Iblis Angkara Murka

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Iblis Angkara Murka Karya T. Hidayat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Iblis Angkara Murka
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cerita silat serial Pendekar Naga Putih

SATU

DI BAWAH sinar matahari yang terik tampak dua sosok tubuh melangkah melintasi jalanan lebar. Jalan tanah itu biasa digunakan orang untuk menuju Desa Palang. Tidak seperti biasanya, suasana tampak lengang dan sunyi. Namun dua sosok tubuh itu kelihatannya tak menghiraukan keadaan. Mereka terus melangkah ke barat dengan tenang, bahkan sambil berbincang-bincang.

“Aneh...,” tiba-tiba salah seorang dari mereka bergumam seraya mengedarkan pandangan ke persawahan yang terbentang luas di kiri dan kanan jalan.

Mendengar ucapan kawannya lelaki berusia kurang lebih dua puluh tahun dan berwajah tampan yang berada di sampingnya menyempatkan diri menoleh. Sepasang matanya sempat mengawasi sekitar persawahan yang terlihat sunyi. Tak tampak seorang petani pun bekerja di sana. Padahal biasanya siang seperti itu masih ada satu-dua orang petani berada di sawah.

"Kesunyian inikah yang kau anggap aneh, Kenanga...?” tanya pemuda tampan berjubah putih, yang tentu saja dapat kita kenali dengan baik. Sebab siapa lagi yang melakukan perjalanan bersama Kenanga kalau bukan Panji atau yang di kalangan persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.

Kenanga, dara jelita laksana bidadari itu tak menjawab dengan kata-kata. Dirinya hanya mengangguk tipis, kemudian mengedarkan pandangannya, melihat persawahan yang terbentang luas. Namun, sejauh mata memandang, tetap tak seorang manusia pun dilihatnya, keadaan itu membuat keningnya berkerut.

“Hm..., kalau melihat tanaman padi yang baru saja dituai, kukira saat ini para petani tengah berpesta pora. Mungkin panen musim ini berhasil baik. Sehingga mereka enggan turun ke sawah dalam beberapa hari setelah panen. Kurasa hal ini bukanlah sesuatu yang aneh...,” tukas Panji membuat kerutan di kening kekasihnya lenyap. Sebab, apa yang dikatakan Panji ada benarnya.

Kenanga mengangguk beberapa kali sambil terus melangkah mengikuti kekasihnya menuju Desa Palang. Tak lama kemudian mereka tiba di perbatasan desa. Itu diketahui dari adanya gapura tapal batas desa.

“Kita langsung saja ke balai desa. Biasanya di sanalah pesta diadakan...,” usul Panji setelah melihat suasana desa yang sepi bagaikan desa mati. Tak seorang pun terlihat di sepanjang jalan.

“Kurasa kali ini dugaanmu keliru, Kakang...,” tukas Kenanga yang memperhatikan lebih teliti beberapa rumah di dekat mulut desa itu, “Coba perhatikan rumah-rumah itu...!” lanjutnya memberi isyarat dengan menunjuk rumah-rumah di dekat mulut desa.

Panji tentu saja tak meremehkan ucapan kekasihnya. Pandang matanya memperhatikan beberapa rumah terdekat Keningnya berkerut ketika melihat rumah-rumah itu dalam keadaan rusak berat. Bahkan dua di antaranya hangus terbakar. Tahulah Panji kalau dugaannya kali ini memang keliru besar.

“Mungkin benar, bahwa penduduk desa ini baru selesai menuai hasil sawah mereka. Tapi melihat keadaan rumah-rumah itu, kukira di desa ini baru saja terjadi tindak kejahatan...,” ujar Kenanga ketika melihat Panji terdiam menatapi dua rumah yang tinggal puing-puing itu.

Pendekar Naga Putih itu pun setuju dengan pendapat dugaan Kenanga. Langsung saja tubuhnya melesat ke depan, setelah berpesan agar Kenanga meneliti sekitar itu. Sementara dirinya hendak memeriksa lebih jauh. Dan berniat untuk mencari rumah kepala desa. Pemuda tampan berjubah putih itu terus menelusuri jalan utama desa sambil melihat-lihat keadaan.

Bukan main kaget dan marahnya hati Panji ketika masuk lebih jauh, makin banyak terlihat rumah penduduk yang rusak berat dan hangus terbakar. Bahkan di sana-sini dijumpai belasan sosok mayat, bergeletakan di sepanjang jalan. Baru terasa bau anyir darah menusuk hidung. Jelas sudah kalau Desa Palang baru saja di- timpa malapetaka mengerikan!

“Iblis keji...!” geram Panji tanpa menghentikan langkahnya hingga sampai di depan sebuah rumah besar, yang dikelilingi pagar tembok tebal.

Di tempat ini pun Panji kembali dilanda kegeraman. Karena di pekarangan rumah terlihat adanya mayat para keamanan desa bergelimpangan dengan darah yang mulai mengering. Melihat keadaan para mayat Panji menduga kalau kejadiannya belum lama. Kemungkinan baru malam tadi bencana itu terjadi.

Semula Panji hendak memeriksa keadaan di dalam rumah kepala desa itu. Namun langkahnya tertunda ketika mendengar ada suara tindakan halus dari sebelah dalam. Dengan cepat tubuhnya melompat ke atas pohon besar di sebelah kiri pekarangan rumah besar itu. Kemudian bersembunyi di rimbunan daun pohon.

Tidak lama kemudian, muncullah dua sosok tubuh dari dalam rumah. Panji yang bersembunyi di atas pohon mengerutkan keningnya. Karena dari cara dua sosok tubuh itu melangkah, dapat diketahui kalau mereka bukanlah orang sembarangan. Langkah yang ringan dan mantap itu menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Bahkan sinar mata keduanya memperlihatkan tenaga dalam yang terhimpun dalam tubuh mereka.

Hal itu membuat Panji bersikap hati-hati. Dirinya yakin, pendengaran kedua orang itu tentu sangat tajam. Mungkin bisa mendengar dengus napasnya. Pikiran itu membuat Panji berusaha mengatur jalan nafasnya sehalus mungkin. Agar tidak sampai terdengar mereka.

“Setan Penasaran, rupanya manusia sombong itu kembali menunjukkan ulahnya. Mungkin ia ingin menunjukkan kepada kita kalau kekuasaannya telah semakin besar...,” terdengar salah satu dari kedua sosok yang bertubuh kecil kurus dengan wajah rusak bekas penyakit cacar, berkata dengan nada melengking.

“Hm... Meskipun begitu, tapi aku tetap tidak gentar dan belum berniat untuk menjadi pengikutnya!” sosok tinggal kulit terbalut tulang yang berjuluk Setan Penasaran menukas dengan nada tinggi, “Setan Penasaran tak mudah untuk ditundukkan ,” lanjutnya menepuk dadanya yang kerempeng. Matanya yang cekung ke dalam tampak menyorot tajam, menandakan kegeraman hatinya.

“Jadi kau sudah pernah didatangi manusia sombong itu?” Tanya sosok kecil kurus berwajah bopeng, menatap kawannya dengan kepala menengadah.

“Belum. Manusia sombong itu cuma meninggalkan sepucuk surat di tempat kediamanku. Meskipun perbuatan itu cukup membuktikan kelihaiannya, tapi aku, Setan Penasaran tetap tak sudi tunduk di bawah kekuasaannya!” ujar Setan Penasaran dengan suara mantap, menunjukkan kekerasan hatinya.

“Hhh.... Sayang saat ia datang mengirimkan surat aku sedang tak ada di tempat. Jadi aku belum bisa menebak sampai di mana kepandaian si sombong itu! Kalau saja aku sempat bertemu muka secara langsung, akan kutunjukkan bahwa Malaikat Kerdil pun tak bisa dibuat main-main!”

Lelaki berwajah bopeng itu berkata geram. Kendati wajah dan tubuhnya menunjukkan bahwa dirinya orang lemah, namun julukan yang disandangnya benar-benar membuat Panji terkejut. Sebab, kedua orang tokoh itu merupakan gembong-gembong golongan hitam, yang memiliki kesaktian setingkat dengan seorang datuk.

“Gila...?! Bagaimana kedua orang tokoh sesat itu sampai bisa berada di tempat ini...?! Bisa celaka kalau aku sampai diketahui mereka...!” desis Panji yang segera menahan napas saat dua sosok tubuh itu melanjutkan langkahnya, di antara mayat-mayat yang bergeletakan menghalang jalan. Hati Panji berdebar ketika Setan Penasaran dan Malaikat Kerdil tiba-tiba menghentikan langkah tepat di bawah pohon tempatnya bersembunyi. Tentu saja hal itu membuat pemuda berjubah putih itu sempat dilanda ketegangan. Apalagi karena dia harus menahan napas selama kedua tokoh itu belum juga beranjak dari tempat itu.

Sebenarnya Panji tak akan sampai diketahui dua orang tokoh sesat itu kalau saja tak ada Kenanga yang tahu-tahu muncul dan memasuki halaman rumah besar itu. Tentu saja Panji kaget bukan main. Terlebih ketika Setan Penasaran dan Malaikat Kerdil sama menoleh. Dan terlihat seringai mereka yang menyeramkan. Keadaan itu membuat Panji mencemaskan keselamatan kekasihnya.

“Heh heh heh.... Setan Penasaran! Kau lihat siapa yang datang ke tempat ini! Seorang bidadari cantik yang baru saja turun dari kahyangan. Rupanya sang Bidadari hendak memberi pertolongan kepada penduduk Desa Palang yang baru saja dilanda bencana...!” terdengar Malaikat Kerdil berkata dengan nada tinggi melengking. Dan seketika itu juga sosoknya langsung bergerak menghampiri Kenanga.

Hebat bukan main cara Malaikat Kerdil menghampiri Kenanga. Kendati terlihat hanya melangkah perlahan, tubuhnya meluncur bagaikan anak panah yang lepas dari busur. Dari sini saja dapat dilihat betapa hebat ilmu meringankan tubuh tokoh kerdil itu.

“Kau tentunya datang untuk menemuiku,Manis. Nah, marilah kau ikut bersamaku...!”

Begitu ucapan itu terdengar, tahu-tahu jari-jari tangan Malaikat Kerdil sudah menjulur ke depan hendak mengelus bagian dada Kenanga. Tentu saja perbuatan tak sopan dan sangat kurang ajar itu membuat Kenanga marah. Cepat tubuhnya bergerak menghindar, kemudian membalas dengan sebuah tendangan lurus mengancam iga Malaikat Kerdil.

Bwettt!

“Haiiits...! Ternyata kau pun memiliki kepandaian yang lumayan, Bidadari ku...!” ejek Malaikat Kerdil sambil memiringkan tubuh dengan menggeser kaki kanan ke belakang. Sehingga, tendangan Kenanga luput dari sasaran. Bahkan dengan gerakan yang cepat bukan main, tokoh sesat bertubuh kate itu merendahkan tubuh sambil mengirimkan sapuan kakinya yang sekaligus dibarengi dorongan kedua tangan ke dada Kenanga.

“Hih...!” Karena kaget dan ngerinya, Kenanga menjerit tertahan. Keadaannya saat itu benar-benar dalam ancaman bahaya. Sebab, kalau ia menghindari sapuan lawan terhadap kaki kiri yang menjadi tumpuan beban tubuhnya, maka dorongan sepasang tangan Malaikat Kerdil pada dadanya pasti tak akan terelakkan. Tentu saja gadis itu tak ingin hal tersebut sampai terjadi. Untuk itu Kenanga terpaksa merelakan tubuhnya terbanting termakan sapuan kaki lawan. Dengan demikian, berarti ia dapat menyelamatkan dadanya dari terkaman jari-jari tangan tokoh kate itu.

Plak! Bruk!

Tanpa ampun lagi, tubuh Kenanga terbanting jatuh dengan keras. Wajah jelita itu tampak meringis. Karena meskipun telah dikerahkan tenaga dalam guna melindungi tulang kakinya, tetap saja ada rasa nyeri yang menusuk. Kenyataan itu membuat Kenanga sadar bahwa kekuatan tenaga dalam lawan masih berada satu tingkat di atasnya.

“Hiyaaat..!”

Sebelum Kenanga sempat bergerak bangkit, Malaikat Kerdil yang merasa girang melihat serangannya berhasil, langsung melompat menerkam tubuh dara jelita yang masih telentang di tanah itu. Gerakannya cepat bukan main, membuat Kenanga menjerit.

Merasa bahaya yang mengerikan bakal datang menimpa dirinya, Kenanga pun berbuat nekat. Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam, disilangkan kedua tangan ke depan dada, dan siap menyambut terkaman lawan dengan dorongan kedua tangannya. Namun, pada saat yang berbahaya bagi kese- lamatan dara jelita itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang menggetarkan dada. Disusul kemudian dengan kelebatan sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Malaikat Kerdil.

Bresssh...!

Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga sakti yang sangat hebat saling berbenturan keras. Akibatnya, tubuh Malaikat Kerdil terdorong ke belakang sejauh satu setengah tombak. Sedangkan sosok bayangan putih itu langsung melenting ke belakang dengan membuat dua kali putaran di udara. Kemudian melayang turun dengan ringannya.

“Kakang...!” Melihat sosok bayangan putih yang menyelamatkannya, Kenanga langsung berseru girang. Rupanya gadis itu sudah dapat mengenali siapa sebenarnya sosok bayangan putih itu, kendati belum melihat wajahnya dengan jelas. Dan ketika sosok bayangan putih meluncur turun, senyum dara jelita itu semakin lebar. Karena yang telah menyelamatkannya tak lain Panji.

Panji yang semula hanya menyaksikan pertarungan itu dari atas pohon, terkejut melihat kepandaian lawan kekasihnya. Apalagi ketika menyaksikan betapa Kenanga berada dalam ancaman bahaya, langsung saja ia meluncur turun dan menyambut serangan Malaikat Kerdil. Sehingga, serangan tokoh sesat bertubuh kate itu berhasil digagalkan.

Malaikat Kerdil tentu saja kaget bukan main ketika ada sesosok bayangan putih yang berani memapaki serangannya. Hatinya marah. Matanya terbelalak menge- tahui sosok bayangan putih itu mampu membuat serangannya gagal. Bahkan sanggup mengatasi kekuatan tenaga saktinya. Sebagai seorang tokoh sakti yang selalu membanggakan kepandaian sendiri, tentu saja Malaikat Kerdil tak bisa menerima kenyataan pahit itu. Maka begitu kedua kakinya telah menjejak tanah, sepasang matanya langsung menyorot tajam sosok berjubah putih yang kini berdiri di hadapannya dalam jarak sekitar empat tombak.

“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seruan itu keluar dari mulut Setan Penasaran yang lebih dulu mengenali siapa sebenarnya sosok pemuda tampan berjubah putih itu. Wajahnya memerah dan berkerut-kerut seperti tengah menahan perasaan marah bercampur rasa benci.

“Hm..., tak heran kalau dia berani main gila di depanku! Rupanya dia Pendekar Naga Putih!”

Malaikat Kerdil pun sedikit kaget ketika mendengar ucapan rekannya. Dirinya bisa memaklumi kalau tubuhnya sampai terpental kalah tenaga oleh sosok bayangan putih itu. Kenyataan itu membuat Malaikat Kerdil tak menjadi kecil hati, karena maklum dan sadar akan kehebatan tokoh muda itu.

Sementara itu, Setan Penasaran yang melihat kemunculan Pendekar Naga Putih, langsung saja bergerak maju dengan wajah merah padam. Sepasang matanya mencorong tajam menyiratkan sinar dendam yang demikian dalam.

“Pendekar Naga Putih, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa...!” Baru saja tokoh yang berjuluk Setan Penasaran itu menggeram dengan nada penuh dendam, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan dengan serangan maut.

“Heaaat...!”

“Heit...?!”

Panji tentu saja kaget bukan main. Karena tokoh yang ia dengar berjuluk Setan Penasaran itu seperti menyimpan dendam kesumat terhadap dirinya. Dan melihat serangannya Pendekar Naga Putih sadar bah- wa tokoh sesat yang berpenampilan menyeramkan itu menginginkan nyawanya. Hal itu tampak jelas dari ucapannya sebelum melakukan serangan maut.

Karena tak mempunyai kesempatan untuk berbicara, Panji cepat menggeser tubuhnya guna menghindari serangan maut Setan Penasaran. Kemudian terus melompat ke sana kemari sambil sesekali menangkis dengan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih belum mau membalas, karena merasa tak mempunyai permusuhan pribadi dengan tokoh bertubuh kurus seperti tengkorak itu. Sambil terus menghindar serta menangkis, dirinya mencari kesempatan untuk dapat berbicara.

Namun, Setan Penasaran rupanya tak ingin memberi kesempatan kepada Panji. Jangankan berbicara, untuk bernapas pun rasanya tokoh sesat itu tak mengizinkan. Dengan bentuk serangan yang semakin hebat dan cepat, lelaki bertubuh tinggi kurus itu terus mendesak. Tentu saja Panji pun semakin sibuk dibuatnya.

“Setan Penasaran, tahan seranganmu...!” Karena merasakan semakin hebat serangan yang dilancarkan lawan, akhirnya Panji tak sabar untuk berseru keras memperingatkan.

“Aku tak akan berhenti sebelum kau menggeletak tanpa nyawa, Pendekar Naga Putih! Hiyaaat!” Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, Setan Penasaran kembali melancarkan serangannya. Tampaknya tokoh ini mulai menggunakan ilmu andalannya.

“Heaaa...!”

Wettt! Wettt...!

Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut. Tokoh yang berjuluk Setan Penasaran itu rupanya benar-benar hendak membuktikan ucapannya. Terbukti jari-jari tangan kurus dengan kuku-kuku runcing dan hitam itu semakin gemas dan cepat memburu tubuh lawan. Panji pun sadar akan bahaya maut yang senantiasa siap merenggut nyawanya. Karena dari sambaran anginnya yang berkesiutan, menandakan bahwa dalam jari-jari tangan Setan Penasaran terkandung tenaga yang hebat Mungkin cengkeraman itu sanggup menghancur-leburkan batu karang.

Sadar kalau dibiarkan dirinya bisa celaka di tangan lawan, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan sabar. Saat sambaran cakar kanan lawan meluncur deras mengancam ubun-ubunnya, Panji langsung meliukkan tubuh. Ketika cengkeraman itu luput, dengan cepat Panji melepaskan sebuah dorongan telapak tangan ke tubuh lawan.

“Hih...!”

Plak!

Setan Penasaran yang memang telah menyiapkan tangan kiri untuk serangan susulan, langsung mengangkat tangan itu memapaki dorongan lawannya. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh keduanya terdorong mundur sampai empat langkah. Hal itu menandakan kalau dalam benturan tadi kekuatan mereka seimbang.

“Jelaskan, mengapa kau menghendaki kematianku, Setan Penasaran?! Kalau tidak, akan kubikin dirimu benar-benar menjadi setan yang penasaran di alam baka...!” bentak Panji menuntut penjelasan dengan wajah yang menunjukkan kejengkelan hatinya.

“Hm.... Kau hendak lari dari tanggung jawab atau memang telah lupa dengan perbuatanmu, Pendekar Naga Putih...?” jawab Setan Penasaran dengan senyum penuh ejekan dan sangat merendahkan.

“Setan Penasaran, meskipun kita berdiri di jalan yang berseberangan, seingatku belum pernah kita berurusan. Bahkan bertemu pun baru sekali ini. Lalu mengapa kau menuntut tanggung jawabku? Apa yang pernah kuperbuat terhadapmu?” tukas Panji semakin penasaran dan jengkel. Karena tokoh yang bertubuh seperti tengkorak hidup itu belum juga menjawab pertanyaannya.

