Serial Pendekar Naga Putih
Episode Perempuan Perempuan Lembah Hitam
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Perempuan Perempuan Lembah Hitam
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
SEPASANG burung murai berlompatan riang di atas dahan. Kicauannya terdengar menyambut bias cahaya merah di kaki langit sebelah timur. Unggas-unggas kecil yang lucu itu nampak demikian gembira menyambut datangnya sang surya. Suasana yang sejuk dan semilir angin lembut yang menyapa dedaunan, membuat pagi itu serasa indah dan hidup.
Namun suasana damai seperti itu ternyata tak berlangsung lama. Suara bentakan-bentakan kasar dan keras, serta dentangan senjata yang menusuk telinga, telah merusak keindahan dan keheningan pagi itu. Dapat dipastikan kalau perusak keindahan itu makhluk-makhluk yang bernama manusia. Dan suara-suara itu jelas bersumber dari sebuah pertempuran. Ternyata benar, pada sebuah tepian sungai, terlihat suatu pertempuran sengit tengah berkecamuk. Mereka inilah yang telah membuat suasana pagi menjadi rusak.
"Yeaaat...!"
Suara teriakan keras kembali terdengar memekakkan telinga. Terlihat seorang lelaki bertubuh kekar bersenjatakan sebatang pedang tengah melesat ke udara. Pedang di tangannya berputaran cepat menimbulkan suara mengaung tajam, membelah keheningan pagi hari itu.
"Hmh...!" Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda, mengeluarkan suara mendengus bernada mengejek. Hanya dengan geseran langkahnya, sambaran pedang lelaki bertubuh kekar itu luput, sehingga hanya menyambar tempat kosong.
"Perempuan setan...!" Gagalnya serangan itu membuat lelaki bertubuh kekar tampak kian penasaran. Terdengar umpatannya yang kasar meningkahi suara berdesingan. Sementara pedang di tangannya terus bergerak dengan serangkaian serangan yang berbahaya. Melihat dari gerakannya yang cepat dan kuat, dapat diduga kalau ielaki itu bukanlah orang sembarangan.
"Makilah sepuasmu. Orang Gagah! Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di tangan kami...!" sahut sosok bertubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu. Nada suaranya mengandung ejekan yang disertai senyum sinis. Sambil berkata demikian, tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan langkah-langkah ringan dan mantap. Sehingga, tak satu pun dari serangan lawan yang mengenai sasaran.
Karuan saja lelaki bertubuh kekar itu semakin marah. Dengan geram terus dilancarkan serangan-serangannya yang semakin cepat dan kuat. Namun wanita yang diserangnya tak kalah gesit. Bahkan terlihat dia mulai membalas serangan lawan dengan tamparan dan tusukan jemari tangannya. Kendati hanya bertangan kosong, serangan yang dilancarkan wanita itu ternyata jauh lebih berbahaya ketimbang serangan pedang lawan. Sehingga pertarungan pun berjalan semakin seru dan mendebarkan.
Perusak suasana pagi itu ternyata bukan hanya mereka berdua. Sebab, tak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat dua pertempuran lain yang tidak kalah seru. Anehnya, pertarungan itu seperti sengaja telah diatur. Karena pihak-pihak yang bertarung antara lelaki melawan perempuan! Entah persoalan apa yang membuat mereka sepagi itu telah terlibat dalam perkelahian mati-matian.
Seperti yang pertama, dua pertempuran lainnya pun kelihatan masih berjalan seimbang. Meski demikian, tampak jelas betapa pihak lelaki berusaha keras untuk segera merobohkan lawannya masing-masing. Hal itu terbukti dari serangan-serangan mereka yang cepat dan bertubi-tubi datangnya. Seakan-akan ketiga orang lelaki itu demikian membenci perempuan-perempuan yang menjadi lawan mereka.
Ketika tiga pertarungan itu berlangsung seru, tiba-tiba terdengar sebuah seruan bernada dingin. "Robohkan mereka...!"
Seruan bernada perintah itu membuat suasana pertarungan berubah seketika. Perempuan-perempuan berpakaian merah muda yang semula hanya mengelak dan sesekali melancarkan serangan balasan, kini merubah gaya permainan mereka.
"Haiiit..!"
"Heaaa...!"
Diiringi pekikan merdu yang susul-menyusul, ketiga perempuan itu mulai membangun serangan.
"Hahhh...?!" pekik ketiga lelaki bertubuh kekar hampir bersamaan.
Tampak rasa keterkejutan melanda wajah mereka yang berubah agak pucat. Dengan mata terbelalak nanar ketiganya menyaksikan serangan-serangan lawan yang berubah dahsyat. Setiap kali tangan dan kaki mereka meluncur, diikuti serangkaian angin keras menderu. Gempuran yang cepat dan beruntun itu membuat ketiga lelaki tampak tak mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Bahkan...
"Hiaaa...!"
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pekikan keras terdengar ketika salah seorang dari ketiga lelaki itu terhantam serangan lawan. Pukulan telapak tangan halus yang mendarat di dadanya, membuat tubuh tegap terbungkus pakaian putih itu terjerembab mencium tanah. Darah segar langsung muntah dari mulutnya. Sesaat kemudian tanpa menggelepar-gelepar lelaki itu tergeletak pingsan.
Kedua kawannya yang saat itu masih bertahan mati-matian, tentu saja tersentak kaget menyaksikan kejadian itu. Akibatnya, dalam sesaat mereka lengah. Kedua perempuan yang tengah dihadapi tampaknya mengetahui peluang itu. Hingga....
"Hiaaat..!"
Bluk! Plak!
Dengan cepat kedua perempuan itu melantarkan serangan dahsyat.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Tubuh kedua lelaki kekar yang terbungkus pakaian putih itu seketika terjungkal. Setelah memuntahkan darah segar, keduanya terkapar lemas di tanah. Ternyata tangan-tangan yang tampak halus dan mulus milik kedua perempuan itu menyimpan suatu kekuatan tenaga dalam kuat. Terbukti dalam sekali pukulan telapak tangan saja, telah membuat lawan terkapar tak sadarkan diri.
Sejenak suasana berubah sepi. Tampak senyum sinis di bibir ketiga perempuan itu, sambil menatap tubuh lawan yang telah ambruk di tanah basah.
"Sadarkan mereka...!"
Terdengar sebuah perintah dengan suara datar. Serentak ketiga perempuan berpakaian merah muda itu menolehkan wajahnya menatap sebuah tandu yang diusung empat laki-laki muda bertubuh kekar.
"Baik, Ketua...," sahut salah seorang dari ketiga perempuan itu dengan penuh hormat. Kemudian segera memberikan isyarat dengan gerakan kepala kepada kedua temannya.
Tanpa diperintah dua kali, ketiga perempuan yang rata-rata berwajah cantik itu segera menghampiri lawan masing-masing. Mereka langsung menotok bagian tubuh lawan. Seketika terdengarlah keluhan-keluhan lirih dari mulut ketiga lelaki yang masih terkulai lemas itu.
"Bangun kau, Lelaki Pemalas...!"
Bluk!
Perempuan cantik yang mempunyai tahi lalat di tepi bibir kanannya, membentak halus, seraya mengayunkan kaki kanan, menendang tubuh lelaki di bawahnya.
"Ugkh...!"
Kendati tendangan kaki mungil itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam, lelaki itu tampak merasa kesakitan. Bahkan tendangan itu bagaikan mengandung tenaga yang kuat. Terbukti tubuh lelaki berkumis tipis yang ditendangnya terangkat dari tanah. Seketika dari mulutnya mengalir darah kental, karena luka dalam yang diderita bertambah parah.
"Perempuan iblis...!" desis lelaki berkumis tipis ini penuh dendam. Sorot matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Sayang, dia sudah tak mampu berbuat sesuatu. Luka dalam dadanya terasa nyeri saat dia berusaha mengerahkan tenaga. Sehingga, lelaki bertubuh kekar itu hanya bisa pasrah terhadap perlakuan lawannya.
"Hmh...!" dengus perempuan cantik berwajah dingin yang mempunyai tahi lalat itu, ketika mendengar umpatan lawannya. Seketika itu juga jemari tangannya terulur menjambak rambut lelaki tegap berkumis tipis di hadapannya. Kemudian ditariknya denngan sentakan kasar.
"Aaakh...!"
Perlakuan perempuan berwajah dingin itu tentu saja membuat lawannya menjerit kesakitan. Dan mau tak mau laki-laki itu tersentak bangkit dengan mulut meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun tak tampak perasaan gentar sedikit pun di wajahnya. Bahkan kembali memaki dengan kasar.
"Perempuan durjana! Kalian tak lebih dari iblis-iblis keparat yang berkedok wajah cantik! Hhh..., tapi jangan dikira aku sudi menyerah! Lebih baik aku mati, daripada harus ikut dengan kalian...!" geram lelaki kekar berkumis tipis itu. Sorot matanya tajam menentang tatapan mata wanita itu. Sekilas matanya melirik pada tandu yang berada sekitar lima tombak di depannya.
"Hi hi hi...! Makilah sepuasmu, Orang Gagah. Sebentar lagi kau akan merasakan siksaan yang menyakitkan..!" sahut perempuan bertahi lalat itu tertawa penuh ejekan yang menyakitkan.
"Ningrum! Ikat kedua tangan mereka, dan seret dengan kuda!" Kembali suara dingin yang datang dari dalam tandu terdengar memerintah.
"Baik, Ketua...," sahut wanita bertahi lalat di tepi bibir, yang ternyata bernama Ningrum. Tangannya menyeret tubuh lawan yang masih terkulai tak berdaya. Lalu diikat kedua tangannya dengan seutas tali yang terbuat dari anyaman kulit binatang. Kendati tak terlalu besar, tali itu sangat kuat dan tak mudah diputuskan.
Dua orang lelaki lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka tak mampu berbuat apa-apa. Karena luka dalam akibat pukulan lawan telah membuat tubuh mereka lemas tiada berdaya. Sehingga, semua perlakuan perempuan-perempuan berpakaian merah muda itu hanya bisa diterima dengan pasrah.
"Jalan...!"
Suara perintah kembali terdengar dari dalam tandu. Seketika itu juga rombongan pun bergerak meninggalkan tepian sungai.
Tiga perempuan berbaju hijau, yang juga rata-rata berwajah cantik, berada di depan. Mereka bertiga menunggang kuda yang di belakangnya melangkah tiga orang lelaki muda dengan kedua tangan terikat. Rupanya bukan hanya ketiga lelaki muda berpakaian putih yang ditawan perempuan-perempuan itu. Ternyata tiga orang lelaki yang berada di belakang kuda perempuan berpakaian hijau itu pun merupakan tawanan. Mereka dipaksa melangkah tersaruk-saruk. Karena kalau sampai terjatuh, tubuh mereka akan terus terseret-seret di atas tanah.
Sedangkan tiga perempuan berpakaian merah muda, berada di belakang rombongan. Mereka pun memperlakukan para tawanan seperti tiga lelaki di depan. Tak sedikit pun rasa kasihan di hati ketiganya, kendati tiga orang lelaki di belakang mereka melangkah tersaruk-saruk dengan kedua tangan terikat pada punggung kuda. Seakan-akan ketiga perempuan itu tak peduli terhadap luka dalam yang diderita para tawanan.
Sementara itu tandu yang diusung empat orang laki-laki kekar berwajah dingin, berada di tengah rombongan. Meskipun sosok di dalam tandu itu belum terlihat, dapat dipastikan kalau dia pun seorang wanita. Karena suaranya yang dingin tak bisa menyembunyikan ciri suara seorang wanita. Dialah pimpinan rombongan kecil itu. Rombongan itu terus bergerak perlahan menyusuri jalan selebar dua tombak yang diapit pepohonan. Semilir angin lembut dan terpaan sinar matahari pagi mengiringi langkah mereka.
"Kakang Gupta...! Aku... tak sanggup lagi...," keluh lelaki bertubuh tegap yang wajahnya terhias kumis tipis seraya menoleh pada kawannya. Wajahnya yang sudah dibanjiri peluh tampak berkerut-kerut. Bibirnya yang terkatup rapat dan kering, terlihat bergetar sesaat. Sinar matanya menatap penuh kecemasan. Sementara sekujur tubuhnya tampak lemah dan kelelahan.
"Kuatkan dirimu, Adi! Tunjukkan bahwa siksaan ini sama sekali tidak berarti bagi kita...!" ujar lelaki berhidung mancung yang dipanggil Kakang Gupta. Ucapan itu pun tampaknya tak mudah dikeluarkan. Suara kering dan pelan itu baru terlontar setelah lebih dahulu bibirnya yang kering dijilat-jilat.
Namun, pancaran sinar matahari yang sangat garang menyengat tubuh, membuat lelaki tegap berahang kokoh itu tak bisa menuruti nasihat Gupta. Kedua kakinya yang lemas dan tak mampu lagi menahan tubuh, langsung menekuk. Lelaki itu pun roboh terguling ke tanah, dan terseret kuda di depannya.
"Adi...!" Gupta terpekik dengan suara parau. Dia mencoba untuk menolong. Namun, apa yang dapat dilakukan Gupta dengan kedua tangan terikat seperti itu. Bahkan saat langkahnya tersaruk hendak mendekati kawannya, tiba-tiba....
Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Gupta terpekik ketika cambuk di tangan perempuan bernama Ningrum yang duduk di punggung kuda menyengat tubuhnya. Tak ampun lagi, lelaki bertubuh gagah itu terhuyung limbung, lalu jatuh ke tanah. Sadar kalau tak segera bangkit akan mengalami siksaan yang lebih menyakitkan, Gupta pun menguatkan hatinya. Kendati sempat terseret beberapa tombak, Gupta dapat mengeraskan hatinya, dan bangkit berdiri. Pakaiannya yang putih kini kotor terkena tanah agak basah yang telah terinjak-injak kaki kuda.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan pendek dari mulut lelaki tegap itu. Ketika pakaiannya tersingkap, tampak bilur merah di dadanya yang bidang. Goresan merah akibat lecutan cambuk itu memanjang sampai ke leher. Bahkan mungkin kalau tak tertutup pakaian, perutnya pun tergambar bekas sabetan itu. Sambil merintih, Gupta tampak menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia tak ingin rintihan itu terdengar siapa pun. Sehingga hanya dalam hati rintihan itu dikeluarkan. Dan ketika keringat mulai menyusup pada goresan merah itu, dengan sekuat tenaga ditahannya rasa pedih yang mendera.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba kawan Gupta yang terseret memekik keras. Gupta pun serta merta menolehkan wajahnya. Betapa geram hati lelaki itu ketika melihat tubuh kawannya terseret-seret. Luka-luka goresan yang meneteskan darah, membuat sosok kawannya yang telah kotor tampak begitu mengenaskan. Dan pemandangan itu membuat Gupta tak mampu menahan kemarahan.
"Iblis...! Kalian benar-benar biadab! Tak berperasaan! Bunuh saja kami, daripada kalian siksa seperti binatang yang tak berharga...!"
Pada puncak kemarahannya, Gupta berteriak-teriak keras. Tubuhnya yang dipaksa melangkah tersaruk-saruk itu tampak menegang. Dia mencoba memberontak untuk melepaskan kedua tangan yang terikat kuat. Namun hal itu hanya merupakan tindakan yang sia-sia. Bahkan akhirnya harus menanggung akibat yang mengerikan. Cambuk di tangan Ningrum kembali melecut tubuhnya diiringi tawa mengejek perempuan-perempuan tak berperasaan itu.
Ctarrr! Ctarrr!
"Aaakh...!"
Gupta meraung-raung keras karena merasakan sakit yang mendera tubuhnya. Darah segar pun meleleh keluar dari luka sayatan akibat cambuk yang dilecutkan beberapa kali.
"Perempuan-perempuan setan..! Lepaskan aku! Ayo kita bertarung sampai seribu jurus...!" teriak Gupta menantang karena marah dan tak tahan merasakan sakit disekujur tubuhnya. Matanya terbelalak merah menatap tajam perempuan itu.
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengejek di sana-sini yang membuat dada Gupta terasa meledak. Mulutnya kembali terpekik ketika merasakan seretan itu semakin cepat. Ternyata perempuan itu melarikan kudanya. Sehingga, tak ada kesempatan sama sekali bagi Gupta untuk bangkit berdiri. Darah segar semakin banyak mengalir, turun membasahi tubuhnya. Jalan terjal berbatu yang dilalui rombongan itu membuat sekujur tubuh Gupta dipenuhi luka. Betapa sakit dan perihnya luka-luka di tubuhnya!
"Kakang...!" teriak kawannya yang masih berdiri melangkah tersaruk-saruk. Suaranya kering dan parau. Sungguh, kalau saja tidak merasa malu, ingin sekali dia menangis, melihat penderitaan Gupta. Kendati demikian, matanya tidak bisa menahan air yang mulai mengalir keluar. Apalagi kawannya yang seorang sudah tak bergerak lagi, dan terus terseret lari kuda. Dia tak tahu apakah kawannya pingsan atau sudah tewas karena siksaan.
Gupta sendiri sudah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terlonjak-lonjak karena jalan yang mereka lalui tidak rata, semakin menambah berat deritanya. Sekujur tubuhnya dirasakan nyeri dan linu. Goresan bebatuan membuat pakaiannya terkoyak. Gupta hanya mampu memejamkan kedua matanya sambil menggigit bibir kuat-kuat, bahkan sampai mengeluarkan darah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat hati perempuan-perempuan kejam itu tergerak untuk menghentikan siksaannya.
Sementara itu ketiga tawanan yang diseret penunggang-penunggang kuda berpakaian serba hijau, hanya bisa menarik napas panjang, dan mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Mereka bukan tak tahu dengan apa yang menimpa tiga orang tawanan di rombongan belakang. Namun, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong, akhirnya mereka hanya bisa mengutuk dalam hati atas kekejaman perempuan-perempuan berhati iblis itu. Tak satu pun dari mereka yang berani menoleh. Karena hal itu bisa mendatangkan bencana yang mengerikan. Hanya sesekali mereka memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam.
"Heaaa...!"
Gupta yang merasa tidak sanggup lagi untuk menahan semua penderitaan itu, tiba-tiba memekik sekuat tenaga. Kemudian menyentakkan tali yang mengikat kedua tangannya. Gupta nekat hendak melepaskan dirinya dari ikatan itu. Tapi....
"Aaakh...!"
Gupta melolong kesakitan. Tali pengikat yang hanya sebesar jari kelingking itu ternyata sangat kuat. Sentakannya barusan membuat tali itu terbenam ke dalam pergelangan tangan. Darah mengalir karena kulit di pergelangan tangan Gupta sobek sampai ketulang. Rasa sakit yang dirasakannya membuat Gupta jatuh tak sadarkan diri. Sehingga, tubuhnya terseret tanpa daya. Untung saja saat itu rombongan telah melewati jalan berbatu, dan mulai memasuki daerah padang rumput yang luas. Sehingga, penderitaan yang dirasakan Gupta tidak semakin parah.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara perintah dari dalam tandu. Seketika itu juga, rombongan pun terhenti. Hal itu tentu saja membuat para tawanan merasa sedikit lega. Karena mereka dapat beristirahat, meski dalam keadaan berdiri dan di dalam sinar matahari yang terik.
"Ningrum. Tinggalkan bangkai tak berguna itu...!"
Mendengar perintah ketuanya, sepasang mata dingin Ningrum menoleh ke belakang. Dilihatnya tubuh lelaki di samping kanan Gupta sudah tidak bergerak lagi. Rupanya nyawa lelaki berahang kokoh, kawan Gupta itu telah melayang. Dia sudah tak sanggup untuk menahan penderitaan itu lebih lama.
Tanpa banyak cakap lagi, Ningrum langsung melompat turun dari punggung kudanya. Kemudian melepaskan tali pengikat kedua lengan lelaki yang telah menjadi mayat itu. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ningrum kembali melompat ringan ke atas punggung kudanya. Dari gerakan yang dilakukan, menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi. Hanya sekali menggenjot, tubuhnya telah berada di atas punggung kuda.
"Lanjutkan perjalanan...!"
Perintah dari dalam tandu yang tertutup kain sutera merah muda itu kembali terdengar. Rombongan bergerak serentak. Tak satu pun dari anggota rombongan yang mempedulikan Gupta. Padahal tubuh lelaki kekar berkumis tipis itu sudah sangat mengenaskan. Tampak tubuhnya yang luka-luka berlumuran darah bercampur tanah, terseret-seret terus tanpa ampun.
Sementara itu, kawan Gupta yang tinggal seorang hanya mampu menatap iba. Untuk mengeluarkan suara saja mulutnya seperti tak kuasa. Terasa kelu, getir, dan pahit, karena kerongkongannya kering kerontang. Selain itu sekujur tubuhnya dirasakan seperti telah kehabisan tenaga. Matanya mulai berkunang-kunang seiring dengan rasa kesemutan dan gemetaran di sekujur tubuh.
Perempuan-perempuan cantik berhati iblis itu terus bergerak dengan kuda mereka. Tentu saja perjalanan yang agak cepat itu membuat keempat pemikul tandu harus berlari-lari kecil. Tampaknya keempat pemikul tandu itu pun tidak berbeda jauh keadaannya dengan para tawanan. Keringat yang meleleh membasahi tubuh telanjang itu sudah tak ubahnya orang yang baru saja berendam di sungai. Namun anehnya, mereka seakan-akan tak merasa kelelahan sedikit pun. Entah apa yang telah membuat tenaga mereka bagaikan tak pernah habis.
Seorang pemuda tampan bertubuh sedang mengenakan jubah panjang berwarna putih berdiri tegak di tengah jalan. Dengan kening berkerut matanya menatap tajam ke depan. Kedua kakinya terpentang menghadang jalan. Senyum sinis di wajahnya menyiratkan rasa ketidaksenangan dengan apa yang terlihat di depan.
"Celaka...!"
Suara berdesis itu terdengar dari dalam tandu yang diusung empat orang lelaki kekar. Nadanya jelas menggambarkan kekhawatiran. Karena dari balik sutera merah muda yang menutupi bagian depan tandu, matanya melihat sosok yang menghadang perjalanan rombongannya. Rupanya rombongan kecil inilah yang membuat pemuda tampan berjubah putih itu merasa terusik jiwanya dan menghadang di tengah jalan.
"Kita mendapat halangan besar...!" desis orang di dalam tandu, membuat enam orang wanita di depan dan belakang tandu mengerutkan kening serentak.
Karena menangkap adanya nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam perempuan cantik itu pun berusaha menegasi sosok bertubuh sedang yang berdiri menghadang jalan. Namun mereka tetap belum mengerti, mengapa suara itu terdengar penuh kecemasan. Padahal yang menghadang jalan mereka seorang pemuda tampan dan menarik. Dan tak ada orang lain kecuali pemuda berjubah putih Itu. Tentu saja mereka merasa penasaran.
"Pemuda tampan berjubah putih itukah yang Ketua maksud sebagai halangan besar?" tanya Ningrum karena tak dapat menahan rasa penasaran di hatinya. Dia tidak melihat sesuatu yang perlu ditakutkan dari pemuda berjubah pulih itu. Ningrum sendirijustru sempat tergetar hatinya, melihat ketampanan dan sikap pemuda berjubah putih itu.
"Bodoh kau, Ningrum! Tidakkah kau kenali siapa sebenarnya yang menghadang perjalanan kita?" terdengar suara dari dalam tandu setengah membentak.
Bentakan itu membuat Ningrum agak pucat. Matanya lalu memperhatikan lebih teliti sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri menghadang di tengah jalan itu. Wajah perempuan itu semakin pucat pasi. Dan hatinya yang semula tergetar karena ketampanan pemuda itu, seketika berubah getar kecemasan.
"Apakah..., apakah Ketua hendak mengatakan kalau pemuda itu Pendekar Naga Putih...?" desis Ningrum dengan suara kering. Kekagumannya langsung berubah rasa khawatir, ketika teringat dan mulai menebak siapa sesungguhnya pemuda tampan berjubah putih yang menghadang jalan mereka itu.
"Itulah sebabnya mengapa aku bilang celaka, Bodoh...!" maki orang dalam tandu yang kedengarannya semakin menggambarkan kecemasan hatinya. Apalagi ketika dari balik tirai dilihatnya pemuda berjubah putih itu melangkah lebar menghampiri rombongannya. Tentu saja dia tahu apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu.
"Kalau begitu, kita benar-benar mendapat halangan besar kali ini, Ketua...!" desis Ningrum mulai ikut cemas. "Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali melawannya sekuat tenaga. Bersiaplah untuk menyambutnya...!" sahut orang dari dalam tandu yang kini nada suaranya mulai tegang.
Kalau para perempuan cantik berhati kejam itu merasa tegang dan cemas, lain halnya dengan tawanan-tawanan mereka. Wajah para tawanan yang semula berkerut melihat sosok pemuda tampan berjubah putih itu, seketika berubah cerah setelah mendengar pembicaraan Ningrum dengan perempuan yang berada dalam tandu. Seketika itu juga timbul harapan di hati para tawanan untuk dapat terbebas dari siksaan perempuan-perempuan keji itu.
"Pendekar Naga Putih, tolonglah kami...!" Salah seorang tawanan yang berada di depan, langsung berteriak kepada pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Namun tiba-tiba...
Ctarrr...!
Suara ledakan cambuk terdengar disusul pekik kesakitan lelaki tawanan itu, ketika perempuan berpakaian serba hijau melecutkan cambuknya. Tubuh lelaki itu menggeliat- geliat kesakitan. Bilur merah memanjang terlihat membelah sebagian wajahnya, dan meneteskan darah segar.
"Tahan...!" teriak Panji, ketika melihat perempuan berpakaian hijau itu hendak mengangkat cambuknya. Bahkan tubuh pemuda berjubah putih itu langsung melesat dengan kecepatan yang sukar untuk diikuti mata. Tangan kanannya terulur hendak merebut cambuk di tangan kanan perempuan itu. Tapi....
"Haiiit..!"
Wuttt!
Perempuan berpakaian hijau yang bermata lebar dan bening itu memekik keras. Cambuk di tangannya langsung digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, menyambut datangnya tubuh Pendekar Naga Putih. Namun, Panji bukanlah orang yang mudah untuk dijadikan korban cambuk itu. Melihat gerakan perempuan itu, tangannya langsung terulur dengan kecepatan kilat. Sehingga, ujung cambuk lawan dapat ditangkapnya dengan mudah.
"Hih...!"
Tappp!
"Hah...!"
Perempuan cantik bermata lebar itu tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia sama sekali tak menyangka kalau pemuda berjubah putih itu dapat bergerak begitu cepat. Sehingga, ujung cambuknya dengan mudah dapat ditangkap. Pendekar Naga Putih yang sudah melihat betapa ganasnya perempuan itu, langsung menyentakkan cambuk di tangannya. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan kuat. Sehingga...
"Hih...!"
Wrettt!
"Aaakh...!"
Perempuan cantik yang duduk di atas punggung kuda itu terpekik ngeri. Karena tubuhnya tiba-tiba tersentak keras dan terlontar ke udara.
"Haits...! Heaaa...!"
Panji sempat dibuat kagum melihat gerakan lawan. Perempuan berpakaian hijau itu ternyata mampu menguasai diri. Dengan bersalto beberapa kali di udara, tubuh ramping itu meluncur dengan manis dan mendarat ringan di atas tanah.
"Hih!"
Jliggg!
"Hebat...!" puji Panji yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Karena gerakan perempuan itu jelas menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi. Namun, pujian itu bukan berarti Panji menunda gerakannya. Tubuhnya terus meluncur ke depan. Maksudnya tentu saja hendak membebaskan para lelaki yang ditawan perempuan-perempuan kejam itu.
Melihat lawan melesat dengan serangan lanjutan, tiba-tiba dua perempuan cantik berpakaian serba hijau lainnya melontarkan serangan dengan cambuk di tangan masing- masing. Sehingga, Pendekar Naga Putih terpaksa mengurungkan serangannya.
Ctarrr! Ctarrr!
Patukan ujung cambuk yang meliuk dan mengeluarkan suara memekakkan telinga itu, membuat Pendekar Naga Putih harus bergerak mengelak. Sambil memiringkan tubuh, tangan kanannya bergerak cerat untuk menangkap ujung cambuk lawan.
Tampaknya kali ini Pendekar Naga Putih tidak mudah untuk melakukan hal itu. Kedua orang lawan yang telah mengetahui gerakannya, langsung menarik senjatanya. Kemudian dengan cepat pula dilecutkan kembali dengan pengerahan tenaga dalam yang lebih kuat. Bahkan tubuh kedua perempuan itu sudah melayang ke udara dengan ringannya.
Ctarrr!
"Haiiit...!"
"Ciaaat...!"
Terdengar pekik melengking susul-menyusul disertai ledakan cambuk yang memekakkan telinga. Mau tidak mau Pendekar Naga Putih harus melayani serangan dua orang perempuan berpakaian hijau itu. Dengan gerakan meliuk ke sana kemari menghindari patukan ujung-ujung cambuk yang terus memburu.
Namun, bersama gerakan mengelak, pendekar muda itu sempat melakukan serangan dengan tamparan- tamparan beruntun. Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih membuat kedua orang lawannya sulit untuk bergerak. Seolah tangan pemuda itu berubah menjadi banyak, yang menyerang dari tiap penjuru. Sehingga, perempuan-perempuan berpakaian serba hijau itu pun tampak mulai terdesak.
"Haaat...!"
Ctarrr! Ctarrr...!
"Haiiit...!"
Ketika Pendekar Naga Putih tengah mendesak dan siap merobohkan lawan-lawannya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking susul-menyusul. Tiga sosok bayangan merah muda dan sesosok bayangan hijau melesat cepat memasuki kancah pertempuran. Ledakan-ledakan cambuk pun terdengar setiap kali sosok-sosok cantik itu melecutkan cambuk mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Kehadiran empat orang itu tampaknya tak banyak berarti bagi Pendekar Naga Putih yang tengah meningkatkan serangannya. Bahkan tubuh pemuda itu sudah terlapisi kabut bersinar putih keperakan yang mengandung hawa dingin menggigit. Karuan saja keenam orang perempuan kejam itu tersentak kaget bukan kepalang. Sebab, pengaruh hawa dingin yang keluar dari setiap serangan Pendekar Naga Putih seolah membekukan urat-urat di tubuh mereka.
Serangan-serangan keenam perempuan itu tampak mulai mengendur, karena perhatian mereka seketika terpecah. Tampak keenam perempuan cantik itu lebih banyak memusatkan pikiran untuk mengatasi pengaruh hawa dingin menggigit itu. Tentu saja hal itu membuat gerakan mereka kacau dan tak terarah. Pendekar Naga Putih mulai memperoleh kedudukan yang menguntungkan. Dua serangan yang dilontarkannya mendarat telak di tubuh dua orang lawan.
"Heaaa...!"
Plakkk! Bukkk...!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar. Dua tubuh ramping yang terbungkus pakaian hijau, terlempar sampai di luar arena pertempuran dan jatuh terguling di tanah. Pukulan dan tamparan keras Pendekar Naga Putih yang mendarat di punggung kedua perempuan itu membuat bagian dalam tubuh mereka terguncang. Sehingga, darah segar pun merembes dari sudut bibir-bibir tipis yang selalu menunjukkan senyum sinis itu. Tampaknya tamparan itu sempat menimbulkan luka dalam tubuh kedua lawan.
"Heaaa...!"
Ctarrr...! Ctarrr...!
"Haits...!"
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat cepat ke atas. Pemuda itu berusaha menyambut serangan dua cambuk yang meliuk mengincar tubuhnya. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga angin pukulannya, Panji telah membuat ujung-ujung cambuk itu membalik dan balik mengancam tubuh pemiliknya. Karuan saja kedua perempuan berpakaian merah muda itu kaget bukan kepalang. Karena luncuran ujung cambuk itu menjadi dua kali lebih cepat. Serta merta mereka berusaha mengelak agar tak termakan senjatanya sendiri.
"Heaaa...!"
Namun tanpa diduga dengan cepat sosok bayangan putih berkelebat mendahului datangnya ujung cambuk. Kedua perempuan berpakaian merah muda itu tersentak kaget. Sungguh, mereka tak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan bergerak demikian cepat. Sehingga....
Plakkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dua orang perempuan itu terlempar deras, kemudian jatuh terbanting ke tanah dengan kerasnya. Untuk beberapa saat mereka tidak mampu bangkit. Pandangan mereka berkunang-kunang, hingga sulit untuk melihat jelas keadaan di sekitar. Darah segar yang keluar dari mulut keduanya menandakan kalau pukulan Pendekar Naga Putih telah membuat luka dalam tubuh mereka.
"Kurang ajar...!" terdengar suara menggeram dari dalam tandu. Seketika itu juga tirai penghalangnya tersibak. Dan....
Siiing! Siiing!
Seiring dengan suara berdesingan tajam yang membelah udara siang, melesat cepat lima larik cahaya putih menyilaukan, memburu mangsa. Sasarannya ternyata lima jalan darah di tubuh Pendekar Naga Putih. Lesatan lima cahaya putih yang begitu cepat itu membuat Pendekar Naga Putih sesaat tersentak kaget. Keningnya mengerut, menyadari kalau senjata gelap itu sangat berbahaya. Apalagi dilontarkan oleh seorang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
"Hebat...!" gumam Panji mengeluarkan pujian setulusnya. Namun, bukan berarti Pendekar Naga Putih menyerah dan menerima saja serangan-serangan berbahaya itu. Bahkan serangan yang ditujukan kepada dua orang lawan terakhirnya tetap dilanjutkan, meski hanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya dikibaskan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', yang sulit dicarikan tandingannya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua orang lawan terakhirnya langsung terpekik keras. Tubuh mereka terjungkal ke tanah, lalu terguling-guling sejauh dua tombak lebih. Dapat dipastikan kalau pukulan itu telah menghentikan perlawanan mereka. Sementara lima bentuk sinar putih yang ternyata berasal dari pisau terbang, terpental balik akibat sampokan tenaga dalam Pendekar Naga Putih. Kelima pisau terbang itu meluncur cepat dengan dua kali lebih cepat, memburu ke arah tandu.
"Gila...! Benar-benar luar biasa sekali!" Terdengar perempuan di dalam tandu bergumam penuh rasa terkejut, sambil tangannya dengan cepat bergerak melolos selendang merah muda yang melilit pinggangnya. Kemudian...
"Haiiit!"
Seiring dengan terdengarnya pekikan nyaring, tirai penutup tandu tersibak. Selarik sinar merah melesat keluar dan langsung mematahkan serangan balik kelima pisau bercahaya putih itu.
Wuttt!
Trakkk...!
Terdengar suara keras ketika sinar dari selendang merah menghantam pisau-pisau itu. Seketika benda-benda yang tengah meluncur cepat itu berpatahan dan berpentalan ke tanah. Selendang merah muda itu jelas digerakkan dengan kekuatan tenaga dalam yang hebat.
"Tak kusangka orang di dalam tandu itu memiliki kepandaian yang hebat! Tenaga dalam dan kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan! Menilik dari senjata yang digunakan, aku yakin kalau orang di dalam tandu itu pastilah seorang perempuan cantik. Para anak buahnya saja sudah sedemikian cantik. Apalagi majikannya...," gumam Panji penuh rasa kagum terhadap kesaktian perempuan di dalam tandu itu.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu kemunculan perempuan di dalam tandu itu. Namun, tidak sedikit pun sutera merah penutupnya terbuka. Nampaknya penghuni tandu itu memang tak bermaksud menampakkan diri di hadapan Pendekar Naga Putih. Panji semakin tak sabar, dan melangkah perlahan menghampiri tandu yang tetap berada di atas pundak empat lelaki kekar. Keempat pengusung tandu itu rata-rata berusia tiga puluh tahun.
"Berhenti...!" Terdengar bentakan dari dalam tandu. Langkah Panji pun terhenti. Kendati demikian dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari tirai merah muda penutup tandu itu.
"Mengapa kau mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih...?" tanya perempuan dari dalam tandu penuh ketidaksenangan.
"Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Nisanak? Setiap kekejaman di atas permukaan bumi ini merupakan urusan semua orang yang menjunjung tinggi keadilan. Jadi jelas, persoalan ini juga merupakan urusanku...," sanggah Panji dengan suara lantang.
Tentu saja jawaban tak terduga itu mengejutkan perempuan yang berada di dalam tandu. Terbukti beberapa saat tidak ada sahutan. Rupanya perempuan tua itu tengah mencari jawaban atas sanggahan Pendekar Naga Putih.
"Apakah ucapanmu itu memiliki arti bahwa kau mengetahui latar belakang tindakan kami..?" tanya perempuan di dalam tandu, agak ragu-ragu. Hatinya seakan-akan ingin mengetahui sampai seberapa jauh Pendekar Naga Putih mengetahui sepak terjangnya.
"Hm..., sekalipun aku belum tahu persoala sebenarnya, tapi ketidakadilan yang terjadi di depan mataku, tak bisa kudiamkan begitu saja. Dan kalau tidak merasa keberatan, silakan jelaskan duduk perkaranya kepadaku...," ujar Panji lagi yang membuat perempuan di dalam tandu menggeram jengkel. Seakan-akan dia merasa kalah bicara dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
Sejenak keadaan berubah hening. Perempuan di dalam tandu itu sepertinya tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Tidak terdengar suara sampai beberapa saat lamanya. Namun pemuda tampan itu tetap menunggu, hendak mendengar bagaimana tanggapan perempuan di dalam tandu itu.
Sementara itu keenam perempuan cantik pengikut tokoh yang belum jelas jati dirinya itu, sudah berkumpul di kedua sisi tandu. Mereka hanya menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan wajah menyiratkan kegentaran. Dengan sabar mereka menunggu tindakan yang akan diambil sang Ketua. Tidak berapa lama kemudian, tirai penutup tandu mendadak tersibak. Dari dalam tampak keluar sesosok tubuh ramping dengan kepala tertunduk. Separo wajahnya tertutup cadar berwarna merah muda yang tipis dan menyamarkan raut wajah di baliknya.
Panji sempat tertegun seraya menyembunyikan kekagetannya. Sosok yang berada di dalam tandu ternyata berbeda jauh dengan dugaannya. Wajah perempuan bertubuh ramping itu bukan saja tidak cantik. Bahkan bisa dibilang menyeramkan. Karena wajah yang tersembunyi di balik cadar tampak demikian rusak, seperti luka bakar.
Keningnya mengerut tajam dengan kulit yang terkelupas. Menimbulkan pemandangan yang menjijikkan. Hanya sepasang mata yang bening dan menyiratkan bahwa pada mulanya wajah itu mungkin sangat cantik. Sayang, luka bakar di wajahnya telah melenyapkan kecantikan perempuan itu. Kalau semula orang akan bertekuk lutut di bawah kakinya, memohon agar cinta mereka terbalas, tapi kini dengan luka bakar yang mengerikan seperti itu, para pemuda akan lari tunggang-langgang ketakutan.
Sambil menenangkan perasaannya, Panji memperhatikan perempuan berpakaian merah muda itu. Dari keadaan tubuhnya dapat diduga kalau usia perempuan buruk itu tidak lebih dari dua puluh tahun. Kulitnya halus, putih, dan tampak lembut di balik pakaian merah muda yang tipis.
Agak iba juga hati pendekar muda itu melihat keadaan perempuan yang selalu menyembunyikan dirinya di dalam tandu. Namun, semua itu bukan berarti bahwa Panji mundur dari niatnya semula. Tidak. Panji tetap menginginkan lima lelaki tawanan mereka dilepaskan. Apa pun duduk persoalannya. Karena siksaan yang dijalani lima orang lelaki itu telah melampaui batas-batas kemanusiaan.
"Pendekar Naga Putih...," ujar perempuan buruk rupa itu dengan suara dingin dan mendesah. "Bukankah kau ingin membebaskan tawanan-tawanan kami...?"
"Memang itu keinginanku...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm..., kalau begitu keinginanmu, maukah kau menukar mereka dengan diri kami...?" tanya perempuan buruk itu lagi, berdesah.
"Apa maksudmu, Nisanak...?" tanya Panji seraya mengerutkan kening, karena belum bisa memastikan ke mana arah pembicaraan perempuan buruk rupa itu.
"Biarkan kami pergi tanpa diganggu! Dan kau boleh ambil semua tawanan kami...," pinta perempuan buruk rupa itu mengajukan syarat kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku bukanlah orang buas yang haus darah. Kalau itu yang kau inginkan, baiklah...," sahut Panji seraya memalingkan wajahnya kepada lima tawanan. Pendekar Naga Putih menggerakkan tangannya mencegah salah seorang dari tawanan itu yang hendak berbicara. Kelihatannya lelaki itu hendak membantah, karena tak menyetujui usul perempuan berwajah menjijikkan itu.
