Serial Pendekar Naga Putih
Episode Mahluk Haus Darah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Mahluk Haus Darah
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
Seekor kuda berbulu hitam pekat melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Penunggangnya berteriak-teriak sementara tangannya sibuk melecutkan sisa tali kekang dalam genggaman. Nampaknya penunggang kuda hitam itu begitu terburu-buru. Mungkin karena ingin segera tiba di tempat tujuan, atau tengah berpacu dengan waktu yang saat itu sudah menjelang sore.
Di sebuah persimpangan jalan penunggang kuda hitam menarik tali kekang. Setelah sejenak merayapi keadaan sekitarnya, dia kembali menggebah binatang tunggangannya, Bukan ke kiri atau ke kanan, tapi lurus menerobos semak-semak. Tentu saja Iari kuda hitam itu tidak bisa cepat. Daerah yang dilalui bukanlah jalan yang biasa digunakan orang.
Setelah lebih kurang seratus tombak kemudian, perjalanan itu kembali dihentikan. Kali ini ia berhenti tepat di depan sebuah bangunan candi tua yang hampir keseluruhannya rusak. Belum lagi ia melompat turun dari atas punggung kuda, dua sosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu, si penunggang kuda merasakan tubuhnya terenggut hingga ia sampai terpekik kaget.
Penunggang kuda itu merasa pasti tubuhnya akan terbanting di tanah. Tapi pikirannya meleset. la jatuh dengan kedua kaki lebih dulu. Sebuah tangan kokoh mencengkeram leher bajunya. Tangan kokoh itu milik salah satu dari sosok bayangan yang tadi berkelebat dengan demikian cepat. Sosok itulah yang membetot turun tubuh penunggang kuda.
"A-aku... aku orang suruhan Senapati Malingkat...," penunggang kuda yang ternyata seorang lelaki empat puluh tahunan berkata gagap. Wajahnya nampak agak pucat. Diri penunggang kuda itu doyong ke depan kefika tangan yang mencengkeram leher bajunya menyentak dengan kasar. Nama Senapati Malingkat ternyata cukup berpengaruh. Cengkeraman tangan kokoh itu mengendur.
"Apa yang telah diperintahkannya kepadamu?!" Pemilik tangan kokoh bertanya dengan nada bengis. Ia seorang lelaki tinggi besar dengan otot-otot bertonjolan, menunjukkan kekuatannya yang besar. Wajahnya terhias brewok lebat. Sepasang matanya besar dan berwarna merah saga. Sorot mata itu mencerminkan watak yang kasar dan licik. Suatu gambaran bukan orang baik-baik.
"Uuntuk menemui kalian berdua," lelaki penunggang kuda masih gagap. Sambil berkata ia menggerakkan ekor matanya ke arah teman si brewok.
Sosok lelaki kedua ini tidak seseram si brewok. Tubuhnya gemuk, bahkan nyaris bulat. Kepalanya tidak ditumbuhi selembar rambut pun alias botak. Wajahnya bulat dengan daging pipi yang berlebihan hingga kedua matanya nyaris terpejam. Beralis tebal dan hitam. Mulutnya nampak seperti orang yang selalu tertawa. Tapi, ada satu keanehan yang tidak lumrah pada diri lelaki gemuk ini. Seluruh kulit tubuhnya berwama kehijauan!
"Kalian siapa yang kau maksudkan?" lelaki gemuk seperti kodok blentung itu bertanya. Suaranya kecil seperti suara perempuan.
"Katak Hijau dan Setan Mata Api," jawab penunggang kuda. "Aku membawa pesan dari beliau untuk kalian berdua." Diambilnya sesuatu dari balik pakaian kemudian diserahkannya kepada lelaki brewok
Setan Mata Api langsung saja menyambar bumbung bambu itu. Setelah melepaskan cengkeramannya pada leher baju penunggang kuda, buru-buru dibukanya penutup bumbung. Dari dalam bumbung dikeluarkannya gulungan daun lontar yang berisikan pesan Senapati Malingkat. Setan Mata Api terlihat mengangguk-angguk ketika mem-baca pesan tersebut.
"Apa isi pesan Malingkat itu?" Katak Hijau bertanya ingin tahu. Dia adalah gembong kaum sesat yang sangat ditakuti. Sosok dan wajahnya boleh jadi bisa membuat orang tersenyum. Tapi. di balik wajah lucu ini justru tersembunyi watak yang kejamnya melebihi iblis!
"Rezeki besar," sahut Setan Mata Api. "Dua hari lagi akan ada iring-iringan tentara kerajaan yang mengawal emas dan batu-batu mulia. Kau tahu berapa banyak harta yang mereka bawa?"
Katak Hijau mengerutkan kening. Sesaat kemudian kepalanya digelengkan.
"Harta itu dibawa dengan menggunakan dua buah kereta kuda!" lanjut Setan Mata Api, membuat Katak Hijau membelalakkan mata. "Nah, coba kau bayangkan berapa banyak harta yang ada di dalamnya..."
Katak Hijau cuma bisa berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Si penunggang kuda terbengong-bengong. Sebelumnya ia memang tidak tahu isi pesan yang dibawanya.
"Eh, tapi tunggu dulu!" Tiba-tiba Setan Mata Api berujar. "Masih ada pesan lainnya..."
"Apa?" tanya Katak Hijau.
"Hadiah untuk orang yang membawa pesan ini..."
"Biar aku yang memberikannya," Katak Hijau segera berpaling kepada penunggung kuda.
Perkataan Setan Mata Api tentu saja membuat hati si penunggang kuda berdebar girang. Tapi, ia berusaha sedapat mungkin menyembunyikan kegembiraan hatinya itu. "Aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa," penunggang kuda berpura-pura menolak. "Bagiku asal pesan itu sudah sampai ke tangan kalian, aku sudah merasa senang..."
"Heh heh heh... Tidak baik menolak rezeki, Kawan. Apalagi kau sudah bersusah payah menyampaikan pesan ini. Untuk itu, tentu saja sangat pantas jika kau kami beri hadiah," ujar Katak Hijau dengan ramah.
Sayang, penunggang kuda tidak mengetahui watak asli Katak Hijau. Dedengkot kaum sesat ini memiliki watak yang aneh luar biasa. Semakin ramah kata-katanya, maka itu merupakan pertanda kalau nafsu membunuhnya mulai bangkit Dan sebelum penunggang kuda menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Katak Hijau sudah mengulurkan jari-jarinya yang langsung mencengkeram leher penunggang kuda.
Krekkkh!
Sekali remas saja terdengarlah suara tulang-tulang patah. Ketika Katak Hijau menarik tangannya, tubuh penunggang kuda yang malang itu pun ambruk ke tanah. Tewas dengan mata terbeliak.
"Bagus...!"
Suara pujian itu membuat Katak Hijau dan Setan Mata Api terkejut. Cepat keduanya menoleh ke arah datangnya suara. Sosok lelaki gagah yang muncul dari balik salah satu dinding candi membuat mereka terkejut bukan main.
"Malingkat?!" Katak Hijau dan Setan Mata Api menyerukan nama itu dengan wajah membayangkan keheranan besar. Nampaknya mereka tidak percaya dengan penglihatannya. Sementara itu sosok lelaki gagah melangkah mendekati.
"Hei, mengapa kalian seperti melihat hantu di siang bolong? Aku masih hidup. Dan aku memang benar-benar Senapati Malingkat, orang yang telah mengirim pesan kepada kalian!"
"Lelaki gagah itu mengembangkan kedua lengannya dan tersenyum lebar.
"Tapi mengapa kau berada di sini, Malingkat?" Setan Mata Api mengungkapkan keheranannya setelah beberapa saat meneliti sosok Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat tertawa pelan "Apa ada larangan bagiku berada di tempat ini?" kilahnya.
"Bukan begitu maksud kami, Malingkat," kali ini Katak Hijau yang berkata. "Tapi...."
"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kau katakan, Katak Hijau," Senapati Malingkat buru-buru memotong. "Kalian tentu heran mengapa aku berada di sini; sedangkan pesan kukirim melalui orang lain. Begitu yang hendak kau katakan, bukan?"
Katak Hijau dan Setan Mata Api tidak menyahuti, Mereka cuma menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menyuruh anak buahku untuk mengantarkan pesan itu. Hendak kulihat bagaimana tanggapan kalian terhadap berita besar tersebut." ujar Senapati Malingkat memberikan keterangan.
“Jadi, kau sudah sejak tadi berada di sini dan mengintai perbuatan kami?" Setan Mata Api tampak tidak senang dengan tindakan Senapati Malingkat
"Tidak!" Senapati Malingkat menggeleng dengan mulut tersenyum. Ketidaksenangan Setan Mata Api nampaknya tidak membuat ia terpengaruh. "Aku tiba sewaktu Katak Hijau hendak mencekik leher orang suruhanku. Semula pesan itu kuanggap cukup untuk mewakili diriku, tapi setelah orang suruhanku pergi, pikiran lain melintas di benakku. Pertama, aku khawafir orang suruhanku tidak berjumpa dengan kalian. Kedua, kupikir alangkah lebih baiknya jika aku yang langsung datang menemui kalian di sini. Nah, itulah alasan mengapa aku sampai berada di sini. Jelas?"
Setan Mata Api mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya ia bisa menerima alasan Senapati Malingkat. Demikian pula dengan Katak Hijau. Apa yang dikatakan Senapati Malingkat memang tidak salah.
"Mengatur rencana bersama-sama memang jauh lebih baik. Apalagi yang harus dibicarakan adalah sebuah pekerjaan besar. Karena itu, kita harus merencanakannya dengan matang," ujar Setan Mata Api kemudian.
"Itulah sebabnya aku berada di sini," Senapati Malingkat kembali menegaskan. "Nah, marilah kita susun rencana untuk pekeijaan besar itu..."
Sekejap kemudian ketiga orang itu memutar tubuh dan melangkah memasuki bangunan candi.
Katak Hijau dan Setan Mata Api termasuk orang-orang yang mengetahui siapa Senapati Malingkat sebenarnya. Sangat sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Sebelum menjadi senapati, Malingkat sebenarnya seorang tokoh sesat ternama. Jari Beracun, itulah julukan Malingkat sewaktu masih malang-melintang di rimba persilatan.
Jari Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Sederetan nama tokoh tokoh terkenal golongan putih roboh di tangannya. Dengan perbuatannya itu namanya pun terangkat naik. Tapi meskipun tokoh-tokoh golongan putih telah mensejajarkan namanya dengan dedengkot kaurn sesat, hal itu belum membuat Jari Beracun menjadi puas. Golongan hitam pun harus mengakui keperkasaannya juga. Keinginan itu bukan cuma dipikirkan, tapi dibuktikannya dengan tindakan.
Dan demi ingin mendapatkan pengakuan tersebut, Jari Beracun Bdak segan-segan membunuh para dedengkot golongan hitam. Perbuatan Jari Beracun tentu saja mendatangkan tanda tanya besar di kalangan rimba persilatan. Golongan pufih maupun golongan hitam sa-ing mempertanyakan di mana sebenarnya Jari Beracun berpihak. Karena kedua golongan itu tidak puas, mereka lalu menganggap Jari Beracun seba-gai musuh!
Jari Beracun kaget bukan main mendapati dua golongan itu mengincar dirinya. Tiba-tiba saja ia jadi mempunyai banyak musuh. Sadar kalau dirinya berada dalam bahaya, Jari Beracun akhirnya meninggalkan daerah utara. Jika ia nekat bertahan untuk tetap tinggal di derah asalnya itu, cepat atau lambat kematian pastl akan datang menjemput. Mereka yang mengincar kematiannya bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, dan Jari Beracun belum mau buru-buru mati la masih belum puas merasakan kenikmatan hidup.
Dalam pelariannya Jari Beracun singgah di kotaraja. Adanya pengumuman bahwa kerajaan hendak mengadakan pemilihan untuk menjadi calon perwira, membuat Jari Beracun tertarik. la segera mendaftarkan diri. Jari Beracun menggunakan nama aslinya, Malingkat. Di tempat seperti ini dia merasa julukannya hanya akan menimbulkan kesulitan.
Bukan cuma julukannya saja yang harus disembunyikan. Ciri ilmunya pun ia samarkan. Keganasan-keganasan serangannya sengaja dirubah agar kelihatan lebih bersih dan menimbulkan kesan gagah. Tentu saja perubahan itu tidak sampai mengurangi keperkasaannya. Akhirnya Malingkat lulus dan mendapat jabatan sebagai perwira menengah. Beberapa tahun kemudian, berkat jasa-jasanya serta pengabdiannya kepada kerajaan, Malingkat diangkat menjadi senapati.
Tapi karena pada dasarnya Malingkat memiliki watak yang tidak pernah puas, jabatan tinggi yang diperolehnya masih dirasanya belum cukup. Padahal, dengan jabatannya itu hidupnya sudah bergelimang kemewahan dan kesenangan. Ketika mendengar Raja hendak mengirimkan hadiah dalam jumlah hesar kepada kerajaan lain, sebuah rencana pun muncul di pikiran Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat segera menghadap Raja, la meminta izin untuk menjenguk keluarganya di daerah utara. Tentu saja bukan itu alasan sebenarnya Senapati Malingkat. la berangkat ke utara untuk menghubungi dua tokoh sesat yang ia tahu pasti akan tertarik dengan rencananya.
Perhitungan Senapati Malingkat memang tidak meleset. Katak Hijau dan Setan Mata Api sangat tertarik. Tanpa merasa perlu mempertimbangkan lagi, mereka langsung menyatakan persetujuannya. Senapati Malingkat berjanji akan menghubungi mereka kembali setelah memperoleh kepastlan kapan hadiah-hadiah itu akan dikirim. Dia juga menentukan di mana Katak Hijau dan Setan Mata Api harus menunggu.
Senapati Malingkat tengah sibuk membayangkan betapa rencananya akan berhasil dengan baik ketika seorang prajurit datang menghadap. Senapati Malingka jengkel bukan main. Itu terlihat jelas pada wajah dan tatapan matanya. Prajurit yang nampaknya dapat membaca tanda-tanda itu buru-buru melaporkan maksud kedatangannya. Senapati Malingkat diminta untuk segera menghadap raja.
"Kapan?!" tanya Senapati Malingkat dengan sisa-sisa kemarahan yang terpaksa harus ditelan. Sekarang Tuanku Senapati," jawab prajurit itu seraya menghaturkan sembah.
Senapati Malingkat mendengus. Cuma itu yang bisa dilakukannya untuk menumpahkan kejengkelan hati. Tidak mungkin baginya menolak perintah Raja. Dengan hati diliputi tanda-tanya Senapati Malingkat bergegas menghadap raja.
"Senapati Malingkat," ujar Raja setelah Senapati Malingkat menghaturkan sembah dan menganmbil tempat duduk. "Esok hadiah untuk kerajaan sahabat akan segera dikirim. Kau kutunjuk untuk mengepalai pengawalan hadiah itu..."
Mendengar titah junjungannya berubahlah paras Senapati Malingkat. la sangat terkejut sekali. Sungguh tidak pernah dibayangkannya Raja akan menunjuk dirinya untuk mempimpin pengawalan hadiah itu. Saking kagetnya Senapati Malingkat sampai tidak bisa bicara beberapa saat lamanya.
"Ampun beribu ampun, Gusti Prabu," Senapati Malingkat menghaturkan sembah. "Bukankah Gusti Prabu sudah menunjuk Senapati Wanalaga sebagai pimplnan pengawalan? Bukan maksud hamba menolak perintah Paduka, tapi... hamba merasa tidak enak terhadap Senapati Wanalaga..."
"Hhm... Buang pikiran itu jauh-jauh, Senapati Malingkat..." Raja menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Justru engkau kutunjuk karena Senapati Wanalaga tidak bisa melakukannya. Dia sudah kutugaskan menangani kekacauan di perbatasan selatan. Setelah Senapati Wanalaga, kaulah yang paling bisa diandalkan dari yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagimu untuk menolak Sekarang siapkan saja segala keperluanmu. Dua belas prajurit-prajurit pilihan akan menyertaimu..."
Senapati Malingkat tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah berpamitan dan menghaturkan sembah, dilangkahkan kakinya meninggalkan balairung. "Ini pasti ulah bangsat tua Wanalaga!" gerutu Senapati Malingkat sepanjang jalan menuju tempat kediamannya.
Perintah itu membuat hati Senapati Malingkat gelisah bukan main! la merasa curiga adanya permainan di balik semua ini. Senapati Wanalaga memang tidak menyukai dirinya. Senapati Malingkat sadar betul akan hal itu. Tapi ia berpura-pura tidak tahu, karena Senapati Wanalaga merupakan orang kepercayaan raja. Untuk itu Senapati Malingkat harus selalu berhati-hati dan menjaga setiap langkahnya. Senapati Wanalaga jangan sampai menemukan kesalahannya yang dapat dijadikan alat untuk menjatuhkannya.
Senapati Malingkat merasa curiga kalau perintah itu bertujuan Ontuk menguji dirinya. Dan itu membuat hatinya gelisah. Karena ia sudah merencanakan untuk merampok barang-barang kiriman itu menggunakan tangan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Kedua orang tokoh sesat itu akan melakukan penghadangan di suatu tempat yang telah ditentukan. Sungguh tidak disangkanya kalau raja akan merubah rencana. Memerintahkan dirinya untuk memimpin pengawalan itu. Dan waktunya sangat mendadak sekali. Sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menghubungi Katak Hijau dan Setan Mata Api.
"Celaka! Benar-benar keparat bangsat tua Wanalaga!" Lagi-lagi Senapati Malingkat merutuk seraya meninju telapak tangannya sendiri. "Hancur sudah semua rencanaku! Entah apa yang harus kulakukan jika berhadapan dengan Katak Hijau dan Satan Mata Api nanti? Menyuruh mereka membatalkan rencana, jelas tidak mungkin!"
Senapati Malingkat menghentikan langkahnya dengan kening mengerut. Beberapa kali terlihat ia mengangguk-angguk Sepertinya, Senapati Malingkat tengah menimbang-nimbang sesuatu. "Haruskah kulepaskan jabatan ini untuk melanjutkan rencana semula? Itu artinya aku kembali menjadi buronan. Malah, kali ini lebih gawat, Buronan kerajaan! Tapi..., jika tidak kulakukan, berarti aku harus berhadapan dengan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Sanggupkah aku menghadapi mereka berdua? Bagaimana jika aku sampai binasa di tangan mereka? Ah, mungkin sebaiknya kulenyapkan saja mereka sebelum keburu membuka mulut. Rasanya lebih baik mempertahankan jabatan ini daripada harus hidup sebagai buronan lagi..."
Dengan hati masih diliputi kebimbangan Senapati Malingkat bergegas melanjutkan langkahnya kembali.
Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Senapati Malingkat dan rombongannya sudah bergerak meninggalkan pintu gerbang kotaraja. Senapati Malingkat yang ditugaskan memimpin pengawalan berjalan paling depan. la menunggangi seekor kuda jantan berwarna hitam pekat Setengah tombak agak ke belakang dua orang penunggang kuda mengapitnya. Mereka duduk dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke depan
Kereta pertama yang ditarik seekor kuda dikawal empat orang prajurit Masing masing menunggana seekor kuda pilihan. Mereka berjalan di kiri kanan kereta. Demikian juga yang terjadi pada kereta kedua, yang berjarak kira-kira satu tombak dibelakang kereta pertama.
Sementara dua orang prajurit berkuda berjalan paling belakang. Keseluruhan anggota rombongan, termasuk Senapati Malingkat dan dua orang kusir, berjumlah lima belas orang. Jumlah itu memang terhitung sedikit. Tapi, semuanya sudah diperhitungkan oleh Senapati Wanalaga yang mendapat kepercayaan untuk memilih prajurit-prajurit pengawal.
Senapati Malingkat bukannya tidak tahu kalau anggota rombongannya terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Sudah lama ia mendengar tentang adanya pasukan khusus. Tapi tidak banyak yang diketahuinya. Pasukan khusus itu sengaja disembunyikan dan dilatih secara tertutup. Kecuali Raja dan Senapati Wanalaga, cuma dua orang jagoan istana yang mengetahuinya.
Dua orang jagoan istana tersebut adalah yang terlihai di antara jago-jago istana lainnya. Mereka terhitung jagoan nomor satu di kerajaan. Dan, mereka berdua termasuk orang-orang yang mendidik pasukan khusus, terutama dalam ilmu silat Mengenai siasat ilmu perang, Senapati Wanalaga yang melatihnya. Sehingga, kepandaian perorangan anggota pasukan khusus bisa melebihi tokoh silat tingkat pertengahan. Pasukan khusus yang hanya berjumlah seratus orang itu jauh lebih tangguh dan berbahaya dari seribu prajurit!
Senapati Wanalaga percaya penuh kepada dua belas orang anggota pasukan khusus yang mengawal kiriman hadiah raja. Andaikan Senapati Malingkat hendak berkhianat, para anggota pasukan khusus tersebut akan sanggup menghadapinya. Kecuali jika berhadapan secara perorangan. Senapati Malingkat jelas bukan tandingan mereka.
Dan, Senapati Wanalaga sudah memperhitungkan hal itu. Tanpa sepengetahuan Senapati Malingkat serta anggota rombongan lainnya, diam-diam Senapati Wanalaga menyelundupkan dua orang jagoan kerajaan ke dalam rombongan. Tak satu pun dari anggota rombongan yang menyangka kalau dua orang kusir kereta sebenarnya jagoan-jagoan nomor dua di istana!
Rombongan terus bergerak maju. Bunyi roda-roda kereta menggilas bebatuan terdengar begitu jelas Deraknya demikian bising memecah keheningan sore. Semakin jauh rombongan itu meninggalkan kotaraja, semakin gelisah pula hati Senapati Malingkat. Sehingga, meskipun udara sore itu tidak panas, keringat nampak membasahi wajah senapati. Dan, Senapati Malingkat gagal menyembunyikan kegelisahan hatinya. Mendekati tempat penghadangan yang direncanakannya bersama Katak Hijau serta Setan Mata Api, kegelisahan itu makin menyiksa dirinya.
"Hhhh...!" Senapati Malingkat menghela napas berat. Perbuatan itu membuat dua prajurit di kiri-kanannya menoleh.
"Tuan Senapati," prajurit yang berada di sebelah kanan menegur dengan kening dikerutkan. la nampak heran sewaktu melihat wajah dan sikap Senapati Malingkat. "Nampaknya Tuan sedang kurang sehat?" tanyanya kemudian tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Senapati Malingkat yang tidak menyadari kalau helaan napasnya telah menarik perhatian dua prajurit di kiri-kanannya, nampak tersentak kaget la tak menyangka dua orang prajurit itu ternyata memperhatikan dirinya. Pandangan mereka membuat Senapati Malingkat agak gugup, takut kalau-kalau kegelisahan hatinya diketahui. Buru-buru ditariknya napas panjang sementara otaknya bekerja mencari alasan yang sekiranya bisa diterima kedua prajurit itu.
"Hh... Aku tidak apa-apa," jawab Senapati Malingkat sambil menghembuskan napas panjang. "Aku cuma sedikit lelah. Aku tidak terbiasa dengan tugas seperti ini, tapi Gusti Prabu mempercayakannya kepadaku. Kuterima juga tugas ini karena tidak ingin mengecewakan beliau. Terus terang kukatakan tugas ini agak mengganggu pikiranku, sampai-sampai semalaman aku tidak bisa tidur..."
Dua prajurit itu mengangguk-angguk. Alasan Senapati Malingkat memang bisa diterima akal. Tapi sebagai anggota pasukan khusus mereka bukan saja tangguh di arena pertempuran, tapi juga dapat menilai situasi dan memiliki naluri yang tajam. Dan naluri mereka mengatakan ada sesuatu yang tidak beres pada diri Senapati Malingkat! Namun mereka tidak berkata apa-apa, hanya meningkatkan kewaspadaan.
Diamnya dua orang prajurit itu agak melegakan hati Senopati Malingkat. Tapi bukan berarti ia percaya mereka dapat menerima alasannya. Sebagai seorang bekas tokoh aliran hitam, Senapati Malingkat bukan cuma mengandalkan ilmu silat saja. la juga cerdik, licik, dan tidak percaya terhadap siapa pun! Tidak terhadap Katak Hijau atau pun Setan Mata Api.
"He he he...! Kalian memang pantas untuk berhati-hati Sebentar lagi aku akan memenggal kepala kalian," ujar Senapati Malingkat dalam hati.
Sore terus merambat Cahaya jingga sudah mewarnai kaki langit sebelah barat. Keremangan cuaca mulai menyelimuti permukaan bumi. Saat itu rombongan Senapati Malingkat tengah melintasi jalan berbatu yang diapit dua anak bukit. Bukit Dampet. Demikianlah orang menamakan daerah itu.
Karena jalan yang harus dilalui agak sempit, empat prajurit yang mengawal kereta terdepan terpaksa harus mendahului kereta. Sedangkan empat prajurit yang mengapit kereta kedua bergerak mundur untuk memperkuat penjagaan di bagian belakang. Perjalanan agak lambat karena permukaan tanah berbatu tidak rata. Jalan sempit itu sendiri berjarak cukup panjang. Lebih kurang seratus tombak lebih. Mereka baru menempuh separuh jalan ketika keremangan mulai memekat, tanda sebentar lagi malam akan jatuh.
Kecuali Senapati Malingkat, tak seorang pun tahu betapa saat itu dua pasang mata tengah mengawasi rombongan. Siapa lagi pemilik dua pasang mata itu kalau bukan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Mereka mengintai dari atas lereng bukit. Katak Hijau di sebelah kiri, sedangkan Setan Mata Api dari sebelah kanan. Ketika rombongan telah lewat, Setan Mata Api berdiri tegap menghadap ke tempat Katak Hijau mengintai Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi dan digerakkan ke kiri-kanan. Itu adalah tanda bagi Katak Hijau untuk segera bertindak.
Gmkkkhhh...!
Suara bergemuruh yang menggetarkan tanah membuat semua anggota rombongan berpaling ke belakang. Senapati Malingkat juga melakukan hal yang sama. Wajahnya menampakkan kekagetan sewaktu melihat bongkahan batu sebesar kerbau bunting menggelinding dari atas dan jatuh berdebum menutupi jalan di belakang rombongan.
"Kurang ajar! Ini pasti ulah perampok-perampok yang tidak tahu penyakit!" Senapati Malingkat menggeram sambil berusaha menenangkan binatang tunggangannya yang meringkik ketakutan.
Dua orang prajurit yang kini berada setengah tombak di depan Senapati Malingkat langsung menileh. Dua pasang mata tajam itu menyorot wajah Senapati Malingkat. Bukan cuma curiga saja, malah mulut mereka menyunggingkan senyum mengejek.
"Tuan pasti sudah tahu hal ini bakal terjadi, bukan?!" salah seorang prajurit bertanya dengan nada menuduh. Prajurit yang satunya lagi mengangguk-angguk menyetujui ucapan rekannya.
"Kurang ajar...!" Senapati Malingkat melotot dengan wajah merah padam. "Apa maksud kata-katamu itu? Berani benar kau berbicara seperti itu kepadaku, hah!"
Lima orang prajurit itu tertawa dingin. Tapi sebelum mereka sempat berkata, tiba-tiba suara bergemuruh kembali terdengar. Kali ini datang dari sebelah depan. Untuk kedua kalinya, sebuah batu sebesar kerbau bunting jatuh berdebum menggetarkan tanah di tempat itu. Dinding-dinding bukit bergetar hingga batu-batu berguguran ke bawah menghujani rombongan Senapati Malingkat. Keadaan menjadi kacau. Kuda-kuda meringkik ketakutan.
"Masihkah Tuan Senapati hendak berpura-pura tidak mengetahui kalau semua ini bakal terjadi?" Di tengah kesibukan menenangkan kuda tunggangannya, prajurit berkumis tebal menatap Senapati Malingkat dengan bibir mencemooh.
"Dalam perjalanan sikap Tuan sangat gelisah sekali. Kami menjadi curiga. Rupanya, inilah yang telah membuat Tuan selalu gelisah," prajurit kedua menimpali.
Senapati Malingkat menggeram dengan wajah gelap. Tuduhan itu membuat senapati tersebut baru menyadari mengapa mereka disebut pasukan khusus. Mereka bukan cuma pandai dalam bertempur, tapi juga memiliki naluri tajam. Namun, sungguh ia tidak menyangka kedua prajurit itu berani bersikap kurang ajar kepadanya.
Senapati Malingkat tidak tahu kalau seluruh anggota pasukan khusus sebelumnya telah disumpah. Mereka hanya akan patuh kepada Raja dan Senapati Wanalaga saja. Itu selalu ditekankan dalam setiap latihan. Bahkan, kedua orang jago nomor satu istana yang mendidik mereka pun tidak mengetahui adanya sumpah tersebut. Hal itu rupanya memang sengaja dirahasiakan.
Tujuan utama dibentuknya pasukan khusus adalah untuk melindungi raja. Mereka dididik sejak berusia delapan tahun. Dalam usia itu telah ditanamkan sikap-sikap seorang prajurit sejati dan nilai-nilai kesetiaan. Mereka dididik dengan keras. Senapati Wanalaga tidak akan segan-segan menghukum setiap anggota yang melanggar peraturan. Hukuman itu dilakukan di hadapan anggota-anggota lainnya. Tujuannya adalah memberi contoh pada mereka untuk tidak berani melanggar peraturan.
Tapi meskipun telah memberikan didikan yang keras. Senapati Wanalaga masih merasa kurang puas Sebagai seorang tokoh tua yang banyak pengalaman senapati itu maklum kalau hati manusia sewaktu-waktu bisa saja berubah. Entah karena penuh keadaan, perasaan, atau pun kemungkinan- kemungkinan lainnya.
Untuk mcnjaga agar seluruh anggota pasukan khusus tidak menyeleweng, dijejalinya mereka dengan racun yang baru bekerja setelah satu tahun. Jika lewat dari waktu yang ditentukan belum memperoleh obat penawar, kematianlah yang akan mereka dapatkan. Dan setiap satu tahun sekali, setelah diberi obat penawar, Senapati Wanalaga kembali memberikan kepada mereka racun serupa.
Senapati Malingkat tidak mengetahui semua itu. Tidak heran jika ia merasa terkejut bukan main sewaktu kedua prajurit anggota pasukan khusus itu berani menentang dirinya. Seluruh anggota yang tergabung dalam pasukan khusus memang tidak memakai jabatan. Mereka tetap merupakan seorang prajurit meski ketangguhan dan kecakapan mereka melebihi seorang perwira. Itu sebabnya mengapa Senapati Malingkat marah bukan kepalang terhadap dua orang anggota pasukan khusus itu.
Jangankan seorang senapati seperti Malingkat, sedang yang berpangkat perwira rendahan pun pasti akan marah besar jika ada prajurit yang berani menentang perintahnya. Apalagi sampai berani menuduh dan menunjukkan sikap jelas-jelas menantang. Baru berlama-lama menentang pandang saja, sudah merupakan alasan yang cukup untuk memberi hukuman.
"Sayang, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberi hajaran kepada kalian," geram Senapati Malingkat. "Tapi camkan baik-baik, aku tidak akan melupakan ucapan kalian yang tak berdasar itu!"
Senapati Malingkat kemudian memutar kudanya. Tepat pada saat itu dari atas lereng bukit sesosok bayangan melayang turun dan langsung mendarat di hadapannya. Senapati Malingkat segera memberikan isyarat dengan kedipan mata sewaktu dilihatnya wajah Katak Hijau menggambarkan keheranan. Dan, Katak Hijau cepat menangkap isyarat itu.
"Ha ha ha...!" Katak Hijau tertawa berkakakan. Ditatapnya wajah Senapati Malingkat dengan sorot mata tajam. "Kaukah yang menjadi kepala rombongan ini, Tuan Senapati? Sebaiknya kau perintahkan kepada orang-orangmu untuk meninggalkan dua buah kereta itu. Kau beserta rombonganmu boleh pergi dengan selamat. Nah, apa lagi yang kau tunggu? Apakah kata-kataku kurang jelas?!"
"Dengar, Manusia Kulit Hijau!" sahut Senapati Malingkat dengan suara keren. "Jika kau tidak segera menyingkirkan batu itu dan minggat dari hadapanku, jangan bilang aku kejam jika kepalamu kupisahkan dari tubuhmu!" ancamnya. Senapati Malingkat bergegas melompat turun dari atas punggung kuda dan meloloskan pedang yang tergantung di pinggang. Demikian cepat pedang itu dicabut dari sarungnya. Begitu menginjak tanah, pedang sudah berada dalam genggaman tangan.
Katak Hijau kembali tertawa bergelak. Keduanya kini berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak. Nampaknya perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi. Sikap Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat dua orang prajurit yang menyaksikannya segera melompat maju. Mereka berdiri mengapit Senapati Malingkat dengan senjata terhunus. Sekitas keduanya mengerling ke arah Senapati Malingkat. Rupanya mereka masih tetap menaruh curiga.
"Agaknya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu yang hanya selembar itu, Tuan Senapati," ujar Katak Hijau sambil melirik dua prajurit yang berada di kiri-kanan Senapati Malingkat. "Hm.... Nyawa dua orang prajuritmu itu kurasa cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak main-main!" Begitu selesai dengan ucapannya, Katak Hijau segera melesat ke arah prajurit di sebelah kiri Senapati Malingkat Prajurit itu lebih dekat dengan tempatnya berdiri.
"Koook...!"
Sambil mengeluarkan bunyi seperti katak sungguhan, Katak Hijau melancarkan sebuah pukulan lurus. Yang diincamya adalah bagian ubun-ubun. Tapi, Senapati Malingkat tidak membiarkan perbuatan Katak Hijau. Sebelum serangan itu tiba, Senapati Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Digagalkannya serangan Katak Hijau.
"Manusia tak tahu penyakit! Menggelindinglah dari hadapanku...!"
Senapati Malingkat mengulurkan tangan kirinya dengan dua jari terbuka. Serangan Katak Hijau hendak digagalkannya dengan totokan ke arah siku. tapi, Katak Hijau terlalu cerdik. Lengannya segera diputar dan disambutnya totokan Senapati Malingkat dengan kibasan telapak tangan.
Praaattt...!
Benturan itu membuat keduanya terdorong mundur. Katak Hijau maupun Senapati Malingkat langsung berpandangan dengan wajah terkejut. Masing-masing merasakan nyeri akibat benturan itu.
"He he he...! Ternyata kau boleh juga, Tuan Senopati..." Katak Hijau memuji.
Sementara yang dipuji cuma mendengus kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi segera diterjangnya Katak Hijau. Kali ini Senapati Malingkat menggunakan pedang. Suara sambaran angin pedang terdengar mengaung bagai ratusan lebah marah!
Lagi-lagi Katak Hijau memperdengarkan kekehnya. Sambaran pedang Senapati Malingkat dielakkan dengan cara melompat-lompat, persis gerak seekor katak. Lewat tiga jurus kemudian, Katak Hijau mulai membangun serangan balasan.
Kedua prajurit yang semula masih mencurigai Senapati Malingkat nampak saling bertukar pandang. Mereka melihat kesungguhan dalam serangan yang dilancarkan Senapati Malingkat Hal itu terlihat dengan jelas. Serangan-serangan Senapati Malingkat sangat mematikan. Perlahan kecurigaan mereka pun terhapus.
"Tuan Senapati, kami datang membantu...!" Teriakan dua orang prajurit itu membuat Senapati Malingkat tersenyum penuh kemenangan. Pancingannya ternyata berhasil. Mereka segera terjun ke arena untuk membantunya.
"Bagus! Aku memang sudah menunggu-nunggu bantuan kalian," Senapati Malingkat berkata dalam hati. Dan ketika kedua prajurit itu hendak mendaratkan kaki di kiri-kanannya, Senapati Malingkat langsung berputar dengan kecepatan yang sangat mengejutkan!
Semula kedua prajurit itu sedikit pun tidak menaruh curiga. Tapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu menyadari perbuatan Senapati Malingkat ternyata dimaksudkan untuk menghabisi mereka!
Crasss! Breeettt!
Sayang, kesadaran itu terlambat datangnya. Pedang Senapati Malingkat sudah keburu merobek perut. Keduanya memekik keras. Kemudian, terpental roboh dan tewas seketika Pedang Senapati Malingkat merobek dalam hingga usus mereka terburai keluar.
