Warisan Terkutuk

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih episode Warisan Terkutuk Karya T. Hidayat
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Naga Putih
Episode Warisan Terkutuk
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Naga Putih
SATU

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Kuda berbulu hitam mengkilat itu melesat bagai anak panah lepas dari busur. Kaki-kakinya yang kokoh berderap melintasi jalan lebar. Kendati demikian, penunggang kuda bertubuh gemuk itu masih belum puas. Bentakannya terus terdengar mengiringi derap kaki kuda. Agaknya lelaki gemuk itu tengah terburu-buru.

Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda itu tiba di sebuah rumah besar yang agak terpencil. Begitu memasuki halaman, tubuhnya langsung melompat turun dengan lincah. Rupanya lelaki gemuk itu bukan orang sembarangan. Terbukti ia dapat mendarat dengan baik saat kuda belum lagi berhenti.

Seorang laki-laki kurus berusia sekitar empat puluh tahun bergegas menyambut penunggang kuda itu. Setelah membungkuk hormat, tangannya segera menyambut tali kekang yang diangsurkan ke arahnya.

“Kelihatannya aku orang pertama yang tiba di tempat ini...,” gumam lelaki gemuk itu, setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman.

“Benar, Tuan Yudha Pasa...,” sahut lelaki kurus. Kemudian bergegas menambatkan kuda lelaki gemuk yang bernama Yudha Pasa itu di tempat yang telah disediakan.

“Begitu mendapat kabar, aku langsung ke sini,” ujar Yudha Pasa. “Benarkah ayahku sudah wafat, Ramin...?”

Lelaki kurus bernama Ramin itu kelihatan agak gugup. Hingga kening Yudha Pasa berkerut Sikap lelaki kurus itu membuat Yudha Pasa heran.

“Ramin...!” panggil Yudha Pasa dengan nada agak tinggi. Sebab Ramin belum juga menjawab pertanyaannya.

“Ya, Tuan”

“Kau tidak mendengar pertanyaanku?” Yudha Pasa mengulang pertanyaannya. Kali ini nadanya agak menyelidik. Itu karena sikap Ramin yang aneh.

“De... dengar, Tuan...,” sahut Ramin terbungkuk-bungkuk dengan kepala. Kepala lelaki kurus itu merunduk. Tidak berani menentang pandang mata Yudha Pasa.

“Angkat kepalamu, Ramin. Dan jawab pertanyaanku tadi...!” bentak Yudha Pasa, kesal karena sikap lelaki kurus itu. Sehingga wajah Ramin menjadi agak pucat.

“Tuan Besar Ganda Pasa memang telah wafat semalam. Nyai Narasumi segera mengirim orang untuk mengabarkannya kepada Tuan Yudha Pasa. Juga pada kedua putra Tuan Besar lainnya. ,” jelas Ramin sedikit gugup. Kemudian kembali menundukkan wajahnya dalam-dalam. Terlihat bayang kedukaan pada wajah lelaki kurus itu.

“Hhh.... Kira-kira apa yang menyebabkan kematian ayahku, Ramin? Seingatku beliau tidak pernah mengidap penyakit yang berbahaya?” tanya Yudha Pasa lagi. Penasaran ingin mengetahui penyebab kematian Ki Ganda Pasa, ayahnya. Yudha Pasa merupakan anak tertua Ki Ganda Pasa. Lelaki gemuk itu sudah berpisah dari orang-tuanya. Ia tinggal di selatan bersama anak-istrinya. Begitu mendapat kabar ia langsung bergegas menuju tempat ini.

“Aku sendiri tidak tahu, Tuan. Mungkin Nyai Narasumi lebih tahu. Dialah yang merawat Tuan Besar ketika mendadak sakit...,” jawab Ramin lancar. Kemudian melangkah perlahan mempersilakan Yudha Pasa memasuki rumah besar itu.

“Hm.... Jadi sebelumnya ayahku mendadak sakit Lalu meninggal karena serangan penyakit itu. Begitu maksudmu...?” tanya Yudha Pasa seraya melangkah perlahan mengikuti Ramin.

“Kira-kira begitulah, Tuan Yudha...,” sahut Ramin yang memang tidak tahu penyebab kematian tuan besarnya. Karena meskipun telah lama mengabdikan diri sebagai pelayan, tapi tidak semua persoalan di rumah itu diketahuinya. Terlebih perihal kematian Ki Ganda Pasa yang sangat mendadak. Hingga ia tidak bisa memberikan jawaban pasti kepada putra sulung majikannya.

Belum juga Yudha Pasa dan Ramin masuk ke dalam rumah, terdengar suara berderap. Cepat keduanya menoleh ke asal suara. Tampak seekor kuda berbulu coklat berlari cepat memasuki halaman. Yudha Pasa yang pandangannya lebih tajam dari Ramin, kelihatan mengerutkan kening. Ia melihat penunggang kuda itu terluka pada bahu kanannya. Yang membuatnya kaget, luka itu masih baru dan mengeluarkan darah. Maka tanpa banyak cakap lagi, lelaki gemuk itu bergegas memburu penunggang kuda itu.

“Apa yang terjadi, Adi Rengga...?!” tanya Yudha Pasa yang dengan sigap menahan lari kuda coklat itu. Melihat caranya menghentikan lari kuda, agaknya Yudha Pasa memiliki kekuatan tenaga dalam yang tangguh.

“Entahlah, Kakang. Dalam perjalanan ke sini, aku dihadang dua orang lelaki kasar yang mengenakan cadar untuk melindungi wajahnya. Tanpa banyak cakap mereka langsung menyerangku. Untunglah aku dapat mengusir mereka. Kendati harus mengalami luka di bahu...,” jelas lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Lalu melompat turun dari punggung kuda. Dan menyerahkan kuda itu kepada Ramin untuk ditambatkan.

“Kau tidak berusaha mengejar mereka, Adi Rengga...?” tanya Yudha Pasa sangat penasaran dengan kejadian yang dialami lelaki tegap itu.

“Hhh...,” lelaki tegap itu menghela napas. Rengga Pasa adalah putra kedua Ki Ganda Pasa. Seperti juga Yudha Pasa, ia pun mendapat kabar tentang kematian ayahnya. Dan meninggalkan keluarganya untuk menjenguk orangtuanya.

“Mereka sangat tangguh, Kakang. Kelihatannya mereka menghendaki kematianku! Tidakkah Kakang merasakan ada keanehan dengan kejadian itu...?” ujar Rengga Pasa, seraya melangkah perlahan.

“Hm.... Kematian ayah sudah membuatku merasa aneh. Apalagi dengan adanya kejadian yang kau alami. Jelas ada sesuatu yang tidak wajar dengan kematian ayah...,” timpal Yudha Pasa seraya menatap wajah adiknya. Ia langsung mengutarakan kecurigaannya mengenai kematian Ki Ganda Pasa yang menurutnya tidak wajar.

Rengga Pasa tidak menimpali ucapan kakaknya. Keningnya berkerut. Lelaki tegap itu tengah memikirkan ucapan Yudha Pasa.

“Kematian adalah sesuatu yang wajar...!” Tiba-tiba terdengar suara halus namun jelas di telinga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Sehingga keduanya menoleh.

“Sumi...!”

Hampir berbarengan kedua lelaki itu berseru perlahan ketika melihat seorang gadis berusia dua puluh dua tahun berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tubuhnya bersandar pada tiang pintu. Gadis cantik itu adalah Narasumi, putri bungsu Ki Ganda Pasa. Dialah yang menemani dan merawat ayahnya dalam menjalani sisa-sisa hidupnya.

Narasumi melangkah perlahan dengan tangan masih terlipat di dada. Sepasang matanya yang bulat dan jernih menatap kedua kakaknya berganti-ganti. Namun sepasang mata itu agak membengkak. Gadis cantik itu rupanya terlalu banyak mengeluarkan air mata. Dan itu kelihatan jelas oleh kedua kakaknya.

“Katakan, apa penyebab kematian ayah, Sumi...?” tanya Yudha Pasa setelah gadis itu tiba di dekat mereka berdua. Lelaki gemuk itu belum dapat menerima kematian ayahnya begitu saja, tanpa keterangan yang jelas dan memuaskan hati.

“Duduklah dulu, Kakang,” ujar Narasumi kepada kedua kakaknya. Nada ucapan gadis itu sedikit pun tidak menunjukkan keakraban. Narasumi memang tidak begitu dekat dengan kedua kakaknya. Terlebih setelah keduanya berkeluarga dan mereka bertiga jarang sekali berkumpul.

Yudha dan Rengga tidak membantah. Keduanya menjatuhkan tubuh di kursi di ruang depan. Begitu juga Narasumi. Lalu mereka saling berpandangan sesaat

“Kemarin ayah berpamitan padaku. Beliau tidak mengatakan hendak ke mana dan melakukan apa. Tapi, pada saat kembali aku baru dapat menebak apa yang sudah terjadi. Sebab ayah mengalami luka dalam yang cukup parah. Jelas beliau telah bertarung dengan lawan tangguh. Sayangnya beliau tidak mengatakan apa-apa, meski telah ku desak,” jelas Narasumi menghilangkan keheningan di antara mereka. Wajah cantik itu terlihat memendam rasa penasaran yang dalam.

“Jadi, luka itukah yang menyebabkan kematian ayah...?” tanya Yudha Pasa sambil menatap wajah adik perempuannya lekat-lekat.

“Yahhh...!” Narasumi menjawab dengan desahan lirih. Gadis itu membuang pandangannya ke luar jendela. Tampak sepasang matanya merebak. Rupanya ingatan itu membuat kesedihannya bangkit kembali.

“Apa kau tidak dapat menebak, siapa kira-kira orang yang telah bertarung dengan ayah?” Rengga Pasa yang sejak tadi termenung, melontarkan pertanyaan. Kilatan dendam terpancar pada sepasang matanya yang tajam. Tampak sekali kalau Rengga Pasa tidak bisa menerima begitu saja kematian orang tuanya.

“Tidak. Sepanjang pengetahuanku, ayah tidak mempunyai musuh. Itu sebabnya aku sangat penasaran! Sampai kematian datang menjemput, ayah tidak mau bercerita mengenai lawan yang telah melukainya. Tampaknya beliau tidak ingin kita mendendam pada orang itu...,” jawab Narasumi dengan penasaran. Sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga hanya bisa memendam rasa penasarannya dalam-dalam.

Pembicaraan mereka terputus oleh suara langkah yang menuju ke tempat itu. Tidak berapa lama kemudian, muncullah sesosok tubuh tinggi besar. Wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya. Pakaiannya agak ketat hingga memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang bersembulan. Lelaki tinggi besar itu sejenak berdiri di ambang pintu, dan tersenyum pada ketiganya.

“Rupanya aku datang terlambat.” Lelaki tinggi besar itu membuka suaranya yang besar dan berat. Kemudian menarik kursi yang masih kosong dan menjatuhkan tubuhnya disertai helaan napas.

“Kupikir kau tidak akan sempat datang, Bangga. Ternyata dugaanku keliru,” ucap Rengga Pasa. Kelihatannya sambutan yang diberikan lelaki tegap itu cukup hangat. Membuat lelaki tinggi besar yang bernama Bangga tersenyum lebar.

“Meski tugas-tugasku sebagai perwira kerajaan cukup banyak, tapi aku tetap menyempatkan diri untuk datang menghadiri pemakaman ayah. Bagiku ini jauh lebih penting dari tugas-tugasku...,” timpal Bangga, yang juga mempunyai nama belakang Pasa, seperti halnya Yudha dan Rengga. Sebab lelaki tinggi besar itu merupakan putra ketiga Ki Ganda Pasa.

“Bagus kalau kau mempunyai pemikiran demikian...,” tukas Yudha Pasa agak dingin. Sikapnya menunjukkan bahwa hubungan mereka tidak terlalu dekat

Mendengar ucapan agak sinis itu, Bangga Pasa mengalihkan pandangannya dari wajah Rengga. Ditatapnya wajah Yudha Pasa, kakak tertuanya, dengan sorot mata tajam. Sikap itu membuat suasana di antara mereka menjadi tegang.

“Kakang Bangga,” Narasumi berusaha mengalihkan perhatian lelaki tinggi besar itu. “Biasanya seorang perwira akan membawa beberapa prajuritnya bila hendak bepergian. Apa kau tidak dikawal prajurit-prajuritmu...?”

“Tentu saja ada beberapa prajurit yang menyertaiku, Sumi. Mereka ku tinggalkan di luar. Aku tidak ingin pertemuan di antara kita terganggu...,” meski agak segan, Bangga Pasa menyahuti pertanyaan adiknya. Sehingga usaha Narasumi untuk menghilangkan ketegangan di antara mereka tidak sia-sia.

“Eh! Bahumu kenapa, Kakang Rengga...?” Bangga Pasa yang baru menyadari ada luka di bahu Rengga Pasa langsung melontarkan pertanyaan.

“Tidak apa-apa, Adi. Hanya sedikit goresan pedang. Ketika aku lewat di Hutan Klaren, dua orang bercadar hitam menghadang jalanku. Untunglah mereka dapat kuusir pergi, kendati bahu ku sempat tergores pedang salah seorang dari mereka...,” ujar Rengga Pasa menjelaskan sebab luka di bahunya.

“Hm.... Mungkin mereka hendak merampokmu, Kakang. Karena dandananmu memang cukup mewah...,” tukas Bangga Pasa menduga.

“Entahlah. Tapi, sepertinya mereka menghendaki kematianku...,” lanjut Rengga Pasa sedikit membantah. Sebab ia sendiri belum tahu pasti maksud penghadang-penghadang itu.

Bangga Pasa baru saja hendak menimpali. Namun ditahannya ketika dari luar terdengar suara lantang yang membuat mereka berempat terkejut!

“Ganda Pasa, keluarlah! Kali ini kau tidak akan bisa lari dari kami...!”

Keempat putra dan putri Ki Ganda Pasa terkejut bukan main. Teriakan lantang yang dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam itu membuat mereka saling berpandangan sejenak. Baru setelah Bangga Pasa bergerak keluar ruangan, yang lainnya bergegas menyusul.

Hampir bersamaan keempatnya mendaratkan kaki di halaman depan. Mereka melihat tiga orang lelaki tengah dikepung enam orang prajurit kerajaan. Kendati demikian, tidak terlihat kegentaran di wajah ketiga lelaki bertampang kasar itu. Usia mereka tidak muda lagi, rata-rata berumur sekitar lima puluh tahun. Jelas, ketiga orang itulah yang mencari Ki Ganda Pasa.

Bangga Pasa melangkah maju dengan wajah garang. Dan memerintahkan keenam prajuritnya untuk mundur. Lelaki tinggi besar yang kelihatan sangat kuat itu berhadapan dengan tiga orang tamu tidak diundang itu.

Yudha, Rengga, dan Narasumi juga tidak tinggal diam. Ketiganya mendampingi Bangga. Mereka pun merasa penasaran melihat ada orang mencari ayahnya. Apalagi dari suara teriakan tadi jelas terkandung maksud yang tidak baik. Mereka ingin tahu maksud orang-orang itu mencari ayah mereka.

“Kisanak. Siapakah kalian bertiga? Ada keperluan apa hendak bertemu dengan ayahku...?” tanya Bangga Pasa dengan berwibawa. Rupanya kebiasaan sikapnya sebagai seorang perwira telah menyatu dengan dirinya.

Melihat itu, ketiga tamunya mengerutkan kening dalam-dalam.

“Kau putra Ganda Pasa...? Apa aku tidak salah dengar?” tegas salah seorang dari tiga lelaki bertampang kasar itu. Wajahnya dipenuhi cambang bauk lebat Sepasang matanya menyipit, seolah ingin memperjelas pandangannya.

“Kau tidak salah dengar, Kisanak. Kami berempat adalah putra-putri Ki Ganda Pasa. Kalau kalian ada keperluan, silakan sampaikan kepada kami. Kami berempat merupakan wakil-wakil beliau...,” kali ini Yudha Pasa yang berbicara. Lelaki gemuk itu berdiri di samping Bangga Pasa. Dan menatap ketiga orang asing itu dengan pandangan curiga.

Tapi lelaki bercambang bauk itu tidak mempedulikan Yudha Pasa. Sepasang matanya tetap mengawasi sosok lelaki tinggi besar berpakaian perwira. Di antara keempat anak-anak Ki Ganda Pasa, rupanya hanya Bangga Pasa yang menarik perhatiannya. Terbukti, hanya perwira itulah yang sejak tadi diperhatikannya.

“He he he...! Benar-benar sulit dipercaya kalau keturunan Ki Ganda Pasa menjadi abdi kerajaan” Tiba-tiba lelaki brewok itu tertawa mengejek. Jelas, ejekan itu bukan ditujukan kepada Bangga Pasa, tetap kepada orangtuanya. Dan Bangga Pasa tahu akan hal itu.

“Hm... Tampaknya kau cukup mengenal baik ayahku, Kisanak!” suara Bangga Pasa menyimpan kegeraman. “Katakan, apa keperluanmu? Atau sebaiknya kau minggat saja dari tempat ini sebelum kuusir seperti anjing kurap!”

“Ha ha ha...! Hebat... hebat ! Betapa gagahnya putra Ganda Pasa ini. Kelihatannya orang tua itu telah berhasil mendidik putra-putrinya dengan baik. Sampai-sampai salah seorang keturunannya menjadi perwira kerajaan. Sungguh menarik sekali!”

Tawa lelaki brewok itu terdengar lantang. Agaknya ia tidak mengindahkan ancaman Bangga Pasa. Dan sikap itu membuat wajah perwira kerajaan itu menjadi gelap.

“Orang tua!” geram Bangga Pasa lantang. “Sekali lagi kuperingatkan agar kau segera angkat kaki dari tempat ini! Kalau tidak, jangan salahkan jika aku bertindak kasar!” Untuk kedua kalinya Bangga Pasa mengeluarkan ancaman. Dan, itu bukan sekadar ancaman kosong. Sehingga tawa laki-laki bercambang bauk itu lenyap. Dan wajahnya berubah menjadi sungguh-sungguh.

“Hm... Sebenarnya kedatanganku kemari ingin bertemu ayahmu, Perwira Gagah. Tapi kelihatannya keinginanku tidak akan mudah terlaksana. Dan itu membuatku kecewa...,” gumam lelaki brewok dengan sorot bola mata tajam menentang pandang mata Bangga Pasa. Tampak jelas sepasang mata itu menyimpan rasa penasaran yang dalam.

“Keparat! Masih juga kau banyak bicara...!” Rengga Pasa yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, tiba-tiba membentak marah. Tahu-tahu saja tubuhnya melayang dengan pukulan lurus ke arah lelaki brewok itu.

Bet!

Meskipun serangan yang dilancarkan Rengga Pasa cukup mendadak, namun lelaki brewok itu sanggup menghindar. Dengan hanya menggeser kaki kanannya ke samping, pukulan kuat itu lewat di sampingnya.

“Sambut ini...!” Rengga Pasa semakin penasaran. Cepat lengannya diputar, dan langsung dibabatkan ke leher lawan dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lelaki brewok itu sempat mengeluarkan pujian. Kali ini ia tidak berusaha mengelak. Diangkatnya tangan kanan ke atas dengan kedudukan berdiri tegak. Sehingga....

Dukkk!

“Uhhh...?!” Keluhan lirih terdengar dari mulut Rengga Pasa. Tubuh lelaki tegap itu terjajar mundur empat langkah. Sedangkan tubuh lawan hanya tergetar sesaat. Itu jelas membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga dalam, Rengga Pasa masih kalah setingkat dari lelaki brewok itu.

“Setan!” Kenyataan itu tidak membuat Rengga Pasa menjadi gentar. Malah ia semakin penasaran dan marah. Lelaki tegap itu kembali membuka jurus untuk bertarung mati-matian!

“Rengga, tahan...!”

Sebelum Rengga Pasa memulai serangannya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh gemuk yang langsung berdiri di hadapan lelaki tegap itu. Dia adalah Yudha Pasa, putra sulung Ki Ganda Pasa.

“Kisanak. Harap maafkan tindakan adikku. Maklum, saat ini kami tengah berkabung. Jadi kuminta dengan hormat kalian segera meninggalkan tempat ini. Kalaupun ada keperluan, lain kali saja kalian datang ke sini...,” ujar Yudha Pasa yang tidak ingin terjadi perkelahian. Dan meminta ketiga orang itu untuk segera pergi.