"Hm..." Perempuan buruk itu seperti menyunggingkan senyum puas. Kemudian bergerak naik ke dalam tandu dan memerintahkan para pengikutnya agar segera pergi dari tempat itu.
Panji sama sekali tidak bergerak. Ditatapnya kepergian perempuan-perempuan itu dengan mata tak berkedip. Baru kemudian berpaling setelah rombongan kecil itu semakin jauh.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Kemunculanmu benar-benar membuat kami merasa bebas dari lubang kubur...," ucap salah seorang dari tiga lelaki yang ditawan perempuan berpakaian hijau. Usia lelaki itu sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampak ramah, membuat orang mudah menyukainya. Dia benar-benar merasa bersyukur dengan kemunculan Pendekar Naga Putih menyelamatkan mereka dari siksaan.
Panji hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kendati tak diutarakan, dia tahu kalau pemuda gagah itu memendam rasa penasaran atas tindakannya melepaskan perempuan-perempuan kejam itu begitu saja. Padahal untuk semua itu Panji tentu mempunyai alasan yang kuat.
Setelah ketiga orang itu terbebas dari ikatan, Pendekar Naga Putih bergegas menghampiri lelaki berkumis tipis, yang masih tergeletak pingsan. Dilepaskannya tali pengikat pergelangan tangan lelaki yang tak lain Gupta itu. Segera ditotoknya beberapa bagian tubuh berlumuran darah itu untuk menghentikan pendarahan. Karena luka yang cukup dalam pada pergelangan tangan Gupta tampak masih mengeluarkan darah. Kemudian dibawanya tubuh tegap itu ke tepi jalan, setelah membebaskan kawan Gupta.
Dengan penuh ketelitian, Pendekar Naga Putih merawat luka-luka di sekujur tubuh Gupta. Untung di dalam buntalan pakaiannya, Panji masih menemukan obat luka. Segera dibalurkan ke tubuh Gupta, setelah melepaskan pakaian sebelah atas lelaki itu. Gupta yang disadarkan Panji dari pingsannya, membuka pelupuk mata perlahan.
Ada kilatan terkejut ketika mendapati dirinya telah rebah dengan sekujur tubuh terasa hangat. Terlebih ketika melihat seorang pemuda tampan telah berada di sampingnya dan tersenyum. Gupta mengawasi sekitar dengan ekor matanya. Bibirnya tampak bergerak-gerak ketika melihat wajah kawannya yang juga tersenyum.
"Kita telah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari keganasan perempuan-perempuan iblis itu, Kakang...," ujar lelaki bertubuh kekar itu, seakan hendak menjelaskan kepada Gupta yang baru siuman. Mendengar ucapan kawannya itu wajah Gupta tampak terkejut.
"Tetaplah beristirahat, Kisanak! Luka-lukamu masih menghambat gerakan dan mungkin masih agak nyeri...," cegah Panji seraya menekan kedua bahu Gupta perlahan ketika melihat lelaki tegap itu memaksa hendak bangkit
"Atur jalan napas agar kesehatanmu semakin membaik…"
"Te... terima., kasih, Tuan Pen.. dekar..., ucap Gupta dengan susah-payah.
Pendekar Naga Putih hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri setelah melihat kedua mata Gupta terpejam. Rupanya lelaki tegap itu langsung mengikuti petunjuk yang diberikannya. Panji bergerak menjauh dari tempat Gupta terbaring, dijaga kawannya. Ketiga lelaki lain tampak mengikuti dari belakang. Mereka pun duduk di bawah pohon besar, berhadapan dengan Pendekar Naga Putih.
"Perselisihan apa yang membuat kalian sampai disiksa oleh perempuan-perempuan tadi...?" tanya Panji setelah menarik napas dalam-dalam. Dirayapinya satu-persatu wajah ketiga lelaki yang bertubuh gagah itu.
"Pendekar Naga Putih...," sahut lelaki bertubuh tegap dan berwibawa. Lelaki berwajah tampan ini tampak lebih pandai berbicara ketimbang dua orang kawannya. "Aku bernama Rancaka. Kami bertiga merupakan saudara seperguruan yang telah setahun lebih melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman."
Lelaki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada Panji. Kemudian terdiam sesaat seperti hendak melihat tanggapan pendekar muda yang sebenarnya telah lama menimbulkan kekaguman di dalam hati mereka.
Panji hanya menganggukkan kepala perlahan. Tak sepatah kata pun tanggapan keluar dari mulutnya, seakan-akan masih menunggu kelanjutan cerita lelaki bernama Rancaka itu.
"Belakangan ini kami mendengar tentang adanya pembunuhan dan penculikan. Yang membuat kami merasa penasaran dan ingin menyelidiki, adanya keanehan dalam setiap kejadian. Karena selain korbannya terdiri dari kaum lelaki yang kebanyakan masih berusia muda hampir semua yang terbunuh dan hilang tanpa jejak adalah orang-orang dari rimba persilatan. Sayang, si pembuat keonaran itu ternyata rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kami. Mereka tak lain perempuan-perempuan kejam yang tadi kau lepaskan begitu saja, Pendekar Naga Putih...," Rancaka menghentikan ceritanya. Dalam sorot matanya tersirat rasa penasaran yang menuntut penjelasan dari Pendekar Naga Putih.
"Hm...," Panji bergumam pelan, seraya melemparkan pandangannya menatap rimbun pepohonan. Sedang Rancaka dan kedua kawannya menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut pendekar muda itu.
"Kau tentu merasa penasaran karena aku telah membebaskan mereka, bukan...?" tanya Panji seraya menatap wajah Rancaka, yang serta-merta menundukkan kepala, tak sanggup menentang tatapan mata tajam Pendekar Naga Putih.
"Maaf, kalau rasa penasaranku membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka perlahan. Tampak jelas betapa lelaki kekar itu menaruh hormat kepada pemuda tampan berjubah putih di depannya. Kareha sikap maupun tatapan Pendekar Naga Putih demikian kuat mengandung kewibawaan.
"Jangan meminta maaf atas sikapmu yang benar itu, Rancaka!" tukas Panji cepat, yang membuat Rancaka berani mengangkat kepalanya. "Kalaupun tadi kubiarkan mereka pergi begitu saja, itu karena ada beberapa pertimbangan yang telah kuperhitungkan masak-masak..."
Rancaka dan kedua kawannya tampak menganggukkan kepala, kendati belum mengetahui alasan Pendekar Naga Putih. Sementara Panji tak segera melanjutkan penjelasannya. Wajahnya menyunggingkan senyum simpul seraya menatap ketiga lelaki gagah itu. Sehingga, Rancaka dan kedua orang kawannya menunggu dengan sabar. Mereka belum bisa menduga apa alasan Pendekar Naga Putih melepaskan perempuan-perempuan biadab itu.
"Pertama," ujar Panji tiba-tiba. "Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian berlima. Karena, bisa saja aku bertarung, perempuan-perempuan itu akan berlaku licik. Misalnya menggunakan kalian sebagai pelindung. Bila aku melanjutkan pertarungan, mereka akan membantai kalian satu-persatu..."
Rancaka dan kawan-kawannya tersentak kaget. Sungguh mereka tak sampai berpikir kalau perempuan-perempuan kejam itu akan bertindak demikian untuk melumpuhkan perlawanan Pendekar Naga Putih. Rancaka pun sadar akan keterbatasan pikirannya.
"Kedua...," Panji melanjutkan setelah Rancaka dan kedua kawannya kembali memandang ke arahnya. "Perempuan berwajah buruk itu bukan orang sembarangan. Mungkin aku pun belum tentu mampu mengalahkannya dalam lima puluh jurus. Mungkin memerlukan seratus jurus atau lebih untuk dapat merobohkannya. Dengan begitu, kecil kemungkinan bagi kalian masih bisa hidup, kendati aku memenangkan perkelahian. Nah, kedua alasan itulah yang membuatku menyetujui usul perempuan sakti berwajah cacat itu..."
"Hhh...," Rancaka menghela napas panjang dengan wajah penuh sesal. Karena semula disangkanya Pendekar Naga Putih merasa tak tega menghukum perempuan-perempuan kejam yang memang rata-rata berwajah cantik itu, kecuali pemimpinnya.
"Maafkan kebodohanku, Pendekar Naga Putih! Berhadapan denganmu, kami merasa seperti anak-anak kecil yang tak tahu persoalan...," tukas Rancaka dengan suara pelan.
"Tidak perlu meminta maaf, Rancaka! Aku memahami apa yang ada dalam pikiranmu. Terus terang, aku pun merasa tak tega melukai atau membunuh mereka. Selain wajah mereka rata-rata cantik, tampaknya mereka menyembunyikan luka di balik sikap dingin dan kejam. Aku pun belum mengetahui secara jelas tentang sepak terjang mereka. Jadi, kau tak perlu merasa bersalah kepadaku, Rancaka..." tukas Panji seraya menepuk perlahan bahu Rancaka.
Rancaka hanya bisa tersenyum dengan kepala tertunduk. Hatinya merasa agak risih karena Pendekar Naga Putih ternyata dapat menebak jalan pikirannya. Dan sikap serta ucapan pendekar muda itu semakin mendatangkan rasa hormat dan kagum di hatinya.
"Hm..., sudah cukup lama kita bercakap-cakap...," desah Panji seraya bergerak bangkit dari duduknya. Kemudian melemparkan pandang ke arah matahari yang sudah mulai tergelincir ke barat. "Hari sudah semakin sore. Mudah-mudahan lelaki yang terluka parah itu sudah dapat mengembalikan tenaganya," lanjutnya sambil melangkah mendekati tempat Gupta berada.
Rancaka dan kedua kawannya bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. Mereka pun ingin mengetahui bagaimana hasil pengobatan yang dilakukan pendekar muda itu. Sebab, melihat dari cara Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan, mereka menganggap kalau pemuda berjubah putih itu demikian sigap, tak ubahnya seorang ahli.
Apa yang disaksikan Rancaka dan kedua kawannya, benar-benar menimbulkan rasa kagum. Sebab, lelaki tegap berkumis tipis yang semula terluka parah itu, kini tengah duduk bersila ditemani kawannya. Perubahan yang begitu cepat itu jelas menandakan betapa mujarabnya hasil pengobatan yang dilakukan Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih...," sambut Gupta, menyapa Panji sambil tetap bersila. "Rasanya tubuhku sudah semakin membaik. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu..."
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum dan mengangguk. Melihat lelaki tegap itu sudah membaik pun merupakan hal yang menyenangkan baginya. Sehingga hatinya merasa lega. Dan bisa melanjutkan perjalanan tanpa khawatir lagi akan keadaan Gupta.
"Senang sekali melihat kau sudah mulai membaik, Kisanak. Sayang sekali, aku tak bisa tinggal lebih lama untuk menemani kalian," ujar Panji seraya mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu setelah berpamitan kepada Gupta, Rancaka dan tiga orang lainnya.
"Pendekar Naga Putih...!"
Panji menolehkan wajah ketika mendengar panggilan itu. Ditatapnya wajah Rancaka. Karena lelaki itulah yang memanggilnya. "Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepadaku, Rancaka...?" tanya Panji ketika melihat Rancaka ragu-ragu untuk mengatakan apa yang saat itu ada dalam benaknya.
"Bagaimana dengan perempuan-perempuan kejam itu...?" Akhirnya Rancaka memberanikan diri, setelah melihat senyum di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku akan menyelidiki penyebab kejahatan mereka. Kalau bisa sekaligus menghentikan perbuatan mereka untuk selamanya...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun. Dan dia tahu jawaban itu telah membuat Rancaka maupun empat orang lainnya tersenyum puas.
"Semoga kau berhasil, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka yang tak lagi mencegah langkah Panji. Hanya pandang matanya yang mengiringi kepergian sosok pendekar muda itu.
Namun, baru saja beberapa tombak Pendekar Naga Putih melangkah, tiba-tiba tubuhnya berbalik. Kemudian ditatapnya wajah kelima lelaki gagah itu satu-persatu. "Harap kalian berhati-hati jika berjumpa lagi dengan perempuan-perempuan kejam itu...!" seru Panji sekadar mengingatkan kalau perempuan-perempuan itu sangat berbahaya.
"Kami akan mengingatnya...!" sahut Rancaka agak keras. Namun, saat itu sosok Pendekar Naga Putih sudah berkelebat begitu cepat, lenyap dari pandangan mereka.
"Aku yakin Pendekar Naga Putih akan dapat menghentikan keganasan perempuan-perempuan kejam itu...," desah Gupta yang menatap lurus ke arah pepohonan tempat sosok Pendekar Naga Putih lenyap.
"Kakang Panji...!"
Sebuah seruan merdu membuat langkah Pendekar Naga Putih tertahan seketika. Kemudian wajahnya ditolehkan ke tempat datangnya suara panggilan itu. Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berkulit halus tengah berdiri sekitar sepuluh tombak dari tempatnya. Matanya menangkap sorot kemesraan dan kerinduan dalam mata bening gadis cantik itu.
"Kakang lupa padaku..?" tegur gadis cantik itu ketika melihat pendekar muda itu belum juga bersuara.
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis cantik itu. Karena dia merasa pernah mengenal raut wajah cantik itu, tapi lupa entah kapan dan di mana. Sementara si gadis cantik sudah melangkah semakin dekat.
"Apakah sang waktu telah merubah wajahku hingga Kakang tidak mengenali diriku...?" tanya gadis cantik itu setelah menghentikan langkahnya satu tombak di depan Pendekar Naga Putih. Mata beningnya tak berkedip memandang wajah pemuda di hadapannya tanpa rasa malu. Seakan-akan gadis cantik itu pernah mengenal bahkan akrab dengan Panji. Sehingga pertemuan itu membuatnya tampak sangat bahagia.
"Kau...," Panji tak melanjutkan ucapan itu karena merasa agak ragu untuk menebak siapa sebenarnya gadis cantik itu
"Ya...," sahut gadis cantik dengan kulit bersinar bagaikan rembulan itu. Seakan-akan dia memberi kesempatan kepada pemuda berjubah putih itu untuk menebak siapa dirinya. Kelihatannya gadis cantik itu ingin tahu apa Pendekar Naga Putih masih dapat mengingatnya.
"Benarkah kau..., Suntini...?" tebak Panji, agak ragu. Dirasakan wajah gadis cantik itu jauh lebih matang daripada Suntini yang pernah dikenalnya. Meskipun ada beberapa bagian yang masih dikenalnya, raut wajah itu tampak telah jauh berubah.
"Tidak salah lagi, Kakang!" tukas Suntini terlonjak seperti anak kecil. "Rupanya kau ingat padaku...!" Gadis cantik itu langsung memegang kedua tangan Panji erat-erat. Seolah hal itu merupakan ungkapan perasaan hatinya yang sangat gembira karena perjumpaan itu.
"Aku tak langsung dapat mengenali karena banyak perubahan pada dirimu, Suntini. Waktu setahun ternyata telah membuatmu tampak semakin matang dan...," Panji terpaksa menghentikan ucapannya. Karena apa yang akan dikatakan dirasa agak kurang pantas. Tentu saja menurut pikirannya sendiri.
"Dan apa, Kang? Mengapa tak kau lanjutkan...?" tanya Suntini agak mendesak dengan sepasang mata berbinar. Sepertinya gadis cantik itu sudah dapat menduga kelanjutan dari ucapan Panji yang terpotong. Namun ingin mendengarnya dari mulut pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kau hendak ke mana, Suntini...?" Panji mencoba mengalihkan perhatian gadis cantik itu dengan pertanyaan itu.
Namun, Suntini tak bisa dipancing begitu saja. Gadis itu tetap ingin mendengar kelanjutan ucapan Panji. Sepasang matanya yang bening dan indah tampak menyiratkan keinginan itu. "Aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan ucapan yang tadi...," desak gadis cantik itu memonyongkan bibirnya dengan sikap manja. Sementara tangannya tetap menggenggam kedua lengan Panji erat-erat.
Pendekar Naga Putih terpaksa menyunggingkan senyum. Padahal saat itu dia tengah memutar otak untuk mencari jawaban yang kira-kira tepat untuk disampaikan kepada gadis cantik itu. Dan senyumnya semakin lebar karena Panji telah mendapatkan jawabannya.
"Mengapa kau ingin mengetahui kelanjutan ucapanku yang terpotong tadi, Suntini...?" tanya Panji tetap tersenyum agar tak menimbulkan kecurigaan di hati gadis itu.
"Sudah kubilang aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan kalimat tadi...!" tukas Suntini tetap merajuk
"Baiklah, akan kulanjutkan...," akhirnya Panji mengalah.
"Katakanlah, Kang? Aku ingin mendengarnya..."
"Aku tadi hendak mengatakan bahwa kau semakin matang dan dewasa. Nah, apa kau puas sekarang...?" ujar Panji tersenyum menatap wajah cantik di depannya.
"Kakang bohong!" sentak Suntini yang langsung melepaskan pegangannya pada tangan pemuda itu. Kemudian tubuhnya berbalik, seolah hendak menunjukkan kepada Pendekar Naga Putih kalau hatinya merasa marah dengan jawaban yang tidak benar itu.
"Mengapa kau bisa berkata begitu, Suntini? Apa yang kukatakan itu sama sekali tidak salah. Kau memang terlihat semakin dewasa dibanding setahun yang lalu," Panji berusaha meyakinkan Suntini bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran.
"Tidak! Aku tak percaya...!" sentak gadis cantik yang mengaku Suntini tetap membelakangi Pendekar Naga Putih.
"Menurutmu apa sebenarnya yang hendak kukatakan tadi...?" akhirnya Panji mengalah dan ingin mengetahui apa yang menjadi dugaan gadis cantik itu.
"Aku tahu, Kakang ingin mengatakan bahwa aku semakin matang dan cantik, bukan? Mengapa Kakang tak langsung saja mengatakannya? Atau aku memang bertambah jelek...?" tanya Suntini yang membuat Panji merasa risih. Karena gadis cantik itu mengetahui kalimat yang sengaja tak diucapkannya tadi.
"Siapa bilang kau jelek, Anak Manis? Hanya orang buta yang akan mengatakan begitu," ujar Panji seraya menyunggingkan senyumnya.
"Tidak! Aku memang bertambah jelek! Buktinya Kakang tak mau mengatakan aku cantik," tukas Suntini yang telah membalikkan tubuhnya. Kemudian ditatapnya kedua bola mata pemuda tampan itu.
"Kalau sudah tahu bahwa dirimu cantik, mengapa harus diributkan lagi? Sudahlah, lupakan saja persoalan sepele itu! Sekarang ceritakanlah padaku, bagaimana kau bisa berada di daerah ini? Bukankah tempat tinggal orangtuamu berada di selatan?" tanya Panji, kembali mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Hhh...!" Suntini menghela napas panjang, seraya melepaskan pandang ke langit yang mulai teduh. Kakinya melangkah perlahan, kemudian menjatuhkan tubuh di bawah pepohonan rindang.
Pendekar Naga Putih tidak mendesak. Diikutinya langkah gadis cantik itu. Kemudian ikut duduk di samping Suntini, yang kelihatan wajahnya agak muram. Ditatapnya wajah cantik itu dari samping. Dia mulai menduga, bahwa ada sesuatu yang telah terjadi dengan keluarga gadis itu.
"Ceritanya panjang sekali, Kakang...," desah Suntini menatap ke depan dengan sinar mata berkabut. Jelas kalau hati gadis cantik itu tengah dilanda kesedihan.
"Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah! Aku siap mendengarnya...," pinta Panji, tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah Suntini yang kelihatan semakin berduka itu. Dengan sabar ditunggunya gadis cantik itu melanjutkan ceritanya.
"Kakang tentu masih ingat peristiwa setahun yang silam. Kakang menolong keluargaku ketika dihadang perampok," ujar Suntini, berusaha mengingatkan Pendekar Naga Putih saat mereka pertama kali berjumpa. Gadis cantik itu menoleh, seperti hendak meminta kepastian dari pemuda di sebelahnya.
"Ya, aku ingat...," sahut Panji meyakinkan Suntini.
"Dan Kakang masih ingat juga bukan, kalau perampok-perampok laknat itu telah membuat ibuku tewas?" tanya Suntini lagi.
"Ya, aku ingat..."
"Nah, setelah peristiwa itu, ayahku pun menyusul sebulan kemudian. Kematian ibu telah mendatangkan penderitaan dalam batinnya. Dengan kematian mereka, tak ada lagi tempatku untuk bergantung. Lalu aku teringat dengan Kakang. Dengan berbekal sedikit ilmu yang kupelajari dari ayah, aku nekat mencari Kakang Panji. Karena hanya Kakanglah satu-satunya yang bisa kupercaya selain kedua orangtuaku yang telah tiada."
Sampai di situ Suntini menghentikan ceritanya. Sepasang mata beningnya menatap wajah Pendekar Naga Putih. Terdengar tarikan napasnya mendesah. Sementara pemuda tampan berjubah putih itu diam tanpa sahutan.
"Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu aku melihat Kakang. Tapi, karena Kakang selalu melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa, aku tak berani mengganggu. Padahal aku ingin sekali dapat berbicara berdua dengan Kakang seperti sekarang ini...," sambung Suntini seraya menatap wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu. Seolah gadis itu tengah mengalami suatu tekanan dalam batinnya.
"Seharusnya kau langsung menemui aku, Suntini. Gadis yang kau maksudkan itu pasti Kenanga. Tapi, tak ada salahnya kalau kau menemui kami berdua...," ujar Panji ketika melihat gadis itu terdiam dan menatapnya dengan mata sayu. Ada kecemasan yang berusaha disembunyikan, karena dia mulai dapat meraba tatapan mata Suntini.
"Siapa gadis jelita yang bernama Kenanga itu, Kakang? Kekasihmu...?" tanya Suntini dengan nada aneh seperti menyimpan rasa cemburu yang besar. Bahkan pendekar muda itu menemukan sinar kemarahan dalam sorot mata gadis cantik itu.
"Gadis yang bernama Kenanga itu memang kekasihku, Suntini..," karena tak ingin sesuatu di dalam hati Suntini kian berkembang, Panji berkata terus terang.
"Sudah kuduga...," desis Suntini dengan suara bergetar, menyiratkan adanya rasa kecewa dalam hati gadis itu. Bahkan kemudian terdengar helaan napasnya yang berat. "Bukankah Kakang pernah berjanji akan singgah ke tempat tinggal kami suatu waktu? Tapi, mengapa Kakang ingkar? Padahal aku yakin Kakang tahu, bagaimana perasaanku saat itu...?" suara Suntini mirip sebuah desahan menyimpan isak. Rupanya gadis itu tak pernah melupakan janji yang pernah diucapkan Panji saat setelah menolong keluarganya.
"Maafkan aku, Suntini. Kalau saja aku mempunyai kesempatan, tentu akan singgah ke tempat tinggalmu. Maaf, kalau aku telah membuatmu kecewa...," ujar Panji dengan perasaan yang mulai tak karuan, karena Suntini semakin berani menuntut banyak darinya. Padahal dia tak ingin menemui gadis itu lagi. Sesungguhnya hatinya tak memberikan harapan kosong kepada Suntini, yang sejak semula disadari kalau gadis cantik itu telah terpikat kepadanya. Entah karena kesaktian atau ketampanannya. Namun, yang jelas Pendekar Naga Putih tahu perasaan gadis itu terhadap dirinya.
"Tapi secara tak langsung Kakang telah memberikan harapan kepadaku? Padahal Kakang tahu, bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Terus terang, semenjak berjumpa dengan Kakang, aku telah memutuskan untuk tak menerima lelaki lain, seorang pangeran sekalipun! Dan janji itu pula yang telah membuatku mengambil keputusan untuk mencari Kakang. Tapi..., yang kuterima justru kehancuran! Mengapa waktu itu tak berterus terang kalau Kakang telah punya kekasih?"
Suntini mengungkapkan semua perasaan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Tentu saja pengakuan itu membuat Panji tersentak kaget. Dia sama sekali tak menyangka kalau gadis itu menaruh harapan sedemikian besar. Bahkan kini berani mengutarakannya secara terbuka. Jelas di matanya Suntini merupakan seorang gadis yang keras kepala dan mau menang sendiri. Padahal seharusnya gadis itu tahu kalau sejak semula Panji telah menolak secara halus.
Pendekar Naga Putih terdiam dengan helaan napas panjang yang berat. Sama sekali tidak disangka kalau Sutini ternyata seorang gadis yang buta hatinya. Kebaikan dan sikap halus yang ditunjukkan Panji telah disalah tafsirkan. Bahkan kini berani menuntut secara terus terang. Tentu saja hal itu membuat hati pendekar muda itu susah, serba salah, dan bingung. Dia tak ingin menyakiti hati siapa pun. Apalagi seorang gadis seperti Suntini.
"Suntini...," ujar Panji perlahan. "Sebagai seorang wanita, seharusnya kau mempunyai perasaan yang lebih peka ketimbang lelaki. Dan tak seharusnya kau berjanji untuk menolak lelaki lain. Semestinya kau memahami perasaan hatiku. Selain itu, aku percaya, bahwa kelak kau akan mendapatkan pemuda yang jauh lebih baik dariku. Dan, kalaupun semua sikapku kau anggap suatu kesalahan, biarlah aku meminta maaf kepadamu! Lupakan aku, dan bukalah hatimu untuk dapat menerima kehadiran pemuda lain yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati...!"
Ucapan Panji justru membuat air mata gadis itu mengalir turun di pipinya yang halus. Bibirnya yang merah tampak bergetar. Jelas bahwa sehalus apa pun ucapan yang dikeluarkan pemuda itu tetap membuat hati Suntini hancur. Sehingga, hati pemuda tampan itu iba melihat penderitaan gadis di depannya.
"Maafkan aku, Suntini...!" ucap Panji penuh sesal. Kemudian bangkit berdiri dan menyentuh bahu gadis itu yang mulai terguncang menahan isak.
"Kakang...," Suntini berdesah pilu. Disambarnya kedua tangan Panji. Kemudian dilekatkannya ke wajah yang basah oleh air mata. Tangis gadis itu pun semakin menjadi- jadi.
"Suntini..., kau masih muda dan memiliki paras yang cantik. Rasanya tidak sulit bagi pemuda-pemuda gagah untuk jatuh cinta kepadamu. Bahkan aku yakin mereka akan rela mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan cintamu," Panji berusaha menghibur dan menyadarkan Suntini dari kedukaannya. "Kalau saja aku belum memiliki Kenanga, tak sulit rasanya bagiku membalas cintamu. Namun, aku telah memiliki seorang kekasih dan aku sangat mencintainya."
"Tapi, aku rela kau duakan, Kakang! Bagiku asal kau terima perasan hatiku, itu sudah cukup. Kendati hanya menerima sedikit cinta darimu. Aku tak akan menuntut terlalu banyak, Kakang. Percayalah!"
Suntini tetap tidak bisa menerima nasihat dan kata-kata hiburan dari Panji. Bahkan bersikeras mengemis cinta kasih pemuda itu, dengan merelakan dirinya sebagai kekasih kedua. Pendekar Naga Putih rupanya telah merebut seluruh cinta di hati gadis cantik itu.
"Aku tidak bisa, Suntini.... Maafkan aku...!" ujar Panji yang semakin iba melihat betapa gadis cantik seperti Suntini sampai mempermalukan diri sendiri demi mendapatkan cintanya. Ucapan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, kalau cinta kasih Suntini ternyata sudah sedemikian dalam. Sampai-sampai rela diduakan.
"Kalau diriku tak cukup pantas menerima cintamu, biarlah aku menjadi budakmu, Kakang! Asal diperbolehkan ikut ke mana kau pergi, aku sudah merasa bahagia! Apakah untuk menjadi budakmu pun, aku masih belum pantas...?" desak gadis cantik itu yang kali ini memeluk kaki Pendekar Naga Putih dengan kuatnya.
Dapat dibayangkan, betapa hebat perasaan cinta di dalam hati Suntini. Sehingga rela merendahkan dirinya berlutut di depan Panji demi bisa selalu berdekatan dengan pemuda yang telah membuatnya jatuh ke dalam perangkap asmara itu.
Sikap Suntini itu tentu saja membuat Panji kaget bukan kepalang. Cepat disambarnya tubuh gadis itu. Dan dipaksanya bangkit berdiri. Namun, apa yang selanjutnya dilakukan gadis itu, membuat Panji hampir terlompat kaget. Karena begitu dipaksa bangkit dan berdiri dalam Jarak yang sangat dekat, Suntini langsung saja menjatuhkan kepala di dada pendekar muda itu. Kemudian menangis terisak di dada bidang pemuda itu. Sedang kedua tangannya telah melingkar ketat di tubuh Panji.
Karena tak ingin membuat hati gadis itu semakin hancur, akhirnya Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas panjang. Dia khawatir kalau tubuh ramping itu ditelakkan, kendati dengan perlahan, hati Suntini tentu akan semakin sakit. Terpaksalah pemuda berjubah putih itu membiarkan Suntini menumpahkan air mata di dadanya. Panji berharap gadis itu akan segera berlapang dada, setelah tangisnya terhenti nanti. Kemudian menyadari kekeliruannya terhadap sikap baik Pendekar Naga Putih.
"Sudahlah, Suntini, hentikan tangismu! Anggaplah aku kakakmu! Aku tentu akan suka sekali mempunyai adik secantik dirimu."
Setelah menunggu cukup lama Suntini tak juga melepaskan pelukannya, akhirnya Panji mengambil keputusan untuk menganggap gadis itu sebagai saudara. Hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik, menurut pikirannya.
"Tidak, Kakang!" bantah Suntini dengan suara terisak dan masih tetap menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. "Rasa cintaku tidak bisa berubah! Aku lebih suka menjadi budakmu ketimbang menjadi adikmu!"
"Celaka...!" gumam Panji dalam hati. Benar-benar tak disangka kalau Suntini tetap bersikeras memilih menjadi budak ketimbang menjadi adik angkatnya. Sikap gadis itu benar-benar membuat Panji kehilangan akal. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan agar gadis itu menyadari kekeliruannya.
"Sudahlah, Suntini! Jangan siksa dirimu dengan mengharapkan sesuatu, yang kau tahu, tak mungkin bisa aku lakukan. Mari kita bicarakan hal ini baik-baik, dan mencari jalan keluarnya...!" bujuk Panji karena semakin terdorong rasa iba. Dibelainya rambut gadis itu dengan penuh perasaan sayang. Tentu saja rasa sayang itu bukan berarti dirinya membalas dan menerima cinta Suntini. Hatinya memang lebih condong mengasihi gadis itu sebagai saudara.
Namun perlakuan Panji diartikan lain oleh Suntini. Merasakan belaian lembut tangan pemuda itu, perlahan wajahnya terangkat dari dada Panji. Kemudian wajahnya didongakkan, menatap wajah di atasnya. Sehingga ujung hidung gadis itu menyentuh dagu Panji. Serta merta Panji menarik wajah ke belakang dengan halus.
Entah karena sudah terlarut belaian tangan Pendekar Naga Putih, Suntini melakukan tindakan yang sangat mengejutkan Panji. Bagai kerasukan setan, mulutnya menciumi sekujur wajah pemuda yang sangat dicintai itu. Karuan saja pemuda tampan itu kelabakan. Dengan cepat ditolaknya tubuh gadis itu, hingga pelukan Suntini terlepas dan terdorong mundur beberapa langkah. Suntini tersentak kaget merasakan perlakuan Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya terbelalak memancarkan rasa terkejut. Seolah gadis itu sama sekali tak menyangka kalau Panji akan berbuat seperti itu terhadapnya.
"Kau kejam sekali, Kakang...!" rintih gadis dengan suara parau, menggambarkan perasaan hatinya yang tercampakkan. "Padahal aku rela menyerahkan segalanya kepadamu, termasuk hidupku. Tidak sadarkah kalau apa yang baru Kakang lakukan semakin membuat hatiku hancur...!"
Pendekar Naga Putih mengatupkan rahangnya kuat-kuat ketika melihat kilatan mata Suntini yang menyiratkan perasaannya. Namun dia mencoba menguatkan hati, karena kalau dibiarkan berlarut-larut, Suntini akan semakin sakit hati.
"Maaf, kalau perlakuanku kau anggap terlalu kasar, Suntini! Tapi, sadarlah kalau aku tidak bisa membalas perasaan cintamu. Sampai kapan pun aku tetap tak bisa...," tegas Panji yang membuat wajah gadis cantik itu memucat bagaikan tak berdarah.
Bahkan tubuh ramping itu sampai bergetar. Sepertinya penolakan secara tegas itu telah menimbulkan goncangan batinnya. Dengan wajah yang masih pucat, Suntini terlihat menarik napas panjang berulang-ulang. Seakan-akan gadis itu tengah berusaha untuk menahan rasa sakit di dada. Wajah cantiknya berkerut-kerut. Seolah siksaan dalam batinnya demikian nyeri dan menyakitkan.
"Kalau keputusanmu memang sudah tak bisa berubah, baiklah, aku terima dengan hati pasrah, Kakang! Tapi, sebelum kita berpisah, aku mempunyai satu permintaan. Ini yang terakhir kali aku meminta kepadamu...," ujar Suntini dengan suara bercampur isak tertahan, hingga terdengar parau.
"Katakan, apa permintaanmu itu, Suntini? Jika aku sanggup, tentu akan kukabulkan...," sahut Panji sambil menduga-duga apa permintaan yang akan diajukan gadis cantik itu.
"Tidak sulit apa yang akan kuminta, Kakang. Dan kau pasti bisa memenuhinya...," ujar Suntini seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih di hadapannya.
"Katakanlah...!"
"Sekarang aku sadar, bahwa kau memang tak mungkin dapat kumiliki, Kakang. Tapi, paling tidak aku ingin memilikimu untuk beberapa saat. Dan aku akan mengenangnya seumur hidup, jika kau mau memenuhinya..." Sambil berkata begitu, Suntini meraba sabuk yang melilit pinggangnya. Kemudian melepaskannya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Panji.
Pendekar Naga Putih mulai dapat menduga apa permintaan gadis cantik itu. Wajah tampannya berubah kemerahan ketika Suntini hendak melepaskan pakaian yang dikenakan. Karuan saja pemuda itu kaget bukan kepalang. Sungguh tak disangkanya kalau Suntini akan nekat berlaku seperti itu.
"Lakukanlah, Kakang...! Kalau ini pun masih juga kau tolak, kau benar-benar menghancurkan seluruh kehidupanku...," desis Suntini yang mulai memperlihatkan tubuh bagian atasnya.
Tentu saja Pendekar Naga Putih tidak mungkin dapat memenuhi permintaan gila itu. "Berhenti...!" bentaknya dengan suara keras menggelegar. Suntini tersentak kaget. "Kau gila, Suntini...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu. Dia tak peduli bagaimana perasaan gadis itu sepeninggalnya. Pemuda itu benar-benar tak menyangka, kalau perasaan cinta telah membuat Suntini sampai tersesat sedemikian jauh. Sehingga, akal sehatnya tak lagi dapat membedakan mana baik dan buruk.
"Ohhh...!" Melihat betapa tubuh pemuda yang telah merebut seluruh cintanya berkelebat pergi, Suntini jatuh terduduk. Gadis itu merasa malu sekali, dan menangis sedih seraya menutup wajah dengan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih telah menolak permintaan terakhirnya. Padahal semua itu dilakukan Suntini karena perasaan cintanya yang sangat besar. Tentu saja kepergian pemuda pujaannya, membuat hatinya kian hancur.
"Aaakh...!"
Suara teriakan keras terdengar dan kejauhan. Pendekar Naga Putih yang tengah berlari meninggalkan Suntini, langsung menghentikan gerakannya. Suara jeritan perempuan itu membuat keningnya berkerut. Dia tahu jeritan itu datang dari belakang. Tempat Suntini berada.
"Entah pikiran apa lagi yang ada di dalam kepala gadis itu? Mungkin dia hendak mengecoh dengan teriakannya...?" gumam Panji seraya membalikkan tubuh, dan menatap lurus ke tempat Suntini ditinggalkan. Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih tetap tegak dengan tatapan mata lurus ke depan. Hatinya hendak memastikan apa jeritan itu akan terdengar lagi, kalau dia belum muncul? Dan...
"Auw...! Tolong...!"
Pendekar Naga Putih terkejut ketika teriakan itu kembali terdengar. Dari suaranya, Panji menangkap getar ketakuan. Pikirannya melayang, menduga-duga apa kira-kira yang tengah dialami gadis cantik itu.
"Hm..., sebaiknya kulihat dulu. Siapa tahu Suntini benar-benar tengah menghadapi kesulitan."
Panji langsung mengerahkan ilmu lari cepatnya. Seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat, menuju tempat Suntini berada. Pendekar Naga Putih yang semula berniat hanya untuk mengintai, langsung membatalkannya. Karena dilihatnya Suntini tengah dikepung sosok-sosok lelaki kasar, yang tertawa-tawa penuh gejolak nafsu. Kegeraman pendekar muda itu muncul ketika melihat pakaian yang melekat di tubuh Suntini telah terkoyak-koyak. Tanpa pikir panjang, tubuhnya melesat untuk menyelamatkan gadis cantik itu.
"Haiiit! Heaaa...!"
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepaskan tiga kali pukulan berturut-turut. Akibatnya tiga lelaki kasar yang saat itu hendak menerkam tubuh Suntini, jatuh terjengkang memuntahkan darah segar. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kakang...!" Melihat munculnya sosok bayangan putih yang langsung merobohkan ketiga lelaki itu, Suntini tersentak gembira. Kemudian menyeret langkah kakinya sambil menutupi seluruh bagian tubuh yang terlihat.
"Perampok kurang ajar...! Kalian boleh cicipi kepalanku!" geram Panji kembali melesat dengan pukulan dan tendangannya.
"Hih!"
Bukkk! Plakkk!
Serangan cepat yang dilancarkan Pendekar Naga Putih mendarat telak di tubuh empat laki-laki yang tengah berusaha menangkap tubuh Suntini.
"Aaa...!"
"Akh...!"
Teriakan keras terdengar ketika keempat lelaki berwajah kasar itu terhantam serangan Pendekar Naga Putih. Seketika tubuh mereka berpentalan dan menyemburkan darah segar dari mulut.
Srat! Srat!
Dua perampok lain yang merasa penasaran, segera melolos pedang sambil menerjang Panji. Dengan cepat mereka mengayunkan senjata memburu tubuh lawan. Namun...
"Hihhh...!"
Trak!
Dengan cepat Pendekar Naga Putih menyampok tangan mereka seraya mengirimkan pukulan keras. Tak ampun lagi kedua lelaki berwajah kasar itu terjungkal dan mencium tanah.
"Lariii...!" teriak leiaki bermuka codet yang rupanya pimpinan perampok itu. Dan tanpa berpikir dua kali, kawan-kawannya langsung berlari kabur meninggalkan tempat itu. Tampaknya mereka menyadari kalau lawan terlalu berat. Tak mungkin mengadakan perlawanan.
"Kakang...!" Suntini langsung menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Tubuh setengah telanjang itu memeluk erat pemuda berwajah tampan itu Panji tak mampu berbuat apa-apa mendengar tangis gadis itu. Dia memahami kalau Suntini masih dalam keadaan ketakutan. Hanya dengan membiarkannya menangis dalam pelukan, kemungkinan besar Suntini bisa tenang kembali.
"Bahayanya sudah lewat, Suntini...," bisik Panji menenangkan hati Suntini seraya mengelus rambutnya. Rasa ibanya kembali muncul melihat betapa gadis cantik itu harus mengarungi kehidupan yang ganas seorang diri. Namun, tak ada satu pun yang bisa dilakukannya untuk membuat gadis itu terbebas dari kehidupan yang memang diwarnai kekerasan itu.
Suntini masih terisak dalam pelukan Panji. Hal itu cukup lama berlangsung, sampai akhirnya Panji mendorong perlahan tubuh gadis cantik itu. Sebab, kendati bahu Suntini masih terguncang sesekali, dia merasakan betapa debaran jantung gadis cantik itu sudah pulih seperti biasa.
"Siapa mereka, Kakang? Mengapa mereka kelihatan demikian buas...?" tanya Suntini menatap wajah Panji yang begitu dekat dengan wajahnya. Sehingga, sepasang mata bening yang masih basah itu menjelajah sekujur wajah tampan didepannya.
"Hhh..., orang-orang kasar yang biasa mengganggu orang dengan kekerasan. Mungkin mereka hanya kebetulan lewat di tempat ini. Dan ketika melihat gadis cantik seperti dirimu berada seorang diri di tempat ini, mereka tentu saja tidak akan membiarkan...," sahut Panji yang berusaha bersikap wajar, meskipun tahu kalau Suntini kembali tergoda gejolak cintanya. Hal itu bisa dirasakan dari tatapan mata gadis cantik itu yang berbicara banyak meski tanpa kata.
