Serial Pendekar Naga Putih
Episode Setan Pantai Timur
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Setan Pantai Timur
Karya T. Hidayat
Cetakan Pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
MALAM semakin larut. Sang Dewi Malam yang semula bersinar cerah, tampak mulai redup. Sebagian wajahnya tertutup awan kelabu. Hembusan angin bertambah kencang membawa hawa dingin menusuk tulang. Kendati demikian, suasana itu sama sekali tidak membuat binatang malam menghentikan senandungnya.
Sesosok tubuh tinggi kurus menghentikan larinya di mulut sebuah hutan kecil. Ia berdiri tegak memandang berkeliling. Namun sejauh mata memandang, hanya kepekatan yang dilihatnya. Terdengar helaan napasnya. Kedua kakinya melangkah lambat-lambat sambil tetap mengawasi sekitar tempatitu.
"Bagus, Sagotra! Aku senang kau mau datang..."
Suara parau yang mirip sebuah desahan berat itu membuat Sogatra memutar tubuhnya. Sepasang matanya berkilat tajam, menatap sosok yang agak tersembunyi di kegelapan bayang pepohonan.
"Hua ha ha haaahhh...!" tiba-tiba saja sosok bertubuh pendek itu tertawa keras hingga tubuhnya yang gemuk terguncang-guncang.
"Hm..., mengapa kau masih menggangguku, Harimau Gila? Apa lagi yang kau inginkan dariku?" tegur lelaki kurus bernama Sagotra, menyembunyikan kemarahan.
"Sagotra... Sagotra, tahan dulu amarahmu! Apakah diantara sahabat tidak boleh saling mengunjungi...?" sahut lelaki pendek gemuk yang disebut dengan julukan Harimau Gila.
"Kita tidak lagi bersahabat, Harimau Gila!" tegas Sagotra dengan tatapan semakin mencorong. "Masa lalu yang bergelimang dosa sudah kulupakan! Dan sekarang kau tidak akan bisa lagi memaksaku untuk melakukan kesalahan kembali!"
Sosok gemuk pendek di kegelapan bayang pepohonan kembali memperdengarkan gelak tawanya yang aneh. Kemudian mengayunkan langkah mendekati tempat Sagotra berdiri. Kurang lebih satu tombak, langkahnya terhenti.
"Sagotra," ujar Harimau Gila dengan menentang mata Sagotra, "Untuk kedua kalinya, aku terpaksa mengganggu kehidupanmu. Kuharap kau tidak menolak permintaanku ini. Ingat, aku bukan saja bisa membuka kebusukanmu di depan anak dan istrimu! Tapi, aku juga bisa melibatkan namamu dalam kematian Kakek Jubah Hitam!"
"Bangsat licik..! Kau... benar-benar iblis, Harimau Gila!"
Bukan main murkanya Sagotra demi mendengar ancaman Harimau Gila. Peristiwa terbunuhnya tokoh golongan putih berjuluk Kakek Jubah Hitam, melintas sesaat dalam benaknya. Secara langsung ia memang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Hal itu dilakukannya dengan sangat terpaksa, karena ancaman Harimau Gila.
Namun, Harimau Gila yang berjanji tidak akan mengganggunya lagi setelah itu, ternyata mengingkarinya. Harimau Gila kembali mengirimkan sepucuk surat kepadanya, minta untuk bertemu di mulut hutan kecil di luar Desa Kranggan.
"Terpaksa kulakukan, Sagotra. Mulanya aku memang berjanji untuk tidak akan mengganggumu lagi, setelah kau menolongku melenyapkan Kakek Jubah Hitam, beberapa hari lalu. Tapi..., kali ini aku bersungguh-sungguh! Jika kau mau membantuku, aku tak akan mengusikmu lagi. Aku membutuhkan bantuanmu, Sagotra...," ujar Harimau Gila yang kemudian menundukkan kepalanya. Seolah ia merasa bersalah telah mengingkari janjinya.
"Tidak!" tandas Sagotra. "Cukup sekali saja kau menipuku! Seharusnya sejak semula aku sadar, bahwa janji sama sekali tidak berarti bagi orang sepertimu! Dan jika kali ini aku masih menuruti kehendakmu, sudah pasti kau akan terus meminta dengan ancaman yang serupa!" Setelah berkata demikian, Sagotra memutar tubuhnya, hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Sagotra...!" cegah Harimau Gila membentak.
Sagotra terpaksa menghentikan langkahnya. Tapi ia tidak berbalik, tetap membelakangi Harimau Gila.
"Dengar, Sagotra!" lanjut Harimau Gila, "Jika kau berkeras hendak pergi dan menolak permintaanku, berarti kau harus siap menerima kehancuran dalam hidupmu! Kau akan dikutuk dan dimusuhi oleh anak dan istrimu! Sementara, tokoh-tokoh persilatan golongan putih akan memburumu, menuntut tanggung jawabmu atas kematian Kakek Jubah Hitam. Kau bukan cuma akan kehilangan kebahagiaan, Sagotra, tapi hidupmu pun akan hancur! Pikirkanlah, betapa sempitnya dunia ini jika apa yang kukatakan itu benar-benar terjadi..."
Sagotra terpaksa memutar tubuh, menghadapi Harimau Gila. Apa yang dikatakan Harimau Gila, memang harus diakui kebenarannya. Ngeri hatinya membayangkan kehidupan seperti yang digambarkan Harimau Gila. Terlebih bayangan tentang anak dan istrinya, yang akan berbalik memusuhinya. Bayangan hari-hari mengerikan itu, membuat wajahnya menjadi pucat!
"Tapi, jika kau bersedia membantuku lagi, kehidupan yang mengerikan itu tidak akan pernah terjadi..." Harimau Gila melanjutkan ucapannya, sewaktu melihat Sagotra mulai terpengaruh.
Tidak terdengar tanggapan dari Sagotra. Lelaki tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun ini tampak menggeleng perlahan, disertai helaan napas berat yang berkepanjangan. Kedudukannya memang serba salah. Menuruti kehendak Harimau Gila, berarti mengingkari janji pada dirinya sendiri.
Dirinya telah bertekad meninggalkan kesesatan untuk selama-lamanya. Namun, jika ia menolak, bayangan hari-hari mengerikan yang digambarkan Harimau Gila, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Karena rahasia masa lalunya diketahui Harimau Gila. Sehingga Sagotra menjadi bingung tak tahu harus memilih yang mana.
"Mengapa kau sampai hati melakukan semua ini terhadap diriku, Harimau Gila? Bukankah aku tak pernah mengganggu ataupun menyakitimu? Bahkan sampai saat ini pun aku masih tetap mengganggapmu sebagai seorang sahabat baik..." Ucapan lemah Sagotra terdengar memecah kesunyian di antara mereka. Dalam ucapannya tergambar jelas nada keputusasaan.
"Hmmm, mengapa kau menjadi cengeng, Sagotra?" ejek Harimau Gila. Hatinya sama sekali tak tersentuh melihat wajah Sagotra yang terselimut kedukaan. "Padahal aku sama sekali belum melakukan apa-apa terhadapmu? Kebahagiaanmu masih utuh. Istri dan anakmu masih tetap mendampingimu dan menyayangimu. Dan aku cuma meminta sedikit bantuan darimu! Itu saja, tidak lebih!"
"Tapi bantuan yang kau inginkan itu membuat diriku kembali terseret ke dalam lumpur kenistaan!" tukas Sagotra menggeram marah. Tubuhnya gemetar dengan mata melotot. Dadanya bergelombang menahan amarah.
Harimau Gila mendengus kasar. Kakinya melangkah mundur sewaktu melihat sikap Sagotra seperti hendak menerkam tubuhnya. Namun, Sagotra sendiri sudah mengurungkan niatnya. Munculnya empat sosok tubuh dari kiri-kanan dan langsung mengapit tubuh Harimau Gila, membuat Sagotra sadar kalau dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Bagaimana, Sagotra?" desak Harimau Gila menuntut jawaban Sagotra. Sagotra berdiri me- matung. Ia tidak menjawab, tidak menggeleng ataupun mengangguk. Namun sikap itu dianggap Harimau Gila sebagai sikap menerima. Maka bibir lelaki pendek gemuk ini pun mengulas senyum kemenangan. "Siapa tokoh yang menjadi musuhmu kali ini...?" tanya Sagotra sekadar ingin tahu.
"Pendekar Clurit Perak. Ia sudah terlalu banyak menewaskan golongan kita. Orang seperti tokoh itu harus segera dilenyapkan...!" sahut Harimau Gila, membuat Sagotra kelihatan agak kaget.
"Pendekar Clurit Perak...!?" desisnya dengan kening berkerut Namun, sewaktu Sagotra mengangkat kepala, Harimau Gila dan keempat kawannya sudah melesat meninggalkan tempat itu. Pikirannya menerawang, terkenang pada awal kemunculan Harimau Gila, yang mengusik kebahagiaannya.
Seperti biasanya, setiap pagi Sagotra duduk di taman belakang rumahnya. Namun pada pagi itu ketenangannya terusik oleh suara bergegas yang mendatanginya. Dia yang sudah siap mendamprat pemilik langkah suara itu, terpaksa harus menelan kembali kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Karena pemilik suara langkah kaki itu ternyata putrinya sendiri. Karuan saja wajah masam Sagotra berganti senyum.
"Ayah..." Andari, putri tunggal Sagotra, berlari-lari kecil mendatangi. Gadis belia berusia sekitar enam belas tahun ini tampak begitu riang.
"Ada apa, Andari...?" tanya Sagotra tersenyum membiarkan Andari menggayuti tubuhnya. Gadis remaja nan cantik rupawan ini memang sangat manja. Sagotra sendiri memakluminya. Karena ia memang sangat sayang dan memanjakan putri tunggalnya itu.
"Di luar ada tamu, yang katanya sahabat lama Ayah," jawab Andari dengan tubuh terus bergerak-gerak membuat tubuh ayahnya yang duduk di atas kursi ikut terguncang. "Tapi aku tidak begitu suka melihatnya, Ayah. Apalagi caranya memandangiku. Seperti harimau kelaparan!" lanjutnya sambil memonyongkan mulut, memperlihatkan ketidak-sukaannya.
"Sahabat lama Ayah...?!" desis Sagotra agak heran. Karena selama belasan tahun ia tidak lagi berhubungan dengan dunia luar, selain warga desa yang dipimpinnya. Sagotra adalah Kepala Desa Kranggan. Datangnya tamu yang mengaku sebagai sahabat lamanya, membuat kening Sagotra berkerut. "Apakah orang itu tidak menyebutkan namanya...?" tanyanya.
"Tidak, Ayah. Cuma, orang itu bilang kalau Ayah pasti akan segera tahu apabila melihatnya..."
"Hm...," Sagotra menggumam perlahan. Kemudian bangkit dan melangkah menuju ruang tamu. Sedang Andari menggantikan duduk memandangi tanaman bunga kesukaannya yang sedang bermekaran.
Tiba di ruang tamu, Sagotra mendapati seorang lelaki pendek gemuk yang pada pipi sebelah kirinya terdapat luka memanjang. Sehingga sudut bibir sebelah kirinya agak menjungkat. "Memang tidak salah penilaian Andari," pikirnya. Wajah tamu itu membuat orang merasa kurang suka. Terlebih sepasang matanya yang selalu jelalatan dan menyembunyikan kelicikan.
"Harimau Gila...?!" terka Sagotra setelah memperhatikan tamunya beberapa saat. Kerutan keheranan pada wajahnya mendadak lenyap, berganti dengan kekagetan, yang kemudian segera ditekannya.
"Kaget melihatku, Sagotra...?" tegur suara serak lelaki pendek gemuk itu. Mulutnya tersenyum tipis. Rupanya gambaran kekagetan yang hanya sekilas di wajah Sagotra dapat ditangkapnya.
Begitu mengenali siapa tamunya, ingatan Sagotra langsung menerawang ke masa belasan tahun silam. Waktu itu Harimau Gila memang merupakan sahabatnya yang cukup dekat. Bahkan pernah dirinya beberapa kali membantu Harimau Gila, yang merupakan kepala rampok dengan pengikut yang cukup banyak.
Sagotra sendiri bukan orang baik-baik. Dia merupakan seorang tokoh sesat tunggal, yang malang melintang mengandalkan kepandaiannya. Tidak memiliki pengikut seorang pun, karena memang lebih suka bekerja sendiri. Sagotra paling tidak suka terikat oleh siapa pun atau perkumpulan sesat apa pun.
Namun tetap tidak menutup kemungkinan apabila ada rekan segolongan yang meminta bantuannya. Tentu dengan imbalan yang diajukannya. Harimau Gila selalu menghubunginya apabila mangsa yang diincar memiliki pengawalan yang kuat. Dan dengan perjanjian membagi dua hasil rampokan, Sagotra pun sesekali bergabung. Setelah itu pergi dengan membawa harta rampokan yang menjadi bagiannya.
Itulah yang membuat Sagotra mengenal Harimau Gila cukup dekat. Harimau Gila sendiri sangat menyanjung dan memandang tinggi terhadap Sagotra. Bahkan menganggap sebagai pelindungnya, kendati Sagotra sendiri tak menghendaki pengakuan itu. Namun ia tetap datang jika Harimau Gila membutuhkannya untuk melakukan pekerjaan besar.
"Kau sengaja mencariku...?" tanya Sagotra, setelah mempersilakan Harimau Gila duduk.
"Benar, Sagotra," jawab lelaki gemuk itu masih tersenyum dan tetap memperlihatkan rasa segannya. "Kau menghilang begitu saja, membuat aku sempat kalang-kabut, tak tahu ke mana harus menghubungimu. Tidak adanya kau di antara kami, membuat pekerjaanku berantakan! Sekitar sebelas tahun silam, ada iring-iringan kereta barang, yang dikawal jago-jago silat tangguh. Karena tidak berhasil menghubungimu, aku dan kawan-kawan nekat untuk tetap melakukannya. tapi, siapa sangka kalau orang-orang yang mengawal iring-iringan kereta barang itu rata-rata berkepandaian tinggi. Hingga, bukan saja kami menemui kegagalan, bahkan separo pengikutku terpaksa harus menerima kematian di tangan mereka!"
Harimau Gila menghentikan ceritanya, menunggu tanggapan dari Sagotra. Namun Sagotra terlihat tetap tenang, tidak menunjukkan perasaan apa pun! Sikap ini membuat wajah Harimau Gila berkerut.
"Belakangan baru kami tahu, dan ini membuat kami menyesal telah berlaku ceroboh! Karena iring-iringan kereta yang kami rampok itu ternyata milik seorang pembesar kerajaan! Orangku, yang bertugas sebagai penyelidik, tidak lengkap dalam memberikan keterangan. Pembesar kerajaan itu murka, lalu mengirimkan dua lusin pasukan terlatih. Tempat persembunyian kami di obrak-abrik! Menyadari kalau pihakku akan kalah, maka aku pun mengambil keputusan untuk lari menyelamatkan diri. Sebagai orang buronan, aku pun tidak bisa tinggal di satu tempat lama-lama. Maka, aku melakukan pengembaraan tanpa tujuan, yang sekaligus menghindari kejaran mereka. Baru setelah kurang lebih lima tahun hidup sebagai pelarian, aku mulai dilupakan. Teringat akan dirimu, aku pun tidak menghentikan perjalanan. Tapi bukan lagi sebagai orang buronan, melainkan untuk mencari tahu tentang dirimu, mengapa kau mendadak lenyap tanpa berita? Sampai akhirnya aku tiba di desa ini, dan mendengar bahwa kepala desanya bernama Sagotra."
"Apakah cuma aku seorang yang bernama Sagotra di dunia ini?" potong Sagotra tak sabar. Karena ia memang tidak tertarik dengan cerita Harimau Gila.
"Sebelum datang ke rumah ini, aku sudah banyak bertanya kepada penduduk tentang gambaran kepala desanya. Baru kemudian aku merasa pasti kalau Sagotra Kepala Desa Kranggan adalah Sagotra sahabatku!" jelas Harimau Gila, kemudian memperdengarkan suara tawa sebagai pelampiasan kegembiraan hatinya, karena kembali bertemu orang yang dulu dianggap sebagai pelindungnya itu.
"Hm..., lalu, apa maksudmu datang menemuiku? apakah cuma sekadar ingin berjumpa dengan kawan lama, atau kau mempunyai kepentingan lain...?" tanya Sagotra tanpa senyum sedikit pun, membuat Harimau Gila menghentikan tawanya. "Perlu kau ketahui, Harimau Gila, bahwa Sagotra yang sekarang tidak sama dengan Sagotra yang dulu. Sudah kurang lebih sebelas tahun aku meninggalkan semua yang pernah kuperbuat. Aku tidak lagi berhubungan dengan kekerasan. Di desa ini dan di samping anak-istriku, kudapatkan ketenangan. Jadi, kalau kedatanganmu mempunyai maksud seperti dulu, sebaiknya lupakan saja! Tapi, selama kau datang dengan maksud baik, pintuku selalu terbuka untukmu. Kau mengerti maksudku, Harimau Gila...?"
Harimau Gila tidak menjawab. Meski pandang matanya tertuju ke wajah Sagotra, namun kosong. Karena ia merasa kaget mendengar penjelasan Sagotra.
"Dengan sikap yang kau ambil itu, tidakkah merasa bahwa dirimu telah berkhianat...?" tanya Harimau Gila setelah dapat menguasai perasaannya. Dan sikapnya berubah seketika. Tidak lagi ada nada hormat dalan ucapannya. Namun Sagotra tidak peduli dengan perubahan itu.
"Berkhianat...?!" desis Sagotra menegaskan, khawatir salah mendengar ucapan tamunya. "Terhadap siapa aku berkhianat? Kau tahu sendiri kalau selamanya aku tak pernah terlibat oleh orang atau komplotan apa pun!"
"Tapi, biar bagaimanapun kau tetap merupakan tokoh golongan sesat! Dan dengan menarik diri dari dunia sesat, berarti kau telah berkhianat, pada golonganmu, golongan kita!" ujar Harimau Gila, jelas-jelas menunjukkan ketidak senangannya atas sikap Sagotra.
"Lalu, siapa yang akan menuntutku...?" tanya Sagotra tersenyum sinis, tahu kalau Harimau Gila cuma mencari-cari alasan.
"Aku yang akan menuntutmu, juga tokoh-tokoh golongan sesat lainnya!" tukas Harimau Gila, menakut-nakuti Sagotra dengan maksud agar bekas pelindungnya itu kembali merubah sikap.
"Hm..., kalau memang begitu, apa boleh buat..."
Jengkel bukan main Harimau Gila mendengar ucapan Sagotra, yang sama artinya dengan menantang dirinya. Namun, ia pun bukan orang bodoh, dia sadar bahwa kepandaiannya berada jauh di bawah Sagotra.
"Hm...." Tiba-tiba wajah keruh Harimau Gila kembali cerah. Senyum liciknya terukir, membuat Sagotra agak heran. "Ada sesuatu yang lupa kuceritakan kepadamu, sewaktu aku masih seorang buronan, Sagotra...," lanjutnya berteka-teki.
Kepala desa itu menanggapi. Dirinya tahu Harimau Gila tidak senang dengan sikap yang diambilnya. Bahkan tahu kalau bekas kepala rampok itu tengah mencari-cari alasan yang mungkin akan bisa merubah pendiriannya.
"Waktu itu, aku baru saja lari menyelamatkan diri meninggalkan tempat dan pengikutku yang dihancurkan prajurit kerajaan. Aku berlari tanpa tujuan. Sampai akhirnya tiba di kaki Gunung Dampit, yang merupakan dua buah pegunungan berhimpit satu sama lain..."
Harimau Gila menghentikan ceritanya, hendak melihat tanggapan Sagotra. Namun, lelaki tinggi agak kurus itu masih tetap membisu, kendati ada sedikit kerutan di keningnya. Dan itu sudah cukup menim- bulkan senyum dingin di bibir Harimau Gila.
"Tidak disangka, aku tiba bertepatan dengan serombongan orang, yang hendak menuju ke suatu tempat. Kau tahu siapa rombongan itu, Sagotra...?" tanya Harimau Gila menyunggingkan senyum misterius.
"Aku bukan saja tidak tahu siapa rombongan itu, Harimau Gila. Tapi aku juga tidak mengerti apa sebenarnya yang tengah kau ceritakan ini...?" jawab Sagotra tetap tenang.
Lagi-lagi Harimau Gila menanggapi dengan senyum. Karena sempat melihat kilatan aneh pada mata Sagotra. Ia tahu kalau Sagotra mulai dapat menebak ceritanya. Namun berusaha disembunyikan dan tetap menunjukkan sikap tenang.
"Sebagai seorang kepala rampok, tentu saja aku tahu dan kenal perampok-perampok di hampir separo negeri ini. Jelasnya, rombongan itu adalah para perampok dari Hutan Pagar Jurang! Dan Ki Tambak Raja, pimpinan mereka merupakan salah seorang kenalan lamaku. Sewaktu kutanya apa tujuan mereka datang ke kaki Gunung Dampit, Ki Tambak Raja memberikan jawaban yang sangat jelas!"
Harimau Gila kembali menghentikan ceritanya. Matanya tak lepas dari wajah Sagotra. Kali ini Sagotra tak dapat lagi menguasai dirinya. Dengan wajah agak memucat, dia bangkit dari kursinya. Sepasang matanya membelalak lebar. Deru napasnya memburu. Menandakan ketegangan dan kegelisahan hatinya. Sepasang tangannya sudah terulur, hendak menjambret leher Harimau Gila.
Namun lelaki pendek gemuk itu, yang memang sejak tadi sudah waspada, bergegas melompat mundur, menghindari cengkeraman Sagotra. Kursi yang didudukinya terlempar, menimbulkan suara ribut! Tubuh Harimau Gila sudah berada di ambang pintu, terpisah satu tombak lebih dari tempat Sagotra berdiri.
"Rahasiamu ada di tanganku, Sagotra! Dan itu berarti mulai saat ini kau harus menuruti kehendakku. Jika tidak, akan kubongkar semua kebusukanmu! Kebahagiaan yang selama belasan tahun kau rasakan, dapat kuhancurkan hanya dalam beberapa kalimat saja...!" ujar Harimau Gila tertawa penuh kemenangan.
"Keparat, jangan lari kau, Manusia Busuk!" bentak Sagotra kalap. Kemudian menggenjot tubuhnya, melesat mengejar Harimau Gila yang sudah melarikan diri, meninggalkan rumah besar itu. "Tangkap! Jangan biarkan manusia jahat itu lolos...!"
