Teluk Akhirat

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng episode Teluk Akhirat karya Bastian Tito
Sonny Ogawa
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng
Episode Teluk Akhirat
Karya Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito
SATU

Tantangan di Dalam Kamar

PENDEKAR 211 Wiro Sableng garuk-garuk ke-pala, memandang wajah cantik Pelangi Indah yang duduk di tepi pembaringan besar. Di dalam kamar itu hanya mereka berdua. Sosok Pelangi Indah, pimpinan kelompok para gadis cantik yang disebut Bumi Hitam mengenakan sehelai jubah hitam terbuat dari sutera. Walau kamar besar itu hanya diterangi sebuah pelita kecil namun ketipisan pakaian yang dikenakan Pelangi Indah membuat Wiro dapat melihat jelas setiap lekuk tubuh si gadis.

Wiro ingat kembali ucapan Eyang Sinto Gendeng ketika dia memaksa mendapatkan ilmu kesaktian bernama Sepasang Inti Roh. Si nenek berkata, bahwa selama dirinya masih suka pada wajah cantik, senang melihat keindahan tubuh mulus perempuan, maka dia harus menunggu 49 tahun untuk mendapatkan ilmu Kesaktian Sepasang Inti Roh itu.

Kini bukan saja dia tengah ditantang dalam satu ujian sangat besar, tetapi juga berada dalam keadaan bingung karena tidak mengetahui dimana berada Eyang Sinto Gendeng dan apa yang terjadi dengan Sang guru. Wiro kembali memperhatikan wajah cantik dan sosok tubuh Pelangi Indah yang menggairahkan. Dalam hati dia membatin.

"Kalau aku berlama-lama dalam kamar ini, bisa-bisa lupa diri dan melakukan apa saja yang diinginkan gadis cantik ini. Budi pertolonganku menemukan kalung kepala srigala itu bisa di salah artikan. Jangankan tubuhnya, jiwanya mungkin diserahkan padaku" Wiro menghela nafas dalam.

"Wiro, apa yang ada dalam pikiranmu?" Tiba-tiba Pelangi Indah bertanya.

"Maafkan aku Pelangi. Aku tak mungkin mengabulkan permintaanmu..."

"Aku mengajukan beberapa permintaan padamu. Permintaanku yang mana yang tidak mungkin kau kabulkan?" kembali si gadis bertanya.

"Aku tak mungkin berada di kamar ini sampai pagi. Aku harus segera pergi. Aku harus berterima kasih padamu dan semua gadis di sini. Karena telah menyelamatkan diriku dari pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku berhutang budi dan nyawa...."

"Diantara kita tidak ada hutang budi dan nyawa. Kau menolongku, aku menolongmu. Memang begitu harkat hidup manusia...Mengapa kau tidak bersedia menghabiskan malam ini bersamaku Wiro? Kau harus segera pergi. Pergi ke mana?

Wiro menggaruk kepalanya kembali. "Pelangi Indah sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di tempat ini. Namun aku sangat mengkhawatirkan keselamatan guruku Eyang Sinto Gendeng. Nenek sakti itu lenyap entah kemana. Tapi aku sudah tahu siapa yang punya pekerjaan. Kakek muka putih yang bernama Tawang Alu itu...!"

Pelangi Indah menatap dalam-dalam ke mata pendekar 212. Di bibirnya menyeruak senyum tipis. "Aku tahu dia memang mengkhawatirkan keselamatan gurunya. Tapi satu hal yang tidak kuduga ternyata pendekar ini tidak seperti yang diceritakan orang. Dia bukan pemuda hidung belang. Dia berlindung dibalik rasa khawatir terhadap keselamatan gurunya. Padahal dia ingin menghindari ajakan untuk memenuhi kobaran hasrat pada diriku. Ternyata Pendekar 212 seorang pemuda beriman teguh. Sayang nasib malang ku rupanya bakal berkepanjangan. Cepat atau lambat kutukan itu pasti akan datang lagi. Semoga kalung kepala srigala tetap aman berada di tanganku."

"Wiro, apakah kau menolak bermalam di sini karena kau tak ingin mengkhianati Anggini?"

Murid Sinto Gendeng terkejut mendengar ucapan Pelangi Indah itu. "Kau kau kenal dengan gadis itu?"

Pelangi Indah menggeleng. "Melihatnyapun aku belum pernah. Tapi aku yakin dia tentu seorang gadis sangat cantik..."

"Jika tidak kenal, belum pernah melihatnya lalu bagaimana..?

"Beberapa waktu itu dedengkot rimba persilatan yang berjuluk Dewa Tuak pernah datang ke sini. Dia memberi tahu perihal perjodohanmu dengan muridnya yang bernama Anggini. Dia menghabiskan banyak waktu untuk mencarimu..."

"Kakek satu itu! Dia kakek yang paling baik di dunia ini. Aku tidak mengerti mengapa dia terlalu berharap pada diriku. Mulutnya memang sering berucap, tapi siapa yang percaya. Soal perjodohan ku dengan muridnya yang bernama Anggini itu, suka-sukanya sendiri. Aku tidak merasa di perjodohkan."

"Pelangi Indah terdiam sesaat. Bibirnya kembali menyeruakkan senyum. Di lubuk hatinya muncul sekelumit harapan. Lalu gadis ini bertanya. "Wiro apakah kau juga menolak permintaanku untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Ki Tawang Alu?"

"Kau memberikan satu kehormatan dan kepercayaan sangat besar kepadaku, Pelangi Indah. Demikian besarnya hingga aku tidak berani menerima permintaanmu..."

Bayangkan rasa kecewa kelihatan di wajah cantik Pelangi Indah. "Ketahuilah, permintaan yang satu itu bukan cuma datang dariku. Tapi juga merupakan permintaan semua gadis di Bumi Hitam ini. Mereka sekarang berada di luar. Menunggu jawabanmu. Mereka akan sangat kecewa jika kau menolak. Harapan mereka setinggi langit sedalam lautan..."

"Aku mohon maaf. Mungkin... Mungkin kita bisa bertemu dan bicara lagi setelah aku menemukan Eyang Sinto Gendeng. Sekarang aku mohon diri..."

Pelangi Indah bangkit dari tepian ranjang. Kini dia tegak berhadap-hadapan dengan Pendekar 212. Diam sesaat lalu seperti tidak hendak dilepaskannya selama-lamanya dipeluknya sang pendekar. Kepalanya disandarkan ke dada bidang Wiro. Murid Sinto Gendeng merasa betapa hangatnya tubuh gadis itu. Jantung mereka seolah berdegup menjadi satu.

"Maafkan aku Pelangi. Aku berjanji akan datang menyambangimu lagi di puncak Merapi ini..." Wiro membelai punggung si gadis lalu mencium keningnya.

"Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu, apalagi punya perasaan ingin memiliki mu," kata Pelangi Indah tapi hanya terucap di dalam hati.

Pelangi memeluk tubuh Pendekar 212 erat-erat. Lalu perlahan-lahan dilepaskannya rangkulannya. Dua tangannya bergerak ke belakang kepala, menyelinap di balik rambut yang panjang hitam. Jari-jarinya melepas ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata.

"Terimalah ikat kepala ini sebagai pengiring selamat jalan. Jika batu permata di permukaan kain kau usap, maka akan ada satu getaran gelombang sambung rasa antara kau dan aku. Dan aku akan tahu bahwa kau tengah mengingat diriku, ingin bertemu dengan diriku. Mudah-mudahan aku bisa muncul di hadapan mu..."

Pendekar 212 merasa heran mendengar ucapan itu. "Apakah gadis ini memiliki kekuatan gaib yang bisa memunculkan dirinya di hadapanku dengan cara mengusap batu hitam di atas kain ikat kepala?" Wiro hendak bertanya. Tapi Pelangi Indah memasukkan ikat kepala itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata.

"Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diriku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan dia bisa menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu..."

"Aku... Ini benda sangat berharga. Aku tidak bisa menerimanya Pelangi. Ikat kepala ini pasti sangat berguna bagi dirimu..."

"Juga bagi dirimu," bisik Pelangi Indah.

Wiro terpaksa menyimpan ikat kepala sutera hitam itu di balik pakaiannya.

2

MISTERI NYAWA KELELAWAR PANCUNG ROH

SETELAH melihat Wiro menyimpan kain sutera ikat kepalanya, Pelangi Indah berkata. "Dari para gadis aku mendapat kabar bahwa gurumu Eyang Sinto Gendeng berada dalam keadaan lumpuh akibat terkena racun Seribu Hawa Kematian. Dan kau tengah berusaha mencari mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh..."

Wiro mengangguk. "Mahluk itu memiliki kesaktian luar biasa. Para gadis anak buahmu memberikan beberapa petunjuk. Mungkin kau bisa menambahkan apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan mahluk itu. Mungkin kau tahu kelemahannya!"

"Mahluk apa itu boleh dikatakan tidak mempunyai kelemahan. Karena nyawanya tidak ada di dalam tubuhnya. Di apakan pun dia tidak bakal bisa menemui kematian. Konon nyawanya ada pada satu mahluk lain yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah..."

"Mahluk apa itu? Setan, Jin...?" tanya Wiro.

"Sulit diduga. Rahasianya tidak mungkin disingkapkan kalau tidak mendatangi sarangnya di Teluk Akhirat. Tapi pergi ke Teluk Akhirat sama saja dengan mengantar nyawa mencari kematian..."

"Kau tahu dimana letak Teluk Akhirat?"

"Pergilah ke selatan. Ikuti aliran Kali Opak hingga kau sampai di muaranya. Di situ ada sebuah desa bernama Kretak. Lanjutkan perjalanan ke arah matahari terbit. Sebelum kau sampai di Parangtritis, kau akan menemukan satu teluk kecil dipenuhi ratusan bahkan mungkin ribuan kelelawar. Itulah Teluk Akhirat. Tempat kediaman mahluk jahat bernama Kelelawar Pemancung Roh. Walau teluk itu kecil saja tapi tidak mudah mencari Kelelawar Pemancung Roh. Satu hal harus kau ingat baik-baik Wiro. Semua kelelawar yang ada di teluk itu bukan kelelawar biasa. Mereka adalah binatang peliharaan Kelelawar Pemancung Roh. Yang bisa diperintahkan untuk membunuh dan menguliti siapa saja. Jangankan manusia, seekor gajahpun bisa menjadi tinggal tulang belulang hanya dalam beberapa kejapan mata. Kau benar-benar harus berhati-hati..."