"Kakang Panji, mengapa, tak kau biarkan saja aku hancur di tangan mereka? Untuk apa aku hidup dengan hati yang remuk-redam seperti ini? Rasanya aku lebih baik mati daripada hidup tanpa dirimu, Kakang...," ucap Suntini seraya mendekatkah wajah dan menatap wajah Panji dengan sinar mata redup. Bibirnya yang merah basah tampak setengah terbuka, memberikan tantangan.
Wajah cantik dengan sepasang mata sayu menghiba dan bibir merah menantang itu nyaris menyeret hati Pendekar Naga Putih. Namun, bayangan gadis jelita berpakaian hijau yang melintas di benaknya, membuat pendekar muda itu menarik wajahnya. Bayangan wajah Kenanga yang melintas sekilas, membuat Panji tersadar. Biar dengan alasan apa pun, dia tidak mungkin akan mengkhianati cinta Kenanga.
"Maafkan aku, Suntini...!" desah Panji dengan suara perlahan. Karena dilihatnya kilatan marah dalam pancaran mata gadis cantik itu. Panji bergegas bangkit berdiri.
"Kau benar-benar tak sudi menerima cintaku, Kakang...?" tanya Suntini dengan suara bergetar. Sorot matanya menampakkan perasaan sakit dalam hati gadis cantik itu. Beberapa kali dia memohon kesediaan Pendekar Naga Putih menerima cintanya, tapi pemuda itu tetap tak berubah dengan keputusan semula.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas panjang. Hatinya dapat merasakan apa yang bergejolak dalam hari Suntini saat itu. "Tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pedesaan. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, Suntini. Sekali lagi, harap kau maafkan aku...," ujar Panji dengan nada penuh sesal. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya langsung berkelebat lenyap dari hadapan Suntini.
"Kakang...!" Suntini hanya bisa mengeluh dengan air mata yang kembali mengalir menuruni pipinya yang halus.
"Hm..., adanya peristiwa penculikan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan, akan membuat perjalananku tertunda. Mudah-mudahan Kenanga bisa mengerti akan keterlambatanku...!" gumam Panji yang saat itu tengah menyusuri jalanan berbatu kecil.
Pendekar Naga Putih tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Dengan adanya peristiwa penculikan aneh itu, telah membuatnya merasa berkewajiban untuk menyelidiki dan mengatasi. Namun, karena pamannya Kenanga yang menjadi perwira di Kadipaten Tumapel, meminta mereka datang secepatnya, akhirnya Pendekar Naga Putih meminta pengertian Kenanga.
Disuruhnya gadis itu melanjutkan perjalanan. Sementara dia ingin menyelidiki kejadian itu, dan berjanji akan segera menyusul Kenanga. Namun siapa kira kalau setelah peristiwa yang satu tuntas, muncul lagi peristiwa lain. Karena Pendekar Naga Putih merasa wajib untuk menghentikan penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan itu.
Kepasrahan sikap Suntini yang nyaris menyeretnya, membuat Pendekar Naga Putih tiba-tiba dilanda kerinduan terhadap kekasihnya. Bayangan kemesraan yang ditawarkan Suntini, memang sempat membuat benteng pertahanannya runtuh, karena didorong rasa iba terhadap gadis itu. Untunglah pada saat-saat terakhir, bayangan Kenanga melintas di benaknya. Sehingga, terlepas dari cengkeraman dewi asmara yang nyaris membuat dirinya terlena.
Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas penuh sesal, ketika teringat Suntini. Apalagi gadis itu kini hidup sebatang kara. Panji pun sadar, betapa berat perjalanan hidup yang harus dilalui gadis cantik itu. Karena sebelumnya Suntini merupakan putri seorang hartawan. Tentu saja kehidupan yang kali ini harus dijalani seorang diri, akan semakin terasa sangat berat baginya.
Mengingat semua itulah, timbul perasaan kasihan dalam hati pemuda itu. Sama sekali tak disangka kalau justru perasaan itu pula yang nyaris membuatnya berkhianat terhadap Kenanga. Namun sekarang dia boleh merasa lega karena semua itu tak sampai terjadi. Disadari kalau Suntini menjadi semakin sakit hati terhadapnya.
"Hhh...," Panji kembali menghela napas mengingat Suntini. Dia hanya bisa berdoa agar Suntini mendapatkan seorang pelindung yang lebih baik. Selain itu, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Namun, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menahan langkahnya. Seketika lamunannya buyar. Sesuatu yang mengusik pendengarannya, membuat kepala pemuda itu menengadah dengan kening berkerut. Seakan-akan hendak memastikan suara itu.
"Hm..., mungkinkah yang kudengar barusan suara binatang buas...?" gumam Panji dengan kening berkerut.
Telah dikerahkan ilmu pendengarannya, tapi tak ada sesuatu pun yang tertangkap. Pendekar Naga Putih mulai meragukan apa yang barusan mengusik telinganya. Setelah agak lama berpikir, akhirnya Panji memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Namun, ketika kakinya baru maju selangkah, tiba-tiba....
"Aaa...!" Lengkingan panjang mirip jerit kematian, membuat Pendekar Naga Putih tersentak. Meskipun suara itu masih agak samar terdengar telinga, hatinya dapat memastikan kalau pemilik jeritan itu tengah menghadapi kematian. Atau paling tidak tengah berhadapan dengan sesuatu yang mengerikan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, aku harus mencari sumber jeritan itu..," gumam Panji, mengambil keputusan. Kemudian langsung melesat ke hutan kecil di sebelah kiri jalan yang dilaluinya.
Ketika Pendekar Naga Putih tengah bingung karena belum tahu pasti tempat asal jeritan, tiba-tiba terdengar lagi suara itu. Kali ini terdengar lebih jelas dan keras. Langkahnya segera dipercepat. Namun sayang, kedatangan Pendekar Naga Putih terlambat! Dari jarak sekitar dua puluh tombak di depannya, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat pergi. Kemudian di dekat tempat itu tampak empat sosok tubuh tergeletak di atas rerumputan. Tanpa buang-buang waktu segera kedua kakinya dihentakkan dan melesat menuju tempat itu.
Bagaikan seekor burung besar, tubuh Pendekar Naga Putih melayang di udara. Setelah bersalto beberapa kali tubuhnya melucur ke bawah. Tak terdengar suara sedikit pun saat kedua telapak kakinya menjejak permukaan tanah berumput. Panji yang semula berniat untuk memeriksa empat sosok tubuh di atas tanah itu, membatalkan niatnya. Karena dilihatnya ada darah segar berceceran di atas rerumputan. Juga pada tubuh keempat orang yang tak dikenalnya itu.
"Hhh.... Lengkingan kematian tadi berasal dari keempat lelaki malang ini...," gumam Panji, setelah melihat empat sosok tubuh terkapar berlumuran darah itu sudah tak bernyawa. Sehingga dia tak sempat mengorek keterangan, apa sebenarnya yang menyebabkan mereka terbunuh.
Setelah berpikir sejenak, Pendekar Naga Pulih segera melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pikirannya menyimpulkan, kematian keempat lelaki itu pasti ada hubungannya dengan sosok bayangan yang tadi dilihatnya berkelebat dari tempat itu. Maka pemuda itu memutuskan untuk segera mengejarnya.
Tubuh Pendekar Naga Putih terus melesat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah sempurna. Dalam sekejap saja sosok bayangan putih itu telah berada jauh dari tempat terbunuhnya keempat lelaki tadi. Sejauh itu belum juga ditemukan adanya jejak sosok bayangan yang dicurigainya itu.
"Hm..., pembunuh itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Kalau tidak, mana mungkin bisa menghilang begitu cepat. Hhh... Siapa manusia keji itu? Mungkinkah dia salah seorang dari perempuan-perempuan cantik yang kutemukan beberapa hari lalu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Pendekar Naga Putih dalam keadaan tetap berlari. Sampai akhirnya larinya dihentikan karena sampai di dekat sebuah pedesaan. Dia mengetahui hal itu ketika melihat tak jauh di depan ada seorang lelaki pencari kayu. Melihat pencari kayu itu, timbul keinginan Panji untuk bertanya. Bergegas dihampirinya lelaki bertelanjang dada itu.
"Maaf, Kisanak! Aku ingin bertanya sedikit...," sapa Panji setelah menjajari langkah pencari kayu bakar itu.
"Eh, silakan...," sambut lelaki separo baya yang kulit wajahnya agak kehitaman. Sepasang matanya agak menyipit meneliti sosok pemuda tampan di sampingnya. Wajahnya agak tertegun sesaat ketika membentur mata pemuda berjubah putih itu. Segera wajahnya dipalingkan, karena merasa ada suatu perbawa kuat dalam sorot mata pemuda tampan itu.
"Mmm..., apakah Kisanak melihat ada orang yang barusan berlari melewati jalan ini...?" tanya Panji dengan sikap ramah. Karena sempat dilihatnya dari sorot mata lelaki setengah baya itu perasaan curiga.
"Saya tak melihat, Tuan...," jawab lelaki separuh baya itu dengan jujur. Kemudian menatap Panji sesaat, seperti menunggu kalau-kalau pemuda itu melontarkan pertanyaan lain.
"Terima kasih, Kisanak! Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu...!" ucap Panji yang tidak ingin mengganggu orang tua itu lebih lama lagi. Dan dia percaya dengan jawaban orang tua itu.
Pendekar Naga Putih masih tetap berdiri sambil mengawasi sekitarnya. Sedangkan pencari kayu bakar itu sudah melanjutkan perjalanannya. Panji sempat menghela napas ketika melihat pencari kayu bakar itu sesekali menoleh ke arahnya. Orang tua itu sepertinya belum yakin betul kalau Panji tak akan mengikuti langkahnya.
"Mungkin dia mengira aku orang jahat yang pura-pura bertanya kepadanya...," gumam Panji seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan pencari kayu bakar yang melangkah tergesa meninggalkan tempat itu. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu sudah melesat bagaikan terbang. Gagal menemukan sosok bayangan yang dicari, dia berniat kembali ke tempat kejadian. Keadaan empat sosok mayat itu belum berubah.
Begitu tiba di tempat itu, Panji segera memeriksa satu persatu. Maksudnya hendak mencari tahu kalau-kalau mengenal ilmu pukulan yang menewaskan keempat orang itu. Namun, lagi-lagi Panji harus menelan kekecewaan. Karena keempat mayat itu terbunuh oleh tusukan pedang. Sehingga, sulit diduga siapa pelaku pembunuhan itu.
Akhirnya Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memakamkan mayat-mayat itu. Sementara itu, dugaannya mulai mengarah pada perempuan-perempuan cantik yang pernah bentrok dengannya. Karena, dari salah seorang lelaki yang pernah diselamatkannya, tercetus keterangan bahwa perempuan-perempuan berwajah dingin itu merupakan kelompok penculik dan pembunuh. Sehingga tuduhan lebih kuat jatuh kepada mereka.
Selesai menguburkan keempat mayat itu, Pendekar Naga Putih melesat pergi. Kecepatan gerakannya membuat tubuh pemuda itu tampak seperti tak menapak di atas tanah. Dalam sekejap dia telah sampai di perbatasan sebuah desa. Jalan yang dilaluinya memang tampak sepi. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mempercepat larinya. Pendekar berjubah putih itu baru berhenti ketika memasuki mulut desa.
"Desa Lengser...," gumam Panji membaca huruf-huruf yang tertera pada tugu disebelah kanan jalan yang dilaluinya. Kemudian baru melangkah memasuki mulut desa itu.Matahari sudah bergeser jauh ke barat saat Panji melintas di jalan utama desa. Langkahnya menuju sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu. Kedai kecil itu tampak tidak begitu ramai.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Baru saja langkahnya sampai di depan kedai, terdengar seruan kaget sekaligus gembira. Pendekar Naga Putih yang semula agak kaget mendengar orang menyebut julukannya, tersenyum lebar ketika menoleh tempat asal suara. Terlihat salah satu dari beberapa orang lelaki yang duduk mengelilingi sebuah meja, bergerak bangkit menyambut kedatangannya.
"Gupta...?!" seru Pendekar Naga Putih, menyebut nama lelaki gagah berkumis tipis yang melangkah lebar menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Lelaki gagah berkumis tipis itu ternyata Gupta, salah seorang tokoh persilatan yang pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari kematian. Gupta tampaknya sama sekali tak menyangka akan berjumpa lagi dengan Pendekar Naga Putih. Seorang pendekar besar yang namanya telah tersohor. Tampak di wajahnya rasa gembira begitu melihat dan mengenali pemuda tampan berjubah putih yang datang ke kedai itu.
"Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu, Pendekar Naga Putih!" ucap Gupta menyatakan kegembiraannya seraya menyalami pemuda itu. "Marilah bergabung dengan kami..!"
"Terima kasih...!" sahut Pendekar Naga Putih yang juga gembira dapat bertemu Gupta di Desa Lengser itu. Tanpa ragu lagi, kakinya mengikuti langkah Gupta.
Enam orang lelaki yang rata-rata bertubuh tegap, serentak bangkit berdiri. Bahkan delapan orang di meja sebelah kanan pun ikut menyambut kedatangan pendekar muda itu. Sorot mata mereka memancarkan kekaguman terhadap sosok pendekar muda yang namanya sangat tersohor di rimba persilatan.
Empat belas orang lelaki itu tampak saling berebutan menyalami Pendekar Naga Putih, yang tampak tersenyum penuh persahabatan. Hatinya pun gembira melihat sikap para lelaki gagah yang bersikap tulus dan bukan hanya sekadar basa-basi. Baru kemudian dia duduk di bangku yang telah disediakan Gupta.
Gupta langsung memanggil pelayan kedai. Kemudian memesan hidangan untuk Panji. Lelaki itu tak mampu menyembunyikan kegembiraan hatinya. Wajahnya tampak cerah dan penuh senyum. Seolah menganggap Pendekar Naga Putih sebagai seorang tokoh yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya.
"Hm..., kelihatannya kesehatanmu sudah pulih benar, Gupta...," ujar Pendekar Naga Putih seraya menatap lelaki gagah berkumis tipis itu untuk beberapa saat.
"Semua ini berkat pertolonganmu Pendekar Naga Putih. Kabar yang selalu kudengar tentang namamu tampaknya, tak berlebihan. Selain terkenal ilmu kedigdayaan, kiranya kau memang seorang ahli pengobatan yang sukar dicari bandingannya. Beruntung sekali aku mendapatkan pertolonganmu saat itu. Kalau tidak, mungkin hari ini aku masih terbaring di tempat tidur sembari merintih-rintih kesakitan. He he he...!" Gupta mengakhiri ucapannya dengan tawa panjang, yang juga disambut kawan-kawannya.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan Gupta. Kemudian matanya menatapi empat belas wajah tokoh-tokoh persilatan yang tadi menyambut kedatangannya.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku, Pendekar Naga Putih. Dan kami telah bertekad untuk memberantas para perempuan keparat itu. Perjalanan kami terpaksa tertahan di Desa Lengser ini, karena ada berita yang tak kalah mengejutkan dengan perbuatan iblis-iblis itu...," jelas Gupta tanpa diminta
"Hm… Apa yang telah terjadi di desa ini...?" tanya Panji dengan kening berkerut. Tampak dia sangat tertarik untuk mengetahui berita yang dimaksud Gupta.
"Wah..., lagi-lagi kau ketinggalan berita, Pendekar Naga Putih," tukas Gupta tertawa perlahan. "Yang kami dengar, belakangan ini telah terjadi penculikan terhadap wanita- wanita muda. Dan, baru semalam Desa Lengser dijarah penculik-penculik itu. Kami telah mendapatkan keterangan langsung dari Ki Lengser, kepala desa ini..."
"Ki Lengser...?" desis Panji agak heran mendengar nama penguasa yang sama dengan desanya.
"Benar. Namanya sendiri sudah dilupakan orang. Menurut sebagian penduduk, lelaki tua yang bijaksana itu sudah tiga puluh tahun menjadi kepala desa. Di bawah pimpinannya, desa yang semula kecil ini berkembang pesat dan cukup makmur. Sehingga, penduduk memberikan nama Lengser untuk desa ini. Barangkali hal itu sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka. Dengan demikian, para warga tak akan pernah melupakan kepala desa mereka, meskipun telah wafat nanti...," Gupta memberi penjelasan kepada Pendekar Naga Putih, sehubungan dengan nama kepala desa itu.
"Hm...," Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam dia merasa kagum terhadap Gupta. Padahal lelaki gagah berkumis tipis itu baru setengah hari berada di Desa Lengser. Namun telah demikian banyak keterangan yang didapatnya. Itu yang membuat Pendekar Naga Putih kagum terhadap Gupta.
"Jadi, kau telah berbicara banyak dengan Ki Lengser...?" tanya Panji kemudian.
"Benar. Itu sebabnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Kami khawatir kalau para penculik itu akan datang lagi," sahut Gupta dengan mata berapi-api. Tampak Gupta sangat geram terhadap para pelaku penculikan itu.
"Hm..., jadi selain harus memberantas para perempuan keji itu, kita pun harus menghadapi pelaku penculikan itu...?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah Gupta.
"Yah, begitulah...," sahut Gupta cepat.
Pendekar Naga Putih terdiam. Pandangannya dilemparkan ke luar kedai melalui jendela yang terbuka lebar. Suasana hening seketika. Semua terdiam mengikuti jalan pikiran masing-masing.
Perempuan muda itu berlari tersaruk-saruk. Langkahnya yang tidak tetap, menandakan bahwa kaki-kaki mungil itu telah kelelahan karena berlari terlalu jauh. Sehingga, ketika kaki kanannya terantuk batu kecil, tubuh ramping itu terhuyung limbung. Akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah.
Blukkk!
"Ohhh...!" Terdengar keluhan kecil dari mulutnya. Perempuan muda itu tak berusaha bangkit. Wajahnya yang kotor tampak meringis-ringis menahan sakit. Air matanya meleleh di pipi, sepertinya ada kesedihan yang melanda hatinya.
"Ya, Tuhan...! Kenapa tak kau cabut saja nyawaku! Aku tak sanggup menanggung beban derita ini..," rintihan pilu yang menggambarkan penderitaan, terucap dari mulut perempuan muda itu. Kedua tangannya memukul tanah berkali-kali. Wajahnya menelungkup tanpa peduli tanah berdebu di jalanan itu. Entah penderitaan apa yang membuat gadis itu demikian sedih dan putus asa.
Setelah puas menumpahkan tangis dan kegundahannya, gadis itu pun bangkit dengan perlahan. Sepasang matanya tampak sangat sayu tanpa gairah untuk hidup. Kakinya yang lemah itu kembali melangkah gontai tanpa semangat. Di tepi sebuah sungai yang menjorok, langkah gadis muda itu terhenti. Wajahnya yang basah air mata itu menengadah, menatap langit. Kemudian menatap arus air sungai yang bergemuruh di bawahnya.
"Tidak ada gunanya lagi aku hidup...! Biarlah derita ini kubawa ke alam keabadian..!" desis gadis itu dengan wajah pucat dan tatapan kosong. Lama gadis berwajah cantik itu menatap sungai berarus deras di bawahnya, batu-batu besar yang menyembul di atas permukaan air, seakan telah siap menyambut tubuh ramping itu. Namun, gadis itu kelihatannya tak merasa gentar. Dia telah mengambil keputusan bulat untuk mengakhiri penderitaan di tempat itu.
"Ayah...! Ibu...!" desahnya dengan air mata bercucuran. "Ampunilah anakmu...!" Usai berkata demikian, matanya dipejamkan rapat-rapat. Seakan-akan dirinya telah siap untuk melompat ke bawah, tempat batu-batu besar itu siap menyambut tubuhnya.
"Jangan lakukan perbuatan bodoh itu, Adik Manis...!" Tiba-tiba terdengar suara teguran halus. Belum juga gadis itu menoleh, tubuhnya tertarik ke belakang. Sepasang tangan halus terasa menyentaknya dengan kuat. Sehingga tubuh gadis itu terhempas ke atas rerumputan.
"Akh...!" Gadis muda berwajah manis itu menjerit kecil. Sepasang matanya tampak menyiratkan keterkejutan dan marah. Sebelum bangkit, kepalanya didongakkan menatap sosok yang telah berani mencegah perbuatannya. Kilat kemarahan di mata gadis itu seketika berubah keheranan. Karena dilihatnya ada dua orang wanita cantik berpakaian merah muda tengah berdiri tegak di sampingnya. Wajah kedua wanita itu tampak sangat ramah dan terhias senyum manis.
"Siapa kalian...? Mengapa menghalangiku...?" tanya gadis manis itu dengan mata menatap keduanya. Setelah itu dia bangkit tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Kau tidak perlu takut kepada kami, Adik Manis! Kami berdua justru hendak menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuatmu berduka hati, lalu hendak bunuh diri seperti itu? Kami siap membantumu..."
Salah seorang dari wanita muda berwajah cantik itu menyahuti. Suaranya terdengar lembut. Seolah dia benar-benar hendak menolong dengan hati yang tulus.
"Kalian hendak menolongku? Mengapa...? Untuk apa kalian tahu tentang penderitaanku...?" tukas gadis itu dengan nada melecehkan. Seakan-akan hatinya tak percaya ada orang yang peduli dengan penderitaannya. Lebih-lebih kedua orang itu wanita, seperti dirinya.
"Kami berdua merasa iba melihat kesedihanmu. Dan untuk menolongmu, tentu saja kami harus mengetahui penyebab penderitaanmu itu," sahut perempuan berpakaian merah muda yang memiliki tahi lalat di tepi bibir kanannya. Sedang perempuan yang satu lagi hanya diam mendengarkan.
"Bagaimana kalian dapat menolongku?" tanya gadis itu masih tidak percaya. Kemudian ditatapnya kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. "Apakah kalian peri sungai ini?"
Mendengar pertanyaan itu, perempuan cantik yang bertahi lalat tertawa perlahan. Sedangkan perempuan yang lain menahan senyum. Pertanyaan itu mereka anggap lucu.
"Dengarlah, Adik Manis," ujar perempuan cantik bertahi lalat yang ternyata Ningrum. "Hhh..., kami bukan peri sungai ini, tapi percayalah, kami dapat menolongmu! Katakan apa yang harus kami lakukan untuk melenyapkan penderitaanmu?"
"Hm..., apa yang dapat dilakukan perempuan-perempuan cantik dan lemah seperti kalian...?" tanya gadis muda itu dengan senyum tipis di mulutnya. Tampaknya dia belum percaya kemampuan kedua perempuan cantik di hadapannya.
"Banyak yang bisa kami lakukan," sahut Ningrum tersenyum. "Contohnya ini...!" Setelah berkata demikian, Ningrum mengayunkan lengannya. Dan....
Whuuut! Crab!
Seketika beberapa batang pohon pisang yang berada sekitar tiga tombak dari mereka bertumbangan laksana tertebas pedang.
"Akh...?!" Gadis desa yang berwajah manis itu terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak percaya menyaksikan kejadian itu. Betapa tidak! Tangan halus lembut perempuan berpakaian merah muda itu ternyata mampu menebas beberapa batang pohon dalam sekali gerakan cepat.
"Bagaimana? Apa kau masih belum percaya kalau kami dapat menolongmu...?" tanya Ningrum seraya tersenyum sinis.
"Tapi..., dengan apa nanti aku harus membalas pertolongan yang kalian berikan...?!" tanya gadis desa itu bimbang. Hatinya sudah percaya penuh, kalau kedua perempuan itu dapat menolongnya. Hanya dia masih meragukan balasan atas jasaa perempuan-perempuan cantik itu kelak.
"Hi hi hi...!" Ningrum tertawa perlahan, membuat gadis manis itu heran. "Kenapa harus membalas, Adik Manis? Hm.... Jika segalanya telah selesai, ikutlah bergabung dengan kami...!"
"Bergabung. ?" tanya gadis desa itu agak heran.
"Benar, Adik Manis. Dan aku yakin kau pasti akan senang. Karena di tempat tinggal kami, kau akan mempunyai banyak teman. Mereka perempuan-perempuan seusia kita. Selain itu pada mulanya mereka mempunyai penderitaan sama seperti dirimu. Bagaimana? Bersedia...?" tanya perempuan cantik, kawan Ningrum.
"Mereka semuanya perempuan...?" tanya gadis desa itu menegasi. Karena seakan belum percaya kalau di dunia ini begitu banyak wanita yang menderita dan berkumpul di suatu tempat.
"Benar. Apa yang dikatakan Wilasih benar...," sahut Ningrum menimpali ucapan kawannya yang ternyata bernama Wilasih. "Dan tempat tinggal kami berada di sebuah lembah yang bernama Lembah Hitam,"
Wilasih kembali menyahut sebelum gadis desa itu menanyakannya. "Tapi jangan kau salah mengartikan Lembah Hitam yang kami maksud, bukanlah tempat perempuan- perempuan kotor..."
"Pada mulanya kami pun merupakan perempuan-perempuan lemah yang menderita. Namun, setelah sekian tahun dididik ketua kami, hasilnya seperti yang kau saksikan tadi. Padahal itu belum seberapa. Masih banyak yang dapat kami perbuat selain mematahkan batang pohon itu," jelas Ningrum menambahkan.
Mendengar penjelasan kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu, gadis desa itu jadi tertarik. "Eh, apakah kalian berdua juga disakiti laki-laki...?" tanya gadis desa itu seraya menatap wajah Ningrum dan Wilasih yang juga menatapnya.
"Benar," sahut Ningrum cepat "Dan pertanyaanmu itu secara tak sengaja telah menjawab pertanyaan kami tadi. Sekarang ceritakanlah! Bagaimana sampai kau bisa disakiti laki-laki...?"
"Mulanya aku tidak menyangka kalau Sidanta akan sejahat itu. Kebusukan hatinya baru kuketahui setelah dia mengambil dan menikmati tubuhku. Padahal aku begitu mencintainya. Tapi, setelah kesucianku dilahapnya dengan rakus, tahu-tahu dia akan menikah dengan seorang putri juragan kaya di desa lain.... Aku hanya bisa menangis ketika mendengar berita itu. Diriku dicampakkan begitu saja bagai seonggok sampah!" jelas gadis desa yang malang itu membeberkan penyebab penderitaannya. Air matanya kembali mengalir ketika teringat pengkhianatan kekasihnya.
"Hm... Sungguh malang nasibmu. Adik Manis! Sekarang, katakan di mana pemuda keparat bernama Sidanta itu tinggal? Kami akan menyeretnya ke hadapanmu! Setelah puas menyiksanya, baru kita membunuhnya..!" tukas Ningrum dengan mata berapi-api. Tampak sinar dendam dalam tatapan matanya yang tajam. Wanita cantik itu berubah dingin dan seakan menebarkan hawa maut.
"Sidanta tinggal satu desa denganku. Dia anak seorang juragan kaya yang banyak mempunyai tukang pukul. Mereka bengis-bengis dan memiliki kepandaian silat..," jawab gadis desa itu menerangkan dengan suara takut-takut. Seakan hatinya merasa gentar ketika melihat wajah kedua perempuan cantik itu berubah bengis dan menyeramkan.
"Hm..., kau tunggulah di sini! Kami akan segera menyeret pemuda keparat itu ke tempat ini..," ujar Ningrum yang segera memberikan isyarat kepada Wilasih untuk segera pergi.
"Tapi, bagaimana denganku? Aku takut ditinggal sendiri di tempat ini...?" ujar gadis desa itu sembari mengawasi sekelilingnya yang sepi.
Semula Ningrum dan Wilasih agak kebingungan. Namun wajah mereka berubah ketika melihat adanya sesosok bayangan merah tengah bergerak menuju tempat itu.
"Jangan khawatir! Kau akan ditemani kawan kami. Itu dia datang!" ujar Ningrum sambil menunjuk sosok bayangan itu.
Tidak lama kemudian, sosok bayangan merah muda itu tiba. Kelihatannya perempuan itu sama sekali tak merasa heran menemukan adanya seorang gadis desa berwajah manis.
"Jagalah gadis ini! Kami berdua melakukan 'tugas'," ujar Ningrum setengah memerintah.
"Baik," sahut perempuan cantik yang baru tiba itu. Seakan dia telah mengerti apa yang dimaksud 'tugas' oleh Ningrum. Sehingga tidak banyak bertanya lagi.
Setelah berpesan, Ningrum mengajak Wilasih segera meninggalkan tempat itu. Dengan mengerahkan ilmu lari cepat yang tinggi, kedua perempuan cantik itu melesat. Sebentar saja yang tampak hanya dua soosk bayangan kemerahan di kejauhan.
Desa Tiram tampak tidak begitu ramai ketika Ningrum dan Wilasih melintas di jalan utama yang membelah desa itu. Beberapa penduduk yang sempat berpapasan dengan mereka menggeleng-geleng kagum. Hal itu tak aneh. Kedua perempuan itu memang cantik. Apalagi pakaian merah muda yang dikenakan, membuat kulit lengan dan wajah mereka tampak semakin putih. Sehingga, sosok kedua perempuan itu cukup menarik perhatian kaum lelaki.
Ningrum dan Wilasih sama sekali tidak peduli. Mereka terus melangkah dengan tatapan lurus ke depan. Wajah-wajah dingin tanpa senyum itu membuat orang merasa segan untuk menegur. Sehingga, keduanya tak mendapat hambatan untuk segera sampai di tempat tujuan. Di depan sebuah rumah besar yang dijaga dua orang tukang pukul, mereka berhenti. Tentu saja kedatangan dua perempuan cantik itu membuat mata penjaga itu melotot. Keduanya tersenyum nakal menggoda.
"Benarkah ini tempat tinggal Sidanta...?" tanya Ningrum tanpa basa-basi. Suaranya angkuh dengan wajah dingin tanpa senyum.
"Hm.... Untung kau seorang perempuan cantik. Kalau tidak, salah mengucap seperti itu sudah cukup sebagai alasan bagi kami untuk menghukummu, Nisanak...!" sahut salah seorang dari tukang pukul itu memasang wajah angker kepada Ningrum dan Wilasih.
"Hm..., rupanya kalian berdua tuli! Aku bertanya, apakah si keparat Sidanta tinggal di rumah ini?" tanya Ningrum, sama sekali tak menggubris ancaman tukang pukul itu. Bahkan ditambahkan kata-kata makian bagi Sidanta, yang seharusnya disebut sebagai tuan muda.
"Heh! Kau malah semakin kurang ajar, Nisanak! Di sini yang ada Tuan Muda Sidanta, tahu! Hati-hati kalau bicara, Nisanak!" sahut tukang pukul yang berkumis tebal melintang. Kelihatannya lelaki gagah itu sengaja memelihara kumis agar penampilannya lebih menakutkan. Namun semua itu sama sekali tak membuat Ningrum gentar.
"Jadi benar rumah ini tempat kediaman pemuda keparat yang bernama Sidanta?!" Tanpa mempedulikan wajah garang kedua tukang pukul itu, Ningrum langsung bergerak masuk diikuti Wilasih. Tentu saja kedua penjaga itu kaget melihat tindakan mereka.
"Hei, mau ke mana kalian? Berhenti...!" bentak tukang pukul berkumis tebal itu, sambil berlari menghadang di jalan masuk. Wajahnya yang garang menatap penuh ancaman kepada kedua perempuan cantik itu.
"Minggirlah, Manusia Tak Berguna...!" bentak Ningrum sambil menghentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Serangkum angin keras bertiup, menandakan bahwa dorongan telapak tangan halus itu dialiri tenaga dalam yang kuat.
"Heh...?!" Tukang pukul berkumis tebal melintang itu tersentak kaget. Namun lelaki bertubuh kekar itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Bahkan sengaja jemari tangannya dijulurkan dengan senyum kurang ajar. Sepertinya dia sudah membayangkan betapa halusnya kulit lengan perempuan cantik itu. Tapi....
"Huhhh...!"
Trak!
Ningrum mendengus sengit sambil memutar tangannya dengan kecepatan mengagumkan. Secepat kilat pergelangan tangan tukang pukul itu telah tercekal. Dengan cepat dan keras Ningrum segera menyentakkannya.
"Hiaaat...!"
Wrettt!
"Ukhhh...!"
Tukang pukul berkumis tebal melintang itu terpekik kaget. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terjerembab ke belakang. Belum lagi dia menyadari keadaan, jemari tangan lembut yang mencekal pergelangan tangannya terlepas. Lalu telapak tangan mungil itu meluncur ke dadanya.
Blukkk!
"Akh...!"
Telapak tangan Ningrum mendarat telak di dada kanan lawan. Tubuh tukang pukul itu terpental deras ke belakang.
Brukkk!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tegap itu terbanting keras ke tanah. Terdengar suara merintih dari mulutnya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuh. Dan dari sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir menandakan luka dalam yang parah.
"Perempuan setan...!" tukang pukul yang bertubuh gemuk memaki kaget. Tanpa pikir panjang lagi, tangannya langsung menghunus senjata. Rupanya lelaki gemuk itu tak berani memandang ringan perempuan di depannya. Karena sekali gebrak saja kawannya roboh tak berdaya. Kenyataan itu membuatnya harus bersikap hati-hati.
"Simpan makianmu, Anjing Keparat...!" Belum lenyap suara bentakan itu, Wilasih sudah melesat dengan sebuah tendangan keras ke dagu tukang pukul bertubuh gemuk itu.
"Hiaaa...!"
"Hih!"
Tukang pukul bertubuh gemuk itu rupanya mengetahui gerakan cepat lawan, sehingga dengan cepat melangkah mundur. Tendangan keras Wilasih luput dari sasaran. Bahkan dengan cepat tukang pukul itu membabatkan pedangnya. Namun....
"Hiaaa...!"
Bukkk!
"Huakhhh...!"
Perempuan cantik itu ternyata lebih cepat mendaratkan serangannya. Sebuah tendangan susulannya yang dilakukan dengan gerak berputar, membuat tubuh lawannya terhempas ke belakang. Telapak kaki mungil berisi tenaga dalam kuat itu tahu-tahu telah menghantam dada lawan. Karuan saja lelaki gemuk itu memuntahkan darah segar.
"Keparat..! Siapa kalian sebenarnya? Dan ada urusan apa dengan majikan muda kami..?!" bentak tukang pukul berkumis lebat yang sudah bangkit berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah pedang. Matanya baru terbuka setelah melihat kawannya terbanting muntah darah.
Namun, baik Ningrum maupun Wilasih sama sekali tak menjawab. Keduanya saling bertukar pandang sesaat. Kemudian tampak mereka saling menganggukkan kepala, seakan telah saling sepakat untuk melakukan sesuatu. Dan....
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan melengking, kedua perempuan cantik itu melesat cepat ke atas. Dan seketika itu juga tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Siiing! Siiing!
Bret! Bret!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Teriakan keras terdengar dari mulut kedua tukang pukul itu. Sekejap kemudian tubuh mereka terbanting ke tanah. Darah segar mengalir membasahi tubuh yang terbeset mata pedang. Sesaat lamanya kedua tubuh berlumur darah itu menggelepar-gelepar di tanah. Terdengar rintihan kesakitan dari mulut mereka.
"Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan menikmati hidup lebih lama...!" desis Ningrum dengan sepasang mata menatap penuh kepuasan. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis yang mengerikan.
"Hm..." dengus Wilasih yang juga menatap kedua tubuh sekarat itu.
"Mari kita cari si keparat itu...," ajak Ningrum setelah tubuh kedua tukang pukul itu diam tak bergerak lagi nyawa mereka telah melayang keakherat. Dalam sekejap, kedua tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu sudah lenyap di balik pintu gerbang. Perempuan-perempuan haus darah itu siap melanjutkan tindakannya.
"Hei, berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang membuat langkah Ningrum dan Wilasih terhenti. Tampak sosok-sosok bayangan berlompatan dan langsung mengepung kedua perempuan cantik itu.
"Siapa kalian...?" tegur seorang lelaki bercambang bauk yang bagian dadanya terbuka, memperlihatkan bulu-bulu halusnya. Sepasang matanya menatap tajam kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. Suara jerit kematian dua orang tukang pukul tadi tampaknya telah mengundang kedatangan mereka. Terbukti delapan orang tukang pukul lainnya sudah menggenggam pedang di tangan.
"Sebenarnya aku sama sekali tak punya kepentingan dengan kalian! Dan aku pun enggan mengotori tangan dengan darah kalian! Sebaiknya cepat panggil keluar pemuda keparat yang bernama Sidanta! Kalau tidak, kalianlah yang akan lebih dulu kukirim ke akherat!" sahut Ningrum dengan sepasang mata mencorong penuh kebencian.
Namun ancaman itu tampaknya tak membuat mereka gentar, bahkan sebaliknya. Mereka geram dan marah. Wajah-wajah sangar itu tampak memerah.
"Perempuan sundal! Apa kalian pikir rumah milik bapak moyangmu?! Enak saja kau mengumbar bacot! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, agar lain kali tak sembarangan membuka mulut!" geram lelaki brewok itu yang langsung memberi isyarat dengan gerak tangannya untuk meringkus kedua perempuan cantik itu.
"Sebaiknya mereka jangan dibunuh dulu, Kakang," usul salah seorang tukang pukul yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna hitam. "Kita tangkap saja! Setelah kita 'kerjai' beramai-ramai sampai puas, baru kita habisi..."
"Hm..., begitu pun bagus...!" sahut lelaki brewok yang rupanya pemimpin para tukang pukul di rumah besar itu. Wajahnya tampak menyeringai membayangkan betapa nikmat tubuh-tubuh ramping, padat dan berkulit putih halus itu. Sehingga ditelannya air liur yang terkumpul di mulut. Matanya yang beringas menatap wajah kedua perempuan cantik di hadapannya.
Tukang-tukang pukul lainnya yang mengurung tempat itu saling menyahut menyetujui. Mereka tampak menjilati bibir sambil membayangkan kehangatan tubuh Ningrum dan Wilasih yang sintal itu. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan air liur, karena begitu bernafsu. Ucapan para tukang pukul itu membuat mata kedua perempuan cantik itu berubah penuh kebencian. Kilatan dendam dan sakit hati, membuat wajah-wajah cantik itu berubah merah. Hawa maut pun seketika menyelimuti mata tajam keduanya.
"Serbuuu...!"
Tukang-tukang pukul itu rupanya terlalu menganggap ringan kedua lawannya. Teriakan lelaki brewok pimpinan mereka, membuat tukang-tukang pukul itu berlompatan maju. Seolah semua saling berlomba untuk lebih cepat menjamah tubuh molek itu.
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Suara lengkingan nyaring terdengar mengejutkan. Dan, kedua tubuh perempuan berpakaian merah muda langsung melesat ke kiri dan kanan. Entah kapan mencabutnya, tahu-tahu di tangan keduanya telah tergenggam pedang berkilat.
Wut!
Cras! Jrab!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Empat orang tukang pukul meraung keras. Wajah mereka berkerut menahan rasa sakit yang luar biasa. Karena tangan kiri mereka yang semula hendak meraba dan meremas tubuh gadis-gadis cantik itu telah tertebas pedang dan buntung. Tentu saja mereka tidak menyangka kalau kedua orang perempuan cantik itu bergerak demikian cepat. Hingga, mereka tak sempat menghindari.
"Iblis...!" Lejaki brewok itu terkejut setengah mati. "Bunuh mereka...!"
"Yeaaat..!"
Tanpa menunggu anak buahnya bergerak, lelaki brewok itu sudah menerjang maju dengan teriakan keras. Tangan kanannya memutar pedang dengan kecepatan tinggi. Sepertinya baru disadari kalau perempuan-perempuan cantik itu tak bisa dipandang ringan. Terbukti dengan sekali gebrak saja empat orang anak buahnya telah kehilangan lengan.
Kenyataan yang mengejutkan itu membuatnya tak mau gegabah dalam melancarkan serangan. Bukan hanya lelaki brewok itu saja yang menjadi marah. Lima orang tukang pukul lainnya pun sudah serentak berlompatan maju dengan sambaran pedang yang berdesingan.
Gerakan pertama Ningrum dan Wilasih benar-benar telah membuat tukang-tukang pukul itu kalap. Semua itu terlihat dari gencar dan ganasnya serangan mereka. Namun kedua perempuan itu hanya mendengus penuh ejekan. Keroyokan itu tampaknya sama sekali tidak membuat hati mereka gentar, bahkan keduanya langsung melesat maju menyambut serangan lawan. Dalam sekejap saja pertarungan sengit pun berlangsung.
Untuk kali ini para tukang pukul yang biasanya galak itu benar-benar ketemu batunya. Sebab, kendati mereka telah menguras tenaga dan kemampuan untuk mendesak lawan, tetap saja mereka tak mampu berbuat banyak. Bahkan serangan balasan kedua perempuan itu membuat mereka kaget. Hingga....