Teriakan Sagotra membuat empat orang pengawalnya bergegas menghadang di tengah pintu gerbang. Heran juga mereka sewaktu melihat orang yang mereka kenali sebagai tamu dan sahabat kepala desa mereka, tengah berlari dengan kecepatan tinggi. Bahkan dikejar-kejar Ki Lurah Sagotra!
"Minggir kalian...!" seru Harimau Gila, yang sambil berlari melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dua dari empat penjaga tempat tinggal kepala desa itu terjungkal muntah darah! Keduanya meregang lalu tewas seketika dengan mata mendelik!
"Pembunuh keji, serahkan dirimu...!" teriak salah satu penjaga, yang langsung saja menusukkan mata tombaknya ke tubuh Harimau Gila. Hal serupa juga dilakukan kawannya.
Namun, dengan sebuah pekikan keras, tubuh Harimau Gila melenting berputar ke udara. Sewaktu meluncur turun di belakang kedua penyerangnya, kedua tangannya melancarkan hantaman ke arah punggung, dan telak mengenai sasarannya. Akibatnya, dua penjaga yang tersisa itu, terlempar ke depan, memuntahkan darah segar. Keduanya langsung tewas dengan tulang punggung remuk!
Kaget juga Sagotra melihat kepandaian Harimau Gila. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau ilmu silat bekas kepala rampok itu telah berkembang pesat. Namun, hatinya sama sekali tidak gentar, terus melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak, menyuruh Harimau Gila berhenti.
Tentu saja lelaki gemuk pendek yang otaknya masih waras itu, tidak mau berhenti. Malah semakin menambah kecepatannya. Hingga, mereka saling berkejaran, melintasi jalan utama Desa Kranggan.
Teriakan-teriakan Ki Lurah Sagotra, membuat belasan orang keamanan desa ikut melakukan pengejaran. Namun, mereka tertinggal beberapa tombak, dan semakin lama semakin jauh tertinggal. Kendati demikian mereka tetap tidak berhenti, terus mengejar!
Di dekat sebuah hutan kecil, yang terletak di luar batas wilayah Desa Kranggan, Harimau Gila tampak menghentikan larinya. Kemudian berbalik, seperti sengaja menunggu kedatangan Sagotra yang mengejarnya.
Sagotra yang saat itu sudah tinggal dua tombak di belakang buruannya, mengerutkan kening melihat sikap Harimau Gila. Namun kemarahan yang bagai menghanguskan dadanya, membuat Sagotra tidak mau ambil pusing. Tubuhnya tetap meluncur, bahkan ia langsung melancarkan pukulan lurus ke depan, mengarah dada Harimau Gila.
Whuttt...!
Kepalan Sagotra menerpa angin kosong. Karena Harimau Gila sudah menggeser tubuhnya ke samping. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kilat, mengancam lambung lawannya.
Plakkk!
Kibasan tangan Sagotra membentur kaki Harimau Gila, membuat tendangan itu terpental balik. Dan tubuh Harimau Gila sendiri sampai berputar, saking kerasnya tenaga kibasan itu. Wajah lelaki pendek gemuk ini terlihat menyeringai. Karena kakinya bagaikan membentur sebatang besi!
"Tamat riwayatmu, Manusia Berhati Busuk!" geram Sagotra menyusuli tangkisannya dengan sebuah bacokan sisi telapak tangan miring ke leher Harimau Gila. Dan sewaktu lelaki gemuk pendek itu merendahkan tubuh mengelak, Sagotra segera menyusul lagi dengan gedoran telapak tangan ke dada lawannya.
Desss...!
"Hukkhhh..!" Tanpa ampun lagi, gedoran telak itu membuat tubuh Harimau Gila terjengkang keras! Selebar wajahnya memerah, menahan rasa sesak. Dari sudut bibirnya tampak cairan merah merembes turun.
Keadaan lawan sama sekali tidak membuat Sagotra berhenti. Tampaknya ia benar-benar hendak menghabisi nyawa Harimau Gila. Serangan berikutnya meluncur cepat sekali. Menilik dari sambaran angin pukulannya, dapat diketahui kalau Sagotra telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan yang dimaksudkan sebagai pamungkas itu.
Sewaktu pukulan Sagotra tinggal setengah tombak lagi dari tubuh Harimau Gila, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan teras dari kanan-kirinya. Disusul dengan bermunculannya empat sosok bayangan, yang langsung melontarkan serangan ke arahnya. Sagotra terpaksa harus menunda serangannya, dan melompat mundur. Karena keempat sosok bayangan itu menggunakan senjata. Selain itu, dari suara sambaran anginnya, Sagotra dapat mengetahui bahwa tenaga keempat penyerang itu rata-rata cukup kuat. Dan ia pun tidak ingin bertindak ceroboh.
Melihat Sagotra sudah melompat mundur, keempat sosok bayangan itu tidak melanjutkan serangannya. Mereka bergerak menghampiri Harimau Gila. Lalu berdiri mengapit lelaki pendek gemuk itu dari kiri-kanan. Siap melindungi Harimau Gila apabila Sagotra masih melanjutkan serangannya.
"Hm..., rupanya semua ini sudah kau atur sedemikian rupa, Harimau Gila?" desis Sagotra geram sewaktu mendapat kenyataan bahwa keempat sosok bayangan itu ternyata kawan-kawan Harimau Gila. Sekarang baru ia mengerti, mengapa Harimau Gila tidak terus berusaha lolos dari kejarannya. Malah sengaja berhenti dan menunggu kedatangannya. Rupanya Harimau Gila sudah mempersiapkan kawan-kawannya yang baru akan muncul apabila dirinya terancam.
"Bagus kalau kau sudah mengetahuinya, Sagotra," tukas Harimau Gila. Meski wajahnya terlihat masih seperti orang menahan sakit, namun dia berusaha menyunggingkan senyum sinis. "Terus terang kukatakan, saat ini aku membutuhkan bantuanmu. Dan kau tulak mempunyai pilihan kecuali menerimanya. Kalau tidak, akan kuhancurkan kebahagiaanmu dengan membeberkan kebusukanmu di depan keluargamu!"
Ancaman Harimau Gila membuat Sagotra menggereng keras. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat! Kelihatan sekali kalau saat itu tengah terjadi peperangan di dalam hatinya. Beberapa saat kemudian, sewaktu Sagotra hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang banyak mendatangi tempat itu. Sagotra menoleh sekilas ke belakang. Dia menunda ucapannya begitu melihat ke- munculan belasan orang keamanan desa, yang juga merupakan pengawal-pengawalnya.
"Ki Lurah?! Kau tidak apa-apa...?!" tanya salah seorang yang merupakan kepala keamanan desa, menghampiri Sagotra. Sagotra cuma mengangguk sedikit sebagai jawaban atas pertanyaan bernada cemas itu. Sedang pandangan matanya tetap tertuju lurus ke arah Harimau Gila dan empat orang kawannya.
"Hm..., sebaiknya kau cepat-cepat perintahkan orang-orangmu agar kembali ke desa, Sagotra! Atau kau menghendaki agar aku mem..."
"Cukup! Tutup mulutmu, Harimau Gila!" Sagotra langsung memotong ucapan Harimau Gila. Karena ia tahu apa kelanjutan ucapan itu.
Harimau Gila sama sekali tidak tersinggung. Bahkan terdengar suara kekehnya berkepanjangan.
"Kalian kembalilah! Tidak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri. Selain itu, mereka pun tidak bermaksud mencelakakan aku...," ujar Sagotra kepada kepala keamanan desa, agar membawa yang lainnya meninggalkan tempat itu. "Cepatlah!" lanjut Sagotra setengah membentak, karena melihat kepala keamanan desa itu masih berdiri ditempatnya.
"Baik... baik, Ki...," sahut lelaki, yang merupakan tangan kanan kepala desa itu. Meski terlihat masih ragu, akhirnya dia menuruti juga perintah Sagotra.
"Bagaimana, Sagotra? Kau bersedia memenuhi permintaanku...?" tanya Harimau Gila setengah mendesak, setelah belasan keamanan desa sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya.
"Apa yang kau kehendaki dariku, Harimau Gila...?" geram Sagotra, terpaksa mengalah. Karena dirinya tak ingin kehilangan kebahagiaan yang telah dibinanya selama belasan tahun.
"He he he..., seperti pada belasan tahun silam yang sering kita lakukan, Sagotra...," sahut Harimau Gila.
"Tidak perlu bertele-tele, katakan saja apa mau mu?" sergah Sagotra tak sabar, karena tak men- dengar jawaban itu.
"Aku mempunyai seorang musuh yang sangat tangguh dan membuat pekerjaanku menjadi sulit. Aku memerlukan bantuanmu untuk melenyapkan penyakit itu. Sekarang, marilah kau ikut dengan kami...!"
"Tunggu, Harimau Gila...!" seru Sagotra mencegah langkah Harimau Gila dan kawan-kawannya, yang berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
Harimau Gila menunda langkahnya, berbalik menatap wajah Sagotra lekat-lekat. "Aku bersedia membantumu. Tapi hanya untuk sekali ini saja! Setelah itu, aku tak ingin melihat wajah busukmu muncul di Desa Kranggan lagi..."
"Baik. Aku berjanji, hanya sekali ini saja meminta bantuanmu. Setelah itu, aku akan pergi dari kehidupanmu untuk selama-lamanya," sahut Harimau Gila tanpa perlu berpikir lagi. Lelaki gemuk itu kembali memutar tubuh dan melangkah pergi, setelah memberikan isyarat kepada Sagotra untuk mengikutinya.
"Ke mana? Dan apa yang akan kita kerjakan...?!" seru Sagotra yang belum tahu jelas maksud dan tujuan Harimau Gila.
Namun Harimau Gila dan keempat kawannya tidak lagi mempedulikan. Mereka sudah melesat pergi mempergunakan ilmu lari meninggalkan tempat itu. Sagotra termenung sesaat, tapi akhirnya mengayun langkah, berlari mengikuti mereka.
"Inilah tempat yang kita tuju...," jelas Harimau Gila, setelah tiba di depan sebuah bangunan yang cukup besar. Sebelum Sagotra sempat berkata sesuatu, ia sudah melangkah dan memukul hancur pintu gerbang bangunan yang tertutup rapat itu.
"Harimau Gila...?! Bukankah bangunan ini...," ucap Sagotra yang berpada kaget dan heran terhenti. Hatinya kaget, melihat Harimau Gila tengah memukul tewas dua orang lelaki berpakaian tukang kebun, yang berteriak dan datang menghadang. Perbuatan Harimau Gila membuat selebar wajah Sagotra menjadi pucat! Terlebih ketika seorang pelayan wanita muncul dari dalam bangunan, lalu kembali berlari masuk sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Ada pembunuh... ada pembunuh...!"
"Celaka! Kau benar-benar sinting, Harimau Gila! Kalau sejak mula kutahu musuhmu adalah majikan tempat ini, tentu aku tidak sudi untuk membantumu!" geram Sagotra yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah tindakan kejam Harimau Gila terhadap dua orang tukang kebun itu.
"Bagus...! Jadi kau tahu siapa pemilik rumah besar ini...," desis Harimau Gila, tak peduli dengan kecemasan yang diperlihatkan Sagotra.
"Tentu saja aku tahu. Ia adalah..."
"Hm..., siapa yang berani mengacau di tempat ini...?" Suara parau dan berat serta mengandung getaran perbawa kuat itu, membuat ucapan Sagotra terhenti. Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, yang tubuhnya terbungkus jubah panjang berwarna hitam, tampak berdiri di ambang pintu dengan kaki terpentang. Sorot matanya yang tajam menyapu wajah lima orang tamu yang tak diundangnya itu.
"Kakek Jubah Hitam...?!" desis Sagotra mengenali sosok lelaki tua itu. Pandangan kakek itu yang juga sudah menyapu wajahnya, membuat Sagotra sadar kalau ia tidak mungkin mundur lagi. Karena ia berada di antara orang-orang yang telah membunuh dua orang tukang kebun Kakek Jubah Hitam.
Kakek Jubah Hitam memang merupakan satu dari sekian banyak tokoh berilmu tinggi yang memiliki watak aneh. Usia tua membuat ia menghentikan petualangannya di rimba persilatan. Kemudian membangun sebuah tempat tinggal, yang letaknya agak terpencil, jauh dari pedesaan. Kakek Jubah Hitam tidak memelihara seorang murid pun. Ia hanya memelihara beberapa orang pembantu laki-laki dan pelayan perempuan, yang usianya tidak muda lagi, untuk melayani segala keperluannya. Namun, meski telah menjalani hidup layaknya seorang hartawan, ia tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai penentang segala bentuk kejahatan.
Sikap ini yang membuat Harimau Gila mendendam kepadanya. Tindak kejahatan yang dilakukan Harimau Gila telah digagalkannya, sewaktu hendak menjarah sebuah desa, yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Demikian pula dengan beberapa perampokan yang terjadi di desa-desa sekitar tempat tinggal tokoh tua itu. Begitu mendengar, Kakek Jubah Hitam langsung bertindak, menghajar mereka. Namun, kakek ini tidak membunuh, hanya memberikan hajaran, berharap agar para penjahat sadar dari kesesatannya.
Siapa sangka Harimau Gila dan para perampok yang pernah dihajarnya malah bergabung untuk membalas dendam. Sampai akhirnya Harimau Gila teringat kepada Sagotra dan meminta bantuan. Karena kepandaian Kakek Jubah Hitam tidak dapat ditandinginya, meski dengan mengandalkan keroyokan. Ketika melihat Kakek Jubah Hitam telah muncul, Harimau Gila langsung saja bergerak menghampiri.
"Kami datang untuk menuntut balas kepadamu, Kakek Bau Tanah! Dan kali ini kami yakin akan berhasil membunuhmu. Karena kami membawa seorang jago sebagai tandinganmu," ujar Harimau Gila, yang kemudian berpaling ke arah Sagotra. "Inilah jago kami. belasan tahun silam sepak terjangnya sudah terkenal di kalangan persilatan. Sampai ia mendapat julukan Setan Pantai Timur! Kau tentu pernah mendengar namanya, bukan?" lanjut Harimau Gila yang kemudian memperdengarkan suara kekeh berkepanjangan.
"Setan Pantai Timur...?!" desis Kakek Jubah Hitam, mengulang nama julukan Sagotra yang memang terkenal pada belasan tahun silam. "Ya, aku memang pernah mendengarnya. Hm..., rupanya setelah sekian lama menghilang, kini kau muncul lagi untuk melanjutkan kesesatan?" lanjutnya sambil menatap wajah Sagotra lekat-Iekat.
Sagotra hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan wajah penuh sesal. Ia tidak berusaha membantah. Karena ucapan Harimau Gila yang memunculkan kembali nama yang telah lama dilupakannya, sudah pasti tidak akan merubah pandangan Kakek Jubah Hitam terhadapnya, apa pun yang dikatakannya! Terlebih Harimau Gila dan empat orang kawannya sudah mencabut senjata, dan mengeroyok kakek itu. Sagotra pun terpaksa ikut maju mengeroyok, karena Harimau Gila berteriak-teriak memintanya untuk terjun ke arena.
Majunya Sagotra membuat kedudukan berubah seketika. Kalau semula Kakek Jubah Hitam masih dapat membuat Harimau Gila dan empat kawannya kewalahan, kini justru ia yang menjadi kelabakan! Lontaran serangan Sagotra yang menimbulkan sambaran angin tajam, membuat Kakek Jubah Hitam terpaksa harus lebih banyak berkelit dan bermain mundur. Sehingga kian lama kedudukannya kian terdesak! Desakan-desakan yang terutama dilakukan Sagotra, membuat Kakek Jubah Hitam menjadi geram! Hingga, sewaktu dua pukulan beruntun Sagotra datang mengancam tubuhnya, kakek ini terpaksa berlaku nekat, memapaki serangan itu.
Plakk, plakkk!
Kedua pasang lengan yang sama-sama berisi tenaga dalam kuat saling berbenturan keras, membuat keduanya terjajar mundur sampai sejauh satu setengah tombak. Hal itu menandakan bahwa kemampuan tenaga dalam Kakek Jubah Hitam dan Setan Pantai Timur berimbang.
Harimau Gila dan keempat kawannya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Selagi tubuh Kakek Jubah Hitam terjajar mundur, kelimanya langsung membabatkan senjata masing-masing ke tubuh kakek itu.
Brettt! Capp!
"Aaakkhh...!"
Dua di antara lima sambaran senjata itu tidak dapat lagi dielakkan Kakek Jubah Hitam. Tubuhnya kembali terhuyung mundur. Pada dada kirinya terdapat luka memanjang, yang merupakan sayatan ujung pedang Harimau Gila. Masih ditambah dengan luka di lambungnya yang mengalirkan banyak darah. Karena luka pada bagian ini cukup dalam, membuat kedua kaki Kakek Jubah Hitam agak gemetar, sewaktu dapat menguasai kuda-kudanya.
Melihat Kakek Jubah Hitam sudah terluka, dan terlihat agak lemah, Harimau Gila kembali memekik keras. Tubuhnya melesat disertai tebasan pedang dari atas kebawah.
Bweettt!
Meski agak payah, Kakek Jubah Hitam masih sempat menyeret tubuhnya ke samping. Hingga bacokan pedang Harimau Gila, yang nyaris membelah tubuhnya, dapat dihindarkan. Namun, dua serangan yang datang kemudian dari kawan-kawan Harimau Gila, tak dapat lagi dielakkannya. Karuan saja tubuh renta ini melintir disertai percikan darah dari luka yang kembali merobek tubuhnya.
"Habisi...!" Harimau Gila kembali membentak. Pedang di tangannya terayun deras ke tubuh yang tengah melintir itu.
Crakkk...!
Kakek Jubah Hitam tidak sempat berteriak lagi. Sambaran pedang lawan membuat kepalanya terpisah dari badan, jatuh menggelinding di atas tanah. Sedang tubuhnya yang tanpa kepala, masih bergoyang-goyang beberapa saat, dengan semburan darah segar dari leher yang terpenggal. Kemudian ambruk dan berkelojotan sesaat. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Kematian Kakek Jubah Hitam membuat Harimau Gila tertawa terbahak-bahak bersama empat orang kawannya. Kemudian kelimanya pergi meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan Sagotra, yang masih berdiri mematung, memandangi mayat Kakek Jubah Hitam.
"Hhuuff...!"
Hembusan angin malam yang semakin dingin, nenyadarkan Sagotra dari lamunannya. Sesaat ia menengadahkan kepalanya disertai hembusan napas panjang. Kematian Kakek Jubah Hitam membuatnya nenyesal berkepanjangan. Belum lagi hilang bayangan mayat yang terpisah dari kepalanya itu, Harimau Gila telah muncul lagi dan mengancamnya.
"Hhh..., seharusnya aku tahu kalau janji orang seperti Harimau Gila tidak dapat dipercaya...!" desis Sagotra masih menyesali perbuatannya. Meski yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah Harimau Gila, namun secara tidak langsung dialah yang jadi penyebabnya. Sebab, tanpa bantuannya belum tentu kakek itu sampai dapat terbunuh.
Dalam balutan rasa sesal, Sagotra mengayun langkahnya meninggalkan tempat itu. Dirinya sudah mengambil keputusan untuk tidak mengulangi perbuatan seperti itu. Apa pun yang bakal terjadi, Sagotra tak lagi peduli. Biarlah anak dan istrinya mengetahui kebusukan yang pernah dilakukannya di masa lalu. Biarlah orang-orang yang dicintainya itu berbalik membenci dirinya. Mengutuk dan menjauhinya. Baginya itu lebih baik daripada terus tersiksa di bawah ancaman Harimau Gila, yang ia tahu pasti akan terus berkelanjutan.
Sagotra yang melangkah dengan pikiran kalut, sama sekali tidak sadar kalau saat itu malam telah berganti siang. Bahkan ia tidak tahu kalau langkah kakinya telah membawanya meninggalkan Desa Kranggan yang menjadi tempat tinggalnya. Begitu dalam Sagotra terhanyut arus sesal dan kedukaan. Kesadaran itu baru didapatkannya kembali sewaktu kepalanya menengadah disertai tarikan napas panjang.
Pancaran sinar matahari membuat Sagotra lekas-lekas kembali menunduk. Kemudian kembali mengangkat kepala, memperhatikan sekitarnya. Tatkala menyadari dirinya berada di daerah sebuah kaki bukit, keheranan besar tergambar di wajahnya. Membuat ia memutar tubuh, memandang arah dari mana tadi ia datang.
"Sahabat, harap tunggu sebentar...!"
Langkah Sagotra yang hendak kembali ke desanya, tertahan oleh sebuah teguran halus. Namun, sebelum ia sempat mernbalikkan tubuh, tahu-tahu sesosok tubuh melayang lewat di atas kepalanya. Kaget bukan kepalang hati Sagotra menyaksikan kepandaian ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi. Sehingga gerakan sosok itu hampir tidak tertangkap pendengarannya.
"Maaf, kalau aku telah membuat kau terkejut...!" ujar sosok yang telah berdiri tegak di hadapannya. Setelah berkata demikian, sosok yang berupa seorang lelaki setengah baya berdahi lebar ini langsung mengulur tangannya dengan jari-jari terkembang ke arah leher Sagotra!
"Hei...?!" Sagotra berseru heran sambil menarik tubuhnya mundur dua langkah ke belakang. Namun, cengkeraman yang luput itu masih terus mengejarnya, membuat Sagotra semakin kaget. Jengkel dengan sikap orang yang tidak sopan itu, Sagotra mengangkat tangan untuk menyambut tangan yang hendak mencengkeram lehernya. Namun lagi-lagi ia dibuat kaget. Karena cengkeraman itu meliuk dengan gerakan cepat bukan main, membuat tangkisannya luput!
"Gila...?!" desis Sagotra memaki dalam kejengkelan yang berubah menjadi kemarahan. Bergegas ia berkelit sambil melepaskan sebuah pukulan jarak jauh ke tubuh lelaki berdahi lebar itu.
Debbb!
Hampir Sagotra tidak bisa menahan jeritan kagetnya. Pukulan yang dilancarkan laksana menghantam sebuah benda kenyal, saat lelaki berdahi lebar itu merubah cengkeramannya menjadi kibasan yang menerbitkan sambaran angin kuat. Tenaga yang saling berbenturan membuat tubuh kepala desa itu terjajar mundur sampai enam langkah.
"Siapa kau? Mengapa datang-datang langsung menyerangku?! Padahal rasanya kita baru sekali ini berjumpa...?" hardik Sagotra begitu mendapatkan kesempatan untuk menumpahkan kejengkelan dan rasa penasaran di hatinya.
