek cebol itu.
“Hm.... Jangan kira kau dapat berbuat seenak perutmu dengan mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih! Aku tidak mempunyai urusan denganmu...!” Setelah berkata demikian, Setan Jati Pedang melesat meninggalkan Panji menuju pertempuran Ki Legawa dan Siluman Gurun Setan.
“Biarkan mereka...!” seru Panji
Dikejarnya kakek cebol itu. Mendadak Setan Jari Pedang berbalik, dan melepaskan serangan licik!
Cwiiittt..!
Suara angin yang bercuitan menandakan betapa hebat serangan kakek cebol itu. Tapi, Pendekar Naga Putih sejak semula sudah siap menghadapi berbagai macam kelicikan lawan. Sambaran lengan Setan Jari Pedang dapat ditepiskan dengan baik!
Tasss...!
Terdengar ledakan kecil ketika dua gelombang tenaga dalam saling berbenturan di udara. Akibatnya, tubuh Setan Jari Pedang terlempar ke belakang. Sedangkan Panji meluncur turun dengan ringan. Kekuatan Panji ternyata masih berada di atas lawan.
“Keparat..!”
Marah bukan main Setan Jari Pedang melihat kenyataan yang mengecewakan itu. Dibarengi sebuah lengkingan panjang, kakek cebol itu kembali melayang ke arah Panji dengan serangan-serangannya yang lebih hebat dan berbahaya!
Pendekar Naga Putih segera menghadapi dengan ilmu ‘Silat Naga Sakti’. Keduanya pun terlibat dalam sebuah pertempuran yang sangat mendebarkan!
Setan Jari Pedang kelihatan sangat bernafsu dapat merobohkan Pendekar Naga Putih. Serangan seperti gelombang air bah itu datang bertubi-tubi dengan gencarnya. Sayang, serangan kakek cebol itu selalu kandas di tengah jalan. Hingga ia semakin penasaran dibuatnya.
Melihat lawan sangat bernafsu meraih kemenangan, Panji tidak tinggal diam. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga mulai menunjukkan keampuhan. Disertai hawa dingin yang menusuk tulang, pemuda itu menerjang maju dengan jurus-jurus andalannya.
Sehingga ketika pertempuran memasuki jurus keseratus dua puluh, Setan Jari Pedang mulai merasakan keampuhan jurus-jurus lawan. Kakek cebol itu mulai terdesak. Ruang gerakannya semakin sempit. Serbuan hawa dingin yang tidak pernah berhenti itu, menyulitkannya untuk membangun serangan. Setan Jari Pedang merasa dirinya bagai dikelilingi dinding-dinding salju yang tak tampak. Akibatnya....
Desss!
“Hakkk!”
Pada jurus keseratus tiga puluh, Setan Jari Pedang tak sanggup lagi menyelamatkan diri. Sebuah hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih, telah melemparkan tubuh kakek cebol itu sejauh dua tombak, dan terus terguling-guling di atas tanah!
“Kurang ajar...!” umpat Setan Jari Pedang marah bukan main melihat dirinya dapat dirobohkan pemuda hebat itu. Meski dadanya terasa agak sesak dan sekujur tubuhnya dijalari hawa dingin, Setan Jari Pedang masih sangat bernafsu melanjutkan pertarungan.
“Haaat!”
Pendekar Naga Putih bergegas untuk menghindari hujan serangan Setan Jari Pedang. Kemudian membalas dengan gempuran yang tidak kalah dahsyat! Keduanya kembali bertarung ketat!
“Hiaaah...!”
Buggg!
Dua puluh jurus kemudian, sebuah tendangan Panji menghantam telak dada kakek cebol itu. Kembali tubuh Setan Jari Pedang terbanting ke tanah. Kali ini tidak segera bangkit. Isi dadanya terasa berguncang hebat! Darah segar menyembur keluar karena luka dalam yang dideritanya.