"Hiaaa...!"
Bret! Bret!
"Aaa...!"
Dua orang tukang pukul terpental keluar dari arena pertarungan. Mereka terbanting di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Nyawa mereka melayang seketika. Kedua orang perempuan cantik itu sepertinya telah berubah menjadi makhluk-makhluk haus darah yang buas. Kendati dua orang lawan kembali telah menjadi korban senjata mereka, keduanya belum merasa puas. Pedang di tangan mereka terus berkelebat memburu korban berikutnya.
Wuttt! Trang!
"Akh!"
Lelaki brewok yang menjadi kepala tukang pukul itu masih sempat menggerakkan pedangnya, menyambut sambaran pedang Ningrum yang mengancam perutnya. Namun untuk itu dia terpaksa harus merasakan lengannya linu. Karena tenaga dalam lawan masih lebih kuat dari tenaganya. Sehingga, kuda-kudanya tergempur mundur beberapa langkah. Ningrum sendiri tampaknya tidak mau bertele-tele. Pedang di tangannya berputar cepat bersilangan dua kali. Sehingga, lawan yang belum siap memperbaiki kedudukannya terpaksa hanya bisa terpekik saat mata pedang membeset tubuhnya.
Brettt!
"Aaargh...!"
Lelaki brewok itu meraung keras. Darah segar muncrat membasahi permukaan tanah. Tubuh kekar itu langsung ambruk dan tewas. Dua buah luka memanjang yang dalam di dada dan perut membuat dirinya tak mampu lagi bertahan hidup.
Pada saat yang hampir bersamaan, tukang pukul yang tinggal seorang itu pun mengakhiri nyawanya di ujung pedang lawan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja enam orang tukang pukul yang biasa menyombongkan kepandaiannya itu, harus menyerahkan nyawa di tangan dua orang perempuan cantik. Benar-benar sukar untuk dipercaya!
Empat orang tukang pukul yang lengannya putus sebatas pergelangan, menatap ketakutan. Kematian kawan-kawan mereka bagaikan mimpi buruk yang sukar dipercaya. Namun, kenyataan itu jelas-jelas terpampang di depan mata mereka. Tidak bisa dibantah lagi!
"Hm...!"
Setelah menyelesaikan perlawanan para tukang pukul yang mengeroyok, kedua orang perempuan cantik yang haus darah itu memalingkan wajah dengan dengusan kasar. Karuan saja wajah empat orang tukang pukul itu semakin ketakutan.
"Celaka...!" desis salah seorang dari mereka yang mulai berkeringat dingin. Karena kedua kakinya sukar sekali untuk diajak berlari meninggalkan tempat itu. Matanya hanya bisa menatap putus asa menunggu maut yang siap menjemput.
Hal itu juga dialami tiga orang tukang pukul lainnya. Kedua kaki mereka yang gemetar, sulit sekali untuk digerakkan. Kekejaman kedua perempuan itu benar-benar telah membuat keberanian dan kegalakan mereka terbang entah ke mana. Sekarang mereka hanya bisa menatap putus asa menanti kematian.
"Sebaiknya kita habisi saja mereka...," ujar Wilasih dengan sorot mata memancarkan dendam dan kebencian yang dalam.
Ningrum sama sekali tidak menyahut. Hanya kepalanya yang mengangguk sebagai tanda setuju. Karena dia memang sudah bertekad untuk membasmi habis seluruh makhluk hidup di dalam rumah besar itu. Jangankan manusia. Hewan peliharaan pun akan dihabisi jika tampak di depan matanya. Sepertinya rasa benci telah terbakar hebat dalam hati perempuan itu.
"Ampun...! Ampunkan kami, Nisanak...!"
Karena rasa takut demikian kuat menghantui perasaan mereka, tanpa malu-malu keempat tukang pukul itu saling menjatuhkan tubuh dan berlutut di depan dua perempuan cantik yang tampak beringasitu. Namun, ucapan itu justru semakin membakar kebencian di hati Ningrum dan Wilasih. Dengan langkah perlahan mereka bergerak maju. Dan....
Wuttt!
Crak! Crak...!
Empat buah kepala langsung menggelinding lepas dari leher mereka. Benar-benar sadis sekali! Kedua perempuan cantik itu sanggup memenggal kepala lawan dengan bibir tersenyum sinis!
"Mari kita cari Sidanta keparat itu...," ajak Ningrum seraya memutar tubuh dan bergerak memasuki bangunan. Tanpa menjawab, Wilasih langsung mengikuti langkah Ningrum.
Terdengar jerit kematian susul-menyusul dari dalam rumah besar itu. Tampaknya Ningrum dan Wilasih sudah seperti bukan manusia lagi. Siapa saja yang ditemui, langsung dibantai tanpa ampun! Rupanya kemarahan mereka belum terlampiaskan.
Tidak lama kemudian, terlihat keduanya melesat ke luar bangunan. Seorang pemuda tampan bertubuh tegap terlihat tak berdaya diseret kedua orang perempuan kejam itu. Di kedua sisi kepala pemuda itu tampak mengalir darah segar yang tak henti. Darah itu berasal dari telinga yang telah kehilangan daunnya. Rupanya Ningrum dan Wilasih telah membabat putus daun telinga pemuda itu.
"Apa yang kau rasakan sekarang masih belum cukup, Sidanta! Kau harus merasakan betapa sakitnya sebuah penderitaan...!" geram Ningrum sambil terus menyeret tubuh pemuda yang hanya bisa merintih kesakitan itu.
Tiba di luar bangunan, mereka langsung mengerahkan ilmu lari cepat. Tidak dipedulikan lagi betapa tubuh Sidanta terguncang-guncang terseret di tanah. Rupanya rasa sakit hati telah membuat perempuan-perempuan cantik itu berubah buas dan biadab.
"Itu mereka datang...!"
Wanita cantik berpakaian merah muda yang tengah duduk itu bergegas bangkit, lalu menunjuk ke satu arah. Sedangkan gadis desa yang duduk di sebelahnya turut bangkit. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata bengkak karena terlalu banyak menangis, menatap dengan kening berkerut.
"Kakang Sidanta...?!" Bibir gadis desa itu bergetar perlahan mengucapkan nama Sidanta. Seketika itu juga kesenduan wajahnya berubah garang. Kilatan dendam tergambar jelas pada wajah dan tatapan matanya. Langkahnya bergerak maju menyambut kedatangan Ningrum dan Wilasih yang menyeret tubuh seorang pemuda yang tak lain Sidanta.
"Hm..., bagaimana, Adik Manis? Apa hasil kerja kami belum memuaskan...?" tanya Ningrum sambil melemparkan begitu saja tubuh Sidanta ke hadapan gadis cantik itu.
"Winarti...?!" Pemuda tampan bertubuh kekar yang bernama Sidanta itu menatap sosok gadis cantik di depannya sembari menekap kedua telinganya yang sudah tak berdaun lagi.
"Hmh...!" Gadis desa yang dipanggil Winarti hanya mendengus kasar. Sorot matanya tak lagi menyiratkan keluguan. Bahkan telah berubah garang! Siap menumpahkan dendam dan sakit hatinya. "Kau masih ingat padaku, Sidanta...?" tegur Winarti dengan tarikan bibir penuh ejekan. "Bagus! Dengan demikian, berarti kau pun tahu bagaimana rasanya dicampakkan seperti sampah oleh orang yang sangat dicintai...!" Setelah berkata demikian Winarti melangkah maju dengan mata menatap penuh perasaan dendam.
"Winarti...! Apa yang akan kau lakukan kepadaku? Bagaimana kau bisa berkawan dengan perempuan-perempuan setan itu?" tanya Sidanta dengan wajah pucat. Tentu saja disadari betapa bekas kekasihnya itu sudah siap untuk membalas sakit hatinya.
"Hm... Menurut perkiraanmu, apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, Sidanta? Apa kau kira tubuhku, akan kuserahkan lagi kepadamu?" ujar Winarti yang saat itu benar-benar telah kehilangan sifat aslinya. Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi makhluk haus darah yang siap mereguk darah dari tubuh Sidanta.
"Apa maksudmu, Winarti? Bukankah apa yang pernah kita lakukan atas dasar suka sama suka? Aku..., aku sama sekali tak pernah memaksamu, bukan?" Sidanta masih juga hendak membela diri dan tak mau mengakui kesalahannya.
"Memang benar semua itu kita lakukan atas dasar suka sama suka! Tapi, setelah kau rayu aku dengan janji-janji muluk. Setelah itu kau hendak meninggalkan aku! Huh! Tak semudah itu, Sidanta! Kini kau akan merasakan buah dari kebejatanmu itu!" ujar Winarti yang langsung menyambar cambuk di pinggang Ningrum. Kemudian melecutkannya sekuat tenaga ke tubuh Sidanta.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Auuugh...!" Sidanta terjingkat akibat sengatan ujung cambuk itu. Tubuhnya bergulir ke kanan. Rasa sakit membuat Sidanta mengeluh dan mengerang keras. Meskipun Winarti tak memiliki tenaga dalam, lecutan cambuk itu sudah cukup menyiksa bagi Sidanta.
"Bagus, Winarti! Lakukan sepuasmu..!" Ningrum memberikan dorongan semangat dengan bibir tersenyum. Seakan-akan dia bersama dua orang kawannya sangat menikmati pemandangan itu.
Winarti sendiri sudah seperti gila. Sambil menahan isaknya, dia terus melecutkan cambuk ke tubuh Sidanta. Sehingga, pemuda itu terpekik keras, setiap kali ujung cambuk menyengat tubuhnya. Beberapa bagian tubuh Sidanta tampak sudah matang biru dan mengeluarkan darah. Rasanya tentu saja sangat pedih. Sampai-sampai Sidanta tak mampu menahan air mata karena merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya.
Namun ketika untuk yang kesekian kalinya Winarti hendak melecut tubuh Sidanta, tiba-tiba ada sesosok bayangan putih berkerlebat. Dengan cepat sosok bayangan itu menangkap ujung cambuk yang diayunkan Winarti.
"Lepas...!" Disertai sebuah bentakan, sosok bayangan putih itu langsung menyentakkan ujung cambuk yang telah digenggamnya. Winarti yang tersentak kaget, tidak mampu mempertahankan gagang cambuk yang dipegangnya.
"Akh...?!" Sentakan yang perlahan itu membuat tubuh Winarti terhuyung limbung dan terjatuh ke tanah. Tampaknya sosok bayangan putih itu tahu kalau si pemegang cambuk bukan seorang ahli silat. Terbukti dia menyentakkan dengan perlahan, hanya sekadar merebut cambuk itu dari tangan Winarti.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Ningrum dan dua orang kawannya tersentak kaget! Ketiganya bergerak mundur dengan mata terbelalak. Baru mereka mengerti, mengapa gerak langkah sosok bayangan itu tak sempat tertangkap pendengaran mereka. Ternyata yang datang Pendekar Naga Putih, yang telah tersohor kedigdayaannya di kalangan rimba persilatan.
"Kiranya kalian lagi yang membuat ulah...!" ujar sosok bayangan putih yang memang Pa ji. "Persoalan apa lagi yang membuat kalian tega menyiksa pemuda ini sedemikian rupa?"
"Pendekar Naga Putih! Seharusnya kau tak mencampuri urusan ini! Karena yang tengah kami siksa adalah seorang pemuda keparat yang kerjanya mempermainkan wanita! Dan jika kau membelanya, itu sama artinya dengan menyetujui segala perbuatan jahat yang selama ini dilakukannya!" kilah Ningrum mencoba menggertak Pendekar Naga Putih.
Gertakan Ningrum kelihatannya cukup berhasil. Buktinya Pendekar Naga Putih terdiam tanpa sahutan untuk beberapa saat. Hanya matanya saja yang menatap tubuh pemuda penuh luka gores yang tergeletak tak berdaya itu. Lalu beralih ke wajah Winarti.
"Mengapa kau menyiksanya sedemikian rupa, Nisanak?" tanya Panji kepada Winarti. Karena dia telah menduga kalau gadis manis itulah yang lebih menaruh dendam terhadap pemuda di hadapannya. Dilihatnya tadi hanya gadis manis itulah yang dengan bengis menyiksa pemuda yang tergeletak tak berdaya. Sedangkan tiga perempuan cantik berpakaian merah muda yang pernah bentrok dengannya hanya berdiri menonton dengan senyum puas.
"Dia..., dia jahat...!" Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Winarti. Sosok Pendekar Naga Putih tampaknya membuat gadis itu luluh dan hilang kebengisannya. Seketika dia berubah menjadi Winarti, si gadis desa yang lugu dan penakut.
"Apa yang telah dilakukannya terhadapmu..?" tanya Panji mendesak Winarti yang terlihat mulai menangis. Seakan-akan gadis itu merasa takut setelah kesadarannya pulih dan melihat tubuh Sidanta tergeletak berlumuran darah.
"Pemuda keparat itu telan memperkosanya, Pendekar Naga Putih! Jadi, sudah sepantasnyalah kalau dia menjalani hukuman atas kebiadabannya!" selak Ningrum cepat.
"Benarkah apa yang dikatakannya itu?" tanya Panji lagi mendesak Winarti. Karena dia belum percaya terhadap perempuan berpakaian merah muda itu yang telah diketahui kelicikan dan kekejamannya. Berbeda dengan Winarti yang tampak lugu dan tak berani berdusta.
"Untuk apa kami berbohong kepadamu, Pendekar Naga Putih! Jangan kau kira kami merasa gentar kepadamu! Meski kami sadar kalau kau bukan tandingan bagi kami, tapi tak ada rasa gentar dalam hati kami! Dan semua jawaban tadi bukan karena kami takut terhadapmu. Ingat itu baik-baik." Lagi-lagi Ningrum yang menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Bahkan nadanya terdengar lebih tajam dan menunjukkan kejengkelan harinya.
"Hm...!" Panji bergumam lirih. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sosok Ningrum, dan menelitinya sekilas. "Kalau jawabanmu memang mengandung kebenaran, mengapa tak kau biarkan saja gadis itu menjawab pertanyaanku?"
"Keparat sombong...!" dengus Ningrum geram. Bantahan Pendekar Naga Putih membuatnya bungkam. Karena apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Mengapa tidak dibiarkan Winarti yang menjawabnya? Mengapa dia yang merasa cemas mendengar pertanyaan-pertanyaan Pendekar Naga Putih terhadap Winarti? Bukankah makna jawabannya tak akan berbeda jauh?
Ningrum mendengus jengkel. Namun, ketika tatapan tajam mata pendekar muda yang tampan itu belum juga beranjak dari wajahnya, tiba-tiba saja Ningrum merasakan dadanya berdebar. Perlahan kedua pipinya dijalari rona merah. Menyadari keadaannya yang tidak wajar, perempuan cantik itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Dia bukan tak tahu kalau hatinya terguncang oleh sosok pendekar muda yang tampan dan penuh ketenangan itu.
Rasa kebencian yang telah berakar di dalam hatinya seketika lenyap entah ke mana. Dan memang baru terhadap Pendekar Naga Putih, hatinya merasa kagum dan tertarik. Apalagi ketika sepasang mata tajam itu menatapnya berlama-lama. Ada getaran aneh yang menjalari sekujur tubuhnya dan membuat parasnya menghangat. Namun, tentu saja Ningrum tak akan membiarkan dirinya terseret getar asmara. Ningrum menggigit bibirnya kuat-kuat untuk melawan pengaruh sorot mata Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tak tahu kalau perasaan perempuan cantik itu tergetar. Maka, cepat-cepat wajahnya berpaling, kembali menatap Winarti. Seolah-olah hatinya belum merasa puas kalau tidak mendapatkan jawaban dari gadis desa itu.
"Nisanak, benarkah apa yang dikatakan wanita itu?" tanya Panji, ingin mendapatkan kepastian dari Winarti.
"Sidanta membujukku dengan janji-janji manis. Kemudian... aku... aku menyerahkan apa yang dimintanya. Tapi..., dia malah pergi setelah segalanya kuberikan." Akhirnya, meskipun dengan susah payah, keluar juga jawaban yang ditunggu Pendekar Naga Putih dari gadis desa itu.
"Tapi, tidak adakah jalan yang lebih baik, selain menyiksanya seperti itu? Bukankah kau bisa meminta pertanggungjawabannya secara baik-baik?" tanya Panji ingin tahu bagaimana pendapat gadis cantik itu terhadap pertanyaan yang dilontarkannya.
"Sidanta. , akan menikah dengan perempuan lain. Mereka berdua sama-sama dari keluarga terhormat. Tidak sepertiku yang miskin dan bodoh. Dia... membuat aku menderita dan putus asa...," jawab Winarti lagi sambil terisak. Seolah-olah gadis itu belum mampu untuk melenyapkan kesedihan setiap kali teringat akan kepahitan yang pernah dialaminya
"Hm..., lalu kau meminta kepada mereka untuk menyeret kekasihmu ini, dan menyiksanya sampai sekarat..?"
"Cukup, Pendekar Naga Putih!" Ningrum yang sudah tak sabar, langsung menyelak. Kakinya melangkah lebar lalu menarik lengan Winarti, menjauhi pemuda tampan berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih tidak berusaha mencegah tindakan Ningrum. Dia justru berpaling dan menatap tubuh Sidanta yang masih merintih kesakitan. Baru kemudian memandang Ningrum dan kawan-kawannya.
"Kendati niat kalian baik, cara yang kalian tempuh tak bisa kubenarkan. Selagi masih bisa menempuh jalan damai, tak layak kalian berbuat sekehendak hati. Selain itu, aku ada sedikit pertanyaan untuk kalian bertiga...," ujar Panji seraya menatap tajam wajah ketiga perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Maaf, kami tak punya waktu untuk meladenimu, Pendekar Naga Putih! Biarlah kami mengalah dengan tak membunuh pemuda keparat itu. Nah, selamat tinggal...!" Setelah berkata demikian, Ningrum memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Perempuan cantik itu sendiri sudah melesat pergi dengan membawa tubuh Winarti. Tapi...
"Tunggu...!" Pendekar Naga Putih yang merasa masih mempunyai kepentingan dengan perempuan-perempuan itu, langsung saja berseru mencegah. Bahkan tubuhnya melenting ke atas, lalu meluncur dengan cepat setelah berputaran beberapa kali di udara.
Jliggg!
Ningrum terpaksa menahan langkahnya ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak menghadang di depan. Tentu saja tindakan pendekar muda itu membuat kemarahannya bangkit. Semua kekaguman dan rasa sukanya terhadap pemuda itu ditekan sekeras mungkin. Sikapnya tetap dingin dan tanpa perasaan.
"Mengapa kau masih juga menghalangi kepergian kami. Pendekar Naga Putih?" tegur Ningrum sambil meraba gagang pedang di punggungnya. Jelas perempuan cantik dari Lembah Hitam itu telah siap bertindak keras.
"Sudah kukatakan tadi, aku memiliki sedikit kepentingan dengan kalian bertiga..." sahut Panji. Sinar matanya menghunjam tepat di kedua bola mata Ningrum yang tampak sangat gelisah.
"Apa yang kau inginkan dari kami...?" tanya Ningrum ketus sambil berusaha menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Dia terpaksa mengalah karena sadar tak mungkin mampu melepaskan diri dari kejaran pendekar muda itu. Melarikan diri dari Pendekar Naga Putih merupakan perbuatan bodoh. Karena pemuda itu pasti dapat menyusulnya.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Panji dengan sinar mata mencorong tajam, membuat hati Ningrum kian bergetar. Sinar mata pemuda tampan itu dirasakan begitu berpengaruh dalam jiwanya.
"Aku sudah berjanji untuk membawanya ketempat tinggal kami. Dan dia sendiri sudah setuju. Kalau tak percaya, boleh kau tanyakan kepadanya...," sahut Ningrum menyembunyikan kegelisahannya. Karena disadari kalau Pendekar Naga Putih tak dapat dikelabui. Dan, kemungkinan besar tugasnya kali ini akan menemui kegagalan di tangan pendekar muda yang sakti itu.
"Hm..., jadi selain memusuhi tokoh-tokoh muda persilatan, ternyata kalian pun merupakan pelaku penculikan terhadap gadis-gadis muda. Nah, apa tuduhanku terhadap kalian salah...?" tukas Panji. Dia langsung menduga, ketiga perempuan kejam itulah pelaku penculikan terhadap wanita-wanita muda.
"Kami tak menculik mereka! Tapi mengajaknya untuk bergabung dengan kami!" bantah Ningrum dengan suara keras. Sepasang matanya mulai melirik ke kiri dan kanan mencari jalan untuk dapat lolos dari Pendekar Naga Putih.
"Itu anggapan kalian! Tapi, bagaimana dengan orangtua gadis-gadis yang kau ajak pergi itu? Mereka yang kehilangan anak-anak gadisnya, tentu saja menganggap perbuatan kalian merupakan tindakan penculikan. Dan, hal itu tak bisa kudiamkan begitu saja. Meski baru sekadar dugaan, aku yakin kalau kalian akan menjejalkan kebencian di hati mereka terhadap laki-laki. Bukankah itu yang kalian inginkan?" tukas Panji tak mau kalah. Hatinya semakin yakin ketika melihat perempuan bertahi lalat di sudut bibir kanannya itu tak bisa membantah lagi.
Sadar bahwa semua kedok mereka sudah terbuka, Ningrum dan kawan-kawannya tak berpanjang kata lagi. Jemari tangan mereka langsung meraba gagang pedang. Bahkan ketiganya telah bergerak dari tiga jurusan mengepung Pendekar Naga Putih.
Siiing! Siiing...!
Terdengar suara berdesingan susul-menyusul. Tiba-tiba di tangan ketiga perempuan cantik itu telah tergenggam sebatang pedang. Kemudian diputar dengan kecepatan penuh di atas kepala hingga menimbulkan angin yang menderu-deru. Ketiganya jelas telah siap untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih.
"Hm..., begini lebih bagus...," gumam Panji sambil memperhatikan gerak langkah ketiga lawannya. Sejauh itu dia belum melakukan gerakan sedikit pun. Karena pendekar muda itu sudah bisa mengukur sampai di mana kekuatan ketiga orang pengeroyoknya itu.
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Ningrum yang berada di sebelah kanan Pendekar Naga Putih, berteriak nyaring. Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Pedang di tangannya berputaran cepat bagaikan baling-baling. Sekali bergerak, perempuan cantik itu langsung mengirimkan serangkaian serangan yang mematikan. Benar-benar berbahaya sekali!
Karena sebelumnya Pendekar Naga Putih pernah bertarung melawan mereka, serangan Ningrum dengan mudah dapat dikandaskan. Tubuh pemuda itu bergerak menyelinap di antara sambaran mata pedang lawannya.
Melihat gerakan lawan, Ningrum semakin memperhebat serbuannya. Tampak dua perempuan berpakaian merah muda lainnya sudah merangsek ke tengah arena. Kilatan putih dan suara desingan pedang datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Namun, sampai beberapa jurus kemudian, serangan ketiga orang pengeroyok itu belum menunjukkan hasil. Padahal Pendekar Naga Putih masih mengambil sikap mengalah dengan jalan menghindar.
Setelah merasa cukup memberi kesempatan kepada lawan-lawannya, baru Pendekar Naga Putih membuka serangan. Kedua tangannya bergerak cepat melakukan tamparan dan tangkisan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja ketiga orang pengeroyok itu dibuat kelabakan. Serangan-serangan mereka tak lagi terarah dengan baik. Pemusatan pikiran mereka terganggu oleh hembusan angin dingin menggigit tulang yang datang mengiringi setiap tamparan dan tangkisan tangan Pendekar Naga Putih. Sehingga...
"Hiaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
Salah satu dari tiga perempuan cantik berhati kejam itu terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar keluar dari arena pertempuran. Tamparan yang mendarat di punggungnya, membuat tubuhnya terbanting tak sadarkan diri.
"Haiiit...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua orang perempuan itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan merah yang memapak serangan Pendekar Naga Putih.
Plak! Plak!
"Hei...?!" terdengar seruan kaget terlontar dari mulut Pendekar Naga Putih. Tubuh Pendekar Naga Putih sekali lagi meluncur disertai pekikan keras menggelegar. Serangkum angin dingin berhembus keras, membuat kedua orang lawan tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak dari tamparan pemuda itu. Namun, ke mana pun mereka bergerak, telapak tangan Pendekar Naga Putih terus mengejar. Sampai akhirnya mereka tersudut dan tak mungkin dapat menghindar lagi. Tapi....
"Heaaa...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua orang perempuan cantik itu, tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang yang memekakkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan merah muda telah melesat ke tengah arena. Bayangan merah itu langsung menyambut serangan Pendekar Naga Putih yang nyaris berhasil itu. Hingga...
Plak! Plak!
"Hei?!"
Terdengar suara benturan yang mirip ledakan. Pendekar Naga Putih sempat terpekik. Karena lengannya dirasakan bergetar akibat benturan keras itu. Sehingga, tubuhnya melompat mundur dan meluncur turun beberapa tombak dari arena pertempuran.
"Kau...?!" Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika melihat siapa yang telah menyelamatkan kedua lawannya barusan. Seraut wajah buruk yang seperti bekas luka bakar itu membuat Panji mengerutkan kening dalam-dalam. Karena sosok tubuh ramping berwajah buruk itu pimpinan para perempuan-perempuan cantik yang telah menculik banyak gadis muda rimba persilatan.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!" ujar sosok berwajah buruk itu dengan wajah dingin. Sulit sekali menduga perasaan apa yang saat itu ada dalam hatinya. Karena luka bakar itu membuat wajahnya seolah-olah tak menggambarkan perasaan apa pun.
"Ya, kita bertemu lagi, Nisanak! Tapi kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Perbuatanmu sudah melampaui batas dan membuat keresahan bagi orang banyak...," ujar Panji seraya bergerak maju. Langkahnya berhenti ketika jarak di antara mereka hanya terpisah sekitar satu tombak.
"Aku pun datang bukan dengan niat untuk berbincang denganmu, Pendekar Naga Putih. Perbuatanmu kali ini membuatku harus mengambil keputusan untuk melenyapkan dirimu. Keberadaan dan keusilanmu telah membuat kami susah...," tukas wanita berwajah buruk itu menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan kebencian yang dalam.
"Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan secepatnya persoalan ini...!" ujar Panji yang sudah menggeser langkah ke kanan. Sadar kalau kepandaian lawan tidak rendah, dia bersikap lebih hati-hati.
"Hmh...!" Perempuan berwajah buruk itu mendengus kasar. Lalu dia tampak membuka jurus, siap bertarung melawan Pendekar Naga Putih. Gerakannya terlihat mantap dan seperti mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat. Bahkan dari tatapan matanya, perempuan berwajah buruk itu tampak bertekad hendak melenyapkan Pendekar Naga Putih yang memang selalu menentang segala tindak kejahatan.
"Ciaaat...!"
Diiringi pekikan melengking, perempuan berwajah buruk itu membuka serangan dengan serangkaian pukulan maut yang menimbulkan desiran angin keras. Nampaknya dia langsung menggunakan jurus-jurus andaian dalam menggempur Pendekar Naga Putih. Terbukti pukulan-pukulannya begitu gencar seperti mengandung kekuatan dahsyat.
Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau kesaktian lawan sangat hebat. Segera dikerahkannya jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Seketika hawa dingin menusuk tulang menyebar menyelimuti arena pertarungan. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit.
Setelah berjalan selama kurang lebih empat puluh jurus, Pendekar Naga Putih tampak mulai menguasai lawannya. Kecepatannya yang berada dua tingkat di atas lawan, membuat serangan-serangannya lebih banyak dari gencarnya serangan lawan. Bahkan dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang berhawa dingin menggigit, Pendekar Naga Putih dapat membuat tubuh lawannya terkurung dan kacau gerakannya. Hingga, pada satu kesempatan baik, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan ke tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Plak! Brettt...!
"Aihhh...?!" Perempuan berwajah buruk itu terpekik kaget. Meskipun berhasil menepis cengkeraman tangan kanan, namun tamparan tangan kiri Panji telah membuatnya terdorong ke belakang.
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri sempat merasa terkejut. Tebasan tangan kirinya yang kemudian dirubah menjadi cengkeraman, telah mengenai wajah lawan. Dan kini di tangannya tergenggam sebuah topeng karet yang sangat tipis. Tentu saja hatinya heran bukan main.
"Kupu-kupu Berbisa...?!" seru Panji ketika menatap wajah yang kini tertutup kain dari bagian hidung ke atas.
Pendekar Naga Putih pernah mendengar tentang tokoh wanita sakti yang mengenakan ciri khas demikian. Namun, sepanjang pengetahuannya, tokoh sakti itu telah lama tidak menampakkan diri di dunia persilatan. Tokoh perempuan yang sakti itu sebenarnya angkatan tua yang sezaman dengan gurunya. Itulah yang membuat dirinya hampir tak percaya. Karena Kupu-kupu Berbisa yang kini berada di hadapannya ternyata memiliki raut wajah seorang perempuan muda.
"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau memalsukan Kupu-kupu Berbisa?" tanya Panji yang merasa heran melihat tokoh sesat wanita angkatan gurunya ternyata masih demikian muda.
"Akulah Kupu-kupu Berbisa! Hi hi hi... Aku tak memalsukan siapa-siapa...!" tukas perempuan yang semula dengan topeng berwajah buruk.
"Tidak mungkin! Kupu-kupu Berbisa telah berusia di atas enam puluh tahun. Lalu, bagaimana mungkin kau yang baru sekitar dua puluh tahun mengaku sebagai Kupu-kupu Berbisa? Jelas kau mengada-ada!" bantah Panji tidak percaya akan pengakuan perempuan cantik itu.
"Memang benar apa yang kau katakan itu. Pendekar Naga Putih! Aku melanjutkan julukan guruku. Beliau telah wafat setengah tahun silam. Dan mewariskan julukan Kupu- kupu Berbisa kepadaku. Jelas?" lanjut Kupu-kupu Berbisa menjelaskan. "Sekarang, bersiaplah untuk mati!"
"Yeaaat...!"
Panji yang termangu mendengar jawaban lawannya, bergerak menarik mundur langkahnya ke belakang. Kemudian langsung membalas serangan lawan dengan tidak kalah hebat. Sehingga, pertarungan pun kembali berlanjut, dengan seru.
Sementara itu, di bagian lain telah pula terjadi pertarungan. Tokoh-tokoh persilatan yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang, menggempur Ningrum dan kawan-kawannya. Pimpinan dari tokoh-tokoh persilatan itu ternyata Gupta dan Rancaka. Rupanya mereka telah pula tiba di tempat itu. Dan menemukan musuh yang selama ini dicari-cari, mereka langsung menggempur tanpa banyak tanya lagi.
Di pihak Kupu-kupu Berbisa, terdapat tiga orang wanita cantik berpakaian serba hijau dan empat orang lelaki kekar pemikul tandu. Ditambah dengan Ningrum dan dua orang kawannya. Pengikut tokoh sesat itu berjumlah sembilan orang. Mereka menyambut serbuan tokoh-tokoh persilatan itu dengan senjata terhunus.
"Yeaaat...!"
Gupta menerjang sambil mengayunkan pedang di tangannya. Semangatnya berapi-api, setelah sempat melihat sosok Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan Pimpinan Perempuan-perempuan Lembah Hitam itu. Keberadaan pendekar muda itu membuat Gupta dan kawan-kawannya merasa yakin kalau mereka akan dapat melenyapkan para perempuan berhati iblis itu.
Menghadapi puluhan tokoh persilatan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu, Ningrum dan kawan-kawannya terpaksa harus berjuang keras. Namun, karena lawan tiga kali lipat jumlahnya, lama-kelamaan para perempuan kejam itu pun terdesak hebat. Dan satu-persatu mulai roboh berlumur darah di ujung senjata pengeroyok mereka.
"Habisi mereka semua...!"
Rancaka, lelaki kekar berwajah keras yang juga memimpin kawan-kawannya, berteriak tak henti-henti memberikan semangat. Sehingga, Ningrum dan kawan-kawannya semakin kewalahan. Kendati korban di pihak lawan tak sedikit yang berjatuhan, di pihak mereka pun juga jatuh korban.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang telah bertarung selama kurang lebih empat puluh tiga jurus, mulai dapat mendesak lawannya. Kupu-kupu Berbisa sendiri berusaha keras untuk dapat mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih. Namun, kepandaian yang dimiliki tokoh sesat itu masih berada beberapa tingkat di bawah Panji. Sehingga, sekeras apa pun bertarung, tetap saja dia tidak mampu mengungguli Pendekar Naga Putih.
"Yeaaat...!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih berteriak keras mengejutkan lawannya. Dengan kecepatan laksana sambaran kilat, serangannya meluncur. Melihat serangan cepat itu, Kupu-kupu Berbisa tampak gugup dan tak sempat bergerak menghindar. Sehingga....
Plakkk..!
"Aaargh...!"
Blukkk!
Tanpa ampun lagi, tubuk ramping terbungkus pakaian merah muda itu terpelanting keras, dan jatuh terbanting di atas tanah. Darah segar muntah dari mulutnya. Pukulan Pendekar Naga Putih yang mendarat di tubuhnya, membuat tokoh sesat itu tidak sanggup untuk segera bangkit.
Melihat lawannya tergeletak dengan napas terengah-engah, Panji bergerak menghampiri dengan sikap waspada. Pendekar Naga Putih yakin, pukulannya tadi dapat membuat lawannya terluka parah, namun tetap tak menghilangkan kewaspadaannya.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" desah Kupu-kupu Berbisa dengan suara lemah. Sepasang mata yang tampak dari lubang pada kain hitam itu terlihat sayu.
Pendekar Naga Putih merasa tidak tega menyaksikannya. Wajah di balik kain itu tiba-tiba membuat kening pendekar muda itu berkerut. Hatinya merasa aneh. Meskipun hanya tampak sebagian wajah Kupu-kupu Berbisa seperti sudah tidak asing baginya. Karena penasaran, tangannya langsung bergerak menyambar kain hitam yang menutupi wajah perempuan itu.
"Akh...!" Kupu-kupu Berbisa terpekik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan berbuat demikian. Wajah cantik berkulit halus itu berpaling ke kiri, berusaha menyembunyikan dengan kedua telapak tangannya.
"Hahhh...?!" Panji tersentak kaget. Tiba-tiba wajahnya memucat tegang. Meskipun kini wajah perempuan itu telah tertutup kedua belah telapak tangan, dia sempat mengenalinya dengan baik. Karena gerakan Kupu-kupu Berbisa agak terlambat.
"Kau.., kau... Suntini...?!" desis Panji hampir tak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Memang, Kupu-kupu Berbisa itu adalah Suntini! Gadis cantik yang beberapa hari lalu menemui Pendekar Naga Putih dan mengemis cintanya. Karena sudah terbongkar rahasianya, Kupu-kupu Berbisa bergegas menurunkan kedua telapak tangannya. Kemudian ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu.
"Mengapa..., mengapa kau melakukan semua ini, Suntini...?" tanya Panji tak mengerti.
"Seharusnya akulah yang bertanya, Kakang. Mengapa kau menolak cintaku? Apakah aku kurang cantik? Atau kau meragukan kesetiaanku? Kau membuatku kecewa dan sakit hati, Kakang. Sehingga, aku menjadi benci terhadap laki-laki. Aku bertekad untuk menyiksa ataupun membunuh mereka sebanyak-banyaknya. Aku.., aku demikian menderita, Kakang...," rintih Suntini yang mulai mengalirkan air mata di kedua pipinya.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas penuh sesal. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Suntini telah tahu perasaannya. Hatinya tak bisa menerima gadis itu, karena tak mungkin mengkhianati Kenanga.
"Kau mengalami luka dalam yang parah, Suntini. Mudah-mudahan obat ini dapat membuatmu merasa lebih baik!" Pendekar Naga Putih menyodorkan dua butir pil kepada gadis itu. Ketika melihat Suntini menggeleng, langsung saja dipaksanya dan memasukkan obat itu ke mulut Suntini.
"Kakang! Sekali lagi kuminta kepadamu. Aku rela meskipun harus menjadi orang kedua yang kau cintai. Aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu Kakang! Aku tak akan menuntut banyak. Hanya itu..." Untuk kesekian kalinya, Suntini kembali mengajukan pertanyaan senada.
Sementara Panji hanya menghela napas dalam-dalam. "Maafkan aku Suntini...!" Hanya itu yang bisa diucapkan Panji dengan wajah menunduk.
Mendengar jawaban itu, Suntini memaksa dirinya bangkit. Ditepisnya tangan Panji yang mencoba menolongnya. Wajah yang pucat itu menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Suntini benar-benar tak bisa menerima jawaban pendekar muda itu.
Panji hanya bisa mengikuti langkah gadis malang itu dengan tatapan penuh iba. Dia tak berusaha mencegah, karena takut Suntini kembali salah menafsirkan. Meski dengan sangat terpaksa, Panji membiarkan Suntini melangkah terseret-seret meninggalkan tempat itu. Karena gadis itu bersikeras tak ingin ditolong. Kecuali Panji bersedia menerima uluran cintanya.
"Pendekar Naga Putih!" seorang lelaki gagah berlari mendatangi Panji. "Bukankah perempuan itu pimpinan mereka? Mengapa kau biarkan pergi...?"
"Jangan ganggu dia, Gupta...!" ujar Panji singkat tanpa penjelasan kepada Gupta.
"Tapi, kita masih memerlukannya untuk menemukan gadis-gadis yang mereka culik? Karena penculikan itu ulah mereka juga, Pendekar Naga Putih...!" sahut Gupta membuat Panji terkejut. Namun ketika hendak mengejar Suntini, terdengar suara halus menahan langkah mereka berdua.
"Mereka membawa gadis-gadis itu ke Lembah Hitam."
Serentak Panji dan Gupta menoleh. Ucapan ternyata dikeluarkan dari mulut Winarti yang tengah berdiri kebingungan. Wajah manis dan tampak mendung itu membuat Gupta terpana. Tatapan matanya terhunjam lekat ke wajah Winarti, membuat gadis manis itu tersipu. Tanpa ragu lagi Gupta melangkah menghampiri Winarti. Tatapannya tak beralih dari wajah manis itu. Gupta tak berusaha menyembunyikan rasa tertariknya terhadap gadis itu.
"Kau sendiri hendak ke mana, Nisanak?" tanya Gupta lembut dengan tatapan penuh kasih yang tulus.
"Aku tidak tahu...," sahut Winarti tertunduk malu. "Mungkin aku harus kembali ke desa. Tinggal bersama paman dan bibi yang selama ini merawatku"
"Pendek...," Gupta tidak, melanjutkan kalimatnya, karena saat wajahnya menoleh, sosok Pendekar Naga Putih telah lenyap dari tempat itu. Sehingga Gupta kembali berpaling kepada Winarti.
"Ikutlah bersama kami ke Lembah Hitam, Nisanak. Setelah itu, aku akan mengantarkanmu. Juga gadis-gadis desa yang diculik perempuan-perempuan Lembah Hitam itu...," ujar Gupta menawarkan sembari menyentuh lembut bahu Winarti. Senyum di bibir lelaki itu mengembang, karena Winarti tak berusaha menghindar. Itu berarti Winarti tahu perasaannya dan tak menolak.
Gupta dan Rancaka kemudian berembuk. Lalu mereka mengajak kawan-kawan yang masih hidup untuk pergi ke Lembah Hitam guna menyelamatkan gadis-gadis desa yang berada di tempat itu. Gupta juga memerintahkan beberapa kawannya untuk mengantarkan pemuda bernama Sidanta ke desanya.
"Mari ikut kami...!" ajak Gupta kepada Winarti.
"Namaku Winarti...," sahut Winarti seraya tersenyum manis kepada lelaki gagah itu. Kelihatan sekali betapa sinar mata yang semula redup itu telah kembali hidup. Tampaknya Winarti menerima uluran tangan Gupta.
Gupta, Rancaka, Winarti, dan tokoh-tokoh persilatan yang masih selamat, bergerak menuju Lembah Hitam. Tempat yang sudah ditinggalkan penghuninya itu masih harus mereka datangi. Karena di sana banyak gadis-gadis muda yang harus segera diselamatkan.
Namun suasana damai seperti itu ternyata tak berlangsung lama. Suara bentakan-bentakan kasar dan keras, serta dentangan senjata yang menusuk telinga, telah merusak keindahan dan keheningan pagi itu. Dapat dipastikan kalau perusak keindahan itu makhluk-makhluk yang bernama manusia. Dan suara-suara itu jelas bersumber dari sebuah pertempuran. Ternyata benar, pada sebuah tepian sungai, terlihat suatu pertempuran sengit tengah berkecamuk. Mereka inilah yang telah membuat suasana pagi menjadi rusak.