Lelaki berdahi lebar, yang wajahnya terhias kumis tebal bercampur uban ini sama sekali tidak menyahut Sebaliknya ia malah menatap wajah Sagotra lekat-lekat. Beberapa kali keningnya terlihat berkerut-kerut seperti tengah berpikir keras, mengingat-ingat wajah Sagotra. Sagotra pun balas menatap dan meneliti wajah serta sosok lelaki itu.
"Kau... tidak salahkah penglihatanku...?! Bukankah kau yang dikenal dengan julukan Pendekar Bayangan Setan...?" desis Sagotra. Dia terkejut bukan main sewaktu mengenali siapa adanya lelaki berkening lebar, yang mengenakan pakaian kedodoran itu.
Sosok orang itu tampak lucu, karena ujung lengan bajunya terlalu panjang, sampai menutupi jari-jari tangannya. Kecuali itu, pakaiannya pun terbuat dari bahan kembang-kembang, yang tidak lumrah bagi laki-laki. Karena yang biasanya menggunakan bahan seperti itu hanyalah orang-orang perempuan! Sehingga, keseluruhan penampilan lelaki berdahi lebar ini terlihat sangat lucu.
"He he he..., bagus kau dapat mengenaliku, Sahabat. Dan rasa-rasanya aku pun pernah melihat rupa seperti rupamu yang jelek dan lucu itu. Sayangnya aku lupa di mana dan kapan pernah melihatmu...?" ujar lelaki berdahi lebar ini membenarkan terkaan Sagotra sambil memiringkan kepalanya ke kiri-kanan, seperti tengah berusaha untuk dapat mengenali Sagotra.
Namun tingkah Pendekar Bayangan Setan yang sesungguhnya sangat lucu itu, sama sekali tidak membuat Sagotra tertawa. Bahkan tersenyum pun tidak. Karena hati Sagotra sudah diliputi ketegangan, begitu mengenali siapa adanya lelaki berpenampilan aneh dan lucu itu. Dan ia tidak berusaha membantu ingatan Pendekar Bayangan Setan. Meski Sagotra sudah dapat mengingat kapan dan di mana pertama kali berjumpa dengan tokoh berpenampilan seperti orang kurang waras itu.
Dalam kalangan rimba persilatan, nama Pendekar Bayangan Setan memang cukup terkenal. Tapi, karena tokoh ini jarang menampakkan diri, nama dan keberadaannya pun tidak terlalu sering dibicarakan orang. Bahkan banyak tokoh tingkat pertengahan yang lupa dengan nama Pendekar Bayangan Setan. Terlebih setelah pendekar bertingkah laku aneh itu tidak muncul-muncul sampai beberapa tahun lamanya. Membuat namanya semakin tenggelam. Kecuali beberapa orang tokoh tua, yang memang menganggap Pendekar Bayangan Setan sebagai tokoh seangkatan.
"Aha, aku ingat sekarang...!" Tiba-tiba saja Pendekar Bayangan Setan berseru mengejutkan, membuat Sagotra sampai terlompat saking kagetnya! Karena tokoh yang oleh sebagian orang dianggap agak sinting ini, seperti tak sengaja, telah mengerahkan tenaga dalam sewaktu berseru.
Sagotra sudah melangkah mundur dengan urat-urat tubuh menegang! Jantungnya berdebar keras, dan merasa tegang menunggu kelanjutan ucapan tokoh setengah sinting itu.
"Ahh..., siiial...!" seru Pendekar Bayangan Setan sembari menelengkan keningnya perlahan, "Baru saja aku ingat, eh, sudah lupa lagi! Haiih..., dasar otakku memang sudah kurang beres...!"
Pengakuan Pendekar Bayangan Setan membuat Sagotra menghembuskan napas panjang tanda kelegaan hatinya. Namun ucapan itu juga membuat sekujur tubuhnya lemas. Sagotra merasa dirinya tak ubahnya seperti sebuah balon yang ditiup sebesar-besarnya, lalu dikempeskan dengan tiba-tiba.
"Aha...!" Lagi-lagi Pendekar Bayangan Setan berseru gembira, "Kau tunggulah sebentar, sahabat yang baik! Aku sudah mulai ingat lagi sedikit-sedikit. Harap kau jangan terlalu banyak bergerak, biar aku lebih mudah untuk mengingat di mana dan kapan pernah melihat rupa jelekmu itu...," lanjutnya yang kemudian bergerak mendekat, lalu mengitari tubuh Sagotra.
"Maaf, aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu, Pendekar Bayangan Setan. Aku harus pergi..." Sagotra yang kembali dibuat tegang oleh ucapan-ucapan Pendekar Bayangan Setan, bergegas melangkah hendak meninggalkannya. Khawatir kalau lama-lama diperhatikan, bisa-bisa tokoh aneh itu akan mengenali dan mengingat siapa dirinya. Maka, sebelum terlambat, Sagotra memutuskan untuk angkat kaki dari tempat itu.
"Hei, kau ini tuli atau sengaja hendak bikin aku marah, hah?" tiba-tiba saja Pendekar Bayangan Setan menghardik marah. Hingga, langkah Sagotra terpaksa tertunda.
"Apa maksudmu, Pendekar Bayangan Setan...?" tanya Sagotra tak mengerti mengapa tokoh agak sinting itu mendadak marah-marah.
"Masih pura-pura bertanya lagi...!" tukas Pendekar Bayangan Setan mengomel. "Tadi sudah kukatakan kalau kau jangan bergerak-gerak, karena aku sedang berusaha mengingat di mana pernah melihat wajah jelekmu. Eh, kau malah bukan cuma bergerak, tapi hendak pergi dari tempat ini! Hm..., kau sengaja ya, hendak membuat aku marah? Senang ya, melihat orang marah-marah?"
"Maaf, Orang Tua, tapi aku benar-benar tidak bisa menemanimu lebih lama..."
"Bisa! Kau bisa menemaniku sampai kapan pun! Karena, kalaupun benar tidak bisa, aku akan memaksamu untuk terus menemaniku. Dan itu sudah merupakan satu keharusan!" tandas Pendekar Bayangan Setan, bersikeras memaksakan kehendaknya.
"Sinting...!" desis Sagotra tak lagi ambil peduli. Kemudian melangkah hendak meninggalkan tempat itu.
"Kurang ajar!" Pendekar Bayangan Setan menghentakkan kakinya ke tanah. Hatinya benar-benar gusar melihat kebandelan Sagotra. Tanpa banyak cakap lagi, tubuh- nya langsung melesat dengan sebuah cengkeraman.
Melihat serangan yang cepat dan kuat itu, Sagotra tidak bisa lagi menahan diri. Dengan menggeser tubuhnya, Sagotra mengelakkan serangar itu. Ke- mudian langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat sebagai balasannya.
"Gerakan yang bagus...!" puji Pendekar Bayangan Setan tertawa-tawa, tidak berusaha menghindari tendangan.
Bukkk!
Telapak kaki Sagotra menghantam telak dada kanan lawannya. Namun bukan main kagetnya ketika merasakan betapa tendangannya bagaikan menghantam sebuah benda kenyal yang membuat tenaganya membalik. Bahkan tubuhnya nyaris terpelanting!
Pendekar Bayangan Setan tertawa geli melihat Sagotra berdiri terheran-heran.
"Tidak kusangka kalau kau memiliki perasaan halus, Sahabat. Aku senang kau tidak tega untuk menyakitiku...," ujar Pendekar Bayangan Setan, yang jelas-jelas sengaja hendak mengejek Sagotra.
Ejekan itu membuat wajah Sagotra seketika merah padam. Terdengar gerengan kemarahannya. "Pendekar Bayangan Setan...," ujar Sagotra masih menahan diri. "Rupanya kau memang sengaja hendak menghinaku! Tapi jangan kau kira aku takut menghadapimu! Kalau kau memang menantangku bertarung, marilah! Akan kuhadapi walau sampai seribu jurus sekalipun!"
"Ck ck ck...," Pendekar Bayangan Setan berdecak-decak sambil menggelengkan kepala, memperlihatkan rasa kagumnya terhadap sikap Sagotra, "Bukan main...! Aku sendiri mungkin tidak akan sanggup melakukan pertarungan sampai seribu jurus, seperti yang kau inginkan itu. Tapi..., tentu saja aku tak menolak tantanganmu" Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh Pendekar Bayangan Setan sudah melesat menerjang Sagotra. Kali ini ia menggunakan sepasang tangannya, melakukan serangkaian serangan yang mendatangkan deruan angin keras!
"Haiiittt!"
Sagotra yang tidak sudi dihina orang, segera membentak nyaring. Disambutnya serangan Pendekar Bayangan Setan, dengan tidak kalah garangnya. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit! Namun tidak sampai tiga puluh jurus, Sagotra sudah dipaksa untuk bermain mundur. Serangan Pendekar Bayangan Setan yang datang bertubi-tubi disertai sambaran angin keras, membuat setiap pukulan yang dilontarkannya selalu terpental balik. Akibatnya, Sagotra terpaksa harus memperkuat pertahanan dirinya. Dan ini membuatnya semakin terdesak!
Degk!
Lewat dari dua puluh jurus Sagotra tak dapat lagi menghalangi gempuran telapak tangan lawan, yang telak bersarang di dadanya. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terjengkang deras. Meski ia masih sanggup mempertahankan kuda-kudanya, namun pada sudut bibirnya terlihat ada cairan merah yang merembes turun.
"Heh heh heh..., gerakanmu memang cukup hebat, Sahabat. Dan aku bisa menduga kalau ilmu yang kau miliki berasal dari golongan sesat. Jurus-jurus seranganmu sangat keji dan tak pantas dilakukan oleh orang gagah." Terdengar ucapan Pendekar Bayangan Setan, yang tidak melanjutkan serangannya. Ia berdiri sambil tertawa-tawa memandang lawannya.
"Apa pedulimu, Pendekar Bayangan Setan! Tanpa sebab kau menyerang dan melukaiku. Padahal di antara kita tidak pernah ada permusuhan...," sahut Sagotra dengan nada geram bercampur penasaran.
"Heh, siapa bilang aku menyerangmu tanpa sebab? Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah bisa menebak kalau kau pastilah bukan orang baik-baik. Sedangkan aku paling benci dengan orang jahat! Terlebih setelah sahabatku Kakek Jubah Hitam, kutemui tewas di tempat kediamannya, membuatku semakin benci kepada orang-orang jahat. Dan aku bersumpah untuk membunuh siapa saja orang yang kutemui. Tentunya yang menurut pikiranku bukan dari kalangan orang baik-baik. Dan kau termasuk di antaranya!" ujar Pendekar Bayangan Setan dengan wajah yang tiba-tiba berubah beringas!
Sepasang matanya bergerak-gerak liar, tanda tokoh ini sedang dalam puncak kegilaannya. Sikap ini memang selalu muncul jika Pendekar Bayangan Setan tengah dilanda kemarahan ataupun kesedihan. Itu memang sudah menjadi cirinya, meski tidak terlalu banyak tokoh yang mengetahui.
Agak kecut juga hati Sagotra ketika mendengar perkataan Pendekar Bayangan Setan. Ia memang sudah tahu kalau tokoh setengah gila yang kini dihadapinya adalah sahabat Kakek Jubah Hitam. Sewaktu masih malang-melintang sebagai Setan Pantai Timur, Sagotra pernah berjumpa dengan kedua orang tokoh itu. Dan ia pun langsung bisa menduga apa maksud kemunculan Pendekar Bayangan Setan di tempat itu.
Dugaannya ternyata tidak meleset. Kemunculan tokoh setengah gila yang jarang terlihat itu, ternyata ada kaitannya dengan kematian Kakek Jubah Hitam. Hanya sama sekali tidak disangkanya kalau kematian Kakek Jubah Hitam membuat Pendekar Bayangan Setan terpukul, hingga bersumpah untuk membuhuh setiap orang yang dianggapnya sebagai tokoh sesat. Ucapan itu membuat Sagotra sadar kalau nyawanya berada dalam ancaman maut!
"Sekarang, sebelum aku mencabut nyawamu, jawablah pertanyaanku," ujar Pendekar Bayangan Sean lagi, "Apakah kau tahu siapa pembunuh sahabat yang juga adik seperguruanku itu?"
Pertanyaan itu membuat Sagotra kaget bukan main. Kini semakin jelaslah baginya, mengapa Pendekar Bayangan Setan sangat terpukul atas kematian Kakek Jubah Hitam. Mau tidak mau, miris juga hati Sagotra mengingat dirinya ikut terlibat dalam pembunuhan itu.
"Mengapa hal itu kau tanyakan kepadaku? Aku cuma orang desa, yang tidak tahu-menahu tentang urusan orang-orang persilatan. Sebaiknya kau tanyakan saja soal itu kepada orang lain," jawab Sagotra, mencoba mengelabui Pendekar Bayangan Setan. Kendati saat itu hatinya semakin tegang, khawatir kalau-kalau tokoh setengah gila itu keburu mengenalinya.
"Heh heh heh..., kau ingin membodohiku, ya? Mataku cukup awas untuk mengetahui sampai di mana tingkat kepandaianmu. Dan menurutku, kau termasuk salah satu orang yang pantas untuk kucurigai. Dan meski kau tidak tahu-menahu tentang kematian saudara seperguruanku itu, tetap aku tidak akan melepaskanmu sebelum tubuhmu menggeletak tanpa nyawa...!" tukas Pendekar Bayangan Setan, yang membuat Sagotra lagi-lagi harus menyembunyikan kekagetannya.
Sagotra bergegas melangkah mundur ketika dilihatnya Pendekar Bayangan Setan sudah siap untuk bergerak. Ia terpaksa harus mempertahankan diri dengan menggunakan ilmu tangan kosong. Karena setelah bertekad untuk meninggalkan kesesatan, Sagotra tidak pernah lagi membawa-bawa senjata.
Padahal ia merupakan seorang ahli pedang yang boleh dikatakan jarang tandingannya. Dengan kepandaiannya bermain pedang itu pula sebutan Setan Pantai Timur melekat dalam dirinya pada belasan tahun silam. Meski demikian, diam-diam Sagotra merasa bersyukur karena tidak membawa senjata. Sebab, jika ia menggunakan senjata sewaktu bertempur tadi, sudah pasti Pendekar Bayangan Setan akan segera ingat siapa dirinya.
"Hm..., sekarang bersiaplah! Kuberi waktu kau sepuluh jurus untuk membela diri...," ujar Pendekar Bayangan Setan yang kemudian melangkah maju empat tindak. Dan, begitu langkah yang keempat menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan menggetarkan!
Bergegas Sagotra melompat ke samping. Lalu mengirimkan dua pukulan dan satu tendangan sekaligus. Dan karena kali ini Sagotra telah mengerahkan seluruh tenaganya, sambaran angin pukulannya pun menderu keras, dengan kecepatan yang tinggi. Namun serangan itu sama sekali tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Lontaran pukulan dan tendangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Pendekar Bayangan Setan.
Demikian pula dengan serangan-serangan selanjutnya. Sehingga, sampai jurus yang ketiga puluh berakhir, belum satu pun serangan Sagotra yang mengenai sasarannya. Jangankan mengenai tubuh, untuk menyentuh ujung jubah tokoh itu saja, tak dapat dilakukan Sagotra. Karena gerakan Pendekar Bayangan Setan memang harus diakui, sangat cepat! Membuat serangannya selalu mengenai tempat kosong!
"Waktumu sudah habis, dan sekarang giliranku! Bersiaplah...!" Begitu ucapannya selesai, serangan Pendekar Bayangan Setan langsung datang mencari sasaran di tubuh Sagotra. Membuat bekas tokoh sesat ini menjadi kelabakan untuk menyelamatkan dirinya.
Plakkk! Bukkk!
Memasuki jurus ketiga puluh lima, Sagotra bertindak nekat memapaki serangan lawan. Akibatnya, tubuhnya terdorong mundur. Saat itu sebuah hantaman keras, yang merupakan serangan susulan lawan, menghantam telak dada kanannya. Hingga, tanpa ampun lagi, tubuh kepala desa itu terbanting ketanah. Pendekar Bayangan Setan kembali memperdengarkan kekehnya. Kemudian melangkah perlahan menghampiri Sagotra, yang tengah berusaha bangkit berdiri.
"Manusia jahat, kau apakan ayahku...!"
Sewaktu langkah Pendekar Bayangan Setan tinggal empat tindak lagi dari Sagotra, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring, yang bernada marah. Disusul kemudian dengan kelebatan sinar putih yang berdesingan datang mengancam tubuh Pendekar Bayangan Setan!
"Aaahh..., celaka...?!"
Pendekar Bayangan Setan yang menolehkan kepala sewaktu mendengar bentakan itu, memekik kaget. Wajahnya kontan memucat. Sepasang matanya membelalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong.
Whukkk...!
Sambaran angin berdesing itu lewat diatas kepala, karena Pendekar Bayangan Setan sudah merendahkan kepala dan kuda-kudanya. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah lompatan panjang kesampingkanan.
"Hm..., jangan harap kau bisa lolos dari pedangku, Setan Gundul...!" sosok bayangan merah, bertubuh ramping yang memegang sebatang pedang itu kembali membentak. Serangannya berkelebat lagi mengancam Pendekar Bayangan Setan.
Sementara, wajah pucat Pendekar Bayangan Setan tampak mulai dibanjiri peluh. Terlebih setelah dapat melihat tegas sosok dan wajah penyerangnya. Ketakutannya semakin tampak jelas!
"Waaa..., ada setaaannn...!" Belum lagi ujung pedang sosok bayangan merah ini meluncur ke tubuhnya, Pendekar Bayangan Setan sudah melesat pergi, lari terbirit-birit sambil berteriak teriak ketakutan!
"Jangan lari kau, Setan Gundul...!" maki bayangan merah ini yang melesat hendak mengejar.
"Andari, jangan kejar...! Biarkan ia pergi...!"
Sosok ramping terbungkus pakaian serba merah ini bergegas menghentikan larinya. Kemudian menoleh ke arah Sagotra, ayahnya, yang tampak mengulapkan tangan kepadanya. Bergegas dara remaja yang manis dan manja ini berlari menghampiri.
Sagotra masih termanggu dengan wajah dilanda keheranan besar, sewaktu putrinya datang. Hatinya masih belum mengerti kenapa Pendekar Bayangan Setan sampai sedemikian takutnya menghadapi serangan Andari. Padahal kepandaian tokoh setengah gila itu, ia tahu berada jauh di atas putrinya. Sagotra benar-benar tidak habis pikir dengan keanehan yang baru saja terjadi di depan matanya itu.
"Ayah..., kau tidak apa-apa...?" tanya Andari cemas sambil memapah tubuh Sagotra, "Siapa setan gundul itu, Ayah? Mengapa ia ingin membunuhmu?"
"Cuma orang sinting...," jawab Sagotra singkat, Mari, kita pulang...!" lanjutnya membuat Andari cuma bisa mengangkat bahu, tak banyak bertanya lagi. Kemudian dipapahnya sang Ayah pergi meninggalkan tempat itu.
Kuda hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari busur, meninggalkan kepulan debu di atas jalanan yang dilewatinya. Setelah menerobos kelebatan hutan, sampailah di depan sebuah rumah panggung yang cukup besar. Penunggangnya bergegas melompat turun kemudian melangkah masuk dengan agak tergesa. Sedang kuda hitam itu sudah diurus oleh seorang lelaki yang menyambut kedatangannya.
"Kali ini kita benar-benar celaka, Penjagal...!" ucapnya cemas, kepada seorang lelaki gemuk bertelanjang dada, hingga menampakkan bulu-bulu lebat yan tumbuh di dadanya.
"Kau ini kenapa, Ronggawu?! Datang-datang, membuat orang kebingungan? Coba tenang dulu, dan ceritakan yang jelas...!" sambut lelaki gemuk yang dikenal sebagai Penjagal Kepala, seorang kepala rampok yang bengis dan kejam tak kenal ampun. Setiap lawan yang dihadapinya harus tewas dengan kepala putus. Kebengisan inilah yang membuat julukan Penjagal Kepala melekat pada dirinya.
"Kematian Kakek Jubah Hitam ternyata malah membuat diri kita terancam bahaya! Bahkan jauh lebih hebat ketimbang sewaktu kakek celaka itu masih hidup! Kalau dulu cuma dia seorang yang selalu menggagalkan usaha kita, sekarang justru semakin banyak. Kematiannya membuat orang-orang golongan putih menjadi marah! Mereka hendak mencari pembunuhnya. Menurutku, sebaiknya kita menyingkir dulu jauh-jauh sampai keadaan kembali tenang. Sebab, kalau sampai golongan putih tahu, mereka pasti akan mendatangi kita. Bukankah ini celaka namanya...?" jelas Ronggawu, yang membuat paras Penjagal Kepala berubah seketika.
"Dari mana kali dapatkan berita itu? Apakah itu bukan cuma desas-desus saja?" tanya Penjagal Kepala, yang kelihatan belum yakin benar akan ucapan kawannya.
"Orang-orangku yang bekerja sebagai pencari berita tentang mangsa yang bakal lewat di daerahku, datang dan melaporkan semua itu kepadaku," jawab Ronggawu, yang juga merupakan kepala rampok, dan mempunyai hubungan dekat dengan Penjagal Kepala. Hubungan antara kedua kepala rampok ini semakin dekat semenjak sepak terjang Kakek Jubah Hitam mengacaukan pekerjaan mereka.
Mendengar penjelasan rekannya, Penjagal Kepala menjadi termenung. Keningnya berkerut. Sepertinya tokoh ini tengah berpikir keras untuk mencari jalan keluarnya. "Apakah hal ini sudah kau beritahukan kepada Harimau Gila?" tanya Penjagal Kepala tiba-tiba.
"Aku tidak tahu ke mana harus mencarinya. Karena selama ini ia tidak pernah memberitahukan tempat tinggalnya kepada kita. Harimau Gila hanya muncul menemui kita jika memerlukan bantuan! Hhh... itulah yang membuatku kurang suka kepadanya. Sebaiknya kau tak perlu memikirkannya, Penjagal. Yang penting kita harus segera menyingkir. Jangan sampai mereka keburu mengetahui pelaku pembunuhan itu, lalu mendatangi tempat ini," jawab Ronggawu setengah mendesak.
"Pengikutmu sendiri bagaimana...?"