"Terima kasih," kata Wiro sambil memegang lengan Pelangi Indah, membuat si gadis menjadi tergetar dadanya.

"Para gadis sudah lama menunggu di luar. Jika tidak ada hal lain yang ingin kau tanyakan kuharap kau mau mengatakan sendiri pada mereka. Bahwa kau tidak bersedia bergabung dengan kami..."

Wiro coba tersenyum. Dipeluknya tubuh si gadis erat-erat lalu diciumnya ke dua pipi dan kening Pelangi Indah. Ketika Wiro mencium sepasang mata si gadis terasa ada perasaan. Dia melangkah ke pintu.

Di halaman depan rumah panggung besar, belasan gadis cantik anggota Kelompok Bumi Hitam yang sebelumnya duduk di bangku panjang terbuat dari batang kelapa serta merta bangkit berdiri ketika melihat Wiro menuruni tangga rumah, diiringi pimpinan mereka. Di depan sekali kelihatan Mentari Pagi dan Rembulan.

Di sebelah kiri mereka berdiri Fajar Menyingsing dan Embun Pagi, dua gadis dalam kelompok Mentari Pagi dan Rembulan yang pertama sekali bertemu dengan Wiro dan secara "keroyokan" pernah mencium Pendekar 212. Semua mereka tidak satupun yang mengenakan kerudung hitam hingga wajah mereka yang cantik terlihat jelas.

"Agaknya pimpinan kita tidak berhasil menahan Pendekar 212..." berbisik Rembulan.

"Aku sudah menduga," jawab Mentari Pagi. "Kau kecewa? Mungkin lebih berat dari kecewanya Pelangi Indah?"

Sekilas paras Rembulan terlihat kemerahan. Gadis satu ini sejak pertemuan pertama dengan Pendekar 212 memang telah jatuh hati. Tidak bisa disalahkan karena bukan cuma Rembulan, diam-diam semua gadis anggota kelompok Bumi Hitam, termasuk Mentari Pagi dan sang pimpinan mereka sendiri telah menaruh hati pada sang pendekar.

"Aku tidak munafik mengakui padamu bahwa aku menyukai pemuda itu. Tapi siapa diantara kita yang tidak menaruh hati padanya? Termasuk kau bahkan pemimpin kita Pelangi Indah."

Kini paras Mentari Pagi yang kelihatan kemerah-merahan mendengar kata-kata Rembulan itu. Sebenarnya Mentari Pagi memang telah pula tertambat hatinya pada murid Sinto Gendeng itu. Tetapi dia terlalu sombong untuk mau mengakui.

Wiro perhatikan wajah-wajah cantik di hadapannya. Ketika dia memandang pada Pelangi Indah, gadis ini anggukkan kepala memberi isyarat. Wiro garuk kepala, disambut senyum oleh semua gadis.

"Aku, aku sebenarnya ingin bicara banyak. Tapi menghadapi kalian yang cantik-cantik semua aku jadi kikuk, susah bicara..."

Para gadis anggota Bumi Hitam tertawa riuh. Salah seorang di belakang sana bernama Lembayung berkata. "Sudah, kau tak usah bicara. Tegak saja berdiam diri. Biar kami memandangi! Biar kau tambah kikuk!"

Gelak tawa memenuhi halaman rumah besar. Membuat murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala.

"Pemimpin kalian, dan juga kalian semua telah menolongku, menyelamatkan jiwaku dari pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku sangat berterima kasih dan tidak bakal melupakan budi baik kalian..."

Lembayung yang tadi bicara kembali membuka mulut. "Kami tidak mau dengar ucapan itu. Yang kami ingin tahu ialah apakah kau menerima permintaan pemimpin kami menjadi pengganti Ki Tawang Alu, menjadi Wakil Ketua Kelompok Bumi Hitam?!"

"Permintaan kalian sudah disampaikan oleh Pelangi Indah. Aku sangat berterima kasih atas kehormatan dan kepercayaan itu. Tapi para sahabatku, saat ini aku tidak bisa membuat keputusan. Kalian semua tahu. Guruku Eyang Sinto Gendeng diculik oleh Ki Tawang Alu. Dirinya dalam bahaya. Aku harus mencari dan menyelamatkan nenek itu..."

"Kami semua akan membantu!" gadis di sebelah belakang kembali membuka mulut.

"Terima kasih. Apapun yang terjadi dengan Eyang Sinto Gendeng, aku muridnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab turun tangan mencari dan menyelamatkan. Kalian tidak perlu merepotkan diri..."

"Kami justru senang dibikin repot olehmu! Hik hik!" kembali Lembayung berucap. Kembali pula tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis.

Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis. "Pimpinan," Rembulan maju dua langkah ke hadapan Pelangi Indah. "Jika benar Ki Tawang Alu yang menculik guru Pendekar 212, besar kemungkinan dia menyekap nenek itu di Lembah Belibis."

Pelangi Indah mengangguk walau diam-diam dia merasa tidak enak dengan perbuatan dan ucapan Rembulan yang dirasakannya mendahului dirinya. Sebenarnya pimpinan para gadis cantik Kelompok Bumi Hitam ini sudah menduga begitu, namun karena sudah punya rencana sendiri dia tidak mau mengungkapkan. Kini terlanjur anak buahnya telah memberi tahu maka Pelangi Indah terpaksa anggukkan kepala.

"Mohon aku diberi tahu dimana letak Lembah Belibis itu," Wiro berkata seraya memandang pada Rembulan.

Sadar kalau tadi dia merasa bicara mendahului pimpinannya, kali ini Rembulan tidak berani menjawab pertanyaan Pendekar 212.

"Beritahukan padanya Rembulan," tiba-tiba Pelangi Indah berkata.

Sedikit kikuk Rembulan akhirnya menerangkan. "Di kaki tenggara Gunung Merapi ada satu kali kecil. Ikuti kali itu, kau akan sampai ke sebuah lembah. Itulah Lembah Belibis. Mudah menemukannya karena di situ banyak burung-burung belibis."

"Terima kasih. Aku akan segera menuju ke sana..."

Tiba-tiba Lembayung kembali bersuara. "Pendekar 212! Bagaimana kalau ternyata Tawang Alu menculik gurumu bukan untuk maksud jahat?"

Sepasang mata Wiro Sableng membesar sementara dua alis Pelangi Indah naik ke atas, matanya memandang tajam ke arah Lembayung.

"Apa maksudmu Lembayung?" tanya Pelangi Indah.

"Mati aku, aku tadi cuma mau bergurau!" kata Lembayung dalam hati.

"Lembayung?!" suara Pelangi Indah mengeras.

"Maafkan saya pimpinan. Maafkan diriku Pendekar 212. Maksudku, siapa tahu Tawang Alu bukan bermaksud jahat. Dia menculik gurumu karena dia suka pada Eyang Sinto Gendeng..."

Sunyi, tak ada suara. Hanya semua mata memandang pada Lembayung yang diam-diam jadi ketakutan karena dipelototi oleh sekian banyak pasang mata, termasuk mata Pendekar 212 dan Pelangi Indah.

Wiro garuk-garuk kepala. Senyum di bibirnya. Lalu mulutnya terbuka. Bibirnya bergetar. Suara tawa keluar dari mulut itu. Mula-mula perlahan, lalu makin keras. Semua yang ada di situ, termasuk Pelangi indah sendiri tidak dapat pula menahan diri. Gelak tawa untuk kesekian kalinya terdengar riuh. Lembayung tersenyum lega. Tapi satu tangan tahu-tahu menyusup menjewer telinganya.

"Lembayung. Lembayung! Dari dulu mulutmu selalu usil! Dasar gadis nakal!"

********************

3

GOA KEMATIAN

SEPERTI yang diterangkan Rembulan, di kaki gunung sebelah tenggara Wiro menemukan satu kali kecil. Saat itu sang surya belum lama terbit. Setengah harian dia mengikuti kali itu ke arah hulu. Di satu tempat dia mulai melihat burung-burung belibis beterbangan rendah. Wiro berjalan terus, malah kini mulai berlari. Tak lama kemudian di satu tempat ketinggian dia hentikan larinya.

Di balik tanah tinggi itu terbentang sebuah lembah yang hanya ditumbuhi satu jenis pohon aneh berdaun kemerah-merahan. Batu-batu besar bertebaran dimana-mana. Burung-burung belibis beterbangan di udara namun banyak pula yang hanya bertengger di cabang pohon, mendekam di atas bebatuan atau berjalan berombongan di tanah.

"Lembah Belibis. Lembah aneh..." membatin Pendekar 212 sambil memandang berkeliling. "Dimana aku menemukan kakek jahanam bernama Tawang Alu itu?!"

Wiro kembali memperhatikan keadaan sekitar lembah. Selain burung-burung belibis, bebatuan dan pohon-pohon berdaun merah, tak ada benda lain yang dilihatnya.

"Aku harus berteriak memanggil jahanam itu!" pikir Wiro. Maka dia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak.

"Tawang Alu! Dimana kau?! Jangan sembunyi! Perlihatkan dirimu!"

Suara teriakan Wiro mengumandang di seantero lembah, bergaung panjang. Cukup lama baru lenyap. Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Wiro kembali berteriak. Sampai tiga kali. Dia jadi kesal sendiri.

"Jahanam! Agaknya aku harus memeriksa setiap sudut lembah ini!" Wiro memaki. Dia melompat ke satu batu besar. Dari atas batu dia memandang berkeliling. Tiba-tiba bola matanya membesar. Di kejauhan di sebelah timur sana dia melihat kelompok batu-batu bersusun membentuk dinding, panjang tiga tombak tinggi dua tombak. Dari sela-sela batu kelihatan asap mengepul tipis.

"Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada manusia di tempat itu!" Tanpa tunggu lebih lama Wiro segera lari ke arah susunan bebatuan. Dia sengaja melompat dari satu batu ke batu lain.

Di depan dinding susunan batu Wiro berhenti. Memperhatikan setiap sudut sambil kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia harus berlaku waspada. Bukan mustahil tiba-tiba saja dia dibokong orang. Kepulan asap ternyata berasal dari balik susunan batu.