“Kau telah membunuh muridku, Pendekar Naga Putih! Dan sekarang aku akan membalaskannya! Tapi bukan cuma nyawamu yang harus melayang! Nyawa kekasihmu pun harus kuhabisi sebagai bunganya...!” bentak Setan Penasaran bengis. Lelaki kurus itu menggeser kakinya membentuk kuda-kuda serong yang kokoh.

"Tunggu, Setan Penasaran! Katakan, siapa nama muridmu atau julukannya...?” cegah Panji yang tetap belum mengerti kesalahannya.

“Muridku berjuluk Setan Bayangan Hitam! Dia telah kau bunuh beberapa waktu lalu di sebuah hutan! Dan untuk perbuatanmu itu, kau harus menebus dengan nyawamu...! Hiyaaat..!”

Setelah berkata begitu, Setan Penasaran bergerak dengan kecepatan kilat. Sepasang cakarnya yang menebarkan bau busuk karena dilumuri racun jahat, menyambar-nyambar dengan disertai suara berdesit.

Wuttt! Wuttt!

Pendekar Naga Putih melompat ke kiri dan kanan menghindari serangan lawan. Sambil sesekali menangkis membuat tubuh keduanya tergetar mundur. Namun, serbuan Setan Penasaran bagaikan ombak lautan yang tak pernah habis. Tangannya yang membentuk cakar bergerak cepat dan beruntun memburu bagian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih.

Setelah sepuluh jurus Setan Penasaran mengumbar serangan-serangan mautnya, Panji pun mulai unjuk gigi. Disertai sebuah teriakan keras yang menggetarkan dada, tubuhnya melesat cepat dan menyelinap di antara sambaran cakar maut lawan. Kemudian serangan-serangan balasannya pun mulai diluncurkan bagaikan serbuan angin puyuh!

“Heaaa...!”

Duk! Duk! Plak!

Tiga kali Setan Penasaran mengangkat kedua lengannya bergantian memapaki serangan balasan lawan. Dan kali ini tengkorak hidup itu harus menerima kenyataan pahit. Karena dalam tiga kali benturan itu tulang-tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Bahkan kuda-kudanya tergempur mundur, membuat tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah.

“Kenanga, mari kita tinggalkan orang-orang gila itu...!” Kesempatan selagi lawannya terjajar mundur, dipergunakan Panji untuk menyambar lengan kekasihnya. Keduanya langsung melesat meninggalkan tempat itu. Dirinya memutuskan menghindar dari kedua tokoh sesat itu untuk sementara. Hal itu karena dia belum ingat tentang Setan Bayangan Hitam yang merupakan murid Setan Penasaran. Sebagai seorang pendekar penegak keadilan yang telah lama malang-melintang di dunia persilatan, banyak tokoh sesat yang takluk pada Pendekar Naga Putih.

Sehingga maklum kalau sulit untuk mengingat tentang Setan Bayangan Hitam yang merupakan murid Setan Penasaran. Untuk itulah dirinya memutuskan melepaskan diri dari lawannya, agar bisa mengingat-ingat apa yang dituduhkan oleh Setan Penasaran. Panji tak mempedulikan kedua lawan yang terus memaki-maki dirinya sebagai pengecut. Pemuda berjubah putih terus mengerahkan ilmu kepandaiannya agar kedua orang lawan tidak mempunyai peluang untuk mengejar.

********************

DUA

Desa Palang ternyata bukan merupakan satu-satunya tempat sasaran sekelompok orang-orang jahat. Masih ada beberapa desa, bahkan perguruan yang menjadi korban keganasan golongan sesat itu. Kejadian-kejadian itu membuat banyak tokoh golongan putih marah.

Beberapa perguruan yang merasa bertanggung jawab segera mengirimkan murid-murid andalan untuk menyelidiki, sekaligus membasmi pelaku kejahatan itu. Bahkan pendekar-pendekar tunggal yang tak terikat partai tertentu, telah meninggalkan tempat kediamannya guna ikut serta menghentikan kejahatan itu. Sehingga, banyak orang yang membawa senjata berkeliaran ke desa-desa atau pun kota-kota kecil.

Banyaknya tokoh persilatan dari golongan putih yang berkeliaran, membuat warga masyarakat merasa tenang. Mereka dapat melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa merasa was-was akan datangnya serbuan dari para penjahat keji itu. Para penduduk merasa aman dan terlindung oleh banyaknya tokoh persilatan yang berkeliaran.

Lain tanggapan dan tindakan golongan putih, lain pula yang dilakukan orang-orang dari golongan sesat. Penjahat-penjahat tunggal maupun perampok-perampok kecil yang semula tak berani melakukan tindak kejahatan karena adanya tekanan dari kaum pendekar, kini justru berani muncul, bahkan melakukan kejahatan pada siang hari. Tentu saja munculnya dua golongan itu tidak jarang juga menimbulkan keresahan karena bentrokan yang acapkali terjadi.

Seperti kata pepatah, gajah bertarung dengan gajah pelanduk mati di tengah-tengah. Yang menanggung akibat dari bentrokan-bentrokan itu jelas orang-orang awam, yang sama sekali tak paham persilatan. Sehingga, tak sedikit penduduk di desa-desa terpencil pergi mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman.

Namun, para penduduk yang mengungsi dari desa-desa terpencil itu sama sekali tak menyadari bahwa kepergian mereka dengan membawa harta benda serta binatang ternak, justru dapat mengundang para penjahat yang kini telah membentuk kelompok-kelompok guna menghadapi kaum golongan putih.

“Berhentiii...!”

Serombongan penduduk yang berjumlah sekitar empat puluh orang, terperanjat kaget dan menghentikan langkah. Mereka yang sedianya hendak mencari tempat tinggal yang lebih aman, justru tanpa sengaja telah menghampiri penyakit. Seorang lelaki tinggi kurus bermata picak sebelah dengan menggenggam sepasang tombak pendek, berdiri menghadang jalan. Matanya yang hanya sebelah itu bergerak liar merayapi wajah-wajah pucat para penduduk. Lelaki itu bukanlah seperti perampok kebanyakan. Dalam kalangan persilatan dirinya dikenal dengan julukan Tombak Mata Satu. Dan kepandaian ilmu tombaknya pun tak bisa dibilang rendah.

Pada mulanya Tombak Mata Satu merupakan penjahat tunggal yang malang-melintang dengan menggunakan sepasang tombak pendeknya. Namun, semenjak adanya peristiwa-peristiwa pembumihangusan terhadap beberapa desa dan perguruan silat, yang mengundang amarah kaum golongan putih, Tombak Mata Satu tak lagi berani bergerak sendirian. Baginya tak sulit mencari kawan seiring.

Kepandaian serta namanya yang cukup terkenal, membuat ia dengan mudah menggabungkan diri dengan sekelompok perampok. Bahkan kedatangannya disambut hangat dan langsung diangkat sebagai pimpinan kawanan perampok yang didatanginya. Dengan mengandalkan jumlah cukup banyak inilah, Tombak Mata Satu melanjutkan aksinya. Bahkan ruang geraknya semakin diperlebar. Dirinya tak pernah merasa takut kendati harus bentrok dengan tokoh-tokoh golongan putih.

Siang itu, secara kebetulan Tombak Mata Satu melihat serombongan penduduk yang hendak mengungsi. Melihat adanya binatang ternak serta buntalan yang dibawa para pengungsi, langsung saja ia melompat ke luar dari persembunyian, disertai bentakan keras. Tubuhnya berdiri menghadang jalan, memperlihatkan wajah bengisnya.

“Kalian boleh pilih! Tinggalkan barang-barang itu, dan pergi meninggalkan tempat ini dengan selamat, atau nyawa kalian kukirim ke neraka...!” gertak Tombak Mata Satu sengaja mengerahkan tenaga dalam melalui suaranya hingga terdengar keras dan menakutkan.

Para penduduk yang hendak mengungsi itu tentu saja semakin pucat. Memang sulit. Apa yang mereka lakukan pada saat seperti sekarang ini serba salah. Tinggal di desa yang terpencil, sudah pasti suatu saat perampok akan datang menjarah mereka. Mengungsi pun sama saja akibatnya. Namun mereka sengaja memilih pergi mengungsi daripada menunggu dengan hati selalu was-was dan ketakutan. Dan pencegatan lelaki bermata picak itu pun sudah mereka perhitungkan.

"Tuan yang gagah perkasa dan budiman...” Salah seorang penduduk memberanikan diri tampil ke depan menghadang Tombak Mata Satu. “Kasihani kami yang miskin dan menderita ini, Tuan! Tuan boleh ambil harta kami. Tapi, sisakanlah sedikit untuk bekal perjalanan guna menyambung hidup...!” pintanya sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tombak Mata Satu. Rupanya inilah pilihan penduduk yang nekat hendak mengungsi. Berharap mendapatkan sedikit belas kasihan dari siapa saja yang mungkin akan menghadang perjalanan mereka.

“Hmh...!” Tombak Mata Satu mendengus bengis. Kemudian terdengar gelak tawanya demi melihat dirinya disembah sedemikian rupa. Akan tetap semua itu sama sekali tak membuat hatinya tergerak. Malah ia semakin congkak dan garang.

“Kau memang patut dikasihani, Kisanak. Nah, sisakanlah sedikit dari bawaanmu itu! Dan kau boleh pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik...!”

Tak seorang pun menyangka kalau lelaki picak itu akan berkata demikian. Tentu saja pengungsi yang berlutut merasa gembira. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung saja menyisakan sedikit uang untuk dirinya. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk lelaki setengah baya itu melangkah meninggalkan Tongkat Mata Satu. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Seolah lelaki bermata picak itu telah memberikan kebaikan yang tak terhingga kepadanya.

Perbuatan orang pertama itu diikuti para pengungsi lainnya. Yang berwatak curang bergegas menyembunyikan beberapa keping uang ke dalam sabuknya. Mereka bergerak satu persatu dengan tubuh membungkuk ketika lewat di dekat Tombak Mata Satu yang tertawa cekakakan, melihat banyaknya harta benda yang didapat tanpa susah payah mendatangi desa. Bahkan semua binatang ternak berkumpul di dekatnya. Karena tak seorang pun dari pengungsi yang berani membawanya. Mereka tentu saja lebih sayang nyawa ketimbang binatang ternaknya.

Namun, kelegaan para pengungsi itu kembali berubah kecemasan dan ketakutan. Karena baru kurang lebih dua tombak mereka meninggalkan si mata picak, tiba-tiba bermunculan penghadang-penghadang lain dengan wajah bengis dan senjata terhunus.

"Tinggalkan sisa harta yang kalian bawa...!” bentak seorang lelaki bermuka hitam dengan perut buncit. Ia berkata garang dengan dada dibusungkan agar terlihat gagah dan berwibawa. Namun tingkahnya itu justru tampak lucu. Perut buncitnya tetap saja menonjol ke depan, hingga membuat kedudukan berdiri lelaki itu tak ubahnya seekor bebek.

"Tapi, Tuan.... Tadi kami baru saja...”

Belum habis ucapan salah seorang pengungsi itu, tiba-tiba golok di tangan lelaki bermuka hitam di depannya bergerak menyambar.

Wuttt! Cras!

“Aaakh...!” Darah segar menyembur keluar dari perut pengungsi itu karena terbabat golok. Dan tanpa ampun lagi, tubuhnya terkulai lalu menghembuskan napas terakhir.

Perbuatan lelaki bermuka hitam dan berperut buncit itu tentu saja membuat para pengungsi lain semakin ketakutan. Karena penghadang kali ini jauh lebih ganas dan kejam ketimbang si mata picak. Mereka sama sekali tak menyangka kalau semua itu ternyata merupakan permainan para perampok. Karena lelaki bermuka hitam itu salah satu dari pengikut Tombak Mata Satu, yang kini telah berdiri di belakang rombongan pengungsi itu. Tawanya terdengar bergelak mengejutkan.

“Hua ha ha...! Bagus, La Jobang! Mereka pikir aku demikian baik hati membiarkan mereka pergi begitu saja sebelum semua harta diserahkan kepada kita. Mana mungkin aku tega membiarkan perempuan-perempuan cantik ini ikut mengungsi...,” ujar Tombak Mata Satu yang kini memperlihatkan sifat aslinya. Tanpa malu-malu lagi, ia langsung mengulurkan tangan memeluk salah seorang wanita muda yang ikut dengan rombongan pengungsi itu. Diciuminya pipi dan leher wanita muda itu dengan buas sambil tertawa-tawa.

"Tuan, tolong jangan ganggu anakku! Dia dia masih terlalu kecil dan belum tahu apa-apa!”

Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun menyeruak dari rombongan. Dengan suara menghiba lelaki setengah baya itu meminta Tombak Mata Satu mau melepaskan putrinya yang baru berusia lima belas tahun. Namun tubuh gadis itu terlihat cukup masak dan wajahnya pun manis dengan kulit kuning langsat. Rupanya meski hanya sebelah namun Tombak Mata Satu memiliki penglihatan tajam.

“Hua ha ha! Jadi dia belum tahu apa-apa? Bagus, Orang Tua! Kalau begitu ia akan segera kuberi pelajaran cuma-cuma, bagaimana cara melayani lelaki dengan baik!”

Tombak Mata Satu semakin keras tertawa. Diseretnya tubuh wanita desa itu ke semak-semak terdekat. Tak dipedulikan betapa gadis itu menangis ketakutan.

Melihat putrinya dalam ancaman bahaya mengerikan, lelaki setengah baya itu menjadi nekat. Ia menubruk maju berusaha membebaskan sang Anak. Namun Tombak Mata Satu tak membiarkan begitu saja. Sekali tangan kirinya bergerak, lelaki malang itu roboh bermandikan darah. Mata tombak lelaki picak itu telah menembus dada dan mengoyak jantungnya.

“La Jobang, bereskan semuanya, dan tawan perempuan-perempuan yang dapat kita gunakan sebagai hiburan...!” Setelah berkata demikian, Tombak Mata Satu melanjutkan niatnya yang terkutuk kepada gadis malang itu.

Namun, sebelum niat Tombak Mata Satu kesampaian, mendadak terdengar suara ribut-ribut. Kemudian disusul dengan jerit kematian yang merobek udara siang ini. Ia yang semula tak peduli karena mengira para pengikutnya tengah menghajar para pengungsi yang melawan, cepat bergerak bangkit ketika mendengar suara benturan senjata.

“Bedebah! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku...!” geram Tombak Mata Satu sambil bergegas membereskan pakaian yang sudah tak karuan. Matanya yang tinggal sebelah seakan hendak melompat dari tempatnya, ketika melihat sesosok bayangan ramping tengah mengamuk menghadapi keroyokan para pengikutnya. Melihat gerakan sosok bayangan itu yang lincah dan mengandung kekuatan hebat, Tombak Mata Satu segera mengurungkan niatnya. Tubuhnya bergegas melompat keluar dari balik semak-semak.

Sementara itu, para pengungsi sudah ketakutan setengah mati, segera lari bersembunyi ke balik pepohonan. Tubuh mereka gemetar menyaksikan banyaknya darah membasahi rerumputan. Kendati demikian ada sedikit harapan dalam hati mereka agar sosok bayangan yang tengah mengamuk dan membunuhi para perampok itu akan memperoleh kemenangan. Harapan itu timbul ketika melihat sudah delapan orang perampok roboh tewas bermandikan darah.

“Haits! Heaaa...! Mampuslah kalian, Manusia keparat!"

Sambil berkelebat di antara sambaran golok dan pedang pengeroyok, sosok bayangan ramping itu melontarkan makian tanda kemarahan dan kegeraman hatinya. Kecepatan geraknya membuat seorang pengeroyok kembali terlempar dari arena dengan tubuh bermandikan darah. Hebat memang gerakan sosok bayangan yang terbungkus pakaian biru tua ini. Kendati harus menghadapi belasan pengeroyok, ia sama sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan mampu merobohkan lawan satu persatu.

“Setan keparat...!”

Tombak Mata Satu menggeram gusar. Wajahnya merah padam melihat pengikut-pengikutnya berjatuhan tersambar senjata lawan. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun segera menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke tengah arena pertarungan.

“Hiyaaat..!”

Tanpa membuang-buang waktu, Tombak Mata Satu langsung mengirimkan serangan dengan sepasang tombak pendeknya. Gerakan yang dilakukan lelaki bertubuh tinggi kurus itu memang mengagumkan. Sekali bergerak langsung melancarkan dua buah serangan sekaligus. Sasaran serangannya pun merupakan jalan darah besar yang bisa mengakibatkan kematian bagi lawannya.

Mendapat dua buah serangan yang begitu cepat dari Tombak Mata Satu, sosok bayangan ramping terbungkus pakaian biru tua ini sama sekali tak terlihat gugup. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan sinar yang menderu-deru.

“Heaaa...!”

Trang! Trang!

“Hah...?!”

Serangan sepasang tombak pendek kepala rampok itu sama sekali tak banyak berarti. Sekali pedang lawan berkelebat menangkis, sepasang tombak pendek itu terpental balik. Bahkan tubuh Tombak Mata Satu terdorong mundur empat langkah. Tentu saja tokoh sesat yang biasa menyombongkan kepandaian sendiri ini merasa kaget bukan main.

“Heaaa...!”

Wut! Wut!

Sedangkan sosok berpakaian biru itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras. Pedangnya yang baru saja menggagalkan serangan lawan kembali bergerak dengan kecepatan mengagumkan. Kali ini meluncur dengan tusukan mengarah perut Tombak Mata Satu.

“Ahhh...?!”

Tombak Mata Satu terpekik kaget, karena tahu-tahu ujung pedang lawan sudah tinggal dua jengkal di depan perutnya. Tak ada jalan lain bagi lelaki bermata picak ini kecuali melempar tubuhnya ke samping. Sebab, untuk menangkis jelas tak mungkin. Dirinya sudah pasti kalah cepat dengan gerakan senjata lawan. Akan tetapi ke mana pun Tombak Mata Satu bergerak mengelak, pedang lawan terus memburu. Sehingga tubuhnya terus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari babatan dan tusukan senjata lawan.

“Heaaa...!”

Cras! Cras...!

Rumput ilalang yang setinggi lutut, terpapas putus oleh babatan pedang sosok ramping itu. Untung saja Tombak Mata Satu sudah lebih dulu menggulingkan tubuhnya. Kalau tidak, bukan rumput itu yang terpapas putus, melainkan tubuh lelaki bermata picak itulah yang harus terluka. Tombak Mata Satu benar-benar merasa putus asa dalam menghindari kejaran pedang lawan. Hingga akhirnya mengambil keputusan nekat, lalu melenting bangkit sambil menggerakkan sepasang tombak pendeknya secara ngawur. Akibatnya....

Wut! Wut!

Bret! Bret!

“Aaakh!”

Tombak Mata Satu terpekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung limbung, karena saat dia nekat melompat bangkit, pedang lawan telah membeset pangkal lengan kanan dan paha kirinya. Darah segar mengalir membasahi sebagian pakaian lelaki bermata picak itu. Sosok tubuh ramping berpakaian biru tua yang ternyata seorang gadis muda ini tampaknya masih belum puas. Terbukti dengan cepat menyusuli serangannya, hendak menghabisi nyawa Tombak Mata Satu yang telah tak berdaya itu.

Namun, rupanya nasib lelaki bermata picak itu masih baik. Saat nyawanya tengah terancam, sisa para pengikutnya sudah datang membantu. Gadis muda itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk melenyapkan Tongkat Mata Satu. Karena memutuskan untuk menghabisi serangan enam orang anggota perampok yang belum juga jera.

Gadis berpakaian biru tua itu memang mengagumkan. Kendati harus menghadapi enam orang perampok yang kasar dan ganas, sama sekali dirinya tidak merasa gentar. Pedang di tangannya berkelebatan laksana sambaran kilat. Sehingga dalam waktu singkat, keenam perampok sudah menggelepar lalu tewas dengan tubuh bersimbah darah.