"Mereka sudah kusuruh menyingkir lebih dulu, dan menunggu di sekitar Lembah Sungai Gerong. Di sana ada tempat yang cukup baik dan tersembunyi. Rasanya, untuk sementara tempat itu bisa kita gunakan bersama-sama," jawab Ronggawu menerangkan tempat yang bakal mereka gunakan sebagai persembunyian sementara.
"Hm..., kalau begitu kau tunggulah sebentar. Aku akan berkemas...," ujar Penjagal Kepala, mengambil keputusan untuk mengikuti anjuran rekannya.
Namun, baru saja Penjaglal Kepala memutartubuh hendak masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba dari luar rumah terdengar bentakan dan suara benturan senjata tajam. Penjagal Kepala menjadi kaget. Lalu menoleh dan bertukar pandang dengan Ronggawu. Seperti telah mendapat kata sepakat, kedua gembong perampok ini sama melesat keluar.
"Berhenti, tahan senjata...!"
Begitu tiba di luar dan menyaksikan adanya dua orang lelaki berseragam biru muda, tengah dikeroyok belasan orang anggota perampok, Penjagal Kepala langsung membentak. Disusul kemudian dengan tubuh gemuknya yang melayang ke tengah arena dan mendarat tepat di hadapan dua orang lelaki gagah itu.
"Hm..., siapa kalian, dan mau apa datang ke tempat ini?" tegur Penjagal Kepala dengan sorot mata bengis mengandung ancaman maut. Di sebelah kanannya, sudah berdiri Ronggawu, yang juga meneliti kedua orang lelaki gagah berseragam biru muda itu.
"Namaku Banadri, sedangkan saudaraku ini adalah Sandrila. Kami berdua datang dari daerah Pantai Utara, dan dijuluki sebagai Sepasang Elang Laut Utara. Mengenai tujuan kami datang ke tempat ini, adalah untuk mencari kepala rampok yang berjuluk Penjagal Kepala. Siapakah di antara kalian berdua yang memiliki julukan itu?" tanya salah satu dari kedua orang lelaki gagah yang berwajah agak mirip dengan kawannya.
Keduanya terlihat masih berusia muda, sekitar tiga puluh tahun. Kendati demikian, sorot wajah dan sinar mata mereka terlihat tajam dan berpengaruh. Hingga, sempat membuat hati Penjagal Kepala dan Ronggawu tergetar.
"Hm..., keperluan apa yang membuat kalian berdua ingin bertemu dengan Penjagal Kepala?" kali ini yang melontarkan pertanyaan adalah Ronggawu.
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan kepadanya, sehubungan dengan terbunuhnya Kakek Jubah Hitam, yang merupakan sahabat guru kami. Dan kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki serta membekuk pelaku laknat itu...!" Sandrila yang menjawab pertanyaan Ronggawu. Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak pernah lepas dari wajah Penjagal Kepala. Sepertinya ia sudah dapat menebak siapa di antara kedua orang itu yang berjuluk Penjagal Kepala.
"Kalau begitu, kalian berdua salah alamat. Karena di sini tidak ada yang berjuluk Penjagal Kepala. Sebaiknya kalian cari di tempat lain...!" Lagi-lagi Ronggawu berkata mendahului rekannya. Sedang Penjagal Kepala masih diam, belum bisa mengambil keputusan harus bagaimana.
"Hmhh...!" Banadri mendengus dan tersenyum sinis ketika mendengar jawaban Ronggawu. Demikian pula dengan Sandrila. Kemudian keduanya saling bertukar pandang.
"Ternyata kabar tentang kebengisan dan kekejaman Penjagal Kepala cuma isapan jempol belaka," ujar Sandrila kepada Banadri.
"Benar. Sejak semula aku memang sudah dapat menebak kalau kepala rampok yang berjuluk Penjagal Kepala itu tak lebih dari seorang pengecut besar!" Banadri menimpali dengan suara lantang sambil mengerling ke arah Penjagal Kepala. "Sekarang terbukti bahwa dugaanku itu benar..."
"Keparat...!" Penjagal Kepala menggeram dengan wajah terbakar. Dadanya serasa hendak meledak menahan gejolak amarah. Dia tidak bisa menerima penghinaan itu. "Bocah-bocah sombong! Perhatikanlah baik-baik! Akulah yang berjuluk Penjagal Kepala, yang akan segera membuat kalian berdua menjadi mayat-mayat tanpa kepala!"
Usai berkata demikian, Penjagal Kepala meloloskan sebatang golok besar yang matanya bergerigi. Kemudian memutarnya hingga menerbitkan deru angin keras. Dan dibarengi dengan sebuah teriakan mengguntur, golok di tangannya menyambar begitu cepat ke arah Banadri, orang yang telah berani mati menghinanya.
Trang...!
Bunga api berpijar seiring dengan suara benturan keras dua batang senjata. Entah kapan menggerakkan tangannya, tahu-tahu dalam genggaman Banadri ada sebilah pedang, yang digunakan untuk menyambut sambaran golok Penjagal Kepala.
Gembong perampok dari Hutan Gagak ini menjadi kaget bukan main, sewaktu merasakan lengan kanannya bergetar keras, nyaris membuat goloknya terlepas dari pegangan! Selain itu, tubuhnya pun sampai terjajar mundur beberapa langkah. Padahal lawannya sendiri seperti tidak terpengaruh oleh benturan keras itu. Kenyataan ini membuat Penjagal Kepala sadar kalau tenaganya kalah dua tingkat dari lawannya.
"Hm..., pantas kau berani membuka mulut besar! Rupanya kepandaianmu boleh juga...!" dengus Penjagal Kepala mengakui kelebihan lawannya.
Banadri tidak menanggapi. Tokoh muda yang berjuluk Elang Laut Utara ini cuma tersenyum tipis. Kemudian menggeser langkahnya ke kanan sambil memutar pedang.
Wuttt!
Sambaran angin panas menderu sewaktu pedang di tangan Banadri menyambar. Penjagal Kepala pun tidak mau kalah. Golok besarnya datang menyambut disertai deruan angin yang bergulung-gulung. Sebentar saja kedua tokoh ini sudah saling serang dengan hebatnya!
"Tunggu, Sahabat...!" seru Sandrila mencegah Ronggawu yang hendak campur tangan ke dalam arena pertarungan itu. "Akulah yang bakal menjadi lawanmu..."
"Hmmhh!" Ronggawu menggereng bagai binatang buas terluka. Sebatang tongkat pendek berantai, yang pada bagian ujungnya terdapat bola berduri, diputar hingga menimbulkan suara berdengung-dengung. Dan, tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung diayunkan ke kepala Sandrila, yang langsung menyambut dengan pedangnya.
Tingkat kepandaian Ronggawu tampaknya masih berada jauh di bawah lawannya. Serangan-serangan tongkat bola berdurinya yang datang menderu-deru, selalu gagal menemui sasarannya. Bahkan beberapa kali ujung pedang lawan, yang menerobos masuk, nyaris melukai tubuhnya. Sehingga, setelah pertarungan berjalan tiga puluh jurus, Ronggawu sudah kelabakan oleh sambaran pedang lawan, yang memiliki kecepatan mengagumkan itu. Ia tidak lagi diberi kesempatan untuk balas menyerang. Karena sambaran pedang lawan demikian gencar, membuat Ronggawu sibuk melindungi tubuhnya dari incaran mata pedang Sandrila.
"Yeaaattt...!"
Setelah selama kurang lebih sepuluh jurus mencecar lawan yang semakin tak berdaya itu, tiba-tiba Sandrila berteriak mengejutkan. Gerakan-gerakan kakinya berubah, membuat kepala Ronggawu menjadi pening. Karena tubuh lawannya selalu bergerak ke kiri-kanan dengan lompatan-lompatan yang cepat dan sulit diikuti pandangan matanya.
Breettt...!
Ronggawu menjerit kesakitan sewaktu pedang lawan merobek lambung kanannya. Tubuhnya terhuyung mundur disertai ceceran darah segar, yang mengucur dari luka di lambungnya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Penjagal Kepala pun harus mengakui keunggulan lawannya. Sebuah tendangan keras dan tusukan pada dada kanannya, membuat tubuh kepala rampok ini terlempar dan terbanting keras. Penjagal Kepala menyeret tubuhnya sewaktu Banadri melangkah menghampiri dengan sorot mata nengancam.
Sementara Ronggawu yang hatinya sudah merasa gentar, juga bergerak mundur, dan memberikan isyarat kepada para pengikut Penjagal Kepala untuk maju mengeroyok. Banadri dan Sandrila terpaksa bergerak mundur ketika kurang lebih tiga puluh orang anggota perampok bergerak menghadang langkah mereka.
Namun sepasang Elang Laut Utara ini sama sekali tidak terlihat gentar. Mereka memutar senjata, dan merobohkan beberapa orang perampok yang menerjang maju. Sekali bergerak saja keduanya telah membuat enam orang perampok berkelojotan mandi darah! Hingga, perampok yang lainnya merasa gentar dan ragu-ragu untuk maju menyerang.
"Bodoh, ayo habisi kedua manusia celaka itu...!" Penjagal Kepala membentak marah ketika melihat sikap gentar anak buahnya. Sehingga, meski agak takut-takut, akhirnya mereka pun menyerbu dua orang saudara kembar yang berjuluk Sepasang Elang Laut Utara itu.
Serbuan anggota perampok itu disambut sambaran pedang Banadri dan Sandrila. Deruan angin panas yang timbul dari sambaran pedang kedua tokoh ini, membuat para pengeroyoknya tak berani terlalu dekat Sehingga, pedang di tangan Elang Laut Utara kembali merenggut empat orang korban. Membuat yang lainnya kembali bergerak mundur dengan wajah agak pucat!
"Hih hih hih...!"
Banadri dan Sandrila menahan gerakannya dan melompat mundur ketika mendadak terdengar suara tawa mengikik, yang membuat telinga mereka berdenging kesakitan. Cepat keduanya mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh suara tawa itu. Pertempuran pun terhenti seketika. Beberapa saat kemudian, suara tawa mengikik itu lenyap. Di gantikan oleh munculnya sesosok tubuh kurus seorang perempuan tua. Kemunculan sosok perempuan tua ini, membuat semua orang yang berada di tempat itu sama membelalakkan mata!
Karena tubuh perempuan tua ini sama sekali tidak terbungkus pakaian, kecuali celana hitam setinggi betis, yang pada bagian bawahnya compang-camping. Rambutnya yang putih dan tipis, digelung di atas, dan terdapat hiasan berupa tulang, yang digunakan sebagai tusuk konde. Sedang buah dadanya yang keriput dan panjang, menjuntai hingga ke perut, dibiarkan terbuka begitu saja. Tentu saja penampilan yang menunjukkan ketadakwarasan ini membuat heran siapa saja yang menyaksikannya.
Banadri dan Sandrila yang semula sempat merasa risih melihat penampilan nenek itu, kini menjadi kaget bukan main. Sekali melihat saja, keduanya langsung bisa mengenali siapa adanya nenek berpenampilan sangat 'berani'itu.
"Kalong Wewe...?!" desis Banadri yang tanpa sadar melangkah mundur. Pada wajahnya terlihat gam- baran kegentaran.
"Tidak salah lagi! Ciri-ciri nenek itu sama persis dengan yang digambarkan ayah kita!" desis Sandrila yang juga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan gentarnya.
Karena dari apa yang mereka dengar, Kalong Wewe merupakan seorang tokoh wanita tua yang kepandaiannya sukar diukur. Dan merupakan tokoh gila, yang memiliki kebiasaan tidak lumrah. Kabarnya Kalong Wewe gila anak, dan kadang suka menculik laki-laki muda untuk diteteki. Namun kemudian dibunuhnya setelah nenek itu merasa bosan.
"Hih hih hih...! Orang-orang muda cakap dan gagah, kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian putra Pendekar Elang Bulu Emas, yang tinggal di daerah Pantai Utara?" tanya nenek berpenampilan aneh itu sambil memperdengarkan tawa mengikiknya, lalu gerak maju mendekati Banadri dan Sandrila.
"Benar, beliau memang ayah kami," Banadri menjawab sambil menggeser mundur kakinya dengangerakan perlahan dan tidak terlalu kentara. Meski berusaha disembunyikan, rasa ngeri tetap saja terlihat pada wajahnya.
"Kuharap Nenek suka memandang ayah kami, dan tidak mencampuri urusan ini...!" timpal Sandrila yang mencoba mengusir Kalong Wewe dengan mengandalkan nama besar ayahnya. Karena, seperti halnya Banadri, Sandrila pun merasa agak ngeri jika mengingat nenek itu mempunyai penyakit gila anak. Jika pikirannya terganggu atau kumat, perempuan itu melakukan perbuatan menakutkan sekaligus menjijikkan.
"Hih hih hih...! Tanpa memandang nama besar ayah kalian pun, aku memang tidak bermaksud mencampuri urusan ini. Bahkan kalau kalian menghendaki, aku akan suka sekali untuk membantu. Karena begitu melihat, aku langsung merasa suka dengan kegagahan dan ketampanan kalian...," ujar Kalong Wewe dengan suara lembut dan pandang mata menggambarkan perasaan sayang kepada Banadri dan Sandrila.
"Celaka...?!" desis Banadri, kaget mendengar ucapan Kalong Wewe.
"Sebaiknya kita tunda saja urusan dengan Penjagal Kepala, Kakang...!" bisik Sandrila, yang menjadi tegang ketika mendengar pengakuan nenek sinting itu. Sandrila menggelengkan kepala, ketika di depan matanya melintas bayangan dirinya yang tengah dipeluk dan dipaksa untuk menetek. Bayangan itu membuat perutnya tiba-tiba menjadi mual.
Banadri yang juga ngeri terhadap nenek sinting itu, langsung saja mengangguk setuju. Kemudian berpaling memandang Kalong Wewe. "Maaf, Nek. Kami terpaksa harus pergi. Karena masih ada yang harus segera kami kerjakan di tempat lain...," ujar Banadri, yang kemudian menoleh kepada Sandrila. Setelah memberikan isyarat dengan anggukkan kepala, Banadri segera memutar tubuh, lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sandrila bergegas mengikuti.
"Hih hih hih...! Apa kalian kira bisa pergi begitu mudah setelah berhadapan dengan Kalong Wewe?!" ujar Kalong Wewe dengan sorot mata berkilat. Dan dibarengi dengan suara tawa mengikik, tubuh nenek ini sudah melayang mengejar Sepasang Elang Laut Utara.
Banadri dan Sandrila bukan tidak tahu kalau mereka berdua dikejar. Suara tawa mengikik dan sambaran angin kuat yang semakin dekat, membuat keduanya bergegas membungkuk. Sehingga, cengkeraman kedua jari-jari tangan Kalong Wewe tidak mengenai sasarannya.
Namun tubuh kurus yang terus meluncur ke depan itu, mendadak terhenti di udara. Kemudian kedua kakinya bergerak menendang-nendang di udara. Bukan main kagetnya hati Sepasang Elang Laut Utara ketika menyaksikan tubuh Kalong Wewe dapat berputar balik! Padahal kedua kakinya sama sekali belum menginjak tanah!
"Gila...! Ilmu meringankan tubuh nenek itu hebat sekali...?!" desis Banadri kaget dan takjub.
Sandrila, meski tidak berkata apa-apa, tubuhnya tegak terpaku dengan sepasang mata masih membelalak. Sebab, apa yang dilakukan Kalong Wewe memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Hanya tokoh persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi sajalah, yang kiranya akan mampu melakukan perbuatan itu. Ilmu meringankan tubuh milik keluarganya sendiri sudah cukup terkenal di kalangan persilatan. Namun Sandrila sangsi apakah ayahnya sanggup melakukan yang seperti ditunjukkan Kalong Wewe itu.
"Sandrila, awaaaass...! " Banadri berteriak memperingatkan adiknya, yang masih berdiri terpaku. Karena saat itu tubuh Kalong Wewe sudah kembali meluncur dengan kedua tangan terulur ke depan.
Sandrila tersadar begitu mendengar teriakan kakaknya. Tapi, ia menjadi gugup sewaktu melihat bayangan tubuh Kalong Wewe sudah demikian dekat di depannya. Tahu kalau untuk mengelak jelas tidak mungkin keburu, Sandrila mengambil keputusan nekat. Dengan mengempos seluruh kekuatan yang ada, kedua tangannya memukul ke depan memapaki uluran tangan Kalong Wewe, yang berkuku runcing itu.
Bedd, beddd!
Namun, tokoh wanita sinting yang dijuluki Kalong Wewe ini, ternyata merubah gerakannya. Kedua tangannya yang semula siap mencengkeram, mendadak meliuk berputar. Sehingga kedua pukulan Sandrila hanya mengenai tempat kosong. Dan, tahu-tahu kuku-kuku runcing Kalong Wewe sudah berada dekat lehernya. Karuan saja Sandrila menjadi pucat!
Cusss...!
Sandrila tak dapat lagi menghindar sewaktu ujung kuku runcing Kalong Wewe menusuk jalan darah di lehernya. Akibatnya, tubuh pemuda itu langsung melorot ke tanah bagai sehelai karung basah Dan, tergeletak pingsan seketika.
"Sandrila...?!" Banadri merasa kaget dan juga heran melihat adiknya langsung roboh begitu tersentuh kuku runcing Kalong Wewe. Sepintas saja, Banadri langsung bisa menebak kalau kuku perempuan tua itu mengandung racun pembius, yang bisa membuat lawan roboh seketika, apabila tertusuk.
"Kalong Wewe...!" ujar Banadri. Dia semakin bertambah tegang bukan main, karena sadar kalau adiknya berada dalam cengkeraman seorang aneh yang wataknya tidak lumrah manusia. "Lepaskan adikku, atau kau sengaja ingin menanam permusuhan dengan keluarga kami? Kalau kau tidak mau membebaskannya, ayahku pasti akan marah, dan menghajarmu sampai babak belur...!" Banadri terus menggunakan nama besar ayahnya untuk menggertak Kalong Wewe.
"Hih hih hih...! Jangankan cuma ayahmu, Bocah Bagus! Kakek dan buyutmu pun boleh kau panggil dari kuburnya untuk menghadapiku. Sebaiknya kau tinggallah dulu di sini bersama keroc-keroco itu! Kelak kalau adikmu dapat membuat hatiku senang, akan kukembalikan dia kepadamu. Nah, apakah kau masih juga menganggap aku jahat?" sahut Kalong Wewe, yang sama sekali tidak gentar dengan ancaman Banadri.
Setelah berkata demikian, disambarnya tubuh Sandrila yang terkulai menelungkup di tanah. Sekali cungkil dengan ujung kakinya, tubuh yang rebah itu melayang naik, kemudian diterima dengan bahunya. Lagi-lagi Banadri dibuat kagum oleh pertunjukan tenaga dalam Kalong Wewe.
"Hei..., mau kau bawa ke mana adikku...? Kalong Wewe, tunggu...!" Wajah Banadri semakin pucat, melihat Kalong Wewe memutar tubuhnya dan melesat pergi meninggalkannya. Ia berteriak-teriak mencegah, namun perempuan tua renta itu sama sekali tidak peduli. Sehingga Banadri nekat mengejar dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang ada pada dirinya.
"Nenek Iblis, kembalikan adikku...!"
Kalong Wewe sendiri hanya memperdengarkan suara tawa mengikiknya yang panjang. Dan tampaknya ia tidak berlari sungguh-sungguh, karena sampai sejauh itu Banadri tetap cuma tertinggal sekitar tiga tombak. Itu sebabnya, mengapa Banadri masih nekat terus mengejar.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih menghadang sekitar satu setengah tombak di hadapan Kalong Wewe.
Namun perempuan tua yang tidak lumrah manusia itu seperti tidak mendengar ataupun melihat sosok yang berdiri menghadang di depannya. Tubuhnya terus meluncur ke depan, membuat sosok bayangan putih yang melakukan penghadangan menjadi tertegun. Sedangkan saat itu, Kalong Wewe yang sudah begitu dekat, tahu-tahu menjulurkan tangan kirinya dengan sebuah cengkeraman.
Whuttt! Plakkk!
Sepasang lengan berbenturan keras sewaktu sosok bayangan putih mengangkat tangan kirinya sambil memiringkan tubuh. Akibatnya, justru Kalong Wewe sendiri yang terpekik tak dapat menahan rasa terkejutnya. Bahkan tubuh tua renta keriput itu terhuyung ke tepi jalan, menabrak semak-semak!
"Cuh, cuhh, cuhhh...!"
Setelah dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, beberapa kali Kalong Wewe menyemburkan ludah sebagai tanda kegusaran hatinya. Baru kemudian mengangkat wajah, didahului sambaran matanya yang memancarkan sinar berapi. Ketika pandangannya matanya berubah melembut. Bahkan mulutnya menyeringai, membentuk seuntai senyum, menampakkan gigi-giginya yang hitam.
Sementara Banadri sudah tiba di tempat itu. Ia yang dari kejauhan telah melihat sosok bayangan putih yang menghadang jalan Kalong Wewe, kini menatap dengan kening berkerut agak heran. Dia pun tadi sempat melihat ketika sosok bayangan putih itu menyambut cengkeraman Kalong Wewe, yang membuat nenek itu terhuyung. Rasa heran ketika mendapati sosok bayangan putih itu ternyata seorang pemuda berwajah tampan, membuat Banadri menelitinya beberapa saat
"Kalau aku tidak salah mengenali orang, kau pastilah yang berjuluk Pendekar Naga Putih, Sobat...?" ujar Banadri langsung menduga setelah meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
"Begitulah orang memberikan julukan kepadaku...," sahut pemuda tampan yang ternyata memang Panji. Pendekar Naga Putih tersenyum merangkapkan kedua tangannya ke arah Banadri. "Secara kebetulan aku sedang menuju ke daerah sekitar sini, dan mendengar suara tawa mengikik serta teriakanmu," lanjutnya menjelaskan keberadaannya di tempat itu.
Sementara, Kalong Wewe yang mendengar pembicaraan itu, menghentikan langkahnya. Karena tertarik begitu melihat wajah penghadangnya, dan langsung merasa suka, dia bermaksud menukar pemuda yang dibawanya dengan Panji. Namun setelah mendengar pemuda tampan itu berjuluk Pendekar Naga Putih, nenek menggiriskan ini menjadi ragu sejenak.
"Hih hih hih...! Siapa kira hari ini aku ternyata sangat beruntung bisa berjumpa dengan Pendekar Naga Putih! Aih..., sudah lama sekali aku merindukanmu, Bocah Bagus! Sekarang, setelah melihatmu, rasanya aku tak memerlukan lagi pemuda ini...," ujar Kalong Wewe. Keraguannya seketika lenyap, berganti kegembiraan yang meluap-luap. Sambil berkata begitu tubuh Sandrila yang semula dipanggulnya, dilemparkan begitu saja ke arah Banadri.