"Aku harus menyelidik ke belakang dinding batu ini!" Wiro melompat ke kiri, ke arah susunan batu paling rendah. Dari sini dia naik ke susunan batu yang lebih tinggi- Di tempat paling tinggi, ketika dia me-mandang ke bawah, kelihatan sebuah goa batu. Ternyata asap yang menembus susunan dinding batu berasal dan keluar dari dalam goa ini.

"Pasti bangsat itu berada di sana! Mudah-mudahan aku tidak terlambat! Kalau Eyang Sinto Gendeng sampai dibunuhnya akan ku kuliti jahanam bernama Tawang Alu itu!"

Wiro menuruni gundukan susunan batu, langsung ke arah mulut goa. Baru saja dia berkelebat turun dan sampai di depan mulut goa tiba-tiba satu suara bergelak mengumandang di tempat itu. Semula Wiro menyangka suara tertawa itu keluar dari dalam goa. Ternyata ketika dia menoleh ke belakang tahu-tahu sosok kakek berjubah hitam bermuka putih Ki Tawang Alu berada di belakangnya, tegak bersandar ke dinding batu.

"Setan alas! Sembunyi dimana tadi jahanam ini. Mengapa aku tidak melihatnya!" memaki Pendekar 212 Wiro Sableng lalu tangan kanannya mulai dari siku sampai ke ujung jari mendadak berubah putih seperti perak, berkilauan terkena sorotan sang surya.

Ki Tawang Alu tertawa panjang. Mendongak ke langit. Tangan kanannya yang hancur diremukkan Wiro tampak dibalut. Sementara lengan kiri jubahnya kelihatan bergontai-gontai dan masih basah oleh darah. Dalam perkelahian sebelumnya tangan kiri itu telah dibikin buntung oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Dua tangannya cidera, tak mungkin dipergunakan. Tapi dia masih bisa petatang-peteteng unjukkan sikap tidak takut padaku. Pasti ada sesuatu yang diandalkan. Lebih baik aku hantam dia sekarang juga!" Wiro gerakkan tangan kanannya.

Ki Tawang Alu kembali tertawa panjang. Tangan kanannya yang dibalut diangkat ke atas. "Pukulan Sinar Matahari! Kau hendak menyerangku dengan pukulan itu! Ha ha ha! Aku siap menerima! Aku tidak akan menghindar! Tapi jangan lupa! Kematian diriku tidak akan menyelamatkan gurumu dari renggutan maut! Ha ha ha!"

"Tawang Alu keparat! Dimana kau sekap guruku?!" teriak Wiro.

"Kau murid baik! Jadi kau ingin melihat dan menolong gurumu? Ha ha ha! ikuti aku anak muda! Ikuti aku! Ha ha ha!"

Sambil terus tertawa Ki Tawang Alu berkelebat ke arah mulut goa yang dari dalam mana keluar bergelung asap putih. Di mulut goa kakek muka putih ini berhenti sejenak, memandang ke arah Wiro, menunggu untuk melihat apakah Wiro mengikutinya atau tidak. Ternyata Pendekar 212 hanya tegak di depan mulut goa, memandang padanya dengan tampang geram.

"Ikuti aku anak muda! Kau akan bertemu gurumu! Tapi apakah kau bakal bisa menyelamatkannya itu perkara lain! Ha ha ha!"

Ki Tawang Alu melangkah masuk ke dalam goa. Mau tak mau Wiro terpaksa mengikuti. Ternyata goa itu hanya memiliki kedalaman sejauh lima tombak. Tapi langit-langitnya tinggi sekali dan di sebelah ujung bagian atasnya agaknya terbuka karena ada cahaya terang merambat ke bawah. Lalu ada hawa panas menerpa. Wiro memandang ke depan.

"Ada tungku perapian raksasa di ujung goa..." Wiro hentikan langkah. Hawa kobaran api yang menyala terasa panas bukan kepalang, membuat Wiro seperti dipanggang. Di sebelah depan Ki Tawang Alu menoleh.

"Mengapa berhenti anak muda Ha ha ha!? Kau takut pada panasnya apt? Ha ha ha! Teruskan langkahmu. Bukankah kau ingin melihat gurumu?!"

"Jahanam!" rutuk Wiro. "Aku mencium sesuatu. Bau pesing! Eyang Sinto Gendeng pasti disekap di goa celaka ini!"

4

SINTO GENDENG DI GANTUNG

TAWANG ALU melanjutkan langkahnya lalu berhenti satu setengah tombak dari depan tungku api raksasa. Dia memandang pada Wiro sambil menyeringai. "Kau ingin melihat gurumu atau tidak?!"

Wiro menggeram. Dia langkahkan kakinya. Tiba-tiba dia merasa lantai goa yang diinjaknya bergoyang bergetar. Bersamaan dengan itu terdengar suara benda berputar di barangi sesuatu bergesek. Dari langit-langit di ujung goa ada sebuah benda. bergerak turun ke bawah, berhenti satu tombak di atas tungku raksasa! Ketika melihat benda yang tergantung itu, Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Benda itu bukan lain sosok Eyang Sinto Gendeng, digantung kaki ke atas kepala ke bawah dengan seuntai besi karatan. Sosok si nenek tidak bergerak, hanya sepasang ma-tanya saja tampak berputar liar pertanda nenek ini masih hidup tetapi berada dalam keadaan sangat mengenaskan.

Wiro maklum gurunya berada dalam satu totokan yang membuat orang tua itu tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Wiro berteriak dahsyat hingga seantero goa bergetar hebat. Dia hendak melompat menyerang Ki Tawang Alu tapi kakek muka putih itu ganda tertawa.

"Jangan kesusu ingin menyerang atau membunuh aku, Pendekar 212. Perhatikan tempat dua kakimu berpijak. Kau berada dalam kotak kematian. Sedikit saja kau menggerakkan kaki atau bagian tubuhmu, batu yang kau pijak akan bergerak. Gerakan batu akan menurunkan secara cepat sosok gurumu yang tergantung. Kalau kau tidak percaya silahkan kau coba. Geser sedikit salah satu kakimu atau gerakkan tanganmu. Kau akan melihat apa yang terjadi!"

"Jahanam! Jangan berani menipu!" bentak Wiro.

"Siapa menipu! Lakukan saja apa yang aku katakan!"

"Jahanam!" Wiro memaki. Dia geserkan kaki kirinya. Gerakannya ini menggetarkan lantai goa yang dipijaknya. Bersamaan dengan itu rantai berkarat yang mengikat dua kaki Sinto Gendeng bergeser turun. Sosok si nenek bergerak ke bawah sejauh dua jengkal! Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik. Panasnya api di tungku raksasa seperti mau melelehkan batok kepalanya. Kalau saja jalan suaranya tidak terkunci pasti si nenek ini sudah menjerit setinggi langit, memaki habis-habisan.

"Kau lihat? Ha ha ha! Masih tak percaya, anak muda? Silahkan gerakkan tanganmu. Tak usah banyak-banyak. Sedikit saja. Nanti kau lihat apa yang terjadi..."

Penasaran Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya, seolah hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggang. Tapi begitu tangannya bergerak, lantai goa kembali bergetar dan di depan sana rantai besi turun lagi sejauh dua jengkal. Sosok Sinto Gendeng ikut melorot ke bawah!

"Celaka! Aku tak mungkin menolong Eyang guru..."

Ki Tawang Alu tertawa mengekeh.

"Eyang! Kerahkan tenaga dalammu! Kau pasti bisa memusnahkan totokan yang menguasai dirimu!"

Ki Tawang Alu tertawa bergelak mendengar seruan Wiro itu. "Pendekar 212! Gurumu boleh punya kesaktian dan tenaga dalam setinggi Gunung Merapi, bahkan setinggi langit! Tapi yang namanya Totokan Seribu Syaraf tidak bisa dipunahkan oleh siapapun!"

"Tawang Alu keparat! Aku bersumpah membunuhmu!" teriak Wiro.

"Seribu sumpah boleh saja kau ucapkan! Tapi kau dan gurumu tidak bisa melakukan apa-apa. Nyawa Sinto Gendeng justru ada di tanganmu, muridnya sendiri! Ha ha ha!"

"Tua bangka jahanam! Lepaskan guruku! Aku bersedia melakukan apa saja yang kau minta!"

Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak dan berputar liar mendengar ucapan muridnya itu. Sebaliknya Tawang Alu tertawa gelak-gelak.

"Begitu?! Kau memang murid baik! Sangat berbakti pada sang guru! Kau mau melakukan apa untuk menyelamatkan gurumu?!"

"Kau boleh ambil nyawaku asal kau bersumpah membebaskan guruku!"

Kembali dua bola mata Sinto Gendeng membesar dan berputar. Ki Tawang Alu tertawa lagi. "Hebat! Kau murid hebat! Luar biasa! Tapi aku tidak buru-buru meminta nyawamu anak muda! Terlalu enak jika kau kubunuh begitu saja! Ha ha ha!"

"Jahanam! Apa yang kau inginkan? Ingin mencungkil mataku? Ingin mengorek jantungku? Laku-kan!" Teriak Wiro. Ki Tawang Alu menyeringai dan geleng-geleng kepala. "Aku bukan manusia serakah!" katanya. Lalu kakek muka putih ini angkat tangannya kiri kanan. "Kau telah menghancurkan tangan kananku! kau Juga membuntungi tangan kiriku! Aku akan menuntut balas sesuai dengan apa yang telah kau lakukan! Aku minta tanganmu kiri kanan! Itu saja! Ha ha ha!"

Saking geramnya Pendekar 212 acungkan dua tangannya ke depan. "Kau inginkan dua tanganku! Ambillah!" Gerakan yang dibuat Wiro menyebabkan lantai yang dipijaknya bergoyang. Alat rahasia yang menghubungkan bagian bawah lantai dengan roda pemutar rantai bekerja. Rantai besi bergerak turun dan sosok Sinto Gendeng tambah ke bawah mendekati tungku api raksasa!

"Tenang Pendekar 212! kau tak usah bersusah payah mengulurkan tangan segala. Biar semua aku yang melakukan! Dengar, aku akan mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaianmu. Dengan senjata itu aku akan membabat putus tanganmu kiri kanan! Pembalasan sangat adil bukan? Ha ha ha!"

Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berkilat memancarkan hawa kemarahan. Melihat hal ini Wiro tiba-tiba ingat.

"Eyang! Keluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh!" Wiro berteriak.

"Manusia tolol!" bentak Tawang Alu. "Apa kau masih tidak yakin gurumu tidak punya daya apa-apa? Dia bukan cuma tak bisa bergerak dan bersuara. Tapi juga tidak mampu mengerahkan hawa sakti atau tenaga dalam!"

"Jahanam! Kau benar-benar jahanam!" rutuk Wiro.

Kalau saja Sinto Gendeng telah mewariskan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu, pasti Tawang Alu sudah di habisinya sejak tadi-tadi. Wiro diam-diam menyesali mengapa sang guru tidak mengajarkan ilmu itu padanya. Malah menyuruhnya menunggu sampai 49 tahun hanya gara-gara dia tidak bisa menahan nafsu terhadap wajah cantik dan tubuh mulus. Padahal kalau saja si nenek tahu bagaimana dia sanggup meng-hadapi tantangan Pelangi Indah pasti Sinto Gendeng akan berubah pikiran. Wiro menghela nafas dalam. Matanya menatap ke depan, memperhatikan letak tungku api raksasa serta ketinggian sosok gurunya yang tergantung.

"Aku tahu apa yang ada di otakmu Pendekar 212. Kau ingin menghancurkan tungku api ini dengan pukulan sakti. Bersamaan dengan itu kau melompat untuk menyambuti tubuh gurumu! Silahkan mencoba! Jika kau membuat kelalaian seperseratus kejapan mata, kau dan gurumu bakal mampus percuma! Kalaupun kau masih hidup, kau akan menyesal seumur-umur!"

"Kalau begitu lekas kau lakukan niat kejimu! Aku siap untuk di buntungi ke dua tanganku! Tapi awas kalau kau berani menipu!"

"Aku juga memperingatkan, awas kalau kau berani memperdayaiku!" balas mengancam Ki lawang Alu. Lalu dia melangkah mendekati, berhenti sejarak dua langkah dari hadapan si pemuda.

Wiro memperhatikan ke bawah. Ternyata pada lantai yang dipijaknya ada garis berbentuk bujur sangkar. Mungkin ini yang disebut Kotak Kematian. Dia berada di dalam kotak itu sedang Tawang Alu di sebelah luar.

Dengan gerakan hati-hati Ki Tawang Alu ulurkan tangan kanannya yang dibalut. Seperti diketahui Wiro telah mematahkan tulang telapak tangan kakek muka putih ini. Saat ini walaupun dibalut keadaannya masih parah. Bukan satu hal yang mudah bagi Tawang Alu menggerakkan tangannya, apalagi untuk mengambil Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang Wiro. Namun dendam kesumat sakit hati membuat dia melupakan semua kesulitan dan rasa sakit. Jari-jarinya yang tersembul dari balik balutan bergerak kaku, menggapai ke balik pinggang pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di atas sana, dalam keadaan tergantung kaki ke atas kepala ke bawah, Sinto Gendeng memaki ha-bis-habisan. "Anak setan! Kenapa dia jadi tolol begitu rupa! Apa dengan menyerahkan dua tangannya di buntungi oleh laknat muka putih itu dia bisa menyelamatkan diriku? Jahanam itu pasti cuma menipu! Aku pasti akan dibunuhnya dan anak setan itu sendiri akan menemui ajal dimakan racun kapak! Kalaupun dia mampu bertahan apa artinya hidup dengan dua tangan buntung?! Tolol! benar-benar tolol!"

Dengan susah payah Tawang Alu berhasil mencekal hulu Kapak Maut Naga Geni 212 lalu ditariknya. Cahaya berkilauan memancar dari mata kapak. Kakek ini menyeringai. Mukanya yang putih laksana muka iblis. Cahaya pada dua mata kapak sakti semakin terang pertanda Tawang Alu telah mengerahkan tenaga dalam.

Tiba-tiba tangan kanan kakek ini bergerak. Walau tangannya cidera parah, namun dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang disebut Secepat Kilat Membalik Tangan kakek ini mampu memegang dan membabatkan senjata milik lawannya. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat ke arah tangan kanan Wiro, memancarkan cahaya berkilauan disertai suara bergaung dan hamparan hawa panas.

Melihat bahaya mengancam muridnya sepasang mata Sinto Gendeng menyorotkan sinar angker. Namun tidak ada kekuatan atau hawa sakti yang bisa dikerahkannya. Dia tidak mampu berbuat apa kecuali merutuk dalam hati.

"Anak setan itu! Mengapa dia berlaku setolol itu! Dia menduga bisa menolongku! Padahal dia akan mati percuma! Malah nyawaku sendiri belum tentu bisa diselamatkan!"

5

TOTOKAN SERIBU SYARAF

HANYA SEKEJAPAN lagi tangan kiri Wiro Sableng akan dibabat putus oleh kapak sakti miliknya sendiri, tiba-tiba dari mulut goa melesat masuk dua bayangan hitam. Apa yang terjadi kemudian berlangsung serba tidak terduga dan sangat cepat.

Ki Tawang Alu keluarkan jeritan keras. Satu gelombang angin dahsyat membuat dia terhempas tiga langkah ke belakang. Bersamaan dengan itu darah muncrat dari urat besar yang putus di pergelangan tangannya. Sebuah benda menancap di pergelangan itu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggamannya, jatuh berkerontang di lantai goa.

Tidak sadar Wiro membungkuk untuk mengambil senjata itu. Lan-tai yang dipijaknya bergoyang, menggetarkan alat rahasia yang berhubungan dengan rantai besi dimana Sinto Gendeng tergantung. Tak ampun lagi rantai itu bergerak turun ke bawah. Sosok si nenek dengan kepala lebih dulu, menghunjam turun ke arah tungku api raksasa!

"Celaka!" Wiro sadar. Tapi sudah terlambat!

Muka putih Ki Tawang Alu semakin putih. Darahnya tersirap besar dan nyawanya serasa terbang ketika dia melihat benda apa yang menancap di pergelangan tangannya. Lebih dari itu lututnya goyah gemetar ketika melihat ada sosok berjubah dan berkerudung hitam tegak berkacak pinggang di depannya. Si kakek jatuhkan diri berlutut di lantai goa. Benda yang menancap di pergelangan tangannya ternyata adalah sebilah pisau hitam bergagang berbentuk kepala srigala terbuat dari perak.

"Racun srigala... Nyawaku tidak tertolong! Kecuali jika ada yang memberikan obat penawar..." Ki Tawang Alu merasa lehernya kaku ketika dia mencoba mengangkat kepala, memandang ke atas ke arah kepala orang berkerudung.

"Ampuni selembar nyawaku! Mohon diberikan obat penawar racun srigala!" Ki Tawang Alu meminta setengah meratap.

Dari balik kerudung terdengar suara mendengus. Lalu suara orang berucap. Dari suaranya jelas diketahui bahwa orang berkerudung ini bukan lain adalah Pelangi Indah, Ketua Kelompok Bumi Hitam dari Gunung Merapi.

"Ki Tawang Alu! Dosa dan kesalahanmu susah dijajagi. Lebih tinggi dari langit, melebihi dalamnya dasar lautan! Masih ada sedikit kesempatan untuk bertobat sebelum maut datang merenggut! Mengapa tidak dipergunakan?!"

"Ketua!" Suara Ki Tawang Alu tercekat. Dia jatuhkan keningnya ke lantai goa. Bersujud. "Aku mohon belas kasihanmu. Berikan obat penawar racun srigala. Aku bersumpah menjadi orang baik-baik, menempuh jalan kebenaran!"

"Sudah terlambat Tawang Alu! Kau memang pantas mati dimakan racun srigala!" Jawab Pelangi Indah.

Saat itu tiba-tiba satu bayangan putih melompat ke hadapan Ki Tawang Alu. "Ada cara mati lain yang lebih pantas untuk tua bangka keparat ini!" Satu tangan yang kokoh menjambak rambut putih Ki Tawang Alu hingga kakek ini meraung kesakitan.

"Ampun! Jangan! Tobat! Pendekar 212, jangan!" teriak Ki Tawang Alu.

Dia coba lepaskan diri. Menjerit, memukul dan menendang. Tapi sia-sia saja. Wiro sentakkan kepala kakek itu hingga tubuhnya terangkat ke atas. Selagi Tawang Alu melejang-lejang dan menjerit-jerit Wiro lemparkan sosoknya ke arah tungku raksasa.

"Wuuttt!

Bluusss!"

Jeritan Ki Tawang Alu terputus. Berganti dengan suara masuknya tubuh ke dalam tungku api. Li-dah api berhamburan ke udara. Lalu terdengar suara seperti benda meledak. Semua orang merasa ngeri. Itu adalah suara meledaknya tubuh Ki Tawang Alu yang di tambus api tungku raksasa. Bersamaan dengan suara ledakan itu menyusul berlesatan ke udara beberapa bagian tubuhnya. Bau daging terbakar memenuhi seantero goa.

Kita kembali dulu pada saat sewaktu Wiro salah bergerak, hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di lantai. Saat itu juga rantai besi melorot ke bawah dan sosok Sinto Gendeng yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melayang turun dengan deras. Sesaat lagi nenek itu pasti akan tenggelam amblas dalam tungku api raksasa sementara Wiro sudah mati langkah, tak mungkin berbuat suatu apa untuk menolong gurunya. Saat itulah bayangan hitam kedua yang melesat dari mulut goa berkelebat cepat, menangkap tubuh Sinto Gendeng lalu membawanya melayang turun ke sudut aman menjauhi tungku maut!

Ketika Wiro mendatangi si nenek, orang berjubah dan berkerudung hitam tengah membuka jepitan besi di ujung rantai besi yang mengikat dua kaki kurus Sinto Gendeng.

"Nek, kau tidak apa-apa?" Wiro menegur seraya berjongkok di samping Sinto Gendeng. Sekilas dia melirik pada orang berjubah di sebelahnya. Dia tidak tahu siapa adanya orang ini. Mungkin Rembulan, mungkin juga Mentari Pagi.

