Serial Pendekar Naga Putih
Episode Pertarungan Dua Naga
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Pertarungan Dua Naga
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
"Hmmm…"
Pemuda tampan berpakaian serba merah itu menggumam sinis. Alis matanya yang tebal dan berbentuk golok terangkat sebelah. Pandangannya tertuju pada sebuah papan nama rumah judi, yang terletak di Desa Kedung Jati.
"Dari tempat inilah kita mulai...," ujar gadis cantik yang juga berpakaian merah. Seperti halnya pemuda tampan itu, ia pun tengah memandang papan nama di atas pintu gerbang yangcukup besar setinggi dua tombak itu.
Pemudatampan beralis tebal mengalihkan pandangan matanya pada gadis di sebelahnya. Terdengar suaranya yang berat. "Kau yakin rumah judi ini miliknya, Savitri...?"
"Tentu saja aku yakin. Karena tempat kediaman tokoh itu agak sulit dicari, maka aku mengambil jalan pintas dengan mendatangi salah satu rumah judinya. Seluruh rumah judi didaerah ini adalah miliknya...," jawab gadis yang tidak lain Savitri. Sedangkan pemuda tegap itu Kelana, yang dikenal dengan Petualang Sakti.
(Untuk mengetahui lebih jelas mengenal kedua orang itu, silakan baca kembali episode Petualang Sakti)
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita segera masuk...," ajak Kelana.
Savitri tersenyum, mengangguk. Kemudian melangkah masuk seraya melingkarkan lengannya ke pinggang Kelana. Sedangkan Kelana telah merangkul bahu gadis itu. Sikap keduanya tampak sangat mesra menunjukkan adanya jalinan kasih di antara mereka.
"He he he.... Apakah Tuan dan Nyonya muda ingin mengadu nasib di tempat kami...?" sambut seorang lelaki berwajah hitam dan berhidung besar. Sepasang matanya menjorok keluar seperti melotot marah. Bibirnya yang tebal mengukir senyum, kendati tidak sedap dipandang.
Kelana dan Savitri tidak segera masuk. Keduanya menatap lelaki bermuka hitam yang bertubuh kekar. Kemudian beralih pada lelaki kedua yang tubuhnya tidak kalah besar dan kekar. Sepertinya mereka tukang-tukang pukul rumah judi itu. Di pinggang keduanya tampakgagang pedang. Kendati wajah dan perawakannya menyeramkan, kedua orang itu selalu menyambut ramah setiap pengunjung. Tak terkecuali Kelana dan Savitri yang dianggapnya pasangan suami istri muda.
Setelah puas menatap bagian luar bangunan dan kedua penjaganya, Kelana dan Savitri menaiki anak tangga yang tersusun di dalam pintu. Kedua penjaga itu membungkukkan tubuh ketika mereka melangkah masuk. Rupanya penjaga-penjaga itu menduga Savitri dan Kelana orang-orang kaya yang hendak menghamburkan uang di rumah judi itu. Pasangan muda-mudi itu memang sangat menyolok. Terlebih pakaian yang mereka kenakan, dari bahan dan warna yang sama. Sehingga saat mereka bergerak masuk, banyak mata yang menyambutnya.
"Kau ingin mencoba main, Kelana...?" tanya Savitri setelah puas melihat-lihat berbagai macam permainan di ruangan yang cukup luas itu.
"Mmm.... Boleh-boleh saja...," sahut Kelana segera menghampiri meja permainan dadu.
"Ah. Silakan..., silakan, Tuan Muda...," ujar bandar sambil memutar-mutar tempat biji dadu. Gerakannya terlihat sangat mahir. Lelaki kurus bermuka mirip tikus itu agaknya bandar judi yang berpengalaman.
"Hm..." Kelana meletakkan beberapa keping uang di atas nomor yang tertulis di sehelai kertas di atas meja. Beberapa orang mengikuti nomor yang dipasang pemuda tegap berpakaian serba merah itu. Sehingga, nomor itu banyak dipenuhi kepingan uang dibanding nomor-nomor lain.
"Nah, apakah semua sudah tetap dan tidak akan dipindah lagi? Kalau memang sudah, nomor-nomor akan segera kami perlihatkan...," ujar lelaki kurus bermuka tikus menunggu beberapa saat. Kedua telapak tangannya diletakkan di tepi meja.
Kelana yang saat itu memegang tepi meja kelihatan terkejut. Sebagai seorang pesilat yang pandai, ia tahu ada orang yang tengah mengerahkan tenaga dalam pada meja itu. Dan lebih terkejut lagi ketika telinganya menangkap guliran biji dadu di dalam tempurung kelapa. Sadar ada yang bermain curang, pemuda itu memperhatikan wajah bandar dadu yang berdiri berseberangan dengannya.
"Hmmm..," Kelana bergumam pelan ketika mengetahui siapa yang telah berani bermain curang di hadapannya. Tanpa berpikir dua kali, pemuda itu menekankan telapak tangan kanannya pada meja. Dan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menggulirkan biji-biji ke nomor semula.
Lelaki kurus bermuka tikus kelihatan kaget. Ada orang pandai hendak membuatnya bangkrut. Maka kekuatannya ditambah. Namun sampai keningnya berkeringat, ia tidak mampu melawan kekuatan tenaga lawan. Sekali pandang tahulah lelaki kurus itu siapa yang menjadi lawannya.
"Hei, mengapa lama sekali? Bukankah semua telah menetapkan pasangan...?" tegur Kelana tersenyum mengejek.
Beberapa pengunjung yang memasang taruhan ikut berteriak menuntut. Maka dengan wajah agak pucat, lelaki kurus itu menusukkan nomor-nomor dadunya. Dan....
"Wah, rupanya aku sedang beruntung...!" ujar Kelana tersenyum, membuat wajahbandar dadu menjadi kelam. Jelas ia tahu pemuda tampan berpakaian serba merah itu sengaja menggodanya.
Tapi lelaki berwajah tikus itu tidak berkata apa-apa. Matanya mengawasi Kelana dengan tajam. Penjudi-penjudi lain yang ikut memasang taruhannya di nomor pasangan Kelana bersorak senang. Kemenangan pertama itu membuat mereka yakin Kelana telah mendatangkan keberuntungan. Sehingga, ketika Kelana kembali memasang taruhannya pada salah satu nomor, penjudi lainnya segera mempertaruhkan uang hasil kemenangannya tadi. Akibatnya hanya satu nomor saja yang terpasang. Sedang nomor lainnya tidak satupun yang memasang.
"Celaka...!" desis lelaki bermuka tikus. Butir-butir keringat dingin semakin banyak mengalir membasahi wajahnya. Kalau sampai taruhan itu mengena, habislah ia. Majikannya pasti akan marah besar. Meskipun yakin kemenangan akan berada di pihak para petaruh, lelaki bermuka tikus tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Biji-biji dadu kembali diputar. Dan....
"Horeee!"
Para penjudi itu berteriak kegirangan! Beberapa di antara mereka melompat-lompat seperti anak kecil. Kemenangan hari itu sungguh tidak pernah terbayang dalam pikiran mereka. Tentu saja tak seorang pun tahu kemenangan itu karena perbuatan Kelana. Hanya bandar judi yang mengetahui. Setelah beberapa kali bermain dan selalu kalah, akhirnya bandar dadu menutup permaianannya.
"Hei! Mengapa berhenti, Kisanak? Bukankah biasanya permainan ini sampai larut malam...?" tegur seorang petaruh yang telah mendapat kemenangan cukup banyak. Sehingga, kantung uang di pinggangnya penuh.
"Maaf, aku tiba-tiba merasa pusing. Kuharap kalian bermain di meja lain saja..," jawab bandar dadau lalu beranjak pergi, dan lenyap di baik pintu sebuah kamar.
"Rupanya hari ini kau sedang beruntung, Kelana. Banyak sekali uang hasil kemenanganmu...!" ujar Savitri tersenyum lebar. Gadis cantik itu tidak menyangka Kelana pandai berjudi.
Kelana tersenyum tanpa menjawab sepatah pun. Pemuda itu merasakan banyak mata mengawasinya dengan sorot mengancam. Tapi ia pura-pura tidak tahu.
"Hm..., sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Savitri. Kelihatannya orang yang kita tunggu-tunggu tidak akan muncul...," ujar Kelana yang rupanya merasa bosan berada lama-lama di tempat pengap seperti itu.
"Maaf Tuan dan Nyonya Muda. Majikan kami ingin berjumpa dengan kalian. Mungkin hendak mengucapkan selamat atas keberuntungan kalian hari ini. !" tiba-tiba seorang tukang pukul rumah judi berkata kepada Kelana dan Savitri.
"Hm.... Baik. Kami akan segera datang..." sahut Kelana. Kemudian mengikuti langkah tukang pukul memasuki sebuah ruangan. Savitri yang sudah menerka apa yang akan terjadi segera mengayunkan langkah mengikuti kedua orang itu.
"Harap Nisanak tetap di tempat. Majikan kami hanya mengundang Tuan Muda ini..," cegah tukang pukul kepada Savitri.
"Biarkan dia ikut. Aku tidak akan memenuhi undangan majikan kalian tanpa istriku..," tukas Kelana terpaksa mengakui Savitri sebagai istrinya. Itu dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Tukang pukul bertubuh gemuk dengan kumis tebal melintang kelihatan tertegun sejenak. Kemudian menganggukkan kepala dan membawa kedua orang itu menemui majikannya. Sebelum memasuki kamar tempat majikannya menunggu, dua orang tukang pukul yang menyertai Kelana dan Savitri meminta agar uang yang dibawa Kelana dititipkan kepada mereka. Setelah bertemu dengan pimpinannya, baru uang itu akan diserahkan kembali.
"Maaf. Biar aku saja yang membawanya...," bantah Kelana ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kedua tukang pukul itu bila ia membantah.
"Jangan khawatir, Tuan Muda. Kami akan menyimpannya baik-baik. Dan akan kamiberikan bila Tuan dan Nyonya Muda hendak meninggalkan tempat ini..," bujuk tukang pukul gemuk berkumis tebal. Tangannya diulurkan hendak merampas kantung besar yang dipegang Kelana.
"Harap kalian jangan memaksa..." Kelana bersikeras dan menarik kantung uang itu ke samping kirinya. Sehingga, terkaman lelaki gemuk berkumis tebal luput. Tapi tukang pukul itu memaksa. Kali ini ia benar-benar berusaha merampas kantung itu. Sayang terkamannya selalu luput.
"Kisanak! Uang ini hasil kemenanganku yang sah! Tak seorang pun kuizinkan menyentuhnya!" bentak Kelana tidak sabar.
"Siapa bilang kau menang secara sah, Kisanak! Kemenangan itu kau peroleh dengan cara yang curang...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara. Muncullah lelaki bermuka tikus yang tadi menjadi bandar dadu. Wajah lelaki itu kelihatan gelap menyiratkan kemarahan yang siap ditumpahkan.
"Ooo.... Jadi kalian hendak merampas uang ini? Nah, silakan saja kalau memang sanggup mengambilnya dari tanganku...!" tantang Kelana tersenyum sinis.
"Kurang ajar! Beri pelajaran kepada pemuda setan itu, agar lain kali bisa berlaku lebih sopan!" perintah lelaki bermuka tikus kepada tukang pukulnya. Kemudian ia sendiri bergerak hendak merampas kantung uang di tangan Kelana. Tapi....
"Makanlah uang ini oleh kalian...!" sambil berkata, Kelana mengayunkan kantung uang yang besar dan berat itu.
Des! Desss!
"Augkhhh!"
Kedua tukang pukul itu jatuh terjengkang seraya memegangi wajahnya. Keduanya bergegas bangkit dengan hidung mengalirkan darah. Kemungkinan tulang hidungnya patah terbentur kepingan uang yang berat itu. Rasa sakit malah membuat mereka semakin garang! Tapi Kelana tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Sebelum kedua tukang pukul itukembali menerjang, tendangannya sudah datang menghempaskan tubuh mereka hingga rebah tak berkutik. Dada mereka remuk terkena tendangan keras yang dilancarkan Kelana.
"Pembunuh keji!" Lelaki bermuka tikus menjadi kalap. Ia berteriak-teriak dan menerjang dengan serangan-serangan yang lebih terarah daripada kedua kawannya yang telah menjadi mayat.
"Hm..." Kali ini Savitri yang mengambil tindakan. Belum lagi serangan lelaki bermuka tikus tiba, Savitri melepaskan sebuah tamparan keras ke wajah lawan. Kemudian menyusuli dengan tendangan keras!
Bukkk!
"Huakhhh.!" Tubuh lelaki bermuka tikus terlempar menjebol dinding papan di belakangnya. Darah segar termuntah dari mulutnya. Nyawanya pun melayang. Tendangan Savitri menghancurkan bagian dalam dadanya.
"Keparat! Siapa yang berani kurang ajar mengacau di tempat ini...?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam kamar majikan rumah judi. Seiring dengan terkuaknya pintu kamar, muncul seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Sepasang matanya menyorot garang meneliti wajah Kelana dan Savitri. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh hasrat saat melihat wajah cantik Savitri. Bahkan lelaki itu meneguk air liurnya beberapa kali. Agaknya sosok gadis cantik berpakaian serba merah itu telah menerbitkan keinginan kotor dikepalanya.
Savitri sendiri malah tersenyum memikat. Sepasang matanya mengerjap jenaka. Gadis itu sengaja memancing hasrat lawannya agar semakin menggebu. Rupanya Savitri suka memikat laki-laki mabuk akan kecantikannya. Lain halnya dengan Kelana. Pemuda itu menatap garang wajah lelaki berusia empat puluh tahun yang bagai serigala lapar menemukan tulang-tulang lezat. Tatapan tajam Kelana menyadarkan lelaki itu bahwa masih ada orang ketiga di antara mereka, ia pun mengalihkan pandang pada sosok Kelana. Mereka saling bertatapan beberapa saat.
"Kalian siapa...?" tegur lelaki dengan wajah terhias kumis tercukur rapi itu. Sepasang matanya berkilat menyembunyikan kemarahan ketika melihat tiga mayat anak buahnya.
"Aku Kelana. Sedangkan gadisku bernama Savitri. Puas?" sahut Kelana tandas.
"Hm.... Kalian pasti datang ke tempat ini mempunyai maksud lain, bukan? Nah, katakan apa maksud kalian sebenarnya...?" tanya lelaki itu dengan pandangan menyelidik.
"Hm.... Kabarnya rumah judi ini milik Raja Racun Muka Hitam. Dapatkah kau memberitahu tempat kediaman tokoh itu...?" ujar Kelana mengutarakan maksud kedatangan mereka.
Paras majikan rumah judi berubah tegang. Kalau sampai ada yang tahu siapa pemilik rumah judi ini, pasti orang itu bukan tokoh sembarangan. Sebab, Raja Racun Muka Hitam jarang dikenal tokoh sembarangan. Hanya tokoh-tokoh tertentu yang mengenal nama besar tokoh golongan sesat itu. Sadar kalau kedua orang muda itu tengah memperhatikan perubahan wajahnya, majikan rumah judi berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Kalau begitu, kalian salah alamat. Aku sungguh tidak mengenal nama aneh yang kalian sebutkan. Tapi meskipun begitu kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja. Kematian kawan-kawanku harus ada tebusannya...," mata lelaki itu mengerling ke arah Savitri.
Savitri yang tahu maksud ucapan majikan rumah judi segera melangkah maju. Ditatapnya wajah yang cukup gagah itu beberapa saat. Kemudian terdengar suaranya yang merdu memikat. "Apa yang kau kehendaki dari kami...?" tanya Savitri tersenyum manis. Hingga lelaki itu menduga hasratnya mendapat sambutan gadis itu.
"Asal kau bersedia menemaniku beberapa hari, cukuplah hal itu kuanggap sebagai balasannya...," tanpa malu-malu, majikan rumah judi mengutarakan keinginannya. Senyumnya tersungging membayangkan kenikmatan yang akan didapatnya dari gadis cantik itu.
"Hm.... Baik! Kalau begitu, kita mulai saja sekarang...," jawab Savitri membuat lelaki itu terhentak heran.
"Sekarang...?" ulangnya tak percaya.
"Ya. Sekarang! Bukankah kau ingin secepatnya...?" lanjut Savitri menegasi.
"Betul..., betul...!" tukas lelaki itu cepat dengan senyum semakin lebar, ia benar-benar tidak menyangka akan begitu mudah memperoleh gadis cantik yang menggiurkan itu.
"Kalau begitu, bersiaplah...!"
"Apa..., maksudmu...?" Lelaki itu kelihatan kaget melihat Savitri melangkah maju. Kendati gadis itu hanya berjalan biasa, namun ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi membuat sosok Savitri tahu-tahu telah berada di dekat majikan rumah judi. Dan....
Plakkk!
"Aughhh...!" Majikan rumah judi memekik kesakitan! Tubuhnya terpelanting ke kanan. Darah mengalir dari bibirnya yang pecah. Bahkan tamparan itu telah menanggalkan beberapa giginya.
"Perempuan setan...!" maki lelaki itu sambil sesekali merintih dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Terdengar teriakannya memanggil tukang-tukang pukul.
"Sekarang tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam! Atau kau ingin tanganku kembali menemanimu. ?" bentak Savitri siap memberikan tamparan berikutnya.
Saat itu enam orang tukang pukul berlompatan masuk. Namun, Kelana segera menyambut dengan menghantamkan kantung uangnya ke wajah dua orang tukang pukul. Kali ini Kelana menyalurkan tenaga dalamnya. Sehingga....
Prakkk, prakkk!
Tanpa sempat berteriak, kedua tukang pukul itu langsung tewas. Kepala mereka pecaholeh hantaman kantung yang berat itu. Dan selagi empat tukang pukul lainnya tertegun, Kelana kembali mengayunkan kantung uangnya. Maka....
Kembali dua orang tukang pukul menyusul dengan kepala pecah. Meski mereka berusaha mengelak, namun kecepatan gerak Kelana membuat mereka tidak sempat menyelamatkan diri. Kejadian itu memaksa yang lainnya bergerak mundur dengan wajah pucat. Empat orang kawan mereka dapat dirobohkan pemuda berpakaian serba merah itu hanya dengan dua kali gebrakan. Tentu saja mereka tidak menyangka hal itu terjadi demikian singkat.
"Hm.... Mengapa kalian tidak ikut maju...?" tantang pemuda tampan beralis tebal dengan mengejek.
"Haaattt…!"
Merasa diremehkan, harga diri kedua tukang pukul itu pun bangkit. Keduanya bergerak menerjang Kelana dengan putaran senjatanya yang mengaung tajam.
Bettt! Bettt...!
Kelana menarik kaki kanannya ke belakang. Kemudian berputar menghindari serangan kedua orang itu. Dan terus menghindari sampai lima jurus. Baru kemudian Kelana memberikan balasan dengan hangat!
Prakkk! Prakkk...!
Tidak sampai enam jurus tubuh kedua orang tukang pukul itu terjungkal roboh mandi darah. Kepala kawan-kawannya pecah terhantam kantung uang yang besar dan berat itu. Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Kelana bergerak menghampiri Savitri yang sedang berhadapan dengan majikan rumah judi. Keduanya tampak bertarung cukup seru dalam belasan jurus. Sejauh itu Savitri belum membalas. Kelihatannya gadis cantik itu sengaja hendak mempermainkan lawan.
Kelana berdiri menonton perkelahian itu. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Bibirnya tersenyum melihat gerakan mengelak Savitri yang luwes dan indah. Baginya gadis cantik itu bukan sedang bermain silat. Tapi tengah mempertunjukkan sebuah tarian yang indah. Sehingga Kelana tak bosan menikmati gerakan gadis cantik itu.
"Mampus...!" Majikan rumah judi membentak sambil melancarkan pukulan lurus ke arah dada Savitri. Namun, lagi-lagi gadis cantik itu dapat menghindari. Kali ini ia melompat agak jauh ke belakang.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu! Tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam, atau aku akan menghajarmu...!" ancam Savitri.
"Persetan denganmu! Haaattt...!"
Benar-benar keras kepala lelaki itu. Bukannya takut, malah ia kembali menerjang dengan ganas. Sikap itu mengundang kemarahan Savitri!
"Hm..." Kali ini Savitri tidak berusaha mengelak. Sambil menggumam dingin, tubuhnya tegak menanti tibanya serangan lawan. Kemudian...
Plakkk!
Majikan rumah judi memekik ketika serangannya disambut lengan Savitri. Tubuhnya terjajar mundur dengan wajah berkerut menahan sakit. Ia merasa lengannya membentur sebatang besi, bukan lengan manusia.
"Hendak kulihat sampai seberapa keras kulit tubuhmu...!" Belum lagi majikan rumah judi sempat memperbaiki kedudukan, Savitri sudah melayang dengan sebuah tamparan mengancam dadanya.
Plakkk!
"Aughhh...!" Tanpa ampun tubuh lelaki itu terjengkang membentur dinding di belakangnya. Dinding batu itu jebol! Jelas itu menandakan betapa kuatnya tamparan Savitri.
"Uhhh...!" Meski demikian, lelaki itu masih berusaha bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Dadanya sesak dan sulit sekali bernapas. Cairan merah semakin banyak mengalir dari mulutnya.
Savitri tak merasa tergerak untuk mengasihani lelaki itu. Langkahnya yang sengaja dihentakkan keras ke lantai membuat lelaki itu menengadah. Ada kilatan ketakutan pada sepasang matanya ketika melihat Savitri datang menghampiri.
Jebolnya dinding itu ternyata terdengar sampai ke ruangan tempat bermain judi. Beberapa pengunjung mendorong daun pintu ruangan itu hendak melihat apa yang terjadi.
"Hei! Kembali ke tempat kalian, atau kukirim ke neraka...!" Kelana langsung membentak. Bahkan bukan hanya mulutnya yang berbicara. Saat itu juga kakinya mengirim tendangan ke sosok paling depan.
Desss!
"Hukhhh...!" Tubuh lelaki kurus itu terjengkang menimpa orang-orang di belakangnya. Mereka jatuh saling tumpang tindih. Dan begitu bangkit langsung menghambur pergi. Bukan cuma meninggalkan ruangan itu, tapi meninggalkan rumah judi.
Sepeninggal orang-orang itu, Kelana membalikkan tubuh. Sementara Savitri mencekal leher baju majikan rumah judi dan memaksanya bangkit berdiri. "Kuberi kau kesempatan terakhir. Kalau tidak, kulit tubuhmu akan kusayat-sayat dengan ujung pedang!" kembali Savitri mengancam.
Sekilas terbayang kilatan ngeri pada sepasang mata lelaki yang sudah tidak berdaya itu. Namun ketika teringat siapa yang tengah dicari gadis cantik itu, hatinya menjadi tenang. Dicobanya menggertak Savitri. "Kalau kau sampai menyiksaku, itu sama artinya kau mencari mati, Perempuan Liar! Raja Racun Muka Hitam tidak akan mendiamkan pengikutnya dipecundangi orang...!"
"Hik hik hik...!" Savitri memperdengarkan tawanya mendengar ancaman itu, seperti merupakan sesuatu yang lucu baginya. Hingga lelaki itu menjadi heran dan tidak mengerti.
"Kau benar-benar bodoh, Kisanak! Justru kedatanganku mencari Raja Racun Muka Hitam untuk memberi pelajaran kepadanya. Boleh lihat nanti ia akan menurut segala perintahku!" ujar Savitri tidak gentar. Bahkan sesumbar hendak menaklukan Raja Racun Muka Hitam. Padahal siapa pun tahu tokoh itu merupakan datuk golongan sesat di daerah utara.
"Dusta...! Justru kaulah yang akan dipermainkannya sampai puas!" bantah lelaki itu tak percaya.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan menunjukkan bukti pertama...," tukas Savitri dingin. Kemudian meloloskan pedangnya yang memancarkan sinar kemerahan dan berhawa panas menyengat.
"Kau...! Apa..., apa yang hendak kau lakukan...?"
"Hm.... Bukankah sudah kukatakan tadi? Apa kau tuli...?" Savitri memperdengarkan kekehnya. Ujung pedangnya didekatkan ke tubuh majikanrumah judi yang pucat selebar wajahnya.
"Kau tidak akan berani melakukannya...!" Baru saja lelaki itu berteriak tidak percaya, tiba-tiba....
Srattt!
"Aaa...!" Darah segar mengalir dari tubuh majikan rumah judi yang terkelupas kulitnya. Lelaki itu menjerit-jerit kesakitan. Karena luka itu mendatangkan rasa nyeri dan panas yang sangat menyiksa!
"Hm..." Savitri hanya menggumam dingin. Ujung pedangnya kembali terjulur. Hawa panas menyengat yang lebih dulu tiba membuat lelaki itu berteriak kepanasan.
"Aaa.... Tobaaat.!"
Srattt...!"
Kembali kulit tubuh lelaki itu tersayat ujung pedang. Karuan saja majikan rumah judi itu meraung setinggi langit. Apa yang dirasakannya benar-benar sangat menyakitkan.
"Aku akan mengatakannya...! Aku menyerah...!" akhirnya keluar juga ucapan itu dari mulutnya.
"Bagus...! Kalau saja sejak tadi kau mengatakannya, tentu tidak perlu merasakan penderitaan seperti ini...," ujar Savitri tersenyum dingin. Ujung pedangnya ditarik pulang meski, tetap tergenggam ditangan.
Dengan suara tersendat-sendat menahan sakit, majikan rumah judi memberikan keterangan. Savitri mengangguk-angguk puas. Dan ketika semuanya telah jelas....
"Selamat jalan, Kisanak..."
Crakhhh...!
Darah segar muncrat ketika pedang Savitri menebas putus leher orang itu. Lalu terdengar tawanya yang dingin mendirikan bulu roma. Kemudian menoleh ke arah Kelana setelah menyarungkan senjatanya.
"Mari kita berkunjung ke tempat Raja Racun Muka Hitam...," ajak Savitri mendahului berkelebat. Kelana mengikuti.
Setelah menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah Kelana dan Savitri di Kota Kadipaten Tampak Serang. Saat itu senja mulai datang. Sinar kuning keemasan menyemburat menghias cakrawala sebelah barat.
"Malam ini juga kita datangi Raja Racun Muka Hitam...," ujar Savitri tersenyum membayangkan betapa terkejutnya tokoh sesat itu melihat kedatangan mereka.
"Kita harus hati-hati, Savitri. Raja Racun Muka Hitam tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh lainnya...," Kelana mengingatkan gadis cantik itu agar tidak bertindak ceroboh. Kali ini yang dihadapi mereka adalah seorang datuk. Tentu saja ilmunya tidak bisa dipandang ringan.
"Hm.... Setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah', apalagi yang harus kita takuti, Kelana. Rimba persilatan akan kita kuasai. Bukankah itu sudah menjadi tekad kita bersama...?" kilah Savitri sangat yakin akan kepandaiannya. Gadis itu terkesan agak takabur.
"Tapi kau jangan lupa apa yang harus kita lakukan pada purnama mendatang..."
"Bereslah...," sahut Savitri tertawa renyah, membuat Kelana menjadi gemas. Dan kegemasan itu tidak dapat ditahan lagi.
"Eh, apa-apaan ini...?" pekik manja Savitri ketika merasakan tubuhnya dirangkul Kelana. Kendati demikian, gadis cantik itu tidak berusaha meronta. Bahkan tidak melawan ketika Kelana memondong tubuh moleknya.
Kelana yang sudah dibakar nafsu merebahkan tubuh Savitri di atas rerumputan. Hari memang telah gelap sehingga pemuda itu tidak khawatir akan ada yang melihat perbuatannya. Meski mereka telah berada dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Tampak Serang.
"Sabar dulu, Kelana..." Saat nafsu dalam dada Kelana sudah mencapai puncak, Savitri tiba-tiba mendorong tubuh Kelana yang menindihnya. Pakaian gadis cantik itu sudah tidak karuan.
"Mengapa, Savitri...? Kau tidak suka lagi kepadaku...?" Kelana yang sudah dikuasai nafsu setan menatap wajah di bawahnya tajam-tajam. Kilatan tak senang terpancar pada sepasang mata pemuda itu.
"Bukan begitu, Kelana. Tapi sebaiknya kita persiapkan tenaga untuk menghadapi Raja Racun Muka Hitam. Aku tidak ingin menemui kegagalan...," sahut Savitri memberi penjelasan atas penolakannya.
"Tapi aku sudah tidak bisa menahan lagi, Savitri..," Kelana masih membantah.
"Mengapa harus marah, Kelana? Bukankah selama ini aku tidak pernah menolak? Kalau sekarang aku menolak, itu demi kepentingan kita berdua. Setelah urusan dengan Raja Racun Muka Hitam selesai, terserah hendak kau apakan diriku."
"Huhhh...!" Kelana mendengus kesal seraya bangkit dan merapikan pakaiannya. Tampaknya ia masih jengkel dengan penolakan Savitri, kendati maklum dengan alasan yang diberikan gadis itu.
"Ayolah, Kelana. Mengapa mesti marah...? Bukankah aku sudah menyerahkan diriku bulat-bulat kepadamu? Jangan buat aku sedih, Kelana..." Savitri bergayut manja di bahu pemuda tegap itu. Kata-katanya yang mirip desahan membuat hati Kelana tergelitik. Apalagi ia merasakan belaian jemari lembut di wajahnya. Kalau sudah begitu, luluhlah kemarahan dan kejengkelan dihatinya.
"Nah, begitu baru betul...," seru Savitri tersenyum melihat wajah tampan itu kembali cerah. Bahkan Kelana sudah tersenyum seperti sedia kala.
"Maafkan sikapku, Savitri. Marilah sekarang kita datangi Raja Racun Muka Hitam, agar aku dapat bebas menumpahkan cintaku kepadamu...," ujar Kelana segera mengajak Savitri meninggalkan tempat itu.
Begitu memasuki kota kadipaten, keduanya langsung menuju sebuah bangunan besar yang di kiri-kanan gerbangnya terdapat patung ular kobra. Begitu menurut keterangan yang didapat dari majikan rumah judi yang dibunuh Savitri.
Raja Racun Muka Hitam memang tidak dapat disamakan dengan datuk-datuk persilatan lainnya. Kendati namanya telah menggetarkan rimba persilatan, namun jarang orang pernah berjumpa atau melihat wajahnya. Bahkan tempat kediaman tokoh itu tidak banyak yang tahu. Orang tidak akan pernah menyangka Raja Racun Muka Hitam memiliki tempat di dalam Kota Kadipaten Tampak Serang. Bahkan merupakan salah satu orang terkaya di kadipaten itu.
Savitri dan Kelana yang merasa yakin bangunan besar itu tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam, segera bergerak masuk melalui atap rumah-rumah penduduk. Kemudian melayang turun di halaman belakang yang merupakan sebuah taman.
"Kau tunggu di sini. Biar aku yang menyelusup dan memberikan surat tantangan ini kepada datuk sesat...," ujar Kelana tegas tanpa ingin mendengar bantahan Savitri.
"Baiklah. Hati-hati...," pesan Savitri sebelum Kelana melesat meninggalkan taman.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak sulit bagi Kelana menyusup masuk mencari Raja Racun Muka Hitam. Kalau melihat caranya bergerak, tampak jelas kepandaian pemuda tegap itu telah maju pesat. Mungkin ilmu 'Silat Naga Merah' yang disebut-sebut Savitri yang menjadi penyebabnya.
Saat itu Raja Racun Muka Hitam tengah terbahak bercengkerama dengan empat orang gadis muda berwajah cantik. Tampaknya datuk sesat ini mengetahui dengan pasti bagaimana menikmati kekayaan yang dimilikinya. Maka meskipun usianya telah mencapai lima puluh lima tahun, namun semangat dan gairahnya tidak kalah dengan pemuda dua puluh tahun. Benar-benar hebat datuk sesat itu.
Karena datuk sesat itu berada di tempat agak terbuka dan dapat terlihat dari taman samping, tidak sulit bagi Kelana menemukannya. Apalagi tawa Raja Racun Muka Hitam sering terdengar. Kelana menggeleng-geleng kepala melihat datuk sesat itu tengah bergelimang kesenangan dunia. Cepat ia menyalurkan tenaga dalamnya dan melemparkan gulungan surat ke arah Raja Racun Muka Hitam.
Wuttt...!
Sambaran angin halus yang ditimbulkan gulungan surat sepanjang satu jengkal itu membuat Raja Racun Muka Hitam tersentak. Wajahnya memperlihatkan ketidaksenangan yang sangat.
"Keparat...!" desisnya geram. Tanpa bergerak dari tempat duduknya, datuk sesat itu mengulur tangan dengan telapak membuka. Dan....
Tappp!
Enak saja gulungan surat itu tertanggap tangannya. Wajahnya yang hitam menyiratkan kekagetan. Telapak tangan datuk sesat itu bergetar saat menerima gulungan surat. Tahulah Raja Racun Muka Hitam kalau pelempar surat itu bukan orang sembarangan.
"Kembalilah ke tempat kalian...!" ujar Raja Racun Hitam kepada empat orang wanitamuda yang menemaninya.
Meskipun wajah keempatnya menggambarkan keheranan, namun perintah lelaki bertubuh gendut itu tidak dibantah. Mereka beranjak bangkit dan meninggalkan Raja Racun Muka Hitam seorang diri di tempat itu.
Sepeninggal keempat gundiknya, Raja Racun Muka Hitam membuka gulungan surat ditangannya. Wajah yang hitam itu tampak semakin gelap setelah membaca tulisan di dalamnya.
"Raja Racun Muka Hitam! Kutunggu kedatanganmu di hutan sebelah utara kadipaten ini. Datanglah jika tidak ingin kehidupanmu rusak! Sepasang Naga Merah."
"Bedebah...!" desis Raja Racun Muka Hitam geram. Di remasnya pegangan kursi panjang terbuat dari kayu jati pilihan yang didudukinya.
Kresss...!
Hebat bukan main! Pegangan kursi yang kuat itu hancur. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan tenaga dalam kakek gendut bermuka hitam itu.
Kelana yang berada beberapa tombak dari tempat itu menatap takjub. Kepandaian Raja Racun Muka Hitam ternyata memang sangat tinggi. Cepat Kelana melangkah perlahan. Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
"Hm..." Raja Racun Muka Hitam menangkap desiran angin halus. Tapi tokoh sesat itu tidak berusaha mengejar, ia tahu orang itu akan ditemuinya malam ini. Selain itu, calon lawannya berkapandaian tinggi. Alasan-alasan itu membuatnya tidak berkeinginan untuk mengejar.
"Tunggulah! Kalian benar-benar mencari mati!" geram datuk sesat itu beranjak bangkit untuk bersiap memenuhi undangan, ia sadar kehidupannya akan rusak bila tantangan itu tidak dipenuhi. Rahasia yang selama ini dipendamnya rapat-rapat akan terbongkar. Dan tidak mungkin dapat tinggal di Kota Kadipaten Tampak Serang lagi dengan bergelimang kesenangan.
"Sepasang Naga Merah...? Mungkin mereka tokoh baru dalam kalangan persilatan. Aku belum pernah mendengar namanya...," gumam datuk sesat itu seraya melangkah pergi.
Raja Racun Muka Hitam melesat meninggalkan tempat kediamannya. Tujuannya sebuah hutan di utara Kadipaten Tampak Serang. Rupanya Raja Racun Muka Hitam tidak akan membiarkan Sepasang Naga Merah merusak kehidupannya. Siapa yang berani mengganggunya berarti kematian, begitu jalan pikiran datuk sesat itu. Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi, sebentar saja Raja Racun Muka Hitam telah berada di tempat yang dituju. Langkahnya diperlambat saat melihat dua sosok tubuh menantinya di sebuah tempat yang agak terbuka.
"Hm..." Terdengar suara gumaman dingin Raja Racun Muka Hitam. Tokoh sesat itu menghentikan langkahnya satu tombak di depan dua sosok bayangan yang menunggunya. Ditatapnya wajah kedua penantangnya. Kening Raja Racun Muka Hitam agak berkerut. Kedua orang yang mengaku Sepasang Naga Merah ternyata masih sangat muda.
"Kaliankah yang berjuluk Sepasang Naga Merah...?" tegur datuk sesat itu dengan suaranya yang parau dan berat.
"Bagus kau mau datang memenuhi undangan kami, Raja Racun Muka Hitam. Itu artinya kau masih menginginkan kehidupan seperti yang sekarang kau jalani..." ucapan itu dikeluarkan sosok ramping berpakaian serba merah. Siapa lagi orang itu kalau bukan Savitri.
Kelana yang berdiri di sebelah kanan Savitri diam mendengarkan. Pemuda itu belum ingin mencampuri. Matanya menegasi sosok Raja Racun Muka Hitam. Dugaannya tentang seorang lelaki tinggi besar dengan wajah penuh brewok ternyata meleset. Sosok Raja Racun Muka Hitam jauh dari dugaannya.