"Yeaaat...!"
Suara teriakan keras kembali terdengar memekakkan telinga. Terlihat seorang lelaki bertubuh kekar bersenjatakan sebatang pedang tengah melesat ke udara. Pedang di tangannya berputaran cepat menimbulkan suara mengaung tajam, membelah keheningan pagi hari itu.
"Hmh...!" Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda, mengeluarkan suara mendengus bernada mengejek. Hanya dengan geseran langkahnya, sambaran pedang lelaki bertubuh kekar itu luput, sehingga hanya menyambar tempat kosong.
"Perempuan setan...!" Gagalnya serangan itu membuat lelaki bertubuh kekar tampak kian penasaran. Terdengar umpatannya yang kasar meningkahi suara berdesingan. Sementara pedang di tangannya terus bergerak dengan serangkaian serangan yang berbahaya. Melihat dari gerakannya yang cepat dan kuat, dapat diduga kalau ielaki itu bukanlah orang sembarangan.
"Makilah sepuasmu. Orang Gagah! Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut di tangan kami...!" sahut sosok bertubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu. Nada suaranya mengandung ejekan yang disertai senyum sinis. Sambil berkata demikian, tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan langkah-langkah ringan dan mantap. Sehingga, tak satu pun dari serangan lawan yang mengenai sasaran.
Karuan saja lelaki bertubuh kekar itu semakin marah. Dengan geram terus dilancarkan serangan-serangannya yang semakin cepat dan kuat. Namun wanita yang diserangnya tak kalah gesit. Bahkan terlihat dia mulai membalas serangan lawan dengan tamparan dan tusukan jemari tangannya. Kendati hanya bertangan kosong, serangan yang dilancarkan wanita itu ternyata jauh lebih berbahaya ketimbang serangan pedang lawan. Sehingga pertarungan pun berjalan semakin seru dan mendebarkan.
Perusak suasana pagi itu ternyata bukan hanya mereka berdua. Sebab, tak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat dua pertempuran lain yang tidak kalah seru. Anehnya, pertarungan itu seperti sengaja telah diatur. Karena pihak-pihak yang bertarung antara lelaki melawan perempuan! Entah persoalan apa yang membuat mereka sepagi itu telah terlibat dalam perkelahian mati-matian.
Seperti yang pertama, dua pertempuran lainnya pun kelihatan masih berjalan seimbang. Meski demikian, tampak jelas betapa pihak lelaki berusaha keras untuk segera merobohkan lawannya masing-masing. Hal itu terbukti dari serangan-serangan mereka yang cepat dan bertubi-tubi datangnya. Seakan-akan ketiga orang lelaki itu demikian membenci perempuan-perempuan yang menjadi lawan mereka.
Ketika tiga pertarungan itu berlangsung seru, tiba-tiba terdengar sebuah seruan bernada dingin. "Robohkan mereka...!"
Seruan bernada perintah itu membuat suasana pertarungan berubah seketika. Perempuan-perempuan berpakaian merah muda yang semula hanya mengelak dan sesekali melancarkan serangan balasan, kini merubah gaya permainan mereka.
"Haiiit..!"
"Heaaa...!"
Diiringi pekikan merdu yang susul-menyusul, ketiga perempuan itu mulai membangun serangan.
"Hahhh...?!" pekik ketiga lelaki bertubuh kekar hampir bersamaan.
Tampak rasa keterkejutan melanda wajah mereka yang berubah agak pucat. Dengan mata terbelalak nanar ketiganya menyaksikan serangan-serangan lawan yang berubah dahsyat. Setiap kali tangan dan kaki mereka meluncur, diikuti serangkaian angin keras menderu. Gempuran yang cepat dan beruntun itu membuat ketiga lelaki tampak tak mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Bahkan...
"Hiaaa...!"
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pekikan keras terdengar ketika salah seorang dari ketiga lelaki itu terhantam serangan lawan. Pukulan telapak tangan halus yang mendarat di dadanya, membuat tubuh tegap terbungkus pakaian putih itu terjerembab mencium tanah. Darah segar langsung muntah dari mulutnya. Sesaat kemudian tanpa menggelepar-gelepar lelaki itu tergeletak pingsan.
Kedua kawannya yang saat itu masih bertahan mati-matian, tentu saja tersentak kaget menyaksikan kejadian itu. Akibatnya, dalam sesaat mereka lengah. Kedua perempuan yang tengah dihadapi tampaknya mengetahui peluang itu. Hingga....
"Hiaaat..!"
Bluk! Plak!
Dengan cepat kedua perempuan itu melantarkan serangan dahsyat.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Tubuh kedua lelaki kekar yang terbungkus pakaian putih itu seketika terjungkal. Setelah memuntahkan darah segar, keduanya terkapar lemas di tanah. Ternyata tangan-tangan yang tampak halus dan mulus milik kedua perempuan itu menyimpan suatu kekuatan tenaga dalam kuat. Terbukti dalam sekali pukulan telapak tangan saja, telah membuat lawan terkapar tak sadarkan diri.
Sejenak suasana berubah sepi. Tampak senyum sinis di bibir ketiga perempuan itu, sambil menatap tubuh lawan yang telah ambruk di tanah basah.
"Sadarkan mereka...!"
Terdengar sebuah perintah dengan suara datar. Serentak ketiga perempuan berpakaian merah muda itu menolehkan wajahnya menatap sebuah tandu yang diusung empat laki-laki muda bertubuh kekar.
"Baik, Ketua...," sahut salah seorang dari ketiga perempuan itu dengan penuh hormat. Kemudian segera memberikan isyarat dengan gerakan kepala kepada kedua temannya.
Tanpa diperintah dua kali, ketiga perempuan yang rata-rata berwajah cantik itu segera menghampiri lawan masing-masing. Mereka langsung menotok bagian tubuh lawan. Seketika terdengarlah keluhan-keluhan lirih dari mulut ketiga lelaki yang masih terkulai lemas itu.
"Bangun kau, Lelaki Pemalas...!"
Bluk!
Perempuan cantik yang mempunyai tahi lalat di tepi bibir kanannya, membentak halus, seraya mengayunkan kaki kanan, menendang tubuh lelaki di bawahnya.
"Ugkh...!"
Kendati tendangan kaki mungil itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam, lelaki itu tampak merasa kesakitan. Bahkan tendangan itu bagaikan mengandung tenaga yang kuat. Terbukti tubuh lelaki berkumis tipis yang ditendangnya terangkat dari tanah. Seketika dari mulutnya mengalir darah kental, karena luka dalam yang diderita bertambah parah.
"Perempuan iblis...!" desis lelaki berkumis tipis ini penuh dendam. Sorot matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Sayang, dia sudah tak mampu berbuat sesuatu. Luka dalam dadanya terasa nyeri saat dia berusaha mengerahkan tenaga. Sehingga, lelaki bertubuh kekar itu hanya bisa pasrah terhadap perlakuan lawannya.
"Hmh...!" dengus perempuan cantik berwajah dingin yang mempunyai tahi lalat itu, ketika mendengar umpatan lawannya. Seketika itu juga jemari tangannya terulur menjambak rambut lelaki tegap berkumis tipis di hadapannya. Kemudian ditariknya denngan sentakan kasar.
"Aaakh...!"
Perlakuan perempuan berwajah dingin itu tentu saja membuat lawannya menjerit kesakitan. Dan mau tak mau laki-laki itu tersentak bangkit dengan mulut meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun tak tampak perasaan gentar sedikit pun di wajahnya. Bahkan kembali memaki dengan kasar.
"Perempuan durjana! Kalian tak lebih dari iblis-iblis keparat yang berkedok wajah cantik! Hhh..., tapi jangan dikira aku sudi menyerah! Lebih baik aku mati, daripada harus ikut dengan kalian...!" geram lelaki kekar berkumis tipis itu. Sorot matanya tajam menentang tatapan mata wanita itu. Sekilas matanya melirik pada tandu yang berada sekitar lima tombak di depannya.
"Hi hi hi...! Makilah sepuasmu, Orang Gagah. Sebentar lagi kau akan merasakan siksaan yang menyakitkan..!" sahut perempuan bertahi lalat itu tertawa penuh ejekan yang menyakitkan.
"Ningrum! Ikat kedua tangan mereka, dan seret dengan kuda!" Kembali suara dingin yang datang dari dalam tandu terdengar memerintah.
"Baik, Ketua...," sahut wanita bertahi lalat di tepi bibir, yang ternyata bernama Ningrum. Tangannya menyeret tubuh lawan yang masih terkulai tak berdaya. Lalu diikat kedua tangannya dengan seutas tali yang terbuat dari anyaman kulit binatang. Kendati tak terlalu besar, tali itu sangat kuat dan tak mudah diputuskan.
Dua orang lelaki lainnya juga mengalami nasib serupa. Mereka tak mampu berbuat apa-apa. Karena luka dalam akibat pukulan lawan telah membuat tubuh mereka lemas tiada berdaya. Sehingga, semua perlakuan perempuan-perempuan berpakaian merah muda itu hanya bisa diterima dengan pasrah.
"Jalan...!"
Suara perintah kembali terdengar dari dalam tandu. Seketika itu juga rombongan pun bergerak meninggalkan tepian sungai.
Tiga perempuan berbaju hijau, yang juga rata-rata berwajah cantik, berada di depan. Mereka bertiga menunggang kuda yang di belakangnya melangkah tiga orang lelaki muda dengan kedua tangan terikat. Rupanya bukan hanya ketiga lelaki muda berpakaian putih yang ditawan perempuan-perempuan itu. Ternyata tiga orang lelaki yang berada di belakang kuda perempuan berpakaian hijau itu pun merupakan tawanan. Mereka dipaksa melangkah tersaruk-saruk. Karena kalau sampai terjatuh, tubuh mereka akan terus terseret-seret di atas tanah.
Sedangkan tiga perempuan berpakaian merah muda, berada di belakang rombongan. Mereka pun memperlakukan para tawanan seperti tiga lelaki di depan. Tak sedikit pun rasa kasihan di hati ketiganya, kendati tiga orang lelaki di belakang mereka melangkah tersaruk-saruk dengan kedua tangan terikat pada punggung kuda. Seakan-akan ketiga perempuan itu tak peduli terhadap luka dalam yang diderita para tawanan.
Sementara itu tandu yang diusung empat orang laki-laki kekar berwajah dingin, berada di tengah rombongan. Meskipun sosok di dalam tandu itu belum terlihat, dapat dipastikan kalau dia pun seorang wanita. Karena suaranya yang dingin tak bisa menyembunyikan ciri suara seorang wanita. Dialah pimpinan rombongan kecil itu. Rombongan itu terus bergerak perlahan menyusuri jalan selebar dua tombak yang diapit pepohonan. Semilir angin lembut dan terpaan sinar matahari pagi mengiringi langkah mereka.
********************
"Kakang Gupta...! Aku... tak sanggup lagi...," keluh lelaki bertubuh tegap yang wajahnya terhias kumis tipis seraya menoleh pada kawannya. Wajahnya yang sudah dibanjiri peluh tampak berkerut-kerut. Bibirnya yang terkatup rapat dan kering, terlihat bergetar sesaat. Sinar matanya menatap penuh kecemasan. Sementara sekujur tubuhnya tampak lemah dan kelelahan.
"Kuatkan dirimu, Adi! Tunjukkan bahwa siksaan ini sama sekali tidak berarti bagi kita...!" ujar lelaki berhidung mancung yang dipanggil Kakang Gupta. Ucapan itu pun tampaknya tak mudah dikeluarkan. Suara kering dan pelan itu baru terlontar setelah lebih dahulu bibirnya yang kering dijilat-jilat.
Namun, pancaran sinar matahari yang sangat garang menyengat tubuh, membuat lelaki tegap berahang kokoh itu tak bisa menuruti nasihat Gupta. Kedua kakinya yang lemas dan tak mampu lagi menahan tubuh, langsung menekuk. Lelaki itu pun roboh terguling ke tanah, dan terseret kuda di depannya.
"Adi...!" Gupta terpekik dengan suara parau. Dia mencoba untuk menolong. Namun, apa yang dapat dilakukan Gupta dengan kedua tangan terikat seperti itu. Bahkan saat langkahnya tersaruk hendak mendekati kawannya, tiba-tiba....
Ctarrr...!
"Aaakh...!"
Gupta terpekik ketika cambuk di tangan perempuan bernama Ningrum yang duduk di punggung kuda menyengat tubuhnya. Tak ampun lagi, lelaki bertubuh gagah itu terhuyung limbung, lalu jatuh ke tanah. Sadar kalau tak segera bangkit akan mengalami siksaan yang lebih menyakitkan, Gupta pun menguatkan hatinya. Kendati sempat terseret beberapa tombak, Gupta dapat mengeraskan hatinya, dan bangkit berdiri. Pakaiannya yang putih kini kotor terkena tanah agak basah yang telah terinjak-injak kaki kuda.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan pendek dari mulut lelaki tegap itu. Ketika pakaiannya tersingkap, tampak bilur merah di dadanya yang bidang. Goresan merah akibat lecutan cambuk itu memanjang sampai ke leher. Bahkan mungkin kalau tak tertutup pakaian, perutnya pun tergambar bekas sabetan itu. Sambil merintih, Gupta tampak menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia tak ingin rintihan itu terdengar siapa pun. Sehingga hanya dalam hati rintihan itu dikeluarkan. Dan ketika keringat mulai menyusup pada goresan merah itu, dengan sekuat tenaga ditahannya rasa pedih yang mendera.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba kawan Gupta yang terseret memekik keras. Gupta pun serta merta menolehkan wajahnya. Betapa geram hati lelaki itu ketika melihat tubuh kawannya terseret-seret. Luka-luka goresan yang meneteskan darah, membuat sosok kawannya yang telah kotor tampak begitu mengenaskan. Dan pemandangan itu membuat Gupta tak mampu menahan kemarahan.
"Iblis...! Kalian benar-benar biadab! Tak berperasaan! Bunuh saja kami, daripada kalian siksa seperti binatang yang tak berharga...!"
Pada puncak kemarahannya, Gupta berteriak-teriak keras. Tubuhnya yang dipaksa melangkah tersaruk-saruk itu tampak menegang. Dia mencoba memberontak untuk melepaskan kedua tangan yang terikat kuat. Namun hal itu hanya merupakan tindakan yang sia-sia. Bahkan akhirnya harus menanggung akibat yang mengerikan. Cambuk di tangan Ningrum kembali melecut tubuhnya diiringi tawa mengejek perempuan-perempuan tak berperasaan itu.
Ctarrr! Ctarrr!
"Aaakh...!"
Gupta meraung-raung keras karena merasakan sakit yang mendera tubuhnya. Darah segar pun meleleh keluar dari luka sayatan akibat cambuk yang dilecutkan beberapa kali.
"Perempuan-perempuan setan..! Lepaskan aku! Ayo kita bertarung sampai seribu jurus...!" teriak Gupta menantang karena marah dan tak tahan merasakan sakit disekujur tubuhnya. Matanya terbelalak merah menatap tajam perempuan itu.
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengejek di sana-sini yang membuat dada Gupta terasa meledak. Mulutnya kembali terpekik ketika merasakan seretan itu semakin cepat. Ternyata perempuan itu melarikan kudanya. Sehingga, tak ada kesempatan sama sekali bagi Gupta untuk bangkit berdiri. Darah segar semakin banyak mengalir, turun membasahi tubuhnya. Jalan terjal berbatu yang dilalui rombongan itu membuat sekujur tubuh Gupta dipenuhi luka. Betapa sakit dan perihnya luka-luka di tubuhnya!
"Kakang...!" teriak kawannya yang masih berdiri melangkah tersaruk-saruk. Suaranya kering dan parau. Sungguh, kalau saja tidak merasa malu, ingin sekali dia menangis, melihat penderitaan Gupta. Kendati demikian, matanya tidak bisa menahan air yang mulai mengalir keluar. Apalagi kawannya yang seorang sudah tak bergerak lagi, dan terus terseret lari kuda. Dia tak tahu apakah kawannya pingsan atau sudah tewas karena siksaan.
Gupta sendiri sudah tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terlonjak-lonjak karena jalan yang mereka lalui tidak rata, semakin menambah berat deritanya. Sekujur tubuhnya dirasakan nyeri dan linu. Goresan bebatuan membuat pakaiannya terkoyak. Gupta hanya mampu memejamkan kedua matanya sambil menggigit bibir kuat-kuat, bahkan sampai mengeluarkan darah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat hati perempuan-perempuan kejam itu tergerak untuk menghentikan siksaannya.
Sementara itu ketiga tawanan yang diseret penunggang-penunggang kuda berpakaian serba hijau, hanya bisa menarik napas panjang, dan mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Mereka bukan tak tahu dengan apa yang menimpa tiga orang tawanan di rombongan belakang. Namun, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong, akhirnya mereka hanya bisa mengutuk dalam hati atas kekejaman perempuan-perempuan berhati iblis itu. Tak satu pun dari mereka yang berani menoleh. Karena hal itu bisa mendatangkan bencana yang mengerikan. Hanya sesekali mereka memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam.
"Heaaa...!"
Gupta yang merasa tidak sanggup lagi untuk menahan semua penderitaan itu, tiba-tiba memekik sekuat tenaga. Kemudian menyentakkan tali yang mengikat kedua tangannya. Gupta nekat hendak melepaskan dirinya dari ikatan itu. Tapi....
"Aaakh...!"
Gupta melolong kesakitan. Tali pengikat yang hanya sebesar jari kelingking itu ternyata sangat kuat. Sentakannya barusan membuat tali itu terbenam ke dalam pergelangan tangan. Darah mengalir karena kulit di pergelangan tangan Gupta sobek sampai ketulang. Rasa sakit yang dirasakannya membuat Gupta jatuh tak sadarkan diri. Sehingga, tubuhnya terseret tanpa daya. Untung saja saat itu rombongan telah melewati jalan berbatu, dan mulai memasuki daerah padang rumput yang luas. Sehingga, penderitaan yang dirasakan Gupta tidak semakin parah.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara perintah dari dalam tandu. Seketika itu juga, rombongan pun terhenti. Hal itu tentu saja membuat para tawanan merasa sedikit lega. Karena mereka dapat beristirahat, meski dalam keadaan berdiri dan di dalam sinar matahari yang terik.
"Ningrum. Tinggalkan bangkai tak berguna itu...!"
Mendengar perintah ketuanya, sepasang mata dingin Ningrum menoleh ke belakang. Dilihatnya tubuh lelaki di samping kanan Gupta sudah tidak bergerak lagi. Rupanya nyawa lelaki berahang kokoh, kawan Gupta itu telah melayang. Dia sudah tak sanggup untuk menahan penderitaan itu lebih lama.
Tanpa banyak cakap lagi, Ningrum langsung melompat turun dari punggung kudanya. Kemudian melepaskan tali pengikat kedua lengan lelaki yang telah menjadi mayat itu. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ningrum kembali melompat ringan ke atas punggung kudanya. Dari gerakan yang dilakukan, menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi. Hanya sekali menggenjot, tubuhnya telah berada di atas punggung kuda.
"Lanjutkan perjalanan...!"
Perintah dari dalam tandu yang tertutup kain sutera merah muda itu kembali terdengar. Rombongan bergerak serentak. Tak satu pun dari anggota rombongan yang mempedulikan Gupta. Padahal tubuh lelaki kekar berkumis tipis itu sudah sangat mengenaskan. Tampak tubuhnya yang luka-luka berlumuran darah bercampur tanah, terseret-seret terus tanpa ampun.
Sementara itu, kawan Gupta yang tinggal seorang hanya mampu menatap iba. Untuk mengeluarkan suara saja mulutnya seperti tak kuasa. Terasa kelu, getir, dan pahit, karena kerongkongannya kering kerontang. Selain itu sekujur tubuhnya dirasakan seperti telah kehabisan tenaga. Matanya mulai berkunang-kunang seiring dengan rasa kesemutan dan gemetaran di sekujur tubuh.
Perempuan-perempuan cantik berhati iblis itu terus bergerak dengan kuda mereka. Tentu saja perjalanan yang agak cepat itu membuat keempat pemikul tandu harus berlari-lari kecil. Tampaknya keempat pemikul tandu itu pun tidak berbeda jauh keadaannya dengan para tawanan. Keringat yang meleleh membasahi tubuh telanjang itu sudah tak ubahnya orang yang baru saja berendam di sungai. Namun anehnya, mereka seakan-akan tak merasa kelelahan sedikit pun. Entah apa yang telah membuat tenaga mereka bagaikan tak pernah habis.
DUA
Seorang pemuda tampan bertubuh sedang mengenakan jubah panjang berwarna putih berdiri tegak di tengah jalan. Dengan kening berkerut matanya menatap tajam ke depan. Kedua kakinya terpentang menghadang jalan. Senyum sinis di wajahnya menyiratkan rasa ketidaksenangan dengan apa yang terlihat di depan.
"Celaka...!"
Suara berdesis itu terdengar dari dalam tandu yang diusung empat orang lelaki kekar. Nadanya jelas menggambarkan kekhawatiran. Karena dari balik sutera merah muda yang menutupi bagian depan tandu, matanya melihat sosok yang menghadang perjalanan rombongannya. Rupanya rombongan kecil inilah yang membuat pemuda tampan berjubah putih itu merasa terusik jiwanya dan menghadang di tengah jalan.
"Kita mendapat halangan besar...!" desis orang di dalam tandu, membuat enam orang wanita di depan dan belakang tandu mengerutkan kening serentak.
Karena menangkap adanya nada khawatir dalam suara ketuanya, keenam perempuan cantik itu pun berusaha menegasi sosok bertubuh sedang yang berdiri menghadang jalan. Namun mereka tetap belum mengerti, mengapa suara itu terdengar penuh kecemasan. Padahal yang menghadang jalan mereka seorang pemuda tampan dan menarik. Dan tak ada orang lain kecuali pemuda berjubah putih Itu. Tentu saja mereka merasa penasaran.
"Pemuda tampan berjubah putih itukah yang Ketua maksud sebagai halangan besar?" tanya Ningrum karena tak dapat menahan rasa penasaran di hatinya. Dia tidak melihat sesuatu yang perlu ditakutkan dari pemuda berjubah pulih itu. Ningrum sendirijustru sempat tergetar hatinya, melihat ketampanan dan sikap pemuda berjubah putih itu.
"Bodoh kau, Ningrum! Tidakkah kau kenali siapa sebenarnya yang menghadang perjalanan kita?" terdengar suara dari dalam tandu setengah membentak.
Bentakan itu membuat Ningrum agak pucat. Matanya lalu memperhatikan lebih teliti sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri menghadang di tengah jalan itu. Wajah perempuan itu semakin pucat pasi. Dan hatinya yang semula tergetar karena ketampanan pemuda itu, seketika berubah getar kecemasan.
"Apakah..., apakah Ketua hendak mengatakan kalau pemuda itu Pendekar Naga Putih...?" desis Ningrum dengan suara kering. Kekagumannya langsung berubah rasa khawatir, ketika teringat dan mulai menebak siapa sesungguhnya pemuda tampan berjubah putih yang menghadang jalan mereka itu.
"Itulah sebabnya mengapa aku bilang celaka, Bodoh...!" maki orang dalam tandu yang kedengarannya semakin menggambarkan kecemasan hatinya. Apalagi ketika dari balik tirai dilihatnya pemuda berjubah putih itu melangkah lebar menghampiri rombongannya. Tentu saja dia tahu apa yang diinginkan pemuda berjubah putih itu.
"Kalau begitu, kita benar-benar mendapat halangan besar kali ini, Ketua...!" desis Ningrum mulai ikut cemas. "Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali melawannya sekuat tenaga. Bersiaplah untuk menyambutnya...!" sahut orang dari dalam tandu yang kini nada suaranya mulai tegang.
Kalau para perempuan cantik berhati kejam itu merasa tegang dan cemas, lain halnya dengan tawanan-tawanan mereka. Wajah para tawanan yang semula berkerut melihat sosok pemuda tampan berjubah putih itu, seketika berubah cerah setelah mendengar pembicaraan Ningrum dengan perempuan yang berada dalam tandu. Seketika itu juga timbul harapan di hati para tawanan untuk dapat terbebas dari siksaan perempuan-perempuan keji itu.
"Pendekar Naga Putih, tolonglah kami...!" Salah seorang tawanan yang berada di depan, langsung berteriak kepada pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Namun tiba-tiba...
Ctarrr...!
Suara ledakan cambuk terdengar disusul pekik kesakitan lelaki tawanan itu, ketika perempuan berpakaian serba hijau melecutkan cambuknya. Tubuh lelaki itu menggeliat- geliat kesakitan. Bilur merah memanjang terlihat membelah sebagian wajahnya, dan meneteskan darah segar.
"Tahan...!" teriak Panji, ketika melihat perempuan berpakaian hijau itu hendak mengangkat cambuknya. Bahkan tubuh pemuda berjubah putih itu langsung melesat dengan kecepatan yang sukar untuk diikuti mata. Tangan kanannya terulur hendak merebut cambuk di tangan kanan perempuan itu. Tapi....
"Haiiit..!"
Wuttt!
Perempuan berpakaian hijau yang bermata lebar dan bening itu memekik keras. Cambuk di tangannya langsung digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, menyambut datangnya tubuh Pendekar Naga Putih. Namun, Panji bukanlah orang yang mudah untuk dijadikan korban cambuk itu. Melihat gerakan perempuan itu, tangannya langsung terulur dengan kecepatan kilat. Sehingga, ujung cambuk lawan dapat ditangkapnya dengan mudah.
"Hih...!"
Tappp!
"Hah...!"
Perempuan cantik bermata lebar itu tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia sama sekali tak menyangka kalau pemuda berjubah putih itu dapat bergerak begitu cepat. Sehingga, ujung cambuknya dengan mudah dapat ditangkap. Pendekar Naga Putih yang sudah melihat betapa ganasnya perempuan itu, langsung menyentakkan cambuk di tangannya. Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan kuat. Sehingga...
"Hih...!"
Wrettt!
"Aaakh...!"
Perempuan cantik yang duduk di atas punggung kuda itu terpekik ngeri. Karena tubuhnya tiba-tiba tersentak keras dan terlontar ke udara.
"Haits...! Heaaa...!"
Panji sempat dibuat kagum melihat gerakan lawan. Perempuan berpakaian hijau itu ternyata mampu menguasai diri. Dengan bersalto beberapa kali di udara, tubuh ramping itu meluncur dengan manis dan mendarat ringan di atas tanah.
"Hih!"
Jliggg!
"Hebat...!" puji Panji yang tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Karena gerakan perempuan itu jelas menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi. Namun, pujian itu bukan berarti Panji menunda gerakannya. Tubuhnya terus meluncur ke depan. Maksudnya tentu saja hendak membebaskan para lelaki yang ditawan perempuan-perempuan kejam itu.
Melihat lawan melesat dengan serangan lanjutan, tiba-tiba dua perempuan cantik berpakaian serba hijau lainnya melontarkan serangan dengan cambuk di tangan masing- masing. Sehingga, Pendekar Naga Putih terpaksa mengurungkan serangannya.
Ctarrr! Ctarrr!
Patukan ujung cambuk yang meliuk dan mengeluarkan suara memekakkan telinga itu, membuat Pendekar Naga Putih harus bergerak mengelak. Sambil memiringkan tubuh, tangan kanannya bergerak cerat untuk menangkap ujung cambuk lawan.
Tampaknya kali ini Pendekar Naga Putih tidak mudah untuk melakukan hal itu. Kedua orang lawan yang telah mengetahui gerakannya, langsung menarik senjatanya. Kemudian dengan cepat pula dilecutkan kembali dengan pengerahan tenaga dalam yang lebih kuat. Bahkan tubuh kedua perempuan itu sudah melayang ke udara dengan ringannya.
Ctarrr!
"Haiiit...!"
"Ciaaat...!"
Terdengar pekik melengking susul-menyusul disertai ledakan cambuk yang memekakkan telinga. Mau tidak mau Pendekar Naga Putih harus melayani serangan dua orang perempuan berpakaian hijau itu. Dengan gerakan meliuk ke sana kemari menghindari patukan ujung-ujung cambuk yang terus memburu.
Namun, bersama gerakan mengelak, pendekar muda itu sempat melakukan serangan dengan tamparan- tamparan beruntun. Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih membuat kedua orang lawannya sulit untuk bergerak. Seolah tangan pemuda itu berubah menjadi banyak, yang menyerang dari tiap penjuru. Sehingga, perempuan-perempuan berpakaian serba hijau itu pun tampak mulai terdesak.
"Haaat...!"
Ctarrr! Ctarrr...!
"Haiiit...!"
Ketika Pendekar Naga Putih tengah mendesak dan siap merobohkan lawan-lawannya, tiba-tiba terdengar teriakan melengking susul-menyusul. Tiga sosok bayangan merah muda dan sesosok bayangan hijau melesat cepat memasuki kancah pertempuran. Ledakan-ledakan cambuk pun terdengar setiap kali sosok-sosok cantik itu melecutkan cambuk mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Kehadiran empat orang itu tampaknya tak banyak berarti bagi Pendekar Naga Putih yang tengah meningkatkan serangannya. Bahkan tubuh pemuda itu sudah terlapisi kabut bersinar putih keperakan yang mengandung hawa dingin menggigit. Karuan saja keenam orang perempuan kejam itu tersentak kaget bukan kepalang. Sebab, pengaruh hawa dingin yang keluar dari setiap serangan Pendekar Naga Putih seolah membekukan urat-urat di tubuh mereka.
Serangan-serangan keenam perempuan itu tampak mulai mengendur, karena perhatian mereka seketika terpecah. Tampak keenam perempuan cantik itu lebih banyak memusatkan pikiran untuk mengatasi pengaruh hawa dingin menggigit itu. Tentu saja hal itu membuat gerakan mereka kacau dan tak terarah. Pendekar Naga Putih mulai memperoleh kedudukan yang menguntungkan. Dua serangan yang dilontarkannya mendarat telak di tubuh dua orang lawan.
"Heaaa...!"
Plakkk! Bukkk...!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar. Dua tubuh ramping yang terbungkus pakaian hijau, terlempar sampai di luar arena pertempuran dan jatuh terguling di tanah. Pukulan dan tamparan keras Pendekar Naga Putih yang mendarat di punggung kedua perempuan itu membuat bagian dalam tubuh mereka terguncang. Sehingga, darah segar pun merembes dari sudut bibir-bibir tipis yang selalu menunjukkan senyum sinis itu. Tampaknya tamparan itu sempat menimbulkan luka dalam tubuh kedua lawan.
"Heaaa...!"
Ctarrr...! Ctarrr...!
"Haits...!"
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melesat cepat ke atas. Pemuda itu berusaha menyambut serangan dua cambuk yang meliuk mengincar tubuhnya. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga angin pukulannya, Panji telah membuat ujung-ujung cambuk itu membalik dan balik mengancam tubuh pemiliknya. Karuan saja kedua perempuan berpakaian merah muda itu kaget bukan kepalang. Karena luncuran ujung cambuk itu menjadi dua kali lebih cepat. Serta merta mereka berusaha mengelak agar tak termakan senjatanya sendiri.
"Heaaa...!"
Namun tanpa diduga dengan cepat sosok bayangan putih berkelebat mendahului datangnya ujung cambuk. Kedua perempuan berpakaian merah muda itu tersentak kaget. Sungguh, mereka tak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan bergerak demikian cepat. Sehingga....
Plakkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh dua orang perempuan itu terlempar deras, kemudian jatuh terbanting ke tanah dengan kerasnya. Untuk beberapa saat mereka tidak mampu bangkit. Pandangan mereka berkunang-kunang, hingga sulit untuk melihat jelas keadaan di sekitar. Darah segar yang keluar dari mulut keduanya menandakan kalau pukulan Pendekar Naga Putih telah membuat luka dalam tubuh mereka.
"Kurang ajar...!" terdengar suara menggeram dari dalam tandu. Seketika itu juga tirai penghalangnya tersibak. Dan....
Siiing! Siiing!
Seiring dengan suara berdesingan tajam yang membelah udara siang, melesat cepat lima larik cahaya putih menyilaukan, memburu mangsa. Sasarannya ternyata lima jalan darah di tubuh Pendekar Naga Putih. Lesatan lima cahaya putih yang begitu cepat itu membuat Pendekar Naga Putih sesaat tersentak kaget. Keningnya mengerut, menyadari kalau senjata gelap itu sangat berbahaya. Apalagi dilontarkan oleh seorang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
"Hebat...!" gumam Panji mengeluarkan pujian setulusnya. Namun, bukan berarti Pendekar Naga Putih menyerah dan menerima saja serangan-serangan berbahaya itu. Bahkan serangan yang ditujukan kepada dua orang lawan terakhirnya tetap dilanjutkan, meski hanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya dikibaskan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', yang sulit dicarikan tandingannya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua orang lawan terakhirnya langsung terpekik keras. Tubuh mereka terjungkal ke tanah, lalu terguling-guling sejauh dua tombak lebih. Dapat dipastikan kalau pukulan itu telah menghentikan perlawanan mereka. Sementara lima bentuk sinar putih yang ternyata berasal dari pisau terbang, terpental balik akibat sampokan tenaga dalam Pendekar Naga Putih. Kelima pisau terbang itu meluncur cepat dengan dua kali lebih cepat, memburu ke arah tandu.
"Gila...! Benar-benar luar biasa sekali!" Terdengar perempuan di dalam tandu bergumam penuh rasa terkejut, sambil tangannya dengan cepat bergerak melolos selendang merah muda yang melilit pinggangnya. Kemudian...
"Haiiit!"
Seiring dengan terdengarnya pekikan nyaring, tirai penutup tandu tersibak. Selarik sinar merah melesat keluar dan langsung mematahkan serangan balik kelima pisau bercahaya putih itu.
Wuttt!
Trakkk...!
Terdengar suara keras ketika sinar dari selendang merah menghantam pisau-pisau itu. Seketika benda-benda yang tengah meluncur cepat itu berpatahan dan berpentalan ke tanah. Selendang merah muda itu jelas digerakkan dengan kekuatan tenaga dalam yang hebat.
"Tak kusangka orang di dalam tandu itu memiliki kepandaian yang hebat! Tenaga dalam dan kecepatan geraknya benar-benar mengagumkan! Menilik dari senjata yang digunakan, aku yakin kalau orang di dalam tandu itu pastilah seorang perempuan cantik. Para anak buahnya saja sudah sedemikian cantik. Apalagi majikannya...," gumam Panji penuh rasa kagum terhadap kesaktian perempuan di dalam tandu itu.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menunggu kemunculan perempuan di dalam tandu itu. Namun, tidak sedikit pun sutera merah penutupnya terbuka. Nampaknya penghuni tandu itu memang tak bermaksud menampakkan diri di hadapan Pendekar Naga Putih. Panji semakin tak sabar, dan melangkah perlahan menghampiri tandu yang tetap berada di atas pundak empat lelaki kekar. Keempat pengusung tandu itu rata-rata berusia tiga puluh tahun.
"Berhenti...!" Terdengar bentakan dari dalam tandu. Langkah Panji pun terhenti. Kendati demikian dia tetap tidak mengalihkan pandangan dari tirai merah muda penutup tandu itu.
"Mengapa kau mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih...?" tanya perempuan dari dalam tandu penuh ketidaksenangan.
"Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Nisanak? Setiap kekejaman di atas permukaan bumi ini merupakan urusan semua orang yang menjunjung tinggi keadilan. Jadi jelas, persoalan ini juga merupakan urusanku...," sanggah Panji dengan suara lantang.
Tentu saja jawaban tak terduga itu mengejutkan perempuan yang berada di dalam tandu. Terbukti beberapa saat tidak ada sahutan. Rupanya perempuan tua itu tengah mencari jawaban atas sanggahan Pendekar Naga Putih.
"Apakah ucapanmu itu memiliki arti bahwa kau mengetahui latar belakang tindakan kami..?" tanya perempuan di dalam tandu, agak ragu-ragu. Hatinya seakan-akan ingin mengetahui sampai seberapa jauh Pendekar Naga Putih mengetahui sepak terjangnya.
"Hm..., sekalipun aku belum tahu persoala sebenarnya, tapi ketidakadilan yang terjadi di depan mataku, tak bisa kudiamkan begitu saja. Dan kalau tidak merasa keberatan, silakan jelaskan duduk perkaranya kepadaku...," ujar Panji lagi yang membuat perempuan di dalam tandu menggeram jengkel. Seakan-akan dia merasa kalah bicara dengan pemuda tampan berjubah putih itu.
Sejenak keadaan berubah hening. Perempuan di dalam tandu itu sepertinya tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Tidak terdengar suara sampai beberapa saat lamanya. Namun pemuda tampan itu tetap menunggu, hendak mendengar bagaimana tanggapan perempuan di dalam tandu itu.
Sementara itu keenam perempuan cantik pengikut tokoh yang belum jelas jati dirinya itu, sudah berkumpul di kedua sisi tandu. Mereka hanya menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan wajah menyiratkan kegentaran. Dengan sabar mereka menunggu tindakan yang akan diambil sang Ketua. Tidak berapa lama kemudian, tirai penutup tandu mendadak tersibak. Dari dalam tampak keluar sesosok tubuh ramping dengan kepala tertunduk. Separo wajahnya tertutup cadar berwarna merah muda yang tipis dan menyamarkan raut wajah di baliknya.
TIGA
Panji sempat tertegun seraya menyembunyikan kekagetannya. Sosok yang berada di dalam tandu ternyata berbeda jauh dengan dugaannya. Wajah perempuan bertubuh ramping itu bukan saja tidak cantik. Bahkan bisa dibilang menyeramkan. Karena wajah yang tersembunyi di balik cadar tampak demikian rusak, seperti luka bakar.
Keningnya mengerut tajam dengan kulit yang terkelupas. Menimbulkan pemandangan yang menjijikkan. Hanya sepasang mata yang bening dan menyiratkan bahwa pada mulanya wajah itu mungkin sangat cantik. Sayang, luka bakar di wajahnya telah melenyapkan kecantikan perempuan itu. Kalau semula orang akan bertekuk lutut di bawah kakinya, memohon agar cinta mereka terbalas, tapi kini dengan luka bakar yang mengerikan seperti itu, para pemuda akan lari tunggang-langgang ketakutan.
Sambil menenangkan perasaannya, Panji memperhatikan perempuan berpakaian merah muda itu. Dari keadaan tubuhnya dapat diduga kalau usia perempuan buruk itu tidak lebih dari dua puluh tahun. Kulitnya halus, putih, dan tampak lembut di balik pakaian merah muda yang tipis.
Agak iba juga hati pendekar muda itu melihat keadaan perempuan yang selalu menyembunyikan dirinya di dalam tandu. Namun, semua itu bukan berarti bahwa Panji mundur dari niatnya semula. Tidak. Panji tetap menginginkan lima lelaki tawanan mereka dilepaskan. Apa pun duduk persoalannya. Karena siksaan yang dijalani lima orang lelaki itu telah melampaui batas-batas kemanusiaan.
"Pendekar Naga Putih...," ujar perempuan buruk rupa itu dengan suara dingin dan mendesah. "Bukankah kau ingin membebaskan tawanan-tawanan kami...?"
"Memang itu keinginanku...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm..., kalau begitu keinginanmu, maukah kau menukar mereka dengan diri kami...?" tanya perempuan buruk itu lagi, berdesah.
"Apa maksudmu, Nisanak...?" tanya Panji seraya mengerutkan kening, karena belum bisa memastikan ke mana arah pembicaraan perempuan buruk rupa itu.
"Biarkan kami pergi tanpa diganggu! Dan kau boleh ambil semua tawanan kami...," pinta perempuan buruk rupa itu mengajukan syarat kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku bukanlah orang buas yang haus darah. Kalau itu yang kau inginkan, baiklah...," sahut Panji seraya memalingkan wajahnya kepada lima tawanan. Pendekar Naga Putih menggerakkan tangannya mencegah salah seorang dari tawanan itu yang hendak berbicara. Kelihatannya lelaki itu hendak membantah, karena tak menyetujui usul perempuan berwajah menjijikkan itu.
"Hm..." Perempuan buruk itu seperti menyunggingkan senyum puas. Kemudian bergerak naik ke dalam tandu dan memerintahkan para pengikutnya agar segera pergi dari tempat itu.