Sinto Gendeng tidak menjawab. Dua matanya mendelik berputar memandang ke arah Wiro. Mukanya yang cekung tinggal kulit pembalut tulang unjukkan tampang asam. Wiro sadar kalau saat itu gurunya masih berada dalam pengaruh totokan, tak bisa bicara tak bisa bergerak. Maka dia segera pergunakan kepandaian untuk melepas totokan itu.

Yang pertama sekali adalah membuka jalan suara si nenek agar bisa bicara. Wiro menotok urat besar di leher kiri kanan Sinto Gendeng. Memang di situ tempat untuk memusnahkan totokan jalan suara. Dan nyatanya Sinto Gendeng kini memang bisa membuka mulut keluarkan suara. Tapi bicaranya aneh. Ucapannya tidak jelas. Suara si nenek melengking aneh, cepat sekali. sulit dimengerti.

"Wau! Hikkk! Haauuuuuw! Ngik...! Ngik...! Wauu! Kik kik kik!"

"Astaga! nek, kenapa suaramu jadi begini?" Wiro tersentak kaget. "Kau bicara apa?! Suaramu seperti monyet terbakar buntut!" Wiro kelabakan. Dia memandang ke arah Pelangi Indah dan Rembulan.

Dibalik kerudung dua gadis cantik ini hanya senyum-senyum. Wiro jadi tambah bingung. Karena dua gadis sepertinya tidak berniat menolong, Wiro kembali berusaha membuka jalan suara si nenek. Dia menotok lagi di beberapa bagian tubuh gurunya. Suara aneh si nenek memang lenyap. Tapi kini yang melesat keluar dari mulut Sinto Gendeng adalah suara seperti kerbau melenguh! Wiro sampai jatuh ter-duduk saking kagetnya.

"Eyang! Kau kesambet atau kemasukan atau bagaimana?!" seru Pendekar 212 dan garuk kepalanya habis-habisan. Dalam bingungnya Wiro kembali menotok. Tiba-tiba...

"Ser...." Dari bawah perut Sinto Gendeng mengucur cairan yang menebar bau pesing. Di lantai goa kelihatan tergenang cairan kekuning-kuningan! Maksud baik Wiro untuk menolong gurunya malah salah kaprah. Si nenek ditotok hingga mengucurkan air kencing habis-habisan!

"Owalahh! Mengapa jadi begini?!" Wiro tersurut mundur. Tangan kiri memencet cuping hidung menahan sambaran bau pesing, tangan kanan menggaruk kepala pulang balik! "Kau kelewatan nek. Ditolong malah kencing seenaknya!"

6

BEKAS CUPANG DI LEHER

SAMBIL menahan tawa Pelangi Indah mendatangi. "Wiro, Totokan Seribu Syaraf bukan totokan sembarangan. Kau tidak bisa memusnahkannya dengan ilmu pembuka totokan biasa. Orang yang ditotok juga tidak mampu membebaskan diri sekalipun dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam luar biasa tinggi..."

"Lalu bagaimana guruku? Dia musti ditolong. Kau lihat sendiri. Barusan dia kencing. nanti jangan-jangan dia berak! Aku..."

Pelangi Indah dan gadis berkerudung di samping si nenek berusaha menahan tawa.

"Jangan khawatir Wiro. Kami akan membebaskan gurumu dari totokan itu," jawab Pelangi Indah. Lalu gadis Ketua Kelompok Bumi Hitam ini anggukkan kepalanya ke arah orang berjubah yang berjongkok di samping kiri Sinto Gendeng. "Rembulan, musnahkan totokannya. Buka jalan suara dan kembalikan kelenturan tubuhnya!"

Ternyata yang menolong Sinto Gendeng tadi adalah Rembulan, gadis tercantik dalam jajaran anggota Kelompok Bumi Hitam, yang diam-diam telah jatuh hati pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Mendengar ucapan pimpinannya Rembulan segera mengangkat sosok Sinto Gendeng. Dari belakang, kepala si nenek di naikkannya demikian rupa. Jari telunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Mata sesaat dipejamkan.

Dia seperti merapal sesuatu dalam hati. Jari dikeluarkan dari dalam mulut lalu ditusukkan ke leher belakang Sinto Gendeng, di sebelah atas, dekat rambut. Mulut Sinto Gendeng terbuka. Satu kepulan asap berwarna hitam membersit keluar dari mulut itu. Sesaat kemudian si nenek tampak menggeliatkan ke dua tangannya. Bersamaan dengan itu jalan suaranya terbuka.

Sinto Gendeng balikkan tubuh, memandang melotot ke arah muridnya. Lalu mulutnya yang kini bisa bicara mulai merocos. "Anak setan! Kau sengaja mempermainkan aku ya?!"

"Nek, aku justru..."

"Diam! Tutup mulutmu! Kau sebut aku monyet terbakar buntut! Kau bilang aku kencing seenaknya. Kau bilang aku mau berak..."

"Eyang, aku minta maaf. Maksudku..."

"Sudah! Tutup mulutmu! Jangan sampai aku tampar!"

"Eyang, kau boleh marah besar padaku! Tapi harap sedikit hormat pada dua gadis cantik yang telah menyelamatkan dirimu dan juga diriku..."

"Huh! Dua gadis cantik? Aku tidak melihat apa-apa. Yang aku lihat cuma dua sosok berjubah hitam. Kepala mereka ditutup kerudung hitam. Kalau mereka memang cantik mengapa sembunyikan wajah dibalik kerudung? Jangan-jangan yang satu sumbing bibirnya, yang satu lagi picak matanya! Hik hik hik!"

"Nek, jaga mulutmu! Jangan membuat malu!" Wiro benar-benar merasa jengkel. Dia takut dua gadis itu tersinggung. Tapi Pelangi Indah dan Rembulan tenang-tenang saja. Malah kedua gadis ini senyum-senyum melihat pertengkaran antara guru dan murid itu.

"Pelangi Indah, Rembulan, kalau kau tidak keberatan harap suka membuka kerudung. Perlihatkan pada guruku siapa adanya kalian..."

Sesaat Pelangi Indah dan Rembulan merasa bimbang mendengar permintaan Pendekar 212 itu.

"Apa kataku! Muka mereka pasti jelek! Buktinya mereka tidak mau unjukkan wajah!" kata Sinto Gendeng pula. "Wajahku walau sudah tua begini, mungkin lebih cantik dari mereka! Hik hik hik!"

"Nenek edan!" maki Wiro dalam hati.

Saat itu Pelangi Indah dan Rembulan sama-sama menggerakkan tangan membuka kerudung yang menutupi kepala mereka. Begitu wajah mereka tersingkap, Sinto Gendeng jadi terkesiap. Namun nenek ini cepat menguasai diri. Walau sebenarnya dia kagum melihat kecantikan dua gadis itu namun dasar gendeng, enak saja dia bicara.

"Wallah... Kalian memang cantik semua. Tapi ketika aku masih muda, kecantikanku jauh melebihi kalian..."

"Nek!" saking kesalnya Wiro memotong ucapan sang guru. "Masa mudamu sudah lama lewat. Perlu apa disebut-sebut. Saat ini kau menghadapi kenyataan. Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih pada Pelangi Indah dan Rembulan?"

"Hai! Kau sudah tahu nama mereka rupanya!" Sinto Gendeng berucap setengah berseru. Lalu sepasang matanya mendelik berkilat-kilat memandang pada Wiro. "Apa kataku! Terbukti kau nyatanya masih suka melihat wajah cantik, dada kencang tubuh mulus! Bagaimana mungkin aku memberikan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh padamu!"

"Eyang, soal ilmu itu aku sudah melupakannya. Kau mau memberi atau tidak aku tidak perduli. Saat ini kita berdua harus mengucapkan terima kasih pada dua gadis ini. Mereka telah menyelamatkan jiwa kita..."

Lalu tanpa menunggu gurunya Wiro bungkukkan dada, menghormat pada Rembulan dan Pelangi Indah seraya berkata. "Pada kalian berdua, aku mengucapkan terima kasih. Untuk kesekian kalinya kalian telah menyelamatkan jiwaku..."

"Wiro, sudahlah. Tak perlu memakai segala macam peradatan. Kami senang bisa menolong mu. Lebih baik kau perhatikan keadaan gurumu. Kami masih ada kepentingan lain. Kami minta diri..." Pelangi Indah melangkah ke mulut goa. Rembulan mengikuti.

"Tunggu!" Sinto Gendeng tiba-tiba berseru. Dua gadis cantik hentikan langkah, memandang ke arah si nenek, menunggu apa kelanjutan ucapannya.

"Aku tua bangka ini tidak mau dikatakan tidak tahu peradatan dan sopan santun. Aku Sinto Gendeng menghaturkan banyak terima kasih karena kalian telah menyelamatkan jiwa kami guru dan murid. Budi kalian setinggi langit, sulit bagiku untuk mengukur membalasnya."

Pelangi Indah tersenyum. Dia membungkuk lalu berkata. "Kami sendiri merasa senang dapat bertemu denganmu, Nek. Mengingat nama besarmu dalam rimba persilatan tanah Jawa, bisa bertemu denganmu sudah merupakan satu kehormatan besar. Izinkan kami meminta diri untuk pergi lebih dulu..."

Sinto Gendeng menarik nafas panjang. Tiba-tiba tangan kirinya diulurkan memegang salah satu ujung pakaian Pelangi Indah. Gadis ini tahu apa yang hendak dilakukan si nenek. Dia kerahkan tenaga dalam. Gerakan si nenek hendak menarik tertahan. Namun sesaat kemudian dirasakannya dua kakinya bergeser. Sepertinya dia berada di lantai yang licin.

"Luar biasa tenaga dalam nenek ini. Kalau aku terus bertahan pakaianku bisa robek! Lebih baik aku mengalah," kata Pelangi Indah dalam hati.

Gerakan tangan Sinto Gendeng bukan saja membuat Pelangi Indah tertarik, tapi kepalanya merunduk ke bawah mendekati wajah si nenek. "Gadis cantik, apa yang telah kau perbuat bersama muridku, si anak setan itu?!"

Pelangi Indah terkejut sekali, tidak menduga si nenek akan mengajukan pertanyaan seperti itu walau diucapkan secara berbisik. "Apa maksudmu, Nek?" Si gadis balik bertanya, juga dengan berbisik.