"Hmh...!" Raja Racun Muka Hitam mendengus kasar.
"Jadi, kalian yang berjuluk Sepasang Naga Merah..?" tanyanya meyakinkan. Sebab bukan mustahil kedua orang itu hanya pengikut.
"Benar. Dan kami sengaja mengundangmu ke tempat ini," kali ini Kelana yang menyahuti.
"Apakah kalian sadar bahwa mempermainkan Raja Racun Muka Hitam sama artinya dengan bunuh diri...?" tukas Raja Racun Muka Hitam menatap wajah kedua orang itu penuh ancaman.
"Maksudku bukan hendak mempermainkanmu, Raja Racun Muka Hitam. Tapi untuk mengajak bergabung dengan kami. Tentu saja kau harus berada di bawah perintah kami..," lagi Kelana menyahuti. Rupanya Savitri telah menyerahkan segala keputusan kepada pemuda tampan yang telah menjadi kekasihnya.
"Hua ha ha...!" Raja Racun Muka Hitam tergelak sampai perut buncitnya berguncang-guncang, ia merasa lucu dengan ucapan Kelana.
"Kalian benar-benar menggelikan! Anak masih bau kencur sudah mau bertingkah macam-macam. Sampai-sampai berani menggertak Raja Racun Muka Hitam. Tapi ingin kudengar rencana kalian. Nah, katakanlah...?" pinta Raja Racun Muka Hitam bernada memerintah.
"Sudah kubilang kami ingin mengajakmu bergabung. Kami akan menjadi pimpinan seluruh tokoh golongan hitam di negeri ini...," jelas Kelana lantang dan yakin akan kemampuannya.
"Bagus... bagus! Jalan pikiran kalian memang sangat baik dan patut mendapat dukungan. Tapi hendak kulihat apakah kemampuan kalian juga sebesar sesumbarnya! Nah, bersiaplah...!" Selesai berkata. Raja Racun Muka Hitam menggeser langkahnya. Datuk sesat itu melontarkan serangan.
Sadar siapa lelaki gemuk bermuka hitam itu, Kelana dan Savitri merenggang. Mereka siap menghadapi Raja Racun Muka Hitam bersama-sama. Kelana bergerak dari sebelah kanan. Kedua lengannya diputar dan kaki kanan diangkat setinggi lutut. Jurus yang digunakan tampak aneh. Perubahan geraknya pun mengagumkan. Raja Racun Muka Hitam sampai mengerutkan kening.
Savitri yang bergerak dari sebelah kiri juga melakukan gerakan serupa. Sehingga, Raja Racun Muka Hitam yang menoleh ke arah gadis cantik itu mulai mengerti lawannya menggunakan ilmu berpasangan.
"Hm.... Inikah ilmu 'Silat Naga Merah'...?" gumam Raja Racun Muka Hitam menggeser tubuhnya ke kanan. Raja Racun Muka Hitam sadar jurus yang dipergunakan kedua lawannya cukup ampuh dan berbahaya. Tokoh sesat itu tidak berani memandang rendah. Itu dapat dilihat dari gerak langkahnya yang hati-hati.
"Haiiittt...!"
Savitri memulai serangan dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan dada. Gadis cantik itu mengerahkan tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengacaukan pikiran lawan.
Bettt, bettt...!
Sekali bergerak Savitri melancarkan serangkaian serangan. Bagian-bagian yang menjadi sasaran adalah jalan darah yang berbahaya.
Raja Racun Muka Hitam maklum akan serangan maut itu. Kendati terlihat lambat, Raja Racun Muka Hitam langsung membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan sambaran angin tajam.
"Haaattt...!"
Belum lagi serangan datuk sesat itu tiba, terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan meluncurnya tubuh Kelana ke arena pertempuran. Raja Racun Muka Hitam terpaksa menunda serangan. Serangan Kelana sangatlah berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari serangan yang dilancarkan Savitri.
Plakkk, plakkk!
Raja Racun Muka Hitam memutar serangannya untuk menyambut gempuran Kelana. Tokoh sesat itu tergetar mundur beberapa langkah. Benturan ke dua pasang lengan mereka membuat wajah datuk sesat itu berubah.
"Hebat..!" puji Raja Racun Muka Hitam. Mau tidak mau ia harus mengakui kekuatan tenaga dalam pemuda tampan berpakaian serba merah itu.
"Kau pun hebat Raja Racun Muka Hitam...!" seru Kelana yang juga merasakan kehebatan datuk sesat itu. Dalam hal kekuatan tenaga dalam tampaknya mereka berimbang.
"Tapi jangan merasa bangga dulu, Bocah! Lihat seranganku selanjutnya...!" baru sajaucapannya selesai, Raja Racun Muka Hitam melesat dengan sangat cepat laksana sambaran kilat.
Bettt, bettt, bettt...!
Sepasang lengan datuk sesat itu bergerak susul-menyusul disertai decitan angin tajam. Serangannya kali ini dilakukan dengan kekuatan penuh!
Namun Kelana sedikit pun tidak melayani. Savitri-lah yang datang menghadang dan membendung gempuran lawan. Sesekali serangan balasan gadis cantik itu meluncur dengan cepat. Tapi begitu Raja Racun Muka Hitam melancarkan serangan, Savitri menghindar digantikan Kelana yang langsung melancarkan gempuran-gempuran maut. Kerja sama yang baik itu membuat Raja Racun Muka Hitam kewalahan. Apalagi ketika Kelana dan Savitri menyerbu bersamaan. Terpaksa Raja Racun Muka Hitam berloncatan menghindar. Ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Datuk sesat itu harus puas bermain mundur.
"Heyaaahhh...!"
Rasa panasaran membuat Raja Racun Muka Hitam berbuat nekat dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, datuk sesat itu membentak keras. Kedua tangannya didorongkan ke depan hingga menimbulkan deruan angin keras yang sanggup menghempaskan benda-benda di depannya. Tapi...
"Haiiit...!"
"Hahhh...!"
Bersamaan dengan dorongan kedua telapak tangan Raja Racun Muka Hitam, Kelana dan Savitri memekik nyaring. Tubuh keduanya melenting ke udara. Serangan dahsyat pun mengenai angin kosong! Bahkan....
Brertt! Desss!"
Raja Racun Muka Hitam mengeluh pendek. Kedua lawannya mengirim serangan telak selagi mereka berada di udara. Akibatnya, tubuh gendut itu jatuh terguling. Bahu kanannya berdarah terkena cakaran Savitri. Sedangkan punggungnya nyeri akibat tendangan Kelana.
"Kurang ajar...!" Raja Racun Muka Hitam menggeram murka. Tubuhnya melenting bangkit. Wajah hitam itu semakin bertambah hitam. Sepasang matanya menyiratkan nafsu membunuh.
"Itu belum seberapa. Raja Racun Muka Hitam! Kalau kau masih belum mau tunduk, kami akan memberi pelajaran yang lebih berat...!" ujar Savitri dengan tawa mengejek. Tentu saja ucapan itu membuat darah Raja Racun Muka Merah semakin mendidih.
"Hmh...!" Sambil memperdengarkan dengusan mirip banteng marah, lelaki gemuk itu menyiapkan jurus-jurus selanjutnya. Sepasang tangannya bergerak ke kiri dan kanan menerbitkan hembusan angin keras hingga menggoyangkan dedaunan. Tampaknya amukan Raja Racun Muka Hitam kali ini sangat berbahaya.
Kelana dan Savitri sadar betul akan kedahsyatan ilmu lawan. Mereka tidak berpencar seperti tadi. Tapi memainkan jurus-jurus semula dengan tubuh agak merapat saling baradu punggung.
"Jeaaahhh...!"
"Haaahhh...!"
Seiring dengan bentakan-bentakan keras, tubuh keduanya bergerak maju. Kelihatannya mereka telah menyatukan kekuatan untuk menghadapi Raja Racun Muka Hitam. Dan...
"Haaattt.!"
Raja Racun Muka Hitam datang menyerang dengan kedahsyatannya. Tanah di arena pertarungan berguncang saat datuk sesat itu berlari. Daun-daun berguguran. Dan angin puting beliung tercipta mengiringi serbuan Raja Racun Muka Hitam.
Wusss!
Serbuan angin dahsyat itu tidak membuat Kelana dan Savitri gentar. Mereka menyambutnya dengan dorongan tangan mereka dalam kuda-kuda silang yang kokoh!
"Heaaa...!"
Blarrr!
Dua gelombang tenaga dalam tingkat tinggi saling berbenturan di udara. Ledakan dahsyat laksana petir menggelegar. Tanah tempat terjadinya pertarungan bergetar hebat digoncang gempa. Dan tubuh ketiga petarung terpental balik dua sampai tiga tombak ke belakang!
Brukkk!
Raja Racun MukaHitam tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Tubuh gendutnya terbanting ke tanah dengan keras. Kemudian....
"Huakh...!" Darah kental termuntah dari mulutnya. Raja Racun Muka Hitam mengalami luka dalam yang cukup parah!
Lain halnya dengan Kelana dan Savitri. Mereka dapat mengatasi daya lontar itu dengan baik. Diiringi bentakan nyaring, keduanya berputaran beberapa kali. Dan meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Dari sini dapat dilihat kekuatan gabungan mereka jauh lebih hebat dari kekuatan lawan.
Melihat pasangan muda yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah sedikit pun tidak terluka, Raja Racun Muka Hitam melenggak kaget. Heran bukan main datuk sesat itu. Dalam serangan terakhirnya ia kerahkan tenaga beracun. Tapi, Sepasang Naga Merah tetap segar bugar!
"Kalian... memiliki ilmu penawar racun...?!" tanya Raja Racun Muka Hitam tidak percaya dengan penglihatannya.
"Hm... Tak ada satu racunpun mampu melukai kami, Raja Racun Muka Hitam. Kalau tidak, untuk apa kami begitu tolol berani menentangmu yang terkenal sebagai raja racun. Perlu kau ketahui bahwa jurus 'Naga Merah Bertapa' sanggup menawarkan segala jenis racun! Jurus itulah yang kami pergunakan untuk menyambut seranganmu..," jelas Savitri membuat kerutan pada kening Raja Racun Muka Hitam semakin dalam.
"Jurus 'Naga Merah Bertapa'...?" desis Raja Racun Muka Hitam mengulang ucapan Savitri. "Rasanya aku pernah mendengar nama jurus itu...? Sayang aku lupa entah kapan dan dimana...?"
"Hm.... Agar kau tidak penasaran, baiklah kami beritahu dari mana ilmu ini kami dapat," lanjut Savitri tersenyum puas. "Kau pasti tahu sebuah perguruan besar yang kabarnya merupakan pusat ilmu-ilmu tinggi, bukan...?"
"Perguruan Gunung Naga...?!" Raja Racun Muka Hitam terkejut bukan main. Tentu saja ia mengenal dengan baik nama perguruan itu. Bahkan hampir semua tokoh persilatan mengenalnya. Sayang Perguruan Gunung Naga sangat tertutup bagi orang luar. Kebanyakan murid perguruan itu pertapa-pertapa soleh. Mereka lebih suka mengucilkan diri daripada mengurusi kehidupan dunia yang penuh kekerasan dan tipu muslihat. Raja Racun Muka Hitam menatap tajam sepasang orang muda itu. Timbul satu dugaan dalam pikirannya. Ilmu yang digunakan kedua orang berpakaian serba merah itu memperkuat dugaannya.
"Kau kaget, Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Kelana yang rupanya dapat menebak jalan pikiran datuk sesat itu.
"Jadi kalian berdua...?!"
"Ya. Kami berhasil mencuri sebuah kitab ilmu silat yang sangat langka," potong Kelana sebelum Raja Racun Muka Hitam menyelesaikan kalimatnya, "Itu membuktikan kami pantas menjadi pimpinan golongan hitam..," tandas Kelana.
"Hua ha ha.... Hebat.., hebat...! Aku benar-benar kagum dengan keberanian kalian! Aku yakin pertapa-pertapa tolol itu akan kelabakan...!" Raja Racun Muka Hitam sangat puas dengan cerita yang dituturkan Kelana.
"Jadi kau menerima kalau aku menjadi pimpinan golongan kita yang selalu dilecehkan golongan putih...?" kali ini Savitri yang bertanya.
"Hm... Melihat kehebatan kalian memang tidak diragukan lagi masa kejayaan golongan hitam akan segera tiba..." ujar Raja Racun Muka Hitam. "Aku siap bantu mewujudkan cita-cita mulia itu."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya," tukas Kelana tersenyum.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya...?" tanya Raja Racun Muka Hitam.
"Setelah kawan-kawan yang lain terkumpul, tujuan pertama adalah melenyapkan Pendekar Naga Putih! Ia merupakan halangan terbesar cita-cita kita. Mulai hari ini kumpulkan semua pengikutmu. Aku akan datang menghubungimu," jelas Kelana memberi petunjuk.
"Baik," jawab Raja Racun Muka Hitam tanpa membantah.
"Sekarang kami akan pergi menundukkan tokoh-tokoh lain agar mereka mau bergabung dengan kita. Laksanakan tugasmu dengan baik, Raja Racun Muka Hitam...!" ujar Kelana. Kemudian melesat bersama Savitri meninggalkan tempat itu.
Raja Racun Muka Hitam mengangguk pasti. Tubuhnya baru bergerak setelah bayangan Kelana dan Savitri lenyap ditelan kegelapan malam. Suasana di tempat itu kembali hening dan sepi. Desiran angin lembut menemani nyanyian binatang-binatang malam.
"Ke mana kita, Kakang. ?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau yang melangkah di samping pemuda tampan berjubah putih. Mereka sudah pasti Panji dan Kenanga.
"Mencari keterangan tentang pemuda berpakaian serba merah yang memusuhiku. Kalau tidak salah namanya Kelana. Aku penasaran ingin mengetahui penyebab ia memusuhiku..," sahut Panji tanpa menghentikan langkahnya. Saat itu mereka tengah menelusuri padang rumput yang cukup luas.
(Bagi pembaca yang belum mengetahui permusuhan Panji dengan Kelana, silakan membaca episode Petulang Sakti yang merupakan episode pertama Sepasang Naga Merah)
"Hm..." Kenanga bergumam tak jelas. Kening gadis itu tampak berkerut.
"Ada apa, Kenanga? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Panji menoleh ketika mendengar Kenanga hanya bergumam menanggapi ucapannya.
"Aku memang sedang berpikir, Kakang. Rasanya ada yang janggal dalam diri Kelana..," sahut Kenanga memandang kekasihnya.
"Maksudmu..., Kelana telah terpengaruh Savitri...?" tanya Panji, ia pun menduga Kelana tidak sejahat seperti yang mereka hadapi. Kalau pemuda itu kelihatan ganas, mungkin karena ingin membalas dendam atas kematian kedua orangtuanya.
"Aku tidak bisa memastikan. Tapi kelihatannya memang begitu. Orang yang tengah dikuasai dendam seperti Kelana akan mudah terjebak orang-orang sesat. Mungkin itu yang terjadi pada diri Kelana..," jelas Kenanga.
"Ha... Aku baru ingat sekarang...!" tiba-tiba Panji berkata agak keras.
"Apa yang kau ingat, Kakang...?" tanya Kenanga penasaran. Karena dilihatnya wajah Panji berubah cerah.
"Bukankah belakangan ini muncul seorang tokoh yang berjuluk Petualang Sakti? Nah, ciri-ciri Kelana sangat cocok. Kemungkinan besar dialah Petualang Sakti...!" jawab Panji agak lega. Dengan mengenal siapa pemuda berpakaian merah itu, ia akan lebih mudah mengusut asal-usul Kelana. Dengan begitu mungkin dapat diketahui penyebab pemuda itu sangat memusuhinya.
"Ah. Kau benar, Kakang. Tapi julukan Petualang Sakti telah lenyap dan tidak akan muncul lagi. Kau mungkin tahu sebabnya...," tukas Kenanga yang juga pernah mendengar mengenai seorang pemuda tegap berpakaian merah yang dijuluki Petualang Sakti.
"Maksudmu mereka telah mempunyai julukan baru, yang saat ini tengah ramai dibicarakan orang...?" tegas Panji menatap kekasihnya lekat-lekat.
"Tidak salah, Kakang. Pasti merekalah yang belakangan ini terkenal sebagai Sepasang Naga Merah. Sebab kalau melihat warna pakaian mereka yang sama, jelas mereka sangat tepat menggunakan julukan itu. Sepertinya Kelana telah terseret semakin jauh...," tukas dara jelita itu membenarkan dugaan Panji. Belakangan ini mereka memang sering mendengar tentang Sepasang Naga Merah yang kabarnya memang sering banyak meminta korban.
"Hm..., Kalau begitu akan lebih mudah lagi kita mencari petunjuk asal-usul Kelana...," ujar Panji semakin lega. Karena menurutnya cukup banyak tokoh sesat yang mengenal pemuda berpakaian serba merah itu.
"Benar, Kakang..."
"Ayolah kita bergegas...!"
Tanpa banyak cakap, Kenanga segera melesat mengikuti langkah Panji yang sudah lebih dulu. Sebentar saja bayangan keduanya lenyap di kejauhan.
Sang Dewi Malam baru saja usai menunaikan tugasnya. Semburat kemerahan menghiasi cakrawala timur. Suara kokok ayam jantan terdengar saling bersahutan. Dan hembusan angin bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan. Saat itu, sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih tampak berlari cepat meninggalkan tepian sungai. Wajahnya yang segar dibasahi butiran air bening. Agaknya sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu baru saja selesai membersihkan tubuh. Gerakannya ringan saat ia berloncatan di atas jalan berbatu.
"Ada apa, Kakang? Mengapa berlari-lari seperti itu...?"
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau menyambut kedatangan pemuda tampan berjubah putih itu. Wajahnya yang segar menampakkan keheranan. Jelas sikap pemuda itu lain dari biasanya. Kalau tidak, mana mungkin dara jelita itu merasa heran.
"Cepatlah ikut aku, Kenanga! Rasanya ada pertempuran di sekitar tempat ini...!" sahutpemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Meski gambaran keheranan masih terbayang di wajahnya, Kenanga tidak membantah.
Setelah menyambar buntalan pakaian, dara jelita itu melesat mengikuti langkah Panji. "Di sebelah mana, Kakang...?" tanya dara jelita itu seraya mempercepat larinya untuk menyejajari langkah Panji.
"Menurut perhitunganku mungkin berada di sebelah timur sungai...," sahut Panji tanpa mengurangi kecepatan larinya.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tidak sulit bagi pasangan pendekar muda itu menemukan sumber suara pertempuran. Sebentar saja mereka telah tiba di sebuah dataran yang agak tinggi. Di tanah yang tidak rata karena banyak bebatuan itu sebuah pertempuran tengah berlangsung cukup seru. Panji dan Kenanga menghentikan larinya. Lalu berdiri menonton dalam jarak dua tombak.
"Orang-orang kasar yang tengah melawan dua orang berpakaian pertapa itu jelas bukan orang baik-baik, Kakang. Melihat buntalan-buntalan kain besar yang tergeletak di atas tanah, tampaknya mereka baru saja menjarah desa. Mungkin dua orang tua yang berpakaian pertapa itu memergokinya, kemudian mengejar sampat ke tempat ini...," ujar Kenanga mereka-reka.
"Hm.... Kemungkinan besar memang begitu. Mari kita lihat lebih dekat...," ajak Panji.
Belum lagi mereka melangkah maju, tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan. Salah satu dari belasan orang kasar terpental dan melayang ke arah Panji dan Kenanga. Meskipun tahu yang terpental bukan orang baik-baik, tapi Panji mengulurkan tangan menangkap sosok itu agar tidak terbanting ketanah.
"Huppp!"
Dengan jari-jari tangan kanannya, Panji menyambar leher baju bagian belakang orang itu. Tangannya dilemaskan mengikuti daya lontar tubuh lelaki itu. Kemudian menurunkannya dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi, sosok tubuh itu melorot jatuh.
"Hm.... Rupanya ia pingsan...," gumam Panji. Melihat lelehan darah di sudut bibir lelaki kasar itu, Panji tahu ia terluka dalam yang parah. Tubuh yang tak sadarkan diri itu ditinggalkan begitu saja. Kemudian mereka melangkah lebih dekat. Mendadak...
"Hm.... Rupanya masih ada kawan cecunguk-cecunguk ini yang hendak memberi bantuan...!" ucapan perlahan salah seorang pertapa segera disusul dengan lesatan tubuhnya. Tanpa banyak bicara, diserangnya Panji yang berada sedikit di depan kekasihnya.
"Hei, tunggu...!" Panji berseru mencegah. Pemuda itu sempat terkejut melihat kehebatan serangan pertapa. Sayang serangan itu tidak bisa dicegah Panji terpaksa mengangkat lengan kanannya, lalu diputar untuk memapaki serangan itu.
Plakkk, plakkk...!
"Aihhh...?!"
Karena tidak ingin menderita kerugian, Panji mengerahkan setengah lebih tenaga dalamnya. Pukulan pertapa pun membalik bagai membentur hendak kenyal. Wajah pertapa itu tampak kaget merasakan tubuhnya terpental ke belakang.
"Haiiit...!" Terdengar bentakan nyaring disusul berputarnya tubuh pertapa. Lalu meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Ditatapnya sosok Panji dengan tajam.
"Hm.... Rupanya yang datang gembong perampok-perampok busuk itu! Tapi jangan berbesar hati dulu. Lihat seranganku berikutnya...!" desis pertapa berusia enam puluh lima tahun itu. la menyiapkan jurus-jurus barunya untuk menghadapi Panji dan Kenanga yangdikiranya kawan perampok-perampok itu.
"Tunggu dulu, Ki! Kau salah paham...!" Panji berseru mencegah. Tangannya terulur ke depan dengan telapak membuka. Maksudnya hendak memberi keterangan. Tapi....
Pertapa itu rupanya beranggapan lain. Dikiranya gerakan itu sebuah serangan. Maka dengan cepat langkahnya digeser. Kemudian kembali melesat dengan serangan yang jauh lebih hebat.
"Haaat...!"
Bettt, bettt, bettt...!
Hebat dan cepat bukan main serangan pertapa itu. Panji terlihat agak kewalahan. Satu dua pukulan dapat dielakkan. Tapi pada pukulan berikutnya....
Wuttt..., desss.!
"Uhhh...!" Panji terjajar mundur setengah tombak. Wajah pemuda itu berkerut menahan sakit pada dada kanannya. Untunglah pukulan itu tidak terlalu telak. Sehingga Panji tidak sampai terluka dalam. Tapi darahnya sempat naik kekepala.
"Eyang, sabarlah! Ini hanya salah paham saja...!" Panji kembali berseru menyadarkan pertapa itu. Kendati kemarahannya sempat terpancing, ia masih berusaha mengingatkan.
"Tidak perlu banyak cakap. Aku tahu akal licikmu, Manusia Bejat. Sebaiknya siapkan saja ilmumu agar tidak menyesal bila sampai tewas di tanganku...!" pertapa itu belum juga menyadari kekeliruannya, ia kembali menyiapkan serangan-serangannya.
"Pertapa keras kepala...!" Kenanga geram melihat kekasihnya terkena pukulan lawan. Jurusnya disiapkan untuk menghadapi pertapa itu. Tapi Panji cepat mencegah. Sehingga, Kenanga hanya bisa memendam kejengkelannya.
"Hmh...!" Sadar kalau pertapa itu harus diingatkan dengan kekerasan, Panji segera mengerahkan "Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan saat serangan pertapa datang mengancam, ia segera melayani dengan ilmu 'Silat Naga Putih'. Karena pertapa itu bukan orang sembarangan.
"Heaaat...!"
Panji berseru keras. Tubuhnya meluncur menyambut serangan lawan. Hawa dingin yang menyebar dari tubuh maupun setiap gerakan tangannya membuat udara di sekitar tempat itu berubah. Pancaran hangat sinar matahari pagi tidak lagi terasa. Yang ada hanya hawa dingin mengigit tulang. Karuan saja pertapa itu kaget bukan main!
"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya ketika mengetahui siapa lawan yang dihadapi.
Sayang kesadaran itu agak terlambat datangnya. Saat itu jarak mereka sudah sangat dekat. Serangan-serangan Panji datang laksana badai salju. Sehingga, pertapa itu harus membagi tenaganya untuk melawan serbuan hawa dingin dan melancarkan serangan. Akibatnya ia kerepotan sendiri. Sampai akhirnya....
Plakkk, plakkk, plakkk!
"Aaakh...!" Meski dapat menepiskan dua serangan pertama, namun hantaman telapak tangan kanan Panji berhasil menggempur pertahanan lawan, dan langsung menghajar dada kanan pertapa tua itu. Tubuh tinggi kurus itu pun terlempar ke belakang. Untunglah Panji tidak berniat membunuh. Pertapa itu masih dapat berputaran dan jatuh ke tanah dengan selamat,walau cairan merah meleleh dari sudut bibirnya.
"Kakang Sarwa Dipa...?!" Pertapa lain yang bertubuh gemuk pendek berseru kaget. Tubuhnya mencelat memburu, ia agak lega ketika melihat kawannya tidak mengalami luka parah. Kendati demikian, rasa cemas masih membayang di wajahnya
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tanya pertapa pendek gemuk itu kepada pertapa tinggi kurus.
"Tidak perlu khawatir. Adi Garma Dipa. Rupanya pemuda itu tidak bersungguh-sungguh melancarkan serangannya. Kalau tidak, bukan mustahil aku sudah tidak bisa bernapas lagi...," jawab Ki Sarwa Dipa agak terengah. Tapi, bibirnya menyunggingkan senyum aneh. Entah apa artinya?
Panji bergegas menghampiri kedua pertapa itu. Sekarang ia yakin mereka tidak akan menyerangnya. Karena menurutnya mereka sudah dapat menduga siapa dirinya. Tapi, Panji segera menahan langkahnya dengan sikap curiga. Dilihatnya kedua pertapa itu menganggukkan kepala, kemudian bergerak merenggang. Sikap mereka jelas bukan pertanda baik. Maka Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Eyang berdua harap bersabar. Percayalah ini hanya kesalah pahaman...," Panji kembali berusaha menerangkan.
Tapi kedua pertapa tua itu tidak peduli. Mereka terus merenggang mengambil sikap mengeroyok. Hingga kening Panji berkerut dalam.
"Jaga saja serangan kami, Pendekar Naga Putih...," ujar Ki Sarwa Dipa mengingatkan,ia sudah bersiap melancarkan serangannya.
Kening Panji semakin berkerut dalam mendengar pertapa tinggi kurus itu menyebut julukannya. Sebab melihat penampilannya, Panji tahu kedua pertapa itu orang-orang golongan putih. Yang membuat Panji tak habis mengerti, mengapa mereka masih juga bersikap memusuhi setelah mengetahui siapa dirinya.
Tapi kedua pertapa itu tidak membiarkan Panji terlalu lama tenggelam dalam pikirannya. Keduanya sudah memberi tanda mereka akan mulai menyerang. Sehingga, Panji segera menepiskan semua yang menggangu pikirannya, dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghadapi mereka. Sebentar saja, sekujur tubuh Panji dilapisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin menggigit menyebar memenuhi arena pertarungan. Dan...
"Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Dibarengi lengkingan panjang menggetarkan dada, kedua pertapa melesat bersamaan. Angin keras yang menerbitkan suara mencicit tajam mengiringi datangnya serangan merekaTampaknya kedua pertapa itu tidak main-main melancarkan serangannya.
"Hmmm..." Panji bergumam pelan melihat serangan lawan. Tubuhnya direndahkan dengan kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak ke kiri dan kanan. Pemuda itu menggeser langkahnya ketika serangan Ki Sarwa Dipa datang mengancaam. Kemudian langsung membalas dengan serangakaian serangan yang cepat laksana sambaran kilat.
Ki Sarwa Dipa yang tahu betul siapa pemuda itu, tentu saja telah memperhitungkan serangannya dengan baik. Sehingga, serangan balasan Panji dapat dipatahkan dengan kelitan.Bahkan masih sempat mengirimkan serangan lanjutan.
Selagi kedua tokoh itu saling gempur, Ki Garma Dipa memasuki arena. Serangan-serangannya yang tidak kalah hebat dengan serangan Ki Sarwa Dipa sempat membuat Panji bergerak mundur. Sehingga, pemuda itu kelihatan agak terdesak. Padahal itu dilakukan dengan perhitungan yang matang, ia tidak ingin menanggung akibat. Karena belum tahu maksud kedua pertapa itu mengeroyok dirinya.
"Yeaaah...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kelima puluh delapan, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya yang sangat hebat. Hingga kedua pertapa itu berlompatan mundur dengan wajah agak pucat. Pekikan itu telah mengguncangkan bagiandalam dada mereka. Kesempatan selagi kedua lawannya berlompatan mundur tidak disia-siakan begitu sajaoleh Panji. Tubuhnya segera mencelat ke depan. Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan, untuk kemudian melakukan pukulan-pukulan lurus dan menyilang. Kedua pertapa itu terkejut bukan main!
"Aaah...?!"
"Hem...?!"
Tanpa sadar mereka mengeluarkan pekik tertahan. Keduanya berlompatan menjauh. Sebab saat itu tubuh Pendekar Naga Putih sukar dilihat. Pendaran sinar putih keperakan menghalangi pandang mata mereka. Sehingga, mereka tidak dapat melihat arah mana yang menjadi sasaran serangan lawan. Itu tidak aneh. Panji telah menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus terampuh dari rangkaian ilmu 'Silat Naga Putih'. Akibatnya....
Wuttt, desss, desss.!
"Hukh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun tubuh kedua pertapa itu jatuh bergulingan. Pukulan-pukulan Panji telak menghantam tubuh mereka. Hingga kedua pertapa itu tidak sanggup mempertahankan kuda-kudanya.
"Cukup, Pendekar Naga Putih...!" Ki Sarwa Dipa yang lebih dulu melompat bangkit langsung berseru mencegah pemuda itu melanjutkan serangannya. Wajah orang tua itu tampak pucat, ia berdiri sambil memegang perutnya yang terasa mual.
Panji sendiri memang tidak berniat melanjutkan serangan. Pemuda itu hanya berdiri tegak menunggu kedua pertapa bangkit berdiri.
"Aku benar-benar puas dapat merasakan sendiri kehebatan pendekar muda yang telah menggemparkan rimba persilatan. Aku bangga kepadamu, Pendekar Naga Putih," ucapan itu dikeluarkan Ki Garma Dipa. Pertapa gemuk pendek itu mengukir senyum meski pada sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Kuharap Eyang berdua memaafkan tindakanku yang kasar ini...," ujar Panji dengan wajah penuh sesal. Sekarang ia baru tahu kedua pertapa itu hanya ingin menguji kepandaiannya.
Sebagai orang yang telah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Panji maklum akan sifat golongan tua. Mereka selalu haus ilmu silat. Dan selalu gatal tangan ingin menguji tokoh-tokoh muda untuk mengetahui kemampuannya. Padahal tidak jarang tindakan itu menimbulkan korban nyawa. Tapi memang begitulah sifat kaum rimba persilatan. Mereka lebih suka mati dalam pertempuran daripada digergoti usia tua.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pendekar Naga Putih. Sebagai kaum tua, kami benar-benar puas dapat merasakan sendiri kelihaianmu. Orang-orang muda seperti kaulah yang akan dapat menegakkan keadilan di atas muka bumi ini. Aku tahu kau tidak menggunakan seluruh kekuatanmu saat menghadapi kami. Terutama saat melancarkan pukulan ke tubuh kami tadi..," ujar Ki Sarwa Dipa sangat puas. Pertapa tua itu sedikit pun tidak menyalahkan tindakan Panji.
"Tapi aku telah membuat Eyang berdua terluka. Kalau diizinkan, aku hendak mengobati luka dalam itu. Meski aku yakin luka itu tidak berarti bagi Eyang..," lanjut Panji dengan tutur kata yang halus yang menandakan kerendahan hatinya.
Mendengar ucapan itu, Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menganggukkan kepala. Mereka, yang telah banyak pengalaman dan berpandangan luas, benar-benar bangga melihat pendekar muda itu yang tangguh dan rendah hati. Semua itu menambah kekaguman mereka.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tentu saja kami tidak menolak keinginanmu. Kami dengar kau pun telah mewarisi ilmu pengobatan yang sangat langka. Sebab kemahiran Dewa Obat mengatasi penyakit sudah bukan hal yang aneh lagi bagi kami," kali ini Ki Garma Dipa yang menyahuti. Tampaknya kedua pertapa itu benar-benar telah tunduk kepada Pendekar Naga Putih. Bukan karena kepandaiannya saja. Terutama sikap rendah hati dan tutur kata yang halus pemuda tampan itu.
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan...," ujar Panji menarik napas lega. Ia pun merasa kagum dan hormat kepada kedua pertapa itu. Mereka orang-orang tua yang bijaksana dan mau menghormati orang muda seperti dirinya.
Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menerima pel yang diberikan Panji tanpa keraguan sedikit pun. Ditelannya obat itu dengan penuh kepercayaan. Sikap yang amat menggembirakan itu membuat Panji bertambah kagum.
"Hebat...! Ternyata kau benar-benar telah mewarisi kepandaian Dewa Obat. Kami sungguh kagum dan menaruh hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih..," ucap Ki Sarwa Dipa tulus, setelah merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya. Rasa nyeri dalam dadanya lenyap. Sehingga jalan napasnya lancar kembali.
"Kau telah membuat kami yang tua-tua ini takluk, Pendekar Naga Putih. Lega rasanya melihat orang muda sepertimu. Aku yakin dunia persilatan, khususnya kaum golongan putih, bangga dengan kemunculanmu. Dengan begitu, orang-orang golongan hitam tidak berkutik..," ujar Ki Garma Dipa yang juga telah merasakan khasiat pel yang diberikan Panji.
"Jangan terlalu memuji, Eyang. Aku khawatir beban berat ini tak sanggup kupikul...," tukas Panji merendah, membuat kedua orang pertapa itu tertawa tergelak. Panji sendiri hanyatersenyum tipis.
Kenanga yang mendengar kedua pertapa itu memuji-muji kekasihnya ikut bangga. Dara jelita itu menghampiri ketiganya untuk bergabung.
"Kau dan tunanganmu hendak pergi ke mana, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Sarwa Dipa setelah saling memperkenalkan diri. Kendati demikian, pertapa tua itu lebih suka memanggil julukan daripada nama. Karena menurut mereka lebih menimbulkan kesan dalam hati. Dan Panji tidak keberatan.
"Sebenarnya kami hendak menyelidiki asal-usul seseorang, Eyang Sarwa Dipa. Secara kebetulan kami mendengar suara orang bertempur. Merasa penasaran, kami mencari sumber suara itu. Lalu menemukan Eyang berdua tengah bertarung. Kalau boleh tahu, siapa orang-orang kasar itu, Eyang? Dan mengapa sampai terjadi perkelahian?" ujar Panji seraya menoleh ke arah tubuh-tubuh yang bergeletakan ditanah.
Panji memperkirakan orang-orang kasar itu berjumlah dua puluh orang lebih. Beberapa di antara mereka tewas di tangan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Sedang lainnya hanya pingsan. Panji menduga yang tewas itu merupakan pimpinan atau pentolan-pentolan orang-orang kasar itu.
"Hm.... Kami secara tak sengaja memergoki mereka melakukan tindak kejahatan di sebuah desa yang letaknya tidak seberapa jauh dari tempat ini. Mereka bukan cuma merampok, bahkan juga membunuh beberapa keluarga. Itu sebabnya pemimpin-pemimpin mereka terpaksa kami bunuh. Karena sudah tidak bisa disadarkan lagi. Belakangan ini banyak sekali kami temukan tindak kejahatan. Menurutku ini semua ada hubungannya dengan kemunculan Sepasang Naga Merah yang kami dengar hendak menyatukan kaum golongan sesat. Keberadaan kami di tempat ini pun karena tokoh yang meresahkan itu...," jelas Ki Sarwa Dipa.
Pasangan pendekar muda itu tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Apa yang telah dilakukan Sepasang Naga Merah sampai Eyang berdua harus turun meninggalkan pertapaan...?" Kenanga yang ingin mengetahui penyebab kedua orang tua itu meninggalkan pertapaannya langsung saja mengajukan pertanyaan.
"Hhh.... Tokoh yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah memang keterlaluan sekali. Mereka berani menyatroni tempat kami dan mencuri sebuah kitab pusaka yang sangat berbahaya. Karena ilmu itu dapat menyesatkan pemiliknya. Terutama pada bagian terakhir yang merupakan jurus pamungkas ilmu 'Silat Naga Merah'. Maka kami berdua terpaksa meninggalkan pertapaan untuk mencari dan mengambil kembali kitab pusaka itu...," papar Ki Sarwa Dipa.