Sementara kedua prajurit itu roboh, Senapati Malingkat sudah melemparkan pedangnya kepada Katak Hijau. Tokoh sesat berkulit kehijauan itu terkekeh. Sekali mengulurkan tangan pedang telah berada dalam genggaman tangannya. Kemudian, langsung dibabatkan ke depan.
"Keparat busuk! Kau harus menebusnya dengan nyawa anjingmu!" Senapati Malingkat mengutuk Katak Hijau seraya melompat jauh ke belakang. Dihindarinya babatan pedang yang mengancam perut
Empat prajurit anggota pasukan khusus yang mendengar jerit kematian lawan-lawannya bergegas menoleh. Alangkah terkejut hati mereka sewaktu menyaksikan kedua rekannya telah roboh bermandikan darah. Sementara Senapati Malingkat tengah bertarung sengit melawan lelaki tua berkulit kehijauan. Adanya pedang Senapati Malingkat di tangan lelaki tua berkulit kehijauan membuat mereka maklum kalau dialah yang telah membunuh kedua rekan mereka.
"Ayo, kita bantu Tuan Senapati. Nampaknya beliau mendapat kesulitan untuk merobohkan pembunuh rekan kita itu!" salah seorang prajurit berkata kepada kawan-kawannya. Segera dicabutnya pedang, dan tanpa membuang-buang waktu lagi langsung mendahului ketiga rekannya untuk membantu Senapati Malingkat. Yang lainnya pun bergegas berlompatan menyusul.
Setan Mata Api segera melayang turun dari tempatnya bersembunyi. Tokoh sesat itu langsung dikepung enam orang prajurit. Tokoh yang memiliki sorot mata merah seperti nyala api ini memperhatikan cara keenam lawannya melakukan kepungan. Bentuk kepungan dan sikap kuda-kuda mereka terasa asing.
Keenam anggota pasukan khusus tidak memperdulikan keheranan lawannya. Mereka terus bergerak mengelilingi Setan Mata Api. Beberapa kali, sambil terus berputar, mereka bertukar tempat dengan melakukan lompatan menyilang. Sementara senjata keenamnya terus diputar hingga memperdengarkan suara berdesingan. Semakiri lama lingkaran mereka semakin rapat. Dan, sambaran angin pedang membuat pakaian Setan Mata Api berkibaran.
"Hei! Apa kalian sedang menyuguhkan tarian monyet untukku?" Setan Mata Api berkata mengejek. Kemudian, tertawa bergelak dengan kepala tengadah.
Keenam prajurit pilihan itu sama sekali tidak menggubris. Mereka tetap mengelilingi Setan Mata Api sambil sesekali melompat untuk bertukar tempat. Cara mengepung yang aneh itulah membuat Setan Mata Api menamakan gerakan tersebut tarian monyet.
"Jiaaahhh...!"
Setelah jarak kepungan tinggal satu tombak lagi, tiba-tiba terdengar bentakan dari sebelah kiri. Cepat Setan Mata Api memutar tubuh. la sudah siap menghadapi pengepungnya yang membentak itu. Namun ternyata lawan bukan hendak menyerang, malainkan untuk bertukar tempat. Setan Mata Api sempat kaget dan segera menyadari bentakan itu cuma tipuan. Apalagi ketika telinganya menangkap suara berdesing di belakangnya.
"Keparat...!"
Merasa telah diperdayai, Setan Mata Api marah bukan main. Tubuhnya diputar secepat kilat. Begitu samar-samar dilihatnya kilatan sinar pedang meluncur ke arahnya, Setan Mata Api langsung menyambut dengan kibasan lengan kanan. Tentu saja ia telah menyalurkan tenaga dalam terlebih dulu untuk melindungi lengannya.
Lagi-lagi Setan Mata Api harus menelan kenyataan pahit. Serangan itu pun sebuah tipuan! Sementara orang yang dikiranya menyetang menarik pedang kemudian berputar untuk berganti tempat dengan kawannya, serangan yang sesungguhnya meluncur datang ke arah lambung!
Breeettt...!
Pada saat-saat terakhir Setan Mata Api masih sempat menggeliatkan tubuhnya. Tusukan pedang merobek pakaian dan cuma menggores sisi lambung. Tapi meskipun demikian, kemarahan Setan Mata Api semakin berkobar-kobar. Sambil memperdegarkan geraman keras laksana harimau luka, tangannya diputar melibat pedang yang belum sempat ditarik pulang. Untuk menghindari agar lengannya tidak tersayat mata pedang, Setan Mata Api melindunginya dengan libatan pakaian. Terdengar bunyi patahnya pedang begitu Setan Mata Api menekuk lengan. Sekejap kemudian tokoh sesat itu bergerak secepat kilat mengulurkan jari-jari tangannya ke atas.
Kreppp!
Jari-jari sekuat capit baja itu mencengkeram leher lawannya yang langsung diangkat naik. Bergemeretaknya bunyi tulang leher yang remuk mengiringi geraman Setan Mata Api ketika mengetatkan cengkeraman. Lawan yang sudah kehilangan nyawa itu kemudian diputar berkeliling.
"Heaaa...!"
Lima prajurit anggota pasukan khusus lainnya tentu saja terkejut. Kelimanya segera berloncatan mundur. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
"Heh heh heh...!" Setan Mata Api menanggapi dengan tawa mengejek. "Mengapa kalian mundur? Takut dengan mayat ini? Wah, sungguh menyedihkan sekali. Biar kubuang saja kalau kalian memang takut."
Setan Mata Api melemparkan mayat di tangannya ke arah dua orang. lawan yang berdiri di depannya. Pada saat yang bersamaan, sewaktu lawan-lawannya terkesima, Setan Mata Api mencelat ke kiri. Sepasang tangannya meluncur deras laksana seekor elang menyambar ariak ayam. Serangan itu dilancarkan dengari kecepatan tinggi. Dua orang prajurit yang menjadi sasarannya tidak mampu bertindak apa pun. Jari-jari Setan Mata Api tinggal sejengkal lagi dari leher mereka. Tapi, rupanya keberuntungan belum mau singgah pada diri Setan Mata Api. Saat hasil serangannya sudah di depan mata, sesosok bayangan melenyapkan senyum di bibir Setan Mata Api.
Plak! Plak!
Kuat bukan main benturan dua pasang lengan lengan itu. Setan Mata Api sampai tak bisa menahan pekik kagetnya. Sosok bayangan itu bukan saja menggagalkan serangannya, tapi juga membuat kedua lengannya terasa nyeri. Malah kuda-kudanya sampai tergempur. Sumpah serapah Setan Mata Api langsung terdengar di saat tubuhnya terhuyung llmbung.
"Siapa kau?!"
Setan Mata Api menatap sosok bayangan yang telah menggagalkan serangannya. Dipandanginya wajah dan tubuh sosok di depan kedua prajurit yang nyaris dapat dibinasakannya. Setan Mata Api mengerutkan kening, berusaha mengenali siapa manusia usilan itu. Dia seorang lelaki tua bermata sayu. Jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sorot wajahnya tampak begitu murung. Sepertinya ia menjalani hidup dengan tanpa semangat.
Tubuhnya lebih pendek dari Setan Mata Api maupun kedua prajurit yang telah diselamatkannya. Sosok lelaki tua ini sebenarnya sangat jauh dari gambaran seorang ahli silat. Dia lebih tepat menjadi seorang pujangga (ahli sastra). Apalagi pakaian yang dikenakannya adalah pakaian para pujangga. Lelaki tua berusia lima puluh lima tahun ini cuma mengerapkan mata ketika mendengar pertanyaan Setan Mata Api.
Sementara Setan Mata Api menatap lelaki tua bermata sayu dengan penuh selidik, kelima anggota pasukan khusus malah membelalak lebar. Mulut mereka sampai ternganga, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perasaan terkejut dan juga heran tergambar nyata di wajah mereka. Kakek berpakaian sastrawan itu adalah salah satu dari kusir kereta kuda!
Tidak heran kalau kelima prajurit anggota pasukan khusus hampir tidak percaya. Memang, siapa yang akan menyangka kalau orang yang selama perjalanan tidak pernah mereka lirik sedikit pun itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan telah menyelamatkan dua orang di antara mereka. Dan sanggup membuat Setan Mata Api sampai terhuyung.
"Benarkah kau ingin tahu namaku?" Kakek bermata sayu bertanya kepada Setan Mata Api. Suaranya pelan seperti enggan bicara. Dan wajahnya tidak berubah, tetap murung.
"Siapa peduli dengan namamu!" bentak Setan Mata Api keras, membuat lima orang prajurit yang hendak menyaksikan tanggapan kakek mata sayu berjingkrak kaget. "Yang kutanyakan adalah julukanmu. Tapi terserah, mau jawab boleh, tidak pun tak akan kupaksa. Tak ada bedanya bagimu. Apa pun jawabanmu, aku akan tetap membunuhmu!"
Kakek bermata sayu mengangguk-angguk lemah. Ditariknya sedikit ujung bibir kanannya ke atas. Mungkin maksudnya hendak tersenyum tipis. Tapi yang terlihat justru senyum getir. Segetir raut wajah dan sorot matanya.
"Jika demikian, ada baiknya aku memperkenalkan diri. Aku tidak ingin mati tanpa nisan di atas makamku," ujar kakek bermata sayu. Suaranya tetap pelan dan tanpa gairah. "Aku disebut Sastrawan Murung. Mungkin itu karena wajah dan mataku. Tapi bagiku semua itu tidak menjadi soal. Yang penting aku punya julukan," lanjutnya seraya tersenyum getir.
"Sastrawan Murung?!" Setan Mata Api mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. "Hei...?!" serunya tiba-tiba. "Kalau aku tidak salah, Sastrawan Murung adalah salah seorang jagoan istana. Ah, pasti tidak salah! Kau memang jagoan istana yang digelari Sastrawan Murung! Hah hah hah...!"
"Ya, memang. Ha ha ha...!" Sastrawan Murung malah menimpali tawa Setan Mata Api. Akan tetapi, tawa itu tidak juga melenyapkan kemurungan wajahnya.
Setelah mengetahui siapa kakek bermata sayu itu, Setan Mata Api malah kelihatan gembira. Tidak demikian halnya dengan lima prajurit anggota pasukan khusus. Mereka semakin bertambah kaget. Siapa yang tidak kenal dengan Sastrawan Murung. Bukan saja yang berada di lingkungan istana, bahkan hampir seluruh penduduk kotaraja mengetahuinya. Kalau selama ini mereka cuma mendengar namanya saja, maka sekarang dapat melihat dengan jelas sosok Sastrawan Murung yang terkenal itu.
Kini Sastrawan Murung berhadapan dengan seorang kakek yang sorot matanya semerah nyala api. Mereka telah membuktikan sendiri kehebatan kakek mata merah itu. Dan mereka jadi ingin tahu apakah Sastrawan Murung akan sanggup menundukkan kakek mata merah yang lihai itu. Maka seperti dikomando saja kelimanya bergerak mundur. Tidak sabar untuk segera menyaksikan pertarungan yang pasti akan sangat menarik itu
Mundurnya kelima prajurit anggota pasukan khusus itu membuat Sastrawan Murung lagi-lagi tersenyum getir. la maklum apa yang ada dalam pikiran kelima prajurit itu. Tapi hal itu tidak dipusingkannya. Apalagi saat itu Setan Mata Api dilihatnya sudah siap untuk bertarung.
"Kau tidak ingin memperkenalkan namamu lebih dulu?" tanya Sastrawan Murung.
"Nanti pun kau akan tahu sendiri," jawab Setan Mata Api tak acuh.
"Kapan?"
"Nanti kalau kau sudah menjadi penghuni akhirat!" sahut Setan Mata Api seenak perutnya. Lalu, tertawa keras. Nampaknya ia merasa puas dapat imempermainkan calon lawannya.
"Jadi, kau sudah ingin buru-buru mati?"
Kening Setan Mata Api langsung mengerut. Apakah manusia satu ini rada-rada congek? Pikir Setan Mata Api. "Bukan aku, tapi kau, Sastrawan Budek!" sahutnya kemudian.
"Iya, aku paham," Sastrawan Murung mengangguk pelan. "Yang ingin buru-buru mati bukan aku, tapi kau!" Ditunjuknya Setan Mata Api yang melotot sampai biji matanya seperti mau copot.
"Terserah bacotmu saja!" ujar Setan Mata Api sambil menepiskan tangan di udara. Nampaknya, Setan Mata Api merasa kalah bicara. "Pokoknya, kaulah yang akan mampus!"
Dengan sebuah pukulan lurus Setan Mata Api kemudian membuka serangan. Ketika Sastrawan Murung menggeser tubuh ke kanan menghindari pukulannya, Setan Mata Api mengirimkan tamparan dengan tangan kanan. Kali ini sasarannya pelipis lawan. Bukan cuma itu saja. Tamparan tersebut disertai dengan sebuah tendangan ke bagian bawah perut!
Whuuut... dukkk...!
Tamparan ke arah pelipisnya dielakkan Sastra-wan Murung dengan menekuk kedua lutut. Tamparan itu lewat sejengkal di atas kepala. Sedangkan tendangan yang mengancam bawah perutnya disambut dengan kedua belah tangan yang langsung menjepit dan melibat kaki Setan Mata Api. Sambil membentak keras, dilemparkannya kaki lawan kuat-kuat. Pada saat tubuh Setan Mata Api mengapung di udara, Sastrawan Murung segera memburunya dengan dorongan udara telapak tangan.
Akan tetapi Setan Mata Api ternyata tidak mudah dirobohkan. Dengan gerakan yang sangat mengagumkan dia memutar tubuhnya setengah lingkaran. Kedua kakinya ditendangkan kuat-kuat untuk menyambut dorongan telapak tangan Sastrawan Murung. Benturan antara tangan dan kaki pun tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh keduanya langsung terpental balik. Karena kedudukan Sastrawan Murung lebih kuat, keadaannya lebih baik daripada Setan Mata Api. Sastrawan Murung dapat mengatur pendaratan tubuhnya, sedangkan Setan Mata Api jatuh terguling-guling di tanah. Benturan itu membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Cuh, cuh, cuh...!"
Setan Mata Api meludah beberapa kali karena mulutnya kemasukan debu. Sumpah serapah kotor langsung terlontar dari mulutnya. Kemudian, dengan bernafsu Setan Mata Api kembali menerjang Sastrawan Murung. Sambaran angin pukulan lawan menderu kuat. Sastrawan Murung maklum kalau serangan lawan jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. Tapi Sastrawan Murung sedikit pun tidak menjadi gentar. Disambutnya serangan Setan Mata Api dengan tidak kalah ganasnya.
Pertarungan kembali berlanjut. Kali ini lebih seru dan lebih menegangkan. Masing-masing mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun begitu, tidaklah mudah bagi mereka untuk segera memenangkan pertarungan. Keduanya sama kuat, dan sama-sama tangguh!
Seorang pemuda nampak tengah melangkah di atas jalan berbatu yang agak menurun. Wajahnya bersih dan tampan. Tubuhnya tidak seberapa kekar, namun padat berisi. la mengenakan pakaian serba putih. Demikian pula dengan ikat kepalanya. Pemuda ini adalah Panji, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih. Setelah beberapa puluh tombak, jalan mulai agak rata. Permukaan jalan dilapisi tanah merah. Tidak seperti yang baru saja dilalui, hampir seluruh permukaannya dipenuhi bebatuan.
Baru beberapa tombak jalan tanah merah dilalui, Panji rnenghentikan langkahnya karena tiba-tiba angin berhembus keras. Hembusan angin keras itu Hanya terjadi di satu tempat. Tepatnya pada pohon besar di atas kepalanya. Pohon itu bergoyang keras hingga daun-daunnya berguguran. Keheranan Panji inendadak berubah menjadi rasa kaget! Daun-daun yang berguguran menimbulkan suara berdesingan. Daya luncurnya pun dirasakan tidak wajar.
Panji terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan diri dari daun-daun yang bagai hujan Sebagian daun-daun jatuh menancap di tanah, tak ubahnya pisau-pisau terbang. Yang mengejutkan adalah gerakan sebagian daun lainnya. Daun-daun itu tidak berjatuhan ke tanah melainkan melayang ke arah Panji!
"Hm.... Ini jelas tidak wajar lagi, tapi sudah kurang ajar!" desis Panji.
Pemuda itu bersiap-siap menyambut datangnya luncuran daun-daun. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kedua telapak tangan. Kemudian, dengan sebuah hentakan perlahan tangan itu didorongkan ke depan. Serangkum angin keras berhembus membuat dedaunan yang tengah meluncur ke arahnya langsung terhenti. Panji lalu mengibaskan tangannya dengan gerakan ke atas. Daun daun itu pun membalik. Meluncur ke atas pohon dengan pesatnya seolah hendak kembali ke ranting tempatnya semula bergantung.
Prasssh...!
Puluhan dedaunan yang dikembalikan Panji terus menerobos bagian atas pohon hingga memperdengarkan suara berkerosakan. Bukan saja membuat daun-daun yang masih melekat jatuh berguguran, tapi juga mematahkan ranting-ranting pohon.
Panji menunggu beberapa saat sambil menengadahkan kepala. Apa yang diinginkannya ternyata tidak kunjung muncul. Tadinya Panji bermaksud memaksa si penyerang gelap keluar dari persembunyiannya di atas pohon. Tapi perkiraannya ternyata keliru. Penyerang gelap itu tidak berada di sana. Padahal jika orang yang dimaksudkannya benar-benar berada di atas pohon besar itu, pasti dia akan keluar. Kecuali kalau memang mau membiarkan tubuhnya ditancapi daun-daun yang dikembalikan Panji.
Demikian hebatkah manusia curang itu hingga daun-daun yang kukembalikan tidak bisa memaksanya menunjukkan diri?" desis Panji keheranan. Pandangannya diedarkan ke sekeliling tempat itu. Diperhatikannya bagian atas pohon yang berada di sana. Tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Keheningan membungkus tempat itu.
Panji baru saja hendak melangkah. Tapi kakinya tiba-tiba dirasakan berat dan tidak bisa digerakkan. Jangankan untuk melangkah, mengangkatnya saja tidak bisa dilakukan. Tentu saja Panji terkejut. Seseorang telah dengan sengaja hendak mempermainkannya.
"Jika didiamkan pasti semakin menjadi-jadi. Bisa-bisa aku dijadikan mainannya," gumam Panji. Dengan sebuah sentakan mendadak, tubuhnya segera diputar ke samping. Kuda-kudanya rendah dengan sikap kedua kaki menekuk persilangan. Gerakan itu untuk mengunci dan membuyarkan tenaga yang melibat kedua kakinya.
"Heahhh...!"
Berbarengan dengan suara bentakan pendek Panji melompat ke atas. Dua kakinya masih menekuk bersilangan. Dan ketika mendarat di tanah, baru ia membuka kedua kakinya. Kekuatan tak nampak yang melibat kedua kakinya pun lenyap.
"Hebat.., hebat...!" Pujian itu masih disertai dengan tepukan tangan. Panji berpaling, diperhatikannya sosok seorang kakek yang entah dari mana datangnya tahu-tahu tengah melangkah mendekatinya. "Kepandaianmu benar-benar sangat mengagumkan, Anak Muda," kakek itu rnemuji Panji. "Terutama caramu membebaskan pengaruh tenaga yang melibat kedua kakimu. He he he.... Kehebatanmu membuat selera bertempurku bangkit. Mari kita bertarung, Anak Muda. Kalau bisa mengalahkan aku, kau akan kuhadiahkan seorang janda bahenol. Wajahnya cantik dengan senyum yang menggemaskan. Bibirnya mungil. Tubuhnya langsing dan padat. Kulitnya putih halus. Nah, bagaimana? Aku yakin baru mendengarnya saja kau sudah mengilar. He he he...!"
"Kalau begitu, biarlah aku mengaku kalah, Kek," ujar Panji setelah menghela napas. "Silakan kau ambil janda bahenol itu. Rasanya aku lebih suka memilih untuk melanjutkan perjalanan..."
Tanpa menunggu jawaban lagi Panji segera mengayun langkah. Saat itu keremangan senja sudah semakin memekat. Sebentar lagi malam akan segera jatuh. Panji tidak ingin kemalaman di jalan. la berharap dapat menemukan perkampungan setelah melewati Bukit Dampet yang dari tempatnya berada kini kira-kira seratus tombak lagi. Tapi langkahnya terpaksa harus ditunda. Kakek itu sudah berdiri menghadang di depannya. Panji menarik napas sesaat. Sejurus ditatapnya kakek itu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dari ku, Kek?" tanyanya penasaran dan tidak mengerti mengapa kakek itu seperti sepertinya mencari-cari perkara. Padahal Panji sudah berusaha mengalah. Si kakek terkekeh memamerkan gigi-giginya yang berwarna kehitainan dan sudah tidak lengkap lagi.
"Kalau kukatakan, apakah kau bersedia memenuhinya?" tanya kakek itu.
Panji termenung beberapa saat. Sikap kakek itu menurutnya tidak wajar. Seperti dibuat-buat. Seolah dengan sengaja hendak menunda perjalanan nya. Pikiran itu membuat Panji menjadi curiga. "Bersedia atau tidak aku memenuhinya itu ter gantung dari permintaanmu. Jadi, sebaiknya jelas kan dulu permintaanmu itu. Setelah itu aku akan mempertimbangkannya," sahut Panji kemudian. Matanya menatap wajah si kakek dengan penuh selidik.
"Permintaanku tidak sulit. Aku yakin kau sanggup memenuhinya."
"Kalau begitu, katakanlah," desak Panji.
"Setelah itu kau akan bersedia untuk memenuhinya?"
"Aku sudah menjelaskannya tadi," tukas Panji mengingatkan. "Jadi cepat katakan keinginanmu itu!"
"Aku sudah beberapa hari tinggal di tempat ini. Dan aku merasa kesepian karena tidak ada yang menemaniku bermain. Tiba-tiba kau datang tanpa kuundang. Jadi... aku meminta kesediaanmu untuk menemaniku bermalam di tempat ini. Tidak perlu lama-lama. Semalam saja sudah cukup," jelas kakek itu dengan suara memelas, seolah hendak menggambarkan kesepian yang menyiksanya.
Panji mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya tak lepas dari raut wajah keriput berkumis dan jenggot memutih itu. Rasa kesepian yang disampaikan kakek itu memang menyentuh perasaan. Namun Panji meragukan kebenarannya. Nalurinya mengatakan kakek itu telah berdusta. Selain itu, kakek di hadapannya ini agaknya bukanlah orang baik-baik. Cara kakek ini mempermainkannya dengan serangan-serangan mematikan menunjukkan itikad jeleknya.
"Maaf Kek, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku harus pergi...."
Begitu kata-katanya setesai diucapkan, Panji langsung melesat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Pemuda itu lewat di samping tubuh si kakek vnng berdiri tertegun. Tak disangkanya Panji akan menolak permintaannya.
"Hm ... Jangan kira kau bisa pergi begitu saja dari hadapanku, Pendekar Naga Putih...!" Kakek itu Menggeram gusar. Lalu, cepat bagai sambaran kilat ia melesat seraya mengulur kedua lengannya ke arah Panji yang berada tiga tombak di depannya.
Panji menyadari sepenuhnya perbuatannya itu tidak akan dibiarkan si kakek. Maka ketika dirasakan sambaran angin halus di belakangnya, kedua kaki Panji segera dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melambung ke udara. Berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun setelah memperhitungkan sambaran angin telah lewat di bawah kakinya. Perhitungannya memang tidak meleset. Keyakinan itu diperkuat dengan sumpah serapah yang dilontarkan si kakek. Maka begitu menginjak tanah, Panji kembali melesat dengan kecepatan tinggi.
"Berhenti kau, Pendekar Naga Putih! Seorang pendekar besar sepertimu tidak pantas berlaku pengecut!" Sambil berlari mengejar kakek itu memaki kalang-kabut.
Teriakan-teriakan si kakek bukannya membuat Panji berhenti. Malah, larinya semakin dipercepat. Kakek itu telah mengenal julukannya. Ini merupakan satu bukti lagi kalau kakek itu memang bukan orang baik-baik.
"Pasti bukan tanpa alasan ia menghambat perjalananku," gumam Panji dalam hati, "Entah apa, aku belum bisa menduganya...."
Jalan sempit Bukit Dampet berada dua puluh tombak di depan Panji. Saat itu keremangan sudah semakin memekat. Tiba-tiba, samar-samar telinga Panji menangkap suara jeritan yang menyayat. Apa yang didengarnya itu langsung saja dikaitkan dengan perbuatan si kakek yang terus mengejarnya.
"Sekarang aku baru mengerti mengapa kakek itu berkeras hendak mencegah perjalananku. Ia pasti mengetahui apa yang sedang terjadi di celah- celah Bukit Dampet Pasti ia tidak menghendaki aku sampai mengetahuinya," gumam Panji.
Sebagai orang yang cukup pengalaman, Panji maklum kalau suara jeritan itu berasal dari seseorang yang tengah di ambang ajal. la menyimpulkan di tempat jeritan itu berasal pasti tengah terjadi perkelahian. Dugaan dugaan yang melintas ini membuat Panji ingin segera tiba secepatnya di tempat lersebut.
Tanpa sepengetahuan empat orang prajurit pasukan khusus yang tengah melayang ke arena, Katak Hijau memberi tanda kepada Senapati Malingkat dengan kedipan mata. Sekejap kemudian, Katak Hijau melompat ke depan. Senjatanya dilemparkan kepada Senapati Malingkat, yang begitu berada dalam genggaman langsung dibabatkannya ke samping, di mana dua orang prajurit yang hendak membantunya baru saja mendarat.
Gerakan Senapati Malingkat cepat bukan main. Selain itu, sasarannya pun tidak pernah menduga Senapati Malingkat malah akan menyerang mereka. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri. Maka, terdengarlah jerit kematian sewaktu mata pedang merobek perut. Keduanya roboh dengan tubuh bermandikan darah. Tawa Senapati Malingkat mengiringi kematian dua orang prajurit yang naas itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dua orang prajurit lainnya ikut ambruk ke tanah dengan tenggorokan berlubang. Pelakunya bukan lain Katak Hijau. Saat melompat dan melemparkan pedang kepada Senapati Malingkat, Katak Hijau langsung menerkam dua orang prajurit di sebelah kanan senapati tersebut Dua prajurit pasukan khusus itu tidak mungkin menghindar. Keadaan mereka sangat tidak menguntungkan. Dengan mudah Katak Hijau membenamkan cakar-cakarnya ke tenggorokan dua prajurit itu.
"Pengkhianat busuk...!"
Senapati Malingkat dan Katak Hijau terkejut mendengar makian itu. Cepat keduanya menoleh. Dan, Senapati Malingkat bergegas melempar tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Begitu ia menoleh, dilihatnya sesosok bayangan melayang ke arahnya. Suara angin pukulan yang menderu membuat Senapati Malingkat sadar kalau serangan itu sangatlah berbahaya. Maka, tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menyelamatkan diri. Tapi sosok bayangan itu lidak mau memberi kesempatan. Dia segera memburu dengan serangkaian serangan maut.
"Hyahhh...!"
Senapati Malingkat menjadi geram. Dengan sebuah teriakan pendek, kedua tangannya diayunkan menyambut serangan sosok bayangan.
Plakkk! Plakkk!
Kedudukannya yang tidak menguntungkan membuat Senapati Malingkat terhuyung mundur. Serangan lawan memang berhasil dipatahkannya, namun ia kalah tenaga. Benturan itu nyaris menjungkalkan tubuhnya. Sumpah serapah kotor terlontar dari mulut Senapati Malingkat.
Sementara itu akibat tangkisan Senapati Malingkat luncuran tubuh sosok bayangan jadi tertunda. Kedua kakinya mendarat ringan di tanah. Dan selagi tubuh Senapati Malingkat terhuyung-huyung, ia kembali menerjangnya dengan serangan yang mematikan!
Katak Hijau bukan tidak tahu keadaan Senapati Malingkat yang sangat terjepit. Namun ia sedikit pun tidak tergerak untuk berbuat sesuatu Katak Hijau cuma berdiri menyaksikan dengan kepala mengangguk-angguk. Sikap masa bodoh Katak Hijau ini membuat Senapati Malingkat geram bukan main.
"Katak Hijau!" teriak Senapati Malingkat. "Jika kau tidak membantuku, aku bersumpah akan menyebar luaskan kejadian hari ini! Itu berarti kau akan menjadi buronan kerajaan!"
Ancaman Senapati Malingkat membuat wajah Katak Hijau langsung berubah. Tentu saja ia sangat terkejut. Jika Senapati Malingkat bisa selamat dan benar-benar melaksanakan ancamannya, berarti ia akan menjadi buronan kerajaan. Hal itu sudah pasti tidak diinginkannya. Apa gunanya memperoleh banyak harta jika hidup menjadi buronan.
"Benar-benar licik manusia satu itu!" Katak Hijau menggeram. Ia sadar ancaman itu sangat berbahaya. Jelas tidak ada pilihan lain baginya kecuali terpaksa membantu Senapati Malingkat. Katak Hijau pun segera melayang ke tengah arena, di mana Senapati Malingkat tengah jatuh bangun untuk menyelamatkan diri.
"Kok kok kok...!"
Sosok bayangan yang tengah mendesak Senapati Malingkat terpaksa harus menunda serangannya. Suara katak yang datang dari sampingnya itu dirasakan sangat aneh. Dan, alangkah terkejutnya dia. Dilihatnya Katak Hijau tengah berjongkok dengan mulut terbuka. Dari mulut itu meluncur keluar gulungan asap berwarna kehijauan yang disertai bunyi aneh seperti suara katak. Bau amis yang tercium membuat sosok bayangan itu sadar kalau asap kehijauan mengandung racun mematikan. Cepat ia melemparkan tubuhnya ke belakang menghindari asap beracun.
Tindakan sosok bayangan membuat Senapati Malingkat tersenyum iblis. Ia melihat satu peluang yang sangat baik untuk melakukan pembalasan. Senapati Malingka bergegas melompat bergulingan di tanah. Disambarnya pedang yang tadi terjatuh. Dan dengan sebuah teriakan panjang, Senapati Malingkat melompat seraya melontarkan pedang di tangannya dengan sekuat tenaga.
Syuuuttt... Cappp!
Sosok bayangan itu tak sempat menyelamatkan diri. Pedang meluncur deras dan menancap di perut selagi tubuhnya masih berada di udara. Pedang yang menancap dalam hingga tembus ke belakang itu membua sosok bayangan ambruk di tanah. Dia menggelepar sesaat sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Mati!
Sementara di tempat lain... Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya Sastrawan Murung harus mengakui keunggulan Setan Mata Api. Pada jurus-jurus selanjutnya ia lebih banyak bertahan dan hanya sesekali membalas serangan. Keadaan itu tentu saja membuat Sastrawan Murung lama-kelamaan menjadi terdesak.
Lima orang prajurit yang semula hanya menonton serentak bangkit berdiri. Dan sebeum Sastrawan Murung benar-benar roboh di tangan Setan Mata Api, kelima prajurit pasukan khusus itu segera membantunya. Namun sebelum mereka memasuki arena, dua sosok bayangan telah mendarat di hadapan mereka.
"Tuan Senapati...?!"
Lima prajurit itu berseru kaget begitu mengenal salah satu satu dari kedua sosok tersebut Kelimanya segera bergerak mundur. Wajah dan sikap Senapati Malingka membuat mereka curiga. Sayang, sebelum mereka sempat berbuat sesuatu Katak Hijau telah berjongkok seraya melontarkan 'Pukulan Katak Hijau'nya yang mengandung racun jahat!
"Kok kok kok..!"
Kelima prajurit itu tertegun. Heran dan belum mengerti dengan apa yang dilakukan Katak Hijau Keheranan mereka segera berubah menjadi jerit kematian. 'Pukulan Katak Hijau' menghantam tubuh kelimanya yang langsung berpentalan dan jatuh berdebuk di tanah. Mereka tewas dengan kulit tubuh berubah kehijauan.
Katak Hijau terkekeh. Ditatapnya Senapati Malingkat. "Sekarang tinggal satu lagi yang harus kita bereskan," ujarnya seraya mengerling ke arah Sastrawan Murung.
Kemunculan Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat pikiran Sastrawan Murung bertambah kacau. Perhatiannya terpecah, hingga ia tak bisa lagi menghindari sebuah hantaman Setan Mata Api yang telak menggedor dada kanannya.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, Sastrawan Murung terjengkang ke belakang. Dadanya terasa sesak Panas dan juga nyeri. Kendati demikian, Sastrawan Murung bergegas bangkit berdiri dan menatap tajam sosok Setan Mata Api yang tertawa terbahak-bahak. Sungguh tidak disadarinya betapa saat itu Senapati Malingkat sudah berada di belakangnya dengan pedang teracung
Whuuut... Crakkk...!
Terlambat bagi Sastrawan Murung untuk menyadari datangnya serangan. Mata pedang langsung memutus lehernya, tepat di saat kepalanya ditolehkan ke belakang. Kepala itu langsung jatuh ke tanah. Sementara dari leher Sastrawan Murung memancur darah segar.
"Malingkat," ujar Setan Mata Api seraya menatap lekat-lekat wajah Senapati Malingkat.
"Mengapa kau tidak memberitahu kami bahwa kaulah yang akan memimpin pengawalan ini? Jelas ini di luar rencana kita. Jika kau kembali ke istana dalam keadaan segar bugar seperti ini, mana mau mereka percaya dengan ceritamu? Ini jelas berbahaya. Terutama bagi dirimu. Jalan satu-satunya untuk melenyapkan kecurigaan orang istana adalah kau harus bersedia kami lukai. Dengan adanya luka-luka tersebut kemungkinan penjelasanmu bisa mereka percaya. Paling tidak, mereka akan mempertimbangkan ceritamu. Bagaimana, kau bersedia?"
Senapati Malingkat tidak langsung menjawab. Terlebih dulu ditatapnya wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau bergantian. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak percaya dengan kedua tokoh itu. Tapi semuanya sudah telanjur. Untuk mundur jelas tidak mungkin. Jalan satu-satunya memang dia harus menerima usul Setan Mata Api.
"Tentu saja," jawab Senapati Malingkat kemudian. la tidak mau membuat mereka curiga karena terlalu lama berdiam diri. "Kurasa usulmu cukup baik. Silakan kalian lukai aku. Buat agar cukup parah. Tapi ingat! Kalian harus menyisihkan harta bagianku. Tunggu di tempat yang telah kutentukan. Kalian masih ingat tempat itu, bukan?"
"Heh heh heh...! Mana bisa kami lupa, Malingkat," Katak Hijau terkekeh seraya mengerling pada Setan Mata Api. "Nama tempat itu adalah Lembah Batu Hitam. Letaknya di sebelah tenggara wilayah utara, daerah tempat kita bertiga berasal..."
"Kami akan menunggu kedatanganmu, Malingkat," Setan Mata Api menambahkan. Sedangkan dalam hati ia melanjutkan dengan kata-kata, "Tapi kau tidak akan pernah bisa datang. Malam ini kau akan kukirim ke akhirat!"
Senapati Malingkat mengangguk puas. Dia tidak menduga kalau Setan Mata Api dan Katak Hijau mempunyai rencana lain terhadap dirinya. Mereka bukan sekadar ingin melukai, tapi membunuh! Senapati Malingkat tidak menyadari hal itu. la sudah melangkah mundur. Lalu, mengangguk sebagai tanda dirinya telah siap.
Setan Mata Api dan Katak Hijau saling bertukar pandang sesaat. Kemudian, Setan Mata Api melangkah maju seraya membabatkan pedang ke dada Senapati Malingkat. Perbuatan itu dilakukan dengan tanpa mengerahkan tenaga dalam. Sambaran pedang itu hanya akan menimbulkan luka luar.
Senapati Malingkat tentu saja tahu. Diam-diam ia tersenyum dalam hati, mentertawakan kebodohan Setan Mata Api. Namun, di saat mata pedang sudah hampir mengenai kulit dadanya, tiba-tiba Senapati Malingkat menjadi pucat pasi! Ia pun sadar Setan Mata Api telah berkhianat. Di akhir serangan yang sudah tidak mungkin dielakkannya itu Setan Mata Api mengerahkan tenaga dalam!
"Kepar...!"
Breeettt!