"Jangan berpura-pura. Gadis cantik dan pemuda lajang, bisa saja lupa diri..."

"Aku... kami tidak berbuat apa-apa..."

"Jangan berdusta!"

"Sumpah nek. Muridmu bukan pemuda hidung belang yang mempergunakan kesempatan sekalipun diberi jalan. Imannya sekokoh batu karang di pantai selatan!"

Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan bercahaya. Lalu nenek ini tertawa lebar. "Kau boleh pergi..." katanya. Tapi baru saja Pelangi Indah dan Rembulan bergerak dua langkah ke mulut goa, tiba-tiba Sinto Gendeng berseru lagi. "Hai! Tunggu!"

Walau agak kesal dua gadis itu hentikan langkah, memandang pada si nenek. "Ya, ada apa Nek?" tanya Pelangi Indah.

"Sebelum kalian pergi, ada satu hal ingin aku tanyakan."

Pelangi Indah dan Rembulan tetap diam di tempat. Keduanya sekilas melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. "Hal apa yang ingin kau tanyakan Eyang Sinto?" tanya Pelangi Indah.

Sesaat si nenek pandangi dua wajah yang masih belum ditutupi kerudung itu. "Kalian memang cantik-cantik. Diantara kalian berdua, yang mana yang telah jatuh hati pada murid-ku si anak setan ini?!"

"Guru, kau ini! Mengapa bertanya yang bukan-bukan?!" Wiro berseru.

Tapi si nenek cuma menyengir. Wajah Pelangi Indah dan Rembulan serta merta menjadi merah. Pelangi Indah geleng-gelengkan kepala. Rembulan menggigit bibir. Dua gadis itu kemudian tutup wajah mereka kembali dengan kerudung lalu sama-sama melangkah cepat ke pintu goa. Ketika melewati Wiro Pelangi Indah berhenti sesaat lalu setengah berbisik dia berkata.

"Wiro, gurumu benar-benar hebat! Waktu muda pasti dia merupakan seorang gadis genit centil!"

Wiro diam saja. Rembulan menyambungi. "Belum pernah aku menemui nenek-nenek se usil gurumu..."

Pendekar 212 tidak tahu mau berkata apa. Dia cuma bisa menggaruk kepala. Sesaat setelah dua gadis cantik itu meninggalkan goa, Sinto Gendeng mengangkat kepala, lalu tertawa panjang.

"Tua bangka edan! Apa yang di tertawakannya..." maki Wiro dalam hati. "Nek, memangnya ada yang lucu?!" tanya Wiro.

"Aku belum edan! Kalau tidak ada yang lucu masakan aku tertawa!"

"Coba kau katakan apa yang lucu!" ujar Wiro pula.

"Dua gadis tadi! Mereka tidak bisa menjawab pertanyaanku! Mereka tidak mau mengatakan siapa diantara mereka yang telah jatuh hati padamu. Berarti... Berarti... Hik hik hik!"

"Berarti apa Nek?" tanya Wiro.

"Berarti dua-duanya telah jatuh cinta padamu! Kau dengar apa yang aku ucapkan anak setan?! Dua gadis itu telah jatuh cinta padamu! Hik hik hik!"

Wiro tak menjawab. Sang pendekar melangkah ke pintu goa. "Eh, kau mau kemana anak setan? Mau menyusul dua gadis yang mencintaimu itu?!" Sinto Gendeng menegur lalu tertawa lagi.

"Goa ini pengap Nek. Bau pesing dimana-mana!" jawab Wiro. "Brengsek! Aku tidak mencium bau apa-apa!" tukas Sinto Gendeng. "Jangan kau berani meninggalkan aku! Kau tahu saat ini tugasmu harus segera kau mulai!"

Wiro hentikan langkah. "Tugas apa Nek?"

"Jangan pura-pura tidak tahu! Gendong aku! Kita segera menuju Teluk Akhirat!" jawab Sinto Gendeng.

Mendengar ucapan gurunya itu Pendekar 212 Wiro Sableng jadi lemas. Tapi tak ada hal lain yang bisa diperbuatnya selain mematuhi ucapan si nenek yang tidak lebih dari satu perintah. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah mendekati Sinto Gendeng. Lalu seperti yang sudah-sudah tubuh lumpuh si nenek digendongnya di atas pundak. Sambil melangkah, untuk menghilangkan kekesalannya Wiro bersiul-siul seenaknya.

"Hemm, hatimu rupanya sedang senang. Aku ada satu pertanyaan untukmu, anak setan!"

"Dari tadi kau rupanya lagi senang bertanya! Ucapkan saja Nek! "Nek..."

"Diantara dua gadis cantik tadi, yang mana yang kau sukai?"

"Waktu kau tadi menanyakan siapa diantara mereka yang jatuh hati padaku, tak ada yang menjawab. Lalu apa perlunya aku menjawab pertanyaanmu?" ujar Wiro pula.

Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Mereka tidak mau menjawab. Mereka mendustai diri sendiri. Aku punya bukti salah satu dari gadis itu sudah mendapat tempat di hati mu. Malah sudah kau layani. Betul, hik hik hik?!"

"Apa maksudmu Nek?"

Si nenek usapkan jari-jari tangannya ke pangkal leher Pendekar 212 Wiro Sableng sebelah kanan. "Ada tanda bekas cupangan, bekas gigitan di lehermu ini. Siapa yang menggigit? Jelas bukan kodok kan? Setan atau jin juga tidak pernah menggigit manusia seperti ini! Hik hik hik..."

Wiro meraba lehernya. Dia tidak bisa melihat. Dia juga tidak tahu kalau pada lehernya memang ada bekas gigitan. Jangan-jangan nenek brengsek ini hanya menipuku. Tapi kalau benar, siapa yang melakukan? Pelangi Indah? Waktu dia berada berdua-dua di kamar dengan gadis itu? Wiro menggaruk kepalanya!

7

MAUT MENANTI DI TELUK AKHIRAT

PAGI ITU angin teluk bertiup agak keras. Di laut gelombang bergulung deras, menghampar memecah di kawasan pasir dengan suara menggemuruh. Di udara yang tidak begitu cerah, ratusan kelelawar melayang beterbangan di permukaan teluk. Sesekali suara gelepar sayap mereka terdengar aneh menggetarkan. Sesekali binatang itu keluarkan suara melengking bukan saja menyakitkan telinga tapi juga menggidikkan.

Sekelompok kelelawar sekitar tiga puluh ekor tiba-tiba muncul melayang dari arah timur. Dari jurusan berlawanan sepasang elang besar terbang dipermukaan laut lalu membumbung ke angkasa, melayang ke arah pantai. Puluhan kelelawar keluarkan suara melengking keras. Gerakan mereka berubah beringas. Seolah ada satu ketentuan yang tak bisa ditawar, di Teluk Akhirat tidak ada mahluk lain boleh hidup, kecuali kelelawar!

Kelelawar-kelelawar ini membuat gerakan berputar di udara, lalu dengan sangat tiba-tiba menukik ke bawah ke arah dua ekor elang besar. Dua elang besar rupanya sudah melihat kedatangan rombongan kelelawar yang hendak menyerang. Dua elang ini menyambut dengan lengkingan suara tak kalah galaknya. Perkelahian aneh, yang jarang disaksikan manusia serta merta terjadi di udara terbuka.

Tiga puluh ekor kelelawar mengeroyok dua ekor elang besar. Semuanya berlangsung sebentar saja. Dua elang besar keluarkan suara menguik keras. Tubuh mereka hancur dicabik-cabik kelelawar. Bulu beterbangan, jatuh melayang ke atas permukaan air laut. Tiga puluh ekor kelelawar membuat putaran lalu melesat ke arah pantai. Sebelum lenyap di arah teluk, salah seekor dari kelelawar itu memisahkan diri, melayang merendah dan berkelebat diantara kerapatan pohon-pohon kelapa.

Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding, berlantai tanah keras, satu Sosok tinggi besar duduk di atas sebuah batu hitam. Batu hitam ini berbentuk aneh. Bagian bawah merupakan tempat duduk yang kokoh, lalu di sebelah belakang batu ini membentuk sandaran tinggi. Di sebelah atas sandaran, seperti di ukir, membentuk sosok seekor kelelawar yang tengah merentangkan kedua sayapnya.

Orang di atas batu memiliki daun telinga mencuat lancip ke atas. Sepasang tangan panjang luar biasa ditumbuhi bulu hitam lebat. Dua matanya sangat sipit, sepintas seolah terpejam. Inilah mahluk yang disebut Kelelawar Pemancung Roh, yang telah mencelakai Sinto Gendeng hingga nenek sakti itu menderita lumpuh dari pinggang ke bawah.

Saat itu Kelelawar Pemancung Roh tengah duduk rangkapkan dua tangan di depan dada, mata terpicing mulut terkancing. Sosoknya tidak bergerak sedikitpun. Keadaannya seolah menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Beku mati.

Tiba-tiba seekor kelelawar melesat ke arah gubuk, bergelantung pada palang di bawah atap. Terjadi satu hal aneh. Binatang ini perlahan-lahan membesar, bentuk kepalanya berubah menjadi seperti kepala seorang bayi. Tapi ketika menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya yang besar lancip serta lidah merah seperti ada cairan darah memenuhi mulutnya. Selain itu pada ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berwarna hitam. Dua telinga mencuat lancip.

Mahluk kelelawar berkepala bayi ini melayang turun ke dalam gubuk, kepakkan sayapnya dua kali lalu duduk bersila di hadapan Kelelawar Pemancung Roh, menunggu. Tak lama berselang Kelelawar Pemancung Roh buka dua matanya yang sejak tadi dipicingkan, dua tangan yang panjang diletakkan di atas lutut dan memandang sipit pada mahluk di hadapannya.

"Tuyul Orok! Apakah kau datang membawa kabar yang aku harapkan?"

Mahluk bertubuh kelelawar berkepala bayi kembangkan dua sayapnya ke samping lalu letakkan kening di lantai gubuk di depan kaki Kelelawar Pemancung Roh. Walau sosoknya kecil, tapi suaranya besar sember ketika bicara.