Banadri bertindak cepat melesat ke udara, menangkap tubuh adiknya. Sekali mengulur tangan saja, tubuh Sandrila dapat diselamatkannya. Kemudian meluncur turun dengan gerakan yang ringan sekali. Lalu menoleh kepada Panji.
"Hati-hati, Pendekar Naga, Putih! Nenek itu adalah tokoh wanita sakti berotak sinting, yang terkenal dengan julukan Kalong Wewe. Tampaknya, nenek yang dikabarkan gila anak itu menaruh rasa suka kepadamu...," bisik Banadri mengingatkan Pendekar Naga Putih.
"Kalong Wewe...!" desis Panji yang merasa agak kaget mendengar ucapan Banadri. Dirinya memang pernah mendengar tentang tokoh wanita tua yang sakti dan tidak lumrah manusia itu. Juga tahu tentang kebiasaan Kalong Wewe, yang gila mengangkat anak, dan memperlakukannya dengan cara yang meng- gelikan sekaligus membuat hati bergidik.
"Hih hih hih..., marilah ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih...!" bujuk Kalong Wewe dengan suara lembut dan penuh kasih. Tak ubahnya seorang ibu yand menyayangi anaknya.
Panji masih berdiri tegak, tanpa sepatah kata pun. Karena ia merasa bingung bagaimana harus bersikap menghadapi perempuan sinting seperti Kalong Wewe. Jika ia menolak, nenek itu sudah pasti akan marah dan memaksanya. Tapi, ia pun tidak sudi ikut bersamanya.
Kalong Wewe tidak dapat menahan kesabaran ketika melihat Pendekar Naga Putih masih berdiri diam. Tubuhnya langsung melesat dengan kedua tangan terjulur ke depan, siap meringkus Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih, awaaasss...!" Banadri yang menjadi cemas ketika melihat Panji masih diam tak bergerak, berseru memperingatkan.
Namun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan Banadri. Karena meski Panji kelihatan seperti orang linglung, sambaran angin keras yang terbit dari kedua cengkeraman Kalong Wewe, sudah membangkitkan kesadarannya. Tepat pada saat cengkeraman itu hampir merenggutnya, Panji langsung melompat mundur. Sehingga, cengkeraman Kalong Wewe menemui kegagalan.
"Kalong Wewe, tahan serangan...!" seru Panji yang sudah melompat agak jauh, berdiri tegak mengangkat tangannya mencegah kelanjutan serangan nenek itu. Seruan yang dilakukan Panji dengan pengerahan tenaga dalam itu, membuat langkah Kalong Wewe terhenti. Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih itu dengan mulut menyeringai.
"Kau harus ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih..!" desak Kalong Wewe memecah keheningan, yang beberapa saat menyelimuti mereka. Kemudian kakinya kembali bergerak mau mendekati Panji.
"Celaka...! Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi nenek gila ini...!" gumam Panji, yang mau tidak mau ikut menggeser langkahnya. Hingga keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak. Kalong Wewe siap untuk menerjang. Sedangkan Pendekar Naga Putih siap untuk membela diri.
Sosok pemuda tampan terbungkus jubah putih, duduk menikmati makannya di sebuah kedai yang memiliki ruangan cukup besar. Melihat dari cara makannya yang lambat-lambat dan seringkali terhenti terlalu lama, serta ada kerutan pada keningnya, seolah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Paman...," ujar pemuda tampan itu setelah menyudahi makannya. Dia memanggil pelayan, yang segera datang menghampiri. "Apakah kau pernah dengar tentang seorang tua yang disebut sebagai Kakek Jubah Hitam...?" tanyanya dengan suara agak direndahkan.
"Kalau nama itu, hampir seluruh penduduk desa sekitar kaki Bukit Bantaran ini pernah mendengar dan mengenalnya, Tuan. Karena, secara tidak langung, beliau merupakan pelindung kami semua," jawab pelayan kedai, yang kemudian duduk di depan pemuda tampan ini. Lalu dia bercerita panjang lebar tentang sepak terjang Kakek Jubah Hitam. Pelayan ini tampak semakin bersemangat sewaktu ceritanya didengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Sayang beliau sekarang sudah tewas dibunuh orang jahat yang kemungkinan besar menaruh dendam kepadanya...," sesalnya pada akhir cerita.
Pemuda berjubah putih yang tak lain si Pendekar Naga Putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Cerita itu baginya tidak terlalu aneh, dan hampir sama dengan yang dituturkan beberapa penduduk desa sekitar Bukit Bantaran, yang pernah ditanyainya. Panji yang memang kebetulan lewat di sekitar Bukit Bantaran dan mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam, langsung mengambil keputusan untuk menyelidik dan mencari pembunuhnya. Dan karena hal itu masih sangat gelap baginya, maka ia pun mulai mencari keterangan dari penduduk desasekitar tempat tinggal Kakek Jubah Hitam.
"Apakah kira-kira Paman bisa menduga siapa yang melakukan pembunuhan itu...?" tanya Panji setelah terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan ketika dilihatnya pelayan itu menggelengkan kepala, "Bagaimana dengan orang-orang jahat yang pernah diusirnya, apakah Paman mengenai beberapa di antara mereka...?"
"Terlalu banyak orang jahat yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam, dan aku tak dapat mengenali mereka satu persatu," jawab si Pelayan Kedai dengan suara lambat-lambat, sambil mengerahkan ingatannya. "Tapi..."
"Tapi apa, Paman...?" tanya Panji mendekatkan wajahnya, mengerti akan kekhawatiran pelayan kedai, yang menghentikan ucapannya dan menoleh ke kiri-kanan dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.
"Salah satu dari sekian banyak orang yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam adalah gerombolan perampok. Kalau aku tidak salah ingat, pemimpinnya dijuluki sebagai Penjagal Kepala...!" jelasnya. Lagi-lagi ucapannya terhenti, dan menoleh ke sana kemari dengan takut-takut, "Kepala rampok itu sangat terkenal kekejaman dan kebuasannya...," lanjutnya dengan suara yang lebih rendah. Kemudian bergerak bangkit dan meninggalkan Panji setelah membersih-kan meja. Namun, langkahnya terhenti. Karena Panji sudah menangkap lengannya.
"Di mana markas Penjagal Kepala itu, Paman...?" tanya Panji setengah berbisik.
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Tuan...?!" pelayan kedai tampak terkejut mendengar per- tanyaan itu.
"Tidak, Paman. Cuma sekadar ingir tahu saja...," jawab Pendekar Naga Putih berdusta, khawatir pelayan kedai itu akan bertanya macam-macam.
"Sepanjang yang kudengar, Penjagal Kepala sering melakukan penghadangan terhadap kereta-kereta barang di sekitar Hutan Gagak. Kira-kira setengah hari perjalanan dari desa ini...," jelas pelayan kedai, yang kemudian memutar tubuhnya setelah merasakan pegangan pada pergelangan tangannya dilepaskan.
Setelah mendapat keterangan dan membayar makanannya, Pendekar Naga Putih meninggalkan kedai. Ia sudah mendapat keterangan tentang letak Hutan Gagak, dan bermaksud mendatangi tempat itu. Maka, begitu berada di luar desa, dan jalanan agak sepi, Panji melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Ketika hampir tiba di Hutan Gagak, mendadak langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri. Selain itu, ia juga mendengar adanya suara orang berteriak, seperti tengah mengejar seseorang yang melarikan diri. Bergegas Panji melesat ke arah asal suara. Dilihatnya seorang nenek berpenampilan aneh sedang berlari cepat memanggul sesosok tubuh di bahu kanannya. Di belakang si Nenek tampak seorang lelaki muda tengah mengejar-ngejar.
Segera saja Panji mengambil keputusan untuk menghadang nenek yang diduganya telah melakukan penculikan itu. Sampai akhirnya ia terpaksa harus bertarung melawan nenek itu. Perempuan aneh itu ternyata suka kepadanya, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak. Tentu saja Panji tidak sudi ikut bersama nenek yang otaknya tidak waras itu.
Wrrettt!
Kalong Wewe membuka serangan lebih dulu, memulai perkelahian itu. Sepasang tangannya yang berkuku runcing dan hitam, menyambar disertai deru angin keras.
Namun, Panji yang sudah siap menghadapi serangan nenek gila itu, dengan cepat bergerak mengelak. Sehingga, serangan Kalong Wewe tidak mengenai sasarannya. Bahkan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan serangan balasan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya.
Gelombang angin keras berhawa dingin berhembus menyertai datangnya serangan balasan Panji, yang terus berlanjut ketika nenek itu dapat menghindarinya. Dalam jurus-jurus pertama, Panji langsung melakukan desakan, karena ia ingin mengakhiri pertarungan secepatnya.
Namun untuk mewujudkan niat itu ternyata bukan suatu hal yang mudah! Karena Kalong Wewe merupakan salah satu gembong golongan sesat, yang tingkat kepandaiannya sulit diukur. Sehingga, untuk menghadapinya Pendekar Naga Putih harus bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Termasuk 'Ilmu Silat Naga Sakti', yang sangat jarang digunakan.
Selama kurang lebih dua puluh jurus, Kalong Wewe terus mengambil sikap bertahan, menggunakan kedua tangannya sebagai benteng, yang sukar ditembus. Bahkan ketika pertarungan menginjak pada jurus yang keempat puluh, perempuan tua renta itu mulai melakukan serangan balik, sambil tetap memperkuat pertahanannya. Gelombang pukulannya menderu tajam, mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat, membuat serangan Panji mulai mengendur. Sampai akhirnya giliran pendekar muda itu yang harus bertahan dari serangan gencar lawannya.
Plakkk...!
Untuk kesekian kalinya, benturan kedua lengan mereka kembali terjadi. Kali ini Panji benar-benar dibuat kaget! Tenaga pukulan lawan yang semakin bertambah kuat itu, membuat tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Sedangkan Kalong Wewe, yang cuma merasakan getaran pada tubuhnya, sudah kembali menyusuli serangannya.
Blakkk!
"Hukkhh...!"
Sebuah hantaman telapak tangan Kalong Wewe yang berhasil menjebol benteng pertahanan Panji, membuat tubuh pendekar muda itu terdorong ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Hantaman keras yang telak mengenai perutnya membuat Panji merasa mual seketika.
Namun, meski dalam keadaan demikian, pemuda itu masih juga sempat menyelamatkan diri dari incaran kuku-kuku runcing lawan yang mengirimkan serangan susulan. Tindakan itu sempat membuat kedudukannya semakin tidak seimbang, dan terus terhuyung. Sampai akhirnya ia bisa menguasai diri, setelah melompat jauh. ke belakang dengan berputaran beberapa kali di udara.
Dengan kuda-kuda yang kokoh laksana tertanam di tanah, Pendekar Naga Putih mengumpulkantenaga dalam, berusaha menekan rasa mual yang membuat gerakannya agak terganggu itu. Saat serangan lawan yang terus mengejarnya datang, Panji menepiskan rasa ibanya terhadap sosok nenek berwajah mengerikan itu. Disambutnya serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya. Sehingga, pertempuran semakin bertambah sengit!
Tiga puluh jurus lebih, setelah pertempuran. Pendekar Naga Putih tiba-tiba memekik keras. Tubuhnya melenting dan melayang-layang di udara. Sepasang cakar naganya berputaran menerbitkan pendaran sinar putih keperakan yang menyilau-kan mata. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus pamungkas, sempat membuat Kalong Wewe kelabakan, dan tak mampu lagi melindungi dirinya.
Plakk!
Bukk! Blukkk!
Tiga hantaman berturut-turut bersarang di tubuh Kalong Wewe, membuat nenek gila ini terhumbalang ke kiri-kanan, dan akhirnya terbanting ke tanah. Namun, Panji benar-benar dibuat terbelalak kagum oleh kekuatan tubuh kurus yang kulitnya sudah ber-keriput itu. Meski kelihatan telah menderita luka dalam, nenek ini masih sanggup untuk langsung bangkit berdiri, meski kuda-kudanya terlihat goyah.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" aku Kalong Wewe, yang kali ini bicaranya lancar, dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dirinya berotak miring. "Untuk kali ini aku mengaku kalah. Tapi, kelak aku akan menebus sekaligus dengan bunganya...," lanjutnya menyiratkan ancaman dan dendam. Setelah berkata demikian, dengan tertatih-tatih, Kalong Wewe bergerak meninggalkan tempat itu.
Panji hanya bisa menghela napas. Ia tidak berkata apa-apa. Dibiarkan saja nenek gila itu pergi membawa luka di dalam tubuhnya. Meski agak menyesal telah menanam bibit permusuhan baru dengan seorang tokoh gila yang berbahaya, namun Panji merasa lega telah dapat mengusir pergi Kalong Wewe.
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan adikku, Pendekar Naga Putih. Kami berdua tentu tak akan melupakan jasamu..." Ucapan Banadri membuat Panji memutar tubuh menghadapi tokoh muda dari Pantai Utara itu.
"Pertolongan sesama manusia adalah satu kewajiban. Jadi, janganlah kau anggap sebagai hutang, Sobat..!" sahut Panji yang tanpa diminta segera memeriksa keadaan Sandrila. Lalu menotok di beberapa bagian tubuhnya untuk memulihkan kesadaran orang kedua dari Sepasang Elang Pantai Utara itu. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk mengusir racun dari dalam tubuh.
"Sebenarnya siapa kalian berdua ini, dan berasal dari mana? Mengapa sampai bisa bentrok dengan Kalong Wewe?" tanya Panji setelah keadaan Sandrila sudah tidak mengkhawatirkan lagi.
Ketiganya duduk saling berhadapan. Setelah memperkenalkan diri dan tempat asalnya, Banadri menceritakan secara singkat tentang tujuannya, juga pertemuannya dengan Kalong Wewe. Sementara Sandrila hanya diam, ikut mendengarkan.
"Hm..., tidak aneh kalau Elang Bulu Emas sampai mengirimkan kalian berdua sebagai putra-putranya untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Kakek Jubah Hitam. Kematiannya memang membuat tokoh-tokoh golongan putih menjadi marah. Mereka bertekad untuk membekuk si Pembunuh Keji itu. Aku pun mempunyai tujuan yang sama dengan kalian berdua. Dan hendak nendatangi Penjagal Kepala guna mencari keterangan. Karena kepala rampok itu merupakan salah seorang musuh Kakek Jubah Hitam, yang menaruh dendam. Begitulah keterangan beberapa penduduk sekitar Bukit Bantaran, sewaktu ku tanya...," ujar Panji menatap kagum dua orang tokoh muda di hadapannya. Karena ia juga sudah mendengar akan nama besar Elang Bulu Emas, yang juga dijuluki sebagai Majikan Pantai Utara itu.
"Bagaimana kalau sekarang kita datangi lagi Penjagal Kepala itu. Karena kami berdua pun mendapatkan keterangan yang sama denganmu, Pendekar Naga Putih," ujar Sandrila mulai menimpali pembicaraan.
"Ayolah, mudah-mudahan kepala rampok itu bisa memberikan keterangan yang memuaskan...," sambut Panji yang segera bangkit berdiri. Lalu ketiganya melangkah, kembali menuju perkampungan peram-pok yang dipimpin Penjagal Kepala.
Tiba di tempat tujuan, ketiganya mendapati perkampungan itu sudah kosong! Tak satu pun anggota perampok yang masih berada di sana.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah meninggalkan tempat ini...!" geram Banadri, yang tak menemukan sepotong manusia pun, meski ia telah memeriksa semua rumah dengan teliti.
"Mungkin mereka sudah mendengar tentang kemarahan tokoh-tokoh golongan putih. Lalu menghindar dan menyembunyikan diri di tempat yang mereka anggap cukup aman...," timpal Panji dengan nada agak kecewa. Dia berdiri menatapi rumah-rumah yang telah ditinggal pergi penghuninya itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Sandrila, yang pikirannya mendadak buntu karena rasa kecewa.
"Kurasa mereka belum terlalu jauh. Ada baiknya kita melakukan pengejaran dengan berpencar. Dengan begitu, ada kemungkinan salah satu dari kita dapat menemukan Penjagal Kepala dan para pengikutnya itu...," jawab Panji mengajukan usul, yang disambut anggukan kepala Banadri dan Sandrila.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji dan Sepasang Elang Pantai Utara melesat meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda.
"Maaf, Nyi Lurah...!"
Andari dan ibunya mengerutkan kening menatap penjaga yang menghadap tanpa dipanggil itu. Keduanya mengangguk, sebagai isyarat agar penjaga itu segera mengatakan keperluannya.
"Seseorang tak dikenal, memberikan surat yang minta disampaikan kepada Nyi Lurah...," lanjut penjaga ini sambil mengangsurkan surat yang dimaksud. Setelah itu ia membungkuk hormat, lalu beranjak meninggalkan ruangan di rumah Kepala Desa Kranggan.
Wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun, yang tubuhnya masih terlihat ramping ini, segera membuka gulungan daun lontar itu dan membaca isinya. Mula-mula wajahnya tampak berkerut, lalu berubah pucat. Sekujur tubuhnya gemetar, sehingga surat yang dipegangnya ikut bergetar.
"Dusta! Ini pasti fitnah...!" desisnya berkeras menyangkal isi surat yang dibacanya. Meski demikian dalam nada suaranya terkandung keraguan atas bantahan itu.
"Ada apa, Ibu? Apa isi surat itu, dan siapa yang mengirimnya?" tanya Andari yang tentu saja menjadi bingung dan cemas ketika melihat keadaan ibunya. Namun sang Ibu tidak berkata apa-apa, dan menyerahkan surat itu kepadanya. Andari semakin kaget tak mengerti ketika melihat wajah ibunya dibasahi mata. Buru-buru dibacanya isi surat itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Seperti halnya yang dialami ibunya, paras Andari pun berubah pucat setelah membaca isi surat itu. Setelah selesai, gadis itu menoleh kepada ibunya, yang duduk lemas di atas kursi sambil menekap wajah dengan kedua tangan.
"Ibu..., apakah benar apa yang tertera dalam surat ini? Benarkah aku bukan anak Ayah? Benarkah aku sebenarnya putri seorang pendekar yang berjuluk Garuda Kuku Baja?!" tanya Andari dengan wajah pucat dan bibir gemetar menahan jatuhnya air mata. Ketika tidak mendengar adanya jawaban, Andari mengguncang tubuh ibunya dengan keras, "Jawablah, Ibu? Katakan kalau semua ini tidak benar!"
Guncangan Andari membuat ibunya mengangkat kepala, memandang wajah putrinya dengan air mata berlinang. Lalu mengangguk perlahan. Kemudian kembali menangis, menutupi wajahnya. Jawaban ibunya membuat Andari merasakan tanah tempat kaki berpijak bergoyang. Tubuh gadis remaja ini terjajar mundur. Air mata yang kini tak bisa lagi ditahannya, mengalir di pipinya yang bertambah pucat. Kenyataan itu membuat Andari terguncang hatinya.
"Lalu..., apakah semua isi surat ini benar, Ibu...?" desis Andari setengah berbisik. Seperti takut kalau ibunya kembali membenarkan pertanyaan itu.
"Tidak seluruhnya, Anakku. Hanya sebagian saja yang benar. Selebihnya hanyalah fitnahan keji Harimau Gila, si Pengirim Surat itu," jawabnya sambil menghapus air mata, "Sebelum menjadi istri ayahmu yang sekarang, Ibu adalah seorang janda, Anakku. semula Ibu pun menolak lamaran Sagotra. Saat itu kau baru berusia kurang lebih lima tahun. Sagotralah yang menyelamatkan kita berdua dari ancaman kematian, sewaktu rumah kita diserbu gerombolan perampok. Sebenarnya, kalau saja para perampok itu tidak berbuat curang, kemungkinan besar mereka akan dapat dikalahkan ayahmu. Tapi mereka berlaku licik dengan membakar tempat kediaman kita. Ayahmu menjadi sibuk dan kewalahan waktu itu. Sebab, selain harus menyelamatkan kita berdua, beliau masih harus berusaha memadamkan api, dan serbuan manusia-manusia biadab itu. Hingga, akhirnya beliau tewas tertembus belasan senjata. Saat kita berdua dalam bahaya itulah, Sagotra muncul, mengamuk menerobos kepungan, lalu membawa lari kita berdua. Budinya yang sangat besar, membuat Ibu akhirnya menerima lamarannya, sewaktu usiamu mencapai tujuh tahun. Tak tega hati Ibu untuk mengecewakan lelaki yang demikian baik dan sabar menunggu sampai sedemikian lama..."
Cerita ibunya membuat Andari termenung masih dengan wajah pucat. Ia percaya akan cerita sang Ibu, yang menurutnya tidak mungkin tega membohongi anaknya. Namun di sisi lain, dirinya juga ragu akan isi surat itu. Karena apa yang tertera di dalamnya demikian jelas, dan sama persis kejadiannya. Hanya saja ada beberapa tambahan, yang merupakan tuduhan keji terhadap ayahnya yang sekarang. Hal ini membuat Andari tidak puas dengan cerita Ibunya.
"Belakangan ini kuperhatikan sikap Ayah sangat aneh...?" gumamnya perlahan seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Itu terjadi setelah Ayah kedatangan seorang sahabat lamanya. Dan..., kalau tidak salah orang itu juga berjuluk Harimau Gila! Aku sempat mendengar Ayah menyebutnya sewaktu mereka bertengkar mulut, sampai kemudian orang itu lari dikejar-kejar Ayah...?!" Sampai disini Andari menghentikan. ucapannya. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir keras.
"Kau bicara apa, Andari?" tegur ibunya setengah membentak, "Tidak pantas kau mencurigai orang yang telah begitu besar budinya terhadap kita berdua! Apa lagi ia adalah orang yang telah merawatmu sampai besar, dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu silat tinggi. Sebaiknya hentikan ocehanmu itu, dan segera kita tinggalkan tempat ini untuk mencari ayahmu itu..."
"Itulah, Ibu...!" seru Andari mengejutkan, seperti baru teringat sesuatu. "Belakangan setelah kedatangan Harimau Gila, Ayah beberapa kali meninggalkan rumah pada waktu malam. Bahkan beberapa malam yang lalu, Ayah sampai tidak pulang. Dan aku menemukannya jauh di luar desa ini. Ibu masih ingat dengan ceritaku itu, bukan?"
Istri Sagotra mengangguk lemah, melihat tatapan putrinya, yang menunggu jawabannya.