"Arghhh...!" Makian Senapati Malingkat berubah menjadi raung kesakitan yang mendirikan bulu roma. Sabetan pedang Setan Mata Api yang sangat kuat mengoyakkan dada Senapati Malingkat. Tanpa ampun lagi, tubuh senapati itu terpelanting disertai percikan darah yang membanjir dari luka di dada
Meskipun menderita luka yang parah, Senapati Malingkat berkeras untuk bangkit. Menyesal ia telah mempercayai makhluk-makhluk licik seperti Setan Mala Api dan Katak Hijau. Sayang, penyesalan itu terlambat datangnya. Selagi ia tengah berusaha berdiri dengan kedua kaki gemetar, pukulan maut Katak Hijau meluncur datang.
Desss...!
Senapati Malingkat menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar hampir dua tombak. Kemudian, jatuh menggelepar seperti ayam disembelih. Sebuah telapak kaki yang dijejakkan di dada menghentikan gerakan tubuh Senapati Malingkat. Jejakan itu menghancurkan tulang-tulang dadanya. Sepasang mata Senapati Malingkat terbeliak. Ditatapnya sesaat wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau dengan sorot penuh dendam. Setelah itu, kepalanya terkulai.
"Ha ha ha...!"
Tawa Setan Mata Api dan Katak Hijau menggema bagai tawa setan-setan gentayangan. Dan sesaat kemudian, berganti dengan suara derak roda kereta menggilas permukaan tanah berbatu.
Pendekar Naga Putih berdiri mematung. Tubuh-tubuh bersimbah darah berserakan di sekitarnya. Cuma pemandangan itu yang ditemuinya saat ia tiba, selain jejak bekas roda kereta. Sayang, saat itu hari sudah malam. Tentu sangat sulit menelusuri jejak roda kereta di tengah kegelapan.
"Jika saja peristiwa ini terjadi pada siang hari, mungkin aku bisa menemukan bekas jejak kereta-kereta itu," sesal Panji. Namun, tiba-tiba satu suara mengusik kesendirian Panji
"Ha ha ha ... Hebat... hebat...!" Suara tawa itu disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang bukan lain kakek yang tadi mengejar Panji. Kakek itu muncul sambil bertepuk tangan keras-keras.
Panji menatapnya dengan kening berkerut
"Apa maksud kata-katamu, Kek?" tanya Panji.
"Eh, masih mau berpura-pura juga, ya?" ujar kakek itu seraya menghentikan langkah setengah tombak dari Panji.
"Jelaskan maksudmu, Kek! Ini bukan saat yang tepat untuk berteka-teki!"
"Apa aku bilang begitu?" Kakek ini menelengkan kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Sorot matanya tajam berkilat. Amarahnya jelas terpancing oleh sikap kakek itu yang sengaja hendak mempermainkannya. Tapi untuk meladeni ia merasa percuma saja. Menurut pengamatannya, kakek itu agak kurang beres otaknya.
"Sudahlah!" Panji mengibaskan tangannya. "Tidak ada gunanya melayanimu berdebat. Kalau kau kurang puas, silakan ajak mayat-mayat itu untuk melayani omonganmu. Maaf, aku harus pergi!" Panji langsung memutar tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Kakek itu berteriak sambil melompat tinggi. Dia berputar beberapa kali di udara sebelum mendarat satu tombak di hadapan Panji. "Mana bisa pergi begitu saja setelah membantai belasan prajurit kerajaan!" tuduh si kakek, membuat Panji terperangah kaget.
"Apa-apaan ini? Main tuduh seenak perut sendiri! ltukah makna tawa dan pujianmu tadi?" Panji kelihatan gusar sekati. la merasa tidak enak dituduh seperti itu.
"He he he ... Tidak perlu main sembunyi seperti itu kepadaku, Pendekar Naga Putih," sahut si kakek berkeras dengan tuduhannya. "Harta yang dibawa pasukan kerajaan yang baru kau bantai ini memang sangat banyak. Tidak heran kalau seorang pendekar besar sepertimu sampai bisa khilaf. Tapi terus terang, aku tidak mempersoalkan kematian mereka. Aku akan tutup mulut asalkan kau mau membagi dua harta itu. Kau tidak keberatan, bukan? Separuhnya saja sudah cukup untuk kau gunakan berfoya-foya selama hidup!"
"Gila...!" Panji menggeram. Sekarang ia benar benar jengkel. "Aku sama sekali tidak tahu-menahu seal harta yang kau maksud itu. Kau sendiri yang menyebut-nyebutnya. Aku jadi curiga...."
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih?"
"Semua ini pasti sudah kau atur bersama kawan-kawanmu..." lanjut Panji seraya tersenyum sinis. "Kau sengaja mencegahku tadi. Itu baru kusadari saat menemukan mayat-mayat yang berserakan di tempat ini. Jelas kau menghambat perjalananku agar pekerjaan kawan-kawanmu tidak terganggu..."
"Ha ha ha...!" Tuduhan balik Panji malah membuat si kakek tergelak. "Maling teriak maling. Bagus... bagus! Aku suka itu... aku suka!"
Panji menggelengkan kepala. Melayani bicara kakek itu, ia jelas tidak bakal menang. "Terserah kau sajalah, Kek. Yang jelas aku tidak membunuh mereka. Sekarang aku mau pergi! Akan kucari dua buah kereta kuda itu sebagai bukti kalau aku tidak bersalah!" usai berkata demikian, Panji benar-benar melangkah pergi. Tak akan dipedulikannya meski kakek itu akan mencegah.
Si kakek kembali tertawa mengekeh. Kali ini ia tidak mencegah kepergian Panji. "Ya, temukanlah Setan Mata Api dan Katak Hijau, Pendekar Naga Putih. Manusia-manusia licik itu telah mengkhianatiku. Mereka telah memperdayaiku, yang mencegahmu agar tidak sampai menggagalkan rencana perampokan," ujar si kakek dalam hati seraya menatap kepergian Pendekar Naga Putih.
Sepeninggal Panji, kakek ini segera memeriksa mayat mayat Ketika berdiri di dekat mayat Senapati Malingkat, mulutnya berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak jelas.
"Setan Mata Api, Katak Hijau!" ujar si kakek kemudian. Suaranya lantang dan bergetar. "Tunggulah. Akan ada pembalasan yang mengerikan untuk orang-orang serakah seperti kalian...!" Dalam suara kakek itu terkandung sesuatu yang menggetarkan hati. Seperti menyimpan suatu kutuk mengerikan. Mengandung getaran dendam dan sakit hati. Yang kelak akan dibalasnya dengan cara yang tak pernah terlintas dalam pikiran Setan Mata Api maupun Katak Hijau.
Hari itu adalah hari kesembilan sejak peristiwa di Bukit Dampet Pagi setelah terjadinya perampokan Panji menelusuri jejak roda kereta yang berisikan harta kerajaan. Pada hari kesembilan, saat menjelang siang, Panji berhasil menemukan dua buah kereta kuda tersebut Namun kedua kereta itu telah kosong. Tak satu pun benda berharga ter sisa di dalamnya.
Hal itu tidak membuat Panji menyerah. Apalagi ia sudah bisa memperkirakan ke mana perampok- perampok itu melarikan diri. Jejak roda kereta terus bergerak ke arah utara. Dari kenyataan itu Panji mengambil kesimpulan kemungkinan besar perampok-perampok berasal dari daerah utara. Atau paling tidak, hendak membawa harta rampokannya ke wilayah utara.
Perkiraan itu memang masih dalam rabaannya saja. Memang hal itu bisa dijadikan sebagai pegangan. Selain itu memang tidak ada petunjuk lagi. Dan la sama sekali belum mendapat gambaran tentang ciri-ciri dari perampok-perampok itu, yang berjumlah sedikitnya dua orang. Sebab tidak mungkin satu orang bisa membawa dua buah kereta kuda sekaligus.
Dan Panji memang harus mengakui kelihaian perampok-perampok itu yang tidak pernah melintasi daerah pemukiman penduduk. Dua buah kereta kuda itu selalu dibawa melalui daerah-daerah sepi yang jauh dari tempat-tempat pemukiman penduduk. Sehingga Panji menemui kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri atau pun jumlah perampok-perampok itu. Tidak ada orang yang bisa ditanyainya untuk mencari keterangan tentang kereta kuda atau pun orang-orang yang membawanya.
Suara langkah orang berlari mengusik lamunan Panji. Tubuhnya segera diputar menghadap arah suara langkah itu datang. Dan, pandangannya terbentur pada dua sosok tubuh yang kemudian berhenti tepat di depannya. Tanpa berkata sepatah pun kedua pendatang itu meneliti Panji dari ujung kepala sampai kaki.
Dan tanpa sadar Panji melakukan hal yang sama pada mereka. Keduanya adalah seorang nenek berambut putih riap-riapan dan seorang gadis cantik bermata bulat Mata itu bersinar sinar. Mencerminkan watak yang jenaka. Di ujung bibir sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat. Tanda bahwa gadis cantik itu seorang yang cerewet.
"Hei! Mengapa kau pandangi kami seperti itu? Belum pernah berjumpa dengan perempuan, ya?" Gadis cantik bertahi lalat menegur Panji lebih dulu. Suaranya terdengar galak. Begitu juga dengan roman mukanya. Malah, dia bertolak pinggang segala.
Tadinya Panji bermaksud membela diri. Karena mereka juga melakukan perbuatan serupa kepada dirinya. Tapi niat itu diurungkan. Ditariknya napas sesaat, lalu dicobanya tersenyum ramah kepada mereka. "Maaf, kalau sikapku membuat Nona tidak suka...."
"Siapa bilang aku tidak suka?" Gadis bertahi lalat memotong kalimat Panji.
Sementara nenek berambut putih riap-riapan bersikap tidak peduli. Nenek itu tetap meneliti Panji. Dari kepala ke ujung kaki, kemudian balik dari kaki ke ujung kepala. Perbuatan itu dilakukannya sampai berulang-ulang. "Jika demikian, biarlah kutarik lagi perkataanku itu," Panji tetap menunjukkan sikap ramahnya. "Dan maaf kalau sikapku tadi telah membuat Nona merasa suka..."
"Aku juga tidak bilang begitu!" Lagi-lagi gadis itu menukas.
"Hh...," Panji menghela napas. "Entah apa lagi yang harus kukatakan kepadamu, Nona...."
"Tanya kek siapa namaku. Itu kan lebih enak didengarnya," sahut gadis bertahi lalat.
"Aneh...?!" gerutu Panji seraya menggaruk-garuk kepala. Bukan karena gatal, tapi bingung menghadapi sikap aneh gadis itu.
"Hik hik hik...!"
Panji mengalihkan perhatiannya pada sosok nenek berambut riap-riapan. Sejak tadi nenek itu cuma diam sambil terus memperhatikannya. Dan sekalinya membuka mulut, si nenek tertawa mengikik seraya menutupi mulutnya seperti lagak seorang gadis saja. Sikap nenek mau tidak mau membuat Panji tersenyum geli.
"Tanyalah, Anak Tampan, tanyalah," si nenek malah menyuruh Panji. "Apa kau tidak tertarik dengan muridku yang bahenol ini? Wajahnya cantik dan segar berseri-seri. Tubuhnya langsing padat," lalu dia berpaling kepada muridnya. "Coba biarkan anak tampan itu memegang tubuhmu, Muridku. Biar dia rasakan sendiri betapa hangat dan lunaknya tubuhmu yang bahenol itu," perintahnya kepada si gadis yang ternyata muridnya.
Ucapan nenek itu tentu saja membuat Panji jengah. Parasnya berubah kemerahan. Nenek gendeng, gerutu Panji dalam hati. Diam-diam ia merasa kasihan kepada gadis bertahi lalat, yang menurutnya pasti merasa malu dengan permintaan gurunya itu. Tapi, alangkah kaget hati Panji sewaktu melihat gadis itu tersenyum malu-malu seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya. Gadis ini melangkah maju mendekati Panji. Tubuhnya disorongkan untuk dipegang Panji seperti permintaan gurunya.
"Peganglah, Anak Tampan. Raba sesukamu. Bagian yang mana saja boleh," sambil diselingi kekehnya si nenek memerintah Panji.
Karuan saja Panji menjadi kelabakan! "Celaka..." keluh Panji dalam hati. "Guru dan murid sama gilanya! Mereka jelas tidak sedang bermain-main. Heran, mengapa belakangan ini aku sering menemukan manusia kurang waras?"
"Mengapa bengong, Anak Tampan? Hayo, jangan malu-malu!" Si nenek mendesak Panji yang makin kelabakan dan salah tingkah.
Sementara gadis cantik bertahi lalat sudah berdiri di depan hidung Panji. Kendati kedua belah pipinya dironai warna kemerahan, namun ia tidak malu-malu menarik tangan Panji dan dibawanya ke tubuhnya.
Panji terperangah dalam keheranan. Terbengong-bengong memandang si nenek dan gadis di depannya bergantian. Seperti tidak sadar tangannya dibiarkan dibawa gadis itu ke bagian tubuhnya yang paling menonjol. Buah dada yang membukit dan sedang ranum-ranumnya.
"Aiii...!" Setengah terpekik Panji menarik tangannya. Hampir saja ia menyentuh buah dada gadis itu. Dengan wajah kemerahan Panji melompat mundur.
Sementara si gadis membelalakkan matanya. Kelihatan sekali betapa ia sangat heran dengan tindakan Panji. Yang ia tahu selama ini, tak ada seorang lelaki pun akan menolak jika diberi kesempatan seperti itu. Hanya lelaki tolol saja yang berbuat begitu. Mungkin pemuda ini termasuk dalam golongan itu, pikirnya dalam keheranan.
Lain tanggapan gadis itu, lain pula tanggapan si nenek. Parasnya langsung berubah. Kekehnya seketika lenyap. Wajahnya membesi dengan sorot mata yang nyata-nyata menunjukkan kemarahan.
"Hei, Pemuda Bego!" Si nenek memaki Panji. Suaranya melengking menusuk telinga. Jari telunjuknya yang berkuku runcing ditudingkan lurus-lurus ke wajah Panji. "Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Apa yang kau lakukan merupakan penghinaan tak berampun. Hanya nyawamu yang dapat menebusnya!"
Panji terperangah. Sungguh tak disangka tindakannya membuat nenek itu marah besar. Padahal, yang dilakukannya adalah suatu kebenaran. la telah menyelamatkan si gadis dari rasa malu. "Nek," ujar Panji. "Tidak ada niat sedikit pun di hatiku untuk menghina kalian berdua. Dan..."
"Cukup! tidak perlu berdalih lagi!" Si nenek membentak garang. "Menolak untuk menyentuh tubuh muridku sama artinya dengan melakukan penghinaan besar! Padahal, sewaktu pertama kali melihatmu aku sudah merasa cocok untuk menjadikanmu suami muridku. Itu adalah suatu kehormatann yang tiada taranya. Aku tidak pernah sembarangan memilih. Tapi kau ternyata menolaknya mentah-mentah. Satu-satunya cara untuk menebus penghinaan ini adalah kematianmu! Nah, Murni," lanjutnya seraya menoleh kepada muridnya. "Bunuh pemuda yang tidak tahu diuntung itu!" perintahnya tanpa bisa ditawar lagi.
Gadis cantik bertahi lalat yang bernama Murni ini segera mematuhi perintah gurunya. Terdengar suara angin berdesing sewaktu ia mencabut pedang. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi Murni mengayun langkahnya menghampiri Panji.
"Murni, tahan dulu...!" Panji berusaha mencegah. Kedua telapak tangannya diangkat di depan dada. "Aku tidak ingin kelak kau menyesali perbuatanmu. Sekali lagi kutegaskan, aku sama sekali tidak bermaksud menghinamu. Simpanlah senjatamu itu. Jangan turuti nafsu amarah yang dihembuskan setan..."
Tapi Murni tidak mendengarkan kata-kata Panji. Gadis ini terus melangkah dengan pedang terhunus. Sorot matanya tajam berkilat, memancarkan tekad yang tidak bisa dicegah.
"Haliittt..!"
Tiga langkah di dekat Panji, Murni membentak seraya membabatkan pedangnya yang memperdengarkan suara mengaung. Serangan itu jelas tidak main-main. Panji yang tidak ingin kehilangan kepala segera bergerak mundur. Babatan pedang yang mengancam lehernya lewat satu jengkal. Dan Panji masih harus berlompatan beberapa kali ketika serangan Murni tidak berhenti sampai di situ.
"Terus, Murni, terus!" Si nenek berteriak-teriak memberi semangat. "Pemuda tolol macam dia tidak perlu diberi hati. Jangan ragu-ragu. Habisi saja pemuda sial dangkalan itu...!"
Dan Murni memang tidak main-main. Serangannya datang bertubi-tubi laksana curahan air hujan. Agak repot juga Panji dibuatnya. Murni ternyata bukan gadis sembarangan. Kecepatan dan kekuatan serangannya menunjukkan kepandaian yang tinggi.
Lama-kelamaan Panji menjadi waswas juga. Jika terus-terusan menghindar, bukan mustahil serangan itu akan mengenai tubuhnya. "Berhenti, Murni! Jangan paksa aku untuk melawan!" Panji berseru di tengah desing pedang Murni.
Namun, gadis itu tidak peduli. Malah serangannya semakin diperhebat. Kesabaran Panji mulai habis. Kalau dinasihati sudah tidak bisa, maka jalan satu-satunya adalah unjuk gigi. Ketika serangan Murni kembali datang mengancam, Panji langsung memapakinya dengan satu tangkisan menyilang.
Tapi Panji kecewa. Tangkisannya hanya membabat angin kosong. Murni sudah lebih dulu merubah serangannya. Dengan gerak berputar yang indah, pedangnya langsung beralih sasaran. Kalau tadi meluncur lurus ke dada Panji, maka kali ini leher yang menjadi incarannya.
Whuuuttt..!
Panji menekuk lutut dan tubuhnya hingga sambaran pedang lewat di atas kepala. Lengannya kemudian diputar sambil menggeser kaki kanan ke depan. Gerakan itu dilakukan Panji dengan sangat cepat. Murni menahan pekiknya ketika tahu-tahu saja jari jari Panji sudah menceka pergelangan tangannya hingga pedangnya terlepas dari genggaman. Tubuhnya sendiri terjajar oleh dorongan tangan kiri Panji pada perutnya. Panji baru saja hendak menarik napas lega, tapi sambaran angin keras menerpa tubuhnya. Sebuah telapak tangan yang dilandasi kekuatan hebat langsung membentur tubuh.
Deeesss...!
Tak ayal lagi tubuh Panji terlempar deras dan jatuh terguling-guling di tanah. Panji menyeringai kesakitan. Dadanya berdenyut-denyut oleh rasa nyeri. Pukulan itu telah mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya. Untungnya, 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' langsung bekerja dan menyembuhkan luka dalam itu. Pengaruh tenaga mukjizat tersebut membuat sekujur tubuh Panji dilapisi pancaran sinar kuning keemasan.
"Ayyyaaa...!" Si nenek memekik tertahan menyaksikan munculnya sinar kuning keemasan yang membungkus tubuh Panji. "Ternyata pemuda tak tahu diuntung itu adalah Pendekar Naga Putih!" serunya dengan roman muka terkejut.
"D-dia... Pendekar Naga Putih...?!' Murni tidak kalah kagetnya.
"Kalian tidak keliru,' ujar Panji setelah pengobatan terhadap lukanya selesai. "Aku, pemuda tolol dan bego ini memang dijuluki Pendekar Naga Putih..."
"Hih hih hih...!" Si nenek terkikik seraya menutup mulut dengan telapak tangan. "Bagus... bagus! sungguh suatu kebetulan yang sanga menyenangkan. Nah, Pendekar Naga Putih. Setelah aku mengetahui siapa kau sebenarnya, maka biarlah kutarik kembali kata kata yang tadi kuucapkan. Aku tidak akan membunuhmu..."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Nek," ucap Panji tersenyum lega.
"Tapi...," Si nenek memandang Panji dengan mata berbinar. "Dengan satu syarat, kau harus bersedia menjadi suami muridku..."
"Celaka...!" desis Panji dalam hati. "Rupanya nenek sinting ini tidak berubah juga!"
"Jawablah, Pendekar Naga Putih," si nenek mendesak tak sabar. "Katakan kalau kau bersedia mengawini muridku yang bahenol ini. Sebab jika menolak, kau akan kubunuh!" lanjutnya kembali mengancam.
Panji tetap bungkam. Nenek itu tampaknya benar-benar akan melaksanakan ancamannya. Ini sangat berbahaya sekali. Nenek berambut putih riap-riapan itu sangat lihai.
"Lebih baik kau terima tawaranku, Pendekar Naga Putih. Dengan begitu, akan banyak keuntungan yang kau peroleh," Si nenek kembali berkata.
"Tapi, Nek..."
"Tidak perlu kau jelaskan, Pendekar Naga Putih! Aku tahu alasan apa yang hendak kau ajukan. Aku bisa membacanya dari raut wajahmu. Dan melalui dua kereta kuda itu, aku juga bisa mengetahui siapa yang sedang kau buru..."
"Eh?" Panji menarik wajahnya dengan wajah kaget. Apa yang dikatakan nenek berambut putih riap-riapan itu memang sangat mengejutkan hatinya. Tapi kekagetan itu cuma berlangsung beberapa saat saja. Sebuah pikiran yang melintasi benaknya membuat Panji meragukan kebenaran kata-kata si nenek. Siapa tahu itu adalah siasat si nenek untuk menjeratnya. "Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak membuktikan kata-katamu, Nek?" pancing Panji.
Si nenek tersenyum. Diperhatikannya dua kereta kuda yang berada di belakang Panji "Kereta kuda itu milik kerajaan," jelasnya tanpa mengalihkan perhatian. "Sebelumnya berisikan emas permata yang sangat mahal harganya. Kusirnya dua orang berkepandaian tinggi. Dikawal dua belas prajurit tangguh yang dipimpin seorang senapati. Dan...," tiba-tiba si nenek memejamkan matanya.
"Ada apa, Nek?!" Panji bertanya dengan rasa prnasaran yang besar. Keterangan nenek itu benar-benar mengejutkan hatinya. Meskipun ia tidak tahu banyak, namun tentang isi kereta kuda dan dua belas prajurit itu memang sudah tepat. Begitu juga dengan senapati dan dua kusir kereta. Jumlah itu sama persis dengan mayat-mayat yang ditemuinya di Bukit Dampet beberapa hari lalu. Dan itu benar-benar satu berita yang sangat menarik baginya. Karena ia sekarang yakin kalau nenek itu juga pasti tahu siapa pelaku perampokan dan pembantaian itu.
"Senapati yang menjadi pimpinan rombongan itu ternyata seorang pengkhianat. Bersama dua orang kawannya yang menghadang di sebuah jalan sempit, ia membantai prajurit prajuritnya sendiri. Sayang, ia keliru memilih orang. Dia mati dibunuh kedua rekannya itu. Mereka lalu membawa lari kereta kuda yang berisi harta berlimpah," lanjut si nenek mengakhiri penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Nek?!" Diam-diam timbul kecurigaan di hati Panji. Jangan-jangan guru dan murid itulah yang menjadi pelakunya. Kemunculan mereka sangat aneh. Tepat di saat kedua kereta kuda yang telah kosong itu ditemukan.
"Goblok! Diberitahu malah menuduh yang bukan-bukan! Buang pikiran itu dari kepalamu, Pendekar Naga Putih!" bentak si nenek.
"Gila! Rupanya ia benar-benar dapat membaca pikiran orang!" gumam Panji dalam hati. la merasa tidak enak juga.
"Tidak semua orang memiliki kepandaian seperti ini, Pendekar Naga Putih. Dengan kepandaian inilah aku bisa membaca jalan pikiran orang. Mengetahui suatu kejadian yang sudah maupun akan terjadi. Dan..., eh?!"
Tiba-tiba si nenek memejamkan matanya. la melihat sesuatu pada wajah Pendekar Naga Putih. "Kau... pernah bertemu, dan bahkan berselisih dengan bangsat tua keparat itu!" ujar si nenek dengan setengah memekik. Parasnya nampak agak memucat
"Siapa yang kau maksud, Nek?" Panji menjadi tegang sewaktu menyaksikan perubahan wajah nenek itu. Dilihatnya ada sorot kemarahan dan kebencian dalam sepasang matanya.
"Setan Tua Gila..,!" desis si nenek. "Kau pernah berjumpa dengannya, bukan?"
"Setan Tua Gila?!"
"Kau sempat bertengkar mulut serta meladeninya bermain-main," ujar si nenek untuk membantu ingatan Panji. Itu kau lakukan di saat perampokan tengah berlangsung..."
"Aah...!" Panji menampar keningnya perlahan. Sekarang ia baru ingat. "Jadi, kakek sinting itukah yang kau maksud? Ya, aku memang telah bertemu dengannya. Apakah Setan Tua Gila ada hubungannya dengan perampokan itu?"
Si nenek menggeleng lemah. "Kalau itu aku tidak tahu. Kecuali jika aku bertemu langsung dengan Setan Tua Gila. Sedangkan kedua perampok itu adalah...," si nenek tidak melanjutkan. Senyumnya mengembang, seperti baru sadar kalau dia telah terlalu banyak bicara.
"Siapa mereka, Nek?" desak Panji.
Si nenek menggeleng. "Enak saja kau mencari keterangan secara cuma-cuma," ujarnya. "Semua yang kukatakan tadi sudah lebih dari cukup. Sekarang aku menuntut jawabanmu. Jika kau bersedia, bukan saja nama kedua perampok itu yang akan kau ketahui, tapi aku bahkan akan membantumu menangkap mereka..."
Pendekar Naga Putih menarik napas dalam-dalam. "Maaf, Nek, aku tidak bisa menerima tawaranmu. Terus terang, aku sudah mempunyai calon istri," jelasnya.
"Huh, jangankan cuma calon. Kalaupun kau sudah beristri, itu tidak jadi soal. Yang penting kau bersedia menjadi suami muridku," si nenek berkeras.
Sementara Murni menunggu dengan sabar. Membiarkan gurunya yang menyelesaikan semua itu.
"Dengar, Pendekar Naga Putih. Aku melihat bahaya besar bakal menimpamu. Kau tidak akan mampu menghadapinya seorang diri. Suatu kekuatan maha dahsyat akan menghadang. Hanya aku dan muridku yang bisa menolongmu. Dan kami rela mempertaruhkan nyawa asalkan kau bersedia menjadi suami muridku ini..."
"Aku tidak bisa, Nek," Panji berkata dengan wajah menyesal. "Dan aku tidak mau mendustai kalian dengan mengatakan bersedia menerima tawaran itu. Tidak. Itu bukan sifatku..."
"Hm...," si nenek mengangguk-angguk. Nampaknya ia bisa menerima alasan itu. "Sekarang begini saja. Kami berdua akan membantumu. Jika kami berdua binasa, kau boleh bebas. Tapi jika kita semua selamat, atau cuma aku yang tewas, maka kau harus mengawini muridku. Bagaimana? Aku sudah memberi kebijaksanaan kepadamu, Pendekar Naga Putih..."
"Maaf Nek, aku tetap tidak bisa," Panji menggeleng lemah. "Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak mungkin dapat kulakukan..."
"Keras kepala!" Si nenek menggeram dengan wajah bengis. "Kau memang hendak menghina kami! Pemuda tolol sepertimu sebaiknya mampus saja!”
Si nenek langsung melompat dengan kecepatan luar biasa. Teriakannya mengguntur, meningkahi sambaran angin pukulannya yang menderu keras laksana topan prahara.
Whuuusss... blaaarrr...!
Beruntung Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya Pukulan nenek itu pun membongkar tanah di bekas tempatnya berdiri Bongkahan tanah beterbangan disertai kepulan debu. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Dia segera melesat pergi menerobos semak belukar. Panji merasa tidak punya alasan untuk bertempur dengan nenek itu.
"Kurang ajar...!" Si nenek mendesis gusar. Dari balik kepulan debu dilihatnya sosok Panji yang hendak melarikan diri. Cepat bagai kilat diterobosnya kepulan debu itu. Pukulan mautnya kembali menderu ketika sosok bayangan Panji hampir menghilang ke dalam rimbunan semak.
Sambaran angin pukulan itu mengejutkan Panji. Tidak mungkin baginya untuk melanjutkan niatnya. Pukulan itu memang tidak ditujukan ke tubuhnya, tapi pada semak belukar di depannya. Jika ia melanjutkan, maka tubuhnyalah yang akan menjadi sasaran. Panji terpaksa melenting kembali ke belakang.
"Bagus...!" Terdengar suara pujian si nenek. Dan seiring dengan terbongkarnya semak belukar yang memperdengarkan ledakan keras, nenek itu mendarat setengah tombak di dekat Panji meluncur turun. Tanpa memberi kesempatan lagi si nenek menerjang dengan hebatnya.
Panji terpaksa mengangkat kedua lengannya menyambuti serangan itu. Untuk mengelak tidak ada kesempatan lagi.
Plak! Dukkk!
Benturan kedua pasang lengan membuat Pendekar Naga Putih memekik tertahan. Lengannya terasa nyeri bukan main, sementara tubuhnya terpental satu tombak ke belakang. Dan selagi tubuhnya melayang di udara, si nenek sudah menyusuli dengan serangkaian totokan. Panji mengeluh pendek. Tiga totokan bersarang telak di tubuhnya. Seketika pemuda itu kehilangan kesadaran. Si nenek yang tidak ingin tubuh Pendekar Naga Putih terbanting ke tanah, buru-buru menyambarnya.
"Berterima kasihlah kepada gurumu ini, Murni. Pemuda inilah satu-satunya yang dapat menolongmu. Dalam tubuhnya mengalir darah naga siluman. Aku yakln itu Sejak pertama kali melihatnya, aku bisa merasakan getaran darah mukjizat tersebut Hih hih hih...!" Si nenek terkekeh senang.
Murni sendiri berseri-seri wajahnya. Gadis ini segera menjatuhkan diri di hadapan gurunya. Sambil berlutut dia mengucapkan terima kasih. Murni baru berani bangkit berdiri setelah mendapat perkenan gurunya. Diikutinya langkah si nenek meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh Pendekar Naga Putih.
Di bawah langit sore dua sosok tubuh tampak berlari bagai dikejar setan. Langkah kaki mereka tak beraturan. Dengus napas yang terdengar tak ubahnya kuda pacu. Peluh mengalir deras di wajah yang agak pucat. Melihat keadaan itu tampaknya mereka telah berlari melewati batas kemampuan, dan telah menempuh jarak yang sangat jauh.
Keadaan kedua sosok tubuh itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengherankan kalau terjadi pada orang biasa. Tapi, mereka bukanlah orang- orang kebanyakan. Kedua sosok tubuh itu tidak lain Katak Hijau dan Setan Mata Api. Dua gembong kaum sesat yang keganasannya menjadi momok tokoh tokoh persilatan daerah utara.
Langkah-langkah mereka sudah sangat kelelahan, yang akhirnya tak dapat dipertahankan lagi. Keduanya jatuh terguling-guling di pinggiran sebatang sungai. Terus, terjerembab masuk ke dalam air. Sesaat tubuh keduanya lenyap ditelan air sungai.
"Fuaaahhh...!" Katak Hijau menyembul ke atas permukaan air seraya menghempaskan napas kuat-kuat.
Setan Mata Api menyusul kemudian. Keduanya lalu berenang ke tepian setelah mengibaskan air yang membasahi kepala. Tiba di tepian mereka melempar tubuhnya ke atas rerumputan yang agak kering.
"Keparat..!" umpat Setan Mata Api tiba-tiba seraya meninju tanah kuat-kuat. "Nasib kita benar-benar sedang sial! Musnah sudah impian untuk bisa menikmati hidup dengan penuh kemewahan!"
Katak Hijau menoleh sekilas. Dihembuskannya napas kuat-kuat tanpa berniat menimpali kata-kata Setan Mata Api Nampaknya Katak Hijau lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi. Tanpa berkata-kata pandangannya dialihkan kembali menatap langit sore.
"Kelihatannya kau rela menerima penghinaan ini begitu saja, Katak Hijau? Tidak adakah niat di hatimu untuk merebut kembali semua hasil jerih payah kita?" Setan Mata Api bertanya dengan mimik wajah mencemooh. Kelihatan sekali perasaan tidak sukanya terhadap sikap yang ditunjukkan Katak Hijau.
Katak Hijau masih membisu. Ditariknya napas sesaat. Lalu, wajahnya dipalingkan dengan gerak perlahan. Ditentangnya tatapan Setan Mata Api. Untuk beberapa saat mulutnya tetap terkunci.
"Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat, Setan Mata Api," ujar lelaki itu kemudian. Pelan dan dalam desahan napas yang menunjukkan keputusasaan. "Raja Sesat Selatan bukanlah tandingan kita. Apa yang bisa kita perbuat? Masih bagus kita dapat menyelamatkan diri. Jika tidak, kau tahu sendiri bagaimana kejamnya manusia satu ini. Jadi, seharusnya kau malah bersyukur karena masih bisa melihat matahari esok pagi..."
Setan Mata Api membungkam. Harus diakuinya kebenaran ucapan Katak Hijau. Kalau dipikir-pikir memang tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Raja Sesat Selatan bukan tandingan mereka berdua. Memikirkan untuk membalas perbuatan tokoh sesat nomor satu di daerah selatan itu, sama artinya dengan mencari mati.
Srakkk...!
Suara dedaunan kering yang terinjak membuat Setan Mata Api dan Katak Hijau tersentak kaget. Keduanya bergegas bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
"Iihhh...!"
Bukan cuma Katak Hijau saja yang menutup hidung. Setan Mata Api pun ikut-ikutan. Mereka saling berpandangan dengan kening berkerut. Keheranan tergambar jelas di wajah keduanya. Bau yang memualkan perut menyergap hidung mereka saat angin sore tiba-tiba berhembus agak keras. Bau yang membuat bulu kuduk mereka meremang. Bau mayat yang telah membusuk!
"Kurang ajar!" Setan Mata Api mendesis jengkel untuk mengurangi kengerian hatinya. "Bau busuk ini benar-benar memualkan perut! Siapa pula yang mati di tempat sepi seperti ini?!"
Srakkk...!
Suara dedaunan kering terinjak membuat ocehan Setan Mata Api langsung terhenti. Tokoh bertubuh besar dan tinggi ini sampai berjingkrak kaget. Di tengah ketegangan yang mencekam, suara dedaunan kering terinjak seolah terdengar bagai ledakan petir. Kengerian dirasakan kian memuncak! Lebih-lebih bau bangkai semakin keras tercium. Setan Mata Api sampai mengeluarkan keringat dingin!
"A-aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres...!" Katak Hijau berbisik lirih. Wajah yang bia sanya berwarna kehijauan itu kini nampak pucat. Katak Hijau pun dilanda ketegangan dan kengerian. Bau busuk mayat yang semakin keras seperti bisikan malaikat maut yang siap merenggut nyawanya.
"A-apa... maksudmu?" tanya Setan Mata Api. Meski laki-laki itu merasa nalurinya juga mengatakan ada sesuatu yang tidak wajar. Sejak semula perasaan itu berusaha disembunyikannya. Ia tidak ingin Katak Hijau sampai mengetahui perasaannya itu. Tentu saja ia kaget sewaktu mendengar ucapan Katak Hijau.
Pernyataan Katak Hijau membuat Setan Mata Api maklum kalau apa yang mereka berdua rasakan Itu bukan lagi suatu kebetulan. Hanya saja ia masih belum bisa mengerti mengapa bau busuk mayat saja dapat menimbulkan pengaruh yang begitu besar kepada mereka berdua. Padahal bagi mereka bau ataupun hamparan mayat bukanlah sesuatu yang aneh. Bahkan bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan santapan hidung dan mata mereka sehari-hari. Ini tidak aneh kalau sekarang mereka keheranan. Sebab apa yang mereka alami dan rasakan itu memang sangat tidak wajar. Lain persoalan jika orang lain yang mengalami dan merasakannya.
Katak Hijau belum sempat menjawab pertanyaan Setan Mata Api, ketika terdengar suara napas yang berat. Suara napas itu membuat hati mereka bergetar dalam cekaman kengerian memuncak. Dan selagi mereka saling berpandangan dengan wajah pucat-pasi, dari rimbunan semak di sebelah kiri menyeruak sesosok tubuh.