“Baiklah. Kali ini aku mengaku kalah, Pendekar Naga Putih!” desis Setan Jari Pedang seraya menatap Panji dengan sorot mata penuh dendam. Lalu kakek itu bergerak meninggalkan tempat itu dengan langkah tertatih.
Panji tidak mempedulikan kepergian Setan Jari Pedang. Perhatiannya segera dialihkan pada pertarungan Ki Legawa dan Siluman Gurun Setan. Kelihatannya, Kepala Desa Bandul tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Siluman Gurun Setan mendesak lawan dengan serangan-serangan ganas dan cepat
Perhatian Panji beralih ke tempat lain. Dilihatnya Kenanga tengah bertarung melawan Ki Dirja dan para pengawalnya. Rupanya, dara jelita itu mencegah mereka ketika hendak membantu Ki Legawa yang tengah berjuang menghadapi Siluman Gurun Setan. Sehingga, Ki Dirja dan kawan-kawannya menggempur dara jelita itu.
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang melengking merobek angkasa. Disusul robohnya tubuh Ki Legawa dengan leher hampir putus! Siluman Gurun Setan telah berhasil menamatkan riwayat lawannya.
“Hentikan pertarungan...!”
Ki Dirja dan orang-orangnya yang tengah mengeroyok Kenanga berlompatan mundur. Lalu berpaling ke arah sosok Siluman Gurun Setan. Tokoh itulah yang tadi berteriak menghentikan pertarungan.
“Saudara-saudara sekalian! Ingatkah kalian dengan Ki Raharja, Kepala Desa Bandul yang lama. Ketahuilah. Ki Legawa telah menyebarkan fitnah keji terhadapnya! Ki Raharja tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan Ki Legawa. Dengan sengaja Ki Legawa menyuruh kekasihnya menjebak Ki Raharja. Saat itu Ki Raharja berada seorang diri di tempat kediamannya. Dengan liciknya, Ki Legawa menghasut para pelayan untuk bersembunyi. Kemudian datanglah Yanara, kekasih Ki Legawa. Seperti yang telah mereka rencanakan, Yanara kemudian keluar dari dalam rumah dengan pakaian tidak senonoh, la mengaku telah diperkosa Ki Raharja,” Siluman Gurun Setan menghentikan ceritanya? Sepasang matanya memandang berkeliling. Seolah hendak melihat tanggapan orang-orang di sekitarnya.
“Bohong! Siluman itu jelas telah menyebarkan dusta! Kalian jangan percaya! Sebaiknya kita bunuh saja manusia jahat itu!” teriak Ki Dirja yang didukung Malingga serta kerabat dekat keluarga Ki Legawa.
“Tunggu...!”
Melihat gelagat tidak baik, Panji berseru mengerahkan tenaga dalamnya hingga orang-orang itu terhuyung mundur. Kemudian pemuda itu melangkah dan berdiri di samping Siluman Gurun Setan.
“Aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, betapa Ki Legawa telah memerintahkan Rajulit untuk menculik gadis-gadis ini. Bahkan dengan paksa merebut anak gadis orang. Karena orang tua gadis itu tidak mampu membayar hutang-hutangnya kepada Ki Legawa,” ujar Panji mengatasi suara ribut orang-orang itu. Karena ia mengerahkan tenaga dalam, maka suaranya terdengar jelas.
“Selain itu, aku masih mempunyai saksi hidup yang akan membuat kalian percaya dengan keteranganku daripada bau busuk yang keluar dari mulut begundal-begundal Ki Legawa...,” setelah berkata demikian, Siluman Gurun Setan melesat pergi.
Panji segera bertindak mengatasi kebisingan itu. Suara bentakannya yang menggelegar membuat para pengawal Ki Legawa tidak berani berkutik. Keributan yang terjadi di tempat kediaman Ki Legawa telah membangunkan penduduk desa. Terutama bentakan Panji yang laksana ledakan guntur.