“Berkabung? Apa maksudmu? Apa kau hendak mengelabui kami...?” tanya lelaki brewok. Rupanya ia belum mendengar mengenai kematian Ki Ganda Pasa. Hingga terkejut mendengar ucapan Yudha Pasa.

“Benar. Kami tengah berkabung atas kematian ayah kami...,” sahut Yudha Pasa dengan suara lirih, berharap agak ketiga orang itu mau mengerti keadaan mereka.

“Maksudmu.... Ki Ganda Pasa telah tiada...?” tanya lelaki brewok itu menegasi. Wajahnya menyiratkan kekagetan yang sangat. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Sebentar kemudian, tawanya kembali terdengar. Bahkan kali ini jauh lebih keras.

“Hm.... Baiklah, kami akan pergi,” ujar lelaki brewok menghentikan tawanya. “Tapi, jangan kira kami percaya begitu saja dengan kematian Ki Ganda Pasa. Kalian harus ingat itu...!” Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu mengajak kedua temannya untuk meninggalkan tempat ini.

Yudha Pasa dan saudara-saudaranya saling bertukar pandang. Setelah ketiga sosok tubuh itu lenyap, baru mereka berbalik meninggalkan tempat itu. Ada gambaran penasaran di wajah putra-putri Ki Ganda Pasa ini.

********************

DUA

Narasumi duduk termenung menghadap jendela kamarnya. Angin malam yang dingin dibiarkan berhembus masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Wajahnya yang cantik tampak muram. Agaknya musi- bah yang menimpa keluarganya masih membebani pikiran gadis itu. Kejadian itu masih menjadi tanda tanya baginya.

Ketiga kakaknya telah kembali ke tempat tinggal masing-masing begitu penguburan ayah mereka selesai. Narasumi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan mereka agar tinggal lebih lama di rumah ini. Gadis itu maklum bahwa ketiga saudaranya sibuk dengan tugas-tugas mereka. Narasumi menerima kesendiriannya itu dengan hati ikhlas.

Di dalam rumah yang besar itu Narasumi hanya ditemani tiga orang pelayan. Satu laki-laki dan dua orang perempuan. Tapi mereka tidak bisa diajak bicara. Sebab ketiga pelayan itu sedikit pun tidak mengerti ilmu silat. Narasumi sendiri tidak mengerti, mengapa ayahnya tidak menurunkan ilmu silat pada ketiga pelayan itu. Padahal kalau mereka menguasai ilmu silat, tentu akan lebih membantu dalam keadaan seperti itu.

“Hhh...!” Helaan napas berat yang meluncur menandakan hati gadis cantik itu tengah dilanda keresahan. Karena kematian ayahnya yang mendadak tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan kedatangan tiga orang lelaki kasar yang tidak dikenalnya. Mereka mencari ayahnya justru pada saat orang tua itu sudah pergi untuk selama-lamanya.

Yang membuat Narasumi tak habis pikir, mengapa mereka tidak datang sebelumnya. Selagi ayahnya masih hidup. Ke mana saja orang-orang kasar itu selama ini? Mengapa mereka datang justru pada saat ayahnya telah meninggal? Semua itu menjadi pertanyaan yang tidak pernah lenyap dari benak Narasumi. Pikiran itu membuatnya tidak bisa tertidur. Kebisuan dan keheningan malam setia menemaninya.

“Hhh...!” Untuk kesekian kalinya Narasumi menghela napas berat. Dengan malas ia bangkit dari duduknya dan melangkah gontai menghampiri jendela. Kemudian menutupnya rapat-rapat. Dan tubuhnya dihempaskan ke atas pembaringan dengan disertai helaan napas berat yang berkepanjangan.

Dalam keheningan itu Narasumi membiarkan pikirannya menerawang jauh ke masa silam. Saat-saat ia hidup bahagia bersama ayahnya. Lelaki tua yang ia kenal sangat tertutup dan lebih banyak berdiam diri. Ayahnya tidak pernah menceritakan masa lalunya kepadanya.

Kendati demikian, Narasumi dapat memaklumi. Ia tahu ayahnya merasa kehilangan dengan kematian ibunya. Ia sendiri hampir tidak pernah mengenal wanita yang melahirkannya itu. Perempuan itu telah tiada sewaktu ia berusia lima tahun. Semenjak itulah ayahnya lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar.

Satu hal yang tidak pernah dilupakannya adalah tidak tetapnya tempat tinggal mereka. Ayahnya tidak pernah betah tinggal lama di satu tempat atau desa. Di tempat yang sekarang pun mereka baru tinggal kurang dari setahun. Selain itu, tempatnya sangat terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk.

“Aku tidak menyukai keramaian yang hanya mendatangkan keributan.” Demikian yang selalu dikatakan ayahnya bila Narasumi bertanya kepada orang tua itu. Dan, jawaban itu tidak bisa dibantahnya.

“Ayah...,” desah Narasumi resah. “Mengapa hidupmu penuh dengan teka-teki? Mengapa kau tidak pernah bercerita kepada kami? Sehingga di antara kita tidak terjalin keakraban. Ada apa sebenarnya dengan masa lalumu...?”

Pertanyaan itu kembali memenuhi benak Narasumi. Pernah suatu kali ia memberanikan diri mengajukan pertanyaan itu kepada ayahnya. Tapi hanya kemarahan yang didapat. Sehingga gadis itu tidak berani lagi menanyakan masalah itu. Hanya pernah terpikir di benaknya bahwa masa lalu ayahnya mungkin sangat pahit. Walau ia tidak pernah tahu apa sebenarnya yang dialami orang tua itu di masa mudanya.

Tiba-tiba lamunan gadis cantik itu buyar. Telinganya yang tajam menangkap suara langkah kaki di atas atap rumah. Meskipun tahu kalau orang yang berada di atas atap itu telah berusaha tidak menimbulkan bunyi, namun sempat juga tertangkap telinga Narasumi saat lewat di atas kamarnya. Hingga gadis itu menjadi curiga. Dan ingin mengetahui siapa yang malam-malam mendatangi rumahnya selagi semua orang terbuai mimpi indah.

Merasa akan terjadi sesuatu yang tidak baik, gadis cantik itu melompat bangkit dari atas pembaringan. Setelah mengenakan pakaian ringkas, Narasumi membuka jendela kamarnya dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan bunyi. Dengan terlebih dahulu mematikan penerangan di dalam kamarnya. Gadis itu melompat keluar dan melesat hati-hati setelah menutup jendela. Di bawah siraman cahaya rembulan yang pucat, Narasumi bergerak perlahan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Kemudian melesat naik ke atas wuwungan rumah. Dan merunduk beberapa saat memperhatikan sekitarnya.

“Hm.... Melihat bentuk tubuh dan jumlah mereka, kelihatannya tiga orang yang pagi tadi hendak membuat keributan. Rupanya mereka penasaran hendak bertemu dengan ayah. Tadi pagi mereka tidak berani bertingkah macam-macam. Karena ada Kakang Bangga yang menjadi abdi kerajaan berpangkat perwira. Tentu ketiga orang itu tidak ingin mencari susah dengan menyerang abdi kerajaan. Bisa-bisa mereka dituduh pemberontak dan menjadi buronan...,” gumam Narasumi yang agaknya dapat menduga siapa yang mendatangi rumahnya.

Meskipun hanya sekilas, Narasumi sempat melihat bayangan ketiga orang itu. Mereka adalah laki-laki. Narasumi dapat membedakan gerakan mereka saat melompat turun dari atas atap ke dinding rumah. Narasumi menyadari ketiga orang itu bukan tokoh sembarangan. Tapi gadis cantik ini tidak merasa gentar. Ia tetap membuntuti mereka dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh warisan ayahnya.

“Berlatihlah dengan sungguh-sungguh, agar kelak kalian bisa menjaga diri dengan baik”

Nasihat yang selalu didengungkan ayahnya pada saat melatih dirinya dan ketiga kakaknya kembali bergaung di telinga. Dan mereka berempat kini merasakan hasil didikan keras itu. Kakaknya yang ketiga dapat lolos dari ujian calon perwira kerajaan. Padahal saingannya sangat banyak. Itu membuat Narasumi merasa bangga. Sayang saudara yang paling dekat dengannya itu selalu disibukkan oleh tugas-tugas negara. Sehingga, Narasumi terkadang merasa rindu pada Bangga Pasa.

Narasumi pun merasakan hasil didikan keras ayahnya. Ia menjadi seorang gadis yang tangguh, dan tidak mudah dijatuhkan lawan. Bahkan kepandaiannya boleh dibilang hampir mengalahkan ketiga kakaknya. Narasumi mendapat sebuah ilmu khusus yang tidak didapat kakak-kakaknya. Ia maklum mengapa ayahnya berbuat demikian. Sebab ia merupakan satu-satunya wanita dalam keluarga itu. Sehingga, ayahnya menurunkan sebuah ilmu khusus untuk putrinya itu. Dengan demikian, Narasumi tidak kalah dengan ketiga saudaranya.

Narasumi masih membuntuti ketiga sosok laki-laki itu. Gadis itu melompat turun ke halaman samping, setelah yakin kalau ketiga tamu tak diundang itu tidak menyadari kalau mereka dibuntuti. Sayang gadis cantik putri bungsu Ki Ganda Pasa ini terlalu hati-hati. Sehingga ia kehilangan jejak buruannya.

“Hm.... Kalau mereka ketiga lelaki kasar yang datang pagi tadi, pasti kamar ayah yang menjadi tujuannya. Tidak ada salahnya bila aku pergi menyelidiki kamar itu...!” gumam Narasumi perlahan. Kemudian melesat menuju kamar ayahnya.

Berbeda dengan kamar kepala keluarga pada umumnya, Ki Ganda Pasa tidak tinggal dekat dengan kamar putra-putrinya. Lelaki tua yang selalu menyendiri itu membuat kamar khusus untuk dirinya. Yang terletak agak berjauhan dengan rumah induk. Dan anak-anaknya tak pernah membantah keinginan orang tua itu. Ke tempat itulah sekarang Narasumi pergi.

Perkiraan gadis cantik itu ternyata cukup jitu. Dari kejauhan, di balik bayang hitam dinding rumah, ia melihat ketiga tamu tak diundang itu tengah mengendap- endap menuju kamar ayahnya. Dari sikap mereka, Narasumi dapat menebak kalau ketiga orang itu belum percaya ayahnya sudah meninggal. Hingga Narasumi menjadi heran. Tapi itu tidak dipikirkannya lebih jauh. Hendak diketahuinya, apa yang diinginkan orang-orang itu dari ayahnya. Dan Narasumi ingin segera mendapat kepastian. Maka ia tidak berusaha mence- gah mereka mendekati kamar ayahnya.

Ketika orang-orang itu mendobrak pintu kamar dan berkelebat masuk, Narasumi melesat cepat. Lalu merapatkan tubuhnya ke dinding. Dari tempat persembunyiannya, ia melihat ketiga lelaki itu menyalakan pelita. Dan memeriksa seluruh perabotan kamar itu. Perbuatan mereka membuat Narasumi mengerutkan kening dalam-dalam. Jelas ada sesuatu yang mereka kehendaki dari ayahku.... Entah apa yang mereka cari...? Gumam gadis cantik itu dalam hati. Karena tidak sabar, akhirnya Narasumi melompat dari tempat persembunyiannya dan membentak keras!

“Maling-maling hina! Apa yang kalian kehendaki dari ayahku...?!” bentak Narasumi tanpa rasa gentar sedikit pun. Gadis cantik itu berdiri dengan kedua kaki terentang. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang telanjang.

Karena tidak menduga bakal dipergoki, ketiga orang itu sempat terkejut oleh bentakan Narasumi yang mengandung tenaga dalam. Serentak mereka berlompatan keluar menghadapi gadis cantik yang sedang dilanda kemarahan besar itu.

“Hm.... Kau kiranya...,” desis salah seorang dari ketiga lelaki kasar itu dengan nada meremehkan. Karena yang memergoki mereka hanya seorang gadis muda yang tidak perlu ditakuti.

Melihat kemunculan Narasumi, ketiga orang itu mengedarkan pandangan. Agaknya mereka kurang yakin kalau gadis itu datang seorang diri. Tapi ketika hanya mendapatkan kesunyian di sekitarnya, mereka pun merasa yakin kalau gadis cantik itu memang hanya seorang diri.

“Kau benar-benar membuatku kagum, Gadis Cantik! Tentu kau salah seorang keturunan Ki Ganda Pasa, bukan? Kalau begitu, kau pasti tahu apa yang kami inginkan dari ayahmu yang pengkhianat itu...?” Lelaki bercambang bauk mewakili kawan- kawannya. Sepasang matanya yang menyorot tajam merayapi wajah cantik Narasumi. Ada kilatan bernada kurang ajar pada sepasang mata lelaki berusia lima puluh tahun itu.

“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Orang Tua! Sebaiknya kalian minggat dari sini sebelum aku benar-benar marah...!” ujar Narasumi setengah mengancam. Pedang di tangannya melintang di depan dada. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap mempertaruhkan nyawa demi kehormatan keluarganya.

“He he he...! Kau pikir kami percaya begitu saja dengan jawabanmu, Gadis Cantik! Kami yakin ayahmu pernah bercerita tentang masa mudanya. Nah, untuk itulah kami datang kemari...,” ujar lelaki brewok tidak percaya. Sikapnya tampak semakin kurang ajar. Bukan hanya wajah gadis itu yang dijilati pandangan matanya. Tubuh ramping dan padat gadis itu pun dilahapnya habis-habisan. Hingga Narasumi menjadi jengah dan bertambah marah.

“Hm.... Rupanya kau sejenis bandot tua kurang ajar! Kau memang harus diberi pelajaran agar lain kali tidak bersikap seperti serigalalapar...!” Setelah berkata demikian, Narasumi mengkelebatkan pedang di tangannya. Hingga terdengar suara berciutan tajam. “Hm.... Gerakan bagus dan indah!” puji lelaki tua itu tanpa bermaksud meremehkan. “Dan itu merupakan jawaban bahwa kau mengetahui maksud kedatangan kami. Untuk membantu ingatanmu, kami akan memperkenalkan diri. Namaku Ki Sutra. Kedua orang yang berada di kanan dan kiriku ini Ki Wargana dan Ki Rayoang. Nah, bukankah ayahmu sudah menceritakan tentang kami bertiga...?”

“Aku tidak pernah mengenal nama kalian sebelumnya! Jadi percuma saja kalian berharap dapat membantu ingatanku...!” tukas Narasumi ketus, membuat ketiga lelaki yang sudah cukup berumur itu menjadi kaget.

“Bocah keras kepala!” bentak Ki Sutra dengan suara menggelegar. Lelaki tua itu kelihatan sangat marah karena Narasumi bersikap tidak mau menceritakan apa yang dimintanya. Ia tidak percaya kalau Narasumi menjawab dengan jujur dan apa adanya.

“Lalu apa yang hendak kalian lakukan terhadapku, Orang-Orang Tak Tahu Sopan? Jangan dikira aku takut menghadapi keroyokan badut-badut seperti kalian...!” tantang Narasumi tenang. Sedikit pun tidak tampak kegentaran di wajahnya.

“Hm.... Hendak kulihat sampai di mana kekerasan hatimu, Gadis Cantik...!” Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Sutra sudah melayang ringan ke arah Narasumi. Kendati tidak menggunakan senjata, angin pukulannya terdengar menyambar kuat Hingga gadis cantik itu segera menggeser kakinya.

Whuuut, whuuut...!

Dua kali serangan lawan hanya mengenai tempat kosong. Dan tanpa ragu-ragu, Narasumi melancarkan serangan balasan dengan sambaran pedang. Ki Sutra kelihatan terkejut melihat kecepatan dan kekuatan gadis cantik itu.

“Bagus...!” puji lelaki tua itu sambil melompat menghindar. Kemudian Ki Sutra melancarkan serangan balasan dengan menambah kekuatan. Tampaknya ia tidak lagi memandang rendah kepandaian gadis cantik itu. Keduanya pun segera terlibat dalam sebuah perkelahian seru.

“Tidak perlu diberi hati, Kakang Sutra! Kepalamu akan diinjaknya kalau kau bersikap lunak...!” Ki Wargana tidak sabar melihat jalannya perkelahian yang menurutnya terlalu lamban. Maka begitu ucapannya selesai, tubuhnya melayang ke tengah arena pertempuran.

“Heaaat...!”

Begitu memasuki kancah pertempuran, Ki Wargana langsung mengirimkan serangan-serangan berbahaya ke tubuh gadis cantik itu. Tidak seperti Ki Sutra yang kelihatan masih merasa ragu, Ki Wargana tampak demikian bersungguh-sungguh. Serangannya sangat gencar dan bisa mencelakakan gadis cantik itu.

Terjunnya Ki Wargana ke tengah arena membuat Narasumi agak kerepotan. Apalagi serangan orang tua itu sangat gencar, dan tidak memberinya kesempatan untuk membalas. Kendati demikian, Narasumi berusaha keras mengimbangi keroyokan kedua lawannya. Gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyelamatkan diri dari ancaman serangan lawan yang ternyata sangat tangguh.

“Hiaaa...!”

Narasumi bagai singa betina yang pantang mundur! Sinar pedangnya tetap bergulung-gulung, meskipun ruang geraknya semakin dipersempit kedua pengeroyoknya. Dan masih mencoba membalas kendati kesempatan untuk itu hampir tidak pernah ada. Tapi biarpun Narasumi telah menguasai seluruh ilmu yang diturunkan ayahnya, tetap saja ia kerepotan menghadapi kedua lelaki tua itu.

Ki Ganda Pasa sendiri pun jika masih hidup belum tentu sanggup menghadapi keroyokan Ki Sutra dan Ki Wargana. Apalagi wanita muda seperti Narasumi yang miskin pengalaman bertempur dan masih belum sempurna ilmu silatnya. Sehingga tidak aneh bila gadis cantik itu mulai terdesak setelah bertahan tidak kurang dari tiga puluh jurus.

Melihat gadis cantik itu semakin lemah pertahanannya, Ki Sutra dan Ki Wargana makin bertambah ganas! Serangan-serangan mereka makin gencar! Sehingga, kedudukan Narasumi tambah terjepit. Ruang gerak gadis cantik itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk membalas serangan. Sampai akhirnya ia harus mengakui kehebatan lawan.

Bukkk!

Tubuh gadis cantik itu terkena pukulan lawan. Tanpa ampun lagi Narasumi terguling. Namun demikian, gadis cantik itu berusaha tetap bertahan dan melakukan perlawanan.

“Kau akan merasakan akibat kebandelanmu, Perempuan Liar...!” geram Ki Wargana yang memang lebih berangasan dibanding Ki Sutra yang masih merasa sayang untuk melukai gadis cantik itu.

Dengan sebuah tendangan terbang, tubuh Ki Wargana melayang ke arah Narasumi yang saat itu belum lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya. Gadis cantik itu hanya bisa terbelalak melihat datangnya tendangan lawan.

Plak!

“Uhhh...?!”

Yang terjadi kemudian benar-benar membuat Ki Wargana dan kawannya-kawannya kaget bukan main. Sebab bukan tubuh Narasumi yang terpental, tapi Ki Wargana-lah yang terjungkal dan terbanting ke tanah! Kenyataan itu membuat Narasumi terbelalak.

TIGA

“Ahhh...?!”

Ki Sutra dan kawan-kawannya berseru kaget. Tanpa sadar tubuh mereka terjajar mundur. Tampak di depan gadis cantik yang hampir dapat mereka tundukkan itu, telah muncul sesosok tubuh yang di sekelilingnya memancar sinar putih keperakan. Rupanya sosok itu yang telah menyelamatkan Narasumi. Tak seorang pun tahu bagaimana cara sosok itu menyelamatkannya. Mereka hanya melihat kelebatan sinar putih yang memotong serangan Ki Wargana. Kini sosok itu tampak berdiri angker, membuat nyali ketiga lelaki tua ituciut.

“Si... siapa kau...?”

Dengan gemetar karena menahan hawa dingin menggigit yang menyerang tubuhnya, Ki Wargana bertanya parau. Lelaki tua itu kelihatan agak menderita akibat tangkisan sosok tubuh terbungkus kabut putih keperakan itu.

Belum lagi pertanyaan Ki Wargana terjawab, tiba-tiba muncul sesosok tubuh lain yang tidak kalah pengaruhnya dengan sosok tubuh berjubah putih. Di bawah terpaan cahaya bulan yang pucat, sosok tubuh ramping padat dengan seri wajah gilang-gemilang melangkah tenang menghampiri sosok tubuh berjubah putih. Wajah jelita terhias senyum manis mempesona itu membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya ternganga heran.