"Kitab ilmu 'Silat Naga Merah'...?!" desis Panji mengulang nama kitab yang telah dicuri itu. "Kalau tidak salah, guruku pernah bercerita tentang kitab itu. Menurut beliau telah berumur ratusan tahun dan disimpan di dalam perpustakaan Perguruan Gunung Naga. Kalau begitu, Eyang berdua pertapa-pertapa dari Gunung Naga?"
"Benar. Kami berdua pengurus-pengurus Perguruan Gunung Naga...," jawab Ki Sarwa Dipa membuat Panji dan Kenanga kaget. Mereka telah lama mendengar tentang perguruan yang tersembunyi dan tertutup itu dari guru-guru mereka.
"Lalu, bagaimana kitab itu sampai bisa tercuri, Eyang? Bukankah Perguruan Gunung Naga tidak bisa didatangi orang luar? Bahkan kabarnya perguruan itu merupakan pusat ilmu-ilmu silat yang ada di dunia ini...?" tanya Panji seperti tidak percaya ada orang yang begitu berani menyatroni bahkan mencuri kitab dari perguruan itu.
"Sebenarnya kitab itu tidak akan dapat dicuri orang kalau saja kami dan para tetua perguruan berada di tempat itu. Rupanya pencuri-pencuri itu sudah lama mengintai kegiatan kami. Mereka datang tepat pada saat rumah perguruan kosong. Kami dan para tetua perguruan tengah mengadakan pemakaman ketua kami yang meninggal karena usia tua. Saat itu rumah perguruan hanya dihuni pelayan-pelayan yang memiliki kepandaian tidak seberapa. Akibatnya mereka semua tewas oleh pencuri laknat itu." Ki Sarwa Dipa menghela napas sedih. Tampaknya ia benar-benar terpukul dengan kejadian itu. Kakek itu menutup ceritanya dengan menggeleng perlahan.
"Pencurian itu terjadi karena keteledoran kami juga. Selama puluhan tahun tempat kami tidak pernah didatangi orang. Itu membuat kami lengah. Sehingga tidak menaruh kecurigaan akan ada orang yang berani datang mengacau. Ini merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi kami...," Ki Garma Dipa menyambung ketika melihat Ki Sarwa Dipa tidak melanjutkan ceritanya.
"Hm. Pantas julukan Sepasang Naga Merah baru terdengar belakangan ini. Rupanya mereka baru memperkenalkan julukan setelah mempelajari ilmu 'Silat Naga Merah'. Sungguh berbahaya sekali," ujar Panji menghela napas panjang. Salah satu dari Sepasang Naga Merah adalah musuhnya. Jelas ia harus menghadapi lawan berat. Karena setelah menguasai ilmu yang berbahaya itu, sudah pasti lawannya akan bertambah lihai.
"Apa Eyang berdua sudah menyelidiki siapa tokoh yang berjuluk Sepasang Naga Merah itu...?" tanya Panji ingin mengetahui hasil penyelidikan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Siapa tahu dengan begitu ia dapat mengungkapkan penyebab Kelana memusuhinya.
"Mmm.... Memang belum cukup banyak. Tapi, kami telah mengetahui salah satu dari Sepasang Naga Merah pernah terkenal sebagai Petulang Sakti yang sering membela kaum lemah. Tokoh itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Bernama Kelana. Dia berasal dari sebuah desa dekat pegunungan. Desa Sendang Waringin. Di desa itu kami mencari keterangan tentang orang tua Kelana...," jawab Ki Garma Dipa. Sedangkan Ki Sarwa Dipa diam dan mendengarkan.
"Desa Sendang Waringin...?" gumam Panji mengulang nama desa tempat asal Kelana yang memusuhinya mati-matian.
"Benar," sahut Ki Garma Dipa tanpa memperhatikan wajah maupun nada ucapan Panji. Pertapa gemuk itu kembali melanjutkan. "Tapi Kelana tidak tinggal lama di desa itu. Sejak berusia lima belas tahun ia telah pergi mengembara mencari guru-guru pandai. Begitu keterangan yang kuperoleh di Desa Sendang Waringin. Kepala desa itu sendiri yang menceritakan."
"Lalu, siapa yang telah mendidik Kelana, Eyang?" tanya Panji lagi.
"Menurut Kepala Desa Sedang Waringin, Kelana seorang pemuda yang sangat gemar ilmu silat, ia tidak hanya belajar pada satu guru. Bahkan pemuda itu tidak peduli apakah yang dipelajarinya ilmu golongan sesat. Kelana bertindak menurutkan kata hatinya. Kalau sifat baiknya sedang timbul, ia akan melakukan tindakan sebagaimana layaknya seorang pendekar. Tapi, tidak jarang berbuat kejahatan dan menentang kaum golongan putih. Sehingga, sulit dipastikan di pihak mana sebenarnya pemuda itu berdiri..."
"Mungkin itu sebabnya ia dijuluki Petualang Sakti...," gumam Kenanga kepada diri sendiri. Ucapan itu dikeluarkan dengan perlahan. Namun terdengar oleh Panji dan kedua pertapa itu.
"Menurut kami pun demikian," tukas Ki Sarwa Dipa.
"Kalau begitu, siapa sebenarnya orangtua Kelana, Eyang...?" tanya Panji setelah terdiam beberapa saat.
"Menurut Kepala Desa Sendang Waringin, orangtua Kelana bernama Jalak Pari. Ia telah tewas sekitar dua tahun silam...," jawab Ki Sarwa Dipa mendahului. Karena Ki Garma Dipa kelihatan agak sulit mengingat nama itu.
"Jalak Pari.... Jalak Pari...," Panji mengulang nama itu beberapa kali, membuat Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa mengerutkan kening melihat sikap pendekar muda itu.
"Ada apa, Pendekar Naga Putih? Apa kau mengenal nama itu...?" tanya Ki Sarwa Dipa menegasi.
"Hm. Aku tidak begitu pasti, Eyang. Tapi, sepertinya aku pernah mendengar namanya. Sayang aku lupa di mana dan kapan pernah berjumpa atau mendengar nama itu disebut orang...," jawab Panji tidak ingin memberi kepastian, ia memang tidak begitu ingat dengan nama Jalak Pari.
Ki Sarwa Dipa tidak mendesak. Pertapa itu percaya dengan kejujuran Pendekar Naga Putih. Pemuda itu tentu tidak akan menyembunyikannya dari mereka jika memang mengenal Jalak Pari.
Untuk beberapa saat lamanya pembicaraan terhenti. Mereka tercekam dalam kebisuan mengikuti arus pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, Ki Sarwa Dipa kembali membuka suara memecah keheningan di antara mereka.
"Kami hendak melanjutkan perjalanan untuk merebut kembali kitab pusaka itu. Kuharap kalian sudi mengembalikan barang-barang penduduk Desa Warang yang letaknya di sebelah timur tempat ini. Tentunya kalau kalian memang tidak satu arah dengan kami," ujar Ki Sarwa Dipa meminta kesediaan Panji dan Kenanga.
"Tentu saja kami tidak keberatan, Eyang. Kami memang hendak melewati desa itu. Eyang berdua tidak perlu khawatir. Kami pun akan berusaha menemukan kitab pusaka Perguruan Gunung Naga, dan akan mengembalikannya kepada Eyang berdua..," sahut Panji.
Pemuda itu memang akan melalui Desa Warang. Tujuannya sendiri tetap ke Desa Sendang Waringin tempat kelahiran Kelana. Karena Panji masih belum ingat tentang Jalak Pari, orangtua Kelana. Sedangkan menurut Kelana dirinyalah yang telah membunuh Jalak Pari. Panji merasa perlu untuk mengunjungi Desa Sendang Waringin. Mungkin ia akan teringat bila telah berada di desa itu.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kami menghargai niatmu yang luhur itu...," ujar Ki Sarwa Dipa kemudian mohon diri kepada Panji dan Kenanga. Sebentar saja keduanya sudah melesat jauh. Tinggal dua sosok bayangan samar yang semakin pudar. Lalu lenyap dikejauhan.
Panjidan Kenanga melambaikan tangan mengantar kepergian pertapa-pertapa Perguruan Gunung Naga. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dengan membawa hasil rampokan yang telah diselamatkan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa.
Di sepanjang jalan menuju Desa Sendang Waringin, Panji dan Kenanga mendengar tentang sepak terjang kaum golongan sesat yang semakin ganas. Semua itu dikaitkan orang dengan kemunculan tokoh berjuluk Sepasang Naga Merah. Dari pembicaraan-pembicaraan yang didengar, tahulah pasangan pendekar muda itu orang yang berjuluk Sepasang Naga Merah masih muda dan mengenakan pakaian serba merah. Semua itu semakin membuat mereka yakin Sepasang Naga Merah adalah Kelana dan Savitri. Kedua orang itu mempunyai ciri-ciri sama dengan tokoh yang namanya semakin menjulang itu.
"Tidak salah lagi, Kakang. Mereka Kelana dan Savitri. Tampaknya mereka hendak menyatukan kaum golongan sesat setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah' dari kitab curian itu...," ujar Kenanga yang mulai berani memastikan siapa tokoh muda yang berjujuk Sepasang Naga Merah.
"Kurasa memang merekalah orangnya. Selain ciri-cirinya sama dengan yang dituturkan Pertapa Gunung Naga, memang hanya merekalah yang bernafsu ingin melenyapkan diriku. Dengan menguasai ilmu dalam kitab curian itu, mereka kembali muncul untuk membalas dendam yang belum tuntas...," timpal Panji.
Kenanga mengangguk-angguk. Tatapannya lurus ke depan. Saat itu mereka tengah melintasi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu rapat ditumbuhi pepohonan.
"Kakang...," panggil Kenanga tiba-tiba seraya menatap wajah kekasihnya.
"Hm...," sahut Panji bergumam. Lalu menoleh dan balas menatap dara jelita itu. Sekejap desiran halus menggetarkan dadanya saat Panji menatap sepasang mata yang bagai bintang pagi itu.
"Apakah Kakang belum juga teringat tentang Jalak Pari...?" tanya Kenanga yang inginsegera mengetahui penyebab kebencian Kelana terhadap kekasihnya.
"Rasanya belum, Kenanga. Selama dalam perjalanan aku berusaha mengingat-ingat mengenai Jalak Pari. Tapi, belum seluruhnya dapat kuingat dengan baik. Aku masih ragu mengutarakannya. Kalau sudah pasti, tentu kaulah orang pertama yang akan kuberi tahu...," jawab Panji.
Pemuda itu cukup sulit untuk dapat mengingatnya. Panji hanya bisa menerka Jalak Pari bukanlah seorang tokoh besar. Sebab, setiap tokoh yang roboh di tangannya diingatnya dengan baik. Di antara sekian banyak musuhnya yang tewas belum satu pun yang diduga Panji sebagai orangtua Kelana. Kendati demikian ia terus mengingatnya. Karena hal itu sangat penting baginya.
"Apakah mungkin Jalak Pari hanya salah seorang pengikut gerombolan atau anggota perampok yang keberadaannya tidak begitu kita perhatikan...?"
"Mungkin saja begitu. Tapi seingatku tak ada gerombolan perampok di sekitar Desa Sendang Waringin. Sebaiknya kita segera bergegas. Siapa tahu di desa itu kita bisa mengingatnya dengan baik...," jawab Panji.
Kenanga menghela napas panjang. Karena sampai saat itu mereka belum, jugamenemukan siapa Jalak Pari, yang menurut Kelana telah dibunuh Pendekar Naga Putih.
"Mudah-mudahan saja begitu, Kakang...," gumam Kenanga penuh harap. Memang cukup pusing memikirkan persoalan itu. Padahal masih banyak persoalan lain yang menunggu.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu telah melesat secepat terbang. Keduanya seperti berlomba untuk segera tiba di Desa Sendang Waringin. Untuk itu mereka tidak memerlukan waktu lama. Tempat yang mereka tuju sudah tidak jauh lagi.
"Kita sudah hampir mencapai perbatasan Desa Sendang Waringin, Kakang...," ujar Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita itu melihat dua buah gapura di kiri dan kanan jalan yang menjadi tanda perbatasan sebuah desa.
"Hm... Desa ini kelihatannya sudah jauh lebih maju. Saat pertama kali singgah didesa ini aku tidak melihat adanya gapura, kecuali sebuah batu setinggi dada ditepi jalan...," tukas Panji ketika melihat gapura setinggi satu tombak yang membentuk pintu gerbang. Tulisan pada gapura diberi warna yang menarik. Tampaknya Desa Sendang Waringin telah mengalami kemajuan pesat.
Kenanga mengangguk membenarkan. Ia sendiri tidak begitu memperhatikan. Mungkin kalau Panji tidak mengatakannya, Kenanga tidak akan menyadari perubahan itu. Padahal saat pertama kali Panji singgah ia menyertai.
Pasangan pendekar muda itu menghentikan larinya dan melangkah biasa memasuki mulut Desa Sendang Waringin. Jalan utama desa terlihat cukup bagus dan dilapisi bebatuanyang ditata rapi. Rumah-rumah penduduk di kiri dan kanan jalan kelihatan bersih dan terawat baik. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya tidak terlalu rapat. Jelasnya Desa Sendang Waringin telah berubah dari yang disaksikan Panji dan Kenanga.
Saat itu, warga desa yang melintas di jalan utama tidak terlalu banyak. Kebanyakan penduduk desa masih bekerja di sawah dan ladang. Yang ada di dalam desa hanya perempuan dan anak-anak. Kalaupun ada kaum lelaki, sudah berusia lanjut. Hingga Desa Sendang Waringin terlihat agak sunyi.
"Ah, aku ingat sekarang!" seru Panji ketika mereka melintas di depan sebuah rumah judi. Panji berdiri saat memandang rumah judi yang cukup besar itu. "Benar. Ditempat inilah dulu kita bertemu dengan orang yang bernama Jalak Pari...!"
Kenanga pun tampak gembira. Persoalan yang memusingkan itu telah mendapat jawaban.
"Hm... Kiranya Kelana putra majikan rumah judi yang kita musnahkan dulu. Jalak Pari terpaksa kubunuh. Lelaki bengis itu tidak sudi menutup rumah perjudian yang akhirnya dibakar penduduk desa. Mayatnya terbakar hangus bersama rumah judi yang dimilikinya. Tapi, kelihatannya tempat perjudian di desa ini ikut berkembang pesat seiring dengan kemajuan desa. Entah kali ini siapa pemiliknya...?" gumam Panji baru teringat siapa Jalak Pari. Orang itu adalah pemilik rumah perjudian yang kejam dan bengis. Tidak sedikit sawah ladang maupun putri penduduk Desa Sendang Waringin menjadi korban kekejamannya.
"Kalau saja Jalak Pari mau kembali ke jalan yang benar, tidak mungkin Kakang sampai harus melenyapkannya. Selain itu, ia sudah sangat keterlaluan dan banyak menyengsarakan penduduk desa. Rasanya memang sudah sepatutnya Jalak Pari dibinasakan...," timpal Kenanga yang tentu saja ingat akan semua kejadian yang mereka alami di desa itu.
"Sekarang semua sudah menjadi jelas. Sebaiknya kita segera mencari Sepasang Naga Merah. Aku akan mencoba menyadarkan Kelana dari kesesatannya. Mudah-mudahan ia maumengerti tentang apa yang telah diperbuat orangtuanya...," lanjut Panji penuh harap, ia memang lebih suka menyelesaikan persoalan dengan jalan damai bila hal itu masih mungkin dilakukan. Kalau tidak, baru digunakan jalan kekerasan.
"Bagaimana dengan rumah perjudian ini, Kakang? Mungkin saja majikan tempat ini tidak jauh berbeda dengan Jalak Pari..." ujar Kenanga yang memang membenci segala bentuk perjudian. Karena menurutnya hanya akan menyengsarakan orang.
"Hm. Biarlah lain kali saja kita lakukan. Yang penting sekarang adalah mencari dan menghentikan Sepasang Naga Merah. Sebab, kaum golongan sesat sudah semakin berani dalam bertindak. Jika dibiarkan bukan tidak mungkin gerombolan perampok akan bebas berkeliaran di desa-desa pada siang hari seperti ini. Menurutku yang menjadi biang keladi semua ini Sepasang Naga Merah. Kalau mereka sudah dapat dihentikan, kejahatan-kejahatan lainnya akan reda...," ujar Panji.
"Baiklah, Kakang. Penduduk Desa Sendang Waringin pun tampak hidup dalam ketenteraman dan jauh lebih baik dari yang kita lihat satu setengah tahu silam...," Kenanga menurut saja apa yang dianggap paling penting oleh kekasihnya. Karena ucapan itu pasti sudah diperhitungkan dengan matang. Panji tidak pernah gegabah dalam bertindak.
Tidak berapa lama kemudian pasangan pendekar muda itu kembali melewati perbatasan Desa Sendang Waringin. Saat semakin jauh meninggalkan batas desa keduanya menggunakan ilmu lari cepat. Sebentar saja sosok mereka lenyap dikejauhan.
"Bakaaar...!"
Teriakan keras itu menggema menyentakkan suasana pagi yang bening. Burung-burung yang tengah bercanda di dahan-dahan pohon serentak beterbangan. Keremangan pagi itu dipenuhi suara gemuruh kaki kuda yang diselingi pekikan-pekikan riuh-rendah. Rombongan orang berkuda itu berderap memasuki mulut Desa Alur. Sebagian dari anggota rombongan memegang obor.
"Heaaa...!"
"Haaa...!"
Disertai teriakan-teriakan ribut, obor-obor dilemparkan ke atap-atap rumah penduduk. Sehingga....
Brrrlll!
Seketika itu juga lidah api berkobar di atas rumah-rumah penduduk. Sebentar saja di kiri dan kanan jalan utama Desa Alur telah menjadi lautan api. Karuan saja penduduk desa panik!
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Belasan penduduk yang rumahnya dilalap si jago merah berlari keluar rumah membawa harta bendanya. Tapi, justru kemalangan yang menyambut langkah mereka.
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Lengkingan kematian yang panjang pun merobek suasana temaram. Darah segar tumpah ke tanah. Tubuh-tubuh tanpa dosa berjatuhan dengan nyawa melayang. Mereka tewas seketika di ujung senjata gerombolan berkuda.
"Kakaaang...!"
Perempuan-perempuan malang yang kehilangan kerabat atau suami memekik pilu. Tapi, gerombolan berkuda sedikit pun tidak merasa iba. Bahkan pedang mereka kembali berbicara menebas dan membeset wanita-wanita malang itu.
"Aaauuu...!"
Jeritan-jeritan menyayat terdengar di sana-sini mewarnai gemeretak atap-atap rumah dilalap api. Suasana Desa Alur di pagi yang bening itu berubah seketika menjadi ajang pembantaian dan kebuasan gerombolan berkuda. Tampaknya mereka tidak peduli siapa yang menjadi korban selanjutnya. Demikian kejam dan ganas mereka berbuat tanpa terbetik sedikitpun rasa iba di dalam hati mereka yang hitam, sehitam pagi di Desa Alur.
Perbuatan gerombolan berkuda tidak berhenti sampai di situ. Sebagian dari mereka berlompatan turun dan memasuki rumah-rumah. Kemudian keluar dengan membawa harta benda yang ditinggal mati pemiliknya. Terdengar tawa iblis mereka meningkahi jeritan tangis dan lengkingan kematian. Bukan cuma itu. Mereka menyeret gadis-gadis dan ibu muda yang bersembunyi di dalam rumah dengan bengisnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Tak peduli wanita yang diseretnya tengah menggendong banyi mungil.
"Lemparkan saja bayi keparat itu...!" bentak seorang lelaki bertubuh kekar. Dan seketika melihat perintahnya tidak dituruti, tangan kekar berjari-jari kasar itu merenggut bocah malang dalam pelukan ibunya.
"Haaahhh...!"
Benar-benar luar biasa kekejaman yang diperlihatkan lelaki kekar, salah satu anggota gerombolan itu. Tanpa perasaan sedikit pun, bayi mungil yang menjerit-jerit memilukan itu dilemparkan ke dalam kobaran api! Rasanya perbuatan itu hanya pantas dilakukan iblis keji.
"Biadab...!" bentakan keras yang menggeletar yang menggambarkan kemarahan menggelegak itu membuat anggota gerombolan menoleh.
Seorang lelaki gagah berpakaian serba hitam berdiri dengan sepasang mata berkilat-kilat. Tapi, lelaki kekar yang bengis itu malah mendengus kasar. Tampaknya ia memandang remeh lelaki gagah itu.
"Mampus kau...!" pekik lelaki kekar sambil berteriak, tubuhnya meluncur dengansambaran pedang yang mengaung tajam! Tapi...
"Kaulah yang mampus, Bangsat..!" pekik lelaki gagah berpakaian serba hitam, segera mengelak kemudian membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Sehingga....
Brettt...!
"Aaa...!"
Anggota gerombolan yang naas itu menjerit setinggi langit tatkala mata pedang lawan menyengat punggungnya, membuat belahan panjang yang dalam. Tanpa ampun lagi, tubuhnya langsung roboh dengan nyawa meninggalkan raga.
"Nyai, pergilah. Selamatkan dirimu...!" ujar lelaki gagah mengangkat bangkit ibu muda yang telah kehilangan bayi mungilnya.
"Anakku..., Kakang..... Anakku...!" rintih ibu muda itu memilukan. Hatinya hancur luluh menyaksikan buah hatinya dilempar ke dalam kobaran api yang menelan apa saja yang tanpa terkecuali.
"Anakmu tidak mungkin selamat, Nyai! Dan kalau kau tetap di sini, aku tidak bisa menjamin kesemalatanmu. Mereka sangat kejam dan buas. Cepatlah pergi. Cari perlindungan yang aman...!" tukas lelaki gagah. Lalu mendorong ibu muda itu untuk pergi. Karena saat itu dua orang anggota gerombolan datang menerjang.
"Haaat...! Kubikin mampus kalian, Iblis-iblis Biadab...!" pekik lelaki gagah serayamelesat disertai putaran pedangnya yang menerbitkan desingan angin tajam.
Dua orang anggota gerombolan itu kelihatan agak kaget juga. Serangan itu jelas membuktikan pemiliknya memiliki kepandaian yang lumayan. Kendati demikian, mereka tidak kelihatan gentar, dan segera menyambut bersama-sama.
Trang, trang...!
Terdengar suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api saat ketiga batang senjata itu berbenturan. Tapi, lelaki gagah itu dapat bergerak cepat. Pedangnya segera diputarke bawah. Kemudian menyambar datar mengancam tubuh kedua lawannya. Dan...
Brettt, brettt...!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa sempat mengelak lagi, pedang lelaki gagah itu merobek perut mereka. Darah segar membanjir dari luka menganga itu. Kedua orang anggota gerombolan itu roboh ke tanah dengan mata mendelik!
"Pergilah kalian ke neraka, Manusia-manusia Keji...!" desis lelaki gagah dengan hati puas. Kemudian bergerak meninggalkan korbannya. Sikapnya terlihat gagah dan garang. Tampaknya ia benar-benar marah melihat kekejaman gerombolan berkuda itu.
Lelaki gagah berpakaian serba hitam yang menjadi Kepala Keamanan Desa Alur ternyata tidak datang seorang diri. Di beberapa tempat pertarungan berlangsung antara anggota gerombolan berkuda dengan keamanan desa yang berseragam serba hitam. Agaknya orang-orang Desa Alur tak membiarkan tempat kelahirannya dirusak gerombolan liar yang mereka pastikan gerombolan perampok itu.
"Heh heh heh...! Perlahan sedikit langkahmu, Kisanak! Kulihat kau cukup tangkas dan sudah merobohkan tiga orang anggotaku..!" tegur sesosok tubuh yang melayang turun menghadang jalan Kepala Keamanan Desa Alur.
Lelaki gagah itu segera menahan langkahnya. Agak terkejut juga ia melihat gerakan lawan yang terlihat ringan itu. Sadarlah lelaki gagah itu kalau lawannya tidak dapat disamakan dengan tiga orang yang baru saja menjadi korban senjatanya.
"Hm.... Rupanya kau yang memimpin orang-orang buas itu...!" desis lelaki gagah itu menudingkan ujung senjatanya ke wajah lelaki tinggi kurus bermata sayu, namun jelas menyiratkan kelicikan dan kekejaman hatinya.
"Heh heh heh...! Orang sepertiku belum pantas menjadi pimpinan. Aku salah seorang pembantu dari calon penguasa rimba persilatan. Dan kau boleh puas dengan menjadi salah satu penghuni akherat!" tukas lelaki tinggi kurus memperdengarkan tawa iblisnya yang memuakkan.
"Keparat! Selama aku masih hidup tidak akan kubiarkan orang berani menggangu ketenteraman desa ini...!" geram lelaki gagah. Dan tanpa banyak cakap lagi, pedangnya disilangkan di depan dada. Kemudian....
"Haaat.!"
Wuttt!
Pedang lelaki gagah berpakaian serba hitam mendesing tajam mencari sasaran. Gerakannya tangkas dan gesit. Tapi...
Trang!
"Uhhh...!" Lelaki tinggi kurus bermata sayu ternyata bukan orang sembarangan! Sekali menggerakkan pedang, tubuh lawan dipaksa terjajar mundur. Itu jelas menandakan tenaga lelaki kurus itu jauh lebih kuat dari lawannya.
"Iblis keji...!" lelaki gagah itu menggeram. Terkejut bukan main merasakan kekuatanlawan yang jauh berada di atasnya. Tapi, itu tidak membuatnya gentar.
Namun lelaki kurus bermata sayu kali ini tidak lagi hanya menunggu. Sebelum lawannya bergerak, tubuhnya sudah melesat disertai kelebatan pedangnya yang berdesinganmembelah udara pagi.
Lelaki gagah itu pun tidak tinggal diam. Kendati sadar kekuatan lawan berada di atasnya, ia tetap menyambut serangan lawan dengan kelebatan pedangnya. Sehingga, keduanya segera terlibat pertempuran yang cukup seru! Lelaki kurus bermata sayu ternyata memang hebat sekali. Serangannya sangat gencar dan terarah dengan baik. Bahkan kecepatannya masih berada di atas lawan. Sehingga, dalam lima belas jurus saja Kepala Keamanan Desa Alur dibuat tidak berdaya dan hanya bermain mundur.
"Hiyaaat...!"
Melihat lawannya sudah tidak mampu membalas, lelaki tinggi kurus memekik keras. Pedang di tangannya berkilat menyilaukan mata mengarah tenggorokan lawan.
"Putus kepalamu...!" serunya mengiringi sambaran pedang.
"Aaah...?!" Lelaki gagah berpakaian serba hitam mengeluh putus asa. Matanya terbelalak menunggu datangnya sinar putih memenggal batang lehernya. Tapi....
Saat nyawa lelaki gagah bagai telur di ujung tanduk, mendadak berkelebat sesosok bayangan putih diserstai teriakannya yang menggetarkan jantung. Begitu tiba, lengannya langsung menyampok mata pedang lelaki kurus. Sosok bayangan putih itu menyampok mata pedang dengan lengan telanjang! Tapi, yang terjadi selanjutnya benar-benar sukar dipercaya.
Plaggg!
Bukan lengan sosok bayangan putih yang tertebas putus. Tapi pedang di tangan lelaki kurus yang terpental jauh lepas dari genggaman. Bahkan....
Bukkk!
Dengan sebuah gerakan manis yang sukar diikuti mata, lengan sosok itu berputar dan bersarang di dada lelaki kurus dengan telak!
"Huakh.!" Tanpa ampun lagi, lelaki tinggi kurus bermata sayu memuntahkan darah kental. Tubuh kurusnya terlempar dan tertelan kobaran api! Terdengar lengking kematiannya yang panjang.
"Aaa...!"
"Hm.... Kau memang pantas menerima kematian seperti itu, Manusia Biadab...!" desis sosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih. Sosoknya berdiri tegak menatap kobaran api yang menelan tubuh anggota gerombolan itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak yang gagah...," ujar lelaki gagah berpakaian serba hitam dengan hati takjub. Hanya dengan sekali gebrakan tubuh anggota gerombolan itu terlempar jauh ke atas rumah yang tengah berkobar. Kenyataan itu membuatnya sadar seorang tokoh pandai telah menolongnya.
"Simpan ucapan terima kasihmu, Paman. Sebaiknya bergabunglah dengan kawan-kawanmu. Aku akan mencari biang keladi semua kejadian ini...," tukas sosok berjubah putih dengan suara menyiratkan kegeraman hatinya. Agaknya ia marah melihat pemandangan mengerikan di sekitarnya. Di mana-mana tubuh tak berdosa bergeletakan bermandikan darah. Kekejaman gerombolan itu telah membangkitkan kemarahannya.
"Baik… baik...," ucap lelaki gagah. Kemudian ia bergerak meninggalkan sosok berjubah putih. Tapi, baru beberapa langkah ia berlari, angin keras bertiup mengibarkan pakaian dan rambutnya. Ketika ia menoleh....
"Aaah...?!" Lelaki gagah itu terpekik kaget. Sosok berjubah putih di belakangnya telah raib entah ke mana. Bulu kuduk lelaki gagah itu berdiri seketika.
"Setankah dia...? Atau seorang tokoh sakti yang hanya ada dalam dongeng...?" gumam lelaki gagah termangu-mangu bagai ayam sakit. Tapi, semua pikiran itu dibuangnya jauh-jauh. Kemudian bergerak untuk membantu kawan-kawannya yang sebagain masih bertarung dengan gerombolan liar itu.
Sementara itu, sosok berjubah putih yang dikira setan oleh Kepala Keamanan Desa Alur telah berada di antara gerombolan liar. Amukannya langsung membuat gerombolan perampok dan pembunuh itu kalang-kabut!
"Aaa...!"
Lengkingan panjang jerit kematian terdengar susul-menyusul. Disertai dengan tubuh-tubuh yang terlempar ke udara bagai diamuk angin topan. Tubuh orang-orang liar itu terbanting jatuh dengan napas putus! Keributan itu membuat angota gerombolan yang lainnya gentar. Tanpa mempedulikan perintah pimpinannya, mereka bergerak mundur menjauhi sosok berjubah putih yang mengamuk seperti banteng liar.
Tapi, kejadian seperti itu rupanya bukan hanya terjadi di satu tempat. Di tempat lain pun terjadi hal yang sama. Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau mengamuk dengan pedang bersinar putih keperakan ditangan kanannya. Setiap senjata itu bergerak terdengar jerit kematian anggota gerombolan yang mengeroyoknya. Sehingga, sisanya yang masih selamat menjadi ragu untuk maju. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
Seolah hendak melihat siapa yang berani maju lebih dulu mengantarkan nyawa. "Majulah, manusia-manusia berhati iblis! Kalian tidak pantas menghuni dunia ini. Kalian lebih pantas menjadi penghuni neraka jahanam...!" desis sosok ramping yang ternyata seorang gadis muda berparas jelita.
Tapi, saat itu tak seorang pun anggota gerombolan terpikat kejelitaannya. Sebab pedang di tangan dara jelita itu siap mengantarkan nyawa siapa saja yang maju mendekat! Tantangan dara jelita itu tidak mendapat sambutan. Anggota gerombolan hanya berani memandang dengan wajah pucat. Meskipun demikian mereka tetap mengepung.
"Hm.... Jangan dikira aku akan membiarkan kalian bebas berkeliaran lagi. Meskipun tidak ada yang berani mendekat, pedangku ini tetap akan merobek tubuh kalian...!" geram dara jelita itu dengan kilatan mata menikam jantung. Usai berkata, tubuhnya bergerak maju dengan perlahan laksana singa betina siap menerkam mangsa. Dan....
"Yeaaa...!" Dibarengi lengkingan panjang yang menggetarkan dada, tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau itu melayang ke udara. Kemudian berputar dan meluncur turun.
Wuttt! Angin dingin berhembus keras menyertai kelebatan sinar putih keperakan. Beberapaanggota gerombolan yang tak sempat menyelamatkan diri terpental roboh bermandikan darah. Kejadian itu membuat kepungan menjadi berantakan. Anggota gerombolan berlarian mencari keselamatan masing-masing. Tapi, dara jelita itu tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Tubuhnya kembali melayang disertai kelebatan pedang. Kembali empat orang anggota gerombolan terlempar dengan luka menganga. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kurang ajar...!" terdengar geraman keras yang membuat dara jelita itu menoleh cepat.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan menyambar tajam sosok tubuh yang bentuknya seperti kerbau dengan batok kepala mengkilat tertimpa nyala api. "Hm.... Majulah, Kerbau Gundul! Pedangku siap menjagal lehermu.!" desis dara jelita berpakaian serba hijau melangkah maju dengan perlahan. Kelihatan sekali dara itu tidak bersikap ceroboh menghadapi lawannya kali ini.
"Hmhhh. Kalau sampai tertangkap kau akan kupermainkan selama hidup, Perempuan Liar...!" geram lelaki gemuk berkepala botak murka dimaki sebagai kerba gundul.
"Tidak perlu banyak bicara! Buktikan ucapanmu, Kerbau Buduk!" kembali dara jelita itu memaki lawannya.
"Hmhhh...!" Murka bukan main lelaki gemuk berkepala botak itu. Ia segera bergerak maju dengan langkah berdebum. Kapak bermata dua di tangan kanannya menyambar dengan gerakan menyilang, menerbitkan sebentuk angin tajam.
"Haaaiiit!"
Dara jelita itu rupanya tidak sabar menunggu kedatangan lawan. Tubuhnya melayang ke udara. Dan baru meluncur turun setelah agak dekat dengan lawan. Pedang berhawa dingindi tangan kanannya berkilau menggetarkan.
Bettt...!
Lelaki gemuk berkepala botak mendengus kasar. Tangan kanannya bergerak ke depan hendak menyambut sambaran pedang dengan kapak mata duanya. Kelihatannya ia hendak melumpuhkan dara jelita itu dengan mengandalkan tenaganya yang besar. Tapi...
Trang...!
"Aih...?!" Terkejutbukan main lelaki botak itu mendapati kuda-kudanya tidak dapat dipertahankan. Tubuhnya terjajar mundur terhuyung-huyung. Padahal semula ia mengira tubuh dara itu yang akan terpelanting. Nyatanya dara jelita itu sedikit pun tidak terpengaruh. Bahkan segera menyusuli serangannya.
Wuttt...!
Sinar putih yang disertai angin dingin menusuk tulang itu datang mengancam tubuh gendut yang tengah sibuk memperbaiki kuda-kudanya. Karuan saja lelaki botak itu kelabakan!
Wukkk...!
Dengan nekat lelaki botak itu mengelebatkan kapak mata duanya untuk membentur pedang lawan. Namun dengan gerakan yang indah pedang dara jelita itu berputar. Kemudian terangkat naik mengancam iganya. Dan....
Crasss!
"Aaakh.!" Lelaki gemuk berkepala botak itu memekik kesakitan. Ujung pedang lawan yang merobek iga kanannya membuat tubuh gemuk itu terjajar limbung. Sedangkan lawan kembali meluncur dengan tusukan lurus ke arah jantung!
"Haiiit!"
Lelaki botak itu hanya bisa memandang dengan penuh ngeri, ia tidak mungkin lagi dapat menyelamatkan nyawanya. Sehingga....
Cappp!
"Aaakh...!" Terdengar raung kematian saat pedang dara jelita itu tertancap hingga menembus tubuh lawan. Darah menyembur keluar dari lubang luka itu saat pedang dicabut dengan sentakan keras! Tanpa ampun lagi, tubuh gemuk itu menggelepar sekarat. Beberapa saat kemudian diam tak bergerak lagi. Nyawanya telah terbang meninggalkan raga. Setelah mengakhiri nyawa lawannya, dara jelita itu kembali melesat menghajar semua rombongan liar itu.
"Anak-anak, munduuur...!"
Tiba-tiba terdengar perintah seorang lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rompi dari kulit buaya. Rupanya lelaki itu sadar pengikut-pengikutnya tidak akan mampu menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Maka, diperintahkannya agar mereka segera mundur meninggalkan arena.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji kelihatannya telah sejak tadi mengincar lelaki berompi kulit buaya. Ia memang tengah mencari-cari pimpinan gerombolan liar itu. Tubuhnya segera melayang ke arah sosok yang diincar.
"Jangan harap dapat pergi dari tempat ini, Manusia-manusia Keparat...!" geram Panji mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, suaranya terdengar lantang dan dapat ditangkap rombongan orang liar yang buas itu.
Lelaki gemuk pendek itu agak terkejut ketika melihat sesosok bayangan putih melayang ke arahnya. Cepat ia bergerak menghindar saat merasakan ada sambaran angin dingin yang amat kuat datang mengancam dirinya.
Bettt...!
Kendati tubuhnya gemuk lelaki itu ternyata gesit juga. Serangan Panji dapat dielakkannya dengan baik. Sehingga pukulan telapak tagnan Panji mengenai angin kosong.