"Orang yang kita tunggu sudah kelihatan di ujung teluk. Mereka muncul berdua..."

"Apakah mereka menunggang kuda?"

"Tidak. Mereka berjalan kaki. Yang satu mendukung lainnya di pundak!"

Kening Kelelawar Pemancung Roh mengerenyit. "Yang satu mendukung yang lainnya di pundak. Aneh. Siapa mereka. Jangan-jangan bukan orang yang kita tunggu. Jelaskan ciri-ciri keduanya."

"Yang mendukung seorang pemuda berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong. Sekelebatan aku melihat ada jarahan tiga angka di dadanya. Angka 212..."

"Pendekar 212 Wiro Sableng!" Saat itu Kelelawar Pemancung Roh berucap, mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut kasar, berpikir mengingat-ingat. "Kalau tidak salah aku menduga, pemuda itu adalah murid Sinto Gendeng! Hemmm." Kelelawar Pemancung Roh menyeringai. "Lanjutkan keteranganmu. bagaimana ciri-ciri orang yang didukung?"

"Seorang nenek berpakaian hitam dan kain panjang butut... Di mulutnya selalu menyumpal susur. Sosoknya menebar bau pesing. Mukanya seperti tengkorak. Di atas kepalanya menancap lima tusuk konde dari perak..."

Mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh terlonjak dari duduknya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kepalanya hampir menyondak atap gubuk. "Tuyul orok, apakah kau tidak salah melihat?"

"Aku melihat dengan mata setajam pisau. Tidak mungkin setelah melihat aku mengatakan yang salah."

"Tuyul orok, ini adalah aneh...!"

"Pemimpin, maafkan diriku kalau aku lancang bertanya. Apakah yang aneh?"

"Ciri-ciri orang yang kau katakan itu jelas dia adalah nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Tetapi..."

"Tetapi apa pemimpin?"

"Nenek itu sudah mampus beberapa waktu yang lalu!"

"Mampus?!" Mahluk bernama Tuyul Orok berdiri tegak, kembangkan sayap ke samping. Ternyata tingginya hanya sepusar Kelelawar Pemancung Roh yang duduk di batu.

"Aku sendiri yang membunuhnya. Dengan racun Seribu Hawa Kematian. Dia mampus tumpang tindih dengan kakek bernama Suro Ageng, bekas kekasihnya di masa muda. Aku yang melakukan, aku yang menyaksikan! Sekarang kau membawa berita bahwa nenek jahanam itu masih hidup! Muncul didukung oleh muridnya sendiri. tengah menuju ke Teluk Akhirat ini!"

"Demi segala setan dan jin penghuni Teluk Akhirat, aku tidak berdusta. Aku mengatakan ciri-ciri si nenek sesuai apa yang aku lihat. Apakah dia Sinto Gendeng, apakah dia sudah mampus kemudian hidup kembali, atau rohnya yang gentayangan, mohon maafmu, aku tidak tahu menahu..."

Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, Usap-usap dua telapak tangannya satu sama lain, tampangnya yang angker tampak menggelap. Matanya dipejamkan. Dadanya turun naik dan nafasnya memburu.

"Sinto Gendeng..." Mahluk di atas batu itu berucap dengan suara bergetar. "Empat puluh tahun lalu kau membantai delapan orang saudaraku! Hari ini pembalasan akan menimpa dirimu! Kau akan ku siksa habis-habisan sebelum nyawamu kurenggut dari tubuh busukmu!"

Dengan kedua tangannya Kelelawar Pemancung Roh menekan ke bawah sayap kelelawar batu sandaran tempat duduknya. Terdengar suara berdesir halus. Secara aneh lantai di bawah batu yang merupakan tanah keras bergerak membuka. Bersamaan dengan itu kursi batu yang diduduki Kelelawar Pemancung Roh amblas ke bawah. Lenyap tanpa bekas. Yang tinggal kini hanya gubuk sepi yang sesekali mengeluarkan suara berderik ketika disapu hembusan keras angin dari teluk.

8

SINTO GENDENG LENYAP LAGI

PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah di atas pasir pantai. Di atas pundaknya Sinto Gendeng duduk terpejam-pejam disapu angin laut. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.

"Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan dirimu waktu berada di telaga?" Wiro bertanya sambil terus berjalan. "Aku kembali ke telaga. Kau tidak ada. Di sebuah batu aku lihat menancap sebuah benda. Kukira tusuk sate. Tak tahunya konde perakmu!"

"Anak setan sialan!" maki Sinto Gendeng mendengar tusuk kondenya disamakan dengan tusuk sate. "Kau melihat tusuk konde ku! Apa yang kau lakukan?! Ayo! Pasti kau sembunyikan! Lekas serahkan padaku atau ku jewer daun telingamu sampai copot dua-duanya!" Jari-jari tangan si nenek langsung hinggap di daun telinga kiri kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Aduh suaakit! Jangan Nek," teriak Wiro.

"Geblek! Ku pelintir pun belum! Sudah menjerit setinggi langit! Mana tusuk konde ku?!"

"Ada Nek... ada!" Dari balik pakaian putihnya Wiro keluarkan sebuah benda. Benda itu diacungkan ke atas.

Dua mata Sinto Gendeng mendelik. "Kurang ajar! Mengapa jadi bengkok?!"

"Tentu saja bengkok Nek! Yang kau hantam batu besar di tepi telaga. Coba kalau pantatnya Ki Tawang Alu! Pasti tidak bengkok! Malah patah!" Wiro tertawa gelak-gelak.

"Anak setan sialan!" rutuk Sinto Gendeng lalu cepat-cepat mengambil tusuk konde yang dipegang Wiro. Setelah diluruskan tusuk konde itu langsung disisipkannya di atas kepala. Bukan disisipkan di antara rambutnya yang putih jarang, tapi disisipkan di kulit kepalanya!

"Aku sudah mengembalikan tusuk konde mu! Sekarang apa kau masih tidak mau bercerita kejadiannya hingga kau bisa dikerjai oleh kakek muka putih bernama Tawang Alu itu?"

"Apa kejadiannya! Kau masih bertanya. Padahal aku yakin kau sudah tahu! Jelas aku diculik setan muka putih yang sekarang sudah jadi debu di tungku api itu!"

"Aku merasa aneh Nek. Kalau aku pikir-pikir ilmu kepandaianmu jauh berada di atas kakek itu. Tapi mengapa dia bisa menculik mu? Jangan-jangan kau yang sengaja minta diculik... Aduh!" Wiro menjerit ketika telinga kiri kanan dipelintir si nenek.

"Jangankan aku! Orang gila-pun tidak ada yang minta diculik! Apa lagi oleh kakek jelek bermuka putih pucat seperti kain kafan itu!"

"Muka atasnya memang pucat jelek Nek. Tapi belum tentu muka bawahnya! Mungkin merah mengkilap. Hua.ha..." Tawa Pendekar 212 tertahan lenyap lalu berganti dengan jerit kesakitan karena kembali si nenek memelintir dua daun telinganya.

"Ampun Nek, kau memang diculik, bukan minta diculik!" kata Wiro pula sambil tangannya kiri kanan bergantian mengusap telinganya yang perih pedas. "Aku tanya lagi Nek. Boleh...?"

Sinto Gendeng diam. Wiro menyeringai. "Kau diam. Berarti boleh!" Sang murid enak saja mengambil kesimpulan. "Waktu kau diculik, apa kau masih berbugil-bugil di dalam telaga?"

"Benar-benar anak setan!" maki Sinto Gendeng. "Bukankah kau menurunkan aku di tempat yang dangkal? Aku berendam, sesekali menyelam. Ketika aku selesai mandi, baru saja selesai berpakaian dan hendak berteriak memanggilmu tiba-tiba kakek itu muncul. Membokongku dari belakang. Aku mencabut tusuk konde ku lalu menghantamnya dengan benda itu. Tapi meleset. Walau sudah berada di pinggir telaga tapi aku tak bisa berbuat banyak karena dua kakiku lumpuh. Kakek jahanam itu berhasil membokongku dari belakang dengan Totokan Seribu Syaraf! Begitu kejadiannya kalau kau mau tahu! Dia sengaja menculik ku untuk memaksa agar kau menyerahkan kalung kepala srigala perak!"

"Oh begitu kejadiannya," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.

Pantai yang ditelusuri Wiro membentuk satu lekukan dalam di depan sana. Kecuali suara deburan ombak, keadaan di tempat itu tenang-tenang saja. An-gin bertiup sejuk.

"Aneh, di pantai seperti ini biasanya banyak perahu mangkal. Di laut perahu nelayan bertebaran dan di pantai banyak rumah penduduk. Aku tidak melihat semua itu..." Selagi Wiro membatin bertanya-tanya dalam hati, di atas pundaknya Sinto Gendeng berucap seperti orang membaca syair.

"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini..."

"Dasar nenek gendeng," kata Wiro dalam hati. Dua kakinya lumpuh, masih bisa bilang betapa baha-gianya hidup ini. Aku tersiksa mendukungnya kemana-mana, dikencingi! Dan dia masih bisa bilang betapa bahagia rasanya hidup ini! Tua bangka geblek!"

"Anak setan! Aku merasa pasti ada sesuatu yang kau ucapkan dalam hati!" Sinto Gendeng tiba-tiba menegur.

"Nek, kau tadi enak saja bicara. Lihat ke depan. Laut dan daratan membentuk teluk. Kita sudah berada di kawasan Teluk Akhirat, sarang mahluk jahanam yang telah mencelakai dirimu. Membuatmu lumpuh dan menyebabkan aku kebagian pekerjaan tidak enak, mendukungmu kemana-mana! Dari pada berucap yang aneh-aneh lebih baik mulai berlaku waspada!"

Sinto Gendeng tertawa pendek. Tanpa perdulikan ucapan muridnya nenek kembali membuka mulut. "Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia rasanya hidup ini. Tetapi... tetapi mengapa mendadak hidungku mencium bau amis. Amisnya darah! Ih!"

"Nek, kencing mu yang menempel di tengkuk ku sudah cukup membuat aku merinding. Jangan tambah dengan omongan yang membuat aku tambah bergidik..."