“Apakah mereka seorang dewa dan dewi yang turun dari langit dan menyelamatkan gadis cantik itu...?” desis Ki Sutra.

Memang, sosok pemuda yang tubuhnya terbungkus kabut bersinar putih keperakan dan dara jelita berpakaian serba hijau itu terlalu mempesona hati mereka. Apalagi pemuda tampan berjubah putih itu hampir mempecundangi Ki Wargana dalam satu gebrakan saja. Padahal kepandaian Ki Wargana tidak bisa dibilang rendah. Meskipun jauh dari kepandaian tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan. Semua itu membuat mereka sulit percaya kalau kedua sosok tubuh itu manusia biasa seperti mereka.

“Apakah kalian benar-benar ingin mengetahui siapa pemuda itu?” tanya gadis jelita berpakaian serba hijau seraya melangkah menghampiri Ki Sutra dan kawan-kawannya.

“Kalau kalian berdua memang manusia biasa seperti kami, sebutkan nama atau julukan kalian...?” Ki Sutra yang kelihatan lebih bisa bersikap tenang, mewakili teman-temannya.

“Sebenarnya aku tidak perlu memperkenalkan pemuda berjubah putih itu. Karena kalian pasti tahu siapa pendekar muda yang membuat geger dunia persilatan sekarang ini...,” ujar dara jelita itu berteka-teki. Dan membiarkan Ki Sutra bersama kawan-kawannya mencari jawaban sendiri.

“Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?” desis Ki Sutra. Wajahnya menjadi pucat ketika teringat seorang tokoh muda yang mengguncang rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya. Tentu saja ia tahu siapa yang dimaksud dara jelita berpakaian serba hijau itu.

“Seratus untukmu, Orang Tua...,” tukas dara jelita berpakaian serba hijau, yang tak lain Kenanga. Siapa lagi yang selalu bersama Pendekar Naga Putih kalau bukan Kenanga, kekasih pendekar muda tersohor itu.

Mendengar jawaban Kenanga, Ki Sutra dan kawan-kawannya saling bertukar pandang. Mereka sadar kalau untuk menghadapi Pendekar Naga Putih tidak akan mampu, walaupun jumlah mereka ditambah sepuluh kali lipat. Keadaan itu membuat mereka bersepakat untuk mengambil jalan pintas. Kabur! Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sutra segera membalikkan tubuh dan melesat pergi meninggalkan tempat itu. Demikian pula Ki Wargana dan Ki Rayoang. Kedua lelaki tua itu ikut mengambil langkah seribu.

Panji dan Kenanga tidak berusaha mengejar. Mereka berdiri memandangi kepergian ketiga lelaki itu. Dan, baru mengalihkan perhatian setelah Ki Sutra dan kedua kawannya lenyap ditelan kegelapan malam.

“Kau tidak apa-apa, Nisanak...?” tanya Panji sambil menatap wajah Narasumi di bawah bayangan sinar bulan.

Narasumi menggeleng dengan wajah menyeringai. Agaknya gadis cantik itu belum hilang dari rasa kagetnya melihat kemunculan kedua orang ini. Terlebih ketika Ki Sutra menyebut pemuda tampan yang menolongnya dengan julukan Pendekar Naga Putih. Meskipun belum pernah mendengarnya, Narasumi yakin kalau pemuda tampan itu merupakan tokoh yang sangat ditakuti orang-orang jahat. Terbukti dari sikap yang ditunjukkan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Tidak mungkin mereka melarikan diri jika merasa mampu menghadapi pendekar muda itu.

“Apakah kau terluka, Adik Manis?” Kenanga yang belum merasa yakin gadis cantik itu tidak terluka, melangkah mendekat dan menyentuh lembut bahu Narasumi. Sikapnya membuat Narasumi merasa terhibur dan langsung menyukai dara jelita berpakaian serba hijau itu. Bahkan ia langsung percaya kalau kedua orang itu bukan orang-orang jahat yang ingin mengganggunya.

“Tidak apa-apa. Hanya sedikit mual. Pukulan salah seorang dari mereka sempat mengenai tubuhku...,” jawab Narasumi yang entah kenapa mempercayai Kenanga. Sehingga, tanpa ragu-ragu lagi berterus-terang mengenai kejadian yang menimpanya.

“Syukurlah kalau begitu...,” tukas Kenanga seraya membimbing gadis cantik itu. Narasumi tidak berusaha menolak budi baik dara jelita itu.

“Di mana kau tinggal...?” tanya Kenanga lagi tanpa melepaskan tangannya pada bahu Narasumi.

Sikap yang ditunjukkannya demikian akrab. Seolah mereka sudah lama saling mengenal. Padahal nama masing-masing pun mereka belum tahu. Perhatian dara jelita itu membuat Narasumi terharu. Apalagi ia memang belum pernah merasakan perhatian yang begitu besar selama hidupnya. Gadis cantik itu merasa mempunyai tempat untuk berbicara dan menumpahkan segala yang mengganjal pikirannya.

Kelihatannya dara jelita secantik bidadari ini dapat menjadi teman bicara yang baik. Siapa tahu ia bisa mengurangi beban yang selama ini membuat hidupku tidak bisa tenang...? Gumam batin Narasumi sambil memperhatikan wajah Kenanga dengan sudut ekor matanya.

Panji tidak ingin mengganggu keakraban kekasihnya dengan gadis cantik itu. Pemuda itu sengaja memperlambat langkahnya, dan mengikuti keduanya dari belakang. Diam-diam terselip kekaguman di hatinya melihat Kenanga bersikap demikian lembut dan penuh perhatian terhadap gadis yang malang itu.

“Siapakah namamu, Nisanak? Mengapa kau begini baik terhadapku? Padahal kita belum pernah berjumpa sebelumnya...,” Narasumi mengutarakan pertanyaan dalam hatinya. Meski agak ragu, takut kalau dara jelita itu tersinggung.

“Namaku Kenanga. Dan untuk berbuat baik kurasa tidak harus dengan orang yang kita kenal saja. Cukup bila hati kecil kita merasa yakin orang yang kita bantu memiliki sifat-sifat baik. Dan aku percaya kau orang yang memiliki sifat baik. Mmm... Siapa namamu, Adik Manis...?” tanya Kenanga setelah menjelaskan secara singkat tentang perbuatannya.

“Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu, Kenanga. Namaku Narasumi. Mmm... Kalau aku meminta sesuatu darimu, apakah kau tidak keberatan?” tanya Narasumi seraya menatap wajah Kenanga. Kebetulan saat itu Kenanga tengah menoleh dan menatap ke arahnya. Sehingga untuk beberapa saat kedua gadis itu saling berpandangan dengan bibir tersenyum manis.

“Katakanlah, Sumi. Jika masih dalam batas kemampuanku, tentu aku akan bersedia membantumu...,” sahut Kenanga yang belum juga mengalihkan pandangan dari wajah Narasumi.

“Hhh.... Aku merasa tidak enak telah merepotkanmu. Padahal kita baru saja berkenalan...,” desah Narasumi gundah. Kelihatan sekali gadis cantik itu ragu untuk mengutarakan permintaannya. Narasumi khawatir Kenanga akan menolaknya.

“Katakanlah, Sumi. Mengapa kau bingung...?” desak Kenanga sambil mengusap lembut punggung gadis cantik yang tengah dilanda kebimbangan itu.

Narasumi membisu. Pandangannya dialihkan ke depan menatapi kegelapan malam. Sedangkan kakinya tetap melangkah menuju rumah besar tempat ia dan ketiga pelayan keluarganya tinggal.

Kenanga tahu gadis cantik itu masih dilanda kebimbangan, maka ia tidak berusaha mendesak lagi. Ia akan sabar menunggu sampai Narasumi mengatakan permintaannya. Kedua gadis itu terdiam. Sampai keduanya tiba di ruang utama rumah besar itu, mereka tidak juga membuka suara.

“Terima kasih. Aku telah merepotkan kalian berdua. Budi baik ini tidak akan kulupakan seumur hidup...”

Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Narasumi saat mereka telah duduk di kursi di ruangan utama rumah besar itu. Sinar pelita yang temaram menyembunyikan raut wajah mereka. Sehingga, sulit bagi Kenanga untuk membaca perasaan yang tengah dirasakan Narasumi. Wajah gadis cantik itu tidak terlihat jelas.

“Hm.... Tidak perlu merasa berhutang budi kepada kami, Sumi. Bukankah memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan hal yang sepele itu,” sahut Kenanga seraya menatap wajah Narasumi lekat-lekat. Dara jelita itu masih menunggu permintaan Narasumi yang belum juga diutarakan.

Sementara Panji hanya duduk diam tidak mencampuri pembicaraan kedua gadis itu. Pemuda ini menyerahkan segala sesuatunya kepada Kenanga. Narasumi mengangguk mendengar ucapan Kenanga. Ucapan seperti itu tidak pernah didengarnya, bahkan dari ayahnya sendiri. Sehingga, Narasumi menyimpan ucapan dara jelita itu di dalam hatinya. Setelah itu ia tenggelam dalam lamunan, mengingat Ki Sutra dan kawan-kawannya. Apa yang dikehendaki ketiga orang yang tidak dikenalnya itu belum jelas. Dan masih menjadi misteri baginya.

“Sumi...” Melihat gadis cantik itu termenung, Kenanga mencoba menyadarkannya. Meskipun suaranya tidak terlalu keras, namun sanggup menyelusup ke dalam telinga Narasumi, hingga gadis itu tersentak perlahan.

“Ya...,” sahut Narasumi yang belum sadar sepenuhnya. Suara sahutannya terdengar mengambang dan sengau.

“Kalau sekiranya kau tidak keberatan, bolehkah kami mengetahui persoalanmu dengan ketiga orang tua tadi...?” tanya Kenanga hati-hati. Ia tahu masalah yang tengah dihadapi Narasumi kemungkinan persoalan pribadi. Maka ia menggunakan kata ‘kalau boleh’ dalam pertanyaannya.

“Maaf, Kenanga, Kakang Panji...,” ucap Narasumi sebelum menjawab pertanyaan dara jelita itu. “Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan Ki Sutra dan kawan-kawannya mendatangi rumah ini. Yang jelas, mereka tidak percaya dengan keteranganku. Padahal aku sungguh tidak tahu apa yang mereka cari di sini”

Kenanga maupun Panji memaklumi jawaban Narasumi. Mereka dapat melihat jelas gadis cantik itu menjawab dengan sejujurnya. Mereka percaya Narasumi tidak sedang menyembunyikan sesuatu.

“Apa kau pernah melihat atau mengenal mereka sebelumnya?” tanya Kenanga. Kali ini pertanyaannya terkesan agak menyelidik, meskipun masih dalam batas-batas kewajaran. Sehingga Narasumi tidak merasa keberatan menjawabnya.

“Sebelumnya aku tidak pernah mengenal atau melihat ketiga orang tua itu. Baru kemarin, saat penguburan ayah hendak dilaksanakan, mereka muncul dan hendak berjumpa dengan ayahku. Yang membuatku heran, mereka tidak percaya ketika diberi tahu ayah sudah meninggal. Bahkan Ki Sutra sempat mentertawakannya,” jelas Narasumi menceritakan perjumpaan pertamanya dengan ketiga lelaki tua itu.

“Jadi , malam ini kedatangan mereka ingin menyelidiki, begitu...?” tanya Kenanga menegasi, la agak terkejut ketika mendengar kematian ayah Narasumi.

“Semula aku menduga demikian. Tapi ternyata tidak. Sepertinya ada sesuatu yang mereka kehendaki dari ayahku. Itu kuketahui ketika Ki Sutra bertanya padaku. Sayang aku tidak tahu apa yang mereka cari...,” jawab Narasumi disertai helaan napas panjang. Gadis itu sangat kecewa dengan ketidaktahuannya.

“Aneh...?” desis Kenanga heran. “Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang sesuatu atau musuh-musuhnya?” tanya dara jelita itu setelah terdiam sesaat.

“Sama sekali tidak! Selama hidupnya ayah jarang berbicara dengan anak-anaknya...,” jawab Narasumi tanpa perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan Kenanga.

Dan Kenanga percaya Narasumi tidak berdusta. Walaupun merasa heran ada seorang ayah yang selama hidupnya jarang berbicara dengan anak-anaknya, Kenanga tidak berkata apa-apa. Semua keheranan itu disimpannya dalam hati. Bukan hanya Kenanga yang merasa heran. Panji pun merasakan ada kejanggalan dalam sikap ayah gadis cantik itu. Tapi, ia tidak bisa menebak apa yang membuat Ki Ganda Pasa berbuat demikian. Apalagi, sampai akhir hayatnya tidak meninggalkan pesan apa-apa.

“Hm.... Jika memang demikian, satu-satunya jalan kita harus mengorek keterangan dari Ki Sutra dan kawan-kawannya. Merekalah kunci rahasia ini...,” Panji membuka suara setelah mereka terdiam agak lama.

Kenanga mengangguk menyetujui ucapan Panji. Tapi tidak demikian dengan Narasumi. Gadis cantik itu kelihatan tidak bernafsu untuk memperpanjang persoalan. Guncangan batin akibat kematian ayahnya dan gangguan yang datang berturut-turut membuat Narasumi merasa lelah lahir batin. Gadis itu merasa tertekan. Sehingga ingin menjalani hidup dengan tenang tanpa mempedulikan persoalan yang sudah berlalu itu.

“Bagaimana, Sumi? Apa kau tidak ingin mengungkap misteri yang menyelimuti keluargamu...?” Kenanga bertanya ketika melihat Narasumi hanya tersenyum tidak menanggapi ucapan Panji.

“Entahlah, Kenanga. Aku merasa lelah sekali. Rasanya lebih baik kita tidak memperpanjang urusan ini. Apalagi Ki Sutra dan kawan-kawannya belum tentu akan datang lagi...,” desah Narasumi sedikit pun tidak bersemangat

Kenanga tidak berkata-kata lagi. Ia maklum perasaan yang melanda hati gadis cantik itu. Kalau saja benar gangguan tidak akan datang lagi, rasanya ia pun sependapat dengan Narasumi. Sayangnya menurut Kenanga persoalan itu tidak akan berakhir begitu saja. Ia yakin Ki Sutra akan terus membayangi Narasumi, sebelum yang mereka cari dapat dimiliki.

Sementara itu fajar sudah datang. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan. Sebentar lagi matahari muncul menggantikan tugas sang Dewi Malam.

“Hm.... Sebentar lagi pagi akan datang. Kau pasti sangat lelah, Sumi. Sebaiknya pergilah beristirahat Kami berdua mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan. Di samping itu kami akan berusaha mencari Ki Sutra dan kawan-kawannya. Tentu saja kalau kau tidak keberatan...,” ujar Kenanga segera bangkit dari duduknya.

“Kurasa tidak perlu, Kenanga. Mereka pasti tidak akan berani datang ke tempat ini...,” sahut Narasumi sesal. Karena jawaban itu pasti akan membuat kedua penolongnya kecewa.

“Baiklah jika memang demikian keputusanmu...,” tukas Kenanga kecewa. Ia memang merasa kasihan dan ingin meringankan beban gadis cantik itu. Tapi jika orang yang ingin ditolongnya tidak menghendaki, ia pun tidak memaksa.

Kenanga dan Panji berpamitan. Sepasang pendekar muda itu meninggalkan rumah besar Ki Ganda Pasa dengan diiringi lambaian tangan Narasumi yang mengantar sampai halaman depan.

Narasumi berdiri mematung menatap bayangan Panji dan Kenanga yang semakin jauh. Gadis cantik itu baru melangkah masuk ketika sosok kedua penolongnya lenyap di keremangan fajar.

********************

EMPAT

“Tuan Muda Yudha Pasa...!”

Lelaki bertubuh kurus yang tengah menyapu halaman rumah besar itu berlari tergopoh-gopoh menyambut kedatangan seorang penunggang kuda. Sedangkan penunggang kuda bertubuh gemuk itu tidak menggubrisnya. Ia langsung melompat turun dari atas punggung kuda. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan. Bahkan terkesan tengah memendam kemarahan.

“Ramin! Katakan kepada Narasumi aku ingin menemuinya...,” ujar lelaki gemuk yang tidak lain Yudha Pasa, tanpa senyum sedikit pun. Suaranya terdengar kaku, tidak seperti biasanya. Hingga membuat Ramin agak takut.

“Baik, Tuan Muda...,” sahut Ramin cepat Lalu berlari-lari memasuki bangunan besar itu.

Yudha Pasa sendiri melangkah lebar memasuki ruang utama rumah besar itu. Kemudian menghempaskan tubuhnya ke kursi. Terdengar helaan napas panjangnya. Wajah Yudha Pasa tetap keruh. Jelas terlihat kalau lelaki gemuk berusia sekitar tiga puluh lima tahun ini sedang tidak senang hatinya.

Tidak berapa lama kemudian Narasumi muncul. Gadis cantik itu kelihatan sangat heran dengan kedatangan kakak tertuanya. Apalagi ketika mendapati wajah Yudha Pasa seperti memendam kemarahan. Hingga kening Narasumi berkerut dalam.

“Ada keperluan apa, Kakang? Kelihatannya kau tengah memendam sesuatu...?” tegur Narasumi yang segera menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah depan Yudha Pasa. Sehingga mereka saling berhadapan satu sama lain.

“Hm.... Jujurlah, Sumi! Apakah ayah meninggalkan pesan sebelum kepergiannya?” nada pertanyaan Yudha Pasa terdengar datar dan berbau kecurigaan, membuat Narasumi agak tersentak.

“Apa maksudmu, Kakang...?” tanya Narasumi penasaran. Gadis itu tidak mengerti tujuan pertanyaan kakak tertuanya.

“Jangan berpura-pura dungu, Sumi! Sebelum meninggal, ayah pasti meninggalkan pesan kepadamu. Karena menurut Ramin, kaulah yang menungguinya...!” Suara Yudha Pasa semakin meninggi. Bahkan ia sudah bangkit dari duduknya. Ditatapnya wajah Narasumi lekat-lekat, seperti hendak menegasi kalau-kalau adiknya berdusta.

Melihat sikap kakaknya yang semakin aneh, Narasumi terdiam. Gadis itu tengah mengingat-ingat saat terakhir kehidupan ayahnya. “Yahhh.... Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ayah memang mengatakan sesuatu kepadaku...,” desah Narasumi perlahan. Tapi terdengar cukup jelas di telinga Yudha Pasa.

“Hm.... Apa yang dikatakannya...?” desak Yudha Pasa bernafsu sekali.

“Ayah meminta agar aku segera pergi meninggalkan tempat ini setelah penguburannya. Beliau menyuruhku supaya menjual rumah ini. Lalu aku mencari kehidupan di tempat lain...,” ujar Narasumi mengulang pesan terakhir ayahnya.

“Hanya itu...?”

“Ya. Hanya itu ”

“Hm... Kau pasti berdusta, Sumi! Aku tidak percaya hanya itu yang dipesankan ayah sebelum kematiannya! Pasti masih ada pesan-pesan yang lain...,” tukas Yudha Pasa tidak percaya dengan keterangan adiknya.

“Hm.... Rupanya kau lebih tahu dariku, Kakang! Coba katakan, apa lagi yang dipesankan ayah kepadaku?” sinis sekali ucapan yang dikeluarkan Narasumi. Gadis itu rupanya benar-benar jengkel melihat sikap kakak sulungnya.

Yudha Pasa tidak berkata-kata lagi. Dikeluarkannya sehelai surat dari dalam pakaiannya. Lalu diletakkan dengan kasar di atas meja. “Coba kau baca surat ini!”

Kening Narasumi berkerut semakin dalam, heran melihat kakak tertuanya meletakkan sehelai surat di hadapannya. Gadis cantik itu mulai curiga ada sesuatu yang telah terjadi pada diri Yudha Pasa. Karena sewaktu meninggalkan rumah ini, setelah selesai menguburkan jenazah ayahnya, Yudha Pasa tidak berkata apa-apa. Apalagi menyinggung mengenai pesan terakhir ayah mereka. Maka aneh sekali jika hari ini kakak tertuanya datang hanya untuk bertanya mengenai hal itu.

“Bacalah...!” ujar Yudha Pasa melihat Narasumi belum juga menyentuh surat yang diberikannya.

“Dari mana kau dapatkan surat itu, Kakang?” tanya Narasumi, tanpa mempedulikan ucapan kakaknya.