"Terima pukulanku, Pendekar Naga Putih...!" seru lelaki gemuk itu yang ternyata mengenali pemuda tampan berjubah putih itu. Belum lagi gema suaranya lenyap, pukulannya datang bertubi-tubi.
"Hm..." Panji hanya menggumam menyaksikan serangan lawan. Kedua kakinya yang baru saja menyentuh tanah bergerak dengan tendangan berputar. Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan serangannya. Kalau tidak, kepalanya akan menjadi sasaran tendangan Panji.
Bettt!
Tendangan Panji lewat sejengkal di atas kepala lawan. Begitu tendangan luput, lelaki gemuk melangkahkan kaki kanannya ke depan sambil melontarkan dua buah pukulan berturut-turut!
"Bagus...!" seru Panji memuji.
Gerakan lawannya begitu cepat dan penuh perhitungan. Tapi pujian itu bukan berarti Panji tidak bisa mengatasi serangan lawan. Tendangannya cepat ditarik pulang. Kemudian menjejak tanah. Seketika itu juga tubuhnya melompat ke belakang seraya mengibaskan lengan kirinya dari atas ke bawah dengan gerakan menyilang. Dan....
Plakkk, plakkk...!
"Aaakh...?!" Lelaki gemuk terkejut merasakan tubuhnya tergetar saat menerima tangkisan Pendekar Naga Putih. Kuda-kudanya tergempur hingga tubuhnya agak terhuyung, meski cuma empat langkah. Ini menunjukkan betapa hebat tenaga dalam lelaki gemuk itu.
"Hm.... Kau memang hebat, Buaya Sakti...!" kembali Panji memuji lawannya. Pemuda itu kagum akan kehebatan tenaga lawan yang diketahuinya berjuluk Buaya Sakti.
Lelaki gemuk berompi kulit buaya memperdengarkan dengusan tajam. Pujian Panji dianggapnya sebagai hinaan. Karena tubuhnya terdorong oleh kibasan tangan pemuda itu. "Bagus kau sudah mengenaliku, Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang kau akan melihat kehebatan Buaya Sakti yang lainnya!" desis lelaki gemuk pendek geram.
Panji menggeser langkahnya ke kanan melihat Buaya Sakti mempersiapkan serangan berikutnya. Kuda-kuda tokoh sesat yang terkenal sebagai raja begal itu tampak kokoh dan kuat. Kedua lengannya bergetar saat ia menyalurkan tenaganya. Agaknya lelaki gemuk itu hendak mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Tunggu dulu, Buaya Sakti...! Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. ," ujar Panji sebelum lawannya bergerak menerjang.
"Hm... Apa yang ingin kau ketahui dariku...?" tukas Buaya Sakti dengan tajam dan tidak menghilangkan kewaspadaan.
"Apa maksudmu membawa pasukan dalam jumlah cukup besar hanya untuk mengacau sebuah desa seperti ini? Apakah di sungai-sungai tidak ada lagi mangsa yang dapat kau makan...?" tanya Panji yang merasa agak heran dengan kejadian itu. Sebab, Buaya Sakti biasanya melakukan aksi kejahatannya di sungai-sungai. Itu sebabnya ia dijuluki Buaya Sakti.
"Heh heh heh...! Rupanya otakmu sudah tumpul, Pendekar Naga Putih. Apa yang kau saksikan ini adalah pekerjaan kami sehari-hari. Mengapa heran...?" tanya Buaya Sakti membuat pemuda itu termangu-mangu.
"Tapi tidak biasanya kau melakukan aksi di daratan. Bukankah wilayahmu ada di sungai...?" desak Panji mencoba untuk mencari jawaban yang lebih jelas.
"Memang benar. Tapi, siapa yang berani mencegah kalau aku beraksi di daratan seperti sekarang ini..?" ejek Buaya Sakti hingga Panji penasaran.
"Jadi penyerbuan ini atas kehendakmu sendiri...?"
"Heh heh heh...! Aku tahu apa yang kau inginkan. Pendekar Naga Putih. Tapi supaya kau tidak penasaran, baiklah kukatakan bahwa kami memang bertindak atas perintah pimpinan kami, kaum golongan hitam yang selalu dilecehkan kaum pendekar. Syukurlah Sepasang Naga Merah muncul memimpin golongan hitam dan membangkitkannya untuk menguasai dunia persilatan...," akhirnya Buaya Sakti menjelaskan. Kelihatannya lelaki gemuk pendek itu sangat mendewa-dewakan Sepasang Naga Merah, yang dalam waktu singkat namanya telah menjadi buah bibir orang.
"Lagi-lagi Sepasang Naga Merah...," gumam Panji yang memang ingin berjumpa dengan tokoh yang namanya kian menjulang menenggelamkan tokoh-tokoh sesat lainnya.
"Sudahlah! Aku tidak mempunyai banyak waktu. Sekarang bersiap-siaplah untuk pergi ke akherat...!" Buaya Sakti memotong ketika melihat Pendekar Naga Putih masih hendak berbicara. Bahkan begitu ucapannya selesai, tubuh gemuk itu bergerak maju dengan geseran-geseran kaki yang cepat dan lihai.
"Haiiit...!"
Kali ini Panji tidak main-main lagi. Ia merasa sudah waktunya memberi pelajaran kepada raja begal itu. Maka begitu serangan lawan datang, Panji membuka telapak tangan kirinya untuk menyambut serangan Buaya Sakti.
Tappp...!
Belum lagi Buaya Sakti sadar tangannya ditahan telapak tangan lawan, tahu-tahu tangan kanan Pendekar Naga Putih bergerak cepat melakukan tamparan kilat!
Wuttt...!
Lagi-lagi tamparan Panji mengenai angin kosong. Gerakan lawannya memang terbukti cukup cepat. Tapi meskipun demikian, perubahan gerak Panji tidak diketahui lawan. Akibatnya....
Bukkk!
Dengan kedudukan tubuh miring, Panji menyarangkan pukulan telapak tangan kanannya ke dada Buaya Sakti. Tubuh gemuk itu terlempar ke belakang disertai tetesan darah segar dari sudut bibirnya.
"Setan keparat. !" Buaya Sakti memaki geram. Tubuh gemuk itu melompat bangkit siap melancarkan serangan. Dan...
"Haiiit!"
Diam-diam Panji kagum akan kehebatan daya tahan Buaya Sakti. Pukulan yang dilancarkannya tadi cukup keras, dan ia yakin lawan akan mengalami luka dalam yang parah. Tapi, kenyataannya lelaki gemuk itu dapat segera bangkit dan kembali membangun serangan.
Serangkaian serangan Buaya Sakti dihindarkan Pendekar Naga Putih dengan menggunakan kelincahan tubuhnya. Sesekali dibalasnya gempuran tokoh sesat itu dengan sambaran kaki atau tamparan. Dan serangan balasan Panji bertambah gencar.
Bukkk, desss!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji bersarang telak di tubuh Buaya Sakti. Hingga tubuh gemuk itu terlempar dua tombak. Ketika bangkit darah kental kehitaman termuntah dari mulut tokoh sesat itu. Tubuhnya kembali roboh ke tanah dan jatuh terduduk.
"Hm. Sebaiknya kau segera angkat kaki dari tempat ini. Buaya Sakti. Jangan sampai pikiranku berubah!" perintah Panji.
Buaya Sakti bagai tak percaya dengan pendengarannya. Ia mengangkat kepala memandang Pendekar Naga Putih, seperti hendak meminta kepastian.
"Pergilah! Bawa semua pengikutmu yang masih selamat...!" tandas Panji membuat orang-orang yang berada di sekitar tempat itu heran. Terutama para keamanan desa dan dara jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga. Kenanga yang tahu sifat kekasihnya tak berkata apa-apa. Gadis itu yakin Panji mempunyai rencana lain yang tidak diketahuinya. Dan Kenanga percaya dengan kematangan perhitungan Panji.
"Kau tidak menyesal telah membebaskan aku, Pendekar Naga Putih...?" tegas Buaya Sakti bergegas bangkit. Tentu saja ia masih ingin hidup lebih lama lagi.
"Hm...," Panji hanya mengangguk seraya bergumam tak jelas. Namun dapat dipastikan ia memang hendak melepaskan raja begal itu.
Tanpa banyak cakap Buaya Sakti memerintahkan para pengikutnya meninggalkan tempat itu. Ia sendiri sudah melompat ke atas punggung kuda. Diikuti para pengikutnya yang meninggalkan barang rampokan. Karena tentu saja Panji tidak akan membiarkan mereka pergi dengan membawa hasil rampokan.
Sepeninggal Buaya Sakti dan para pengikutnya, Kepala Keamanan Desa Alur menghampiri Panji. Lelaki gagah itu sungguh tidak menyangka penolongnya seorang pendekar besar yang namanya telah sering ia dengar. Baru kali ini ia mempunyai kesempatan bertemu langsung dengan pendekar pujaan banyak orang itu.
"Sebaiknya tempat ini segera dibereskan, Paman. Kami berdua hendak pergi. Masih banyak urusan yang harus kami selesaikan," ujar Panji kepada lelaki gagah itu.
"Tapi..." Lelaki gagah berpakaian serba hitam itu tidak melanjutkan ucapannya. Tubuh Panji dan Kenanga telah lenyap dari hadapannya diawali dengan hembusan angin keras.
"Hm. Pendekar-pendekar gagah yang benar-benar sejati. Mereka tidak mengharapkan balasan dari perbuatannya...," gumam lelaki gagah itu menatapi dua sosok bayangan yang semakin samar. Lalu memerintah kawan-kawannya untuk membereskan tempat itu setelah bayangan Panji dan Kenanga tidak terlihat lagi.
"Aku tahu kau mempunyai alasan dengan melepaskan mereka begitu saja, Kakang. Coba katakan kepadaku, apa rencana yang ada dalam pikiranmu...," ujar Kenanga saat mereka melangkah di tepian kali berair jernih. Matahari sudah naik tinggi.
"Hm. Aku tahu kau pasti menanyakan hal itu, cepat atau lambat," tukas Panji tanpa menghentikan langkahnya. Kemudian kembali melanjutkan.
"Kita belum tahu di mana Sepasang Naga Merah berada. Ia sengaja memerintahkan para pengikutnya untuk membuat kekacauan, seperti yang dilakukan gerombolan Buaya Sakti. Dengan membebaskan mereka, aku berharap dapat menemukan tempat persembunyian Sepasang Naga Merah. Sebab, aku yakin Buaya Sakti akan datang menemui pimpinannya..."
Kenanga mengangguk-angguk mengerti. Dara jelita itu merasa lega yang diperkirakannya ternyata tepat. Panji mempunyai rencana tersendiri dengan melepaskan lawan-lawannya.
"Lalu, bagaimana kita bisa tahu kalau Buaya Sakti akan menemui Sepasang Naga Merah untuk melapor...?" tanya Kenanga.
"Hm... Bukankah jalan ini yang baru saja dilalui gerombolan Buaya Sakti? Nah, kita tinggal mengikuti. Bila perlu dalam jarak yang agak dekat. Aku yakin Buaya Sakti akan pergi menemui Sepasang Naga Merah. Apalagi setelah bertemu dengan kita yang menggagalkan perbuatan mereka," jelas Panji.
"Jika memang demikian rencana Kakang, ada baiknya kita tidak berada terlalu jauh dengan rombongan orang liar itu. Aku khawatir kita akan ketinggalan...," Kenanga memberikan pendapat
"Semua itu sudah kurencanakan. Sekarang marilah kita membayangi Buaya Sakti dankawan-kawannya dari tempat agak jauh. Dengan begitu, tidak merasa curiga ada orang yang menguntit pekerjaannya," lanjut Panji mengutarakan rencananya.
Keduanya lalu melesat menyusuri jalan yang dilalui Buaya Sakti dan kawan-kawannya. Tidak sulit bagi pasangan pendekar muda itu untuk menyusul. Beberapa saat saja jarak antara mereka hanya selisih tiga tombak. Keduanya yakin Buaya Sakit tidak mengetahui perbuatan mereka. Kenyataannya rombongan itu terus bergerak menuju timur.
Rombongan Buaya Sakti yang berjumlah kurang lebih delapan balas orang itu terus bergerak tanpa tahu ada orang yang mengikuti perjalanan mereka. Itu terus berlangsung sampai rombongan tiba di tepi sebuah sungai selebar delapan tombak dan mempunyai arus cukup deras. Di tempat itu Buaya Sakti mengangkat tangan kanannya ke atas sebagai isyarat berhenti.
"Mungkinkah mereka akan menyeberangi sungai itu Kakang...?" tanya Kenanga yang bersembunyi bersama kekasihnya di atas sebatang pohon berdaun lebat.
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang akan mereka lakukan...," sahut Panji.
Sampai beberapa saat lamanya rombongan itu belum juga bergerak. Beberapa di antaranya berlompatan turun dari punggung kuda, termasuk Buaya Sakti. Tiba-tiba lelaki gemuk berompi kulit buaya itu berbalik dan mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Kemudian kembali menghadap pengikut-pengikutnya. Terdengar suaranya yang mengejutkan anggota rombongan.
"Kalian semua lanjutkan perjalanan ke hilir. Aku tidak bisa menyertai kalian. Ada urusan penting yang harus kuselesaikan. Mungkin aku tidak akan kembali dalam tiga hari...," ujar Buaya Sakti kepada anak buahnya.
"Lalu... Apa yang harus kami lakukan sebelum Ketua kembali..?" tanya seorang anggota rombongan yang bingung mendengar keputusan Buaya Sakti.
"Kalian tidak perlu melakukan apa-apa selama aku belum kembali. Persediaan makanan masih cukup untuk setengah bulan. Jadi, kalian tidak perlu mencari...," jawab Buaya Sakti membuat para pengikutnya tertunduk lesu. Untuk beberapa saat suasana hening. Buaya Sakti menatap anggotanya satu persatu. Kemudian melanjutkan ucapannya.
"Ingat! Tak seorang pun kuizinkan meninggalkan perkampungan sebelum aku kembali. Barang siapa berani melanggar akan menerima hukuman sangat berat!" tandas lelaki gemuk itu tanpa ingin mendengar bantahan.
Karena keputusan ketua mereka tidak bisa dirubah lagi, anggota rombongan pun bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka menuju perkampungan yang dibangun di dalam sebuah hutan lebat. Buaya Sakti menghela napas panjang. Setelah bayangan para pengikutnya tidak nampak lagi, lelaki gemuk itu melompat ke atas punggung kuda dan melarikannya secepat setan!
"Hm... Mungkin ia hendak melapor kepada pimpinannya yang berjuluk Sepasang Naga Merah..," gumam Panji. Lalu keluar dari tempat persembunyian. Di kejauhan tampak bayangan samar kuda dan penunggangnya. Kepulan debu tebal menggumpal di belakang binatang itu.
"Kita ikuti, Kakang...?" tanya Kenanga agak ragu. Sebab Panji belum bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Tentu..," sahut Panji segera menggenjot tubuhnya. Pendekar Naga Putih melesat dengan ilmu lari cepatnya. Kenanga menyusul dengan menggenjot tubuhnya menjajari langkah Panji.
Buaya Sakti agaknya tidak sadar ia dikuntit pasangan pendekar muda itu. Ia terus membedal binatang tunggangannya tanpa mengenal lelah. Raja begal itu agak tergesa untuk bisa tiba di tempat tujuannya.
"Kelihatannya Buaya Sakti menuju Kadipaten Tampak Serang?" gumam Panji mengerutkan kening. Kendati demikian, ia tidak mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Ada urusan apa tokoh sesat itu memasuki kota kadipaten? Jangan-jangan kita salah menduga, Kakang...?" timpal Kenanga melihat Buaya Sakti telah melewati pintu gerbang kadipaten di bagian barat.
Kenyataan itu membuat mereka terpaksa memperlambat langkah. Akan sangat mencurigakan bila mereka berlari-lari memasuki Kota Kadipaten Tampak Serang. Keduanya melanjutkan dengan langkah-langkah yang agak bergegas. Untung Buaya Sakti juga memperlambat lari kudanya saat melintas di jalan utama kota kadipaten. Rupanya tokoh sesat itu pun tidak ingin mengundang perhatian. Sehingga, Panji dan Kenanga tidak kehilangan jejak.
"Pendekar Naga Putih...!"
Panggilan itu terdengar jelas di telinga Panji, membuat langkahnya terhenti. Namun ia agak heran melihat Kenanga terus melanjutkan langkahnya, seolah tidak mendengar panggilan itu. Sadarlah Panji ada orang yang menggunakan ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh' yang hanya ditujukan kepada dirinya.
"Ada apa, Kakang..?" tegur Kenanga melihat kekasihnya berhenti dan berdiri dengankening berkerut. Kelihatan sekali Panji tengah memikirkan sesuatu.
"Sebentar...," sahut Panji segera mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Kedai-kedai makan di seberang jalan pun tak lepas dari pengamatannya.
Kenanga yang tidak tahu mengapa kekasihnya tiba-tiba bersikap demikian aneh, tanpa sadar mengikuti gerak-gerik Panji. Padahal dara jelita itu tidak tahu apa yang dicari kekasihnya.
Tiba-tiba Panji tersenyum lebar. Di sebuah ruangan kedai dilihatnya Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa tengah duduk menikmati hidangan. Kedua pertapa itu tersenyum ke arah Panji. Panji pun segera dapat menduga orang yang memanggilnya kedua Pertapa Gunung Naga itu.
"Kenanga, mari kita singgih sebentar di kedai itu..," ajak Panji tanpa menunggu jawaban lagi segera melangkahkan kaki.
"Kakang, bagaimana dengan buruan kita...?" Kenanga yang tidak mengerti dengan tingkah kekasihnya mencoba mengingatkan. Dara jelita itu tentu saja tidak ingin melepas buruannya setelah mengejar satu hari penuh. Tapi, tahu-tahu Panji mengajaknya singgah di kedai. Padahal mereka belum tahu ke mana tujuan Buaya Sakti. Kenanga pun menjadi kesal.
Panji yang sudah melangkah beberapa tindak segera menghentikan langkahnya, ia merasa Kenanga tidak mengikuti. Ketika Panji menoleh, benar saja. Dara jelita itu berdiri dengan wajah masam. Panji segera dapat menduga apa yang menjadi penyebabnya. Bergegas pemuda itu menghampiri kekasihnya yang tengah merajuk.
"Jangan marah dulu, Kenanga. Coba kau lihat siapa yang duduk di kedai itu...," ujar Panji menggerakkan kepalanya seraya menyentuh lembut punggung dara jelita itu.
"Pertapa Gunung Naga...?!" desis Kenanga dengan kening berkerut ketika memandang kedai yang ditunjuk Panji. Kenanga terpaksa tersenyum ketika melihat kedua kakek itumelemparkan senyum ramah kepadanya.
"Nah, apakah kau sudah paham sekarang...?" tanya Panji.
"Tapi bagaimana dengan Buaya Sakti, Kakang? Bukankah kita belum tahu ke mana ia akan pergi? Apakah tidak sebaiknya kita ikuti saja sampai raja begal itu tiba di tempat tujuannya. Setelah itu, baru kita menemui Pertapa Gunung Naga...," ujar Kenanga yang tidak ingin usaha yang telah mereka tempuh harus ditinggalkan begitu saja. Padahal sudah hampir sampai pada tujuan.
"Ah, rupanya kau belum juga mengerti," tukas Panji menghela napas panjang. "Dengar Kenanga. Kalau kedua pertapa itu berada di kota kadipaten ini, tentu ia telah cukup banyak tahu apa yang mereka anggap penting untuk diketahui. Dan kalau Sepasang Naga Merah tinggal di kota kadipaten ini, sudah pasti mereka mengetahuinya. Itu sebabnya aku tidak merasa khawatir. Meski harus meninggalkan buruan kita..."
"Aiiih.... Mengapa aku menjadi tolol begini...?" desis Kenanga seraya menampar keningnya perlahan. "Maafkan aku, Kakang. Mari kita temui mereka...," lanjut dara jelita itu yang kekesalannya telah terbang entah ke mana.
Saat pasangan pendekar muda itu memasuki kedai dan menghampiri meja Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa, kedua pertapa itu bangkit menyambut Panji dan Kenanga. Wajah keduanya terlihat cerah dan diwarnai senyum ramah.
"Silakan..." ujar Ki Sarwa Dipa mempersilakan Panji dan Kenanga mengambil tempat masing-masing.
Setelah mengucapkan terima kasih, Panji menghempaskan tubuhnya di kursi. Demikian pula Kenanga. Mereka memesan hidangan kepada pelayan kedai.
"Kelihatannya kalian begitu terburu-buru. Ada apa?" tanya Ki Sarwa Dipa setelah mereka terdiam beberapa saat.
Tanpa ragu-ragu, Panji segera menceritakan pengalamannya. Sampai ia dan Kenanga melakukan pengejaran terhadap Buaya Sakti.
"Melihat Eyang berdua berada di sini, kami ikut bergabung. Karena kami yakin seluruh pelosok kota kadipaten ini telah Eyang selidiki. Apakah dugaanku salah...?" tanya Panji menutup ceritanya, membuat pertapa itu tertawa pelan.
"Tajam sekali cara berpikirmu. Pendekar Naga Putih. Sekali pandang kau langsung bisa menebak isi kepala yang sudah peot ini," tukas Ki Sarwa Dipa menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh kagum.
"Bagaimana, Eyang? Apakah sudah mengetahui di mana Sepasang Naga Merah...?" Panji langsung menukas ketika pertapa tua itu menyelesaikan ucapannya. Khawatir Ki Sarwa Dipa akan terus memujinya. Maka Panji segera mengalihkan pembicaraan.
"Hm.... Tunggu saja malam nanti. Aku membuat kejutan untuk kalian berdua...," sahut Ki Sarwa Dipa berteka-teki membuat Panji dan Kenanga terpaksa melebarkan senyum.
"Itu berarti malam ini kita harus menginap di kota kadipaten?" tegas Panji menatap KiSarwa Dipa dan Ki Garma Dipa bergantian.
"Bisa juga begitu....," sahut Ki Garma Dipa tersenyum. Sedangkan Ki Sarwa Dipa memperdengarkan tawa halus.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali terdiam. Pelayan kedai datang membawa pesanan dan menata rapi di atas meja. Tak satu pun yang berbicara saat menikmati hidangan.
Semula Panji dan Kenanga tidak mengerti ketika malam tiba Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa mengajak mereka pergi ke hutan yang terletak di sebelah utara kota kadipaten. Di sebuah tanah lapang yang cukup luas dan jauh dari perumahan penduduk mereka berhenti.
"Jadi Eyang berdua telah mengirimkan surat tantangan kepada Sepasang Naga Merah...?" tanya Panji yang segera dapat menduga maksud kedatangan mereka ke tempat itu.
"Bukan hanya Sepasang Naga Merah. Tapi dua orang datuk kaum sesat pun akan datang ke tempat ini. Mereka telah bergabung dengan Sepasang Naga Merah...," sahut Ki Sarwa Dipa menambahkan tokoh-tokoh yang ditantangnya.
"Siapa saja mereka, Eyang...?" desak Panji ingin segera tahu.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Nanti pun kau akan mengetahui. Sebaiknya kalian berdua sembunyi. Aku khawatir mereka akan pergi bila melihat kalian berada di tempat ini...," tukas Ki Garma Dipa. Karena orang-orang yang mereka undang memiliki sifat licik dan bisa saja tidak jadi datang jika melihat ada Pendekar Naga Putih di antara mereka.
Maklum akan kemungkinan itu, Panji tidak membantah. Pemuda itu segera mengajak kekasihnya bersembunyi di balik sebatang pohon besar melebihi dua pelukan orang dewasa. Dengan demikian, mereka berharap surat tantangan itu akan dipenuhi lawan. Rupanya kedua Pertapa Gunung Naga itu tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, tampak lima orang bergerak dari sebelah depan.
"Bagus! Kalian mau datang juga akhirnya...," sambut Ki Sarwa Dipa ketika kelima orang itu telah berada lebih dekat, kira-kira dua tombak lebih.
"Hua ha ha...! Pertapa Gunung Naga, kalian berdua hanya mengantar nyawa jika hendak mencariku. Selain itu kitab ilmu 'Silat Naga Merah' telah lama kami musnahkan, begitu seluruh isinya kami kuasai dengan baik. Jelas perjalanan kalian sia-sia...," ucap seorang pemuda tampan bertubuh tegap yang berpakaian serba merah. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Kelana.
Di sebelah Kelana terlihat Savitri tersenyum mengejek. Kemudian Raja Racun Muka Hitam, Cambuk Penakluk Naga, dan Buaya Sakti. Ketiga tokoh sesat itu rupanya hadir memenuhi tantangan Pertapa Gunung Naga.
"Meskipun begitu kau harus menebus semua dosa-dosamu, Pencuri. Kau akan kami hadapkan kepada pimpinan kami untuk diadili dan dijatuhkan hukuman yang seadil-adilnya...," sahut Ki Sarwa Dipa agak kaget mendengar kitab ilmu 'Silat Naga Merah telah dimusnahkan Kelana. Itu berarti mereka harus membawa salah satu dari Sepasang Naga Merah sebagai bukti mereka telah melaksanakan tugas.
"Hm.... Sudahlah. Tidak perlu banyak cakap. Sebaiknya kalian bersiap untuk menghadap raja maut...!" tukas Kelana tidak ingin berpanjang kata.
"Hiyaaat...!"
Disertail engkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun tidak tinggal diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan berbahaya, mereka tidak terlihat gentar. Mereka pun bersiap menyambut serangan lawan! Perkataan Kelana seperti merupakan isyarat bagi kawan-kawannya. Raja Racun MukaHitam dan Cambuk Penakluk Naga sudah menyiapkan jurus-jurusnya.
"Tahan...!" Kelana tiba-tiba mencegah. Pemuda itu melangkah maju beberapa tindak. "Mereka berdua bagianku. Sebaiknya kalian saksikan saja...," ujar Kelana segera menyiapkan serangan.
Savitri yang menjadi pasangan Kelana tentu saja tidak berpangku tangan. Tubuhnya bergerak ke depan menjajari Kelana. Kemudian membuka jurusnya yang mirip jurus Kelana, bedanya mereka melakukan gerakan berlawanan. Satu ke kiri, satu ke kanan. Ilmu yang mereka pergunakan memang merupakan ilmu berpasangan.
"Hiyaaat...!"
Disertai lengkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun tidak tinggal diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan berbahaya, mereka tidak kelihatan gentar. Tampaknya kedua pertapa itu lebih suka tewas dalam melaksanakan tugas daripada tewas karena usia tua. Saat serangan lawan datang, kedua pertapa itu segera menyambut. Sebentar saja keempatnya telah terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan!
Kedua Pertapa Gunung Naga sadar betul akan kedahsyatan ilmu 'Sepasang Naga Merah'. Untuk mengimbangi mereka harus menguras seluruh tenaga dan kepandaian. Kalau tidak, mereka akan celaka dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sepasang Naga Merah yang merasakan kedua lawannya melakukan gempuran mati-matian tentu saja tidak tinggal diam. Dengan kerja sama yang baik sekali mereka mulai memperlihatkan ketangguhannya. Sehingga saat pertarungan menginjak jurus keenam puluh, kedua Pertapa Gunung Naga mulai merasakan betapa berat tekanan lawan. Setiap kali mereka menangkis, tubuh tua pertapa-pertapa itu terjajar mundur. Jelas sudah mereka tidak mungkin sanggup menghadapi Sepasang Naga Merah yang tangguh dan kuat.
Panji yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon tidak mau menunggu sampai kedua pertapa itu celaka. Begitu melihat mereka terdesak, Panji melesat keluar dari persembunyainnya dan memasuki arena pertempuran.
"Haiiit...!"
Kelana dan Savitri melompat mundur ketika serangkum angin dingin menusuk tulang mendahului datangnya sesosok bayangan putih. Mereka terpaksa melepaskan kedua pertapa yang sudah tidak sanggup lagi membangun serangan dan tinggal menghabisinya saja. Sayang sosok berjubah putih datang mencegah. Mereka tidak berani memandang remeh sambaran angin dingin yang sangat kuat itu.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Hampir bersamaan Kelana dan Savitri berseru menyebut julukan Panji. Mereka kaget karena tidak menyangka pendekar muda itu akan muncul. Tapi, keterkejutan itu hanya berlangsung sesaat. Lalu berganti dengan kemarahan.
"Bagus kau muncul, Pendekar Naga Putih! Dengan begitu, aku sekaligus membalas dendam orangtuaku...!" geram Kelana kembali teringat kematian ayahnya di tangan Panji. Itu diketahui dari penduduk desa tempat kelahirannya.
"Hm.... Ayahmu seorang pemeras dan penipu, Kelana, ia tega menyengsarakan penduduk Desa Sendang Waringin dengan membuka rumah judi. Padahal seharusnya ia tahu judi akan menghancurkan kehidupan semua orang. Karena ia tak mau sadar, terpaksa aku melenyapkannya demi ketenteraman penduduk desa," sahut Panji membuat Kelana tersentak kaget. Panji ternyata telah mengetahui tempat kelahirannya. Bukan tidak mungkin nama orangtuanya juga diketahui pemuda itu.
"Biar bagaimanapun, aku tetap membalaskan kematian ayahku!" tandas Kelana tak mau tahu baik buruknya tindakan orangtuanya. Ia bersikeras tetap akan membalaskan dendam orangtuanya.
"Itu hakmu, Kelana. Aku tidak bisa memaksa bila kau memang tidak ingin sadar dari kesesatanmu...!" tukas Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan ilmu 'Silat Naga Sakti'. Karena baik Kelana maupun Savitri telah siap menerjang.
"Hiyaaat...!"
"Haiiit...!"
Sepasang Naga Merah bergerak bersamaan menerjang Panji yang saat itu telah menggabungkan kedua tenaga mukjizatnya. Karena lawan yang dipahadapinya sangat hebat!
Dengan ilmu silatnya yang langka dan jarang menemui tandingan, Panji menyambut serangan kedua lawannya. Kendati Kelana dan Savitri menerjang dengan hebat, namun Panji selalu dapat mengatasi. Bahkan melontarkan serangan balasan yang tidak kalah ampuh dan berbahayanya. Arena pertarungan menjadi porak-poranda bagai diamuk angin ribut. Dalam jurus-jurus awal terlihat kedua belah pihak masih seimbang. Sama-sama kuat dan sama gesitnya.
Sementara itu, Raja Racun Muka Hitam sudah gatal tangan ingin maju bertarung. Begitu juga Cambuk Penakluk Naga. Mereka langsung dihadapi Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Keempat tokoh tua itu membuat arena lain berjarak enam tombak dari pertempuran Pendekar Naga Putih.
Demikian juga Kenanga. Melihat Buaya Sakti melirik dirinya, Kenanga menghampiri raja begal itu. Meski agak gentar Buaya Sakti terpaksa melayani serangan-serangan dara jelita itu yang sudah menggunakan pedangnya untuk menghadapi lawan. Mereka terlibat pertarungan sengit!
Saat itu, pertarungan Pendekar Naga Putih dan Sepasang Naga Merah berjalan semakin cepat. Kedua belah pihak berusaha mendesak lawan. Terlebih Kelana yang memangingin melenyapkan Pendekar Naga Putih, yang merupakan penghalang terbesar cita-citanya.
"Yaaat…!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji mengeluarkan lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Tubuh pemuda itu bergerak cepat dengan sepasang lengan saling susul-menyusul mencari sasaran.
"Gila...!" Kelana memekik kaget merasakan angin pukulan lawan berubah-ubah hawanya. Terkadang dingin seperti salju. Di lain saat panas membakar seperti api tungku. Hingga kedua lawannya terdesak. Terlebih lagi sambaran cakar yang datang tak terduga dan memiliki perubahan gerak yang mengejutkan. Kenyataan itu membuat Kelana dan Savitri penasaran!
Saat serangan Panji kembali datang bagai gelombang air laut yang susul-menyusul tak pernah henti Kelana bertindak nekat. Sepasang tangannya diangkat ke atas memapaki sepasang lengan Pendekar Naga Putih. Dan...
Plakkk, Plakkk...!
"Uhhh...?!" Tangkisan itu justru mendatangkan kerugian bagi Kelana. Lengannya terasa linu dan tubuhnya terjajar mundur setengah tombak. Meskipun begitu, Kelana masih dapat mempertahankan kuda-kudanya dan tetap berdiri tegar.
Panji semula berniat menyusuli serangannya. Tapi niat itu ditunda ketika melihat Savitri datang dengan serangan-serangan yang berbahaya. Hingga Panji terpaksa menghadapi gadis cantik itu dan membalas setiap serangan Savitri. Bahkan dengan kecepatan yang jauh melebihi gerak Savitri. Akibatnya, gadis cantik itu dipaksa bermain mundur. Sampai akhirnya....
Bukkk!
"Aiiih...!" Savitri terpekik kesakitan ketika telapak tangan Panji singgah di bahu kirinya. Tubuh gadis cantik itu melintir seperti baling-baling.
"Haaat!"
Bettt!
Kelana yang datang menyelamatkan Savitri melepaskan sebuah pukulan maut disertai suara mencicit tajam. Cepat Pendekar Naga Putih menundukkan kepala. Kemudian menggeser kaki kanannya ke belakang. Dan mengirimkan sikunya ke iga kiri Kelana.
Duggg!
"Hikh...!" Kelana terjajar limbung dengan wajah meringis menahan sakit. Saat itu Panji melenting ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai sinar berpendar pada sekujur tubuhnya, membuat lawan di bawahnya sukar untuk melihat dengan jelas. Dan....
Bettt, desss!
"Aaakh...!" Tanpa ampun tubuh Kelana terpental. Cairan merah mengalir dari dada kirinya yang robek oleh cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan perutnya terasa mual terkena tendangan telak. Tubuh pemuda itu menggeliat memuntahkan darah segar yang agak kental.
"Kelana...?!" Savitri kaget bukan main melihat tubuh sekutu sekaligus kekasihnya terbanting ke tanah. Cepat ia melesat menerjang Panji dengan kemarahan memuncak.
Tapi, itu justru merupakan peluang baik bagi Pendekar Naga Putih. Dengan merundukkan kepala menghindari sambaran tangan lawan, Panji menggeser maju kaki kirinya. Kemudian melepaskan dorongan kedua telapak tangan dengan menggunakan tenaga gabungan.
Bressshhh...!
"Aaa...!" Savitri terpental disertai jeritnya yang melengking tinggi. Gadis itu terbanting ke tanah dengan sebelah tubuhnya hangus terbakar. Sedangkan sebagian lagi membeku bagai orang yang menderita kedingin hebat.
"Savitri...!" Kelana bergegas bangkit. "Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih...!" pekiknya murka. "Hiyaaahhhh...!"
Wukkk...!
Panji menggeser tubuhnya satu langkah ke belakang. Begitu pukulan lawan luput, kepalan kiri dan kanannya datang bertubi-tubi menghantam tubuh Kelana!
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Huakhhh...!" Tanpa ampun tubuh Kelana terpental ke udara. Darah menyembur dari mulutnya. Kemudian jatuh berdebuk di tanah. Kelana tewas persis seperti keadaan Savitri yang terkena hantaman gabungan tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih.
Rupanya pertempuran yang lainnya pun sudah pula berakhir. Cambuk Penakluk Naga menggeletak di tanah dengan kepala pecah. Nampaknya pukulan Ki Garma Dipa terlalu kuat, hingga meretakkan batok kepala tokoh sesat itu.
"Cambuk Penakluk Naga adalah guru Savitri. Ia membantu muridnya untuk menguasai dunia persilatan...," jelas Ki Garma Dipa tanpa diminta Panji.
"Ke mana perginya Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Panji yang tidak menemukan mayat datuk sesat itu.
"Ia telah melarikan diri dengan sangat licik. Meskipun begitu datuk sesat itu tidak akan berani muncul dalam waktu dekat..," Ki Sarwa Dipa yang menjadi lawan Raja Racun Muka Hitam menjelaskan.
Kenanga sendiri sudah menamatkan riwayat Buaya Sakti. Dara jelita itu menggamit lengan Panji. Lega hatinya melihat persoalan rumit yang memusingkan itu sudah selesai.
"Kita berpisah di sini, Eyang. Kami hendak melanjutkan perjalanan...," ujar Panji mohon diri kepada kedua Pertapa Gunung Naga.
"Pendekar Naga Putih, tung...?!" Ki Sarwa Dipa tidak menuntaskan kalimatnya, karena Pendekar Naga Putih telah lenyap ditelan kegelapan malam. Semula dirinya hendak mengajak pendekar muda itu singgah di Gunung Naga. Sayang, mereka telah lenyap. Sehingga kedua pertapa itu hanya bisa termangu-mangu dalam kebisuan malam yang kian mencekam....