Sehingga, tempat itu dipadati warga Desa Bandul. Saat teriakan-teriakan ribut orang-orang Ki Legawa kembali terdengar, Siluman Gurun Setan muncul sambil menggendong sesosok tubuh perempuan. Kemudian menurunkannya dari gendongan.
“Yanara...?!” desis Ki Dirja. Wajahnya berubah pucat. Demikian juga beberapa pengikut dan kerabat dekat Ki Legawa. Mereka menjadi ketakutan melihat wanita itu.
“Nah. Kalian lihat sendiri, bukan? Wajah-wajah iblis itu sekarang berubah pucat! Karena wanita inilah yang mengetahui segala kebusukan Ki Legawa dan begundal-begundalnya. Selain mencelakakan Ki Raharja untuk menguasai desa ini, mereka pun telah meracuni seluruh keluarga Ki Raharja. Sehingga, tidak satu pun dari keluarga kepala desa kalian yang lama selamat. Mereka terkena penyakit yang menjijikkan. Sampai akhirnya, seluruh anggota keluarga Ki Raharja mati dengan tubuh kurus kering akibat racun jahat itu. Sayang, Rajulit dan salah seorang kawannya bertindak ceroboh. Yanara yang diperintahkan Ki Legawa untuk dilenyapkan, malah mereka lahap dengan buas di dalam sebuah hutan. Kemudian meninggalkannya dalam keadaan pingsan. Untunglah aku bertemu dengan wanita malang ini. Dari Yanara-lah aku mengetahui kebusukan Ki Legawa secara lebih terperinci!” Siluman Gurun Setan mengakhiri ceritanya.
“Bunuh manusia-manusia busuk itu!”
“Gantung mereka hidup-hidup...!”
Terdengar teriakan marah di sana-sini. Hingga Ki Dirja dan para pengikut Ki Legawa ketakutan. Para penduduk memang sudah sangat mendendam Ki Legawa dan orang-orangnya. Sehingga, mereka seperti mendapat kesempatan untuk menumpahkan kemarahan itu.
“Saudara-saudara sekalian, harap tenang...!” melihat wanita cantik yang bernama Yanara berusaha berbicara, Panji segera berseru mengatasi kebisingan itu. Sehingga, suasana kembali hening.
“Saudara-saudara sekalian. Perlu kalian ketahui, Ki Raharja yang terpaksa melarikan diri karena merasa tidak bersalah ternyata masih hidup. Sekarang beliau memakai julukan Siluman Gurun Setan...!” Yanara berteriak keras-keras agar para penduduk mendengar perkataannya.
Siluman Gurun Setan berdiri tegak. Kemudian membuka topeng kasar yang selama ini dikenakannya. Tampaklah wajah seorang lelaki gagah berwibawa berusia sekitar lima puluh lima tahun. Lelaki gagah itu tersenyum mengangkat kedua tangannya, ketika mendengar warga Desa Bandul mengelu-elukan namanya. Melihat Ki Raharja masih hidup, hampir sebagian besar keamanan desa berlari memburu dan menjatuhkan tubuhnya memohon ampun lelaki gagah itu.
Ki Dirja dan para pengikut serta keluarga Ki Legawa yang hendak melakukan perlawanan, dengan mudah ditundukkan Panji dan Kenanga. Lalu diserahkan kepada Ki Raharja alias Siluman Gurun Setan. Panji percaya lelaki gagah itu akan bertindak bijaksana untuk menghukum para pengkhianat itu.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tanpa bantuanmu mungkin aku akan gagal...,” ucap Ki Raharja menyalami Panji dengan penuh rasa terima kasih.
Panji dan Kenanga hanya tersenyum. Saat perhatian Ki Raharja kembali tercurah kepada warga desa dan tawanannya, pasangan pendekar muda itu pergi dengan diam-diam. Mereka memang tidak mengharapkan balasan atas apa yang telah mereka lakukan. Keduanya melanjutkan perjalanan untuk menegakkan keadilan di muka bumi...
S E L E S A I