“Aku sendiri tidak tahu. Surat itu telah ada di atas meja sewaktu aku baru pulang dari membeli rempah-rempah di kadipaten. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa pengantar surat itu!” sahut Yudha Pasa dengan jengkel.

Mendengar jawaban kakaknya, Narasumi terdiam. Lalu dibacanya isi surat itu. Wajah gadis itu berubah seketika. Isi surat itu benar-benar membuatnya terkejut.

“Hm.... Aku sudah bisa menebak siapa yang mengirimkan surat ini kepadamu, Kakang...,” desis Narasumi seraya menatap wajah kakaknya dengan sorot mata tajam. “Bodoh sekali kalau kau mempercayainya begitu saja”

Yudha Pasa tentu saja kaget mendengar ucapan adiknya. Bagaimana mungkin gadis cantik itu bisa menebak siapa pengirim suara itu. Sedangkan ia sendiri tidak bisa menduga. “Apa maksudmu, Sumi...?” tanya Yudha Pasa seraya kembali duduk di hadapan adiknya. Ditatapnya wajah cantik itu lekat-lekat.

“Kau ingat tiga lelaki tua yang datang ke sini sebelum penguburan ayah?” tanya Narasumi sebelum menjawab pertanyaan kakaknya.

Yudha Pasa mengangguk. Kemudian, Narasumi pun menceritakan kejadian yang dialaminya semalam.

“Hm...” Yudha Pasa bergumam setelah mendengar cerita adiknya. Lelaki gemuk itu bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di belakang tubuh.

“Pantas ayah hampir tidak pernah berbicara kepada kita. Rupanya ia menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Jika demikian, aku akan memeriksa kamarnya” Setelah berkata demikian, Yudha Pasa melangkah lebar meninggalkan Narasumi. Dan terus menuju belakang bangunan tempat ayahnya tinggal.

“Kakang, tunggu!” Narasumi yang tidak menyangka kakaknya berpikir demikian, berusaha mencegah. Gadis itu melompat dan menghadang lelaki gemuk itu.

“Jangan halangi aku, Sumi! Kalau benda-benda itu ada, aku harus mendapatkannya. Ingat! Aku adalah anak tertua keluarga ini. Aku mempunyai hak untuk memiliki benda-benda itu...!” tegas Yudha Pasa yang kelihatan sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk memiliki peninggalan orangtuanya.

“Tidak, Kakang! Kalau ayah sampai merahasiakannya kepada kita, jelas beliau tidak menghendaki warisan itu jatuh ke tangan putra-putrinya! Meskipun kita tidak tahu alasannya, tapi kita harus menghormatinya, Kakang!” Narasumi berusaha mencegah niat kakak tertuanya. Gadis cantik itu percaya ayahnya mempunyai alasan kuat untuk merahasiakan semua itu kepada anak-anaknya. Narasumi merasa harus menghormati sikap orang tua itu.

“Hm... Aku tidak peduli dengan segala alasan ayah! Pokoknya aku harus mendapatkan benda-benda itu. Titik!” tukas Yudha Pasa yang kelihatan sudah tidak bisa dicegah lagi. Kemudian lelaki gemuk itu melangkah maju, dan mengibaskan lengannya hendak menyingkirkan adiknya yang menghalangi jalan.

Plak!

“Eh...?!”

Tapi Narasumi bertahan. Gadis cantik itu menepiskan lengan kakaknya. Hingga Yudha Pasa tersentak kaget. Tangkisan adiknya mengandung kekuatan tenaga dalam. Jelas Narasumi tidak akan membiarkannya mendapatkan benda-benda warisan itu.

“Menyingkirlah, Sumi! Kalau tidak, aku tidak akan peduli kau adalah adikku...!” ancam Yudha Pasa, sangat marah dengan tindakan Narasumi yang berani menentangnya.

“Tidak, Kakang! Biar bagaimanapun aku tidak akan membiarkanmu mengusik kamar ayah. Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan terhadapku. Dan lagi kita masih mempunyai dua orang saudara, yang harus mengetahui persoalan ini...!” bantah Narasumi bersikeras. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap untuk melawan segala tindakan Yudha Pasa.

“Hm.... Aku sudah tahu apa yang kalian perebutkan! Dan aku setuju dengan tindakan Kakang Yudha...!” Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan Yudha Pasa dan Narasumi. Cepat keduanya menoleh. Dan....

“Rengga...?!”

Hampir bersamaan mereka berseru kaget ketika mengenali lelaki tegap yang bersandar di palang pintu. Di tangan lelaki tegap yang tidak lain Rengga Pasa itu terlihat sepucuk surat yang sama persis dengan surat Yudha Pasa. Agaknya Rengga Pasa telah menerima surat serupa.

“Hm.... Kalian sama saja!” geram Narasumi begitu mendengar ucapan Rengga Pasa, kakaknya yang kedua. Lelaki tegap itu pun menghendaki warisan ayah mereka. Rupanya Ki Sutra telah menempuh cara lain untuk mendapatkan apa yang dicarinya. Dan, sasarannya putra-putra Ki Ganda Pasa.

“Hm.... Apa kau hendak menguasai sendiri warisan itu, Sumi?” tukas Rengga Pasa sinis. Hingga wajah Narasumi menjadi gelap. Gadis cantik itu merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya itu.

“Kalian berdua keliru! Sadarkah kalian kalau pengirim surat itu jelas hendak mengadu domba! Manusia-manusia licik itu akan bersorak bila usaha mereka berhasil!” Narasumi berusaha mengingatkan kedua kakaknya tentang orang ketiga. Sayang usahanya tidak berhasil. Yudha Pasa dan Rengga Pasa tidak menggubris ucapan adiknya. Bahkan keduanya hendak melanjutkan niat mereka.

“Berhenti...! Kalau tidak, terpaksa aku menghadapi kalian berdua...!” bentak Narasumi yang langsung membuka jurus, siap menghadapi kedua kakak kandungnya.

“Kau benar-benar serakah, Sumi! Kami tentu saja tidak akan mengambil semua warisan ayah. Tapi hanya sebagian. Kau pun akan mendapatkan bagian...,” bujuk Rengga Pasa, karena tidak ingin terjadi perkelahian di antara mereka.

“Tidak! Sekali lagi tidak! Walaupun warisan itu milik orangtua kita, tapi tak seorang pun boleh menyentuhnya! Beliau jelas-jelas tidak menghendaki! Karena tak satu pesan pun yang ditinggalkannya...,” tegas Narasumi tetap mempertahankan pendapatnya. Kelihatannya pendirian Narasumi memang tidak bisa dirubah lagi.

“Hm...” Yudha Pasa marah sekali melihat kekerasan sikap adiknya. Ia melangkah maju tanpa mempedulikan sikap Narasumi.

“Maaf, Kakang...” Sambil berkata demikian, Narasumi melontarkan pukulan untuk mencegah langkah Yudha Pasa. Rupanya ancaman gadis cantik itu hendak dibuktikannya.

Whuuut..!

Pukulan Narasumi menyambar lewat di samping tubuh Yudha Pasa. sebab lelaki gemuk itu sudah keburu memiringkan tubuhnya dengan geseran langkah ke kanan.

“Jangan memaksaku, Sumi!” seru Yudha Pasa seraya melompat pendek ketika Narasumi menyusuli serangannya yang gagal. Lelaki gemuk itu tampaknya sudah kehilangan kesabaran.

“Kaulah yang memaksaku, Kakang! Sampai mati pun aku tidak akan rela kalian merusak kamar ayah...!” teriak Narasumi kembali menyiapkan serangan berikutnya. Agaknya gadis cantik itu tidak lagi memandang Yudha Pasa sebagai kakak kandungnya. Tapi seorang musuh yang harus dihadapi.

“Hm.... Jangan salahkan aku bila terpaksa menyakitimu...!” geram Yudha Pasa melihat kebandelan adiknya. Setelah berkata demikian, lelaki gemuk itu menyiapkan jurus-jurus untuk menghadapi Narasumi.

“Hahhh...!”

Dibarengi sebuah bentakan yang mengejutkan, Yudha Pasa bergerak ke depan. Kedua tangannya berputar cepat dengan gerakan mantap, hingga menerbitkan deruan angin keras. Yudha Pasa sudah tidak lagi mengingat pertalian darah di antara mereka.

Menyadari kakaknya bersungguh-sungguh, Narasumi segera menyambut serangan itu. Dengan langkah menyilang, gadis cantik itu bergerak maju. Sehingga dalam waktu singkat kedua saudara kandung itu telah saling gempur dengan hebatnya.

Melihat kedua saudaranya sudah saling gempur, Rengga Pasa segera mengambil keuntungan. Tubuhnya bergerak menjauhi arena perkelahian. Kemudian menyelinap diam-diam menuju kamar ayahnya. Betapa liciknya putra kedua Ki Ganda Pasa itu.

“Haiiit..!”

Narasumi tidak tinggal diam. Meskipun saat itu tengah bertarung dengan kakak tertuanya, mata gadis itu sempat melirik ke arah sosok Rengga Pasa yang berkelebat Narasumi langsung meninggalkan arena dan mencegah lelaki tegap itu.

Whuuut..!

“Haiiit..!”

Rengga Pasa segera menarik mundur tubuhnya tiga langkah ketika mendengar deru angin pukulan dari arah samping. Dan ketika Narasumi melanjutkan serangan, ia pun tidak tinggal diam. Rengga Pasa melontarkan serangan balasan yang cepat dan kuat.

Whuuut, plak...!

“Aihhh...?!”

Benturan kedua lengan itu membuat Narasumi terpekik. Tubuhnya terjajar limbung. Dalam hal kekuatan tenaga dalam, Rengga Pasa memang paling unggul di antara saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Yudha Pasa pun tidak akan menang melawannya. Jadi tidak terlalu aneh bila benturan itu merugikan Narasumi.

Kali ini Yudha Pasa yang mengambil kesempatan, ketika melihat tubuh adik perempuannya terjajar limbung. Telapak tangannya terayun deras ke arah Narasumi. Akibatnya....

Plak!

“Ugkh...!” Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gadis itu terhuyung berputaran. Walaupun tamparan keras itu tidak membuatnya jatuh, namun cukup menyakitkan dan terasa nyeri sampai ke tulang.

Tapi bukan tamparan itu yang membuat Narasumi meringis. Hatinya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Kalau saja tamparan itu bukan datang dari saudara kandungnya, tentu ia tidak akan sesakit itu. Tapi kenyataannya saudara kandungnya sendiri yang melakukan. Maka....

Srat!

Seketika memancar secercah sinar putih berkilat. Dan di tangan gadis cantik itu tergenggam sebatang pedang!

“Sumi! Kau gila...?!” Yudha Pasa tidak menyangka kalau Narasumi akan menggunakan pedang dalam perkelahian itu. Lelaki gemuk itu terbelalak dan melangkah mundur dengan wajah tegang! Jelas, perkelahian itu sudah bukan main-main lagi.

“Kalian berdualah yang gila! Meskipun kalian tinggal jauh, jangan dikira aku tidak tahu kebiasaan jelek kalian! Jika benar warisan ayah berupa harta, pasti akan kalian pergunakan untuk membayar hutang dan berjudi! Nah. Kalian tidak membantahnya, bukan...?” ujar Narasumi berapi-api seraya menudingkan ujung pedangnya ke wajah Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Sehingga, wajah kedua kakaknya merah padam.

“Perempuan sundal! Apa hakmu mengurusi kehidupanku! Apa pun yang akan kulakukan dengan harta warisan itu tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Lebih baik urus dirimu, dan jangan pedulikan kami!” bentak Yudha Pasa marah mendengar Narasumi menyinggung kehidupan pribadinya.

“Benar! Sebaiknya kau menyingkir! Kau akan mendapat bagian dari warisan ayah...!” Rengga Pasa menimpali dengan suara yang sama kerasnya. Tampaknya perselisihan mereka tidak mungkin dapat dilerai lagi.

“Baik! Kalau demikian, jangan salahkan aku yang terpaksa melawan kalian berdua!” tandas Narasumi tegas. Pedang di tangannya berputar menimbulkan deruan angin tajam. Gadis cantik itu lebih rela mati daripada membiarkan perbuatan kedua kakak kandungnya.

“Keras kepala...!” bentak Yudha Pasa semakin kalap. Begitu ucapannya selesai, tubuhnya langsung melayang menerjang Narasumi. Serangannya tidak main-main lagi. Terbukti dari kuatnya sambaran angin pukulan yang dikerahkan Yudha Pasa.

“Perempuan tolol...!” Rengga Pasa pun tidak tinggal diam. Tubuhnya melesat ke depan dengan serangan-serangan berbahaya. Ia tidak peduli lagi serangan itu dapat membahayakan keselamatan adik kandungnya.

*** “Haiiit..!”

Meskipun dikeroyok dua kakaknya, pendirian Narasumi tidak berubah. Serangan-serangannya terlihat ganas dan mematikan. Begitu juga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Kedua lelaki itu tidak lagi main-main dalam melancarkan serangan. Bahkan telah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian. Tampaknya ketiga saudara kandung itu sudah dirasu- ki setan.

Perkelahian semakin seru dan bergeser ke halaman depan. Sampai sejauh itu, Narasumi masih bisa bertahan dengan gulungan sinar pedangnya. Tapi ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh, gadis cantik itu mulai terdesak dan semakin sulit mengembangkan permainan pedangnya. Bahkan pada jurus-jurus selanjutnya Narasumi tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan, dan hanya mampu bertahan.

“Hahhh...!”

Pada satu kesempatan, Yudha Pasa membentak keras! Dan melepaskan sebuah tendangan cepat ke pinggul Narasumi. Padahal saat itu Narasumi tengah terhuyung oleh desakan kedua kakaknya. Sehingga....

Desss!

“Akh...!?”

Tendangan keras Yudha Pasa telak mengenai sasaran. Akibatnya, tubuh gadis cantik itu jatuh terguling-guling. Dan bangkit terpincang-pincang.

“Haaat..!”

Rengga Pasa tidak mau melewatkan kesempatan baik itu. Tubuhnya langsung melesat ke depan dengan dorongan kedua telapak tangan. Dan....

Bresssh!

“Akh...!”

Tubuh Narasumi yang belum berdiri kokoh, terpental keras memuntahkan darah segar! Wajah gadis cantik itu tampak pucat ketika mencoba bangkit berdiri. Dorongan telapak tangan Rengga Pasa telah menyumbat jalan nafasnya untuk beberapa saat. Tapi, penderitaan gadis cantik itu tidak membuat kedua kakaknya iba. Bahkan Yudha Pasa melompat hendak menghabisi nyawa adik perempuannya itu.

“Yeaaat!”

Yudha Pasa meluncur deras dengan tendangan terbang yang sangat berbahaya. Bayangan warisan ayahnya membuat lelaki gemuk itu tidak peduli lagi terhadap adik kandungnya. Dan....

“Haaat..!”

Pada saat nyawa Narasumi bagai telur di ujung tanduk, mendadak melayang sesosok bayangan yang langsung memapaki tendangan Yudha Pasa. Sehingga....

Prattt..!

Tak ayal lagi, benturan pun terjadi! Yudha Pasa maupun penolong Narasumi terpental balik. Kendati demikian, keduanya dapat meluncur turun dengan baik. Itu membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam mereka seimbang!

“Bangga...?!”

Ketiga saudara yang bertarung itu berteriak kaget bercampur heran. Sosok tinggi besar yang menyelamatkan Narasumi adalah putra ketiga Ki Ganda Pasa. Ia adalah Bangga Pasa! Saat kemunculan perwira itu sangat tepat. Sebab terlambat sedikit saja sulit dapat dipastikan Narasumi masih hidup.

“Apa kalian sudah gila...?!” bentak Bangga Pasa seraya menatap ketiga saudaranya dengan mata merah. Rupanya ia sangat marah melihat perkelahian itu. “Apa sebenarnya yang terjadi sampai kalian hendak saling berbunuhan dengan saudara sendiri? Kalian semua benar-benar tersesat!”

Ucapan Bangga Pasa membuat ketiga saudaranya terdiam. Mereka masih terkejut dengan kedatangan lelaki tinggi besar itu. Suasana hening seketika. Tidak satu pun dari ketiga orang itu berbicara atau memban- tah perkataan Bangga Pasa.

“Hm.... Mengapa diam? Apa kalian bisu...?” Bangga Pasa kembali melanjutkan ucapannya ketika tak seorang pun menyahuti. Sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh menatap wajah saudara-saudaranya.

“Sebenarnya semua ini tidak perlu terjadi kalau saja Sumi tidak memulainya...,” akhirnya Yudha Pasa membuka suara. Lelaki gemuk itu menyalahkan Narasumi.

“Benar. Narasumi-lah yang memulai semua ini...,” timpal Rengga Pasa.

“Pengecut! Mengapa kalian menyalahkan aku? Mengapa tidak kalian katakan penyebab yang sebenarnya? Dasar busuk!” kecam Narasumi, yang tentu saja tidak ingin dirinya disalahkan.

Bangga Pasa menghela napas panjang. Lelaki tinggi besar itu terdiam sesaat seraya tetap mengawasi ketiga saudaranya. Tampaknya ia tidak berpihak kepada siapa pun. “Coba jelaskan padaku, apa sebenarnya yang membuat kalian bertarung mati-matian? Tapi jangan katakan kalau semua ini disebabkan oleh sepucuk surat gelap yang membuatku menyempatkan diri datang ke tempat ini...,” ujar Bangga Pasa, membuat ketiga saudaranya terkejut.

“Jadi..., kau pun menerima surat gelap itu...?” tanya Yudha Pasa seraya menatap wajah adiknya. Ia sungguh tidak menduga kalau Bangga Pasa mendapat surat serupa dengannya, mengingat adik ketiganya itu seorang perwira kerajaan yang tentu saja tempat tinggalnya dijaga siang malam.

“Hm.... Pertanyaanmu merupakan jawaban kalau pertumpahan darah yang nyaris terjadi disebabkan surat gelap ini...,” ujar Bangga Pasa sambil menunjukkan surat yang diterimanya. Ia tidak perlu lagi menjawab pertanyaan kakak tertuanya.

“Sebenarnya kami hanya ingin mengambil bagian dari warisan ayah. Tapi Sumi berkehendak lain. Ia lebih suka ada perkelahian di antara kita daripada memberitahukan di mana warisan ayah disimpan,” jawab Yudha Pasa, membuat Bangga Pasa semakin mengerti penyebab pertarungan ketiga saudaranya itu.

“Benar begitu, Sumi...?” tanya Bangga Pasa pada adiknya.

“Aku hanya tidak ingin mereka berbuat semaunya dengan mengaduk-aduk kamar ayah. Selain itu, aku tidak rela warisan ayah dipergunakan untuk jalan sesat. Itu saja...,” jawab Narasumi sejujurnya.

Sehingga Bangga Pasa mengangguk Ia sudah mengerti apa yang menimpa saudara-saudaranya. “Sikap Sumi tidak salah, walaupun tidak bisa ku benarkan. Ayah kita belum lagi tenang di alam sana, lalu mengapa kita sudah meributkan warisannya? Bukankah itu tidak pantas. Sebaiknya kita berkumpul dan merundingkan hal ini. Mengenai warisan itu, aku kira belum tentu benar. Kita harus menyelidikinya lebih dulu. Siapa tahu pengirim surat ini hanya menginginkan perpecahan di antara kita...,” ujar Bangga Pasa bijaksana, membuat saudara-saudaranya terdiam. Karena ucapan itu tidak bisa dibantah kebenarannya.

Melihat ketiga saudaranya seperti menyetujui ucapannya, Bangga Pasa mengangguk puas. Ia merasa bersyukur kemunculannya belum terlambat. Sehingga pertumpahan darah di antara mereka tidak sampai terjadi.

“Kelihatannya kau tidak yakin ayah menyimpan warisan seperti yang disebutkan surat gelap itu, Bangga...?” tanya Yudha Pasa dengan pandang mata meredup. Sikapnya menunjukkan kecurigaan. Putra tertua Ki Ganda Pasa itu khawatir adiknya hanya berpura-pura, karena ingin memiliki warisan itu seorang diri.

“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. Kedatanganku kemari bukan karena menginginkan warisan itu. Tapi hanya ingin menyelidiki dan mengetahui kebenarannya. Sebab mengenai kebutuhan hidup, aku tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Sebagai seorang perwira, aku sudah bisa hidup berkecukupan tanpa harus memikirkan warisan mendiang ayah kita. Kuharap, kau tidak berpikiran buruk mengenai keberadaanku di sini...,” sahut Bangga Pasa tanpa maksud menyombongkan kedudukannya. Sehingga Yudha Pasa menjadi malu sendiri.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya...?” Rengga Pasa segera menyelak karena tidak sabar mendengar pembicaraan saudara-saudaranya.