"K-kau...!" Dengan paras sepucat mayat dan mata terbelalak lebar, jari-jari gemetar Setan Mata Api menuding sosok tubuh itu. "Mus... tahil!"
Cuma kalimat itu yang bisa diucapkan Katak Hijau. Sepasang matanya terbelilak lebar. Mulutnya ternganga dengan kepala digelengkan. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hhh...!" Sosok yang baru datang kembali mengeluarkan desahan berat, Langkahnya tertatih menghampiri Setan Mata Api dan Katak Hijau. Bau busuk tersebar dari tubuhnya.
Keadaan sosok yang baru muncul ini memang sanggup merontokkan jantung. Sorot matanya dingin dan kosong. Tidak ada cahaya kehidupan sedikit pun. Daging wajahnya menggembung bengkak, kendati masih bisa dikenali. Pakaian di bagian dada terkoyak memperlihatkan luka melintang sepanjang satu jengkal. Di luka itu terlihat makhluk-makhluk kecil. Belatung! Tapi yang paling mehgejutkan Setan Mata Api dan Katak Hijau, sosok mengerikan itu adalah Senapati Malingkat! Padahal, mereka berdua tahu betul kalau Senapati Malingkat telah tewas. Merekalah yang membunuhnya!
"Katak Hijau... Setan Mata Api.... Aku datang untuk menagih hutang di antara kita," sosok mayat Senapati Malingkat berkata dengan susah payah.
"Tidak... tidak!" Setan Mata Api bergerak mundur seraya menggoyang-goyangkan telapak tangan. la belum bisa menerima kenyataan yang baginya sangat mustahil itu. "Pergi! Jangan ganggu kami! Kau... sudah mati. Sudah mati!"
Katak Hijau pun tersurut mundur. Kemunculan sosok mayat Senapati Malingkat merupakan mimpi buruk baginya. Dan seperti halnya Setan Mata Api, Katak Hijau pun belum bisa menerima kenyataan itu.
Sosok mayat Senapati Malingkat menggeleng. "Aku datang untuk mengambil nyawa kalian dan juga harta rampokan itu. .." Kakinya terus melangkah kaku dengan kedua tangan diulurkan kedepan. Jari jarinya yang berbau busuk dikembangkan. Siap untuk mencekik batang leher kedua calon korbannya.
"Harta itu tidak ada pada kami!" Setan Mata Api berkata keras-keras dengan napas tersengal. "Raja... Raja Sesat Selatan telah merampasnya. Jika kau menghendaki harta itu, mintalah kepadanya!"
Mayat Senapati Malingkat menunda langkahnya sesaat. Kepalanya ditengadahkan dengan tarikan napas yang keras dan panjang. Lalu, kembali perhatiannya dialihkan pada Katak Hijau dan Setan Mata Api. Tiba-tiba sosok itu melompat lurus seperti sebatang tombak yang dilemparkan. Kendati gerakannya kaku, namun kecepatannya sangat luar biasa.
Bagai terkena sihir, Katak Hijau dan Setan Mata Api cuma bisa memandang dengan mata terbelalak lebar. Baru setelah sepuluh jari tangan itu hampir mencengkeram lehernya, Katak Hijau dapat membebaskan diri dari kungkungan pengaruh aneh. Cepat ia mengangkat kedua lengannya untuk mematahkan serangan. Tapi alangkah kaget hatinya. Lengannya yang menangkis terpental hingga bagian lehernya semakin terbuka. Katak Hijau tidak bisa menghindar lagi ketika jari-jari tangan kiri mayat Senapati Malingkat mencekik lehernya. Sementara yang kanan menusuk dada kiri hingga telapak tangan itu terbenam.
"Arghhh...!" Katak Hijau meraung setinggi langit. Jantungnya telah ditarik putus. Tubuh sekarat itu tidak roboh karena lehernya masih berada dalam cengkeraman mayat Senapati Malingkat. Terdengar suara tulang leher patah. Begitu cengkeraman ditarik, tubuh sekarat Katak Hijau menggelepar jatuh ke tanah. Lalu, tewas dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar.
Selesai menghabisi nyawa Katak Hijau, mayat Senapati Malingkat tidak menemukan Setan Mata Api di tempat itu. Rupanya, Setan Mata Api mengambil kesempatan itu untuk lari menyelamatkan diri. Tidak dipedulikannya nasib rekannya. Setan Mata Api merasa lebih baik mencari selamat ketimbang membantu rekannya yang berarti mempertaruhkan nyawa yang cuma satu-satunya.
"Ke mana pun kau pergi aku akan bisa menemukanmu, Setan Mata Api...," desah parau mayat Senapati Malingkat.
Saat memperoleh kesadarannya kembali, yang pertama kali didengar Panji adalah suara tawa cekikikan. Panji membuka matanya periahan sambil mengingat-ingat apa yang telah dialaminya. Semuanya menjadi jelas sewaktu pandangannya menemukan dua wajah perempuan. Si nenek berambut riap-riapan dan muridnya.
"Hih hih hih. .. Aku sengaja menyadarkanmu, Pendekar Naga Putih!" suara si nenek terdengar melengking. "Terus terang aku membutuhkan darahmu. Itu hanya bisa kuperoleh dengan jalan membunuhmu. Kecuali jika kau bersedia berhubungan dengan muridku ini," lanjutnya seraya menunjuk Murni yang berdiri di sampingnya.
Panji menatap kedua perempuan itu bergantian. "Jadi, kau dan muridmu adalah manusia-manusia peminum darah? Dan yang akan kalian jadikan korban kali ini adalah aku..."
"Kami bukan sebangsa manusia seperti yang kau duga itu, Pendekar Naga Putih," si nenek menggelengkan kepala. "Muridku mengidap satu penyakit aneh. Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkannya hanyalah darahmu. Muridku harus meminum darahmu..."
"Mengapa harus darahku?" tanya Panji penasaran. "Apa istimewanya? Mengapa tidak darahmu saja? Lagi pula, penyakit aneh macam apa yang cara mengobatinya harus meminum darah manusia?"
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga Putih," si nenek tersenyum mengejek. "Aku tidak bisa dibohongi. Dan aku tahu dalam tubuhmu mengalir darah naga siluman yang sangat mukjizat. Itu sebabnya aku membutuhkan darahmu..."
Panji terkejut. Bagaimana nenek itu bisa mengetahuinya?
"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Apa kau lupa kalau aku mempunyai kepandaian yang bisa mengetahui kejadian-kejadian masa lalu dan yang akan datang?"
Ucapan si nenek membuat Panji teringat dengan pengalamannya di masa lalu. Memang tidak seluruhnya dapat diingat dengan jelas. Karena, saat menghadapi naga siluman ia tidak dapat berpikir dengan baik. Itu terjadi sewaktu Panji hendak memetik sebuah tanaman langka.
Mengenai peristiwa itu pembaca dapat mengikutinya dalam episode Bunga Abadi Di Gunung Kembaran
"Nanti dulu. Nek," pinta Panji seraya bergerak untuk duduk. "Kalau boleh aku tahu, penyakit apa sebenarnya yang diderita muridmu itu?"
"Awal dari penyakit muridku terjadi pada lima tahun silam," si nenek memulai ceritanya. "Saat itu aku masih berhubungan dengan Setan Tua Gila. Tapi jangan kau samakan Setan Tua Gila yang dulu dengan sekarang. Dulu pikiran kakek itu masih waras. Cuma julukannya saja Setan Tua Gila. Itu karena wataknya yang memang kadang kurang lumrah. Dan kalau sekarang jalan pikirannya seperti anak-anak, itu ada hubungannya dengan penyakit yang diderita muridku."
Nenek yang mengaku bernama Suri Gandil itu kemudian berhenti sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam. Dia lalu tercenung sejenak seolah hendak mengumpulkan seluruh ingatannya tentang pe ristiwa itu.
"Waktu itu aku dan Setan Tua Gila masih hidup dalam satu atap. Kami saling mencintai. Meskipun belasan tahun menjalani hidup layaknya sepasang suami istri, tapi kami tidak menikah. Waktu itu aku belum mempunyai murid. Malah, aku tidak pernah mempunyai niat untuk mengambil murid. Niat itu baru muncul setelah Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku. Kakek keparat itu ternyata makhluk serakah! Dia tega mencampakkan diriku begitu saja hanya karena saking gilanya dengan ilmu silat!"
Panji diam tidak menanggapi. Sekarang ia baru mengerti mengapa sewaktu pertama kali menyebut nama Setan Tua Gila, sorot mata Nenek Suri Gandil menyiratkan dendam dan sakit hati.
"Pendekar Naga Putih," tiba-tiba Nenek Suri Gandil berkata. "Coba kau terka berapa kira-kira usia muridku ini?"
Panji tidak segera menjawab. Pandangannya segera dialihkan ke wajah Murni. Ditatapnya wajah gadis cantik itu sambil menaksir-naksir. "Mungkin sekitar dua puluh dua tahun," terka Panji.
Nenek Suri Gandil tertawa cekikikan. "Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan usia Murni sebenarnya baru dua belas tahun!"
"Dua belas tahun?!" desis Panji tak percaya. Nenek Suri Gandil pasti hendak mempermainkannya. Siapa mau percaya kalau sosok gadis yang dilihat seperti orang dewasa itu baru berusia dua belas lahun?
"Aku tidak berdusta, Pendekar Naga Putih. Lima tahun silam, setelah Setan Tua Gila meninggalkanku, Murni baru berusia tujuh tahun. Bakatnya dalam ilmu silat kulihat sangat besar sekali. Dia kuselamatkan dari keganasan bencana alam yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Pertumbuhannya memang tidak wajar. Dan, itu ada hubungannya dengan penyakit yang dideritanya..."
"Hhh... Sungguh sukar untuk dipercaya...," Panji menggeleng seraya kembali memperhatikan Murni. Kesungguhan Nenek Suri Gandil membuat Panji mau tidak mau harus percaya juga.
"Lima tahun silam aku dan Setan Tua Gila membunuh seorang tokoh sakti yang bermukim di salah satu pulau di Lautan Timur," Nenek Suri Gandil melanjutkan kisahnya. "Sebenarnya kalau tokoh itu mau melawan, kami berdua pasti dapat dibunuhnya dengan mudah. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Ia telah bersumpah untuk tidak menggunakan ilmu silatnya lagi. Menurutnya, ilmu silat hanyalah pembawa bencana. Karena kepandaian silat itulah dia harus kehilangan istri dan dua orang anaknya. la sendiri waktu itu tengah berkelana untuk memperdalam ilmu. Dan ia sangat terpukul ketika kembali ke tempat kediamannya, hanya pusara ketiga orang yang dicintainya itu saja yang dijumpai. Kematian orang-orang yang dicintainya membuat jiwanya terguncang. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena lebih mementingkan ilmu silat ketimbang keluarganya. Puluhan tahun tokoh itu menyembunyikan diri di salah satu pulau terpencil di Lautan Timur. Dan dia bersumpah di depan makam istri dan anak-anaknya untuk tidak menggunakan ilmu silatya lagi. Karena tahu tentang sumpahnya itulah, maka kami berani mendatangi tempat tinggalnya. Tokoh itu tidak memberikan perlawanan sedikit pun hingga dengan mudah kami membunuhnya. Lalu, kami membawa pergi beberapa kitab ilmu silat miliknya. Kami tidak peduli dengan kutuk yang diucapkannya sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir. Kitab-kitab ilmu silat itu hanya akan mendatangkan kesengsaraan bagi kami, begitu bunyi kutuk yang diucapkannya..."
Nenek Suri Gandil menghentikan ceritanya. Diliriknya sekilas wajah Murni yang kelihatan agak tegang. Sesaat kemudian, nenek itu melarrjutkan kisahnya kembali.
"Sungguh tidak kusangka kalau kutuknya itu akan menjadi kenyataan! Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku dengan membawa beberapa buah kitab. Perbuatan Setan Tua Gila itulah yang membuatku mulai mempercayai kutukan tersebut. Perasaan was-was akan kutukan itu membuat aku tidak berani mempelajari isi kitab yang kubawa. Aku hanya membaca dan menghapal isinya. Suatu hari aku menemukan Murni tengah menangisi mayat orang tuanya yang tertimpa runtuhan rumah akibat gempa. Ketika melihat bakat yang ada dalam dirinya, timbullah satu pikiran di benakku. Murni akan kudidik dengan ilmu silat yang terdapat dalam kitab tokoh hebat itu. Hendak kulihat apa yang akan terjadi jika Murni mempelajari isi kitab itu..."
Nenek Suri Gandil menatap Murni dengan perasaan bersalah. Mumi sendiri cuma tersenyum pahit. Gadis itu tidak menyalahkan gurunya kendati jelas-jelas betapa selama ini ia hanya dijadikan percobaan.
"Kutuk tokoh itu ternyata menjadi kenyataan!" Nenek Suri Gandil melanjutkan. Suaranya terdengar agak parau. "Mula-mula aku tidak begitu memperhatikan ketika Murni tumbuh dengan cepat. Dua tahun kemudian, Murni mengeluh tentang rasa nyeri yang kadang menyiksa dirinya. Tubuhnya seperti ditusuki ratusan jarum-jarum halus. Pada tahun ketiga, di sekujur tubuh Murni muncul bintil- bintil merah yang mengandung air. Dan pada usia sepuluh tahun itu, tubuh Murni tak ubahnya dengan usia tujuh belas tahun. Penderitaan Murni membuat aku berpikir tentang kejahatan-kejahatan yang telah kulakukan. Aku telah banyak menimbulkan kesengsaraan pada orang lain. Akhirnya, aku berjanji kepada diri sendiri untuk meninggalkan jalan sesat. Dan aku bersumpah untuk menyembuhkan penyakit Murni. Sampai kemudian aku memperoleh petunjuk tentang darah naga siluman yang mukjizat. Darah itu mengalir dalam tubuh seorang pemuda. Ternyata... bukan cuma itu saja penyakit yang diderita Murni. Sejak memasuki tahun kelima, pada setiap malam bulan purnama salah satu bintil di tubuh Murni akan membesar seperti bisul. Sakitnya sulit sekali untuk kugambarkan. Murni akan meraung-raung karena rasa sakit yang menyiksa..."
"Tapi, aku tidak melihat adanya bintil-bintil ataupun blsu! pada wajah dan tangan Murni?" Panji memotong cerita Nenek Suri Gandil. Pemuda itu agaknya meragukan kebenaran cerita si nenek
"Setelah melihat kelainan pada diri Murni, aku berusaha mengobatinya. Meskipun tidak sempurna tapi usahaku tidak terlalu mengecewakan," jawab Nenek Suri Gandil. "Sayang, hasil kerja kerasku selama hampir tiga tahun hanya mampu melenyapkan penyakit itu untuk sementara. Tiga hari menjelang purnama, bintil-bintil itu akan kembali muncul. Dan sekarang benjolan yang seperti bisul telah berjumlah enam buah. Dua di atas payudara, dua di kiri-kanan pusar, sedang dua lainnya di wajah. Tepat di atas kedua tulang pipi. Bayangkan, Pendekar Naga Putih. Bagaimana pedih dan tersiksanya hati seorang gadis jika mendapati wajahnya dihiasi dua benjolan kemerahan yang mengandung darah bercampur nanah..."
"Nek," ujar Panji selesai Nenek Suri Gandil bercerita. "Tidak adakah pengobatan cara lain selain meminum darahku?"
Nenek Suri Gandil menggeleng pelan. "Dengan meminum darahmu, berarti kekuatan mukjizat darah naga siluman akan memenuhi seluruh jalan darah di tubuh Murni. Lalu, darah mukjizat itu akan bekerja memusnahkan sumber penyakit di dalam tubuh muridku..."
"Tapi, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada setetes pun darah naga siluman yang mengalir di tubuhku...."
"Eh, kau hendak mengingkari janjimu, Pendekar Naga Putih!" Nenek Suri Gandil menukas dengan sorot mata berkilat. "Jangan kau kira aku bisa dibohongi. Aku bisa merasakan darah mukjizat itu menyatu di dalam tubuhmu..."
"Kekuatan mukjizat Naga Langit memang kuakui mengalir di seluruh tubuhku. Tapi bukan darah Nek, melainkan sesuatu yang berupa tenaga mukjizat. Naga Langit menyatu dalam diriku berupa satu kekuatan," Panji menjelaskan dengan agak terburu-buru, khawatir Nenek Suri Gandil akan memotong penjelasannya.
"Bukan darah?! Tenaga mukjizat?!" Nenek Suri Gandil kelihatan kecewa. Ia memang tidak tahu jelas tentang sesuatu yang dirasakannya mengalir dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Nenek Suri Gandil memastikan kalau sesuatu itu adalah darah. Sungguh tidak pernah terpikir kalau sesuatu tersebut sebenarnya kekuatan mukjizat Pedang Pusaka Naga Langit, yang bisa menjelma menjadi seekor naga.
"Benar, Nek," tegas Panji dengan perasaan lega. "Aku bisa memindahkannya ke tubuh Murni tanpa harus kau bunuh..."
Nenek Suri Gandil dan Murni sampai terpekik. Keduanya berpelukan dengan penuh kegembiraan. Tapi, beberapa saat kemudian Nenek Suri Gandil melepaskan pelukannya. Ditatapnya Panji dengan wajah gelisah.
"Tapi... aku tidak bisa menentukan sampai berapa lama Murni memerlukan tenaga mukjizat itu, Pendekar Naga Putih..."
"Tidak apa-apa, Nek," Panji tersenyum. "Aku tidak keberatan meminjamkan tenaga mukjizat itu sampai Murni benar-benar sembuh. Lagi pula tenaga mukjizat itu tidak bisa dikendalikan orang lain. Jika Murni sudah sembuh, dengan sendirinya kekuatan mukjizat itu akan kembali kepadaku..."
Seperti tidak mengenal lelah, Setan Mata Api terus berlari. Tak peduli jarak dan waktu yang sudah ditempuhnya. Yang ada dalam pikirannya adalah berlari sejauh-jauhnya menghindari mayat hidup enapati Malingkat.
Ketika tengah berlari melintasi kaki sebuah anak bukit, tiba-tiba satu pikiran melintas di benak Setan Mata Api. Satu harapan baru yang membuat semangatnya bangkit. Lalu, dengan sisa-sisa tenaga di dakinya lereng anak bukit itu, sampai ia tiba di depan sebuah bangunan yang cukup megah. Kepada penjaga pintu gerbang Setan Mata Api minta diantarkan untuk menemui pemilik bangunan.
"Hoa ha ha.... Apa yang sudah terjadi denganmu, Setan Mata Api?" tanya seorang lelaki tinggi besar dan berkulit hitam sewaktu melihat keadaan Setan Mata Api yang telah duduk di hadapannya. "Ada keperluan apa kau tiba-tiba datang kepadaku?"
"Maafkan kelancanganku. Raja Sesat Utara," Setan Mata Api menjura dalam-dalam. "Terus terang aku sangat membutuhkan pertolongan. Aku...hendak meminta perlindungan darimu..."
Lelaki tinggi besar yang ternyata gembong tokoh sesat di daerah utara itu nampak mengerutkan kening. Sorot matanya mengeluarkan cahaya yang berkilat-kilat. Raja Sesat Utara kelihatan sangat marah.
"Hra.... Apa yang hendak kau berikan sebagai imbalannya, Setan Mata Api?! Jika itu tidak sangat berharga, kepalamu akan kupisahkan dari tubuhmu! Ini sama saja dengan menghina aku!"
Setan Mata Api mengangguk berulang-ulang. la tentu saja maklum dengan siapa sedang berhadapan. Ucapan itu bukan hanya gertakan kosong. Maka, diceritakannya tentang harta rampokan yang telah dirampas Raja Sesat Selatan.
Brakkk..!
Suara meja kayu jati yang pecah berhamburan akibat hantaman telapak tangan Raja Sesat Utara membuat Setan Mata Api betjingkrak kaget. Dia jatuh telentang dengan paras pucat-pasi.
"Bedebah kurang ajar kau, Setan Mata Api!" bentak Raja Sesat Utara. Tokoh tinggi besar ini sudah bangkit dari duduknya. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sinar mata mencorong. "Jadi, kau rupanya yang telah berani lancang merampok harta kiriman raja tanpa sepengetahuanku!"
Belum juga gema suara bentakannya lenyap, Raja Sesat Utara sudah melompat ke depan. Sekali langannya bergerak, tubuh Setan Mata Api telah diangkatnya.
"A-apa...?! Mengapa...?!" Setan Mata Api merasa jantungnya serasa copot.
"Tahukah kau, gara-gara perbuatanmu itu aku didatangi tiga orang utusan raja. Dan mereka bukan orang sembarangan yang bisa dibuat main-main! Mereka adalah Senapati Wanalaga. Pejabat tinggi yang paling berpengaruh di istana. Dan juga dua orang jago nomor satu istana!" ujar Raja Sesat Utara yang membuat tubuh Setan Mata Api menggigil. "Mereka mencari orang bernama Malingkat. Mulanya aku tidak kenal dengan orang itu. Tapi setelah ciri-cirinya mereka sebutkan, baru aku tahu kalau Malingkat ternyata si Jari Beracun! Ia mengaku berasal dari daerah utara ini. Maka, kesinilah mereka mencari. Dan jika aku tidak bersedia membantu menemukan si keparat Jari Beracun itu, mereka akan menangkapku dengan tuduhan hendak memberontak terhadap kerajaan. Aku akan dihukum gantung, tahu!"
"T... tapi... harta itu... sangat banyak sekali, Raja Sesat. Kau akan hidup dalam gelimang kesenangan jika mau merampasnya dari tangan Raja Sesat Selatan. Kau...."
"Diaaam...!" Raja Sesat Utara membentak. "Kau tahu untuk apa harta itu sebenarnya, hah? Harta itu adalah hadiah untuk melamar putri kerajaan tetangga. Tentu saja sangat banyak jumlahnya. Aku tidak mau terlibat dalam urusan celaka ini. Dan untuk menunjukkan ketidak terlibatanku, kau akan kuserahkan kepada ketiga tokoh penting istana itu, Akan kuberitahukan kepada mereka di mana harta itu sekarang berada!"
Setan Mata Api merasa nyawanya terbang seketika. Maksudnya hendak mencari perlindungan, tapi ternyata malah menghampiri kematian. Pihak istana ternyata telah mencurigai Senapati Malingkat. Maklumlah Setan Mata Api kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia tidak melawan ketika Raja Sesat Utara membawanya untuk diserahkan kepada Senapati Wanalaga.
Raja Sesat Utara baru saja tiba di kaki bukit, ketika tahu-tahu saja di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh. Hidungnya dikernyitkan saat mencium bau busuk bangkai yang memualkan perut. Raja Sesat Utara tidak jadi menegur sosok itu ketika didengarnya teriakan Setan Mata Api.
"D-dia... d-dia... mayat hidup Senapati Malingkat..!" Setan Mata Api menuding sosok penghadang dengan sekujur tubuh gemetar. Deraan rasa takut yang hebat membuat Setan Mata Api meronta dalam cekalan Raja Sesat Utara. Tak peduli kendati Raja Sesat Utara mengancam akan membunuhnya saat itu juga. Bagi Setan Mata Api, sosok mayat Senapati Malingkat jauh lebih menakutkan ketimbang Raja Sesat Utara.
"Dan kau, Bedebah Tolol!"
Karena jengkel. Raja Sesat Utara membanting tubuh Setan Mata Api ke tanah. Kalau dalam keadaan biasa, bantingan Raja Sesat Utara yang sangat kuat itu pasti akan membuat Setan Mata Api meringkuk kesakitan. Tapi semua itu tidak dirasakannya. Sosok mayat hidup Senapati Malingkat lebih menarik perhatiannya. Setan Mata Api langsung bangkit dengan sangat kalap. Bergegas tubuhnya dibalikkan hendak lari menyelamatkan diri.
Tapi baru saja bergerak dua langkah, mayat Senapati Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Sosok itu melesat dengan geiakan kaku namun cepat luar biasa. Raja Sesat Utara sendiri sampai tidak sempat berbuat apa-apa. Tahu-tahu jari-jari berbau busuk yang sudah membengkak itu menjambret leher baju bagian belakang Setan Mata Api.
"Tolooong...!" Saking ngerinya, Setan Mata Api sampai berteriak seperti anak kecil. Lupa kalau dirinya seorang tokoh sesat yang kejam dan ditakuti.
"Hei, berhenti!" Raja Sesat Utara berusaha mencegah. Bukan karena kasihan kepada Setan Mata Api, tapi karena ia membutuhkan tokoh sesat itu untuk membuktikan kepada pihak istana kalau dirinya tidak terlibat dalam perampokan harta kerajaan. "Jangan main gila dengan Raja Sesat Utara!" ancamnya.
Mayat hidup Senapati Malingkat mana bisa ditakut-takuti. Tanpa peduli, tangan kanannya langsung mencengkeram batok kepala Setan Mata Api.
Prakkk...!
Perlahan saja jari-jari tangannya meremas. Namun, akibatnya sangat mengerikan sekali. Raja Sesat Utara sampai terbelalak. Remasan jari-jari mayat hidup Senapati Malingkat membuat batok kepala Setan Mata Api remuk. Hal itu rupanya masih belum cukup. Jari-jari tangan yang semula mencengkeram leher baju belakang ditusukkan ke tulang belikat sebelah kiri, hingga melesak sampai pergelangan. Dan sewaktu ditarik keluar, dalam genggaman tangannya nampak sebuah benda sebesar kepalan yang penuh dengan darah dan masih berdenyut lemah. Jantung Setan Mata Api!
"Iblisss...!" Raja Sesat Utara mendesis ngeri. Meskipun terkenal sangat kejam, namun Raja Sesat Utara merasa ngeri juga menyaksikan perbuatan mayat hidup Senapati Malingkat.
Mayat Senapati Malingkat cuma mengeluarkan desahan panjang. Ditolehnya Raja Sesat Utara. Bola mata yang memancarkan cahaya kehijauan itu menyorot tajam.
"Hmhhh...!" Raja Sesat Utara menggeram untuk meredam kegerian di hatinya. Kedua tangannya dikepalkan. Kemudian, dipasangnya kuda-kuda. Siap menghadapi mayat hidup Senapati Malingkat yang sudah menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang.
Diawali suara napas besar mayat Senapati Malingkat melesat kaku. Sepasang tangannya dijulurkan dengan jari-jan terbuka. Siap mencekik leher Raja Sesat Utara Namun, kendati terganggu bau busuk bangkai Raja Sesat Utara masih bisa menghindar Bahkan membalas dengan tiga pukulan yang susul-menyusul.
Buk! Buk! Buk!
Tiga pukulan itu mendarat telak di dada, perut, dan lambung. Jangankan sampai terpental, bergeming pun mayat Senapati Malingkat tidak. Justru Raja Sesat Utara sendiri yang menjerit kesakitan. Tenaga pukulannya membalik. Kedua lengannya terasa seperti lumpuh, hingga untuk beberapa saat tidak bisa digerakkan. Tubuh mayat yang dipukulnya itu dirasakan kenyal bagai sebongkah karet.
Dan belum lagi Raja Sesat Utara sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu batang lehernya telah dicengkeram jari-jari sekeras jepitan baja. Bersamaan dengan remasan di lehernya, Raja Sesa Utara merasakan sesuatu menembus dada kirinya. Raung kesakitannya merobek langit sewaktu jantungnya dibetot keluar.
"Hei...?!"
Mayat hidup Senapati Malingkat sudah melepaskan tubuh Raja Sesa Utara yang melorot ke tanah sewaktu teriakan itu terdengar. Diputarnya tubuh menghadapi tiga sosok yang berlarian mendatangi.
Raung kematian yang menggetarkan hati itu membuat langkah Pendekar Naga Putih, Nenek Suri Gandil, dan Murni terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
"Entah kematian macam apa yang dialami manusia itu sampai-sampai suara jeritannya membuat bulu kuduk berdiri," ujar Nenek Suri Gandil. "Aku Jadi ingin tahu. Ayo, kita lihat..."
Nenek Suri Gandil langsung saja melesat menuju tempat asal suara. Panji dan Murni tentu saja tidak mau ketinggalan. Keduanya mengikuti langkah Nenek Suri Gandil. Tidak berapa lama ketiganya tiba di tempat mayat hidup Senapati Malingkat berada. Suara raung kematian yang mereka dengar berasal dari Raja Sesat Utara.
Tiba di tempat itu mereka melihat empat sosok tubuh tengah saling berhadapan. Selisih waktu kedatangan mereka dengan tiga sosok pertama, yang bukan lain Senapati Wanalaga dan dua orang jagoan istana, memang tidak terlalu lama. Tiga tokoh penting istana itu langsung menoleh sewaktu mendengar suara langkah kaki orang mendatangi dari belakang mereka.
"Hih hih hih.. . Rupanya di tempat ini sedang ada pesta meriah yang dihadiri tokoh-tokoh penting istana!" Nenek Suri Gandil berkata sambil berlari menghampiri keempat sosok tubuh itu.
Celoteh Nenek Suri Gandil tidak ditanggapi Senapati Wanalaga dan kedua rekannya. Mereka tengah dilanda ketegangan hebat setelah mengenali siapa sosok yang telah membunuh Raja Sesat Utara. Tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara.
"Hei...?!" Tiba-tiba, Panji berseru seraya menuding sosok mayat Senapati Malingkat. "Aku pernah melihat orang itu! Dia adalah salah satu mayat yang kutemukan di Bukit Dampit?!"
"Dia memang Senapati Malingkat...," Senapati Wanalaga menjelaskan.
"Hih hih hih...! Aku tahu sekarang!" Nenek Suri Gandil mendekati Panji dan Murni. Kemudian bisiknya, "Ini adalah pekerjaan Setan Tua Gila. Dia membangkitkan mayat Senapati Malingkat. Seperti yang telah kuceritakan kepadamu, Pendekar Naga Putih. Ilmu membangkitkan mayat itu berasal dari kitab yang pernah kami curi. Itu berarti Setan Tua Gila berada di sekitar tempat ini. la harus mengendalikan mayat Senapati Malingkat..." Nenek Suri Gandil berhenti sebentar. Dipandanginya wajah mayat Senapati Malingkat. Beberapa saat kemudian nenek itu terlihat mengangguk-ngangguk.
"Setan Tua Gila berada di lereng bukit sebelah selatan," bisiknya kemudian kepada Panji dan Murni. "Sementara aku dan tiga tokoh kerajaan itu menghadapi mayat hidup ini, kalian berdua pergilah dan bunuh tua bangka keparat itu! Tanpa membunuh Setan Tua Gila, mayat hidup ini tidak akan bisa dikalahkan..." Lalu, Nenek Suri Gandil bergegas menghampiri mayat hidup Senapati Malingkat. Diberikannya isyarat kepada ketiga tokoh kerajaan untuk membantunya.
Sementara Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh Istana itu siap menghadapi mayat hidup Senapati Malilngkat, Panji dan Murni bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka menuju lereng bukit sebelah Selatan. Tidak sulit bagi Panji dan Murni untuk menemukan Setan Tua Gila. Dari kejauhan mereka sudah melihat sesosok tubuh tengah duduk bersila di dekat tepi sungai. Sosok itu bukan lain dari Setan Tua Gila yang pernah dijumpai Panji.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang Panji?" Murni berbisik kepada Panji, sementara pandangannya tertuju pada sosok Setan Tua Gila. Kakek itu tengah bersemadi dengan kedua mata teipejam.
"Tunggu saja dulu. Lihat apa yang akan dilakukan Setan Tua Gila selanjutnya," jawab Panji.
Tidak berapa lama Panji serta Murni menyaksikan tubuh Setan Tua Gila bergetar. Kedua lengannya dikembangkan. Diputar ke atas dan ke bawah, sementara mulutnya berkemak-kemik seperti tengah membaca mantera.
"Sekarang...!"
Panji memberi isyarat setelah memberikan petunjuk kepada Murni cara menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang telah dipinjamkannya untuk sementara waktu. Sedang ia sendiri mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Mereka berdua harus menggencet Setan Tua Gila dari depan dan belakang dengan menggunakan kekuatan mukjizat yang berlainan unsur itu.
"Haiiittt...!"
Dari belakang, Murni membentak seraya mendorongkan kedua telapak tangannya. Sinar kuning keemasan melesat dari tangannya. Serangkum hawa panas maha dahsyat Itu menderu ke arah lambung kiri-kanan Setan Tua Gila.
"Hyahhh...!"
Pada saat bersamaan Pendekar Naga Putih berseru keras. Kedua telapak tangannya didorongkan dengan gerak menyilang. Satu ke arah ubun-ubun, sedang satunya lagi menuju bagian bawah perut. Angin dingin laksana badai salju menderu keras. Malah, tubuh Panji sampai menggigil. Dalam serangan itu ia memang mengerahkan tenaga hingga ke puncak.
Bressshhh...!
Dua kekuatan raksasa menghantam dari depan dan belakang tubuhnya. Setan Tua Gila terdengar mengeluarkan suara seperti orang tercekik! Tubuhnya mengejang sesaat. Lalu, dengan sebuah teriakan mengguntur kedua tangannya didorongkan ke depan dan belakang.
Pendekar Naga Putih dan Murni sama terpekik kuat Kekuatan dahsyat yang dilontarkan Setan Tua Gila membuat tubuh mereka terlempar satu tombak lebih. Kemudian, jatuh terguling-guling di tanah. Beruntung tubuh mereka dilapisi cahaya mukjizat. Sehingga, hantaman tenaga dahsyat Setan Tua Gila tidak sampai menimbulkan luka parah.
Meskipun begitu, beberapa saat lamanya mereka seperti lumpuh. Telentang di tanah berumput dengan napas tersengal dan wajah agak pucat. Mereka baru dapat bergerak bangkit bersamaan dengan munculnya Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh istana.
"Nek, Setan Tua Gila itu... "
"Dia sudah ko'it." Nenek Suri Gandil langsung menukas ucapan Panji. Si nenek menghampiri Setan Tua Gila yang masih duduk dalam keadaan bersila. Kedua tangannya terkembang ke depan dan belakang. Namun begitu disentuh ujung jari Nenek Suri Gandil, tubuh Setan Tua Gila langsung hancur menjadi abu.
"Setan Tua Gila rupanya paman guru Setan Mata Api," ujar Nenek Suri Gandil kepada Panji. "Tidak heran kalau ia mencegahmu sewaktu hendak melewati Bukit Dampet. Setan Mata Api dan Katak Hijau menghubungi Setan Tua Gila lalu mengajaknya bersekongkol. Dasar orang-orang serakah, setelah berhasil mereka meninggalkan Setan Tua Gila. Keduanya hendak mengangkangi harta itu sendiri. Setan Tua Gila menjadi sakit hati. Dan karena Setan Mata Api dan Katak Hijau merencanakan semua itu bersama Senapati Malingkat, maka mayat senapati itu digunakan Setan Tua Gila untuk membalas pengkhinatan orang-orang serakah itu."
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam diam ia merasa bersyukur telah bertemu dengan Nenek Suri Gandil. Meski pada mulanya sempat merepotkan epotkan Panji, tapi kemudian nenek itu malah membantunya menghancurkan keangkaramurkaan.
"Mengenai harta itu bagaimana, Nek? Apa sudah ditemukan?" tanya Panji ketika teringat harta kerajaan, yang sedianya akan dipergunakan untuk melamar putri kerajaan sahabat.
"Mulanya aku sempat pusing juga melihat Setan Mata Api sudah tewas. Tapi..., kau tahu sendiri kalau aku bisa mengetahui sesuatu dengan membaca wajah orang. Dari wajah mayat Setan Mata Api itulah aku mengetahui kalau harta itu sekarang berada pada Raja Sesat Selatan..." Nenek Suri Gandil kemudian menoleh kepada Senapati Wanalaga dan dua jago istana yang tersenyum lebar.
"Kami akan mengurusnya. Raja Sesat Selatan pasti tidak ingin digantung. Dan kalaupun ia berkeras tidak mau menyerahkan harta itu, kami dengan mudah bias memaksanya. Bawa saja seribu prajurit. Lalu, ratalah tempat kediaman Raja Sesat Selatan” ujar Senapati Wanalaga. Kemudian, disambung dengan tawanya yang keras.
Semua yang berada di tempat itu jadi ikut tertawa. Menyambuti kelucuan rencana Senapati Wanalaga...