Sinto Gendeng masih tidak perdulikan ucapan muridnya. "Kata orang Teluk Akhirat banyak kelelawarnya. Kelelawar yang bisa menggerogoti tubuh manusia hingga berubah menjadi jerangkong putih! Hik hik! Tapi aku masih belum melihat binatang-binatang itu. Jangankan kelelawar, lalatpun tak ada di teluk ini. Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah, Wiro. Ini bukan Teluk Akhirat tapi Teluk Sorga! Hik hik hik!"

Belum habis tawa si nenek tiba-tiba langit di sebelah timur kelihatan gelap. Si nenek tenang-tenang saja. Wiro mendongak, memandang ke atas. Dia melihat puluhan burung aneh melayang di udara, melesat ke arah teluk. Deru sayapnya menggemuruh, menindih suara deburan ombak.

"Astaga, itu bukan burung! Tapi kelelawar! Nek! Ada ratusan kelelawar terbang menuju ke sini!"

"Aku sudah melihat! Mengapa musti terkejut! Binatang itu yang menebar bau amis yang tadi aku cium!"

"Nek, lihat! Ratusan kelelawar itu menukik ke arah kita!" Wiro berteriak.

"Aku sudah melihat! Kau berteriak seperti orang ketakutan!" ujar Sinto Gendeng sambil pindahkan susur dari samping kiri ke kanan mulutnya.

"Kelelawar itu bukan kelelawar biasa! Besar-besar! Mereka menukik menyerang kita!" teriak Wiro lagi.

Puluhan kelelawar semakin dekat, melayang dengan suara bergemuruh, jelas-jelas melesat ke arah Wiro dan Sinto Gendeng yang berada di pantai teluk, di tempat terbuka. "Binatang itu pasti peliharaan Kelelawar Pemancung Roh! Pasti mahluk itu yang menyuruh mereka menyerbu kita!"

"Anak setan! Kalau kau sudah tahu diri mau diserang, mengapa cuma omong melulu! Lakukan sesuatu!" Sinto Gendeng membentak.

"Kau yang harus melakukan sesuatu Nek! Bukan aku! Karena kau berada lebih tinggi! Kau yang bakal di geragot lebih dulu!" teriak Wiro saking jengkelnya. Walau bicara seperti itu tapi dia mulai berusaha mencari selamat yakni lari ke arah deretan rapat pohon-pohon kelapa di tepi pantai. Pohon-pohon itu bisa dijadikan sebagai perlindungan dari serbuan kelelawar.

Suara kepak puluhan kelelawar, suara aneh yang melesat keluar dari mulut binatang-binatang itu benar-benar menggidikkan. Wiro berhasil mencapai deretan pohon-pohon kelapa terdepan. Dia jatuhkan diri ke tanah, tidak perduli bagaimana akibatnya dengan guru yang berada di pundaknya.

Si nenek terhempas jatuh, terguling berkelukuran. Keningnya membentur salah satu tiang gubuk hingga benjut dan tiang itu sendiri patah! Sinto Gendeng menyumpah panjang pendek! Dia menggapai beringsut ke depan lalu jatuhkan diri menelungkup di atas tanah keras lantai gubuk. Sementara itu pada saat yang sama puluhan kelelawar datang melabrak. Wiro menelungkup sama rata dengan tanah. Puluhan kelelawar lewat di atasnya. Pasir beterbangan. Rerumputan liar terbongkar.

"Plaakkk! Plaakkk! Braaakkk!"

Kulit keras batang pohon kelapa hancur berkeping-keping dihantam sayap kelelawar. Binatang-binatang ini menguik keras karena tak berhasil menghantam Wiro. Mereka melesat berputar di sela-sela pohon kelapa lalu membalik, melancarkan serangan untuk kedua kalinya. Yang diserbu hanya Wiro sementara Sinto Gendeng masih melingkar di bawah atap gubuk, kembali terdengar memaki pendek.

Pada serangan kedua kelelawar-kelelawar itu melayang sangat rendah. Hanya setengah jengkal dari permukaan tanah. Wiro tidak mungkin menghindar lagi. Tak ada jalan lain. Murid Sinto Gendeng hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Ini merupakan satu pukulan sakti untuk membentengi diri dari serangan, sekaligus merupakan serangan untuk menghantam lawan. Dengan tangan kanannya Wiro melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.

Ratusan kelelawar mengeluarkan suara menguik dahsyat. Tubuh mereka terpental jauh, ada yang melesat sampai melebihi tingginya pohon kelapa. Puluhan terlempar dan jatuh bergedebukan di tanah. Ada pula yang terpental menghantam pohon-pohon kelapa. Beberapa pohon kelapa menderak patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Tetapi aneh dan luar biasanya, tidak satupun dari kelelawar-kelelawar itu yang cidera! Bahkan setelah kena dihantam dua pukulan dahsyat begitu rupa, puluhan kelelawar keluarkan suara menggembor, kepakkan sayap. melesat ke udara lalu menyambar kembali ke arah Pendekar 212!

"Gila! Bagaimana mungkin binatang celaka itu tidak satupun hancur dihantam pukulan sakti ku!" Wiro terbeliak kaget! Rasa heran sekaligus kecut ngeri Pendekar 212 memang beralasan. Pohon kelapa saja patah bertumbangan kena sambaran dua pukulan sakti yang tadi dilepaskannya. Tetapi kelelawar-kelelawar itu tidak satupun yang cidera, malah kini kembali siap melancarkan serangan!

"Gila! Binatang jahanam itu hendak menyerang kembali! Mengapa cuma aku yang diserang, guruku tidak? Apa kelelawar itu jijik pada tubuhnya yang jelek dan bau pesing?!"

"Berrr..... berrrr!"

Ratusan kelelawar kembali menyerbu. Suara kepak sayap mengerikan, serta menguik aneh yang keluar dari mulut mereka pekak menggidikkan. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya diangkat, berubah memutih laksana perak. Puluhan kelelawar datang bergemuruh. Celakanya kini mereka tidak datang dari arah yang sama, tapi menyambar bersilangan dari berbagai jurusan! Wiro gerakkan tangan kanan dua kali berturut-turut.

"Wussss!"

"Wussss!"

Dua larik sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Puluhan kelelawar menguik dahsyat. Tubuh mereka mencelat cerai berai dalam keadaan hangus, menebar bau menegakkan bulu roma!

"Brettt!"

"Craaaass!"

Wiro mengeluh kesakitan. Ketika dia meneliti pakaiannya robek besar di sebelah dada sementara bahu kirinya mengucurkan darah dari luka terkena sambaran sayap kelelawar.

Puluhan kelelawar yang masih hidup untuk beberapa lamanya hanya berkelebat di antara pohon-pohon kelapa. Mungkin juga binatang-binatang itu ngeri melihat apa yang terjadi dengan puluhan kawan-kawan mereka. Tapi sebenarnya tidak. Binatang-binatang ini tidak mempunyai rasa takut. Mereka tengah menunggu sesuatu!

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras tiga kali berturut-turut. Puluhan kelelawar yang beterbangan liar di atas kepala Pendekar 212 keluarkan suara menguik seolah membalas suara suitan tadi. Lalu binatang-binatang itu berkelebat ke atas, bergelantungan di pelepah pohon-pohon kelapa. Diam tak bergerak, hanya mata mereka yang coklat gelap kelihatan memandang menyorot ke arah Pendekar 212. Sikap mereka jelas mengurung sambil menunggu sesuatu.

Tak selang beberapa lama dari arah teluk kelihatan sekelompok benda aneh melayang cepat ke arah kawasan pohon-pohon kelapa. Sebentar saja mereka sudah ikut bergelantungan di dahan-dahan pohon kelapa. Jumlah mereka sekitar tiga puluhan.

Ketika Wiro memperhatikan, berubahlah wajah sang pendekar. Darahnya tersirap. Mahluk-mahluk yang barusan muncul ini memiliki sayap coklat kehitaman seperti kelelawar. Tetapi kepala mereka berbentuk kepala bayi. Luar biasa dan mengerikan, ketika menyeringai kelihatan mulut berlidah basah berwarna sangat merah. Lalu barisan gigi-gigi merupakan taring lancip mencuat keluar. Lima diantara sekian banyak mahluk aneh ini memiliki kepala dihias sebuah gambar bintang hitam di ubun-ubun. Hanya satu memiliki sekaligus gambar dua bintang di batok kepalanya. Yang lain-lain memiliki kepala licin botak plontos!

Wiro berusaha menindih rasa bergidiknya. Di melirik ke samping ke arah gubuk tanpa dinding dan jadi terkejut ketika dapatkan Eyang Sinto Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula.

"Eyang! kau dimana?! Eyang Sinto!" teriak Wiro memanggil.

Tiba-tiba ada suara tertawa bergelak. Seekor kelelawar kepala bayi, yang ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berkelebat. Sesaat kemudian mahluk ini sudah tegak di depan Wiro. Lidahnya yang merah basah terjulur-julur, taringnya mencuat.

"Kau mencari nenek jelek itu? Ha ha ha! Mahluk bertubuh kelelawar berkepala seperti bayi yang adalah si Tuyul Orok mengumbar tawa.

"Mahluk jahanam! Guruku memang jelek. Tapi jangan berani menghina!" Wiro hantamkan kaki kanannya, menendang Tuyul Orok. Tendangan ini bukan sembarangan karena disertai tenaga dalam. Jangankan sosok mahluk sebesar Tuyul Orok, batupun bisa hancur. Tapi dengan gesit dan cepat Tuyul Orok berke-lebat ke kiri lalu...

Plaakk!

Sayapnya menyambar ke depan. Wiro terpekik Memandang ke bawah dilihatnya celananya robek besar. Kakinya sebelah kanan mengucurkan darah. Tulang keringnya kelihatan tersembul memutih.

Tuyul Orok kembali tertawa gelak-gelak. Begitu suara tawanya berhenti dia keluarkan suara bersuit panjang. Puluhan kelelawar kepala bayi yang bergelantungan di pohon kelapa balas bersuit.

"Kawan-kawan! Kita sudah lama tidak menikmati daging manusia! Santapan sudah tersedia! Tunggu apa lagi?!"

Puluhan kelelawar kepala bayi julurkan lidah hingga cairan merah berlelehan ke dagu. Lalu didahului suara menguik dahsyat binatang-binatang itu ke-pakkan sayap, berkelebat ke bawah, menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.