Panji sama sekali tidak bergerak. Ditatapnya kepergian perempuan-perempuan itu dengan mata tak berkedip. Baru kemudian berpaling setelah rombongan kecil itu semakin jauh.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Kemunculanmu benar-benar membuat kami merasa bebas dari lubang kubur...," ucap salah seorang dari tiga lelaki yang ditawan perempuan berpakaian hijau. Usia lelaki itu sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampak ramah, membuat orang mudah menyukainya. Dia benar-benar merasa bersyukur dengan kemunculan Pendekar Naga Putih menyelamatkan mereka dari siksaan.
Panji hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kendati tak diutarakan, dia tahu kalau pemuda gagah itu memendam rasa penasaran atas tindakannya melepaskan perempuan-perempuan kejam itu begitu saja. Padahal untuk semua itu Panji tentu mempunyai alasan yang kuat.
Setelah ketiga orang itu terbebas dari ikatan, Pendekar Naga Putih bergegas menghampiri lelaki berkumis tipis, yang masih tergeletak pingsan. Dilepaskannya tali pengikat pergelangan tangan lelaki yang tak lain Gupta itu. Segera ditotoknya beberapa bagian tubuh berlumuran darah itu untuk menghentikan pendarahan. Karena luka yang cukup dalam pada pergelangan tangan Gupta tampak masih mengeluarkan darah. Kemudian dibawanya tubuh tegap itu ke tepi jalan, setelah membebaskan kawan Gupta.
Dengan penuh ketelitian, Pendekar Naga Putih merawat luka-luka di sekujur tubuh Gupta. Untung di dalam buntalan pakaiannya, Panji masih menemukan obat luka. Segera dibalurkan ke tubuh Gupta, setelah melepaskan pakaian sebelah atas lelaki itu. Gupta yang disadarkan Panji dari pingsannya, membuka pelupuk mata perlahan.
Ada kilatan terkejut ketika mendapati dirinya telah rebah dengan sekujur tubuh terasa hangat. Terlebih ketika melihat seorang pemuda tampan telah berada di sampingnya dan tersenyum. Gupta mengawasi sekitar dengan ekor matanya. Bibirnya tampak bergerak-gerak ketika melihat wajah kawannya yang juga tersenyum.
"Kita telah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari keganasan perempuan-perempuan iblis itu, Kakang...," ujar lelaki bertubuh kekar itu, seakan hendak menjelaskan kepada Gupta yang baru siuman. Mendengar ucapan kawannya itu wajah Gupta tampak terkejut.
"Tetaplah beristirahat, Kisanak! Luka-lukamu masih menghambat gerakan dan mungkin masih agak nyeri...," cegah Panji seraya menekan kedua bahu Gupta perlahan ketika melihat lelaki tegap itu memaksa hendak bangkit
"Atur jalan napas agar kesehatanmu semakin membaik…"
"Te... terima., kasih, Tuan Pen.. dekar..., ucap Gupta dengan susah-payah.
Pendekar Naga Putih hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri setelah melihat kedua mata Gupta terpejam. Rupanya lelaki tegap itu langsung mengikuti petunjuk yang diberikannya. Panji bergerak menjauh dari tempat Gupta terbaring, dijaga kawannya. Ketiga lelaki lain tampak mengikuti dari belakang. Mereka pun duduk di bawah pohon besar, berhadapan dengan Pendekar Naga Putih.
"Perselisihan apa yang membuat kalian sampai disiksa oleh perempuan-perempuan tadi...?" tanya Panji setelah menarik napas dalam-dalam. Dirayapinya satu-persatu wajah ketiga lelaki yang bertubuh gagah itu.
"Pendekar Naga Putih...," sahut lelaki bertubuh tegap dan berwibawa. Lelaki berwajah tampan ini tampak lebih pandai berbicara ketimbang dua orang kawannya. "Aku bernama Rancaka. Kami bertiga merupakan saudara seperguruan yang telah setahun lebih melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman."
Lelaki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada Panji. Kemudian terdiam sesaat seperti hendak melihat tanggapan pendekar muda yang sebenarnya telah lama menimbulkan kekaguman di dalam hati mereka.
Panji hanya menganggukkan kepala perlahan. Tak sepatah kata pun tanggapan keluar dari mulutnya, seakan-akan masih menunggu kelanjutan cerita lelaki bernama Rancaka itu.
"Belakangan ini kami mendengar tentang adanya pembunuhan dan penculikan. Yang membuat kami merasa penasaran dan ingin menyelidiki, adanya keanehan dalam setiap kejadian. Karena selain korbannya terdiri dari kaum lelaki yang kebanyakan masih berusia muda hampir semua yang terbunuh dan hilang tanpa jejak adalah orang-orang dari rimba persilatan. Sayang, si pembuat keonaran itu ternyata rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kami. Mereka tak lain perempuan-perempuan kejam yang tadi kau lepaskan begitu saja, Pendekar Naga Putih...," Rancaka menghentikan ceritanya. Dalam sorot matanya tersirat rasa penasaran yang menuntut penjelasan dari Pendekar Naga Putih.
"Hm...," Panji bergumam pelan, seraya melemparkan pandangannya menatap rimbun pepohonan. Sedang Rancaka dan kedua kawannya menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut pendekar muda itu.
"Kau tentu merasa penasaran karena aku telah membebaskan mereka, bukan...?" tanya Panji seraya menatap wajah Rancaka, yang serta-merta menundukkan kepala, tak sanggup menentang tatapan mata tajam Pendekar Naga Putih.
"Maaf, kalau rasa penasaranku membuatmu terganggu, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka perlahan. Tampak jelas betapa lelaki kekar itu menaruh hormat kepada pemuda tampan berjubah putih di depannya. Kareha sikap maupun tatapan Pendekar Naga Putih demikian kuat mengandung kewibawaan.
"Jangan meminta maaf atas sikapmu yang benar itu, Rancaka!" tukas Panji cepat, yang membuat Rancaka berani mengangkat kepalanya. "Kalaupun tadi kubiarkan mereka pergi begitu saja, itu karena ada beberapa pertimbangan yang telah kuperhitungkan masak-masak..."
Rancaka dan kedua kawannya tampak menganggukkan kepala, kendati belum mengetahui alasan Pendekar Naga Putih. Sementara Panji tak segera melanjutkan penjelasannya. Wajahnya menyunggingkan senyum simpul seraya menatap ketiga lelaki gagah itu. Sehingga, Rancaka dan kedua orang kawannya menunggu dengan sabar. Mereka belum bisa menduga apa alasan Pendekar Naga Putih melepaskan perempuan-perempuan biadab itu.
"Pertama," ujar Panji tiba-tiba. "Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian berlima. Karena, bisa saja aku bertarung, perempuan-perempuan itu akan berlaku licik. Misalnya menggunakan kalian sebagai pelindung. Bila aku melanjutkan pertarungan, mereka akan membantai kalian satu-persatu..."
Rancaka dan kawan-kawannya tersentak kaget. Sungguh mereka tak sampai berpikir kalau perempuan-perempuan kejam itu akan bertindak demikian untuk melumpuhkan perlawanan Pendekar Naga Putih. Rancaka pun sadar akan keterbatasan pikirannya.
"Kedua...," Panji melanjutkan setelah Rancaka dan kedua kawannya kembali memandang ke arahnya. "Perempuan berwajah buruk itu bukan orang sembarangan. Mungkin aku pun belum tentu mampu mengalahkannya dalam lima puluh jurus. Mungkin memerlukan seratus jurus atau lebih untuk dapat merobohkannya. Dengan begitu, kecil kemungkinan bagi kalian masih bisa hidup, kendati aku memenangkan perkelahian. Nah, kedua alasan itulah yang membuatku menyetujui usul perempuan sakti berwajah cacat itu..."
"Hhh...," Rancaka menghela napas panjang dengan wajah penuh sesal. Karena semula disangkanya Pendekar Naga Putih merasa tak tega menghukum perempuan-perempuan kejam yang memang rata-rata berwajah cantik itu, kecuali pemimpinnya.
"Maafkan kebodohanku, Pendekar Naga Putih! Berhadapan denganmu, kami merasa seperti anak-anak kecil yang tak tahu persoalan...," tukas Rancaka dengan suara pelan.
"Tidak perlu meminta maaf, Rancaka! Aku memahami apa yang ada dalam pikiranmu. Terus terang, aku pun merasa tak tega melukai atau membunuh mereka. Selain wajah mereka rata-rata cantik, tampaknya mereka menyembunyikan luka di balik sikap dingin dan kejam. Aku pun belum mengetahui secara jelas tentang sepak terjang mereka. Jadi, kau tak perlu merasa bersalah kepadaku, Rancaka..." tukas Panji seraya menepuk perlahan bahu Rancaka.
Rancaka hanya bisa tersenyum dengan kepala tertunduk. Hatinya merasa agak risih karena Pendekar Naga Putih ternyata dapat menebak jalan pikirannya. Dan sikap serta ucapan pendekar muda itu semakin mendatangkan rasa hormat dan kagum di hatinya.
"Hm..., sudah cukup lama kita bercakap-cakap...," desah Panji seraya bergerak bangkit dari duduknya. Kemudian melemparkan pandang ke arah matahari yang sudah mulai tergelincir ke barat. "Hari sudah semakin sore. Mudah-mudahan lelaki yang terluka parah itu sudah dapat mengembalikan tenaganya," lanjutnya sambil melangkah mendekati tempat Gupta berada.
Rancaka dan kedua kawannya bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. Mereka pun ingin mengetahui bagaimana hasil pengobatan yang dilakukan pendekar muda itu. Sebab, melihat dari cara Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan, mereka menganggap kalau pemuda berjubah putih itu demikian sigap, tak ubahnya seorang ahli.
Apa yang disaksikan Rancaka dan kedua kawannya, benar-benar menimbulkan rasa kagum. Sebab, lelaki tegap berkumis tipis yang semula terluka parah itu, kini tengah duduk bersila ditemani kawannya. Perubahan yang begitu cepat itu jelas menandakan betapa mujarabnya hasil pengobatan yang dilakukan Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih...," sambut Gupta, menyapa Panji sambil tetap bersila. "Rasanya tubuhku sudah semakin membaik. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu..."
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum dan mengangguk. Melihat lelaki tegap itu sudah membaik pun merupakan hal yang menyenangkan baginya. Sehingga hatinya merasa lega. Dan bisa melanjutkan perjalanan tanpa khawatir lagi akan keadaan Gupta.
"Senang sekali melihat kau sudah mulai membaik, Kisanak. Sayang sekali, aku tak bisa tinggal lebih lama untuk menemani kalian," ujar Panji seraya mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu setelah berpamitan kepada Gupta, Rancaka dan tiga orang lainnya.
"Pendekar Naga Putih...!"
Panji menolehkan wajah ketika mendengar panggilan itu. Ditatapnya wajah Rancaka. Karena lelaki itulah yang memanggilnya. "Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepadaku, Rancaka...?" tanya Panji ketika melihat Rancaka ragu-ragu untuk mengatakan apa yang saat itu ada dalam benaknya.
"Bagaimana dengan perempuan-perempuan kejam itu...?" Akhirnya Rancaka memberanikan diri, setelah melihat senyum di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm..., aku akan menyelidiki penyebab kejahatan mereka. Kalau bisa sekaligus menghentikan perbuatan mereka untuk selamanya...," sahut Panji tanpa keraguan sedikit pun. Dan dia tahu jawaban itu telah membuat Rancaka maupun empat orang lainnya tersenyum puas.
"Semoga kau berhasil, Pendekar Naga Putih...," ujar Rancaka yang tak lagi mencegah langkah Panji. Hanya pandang matanya yang mengiringi kepergian sosok pendekar muda itu.
Namun, baru saja beberapa tombak Pendekar Naga Putih melangkah, tiba-tiba tubuhnya berbalik. Kemudian ditatapnya wajah kelima lelaki gagah itu satu-persatu. "Harap kalian berhati-hati jika berjumpa lagi dengan perempuan-perempuan kejam itu...!" seru Panji sekadar mengingatkan kalau perempuan-perempuan itu sangat berbahaya.
"Kami akan mengingatnya...!" sahut Rancaka agak keras. Namun, saat itu sosok Pendekar Naga Putih sudah berkelebat begitu cepat, lenyap dari pandangan mereka.
"Aku yakin Pendekar Naga Putih akan dapat menghentikan keganasan perempuan-perempuan kejam itu...," desah Gupta yang menatap lurus ke arah pepohonan tempat sosok Pendekar Naga Putih lenyap.
********************
"Kakang Panji...!"
Sebuah seruan merdu membuat langkah Pendekar Naga Putih tertahan seketika. Kemudian wajahnya ditolehkan ke tempat datangnya suara panggilan itu. Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang gadis cantik berkulit halus tengah berdiri sekitar sepuluh tombak dari tempatnya. Matanya menangkap sorot kemesraan dan kerinduan dalam mata bening gadis cantik itu.
"Kakang lupa padaku..?" tegur gadis cantik itu ketika melihat pendekar muda itu belum juga bersuara.
Pendekar Naga Putih tidak segera menjawab. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis cantik itu. Karena dia merasa pernah mengenal raut wajah cantik itu, tapi lupa entah kapan dan di mana. Sementara si gadis cantik sudah melangkah semakin dekat.
"Apakah sang waktu telah merubah wajahku hingga Kakang tidak mengenali diriku...?" tanya gadis cantik itu setelah menghentikan langkahnya satu tombak di depan Pendekar Naga Putih. Mata beningnya tak berkedip memandang wajah pemuda di hadapannya tanpa rasa malu. Seakan-akan gadis cantik itu pernah mengenal bahkan akrab dengan Panji. Sehingga pertemuan itu membuatnya tampak sangat bahagia.
"Kau...," Panji tak melanjutkan ucapan itu karena merasa agak ragu untuk menebak siapa sebenarnya gadis cantik itu
"Ya...," sahut gadis cantik dengan kulit bersinar bagaikan rembulan itu. Seakan-akan dia memberi kesempatan kepada pemuda berjubah putih itu untuk menebak siapa dirinya. Kelihatannya gadis cantik itu ingin tahu apa Pendekar Naga Putih masih dapat mengingatnya.
"Benarkah kau..., Suntini...?" tebak Panji, agak ragu. Dirasakan wajah gadis cantik itu jauh lebih matang daripada Suntini yang pernah dikenalnya. Meskipun ada beberapa bagian yang masih dikenalnya, raut wajah itu tampak telah jauh berubah.
"Tidak salah lagi, Kakang!" tukas Suntini terlonjak seperti anak kecil. "Rupanya kau ingat padaku...!" Gadis cantik itu langsung memegang kedua tangan Panji erat-erat. Seolah hal itu merupakan ungkapan perasaan hatinya yang sangat gembira karena perjumpaan itu.
"Aku tak langsung dapat mengenali karena banyak perubahan pada dirimu, Suntini. Waktu setahun ternyata telah membuatmu tampak semakin matang dan...," Panji terpaksa menghentikan ucapannya. Karena apa yang akan dikatakan dirasa agak kurang pantas. Tentu saja menurut pikirannya sendiri.
"Dan apa, Kang? Mengapa tak kau lanjutkan...?" tanya Suntini agak mendesak dengan sepasang mata berbinar. Sepertinya gadis cantik itu sudah dapat menduga kelanjutan dari ucapan Panji yang terpotong. Namun ingin mendengarnya dari mulut pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kau hendak ke mana, Suntini...?" Panji mencoba mengalihkan perhatian gadis cantik itu dengan pertanyaan itu.
Namun, Suntini tak bisa dipancing begitu saja. Gadis itu tetap ingin mendengar kelanjutan ucapan Panji. Sepasang matanya yang bening dan indah tampak menyiratkan keinginan itu. "Aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan ucapan yang tadi...," desak gadis cantik itu memonyongkan bibirnya dengan sikap manja. Sementara tangannya tetap menggenggam kedua lengan Panji erat-erat.
Pendekar Naga Putih terpaksa menyunggingkan senyum. Padahal saat itu dia tengah memutar otak untuk mencari jawaban yang kira-kira tepat untuk disampaikan kepada gadis cantik itu. Dan senyumnya semakin lebar karena Panji telah mendapatkan jawabannya.
"Mengapa kau ingin mengetahui kelanjutan ucapanku yang terpotong tadi, Suntini...?" tanya Panji tetap tersenyum agar tak menimbulkan kecurigaan di hati gadis itu.
"Sudah kubilang aku tak akan menjawab sebelum Kakang menyelesaikan kalimat tadi...!" tukas Suntini tetap merajuk
"Baiklah, akan kulanjutkan...," akhirnya Panji mengalah.
"Katakanlah, Kang? Aku ingin mendengarnya..."
"Aku tadi hendak mengatakan bahwa kau semakin matang dan dewasa. Nah, apa kau puas sekarang...?" ujar Panji tersenyum menatap wajah cantik di depannya.
"Kakang bohong!" sentak Suntini yang langsung melepaskan pegangannya pada tangan pemuda itu. Kemudian tubuhnya berbalik, seolah hendak menunjukkan kepada Pendekar Naga Putih kalau hatinya merasa marah dengan jawaban yang tidak benar itu.
"Mengapa kau bisa berkata begitu, Suntini? Apa yang kukatakan itu sama sekali tidak salah. Kau memang terlihat semakin dewasa dibanding setahun yang lalu," Panji berusaha meyakinkan Suntini bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran.
"Tidak! Aku tak percaya...!" sentak gadis cantik yang mengaku Suntini tetap membelakangi Pendekar Naga Putih.
"Menurutmu apa sebenarnya yang hendak kukatakan tadi...?" akhirnya Panji mengalah dan ingin mengetahui apa yang menjadi dugaan gadis cantik itu.
"Aku tahu, Kakang ingin mengatakan bahwa aku semakin matang dan cantik, bukan? Mengapa Kakang tak langsung saja mengatakannya? Atau aku memang bertambah jelek...?" tanya Suntini yang membuat Panji merasa risih. Karena gadis cantik itu mengetahui kalimat yang sengaja tak diucapkannya tadi.
"Siapa bilang kau jelek, Anak Manis? Hanya orang buta yang akan mengatakan begitu," ujar Panji seraya menyunggingkan senyumnya.
"Tidak! Aku memang bertambah jelek! Buktinya Kakang tak mau mengatakan aku cantik," tukas Suntini yang telah membalikkan tubuhnya. Kemudian ditatapnya kedua bola mata pemuda tampan itu.
"Kalau sudah tahu bahwa dirimu cantik, mengapa harus diributkan lagi? Sudahlah, lupakan saja persoalan sepele itu! Sekarang ceritakanlah padaku, bagaimana kau bisa berada di daerah ini? Bukankah tempat tinggal orangtuamu berada di selatan?" tanya Panji, kembali mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Hhh...!" Suntini menghela napas panjang, seraya melepaskan pandang ke langit yang mulai teduh. Kakinya melangkah perlahan, kemudian menjatuhkan tubuh di bawah pepohonan rindang.
Pendekar Naga Putih tidak mendesak. Diikutinya langkah gadis cantik itu. Kemudian ikut duduk di samping Suntini, yang kelihatan wajahnya agak muram. Ditatapnya wajah cantik itu dari samping. Dia mulai menduga, bahwa ada sesuatu yang telah terjadi dengan keluarga gadis itu.
"Ceritanya panjang sekali, Kakang...," desah Suntini menatap ke depan dengan sinar mata berkabut. Jelas kalau hati gadis cantik itu tengah dilanda kesedihan.
"Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah! Aku siap mendengarnya...," pinta Panji, tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah Suntini yang kelihatan semakin berduka itu. Dengan sabar ditunggunya gadis cantik itu melanjutkan ceritanya.
EMPAT
"Kakang tentu masih ingat peristiwa setahun yang silam. Kakang menolong keluargaku ketika dihadang perampok," ujar Suntini, berusaha mengingatkan Pendekar Naga Putih saat mereka pertama kali berjumpa. Gadis cantik itu menoleh, seperti hendak meminta kepastian dari pemuda di sebelahnya.
"Ya, aku ingat...," sahut Panji meyakinkan Suntini.
"Dan Kakang masih ingat juga bukan, kalau perampok-perampok laknat itu telah membuat ibuku tewas?" tanya Suntini lagi.
"Ya, aku ingat..."
"Nah, setelah peristiwa itu, ayahku pun menyusul sebulan kemudian. Kematian ibu telah mendatangkan penderitaan dalam batinnya. Dengan kematian mereka, tak ada lagi tempatku untuk bergantung. Lalu aku teringat dengan Kakang. Dengan berbekal sedikit ilmu yang kupelajari dari ayah, aku nekat mencari Kakang Panji. Karena hanya Kakanglah satu-satunya yang bisa kupercaya selain kedua orangtuaku yang telah tiada."
Sampai di situ Suntini menghentikan ceritanya. Sepasang mata beningnya menatap wajah Pendekar Naga Putih. Terdengar tarikan napasnya mendesah. Sementara pemuda tampan berjubah putih itu diam tanpa sahutan.
"Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu aku melihat Kakang. Tapi, karena Kakang selalu melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa, aku tak berani mengganggu. Padahal aku ingin sekali dapat berbicara berdua dengan Kakang seperti sekarang ini...," sambung Suntini seraya menatap wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu. Seolah gadis itu tengah mengalami suatu tekanan dalam batinnya.
"Seharusnya kau langsung menemui aku, Suntini. Gadis yang kau maksudkan itu pasti Kenanga. Tapi, tak ada salahnya kalau kau menemui kami berdua...," ujar Panji ketika melihat gadis itu terdiam dan menatapnya dengan mata sayu. Ada kecemasan yang berusaha disembunyikan, karena dia mulai dapat meraba tatapan mata Suntini.
"Siapa gadis jelita yang bernama Kenanga itu, Kakang? Kekasihmu...?" tanya Suntini dengan nada aneh seperti menyimpan rasa cemburu yang besar. Bahkan pendekar muda itu menemukan sinar kemarahan dalam sorot mata gadis cantik itu.
"Gadis yang bernama Kenanga itu memang kekasihku, Suntini..," karena tak ingin sesuatu di dalam hati Suntini kian berkembang, Panji berkata terus terang.
"Sudah kuduga...," desis Suntini dengan suara bergetar, menyiratkan adanya rasa kecewa dalam hati gadis itu. Bahkan kemudian terdengar helaan napasnya yang berat. "Bukankah Kakang pernah berjanji akan singgah ke tempat tinggal kami suatu waktu? Tapi, mengapa Kakang ingkar? Padahal aku yakin Kakang tahu, bagaimana perasaanku saat itu...?" suara Suntini mirip sebuah desahan menyimpan isak. Rupanya gadis itu tak pernah melupakan janji yang pernah diucapkan Panji saat setelah menolong keluarganya.
"Maafkan aku, Suntini. Kalau saja aku mempunyai kesempatan, tentu akan singgah ke tempat tinggalmu. Maaf, kalau aku telah membuatmu kecewa...," ujar Panji dengan perasaan yang mulai tak karuan, karena Suntini semakin berani menuntut banyak darinya. Padahal dia tak ingin menemui gadis itu lagi. Sesungguhnya hatinya tak memberikan harapan kosong kepada Suntini, yang sejak semula disadari kalau gadis cantik itu telah terpikat kepadanya. Entah karena kesaktian atau ketampanannya. Namun, yang jelas Pendekar Naga Putih tahu perasaan gadis itu terhadap dirinya.
"Tapi secara tak langsung Kakang telah memberikan harapan kepadaku? Padahal Kakang tahu, bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Terus terang, semenjak berjumpa dengan Kakang, aku telah memutuskan untuk tak menerima lelaki lain, seorang pangeran sekalipun! Dan janji itu pula yang telah membuatku mengambil keputusan untuk mencari Kakang. Tapi..., yang kuterima justru kehancuran! Mengapa waktu itu tak berterus terang kalau Kakang telah punya kekasih?"
Suntini mengungkapkan semua perasaan yang telah lama terpendam dalam hatinya. Tentu saja pengakuan itu membuat Panji tersentak kaget. Dia sama sekali tak menyangka kalau gadis itu menaruh harapan sedemikian besar. Bahkan kini berani mengutarakannya secara terbuka. Jelas di matanya Suntini merupakan seorang gadis yang keras kepala dan mau menang sendiri. Padahal seharusnya gadis itu tahu kalau sejak semula Panji telah menolak secara halus.
Pendekar Naga Putih terdiam dengan helaan napas panjang yang berat. Sama sekali tidak disangka kalau Sutini ternyata seorang gadis yang buta hatinya. Kebaikan dan sikap halus yang ditunjukkan Panji telah disalah tafsirkan. Bahkan kini berani menuntut secara terus terang. Tentu saja hal itu membuat hati pendekar muda itu susah, serba salah, dan bingung. Dia tak ingin menyakiti hati siapa pun. Apalagi seorang gadis seperti Suntini.
"Suntini...," ujar Panji perlahan. "Sebagai seorang wanita, seharusnya kau mempunyai perasaan yang lebih peka ketimbang lelaki. Dan tak seharusnya kau berjanji untuk menolak lelaki lain. Semestinya kau memahami perasaan hatiku. Selain itu, aku percaya, bahwa kelak kau akan mendapatkan pemuda yang jauh lebih baik dariku. Dan, kalaupun semua sikapku kau anggap suatu kesalahan, biarlah aku meminta maaf kepadamu! Lupakan aku, dan bukalah hatimu untuk dapat menerima kehadiran pemuda lain yang akan mencintaimu dengan sepenuh hati...!"
Ucapan Panji justru membuat air mata gadis itu mengalir turun di pipinya yang halus. Bibirnya yang merah tampak bergetar. Jelas bahwa sehalus apa pun ucapan yang dikeluarkan pemuda itu tetap membuat hati Suntini hancur. Sehingga, hati pemuda tampan itu iba melihat penderitaan gadis di depannya.
"Maafkan aku, Suntini...!" ucap Panji penuh sesal. Kemudian bangkit berdiri dan menyentuh bahu gadis itu yang mulai terguncang menahan isak.
"Kakang...," Suntini berdesah pilu. Disambarnya kedua tangan Panji. Kemudian dilekatkannya ke wajah yang basah oleh air mata. Tangis gadis itu pun semakin menjadi- jadi.
"Suntini..., kau masih muda dan memiliki paras yang cantik. Rasanya tidak sulit bagi pemuda-pemuda gagah untuk jatuh cinta kepadamu. Bahkan aku yakin mereka akan rela mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan cintamu," Panji berusaha menghibur dan menyadarkan Suntini dari kedukaannya. "Kalau saja aku belum memiliki Kenanga, tak sulit rasanya bagiku membalas cintamu. Namun, aku telah memiliki seorang kekasih dan aku sangat mencintainya."
"Tapi, aku rela kau duakan, Kakang! Bagiku asal kau terima perasan hatiku, itu sudah cukup. Kendati hanya menerima sedikit cinta darimu. Aku tak akan menuntut terlalu banyak, Kakang. Percayalah!"
Suntini tetap tidak bisa menerima nasihat dan kata-kata hiburan dari Panji. Bahkan bersikeras mengemis cinta kasih pemuda itu, dengan merelakan dirinya sebagai kekasih kedua. Pendekar Naga Putih rupanya telah merebut seluruh cinta di hati gadis cantik itu.
"Aku tidak bisa, Suntini.... Maafkan aku...!" ujar Panji yang semakin iba melihat betapa gadis cantik seperti Suntini sampai mempermalukan diri sendiri demi mendapatkan cintanya. Ucapan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, kalau cinta kasih Suntini ternyata sudah sedemikian dalam. Sampai-sampai rela diduakan.
"Kalau diriku tak cukup pantas menerima cintamu, biarlah aku menjadi budakmu, Kakang! Asal diperbolehkan ikut ke mana kau pergi, aku sudah merasa bahagia! Apakah untuk menjadi budakmu pun, aku masih belum pantas...?" desak gadis cantik itu yang kali ini memeluk kaki Pendekar Naga Putih dengan kuatnya.
Dapat dibayangkan, betapa hebat perasaan cinta di dalam hati Suntini. Sehingga rela merendahkan dirinya berlutut di depan Panji demi bisa selalu berdekatan dengan pemuda yang telah membuatnya jatuh ke dalam perangkap asmara itu.
Sikap Suntini itu tentu saja membuat Panji kaget bukan kepalang. Cepat disambarnya tubuh gadis itu. Dan dipaksanya bangkit berdiri. Namun, apa yang selanjutnya dilakukan gadis itu, membuat Panji hampir terlompat kaget. Karena begitu dipaksa bangkit dan berdiri dalam Jarak yang sangat dekat, Suntini langsung saja menjatuhkan kepala di dada pendekar muda itu. Kemudian menangis terisak di dada bidang pemuda itu. Sedang kedua tangannya telah melingkar ketat di tubuh Panji.
Karena tak ingin membuat hati gadis itu semakin hancur, akhirnya Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas panjang. Dia khawatir kalau tubuh ramping itu ditelakkan, kendati dengan perlahan, hati Suntini tentu akan semakin sakit. Terpaksalah pemuda berjubah putih itu membiarkan Suntini menumpahkan air mata di dadanya. Panji berharap gadis itu akan segera berlapang dada, setelah tangisnya terhenti nanti. Kemudian menyadari kekeliruannya terhadap sikap baik Pendekar Naga Putih.
"Sudahlah, Suntini, hentikan tangismu! Anggaplah aku kakakmu! Aku tentu akan suka sekali mempunyai adik secantik dirimu."
Setelah menunggu cukup lama Suntini tak juga melepaskan pelukannya, akhirnya Panji mengambil keputusan untuk menganggap gadis itu sebagai saudara. Hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik, menurut pikirannya.
"Tidak, Kakang!" bantah Suntini dengan suara terisak dan masih tetap menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. "Rasa cintaku tidak bisa berubah! Aku lebih suka menjadi budakmu ketimbang menjadi adikmu!"
"Celaka...!" gumam Panji dalam hati. Benar-benar tak disangka kalau Suntini tetap bersikeras memilih menjadi budak ketimbang menjadi adik angkatnya. Sikap gadis itu benar-benar membuat Panji kehilangan akal. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan agar gadis itu menyadari kekeliruannya.
"Sudahlah, Suntini! Jangan siksa dirimu dengan mengharapkan sesuatu, yang kau tahu, tak mungkin bisa aku lakukan. Mari kita bicarakan hal ini baik-baik, dan mencari jalan keluarnya...!" bujuk Panji karena semakin terdorong rasa iba. Dibelainya rambut gadis itu dengan penuh perasaan sayang. Tentu saja rasa sayang itu bukan berarti dirinya membalas dan menerima cinta Suntini. Hatinya memang lebih condong mengasihi gadis itu sebagai saudara.
Namun perlakuan Panji diartikan lain oleh Suntini. Merasakan belaian lembut tangan pemuda itu, perlahan wajahnya terangkat dari dada Panji. Kemudian wajahnya didongakkan, menatap wajah di atasnya. Sehingga ujung hidung gadis itu menyentuh dagu Panji. Serta merta Panji menarik wajah ke belakang dengan halus.
Entah karena sudah terlarut belaian tangan Pendekar Naga Putih, Suntini melakukan tindakan yang sangat mengejutkan Panji. Bagai kerasukan setan, mulutnya menciumi sekujur wajah pemuda yang sangat dicintai itu. Karuan saja pemuda tampan itu kelabakan. Dengan cepat ditolaknya tubuh gadis itu, hingga pelukan Suntini terlepas dan terdorong mundur beberapa langkah. Suntini tersentak kaget merasakan perlakuan Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya terbelalak memancarkan rasa terkejut. Seolah gadis itu sama sekali tak menyangka kalau Panji akan berbuat seperti itu terhadapnya.
"Kau kejam sekali, Kakang...!" rintih gadis dengan suara parau, menggambarkan perasaan hatinya yang tercampakkan. "Padahal aku rela menyerahkan segalanya kepadamu, termasuk hidupku. Tidak sadarkah kalau apa yang baru Kakang lakukan semakin membuat hatiku hancur...!"
Pendekar Naga Putih mengatupkan rahangnya kuat-kuat ketika melihat kilatan mata Suntini yang menyiratkan perasaannya. Namun dia mencoba menguatkan hati, karena kalau dibiarkan berlarut-larut, Suntini akan semakin sakit hati.
"Maaf, kalau perlakuanku kau anggap terlalu kasar, Suntini! Tapi, sadarlah kalau aku tidak bisa membalas perasaan cintamu. Sampai kapan pun aku tetap tak bisa...," tegas Panji yang membuat wajah gadis cantik itu memucat bagaikan tak berdarah.
Bahkan tubuh ramping itu sampai bergetar. Sepertinya penolakan secara tegas itu telah menimbulkan goncangan batinnya. Dengan wajah yang masih pucat, Suntini terlihat menarik napas panjang berulang-ulang. Seakan-akan gadis itu tengah berusaha untuk menahan rasa sakit di dada. Wajah cantiknya berkerut-kerut. Seolah siksaan dalam batinnya demikian nyeri dan menyakitkan.
"Kalau keputusanmu memang sudah tak bisa berubah, baiklah, aku terima dengan hati pasrah, Kakang! Tapi, sebelum kita berpisah, aku mempunyai satu permintaan. Ini yang terakhir kali aku meminta kepadamu...," ujar Suntini dengan suara bercampur isak tertahan, hingga terdengar parau.
"Katakan, apa permintaanmu itu, Suntini? Jika aku sanggup, tentu akan kukabulkan...," sahut Panji sambil menduga-duga apa permintaan yang akan diajukan gadis cantik itu.
"Tidak sulit apa yang akan kuminta, Kakang. Dan kau pasti bisa memenuhinya...," ujar Suntini seraya menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih di hadapannya.
"Katakanlah...!"
"Sekarang aku sadar, bahwa kau memang tak mungkin dapat kumiliki, Kakang. Tapi, paling tidak aku ingin memilikimu untuk beberapa saat. Dan aku akan mengenangnya seumur hidup, jika kau mau memenuhinya..." Sambil berkata begitu, Suntini meraba sabuk yang melilit pinggangnya. Kemudian melepaskannya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Panji.
Pendekar Naga Putih mulai dapat menduga apa permintaan gadis cantik itu. Wajah tampannya berubah kemerahan ketika Suntini hendak melepaskan pakaian yang dikenakan. Karuan saja pemuda itu kaget bukan kepalang. Sungguh tak disangkanya kalau Suntini akan nekat berlaku seperti itu.
"Lakukanlah, Kakang...! Kalau ini pun masih juga kau tolak, kau benar-benar menghancurkan seluruh kehidupanku...," desis Suntini yang mulai memperlihatkan tubuh bagian atasnya.
Tentu saja Pendekar Naga Putih tidak mungkin dapat memenuhi permintaan gila itu. "Berhenti...!" bentaknya dengan suara keras menggelegar. Suntini tersentak kaget. "Kau gila, Suntini...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu. Dia tak peduli bagaimana perasaan gadis itu sepeninggalnya. Pemuda itu benar-benar tak menyangka, kalau perasaan cinta telah membuat Suntini sampai tersesat sedemikian jauh. Sehingga, akal sehatnya tak lagi dapat membedakan mana baik dan buruk.
"Ohhh...!" Melihat betapa tubuh pemuda yang telah merebut seluruh cintanya berkelebat pergi, Suntini jatuh terduduk. Gadis itu merasa malu sekali, dan menangis sedih seraya menutup wajah dengan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih telah menolak permintaan terakhirnya. Padahal semua itu dilakukan Suntini karena perasaan cintanya yang sangat besar. Tentu saja kepergian pemuda pujaannya, membuat hatinya kian hancur.
********************
"Aaakh...!"
Suara teriakan keras terdengar dan kejauhan. Pendekar Naga Putih yang tengah berlari meninggalkan Suntini, langsung menghentikan gerakannya. Suara jeritan perempuan itu membuat keningnya berkerut. Dia tahu jeritan itu datang dari belakang. Tempat Suntini berada.
"Entah pikiran apa lagi yang ada di dalam kepala gadis itu? Mungkin dia hendak mengecoh dengan teriakannya...?" gumam Panji seraya membalikkan tubuh, dan menatap lurus ke tempat Suntini ditinggalkan. Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih tetap tegak dengan tatapan mata lurus ke depan. Hatinya hendak memastikan apa jeritan itu akan terdengar lagi, kalau dia belum muncul? Dan...
"Auw...! Tolong...!"
Pendekar Naga Putih terkejut ketika teriakan itu kembali terdengar. Dari suaranya, Panji menangkap getar ketakuan. Pikirannya melayang, menduga-duga apa kira-kira yang tengah dialami gadis cantik itu.
"Hm..., sebaiknya kulihat dulu. Siapa tahu Suntini benar-benar tengah menghadapi kesulitan."
Panji langsung mengerahkan ilmu lari cepatnya. Seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat, menuju tempat Suntini berada. Pendekar Naga Putih yang semula berniat hanya untuk mengintai, langsung membatalkannya. Karena dilihatnya Suntini tengah dikepung sosok-sosok lelaki kasar, yang tertawa-tawa penuh gejolak nafsu. Kegeraman pendekar muda itu muncul ketika melihat pakaian yang melekat di tubuh Suntini telah terkoyak-koyak. Tanpa pikir panjang, tubuhnya melesat untuk menyelamatkan gadis cantik itu.
"Haiiit! Heaaa...!"
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepaskan tiga kali pukulan berturut-turut. Akibatnya tiga lelaki kasar yang saat itu hendak menerkam tubuh Suntini, jatuh terjengkang memuntahkan darah segar. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kakang...!" Melihat munculnya sosok bayangan putih yang langsung merobohkan ketiga lelaki itu, Suntini tersentak gembira. Kemudian menyeret langkah kakinya sambil menutupi seluruh bagian tubuh yang terlihat.
"Perampok kurang ajar...! Kalian boleh cicipi kepalanku!" geram Panji kembali melesat dengan pukulan dan tendangannya.
"Hih!"
Bukkk! Plakkk!
Serangan cepat yang dilancarkan Pendekar Naga Putih mendarat telak di tubuh empat laki-laki yang tengah berusaha menangkap tubuh Suntini.
"Aaa...!"
"Akh...!"
Teriakan keras terdengar ketika keempat lelaki berwajah kasar itu terhantam serangan Pendekar Naga Putih. Seketika tubuh mereka berpentalan dan menyemburkan darah segar dari mulut.
Srat! Srat!
Dua perampok lain yang merasa penasaran, segera melolos pedang sambil menerjang Panji. Dengan cepat mereka mengayunkan senjata memburu tubuh lawan. Namun...
"Hihhh...!"
Trak!
Dengan cepat Pendekar Naga Putih menyampok tangan mereka seraya mengirimkan pukulan keras. Tak ampun lagi kedua lelaki berwajah kasar itu terjungkal dan mencium tanah.
"Lariii...!" teriak leiaki bermuka codet yang rupanya pimpinan perampok itu. Dan tanpa berpikir dua kali, kawan-kawannya langsung berlari kabur meninggalkan tempat itu. Tampaknya mereka menyadari kalau lawan terlalu berat. Tak mungkin mengadakan perlawanan.
"Kakang...!" Suntini langsung menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Tubuh setengah telanjang itu memeluk erat pemuda berwajah tampan itu Panji tak mampu berbuat apa-apa mendengar tangis gadis itu. Dia memahami kalau Suntini masih dalam keadaan ketakutan. Hanya dengan membiarkannya menangis dalam pelukan, kemungkinan besar Suntini bisa tenang kembali.
"Bahayanya sudah lewat, Suntini...," bisik Panji menenangkan hati Suntini seraya mengelus rambutnya. Rasa ibanya kembali muncul melihat betapa gadis cantik itu harus mengarungi kehidupan yang ganas seorang diri. Namun, tak ada satu pun yang bisa dilakukannya untuk membuat gadis itu terbebas dari kehidupan yang memang diwarnai kekerasan itu.
LIMA
Suntini masih terisak dalam pelukan Panji. Hal itu cukup lama berlangsung, sampai akhirnya Panji mendorong perlahan tubuh gadis cantik itu. Sebab, kendati bahu Suntini masih terguncang sesekali, dia merasakan betapa debaran jantung gadis cantik itu sudah pulih seperti biasa.
"Siapa mereka, Kakang? Mengapa mereka kelihatan demikian buas...?" tanya Suntini menatap wajah Panji yang begitu dekat dengan wajahnya. Sehingga, sepasang mata bening yang masih basah itu menjelajah sekujur wajah tampan didepannya.
"Hhh..., orang-orang kasar yang biasa mengganggu orang dengan kekerasan. Mungkin mereka hanya kebetulan lewat di tempat ini. Dan ketika melihat gadis cantik seperti dirimu berada seorang diri di tempat ini, mereka tentu saja tidak akan membiarkan...," sahut Panji yang berusaha bersikap wajar, meskipun tahu kalau Suntini kembali tergoda gejolak cintanya. Hal itu bisa dirasakan dari tatapan mata gadis cantik itu yang berbicara banyak meski tanpa kata.