Di sebuah persimpangan jalan penunggang kuda hitam menarik tali kekang. Setelah sejenak merayapi keadaan sekitarnya, dia kembali menggebah binatang tunggangannya, Bukan ke kiri atau ke kanan, tapi lurus menerobos semak-semak. Tentu saja Iari kuda hitam itu tidak bisa cepat. Daerah yang dilalui bukanlah jalan yang biasa digunakan orang.
Setelah lebih kurang seratus tombak kemudian, perjalanan itu kembali dihentikan. Kali ini ia berhenti tepat di depan sebuah bangunan candi tua yang hampir keseluruhannya rusak. Belum lagi ia melompat turun dari atas punggung kuda, dua sosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu, si penunggang kuda merasakan tubuhnya terenggut hingga ia sampai terpekik kaget.
Penunggang kuda itu merasa pasti tubuhnya akan terbanting di tanah. Tapi pikirannya meleset. la jatuh dengan kedua kaki lebih dulu. Sebuah tangan kokoh mencengkeram leher bajunya. Tangan kokoh itu milik salah satu dari sosok bayangan yang tadi berkelebat dengan demikian cepat. Sosok itulah yang membetot turun tubuh penunggang kuda.
"A-aku... aku orang suruhan Senapati Malingkat...," penunggang kuda yang ternyata seorang lelaki empat puluh tahunan berkata gagap. Wajahnya nampak agak pucat. Diri penunggang kuda itu doyong ke depan kefika tangan yang mencengkeram leher bajunya menyentak dengan kasar. Nama Senapati Malingkat ternyata cukup berpengaruh. Cengkeraman tangan kokoh itu mengendur.
"Apa yang telah diperintahkannya kepadamu?!" Pemilik tangan kokoh bertanya dengan nada bengis. Ia seorang lelaki tinggi besar dengan otot-otot bertonjolan, menunjukkan kekuatannya yang besar. Wajahnya terhias brewok lebat. Sepasang matanya besar dan berwarna merah saga. Sorot mata itu mencerminkan watak yang kasar dan licik. Suatu gambaran bukan orang baik-baik.
"Uuntuk menemui kalian berdua," lelaki penunggang kuda masih gagap. Sambil berkata ia menggerakkan ekor matanya ke arah teman si brewok.
Sosok lelaki kedua ini tidak seseram si brewok. Tubuhnya gemuk, bahkan nyaris bulat. Kepalanya tidak ditumbuhi selembar rambut pun alias botak. Wajahnya bulat dengan daging pipi yang berlebihan hingga kedua matanya nyaris terpejam. Beralis tebal dan hitam. Mulutnya nampak seperti orang yang selalu tertawa. Tapi, ada satu keanehan yang tidak lumrah pada diri lelaki gemuk ini. Seluruh kulit tubuhnya berwama kehijauan!
"Kalian siapa yang kau maksudkan?" lelaki gemuk seperti kodok blentung itu bertanya. Suaranya kecil seperti suara perempuan.
"Katak Hijau dan Setan Mata Api," jawab penunggang kuda. "Aku membawa pesan dari beliau untuk kalian berdua." Diambilnya sesuatu dari balik pakaian kemudian diserahkannya kepada lelaki brewok
Setan Mata Api langsung saja menyambar bumbung bambu itu. Setelah melepaskan cengkeramannya pada leher baju penunggang kuda, buru-buru dibukanya penutup bumbung. Dari dalam bumbung dikeluarkannya gulungan daun lontar yang berisikan pesan Senapati Malingkat. Setan Mata Api terlihat mengangguk-angguk ketika mem-baca pesan tersebut.
"Apa isi pesan Malingkat itu?" Katak Hijau bertanya ingin tahu. Dia adalah gembong kaum sesat yang sangat ditakuti. Sosok dan wajahnya boleh jadi bisa membuat orang tersenyum. Tapi. di balik wajah lucu ini justru tersembunyi watak yang kejamnya melebihi iblis!
"Rezeki besar," sahut Setan Mata Api. "Dua hari lagi akan ada iring-iringan tentara kerajaan yang mengawal emas dan batu-batu mulia. Kau tahu berapa banyak harta yang mereka bawa?"
Katak Hijau mengerutkan kening. Sesaat kemudian kepalanya digelengkan.
"Harta itu dibawa dengan menggunakan dua buah kereta kuda!" lanjut Setan Mata Api, membuat Katak Hijau membelalakkan mata. "Nah, coba kau bayangkan berapa banyak harta yang ada di dalamnya..."
Katak Hijau cuma bisa berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Si penunggang kuda terbengong-bengong. Sebelumnya ia memang tidak tahu isi pesan yang dibawanya.
"Eh, tapi tunggu dulu!" Tiba-tiba Setan Mata Api berujar. "Masih ada pesan lainnya..."
"Apa?" tanya Katak Hijau.
"Hadiah untuk orang yang membawa pesan ini..."
"Biar aku yang memberikannya," Katak Hijau segera berpaling kepada penunggung kuda.
Perkataan Setan Mata Api tentu saja membuat hati si penunggang kuda berdebar girang. Tapi, ia berusaha sedapat mungkin menyembunyikan kegembiraan hatinya itu. "Aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa," penunggang kuda berpura-pura menolak. "Bagiku asal pesan itu sudah sampai ke tangan kalian, aku sudah merasa senang..."
"Heh heh heh... Tidak baik menolak rezeki, Kawan. Apalagi kau sudah bersusah payah menyampaikan pesan ini. Untuk itu, tentu saja sangat pantas jika kau kami beri hadiah," ujar Katak Hijau dengan ramah.
Sayang, penunggang kuda tidak mengetahui watak asli Katak Hijau. Dedengkot kaum sesat ini memiliki watak yang aneh luar biasa. Semakin ramah kata-katanya, maka itu merupakan pertanda kalau nafsu membunuhnya mulai bangkit Dan sebelum penunggang kuda menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Katak Hijau sudah mengulurkan jari-jarinya yang langsung mencengkeram leher penunggang kuda.
Krekkkh!
Sekali remas saja terdengarlah suara tulang-tulang patah. Ketika Katak Hijau menarik tangannya, tubuh penunggang kuda yang malang itu pun ambruk ke tanah. Tewas dengan mata terbeliak.
"Bagus...!"
Suara pujian itu membuat Katak Hijau dan Setan Mata Api terkejut. Cepat keduanya menoleh ke arah datangnya suara. Sosok lelaki gagah yang muncul dari balik salah satu dinding candi membuat mereka terkejut bukan main.
"Malingkat?!" Katak Hijau dan Setan Mata Api menyerukan nama itu dengan wajah membayangkan keheranan besar. Nampaknya mereka tidak percaya dengan penglihatannya. Sementara itu sosok lelaki gagah melangkah mendekati.
"Hei, mengapa kalian seperti melihat hantu di siang bolong? Aku masih hidup. Dan aku memang benar-benar Senapati Malingkat, orang yang telah mengirim pesan kepada kalian!"
"Lelaki gagah itu mengembangkan kedua lengannya dan tersenyum lebar.
"Tapi mengapa kau berada di sini, Malingkat?" Setan Mata Api mengungkapkan keheranannya setelah beberapa saat meneliti sosok Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat tertawa pelan "Apa ada larangan bagiku berada di tempat ini?" kilahnya.
"Bukan begitu maksud kami, Malingkat," kali ini Katak Hijau yang berkata. "Tapi...."
"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kau katakan, Katak Hijau," Senapati Malingkat buru-buru memotong. "Kalian tentu heran mengapa aku berada di sini; sedangkan pesan kukirim melalui orang lain. Begitu yang hendak kau katakan, bukan?"
Katak Hijau dan Setan Mata Api tidak menyahuti, Mereka cuma menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menyuruh anak buahku untuk mengantarkan pesan itu. Hendak kulihat bagaimana tanggapan kalian terhadap berita besar tersebut." ujar Senapati Malingkat memberikan keterangan.
“Jadi, kau sudah sejak tadi berada di sini dan mengintai perbuatan kami?" Setan Mata Api tampak tidak senang dengan tindakan Senapati Malingkat
"Tidak!" Senapati Malingkat menggeleng dengan mulut tersenyum. Ketidaksenangan Setan Mata Api nampaknya tidak membuat ia terpengaruh. "Aku tiba sewaktu Katak Hijau hendak mencekik leher orang suruhanku. Semula pesan itu kuanggap cukup untuk mewakili diriku, tapi setelah orang suruhanku pergi, pikiran lain melintas di benakku. Pertama, aku khawafir orang suruhanku tidak berjumpa dengan kalian. Kedua, kupikir alangkah lebih baiknya jika aku yang langsung datang menemui kalian di sini. Nah, itulah alasan mengapa aku sampai berada di sini. Jelas?"
Setan Mata Api mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya ia bisa menerima alasan Senapati Malingkat. Demikian pula dengan Katak Hijau. Apa yang dikatakan Senapati Malingkat memang tidak salah.
"Mengatur rencana bersama-sama memang jauh lebih baik. Apalagi yang harus dibicarakan adalah sebuah pekerjaan besar. Karena itu, kita harus merencanakannya dengan matang," ujar Setan Mata Api kemudian.
"Itulah sebabnya aku berada di sini," Senapati Malingkat kembali menegaskan. "Nah, marilah kita susun rencana untuk pekeijaan besar itu..."
Sekejap kemudian ketiga orang itu memutar tubuh dan melangkah memasuki bangunan candi.
********************
Katak Hijau dan Setan Mata Api termasuk orang-orang yang mengetahui siapa Senapati Malingkat sebenarnya. Sangat sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Sebelum menjadi senapati, Malingkat sebenarnya seorang tokoh sesat ternama. Jari Beracun, itulah julukan Malingkat sewaktu masih malang-melintang di rimba persilatan.
Jari Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Sederetan nama tokoh tokoh terkenal golongan putih roboh di tangannya. Dengan perbuatannya itu namanya pun terangkat naik. Tapi meskipun tokoh-tokoh golongan putih telah mensejajarkan namanya dengan dedengkot kaurn sesat, hal itu belum membuat Jari Beracun menjadi puas. Golongan hitam pun harus mengakui keperkasaannya juga. Keinginan itu bukan cuma dipikirkan, tapi dibuktikannya dengan tindakan.
Dan demi ingin mendapatkan pengakuan tersebut, Jari Beracun Bdak segan-segan membunuh para dedengkot golongan hitam. Perbuatan Jari Beracun tentu saja mendatangkan tanda tanya besar di kalangan rimba persilatan. Golongan pufih maupun golongan hitam sa-ing mempertanyakan di mana sebenarnya Jari Beracun berpihak. Karena kedua golongan itu tidak puas, mereka lalu menganggap Jari Beracun seba-gai musuh!
Jari Beracun kaget bukan main mendapati dua golongan itu mengincar dirinya. Tiba-tiba saja ia jadi mempunyai banyak musuh. Sadar kalau dirinya berada dalam bahaya, Jari Beracun akhirnya meninggalkan daerah utara. Jika ia nekat bertahan untuk tetap tinggal di derah asalnya itu, cepat atau lambat kematian pastl akan datang menjemput. Mereka yang mengincar kematiannya bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, dan Jari Beracun belum mau buru-buru mati la masih belum puas merasakan kenikmatan hidup.
Dalam pelariannya Jari Beracun singgah di kotaraja. Adanya pengumuman bahwa kerajaan hendak mengadakan pemilihan untuk menjadi calon perwira, membuat Jari Beracun tertarik. la segera mendaftarkan diri. Jari Beracun menggunakan nama aslinya, Malingkat. Di tempat seperti ini dia merasa julukannya hanya akan menimbulkan kesulitan.
Bukan cuma julukannya saja yang harus disembunyikan. Ciri ilmunya pun ia samarkan. Keganasan-keganasan serangannya sengaja dirubah agar kelihatan lebih bersih dan menimbulkan kesan gagah. Tentu saja perubahan itu tidak sampai mengurangi keperkasaannya. Akhirnya Malingkat lulus dan mendapat jabatan sebagai perwira menengah. Beberapa tahun kemudian, berkat jasa-jasanya serta pengabdiannya kepada kerajaan, Malingkat diangkat menjadi senapati.
Tapi karena pada dasarnya Malingkat memiliki watak yang tidak pernah puas, jabatan tinggi yang diperolehnya masih dirasanya belum cukup. Padahal, dengan jabatannya itu hidupnya sudah bergelimang kemewahan dan kesenangan. Ketika mendengar Raja hendak mengirimkan hadiah dalam jumlah hesar kepada kerajaan lain, sebuah rencana pun muncul di pikiran Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat segera menghadap Raja, la meminta izin untuk menjenguk keluarganya di daerah utara. Tentu saja bukan itu alasan sebenarnya Senapati Malingkat. la berangkat ke utara untuk menghubungi dua tokoh sesat yang ia tahu pasti akan tertarik dengan rencananya.
Perhitungan Senapati Malingkat memang tidak meleset. Katak Hijau dan Setan Mata Api sangat tertarik. Tanpa merasa perlu mempertimbangkan lagi, mereka langsung menyatakan persetujuannya. Senapati Malingkat berjanji akan menghubungi mereka kembali setelah memperoleh kepastlan kapan hadiah-hadiah itu akan dikirim. Dia juga menentukan di mana Katak Hijau dan Setan Mata Api harus menunggu.
********************
Senapati Malingkat tengah sibuk membayangkan betapa rencananya akan berhasil dengan baik ketika seorang prajurit datang menghadap. Senapati Malingka jengkel bukan main. Itu terlihat jelas pada wajah dan tatapan matanya. Prajurit yang nampaknya dapat membaca tanda-tanda itu buru-buru melaporkan maksud kedatangannya. Senapati Malingkat diminta untuk segera menghadap raja.
"Kapan?!" tanya Senapati Malingkat dengan sisa-sisa kemarahan yang terpaksa harus ditelan. Sekarang Tuanku Senapati," jawab prajurit itu seraya menghaturkan sembah.
Senapati Malingkat mendengus. Cuma itu yang bisa dilakukannya untuk menumpahkan kejengkelan hati. Tidak mungkin baginya menolak perintah Raja. Dengan hati diliputi tanda-tanya Senapati Malingkat bergegas menghadap raja.
"Senapati Malingkat," ujar Raja setelah Senapati Malingkat menghaturkan sembah dan menganmbil tempat duduk. "Esok hadiah untuk kerajaan sahabat akan segera dikirim. Kau kutunjuk untuk mengepalai pengawalan hadiah itu..."
Mendengar titah junjungannya berubahlah paras Senapati Malingkat. la sangat terkejut sekali. Sungguh tidak pernah dibayangkannya Raja akan menunjuk dirinya untuk mempimpin pengawalan hadiah itu. Saking kagetnya Senapati Malingkat sampai tidak bisa bicara beberapa saat lamanya.
"Ampun beribu ampun, Gusti Prabu," Senapati Malingkat menghaturkan sembah. "Bukankah Gusti Prabu sudah menunjuk Senapati Wanalaga sebagai pimplnan pengawalan? Bukan maksud hamba menolak perintah Paduka, tapi... hamba merasa tidak enak terhadap Senapati Wanalaga..."
"Hhm... Buang pikiran itu jauh-jauh, Senapati Malingkat..." Raja menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Justru engkau kutunjuk karena Senapati Wanalaga tidak bisa melakukannya. Dia sudah kutugaskan menangani kekacauan di perbatasan selatan. Setelah Senapati Wanalaga, kaulah yang paling bisa diandalkan dari yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagimu untuk menolak Sekarang siapkan saja segala keperluanmu. Dua belas prajurit-prajurit pilihan akan menyertaimu..."
Senapati Malingkat tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah berpamitan dan menghaturkan sembah, dilangkahkan kakinya meninggalkan balairung. "Ini pasti ulah bangsat tua Wanalaga!" gerutu Senapati Malingkat sepanjang jalan menuju tempat kediamannya.
Perintah itu membuat hati Senapati Malingkat gelisah bukan main! la merasa curiga adanya permainan di balik semua ini. Senapati Wanalaga memang tidak menyukai dirinya. Senapati Malingkat sadar betul akan hal itu. Tapi ia berpura-pura tidak tahu, karena Senapati Wanalaga merupakan orang kepercayaan raja. Untuk itu Senapati Malingkat harus selalu berhati-hati dan menjaga setiap langkahnya. Senapati Wanalaga jangan sampai menemukan kesalahannya yang dapat dijadikan alat untuk menjatuhkannya.
Senapati Malingkat merasa curiga kalau perintah itu bertujuan Ontuk menguji dirinya. Dan itu membuat hatinya gelisah. Karena ia sudah merencanakan untuk merampok barang-barang kiriman itu menggunakan tangan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Kedua orang tokoh sesat itu akan melakukan penghadangan di suatu tempat yang telah ditentukan. Sungguh tidak disangkanya kalau raja akan merubah rencana. Memerintahkan dirinya untuk memimpin pengawalan itu. Dan waktunya sangat mendadak sekali. Sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menghubungi Katak Hijau dan Setan Mata Api.
"Celaka! Benar-benar keparat bangsat tua Wanalaga!" Lagi-lagi Senapati Malingkat merutuk seraya meninju telapak tangannya sendiri. "Hancur sudah semua rencanaku! Entah apa yang harus kulakukan jika berhadapan dengan Katak Hijau dan Satan Mata Api nanti? Menyuruh mereka membatalkan rencana, jelas tidak mungkin!"
Senapati Malingkat menghentikan langkahnya dengan kening mengerut. Beberapa kali terlihat ia mengangguk-angguk Sepertinya, Senapati Malingkat tengah menimbang-nimbang sesuatu. "Haruskah kulepaskan jabatan ini untuk melanjutkan rencana semula? Itu artinya aku kembali menjadi buronan. Malah, kali ini lebih gawat, Buronan kerajaan! Tapi..., jika tidak kulakukan, berarti aku harus berhadapan dengan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Sanggupkah aku menghadapi mereka berdua? Bagaimana jika aku sampai binasa di tangan mereka? Ah, mungkin sebaiknya kulenyapkan saja mereka sebelum keburu membuka mulut. Rasanya lebih baik mempertahankan jabatan ini daripada harus hidup sebagai buronan lagi..."
Dengan hati masih diliputi kebimbangan Senapati Malingkat bergegas melanjutkan langkahnya kembali.
********************
DUA
Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Senapati Malingkat dan rombongannya sudah bergerak meninggalkan pintu gerbang kotaraja. Senapati Malingkat yang ditugaskan memimpin pengawalan berjalan paling depan. la menunggangi seekor kuda jantan berwarna hitam pekat Setengah tombak agak ke belakang dua orang penunggang kuda mengapitnya. Mereka duduk dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke depan
Kereta pertama yang ditarik seekor kuda dikawal empat orang prajurit Masing masing menunggana seekor kuda pilihan. Mereka berjalan di kiri kanan kereta. Demikian juga yang terjadi pada kereta kedua, yang berjarak kira-kira satu tombak dibelakang kereta pertama.
Sementara dua orang prajurit berkuda berjalan paling belakang. Keseluruhan anggota rombongan, termasuk Senapati Malingkat dan dua orang kusir, berjumlah lima belas orang. Jumlah itu memang terhitung sedikit. Tapi, semuanya sudah diperhitungkan oleh Senapati Wanalaga yang mendapat kepercayaan untuk memilih prajurit-prajurit pengawal.
Senapati Malingkat bukannya tidak tahu kalau anggota rombongannya terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Sudah lama ia mendengar tentang adanya pasukan khusus. Tapi tidak banyak yang diketahuinya. Pasukan khusus itu sengaja disembunyikan dan dilatih secara tertutup. Kecuali Raja dan Senapati Wanalaga, cuma dua orang jagoan istana yang mengetahuinya.
Dua orang jagoan istana tersebut adalah yang terlihai di antara jago-jago istana lainnya. Mereka terhitung jagoan nomor satu di kerajaan. Dan, mereka berdua termasuk orang-orang yang mendidik pasukan khusus, terutama dalam ilmu silat Mengenai siasat ilmu perang, Senapati Wanalaga yang melatihnya. Sehingga, kepandaian perorangan anggota pasukan khusus bisa melebihi tokoh silat tingkat pertengahan. Pasukan khusus yang hanya berjumlah seratus orang itu jauh lebih tangguh dan berbahaya dari seribu prajurit!
Senapati Wanalaga percaya penuh kepada dua belas orang anggota pasukan khusus yang mengawal kiriman hadiah raja. Andaikan Senapati Malingkat hendak berkhianat, para anggota pasukan khusus tersebut akan sanggup menghadapinya. Kecuali jika berhadapan secara perorangan. Senapati Malingkat jelas bukan tandingan mereka.
Dan, Senapati Wanalaga sudah memperhitungkan hal itu. Tanpa sepengetahuan Senapati Malingkat serta anggota rombongan lainnya, diam-diam Senapati Wanalaga menyelundupkan dua orang jagoan kerajaan ke dalam rombongan. Tak satu pun dari anggota rombongan yang menyangka kalau dua orang kusir kereta sebenarnya jagoan-jagoan nomor dua di istana!
Rombongan terus bergerak maju. Bunyi roda-roda kereta menggilas bebatuan terdengar begitu jelas Deraknya demikian bising memecah keheningan sore. Semakin jauh rombongan itu meninggalkan kotaraja, semakin gelisah pula hati Senapati Malingkat. Sehingga, meskipun udara sore itu tidak panas, keringat nampak membasahi wajah senapati. Dan, Senapati Malingkat gagal menyembunyikan kegelisahan hatinya. Mendekati tempat penghadangan yang direncanakannya bersama Katak Hijau serta Setan Mata Api, kegelisahan itu makin menyiksa dirinya.
"Hhhh...!" Senapati Malingkat menghela napas berat. Perbuatan itu membuat dua prajurit di kiri-kanannya menoleh.
"Tuan Senapati," prajurit yang berada di sebelah kanan menegur dengan kening dikerutkan. la nampak heran sewaktu melihat wajah dan sikap Senapati Malingkat. "Nampaknya Tuan sedang kurang sehat?" tanyanya kemudian tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Senapati Malingkat yang tidak menyadari kalau helaan napasnya telah menarik perhatian dua prajurit di kiri-kanannya, nampak tersentak kaget la tak menyangka dua orang prajurit itu ternyata memperhatikan dirinya. Pandangan mereka membuat Senapati Malingkat agak gugup, takut kalau-kalau kegelisahan hatinya diketahui. Buru-buru ditariknya napas panjang sementara otaknya bekerja mencari alasan yang sekiranya bisa diterima kedua prajurit itu.
"Hh... Aku tidak apa-apa," jawab Senapati Malingkat sambil menghembuskan napas panjang. "Aku cuma sedikit lelah. Aku tidak terbiasa dengan tugas seperti ini, tapi Gusti Prabu mempercayakannya kepadaku. Kuterima juga tugas ini karena tidak ingin mengecewakan beliau. Terus terang kukatakan tugas ini agak mengganggu pikiranku, sampai-sampai semalaman aku tidak bisa tidur..."
Dua prajurit itu mengangguk-angguk. Alasan Senapati Malingkat memang bisa diterima akal. Tapi sebagai anggota pasukan khusus mereka bukan saja tangguh di arena pertempuran, tapi juga dapat menilai situasi dan memiliki naluri yang tajam. Dan naluri mereka mengatakan ada sesuatu yang tidak beres pada diri Senapati Malingkat! Namun mereka tidak berkata apa-apa, hanya meningkatkan kewaspadaan.
Diamnya dua orang prajurit itu agak melegakan hati Senopati Malingkat. Tapi bukan berarti ia percaya mereka dapat menerima alasannya. Sebagai seorang bekas tokoh aliran hitam, Senapati Malingkat bukan cuma mengandalkan ilmu silat saja. la juga cerdik, licik, dan tidak percaya terhadap siapa pun! Tidak terhadap Katak Hijau atau pun Setan Mata Api.
"He he he...! Kalian memang pantas untuk berhati-hati Sebentar lagi aku akan memenggal kepala kalian," ujar Senapati Malingkat dalam hati.
********************
Sore terus merambat Cahaya jingga sudah mewarnai kaki langit sebelah barat. Keremangan cuaca mulai menyelimuti permukaan bumi. Saat itu rombongan Senapati Malingkat tengah melintasi jalan berbatu yang diapit dua anak bukit. Bukit Dampet. Demikianlah orang menamakan daerah itu.
Karena jalan yang harus dilalui agak sempit, empat prajurit yang mengawal kereta terdepan terpaksa harus mendahului kereta. Sedangkan empat prajurit yang mengapit kereta kedua bergerak mundur untuk memperkuat penjagaan di bagian belakang. Perjalanan agak lambat karena permukaan tanah berbatu tidak rata. Jalan sempit itu sendiri berjarak cukup panjang. Lebih kurang seratus tombak lebih. Mereka baru menempuh separuh jalan ketika keremangan mulai memekat, tanda sebentar lagi malam akan jatuh.
Kecuali Senapati Malingkat, tak seorang pun tahu betapa saat itu dua pasang mata tengah mengawasi rombongan. Siapa lagi pemilik dua pasang mata itu kalau bukan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Mereka mengintai dari atas lereng bukit. Katak Hijau di sebelah kiri, sedangkan Setan Mata Api dari sebelah kanan. Ketika rombongan telah lewat, Setan Mata Api berdiri tegap menghadap ke tempat Katak Hijau mengintai Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi dan digerakkan ke kiri-kanan. Itu adalah tanda bagi Katak Hijau untuk segera bertindak.
Gmkkkhhh...!
Suara bergemuruh yang menggetarkan tanah membuat semua anggota rombongan berpaling ke belakang. Senapati Malingkat juga melakukan hal yang sama. Wajahnya menampakkan kekagetan sewaktu melihat bongkahan batu sebesar kerbau bunting menggelinding dari atas dan jatuh berdebum menutupi jalan di belakang rombongan.
"Kurang ajar! Ini pasti ulah perampok-perampok yang tidak tahu penyakit!" Senapati Malingkat menggeram sambil berusaha menenangkan binatang tunggangannya yang meringkik ketakutan.
Dua orang prajurit yang kini berada setengah tombak di depan Senapati Malingkat langsung menileh. Dua pasang mata tajam itu menyorot wajah Senapati Malingkat. Bukan cuma curiga saja, malah mulut mereka menyunggingkan senyum mengejek.
"Tuan pasti sudah tahu hal ini bakal terjadi, bukan?!" salah seorang prajurit bertanya dengan nada menuduh. Prajurit yang satunya lagi mengangguk-angguk menyetujui ucapan rekannya.
"Kurang ajar...!" Senapati Malingkat melotot dengan wajah merah padam. "Apa maksud kata-katamu itu? Berani benar kau berbicara seperti itu kepadaku, hah!"
Lima orang prajurit itu tertawa dingin. Tapi sebelum mereka sempat berkata, tiba-tiba suara bergemuruh kembali terdengar. Kali ini datang dari sebelah depan. Untuk kedua kalinya, sebuah batu sebesar kerbau bunting jatuh berdebum menggetarkan tanah di tempat itu. Dinding-dinding bukit bergetar hingga batu-batu berguguran ke bawah menghujani rombongan Senapati Malingkat. Keadaan menjadi kacau. Kuda-kuda meringkik ketakutan.
"Masihkah Tuan Senapati hendak berpura-pura tidak mengetahui kalau semua ini bakal terjadi?" Di tengah kesibukan menenangkan kuda tunggangannya, prajurit berkumis tebal menatap Senapati Malingkat dengan bibir mencemooh.
"Dalam perjalanan sikap Tuan sangat gelisah sekali. Kami menjadi curiga. Rupanya, inilah yang telah membuat Tuan selalu gelisah," prajurit kedua menimpali.
Senapati Malingkat menggeram dengan wajah gelap. Tuduhan itu membuat senapati tersebut baru menyadari mengapa mereka disebut pasukan khusus. Mereka bukan cuma pandai dalam bertempur, tapi juga memiliki naluri tajam. Namun, sungguh ia tidak menyangka kedua prajurit itu berani bersikap kurang ajar kepadanya.
Senapati Malingkat tidak tahu kalau seluruh anggota pasukan khusus sebelumnya telah disumpah. Mereka hanya akan patuh kepada Raja dan Senapati Wanalaga saja. Itu selalu ditekankan dalam setiap latihan. Bahkan, kedua orang jago nomor satu istana yang mendidik mereka pun tidak mengetahui adanya sumpah tersebut. Hal itu rupanya memang sengaja dirahasiakan.
Tujuan utama dibentuknya pasukan khusus adalah untuk melindungi raja. Mereka dididik sejak berusia delapan tahun. Dalam usia itu telah ditanamkan sikap-sikap seorang prajurit sejati dan nilai-nilai kesetiaan. Mereka dididik dengan keras. Senapati Wanalaga tidak akan segan-segan menghukum setiap anggota yang melanggar peraturan. Hukuman itu dilakukan di hadapan anggota-anggota lainnya. Tujuannya adalah memberi contoh pada mereka untuk tidak berani melanggar peraturan.
Tapi meskipun telah memberikan didikan yang keras. Senapati Wanalaga masih merasa kurang puas Sebagai seorang tokoh tua yang banyak pengalaman senapati itu maklum kalau hati manusia sewaktu-waktu bisa saja berubah. Entah karena penuh keadaan, perasaan, atau pun kemungkinan- kemungkinan lainnya.
Untuk mcnjaga agar seluruh anggota pasukan khusus tidak menyeleweng, dijejalinya mereka dengan racun yang baru bekerja setelah satu tahun. Jika lewat dari waktu yang ditentukan belum memperoleh obat penawar, kematianlah yang akan mereka dapatkan. Dan setiap satu tahun sekali, setelah diberi obat penawar, Senapati Wanalaga kembali memberikan kepada mereka racun serupa.
Senapati Malingkat tidak mengetahui semua itu. Tidak heran jika ia merasa terkejut bukan main sewaktu kedua prajurit anggota pasukan khusus itu berani menentang dirinya. Seluruh anggota yang tergabung dalam pasukan khusus memang tidak memakai jabatan. Mereka tetap merupakan seorang prajurit meski ketangguhan dan kecakapan mereka melebihi seorang perwira. Itu sebabnya mengapa Senapati Malingkat marah bukan kepalang terhadap dua orang anggota pasukan khusus itu.
Jangankan seorang senapati seperti Malingkat, sedang yang berpangkat perwira rendahan pun pasti akan marah besar jika ada prajurit yang berani menentang perintahnya. Apalagi sampai berani menuduh dan menunjukkan sikap jelas-jelas menantang. Baru berlama-lama menentang pandang saja, sudah merupakan alasan yang cukup untuk memberi hukuman.
"Sayang, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberi hajaran kepada kalian," geram Senapati Malingkat. "Tapi camkan baik-baik, aku tidak akan melupakan ucapan kalian yang tak berdasar itu!"
Senapati Malingkat kemudian memutar kudanya. Tepat pada saat itu dari atas lereng bukit sesosok bayangan melayang turun dan langsung mendarat di hadapannya. Senapati Malingkat segera memberikan isyarat dengan kedipan mata sewaktu dilihatnya wajah Katak Hijau menggambarkan keheranan. Dan, Katak Hijau cepat menangkap isyarat itu.
"Ha ha ha...!" Katak Hijau tertawa berkakakan. Ditatapnya wajah Senapati Malingkat dengan sorot mata tajam. "Kaukah yang menjadi kepala rombongan ini, Tuan Senapati? Sebaiknya kau perintahkan kepada orang-orangmu untuk meninggalkan dua buah kereta itu. Kau beserta rombonganmu boleh pergi dengan selamat. Nah, apa lagi yang kau tunggu? Apakah kata-kataku kurang jelas?!"
"Dengar, Manusia Kulit Hijau!" sahut Senapati Malingkat dengan suara keren. "Jika kau tidak segera menyingkirkan batu itu dan minggat dari hadapanku, jangan bilang aku kejam jika kepalamu kupisahkan dari tubuhmu!" ancamnya. Senapati Malingkat bergegas melompat turun dari atas punggung kuda dan meloloskan pedang yang tergantung di pinggang. Demikian cepat pedang itu dicabut dari sarungnya. Begitu menginjak tanah, pedang sudah berada dalam genggaman tangan.
Katak Hijau kembali tertawa bergelak. Keduanya kini berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak. Nampaknya perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi. Sikap Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat dua orang prajurit yang menyaksikannya segera melompat maju. Mereka berdiri mengapit Senapati Malingkat dengan senjata terhunus. Sekitas keduanya mengerling ke arah Senapati Malingkat. Rupanya mereka masih tetap menaruh curiga.
"Agaknya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu yang hanya selembar itu, Tuan Senapati," ujar Katak Hijau sambil melirik dua prajurit yang berada di kiri-kanan Senapati Malingkat. "Hm.... Nyawa dua orang prajuritmu itu kurasa cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak main-main!" Begitu selesai dengan ucapannya, Katak Hijau segera melesat ke arah prajurit di sebelah kiri Senapati Malingkat Prajurit itu lebih dekat dengan tempatnya berdiri.
"Koook...!"
Sambil mengeluarkan bunyi seperti katak sungguhan, Katak Hijau melancarkan sebuah pukulan lurus. Yang diincamya adalah bagian ubun-ubun. Tapi, Senapati Malingkat tidak membiarkan perbuatan Katak Hijau. Sebelum serangan itu tiba, Senapati Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Digagalkannya serangan Katak Hijau.
"Manusia tak tahu penyakit! Menggelindinglah dari hadapanku...!"
Senapati Malingkat mengulurkan tangan kirinya dengan dua jari terbuka. Serangan Katak Hijau hendak digagalkannya dengan totokan ke arah siku. tapi, Katak Hijau terlalu cerdik. Lengannya segera diputar dan disambutnya totokan Senapati Malingkat dengan kibasan telapak tangan.
Praaattt...!
Benturan itu membuat keduanya terdorong mundur. Katak Hijau maupun Senapati Malingkat langsung berpandangan dengan wajah terkejut. Masing-masing merasakan nyeri akibat benturan itu.
"He he he...! Ternyata kau boleh juga, Tuan Senopati..." Katak Hijau memuji.
Sementara yang dipuji cuma mendengus kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi segera diterjangnya Katak Hijau. Kali ini Senapati Malingkat menggunakan pedang. Suara sambaran angin pedang terdengar mengaung bagai ratusan lebah marah!
Lagi-lagi Katak Hijau memperdengarkan kekehnya. Sambaran pedang Senapati Malingkat dielakkan dengan cara melompat-lompat, persis gerak seekor katak. Lewat tiga jurus kemudian, Katak Hijau mulai membangun serangan balasan.
TIGA
Kedua prajurit yang semula masih mencurigai Senapati Malingkat nampak saling bertukar pandang. Mereka melihat kesungguhan dalam serangan yang dilancarkan Senapati Malingkat Hal itu terlihat dengan jelas. Serangan-serangan Senapati Malingkat sangat mematikan. Perlahan kecurigaan mereka pun terhapus.
"Tuan Senapati, kami datang membantu...!" Teriakan dua orang prajurit itu membuat Senapati Malingkat tersenyum penuh kemenangan. Pancingannya ternyata berhasil. Mereka segera terjun ke arena untuk membantunya.
"Bagus! Aku memang sudah menunggu-nunggu bantuan kalian," Senapati Malingkat berkata dalam hati. Dan ketika kedua prajurit itu hendak mendaratkan kaki di kiri-kanannya, Senapati Malingkat langsung berputar dengan kecepatan yang sangat mengejutkan!
Semula kedua prajurit itu sedikit pun tidak menaruh curiga. Tapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu menyadari perbuatan Senapati Malingkat ternyata dimaksudkan untuk menghabisi mereka!
Crasss! Breeettt!
Sayang, kesadaran itu terlambat datangnya. Pedang Senapati Malingkat sudah keburu merobek perut. Keduanya memekik keras. Kemudian, terpental roboh dan tewas seketika Pedang Senapati Malingkat merobek dalam hingga usus mereka terburai keluar.
Sementara kedua prajurit itu roboh, Senapati Malingkat sudah melemparkan pedangnya kepada Katak Hijau. Tokoh sesat berkulit kehijauan itu terkekeh. Sekali mengulurkan tangan pedang telah berada dalam genggaman tangannya. Kemudian, langsung dibabatkan ke depan.