"Setelah itu, Ayah lebih sering termenung dan mengurung dirinya di kamar semadi. Dan akhirnya.., Ayah lenyap tanpa kita tahu kapan dan ke mana perginya. Padahal seluruh keamanan desa sudah kita kerahkan untuk mencari. Namun, Ayah lenyap seperti ditelan bumi! Nah, tidakkah tindakan Ayah ini sangat mencurigakan?" lanjut Andari mengutarakan semua apa yang dilihat dan didengar tentang ayahnya belakangan ini. Kini dalam sorot mata dan nada ucapannya, menimbulkan kesan bahwa gadis remaja ini semakin menaruh kecurigaan kepada sang Ayah yang juga seorang kepala desa.
"Tapi itu semua tidaklah dapat dijadian alasan bagimu untuk mencurigai ayahmu, Andari! Sudahlah! Sebaiknya kita segera berangkat untuk mencarinya...!" tukas ibunya tetap berkeras membantah tuduhan Andari. Perempuan ini memang terlihat sudah mengenakan pakaian ringkas. Dan pada waktu penjaga datang memberikan surat kepadanya, mereka berdua memang sudah bersiap untuk pergi mencari suami dan ayah mereka, yang tiba-tiba lenyap tanpa diketahui ke mana dan kapan perginya.
"Tunggu dulu, Ibu...!" ujar Andari, yang kelihatannya masih belum puas, "Coba Ibu katakan, apakah benar gerombolan perampok yang menyerbu tempat tinggal kita dulu dipimpin seorang yang bernama Ki Tambak Rejo?"
"Itu memang benar...," jawab ibunya membenarkan apa yang juga tertera di dalam surat itu.
"Lalu, bagaimana Harimau Gila bisa mengetahuinya dengan pasti?! Padahal peristiwa itu sudah lama sekali terjadinya? Jangan-jangan..., ia memang benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentang peristiwa belasan tahun silam itu? Kalau tidak, bagaimana mungkin ia dapat menuliskannya sama persis baik tempat maupun waktunya?" gumam Andari sambil tak lepas menatap wajah ibunya.
"Hanya ayahmu yang bisa menjelaskannya. Itu sebabnya kita harus pergi mencarinya...," tukas ibunya, yang kali ini tidak dibantah Andari. Lalu melangkah keluar dari dalam rumah, menemui dan berpesan kepada penjaga.
"Kami berdua akan pergi untuk beberapa waktu. Harap kalian urus segala sesuatunya di rumah ini. Dan apabila suamiku sudah kembali, katakan kepada beliau agar tidak perlu mencari kami. Karena secepatnya kami berdua akan kembali ke sini...," pesan ibunya Andari kepada empat orang keamanan desa, yang bertugas menjaga tempat kediaman Ki Sagotra, kepala desanya.
Seorang lelaki tinggi kurus tengah melangkah lambat-lambat menyusuri tanah berlumpur, yang sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman bunga, sedang bermekaran. Ayunan langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa kecil dan riang. Merasa tertarik dan penasaran, langkahnya pun diputar mendatangi sumber suara yang menggelitik keingin tahuannya.
Tidak berapa lama kemudian, lelaki tinggi kurus ini menemukan sumber suara itu. Dari balik sebatang pohon, tempatnya bersembunyi, lelaki ini melihat seorang bocah perempuan berusia sekitar lima tahun. Melihat tingkah lucu bocah perempuan yang berlari tertatih-tatih mengejar seekor kupu-kupu, lelaki setengah tua itu tersenyum. Menyaksikan tingkah bocah perempuan itu, seketika timbul rasa suka dan sayangnya. Suatu perasaan asing, yang nyaris tidak pernah dialaminya. Selama ini hidupnya dipenuhi dengan kekerasan dan bau darah!
Lelaki ini bernama Sagotra, yang juga dikenal dengan julukan Setan Pantai Timur. Sepak terjangnya sebagai seorang penjahat tunggal, yang kadang juga menerima tugas untuk membunuh seseorang dengan imbalan cukup besar, membuat nama Setan Pantai Timur semakin terkenal.
Kali ini, secara tak sengaja, langkahnya membawanya ke daerah sekitar kaki Gunung Dampit. Dia sempat termenung memikirkan perasaan yang tiba-tiba menyeruak di sudut hatinya. Suara jeritan bocah perempuan yang lucu itu membuyarkan lamunan Setan Pantai Timur. Tubuhnya langsung melesat ke luar dari tempat persembunyian ketika melihat bocah perempuan itu terjerembab jatuh.
Ia yang biasanya tidak pernah mempedulikan nasib orang, kini mendadak tergerak untuk menolong bocah perempuan itu. Sikap dan kata-kata yang diucapkannya terdengar asing bagi telinganya. Demikian lembut dan penuh kasih, se- waktu menghibur bocah yang kini telah berada dalam gendongannya itu.
Selagi sibuk menghibur bocah perempuan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki lembut mendatangi dari arah belakangnya. Bergegas Setan Pantai Timur memutar tubuh. Dan..., sepasang matanya sekilas membelalak lebar, melihat seorang wanita berparas cantik dengan kulit wajah segar kemerahan. Perempuan itu berlari mendatangi. Rambutnya yang panjang dan tergerai lepas, terayun lembut mengikuti langkah kakinya. Dada Setan Pantai Timur berdebur keras sewaktu sosok perempuan yang membuatnya terpaku bagai patung itu, semakin dekat.
"Maaf, kalau putriku telah mengganggu Tuan...!"
Suara lembut dan merdu bagaikan nyanyian bidadari itu, menyelusup masuk melalui telinga Setan Pantai Timur, membuat tokoh sesat ini memejamkan mata, seakan ingin suara itu buru-buru lenyap dari pendengarnya. Hal itu membuat dirinya terlena untuk beberapa saat, dan baru tersadar ketika suara merdu itu kembali terdengar, meminta agar ia menyerahkan anak dalam pondongannya.
"Kau... kau cantik sekali, Nyi...," puji Setan Pantai Timur berterus terang, sambil menyerahkan bocah perempuan itu. "Maaf kalau aku telah berkata lancang...," lanjutnya sewaktu melihat kedua belah pipi wanita cantik itu merona. Permintaan maafnya membuat kilatan marah dalam sorot mata perempuan itu lenyap seketika.
"Terima kasih, aku harus segera pergi...," ujar perempuan cantik yang telah membuat hati Setan Pantai Timur serasa jungkir balik. Setelah menerima putrinya, bergegas memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
"Nyi... tunggu...!" Setan Pantai Timur berseru mencegah. Tapi, ia tidak bergerak dari tempatnya semula. Membuat wanita cantik itu menunda langkah dan memutar tubuhnya, berbalik.
"Ada apa, Tuan...?!" tanya perempuan cantik ini mengerutkan kening, menatap lekat-lekat wajah lelaki didepannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap putrimu. Kebetulan aku sedang lewat ketika melihat putrimu yang tengah mengejar seekor kupu-kupu, terjatuh. Lalu aku membantunya berdiri...," jelas Setan Pantai Timur, yang lagi-lagi merasa asing dengan ucapannya.
Karena perkataannya demikian lembut dan sopan. Padahal ia sudah banyak bergaul dengan perempuan cantik. Namun perempuan yang satu ini, benar-benar harus diakui memiliki pesona yang membuat dirinya seperti Iumpuh. Sehingga, ia ingin agar perempuan itu memandangnya sebagai orang baik-baik. Karena saat itu juga Setan Pantai Timur sadar kalau dirinya telah jatuh cinta kepada perempuan itu. Hal ini dapat diketahui, karena terhadap perempuan lain, yang pernah digaulinya, tidak pernah hatinya merasakan seperti apa yang dialami kali ini.
"Aku tahu, Tuan. Karena aku juga melihatnya. Kebetulan Tuan lebih dulu menolongnya. Itu sebabnya aku mengucapkan terimakasih kepada Tuan, yang telah menolong putriku," tukas perempuan cantik itu dengan suaranya yang bagi Setan Pantai Timur terdengar sangat nikmat. Bahkan membuatnya ingin agar perempuan itu berbicara lebih banyak. Sayang harapannya tidak terkabul. Karena perem- puan itu sudah tidak berkata apa-apa lagi.
"Mmm..., kalau tidak dianggap terlalu lancang, bolehkah aku mengetahui nama dan suamimu...? Dan apakah tempat tinggal Nyai berada di sekitar kaki Gunung Dampit ini...?" tanya Setan Pantai Timur setengah memohon dengan wajah harap-harap cemas. Khawatir kalau perempuan cantik itu menjadi marah karena pertanyaannya.
"Maaf, tanpa setahu suamiku, rasanya kurang pantas kalau aku memperkenalkan nama kepadamu, Tuan. Cukup kau ketahui nama suamiku saja, yang disebut orang dengan julukan Garuda Kuku Baja. Dan tempat tinggal kami memang sekitar kaki Gunung Dampit ini. Nah, jika Tuan ingin singgah, silakan. Suamiku selalu membuka pintu kepada siapa saja yang datang dengan maksud baik...," ujar perempuan cantik ini, yang kemudian berlari-lari kecil meninggalkannya.
Sagotra si Setan Pantai Timur hanya bisa menghela napas, memandangi bayangan perempuan cantik itu yang semakin jauh. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba merasa kosong. Serasa semangatnya ikut pergi bersama perempuan itu. Baru kali ini Sagotra merasa hatinya merasa begitu nelangsa. Dan untuk pertama kalinya, Sagotra merasa bahwa kehidupannya selama ini tidaklah lengkap. Dirinya tidak mempunyai istri dan anak. Pertemuan yang hanya terjadi beberapa saat itu, membuat Sagotra jatuh cinta! Sebuah perasaan yang selama ini tak pernah dikenalnya.
"Aku harus memiliki mereka...!" desis Sagotra dengan sorot mata tajam, menunjukkan kebulatan tekadnya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Sagotra pun mulai menyelidiki tempat kediaman Garuda Kuku Baja. Sebenarnya bisa saja ia merampas perempuan itu dengan kekerasan dan memaksa untuk menjadi istrinya. Namun bukan itu yang diinginkannya. Ia ingin agar perempuan itu menjadi istrinya dengan suka rela. Keinginan ini membuat Sagotra berpikir keras, mencari cara untuk dapat memiliki perempuan itu. Sampai akhirnya muncul sebuah rencana di kepalanya, yang dianggap akan dapat mewujudkan keinginan itu. Dan untuk menjalankan rencana itu, Sagotra membutuhkan bantuan orang lain.
"Aahh..., selamat datang di tempatku, Setan Pantai Timur...?!" seru seorang lelaki setengah baya, yang bertubuh kekar, dan wajahnya terhias kumis tebal. Lelaki ini tampak gembira menyambut kedatangan Sagotra.
Sagotra cuma tersenyum tipis. Dan tidak menolak sewaktu lelaki itu mengajaknya masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar dan bagus. "Aku memerlukan bantuanmu, Ki Tambak Rejo," Begitu duduk, Sagotra langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya.
Ki Tambak Rejo, seorang kepala rampok yang menganggap dirinya sebagai penguasa daerah Hutan Pagar Jurang, tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ada kebanggaan terselip di hatinya sewaktu mendengar Setan Pantai Timur membutuhkan bantuannya. Karena selama ini ia mendengar dan mengetahui bahwa orang-orang seperti dirinyalah yang justru lebih banyak meminta bantuan kepada Setan Pantai Timur. Tentu saja permintaan yang baginya merupakan suatu kehormatan itu, langsung diterimanya. Kendati belum tahu apa jenis bantuan yang diminta Setan Pantai Timur kepadanya.
"Kau tidak usah khawatir, Ki Tambak Rejo," lanjut Sagotra sewaktu melihat Ki Tambak Rejo tersenyum-senyum, "Sebagian harta yang kukumpulkan selama ini, akan kuberikan kepadamu. Tapi dengan syarat, kau harus melaksanakan semua apa yang kuperintahkan! Dan tidak perlu bertanya apa-apa! Kau paham...?"
Ki Tambak Rejo mengangguk senang. Karena biar bagaimanapun orang seperti dirinya tak lepas dari keinginan untuk mendapatkan imbalan. Sekalipun yang meminta bantuan rekan segolongan, dan mempunyai nama besar seperti Setan Pantai Timur.
Perlahan-lahan, Sagotra mengutarakan rencana yang sudah diatur dalam otaknya. Sedang Ki Tambak Rejo cuma mengangguk dan mengiyakan saja.
"Aku ingin kau lakukan pada hari ini juga...!" tegas Sagotra setelah membeberkan rencananya.
"Baik!" tukas Ki Tambak Rejo, kemudian bangkit dan mengumpulkan orang-orangnya, yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Setelah menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai 'pekerjaan besar' dan 'terhormat' itu, Ki Tambak Rejo pun berangkat bersama anak buahnya, menuju Gunung Dampit, yang letaknya kira-kira setengah hari perjalanan dari Hutan Pagar Jurang.
Lewat tengah hari, Ki Tambak Rejo dan rombongannya sudah mulai menginjak daerah kaki Gunung Dampit. Setelah berhenti sebentar, meneliti sekitar, ia kembali membawa rombongannya menuruni sebuah lembah, yang terletak di sebelah timur kaki gunung itu.
"Ki Tambak Rejo...!"
Suara panggilan itu membuat Ki Tambak Rejo menarik tali kekang kudanya, menoleh ke arah asal suara. Wajahnya yang semula agak berkerut, tampak bersinar cerah sewaktu ia mengenali siapa orang yang memanggilnya itu.
"Harimau Gila, kaukah itu, Sahabatku...?!" Tanyanya memastikan sosok pendek gemuk, yang melangkah menghampirinya. Dan tawanya terdengar berkepanjangan sewaktu lelaki pendek gemuk itu semakin dekat dan jelas.
Lelaki pendek gemuk, yang berjuluk Harimau Gila ini, juga tertawa gembira. Kendati demikian, ia tidak bisa menyembunyikan keheranannya melihat Ki Tambak Rejo diiringi para pengikutnya dalam jumlah yang cukup besar. Rasa heran itu langsung diungkapkannya melalui pertanyaan.
"Sebaiknya kau jelaskan dulu tentang keberadaanmu di daerah ini, Harimau Gila. Kelihatannya keadaanmu tidak begitu menyenangkan? Mana pengikut-pengikutmu, apakah mereka tidak menyertaimu...?" tanya Ki Tambak Rejo, sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan Harimau Gila. Karena keadaan Harimau Gila yang kusut dan terdapat noda darah pada pakaiannya yang koyak di beberapa tempat, membuat hati Ki Tambak Rejo menjadi ingin tahu.
"Beginilah keadaanku sekarang...," ujar Harimau Gila, yang kemudian menceritakan tentang penyerbuan tentara kerajaan, hingga markasnya hancur berantakan. Harimau Gila juga menjelaskan bahwa selain dirinya, tak ada lagi yang selamat. Dan ia sendiri saat itu sedang dalam pelarian.
"Wah, nasibmu benar-benar sedang sial, Sobat..." Ki Tambak Rejo menghela napas panjang, seperti ikut merasa berduka atas apa yang telah menimpa gerombolan sahabatnya itu, "Sebaliknya denganku. Aku kini sedang dalam tugas untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar! Sebab imbalannya tidak akan habis meski dimakan sampai ke anak cucuku dan seluruh pengikutku! Nah, karena kulihat kau sedang susah, maka aku menawarkanmu untuk bekerja sama," lanjut Ki Tambak Rejo, yang kemudian menjelaskan tentang pekerjaan besar yang dikatakannya itu.
Kening Harimau Gila tampak berkerut. Wajahnya jelas menggambarkan keheranan besar sewaktu mendengar penjelasan Ki Tambak Rejo. Karena ia tentu saja kenal baik dengan Setan Pantai Timur, dan tahu kalau tokoh sesat yang juga merupakan kawan dekatnya itu, paling tidak suka membagi-bagikan hartanya kepada orang lain. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Ki Tambak Rejo. Harimau Gila cuma mengangguk-angguk, meski pikirannya berputar dan ingin tahu apa tujuan Setan Pantai Timur sampai menyewa Ki Tambak Rejo untuk melakukan tugas itu.
"Sebenarnya aku ingin sekali dapat ikut denganmu, Ki Tambak Rejo. Tapi, karena aku sedang dalam kejaran musuh-musuhku, terpaksa menolak kebaikanmu. Aku tidak ingin kau ikut susah nantinya. Nah, lanjutkanlah perjalananmu, Sobat...! Semoga pekerjaan besar ini dapat kau selesaikan dengan baik!" tolak Harimau Gila, yang kemudian bergerak mundur memberikan jalan kepada Ki Tambak Rejo dan rombongan.
Ki Tambak Rejo mengerti akan keadaan sahabatnya itu. Maka ia tidak berusaha memaksa. Sambil menggelengkan kepala mengingat nasib sial yang menimpa sahabatnya, ia membawa rombongan melanjutkan perjalanan. Kepala rampok dan para pengikutnya ini sama sekali tidak menduga kalau Harimau Gila mengikuti perjalanan mereka dengan menjaga jarak, agar perbuatannya tidak sampai diketahui.
"Kakang"
Panggilan lembut yang menelusup masuk kedalam telinganya, membuat lelaki gagah ini terbangkit kesadarannya. Perlahan ia menolehkan kepala, setelah terlebih dulu menarik napas panjang-panjang.
"Beberapa hari belakangan ini aku sering menjumpai Kakang sedang termenung. Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Kakang? Tidakkah sebaiknya Kakang berbagi beban itu denganku? Siapa tahu dengan menceritakannya kepadaku, beban itu akan terasa lebih ringan...," lanjut sosok perempuan cantik ini, yang kemudian ikut duduk di samping lelaki gagah itu.
"Ke mana Andari...?" tanya lelaki ini mengalihkan pembicaraan itu.
"Dia baru saja tidur, Kakang...," sahut perempuan cantik ini seraya memandang bola mata suaminya, seakan menunggu jawaban permintaannya tadi.
"Ceritamu tentang laki-laki yang menolong putri kita itulah, yang membuat ketenanganku agak terganggu." Lelaki gagah ini mulai mengungkapkan apa yang menjadi beban pikirannya. "Dari ciri-ciri yang kau gambarkan, rasanya aku dapat menduga siapa adanya lelaki itu...," mendadak ucapannya terhenti. Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, membuat istrinya tersentak kaget.
"Ada apa,Kakang..?!"
"Aku mendengar suara derap kaki kuda dalam jumlah yang cukup banyak...," jawab lelaki gagah yang dalam dunia persilatan dujuluki sebagai Garuda Kuku Baja ini, dengan kening berkerut. Karena sebagai seorang tokoh silat berpengalaman luas, nalurinya mengisyaratkan ada ancaman bahaya bagi keluarganya. Perasaan seperti ini memang sulit dijabarkan. Namun, hampir setiap tokoh silat berpengalaman memilikinya. Dan, baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras yang mengandung tenaga dalam kuat.
"Garuda Kuku Baja, keluar kau! Aku Ki Tambak Rejo datang untuk mengirimmu ke akherat...!"
"Kurang ajar...! Mengapa tiba-tiba perampok busuk itu mendatangi tempat ini...?!" desis Garuda Kuku Baja, yang menjadi geram bukan main. Lalu menoleh ke arah istrinya. "Kau masuklah ke kamar, dan jaga anak kita...!" Sebelum istrinya menjawab, tubuh Garuda Kuku Baja sudah melesat ke luar dengan jejakan yang mengagumkan.
Whuukkk, whuuukkk!
Baru saja tubuhnya melewati pintu, empat benda runcing, yang merupakan mata tombak, langsung menyambut kemunculannya. Namun Garuda Kuku Baja tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan luar bisa, sepasang tangannya mengibas dengan jurus 'Garuda Sakti Membuka Sayap'. Karuan saja empat penyerang itu terlempar ke kiri-kanan. Sedang senjata mereka telah patah menjadi tiga bagian!
"Sebagian kepung rumah ini, yang lainnya habisi pendekar sombong itu...!" Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Tambak Rejo segera memberi perintah. Ia sendiri sudah melayang turun dari atas kudanya. Dengan senjata berupa sepasang trisula perak, kepala rampok itu menerjang Garuda Kuku Baja.
"Keparat kau, Ki Tambak Rejo...! Akan kuhabisi kalian semua...! Heaaattt...!"
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Garuda Kuku Baja melesat ke depan menyambut serangan Ki Tambak Rejo dan para pengikutnya. Kedua tangannya yang membentuk cakar garuda, menyambar-nyambar disertai suara angin berkesiutan. Sekali dua lengannya bergerak, terdengar suara jerit kesakitan, yang disusul dengan robohnya dua orang pengeroyoknya. Mereka tewas seketika dengan tenggorokan terkoyak jari-jari sekeras baja itu.
Siuuttt! Cwittt...!
Sepasang trisula perak Ki Tambak Rejo menyambar dengan kecepatan tinggi. Namun dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Karena Garuda Kuku Baja telah menggeser langkahnya ke kanan. Sembari menghindar, cakar garudanya kembali beraksi merobohkan seorang pengeroyok, hingga terbanting tewas dengan luka menganga pada bagian Iambungnya. Kemudian disusul dengan beberapa orang lawan lagi, yang tak sempat menghindari sambaran kuku sekeras baja lelaki gagah ini. Sehingga amukannya sempat membuat kepungan merenggang.
"Pengecut, ayo maju...!" Ki Tambak Rejo kembali berteriak-teriak memberi perintah kepada para pengikutnya. Kemudian mengayunkan sepasang trisulanya ke tubuh Garuda Kuku Baja.
"Hmmhh...!" Garuda Kuku Baja benar-benar marah sekali kepada Ki Tambak Rejo. Namun ia tidak sempat untuk mencecar kepala rampok itu dengan serangannya. Karena para pengikut Ki Tambak Rejo menghambur maju dengan sambaran senjatanya masing-masing. Hal itu membuat Garuda Kuku Baja harus membagi perhatiannya, tak bisa cuma mengurusi seorang saja.
Selagi mengamuk dengan keampuhan cakarnya, tiba-tiba saja wajah Garuda Kuku Baja berubah pucat! Bayangan para pengikut Ki Tambak Rejo yang tengah berusaha untuk memasuki rumahnya, membuat Garuda Kuku Baja melenting ke udara, meninggalkan lawan-lawannya. Sambil membagi-bagi sambaran jari-jari bajanya, lelaki gagah itu menerobos masuk ke rumah. Karena ia merasa khawatir akan keselamatan anak dan istrinya.
Cappp! Crabbb!