Usai menghentikan perlawanan enam anak buah Tombak Mata Satu, gadis berpakaian biru tua itu membalikkan tubuhnya. Kelihatannya ia tak sudi melepaskan Tongkat Mata Satu, yang menjadi gembong dari perampok itu. Namun sayang, Tombak Mata Satu sudah tak nampak di tempat itu. Merasa penasaran, gadis itu melesat cepat untuk memburu. Namun karena tak tahu ke mana lelaki bermata picak itu melarikan diri, pengejarannya pun tak membuahkan hasil. Tombak Mata Satu tidak berhasil diketemukannya.

Rombongan pengungsi yang melihat para perampok itu sudah bergelimpangan tewas, segera keluar dari persembunyian masing-masing. Mereka menyambut kemenangan gadis berpakaian bini tua itu dengan wajah berbinar-binar. Bahkan beberapa di antara mereka sampai terbungkuk-bungkuk saat mengucapkan terima kasih berkali-kali, membuat gadis itu menahan senyumnya.

“Kalian ini sebenarnya sengaja mencari penyakit! Mengapa dalam keadaan tak aman seperti ini malah meninggalkan desa untuk pergi mengungsi! Seharusnya, apa pun yang terjadi, kalian harus tetap tinggal di desa masing-masing. Di sana keselamatan kalian akan lebih terjamin. Karena masih bisa bersembunyi jika para perampok atau sebangsanya datang mengacau desa kalian. Tidak seperti sekarang ini. Ke mana kalian hendak lari jika mereka sudah berdiri menghadang. Para perampok itu tentu saja sangat senang kalian pergi mengungsi, yang sudah pasti membawa uang serta barang-barang yang cukup berharga!”

Gadis itu menasihati dengan nada agak keras. Meski memaklumi bahwa orang-orang desa itu memang merasa serba salah. Namun hatinya sedikit merasa jengkel. Karena pengungsian seperti itu justru semakin menambah kacau keadaan.

"Tapi.... Biar bagaimanapun kami harus tetap pergi mengungsi, Nisanak. Di desa sudah tak ada lagi yang kami harapkan untuk dapat menyambung hidup. Selalu saja ada pengacau yang datang mengganggu. Maaf kalau kami tidak bisa menuruti nasihat Nisanak. Kami lebih baik mati dalam usaha mencari tempat yang aman daripada tinggal di desa, menunggu datangnya kematian. Cepat atau lambat pengacau-pengacau yang banyak bermunculan pasti akan membunuh kami...,” salah seorang pengungsi yang berusia paling tua, mencoba menjelaskan kepada penolongnya.

"Terserah kalian. Aku sekadar memberi pandangan. Kalau kalian lebih suka mengungsi, silakan! Aku tak kuasa mencegah...!”

Melihat betapa para pengungsi tampaknya bersikeras dengan tekad yang bulat, gadis berpakaian biru tua itu merasa tak bisa berbuat apa-apa, selain mendoakan agar usaha mereka dapat membuahkan hasil yang baik. Gadis muda berwajah cantik, terutama saat tersenyum yang menampakkan lesung pipit di pipi itu, berdiri menghantarkan kepergian rombongan pengungsi itu dengan pandang matanya. Dan baru bergerak ketika rombongan itu sudah semakin jauh dan lenyap. Sekali berkelebat saja, sosoknya lenyap ditelan kelebatan pepohonan.

TIGA

Wahyuni, gadis manis yang baru saja menumpas gerombolan perampok Tombak Mata Satu, melangkah ringan menelusuri jalan setapak. Rambut ekor kudanya terayun lembut mengiringi gerak kaki yang lincah, menggambarkan watak periang. Gadis itu memang lincah dan periang. Namun, kelincahan dan keriangan itu dapat lenyap tiba-tiba, bahkan berubah menjadi singa betina. Apalagi melihat ketidakadilan berlangsung di depan matanya. Lebih-lebih terhadap pengganggu wanita, gadis ini paling benci. Dan tak akan berhenti kalau lelaki bejad itu belum tewas.

“Wah, memang dasar nasibku baik. Siapa nyana kalau di tempat sepi yang jauh dari keramaian ini ada seorang dewi yang membangkitkan selera. Sayang kalau dibiarkan lewat begitu saja...”

Ucapan yang terdengar agak keras itu berasal dari mulut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus. Wajahnya pun sangat tak sedap dipandang, karena dipenuhi bopeng. Lelaki tua itu tengah duduk mencangkung di atas sebatang dahan pohon, di mana Wahyuni lewat di bawahnya.

Tentu saja Wahyuni kaget. Langkahnya terhenti seketika. Sepasang matanya yang berkilat menatap tajam sosok lelaki tua itu. Siapa lagi yang dimaksudkan si bopeng itu kalau bukan dirinya. Karena Wahyuni tak melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu, yang memang sunyi dan jauh dari pedesaan.

Lelaki kurus kecil berwajah bopeng itu tak lain Malaikat Kerdil. Seorang tokoh kaum sesat yang memiliki watak mata keranjang. Ketika melihat seorang gadis berjalan seorang diri di bawah pohon tempatnya duduk, gairah kakek ini bangkit. Kemudian langsung melayang turun di hadapan Wahyuni.

“Heh heh heh...! Benar-benar tak mengecewakan...,” gumam Malaikat Kerdil terkekeh sambil menjelajahi sekujur wajah dan tubuh Wahyuni dengan pandang matanya yang bergairah. Bergidik hati Wahyuni melihat cara lelaki kerdil itu memandang dirinya. Dirinya merasa seolah-olah ditelanjangi oleh pandang mata liar penuh nafsu bejad itu. Hal itu membuat wajah Wahyuni merah padam seiring dengan kebangkitan kemarahannya.

“Kakek gila! Caramu memandang diriku tak ubahnya seekor serigala buduk yang kelaparan! Tak malu oleh usiamu yang sudah mendekati liang kubur itu! Dasar manusia tak tahu diri!”

Wahyuni yang sudah marah bukan main itu melontarkan makian kasar. Namun Malaikat Kerdil justru semakin terkekeh-kekeh. Membuat dada Wahyuni terasa hendak meledak saking marahnya.

“Heh heh heh...! Aku suka sekali dengan kuda betina yang liar dan galak. Kau benar-benar membuatku tak sabar, Manis...!” Sambil berkata demikian, Malaikat Kerdil mengulurkan tangan kanannya hendak menyentuh dada gadis itu.

“Heh...!” Wahyuni terkejut melihat kecepatan gerak tangan lelaki kerdil itu. Belum lagi dirinya sempat menyadari, jari-jari tangan itu sudah hampir menyentuh dadanya, membuat Wahyuni terpekik. Cepat ditarik mundur tubuhnya menghindari tangan kurang ajar itu. Namun semakin cepat tangan Malaikat Kerdil mengejar, membuat Wahyuni makin gugup. Dan....

“Auuuwww...!” Wahyuni menjerit dengan mata terbelalak, ketika dadanya terjamah tangan lelaki cebol itu.

“Heh heh heh...! Ada apa,Manis...?”

“Bangsat, tak tahu malu!” Wahyuni memaki kalap. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat Karena tindakan itu jelas merupakan suatu penghinaan yang sangat besar bagi gadis seusianya. Wahyuni hampir menangis karena merasa terhina.

Srat!

Kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya, membuat Wahyuni mencabut pedang. Dan tanpa cakap lagi, langsung menerjang Malaikat Kerdil dengan ganasnya. Namun, Wahyuni kali ini benar-benar sial. Karena yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Hal itu dapat dirasakan dari gerakan yang gesit. Sehingga, meskipun ia mengerahkan seluruh kemampuan tak satu pun dari serangannya yang membawa hasil.

Bahkan setiap kali Malaikat Kerdil memapak dengan angin pukulan telapak tangannya, pedang itu tergetar mundur. Wahyuni merasakan lengannya panas. Menyadari kalau lelaki cebol yang berniat kurang ajar terhadap dirinya itu ternyata memiliki kepandaian tinggi, Wahyuni mulai dilanda kegelisahan. Bayangan-bayangan mengerikan mulai tercipta di benaknya.

“Hi hi hi...!” Mengetahui kegelisahan lawannya, Malaikat Kerdil tampak semakin gembira. Bahkan dengan menggunakan kecepatan geraknya terus mempermainkan gadis itu. Tampak pula dirinya mulai melakukan serangan balasan dengan cara yang sangat kurang ajar sekali, membuat Wahyuni semakin ngeri dibuatnya.

“Hih! He he he...!”

“Auuuwww...!”

Untuk kesekian kalinya Wahyuni terpekik dengan wajah memerah padam menahan kemarahan dan rasa malu. Karena dengan seenaknya, lelaki kerdil itu mengelus pinggulnya. Bahkan perbuatan yang bagi Wahyuni merupakan penghinaan itu, terus dilakukan sambil tertawa-tawa. Kadang dadanya disentuh. Di lain saat wajahnya dielus. Lalu yang membuat gadis itu hampir menangis, ketika jemari tangan lawan meremas pantatnya. Tampak dua titik air mata mengalir di pipi halus Wahyuni. Ia rasanya lebih baik mati daripada mengalami hinaan seperti sekarang ini. Sungguh Wahyuni tak berdaya sama sekali menghadapi gerak lawan yang begitu cepat dan sulit diikuti mata.

Rasa marah dan terhina yang tak kuat lagi ditahannya, membuat Wahyuni nekat. Ketika dilihatnya bayangan samar lawan yang berkelebat di sebelah kanannya, Wahyuni mengeluarkan teriakan meleng-king tinggi. Tubuhnya menubruk sambil menusukkan pedang dengan sekuat tenaga.

“Hih...!”

Syuuttt!

“Haits! Heh heh heh..., kenapa kau jatuh...? Ayo.... Bangkit lagi!”

Sayang tingkat kepandaian Wahyuni memang berada jauh di bawah Malaikat Kerdil. Sehingga, serangan yang sudah diperhitungkan dengan cermat, sama sekali tak mendapatkan hasil seperti yang dibayangkan. Bahkan karena terlalu bernafsu, luputnya serangan barusan membuat tubuh gadis itu terjerembab jatuh menelungkup di tanah.

“Heh heh heh...!”

Tuk! Tuk!

“Aaakh!”

Malaikat Kerdil memperdengarkan kekehnya yang memuakkan. Sekali bergerak, jari-jemari tangannya telah melancarkan totokan yang membuat Wahyuni lumpuh seketika. Sambil tertawa-tawa, Malaikat Kerdil pun membalikkan tubuh Wahyuni yang sudah tak berdaya. Wahyuni menangis terisak dengan hati penuh kengerian. Gadis itu sadar bahwa dirinya tengah terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian. Ia lebih suka ditodong dengan ujung pedang ketimbang kejadian yang akan menimpa dirinya dan menghan- curkan hidupnya itu.

Namun, tampaknya Tuhan tak menghendaki Wahyuni mengalami kejadian yang mengerikan itu. Karena sebelum Malaikat Kerdil sempat melampiaskan nafsu iblisnya, tiba-tiba datang angin keras menyambar yang disertai bentakan menggelegar.

“Hei...! Iblis biadab, lepaskan gadis itu...!”

Malaikat Kerdil tentu saja kaget dan marah bukan kepalang ada orang yang berani menghalangi perbuatannya. Namun, sebelum lelaki bopeng itu sempat menoleh, tiba-tiba tubuhnya disentakkan oleh suatu kekuatan dahsyat. Tubuhnya yang kurus itu terpental dari atas tubuh Wahyuni. Meskipun kejadian itu sama sekali tak membuat dirinya celaka, karena berhasil meluncur turun dengan selamat, sempat membuat dadanya sesak oleh kemurkaan. Karena nafsu iblis yang sudah menggelegak terbendung di dalam dadanya.

“Hmmmrrr...! Akan kuremas hancur tubuhmu, Keparat..!” Malaikat Kerdil menggereng bagai binatang luka. Dengan geram diangkat wajahnya untuk melihat orang yang berani berbuat demikian terhadapnya. Tapi..., sepasang mata yang memancarkan bola api itu mendadak berubah terbeliak. Terkejut bukan main hati dedengkot golongan sesat itu begitu melihat wajah sosok tubuh yang berdiri tegak menentang pandang matanya dengan sorot mengiriskan.

“Kau.... Pendekar Naga Putih...?!” desis Malaikat Kerdil dengan suara lirih. Seketika wajahnya berubah tegang. Karena sebelumnya ia pernah berjumpa dengan pendekar muda itu di sebuah desa yang dilanda malapetaka. Dirinya pun sudah merasakan kehebatan Pendekar Naga Putih, meski hanya dalam beberapa jurus. Itu sebabnya mengapa pada pertemuan yang kedua kalinya ini, membuat Malaikat Kerdil merasa tegang.

“Malaikat Kerdil!” ujar Panji merasa muak melihat apa yang hendak dilakukan tokoh sesat itu terhadap seorang gadis muda. “Sekarang aku mempunyai alasan yang kuat untuk melenyapkanmu! Manusia bejad sepertimu tak boleh dibiarkan berkeliaran di atas muka bumi ini. Orang macam kau hanya akan menimbulkan bencana bagi orang banyak. Terutama gadis-gadis! Jadi, bersiaplah untuk kukirim ke akherat..!”

Usai berkata demikian, Panji langsung melesat dan menerjang dengan cakar naganya. Jurus andalan ini langsung dipergunakan karena Pendekar Naga Putih tahu lawannya tergolong dedengkot kaum sesat. Maka serangannya pun tidak tanggung-tanggung lagi. Malaikat Kerdil menekan kegentarannya. Tubuh cebolnya bergerak membentuk kuda-kuda harimau, siap menyambut serangan lawan.

“Heaaa...!”

Bweett! Beweett!

“Haits!”

Dua kali serangan cakar naga Panji berhasil dielakkan Malaikat Kerdil yang memang memiliki kecepatan gerak luar biasa itu. Bahkan mampu melancarkan serangan balasan dengan pukulan dan tamparan yang mengeluarkan suara angin berkesiutan. Sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit dengan tempo cepat. Karena keduanya memiliki kelincahan yang tidak berselisih jauh.

Wahyuni yang tidak menduga kalau dirinya akan selamat dari bahaya mengerikan, hanya memperhatikan pertarungan itu dengan tubuh tetap terbaring miring. Setelah mendengar dari Malaikat Kerdil bahwa penolongnya ternyata tokoh yang berjuluk Pendekar Naga Putih, hati Wahyuni merasa lega. Nama besar dan sepak terjang Pendekar Naga Putih sudah sering didengarnya dari cerita orang banyak. Dirinya percaya kalau pendekar yang kabarnya masih berusia muda dan berwajah tampan itu pasti akan dapat mengalahkan orang yang nyaris memperkosanya. Meski ia sendiri sudah merasakan betapa hebat manusia bertubuh kerdil itu.

Sementara itu, pertarungan sudah berpindah agak jauh dari tempat Wahyuni tergeletak. Sehingga gadis itu tidak bisa menyaksikannya lagi. Sementara itu Pendekar Naga Putih tampak sudah mendesak lawan dengan serangan-serangan maut yang mengeluarkan hawa dingin menusuk tulang. Hawa dingin inilah yang membuat Malaikat Kerdil semakin tak berdaya untuk melakukan serangan balasan. Hal itu karena dirinya merasa seperti tengah bertarung di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi salju. Terpaksa Malaikat Kerdil membuat pertahanan untuk melindungi agar tubuhnya tidak sampai terkena pukulan lawan.

Namun, sekuat apa pun benteng pertahanan yang dibuat Malaikat Kerdil, tetap saja belum cukup untuk membendung serangan-serangan Pendekar Naga Putih. Sepasang tangan yang membentuk cakar naga itu terus memburu secara cepat dan beruntun. Sehingga lelaki berwajah bopeng itu tampak kian kewalahan. Tubuhnya melompat ke sana kemari mengelakkan serangan dahsyat lawan.

“Hyaaahh...!”

Wut! Wut!

Pada suatu kesempatan, setelah dua kali serangannya berhasil digagalkan lawan, tiba-tiba Panji membentak keras. Cakar naganya menyambar miring menggempur pertahanan yang dilihatnya paling lemah.

Breettt!

“Aakkhh...!”

Malaikat Kerdil memekik kesakitan. Sambaran cakar naga lawan merobek bagian bawah dada kirinya, hingga mengalirkan darah. Luka sambaran cakar itu cukup dalam. Dirasakan dadanya sangat perih. Ketika tubuh lawan terdorong limbung, Pendekar Naga Putih melanjutkan serangannya. Kali ini disertai sebuah pukulan keras terarah ke lambung Malaikat Kerdil.

“Heaa...!”

Plakkk! Bukk!

Tamparan Pendekar Naga Putih yang meluncur ke pelipis, masih sempat ditangkis tokoh sesat itu. Namun pukulan yang meluncur deras ke arah lambung, telak mengenai sasarannya. Seketika tubuh kerdil itu terlempar dua tombak ke belakang. Kemudian masih pula dilanjutkan sebuah tendangan keras yang menggedor dada kerempeng itu.

“Aaakh...!”

Tanpa ampun lagi, tubuh Malaikat Kerdil terbanting keras ke tanah. Darah segar termuntah keluar. Napasnya terengah dengan wajah pucat Tulang dadanya terasa remuk akibat tendangan telak yang sangat keras. Membuat tokoh kerdil ini tidak mampu buru-buru bangkit.

“Uhhh...!”

Pendekar Naga Putih telah berdiri di depan Malaikat Kerdil dengan sorot mata tajam. Lelaki berwajah bopeng itu sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah menunggu pukulan terakhir pemuda tampan berjubah putih itu.

“Bersiaplah, Malaikat Kerdil...!” ancam Panji dengan suara mendesis membuat bulu kuduk Malaikat Kerdil meremang.

Pendekar Naga Putih yang sudah mengangkat tan gan kanan siap menjatuhkan pukulan maut untuk mengakhiri nyawa Malaikat Kerdil, menahan geraknya. Karena tiba-tiba telinganya menangkap desir angin mencurigakan.

“Pendekar Naga Putih, terimalah senjataku...!” Tiba-tiba terdengar suara yang wujud pemiliknya belum terlihat.

Namun Panji melihat sebuah benda bulat sebesar ibu jari meluncur cepat memburu tubuhnya. Melihat bentuk senjata rahasia itu Pendekar Naga Putih teringat akan pengalaman-pengalamannya selama dalam pengembaraan. Tampaknya dia tak ingin bertindak ceroboh menyambut senjata yang diduga mengandung bahan peledak itu. Saat benda itu semakin dekat, Panji segera melempar tubuhnya ke samping.

Namun Pendekar Naga Putih merasa geram ketika senjata rahasia itu ternyata tidak meledak seperti yang diduga. Benda itu jatuh di dekat tubuh Malaikat Kerdil. Rupanya penyerang gelap itu sengaja menipu Panji. Pemuda berjubah putih itu segera mengayunkanlangkah menghampiri tubuh Malaikat Kerdil. Namun dia terpaksa mengurungkan niat itu, karena ada lagisuara berdesing datang ke arahnya. Dengan pandangmatanya yang tajam, Panji dapat melihat kalau senjatagelap itu sama sekali tak berbeda dengan yang baru saja dihindarinya.

Meskipun benda pertama yang dielakkannya ternyata berupa bola besi kecil biasa, Panji tetap tak ingin bertindak ceroboh. Seperti ketika menghadapi serangan gelap pertama tadi, tubuhnya melompat ke samping sejauh satu tombak. Khawatir kalau benda kali ini tidak sama dengan yang pertama. Sebab, mungkin saja penyerang itu bermaksud mempermainkan dirinya dengan melemparkan bola baja sebesar kelereng.

Swing...!

Glarrr...!