"Kakang Panji, mengapa, tak kau biarkan saja aku hancur di tangan mereka? Untuk apa aku hidup dengan hati yang remuk-redam seperti ini? Rasanya aku lebih baik mati daripada hidup tanpa dirimu, Kakang...," ucap Suntini seraya mendekatkah wajah dan menatap wajah Panji dengan sinar mata redup. Bibirnya yang merah basah tampak setengah terbuka, memberikan tantangan.
Wajah cantik dengan sepasang mata sayu menghiba dan bibir merah menantang itu nyaris menyeret hati Pendekar Naga Putih. Namun, bayangan gadis jelita berpakaian hijau yang melintas di benaknya, membuat pendekar muda itu menarik wajahnya. Bayangan wajah Kenanga yang melintas sekilas, membuat Panji tersadar. Biar dengan alasan apa pun, dia tidak mungkin akan mengkhianati cinta Kenanga.
"Maafkan aku, Suntini...!" desah Panji dengan suara perlahan. Karena dilihatnya kilatan marah dalam pancaran mata gadis cantik itu. Panji bergegas bangkit berdiri.
"Kau benar-benar tak sudi menerima cintaku, Kakang...?" tanya Suntini dengan suara bergetar. Sorot matanya menampakkan perasaan sakit dalam hati gadis cantik itu. Beberapa kali dia memohon kesediaan Pendekar Naga Putih menerima cintanya, tapi pemuda itu tetap tak berubah dengan keputusan semula.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas panjang. Hatinya dapat merasakan apa yang bergejolak dalam hari Suntini saat itu. "Tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pedesaan. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, Suntini. Sekali lagi, harap kau maafkan aku...," ujar Panji dengan nada penuh sesal. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, tubuhnya langsung berkelebat lenyap dari hadapan Suntini.
"Kakang...!" Suntini hanya bisa mengeluh dengan air mata yang kembali mengalir menuruni pipinya yang halus.
********************
"Hm..., adanya peristiwa penculikan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan, akan membuat perjalananku tertunda. Mudah-mudahan Kenanga bisa mengerti akan keterlambatanku...!" gumam Panji yang saat itu tengah menyusuri jalanan berbatu kecil.
Pendekar Naga Putih tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Dengan adanya peristiwa penculikan aneh itu, telah membuatnya merasa berkewajiban untuk menyelidiki dan mengatasi. Namun, karena pamannya Kenanga yang menjadi perwira di Kadipaten Tumapel, meminta mereka datang secepatnya, akhirnya Pendekar Naga Putih meminta pengertian Kenanga.
Disuruhnya gadis itu melanjutkan perjalanan. Sementara dia ingin menyelidiki kejadian itu, dan berjanji akan segera menyusul Kenanga. Namun siapa kira kalau setelah peristiwa yang satu tuntas, muncul lagi peristiwa lain. Karena Pendekar Naga Putih merasa wajib untuk menghentikan penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh muda rimba persilatan itu.
Kepasrahan sikap Suntini yang nyaris menyeretnya, membuat Pendekar Naga Putih tiba-tiba dilanda kerinduan terhadap kekasihnya. Bayangan kemesraan yang ditawarkan Suntini, memang sempat membuat benteng pertahanannya runtuh, karena didorong rasa iba terhadap gadis itu. Untunglah pada saat-saat terakhir, bayangan Kenanga melintas di benaknya. Sehingga, terlepas dari cengkeraman dewi asmara yang nyaris membuat dirinya terlena.
Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas penuh sesal, ketika teringat Suntini. Apalagi gadis itu kini hidup sebatang kara. Panji pun sadar, betapa berat perjalanan hidup yang harus dilalui gadis cantik itu. Karena sebelumnya Suntini merupakan putri seorang hartawan. Tentu saja kehidupan yang kali ini harus dijalani seorang diri, akan semakin terasa sangat berat baginya.
Mengingat semua itulah, timbul perasaan kasihan dalam hati pemuda itu. Sama sekali tak disangka kalau justru perasaan itu pula yang nyaris membuatnya berkhianat terhadap Kenanga. Namun sekarang dia boleh merasa lega karena semua itu tak sampai terjadi. Disadari kalau Suntini menjadi semakin sakit hati terhadapnya.
"Hhh...," Panji kembali menghela napas mengingat Suntini. Dia hanya bisa berdoa agar Suntini mendapatkan seorang pelindung yang lebih baik. Selain itu, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Namun, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menahan langkahnya. Seketika lamunannya buyar. Sesuatu yang mengusik pendengarannya, membuat kepala pemuda itu menengadah dengan kening berkerut. Seakan-akan hendak memastikan suara itu.
"Hm..., mungkinkah yang kudengar barusan suara binatang buas...?" gumam Panji dengan kening berkerut.
Telah dikerahkan ilmu pendengarannya, tapi tak ada sesuatu pun yang tertangkap. Pendekar Naga Putih mulai meragukan apa yang barusan mengusik telinganya. Setelah agak lama berpikir, akhirnya Panji memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Namun, ketika kakinya baru maju selangkah, tiba-tiba....
"Aaa...!" Lengkingan panjang mirip jerit kematian, membuat Pendekar Naga Putih tersentak. Meskipun suara itu masih agak samar terdengar telinga, hatinya dapat memastikan kalau pemilik jeritan itu tengah menghadapi kematian. Atau paling tidak tengah berhadapan dengan sesuatu yang mengerikan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, aku harus mencari sumber jeritan itu..," gumam Panji, mengambil keputusan. Kemudian langsung melesat ke hutan kecil di sebelah kiri jalan yang dilaluinya.
Ketika Pendekar Naga Putih tengah bingung karena belum tahu pasti tempat asal jeritan, tiba-tiba terdengar lagi suara itu. Kali ini terdengar lebih jelas dan keras. Langkahnya segera dipercepat. Namun sayang, kedatangan Pendekar Naga Putih terlambat! Dari jarak sekitar dua puluh tombak di depannya, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat pergi. Kemudian di dekat tempat itu tampak empat sosok tubuh tergeletak di atas rerumputan. Tanpa buang-buang waktu segera kedua kakinya dihentakkan dan melesat menuju tempat itu.
Bagaikan seekor burung besar, tubuh Pendekar Naga Putih melayang di udara. Setelah bersalto beberapa kali tubuhnya melucur ke bawah. Tak terdengar suara sedikit pun saat kedua telapak kakinya menjejak permukaan tanah berumput. Panji yang semula berniat untuk memeriksa empat sosok tubuh di atas tanah itu, membatalkan niatnya. Karena dilihatnya ada darah segar berceceran di atas rerumputan. Juga pada tubuh keempat orang yang tak dikenalnya itu.
"Hhh.... Lengkingan kematian tadi berasal dari keempat lelaki malang ini...," gumam Panji, setelah melihat empat sosok tubuh terkapar berlumuran darah itu sudah tak bernyawa. Sehingga dia tak sempat mengorek keterangan, apa sebenarnya yang menyebabkan mereka terbunuh.
Setelah berpikir sejenak, Pendekar Naga Pulih segera melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pikirannya menyimpulkan, kematian keempat lelaki itu pasti ada hubungannya dengan sosok bayangan yang tadi dilihatnya berkelebat dari tempat itu. Maka pemuda itu memutuskan untuk segera mengejarnya.
Tubuh Pendekar Naga Putih terus melesat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah sempurna. Dalam sekejap saja sosok bayangan putih itu telah berada jauh dari tempat terbunuhnya keempat lelaki tadi. Sejauh itu belum juga ditemukan adanya jejak sosok bayangan yang dicurigainya itu.
"Hm..., pembunuh itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Kalau tidak, mana mungkin bisa menghilang begitu cepat. Hhh... Siapa manusia keji itu? Mungkinkah dia salah seorang dari perempuan-perempuan cantik yang kutemukan beberapa hari lalu?"
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Pendekar Naga Putih dalam keadaan tetap berlari. Sampai akhirnya larinya dihentikan karena sampai di dekat sebuah pedesaan. Dia mengetahui hal itu ketika melihat tak jauh di depan ada seorang lelaki pencari kayu. Melihat pencari kayu itu, timbul keinginan Panji untuk bertanya. Bergegas dihampirinya lelaki bertelanjang dada itu.
"Maaf, Kisanak! Aku ingin bertanya sedikit...," sapa Panji setelah menjajari langkah pencari kayu bakar itu.
"Eh, silakan...," sambut lelaki separo baya yang kulit wajahnya agak kehitaman. Sepasang matanya agak menyipit meneliti sosok pemuda tampan di sampingnya. Wajahnya agak tertegun sesaat ketika membentur mata pemuda berjubah putih itu. Segera wajahnya dipalingkan, karena merasa ada suatu perbawa kuat dalam sorot mata pemuda tampan itu.
"Mmm..., apakah Kisanak melihat ada orang yang barusan berlari melewati jalan ini...?" tanya Panji dengan sikap ramah. Karena sempat dilihatnya dari sorot mata lelaki setengah baya itu perasaan curiga.
"Saya tak melihat, Tuan...," jawab lelaki separuh baya itu dengan jujur. Kemudian menatap Panji sesaat, seperti menunggu kalau-kalau pemuda itu melontarkan pertanyaan lain.
"Terima kasih, Kisanak! Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu...!" ucap Panji yang tidak ingin mengganggu orang tua itu lebih lama lagi. Dan dia percaya dengan jawaban orang tua itu.
Pendekar Naga Putih masih tetap berdiri sambil mengawasi sekitarnya. Sedangkan pencari kayu bakar itu sudah melanjutkan perjalanannya. Panji sempat menghela napas ketika melihat pencari kayu bakar itu sesekali menoleh ke arahnya. Orang tua itu sepertinya belum yakin betul kalau Panji tak akan mengikuti langkahnya.
"Mungkin dia mengira aku orang jahat yang pura-pura bertanya kepadanya...," gumam Panji seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan pencari kayu bakar yang melangkah tergesa meninggalkan tempat itu. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu sudah melesat bagaikan terbang. Gagal menemukan sosok bayangan yang dicari, dia berniat kembali ke tempat kejadian. Keadaan empat sosok mayat itu belum berubah.
Begitu tiba di tempat itu, Panji segera memeriksa satu persatu. Maksudnya hendak mencari tahu kalau-kalau mengenal ilmu pukulan yang menewaskan keempat orang itu. Namun, lagi-lagi Panji harus menelan kekecewaan. Karena keempat mayat itu terbunuh oleh tusukan pedang. Sehingga, sulit diduga siapa pelaku pembunuhan itu.
Akhirnya Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memakamkan mayat-mayat itu. Sementara itu, dugaannya mulai mengarah pada perempuan-perempuan cantik yang pernah bentrok dengannya. Karena, dari salah seorang lelaki yang pernah diselamatkannya, tercetus keterangan bahwa perempuan-perempuan berwajah dingin itu merupakan kelompok penculik dan pembunuh. Sehingga tuduhan lebih kuat jatuh kepada mereka.
Selesai menguburkan keempat mayat itu, Pendekar Naga Putih melesat pergi. Kecepatan gerakannya membuat tubuh pemuda itu tampak seperti tak menapak di atas tanah. Dalam sekejap dia telah sampai di perbatasan sebuah desa. Jalan yang dilaluinya memang tampak sepi. Sehingga, Pendekar Naga Putih dapat mempercepat larinya. Pendekar berjubah putih itu baru berhenti ketika memasuki mulut desa.
"Desa Lengser...," gumam Panji membaca huruf-huruf yang tertera pada tugu disebelah kanan jalan yang dilaluinya. Kemudian baru melangkah memasuki mulut desa itu.Matahari sudah bergeser jauh ke barat saat Panji melintas di jalan utama desa. Langkahnya menuju sebuah kedai makan yang tak jauh dari mulut desa itu. Kedai kecil itu tampak tidak begitu ramai.
"Pendekar Naga Putih...!?"
Baru saja langkahnya sampai di depan kedai, terdengar seruan kaget sekaligus gembira. Pendekar Naga Putih yang semula agak kaget mendengar orang menyebut julukannya, tersenyum lebar ketika menoleh tempat asal suara. Terlihat salah satu dari beberapa orang lelaki yang duduk mengelilingi sebuah meja, bergerak bangkit menyambut kedatangannya.
"Gupta...?!" seru Pendekar Naga Putih, menyebut nama lelaki gagah berkumis tipis yang melangkah lebar menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Lelaki gagah berkumis tipis itu ternyata Gupta, salah seorang tokoh persilatan yang pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih dari kematian. Gupta tampaknya sama sekali tak menyangka akan berjumpa lagi dengan Pendekar Naga Putih. Seorang pendekar besar yang namanya telah tersohor. Tampak di wajahnya rasa gembira begitu melihat dan mengenali pemuda tampan berjubah putih yang datang ke kedai itu.
"Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu, Pendekar Naga Putih!" ucap Gupta menyatakan kegembiraannya seraya menyalami pemuda itu. "Marilah bergabung dengan kami..!"
"Terima kasih...!" sahut Pendekar Naga Putih yang juga gembira dapat bertemu Gupta di Desa Lengser itu. Tanpa ragu lagi, kakinya mengikuti langkah Gupta.
Enam orang lelaki yang rata-rata bertubuh tegap, serentak bangkit berdiri. Bahkan delapan orang di meja sebelah kanan pun ikut menyambut kedatangan pendekar muda itu. Sorot mata mereka memancarkan kekaguman terhadap sosok pendekar muda yang namanya sangat tersohor di rimba persilatan.
Empat belas orang lelaki itu tampak saling berebutan menyalami Pendekar Naga Putih, yang tampak tersenyum penuh persahabatan. Hatinya pun gembira melihat sikap para lelaki gagah yang bersikap tulus dan bukan hanya sekadar basa-basi. Baru kemudian dia duduk di bangku yang telah disediakan Gupta.
Gupta langsung memanggil pelayan kedai. Kemudian memesan hidangan untuk Panji. Lelaki itu tak mampu menyembunyikan kegembiraan hatinya. Wajahnya tampak cerah dan penuh senyum. Seolah menganggap Pendekar Naga Putih sebagai seorang tokoh yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya.
"Hm..., kelihatannya kesehatanmu sudah pulih benar, Gupta...," ujar Pendekar Naga Putih seraya menatap lelaki gagah berkumis tipis itu untuk beberapa saat.
"Semua ini berkat pertolonganmu Pendekar Naga Putih. Kabar yang selalu kudengar tentang namamu tampaknya, tak berlebihan. Selain terkenal ilmu kedigdayaan, kiranya kau memang seorang ahli pengobatan yang sukar dicari bandingannya. Beruntung sekali aku mendapatkan pertolonganmu saat itu. Kalau tidak, mungkin hari ini aku masih terbaring di tempat tidur sembari merintih-rintih kesakitan. He he he...!" Gupta mengakhiri ucapannya dengan tawa panjang, yang juga disambut kawan-kawannya.
Panji hanya tersenyum mendengar ucapan Gupta. Kemudian matanya menatapi empat belas wajah tokoh-tokoh persilatan yang tadi menyambut kedatangannya.
"Mereka saudara-saudara seperguruanku, Pendekar Naga Putih. Dan kami telah bertekad untuk memberantas para perempuan keparat itu. Perjalanan kami terpaksa tertahan di Desa Lengser ini, karena ada berita yang tak kalah mengejutkan dengan perbuatan iblis-iblis itu...," jelas Gupta tanpa diminta
"Hm… Apa yang telah terjadi di desa ini...?" tanya Panji dengan kening berkerut. Tampak dia sangat tertarik untuk mengetahui berita yang dimaksud Gupta.
"Wah..., lagi-lagi kau ketinggalan berita, Pendekar Naga Putih," tukas Gupta tertawa perlahan. "Yang kami dengar, belakangan ini telah terjadi penculikan terhadap wanita- wanita muda. Dan, baru semalam Desa Lengser dijarah penculik-penculik itu. Kami telah mendapatkan keterangan langsung dari Ki Lengser, kepala desa ini..."
"Ki Lengser...?" desis Panji agak heran mendengar nama penguasa yang sama dengan desanya.
"Benar. Namanya sendiri sudah dilupakan orang. Menurut sebagian penduduk, lelaki tua yang bijaksana itu sudah tiga puluh tahun menjadi kepala desa. Di bawah pimpinannya, desa yang semula kecil ini berkembang pesat dan cukup makmur. Sehingga, penduduk memberikan nama Lengser untuk desa ini. Barangkali hal itu sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka. Dengan demikian, para warga tak akan pernah melupakan kepala desa mereka, meskipun telah wafat nanti...," Gupta memberi penjelasan kepada Pendekar Naga Putih, sehubungan dengan nama kepala desa itu.
"Hm...," Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam-diam dia merasa kagum terhadap Gupta. Padahal lelaki gagah berkumis tipis itu baru setengah hari berada di Desa Lengser. Namun telah demikian banyak keterangan yang didapatnya. Itu yang membuat Pendekar Naga Putih kagum terhadap Gupta.
"Jadi, kau telah berbicara banyak dengan Ki Lengser...?" tanya Panji kemudian.
"Benar. Itu sebabnya kami berniat untuk bermalam di desa ini. Kami khawatir kalau para penculik itu akan datang lagi," sahut Gupta dengan mata berapi-api. Tampak Gupta sangat geram terhadap para pelaku penculikan itu.
"Hm..., jadi selain harus memberantas para perempuan keji itu, kita pun harus menghadapi pelaku penculikan itu...?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah Gupta.
"Yah, begitulah...," sahut Gupta cepat.
Pendekar Naga Putih terdiam. Pandangannya dilemparkan ke luar kedai melalui jendela yang terbuka lebar. Suasana hening seketika. Semua terdiam mengikuti jalan pikiran masing-masing.
********************
ENAM
Perempuan muda itu berlari tersaruk-saruk. Langkahnya yang tidak tetap, menandakan bahwa kaki-kaki mungil itu telah kelelahan karena berlari terlalu jauh. Sehingga, ketika kaki kanannya terantuk batu kecil, tubuh ramping itu terhuyung limbung. Akhirnya jatuh tersungkur mencium tanah.
Blukkk!
"Ohhh...!" Terdengar keluhan kecil dari mulutnya. Perempuan muda itu tak berusaha bangkit. Wajahnya yang kotor tampak meringis-ringis menahan sakit. Air matanya meleleh di pipi, sepertinya ada kesedihan yang melanda hatinya.
"Ya, Tuhan...! Kenapa tak kau cabut saja nyawaku! Aku tak sanggup menanggung beban derita ini..," rintihan pilu yang menggambarkan penderitaan, terucap dari mulut perempuan muda itu. Kedua tangannya memukul tanah berkali-kali. Wajahnya menelungkup tanpa peduli tanah berdebu di jalanan itu. Entah penderitaan apa yang membuat gadis itu demikian sedih dan putus asa.
Setelah puas menumpahkan tangis dan kegundahannya, gadis itu pun bangkit dengan perlahan. Sepasang matanya tampak sangat sayu tanpa gairah untuk hidup. Kakinya yang lemah itu kembali melangkah gontai tanpa semangat. Di tepi sebuah sungai yang menjorok, langkah gadis muda itu terhenti. Wajahnya yang basah air mata itu menengadah, menatap langit. Kemudian menatap arus air sungai yang bergemuruh di bawahnya.
"Tidak ada gunanya lagi aku hidup...! Biarlah derita ini kubawa ke alam keabadian..!" desis gadis itu dengan wajah pucat dan tatapan kosong. Lama gadis berwajah cantik itu menatap sungai berarus deras di bawahnya, batu-batu besar yang menyembul di atas permukaan air, seakan telah siap menyambut tubuh ramping itu. Namun, gadis itu kelihatannya tak merasa gentar. Dia telah mengambil keputusan bulat untuk mengakhiri penderitaan di tempat itu.
"Ayah...! Ibu...!" desahnya dengan air mata bercucuran. "Ampunilah anakmu...!" Usai berkata demikian, matanya dipejamkan rapat-rapat. Seakan-akan dirinya telah siap untuk melompat ke bawah, tempat batu-batu besar itu siap menyambut tubuhnya.
"Jangan lakukan perbuatan bodoh itu, Adik Manis...!" Tiba-tiba terdengar suara teguran halus. Belum juga gadis itu menoleh, tubuhnya tertarik ke belakang. Sepasang tangan halus terasa menyentaknya dengan kuat. Sehingga tubuh gadis itu terhempas ke atas rerumputan.
"Akh...!" Gadis muda berwajah manis itu menjerit kecil. Sepasang matanya tampak menyiratkan keterkejutan dan marah. Sebelum bangkit, kepalanya didongakkan menatap sosok yang telah berani mencegah perbuatannya. Kilat kemarahan di mata gadis itu seketika berubah keheranan. Karena dilihatnya ada dua orang wanita cantik berpakaian merah muda tengah berdiri tegak di sampingnya. Wajah kedua wanita itu tampak sangat ramah dan terhias senyum manis.
"Siapa kalian...? Mengapa menghalangiku...?" tanya gadis manis itu dengan mata menatap keduanya. Setelah itu dia bangkit tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Kau tidak perlu takut kepada kami, Adik Manis! Kami berdua justru hendak menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuatmu berduka hati, lalu hendak bunuh diri seperti itu? Kami siap membantumu..."
Salah seorang dari wanita muda berwajah cantik itu menyahuti. Suaranya terdengar lembut. Seolah dia benar-benar hendak menolong dengan hati yang tulus.
"Kalian hendak menolongku? Mengapa...? Untuk apa kalian tahu tentang penderitaanku...?" tukas gadis itu dengan nada melecehkan. Seakan-akan hatinya tak percaya ada orang yang peduli dengan penderitaannya. Lebih-lebih kedua orang itu wanita, seperti dirinya.
"Kami berdua merasa iba melihat kesedihanmu. Dan untuk menolongmu, tentu saja kami harus mengetahui penyebab penderitaanmu itu," sahut perempuan berpakaian merah muda yang memiliki tahi lalat di tepi bibir kanannya. Sedang perempuan yang satu lagi hanya diam mendengarkan.
"Bagaimana kalian dapat menolongku?" tanya gadis itu masih tidak percaya. Kemudian ditatapnya kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. "Apakah kalian peri sungai ini?"
Mendengar pertanyaan itu, perempuan cantik yang bertahi lalat tertawa perlahan. Sedangkan perempuan yang lain menahan senyum. Pertanyaan itu mereka anggap lucu.
"Dengarlah, Adik Manis," ujar perempuan cantik bertahi lalat yang ternyata Ningrum. "Hhh..., kami bukan peri sungai ini, tapi percayalah, kami dapat menolongmu! Katakan apa yang harus kami lakukan untuk melenyapkan penderitaanmu?"
"Hm..., apa yang dapat dilakukan perempuan-perempuan cantik dan lemah seperti kalian...?" tanya gadis muda itu dengan senyum tipis di mulutnya. Tampaknya dia belum percaya kemampuan kedua perempuan cantik di hadapannya.
"Banyak yang bisa kami lakukan," sahut Ningrum tersenyum. "Contohnya ini...!" Setelah berkata demikian, Ningrum mengayunkan lengannya. Dan....
Whuuut! Crab!
Seketika beberapa batang pohon pisang yang berada sekitar tiga tombak dari mereka bertumbangan laksana tertebas pedang.
"Akh...?!" Gadis desa yang berwajah manis itu terpekik kaget. Matanya terbelalak hampir tak percaya menyaksikan kejadian itu. Betapa tidak! Tangan halus lembut perempuan berpakaian merah muda itu ternyata mampu menebas beberapa batang pohon dalam sekali gerakan cepat.
"Bagaimana? Apa kau masih belum percaya kalau kami dapat menolongmu...?" tanya Ningrum seraya tersenyum sinis.
"Tapi..., dengan apa nanti aku harus membalas pertolongan yang kalian berikan...?!" tanya gadis desa itu bimbang. Hatinya sudah percaya penuh, kalau kedua perempuan itu dapat menolongnya. Hanya dia masih meragukan balasan atas jasaa perempuan-perempuan cantik itu kelak.
"Hi hi hi...!" Ningrum tertawa perlahan, membuat gadis manis itu heran. "Kenapa harus membalas, Adik Manis? Hm.... Jika segalanya telah selesai, ikutlah bergabung dengan kami...!"
"Bergabung. ?" tanya gadis desa itu agak heran.
"Benar, Adik Manis. Dan aku yakin kau pasti akan senang. Karena di tempat tinggal kami, kau akan mempunyai banyak teman. Mereka perempuan-perempuan seusia kita. Selain itu pada mulanya mereka mempunyai penderitaan sama seperti dirimu. Bagaimana? Bersedia...?" tanya perempuan cantik, kawan Ningrum.
"Mereka semuanya perempuan...?" tanya gadis desa itu menegasi. Karena seakan belum percaya kalau di dunia ini begitu banyak wanita yang menderita dan berkumpul di suatu tempat.
"Benar. Apa yang dikatakan Wilasih benar...," sahut Ningrum menimpali ucapan kawannya yang ternyata bernama Wilasih. "Dan tempat tinggal kami berada di sebuah lembah yang bernama Lembah Hitam,"
Wilasih kembali menyahut sebelum gadis desa itu menanyakannya. "Tapi jangan kau salah mengartikan Lembah Hitam yang kami maksud, bukanlah tempat perempuan- perempuan kotor..."
"Pada mulanya kami pun merupakan perempuan-perempuan lemah yang menderita. Namun, setelah sekian tahun dididik ketua kami, hasilnya seperti yang kau saksikan tadi. Padahal itu belum seberapa. Masih banyak yang dapat kami perbuat selain mematahkan batang pohon itu," jelas Ningrum menambahkan.
Mendengar penjelasan kedua perempuan cantik berpakaian merah muda itu, gadis desa itu jadi tertarik. "Eh, apakah kalian berdua juga disakiti laki-laki...?" tanya gadis desa itu seraya menatap wajah Ningrum dan Wilasih yang juga menatapnya.
"Benar," sahut Ningrum cepat "Dan pertanyaanmu itu secara tak sengaja telah menjawab pertanyaan kami tadi. Sekarang ceritakanlah! Bagaimana sampai kau bisa disakiti laki-laki...?"
"Mulanya aku tidak menyangka kalau Sidanta akan sejahat itu. Kebusukan hatinya baru kuketahui setelah dia mengambil dan menikmati tubuhku. Padahal aku begitu mencintainya. Tapi, setelah kesucianku dilahapnya dengan rakus, tahu-tahu dia akan menikah dengan seorang putri juragan kaya di desa lain.... Aku hanya bisa menangis ketika mendengar berita itu. Diriku dicampakkan begitu saja bagai seonggok sampah!" jelas gadis desa yang malang itu membeberkan penyebab penderitaannya. Air matanya kembali mengalir ketika teringat pengkhianatan kekasihnya.
"Hm... Sungguh malang nasibmu. Adik Manis! Sekarang, katakan di mana pemuda keparat bernama Sidanta itu tinggal? Kami akan menyeretnya ke hadapanmu! Setelah puas menyiksanya, baru kita membunuhnya..!" tukas Ningrum dengan mata berapi-api. Tampak sinar dendam dalam tatapan matanya yang tajam. Wanita cantik itu berubah dingin dan seakan menebarkan hawa maut.
"Sidanta tinggal satu desa denganku. Dia anak seorang juragan kaya yang banyak mempunyai tukang pukul. Mereka bengis-bengis dan memiliki kepandaian silat..," jawab gadis desa itu menerangkan dengan suara takut-takut. Seakan hatinya merasa gentar ketika melihat wajah kedua perempuan cantik itu berubah bengis dan menyeramkan.
"Hm..., kau tunggulah di sini! Kami akan segera menyeret pemuda keparat itu ke tempat ini..," ujar Ningrum yang segera memberikan isyarat kepada Wilasih untuk segera pergi.
"Tapi, bagaimana denganku? Aku takut ditinggal sendiri di tempat ini...?" ujar gadis desa itu sembari mengawasi sekelilingnya yang sepi.
Semula Ningrum dan Wilasih agak kebingungan. Namun wajah mereka berubah ketika melihat adanya sesosok bayangan merah tengah bergerak menuju tempat itu.
"Jangan khawatir! Kau akan ditemani kawan kami. Itu dia datang!" ujar Ningrum sambil menunjuk sosok bayangan itu.
Tidak lama kemudian, sosok bayangan merah muda itu tiba. Kelihatannya perempuan itu sama sekali tak merasa heran menemukan adanya seorang gadis desa berwajah manis.
"Jagalah gadis ini! Kami berdua melakukan 'tugas'," ujar Ningrum setengah memerintah.
"Baik," sahut perempuan cantik yang baru tiba itu. Seakan dia telah mengerti apa yang dimaksud 'tugas' oleh Ningrum. Sehingga tidak banyak bertanya lagi.
Setelah berpesan, Ningrum mengajak Wilasih segera meninggalkan tempat itu. Dengan mengerahkan ilmu lari cepat yang tinggi, kedua perempuan cantik itu melesat. Sebentar saja yang tampak hanya dua soosk bayangan kemerahan di kejauhan.
********************
Desa Tiram tampak tidak begitu ramai ketika Ningrum dan Wilasih melintas di jalan utama yang membelah desa itu. Beberapa penduduk yang sempat berpapasan dengan mereka menggeleng-geleng kagum. Hal itu tak aneh. Kedua perempuan itu memang cantik. Apalagi pakaian merah muda yang dikenakan, membuat kulit lengan dan wajah mereka tampak semakin putih. Sehingga, sosok kedua perempuan itu cukup menarik perhatian kaum lelaki.
Ningrum dan Wilasih sama sekali tidak peduli. Mereka terus melangkah dengan tatapan lurus ke depan. Wajah-wajah dingin tanpa senyum itu membuat orang merasa segan untuk menegur. Sehingga, keduanya tak mendapat hambatan untuk segera sampai di tempat tujuan. Di depan sebuah rumah besar yang dijaga dua orang tukang pukul, mereka berhenti. Tentu saja kedatangan dua perempuan cantik itu membuat mata penjaga itu melotot. Keduanya tersenyum nakal menggoda.
"Benarkah ini tempat tinggal Sidanta...?" tanya Ningrum tanpa basa-basi. Suaranya angkuh dengan wajah dingin tanpa senyum.
"Hm.... Untung kau seorang perempuan cantik. Kalau tidak, salah mengucap seperti itu sudah cukup sebagai alasan bagi kami untuk menghukummu, Nisanak...!" sahut salah seorang dari tukang pukul itu memasang wajah angker kepada Ningrum dan Wilasih.
"Hm..., rupanya kalian berdua tuli! Aku bertanya, apakah si keparat Sidanta tinggal di rumah ini?" tanya Ningrum, sama sekali tak menggubris ancaman tukang pukul itu. Bahkan ditambahkan kata-kata makian bagi Sidanta, yang seharusnya disebut sebagai tuan muda.
"Heh! Kau malah semakin kurang ajar, Nisanak! Di sini yang ada Tuan Muda Sidanta, tahu! Hati-hati kalau bicara, Nisanak!" sahut tukang pukul yang berkumis tebal melintang. Kelihatannya lelaki gagah itu sengaja memelihara kumis agar penampilannya lebih menakutkan. Namun semua itu sama sekali tak membuat Ningrum gentar.
"Jadi benar rumah ini tempat kediaman pemuda keparat yang bernama Sidanta?!" Tanpa mempedulikan wajah garang kedua tukang pukul itu, Ningrum langsung bergerak masuk diikuti Wilasih. Tentu saja kedua penjaga itu kaget melihat tindakan mereka.
"Hei, mau ke mana kalian? Berhenti...!" bentak tukang pukul berkumis tebal itu, sambil berlari menghadang di jalan masuk. Wajahnya yang garang menatap penuh ancaman kepada kedua perempuan cantik itu.
"Minggirlah, Manusia Tak Berguna...!" bentak Ningrum sambil menghentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Serangkum angin keras bertiup, menandakan bahwa dorongan telapak tangan halus itu dialiri tenaga dalam yang kuat.
"Heh...?!" Tukang pukul berkumis tebal melintang itu tersentak kaget. Namun lelaki bertubuh kekar itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Bahkan sengaja jemari tangannya dijulurkan dengan senyum kurang ajar. Sepertinya dia sudah membayangkan betapa halusnya kulit lengan perempuan cantik itu. Tapi....
"Huhhh...!"
Trak!
Ningrum mendengus sengit sambil memutar tangannya dengan kecepatan mengagumkan. Secepat kilat pergelangan tangan tukang pukul itu telah tercekal. Dengan cepat dan keras Ningrum segera menyentakkannya.
"Hiaaat...!"
Wrettt!
"Ukhhh...!"
Tukang pukul berkumis tebal melintang itu terpekik kaget. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terjerembab ke belakang. Belum lagi dia menyadari keadaan, jemari tangan lembut yang mencekal pergelangan tangannya terlepas. Lalu telapak tangan mungil itu meluncur ke dadanya.
Blukkk!
"Akh...!"
Telapak tangan Ningrum mendarat telak di dada kanan lawan. Tubuh tukang pukul itu terpental deras ke belakang.
Brukkk!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tegap itu terbanting keras ke tanah. Terdengar suara merintih dari mulutnya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuh. Dan dari sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir menandakan luka dalam yang parah.
"Perempuan setan...!" tukang pukul yang bertubuh gemuk memaki kaget. Tanpa pikir panjang lagi, tangannya langsung menghunus senjata. Rupanya lelaki gemuk itu tak berani memandang ringan perempuan di depannya. Karena sekali gebrak saja kawannya roboh tak berdaya. Kenyataan itu membuatnya harus bersikap hati-hati.
"Simpan makianmu, Anjing Keparat...!" Belum lenyap suara bentakan itu, Wilasih sudah melesat dengan sebuah tendangan keras ke dagu tukang pukul bertubuh gemuk itu.
"Hiaaa...!"
"Hih!"
Tukang pukul bertubuh gemuk itu rupanya mengetahui gerakan cepat lawan, sehingga dengan cepat melangkah mundur. Tendangan keras Wilasih luput dari sasaran. Bahkan dengan cepat tukang pukul itu membabatkan pedangnya. Namun....
"Hiaaa...!"
Bukkk!
"Huakhhh...!"
Perempuan cantik itu ternyata lebih cepat mendaratkan serangannya. Sebuah tendangan susulannya yang dilakukan dengan gerak berputar, membuat tubuh lawannya terhempas ke belakang. Telapak kaki mungil berisi tenaga dalam kuat itu tahu-tahu telah menghantam dada lawan. Karuan saja lelaki gemuk itu memuntahkan darah segar.
"Keparat..! Siapa kalian sebenarnya? Dan ada urusan apa dengan majikan muda kami..?!" bentak tukang pukul berkumis lebat yang sudah bangkit berdiri. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah pedang. Matanya baru terbuka setelah melihat kawannya terbanting muntah darah.
Namun, baik Ningrum maupun Wilasih sama sekali tak menjawab. Keduanya saling bertukar pandang sesaat. Kemudian tampak mereka saling menganggukkan kepala, seakan telah saling sepakat untuk melakukan sesuatu. Dan....
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan melengking, kedua perempuan cantik itu melesat cepat ke atas. Dan seketika itu juga tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Siiing! Siiing!
Bret! Bret!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Teriakan keras terdengar dari mulut kedua tukang pukul itu. Sekejap kemudian tubuh mereka terbanting ke tanah. Darah segar mengalir membasahi tubuh yang terbeset mata pedang. Sesaat lamanya kedua tubuh berlumur darah itu menggelepar-gelepar di tanah. Terdengar rintihan kesakitan dari mulut mereka.
"Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan menikmati hidup lebih lama...!" desis Ningrum dengan sepasang mata menatap penuh kepuasan. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis yang mengerikan.
"Hm..." dengus Wilasih yang juga menatap kedua tubuh sekarat itu.
"Mari kita cari si keparat itu...," ajak Ningrum setelah tubuh kedua tukang pukul itu diam tak bergerak lagi nyawa mereka telah melayang keakherat. Dalam sekejap, kedua tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu sudah lenyap di balik pintu gerbang. Perempuan-perempuan haus darah itu siap melanjutkan tindakannya.
TUJUH
"Hei, berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang membuat langkah Ningrum dan Wilasih terhenti. Tampak sosok-sosok bayangan berlompatan dan langsung mengepung kedua perempuan cantik itu.
"Siapa kalian...?" tegur seorang lelaki bercambang bauk yang bagian dadanya terbuka, memperlihatkan bulu-bulu halusnya. Sepasang matanya menatap tajam kedua perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. Suara jerit kematian dua orang tukang pukul tadi tampaknya telah mengundang kedatangan mereka. Terbukti delapan orang tukang pukul lainnya sudah menggenggam pedang di tangan.
"Sebenarnya aku sama sekali tak punya kepentingan dengan kalian! Dan aku pun enggan mengotori tangan dengan darah kalian! Sebaiknya cepat panggil keluar pemuda keparat yang bernama Sidanta! Kalau tidak, kalianlah yang akan lebih dulu kukirim ke akherat!" sahut Ningrum dengan sepasang mata mencorong penuh kebencian.
Namun ancaman itu tampaknya tak membuat mereka gentar, bahkan sebaliknya. Mereka geram dan marah. Wajah-wajah sangar itu tampak memerah.
"Perempuan sundal! Apa kalian pikir rumah milik bapak moyangmu?! Enak saja kau mengumbar bacot! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, agar lain kali tak sembarangan membuka mulut!" geram lelaki brewok itu yang langsung memberi isyarat dengan gerak tangannya untuk meringkus kedua perempuan cantik itu.
"Sebaiknya mereka jangan dibunuh dulu, Kakang," usul salah seorang tukang pukul yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna hitam. "Kita tangkap saja! Setelah kita 'kerjai' beramai-ramai sampai puas, baru kita habisi..."
"Hm..., begitu pun bagus...!" sahut lelaki brewok yang rupanya pemimpin para tukang pukul di rumah besar itu. Wajahnya tampak menyeringai membayangkan betapa nikmat tubuh-tubuh ramping, padat dan berkulit putih halus itu. Sehingga ditelannya air liur yang terkumpul di mulut. Matanya yang beringas menatap wajah kedua perempuan cantik di hadapannya.
Tukang-tukang pukul lainnya yang mengurung tempat itu saling menyahut menyetujui. Mereka tampak menjilati bibir sambil membayangkan kehangatan tubuh Ningrum dan Wilasih yang sintal itu. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan air liur, karena begitu bernafsu. Ucapan para tukang pukul itu membuat mata kedua perempuan cantik itu berubah penuh kebencian. Kilatan dendam dan sakit hati, membuat wajah-wajah cantik itu berubah merah. Hawa maut pun seketika menyelimuti mata tajam keduanya.
"Serbuuu...!"
Tukang-tukang pukul itu rupanya terlalu menganggap ringan kedua lawannya. Teriakan lelaki brewok pimpinan mereka, membuat tukang-tukang pukul itu berlompatan maju. Seolah semua saling berlomba untuk lebih cepat menjamah tubuh molek itu.
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Suara lengkingan nyaring terdengar mengejutkan. Dan, kedua tubuh perempuan berpakaian merah muda langsung melesat ke kiri dan kanan. Entah kapan mencabutnya, tahu-tahu di tangan keduanya telah tergenggam pedang berkilat.
Wut!
Cras! Jrab!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Empat orang tukang pukul meraung keras. Wajah mereka berkerut menahan rasa sakit yang luar biasa. Karena tangan kiri mereka yang semula hendak meraba dan meremas tubuh gadis-gadis cantik itu telah tertebas pedang dan buntung. Tentu saja mereka tidak menyangka kalau kedua orang perempuan cantik itu bergerak demikian cepat. Hingga, mereka tak sempat menghindari.
"Iblis...!" Lejaki brewok itu terkejut setengah mati. "Bunuh mereka...!"
"Yeaaat..!"
Tanpa menunggu anak buahnya bergerak, lelaki brewok itu sudah menerjang maju dengan teriakan keras. Tangan kanannya memutar pedang dengan kecepatan tinggi. Sepertinya baru disadari kalau perempuan-perempuan cantik itu tak bisa dipandang ringan. Terbukti dengan sekali gebrak saja empat orang anak buahnya telah kehilangan lengan.
Kenyataan yang mengejutkan itu membuatnya tak mau gegabah dalam melancarkan serangan. Bukan hanya lelaki brewok itu saja yang menjadi marah. Lima orang tukang pukul lainnya pun sudah serentak berlompatan maju dengan sambaran pedang yang berdesingan.
Gerakan pertama Ningrum dan Wilasih benar-benar telah membuat tukang-tukang pukul itu kalap. Semua itu terlihat dari gencar dan ganasnya serangan mereka. Namun kedua perempuan itu hanya mendengus penuh ejekan. Keroyokan itu tampaknya sama sekali tidak membuat hati mereka gentar, bahkan keduanya langsung melesat maju menyambut serangan lawan. Dalam sekejap saja pertarungan sengit pun berlangsung.