Pemuda tampan berpakaian serba merah itu menggumam sinis. Alis matanya yang tebal dan berbentuk golok terangkat sebelah. Pandangannya tertuju pada sebuah papan nama rumah judi, yang terletak di Desa Kedung Jati.
"Dari tempat inilah kita mulai...," ujar gadis cantik yang juga berpakaian merah. Seperti halnya pemuda tampan itu, ia pun tengah memandang papan nama di atas pintu gerbang yangcukup besar setinggi dua tombak itu.
Pemudatampan beralis tebal mengalihkan pandangan matanya pada gadis di sebelahnya. Terdengar suaranya yang berat. "Kau yakin rumah judi ini miliknya, Savitri...?"
"Tentu saja aku yakin. Karena tempat kediaman tokoh itu agak sulit dicari, maka aku mengambil jalan pintas dengan mendatangi salah satu rumah judinya. Seluruh rumah judi didaerah ini adalah miliknya...," jawab gadis yang tidak lain Savitri. Sedangkan pemuda tegap itu Kelana, yang dikenal dengan Petualang Sakti.
(Untuk mengetahui lebih jelas mengenal kedua orang itu, silakan baca kembali episode Petualang Sakti)
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita segera masuk...," ajak Kelana.
Savitri tersenyum, mengangguk. Kemudian melangkah masuk seraya melingkarkan lengannya ke pinggang Kelana. Sedangkan Kelana telah merangkul bahu gadis itu. Sikap keduanya tampak sangat mesra menunjukkan adanya jalinan kasih di antara mereka.
"He he he.... Apakah Tuan dan Nyonya muda ingin mengadu nasib di tempat kami...?" sambut seorang lelaki berwajah hitam dan berhidung besar. Sepasang matanya menjorok keluar seperti melotot marah. Bibirnya yang tebal mengukir senyum, kendati tidak sedap dipandang.
Kelana dan Savitri tidak segera masuk. Keduanya menatap lelaki bermuka hitam yang bertubuh kekar. Kemudian beralih pada lelaki kedua yang tubuhnya tidak kalah besar dan kekar. Sepertinya mereka tukang-tukang pukul rumah judi itu. Di pinggang keduanya tampakgagang pedang. Kendati wajah dan perawakannya menyeramkan, kedua orang itu selalu menyambut ramah setiap pengunjung. Tak terkecuali Kelana dan Savitri yang dianggapnya pasangan suami istri muda.
Setelah puas menatap bagian luar bangunan dan kedua penjaganya, Kelana dan Savitri menaiki anak tangga yang tersusun di dalam pintu. Kedua penjaga itu membungkukkan tubuh ketika mereka melangkah masuk. Rupanya penjaga-penjaga itu menduga Savitri dan Kelana orang-orang kaya yang hendak menghamburkan uang di rumah judi itu. Pasangan muda-mudi itu memang sangat menyolok. Terlebih pakaian yang mereka kenakan, dari bahan dan warna yang sama. Sehingga saat mereka bergerak masuk, banyak mata yang menyambutnya.
"Kau ingin mencoba main, Kelana...?" tanya Savitri setelah puas melihat-lihat berbagai macam permainan di ruangan yang cukup luas itu.
"Mmm.... Boleh-boleh saja...," sahut Kelana segera menghampiri meja permainan dadu.
"Ah. Silakan..., silakan, Tuan Muda...," ujar bandar sambil memutar-mutar tempat biji dadu. Gerakannya terlihat sangat mahir. Lelaki kurus bermuka mirip tikus itu agaknya bandar judi yang berpengalaman.
"Hm..." Kelana meletakkan beberapa keping uang di atas nomor yang tertulis di sehelai kertas di atas meja. Beberapa orang mengikuti nomor yang dipasang pemuda tegap berpakaian serba merah itu. Sehingga, nomor itu banyak dipenuhi kepingan uang dibanding nomor-nomor lain.
"Nah, apakah semua sudah tetap dan tidak akan dipindah lagi? Kalau memang sudah, nomor-nomor akan segera kami perlihatkan...," ujar lelaki kurus bermuka tikus menunggu beberapa saat. Kedua telapak tangannya diletakkan di tepi meja.
Kelana yang saat itu memegang tepi meja kelihatan terkejut. Sebagai seorang pesilat yang pandai, ia tahu ada orang yang tengah mengerahkan tenaga dalam pada meja itu. Dan lebih terkejut lagi ketika telinganya menangkap guliran biji dadu di dalam tempurung kelapa. Sadar ada yang bermain curang, pemuda itu memperhatikan wajah bandar dadu yang berdiri berseberangan dengannya.
"Hmmm..," Kelana bergumam pelan ketika mengetahui siapa yang telah berani bermain curang di hadapannya. Tanpa berpikir dua kali, pemuda itu menekankan telapak tangan kanannya pada meja. Dan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menggulirkan biji-biji ke nomor semula.
Lelaki kurus bermuka tikus kelihatan kaget. Ada orang pandai hendak membuatnya bangkrut. Maka kekuatannya ditambah. Namun sampai keningnya berkeringat, ia tidak mampu melawan kekuatan tenaga lawan. Sekali pandang tahulah lelaki kurus itu siapa yang menjadi lawannya.
"Hei, mengapa lama sekali? Bukankah semua telah menetapkan pasangan...?" tegur Kelana tersenyum mengejek.
Beberapa pengunjung yang memasang taruhan ikut berteriak menuntut. Maka dengan wajah agak pucat, lelaki kurus itu menusukkan nomor-nomor dadunya. Dan....
"Wah, rupanya aku sedang beruntung...!" ujar Kelana tersenyum, membuat wajahbandar dadu menjadi kelam. Jelas ia tahu pemuda tampan berpakaian serba merah itu sengaja menggodanya.
Tapi lelaki berwajah tikus itu tidak berkata apa-apa. Matanya mengawasi Kelana dengan tajam. Penjudi-penjudi lain yang ikut memasang taruhannya di nomor pasangan Kelana bersorak senang. Kemenangan pertama itu membuat mereka yakin Kelana telah mendatangkan keberuntungan. Sehingga, ketika Kelana kembali memasang taruhannya pada salah satu nomor, penjudi lainnya segera mempertaruhkan uang hasil kemenangannya tadi. Akibatnya hanya satu nomor saja yang terpasang. Sedang nomor lainnya tidak satupun yang memasang.
"Celaka...!" desis lelaki bermuka tikus. Butir-butir keringat dingin semakin banyak mengalir membasahi wajahnya. Kalau sampai taruhan itu mengena, habislah ia. Majikannya pasti akan marah besar. Meskipun yakin kemenangan akan berada di pihak para petaruh, lelaki bermuka tikus tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Biji-biji dadu kembali diputar. Dan....
"Horeee!"
Para penjudi itu berteriak kegirangan! Beberapa di antara mereka melompat-lompat seperti anak kecil. Kemenangan hari itu sungguh tidak pernah terbayang dalam pikiran mereka. Tentu saja tak seorang pun tahu kemenangan itu karena perbuatan Kelana. Hanya bandar judi yang mengetahui. Setelah beberapa kali bermain dan selalu kalah, akhirnya bandar dadu menutup permaianannya.
"Hei! Mengapa berhenti, Kisanak? Bukankah biasanya permainan ini sampai larut malam...?" tegur seorang petaruh yang telah mendapat kemenangan cukup banyak. Sehingga, kantung uang di pinggangnya penuh.
"Maaf, aku tiba-tiba merasa pusing. Kuharap kalian bermain di meja lain saja..," jawab bandar dadau lalu beranjak pergi, dan lenyap di baik pintu sebuah kamar.
"Rupanya hari ini kau sedang beruntung, Kelana. Banyak sekali uang hasil kemenanganmu...!" ujar Savitri tersenyum lebar. Gadis cantik itu tidak menyangka Kelana pandai berjudi.
Kelana tersenyum tanpa menjawab sepatah pun. Pemuda itu merasakan banyak mata mengawasinya dengan sorot mengancam. Tapi ia pura-pura tidak tahu.
"Hm..., sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Savitri. Kelihatannya orang yang kita tunggu-tunggu tidak akan muncul...," ujar Kelana yang rupanya merasa bosan berada lama-lama di tempat pengap seperti itu.
"Maaf Tuan dan Nyonya Muda. Majikan kami ingin berjumpa dengan kalian. Mungkin hendak mengucapkan selamat atas keberuntungan kalian hari ini. !" tiba-tiba seorang tukang pukul rumah judi berkata kepada Kelana dan Savitri.
"Hm.... Baik. Kami akan segera datang..." sahut Kelana. Kemudian mengikuti langkah tukang pukul memasuki sebuah ruangan. Savitri yang sudah menerka apa yang akan terjadi segera mengayunkan langkah mengikuti kedua orang itu.
"Harap Nisanak tetap di tempat. Majikan kami hanya mengundang Tuan Muda ini..," cegah tukang pukul kepada Savitri.
"Biarkan dia ikut. Aku tidak akan memenuhi undangan majikan kalian tanpa istriku..," tukas Kelana terpaksa mengakui Savitri sebagai istrinya. Itu dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Tukang pukul bertubuh gemuk dengan kumis tebal melintang kelihatan tertegun sejenak. Kemudian menganggukkan kepala dan membawa kedua orang itu menemui majikannya. Sebelum memasuki kamar tempat majikannya menunggu, dua orang tukang pukul yang menyertai Kelana dan Savitri meminta agar uang yang dibawa Kelana dititipkan kepada mereka. Setelah bertemu dengan pimpinannya, baru uang itu akan diserahkan kembali.
"Maaf. Biar aku saja yang membawanya...," bantah Kelana ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kedua tukang pukul itu bila ia membantah.
"Jangan khawatir, Tuan Muda. Kami akan menyimpannya baik-baik. Dan akan kamiberikan bila Tuan dan Nyonya Muda hendak meninggalkan tempat ini..," bujuk tukang pukul gemuk berkumis tebal. Tangannya diulurkan hendak merampas kantung besar yang dipegang Kelana.
"Harap kalian jangan memaksa..." Kelana bersikeras dan menarik kantung uang itu ke samping kirinya. Sehingga, terkaman lelaki gemuk berkumis tebal luput. Tapi tukang pukul itu memaksa. Kali ini ia benar-benar berusaha merampas kantung itu. Sayang terkamannya selalu luput.
"Kisanak! Uang ini hasil kemenanganku yang sah! Tak seorang pun kuizinkan menyentuhnya!" bentak Kelana tidak sabar.
"Siapa bilang kau menang secara sah, Kisanak! Kemenangan itu kau peroleh dengan cara yang curang...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara. Muncullah lelaki bermuka tikus yang tadi menjadi bandar dadu. Wajah lelaki itu kelihatan gelap menyiratkan kemarahan yang siap ditumpahkan.
"Ooo.... Jadi kalian hendak merampas uang ini? Nah, silakan saja kalau memang sanggup mengambilnya dari tanganku...!" tantang Kelana tersenyum sinis.
"Kurang ajar! Beri pelajaran kepada pemuda setan itu, agar lain kali bisa berlaku lebih sopan!" perintah lelaki bermuka tikus kepada tukang pukulnya. Kemudian ia sendiri bergerak hendak merampas kantung uang di tangan Kelana. Tapi....
"Makanlah uang ini oleh kalian...!" sambil berkata, Kelana mengayunkan kantung uang yang besar dan berat itu.
Des! Desss!
"Augkhhh!"
Kedua tukang pukul itu jatuh terjengkang seraya memegangi wajahnya. Keduanya bergegas bangkit dengan hidung mengalirkan darah. Kemungkinan tulang hidungnya patah terbentur kepingan uang yang berat itu. Rasa sakit malah membuat mereka semakin garang! Tapi Kelana tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Sebelum kedua tukang pukul itukembali menerjang, tendangannya sudah datang menghempaskan tubuh mereka hingga rebah tak berkutik. Dada mereka remuk terkena tendangan keras yang dilancarkan Kelana.
"Pembunuh keji!" Lelaki bermuka tikus menjadi kalap. Ia berteriak-teriak dan menerjang dengan serangan-serangan yang lebih terarah daripada kedua kawannya yang telah menjadi mayat.
"Hm..." Kali ini Savitri yang mengambil tindakan. Belum lagi serangan lelaki bermuka tikus tiba, Savitri melepaskan sebuah tamparan keras ke wajah lawan. Kemudian menyusuli dengan tendangan keras!
Bukkk!
"Huakhhh.!" Tubuh lelaki bermuka tikus terlempar menjebol dinding papan di belakangnya. Darah segar termuntah dari mulutnya. Nyawanya pun melayang. Tendangan Savitri menghancurkan bagian dalam dadanya.
"Keparat! Siapa yang berani kurang ajar mengacau di tempat ini...?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam kamar majikan rumah judi. Seiring dengan terkuaknya pintu kamar, muncul seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Sepasang matanya menyorot garang meneliti wajah Kelana dan Savitri. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh hasrat saat melihat wajah cantik Savitri. Bahkan lelaki itu meneguk air liurnya beberapa kali. Agaknya sosok gadis cantik berpakaian serba merah itu telah menerbitkan keinginan kotor dikepalanya.
Savitri sendiri malah tersenyum memikat. Sepasang matanya mengerjap jenaka. Gadis itu sengaja memancing hasrat lawannya agar semakin menggebu. Rupanya Savitri suka memikat laki-laki mabuk akan kecantikannya. Lain halnya dengan Kelana. Pemuda itu menatap garang wajah lelaki berusia empat puluh tahun yang bagai serigala lapar menemukan tulang-tulang lezat. Tatapan tajam Kelana menyadarkan lelaki itu bahwa masih ada orang ketiga di antara mereka, ia pun mengalihkan pandang pada sosok Kelana. Mereka saling bertatapan beberapa saat.
"Kalian siapa...?" tegur lelaki dengan wajah terhias kumis tercukur rapi itu. Sepasang matanya berkilat menyembunyikan kemarahan ketika melihat tiga mayat anak buahnya.
"Aku Kelana. Sedangkan gadisku bernama Savitri. Puas?" sahut Kelana tandas.
"Hm.... Kalian pasti datang ke tempat ini mempunyai maksud lain, bukan? Nah, katakan apa maksud kalian sebenarnya...?" tanya lelaki itu dengan pandangan menyelidik.
"Hm.... Kabarnya rumah judi ini milik Raja Racun Muka Hitam. Dapatkah kau memberitahu tempat kediaman tokoh itu...?" ujar Kelana mengutarakan maksud kedatangan mereka.
Paras majikan rumah judi berubah tegang. Kalau sampai ada yang tahu siapa pemilik rumah judi ini, pasti orang itu bukan tokoh sembarangan. Sebab, Raja Racun Muka Hitam jarang dikenal tokoh sembarangan. Hanya tokoh-tokoh tertentu yang mengenal nama besar tokoh golongan sesat itu. Sadar kalau kedua orang muda itu tengah memperhatikan perubahan wajahnya, majikan rumah judi berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Kalau begitu, kalian salah alamat. Aku sungguh tidak mengenal nama aneh yang kalian sebutkan. Tapi meskipun begitu kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja. Kematian kawan-kawanku harus ada tebusannya...," mata lelaki itu mengerling ke arah Savitri.
Savitri yang tahu maksud ucapan majikan rumah judi segera melangkah maju. Ditatapnya wajah yang cukup gagah itu beberapa saat. Kemudian terdengar suaranya yang merdu memikat. "Apa yang kau kehendaki dari kami...?" tanya Savitri tersenyum manis. Hingga lelaki itu menduga hasratnya mendapat sambutan gadis itu.
"Asal kau bersedia menemaniku beberapa hari, cukuplah hal itu kuanggap sebagai balasannya...," tanpa malu-malu, majikan rumah judi mengutarakan keinginannya. Senyumnya tersungging membayangkan kenikmatan yang akan didapatnya dari gadis cantik itu.
"Hm.... Baik! Kalau begitu, kita mulai saja sekarang...," jawab Savitri membuat lelaki itu terhentak heran.
"Sekarang...?" ulangnya tak percaya.
"Ya. Sekarang! Bukankah kau ingin secepatnya...?" lanjut Savitri menegasi.
"Betul..., betul...!" tukas lelaki itu cepat dengan senyum semakin lebar, ia benar-benar tidak menyangka akan begitu mudah memperoleh gadis cantik yang menggiurkan itu.
"Kalau begitu, bersiaplah...!"
"Apa..., maksudmu...?" Lelaki itu kelihatan kaget melihat Savitri melangkah maju. Kendati gadis itu hanya berjalan biasa, namun ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi membuat sosok Savitri tahu-tahu telah berada di dekat majikan rumah judi. Dan....
Plakkk!
"Aughhh...!" Majikan rumah judi memekik kesakitan! Tubuhnya terpelanting ke kanan. Darah mengalir dari bibirnya yang pecah. Bahkan tamparan itu telah menanggalkan beberapa giginya.
"Perempuan setan...!" maki lelaki itu sambil sesekali merintih dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Terdengar teriakannya memanggil tukang-tukang pukul.
"Sekarang tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam! Atau kau ingin tanganku kembali menemanimu. ?" bentak Savitri siap memberikan tamparan berikutnya.
Saat itu enam orang tukang pukul berlompatan masuk. Namun, Kelana segera menyambut dengan menghantamkan kantung uangnya ke wajah dua orang tukang pukul. Kali ini Kelana menyalurkan tenaga dalamnya. Sehingga....
Prakkk, prakkk!
Tanpa sempat berteriak, kedua tukang pukul itu langsung tewas. Kepala mereka pecaholeh hantaman kantung yang berat itu. Dan selagi empat tukang pukul lainnya tertegun, Kelana kembali mengayunkan kantung uangnya. Maka....
Kembali dua orang tukang pukul menyusul dengan kepala pecah. Meski mereka berusaha mengelak, namun kecepatan gerak Kelana membuat mereka tidak sempat menyelamatkan diri. Kejadian itu memaksa yang lainnya bergerak mundur dengan wajah pucat. Empat orang kawan mereka dapat dirobohkan pemuda berpakaian serba merah itu hanya dengan dua kali gebrakan. Tentu saja mereka tidak menyangka hal itu terjadi demikian singkat.
"Hm.... Mengapa kalian tidak ikut maju...?" tantang pemuda tampan beralis tebal dengan mengejek.
"Haaattt…!"
Merasa diremehkan, harga diri kedua tukang pukul itu pun bangkit. Keduanya bergerak menerjang Kelana dengan putaran senjatanya yang mengaung tajam.
Bettt! Bettt...!
Kelana menarik kaki kanannya ke belakang. Kemudian berputar menghindari serangan kedua orang itu. Dan terus menghindari sampai lima jurus. Baru kemudian Kelana memberikan balasan dengan hangat!
Prakkk! Prakkk...!
Tidak sampai enam jurus tubuh kedua orang tukang pukul itu terjungkal roboh mandi darah. Kepala kawan-kawannya pecah terhantam kantung uang yang besar dan berat itu. Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Kelana bergerak menghampiri Savitri yang sedang berhadapan dengan majikan rumah judi. Keduanya tampak bertarung cukup seru dalam belasan jurus. Sejauh itu Savitri belum membalas. Kelihatannya gadis cantik itu sengaja hendak mempermainkan lawan.
DUA
Kelana berdiri menonton perkelahian itu. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Bibirnya tersenyum melihat gerakan mengelak Savitri yang luwes dan indah. Baginya gadis cantik itu bukan sedang bermain silat. Tapi tengah mempertunjukkan sebuah tarian yang indah. Sehingga Kelana tak bosan menikmati gerakan gadis cantik itu.
"Mampus...!" Majikan rumah judi membentak sambil melancarkan pukulan lurus ke arah dada Savitri. Namun, lagi-lagi gadis cantik itu dapat menghindari. Kali ini ia melompat agak jauh ke belakang.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu! Tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam, atau aku akan menghajarmu...!" ancam Savitri.
"Persetan denganmu! Haaattt...!"
Benar-benar keras kepala lelaki itu. Bukannya takut, malah ia kembali menerjang dengan ganas. Sikap itu mengundang kemarahan Savitri!
"Hm..." Kali ini Savitri tidak berusaha mengelak. Sambil menggumam dingin, tubuhnya tegak menanti tibanya serangan lawan. Kemudian...
Plakkk!
Majikan rumah judi memekik ketika serangannya disambut lengan Savitri. Tubuhnya terjajar mundur dengan wajah berkerut menahan sakit. Ia merasa lengannya membentur sebatang besi, bukan lengan manusia.
"Hendak kulihat sampai seberapa keras kulit tubuhmu...!" Belum lagi majikan rumah judi sempat memperbaiki kedudukan, Savitri sudah melayang dengan sebuah tamparan mengancam dadanya.
Plakkk!
"Aughhh...!" Tanpa ampun tubuh lelaki itu terjengkang membentur dinding di belakangnya. Dinding batu itu jebol! Jelas itu menandakan betapa kuatnya tamparan Savitri.
"Uhhh...!" Meski demikian, lelaki itu masih berusaha bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Dadanya sesak dan sulit sekali bernapas. Cairan merah semakin banyak mengalir dari mulutnya.
Savitri tak merasa tergerak untuk mengasihani lelaki itu. Langkahnya yang sengaja dihentakkan keras ke lantai membuat lelaki itu menengadah. Ada kilatan ketakutan pada sepasang matanya ketika melihat Savitri datang menghampiri.
Jebolnya dinding itu ternyata terdengar sampai ke ruangan tempat bermain judi. Beberapa pengunjung mendorong daun pintu ruangan itu hendak melihat apa yang terjadi.
"Hei! Kembali ke tempat kalian, atau kukirim ke neraka...!" Kelana langsung membentak. Bahkan bukan hanya mulutnya yang berbicara. Saat itu juga kakinya mengirim tendangan ke sosok paling depan.
Desss!
"Hukhhh...!" Tubuh lelaki kurus itu terjengkang menimpa orang-orang di belakangnya. Mereka jatuh saling tumpang tindih. Dan begitu bangkit langsung menghambur pergi. Bukan cuma meninggalkan ruangan itu, tapi meninggalkan rumah judi.
Sepeninggal orang-orang itu, Kelana membalikkan tubuh. Sementara Savitri mencekal leher baju majikan rumah judi dan memaksanya bangkit berdiri. "Kuberi kau kesempatan terakhir. Kalau tidak, kulit tubuhmu akan kusayat-sayat dengan ujung pedang!" kembali Savitri mengancam.
Sekilas terbayang kilatan ngeri pada sepasang mata lelaki yang sudah tidak berdaya itu. Namun ketika teringat siapa yang tengah dicari gadis cantik itu, hatinya menjadi tenang. Dicobanya menggertak Savitri. "Kalau kau sampai menyiksaku, itu sama artinya kau mencari mati, Perempuan Liar! Raja Racun Muka Hitam tidak akan mendiamkan pengikutnya dipecundangi orang...!"
"Hik hik hik...!" Savitri memperdengarkan tawanya mendengar ancaman itu, seperti merupakan sesuatu yang lucu baginya. Hingga lelaki itu menjadi heran dan tidak mengerti.
"Kau benar-benar bodoh, Kisanak! Justru kedatanganku mencari Raja Racun Muka Hitam untuk memberi pelajaran kepadanya. Boleh lihat nanti ia akan menurut segala perintahku!" ujar Savitri tidak gentar. Bahkan sesumbar hendak menaklukan Raja Racun Muka Hitam. Padahal siapa pun tahu tokoh itu merupakan datuk golongan sesat di daerah utara.
"Dusta...! Justru kaulah yang akan dipermainkannya sampai puas!" bantah lelaki itu tak percaya.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan menunjukkan bukti pertama...," tukas Savitri dingin. Kemudian meloloskan pedangnya yang memancarkan sinar kemerahan dan berhawa panas menyengat.
"Kau...! Apa..., apa yang hendak kau lakukan...?"
"Hm.... Bukankah sudah kukatakan tadi? Apa kau tuli...?" Savitri memperdengarkan kekehnya. Ujung pedangnya didekatkan ke tubuh majikanrumah judi yang pucat selebar wajahnya.
"Kau tidak akan berani melakukannya...!" Baru saja lelaki itu berteriak tidak percaya, tiba-tiba....
Srattt!
"Aaa...!" Darah segar mengalir dari tubuh majikan rumah judi yang terkelupas kulitnya. Lelaki itu menjerit-jerit kesakitan. Karena luka itu mendatangkan rasa nyeri dan panas yang sangat menyiksa!
"Hm..." Savitri hanya menggumam dingin. Ujung pedangnya kembali terjulur. Hawa panas menyengat yang lebih dulu tiba membuat lelaki itu berteriak kepanasan.
"Aaa.... Tobaaat.!"
Srattt...!"
Kembali kulit tubuh lelaki itu tersayat ujung pedang. Karuan saja majikan rumah judi itu meraung setinggi langit. Apa yang dirasakannya benar-benar sangat menyakitkan.
"Aku akan mengatakannya...! Aku menyerah...!" akhirnya keluar juga ucapan itu dari mulutnya.
"Bagus...! Kalau saja sejak tadi kau mengatakannya, tentu tidak perlu merasakan penderitaan seperti ini...," ujar Savitri tersenyum dingin. Ujung pedangnya ditarik pulang meski, tetap tergenggam ditangan.
Dengan suara tersendat-sendat menahan sakit, majikan rumah judi memberikan keterangan. Savitri mengangguk-angguk puas. Dan ketika semuanya telah jelas....
"Selamat jalan, Kisanak..."
Crakhhh...!
Darah segar muncrat ketika pedang Savitri menebas putus leher orang itu. Lalu terdengar tawanya yang dingin mendirikan bulu roma. Kemudian menoleh ke arah Kelana setelah menyarungkan senjatanya.
"Mari kita berkunjung ke tempat Raja Racun Muka Hitam...," ajak Savitri mendahului berkelebat. Kelana mengikuti.
********************
Setelah menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah Kelana dan Savitri di Kota Kadipaten Tampak Serang. Saat itu senja mulai datang. Sinar kuning keemasan menyemburat menghias cakrawala sebelah barat.
"Malam ini juga kita datangi Raja Racun Muka Hitam...," ujar Savitri tersenyum membayangkan betapa terkejutnya tokoh sesat itu melihat kedatangan mereka.
"Kita harus hati-hati, Savitri. Raja Racun Muka Hitam tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh lainnya...," Kelana mengingatkan gadis cantik itu agar tidak bertindak ceroboh. Kali ini yang dihadapi mereka adalah seorang datuk. Tentu saja ilmunya tidak bisa dipandang ringan.
"Hm.... Setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah', apalagi yang harus kita takuti, Kelana. Rimba persilatan akan kita kuasai. Bukankah itu sudah menjadi tekad kita bersama...?" kilah Savitri sangat yakin akan kepandaiannya. Gadis itu terkesan agak takabur.
"Tapi kau jangan lupa apa yang harus kita lakukan pada purnama mendatang..."
"Bereslah...," sahut Savitri tertawa renyah, membuat Kelana menjadi gemas. Dan kegemasan itu tidak dapat ditahan lagi.
"Eh, apa-apaan ini...?" pekik manja Savitri ketika merasakan tubuhnya dirangkul Kelana. Kendati demikian, gadis cantik itu tidak berusaha meronta. Bahkan tidak melawan ketika Kelana memondong tubuh moleknya.
Kelana yang sudah dibakar nafsu merebahkan tubuh Savitri di atas rerumputan. Hari memang telah gelap sehingga pemuda itu tidak khawatir akan ada yang melihat perbuatannya. Meski mereka telah berada dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Tampak Serang.
"Sabar dulu, Kelana..." Saat nafsu dalam dada Kelana sudah mencapai puncak, Savitri tiba-tiba mendorong tubuh Kelana yang menindihnya. Pakaian gadis cantik itu sudah tidak karuan.
"Mengapa, Savitri...? Kau tidak suka lagi kepadaku...?" Kelana yang sudah dikuasai nafsu setan menatap wajah di bawahnya tajam-tajam. Kilatan tak senang terpancar pada sepasang mata pemuda itu.
"Bukan begitu, Kelana. Tapi sebaiknya kita persiapkan tenaga untuk menghadapi Raja Racun Muka Hitam. Aku tidak ingin menemui kegagalan...," sahut Savitri memberi penjelasan atas penolakannya.
"Tapi aku sudah tidak bisa menahan lagi, Savitri..," Kelana masih membantah.
"Mengapa harus marah, Kelana? Bukankah selama ini aku tidak pernah menolak? Kalau sekarang aku menolak, itu demi kepentingan kita berdua. Setelah urusan dengan Raja Racun Muka Hitam selesai, terserah hendak kau apakan diriku."
"Huhhh...!" Kelana mendengus kesal seraya bangkit dan merapikan pakaiannya. Tampaknya ia masih jengkel dengan penolakan Savitri, kendati maklum dengan alasan yang diberikan gadis itu.
"Ayolah, Kelana. Mengapa mesti marah...? Bukankah aku sudah menyerahkan diriku bulat-bulat kepadamu? Jangan buat aku sedih, Kelana..." Savitri bergayut manja di bahu pemuda tegap itu. Kata-katanya yang mirip desahan membuat hati Kelana tergelitik. Apalagi ia merasakan belaian jemari lembut di wajahnya. Kalau sudah begitu, luluhlah kemarahan dan kejengkelan dihatinya.
"Nah, begitu baru betul...," seru Savitri tersenyum melihat wajah tampan itu kembali cerah. Bahkan Kelana sudah tersenyum seperti sedia kala.
"Maafkan sikapku, Savitri. Marilah sekarang kita datangi Raja Racun Muka Hitam, agar aku dapat bebas menumpahkan cintaku kepadamu...," ujar Kelana segera mengajak Savitri meninggalkan tempat itu.
Begitu memasuki kota kadipaten, keduanya langsung menuju sebuah bangunan besar yang di kiri-kanan gerbangnya terdapat patung ular kobra. Begitu menurut keterangan yang didapat dari majikan rumah judi yang dibunuh Savitri.
Raja Racun Muka Hitam memang tidak dapat disamakan dengan datuk-datuk persilatan lainnya. Kendati namanya telah menggetarkan rimba persilatan, namun jarang orang pernah berjumpa atau melihat wajahnya. Bahkan tempat kediaman tokoh itu tidak banyak yang tahu. Orang tidak akan pernah menyangka Raja Racun Muka Hitam memiliki tempat di dalam Kota Kadipaten Tampak Serang. Bahkan merupakan salah satu orang terkaya di kadipaten itu.
Savitri dan Kelana yang merasa yakin bangunan besar itu tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam, segera bergerak masuk melalui atap rumah-rumah penduduk. Kemudian melayang turun di halaman belakang yang merupakan sebuah taman.
"Kau tunggu di sini. Biar aku yang menyelusup dan memberikan surat tantangan ini kepada datuk sesat...," ujar Kelana tegas tanpa ingin mendengar bantahan Savitri.
"Baiklah. Hati-hati...," pesan Savitri sebelum Kelana melesat meninggalkan taman.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak sulit bagi Kelana menyusup masuk mencari Raja Racun Muka Hitam. Kalau melihat caranya bergerak, tampak jelas kepandaian pemuda tegap itu telah maju pesat. Mungkin ilmu 'Silat Naga Merah' yang disebut-sebut Savitri yang menjadi penyebabnya.
Saat itu Raja Racun Muka Hitam tengah terbahak bercengkerama dengan empat orang gadis muda berwajah cantik. Tampaknya datuk sesat ini mengetahui dengan pasti bagaimana menikmati kekayaan yang dimilikinya. Maka meskipun usianya telah mencapai lima puluh lima tahun, namun semangat dan gairahnya tidak kalah dengan pemuda dua puluh tahun. Benar-benar hebat datuk sesat itu.
Karena datuk sesat itu berada di tempat agak terbuka dan dapat terlihat dari taman samping, tidak sulit bagi Kelana menemukannya. Apalagi tawa Raja Racun Muka Hitam sering terdengar. Kelana menggeleng-geleng kepala melihat datuk sesat itu tengah bergelimang kesenangan dunia. Cepat ia menyalurkan tenaga dalamnya dan melemparkan gulungan surat ke arah Raja Racun Muka Hitam.
Wuttt...!
Sambaran angin halus yang ditimbulkan gulungan surat sepanjang satu jengkal itu membuat Raja Racun Muka Hitam tersentak. Wajahnya memperlihatkan ketidaksenangan yang sangat.
"Keparat...!" desisnya geram. Tanpa bergerak dari tempat duduknya, datuk sesat itu mengulur tangan dengan telapak membuka. Dan....
Tappp!
Enak saja gulungan surat itu tertanggap tangannya. Wajahnya yang hitam menyiratkan kekagetan. Telapak tangan datuk sesat itu bergetar saat menerima gulungan surat. Tahulah Raja Racun Muka Hitam kalau pelempar surat itu bukan orang sembarangan.
"Kembalilah ke tempat kalian...!" ujar Raja Racun Hitam kepada empat orang wanitamuda yang menemaninya.
Meskipun wajah keempatnya menggambarkan keheranan, namun perintah lelaki bertubuh gendut itu tidak dibantah. Mereka beranjak bangkit dan meninggalkan Raja Racun Muka Hitam seorang diri di tempat itu.
Sepeninggal keempat gundiknya, Raja Racun Muka Hitam membuka gulungan surat ditangannya. Wajah yang hitam itu tampak semakin gelap setelah membaca tulisan di dalamnya.
"Raja Racun Muka Hitam! Kutunggu kedatanganmu di hutan sebelah utara kadipaten ini. Datanglah jika tidak ingin kehidupanmu rusak! Sepasang Naga Merah."
"Bedebah...!" desis Raja Racun Muka Hitam geram. Di remasnya pegangan kursi panjang terbuat dari kayu jati pilihan yang didudukinya.
Kresss...!
Hebat bukan main! Pegangan kursi yang kuat itu hancur. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan tenaga dalam kakek gendut bermuka hitam itu.
Kelana yang berada beberapa tombak dari tempat itu menatap takjub. Kepandaian Raja Racun Muka Hitam ternyata memang sangat tinggi. Cepat Kelana melangkah perlahan. Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
"Hm..." Raja Racun Muka Hitam menangkap desiran angin halus. Tapi tokoh sesat itu tidak berusaha mengejar, ia tahu orang itu akan ditemuinya malam ini. Selain itu, calon lawannya berkapandaian tinggi. Alasan-alasan itu membuatnya tidak berkeinginan untuk mengejar.
"Tunggulah! Kalian benar-benar mencari mati!" geram datuk sesat itu beranjak bangkit untuk bersiap memenuhi undangan, ia sadar kehidupannya akan rusak bila tantangan itu tidak dipenuhi. Rahasia yang selama ini dipendamnya rapat-rapat akan terbongkar. Dan tidak mungkin dapat tinggal di Kota Kadipaten Tampak Serang lagi dengan bergelimang kesenangan.
"Sepasang Naga Merah...? Mungkin mereka tokoh baru dalam kalangan persilatan. Aku belum pernah mendengar namanya...," gumam datuk sesat itu seraya melangkah pergi.
TIGA
Raja Racun Muka Hitam melesat meninggalkan tempat kediamannya. Tujuannya sebuah hutan di utara Kadipaten Tampak Serang. Rupanya Raja Racun Muka Hitam tidak akan membiarkan Sepasang Naga Merah merusak kehidupannya. Siapa yang berani mengganggunya berarti kematian, begitu jalan pikiran datuk sesat itu. Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi, sebentar saja Raja Racun Muka Hitam telah berada di tempat yang dituju. Langkahnya diperlambat saat melihat dua sosok tubuh menantinya di sebuah tempat yang agak terbuka.
"Hm..." Terdengar suara gumaman dingin Raja Racun Muka Hitam. Tokoh sesat itu menghentikan langkahnya satu tombak di depan dua sosok bayangan yang menunggunya. Ditatapnya wajah kedua penantangnya. Kening Raja Racun Muka Hitam agak berkerut. Kedua orang yang mengaku Sepasang Naga Merah ternyata masih sangat muda.
"Kaliankah yang berjuluk Sepasang Naga Merah...?" tegur datuk sesat itu dengan suaranya yang parau dan berat.
"Bagus kau mau datang memenuhi undangan kami, Raja Racun Muka Hitam. Itu artinya kau masih menginginkan kehidupan seperti yang sekarang kau jalani..." ucapan itu dikeluarkan sosok ramping berpakaian serba merah. Siapa lagi orang itu kalau bukan Savitri.
Kelana yang berdiri di sebelah kanan Savitri diam mendengarkan. Pemuda itu belum ingin mencampuri. Matanya menegasi sosok Raja Racun Muka Hitam. Dugaannya tentang seorang lelaki tinggi besar dengan wajah penuh brewok ternyata meleset. Sosok Raja Racun Muka Hitam jauh dari dugaannya.
"Hmh...!" Raja Racun Muka Hitam mendengus kasar.
"Jadi, kalian yang berjuluk Sepasang Naga Merah..?" tanyanya meyakinkan. Sebab bukan mustahil kedua orang itu hanya pengikut.
"Benar. Dan kami sengaja mengundangmu ke tempat ini," kali ini Kelana yang menyahuti.
"Apakah kalian sadar bahwa mempermainkan Raja Racun Muka Hitam sama artinya dengan bunuh diri...?" tukas Raja Racun Muka Hitam menatap wajah kedua orang itu penuh ancaman.
"Maksudku bukan hendak mempermainkanmu, Raja Racun Muka Hitam. Tapi untuk mengajak bergabung dengan kami. Tentu saja kau harus berada di bawah perintah kami..," lagi Kelana menyahuti. Rupanya Savitri telah menyerahkan segala keputusan kepada pemuda tampan yang telah menjadi kekasihnya.
"Hua ha ha...!" Raja Racun Muka Hitam tergelak sampai perut buncitnya berguncang-guncang, ia merasa lucu dengan ucapan Kelana.
"Kalian benar-benar menggelikan! Anak masih bau kencur sudah mau bertingkah macam-macam. Sampai-sampai berani menggertak Raja Racun Muka Hitam. Tapi ingin kudengar rencana kalian. Nah, katakanlah...?" pinta Raja Racun Muka Hitam bernada memerintah.
"Sudah kubilang kami ingin mengajakmu bergabung. Kami akan menjadi pimpinan seluruh tokoh golongan hitam di negeri ini...," jelas Kelana lantang dan yakin akan kemampuannya.
"Bagus... bagus! Jalan pikiran kalian memang sangat baik dan patut mendapat dukungan. Tapi hendak kulihat apakah kemampuan kalian juga sebesar sesumbarnya! Nah, bersiaplah...!" Selesai berkata. Raja Racun Muka Hitam menggeser langkahnya. Datuk sesat itu melontarkan serangan.
Sadar siapa lelaki gemuk bermuka hitam itu, Kelana dan Savitri merenggang. Mereka siap menghadapi Raja Racun Muka Hitam bersama-sama. Kelana bergerak dari sebelah kanan. Kedua lengannya diputar dan kaki kanan diangkat setinggi lutut. Jurus yang digunakan tampak aneh. Perubahan geraknya pun mengagumkan. Raja Racun Muka Hitam sampai mengerutkan kening.
Savitri yang bergerak dari sebelah kiri juga melakukan gerakan serupa. Sehingga, Raja Racun Muka Hitam yang menoleh ke arah gadis cantik itu mulai mengerti lawannya menggunakan ilmu berpasangan.
"Hm.... Inikah ilmu 'Silat Naga Merah'...?" gumam Raja Racun Muka Hitam menggeser tubuhnya ke kanan. Raja Racun Muka Hitam sadar jurus yang dipergunakan kedua lawannya cukup ampuh dan berbahaya. Tokoh sesat itu tidak berani memandang rendah. Itu dapat dilihat dari gerak langkahnya yang hati-hati.
"Haiiittt...!"
Savitri memulai serangan dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan dada. Gadis cantik itu mengerahkan tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengacaukan pikiran lawan.
Bettt, bettt...!
Sekali bergerak Savitri melancarkan serangkaian serangan. Bagian-bagian yang menjadi sasaran adalah jalan darah yang berbahaya.
Raja Racun Muka Hitam maklum akan serangan maut itu. Kendati terlihat lambat, Raja Racun Muka Hitam langsung membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan sambaran angin tajam.
"Haaattt...!"
Belum lagi serangan datuk sesat itu tiba, terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan meluncurnya tubuh Kelana ke arena pertempuran. Raja Racun Muka Hitam terpaksa menunda serangan. Serangan Kelana sangatlah berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari serangan yang dilancarkan Savitri.
Plakkk, plakkk!
Raja Racun Muka Hitam memutar serangannya untuk menyambut gempuran Kelana. Tokoh sesat itu tergetar mundur beberapa langkah. Benturan ke dua pasang lengan mereka membuat wajah datuk sesat itu berubah.
"Hebat..!" puji Raja Racun Muka Hitam. Mau tidak mau ia harus mengakui kekuatan tenaga dalam pemuda tampan berpakaian serba merah itu.
"Kau pun hebat Raja Racun Muka Hitam...!" seru Kelana yang juga merasakan kehebatan datuk sesat itu. Dalam hal kekuatan tenaga dalam tampaknya mereka berimbang.
"Tapi jangan merasa bangga dulu, Bocah! Lihat seranganku selanjutnya...!" baru sajaucapannya selesai, Raja Racun Muka Hitam melesat dengan sangat cepat laksana sambaran kilat.
Bettt, bettt, bettt...!
Sepasang lengan datuk sesat itu bergerak susul-menyusul disertai decitan angin tajam. Serangannya kali ini dilakukan dengan kekuatan penuh!
Namun Kelana sedikit pun tidak melayani. Savitri-lah yang datang menghadang dan membendung gempuran lawan. Sesekali serangan balasan gadis cantik itu meluncur dengan cepat. Tapi begitu Raja Racun Muka Hitam melancarkan serangan, Savitri menghindar digantikan Kelana yang langsung melancarkan gempuran-gempuran maut. Kerja sama yang baik itu membuat Raja Racun Muka Hitam kewalahan. Apalagi ketika Kelana dan Savitri menyerbu bersamaan. Terpaksa Raja Racun Muka Hitam berloncatan menghindar. Ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Datuk sesat itu harus puas bermain mundur.
"Heyaaahhh...!"
Rasa panasaran membuat Raja Racun Muka Hitam berbuat nekat dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, datuk sesat itu membentak keras. Kedua tangannya didorongkan ke depan hingga menimbulkan deruan angin keras yang sanggup menghempaskan benda-benda di depannya. Tapi...
"Haiiit...!"
"Hahhh...!"
Bersamaan dengan dorongan kedua telapak tangan Raja Racun Muka Hitam, Kelana dan Savitri memekik nyaring. Tubuh keduanya melenting ke udara. Serangan dahsyat pun mengenai angin kosong! Bahkan....
Brertt! Desss!"
Raja Racun Muka Hitam mengeluh pendek. Kedua lawannya mengirim serangan telak selagi mereka berada di udara. Akibatnya, tubuh gendut itu jatuh terguling. Bahu kanannya berdarah terkena cakaran Savitri. Sedangkan punggungnya nyeri akibat tendangan Kelana.
"Kurang ajar...!" Raja Racun Muka Hitam menggeram murka. Tubuhnya melenting bangkit. Wajah hitam itu semakin bertambah hitam. Sepasang matanya menyiratkan nafsu membunuh.
"Itu belum seberapa. Raja Racun Muka Hitam! Kalau kau masih belum mau tunduk, kami akan memberi pelajaran yang lebih berat...!" ujar Savitri dengan tawa mengejek. Tentu saja ucapan itu membuat darah Raja Racun Muka Merah semakin mendidih.
"Hmh...!" Sambil memperdengarkan dengusan mirip banteng marah, lelaki gemuk itu menyiapkan jurus-jurus selanjutnya. Sepasang tangannya bergerak ke kiri dan kanan menerbitkan hembusan angin keras hingga menggoyangkan dedaunan. Tampaknya amukan Raja Racun Muka Hitam kali ini sangat berbahaya.
Kelana dan Savitri sadar betul akan kedahsyatan ilmu lawan. Mereka tidak berpencar seperti tadi. Tapi memainkan jurus-jurus semula dengan tubuh agak merapat saling baradu punggung.
"Jeaaahhh...!"
"Haaahhh...!"
Seiring dengan bentakan-bentakan keras, tubuh keduanya bergerak maju. Kelihatannya mereka telah menyatukan kekuatan untuk menghadapi Raja Racun Muka Hitam. Dan...
"Haaattt.!"
Raja Racun Muka Hitam datang menyerang dengan kedahsyatannya. Tanah di arena pertarungan berguncang saat datuk sesat itu berlari. Daun-daun berguguran. Dan angin puting beliung tercipta mengiringi serbuan Raja Racun Muka Hitam.
Wusss!
Serbuan angin dahsyat itu tidak membuat Kelana dan Savitri gentar. Mereka menyambutnya dengan dorongan tangan mereka dalam kuda-kuda silang yang kokoh!
"Heaaa...!"
Blarrr!
Dua gelombang tenaga dalam tingkat tinggi saling berbenturan di udara. Ledakan dahsyat laksana petir menggelegar. Tanah tempat terjadinya pertarungan bergetar hebat digoncang gempa. Dan tubuh ketiga petarung terpental balik dua sampai tiga tombak ke belakang!
Brukkk!
Raja Racun MukaHitam tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Tubuh gendutnya terbanting ke tanah dengan keras. Kemudian....
"Huakh...!" Darah kental termuntah dari mulutnya. Raja Racun Muka Hitam mengalami luka dalam yang cukup parah!
Lain halnya dengan Kelana dan Savitri. Mereka dapat mengatasi daya lontar itu dengan baik. Diiringi bentakan nyaring, keduanya berputaran beberapa kali. Dan meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Dari sini dapat dilihat kekuatan gabungan mereka jauh lebih hebat dari kekuatan lawan.
Melihat pasangan muda yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah sedikit pun tidak terluka, Raja Racun Muka Hitam melenggak kaget. Heran bukan main datuk sesat itu. Dalam serangan terakhirnya ia kerahkan tenaga beracun. Tapi, Sepasang Naga Merah tetap segar bugar!
"Kalian... memiliki ilmu penawar racun...?!" tanya Raja Racun Muka Hitam tidak percaya dengan penglihatannya.
"Hm... Tak ada satu racunpun mampu melukai kami, Raja Racun Muka Hitam. Kalau tidak, untuk apa kami begitu tolol berani menentangmu yang terkenal sebagai raja racun. Perlu kau ketahui bahwa jurus 'Naga Merah Bertapa' sanggup menawarkan segala jenis racun! Jurus itulah yang kami pergunakan untuk menyambut seranganmu..," jelas Savitri membuat kerutan pada kening Raja Racun Muka Hitam semakin dalam.
"Jurus 'Naga Merah Bertapa'...?" desis Raja Racun Muka Hitam mengulang ucapan Savitri. "Rasanya aku pernah mendengar nama jurus itu...? Sayang aku lupa entah kapan dan dimana...?"
"Hm.... Agar kau tidak penasaran, baiklah kami beritahu dari mana ilmu ini kami dapat," lanjut Savitri tersenyum puas. "Kau pasti tahu sebuah perguruan besar yang kabarnya merupakan pusat ilmu-ilmu tinggi, bukan...?"
"Perguruan Gunung Naga...?!" Raja Racun Muka Hitam terkejut bukan main. Tentu saja ia mengenal dengan baik nama perguruan itu. Bahkan hampir semua tokoh persilatan mengenalnya. Sayang Perguruan Gunung Naga sangat tertutup bagi orang luar. Kebanyakan murid perguruan itu pertapa-pertapa soleh. Mereka lebih suka mengucilkan diri daripada mengurusi kehidupan dunia yang penuh kekerasan dan tipu muslihat. Raja Racun Muka Hitam menatap tajam sepasang orang muda itu. Timbul satu dugaan dalam pikirannya. Ilmu yang digunakan kedua orang berpakaian serba merah itu memperkuat dugaannya.
"Kau kaget, Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Kelana yang rupanya dapat menebak jalan pikiran datuk sesat itu.
"Jadi kalian berdua...?!"
"Ya. Kami berhasil mencuri sebuah kitab ilmu silat yang sangat langka," potong Kelana sebelum Raja Racun Muka Hitam menyelesaikan kalimatnya, "Itu membuktikan kami pantas menjadi pimpinan golongan hitam..," tandas Kelana.
"Hua ha ha.... Hebat.., hebat...! Aku benar-benar kagum dengan keberanian kalian! Aku yakin pertapa-pertapa tolol itu akan kelabakan...!" Raja Racun Muka Hitam sangat puas dengan cerita yang dituturkan Kelana.
"Jadi kau menerima kalau aku menjadi pimpinan golongan kita yang selalu dilecehkan golongan putih...?" kali ini Savitri yang bertanya.
"Hm... Melihat kehebatan kalian memang tidak diragukan lagi masa kejayaan golongan hitam akan segera tiba..." ujar Raja Racun Muka Hitam. "Aku siap bantu mewujudkan cita-cita mulia itu."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya," tukas Kelana tersenyum.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya...?" tanya Raja Racun Muka Hitam.
"Setelah kawan-kawan yang lain terkumpul, tujuan pertama adalah melenyapkan Pendekar Naga Putih! Ia merupakan halangan terbesar cita-cita kita. Mulai hari ini kumpulkan semua pengikutmu. Aku akan datang menghubungimu," jelas Kelana memberi petunjuk.
"Baik," jawab Raja Racun Muka Hitam tanpa membantah.
"Sekarang kami akan pergi menundukkan tokoh-tokoh lain agar mereka mau bergabung dengan kita. Laksanakan tugasmu dengan baik, Raja Racun Muka Hitam...!" ujar Kelana. Kemudian melesat bersama Savitri meninggalkan tempat itu.
Raja Racun Muka Hitam mengangguk pasti. Tubuhnya baru bergerak setelah bayangan Kelana dan Savitri lenyap ditelan kegelapan malam. Suasana di tempat itu kembali hening dan sepi. Desiran angin lembut menemani nyanyian binatang-binatang malam.
********************
"Ke mana kita, Kakang. ?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau yang melangkah di samping pemuda tampan berjubah putih. Mereka sudah pasti Panji dan Kenanga.
"Mencari keterangan tentang pemuda berpakaian serba merah yang memusuhiku. Kalau tidak salah namanya Kelana. Aku penasaran ingin mengetahui penyebab ia memusuhiku..," sahut Panji tanpa menghentikan langkahnya. Saat itu mereka tengah menelusuri padang rumput yang cukup luas.
(Bagi pembaca yang belum mengetahui permusuhan Panji dengan Kelana, silakan membaca episode Petulang Sakti yang merupakan episode pertama Sepasang Naga Merah)
"Hm..." Kenanga bergumam tak jelas. Kening gadis itu tampak berkerut.
"Ada apa, Kenanga? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Panji menoleh ketika mendengar Kenanga hanya bergumam menanggapi ucapannya.
"Aku memang sedang berpikir, Kakang. Rasanya ada yang janggal dalam diri Kelana..," sahut Kenanga memandang kekasihnya.
"Maksudmu..., Kelana telah terpengaruh Savitri...?" tanya Panji, ia pun menduga Kelana tidak sejahat seperti yang mereka hadapi. Kalau pemuda itu kelihatan ganas, mungkin karena ingin membalas dendam atas kematian kedua orangtuanya.
"Aku tidak bisa memastikan. Tapi kelihatannya memang begitu. Orang yang tengah dikuasai dendam seperti Kelana akan mudah terjebak orang-orang sesat. Mungkin itu yang terjadi pada diri Kelana..," jelas Kenanga.
"Ha... Aku baru ingat sekarang...!" tiba-tiba Panji berkata agak keras.
"Apa yang kau ingat, Kakang...?" tanya Kenanga penasaran. Karena dilihatnya wajah Panji berubah cerah.
"Bukankah belakangan ini muncul seorang tokoh yang berjuluk Petualang Sakti? Nah, ciri-ciri Kelana sangat cocok. Kemungkinan besar dialah Petualang Sakti...!" jawab Panji agak lega. Dengan mengenal siapa pemuda berpakaian merah itu, ia akan lebih mudah mengusut asal-usul Kelana. Dengan begitu mungkin dapat diketahui penyebab pemuda itu sangat memusuhinya.
"Ah. Kau benar, Kakang. Tapi julukan Petualang Sakti telah lenyap dan tidak akan muncul lagi. Kau mungkin tahu sebabnya...," tukas Kenanga yang juga pernah mendengar mengenai seorang pemuda tegap berpakaian merah yang dijuluki Petualang Sakti.
"Maksudmu mereka telah mempunyai julukan baru, yang saat ini tengah ramai dibicarakan orang...?" tegas Panji menatap kekasihnya lekat-lekat.
"Tidak salah, Kakang. Pasti merekalah yang belakangan ini terkenal sebagai Sepasang Naga Merah. Sebab kalau melihat warna pakaian mereka yang sama, jelas mereka sangat tepat menggunakan julukan itu. Sepertinya Kelana telah terseret semakin jauh...," tukas dara jelita itu membenarkan dugaan Panji. Belakangan ini mereka memang sering mendengar tentang Sepasang Naga Merah yang kabarnya memang sering banyak meminta korban.
"Hm..., Kalau begitu akan lebih mudah lagi kita mencari petunjuk asal-usul Kelana...," ujar Panji semakin lega. Karena menurutnya cukup banyak tokoh sesat yang mengenal pemuda berpakaian serba merah itu.
"Benar, Kakang..."
"Ayolah kita bergegas...!"
Tanpa banyak cakap, Kenanga segera melesat mengikuti langkah Panji yang sudah lebih dulu. Sebentar saja bayangan keduanya lenyap di kejauhan.
********************
EMPAT
Sang Dewi Malam baru saja usai menunaikan tugasnya. Semburat kemerahan menghiasi cakrawala timur. Suara kokok ayam jantan terdengar saling bersahutan. Dan hembusan angin bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan. Saat itu, sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih tampak berlari cepat meninggalkan tepian sungai. Wajahnya yang segar dibasahi butiran air bening. Agaknya sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu baru saja selesai membersihkan tubuh. Gerakannya ringan saat ia berloncatan di atas jalan berbatu.
"Ada apa, Kakang? Mengapa berlari-lari seperti itu...?"
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau menyambut kedatangan pemuda tampan berjubah putih itu. Wajahnya yang segar menampakkan keheranan. Jelas sikap pemuda itu lain dari biasanya. Kalau tidak, mana mungkin dara jelita itu merasa heran.
"Cepatlah ikut aku, Kenanga! Rasanya ada pertempuran di sekitar tempat ini...!" sahutpemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji atau Pendekar Naga Putih. Meski gambaran keheranan masih terbayang di wajahnya, Kenanga tidak membantah.
Setelah menyambar buntalan pakaian, dara jelita itu melesat mengikuti langkah Panji. "Di sebelah mana, Kakang...?" tanya dara jelita itu seraya mempercepat larinya untuk menyejajari langkah Panji.
"Menurut perhitunganku mungkin berada di sebelah timur sungai...," sahut Panji tanpa mengurangi kecepatan larinya.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tidak sulit bagi pasangan pendekar muda itu menemukan sumber suara pertempuran. Sebentar saja mereka telah tiba di sebuah dataran yang agak tinggi. Di tanah yang tidak rata karena banyak bebatuan itu sebuah pertempuran tengah berlangsung cukup seru. Panji dan Kenanga menghentikan larinya. Lalu berdiri menonton dalam jarak dua tombak.
"Orang-orang kasar yang tengah melawan dua orang berpakaian pertapa itu jelas bukan orang baik-baik, Kakang. Melihat buntalan-buntalan kain besar yang tergeletak di atas tanah, tampaknya mereka baru saja menjarah desa. Mungkin dua orang tua yang berpakaian pertapa itu memergokinya, kemudian mengejar sampat ke tempat ini...," ujar Kenanga mereka-reka.
"Hm.... Kemungkinan besar memang begitu. Mari kita lihat lebih dekat...," ajak Panji.
Belum lagi mereka melangkah maju, tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan. Salah satu dari belasan orang kasar terpental dan melayang ke arah Panji dan Kenanga. Meskipun tahu yang terpental bukan orang baik-baik, tapi Panji mengulurkan tangan menangkap sosok itu agar tidak terbanting ketanah.
"Huppp!"
Dengan jari-jari tangan kanannya, Panji menyambar leher baju bagian belakang orang itu. Tangannya dilemaskan mengikuti daya lontar tubuh lelaki itu. Kemudian menurunkannya dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi, sosok tubuh itu melorot jatuh.
"Hm.... Rupanya ia pingsan...," gumam Panji. Melihat lelehan darah di sudut bibir lelaki kasar itu, Panji tahu ia terluka dalam yang parah. Tubuh yang tak sadarkan diri itu ditinggalkan begitu saja. Kemudian mereka melangkah lebih dekat. Mendadak...
"Hm.... Rupanya masih ada kawan cecunguk-cecunguk ini yang hendak memberi bantuan...!" ucapan perlahan salah seorang pertapa segera disusul dengan lesatan tubuhnya. Tanpa banyak bicara, diserangnya Panji yang berada sedikit di depan kekasihnya.
"Hei, tunggu...!" Panji berseru mencegah. Pemuda itu sempat terkejut melihat kehebatan serangan pertapa. Sayang serangan itu tidak bisa dicegah Panji terpaksa mengangkat lengan kanannya, lalu diputar untuk memapaki serangan itu.
Plakkk, plakkk...!
"Aihhh...?!"
Karena tidak ingin menderita kerugian, Panji mengerahkan setengah lebih tenaga dalamnya. Pukulan pertapa pun membalik bagai membentur hendak kenyal. Wajah pertapa itu tampak kaget merasakan tubuhnya terpental ke belakang.
"Haiiit...!" Terdengar bentakan nyaring disusul berputarnya tubuh pertapa. Lalu meluncur turun dengan kedua kaki lebih dulu. Ditatapnya sosok Panji dengan tajam.
"Hm.... Rupanya yang datang gembong perampok-perampok busuk itu! Tapi jangan berbesar hati dulu. Lihat seranganku berikutnya...!" desis pertapa berusia enam puluh lima tahun itu. la menyiapkan jurus-jurus barunya untuk menghadapi Panji dan Kenanga yangdikiranya kawan perampok-perampok itu.
"Tunggu dulu, Ki! Kau salah paham...!" Panji berseru mencegah. Tangannya terulur ke depan dengan telapak membuka. Maksudnya hendak memberi keterangan. Tapi....
Pertapa itu rupanya beranggapan lain. Dikiranya gerakan itu sebuah serangan. Maka dengan cepat langkahnya digeser. Kemudian kembali melesat dengan serangan yang jauh lebih hebat.
"Haaat...!"
Bettt, bettt, bettt...!
Hebat dan cepat bukan main serangan pertapa itu. Panji terlihat agak kewalahan. Satu dua pukulan dapat dielakkan. Tapi pada pukulan berikutnya....
Wuttt..., desss.!
"Uhhh...!" Panji terjajar mundur setengah tombak. Wajah pemuda itu berkerut menahan sakit pada dada kanannya. Untunglah pukulan itu tidak terlalu telak. Sehingga Panji tidak sampai terluka dalam. Tapi darahnya sempat naik kekepala.
"Eyang, sabarlah! Ini hanya salah paham saja...!" Panji kembali berseru menyadarkan pertapa itu. Kendati kemarahannya sempat terpancing, ia masih berusaha mengingatkan.
"Tidak perlu banyak cakap. Aku tahu akal licikmu, Manusia Bejat. Sebaiknya siapkan saja ilmumu agar tidak menyesal bila sampai tewas di tanganku...!" pertapa itu belum juga menyadari kekeliruannya, ia kembali menyiapkan serangan-serangannya.
"Pertapa keras kepala...!" Kenanga geram melihat kekasihnya terkena pukulan lawan. Jurusnya disiapkan untuk menghadapi pertapa itu. Tapi Panji cepat mencegah. Sehingga, Kenanga hanya bisa memendam kejengkelannya.
"Hmh...!" Sadar kalau pertapa itu harus diingatkan dengan kekerasan, Panji segera mengerahkan "Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan saat serangan pertapa datang mengancam, ia segera melayani dengan ilmu 'Silat Naga Putih'. Karena pertapa itu bukan orang sembarangan.
"Heaaat...!"
Panji berseru keras. Tubuhnya meluncur menyambut serangan lawan. Hawa dingin yang menyebar dari tubuh maupun setiap gerakan tangannya membuat udara di sekitar tempat itu berubah. Pancaran hangat sinar matahari pagi tidak lagi terasa. Yang ada hanya hawa dingin mengigit tulang. Karuan saja pertapa itu kaget bukan main!
"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya ketika mengetahui siapa lawan yang dihadapi.
Sayang kesadaran itu agak terlambat datangnya. Saat itu jarak mereka sudah sangat dekat. Serangan-serangan Panji datang laksana badai salju. Sehingga, pertapa itu harus membagi tenaganya untuk melawan serbuan hawa dingin dan melancarkan serangan. Akibatnya ia kerepotan sendiri. Sampai akhirnya....
Plakkk, plakkk, plakkk!
"Aaakh...!" Meski dapat menepiskan dua serangan pertama, namun hantaman telapak tangan kanan Panji berhasil menggempur pertahanan lawan, dan langsung menghajar dada kanan pertapa tua itu. Tubuh tinggi kurus itu pun terlempar ke belakang. Untunglah Panji tidak berniat membunuh. Pertapa itu masih dapat berputaran dan jatuh ke tanah dengan selamat,walau cairan merah meleleh dari sudut bibirnya.
"Kakang Sarwa Dipa...?!" Pertapa lain yang bertubuh gemuk pendek berseru kaget. Tubuhnya mencelat memburu, ia agak lega ketika melihat kawannya tidak mengalami luka parah. Kendati demikian, rasa cemas masih membayang di wajahnya
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tanya pertapa pendek gemuk itu kepada pertapa tinggi kurus.
"Tidak perlu khawatir. Adi Garma Dipa. Rupanya pemuda itu tidak bersungguh-sungguh melancarkan serangannya. Kalau tidak, bukan mustahil aku sudah tidak bisa bernapas lagi...," jawab Ki Sarwa Dipa agak terengah. Tapi, bibirnya menyunggingkan senyum aneh. Entah apa artinya?
Panji bergegas menghampiri kedua pertapa itu. Sekarang ia yakin mereka tidak akan menyerangnya. Karena menurutnya mereka sudah dapat menduga siapa dirinya. Tapi, Panji segera menahan langkahnya dengan sikap curiga. Dilihatnya kedua pertapa itu menganggukkan kepala, kemudian bergerak merenggang. Sikap mereka jelas bukan pertanda baik. Maka Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Eyang berdua harap bersabar. Percayalah ini hanya kesalah pahaman...," Panji kembali berusaha menerangkan.
Tapi kedua pertapa tua itu tidak peduli. Mereka terus merenggang mengambil sikap mengeroyok. Hingga kening Panji berkerut dalam.
"Jaga saja serangan kami, Pendekar Naga Putih...," ujar Ki Sarwa Dipa mengingatkan,ia sudah bersiap melancarkan serangannya.
Kening Panji semakin berkerut dalam mendengar pertapa tinggi kurus itu menyebut julukannya. Sebab melihat penampilannya, Panji tahu kedua pertapa itu orang-orang golongan putih. Yang membuat Panji tak habis mengerti, mengapa mereka masih juga bersikap memusuhi setelah mengetahui siapa dirinya.
Tapi kedua pertapa itu tidak membiarkan Panji terlalu lama tenggelam dalam pikirannya. Keduanya sudah memberi tanda mereka akan mulai menyerang. Sehingga, Panji segera menepiskan semua yang menggangu pikirannya, dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghadapi mereka. Sebentar saja, sekujur tubuh Panji dilapisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin menggigit menyebar memenuhi arena pertarungan. Dan...
"Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Dibarengi lengkingan panjang menggetarkan dada, kedua pertapa melesat bersamaan. Angin keras yang menerbitkan suara mencicit tajam mengiringi datangnya serangan merekaTampaknya kedua pertapa itu tidak main-main melancarkan serangannya.
"Hmmm..." Panji bergumam pelan melihat serangan lawan. Tubuhnya direndahkan dengan kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak ke kiri dan kanan. Pemuda itu menggeser langkahnya ketika serangan Ki Sarwa Dipa datang mengancaam. Kemudian langsung membalas dengan serangakaian serangan yang cepat laksana sambaran kilat.
Ki Sarwa Dipa yang tahu betul siapa pemuda itu, tentu saja telah memperhitungkan serangannya dengan baik. Sehingga, serangan balasan Panji dapat dipatahkan dengan kelitan.Bahkan masih sempat mengirimkan serangan lanjutan.
Selagi kedua tokoh itu saling gempur, Ki Garma Dipa memasuki arena. Serangan-serangannya yang tidak kalah hebat dengan serangan Ki Sarwa Dipa sempat membuat Panji bergerak mundur. Sehingga, pemuda itu kelihatan agak terdesak. Padahal itu dilakukan dengan perhitungan yang matang, ia tidak ingin menanggung akibat. Karena belum tahu maksud kedua pertapa itu mengeroyok dirinya.
"Yeaaah...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kelima puluh delapan, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya yang sangat hebat. Hingga kedua pertapa itu berlompatan mundur dengan wajah agak pucat. Pekikan itu telah mengguncangkan bagiandalam dada mereka. Kesempatan selagi kedua lawannya berlompatan mundur tidak disia-siakan begitu sajaoleh Panji. Tubuhnya segera mencelat ke depan. Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan, untuk kemudian melakukan pukulan-pukulan lurus dan menyilang. Kedua pertapa itu terkejut bukan main!
"Aaah...?!"
"Hem...?!"
Tanpa sadar mereka mengeluarkan pekik tertahan. Keduanya berlompatan menjauh. Sebab saat itu tubuh Pendekar Naga Putih sukar dilihat. Pendaran sinar putih keperakan menghalangi pandang mata mereka. Sehingga, mereka tidak dapat melihat arah mana yang menjadi sasaran serangan lawan. Itu tidak aneh. Panji telah menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus terampuh dari rangkaian ilmu 'Silat Naga Putih'. Akibatnya....
Wuttt, desss, desss.!
"Hukh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun tubuh kedua pertapa itu jatuh bergulingan. Pukulan-pukulan Panji telak menghantam tubuh mereka. Hingga kedua pertapa itu tidak sanggup mempertahankan kuda-kudanya.
"Cukup, Pendekar Naga Putih...!" Ki Sarwa Dipa yang lebih dulu melompat bangkit langsung berseru mencegah pemuda itu melanjutkan serangannya. Wajah orang tua itu tampak pucat, ia berdiri sambil memegang perutnya yang terasa mual.
Panji sendiri memang tidak berniat melanjutkan serangan. Pemuda itu hanya berdiri tegak menunggu kedua pertapa bangkit berdiri.
"Aku benar-benar puas dapat merasakan sendiri kehebatan pendekar muda yang telah menggemparkan rimba persilatan. Aku bangga kepadamu, Pendekar Naga Putih," ucapan itu dikeluarkan Ki Garma Dipa. Pertapa gemuk pendek itu mengukir senyum meski pada sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Kuharap Eyang berdua memaafkan tindakanku yang kasar ini...," ujar Panji dengan wajah penuh sesal. Sekarang ia baru tahu kedua pertapa itu hanya ingin menguji kepandaiannya.
Sebagai orang yang telah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Panji maklum akan sifat golongan tua. Mereka selalu haus ilmu silat. Dan selalu gatal tangan ingin menguji tokoh-tokoh muda untuk mengetahui kemampuannya. Padahal tidak jarang tindakan itu menimbulkan korban nyawa. Tapi memang begitulah sifat kaum rimba persilatan. Mereka lebih suka mati dalam pertempuran daripada digergoti usia tua.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pendekar Naga Putih. Sebagai kaum tua, kami benar-benar puas dapat merasakan sendiri kelihaianmu. Orang-orang muda seperti kaulah yang akan dapat menegakkan keadilan di atas muka bumi ini. Aku tahu kau tidak menggunakan seluruh kekuatanmu saat menghadapi kami. Terutama saat melancarkan pukulan ke tubuh kami tadi..," ujar Ki Sarwa Dipa sangat puas. Pertapa tua itu sedikit pun tidak menyalahkan tindakan Panji.
"Tapi aku telah membuat Eyang berdua terluka. Kalau diizinkan, aku hendak mengobati luka dalam itu. Meski aku yakin luka itu tidak berarti bagi Eyang..," lanjut Panji dengan tutur kata yang halus yang menandakan kerendahan hatinya.
Mendengar ucapan itu, Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menganggukkan kepala. Mereka, yang telah banyak pengalaman dan berpandangan luas, benar-benar bangga melihat pendekar muda itu yang tangguh dan rendah hati. Semua itu menambah kekaguman mereka.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tentu saja kami tidak menolak keinginanmu. Kami dengar kau pun telah mewarisi ilmu pengobatan yang sangat langka. Sebab kemahiran Dewa Obat mengatasi penyakit sudah bukan hal yang aneh lagi bagi kami," kali ini Ki Garma Dipa yang menyahuti. Tampaknya kedua pertapa itu benar-benar telah tunduk kepada Pendekar Naga Putih. Bukan karena kepandaiannya saja. Terutama sikap rendah hati dan tutur kata yang halus pemuda tampan itu.
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan...," ujar Panji menarik napas lega. Ia pun merasa kagum dan hormat kepada kedua pertapa itu. Mereka orang-orang tua yang bijaksana dan mau menghormati orang muda seperti dirinya.
Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menerima pel yang diberikan Panji tanpa keraguan sedikit pun. Ditelannya obat itu dengan penuh kepercayaan. Sikap yang amat menggembirakan itu membuat Panji bertambah kagum.
"Hebat...! Ternyata kau benar-benar telah mewarisi kepandaian Dewa Obat. Kami sungguh kagum dan menaruh hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih..," ucap Ki Sarwa Dipa tulus, setelah merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya. Rasa nyeri dalam dadanya lenyap. Sehingga jalan napasnya lancar kembali.
"Kau telah membuat kami yang tua-tua ini takluk, Pendekar Naga Putih. Lega rasanya melihat orang muda sepertimu. Aku yakin dunia persilatan, khususnya kaum golongan putih, bangga dengan kemunculanmu. Dengan begitu, orang-orang golongan hitam tidak berkutik..," ujar Ki Garma Dipa yang juga telah merasakan khasiat pel yang diberikan Panji.
"Jangan terlalu memuji, Eyang. Aku khawatir beban berat ini tak sanggup kupikul...," tukas Panji merendah, membuat kedua orang pertapa itu tertawa tergelak. Panji sendiri hanyatersenyum tipis.
Kenanga yang mendengar kedua pertapa itu memuji-muji kekasihnya ikut bangga. Dara jelita itu menghampiri ketiganya untuk bergabung.
LIMA
"Kau dan tunanganmu hendak pergi ke mana, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Sarwa Dipa setelah saling memperkenalkan diri. Kendati demikian, pertapa tua itu lebih suka memanggil julukan daripada nama. Karena menurut mereka lebih menimbulkan kesan dalam hati. Dan Panji tidak keberatan.
"Sebenarnya kami hendak menyelidiki asal-usul seseorang, Eyang Sarwa Dipa. Secara kebetulan kami mendengar suara orang bertempur. Merasa penasaran, kami mencari sumber suara itu. Lalu menemukan Eyang berdua tengah bertarung. Kalau boleh tahu, siapa orang-orang kasar itu, Eyang? Dan mengapa sampai terjadi perkelahian?" ujar Panji seraya menoleh ke arah tubuh-tubuh yang bergeletakan ditanah.
Panji memperkirakan orang-orang kasar itu berjumlah dua puluh orang lebih. Beberapa di antara mereka tewas di tangan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Sedang lainnya hanya pingsan. Panji menduga yang tewas itu merupakan pimpinan atau pentolan-pentolan orang-orang kasar itu.
"Hm.... Kami secara tak sengaja memergoki mereka melakukan tindak kejahatan di sebuah desa yang letaknya tidak seberapa jauh dari tempat ini. Mereka bukan cuma merampok, bahkan juga membunuh beberapa keluarga. Itu sebabnya pemimpin-pemimpin mereka terpaksa kami bunuh. Karena sudah tidak bisa disadarkan lagi. Belakangan ini banyak sekali kami temukan tindak kejahatan. Menurutku ini semua ada hubungannya dengan kemunculan Sepasang Naga Merah yang kami dengar hendak menyatukan kaum golongan sesat. Keberadaan kami di tempat ini pun karena tokoh yang meresahkan itu...," jelas Ki Sarwa Dipa.
Pasangan pendekar muda itu tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Apa yang telah dilakukan Sepasang Naga Merah sampai Eyang berdua harus turun meninggalkan pertapaan...?" Kenanga yang ingin mengetahui penyebab kedua orang tua itu meninggalkan pertapaannya langsung saja mengajukan pertanyaan.
"Hhh.... Tokoh yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah memang keterlaluan sekali. Mereka berani menyatroni tempat kami dan mencuri sebuah kitab pusaka yang sangat berbahaya. Karena ilmu itu dapat menyesatkan pemiliknya. Terutama pada bagian terakhir yang merupakan jurus pamungkas ilmu 'Silat Naga Merah'. Maka kami berdua terpaksa meninggalkan pertapaan untuk mencari dan mengambil kembali kitab pusaka itu...," papar Ki Sarwa Dipa.
"Kitab ilmu 'Silat Naga Merah'...?!" desis Panji mengulang nama kitab yang telah dicuri itu. "Kalau tidak salah, guruku pernah bercerita tentang kitab itu. Menurut beliau telah berumur ratusan tahun dan disimpan di dalam perpustakaan Perguruan Gunung Naga. Kalau begitu, Eyang berdua pertapa-pertapa dari Gunung Naga?"
"Benar. Kami berdua pengurus-pengurus Perguruan Gunung Naga...," jawab Ki Sarwa Dipa membuat Panji dan Kenanga kaget. Mereka telah lama mendengar tentang perguruan yang tersembunyi dan tertutup itu dari guru-guru mereka.
"Lalu, bagaimana kitab itu sampai bisa tercuri, Eyang? Bukankah Perguruan Gunung Naga tidak bisa didatangi orang luar? Bahkan kabarnya perguruan itu merupakan pusat ilmu-ilmu silat yang ada di dunia ini...?" tanya Panji seperti tidak percaya ada orang yang begitu berani menyatroni bahkan mencuri kitab dari perguruan itu.
"Sebenarnya kitab itu tidak akan dapat dicuri orang kalau saja kami dan para tetua perguruan berada di tempat itu. Rupanya pencuri-pencuri itu sudah lama mengintai kegiatan kami. Mereka datang tepat pada saat rumah perguruan kosong. Kami dan para tetua perguruan tengah mengadakan pemakaman ketua kami yang meninggal karena usia tua. Saat itu rumah perguruan hanya dihuni pelayan-pelayan yang memiliki kepandaian tidak seberapa. Akibatnya mereka semua tewas oleh pencuri laknat itu." Ki Sarwa Dipa menghela napas sedih. Tampaknya ia benar-benar terpukul dengan kejadian itu. Kakek itu menutup ceritanya dengan menggeleng perlahan.
"Pencurian itu terjadi karena keteledoran kami juga. Selama puluhan tahun tempat kami tidak pernah didatangi orang. Itu membuat kami lengah. Sehingga tidak menaruh kecurigaan akan ada orang yang berani datang mengacau. Ini merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi kami...," Ki Garma Dipa menyambung ketika melihat Ki Sarwa Dipa tidak melanjutkan ceritanya.
"Hm. Pantas julukan Sepasang Naga Merah baru terdengar belakangan ini. Rupanya mereka baru memperkenalkan julukan setelah mempelajari ilmu 'Silat Naga Merah'. Sungguh berbahaya sekali," ujar Panji menghela napas panjang. Salah satu dari Sepasang Naga Merah adalah musuhnya. Jelas ia harus menghadapi lawan berat. Karena setelah menguasai ilmu yang berbahaya itu, sudah pasti lawannya akan bertambah lihai.
"Apa Eyang berdua sudah menyelidiki siapa tokoh yang berjuluk Sepasang Naga Merah itu...?" tanya Panji ingin mengetahui hasil penyelidikan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Siapa tahu dengan begitu ia dapat mengungkapkan penyebab Kelana memusuhinya.
"Mmm.... Memang belum cukup banyak. Tapi, kami telah mengetahui salah satu dari Sepasang Naga Merah pernah terkenal sebagai Petulang Sakti yang sering membela kaum lemah. Tokoh itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Bernama Kelana. Dia berasal dari sebuah desa dekat pegunungan. Desa Sendang Waringin. Di desa itu kami mencari keterangan tentang orang tua Kelana...," jawab Ki Garma Dipa. Sedangkan Ki Sarwa Dipa diam dan mendengarkan.
"Desa Sendang Waringin...?" gumam Panji mengulang nama desa tempat asal Kelana yang memusuhinya mati-matian.
"Benar," sahut Ki Garma Dipa tanpa memperhatikan wajah maupun nada ucapan Panji. Pertapa gemuk itu kembali melanjutkan. "Tapi Kelana tidak tinggal lama di desa itu. Sejak berusia lima belas tahun ia telah pergi mengembara mencari guru-guru pandai. Begitu keterangan yang kuperoleh di Desa Sendang Waringin. Kepala desa itu sendiri yang menceritakan."
"Lalu, siapa yang telah mendidik Kelana, Eyang?" tanya Panji lagi.
"Menurut Kepala Desa Sedang Waringin, Kelana seorang pemuda yang sangat gemar ilmu silat, ia tidak hanya belajar pada satu guru. Bahkan pemuda itu tidak peduli apakah yang dipelajarinya ilmu golongan sesat. Kelana bertindak menurutkan kata hatinya. Kalau sifat baiknya sedang timbul, ia akan melakukan tindakan sebagaimana layaknya seorang pendekar. Tapi, tidak jarang berbuat kejahatan dan menentang kaum golongan putih. Sehingga, sulit dipastikan di pihak mana sebenarnya pemuda itu berdiri..."
"Mungkin itu sebabnya ia dijuluki Petualang Sakti...," gumam Kenanga kepada diri sendiri. Ucapan itu dikeluarkan dengan perlahan. Namun terdengar oleh Panji dan kedua pertapa itu.
"Menurut kami pun demikian," tukas Ki Sarwa Dipa.
"Kalau begitu, siapa sebenarnya orangtua Kelana, Eyang...?" tanya Panji setelah terdiam beberapa saat.
"Menurut Kepala Desa Sendang Waringin, orangtua Kelana bernama Jalak Pari. Ia telah tewas sekitar dua tahun silam...," jawab Ki Sarwa Dipa mendahului. Karena Ki Garma Dipa kelihatan agak sulit mengingat nama itu.
"Jalak Pari.... Jalak Pari...," Panji mengulang nama itu beberapa kali, membuat Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa mengerutkan kening melihat sikap pendekar muda itu.
"Ada apa, Pendekar Naga Putih? Apa kau mengenal nama itu...?" tanya Ki Sarwa Dipa menegasi.
"Hm. Aku tidak begitu pasti, Eyang. Tapi, sepertinya aku pernah mendengar namanya. Sayang aku lupa di mana dan kapan pernah berjumpa atau mendengar nama itu disebut orang...," jawab Panji tidak ingin memberi kepastian, ia memang tidak begitu ingat dengan nama Jalak Pari.
Ki Sarwa Dipa tidak mendesak. Pertapa itu percaya dengan kejujuran Pendekar Naga Putih. Pemuda itu tentu tidak akan menyembunyikannya dari mereka jika memang mengenal Jalak Pari.
Untuk beberapa saat lamanya pembicaraan terhenti. Mereka tercekam dalam kebisuan mengikuti arus pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, Ki Sarwa Dipa kembali membuka suara memecah keheningan di antara mereka.
"Kami hendak melanjutkan perjalanan untuk merebut kembali kitab pusaka itu. Kuharap kalian sudi mengembalikan barang-barang penduduk Desa Warang yang letaknya di sebelah timur tempat ini. Tentunya kalau kalian memang tidak satu arah dengan kami," ujar Ki Sarwa Dipa meminta kesediaan Panji dan Kenanga.
"Tentu saja kami tidak keberatan, Eyang. Kami memang hendak melewati desa itu. Eyang berdua tidak perlu khawatir. Kami pun akan berusaha menemukan kitab pusaka Perguruan Gunung Naga, dan akan mengembalikannya kepada Eyang berdua..," sahut Panji.
Pemuda itu memang akan melalui Desa Warang. Tujuannya sendiri tetap ke Desa Sendang Waringin tempat kelahiran Kelana. Karena Panji masih belum ingat tentang Jalak Pari, orangtua Kelana. Sedangkan menurut Kelana dirinyalah yang telah membunuh Jalak Pari. Panji merasa perlu untuk mengunjungi Desa Sendang Waringin. Mungkin ia akan teringat bila telah berada di desa itu.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kami menghargai niatmu yang luhur itu...," ujar Ki Sarwa Dipa kemudian mohon diri kepada Panji dan Kenanga. Sebentar saja keduanya sudah melesat jauh. Tinggal dua sosok bayangan samar yang semakin pudar. Lalu lenyap dikejauhan.
Panjidan Kenanga melambaikan tangan mengantar kepergian pertapa-pertapa Perguruan Gunung Naga. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dengan membawa hasil rampokan yang telah diselamatkan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa.
********************
Di sepanjang jalan menuju Desa Sendang Waringin, Panji dan Kenanga mendengar tentang sepak terjang kaum golongan sesat yang semakin ganas. Semua itu dikaitkan orang dengan kemunculan tokoh berjuluk Sepasang Naga Merah. Dari pembicaraan-pembicaraan yang didengar, tahulah pasangan pendekar muda itu orang yang berjuluk Sepasang Naga Merah masih muda dan mengenakan pakaian serba merah. Semua itu semakin membuat mereka yakin Sepasang Naga Merah adalah Kelana dan Savitri. Kedua orang itu mempunyai ciri-ciri sama dengan tokoh yang namanya semakin menjulang itu.
"Tidak salah lagi, Kakang. Mereka Kelana dan Savitri. Tampaknya mereka hendak menyatukan kaum golongan sesat setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah' dari kitab curian itu...," ujar Kenanga yang mulai berani memastikan siapa tokoh muda yang berjujuk Sepasang Naga Merah.
"Kurasa memang merekalah orangnya. Selain ciri-cirinya sama dengan yang dituturkan Pertapa Gunung Naga, memang hanya merekalah yang bernafsu ingin melenyapkan diriku. Dengan menguasai ilmu dalam kitab curian itu, mereka kembali muncul untuk membalas dendam yang belum tuntas...," timpal Panji.
Kenanga mengangguk-angguk. Tatapannya lurus ke depan. Saat itu mereka tengah melintasi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu rapat ditumbuhi pepohonan.
"Kakang...," panggil Kenanga tiba-tiba seraya menatap wajah kekasihnya.
"Hm...," sahut Panji bergumam. Lalu menoleh dan balas menatap dara jelita itu. Sekejap desiran halus menggetarkan dadanya saat Panji menatap sepasang mata yang bagai bintang pagi itu.
"Apakah Kakang belum juga teringat tentang Jalak Pari...?" tanya Kenanga yang inginsegera mengetahui penyebab kebencian Kelana terhadap kekasihnya.
"Rasanya belum, Kenanga. Selama dalam perjalanan aku berusaha mengingat-ingat mengenai Jalak Pari. Tapi, belum seluruhnya dapat kuingat dengan baik. Aku masih ragu mengutarakannya. Kalau sudah pasti, tentu kaulah orang pertama yang akan kuberi tahu...," jawab Panji.
Pemuda itu cukup sulit untuk dapat mengingatnya. Panji hanya bisa menerka Jalak Pari bukanlah seorang tokoh besar. Sebab, setiap tokoh yang roboh di tangannya diingatnya dengan baik. Di antara sekian banyak musuhnya yang tewas belum satu pun yang diduga Panji sebagai orangtua Kelana. Kendati demikian ia terus mengingatnya. Karena hal itu sangat penting baginya.
"Apakah mungkin Jalak Pari hanya salah seorang pengikut gerombolan atau anggota perampok yang keberadaannya tidak begitu kita perhatikan...?"
"Mungkin saja begitu. Tapi seingatku tak ada gerombolan perampok di sekitar Desa Sendang Waringin. Sebaiknya kita segera bergegas. Siapa tahu di desa itu kita bisa mengingatnya dengan baik...," jawab Panji.
Kenanga menghela napas panjang. Karena sampai saat itu mereka belum, jugamenemukan siapa Jalak Pari, yang menurut Kelana telah dibunuh Pendekar Naga Putih.
"Mudah-mudahan saja begitu, Kakang...," gumam Kenanga penuh harap. Memang cukup pusing memikirkan persoalan itu. Padahal masih banyak persoalan lain yang menunggu.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu telah melesat secepat terbang. Keduanya seperti berlomba untuk segera tiba di Desa Sendang Waringin. Untuk itu mereka tidak memerlukan waktu lama. Tempat yang mereka tuju sudah tidak jauh lagi.
"Kita sudah hampir mencapai perbatasan Desa Sendang Waringin, Kakang...," ujar Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita itu melihat dua buah gapura di kiri dan kanan jalan yang menjadi tanda perbatasan sebuah desa.
"Hm... Desa ini kelihatannya sudah jauh lebih maju. Saat pertama kali singgah didesa ini aku tidak melihat adanya gapura, kecuali sebuah batu setinggi dada ditepi jalan...," tukas Panji ketika melihat gapura setinggi satu tombak yang membentuk pintu gerbang. Tulisan pada gapura diberi warna yang menarik. Tampaknya Desa Sendang Waringin telah mengalami kemajuan pesat.
Kenanga mengangguk membenarkan. Ia sendiri tidak begitu memperhatikan. Mungkin kalau Panji tidak mengatakannya, Kenanga tidak akan menyadari perubahan itu. Padahal saat pertama kali Panji singgah ia menyertai.
Pasangan pendekar muda itu menghentikan larinya dan melangkah biasa memasuki mulut Desa Sendang Waringin. Jalan utama desa terlihat cukup bagus dan dilapisi bebatuanyang ditata rapi. Rumah-rumah penduduk di kiri dan kanan jalan kelihatan bersih dan terawat baik. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya tidak terlalu rapat. Jelasnya Desa Sendang Waringin telah berubah dari yang disaksikan Panji dan Kenanga.
Saat itu, warga desa yang melintas di jalan utama tidak terlalu banyak. Kebanyakan penduduk desa masih bekerja di sawah dan ladang. Yang ada di dalam desa hanya perempuan dan anak-anak. Kalaupun ada kaum lelaki, sudah berusia lanjut. Hingga Desa Sendang Waringin terlihat agak sunyi.
"Ah, aku ingat sekarang!" seru Panji ketika mereka melintas di depan sebuah rumah judi. Panji berdiri saat memandang rumah judi yang cukup besar itu. "Benar. Ditempat inilah dulu kita bertemu dengan orang yang bernama Jalak Pari...!"
Kenanga pun tampak gembira. Persoalan yang memusingkan itu telah mendapat jawaban.
"Hm... Kiranya Kelana putra majikan rumah judi yang kita musnahkan dulu. Jalak Pari terpaksa kubunuh. Lelaki bengis itu tidak sudi menutup rumah perjudian yang akhirnya dibakar penduduk desa. Mayatnya terbakar hangus bersama rumah judi yang dimilikinya. Tapi, kelihatannya tempat perjudian di desa ini ikut berkembang pesat seiring dengan kemajuan desa. Entah kali ini siapa pemiliknya...?" gumam Panji baru teringat siapa Jalak Pari. Orang itu adalah pemilik rumah perjudian yang kejam dan bengis. Tidak sedikit sawah ladang maupun putri penduduk Desa Sendang Waringin menjadi korban kekejamannya.
"Kalau saja Jalak Pari mau kembali ke jalan yang benar, tidak mungkin Kakang sampai harus melenyapkannya. Selain itu, ia sudah sangat keterlaluan dan banyak menyengsarakan penduduk desa. Rasanya memang sudah sepatutnya Jalak Pari dibinasakan...," timpal Kenanga yang tentu saja ingat akan semua kejadian yang mereka alami di desa itu.
"Sekarang semua sudah menjadi jelas. Sebaiknya kita segera mencari Sepasang Naga Merah. Aku akan mencoba menyadarkan Kelana dari kesesatannya. Mudah-mudahan ia maumengerti tentang apa yang telah diperbuat orangtuanya...," lanjut Panji penuh harap, ia memang lebih suka menyelesaikan persoalan dengan jalan damai bila hal itu masih mungkin dilakukan. Kalau tidak, baru digunakan jalan kekerasan.
"Bagaimana dengan rumah perjudian ini, Kakang? Mungkin saja majikan tempat ini tidak jauh berbeda dengan Jalak Pari..." ujar Kenanga yang memang membenci segala bentuk perjudian. Karena menurutnya hanya akan menyengsarakan orang.
"Hm. Biarlah lain kali saja kita lakukan. Yang penting sekarang adalah mencari dan menghentikan Sepasang Naga Merah. Sebab, kaum golongan sesat sudah semakin berani dalam bertindak. Jika dibiarkan bukan tidak mungkin gerombolan perampok akan bebas berkeliaran di desa-desa pada siang hari seperti ini. Menurutku yang menjadi biang keladi semua ini Sepasang Naga Merah. Kalau mereka sudah dapat dihentikan, kejahatan-kejahatan lainnya akan reda...," ujar Panji.
"Baiklah, Kakang. Penduduk Desa Sendang Waringin pun tampak hidup dalam ketenteraman dan jauh lebih baik dari yang kita lihat satu setengah tahu silam...," Kenanga menurut saja apa yang dianggap paling penting oleh kekasihnya. Karena ucapan itu pasti sudah diperhitungkan dengan matang. Panji tidak pernah gegabah dalam bertindak.
Tidak berapa lama kemudian pasangan pendekar muda itu kembali melewati perbatasan Desa Sendang Waringin. Saat semakin jauh meninggalkan batas desa keduanya menggunakan ilmu lari cepat. Sebentar saja sosok mereka lenyap dikejauhan.
********************
ENAM
"Bakaaar...!"
Teriakan keras itu menggema menyentakkan suasana pagi yang bening. Burung-burung yang tengah bercanda di dahan-dahan pohon serentak beterbangan. Keremangan pagi itu dipenuhi suara gemuruh kaki kuda yang diselingi pekikan-pekikan riuh-rendah. Rombongan orang berkuda itu berderap memasuki mulut Desa Alur. Sebagian dari anggota rombongan memegang obor.
"Heaaa...!"
"Haaa...!"
Disertai teriakan-teriakan ribut, obor-obor dilemparkan ke atap-atap rumah penduduk. Sehingga....
Brrrlll!
Seketika itu juga lidah api berkobar di atas rumah-rumah penduduk. Sebentar saja di kiri dan kanan jalan utama Desa Alur telah menjadi lautan api. Karuan saja penduduk desa panik!
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Belasan penduduk yang rumahnya dilalap si jago merah berlari keluar rumah membawa harta bendanya. Tapi, justru kemalangan yang menyambut langkah mereka.
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Lengkingan kematian yang panjang pun merobek suasana temaram. Darah segar tumpah ke tanah. Tubuh-tubuh tanpa dosa berjatuhan dengan nyawa melayang. Mereka tewas seketika di ujung senjata gerombolan berkuda.
"Kakaaang...!"
Perempuan-perempuan malang yang kehilangan kerabat atau suami memekik pilu. Tapi, gerombolan berkuda sedikit pun tidak merasa iba. Bahkan pedang mereka kembali berbicara menebas dan membeset wanita-wanita malang itu.
"Aaauuu...!"
Jeritan-jeritan menyayat terdengar di sana-sini mewarnai gemeretak atap-atap rumah dilalap api. Suasana Desa Alur di pagi yang bening itu berubah seketika menjadi ajang pembantaian dan kebuasan gerombolan berkuda. Tampaknya mereka tidak peduli siapa yang menjadi korban selanjutnya. Demikian kejam dan ganas mereka berbuat tanpa terbetik sedikitpun rasa iba di dalam hati mereka yang hitam, sehitam pagi di Desa Alur.
Perbuatan gerombolan berkuda tidak berhenti sampai di situ. Sebagian dari mereka berlompatan turun dan memasuki rumah-rumah. Kemudian keluar dengan membawa harta benda yang ditinggal mati pemiliknya. Terdengar tawa iblis mereka meningkahi jeritan tangis dan lengkingan kematian. Bukan cuma itu. Mereka menyeret gadis-gadis dan ibu muda yang bersembunyi di dalam rumah dengan bengisnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Tak peduli wanita yang diseretnya tengah menggendong banyi mungil.
"Lemparkan saja bayi keparat itu...!" bentak seorang lelaki bertubuh kekar. Dan seketika melihat perintahnya tidak dituruti, tangan kekar berjari-jari kasar itu merenggut bocah malang dalam pelukan ibunya.
"Haaahhh...!"
Benar-benar luar biasa kekejaman yang diperlihatkan lelaki kekar, salah satu anggota gerombolan itu. Tanpa perasaan sedikit pun, bayi mungil yang menjerit-jerit memilukan itu dilemparkan ke dalam kobaran api! Rasanya perbuatan itu hanya pantas dilakukan iblis keji.
"Biadab...!" bentakan keras yang menggeletar yang menggambarkan kemarahan menggelegak itu membuat anggota gerombolan menoleh.
Seorang lelaki gagah berpakaian serba hitam berdiri dengan sepasang mata berkilat-kilat. Tapi, lelaki kekar yang bengis itu malah mendengus kasar. Tampaknya ia memandang remeh lelaki gagah itu.
"Mampus kau...!" pekik lelaki kekar sambil berteriak, tubuhnya meluncur dengansambaran pedang yang mengaung tajam! Tapi...
"Kaulah yang mampus, Bangsat..!" pekik lelaki gagah berpakaian serba hitam, segera mengelak kemudian membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Sehingga....
Brettt...!
"Aaa...!"
Anggota gerombolan yang naas itu menjerit setinggi langit tatkala mata pedang lawan menyengat punggungnya, membuat belahan panjang yang dalam. Tanpa ampun lagi, tubuhnya langsung roboh dengan nyawa meninggalkan raga.
"Nyai, pergilah. Selamatkan dirimu...!" ujar lelaki gagah mengangkat bangkit ibu muda yang telah kehilangan bayi mungilnya.
"Anakku..., Kakang..... Anakku...!" rintih ibu muda itu memilukan. Hatinya hancur luluh menyaksikan buah hatinya dilempar ke dalam kobaran api yang menelan apa saja yang tanpa terkecuali.
"Anakmu tidak mungkin selamat, Nyai! Dan kalau kau tetap di sini, aku tidak bisa menjamin kesemalatanmu. Mereka sangat kejam dan buas. Cepatlah pergi. Cari perlindungan yang aman...!" tukas lelaki gagah. Lalu mendorong ibu muda itu untuk pergi. Karena saat itu dua orang anggota gerombolan datang menerjang.
"Haaat...! Kubikin mampus kalian, Iblis-iblis Biadab...!" pekik lelaki gagah serayamelesat disertai putaran pedangnya yang menerbitkan desingan angin tajam.
Dua orang anggota gerombolan itu kelihatan agak kaget juga. Serangan itu jelas membuktikan pemiliknya memiliki kepandaian yang lumayan. Kendati demikian, mereka tidak kelihatan gentar, dan segera menyambut bersama-sama.
Trang, trang...!
Terdengar suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api saat ketiga batang senjata itu berbenturan. Tapi, lelaki gagah itu dapat bergerak cepat. Pedangnya segera diputarke bawah. Kemudian menyambar datar mengancam tubuh kedua lawannya. Dan...
Brettt, brettt...!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa sempat mengelak lagi, pedang lelaki gagah itu merobek perut mereka. Darah segar membanjir dari luka menganga itu. Kedua orang anggota gerombolan itu roboh ke tanah dengan mata mendelik!
"Pergilah kalian ke neraka, Manusia-manusia Keji...!" desis lelaki gagah dengan hati puas. Kemudian bergerak meninggalkan korbannya. Sikapnya terlihat gagah dan garang. Tampaknya ia benar-benar marah melihat kekejaman gerombolan berkuda itu.
Lelaki gagah berpakaian serba hitam yang menjadi Kepala Keamanan Desa Alur ternyata tidak datang seorang diri. Di beberapa tempat pertarungan berlangsung antara anggota gerombolan berkuda dengan keamanan desa yang berseragam serba hitam. Agaknya orang-orang Desa Alur tak membiarkan tempat kelahirannya dirusak gerombolan liar yang mereka pastikan gerombolan perampok itu.
"Heh heh heh...! Perlahan sedikit langkahmu, Kisanak! Kulihat kau cukup tangkas dan sudah merobohkan tiga orang anggotaku..!" tegur sesosok tubuh yang melayang turun menghadang jalan Kepala Keamanan Desa Alur.
Lelaki gagah itu segera menahan langkahnya. Agak terkejut juga ia melihat gerakan lawan yang terlihat ringan itu. Sadarlah lelaki gagah itu kalau lawannya tidak dapat disamakan dengan tiga orang yang baru saja menjadi korban senjatanya.
"Hm.... Rupanya kau yang memimpin orang-orang buas itu...!" desis lelaki gagah itu menudingkan ujung senjatanya ke wajah lelaki tinggi kurus bermata sayu, namun jelas menyiratkan kelicikan dan kekejaman hatinya.
"Heh heh heh...! Orang sepertiku belum pantas menjadi pimpinan. Aku salah seorang pembantu dari calon penguasa rimba persilatan. Dan kau boleh puas dengan menjadi salah satu penghuni akherat!" tukas lelaki tinggi kurus memperdengarkan tawa iblisnya yang memuakkan.
"Keparat! Selama aku masih hidup tidak akan kubiarkan orang berani menggangu ketenteraman desa ini...!" geram lelaki gagah. Dan tanpa banyak cakap lagi, pedangnya disilangkan di depan dada. Kemudian....
"Haaat.!"
Wuttt!
Pedang lelaki gagah berpakaian serba hitam mendesing tajam mencari sasaran. Gerakannya tangkas dan gesit. Tapi...
Trang!
"Uhhh...!" Lelaki tinggi kurus bermata sayu ternyata bukan orang sembarangan! Sekali menggerakkan pedang, tubuh lawan dipaksa terjajar mundur. Itu jelas menandakan tenaga lelaki kurus itu jauh lebih kuat dari lawannya.
"Iblis keji...!" lelaki gagah itu menggeram. Terkejut bukan main merasakan kekuatanlawan yang jauh berada di atasnya. Tapi, itu tidak membuatnya gentar.
Namun lelaki kurus bermata sayu kali ini tidak lagi hanya menunggu. Sebelum lawannya bergerak, tubuhnya sudah melesat disertai kelebatan pedangnya yang berdesinganmembelah udara pagi.
Lelaki gagah itu pun tidak tinggal diam. Kendati sadar kekuatan lawan berada di atasnya, ia tetap menyambut serangan lawan dengan kelebatan pedangnya. Sehingga, keduanya segera terlibat pertempuran yang cukup seru! Lelaki kurus bermata sayu ternyata memang hebat sekali. Serangannya sangat gencar dan terarah dengan baik. Bahkan kecepatannya masih berada di atas lawan. Sehingga, dalam lima belas jurus saja Kepala Keamanan Desa Alur dibuat tidak berdaya dan hanya bermain mundur.
"Hiyaaat...!"
Melihat lawannya sudah tidak mampu membalas, lelaki tinggi kurus memekik keras. Pedang di tangannya berkilat menyilaukan mata mengarah tenggorokan lawan.
"Putus kepalamu...!" serunya mengiringi sambaran pedang.
"Aaah...?!" Lelaki gagah berpakaian serba hitam mengeluh putus asa. Matanya terbelalak menunggu datangnya sinar putih memenggal batang lehernya. Tapi....
Saat nyawa lelaki gagah bagai telur di ujung tanduk, mendadak berkelebat sesosok bayangan putih diserstai teriakannya yang menggetarkan jantung. Begitu tiba, lengannya langsung menyampok mata pedang lelaki kurus. Sosok bayangan putih itu menyampok mata pedang dengan lengan telanjang! Tapi, yang terjadi selanjutnya benar-benar sukar dipercaya.
Plaggg!
Bukan lengan sosok bayangan putih yang tertebas putus. Tapi pedang di tangan lelaki kurus yang terpental jauh lepas dari genggaman. Bahkan....
Bukkk!
Dengan sebuah gerakan manis yang sukar diikuti mata, lengan sosok itu berputar dan bersarang di dada lelaki kurus dengan telak!
"Huakh.!" Tanpa ampun lagi, lelaki tinggi kurus bermata sayu memuntahkan darah kental. Tubuh kurusnya terlempar dan tertelan kobaran api! Terdengar lengking kematiannya yang panjang.
"Aaa...!"
"Hm.... Kau memang pantas menerima kematian seperti itu, Manusia Biadab...!" desis sosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih. Sosoknya berdiri tegak menatap kobaran api yang menelan tubuh anggota gerombolan itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak yang gagah...," ujar lelaki gagah berpakaian serba hitam dengan hati takjub. Hanya dengan sekali gebrakan tubuh anggota gerombolan itu terlempar jauh ke atas rumah yang tengah berkobar. Kenyataan itu membuatnya sadar seorang tokoh pandai telah menolongnya.
"Simpan ucapan terima kasihmu, Paman. Sebaiknya bergabunglah dengan kawan-kawanmu. Aku akan mencari biang keladi semua kejadian ini...," tukas sosok berjubah putih dengan suara menyiratkan kegeraman hatinya. Agaknya ia marah melihat pemandangan mengerikan di sekitarnya. Di mana-mana tubuh tak berdosa bergeletakan bermandikan darah. Kekejaman gerombolan itu telah membangkitkan kemarahannya.
"Baik… baik...," ucap lelaki gagah. Kemudian ia bergerak meninggalkan sosok berjubah putih. Tapi, baru beberapa langkah ia berlari, angin keras bertiup mengibarkan pakaian dan rambutnya. Ketika ia menoleh....
"Aaah...?!" Lelaki gagah itu terpekik kaget. Sosok berjubah putih di belakangnya telah raib entah ke mana. Bulu kuduk lelaki gagah itu berdiri seketika.
"Setankah dia...? Atau seorang tokoh sakti yang hanya ada dalam dongeng...?" gumam lelaki gagah termangu-mangu bagai ayam sakit. Tapi, semua pikiran itu dibuangnya jauh-jauh. Kemudian bergerak untuk membantu kawan-kawannya yang sebagain masih bertarung dengan gerombolan liar itu.
Sementara itu, sosok berjubah putih yang dikira setan oleh Kepala Keamanan Desa Alur telah berada di antara gerombolan liar. Amukannya langsung membuat gerombolan perampok dan pembunuh itu kalang-kabut!
"Aaa...!"
Lengkingan panjang jerit kematian terdengar susul-menyusul. Disertai dengan tubuh-tubuh yang terlempar ke udara bagai diamuk angin topan. Tubuh orang-orang liar itu terbanting jatuh dengan napas putus! Keributan itu membuat angota gerombolan yang lainnya gentar. Tanpa mempedulikan perintah pimpinannya, mereka bergerak mundur menjauhi sosok berjubah putih yang mengamuk seperti banteng liar.
Tapi, kejadian seperti itu rupanya bukan hanya terjadi di satu tempat. Di tempat lain pun terjadi hal yang sama. Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau mengamuk dengan pedang bersinar putih keperakan ditangan kanannya. Setiap senjata itu bergerak terdengar jerit kematian anggota gerombolan yang mengeroyoknya. Sehingga, sisanya yang masih selamat menjadi ragu untuk maju. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
Seolah hendak melihat siapa yang berani maju lebih dulu mengantarkan nyawa. "Majulah, manusia-manusia berhati iblis! Kalian tidak pantas menghuni dunia ini. Kalian lebih pantas menjadi penghuni neraka jahanam...!" desis sosok ramping yang ternyata seorang gadis muda berparas jelita.
Tapi, saat itu tak seorang pun anggota gerombolan terpikat kejelitaannya. Sebab pedang di tangan dara jelita itu siap mengantarkan nyawa siapa saja yang maju mendekat! Tantangan dara jelita itu tidak mendapat sambutan. Anggota gerombolan hanya berani memandang dengan wajah pucat. Meskipun demikian mereka tetap mengepung.
"Hm.... Jangan dikira aku akan membiarkan kalian bebas berkeliaran lagi. Meskipun tidak ada yang berani mendekat, pedangku ini tetap akan merobek tubuh kalian...!" geram dara jelita itu dengan kilatan mata menikam jantung. Usai berkata, tubuhnya bergerak maju dengan perlahan laksana singa betina siap menerkam mangsa. Dan....
"Yeaaa...!" Dibarengi lengkingan panjang yang menggetarkan dada, tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau itu melayang ke udara. Kemudian berputar dan meluncur turun.
Wuttt! Angin dingin berhembus keras menyertai kelebatan sinar putih keperakan. Beberapaanggota gerombolan yang tak sempat menyelamatkan diri terpental roboh bermandikan darah. Kejadian itu membuat kepungan menjadi berantakan. Anggota gerombolan berlarian mencari keselamatan masing-masing. Tapi, dara jelita itu tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Tubuhnya kembali melayang disertai kelebatan pedang. Kembali empat orang anggota gerombolan terlempar dengan luka menganga. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kurang ajar...!" terdengar geraman keras yang membuat dara jelita itu menoleh cepat.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan menyambar tajam sosok tubuh yang bentuknya seperti kerbau dengan batok kepala mengkilat tertimpa nyala api. "Hm.... Majulah, Kerbau Gundul! Pedangku siap menjagal lehermu.!" desis dara jelita berpakaian serba hijau melangkah maju dengan perlahan. Kelihatan sekali dara itu tidak bersikap ceroboh menghadapi lawannya kali ini.
"Hmhhh. Kalau sampai tertangkap kau akan kupermainkan selama hidup, Perempuan Liar...!" geram lelaki gemuk berkepala botak murka dimaki sebagai kerba gundul.
"Tidak perlu banyak bicara! Buktikan ucapanmu, Kerbau Buduk!" kembali dara jelita itu memaki lawannya.
"Hmhhh...!" Murka bukan main lelaki gemuk berkepala botak itu. Ia segera bergerak maju dengan langkah berdebum. Kapak bermata dua di tangan kanannya menyambar dengan gerakan menyilang, menerbitkan sebentuk angin tajam.
"Haaaiiit!"
Dara jelita itu rupanya tidak sabar menunggu kedatangan lawan. Tubuhnya melayang ke udara. Dan baru meluncur turun setelah agak dekat dengan lawan. Pedang berhawa dingindi tangan kanannya berkilau menggetarkan.
Bettt...!
Lelaki gemuk berkepala botak mendengus kasar. Tangan kanannya bergerak ke depan hendak menyambut sambaran pedang dengan kapak mata duanya. Kelihatannya ia hendak melumpuhkan dara jelita itu dengan mengandalkan tenaganya yang besar. Tapi...
Trang...!
"Aih...?!" Terkejutbukan main lelaki botak itu mendapati kuda-kudanya tidak dapat dipertahankan. Tubuhnya terjajar mundur terhuyung-huyung. Padahal semula ia mengira tubuh dara itu yang akan terpelanting. Nyatanya dara jelita itu sedikit pun tidak terpengaruh. Bahkan segera menyusuli serangannya.
Wuttt...!
Sinar putih yang disertai angin dingin menusuk tulang itu datang mengancam tubuh gendut yang tengah sibuk memperbaiki kuda-kudanya. Karuan saja lelaki botak itu kelabakan!
Wukkk...!
Dengan nekat lelaki botak itu mengelebatkan kapak mata duanya untuk membentur pedang lawan. Namun dengan gerakan yang indah pedang dara jelita itu berputar. Kemudian terangkat naik mengancam iganya. Dan....
Crasss!
"Aaakh.!" Lelaki gemuk berkepala botak itu memekik kesakitan. Ujung pedang lawan yang merobek iga kanannya membuat tubuh gemuk itu terjajar limbung. Sedangkan lawan kembali meluncur dengan tusukan lurus ke arah jantung!
"Haiiit!"
Lelaki botak itu hanya bisa memandang dengan penuh ngeri, ia tidak mungkin lagi dapat menyelamatkan nyawanya. Sehingga....
Cappp!
"Aaakh...!" Terdengar raung kematian saat pedang dara jelita itu tertancap hingga menembus tubuh lawan. Darah menyembur keluar dari lubang luka itu saat pedang dicabut dengan sentakan keras! Tanpa ampun lagi, tubuh gemuk itu menggelepar sekarat. Beberapa saat kemudian diam tak bergerak lagi. Nyawanya telah terbang meninggalkan raga. Setelah mengakhiri nyawa lawannya, dara jelita itu kembali melesat menghajar semua rombongan liar itu.
TUJUH
"Anak-anak, munduuur...!"
Tiba-tiba terdengar perintah seorang lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rompi dari kulit buaya. Rupanya lelaki itu sadar pengikut-pengikutnya tidak akan mampu menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Maka, diperintahkannya agar mereka segera mundur meninggalkan arena.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji kelihatannya telah sejak tadi mengincar lelaki berompi kulit buaya. Ia memang tengah mencari-cari pimpinan gerombolan liar itu. Tubuhnya segera melayang ke arah sosok yang diincar.
"Jangan harap dapat pergi dari tempat ini, Manusia-manusia Keparat...!" geram Panji mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, suaranya terdengar lantang dan dapat ditangkap rombongan orang liar yang buas itu.
Lelaki gemuk pendek itu agak terkejut ketika melihat sesosok bayangan putih melayang ke arahnya. Cepat ia bergerak menghindar saat merasakan ada sambaran angin dingin yang amat kuat datang mengancam dirinya.
Bettt...!
Kendati tubuhnya gemuk lelaki itu ternyata gesit juga. Serangan Panji dapat dielakkannya dengan baik. Sehingga pukulan telapak tagnan Panji mengenai angin kosong.
"Terima pukulanku, Pendekar Naga Putih...!" seru lelaki gemuk itu yang ternyata mengenali pemuda tampan berjubah putih itu. Belum lagi gema suaranya lenyap, pukulannya datang bertubi-tubi.
"Hm..." Panji hanya menggumam menyaksikan serangan lawan. Kedua kakinya yang baru saja menyentuh tanah bergerak dengan tendangan berputar. Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan serangannya. Kalau tidak, kepalanya akan menjadi sasaran tendangan Panji.
Bettt!
Tendangan Panji lewat sejengkal di atas kepala lawan. Begitu tendangan luput, lelaki gemuk melangkahkan kaki kanannya ke depan sambil melontarkan dua buah pukulan berturut-turut!
"Bagus...!" seru Panji memuji.
Gerakan lawannya begitu cepat dan penuh perhitungan. Tapi pujian itu bukan berarti Panji tidak bisa mengatasi serangan lawan. Tendangannya cepat ditarik pulang. Kemudian menjejak tanah. Seketika itu juga tubuhnya melompat ke belakang seraya mengibaskan lengan kirinya dari atas ke bawah dengan gerakan menyilang. Dan....
Plakkk, plakkk...!
"Aaakh...?!" Lelaki gemuk terkejut merasakan tubuhnya tergetar saat menerima tangkisan Pendekar Naga Putih. Kuda-kudanya tergempur hingga tubuhnya agak terhuyung, meski cuma empat langkah. Ini menunjukkan betapa hebat tenaga dalam lelaki gemuk itu.
"Hm.... Kau memang hebat, Buaya Sakti...!" kembali Panji memuji lawannya. Pemuda itu kagum akan kehebatan tenaga lawan yang diketahuinya berjuluk Buaya Sakti.
Lelaki gemuk berompi kulit buaya memperdengarkan dengusan tajam. Pujian Panji dianggapnya sebagai hinaan. Karena tubuhnya terdorong oleh kibasan tangan pemuda itu. "Bagus kau sudah mengenaliku, Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang kau akan melihat kehebatan Buaya Sakti yang lainnya!" desis lelaki gemuk pendek geram.
Panji menggeser langkahnya ke kanan melihat Buaya Sakti mempersiapkan serangan berikutnya. Kuda-kuda tokoh sesat yang terkenal sebagai raja begal itu tampak kokoh dan kuat. Kedua lengannya bergetar saat ia menyalurkan tenaganya. Agaknya lelaki gemuk itu hendak mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Tunggu dulu, Buaya Sakti...! Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. ," ujar Panji sebelum lawannya bergerak menerjang.
"Hm... Apa yang ingin kau ketahui dariku...?" tukas Buaya Sakti dengan tajam dan tidak menghilangkan kewaspadaan.
"Apa maksudmu membawa pasukan dalam jumlah cukup besar hanya untuk mengacau sebuah desa seperti ini? Apakah di sungai-sungai tidak ada lagi mangsa yang dapat kau makan...?" tanya Panji yang merasa agak heran dengan kejadian itu. Sebab, Buaya Sakti biasanya melakukan aksi kejahatannya di sungai-sungai. Itu sebabnya ia dijuluki Buaya Sakti.
"Heh heh heh...! Rupanya otakmu sudah tumpul, Pendekar Naga Putih. Apa yang kau saksikan ini adalah pekerjaan kami sehari-hari. Mengapa heran...?" tanya Buaya Sakti membuat pemuda itu termangu-mangu.
"Tapi tidak biasanya kau melakukan aksi di daratan. Bukankah wilayahmu ada di sungai...?" desak Panji mencoba untuk mencari jawaban yang lebih jelas.
"Memang benar. Tapi, siapa yang berani mencegah kalau aku beraksi di daratan seperti sekarang ini..?" ejek Buaya Sakti hingga Panji penasaran.
"Jadi penyerbuan ini atas kehendakmu sendiri...?"
"Heh heh heh...! Aku tahu apa yang kau inginkan. Pendekar Naga Putih. Tapi supaya kau tidak penasaran, baiklah kukatakan bahwa kami memang bertindak atas perintah pimpinan kami, kaum golongan hitam yang selalu dilecehkan kaum pendekar. Syukurlah Sepasang Naga Merah muncul memimpin golongan hitam dan membangkitkannya untuk menguasai dunia persilatan...," akhirnya Buaya Sakti menjelaskan. Kelihatannya lelaki gemuk pendek itu sangat mendewa-dewakan Sepasang Naga Merah, yang dalam waktu singkat namanya telah menjadi buah bibir orang.
"Lagi-lagi Sepasang Naga Merah...," gumam Panji yang memang ingin berjumpa dengan tokoh yang namanya kian menjulang menenggelamkan tokoh-tokoh sesat lainnya.
"Sudahlah! Aku tidak mempunyai banyak waktu. Sekarang bersiap-siaplah untuk pergi ke akherat...!" Buaya Sakti memotong ketika melihat Pendekar Naga Putih masih hendak berbicara. Bahkan begitu ucapannya selesai, tubuh gemuk itu bergerak maju dengan geseran-geseran kaki yang cepat dan lihai.
"Haiiit...!"
Kali ini Panji tidak main-main lagi. Ia merasa sudah waktunya memberi pelajaran kepada raja begal itu. Maka begitu serangan lawan datang, Panji membuka telapak tangan kirinya untuk menyambut serangan Buaya Sakti.
Tappp...!
Belum lagi Buaya Sakti sadar tangannya ditahan telapak tangan lawan, tahu-tahu tangan kanan Pendekar Naga Putih bergerak cepat melakukan tamparan kilat!
Wuttt...!
Lagi-lagi tamparan Panji mengenai angin kosong. Gerakan lawannya memang terbukti cukup cepat. Tapi meskipun demikian, perubahan gerak Panji tidak diketahui lawan. Akibatnya....
Bukkk!
Dengan kedudukan tubuh miring, Panji menyarangkan pukulan telapak tangan kanannya ke dada Buaya Sakti. Tubuh gemuk itu terlempar ke belakang disertai tetesan darah segar dari sudut bibirnya.
"Setan keparat. !" Buaya Sakti memaki geram. Tubuh gemuk itu melompat bangkit siap melancarkan serangan. Dan...
"Haiiit!"
Diam-diam Panji kagum akan kehebatan daya tahan Buaya Sakti. Pukulan yang dilancarkannya tadi cukup keras, dan ia yakin lawan akan mengalami luka dalam yang parah. Tapi, kenyataannya lelaki gemuk itu dapat segera bangkit dan kembali membangun serangan.
Serangkaian serangan Buaya Sakti dihindarkan Pendekar Naga Putih dengan menggunakan kelincahan tubuhnya. Sesekali dibalasnya gempuran tokoh sesat itu dengan sambaran kaki atau tamparan. Dan serangan balasan Panji bertambah gencar.
Bukkk, desss!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji bersarang telak di tubuh Buaya Sakti. Hingga tubuh gemuk itu terlempar dua tombak. Ketika bangkit darah kental kehitaman termuntah dari mulut tokoh sesat itu. Tubuhnya kembali roboh ke tanah dan jatuh terduduk.
"Hm. Sebaiknya kau segera angkat kaki dari tempat ini. Buaya Sakti. Jangan sampai pikiranku berubah!" perintah Panji.
Buaya Sakti bagai tak percaya dengan pendengarannya. Ia mengangkat kepala memandang Pendekar Naga Putih, seperti hendak meminta kepastian.
"Pergilah! Bawa semua pengikutmu yang masih selamat...!" tandas Panji membuat orang-orang yang berada di sekitar tempat itu heran. Terutama para keamanan desa dan dara jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga. Kenanga yang tahu sifat kekasihnya tak berkata apa-apa. Gadis itu yakin Panji mempunyai rencana lain yang tidak diketahuinya. Dan Kenanga percaya dengan kematangan perhitungan Panji.
"Kau tidak menyesal telah membebaskan aku, Pendekar Naga Putih...?" tegas Buaya Sakti bergegas bangkit. Tentu saja ia masih ingin hidup lebih lama lagi.
"Hm...," Panji hanya mengangguk seraya bergumam tak jelas. Namun dapat dipastikan ia memang hendak melepaskan raja begal itu.
Tanpa banyak cakap Buaya Sakti memerintahkan para pengikutnya meninggalkan tempat itu. Ia sendiri sudah melompat ke atas punggung kuda. Diikuti para pengikutnya yang meninggalkan barang rampokan. Karena tentu saja Panji tidak akan membiarkan mereka pergi dengan membawa hasil rampokan.
Sepeninggal Buaya Sakti dan para pengikutnya, Kepala Keamanan Desa Alur menghampiri Panji. Lelaki gagah itu sungguh tidak menyangka penolongnya seorang pendekar besar yang namanya telah sering ia dengar. Baru kali ini ia mempunyai kesempatan bertemu langsung dengan pendekar pujaan banyak orang itu.
"Sebaiknya tempat ini segera dibereskan, Paman. Kami berdua hendak pergi. Masih banyak urusan yang harus kami selesaikan," ujar Panji kepada lelaki gagah itu.
"Tapi..." Lelaki gagah berpakaian serba hitam itu tidak melanjutkan ucapannya. Tubuh Panji dan Kenanga telah lenyap dari hadapannya diawali dengan hembusan angin keras.
"Hm. Pendekar-pendekar gagah yang benar-benar sejati. Mereka tidak mengharapkan balasan dari perbuatannya...," gumam lelaki gagah itu menatapi dua sosok bayangan yang semakin samar. Lalu memerintah kawan-kawannya untuk membereskan tempat itu setelah bayangan Panji dan Kenanga tidak terlihat lagi.
********************
"Aku tahu kau mempunyai alasan dengan melepaskan mereka begitu saja, Kakang. Coba katakan kepadaku, apa rencana yang ada dalam pikiranmu...," ujar Kenanga saat mereka melangkah di tepian kali berair jernih. Matahari sudah naik tinggi.
"Hm. Aku tahu kau pasti menanyakan hal itu, cepat atau lambat," tukas Panji tanpa menghentikan langkahnya. Kemudian kembali melanjutkan.
"Kita belum tahu di mana Sepasang Naga Merah berada. Ia sengaja memerintahkan para pengikutnya untuk membuat kekacauan, seperti yang dilakukan gerombolan Buaya Sakti. Dengan membebaskan mereka, aku berharap dapat menemukan tempat persembunyian Sepasang Naga Merah. Sebab, aku yakin Buaya Sakti akan datang menemui pimpinannya..."
Kenanga mengangguk-angguk mengerti. Dara jelita itu merasa lega yang diperkirakannya ternyata tepat. Panji mempunyai rencana tersendiri dengan melepaskan lawan-lawannya.
"Lalu, bagaimana kita bisa tahu kalau Buaya Sakti akan menemui Sepasang Naga Merah untuk melapor...?" tanya Kenanga.
"Hm... Bukankah jalan ini yang baru saja dilalui gerombolan Buaya Sakti? Nah, kita tinggal mengikuti. Bila perlu dalam jarak yang agak dekat. Aku yakin Buaya Sakti akan pergi menemui Sepasang Naga Merah. Apalagi setelah bertemu dengan kita yang menggagalkan perbuatan mereka," jelas Panji.
"Jika memang demikian rencana Kakang, ada baiknya kita tidak berada terlalu jauh dengan rombongan orang liar itu. Aku khawatir kita akan ketinggalan...," Kenanga memberikan pendapat
"Semua itu sudah kurencanakan. Sekarang marilah kita membayangi Buaya Sakti dankawan-kawannya dari tempat agak jauh. Dengan begitu, tidak merasa curiga ada orang yang menguntit pekerjaannya," lanjut Panji mengutarakan rencananya.
Keduanya lalu melesat menyusuri jalan yang dilalui Buaya Sakti dan kawan-kawannya. Tidak sulit bagi pasangan pendekar muda itu untuk menyusul. Beberapa saat saja jarak antara mereka hanya selisih tiga tombak. Keduanya yakin Buaya Sakit tidak mengetahui perbuatan mereka. Kenyataannya rombongan itu terus bergerak menuju timur.
Rombongan Buaya Sakti yang berjumlah kurang lebih delapan balas orang itu terus bergerak tanpa tahu ada orang yang mengikuti perjalanan mereka. Itu terus berlangsung sampai rombongan tiba di tepi sebuah sungai selebar delapan tombak dan mempunyai arus cukup deras. Di tempat itu Buaya Sakti mengangkat tangan kanannya ke atas sebagai isyarat berhenti.
"Mungkinkah mereka akan menyeberangi sungai itu Kakang...?" tanya Kenanga yang bersembunyi bersama kekasihnya di atas sebatang pohon berdaun lebat.
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang akan mereka lakukan...," sahut Panji.
Sampai beberapa saat lamanya rombongan itu belum juga bergerak. Beberapa di antaranya berlompatan turun dari punggung kuda, termasuk Buaya Sakti. Tiba-tiba lelaki gemuk berompi kulit buaya itu berbalik dan mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu. Kemudian kembali menghadap pengikut-pengikutnya. Terdengar suaranya yang mengejutkan anggota rombongan.
"Kalian semua lanjutkan perjalanan ke hilir. Aku tidak bisa menyertai kalian. Ada urusan penting yang harus kuselesaikan. Mungkin aku tidak akan kembali dalam tiga hari...," ujar Buaya Sakti kepada anak buahnya.
"Lalu... Apa yang harus kami lakukan sebelum Ketua kembali..?" tanya seorang anggota rombongan yang bingung mendengar keputusan Buaya Sakti.
"Kalian tidak perlu melakukan apa-apa selama aku belum kembali. Persediaan makanan masih cukup untuk setengah bulan. Jadi, kalian tidak perlu mencari...," jawab Buaya Sakti membuat para pengikutnya tertunduk lesu. Untuk beberapa saat suasana hening. Buaya Sakti menatap anggotanya satu persatu. Kemudian melanjutkan ucapannya.
"Ingat! Tak seorang pun kuizinkan meninggalkan perkampungan sebelum aku kembali. Barang siapa berani melanggar akan menerima hukuman sangat berat!" tandas lelaki gemuk itu tanpa ingin mendengar bantahan.
Karena keputusan ketua mereka tidak bisa dirubah lagi, anggota rombongan pun bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka menuju perkampungan yang dibangun di dalam sebuah hutan lebat. Buaya Sakti menghela napas panjang. Setelah bayangan para pengikutnya tidak nampak lagi, lelaki gemuk itu melompat ke atas punggung kuda dan melarikannya secepat setan!
"Hm... Mungkin ia hendak melapor kepada pimpinannya yang berjuluk Sepasang Naga Merah..," gumam Panji. Lalu keluar dari tempat persembunyian. Di kejauhan tampak bayangan samar kuda dan penunggangnya. Kepulan debu tebal menggumpal di belakang binatang itu.
"Kita ikuti, Kakang...?" tanya Kenanga agak ragu. Sebab Panji belum bergerak untuk melakukan pengejaran.
"Tentu..," sahut Panji segera menggenjot tubuhnya. Pendekar Naga Putih melesat dengan ilmu lari cepatnya. Kenanga menyusul dengan menggenjot tubuhnya menjajari langkah Panji.
Buaya Sakti agaknya tidak sadar ia dikuntit pasangan pendekar muda itu. Ia terus membedal binatang tunggangannya tanpa mengenal lelah. Raja begal itu agak tergesa untuk bisa tiba di tempat tujuannya.
"Kelihatannya Buaya Sakti menuju Kadipaten Tampak Serang?" gumam Panji mengerutkan kening. Kendati demikian, ia tidak mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Ada urusan apa tokoh sesat itu memasuki kota kadipaten? Jangan-jangan kita salah menduga, Kakang...?" timpal Kenanga melihat Buaya Sakti telah melewati pintu gerbang kadipaten di bagian barat.
Kenyataan itu membuat mereka terpaksa memperlambat langkah. Akan sangat mencurigakan bila mereka berlari-lari memasuki Kota Kadipaten Tampak Serang. Keduanya melanjutkan dengan langkah-langkah yang agak bergegas. Untung Buaya Sakti juga memperlambat lari kudanya saat melintas di jalan utama kota kadipaten. Rupanya tokoh sesat itu pun tidak ingin mengundang perhatian. Sehingga, Panji dan Kenanga tidak kehilangan jejak.
DELAPAN
"Pendekar Naga Putih...!"
Panggilan itu terdengar jelas di telinga Panji, membuat langkahnya terhenti. Namun ia agak heran melihat Kenanga terus melanjutkan langkahnya, seolah tidak mendengar panggilan itu. Sadarlah Panji ada orang yang menggunakan ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh' yang hanya ditujukan kepada dirinya.
"Ada apa, Kakang..?" tegur Kenanga melihat kekasihnya berhenti dan berdiri dengankening berkerut. Kelihatan sekali Panji tengah memikirkan sesuatu.
"Sebentar...," sahut Panji segera mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Kedai-kedai makan di seberang jalan pun tak lepas dari pengamatannya.
Kenanga yang tidak tahu mengapa kekasihnya tiba-tiba bersikap demikian aneh, tanpa sadar mengikuti gerak-gerik Panji. Padahal dara jelita itu tidak tahu apa yang dicari kekasihnya.
Tiba-tiba Panji tersenyum lebar. Di sebuah ruangan kedai dilihatnya Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa tengah duduk menikmati hidangan. Kedua pertapa itu tersenyum ke arah Panji. Panji pun segera dapat menduga orang yang memanggilnya kedua Pertapa Gunung Naga itu.
"Kenanga, mari kita singgih sebentar di kedai itu..," ajak Panji tanpa menunggu jawaban lagi segera melangkahkan kaki.
"Kakang, bagaimana dengan buruan kita...?" Kenanga yang tidak mengerti dengan tingkah kekasihnya mencoba mengingatkan. Dara jelita itu tentu saja tidak ingin melepas buruannya setelah mengejar satu hari penuh. Tapi, tahu-tahu Panji mengajaknya singgah di kedai. Padahal mereka belum tahu ke mana tujuan Buaya Sakti. Kenanga pun menjadi kesal.
Panji yang sudah melangkah beberapa tindak segera menghentikan langkahnya, ia merasa Kenanga tidak mengikuti. Ketika Panji menoleh, benar saja. Dara jelita itu berdiri dengan wajah masam. Panji segera dapat menduga apa yang menjadi penyebabnya. Bergegas pemuda itu menghampiri kekasihnya yang tengah merajuk.
"Jangan marah dulu, Kenanga. Coba kau lihat siapa yang duduk di kedai itu...," ujar Panji menggerakkan kepalanya seraya menyentuh lembut punggung dara jelita itu.
"Pertapa Gunung Naga...?!" desis Kenanga dengan kening berkerut ketika memandang kedai yang ditunjuk Panji. Kenanga terpaksa tersenyum ketika melihat kedua kakek itumelemparkan senyum ramah kepadanya.
"Nah, apakah kau sudah paham sekarang...?" tanya Panji.
"Tapi bagaimana dengan Buaya Sakti, Kakang? Bukankah kita belum tahu ke mana ia akan pergi? Apakah tidak sebaiknya kita ikuti saja sampai raja begal itu tiba di tempat tujuannya. Setelah itu, baru kita menemui Pertapa Gunung Naga...," ujar Kenanga yang tidak ingin usaha yang telah mereka tempuh harus ditinggalkan begitu saja. Padahal sudah hampir sampai pada tujuan.
"Ah, rupanya kau belum juga mengerti," tukas Panji menghela napas panjang. "Dengar Kenanga. Kalau kedua pertapa itu berada di kota kadipaten ini, tentu ia telah cukup banyak tahu apa yang mereka anggap penting untuk diketahui. Dan kalau Sepasang Naga Merah tinggal di kota kadipaten ini, sudah pasti mereka mengetahuinya. Itu sebabnya aku tidak merasa khawatir. Meski harus meninggalkan buruan kita..."
"Aiiih.... Mengapa aku menjadi tolol begini...?" desis Kenanga seraya menampar keningnya perlahan. "Maafkan aku, Kakang. Mari kita temui mereka...," lanjut dara jelita itu yang kekesalannya telah terbang entah ke mana.
Saat pasangan pendekar muda itu memasuki kedai dan menghampiri meja Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa, kedua pertapa itu bangkit menyambut Panji dan Kenanga. Wajah keduanya terlihat cerah dan diwarnai senyum ramah.
"Silakan..." ujar Ki Sarwa Dipa mempersilakan Panji dan Kenanga mengambil tempat masing-masing.
Setelah mengucapkan terima kasih, Panji menghempaskan tubuhnya di kursi. Demikian pula Kenanga. Mereka memesan hidangan kepada pelayan kedai.
"Kelihatannya kalian begitu terburu-buru. Ada apa?" tanya Ki Sarwa Dipa setelah mereka terdiam beberapa saat.
Tanpa ragu-ragu, Panji segera menceritakan pengalamannya. Sampai ia dan Kenanga melakukan pengejaran terhadap Buaya Sakti.
"Melihat Eyang berdua berada di sini, kami ikut bergabung. Karena kami yakin seluruh pelosok kota kadipaten ini telah Eyang selidiki. Apakah dugaanku salah...?" tanya Panji menutup ceritanya, membuat pertapa itu tertawa pelan.
"Tajam sekali cara berpikirmu. Pendekar Naga Putih. Sekali pandang kau langsung bisa menebak isi kepala yang sudah peot ini," tukas Ki Sarwa Dipa menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh kagum.
"Bagaimana, Eyang? Apakah sudah mengetahui di mana Sepasang Naga Merah...?" Panji langsung menukas ketika pertapa tua itu menyelesaikan ucapannya. Khawatir Ki Sarwa Dipa akan terus memujinya. Maka Panji segera mengalihkan pembicaraan.
"Hm.... Tunggu saja malam nanti. Aku membuat kejutan untuk kalian berdua...," sahut Ki Sarwa Dipa berteka-teki membuat Panji dan Kenanga terpaksa melebarkan senyum.
"Itu berarti malam ini kita harus menginap di kota kadipaten?" tegas Panji menatap KiSarwa Dipa dan Ki Garma Dipa bergantian.
"Bisa juga begitu....," sahut Ki Garma Dipa tersenyum. Sedangkan Ki Sarwa Dipa memperdengarkan tawa halus.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali terdiam. Pelayan kedai datang membawa pesanan dan menata rapi di atas meja. Tak satu pun yang berbicara saat menikmati hidangan.
********************
Semula Panji dan Kenanga tidak mengerti ketika malam tiba Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa mengajak mereka pergi ke hutan yang terletak di sebelah utara kota kadipaten. Di sebuah tanah lapang yang cukup luas dan jauh dari perumahan penduduk mereka berhenti.
"Jadi Eyang berdua telah mengirimkan surat tantangan kepada Sepasang Naga Merah...?" tanya Panji yang segera dapat menduga maksud kedatangan mereka ke tempat itu.
"Bukan hanya Sepasang Naga Merah. Tapi dua orang datuk kaum sesat pun akan datang ke tempat ini. Mereka telah bergabung dengan Sepasang Naga Merah...," sahut Ki Sarwa Dipa menambahkan tokoh-tokoh yang ditantangnya.
"Siapa saja mereka, Eyang...?" desak Panji ingin segera tahu.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Nanti pun kau akan mengetahui. Sebaiknya kalian berdua sembunyi. Aku khawatir mereka akan pergi bila melihat kalian berada di tempat ini...," tukas Ki Garma Dipa. Karena orang-orang yang mereka undang memiliki sifat licik dan bisa saja tidak jadi datang jika melihat ada Pendekar Naga Putih di antara mereka.
Maklum akan kemungkinan itu, Panji tidak membantah. Pemuda itu segera mengajak kekasihnya bersembunyi di balik sebatang pohon besar melebihi dua pelukan orang dewasa. Dengan demikian, mereka berharap surat tantangan itu akan dipenuhi lawan. Rupanya kedua Pertapa Gunung Naga itu tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, tampak lima orang bergerak dari sebelah depan.
"Bagus! Kalian mau datang juga akhirnya...," sambut Ki Sarwa Dipa ketika kelima orang itu telah berada lebih dekat, kira-kira dua tombak lebih.
"Hua ha ha...! Pertapa Gunung Naga, kalian berdua hanya mengantar nyawa jika hendak mencariku. Selain itu kitab ilmu 'Silat Naga Merah' telah lama kami musnahkan, begitu seluruh isinya kami kuasai dengan baik. Jelas perjalanan kalian sia-sia...," ucap seorang pemuda tampan bertubuh tegap yang berpakaian serba merah. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Kelana.
Di sebelah Kelana terlihat Savitri tersenyum mengejek. Kemudian Raja Racun Muka Hitam, Cambuk Penakluk Naga, dan Buaya Sakti. Ketiga tokoh sesat itu rupanya hadir memenuhi tantangan Pertapa Gunung Naga.
"Meskipun begitu kau harus menebus semua dosa-dosamu, Pencuri. Kau akan kami hadapkan kepada pimpinan kami untuk diadili dan dijatuhkan hukuman yang seadil-adilnya...," sahut Ki Sarwa Dipa agak kaget mendengar kitab ilmu 'Silat Naga Merah telah dimusnahkan Kelana. Itu berarti mereka harus membawa salah satu dari Sepasang Naga Merah sebagai bukti mereka telah melaksanakan tugas.
"Hm.... Sudahlah. Tidak perlu banyak cakap. Sebaiknya kalian bersiap untuk menghadap raja maut...!" tukas Kelana tidak ingin berpanjang kata.
"Hiyaaat...!"
Disertail engkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun tidak tinggal diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan berbahaya, mereka tidak terlihat gentar. Mereka pun bersiap menyambut serangan lawan! Perkataan Kelana seperti merupakan isyarat bagi kawan-kawannya. Raja Racun MukaHitam dan Cambuk Penakluk Naga sudah menyiapkan jurus-jurusnya.
"Tahan...!" Kelana tiba-tiba mencegah. Pemuda itu melangkah maju beberapa tindak. "Mereka berdua bagianku. Sebaiknya kalian saksikan saja...," ujar Kelana segera menyiapkan serangan.
Savitri yang menjadi pasangan Kelana tentu saja tidak berpangku tangan. Tubuhnya bergerak ke depan menjajari Kelana. Kemudian membuka jurusnya yang mirip jurus Kelana, bedanya mereka melakukan gerakan berlawanan. Satu ke kiri, satu ke kanan. Ilmu yang mereka pergunakan memang merupakan ilmu berpasangan.
"Hiyaaat...!"
Disertai lengkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun tidak tinggal diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan berbahaya, mereka tidak kelihatan gentar. Tampaknya kedua pertapa itu lebih suka tewas dalam melaksanakan tugas daripada tewas karena usia tua. Saat serangan lawan datang, kedua pertapa itu segera menyambut. Sebentar saja keempatnya telah terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan!
Kedua Pertapa Gunung Naga sadar betul akan kedahsyatan ilmu 'Sepasang Naga Merah'. Untuk mengimbangi mereka harus menguras seluruh tenaga dan kepandaian. Kalau tidak, mereka akan celaka dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sepasang Naga Merah yang merasakan kedua lawannya melakukan gempuran mati-matian tentu saja tidak tinggal diam. Dengan kerja sama yang baik sekali mereka mulai memperlihatkan ketangguhannya. Sehingga saat pertarungan menginjak jurus keenam puluh, kedua Pertapa Gunung Naga mulai merasakan betapa berat tekanan lawan. Setiap kali mereka menangkis, tubuh tua pertapa-pertapa itu terjajar mundur. Jelas sudah mereka tidak mungkin sanggup menghadapi Sepasang Naga Merah yang tangguh dan kuat.
Panji yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon tidak mau menunggu sampai kedua pertapa itu celaka. Begitu melihat mereka terdesak, Panji melesat keluar dari persembunyainnya dan memasuki arena pertempuran.
"Haiiit...!"
Kelana dan Savitri melompat mundur ketika serangkum angin dingin menusuk tulang mendahului datangnya sesosok bayangan putih. Mereka terpaksa melepaskan kedua pertapa yang sudah tidak sanggup lagi membangun serangan dan tinggal menghabisinya saja. Sayang sosok berjubah putih datang mencegah. Mereka tidak berani memandang remeh sambaran angin dingin yang sangat kuat itu.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Hampir bersamaan Kelana dan Savitri berseru menyebut julukan Panji. Mereka kaget karena tidak menyangka pendekar muda itu akan muncul. Tapi, keterkejutan itu hanya berlangsung sesaat. Lalu berganti dengan kemarahan.
"Bagus kau muncul, Pendekar Naga Putih! Dengan begitu, aku sekaligus membalas dendam orangtuaku...!" geram Kelana kembali teringat kematian ayahnya di tangan Panji. Itu diketahui dari penduduk desa tempat kelahirannya.
"Hm.... Ayahmu seorang pemeras dan penipu, Kelana, ia tega menyengsarakan penduduk Desa Sendang Waringin dengan membuka rumah judi. Padahal seharusnya ia tahu judi akan menghancurkan kehidupan semua orang. Karena ia tak mau sadar, terpaksa aku melenyapkannya demi ketenteraman penduduk desa," sahut Panji membuat Kelana tersentak kaget. Panji ternyata telah mengetahui tempat kelahirannya. Bukan tidak mungkin nama orangtuanya juga diketahui pemuda itu.
"Biar bagaimanapun, aku tetap membalaskan kematian ayahku!" tandas Kelana tak mau tahu baik buruknya tindakan orangtuanya. Ia bersikeras tetap akan membalaskan dendam orangtuanya.
"Itu hakmu, Kelana. Aku tidak bisa memaksa bila kau memang tidak ingin sadar dari kesesatanmu...!" tukas Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan ilmu 'Silat Naga Sakti'. Karena baik Kelana maupun Savitri telah siap menerjang.
"Hiyaaat...!"
"Haiiit...!"
Sepasang Naga Merah bergerak bersamaan menerjang Panji yang saat itu telah menggabungkan kedua tenaga mukjizatnya. Karena lawan yang dipahadapinya sangat hebat!
Dengan ilmu silatnya yang langka dan jarang menemui tandingan, Panji menyambut serangan kedua lawannya. Kendati Kelana dan Savitri menerjang dengan hebat, namun Panji selalu dapat mengatasi. Bahkan melontarkan serangan balasan yang tidak kalah ampuh dan berbahayanya. Arena pertarungan menjadi porak-poranda bagai diamuk angin ribut. Dalam jurus-jurus awal terlihat kedua belah pihak masih seimbang. Sama-sama kuat dan sama gesitnya.
Sementara itu, Raja Racun Muka Hitam sudah gatal tangan ingin maju bertarung. Begitu juga Cambuk Penakluk Naga. Mereka langsung dihadapi Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Keempat tokoh tua itu membuat arena lain berjarak enam tombak dari pertempuran Pendekar Naga Putih.
Demikian juga Kenanga. Melihat Buaya Sakti melirik dirinya, Kenanga menghampiri raja begal itu. Meski agak gentar Buaya Sakti terpaksa melayani serangan-serangan dara jelita itu yang sudah menggunakan pedangnya untuk menghadapi lawan. Mereka terlibat pertarungan sengit!
Saat itu, pertarungan Pendekar Naga Putih dan Sepasang Naga Merah berjalan semakin cepat. Kedua belah pihak berusaha mendesak lawan. Terlebih Kelana yang memangingin melenyapkan Pendekar Naga Putih, yang merupakan penghalang terbesar cita-citanya.
"Yaaat…!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji mengeluarkan lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Tubuh pemuda itu bergerak cepat dengan sepasang lengan saling susul-menyusul mencari sasaran.
"Gila...!" Kelana memekik kaget merasakan angin pukulan lawan berubah-ubah hawanya. Terkadang dingin seperti salju. Di lain saat panas membakar seperti api tungku. Hingga kedua lawannya terdesak. Terlebih lagi sambaran cakar yang datang tak terduga dan memiliki perubahan gerak yang mengejutkan. Kenyataan itu membuat Kelana dan Savitri penasaran!
Saat serangan Panji kembali datang bagai gelombang air laut yang susul-menyusul tak pernah henti Kelana bertindak nekat. Sepasang tangannya diangkat ke atas memapaki sepasang lengan Pendekar Naga Putih. Dan...
Plakkk, Plakkk...!
"Uhhh...?!" Tangkisan itu justru mendatangkan kerugian bagi Kelana. Lengannya terasa linu dan tubuhnya terjajar mundur setengah tombak. Meskipun begitu, Kelana masih dapat mempertahankan kuda-kudanya dan tetap berdiri tegar.
Panji semula berniat menyusuli serangannya. Tapi niat itu ditunda ketika melihat Savitri datang dengan serangan-serangan yang berbahaya. Hingga Panji terpaksa menghadapi gadis cantik itu dan membalas setiap serangan Savitri. Bahkan dengan kecepatan yang jauh melebihi gerak Savitri. Akibatnya, gadis cantik itu dipaksa bermain mundur. Sampai akhirnya....
Bukkk!
"Aiiih...!" Savitri terpekik kesakitan ketika telapak tangan Panji singgah di bahu kirinya. Tubuh gadis cantik itu melintir seperti baling-baling.
"Haaat!"
Bettt!
Kelana yang datang menyelamatkan Savitri melepaskan sebuah pukulan maut disertai suara mencicit tajam. Cepat Pendekar Naga Putih menundukkan kepala. Kemudian menggeser kaki kanannya ke belakang. Dan mengirimkan sikunya ke iga kiri Kelana.
Duggg!
"Hikh...!" Kelana terjajar limbung dengan wajah meringis menahan sakit. Saat itu Panji melenting ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai sinar berpendar pada sekujur tubuhnya, membuat lawan di bawahnya sukar untuk melihat dengan jelas. Dan....
Bettt, desss!
"Aaakh...!" Tanpa ampun tubuh Kelana terpental. Cairan merah mengalir dari dada kirinya yang robek oleh cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan perutnya terasa mual terkena tendangan telak. Tubuh pemuda itu menggeliat memuntahkan darah segar yang agak kental.
"Kelana...?!" Savitri kaget bukan main melihat tubuh sekutu sekaligus kekasihnya terbanting ke tanah. Cepat ia melesat menerjang Panji dengan kemarahan memuncak.
Tapi, itu justru merupakan peluang baik bagi Pendekar Naga Putih. Dengan merundukkan kepala menghindari sambaran tangan lawan, Panji menggeser maju kaki kirinya. Kemudian melepaskan dorongan kedua telapak tangan dengan menggunakan tenaga gabungan.
Bressshhh...!
"Aaa...!" Savitri terpental disertai jeritnya yang melengking tinggi. Gadis itu terbanting ke tanah dengan sebelah tubuhnya hangus terbakar. Sedangkan sebagian lagi membeku bagai orang yang menderita kedingin hebat.
"Savitri...!" Kelana bergegas bangkit. "Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih...!" pekiknya murka. "Hiyaaahhhh...!"
Wukkk...!
Panji menggeser tubuhnya satu langkah ke belakang. Begitu pukulan lawan luput, kepalan kiri dan kanannya datang bertubi-tubi menghantam tubuh Kelana!
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Huakhhh...!" Tanpa ampun tubuh Kelana terpental ke udara. Darah menyembur dari mulutnya. Kemudian jatuh berdebuk di tanah. Kelana tewas persis seperti keadaan Savitri yang terkena hantaman gabungan tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih.
Rupanya pertempuran yang lainnya pun sudah pula berakhir. Cambuk Penakluk Naga menggeletak di tanah dengan kepala pecah. Nampaknya pukulan Ki Garma Dipa terlalu kuat, hingga meretakkan batok kepala tokoh sesat itu.
"Cambuk Penakluk Naga adalah guru Savitri. Ia membantu muridnya untuk menguasai dunia persilatan...," jelas Ki Garma Dipa tanpa diminta Panji.
"Ke mana perginya Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Panji yang tidak menemukan mayat datuk sesat itu.
"Ia telah melarikan diri dengan sangat licik. Meskipun begitu datuk sesat itu tidak akan berani muncul dalam waktu dekat..," Ki Sarwa Dipa yang menjadi lawan Raja Racun Muka Hitam menjelaskan.
Kenanga sendiri sudah menamatkan riwayat Buaya Sakti. Dara jelita itu menggamit lengan Panji. Lega hatinya melihat persoalan rumit yang memusingkan itu sudah selesai.
"Kita berpisah di sini, Eyang. Kami hendak melanjutkan perjalanan...," ujar Panji mohon diri kepada kedua Pertapa Gunung Naga.
"Pendekar Naga Putih, tung...?!" Ki Sarwa Dipa tidak menuntaskan kalimatnya, karena Pendekar Naga Putih telah lenyap ditelan kegelapan malam. Semula dirinya hendak mengajak pendekar muda itu singgah di Gunung Naga. Sayang, mereka telah lenyap. Sehingga kedua pertapa itu hanya bisa termangu-mangu dalam kebisuan malam yang kian mencekam....
S E L E S A I