Garuda Kuku Baja terpekik ketika dua ujung tombak menancap di tubuh bagian belakangnya, ketika dia berusaha masuk ke rumah. Secepat kilat tubuhnya berputar disertai suara menggereng yang menggetarkan jantung. Sepasang cakarnya meluncur deras, dan mencekal tenggorokan dua orang penyerangnya. Kedua orang itu mendelik, karena jalan napasnya tercekik!
"Jiaaahhh...!" Sembari membentak, Garuda Kuku Baja membetot jari-jarinya yang terbenam di tenggorokan lawan. Hingga, kedua lengannya berlumuran darah. Dan pada tiga buah jari kedua tangannya, yang membentuk cakar garuda, terdapat serpihan kulit dan daging kedua orang lawannya, yang telah tersungkur dengan napas putus!
Ki Tambak Rejo tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tubuh Garuda Kuku Baja menegang, sehabis mencabut nyawa kedua orang pengikutnya. Sepasang trisulanya bekerja cepat menusuk kedua lambung yang terbuka itu. Karena saat itu Garuda Kuku Baja tengah berdiri dengan kedua tangan dikembangkan.
Tanpa ampun lagi, senjata bermata tiga itu langsung menembus sasarannya. Seketika Garuda Kuku Baja menjerit setinggi langit Tubuhnya limbung disertai semburan darah ketika Ki Tambak Rejo mencabut senjatanya yang menancap cukup dalam.
"Kakang...?!"
Istri Garuda Kuku Baja, yang berdiri di depan pintu kamarnya, menjerit, menyaksikan tubuh suaminya terhuyung dengan percikan darah yang membasahi lantai. Perempuan cantik ini sudah mengikat tubuh putrinya di punggung dengan sehelai kain. Dia bergegas menyambut tubuh suaminya, dan melepaskan pedang yang dipegangnya. Namun, ia tak sempat lagi untuk mengurusi sang Suami, karena tiga orang perampok menerobos masuk dengan senjata di tangan. Cepat wanita cantik ini menyambar pedangnya yang tergeletak di lantai.
"Pergilah kalian ke neraka, manusia-manusia busuk...!" pekik istri Garuda Kuku Baja sambil menyabetkan pedangnya mengarah perut ketiga perampok itu.
Terdengar jeritan kematian susul menyusul ketika pedang itu merobek sasarannya. Darah pun seketika muncrat membanjiri lantai rumahnya. Namun robohnya ketiga perampok itu bukan berarti istri Garuda Kuku Baja sudah bisa bernapas lega, karena enam perampok menyusul masuk ke dalam rumah. Sehingga, wanita cantik yang menggendong putrinya di punggung ini, harus berjuang keras menghadapi enam orang perampok yang menyerangnya.
Sebagai istri seorang tokoh kenamaan, tentu saja dirinya bukanlah perempuan lemah. Kendati ilmunya berada jauh di bawah Garuda Kuku Baja, namun serangan enam orang perampok itu masih dapat ditanggulanginya. Sayangnya lawan yang harus dihadapi bukan cuma enam orang itu. Beberapa orang perampok yang telah menerobos masuk, ikut bergabung mengeroyok. Sehingga wanita ini mulai kewalahan dan terdesak ke sudut ruangan.
"Manusia-manusia keji, tak tahu malu melakukan pengeroyokan terhadap seorang wanita...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan marah, yang disusul dengan melayangnya sesosok tubuh, menerobos atap rumah. Belum lagi kakinya menginjak tanah, sebatang pedang yang tergenggam di tangannya, telah datang menyambar para pengeroyok istri Garuda Kuku Baja. Seketika itu pula empat orang perampok terlempar mandi darah!
"Pergilah, selamatkan dirimu dan anakmu! Biar aku yang akan menghadapi perampok-perampok busuk itu...!" ujar sosok tubuh berpakaian serba hitam yang sebagian wajahnya juga tertutup selembar kain hitam.
"Tapi..., suamiku...," wanita cantik itu masih juga belum bergerak dari tempatnya. Sepasang matanya yang basah menatap sayu tubuh sang Suami yang tampak sudah tidak bergerak.
"Percuma, Nyi, suamimu sudah tewas...," tukas sosok berpakaian serba hitam seraya menghela napas penuh sesal melihat sosok Garuda Kuku Baja, yang sudah tidak bernapas lagi.
Wanita cantik ini mengeluh dengan air mata yang kembali meluncur membasahi wajahnya. Kepalanya menggeleng perlahan, seolah tak dapat menerima kematian suaminya. Jiwanya mengalami guncangan hebat, membuat tubuhnya terhuyung mundur. Seolah bumi yang dipijaknya ikut berguncang. Untung lelaki berpakaian serba hitam yang barusan menyelamatkan dirinya sempat melihat dan langsung menyambar. Sehingga tubuh wanita itu tidak sampai terbanting roboh.
"Nyi, jumlah mereka terlampau banyak. Kurasa aku pun tidak akan sanggup menghadapinya. Kita harus cepat tinggalkan tempat ini...!" bisik sosok berpakaian serba hitam sambil menahan tubuh wanita malang itu agar tidak jatuh.
Namun lagi-lagi istri Garuda Kuku Baja menggelengkan kepala disertai isak tangis yang memilukan. Hatinya masih berat meninggalkan tubuh sang suami meski sudah tidak bernyawa lagi itu.
"Pikirkanlah keselamatan putrimu, Nyi...! Apakah kau menghendaki ia dibantai perampok-perampok biadab itu...?!" lanjut lelaki berpakaian serba hitam, sambil menusukkan pedangnya dua kali ke tubuh dua orang perampok yang datang menyerang. Korban pun kembali jatuh terkapar berlumur darah.
Ucapan penolongnya membuat istri Garuda Kuku Baja baru sadar kalau saat itu ia masih menggendong putrinya. Ia pun mengangguk setuju, setelah kembali menatap mayat suaminya. Wanita ini tidak berusaha memberontak sewaktu tubuhnya dibawa melayang naik, menerobos atap rumah. Kemudian terus dibawa pergi oleh penolongnya ke arah selatan.
Matahari sudah naik semakin tinggi, sewaktu lelaki berpakaian serba hitam yang membawa istri dan putri Garuda Kuku Baja tiba di sebuah desa. Dia langsung membawa kedua orang yang ditolongnya ke sebuah rumah penginapan, yang dianggapnya cukup aman untuk sementara waktu.
"Mengapa kau menolongku, Tuan...?" tanya istri Garuda Kuku Baja, setelah mengenali penolongnya. Dia ternyata lelaki yang pernah dijumpainya, sewaktu ia sedang bermain-main dengan putrinya. Lelaki berpakaian serba hitam ini memang tak lain Sagotra.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong sesama, selama pertolongan yang kita berikan bukanlah untuk berbuat jahat..." jawab Sagotra sambil tersenyum tipis, "Untuk sementara waktu, tempat ini cukup aman. Aku akan pergi sebentar untuk melihat keadaan di sana. Siapa tahu masih ada harta yang tersisa, yang aku yakin akan berguna banyak untuk kalian berdua. Tunggulah di tempat ini, dan jangan sekali-kali keluar sebelum aku kembali!" lanjutnya, berpesan kepada kedua ibu dan anak itu.
"Tuan..., hati-hatilah...!" ujar wanita cantik ini dengan suara menggambarkan kecemasan hatinya.
Sagotra menunda langkah dan menoleh ke belakang. Dia tersenyum untuk menenangkan hati wanita cantik itu. Kemudian mengangguk dan melesat pergi meninggalkan rumah penginapan.
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Sagotra melesat menuju Hutan Pagar Jurang. Hatinya benar-benar gembira karena rencana yang diaturnya berjalan lancar. Kini tidak ada halangan lagi baginya untuk selalu dekat dengan perempuan cantik yang membuatnya tergila-gila itu.
Membayangkan wajah cantik dengan tubuh molek itu berada dalam pelukannya, hati Sagotra berdebar nikmat. Rasanya ia tak sabar untuk segera kembali bertemu dan berkumpul dengan wanita cantik itu. Bayangan wajah cantik itu membuat Sagotra semakin mempercepat larinya. Hingga akhirnya ia tiba di Hutan Pagar Jurang, markas gerombolan perampok yang disewanya untuk membunuh Garuda Kuku Baja.
Ki Tambak Rejo yang sudah menunggu-nunggu kedatangan Setan Pantai Timur, bergegas menyambut begitu melihat sosok bayangan hitam berlari mendatangi markasnya. Mulutnya tersenyum dan memperdengarkan kekeh senang. Karena Setan Pantai Timur tampak membawa buntalan besar dan terlihat sangat berat
Pimpinan Perampok Hutan Pagar Jurang itu menggosok kedua telapak tangan seraya membayangkan imbalan yang bakal diterimanya. Meski untuk itu telah kehilangan beberapa orang pengikutnya, Ki Tambak Rejo sama sekali tidak terlihat menyesal. Yang penting dirinya selamat. Mengenai pengikutnya ia tidak mau ambil pusing. Sebab, semua itu memang sudah menjadi resiko pekerjaan.
"Pekerjaanmu membuat aku bangga dan gembira, Ki Tambak Rejo...," ujar Setan Pantai Timur memperlihatkan wajah berseri. "Garuda Kuku Baja tewas dalam penyerbuan itu. Dan aku pun sudah mendapatkan istrinya yang cantik. Sekarang kau boleh menerima imbalannya...," berkata demikian, Setan Pantai Timur segera membuka buntalan, memperlihatkan kepingan emas, dalam jumlah banyak.
Ki Tambak Rejo terkekeh dengan mata berkilat-kitat. Bersama para pengikutnya, kepala rampok ini mengelilingi Setan Pantai Timur.
"Ini hanya untuk membuktikan janjiku. Selain ini, masih ada sepuluh kotak besar penuh emas permata yang akan membuat kalian semua hidup senang. Oleh karena ini merupakan permulaan, maka aku akan membagikannya kepada kalian semua," lanjut Setan Pantai Timur, yang memang telah banyak mengumpulkan harta selama belasan tahun malang melintang melakukan perbuatan jahatnya. Ucapannya disambut sorak-sorai para pengikut Ki Tambak Rejo.
"Kau tidak perlu khawatir, Ki Tambak! Kau akan mendapat dua puluh kali lipat dari pengikut- pengikutmu..."
Ki Tambak Rejo yang semula mengerutkan kening mendengar Setan Pantai Timur akan membagi-bagikan kepingan emas itu, kini tersenyum lebar. Kepalanya mengangguk-angguk mendengar tentang bagian yang akan diperolehnya.
Setan Pantai Timur mempersilakan Ki Tambak Rejo lebih dulu untuk mengambil kepingan emas dalam kantong besar itu. Sambil terkekeh-kekeh, kepala rampok ini meraup kepingan emas sebanyak-banyaknya dengan kedua tangan. Baru kemudian para pengikutnya bergantian maju meraup hanya dengan satu tangan, seperti yang diperintahkan Setan Pantai Timur. Sampai akhirnya seluruh isi kantong ludes tanpa sisa.
Dengan bibir menyunggingkan senyum licik, Sagotra alias Setan Pantai Timur bergerak mundur menjauhi Ki Tambak Rejo dan pengikutnya yang tengah menari-nari sambil tertawa-tawa seperti orang gila.
"Aakhh...?!" Tiba-tiba saja, Ki Tambak Rejo yang tengah tertawa-tawa menatap kepingan emas kedua telapak tangannya, memekik keras. Tubuhnya terhuyung dengan wajah pucat! Kepingan emas di kedua tangannya dilemparkan ke tanah. Mulutnya menjerit- jerit ketika melihat kedua telapak tangannya telah berubah kehitaman. Ki Tambak Rejo memutar tubuhnya ke tempat Setan Pantai Timur berada.
"Kau... keparat...! Emas-emas ini telah kau lumuri racun jahat...!" desis Ki Tambak Rejo, yang wajahnya juga mulai berwarna kehitaman.
Setan Pantai Timur tertawa berkakakan. Ia sama sekali tidak khawatir meski Ki Tambak Rejo sudah bergerak maju dengan sepasang trisulanya. Karena sebelum tiba dekat, kepala rampok ini sudah roboh ke tanah, tak sanggup melangkah lebih jauh.
"Hua ha ha...! Apa kau kira aku rela membagi-bagikan harta hasil jerih payahku kepadamu, Ki Tambak Rejo? Dan apa kau pikir aku percaya kau bisa menjaga rahasiaku? Tidak, Ki Tambak! Semua yang tahu rahasiaku harus mampus! Aku tak ingin kau akan mendatangkan kesulitan kepadaku di kemudian hari nanti...!" ujar Setan Pantai Timur sambil tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin keras ketika Ki Tambak Rejo berkelojotan hingga akhirnya tewas dengan tubuh mengejang.
Kemalangan yang menimpa Ki Tambak Rejo juga dialami semua pengikutnya. Puluhan anggota perampok itu roboh bergelimpangan dengan mulut berbusa dan kulit kehitaman. Dalam beberapa saat saja, Ki Tambak Rejo dan seluruh pengikutnya telah tewas oleh kelicikan dan kekejaman Setan Pantai Timur.
Setelah agak lama, dan yakin kalau semuanya sudah tewas, Setan Pantai Timur melangkah perlahan, mengumpulkan kepingan uang yang berserakan di tanah. Kemudian dimasukkan kembali ke kantong yang masih dipegangnya. Tokoh sesat yang licik dan kejam ini tentu saja tidak terpengaruh oleh racun itu. Karena ia telah menelan obat penangkal, selain melumuri kedua belah telapak tangannya dengan bubuk putih, yang merupakan obat penawar racun.
Setelah semua keping emas terkumpul, Setan Pantai Timur melesat pergi sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Sebentar saja sosoknya telah jauh dan merupakan bayangan samar, sampai akhirnya lenyap ditelan kelebatan pohon Hutan Pagar Jurang.
Tidak berapa lama sepeninggal Setan Pantai Timur, muncullah sesosok tubuh pendek gemuk dari balik rimbunan semak. Sosok itu tak lain Harimau Gila, yang telah menyaksikan semua kejadian tadi sejak awal.
"Hm..., sejak semula aku memang sudah menaruh curiga kepada manusia satu itu. Sebab, setahuku ia sangat sayang terhadap harta hasil jerih-payahnya. Sekarang terbukti apa yang membuatku penasaran. Hm... hati-hati, Sagotra! Rahasia kebusukanmu ada di tanganku...!" setelah berkata demikian, Harimau Gila pun meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
"Mengapa begitu lama Tuan pergi? Membuat aku cemas memikirkannya," ujar wanita cantik bekas istri Garuda Kuku Baja, menyambut kedatangan Sagotra. Kecemasan pada wajahnya perlahan lenyap saat melihat penolongnya kembali dengan selamat. Hampir dua hari ia menunggu-nunggu kedatangan penolongnya itu.
"Maaf, aku harus mengurus mayat suamimu dulu. Kemudian mencari-cari kalau-kalau ada yang terlewatkan dari perampok-perampok busuk itu. Sayang aku tidak menemukan satu pun benda berharga yang masih tersisa. Sedangkan aku cuma memiliki ini saja...," jawab Sagotra menjelaskan. Kemudian memperlihatkan sekantong uang yang dibawanya sebagai bekal. Sedang selebihnya ia sembunyikan di tempat tinggalnya. Itu yang menyebabkan Sagotra sampai hampir dua hari baru kembali.
"Tuan begitu baik kepada kami. Entah bagaimana aku bisa membalasnya...," ujar wanita cantik ini seraya menundukkan wajahnya. Karena Sagotra, yang tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan tertariknya, terus menatapnya tak berkedip. Kendati demikian, istri Garuda Kuku Baja tidak marah, karena penolongnya itu tidak berbuat kurang ajar, selain memandangnya dengan sorot mata kagum. Selebihnya sikap Sagotra memang terlihat sopan, membuat wanita ini tidak merasa khawatir.
"Aku tidak mengharapkan balasan darimu, Nyai..."
"Namaku Nilam, Tuan. Panggil saja dengan nama itu. Tidak enak rasanya mendengar Tuan terus-menerus menyebutkan Nyai...," sela wanita cantik ini menyebutkan namanya.
"Nilam...," desis Sagotra beberapa kali, seperti hendak mengukir nama itu di dalam hatinya. Hal itu membuat wajah istri Garuda Kuku Baja kemerahan karena jengah. "Sebuah nama yang indah. Aku suka mengucapkannya. Sangat cocok sekali dengan parasmu yang laksana dewi, Nyai... eh, Nilam. Dan kau boleh panggil aku dengan nama Sagotra, tanpa embel-embel Tuan seperti yang sering kau ucapkan," lanjut Sagotra tersenyum lembut, bagai tak pernah puas menikmati wajah cantik dihadapannya.
"Terima kasih, Sagotra. Mmm..., malam sudah semakin larut Aku ingin beristirahat...," ucap Nilam mengangkat wajah dan mengangguk kepada Sagotra.
"Baiklah, Nilam. Dan besok pagi-pagi sekali kita harus segera meninggalkan desa ini. Aku khawatir para perampok itu masih akan mengincarmu. Terlebih putrimu. Menurut dugaanku, mereka akan membunuhnya. Khawatir kalau-kalau ia akan menjadi penyakit di kemudian hari...," ujar Sagotra mengingatkan Nilam dalam bahaya yang masih akan terus membayangi.
Agak kaget juga hati Nilam mendengar ucapan Sagotra. Membuat langkahnya terhenti, dan memutar tubuh menghadapi penolongnya itu. Sebagai seorang istri tokoh silat, tentu saja Nilam mengerti bahwa ancaman itu ada kemungkinan akan datang lagi.
"Ke mana tujuan kita selanjutnya. ..?" tanya Nilam yang tidak tahu harus bagaimana, dan menyerahkan keputusannya kepada Sagotra. Karena ia tidak mempunyai tempat lagi untuk berlindung kecuali kepada lelaki penolongnya itu.
"Ke mana saja yang kira-kira aman untuk kau dan putrimu, Nilam. Dan kau tidak perlu khawatir karena aku akan melindungi kalian berdua dengan taruhan nyawa," janji Sagotra untuk menenangkan hati Nilam.
"Mengapa... mengapa kau sampai mau berkorban nyawa untuk kami berdua, Sagotra? Sedangkan kita baru saling mengenal...?" Agak kaget juga hati Nilam telanjur melontarkan pertanyaan itu. Namun untuk menariknya sudah terlambat. Terpaksa ia menunggu jawaban Sagotra dengan hati berdebar. Sebagai wanita, terlebih sudah pernah bersuami, tentu saja Nilam menangkap getaran perasaan dan pancaran mata Sagotra.
"Karena... terus terang sejak pertama kali berjumpa, aku merasa kagum dan tertarik kepadamu, Nilam. Tapi, bukan berarti aku merasa senang melihat kau kehilangan suamimu. Aku pun turut menyesal mengapa aku datang terlambat waktu itu. Kalau saja aku tiba lebih cepat, kemungkinan besar kau masih akan bersama-sama suamimu..."
Nilam menghela napas perlahan, menenangkan gemuruh di dalam dadanya. "Aku baru saja kehilangan suamiku, Sagotra...," ucapnya lemah, teringat kembali akan kematian suaminya.
"Maafkan aku, Nilam..."
Nilam tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka berdua, sampai akhirnya Nilam minta diri untuk istirahat. Sagotra hanya mengangguk lemah. Setelah sosok Nilam lenyap di balik pintu, Sagotra pun melangkah memasuki kamarnya, yang bersebelahan letaknya dengan kamar wanita cantik itu.
Bayangan kejadian masa lalu yang melintas jelas dalam benak Sagotra, membuat wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di dadanya. Langkah kakinya terhuyung seperti tak dapat menapak dengan baik.
"Nilam... Andari... ampuni dosa-dosaku...!" rintih suara parau Sagotra mengungkapkan kedukaan hatinya. Kakinya terus melangkah lambat-lambat melintasi jalan setapak.
Sudah dua hari dua malam Sagotra menempuh perjalanan tanpa mempedulikan keadaan dirinya, yang kini tak ubahnya dengan seorang gembel. Pakaiannya kotor dan koyak di beberapa tempat. Demikian pula dengan rambut dan wajahnya. Kotor dan dipenuhi debu. Sepasang matanya sayu, memandang kosong ke depan. Keadaan ini menunjukkan betapa hati Sagotra tengah dilanda kedukaan hebat!
Bayangan anak dan istri yang akan membenci dan memusuhi dirinya, membuat hatinya tidak bisa tenang tinggal di rumah. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan anak istrinya. Karena menurutnya lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan.
Tanpa disadari, langkahnya telah membawa Sagotra jauh meninggalkan Desa Kranggan. Kini langkahnya terhenti. Di hadapannya membentang sebatang sungai berair deras berwarna keruh kecoklatan. Lebar sungai kurang lebih sekitar tiga tombak lebih. Di sini Sagotra termenung. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
"Hua ha ha...! Sagotra... Sagotra...! Kau tak ubahnya seekor ular yang menghampiri penggebuk...!"
Sebuah suara yang besar dan berat membuatSagotra tersadar dari lamunannya. Bergegas iamemutar tubuh. Didapatinya sesosok tubuh pendekgemuk berdiri sekitar dua tombak di hadapannya. Selain lelaki itu, juga masih terdapat empat lelaki lain.
"Harimau Gila...?!" desis Sagotra terkejut dan juga heran, "Rupanya kau masih juga belum puas hingga terus membayangi langkahku...!" lanjutnya dengan nada geram!
"Hmmhh...! Kau telah mengingkari janjimu, Sagotra. Sehingga, niat untuk membunuh Pendekar Clurit Perak terpaksa batal! Dan kaulah yang menjadi penyebab utamanya!" ujar Harimau Gila tanpa mempedulikan perkataan Sagotra, "Aku telah menulis surat kepada istri dan anakmu. Dan melihat keadaanmu, aku bisa menebak kalau kau pasti melarikan diri, karena mereka hendak membunuhmu! Itu akibatnya, karena kau tidak mau membantuku!"
"Hm..., lalu apa lagi yang kau kehendaki dariku sekarang?" tukas Sagotra menatap wajah Harimau Gila dengan penuh kebencian.