Apa yang diperkirakan Panji ternyata benar. Benda bulat itu menimbulkan ledakan keras, begitu jatuh ke tanah. Untung dirinya memutuskan untuk menghindar. Jika tidak, kecil sekali kemungkinan dapat selamat.

“Kurang ajar...!” geram Panji seraya mengepal tinjunya erat-erat, jengkel terhadap penyerang gelap itu.

Pendekar Naga Putih tahu apa tujuan dari serangan itu. Maka dirinya tak ingin tinggal diam menunggu kepulan asap tebal berwarna putih itu reda. Tubuhnya langsung melesat menembus gumpalan asap itu. Namun bukan main terkejut hati Panji ketika dari dalam gumpalan asap itu terdengar suara berdesingan menyambut tubuhnya.

Dengan cepat tubuhnya melenting ke udara melampaui gumpalan asap itu, lalu berjumpalitan ke belakang menjauhi tempat itu. Setelah meluncur turun dengan selamat, Pendekar Naga Putih berdiri tegak menatap gumpalan asap yang kian menipis. Ketika asap itu lenyap, hatinya terkejut melihat si Malaikat Kerdil telah lenyap dari tempat itu.

“Hm.... Kali ini biarlah kau lolos, Malaikat Kerdil! Tapi, lain waktu takkan kubiarkan...,” geram Panji berjanji dalam hati. Setelah termenung sesaat, pemuda itu membalikkan tubuhnya, melangkah menghampiri Wahyuni yang masih terkulai lemas.

Wahyuni sendiri menghela napas lega ketika melihat pemuda tampan berjubah putih menghampirinya. Semula dirinya mengira Pendekar Naga Putih mendapat celaka. Karena ledakan keras yang membuat tanah sekitar tempat itu bergetar, tidak bisa dilihatnya. Wahyuni mengucap syukur dalam hati melihat penolongnya selamat tanpa melihat adanya tanda-tanda mengalami cidera, seperti apa yang dicemaskan.

EMPAT

Setelah merasa dirinya bebas dari pengaruh totokan, Wahyuni langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Peristiwa yang nyaris merenggut kesuciannya membuat jiwa gadis itu terguncang hebat Meskipun sekarang bahaya itu sudah lewat, dirinya merasa malu bukan main. Malu terhadap Pendekar Naga Putih, yang walaupun menolongnya dengan ikhlas, pendekar muda itu sudah menyaksikan keadaan dirinya yang setengah telanjang tadi. Ini yang menjadi beban pikiran dan membuatnya menangis penuh penyesalan.

Wahyuni sama sekali tak sadar betapa perbuatannya menyebabkan Panji kebingungan. Pemuda itu tidak mengerti mengapa setelah diselamatkan dan dibebaskan dari totokan, gadis berpakaian biru tua itu justru menangis. Padahal sebelum ia membebaskan totokan, gadis itu sama sekali tak menangis.

“Maaf kalau perbuatanku tadi membuatmu berduka, Nisanak...!” ujar Panji dengan suara perlahan.

Saat hendak membebaskan totokan, tubuh gadis itu dalam keadaan setengah telanjang. Kendati telah meminta maaf sebelumnya, kelihatannya gadis itu tetap merasa malu hingga menangis demikian sedih. Mendengar permintaan maaf Pendekar Naga Putih, Wahyuni sadar akan kelakuannya yang telah membuat orang lain kebingungan. Tangisnya agak mereda. Gadis itu menurunkan telapak tangan dari wajahnya yang sudah bersimbah air mata. Panji menunduk demi melihat betapa sepasang mata gadis itu menggambarkan kesedihan yang dalam. Hatinya dapat mengerti bagaimana perasaan gadis itu.

"Tuan Pendekar...,” ujar Wahyuni dengan suara parau di antara isaknya. “Aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Malah seharusnya sangat berterima kasih atas pertolonganmu yang telah menyelamatkanku dari bencana mengerikan itu. Tapi..., bagaimanapun, aku tak bisa menahan rasa malu di hati ini, mengingat betapa saat kau membebaskan totokan.... Keadaanku.... Benar-benar memalukan sekali...,” Wahyuni kembali menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Aku paham apa yang kau rasakan, Nisanak. Tapi semua itu bukanlah kesalahanmu. Jika.... Kau malu terhadapku, ada baiknya kalau aku pergi” Sambil berkata begitu, Panji bangkit dari duduknya. Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan gadis itu.

Wahyuni tersentak kaget ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih itu. Telapak tangan yang menutupi wajahnya kembali diturunkan. Dan ketika melihat penolongnya sudah melangkah pergi, cepat ia melompat bangkit dan berlari mengejar.

"Tuan Pendekar, tunggu!” seru Wahyuni yang tentu saja menjadi serba salah. Karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk melukai ataupun menyinggung perasaan penolongnya. Kelihatannya pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah tersinggung dengan sikap dan ucapannya, yang seperti tak bersyukur telah diselamatkan orang.

Panji menahan langkah dan berbalik menghadapi gadis itu. Wajahnya tersenyum memaklumi bahwa gadis itu tentu telah menduga yang bukan-bukan terhadap tindakannya. “Sudahlah, Nisanak! Aku merasa bersyukur kau telah selamat dari bahaya. Kalau aku sekarang hendak pergi, itu bukan karena aku marah atas sikap dan perkataan mu...,” ujar Panji dengan nada lembut, membuat Wahyuni kian merasa malu terhadap dirinya sendiri.

“Aku.... Aku memang perempuan tak tahu terima kasih...!” Sambil berkata demikian, Wahyuni menjatuhkan tubuhnya bersimbah di depan Pendekar Naga Putih.

Tentu saja Panji kaget. Secepat kilat diulurkan kedua tangannya mengangkat pundak gadis itu. “Bangkitlah, Nisanak! Jangan bersikap seperti ini...!”

Wahyuni yang merasa betapa ada sepasang tangan yang memegang kedua bahu dan mengangkat naik tubuhnya, menundukkan kepala dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan diangkat wajahnya, hingga sepasang mata mereka bertemu dalam jarak kurang lebih satu jengkal. Hal itu berlangsung beberapa saat tanpa mereka sadari. Hingga akhirnya Wahyuni menunduk, tersipu dengan wajah kemerahan.

Panji agak kaget juga ketika menyadari apa yang baru saja terjadi. Namun dirinya tetap berusaha bersikap wajar, agar gadis itu tidak semakin salah tingkah. Hanya saja pemuda itu belum sadar kalau sepasang tangannya masih melekat di bahu Wahyuni. Setelah agak lama dan gadis itu masih juga menundukkan wajahnya bahkan semakin dalam, Panji baru menyadari kesalahannya. Bagai terkena sengatan lebah, kedua tangannya disentakkan secara tiba-tiba. Diam-diam ia mengutuk kebodohannya itu.

“Maaf...!” ucap Panji setelah mengerti kesalahannya.

Wahyuni tentu saja tahu untuk apa Pendekar Naga Putih meminta maaf kepadanya. Sebab, ketika sepasang tangan pemuda itu melekat pada kedua bahunya, dirasakan ada suatu getaran aneh yang tak dimengerti olehnya. Yang jelas sesaat tadi dirinya merasa aman dan terlindung. Dadanya berdebar lebih cepat dari biasa, membuat nafasnya agak memburu. Semua keanehan yang tidak diketahui Panji inilah yang membuatWahyuni terus merunduk, tak berani mengangkat wajahnya.

Baru setelah sepasang tangan itu terlepas dari bahunya, Wahyuni berani mengangkat wajah, dan menggeleng sebagai isyarat tak perlu ada kata maaf harus diucapkan pemuda itu. Hanya saja Wahyuni merasa kehilangan getaran-getaran aneh yang kini baru dirasakannya demikian nikmat dan melenakan, membuat dirinya ingin Pendekar Naga Putih mengulangi perbuatan itu. Wahyuni tentu saja kaget. Cepat diusirnya keinginan gila itu. Gadis itu sama sekali tidak sadar kalau kepalanya menggeleng keras saat hendak mengusir keinginan itu. Tentu saja membuat Panji memandang heran. Tapi tak berani untuk bertanya.

“Nisanak, kau sudah terlepas dari ancaman bahaya. Rasanya aku sudah tak diperlukan lagi di tempat ini”

“Pendekar Naga Putih, tidakkah kau mau memaafkan sikap dan ucapanku?”

Wahyuni menyela cepat, dan justru membuat perasaannya terkejut. Sebab ia kemudian tahu bahwa ucapan itu keluar karena tidak ingin berpisah dengan sang Pemuda berwajah tampan itu. Perasaan gila yang muncul setelah kejadian barusan, demikian kuat mencengkeram hatinya, membuat Wahyuni sendiri tak berdaya.

“Nisanak, kau kenapa...?” Tanya Panji dengan kening berkerut keheranan mendengar ucapan Wahyuni. Hatinya mulai cemas, menduga kalau jiwa gadis ini masih terguncang dengan apa yang nyaris menimpa dirinya tadi. Pikiran itu membuat Pendekar Naga Putih menatap sepasang mata Wahyuni untuk memastikannya. Melihat tatapan mata Pendekar Naga Putih, Wahyuni salah paham. Gadis itu kembali merunduk dan tersipu malu dengan sepasang pipi merona kemerahan. Lagi-lagi sikapnya membuat Panji kebingungan.

“Aku.... Aku...” Wahyuni mendadak merasa lidahnya kelu dan sulit untuk mengucapkan kata-kata. Sepasang matanya menatap lekat wajah pendekar muda tampan itu. Kemudian berpindah menekuri rerumputan di bawah kakinya. Dan ketika gadis itu mendongakkan kepala, menatap dengan sorot mata aneh serta senyum manis di bibirnya, Pendekar Naga Putih tersentak kaget.

Sadar apa yang saat ini tengah terjadi dalam diri gadis itu, Panji mengeluh dan menghela napas penuh rasa iba. Sebab sekarang dia mengerti apa arti tatapan mata dan sikap gadis itu. Dirinya telah berjumpa dengan banyak wanita yang bukan hanya dari kalangan persilatan. Hatinya yakin gadis itu telah jatuh hati terhadapnya, Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya dituntut bertindak tegas untuk menepiskan perasaan dan naluri kewanitaan gadis itu.

“Ah, aku merasa tak tahu berterima kasih karena belum memperkenalkan nama. Padahal kau sudah berbaik budi menyelamatkan diriku. Nah, Pendekar Naga Putih, aku Wahyuni menghaturkan hormat kepadamu...”

Tiba-tiba saja Wahyuni yang rupanya telah menemukan sifat lincah dan periangnya itu, langsung saja memperkenalkan nama seraya membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dada. Dengan memperkenalkan diri lebih dulu, tentu saja Wahyuni berharap Pendekar Naga Putih akan memperkenalkan nama kepadanya. Dan ia menunggu hal itu.

Pendekar Naga Putih yang tak ingin menyinggung perasaan gadis itu, tersenyum dan balas menghormat. Kemudian menyebutkan namanya. “Panggil saja aku Panji. Nah, selamat tinggal!”

Wahyuni membelalak kaget, ketika tahu-tahu sosok pemuda di depannya telah lenyap. Ketika ia menoleh ke kanan, terlihat bayangan putih yang melesat dengan kecepatan tinggi, untuk kemudian lenyap dari pandangan. Sepeninggal Panji, Wahyuni masih berdiri termenung, memandang ke arah sosok penolongnya itu menghilang. Terdengar tarikan nafasnya yang berat dan berkepanjangan. Tak berapa lama kemudian, gadis itu pun mengayun langkah melanjutkan perjalanan.

********************

Pendekar Naga Putih terus berlari dengan kecepatan tinggi. Dirinya sengaja mengerahkan kepandaian agar Wahyuni tidak bisa mengejarnya. Setelah merasa yakin kalau sudah cukup jauh meninggalkan gadis itu, barulah larinya diperlambat. Agak menyesal memang ia melakukan hal itu.

Namun tindakan ini dilakukannya demi kebaikan mereka berdua. Ketika melanjutkan perjalanan dengan setengah berlari itu, tiba-tiba Panji menunda langkahnya. Telinganya yang tajam mendengar ada suara langkah berat seperti tersaruk-saruk, ditingkahi dengusan napas yang memburu.

“Hm.... Entah apa lagi yang akan kujumpai kali ini. Yang jelas, dalam suasana kacau seperti sekarang ini, aku harus selalu waspada...,” gumam Panji sambil terus berkelebat menuju sumber suara yang mengusik telinganya itu.

Pendekar Naga Putih sudah siap melompat ke semak-semak, ketika suara langkah berat dan napas terengah itu semakin dekat dengan tempatnya berada, namun segera diurungkannya. Sesosok bayangan yang sebentar lenyap sebentar terlihat di antara batang-batang pepohonan membuat pemuda berjubah putih itu melesat untuk menghampiri. Sebab, kendati hanya sepintas, matanya sempat menangkap ada noda darah pada pakaian sosok tubuh itu.

Gerakan Panji yang membawa hembusan angin keras itu, sempat membuat sosok yang tertatih-tatih itu terkejut. Namun ketika sambaran angin keras itu disusul dengan kemunculan seorang pemuda tampan berjubah putih, lelaki yang di beberapa bagian tubuhnya dipenuhi luka itu terlihat agak tenang. Matanya menatap sosok Panji dengan penuh selidik. Bahkan tangannya sudah meraba gagang golok yang tergantung di pinggangnya.

“Siapa kau, Kisanak? Mengapa menghadang perjalananku?” Meskipun dalam keadaan tubuh lemah karena terlalu banyak kehilangan darah, lelaki itu tak ingin menunjukkan kelemahannya. Dia masih dapat bertanya dengan penuh rasa curiga.

“Maaf kalau kehadiranku membuatmu terkejut. Namaku Panji. Dan aku menghadang bukan dengan maksud buruk. Aku hanya merasa terusik melihat keadaan tubuhmu yang dipenuhi luka itu, Kisanak. Kalau boleh ku tahu, apa sebenarnya yang menimpa dirimu?” Tanya Panji dengan tutur kata halus, setelah memperkenalkan dirinya.

“Hhh.... Dunia sekarang benar-benar sudah gila! Tak ada lagi tempat yang dapat membuat kita hidup tenteram. Di mana-mana terjadi kejahatan. Perampok-perampok merajalela membunuh dan merampas harta benda sesuka hatinya. Bahkan tak segan-segan mereka memperkosa anak-istri orang! Kalau sudah begini, rasanya kiamat akan segera datang...,” ujar lelaki berpakaian putih, yang pada bagian kerah dan ujung lengannya dilapisi warna biru tua.

Ucapan itu dikeluarkan dengan suara bergetar penuh kekecewaan dan keputusasaan. Dari wajahnya tampak, seolah-olah lelaki itu merasa menemukan tempat untuk menumpahkan perasaan yang menyesakkan dadanya. Ketika ucapannya selesai, tubuhnya melorot jatuh dengan bertelekan kedua lutut Tampaknya penderitaan yang dialami lelaki itu sangat berat Setelah melepaskan segala perasaan kecewa, kesal, dan putus asanya kepada Panji, dia menekap wajah dan terisak.

Melihat lelaki itu jatuh terduduk dan terisak, Panji tak berusaha untuk menghibur. Dia tetap berdiri di tempatnya, menunggu redanya tangis dan kesedihan lelaki itu. Sebab, sering tangisan seperti itu dapat membantu meredakan kegalauan, kekecewaan, dan kekesalan yang menyesakkan dada.

“Kisanak,” tegur Panji ketika mendengar isak lelaki itu terhenti, kendati masih tetap menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangan. Panji tahu kalau orang itu sudah dapat mendengar sapaannya. Maka segera dilanjutkan ucapannya. “Ada kejahatan, pasti ada kebaikan. Ada kekacauan jelas ada ketenangan. Ada malapetaka tentu kita akan mendapat karunia. Begitulah Tuhan menciptakan segalanya dengan berpasang-pasang. Satu sama lain selalu datang silih berganti...” Panji menghentikan ucapannya dan menatap lelaki itu. Ingin didengarnya apa tanggapan lelaki itu atas perkataannya.

“Kisanak.... Siapa sebenarnya dirimu? Tampaknya kau telah banyak memiliki pengalaman dalam kehidupan ini. Dan kata-kata seperti itu layak diucapkan seorang bijaksana atau seorang guru. Paling tidak orang yang sudah lanjut usianya. Sedangkan kau kulihat masih sangat muda? Dan..., sikapmu mencerminkan ketenangan, sinar matamu yang tajam bagaikan sanggup menembus ke dalam hati, menandakan bahwa kau pastilah bukan pemuda sembarangan. Bersediakah kau memberikan jawaban yang jujur kepadaku...?” ujar lelaki itu. Tampak matanya mulai memperhatikan sosok pemuda tampan berjubah putih itu.

“Hm... Seperti yang kukatakan tadi, namaku Panji. Seorang pengembara yang tak pernah punya tempat tinggal. Dan kalau yang kau maksudkan bahwa aku memiliki kepandaian, tentu saja tidak salah. Meskipun sebenarnya kurang pantas untuk dipamerkan, tapi kuanggap cukup sekadar untuk bekal hidup. Nah, apa kau masih menyimpan pertanyaan lagi sebelum menceritakan apa yang telah menimpa dirimu atau keluargamu? Atau mungkin juga perguruan tempatmu menimba ilmu. Sebab, kalau kulihat dari pakaianmu, sepertinya kau murid sebuah perguruan silat,” duga Panji seraya meneliti sosok lelaki itu. Kemudian melangkah maju, dan duduk di atas rerumputan. “Sudah siap untuk bercerita...?” tanyanya tersenyum memandang lelaki yang kini berada disampingnya.

Lelaki bertubuh agak gemuk, yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu tak segera menjawab. Setelah menoleh sekilas menatap wajah Panji, ia menghela napas berat seperti hendak melepaskan beban yang menghimpit dadanya. Pandang matanya kini menerawang jauh ke langit cerah. Saat itu matahari sudah bergeser, waktu sudah lewat tengah hari.

Panji tak berkata apa-apa lagi. Bahkan ikut melemparkan pandang ke atas, memperhatikan awan-awan biru yang berarak. Dengan sabar dia menunggu orang itu menceritakan peristiwa yang membuat tubuhnya dipenuhi luka bekas senjata tajam maupun pukulan.

Setelah agak lama termenung, lelaki muda itu mulai menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia mengaku sebagai salah satu murid dari Perguruan Wulung Sakti, yang bertempat di Bukit Warangan. Perguruan yang memiliki murid sekitar empat puluh orang itu, tiba-tiba didatangi sekelompok orang dipimpin tokoh berjuluk Tengkorak Hitam.

Tanpa basa-basi, mereka langsung mengajak Perguruan Wulung Sakti bergabung dan tunduk di bawah kekuasaan ketua dari Tengkorak Hitam. Ketika ajakannya tidak disambut baik, Tengkorak Hitam marah dan memerintahkan para anak buahnya untuk menghabisi seluruh penghuni bangunan perguruan itu, termasuk binatang peliharaan dan ternak yang ada. Mereka pun membakar hangus rumah perguruan itu, setelah membantai penghuninya.

“Lalu, bagaimana kau dapat selamat dan sampai ke tempat ini...?” Tanya Panji setelah lelaki itu mengakhiri ceritanya. Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap penuh selidik. Sebab menurut cerita barusan, seluruh penghuni rumah perguruan dibantai habis tanpa terkecuali. Kalau sekarang lelaki itu ternyata bisa selamat dan bertahan hidup, tentu saja menimbulkan pertanyaan di hati Panji.

“Secara kebetulan, aku selamat. Padahal aku lebih suka tewas seperti saudara-saudaraku yang lain. Rupanya Tengkorak Hitam beserta begundal-begundalnya mengira aku telah tewas. Tubuhku yang dipenuhi luka tusukan senjata, tergeletak di antara sekian banyak mayat lainnya. Padahal aku hanya pingsan. Dan tersadar saat hari mulai gelap. Dengan hati hancur, aku menguburkan semua mayat, termasuk guruku dan tokoh-tokoh utama Perguruan Wulung Sakti. Kemudian aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Aku terus berjalan mengikuti langkah kaki, tanpa tahu ke mana dan apa yang harus kulakukan. Tokoh-tokoh persilatan yang kukenal, serta beberapa perguruan silat yang ku tahu, sudah kudatangi semua. Maksudku tentu saja untuk meminta bantuan. Tapi, mereka semua tak dapat kuharapkan. Mereka ternyata mengalami nasib yang tak berbeda dengan perguruanku. Keadaan itu membuat aku putus asa. Karena Iblis Angkara Murka yang menebar bencana tak ada yang mampu menghentikannya...”

Lelaki gemuk itu menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Wajahnya kelam penuh kedukaan yang dalam. Sesaat matanya tampak memejam serta menggelengkan kepala perlahan. Seakan-akan hendak menghempaskan kekesalannya.

“Hm.... Aku telah mendengar semua kekacauan yang akhir-akhir ini berkecamuk di berbagai tempat. Tapi, percayalah, Kisanak! Saat ini banyak pendekar yang bermunculan. Mereka merasa bertanggung jawab untuk dapat menumpas Iblis Angkara Murka itu. Aku sendiri berhasrat sekali ingin melihat, seperti apa manusia iblis yang mendalangi semua kebiadaban ini! Aku yakin, kejahatan tak akan berlangsung lama. Karena kebenaran akan selalu dapat mengalahkanya!” ujar Panji penuh semangat dengan maksud untuk membangkitkan gairah hidup dan semangat lelaki muda itu.

“Aku tahu di mana markas pimpinan manusia-manusia biadab yang mengaku berjuluk Iblis Angkara Murka itu. Semula kukira sebuah bangunan besar yang megah dan dijaga tokoh-tokoh sesat. Tapi, ternyata hanya sebuah rumah sederhana. Rupanya iblis biadab itu sengaja, agar tak satu pun orang yang menyangkanya. Ia cuma tinggal bersama dua orang pembantunya yang buta. Tapi, para pengikutnya tersebar di berbagai tempat,” tutur lelaki yang gemuk itu, membuat Panji terkejut

“Hm...?! Di mana tempat itu...?” Tanya Panji sambil berusaha menyembunyikan kecurigaannya. Namun ia ingin tahu seperti apa rupa tokoh yang ternyata memang berjuluk Iblis Angkara Murka itu.

“Iblis itu memiliki kesaktian yang luar biasa, Panji. Untuk menyerbu tempat itu kita harus mengumpulkan para pendekar sebanyak-banyaknya. Kalau hanya kita berdua, menghadapi salah satu pembantunya yang buta saja tak mungkin dapat menang. Sama saja kita mengantarkan nyawa sia-sia...!” Lelaki gemuk itu terkejut mendengar keinginan Pan-ji untuk menyatroni biang iblis itu. Dan ia tidak setuju, karena menurutnya sama saja dengan menghampiri liang kubur.

“Hm.... Kalau hanya tiga orang, aku rasanya tidak akan gentar. Biarpun kesaktian tokoh itu seperti iblis neraka, aku akan menghadapinya! Ayo, antarkan aku ke tempat Iblis Angkara Murka itu berada!” desak Panji tanpa mempedulikan betapa wajah lelaki gemuk itu menjadi pucat bagai tak dialiri darah.

"Tapi...”

“Kau tak perlu takut, Kisanak! Tugasmu hanya menunjukkan tempat itu. Kemudian kau boleh pergi. Aku akan menghadapi Iblis Angkara Murka dan dua orang pembantunya yang buta itu!” ujar Panji seraya mengepal tinjunya erat-erat.

Pendekar Naga Putih tentu saja tidak bermaksud menyombongkan diri. Namun hatinya belum percaya kalau lelaki gemuk itu sudah menemukan tempat kediaman Iblis Angkara Murka. Dan kalau apa yang diceritakan lelaki itu benar, berarti ada dua kemungkinan. Pertama, lelaki gemuk itu salah satu pengikut Iblis Angkara Murka yang sengaja hendak menjebaknya. Kalau tidak, lelaki gemuk itu pasti sudah terganggu jiwanya karena tak sanggup menahankan beban derita yang menghimpit.

Karena dipaksa oleh Panji, akhirnya lelaki gemuk itu bersedia menunjukkan tempat kediaman Iblis Angkara Murka. Hanya akan menunjukkannya, untuk kemudian membiarkan Panji menyelesaikannya seorang diri.

LIMA

Setelah mendapatkan gambaran tentang jalan yang harus dilaluinya, Pendekar Naga Putih memegang tangan lelaki gemuk itu dan melesat dengan pengerahan ilmu lari cepatnya. Sehingga, perjalanan yang kalau dilakukan orang awam bisa memakan waktu setengah hari, dapat ditempuh Panji sepuluh kali lebih cepat

“Mengapa kau minta aku berhenti di sini, Guradi?” Tanya Panji menghentikan larinya. Karena lelaki gemuk yang mengaku bernama Guradi itu berteriak-teriak meminta berhenti.

“Bukankah kau minta aku hanya mengantarkan saja? Nah, kau lihat bukit di depan itu? Di atas puncak Bukit Jajaran itulah Iblis Angkara Murka tinggal,” jawab Guradi menunjuk sebuah gundukan tanah yang disebut sebagai Bukit Jajaran.

Panji memandang Bukit Jajaran yang ditunjuk Guradi. Bukit itu tampak biasa saja. Tidak terlihat angker sebagaimana biasanya tempat tinggal tokoh-tokoh sesat. Sejenak ada keraguan di hati Panji.

“Kau yakin Iblis Angkara Murka tinggal di puncak bukit itu?” Tanya Panji untuk memastikan. Pertanyaan itu dikeluarkan sambil menatap tajam wajah Guradi.

“Aku pernah menyelinap ke sana, saat serombongan tokoh sesat datang menghadap pemimpin besarnya,” jawab Guradi tanpa ragu-ragu.

Panji mengangguk beberapa kali. Jawaban itu dirasakan cukup masuk akal. Sebab, dengan cara menyelinap ikut bersama rombongan, tentu saja Guradi terlepas dari kecurigaan mereka. Panji menerima jawaban itu, yang kebenarannya sangat mungkin. Karena itu, Panji pun bergegas menuju Bukit Jajaran, meninggalkan Guradi di tempat itu.

Guradi tak lagi merasa terkejut saat melihat tubuh Panji lenyap dari sampingnya. Dirinya sudah tahu kalau pemuda tampan berjubah putih itu memiliki kepandaian luar biasa. Hal itu diketahui saat dirinya dibawa lari pemuda itu dalam perjalanan menuju Bukit Jajaran. Setelah bayangan Panji tak lagi terlihat, Guradi pun bergerak meninggalkan tempat itu mengambil arah yang berlawanan. Dan..., bukan main!

Sekali bergerak, tubuh Guradi meluncur cepat laksana sambaran kilat! Kalau saja Panji melihat perubahan Guradi ini, tentu akan terkejut sekali. Guradi ternyata memiliki ilmu lari cepat yang nyaris sempurna. Bahkan mungkin setara atau bahkan di atas kemampuan yang dimiliki Pendekar Naga Putih dalam hal ilmu lari cepat. Benar-benar mengejutkan! Sayang Panji tak mengetahuinya. Kalau tidak, tentu ia curiga dengan lelaki gemuk yang mengaku bernama Guradi itu.

Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang sudah tiba di kaki Bukit Jajaran, menghentikan larinya sejenak. Diperhatikannya sekeliling tempat itu, kalau-kalau ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah merasa tak ada sesuatu yang patut dicurigai, pemuda itu mulai bergerak mendaki lereng. Beberapa saat kemudian, dirinya telah tiba di atas puncak Bukit Jajaran, yang tidak begitu luas.

Pendekar Naga Putih menyelinap di semak-semak, meneliti keadaan sekitar. Kemudian baru melesat ketika tidak melihat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Tubuhnya terus melompat naik ke atas sebatang pohon yang berdaun rimbun. Dari atas matanya mengawasi sebuah bangunan yang tidak begitu besar dan terlihat cukup tua.

“Hm… Sepertinya apa yang digambarkan Guradi memang tak berlebihan. Tak mungkin rasanya kalau bangunan sekecil ini bisa menampung banyak orang. Mungkin benar kalau di dalam bangunan ini cuma ada Iblis Angkara Murka dan dua orang pembantunya yang buta,” gumam Panji sambil memperhatikan sekitar bangunan dengan seksama. Dan ia tak melihat adanya satu pun penjaga di tempat itu.

Setelah menunggu beberapa saat dan keadaan di sekitar bangunan tetap tak ada perubahan, Pendekar Naga Putih melompat turun dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar tak menimbulkan suara saat menjejak tanah. Kemudian tubuhnya menyelinap ke bagian samping bangunan. Namun sebelum tangannya menyentuh daun pintu, Panji melayang naik ke atas atap. Karena telinganya menangkap ada suara langkah kaki menuju pintu itu.

Pendengaran Panji memang tak salah. Karena sesaat kemudian pintu terkuak dan muncullah sesosok tubuh ramping yang memiliki paras cantik jelita. Gadis cantik berpakaian serba hijau itu membuat sepasang mata Panji membelalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong! Karena sosok perempuan muda yang bagaikan bidadari itu tak lain Kenanga!

Meskipun jelas-jelas matanya melihat bahwa yang keluar dari samping bangunan ternyata Kenanga, Panji tidak ingin langsung percaya begitu saja. Matanya tampak mengerjap-ngerjapkan seolah ingin meyakinkan penglihatannya. Tetap saja sosok itu tidak berubah. Dengan hati diliputi ketidak mengertian, bagaimana Kenanga bisa berada di tempat itu, Panji memutuskan untuk turun dan menemui kekasihnya.

Saat tubuh Panji meluncur turun dari atap, Kenanga terlihat agak kaget, dan mundur empat langkah. Namun, begitu melihat bahwa yang datang ternyata Panji, senyumnya mengembang. Wajah gadis itu berseri-seri.

“Kakang...?!” seru Kenanga antara kaget, heran, dan juga gembira. Kakinya bergegas melangkah mendekati Panji. Dara jelita itu berhenti satu langkah di hadapan kekasihnya. Sepasang matanya yang indah menatap wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Kenanga sangat rindu kepada sang Kekasih.

“Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Tahukah kau siapa yang menghuni bangunan ini?” Tanya Panji menyambut uluran tangan kekasihnya.

“Dari keterangan-keterangan yang kukumpulkan selama mengadakan penyelidikan, akhirnya membawaku ke tempat ini. Karena Iblis Angkara Murka, yang menjadi biang keladi dari semua kekacauan, tinggal di atas puncak bukit ini. Tapi, bangunan ini ternyata kosong, tak berpenghuni! Aku sudah memeriksanya sampai beberapa kali...,” jawab Kenanga tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Panji.

Mendengar jawaban itu, Panji menghela napas sesaat Kemudian memalingkan wajahnya memperhatikan tempat itu. Tiba-tiba saja Panji berpaling dan kembali menatap wajah kekasihnya. Kemudian bergerak mundur karena merasakan adanya kelainan pada diri Kenanga. Biasanya setiap kali berpegangan tangan, jemari Kenanga tak pernah berhenti bergerak, selalu mengelus manja.

Namun, Kenanga yang sekarang ada di hadapannya sama sekali tak melakukannya. Padahal, apa yang setiap kali dilakukan Kenanga merupakan kebiasaan. Mustahil kalau Kenanga sampai lupa terhadap kebiasaannya sendiri. Ingatan ini membuat pemuda itu melepaskan pegangannya dan bergerak mundur dengan tatapan curiga.

Rupanya Kenanga merasakan kecurigaan itu sebelum Pendekar Naga Putih melepaskan tangannya. Dan ketika Panji melepaskan pegangan tangannya kemudian bergerak mundur, Kenanga segera melompat maju sambil melancarkan dua buah pukulan hebat!

“Hahhh...?!”

Melihat Kenanga menerjang dengan dua buah pukulan yang mendatangkan angin berkesiutan, Pendekar Naga Putih kaget bukan main. Namun jarak antara mereka saat itu terlalu dekat. Selain itu, dirinya dalam keadaan tidak siap, meskipun tadi terlintas di hatinya rasa curiga. Akan tetapi tak sampai sejauh itu, bahwa kekasihnya akan melancarkan serangan. Sehingga, meski pukulan pertama sempat ditangkis, pukulan susulan telak menghantam dadanya.

“Hiaa...!”

Bukkk!

“Hukkhhh!”

Pendekar Naga Putih terbatuk karena pernapasannya terhambat ketika pukulan itu bersarang di dada. Tubuhnya terlempar sejauh satu tombak lebih, kemudian terhempas keras di tanah.

“Kenanga...! Apa..., mengapa...?” desis Panji tak mengerti, sambil bergerak bangkit memegangi dadanya yang serasa remuk.

Hatinya merasa heran ketika merasakan betapa kuat tenaga sakti yang dimiliki Kenanga. Dari pukulan yang mengenai dadanya, Panji dapat mengukur bahwa tenaga dalam yang digunakan Kenanga sangat tinggi. Tentu saja pemuda itu tak percaya kalau dalam waktu yang sesingkat itu, selama mereka berpisah, Kenanga bisa mencapai kemajuan yang luar biasa. Baginya itu tidak masuk akal!

Melihat Kenanga bergerak menghampiri dengan langkah agak lambat dan raut wajah tenang, masih tersenyum, Panji merasa bingung. Hatinya yakin kalau gadis itu bukan samaran orang lain. Sebab, mana mungkin bisa benar-benar serupa. Dan kalaupun hal itu perbuatan ilmu sihir, kekuatan mukjizat dalam tubuhnya pasti sudah bergerak liar memberi tanda. Namun, Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, nyatanya sama sekali tak terpengaruh ilmu sihir.

Semakin tidak mengertilah Pendekar Naga Putih menghadapi keadaan itu. Hingga dirinya terus bergerak mundur, takut kalau-kalau Kenanga akan kembali melakukan serangan. Sebab, dirinya masih ragu untuk menyerang wanita yang jelas-jelas Kenanga itu.

“Hiaaa...!”

Tiba-tiba Kenanga memekik keras. Tubuhnya melesat ke depan dengan kecepatan tinggi. Sepasang tangannya berputaran laksana baling-baling dan melancarkan pukulan keras dan beruntun.

“Kenanga...?!” Panji berseru heran dan terkejut. Serangkaian serangan hebat itu membuat Panji harus melompat ke sana kemari untuk mengelak. Namun serangan gadis itu cepat bukan main. Sehingga....

Bukkk! Bukkk!

“Aakkhh !” Tubuh Panji kembali terjungkal akibat dua buah pukulan yang mengenai iga dan lambungnya. Namun begitu terbanting jatuh, Panji melompat bangkit Kemudian menggeser langkah dan melompat-lompat mengelakkan serangan Kenanga yang masih berkelanjutan. Sementara itu gerakan langkahnya terasa semakin lambat karena luka dalam akibat pukulan tadi. Dari mulutnya tampak darah segar tak henti-hentinya mengalir, membuat pakaiannya ternoda. Sejauh itu Panji belum berani membalas kecuali sesekali terpaksa menangkis.

Meskipun saat itu harus memusatkan pikiran guna menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang dilancarkan Kenanga, tak urung Panji sempat diliputi keheranan besar. Karena kekuatan mukjizat ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ kembali menunjukkan keanehan. Biasanya tenaga gaib itu selalu bergerak menyebar apabila tubuh Pendekar Naga Putih mengalami luka.

Kali ini tenaga jelmaan ‘Pedang Naga Langit’ itu tak menunjukkan kemukjizatannya. Ini yang membuat Panji heran, hingga pikirannya tanpa sadar telah terpecah. Akibatnya, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terjungkal ke tanah. Panji bergegas melompat bangkit. Dan lagi-lagi tubuhnya menjadi sasaran dua buah pukulan telapak tangan yang jauh lebih dahsyat daripada serangan-serangan sebelumnya.

“Heaa...!”

Plaakk! Buggg!

“Huekh...!”

Kali ini Pendekar Naga Putih memuntahkan darah segar. Tubuhnya yang terlempar membentur dinding yang mengelilingi bangunan, hingga dinding yang sudah tua itu hancur berantakan. Panji yang jatuh tertimpa reruntuhan, sudah tak ingat apa-apa lagi. Dirinya pingsan akibat luka dalam yang parah.

Kenanga memperdengarkan suara tawa kemenangannya. Kemudian mengangkat tubuh Panji, dan membawanya masuk ke dalam bangunan.

********************

Panji tersadar dari pingsannya, dan mendapati dirinya terkurung dalam sebuah ruangan gelap. Matanya mulai mengerjap-ngerjap berusaha mengenali tempat itu. Namun tetap saja ruangan itu gelap, kendati tidak lagi sepekat semula. Ketika mencoba untuk bangkit, dadanya terasa nyeri seperti tertusuk puluhan jarum halus. Darah segar masih mengalir dari mulutnya. Pendekar muda itu sadar bahwa dirinya mengalami luka dalam yang parah.

“Hhh...! Di manakah aku sekarang...?” gumam Panji yang terpaksa merebahkan tubuh. Kemudian mencoba mengatur jalan nafasnya perlahan-lahan.

Lama Panji diam tak bergerak dengan mata terpejam rapat. Terbayang kejadian yang baru saja dialami, dan telah menyebabkan dirinya menderita luka dalam sangat parah. Dalam keheningan, Panji mengingat-ingat kejadian yang dialaminya. Namun tetap tak menemukan jawaban, mengapa Kenanga sampai tega berbuat seperti itu. Benarkah wanita itu Kenanga? Kalau benar, apa yang telah terjadi dengan kekasihnya itu? Dan kalau Kenanga yang melukainya karena pengaruh ilmu sihir, mengapa Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’nya tak bekerja?

“Apakah ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, sudah lenyap dari dalam tubuhku...?” gumam Panji ketika teringat akan keanehan yang terjadi dengan kekuatan mukjizatnya itu.

Karena merasa tak yakin kalau tenaga gaib itu hilang dari dalam tubuhnya, Pendekar Naga Putih mulai mencoba memusatkan pikirannya. Kemudian segera dikerahkan kekuatan batinnya untuk membangkitkan tenaga jelmaan Pedang Naga Langit itu. Dan ia mengalami keheranan untuk yang kesekian kalinya. Kekuatan mukjizat itu seperti terbelenggu sesuatu. Panji semakin keras memusatkan pikirannya. Hingga tubuhnya bergetar dan dibanjiri peluh. Karena untuk membebaskan kekuatan gaibnya dari belenggu aneh itu ternyata tidak mudah.

Setelah berjuang keras dan cukup lama. Perlahan-lahan di sekujur tubuhnya mulai muncul sinar keemasan yang samar-samar. Kian lama semakin menebal. Hawa panas pun menyebar memenuhi ruangan itu, yang seketika menjadi terang benderang. Dan tenaga gaib itu langsung menunjukkan kemukjizatannya dengan membakar luka dalam tubuh Pendekar Naga Putih.

“Aneh...?! Mengapa tenaga mukjizat ini seperti terbelenggu sesuatu? Bagaimana mungkin hal itu sampai terjadi tanpa aku merasakannya? Dan siapa pula yang sanggup membuat kekuatan ini tak berdaya?” gumam Panji sambil tetap berbaring, meskipun ia merasakan bahwa luka dalamnya sudah sembuh. Itu diketahui dari mulai meredanya rasa nyeri dalam dadanya saat mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan ke seluruh tubuh.

Setelah tenaga mukjizatnya kembali dapat bekerja sendiri seperti biasa, terbukalah mata Panji, mengapa ketika menghadapi Kenanga tenaga itu tak bekerja. Sekarang hatinya mulai meragukan keaslian Kenanga. Bahkan mulai dapat menebak bahwa yang menyamar sebagai Kenanga kemungkinan besar tokoh yang berjuluk Iblis Angkara Murka. Yang masih belum ia mengerti, bagaimana tokoh itu dapat membuat tenaga mukjizatnya tak berdaya. Sedangkan ia belum pernah bertemu dengan biang keladi dari kekacauan yang terjadi di dunia persilatan akhir-akhir ini.

“Selama dalam perjalanan cuma lelaki gemuk yang mengaku bernama Guradi itu yang ada bersamaku. Orang itu memang sangat mencurigakan, meskipun memiliki jawaban yang masuk akal ketika kutanyakan. Tapi, mungkinkah ia memiliki kepandaian yang sedemikian hebat sampai mampu membelenggu tenaga jelmaan Pedang Naga Langit secara gaib? Mengapa aku tak mengetahui atau merasakannya saat ia melakukan hal itu. Rasanya tak mungkin! Pasti ada tokoh sakti yang mengetahui cukup banyak tentang diriku, termasuk tentang ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang sangat jarang kugunakan ini. Hm..., aku harus dapat menemukan tokoh itu!”

Sesudah mengkaji semua apa yang dialaminya, Panji bergerak bangkit. Lenyap sudah rasa nyeri yang mengganggunya. Bahkan tenaganya telah pulih seluruhnya. Kini ia mulai memperhatikan sekelilingnya dengan mengerahkan Tenaga Sakti Inti Panas Bumi untuk menerangi ruangan itu.

Kaget juga hati pendekar muda itu ketika mengetahui bahwa dinding kamar itu terbuat dari batu besi, yang kekuatannya melebihi baja pilihan. Jelas, orang yang menawannya dan menyamar sebagai Kenanga, mengetahui banyak tentang dirinya. Buktinya ia ditahan dalam ruangan yang kokoh dan sulit untuk dapat keluar dari tempat itu.

“Aku akan mencoba menjebolnya dengan tenaga gabunganku...,” gumam Panji mengambil keputusan.

Pendekar Naga Putih kemudian berjalan mengitari ruangan itu sambil mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya pada keempat dinding yang mengurung ruangan itu. Ia menemukan bahwa salah satu dinding ternyata tidak setebal tiga dinding lainnya. Tubuhnya segera bergerak mundur setelah menemukan sasaran pukulannya.

Dengan tubuh berdiri tegak, Pendekar Naga Putih menatap tajam dinding yang hendak dijebol dengan pukulan tenaga gabungannya. Setelah tubuhnya dilapisi dua macam sinar yang berlainan warna, Panji berteriak keras dan merendahkan kuda-kudanya sambil mendorong ke depan dengan kedua telapak tangannya.

“Heaaa...!”

Glarr...!”

Ledakan keras laksana letusan gunung berapi terdengar saat sinar putih keperakan dan kuning keemasan meluncur dan menghantam dinding batu besi itu. Dinding itu jebol menjadi serpihan yang menyebar ke seluruh ruangan. Tanah di dalam ruangan itu pun berguncang untuk sesaat Kepulan debu pasir yang memenuhi ruangan itu, membuat suasana semakin pekat.

Pendekar Naga Putih masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Dikibas-kibaskannya kedua tangannya mengusir kepulan debu itu. Kemudian bergerak menghampiri dinding yang baru saja dijebolnya. Meskipun hanya dengan menggunakan rabaan tangan, dirinya tahu kalau usaha itu berhasil baik. Karena pada dinding itu telah tercipta sebuah lubang yang cukup besar. Tanpa ragu-ragu lagi, Panji segera menerobos keluar.

Begitu tiba di luar ruangan, Panji menemukan sebuah lorong panjang, mirip ruangan sebuah goa. Hal itu membuat Panji termenung beberapa saat Kemudian memperhatikan ke depan dan menoleh ke belakang, mereka-reka arah mana yang akan membawanya keluar dari tempat itu.

Akhirnya Panji memutuskan untuk mengambil jalan melalui lorong yang ke depan. Perlahan-lahan pemuda berjubah putih itu melangkah sambil mengerahkan kewaspadaannya. Sebab ia belum mengetahui apakah di tempat itu tidak ada bahaya yang mungkin mengintainya. Hatinya mulai tenang setelah agak lama berjalan, tak satu pun halangan yang dijumpainya. Hanya yang membuatnya heran, lorong itu seperti tidak berujung. Hingga Panji menghentikan langkahnya ketika lorong pada bagian itu agak lebar.

Bahkan matanya melihat ada sebuah batu berbentuk persegi, yang permukaannya tidak terlalu kasar, mirip sejenis altar. Anehnya, bagian bawah batu itu tidak seluruhnya menyentuh dasar. Tampaknya batu itu bertumpu tepat di bagian tengahnya pada batu lain, yang berbentuk bulat. Melihat kedudukan batu, Panji mengerutkan kening, berpikir keras. Setelah meneliti beberapa lama, akhirnya Panji mencoba mendorong salah satu bagian dari batu yang bentuknya bisa dibilang seperti timbangan. Dikerahkan tenaga dalamnya untuk disalurkan ke telapak tangan.

Grrrkkkhhh...!

Baru bergerak. Terdengar suara bergemuruh yang mengiringi bergesernya dinding goa di samping kanan Panji. Sinar matahari yang menerobos masuk, membuat wajah Panji semakin cerah. Cepat ia melepaskan tangannya dan melesat keluar dari lorong goa itu. Begitu tiba di luar, dinding goa itu kembali menutup dengan sendirinya.

“Hm! Rupanya aku dikurung dalam perut bukit..,” gumam Panji sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Saat itu dirinya memang berada di sebelah timur kaki Bukit Jajaran.

Setelah dapat memastikan arah di mana ia berdiri, Panji meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari. Ia hendak mencari tempat yang dilaluinya untuk mencapai puncak bukit itu. Namun, tiba-tiba dihentikan langkahnya. Dan termenung sesaat.

“Tidak mungkin Iblis Angkara Murka menahanku tanpa sebab. Dan sekarang ia pasti sudah tak berada di atas puncak bukit ini. Entah berapa lama aku terkurung di tempat tahanan itu...,” setelah berpikir sesaat, akhirnya Panji memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Ia hendak mencari tahu suasana dunia persilatan saat ini.

ENAM

“Kisanak harap berhenti dulu...!”

Panji yang tengah melakukan perjalanan dengan setengah berlari itu segera berhenti. Kemudian memalingkan wajah menatap serombongan kecil yang tampak memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Sikap mereka pun terlihat tidak ramah. Sehingga, Panji menjadi heran dibuatnya.

“Akukah yang kau maksud, Orang Tua...?” Tanya Panji dengan nada sopan. Sambil bertanya, ia memperhatikan orang tua gagah berusia sekitar enam puluh lima tahun. Di belakang lelaki tua itu berdiri tujuh orang lainnya, yang rata-rata bersikap gagah.

“Maaf kalau perjalananmu terganggu, Kisanak! Aku hanya ingin memastikan apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih? Harap kau jawab sejujurnya! Karena aku tak ingin kesalahan tangan membunuh orang lain...,” Tanya lelaki itu yang kelihatan jelas tengah menahan kemarahan di hatinya.

“Benar, orang-orang menyebutku sebagai Pendekar Naga Putih. Tapi, aku tak mengerti dengan ucapanmu yang takut kesalahan tangan membunuh orang. Dapatkah kau memberi penjelasan kepadaku, Orang Tua?” Tanya Panji setelah memberikan jawaban sejujurnya kepada lelaki tua itu. Dan perasaannya semakin tak karuan melihat sikap orang-orang itu, yang jelas memperlihatkan sikap permusuhan. Padahal seingatnya baru kali ini berjumpa dengan mereka.

“Hm.... Kalau begitu kau harus mempertanggung-jawabkan segala tindakanmu belakangan ini, Pendekar Naga Putih! Kami minta agar kau menyerah secara baik-baik! Karena kami masih enggan untuk melakukan kekerasan, mengingat jasamu dalam menegakkan keadilan sudah cukup banyak...,” ujar orang tua itu lagi tanpa mempedulikan pertanyaan Panji.

“Ada apa sebenarnya dengan diriku? Dan apa yang telah kulakukan terhadap kau ataupun kawan-kawanmu, Orang Tua? Bertemu kalian pun aku baru kali ini. Harap kau jelaskan agar aku tak menjadi penasaran!” pinta Panji yang merasa agak jengkel mendengar perkataan lelaki tua itu, tanpa memberi penjelasan mengenai apa yang sudah diperbuatnya.

“Hm.... Coba kau jawab pertanyaanku, Pendekar Naga Putih! Kenalkah kau dengan seorang gadis yang bernama Wahyuni? Apa yang telah kau perbuat terhadap adik seperguruan kami itu?” Salah satu dari tujuh orang lelaki gagah yang berdiri di belakang orang tua itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang mengejutkan!

“Wahyuni...?” gumam Panji, langsung teringat pada gadis manis berpakaian biru tua, yang pernah diselamatkannya dari perbuatan kotor Malaikat Kerdil. “Ya, aku mengenalnya. Apa yang telah terjadi dengannya...?”

“Nah, Guru sudah dengar sendiri, bukan? Dan lihatlah, betapa pemuda laknat ini masih pura-pura bertanya tentang apa yang telah terjadi dengan Adik Wahyuni! Dasar iblis keji! Penghinaan ini hanya dapat kau cuci dengan darahmu! Haaattt..!” Lelaki gagah berkumis tipis itu seperti sudah tak sanggup menahan kemarahannya. Tubuhnya melesat maju dengan pedang terhunus!

Bweett! Beweett!

“Hei, tunggu...!”

Panji yang kaget bukan main, cepat menarik tubuhnya ke belakang menghindari sambaran pedangyang cepat dan kuat itu. Hatinya benar-benar penasaran melihat betapa lelaki itu tak mempedulikan pertanyaannya, bahkan langsung menyerang dengan ganas. Lelaki gagah berkumis tipis itu tetaptak mempedulikan seruan Panji. Pedangnya terus berkelebat dan menyambar-nyambar mencari sasaran.

Melihat lelaki itu menyerang dengan sungguh-sungguh dan menginginkan kematiannya, Panji menjadi gusar. Ketika pada jurus kedelapan, pedang lawan meluncur dan mengancam batang lehernya, Pendekar Naga Putih langsung mengangkat tangan dan melancarkan totokan kilat ke pergelangan tangan.

Tuk!

“Aaakh...!”

Totokan Panji tepat mengenai sasaran. Lelaki gagah itu terpekik kesakitan. Pedangnya terlepas dari genggaman. Sedangkan tangan kanannya telah tergantung lumpuh. Sementara Panji dengan cepat melompat mundur. Karena dirinya memang tak ingin bertarung dengan lelaki gagah itu atau pun dengan yang lainnya. Tapi....

“Bangsat..!” Seorang lagi mengeluarkan bentakan, dan langsung merangsek dengan sepasang pedang pendeknya.

Pendekar Naga Putih terpaksa melompat mundur menghindari sambaran sepasang mata pedangitu.

“Serang...!”

“Haaattt..!”

“Heaaat...!”

Lima orang lainnya tak tinggal diam. Melihat saudaranya sudah bertempur dengan Pendekar Naga Putih, mereka pun segera membantu. Kini Panji menghadapi keroyokan enam lelaki gagah itu, hingga terpaksa menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak- kan sambaran pedang lawan.

“Jangan kalian memaksa aku untuk berbuat kasar! Jelaskanlah duduk persoalannya! Apa sebenarnya yang sudah terjadi dengan Wahyuni?”

Sambil berkelebatan mengelak dari sambaran ketujuh bilah pedang pengeroyoknya, Panji meminta penjelasan. Tapi ketujuh orang itu sama sekali tak peduli seruan Pendekar Naga Putih. Bahkan mereka semakin memperhebat serangan, membuat kesabaran Panji mulai terkikis.

“Baiklah kalau kalian memang menghendakinya...!” desis Panji, langsung mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan, memapaki sambaran dua bilah pedang yang mengancam tubuhnya. Ketika kedua orang lawannya terhuyung akibat tangkisannya, Panji sudah mengirimkan hantaman telapak tangan kepada kedua orang itu.

“Kau benar-benar sudah melewati batas, Pendekar Naga Putih...!”

Lelaki tua yang sejak tadi hanya berdiri menyaksikan, merasa marah melihat kedua orang muridnya terkena pukulan Pendekar Naga Putih. Orang tua itu tampaknya tak bisa terima atas perbuatan Panji, yang merobohkan dua orang muridnya. Ia pun segera terjun ke arena ikut mengeroyok Pendekar Naga Putih.

“Orang tua, kau benar-benar membuat aku penasaran! Mengapa kau tak mau menjelaskan duduk persoalannya kepadaku?” seru Panji sambil berkelit dari sambaran cakar elang lelaki tua itu. Dan terus melompat cepat ketika lelaki tua itu melanjutkan serangan- nya yang bertubi-tubi.

“Heaaa...!”

Plak! Plak!

Karena orang tua itu tak mau menjelaskan dan terus mendesaknya dengan serangan-serangan gencar, Panji menjadi jengkel dan menyambut serangan itu dengan tamparannya. Akibatnya tubuh orang tua itu terdorong mundur. Rupanya Panji mengerahkan sebagian tenaganya sewaktu menangkis.

“Kau memperkosa muridku yang malang itu secara keji! Setelah puas menikmati tubuhnya, kau berikan dia kepada segerombolan perampok, hingga Wahyuni bunuh diri, tak sanggup menahan penderitaan yang memang terlalu berat baginya. Sekarang kami menghendaki nyawamu agar ia tenang di alam baka!” Lelaki tua yang mengaku sebagai guru Wahyuni itu akhirnya membeberkan apa yang telah dilakukan Panji terhadap murid perempuannya. Setelah berkata demikian, ia kembali melanjutkan serangan.

Ucapan lelaki tua itu laksana ledakan petir di telinga Panji. Hingga pemuda itu terpaku bagaikan orang hilang ingatan. Berita itu terlalu mengejutkan baginya. Tahulah dirinya sekarang, mengapa Iblis Angkara Murka tak langsung membunuhnya. Panji langsung dapat menduga kalau semua itu hasil perbuatan Iblis Angkara Murka. Dedengkot tokoh sesat itu pasti telah mengelabui Wahyuni dengan menyamar sebagai dirinya, seperti ketika ia dikelabui iblis itu yang menyamar sebagai Kenanga. Namun Panji tak mengerti bagaimana tokoh sesat itu sampai mengetahui kalau dirinya dan Wahyuni pernah berjumpa dan saling memperkenalkan nama satu sama lain.

“Biadaaab...!”

Lelaki tua dan murid-muridnya yang saat itu serangannya sudah tiba dekat tubuh Panji, langsung tersentak kaget ketika mendengar teriakan mengguntur. Bahkan saking dahsyatnya tenaga teriakan Panji, enam orang lelaki gagah yang mengeroyoknya terjungkal mencium tanah. Mereka menekap telinga dengan kedua tangan. Rupanya teriakan Panji membuat telinga mereka sepertiditusuk-tusuk.

Sementara itu, lelaki tua berjenggot pendek, guru dari tujuh orang lelaki gagah itu, tampak terhuyung mundur dengan wajah pucat. Tampak dirinya memiliki tenaga dalam yang lebih kuat daripada murid-muridnya. Sehingga, tidak sampai terbanting akibat teriakan menggelegar Pendekar Naga Putih.

Setelah mengetahui latar belakang kemarahan dan kebencian orang-orang gagah itu, Panji tidak bisa menyalahkan mereka. Tubuhnya langsung melesat meninggalkan tempat itu. Sebelum bayangannya lenyap, terdengar suara yang ditujukan kepada delapan orang guru dan murid itu.

“Kelak aku akan datang dengan membawa manusia laknat yang telah memperkosa Wahyuni...!”

Kesembilan tokoh persilatan ini hanya bisa membanting kaki ke tanah, melihat sosok Panji sudah lenyap di kejauhan. Mereka tetap menuduh pendekar muda itu yang telah memperkosa Wahyuni, dan akan mencari untuk mengadu nyawa dengan Panji.

Karena apa yang mereka tuduhkan kepada Pendekar Naga Putih, merupakan pengakuan Wahyuni sebelum bunuh diri dengan menusuk perutnya. Bahkan sebelum menghembuskan napas terakhir gadis itu berpesan agar kakak-kakak seperguruannya, dan juga gurunya sudi membalaskan penghinaan itu dengan membunuh Pendekar Naga Putih.

********************

Panji duduk termenung menatap wajah sang Dewi Malam yang bersembunyi di balik awan kelabu. Wajah muramnya terkadang berubah kelam menandakan betapa kacau perasaannya saat itu. Bukan hanya guru dan saudara-saudara seperguruan Wahyuni yang memusuhinya. Banyak lagi tokoh persilatan yang menuntut kematiannya. Dirinya dituduh sebagai penjahat keji, yang telah mengakibatkan kematian beberapa tokoh-tokoh persilatan, juga melakukan perkosaan terhadap anak-istri orang.

Tentu saja pemuda itu tahu kalau semuanya perbuatan Iblis Angkara Murka yang hendak menghancurkan nama dan kehidupannya. Sehingga, gerak Pendekar Naga Putih menjadi sempit. Kini dirinya tak pernah berani muncul di tempat keramaian. Perhatian tokoh-tokoh persilatan telah beralih kepadanya. Dialah sekarang yang dicari-cari, dan bukan Iblis Angkara Murka!

Tiba-tiba saja lamunan Panji buyar. Telinganya menangkap adanya suara langkah ringan yang menuju tempat itu. Dengan cepat tubuhnya bangkit lalu bersembunyi di balik sebatang pohon untuk melihat siapa pemilik suara langkah kaki yang ringan itu. Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu pun muncul. Namun matanya belum dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Hanya bisa memastikan bahwa yang datang seorang wanita, karena bentuk tubuhnya ramping.

Sosok tubuh ramping itu memang benar milik seorang wanita. Kini berada dekat dengan tempat Panji melewatkan malam, yang diterangi api unggun. Panji tersentak kaget, ketika sinar api unggun menerangi wajah wanita yang ternyata Kenanga, kekasihnya. Meskipun sudah melihat jelas bahwa yang datang itu Kenanga, Panji masih belum mau menampakkan diri.

Ingatan tentang peristiwa yang terjadi di puncak Bukit Jajaran, membuatnya tak mempercayai kalau wanita itu benar-benar Kenanga. Diam-diam Panji mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Hatinya merasa lega ketika tenaga itu bergerak, membentuk lapisan sinar keemasan yang menyelimuti tubuhnya.

Ketika tak merasakan adanya keanehan pada tenaga mukjizat yang dikerahkannya, Panji mulai yakin bahwa yang dilihatnya itu benar-benar Kenanga, kekasihnya. Keyakinan ini membuat Panji bergerak keluar dari persembunyiannya. Gerakannya sengaja dibuat menimbulkan suara agar Kenanga mendengarnya. Kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati api unggun.

“Kakang..., kaukah itu...?!” seruan Kenanga bernada ragu. Dan dara jelita ini masih tetap berdiri di tempatnya, tidak langsung menyambut kemunculan Panji.

“Kenanga...,” panggil Panji penuh kerinduan. Karena di saat tengah menghadapi masalah berat itu, Panji benar-benar membutuhkan tempat untuk berbicara. Kakinya melangkah perlahan menghampiri Kenanga.

Kenanga sendiri langsung berlari ketika mendengar panggilan Panji. Hatinya sudah betul-betul yakin kalau pemuda itu Pendekar Naga Putih, kekasihnya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga segera menghambur ke dalam pelukan Panji.

“Hati-hati, Kenanga! Aku seorang pembunuh dan pemerkosa yang tengah dicari-cari tokoh-tokoh persilatan,” ujar Panji menggoda dan mengetatkan pelukannya.

“Aku tak takut, Kakang. Bahkan aku akan pasrah jika memang kau ingin melakukannya,” tukas Kenanga balas menggoda kekasihnya. Karena ia tahu siapa dan bagaimana kekasihnya itu. Kenanga yakin tak mungkin Panji melakukan apa yang dituduhkan tokoh-tokoh persilatan.

Panji tertawa perlahan demi mendengar jawaban kekasihnya. Namun ia masih tak mau kalah. Tantangan Kenanga disambutnya. Tangannya mulai meraba hendak mencopot pakaian dara jelita itu. Ketika Kenanga memang benar-benar pasrah, dan malah menatapnya dengan bibir mengulum senyum, Panji menghentikan perbuatannya. Kepasrahan Kenanga membuat ia yakin kalau Kenanga masih menaruh kepercayaan kepadanya.

“Mengapa tak dilanjutkan, Kakang...?” tantang Kenanga lagi, mencibirkan bibirnya yang memang menggemaskan itu.

Panji benar-benar gemas. Dikecupnya bibir indah itu sampai agak lama, membuat keduanya terengah. “Aku tak tahu bagaimana cara meyakinkan tokoh-tokoh persilatan yang mengejar-ngejar diriku, Kenanga...,” ujar Panji ketika mereka berdua sudah duduk di dekat api unggun, dan saling bertatapan mata.

“Aku mengerti kesulitanmu, Kakang. Aku tahu, kau tak melakukan itu. Tapi kau tak perlu berkecil hati. Masih cukup banyak tokoh persilatan yang menaruh kepercayaan terhadapmu...,” Kenanga mencoba membesarkan hati kekasihnya.

“Betulkah itu...?!”

“Ya. Dan aku mengajak mereka untuk mencarimu. Jadi bukan karena suatu kebetulan aku berada di hutan ini. Aku memang sedang mencarimu. Sebab aku tahu kau pasti sedang susah, Kakang. Ketika melihat ada nyala api unggun di tempat ini, aku berharap bahwa yang berada di tempat ini Pendekar Naga Putih. Dan ternyata harapanku terkabul,” ujar Kenanga seraya tersenyum.

“Bagaimana dengan tokoh-tokoh persilatan yang masih percaya denganku? Apakah aku dapat berjumpa dengan mereka? Rasanya sekarang ini aku sangat membutuhkan bantuan mereka untuk meyakinkan orang-orang yang menuduhku.”

“Tidak sulit untuk menemui mereka. Seperti yang kukatakan tadi, aku mencarimu bersama-sama dengan mereka. Mereka pun bermalam di hutan ini, tidak seberapa jauh dari tempat kita berada. Tapi besok saja kita temui mereka. Malam ini aku ingin melewatkan malam berdua denganmu, Kakang. Entah seperti apa indahnya menikmati malam pengantin di dalam hutan yang lebat dan sunyi seperti ini...?”

Setelah mengucapkan kalimat terakhir dengan disertai lirikan manja, Kenanga merebahkan tubuhnya di atas pangkuan sang Kekasih. Panji hanya tertawa perlahan. Dibelainya rambut dara jelita itu dengan penuh kasih. Dibiarkan Kenanga tertidur di pangkuannya. Ia sendiri bersandar pada batang pohon.

********************

TUJUH

“Jangan berkecil hati, Pendekar Naga Putih! Kami semua yang berada di sini masih mempercayai kebersihan hatimu. Dan kita bersama-sama akan menumpas segala kekacauan yang didalangi Iblis Angkara Murka itu...,” ujar seorang lelaki bertubuh sedang, ketika pagi hari itu Kenanga membawa Panji ke tempat tokoh-tokoh persilatan yang tahu kalau Pendekar Naga Putih telah menjadi korban fitnah.

Panji merasa lega mendapati kenyataan bahwa tokoh-tokoh yang masih menaruh kepercayaan itu ternyata para pendekar ternama. Selain Pendekar Pedang Mustika, yang pertama kali menyalaminya, juga terdapat dua orang tokoh golongan atas, yang mengenal siapa adanya Iblis Angkara Murka itu.

Bahkan tahu pula kalau dedengkot kaum sesat itu memiliki ilmu sihir yang hebat. Mereka yakin bahwa yang menyamar sebagai Pendekar Naga Putih dan melakukan serangkaian kejahatan pasti Iblis Angkara Murka. Dengan ilmu sihirnya yang tinggi, tidak sulit bagi tokoh itu untuk mengubah bentuk sekehendak hati.

“Aku pun pernah tertipu sewaktu mendatangi tempat kediamannya di puncak Bukit Jajaran. Tokoh iblis itu menyamar sebagai Kenanga, hingga aku dapat dilukainya. Aku bahkan sempat ditawan di dalam goa yang berada di perut bukit itu...,” jelas Panji menceritakan pengalaman pahitnya dalam upaya untuk menghentikan perbuatan jahat Iblis Angkara Murka itu.

Mendengar cerita Pendekar Naga Putih, salah seorang tokoh mengusulkan untuk mencoba mendatangi Bukit Jajaran lagi. Karena menurutnya ada kemungkinan Iblis Angkara Murka mempunyai tempat rahasia di bukit itu.

Para tokoh persilatan yang jumlahnya sekitar sembilan orang itu, saling bertukar pandang sesaat. Seolah mereka saling bertanya, apa ada usul dari yang lainnya. Ketika masing-masing mengangkat bahu, keputusan pun jatuh untuk menyatroni Bukit Jajaran.

Setelah mendapat kata sepakat, rombongan kecil ini pun bergerak menuju Bukit Jajaran. Tentu saja bagi orang-orang berkepandaian tinggi seperti mereka, dapat melakukan perjalanan dengan cepat. Beda dengan orang-orang biasa. Menjelang tengah hari, Bukit Jajaran sudah tampak, kendati Cuma berupa gundukan hitam yang samar di kejauhan.

********************

“Aku merasakan adanya bahaya di sekeliling kita...!” Tiba-tiba saja Panji berbisik sewaktu mereka hendak menyeberangi sebuah aliran sungai selebar satu setengah tombak.

“Hm.... Aku pun merasakannya...,” timpal Pendekar Pedang Mustika, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu, seperti yang juga dilakukan tokoh-tokoh lainnya. Tiba-tiba....

Syuuttt! Syuuttt! Syuuuttt..!

Para tokoh persilatan itu serentak menolehkan kepala melihat benda-benda bulat sebesar kelereng yang meluncur ke tempat mereka berdiri.

“Awas senjata peledak!” Panji yang sudah pernah mendapat serangan dari senjata seperti yang kali ini dilihatnya, langsung memperingatkan kawan-kawannya. Dan Panji sudah melesat ke udara sambil mengulurkan kedua tangannya untuk menangkap dua butir senjata peledak itu.

Pendekar Pedang Mustika, Kenanga, dan tokoh-tokoh yang lainnya tersentak kaget melihat perbuatan nekat yang dilakukan Pendekar Naga Putih. Karena apa yang dilakukan Panji memang sangat berbahaya. Mungkin bisa membuat pemuda itu tewas bila senjata-senjata yang hendak ditangkapnya meledak saat tersentuh tangan.

Namun Panji sudah memperhitungkan perbuatannya. Senjata seperti itu sudah pernah dihadapinya, sewaktu menyelamatkan Wahyuni dari perkosaan. Dirinya tahu bagaimana cara kerja benda-benda mengerikan itu. Senjata itu akan meledak apabila menyentuh sesuatu yang keras. Sedangkan Panji sudah mengatur tenaga saktinya sedemikian rupa.

Sehingga, selain kedua telapak tangannya mengeluarkan tenaga menyedot, saat benda itu hampir mengenai telapak tangannya, Panji mengikuti tenaga lontaran benda itu. Sehingga, senjata-senjata maut itu dapat diterima dengan kedua telapak tangannya yang lunak. Akhirnya benda kecil yang bisa menimbulkan akibat mengerikan itu seolah jatuh ke dalam air yang dalam.

“Nih, kukembalikan senjata kalian...!” Begitu kedua senjata peledak itu tertangkap, Panji langsung melemparkannya ke tempat asal senjata itu datang. Dan....

Syuit! Syuiiit..!

Glarrr! Glarrr..!

“Aaakh...!”

Senjata yang melayang dengan kecepatan dua kali lipat itu, langsung meledak! Jeritan-jeritan kematian terdengar seiring terpentalnya beberapa sosok di balik semak-semak dengan anggota tubuh terpisah. Sungguh mengerikan akibat senjata maut itu. Panji dan kawan-kawannya sampai menggeleng kepala melihat betapa tubuh yang terkena senjata itu bisa hancur berantakan.

“Serbuuu...!”

“Seraaang...!”

Sesaat setelah ledakan keras itu terjadi, terdengar suara teriakan riuh dari tepian sungai sebelah kanan. Disusul kemudian dengan berlompatan puluhan lelaki bertampang bengis yang langsung mengayunkan pedang. Para penyerang itu dipimpin seorang tokoh bertubuh kurus kering, seperti tengkorak hidup.

Melihat tokoh ini Panji ingat pernah berjumpa sewaktu di Desa Palang. Panji pun ingat bahwa tokoh itu berjuluk Setan Penasaran, yang merupakan salah satu gembong kaum sesat. Panji segera dapat menduga kalau tokoh seperti tengkorak hidup itu telah bergabung menjadi pengikut Iblis Angkara Murka. Tubuhnya langsung melesat mendekati.

“Hua ha ha...! Rupanya kau masih juga berkeliaran, Pendekar Naga Putih! Sudah puaskah kau membunuhi dan memperkosa orang?” tegur Setan Penasaran sengaja hendak menyakiti hati Pendekar Naga Putih.

Setan Penasaran salah besar kalau menganggap ucapannya dapat memukul jiwa Panji. Sebaliknya, Panji marah bukan main. Karena ucapan itu berarti Setan Penasaran ikut terlibat dalam melemparkan fitnah kepadanya. Tiba-tiba Panji menggereng laksana harimau terluka. Dengan cepat tubuhnya melesat menerjang dengan serangkaian serangan yang mematikan!

Beettt! Setan Penasaran menyambut serangan Pendekar Naga Putih dengan sambaran tongkatnya. Tokoh sesat ini memang punya dendam pribadi terhadap Panji, karena telah menewaskan murid satu-satunya yang sangat disayang. Itu sebabnya langsung menyambut ganas ketika Pendekar Naga Putih melancarkan serangan kepadanya.

Plakkk!

Karena dalam keadaan marah Panji mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, menghantam tongkat dengan tamparan tangan kirinya. Sehingga, tongkat lawan menyeleweng. Tubuh Setan Penasaran terdorong dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.

Wueett!

Tangan kanan Panji yang membentuk cakar naga melesat menyusuli tamparan. Setan Penasaran kaget, namun sempat melemparkan tubuhnya, lalu berjumpalitan beberapa kali dalam upaya menyelamatkan diri dari serangan dahsyat itu.

“Yeaaa...!”

Teriakan keras Panji mengiringi serangan susulan, memburu tubuh Setan Penasaran dengan pukulan berantai. Sambaran kedua tangannya yang membentuk cakar naga datang susul-menyusul diiringi hawa sedingin es, yang membuat Setan Penasaran kalang kabut.

Tokoh sesat yang bentuknya seperti tengkorak hidup itu melompat ke belakang mengelakkan sambaran cakar naga Panji. Terdengar bentakan geram sambil memutar tongkatnya dengan sekuat tenaga. Putaran tongkatnya yang menimbulkan angin puting beliung itu memang sangat cepat. Hingga mampu membendung serangan-serangan Pendekar Naga Putih. Sebentar saja pertarungan kedua tokoh itu berjalan sengit dan mengiriskan.

Sementara itu, Kenanga tampak tengah menghadapi keroyokan belasan orang lawan. Namun dara jelita itu sama sekali tak merasa gentar. Pedang Sinar Bulan di tangan kanannya terus berkelebat disertai suara mengaung bagaikan ratusan lebah marah. Belasan lelaki berwajah bengis yang mengeroyok Kenanga juga ternyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga tak mudah bagi dara bergaun hijau itu merobohkan lawan dalam waktu singkat.

Terlebih belasan orang itu kelihatannya sudah terlatih baik. Terbukti mereka dapat bekerja sama dan saling bantu satu sama lain. Jika ada seorang kawannya terancam pedang Kenanga, empat orang di kiri dan kanan berlompatan melindungi. Membuat belasan orang itu merupakan satu barisan yang tangguh dan berbahaya.

“Haiiittt..! Heaa...!”

Melihat ketangguhan para pengeroyoknya, Kenanga segera mengeluarkan jurus andalannya. Jurus ‘Bidadari Menabur Bunga’ yang digabung dengan ilmu ‘Pedang Naga Sakti’ atas petunjuk Panji, membuat sepak terjang dara jelita ini terasa mengiriskan sekali!

Keampuhan jurus gabungan itu memang terbukti. Baru beberapa jurus saja, dua orang lawan, terlempar dengan tubuh berlumur darah. Sedangkan pedang yang baru saja memakan korban itu, sudah berputar mencari sasaran lain. Tentu saja kedahsyatan ilmu pedang gabungan itu membuat lawan-lawannya terkejut, dan mulai memperhitungkan setiap langkah dengan cermat.

Di bagian lain, tampak Pendekar Pedang Mustika juga sudah menghadapi keroyokan banyak lawan. Tokoh bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun ini memiliki gerakan yang gesit bukan main. Pedang di tangan kanannya, yang pada gagangnya terdapat hiasan batu permata, bergerak turun naik dengan kecepatan laksana burung wallet. Dan masih ditambah dengan tangan kirinya yang tak kalah berbahaya.

Sesekali tangan kiri Pendekar Pedang Mustika melepaskan pukulan jarak jauh yang sanggup membuat lawan terjungkal dan muntah darah. Sehingga para pengeroyoknya tak berani mengepung terlalu dekat. Pedang Mustika di tangan lelaki gagah itu bagaikan bermata. Berkelebat begitu cepat memburu tubuh setiap lawan yang mendekat.

Akan tetapi meski Pendekar Pedang Mustika tak segan-segan membunuh siapa saja yang terdekat, tetap saja para pengeroyok yang memang terdiri dari gerombolan perampok tak merasa gentar. Mereka terus menerjang maju dengan serangan-serangan yang ganas. Meskipun hanya untuk mengantarkan nyawa sia-sia, para pengeroyok itu tetap gigih dan memperketat kepungan. Tidak jarang mereka menerjang maju sepuluh orang sekaligus, membuat Pendekar Pedang Mustika agak kerepotan menghadapinya.

“Hiaaattt...!”

Wut! Wut!

Di saat Pendekar Pedang Mustika tengah disibukkan menghadapi serbuan enam orang lawan, tiba-tiba terdengar teriakan melengking tinggi. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan hitam, yang langsung melancarkan serangkaian serangan kilat dengan senjatanya yang aneh dan mengerikan.

“Heaaa...!”

Whuuukkk! Whuuukkk!

Senjata berbentuk tombak yang pada bagian atasnya terdapat bandulan berduri sebesar kepalan tangan lelaki dewasa itu menyambar disertai suara menderu tajam. Pendekar Pedang Mustika yang baru saja membuat dua orang lawan terjungkal mandi darah akibat sambaran pedangnya, bergegas menarik mundur tubuhnya dengan menggunakan langkah menyilang. Begitu bandulan berduri itu lewat, pedangnya meluncur cepat melakukan serangan balasan.

“Heaaa!”

Cwitt! Cwittt!

Serangan yang dilancarkan Pendekar Pedang Mustika sangat mencengangkan lawan. Senjata di tangannya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang terus meluncur ke tubuh lawan. Dari dalam lingkaran itu terkadang ujung pedang mencuat tiba-tiba, mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan.

Wuuukkk! Trang!

Lelaki berkepala gundul dengan wajah hitam seperti pantat dandang itu mengibaskan senjatanya menyambut tusukan mata pedang yang mencuat keluar dari lingkaran sinar, mengancam tenggorokannya. Akibatnya kedua senjata itu saling berbenturan keras, memercikkan bunga api. Kedua pemiliknya sama terjajar mundur, pertanda kekuatan mereka seimbang.

“Hyaaat..!”

“Yeaaa...!”

Setelah keduanya memeriksa senjata masing-masing, kedua tokoh itu berteriak keras saling serang, mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat merobohkan lawan secepatnya. Jurus-jurus pamungkas yang mereka gunakan, membuat pertarungan semakin seru dan mendebarkan. Sejauh itu keduanya terlihat masih sama kuat, hingga sulit untuk menentukan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.

DELAPAN

Pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan Setan Penasaran, tampak sudah mendekati titik penyelesaian. Panji harus mengakui ketangguhan lawannya. Karena setelah bertarung lebih dari seratus jurus, barulah dirinya mampu mendesak pertahanan lawan.

Merasa mendapat serangan dari segala arah, Setan Penasaran tampak begitu geram. Hal itu pula yang membuat tokoh nyaris tidak berdaging itu menjadi kalap. Dirinya sudah merasa tak mampu melakukan serangan balasan. Gerakan yang dapat dilakukan hanya sekadar memutar tongkatnya membentuk benteng pertahanan. Itu pun dilakukan susah payah, dengan pengerahan seluruh tenaganya yang tersisa.

Panji sendiri yang melihat lawannya nyaris tak berdaya, semakin memperhebat gempuran. Sambaran cakar naganya bergerak cepat luar biasa dan disertai hawa dingin yang menusuk tulang, membuat pertahanan Setan Penasaran semakin lemah di sana sini. Beberapa kali tokoh sesat itu terdorong mundur dengan wajah semakin pucat. Dari wajahnya tampak keputusasaan tengah melanda lelaki tinggi kurus itu.

“Hyaaat..!”

Wut! Bwet!

Ketika untuk kesekian kalinya Setan Penasaran dipaksa mundur oleh kibasan tangan yang amat kuat, Panji membentak keras. Kemudian tubuhnya melenting ke udara. Dari atas meluncur turun dengan sepasang cakar naganya siap mengakhiri perlawanan Setan Penasaran.

“Haits!”

Plak!

Sambaran tangan kiri Pendekar Naga Putih masih dapat ditangkis putaran tongkatnya. Meskipun tubuhnya kembali terhuyung, Setan Penasaran berhasil menyelamatkan diri. Namun sayang, sebelum tokoh sesat itu sempat memperbaiki kuda-kudanya, tangan kanan Panji datang menyambar!

“Hih!”

Breeettt!

“Haaakh...!”

Tubuh Setan Penasaran melintir. Sampokan cakar naga Panji yang merobek tenggorokan membuatnya memekik tertahan. Dan ketika tubuh tokoh sesat itu berputaran sekarat, Panji mengirimkan dorongan kedua telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh.

Breesshhh!

Sinar putih keperakan yang keluar dari sepasang telapak tangan Panji, menghantam telak tubuh Setan Penasaran. Tanpa ampun lagi, tubuh tokoh sesat itu terlempar deras dengan ceceran darah segar yang termuntah dari mulutnya. Nyawa Setan Penasaran langsung terbang sebelum raga yang nyaris tak berdaging itu terbanting ke tanah.

Melihat tubuh lawannya roboh dan tak bergerak lagi, Panji bergegas menghampiri untuk melihat apakah Setan Penasaran benar-benar telah tewas. Setelah mendapat kepastian bahwa lawannya sudah tak bernapas lagi, pemuda itu memutar tubuhnya memperhatikan pertempuran yang terpecah-pecah. Hatinya merasa lega melihat bahwa para pendekar berada di atas angin. Kecuali dua orang tokoh tua yang tengah bertarung dengan dua orang lawan berkepala botak dan bermata buta.

Menyaksikan betapa dua orang botak yang bermata buta itu ternyata sangat tangguh, Panji merasa tertarik. Apalagi ketika teringat kedua orang yang tengah dihadapi kawan-kawannya itu ternyata para pembantu andalan Iblis Angkara Murka yang menjadi musuh besarnya.

Dengan cepat Panji memutar tubuh dan menyapu sekitarnya dengan mata tajam. Hatinya yakin kalau Iblis Angkara Murka pasti sudah berada di sekitar tempat itu. Adanya kedua orang buta berkepala botak, menandakan hadirnya Iblis Angkara Murka di tempat itu. Setelah sekitar tempat itu sudah ditelitinya dengan seksama, Pendekar Naga Putih tetap tak menemukan sosok Iblis Angkara Murka yang dicarinya.

“Panji...!”

Secepat kilat Panji membalikkan tubuh ketika mendengar suara memanggil dari belakang. Keningnya berkerut ketika melihat seorang lelaki gemuk tertawa-tawa datang menghampirinya. Pendekar berjubah putih itu terkejut ketika mengenali yang datang ternyata Guradi, satu-satunya murid Perguruan Wulung Sakti yang selamat dari kekejaman para pengikut Iblis Angkara Murka. Begitu menurut penuturan Guradi kepada Panji sewaktu pertama kali bertemu.

“Guradi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?” Tanya Panji yang masih tetap menaruh curiga kepada lelaki gemuk itu. Hatinya merasa heran melihat Guradi tiba-tiba berada di tempat itu.

“Sejak kau meminta agar aku mengantarkanmu ke Bukit Jajaran aku tak pernah lagi meninggalkan tempat ini. Aku sempat merasa cemas dan mengira bahwa kau sudah tewas di tangan Iblis Angkara Murka. Tapi, tahu-tahu kau muncul dan kelihatannya hendak menyerbu Bukit Jajaran. Sayang saatnya kurang tepat. Karena secara kebetulan para pengikut Iblis Angkara Murka tengah datang untuk memberi laporan mengenai perkembangan yang terjadi di kalangan persilatan,”

Guradi langsung saja nyerocos seperti tak bisa ditahan lagi. Setelah berhenti sebentar, ia kembali berkata seo- lah baru teringat akan hal itu, "Panji, tahukah kau bahwa belakangan ini dunia persilatan dibuat geger oleh perbuatan seorang tokoh yang membuat orang sempat lupa kepada Iblis Angkara Murka?”

Panji menggeleng, meskipun sebenarnya ia tahu ke mana maksud perkataan Guradi. Namun dirinya bungkam dan membiarkan lelaki gemuk itu melanjutkan ceritanya. Karena Panji ingin mendengar bagaimana tanggapan Guradi.

“Kau tahu tokoh muda berjuluk Pendekar Naga Putih, yang Ciri-cirinya hampir mirip denganmu, Panji? Tapi kau jangan mengikuti jejaknya. Karena Pendekar Naga Putih yang dikabarkan orang sebagai penegak keadilan, ternyata melakukan serangkaian pembunuhan keji. Bahkan tega memperkosa istri dan anak orang! Benar-benar bejat sekali moral pendekar muda yang diagung-agungkan orang banyak itu! Kasihan! Tokoh-tokoh persilatan tentu kecewa apabila sampai mendengar hal ini,” Guradi menghentikan ceritanya. Matanya menatap Panji sekilas. Kemudian beralih, dan memperhatikan orang-orang yang masih terlibat perkelahian.

“Lalu apa tanggapanmu terhadap berita itu? Berubahkah pandanganmu kepada Pendekar Naga Putih itu?” Tanya Panji memancing.

“Menurutku Pendekar Naga Putih memang pada dasarnya berakhlak rendah! Hm, kalau saja aku punya kepandaian, tentu sudah ku basmi pemuda laknat itu!” sahut Guradi berapi-api sambil mengepal tinjunya kuat-kuat.

Panji tersenyum pahit mendengar ucapan Guradi. Dirinya tak bisa menyalahkan Guradi dalam hal itu, Guradi masih termasuk awam, hingga tak memahami keseluruhannya.

Guradi tampak melangkah semakin dekat. Matanya memandang ke tempat pertarungan dua orang pembantu Iblis Angkara Murka yang saat itu tengah terdesak oleh gempuran dua orang kawan Panji. Begitu tertariknya Guradi terhadap pertarungan itu, membuat Panji ingin melihatnya.

Ki Kalimaya, tokoh tua berusia tujuh puluh delapan tahun yang tengah bertarung dengan salah satu pembantu andalan Iblis Angkara Murka itu, tiba-tiba pucat wajahnya. Hatinya seakan tersentak kaget ketika tiba-tiba secara tak sengaja melihat ke tempat Panji berada. Kegelisahan dan kekagetannya sempat membuat serangannya mengendur. Bahkan ganti sekarang dirinya yang terdesak serangan lawan. Jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Karena hatinya terus gelisah melihat Panji yang tengah berada dekat Guradi.

“Panjiii...!” Pada suatu kesempatan, saat mengelak dari serangan lawan, Ki Kalimaya sengaja menggeser langkah mendekat ke tempat Panji sambil berteriak.

Panggilan Ki Kalimaya yang terdengar penuh ketegangan membuat Panji menoleh, siap untuk menolong apabila Ki Kalimaya tengah terancam maut. Namun, ternyata kakek itu tidak terdesak, Panji menarik napas lega.

“Awas, Iblis Angkara Murka berada di dekatmu...!”

Buk!

“Aaakh...!”

Karena ingin memperingatkan Panji, Ki Kalimaya terkena sebuah pukulan telak lawannya. Tubuh kakek itu terlempar. Dan dalam keadaan terlempar pun, ia sengaja membawa daya dorong pukulan itu untuk mendekati Panji. Sebab, jarak antara dirinya dan Panji masih terpisah sekitar empat tombak. Dan daya dorong pukulan yang dipergunakannya itu, membuat Ki Kalimaya dapat memperpendek jarak.

Pendekar Naga Putih yang mendengar seruan Ki Kalimaya tentu saja kaget. Dengan cepat tubuhnya berbalik dan mengedarkan pandang matanya memperhatikan sekitar tempat itu. Namun ia tetap tak melihat adanya sosok Iblis Angkara Murka. Sehingga, Panji kembali mengalihkan perhatian ke arena pertarungan sambil menunggu munculnya Iblis Angkara Murka.

Whuuuttt..! Bugkh!

Baru saja Panji memutar tubuh, tiba-tiba Guradi menghantamkan tongkat besi kuning yang tahu-tahu sudah di tangannya.

“Ruakhhh...!”

Hantaman yang sangat kuat itu, membuat tubuh Panji terjerunuk ke depan. Darah segar termuntah dari mulutnya. Namun Panji yang sadar ada bahaya besar mengancam, segera bergulingan menjauh. Kemudian melompat bangkit dekat pertarungan Ki Kalimaya. Ketika Panji kebingungan mencari orang yang membokong dirinya, Ki Kalimaya berseru memperingatkan.

“Lelaki gemuk itu...! Dia..., dialah si Iblis Angkara Murka...!” Dengan susah payah karena harus mengelakkan serangan lawan, Ki Kalimaya menyempatkan diri berteriak.

“Hah.... Benarkah...?!” gumam Panji setengah tak percaya pada ucapan Ki Kalimaya. Dengan cepat ditendangnya Guradi. Namun lelaki gemuk itu tiba-tiba lenyap entah ke mana. Di tempat Guradi semula berada, berdiri sesosok tubuh tinggi berbadan tinggi. Wajahnya yang memperlihatkan bekas luka tampak menyeramkan. Dengan mata bengis sosok itu menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih.

“Itulah wujud asli Iblis Angkara Murka...!” ujar Ki Kalimaya sambil menoleh ke wajah Panji.

Tentu saja Panji kaget bukan kepalang. Walaupun dirinya telah menaruh kecurigaan terhadap Guradi yang tingkahnya aneh itu, tapi sama sekali Panji tak menyangka kalau lelaki bertubuh gemuk itu samaran dari Iblis Angkara Murka.

“Kau.... Iblis Pengecut! Licik...!” dengus Panji penuh kebencian. Tanpa rasa gentar sedikit pun Pendekar Naga Putih melangkah maju siap menghadapi gembong kaum sesat yang menjelma bertubuh tinggi dan berbahu lebar itu.

“Kekh kekh kekh...! Pandanglah aku sepuasmu, Pendekar Naga Putih! Karena akan segera kukirim nyawamu ke neraka...!” Terdengar suara Iblis Angkara Murka yang terdengar parau dan bergetar. Lelaki bertubuh tinggi besar itu melangkah menghampiri Panji. Gerakannya tampak lambat. Seolah gembong tokoh sesat itu berat sekali untuk membawa tubuhnya berjalan.

“Hm.... Sejak mula aku sudah menaruh curiga kepadamu, ketika mengaku bernama Guradi! Dan kini aku sadar, mengapa aku tak tahu perbuatanmu yang membuat kekuatanku terbelenggu. Itu pasti kau lakukan waktu aku membawamu lari menuju Bukit Jajaran! Aku memang merasakan gejolak seperti yang biasa ku rasakan setiap tenaga gaibku bangkit. Sayang saat itu aku tak menaruh curiga! Ku akui kelihaianmu menyembunyikan kepandaian dariku. Sampai aku bisa kau kelabui...,” ujar Panji.

Pendekar Naga Putih tampaknya telah memanggil ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’nya. Dirinya memang merasa khawatir Iblis Angkara Murka akan kembali membelenggu tenaga mukjizatnya itu dengan ilmu sihirnya yang luar biasa. Panji tak ingin kejadian itu terulang lagi.

“Aih, Kakang! Mengapa kau kelihatan sangat marah kepadaku? Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi...?” Tiba terdengar suara lembut seorang wanita yang begitu dikenal Pendekar Naga Putih.

“Hah...?!”

Tentu saja pendekar muda itu tersentak kaget. Bahkan hampir saja terlonjak. Tiba-tiba sosok menyeramkan Iblis Angkara Murka lenyap dan menjelma dengan sosok Kenanga yang kelihatan sangat berduka.

“Kakang Panji, aku di sini! Yang ada di depanmu Iblis Angkara Murka!” Kenanga yang sudah menghabisi lawan-lawannya segera melesat mendampingi Pendekar Naga Putih.

“Hmh...!” Panji menggereng penuh diliputi amarah. Dengan sekuat tenaga segera dikerahkan kekuatan mukjizat dalam tubuhnya, lalu disalurkan ke mata. Akibatnya, sosok Kenanga jelmaan Iblis Angkara Murka lenyap seketika, kembali bentuk semula. Kekuatan Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang merupakan tenaga gaib itu, sanggup melawan kekuatan sihir. Kalaupun Panji masih dapat dikelabui, itu karena kekuatan ilmu sihir Iblis Angkara Murka memang sangat tinggi luar biasa. Hal itulah yang membuat Pendekar Naga Putih itu harus mengerahkan kekuatan melalui kedua matanya, untuk memusnahkan kekuatan sihirlawan.

Kini Iblis Angkara Murka tampak mulai merubah wujudnya. Seketika itu pula Kenanga mengeluarkan pekik tertahan. Sebab, sosok yang berdiri di depan mereka berdua itu sama sekali tak berbeda dengan Panji. Seolah kembaran Pendekar Naga Putih telah lahir di dunia. Namun untuk kali ini Panji tak peduli. Biarpun lawan serupa benar dengan dirinya, pemuda itu tetap menerjangnya. Disertai teriakan keras menggelegar tubuhnya melesat dengan kecepatan luar biasa. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak berputaran menebarkan hawa panas membakar.

“Hiaaa...!”

Wrrrt! Wrrrttt!

Melihat betapa dahsyat serangan lawan, Iblis Angkara Murka yang masih berwujud kembaran Pendekar Naga Putih, menggeser langkah. Ketika serangan lawan hampir menyambar, tubuhnya mencelat ke samping. Gerakan itu masih dibarengi dengan gerakan tangan kanan untuk menangkis sambaran jemari tangan lawan yang mengancam ubun-ubunnya.

“Hiaa!”

Dukk! Plakkk!

Panji mengangkat tangan kanannya menangkis sambil memutar tubuh. Terus dilanjutkan dengan cengkeraman ke dada lawan. Namun dapat dipatahkan Iblis Angkara Murka. Benturan kedua pasang lengan yang sama-sama dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi membuat tubuh keduanya sama-sama terdorong mundur.

“Hiaaah...!”

Diiringi pekikan yang tak kalah keras Iblis Angkara Murka memulai lebih dulu serangan susulan. Tubuhnya bergerak ke depan dengan langkah terseret-seret, menimbulkan guratan-guratan yang berbekas cukup dalam di tanah. Serangan gembong tokoh sesat yang masih berupa kembaran Panji itu memang terlihat agak lambat. Namun, angin pukulan yang keluar dari kedua tangannya, luar biasa kuatnya! Membuat udara di sekitar tempat pertarungan terasa bergetar.

“Hiaaa!”

Whuuuttt!

Brakkk!

Sebuah pukulan yang dilancarkan Iblis Angkara Murka dielakkan Panji dengan memiringkan tubuh sambil menekuk sebelah kakinya. Akibatnya, sebatang pohon besar berderak tumbang. Batang pohon itu tampak menghitam bagai terbakar, tersambar pukulan dahsyat Iblis Angkara Murka.

Pendekar Naga Putih sempat tercengang melihat kedahsyatan ilmu pukulan lawannya. Namun, tentu saja dirinya sama sekali tak merasa gentar. Dengan menggunakan tenaga gabungannya, Pendekar Naga Putih bergerak cepat melancarkan serangan balasan, yang mengandung hawa panas dan din- gin berganti-ganti.

Sehingga, Iblis Angkara Murka tampak kewalahan. Terlebih adanya kedua hawa yang silih berganti, secara cepat mengurung tubuhnya. Tokoh sesat itu berusaha memberontak keluar dari kurungan hawa yang ditimbulkan pukulan Pendekar Naga Putih.

“heaaah...!”

Dengan suara teriakan keras menggelegar, Iblis Angkara Murka melesat ke udara sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri dan kanan, laksana seekor burung yang hendak terbang. Panji yang tak ingin memberi kesempatan kepada lawan, langsung menghentakkan kedua tangan dengan jari jemari terbuka.

Prattt!

Seketika itu pula tampak dua gelombang tenaga raksasa saling bentur dengan kerasnya. Saking kuatnya benturan itu, kedua kaki Panji melesak ke dalam tanah hingga sebatas mata kaki. Sedangkan tubuh Iblis Angkara Murka merasakan tenaga dorong yang berlipat ganda. Tubuh tokoh sesat itu melambung tinggi hingga tiga tombak dari atas tanah.

Melihat keadaan lawan dengan cepat Pendekar Naga Putih meluncur ke udara menyusul tubuh lawannya. Sepasang tangannya melontarkan pukulan maut yang susul-menyusul disertai suara mencicit tajam yang menyakitkan telinga.

“Heaaa...!”

Suit! Suit!

Bukkk!

Iblis Angkara Murka yang tak menyangka lawannya akan mengejar, tak sempat untuk mengelak. Sebuah pukulan telapak tangan Panji menghantam telak lambungnya. Pukulan keras itu membuat tubuh tokoh sesat itu melintir di udara, kemudian meluncur turun.

“Hah...!”

Dalam keadaan terlontar di udara Iblis Angkara Murka melepaskan pukulan jarak jauhnya ke tanah. Dan dorongan angin pukulannya digunakan untuk mengatur keseimbangan tubuh. Sehingga, dirinya dapat meluncur turun dengan selamat. Kendati demikian, wajah tokoh sesat itu tampak meringis menahan sakit pada bagian lambungnya. Tampaknya pukulan Pendekar Naga Putih mampu memunahkan kekuatan sihirnya. Sehingga, Iblis Angkara Murka kembali pada wujudnya yang asli.

Namun baru saja Iblis Angkara Murka merasa bangga dengan cara yang dilakukannya dalam upaya menyelamatkan diri, tiba-tiba mulutnya terpekik. Matanya membelakak kaget ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih masih di udara, meluncur turun dengan kecepatan luar biasa. Rupanya Panji memanfaatkan keadaan itu untuk mengerahkan jurus ‘Naga Sakti Meluruk Dalam Bumi’.

“Aaakh...!”

Iblis Angkara Murka terpekik kaget melihat tubuh Pendekar Naga Putih mengeluarkan dua macam sinar yang menyilaukan mata. Tampak tokoh sesat itu mencoba melindungi mata dengan punggung tangannya. Karena tiba-tiba matanya terasa terbakar oleh pendaran sinar yang membungkus tubuh lawan. Bahkan dirinya tak mampu melihat, dari sebelah mana lawan menyerangnya. Iblis Angkara Murka hanya merasakan betapa hawa panas dan dingin semakin dekat ke tubuhnya. Dan....

“Hiaaa...!”

Bret! Crokkk!

“Aaarghhh!”

Bluk!

Terdengar raungan keras dan menggetarkan bagai hendak merobohkan bukit. Tubuh Iblis Angkara Murka terlempar bagai selembar daun kering yang diterbangkan angin. Darah segar yang mengalir dari luka-lukanya, berceceran membasahi permukaan bumi. Kemudian tubuh sekarat itu terbanting keras ke tanah. Iblis Angkara Murka berkelojotan meregang nyawa.

Pada bagian kepala sebelah atas terdapat lima buah lubang sebesar jari tangan, yang menghancurkan otaknya. Juga di bagian depan tubuhnya terdapat luka memanjang yang mengerikan. Tampaknya Iblis Angkara Murka tak mampu bertahan untuk hidup. Mana mungkin rohnya akan betah tinggal di dalam jasad yang rusak seperti itu. Dan roh tokoh sesat itu pun melayang, kembali kepada sang Pencipta.

Setelah melihat lawannya tewas, Panji mengangkat kepala. Tiba-tiba hatinya merasa heran melihat banyak tokoh persilatan telah berada di sekitar tempat itu. Rupanya kabar tentang dirinya yang hendak mencari Iblis Angkara Murka telah tersebar demikian cepat. Terbukti, kini belasan bahkan puluhan pendekar dan para tokoh rimba persilatan berkumpul di tempat itu.

“Kakang tak perlu merasa cemas. Mereka tadi telah sempat menyaksikan pertarungan dua Pendekar Naga Putih. Dan itu sudah menjelaskan segalanya,“ ujar Kenanga ketika melihat wajah Pendekar Naga Putih yang letih itu tampak diliputi kecemasan.

Penjelasan Kenanga memang sangat berarti bagi pendekar muda itu. Dengan begitu beban dalam batinnya yang selama ini telah dirasakan sebagai suatu siksaan, tiba-tiba terlepas.

“Sebaiknya kita segera pergi, Kenanga. Aku tak ingin mendapat pertanyaan macam-macam dari mereka...,” ujar Panji yang langsung disetujui Kenanga.

Pasangan pendekar muda itu langsung melesat meninggalkan tempat pertarungan tanpa berpamitan. Keduanya tak dicegah ataupun diganggu.

Tokoh-tokoh persilatan yang melihat Pendekar Naga Putih berkelebat pergi, hanya bisa menghela napas. Tampak di wajah mereka suatu penyesalan yang dalam. Ternyata Pendekar Naga Putih tetap seorang pendekar yang memiliki kebersihan hati.

Mereka telah membuktikan dengan mata kepala sendiri, bahwa tuduhan buruk terhadap pendekar muda itu sama sekali tak benar. Bahkan seharusnya para pendekar dan tokoh persilatan mengucapkan terima kasih terhadap Pendekar Naga Putih yang dengan gigih mampu menumpas tokoh angkara murka itu....

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.