Untuk kali ini para tukang pukul yang biasanya galak itu benar-benar ketemu batunya. Sebab, kendati mereka telah menguras tenaga dan kemampuan untuk mendesak lawan, tetap saja mereka tak mampu berbuat banyak. Bahkan serangan balasan kedua perempuan itu membuat mereka kaget. Hingga....
"Hiaaa...!"
Bret! Bret!
"Aaa...!"
Dua orang tukang pukul terpental keluar dari arena pertarungan. Mereka terbanting di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Nyawa mereka melayang seketika. Kedua orang perempuan cantik itu sepertinya telah berubah menjadi makhluk-makhluk haus darah yang buas. Kendati dua orang lawan kembali telah menjadi korban senjata mereka, keduanya belum merasa puas. Pedang di tangan mereka terus berkelebat memburu korban berikutnya.
Wuttt! Trang!
"Akh!"
Lelaki brewok yang menjadi kepala tukang pukul itu masih sempat menggerakkan pedangnya, menyambut sambaran pedang Ningrum yang mengancam perutnya. Namun untuk itu dia terpaksa harus merasakan lengannya linu. Karena tenaga dalam lawan masih lebih kuat dari tenaganya. Sehingga, kuda-kudanya tergempur mundur beberapa langkah. Ningrum sendiri tampaknya tidak mau bertele-tele. Pedang di tangannya berputar cepat bersilangan dua kali. Sehingga, lawan yang belum siap memperbaiki kedudukannya terpaksa hanya bisa terpekik saat mata pedang membeset tubuhnya.
Brettt!
"Aaargh...!"
Lelaki brewok itu meraung keras. Darah segar muncrat membasahi permukaan tanah. Tubuh kekar itu langsung ambruk dan tewas. Dua buah luka memanjang yang dalam di dada dan perut membuat dirinya tak mampu lagi bertahan hidup.
Pada saat yang hampir bersamaan, tukang pukul yang tinggal seorang itu pun mengakhiri nyawanya di ujung pedang lawan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja enam orang tukang pukul yang biasa menyombongkan kepandaiannya itu, harus menyerahkan nyawa di tangan dua orang perempuan cantik. Benar-benar sukar untuk dipercaya!
Empat orang tukang pukul yang lengannya putus sebatas pergelangan, menatap ketakutan. Kematian kawan-kawan mereka bagaikan mimpi buruk yang sukar dipercaya. Namun, kenyataan itu jelas-jelas terpampang di depan mata mereka. Tidak bisa dibantah lagi!
"Hm...!"
Setelah menyelesaikan perlawanan para tukang pukul yang mengeroyok, kedua orang perempuan cantik yang haus darah itu memalingkan wajah dengan dengusan kasar. Karuan saja wajah empat orang tukang pukul itu semakin ketakutan.
"Celaka...!" desis salah seorang dari mereka yang mulai berkeringat dingin. Karena kedua kakinya sukar sekali untuk diajak berlari meninggalkan tempat itu. Matanya hanya bisa menatap putus asa menunggu maut yang siap menjemput.
Hal itu juga dialami tiga orang tukang pukul lainnya. Kedua kaki mereka yang gemetar, sulit sekali untuk digerakkan. Kekejaman kedua perempuan itu benar-benar telah membuat keberanian dan kegalakan mereka terbang entah ke mana. Sekarang mereka hanya bisa menatap putus asa menanti kematian.
"Sebaiknya kita habisi saja mereka...," ujar Wilasih dengan sorot mata memancarkan dendam dan kebencian yang dalam.
Ningrum sama sekali tidak menyahut. Hanya kepalanya yang mengangguk sebagai tanda setuju. Karena dia memang sudah bertekad untuk membasmi habis seluruh makhluk hidup di dalam rumah besar itu. Jangankan manusia. Hewan peliharaan pun akan dihabisi jika tampak di depan matanya. Sepertinya rasa benci telah terbakar hebat dalam hati perempuan itu.
"Ampun...! Ampunkan kami, Nisanak...!"
Karena rasa takut demikian kuat menghantui perasaan mereka, tanpa malu-malu keempat tukang pukul itu saling menjatuhkan tubuh dan berlutut di depan dua perempuan cantik yang tampak beringasitu. Namun, ucapan itu justru semakin membakar kebencian di hati Ningrum dan Wilasih. Dengan langkah perlahan mereka bergerak maju. Dan....
Wuttt!
Crak! Crak...!
Empat buah kepala langsung menggelinding lepas dari leher mereka. Benar-benar sadis sekali! Kedua perempuan cantik itu sanggup memenggal kepala lawan dengan bibir tersenyum sinis!
"Mari kita cari Sidanta keparat itu...," ajak Ningrum seraya memutar tubuh dan bergerak memasuki bangunan. Tanpa menjawab, Wilasih langsung mengikuti langkah Ningrum.
Terdengar jerit kematian susul-menyusul dari dalam rumah besar itu. Tampaknya Ningrum dan Wilasih sudah seperti bukan manusia lagi. Siapa saja yang ditemui, langsung dibantai tanpa ampun! Rupanya kemarahan mereka belum terlampiaskan.
Tidak lama kemudian, terlihat keduanya melesat ke luar bangunan. Seorang pemuda tampan bertubuh tegap terlihat tak berdaya diseret kedua orang perempuan kejam itu. Di kedua sisi kepala pemuda itu tampak mengalir darah segar yang tak henti. Darah itu berasal dari telinga yang telah kehilangan daunnya. Rupanya Ningrum dan Wilasih telah membabat putus daun telinga pemuda itu.
"Apa yang kau rasakan sekarang masih belum cukup, Sidanta! Kau harus merasakan betapa sakitnya sebuah penderitaan...!" geram Ningrum sambil terus menyeret tubuh pemuda yang hanya bisa merintih kesakitan itu.
Tiba di luar bangunan, mereka langsung mengerahkan ilmu lari cepat. Tidak dipedulikan lagi betapa tubuh Sidanta terguncang-guncang terseret di tanah. Rupanya rasa sakit hati telah membuat perempuan-perempuan cantik itu berubah buas dan biadab.
********************
"Itu mereka datang...!"
Wanita cantik berpakaian merah muda yang tengah duduk itu bergegas bangkit, lalu menunjuk ke satu arah. Sedangkan gadis desa yang duduk di sebelahnya turut bangkit. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata bengkak karena terlalu banyak menangis, menatap dengan kening berkerut.
"Kakang Sidanta...?!" Bibir gadis desa itu bergetar perlahan mengucapkan nama Sidanta. Seketika itu juga kesenduan wajahnya berubah garang. Kilatan dendam tergambar jelas pada wajah dan tatapan matanya. Langkahnya bergerak maju menyambut kedatangan Ningrum dan Wilasih yang menyeret tubuh seorang pemuda yang tak lain Sidanta.
"Hm..., bagaimana, Adik Manis? Apa hasil kerja kami belum memuaskan...?" tanya Ningrum sambil melemparkan begitu saja tubuh Sidanta ke hadapan gadis cantik itu.
"Winarti...?!" Pemuda tampan bertubuh kekar yang bernama Sidanta itu menatap sosok gadis cantik di depannya sembari menekap kedua telinganya yang sudah tak berdaun lagi.
"Hmh...!" Gadis desa yang dipanggil Winarti hanya mendengus kasar. Sorot matanya tak lagi menyiratkan keluguan. Bahkan telah berubah garang! Siap menumpahkan dendam dan sakit hatinya. "Kau masih ingat padaku, Sidanta...?" tegur Winarti dengan tarikan bibir penuh ejekan. "Bagus! Dengan demikian, berarti kau pun tahu bagaimana rasanya dicampakkan seperti sampah oleh orang yang sangat dicintai...!" Setelah berkata demikian Winarti melangkah maju dengan mata menatap penuh perasaan dendam.
"Winarti...! Apa yang akan kau lakukan kepadaku? Bagaimana kau bisa berkawan dengan perempuan-perempuan setan itu?" tanya Sidanta dengan wajah pucat. Tentu saja disadari betapa bekas kekasihnya itu sudah siap untuk membalas sakit hatinya.
"Hm... Menurut perkiraanmu, apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, Sidanta? Apa kau kira tubuhku, akan kuserahkan lagi kepadamu?" ujar Winarti yang saat itu benar-benar telah kehilangan sifat aslinya. Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi makhluk haus darah yang siap mereguk darah dari tubuh Sidanta.
"Apa maksudmu, Winarti? Bukankah apa yang pernah kita lakukan atas dasar suka sama suka? Aku..., aku sama sekali tak pernah memaksamu, bukan?" Sidanta masih juga hendak membela diri dan tak mau mengakui kesalahannya.
"Memang benar semua itu kita lakukan atas dasar suka sama suka! Tapi, setelah kau rayu aku dengan janji-janji muluk. Setelah itu kau hendak meninggalkan aku! Huh! Tak semudah itu, Sidanta! Kini kau akan merasakan buah dari kebejatanmu itu!" ujar Winarti yang langsung menyambar cambuk di pinggang Ningrum. Kemudian melecutkannya sekuat tenaga ke tubuh Sidanta.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Auuugh...!" Sidanta terjingkat akibat sengatan ujung cambuk itu. Tubuhnya bergulir ke kanan. Rasa sakit membuat Sidanta mengeluh dan mengerang keras. Meskipun Winarti tak memiliki tenaga dalam, lecutan cambuk itu sudah cukup menyiksa bagi Sidanta.
"Bagus, Winarti! Lakukan sepuasmu..!" Ningrum memberikan dorongan semangat dengan bibir tersenyum. Seakan-akan dia bersama dua orang kawannya sangat menikmati pemandangan itu.
Winarti sendiri sudah seperti gila. Sambil menahan isaknya, dia terus melecutkan cambuk ke tubuh Sidanta. Sehingga, pemuda itu terpekik keras, setiap kali ujung cambuk menyengat tubuhnya. Beberapa bagian tubuh Sidanta tampak sudah matang biru dan mengeluarkan darah. Rasanya tentu saja sangat pedih. Sampai-sampai Sidanta tak mampu menahan air mata karena merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya.
Namun ketika untuk yang kesekian kalinya Winarti hendak melecut tubuh Sidanta, tiba-tiba ada sesosok bayangan putih berkerlebat. Dengan cepat sosok bayangan itu menangkap ujung cambuk yang diayunkan Winarti.
"Lepas...!" Disertai sebuah bentakan, sosok bayangan putih itu langsung menyentakkan ujung cambuk yang telah digenggamnya. Winarti yang tersentak kaget, tidak mampu mempertahankan gagang cambuk yang dipegangnya.
"Akh...?!" Sentakan yang perlahan itu membuat tubuh Winarti terhuyung limbung dan terjatuh ke tanah. Tampaknya sosok bayangan putih itu tahu kalau si pemegang cambuk bukan seorang ahli silat. Terbukti dia menyentakkan dengan perlahan, hanya sekadar merebut cambuk itu dari tangan Winarti.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Ningrum dan dua orang kawannya tersentak kaget! Ketiganya bergerak mundur dengan mata terbelalak. Baru mereka mengerti, mengapa gerak langkah sosok bayangan itu tak sempat tertangkap pendengaran mereka. Ternyata yang datang Pendekar Naga Putih, yang telah tersohor kedigdayaannya di kalangan rimba persilatan.
"Kiranya kalian lagi yang membuat ulah...!" ujar sosok bayangan putih yang memang Pa ji. "Persoalan apa lagi yang membuat kalian tega menyiksa pemuda ini sedemikian rupa?"
"Pendekar Naga Putih! Seharusnya kau tak mencampuri urusan ini! Karena yang tengah kami siksa adalah seorang pemuda keparat yang kerjanya mempermainkan wanita! Dan jika kau membelanya, itu sama artinya dengan menyetujui segala perbuatan jahat yang selama ini dilakukannya!" kilah Ningrum mencoba menggertak Pendekar Naga Putih.
Gertakan Ningrum kelihatannya cukup berhasil. Buktinya Pendekar Naga Putih terdiam tanpa sahutan untuk beberapa saat. Hanya matanya saja yang menatap tubuh pemuda penuh luka gores yang tergeletak tak berdaya itu. Lalu beralih ke wajah Winarti.
"Mengapa kau menyiksanya sedemikian rupa, Nisanak?" tanya Panji kepada Winarti. Karena dia telah menduga kalau gadis manis itulah yang lebih menaruh dendam terhadap pemuda di hadapannya. Dilihatnya tadi hanya gadis manis itulah yang dengan bengis menyiksa pemuda yang tergeletak tak berdaya. Sedangkan tiga perempuan cantik berpakaian merah muda yang pernah bentrok dengannya hanya berdiri menonton dengan senyum puas.
"Dia..., dia jahat...!" Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Winarti. Sosok Pendekar Naga Putih tampaknya membuat gadis itu luluh dan hilang kebengisannya. Seketika dia berubah menjadi Winarti, si gadis desa yang lugu dan penakut.
"Apa yang telah dilakukannya terhadapmu..?" tanya Panji mendesak Winarti yang terlihat mulai menangis. Seakan-akan gadis itu merasa takut setelah kesadarannya pulih dan melihat tubuh Sidanta tergeletak berlumuran darah.
"Pemuda keparat itu telan memperkosanya, Pendekar Naga Putih! Jadi, sudah sepantasnyalah kalau dia menjalani hukuman atas kebiadabannya!" selak Ningrum cepat.
"Benarkah apa yang dikatakannya itu?" tanya Panji lagi mendesak Winarti. Karena dia belum percaya terhadap perempuan berpakaian merah muda itu yang telah diketahui kelicikan dan kekejamannya. Berbeda dengan Winarti yang tampak lugu dan tak berani berdusta.
"Untuk apa kami berbohong kepadamu, Pendekar Naga Putih! Jangan kau kira kami merasa gentar kepadamu! Meski kami sadar kalau kau bukan tandingan bagi kami, tapi tak ada rasa gentar dalam hati kami! Dan semua jawaban tadi bukan karena kami takut terhadapmu. Ingat itu baik-baik." Lagi-lagi Ningrum yang menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Bahkan nadanya terdengar lebih tajam dan menunjukkan kejengkelan harinya.
"Hm...!" Panji bergumam lirih. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sosok Ningrum, dan menelitinya sekilas. "Kalau jawabanmu memang mengandung kebenaran, mengapa tak kau biarkan saja gadis itu menjawab pertanyaanku?"
"Keparat sombong...!" dengus Ningrum geram. Bantahan Pendekar Naga Putih membuatnya bungkam. Karena apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Mengapa tidak dibiarkan Winarti yang menjawabnya? Mengapa dia yang merasa cemas mendengar pertanyaan-pertanyaan Pendekar Naga Putih terhadap Winarti? Bukankah makna jawabannya tak akan berbeda jauh?
Ningrum mendengus jengkel. Namun, ketika tatapan tajam mata pendekar muda yang tampan itu belum juga beranjak dari wajahnya, tiba-tiba saja Ningrum merasakan dadanya berdebar. Perlahan kedua pipinya dijalari rona merah. Menyadari keadaannya yang tidak wajar, perempuan cantik itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Dia bukan tak tahu kalau hatinya terguncang oleh sosok pendekar muda yang tampan dan penuh ketenangan itu.
Rasa kebencian yang telah berakar di dalam hatinya seketika lenyap entah ke mana. Dan memang baru terhadap Pendekar Naga Putih, hatinya merasa kagum dan tertarik. Apalagi ketika sepasang mata tajam itu menatapnya berlama-lama. Ada getaran aneh yang menjalari sekujur tubuhnya dan membuat parasnya menghangat. Namun, tentu saja Ningrum tak akan membiarkan dirinya terseret getar asmara. Ningrum menggigit bibirnya kuat-kuat untuk melawan pengaruh sorot mata Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun bukan tak tahu kalau perasaan perempuan cantik itu tergetar. Maka, cepat-cepat wajahnya berpaling, kembali menatap Winarti. Seolah-olah hatinya belum merasa puas kalau tidak mendapatkan jawaban dari gadis desa itu.
DELAPAN
"Nisanak, benarkah apa yang dikatakan wanita itu?" tanya Panji, ingin mendapatkan kepastian dari Winarti.
"Sidanta membujukku dengan janji-janji manis. Kemudian... aku... aku menyerahkan apa yang dimintanya. Tapi..., dia malah pergi setelah segalanya kuberikan." Akhirnya, meskipun dengan susah payah, keluar juga jawaban yang ditunggu Pendekar Naga Putih dari gadis desa itu.
"Tapi, tidak adakah jalan yang lebih baik, selain menyiksanya seperti itu? Bukankah kau bisa meminta pertanggungjawabannya secara baik-baik?" tanya Panji ingin tahu bagaimana pendapat gadis cantik itu terhadap pertanyaan yang dilontarkannya.
"Sidanta. , akan menikah dengan perempuan lain. Mereka berdua sama-sama dari keluarga terhormat. Tidak sepertiku yang miskin dan bodoh. Dia... membuat aku menderita dan putus asa...," jawab Winarti lagi sambil terisak. Seolah-olah gadis itu belum mampu untuk melenyapkan kesedihan setiap kali teringat akan kepahitan yang pernah dialaminya
"Hm..., lalu kau meminta kepada mereka untuk menyeret kekasihmu ini, dan menyiksanya sampai sekarat..?"
"Cukup, Pendekar Naga Putih!" Ningrum yang sudah tak sabar, langsung menyelak. Kakinya melangkah lebar lalu menarik lengan Winarti, menjauhi pemuda tampan berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih tidak berusaha mencegah tindakan Ningrum. Dia justru berpaling dan menatap tubuh Sidanta yang masih merintih kesakitan. Baru kemudian memandang Ningrum dan kawan-kawannya.
"Kendati niat kalian baik, cara yang kalian tempuh tak bisa kubenarkan. Selagi masih bisa menempuh jalan damai, tak layak kalian berbuat sekehendak hati. Selain itu, aku ada sedikit pertanyaan untuk kalian bertiga...," ujar Panji seraya menatap tajam wajah ketiga perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Maaf, kami tak punya waktu untuk meladenimu, Pendekar Naga Putih! Biarlah kami mengalah dengan tak membunuh pemuda keparat itu. Nah, selamat tinggal...!" Setelah berkata demikian, Ningrum memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Perempuan cantik itu sendiri sudah melesat pergi dengan membawa tubuh Winarti. Tapi...
"Tunggu...!" Pendekar Naga Putih yang merasa masih mempunyai kepentingan dengan perempuan-perempuan itu, langsung saja berseru mencegah. Bahkan tubuhnya melenting ke atas, lalu meluncur dengan cepat setelah berputaran beberapa kali di udara.
Jliggg!
Ningrum terpaksa menahan langkahnya ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak menghadang di depan. Tentu saja tindakan pendekar muda itu membuat kemarahannya bangkit. Semua kekaguman dan rasa sukanya terhadap pemuda itu ditekan sekeras mungkin. Sikapnya tetap dingin dan tanpa perasaan.
"Mengapa kau masih juga menghalangi kepergian kami. Pendekar Naga Putih?" tegur Ningrum sambil meraba gagang pedang di punggungnya. Jelas perempuan cantik dari Lembah Hitam itu telah siap bertindak keras.
"Sudah kukatakan tadi, aku memiliki sedikit kepentingan dengan kalian bertiga..." sahut Panji. Sinar matanya menghunjam tepat di kedua bola mata Ningrum yang tampak sangat gelisah.
"Apa yang kau inginkan dari kami...?" tanya Ningrum ketus sambil berusaha menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Dia terpaksa mengalah karena sadar tak mungkin mampu melepaskan diri dari kejaran pendekar muda itu. Melarikan diri dari Pendekar Naga Putih merupakan perbuatan bodoh. Karena pemuda itu pasti dapat menyusulnya.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Panji dengan sinar mata mencorong tajam, membuat hati Ningrum kian bergetar. Sinar mata pemuda tampan itu dirasakan begitu berpengaruh dalam jiwanya.
"Aku sudah berjanji untuk membawanya ketempat tinggal kami. Dan dia sendiri sudah setuju. Kalau tak percaya, boleh kau tanyakan kepadanya...," sahut Ningrum menyembunyikan kegelisahannya. Karena disadari kalau Pendekar Naga Putih tak dapat dikelabui. Dan, kemungkinan besar tugasnya kali ini akan menemui kegagalan di tangan pendekar muda yang sakti itu.
"Hm..., jadi selain memusuhi tokoh-tokoh muda persilatan, ternyata kalian pun merupakan pelaku penculikan terhadap gadis-gadis muda. Nah, apa tuduhanku terhadap kalian salah...?" tukas Panji. Dia langsung menduga, ketiga perempuan kejam itulah pelaku penculikan terhadap wanita-wanita muda.
"Kami tak menculik mereka! Tapi mengajaknya untuk bergabung dengan kami!" bantah Ningrum dengan suara keras. Sepasang matanya mulai melirik ke kiri dan kanan mencari jalan untuk dapat lolos dari Pendekar Naga Putih.
"Itu anggapan kalian! Tapi, bagaimana dengan orangtua gadis-gadis yang kau ajak pergi itu? Mereka yang kehilangan anak-anak gadisnya, tentu saja menganggap perbuatan kalian merupakan tindakan penculikan. Dan, hal itu tak bisa kudiamkan begitu saja. Meski baru sekadar dugaan, aku yakin kalau kalian akan menjejalkan kebencian di hati mereka terhadap laki-laki. Bukankah itu yang kalian inginkan?" tukas Panji tak mau kalah. Hatinya semakin yakin ketika melihat perempuan bertahi lalat di sudut bibir kanannya itu tak bisa membantah lagi.
Sadar bahwa semua kedok mereka sudah terbuka, Ningrum dan kawan-kawannya tak berpanjang kata lagi. Jemari tangan mereka langsung meraba gagang pedang. Bahkan ketiganya telah bergerak dari tiga jurusan mengepung Pendekar Naga Putih.
Siiing! Siiing...!
Terdengar suara berdesingan susul-menyusul. Tiba-tiba di tangan ketiga perempuan cantik itu telah tergenggam sebatang pedang. Kemudian diputar dengan kecepatan penuh di atas kepala hingga menimbulkan angin yang menderu-deru. Ketiganya jelas telah siap untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih.
"Hm..., begini lebih bagus...," gumam Panji sambil memperhatikan gerak langkah ketiga lawannya. Sejauh itu dia belum melakukan gerakan sedikit pun. Karena pendekar muda itu sudah bisa mengukur sampai di mana kekuatan ketiga orang pengeroyoknya itu.
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Ningrum yang berada di sebelah kanan Pendekar Naga Putih, berteriak nyaring. Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Pedang di tangannya berputaran cepat bagaikan baling-baling. Sekali bergerak, perempuan cantik itu langsung mengirimkan serangkaian serangan yang mematikan. Benar-benar berbahaya sekali!
Karena sebelumnya Pendekar Naga Putih pernah bertarung melawan mereka, serangan Ningrum dengan mudah dapat dikandaskan. Tubuh pemuda itu bergerak menyelinap di antara sambaran mata pedang lawannya.
Melihat gerakan lawan, Ningrum semakin memperhebat serbuannya. Tampak dua perempuan berpakaian merah muda lainnya sudah merangsek ke tengah arena. Kilatan putih dan suara desingan pedang datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Namun, sampai beberapa jurus kemudian, serangan ketiga orang pengeroyok itu belum menunjukkan hasil. Padahal Pendekar Naga Putih masih mengambil sikap mengalah dengan jalan menghindar.
Setelah merasa cukup memberi kesempatan kepada lawan-lawannya, baru Pendekar Naga Putih membuka serangan. Kedua tangannya bergerak cepat melakukan tamparan dan tangkisan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja ketiga orang pengeroyok itu dibuat kelabakan. Serangan-serangan mereka tak lagi terarah dengan baik. Pemusatan pikiran mereka terganggu oleh hembusan angin dingin menggigit tulang yang datang mengiringi setiap tamparan dan tangkisan tangan Pendekar Naga Putih. Sehingga...
"Hiaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
Salah satu dari tiga perempuan cantik berhati kejam itu terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar keluar dari arena pertempuran. Tamparan yang mendarat di punggungnya, membuat tubuhnya terbanting tak sadarkan diri.
"Haiiit...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua orang perempuan itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan merah yang memapak serangan Pendekar Naga Putih.
Plak! Plak!
"Hei...?!" terdengar seruan kaget terlontar dari mulut Pendekar Naga Putih. Tubuh Pendekar Naga Putih sekali lagi meluncur disertai pekikan keras menggelegar. Serangkum angin dingin berhembus keras, membuat kedua orang lawan tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak dari tamparan pemuda itu. Namun, ke mana pun mereka bergerak, telapak tangan Pendekar Naga Putih terus mengejar. Sampai akhirnya mereka tersudut dan tak mungkin dapat menghindar lagi. Tapi....
"Heaaa...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua orang perempuan cantik itu, tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang yang memekakkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan merah muda telah melesat ke tengah arena. Bayangan merah itu langsung menyambut serangan Pendekar Naga Putih yang nyaris berhasil itu. Hingga...
Plak! Plak!
"Hei?!"
Terdengar suara benturan yang mirip ledakan. Pendekar Naga Putih sempat terpekik. Karena lengannya dirasakan bergetar akibat benturan keras itu. Sehingga, tubuhnya melompat mundur dan meluncur turun beberapa tombak dari arena pertempuran.
"Kau...?!" Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika melihat siapa yang telah menyelamatkan kedua lawannya barusan. Seraut wajah buruk yang seperti bekas luka bakar itu membuat Panji mengerutkan kening dalam-dalam. Karena sosok tubuh ramping berwajah buruk itu pimpinan para perempuan-perempuan cantik yang telah menculik banyak gadis muda rimba persilatan.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!" ujar sosok berwajah buruk itu dengan wajah dingin. Sulit sekali menduga perasaan apa yang saat itu ada dalam hatinya. Karena luka bakar itu membuat wajahnya seolah-olah tak menggambarkan perasaan apa pun.
"Ya, kita bertemu lagi, Nisanak! Tapi kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Perbuatanmu sudah melampaui batas dan membuat keresahan bagi orang banyak...," ujar Panji seraya bergerak maju. Langkahnya berhenti ketika jarak di antara mereka hanya terpisah sekitar satu tombak.
"Aku pun datang bukan dengan niat untuk berbincang denganmu, Pendekar Naga Putih. Perbuatanmu kali ini membuatku harus mengambil keputusan untuk melenyapkan dirimu. Keberadaan dan keusilanmu telah membuat kami susah...," tukas wanita berwajah buruk itu menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan kebencian yang dalam.
"Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan secepatnya persoalan ini...!" ujar Panji yang sudah menggeser langkah ke kanan. Sadar kalau kepandaian lawan tidak rendah, dia bersikap lebih hati-hati.
"Hmh...!" Perempuan berwajah buruk itu mendengus kasar. Lalu dia tampak membuka jurus, siap bertarung melawan Pendekar Naga Putih. Gerakannya terlihat mantap dan seperti mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat. Bahkan dari tatapan matanya, perempuan berwajah buruk itu tampak bertekad hendak melenyapkan Pendekar Naga Putih yang memang selalu menentang segala tindak kejahatan.
"Ciaaat...!"
Diiringi pekikan melengking, perempuan berwajah buruk itu membuka serangan dengan serangkaian pukulan maut yang menimbulkan desiran angin keras. Nampaknya dia langsung menggunakan jurus-jurus andaian dalam menggempur Pendekar Naga Putih. Terbukti pukulan-pukulannya begitu gencar seperti mengandung kekuatan dahsyat.
Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau kesaktian lawan sangat hebat. Segera dikerahkannya jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Seketika hawa dingin menusuk tulang menyebar menyelimuti arena pertarungan. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit.
Setelah berjalan selama kurang lebih empat puluh jurus, Pendekar Naga Putih tampak mulai menguasai lawannya. Kecepatannya yang berada dua tingkat di atas lawan, membuat serangan-serangannya lebih banyak dari gencarnya serangan lawan. Bahkan dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang berhawa dingin menggigit, Pendekar Naga Putih dapat membuat tubuh lawannya terkurung dan kacau gerakannya. Hingga, pada satu kesempatan baik, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan ke tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Plak! Brettt...!
"Aihhh...?!" Perempuan berwajah buruk itu terpekik kaget. Meskipun berhasil menepis cengkeraman tangan kanan, namun tamparan tangan kiri Panji telah membuatnya terdorong ke belakang.
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri sempat merasa terkejut. Tebasan tangan kirinya yang kemudian dirubah menjadi cengkeraman, telah mengenai wajah lawan. Dan kini di tangannya tergenggam sebuah topeng karet yang sangat tipis. Tentu saja hatinya heran bukan main.
"Kupu-kupu Berbisa...?!" seru Panji ketika menatap wajah yang kini tertutup kain dari bagian hidung ke atas.
Pendekar Naga Putih pernah mendengar tentang tokoh wanita sakti yang mengenakan ciri khas demikian. Namun, sepanjang pengetahuannya, tokoh sakti itu telah lama tidak menampakkan diri di dunia persilatan. Tokoh perempuan yang sakti itu sebenarnya angkatan tua yang sezaman dengan gurunya. Itulah yang membuat dirinya hampir tak percaya. Karena Kupu-kupu Berbisa yang kini berada di hadapannya ternyata memiliki raut wajah seorang perempuan muda.
"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau memalsukan Kupu-kupu Berbisa?" tanya Panji yang merasa heran melihat tokoh sesat wanita angkatan gurunya ternyata masih demikian muda.
"Akulah Kupu-kupu Berbisa! Hi hi hi... Aku tak memalsukan siapa-siapa...!" tukas perempuan yang semula dengan topeng berwajah buruk.
"Tidak mungkin! Kupu-kupu Berbisa telah berusia di atas enam puluh tahun. Lalu, bagaimana mungkin kau yang baru sekitar dua puluh tahun mengaku sebagai Kupu-kupu Berbisa? Jelas kau mengada-ada!" bantah Panji tidak percaya akan pengakuan perempuan cantik itu.
"Memang benar apa yang kau katakan itu. Pendekar Naga Putih! Aku melanjutkan julukan guruku. Beliau telah wafat setengah tahun silam. Dan mewariskan julukan Kupu- kupu Berbisa kepadaku. Jelas?" lanjut Kupu-kupu Berbisa menjelaskan. "Sekarang, bersiaplah untuk mati!"
"Yeaaat...!"
Panji yang termangu mendengar jawaban lawannya, bergerak menarik mundur langkahnya ke belakang. Kemudian langsung membalas serangan lawan dengan tidak kalah hebat. Sehingga, pertarungan pun kembali berlanjut, dengan seru.
Sementara itu, di bagian lain telah pula terjadi pertarungan. Tokoh-tokoh persilatan yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang, menggempur Ningrum dan kawan-kawannya. Pimpinan dari tokoh-tokoh persilatan itu ternyata Gupta dan Rancaka. Rupanya mereka telah pula tiba di tempat itu. Dan menemukan musuh yang selama ini dicari-cari, mereka langsung menggempur tanpa banyak tanya lagi.
Di pihak Kupu-kupu Berbisa, terdapat tiga orang wanita cantik berpakaian serba hijau dan empat orang lelaki kekar pemikul tandu. Ditambah dengan Ningrum dan dua orang kawannya. Pengikut tokoh sesat itu berjumlah sembilan orang. Mereka menyambut serbuan tokoh-tokoh persilatan itu dengan senjata terhunus.
"Yeaaat...!"
Gupta menerjang sambil mengayunkan pedang di tangannya. Semangatnya berapi-api, setelah sempat melihat sosok Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan Pimpinan Perempuan-perempuan Lembah Hitam itu. Keberadaan pendekar muda itu membuat Gupta dan kawan-kawannya merasa yakin kalau mereka akan dapat melenyapkan para perempuan berhati iblis itu.
Menghadapi puluhan tokoh persilatan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu, Ningrum dan kawan-kawannya terpaksa harus berjuang keras. Namun, karena lawan tiga kali lipat jumlahnya, lama-kelamaan para perempuan kejam itu pun terdesak hebat. Dan satu-persatu mulai roboh berlumur darah di ujung senjata pengeroyok mereka.
"Habisi mereka semua...!"
Rancaka, lelaki kekar berwajah keras yang juga memimpin kawan-kawannya, berteriak tak henti-henti memberikan semangat. Sehingga, Ningrum dan kawan-kawannya semakin kewalahan. Kendati korban di pihak lawan tak sedikit yang berjatuhan, di pihak mereka pun juga jatuh korban.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang telah bertarung selama kurang lebih empat puluh tiga jurus, mulai dapat mendesak lawannya. Kupu-kupu Berbisa sendiri berusaha keras untuk dapat mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih. Namun, kepandaian yang dimiliki tokoh sesat itu masih berada beberapa tingkat di bawah Panji. Sehingga, sekeras apa pun bertarung, tetap saja dia tidak mampu mengungguli Pendekar Naga Putih.
"Yeaaat...!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih berteriak keras mengejutkan lawannya. Dengan kecepatan laksana sambaran kilat, serangannya meluncur. Melihat serangan cepat itu, Kupu-kupu Berbisa tampak gugup dan tak sempat bergerak menghindar. Sehingga....
Plakkk..!
"Aaargh...!"
Blukkk!
Tanpa ampun lagi, tubuk ramping terbungkus pakaian merah muda itu terpelanting keras, dan jatuh terbanting di atas tanah. Darah segar muntah dari mulutnya. Pukulan Pendekar Naga Putih yang mendarat di tubuhnya, membuat tokoh sesat itu tidak sanggup untuk segera bangkit.
Melihat lawannya tergeletak dengan napas terengah-engah, Panji bergerak menghampiri dengan sikap waspada. Pendekar Naga Putih yakin, pukulannya tadi dapat membuat lawannya terluka parah, namun tetap tak menghilangkan kewaspadaannya.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" desah Kupu-kupu Berbisa dengan suara lemah. Sepasang mata yang tampak dari lubang pada kain hitam itu terlihat sayu.
Pendekar Naga Putih merasa tidak tega menyaksikannya. Wajah di balik kain itu tiba-tiba membuat kening pendekar muda itu berkerut. Hatinya merasa aneh. Meskipun hanya tampak sebagian wajah Kupu-kupu Berbisa seperti sudah tidak asing baginya. Karena penasaran, tangannya langsung bergerak menyambar kain hitam yang menutupi wajah perempuan itu.
"Akh...!" Kupu-kupu Berbisa terpekik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Pendekar Naga Putih akan berbuat demikian. Wajah cantik berkulit halus itu berpaling ke kiri, berusaha menyembunyikan dengan kedua telapak tangannya.
"Hahhh...?!" Panji tersentak kaget. Tiba-tiba wajahnya memucat tegang. Meskipun kini wajah perempuan itu telah tertutup kedua belah telapak tangan, dia sempat mengenalinya dengan baik. Karena gerakan Kupu-kupu Berbisa agak terlambat.
"Kau.., kau... Suntini...?!" desis Panji hampir tak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Memang, Kupu-kupu Berbisa itu adalah Suntini! Gadis cantik yang beberapa hari lalu menemui Pendekar Naga Putih dan mengemis cintanya. Karena sudah terbongkar rahasianya, Kupu-kupu Berbisa bergegas menurunkan kedua telapak tangannya. Kemudian ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu.
"Mengapa..., mengapa kau melakukan semua ini, Suntini...?" tanya Panji tak mengerti.
"Seharusnya akulah yang bertanya, Kakang. Mengapa kau menolak cintaku? Apakah aku kurang cantik? Atau kau meragukan kesetiaanku? Kau membuatku kecewa dan sakit hati, Kakang. Sehingga, aku menjadi benci terhadap laki-laki. Aku bertekad untuk menyiksa ataupun membunuh mereka sebanyak-banyaknya. Aku.., aku demikian menderita, Kakang...," rintih Suntini yang mulai mengalirkan air mata di kedua pipinya.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas penuh sesal. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Suntini telah tahu perasaannya. Hatinya tak bisa menerima gadis itu, karena tak mungkin mengkhianati Kenanga.
"Kau mengalami luka dalam yang parah, Suntini. Mudah-mudahan obat ini dapat membuatmu merasa lebih baik!" Pendekar Naga Putih menyodorkan dua butir pil kepada gadis itu. Ketika melihat Suntini menggeleng, langsung saja dipaksanya dan memasukkan obat itu ke mulut Suntini.
"Kakang! Sekali lagi kuminta kepadamu. Aku rela meskipun harus menjadi orang kedua yang kau cintai. Aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu Kakang! Aku tak akan menuntut banyak. Hanya itu..." Untuk kesekian kalinya, Suntini kembali mengajukan pertanyaan senada.
Sementara Panji hanya menghela napas dalam-dalam. "Maafkan aku Suntini...!" Hanya itu yang bisa diucapkan Panji dengan wajah menunduk.
Mendengar jawaban itu, Suntini memaksa dirinya bangkit. Ditepisnya tangan Panji yang mencoba menolongnya. Wajah yang pucat itu menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Suntini benar-benar tak bisa menerima jawaban pendekar muda itu.
Panji hanya bisa mengikuti langkah gadis malang itu dengan tatapan penuh iba. Dia tak berusaha mencegah, karena takut Suntini kembali salah menafsirkan. Meski dengan sangat terpaksa, Panji membiarkan Suntini melangkah terseret-seret meninggalkan tempat itu. Karena gadis itu bersikeras tak ingin ditolong. Kecuali Panji bersedia menerima uluran cintanya.
"Pendekar Naga Putih!" seorang lelaki gagah berlari mendatangi Panji. "Bukankah perempuan itu pimpinan mereka? Mengapa kau biarkan pergi...?"
"Jangan ganggu dia, Gupta...!" ujar Panji singkat tanpa penjelasan kepada Gupta.
"Tapi, kita masih memerlukannya untuk menemukan gadis-gadis yang mereka culik? Karena penculikan itu ulah mereka juga, Pendekar Naga Putih...!" sahut Gupta membuat Panji terkejut. Namun ketika hendak mengejar Suntini, terdengar suara halus menahan langkah mereka berdua.
"Mereka membawa gadis-gadis itu ke Lembah Hitam."
Serentak Panji dan Gupta menoleh. Ucapan ternyata dikeluarkan dari mulut Winarti yang tengah berdiri kebingungan. Wajah manis dan tampak mendung itu membuat Gupta terpana. Tatapan matanya terhunjam lekat ke wajah Winarti, membuat gadis manis itu tersipu. Tanpa ragu lagi Gupta melangkah menghampiri Winarti. Tatapannya tak beralih dari wajah manis itu. Gupta tak berusaha menyembunyikan rasa tertariknya terhadap gadis itu.
"Kau sendiri hendak ke mana, Nisanak?" tanya Gupta lembut dengan tatapan penuh kasih yang tulus.
"Aku tidak tahu...," sahut Winarti tertunduk malu. "Mungkin aku harus kembali ke desa. Tinggal bersama paman dan bibi yang selama ini merawatku"
"Pendek...," Gupta tidak, melanjutkan kalimatnya, karena saat wajahnya menoleh, sosok Pendekar Naga Putih telah lenyap dari tempat itu. Sehingga Gupta kembali berpaling kepada Winarti.
"Ikutlah bersama kami ke Lembah Hitam, Nisanak. Setelah itu, aku akan mengantarkanmu. Juga gadis-gadis desa yang diculik perempuan-perempuan Lembah Hitam itu...," ujar Gupta menawarkan sembari menyentuh lembut bahu Winarti. Senyum di bibir lelaki itu mengembang, karena Winarti tak berusaha menghindar. Itu berarti Winarti tahu perasaannya dan tak menolak.
Gupta dan Rancaka kemudian berembuk. Lalu mereka mengajak kawan-kawan yang masih hidup untuk pergi ke Lembah Hitam guna menyelamatkan gadis-gadis desa yang berada di tempat itu. Gupta juga memerintahkan beberapa kawannya untuk mengantarkan pemuda bernama Sidanta ke desanya.
"Mari ikut kami...!" ajak Gupta kepada Winarti.
"Namaku Winarti...," sahut Winarti seraya tersenyum manis kepada lelaki gagah itu. Kelihatan sekali betapa sinar mata yang semula redup itu telah kembali hidup. Tampaknya Winarti menerima uluran tangan Gupta.
Gupta, Rancaka, Winarti, dan tokoh-tokoh persilatan yang masih selamat, bergerak menuju Lembah Hitam. Tempat yang sudah ditinggalkan penghuninya itu masih harus mereka datangi. Karena di sana banyak gadis-gadis muda yang harus segera diselamatkan.
S E L E S A I