"Mengajakmu untuk bergabung. Dan kau tidak punya pilihan lain. Saat ini tokoh-tokoh golongan putih sedang mencari-cari pembunuh Kakek Jubah Hitam! Itu sebabnya kami berkumpul di tempat ini. Karena kami harus menyembunyikan diri di tempat yang aman sampai keadaan kembali tenang. Dan perlu kau ketahui, Sagotra! Kami telah menyebar berita bahwa yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah Setan Pantai Timur! Tapi, karena tanpa sengaja kau telah menginjak daerah persembunyian kami, dan mengingat hubungan lama kita, aku merasa kasihan kepadamu. Jawabannya terserah kepadamu. Kami tak aka memaksa...," Harimau Gila yang mengakhiri ucapannya dengan tawa bergelak.
"Tidak! Lebih baik mati daripada bergabung dengan manusia licik dan kejam sepertimu, Harimau Gila! Malah aku akan membawamu untuk bergabung dengan malaikat maut!" usai berkata demikian, Sagotra menghunus pedangnya. Ia menjadi nekat, karena merasa hidupnya sekarang tak ubahnya orang yang telah mati. Sagotra merasa kematian jauh lebih baik ketimbang menjalani hidup dengan beban yang baginya terasa sangat berat.
"Hm..., sebenarnya aku sudah tidak berminat untuk membunuhmu, Sagotra. Aku lebih suka melihat keadaanmu sekarang, yang tak ubahnya mayat berjalan. Hatimu akan terus digerogoti penderitaan, yang kelak akan menghantarmu ke akherat. Tapi, karena tanpa sengaja kau telah mengetahui tempat persembunyian ini, terpaksa aku harus membunuhmu...!" sahut Harimau Gila, lalu segera memberi isyarat kepada empat orang kawannya, yang dua di antaranya ternyata Penjagal Kepala dan Ronggawu. Mereka telah bergabung di tempat persembunyian itu.
Sagotra memutar pedang di sekeliling tubuhnya membentuk gulungan sinar menderu-deru. Dan dengan diiringi sebuah teriakan panjang, tubuhnya melesat menerjang Harimau Gila, yang memang sangat dibencinya.
Harimau Gila dan empat kawannya pun tidak tinggal diam. Dengan senjata di tangan, mereka mengeroyok Setan Pantai Timur. Hingga, sebentar saja pertempuran seru pun berlangsung! Namun setelah pertarungan lewat dari tiga puluh jurus, terlihat Sagotra mulai kewalahan. Hal itu disebabkan keadaannya yang memang tidak memungkinkan. Rasa lelah lahir dan batin, membuat ketangkasannya jauh berkurang. Kini dirinya harus bertahan mati-matian dari desakan lima orang pengeroyoknya itu.
"Haiiittt...!"
Di saat keadaan Sagotra semakin payah, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang, yang disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hijau ke tengah arena. Begitu tiba, sosok bayangan hijau itu langsung membuat desakan Harimau Gila dan kawan-kawannya terhadap Sagotra menjadi berantakan! Sambaran sinar putih keperakan yang disertai gelombang angin dingin menusuk tulang, membuat lima orang kepala rampok itu berlompatan. Mereka mundur meninggalkan Sagotra yang tampak kepayahan dengan sekujur tubuh dibanjiri peluh.
Kini sosok bayangan hijau yang menyelamatkan nyawa Sagotra, telah berdiri dengan kedua kaki terpentang. Di tangannya tergenggam sebatang pedang bersinar putih keperakan yang menyebarkan hawa dingin. Sosok itu ternyata seorang wanita muda berparas jetita, yang mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita ini kalau bukan Kenanga.
Melihat paras cantik jelita dengan bentuk tubuh mengundang selera itu, Harimau Gila dan keempat kawannya sama terbelalak menelan air liur. Mereka tak jadi marah. Bahkan kelimanya kemudian menyeringai, sambil menjilati wajah dan tubuh Kenanga dengan pandang matanya.
"Aku kebetulan lewat di tempat ini dan mendengar semua pembicaraan kalian. Aku memang belum mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam. Tapi, mendengar pembicaraan kalian, yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh golongan putih tengah mencari-cari si Pelaku Pembunuhan, hatiku pun tergerak. Aku terpaksa turun tangan membela lelaki yang kalian sebut sebagai Setan Pantai Timur ini. Karena ia ikut terlibat dan menjadi saksi pembunuhan itu. Selain itu, aku membelanya karena mendengar sikapnya yang menentang kalian semua. Aku pernah dengar nama besar Setan Pantai Timur. Tapi, melihat keadaan dan perkataannya sekarang, aku bisa menduga kalau ia telah sadar dari kesesatannya. Dan orang yang telah sadar patut dibela!" ujar Kenanga tidak mempedulikan pandangan kelima orang kepala rampok itu.
"Celaka...!" desis Harimau Gila setelah mendengar ucapan dara jelita itu. Seleranya langsung lenyap seketika, berganti dengan kecemasan. Kini ia tidak lagi memandang Kenanga sebagai sosok yang menggiurkan, melainkan orang berbahaya yang juga harus dilenyapkan! Maka, Harimau Gila kembali memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok dan membunuh Kenanga serta Setan. Pantai Timur!
Kenanga dan Sagotra seolah sudah saling sepakat untuk maju bersama. Maka, mereka pun bergerak maju untuk menghadapi keroyokan lima orang lawan itu.
"Hih hih hih...!"
Kedua belah pihak yang sudah siap saling terjang ini sama tertegun, ketika mendadak terdengar suara tawa mengikik, yang bagaikan datang dari delapan penjuru angin.
"Bibi Guru...?!" Tiba-tiba saja Harimau Gila berseru dengan wajah berseri. Kemudian bergegas lari menyambut ketika melihat adanya sesosok bayangan yang mendatangi tempat itu.
"Hih hih hih...! Kau rupanya, Harimau Gila!" seru seorang nenek bertelanjang dada. Perempuan tua renta itu tak lain Kalong Wewe. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya kepada Harimau Gila, yang rupanya dikenal baik oleh nenek sinting ini.
Harimau Gila, yang menjatuhkan diri di depan Kalong Wewe, bergegas bangkit. Mereka berdua memang memiliki hubungan yang cukup dekat. Karena guru dari Harimau Gila adalah adik seperguruan Kalong Wewe. Itu sebabnya mengapa mereka berdua saling kenal satu sama lain. Dan Harimau Gila tentu saja sangat gembira dengan kemunculan bibi gurunya itu. Karena dengan adanya nenek sinting ini, pihaknya jelas bertambah kuat
"Aku sedang mendapat kesulitan, Bibi Guru," jawab Harimau Gila separo melapor, "Dan aku terpaksa bersembunyi karena tengah dicari-cari tokoh-tokoh golongan putih. Mereka berdua termasuk di antara orang-orang yang memburuku..."
"Aiihh..., kalau begitu, kaulah yang telah membunuh tua bangka Kakek Jubah Hitam?!" tukas Kalong Wewe memperlihatkan seringai senang. Tawanya terdengar berkepanjangan ketika melihat Harimau Gila mengangguk pasti.
"Bagus... bagus...! Orang-orang seperti tua bangka sombong itu memang sudah seharusnya dilenyapkan. Karena mereka hanya membuat susah gerakan kita saja. Kalau begitu, biar kedua orang itu menjadi bagianku...!" lanjutnya yang kemudian menghampiri Kenanga dan Sagotra.
Kemunculan Kalong Wewe, tentu saja membuat Kenanga merasa terkejut. Terlebih Sagotra yang telah mendengar kesaktian nenek sinting itu. Hatinya menjadi tegang. Wajahnya agak pucat. Meski ia tidak takut menghadapi kematian, namun menghadapi nenek yang tidak lumrah manusia itu, hatinya merasa gentar juga.
"Kalian berdua bersiaplah untuk meninggalkan dunia ini...!" ujar Kalong Wewe. Begitu ucapan itu selesai, dia langsung menyerang Kenanga dan Sagotra dengan menggunakan kuku-kukunya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku sekeras besi ini meluncur disertai suara angin berkesiutan.
Kenanga dan Sagotra bergerak menyebar ke kiri dan kanan. Sambaran kuku-kuku runcing itu langsung dipapaki Kenanga dengan sambaran Pedang Sinar Bulannya. Namun, betapa terkejut Kenanga ketika pedangnya berbenturan dengan kuku nenek sinting itu, lengannya bergetar keras. Bahkan tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Sedangkan tubuh Kalong Wewe terlihat cuma bergetar dan masih tetap di tempatnya. Kuku-kuku jari tangan nenek sinting itu terlihat tetap utuh, menandakan bahwa tenaga dalam yang melindunginya sangatlah kuat.
Sesaat setelah benturan itu terjadi, Sagotra memekik keras sambil menusukkan pedangnya ke tubuh Kalong Wewe. Namun, nenek tanpa baju itu sudah memiringkan tubuh, membuat ujung pedang Sagotra lewat di depannya. Dan sebelum Sagotra sempat menarik senjatanya tangan kanan Kalong Wewe sudah terulur hendak merampas pedang itu. Sedang tangan kirinya menusuk ke arah ulu hati Sagotra. Gerakan nenek ini sangat cepat bukan main, membuat Sagotra sadar bahwa kalau mau selamat, ia harus merelakan senjatanya dirampas.
Sayang gerakannya kalah cepat. Sebelum ia bergerak melempar tubuh ke belakang, pedangnya telah tercengkeram jari-jari tangan lawan. Untung saja ia masih sempat memiringkan tubuh saat jari-jari yang mengandung racun pelumpuh itu menyambar ulu hatinya. Sehingga, meski ia tidak berhasil menghindar, namun tusukan itu meleset dari sasaran, dan hanya menggores iga kanannya. Namun, alangkah terkejut hati Sagotra ketika merasakan tenaganya mendadak lenyap. Sekelilingnya terasa berputaran, membuat ia tak sanggup lagi mempertahankan dirinya. Sagotra pun roboh tak sadarkan diri!
Melihat kenyataan itu, Kenanga tentu saja menjadi kaget bukan main. Tak disangkanya kalau nenek sinting itu ternyata mampu merobohkan Setan Pantai Timur, yang menurut penglihatannya memiliki ilmu cukup tangguh. Hal itu membuat hatinya geram. Maka, pedang di tangannya kembali diputar, membentuk gundukan sinar putih keperakan berhawa dingin. Serangan datang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian terlemah di tubuh Kalong Wewe.
Namun sampai lima belas jurus lebih ia mencecar, pedangnya sama sekali tidak mampu mengenai sasaran. Ternyata Kalong Wewe selalu dapat menghindar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, yang memang mengagumkan sekali. Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, serangan-serangan Kalong Wewe membuat Kenanga tak sempat lagi untuk membangun serangan. Kenanga terdesak dan hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
"Hiiihhh...!" Kalong Wewe yang merasakan penasaran karena benteng pertahanan lawannya sangat sukar untuk diterobos, tiba-tiba mengeluarkan pekikan nyaring menyakitkan telinga. Seketika Kenanga tersentak mundur, karena ia harus membagi tenaga untuk melindungi telinganya. Perbuatan ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi kendor. Dia baru sadar ketika melihat kuku-kuku jari tangan lawan meluncur pada saat putaran pedangnya melambat.
Whuuuttt...! Plakkk!
Mendadak Kalong Wewe terpekik kesakitan! Karena pada saat serangannya hampir merenggut tubuh Kenanga, tahu-tahu ada sesosok bayangan putih yang datang dan memapaki serangannya. Seketika itu pula benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh Kalong Wewe terdorong mundur sejauh satu setengah tombak. Meski masih dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, namun paras nenek sinting itu tampak memucat. Mulutnya menyeringai, menahan rasa sakit pada lengannya yang untuk beberapa saat bagaikan lumpuh, tak bisa digerakkan.
"Kau... Pendekar Naga Putih...?!"desis Kalong Wewe dengan mata terbelalak. Dilihatnya sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri disebelah Kenanga. Rasa jerih tampak jelas pada sepasang matanya. Hingga, mendadak ia memutar tubuhnya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu diiringi lengkingan panjang yang mirip suara tangisan.
"Kakang...!" Begitu mengenali penolongnya, Kenanga langsung saja menghambur kedalam pelukan Pendekar Naga Putih. Karena penolongnya ternyata Panji, kekasihnya.
"Kenanga...," desah Panji tak dapat menahan gejolak kerinduan di hatinya. Dipeluknya tubuh dara jelita itu erat-erat. "Senang sekali melihatmu kembali. Aku sendiri hendak menyusulmu. Sayang perjalananku selalu terhambat oleh persoalan-persoalan yang kutemui," lanjut Panji, yang kemudian menanyakan tentang pertemuan tokoh-tokoh silat yang dihadiri Kenanga.
"Nanti saja, Kakang. Waktu untuk itu masih banyak. Sedangkan sekarang kita tengah menghadapi pembunuh-pembunuh Kakek Jubah Hitam...," ujar Kenanga mengingatkan Panji, bahwa mereka tidak cuma berdua di tempat itu.
Harimau Gila dan keempat kawannya menjadi pucat, melihat Pendekar Naga Putih menoleh ke arah mereka.
"Berhenti...!" bentak Panji ketika melihat kelima orang itu hendak melarikan diri. Sambil berseru demikian, tubuhnya langsung melayang berputaran di udara. Kemudian meluncur turun di hadapan Harimau Gila dan kawan-kawannya.
Harimau Gila dan kawan-kawannya yang sadar bahwa mereka tidak mungkin dapat menghindar dari Pendekar Naga Putih, langsung menerjang maju dengan senjata terhunus. Mereka merasa lebih baik mati ketimbang tertawan dan diadili di hadapan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
Wuttt!
Tusukan pedang Harimau Gila, yang dibarengi dua kawannya tak menemui sasaran. Dengan menggeser mundur kakinya Pendekar Naga Putih dapat mengelakkan serangan yang mengarah ketiga tempat di tubuhnya. Kemudian dikibaskan kedua tangannya dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Bressshh...!
Terdengar jerita kesakitan susul-menyusul. Kibasan yang sangat kuat itu membuat tubuh Harimau Gila dan dua orang kawannya terhumbalang ke kiri dan kanan. Berturut-turut tubuh ketiganya terbanting keras ke tanah. Mereka tak sanggup langsung bangkit. Karena hantaman itu membuat tubuh mereka menggigil bagaikan terserang demam tinggi. Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menghadapi sisa pengeroyoknya. Tubuhnya berlompatan menghindari sambaran pedang kedua orang lawannya.
Lewat sepuluh jurus kemudian, Panji yang melihat adanya peluang, langsung mengirimkan hantaman dua kali berturut-turut Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu pun terlempar deras dengan memuntahkan darah segar. Keduanya jatuh terduduk dengan senjata terlepas dari genggaman, tergeletak di samping tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih, jangan bunuh mereka...!" Saat Panji melangkah mendekati tubuh lawan-lawannya yang tergeletak di tanah, terdengar sebuah seruan.
Panji menoleh, menunggu kedatangan dua orang yang dikenalinya sebagai Sepasang Elang Laut Utara.
"Sebaiknya kita bawa mereka untuk diadili di hadapan tokoh-tokoh persilatan...!" Begitu tiba, Banadri langsung saja mengusulkan.
"Aku setuju," jawab Panji, "Penjahat-penjahat itu aku serahkan kepada kalian..."
Harimau Gila dan dua orang kawannya yang masih sadar, tentu saja menjadi pucat. Mereka menoleh ke arah Sagotra yang masih tergeletak pingsan. Namun, sebelum ketiga orang kepala rampok ini membuka suara, totokan Kenanga telah tiba lebih dulu, membuat lidah mereka kaku. Karena Kenanga telah menotok urat gagu mereka.
"Bawalah mereka pergi...!" ujar Kenanga tersenyum kepada Sepasang Elang Laut Utara.
Meski agak sedikit heran dengan perbuatan dara jelita berpakaian serba hijau itu, Banadri maupun Sandrila tidak berkata apa-apa. Mereka langsung membawa pergi Harimau Gila dan empat orang kepala rampok itu, setelah berpamit kepada Pendekar Naga Putih.
Beberapa saat setelah Sepasang Elang Laut Utara pergi, Panji dan Kenanga yang tengah menyadarkan Sagotra sama menolehkan kepalanya ke arah yang sama. Tiba-tiba mereka mendengar adanya suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Ketika melihat sosok dua orang perempuan yang kelihatannya hendak menghampiri mereka, Kenanga dan Panji pun bangkit berdiri.
Sagotra yang saat itu baru tersadar dari pingsannya, mendadak pucat! Ia langsung saja melompat bangkit dan berlari ke arah dua orang perempuan yang tak lain istri dan putrinya. Karuan saja sikap Sagotra membuat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Nilam... Andari..., ampuni aku...!" Begitu tiba, Sagotra langsung saja menjatuhkan tubuhnya di hadapan istri dan putrinya.
"Hm..., jadi isi surat yang dikirimkan Harimau Gila kepada kami bukan cuma fitnahan belaka...," desis Nilam menarik napas panjang dan menengadahkan wajahnya menatap langit. "Ahh..., betapa besar dosaku terhadap mendiang suamiku. Ternyata selama ini aku hidup bersama seorang pembunuh biadab...!"
Andari sendiri tidak bisa berkata apa-apa. Kenyataannya itu terlalu mengejutkan baginya. Karena orang yang selama ini menjadi tempatnya bermanja, ternyata orang yang telah membunuh ayah kandungnya.
"Aku... aku terlalu mencintaimu, Nilam. Dan karena ingin memilikimu aku pun menjadi mata gelap...," aku Sagotra menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Sekarang terserah kalian. Aku siap menerima hukuman dari kalian berdua...," lanjutnya dengan suara parau dan bergetar.
"Keparat busuk kau, Sagotra...!" Tiba-tiba saja, Andari yang sejak tadi hanya diam dengan air mata bercucuran, mendesis tajam. Secepal kilat, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
"Tahan...!" Melihat pedang yang sudah siap memenggal kepala Sagotra, Panji berseru mencegah. Sekali berkelebat, ia telah berdiri di dekat ketiga orang itu.
"Jangan ikut campur dengan urusan kami! Kau tidak tahu duduk persoalannya...!" hardik Andari, menatap Panji dengan sorot mata tajam memancarkan ketidaksenangan hatinya.
"Dik...," ujar Panji tenang. "Apa pun bentuk persoalannya, sebaiknya dicari penyelesaian yang paling baik..."
"Hm..., kau tahu, lelaki jahat ini adalah pembunuh Ayah kandungku! Dan dia melakukannya dengan menggunakan kelicikan! Lalu berpura-pura menjadi penolong kami. Hingga kami menganggapnya sebagai dewa penolong, yang mempunyai budi besar dan tidak mungkin dapat kami balas. Sampai akhirnya ia melamar ibuku untuk menjadi istrinya. Karena hendak membalas jasa, Ibu terpaksa menerima lamarannya. Sayang, perbuatan busuknya ada yang menyaksikan tanpa sepengetahuannya. Nah, apa jawabmu sekarang setelah mengetahui persoalannya?" ujar Andari setelah menjelaskan persoalannya kepada Panji dan Kenanga.
"Benar ia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar," jawab Kenanga, yang telah melihat sendiri bagaimana sikap Sagotra sewaktu menghadapi Harimau Gila. "Tapi, setahuku ia telah sadar akan kesesatannya. Bahkan sewaktu Harimau Gila mengajaknya untuk bergabung, ia lebih memilih mati. Jadi, sebaiknya pikirkanlah apa yang bakal kalian perbuat, sebelum menyesal di belakang hari!"
Mendengar ucapan Kenanga, Andari menghela napas panjang. Kemudian menoleh kepada ibunya, yang kebetulan juga tengah memandangnya.
"Pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi, Sagotra!" Akhirnya Nilam memutuskan, setelah berpikir agak lama. Lalu dia berpaling kepada putrinya. "Mari, kita tinggalkan tempat ini, Andari...!"
"Nilam...!" Sagotra berteriak parau. Ia langsung melompat dan memeluk kedua kaki istrinya. Terdengar suara tangis penyesalannya. "Aku tak mungkin dapat hidup tanpa kalian. Berilah aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu. Meski jadi pelayan sekalipun, aku bersedia asalkan tetap berada dekat dengan kalian..."
Sekeras apa pun hati Nilam, dan bagaimanapun bencinya kepada Sagotra saat itu, akhirnya luluh juga. Masa belasan tahun yang dilewati bersama-sama, telah menimbulkan rasa cinta di hatinya. Apalagi selama menjadi suami dan ayah dari putrinya, Sagotra memperlihatkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar. Kalau saja sejak dulu ia mengetahui bahwa Sagotra ternyata pembunuh suaminya, mungkin akan jadi lain persoalannya. Bahkan kemungkinan besar akan dibunuhnya Sagotra. Namun, peristiwa itu sudah sangat lama berlalu. Hingga, dendam dan kebencian yang dirasakannya tidak terlalu dalam.
"Aku belum bisa memaafkan kesalahanmu sepenuhnya, Sagotra. Sebaiknya, untuk sementara waktu, kau pergilah menjauh! Aku tidak tahu kapan bisa menerima kehadiranmu kembali...," ujar Nilam, yang kemudian melepaskan pelukan Sagotra pada kedua kakinya. Lalu bergerak meninggalkan tempat itu.
"Ibu..."
Panggilan Andari membuat langkah Nilam kembali terhenti. Perempuan cantik ini menoleh ke arah putrinya. Sekali pandang saja dirinya tahu kalau Andira telah memaafkan perbuatan Sagotra di masa silam. Baginya hal itu tidak aneh, karena Andari hampir tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Dia tahu kalau putrinya sudah terlalu dekat kepada Sagotra.
Hingga, sosok seorang ayah, bagi Andari lebih jelas adalah Sagotra, yang semenjak dia masih kecil telah memberikan kasih sayang dan kenangan yang tidak mudah untuk dihapusnya. Hal inilah yang membuat sosok ayah kandungnya sendiri hanya merupakan bayang-bayang yang tak jelas. Nilam maklum dengan apa yang ada dalam hati dan pikiran putrinya.
"Maafkanlah Ayah, Ibu...!" pintanya setengah memohon, "Berilah ia kesempatan untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu...!"
Nilam menghela napas beberapa saat Lalu mengangguk dan tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengayun langkah mendahului Andari.
"Mari, Ayah...!" ajak Andari sambil mengangkat tubuh Sagotra. Kemudian membawanya menyusul langkah ibunya.
Panji dan Kenanga memandangi kepergian ketiga sosok tubuh itu, hingga lenyap di kejauhan. Keduanya saling berpandangan sebentar dan tersenyum lega. Dan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, tahu-tahu saja keduanya telah berpelukan erat.
"Kau belum menceritakan tentang pertemuan para pendekar yang kau hadiri itu, Kenanga...," Panji menagih janji Kenanga tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak ada yang terlalu penting, Kakang. