Serial Pendekar Naga Putih
Episode Budak Nafsu Terkutuk
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Budak Nafsu Terkutuk
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
"Haiiit... Heaaah...!"
Suara bentakan keras menggetarkan terdengar dari dalam sebuah bangunan besar yang sekelilingnya dipagari kayu bulat setinggi satu setengah tombak. Sosok tubuh bertelanjang dada, tampak tengah bergerak ke kiri dan kanan dengan kuda-kuda yang kokoh bagaikan batu karang. Geseran-geseran tubuhnya disertai dengan lontaran pukulan tangan yang menerbitkan angin menderu. Rupanya dari sosok yang tengah berlatih silat inilah suara-suara bentakan keras tadi terdengar.
Sosok bertelanjang dada ini memang telah cukup lama berlatih ilmu tangan kosong. Dan ia mengakhirinya dengan sebuah bentakan yang disusul lompatan ke belakang sejauh hampir dua tombak. Entah kapan tangannya bergerak, tahu-tahu di tangan kanannya telah tergenggam sebatang golok. Kemudian ia mulai berlatih kembali. Kali ini dengan menggunakan goloknya yang setiap kali bergerak, mendatangkan suara angin berkesiutan.
"Hyaaat..!"
Beberapa jurus kemudian, sosok bertelanjang dada ini kembali mengeluarkan bentakan yang melengking tinggi. Disusul dengan lentingan tubuhnya sambil melakukan babatan yang cepat bukan main! Baru kemudian meluncur turun dengan ringannya. Sedang golok di tangannya tampak telah tersimpan di pinggangnya. Caranya menyimpan senjata, yang cepat dan nyaris tak terlihat, menandakan kalau sosok bertubuh kekar ini seorang yang cukup ahli dalam ilmu golok.
Tepat pada saat sosok bertelanjang dada ini mengakhiri permainannya, terdengar suara tepukan tangan yang membuatnya menoleh. Terlihat sesosok perempuan berwajah manis tengah tersenyum kepadanya. Perempuan inilah yang bertepuk tangan seraya melontarkan kata-kata pujian.
"Permainan golokmu sudah pesat sekali kemajuannya, Kakang Sujiwa. Aku benar-benar kagum melihatnya. Tampaknya ketekunanmu selama ini tidak sia-sia...," ujar perempuan muda itu seraya mengayunkan langkah menghampiri lelaki berdada bidang yang dipanggil Sujiwa.
"Ah.... Kuntini, hasil yang sekarang kucapai ini masih jauh dari sempurna. Belum sepertiga dari kepandaian Guru..." Sujiwa, pemuda bermata tajam dengan raut wajah mencerminkan kejantanan ini berkata merendah. Dia pun mengayunkan langkah menyambut kedatangan gadis bernama Kuntini.
Kuntini hanya tersenyum, tidak menimpali ucapan Sujiwa. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia segera mengeluarkan sehelai sapu tangan yang terbuat dari kain kasar berwarna putih. Kemudian disusutnya peluh yang membasahi wajah Sujiwa sambil menatap penuh kemesraan. Pemuda itu tersenyum bahagia. Ditangkapnya kedua pergelangan tangan Kuntini. Ditariknya perlahan, hingga tubuh gadis itu jatuh ke dalam pelukannya.
"Jangan, Kakang, nanti dilihat orang...!" cegah Kuntini ketika Sujiwa hendak mengecup bibirnya. Gadis ini merundukkan kepala, hingga bau harum rambutnya tercium oleh Sujiwa. Membuat getaran dalam dada pemuda itu semakin menyentak.
"Tidak ada orang lain di tempat ini, Kuntini...," bisik Sujiwa setelah memperhatikan sekeliling taman belakang bangunan tempat ia biasa melatih ilmu-ilmunya. Dikecupnya rambut kepala Kuntini dengan segenap perasaan kasihnya.
"Ahhh...," Kuntini mendesah dengan dada berdebar. Namun ia tidak berusaha mengelak ketika Sujiwa mengecup pipinya yang menjadi kemerahan. "Sudah, Kakang..."
Sujiwa menunda keinginannya untuk mengecup bibir ranum Kuntini ketika gadis itu memalingkan wajahnya menghindar. Sujiwa malah tersenyum ketika Kunrini mendorong tubuhnya, hingga pelukannya terlepas.
"Keringat Kakang berbau kecut..," goda Kuntini sambil memijit hidungnya. Kemudian bergerak mundur seolah tubuh Sujiwa memang berbau kecut.
"Tapi kau suka, kan? Buktinya kau tak menolak kupeluk...," balas Sujiwa mencoba mengejar dan menangkap tubuh Kuntini. Gadis itu terus berlari dan menghilang di balik daun pintu. Hanya tawa manjanya yang masih terdengar menggelitik telinga Sujiwa.
"Awas kau nanti...," desis Sujiwa tersenyum dengan sinar mata berkilat, ketika wajah Kuntini kembali menyembul dari balik pintu untuk kemudian lenyap. Sujiwa hanya tertawa gemas melihat kemanjaan kekasihnya.
Selesai membersihkan tubuh di air pancuran, Sujiwa bergegas menghadap Ki Dawung, guru yang selama belasan tahun telah mendidiknya. Sujiwa merupakan murid terkasih, yang telah mewarisi lebih dari sepertiga kepandaian gurunya. Namun semua itu sama sekali tidak membuatnya besar kepala.
Terhadap saudara-saudara seperguruan ia tetap berlaku sopan dan hormat. Sehingga sangat disukai baik oleh saudara-saudara seperguruan maupun para sesepuh perguruan. Bahkan ketika menjalin cinta dengan Kuntini, putri tunggal gurunya, dia malah mendapat restu.
Sujiwa merasa dirinya benar-benar beruntung. Karena selain berwajah cantik dan manis, Kuntini pun memiliki ilmu kepandaian yang tidak berselisih jauh dengannya. Dirinya juga sadar bahwa gadis seperti putri Ki Dawung tentu menjadi idaman setiap pemuda. Siapa sangka kalau justru dirinyalah yang beruntung dapat memikat hati Kuntini.
Agak heran juga hati Sujiwa ketika melihat murid-murid perguruan telah berbaris rapi di depan bangunan utama. Dia sendiri tinggal di salah satu bangunan kecil yang banyak mengelilingi bangunan utama perguruan, tempat tinggal Ki Dawung dan keluarganya. Melihat semua itu, hati Sujiwa berdebar. Tidak biasanya diadakan persiapan yang demikian rapi, seolah gurunya tengah menantikan keda- tangan tamu terhormat.
"Guru...," Sujiwa menghormat seraya merangkapkan telapak tangannya di depan wajah yang tertunduk. Kemudian ia langsung mengambil tempat di antara para sesepuh perguruan, setelah mendapat perkenan dari Ki Dawung.
"Saudara-saudaraku sekalian...." Ki Dawung, Ketua Perguruan Tapak Jalak, membuka pertemuan dengan suara beratnya. Sepasang matanya yang tajam laksana mata elang, beredar memperhatikan wajah-wajah yang menghadiri pertemuan ini. "Sebuah peristiwa besar yang sekaligus merupakan kehormatan bagi perguruan ini, akan segera kita alami. Salah seorang murid telah melaporkan, bahwa desa tempat perguruan kita berada telah disinggahi oleh Gusti Pangeran. Sebenarnya beliau sedang dalam perjalanan pulang sehabis berburu. Ketika melewati desa ini, tiba-tiba beliau memutuskan untuk singgah melepaskan lelah"
Sampai di sini Ki Dawung menghentikan ucapannya. Senyumnya mengembang ketika melihat wajah-wajah yang hadir dalam pertemuan itu menunjukkan tanda tanya besar. Karena apa yang diceritakan Ki Dawung memang belum terlihat adanya hubungan dengan Perguruan Tapak Jalak. Setelah kembali mengedarkan pandangannya kepada semua yang hadir, Ki Dawung kembali melanjutkan ucapannya.
"Sepanjang yang aku ketahui, Gusti Pangeran Sokapanca sangatlah gemar akan ilmu silat. Hal inilah yang membuat aku memerintahkan agar kalian semua bersiap. Sebab, bukan tidak mungkin kalau beliau akan datang mengunjungi perguruan kita"
Mendengar kelanjutan ucapan Ki Dawung, barulah semua yang hadir mengerti duduk perkaranya. Mereka sama menganggukkan kepala dari saling berbisik satu sama lain. Sehingga untuk beberapa saat suasana di dalam ruangan dipenuhi gaung yang mirip suara sekumpulan lebah. Suasana baru kembali tenang setelah Ki Dawung memberikan isyarat dengan tepukan tangan perlahan dan berirama.
Ki Dawung yang semula hendak memberikan beberapa pesan ataupun petunjuk, segera menundanya. Karena saat itu seorang murid melaporkan bahwa orang yang tengah dibicarakan sudah hampir tiba dengan diiringi selusin prajurit. Langsung saja Ketua Perguruan Tapak Jalak itu memerintahkan agar pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Dia sendiri segera melangkah ke luar ruangan diikuti yang lainnya.
Saat itu, seorang lelaki berusia muda berpakaian pemburu, duduk di atas punggung kuda yang melangkah perlahan memasuki pintu gerbang. Sikapnya sangat anggun dan berwibawa. Kepalanya diangkat tegak dengan tatapan lurus ke depan. Namun tarikan bibirnya tampak mencerminkan watak yang angkuh dan memandang rendah orang lain. Dan ia tetap berada di atas punggung kudanya, kendati telah tiba di hadapan Ki Dawung.
Ki Dawung sendiri tidak berani berlama-lama menatap pandang mata pemuda tampan berpakaian pemburu di hadapannya. Karena dia dapat menduga bahwa pemuda itu pastilah Pangeran Sokapanca. Lelaki tua itu segera menjatuhkan diri dengan sebelah kaki menekuk. Sikap ini diikuti seluruh murid maupun para sesepuh Perguruan Tapak Jalak yang berada di belakang Ki Dawung.
"Hamba Ki Dawung, menghaturkan sembah kepada Gusti Pangeran, dan mengucapkan selamat datang di tempat yang buruk ini. Karena kedatangan Paduka terlalu mendadak, kami tidak sempat mempersiapkan sambutan yang semestinya. Harap Paduka sudi memaafkan kami...," ucap Ki Dawung tetap dengan kepala tertunduk
"Hm..., aku maklum. Bangkitlah, Ki Dawung!" ujar Pangeran Sokapanca yang kemudian turun dari punggung kudanya. Perbuatannya ini segera diikuti oleh dua belas orang pengawal yang mengenakan seragam keprajuritan.
"Silakan Gusti Pangeran...!" ujar Ki Dawung seraya bergeser memberi jalan kepada Pangeran Sokapanca untuk memasuki bangunan utama.
Namun Pangeran Sokapanca sudah tidak memperhatikan atau mendengarkan ucapan Ki Dawung. Sepasang matanya telah melekat erat pada seraut wajah cantik manis, yang berdiri tak jauh belakang Ki Dawung. Tatapan tajam dan mengandung hasrat dari mata Pangeran Sokapanca membuat si pemilik wajah cantik manis menundukkan kepala.
"Menurut kabar yang sampai ke telingaku, perguruan ini banyak menghasilkan orang pandai. Nah, maksud kunjunganku ke sini untuk menyaksikan dan membuktikannya. Tentu saja kalau kau tidak keberatan, Ki Dawung...," ujar Pangeran Sokapanca sambil melangkah di samping Ki Dawung. Nada suaranya terdengar sinis dan terkesan memandang rendah.
"Kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, Gusti. Lagi pula, mana mungkin kami dapat disejajarkan dengan kepandaian jago-jago istana?" sahut Ki Dawung merendah. Karena dia memang tidak pernah menggembar-gemborkan kepandaian atau perguruannya. Namun bukan berarti bahwa hatinya tidak merasa tersinggung mendengar ucapan sinis itu. Kalau saja yang mengucapkannya bukan seorang pangeran, sudah pasti dia tidak bisa terima begitu saja.
"Meskipun memang benar begitu, tapi aku tetap ingin menyaksikan ilmu silat perguruanmu, Ki Dawung. Kuminta kau tak keberatan untuk memperlihatkannya," ujar Pangeran Sokapanca yang menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ki Dawung.
Permintaan seorang pangeran sama artinya dengan sebuah perintah yang tidak bisa ditolak. Ki Dawung tahu itu. Maka segera diantarkannya Pangeran Sokapanca menuju halaman samping bangunan, yang merupakan arena berlatih silat. Ki Dawung segera memerintahkan murid-muridnya untuk menyiapkan kursi bagi Pangeran Sokapanca.
Karena segala sesuatunya memang selalu sudah dipersiapkan, maka perintah Ki Dawung segera tersedia hanya dalam beberapa menit. Pangeran Sokapanca duduk di samping Ki Dawung. Sedang dua orang perwira yang selalu berada di dekat sang Pangeran, duduk tepat di belakang junjungannya. Arena laga sendiri berada di sebelah bawah mereka.
Ki Dawung memanggil dua orang sesepuh perguruan. Mereka adalah Barnaba dan Sanggaling. Keduanya berusia sekitar lima puluh tahun. Namun wajah mereka terlihat sehat dan segar. Mereka langsung saling berhadapan setelah memberi hormat kepada Pangeran Sokapanca dan Ki Dawung. Barnaba dan Sanggaling telah bergerak mundur mempersiapkan kuda-kuda untuk berlaga. Kemudian sama bergerak ke arah yang berlawanan.
"Sambutlah seranganku. Adi Sanggaling. Hyyaatt!"
Barnaba membuka serangan lebih dulu. Tubuhnya melesat ke depan dengan gerakan ringan. Dan langsung mengirimkan cengkeraman lurus mengarah ke kepala dengan tangan kanannya. Sedang tangan kiri bergerak dari bawah ke atas, mengancam lambung lawan. Lelaki berpakaian putih itu mengirimkan dua serangan sekaligus dalam gebrakan pertama.
Melihat dua buah serangan hebat itu, Sanggaling segera menggeser langkah ke belakang. Dia tahu bahwa dua serangan itu sangat sulit untuk dibendung. Selain gerakannya sangat cepat, juga m ngandung gerak tipu yang perubahannya tak terduga. Karena tidak ingin mendapat celaka pada gerakan pertama, lelaki, berpakaian kuning itu memutuskan untuk menghindar.
Barnaba yang maklum akan kecerdikan adik seperguruannya, segera merubah serangan. Kali ini dia melakukan lompatan panjang dengan kedua tangan terulur mengancam bahu Sanggaling. Jari-jari tangannya yang terisi tenaga dalam tampak bergetar. Serangan ini jauh lebih berbahaya, karena jari-jari Barnaba sangat kuat dan sanggup meremukkan batu karang! Apalagi hanya tubuh manusia.
Sanggaling tidak membiarkan kedua bahunya begitu saja dicengkeram. Anehnya kali ini ia tidak bergerak mundur. Hanya menggeser kaki belakangnya ke depan. Seolah ia nekat hendak menyerahkan tubuhnya untuk dicengkeram lawan. Sampai-sampai Barnaba sendiri sempat dibuat kaget oleh perbuatan adik seperguruannya yang dianggap menantang maut. Namun ia tidak bisa menarik kembali serangannya, karena jarak sudah terlampau dekat.
Whuuuttt...!
Sepasang cengkraman Bamaba lewat di sebelah atas tubuh Sanggaling Karena saat cengkeraman maut itu nyaris mengenai sasaran, mendadak Sanggaling memdoyongkan tubuh ke belakang, sekaligus mengirimkan sebuah tendangan lurus ke perut Sanggaling.
"Aaah...?!"
Barnaba memekik tertahan ketika melihat serangan balasan Sanggaling. Untuk menghindarinya jelas sudah tertambat Jalan satu-satunya harus menyalurkan tenaga dalam ke sasaran tendangan itu. Sehingga, kalaupun tidak bisa mengelak, tubuhnya telah terlindungi tenaga dalam. Itu memungkinkan dirinya tidak mengalami luka dalam.
Buk...!
Saat tendangan itu menyentuh perutnya, Barnaba masih berusaha mengurangi luka yang bakal dialami dengan jalan mengikuti tenaga tendangan lawan. Sehingga, begitu terkena tendangan, tubuhnya langsung terlempar deras. Dan itu memang di- sengaja oleh Barnaba, yang berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Akhirnya dia dapat mendarat dengan selamat tanpa mengalami cidera, kendati wajahnya tetap kelihatan pucat
Wajah Ki Dawung berseri demi melihat kecerdikan Barnaba. Hatinya merasa bangga karena kedua orang murid utamanya dapat menyuguhkan pertarungan dengan baik dan penuh kesungguhan hati. Lelaki tua itu tersenyum tipis penuh kepuasan.
Tidak demikian halnya dengan Pangeran Sokapanca. Terlihat ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini dilakukan bukan karena merasa kagum denganjalannya pertarungan yang seru dan menenangkan, melainkan karena merasa tidak puas. Dia menganggap pertunjukan itu tidak mendatangkan keuntungan baginya.
"Sudahi pertempuran kedua orang jagomu itu, Ki Dawung! Mereka terlalu lambat dan kelihatan masih enggan untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing. Jalannya pertarungan kelihatan tidak menarik!" ujar Pangeran Sokapanca yang tentu saja membuat wajah Ki Dawung berubah agak kelam.
Ki Dawung menekan rasa jengkelnya. Ucapan Pangeran Sokapanca jelas merupakan penghinaan baginya. Dia tahu betul kalau kedua orang murid andalannya bertarung dengan sungguh-sungguh, dan telah menggunakan ilmu andalan masing-masing. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian mengeluarkan perintah agar Barnaba dan Sanggaling menghentikan pertarungan. Meskipun merasa heran, Bamaba dan Sanggaling tidak membantah perintah sang Guru. Keduanya bergegas keluar dari arena tanpa berkata apa-apa.
"Ki Dawung..."
Panggilan Pangeran Sokapanca membuat Ki Dawung menunda maksudnya menampilkan Sujiwa. Dia menoleh dengan sikap yang tetap penuh hormat
"Apakah murid perempuan itu berada di bawah tingkat kedua orang tadi...?" tanya Pangeran Sokapanca menyembunyikan rasa tertariknya kepada gadis muda yang sejak semula telah menarik perhatiannya.
"Maaf, Gusti! Gadis itu adalah putri tunggal hamba...," sahut Ki Dawung dengan suara rendah. Dia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya melihat betapa Pangeran Sokapanca menaruh perhatian terhadap putri tunggalnya. Meskipun pangeran itu berusaha menyembunyikan perasaannya, tapi sebagai orang yang berpengalaman, Ki Dawung mengetahui.
"Ahhh...!" dengan pandainya Pangeran Sokapanca berpura-pura kaget. Padahal sejak semula ia sudah merasa curiga dan menduga bahwa gadis yang menarik perhatiannya itu pastilah mempunyai hubungan erat dengan Ki Dawung. Karena dari sekian banyaknya murid Perguruan Tapak Jalak, cuma satu yang wanita. Dan jawaban Ki Dawung membuat Pangeran Sokapanca manggut-manggut.
"Hm..., jika demikian... eh, apakah putrimu sudah menikah, Ki Dawung?"
"Belum, Gusti Pangeran...," sahut Ki Dawung mulai dapat meraba apa yang bakal dikatakan pangeran itu selanjutnya.
"Hm... sudahi saja pertunjukan ini, Ki Dawung. Dan langsung saja kusampaikan bahwa aku merasa tertarik dengan putri tunggalmu itu. Terlebih ia merupakan keturunan seorang pendekar. Hm... kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin mengambilnya sebagai selir. Bagaimana? Aku ingin dengar jawabannu?" ujar Pangeran Sokapanca yang nada suaranya berubah agak ramah. Tentu saja karena mempunyai maksud terhadap putri Ketua Perguruan Tapak Jalak
"Hm... sangat menyesal, Gusti. Kuntini sudah hamba jodohkan dengan murid hamba sendiri...," karena permintaan Pangeran Sokapanca terlalu tiba-tiba, dan Ki Dawung tidak ingin putri tunggalnya dijadikan selir, alasan itu terpaksa dikemukakan. tentu saja dengan harapan agar Pangeran Sokapanca membatalkan niatnya
"Ha ha ha...! Itu tidak jadi masalah, Ki Dawung. Ingat aku adalah seorang pangeran. Apabila lamaranku kau terima, perguruan ini akan kuperbesar hingga menjadi terkenal di kalangan persilatan. Dan kau pun akan kaya mendadak, Ki Dawung!" tukas Pangeran Sokapanca yang ternyata tidak peduli meskipun gadis yang diincarnya telah dijodohkan dengan orang lain.
"Tapi...," Ki Dawung masih berusaha menolak secara halus.
"Tidak ada kata tetapi, Ki Dawung! Kau lihat, lamaran ini kuajukan dengan disaksikan kedua orang pengawal pribadiku! Tentunya kau tak ingin dianggap sebagai pemberontak, bukan? Nah, kuberi kau waktu dua hari! Jika tidak..., kau akan menyesal seumur hidup!" Setelah berkata demikian, Pangeran Sokapanca bangkit dari duduknya. "Mari, kita pergi..!" ujarnya kepada dua orang perwira yang ada di belakangnya.
Tanpa menoleh lagi, Pangeran Sokapa langsung meninggalkan bangunan Perguruan Tapak Jalak! Diiringi dua belas orang pengawal yang merupakan prajurit-prajurit pilihan itu.
Tinggallah Ki Dawung yang masih duduk termangu di kursinya. Wajah lelaki tua yang kelihatan masih segar dan sehat ini mendadak layu dan murung. Karena mendadak dirinya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika menolak, ia akan dianggap pemberontak! Sedang untuk menerima jelas tidak mungkin. Dirinya telanjur sudah merestui hubungan Kuntini dengan Sujiwa, murid utama termuda dan terlihai di antara murid-murid lainnya. Ki Dawung tak mungkin menghancurkan hati putrinya dan juga murid tersayangnya.
"Celaka...!" desis Ki Dawung seraya melemparkan pandangan ke hamparan langit biru. Keningnya tampak berkerut dalam, menandakan betapa hati lelaki tua itu tengah dilanda keresahan dan kecemasan yang hebat.
Murid-murid Perguruan Tapak Jalak sendiri menjadi keheranan ketika Pangeran Sokapanca tiba-tiba meninggalkan tempat itu bersama rombongannya. Namun mereka tentu saja tidak berani untuk bertanya, kecuali saling berbisik satu sama lain, menyatakan keheranannya.
Rasa heran juga merasuki hati Sujiwa, Kuntini, Banaba, dan Sanggaling. Mereka saling bertukar pandang satu sama lain, yang pada akhirnya sama mengangkat bahu tanda tak mengerti. Terlebih ketika melihat betapa sepeninggal Pangeran Sokapanca bersama rombongannya wajah Ki Dawung tampak murung dan menyiratkan kecemasan. Ketika melihat Ki Dawung bergerak bangkit dan melangkah menuju ruang utama, keempatnya saling memberi isyarat untuk mengikuti.
"Ayah...!" Kuntini mendahului yang lainnya menghampiri Ki Dawung yang berdiri di muka jendela, dan tengah memandang keluar.
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling langsung berlutut di dekat sang Ketua. Mereka tidak berani untuk langsung bertanya, hanya menunggu penjelasan dari Ki Dawung.
Ki Dawung yang tahu kalau putri dan murid-murid utamanya menyusul ke dalam, bergerak meninggalkan jendela. Kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi yang terdapat di tengah ruangan utama itu. Setelah menarik napas berat beberapa saat, Ki Dawung pun menjelaskan apa yang menjadi beban pikirannya.
Bukan main terkejutnya hati Kuntini maupun ketiga orang murid utama Ki Dawung. Terlebih Sujiwa yang mempunyai kaitan langsung dengan persoalan ini. Wajah pemuda itu sebentar merah sebentar pucat. la tidak tahu perasaan apa yang tengah berkecamuk di dalam hatinya. Hingga, untuk beberapa saat lamanya ruangan ini menjadi hening.
"Guru...," akhirnya suara parau Sujiwa memecahkan keheningan. Kelihatan sekali betapa Sujiwa berusaha keras menekan rasa sedih, marah, serta benci yang berkecamuk di dalam hatinya. Wajahnya berkerut-kerut seperti orang tengah menahan rasa sakit yang luar biasa. Ki Dawung, Barnaba, dan Sanggaling tampak merasa kasihan. Mereka tahu kalau berita itu merupakan sebuah pukulan batin yang sangat berat bagi Sujiwa.
"Guru..., sudah terlalu besar budi baik yang kau limpahkan kepadaku. Belasan tahu aku dididik hingga menjadi seperti sekarang ini. Dan rasanya ini adalah saat yang tepat bagiku untuk membalas segala kebaikan yang selama ini kau berikan kepadaku. Aku... aku bersedia memutuskan hubunganku dengan Kuntini demi keselamatan Guru sekeluarga serta perguruan ini. Yang selama ini aku dapatkan pun sudah terlalu besar. Dan aku tidak berani mengharapkan lebih..."
Setelah berkata demikian, Sujiwa menundukkan wajahnya yang menjadi pucat. Sebab, meskipun ia benar-benar rela melepaskan Kuntini, namun perasaannya tidak bisa dibohongi. Sujiwa terlalu mencintai gadis itu. Membayangkan betapa sang kekasih akan dijadikan selir Pangeran Sokapanca yang menurut penglihatannya sangat sombong itu, hatinya bagaikan disayat-sayat. Namun ditekannya segala perasaan itu. Menurutnya yang dilakukan sekarang, sama sekali belum dapat menebus budi baik sang Guru, yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan tahun.
Namun ucapan Sujiwa yang setulus hati itu bagaikan sebuah mata tombak yang menghujam jantung Kuntini. Sehingga, gadis yang biasanya selalu riang ini, menjadi pucat seketika. Kalau Ki Dawung, Bamaba, dan Sanggaling memuji tindakan Sujiwa yang mereka anggap merupakan sebuah pengorbanan tidak kecil, Kuntini justru menganggap bahwa ucapan kekasihnya merupakan sebuah penghinaan! Dan Kuntini menjadi sangat marah terhadap Sujiwa.
"Sujiwa!" bentak Kuntini yang saking marahnya tidak lagi menyebut Sujiwa dengan panggilan kakang. Dan ia sudah melangkah maju sembarimenudingkan jarinya ke wajah Sujiwa. "Kau kiraaku ini apa! Seenaknya saja kau hendak menyerahkan aku kepada pangeran sombong yang mata keranjang itu! Aku bukan barang yang bisa kau lempar-lemparkan. Enak saja kau bersikap seperti itu. Aku manusia yang mempunyai perasaan sama sepertimu! Kalau kau memang sudah tidak suka kepadaku, katakan saja terus terang! Tidak perlu menggunakan dalih dengan menyatakan kerelaanmu melepasku untuk pangeran bejad itu! Kau benar-benar tak punya harga diri...!"
Menggigil tubuh Sujiwa mendapat kecaman dari orang yang sangat disayanginya itu. Wajahnya semakin pucat. Butiran peluh mulai membasahi keningnya. Kerutan pada wajahnya semakin nyata, betapa pedih hatinya mendapat tuduhan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Kepalanya semakin menunduk dalam-dalam. Kendati ia mendengar betapa Kuntini berjalan meninggalkan ruangan itu disertai isak tangisnya. Hati Sujiwa seperti diremas-remas merasakan kesedihan yang dialami kekasihnya itu.
"Biarkan!" cegah Ki Dawung ketika melihat Sujiwa hendak mengejar Kuntini. "Ia hanya salah paham. Biar aku yang menjelaskannya. Aku tetap akan menolak keinginan Pangeran Sokapanca, apa pun yang bakal terjadi! Selain itu, perguruan ini akan kububarkan. Aku tidak ingin murid-muridku terlibat dalam persoalan ini, yang bisa mendatangkan celaka bagi mereka. Biar aku sendiri yang akan menghadapi Pangeran Sokapanca! Ini sudah menjadi keputusanku, dan tidak bisa dirubah!"
Setelah berkata demikian, Ki Dawung bergerak meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh. Tinggallah Sujiwa, Bamaba, dan Sanggaling yang masih duduk terpaku bagai patung. Sungguh mereka tidak menyangka kalau kedatangan tamu agung barusan akan membawa malapetaka dan kehancuran bagi perguruan mereka.
"Si keparat...!" umpat Bamaba mengepal tinjunya erat-erat dengan sorot mata berapi. Hatinya benar-benar marah kepada Pangeran Sokapanca yang menjadi penyebab malapetaka itu.
"Daripada menunggu datangnya kehancuran, lebih baik aku mengadu nyawa dengan pangeran bangsat itu...!" geram Sanggaling yang bergerak bangkit dan siap untuk melaksanakan ucapannya.
"Tidak! Akulah yang bertanggung jawab atas semua ini! Biar aku saja yang datang menemui pangeran mata keranjang itu!" cegah Sujiwa yang merasa paling bersalah dalam hal itu. Karena menurutnya gara-gara ia menjalin cinta dengan Kuntini, keruwetan ini timbul. Kalau tidak, mungkin akan lain ceritanya. Demikian pikiran yang terlintas dalam benak Sujiwa Dia sudah bangkit ingin segera menemui Pangeran Sokapanca, yang belum meninggalkan desa tempat Perguruan Tapak Jalak berada.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar, yang membuat ketiga orang itu terlonjak saking terkejutnya. Muncullah Ki Dawung dengan sinar mata berkilat penuh kemarahan!
"Guru...!" ketiganya segera menjatuhkan diri berlurut, ketika melihat Ki Dawung. Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah melihat sinar kemarahan di mata orang tua itu.
"Jika kalian bertiga atau salah satu dari kalian hendak bertindak menurutkan kata hati sendiri, silakan langkahi dulu mayatku!" ujar Ki Dawung dengan suara menggelegar, kemudian ketiga muridnya menjadi terkejut dan pucat seketika!
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, Dan Sanggaling sama-sama mengeluarkan suara lirih. Mereka tentu saja tidak berani untuk melanjutkan niat mereka semula, karena Ki Dawung kelihatan tidak main-main. Padahal apa yang dilakukan Ki Dawung demi keselamatan murid-muridnya. Dia tidak ingin ketiga orang murid utamanya itu menjadi korban persoalan pribadinya. Setelah beberapa saat berdiri menantang, tak satu pun dari ketiga murid utamanya yang bangkit, Ki Dawung mendengus. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu.
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling tetap belum bergerak kendati ketiganya tahu bahwa guru mereka sudah tidak lagi berada di ruangan itu. Mereka masih belum mengerti mengapa guru mereka sampai bersikap demikian? Padahal mereka semua siap mempertaruhkan nyawa demi guru dan perguruannya yang mereka cintai. Namun keputusan sudah dibuat. Dan mereka tidak bisa mengubahnya lagi, kecuali kalau ingin berhadapan sebagai musuh dengan guru yang selama ini mendidik mereka.
Setelah lama tertunduk ketiganya pun bangkit. Setelah mereka saling bertukar pandang. Kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu, hendak menyampaikan kepada semua murid Perguruan Tapak Jalak atas keputusan Ki dawung untuk mambubarkan perguruan.
Waktu yang ditetapkan Pangeran Sokapanca tiba. Ki Dawung sudah duduk menunggu dengan sikap yang tenang. Orang tua ini sudah mengambil keputusan bulat untuk mengorbankan dirinya demi putrì tunggalnya yang tercinta. Saat itu hari masih pagi. Sinar matahari belum merata di permukaan tanah. Siliran angin pun masih terasa sejuk. Suasana masih terasa hening, sampai akhirnya sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda menuju ke Perguruan Tapak Jalak. Dan suara itu sudah sampai ke telinga Ki Dawung, yang memang sudah menunggu sejak tadi.
Suasana perguruan sepi. Tak seorang murid pun yang terlihat. Pintu gerbang perguruan sengaja dibuka lebar-lebar. Kini Ki Dawung berdiri tegak menghadap ke pintu. Lelaki tua yang masih kekar ini sudah mengenakan pakaian ringkas, la memang tudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi
Ketika suara derap kaki kuda terdengar semakin bergemuruh, Ki Dawung mengayun langkahnya menuju pintu gerbang. Tiba di ambang pintu, dia memutar tubuhnya seraya mengedarkan pandangan menatapi seluruh bagian bangunan perguruan. Ki Dawung sadar bahwa mungkin malapetaka bagi dirinya tak bisa dihindarkan lagi. Semua sudah dipikirkannya masak-masak. Namun dia tidak ingin rumah perguruannya ikut hancur bersama dirinya. Maka diputuskan untuk menunggu rombongan Pangeran Sokapanca di luar bangunan.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan Pangeran Sokapanca pun tiba. Pangeran yang masih muda dan tampan itu terlihat mengerutkan kening melihat Ki Dawung telah menunggunya di luar bangunan seorang diri. Tidak terlihat seorang murid pun yang mendampinginya. Pangeran Sokapanca bertanya-tanya dalam hari. Lalu karena merasa tidak sabar, ia langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu tiba di depan Ki Dawung.
"Hm..., tampaknya sikapmu menunjukkan pertanda tidak baiknya jawaban yang bakal kuterima. Betulkan dugaanku, Ki Dawung?" tegur Pangeran Sokapanca sambil menatap penuh selidik wajah Ki Dawung, yang tampak agak pucat itu.
"Maaf, Gusti Pangeran! Memang demikianlah keputusan yang sudah hamba pikirkan masak-masak," jawab Ki Dawung tegas tanpa menghindarkan pandang matanya dari wajah Pangeran Sokapanca, yang terlihat berubah kelam demi mendengar jawabannya.
"Mengapa, Ki Dawung? Katakanlah, apa yang kau inginkan sebagai mas kawin atas pinanganku terhadap putrimu? Aku akan menyediakannya!" ujar Pangeran Sokapanca yang merasa tidak mengerti, mengapa ada orang menolak kesenangan yang ditawarkannya. Padahal tidak sedikit orang tua yang akan merelakan anak gadisnya untuk diambil selir oleh Pangeran Sokapanca. Namun hal itu ternyata tidak berlaku bagi Ki Dawung!
"Hamba tidak mengharapkan apa-apa, Gusti Pangeran. Kecuali melihat putri tunggal hamba hidup bahagia dengan pemuda pilihannya. Harap Gusti Pangeran mengerti dan menerima hal ini dengan lapang dada..."
"Keparat! Jadi kau benar-benar menolak pinanganku, Ki Dawung? Dan itu berarti bahwa kau sudah siap mati sebagai pemberontak! Itukah yang kau inginkan?" bentak Pangeran Sokapanca yang menjadi marah bukan main! Bagaimana mungkin ada orang yang menolak pinangan seorang pangeran seperti dirinya? Hampir dia tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya dari Ki Dawung.
Ki Dawung merasa tidak perlu menjawab. Orang tua ini hanya menatap Pangeran Sokapanca dengan penuh ketenangan. Namun tentu saja seluruh kekuatan tenaga yang dimiliki telah menyebar ke seluruh tubuh. Siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
"Kurang ajar! Tangkap manusia tak tahu di untung ini!" Sikap diam Ki Dawung, semakin membakar kemarahan di dada Pangeran Sokapanca. Langsung saja ia perintahkan sepuluh orang pengawalnya untuk menangkap Ki Dawung.
Serta merta sepuluh orang prajurit pilihan yang rata-rata bertubuh kekar itu, bergerak mengepung Ki Dawung. Namun sebelum mereka sempat mendekati orang tua itu, mendadak terdengar suara teriakan-teriakan gegap gempita. Bersamaan dengan itu tampak berloncatan belasan sosok tubuh dari rimbunan pepohonan di depan bangunan Perguruan Tapak Jalak.
Mereka ternyata murid-murid Ki Dawung yang dipimpin oleh Barnaba dan Sanggaling. Rupanya meskipun telah mendapat pesan dari Ki Dawung, murid-murid Perguruan Tapak Jalak tetap berkeras untuk mempertaruhkan nyawa guna membela perguruan. Mereka memang pergi meninggalkan rumah perguruan, ketika dibubarkan oleh Ki Dawung, dan diperintahkan agar pulang ke kampung halaman masing-masing.
Namun kepergian mereka ternyata bukan untuk meninggalkan perguruan yang tengah terancam petaka. Rasa cinta dan bakti terhadap gurunya, membuat para murid diam-diam bersembunyi untuk kemudian muncul kembali di saat sang Guru tengah menghadapi Pangeran Sokapanca dan pasukannya. Dengan cara begitu Ki Dawung tidak mungkin lagi mencegah keinginan mereka. Dan itu sudah direncanakan oleh Barnaba dan Sanggaling.
"Pangeran keparat! Tidak tahu malu! Jangan kira kau dapat menyentuh rumah perguruan serta Guru kami, sebelum melangkahi mayat kami!" yang mengeluarkan makian ini adalah Barnaba. Dia sudah menerjang Pangeran Sokapanca dengan sebilah golok besar.
"Hmh!" Pangeran Sokapanca mendengus penuh ejekan melihat datangnya sambaran mata golok Barnaba. Rupanya dia memang bukan cuma bisa sombong dengan mengandalkan prajurit-prajuritnya. Sambaran golok Barnaba dielakkan hanya dengan menarik mundur kala depannya. Kemudian terus melompat dan bersalto dengan tendangan kilat mengancam tengkuk lawan. Barnaba sempat terkejut, karena sama sekali tidak menyangka kalau Pangeran Sokapanca dapat bergerak secepat itu.
Wuutt!
Tendangan berbahaya itu lewat di atas kepala Banaba yang sempat membungkuk sambil menekuk kedua lututnya. Namun Pangeran Sokapanca ternyata sudah dapat membaca gerak lawannya. Begitu tendangan pertama lewat, lututnya langsung menekuk. Kemudian kembali menyambar saat Barnaba kembali tegak. Sehingga, tendangan susulan ini menghantam telak dada Barnaba.
Buk!
"Hukhhh...!"
Barnaba terbatuk dan tubuhnya terjengkang ke tanah. Untuk sesaat Barnaba merasa dadanya sesak dan sulit bernapas. Sungguh dirinya tak menyangka kalau pangeran berwajah tampan itu memiliki kemampuan tinggi. Lelehan darah mengalir dari sela- sela bibirnya.
"Hmh! Dengan kepandaian seperti itu kau mau jual lagak di hadapanku? Itu sama artinya dengan cari mati, tahu!" ejek Pangeran Sokapanca yang sudah menyiapkan serangan mautnya untuk meng- akhiri hidup Barnaba.
Barnaba terbelalak ketika melihat jari-jari tangan Pangeran Sokapanca berubah merah seperti besi yang membara. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sebelum serangan maut sampai
"Larilah sebisamu, Kunyuk! Tapi jangan harap dapat lolos dari kematian!" ujar Pangeran Sokapanca seraya melompat mengejar dan langsung menusukkan jari-jari tangannya yang mengeluarkan hawa panas membakar!
Barnaba berusaha mati-matian untuk menyelamatkan diri dari jemari tangan yang mengerikan itu. Untunglah pada saat yang sangat gawat itu, Sanggaling datang membantu. Sehingga, untuk sesaat Barnaba dapat bernapas lega. Kemudian melompat bangkit dan membantu Sanggaling yang kewalahan menghadapi serangan Pangeran Sokapanca, yang ternyata memiliki kepandaian tinggi dan menggiriskan itu.
Sementara itu, murid-murid Ki Dawung yang berjumlah sekitar tiga puluh orang, tengah bertempur sengit melawan sepuluh orang prajurit yang ditambah dua orang perwira. Ki Dawung yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah para muridnya, terpaksa terjun ke arena. Karena ia melihat dua orang perwira yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Sokapanca, ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Sehingga, meskipun murid-muridnya berjumlah lebih banyak, dapat diimbangi dengan adanya dua orang perwira. Sebentar saja, sudah empat orang murid Ki Dawung menggelepar tewas di ujung pedang kedua orang perwira itu.
"Hyaaat...!"
Ki Dawung berteriak nyaring sebagai isyarat penyerangannya. Tubuhnya melayang bagaikan seekor burung elang menyambar mangsa. Dan dengan cepat dilontarkan pukulan jarak jauh, ketika melihat dua orang muridnya tengah terancam ujung pedang kedua orang perwira itu.
Tras! Tras!
"Heh...?!"
Dua orang perwira itu mengeluh tertahan ketika sambaran pedang mereka terpental balik. Dan lengan mereka dirasakan bergetar hingga sebatas siku. Namun keduanya hanya terdorong mundur tiga langkah. Dan sudah siap untuk menghadapi penyerangnya, yang tak lain dari Ki Dawung.
"Mampuslah kau, Pemberontak Hina...!" teriak perwira yang satu sambil menerjang maju dengan sambaran pedangnya yang cepat dan membawa angin menderu. Sasaran serangan pedangnya selalu terarah mulai dari pinggang ke atas.
"Hyaaat...!"
Perwira kedua tidak mau ketinggalkan. Pedang ditangannya berputar bagai baling-baling. Kemudian meluncur ke arah Ki Dawung, mengancam bagian kaki. Melihat gaya penyerangan kedua lawannya, tahulah Ki Dawung bahwa kedua perwira itu biasa bekerja sama dalam menghadapi lawan. Dan harus diakui bahwa ilmu pedang kedua lawannya memang hebat. Membuat dirinya sempat terdesak dalam jurus-jurus awal.
"Hiahhh...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus kedua puluh, Ki Dawung mengeluarkan bentakan nyaring yang menggetarkan jantung. Disusul dengan lompatan panjang ke belakang, menghindari tebasan dua bilah pedang lawan yang mengancam lutut dan dada kirinya. Serangan lawan luput. Dan begitu kedua kakinya menginjak tanah, Ki Dawung langsung menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan dengan menggunakan jurus 'Tapak Dewa Gugurkan Bukit'.
Whuuusss...!
Lontaran pukulan jarak jauh yang menderu tajam membuat kedua orang lawannya terperangah. Namun mereka masih sempat menyelamatkan diri dengan melempar tubuh berpencar. Dan terus membuat gerakan berputar yang kemudian disusul dengan kelebatan pedang dengan gerakan cepat sekali.
Kehebatan dan kecepatan gerak kedua orang perwira ini sempat membuat Ki Dawung kagum. Cepat ditundukkan tubuhnya saat sambaran kearah lehernya datang dari sebelah kiri. Sedangkan babatan dari kanan yang hendak memapas lututnya, dihindarkan dengan mengangkat sebelah kakinya. Gerakan ini langsung disusul dengan tamparan dan tendangan. Tapi, sungguh tak diduganya bahwa kedua pedang itu kembali berputar dengan kecepatan tinggi Hingga....
"Heaaa!"
Buk!
Cras! Srat!
Bersamaan dengan tamparan dan tendangan Ki Dawung yang mengenai sasaran, pedang kedua jaga istana itu pun sempat menyerempet bahu dan pahanya. Membuat ketiganya terpekik, dan sama terhuyung beberapa langkah. Ki Dawung meringis sambil terpincang-pincang. Dari bahu kirinya yang tergores ujung pedang, tampak mengalir darah segar. Demikian juga dari pahanya yang terkena tusukan pedang lawan. Kendati tidak terlalu parah, namun membuat gerakannya terganggu, dan kecepatannya berkurang.
Yang dialami kedua orang lawannya pun tidak berbeda jauh dengan Ki Dawung. Tendangan serta hantaman telapak tangannya, membuat mereka terhuyung-huyung beberapa langkah dengan wajah tampak pucat. Dan bibir keduanya terlihat adanya cairan merah yang merembes turun. Membuktikan bahwa kedudukan mereka seimbang.
Luka-luka yang diderita dan membuat kecepatannya berkurang itu, membuat Ki Dawung berpikir lain. Apalagi ketika dilihatnya betapa Barnaba dan Sanggaling tengah berusaha mati-matian mempertahankan diri dari gempuran Pangeran Sokapanca, hanya keadaan murid-muridnya yang kelihatan dapat menguasai pertarungan. Karena jumlah mereka memang tiga kali lipat dari jumlah prajurit Pangeran Sokapanca.
Sadar bahwa kedudukan di pihaknya sangat tidak menguntungkan. Apalagi jika Barnaba dan Sanggaling roboh di tangan Pangeran Sokapanca yang ternyata sangat tangguh itu. Akhirnya Ki Dawung mengambil keputusan untuk mengajak murid-muridnya menyudahi pertempuran dan pergi menyelamatkan diri. Ki Dawung melesat meninggalkan kedua orang perwira yang menjadi lawan-lawannya. Ia melayang ke arah pertempuran kedua orang murid utamanya yang tidak akan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus.
"Barnaba, Sanggaling! Bawa saudara-saudaramu meninggalkan tempat ini. Aku akan menyusul kalian...!" seru Ki Dawung kepada kedua orang murid utamanya yang sudah mandi keringat dan terlihat sangat lelah itu. Sambil berseru demikian, Ki Dawung melepaskan pukulan 'Tapak Dewa Gugurkan Bukit' dengan mengerahkan tenaganya yang masih tersisa.
Pangeran Sokapanca yang sudah hampir merobohkan kedua orang lawannya, cepat menunda serangan. Kemudian melemparkan tubuh ke samping ketika telinganya menangkap serangkum gelombang angin kuat yang menderu tajam.
Ki Dawung tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Sokapanca untuk membangun serangan balasan. Dirinya terus mencecar dengan pukulan andalan itu. Sehingga, Pangeran Sokapanca terpaksa harus melompat ke sana kemari menghidarkan diri. Dan merelakan kedua orang lawannya yang nyaris tewas, pergi meninggalkan tempat itu.
Namun usaha Ki Dawung tampaknya sia-sia. Karena kedua orang perwira bergerak mencegah kepergian Bamaba dan Sanggaling. Sehingga, mereka hanya saling bertukar lawan. Ki Dawung menghadang, sedangkan Barnaba dan Sanggaling bertempur menghadapi dua orang pengawal pribadi pangeran. Ki Dawung diam-diam mengeluh. Ia sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya. Tapi, nasib murid-muridnyalah yang dicemaskan. Dan kecemasan itu mulai terbukti ketika ia mendengar jerit kematian Barnaba.
Barnaba yang memang sudah habis-habisan sewaktu mempertahankan diri menghadapi gempuran Pangeran Sokapanca, terpaksa harus menerima kematian di tangan salah seorang perwira. Tubuhnya menggelepar mandi darah, yang mengalir deras di tenggorokannya. Sebentar kemudian, Barnaba menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kematian Barnaba membuat Ki Dawung lengah. Sehingga, sebuah tendangan keras lawannya telah menghajar perutnya. Tanpa ampun lagi,tubuh kakek tua itu terbanting ke tanah. Belum lagi ia sempat bangkit tegak, Pangeran Sokapanca sudah menyerbu dengan tusukan jari-jari tangannya yang berwarna merah membara dan menerbitkan hawa panas menyengat!
Crasss!
"Uhhh...!"
Untunglah dalam saat-saat terakhir Ki Dawung masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga, yang terkena sasaran tanah berumput yang langsung terbakar hangus, ketika jari-jari tangan semerah bara itu terbenam hingga sebatas pergelangan. ki Dawung sampai menggeleng-gelengkan kepala membayangkan seandainya jari-jari tangan itu menembus tubuhnya.
"Hm... kali ini kau tak akan lolos dari kematian, Ki Dawung...!" ujar Pangeran Sokapanca yang langsung melesat diiringi tusukan jari-jari tangannya.
Mati-matian Ki Dawung menghindari incaran tangan maut itu. la terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan nyawanya. Namun ke mana pun ia menghindar, jari-jari tangan membara itu selalu mengikutinya. Tak ubahnya bayangan dirinya sendiri. Akhirnya Ki Dawung hanya bisa memejamkan mata saat jari-jari tangan itu kembali meluncur datang. Napasnya yang sudah hampir putus, membuatnya tak sempat lagi untuk menghindar, Ki Dawung pun pasrah menunggu ajal.
Syuttt!
Disertai suara berkesiutan, jari-jari tangan semerah bara itu meluncur. Dan....
Tasss!
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran Sokapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap terhujam ke tubuh Ki Dawung, mendadak sebuah benda hitam meluncur dan langsung menghantam tepat pergelangan tangannya. Lengannya terasa nyeri dan kuda-kudanya tergempur mundur.
Tasss!
"Aaakh!"
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran Sokapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap terhujam ke tubuh Ki Dawung, mendadak sebuah benda hitam meluncur dan langsung menghantam tepat pergelangan tangan. Lengannya terpental dan kuda-kudanya tergempur mundur. Terkejut bukan main hari Pangeran Sokapanca merasakan tangannya lumpuh untuk beberapa saat.
Sedangkan di depan Ki Dawung tahu-tahu telah berdiri dengan gagahnya seorang pemuda tampan berjubah putih, tahulah Pangeran Sokapanca bahwa pemuda itulah yang telah menggagalkan serangannya dengan melemparkan sebuah batu kerikil.
Kegagalan serangan dan kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu sebetulnya tidak terlalu mengejutkan Pangeran Sokapanca, kalau saja ia tidak mendengar jeritan dua orang pengawal pribadinya. Jeritan itu membuatnya menoleh. Kaget bukan main hatinya ketika melihat dua orang pengawal pribadinya yang merupakan jagoan istana itu, dibuat jatuh bangun hanya oleh seorang gadis muda berpakaian serba hijau. Melihat kemunculan orang sakti yang masih muda itu, tahulah Pangeran Sokapanca kalau kedudukannya tidak menguntungkan.
"Hm..., untuk kali ini biarlah aku mengampuni nyawa kalian! Tapi, ingatlah baik-baik! Bahwa mulai hari ini kalian telah menjadi buronan pemerintah!" ujar Pangeran Sokapanca setelah memerintahkan pasukannya untuk mundur. Dari ucapan itu jelas menunjukkan betapa dalam kedudukannya lemah, dan kehilangan empat orang prajurit, Pangeran Sokapanca tetap tidak mau mengalah. Dia memilih kata-kata 'mengampuni nyawa kalian'. Padahal kalau pertempuran dilanjutkan, jelas pihaknyalah yang kalah.
Pemuda tampan berjubah putih yang menyelamatkan Ki Dawung dari kematian, berdiri menatap kepergian Pangeran Sokapanca dan pasukannya. Kemudian membalikkan tubuh dan membantu Ki Dawung bangkit.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda..," ucap Ki Dawung yang tidak menolak ketika tubuhnya dipapah pemuda itu.
"Luka-lukamu harus segera mendapat perawatan, Ki," ujar pemuda tampan berjubah putih itu, saat melihat wajah Ki Dawung yang pucat. Ki Dawung hanya mengangguk tanpa kata.
Gadis muda berparas jelita dan berpakaian serba hijau yang juga ikut berjasa mengusir pasukan Pangeran Sokapanca, menggabungkan diri dengan Ki Dawung dan pemuda itu. Mereka bergerak memasuki bangunan perguruan, diikuti murid-murid Ki Dawung.
"Hhh... aku tak menyangka kalau akhirnya akan terjadi juga apa yang kucemaskan...," desah Ki Dawung sambil melangkah menuju sebuah kursi. Dihempaskan tubuhnya di atas kursi disertai helaan napas panjang, "Sebenarnya aku sudah menyuruh semua muridku pergi agar tidak sampai terlibat dalam urusan ini. Tapi..., rasa kesetiaan dan bakti yang tinggi, membuat mereka merencanakan untuk membantu tanpa aku ketahui," lanjutnya dengan suara perlahan, seperti tengah berbicara kepada dirinya sendiri.
"Persoalan apa yang membuat perguruan ini sampai bentrok dengan orang-orang berseragam prajurit itu, Ki?"
Pemuda tampan berjubah putih yang menyelamatkan Ki Dawung dari kematian, bertanya hati-hati. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Panji atau Pendekar Naga Putih. Ia duduk di kursi yang berada di sebelah kanan Ki Dawung. Sedang di sebelah kirinya, tampak seorang gadis jelita berpakaian baju hijau, yang sudah pasti Kenanga adanya. Mereka berdua telah memperkenalkan diri kepada Ki Dawung. Sedang nama Ketua Perguruan Tapak Jalak mereka ketahui dari Sanggaling, salah seorang kepercayaan Ki Dawung.
"Mereka memang prajurit istana. Tepatnya pegawai-pegawai Pangeran Sokapanca. Si keparat itu lebih pantas disebut iblis daripada seorang pangeran yang terhormat!" jawaban itu sekaligus merupakan tumpahan rasa kekesalan dan benci yang kini ada dalam hati Ki Dawung. Sepasang matanya tampak berkilat penuh dendam saat menyebut nama Pangeran Sokapanca. Dengan perlahan namun jelas Ki Dawung menceritakan duduk persoalannya.
"Benar-benar tidak tahu diri pangeran itu!" Kenanga mengumpat penuh penasaran, setelah mendengar penjelasan Ki Dawung, "Mengandalkan kekuasaan untuk memperoleh segala kehendaknya, jelas menunjukkan bahwa pangeran yang bernama Sokapanca itu bukanlah orang baik-baik! Dan tidak mustahil kalau perbuatan ini bukan yang pertama kalinya! Benar-benar membuat hati penasaran!"
Bukan cuma Kenanga yang merasa tidak senang terhadap Pangeran Sokapanca. Panji pun merasakan hal serupa. Bedanya ia tidak langsung mengutarakan rasa ketidak senangannya itu. Malah tampak termenung, seperti memikirkan sesuatu.
"Jika demikian, perguruan ini tengah menghadapi persoalan yang sangat gawat! Dan bukan tak mungkin Pangeran Sokapanca mengadukannya ke istana. Bahkan menuduh perguruan ini sebagai sarang pemberontak. Ini benar-benar berbahaya!" ujar Panji membuka suara. Rupanya ia termenung karena memikirkan buntut dari kejadian hari ini.
"Ya, hal itu sudah ada dalam pikiranku. Tepatnya, mulai hari ini orang-orang Perguruan Tapak Jalak telah menjadi buronan pemerintah," tegas Ki Dawung dengan nada penuh rasa penasaran. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Ki Dawung bahwa suatu saat dirinya akan menjadi orang buronan! Jangankan berpikir ke arah itu, sedang dalam tidur pun ia tidak pernah memimpikannya.
"Jika demikian, kita harus secepatnya menyingkir dari tempat ini. Aku khawatir kalau Pangeran Sokapanca akan datang lagi dengan membawa pasukan yang lebih besar jumlahnya."
"Kau benar, Panji Bangunan perguruan ini memang harus dikosongkan secepatnya. Haiiih... sungguh tak kusangka kalau jerih payahku selama bertahun-tahun akan hancur dalam waktu singkat...," sesal Ki Dawung dengan pandangan menerawang jauh. Pikirannya terbayang kehidupan selanjutnya. Kehidupan seorang buronan pemerintah kerajaan.
"Nasib memang sulit untuk diramalkan, Ki Dawung. Hari ini kita mendapat musibah, tapi siapa tahu hari esok kita mendapat anugerah. Semua itu rahasia Tuhan yang tidak pernah bisa diduga oleh siapa pun," ujar Panji mengingatkan Ki Dawung.
Ki Dawung menganggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah pemuda penolongnya itu lekat-lekat. "Kau baik sekali, Panji," ujar Ki Dawung terharu atas perhatian penolongnya yang begitu besar.
Panji tersenyum tulus. Kemudian mengingatkan Ki Dawung untuk berkemas. Ki Dawung menganggukkan kepala. Segera saja ia perintahkan sebagian muridnya untuk mengubur mayat-mayat itu. Sedang sebagian lagi diperintahkan untuk mengemasi barang-barang sebagai bekal perjalanan mereka. Setelah segalanya siap, rombongan Ki Dawung bergerak meninggalkan tempat dengan menggunakan empat pedati dan tiga ekor kuda.
Panji berdiri di depan pintu gerbang perguruan memandang kepergian rombongan Ki Dawung. Ia tidak ikut bersama rombongan, karena hendak menyelidiki Pangeran Sokapanca, yang menjadi biang keladi dari semua itu. Untuk keselamatan rombongan dipercayakan kepada Kenanga. Karena Ki Dawung belum pulih kesehatannya. Sehingga, mereka berdua berpisah untuk melakukan tugas masing- masing.
"Hei, minggir... minggir...!" Penunggang kuda yang dari raut wajahnya terlihat sedang mengalami ketakutan itu, berteriak memperingatkan orang yang berada di depannya. Dan ia sama sekali tidak berusaha mengurangi ke cepatan lari binatang tunggangannya.
Namun orang yang berada di tengah jalan terus saja mengayun langkah seakan tidak mendengar suara bentakan itu. Tentu saja sikap yang dianggap menantang itu membangkitkan kemarahan si penunggang kuda.
"Keparat tua, mampuslah...!" penunggang kuda yang masih muda itu membentak seraya menggebah lari kudanya. Pemuda itu seperti menemukan tempat untuk menumpahkan kegusaran hatinya. Tidak peduli meskipun orang itu bakal tewas atau setidaknya terluka parah terlanggar binatang tunggangannya.
Tapi, apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Sebelum orang di depan itu terlanggar, kuda itu meringkik keras dan terlempar ke tepi jalan beserta penunggangnya. Sedangkan sosok itu terus saja mengayunkan langkahnya. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Penunggang kuda yang ternyata Pangeran Sokapanca itu tentu saja merasa terkejut bukan main. Untunglah ia dapat bertindak cepat dengan melempar tubuhnya ke udara, saat binatang tunggangannya terbanting. Kalau saja dirinya tidak memiliki kelalaian, niscaya tulang-tulang tubuhnya patah tertimpa badan kuda.
"Bangsat! Berani kau menjual lagak di hadapan Pangeran Sokapanca...!" bentak pangeran muda itu yang kemarahannya telah memuncak ke ubun-ubun. Tubuhnya segera melesat ke depan dengan kedua tangan terkepal, siap untuk melumat tubuh orang itu.
Mendadak, Pangeran Sokapanca yang baru saja menjejakkan kakinya ke tanah merasakan adanya gelombang angin kuat yang menerpa tubuhnya. Seketika tubuh pangeran muda itu terhuyung mundur. Sedangkan orang yang sedang berjalan sudah membalikkan tubuh dengan kecepatan luar biasa. Ternyata seorang perempuan tua renta berwajah buruk. Sorot matanya yang tajam mencorong menyeramkan. Bagai mata pedang, seolah meng- hujam ke mata sang Pangeran.
"Tidak salahkah pendengaranku? Benarkah kau pangeran yang bernama Sokapanca?" nenek buruk rupa itu bertanya dengan suaranya yang mirip bunyi kaleng rombeng. Parau, keras, dan tak sedap didengar.
Pangeran Sokapanca menelengkan kepala seolah ingin menghindari suara yang menyakitkan telinganya itu. Sementara itu, para pengawal Pangeran Sokapanca sudah berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Tadi mereka sempat cemas ketika melihat kuda junjungannya terbanting tanpa sebab. Kecemasan itu lenyap begitu menyaksikan tubuh Pangeran Sokapanca melenting ke udara dan dapat meluncur turun dengan selamat. Kini mereka berlarian mendatangi junjungannya yang tengah berhadapan dengan seorang nenek.
Pangeran Sokapanca sempat merasa kaget me- lihat wajah buruk manusia di hadapannya. Terlebih ketika beradu pandang dengan sepasang mata yang seperti menyimpan kemarahan terhadapnya. Dada sang Pangeran berdebar. Ada rasa nyeri terbersit di hatinya melihat tatapan yang demikian menusuk dari mata nenek buruk rupa itu.
"Siapakah kau, Nenek Buruk? Mengapa sengaja menghalangi jalanku?" tanya Pangeran Sokapanca tetap tidak meninggalkan keangkuhannya. Ia berusaha menutupi rasa ngerinya dengan keyakinan bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang nenek berwajah buruk, tak ubahnya gelandangan.
Nenek buruk rupa itu tampak gusar. Kilatan pada sepasang matanya semakin tajam. Terdengar suara bentakannya yang menyakitkan telinga. "Jawab pertanyaanku dulu, Kunyuk!" Sambil membentak demikian, nenek buruk itu mengayun tongkat berwarna putih di tangannya. Terdengar suara menderu saat sambaran tongkat itu meluncur ke arah kepala Pangeran Sokapanca.
Whuuuttt...!
"Aiiih...?!"
Meskipun dapat menghindari hantaman tongkat itu, tak urung tubuh Pangeran Sokapanca terhuyung beberapa langkah. Padahal ia cuma terkena terpaan angin pukulannya. Tentu saja hati pangeran muda ini tersentak kaget! Kenyataannya itu membuatnya sadar bahwa perempuan tua yang tengah di hadapinya ternyata bukan orang sembarangan.
"Bagus, rupanya kau memiliki kepandaian...," ujar nenek buruk itu dengan mulut yang tak henti-hentinya mengunyah. Dari warna bibirnya yang merah dan basah, dapat diketahui kalau mulut nenek itu sibuk mengunyah sirih. "Kutanya sekali lagi, benarkah kau Pangeran Sokapanca?" lanjutnya masih meminta kepastian.
Melihat sikap nenek buruk itu penuh ancaman, dua orang perwira yang merupakan jagoan istana, melangkah maju menghampirinya.
"Nenek, junjungan kami memang bernama Pangeran Sokapanca. Nah, sekarang menyingkirlah dan biarkan kami lewat!" ujar salah seorang perwira dengan suara sedikit hormat. Karena ia sudah menyaksikan betapa hebatnya hantaman tongkat yang barusan dilakukan nenek buruk itu.
"Hih hih hih...! Aku tak menghalangi jalan kalian. Kalau mau pergi, pergilah, aku tidak akan mengganggu...!" ujar nenek buruk itu memperdengarkan suara tawa yang mendirikan bulu roma.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Nek...,” tukas perwira itu merasa lega. Karena diam-diam hatinya merasa bergidik terhadap nenek buruk itu. Terlebih mendengar suara tawanya yang mirip kuntilanak. Kalau saja bertemu di malam hari, sudah pasti membuatnya lari tunggang langgang.
"Mari, Gusti Pangeran...!" perwira kedua segera menyerahkan kuda tunggangannya kepada Pangeran Sokapanca. Karena kuda sang Pangeran patah tulang kakinya.
"Tunggu...!"
Saat kedua orang perwira itu mengapit junjungannya dan hendak melanjutkan perjalanan, terdengar nenek buruk itu berseru mencegah.
"Ada apa lagi, Nek?" tanya perwira berkumis lebat. Jago istana ini mengerutkan kening dengar hati curiga.
"Dengar, Perwira Berotak Udang! Aku memperbolehkan kalian meninggalkan tempat ini. Tapi tidak dengan pangeran itu! Aku punya urusan dengannya!" bentak nenek buruk itu sembari mengangkat tongkatnya yang berupa tulang kaki manusia. Tongkat itu ditudingkan ke wajah Pangeran Sokapanca.
"Nenek keparat! Rupanya kau ingin cepat-cepat masuk lubang kubur!" Pangeran Sokapanca yang selamanya dihormati orang itu, tentu saja tersinggung wajahnya dituding-tuding dengan tongkat. Rahangnya mengembung dengan wajah merah padam. Tinjunya terkepal erat, siap menghajar nenek buruk itu.
Dua orang perwira yang tugasnya menjaga keselamatan Pangeran Sokapanca, terlihat gusar. Mereka bergerak maju mendahului junjungannya. Dan menghadapi nenek buruk itu dengan wajah garang.
"Tua bangka, kau jangan main-main dengan kami! Kalau tadi kami mengalah, itu karena kasihan melihat dirimu yang sudah tua dan bau tanah! Padahal sikap dan ucapanmu sudah cukup untuk mengikatkan tali gantungan di lehermu! Sebaiknya tinggalkan tempat ini sebelum kami hilang kesabaran!" ujar perwira berkumis lebat dengan sikap tegas.
Ucapan perwira berkumis lebat itu mendapat jawaban yang mengejutkan. Karena begitu ucapannya selesai, telinganya menangkap suara angin menderu menuju kepalanya. Dan tahu-tahu ujung tongkat putih nenek buruk itu sudah tinggal satu jengkal lagi di depan wajahnya. Cepat ia menarik mundur tubuhnya untuk menghindar. Namun ujung tongkat itu seperti bertambah panjang dan terus mengejarnya. Sehingga....
Bletakkk!
"Aaakh?!" Perwira berkumis lebat itu memekik kesakitan. Tongkat nenek buruk itu tahu-tahu telah menghajar kepalanya. Kendati tidak terlalu keras, namun di kepalanya yang terpukul tumbuh telur ayam. Dan rasanya sakit bukan main.
"Nenek gila, rupanya kau sengaja cari perkara!" Perwira kedua membentak marah. Tangannya, langsung mencabut pedang setelah memerintahkan para prajurit untuk mengepung nenek buruk rupa itu. Kemudian menerjang maju dengan kelebatan pedangnya yang berkesiutan.
Nenek buruk rupa itu hanya memperdengarkan kekehnya yang seperti kaleng rombeng. Dan sekali tongkat di tangannya bergerak, terdengar jerit kematian yang disusul terpentalnya dua orang prajurit dengan kepala remuk! Tongkat itu terus meluncur memakan satu korban lagi. Tentu saja keganasan nenek buruk rupa itu membuat lawan-lawannya terkejut, termasuk Pangeran Sokapanca.
"Gila! Tidak kusangka kalau nenek yang wajahnya seperti setan itu ternyata memiliki kepandaian yang menggiriskan! Entah apa yang membuat ia kelihatan begitu membenciku...?" gumam Pangeran Sokapanca yang diam-diam merasa gentar terhadap nenek buruk rupa itu. Namun rasa penasaran dalam hatinya jauh lebih besar. Dan ia merasa kalau lawannya kali ini merupakan ujian yang sangat baik bagi keampuhan ilmu 'Tapak Neraka' yang dimilikinya. Maka...
"Hyaaattt...!"
Dengan menggunakan ilmu andalannya, Pangeran Sokapanca meluncur ke tengah arena. Gelombang angin panas terdengar menderu menyertai lontaran pukulannya. Nenek buruk rupa itu sempat kaget ketika merasakan adanya sambaran angin panas yang sangat kuat. Namun ia sama sekali tidak berusaha menghindari serangan Pangeran Sokapanca. Malah mengayunkan tongkat menyambut datangnya serangan.
Plak!
Benturan keras telapak tangan dengan tongkat itu menimbulkan suara memekakkan telinga. Tubuh nenek berpakaian hitam itu terjajar mundur dua langkah. Sedangkan Pangeran Sokapanca lebih parah. Tubuhnya terlempar balik dan jatuh bergulingan di tanah berdebu.
Pangeran Sokapanca berusaha bangkit, meski dadanya dirasakan sakit seperti tertusuk ratusan jarum halus. Benturan tadi telah mengakibatkan luka di sebelah dalam tubuhnya. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam nenek buruk rupa itu juga berhawa panas, dan jauh lebih kuat dari tenaganya. Kenyataan pahit ini membuat hati Pangeran Sokapanca semakin bertambah ngeri. Maka, tanpa mempedulikan para pengawalnya yang masih bertempur dengan nenek buruk rupa itu. Pangeran Sokapanca segera melompat ke punggung kuda yang berada di dekatnya dan terus menggebah.
"Kurang ajar, mau lari ke mana kau, Pangeran Sundal!" bentak nenek berwajah buruk itu yang kaget melihat Pangeran Sokapanca melarikan diri. Tongkat di tangannya diputar bagaikan kitiran, membuat para pengeroyoknya terpelanting dan berpentalan. Ketika dua orang perwira mencoba untuk mencegahnya, langsung saja tongkatnya berbicara.
Prak! Krakh!
Dua kali tongkat nenek berwajah buruk itu berkelebat, kedua orang perwira pun roboh dengan kepala pecah! Dapat dibayangkan, betapa hebatnya kepandaian nenek buruk rupa ini. Padahal kedua orang perwira merupakan jagoan-jagoan istana. Tanpa mempedulikan korban-korban yang bergelimpangan nenek buruk rupa ini melesat mengejar Pangeran Sokapanca. Gerakannya pun cepat bukan main. Sebentar saja bayangannya sudah lenyap di kejauhan.
Pangeran Sokapanca terus melarikan diri seperti setan. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, khawatir kalau-kalau nenek buruk rupa itu yang membuat hatinya ketakutan melakukan pengejaran. Meskipun belum tahu apa kesalahannya, pangeran sadar kalau nenek itu menginginkan kematiannya.
"Hih hih hih...! Mau lari ke mana kau, Pangeran Sundal? Sampai ke ujung dunia pun aku akan tetap mengejarmu...!"
Deg!
Bukan main kagetnya hati Pangeran Sokapanca ketika mendengar suara yang ditakutinya itu. Hampir saja tubuhnya terpelanting dari punggung kuda. Meskipun suara itu belum kelihatan wujudnya, namun Pangeran Sokapanca merasa bulu tengkuknya mengkirik. Rasa takutnya kian hebat. Saking kalapnya, ia mencambuk binatang tunggangannya berkali-kali dengan sekuat tenaga. Maksudnya tentu saja menginginkan agar kudanya berlari lebih cepat Tapi, yang terjadi justru di luar dugaan.
"Hieeehhh...!"
Karena cambukan Pangeran Sokapanca tanpa sadar telah menggunakan tenaga dalam, kuda berbulu coklat itu meringkik kesakitan. Dan terguling ke tanah, tak sanggup menahan lecutan cambuk yang terlalu kuat. Pangeran Sokapanca terpekik kaget dengan tubuh terlempar ke depan dengan kudanya. Karena kejadian itu begitu tiba-tiba datangnya, dan dia sendiri sedang dalam keadaan ketakutan, membuatnya gugup dan tak sempat menyelamatkan diri. Tubuhnya terbanting keras ke tanah.
Untung saja tubuh Pangeran Sokapanca telah terlatih dengan baik. Bantingan keras itu tidak membuatnya menderita luka berat, kecuali rasa sakit dan lecet-lecet di kulit. Sedang pada bagian bahu dan lengan, pakaiannya tempak terkoyak. Dan ada noda darah dari lecet-lecet yang dideritanya. Pangeran Sokapanca meringis sambil berusaha bangkit berdiri, la mengutuk dan menyumpah- nyumpah.
"Nenek setan, Bangsat keparat! Tua bangka bau tanah! Kelak kau harus membayar mahal akibat perbuatanmu ini!" maki Pangeran Sokapanca penuh dendam kesumat.
"Hih hih hih...! Rasakan olehmu, Pangeran Sialan! Itu baru permulaan. Aku akan terus mempermainkanmu sampai puas! Setelah itu, jantungmu akan kucabut untuk santapan anjing buduk! Rohmu sendiri akan dipanggang di api neraka! Hih hih hih...!"
"Iblisss...!" desis Pangeran Sokapanca antara marah dan ngeri. Kepalanya berputar dengan mata jelalatan mencari-cari nenek buruk rupa itu. Namun sia-sia! Padahal suara itu dirasakannya sangat dekat ditelinganya.
Nenek buruk rupa itu sengaja menyiksa perasaan Pangeran Sokapanca, seperti apa yang barusan diucapkannya. Pangeran Sokapanca terus mencari-cari. Ketika sosok nenek buruk rupa itu tidak juga dapat dite mukan, ia menjadi jengkel. Saking ngeri dan takutnya, Pangeran Sokapanca menjadi nekat!
"Nenek biang setan jelek, tunjukkan rupa burukmu yang bau tanah itu! Ayo, hadapi aku terang-terangan! Akan kuhajar kau sampai terberak mencret!" teriak Pangeran Sokapanca menantang dengan suara menggelegar, la tidak peduli kendati untuk itu bagian dalam dadanya terasa sakti seperti ditusuki ujung-ujung jarum. Luka dalamnya kembali kambuh. Karena untuk berteriak la harus mengerahkan tenaga dalamnya. Pangeran Sokapanca menunggu beberapa saat Sepasang matanya berputar liar memperhatikan ke sekeliling. Harinya tegang bukan main menantikan kemunculan nenek buruk rupa itu. Tiba-tiba....
"Hih hih hih!"
Karena hatinya telah dilanda ketegangan, suara tawa mengikik yang begitu tiba-tiba dan terdengar dekat di belakang tubuhnya, membuat Pangeran Sokapanca terlonjak kaget. Wajah pangeran muda itu menjadi pucat, untuk kemudian berubah merah. Ketika ia berbalik, sosok nenek buruk itu tidak ditemuinya. Kecuali sambaran angin yang sempat membuat pakaiannya berkibar. Tahulah ia kalau nenek itu telah lenyap mendahului kecepatan matanya.
"Pengecut kau, Nenek Gila! Rupanya kau takut menghadapku! Hua ha ha!" Pangeran Sokapanca semakin gusar dan marah bercampur kecut. Permainan nenek buruk itu membuat jiwanya agak terguncang. Ia berteriak-teriak menncaci maki persis orang hilang ingatan. Tubuhnya mencak-mencak sambil memperdengarkan tawa bergelak.
"Hei!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja nenek buruk rupa itu muncul di hadapan Pangeran Sokapanca. Bentakannya yang keras menggelegar membuat pangeran muda itu terjengkang ke belakang! Wajah Pangeran Sokapanca seketika berubah pucat pasi dengan sekujur tubuh bergemetar. Kalau saja pangeran ini tidak memiliki kepandaian, Pastilah ia akan tewas dengan dada pecah!
"Apa katamu, Pangeran Sundal? Aku takut kepadamu? Hih hih hih! Jangankan dirimu yang tak becus apa-apa. Biar gurumu, si Tapak Neraka sekalipun, akan kupuntir batang lehernya jika perlu! Nah, sekarang bangkitlah! Bukankah kau menantangku?" ujar nenek buruk rupa itu, berdiri tegak di depan Pangeran Sokapanca dengan sikap garang dan pandangan mata tajam menusuk Pangeran Sokapanca pun berani menentang pandangan nenek buruk rupa itu. Sehingga matanya dirasakan perih dan panas. Kendati demikian, tubuhnya segera melompat bangkit, siap menghadapi nenek buruk rupa itu mati-matian!
"Hih hih hih...! Bagus... bagus...! Tak kusangka nyalimu benar-benar besar, Pangeran Sialan! Apakah kau sudah siap?" ujar nenek buruk rupa itu yang terus mengunyah sirihnya.
"Aku siap!" sahut Pangeran Sokapanca yang telah memasang kuda-kuda. Baru saja ucapan keluar, tubuh nenek buruk rupa itu sudah menyerang disertai suara angin menderu.
Bweeettt!
"Heh...?!" Pangeran Sokapanca terpekik ketika tahu-tahu ujung tongkat nenek itu sudah tinggal satu jengkal dari batok kepalanya. Dengan cepat ia menekuk kedua lutut merendahkan tubuhnya. Terus dilanjutkan dengan gerakan berputar disertai kibasan tangan kirinya mengancam lambung lawan. Tapi...
Plak!
"Aaakh...!"
Dengan kecepatan yang sukar dilihat, nenek buruk rupa itu mengayunkan lengan kirinya memapaki kibasan tangan lawan. Akibatnya, Pangeran Sokapanca menjerit kesakitan. Lengannya bagaikan berbenturan dengan batang besi panas, membuatnya terlempar ke samping.
“Tamat riwayatmu...!" Tanpa memberi kesempatan lagi, nenek buruk rupa itu melompat disertai ayunan tongkatnya dari atas ke bawah. Siap meremukkan batok kepala.
Pangeran Sokapanca yang masih tengah merasakan nyeri pada bagian dalam dada dan sakit di lengannya yang melepuh, tidak berdaya lagi untuk mengelak. Dia hanya bisa memandang dengan mata terbeliak saat tongkat tulang kaki manusia itu meluncur turun disertai suara menderu. Namun tongkat itu mendadak terhenti saat hampir mengenai batok kepala Pangeran Sokapanca. Dan nenek buruk rupa itu tertawa mengikik. Ternyata la hanya bermaksud menakut-nakuti pangeran yang dibencinya itu.
Pangeran Sokapanca hampir tidak percaya ketika melihat lawan tidak meneruskan hantaman tongkatnya. Ia menelan air liur yang terasa kering. Wajahnya pucat dan dibanjiri peluh. Kematian ternyata belum sampai waktunya. Kendati merasa heran dan agak sedikit lega, pangeran ini belum herani bergerak, padahal si nenek buruk rupa itu lelah menarik pulang tongkatnya.
"Aku tak akan membunuhmu sedemikian enak, Pangeran Sialan! Kau harus merasakan penderitaan yang panjang dan menyakitkansampai akhirnyakematian datang menjemputmu. Dan sebagai permulaan, kakimu akan kubuat cacad!" nenek berwajah menyeramkan itu menghentikan ucapannya dan mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna hitam pekat.
"Pisau ini mengandung racun jahat yang tak ada obatnya. Luka goresannya akan membusuk sampai akhirnya hancur sedikit demi sedikit." Selesai berkata demikian, pisau di tangannya terulur ke kaki kanan Pangeran Sokapanca. Nenek ini sengaja melambatkan gerakannya sambil terkekeh menatap wajah sang Pangeran yang tampak pucat dan basah oleh keringat.
"Apa... apa sebenarnya yang membuatmu ingin membunuhku?" dengan susah payah karena kerongkongannya terasa kering, akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut Pangeran Sokapanca.
Nenek berwajah keriput dan menyeramkan itu tertawa mengikik Puas harinya melihat berapa wajah orang yang sangat dibencinya menggambarkan perasaan ngeri yang sangat hebat! Memang itu yang diharapkannya. Mendadak suara tawa si Nenek terhenti. Wajah yang semula penuh rasa puas, tampak berkerut. Kepalanya ditelengkan seperti hendak mempertajam pendengarannya.
Saat Pangeran Sokapanca keheranan melihat perubahan sikap yang mendadak dari nenek berwajah buruk, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggelegar laksana guntur. Disusul kemudian dengan gelombang angin keras menerbangkan dedaunan kering.
"Aku mendengar kau menyebut-nyebut tentang pangeran, benarkah itu, Nenek Muka Setan...?"
Suara besar dan berat itu terdengar seiring dengan tiupan gelombang angin keras. Disusul ke- mudian dengan berkelebatnya sesosok bayangan dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri sesosok tubuh tanpa baju.
"Gada Penghancur Tulang...?!" desis nenek buruk yang ternyata berjuluk Nenek Muka Setan mengerutkan kening.
Pangeran Sokapanca memandang sosok bertelanjang dada itu dengan penuh selidik. Sekarang hatinya benar-benar ciut. Karena kedua julukan itu pernah didengarnya. Bukan cuma julukannya saja. Bahkan sepak terjang mereka yang ganas dan tak kenal ampun, telah sampai pula ke telinganya.
Baru menghadapi Nenek Muka Setan saja ia sudah dipermainkan habis-habisan. Dan sekarang masih ditambah dengan kedatangan Gada Penghancur Tulang, yang membuatnya mengeluh putus asa. Karena Gada Penghancur Tulang sepertinya juga tengah memburu dirinya. Padahal baru kali ini ia berjumpa dengan kedua tokoh golongan hitam itu. Sialnya lagi dia tak tahu apa kesalahannya terhadap kedua tokoh itu.
Sejak tiba di tempat itu Gada Penghancur Tulang terus menatap wajah Pangeran Sokapanca dengan penuh selidik. Tampaknya ia ingin memastikan apakah wajah pemuda itu pantas sebagai seorang pangeran.
"Hm.... Gada Pengancur Tulang! Di antara kita tak pernah ada perselisihan. Nah, sekarang kuminta kau tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urusanku!"
Nenek Muka Setan yang semenjak kemunculan tokoh bertubuh kekar tanpa baju itu memang sudah memasang wajah angker, kini berkata dengan sorot mata mengancam. Rasa tak senangnya semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan sikap Gada Peng- hancur Tulang, yang sejak datang terus saja menatapi wajah Pangeran Sokapanca.
Gada Penghancur Tulang sama sekali tidak menggubris pertanyaan Nenek Muka Setan. "Hei, Anak Muda. Benarkah kau seorang pangeran...?" tanya Gada Penghancur Tulang yang tampak penasaran.
Pangeran Sokapanca yang merasa kematiannya sudah diambang pintu, balas menatap wajah Gada Penghancur Tulang, la sudah benar-benar putus asa dan hanya bisa pasrah dengan apa yang bakal menimpa dirinya.
"Orang tua, kalau kedatanganmu juga dengan maksud untuk membunuhku, lakukanlah! Karena aku memang seorang pangeran. Namaku Sokapanca!" ujar Pangeran Sokapanca lantang. Dirinya sudah tidak takut lagi menghadapi kematian, karena sadar bahwa tidak mungkin dapat melawan kedua orang tokoh sesat itu.
"Hua ha ha...! Jadi benar kau seorang pangeran? Kalau begitu, aku benar-benar beruntung hari ini," ujar Gada Penghancur Tulang yang tampak sangat gembira sekali ketika mendengar jawaban Pangeran Sokapanca. Sikap Gada Penghancur Tulang tentu saja mengherankan hati Pangeran Sokapanca.
"Nah, Gusti Pangeran. Kulihat kau tengah mengalami kesulitan besar. Katakanlah apa yang bisa kulakukan untukmu?" Gada Penghancur Tulang melanjutkan kata-katanya yang membuat Pangeran Sokapanca semakin bertambah keheranannya.
"Apa maksudmu, Orang Tua...?" karena belum mengerti ke mana arah pembicaraan Gada Penghancur Tulang, Pangeran Sokapanca bertanya ingin tahu. Namun, sebelum Pangeran Sokapanca menerima jawaban dari Gada Penghancur Tulang, terdengar suara Nenek Muka Setan membentak marah.
"Keparat kau, Gada Panghancur Tulang! Rupanya kau hendak menggunakan kesempatan ini untuk mencari jasa! Dasar penjilat busuk!" sambil melontarkan kata-kata makian, Nenek Muka Setan mengayunkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi.
Whuuuttt...!
Tongkat tulang kering kaki manusia itu meluncur pesat mengancam batok kepala Gada Penghancur Tulang dari samping. Tampaknya Nenek Muka Setan hendak meremukkan kepala botak itu dengan sekali pukul. Karena dari sambaran angin pukulannya, jelas menandakan kalau Nenek Muka Setan telah mengerahkan tenaga dalam yang kuat.
Gada Penghancur Tulang tidak begitu mudah dirobohkan. Hanya dengan menarik tubuhnya ke belakang, hantaman tongkat itu pun luput. Bahkan sempat pula melepaskan tendangan lurus ke perut nenek Muka Setan. Nenek Muka Setan tidak berusaha mengelak, sepintas saja ia tahu kalau tendangan itu merupakan serangan tipuan. Dan penglihatannya ternyata benar. Karena Gada Penghancur Tulang telah menarik tendangannya, mengganti dengan hantaman senjata yang selalu tergenggam di tangan kanannya. Senjata itu berupa sebuah gada yang terbuat dari besi putih dan dilapisi emas pada bagian luarnya.
Wwettt..!
Gada yang besar dan berat itu menyambar batang leher Nenek Muka Setan. Dan dapat dipastikan kalau lawannya akan remuk apabila sampai terkena. Namun tentu saja Nenek Muka Setan tidak sudi membiarkan lehernya hancur oleh senjata lawan. Dengan gerakan yang cepat diputar tongkatnya untuk memapaki gada lawan.
Jlang...!
Benturan keras yang memekakkan telinga pun tak terhindarkan lagi. Membuat tanah tempat mereka berpijak bergetar, karena hebatnya pertemuan kedua senjata yang sama-sama digerakkan oleh tenaga raksasa itu. Pangeran Sokapanca-lah yang menderita akibat benturan keras itu Tubuhnya tampak tergetar dengan mata terpejam. Kedua tangannya menekan telinga kuat-kuat, karena suara benturan itu mem- buat kepalanya sakit!
Nenek Muka Setan dan Gada Penghancur Tulang sama-sama melompat mundur beberapa langkah. Keduanya saling tatap dengan sorot mata tajam. Bedanya, sorot mata Nenek Muka Setan menunjukkan kemarahan dan ancaman maut. Sedang- kan Gada Penghancur Tulang mengandung ejekan dan keangkuhan.
"Apa sebenarnya maumu, Gada Penghancur Tulang?" tanya Nenek Muka Setan yang kelihatan sangat penasaran terhadap perbuatan rekan segolongannya itu.
"Heh heh heh...! Tidak sulit untuk menerkanya, Nenek Muka Setan! Aku ingin menghabisi sisa umurku sebagai orang terhormat. Dan Pangeran Sokapanca-lah yang bisa memberikannya," sahut Gada Penghancur Tulang dengan suara lantang. Kemudian menoleh ke arah Pangeran Sokapanca yang berdiri tak jauh di sampingnya. "Aku akan menyelamatkanmu dari nenek jelek ini, Pangeran. Dan sebagai imbalannya, aku minta diberikan kedudukan yang terhormat Bagaimana? Apakah kau mau berjanji. Pangeran?"
Berdebar dada Pangeran Sokapanca demi mendengar perkataan Gada Penghancur Tulang itu. Karena ia sama sekali tidak menduganya. Semula dirinya merasa sudah tidak punya harapan lagi untuk hidup. Dan sekarang kakek gundul yang sepertinya sangat miskin karena tidak mengenakan baju itu, menawarkan jasa ingin membantunya. Tentu saja Pangeran Sokapanca gembira bukan main!
"Jangan khawatir, Gada Penghancur Tulang. Jika kau dapat menyelamatkan aku dari Nenek Muka Setan, dan mengawalku sampai ke istana, aku berjanji akan memberikan jabatan terhormat atas Jasamu," ujar Pangeran Sokapanca yang kini sudah bisa tersenyum. Karena ia sudah menyaksikan sendiri kesaktian Gada Penghancur Tulang, yang tampaknya berada di atas tingkat kepandaian nenek buruk rupa itu.
Seraut wajah Gada Penghancur Tulang berseri-seri mendengar janji Pangeran Sokapanca. Kembali ia berpaling ke arah Nenek Muka Setan yang kelihatan sangat geram melihat tingkah kakek gundul itu.
"Keparat..!" makinya sambil menerjang maju dengan sambaran tongkatnya yang mengaung bagai ratusan lebah marah!
Kali ini Gada Penghancur Tulang sudah siap untuk menghadapi gempuran lawan. Janji Pangeran Sokapanca membuat hatinya mantap untuk merobohkan Nenek Muka Setan di hadapan pangeran muda itu. Maka, ketika serangan lawan tiba, ia langsung menyambut dengan menggunakan jurus-jurus andalannya.
"Hyaaattt...!"
Gada berlapis emas yang berat itu menderu-deru ketika bergerak menyambut serangan Nenek Muka Setan Sebentar saja kedua tokoh tua itu sudah terlibat dalam sebuah pertarungan mati-matian!
Pangeran Sokapanca menjauhi arena. Pertarungan maut itu membuat hatinya tegang! Karena kedua orang tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya untuk saling merobohkan. Sadar bahwa angin pukulan mereka sangat berbahaya, maka ia pun bergerak menyingkir. Dan menyaksikannya dari tempat yang cukup jauh.
Pertarungan berlangsung semakin sengit. Empat puluh jurus telah lewat. Sejauh itu belum kelihatan tanda-tanda siapa yang bakal menang. Keduanya sama-sama cepat dan tangguh. Hanya sinar senjata mereka yang membedakan mana Nenek Muka Setan dan mana Gada Penghancur Tulang.
Nenek Muka Setan mencoba untuk membongkar pertahanan lawan yang sangat kuat itu. Tongkatnya diputar sedemikian rupa membentuk gulungan sinar putih yang bergerak turun naik bagaikan seekor naga yang tengah bermain-main di angkasa. Serangan-serangannya demikian gencar, seolah tak ingin memberikan kesempatan kepada lawan untuk membangun serangan balasan.
Tampak Gada Penghancur Tulang mulai terdesak mundur, terkurung ujung-ujung tongkat lawan yang mengarah jalan- jalan darah penting di tubuhnya. Kendati demikian, pertahanannya tetap tidak bisa ditembus lawan. Dan setiap kali tongkat Nenek Muka Setan datang mengancam, selalu dapat dipukul balik, membuat nenek buruk itu semakin penasaran.
Sebenarnya Gada Penghancur Tulang sama sekali tidak terdesak seperti yang tampak. Kakek Gundul ini berlaku cerdik. Sadar bahwa tingkat kepandaian mereka tidak berselisih banyak, maka Ia pun menggunakan siasat dengan membuat dirinya seolah terdesak. Dengan demikian, lawan akan semakin bernafsu dan mempergencar serangan-serangannya. Rasa penasaran karena setiap gempurannya selalu nyaris mengenai sasaran, akan membuat Nenek Muka Setan melupakan pertahanan dirinya. Saat lengah itulah yang ditunggu Gada Penghancur Tulang. Dan apa yang dinantikannya itu pun datang.
"Heaaa...!"
Diiringi sebuah bentakan keras yang mengejutkan, Gada Penghancur Tulang melakukan lompatan ke samping, saat tongkat lawan menusuk lurus ke arah dada kirinya. Sambi! melompat, diayunkan senjatanya dengan sepenuh tenaga!
Whuuukkk!
Gada yang besar dan mengkilat itu meluncur deras mengancam lambung kiri Nenek Muka Setan, yang menjadi kaget bukan main! Senjata yang sudah terlalu dekat tidak mungkin dapat dielakkannya. Terpaksa ia menerima hantaman itu, setelah menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi lambungnya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kendati lambungnya sudah terlindungi tenaga dalam, tetap saja Nenek Muka Setan menjerit saat gada lawan menghajarnya. Tubuhnya terpental deras dan memuntahkan darah segar. Kendati demikian, ia masih dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Hingga tidak sampai terbanting jatuh hanya terhuyung-huyung dua tombak jauhnya.
Melihat lawan belum roboh, Gada Penghancur Tulang menggeleng kagum. Cepat tubuhnya melesat dengan hantaman gada untuk untuk menamatkan nenek buruk itu. "Kali ini kau tak akan dapat selamat lagi, Nenek Muka Setan!" bentaknya di antara deru senjatanya.
Nenek Muka Setan tentu saja maklum akan bahaya yang datang mengancamnya itu. Maka, ketika jarak mereka tinggal setengah tombak, ibu jarinya menekan bendul yang terdapat di dekat gagang tongkatnya. Dan...
Srat! Srat!
Unjung tongkat itu terbuka dan memuntahkan puluhan bahkan, ratusan jarum halus. Tentu saja Gada Penghancur Tulang kaget bukan main. Untuk menarik kembali serangannya jelas tidak mungkin. Satu-satunya jalan, hanya dengan melepaskan pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya. Sebagian jarum-jarum halus itu terpental dan runtuh ke tanah akibat angin pukulan yang dilepaskan Gada Penghancur Tulang. Tapi, sebagian lainnya tak dapat dibendung.
"Aaakh...!"
Gada penghancur tulang memekik ketika belasan jarum yang tak dapat dibendungnya mengenai beberapa bagian tubuhnya. Meskipun demikian tubuhnya terus meluncur ke depan. Namun hantaman gadanya hanya mengenai tanah, karena Nenek Muka Setan sudah melempar tubuhnya bergulingan. Serangan Gada Penghancur Tulang gagal. Hal itu juga karena sebagian tenaganya telah dipindahkan untuk memukul runtuh jarum-jarum halus yang dilepaskan secara licik oleh Nenek Muka Setan.
Nenek berwajah buruk dan berambut kumal Itu sendiri langsung melompat dan melarikan diri, setelah berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian, la tidak berhasrat lagi untuk melanjutkan perkelahian. Selain telah menderita luka dalam yang cukup parah, Nenek Muka Setan pun tahu kalau jarum-jarum beracunnya tidak bisa berbuat banyak terhadap lawan. Sebab, Gada Penghancur Tulang memang memiliki kekebalan terhadap racun.
"Bedebah, Licik! Jika kelak kita bertemu lagi, jangan harap kau dapat lolos seperti sekarang...!" seru Gada Penghancur Tulang sambil mencabuti jarum yang menancap di tubuhnya. Sosoknya terlihat menyeramkan, karena hampir di sekujur tubuhnya dipenuhi titik-titik darah. Meskipun tidak mengalami cidera, Gada Penghancur Tulang merasa penasaran dan menaruh dendam terhadap Nenek Muka Setan.
Pangeran Sokapanca bertepuk tangan menyambut kemenangan Gada Penghancur Tulang. Pangeran muda itu mengayun langkah menghampiri. Semula hatinya sempat merasa cemas melihat kakek gundul itu terkena senjata rahasia lawan, yang ia duga mengandung racun ganas. Namun ketika melihat betapa dengan enaknya Gada Penghancur Tulang mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh, ia mengerti. Lelaki tua bertubuh kekar itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun racun dalam jarum-jarum halus yang berwarna kehitaman itu.
"Kau benar-benar tidak mengecewakan hatiku, Gada Penghancur Tulang. Aku merasa sangat tertarik dengan kekebalanmu terhadap racun," ujar Pangeran Sokapanca memuji kehebatan kakek gundul itu.
"Terima kasih, Pangeran! Jika Pangeran berhasrat, hamba tidak keberatan untuk mengajarkan caranya," tukas Gada Penghancur Tulang dengan wajah berseri. Kemudian dibungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat kepada pangeran muda itu
"Benarkah kau sungguh-sungguh hendak mengajarkan ilmu yang hebat itu kepadaku?" tanya Pangeran Sokapanca yang tentu saja sangat ingin memiliki tubuh yang kebal terhadap racun.
"Tentu, Pangeran. Akan hamba ajarkan caranya setelah Pangeran menepati janji," jawab Gada Penghancur Tulang mengingatkan Pangeran Sokapanca tentang janji untuk memberikan jabatan terhormat kepadanya.
"Sudah pasti aku akan menepatinya. Gada Penghancur Tulang," sahut Pangeran Sokapanca menyembunyikan senyum liciknya.
Gada Penghancur Tulang terlihat mengangguk-angguk puaa Senyumnya mengembang, membayangkan impian hari tuanya yang akan segera terwujud.
"Mari, kita berangkat ke kotaraja...!" ujar Pangeran Sokapanca bernada sedikit memerintah.
"Baik, Pangeran..," sahut Gada Penghancur tulang yang segera mengayun langkahnya di samping Pangeran Sokapanca. Saat itu matahari sudah bergeser ke barat.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari satu malam, saat menjelang senja, Pangeran Sokapanca dan Gada Penghancur Tulang tiba di gerbang kotaraja. Keduanya menunggang kuda, diperoleh dari desa yang mereka lalui. Prajurit penjaga gerbang sempat kaget melihat Pangeran Sokapanca kembali tanpa pasukan pengawal. Terlebih melihat adanya seorang kakek gundul tanpa mengenakan baju, hingga memperlihatkan bulu-bulu lebat di sekitar dada dan perut.
Namun mereka tidak berani bertanya. Para prajurit membungkukkan tubuh dalam-dalam saat sang Pangeran melewati gerbang bersama kakek gundul bertampang bengis itu. Begitu masuk ke kotaraja, Pangeran Sokapanca langsung menuju istana kerajaaa Kemudian melapor kepada penjaga istana bahwa ia hendak menghadap ayahnya.
"Sampaikan kepada Ayahanda Prabu bahwa aku membawa berita yang sangat penting dan mendesak!" ujar Pangeran Sokapanca ketika melihat pengawal yang bertugas agak ragu.
Bukan karena penjaga itu tidak menaruh hormat terhadap putra junjungannya. Untuk dapat menghadap raja memang tidak bisa dilakukan sembarang waktu terlebih begitu mendadak, meski seorang pangeran sekalipun. Namun, ketika Pangeran Sokapanca mengatakan sangat penting dan mendesak, kepala jaga istana meminta agar pangeran itu menunggu. Tidak berapa lama kemudian, kepala jaga itu kembali muncul dan langsung mempersilakan Pangeran Sokapanca masuk dan menunggu.
"Mohon beribu ampun kalau kedatangan hamba telah mengejutkan Ayahanda Prabu..."
Pangeran Sokapanca langsung menghaturkan sembah begitu sang Prabu datang menemuinya. Gada Penghancur Tulang pun mengikuti perbuatan Pangeran Sokapanca tanpa berani membuka suara. Hati kakek sakti yang biasanya kejam dan tak kenal takut ini, sempat tergetar melihat wajah yang agung dan penuh perbawa itu.
Sang Prabu hanya mengangguk tipis disertai gumam tak jelas. Kemudian duduk di atas singgasananya. Dua orang jagoan istana yang merupakan pengawal-pengawal pribadi dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan raja, berdiri di kiri dan kanan kursi. Meski hanya sebentar, kedua jagoan ini sempat mengerutkan kening melihat kakek gundul yang datang bersama putra mahkota itu.
Setelah mendapat perkenan dari sang Prabu, Pangeran Sokapanca segera menceritakan peristiwa yang di alaminya. Tentu saja ia tidak menceritakan tentang putri tunggal Ki Dawung, yang menjadi penyebab semua itu. Juga tidak menyinggung tentang Nenek Muka Setan yang membuat sisa pasukan pengawalnya tewas. Yang dilaporkan Pangeran Sokapanca adalan tentang penyerangan sekelompok pemberontak di bawah pimpinan Ki Dawung, Ketua Perguruan Tapak Jalak. Dan memohon agar sang Prabu memperkenalkan la membawa sejumlah pasukan pilihan untuk menghancurkan para pemberontak itu.
"Menurut hamba mereka sangat berbahaya sekali, Ayahanda Prabu. Tampaknya Ki Dawung telah mengundang tokoh-tokoh persilatan. Karena saat pertempuran pecah, tiba-tiba muncul sepasang pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat. Untung sewaktu hamba nyaris tertangkap, kakek ini datang menolong dan menyelamatkan aku dari keganasan para pemberontak itu...," ujar Pangeran Sokapanca yang dalam akhir ceritanya baru menyinggung tentang Gada Penghancur Tulang yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
Merasa dirinya diberi kesempatan, Gada Penghancur Tulang menghaturkan sembah dan berkata merendah. "Ampun, Gusti Prabu yang mulia! Apa yang hamba lakukan sama sekali tidak patut untuk dibanggakan. Karena sudah menjadi kewajiban hamba sebagai kawula negeri untuk menunjukkan bakti...," ujar Gada Penghancur Tulang, yang dalam hal bermain sandiwara tidak kalah bagusnya dengan Pangeran Sokapanca, membuat pangeran muda itu tersenyum tipis.
Sang Prabu cuma bergumam pelan. Sepasang matanya menyipit memperhatikan sosok kakek gundul yang tanpa mengenakan baju dan membawa sebuah gada berlapis emas. Sebenarnya dandanan Gada Penghancur Tulang sudah merupakan kesalahan bagi seseorang yang menghadap raja di istana. Namun karena tahu kalau kakek gundul itu merupakan tokoh persilatan yang kebanyakan bertingkah laku aneh, sang Prabu memakluminya. Beliau mengangguk-angguk beberapa kali sambil mengelus jenggotnya yang sudah berwarna dua.
"Ada hal yang ingin kusampaikan khusus kepadamu, Sokapanca. Untuk itu biarlah penolongmu ini menunggu di luar sebentar...," ujar sang Prabu yang mengalihkan pandang kepada putranya.
Gada Penghancur Tulang tahu diri. Bergegas ia menghaturkan sembah dan bergerak meninggalkan ruangan itu. Kakek gundul ini menepiskan perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya. Untuk menenangkan perasaan yang tak diketahui sebabnya itu, Gada Penghancur Tulang berjalan-jalan di taman depan istana.
Sepeninggal Gada Penghancur Tulang, sang Prabu segera memerintahkan salah seorang pengawal pribadinya untuk berbicara. Karena ia memang sebenarnya tidak mempunyai kepentingan khusus dengan putranya. Keinginan itu disampaikannya setelah mendapat bisikan dari salah seorang pengawal pribadinya, dengan menggunakan ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh' Sehingga tak seorang pun yang mengetahui kecuali sang Prabu dan jago istana itu sendiri.
Jago istana yang merupakan seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahunan itu segera menjelaskan kepada Pangeran Sokapanca. Tokoh istana ini tahu betul siapa adanya kakek gundul berjuluk Gada Penghancur Tulang itu. Dia mengingatkan bahwa kakek gundul itu adalah seorang tokoh dunia hitam yang berkepandaian tinggi, berhati kejam, serta sangat licik.
"Manusia seperti Gada Penghancur Tulang jelas tidak akan sudi menolong secara cuma-cuma. Ia pasti meminta imbalan atas jasanya itu. Apakah dugaanku keliru, Pangeran?" tanya tokoh istana bernada curiga.
"Benar, Paman. Hanya karena ia memiliki kepandaian tinggi dan aku memerlukan pengawal untuk tiba di istana, maka aku berjanji untuk memberikan apa yang diinginkan. Dan ia menginginkan jabatan atas jasanya itu," jelas Pangeran Sokapanca yang pada dasarnya memang tidak menyukai Gada Penghancur Tulang. Ia sudah cukup banyak mendengar tentang sifat tokoh-tokoh golongan hitam yang rata-rata licik dan sulit ditebak.
"Jabatan apa yang diminta kakek gundul itu kepadamu, Sokapanca?" sang Prabu yang ikut mendengarkan, bertanya dengan kening berkerut. Kerutan itu tanda ketidaksenangan hatinya atas sikap putranya yang begitu mudah untuk mengucapkan janji.
"Ia tidak menjelaskannya, Ayahanda Prabu. Mohon ampun, hamba telah begitu lancang berjanji untuk memenuhi permintaannya," jawab Pangeran Sokapanca agak cemas melihat kerutan pada wajah ayahnya.
"Hm..., kalau begitu, beri saja hadiah yang kira-kira cukup pantas atas jasanya yang telah menolongmu!" titah sang Prabu, yang merupakan sebuah keputusan mutlak. Tidak bisa dibantah lagi.
Dua orang tokoh istana dan juga Pangeran Sokapanca langsung menyetujui. Sang Prabu segera memerintahkan pengawal agar meminta sekantung uang emas dari pejabat keuangan istana. Setelah uang tersedia, beliau memerintahkan putranya untuk menyerahkan hadiah itu kepada Gada Penghancur Tulang, dengan ditemani kedua pengawal istana.
Gada Penghancur Tulang bergegas menghampiri Pangeran Sokapanca yang dilihatnya keluar dari istana. Ditekannya kegelisahan yang kembali muncul ketika melihat adanya dua orang tokoh istana yang menemani sang Pangeran. Gada Penghancur Tulang berusaha menyembunyikan perasaannya dengan bersikap tenang. Namun, tiba-tiba dikerahkan tenaga dalamnya, siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Bagaimana, Pangeran? Apakah Gusti Prabu sudah memilihkan jabatan untukku?" Gada Penghancur Tulang langsung menanyakan apa yang sudah mereka sepakati.
"Maaf, Gada Penghancur Tulang," ujar Pangeran Sokapanca yang siap menghindar apabila kakek gundul itu marah dan menyerangnya. "Ayahanda Prabu tidak mengabulkan permohonanku. Beliau memerintahkan agar aku memberikan hadiah sekantung uang emas ini sebagai imbalan atas pertolonganmu kepadaku."
"Tapi..., bukankah kau sudah berjanji kepadaku, Pangeran?" rona wajah Gada Penghancur Tulang berubah. Sepasang matanya tampak berkilat menunjukkan kemarahan. Dirinya merasa telah ditipu mentah-mentah oleh Pangeran Sokapanca.
"Terima saja hadiah yang diberikan junjungan kami, Gada Penghancur Tulang!" Tokoh istana berwajah kelimis berkata menimpali. Sikap dan sorot matanya jelas menandakan bahwa ia telah siap menghadapi apa yang bakal dilakukan kakek gundul itu. "Hadiah ini sudah merupakan yang terbaik untuk orang sepertimu. Karena seharusnya kau malah kami jebloskan ke dalam tahanan. Kami tahu siapa kau adanya. Dan bagaimana sepak terjangmu di luaran..."
Gada Penghancur Tulang menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya dengan berat. Seolah ingin melepaskan kekecewaan hatinya. Ia sadar bahwa dirinya berada di dalam sarang harimau. Ketika akal liciknya muncul, kakek gundul itu tersenyum tipis.
"Kalau memang kau menganggap hadiah itu sudah lebih dari cukup, aku terima. Anggap saja pertolonganku kepada junjunganmu ini sebagai baktiku kepada negeri...!" ujar Gada Penghancur Tulang tersenyum kecut seraya memindahkan senjatanya ke tangan kiri. Diterimanya kantung uang dengan tangan kanan. Kelihatannya kakek gundul ini sudah pasrah dan tidak mau bertindak macam- macam.
Pangeran Sokapanca sudah menarik napas lega ketika Gada Penghancur Tulang menerima kantung uang yang diberikan oleh salah seorang pengawal istana. Gada Penghancur Tulang membuka ikatan kantung uang untuk melihat isinya. Kepalanya menggeleng-geleng sambil mengeluarkan telapak tangannya setelah meraup kepingan uang emas di dalam kantung. Kemudian....
"Makan olehmu uang emas ini. Pangeran Laknat!" Secara tiba-tiba, Gada Penghancur Tulang mengeluarkan bentakan keras yang mengejutkan. Bersamaan dengan itu berdesingan kepingan uang emas yang meluncur dengan kecepatan tinggi mengancam sekujur tubuh Pangeran Sokapanca! Jelas kakek gundul ini ingin menghabisi nyawa orang yang telah menipunya mentah-mentah.
Perbuatan Gada Penghancur Tulang yang sama sekali tidak terduga, membuat kedua orang tokoh istana kaget bukan main. Namun, karena mereka sudah memperhitungkan kejadian seperti itu, maka keduanya segera melesat berbarengan. Yang seorang mencabut pedang dan berusaha menyelamatkan Pangeran Sokapanca. Sedangkan satunya lagi mencelat ke arah Gada Penghancur Tulang dengan disertai lontaran pukulan mautnya.
Serangan tokoh istana itu dapat diatasi dengan mudah oleh lawannya. Bahkan langsung mengirimkan serangan balasan dengan ayunan gadanya yang menderu-deru. Demikian gencar serangan balasan yang dilontarkan Gada Penghancur Tulang, membuat lawannya terdesak dan terus berlompatan mundur. Sementara itu, tokoh istana yang berusaha menyelamatkan Pangeran Sokapanca telah memutar pedangnya membentuk gulungan sinar putih laksana sebuah perisai raksasa.
Trang! Tring! Trak!
Terdengar suara gemerincing nyaring ketika belasan kepingan uang emas itu membentur lingkaran sinar pedang. Beberapa di antaranya runtuh terbelah dua. Namun sebagian kecil luput dan terus meluncur deras ke arah Pangeran Sokapanca!
Pangeran Sokapanca sendiri bukanlah orang lemah. Dia berusaha menyelamatkan diri dari kepingan-kepingan uang emas itu. Namun tak urung empat di antaranya berhasil melukai kaki, tangan, dan satu menyerempet bahunya, membuat pangeran muda itu terjajar mundur dengan pakaian ternoda darah.
"Keparat...!" maki Pangeran Sokapanca yang berusaha bangkit berdiri. Kemudian berteriak memerintah untuk menangkap kakek gundul yang tengah bertarung sengit dengan salah satu jagoan istana.
Sebentar saja belasan orang prajurit telah berlarian dan mengepung pertarungan. Mereka membuat lingkaran dengan senjata di tangan. Sehingga, hampir mustahil kalau Gada Penghancur Tulang akan dapat pergi dengan selamat meninggalkan tempat itu.
Gada Penghancur Tulang bukan tidak menyadari keadaannya. Ia pun maklum bahwa dirinya akan menemui kematian di tempat itu. Kenyatan itu membuat ia semakin bertambah nekat. Serangannya semakin ganas dan bagaikan tak pernah putus. Tokoh istana yang menghadapinya tampak kewalahan, dan tak mampu mengimbangi amukan Gada Penghancur Tulang.
"Hyaaattt..!"
Melihat rekannya terdesak dan sulit membebaskan diri dari kurungan gada lawan, jago istana yang satunya lagi segera melesat memasuki arena. Pedang di tangannya mengaung tajam, menandakan betapa kuat tenaga yang terkandung di dalam serangan itu.
Siiing...!
Suara berdesing yang menusuk telinga membuat Gada Penghancur Tulang sadar bahwa ada serangan yang datang dari belakangnya. Dan apa yang dilakukan kakek gundul ini benar-benar membuat kedua orang lawannya berdecak kagum bukan main. Karena tanpa menghentikan gerakannya, rubuh lelaki tua itu berputar melingkar. Gada di tangannya bergerak dengan kecepatan tinggi memapaki datangnya ancaman pedang.
Brreeettt...!
Gada Penghancur Tulang kaget ketika hantaman senjatanya mengenai tempat kosong. Pedang yang semula menusuk, ternyata telah meliuk berputar dengan cepatnya. Terus berkelebat membeset dadanya
Brettt!
"Aaakh...!"
Sambaran pedang yang mendatar itu langsung membuat garis panjang melintang di dada Gada Penghancur Tulang. Darah segar mengalir, menimbulkan rasa pedih. Tubuh bertelanjang dada itu tergetar mundur. Dan lawan di belakangnya sudah menyambut dengan gedoran telapak tangan yang mendatangkan sambaran angin kuat!
Blaggg!
"Hukh!"
Hantaman telapak tangan pada punggung ketika tubuhnya terjajar mundur, membuat kekuatan pukulan menjadi berlipat ganda. Hingga tubuh Gada Penghancur Tulang terpental deras disertai muntahan darah segar. Belum lagi tubuhnya sempat jatuh ke tanah, lawan yang di depan menyambut dengan sambaran pedangnya. Terdengar suara seperti orang tercekik, ketika mata pedang itu membeset tenggorokannya.
Darah segar menyembur dari luka menganga di leher Gada Penghancur Tulang. Napasnya pun putus seketika sebelum tubuhnya terbanting ke tanah. Sungguh mengenaskan kematian yang harus diterima Gada Penghancur Tulang, la yang dalam kehidupannya selalu menggunakan kelicikan, kini, tewas termakan kelicikan Pangeran Sokapanca.
Pangeran Sokapanca sendiri harus menerima hadiah atas perbuatannya terhadap kakek gundul itu. Kendati tidak sampai tewas, namun luka-luka yang dideritanya membuat Pangeran Sokapanca harus beristirahat beberapa hari.
Setelah merasa kesehatannya pulih, ia segera menghadap ayahnya dan minta restu untuk membawa pasukan guna memberantas Ki Dawung dan murid-muridnya yang dilaporkan sebagai pemberontak. Maka berangkatlah Pangeran Sokapanca dengan membawa dua lusin prajurit pilihan, dua orang perwira menengah, dan seorang senapati muda. Selain itu, terdapat dua orang tokoh istana menyertai rombongan.
Panji melakukan perjalanan dengan setengah berlari. Tujuannya adalah kotaraja, untuk menye- lidiki Pangeran Sokapanca. Sekaligus mencari tahu apakah pangeran muda itu masih mendendam dan akan membawa bala bantuan untuk membalas kekalahannya. Karena tengah memikirkan apa yang pertama-tama akan dilakukannya setelah sampai di kotaraja, ia tidak begitu memperhatikan ketika melewati jalan yang membelok.
Selain itu, jalanan berbelok di depannya terhalang dataran yang lebih tinggi. Kesadarannya baru bangkit ketika saat membelok, dari arah depan meluncur sosok tubuh lain yang langkah larinya seperti orang mabok. Tentu saja Panji sempat dibuat kaget!
"Hei...?!"
Panji melempar tubuhnya ke tepi jalan hingga membentur dinding tanah keras. Karena sosok tubuh yang berlari cepat dan sempoyongan itu, nyaris menabraknya. Untung ia cepat bergerak menghindar. Jika tidak, tubuh keduanya pasti akan saling bertumbukan.
Seruan terkejut Panji rupanya membuat sosok tubuh yang berlari seperti orang mabok itu tidak senang. Larinya dihentikan dengan mendadak. Masih dengan gerak tubuh sempoyongan, sosok itu berbalik menghampiri Panji, yang masih berdiri memperhatikan orang yang nyaris membentur tubuhnya itu.
"Bocah kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu hingga berani membentakku seperti itu? Apa kau sudah bosan hidup, hah?" begitu tiba di dekat Panji, langsung saja sosok yang berlari seperti orang mabok itu melontarkan makian.
Pendekar Naga Putih tertegun keheranan. Ditatapnya sosok tubuh kurus, bongkok dan berwajah sangat buruk itu. Sosok itu ternyata seorang perempuan berusia lanjut yang tengah menderita luka. Hal itu diketahui Panji dari adanya lelehan darah di sudut bibir nenek itu.
"Bocah setan! Rupanya kau bukan cuma kurang ajar, tapi juga budek! Hmh... sebaiknya kukirim saja kau ke neraka daripada hidup tidak mempunyai guna!"
Sikap diam Panji yang karena kaget dan heran melihat sosok nenek itu, membuat dirinya dikira tuli. Kemarahan si Nenek semakin menjadi-jadi. Sambil memaki-maki, dipukulkan tongkatnya yang berupa tulang kering kaki manusia ke kepala Panji.
"Hei, Nek, tahan...!"
Karena kaget dan tak menyangka, kalau nenek buruk itu sedemikian galak, Panji berseru mencegah. Ketika melihat hantaman tongkat itu tidak berhenti, Panji pun bergerak mundur menghindar. Sehingga pukulan tongkat si Nenek Buruk mengenai angin kosong!
"Bagus, rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Pantas saja berani membentak-bentak orang! Sekarang coba kau jaga serangan ini...!" ujar nenek buruk itu seraya menarik sudut kiri bibirnya membentuk senyum sinis. Kemudian kembali menerjang maju dengan tongkatnya.
"Nek, tunggu, jangan salah paham! Aku sama sekali tidak membentak, hanya berseru karena kaget, hampir tertumbuk tubuhmu. Justru sebenarnya kaulah yang salah, berlari seperti orang mabok!" Panji berteriak-teriak menjelaskan, sambil berlompatan menghindari serangan tongkat nenek buruk yang tak lain Nenek Muka Setan.
Pendekar muda itu masih bersikap mengalah, karena ketika melihat pukulan tongkat si Nenek tidaklah terlalu kuat. Dari apa yang dilihatnya pertama kali tadi, Panji tahu kalau nenek buruk itu cuma sekadar hendak memberi pelajaran kepadanya, yang dianggapnya sebagai anak kurang ajar. Namun, serangan selanjutnya ternyata dirasakan sangat ganas dan bisa mematikan. Kendati merasa kaget dan penasaran, Pendekar Naga Putih masih berusaha mengingatkan bahwa kejadian di antara mereka cuma karena salah paham.
"Anak setan! Sudah berani membentak, berpura-pura budek, sekarang malah menuduhku pemabok! Benar-benar kau tidak boleh diberi hati!"
Nenek Muka Setan kembali salah mengerti maksud ucapan Pendekar Naga Putih. Kembali ia memaki dan memperhebat serangannya, membuat Panji kerepotan menyelamatkan diri dari incaran tongkat nenek itu.
Sikap Nenek Muka Setan memang tidak mengherankan. Selain ia bukan orang baik-baik, saat itu hatinya sedang marah dan jengkel. Luka dalam dan sikap menghina yang diterimanya dari Gada Penghancur Tulang, sekarang seperti menemukan tempat untuk menumpahkannya. Karena setelah melarikan diri dari Gada Penghancur Tulang, baru Panji yang ditemuinya. Maka Panji-Iah yang sial menjadi tumpahan segala rasa marah dan jenkel Nenek Muka Setan.
Namun kesabaran Pendekar Naga Putih tentu ada batasnya. Ketika seruan-seruannya tidak mendapat tanggapan yang baik, bahkan nenek itu semakin ganas mencecarnya, Panji tidak lagi cuma sekadar mengelak. Saat tongkat berupa tulang kering kaki manusia itu kembali meluncur, telapak tangan kirinya bergerak menepis dengan pengerahan tenaga yang sudah diperkirakannya.
Plak!
Tepisan tangan Panji yang hanya menggunakan sebagian tenaga dalamnya, ternyata berakibat cukup hebat! Bukan cuma ujung tongkat yang terpental menyeleweng. Bahkan tubuh Nenek Muka Setan tampak terjajar limbung dengan wajah menyeringai menahan sakit. Sementara tangan kirinya sibuk menekan dada. Dan....
"Huakhhh!" Sebelum roboh tak sadarkan diri, Nenek Muka Setan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman.
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget bukan main! Cepat ia berlari menghampiri. Panji berjongkok hendak memeriksa ketika melihat Nenek Muka Setan tak sadarkan diri. Sekali lihat saja ia tahu kalau lawannya mengalami luka dalam yang parah. Dan tangkisannya yang menggunakan sebagian tenaga dalam tadi, semakin menambah parah luka nenek buruk itu.
Mengertilah Panji kalau nenek itu memaksakan diri sewaktu menyerangnya. Padahal pengerahan tenaga selagi terluka dalam, bisa mengakibatkan kematian. Tidak aneh kalau Nenek Muka Setan langsung muntah darah dan jatuh pingsan, kendati tangkisan Panji tidak terlalu kuat.
Walaupun menduga bahwa nenek buruk rupa itu bukan orang baik-baik, Panji tetap hendak menolongnya. Dipondongnya tubuh kurus yang tak sadarkan diri itu. Kemudian melangkah untuk mencari tempat yang cukup baik guna mengobati luka yang diderita Nenek Muka Setan. Agak lama Pendekar Naga Putih berjalan, sampai akhirnya ia melihat daerah persawahan. Sepasang matanya memandang berkeliling. Ketika menemukan sebuah dangau, dia segera menghampiri. Diletakkannya tubuh Nenek Muka Setan.
Setelah menotok dan memijat di beberapa tempat, Nenek Muka Setan mulai siuman. Langsung saja Panji membuka mulut nenek itu secara paksa dan menjejalkan sebutir pil berwarna putih salju. Obat luka dalam yang dapat mempercepat pulihnya tenaga. Hal itu terpaksa dilakukan, khawatir kalau Nenek Muka Setan akan marah lagi dan menyerang, apabila telah sadar sepenuhnya. Panji memaksa pil masuk ke dalam tubuh nenek itu dengan memijat hidung si Nenek. Nenek Muka Setan gelagapan, dan pil itu pun tertelan masuk
"Maaf, Nek Aku terpaksa melakukannya...!" ujar Panji ketika melihat sepasang mata yang sinarnya mulai pudar karena usia tua membuka perlahan.
Ada kilatan terkejut dalam bola mata Nenek Muka Setan, melihat pemuda tampan berjubah putih yang diserangnya tadi, tengah duduk di sampingnya. Semula Nenek Muka Setan sudah akan melontarkan makian kepada Panji. Namun wajah yang menggambarkan kemarahan itu berubah kaget! Di dalam tubuhnya dirasakan ada hawa hangat yang menyebar, membuat Nenek Muka Setan memejamkan matanya keenakan.
Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas, tahulah ia bahwa luka dalamnya telah disembuhkan orang. Untuk memastikan, segera ia mengerahkan tenaga dalamnya. Girang bukan main hati Nenek Muka Setan ketika tidak lagi merasakan ada rasa nyeri yang menusuk-nusuk bagian dalam dadanya. Luka dalamnya benar-benar telah sembuh, kendati tenaganya belum pulih.
"Mengapa kau menolongku, Anak Muda...?" tanya Nenek Muka Setan dengan suara serak dan lemah. Wajahnya membayangkan keheranan besar. Sebab, ia tidak percaya kalau ada orang yang mau bersusah payah menolong orang yang tidak dikenal.
"Mengapa aku menolongmu...?" tukas Panji mengulang pertanyaan Nenek Muka Setan dengan bibir tersenyum. "Pertanyaanmu aneh, Nek," lanjutnya, merasa tidak perlu memberikan jawaban. Karena ia memang sudah biasa melakukannya, terhadap siapa pun yang membutuhkan.
"Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" desak Nenek Muka Setan dengan nada agak tinggi. Jelas ia menginginkan jawaban dari mulut Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum semakin lebar. Kepalanya menggeleng perlahan melihat betapa nenek itu masih tetap galak, meskipun dalam keadaan tubuh masih lemah. "Aku menolongmu karena kau terluka dan perlu segera mendapat pengobatan. Nah, apakah kau puas dengan jawabanku, Nek?"
"Bodoh! Kau tahu bukan itu jawaban yang kuinginkan! Hayo jawab, mengapa kau menolongku?" Nenek Muka Setan kembali mengajukan pertanyaannya dengan mata melotot.
"Ya, karena kau membutuhkan pertolongan. Dan aku kebetulan memiliki sedikit pengetahuan tentang ilmu pengobatan. Tidak ada salahnya aku mencoba untuk menolongmu kendati kita belum saling kenal, dan mungkin kau menganggapku sebagai musuh."
Jawaban agak panjang itu tampaknya yang diinginkan Nenek Muda Setan. Wajahnya kembali dijalari keheranan besar. Dan ia menatap wajah Panji lekat-lekat
"Anak muda, kau tahu siapa sebenarnya aku? Aku adalah seorang dedengkot golongan hitam yang kejam dan ganas. Aku dijuluki sebagai Nenek Muka Setan! Entah sudah berapa ratus nyawa yang kukirim ke neraka. Dan setelan kesehatan kupulih, aku kembali akan membunuh orang. Nah, bukankah itu berarti bahwa kau ikut terkena dosanya? Karena kalau kau tidak mengobati aku, pasti sekarang aku sudah tidak bernyawa lagi. Dengan membuat aku sehat kembali, sama saja dengan memberikan kesempatan kepadaku untuk mengulang segala kejahatanku. Bahkan mungkin aku semakin bertambah ganas. Dan kau akan menyesal karena telah menolongku. Karena kau pun akan kubunuh!" ujar Nenek Muka Setan yang sempat membuat Panji kaget, karena nama tokoh ini sudah pernah didengarnya.
"Tidak, aku sama sekali tidak menyesal dengan apa yang telah kulakukan. Tidak peduli orang itu baik atau jahat. Jika aku mampu, aku akan berusaha memberikan pertolongan. Memberikan pertolongan kepada sesama umat manusia adalah kewajiban.”
Nenek Muka Setan terdiam setelah mendengar jawaban Panji. Ditariknya napas dalam-dalam. Sepasang matanya yang mulai pudar karena usia tua itu, tampak membasah. Kemudian terdengar suara paraunya yang mengandung keharuan atas apa yang diucapkan dan dilakukan Pendekar Naga Putih.
"Dari semenjak aku lahir hingga menjadi nenek-nenek seperti sekarang, baru kali ini aku bertemu dengan orang berhati mulia dan berpandangan luas sepertimu, Anak Muda. Dan, aku berjanji tidak akan membuat kau kecewa telah menolongku. Karena mulai saat ini aku akan meninggalkan perbuatan-perbuatan jahatku. Hhh..., aku ingin tahu siapa nama orang yang telah membuat mata batinku terbuka."
"Namaku Panji, Nek. Aku ikut senang mendengar tekad yang telah kau ambil," sahut Panji memperkenalkan namanya.
"Julukanmu, Panji. Melihat tingkat kepandaianmu, Kau...?" tiba-tiba saja Nenek Muka Setan menghentikan ucapannya yang belum selesai. Karena ketika tanpa sadar memperhatikan Panji, dia teringat dalam pertarungan tadi pemuda itu dapat mengimbanginya. Nenek Muka Setan dapat menduga siapa sesungguhnya pemuda tampan yang ada di hadapannya itu.
"Kaukah yang dijuluki Pendekar Naga Putih?" tanya Nenek Muka Setan hendak memastikan dugaannya.
"Kira-kira begitulah, Nek," jawab Panji dengan suara perlahan.
Tiba-tiba saja meledaklah tawa Nenek Muka Setan. Terus berkepanjangan sampai air matanya keluar. "Hih hih hih...! Siapa sangka kalau orang yang telah membuka mata batinku adalah seorang pendekar besar yang namanya menggetarkan jagad!" ujar Nenek Muka Setan yang tampaknya semakin bertambah gembira setelah tahu bahwa yang menolong dan membuatnya sadar dari kesesatan ter- nyata Pendekar Naga Putih.
Setelah puas tertawa sebagai pelampiasan kegembiraannya, Nenek Muka Setan bangkit dan duduk berhadapan dengan Panji. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat dengan sorot kekaguman yang tidak disembunyikan, membuat yang ditatap menjadi agak risih.
"Hhh...! Sungguh sayang, muridku satu-satunya telah tewas. Kalau tidak, aku akan menjodohkannya denganmu, Panji. Dan aku sudah bersumpah untuk mencari dan membunuh orang yang telah menewaskannya...!" ujar Nenek Muka Setan dengan suara bergetar, sedih teringat akan kematian murid tunggalnya. "Celakanya usahaku yang hampir berhasil itu digagalkan orang. Bahkan aku sendiri nyaris tewas di tangannya..."
"Jadi kau terluka dalam oleh orang yang membunuh muridmu?" tanya Panji menegaskan, kendati ia mendengar ucapan nenek itu dengan jelas.
"Bukan. Yang melukaiku adalah Gada Penghancur Tulang. Manusia licik itu muncul dan menawarkan bantuan dengan mengharapkan imbalan mendapat jabatan di kotaraja," jawab Nenek Muka Setan yang merasa geram mengingat kekalahannya yang menyakitkan hu.
"Berarti orang yang membunuh muridmu adalah seorang pembesar di kotaraja?" Panji bertanya lagi karena mulai merasa tertarik dengan cerita Nenek Muka Setan.
"Bukan cuma pembesar, tapi seorang pangeran yang bernama Sokapanca!" jawab Nenek Muka Setan yang kelihatan geram ketika menyebut nama pembunuh muridnya.
"Pangeran Sokapanca...?!" ulang Panji dengan kening berkerut Ia menyembunyikan kekagetannya dan ingin mendengar kelanjutan cerita nenek itu.
"Benar! Mungkin kau pun pernah mendengar nama pangeran keparat itu. Karena ia pun kadang suka berpetualang untuk menambah pengalamannya dalam ilmu silat. Sayangnya ia memiliki sifat yang sangat buruk. Pihak kerajaan sepertinya menutup mata terhadap sikap putra mahkota yang suka mengumbar nafsu bejatnya. Tak peduli meskipun perempuan yang disukainya sudah bersuami!" jelas Nenek Muka Setan bernada geram.
Nenek ini sama sekali tidak sadar betapa diam-diam Panji tertawa geli dalam hatinya. Sebab, nenek itu sendiri merupakan seorang gembong kaum sesat. Namun ia seperti tidak sadar akan dirinya sendiri. Dan mengutuk perbuatan orang lain yang sama jahatnya dengan dirinya.
"Muridku adalah seorang gadis yang sangat cantik dan menawan. Pendeknya siapa pun akan tergiur melihatnya. Apalagi masih ditambah dengan kepandaiannya yang tinggi." Tanpa diminta, Nenek Muka Setan mulai bercerita tentang murid perempuannya. "Suatu hari, muridku kembali dari pengembaraannya yang memang kuberi waktu dua tahun guna meluaskan pengalamannya. Sayang, kami tidak sempat bertemu. Karena aku mendapat undangan dari salah seorang sahabat yang hendak meresmikan tempat perguruannya. Kepergianku memang lama, kurang lebih lima hari. Cukup jauh memang tempat kediaman sahabatku itu. Dan kedatangannya kuduga tepat pada hari aku berangkat memenuhi undangan. Kau tahu apa yang kudapati sepulang dari tempat sahabatku, Panji?"
"Muridmu dibunuh setelah diperkosa..," jawab Panji yang tentu saja sudah dapat menebak. Karena Nenek Muka Setan telah menjelaskan siapa pembunuh yang dicarinya.
"Itulah yang menyambut kepulanganku. Dan keadaannya benar-benar mengenaskan! Tubuh murid satu-satunya yang telah kuanggap sebagai anakku sendiri itu, kudapati terbujur kaku di atas pembaringan dan tanpa selembar benang pun yang melekat di tubuhnya! Pada beberapa bagian tubuhnya terdapat luka bekas cakaran dan gigitan. Pada wajahnya terdapat luka memar bekas tamparan dan pukulan. Selain itu, aku menemukan adanya bau sejenis racun yang kuketahui kemudian sebagai pembangkit birahi!" sampai di sini Nenek Muka Setan tak sanggup menahan linangan air mata. Kemudian terdengar isaknya yang berusaha ditahan, tapi akhirnya meledak menjadi tangis memilukan.
Panji menarik napas dalam-dalam. Kedua matanya menjadi nanar melihat betapa Nenek Muka Setan menangis sampai sedemikian pilunya. Panji mengerti betapa hancur hati perempuan tua itu. la tidak berusaha, menghentikan tangis Nenek Muka Setan, karena ia tahu hal itu dapat membuat dada Nenek Muka Setan menjadi lega.
"Betapa malangnya nasib muridku itu...," Nenek Muka Setan kembali melanjutkan ceritanya dengan suara parau, "Setidaknya ia dipermainkan selama tiga hari oleh jahanam laknat Pangeran Sokapanca. Selama itu muridku terus dijejali racun perangsang! Setelah merasa puas mempermainkan, manusia jahanam itu menikam jantung muridku dengan pedang milikku yang telah kuhadiahkan kepada muridku itu. Untungnya jahanam itu tidak sadar betapa pada saat menikamkan pedang, muridku sempat mencengkeram pakaiannya hingga koyak. Dari pakaian serta kancing yang terbawa pada sobekan itu, aku tahu kalau yang melakukan perbuatan terkutuk itu seorang pembesar tinggi kerajaan. Setelah kuselidiki, kancing itu hanya dimiliki keluarga raja. Dan dari nama yang ditulis muridku di atas pembaringan dengan menggunakan darahnya, aku bisa menebak bahwa pelaku dari perbuatan terkutuk itu Pangeran Sokapanca. Meskipun yang ditulis muridku hanya nama depannya. Penjagaan di istana sangat ketat dan banyak orang-orang pandai yang mengabdikan diri di sana. Aku tak ingin mati konyol dengan menurutkan nafsu marah. Kutunggu dengan sabar kesempatan yang aku yakin bakal datang itu. Sayang kesempatan itu pun tidak membawa hasil karena salah ku sendiri. Aku ingin agar pangeran laknat itu mati dengan perlahan-lahan. Siapa sangka kalau Gada Penghancur Tulang yang dalam masa tuanya ingin mendapatkan kedudukan terhormat, tiba-tiba muncul dan mengalahkan aku," Nenek Muka Setan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Kemudian melemparkan pandangannya, jauh menerawang ke angkasa raya.
"Lalu, apa rencanamu sekarang, Nek?" tanya Panji memecah keheningan yang berlangsung cukup lama di antara mereka.
"Aku akan bersabar untuk menunggu kesempatan berikut. Mudah-mudahan saja masih ada...!" jawab Nenek Muka Setan dengan helaan napas panjang. Tampaknya ia tidak begitu yakin kalau kesempatan masih ada. Nenek Muka Setan sadar kalau Pangeran Sokapanca tentu tidak berani meninggalkan istana tanpa pengawalan kuat.
"Mungkin kesempatan itu akan datang, Nek...," ujar Panji yang tentu saja bukan sekadar menghibur. Sebab, jika Pangeran Sokapanca menaruh dendam terhadap Ki Dawung dan murid-muridnya, ada kemungkinan akan meninggalkan istana untuk membalas sakit hati dan kekalahannya.
"Apa alasanmu berkata demikian, Panji? Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku?" tanya Nenek Muka Setan menatap tajam wajah Panji.
Merasa tidak perlu lagi menyembunyikan apa yang hendak dikerjakannya, Panji pun menceritakan tentang perbuatan Pangeran Sokapanca terhadap Perguruan Tapak Jalak. Semua dipaparkan dengan jelas, berikut dugaan-dugaannya tentang sikap yang kemungkinan dilakukan Pangeran Sokapanca.
Nenek Muka Setan berseri wajahnya setelah mendengar cerita Panji. Karena harapan yang semula dirasakan sangat kecil, terbuka lebar. "Lalu, apa rencanamu, Panji?"
"Aku berniat hendak menyelidiki ke kotaraja untuk mencari berita," jawab Panji berterus terang.
"Hhh..., pemuda tampan dan menarik sepertimu tentu malu melakukan perjalanan bersama seorang perempuan peot yang berwajah menakutkan seperti aku...," desah Nenek Muka Setan sambil membuang pandangannya menatapi sawah-sawah yang menghampar.
"Ha ha ha...! Kau sengaja hendak memojokkanku! Perkataanmu jelas sangat sulit untuk kujawab," tukas Panji tertawa, lepas. Karena ia mengerti ke mana maksud tujuan ucapan Nenek Muka Setan itu. "Jangan khawatir, Nek! Aku tak takut walaupun gadis-gadis cantik tak sudi menoleh kepadaku. Karena aku sudah mempunyai seorang bidadari yang bagiku tidak ada bandingannya di dunia ini," lanjutnya, membuat Nenek Muka Setan mengikik.
"Kalau begitu, tak ada halangan bagiku untuk menyertaimu ke kotaraja...!" seru Nenek Muka Setan gembira.
"Tentu saja tidak..," sahut Panji cepat Kemudian bergerak meninggalkan dangau.
Mendengar ucapan Panji, Nenek Muka Setan langsung saja melompat keluar dari dangau. Kendati kesehatannya belum sepenuhnya pulih, nenek ini sudah merasa sanggup menempuh perjalanan ke kotaraja. Adanya Panji yang ternyata Pendekar Naga Putih, membuatnya yakin dendam akan terbalaskan. Walaupun Panji tidak berkata sesuatu, namun Nenek Muka Setan percaya kalau Panji akan membantunya. Nenek Muka Setan merasa langkahnya ringan saat mengikuti Panji ke kotaraja.
Sepasang muda-mudi melangkah agak cepat menerobos semak-semak belukar hutan. Mereka adalah Sujiwa dan Kuntini, yang pergi meninggalkan Perguruan Tapak Jalak atas perintah Ki Dawung. Semula keduanya tidak setuju, terutama Sujiwa. Semenjak kecil ia telah menerima budi Ki Dawung, gurunya. Dan kini, saat menghadapi ancaman bahaya, Ki Dawung justru menyuruhnya untuk pergi menyelamatkan diri bersama Kuntini. Baik Sujiwa maupun Kuntini tidak bisa membantah. Karena keputusan Ki Dawung tidak bisa dirubah lagi. Pemuda itu hanya bisa berjanji untuk menjaga Kuntini, putri tunggal gurunya dengan taruhan nyawa.
"Kuntini, kelihatannya kau sangat lelah, sebaiknya kita beristirahat dulu...," ujar Sujiwa kepada kekasihnya. Dia merasa terharu melihat betapa wajah Kuntini yang biasanya berseri-seri, kini tampak pucat. Bahkan gadis itu telah kehilangan sifat periangnya. Selama di perjalanan tak terdengar suaranya. Hal ini membuat Sujiwa merasa berdosa dan paling bersalah.
Kuntini tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk lemah. Kemudian duduk menyandarkan tubuhnya di batang pohon beralaskan dedaunan kering, Kuntini memang merasa lelah. Lelah lahir batin. Sudah hampir tujuh hari ia menempuh perjalanan bersama kekasihnya, guna menghindarkan diri dari pengejaran Pangeran Sokapanca. Dan selama ini mereka jarang sekali istirahat.
Terlebih pada hari-hari pertama sejak meninggalkan rumah perguruannya. Jangankan pagi atau siang hari, malam pun mereka tetap melanjutkan perjalanan. Hal itu mereka lakukan karena pesan ayahnya Kuntini, untuk pergi secepat dan sejauh-jauhnya dari jangkauan Pangeran Sokapanca.
"Kuntini...," Sujiwa memanggil nama kekasihnya dengan suara bergetar, "Aku menyesal sekali telah membuatmu menderita seperti ini. Seharusnya hal ini tak perlu kita lakukan. Karena aku sudah..."
"Sudalah, Kakang. Jangan bicarakan hal itu lagi..," Kuntini langsung memotong ucapan kekasihnya. "Aku lebih suka begini daripada harus menjadi istri Pangeran Sokapanca yang sama sekali tidak kucintai..."
"Tapi aku tak tega melihat kau selalu murung dan jarang berbicara. Aku... merasa berdosa, Kuntini!" tukas Sujiwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh iba.
"Kakang, sampai saat ini aku masih tetap mencintaimu. Maaf kalau sikapku selama ini telah membuat kau salah mengerti. Benar aku merasa lelah lahir batin. Tapi itu bukan berarti aku menyalahkanmu. Aku... aku selalu memikirkan Ayah. Demikian besar pengorbanan beliau hanya karena ingin agar anaknya berbahagia. Itu yang membuatku selalu termenung dan hampir tidak pernah berbicara, Kakang. Harap kau mengerti. Aku masih memerlukan waktu untuk melenyapkan semua pikiran dan perasaan ini..,," jelas Kuntini yang tentu saja tidak menyangka kalau kekasihnya merasa tersiksa oleh sikapnya.
Sujiwa tersenyum penuh kasih. Dipegangnya wajah gadis itu dengan kedua tangan. Penjelasan Kuntini telah membuat dadanya terasa lapang. Kendati masih ada perasaan bersalah terselip di hatinya, tapi tidak lagi terasa berat.
"Aku mendengar suara gemericik air. Mungki ada sungai tidak jauh dari tempat ini. Rasanya aku ingin membersihkan dan menyegarkan tubuh," ujar Kuntini tiba-tiba. Kemudian bergerak bangkit. Ditelengkan kepalanya seperti hendak memastikan dari arah mana suara gemericik ituberasal.
"Kau tunggu saja di dini, Kakang! Sumber suara gemericik itu datang dari arah selatan."
Sebelum Sujiwa sempat mengatakan apa-apa, tubuh Kuntini sudah melesat ke selatan, la tidak berusaha mencegah. Karena sumber air itu memang tidak jauh. Telinganya juga mendengar dengan jelas. Dan menurut perhitungannya paling jauh sekitar sepuluh tombak lebih. Maka ia memutuskan untuk menunggu Kuntini di tempat itu.
Setengah berlari, Kuntini bergerak menuju sumber air dengan maksud untuk membersihkan tubuhnya. Suara gemericik itu ternyata berasal dari sebatang aliran sungai berair jernih. Kuntini turun, karena aliran sungai itu berada di dataran yang lebih rendah. Namun, ketika baru saja tiba di tepian sungai tiba-tiba terdengar suara orang berteriak!
"Hei...!" Kaget dan tak menyangka kalau di sekitar tempat itu ada orang lain, Kuntini tersentak menoleh. Dan, apa yang disaksikannya membuat paras Kuntini menjadi merah bagai terbakar.
"Ihhh...!" Kuntini berseru tertahan dan langsung memalingkan wajah. Karena sewaktu menoleh, ia melihat ada seorang kakek cebol tengah berdiri di atas sebongkah batu, kurang lebih dua tombak dari tempatnya berdiri. Tentu saja Kuntini menjadi jengah. Karena kakek itu berdiri tanpa selembar pakaian pun yang melekat di tubuhnya. Kakek itu telanjang bulat!
"Bocah edan! Sudah tahu aku telanjang, eh, malah sengaja menoleh. Dasar perempuan genit! Awas, kubalas kau!" kakek bertubuh cebol itu memaki. Bergegas ia menyambar pakaian dan mengenakannya terburu-buru.
Namun Kuntini sudah tidak mendengarkan makian kakek itu. Keinginannya untuk mandi lenyap seketika. Ia langsung melompat naik meninggalkan tempat itu. Tapi...
"Heh heh heh...! Mau lari ke mana kau, Perempuan Genit!"
Kuntini terpekik kaget, karena tahu-tahu kakek cebol yang tadi sudah berdiri menghadang di hadapannya. Kakek itu menyeringai memperlihatkan beberapa buah giginya yang tanggal.
"Maaf, Kek! Aku tak tahu kalau kau ada di tempat ini," ujar Kuntini yang menghentikan langkahnya. Kemudian meminta agar kekek itu membiarkannya pergi.
"Enak saja! Kau sudah melihat seluruh tubuhku tanpa pakaian! Untuk itu kau tidak boleh pergi sebelum aku membalas perbuatanmu itu!" bentak kakek cebol ini berkacak pinggang, kemudian kembali menyeringai.
Mendengar kakek itu tidak mempedulikan permintaan maafnya, malah hendak membalas, Kuntini menjadi marah. Ditentangnya pandang mata kakek itu tanpa rasa takut sedikit pun. "Jadi apa yang kau inginkan dariku sebagai penebus kesalahan yang tidak kusengaja tadi?" tantang Kuntini saking jengkelnya.
"Hm... mudah saja. Karena kau sudah melihatku dalam keadaan telanjang, maka aku pun harus melihatmu berdiri di depanku tanpa pakaian. Dengan begitu baru aku merasa puas. Hayo, sekarang buka pakaianmu!"
"Permintaan gila! Otakmu pasti sudah tidak waras! Aku tak sudi!" maki Kuntini yang tentu saja menjadi marah bukan main. Wajahnya semakin merah saking marahnya. Tentu saja ia tidak sudi menuruti permintaan gila itu.
"Eh, jadi kau tidak mau? Kalau begitu, aku akan memaksamu!" bentak kakek cebol yang berkeras hendak membalas apa yang dilakukan Kuntini. Maka, sewaktu Kuntini melompat pergi tidak mau melakukan apa yang dimintanya, kakek cebol itu pun mengejar mencegah Kuntini pergi. Bahkan sudah mengulur kedua tangannya hendak melepas pakaian gadis itu secara paksa.
"Kurang ajar, mau apa kau, Kakek Sinting!" bentak Kuntini kaget melihat kecepatan gerak kakek cebol itu. Cepat ia mengibaskan tangannya mencegah perbuatan kakek yang memaksa hendak menelanjanginya. Bukan main kagetnya hati Kuntini ketika melihat kecepatan gerak kakek itu. Kibasan tangannya mengenai angin kosong. Karena tangan kakek itu tahu-tahu meliuk dan menjambret pakaiannya di bagian leher. Dan...
Breeettt!
"Aaauuuwww...!" Kuntini memekik dengan wajah semakin merah. Kali ini bukan cuma karena marah, tapi juga malu dan terhina. Karena tangan kakek itu telah membuat bagian dada kirinya terbuka. Cepat Kuntini melipat tangan kirinya, menyembunyikan dada kiri yang terbuka. "Kakek sinting, tidak tahu malu! Kubunuh kau...!" sambil membentak marah, Kuntini mencabut pedang di pinggangnya. Kemudian langsung disabetkan ke tubuh kakek cebol itu.
Bweeettt!
Sambaran pedang Kuntini hanya membeset angin. Kakek cebol itu sudah berkelit untuk kemudian kembali hendak merobek sisa pakaiannya. Gerakannya yang demikian cepat laksana sambaran kilat, membuat Kuntini tak bisa lagi mengelak. Tangan kakek itu kembali menjambret sisa pakaiannya.
"Heh heh heh...! Tubuhmu ternyata lebih halus daripada badan kerbau! Wah, tentu akan jauh lebih menarik kalau sudah kelihatan seluruhnya...," kakek cebol itu terkekeh sambil menjilat-jilat bibirnya hingga menimbulkan suara berkecipak. Kakinya melangkah menghampiri Kuntini, yang kali ini sudah tidak berdaya lagi Karena kedua tangannya digunakan untuk menutupi dada yang sudah tidak tertutup pakaian lagi. Ia lari hendak bersembunyi ke balik pepohonan.
"Kakang Sujiwa, tolooong...!" saking ngeri dan paniknya, Kuntini berteriak minta tolong kepada kekasihnya. Belum lagi gema teriakan Kuntini lenyap, sesosok tubuh berkelebat dan langsung menghadang kakek cebol yang tengah menghampiri Kuntini.
“Tahan...!" bentak pemuda yang tak lain Sujiwa. Pemuda ini langsung meninggalkan tempatnya ketika telinganya menangkap suara orang bertengkar. Terkejut bukan main Sujiwa ketika melihat kekasihnya berlari dengan tubuh bagian atas terbuka dan tengah dikejar seorang kakek cebol. Tanpa berpikir dua kali, langsung saja ia melompat menghadang.
"Minggir kau, Bocah! Aku tak punya urusan denganmu," melihat seorang pemuda menghadangnya, kakek cebol itu langsung mengibaskan tangannya.
Terkejut bukan main Sujiwa ketika tahu-tahu telapak tangan kakek cebol sudah berada dekat dadanya. Sadar kalau yang dihadapinya bukan kakek sembarangan, cepat ia sabetkan tangan kanan menangkis dorongan telapak tangan kakek cebol itu. Namun untuk kedua kalinya Sujiwa dibuat kaget. Dengan sebuah liukan aneh, tangan kakek itu berputar menghindari tangkisan Sujiwa. Tenis meluncur cepat dengan sebuah tamparan ke punggung pemuda itu.
Buk!
"Hugh!" Sujiwa terjerunuk dan nyaris terjatuh dengan wajah lebih dulu. Namun pemuda itu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya dengan gerak berputar melingkar. Kendati agak terhuyung beberapa langkah, Sujiwa selamat dan tidak sampai terbanting.
"Keparat...!" Sujiwa mendesis ketika melihat kakek cebol itu terus menghampiri Kuntini. Cepat ia melesat untuk mencegahnya.
"Hyaaattt...!"
Dengan disertai lengkingan keras, Sujiwa melepaskan pukulannya ke tubuh belakang lawan. Tetapi dengan mudah kakek cebol itu menghindarinya. Sehingga pukulan Sujiwa tidak mengenai sasaran. Sujiwa sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Maka ketika serangan pertamanya luput, ia langsung menyusuli dengan serangkaian pukulan dan tendangan. Sujiwa mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, membuat pukulan dan tendangannya mendatangkan angin berkesiutan.
Namun, untuk kesekian kalinya ia dibuat kaget juga kagum melihat kemampuan lawan mengatasi serangannya yang bertubi-tubi. Kakek cebol melompat-lompat tidak beraturan, mirip cacing kepanasan. Anehnya gerakannya membuat serangan-serangan Sujiwa selalu menemui kegagalan. Bahkan ketika kakek itu mulai membalas dengan tetap melompat-lompat, Sujiwa-lah yang kelabakan. Sehingga....
Plak! Buk!
"Aaakh!" Dua buah tamparan keras membuat tubuh Sujiwa terpelanting tanpa ampun. Meskipun tidak sampai membuatnya tewas, tulang-tulang tubuhnya dirasakan seperti remuk. Jalan napasnya pun terasa tersumbat, membuat Sujiwa terengah dengan wajah pucat. Sujiwa sudah putus asa dan merasa tak berdaya untuk membela kekasihnya. Mendadak, saja ia mendapatkan sebuah pikiran untuk mencegah kakek cebol itu mencelakai Kuntini.
"Tunggu, jangan ganggu gadis itu! Ia calon istri seorang pangeran yang bernama Sokapanca!" merasa tidak ada jalan lain untuk dapat menyelamatkan Kuntini, Sujiwa terpaksa menggunakan kata-kata itu. Sujiwa sedikit lega ketika melihat langkah kakek cebol itu terhenti, la tahu ucapannya mendapat tanggapan. Dan bertambah yakin ketika kakek cebol itu berbalik menatapnya lekat-lekat
"Calon istri seorang pangeran kau bilang?! Kalau begitu ia bakal menjadi mantu raja?" tanya kakek cebol tampak belum percaya betul.
"Benar. Dan kalau kau berani mengganggunya, berarti kau siap untuk menjadi buronan kerajaan!" tandas Sujiwa meneruskan sandiwaranya menakut- nakuti kakek itu.
"Tapi... mengapa ia bisa berada di tempat ini? Dan kau ada hubungan apa dengan gadis itu?"
"Aku seorang abdi istana berpangkat perwira menengah yang ditugaskan untuk menjemput calon istri junjunganku. Tapi di tengah perjalanan kami dihadang perampok. Pengawal-pengawalku tewas. Lalu kami melarikan diri tanpa mempedulikan arah, hingga sampai ke hutan ini," jawab Sujiwa, semakin mempertajam siasatnya, karena kakek cebol itu sangat tertarik hingga lupa akan niatnya semula.
Mendengar penjelasan Sujiwa yang panjang lebar, kakek cebol manggut-manggut seperti burung kuntul. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir keras. "Hm..., kalau begitu...," ujar kakek cebol itu sambil tetap berpikir, "Aku akan mengawal kalian sampai ke kotaraja. Tentunya Pangeran Sokapanca akan gembira sekali, dan memberi hadiah besar kepadaku..."
"Celaka...!" desis Sujiwa dalam hati. Wajahnya berubah, karena merasa siasatnya malah berbalik dan bisa mencelakakan dirinya serta Kuntini. Sujiwa memutar otak mencari jawabannya.
"Hei, mengapa kau diam saja? Kau takut ya, kalau hadiahmu akan berkurang?" bentak si Kakek tak sabar melihat Sujiwa bungkam.
"Bukan begitu, Kek. Tapi..."
"Aaah, sudahlah! Ini kesempatan bagus buatku. Siapa tahu Pangeran Sokapanca berkenan mengangkatku untuk menjadi pengawal pribadinya. Ayo, kita berangkat!" ujar kakek cebol itu memotong ucapan Sujiwa.
"Tidak, biar aku sendiri yang akan mengantarkannya!" karena tidak melihat jalan lain, akhirnya Sujiwa nekat, la melompat bangkit dan mencabut pedangnya.
Si Kakek Cebol tidak peduli, disambarnya buntalan pakaian Sujiwa yang tergeletak di tanah. Kemudian melesat ke arah Kuntini, dan melemparkan buntalan pakaian itu.
"Cepat kenakan pakaian, Calon Pengantin! Aku akan mengantarmu ke kotaraja!" seru kakek cebol, kemudian berbalik menghadapi Sujiwa yang berusaha mengejarnya.
"Kau tak berhak melakukan hal itu, Kakek Sinting!" bentak Sujiwa yang sudah memutar pedangnya sekuat tenaga. Kemudian menerjang dengan ganasnya.
"Bocah serakah!" geram kakek cebol yang segera menghindar, dan balas melakukan sebuah tamparan dengan gerak cepat.
Whuttt...!
Sujiwa berhasil mengelak kendati tubuhnya agak terhuyung karena kedudukannya memang tidak bagus. Kemudian melesat ke depan dengan sambaran pedangnya yang bertubi-tubi. Namun semua itu dapat dihindarkan lawan. Bahkan setelah lewat lima jurus kemudian, Sujiwa tak mampu lagi menyelamatkan diri. Sebuah tamparan keras membuat tubuhnya terpelanting!
Tanpa mempedulikan lawannya, kakek cebol itu berbalik dan menghampiri tempat Kuntini berada. Gadis itu sendiri baru saja selesai berpakaian, dan melangkah keluar dengan wajah pucat. Kuntini cemas bukan main melihat kekasihnya terbanting keras, dan tidak mampu untuk bangkit
"Kakek jahat, kau harus merima balasannya...!" Kuntini yang tak dapat menahan kemarahan melihat kekasihnya terluka, segera menerjang kakek cebol itu dengan jurus-jurus tangan kosong.
"Wah, kau pun sama bandel dengan bocah laki-laki itu...," ujar kakek cebol yang langsung menyambut serangan Kuntini. Dengan kedua telapak tangannya, dia menepiskan setiap pukulan dan tendangan Kuntini.
Sehingga gadis itu terdesak. Karena setiap kali pukulan ataupun tendangannya kena tangkis lawan, tubuhnya terhuyung mundur dengan wajah menyeringai menahan sakit. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, tubuh Kuntini terkena sebuah totokan yang membuatnya lumpuh. Tubuh Kuntini tidak sampai roboh ke tanah, karena langsung disambar lawannya dan dibawa pergi menuju kotaraja.
Sujiwa sudah bergerak bangkit dan sempat melihat ketika Kuntini dibawa pergi kakek cebol itu. Namun dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Tulang iganya patah akibat tamparan keras tadi. Meskipun begitu. Sujiwa bertekad untuk menyusul ke kotaraja. Dia rela mengorbankan nyawa demi menolong kekasihnya. Terlebih gurunya telah mempercayakan keselamatan Kuntini kepadanya. Maka, dengan tertatih-tatih, Sujiwa meninggalkan hutan itu untuk menyusul ke kotaraja.
Perjalanan Panji dan Nenek Muka Setan ternyata tidak selancar yang mereka perhitungkan. Prajurit- prajurit kerajaan telah menyebar ke berbagai desa. Keduanya terpaksa menjauhi jalan-jalan umum ataupun pedesaan, karena di beberapa desa yang hendak mereka lalui, terdapat prajurit kerajaan berjaga-jaga. Mereka menahan serta menanyai setiap pendatang, yang bukan warga desa setempat.
Hal ini dikarenakan laporan palsu Pangeran Sokapanca, yang menuduh Ki Dawung bersama murid-muridnya sebagai pemberontak. Akibatnya di desa diadakan pembersihan. Orang-orang yang dicurigai langsung ditangkap, dan baru dilepaskan setelah terbukti benar-benar tidak bersalah.
"Tidak kusangka kalau keadaan bisa berkembang sedemikian gawat! Dalam suasana seperti ini, sudah pasti sangat sulit untuk bisa masuk kotaraja," ujar Panji yang saat itu tengah berjalan menelusuri sebuah hutan karet yang luas.
"Lalu, apakah kau akan membatalkan niatmu?" tanya. Nenek Muka Setan menimpali sambil tetap melangkah disampingnya.
"Menurutmu sendiri bagaimana, Nek? Tujuan kita ke kotaraja adalah untuk menyelidiki Pangeran Sokapanca. Sedangkan saat ini ia tidak berada di istana karena sedang mencari Ki Dawung dan murid-muridnya," tanya Panji yang mulai ragu. Ia memang ingin tahu apakah kekejaman serta kebiadaban pangeran itu tidak diketahui pihak istana. Hal inilah yang membuat Panji ragu. Sebab tujuan utamanya memang Pangeran Sokapanca.
"Menurutku, sebaiknya pangeran laknat itu yang kita urus lebih dulu. Aku khawatir ia dan pasukannya dapat menemukan orang-orang Perguruan Tapak Jalak. Mereka pasti akan dibantai habis jika sampai ditemukan," Nenek Muka Setan mengutara- kan pendapatnya.
"Yah, aku pun mencemaskan nasib mereka, ujar Panji yang akhirnya mengikuti pendapat Nen Muka Setan. Segera saja keduanya memutar untuk menunda kepergian ke kotaraja. Kali ini keduanya melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat, karena khawatir keduluan pihak kerajaan.
"Nek, apakah kau mendengar ada suara-suara orang bertempur?" tanya Panji seraya memperlambat larinya. Saat itu mereka tengah melintasi sebuah hutan kecil.
"Aku tak mendengar apa-apa, Panji. Tapi aku percaya dengan ketajaman telingamu. Sebaiknya kau cari sumber suara pertempuran itu!" sahut Nenek Muka Setan dengan suara agak keras.
Tanpa membuang waktu lagi, Panji segera mencari sumber suara yang didengarnya, la memutar arah larinya dan bergerak menuju ke sebel timur hutan kecil itu. Nenek Muka Setan tetap mengikuti di sampingnya. Suara-suara orang bertempur yang semakin jelas terdengar oleh Panji dan mulai tertangkap telinga Nenek Muka Setan, membuat keduanya menambah kecepatan. Sampai akhirnya mereka menemukan adanya dua orang yang sedang bertarung sengit.
"Kenanga...?!" desis Panji agak heran ketika melihat salah satu dari kedua orang yang tengah bertarung itu. Langsung saja ia melesat dengan kecepatan penuh. Karena Kenanga kelihatannya tengah terdesak.
"Hentikan pertempuran...!" seru Panji langsung melayang ke tengah arena. Sambil meluncur turun ia mengibaskan tangannya untuk menghentikan gempuran orang yang menjadi lawan kekasihnya.
Bressshhh...!
Kibasan tangan Panji yang mengandung hawa dingin menggigit itu, membentuk sebuah gelombang tenaga sakti yang kuat. Tubuh Panji kembali melenting ke udara. Baru kemudian meluncur turun di dekat Kenanga yang juga melompat mundur. Sedangkan orang yang menjadi lawan Kenanga terjajar mundur. Di wajahnya jelas terbayang rasa kaget. Karena benturan itu sempat membuat tubuhnya menggigil untuk sesaat.
"Kakang!" seru Kenanga menarik napas lega, "Kakek itu sangat mencurigakan. Tubuh perempuan muda yang dipondongnya kurasa ada dalam pengaruh totokan. Dan ketika aku tanya baik-baik ia malah marah-marah. Lalu mengancam agar aku tak mencampuri urusannya sambil mendorongkan telapak tangannya yang merupakan pukulan jarak jauh. Aku semakin curiga dan meminta untuk menyerahkan gadis itu kepadaku. Tapi ia malah menyerangku. Hingga kami bertarung," lanjutnya menjelaskan tanpa diminta.
"Heh..., dia Setan Cebol Sinting, yang merupakan salah satu gembong golongan sesat!" Nenek Muka Setan menerangkan sebelum Panji membuka suara.
"Haa..., kiranya kau, Nenek Muka Setan!" geram Setan Cebol Sinting, yang memang bertubuh cebol dan berusia lanjut.
Perempuan dalam pondongannya adalah Kuntini, yang hendak dibawanya ke kotaraja. Seperti halnya Panji dan Nenek Muka Setan, kakek cebol itu pun rupanya menjauhi jalan-jalan umum. Karena ia tidak ingin membuat keributan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang terdapat hampir di setiap desa. Sedangkan ia sendiri hendak menemui seorang pangeran. Untuk itu ia harus menghindari bentrokan dengan pihak kerajaan.
"Rupanya kesintinganmu makin bertambah saja, Setan Cebol Sinting. Bahkan masih juga sanggup menggauli gadis muda seperti yang tengah kau pondong itu. Apakah ia sudah kau gauli? Lalu hendak kau bawa ke mana sekarang?" ejek Nenek Muka Setan yang tentu saja membuat wajah kakek cebol memerah.
"Jangan sembarangan bicara kau, nenek peot jelek muka setan! Gadis yang kubawa ini bukan gadis sembarangan. la akan membawa keberuntungan buatku. Karena ia calon istri Pangeran Sokapanca! Kau tentu kaget mendengarnya, bukan?" tukas Setan Cebol Sinting sraya memperdengarkan tawanya.
Bukan cuma Nenek Muka Setan yang menjadi kaget. Panji dan Kenanga pun terperanjat mendengar ucapan kakek cebol itu. Pasangan pendekar muda ini saling berpandangan beberapa saat. Mereka sama-sama teringat cerita Ki Dawung, yang mempunyai putri tunggal dan telah diungsikan karena lamaran Pangeran Sokapanca. Namun karena keduanya belum mengenal rupa putri tunggal Ki Dawung, mereka tidak bisa memastikan.
Panji maju mendekat untuk bertanya. Namun niatnya sudah didahului Nenek Muka Setan yang menerjang Setan Cebol Sinting dengan tongkatnya. Si Kakek Cebol menyambut serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya. Hingga, sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit!
"Hyaaattt..!"
Nenek Muka Setan terus merangsek maju. Tongkatnya menyambar-nyambar ganas. Namun semua serangan itu dapat ditepiskan dengan mudah oleh Setan Cebol Sinting. Kendati hanya menggunakan sebelah tangan, kakek cebol itu ternyata tak merasa kerepotan. Bahkan sempat membuat lawan kewalahan dengan serangan balasan yang cepat dan mengandung kekuatan hebat.
"Rasakan akibat keusilanmu...!" Saat pertempuran memasuki jurus kelima belas, Setan Cebol Sinting membentak sambil melepaskan sebuah pukulan maut.
Nenek Muka Setan yang memang agak kewalahan, kaget bukan main! Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari pukulan maut lawan. Kemudian berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun. Sebelum Setan Cebol Sinting dan Nenek Muka Setan melanjutkan pertarungan, Panji segera melesat ke arena. Kemudian berseru agar keduanya menunda pertempuran.
"Tahan...!"
Seruan yang mengandung getaran kuat itu, membuat Setan Cebol Sinting mengurungkan serangan susulannya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat. "Siapa kau, Bocah Ingusan...? Menyingkirlah, dan jangan campuri urusanku!" tegur Setan Cebol Sinting dengan sikap mengancam.
Ancaman itu sama sekali tak membuat Panji gentar. Dia tersenyum dan melangkah maju empat tindak, membuat jarak di antara mereka semakin dekat Tapi, sewaktu Setan Cebol Sinting bertempur dengan Nenek Muka Setan, ia sudah memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya. Ia sudah menemukan jalan yang tidak akan membahayakan gadis dalam pondongan Setan Cebol Sinting. Sebab, untuk menggunakan kekerasan, ia khawatir kakek itu akan menggunakan tawanannya sebagai tameng. Maka, Panji pun mulai dengan siasatnya.
"Setan Cebol Sinting, aku sama sekali tak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi aku merasa tertarik setelah mengetahui siapa kau adanya. Kesaktianmu sudah lama kudengar. Tapi, kurasa kau tak akan mampu melawanku. Nah, apa jawabanmu kalau aku sekarang menantangmu untuk bertarung?" ujar Panji sengaja menyunggingkan senyum penuh ejekan.
Mendengar tantangan pemuda tampan berjubah putih itu, Setan Cebol Sinting tampak keheranan. Sepasang matanya berputar liar, seolah hendak mencari jawaban maksud tersembunyi dari tantangan itu. Bahkan ia sempat melirik ke arah Kenanga dan Nenek Muka Setan. Kemudian kembali menatap Panji.
"Kau boleh menjawab tantanganku, Kek? Apa kau takut kalah olehku di hadapan mereka?" desak Panji dengan nada menghina sambil menujuk Kenanga dan Nenek Muka Setan.
"Hih hih hih...! Ketahuilah, Panji. Pada dasarnya Setan Cebol Sinting adalah seorang kakek pengecut! Jelas ia tak akan berani menerima tantanganmu!" Nenek Muka Setan rupanya mulai paham maksud ucapan-ucapan Panji, maka ia pun ikut memanasi Setan Cebol Sinting dengan kata-kata hinaan.
"Keparat! Aku tahu kalian bertiga hendak mengeroyokku! Heh heh heh...., jangan kalian kira aku bodoh! Tidak bisa...!" tukas Setan Cebol Sinting menggoyang-goyangkan telapak tangannya dengan bibir dimonyongkan.
"Hm..., aku bukan pengecut, Kek. Aku tak akan melawanmu dengan mengandalkan keroyokan! Nah, apa jawabanmu? Kalau kau takut, serahkan saja gadis itu, dan pergi dari sini!" ujar Panji menyanggah dugaan kakek itu.
"Ahaaa... aku tahu sekarang! Kalian bertiga pasti telah mengatur rencana licik. Mereka berdua pasti akan mengambil gadis ini selagi aku bertempur denganmu, bukan?" Setan Cebol Sinting kembali mengajukan dugaannya.
"Kami tak serendah itu, Kek. Aku menantangmu bertarung tanpa campur tangan mereka. Atau kalau kau khawatir, biarlah kita bertarung untuk memperebutkan gadis tawananmu itu. Kalau aku kalah kau boleh bunuh aku dan tinggalkan tempat ini. Sebaiknya kalau aku yang menang, kau harus pergi dan menyerahkan gadis itu kepadaku. Bagaimana, apakah kau berani bertarung melawanku untuk memperebutkan gadis itu?"
"Kau dan kawan-kawanmu tak akan berbuat curang...?" Setan Cebol Sinting masih ragu-ragu dan minta ketegasan Panji.
"Aku tak akan menjilat ludahku sendiri!" tegas Panji merasa gembira melihat usahanya menunjukkan hasil.
Nenek Muka Setan dan Kenanga juga mengucapkan janjinya ketika Setan Cebol Sinting menoleh ke arah mereka berdua.
"Baik! Kuterima tantanganmu, Bocah" Setan Cebol Sinting segera melangkah ke arah sebatang pohon besar. Kemudian meletakkan tubuh Kuntini di atas rerumputan. Lalu kembali menemui Panji.
Panji segera menggeser langkah ke kanan. Setan Cebol Sinting juga bergerak dengan arah berlawanan. Kemudian...
"Hyaaat..!"
Dibarengi sebuah lengkingan panjang memekakkan telinga, Setan Cebol Sinting melompat maju disertai serangan-serangan mautnya. Tangan kanannya meluncur dengan gerakan mencengkeram ke arah tenggorokan lawan. Sedang tangan kirinya menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung. Suara angin berkesiutan mengiringi datangnya kedua serangan maut itu.
Panji maklum akan kedahsyatan serangan itu. Dia cepat menggeser tubuhnya dua langkah ke samping. Satu tendangan lurus dilepaskan mengarah ke lambung lawan yang kini berada di depannya. Namun Setan Cebol Sinting tak tampak gugup. Tusukan jari-jari tangannya yang gagal, meliuk cepat memapas tendangan Panji.
Plak!
Benturan keras itu membuat tubuh Setan Cebol Sinting terdorong mundur beberapa langkah. Panji sendiri sempat tergetar mundur. Setelah saling tatap sejenak, mengagumi kehebatan masing-masing, keduanya kembali melanjutkan pertarungan. Pertarungan kali ini jauh lebih hebat dari semula. Keduanya telah menggunakan ilmu andalan masing- masing. Demikian cepat gerakan tubuh mereka hingga terlihat hanya merupakan dua sosok bayangan yang saling desak satu sama lain.
Buk! Plak!
Berturut-turut kedua pasang lengan itu saling bertemu. Kali ini tubuh Setan Cebol Sinting terlempar sampai satu setengah tombak. Sedangkan Panji hanya merasakan tubuhnya bergetar akibat benturan itu. Hal ini bukan karena tenaga dalam Panji lebih tinggi dari lawannya, tapi posisinya memang lebih menguntungkan. Sedang soal kekuatan, Panji harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang berimbang.
"Haiiit..!"
Sadar akan kehebatan lawan, Panji segera menggunakan jurus pamungkas dari rangkaian ilmu 'Silat Naga Sakti'nya. Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Sepasang tangannya menyambar disertai hawa dingin luar biasa, yang membuat arena pertarungan bagai dilanda badai salju.
"Gila, tak kusangka kalau bocah ini ternyata memiliki kepandaian yang hebat! Rasanya aku tahu siapa dia sebenarnya! Pantas ia berani menantang kubertarung...!" Setan Cebol Sinting mendesis geram. Ia kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya guna melawan hawa dingin yang mempengaruhi gerakannya itu. Kakek cebol ini berusaha keras menyelamatkan diri dari serangan lawan, dan sesekali membalas dengan sangat bernafsu.
Dua puluh jurus telah berlalu. Setan Cebol Sinting tampak kewalahan dan mulai terdesak. Rasa geram dan penasaran, membuat kakek cebol berbuat nekat! Saat Panji kembali menyerang dengan dorongan kedua tangannya, langsung saja disambut dengan pengerahan seluruh tenaganya.
"Heaaa...!" Setan Cebol Sinting membentak laksana ledakan petir, sambil menghentakkan kedua tangan dengan telapak terbuka.
Glarrr!
"Aaakh...!" Setan Cebol Sinting terpekik. Tubuhnya terlempar deras, kemudian terbanting jatuh ke tanah. Kakek ini terduduk dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat bagai mayat. Dari mulut dan hidungnya tampak darah mengalir perlahan. Setan Cebol Sinting menderita luka dalam yang parah akibat benturan dahsyat itu.
Sedangkan tubuh Panji yang juga terpental balik, langsung berputar tiga kali di udara, kemudian meluncur turun dengan selamat. Meski agak terhuyung, Panji tidak menderita luka. Hanya bagian dalam dadanya dirasakan masih berdebar keras. Harus diakuinya kalau Setan Cebol Sinting benar-benar merupakan seorang lawan yang sangat tangguh! Panji melangkah menghampiri Setan Cebol Sinting yang masih saja terduduk di tanah.
"Telanlah pil ini, mudah-mudahan dapat membantumu mengurangi rasa sakit..!" ujar Panji menyerahkan sebutir pil berwarna putih salju.
Setan Cebol Sinting terlihat ragu. Ditatapnya wajah Panji dengan perasaan heran. Baru kemudian menerimanya, ketika melihat Panji mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja pil itu ditelannya.
"Gadis tawananmu itu sekarang menjadi milikku," ujar Panji tersenyum. Kemudian membebaskan gadis itu dari pengaruh tatokan.
Kuntini menatap Panji, Kenanga, serta Nenek Muka Setan. Ia merasa bersyukur dirinya terbebas dari Setan Cebol Sinting, yang hendak membawanya ke kotaraja. Ketika Panji bertanya, Kuntini membantah dan mengatakan bahwa dia bukanlah calon istri Pangeran Sokapanca. Kemudian menjelaskan tentang penolakannya terhadap lamaran pangeran itu.
"Jadi kau putri tunggal Ki Dawung?" tanya Panji memotong cerita Kuntini saat gadis itu menyinggung tentang penolakannya atas lamaran Pangeran Sokapanca.
"Benar..., apakah kau kenal dengan ayahku?" tanya Kuntini penuh harap. Wajahnya berseri ketika melihat Panji tersenyum mengangguk.
"Kenanga, di mana Ki Dawung dan murid-muridnya sekarang berada? Sebaiknya kita bawa Kuntini menemui orang tuanya," ujar Panji kepada Kenanga.
"Mereka membangun sebuah tempat tinggal sekarang di dalam Hutan Lawa, sebelah selatan Desa Kalicadas. Ayolah, kuantarkan!" jawab Kenanga menerangkan.
"Anak muda!" panggil Setan Cebol Sinting yang bangkit dari duduknya ketika melihat Panji dan yang lainnya hendak pergi. "Katakan siapa kau sebenarnya agar aku tak penasaran dengan kekalahan ini?"
"Orang yang mengalahkanmu bernama Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih." Nenek Muka Setan menukas, sebelum Panji sempat menjawab, "Nah, apakah kau sudah puas sekarang?" lanjutnya terkekeh puas melihat wajah kakek cebol itu membayangkan rasa kaget.
"Sudah kuduga...," desis Setan Cebol Sinting menatapi kepergian empat orang itu. Kemudian baru melesat pergi ke arah berlawanan, setelah bayangan Panji dan yang lainnya lenyap dari pandangan mata.
"Sebutkan namamu, dan berita penting apa yang kau bawa sampai berani lancang minta bertemu denganku?" Bentakan itu berasal dari Pangeran Sokapanca. Ia menatap wajah pucat lelaki berusia sekitar tiga puluh tahu lebih yang berdiri di hadapannya.
Lelaki yang mengaku bernama Jalinta ini segera menjelaskan maksud kedatangannya, la salah seorang murid Perguruan Tapak Jalak. Memberanikan diri datang menghadap Pangeran Sokapanca dan menerangkan tempat persembunyian Ki Dawung beserta murid-murid lainnya.
"Hm... mengapa kau mengkhianati guru dan saudara-suadramu? Dan imbalan apa yang kau harapkan atas jasamu ini?" tanya Pangeran Sokapanca yang tidak mau percaya begitu saja. Khawatir kalau laporan orang itu merupakan siasat untuk menjebak ia dan pasukannya.
"Hamba sakit hati karena cinta hamba ditolak Kuntini. Kecuali itu, Ki Dawung telah pilih kasih dengan lebih banyak menurunkan ilmunya kepada Sujiwa. Dua alasan inilah yang membuat hamba mencari kesempatan untuk membalas semua itu. Menurut hamba, sekaranglah waktu yang paling baik," jawab Jalinta sejujurnya, karena kesempatan seperti itu telah lama ditunggunya.
"Baik! Sekarang antarkan kami ke Hutan Lawa! Kalau ternyata bohong, kau akan kusiksa sampai mampus!" tukas Pangeran Sokapanca sambil mendorong tubuh Jalinta. Kemudian memerintahkan pasukannya agar bersiap.
Dengan berbagai macam perasaan yang mengaduk-aduk hatinya, Jalinta terpaksa ikut bersama rombongan menuju ke Hutan Lawa. Wajahnya sudah tak beda dengan mayat. Dadanya terus berdebar-debar membayangkan wajah gurunya yang akan marah besar kepadanya. Tapi, dirinya tak bisa berbuat lain. Kecuali kalau memang ingin disiksa sampai mati.
Kurang lebih setengah hari perjalanan dari Desa Kalicadas, tempat Pangeran Sokapanca menginap, saat matahari hampir tegak lurus, tibalah mereka di Hutan Lawa.
"Hei, mengapa berhenti? Ayo, tunjukkan dimana guru dan saudara-saudaramu berada?" Pangeran Sokapanca membentak marah ketika dilihatnya Jalinta ragu dan menghentikan kudanya.
"Tapi, Pangeran..."
"Jalan kataku...!" Pangeran Sokapanca membentak dan mengayunkan tangannya menampar.
Plak!
Jalinta hanya bisa mengeluh dan menyumpah-nyumpah dalam hati. la segera mengikuti perintah itu. Dan terus bergerak menuju sebelah timur hutan.
"Hm..., kepung rapat sekitar tempat itu...!" perintah Pangeran Sokapanca setelah tiba di dalam hutan, dan melihat belasan bangunan berdiri di tengah Hutan Lawa.
Namun sebelum perintah itu sempat dijalankan, dari lingkungan bangunan itu melesat keluar murid-murid Perguruan Tapak Jalak, dipimpin Ki Dawung dan Sanggaling. Mereka tampak sudah siap bertarung sampai tetes darah terakhir!
"Murid murtad! Mengapa kau lakukan semua ini, Jalinta?" Sanggaling yang melihat Jalinta di antara rombongan Pangeran Sokapanca, langsung saja menduga bahwa semua itu akibat pengkhianatan Jalinta.
"Hah hah hah...! Muridmu ini memang cerdik sekali, Ki Dawung! la benci kepada kau serta murid-muridmu yang lain. Dan menawarkan jasa dengan menunjukkan tempat persembunyian ini. la mengharapkan agar sakit hatinya kami balaskan. Bukankah begitu, Jalinta?" ujar Pangeran Sokapanca tertawa gembira. "Nah, sekarang kau balaslah sakit hatimu, Jalinta!" lanjutnya sambil menendang Jalinta hingga tersungkur dari atas punggung kuda. Tubuhnya terguling-guling mendekati guru dan saudara-saudaranya.
"Bangsat, kau tak pantas lagi untuk hidup...!" Sanggaling yang tak dapat menahan kemarahannya, langsung mengibaskan pedangnya.
Whuuuttt! Crasss!
"Aaakh...!"
Darah segar muncrat seiring lolong kematian Jalinta. Ki Dawung hanya menghela napas karena terlambat mencegah. Dia hanya bisa menyesali tindakan Jalinta, yang justru malah membuat nyawanya putus.
"Hua ha ha...! Sekarang giliran kau dan murid-muridmu untuk mati menyusulnya, Ki Dawung! Serbuuu...!" pekik Pangeran Sokapanca memberi perintah.
Senapati muda yang memimpin dua lusin prajurit itu, langsung melompat maju sambil memberi perintah. Demikian juga dengan dua orang perwira mene-lngah yang sudah bergerak maju dengan pedang di tangan. Anehnya, dua orang jagoan istana yang menyertai rombongan ini tidak kelihatan batang hidungnya?
Ki Dawung yang sadar bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dicegah lagi, langsung saja memberi perintah kepada murid-muridnya untuk menyambut serbuan lawan. Kedua belah pihak sama-sama berlari maju dengan senjata telanjang. Namun sebelum kedua belah pihak saling bertemu, tiba-tiba....
"Berhenti..!"
Suara bentakan keras menggelegar membuat mereka yang siap bertempur saling terpelanting dan jatuh bergulingan. Bahkan beberapa di antaranya langsung menggeletak pingsan, karena dahsyatnya tenaga yang terkandung dalam bentakan itu. Sehingga, keadaan pun seketika menjadi kacau.
Ki Dawung, Sanggaling, dan mereka yang berkepandaian tinggi dari pihak Pangeran Sokapanca, sama-sama mengerahkan tenaga untuk menutup pendengaran dan menenangkan isi dada yang terguncang. Sebelum mereka sempat menguasai keadaan itu, beberapa sosok tubuh melayang dengan kecepatan tinggi, dan meluncur turun di tengah-tengah kedua belah pihak yang hendak bertarung.
Pangeran Sokapanca tampak kaget. Kemudian berubah geram, ketika melihat kedua jago istana yang semula menyertainya. Sama sekali tidak menunduk. Mereka menentang pandang mata junjungannya dengan sorot mata menusuk. Terlihat gambaran pertentangan di wajah ketiganya.
"Hm..., rupanya kalian hendak ikut memberontak!" desis Pangeran Sokapanca dengan sorot mata mengancam.
"Tidak perlu berdalih lagi, Pangeran!" salah satu dari kedua jagoan itu menyahuti dengan tegas. "Semua telah berakhir. Kau tahu sendiri mengapa kami meninggalkan pasukan. Sekarang bukan kau yang mengadili kami, tapi kamilah yang harus mengadilimu, Pangeran!"
"Bedebah! Senapati, bunuh mereka berdua yang telah berkhianat!" perintah Pangeran Sokapanca kepada panglima muda yang terlihat bingung itu.
"Tahan pedangmu, Panglima!" kembali tokoh istana berkumis lebat, berseru mencegah. "Sokapanca bukanlah seorang pangeran yang harus dihormati! Ketahuilah oleh kalian semua! Pangeran Sokapanca sebenarnya lebih buas daripada harimau lapar! la selalu memperturutkan nafsu birahinya, yang senang memperkosa dan menyiksa korbannya. Tidak sedikit wanita dibunuhnya setelah merasa puas! Kami berdua sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu rombongan singgah di Desa Gagaran! Pangeran yang kalian hormati ini memperkosa, menyiksa dengan gigitan, cakaran serta pukulan, dan kemudian membunuh dua orang gadis di desa itu! Ia dengan kepandaiannya yang tinggi telah menculik kedua orang gadis malang itu. Lalu membungkam mulut Kepala Desa Gagaran, agar tidak menyebarluaskan kematian kedua orang gadis itu. Bahkan Pangeran Sokapanca mengatakan bahwa ia akan mencari pelakunya!"
"Kami berdua memang sengaja meminta perkenan Gusti Prabu untuk menyertai rombongan," tokoh istana satunya meneruskan keterangan rekannya "Kami tak percaya bahwa Ki Dawung dan murid-muridnya hendak memberontak. Karena sebelum mengabdi ke istana, kami sahabat baik Ki Dawung! Dan kau senapati, tentunya masih ingat dengan peristiwa mengerikan yang menimpa empat orang selir Gusti Prabu, bukan? Dan kau juga masih ingat bahwa kematian empat orang selir yang malang itu dirahasiakan, kecuali terhadap para pejabat tinggi kerajaan! Tentu saja kami menjadi curiga! Dan langsung bisa menduga kalau ada suatu rahasia besar di balik kejadian itu. Lalu kami menghubungi tokoh-tokoh istana yang sepaham dan diam-diam menyelidiki semua pembesar tinggi, termasuk keluarga Gusti Prabu. Dugaan kami jatuh pada Pangeran Sokapanca. Karena dalam kesehariannya ia kelihatan sangat dingin terhadap perempuan," jago istana ini menghentikan ceritanya dan menarik napas dalam-dalam. Karena ia terlalu bersemangat dalam berbicara.
"Bohong, semua itu fitnah busuk!" Pangeran Sokapanca membantah keras. Wajahnya tampak dibanjiri peluh, yang tak henti-hentinya mengalir.
"Hei, Pangeran Binatang!" tiba-tiba Nenek Muka Setan melangkah maju dengan wajah berang. "Coba kau kenali sobekan pakaian dan kancing baju ini! Ingatkah kau terhadap perempuan muda yang cantik dan kebetulan tinggal seorang diri di atas Puncak Bukit Merak? Perempuan cantik yang kau perkosa dan kau siksa secara biadab itu adalah murid tunggalku! Nah, dengan adanya bukti benda ini apakah kau masih hendak menyangkal?!"
Gemetar seluruh tubuh Pangeran Sokapanca ketika melihat benda di tangan Nenek Muka Setan. Wajahnya kian pucat dengan dada sesak, sulit untuk bernapas. Ketakutan yang melanda dirinya semakin hebat! Karena seluruh rombongan pasukannya tampak sama-sama menatap benci dan jijik ke arahnya.
Perubahan yang tak disangka itu membuat jiwanya terguncang. Deraan rasa malu yang hebat membuat ia mengambil keputusan nekat. Dengan wajah pucat bagai tak dialiri darah, Pangeran Sokapanca memukulkan tangannya ke kepala.
Prak!
Terdengar suara berderak disertai keluhannya. Tubuh Pangeran Sokapanca terguling dari punggung kuda. la tewas dengan kepala retak. Pangeran ini rupanya lebih suka bunuh diri daripada mati di tangan orang lain. Kejadian itu begitu cepat. Tak seorang pun yang menyangka kalau Pangeran Sokapanca akan mengakhiri hidupnya sendiri. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya suasana berubah hening, diliputi ketegangan.
"Kami akan membawa mayatnya ke istna, dan menjelaskannya kepada Gusti Prabu," ujar tokoh istana berkumis lebat memecah keheningan. Kemudian mengangkat dan meletakkan mayat Pangeran Sokapanca di atas punggung kuda.
"Kemungkinan besar Gusti Prabu tak akan marah. Menurut penglihatanku, beliau sudah mengetahui penyakit kejiwaan yang diderita putranya," tokoh istana menambahkan.
"Kami bersedia menjadi saksi!" Senapati muda dan dua orang perwira menengah ikut mendukung keputusan dua pengawal istana itu. Bersama pasukannya, mereka meninggalkan tempat itu, setelah menyampaikan permohonan maaf kepada Ki Dawung dan murid-murid Perguruan Tapak Jalak.
"Sebenarnya Pangeran Sokapanca patut dikasihani," desah Ki Dawung menghela napas panjang, "Anehnya, mengapa ia mengajukan lamaran, meminta Kuntini untuk menjadi selirnya? Mengapa ia tidak menculik dan menyiksanya seperti yang dilakukannya terhadap wanita lain?" sambungnya dengan kening berkerut.
"Tampaknya terhadap putrimu yang cantik ini ia benar-benar jatuh hati, Ki Dawung," yang menyahuti adalah Kenanga. Sebagai seorang wanita, sedikit banyak ia dapat menerkanya. Tadi Pangeran Sokapanca pun selalu melirik ke arah Kuntini dengan pandangan mesra, sebelum aibnya dibeberkan tokoh-tokoh istana.
"Tapi penyakit kejiwaannya tidak akan bisa hilang. Meski andai kata Kuntini telah menjadi selirnya, tetap ada kemungkinan ia akan melakukannya terhadap Kuntini," Nenek Muka Setan menimpali, membuat semua yang berada di tempat itu bergidik teringat penyakit yang diderita Pangeran Sokapanca.
"Kakang Sujiwa...!" tiba-tiba Kuntini berseru cemas ketika teringat kekasihnya. "Kita harus mencarinya, Ayah!" pintanya kepada Ki Dawung.
"Mari, kita mencarinya, Kuntini! Kau tunjukkan tempat terakhir kali bersamamu...!" Kenanga langsung menawarkan diri untuk mencari Sujiwa. Tentu saja juga bersama Panji. Dengan membawa Kuntini sebagai penunjuk jalan, ketiganya melesat meninggalkan tempat itu.
"Hei, aku ikut...!" Nenek Muka Setan berteriak. Kemudian berlari mengejar.
Ternyata untuk mencari Sujiwa mereka tidak perlu bersusah payah. Mereka menemukan pemuda itu tengah berlari tersaruk-saruk sambil memegangi bagian dadanya yang masih nyeri. Rupanya Sujiwa tetap berkeras hati untuk mencari kekasihnya yang dibawa pergi Setan Cebol Sinting.
"Kakang...!" Melihat kekasihnya yang tengah melangkah tersaruk-saruk itu, Kuntini langsung menghambur.
Sujiwa terkejut dan mengangkat wajahnya. Disambutnya tubuh Kuntini, lalu dipeluknya erat-erat. Terdengar suara isak Kuntini, yang merasa bahagia melihat kekasihnya selamat, kendati mengalami luka.
Suara bentakan keras menggetarkan terdengar dari dalam sebuah bangunan besar yang sekelilingnya dipagari kayu bulat setinggi satu setengah tombak. Sosok tubuh bertelanjang dada, tampak tengah bergerak ke kiri dan kanan dengan kuda-kuda yang kokoh bagaikan batu karang. Geseran-geseran tubuhnya disertai dengan lontaran pukulan tangan yang menerbitkan angin menderu. Rupanya dari sosok yang tengah berlatih silat inilah suara-suara bentakan keras tadi terdengar.
Sosok bertelanjang dada ini memang telah cukup lama berlatih ilmu tangan kosong. Dan ia mengakhirinya dengan sebuah bentakan yang disusul lompatan ke belakang sejauh hampir dua tombak. Entah kapan tangannya bergerak, tahu-tahu di tangan kanannya telah tergenggam sebatang golok. Kemudian ia mulai berlatih kembali. Kali ini dengan menggunakan goloknya yang setiap kali bergerak, mendatangkan suara angin berkesiutan.
"Hyaaat..!"
Beberapa jurus kemudian, sosok bertelanjang dada ini kembali mengeluarkan bentakan yang melengking tinggi. Disusul dengan lentingan tubuhnya sambil melakukan babatan yang cepat bukan main! Baru kemudian meluncur turun dengan ringannya. Sedang golok di tangannya tampak telah tersimpan di pinggangnya. Caranya menyimpan senjata, yang cepat dan nyaris tak terlihat, menandakan kalau sosok bertubuh kekar ini seorang yang cukup ahli dalam ilmu golok.
Tepat pada saat sosok bertelanjang dada ini mengakhiri permainannya, terdengar suara tepukan tangan yang membuatnya menoleh. Terlihat sesosok perempuan berwajah manis tengah tersenyum kepadanya. Perempuan inilah yang bertepuk tangan seraya melontarkan kata-kata pujian.
"Permainan golokmu sudah pesat sekali kemajuannya, Kakang Sujiwa. Aku benar-benar kagum melihatnya. Tampaknya ketekunanmu selama ini tidak sia-sia...," ujar perempuan muda itu seraya mengayunkan langkah menghampiri lelaki berdada bidang yang dipanggil Sujiwa.
"Ah.... Kuntini, hasil yang sekarang kucapai ini masih jauh dari sempurna. Belum sepertiga dari kepandaian Guru..." Sujiwa, pemuda bermata tajam dengan raut wajah mencerminkan kejantanan ini berkata merendah. Dia pun mengayunkan langkah menyambut kedatangan gadis bernama Kuntini.
Kuntini hanya tersenyum, tidak menimpali ucapan Sujiwa. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia segera mengeluarkan sehelai sapu tangan yang terbuat dari kain kasar berwarna putih. Kemudian disusutnya peluh yang membasahi wajah Sujiwa sambil menatap penuh kemesraan. Pemuda itu tersenyum bahagia. Ditangkapnya kedua pergelangan tangan Kuntini. Ditariknya perlahan, hingga tubuh gadis itu jatuh ke dalam pelukannya.
"Jangan, Kakang, nanti dilihat orang...!" cegah Kuntini ketika Sujiwa hendak mengecup bibirnya. Gadis ini merundukkan kepala, hingga bau harum rambutnya tercium oleh Sujiwa. Membuat getaran dalam dada pemuda itu semakin menyentak.
"Tidak ada orang lain di tempat ini, Kuntini...," bisik Sujiwa setelah memperhatikan sekeliling taman belakang bangunan tempat ia biasa melatih ilmu-ilmunya. Dikecupnya rambut kepala Kuntini dengan segenap perasaan kasihnya.
"Ahhh...," Kuntini mendesah dengan dada berdebar. Namun ia tidak berusaha mengelak ketika Sujiwa mengecup pipinya yang menjadi kemerahan. "Sudah, Kakang..."
Sujiwa menunda keinginannya untuk mengecup bibir ranum Kuntini ketika gadis itu memalingkan wajahnya menghindar. Sujiwa malah tersenyum ketika Kunrini mendorong tubuhnya, hingga pelukannya terlepas.
"Keringat Kakang berbau kecut..," goda Kuntini sambil memijit hidungnya. Kemudian bergerak mundur seolah tubuh Sujiwa memang berbau kecut.
"Tapi kau suka, kan? Buktinya kau tak menolak kupeluk...," balas Sujiwa mencoba mengejar dan menangkap tubuh Kuntini. Gadis itu terus berlari dan menghilang di balik daun pintu. Hanya tawa manjanya yang masih terdengar menggelitik telinga Sujiwa.
"Awas kau nanti...," desis Sujiwa tersenyum dengan sinar mata berkilat, ketika wajah Kuntini kembali menyembul dari balik pintu untuk kemudian lenyap. Sujiwa hanya tertawa gemas melihat kemanjaan kekasihnya.
********************
Selesai membersihkan tubuh di air pancuran, Sujiwa bergegas menghadap Ki Dawung, guru yang selama belasan tahun telah mendidiknya. Sujiwa merupakan murid terkasih, yang telah mewarisi lebih dari sepertiga kepandaian gurunya. Namun semua itu sama sekali tidak membuatnya besar kepala.
Terhadap saudara-saudara seperguruan ia tetap berlaku sopan dan hormat. Sehingga sangat disukai baik oleh saudara-saudara seperguruan maupun para sesepuh perguruan. Bahkan ketika menjalin cinta dengan Kuntini, putri tunggal gurunya, dia malah mendapat restu.
Sujiwa merasa dirinya benar-benar beruntung. Karena selain berwajah cantik dan manis, Kuntini pun memiliki ilmu kepandaian yang tidak berselisih jauh dengannya. Dirinya juga sadar bahwa gadis seperti putri Ki Dawung tentu menjadi idaman setiap pemuda. Siapa sangka kalau justru dirinyalah yang beruntung dapat memikat hati Kuntini.
Agak heran juga hati Sujiwa ketika melihat murid-murid perguruan telah berbaris rapi di depan bangunan utama. Dia sendiri tinggal di salah satu bangunan kecil yang banyak mengelilingi bangunan utama perguruan, tempat tinggal Ki Dawung dan keluarganya. Melihat semua itu, hati Sujiwa berdebar. Tidak biasanya diadakan persiapan yang demikian rapi, seolah gurunya tengah menantikan keda- tangan tamu terhormat.
"Guru...," Sujiwa menghormat seraya merangkapkan telapak tangannya di depan wajah yang tertunduk. Kemudian ia langsung mengambil tempat di antara para sesepuh perguruan, setelah mendapat perkenan dari Ki Dawung.
"Saudara-saudaraku sekalian...." Ki Dawung, Ketua Perguruan Tapak Jalak, membuka pertemuan dengan suara beratnya. Sepasang matanya yang tajam laksana mata elang, beredar memperhatikan wajah-wajah yang menghadiri pertemuan ini. "Sebuah peristiwa besar yang sekaligus merupakan kehormatan bagi perguruan ini, akan segera kita alami. Salah seorang murid telah melaporkan, bahwa desa tempat perguruan kita berada telah disinggahi oleh Gusti Pangeran. Sebenarnya beliau sedang dalam perjalanan pulang sehabis berburu. Ketika melewati desa ini, tiba-tiba beliau memutuskan untuk singgah melepaskan lelah"
Sampai di sini Ki Dawung menghentikan ucapannya. Senyumnya mengembang ketika melihat wajah-wajah yang hadir dalam pertemuan itu menunjukkan tanda tanya besar. Karena apa yang diceritakan Ki Dawung memang belum terlihat adanya hubungan dengan Perguruan Tapak Jalak. Setelah kembali mengedarkan pandangannya kepada semua yang hadir, Ki Dawung kembali melanjutkan ucapannya.
"Sepanjang yang aku ketahui, Gusti Pangeran Sokapanca sangatlah gemar akan ilmu silat. Hal inilah yang membuat aku memerintahkan agar kalian semua bersiap. Sebab, bukan tidak mungkin kalau beliau akan datang mengunjungi perguruan kita"
Mendengar kelanjutan ucapan Ki Dawung, barulah semua yang hadir mengerti duduk perkaranya. Mereka sama menganggukkan kepala dari saling berbisik satu sama lain. Sehingga untuk beberapa saat suasana di dalam ruangan dipenuhi gaung yang mirip suara sekumpulan lebah. Suasana baru kembali tenang setelah Ki Dawung memberikan isyarat dengan tepukan tangan perlahan dan berirama.
Ki Dawung yang semula hendak memberikan beberapa pesan ataupun petunjuk, segera menundanya. Karena saat itu seorang murid melaporkan bahwa orang yang tengah dibicarakan sudah hampir tiba dengan diiringi selusin prajurit. Langsung saja Ketua Perguruan Tapak Jalak itu memerintahkan agar pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Dia sendiri segera melangkah ke luar ruangan diikuti yang lainnya.
Saat itu, seorang lelaki berusia muda berpakaian pemburu, duduk di atas punggung kuda yang melangkah perlahan memasuki pintu gerbang. Sikapnya sangat anggun dan berwibawa. Kepalanya diangkat tegak dengan tatapan lurus ke depan. Namun tarikan bibirnya tampak mencerminkan watak yang angkuh dan memandang rendah orang lain. Dan ia tetap berada di atas punggung kudanya, kendati telah tiba di hadapan Ki Dawung.
Ki Dawung sendiri tidak berani berlama-lama menatap pandang mata pemuda tampan berpakaian pemburu di hadapannya. Karena dia dapat menduga bahwa pemuda itu pastilah Pangeran Sokapanca. Lelaki tua itu segera menjatuhkan diri dengan sebelah kaki menekuk. Sikap ini diikuti seluruh murid maupun para sesepuh Perguruan Tapak Jalak yang berada di belakang Ki Dawung.
"Hamba Ki Dawung, menghaturkan sembah kepada Gusti Pangeran, dan mengucapkan selamat datang di tempat yang buruk ini. Karena kedatangan Paduka terlalu mendadak, kami tidak sempat mempersiapkan sambutan yang semestinya. Harap Paduka sudi memaafkan kami...," ucap Ki Dawung tetap dengan kepala tertunduk
"Hm..., aku maklum. Bangkitlah, Ki Dawung!" ujar Pangeran Sokapanca yang kemudian turun dari punggung kudanya. Perbuatannya ini segera diikuti oleh dua belas orang pengawal yang mengenakan seragam keprajuritan.
"Silakan Gusti Pangeran...!" ujar Ki Dawung seraya bergeser memberi jalan kepada Pangeran Sokapanca untuk memasuki bangunan utama.
Namun Pangeran Sokapanca sudah tidak memperhatikan atau mendengarkan ucapan Ki Dawung. Sepasang matanya telah melekat erat pada seraut wajah cantik manis, yang berdiri tak jauh belakang Ki Dawung. Tatapan tajam dan mengandung hasrat dari mata Pangeran Sokapanca membuat si pemilik wajah cantik manis menundukkan kepala.
"Menurut kabar yang sampai ke telingaku, perguruan ini banyak menghasilkan orang pandai. Nah, maksud kunjunganku ke sini untuk menyaksikan dan membuktikannya. Tentu saja kalau kau tidak keberatan, Ki Dawung...," ujar Pangeran Sokapanca sambil melangkah di samping Ki Dawung. Nada suaranya terdengar sinis dan terkesan memandang rendah.
"Kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, Gusti. Lagi pula, mana mungkin kami dapat disejajarkan dengan kepandaian jago-jago istana?" sahut Ki Dawung merendah. Karena dia memang tidak pernah menggembar-gemborkan kepandaian atau perguruannya. Namun bukan berarti bahwa hatinya tidak merasa tersinggung mendengar ucapan sinis itu. Kalau saja yang mengucapkannya bukan seorang pangeran, sudah pasti dia tidak bisa terima begitu saja.
"Meskipun memang benar begitu, tapi aku tetap ingin menyaksikan ilmu silat perguruanmu, Ki Dawung. Kuminta kau tak keberatan untuk memperlihatkannya," ujar Pangeran Sokapanca yang menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ki Dawung.
Permintaan seorang pangeran sama artinya dengan sebuah perintah yang tidak bisa ditolak. Ki Dawung tahu itu. Maka segera diantarkannya Pangeran Sokapanca menuju halaman samping bangunan, yang merupakan arena berlatih silat. Ki Dawung segera memerintahkan murid-muridnya untuk menyiapkan kursi bagi Pangeran Sokapanca.
Karena segala sesuatunya memang selalu sudah dipersiapkan, maka perintah Ki Dawung segera tersedia hanya dalam beberapa menit. Pangeran Sokapanca duduk di samping Ki Dawung. Sedang dua orang perwira yang selalu berada di dekat sang Pangeran, duduk tepat di belakang junjungannya. Arena laga sendiri berada di sebelah bawah mereka.
Ki Dawung memanggil dua orang sesepuh perguruan. Mereka adalah Barnaba dan Sanggaling. Keduanya berusia sekitar lima puluh tahun. Namun wajah mereka terlihat sehat dan segar. Mereka langsung saling berhadapan setelah memberi hormat kepada Pangeran Sokapanca dan Ki Dawung. Barnaba dan Sanggaling telah bergerak mundur mempersiapkan kuda-kuda untuk berlaga. Kemudian sama bergerak ke arah yang berlawanan.
"Sambutlah seranganku. Adi Sanggaling. Hyyaatt!"
Barnaba membuka serangan lebih dulu. Tubuhnya melesat ke depan dengan gerakan ringan. Dan langsung mengirimkan cengkeraman lurus mengarah ke kepala dengan tangan kanannya. Sedang tangan kiri bergerak dari bawah ke atas, mengancam lambung lawan. Lelaki berpakaian putih itu mengirimkan dua serangan sekaligus dalam gebrakan pertama.
Melihat dua buah serangan hebat itu, Sanggaling segera menggeser langkah ke belakang. Dia tahu bahwa dua serangan itu sangat sulit untuk dibendung. Selain gerakannya sangat cepat, juga m ngandung gerak tipu yang perubahannya tak terduga. Karena tidak ingin mendapat celaka pada gerakan pertama, lelaki, berpakaian kuning itu memutuskan untuk menghindar.
Barnaba yang maklum akan kecerdikan adik seperguruannya, segera merubah serangan. Kali ini dia melakukan lompatan panjang dengan kedua tangan terulur mengancam bahu Sanggaling. Jari-jari tangannya yang terisi tenaga dalam tampak bergetar. Serangan ini jauh lebih berbahaya, karena jari-jari Barnaba sangat kuat dan sanggup meremukkan batu karang! Apalagi hanya tubuh manusia.
Sanggaling tidak membiarkan kedua bahunya begitu saja dicengkeram. Anehnya kali ini ia tidak bergerak mundur. Hanya menggeser kaki belakangnya ke depan. Seolah ia nekat hendak menyerahkan tubuhnya untuk dicengkeram lawan. Sampai-sampai Barnaba sendiri sempat dibuat kaget oleh perbuatan adik seperguruannya yang dianggap menantang maut. Namun ia tidak bisa menarik kembali serangannya, karena jarak sudah terlampau dekat.
Whuuuttt...!
Sepasang cengkraman Bamaba lewat di sebelah atas tubuh Sanggaling Karena saat cengkeraman maut itu nyaris mengenai sasaran, mendadak Sanggaling memdoyongkan tubuh ke belakang, sekaligus mengirimkan sebuah tendangan lurus ke perut Sanggaling.
"Aaah...?!"
Barnaba memekik tertahan ketika melihat serangan balasan Sanggaling. Untuk menghindarinya jelas sudah tertambat Jalan satu-satunya harus menyalurkan tenaga dalam ke sasaran tendangan itu. Sehingga, kalaupun tidak bisa mengelak, tubuhnya telah terlindungi tenaga dalam. Itu memungkinkan dirinya tidak mengalami luka dalam.
Buk...!
Saat tendangan itu menyentuh perutnya, Barnaba masih berusaha mengurangi luka yang bakal dialami dengan jalan mengikuti tenaga tendangan lawan. Sehingga, begitu terkena tendangan, tubuhnya langsung terlempar deras. Dan itu memang di- sengaja oleh Barnaba, yang berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Akhirnya dia dapat mendarat dengan selamat tanpa mengalami cidera, kendati wajahnya tetap kelihatan pucat
Wajah Ki Dawung berseri demi melihat kecerdikan Barnaba. Hatinya merasa bangga karena kedua orang murid utamanya dapat menyuguhkan pertarungan dengan baik dan penuh kesungguhan hati. Lelaki tua itu tersenyum tipis penuh kepuasan.
Tidak demikian halnya dengan Pangeran Sokapanca. Terlihat ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini dilakukan bukan karena merasa kagum denganjalannya pertarungan yang seru dan menenangkan, melainkan karena merasa tidak puas. Dia menganggap pertunjukan itu tidak mendatangkan keuntungan baginya.
"Sudahi pertempuran kedua orang jagomu itu, Ki Dawung! Mereka terlalu lambat dan kelihatan masih enggan untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan masing-masing. Jalannya pertarungan kelihatan tidak menarik!" ujar Pangeran Sokapanca yang tentu saja membuat wajah Ki Dawung berubah agak kelam.
Ki Dawung menekan rasa jengkelnya. Ucapan Pangeran Sokapanca jelas merupakan penghinaan baginya. Dia tahu betul kalau kedua orang murid andalannya bertarung dengan sungguh-sungguh, dan telah menggunakan ilmu andalan masing-masing. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian mengeluarkan perintah agar Barnaba dan Sanggaling menghentikan pertarungan. Meskipun merasa heran, Bamaba dan Sanggaling tidak membantah perintah sang Guru. Keduanya bergegas keluar dari arena tanpa berkata apa-apa.
"Ki Dawung..."
Panggilan Pangeran Sokapanca membuat Ki Dawung menunda maksudnya menampilkan Sujiwa. Dia menoleh dengan sikap yang tetap penuh hormat
"Apakah murid perempuan itu berada di bawah tingkat kedua orang tadi...?" tanya Pangeran Sokapanca menyembunyikan rasa tertariknya kepada gadis muda yang sejak semula telah menarik perhatiannya.
"Maaf, Gusti! Gadis itu adalah putri tunggal hamba...," sahut Ki Dawung dengan suara rendah. Dia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya melihat betapa Pangeran Sokapanca menaruh perhatian terhadap putri tunggalnya. Meskipun pangeran itu berusaha menyembunyikan perasaannya, tapi sebagai orang yang berpengalaman, Ki Dawung mengetahui.
"Ahhh...!" dengan pandainya Pangeran Sokapanca berpura-pura kaget. Padahal sejak semula ia sudah merasa curiga dan menduga bahwa gadis yang menarik perhatiannya itu pastilah mempunyai hubungan erat dengan Ki Dawung. Karena dari sekian banyaknya murid Perguruan Tapak Jalak, cuma satu yang wanita. Dan jawaban Ki Dawung membuat Pangeran Sokapanca manggut-manggut.
"Hm..., jika demikian... eh, apakah putrimu sudah menikah, Ki Dawung?"
"Belum, Gusti Pangeran...," sahut Ki Dawung mulai dapat meraba apa yang bakal dikatakan pangeran itu selanjutnya.
"Hm... sudahi saja pertunjukan ini, Ki Dawung. Dan langsung saja kusampaikan bahwa aku merasa tertarik dengan putri tunggalmu itu. Terlebih ia merupakan keturunan seorang pendekar. Hm... kalau kau tidak berkeberatan, aku ingin mengambilnya sebagai selir. Bagaimana? Aku ingin dengar jawabannu?" ujar Pangeran Sokapanca yang nada suaranya berubah agak ramah. Tentu saja karena mempunyai maksud terhadap putri Ketua Perguruan Tapak Jalak
"Hm... sangat menyesal, Gusti. Kuntini sudah hamba jodohkan dengan murid hamba sendiri...," karena permintaan Pangeran Sokapanca terlalu tiba-tiba, dan Ki Dawung tidak ingin putri tunggalnya dijadikan selir, alasan itu terpaksa dikemukakan. tentu saja dengan harapan agar Pangeran Sokapanca membatalkan niatnya
"Ha ha ha...! Itu tidak jadi masalah, Ki Dawung. Ingat aku adalah seorang pangeran. Apabila lamaranku kau terima, perguruan ini akan kuperbesar hingga menjadi terkenal di kalangan persilatan. Dan kau pun akan kaya mendadak, Ki Dawung!" tukas Pangeran Sokapanca yang ternyata tidak peduli meskipun gadis yang diincarnya telah dijodohkan dengan orang lain.
"Tapi...," Ki Dawung masih berusaha menolak secara halus.
"Tidak ada kata tetapi, Ki Dawung! Kau lihat, lamaran ini kuajukan dengan disaksikan kedua orang pengawal pribadiku! Tentunya kau tak ingin dianggap sebagai pemberontak, bukan? Nah, kuberi kau waktu dua hari! Jika tidak..., kau akan menyesal seumur hidup!" Setelah berkata demikian, Pangeran Sokapanca bangkit dari duduknya. "Mari, kita pergi..!" ujarnya kepada dua orang perwira yang ada di belakangnya.
Tanpa menoleh lagi, Pangeran Sokapa langsung meninggalkan bangunan Perguruan Tapak Jalak! Diiringi dua belas orang pengawal yang merupakan prajurit-prajurit pilihan itu.
Tinggallah Ki Dawung yang masih duduk termangu di kursinya. Wajah lelaki tua yang kelihatan masih segar dan sehat ini mendadak layu dan murung. Karena mendadak dirinya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika menolak, ia akan dianggap pemberontak! Sedang untuk menerima jelas tidak mungkin. Dirinya telanjur sudah merestui hubungan Kuntini dengan Sujiwa, murid utama termuda dan terlihai di antara murid-murid lainnya. Ki Dawung tak mungkin menghancurkan hati putrinya dan juga murid tersayangnya.
"Celaka...!" desis Ki Dawung seraya melemparkan pandangan ke hamparan langit biru. Keningnya tampak berkerut dalam, menandakan betapa hati lelaki tua itu tengah dilanda keresahan dan kecemasan yang hebat.
Murid-murid Perguruan Tapak Jalak sendiri menjadi keheranan ketika Pangeran Sokapanca tiba-tiba meninggalkan tempat itu bersama rombongannya. Namun mereka tentu saja tidak berani untuk bertanya, kecuali saling berbisik satu sama lain, menyatakan keheranannya.
Rasa heran juga merasuki hati Sujiwa, Kuntini, Banaba, dan Sanggaling. Mereka saling bertukar pandang satu sama lain, yang pada akhirnya sama mengangkat bahu tanda tak mengerti. Terlebih ketika melihat betapa sepeninggal Pangeran Sokapanca bersama rombongannya wajah Ki Dawung tampak murung dan menyiratkan kecemasan. Ketika melihat Ki Dawung bergerak bangkit dan melangkah menuju ruang utama, keempatnya saling memberi isyarat untuk mengikuti.
"Ayah...!" Kuntini mendahului yang lainnya menghampiri Ki Dawung yang berdiri di muka jendela, dan tengah memandang keluar.
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling langsung berlutut di dekat sang Ketua. Mereka tidak berani untuk langsung bertanya, hanya menunggu penjelasan dari Ki Dawung.
Ki Dawung yang tahu kalau putri dan murid-murid utamanya menyusul ke dalam, bergerak meninggalkan jendela. Kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi yang terdapat di tengah ruangan utama itu. Setelah menarik napas berat beberapa saat, Ki Dawung pun menjelaskan apa yang menjadi beban pikirannya.
Bukan main terkejutnya hati Kuntini maupun ketiga orang murid utama Ki Dawung. Terlebih Sujiwa yang mempunyai kaitan langsung dengan persoalan ini. Wajah pemuda itu sebentar merah sebentar pucat. la tidak tahu perasaan apa yang tengah berkecamuk di dalam hatinya. Hingga, untuk beberapa saat lamanya ruangan ini menjadi hening.
"Guru...," akhirnya suara parau Sujiwa memecahkan keheningan. Kelihatan sekali betapa Sujiwa berusaha keras menekan rasa sedih, marah, serta benci yang berkecamuk di dalam hatinya. Wajahnya berkerut-kerut seperti orang tengah menahan rasa sakit yang luar biasa. Ki Dawung, Barnaba, dan Sanggaling tampak merasa kasihan. Mereka tahu kalau berita itu merupakan sebuah pukulan batin yang sangat berat bagi Sujiwa.
"Guru..., sudah terlalu besar budi baik yang kau limpahkan kepadaku. Belasan tahu aku dididik hingga menjadi seperti sekarang ini. Dan rasanya ini adalah saat yang tepat bagiku untuk membalas segala kebaikan yang selama ini kau berikan kepadaku. Aku... aku bersedia memutuskan hubunganku dengan Kuntini demi keselamatan Guru sekeluarga serta perguruan ini. Yang selama ini aku dapatkan pun sudah terlalu besar. Dan aku tidak berani mengharapkan lebih..."
Setelah berkata demikian, Sujiwa menundukkan wajahnya yang menjadi pucat. Sebab, meskipun ia benar-benar rela melepaskan Kuntini, namun perasaannya tidak bisa dibohongi. Sujiwa terlalu mencintai gadis itu. Membayangkan betapa sang kekasih akan dijadikan selir Pangeran Sokapanca yang menurut penglihatannya sangat sombong itu, hatinya bagaikan disayat-sayat. Namun ditekannya segala perasaan itu. Menurutnya yang dilakukan sekarang, sama sekali belum dapat menebus budi baik sang Guru, yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan tahun.
Namun ucapan Sujiwa yang setulus hati itu bagaikan sebuah mata tombak yang menghujam jantung Kuntini. Sehingga, gadis yang biasanya selalu riang ini, menjadi pucat seketika. Kalau Ki Dawung, Bamaba, dan Sanggaling memuji tindakan Sujiwa yang mereka anggap merupakan sebuah pengorbanan tidak kecil, Kuntini justru menganggap bahwa ucapan kekasihnya merupakan sebuah penghinaan! Dan Kuntini menjadi sangat marah terhadap Sujiwa.
"Sujiwa!" bentak Kuntini yang saking marahnya tidak lagi menyebut Sujiwa dengan panggilan kakang. Dan ia sudah melangkah maju sembarimenudingkan jarinya ke wajah Sujiwa. "Kau kiraaku ini apa! Seenaknya saja kau hendak menyerahkan aku kepada pangeran sombong yang mata keranjang itu! Aku bukan barang yang bisa kau lempar-lemparkan. Enak saja kau bersikap seperti itu. Aku manusia yang mempunyai perasaan sama sepertimu! Kalau kau memang sudah tidak suka kepadaku, katakan saja terus terang! Tidak perlu menggunakan dalih dengan menyatakan kerelaanmu melepasku untuk pangeran bejad itu! Kau benar-benar tak punya harga diri...!"
Menggigil tubuh Sujiwa mendapat kecaman dari orang yang sangat disayanginya itu. Wajahnya semakin pucat. Butiran peluh mulai membasahi keningnya. Kerutan pada wajahnya semakin nyata, betapa pedih hatinya mendapat tuduhan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Kepalanya semakin menunduk dalam-dalam. Kendati ia mendengar betapa Kuntini berjalan meninggalkan ruangan itu disertai isak tangisnya. Hati Sujiwa seperti diremas-remas merasakan kesedihan yang dialami kekasihnya itu.
"Biarkan!" cegah Ki Dawung ketika melihat Sujiwa hendak mengejar Kuntini. "Ia hanya salah paham. Biar aku yang menjelaskannya. Aku tetap akan menolak keinginan Pangeran Sokapanca, apa pun yang bakal terjadi! Selain itu, perguruan ini akan kububarkan. Aku tidak ingin murid-muridku terlibat dalam persoalan ini, yang bisa mendatangkan celaka bagi mereka. Biar aku sendiri yang akan menghadapi Pangeran Sokapanca! Ini sudah menjadi keputusanku, dan tidak bisa dirubah!"
Setelah berkata demikian, Ki Dawung bergerak meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh. Tinggallah Sujiwa, Bamaba, dan Sanggaling yang masih duduk terpaku bagai patung. Sungguh mereka tidak menyangka kalau kedatangan tamu agung barusan akan membawa malapetaka dan kehancuran bagi perguruan mereka.
"Si keparat...!" umpat Bamaba mengepal tinjunya erat-erat dengan sorot mata berapi. Hatinya benar-benar marah kepada Pangeran Sokapanca yang menjadi penyebab malapetaka itu.
"Daripada menunggu datangnya kehancuran, lebih baik aku mengadu nyawa dengan pangeran bangsat itu...!" geram Sanggaling yang bergerak bangkit dan siap untuk melaksanakan ucapannya.
"Tidak! Akulah yang bertanggung jawab atas semua ini! Biar aku saja yang datang menemui pangeran mata keranjang itu!" cegah Sujiwa yang merasa paling bersalah dalam hal itu. Karena menurutnya gara-gara ia menjalin cinta dengan Kuntini, keruwetan ini timbul. Kalau tidak, mungkin akan lain ceritanya. Demikian pikiran yang terlintas dalam benak Sujiwa Dia sudah bangkit ingin segera menemui Pangeran Sokapanca, yang belum meninggalkan desa tempat Perguruan Tapak Jalak berada.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar, yang membuat ketiga orang itu terlonjak saking terkejutnya. Muncullah Ki Dawung dengan sinar mata berkilat penuh kemarahan!
"Guru...!" ketiganya segera menjatuhkan diri berlurut, ketika melihat Ki Dawung. Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah melihat sinar kemarahan di mata orang tua itu.
"Jika kalian bertiga atau salah satu dari kalian hendak bertindak menurutkan kata hati sendiri, silakan langkahi dulu mayatku!" ujar Ki Dawung dengan suara menggelegar, kemudian ketiga muridnya menjadi terkejut dan pucat seketika!
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, Dan Sanggaling sama-sama mengeluarkan suara lirih. Mereka tentu saja tidak berani untuk melanjutkan niat mereka semula, karena Ki Dawung kelihatan tidak main-main. Padahal apa yang dilakukan Ki Dawung demi keselamatan murid-muridnya. Dia tidak ingin ketiga orang murid utamanya itu menjadi korban persoalan pribadinya. Setelah beberapa saat berdiri menantang, tak satu pun dari ketiga murid utamanya yang bangkit, Ki Dawung mendengus. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu.
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling tetap belum bergerak kendati ketiganya tahu bahwa guru mereka sudah tidak lagi berada di ruangan itu. Mereka masih belum mengerti mengapa guru mereka sampai bersikap demikian? Padahal mereka semua siap mempertaruhkan nyawa demi guru dan perguruannya yang mereka cintai. Namun keputusan sudah dibuat. Dan mereka tidak bisa mengubahnya lagi, kecuali kalau ingin berhadapan sebagai musuh dengan guru yang selama ini mendidik mereka.
Setelah lama tertunduk ketiganya pun bangkit. Setelah mereka saling bertukar pandang. Kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu, hendak menyampaikan kepada semua murid Perguruan Tapak Jalak atas keputusan Ki dawung untuk mambubarkan perguruan.
********************
DUA
Waktu yang ditetapkan Pangeran Sokapanca tiba. Ki Dawung sudah duduk menunggu dengan sikap yang tenang. Orang tua ini sudah mengambil keputusan bulat untuk mengorbankan dirinya demi putrì tunggalnya yang tercinta. Saat itu hari masih pagi. Sinar matahari belum merata di permukaan tanah. Siliran angin pun masih terasa sejuk. Suasana masih terasa hening, sampai akhirnya sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda menuju ke Perguruan Tapak Jalak. Dan suara itu sudah sampai ke telinga Ki Dawung, yang memang sudah menunggu sejak tadi.
Suasana perguruan sepi. Tak seorang murid pun yang terlihat. Pintu gerbang perguruan sengaja dibuka lebar-lebar. Kini Ki Dawung berdiri tegak menghadap ke pintu. Lelaki tua yang masih kekar ini sudah mengenakan pakaian ringkas, la memang tudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi
Ketika suara derap kaki kuda terdengar semakin bergemuruh, Ki Dawung mengayun langkahnya menuju pintu gerbang. Tiba di ambang pintu, dia memutar tubuhnya seraya mengedarkan pandangan menatapi seluruh bagian bangunan perguruan. Ki Dawung sadar bahwa mungkin malapetaka bagi dirinya tak bisa dihindarkan lagi. Semua sudah dipikirkannya masak-masak. Namun dia tidak ingin rumah perguruannya ikut hancur bersama dirinya. Maka diputuskan untuk menunggu rombongan Pangeran Sokapanca di luar bangunan.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan Pangeran Sokapanca pun tiba. Pangeran yang masih muda dan tampan itu terlihat mengerutkan kening melihat Ki Dawung telah menunggunya di luar bangunan seorang diri. Tidak terlihat seorang murid pun yang mendampinginya. Pangeran Sokapanca bertanya-tanya dalam hari. Lalu karena merasa tidak sabar, ia langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu tiba di depan Ki Dawung.
"Hm..., tampaknya sikapmu menunjukkan pertanda tidak baiknya jawaban yang bakal kuterima. Betulkan dugaanku, Ki Dawung?" tegur Pangeran Sokapanca sambil menatap penuh selidik wajah Ki Dawung, yang tampak agak pucat itu.
"Maaf, Gusti Pangeran! Memang demikianlah keputusan yang sudah hamba pikirkan masak-masak," jawab Ki Dawung tegas tanpa menghindarkan pandang matanya dari wajah Pangeran Sokapanca, yang terlihat berubah kelam demi mendengar jawabannya.
"Mengapa, Ki Dawung? Katakanlah, apa yang kau inginkan sebagai mas kawin atas pinanganku terhadap putrimu? Aku akan menyediakannya!" ujar Pangeran Sokapanca yang merasa tidak mengerti, mengapa ada orang menolak kesenangan yang ditawarkannya. Padahal tidak sedikit orang tua yang akan merelakan anak gadisnya untuk diambil selir oleh Pangeran Sokapanca. Namun hal itu ternyata tidak berlaku bagi Ki Dawung!
"Hamba tidak mengharapkan apa-apa, Gusti Pangeran. Kecuali melihat putri tunggal hamba hidup bahagia dengan pemuda pilihannya. Harap Gusti Pangeran mengerti dan menerima hal ini dengan lapang dada..."
"Keparat! Jadi kau benar-benar menolak pinanganku, Ki Dawung? Dan itu berarti bahwa kau sudah siap mati sebagai pemberontak! Itukah yang kau inginkan?" bentak Pangeran Sokapanca yang menjadi marah bukan main! Bagaimana mungkin ada orang yang menolak pinangan seorang pangeran seperti dirinya? Hampir dia tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya dari Ki Dawung.
Ki Dawung merasa tidak perlu menjawab. Orang tua ini hanya menatap Pangeran Sokapanca dengan penuh ketenangan. Namun tentu saja seluruh kekuatan tenaga yang dimiliki telah menyebar ke seluruh tubuh. Siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
"Kurang ajar! Tangkap manusia tak tahu di untung ini!" Sikap diam Ki Dawung, semakin membakar kemarahan di dada Pangeran Sokapanca. Langsung saja ia perintahkan sepuluh orang pengawalnya untuk menangkap Ki Dawung.
Serta merta sepuluh orang prajurit pilihan yang rata-rata bertubuh kekar itu, bergerak mengepung Ki Dawung. Namun sebelum mereka sempat mendekati orang tua itu, mendadak terdengar suara teriakan-teriakan gegap gempita. Bersamaan dengan itu tampak berloncatan belasan sosok tubuh dari rimbunan pepohonan di depan bangunan Perguruan Tapak Jalak.
Mereka ternyata murid-murid Ki Dawung yang dipimpin oleh Barnaba dan Sanggaling. Rupanya meskipun telah mendapat pesan dari Ki Dawung, murid-murid Perguruan Tapak Jalak tetap berkeras untuk mempertaruhkan nyawa guna membela perguruan. Mereka memang pergi meninggalkan rumah perguruan, ketika dibubarkan oleh Ki Dawung, dan diperintahkan agar pulang ke kampung halaman masing-masing.
Namun kepergian mereka ternyata bukan untuk meninggalkan perguruan yang tengah terancam petaka. Rasa cinta dan bakti terhadap gurunya, membuat para murid diam-diam bersembunyi untuk kemudian muncul kembali di saat sang Guru tengah menghadapi Pangeran Sokapanca dan pasukannya. Dengan cara begitu Ki Dawung tidak mungkin lagi mencegah keinginan mereka. Dan itu sudah direncanakan oleh Barnaba dan Sanggaling.
"Pangeran keparat! Tidak tahu malu! Jangan kira kau dapat menyentuh rumah perguruan serta Guru kami, sebelum melangkahi mayat kami!" yang mengeluarkan makian ini adalah Barnaba. Dia sudah menerjang Pangeran Sokapanca dengan sebilah golok besar.
"Hmh!" Pangeran Sokapanca mendengus penuh ejekan melihat datangnya sambaran mata golok Barnaba. Rupanya dia memang bukan cuma bisa sombong dengan mengandalkan prajurit-prajuritnya. Sambaran golok Barnaba dielakkan hanya dengan menarik mundur kala depannya. Kemudian terus melompat dan bersalto dengan tendangan kilat mengancam tengkuk lawan. Barnaba sempat terkejut, karena sama sekali tidak menyangka kalau Pangeran Sokapanca dapat bergerak secepat itu.
Wuutt!
Tendangan berbahaya itu lewat di atas kepala Banaba yang sempat membungkuk sambil menekuk kedua lututnya. Namun Pangeran Sokapanca ternyata sudah dapat membaca gerak lawannya. Begitu tendangan pertama lewat, lututnya langsung menekuk. Kemudian kembali menyambar saat Barnaba kembali tegak. Sehingga, tendangan susulan ini menghantam telak dada Barnaba.
Buk!
"Hukhhh...!"
Barnaba terbatuk dan tubuhnya terjengkang ke tanah. Untuk sesaat Barnaba merasa dadanya sesak dan sulit bernapas. Sungguh dirinya tak menyangka kalau pangeran berwajah tampan itu memiliki kemampuan tinggi. Lelehan darah mengalir dari sela- sela bibirnya.
"Hmh! Dengan kepandaian seperti itu kau mau jual lagak di hadapanku? Itu sama artinya dengan cari mati, tahu!" ejek Pangeran Sokapanca yang sudah menyiapkan serangan mautnya untuk meng- akhiri hidup Barnaba.
Barnaba terbelalak ketika melihat jari-jari tangan Pangeran Sokapanca berubah merah seperti besi yang membara. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sebelum serangan maut sampai
"Larilah sebisamu, Kunyuk! Tapi jangan harap dapat lolos dari kematian!" ujar Pangeran Sokapanca seraya melompat mengejar dan langsung menusukkan jari-jari tangannya yang mengeluarkan hawa panas membakar!
Barnaba berusaha mati-matian untuk menyelamatkan diri dari jemari tangan yang mengerikan itu. Untunglah pada saat yang sangat gawat itu, Sanggaling datang membantu. Sehingga, untuk sesaat Barnaba dapat bernapas lega. Kemudian melompat bangkit dan membantu Sanggaling yang kewalahan menghadapi serangan Pangeran Sokapanca, yang ternyata memiliki kepandaian tinggi dan menggiriskan itu.
Sementara itu, murid-murid Ki Dawung yang berjumlah sekitar tiga puluh orang, tengah bertempur sengit melawan sepuluh orang prajurit yang ditambah dua orang perwira. Ki Dawung yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah para muridnya, terpaksa terjun ke arena. Karena ia melihat dua orang perwira yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Sokapanca, ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Sehingga, meskipun murid-muridnya berjumlah lebih banyak, dapat diimbangi dengan adanya dua orang perwira. Sebentar saja, sudah empat orang murid Ki Dawung menggelepar tewas di ujung pedang kedua orang perwira itu.
"Hyaaat...!"
Ki Dawung berteriak nyaring sebagai isyarat penyerangannya. Tubuhnya melayang bagaikan seekor burung elang menyambar mangsa. Dan dengan cepat dilontarkan pukulan jarak jauh, ketika melihat dua orang muridnya tengah terancam ujung pedang kedua orang perwira itu.
Tras! Tras!
"Heh...?!"
Dua orang perwira itu mengeluh tertahan ketika sambaran pedang mereka terpental balik. Dan lengan mereka dirasakan bergetar hingga sebatas siku. Namun keduanya hanya terdorong mundur tiga langkah. Dan sudah siap untuk menghadapi penyerangnya, yang tak lain dari Ki Dawung.
"Mampuslah kau, Pemberontak Hina...!" teriak perwira yang satu sambil menerjang maju dengan sambaran pedangnya yang cepat dan membawa angin menderu. Sasaran serangan pedangnya selalu terarah mulai dari pinggang ke atas.
"Hyaaat...!"
Perwira kedua tidak mau ketinggalkan. Pedang ditangannya berputar bagai baling-baling. Kemudian meluncur ke arah Ki Dawung, mengancam bagian kaki. Melihat gaya penyerangan kedua lawannya, tahulah Ki Dawung bahwa kedua perwira itu biasa bekerja sama dalam menghadapi lawan. Dan harus diakui bahwa ilmu pedang kedua lawannya memang hebat. Membuat dirinya sempat terdesak dalam jurus-jurus awal.
"Hiahhh...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus kedua puluh, Ki Dawung mengeluarkan bentakan nyaring yang menggetarkan jantung. Disusul dengan lompatan panjang ke belakang, menghindari tebasan dua bilah pedang lawan yang mengancam lutut dan dada kirinya. Serangan lawan luput. Dan begitu kedua kakinya menginjak tanah, Ki Dawung langsung menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan dengan menggunakan jurus 'Tapak Dewa Gugurkan Bukit'.
Whuuusss...!
Lontaran pukulan jarak jauh yang menderu tajam membuat kedua orang lawannya terperangah. Namun mereka masih sempat menyelamatkan diri dengan melempar tubuh berpencar. Dan terus membuat gerakan berputar yang kemudian disusul dengan kelebatan pedang dengan gerakan cepat sekali.
Kehebatan dan kecepatan gerak kedua orang perwira ini sempat membuat Ki Dawung kagum. Cepat ditundukkan tubuhnya saat sambaran kearah lehernya datang dari sebelah kiri. Sedangkan babatan dari kanan yang hendak memapas lututnya, dihindarkan dengan mengangkat sebelah kakinya. Gerakan ini langsung disusul dengan tamparan dan tendangan. Tapi, sungguh tak diduganya bahwa kedua pedang itu kembali berputar dengan kecepatan tinggi Hingga....
"Heaaa!"
Buk!
Cras! Srat!
Bersamaan dengan tamparan dan tendangan Ki Dawung yang mengenai sasaran, pedang kedua jaga istana itu pun sempat menyerempet bahu dan pahanya. Membuat ketiganya terpekik, dan sama terhuyung beberapa langkah. Ki Dawung meringis sambil terpincang-pincang. Dari bahu kirinya yang tergores ujung pedang, tampak mengalir darah segar. Demikian juga dari pahanya yang terkena tusukan pedang lawan. Kendati tidak terlalu parah, namun membuat gerakannya terganggu, dan kecepatannya berkurang.
Yang dialami kedua orang lawannya pun tidak berbeda jauh dengan Ki Dawung. Tendangan serta hantaman telapak tangannya, membuat mereka terhuyung-huyung beberapa langkah dengan wajah tampak pucat. Dan bibir keduanya terlihat adanya cairan merah yang merembes turun. Membuktikan bahwa kedudukan mereka seimbang.
Luka-luka yang diderita dan membuat kecepatannya berkurang itu, membuat Ki Dawung berpikir lain. Apalagi ketika dilihatnya betapa Barnaba dan Sanggaling tengah berusaha mati-matian mempertahankan diri dari gempuran Pangeran Sokapanca, hanya keadaan murid-muridnya yang kelihatan dapat menguasai pertarungan. Karena jumlah mereka memang tiga kali lipat dari jumlah prajurit Pangeran Sokapanca.
Sadar bahwa kedudukan di pihaknya sangat tidak menguntungkan. Apalagi jika Barnaba dan Sanggaling roboh di tangan Pangeran Sokapanca yang ternyata sangat tangguh itu. Akhirnya Ki Dawung mengambil keputusan untuk mengajak murid-muridnya menyudahi pertempuran dan pergi menyelamatkan diri. Ki Dawung melesat meninggalkan kedua orang perwira yang menjadi lawan-lawannya. Ia melayang ke arah pertempuran kedua orang murid utamanya yang tidak akan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus.
"Barnaba, Sanggaling! Bawa saudara-saudaramu meninggalkan tempat ini. Aku akan menyusul kalian...!" seru Ki Dawung kepada kedua orang murid utamanya yang sudah mandi keringat dan terlihat sangat lelah itu. Sambil berseru demikian, Ki Dawung melepaskan pukulan 'Tapak Dewa Gugurkan Bukit' dengan mengerahkan tenaganya yang masih tersisa.
Pangeran Sokapanca yang sudah hampir merobohkan kedua orang lawannya, cepat menunda serangan. Kemudian melemparkan tubuh ke samping ketika telinganya menangkap serangkum gelombang angin kuat yang menderu tajam.
Ki Dawung tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Sokapanca untuk membangun serangan balasan. Dirinya terus mencecar dengan pukulan andalan itu. Sehingga, Pangeran Sokapanca terpaksa harus melompat ke sana kemari menghidarkan diri. Dan merelakan kedua orang lawannya yang nyaris tewas, pergi meninggalkan tempat itu.
Namun usaha Ki Dawung tampaknya sia-sia. Karena kedua orang perwira bergerak mencegah kepergian Bamaba dan Sanggaling. Sehingga, mereka hanya saling bertukar lawan. Ki Dawung menghadang, sedangkan Barnaba dan Sanggaling bertempur menghadapi dua orang pengawal pribadi pangeran. Ki Dawung diam-diam mengeluh. Ia sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya. Tapi, nasib murid-muridnyalah yang dicemaskan. Dan kecemasan itu mulai terbukti ketika ia mendengar jerit kematian Barnaba.
Barnaba yang memang sudah habis-habisan sewaktu mempertahankan diri menghadapi gempuran Pangeran Sokapanca, terpaksa harus menerima kematian di tangan salah seorang perwira. Tubuhnya menggelepar mandi darah, yang mengalir deras di tenggorokannya. Sebentar kemudian, Barnaba menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kematian Barnaba membuat Ki Dawung lengah. Sehingga, sebuah tendangan keras lawannya telah menghajar perutnya. Tanpa ampun lagi,tubuh kakek tua itu terbanting ke tanah. Belum lagi ia sempat bangkit tegak, Pangeran Sokapanca sudah menyerbu dengan tusukan jari-jari tangannya yang berwarna merah membara dan menerbitkan hawa panas menyengat!
Crasss!
"Uhhh...!"
Untunglah dalam saat-saat terakhir Ki Dawung masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga, yang terkena sasaran tanah berumput yang langsung terbakar hangus, ketika jari-jari tangan semerah bara itu terbenam hingga sebatas pergelangan. ki Dawung sampai menggeleng-gelengkan kepala membayangkan seandainya jari-jari tangan itu menembus tubuhnya.
"Hm... kali ini kau tak akan lolos dari kematian, Ki Dawung...!" ujar Pangeran Sokapanca yang langsung melesat diiringi tusukan jari-jari tangannya.
Mati-matian Ki Dawung menghindari incaran tangan maut itu. la terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan nyawanya. Namun ke mana pun ia menghindar, jari-jari tangan membara itu selalu mengikutinya. Tak ubahnya bayangan dirinya sendiri. Akhirnya Ki Dawung hanya bisa memejamkan mata saat jari-jari tangan itu kembali meluncur datang. Napasnya yang sudah hampir putus, membuatnya tak sempat lagi untuk menghindar, Ki Dawung pun pasrah menunggu ajal.
Syuttt!
Disertai suara berkesiutan, jari-jari tangan semerah bara itu meluncur. Dan....
Tasss!
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran Sokapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap terhujam ke tubuh Ki Dawung, mendadak sebuah benda hitam meluncur dan langsung menghantam tepat pergelangan tangannya. Lengannya terasa nyeri dan kuda-kudanya tergempur mundur.
Tasss!
"Aaakh!"
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran Sokapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap terhujam ke tubuh Ki Dawung, mendadak sebuah benda hitam meluncur dan langsung menghantam tepat pergelangan tangan. Lengannya terpental dan kuda-kudanya tergempur mundur. Terkejut bukan main hari Pangeran Sokapanca merasakan tangannya lumpuh untuk beberapa saat.
Sedangkan di depan Ki Dawung tahu-tahu telah berdiri dengan gagahnya seorang pemuda tampan berjubah putih, tahulah Pangeran Sokapanca bahwa pemuda itulah yang telah menggagalkan serangannya dengan melemparkan sebuah batu kerikil.
Kegagalan serangan dan kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu sebetulnya tidak terlalu mengejutkan Pangeran Sokapanca, kalau saja ia tidak mendengar jeritan dua orang pengawal pribadinya. Jeritan itu membuatnya menoleh. Kaget bukan main hatinya ketika melihat dua orang pengawal pribadinya yang merupakan jagoan istana itu, dibuat jatuh bangun hanya oleh seorang gadis muda berpakaian serba hijau. Melihat kemunculan orang sakti yang masih muda itu, tahulah Pangeran Sokapanca kalau kedudukannya tidak menguntungkan.
"Hm..., untuk kali ini biarlah aku mengampuni nyawa kalian! Tapi, ingatlah baik-baik! Bahwa mulai hari ini kalian telah menjadi buronan pemerintah!" ujar Pangeran Sokapanca setelah memerintahkan pasukannya untuk mundur. Dari ucapan itu jelas menunjukkan betapa dalam kedudukannya lemah, dan kehilangan empat orang prajurit, Pangeran Sokapanca tetap tidak mau mengalah. Dia memilih kata-kata 'mengampuni nyawa kalian'. Padahal kalau pertempuran dilanjutkan, jelas pihaknyalah yang kalah.
Pemuda tampan berjubah putih yang menyelamatkan Ki Dawung dari kematian, berdiri menatap kepergian Pangeran Sokapanca dan pasukannya. Kemudian membalikkan tubuh dan membantu Ki Dawung bangkit.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda..," ucap Ki Dawung yang tidak menolak ketika tubuhnya dipapah pemuda itu.
"Luka-lukamu harus segera mendapat perawatan, Ki," ujar pemuda tampan berjubah putih itu, saat melihat wajah Ki Dawung yang pucat. Ki Dawung hanya mengangguk tanpa kata.
Gadis muda berparas jelita dan berpakaian serba hijau yang juga ikut berjasa mengusir pasukan Pangeran Sokapanca, menggabungkan diri dengan Ki Dawung dan pemuda itu. Mereka bergerak memasuki bangunan perguruan, diikuti murid-murid Ki Dawung.
********************
"Hhh... aku tak menyangka kalau akhirnya akan terjadi juga apa yang kucemaskan...," desah Ki Dawung sambil melangkah menuju sebuah kursi. Dihempaskan tubuhnya di atas kursi disertai helaan napas panjang, "Sebenarnya aku sudah menyuruh semua muridku pergi agar tidak sampai terlibat dalam urusan ini. Tapi..., rasa kesetiaan dan bakti yang tinggi, membuat mereka merencanakan untuk membantu tanpa aku ketahui," lanjutnya dengan suara perlahan, seperti tengah berbicara kepada dirinya sendiri.
"Persoalan apa yang membuat perguruan ini sampai bentrok dengan orang-orang berseragam prajurit itu, Ki?"
Pemuda tampan berjubah putih yang menyelamatkan Ki Dawung dari kematian, bertanya hati-hati. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Panji atau Pendekar Naga Putih. Ia duduk di kursi yang berada di sebelah kanan Ki Dawung. Sedang di sebelah kirinya, tampak seorang gadis jelita berpakaian baju hijau, yang sudah pasti Kenanga adanya. Mereka berdua telah memperkenalkan diri kepada Ki Dawung. Sedang nama Ketua Perguruan Tapak Jalak mereka ketahui dari Sanggaling, salah seorang kepercayaan Ki Dawung.
"Mereka memang prajurit istana. Tepatnya pegawai-pegawai Pangeran Sokapanca. Si keparat itu lebih pantas disebut iblis daripada seorang pangeran yang terhormat!" jawaban itu sekaligus merupakan tumpahan rasa kekesalan dan benci yang kini ada dalam hati Ki Dawung. Sepasang matanya tampak berkilat penuh dendam saat menyebut nama Pangeran Sokapanca. Dengan perlahan namun jelas Ki Dawung menceritakan duduk persoalannya.
"Benar-benar tidak tahu diri pangeran itu!" Kenanga mengumpat penuh penasaran, setelah mendengar penjelasan Ki Dawung, "Mengandalkan kekuasaan untuk memperoleh segala kehendaknya, jelas menunjukkan bahwa pangeran yang bernama Sokapanca itu bukanlah orang baik-baik! Dan tidak mustahil kalau perbuatan ini bukan yang pertama kalinya! Benar-benar membuat hati penasaran!"
Bukan cuma Kenanga yang merasa tidak senang terhadap Pangeran Sokapanca. Panji pun merasakan hal serupa. Bedanya ia tidak langsung mengutarakan rasa ketidak senangannya itu. Malah tampak termenung, seperti memikirkan sesuatu.
"Jika demikian, perguruan ini tengah menghadapi persoalan yang sangat gawat! Dan bukan tak mungkin Pangeran Sokapanca mengadukannya ke istana. Bahkan menuduh perguruan ini sebagai sarang pemberontak. Ini benar-benar berbahaya!" ujar Panji membuka suara. Rupanya ia termenung karena memikirkan buntut dari kejadian hari ini.
"Ya, hal itu sudah ada dalam pikiranku. Tepatnya, mulai hari ini orang-orang Perguruan Tapak Jalak telah menjadi buronan pemerintah," tegas Ki Dawung dengan nada penuh rasa penasaran. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Ki Dawung bahwa suatu saat dirinya akan menjadi orang buronan! Jangankan berpikir ke arah itu, sedang dalam tidur pun ia tidak pernah memimpikannya.
"Jika demikian, kita harus secepatnya menyingkir dari tempat ini. Aku khawatir kalau Pangeran Sokapanca akan datang lagi dengan membawa pasukan yang lebih besar jumlahnya."
"Kau benar, Panji Bangunan perguruan ini memang harus dikosongkan secepatnya. Haiiih... sungguh tak kusangka kalau jerih payahku selama bertahun-tahun akan hancur dalam waktu singkat...," sesal Ki Dawung dengan pandangan menerawang jauh. Pikirannya terbayang kehidupan selanjutnya. Kehidupan seorang buronan pemerintah kerajaan.
"Nasib memang sulit untuk diramalkan, Ki Dawung. Hari ini kita mendapat musibah, tapi siapa tahu hari esok kita mendapat anugerah. Semua itu rahasia Tuhan yang tidak pernah bisa diduga oleh siapa pun," ujar Panji mengingatkan Ki Dawung.
Ki Dawung menganggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah pemuda penolongnya itu lekat-lekat. "Kau baik sekali, Panji," ujar Ki Dawung terharu atas perhatian penolongnya yang begitu besar.
Panji tersenyum tulus. Kemudian mengingatkan Ki Dawung untuk berkemas. Ki Dawung menganggukkan kepala. Segera saja ia perintahkan sebagian muridnya untuk mengubur mayat-mayat itu. Sedang sebagian lagi diperintahkan untuk mengemasi barang-barang sebagai bekal perjalanan mereka. Setelah segalanya siap, rombongan Ki Dawung bergerak meninggalkan tempat dengan menggunakan empat pedati dan tiga ekor kuda.
Panji berdiri di depan pintu gerbang perguruan memandang kepergian rombongan Ki Dawung. Ia tidak ikut bersama rombongan, karena hendak menyelidiki Pangeran Sokapanca, yang menjadi biang keladi dari semua itu. Untuk keselamatan rombongan dipercayakan kepada Kenanga. Karena Ki Dawung belum pulih kesehatannya. Sehingga, mereka berdua berpisah untuk melakukan tugas masing- masing.
********************
TIGA
"Hei, minggir... minggir...!" Penunggang kuda yang dari raut wajahnya terlihat sedang mengalami ketakutan itu, berteriak memperingatkan orang yang berada di depannya. Dan ia sama sekali tidak berusaha mengurangi ke cepatan lari binatang tunggangannya.
Namun orang yang berada di tengah jalan terus saja mengayun langkah seakan tidak mendengar suara bentakan itu. Tentu saja sikap yang dianggap menantang itu membangkitkan kemarahan si penunggang kuda.
"Keparat tua, mampuslah...!" penunggang kuda yang masih muda itu membentak seraya menggebah lari kudanya. Pemuda itu seperti menemukan tempat untuk menumpahkan kegusaran hatinya. Tidak peduli meskipun orang itu bakal tewas atau setidaknya terluka parah terlanggar binatang tunggangannya.
Tapi, apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Sebelum orang di depan itu terlanggar, kuda itu meringkik keras dan terlempar ke tepi jalan beserta penunggangnya. Sedangkan sosok itu terus saja mengayunkan langkahnya. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Penunggang kuda yang ternyata Pangeran Sokapanca itu tentu saja merasa terkejut bukan main. Untunglah ia dapat bertindak cepat dengan melempar tubuhnya ke udara, saat binatang tunggangannya terbanting. Kalau saja dirinya tidak memiliki kelalaian, niscaya tulang-tulang tubuhnya patah tertimpa badan kuda.
"Bangsat! Berani kau menjual lagak di hadapan Pangeran Sokapanca...!" bentak pangeran muda itu yang kemarahannya telah memuncak ke ubun-ubun. Tubuhnya segera melesat ke depan dengan kedua tangan terkepal, siap untuk melumat tubuh orang itu.
Mendadak, Pangeran Sokapanca yang baru saja menjejakkan kakinya ke tanah merasakan adanya gelombang angin kuat yang menerpa tubuhnya. Seketika tubuh pangeran muda itu terhuyung mundur. Sedangkan orang yang sedang berjalan sudah membalikkan tubuh dengan kecepatan luar biasa. Ternyata seorang perempuan tua renta berwajah buruk. Sorot matanya yang tajam mencorong menyeramkan. Bagai mata pedang, seolah meng- hujam ke mata sang Pangeran.
"Tidak salahkah pendengaranku? Benarkah kau pangeran yang bernama Sokapanca?" nenek buruk rupa itu bertanya dengan suaranya yang mirip bunyi kaleng rombeng. Parau, keras, dan tak sedap didengar.
Pangeran Sokapanca menelengkan kepala seolah ingin menghindari suara yang menyakitkan telinganya itu. Sementara itu, para pengawal Pangeran Sokapanca sudah berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Tadi mereka sempat cemas ketika melihat kuda junjungannya terbanting tanpa sebab. Kecemasan itu lenyap begitu menyaksikan tubuh Pangeran Sokapanca melenting ke udara dan dapat meluncur turun dengan selamat. Kini mereka berlarian mendatangi junjungannya yang tengah berhadapan dengan seorang nenek.
Pangeran Sokapanca sempat merasa kaget me- lihat wajah buruk manusia di hadapannya. Terlebih ketika beradu pandang dengan sepasang mata yang seperti menyimpan kemarahan terhadapnya. Dada sang Pangeran berdebar. Ada rasa nyeri terbersit di hatinya melihat tatapan yang demikian menusuk dari mata nenek buruk rupa itu.
"Siapakah kau, Nenek Buruk? Mengapa sengaja menghalangi jalanku?" tanya Pangeran Sokapanca tetap tidak meninggalkan keangkuhannya. Ia berusaha menutupi rasa ngerinya dengan keyakinan bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang nenek berwajah buruk, tak ubahnya gelandangan.
Nenek buruk rupa itu tampak gusar. Kilatan pada sepasang matanya semakin tajam. Terdengar suara bentakannya yang menyakitkan telinga. "Jawab pertanyaanku dulu, Kunyuk!" Sambil membentak demikian, nenek buruk itu mengayun tongkat berwarna putih di tangannya. Terdengar suara menderu saat sambaran tongkat itu meluncur ke arah kepala Pangeran Sokapanca.
Whuuuttt...!
"Aiiih...?!"
Meskipun dapat menghindari hantaman tongkat itu, tak urung tubuh Pangeran Sokapanca terhuyung beberapa langkah. Padahal ia cuma terkena terpaan angin pukulannya. Tentu saja hati pangeran muda ini tersentak kaget! Kenyataannya itu membuatnya sadar bahwa perempuan tua yang tengah di hadapinya ternyata bukan orang sembarangan.
"Bagus, rupanya kau memiliki kepandaian...," ujar nenek buruk itu dengan mulut yang tak henti-hentinya mengunyah. Dari warna bibirnya yang merah dan basah, dapat diketahui kalau mulut nenek itu sibuk mengunyah sirih. "Kutanya sekali lagi, benarkah kau Pangeran Sokapanca?" lanjutnya masih meminta kepastian.
Melihat sikap nenek buruk itu penuh ancaman, dua orang perwira yang merupakan jagoan istana, melangkah maju menghampirinya.
"Nenek, junjungan kami memang bernama Pangeran Sokapanca. Nah, sekarang menyingkirlah dan biarkan kami lewat!" ujar salah seorang perwira dengan suara sedikit hormat. Karena ia sudah menyaksikan betapa hebatnya hantaman tongkat yang barusan dilakukan nenek buruk itu.
"Hih hih hih...! Aku tak menghalangi jalan kalian. Kalau mau pergi, pergilah, aku tidak akan mengganggu...!" ujar nenek buruk itu memperdengarkan suara tawa yang mendirikan bulu roma.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Nek...,” tukas perwira itu merasa lega. Karena diam-diam hatinya merasa bergidik terhadap nenek buruk itu. Terlebih mendengar suara tawanya yang mirip kuntilanak. Kalau saja bertemu di malam hari, sudah pasti membuatnya lari tunggang langgang.
"Mari, Gusti Pangeran...!" perwira kedua segera menyerahkan kuda tunggangannya kepada Pangeran Sokapanca. Karena kuda sang Pangeran patah tulang kakinya.
"Tunggu...!"
Saat kedua orang perwira itu mengapit junjungannya dan hendak melanjutkan perjalanan, terdengar nenek buruk itu berseru mencegah.
"Ada apa lagi, Nek?" tanya perwira berkumis lebat. Jago istana ini mengerutkan kening dengar hati curiga.
"Dengar, Perwira Berotak Udang! Aku memperbolehkan kalian meninggalkan tempat ini. Tapi tidak dengan pangeran itu! Aku punya urusan dengannya!" bentak nenek buruk itu sembari mengangkat tongkatnya yang berupa tulang kaki manusia. Tongkat itu ditudingkan ke wajah Pangeran Sokapanca.
"Nenek keparat! Rupanya kau ingin cepat-cepat masuk lubang kubur!" Pangeran Sokapanca yang selamanya dihormati orang itu, tentu saja tersinggung wajahnya dituding-tuding dengan tongkat. Rahangnya mengembung dengan wajah merah padam. Tinjunya terkepal erat, siap menghajar nenek buruk itu.
Dua orang perwira yang tugasnya menjaga keselamatan Pangeran Sokapanca, terlihat gusar. Mereka bergerak maju mendahului junjungannya. Dan menghadapi nenek buruk itu dengan wajah garang.
"Tua bangka, kau jangan main-main dengan kami! Kalau tadi kami mengalah, itu karena kasihan melihat dirimu yang sudah tua dan bau tanah! Padahal sikap dan ucapanmu sudah cukup untuk mengikatkan tali gantungan di lehermu! Sebaiknya tinggalkan tempat ini sebelum kami hilang kesabaran!" ujar perwira berkumis lebat dengan sikap tegas.
Ucapan perwira berkumis lebat itu mendapat jawaban yang mengejutkan. Karena begitu ucapannya selesai, telinganya menangkap suara angin menderu menuju kepalanya. Dan tahu-tahu ujung tongkat putih nenek buruk itu sudah tinggal satu jengkal lagi di depan wajahnya. Cepat ia menarik mundur tubuhnya untuk menghindar. Namun ujung tongkat itu seperti bertambah panjang dan terus mengejarnya. Sehingga....
Bletakkk!
"Aaakh?!" Perwira berkumis lebat itu memekik kesakitan. Tongkat nenek buruk itu tahu-tahu telah menghajar kepalanya. Kendati tidak terlalu keras, namun di kepalanya yang terpukul tumbuh telur ayam. Dan rasanya sakit bukan main.
"Nenek gila, rupanya kau sengaja cari perkara!" Perwira kedua membentak marah. Tangannya, langsung mencabut pedang setelah memerintahkan para prajurit untuk mengepung nenek buruk rupa itu. Kemudian menerjang maju dengan kelebatan pedangnya yang berkesiutan.
Nenek buruk rupa itu hanya memperdengarkan kekehnya yang seperti kaleng rombeng. Dan sekali tongkat di tangannya bergerak, terdengar jerit kematian yang disusul terpentalnya dua orang prajurit dengan kepala remuk! Tongkat itu terus meluncur memakan satu korban lagi. Tentu saja keganasan nenek buruk rupa itu membuat lawan-lawannya terkejut, termasuk Pangeran Sokapanca.
"Gila! Tidak kusangka kalau nenek yang wajahnya seperti setan itu ternyata memiliki kepandaian yang menggiriskan! Entah apa yang membuat ia kelihatan begitu membenciku...?" gumam Pangeran Sokapanca yang diam-diam merasa gentar terhadap nenek buruk rupa itu. Namun rasa penasaran dalam hatinya jauh lebih besar. Dan ia merasa kalau lawannya kali ini merupakan ujian yang sangat baik bagi keampuhan ilmu 'Tapak Neraka' yang dimilikinya. Maka...
"Hyaaattt...!"
Dengan menggunakan ilmu andalannya, Pangeran Sokapanca meluncur ke tengah arena. Gelombang angin panas terdengar menderu menyertai lontaran pukulannya. Nenek buruk rupa itu sempat kaget ketika merasakan adanya sambaran angin panas yang sangat kuat. Namun ia sama sekali tidak berusaha menghindari serangan Pangeran Sokapanca. Malah mengayunkan tongkat menyambut datangnya serangan.
Plak!
Benturan keras telapak tangan dengan tongkat itu menimbulkan suara memekakkan telinga. Tubuh nenek berpakaian hitam itu terjajar mundur dua langkah. Sedangkan Pangeran Sokapanca lebih parah. Tubuhnya terlempar balik dan jatuh bergulingan di tanah berdebu.
Pangeran Sokapanca berusaha bangkit, meski dadanya dirasakan sakit seperti tertusuk ratusan jarum halus. Benturan tadi telah mengakibatkan luka di sebelah dalam tubuhnya. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam nenek buruk rupa itu juga berhawa panas, dan jauh lebih kuat dari tenaganya. Kenyataan pahit ini membuat hati Pangeran Sokapanca semakin bertambah ngeri. Maka, tanpa mempedulikan para pengawalnya yang masih bertempur dengan nenek buruk rupa itu. Pangeran Sokapanca segera melompat ke punggung kuda yang berada di dekatnya dan terus menggebah.
"Kurang ajar, mau lari ke mana kau, Pangeran Sundal!" bentak nenek berwajah buruk itu yang kaget melihat Pangeran Sokapanca melarikan diri. Tongkat di tangannya diputar bagaikan kitiran, membuat para pengeroyoknya terpelanting dan berpentalan. Ketika dua orang perwira mencoba untuk mencegahnya, langsung saja tongkatnya berbicara.
Prak! Krakh!
Dua kali tongkat nenek berwajah buruk itu berkelebat, kedua orang perwira pun roboh dengan kepala pecah! Dapat dibayangkan, betapa hebatnya kepandaian nenek buruk rupa ini. Padahal kedua orang perwira merupakan jagoan-jagoan istana. Tanpa mempedulikan korban-korban yang bergelimpangan nenek buruk rupa ini melesat mengejar Pangeran Sokapanca. Gerakannya pun cepat bukan main. Sebentar saja bayangannya sudah lenyap di kejauhan.
EMPAT
Pangeran Sokapanca terus melarikan diri seperti setan. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, khawatir kalau-kalau nenek buruk rupa itu yang membuat hatinya ketakutan melakukan pengejaran. Meskipun belum tahu apa kesalahannya, pangeran sadar kalau nenek itu menginginkan kematiannya.
"Hih hih hih...! Mau lari ke mana kau, Pangeran Sundal? Sampai ke ujung dunia pun aku akan tetap mengejarmu...!"
Deg!
Bukan main kagetnya hati Pangeran Sokapanca ketika mendengar suara yang ditakutinya itu. Hampir saja tubuhnya terpelanting dari punggung kuda. Meskipun suara itu belum kelihatan wujudnya, namun Pangeran Sokapanca merasa bulu tengkuknya mengkirik. Rasa takutnya kian hebat. Saking kalapnya, ia mencambuk binatang tunggangannya berkali-kali dengan sekuat tenaga. Maksudnya tentu saja menginginkan agar kudanya berlari lebih cepat Tapi, yang terjadi justru di luar dugaan.
"Hieeehhh...!"
Karena cambukan Pangeran Sokapanca tanpa sadar telah menggunakan tenaga dalam, kuda berbulu coklat itu meringkik kesakitan. Dan terguling ke tanah, tak sanggup menahan lecutan cambuk yang terlalu kuat. Pangeran Sokapanca terpekik kaget dengan tubuh terlempar ke depan dengan kudanya. Karena kejadian itu begitu tiba-tiba datangnya, dan dia sendiri sedang dalam keadaan ketakutan, membuatnya gugup dan tak sempat menyelamatkan diri. Tubuhnya terbanting keras ke tanah.
Untung saja tubuh Pangeran Sokapanca telah terlatih dengan baik. Bantingan keras itu tidak membuatnya menderita luka berat, kecuali rasa sakit dan lecet-lecet di kulit. Sedang pada bagian bahu dan lengan, pakaiannya tempak terkoyak. Dan ada noda darah dari lecet-lecet yang dideritanya. Pangeran Sokapanca meringis sambil berusaha bangkit berdiri, la mengutuk dan menyumpah- nyumpah.
"Nenek setan, Bangsat keparat! Tua bangka bau tanah! Kelak kau harus membayar mahal akibat perbuatanmu ini!" maki Pangeran Sokapanca penuh dendam kesumat.
"Hih hih hih...! Rasakan olehmu, Pangeran Sialan! Itu baru permulaan. Aku akan terus mempermainkanmu sampai puas! Setelah itu, jantungmu akan kucabut untuk santapan anjing buduk! Rohmu sendiri akan dipanggang di api neraka! Hih hih hih...!"
"Iblisss...!" desis Pangeran Sokapanca antara marah dan ngeri. Kepalanya berputar dengan mata jelalatan mencari-cari nenek buruk rupa itu. Namun sia-sia! Padahal suara itu dirasakannya sangat dekat ditelinganya.
Nenek buruk rupa itu sengaja menyiksa perasaan Pangeran Sokapanca, seperti apa yang barusan diucapkannya. Pangeran Sokapanca terus mencari-cari. Ketika sosok nenek buruk rupa itu tidak juga dapat dite mukan, ia menjadi jengkel. Saking ngeri dan takutnya, Pangeran Sokapanca menjadi nekat!
"Nenek biang setan jelek, tunjukkan rupa burukmu yang bau tanah itu! Ayo, hadapi aku terang-terangan! Akan kuhajar kau sampai terberak mencret!" teriak Pangeran Sokapanca menantang dengan suara menggelegar, la tidak peduli kendati untuk itu bagian dalam dadanya terasa sakti seperti ditusuki ujung-ujung jarum. Luka dalamnya kembali kambuh. Karena untuk berteriak la harus mengerahkan tenaga dalamnya. Pangeran Sokapanca menunggu beberapa saat Sepasang matanya berputar liar memperhatikan ke sekeliling. Harinya tegang bukan main menantikan kemunculan nenek buruk rupa itu. Tiba-tiba....
"Hih hih hih!"
Karena hatinya telah dilanda ketegangan, suara tawa mengikik yang begitu tiba-tiba dan terdengar dekat di belakang tubuhnya, membuat Pangeran Sokapanca terlonjak kaget. Wajah pangeran muda itu menjadi pucat, untuk kemudian berubah merah. Ketika ia berbalik, sosok nenek buruk itu tidak ditemuinya. Kecuali sambaran angin yang sempat membuat pakaiannya berkibar. Tahulah ia kalau nenek itu telah lenyap mendahului kecepatan matanya.
"Pengecut kau, Nenek Gila! Rupanya kau takut menghadapku! Hua ha ha!" Pangeran Sokapanca semakin gusar dan marah bercampur kecut. Permainan nenek buruk itu membuat jiwanya agak terguncang. Ia berteriak-teriak menncaci maki persis orang hilang ingatan. Tubuhnya mencak-mencak sambil memperdengarkan tawa bergelak.
"Hei!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja nenek buruk rupa itu muncul di hadapan Pangeran Sokapanca. Bentakannya yang keras menggelegar membuat pangeran muda itu terjengkang ke belakang! Wajah Pangeran Sokapanca seketika berubah pucat pasi dengan sekujur tubuh bergemetar. Kalau saja pangeran ini tidak memiliki kepandaian, Pastilah ia akan tewas dengan dada pecah!
"Apa katamu, Pangeran Sundal? Aku takut kepadamu? Hih hih hih! Jangankan dirimu yang tak becus apa-apa. Biar gurumu, si Tapak Neraka sekalipun, akan kupuntir batang lehernya jika perlu! Nah, sekarang bangkitlah! Bukankah kau menantangku?" ujar nenek buruk rupa itu, berdiri tegak di depan Pangeran Sokapanca dengan sikap garang dan pandangan mata tajam menusuk Pangeran Sokapanca pun berani menentang pandangan nenek buruk rupa itu. Sehingga matanya dirasakan perih dan panas. Kendati demikian, tubuhnya segera melompat bangkit, siap menghadapi nenek buruk rupa itu mati-matian!
"Hih hih hih...! Bagus... bagus...! Tak kusangka nyalimu benar-benar besar, Pangeran Sialan! Apakah kau sudah siap?" ujar nenek buruk rupa itu yang terus mengunyah sirihnya.
"Aku siap!" sahut Pangeran Sokapanca yang telah memasang kuda-kuda. Baru saja ucapan keluar, tubuh nenek buruk rupa itu sudah menyerang disertai suara angin menderu.
Bweeettt!
"Heh...?!" Pangeran Sokapanca terpekik ketika tahu-tahu ujung tongkat nenek itu sudah tinggal satu jengkal dari batok kepalanya. Dengan cepat ia menekuk kedua lutut merendahkan tubuhnya. Terus dilanjutkan dengan gerakan berputar disertai kibasan tangan kirinya mengancam lambung lawan. Tapi...
Plak!
"Aaakh...!"
Dengan kecepatan yang sukar dilihat, nenek buruk rupa itu mengayunkan lengan kirinya memapaki kibasan tangan lawan. Akibatnya, Pangeran Sokapanca menjerit kesakitan. Lengannya bagaikan berbenturan dengan batang besi panas, membuatnya terlempar ke samping.
“Tamat riwayatmu...!" Tanpa memberi kesempatan lagi, nenek buruk rupa itu melompat disertai ayunan tongkatnya dari atas ke bawah. Siap meremukkan batok kepala.
Pangeran Sokapanca yang masih tengah merasakan nyeri pada bagian dalam dada dan sakit di lengannya yang melepuh, tidak berdaya lagi untuk mengelak. Dia hanya bisa memandang dengan mata terbeliak saat tongkat tulang kaki manusia itu meluncur turun disertai suara menderu. Namun tongkat itu mendadak terhenti saat hampir mengenai batok kepala Pangeran Sokapanca. Dan nenek buruk rupa itu tertawa mengikik. Ternyata la hanya bermaksud menakut-nakuti pangeran yang dibencinya itu.
Pangeran Sokapanca hampir tidak percaya ketika melihat lawan tidak meneruskan hantaman tongkatnya. Ia menelan air liur yang terasa kering. Wajahnya pucat dan dibanjiri peluh. Kematian ternyata belum sampai waktunya. Kendati merasa heran dan agak sedikit lega, pangeran ini belum herani bergerak, padahal si nenek buruk rupa itu lelah menarik pulang tongkatnya.
"Aku tak akan membunuhmu sedemikian enak, Pangeran Sialan! Kau harus merasakan penderitaan yang panjang dan menyakitkansampai akhirnyakematian datang menjemputmu. Dan sebagai permulaan, kakimu akan kubuat cacad!" nenek berwajah menyeramkan itu menghentikan ucapannya dan mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna hitam pekat.
"Pisau ini mengandung racun jahat yang tak ada obatnya. Luka goresannya akan membusuk sampai akhirnya hancur sedikit demi sedikit." Selesai berkata demikian, pisau di tangannya terulur ke kaki kanan Pangeran Sokapanca. Nenek ini sengaja melambatkan gerakannya sambil terkekeh menatap wajah sang Pangeran yang tampak pucat dan basah oleh keringat.
"Apa... apa sebenarnya yang membuatmu ingin membunuhku?" dengan susah payah karena kerongkongannya terasa kering, akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut Pangeran Sokapanca.
Nenek berwajah keriput dan menyeramkan itu tertawa mengikik Puas harinya melihat berapa wajah orang yang sangat dibencinya menggambarkan perasaan ngeri yang sangat hebat! Memang itu yang diharapkannya. Mendadak suara tawa si Nenek terhenti. Wajah yang semula penuh rasa puas, tampak berkerut. Kepalanya ditelengkan seperti hendak mempertajam pendengarannya.
Saat Pangeran Sokapanca keheranan melihat perubahan sikap yang mendadak dari nenek berwajah buruk, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggelegar laksana guntur. Disusul kemudian dengan gelombang angin keras menerbangkan dedaunan kering.
"Aku mendengar kau menyebut-nyebut tentang pangeran, benarkah itu, Nenek Muka Setan...?"
Suara besar dan berat itu terdengar seiring dengan tiupan gelombang angin keras. Disusul ke- mudian dengan berkelebatnya sesosok bayangan dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri sesosok tubuh tanpa baju.
"Gada Penghancur Tulang...?!" desis nenek buruk yang ternyata berjuluk Nenek Muka Setan mengerutkan kening.
Pangeran Sokapanca memandang sosok bertelanjang dada itu dengan penuh selidik. Sekarang hatinya benar-benar ciut. Karena kedua julukan itu pernah didengarnya. Bukan cuma julukannya saja. Bahkan sepak terjang mereka yang ganas dan tak kenal ampun, telah sampai pula ke telinganya.
Baru menghadapi Nenek Muka Setan saja ia sudah dipermainkan habis-habisan. Dan sekarang masih ditambah dengan kedatangan Gada Penghancur Tulang, yang membuatnya mengeluh putus asa. Karena Gada Penghancur Tulang sepertinya juga tengah memburu dirinya. Padahal baru kali ini ia berjumpa dengan kedua tokoh golongan hitam itu. Sialnya lagi dia tak tahu apa kesalahannya terhadap kedua tokoh itu.
Sejak tiba di tempat itu Gada Penghancur Tulang terus menatap wajah Pangeran Sokapanca dengan penuh selidik. Tampaknya ia ingin memastikan apakah wajah pemuda itu pantas sebagai seorang pangeran.
"Hm.... Gada Pengancur Tulang! Di antara kita tak pernah ada perselisihan. Nah, sekarang kuminta kau tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urusanku!"
Nenek Muka Setan yang semenjak kemunculan tokoh bertubuh kekar tanpa baju itu memang sudah memasang wajah angker, kini berkata dengan sorot mata mengancam. Rasa tak senangnya semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan sikap Gada Peng- hancur Tulang, yang sejak datang terus saja menatapi wajah Pangeran Sokapanca.
Gada Penghancur Tulang sama sekali tidak menggubris pertanyaan Nenek Muka Setan. "Hei, Anak Muda. Benarkah kau seorang pangeran...?" tanya Gada Penghancur Tulang yang tampak penasaran.
Pangeran Sokapanca yang merasa kematiannya sudah diambang pintu, balas menatap wajah Gada Penghancur Tulang, la sudah benar-benar putus asa dan hanya bisa pasrah dengan apa yang bakal menimpa dirinya.
"Orang tua, kalau kedatanganmu juga dengan maksud untuk membunuhku, lakukanlah! Karena aku memang seorang pangeran. Namaku Sokapanca!" ujar Pangeran Sokapanca lantang. Dirinya sudah tidak takut lagi menghadapi kematian, karena sadar bahwa tidak mungkin dapat melawan kedua orang tokoh sesat itu.
"Hua ha ha...! Jadi benar kau seorang pangeran? Kalau begitu, aku benar-benar beruntung hari ini," ujar Gada Penghancur Tulang yang tampak sangat gembira sekali ketika mendengar jawaban Pangeran Sokapanca. Sikap Gada Penghancur Tulang tentu saja mengherankan hati Pangeran Sokapanca.
"Nah, Gusti Pangeran. Kulihat kau tengah mengalami kesulitan besar. Katakanlah apa yang bisa kulakukan untukmu?" Gada Penghancur Tulang melanjutkan kata-katanya yang membuat Pangeran Sokapanca semakin bertambah keheranannya.
"Apa maksudmu, Orang Tua...?" karena belum mengerti ke mana arah pembicaraan Gada Penghancur Tulang, Pangeran Sokapanca bertanya ingin tahu. Namun, sebelum Pangeran Sokapanca menerima jawaban dari Gada Penghancur Tulang, terdengar suara Nenek Muka Setan membentak marah.
"Keparat kau, Gada Panghancur Tulang! Rupanya kau hendak menggunakan kesempatan ini untuk mencari jasa! Dasar penjilat busuk!" sambil melontarkan kata-kata makian, Nenek Muka Setan mengayunkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi.
Whuuuttt...!
Tongkat tulang kering kaki manusia itu meluncur pesat mengancam batok kepala Gada Penghancur Tulang dari samping. Tampaknya Nenek Muka Setan hendak meremukkan kepala botak itu dengan sekali pukul. Karena dari sambaran angin pukulannya, jelas menandakan kalau Nenek Muka Setan telah mengerahkan tenaga dalam yang kuat.
Gada Penghancur Tulang tidak begitu mudah dirobohkan. Hanya dengan menarik tubuhnya ke belakang, hantaman tongkat itu pun luput. Bahkan sempat pula melepaskan tendangan lurus ke perut nenek Muka Setan. Nenek Muka Setan tidak berusaha mengelak, sepintas saja ia tahu kalau tendangan itu merupakan serangan tipuan. Dan penglihatannya ternyata benar. Karena Gada Penghancur Tulang telah menarik tendangannya, mengganti dengan hantaman senjata yang selalu tergenggam di tangan kanannya. Senjata itu berupa sebuah gada yang terbuat dari besi putih dan dilapisi emas pada bagian luarnya.
Wwettt..!
Gada yang besar dan berat itu menyambar batang leher Nenek Muka Setan. Dan dapat dipastikan kalau lawannya akan remuk apabila sampai terkena. Namun tentu saja Nenek Muka Setan tidak sudi membiarkan lehernya hancur oleh senjata lawan. Dengan gerakan yang cepat diputar tongkatnya untuk memapaki gada lawan.
Jlang...!
Benturan keras yang memekakkan telinga pun tak terhindarkan lagi. Membuat tanah tempat mereka berpijak bergetar, karena hebatnya pertemuan kedua senjata yang sama-sama digerakkan oleh tenaga raksasa itu. Pangeran Sokapanca-lah yang menderita akibat benturan keras itu Tubuhnya tampak tergetar dengan mata terpejam. Kedua tangannya menekan telinga kuat-kuat, karena suara benturan itu mem- buat kepalanya sakit!
Nenek Muka Setan dan Gada Penghancur Tulang sama-sama melompat mundur beberapa langkah. Keduanya saling tatap dengan sorot mata tajam. Bedanya, sorot mata Nenek Muka Setan menunjukkan kemarahan dan ancaman maut. Sedang- kan Gada Penghancur Tulang mengandung ejekan dan keangkuhan.
"Apa sebenarnya maumu, Gada Penghancur Tulang?" tanya Nenek Muka Setan yang kelihatan sangat penasaran terhadap perbuatan rekan segolongannya itu.
"Heh heh heh...! Tidak sulit untuk menerkanya, Nenek Muka Setan! Aku ingin menghabisi sisa umurku sebagai orang terhormat. Dan Pangeran Sokapanca-lah yang bisa memberikannya," sahut Gada Penghancur Tulang dengan suara lantang. Kemudian menoleh ke arah Pangeran Sokapanca yang berdiri tak jauh di sampingnya. "Aku akan menyelamatkanmu dari nenek jelek ini, Pangeran. Dan sebagai imbalannya, aku minta diberikan kedudukan yang terhormat Bagaimana? Apakah kau mau berjanji. Pangeran?"
Berdebar dada Pangeran Sokapanca demi mendengar perkataan Gada Penghancur Tulang itu. Karena ia sama sekali tidak menduganya. Semula dirinya merasa sudah tidak punya harapan lagi untuk hidup. Dan sekarang kakek gundul yang sepertinya sangat miskin karena tidak mengenakan baju itu, menawarkan jasa ingin membantunya. Tentu saja Pangeran Sokapanca gembira bukan main!
"Jangan khawatir, Gada Penghancur Tulang. Jika kau dapat menyelamatkan aku dari Nenek Muka Setan, dan mengawalku sampai ke istana, aku berjanji akan memberikan jabatan terhormat atas Jasamu," ujar Pangeran Sokapanca yang kini sudah bisa tersenyum. Karena ia sudah menyaksikan sendiri kesaktian Gada Penghancur Tulang, yang tampaknya berada di atas tingkat kepandaian nenek buruk rupa itu.
Seraut wajah Gada Penghancur Tulang berseri-seri mendengar janji Pangeran Sokapanca. Kembali ia berpaling ke arah Nenek Muka Setan yang kelihatan sangat geram melihat tingkah kakek gundul itu.
"Keparat..!" makinya sambil menerjang maju dengan sambaran tongkatnya yang mengaung bagai ratusan lebah marah!
Kali ini Gada Penghancur Tulang sudah siap untuk menghadapi gempuran lawan. Janji Pangeran Sokapanca membuat hatinya mantap untuk merobohkan Nenek Muka Setan di hadapan pangeran muda itu. Maka, ketika serangan lawan tiba, ia langsung menyambut dengan menggunakan jurus-jurus andalannya.
"Hyaaattt...!"
Gada berlapis emas yang berat itu menderu-deru ketika bergerak menyambut serangan Nenek Muka Setan Sebentar saja kedua tokoh tua itu sudah terlibat dalam sebuah pertarungan mati-matian!
Pangeran Sokapanca menjauhi arena. Pertarungan maut itu membuat hatinya tegang! Karena kedua orang tokoh sakti itu sama-sama mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya untuk saling merobohkan. Sadar bahwa angin pukulan mereka sangat berbahaya, maka ia pun bergerak menyingkir. Dan menyaksikannya dari tempat yang cukup jauh.
Pertarungan berlangsung semakin sengit. Empat puluh jurus telah lewat. Sejauh itu belum kelihatan tanda-tanda siapa yang bakal menang. Keduanya sama-sama cepat dan tangguh. Hanya sinar senjata mereka yang membedakan mana Nenek Muka Setan dan mana Gada Penghancur Tulang.
Nenek Muka Setan mencoba untuk membongkar pertahanan lawan yang sangat kuat itu. Tongkatnya diputar sedemikian rupa membentuk gulungan sinar putih yang bergerak turun naik bagaikan seekor naga yang tengah bermain-main di angkasa. Serangan-serangannya demikian gencar, seolah tak ingin memberikan kesempatan kepada lawan untuk membangun serangan balasan.
Tampak Gada Penghancur Tulang mulai terdesak mundur, terkurung ujung-ujung tongkat lawan yang mengarah jalan- jalan darah penting di tubuhnya. Kendati demikian, pertahanannya tetap tidak bisa ditembus lawan. Dan setiap kali tongkat Nenek Muka Setan datang mengancam, selalu dapat dipukul balik, membuat nenek buruk itu semakin penasaran.
Sebenarnya Gada Penghancur Tulang sama sekali tidak terdesak seperti yang tampak. Kakek Gundul ini berlaku cerdik. Sadar bahwa tingkat kepandaian mereka tidak berselisih banyak, maka Ia pun menggunakan siasat dengan membuat dirinya seolah terdesak. Dengan demikian, lawan akan semakin bernafsu dan mempergencar serangan-serangannya. Rasa penasaran karena setiap gempurannya selalu nyaris mengenai sasaran, akan membuat Nenek Muka Setan melupakan pertahanan dirinya. Saat lengah itulah yang ditunggu Gada Penghancur Tulang. Dan apa yang dinantikannya itu pun datang.
"Heaaa...!"
Diiringi sebuah bentakan keras yang mengejutkan, Gada Penghancur Tulang melakukan lompatan ke samping, saat tongkat lawan menusuk lurus ke arah dada kirinya. Sambi! melompat, diayunkan senjatanya dengan sepenuh tenaga!
Whuuukkk!
Gada yang besar dan mengkilat itu meluncur deras mengancam lambung kiri Nenek Muka Setan, yang menjadi kaget bukan main! Senjata yang sudah terlalu dekat tidak mungkin dapat dielakkannya. Terpaksa ia menerima hantaman itu, setelah menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi lambungnya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Kendati lambungnya sudah terlindungi tenaga dalam, tetap saja Nenek Muka Setan menjerit saat gada lawan menghajarnya. Tubuhnya terpental deras dan memuntahkan darah segar. Kendati demikian, ia masih dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Hingga tidak sampai terbanting jatuh hanya terhuyung-huyung dua tombak jauhnya.
Melihat lawan belum roboh, Gada Penghancur Tulang menggeleng kagum. Cepat tubuhnya melesat dengan hantaman gada untuk untuk menamatkan nenek buruk itu. "Kali ini kau tak akan dapat selamat lagi, Nenek Muka Setan!" bentaknya di antara deru senjatanya.
Nenek Muka Setan tentu saja maklum akan bahaya yang datang mengancamnya itu. Maka, ketika jarak mereka tinggal setengah tombak, ibu jarinya menekan bendul yang terdapat di dekat gagang tongkatnya. Dan...
Srat! Srat!
Unjung tongkat itu terbuka dan memuntahkan puluhan bahkan, ratusan jarum halus. Tentu saja Gada Penghancur Tulang kaget bukan main. Untuk menarik kembali serangannya jelas tidak mungkin. Satu-satunya jalan, hanya dengan melepaskan pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya. Sebagian jarum-jarum halus itu terpental dan runtuh ke tanah akibat angin pukulan yang dilepaskan Gada Penghancur Tulang. Tapi, sebagian lainnya tak dapat dibendung.
"Aaakh...!"
Gada penghancur tulang memekik ketika belasan jarum yang tak dapat dibendungnya mengenai beberapa bagian tubuhnya. Meskipun demikian tubuhnya terus meluncur ke depan. Namun hantaman gadanya hanya mengenai tanah, karena Nenek Muka Setan sudah melempar tubuhnya bergulingan. Serangan Gada Penghancur Tulang gagal. Hal itu juga karena sebagian tenaganya telah dipindahkan untuk memukul runtuh jarum-jarum halus yang dilepaskan secara licik oleh Nenek Muka Setan.
Nenek berwajah buruk dan berambut kumal Itu sendiri langsung melompat dan melarikan diri, setelah berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian, la tidak berhasrat lagi untuk melanjutkan perkelahian. Selain telah menderita luka dalam yang cukup parah, Nenek Muka Setan pun tahu kalau jarum-jarum beracunnya tidak bisa berbuat banyak terhadap lawan. Sebab, Gada Penghancur Tulang memang memiliki kekebalan terhadap racun.
"Bedebah, Licik! Jika kelak kita bertemu lagi, jangan harap kau dapat lolos seperti sekarang...!" seru Gada Penghancur Tulang sambil mencabuti jarum yang menancap di tubuhnya. Sosoknya terlihat menyeramkan, karena hampir di sekujur tubuhnya dipenuhi titik-titik darah. Meskipun tidak mengalami cidera, Gada Penghancur Tulang merasa penasaran dan menaruh dendam terhadap Nenek Muka Setan.
Pangeran Sokapanca bertepuk tangan menyambut kemenangan Gada Penghancur Tulang. Pangeran muda itu mengayun langkah menghampiri. Semula hatinya sempat merasa cemas melihat kakek gundul itu terkena senjata rahasia lawan, yang ia duga mengandung racun ganas. Namun ketika melihat betapa dengan enaknya Gada Penghancur Tulang mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh, ia mengerti. Lelaki tua bertubuh kekar itu sama sekali tidak terpengaruh sedikit pun racun dalam jarum-jarum halus yang berwarna kehitaman itu.
"Kau benar-benar tidak mengecewakan hatiku, Gada Penghancur Tulang. Aku merasa sangat tertarik dengan kekebalanmu terhadap racun," ujar Pangeran Sokapanca memuji kehebatan kakek gundul itu.
"Terima kasih, Pangeran! Jika Pangeran berhasrat, hamba tidak keberatan untuk mengajarkan caranya," tukas Gada Penghancur Tulang dengan wajah berseri. Kemudian dibungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat kepada pangeran muda itu
"Benarkah kau sungguh-sungguh hendak mengajarkan ilmu yang hebat itu kepadaku?" tanya Pangeran Sokapanca yang tentu saja sangat ingin memiliki tubuh yang kebal terhadap racun.
"Tentu, Pangeran. Akan hamba ajarkan caranya setelah Pangeran menepati janji," jawab Gada Penghancur Tulang mengingatkan Pangeran Sokapanca tentang janji untuk memberikan jabatan terhormat kepadanya.
"Sudah pasti aku akan menepatinya. Gada Penghancur Tulang," sahut Pangeran Sokapanca menyembunyikan senyum liciknya.
Gada Penghancur Tulang terlihat mengangguk-angguk puaa Senyumnya mengembang, membayangkan impian hari tuanya yang akan segera terwujud.
"Mari, kita berangkat ke kotaraja...!" ujar Pangeran Sokapanca bernada sedikit memerintah.
"Baik, Pangeran..," sahut Gada Penghancur tulang yang segera mengayun langkahnya di samping Pangeran Sokapanca. Saat itu matahari sudah bergeser ke barat.
********************
LIMA
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari satu malam, saat menjelang senja, Pangeran Sokapanca dan Gada Penghancur Tulang tiba di gerbang kotaraja. Keduanya menunggang kuda, diperoleh dari desa yang mereka lalui. Prajurit penjaga gerbang sempat kaget melihat Pangeran Sokapanca kembali tanpa pasukan pengawal. Terlebih melihat adanya seorang kakek gundul tanpa mengenakan baju, hingga memperlihatkan bulu-bulu lebat di sekitar dada dan perut.
Namun mereka tidak berani bertanya. Para prajurit membungkukkan tubuh dalam-dalam saat sang Pangeran melewati gerbang bersama kakek gundul bertampang bengis itu. Begitu masuk ke kotaraja, Pangeran Sokapanca langsung menuju istana kerajaaa Kemudian melapor kepada penjaga istana bahwa ia hendak menghadap ayahnya.
"Sampaikan kepada Ayahanda Prabu bahwa aku membawa berita yang sangat penting dan mendesak!" ujar Pangeran Sokapanca ketika melihat pengawal yang bertugas agak ragu.
Bukan karena penjaga itu tidak menaruh hormat terhadap putra junjungannya. Untuk dapat menghadap raja memang tidak bisa dilakukan sembarang waktu terlebih begitu mendadak, meski seorang pangeran sekalipun. Namun, ketika Pangeran Sokapanca mengatakan sangat penting dan mendesak, kepala jaga istana meminta agar pangeran itu menunggu. Tidak berapa lama kemudian, kepala jaga itu kembali muncul dan langsung mempersilakan Pangeran Sokapanca masuk dan menunggu.
"Mohon beribu ampun kalau kedatangan hamba telah mengejutkan Ayahanda Prabu..."
Pangeran Sokapanca langsung menghaturkan sembah begitu sang Prabu datang menemuinya. Gada Penghancur Tulang pun mengikuti perbuatan Pangeran Sokapanca tanpa berani membuka suara. Hati kakek sakti yang biasanya kejam dan tak kenal takut ini, sempat tergetar melihat wajah yang agung dan penuh perbawa itu.
Sang Prabu hanya mengangguk tipis disertai gumam tak jelas. Kemudian duduk di atas singgasananya. Dua orang jagoan istana yang merupakan pengawal-pengawal pribadi dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan raja, berdiri di kiri dan kanan kursi. Meski hanya sebentar, kedua jagoan ini sempat mengerutkan kening melihat kakek gundul yang datang bersama putra mahkota itu.
Setelah mendapat perkenan dari sang Prabu, Pangeran Sokapanca segera menceritakan peristiwa yang di alaminya. Tentu saja ia tidak menceritakan tentang putri tunggal Ki Dawung, yang menjadi penyebab semua itu. Juga tidak menyinggung tentang Nenek Muka Setan yang membuat sisa pasukan pengawalnya tewas. Yang dilaporkan Pangeran Sokapanca adalan tentang penyerangan sekelompok pemberontak di bawah pimpinan Ki Dawung, Ketua Perguruan Tapak Jalak. Dan memohon agar sang Prabu memperkenalkan la membawa sejumlah pasukan pilihan untuk menghancurkan para pemberontak itu.
"Menurut hamba mereka sangat berbahaya sekali, Ayahanda Prabu. Tampaknya Ki Dawung telah mengundang tokoh-tokoh persilatan. Karena saat pertempuran pecah, tiba-tiba muncul sepasang pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat. Untung sewaktu hamba nyaris tertangkap, kakek ini datang menolong dan menyelamatkan aku dari keganasan para pemberontak itu...," ujar Pangeran Sokapanca yang dalam akhir ceritanya baru menyinggung tentang Gada Penghancur Tulang yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.
Merasa dirinya diberi kesempatan, Gada Penghancur Tulang menghaturkan sembah dan berkata merendah. "Ampun, Gusti Prabu yang mulia! Apa yang hamba lakukan sama sekali tidak patut untuk dibanggakan. Karena sudah menjadi kewajiban hamba sebagai kawula negeri untuk menunjukkan bakti...," ujar Gada Penghancur Tulang, yang dalam hal bermain sandiwara tidak kalah bagusnya dengan Pangeran Sokapanca, membuat pangeran muda itu tersenyum tipis.
Sang Prabu cuma bergumam pelan. Sepasang matanya menyipit memperhatikan sosok kakek gundul yang tanpa mengenakan baju dan membawa sebuah gada berlapis emas. Sebenarnya dandanan Gada Penghancur Tulang sudah merupakan kesalahan bagi seseorang yang menghadap raja di istana. Namun karena tahu kalau kakek gundul itu merupakan tokoh persilatan yang kebanyakan bertingkah laku aneh, sang Prabu memakluminya. Beliau mengangguk-angguk beberapa kali sambil mengelus jenggotnya yang sudah berwarna dua.
"Ada hal yang ingin kusampaikan khusus kepadamu, Sokapanca. Untuk itu biarlah penolongmu ini menunggu di luar sebentar...," ujar sang Prabu yang mengalihkan pandang kepada putranya.
Gada Penghancur Tulang tahu diri. Bergegas ia menghaturkan sembah dan bergerak meninggalkan ruangan itu. Kakek gundul ini menepiskan perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya. Untuk menenangkan perasaan yang tak diketahui sebabnya itu, Gada Penghancur Tulang berjalan-jalan di taman depan istana.
Sepeninggal Gada Penghancur Tulang, sang Prabu segera memerintahkan salah seorang pengawal pribadinya untuk berbicara. Karena ia memang sebenarnya tidak mempunyai kepentingan khusus dengan putranya. Keinginan itu disampaikannya setelah mendapat bisikan dari salah seorang pengawal pribadinya, dengan menggunakan ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh' Sehingga tak seorang pun yang mengetahui kecuali sang Prabu dan jago istana itu sendiri.
Jago istana yang merupakan seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahunan itu segera menjelaskan kepada Pangeran Sokapanca. Tokoh istana ini tahu betul siapa adanya kakek gundul berjuluk Gada Penghancur Tulang itu. Dia mengingatkan bahwa kakek gundul itu adalah seorang tokoh dunia hitam yang berkepandaian tinggi, berhati kejam, serta sangat licik.
"Manusia seperti Gada Penghancur Tulang jelas tidak akan sudi menolong secara cuma-cuma. Ia pasti meminta imbalan atas jasanya itu. Apakah dugaanku keliru, Pangeran?" tanya tokoh istana bernada curiga.
"Benar, Paman. Hanya karena ia memiliki kepandaian tinggi dan aku memerlukan pengawal untuk tiba di istana, maka aku berjanji untuk memberikan apa yang diinginkan. Dan ia menginginkan jabatan atas jasanya itu," jelas Pangeran Sokapanca yang pada dasarnya memang tidak menyukai Gada Penghancur Tulang. Ia sudah cukup banyak mendengar tentang sifat tokoh-tokoh golongan hitam yang rata-rata licik dan sulit ditebak.
"Jabatan apa yang diminta kakek gundul itu kepadamu, Sokapanca?" sang Prabu yang ikut mendengarkan, bertanya dengan kening berkerut. Kerutan itu tanda ketidaksenangan hatinya atas sikap putranya yang begitu mudah untuk mengucapkan janji.
"Ia tidak menjelaskannya, Ayahanda Prabu. Mohon ampun, hamba telah begitu lancang berjanji untuk memenuhi permintaannya," jawab Pangeran Sokapanca agak cemas melihat kerutan pada wajah ayahnya.
"Hm..., kalau begitu, beri saja hadiah yang kira-kira cukup pantas atas jasanya yang telah menolongmu!" titah sang Prabu, yang merupakan sebuah keputusan mutlak. Tidak bisa dibantah lagi.
Dua orang tokoh istana dan juga Pangeran Sokapanca langsung menyetujui. Sang Prabu segera memerintahkan pengawal agar meminta sekantung uang emas dari pejabat keuangan istana. Setelah uang tersedia, beliau memerintahkan putranya untuk menyerahkan hadiah itu kepada Gada Penghancur Tulang, dengan ditemani kedua pengawal istana.
Gada Penghancur Tulang bergegas menghampiri Pangeran Sokapanca yang dilihatnya keluar dari istana. Ditekannya kegelisahan yang kembali muncul ketika melihat adanya dua orang tokoh istana yang menemani sang Pangeran. Gada Penghancur Tulang berusaha menyembunyikan perasaannya dengan bersikap tenang. Namun, tiba-tiba dikerahkan tenaga dalamnya, siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Bagaimana, Pangeran? Apakah Gusti Prabu sudah memilihkan jabatan untukku?" Gada Penghancur Tulang langsung menanyakan apa yang sudah mereka sepakati.
"Maaf, Gada Penghancur Tulang," ujar Pangeran Sokapanca yang siap menghindar apabila kakek gundul itu marah dan menyerangnya. "Ayahanda Prabu tidak mengabulkan permohonanku. Beliau memerintahkan agar aku memberikan hadiah sekantung uang emas ini sebagai imbalan atas pertolonganmu kepadaku."
"Tapi..., bukankah kau sudah berjanji kepadaku, Pangeran?" rona wajah Gada Penghancur Tulang berubah. Sepasang matanya tampak berkilat menunjukkan kemarahan. Dirinya merasa telah ditipu mentah-mentah oleh Pangeran Sokapanca.
"Terima saja hadiah yang diberikan junjungan kami, Gada Penghancur Tulang!" Tokoh istana berwajah kelimis berkata menimpali. Sikap dan sorot matanya jelas menandakan bahwa ia telah siap menghadapi apa yang bakal dilakukan kakek gundul itu. "Hadiah ini sudah merupakan yang terbaik untuk orang sepertimu. Karena seharusnya kau malah kami jebloskan ke dalam tahanan. Kami tahu siapa kau adanya. Dan bagaimana sepak terjangmu di luaran..."
Gada Penghancur Tulang menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya dengan berat. Seolah ingin melepaskan kekecewaan hatinya. Ia sadar bahwa dirinya berada di dalam sarang harimau. Ketika akal liciknya muncul, kakek gundul itu tersenyum tipis.
"Kalau memang kau menganggap hadiah itu sudah lebih dari cukup, aku terima. Anggap saja pertolonganku kepada junjunganmu ini sebagai baktiku kepada negeri...!" ujar Gada Penghancur Tulang tersenyum kecut seraya memindahkan senjatanya ke tangan kiri. Diterimanya kantung uang dengan tangan kanan. Kelihatannya kakek gundul ini sudah pasrah dan tidak mau bertindak macam- macam.
Pangeran Sokapanca sudah menarik napas lega ketika Gada Penghancur Tulang menerima kantung uang yang diberikan oleh salah seorang pengawal istana. Gada Penghancur Tulang membuka ikatan kantung uang untuk melihat isinya. Kepalanya menggeleng-geleng sambil mengeluarkan telapak tangannya setelah meraup kepingan uang emas di dalam kantung. Kemudian....
"Makan olehmu uang emas ini. Pangeran Laknat!" Secara tiba-tiba, Gada Penghancur Tulang mengeluarkan bentakan keras yang mengejutkan. Bersamaan dengan itu berdesingan kepingan uang emas yang meluncur dengan kecepatan tinggi mengancam sekujur tubuh Pangeran Sokapanca! Jelas kakek gundul ini ingin menghabisi nyawa orang yang telah menipunya mentah-mentah.
Perbuatan Gada Penghancur Tulang yang sama sekali tidak terduga, membuat kedua orang tokoh istana kaget bukan main. Namun, karena mereka sudah memperhitungkan kejadian seperti itu, maka keduanya segera melesat berbarengan. Yang seorang mencabut pedang dan berusaha menyelamatkan Pangeran Sokapanca. Sedangkan satunya lagi mencelat ke arah Gada Penghancur Tulang dengan disertai lontaran pukulan mautnya.
Serangan tokoh istana itu dapat diatasi dengan mudah oleh lawannya. Bahkan langsung mengirimkan serangan balasan dengan ayunan gadanya yang menderu-deru. Demikian gencar serangan balasan yang dilontarkan Gada Penghancur Tulang, membuat lawannya terdesak dan terus berlompatan mundur. Sementara itu, tokoh istana yang berusaha menyelamatkan Pangeran Sokapanca telah memutar pedangnya membentuk gulungan sinar putih laksana sebuah perisai raksasa.
Trang! Tring! Trak!
Terdengar suara gemerincing nyaring ketika belasan kepingan uang emas itu membentur lingkaran sinar pedang. Beberapa di antaranya runtuh terbelah dua. Namun sebagian kecil luput dan terus meluncur deras ke arah Pangeran Sokapanca!
Pangeran Sokapanca sendiri bukanlah orang lemah. Dia berusaha menyelamatkan diri dari kepingan-kepingan uang emas itu. Namun tak urung empat di antaranya berhasil melukai kaki, tangan, dan satu menyerempet bahunya, membuat pangeran muda itu terjajar mundur dengan pakaian ternoda darah.
"Keparat...!" maki Pangeran Sokapanca yang berusaha bangkit berdiri. Kemudian berteriak memerintah untuk menangkap kakek gundul yang tengah bertarung sengit dengan salah satu jagoan istana.
Sebentar saja belasan orang prajurit telah berlarian dan mengepung pertarungan. Mereka membuat lingkaran dengan senjata di tangan. Sehingga, hampir mustahil kalau Gada Penghancur Tulang akan dapat pergi dengan selamat meninggalkan tempat itu.
Gada Penghancur Tulang bukan tidak menyadari keadaannya. Ia pun maklum bahwa dirinya akan menemui kematian di tempat itu. Kenyatan itu membuat ia semakin bertambah nekat. Serangannya semakin ganas dan bagaikan tak pernah putus. Tokoh istana yang menghadapinya tampak kewalahan, dan tak mampu mengimbangi amukan Gada Penghancur Tulang.
"Hyaaattt..!"
Melihat rekannya terdesak dan sulit membebaskan diri dari kurungan gada lawan, jago istana yang satunya lagi segera melesat memasuki arena. Pedang di tangannya mengaung tajam, menandakan betapa kuat tenaga yang terkandung di dalam serangan itu.
Siiing...!
Suara berdesing yang menusuk telinga membuat Gada Penghancur Tulang sadar bahwa ada serangan yang datang dari belakangnya. Dan apa yang dilakukan kakek gundul ini benar-benar membuat kedua orang lawannya berdecak kagum bukan main. Karena tanpa menghentikan gerakannya, rubuh lelaki tua itu berputar melingkar. Gada di tangannya bergerak dengan kecepatan tinggi memapaki datangnya ancaman pedang.
Brreeettt...!
Gada Penghancur Tulang kaget ketika hantaman senjatanya mengenai tempat kosong. Pedang yang semula menusuk, ternyata telah meliuk berputar dengan cepatnya. Terus berkelebat membeset dadanya
Brettt!
"Aaakh...!"
Sambaran pedang yang mendatar itu langsung membuat garis panjang melintang di dada Gada Penghancur Tulang. Darah segar mengalir, menimbulkan rasa pedih. Tubuh bertelanjang dada itu tergetar mundur. Dan lawan di belakangnya sudah menyambut dengan gedoran telapak tangan yang mendatangkan sambaran angin kuat!
Blaggg!
"Hukh!"
Hantaman telapak tangan pada punggung ketika tubuhnya terjajar mundur, membuat kekuatan pukulan menjadi berlipat ganda. Hingga tubuh Gada Penghancur Tulang terpental deras disertai muntahan darah segar. Belum lagi tubuhnya sempat jatuh ke tanah, lawan yang di depan menyambut dengan sambaran pedangnya. Terdengar suara seperti orang tercekik, ketika mata pedang itu membeset tenggorokannya.
Darah segar menyembur dari luka menganga di leher Gada Penghancur Tulang. Napasnya pun putus seketika sebelum tubuhnya terbanting ke tanah. Sungguh mengenaskan kematian yang harus diterima Gada Penghancur Tulang, la yang dalam kehidupannya selalu menggunakan kelicikan, kini, tewas termakan kelicikan Pangeran Sokapanca.
Pangeran Sokapanca sendiri harus menerima hadiah atas perbuatannya terhadap kakek gundul itu. Kendati tidak sampai tewas, namun luka-luka yang dideritanya membuat Pangeran Sokapanca harus beristirahat beberapa hari.
Setelah merasa kesehatannya pulih, ia segera menghadap ayahnya dan minta restu untuk membawa pasukan guna memberantas Ki Dawung dan murid-muridnya yang dilaporkan sebagai pemberontak. Maka berangkatlah Pangeran Sokapanca dengan membawa dua lusin prajurit pilihan, dua orang perwira menengah, dan seorang senapati muda. Selain itu, terdapat dua orang tokoh istana menyertai rombongan.
********************
ENAM
Panji melakukan perjalanan dengan setengah berlari. Tujuannya adalah kotaraja, untuk menye- lidiki Pangeran Sokapanca. Sekaligus mencari tahu apakah pangeran muda itu masih mendendam dan akan membawa bala bantuan untuk membalas kekalahannya. Karena tengah memikirkan apa yang pertama-tama akan dilakukannya setelah sampai di kotaraja, ia tidak begitu memperhatikan ketika melewati jalan yang membelok.
Selain itu, jalanan berbelok di depannya terhalang dataran yang lebih tinggi. Kesadarannya baru bangkit ketika saat membelok, dari arah depan meluncur sosok tubuh lain yang langkah larinya seperti orang mabok. Tentu saja Panji sempat dibuat kaget!
"Hei...?!"
Panji melempar tubuhnya ke tepi jalan hingga membentur dinding tanah keras. Karena sosok tubuh yang berlari cepat dan sempoyongan itu, nyaris menabraknya. Untung ia cepat bergerak menghindar. Jika tidak, tubuh keduanya pasti akan saling bertumbukan.
Seruan terkejut Panji rupanya membuat sosok tubuh yang berlari seperti orang mabok itu tidak senang. Larinya dihentikan dengan mendadak. Masih dengan gerak tubuh sempoyongan, sosok itu berbalik menghampiri Panji, yang masih berdiri memperhatikan orang yang nyaris membentur tubuhnya itu.
"Bocah kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu hingga berani membentakku seperti itu? Apa kau sudah bosan hidup, hah?" begitu tiba di dekat Panji, langsung saja sosok yang berlari seperti orang mabok itu melontarkan makian.
Pendekar Naga Putih tertegun keheranan. Ditatapnya sosok tubuh kurus, bongkok dan berwajah sangat buruk itu. Sosok itu ternyata seorang perempuan berusia lanjut yang tengah menderita luka. Hal itu diketahui Panji dari adanya lelehan darah di sudut bibir nenek itu.
"Bocah setan! Rupanya kau bukan cuma kurang ajar, tapi juga budek! Hmh... sebaiknya kukirim saja kau ke neraka daripada hidup tidak mempunyai guna!"
Sikap diam Panji yang karena kaget dan heran melihat sosok nenek itu, membuat dirinya dikira tuli. Kemarahan si Nenek semakin menjadi-jadi. Sambil memaki-maki, dipukulkan tongkatnya yang berupa tulang kering kaki manusia ke kepala Panji.
"Hei, Nek, tahan...!"
Karena kaget dan tak menyangka, kalau nenek buruk itu sedemikian galak, Panji berseru mencegah. Ketika melihat hantaman tongkat itu tidak berhenti, Panji pun bergerak mundur menghindar. Sehingga pukulan tongkat si Nenek Buruk mengenai angin kosong!
"Bagus, rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Pantas saja berani membentak-bentak orang! Sekarang coba kau jaga serangan ini...!" ujar nenek buruk itu seraya menarik sudut kiri bibirnya membentuk senyum sinis. Kemudian kembali menerjang maju dengan tongkatnya.
"Nek, tunggu, jangan salah paham! Aku sama sekali tidak membentak, hanya berseru karena kaget, hampir tertumbuk tubuhmu. Justru sebenarnya kaulah yang salah, berlari seperti orang mabok!" Panji berteriak-teriak menjelaskan, sambil berlompatan menghindari serangan tongkat nenek buruk yang tak lain Nenek Muka Setan.
Pendekar muda itu masih bersikap mengalah, karena ketika melihat pukulan tongkat si Nenek tidaklah terlalu kuat. Dari apa yang dilihatnya pertama kali tadi, Panji tahu kalau nenek buruk itu cuma sekadar hendak memberi pelajaran kepadanya, yang dianggapnya sebagai anak kurang ajar. Namun, serangan selanjutnya ternyata dirasakan sangat ganas dan bisa mematikan. Kendati merasa kaget dan penasaran, Pendekar Naga Putih masih berusaha mengingatkan bahwa kejadian di antara mereka cuma karena salah paham.
"Anak setan! Sudah berani membentak, berpura-pura budek, sekarang malah menuduhku pemabok! Benar-benar kau tidak boleh diberi hati!"
Nenek Muka Setan kembali salah mengerti maksud ucapan Pendekar Naga Putih. Kembali ia memaki dan memperhebat serangannya, membuat Panji kerepotan menyelamatkan diri dari incaran tongkat nenek itu.
Sikap Nenek Muka Setan memang tidak mengherankan. Selain ia bukan orang baik-baik, saat itu hatinya sedang marah dan jengkel. Luka dalam dan sikap menghina yang diterimanya dari Gada Penghancur Tulang, sekarang seperti menemukan tempat untuk menumpahkannya. Karena setelah melarikan diri dari Gada Penghancur Tulang, baru Panji yang ditemuinya. Maka Panji-Iah yang sial menjadi tumpahan segala rasa marah dan jenkel Nenek Muka Setan.
Namun kesabaran Pendekar Naga Putih tentu ada batasnya. Ketika seruan-seruannya tidak mendapat tanggapan yang baik, bahkan nenek itu semakin ganas mencecarnya, Panji tidak lagi cuma sekadar mengelak. Saat tongkat berupa tulang kering kaki manusia itu kembali meluncur, telapak tangan kirinya bergerak menepis dengan pengerahan tenaga yang sudah diperkirakannya.
Plak!
Tepisan tangan Panji yang hanya menggunakan sebagian tenaga dalamnya, ternyata berakibat cukup hebat! Bukan cuma ujung tongkat yang terpental menyeleweng. Bahkan tubuh Nenek Muka Setan tampak terjajar limbung dengan wajah menyeringai menahan sakit. Sementara tangan kirinya sibuk menekan dada. Dan....
"Huakhhh!" Sebelum roboh tak sadarkan diri, Nenek Muka Setan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman.
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget bukan main! Cepat ia berlari menghampiri. Panji berjongkok hendak memeriksa ketika melihat Nenek Muka Setan tak sadarkan diri. Sekali lihat saja ia tahu kalau lawannya mengalami luka dalam yang parah. Dan tangkisannya yang menggunakan sebagian tenaga dalam tadi, semakin menambah parah luka nenek buruk itu.
Mengertilah Panji kalau nenek itu memaksakan diri sewaktu menyerangnya. Padahal pengerahan tenaga selagi terluka dalam, bisa mengakibatkan kematian. Tidak aneh kalau Nenek Muka Setan langsung muntah darah dan jatuh pingsan, kendati tangkisan Panji tidak terlalu kuat.
Walaupun menduga bahwa nenek buruk rupa itu bukan orang baik-baik, Panji tetap hendak menolongnya. Dipondongnya tubuh kurus yang tak sadarkan diri itu. Kemudian melangkah untuk mencari tempat yang cukup baik guna mengobati luka yang diderita Nenek Muka Setan. Agak lama Pendekar Naga Putih berjalan, sampai akhirnya ia melihat daerah persawahan. Sepasang matanya memandang berkeliling. Ketika menemukan sebuah dangau, dia segera menghampiri. Diletakkannya tubuh Nenek Muka Setan.
Setelah menotok dan memijat di beberapa tempat, Nenek Muka Setan mulai siuman. Langsung saja Panji membuka mulut nenek itu secara paksa dan menjejalkan sebutir pil berwarna putih salju. Obat luka dalam yang dapat mempercepat pulihnya tenaga. Hal itu terpaksa dilakukan, khawatir kalau Nenek Muka Setan akan marah lagi dan menyerang, apabila telah sadar sepenuhnya. Panji memaksa pil masuk ke dalam tubuh nenek itu dengan memijat hidung si Nenek. Nenek Muka Setan gelagapan, dan pil itu pun tertelan masuk
"Maaf, Nek Aku terpaksa melakukannya...!" ujar Panji ketika melihat sepasang mata yang sinarnya mulai pudar karena usia tua membuka perlahan.
Ada kilatan terkejut dalam bola mata Nenek Muka Setan, melihat pemuda tampan berjubah putih yang diserangnya tadi, tengah duduk di sampingnya. Semula Nenek Muka Setan sudah akan melontarkan makian kepada Panji. Namun wajah yang menggambarkan kemarahan itu berubah kaget! Di dalam tubuhnya dirasakan ada hawa hangat yang menyebar, membuat Nenek Muka Setan memejamkan matanya keenakan.
Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas, tahulah ia bahwa luka dalamnya telah disembuhkan orang. Untuk memastikan, segera ia mengerahkan tenaga dalamnya. Girang bukan main hati Nenek Muka Setan ketika tidak lagi merasakan ada rasa nyeri yang menusuk-nusuk bagian dalam dadanya. Luka dalamnya benar-benar telah sembuh, kendati tenaganya belum pulih.
"Mengapa kau menolongku, Anak Muda...?" tanya Nenek Muka Setan dengan suara serak dan lemah. Wajahnya membayangkan keheranan besar. Sebab, ia tidak percaya kalau ada orang yang mau bersusah payah menolong orang yang tidak dikenal.
"Mengapa aku menolongmu...?" tukas Panji mengulang pertanyaan Nenek Muka Setan dengan bibir tersenyum. "Pertanyaanmu aneh, Nek," lanjutnya, merasa tidak perlu memberikan jawaban. Karena ia memang sudah biasa melakukannya, terhadap siapa pun yang membutuhkan.
"Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" desak Nenek Muka Setan dengan nada agak tinggi. Jelas ia menginginkan jawaban dari mulut Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum semakin lebar. Kepalanya menggeleng perlahan melihat betapa nenek itu masih tetap galak, meskipun dalam keadaan tubuh masih lemah. "Aku menolongmu karena kau terluka dan perlu segera mendapat pengobatan. Nah, apakah kau puas dengan jawabanku, Nek?"
"Bodoh! Kau tahu bukan itu jawaban yang kuinginkan! Hayo jawab, mengapa kau menolongku?" Nenek Muka Setan kembali mengajukan pertanyaannya dengan mata melotot.
"Ya, karena kau membutuhkan pertolongan. Dan aku kebetulan memiliki sedikit pengetahuan tentang ilmu pengobatan. Tidak ada salahnya aku mencoba untuk menolongmu kendati kita belum saling kenal, dan mungkin kau menganggapku sebagai musuh."
Jawaban agak panjang itu tampaknya yang diinginkan Nenek Muda Setan. Wajahnya kembali dijalari keheranan besar. Dan ia menatap wajah Panji lekat-lekat
"Anak muda, kau tahu siapa sebenarnya aku? Aku adalah seorang dedengkot golongan hitam yang kejam dan ganas. Aku dijuluki sebagai Nenek Muka Setan! Entah sudah berapa ratus nyawa yang kukirim ke neraka. Dan setelan kesehatan kupulih, aku kembali akan membunuh orang. Nah, bukankah itu berarti bahwa kau ikut terkena dosanya? Karena kalau kau tidak mengobati aku, pasti sekarang aku sudah tidak bernyawa lagi. Dengan membuat aku sehat kembali, sama saja dengan memberikan kesempatan kepadaku untuk mengulang segala kejahatanku. Bahkan mungkin aku semakin bertambah ganas. Dan kau akan menyesal karena telah menolongku. Karena kau pun akan kubunuh!" ujar Nenek Muka Setan yang sempat membuat Panji kaget, karena nama tokoh ini sudah pernah didengarnya.
"Tidak, aku sama sekali tidak menyesal dengan apa yang telah kulakukan. Tidak peduli orang itu baik atau jahat. Jika aku mampu, aku akan berusaha memberikan pertolongan. Memberikan pertolongan kepada sesama umat manusia adalah kewajiban.”
Nenek Muka Setan terdiam setelah mendengar jawaban Panji. Ditariknya napas dalam-dalam. Sepasang matanya yang mulai pudar karena usia tua itu, tampak membasah. Kemudian terdengar suara paraunya yang mengandung keharuan atas apa yang diucapkan dan dilakukan Pendekar Naga Putih.
"Dari semenjak aku lahir hingga menjadi nenek-nenek seperti sekarang, baru kali ini aku bertemu dengan orang berhati mulia dan berpandangan luas sepertimu, Anak Muda. Dan, aku berjanji tidak akan membuat kau kecewa telah menolongku. Karena mulai saat ini aku akan meninggalkan perbuatan-perbuatan jahatku. Hhh..., aku ingin tahu siapa nama orang yang telah membuat mata batinku terbuka."
"Namaku Panji, Nek. Aku ikut senang mendengar tekad yang telah kau ambil," sahut Panji memperkenalkan namanya.
"Julukanmu, Panji. Melihat tingkat kepandaianmu, Kau...?" tiba-tiba saja Nenek Muka Setan menghentikan ucapannya yang belum selesai. Karena ketika tanpa sadar memperhatikan Panji, dia teringat dalam pertarungan tadi pemuda itu dapat mengimbanginya. Nenek Muka Setan dapat menduga siapa sesungguhnya pemuda tampan yang ada di hadapannya itu.
"Kaukah yang dijuluki Pendekar Naga Putih?" tanya Nenek Muka Setan hendak memastikan dugaannya.
"Kira-kira begitulah, Nek," jawab Panji dengan suara perlahan.
Tiba-tiba saja meledaklah tawa Nenek Muka Setan. Terus berkepanjangan sampai air matanya keluar. "Hih hih hih...! Siapa sangka kalau orang yang telah membuka mata batinku adalah seorang pendekar besar yang namanya menggetarkan jagad!" ujar Nenek Muka Setan yang tampaknya semakin bertambah gembira setelah tahu bahwa yang menolong dan membuatnya sadar dari kesesatan ter- nyata Pendekar Naga Putih.
Setelah puas tertawa sebagai pelampiasan kegembiraannya, Nenek Muka Setan bangkit dan duduk berhadapan dengan Panji. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat dengan sorot kekaguman yang tidak disembunyikan, membuat yang ditatap menjadi agak risih.
"Hhh...! Sungguh sayang, muridku satu-satunya telah tewas. Kalau tidak, aku akan menjodohkannya denganmu, Panji. Dan aku sudah bersumpah untuk mencari dan membunuh orang yang telah menewaskannya...!" ujar Nenek Muka Setan dengan suara bergetar, sedih teringat akan kematian murid tunggalnya. "Celakanya usahaku yang hampir berhasil itu digagalkan orang. Bahkan aku sendiri nyaris tewas di tangannya..."
"Jadi kau terluka dalam oleh orang yang membunuh muridmu?" tanya Panji menegaskan, kendati ia mendengar ucapan nenek itu dengan jelas.
"Bukan. Yang melukaiku adalah Gada Penghancur Tulang. Manusia licik itu muncul dan menawarkan bantuan dengan mengharapkan imbalan mendapat jabatan di kotaraja," jawab Nenek Muka Setan yang merasa geram mengingat kekalahannya yang menyakitkan hu.
"Berarti orang yang membunuh muridmu adalah seorang pembesar di kotaraja?" Panji bertanya lagi karena mulai merasa tertarik dengan cerita Nenek Muka Setan.
"Bukan cuma pembesar, tapi seorang pangeran yang bernama Sokapanca!" jawab Nenek Muka Setan yang kelihatan geram ketika menyebut nama pembunuh muridnya.
"Pangeran Sokapanca...?!" ulang Panji dengan kening berkerut Ia menyembunyikan kekagetannya dan ingin mendengar kelanjutan cerita nenek itu.
"Benar! Mungkin kau pun pernah mendengar nama pangeran keparat itu. Karena ia pun kadang suka berpetualang untuk menambah pengalamannya dalam ilmu silat. Sayangnya ia memiliki sifat yang sangat buruk. Pihak kerajaan sepertinya menutup mata terhadap sikap putra mahkota yang suka mengumbar nafsu bejatnya. Tak peduli meskipun perempuan yang disukainya sudah bersuami!" jelas Nenek Muka Setan bernada geram.
Nenek ini sama sekali tidak sadar betapa diam-diam Panji tertawa geli dalam hatinya. Sebab, nenek itu sendiri merupakan seorang gembong kaum sesat. Namun ia seperti tidak sadar akan dirinya sendiri. Dan mengutuk perbuatan orang lain yang sama jahatnya dengan dirinya.
"Muridku adalah seorang gadis yang sangat cantik dan menawan. Pendeknya siapa pun akan tergiur melihatnya. Apalagi masih ditambah dengan kepandaiannya yang tinggi." Tanpa diminta, Nenek Muka Setan mulai bercerita tentang murid perempuannya. "Suatu hari, muridku kembali dari pengembaraannya yang memang kuberi waktu dua tahun guna meluaskan pengalamannya. Sayang, kami tidak sempat bertemu. Karena aku mendapat undangan dari salah seorang sahabat yang hendak meresmikan tempat perguruannya. Kepergianku memang lama, kurang lebih lima hari. Cukup jauh memang tempat kediaman sahabatku itu. Dan kedatangannya kuduga tepat pada hari aku berangkat memenuhi undangan. Kau tahu apa yang kudapati sepulang dari tempat sahabatku, Panji?"
"Muridmu dibunuh setelah diperkosa..," jawab Panji yang tentu saja sudah dapat menebak. Karena Nenek Muka Setan telah menjelaskan siapa pembunuh yang dicarinya.
"Itulah yang menyambut kepulanganku. Dan keadaannya benar-benar mengenaskan! Tubuh murid satu-satunya yang telah kuanggap sebagai anakku sendiri itu, kudapati terbujur kaku di atas pembaringan dan tanpa selembar benang pun yang melekat di tubuhnya! Pada beberapa bagian tubuhnya terdapat luka bekas cakaran dan gigitan. Pada wajahnya terdapat luka memar bekas tamparan dan pukulan. Selain itu, aku menemukan adanya bau sejenis racun yang kuketahui kemudian sebagai pembangkit birahi!" sampai di sini Nenek Muka Setan tak sanggup menahan linangan air mata. Kemudian terdengar isaknya yang berusaha ditahan, tapi akhirnya meledak menjadi tangis memilukan.
Panji menarik napas dalam-dalam. Kedua matanya menjadi nanar melihat betapa Nenek Muka Setan menangis sampai sedemikian pilunya. Panji mengerti betapa hancur hati perempuan tua itu. la tidak berusaha, menghentikan tangis Nenek Muka Setan, karena ia tahu hal itu dapat membuat dada Nenek Muka Setan menjadi lega.
"Betapa malangnya nasib muridku itu...," Nenek Muka Setan kembali melanjutkan ceritanya dengan suara parau, "Setidaknya ia dipermainkan selama tiga hari oleh jahanam laknat Pangeran Sokapanca. Selama itu muridku terus dijejali racun perangsang! Setelah merasa puas mempermainkan, manusia jahanam itu menikam jantung muridku dengan pedang milikku yang telah kuhadiahkan kepada muridku itu. Untungnya jahanam itu tidak sadar betapa pada saat menikamkan pedang, muridku sempat mencengkeram pakaiannya hingga koyak. Dari pakaian serta kancing yang terbawa pada sobekan itu, aku tahu kalau yang melakukan perbuatan terkutuk itu seorang pembesar tinggi kerajaan. Setelah kuselidiki, kancing itu hanya dimiliki keluarga raja. Dan dari nama yang ditulis muridku di atas pembaringan dengan menggunakan darahnya, aku bisa menebak bahwa pelaku dari perbuatan terkutuk itu Pangeran Sokapanca. Meskipun yang ditulis muridku hanya nama depannya. Penjagaan di istana sangat ketat dan banyak orang-orang pandai yang mengabdikan diri di sana. Aku tak ingin mati konyol dengan menurutkan nafsu marah. Kutunggu dengan sabar kesempatan yang aku yakin bakal datang itu. Sayang kesempatan itu pun tidak membawa hasil karena salah ku sendiri. Aku ingin agar pangeran laknat itu mati dengan perlahan-lahan. Siapa sangka kalau Gada Penghancur Tulang yang dalam masa tuanya ingin mendapatkan kedudukan terhormat, tiba-tiba muncul dan mengalahkan aku," Nenek Muka Setan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Kemudian melemparkan pandangannya, jauh menerawang ke angkasa raya.
"Lalu, apa rencanamu sekarang, Nek?" tanya Panji memecah keheningan yang berlangsung cukup lama di antara mereka.
"Aku akan bersabar untuk menunggu kesempatan berikut. Mudah-mudahan saja masih ada...!" jawab Nenek Muka Setan dengan helaan napas panjang. Tampaknya ia tidak begitu yakin kalau kesempatan masih ada. Nenek Muka Setan sadar kalau Pangeran Sokapanca tentu tidak berani meninggalkan istana tanpa pengawalan kuat.
"Mungkin kesempatan itu akan datang, Nek...," ujar Panji yang tentu saja bukan sekadar menghibur. Sebab, jika Pangeran Sokapanca menaruh dendam terhadap Ki Dawung dan murid-muridnya, ada kemungkinan akan meninggalkan istana untuk membalas sakit hati dan kekalahannya.
"Apa alasanmu berkata demikian, Panji? Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku?" tanya Nenek Muka Setan menatap tajam wajah Panji.
Merasa tidak perlu lagi menyembunyikan apa yang hendak dikerjakannya, Panji pun menceritakan tentang perbuatan Pangeran Sokapanca terhadap Perguruan Tapak Jalak. Semua dipaparkan dengan jelas, berikut dugaan-dugaannya tentang sikap yang kemungkinan dilakukan Pangeran Sokapanca.
Nenek Muka Setan berseri wajahnya setelah mendengar cerita Panji. Karena harapan yang semula dirasakan sangat kecil, terbuka lebar. "Lalu, apa rencanamu, Panji?"
"Aku berniat hendak menyelidiki ke kotaraja untuk mencari berita," jawab Panji berterus terang.
"Hhh..., pemuda tampan dan menarik sepertimu tentu malu melakukan perjalanan bersama seorang perempuan peot yang berwajah menakutkan seperti aku...," desah Nenek Muka Setan sambil membuang pandangannya menatapi sawah-sawah yang menghampar.
"Ha ha ha...! Kau sengaja hendak memojokkanku! Perkataanmu jelas sangat sulit untuk kujawab," tukas Panji tertawa, lepas. Karena ia mengerti ke mana maksud tujuan ucapan Nenek Muka Setan itu. "Jangan khawatir, Nek! Aku tak takut walaupun gadis-gadis cantik tak sudi menoleh kepadaku. Karena aku sudah mempunyai seorang bidadari yang bagiku tidak ada bandingannya di dunia ini," lanjutnya, membuat Nenek Muka Setan mengikik.
"Kalau begitu, tak ada halangan bagiku untuk menyertaimu ke kotaraja...!" seru Nenek Muka Setan gembira.
"Tentu saja tidak..," sahut Panji cepat Kemudian bergerak meninggalkan dangau.
Mendengar ucapan Panji, Nenek Muka Setan langsung saja melompat keluar dari dangau. Kendati kesehatannya belum sepenuhnya pulih, nenek ini sudah merasa sanggup menempuh perjalanan ke kotaraja. Adanya Panji yang ternyata Pendekar Naga Putih, membuatnya yakin dendam akan terbalaskan. Walaupun Panji tidak berkata sesuatu, namun Nenek Muka Setan percaya kalau Panji akan membantunya. Nenek Muka Setan merasa langkahnya ringan saat mengikuti Panji ke kotaraja.
********************
TUJUH
Sepasang muda-mudi melangkah agak cepat menerobos semak-semak belukar hutan. Mereka adalah Sujiwa dan Kuntini, yang pergi meninggalkan Perguruan Tapak Jalak atas perintah Ki Dawung. Semula keduanya tidak setuju, terutama Sujiwa. Semenjak kecil ia telah menerima budi Ki Dawung, gurunya. Dan kini, saat menghadapi ancaman bahaya, Ki Dawung justru menyuruhnya untuk pergi menyelamatkan diri bersama Kuntini. Baik Sujiwa maupun Kuntini tidak bisa membantah. Karena keputusan Ki Dawung tidak bisa dirubah lagi. Pemuda itu hanya bisa berjanji untuk menjaga Kuntini, putri tunggal gurunya dengan taruhan nyawa.
"Kuntini, kelihatannya kau sangat lelah, sebaiknya kita beristirahat dulu...," ujar Sujiwa kepada kekasihnya. Dia merasa terharu melihat betapa wajah Kuntini yang biasanya berseri-seri, kini tampak pucat. Bahkan gadis itu telah kehilangan sifat periangnya. Selama di perjalanan tak terdengar suaranya. Hal ini membuat Sujiwa merasa berdosa dan paling bersalah.
Kuntini tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk lemah. Kemudian duduk menyandarkan tubuhnya di batang pohon beralaskan dedaunan kering, Kuntini memang merasa lelah. Lelah lahir batin. Sudah hampir tujuh hari ia menempuh perjalanan bersama kekasihnya, guna menghindarkan diri dari pengejaran Pangeran Sokapanca. Dan selama ini mereka jarang sekali istirahat.
Terlebih pada hari-hari pertama sejak meninggalkan rumah perguruannya. Jangankan pagi atau siang hari, malam pun mereka tetap melanjutkan perjalanan. Hal itu mereka lakukan karena pesan ayahnya Kuntini, untuk pergi secepat dan sejauh-jauhnya dari jangkauan Pangeran Sokapanca.
"Kuntini...," Sujiwa memanggil nama kekasihnya dengan suara bergetar, "Aku menyesal sekali telah membuatmu menderita seperti ini. Seharusnya hal ini tak perlu kita lakukan. Karena aku sudah..."
"Sudalah, Kakang. Jangan bicarakan hal itu lagi..," Kuntini langsung memotong ucapan kekasihnya. "Aku lebih suka begini daripada harus menjadi istri Pangeran Sokapanca yang sama sekali tidak kucintai..."
"Tapi aku tak tega melihat kau selalu murung dan jarang berbicara. Aku... merasa berdosa, Kuntini!" tukas Sujiwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh iba.
"Kakang, sampai saat ini aku masih tetap mencintaimu. Maaf kalau sikapku selama ini telah membuat kau salah mengerti. Benar aku merasa lelah lahir batin. Tapi itu bukan berarti aku menyalahkanmu. Aku... aku selalu memikirkan Ayah. Demikian besar pengorbanan beliau hanya karena ingin agar anaknya berbahagia. Itu yang membuatku selalu termenung dan hampir tidak pernah berbicara, Kakang. Harap kau mengerti. Aku masih memerlukan waktu untuk melenyapkan semua pikiran dan perasaan ini..,," jelas Kuntini yang tentu saja tidak menyangka kalau kekasihnya merasa tersiksa oleh sikapnya.
Sujiwa tersenyum penuh kasih. Dipegangnya wajah gadis itu dengan kedua tangan. Penjelasan Kuntini telah membuat dadanya terasa lapang. Kendati masih ada perasaan bersalah terselip di hatinya, tapi tidak lagi terasa berat.
"Aku mendengar suara gemericik air. Mungki ada sungai tidak jauh dari tempat ini. Rasanya aku ingin membersihkan dan menyegarkan tubuh," ujar Kuntini tiba-tiba. Kemudian bergerak bangkit. Ditelengkan kepalanya seperti hendak memastikan dari arah mana suara gemericik ituberasal.
"Kau tunggu saja di dini, Kakang! Sumber suara gemericik itu datang dari arah selatan."
Sebelum Sujiwa sempat mengatakan apa-apa, tubuh Kuntini sudah melesat ke selatan, la tidak berusaha mencegah. Karena sumber air itu memang tidak jauh. Telinganya juga mendengar dengan jelas. Dan menurut perhitungannya paling jauh sekitar sepuluh tombak lebih. Maka ia memutuskan untuk menunggu Kuntini di tempat itu.
Setengah berlari, Kuntini bergerak menuju sumber air dengan maksud untuk membersihkan tubuhnya. Suara gemericik itu ternyata berasal dari sebatang aliran sungai berair jernih. Kuntini turun, karena aliran sungai itu berada di dataran yang lebih rendah. Namun, ketika baru saja tiba di tepian sungai tiba-tiba terdengar suara orang berteriak!
"Hei...!" Kaget dan tak menyangka kalau di sekitar tempat itu ada orang lain, Kuntini tersentak menoleh. Dan, apa yang disaksikannya membuat paras Kuntini menjadi merah bagai terbakar.
"Ihhh...!" Kuntini berseru tertahan dan langsung memalingkan wajah. Karena sewaktu menoleh, ia melihat ada seorang kakek cebol tengah berdiri di atas sebongkah batu, kurang lebih dua tombak dari tempatnya berdiri. Tentu saja Kuntini menjadi jengah. Karena kakek itu berdiri tanpa selembar pakaian pun yang melekat di tubuhnya. Kakek itu telanjang bulat!
"Bocah edan! Sudah tahu aku telanjang, eh, malah sengaja menoleh. Dasar perempuan genit! Awas, kubalas kau!" kakek bertubuh cebol itu memaki. Bergegas ia menyambar pakaian dan mengenakannya terburu-buru.
Namun Kuntini sudah tidak mendengarkan makian kakek itu. Keinginannya untuk mandi lenyap seketika. Ia langsung melompat naik meninggalkan tempat itu. Tapi...
"Heh heh heh...! Mau lari ke mana kau, Perempuan Genit!"
Kuntini terpekik kaget, karena tahu-tahu kakek cebol yang tadi sudah berdiri menghadang di hadapannya. Kakek itu menyeringai memperlihatkan beberapa buah giginya yang tanggal.
"Maaf, Kek! Aku tak tahu kalau kau ada di tempat ini," ujar Kuntini yang menghentikan langkahnya. Kemudian meminta agar kekek itu membiarkannya pergi.
"Enak saja! Kau sudah melihat seluruh tubuhku tanpa pakaian! Untuk itu kau tidak boleh pergi sebelum aku membalas perbuatanmu itu!" bentak kakek cebol ini berkacak pinggang, kemudian kembali menyeringai.
Mendengar kakek itu tidak mempedulikan permintaan maafnya, malah hendak membalas, Kuntini menjadi marah. Ditentangnya pandang mata kakek itu tanpa rasa takut sedikit pun. "Jadi apa yang kau inginkan dariku sebagai penebus kesalahan yang tidak kusengaja tadi?" tantang Kuntini saking jengkelnya.
"Hm... mudah saja. Karena kau sudah melihatku dalam keadaan telanjang, maka aku pun harus melihatmu berdiri di depanku tanpa pakaian. Dengan begitu baru aku merasa puas. Hayo, sekarang buka pakaianmu!"
"Permintaan gila! Otakmu pasti sudah tidak waras! Aku tak sudi!" maki Kuntini yang tentu saja menjadi marah bukan main. Wajahnya semakin merah saking marahnya. Tentu saja ia tidak sudi menuruti permintaan gila itu.
"Eh, jadi kau tidak mau? Kalau begitu, aku akan memaksamu!" bentak kakek cebol yang berkeras hendak membalas apa yang dilakukan Kuntini. Maka, sewaktu Kuntini melompat pergi tidak mau melakukan apa yang dimintanya, kakek cebol itu pun mengejar mencegah Kuntini pergi. Bahkan sudah mengulur kedua tangannya hendak melepas pakaian gadis itu secara paksa.
"Kurang ajar, mau apa kau, Kakek Sinting!" bentak Kuntini kaget melihat kecepatan gerak kakek cebol itu. Cepat ia mengibaskan tangannya mencegah perbuatan kakek yang memaksa hendak menelanjanginya. Bukan main kagetnya hati Kuntini ketika melihat kecepatan gerak kakek itu. Kibasan tangannya mengenai angin kosong. Karena tangan kakek itu tahu-tahu meliuk dan menjambret pakaiannya di bagian leher. Dan...
Breeettt!
"Aaauuuwww...!" Kuntini memekik dengan wajah semakin merah. Kali ini bukan cuma karena marah, tapi juga malu dan terhina. Karena tangan kakek itu telah membuat bagian dada kirinya terbuka. Cepat Kuntini melipat tangan kirinya, menyembunyikan dada kiri yang terbuka. "Kakek sinting, tidak tahu malu! Kubunuh kau...!" sambil membentak marah, Kuntini mencabut pedang di pinggangnya. Kemudian langsung disabetkan ke tubuh kakek cebol itu.
Bweeettt!
Sambaran pedang Kuntini hanya membeset angin. Kakek cebol itu sudah berkelit untuk kemudian kembali hendak merobek sisa pakaiannya. Gerakannya yang demikian cepat laksana sambaran kilat, membuat Kuntini tak bisa lagi mengelak. Tangan kakek itu kembali menjambret sisa pakaiannya.
"Heh heh heh...! Tubuhmu ternyata lebih halus daripada badan kerbau! Wah, tentu akan jauh lebih menarik kalau sudah kelihatan seluruhnya...," kakek cebol itu terkekeh sambil menjilat-jilat bibirnya hingga menimbulkan suara berkecipak. Kakinya melangkah menghampiri Kuntini, yang kali ini sudah tidak berdaya lagi Karena kedua tangannya digunakan untuk menutupi dada yang sudah tidak tertutup pakaian lagi. Ia lari hendak bersembunyi ke balik pepohonan.
"Kakang Sujiwa, tolooong...!" saking ngeri dan paniknya, Kuntini berteriak minta tolong kepada kekasihnya. Belum lagi gema teriakan Kuntini lenyap, sesosok tubuh berkelebat dan langsung menghadang kakek cebol yang tengah menghampiri Kuntini.
“Tahan...!" bentak pemuda yang tak lain Sujiwa. Pemuda ini langsung meninggalkan tempatnya ketika telinganya menangkap suara orang bertengkar. Terkejut bukan main Sujiwa ketika melihat kekasihnya berlari dengan tubuh bagian atas terbuka dan tengah dikejar seorang kakek cebol. Tanpa berpikir dua kali, langsung saja ia melompat menghadang.
"Minggir kau, Bocah! Aku tak punya urusan denganmu," melihat seorang pemuda menghadangnya, kakek cebol itu langsung mengibaskan tangannya.
Terkejut bukan main Sujiwa ketika tahu-tahu telapak tangan kakek cebol sudah berada dekat dadanya. Sadar kalau yang dihadapinya bukan kakek sembarangan, cepat ia sabetkan tangan kanan menangkis dorongan telapak tangan kakek cebol itu. Namun untuk kedua kalinya Sujiwa dibuat kaget. Dengan sebuah liukan aneh, tangan kakek itu berputar menghindari tangkisan Sujiwa. Tenis meluncur cepat dengan sebuah tamparan ke punggung pemuda itu.
Buk!
"Hugh!" Sujiwa terjerunuk dan nyaris terjatuh dengan wajah lebih dulu. Namun pemuda itu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya dengan gerak berputar melingkar. Kendati agak terhuyung beberapa langkah, Sujiwa selamat dan tidak sampai terbanting.
"Keparat...!" Sujiwa mendesis ketika melihat kakek cebol itu terus menghampiri Kuntini. Cepat ia melesat untuk mencegahnya.
"Hyaaattt...!"
Dengan disertai lengkingan keras, Sujiwa melepaskan pukulannya ke tubuh belakang lawan. Tetapi dengan mudah kakek cebol itu menghindarinya. Sehingga pukulan Sujiwa tidak mengenai sasaran. Sujiwa sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Maka ketika serangan pertamanya luput, ia langsung menyusuli dengan serangkaian pukulan dan tendangan. Sujiwa mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, membuat pukulan dan tendangannya mendatangkan angin berkesiutan.
Namun, untuk kesekian kalinya ia dibuat kaget juga kagum melihat kemampuan lawan mengatasi serangannya yang bertubi-tubi. Kakek cebol melompat-lompat tidak beraturan, mirip cacing kepanasan. Anehnya gerakannya membuat serangan-serangan Sujiwa selalu menemui kegagalan. Bahkan ketika kakek itu mulai membalas dengan tetap melompat-lompat, Sujiwa-lah yang kelabakan. Sehingga....
Plak! Buk!
"Aaakh!" Dua buah tamparan keras membuat tubuh Sujiwa terpelanting tanpa ampun. Meskipun tidak sampai membuatnya tewas, tulang-tulang tubuhnya dirasakan seperti remuk. Jalan napasnya pun terasa tersumbat, membuat Sujiwa terengah dengan wajah pucat. Sujiwa sudah putus asa dan merasa tak berdaya untuk membela kekasihnya. Mendadak, saja ia mendapatkan sebuah pikiran untuk mencegah kakek cebol itu mencelakai Kuntini.
"Tunggu, jangan ganggu gadis itu! Ia calon istri seorang pangeran yang bernama Sokapanca!" merasa tidak ada jalan lain untuk dapat menyelamatkan Kuntini, Sujiwa terpaksa menggunakan kata-kata itu. Sujiwa sedikit lega ketika melihat langkah kakek cebol itu terhenti, la tahu ucapannya mendapat tanggapan. Dan bertambah yakin ketika kakek cebol itu berbalik menatapnya lekat-lekat
"Calon istri seorang pangeran kau bilang?! Kalau begitu ia bakal menjadi mantu raja?" tanya kakek cebol tampak belum percaya betul.
"Benar. Dan kalau kau berani mengganggunya, berarti kau siap untuk menjadi buronan kerajaan!" tandas Sujiwa meneruskan sandiwaranya menakut- nakuti kakek itu.
"Tapi... mengapa ia bisa berada di tempat ini? Dan kau ada hubungan apa dengan gadis itu?"
"Aku seorang abdi istana berpangkat perwira menengah yang ditugaskan untuk menjemput calon istri junjunganku. Tapi di tengah perjalanan kami dihadang perampok. Pengawal-pengawalku tewas. Lalu kami melarikan diri tanpa mempedulikan arah, hingga sampai ke hutan ini," jawab Sujiwa, semakin mempertajam siasatnya, karena kakek cebol itu sangat tertarik hingga lupa akan niatnya semula.
Mendengar penjelasan Sujiwa yang panjang lebar, kakek cebol manggut-manggut seperti burung kuntul. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir keras. "Hm..., kalau begitu...," ujar kakek cebol itu sambil tetap berpikir, "Aku akan mengawal kalian sampai ke kotaraja. Tentunya Pangeran Sokapanca akan gembira sekali, dan memberi hadiah besar kepadaku..."
"Celaka...!" desis Sujiwa dalam hati. Wajahnya berubah, karena merasa siasatnya malah berbalik dan bisa mencelakakan dirinya serta Kuntini. Sujiwa memutar otak mencari jawabannya.
"Hei, mengapa kau diam saja? Kau takut ya, kalau hadiahmu akan berkurang?" bentak si Kakek tak sabar melihat Sujiwa bungkam.
"Bukan begitu, Kek. Tapi..."
"Aaah, sudahlah! Ini kesempatan bagus buatku. Siapa tahu Pangeran Sokapanca berkenan mengangkatku untuk menjadi pengawal pribadinya. Ayo, kita berangkat!" ujar kakek cebol itu memotong ucapan Sujiwa.
"Tidak, biar aku sendiri yang akan mengantarkannya!" karena tidak melihat jalan lain, akhirnya Sujiwa nekat, la melompat bangkit dan mencabut pedangnya.
Si Kakek Cebol tidak peduli, disambarnya buntalan pakaian Sujiwa yang tergeletak di tanah. Kemudian melesat ke arah Kuntini, dan melemparkan buntalan pakaian itu.
"Cepat kenakan pakaian, Calon Pengantin! Aku akan mengantarmu ke kotaraja!" seru kakek cebol, kemudian berbalik menghadapi Sujiwa yang berusaha mengejarnya.
"Kau tak berhak melakukan hal itu, Kakek Sinting!" bentak Sujiwa yang sudah memutar pedangnya sekuat tenaga. Kemudian menerjang dengan ganasnya.
"Bocah serakah!" geram kakek cebol yang segera menghindar, dan balas melakukan sebuah tamparan dengan gerak cepat.
Whuttt...!
Sujiwa berhasil mengelak kendati tubuhnya agak terhuyung karena kedudukannya memang tidak bagus. Kemudian melesat ke depan dengan sambaran pedangnya yang bertubi-tubi. Namun semua itu dapat dihindarkan lawan. Bahkan setelah lewat lima jurus kemudian, Sujiwa tak mampu lagi menyelamatkan diri. Sebuah tamparan keras membuat tubuhnya terpelanting!
Tanpa mempedulikan lawannya, kakek cebol itu berbalik dan menghampiri tempat Kuntini berada. Gadis itu sendiri baru saja selesai berpakaian, dan melangkah keluar dengan wajah pucat. Kuntini cemas bukan main melihat kekasihnya terbanting keras, dan tidak mampu untuk bangkit
"Kakek jahat, kau harus merima balasannya...!" Kuntini yang tak dapat menahan kemarahan melihat kekasihnya terluka, segera menerjang kakek cebol itu dengan jurus-jurus tangan kosong.
"Wah, kau pun sama bandel dengan bocah laki-laki itu...," ujar kakek cebol yang langsung menyambut serangan Kuntini. Dengan kedua telapak tangannya, dia menepiskan setiap pukulan dan tendangan Kuntini.
Sehingga gadis itu terdesak. Karena setiap kali pukulan ataupun tendangannya kena tangkis lawan, tubuhnya terhuyung mundur dengan wajah menyeringai menahan sakit. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, tubuh Kuntini terkena sebuah totokan yang membuatnya lumpuh. Tubuh Kuntini tidak sampai roboh ke tanah, karena langsung disambar lawannya dan dibawa pergi menuju kotaraja.
Sujiwa sudah bergerak bangkit dan sempat melihat ketika Kuntini dibawa pergi kakek cebol itu. Namun dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Tulang iganya patah akibat tamparan keras tadi. Meskipun begitu. Sujiwa bertekad untuk menyusul ke kotaraja. Dia rela mengorbankan nyawa demi menolong kekasihnya. Terlebih gurunya telah mempercayakan keselamatan Kuntini kepadanya. Maka, dengan tertatih-tatih, Sujiwa meninggalkan hutan itu untuk menyusul ke kotaraja.
********************
Perjalanan Panji dan Nenek Muka Setan ternyata tidak selancar yang mereka perhitungkan. Prajurit- prajurit kerajaan telah menyebar ke berbagai desa. Keduanya terpaksa menjauhi jalan-jalan umum ataupun pedesaan, karena di beberapa desa yang hendak mereka lalui, terdapat prajurit kerajaan berjaga-jaga. Mereka menahan serta menanyai setiap pendatang, yang bukan warga desa setempat.
Hal ini dikarenakan laporan palsu Pangeran Sokapanca, yang menuduh Ki Dawung bersama murid-muridnya sebagai pemberontak. Akibatnya di desa diadakan pembersihan. Orang-orang yang dicurigai langsung ditangkap, dan baru dilepaskan setelah terbukti benar-benar tidak bersalah.
"Tidak kusangka kalau keadaan bisa berkembang sedemikian gawat! Dalam suasana seperti ini, sudah pasti sangat sulit untuk bisa masuk kotaraja," ujar Panji yang saat itu tengah berjalan menelusuri sebuah hutan karet yang luas.
"Lalu, apakah kau akan membatalkan niatmu?" tanya. Nenek Muka Setan menimpali sambil tetap melangkah disampingnya.
"Menurutmu sendiri bagaimana, Nek? Tujuan kita ke kotaraja adalah untuk menyelidiki Pangeran Sokapanca. Sedangkan saat ini ia tidak berada di istana karena sedang mencari Ki Dawung dan murid-muridnya," tanya Panji yang mulai ragu. Ia memang ingin tahu apakah kekejaman serta kebiadaban pangeran itu tidak diketahui pihak istana. Hal inilah yang membuat Panji ragu. Sebab tujuan utamanya memang Pangeran Sokapanca.
"Menurutku, sebaiknya pangeran laknat itu yang kita urus lebih dulu. Aku khawatir ia dan pasukannya dapat menemukan orang-orang Perguruan Tapak Jalak. Mereka pasti akan dibantai habis jika sampai ditemukan," Nenek Muka Setan mengutara- kan pendapatnya.
"Yah, aku pun mencemaskan nasib mereka, ujar Panji yang akhirnya mengikuti pendapat Nen Muka Setan. Segera saja keduanya memutar untuk menunda kepergian ke kotaraja. Kali ini keduanya melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat, karena khawatir keduluan pihak kerajaan.
"Nek, apakah kau mendengar ada suara-suara orang bertempur?" tanya Panji seraya memperlambat larinya. Saat itu mereka tengah melintasi sebuah hutan kecil.
"Aku tak mendengar apa-apa, Panji. Tapi aku percaya dengan ketajaman telingamu. Sebaiknya kau cari sumber suara pertempuran itu!" sahut Nenek Muka Setan dengan suara agak keras.
Tanpa membuang waktu lagi, Panji segera mencari sumber suara yang didengarnya, la memutar arah larinya dan bergerak menuju ke sebel timur hutan kecil itu. Nenek Muka Setan tetap mengikuti di sampingnya. Suara-suara orang bertempur yang semakin jelas terdengar oleh Panji dan mulai tertangkap telinga Nenek Muka Setan, membuat keduanya menambah kecepatan. Sampai akhirnya mereka menemukan adanya dua orang yang sedang bertarung sengit.
"Kenanga...?!" desis Panji agak heran ketika melihat salah satu dari kedua orang yang tengah bertarung itu. Langsung saja ia melesat dengan kecepatan penuh. Karena Kenanga kelihatannya tengah terdesak.
"Hentikan pertempuran...!" seru Panji langsung melayang ke tengah arena. Sambil meluncur turun ia mengibaskan tangannya untuk menghentikan gempuran orang yang menjadi lawan kekasihnya.
Bressshhh...!
Kibasan tangan Panji yang mengandung hawa dingin menggigit itu, membentuk sebuah gelombang tenaga sakti yang kuat. Tubuh Panji kembali melenting ke udara. Baru kemudian meluncur turun di dekat Kenanga yang juga melompat mundur. Sedangkan orang yang menjadi lawan Kenanga terjajar mundur. Di wajahnya jelas terbayang rasa kaget. Karena benturan itu sempat membuat tubuhnya menggigil untuk sesaat.
"Kakang!" seru Kenanga menarik napas lega, "Kakek itu sangat mencurigakan. Tubuh perempuan muda yang dipondongnya kurasa ada dalam pengaruh totokan. Dan ketika aku tanya baik-baik ia malah marah-marah. Lalu mengancam agar aku tak mencampuri urusannya sambil mendorongkan telapak tangannya yang merupakan pukulan jarak jauh. Aku semakin curiga dan meminta untuk menyerahkan gadis itu kepadaku. Tapi ia malah menyerangku. Hingga kami bertarung," lanjutnya menjelaskan tanpa diminta.
"Heh..., dia Setan Cebol Sinting, yang merupakan salah satu gembong golongan sesat!" Nenek Muka Setan menerangkan sebelum Panji membuka suara.
"Haa..., kiranya kau, Nenek Muka Setan!" geram Setan Cebol Sinting, yang memang bertubuh cebol dan berusia lanjut.
Perempuan dalam pondongannya adalah Kuntini, yang hendak dibawanya ke kotaraja. Seperti halnya Panji dan Nenek Muka Setan, kakek cebol itu pun rupanya menjauhi jalan-jalan umum. Karena ia tidak ingin membuat keributan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang terdapat hampir di setiap desa. Sedangkan ia sendiri hendak menemui seorang pangeran. Untuk itu ia harus menghindari bentrokan dengan pihak kerajaan.
"Rupanya kesintinganmu makin bertambah saja, Setan Cebol Sinting. Bahkan masih juga sanggup menggauli gadis muda seperti yang tengah kau pondong itu. Apakah ia sudah kau gauli? Lalu hendak kau bawa ke mana sekarang?" ejek Nenek Muka Setan yang tentu saja membuat wajah kakek cebol memerah.
"Jangan sembarangan bicara kau, nenek peot jelek muka setan! Gadis yang kubawa ini bukan gadis sembarangan. la akan membawa keberuntungan buatku. Karena ia calon istri Pangeran Sokapanca! Kau tentu kaget mendengarnya, bukan?" tukas Setan Cebol Sinting sraya memperdengarkan tawanya.
Bukan cuma Nenek Muka Setan yang menjadi kaget. Panji dan Kenanga pun terperanjat mendengar ucapan kakek cebol itu. Pasangan pendekar muda ini saling berpandangan beberapa saat. Mereka sama-sama teringat cerita Ki Dawung, yang mempunyai putri tunggal dan telah diungsikan karena lamaran Pangeran Sokapanca. Namun karena keduanya belum mengenal rupa putri tunggal Ki Dawung, mereka tidak bisa memastikan.
Panji maju mendekat untuk bertanya. Namun niatnya sudah didahului Nenek Muka Setan yang menerjang Setan Cebol Sinting dengan tongkatnya. Si Kakek Cebol menyambut serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya. Hingga, sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit!
DELAPAN
"Hyaaattt..!"
Nenek Muka Setan terus merangsek maju. Tongkatnya menyambar-nyambar ganas. Namun semua serangan itu dapat ditepiskan dengan mudah oleh Setan Cebol Sinting. Kendati hanya menggunakan sebelah tangan, kakek cebol itu ternyata tak merasa kerepotan. Bahkan sempat membuat lawan kewalahan dengan serangan balasan yang cepat dan mengandung kekuatan hebat.
"Rasakan akibat keusilanmu...!" Saat pertempuran memasuki jurus kelima belas, Setan Cebol Sinting membentak sambil melepaskan sebuah pukulan maut.
Nenek Muka Setan yang memang agak kewalahan, kaget bukan main! Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari pukulan maut lawan. Kemudian berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun. Sebelum Setan Cebol Sinting dan Nenek Muka Setan melanjutkan pertarungan, Panji segera melesat ke arena. Kemudian berseru agar keduanya menunda pertempuran.
"Tahan...!"
Seruan yang mengandung getaran kuat itu, membuat Setan Cebol Sinting mengurungkan serangan susulannya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat. "Siapa kau, Bocah Ingusan...? Menyingkirlah, dan jangan campuri urusanku!" tegur Setan Cebol Sinting dengan sikap mengancam.
Ancaman itu sama sekali tak membuat Panji gentar. Dia tersenyum dan melangkah maju empat tindak, membuat jarak di antara mereka semakin dekat Tapi, sewaktu Setan Cebol Sinting bertempur dengan Nenek Muka Setan, ia sudah memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya. Ia sudah menemukan jalan yang tidak akan membahayakan gadis dalam pondongan Setan Cebol Sinting. Sebab, untuk menggunakan kekerasan, ia khawatir kakek itu akan menggunakan tawanannya sebagai tameng. Maka, Panji pun mulai dengan siasatnya.
"Setan Cebol Sinting, aku sama sekali tak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi aku merasa tertarik setelah mengetahui siapa kau adanya. Kesaktianmu sudah lama kudengar. Tapi, kurasa kau tak akan mampu melawanku. Nah, apa jawabanmu kalau aku sekarang menantangmu untuk bertarung?" ujar Panji sengaja menyunggingkan senyum penuh ejekan.
Mendengar tantangan pemuda tampan berjubah putih itu, Setan Cebol Sinting tampak keheranan. Sepasang matanya berputar liar, seolah hendak mencari jawaban maksud tersembunyi dari tantangan itu. Bahkan ia sempat melirik ke arah Kenanga dan Nenek Muka Setan. Kemudian kembali menatap Panji.
"Kau boleh menjawab tantanganku, Kek? Apa kau takut kalah olehku di hadapan mereka?" desak Panji dengan nada menghina sambil menujuk Kenanga dan Nenek Muka Setan.
"Hih hih hih...! Ketahuilah, Panji. Pada dasarnya Setan Cebol Sinting adalah seorang kakek pengecut! Jelas ia tak akan berani menerima tantanganmu!" Nenek Muka Setan rupanya mulai paham maksud ucapan-ucapan Panji, maka ia pun ikut memanasi Setan Cebol Sinting dengan kata-kata hinaan.
"Keparat! Aku tahu kalian bertiga hendak mengeroyokku! Heh heh heh...., jangan kalian kira aku bodoh! Tidak bisa...!" tukas Setan Cebol Sinting menggoyang-goyangkan telapak tangannya dengan bibir dimonyongkan.
"Hm..., aku bukan pengecut, Kek. Aku tak akan melawanmu dengan mengandalkan keroyokan! Nah, apa jawabanmu? Kalau kau takut, serahkan saja gadis itu, dan pergi dari sini!" ujar Panji menyanggah dugaan kakek itu.
"Ahaaa... aku tahu sekarang! Kalian bertiga pasti telah mengatur rencana licik. Mereka berdua pasti akan mengambil gadis ini selagi aku bertempur denganmu, bukan?" Setan Cebol Sinting kembali mengajukan dugaannya.
"Kami tak serendah itu, Kek. Aku menantangmu bertarung tanpa campur tangan mereka. Atau kalau kau khawatir, biarlah kita bertarung untuk memperebutkan gadis tawananmu itu. Kalau aku kalah kau boleh bunuh aku dan tinggalkan tempat ini. Sebaiknya kalau aku yang menang, kau harus pergi dan menyerahkan gadis itu kepadaku. Bagaimana, apakah kau berani bertarung melawanku untuk memperebutkan gadis itu?"
"Kau dan kawan-kawanmu tak akan berbuat curang...?" Setan Cebol Sinting masih ragu-ragu dan minta ketegasan Panji.
"Aku tak akan menjilat ludahku sendiri!" tegas Panji merasa gembira melihat usahanya menunjukkan hasil.
Nenek Muka Setan dan Kenanga juga mengucapkan janjinya ketika Setan Cebol Sinting menoleh ke arah mereka berdua.
"Baik! Kuterima tantanganmu, Bocah" Setan Cebol Sinting segera melangkah ke arah sebatang pohon besar. Kemudian meletakkan tubuh Kuntini di atas rerumputan. Lalu kembali menemui Panji.
Panji segera menggeser langkah ke kanan. Setan Cebol Sinting juga bergerak dengan arah berlawanan. Kemudian...
"Hyaaat..!"
Dibarengi sebuah lengkingan panjang memekakkan telinga, Setan Cebol Sinting melompat maju disertai serangan-serangan mautnya. Tangan kanannya meluncur dengan gerakan mencengkeram ke arah tenggorokan lawan. Sedang tangan kirinya menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung. Suara angin berkesiutan mengiringi datangnya kedua serangan maut itu.
Panji maklum akan kedahsyatan serangan itu. Dia cepat menggeser tubuhnya dua langkah ke samping. Satu tendangan lurus dilepaskan mengarah ke lambung lawan yang kini berada di depannya. Namun Setan Cebol Sinting tak tampak gugup. Tusukan jari-jari tangannya yang gagal, meliuk cepat memapas tendangan Panji.
Plak!
Benturan keras itu membuat tubuh Setan Cebol Sinting terdorong mundur beberapa langkah. Panji sendiri sempat tergetar mundur. Setelah saling tatap sejenak, mengagumi kehebatan masing-masing, keduanya kembali melanjutkan pertarungan. Pertarungan kali ini jauh lebih hebat dari semula. Keduanya telah menggunakan ilmu andalan masing- masing. Demikian cepat gerakan tubuh mereka hingga terlihat hanya merupakan dua sosok bayangan yang saling desak satu sama lain.
Buk! Plak!
Berturut-turut kedua pasang lengan itu saling bertemu. Kali ini tubuh Setan Cebol Sinting terlempar sampai satu setengah tombak. Sedangkan Panji hanya merasakan tubuhnya bergetar akibat benturan itu. Hal ini bukan karena tenaga dalam Panji lebih tinggi dari lawannya, tapi posisinya memang lebih menguntungkan. Sedang soal kekuatan, Panji harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang berimbang.
"Haiiit..!"
Sadar akan kehebatan lawan, Panji segera menggunakan jurus pamungkas dari rangkaian ilmu 'Silat Naga Sakti'nya. Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Sepasang tangannya menyambar disertai hawa dingin luar biasa, yang membuat arena pertarungan bagai dilanda badai salju.
"Gila, tak kusangka kalau bocah ini ternyata memiliki kepandaian yang hebat! Rasanya aku tahu siapa dia sebenarnya! Pantas ia berani menantang kubertarung...!" Setan Cebol Sinting mendesis geram. Ia kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya guna melawan hawa dingin yang mempengaruhi gerakannya itu. Kakek cebol ini berusaha keras menyelamatkan diri dari serangan lawan, dan sesekali membalas dengan sangat bernafsu.
Dua puluh jurus telah berlalu. Setan Cebol Sinting tampak kewalahan dan mulai terdesak. Rasa geram dan penasaran, membuat kakek cebol berbuat nekat! Saat Panji kembali menyerang dengan dorongan kedua tangannya, langsung saja disambut dengan pengerahan seluruh tenaganya.
"Heaaa...!" Setan Cebol Sinting membentak laksana ledakan petir, sambil menghentakkan kedua tangan dengan telapak terbuka.
Glarrr!
"Aaakh...!" Setan Cebol Sinting terpekik. Tubuhnya terlempar deras, kemudian terbanting jatuh ke tanah. Kakek ini terduduk dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat bagai mayat. Dari mulut dan hidungnya tampak darah mengalir perlahan. Setan Cebol Sinting menderita luka dalam yang parah akibat benturan dahsyat itu.
Sedangkan tubuh Panji yang juga terpental balik, langsung berputar tiga kali di udara, kemudian meluncur turun dengan selamat. Meski agak terhuyung, Panji tidak menderita luka. Hanya bagian dalam dadanya dirasakan masih berdebar keras. Harus diakuinya kalau Setan Cebol Sinting benar-benar merupakan seorang lawan yang sangat tangguh! Panji melangkah menghampiri Setan Cebol Sinting yang masih saja terduduk di tanah.
"Telanlah pil ini, mudah-mudahan dapat membantumu mengurangi rasa sakit..!" ujar Panji menyerahkan sebutir pil berwarna putih salju.
Setan Cebol Sinting terlihat ragu. Ditatapnya wajah Panji dengan perasaan heran. Baru kemudian menerimanya, ketika melihat Panji mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja pil itu ditelannya.
"Gadis tawananmu itu sekarang menjadi milikku," ujar Panji tersenyum. Kemudian membebaskan gadis itu dari pengaruh tatokan.
Kuntini menatap Panji, Kenanga, serta Nenek Muka Setan. Ia merasa bersyukur dirinya terbebas dari Setan Cebol Sinting, yang hendak membawanya ke kotaraja. Ketika Panji bertanya, Kuntini membantah dan mengatakan bahwa dia bukanlah calon istri Pangeran Sokapanca. Kemudian menjelaskan tentang penolakannya terhadap lamaran pangeran itu.
"Jadi kau putri tunggal Ki Dawung?" tanya Panji memotong cerita Kuntini saat gadis itu menyinggung tentang penolakannya atas lamaran Pangeran Sokapanca.
"Benar..., apakah kau kenal dengan ayahku?" tanya Kuntini penuh harap. Wajahnya berseri ketika melihat Panji tersenyum mengangguk.
"Kenanga, di mana Ki Dawung dan murid-muridnya sekarang berada? Sebaiknya kita bawa Kuntini menemui orang tuanya," ujar Panji kepada Kenanga.
"Mereka membangun sebuah tempat tinggal sekarang di dalam Hutan Lawa, sebelah selatan Desa Kalicadas. Ayolah, kuantarkan!" jawab Kenanga menerangkan.
"Anak muda!" panggil Setan Cebol Sinting yang bangkit dari duduknya ketika melihat Panji dan yang lainnya hendak pergi. "Katakan siapa kau sebenarnya agar aku tak penasaran dengan kekalahan ini?"
"Orang yang mengalahkanmu bernama Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih." Nenek Muka Setan menukas, sebelum Panji sempat menjawab, "Nah, apakah kau sudah puas sekarang?" lanjutnya terkekeh puas melihat wajah kakek cebol itu membayangkan rasa kaget.
"Sudah kuduga...," desis Setan Cebol Sinting menatapi kepergian empat orang itu. Kemudian baru melesat pergi ke arah berlawanan, setelah bayangan Panji dan yang lainnya lenyap dari pandangan mata.
********************
"Sebutkan namamu, dan berita penting apa yang kau bawa sampai berani lancang minta bertemu denganku?" Bentakan itu berasal dari Pangeran Sokapanca. Ia menatap wajah pucat lelaki berusia sekitar tiga puluh tahu lebih yang berdiri di hadapannya.
Lelaki yang mengaku bernama Jalinta ini segera menjelaskan maksud kedatangannya, la salah seorang murid Perguruan Tapak Jalak. Memberanikan diri datang menghadap Pangeran Sokapanca dan menerangkan tempat persembunyian Ki Dawung beserta murid-murid lainnya.
"Hm... mengapa kau mengkhianati guru dan saudara-suadramu? Dan imbalan apa yang kau harapkan atas jasamu ini?" tanya Pangeran Sokapanca yang tidak mau percaya begitu saja. Khawatir kalau laporan orang itu merupakan siasat untuk menjebak ia dan pasukannya.
"Hamba sakit hati karena cinta hamba ditolak Kuntini. Kecuali itu, Ki Dawung telah pilih kasih dengan lebih banyak menurunkan ilmunya kepada Sujiwa. Dua alasan inilah yang membuat hamba mencari kesempatan untuk membalas semua itu. Menurut hamba, sekaranglah waktu yang paling baik," jawab Jalinta sejujurnya, karena kesempatan seperti itu telah lama ditunggunya.
"Baik! Sekarang antarkan kami ke Hutan Lawa! Kalau ternyata bohong, kau akan kusiksa sampai mampus!" tukas Pangeran Sokapanca sambil mendorong tubuh Jalinta. Kemudian memerintahkan pasukannya agar bersiap.
Dengan berbagai macam perasaan yang mengaduk-aduk hatinya, Jalinta terpaksa ikut bersama rombongan menuju ke Hutan Lawa. Wajahnya sudah tak beda dengan mayat. Dadanya terus berdebar-debar membayangkan wajah gurunya yang akan marah besar kepadanya. Tapi, dirinya tak bisa berbuat lain. Kecuali kalau memang ingin disiksa sampai mati.
Kurang lebih setengah hari perjalanan dari Desa Kalicadas, tempat Pangeran Sokapanca menginap, saat matahari hampir tegak lurus, tibalah mereka di Hutan Lawa.
"Hei, mengapa berhenti? Ayo, tunjukkan dimana guru dan saudara-saudaramu berada?" Pangeran Sokapanca membentak marah ketika dilihatnya Jalinta ragu dan menghentikan kudanya.
"Tapi, Pangeran..."
"Jalan kataku...!" Pangeran Sokapanca membentak dan mengayunkan tangannya menampar.
Plak!
Jalinta hanya bisa mengeluh dan menyumpah-nyumpah dalam hati. la segera mengikuti perintah itu. Dan terus bergerak menuju sebelah timur hutan.
"Hm..., kepung rapat sekitar tempat itu...!" perintah Pangeran Sokapanca setelah tiba di dalam hutan, dan melihat belasan bangunan berdiri di tengah Hutan Lawa.
Namun sebelum perintah itu sempat dijalankan, dari lingkungan bangunan itu melesat keluar murid-murid Perguruan Tapak Jalak, dipimpin Ki Dawung dan Sanggaling. Mereka tampak sudah siap bertarung sampai tetes darah terakhir!
"Murid murtad! Mengapa kau lakukan semua ini, Jalinta?" Sanggaling yang melihat Jalinta di antara rombongan Pangeran Sokapanca, langsung saja menduga bahwa semua itu akibat pengkhianatan Jalinta.
"Hah hah hah...! Muridmu ini memang cerdik sekali, Ki Dawung! la benci kepada kau serta murid-muridmu yang lain. Dan menawarkan jasa dengan menunjukkan tempat persembunyian ini. la mengharapkan agar sakit hatinya kami balaskan. Bukankah begitu, Jalinta?" ujar Pangeran Sokapanca tertawa gembira. "Nah, sekarang kau balaslah sakit hatimu, Jalinta!" lanjutnya sambil menendang Jalinta hingga tersungkur dari atas punggung kuda. Tubuhnya terguling-guling mendekati guru dan saudara-saudaranya.
"Bangsat, kau tak pantas lagi untuk hidup...!" Sanggaling yang tak dapat menahan kemarahannya, langsung mengibaskan pedangnya.
Whuuuttt! Crasss!
"Aaakh...!"
Darah segar muncrat seiring lolong kematian Jalinta. Ki Dawung hanya menghela napas karena terlambat mencegah. Dia hanya bisa menyesali tindakan Jalinta, yang justru malah membuat nyawanya putus.
"Hua ha ha...! Sekarang giliran kau dan murid-muridmu untuk mati menyusulnya, Ki Dawung! Serbuuu...!" pekik Pangeran Sokapanca memberi perintah.
Senapati muda yang memimpin dua lusin prajurit itu, langsung melompat maju sambil memberi perintah. Demikian juga dengan dua orang perwira mene-lngah yang sudah bergerak maju dengan pedang di tangan. Anehnya, dua orang jagoan istana yang menyertai rombongan ini tidak kelihatan batang hidungnya?
Ki Dawung yang sadar bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dicegah lagi, langsung saja memberi perintah kepada murid-muridnya untuk menyambut serbuan lawan. Kedua belah pihak sama-sama berlari maju dengan senjata telanjang. Namun sebelum kedua belah pihak saling bertemu, tiba-tiba....
"Berhenti..!"
Suara bentakan keras menggelegar membuat mereka yang siap bertempur saling terpelanting dan jatuh bergulingan. Bahkan beberapa di antaranya langsung menggeletak pingsan, karena dahsyatnya tenaga yang terkandung dalam bentakan itu. Sehingga, keadaan pun seketika menjadi kacau.
Ki Dawung, Sanggaling, dan mereka yang berkepandaian tinggi dari pihak Pangeran Sokapanca, sama-sama mengerahkan tenaga untuk menutup pendengaran dan menenangkan isi dada yang terguncang. Sebelum mereka sempat menguasai keadaan itu, beberapa sosok tubuh melayang dengan kecepatan tinggi, dan meluncur turun di tengah-tengah kedua belah pihak yang hendak bertarung.
Pangeran Sokapanca tampak kaget. Kemudian berubah geram, ketika melihat kedua jago istana yang semula menyertainya. Sama sekali tidak menunduk. Mereka menentang pandang mata junjungannya dengan sorot mata menusuk. Terlihat gambaran pertentangan di wajah ketiganya.
"Hm..., rupanya kalian hendak ikut memberontak!" desis Pangeran Sokapanca dengan sorot mata mengancam.
"Tidak perlu berdalih lagi, Pangeran!" salah satu dari kedua jagoan itu menyahuti dengan tegas. "Semua telah berakhir. Kau tahu sendiri mengapa kami meninggalkan pasukan. Sekarang bukan kau yang mengadili kami, tapi kamilah yang harus mengadilimu, Pangeran!"
"Bedebah! Senapati, bunuh mereka berdua yang telah berkhianat!" perintah Pangeran Sokapanca kepada panglima muda yang terlihat bingung itu.
"Tahan pedangmu, Panglima!" kembali tokoh istana berkumis lebat, berseru mencegah. "Sokapanca bukanlah seorang pangeran yang harus dihormati! Ketahuilah oleh kalian semua! Pangeran Sokapanca sebenarnya lebih buas daripada harimau lapar! la selalu memperturutkan nafsu birahinya, yang senang memperkosa dan menyiksa korbannya. Tidak sedikit wanita dibunuhnya setelah merasa puas! Kami berdua sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sewaktu rombongan singgah di Desa Gagaran! Pangeran yang kalian hormati ini memperkosa, menyiksa dengan gigitan, cakaran serta pukulan, dan kemudian membunuh dua orang gadis di desa itu! Ia dengan kepandaiannya yang tinggi telah menculik kedua orang gadis malang itu. Lalu membungkam mulut Kepala Desa Gagaran, agar tidak menyebarluaskan kematian kedua orang gadis itu. Bahkan Pangeran Sokapanca mengatakan bahwa ia akan mencari pelakunya!"
"Kami berdua memang sengaja meminta perkenan Gusti Prabu untuk menyertai rombongan," tokoh istana satunya meneruskan keterangan rekannya "Kami tak percaya bahwa Ki Dawung dan murid-muridnya hendak memberontak. Karena sebelum mengabdi ke istana, kami sahabat baik Ki Dawung! Dan kau senapati, tentunya masih ingat dengan peristiwa mengerikan yang menimpa empat orang selir Gusti Prabu, bukan? Dan kau juga masih ingat bahwa kematian empat orang selir yang malang itu dirahasiakan, kecuali terhadap para pejabat tinggi kerajaan! Tentu saja kami menjadi curiga! Dan langsung bisa menduga kalau ada suatu rahasia besar di balik kejadian itu. Lalu kami menghubungi tokoh-tokoh istana yang sepaham dan diam-diam menyelidiki semua pembesar tinggi, termasuk keluarga Gusti Prabu. Dugaan kami jatuh pada Pangeran Sokapanca. Karena dalam kesehariannya ia kelihatan sangat dingin terhadap perempuan," jago istana ini menghentikan ceritanya dan menarik napas dalam-dalam. Karena ia terlalu bersemangat dalam berbicara.
"Bohong, semua itu fitnah busuk!" Pangeran Sokapanca membantah keras. Wajahnya tampak dibanjiri peluh, yang tak henti-hentinya mengalir.
"Hei, Pangeran Binatang!" tiba-tiba Nenek Muka Setan melangkah maju dengan wajah berang. "Coba kau kenali sobekan pakaian dan kancing baju ini! Ingatkah kau terhadap perempuan muda yang cantik dan kebetulan tinggal seorang diri di atas Puncak Bukit Merak? Perempuan cantik yang kau perkosa dan kau siksa secara biadab itu adalah murid tunggalku! Nah, dengan adanya bukti benda ini apakah kau masih hendak menyangkal?!"
Gemetar seluruh tubuh Pangeran Sokapanca ketika melihat benda di tangan Nenek Muka Setan. Wajahnya kian pucat dengan dada sesak, sulit untuk bernapas. Ketakutan yang melanda dirinya semakin hebat! Karena seluruh rombongan pasukannya tampak sama-sama menatap benci dan jijik ke arahnya.
Perubahan yang tak disangka itu membuat jiwanya terguncang. Deraan rasa malu yang hebat membuat ia mengambil keputusan nekat. Dengan wajah pucat bagai tak dialiri darah, Pangeran Sokapanca memukulkan tangannya ke kepala.
Prak!
Terdengar suara berderak disertai keluhannya. Tubuh Pangeran Sokapanca terguling dari punggung kuda. la tewas dengan kepala retak. Pangeran ini rupanya lebih suka bunuh diri daripada mati di tangan orang lain. Kejadian itu begitu cepat. Tak seorang pun yang menyangka kalau Pangeran Sokapanca akan mengakhiri hidupnya sendiri. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya suasana berubah hening, diliputi ketegangan.
"Kami akan membawa mayatnya ke istna, dan menjelaskannya kepada Gusti Prabu," ujar tokoh istana berkumis lebat memecah keheningan. Kemudian mengangkat dan meletakkan mayat Pangeran Sokapanca di atas punggung kuda.
"Kemungkinan besar Gusti Prabu tak akan marah. Menurut penglihatanku, beliau sudah mengetahui penyakit kejiwaan yang diderita putranya," tokoh istana menambahkan.
"Kami bersedia menjadi saksi!" Senapati muda dan dua orang perwira menengah ikut mendukung keputusan dua pengawal istana itu. Bersama pasukannya, mereka meninggalkan tempat itu, setelah menyampaikan permohonan maaf kepada Ki Dawung dan murid-murid Perguruan Tapak Jalak.
"Sebenarnya Pangeran Sokapanca patut dikasihani," desah Ki Dawung menghela napas panjang, "Anehnya, mengapa ia mengajukan lamaran, meminta Kuntini untuk menjadi selirnya? Mengapa ia tidak menculik dan menyiksanya seperti yang dilakukannya terhadap wanita lain?" sambungnya dengan kening berkerut.
"Tampaknya terhadap putrimu yang cantik ini ia benar-benar jatuh hati, Ki Dawung," yang menyahuti adalah Kenanga. Sebagai seorang wanita, sedikit banyak ia dapat menerkanya. Tadi Pangeran Sokapanca pun selalu melirik ke arah Kuntini dengan pandangan mesra, sebelum aibnya dibeberkan tokoh-tokoh istana.
"Tapi penyakit kejiwaannya tidak akan bisa hilang. Meski andai kata Kuntini telah menjadi selirnya, tetap ada kemungkinan ia akan melakukannya terhadap Kuntini," Nenek Muka Setan menimpali, membuat semua yang berada di tempat itu bergidik teringat penyakit yang diderita Pangeran Sokapanca.
"Kakang Sujiwa...!" tiba-tiba Kuntini berseru cemas ketika teringat kekasihnya. "Kita harus mencarinya, Ayah!" pintanya kepada Ki Dawung.
"Mari, kita mencarinya, Kuntini! Kau tunjukkan tempat terakhir kali bersamamu...!" Kenanga langsung menawarkan diri untuk mencari Sujiwa. Tentu saja juga bersama Panji. Dengan membawa Kuntini sebagai penunjuk jalan, ketiganya melesat meninggalkan tempat itu.
"Hei, aku ikut...!" Nenek Muka Setan berteriak. Kemudian berlari mengejar.
Ternyata untuk mencari Sujiwa mereka tidak perlu bersusah payah. Mereka menemukan pemuda itu tengah berlari tersaruk-saruk sambil memegangi bagian dadanya yang masih nyeri. Rupanya Sujiwa tetap berkeras hati untuk mencari kekasihnya yang dibawa pergi Setan Cebol Sinting.
"Kakang...!" Melihat kekasihnya yang tengah melangkah tersaruk-saruk itu, Kuntini langsung menghambur.
Sujiwa terkejut dan mengangkat wajahnya. Disambutnya tubuh Kuntini, lalu dipeluknya erat-erat. Terdengar suara isak Kuntini, yang merasa bahagia melihat kekasihnya selamat, kendati mengalami luka.
S E L E S A I