"Keparat busuk! Kau harus menebusnya dengan nyawa anjingmu!" Senapati Malingkat mengutuk Katak Hijau seraya melompat jauh ke belakang. Dihindarinya babatan pedang yang mengancam perut
Empat prajurit anggota pasukan khusus yang mendengar jerit kematian lawan-lawannya bergegas menoleh. Alangkah terkejut hati mereka sewaktu menyaksikan kedua rekannya telah roboh bermandikan darah. Sementara Senapati Malingkat tengah bertarung sengit melawan lelaki tua berkulit kehijauan. Adanya pedang Senapati Malingkat di tangan lelaki tua berkulit kehijauan membuat mereka maklum kalau dialah yang telah membunuh kedua rekan mereka.
"Ayo, kita bantu Tuan Senapati. Nampaknya beliau mendapat kesulitan untuk merobohkan pembunuh rekan kita itu!" salah seorang prajurit berkata kepada kawan-kawannya. Segera dicabutnya pedang, dan tanpa membuang-buang waktu lagi langsung mendahului ketiga rekannya untuk membantu Senapati Malingkat. Yang lainnya pun bergegas berlompatan menyusul.
Setan Mata Api segera melayang turun dari tempatnya bersembunyi. Tokoh sesat itu langsung dikepung enam orang prajurit. Tokoh yang memiliki sorot mata merah seperti nyala api ini memperhatikan cara keenam lawannya melakukan kepungan. Bentuk kepungan dan sikap kuda-kuda mereka terasa asing.
Keenam anggota pasukan khusus tidak memperdulikan keheranan lawannya. Mereka terus bergerak mengelilingi Setan Mata Api. Beberapa kali, sambil terus berputar, mereka bertukar tempat dengan melakukan lompatan menyilang. Sementara senjata keenamnya terus diputar hingga memperdengarkan suara berdesingan. Semakiri lama lingkaran mereka semakin rapat. Dan, sambaran angin pedang membuat pakaian Setan Mata Api berkibaran.
"Hei! Apa kalian sedang menyuguhkan tarian monyet untukku?" Setan Mata Api berkata mengejek. Kemudian, tertawa bergelak dengan kepala tengadah.
Keenam prajurit pilihan itu sama sekali tidak menggubris. Mereka tetap mengelilingi Setan Mata Api sambil sesekali melompat untuk bertukar tempat. Cara mengepung yang aneh itulah membuat Setan Mata Api menamakan gerakan tersebut tarian monyet.
"Jiaaahhh...!"
Setelah jarak kepungan tinggal satu tombak lagi, tiba-tiba terdengar bentakan dari sebelah kiri. Cepat Setan Mata Api memutar tubuh. la sudah siap menghadapi pengepungnya yang membentak itu. Namun ternyata lawan bukan hendak menyerang, malainkan untuk bertukar tempat. Setan Mata Api sempat kaget dan segera menyadari bentakan itu cuma tipuan. Apalagi ketika telinganya menangkap suara berdesing di belakangnya.
"Keparat...!"
Merasa telah diperdayai, Setan Mata Api marah bukan main. Tubuhnya diputar secepat kilat. Begitu samar-samar dilihatnya kilatan sinar pedang meluncur ke arahnya, Setan Mata Api langsung menyambut dengan kibasan lengan kanan. Tentu saja ia telah menyalurkan tenaga dalam terlebih dulu untuk melindungi lengannya.
Lagi-lagi Setan Mata Api harus menelan kenyataan pahit. Serangan itu pun sebuah tipuan! Sementara orang yang dikiranya menyetang menarik pedang kemudian berputar untuk berganti tempat dengan kawannya, serangan yang sesungguhnya meluncur datang ke arah lambung!
Breeettt...!
Pada saat-saat terakhir Setan Mata Api masih sempat menggeliatkan tubuhnya. Tusukan pedang merobek pakaian dan cuma menggores sisi lambung. Tapi meskipun demikian, kemarahan Setan Mata Api semakin berkobar-kobar. Sambil memperdegarkan geraman keras laksana harimau luka, tangannya diputar melibat pedang yang belum sempat ditarik pulang. Untuk menghindari agar lengannya tidak tersayat mata pedang, Setan Mata Api melindunginya dengan libatan pakaian. Terdengar bunyi patahnya pedang begitu Setan Mata Api menekuk lengan. Sekejap kemudian tokoh sesat itu bergerak secepat kilat mengulurkan jari-jari tangannya ke atas.
Kreppp!
Jari-jari sekuat capit baja itu mencengkeram leher lawannya yang langsung diangkat naik. Bergemeretaknya bunyi tulang leher yang remuk mengiringi geraman Setan Mata Api ketika mengetatkan cengkeraman. Lawan yang sudah kehilangan nyawa itu kemudian diputar berkeliling.
"Heaaa...!"
Lima prajurit anggota pasukan khusus lainnya tentu saja terkejut. Kelimanya segera berloncatan mundur. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
"Heh heh heh...!" Setan Mata Api menanggapi dengan tawa mengejek. "Mengapa kalian mundur? Takut dengan mayat ini? Wah, sungguh menyedihkan sekali. Biar kubuang saja kalau kalian memang takut."
Setan Mata Api melemparkan mayat di tangannya ke arah dua orang. lawan yang berdiri di depannya. Pada saat yang bersamaan, sewaktu lawan-lawannya terkesima, Setan Mata Api mencelat ke kiri. Sepasang tangannya meluncur deras laksana seekor elang menyambar ariak ayam. Serangan itu dilancarkan dengari kecepatan tinggi. Dua orang prajurit yang menjadi sasarannya tidak mampu bertindak apa pun. Jari-jari Setan Mata Api tinggal sejengkal lagi dari leher mereka. Tapi, rupanya keberuntungan belum mau singgah pada diri Setan Mata Api. Saat hasil serangannya sudah di depan mata, sesosok bayangan melenyapkan senyum di bibir Setan Mata Api.
Plak! Plak!
Kuat bukan main benturan dua pasang lengan lengan itu. Setan Mata Api sampai tak bisa menahan pekik kagetnya. Sosok bayangan itu bukan saja menggagalkan serangannya, tapi juga membuat kedua lengannya terasa nyeri. Malah kuda-kudanya sampai tergempur. Sumpah serapah Setan Mata Api langsung terdengar di saat tubuhnya terhuyung llmbung.
"Siapa kau?!"
Setan Mata Api menatap sosok bayangan yang telah menggagalkan serangannya. Dipandanginya wajah dan tubuh sosok di depan kedua prajurit yang nyaris dapat dibinasakannya. Setan Mata Api mengerutkan kening, berusaha mengenali siapa manusia usilan itu. Dia seorang lelaki tua bermata sayu. Jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sorot wajahnya tampak begitu murung. Sepertinya ia menjalani hidup dengan tanpa semangat.
Tubuhnya lebih pendek dari Setan Mata Api maupun kedua prajurit yang telah diselamatkannya. Sosok lelaki tua ini sebenarnya sangat jauh dari gambaran seorang ahli silat. Dia lebih tepat menjadi seorang pujangga (ahli sastra). Apalagi pakaian yang dikenakannya adalah pakaian para pujangga. Lelaki tua berusia lima puluh lima tahun ini cuma mengerapkan mata ketika mendengar pertanyaan Setan Mata Api.
Sementara Setan Mata Api menatap lelaki tua bermata sayu dengan penuh selidik, kelima anggota pasukan khusus malah membelalak lebar. Mulut mereka sampai ternganga, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perasaan terkejut dan juga heran tergambar nyata di wajah mereka. Kakek berpakaian sastrawan itu adalah salah satu dari kusir kereta kuda!
Tidak heran kalau kelima prajurit anggota pasukan khusus hampir tidak percaya. Memang, siapa yang akan menyangka kalau orang yang selama perjalanan tidak pernah mereka lirik sedikit pun itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan telah menyelamatkan dua orang di antara mereka. Dan sanggup membuat Setan Mata Api sampai terhuyung.
"Benarkah kau ingin tahu namaku?" Kakek bermata sayu bertanya kepada Setan Mata Api. Suaranya pelan seperti enggan bicara. Dan wajahnya tidak berubah, tetap murung.
"Siapa peduli dengan namamu!" bentak Setan Mata Api keras, membuat lima orang prajurit yang hendak menyaksikan tanggapan kakek mata sayu berjingkrak kaget. "Yang kutanyakan adalah julukanmu. Tapi terserah, mau jawab boleh, tidak pun tak akan kupaksa. Tak ada bedanya bagimu. Apa pun jawabanmu, aku akan tetap membunuhmu!"
Kakek bermata sayu mengangguk-angguk lemah. Ditariknya sedikit ujung bibir kanannya ke atas. Mungkin maksudnya hendak tersenyum tipis. Tapi yang terlihat justru senyum getir. Segetir raut wajah dan sorot matanya.
"Jika demikian, ada baiknya aku memperkenalkan diri. Aku tidak ingin mati tanpa nisan di atas makamku," ujar kakek bermata sayu. Suaranya tetap pelan dan tanpa gairah. "Aku disebut Sastrawan Murung. Mungkin itu karena wajah dan mataku. Tapi bagiku semua itu tidak menjadi soal. Yang penting aku punya julukan," lanjutnya seraya tersenyum getir.
"Sastrawan Murung?!" Setan Mata Api mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat. "Hei...?!" serunya tiba-tiba. "Kalau aku tidak salah, Sastrawan Murung adalah salah seorang jagoan istana. Ah, pasti tidak salah! Kau memang jagoan istana yang digelari Sastrawan Murung! Hah hah hah...!"
"Ya, memang. Ha ha ha...!" Sastrawan Murung malah menimpali tawa Setan Mata Api. Akan tetapi, tawa itu tidak juga melenyapkan kemurungan wajahnya.
Setelah mengetahui siapa kakek bermata sayu itu, Setan Mata Api malah kelihatan gembira. Tidak demikian halnya dengan lima prajurit anggota pasukan khusus. Mereka semakin bertambah kaget. Siapa yang tidak kenal dengan Sastrawan Murung. Bukan saja yang berada di lingkungan istana, bahkan hampir seluruh penduduk kotaraja mengetahuinya. Kalau selama ini mereka cuma mendengar namanya saja, maka sekarang dapat melihat dengan jelas sosok Sastrawan Murung yang terkenal itu.
Kini Sastrawan Murung berhadapan dengan seorang kakek yang sorot matanya semerah nyala api. Mereka telah membuktikan sendiri kehebatan kakek mata merah itu. Dan mereka jadi ingin tahu apakah Sastrawan Murung akan sanggup menundukkan kakek mata merah yang lihai itu. Maka seperti dikomando saja kelimanya bergerak mundur. Tidak sabar untuk segera menyaksikan pertarungan yang pasti akan sangat menarik itu
Mundurnya kelima prajurit anggota pasukan khusus itu membuat Sastrawan Murung lagi-lagi tersenyum getir. la maklum apa yang ada dalam pikiran kelima prajurit itu. Tapi hal itu tidak dipusingkannya. Apalagi saat itu Setan Mata Api dilihatnya sudah siap untuk bertarung.
"Kau tidak ingin memperkenalkan namamu lebih dulu?" tanya Sastrawan Murung.
"Nanti pun kau akan tahu sendiri," jawab Setan Mata Api tak acuh.
"Kapan?"
"Nanti kalau kau sudah menjadi penghuni akhirat!" sahut Setan Mata Api seenak perutnya. Lalu, tertawa keras. Nampaknya ia merasa puas dapat imempermainkan calon lawannya.
"Jadi, kau sudah ingin buru-buru mati?"
Kening Setan Mata Api langsung mengerut. Apakah manusia satu ini rada-rada congek? Pikir Setan Mata Api. "Bukan aku, tapi kau, Sastrawan Budek!" sahutnya kemudian.
"Iya, aku paham," Sastrawan Murung mengangguk pelan. "Yang ingin buru-buru mati bukan aku, tapi kau!" Ditunjuknya Setan Mata Api yang melotot sampai biji matanya seperti mau copot.
"Terserah bacotmu saja!" ujar Setan Mata Api sambil menepiskan tangan di udara. Nampaknya, Setan Mata Api merasa kalah bicara. "Pokoknya, kaulah yang akan mampus!"
Dengan sebuah pukulan lurus Setan Mata Api kemudian membuka serangan. Ketika Sastrawan Murung menggeser tubuh ke kanan menghindari pukulannya, Setan Mata Api mengirimkan tamparan dengan tangan kanan. Kali ini sasarannya pelipis lawan. Bukan cuma itu saja. Tamparan tersebut disertai dengan sebuah tendangan ke bagian bawah perut!
Whuuut... dukkk...!
Tamparan ke arah pelipisnya dielakkan Sastra-wan Murung dengan menekuk kedua lutut. Tamparan itu lewat sejengkal di atas kepala. Sedangkan tendangan yang mengancam bawah perutnya disambut dengan kedua belah tangan yang langsung menjepit dan melibat kaki Setan Mata Api. Sambil membentak keras, dilemparkannya kaki lawan kuat-kuat. Pada saat tubuh Setan Mata Api mengapung di udara, Sastrawan Murung segera memburunya dengan dorongan udara telapak tangan.
Akan tetapi Setan Mata Api ternyata tidak mudah dirobohkan. Dengan gerakan yang sangat mengagumkan dia memutar tubuhnya setengah lingkaran. Kedua kakinya ditendangkan kuat-kuat untuk menyambut dorongan telapak tangan Sastrawan Murung. Benturan antara tangan dan kaki pun tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh keduanya langsung terpental balik. Karena kedudukan Sastrawan Murung lebih kuat, keadaannya lebih baik daripada Setan Mata Api. Sastrawan Murung dapat mengatur pendaratan tubuhnya, sedangkan Setan Mata Api jatuh terguling-guling di tanah. Benturan itu membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Cuh, cuh, cuh...!"
Setan Mata Api meludah beberapa kali karena mulutnya kemasukan debu. Sumpah serapah kotor langsung terlontar dari mulutnya. Kemudian, dengan bernafsu Setan Mata Api kembali menerjang Sastrawan Murung. Sambaran angin pukulan lawan menderu kuat. Sastrawan Murung maklum kalau serangan lawan jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. Tapi Sastrawan Murung sedikit pun tidak menjadi gentar. Disambutnya serangan Setan Mata Api dengan tidak kalah ganasnya.
Pertarungan kembali berlanjut. Kali ini lebih seru dan lebih menegangkan. Masing-masing mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun begitu, tidaklah mudah bagi mereka untuk segera memenangkan pertarungan. Keduanya sama kuat, dan sama-sama tangguh!
********************
EMPAT
Seorang pemuda nampak tengah melangkah di atas jalan berbatu yang agak menurun. Wajahnya bersih dan tampan. Tubuhnya tidak seberapa kekar, namun padat berisi. la mengenakan pakaian serba putih. Demikian pula dengan ikat kepalanya. Pemuda ini adalah Panji, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih. Setelah beberapa puluh tombak, jalan mulai agak rata. Permukaan jalan dilapisi tanah merah. Tidak seperti yang baru saja dilalui, hampir seluruh permukaannya dipenuhi bebatuan.
Baru beberapa tombak jalan tanah merah dilalui, Panji rnenghentikan langkahnya karena tiba-tiba angin berhembus keras. Hembusan angin keras itu Hanya terjadi di satu tempat. Tepatnya pada pohon besar di atas kepalanya. Pohon itu bergoyang keras hingga daun-daunnya berguguran. Keheranan Panji inendadak berubah menjadi rasa kaget! Daun-daun yang berguguran menimbulkan suara berdesingan. Daya luncurnya pun dirasakan tidak wajar.
Panji terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan diri dari daun-daun yang bagai hujan Sebagian daun-daun jatuh menancap di tanah, tak ubahnya pisau-pisau terbang. Yang mengejutkan adalah gerakan sebagian daun lainnya. Daun-daun itu tidak berjatuhan ke tanah melainkan melayang ke arah Panji!
"Hm.... Ini jelas tidak wajar lagi, tapi sudah kurang ajar!" desis Panji.
Pemuda itu bersiap-siap menyambut datangnya luncuran daun-daun. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kedua telapak tangan. Kemudian, dengan sebuah hentakan perlahan tangan itu didorongkan ke depan. Serangkum angin keras berhembus membuat dedaunan yang tengah meluncur ke arahnya langsung terhenti. Panji lalu mengibaskan tangannya dengan gerakan ke atas. Daun daun itu pun membalik. Meluncur ke atas pohon dengan pesatnya seolah hendak kembali ke ranting tempatnya semula bergantung.
Prasssh...!
Puluhan dedaunan yang dikembalikan Panji terus menerobos bagian atas pohon hingga memperdengarkan suara berkerosakan. Bukan saja membuat daun-daun yang masih melekat jatuh berguguran, tapi juga mematahkan ranting-ranting pohon.
Panji menunggu beberapa saat sambil menengadahkan kepala. Apa yang diinginkannya ternyata tidak kunjung muncul. Tadinya Panji bermaksud memaksa si penyerang gelap keluar dari persembunyiannya di atas pohon. Tapi perkiraannya ternyata keliru. Penyerang gelap itu tidak berada di sana. Padahal jika orang yang dimaksudkannya benar-benar berada di atas pohon besar itu, pasti dia akan keluar. Kecuali kalau memang mau membiarkan tubuhnya ditancapi daun-daun yang dikembalikan Panji.
Demikian hebatkah manusia curang itu hingga daun-daun yang kukembalikan tidak bisa memaksanya menunjukkan diri?" desis Panji keheranan. Pandangannya diedarkan ke sekeliling tempat itu. Diperhatikannya bagian atas pohon yang berada di sana. Tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Keheningan membungkus tempat itu.
Panji baru saja hendak melangkah. Tapi kakinya tiba-tiba dirasakan berat dan tidak bisa digerakkan. Jangankan untuk melangkah, mengangkatnya saja tidak bisa dilakukan. Tentu saja Panji terkejut. Seseorang telah dengan sengaja hendak mempermainkannya.
"Jika didiamkan pasti semakin menjadi-jadi. Bisa-bisa aku dijadikan mainannya," gumam Panji. Dengan sebuah sentakan mendadak, tubuhnya segera diputar ke samping. Kuda-kudanya rendah dengan sikap kedua kaki menekuk persilangan. Gerakan itu untuk mengunci dan membuyarkan tenaga yang melibat kedua kakinya.
"Heahhh...!"
Berbarengan dengan suara bentakan pendek Panji melompat ke atas. Dua kakinya masih menekuk bersilangan. Dan ketika mendarat di tanah, baru ia membuka kedua kakinya. Kekuatan tak nampak yang melibat kedua kakinya pun lenyap.
"Hebat.., hebat...!" Pujian itu masih disertai dengan tepukan tangan. Panji berpaling, diperhatikannya sosok seorang kakek yang entah dari mana datangnya tahu-tahu tengah melangkah mendekatinya. "Kepandaianmu benar-benar sangat mengagumkan, Anak Muda," kakek itu rnemuji Panji. "Terutama caramu membebaskan pengaruh tenaga yang melibat kedua kakimu. He he he.... Kehebatanmu membuat selera bertempurku bangkit. Mari kita bertarung, Anak Muda. Kalau bisa mengalahkan aku, kau akan kuhadiahkan seorang janda bahenol. Wajahnya cantik dengan senyum yang menggemaskan. Bibirnya mungil. Tubuhnya langsing dan padat. Kulitnya putih halus. Nah, bagaimana? Aku yakin baru mendengarnya saja kau sudah mengilar. He he he...!"
"Kalau begitu, biarlah aku mengaku kalah, Kek," ujar Panji setelah menghela napas. "Silakan kau ambil janda bahenol itu. Rasanya aku lebih suka memilih untuk melanjutkan perjalanan..."
Tanpa menunggu jawaban lagi Panji segera mengayun langkah. Saat itu keremangan senja sudah semakin memekat. Sebentar lagi malam akan segera jatuh. Panji tidak ingin kemalaman di jalan. la berharap dapat menemukan perkampungan setelah melewati Bukit Dampet yang dari tempatnya berada kini kira-kira seratus tombak lagi. Tapi langkahnya terpaksa harus ditunda. Kakek itu sudah berdiri menghadang di depannya. Panji menarik napas sesaat. Sejurus ditatapnya kakek itu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dari ku, Kek?" tanyanya penasaran dan tidak mengerti mengapa kakek itu seperti sepertinya mencari-cari perkara. Padahal Panji sudah berusaha mengalah. Si kakek terkekeh memamerkan gigi-giginya yang berwarna kehitainan dan sudah tidak lengkap lagi.
"Kalau kukatakan, apakah kau bersedia memenuhinya?" tanya kakek itu.
Panji termenung beberapa saat. Sikap kakek itu menurutnya tidak wajar. Seperti dibuat-buat. Seolah dengan sengaja hendak menunda perjalanan nya. Pikiran itu membuat Panji menjadi curiga. "Bersedia atau tidak aku memenuhinya itu ter gantung dari permintaanmu. Jadi, sebaiknya jelas kan dulu permintaanmu itu. Setelah itu aku akan mempertimbangkannya," sahut Panji kemudian. Matanya menatap wajah si kakek dengan penuh selidik.
"Permintaanku tidak sulit. Aku yakin kau sanggup memenuhinya."
"Kalau begitu, katakanlah," desak Panji.
"Setelah itu kau akan bersedia untuk memenuhinya?"
"Aku sudah menjelaskannya tadi," tukas Panji mengingatkan. "Jadi cepat katakan keinginanmu itu!"
"Aku sudah beberapa hari tinggal di tempat ini. Dan aku merasa kesepian karena tidak ada yang menemaniku bermain. Tiba-tiba kau datang tanpa kuundang. Jadi... aku meminta kesediaanmu untuk menemaniku bermalam di tempat ini. Tidak perlu lama-lama. Semalam saja sudah cukup," jelas kakek itu dengan suara memelas, seolah hendak menggambarkan kesepian yang menyiksanya.
Panji mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya tak lepas dari raut wajah keriput berkumis dan jenggot memutih itu. Rasa kesepian yang disampaikan kakek itu memang menyentuh perasaan. Namun Panji meragukan kebenarannya. Nalurinya mengatakan kakek itu telah berdusta. Selain itu, kakek di hadapannya ini agaknya bukanlah orang baik-baik. Cara kakek ini mempermainkannya dengan serangan-serangan mematikan menunjukkan itikad jeleknya.
"Maaf Kek, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku harus pergi...."
Begitu kata-katanya setesai diucapkan, Panji langsung melesat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Pemuda itu lewat di samping tubuh si kakek vnng berdiri tertegun. Tak disangkanya Panji akan menolak permintaannya.
"Hm ... Jangan kira kau bisa pergi begitu saja dari hadapanku, Pendekar Naga Putih...!" Kakek itu Menggeram gusar. Lalu, cepat bagai sambaran kilat ia melesat seraya mengulur kedua lengannya ke arah Panji yang berada tiga tombak di depannya.
Panji menyadari sepenuhnya perbuatannya itu tidak akan dibiarkan si kakek. Maka ketika dirasakan sambaran angin halus di belakangnya, kedua kaki Panji segera dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melambung ke udara. Berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun setelah memperhitungkan sambaran angin telah lewat di bawah kakinya. Perhitungannya memang tidak meleset. Keyakinan itu diperkuat dengan sumpah serapah yang dilontarkan si kakek. Maka begitu menginjak tanah, Panji kembali melesat dengan kecepatan tinggi.
"Berhenti kau, Pendekar Naga Putih! Seorang pendekar besar sepertimu tidak pantas berlaku pengecut!" Sambil berlari mengejar kakek itu memaki kalang-kabut.
Teriakan-teriakan si kakek bukannya membuat Panji berhenti. Malah, larinya semakin dipercepat. Kakek itu telah mengenal julukannya. Ini merupakan satu bukti lagi kalau kakek itu memang bukan orang baik-baik.
"Pasti bukan tanpa alasan ia menghambat perjalananku," gumam Panji dalam hati, "Entah apa, aku belum bisa menduganya...."
Jalan sempit Bukit Dampet berada dua puluh tombak di depan Panji. Saat itu keremangan sudah semakin memekat. Tiba-tiba, samar-samar telinga Panji menangkap suara jeritan yang menyayat. Apa yang didengarnya itu langsung saja dikaitkan dengan perbuatan si kakek yang terus mengejarnya.
"Sekarang aku baru mengerti mengapa kakek itu berkeras hendak mencegah perjalananku. Ia pasti mengetahui apa yang sedang terjadi di celah- celah Bukit Dampet Pasti ia tidak menghendaki aku sampai mengetahuinya," gumam Panji.
Sebagai orang yang cukup pengalaman, Panji maklum kalau suara jeritan itu berasal dari seseorang yang tengah di ambang ajal. la menyimpulkan di tempat jeritan itu berasal pasti tengah terjadi perkelahian. Dugaan dugaan yang melintas ini membuat Panji ingin segera tiba secepatnya di tempat lersebut.
********************
LIMA
Tanpa sepengetahuan empat orang prajurit pasukan khusus yang tengah melayang ke arena, Katak Hijau memberi tanda kepada Senapati Malingkat dengan kedipan mata. Sekejap kemudian, Katak Hijau melompat ke depan. Senjatanya dilemparkan kepada Senapati Malingkat, yang begitu berada dalam genggaman langsung dibabatkannya ke samping, di mana dua orang prajurit yang hendak membantunya baru saja mendarat.
Gerakan Senapati Malingkat cepat bukan main. Selain itu, sasarannya pun tidak pernah menduga Senapati Malingkat malah akan menyerang mereka. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri. Maka, terdengarlah jerit kematian sewaktu mata pedang merobek perut. Keduanya roboh dengan tubuh bermandikan darah. Tawa Senapati Malingkat mengiringi kematian dua orang prajurit yang naas itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dua orang prajurit lainnya ikut ambruk ke tanah dengan tenggorokan berlubang. Pelakunya bukan lain Katak Hijau. Saat melompat dan melemparkan pedang kepada Senapati Malingkat, Katak Hijau langsung menerkam dua orang prajurit di sebelah kanan senapati tersebut Dua prajurit pasukan khusus itu tidak mungkin menghindar. Keadaan mereka sangat tidak menguntungkan. Dengan mudah Katak Hijau membenamkan cakar-cakarnya ke tenggorokan dua prajurit itu.
"Pengkhianat busuk...!"
Senapati Malingkat dan Katak Hijau terkejut mendengar makian itu. Cepat keduanya menoleh. Dan, Senapati Malingkat bergegas melempar tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Begitu ia menoleh, dilihatnya sesosok bayangan melayang ke arahnya. Suara angin pukulan yang menderu membuat Senapati Malingkat sadar kalau serangan itu sangatlah berbahaya. Maka, tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menyelamatkan diri. Tapi sosok bayangan itu lidak mau memberi kesempatan. Dia segera memburu dengan serangkaian serangan maut.
"Hyahhh...!"
Senapati Malingkat menjadi geram. Dengan sebuah teriakan pendek, kedua tangannya diayunkan menyambut serangan sosok bayangan.
Plakkk! Plakkk!
Kedudukannya yang tidak menguntungkan membuat Senapati Malingkat terhuyung mundur. Serangan lawan memang berhasil dipatahkannya, namun ia kalah tenaga. Benturan itu nyaris menjungkalkan tubuhnya. Sumpah serapah kotor terlontar dari mulut Senapati Malingkat.
Sementara itu akibat tangkisan Senapati Malingkat luncuran tubuh sosok bayangan jadi tertunda. Kedua kakinya mendarat ringan di tanah. Dan selagi tubuh Senapati Malingkat terhuyung-huyung, ia kembali menerjangnya dengan serangan yang mematikan!
Katak Hijau bukan tidak tahu keadaan Senapati Malingkat yang sangat terjepit. Namun ia sedikit pun tidak tergerak untuk berbuat sesuatu Katak Hijau cuma berdiri menyaksikan dengan kepala mengangguk-angguk. Sikap masa bodoh Katak Hijau ini membuat Senapati Malingkat geram bukan main.
"Katak Hijau!" teriak Senapati Malingkat. "Jika kau tidak membantuku, aku bersumpah akan menyebar luaskan kejadian hari ini! Itu berarti kau akan menjadi buronan kerajaan!"
Ancaman Senapati Malingkat membuat wajah Katak Hijau langsung berubah. Tentu saja ia sangat terkejut. Jika Senapati Malingkat bisa selamat dan benar-benar melaksanakan ancamannya, berarti ia akan menjadi buronan kerajaan. Hal itu sudah pasti tidak diinginkannya. Apa gunanya memperoleh banyak harta jika hidup menjadi buronan.
"Benar-benar licik manusia satu itu!" Katak Hijau menggeram. Ia sadar ancaman itu sangat berbahaya. Jelas tidak ada pilihan lain baginya kecuali terpaksa membantu Senapati Malingkat. Katak Hijau pun segera melayang ke tengah arena, di mana Senapati Malingkat tengah jatuh bangun untuk menyelamatkan diri.
"Kok kok kok...!"
Sosok bayangan yang tengah mendesak Senapati Malingkat terpaksa harus menunda serangannya. Suara katak yang datang dari sampingnya itu dirasakan sangat aneh. Dan, alangkah terkejutnya dia. Dilihatnya Katak Hijau tengah berjongkok dengan mulut terbuka. Dari mulut itu meluncur keluar gulungan asap berwarna kehijauan yang disertai bunyi aneh seperti suara katak. Bau amis yang tercium membuat sosok bayangan itu sadar kalau asap kehijauan mengandung racun mematikan. Cepat ia melemparkan tubuhnya ke belakang menghindari asap beracun.
Tindakan sosok bayangan membuat Senapati Malingkat tersenyum iblis. Ia melihat satu peluang yang sangat baik untuk melakukan pembalasan. Senapati Malingka bergegas melompat bergulingan di tanah. Disambarnya pedang yang tadi terjatuh. Dan dengan sebuah teriakan panjang, Senapati Malingkat melompat seraya melontarkan pedang di tangannya dengan sekuat tenaga.
Syuuuttt... Cappp!
Sosok bayangan itu tak sempat menyelamatkan diri. Pedang meluncur deras dan menancap di perut selagi tubuhnya masih berada di udara. Pedang yang menancap dalam hingga tembus ke belakang itu membua sosok bayangan ambruk di tanah. Dia menggelepar sesaat sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Mati!
Sementara di tempat lain... Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya Sastrawan Murung harus mengakui keunggulan Setan Mata Api. Pada jurus-jurus selanjutnya ia lebih banyak bertahan dan hanya sesekali membalas serangan. Keadaan itu tentu saja membuat Sastrawan Murung lama-kelamaan menjadi terdesak.
Lima orang prajurit yang semula hanya menonton serentak bangkit berdiri. Dan sebeum Sastrawan Murung benar-benar roboh di tangan Setan Mata Api, kelima prajurit pasukan khusus itu segera membantunya. Namun sebelum mereka memasuki arena, dua sosok bayangan telah mendarat di hadapan mereka.
"Tuan Senapati...?!"
Lima prajurit itu berseru kaget begitu mengenal salah satu satu dari kedua sosok tersebut Kelimanya segera bergerak mundur. Wajah dan sikap Senapati Malingka membuat mereka curiga. Sayang, sebelum mereka sempat berbuat sesuatu Katak Hijau telah berjongkok seraya melontarkan 'Pukulan Katak Hijau'nya yang mengandung racun jahat!
"Kok kok kok..!"
Kelima prajurit itu tertegun. Heran dan belum mengerti dengan apa yang dilakukan Katak Hijau Keheranan mereka segera berubah menjadi jerit kematian. 'Pukulan Katak Hijau' menghantam tubuh kelimanya yang langsung berpentalan dan jatuh berdebuk di tanah. Mereka tewas dengan kulit tubuh berubah kehijauan.
Katak Hijau terkekeh. Ditatapnya Senapati Malingkat. "Sekarang tinggal satu lagi yang harus kita bereskan," ujarnya seraya mengerling ke arah Sastrawan Murung.
Kemunculan Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat pikiran Sastrawan Murung bertambah kacau. Perhatiannya terpecah, hingga ia tak bisa lagi menghindari sebuah hantaman Setan Mata Api yang telak menggedor dada kanannya.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, Sastrawan Murung terjengkang ke belakang. Dadanya terasa sesak Panas dan juga nyeri. Kendati demikian, Sastrawan Murung bergegas bangkit berdiri dan menatap tajam sosok Setan Mata Api yang tertawa terbahak-bahak. Sungguh tidak disadarinya betapa saat itu Senapati Malingkat sudah berada di belakangnya dengan pedang teracung
Whuuut... Crakkk...!
Terlambat bagi Sastrawan Murung untuk menyadari datangnya serangan. Mata pedang langsung memutus lehernya, tepat di saat kepalanya ditolehkan ke belakang. Kepala itu langsung jatuh ke tanah. Sementara dari leher Sastrawan Murung memancur darah segar.
"Malingkat," ujar Setan Mata Api seraya menatap lekat-lekat wajah Senapati Malingkat.
"Mengapa kau tidak memberitahu kami bahwa kaulah yang akan memimpin pengawalan ini? Jelas ini di luar rencana kita. Jika kau kembali ke istana dalam keadaan segar bugar seperti ini, mana mau mereka percaya dengan ceritamu? Ini jelas berbahaya. Terutama bagi dirimu. Jalan satu-satunya untuk melenyapkan kecurigaan orang istana adalah kau harus bersedia kami lukai. Dengan adanya luka-luka tersebut kemungkinan penjelasanmu bisa mereka percaya. Paling tidak, mereka akan mempertimbangkan ceritamu. Bagaimana, kau bersedia?"
Senapati Malingkat tidak langsung menjawab. Terlebih dulu ditatapnya wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau bergantian. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak percaya dengan kedua tokoh itu. Tapi semuanya sudah telanjur. Untuk mundur jelas tidak mungkin. Jalan satu-satunya memang dia harus menerima usul Setan Mata Api.
"Tentu saja," jawab Senapati Malingkat kemudian. la tidak mau membuat mereka curiga karena terlalu lama berdiam diri. "Kurasa usulmu cukup baik. Silakan kalian lukai aku. Buat agar cukup parah. Tapi ingat! Kalian harus menyisihkan harta bagianku. Tunggu di tempat yang telah kutentukan. Kalian masih ingat tempat itu, bukan?"
"Heh heh heh...! Mana bisa kami lupa, Malingkat," Katak Hijau terkekeh seraya mengerling pada Setan Mata Api. "Nama tempat itu adalah Lembah Batu Hitam. Letaknya di sebelah tenggara wilayah utara, daerah tempat kita bertiga berasal..."
"Kami akan menunggu kedatanganmu, Malingkat," Setan Mata Api menambahkan. Sedangkan dalam hati ia melanjutkan dengan kata-kata, "Tapi kau tidak akan pernah bisa datang. Malam ini kau akan kukirim ke akhirat!"
Senapati Malingkat mengangguk puas. Dia tidak menduga kalau Setan Mata Api dan Katak Hijau mempunyai rencana lain terhadap dirinya. Mereka bukan sekadar ingin melukai, tapi membunuh! Senapati Malingkat tidak menyadari hal itu. la sudah melangkah mundur. Lalu, mengangguk sebagai tanda dirinya telah siap.
Setan Mata Api dan Katak Hijau saling bertukar pandang sesaat. Kemudian, Setan Mata Api melangkah maju seraya membabatkan pedang ke dada Senapati Malingkat. Perbuatan itu dilakukan dengan tanpa mengerahkan tenaga dalam. Sambaran pedang itu hanya akan menimbulkan luka luar.
Senapati Malingkat tentu saja tahu. Diam-diam ia tersenyum dalam hati, mentertawakan kebodohan Setan Mata Api. Namun, di saat mata pedang sudah hampir mengenai kulit dadanya, tiba-tiba Senapati Malingkat menjadi pucat pasi! Ia pun sadar Setan Mata Api telah berkhianat. Di akhir serangan yang sudah tidak mungkin dielakkannya itu Setan Mata Api mengerahkan tenaga dalam!
"Kepar...!"
Breeettt!
"Arghhh...!" Makian Senapati Malingkat berubah menjadi raung kesakitan yang mendirikan bulu roma. Sabetan pedang Setan Mata Api yang sangat kuat mengoyakkan dada Senapati Malingkat. Tanpa ampun lagi, tubuh senapati itu terpelanting disertai percikan darah yang membanjir dari luka di dada
Meskipun menderita luka yang parah, Senapati Malingkat berkeras untuk bangkit. Menyesal ia telah mempercayai makhluk-makhluk licik seperti Setan Mala Api dan Katak Hijau. Sayang, penyesalan itu terlambat datangnya. Selagi ia tengah berusaha berdiri dengan kedua kaki gemetar, pukulan maut Katak Hijau meluncur datang.