“Hm.... Sebaiknya kita bicarakan persoalan ini di dalam...,” sahut Bangga Pasa, dan langsung disetujui saudara-saudaranya. Kemudian lelaki tinggi besar itu melangkah masuk diikuti yang lainnya.

LIMA

“Isi surat ini belum pasti kebenarannya. Mungkin benar yang dikatakan Sumi, kalau pengirim surat ini ketiga orang tua yang datang saat ayah kita akan dikuburkan. Rupanya mereka menempuh cara lain untuk mendapatkan apa yang mereka cari. Aku yakin Ki Sutra dan kawan-kawannya akan muncul kembali. Tapi yang jelas, aku masih ragu akan kebenaran warisan itu...,” ujar Bangga Pasa yang rupanya telah mendengar cerita Narasumi. Baru kemudian ia dapat menyimpulkan persoalan yang tengah mereka hadapi.

“Kau salah, Bangga. Aku yakin warisan itu pasti ada. Kalau tidak, untuk apa mereka mempertaruhkan nyawa mencarinya ke rumah ini?” bantah Yudha Pasa yang memang merasa yakin akan kebenaran isi surat gelap itu. Alasan yang dikemukakannya sangat masuk akal.

“Kalau benar begitu, mengapa selama ini ayah merahasiakannya? Bahkan sampai akhir hidupnya beliau tidak berpesan apa-apa. Malah menyuruh Sumi meninggalkan tempat ini dan mencari kehidupan di tempat lain. Apa sebenarnya tujuan ayah...?” Rengga Pasa ikut menimpali pembicaraan itu. Ucapannya membuat saudara-saudaranya terdiam memikirkan keanehan sikap mendiang ayah mereka.

“Hhh.... Entah apa yang sudah diperbuat ayah semasa mudanya dulu. Beliau pasti mempunyai alasan kuat. Sayang yang disembunyikan selama hidup malah diketahui orang lain. Menurutku, Ki Sutra dan kawan-kawannya pasti mempunyai hubungan erat dengan masa lalu ayah. Ini yang perlu kita ketahui...,” ujar Bangga Pasa, setelah mendengar pendapat saudara- saudaranya.

“Hm.... Sebenarnya aku lebih cenderung untuk mencari warisan itu lebih dulu. Baru kemudian kita pikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana...?” usul Yudha Pasa setelah mereka terdiam beberapa saat.

Narasumi langsung menoleh ke arah Bangga Pasa. Kelihatannya ia menyerahkan keputusan kepada kakaknya yang menjadi perwira kerajaan itu. Gadis cantik ini memang lebih dekat dan lebih percaya kepada kakaknya yang ketiga daripada yang lainnya.

“Hm...!” Bangga Pasa tidak segera memutuskan. Lelaki tinggi besar ini terdiam beberapa saat memikirkan jalan terbaik untuk semuanya.

“Bagaimana, Sumi...?” Bangga Pasa menoleh kepada adiknya, dan menanyakan pendapat gadis itu.

“Aku menyerahkan keputusan padamu, Kakang. Kalau saja sejak semula kita bicara seperti ini, rasanya perkelahian yang hampir menewaskanku tadi tidak perlu terjadi...,” jawab Narasumi sambil menyindir kakak tertuanya.

Tadi Yudha Pasa memang menjumpainya dalam keadaan marah dan berwajah masam. Sehingga gadis itu tidak senang dan merah kepada kakak tertuanya itu. Kalau sekarang ia setuju, itu karena mereka membicarakannya dengan baik-baik dan secara kekeluargaan. Itu sebenarnya yang diinginkannya.

“Nah! Jika demikian, mari sekarang kita periksa kamar ayah” Bangga Pasa menyetujui usul kakaknya. Karena Narasumi telah menyerahkan persoalan ini kepadanya. Sementara ia sendiri memang ingin menyelidiki kebenaran isi surat gelap itu.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas bangkit dan melangkah lebar meninggalkan ruang tengah ini. Tidak ada lagi ketegangan di antara mereka. Walau masih terselip sedikit ganjalan di hati Narasumi. Tapi, gadis cantik itu tidak berkata apa-apa.

Bangga Pasa menghentikan langkah tepat di depan kamar ayahnya. Kendati sudah diceritakan Narasumi, tetap saja ia menggeleng-gelengkan kepala melihat isi kamar berantakan. Kemudian lelaki tinggi besar itu melangkah masuk dengan hati-hati, diikuti yang lainnya.

“Mari kita periksa seluruh isi kamar ini. Tapi ingat, kita harus merapikannya kembali,” ujar Bangga Pasa memimpin saudara-saudaranya.

Mulailah mereka memeriksa seluruh isi kamar. Setiap jengkal tidak mereka lewati. Bahkan dinding-dinding kamar mereka periksa seluruhnya. Sebab, mungkin saja masih ada kamar lain di balik dinding-dinding itu.

“Tidak ada...,” desis Yudha Pasa setelah memeriksa hampir seluruh isi kamar, dan tidak menemukan apa yang dibayangkannya. Jangankan tumpukan harta, sebutir permata pun tidak. Lelaki gemuk itu merasa kecewa sekali.

“Ayah tidak bodoh...,” gumam Bangga Pasa yang juga tidak menemukan sesuatu yang berharga di kamar itu. Ucapan itu membuat yang lainnya menoleh dan menatap lelaki tinggi besar itu meminta penjelasan.

“Apa maksudmu, Bangga...?” tanya Yudha Pasa penasaran. Sebab adiknya itu sudah melangkah keluar kamar. Ia pun bergegas mengikuti.

“Mengapa kita begitu tolol! Sudah pasti ayah akan menyembunyikannya di tempat lain, yang tidak diduga siapa pun!” jawab Bangga Pasa tanpa menghentikan langkahnya. Lelaki itu kembali ke ruang tengah rumah besar ini.

“Lalu di mana...?” tanpa sadar Yudha Pasa melontarkan pertanyaan bodoh itu. Karena ia benar-benar merasa kecewa.

“Aku tidak tahu. Sebaiknya malam ini kita menginap. Besok baru kita mengadakan pencarian besar-besaran. Kita geledah seluruh ruangan dan setiap jengkal tanah di sekitar bangunan ini. Kalau benar warisan itu ada, aku yakin kita pasti menemukannya...,” jawab Bangga Pasa bersemangat

“Kalau begitu, sebaiknya aku segera beristirahat...,” ujar Yudha Pasa dan bergegas meninggalkan tempat itu. Lelaki gemuk itu menuju kamarnya tempat dahulu ia tinggal. Kamar itu memang dibiarkan kosong seperti kamar-kamar lainnya. Walaupun selalu dibersihkan pelayan keluarga itu.

Sepeninggal Yudha Pasa, Rengga pun minta diri untuk beristirahat Kemudian Bangga Pasa menyusul. Narasumi segera bangkit dan melangkah ke kamarnya. Sehingga, ruangan itu kembali sunyi seperti biasa.

********************

Malam semakin larut Udara di luar terasa dingin menyentuh kulit Angin sesekali berhembus keras membawa titik-titik air. Meskipun begitu, hujan tidak juga turun. Mendung memang tidak begitu tebal.

Dalam cuaca seperti itu ternyata masih ada juga orang yang berkeliaran di luar rumah. Meskipun gerakan mereka cukup cepat dan sulit dikenali, tapi jelas ketiga sosok tubuh yang berlari itu adalah manusia, bukan hantu atau sebangsanya. Tujuan mereka adalah rumah besar milik Ki Ganda Pasa yang terpencil dan tersembunyi.

Dengan ringan dan hampir tidak mengeluarkan bunyi, ketiga sosok itu bergerak mendekati jendela kamar salah seorang putra Ki Ganda Pasa. Ketiganya berhenti sebentar mengawasi sekeliling. Merasa aman, lelaki pertama mencoba membuka jendela kamar itu secara paksa, meski tetap menimbulkan kesan hati-hati sekali.

Tapi penghuni kamar itu bukan orang sembarangan. Yudha Pasa yang semula tertidur lelap tersentak bangkit ketika mendengar suara yang mencurigakan. Dan....

“Kurang ajar!” desis lelaki gemuk itu geram ketika melihat daun jendela kamarnya perlahan membuka. Baru saja ia hendak melompat turun dari atas pembaringan, tiba-tiba melesat sebentuk benda kecil panjang kearahnya.

“Haiiit..!”

Dengan sigap Yudha Pasa mengelak sambil mengulurkan tangannya yang terlindung lilitan pakaian. Sekali sambar, benda kecil panjang itu terjatuh ke lantai. Ternyata benda itu hanya sebatang ranting sebesar jari kelingking!

Yudha Pasa semula hendak mengejar penyerang gelap itu, tapi gerakannya ditunda, la melihat ada benda putih yang digunakan untuk membungkus ranting pohon itu. Langsung saja disambarnya ranting itu. Kening lelaki gemuk itu berkerut ketika mendapati kain putih bertuliskan beberapa baris kalimat Cepat dibukanya gulungan kain itu. Dan dibacanya perlahan.

"Kalau kau menginginkan bagian yang lebih besar dari warisan Ki Ganda Pasa, temui kami di batas Desa Koneng...."

“Hm...” Yudha Pasa meremas kain di tangannya. Pesan dalam kain itu sangat singkat, dan tanpa nama pengirim. Hingga lelaki gemuk itu penasaran. Apalagi tulisan itu menyebutkan tentang warisan. Maka tanpa banyak cakap lagi, Yudha Pasa segera berkemas untuk memenuhi pesan itu. Bayangan warisan yang memenuhi pikirannya membuat Yudha Pasa langsung menyelinap keluar tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Sebentar saja lelaki gemuk itu sudah melesat menuju tempat yang tertulis di dalam sobekan kain yang masih berada dalam genggaman tangannya.

Perbatasan Desa Koneng tidak terlalu jauh. Dalam waktu singkat, Yudha Pasa sudah tiba di tempat yang dituju. Ia menghentikan langkah dan memandang berkeliling. Tak ada seorang pun di tempat itu.

“Hm... Kau benar-benar bernyali naga, Yudha Pasa! Aku kagum kepadamu. Itu sebabnya aku memilihmu untuk bergabung”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat. Yudha Pasa segera menoleh dengan sikap waspada. Jari-jari tangannya meraba gagang pedang di pinggangnya.

“Siapa kau...?” bentak Yudha Pasa ketika melihat tiga sosok bayangan muncul dari balik semak-semak dikanannya.

“Tidak perlu setegang itu, Yudha Pasa. Kami mengundangmu dengan niat baik”

Kembali suara berat itu terdengar. Dan ketika ketiga orang itu sudah dekat, Yudha Pasa segera mengenali mereka sebagai orang-orang yang datang mencari ayahnya. Dari cerita adik perempuannya, ia tahu salah satu dari mereka bernama Ki Sutra. Tapi ia tidak bisa menebak yang mana orang itu.

“Hm.... Kalian rupanya...,” desis Yudha Pasa tanpa rasa gentar sedikit pun. Lelaki gemuk itu sangat membanggakan kepandaiannya. la merasa yakin dapat mengatasi ketiga lelaki tua itu. Keyakinan itu pulalah yang menjadi salah satu alasan ia datang memenuhi undangan mereka.

“Bagus kalau kau mengenali kami, Yudha Pasa. Dengan demikian kita bisa membicarakan urusan dengan baik-baik...,” sahut lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, yang tidak lain Ki Sutra. Lelaki itu selalu mewakili kedua kawannya untuk berbicara.

“Hm.... Apa maksud pesanmu?” tanya Yudha Pasa dengan sikap tetap waspada. Sebab bukan tidak mungkin mereka hendak mencelakakannya.

“Kami ingin menawarkan kerja sama yang akan menguntungkanmu, Yudha Pasa. Kami jamin kau tidak akan kecewa...,” jawab Ki Sutra seraya tertawa perlahan.

Yudha Pasa tidak segera menanggapi. Ia menggeser langkahnya sambil tetap mengawasi ketiga orang itu. Tatapan matanya demikian tajam. Seolah hendak menilai Ki Sutra dan kawan-kawannya.

“Kerja sama bagaimana...?” tanya Yudha Pasa setelah puas meneliti ketiga lelaki tua itu. Walau sudah dapat menduga tujuan ketiga orang itu, Yudha Pasa masih ingin mendengar penjelasan yang lebih terperinci.

“Ketahuilah, Yudha Pasa. Warisan ayahmu tidak akan habis walaupun kau hambur-hamburkan seumur hidup. Karena itu kami menawarkan kerja sama kepadamu. Kami yakin kau pasti akan bersedia...,” jawab Ki Sutra yang rupanya tidak meragukan penilaiannya terhadap Yudha Pasa. Tentu saja untuk itu ia tidak bertindak ceroboh. Jauh-jauh hari ia telah menyelidiki kehidupan serta sifat putra sulung Ki Ganda Pasa itu. Tanpa setahu Yudha Pasa, Ki Sutra dan kawan-kawannya selalu membayangi lelaki gemuk itu.

Mendengar keterangan warisan ayahnya, dada Yudha Pasa berdebar. Ia sungguh tidak menyangka kalau peninggalan ayahnya demikian banyak. Terbayang di benaknya kemewahan dan kesenangan hidup. Tapi Yudha Pasa mencoba menahan diri, dan pura-pura tidak peduli.

“Dari mana kau mengetahuinya? Aku sendiri sebagai putra sulungnya tidak pernah mengetahui warisan yang demikian banyak itu. Bahkan aku masih meragukan keberadaan warisan ayah,” tukas Yudha Pasa dengan liciknya, sekaligus hendak mencari keterangan lebih pasti dari ketiga lelaki tua itu.

“Kau tidak perlu mengetahuinya. Yang jelas, berita harta melimpah itu bukan karangan kami. Untuk apa kami berbohong dan bersusah-payah mencari ayahmu sampai bertahun-tahun. Sebaiknya kau putuskan saja, apakah tawaran kami diterima?” tanya Ki Suta meminta kepastian.

“Hm... Mengapa kalian tidak ambil sendiri? Dengan kepandaian kalian, rasanya tidak akan ada sesuatu yang dapat menghalangi tindakan kalian.,.?” ujar Yudha Pasa yang sebenarnya merasa heran dengan tawaran itu.

“Karena kami tidak ingin berurusan dengan pihak kerajaan. Kau pasti tahu apa yang kami maksud?” jawab Ki Sutra yang kelihatan benar-benar menghendaki Yudha Pasa berada di pihaknya.

“Maksudmu, kau takut berhadapan dengan adikku yang menjadi perwira kerajaan...?” tanya Yudha Pasa agak heran. Tapi, ia segera dapat memaklumi kekhawatiran ketiga lelaki tua itu. Sebab kalau sampai berurusan dengan adiknya, mereka bertiga bisa menjadi buruan kerajaan. Itu jelas tidak mereka inginkan.

“Benar...,” sahut Ki Sutra tanpa ragu-ragu. “Ketahuilah, Yudha Pasa. Bila harta itu sampai ditemukan adikmu yang perwira, kemungkinan besar warisan ayahmu akan diserahkan untuk kerajaan. Itu berarti kau akan mendapatkan bagian yang tidak seberapa. Lain halnya jika kau bergabung dengan kami. Kita hanya berempat. Sedangkan seandainya dipecah menjadi sepuluh bagian pun, tidak akan habis sampai tujuh turunan. Nah, bagaimana pendapatmu...?” kali ini yang berbicara Ki Wargana. Lelaki tua itu tidak sabar dengan bantahan-bantahan maupun pertanyaan lelaki gemuk itu. Sehingga nada ucapannya tidak enak di telinga.

Mendengar perkataan Ki Wargana, Yudha Pasa termenung. Apa yang dikhawatirkan lelaki tua itu mendekati kebenaran. Jika warisan ayahnya sampai demikian banyak, bukan tidak mungkin Bangga Pasa menyerahkannya ke kerajaan. Dan ia akan mendapat sekadarnya saja. Yudha Pasa tidak menginginkan hal itu terjadi.

“Jika aku memutuskan untuk bekerja sama dengan kalian, apa yang harus kulakukan...?” tanya Yudha Pasa masih belum memutuskan akan menerima usul Ki Sutra atau tidak.

“Tidak sulit. Jauhkan adikmu dari rumah itu. Kau bisa membohongi mereka dengan mengatakan warisan itu hanya omong kosong. Atau kalau kau ingin lebih aman, bunuh saja ketiga saudaramu itu. Dengan begitu, kita akan lebih aman untuk mencari warisan mendiang ayahmu...,” ujar Ki Sutra. Yudha Pasa tersentak kaget.

“Itu kalau kau ingin bagian seperti yang kami tawarkan. Jika keberatan, kami pun tidak akan memaksa...,” Ki Wargana menimpali, membuat Yudha Pasa semakin bingung.

“Apakah tidak ada cara lain yang lebih aman...?” Yudha Pasa agaknya keberatan untuk melenyapkan saudara-saudaranya. Lelaki gemuk ini masih ragu menerima tawaran yang menggiurkan itu.

“Tidak. Sekarang kau harus memutuskan! Ikut bergabung dengan kami dan memperoleh segala impianmu, atau tidak sama sekali!” tandas Ki Sutra tidak sabar melihat sikap Yudha Pasa.

“Tapi...”

“Cukup! Sekali lagi kami beri kesempatan! Kami akan melakukannya walaupun tanpamu...!” tegas Ki Sutra tidak bisa ditawar lagi. Yudha Pasa dipaksa mengambil keputusan saat itu juga.

“Baik! Aku bersedia.” Akhirnya Yudha Pasa menyanggupi untuk bergabung dengan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Apa yang selama ini menjadi impiannya akan segera terwujud bila ia bergabung dengan ketiga lelaki tua itu.

“Bagus! Sekarang kembalilah, dan laksanakan tugasmu dengan baik,” perintah Ki Sutra, seraya tersenyum penuh kemenangan.

“Bagaimana caranya aku melenyapkan mereka...?” tanya Yudha Pasa, sebelum beranjak pergi dari tempat itu.

“Mudah saja. Beri saudara-saudaramu racun yang dapat melenyapkan kekuatan tenaga dalam mereka. Dengan begitu, tugasmu tidak akan menjadi berat. Nah, terimalah” Ki Sutra melemparkan kantung kain yang berisi bubuk beracun. Dan Yudha Pasa menyambutnya tanpa ragu.

“Semoga kau berhasil, Yudha Pasa...” Selesai berkata demikian, ketiga lelaki itu berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Sedang Yudha Pasa pun kembali ke tempat kediaman ayahnya.

ENAM

Tiba di kamarnya, Yudha Pasa tidak dapat lagi memejamkan mata. Walaupun sudah merebahkan tubuhnya di atas pembaringan, matanya tidak juga mau terpejam. Pikirannya tidak bisa tenang. Otaknya bekerja keras mencari cara seperti yang telah disepakati bersama Ki Sutra dan kawan-kawannya. Bayangan hidup mewah rupanya lebih kuat menguasai hati Yudha Pasa. Sehingga, ia menyanggupi untuk melenyapkan adik-adik kandungnya.

Dengan perasaan gelisah, lelaki gemuk itu bangkit dan duduk termenung di atas pembaringan. Dikeluarkannya kantung berisi racun yang didapat dari Ki Sutra. Dan menimang-nimangnya dengan pikiran menerawang.

“Hm.... Terlalu mencurigakan bila ketiga saudaraku tewas keracunan dalam waktu bersamaan. Tidak! Aku tidak akan menggunakan racun ini. Lebih baik aku mencari jalan lain yang tidak terlalu menyolok...,” gumam Yudha Pasa berbicara sendiri.

Setelah mengambil keputusan, Yudha Pasa turun dari pembaringan. Dibukanya daun jendela lebar-lebar. Merasa yakin tak seorang pun mengetahui perbuatannya, dilemparkannya kantung berisi racun itu sekuat tenaga. Lalu kembali merebahkan diri sambil memikirkan cara lain untuk melenyapkan saudara-saudaranya.

Sampai fajar datang menjelang, Yudha Pasa tetap tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Tapi ia sudah bisa bernapas lega. Jalan yang dicarinya sudah ditemukan. Tinggal pengaturan pelaksanaannya yang terasa masih agak berat

Saat matahari menampakkan sinarnya, Yudha Pasa bergegas meninggalkan kamar. Lalu membersihkan tubuh dan menuju ruang tengah. Lelaki gemuk itu duduk menunggu saudara-saudaranya sambil menikmati hidangan yang disediakan pelayan keluarga mereka. Tidak berapa lama kemudian, ketiga saudaranya muncul. Wajah mereka kelihatan segar dan cerah. Tidak sedikit pun nampak sisa-sisa perselisihan di antara mereka.

“Wah! Kelihatannya kau sudah cukup lama menunggu kami, Kakang...,” sapa Bangga Pasa dan Rengga Pasa. Keduanya langsung mengambil tempat duduk di kiri dan kanan kakak tertua mereka.

Narasumi hanya mengangguk dan tersenyum kecil ketika Yudha Pasa melempar pandang ke arahnya. Seperti juga Bangga dan Rengga, gadis itu langsung menarik kursi di sebelah kakaknya yang nomor tiga.

“Dengan sangat menyesal aku terpaksa tidak bisa ikut bersama kalian mencari warisan itu. Aku baru ingat kalau hari ini ada janji dengan teman dagangku. Kuharap kalian dapat memaklumi” Yudha Pasa membuka suara setelah mereka berempat berkumpul di ruang tengah. Dengan pandainya ia memasang wajah penuh sesal, membuat yang lainnya saling bertukar pandang.

“Tidak mengapa, Kakang Yudha. Dan sebaiknya kau ditemani Kakang Rengga. Aku khawatir musuh-musuh kita mengintai gerak-gerik kita semua. Dengan berdua kita akan lebih kuat menghadapi lawan...,” ujar Bangga Pasa yang dapat memaklumi kepentingan kakak sulungnya.

Mendengar usul Bangga Pasa, tentu saja Yudha Pasa sangat senang. Ia langsung menoleh ke arah Rengga Pasa, seolah hendak melihat tanggapan adiknya.

“Bagaimana, Rengga?” tanya Yudha Pasa meminta jawaban.

“Tentu aku bersedia menemanimu, Kakang,” sahut Rengga Pasa cepat Kemudian berpaling menatap Bangga Pasa dan Narasumi. “Tapi kuingatkan kepada kalian untuk menyisihkan bagianku bila warisan itu kalian temukan”

Bangga Pasa dan Narasumi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tapi akhirnya mereka mengangguk, menyetujui permintaan kakak keduanya itu.

“Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang juga...,” pamit Yudha Pasa. Lalu melangkah keluar dan melompat ke atas punggung kuda.

Rengga Pasa melakukan hal yang sama. Dan tak lama kemudian, keduanya bergerak memacu kuda masing-masing meninggalkan Bangga Pasa dan Narasumi, yang menatap kepergian mereka sampai lenyap di kejauhan.

********************

“Mengapa mengambil jalan ini, Kakang? Bukankah akan memakan waktu lebih lama untuk tiba di rumahmu...?” tanya Rengga Pasa mengingatkan kakaknya mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Lelaki tegap itu mengira kakaknya mungkin keliru.

“Aku harus menemui kawan dagangku dulu, Rengga. Setelah itu, baru kita ke rumahku...!” seru Yudha Pasa menyahuti tanpa menghentikan lari kudanya yang menerobos semak belukar. Saat itu mereka melewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditumbuhi pepohonan dan rumput liar.

Mendengar jawaban itu, Rengga Pasa tidak berkata lagi. Itu berarti kakaknya tidak lupa. Tapi memang disengaja. Maka ia segera membedal kudanya agar tidak tertinggal terlalu jauh.

Yudha Pasa membedal kudanya dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli jalan yang dilaluinya terlalu sempit. Ketika menoleh ke belakang dan adiknya tidak terlihat, ia segera membelokkan kudanya menerobos semak-semak. Dan lenyap dalam kelebatan pepohonan.

Perbuatan Yudha Pasa itu tidak diketahui Rengga. Sehingga, ia terus melarikan kudanya menyusuri jalan kecil itu. Lelaki tegap ini baru merasa heran ketika tiba di sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Bayangan kakaknya tidak terlihat. Cepat Rengga menarik tali kekang kudanya. Binatang itu meringkik keras sebelum berhenti berlari.

“Aneh! Ke mana perginya Kakang Yudha Pasa...? Meskipun ia melarikan kudanya secepat angin, seharusnya masih tampak bayangannya di depan sana. Karena tempat ini cukup terbuka...,” desis Rengga Pasa, memutar binatang tunggangannya sambil memandang berkeliling. Tapi tetap saja ia tidak menemukan sesosok makhluk pun di sekitar tempat itu.

“Haaat...!”

Belum lagi Rengga Pasa terbebas dari rasa heran, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan melayangnya sesosok tubuh dengan pedang di tangan. Maksudnya sudah jelas hendak mencelakakan lelaki tegap itu.

Bwettt...!

“Haiiit..!”

Sadar kalau dirinya terancam maut, Rengga Pasa tidak tinggal diam. Cepat ia melompat dari atas punggung kuda, dan berputaran beberapa kali di udara sebelum meluncur turun. Usaha itu ternyata belum juga bisa membebaskannya dari incaran maut. Sinar pedang penyerang gelap itu terus mengejar ke mana tubuhnya pergi. Lelaki tegap itu kelabakan menyelamatkan diri dari serangan pedang lawan. Hingga....

Bret..!

“Aaakh...?!” Sebuah tebasan menyilang yang dilancarkan penyerang gelap itu tidak sempat dielakkan Rengga Pasa. Tubuh lelaki tegap itu melintir dan terhuyung ke belakang. Darah segar memercik membasahi rerumputan. Pada bagian iga lelaki itu terdapat luka memanjang yang cukup dalam.

“Keparat busuk...!” desis Rengga Pasa tidak dapat menahan rasa geramnya. Tangan kanannya bergerak cepat meloloskan pedang di pinggangnya dan menyilangkannya di depan dada. Siap menghadapi lawan.

“Mampus...!” Sosok yang sebagian wajahnya terlindung kain hitam itu kembali menerjang dengan ganasnya. Tampaknya ia memang hendak melenyapkan nyawa Rengga Pasa.

“Hei...?!”

Rengga Pasa berseru heran melihat gerakan lawan. Jurus-jurus yang dipergunakan telah dikenalnya dengan baik. Sayang ia tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Serangan-serangan yang demikian gencar itu membuat Rengga Pasa menelan rasa penasarannya, dan mulai mengadakan perlawanan.

Terjadilah perkelahian seru yang cukup menegangkan. Keduanya saling gempur dengan hebat untuk menundukkan lawan. Kelebatan sinar pedang mereka terkadang diselingi benturan keras yang menimbulkan percikan bunga api. Walaupun pada setiap benturan Rengga Pasa lebih kuat, namun gerakan lawan ternyata jauh lebih cepat. Sehingga ia tetap saja terdesak oleh gempuran-gempuran lawan yang memang tidak main-main.

Cappp...!

Ketika pertempuran memasuki jurus keempat puluh tiga, Rengga Pasa kecolongan! Luka yang dideritanya sangat membahayakan nyawa. Ujung pedang lawan menancap dalam di sebelah kiri dadanya dan langsung menembus jantung!

“Aaargh...!” Rengga Pasa meraung keras saat lawan menarik pulang senjatanya. Darah segar membanjir keluar dari luka di tubuh lelaki tegap itu. Belum lagi menyadari keadaannya, pedang lawan kembali berkelebat Kali ini merobek perutnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Rengga Pasa ambruk berkelojotan bagai ayam disembelih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak lagi. Mati!

Sosok bercadar hitam itu tertawa dingin melihat mayat lawannya. Kaki kirinya bergerak perlahan membalikkan tubuh yang menelungkup itu.

“Kau adalah korban pertamaku, Rengga Pasa...,” desis sosok itu kembali memperdengarkan tawa dinginnya. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melesat pergi meninggalkan mayat Rengga Pasa.

********************

“Hhh.... Mungkin warisan itu tidak pernah ada, Kakang,” desah Narasumi seraya menghela napas panjang. Wajah cantiknya kelihatan lelah. Tampak sekali kalau gadis cantik itu merasa kecewa. Warisan yang dicarinya belum juga ditemukan. Meskipun sudah hampir separo tempat itu mereka jelajahi, tapi hasilnya tetap nol!

“Sabarlah, Sumi! Bukankah belum seluruhnya tempat ini kita periksa. Aku yakin warisan itu kemungkinan besar ada. Hanya kita belum menemukan tempatnya saja...,” sahut lelaki tinggi besar yang tidak lain Bangga Pasa. Ia menghibur adiknya yang kelihatan mulai putus asa.

Narasumi yang semula hendak menyahuti ucapan kakaknya, mendadak berdiri sambil menengadahkan kepala. Gadis cantik itu tengah memasang indera pendengarannya. Ternyata bukan hanya Narasumi saja yang berbuat demikian. Bangga Pasa pun menghentikan pekerjaannya, karena telinganya menangkap sesuatu.

“Suara derap kaki kuda...?!” desis Bangga Pasa seraya menoleh ke arah Narasumi. Kebetulan gadis cantik itu pun tengah memandang kakaknya. Sehingga, mereka saling berpandangan sesaat. Bangga Pasa mendahului adiknya melesat ke halaman depan. Saat itu mereka tengah berada di bagian belakang rumah. Di belakang lelaki tinggi besar itu Narasumi menyusul. Keduanya seperti berlomba untuk segera tiba di halaman depan.

“Kakang Yudha...?!” seru Bangga Pasa ketika melihat seorang penunggang kuda melesat memasuki halaman rumah besar itu. Cepat ia memburu. Karena dilihatnya wajah kakak sulungnya itu agak pucat dan pakaiannya lusuh. Tentu saja ia merasa heran.

Narasumi yang tiba belakangan juga terheran-heran melihat kemunculan Yudha Pasa. Menurut perhitungan, kakak sulungnya itu baru akan kembali sore nanti. Tapi ternyata Yudha Pasa sudah kembali. Dan dalam keadaan yang mengherankan.

“Ada apa, Kakang? Dan..., ke mana Kakang Rengga...?” tanya Bangga Pasa begitu kakaknya melompat turun dari punggung kuda. Kening lelaki tinggi besar itu berkerut dalam ketika melihat tubuh Yudha Pasa limbung saat menjejakkan kaki di tanah. Jelas, kakak sulungnya itu sedang dalam keadaan tidak sehat

“Celaka, Adi Bangga...! Adi Rengga tewas...! Musuh-musuh kita ternyata membayangi dan mengawasi gerak-gerik kita. Mereka menghadang di tengah hutan. Aku berhasil meloloskan diri. Sedangkan Adi Rengga...” Yudha Pasa tidak melanjutkan kalimatnya. Nafasnya terdengar memburu. Lelaki gemuk itu menjatuhkan tubuhnya dan bersandar pada sebatang pohon. Yudha Pasa kelihatan sangat lelah.

“Keparat..! Sudah kuduga kalau mereka masih terus mengincar kita...!” geram Bangga Pasa sangat marah mendengar kematian Rengga Pasa. Sepasang matanya berkilat penuh dendam kesumat

Lain halnya dengan Narasumi. Gadis cantik itu tidak berkata apa-apa. Hatinya sempat terpukul mendengar keterangan kakak sulungnya. Walaupun ia tidak menyukai Rengga, namun tetap saja ada rasa sedih saat mendengar kematiannya.

“Hm.... Aku akan mencari mereka! Akan kubunuh manusia-manusia jahat itu...!” desis Bangga Pasa yang belum juga reda kemarahannya. Lelaki tinggi besar itu tampaknya akan segera membuktikan ucapannya. Langkahnya terayun menghampiri kuda Yudha Pasa.

“Jangan bertindak bodoh, Bangga! Mereka cukup banyak, dan rata-rata berilmu silat setingkat dengan kita. Bahkan beberapa di antaranya berkepandaian tinggi...!” cegah Yudha Pasa menghadang langkah adiknya.

“Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini, Kakang Bangga! Mereka pasti akan menghadang dan membunuhmu, seperti yang dilakukan terhadap Kakang Rengga! Sebaiknya kita tetap bergabung di rumah ini dan menghadapi segala sesuatunya bersama-sama...,” Narasumi pun berusaha mencegah kepergian Bangga Pasa. Sehingga lelaki tinggi besar itu menahan kepergiannya.

Bangga Pasa terdiam beberapa saat seperti tengah merenungkan sesuatu. Kemudian menatap kedua saudaranya berganti-ganti. Kelihatannya ia sudah mendapat jalan keluar yang cukup baik.

“Mmm... Begini saja. Kalian berdua tetap tinggal di sini. Aku akan pergi ke kotaraja untuk mengambil beberapa orang pasukanku. Dengan begitu, kita akan lebih kuat menghadapi mereka...,” ujar Bangga Pasa mengusulkan.

“Tapi..., bagaimana kalau mereka menghadangmu...?” bantah Narasumi, tidak begitu setuju dengan usul Bangga Pasa.

“Jangan khawatir, Sumi. Aku bisa menjaga diri...,” jawab Bangga Pasa pasti. Lelaki tinggi besar itu menghampiri kuda Yudha Pasa yang ditambatkan di pohon. Kemudian melompat naik ke atas punggung kuda hitam itu.

“Kakang...” Narasumi masih berusaha mencegah kepergian Bangga Pasa. Gadis cantik itu berlari menghampiri kakaknya yang sudah siap untuk berangkat.

Bangga Pasa menatap Narasumi sesaat Kemudian membedal kudanya setelah melempar senyum kepada gadis cantik itu. Sebentar saja binatang itu telah melesat meninggalkan Narasumi dan Yudha Pasa yang hanya bisa menatap kepergian saudaranya.

Setelah kuda hitam itu hilang dari pandangan, Narasumi bergerak dari tempatnya. Ia langsung melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh kepada kakak sulungnya. Yudha Pasa sendiri tidak mempedulikan sikap gadis itu. Ia bergerak menuju belakang rumah setelah sosok Narasumi lenyap di balik pintu.

Beberapa saat kemudian, muncul tiga sosok tubuh yang langsung melangkah masuk ke halaman rumah besar itu. Mereka adalah Ki Sutra dan kawan kawannya. Rupanya mereka sudah cukup lama mengintai dari tempat tersembunyi. Dan baru keluar begitu Bangga Pasa pergi meninggalkan kedua saudaranya.

Brakkk!

Tanpa basa-basi lagi, Ki Sutra menendang hancur pintu rumah besar itu. Kemudian ketiga orang itu berloncatan masuk ke dalam rumah. Tampaknya mereka tidak main sembunyi lagi. Karena Bangga Pasa yang mereka segani sudah pergi dari rumah itu.

“Hei! Siapa kalian...?! Mengapa merusak pintu rumah ini...?!” seorang lelaki kurus yang tidak lain Ramin, berteriak menyongsong kedatangan Ki Sutra dan kawan-kawannya.

Ki Sutra rupanya merasa tidak perlu menjawab dengan mulut Tangannya langsung bergerak cepat. Dan....

Breeet..!

Tanpa ampun lagi, tubuh Ramin terjungkal mandi darah. Lehernya hampir putus terkena sambaran pedang Ki Sutra. Ramin tewas seketika itu juta.

“Bangsat kejam!”

Narasumi bergegas keluar dari kamar ketika men-dengar jerit kematian tukang kebunnya. Betapa terkejutnya gadis itu menyaksikan tubuh Ramin tergeletak tewas. Dan ia sangat marah ketika melihat pelaku pembunuhan itu.

“He he he! Kau pun akan mengalami nasib serupa setelah tubuh molekmu kami nikmati bersama-sama. Semua ini kami lakukan sebagai pembalasan atas pengkhianatan ayahmu kepada kami...,” ujar Ki Sutra seraya menatap wajah dan tubuh Narasumi dengan liar. Kemudian bergerak maju, diikuti kawan-kawannya.

Srat..!

Tanpa banyak cakap lagi, Narasumi mencabut pedang di pinggangnya. Semula ia ingin mengetahui maksud ucapan Ki Sutra. Tapi melihat mereka bergerak maju, Narasumi membatalkan niatnya. Pedangnya melintang di depan dada, siap menghadapi keroyokan ketiga lelaki tua itu.

Sebetulnya Narasumi bisa saja berteriak memanggil Yudha Pasa. Namun itu tidak dilakukannya. Sebab menurutnya suara teriakan Ramin pasti terdengar kakak sulungnya. Ia yakin Yudha Pasa akan segera tiba sebelum ia roboh di tangan lawan-lawannya. Hingga Narasumi tidak berteriak meminta bantuan kakaknya untuk menghadapi Ki Sutra dan kawan-kawannya.

TUJUH

“Heaaa...!”

Ki Sutra memulai serangan dengan serangkaian pukulan tangan kosong yang menimbulkan deruan angin keras. Serangannya jelas tidak main-main. Ki Sutra langsung mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan pertama itu.

Narasumi sadar kepandaiannya masih berada di bawah Ki Sutra. Gadis itu segera menggeser tubuhnya sambil mengibaskan pedang untuk bertahan. Sehingga, serangan lawan dapat terbendung dan tidak terlalu mendesaknya. Bahkan gadis itu sempat melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang mengagumkan.

Namun betapapun hebatnya gadis cantik itu membuat pertahanan, tetap saja ia kewalahan menghadapi keroyokan tiga lawan tangguh seperti Ki Sutra dan kawan-kawannya. Ketika pertarungan berjalan beberapa belas jurus, Narasumi tidak mampu lagi melakukan serangan balasan. Gadis itu terus terdesak mundur ke sudut ruangan. Sadar dirinya terancam bahaya maut, akhirnya Narasumi berteriak memanggil kakak sulungnya. Karena sampai saat itu Yudha Pasa tidak muncul membantunya. Padahal menurut perhitungannya perkelahian itu sudah pasti terdengar kakak sulungnya.

“Kakang Yudha...! Bantu aku...!” teriak Narasumi sekuat tenaga. Gadis itu benar-benar sudah tidak berdaya menghadapi keroyokan lawan-lawannya. Tapi harapan Narasumi tidak terkabul. Yudha Pasa tidak juga muncul, meskipun ia sudah berteriak berkali-kali. Gadis cantik itu pun mulai gelisah. Dan itu membuatnya lengah. Sehingga....

Desss!

Sebuah tendangan keras membuat tubuh Narasumi terguling. Gadis itu berusaha bangkit meskipun lambungnya terasa nyeri. Tapi....

Plak!

Tamparan keras pada bahu kanannya membuat Narasumi terhuyung limbung. Pedangnya terlepas dari genggaman. Dara cantik itu pun tidak mempunyai pertahanan lagi untuk menghadapi serangan lawan. Sedangkan saat itu Ki Sutra sudah meluncur datang dengan totokan melumpuhkan.

“Ahhh...?!” Gadis cantik itu menahan jeritannya. Ia tahu Ki Sutra bermaksud melumpuhkannya. Dan ia sudah membayangkan yang akan menimpa dirinya bila sampai tertawan ketiga musuh ayahnya itu. Tapi karena keadaan tubuhnya tidak mungkin mengadakan perlawanan, Narasumi hanya bisa memejamkan mata saat serangan Ki Sutra datang. Maka....

“Haiiit..!”

Pada saat yang menegangkan itu, mendadak berkelebat sesosok bayangan putih memapaki serangan Ki Sutra. Demikian cepatnya gerakan sosok bayangan putih itu berkelebat, sehingga tidak tertangkap mata Ki Sutra dan kawan-kawannya. Dan....

Plak, desss!

“Hugkh!”

Hebat dan cepat bukan main gerakan sosok bayangan putih itu. Ia bukan hanya mampu menggagalkan serangan Ki Sutra. Bahkan masih sempat menyarangkan hantaman telapak tangan kanannya ke dada lelaki tua itu. Akibatnya tubuh Ki Sutra terjengkang ke belakang, dan jatuh membentur kedua kawannya yang berada di belakangnya. Tak ayal lagi, tubuh ketiga lelaki tua itu jatuh saling tumpang tindih!

Kejadian yang sangat tidak disangka-sangka itu tentu saja membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Cepat mereka berloncatan bangkit untuk melihat siapa yang telah berani menggagalkan perbuatan mereka. Alangkah kagetnya hati ketiga orang itu ketika melihat sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdiri tegak di depan Narasumi. Wajah ketiganya menjadi pucat bagai kertas! Mereka kenal betul siapa pemuda tampan berjubah putih itu.

“Pendekar Naga Putih...!” desis Ki Sutra hampir berbarengan dengan kawan-kawannya. Tanpa sadar ketiganya melangkah mundur. Jelas mereka merasa gentar pada Pendekar Naga Putih.

“Pendekar Naga Putih?!” Narasumi pun terkejut dan heran ketika mendengar seruan kaget Ki Sutra dan kawan-kawannya. Senyumnya terlukis ketika ia membuka matanya dan menjumpai sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih berdiri tegak membelakanginya. Narasumi tahu penolongnya adalah Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

Kemunculan pemuda tampan itu membuat Narasumi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia tahu pasti Panji tidak akan datang seorang diri. Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa langkah dari tempatnya, tampak seorang dara jelita berpakaian serba hijau tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada tiang pintu.

“Kenanga...!” seru Narasumi dengan suara haru bercampur gembira. Gadis cantik itu melebarkan senyumnya ketika melihat Kenanga tersenyum manis kepadanya.

“Hm.... Dugaanku ternyata tidak meleset. Kalian pasti kembali ke tempat ini. Setelah aku mencari-cari dan tidak menemukan jejak kalian, aku yakin kalian pasti masih berada di sekitar daerah ini. Itu sebabnya aku kembali ke tempat ini. Syukurlah kedatanganku belum terlambat...,” ujar Panji dengan suara dan sikap yang tenang. Walaupun begitu, sikap maupun sorot mata pemuda itu memancarkan perbawa yang sangat kuat. Hingga Ki Sutra dan kedua kawannya bertambah gentar.

“Mengapa kau selalu mencampuri urusan kami, Pendekar Naga Putih? Bukankah di antara kita tidak ada persoalan...?” tegur Ki Sutra yang merasa penasaran dengan campur tangan pendekar muda itu.

“Hm.... Setiap kejahatan adalah persoalanku. Suka atau tidak, aku akan selalu menentang setiap tindak kejahatan. Itu sebabnya aku mencampuri urusan ini...,” sahut Panji, membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya kembali melangkah mundur beberapa tindak.

“Keparat! Kalau begitu, terimalah hadiah kami...!” sambil berkata demikian, Ki Sutra mengibaskan tangan kanannya ke arah Panji.

Whusss...!

Kibasan tangan lelaki setengah baya itu bukan sembarangan. Begitu tangan Ki Sutra mengibas, bubuk-bubuk kuning berbau harum menyengat hidung bertebaran di sekitar ruangan itu.

“Lari...!” perintah Ki Sutra kepada kawan-kawannya.

Kesempatan itu dipergunakan mereka untuk melarikan diri. Sebab saat itu Panji tengah sibuk mengusir bubuk beracun yang memenuhi hampir seluruh ruangan.

“Mau lari ke mana kalian...?! Jangan harap kali ini aku akan melepaskan begitu saja...!” seru Panji. Pendekar Naga Putih menerobos bubuk beracun yang berupa asap itu, sambil mengibaskan lengannya ke kanan dan kiri. Tapi....

“Kakang, Narasumi!”

Melihat Panji hendak mengejar Ki Sutra dan kawan- kawannya, Kenanga segera berseru. Kenanga melihat gadis cantik itu tersengal-sengal dan berdiri terhuyung. Jelas, Narasumi telah menghisap bubuk beracun yang ditebarkan Ki Sutra. Teriakan Kenanga memaksa Panji menahan langkah dan menunda niatnya mengejar Ki Sutra. Pemuda itu segera berbalik. Ia lupa kalau di dalam ruangan itu ada Narasumi yang tentu saja menghisap racun yang ditebarkan Ki Sutra.

Panji agak khawatir melihat Narasumi terhuyung limbung seperti orang mabuk. Cepat disambarnya tubuh gadis cantik itu. Dan dibawanya keluar dari ruangan yang telah dipenuhi racun. Sebab Panji belum bisa memastikan jenis racun yang digunakan Ki Sutra.

Kenanga bergegas mengikuti langkah kekasihnya. Walaupun cukup mengerti tentang racun, tapi ia belum mengenal jenis racun yang terhisap Narasumi. Maka Kenanga tidak berani bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan kematian gadis cantik itu. Itu sebabnya Kenanga memanggil kekasihnya, agar melupakan Ki Sutra dan mengurusi Narasumi lebih dulu.

“Bagaimana keadaannya, Kakang...? Apa racun itu bisa mengakibatkan kematian segera...?” tanya Kenanga, menemani mengobati Narasumi.

Wajah Narasumi kelihatan sudah berubah pucat. Racun itu ternyata menyebar cukup cepat ke seluruh tubuh korbannya. Gadis cantik itu sudah tidak sadarkan diri saat Panji merebahkannya di atas rerumputan di halaman depan rumah besar itu.

“Racun ini memang cukup berbahaya. Ia akan memunahkan tenaga dalam secara perlahan. Kemudian membuat korbannya menderita sesak napas yang berkepanjangan. Hingga akhirnya membawa pada kematian...,” jawab Panji setelah memeriksa keadaan Narasumi. Pemuda itu sudah menotok beberapa bagian tubuh Narasumi untuk mencegah penyebaran racun.

“Apa masih bisa diselamatkan...?” tanya Kenanga lagi. Diam-diam gadis ini ngeri juga mendengar cara kerja racun itu.

“Meskipun agak parah, aku yakin Narasumi masih bisa ditolong dan sembuh seperti sediakala. Tapi gadis ini harus beristirahat beberapa hari. Tenaga dalamnya tidak bisa langsung pulih...,” jelas Panji. Kenanga mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Berapa lama ia baru akan sadar dari pingsannya, Kakang...?” tanya Kenanga setelah terdiam beberapa saat memandangi wajah cantik yang malang itu. Kenanga kelihatan sangat prihatin dengan nasib gadis cantik itu.

“Hanya beberapa jam saja. Sebaiknya kau bawa gadis ini ke kamarnya. Rebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tidak lama lagi ia pasti sadar. Aku telah memasukkan pil penawar racun ke dalam mulutnya...,” jawab Panji. Kemudian bangkit untuk memberi kesempatan kepada Kenanga membawa Narasumi ke kamarnya.

“Kenanga...,” panggil Panji saat gadis jelita itu hendak membawa masuk tubuh Narasumi yang ada dalam gendongannya.

“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga, menoleh ke arah kekasihnya.

“Keadaan Narasumi sudah tidak terlalu mengkhawatirkan lagi. Kuminta kau menjaganya sampai ia sadar. Kemudian berikan pil ini yang harus segera ia telan setelah sadar dari pingsannya. Aku hendak mengejar Ki Sutra dan kawan-kawannya. Mereka perlu diberi pelajaran agar jera...,” ujar Panji seraya menyerahkan dua butir pil berwarna putih, yang merupakan obat luka dalam sekaligus penawar racun.

“Baik, Kakang. Hati-hati! Ki Sutra dan kawan-kawannya sangat licik...,” ujar dara jelita itu mengingatkan kekasihnya agar tidak bertindak ceroboh.

“Jangan khawatir. Aku akan ingat pesanmu. Nah! Aku pergi dulu,” ujar Panji. Kemudian berkelebat mengejar ketiga musuh keluarga Ki Ganda Pasa.

Sepeninggal Panji, Kenanga melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Dua pelayan wanita menyambut kedatangan Kenanga dengan wajah cemas dan kelihatan pucat. Mereka tidak berkata apa-apa. Hanya menunjukkan kamar majikannya ketika Kenanga mengatakan hendak membawa Narasumi ke kamarnya.

********************

Rombongan berkuda itu bergerak cepat melintasi jalanan lebar. Lalu menyeberangi sungai. Penunggang kuda terdepan seorang lelaki tinggi besar berwajah keras dan mengenakan pakaian perwira. Sikapnya tampak berwibawa. Lelaki tinggi besar itu adalah Bangga Pasa. Di belakang perwira tinggi itu terlihat selusin penunggang kuda berpakaian prajurit. Rupanya Bangga Pasa berhasil tiba di kotaraja dan membawa selusin anak buahnya untuk ikut membantu menghadapi musuh-musuh keluarganya.

Ketika tiba di pertigaan jalan, Bangga Pasa membawa pasukannya mengambil jalan ke kanan. Namun perwira itu membatalkan niatnya ketika melihat empat sosok bayangan berlari di belakangnya. Merasa curiga, lelaki tinggi besar itu memutar kudanya, dan memerintahkan para prajuritnya mengambil jalan ke kiri untuk mengejar keempat sosok tubuh itu.

Kecurigaan Bangga Pasa semakin besar ketika melihat keempat sosok tubuh itu menambah kecepatan larinya. Sepertinya mereka tahu ia bersama pasukannya hendak mengejar. Maka Bangga Pasa pun menambah kecepatan lari binatang tunggangannya.

“Heaaa, heaaa...!”

Bangga Pasa mencambuk kudanya berkali-kali. Hingga binatang itu melesat secepat terbang. Dan kening perwira tinggi besar itu agak berkerut, ketika jarak di antara mereka semakin bertambah dekat, ia seperti mengenal salah satu dari keempat orang di depannya itu. "Apakah penglihatanku tidak salah?! Yang berlari di sebelah kiri seperti Kakang Yudha Pasa. Lalu, siapa ketiga orang itu? Mengapa mereka menghindariku...?" Bisik batin Bangga Pasa heran dengan sikap keempat sosok tubuh mencurigakan itu.

“Kakang Yudha...!” Setelah jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa tombak lagi, Bangga Pasa merasa yakin kalau salah seorang dari mereka adalah kakak sulungnya. Maka ia segera berseru memanggil.

"Hei...! Bukankah ketiga orang itu musuh-musuh keluargaku? Tidak salah lagi! Mereka pasti Ki Sutra dan kawan-kawannya. Tapi, mengapa Kakang Yudha bersama mereka...? Tersentak hati Bangga Pasa saat mengenali tiga orang lainnya. Kenyataan itu semakin membuatnya penasaran.

“Berhenti...!” Lelaki bertubuh gemuk yang berlari di sebelah kiri dan agak tertinggal dari tiga orang lainnya berteriak-teriak memaki sambil mencabut pedangnya. Lelaki gemuk yang memang Yudha Pasa itu ternyata sedang mengejar tiga orang itu. Ia terus berteriak-teriak sambil berlari.

Kerutan di kening Bangga Pasa mengendur. Teriakan itu ia kenal betul. Ia merasa pasti kalau lelaki gemuk itu kakak sulungnya, la baru mengerti, mengapa kakaknya berada di antara mereka. Rupanya Yudha Pasa tengah mengejar Ki Sutra dan kawan-kawannya yang melarikan diri.

“Kakang, jangan biarkan mereka lolos...!” seru Bangga Pasa. Lelaki tinggi besar ini akhirnya berhasil menyusul keempat orang itu dan melewatinya. Bangga Pasa memutar binatang tunggangannya untuk menghadang Ki Sutra dan kawan-kawannya.

“Hm.... Sekarang kalian tidak mungkin dapat lari dariku...,” ujar Bangga Pasa, setelah melompat turun dari punggung kuda seraya menghunus senjata.

Ki Sutra, Ki Wargana, dan Ki Rayoang terpaksa menghentikan larinya. Mereka berdiri tegak di antara Bangga Pasa dan Yudha Pasa. Kedua kakak beradik itu telah menghunus senjata dan siap bertarung.

“Adi Bangga! Mereka baru saja mendatangi rumah kita. Untung aku berhasil mengejar mereka. Hayo, kita habisi mereka...!” seru Yudha Pasa segera bergerak menggeser langkahnya, melihat lawan-lawannya telah meloloskan senjata.

Bangga Pasa menganggukkan kepala. Kemudian memerintahkan pasukannya yang baru tiba untuk mengepung ketiga musuh keluarganya. Jalan untuk lolos bagi Ki Sutra dan kawan-kawannya benar-benar telah tertutup.

“Hm.... Kalian kira dapat menundukkanku begitu saja! Jangan gembira dulu, Putra-putra Pengkhianat! Justru kalianlah yang mengantarkan nyawa kepada kami...!” ejek Ki Sutra yang tidak merasa gentar meski harus menghadapi belasan orang lawan. Lelaki setengah baya itu merasa yakin dapat mengalahkan lawan-lawannya.

Ki Sutra memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk saling beradu punggung. Mereka tampaknya telah siap menghadapi Bangga Pasa dan yang lainnya.

DELAPAN

“Haaat..!”

Ki Sutra langsung melancarkan serangan. Lelaki tua berperawakan gagah itu melesat dengan disertai tebasan pedang yang menimbulkan suara berdesing tajam.

Bangga Pasa yang merasa geram pada Ki Sutra, juga tidak mau main-main. Tubuhnya langsung bergerak ke depan menyambut serangan lawan. Sehingga dalam waktu singkat, keduanya telah bertarung sengit.

Dalam jurus-jurus awal, Ki Sutra langsung mendesak lawan dengan serangan gencar. Sinar pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Disertai desingan yang menusuk telinga. Agaknya lelaki tua itu tidak ingin memberikan kesempatan kepada lawan untuk mengembangkan permainan.

Apa yang dilakukan Ki Sutra menampakkan hasil. Dalam beberapa jurus saja, Bangga Pasa terdesak oleh kurungan sinar pedang lawan. Lelaki tinggi besar itu hanya bisa bertahan dengan memutar senjatanya mengelilingi tubuh, dan bermain mundur. Semakin lama tekanan lawan semakin berat

“Yeaaah...!”

Memasuki jurus kesepuluh, Ki Sutra kembali membentak dengan disertai tusukan ujung pedang yang mencoba membongkar benteng pertahanan lawan.

Bweeet...!

Disertai kilatan cahaya putih yang menyilaukan mata, ujung pedang Ki Sutra meluncur lurus ke arah dada Bangga Pasa. Dari suara desingannya, dapat diketahui kalau Ki Sutra mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Jelas serangan itu sangat berbahaya. Tapi kali ini Bangga Pasa berbuat nekat. Karena merasa tertekan oleh serangan lawan yang laksana air bah, ia pun membentak sambil mengibaskan pedangnya dari atas ke bawah. Bangga Pasa sengaja memapaki tusukan pedang lawan dengan sekuat tenaga.

Whuuut.., trang...!

Tangkisan yang dilakukan Bangga Pasa berhasil dengan baik. Ia bukan hanya berhasil mematahkan serangan maut itu. Bahkan sanggup membuat pedang lawan terpental balik. Hingga ia merasa lega. Sebab kekuatan lawan ternyata masih berada di bawahnya. Tapi....

Swiiit!

Apa yang diduga Bangga Pasa ternyata meleset. Pedang yang terpental balik itu tiba-tiba berputar. Kemudian bergerak menyilang mengancam tenggorokannya. Lelaki tinggi besar itu kaget bukan main.

“Akh...?!” Bangga Pasa memekik tertahan ketika mata pedang lawan datang menyambar. Untunglah pada saat yang gawat itu ia sempat melempar tubuhnya ke belakang. Kemudian berputaran di udara beberapa kali. Dan meluncur turun dalam jarak yang cukup jauh dari tempat lawannya berada.

Ki Sutra yang merasa yakin kepandaiannya berada di atas Bangga Pasa, kembali menerjang maju. Dan tetap melancarkan serangan gencar ketika perwira tinggi besar itu melakukan perlawanan. Pertarungan pun kembali berlanjut

Sementara itu, Ki Wargana dan Ki Rayoang bertarung menghadapi pengawal-pengawal Bangga Pasa. Kedua lelaki tua yang masih terlihat gagah itu mengamuk hebat dengan sambaran senjatanya yang membawa hawa maut. Sehingga, kedua belas prajurit itu tidak mau bertindak ceroboh menghadapi kedua lawan mereka.

Tidak jauh dari arena pertempuran Yudha Pasa berdiri memperhatikan pertarungan-pertarungan maut itu. Terkadang ia memperhatikan jalannya perkelahian Ki Sutra dan Bangga Pasa. Di saat lain sepasang matanya tertuju ke arah perkelahian Ki Wargana dan Ki Rayoang yang tengah berjuang menghadapi keroyokan dua belas prajurit kerajaan. Sampai sejauh itu, ia belum melakukan sesuatu untuk membantu adiknya.

Sementara Bangga Pasa semakin terdesak hebat oleh gempuran lawan. Meskipun sesekali melepaskan serangan balasan, namun tetap saja perwira itu harus bermain mundur kalau tidak ingin celaka di ujung senjata lawan.

Desss...!

“Aaakh...!”

Entah untuk yang ke berapa kali, tendangan Ki Sutra membuat Bangga Pasa terguling. Walaupun begitu, perwira tinggi besar itu berusaha bangkit dengan menggigit bibir menahan nyeri. Secara kebetulan, ia jatuh tidak jauh dari tempat Yudha Pasa berdiri menonton perkelahian lain. Tentu saja Bangga Pasa heran melihat sikap kakaknya.

“Kakang Yudha! Mengapa kau diam saja? Ayo. Bantu aku menghadapi manusia jahat itu...!” seru Bangga Pasa jengkel. Sambil berseru, perwira itu menggeser langkahnya ke arah Yudha Pasa.

Namun apa yang dilakukan Yudha Pasa sebagai jawabannya sungguh sangat mengejutkan! Pada saat tubuh Bangga Pasa tinggal beberapa tindak lagi, tiba-tiba tangan kanan lelaki gemuk itu mengibas dengan gerakan menyilang. Jelas, lelaki itu hendak mencelakakan adik kandungnya sendiri!

“Kakang...?!”

Bangga Pasa terbelalak bagai melihat hantu di siang bolong. Untuk sesaat perwira itu hanya bisa terpaku. Apa yang dialaminya seperti mimpi yang paling buruk dalam hidupnya.

Crattt...!

“Aaakh...!?” Tanpa ampun lagi, tubuh Bangga Pasa melintir dengan dada bagian atas terobek pedang Yudha Pasa. Darah segar mengalir turun. Disertai rasa perih yang membuat perwira tinggi besar itu menggigit bibir kuat-kuat. Untung luka itu tidak terlalu dalam. Sebab pada saat-saat terakhir ujung pedang itu menyambar, Bangga Pasa masih sempat memiringkan tubuhnya sedikit. Kalau tidak, kemungkinan besar perwira itu langsung tewas. Karena, serangan itu dilancarkan dengan sepenuh tenaga oleh Yudha Pasa.

“Kakang...?! Kau...?!” Dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, Bangga Pasa memandang wajah kakaknya yang tersenyum mengejek. Sadarlah perwira tinggi besar itu kalau Yudha Pasa tidak lagi berdiri di pihaknya. Jelas, lelaki gemuk itu telah memusuhi saudara-saudaranya sendiri karena menginginkan kesenangan hidup.

“Bagus, Yudha...! Kau benar-benar tidak membuat kami merasa menyesal telah mengajakmu bekerja sama...!” terdengar pujian bernada parau yang ditujukan kepada Yudha Pasa.

Mendengar ucapan itu, Bangga Pasa menoleh ke belakang. Wajahnya semakin merah padam karena marah yang menggelora di dalam dada. Ucapan yang dikeluarkan Ki Sutra merupakan bukti kalau kakak sulungnya telah berpihak kepada lawan. Ia pun sadar semua itu dilakukan Yudha Pasa karena hati yang serakah. Sikap Yudha Pasa membuat hati perwira tinggi besar itu terasa nyeri. Benar-benar sebuah kenyataan pahit yang harus ditelannya.

“Hm.... Aku mengerti sekarang...,” desis Bangga Pasa, menatap kakak sulungnya dengan sinar mata penuh kebencian. “Ceritamu mengenai Rengga pasti hanya bualan kosong. Aku yakin kaulah yang telah membunuhnya, Yudha Pasa...!”

Bangga Pasa baru mengerti sekarang. Ia yakin kematian Rengga karena dibunuh Yudha Pasa. Semua itu dapat ditebaknya setelah melihat kakak sulungnya itu memihak kepada musuh. Hingga Bangga Pasa merasa benci.

“He he he...! Sayang kau terlambat mengetahuinya, Adi Bangga. Sebentar lagi kau akan kuantarkan menyusul Rengga ke alam baka...,” Yudha Pasa memperdengarkan tawa iblisnya tanpa terbersit rasa penyesalan sedikit pun.

“Kau benar-benar iblis, Yudha...!” geram Bangga Pasa. Ia tidak mau menyebut ‘kakang’ kepada Yudha Pasa. Lelaki gemuk yang serakah itu tidak pantas menjadi saudara kandungnya.

“Hm.... Apa lagi yang kau tunggu, Yudha? Ayo. Habisi saudaramu yang sombong itu...,” Ki Sutra memanas-manasi Yudha Pasa agar segera melenyapkan adik kandungnya. Ki Sutra memang tidak perlu mengulangi ucapannya. Begitu mendengar perkataan Ki Sutra, Yudha Pasa menggerakkan pedangnya, siap menerjang Bangga Pasa. Bayangan kesenangan hidup telah membuat mata dan hati Yudha Pasa buta.

“Haaat..!”

Disertai pekikan keras, tubuh Yudha Pasa melayang ke arah adik kandungnya. Pedang di tangannya berkelebatan dengan serangkaian serangan maut yang mematikan. Yudha Pasa telah bertindak menjadi iblis kejam. Ia rela disuruh melenyapkan saudaranya oleh musuh-musuh keluarganya sendiri.

Melihat kakak sulungnya sudah tidak bisa disadarkan lagi, Bangga Pasa segera menggerakkan pedangnya menyambut serangan kakak kandungnya. Dalam waktu singkat kedua kakak beradik itu telah saling gempur bagai dua orang musuh bebuyutan!

Ki Sutra tertawa tergelak menyaksikan jalannya pertarungan. Dan ketika melihat kedua kawannya mulai dapat menguasai arena, tawanya semakin keras dan berkepanjangan. Ia yakin sebentar lagi Bangga Pasa bersama sisa prajuritnya akan segera lenyap dari muka bumi.

Perkiraan Ki Sutra ternyata tidak meleset. Setelah beberapa saat tawanya lenyap, enam orang sisa prajurit Bangga Pasa melolong ngeri. Tubuh mereka berkelojotan mandi darah. Di tengah arena tampak Ki Wargana dan Ki Rayoang tertawa tergelak. Kemenangan telah mereka capai dengan baik

Sementara Bangga Pasa yang bertarung melawan Yudha Pasa kelihatan mulai kewalahan melawan kakak kandungnya. Tapi bukan pekerjaan mudah bagi Yudha Pasa untuk segera menundukkan perwira itu. Kepandaian mereka tidak berselisih jauh. Kalaupun dalam beberapa belas jurus ia dapat mendesak adiknya. Itu terjadi karena Bangga Pasa telah lelah dan dalam keadaan kurang baik. Dan sebelumnya telah bertarung mati-matian melawan Ki Sutra.

Berbeda dengan Yudha Pasa. Lelaki gemuk itu dalam keadaan tubuh yang masih segar. Sehingga dengan kekuatan yang utuh ia dapat melancarkan serangan yang membuat Bangga Pasa terdesak hebat.

“Mampus...!” Sambil membentak, Yudha Pasa menyabetkan pedangnya dengan gerakan miring. Senjata itu meluncur berdesing mengincar tubuh Bangga Pasa.

Crattt...!

“Aaakh...!” Bangga Pasa memekik ketika pedang lawan merobek lambung. Meskipun sudah berusaha mengelak, tapi senjata Yudha Pasa masih melukainya. Gerakan Bangga Pasa memang menjadi lambat karena lelah dan luka-luka yang dideritanya.

Melihat tubuh adiknya terjatuh, Yudha Pasa tetap tidak tergerak hatinya. Bahkan ia melompat setinggi bahu sambil membacokkan pedangnya dengan sepenuh tenaga.

Bwettt..!

Disertai kilatan cahaya putih, suara mengaung tajam itu datang siap membelah tubuh Bangga Pasa!

“Haaat..!”

Pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan Bangga Pasa, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring yang menggetarkan jantung! Kemudian....

Plak!

“Akh...?!” Yudha Pasa menjerit tertahan. Mendadak sesosok bayangan putih menangkis sambaran pedangnya. Tubuh lelaki gemuk itu terjengkang ke belakang. Sedangkan pedangnya terlepas dari genggaman dan terpental entah ke mana.

Sosok berjubah putih yang meluncur dengan kecepatan laksana sambaran kilat itu menjejakkan kedua kakinya di tanah. Gerakannya demikian ringan dan nyaris tanpa suara. Sosok itu berdiri tegak di depan Bangga Pasa yang tergeletak lemas karena terlalu banyak kehilangan darah.

“Hm.... Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih...!” geram Ki Sutra ketika mengenali orang yang telah menggagalkan serangan Yudha Pasa. Kembali lelaki tua itu terkejut melihat kemunculan pendekar muda yang tersohor itu.

“Dan lagi-lagi kau masih juga belum jera, Ki Sutra! Sayang setelah hari ini petualanganmu akan berakhir...,” tukas sosok berjubah putih yang memang Panji. Ditatapnya wajah Ki Sutra dengan sinar mata tajam, hingga dada lelaki tua itu berdebar lebih kuat dari biasanya.

“Kepung dan bunuh pendekar usilan itu...!” perintah Ki Sutra kepada kawan-kawannya termasuk Yudha Pasa.

Tanpa diperintah dua kali, ketiga lelaki itu langsung bergerak menyebar. Mereka menggenggam senjata, termasuk Yudha Pasa yang telah menemukan senjatanya kembali.

Panji tersenyum tipis melihat keempat lawannya mulai membentuk kepungan. Tubuh pemuda itu sedikit pun tidak bergeser dari tempatnya. Tapi ia telah siap menghadapi keroyokan empat orang lawannya.

“Yeaaah...!”

Ki Sutra memulai serangan dengan bacokan pedang. Disertai suara berdesing tajam, senjata itu berkelebat cepat mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Belum lagi serangan Ki Sutra tiba pada sasaran, tiga orang lainnya sudah berlompatan menyerang Panji. Mereka hendak mencincang tubuh pendekar muda itu dalam serangan pertama.

“Hm...” Panji memperdengarkan gumaman tak jelas. Kemudian menggeser langkahnya saat tebasan pedang Ki Sutra datang. Dan terus bergerak ke kiri dan kanan dengan geseran kuda-kuda mantap untuk menghindari serangan tiga pengeroyok lainnya.

“Heaaah!”

Setelah memberi kesempatan menyerang beberapa jurus kepada lawannya, Panji mulai melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Keempat pengeroyok itu kalang-kabut menyelamatkan diri dari hujan serangan Pendekar Naga Putih. Melihat kepandaian pemuda berjubah putih itu, Ki Sutra sadar ia tidak mungkin dapat menang. Meskipun mengeroyok bersama-sama kawannya. Pikiran itu membuat Ki Sutra mulai menggunakan keahliannya dalam hal racun.

“Terimalah kematianmu, Pendekar Naga Putih...!” bentak Ki Sutra seraya mengibaskan lengan kirinya. Dan....

Whusss!

Asap kekuningan menghalangi pandangan Panji ketika Ki Sutra mengibaskan sehelai kain hitam yang tahu-tahu telah tergenggam di tangan kirinya.

“Manusia keji!” desis Panji sambil melompat mundur dan mengibaskan kedua tangannya. Asap kekuningan itu membuat kedua matanya terasa panas dan pandangannya menjadi kabur.

Racun itu memang dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan lawan. Sehingga Panji menjadi agak sibuk. Dengan kedua mata terpejam, Pendekar Naga Putih berlompatan mundur menghindari sambaran senjata lawan. Walaupun hanya menggunakan pendengaran, ternyata Panji masih tetap tangguh dan tidak mudah dilukai. Kenyataan itu membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya penasaran.

“Kali ini kau pasti mampus, Pendekar Naga Putih!” Karena penasaran, Ki Sutra kembali merogoh kantung kain di pinggang kirinya. Kemudian mengibaskan lengannya dengan sekuat tenaga ke arah Panji.

Serrr, serrr!

Puluhan jarum-jarum hitam yang halus berdesingan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Kali ini Ki Sutra yakin pemuda tampan berjubah putih itu pasti tidak akan selamat. Selain senjata rahasia itu dilepaskan dalam jumlah banyak dan menutup semua jalan keluar, suara jarum-jarum beracun itu pun sangat halus. Nyaris ditelan desingan senjata mereka.

Tapi Ki Sutra terlalu menganggap enteng pendekar muda itu. Lelaki tua itu agaknya belum banyak mendengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih. Sehingga, ia merasa sangat yakin akan dapat merobohkan Panji dengan mengandalkan senjata rahasianya.

“Hm...” Panji hanya bergumam ketika mendengar desiran lembut di antara desingan pedang lawan-lawannya. Pemuda itu langsung dapat menebak kalau Ki Sutra telah menggunakan senjata rahasia yang sangat kecil bentuknya. Sadar akan bahaya yang mengancam keselamatan dirinya, Pendekar Naga Putih mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi seluruh tubuhnya.

Seketika itu juga, tampaklah kabut bersinar putih keperakan menyebar dan melindungi sekujur tubuh Panji dalam jarak beberapa jengkal. Munculnya sinar putih keperakan itu disertai dengan hembusan hawa dingin menusuk tulang dan getaran gelombang tenaga dalam yang amat kuat! Sehingga....

“Aaah...?!” Ki Sutra hampir tidak percaya dengan kejadian yang disaksikannya. Jarum-jarum beracun yang dilepaskan dengan sekuat tenaga itu langsung berjatuhan ke tanah ketika menyentuh kabut bersinar putih keperakan yang berpendar mengelilingi sekujur tubuh Pendekar Naga Putih. Bahkan gelombang hawa dingin yang menyebar membuat tubuhbmereka menggigil kedinginan. Semua itu benar-benar di luar perhitungannya. Sampai-sampai Ki Sutra terpaku dibuatnya.

“Haiiit..!”

Setelah jarum-jarum beracun itu runtuh ke tanah, Panji memekik nyaring, membuat lawan-lawannya terjajar mundur dengan wajah menyeringai. Pekikan itu membuat dada mereka terasa nyeri. Sebelum keempat orang itu menyadari keadaannya, tahu-tahu....

Plak, desss!

Ki Wargana dan Ki Rayoang terjengkang keras memuntahkan darah segar. Telapak tangan Panji telah menggedor dada mereka. Karuan saja nyawa mereka melayang seketika itu juga!

Tinggallah Ki Sutra dan Yudha Pasa yang kaget bukan main menyaksikan kejadian itu. Sebab, Pendekar Naga Putih hanya menggunakan pendengarannya saja dalam melancarkan serangannya. Sampai saat itu kedua matanya masih tetap terpejam rapat

Bukkk!

“Hugkh!” Kali ini tubuh Yudha Pasa yang terbanting keras ke tanah. Tendangan yang dilontarkan Panji membuat lelaki gemuk itu terbatuk hebat memuntahkan darah segar. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian diam tidak bergerak lagi. Mati!

“Sekarang terimalah bagianmu, Ki Sutra...!” seru Panji seraya bergerak maju ke arah Ki Sutra.

Sebisanya Ki Sutra melompat menghindari serangan pemuda itu. Tapi...

Desss!

Hantaman telapak tangan kiri Panji tetap saja berhasil mengenai tubuh lawan. Akibatnya, tubuh Ki Sutra terlempar ke belakang dan terjatuh memuntahkan darah segar.

“Hm...” Panji mendaratkan kedua kakinya tepat di depan tubuh Ki Sutra yang tengah terbungkuk menahan sesak di dada. Tampaknya Pendekar Naga Putih tidak langsung membunuh lelaki tua itu. Terbukti Ki Sutra tidak tewas seperti dua orang kawannya.

“Kau... memang hebat, Pendekar Naga Putih...,” desis Ki Sutra ketika merasa pendekar muda itu berada didepannya. Setelah menengadah, Ki Sutra kembali merunduk sambil menyeringai menahan rasa nyeri di dada.

“Ki Sutra. Sebelum kau tewas, katakanlah apa yang menyebabkan kau memusuhi keluarga Ki Ganda Pasa? Mengapa kau tidak percaya orang tua itu sudah meninggal?” Rupanya Panji sengaja tidak membunuh Ki Sutra, karena ingin mendengar alasan lelaki tua itu memusuhi keluarga Ki Ganda Pasa.

“Ganda Pasa itu pengkhianat busuk!” umpat Ki Sutra. “Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, semasa kami masih berkawan, kami membawa lari banyak emas permata dari kerajaan. Semua itu terjadi ketika negeri ini sedang kacau dan tengah terjadi peperangan besar. Ganda Pasa yang saat itu mendapat tugas untuk mengawal keluarga raja mengungsi, melarikan kereta berisi benda-benda berharga. Sedangkan kami yang menyamar sebagai perampok bertarung dengan pengawal-pengawal sang Prabu. Setelah yakin Ganda Pasa telah membawa lari kereta itu jauh-jauh, kami meninggalkan pertarungan. Ternyata Ganda Pasa mengkhianati kami karena keserakahannya. Ia tidak menemui kami di tempat yang telah disepakati bersama” Ki Sutra menghentikan ceritanya untuk menghela nafasnya yang sesak. Beberapa kali ia terbatuk keras.

“Lalu, kalian bertiga mencarinya selama puluhan tahun...?” tanya Panji setelah batuk lelaki tua itu reda.

“Ya. Dan baru sekarang ini kami mengetahui tempat tinggalnya. Mungkin selama kami melakukan pencarian, Ganda Pasa hidup berpindah-pindah. Sehingga kami sulit sekali mengikuti jejaknya. Keberadaan Ganda Pasa, kami ketahui beberapa hari yang lalu. Guru kami datang dengan luka yang parah hingga membuatnya tewas. Rupanya Guru kami telah bertarung dengannya. Tapi beliau sama sekali tidak memberitahu kalau Ganda Pasa pun mendapat luka, yang membawanya ke liang kubur,” jawab Ki Sutra dengan suara yang semakin lemah.

Panji mengangguk setelah mendengar penuturan Ki Sutra. Terungkaplah rahasia kematian Ki Ganda Pasa yang selama ini menjadi teka-teki. “Hm.... Apakah keluarga kerajaan tidak berusaha melacak harta yang dilarikan Ki Ganda Pasa...?” tanya Panji yang merasa pasti kalau pihak kerajaan akan mencari Ki Ganda Pasa yang melarikan kereta berisi harta tak ternilai itu.

“Tidak. Mereka mengira semua itu perbuatan para perampok. Selain itu, raja yang berkuasa sekarang tidak tahu-menahu perihal kereta harta itu. Sedangkan semua keluarga kerajaan yang berhasil ditawan telah dibunuh...,” jelas Ki Sutra. Lelaki tua itu merebahkan tubuhnya. Nafasnya terdengar satu-satu.

Melihat penderitaan orang tua itu, Panji merasa kasihan juga. Ia berjongkok dan memeriksa tubuh Ki Sutra yang sudah tinggal menunggu ajal. "Bertahanlah, Ki. Aku akan mencoba mengobatimu...,” ujar Panji tidak tega melihat keadaan lelaki tua itu.

Ki Sutra tersenyum ngeri sambil menggelengkan kepala. Sebentar kemudian terbatuk hebat dengan memuntahkan darah segar. Lalu kepalanya terkulai lemas. Napas orang tua itu telah putus karena luka dalam yang dideritanya. Panji menghela napas panjang. Kemudian menghampiri Bangga Pasa yang tengah terbaring di tanah. Pemuda itu memberikan obat luka dalam. Dan tanpa berkata apa-apa, dibawanya tubuh Bangga Pasa meninggalkan tempat itu.

********************

“Apa yang terjadi, Pendekar Naga Putih...?” Kedatangan Panji di tempat kediaman Ki Ganda Pasa langsung disambut dengan pertanyaan oleh Narasumi. Gadis cantik itu kelihatan sangat cemas melihat keadaan kakaknya.

“Tenanglah, Sumi...,” sambut Panji. Dan melangkah masuk. Lalu merebahkan tubuh Bangga Pasa di atas balai-balai terbuat dari bambu.

Bangga Pasa mencoba tersenyum untuk menenangkan hati adiknya. Walaupun tubuhnya terasa sudah agak segar, perwira tinggi besar itu tidak berani bangkit. Panji menyuruh agar tidak boleh bergerak dulu.

“Kakang Yudha ternyata telah berkhianat dan berpihak kepada musuh-musuh kita, Sumi,” desah Bangga Pasa perlahan. “Harta warisan yang belum jelas itu sepertinya telah kena kutuk.” Ucapan lelaki tinggi besar itu terdengar penuh penyesalan. Sebab warisan itu telah membuat mereka, saudara sekandung, saling bermusuhan. Bahkan sampai ada yang terbunuh.

“Hm... Jadi kalian belum menemukan warisan itu?” tanya Panji.

“Mungkin warisan terkutuk itu tidak pernah ada...,” desis Narasumi dengan wajah murung.

“Tidak. Harta itu benar-benar ada. Aku telah mendengar kisahnya dari Ki Sutra...,” bantah Panji. Lalu menceritakan pembicaraannya dengan Ki Sutra sebelum orang tua itu tewas.

Bukan main terkejutnya Narasumi dan Bangga Pasa. Mereka sungguh tidak menyangka kalau warisan yang dicari Ki Sutra dan kawan-kawannya itu merupakan hasil curian. Dan, ayah mereka terlibat di dalamnya. Bahkan memegang peranan yang sangat penting. Tahulah mereka mengapa orang tua itu tidak pernah bercerita mengenai warisan itu.

“Tapi..., di mana ayah menyembunyikannya...?” desah Bangga Pasa, membuat mereka semua termenung.

“Di mana biasanya ayah kalian menyepi...?” tanya Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya.

“Ayah tidak pernah pergi ke mana-mana. Beliau lebih sering bersemadi di dalam kamar...,” ujar Narasumi.

“Ikut aku...”

Mendengar jawaban gadis cantik itu, Panji segera mengajak Narasumi dan Kenanga ke kamar Ki Ganda Pasa. Tanpa banyak cakap lagi, kedua gadis itu segera mengikuti langkah Panji. Walaupun sebelumnya telah memeriksa seluruh kamar ayahnya, Narasumi tidak membantah. Sebab bisa saja ada yang luput dari mereka. Dan mungkin Pendekar Naga Putih lebih teliti melacak tempat penyimpanan harta warisan itu.

“Setiap sudut di kamar ini sudah kami periksa,” ujar Narasumi ketika melihat Panji mulai menggeledah kamar ayahnya.

“Hm...!” Panji menghentikan gerakannya, dan bangkit menatap sekeliling ruangan. “Apakah dinding-dinding ini sudah ada pada saat kalian menempati rumah ini...?”

Narasumi menggeleng perlahan. Kamar itu memang tidak ada sebelumnya. Ayahnya sendiri yang membuatnya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Panji.

Panji mengangguk-angguk. Lalu melangkah menghampiri dinding kamar ini. Dengan jari-jari tangannya yang mengandung tenaga dalam, pemuda itu mengetuk-ngetuk dinding. Kemudian menampar perlahan. Dinding itu pun retak dan terkelupas. Maka....

“Ahhh...?!”

Narasumi dan Kenanga terbelalak melihat bagian dalam dinding yang berwarna kuning keemasan. Lapisan bagian dalam dinding kamar itu terdiri dari emas! Rupanya Ki Ganda Pasa menyembunyikan harta curiannya di dalam dinding. Pantas Narasumi dan saudara-saudaranya tidak menemukan tempat penyimpanan warisan itu.

“Aku yakin semua lapisan dinding kamar ini terbuat dari emas murni...,” ujar Panji setelah melakukan hal yang sama pada tiga dinding lainnya. Lapisan bagian dalam dinding sekeliling ruangan itu memang terdiri dari emas murni!

“Hebat sekali cara orangtua mu menyembunyikan warisannya, Sumi,” ujar Kenanga. Gadis itu benar-benar kagum dengan kecerdikan Ki Ganda Pasa. Sebab, tidak akan ada seorang pun yang menyangkanya.

Bagai orang kehilangan akal, Narasumi meraba-raba lapisan emas yang ada di sekeliling dinding kamar ayahnya. Sampai-sampai gadis itu tidak sadar kalau Pendekar Naga Putih dan kekasihnya telah pergi diam-diam. Kedua pendekar muda itu merasa warisan itu bukan urusan mereka.

Narasumi hanya bisa menghela napas ketika menyadari di kamar itu hanya tinggal dia seorang. Gadis cantik itu baru sadar kalau Panji dan Kenanga telah pergi. Diam-diam Narasumi merasa kagum akan keteguhan hati pasangan pendekar muda itu, yang tidak tergoda oleh harta yang demikian melimpah. Narasumi sadar kalau Pendekar Naga Putih dan Kenanga bukan orang-orang serakah yang silau dengan harta. Bahkan meminta bagian pun tidak!

“Mereka benar-benar orang gagah yang menolong tanpa pamrih...!” hanya itu yang bisa diucapkan Narasumi dengan menghela napas panjang.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.