Desss...!
Senapati Malingkat menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar hampir dua tombak. Kemudian, jatuh menggelepar seperti ayam disembelih. Sebuah telapak kaki yang dijejakkan di dada menghentikan gerakan tubuh Senapati Malingkat. Jejakan itu menghancurkan tulang-tulang dadanya. Sepasang mata Senapati Malingkat terbeliak. Ditatapnya sesaat wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau dengan sorot penuh dendam. Setelah itu, kepalanya terkulai.
"Ha ha ha...!"
Tawa Setan Mata Api dan Katak Hijau menggema bagai tawa setan-setan gentayangan. Dan sesaat kemudian, berganti dengan suara derak roda kereta menggilas permukaan tanah berbatu.
********************
Pendekar Naga Putih berdiri mematung. Tubuh-tubuh bersimbah darah berserakan di sekitarnya. Cuma pemandangan itu yang ditemuinya saat ia tiba, selain jejak bekas roda kereta. Sayang, saat itu hari sudah malam. Tentu sangat sulit menelusuri jejak roda kereta di tengah kegelapan.
"Jika saja peristiwa ini terjadi pada siang hari, mungkin aku bisa menemukan bekas jejak kereta-kereta itu," sesal Panji. Namun, tiba-tiba satu suara mengusik kesendirian Panji
"Ha ha ha ... Hebat... hebat...!" Suara tawa itu disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang bukan lain kakek yang tadi mengejar Panji. Kakek itu muncul sambil bertepuk tangan keras-keras.
Panji menatapnya dengan kening berkerut
"Apa maksud kata-katamu, Kek?" tanya Panji.
"Eh, masih mau berpura-pura juga, ya?" ujar kakek itu seraya menghentikan langkah setengah tombak dari Panji.
"Jelaskan maksudmu, Kek! Ini bukan saat yang tepat untuk berteka-teki!"
"Apa aku bilang begitu?" Kakek ini menelengkan kepala. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Sorot matanya tajam berkilat. Amarahnya jelas terpancing oleh sikap kakek itu yang sengaja hendak mempermainkannya. Tapi untuk meladeni ia merasa percuma saja. Menurut pengamatannya, kakek itu agak kurang beres otaknya.
"Sudahlah!" Panji mengibaskan tangannya. "Tidak ada gunanya melayanimu berdebat. Kalau kau kurang puas, silakan ajak mayat-mayat itu untuk melayani omonganmu. Maaf, aku harus pergi!" Panji langsung memutar tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Kakek itu berteriak sambil melompat tinggi. Dia berputar beberapa kali di udara sebelum mendarat satu tombak di hadapan Panji. "Mana bisa pergi begitu saja setelah membantai belasan prajurit kerajaan!" tuduh si kakek, membuat Panji terperangah kaget.
"Apa-apaan ini? Main tuduh seenak perut sendiri! ltukah makna tawa dan pujianmu tadi?" Panji kelihatan gusar sekati. la merasa tidak enak dituduh seperti itu.
"He he he ... Tidak perlu main sembunyi seperti itu kepadaku, Pendekar Naga Putih," sahut si kakek berkeras dengan tuduhannya. "Harta yang dibawa pasukan kerajaan yang baru kau bantai ini memang sangat banyak. Tidak heran kalau seorang pendekar besar sepertimu sampai bisa khilaf. Tapi terus terang, aku tidak mempersoalkan kematian mereka. Aku akan tutup mulut asalkan kau mau membagi dua harta itu. Kau tidak keberatan, bukan? Separuhnya saja sudah cukup untuk kau gunakan berfoya-foya selama hidup!"
"Gila...!" Panji menggeram. Sekarang ia benar benar jengkel. "Aku sama sekali tidak tahu-menahu seal harta yang kau maksud itu. Kau sendiri yang menyebut-nyebutnya. Aku jadi curiga...."
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih?"
"Semua ini pasti sudah kau atur bersama kawan-kawanmu..." lanjut Panji seraya tersenyum sinis. "Kau sengaja mencegahku tadi. Itu baru kusadari saat menemukan mayat-mayat yang berserakan di tempat ini. Jelas kau menghambat perjalananku agar pekerjaan kawan-kawanmu tidak terganggu..."
"Ha ha ha...!" Tuduhan balik Panji malah membuat si kakek tergelak. "Maling teriak maling. Bagus... bagus! Aku suka itu... aku suka!"
Panji menggelengkan kepala. Melayani bicara kakek itu, ia jelas tidak bakal menang. "Terserah kau sajalah, Kek. Yang jelas aku tidak membunuh mereka. Sekarang aku mau pergi! Akan kucari dua buah kereta kuda itu sebagai bukti kalau aku tidak bersalah!" usai berkata demikian, Panji benar-benar melangkah pergi. Tak akan dipedulikannya meski kakek itu akan mencegah.
Si kakek kembali tertawa mengekeh. Kali ini ia tidak mencegah kepergian Panji. "Ya, temukanlah Setan Mata Api dan Katak Hijau, Pendekar Naga Putih. Manusia-manusia licik itu telah mengkhianatiku. Mereka telah memperdayaiku, yang mencegahmu agar tidak sampai menggagalkan rencana perampokan," ujar si kakek dalam hati seraya menatap kepergian Pendekar Naga Putih.
Sepeninggal Panji, kakek ini segera memeriksa mayat mayat Ketika berdiri di dekat mayat Senapati Malingkat, mulutnya berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak jelas.
"Setan Mata Api, Katak Hijau!" ujar si kakek kemudian. Suaranya lantang dan bergetar. "Tunggulah. Akan ada pembalasan yang mengerikan untuk orang-orang serakah seperti kalian...!" Dalam suara kakek itu terkandung sesuatu yang menggetarkan hati. Seperti menyimpan suatu kutuk mengerikan. Mengandung getaran dendam dan sakit hati. Yang kelak akan dibalasnya dengan cara yang tak pernah terlintas dalam pikiran Setan Mata Api maupun Katak Hijau.
********************
ENAM
Hari itu adalah hari kesembilan sejak peristiwa di Bukit Dampet Pagi setelah terjadinya perampokan Panji menelusuri jejak roda kereta yang berisikan harta kerajaan. Pada hari kesembilan, saat menjelang siang, Panji berhasil menemukan dua buah kereta kuda tersebut Namun kedua kereta itu telah kosong. Tak satu pun benda berharga ter sisa di dalamnya.
Hal itu tidak membuat Panji menyerah. Apalagi ia sudah bisa memperkirakan ke mana perampok- perampok itu melarikan diri. Jejak roda kereta terus bergerak ke arah utara. Dari kenyataan itu Panji mengambil kesimpulan kemungkinan besar perampok-perampok berasal dari daerah utara. Atau paling tidak, hendak membawa harta rampokannya ke wilayah utara.
Perkiraan itu memang masih dalam rabaannya saja. Memang hal itu bisa dijadikan sebagai pegangan. Selain itu memang tidak ada petunjuk lagi. Dan la sama sekali belum mendapat gambaran tentang ciri-ciri dari perampok-perampok itu, yang berjumlah sedikitnya dua orang. Sebab tidak mungkin satu orang bisa membawa dua buah kereta kuda sekaligus.
Dan Panji memang harus mengakui kelihaian perampok-perampok itu yang tidak pernah melintasi daerah pemukiman penduduk. Dua buah kereta kuda itu selalu dibawa melalui daerah-daerah sepi yang jauh dari tempat-tempat pemukiman penduduk. Sehingga Panji menemui kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri atau pun jumlah perampok-perampok itu. Tidak ada orang yang bisa ditanyainya untuk mencari keterangan tentang kereta kuda atau pun orang-orang yang membawanya.
Suara langkah orang berlari mengusik lamunan Panji. Tubuhnya segera diputar menghadap arah suara langkah itu datang. Dan, pandangannya terbentur pada dua sosok tubuh yang kemudian berhenti tepat di depannya. Tanpa berkata sepatah pun kedua pendatang itu meneliti Panji dari ujung kepala sampai kaki.
Dan tanpa sadar Panji melakukan hal yang sama pada mereka. Keduanya adalah seorang nenek berambut putih riap-riapan dan seorang gadis cantik bermata bulat Mata itu bersinar sinar. Mencerminkan watak yang jenaka. Di ujung bibir sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat. Tanda bahwa gadis cantik itu seorang yang cerewet.
"Hei! Mengapa kau pandangi kami seperti itu? Belum pernah berjumpa dengan perempuan, ya?" Gadis cantik bertahi lalat menegur Panji lebih dulu. Suaranya terdengar galak. Begitu juga dengan roman mukanya. Malah, dia bertolak pinggang segala.
Tadinya Panji bermaksud membela diri. Karena mereka juga melakukan perbuatan serupa kepada dirinya. Tapi niat itu diurungkan. Ditariknya napas sesaat, lalu dicobanya tersenyum ramah kepada mereka. "Maaf, kalau sikapku membuat Nona tidak suka...."
"Siapa bilang aku tidak suka?" Gadis bertahi lalat memotong kalimat Panji.
Sementara nenek berambut putih riap-riapan bersikap tidak peduli. Nenek itu tetap meneliti Panji. Dari kepala ke ujung kaki, kemudian balik dari kaki ke ujung kepala. Perbuatan itu dilakukannya sampai berulang-ulang. "Jika demikian, biarlah kutarik lagi perkataanku itu," Panji tetap menunjukkan sikap ramahnya. "Dan maaf kalau sikapku tadi telah membuat Nona merasa suka..."
"Aku juga tidak bilang begitu!" Lagi-lagi gadis itu menukas.
"Hh...," Panji menghela napas. "Entah apa lagi yang harus kukatakan kepadamu, Nona...."
"Tanya kek siapa namaku. Itu kan lebih enak didengarnya," sahut gadis bertahi lalat.
"Aneh...?!" gerutu Panji seraya menggaruk-garuk kepala. Bukan karena gatal, tapi bingung menghadapi sikap aneh gadis itu.
"Hik hik hik...!"
Panji mengalihkan perhatiannya pada sosok nenek berambut riap-riapan. Sejak tadi nenek itu cuma diam sambil terus memperhatikannya. Dan sekalinya membuka mulut, si nenek tertawa mengikik seraya menutupi mulutnya seperti lagak seorang gadis saja. Sikap nenek mau tidak mau membuat Panji tersenyum geli.
"Tanyalah, Anak Tampan, tanyalah," si nenek malah menyuruh Panji. "Apa kau tidak tertarik dengan muridku yang bahenol ini? Wajahnya cantik dan segar berseri-seri. Tubuhnya langsing padat," lalu dia berpaling kepada muridnya. "Coba biarkan anak tampan itu memegang tubuhmu, Muridku. Biar dia rasakan sendiri betapa hangat dan lunaknya tubuhmu yang bahenol itu," perintahnya kepada si gadis yang ternyata muridnya.
Ucapan nenek itu tentu saja membuat Panji jengah. Parasnya berubah kemerahan. Nenek gendeng, gerutu Panji dalam hati. Diam-diam ia merasa kasihan kepada gadis bertahi lalat, yang menurutnya pasti merasa malu dengan permintaan gurunya itu. Tapi, alangkah kaget hati Panji sewaktu melihat gadis itu tersenyum malu-malu seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya. Gadis ini melangkah maju mendekati Panji. Tubuhnya disorongkan untuk dipegang Panji seperti permintaan gurunya.
"Peganglah, Anak Tampan. Raba sesukamu. Bagian yang mana saja boleh," sambil diselingi kekehnya si nenek memerintah Panji.
Karuan saja Panji menjadi kelabakan! "Celaka..." keluh Panji dalam hati. "Guru dan murid sama gilanya! Mereka jelas tidak sedang bermain-main. Heran, mengapa belakangan ini aku sering menemukan manusia kurang waras?"
"Mengapa bengong, Anak Tampan? Hayo, jangan malu-malu!" Si nenek mendesak Panji yang makin kelabakan dan salah tingkah.
Sementara gadis cantik bertahi lalat sudah berdiri di depan hidung Panji. Kendati kedua belah pipinya dironai warna kemerahan, namun ia tidak malu-malu menarik tangan Panji dan dibawanya ke tubuhnya.
Panji terperangah dalam keheranan. Terbengong-bengong memandang si nenek dan gadis di depannya bergantian. Seperti tidak sadar tangannya dibiarkan dibawa gadis itu ke bagian tubuhnya yang paling menonjol. Buah dada yang membukit dan sedang ranum-ranumnya.
"Aiii...!" Setengah terpekik Panji menarik tangannya. Hampir saja ia menyentuh buah dada gadis itu. Dengan wajah kemerahan Panji melompat mundur.
Sementara si gadis membelalakkan matanya. Kelihatan sekali betapa ia sangat heran dengan tindakan Panji. Yang ia tahu selama ini, tak ada seorang lelaki pun akan menolak jika diberi kesempatan seperti itu. Hanya lelaki tolol saja yang berbuat begitu. Mungkin pemuda ini termasuk dalam golongan itu, pikirnya dalam keheranan.
Lain tanggapan gadis itu, lain pula tanggapan si nenek. Parasnya langsung berubah. Kekehnya seketika lenyap. Wajahnya membesi dengan sorot mata yang nyata-nyata menunjukkan kemarahan.
"Hei, Pemuda Bego!" Si nenek memaki Panji. Suaranya melengking menusuk telinga. Jari telunjuknya yang berkuku runcing ditudingkan lurus-lurus ke wajah Panji. "Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Apa yang kau lakukan merupakan penghinaan tak berampun. Hanya nyawamu yang dapat menebusnya!"
Panji terperangah. Sungguh tak disangka tindakannya membuat nenek itu marah besar. Padahal, yang dilakukannya adalah suatu kebenaran. la telah menyelamatkan si gadis dari rasa malu. "Nek," ujar Panji. "Tidak ada niat sedikit pun di hatiku untuk menghina kalian berdua. Dan..."
"Cukup! tidak perlu berdalih lagi!" Si nenek membentak garang. "Menolak untuk menyentuh tubuh muridku sama artinya dengan melakukan penghinaan besar! Padahal, sewaktu pertama kali melihatmu aku sudah merasa cocok untuk menjadikanmu suami muridku. Itu adalah suatu kehormatann yang tiada taranya. Aku tidak pernah sembarangan memilih. Tapi kau ternyata menolaknya mentah-mentah. Satu-satunya cara untuk menebus penghinaan ini adalah kematianmu! Nah, Murni," lanjutnya seraya menoleh kepada muridnya. "Bunuh pemuda yang tidak tahu diuntung itu!" perintahnya tanpa bisa ditawar lagi.
Gadis cantik bertahi lalat yang bernama Murni ini segera mematuhi perintah gurunya. Terdengar suara angin berdesing sewaktu ia mencabut pedang. Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi Murni mengayun langkahnya menghampiri Panji.
"Murni, tahan dulu...!" Panji berusaha mencegah. Kedua telapak tangannya diangkat di depan dada. "Aku tidak ingin kelak kau menyesali perbuatanmu. Sekali lagi kutegaskan, aku sama sekali tidak bermaksud menghinamu. Simpanlah senjatamu itu. Jangan turuti nafsu amarah yang dihembuskan setan..."
Tapi Murni tidak mendengarkan kata-kata Panji. Gadis ini terus melangkah dengan pedang terhunus. Sorot matanya tajam berkilat, memancarkan tekad yang tidak bisa dicegah.
"Haliittt..!"
Tiga langkah di dekat Panji, Murni membentak seraya membabatkan pedangnya yang memperdengarkan suara mengaung. Serangan itu jelas tidak main-main. Panji yang tidak ingin kehilangan kepala segera bergerak mundur. Babatan pedang yang mengancam lehernya lewat satu jengkal. Dan Panji masih harus berlompatan beberapa kali ketika serangan Murni tidak berhenti sampai di situ.
"Terus, Murni, terus!" Si nenek berteriak-teriak memberi semangat. "Pemuda tolol macam dia tidak perlu diberi hati. Jangan ragu-ragu. Habisi saja pemuda sial dangkalan itu...!"
Dan Murni memang tidak main-main. Serangannya datang bertubi-tubi laksana curahan air hujan. Agak repot juga Panji dibuatnya. Murni ternyata bukan gadis sembarangan. Kecepatan dan kekuatan serangannya menunjukkan kepandaian yang tinggi.
Lama-kelamaan Panji menjadi waswas juga. Jika terus-terusan menghindar, bukan mustahil serangan itu akan mengenai tubuhnya. "Berhenti, Murni! Jangan paksa aku untuk melawan!" Panji berseru di tengah desing pedang Murni.
Namun, gadis itu tidak peduli. Malah serangannya semakin diperhebat. Kesabaran Panji mulai habis. Kalau dinasihati sudah tidak bisa, maka jalan satu-satunya adalah unjuk gigi. Ketika serangan Murni kembali datang mengancam, Panji langsung memapakinya dengan satu tangkisan menyilang.
Tapi Panji kecewa. Tangkisannya hanya membabat angin kosong. Murni sudah lebih dulu merubah serangannya. Dengan gerak berputar yang indah, pedangnya langsung beralih sasaran. Kalau tadi meluncur lurus ke dada Panji, maka kali ini leher yang menjadi incarannya.
Whuuuttt..!
Panji menekuk lutut dan tubuhnya hingga sambaran pedang lewat di atas kepala. Lengannya kemudian diputar sambil menggeser kaki kanan ke depan. Gerakan itu dilakukan Panji dengan sangat cepat. Murni menahan pekiknya ketika tahu-tahu saja jari jari Panji sudah menceka pergelangan tangannya hingga pedangnya terlepas dari genggaman. Tubuhnya sendiri terjajar oleh dorongan tangan kiri Panji pada perutnya. Panji baru saja hendak menarik napas lega, tapi sambaran angin keras menerpa tubuhnya. Sebuah telapak tangan yang dilandasi kekuatan hebat langsung membentur tubuh.
Deeesss...!
Tak ayal lagi tubuh Panji terlempar deras dan jatuh terguling-guling di tanah. Panji menyeringai kesakitan. Dadanya berdenyut-denyut oleh rasa nyeri. Pukulan itu telah mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya. Untungnya, 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' langsung bekerja dan menyembuhkan luka dalam itu. Pengaruh tenaga mukjizat tersebut membuat sekujur tubuh Panji dilapisi pancaran sinar kuning keemasan.
"Ayyyaaa...!" Si nenek memekik tertahan menyaksikan munculnya sinar kuning keemasan yang membungkus tubuh Panji. "Ternyata pemuda tak tahu diuntung itu adalah Pendekar Naga Putih!" serunya dengan roman muka terkejut.
"D-dia... Pendekar Naga Putih...?!' Murni tidak kalah kagetnya.
"Kalian tidak keliru,' ujar Panji setelah pengobatan terhadap lukanya selesai. "Aku, pemuda tolol dan bego ini memang dijuluki Pendekar Naga Putih..."
"Hih hih hih...!" Si nenek terkikik seraya menutup mulut dengan telapak tangan. "Bagus... bagus! sungguh suatu kebetulan yang sanga menyenangkan. Nah, Pendekar Naga Putih. Setelah aku mengetahui siapa kau sebenarnya, maka biarlah kutarik kembali kata kata yang tadi kuucapkan. Aku tidak akan membunuhmu..."
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Nek," ucap Panji tersenyum lega.
"Tapi...," Si nenek memandang Panji dengan mata berbinar. "Dengan satu syarat, kau harus bersedia menjadi suami muridku..."
"Celaka...!" desis Panji dalam hati. "Rupanya nenek sinting ini tidak berubah juga!"
"Jawablah, Pendekar Naga Putih," si nenek mendesak tak sabar. "Katakan kalau kau bersedia mengawini muridku yang bahenol ini. Sebab jika menolak, kau akan kubunuh!" lanjutnya kembali mengancam.
Panji tetap bungkam. Nenek itu tampaknya benar-benar akan melaksanakan ancamannya. Ini sangat berbahaya sekali. Nenek berambut putih riap-riapan itu sangat lihai.
"Lebih baik kau terima tawaranku, Pendekar Naga Putih. Dengan begitu, akan banyak keuntungan yang kau peroleh," Si nenek kembali berkata.
"Tapi, Nek..."
"Tidak perlu kau jelaskan, Pendekar Naga Putih! Aku tahu alasan apa yang hendak kau ajukan. Aku bisa membacanya dari raut wajahmu. Dan melalui dua kereta kuda itu, aku juga bisa mengetahui siapa yang sedang kau buru..."
"Eh?" Panji menarik wajahnya dengan wajah kaget. Apa yang dikatakan nenek berambut putih riap-riapan itu memang sangat mengejutkan hatinya. Tapi kekagetan itu cuma berlangsung beberapa saat saja. Sebuah pikiran yang melintasi benaknya membuat Panji meragukan kebenaran kata-kata si nenek. Siapa tahu itu adalah siasat si nenek untuk menjeratnya. "Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak membuktikan kata-katamu, Nek?" pancing Panji.
Si nenek tersenyum. Diperhatikannya dua kereta kuda yang berada di belakang Panji "Kereta kuda itu milik kerajaan," jelasnya tanpa mengalihkan perhatian. "Sebelumnya berisikan emas permata yang sangat mahal harganya. Kusirnya dua orang berkepandaian tinggi. Dikawal dua belas prajurit tangguh yang dipimpin seorang senapati. Dan...," tiba-tiba si nenek memejamkan matanya.
"Ada apa, Nek?!" Panji bertanya dengan rasa prnasaran yang besar. Keterangan nenek itu benar-benar mengejutkan hatinya. Meskipun ia tidak tahu banyak, namun tentang isi kereta kuda dan dua belas prajurit itu memang sudah tepat. Begitu juga dengan senapati dan dua kusir kereta. Jumlah itu sama persis dengan mayat-mayat yang ditemuinya di Bukit Dampet beberapa hari lalu. Dan itu benar-benar satu berita yang sangat menarik baginya. Karena ia sekarang yakin kalau nenek itu juga pasti tahu siapa pelaku perampokan dan pembantaian itu.
"Senapati yang menjadi pimpinan rombongan itu ternyata seorang pengkhianat. Bersama dua orang kawannya yang menghadang di sebuah jalan sempit, ia membantai prajurit prajuritnya sendiri. Sayang, ia keliru memilih orang. Dia mati dibunuh kedua rekannya itu. Mereka lalu membawa lari kereta kuda yang berisi harta berlimpah," lanjut si nenek mengakhiri penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Nek?!" Diam-diam timbul kecurigaan di hati Panji. Jangan-jangan guru dan murid itulah yang menjadi pelakunya. Kemunculan mereka sangat aneh. Tepat di saat kedua kereta kuda yang telah kosong itu ditemukan.
"Goblok! Diberitahu malah menuduh yang bukan-bukan! Buang pikiran itu dari kepalamu, Pendekar Naga Putih!" bentak si nenek.
"Gila! Rupanya ia benar-benar dapat membaca pikiran orang!" gumam Panji dalam hati. la merasa tidak enak juga.
"Tidak semua orang memiliki kepandaian seperti ini, Pendekar Naga Putih. Dengan kepandaian inilah aku bisa membaca jalan pikiran orang. Mengetahui suatu kejadian yang sudah maupun akan terjadi. Dan..., eh?!"
Tiba-tiba si nenek memejamkan matanya. la melihat sesuatu pada wajah Pendekar Naga Putih. "Kau... pernah bertemu, dan bahkan berselisih dengan bangsat tua keparat itu!" ujar si nenek dengan setengah memekik. Parasnya nampak agak memucat
"Siapa yang kau maksud, Nek?" Panji menjadi tegang sewaktu menyaksikan perubahan wajah nenek itu. Dilihatnya ada sorot kemarahan dan kebencian dalam sepasang matanya.
"Setan Tua Gila..,!" desis si nenek. "Kau pernah berjumpa dengannya, bukan?"
"Setan Tua Gila?!"
"Kau sempat bertengkar mulut serta meladeninya bermain-main," ujar si nenek untuk membantu ingatan Panji. Itu kau lakukan di saat perampokan tengah berlangsung..."
"Aah...!" Panji menampar keningnya perlahan. Sekarang ia baru ingat. "Jadi, kakek sinting itukah yang kau maksud? Ya, aku memang telah bertemu dengannya. Apakah Setan Tua Gila ada hubungannya dengan perampokan itu?"
Si nenek menggeleng lemah. "Kalau itu aku tidak tahu. Kecuali jika aku bertemu langsung dengan Setan Tua Gila. Sedangkan kedua perampok itu adalah...," si nenek tidak melanjutkan. Senyumnya mengembang, seperti baru sadar kalau dia telah terlalu banyak bicara.
"Siapa mereka, Nek?" desak Panji.
Si nenek menggeleng. "Enak saja kau mencari keterangan secara cuma-cuma," ujarnya. "Semua yang kukatakan tadi sudah lebih dari cukup. Sekarang aku menuntut jawabanmu. Jika kau bersedia, bukan saja nama kedua perampok itu yang akan kau ketahui, tapi aku bahkan akan membantumu menangkap mereka..."
Pendekar Naga Putih menarik napas dalam-dalam. "Maaf, Nek, aku tidak bisa menerima tawaranmu. Terus terang, aku sudah mempunyai calon istri," jelasnya.
"Huh, jangankan cuma calon. Kalaupun kau sudah beristri, itu tidak jadi soal. Yang penting kau bersedia menjadi suami muridku," si nenek berkeras.
Sementara Murni menunggu dengan sabar. Membiarkan gurunya yang menyelesaikan semua itu.
"Dengar, Pendekar Naga Putih. Aku melihat bahaya besar bakal menimpamu. Kau tidak akan mampu menghadapinya seorang diri. Suatu kekuatan maha dahsyat akan menghadang. Hanya aku dan muridku yang bisa menolongmu. Dan kami rela mempertaruhkan nyawa asalkan kau bersedia menjadi suami muridku ini..."
"Aku tidak bisa, Nek," Panji berkata dengan wajah menyesal. "Dan aku tidak mau mendustai kalian dengan mengatakan bersedia menerima tawaran itu. Tidak. Itu bukan sifatku..."
"Hm...," si nenek mengangguk-angguk. Nampaknya ia bisa menerima alasan itu. "Sekarang begini saja. Kami berdua akan membantumu. Jika kami berdua binasa, kau boleh bebas. Tapi jika kita semua selamat, atau cuma aku yang tewas, maka kau harus mengawini muridku. Bagaimana? Aku sudah memberi kebijaksanaan kepadamu, Pendekar Naga Putih..."
"Maaf Nek, aku tetap tidak bisa," Panji menggeleng lemah. "Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak mungkin dapat kulakukan..."
"Keras kepala!" Si nenek menggeram dengan wajah bengis. "Kau memang hendak menghina kami! Pemuda tolol sepertimu sebaiknya mampus saja!”
Si nenek langsung melompat dengan kecepatan luar biasa. Teriakannya mengguntur, meningkahi sambaran angin pukulannya yang menderu keras laksana topan prahara.
Whuuusss... blaaarrr...!
Beruntung Panji sudah lebih dulu melempar tubuhnya Pukulan nenek itu pun membongkar tanah di bekas tempatnya berdiri Bongkahan tanah beterbangan disertai kepulan debu. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji. Dia segera melesat pergi menerobos semak belukar. Panji merasa tidak punya alasan untuk bertempur dengan nenek itu.
"Kurang ajar...!" Si nenek mendesis gusar. Dari balik kepulan debu dilihatnya sosok Panji yang hendak melarikan diri. Cepat bagai kilat diterobosnya kepulan debu itu. Pukulan mautnya kembali menderu ketika sosok bayangan Panji hampir menghilang ke dalam rimbunan semak.
Sambaran angin pukulan itu mengejutkan Panji. Tidak mungkin baginya untuk melanjutkan niatnya. Pukulan itu memang tidak ditujukan ke tubuhnya, tapi pada semak belukar di depannya. Jika ia melanjutkan, maka tubuhnyalah yang akan menjadi sasaran. Panji terpaksa melenting kembali ke belakang.
"Bagus...!" Terdengar suara pujian si nenek. Dan seiring dengan terbongkarnya semak belukar yang memperdengarkan ledakan keras, nenek itu mendarat setengah tombak di dekat Panji meluncur turun. Tanpa memberi kesempatan lagi si nenek menerjang dengan hebatnya.
Panji terpaksa mengangkat kedua lengannya menyambuti serangan itu. Untuk mengelak tidak ada kesempatan lagi.
Plak! Dukkk!
Benturan kedua pasang lengan membuat Pendekar Naga Putih memekik tertahan. Lengannya terasa nyeri bukan main, sementara tubuhnya terpental satu tombak ke belakang. Dan selagi tubuhnya melayang di udara, si nenek sudah menyusuli dengan serangkaian totokan. Panji mengeluh pendek. Tiga totokan bersarang telak di tubuhnya. Seketika pemuda itu kehilangan kesadaran. Si nenek yang tidak ingin tubuh Pendekar Naga Putih terbanting ke tanah, buru-buru menyambarnya.
"Berterima kasihlah kepada gurumu ini, Murni. Pemuda inilah satu-satunya yang dapat menolongmu. Dalam tubuhnya mengalir darah naga siluman. Aku yakln itu Sejak pertama kali melihatnya, aku bisa merasakan getaran darah mukjizat tersebut Hih hih hih...!" Si nenek terkekeh senang.
Murni sendiri berseri-seri wajahnya. Gadis ini segera menjatuhkan diri di hadapan gurunya. Sambil berlutut dia mengucapkan terima kasih. Murni baru berani bangkit berdiri setelah mendapat perkenan gurunya. Diikutinya langkah si nenek meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh Pendekar Naga Putih.
********************
TUJUH
Di bawah langit sore dua sosok tubuh tampak berlari bagai dikejar setan. Langkah kaki mereka tak beraturan. Dengus napas yang terdengar tak ubahnya kuda pacu. Peluh mengalir deras di wajah yang agak pucat. Melihat keadaan itu tampaknya mereka telah berlari melewati batas kemampuan, dan telah menempuh jarak yang sangat jauh.
Keadaan kedua sosok tubuh itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengherankan kalau terjadi pada orang biasa. Tapi, mereka bukanlah orang- orang kebanyakan. Kedua sosok tubuh itu tidak lain Katak Hijau dan Setan Mata Api. Dua gembong kaum sesat yang keganasannya menjadi momok tokoh tokoh persilatan daerah utara.
Langkah-langkah mereka sudah sangat kelelahan, yang akhirnya tak dapat dipertahankan lagi. Keduanya jatuh terguling-guling di pinggiran sebatang sungai. Terus, terjerembab masuk ke dalam air. Sesaat tubuh keduanya lenyap ditelan air sungai.
"Fuaaahhh...!" Katak Hijau menyembul ke atas permukaan air seraya menghempaskan napas kuat-kuat.
Setan Mata Api menyusul kemudian. Keduanya lalu berenang ke tepian setelah mengibaskan air yang membasahi kepala. Tiba di tepian mereka melempar tubuhnya ke atas rerumputan yang agak kering.
"Keparat..!" umpat Setan Mata Api tiba-tiba seraya meninju tanah kuat-kuat. "Nasib kita benar-benar sedang sial! Musnah sudah impian untuk bisa menikmati hidup dengan penuh kemewahan!"
Katak Hijau menoleh sekilas. Dihembuskannya napas kuat-kuat tanpa berniat menimpali kata-kata Setan Mata Api Nampaknya Katak Hijau lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi. Tanpa berkata-kata pandangannya dialihkan kembali menatap langit sore.
"Kelihatannya kau rela menerima penghinaan ini begitu saja, Katak Hijau? Tidak adakah niat di hatimu untuk merebut kembali semua hasil jerih payah kita?" Setan Mata Api bertanya dengan mimik wajah mencemooh. Kelihatan sekali perasaan tidak sukanya terhadap sikap yang ditunjukkan Katak Hijau.
Katak Hijau masih membisu. Ditariknya napas sesaat. Lalu, wajahnya dipalingkan dengan gerak perlahan. Ditentangnya tatapan Setan Mata Api. Untuk beberapa saat mulutnya tetap terkunci.
"Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat, Setan Mata Api," ujar lelaki itu kemudian. Pelan dan dalam desahan napas yang menunjukkan keputusasaan. "Raja Sesat Selatan bukanlah tandingan kita. Apa yang bisa kita perbuat? Masih bagus kita dapat menyelamatkan diri. Jika tidak, kau tahu sendiri bagaimana kejamnya manusia satu ini. Jadi, seharusnya kau malah bersyukur karena masih bisa melihat matahari esok pagi..."
Setan Mata Api membungkam. Harus diakuinya kebenaran ucapan Katak Hijau. Kalau dipikir-pikir memang tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan. Raja Sesat Selatan bukan tandingan mereka berdua. Memikirkan untuk membalas perbuatan tokoh sesat nomor satu di daerah selatan itu, sama artinya dengan mencari mati.
Srakkk...!
Suara dedaunan kering yang terinjak membuat Setan Mata Api dan Katak Hijau tersentak kaget. Keduanya bergegas bangkit berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
"Iihhh...!"
Bukan cuma Katak Hijau saja yang menutup hidung. Setan Mata Api pun ikut-ikutan. Mereka saling berpandangan dengan kening berkerut. Keheranan tergambar jelas di wajah keduanya. Bau yang memualkan perut menyergap hidung mereka saat angin sore tiba-tiba berhembus agak keras. Bau yang membuat bulu kuduk mereka meremang. Bau mayat yang telah membusuk!
"Kurang ajar!" Setan Mata Api mendesis jengkel untuk mengurangi kengerian hatinya. "Bau busuk ini benar-benar memualkan perut! Siapa pula yang mati di tempat sepi seperti ini?!"
Srakkk...!
Suara dedaunan kering terinjak membuat ocehan Setan Mata Api langsung terhenti. Tokoh bertubuh besar dan tinggi ini sampai berjingkrak kaget. Di tengah ketegangan yang mencekam, suara dedaunan kering terinjak seolah terdengar bagai ledakan petir. Kengerian dirasakan kian memuncak! Lebih-lebih bau bangkai semakin keras tercium. Setan Mata Api sampai mengeluarkan keringat dingin!
"A-aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres...!" Katak Hijau berbisik lirih. Wajah yang bia sanya berwarna kehijauan itu kini nampak pucat. Katak Hijau pun dilanda ketegangan dan kengerian. Bau busuk mayat yang semakin keras seperti bisikan malaikat maut yang siap merenggut nyawanya.
"A-apa... maksudmu?" tanya Setan Mata Api. Meski laki-laki itu merasa nalurinya juga mengatakan ada sesuatu yang tidak wajar. Sejak semula perasaan itu berusaha disembunyikannya. Ia tidak ingin Katak Hijau sampai mengetahui perasaannya itu. Tentu saja ia kaget sewaktu mendengar ucapan Katak Hijau.
Pernyataan Katak Hijau membuat Setan Mata Api maklum kalau apa yang mereka berdua rasakan Itu bukan lagi suatu kebetulan. Hanya saja ia masih belum bisa mengerti mengapa bau busuk mayat saja dapat menimbulkan pengaruh yang begitu besar kepada mereka berdua. Padahal bagi mereka bau ataupun hamparan mayat bukanlah sesuatu yang aneh. Bahkan bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan santapan hidung dan mata mereka sehari-hari. Ini tidak aneh kalau sekarang mereka keheranan. Sebab apa yang mereka alami dan rasakan itu memang sangat tidak wajar. Lain persoalan jika orang lain yang mengalami dan merasakannya.
DELAPAN
Katak Hijau belum sempat menjawab pertanyaan Setan Mata Api, ketika terdengar suara napas yang berat. Suara napas itu membuat hati mereka bergetar dalam cekaman kengerian memuncak. Dan selagi mereka saling berpandangan dengan wajah pucat-pasi, dari rimbunan semak di sebelah kiri menyeruak sesosok tubuh.
"K-kau...!" Dengan paras sepucat mayat dan mata terbelalak lebar, jari-jari gemetar Setan Mata Api menuding sosok tubuh itu. "Mus... tahil!"
Cuma kalimat itu yang bisa diucapkan Katak Hijau. Sepasang matanya terbelilak lebar. Mulutnya ternganga dengan kepala digelengkan. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hhh...!" Sosok yang baru datang kembali mengeluarkan desahan berat, Langkahnya tertatih menghampiri Setan Mata Api dan Katak Hijau. Bau busuk tersebar dari tubuhnya.
Keadaan sosok yang baru muncul ini memang sanggup merontokkan jantung. Sorot matanya dingin dan kosong. Tidak ada cahaya kehidupan sedikit pun. Daging wajahnya menggembung bengkak, kendati masih bisa dikenali. Pakaian di bagian dada terkoyak memperlihatkan luka melintang sepanjang satu jengkal. Di luka itu terlihat makhluk-makhluk kecil. Belatung! Tapi yang paling mehgejutkan Setan Mata Api dan Katak Hijau, sosok mengerikan itu adalah Senapati Malingkat! Padahal, mereka berdua tahu betul kalau Senapati Malingkat telah tewas. Merekalah yang membunuhnya!
"Katak Hijau... Setan Mata Api.... Aku datang untuk menagih hutang di antara kita," sosok mayat Senapati Malingkat berkata dengan susah payah.
"Tidak... tidak!" Setan Mata Api bergerak mundur seraya menggoyang-goyangkan telapak tangan. la belum bisa menerima kenyataan yang baginya sangat mustahil itu. "Pergi! Jangan ganggu kami! Kau... sudah mati. Sudah mati!"
Katak Hijau pun tersurut mundur. Kemunculan sosok mayat Senapati Malingkat merupakan mimpi buruk baginya. Dan seperti halnya Setan Mata Api, Katak Hijau pun belum bisa menerima kenyataan itu.
Sosok mayat Senapati Malingkat menggeleng. "Aku datang untuk mengambil nyawa kalian dan juga harta rampokan itu. .." Kakinya terus melangkah kaku dengan kedua tangan diulurkan kedepan. Jari jarinya yang berbau busuk dikembangkan. Siap untuk mencekik batang leher kedua calon korbannya.
"Harta itu tidak ada pada kami!" Setan Mata Api berkata keras-keras dengan napas tersengal. "Raja... Raja Sesat Selatan telah merampasnya. Jika kau menghendaki harta itu, mintalah kepadanya!"
Mayat Senapati Malingkat menunda langkahnya sesaat. Kepalanya ditengadahkan dengan tarikan napas yang keras dan panjang. Lalu, kembali perhatiannya dialihkan pada Katak Hijau dan Setan Mata Api. Tiba-tiba sosok itu melompat lurus seperti sebatang tombak yang dilemparkan. Kendati gerakannya kaku, namun kecepatannya sangat luar biasa.
Bagai terkena sihir, Katak Hijau dan Setan Mata Api cuma bisa memandang dengan mata terbelalak lebar. Baru setelah sepuluh jari tangan itu hampir mencengkeram lehernya, Katak Hijau dapat membebaskan diri dari kungkungan pengaruh aneh. Cepat ia mengangkat kedua lengannya untuk mematahkan serangan. Tapi alangkah kaget hatinya. Lengannya yang menangkis terpental hingga bagian lehernya semakin terbuka. Katak Hijau tidak bisa menghindar lagi ketika jari-jari tangan kiri mayat Senapati Malingkat mencekik lehernya. Sementara yang kanan menusuk dada kiri hingga telapak tangan itu terbenam.
"Arghhh...!" Katak Hijau meraung setinggi langit. Jantungnya telah ditarik putus. Tubuh sekarat itu tidak roboh karena lehernya masih berada dalam cengkeraman mayat Senapati Malingkat. Terdengar suara tulang leher patah. Begitu cengkeraman ditarik, tubuh sekarat Katak Hijau menggelepar jatuh ke tanah. Lalu, tewas dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar.
Selesai menghabisi nyawa Katak Hijau, mayat Senapati Malingkat tidak menemukan Setan Mata Api di tempat itu. Rupanya, Setan Mata Api mengambil kesempatan itu untuk lari menyelamatkan diri. Tidak dipedulikannya nasib rekannya. Setan Mata Api merasa lebih baik mencari selamat ketimbang membantu rekannya yang berarti mempertaruhkan nyawa yang cuma satu-satunya.
"Ke mana pun kau pergi aku akan bisa menemukanmu, Setan Mata Api...," desah parau mayat Senapati Malingkat.
********************
Saat memperoleh kesadarannya kembali, yang pertama kali didengar Panji adalah suara tawa cekikikan. Panji membuka matanya periahan sambil mengingat-ingat apa yang telah dialaminya. Semuanya menjadi jelas sewaktu pandangannya menemukan dua wajah perempuan. Si nenek berambut riap-riapan dan muridnya.
"Hih hih hih. .. Aku sengaja menyadarkanmu, Pendekar Naga Putih!" suara si nenek terdengar melengking. "Terus terang aku membutuhkan darahmu. Itu hanya bisa kuperoleh dengan jalan membunuhmu. Kecuali jika kau bersedia berhubungan dengan muridku ini," lanjutnya seraya menunjuk Murni yang berdiri di sampingnya.
Panji menatap kedua perempuan itu bergantian. "Jadi, kau dan muridmu adalah manusia-manusia peminum darah? Dan yang akan kalian jadikan korban kali ini adalah aku..."
"Kami bukan sebangsa manusia seperti yang kau duga itu, Pendekar Naga Putih," si nenek menggelengkan kepala. "Muridku mengidap satu penyakit aneh. Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkannya hanyalah darahmu. Muridku harus meminum darahmu..."
"Mengapa harus darahku?" tanya Panji penasaran. "Apa istimewanya? Mengapa tidak darahmu saja? Lagi pula, penyakit aneh macam apa yang cara mengobatinya harus meminum darah manusia?"
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga Putih," si nenek tersenyum mengejek. "Aku tidak bisa dibohongi. Dan aku tahu dalam tubuhmu mengalir darah naga siluman yang sangat mukjizat. Itu sebabnya aku membutuhkan darahmu..."
Panji terkejut. Bagaimana nenek itu bisa mengetahuinya?
"Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Apa kau lupa kalau aku mempunyai kepandaian yang bisa mengetahui kejadian-kejadian masa lalu dan yang akan datang?"
Ucapan si nenek membuat Panji teringat dengan pengalamannya di masa lalu. Memang tidak seluruhnya dapat diingat dengan jelas. Karena, saat menghadapi naga siluman ia tidak dapat berpikir dengan baik. Itu terjadi sewaktu Panji hendak memetik sebuah tanaman langka.
Mengenai peristiwa itu pembaca dapat mengikutinya dalam episode Bunga Abadi Di Gunung Kembaran
"Nanti dulu. Nek," pinta Panji seraya bergerak untuk duduk. "Kalau boleh aku tahu, penyakit apa sebenarnya yang diderita muridmu itu?"
"Awal dari penyakit muridku terjadi pada lima tahun silam," si nenek memulai ceritanya. "Saat itu aku masih berhubungan dengan Setan Tua Gila. Tapi jangan kau samakan Setan Tua Gila yang dulu dengan sekarang. Dulu pikiran kakek itu masih waras. Cuma julukannya saja Setan Tua Gila. Itu karena wataknya yang memang kadang kurang lumrah. Dan kalau sekarang jalan pikirannya seperti anak-anak, itu ada hubungannya dengan penyakit yang diderita muridku."
Nenek yang mengaku bernama Suri Gandil itu kemudian berhenti sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam. Dia lalu tercenung sejenak seolah hendak mengumpulkan seluruh ingatannya tentang pe ristiwa itu.
"Waktu itu aku dan Setan Tua Gila masih hidup dalam satu atap. Kami saling mencintai. Meskipun belasan tahun menjalani hidup layaknya sepasang suami istri, tapi kami tidak menikah. Waktu itu aku belum mempunyai murid. Malah, aku tidak pernah mempunyai niat untuk mengambil murid. Niat itu baru muncul setelah Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku. Kakek keparat itu ternyata makhluk serakah! Dia tega mencampakkan diriku begitu saja hanya karena saking gilanya dengan ilmu silat!"
Panji diam tidak menanggapi. Sekarang ia baru mengerti mengapa sewaktu pertama kali menyebut nama Setan Tua Gila, sorot mata Nenek Suri Gandil menyiratkan dendam dan sakit hati.
"Pendekar Naga Putih," tiba-tiba Nenek Suri Gandil berkata. "Coba kau terka berapa kira-kira usia muridku ini?"
Panji tidak segera menjawab. Pandangannya segera dialihkan ke wajah Murni. Ditatapnya wajah gadis cantik itu sambil menaksir-naksir. "Mungkin sekitar dua puluh dua tahun," terka Panji.
Nenek Suri Gandil tertawa cekikikan. "Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan usia Murni sebenarnya baru dua belas tahun!"
"Dua belas tahun?!" desis Panji tak percaya. Nenek Suri Gandil pasti hendak mempermainkannya. Siapa mau percaya kalau sosok gadis yang dilihat seperti orang dewasa itu baru berusia dua belas lahun?
"Aku tidak berdusta, Pendekar Naga Putih. Lima tahun silam, setelah Setan Tua Gila meninggalkanku, Murni baru berusia tujuh tahun. Bakatnya dalam ilmu silat kulihat sangat besar sekali. Dia kuselamatkan dari keganasan bencana alam yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Pertumbuhannya memang tidak wajar. Dan, itu ada hubungannya dengan penyakit yang dideritanya..."
"Hhh... Sungguh sukar untuk dipercaya...," Panji menggeleng seraya kembali memperhatikan Murni. Kesungguhan Nenek Suri Gandil membuat Panji mau tidak mau harus percaya juga.
SEMBILAN
"Lima tahun silam aku dan Setan Tua Gila membunuh seorang tokoh sakti yang bermukim di salah satu pulau di Lautan Timur," Nenek Suri Gandil melanjutkan kisahnya. "Sebenarnya kalau tokoh itu mau melawan, kami berdua pasti dapat dibunuhnya dengan mudah. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Ia telah bersumpah untuk tidak menggunakan ilmu silatnya lagi. Menurutnya, ilmu silat hanyalah pembawa bencana. Karena kepandaian silat itulah dia harus kehilangan istri dan dua orang anaknya. la sendiri waktu itu tengah berkelana untuk memperdalam ilmu. Dan ia sangat terpukul ketika kembali ke tempat kediamannya, hanya pusara ketiga orang yang dicintainya itu saja yang dijumpai. Kematian orang-orang yang dicintainya membuat jiwanya terguncang. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena lebih mementingkan ilmu silat ketimbang keluarganya. Puluhan tahun tokoh itu menyembunyikan diri di salah satu pulau terpencil di Lautan Timur. Dan dia bersumpah di depan makam istri dan anak-anaknya untuk tidak menggunakan ilmu silatya lagi. Karena tahu tentang sumpahnya itulah, maka kami berani mendatangi tempat tinggalnya. Tokoh itu tidak memberikan perlawanan sedikit pun hingga dengan mudah kami membunuhnya. Lalu, kami membawa pergi beberapa kitab ilmu silat miliknya. Kami tidak peduli dengan kutuk yang diucapkannya sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir. Kitab-kitab ilmu silat itu hanya akan mendatangkan kesengsaraan bagi kami, begitu bunyi kutuk yang diucapkannya..."
Nenek Suri Gandil menghentikan ceritanya. Diliriknya sekilas wajah Murni yang kelihatan agak tegang. Sesaat kemudian, nenek itu melarrjutkan kisahnya kembali.
"Sungguh tidak kusangka kalau kutuknya itu akan menjadi kenyataan! Setan Tua Gila pergi meninggalkan aku dengan membawa beberapa buah kitab. Perbuatan Setan Tua Gila itulah yang membuatku mulai mempercayai kutukan tersebut. Perasaan was-was akan kutukan itu membuat aku tidak berani mempelajari isi kitab yang kubawa. Aku hanya membaca dan menghapal isinya. Suatu hari aku menemukan Murni tengah menangisi mayat orang tuanya yang tertimpa runtuhan rumah akibat gempa. Ketika melihat bakat yang ada dalam dirinya, timbullah satu pikiran di benakku. Murni akan kudidik dengan ilmu silat yang terdapat dalam kitab tokoh hebat itu. Hendak kulihat apa yang akan terjadi jika Murni mempelajari isi kitab itu..."
Nenek Suri Gandil menatap Murni dengan perasaan bersalah. Mumi sendiri cuma tersenyum pahit. Gadis itu tidak menyalahkan gurunya kendati jelas-jelas betapa selama ini ia hanya dijadikan percobaan.
"Kutuk tokoh itu ternyata menjadi kenyataan!" Nenek Suri Gandil melanjutkan. Suaranya terdengar agak parau. "Mula-mula aku tidak begitu memperhatikan ketika Murni tumbuh dengan cepat. Dua tahun kemudian, Murni mengeluh tentang rasa nyeri yang kadang menyiksa dirinya. Tubuhnya seperti ditusuki ratusan jarum-jarum halus. Pada tahun ketiga, di sekujur tubuh Murni muncul bintil- bintil merah yang mengandung air. Dan pada usia sepuluh tahun itu, tubuh Murni tak ubahnya dengan usia tujuh belas tahun. Penderitaan Murni membuat aku berpikir tentang kejahatan-kejahatan yang telah kulakukan. Aku telah banyak menimbulkan kesengsaraan pada orang lain. Akhirnya, aku berjanji kepada diri sendiri untuk meninggalkan jalan sesat. Dan aku bersumpah untuk menyembuhkan penyakit Murni. Sampai kemudian aku memperoleh petunjuk tentang darah naga siluman yang mukjizat. Darah itu mengalir dalam tubuh seorang pemuda. Ternyata... bukan cuma itu saja penyakit yang diderita Murni. Sejak memasuki tahun kelima, pada setiap malam bulan purnama salah satu bintil di tubuh Murni akan membesar seperti bisul. Sakitnya sulit sekali untuk kugambarkan. Murni akan meraung-raung karena rasa sakit yang menyiksa..."
"Tapi, aku tidak melihat adanya bintil-bintil ataupun blsu! pada wajah dan tangan Murni?" Panji memotong cerita Nenek Suri Gandil. Pemuda itu agaknya meragukan kebenaran cerita si nenek
"Setelah melihat kelainan pada diri Murni, aku berusaha mengobatinya. Meskipun tidak sempurna tapi usahaku tidak terlalu mengecewakan," jawab Nenek Suri Gandil. "Sayang, hasil kerja kerasku selama hampir tiga tahun hanya mampu melenyapkan penyakit itu untuk sementara. Tiga hari menjelang purnama, bintil-bintil itu akan kembali muncul. Dan sekarang benjolan yang seperti bisul telah berjumlah enam buah. Dua di atas payudara, dua di kiri-kanan pusar, sedang dua lainnya di wajah. Tepat di atas kedua tulang pipi. Bayangkan, Pendekar Naga Putih. Bagaimana pedih dan tersiksanya hati seorang gadis jika mendapati wajahnya dihiasi dua benjolan kemerahan yang mengandung darah bercampur nanah..."
"Nek," ujar Panji selesai Nenek Suri Gandil bercerita. "Tidak adakah pengobatan cara lain selain meminum darahku?"
Nenek Suri Gandil menggeleng pelan. "Dengan meminum darahmu, berarti kekuatan mukjizat darah naga siluman akan memenuhi seluruh jalan darah di tubuh Murni. Lalu, darah mukjizat itu akan bekerja memusnahkan sumber penyakit di dalam tubuh muridku..."
"Tapi, sepanjang yang aku ketahui, tidak ada setetes pun darah naga siluman yang mengalir di tubuhku...."
"Eh, kau hendak mengingkari janjimu, Pendekar Naga Putih!" Nenek Suri Gandil menukas dengan sorot mata berkilat. "Jangan kau kira aku bisa dibohongi. Aku bisa merasakan darah mukjizat itu menyatu di dalam tubuhmu..."
"Kekuatan mukjizat Naga Langit memang kuakui mengalir di seluruh tubuhku. Tapi bukan darah Nek, melainkan sesuatu yang berupa tenaga mukjizat. Naga Langit menyatu dalam diriku berupa satu kekuatan," Panji menjelaskan dengan agak terburu-buru, khawatir Nenek Suri Gandil akan memotong penjelasannya.
"Bukan darah?! Tenaga mukjizat?!" Nenek Suri Gandil kelihatan kecewa. Ia memang tidak tahu jelas tentang sesuatu yang dirasakannya mengalir dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Nenek Suri Gandil memastikan kalau sesuatu itu adalah darah. Sungguh tidak pernah terpikir kalau sesuatu tersebut sebenarnya kekuatan mukjizat Pedang Pusaka Naga Langit, yang bisa menjelma menjadi seekor naga.
"Benar, Nek," tegas Panji dengan perasaan lega. "Aku bisa memindahkannya ke tubuh Murni tanpa harus kau bunuh..."
Nenek Suri Gandil dan Murni sampai terpekik. Keduanya berpelukan dengan penuh kegembiraan. Tapi, beberapa saat kemudian Nenek Suri Gandil melepaskan pelukannya. Ditatapnya Panji dengan wajah gelisah.
"Tapi... aku tidak bisa menentukan sampai berapa lama Murni memerlukan tenaga mukjizat itu, Pendekar Naga Putih..."
"Tidak apa-apa, Nek," Panji tersenyum. "Aku tidak keberatan meminjamkan tenaga mukjizat itu sampai Murni benar-benar sembuh. Lagi pula tenaga mukjizat itu tidak bisa dikendalikan orang lain. Jika Murni sudah sembuh, dengan sendirinya kekuatan mukjizat itu akan kembali kepadaku..."
********************
Seperti tidak mengenal lelah, Setan Mata Api terus berlari. Tak peduli jarak dan waktu yang sudah ditempuhnya. Yang ada dalam pikirannya adalah berlari sejauh-jauhnya menghindari mayat hidup enapati Malingkat.
Ketika tengah berlari melintasi kaki sebuah anak bukit, tiba-tiba satu pikiran melintas di benak Setan Mata Api. Satu harapan baru yang membuat semangatnya bangkit. Lalu, dengan sisa-sisa tenaga di dakinya lereng anak bukit itu, sampai ia tiba di depan sebuah bangunan yang cukup megah. Kepada penjaga pintu gerbang Setan Mata Api minta diantarkan untuk menemui pemilik bangunan.
"Hoa ha ha.... Apa yang sudah terjadi denganmu, Setan Mata Api?" tanya seorang lelaki tinggi besar dan berkulit hitam sewaktu melihat keadaan Setan Mata Api yang telah duduk di hadapannya. "Ada keperluan apa kau tiba-tiba datang kepadaku?"
"Maafkan kelancanganku. Raja Sesat Utara," Setan Mata Api menjura dalam-dalam. "Terus terang aku sangat membutuhkan pertolongan. Aku...hendak meminta perlindungan darimu..."
Lelaki tinggi besar yang ternyata gembong tokoh sesat di daerah utara itu nampak mengerutkan kening. Sorot matanya mengeluarkan cahaya yang berkilat-kilat. Raja Sesat Utara kelihatan sangat marah.
"Hra.... Apa yang hendak kau berikan sebagai imbalannya, Setan Mata Api?! Jika itu tidak sangat berharga, kepalamu akan kupisahkan dari tubuhmu! Ini sama saja dengan menghina aku!"
Setan Mata Api mengangguk berulang-ulang. la tentu saja maklum dengan siapa sedang berhadapan. Ucapan itu bukan hanya gertakan kosong. Maka, diceritakannya tentang harta rampokan yang telah dirampas Raja Sesat Selatan.
Brakkk..!
Suara meja kayu jati yang pecah berhamburan akibat hantaman telapak tangan Raja Sesat Utara membuat Setan Mata Api betjingkrak kaget. Dia jatuh telentang dengan paras pucat-pasi.
"Bedebah kurang ajar kau, Setan Mata Api!" bentak Raja Sesat Utara. Tokoh tinggi besar ini sudah bangkit dari duduknya. Ditatapnya Setan Mata Api dengan sinar mata mencorong. "Jadi, kau rupanya yang telah berani lancang merampok harta kiriman raja tanpa sepengetahuanku!"
Belum juga gema suara bentakannya lenyap, Raja Sesat Utara sudah melompat ke depan. Sekali langannya bergerak, tubuh Setan Mata Api telah diangkatnya.
"A-apa...?! Mengapa...?!" Setan Mata Api merasa jantungnya serasa copot.
"Tahukah kau, gara-gara perbuatanmu itu aku didatangi tiga orang utusan raja. Dan mereka bukan orang sembarangan yang bisa dibuat main-main! Mereka adalah Senapati Wanalaga. Pejabat tinggi yang paling berpengaruh di istana. Dan juga dua orang jago nomor satu istana!" ujar Raja Sesat Utara yang membuat tubuh Setan Mata Api menggigil. "Mereka mencari orang bernama Malingkat. Mulanya aku tidak kenal dengan orang itu. Tapi setelah ciri-cirinya mereka sebutkan, baru aku tahu kalau Malingkat ternyata si Jari Beracun! Ia mengaku berasal dari daerah utara ini. Maka, kesinilah mereka mencari. Dan jika aku tidak bersedia membantu menemukan si keparat Jari Beracun itu, mereka akan menangkapku dengan tuduhan hendak memberontak terhadap kerajaan. Aku akan dihukum gantung, tahu!"
"T... tapi... harta itu... sangat banyak sekali, Raja Sesat. Kau akan hidup dalam gelimang kesenangan jika mau merampasnya dari tangan Raja Sesat Selatan. Kau...."
"Diaaam...!" Raja Sesat Utara membentak. "Kau tahu untuk apa harta itu sebenarnya, hah? Harta itu adalah hadiah untuk melamar putri kerajaan tetangga. Tentu saja sangat banyak jumlahnya. Aku tidak mau terlibat dalam urusan celaka ini. Dan untuk menunjukkan ketidak terlibatanku, kau akan kuserahkan kepada ketiga tokoh penting istana itu, Akan kuberitahukan kepada mereka di mana harta itu sekarang berada!"
Setan Mata Api merasa nyawanya terbang seketika. Maksudnya hendak mencari perlindungan, tapi ternyata malah menghampiri kematian. Pihak istana ternyata telah mencurigai Senapati Malingkat. Maklumlah Setan Mata Api kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia tidak melawan ketika Raja Sesat Utara membawanya untuk diserahkan kepada Senapati Wanalaga.
Raja Sesat Utara baru saja tiba di kaki bukit, ketika tahu-tahu saja di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh. Hidungnya dikernyitkan saat mencium bau busuk bangkai yang memualkan perut. Raja Sesat Utara tidak jadi menegur sosok itu ketika didengarnya teriakan Setan Mata Api.
"D-dia... d-dia... mayat hidup Senapati Malingkat..!" Setan Mata Api menuding sosok penghadang dengan sekujur tubuh gemetar. Deraan rasa takut yang hebat membuat Setan Mata Api meronta dalam cekalan Raja Sesat Utara. Tak peduli kendati Raja Sesat Utara mengancam akan membunuhnya saat itu juga. Bagi Setan Mata Api, sosok mayat Senapati Malingkat jauh lebih menakutkan ketimbang Raja Sesat Utara.
"Dan kau, Bedebah Tolol!"
Karena jengkel. Raja Sesat Utara membanting tubuh Setan Mata Api ke tanah. Kalau dalam keadaan biasa, bantingan Raja Sesat Utara yang sangat kuat itu pasti akan membuat Setan Mata Api meringkuk kesakitan. Tapi semua itu tidak dirasakannya. Sosok mayat hidup Senapati Malingkat lebih menarik perhatiannya. Setan Mata Api langsung bangkit dengan sangat kalap. Bergegas tubuhnya dibalikkan hendak lari menyelamatkan diri.
Tapi baru saja bergerak dua langkah, mayat Senapati Malingkat sudah lebih dulu bertindak. Sosok itu melesat dengan geiakan kaku namun cepat luar biasa. Raja Sesat Utara sendiri sampai tidak sempat berbuat apa-apa. Tahu-tahu jari-jari berbau busuk yang sudah membengkak itu menjambret leher baju bagian belakang Setan Mata Api.
"Tolooong...!" Saking ngerinya, Setan Mata Api sampai berteriak seperti anak kecil. Lupa kalau dirinya seorang tokoh sesat yang kejam dan ditakuti.
"Hei, berhenti!" Raja Sesat Utara berusaha mencegah. Bukan karena kasihan kepada Setan Mata Api, tapi karena ia membutuhkan tokoh sesat itu untuk membuktikan kepada pihak istana kalau dirinya tidak terlibat dalam perampokan harta kerajaan. "Jangan main gila dengan Raja Sesat Utara!" ancamnya.
Mayat hidup Senapati Malingkat mana bisa ditakut-takuti. Tanpa peduli, tangan kanannya langsung mencengkeram batok kepala Setan Mata Api.
Prakkk...!
Perlahan saja jari-jari tangannya meremas. Namun, akibatnya sangat mengerikan sekali. Raja Sesat Utara sampai terbelalak. Remasan jari-jari mayat hidup Senapati Malingkat membuat batok kepala Setan Mata Api remuk. Hal itu rupanya masih belum cukup. Jari-jari tangan yang semula mencengkeram leher baju belakang ditusukkan ke tulang belikat sebelah kiri, hingga melesak sampai pergelangan. Dan sewaktu ditarik keluar, dalam genggaman tangannya nampak sebuah benda sebesar kepalan yang penuh dengan darah dan masih berdenyut lemah. Jantung Setan Mata Api!
"Iblisss...!" Raja Sesat Utara mendesis ngeri. Meskipun terkenal sangat kejam, namun Raja Sesat Utara merasa ngeri juga menyaksikan perbuatan mayat hidup Senapati Malingkat.
Mayat Senapati Malingkat cuma mengeluarkan desahan panjang. Ditolehnya Raja Sesat Utara. Bola mata yang memancarkan cahaya kehijauan itu menyorot tajam.
"Hmhhh...!" Raja Sesat Utara menggeram untuk meredam kegerian di hatinya. Kedua tangannya dikepalkan. Kemudian, dipasangnya kuda-kuda. Siap menghadapi mayat hidup Senapati Malingkat yang sudah menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang.
Diawali suara napas besar mayat Senapati Malingkat melesat kaku. Sepasang tangannya dijulurkan dengan jari-jan terbuka. Siap mencekik leher Raja Sesat Utara Namun, kendati terganggu bau busuk bangkai Raja Sesat Utara masih bisa menghindar Bahkan membalas dengan tiga pukulan yang susul-menyusul.
Buk! Buk! Buk!
Tiga pukulan itu mendarat telak di dada, perut, dan lambung. Jangankan sampai terpental, bergeming pun mayat Senapati Malingkat tidak. Justru Raja Sesat Utara sendiri yang menjerit kesakitan. Tenaga pukulannya membalik. Kedua lengannya terasa seperti lumpuh, hingga untuk beberapa saat tidak bisa digerakkan. Tubuh mayat yang dipukulnya itu dirasakan kenyal bagai sebongkah karet.
Dan belum lagi Raja Sesat Utara sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu batang lehernya telah dicengkeram jari-jari sekeras jepitan baja. Bersamaan dengan remasan di lehernya, Raja Sesa Utara merasakan sesuatu menembus dada kirinya. Raung kesakitannya merobek langit sewaktu jantungnya dibetot keluar.
"Hei...?!"
Mayat hidup Senapati Malingkat sudah melepaskan tubuh Raja Sesa Utara yang melorot ke tanah sewaktu teriakan itu terdengar. Diputarnya tubuh menghadapi tiga sosok yang berlarian mendatangi.
********************
Raung kematian yang menggetarkan hati itu membuat langkah Pendekar Naga Putih, Nenek Suri Gandil, dan Murni terhenti. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
"Entah kematian macam apa yang dialami manusia itu sampai-sampai suara jeritannya membuat bulu kuduk berdiri," ujar Nenek Suri Gandil. "Aku Jadi ingin tahu. Ayo, kita lihat..."
Nenek Suri Gandil langsung saja melesat menuju tempat asal suara. Panji dan Murni tentu saja tidak mau ketinggalan. Keduanya mengikuti langkah Nenek Suri Gandil. Tidak berapa lama ketiganya tiba di tempat mayat hidup Senapati Malingkat berada. Suara raung kematian yang mereka dengar berasal dari Raja Sesat Utara.
Tiba di tempat itu mereka melihat empat sosok tubuh tengah saling berhadapan. Selisih waktu kedatangan mereka dengan tiga sosok pertama, yang bukan lain Senapati Wanalaga dan dua orang jagoan istana, memang tidak terlalu lama. Tiga tokoh penting istana itu langsung menoleh sewaktu mendengar suara langkah kaki orang mendatangi dari belakang mereka.
"Hih hih hih.. . Rupanya di tempat ini sedang ada pesta meriah yang dihadiri tokoh-tokoh penting istana!" Nenek Suri Gandil berkata sambil berlari menghampiri keempat sosok tubuh itu.
Celoteh Nenek Suri Gandil tidak ditanggapi Senapati Wanalaga dan kedua rekannya. Mereka tengah dilanda ketegangan hebat setelah mengenali siapa sosok yang telah membunuh Raja Sesat Utara. Tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara.
"Hei...?!" Tiba-tiba, Panji berseru seraya menuding sosok mayat Senapati Malingkat. "Aku pernah melihat orang itu! Dia adalah salah satu mayat yang kutemukan di Bukit Dampit?!"
"Dia memang Senapati Malingkat...," Senapati Wanalaga menjelaskan.
"Hih hih hih...! Aku tahu sekarang!" Nenek Suri Gandil mendekati Panji dan Murni. Kemudian bisiknya, "Ini adalah pekerjaan Setan Tua Gila. Dia membangkitkan mayat Senapati Malingkat. Seperti yang telah kuceritakan kepadamu, Pendekar Naga Putih. Ilmu membangkitkan mayat itu berasal dari kitab yang pernah kami curi. Itu berarti Setan Tua Gila berada di sekitar tempat ini. la harus mengendalikan mayat Senapati Malingkat..." Nenek Suri Gandil berhenti sebentar. Dipandanginya wajah mayat Senapati Malingkat. Beberapa saat kemudian nenek itu terlihat mengangguk-ngangguk.
"Setan Tua Gila berada di lereng bukit sebelah selatan," bisiknya kemudian kepada Panji dan Murni. "Sementara aku dan tiga tokoh kerajaan itu menghadapi mayat hidup ini, kalian berdua pergilah dan bunuh tua bangka keparat itu! Tanpa membunuh Setan Tua Gila, mayat hidup ini tidak akan bisa dikalahkan..." Lalu, Nenek Suri Gandil bergegas menghampiri mayat hidup Senapati Malingkat. Diberikannya isyarat kepada ketiga tokoh kerajaan untuk membantunya.
Sementara Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh Istana itu siap menghadapi mayat hidup Senapati Malilngkat, Panji dan Murni bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka menuju lereng bukit sebelah Selatan. Tidak sulit bagi Panji dan Murni untuk menemukan Setan Tua Gila. Dari kejauhan mereka sudah melihat sesosok tubuh tengah duduk bersila di dekat tepi sungai. Sosok itu bukan lain dari Setan Tua Gila yang pernah dijumpai Panji.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang Panji?" Murni berbisik kepada Panji, sementara pandangannya tertuju pada sosok Setan Tua Gila. Kakek itu tengah bersemadi dengan kedua mata teipejam.
"Tunggu saja dulu. Lihat apa yang akan dilakukan Setan Tua Gila selanjutnya," jawab Panji.
Tidak berapa lama Panji serta Murni menyaksikan tubuh Setan Tua Gila bergetar. Kedua lengannya dikembangkan. Diputar ke atas dan ke bawah, sementara mulutnya berkemak-kemik seperti tengah membaca mantera.
"Sekarang...!"
Panji memberi isyarat setelah memberikan petunjuk kepada Murni cara menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang telah dipinjamkannya untuk sementara waktu. Sedang ia sendiri mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Mereka berdua harus menggencet Setan Tua Gila dari depan dan belakang dengan menggunakan kekuatan mukjizat yang berlainan unsur itu.
"Haiiittt...!"
Dari belakang, Murni membentak seraya mendorongkan kedua telapak tangannya. Sinar kuning keemasan melesat dari tangannya. Serangkum hawa panas maha dahsyat Itu menderu ke arah lambung kiri-kanan Setan Tua Gila.
"Hyahhh...!"
Pada saat bersamaan Pendekar Naga Putih berseru keras. Kedua telapak tangannya didorongkan dengan gerak menyilang. Satu ke arah ubun-ubun, sedang satunya lagi menuju bagian bawah perut. Angin dingin laksana badai salju menderu keras. Malah, tubuh Panji sampai menggigil. Dalam serangan itu ia memang mengerahkan tenaga hingga ke puncak.
Bressshhh...!
Dua kekuatan raksasa menghantam dari depan dan belakang tubuhnya. Setan Tua Gila terdengar mengeluarkan suara seperti orang tercekik! Tubuhnya mengejang sesaat. Lalu, dengan sebuah teriakan mengguntur kedua tangannya didorongkan ke depan dan belakang.
Pendekar Naga Putih dan Murni sama terpekik kuat Kekuatan dahsyat yang dilontarkan Setan Tua Gila membuat tubuh mereka terlempar satu tombak lebih. Kemudian, jatuh terguling-guling di tanah. Beruntung tubuh mereka dilapisi cahaya mukjizat. Sehingga, hantaman tenaga dahsyat Setan Tua Gila tidak sampai menimbulkan luka parah.
Meskipun begitu, beberapa saat lamanya mereka seperti lumpuh. Telentang di tanah berumput dengan napas tersengal dan wajah agak pucat. Mereka baru dapat bergerak bangkit bersamaan dengan munculnya Nenek Suri Gandil dan tiga tokoh istana.
"Nek, Setan Tua Gila itu... "
"Dia sudah ko'it." Nenek Suri Gandil langsung menukas ucapan Panji. Si nenek menghampiri Setan Tua Gila yang masih duduk dalam keadaan bersila. Kedua tangannya terkembang ke depan dan belakang. Namun begitu disentuh ujung jari Nenek Suri Gandil, tubuh Setan Tua Gila langsung hancur menjadi abu.
"Setan Tua Gila rupanya paman guru Setan Mata Api," ujar Nenek Suri Gandil kepada Panji. "Tidak heran kalau ia mencegahmu sewaktu hendak melewati Bukit Dampet. Setan Mata Api dan Katak Hijau menghubungi Setan Tua Gila lalu mengajaknya bersekongkol. Dasar orang-orang serakah, setelah berhasil mereka meninggalkan Setan Tua Gila. Keduanya hendak mengangkangi harta itu sendiri. Setan Tua Gila menjadi sakit hati. Dan karena Setan Mata Api dan Katak Hijau merencanakan semua itu bersama Senapati Malingkat, maka mayat senapati itu digunakan Setan Tua Gila untuk membalas pengkhinatan orang-orang serakah itu."
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Diam diam ia merasa bersyukur telah bertemu dengan Nenek Suri Gandil. Meski pada mulanya sempat merepotkan epotkan Panji, tapi kemudian nenek itu malah membantunya menghancurkan keangkaramurkaan.
"Mengenai harta itu bagaimana, Nek? Apa sudah ditemukan?" tanya Panji ketika teringat harta kerajaan, yang sedianya akan dipergunakan untuk melamar putri kerajaan sahabat.
"Mulanya aku sempat pusing juga melihat Setan Mata Api sudah tewas. Tapi..., kau tahu sendiri kalau aku bisa mengetahui sesuatu dengan membaca wajah orang. Dari wajah mayat Setan Mata Api itulah aku mengetahui kalau harta itu sekarang berada pada Raja Sesat Selatan..." Nenek Suri Gandil kemudian menoleh kepada Senapati Wanalaga dan dua jago istana yang tersenyum lebar.
"Kami akan mengurusnya. Raja Sesat Selatan pasti tidak ingin digantung. Dan kalaupun ia berkeras tidak mau menyerahkan harta itu, kami dengan mudah bias memaksanya. Bawa saja seribu prajurit. Lalu, ratalah tempat kediaman Raja Sesat Selatan” ujar Senapati Wanalaga. Kemudian, disambung dengan tawanya yang keras.
Semua yang berada di tempat itu jadi ikut tertawa. Menyambuti kelucuan rencana Senapati Wanalaga...
S E L E S A I
DAFTAR CERSIL LAINNYA | PEDANG SILUMAN DARAH |
---|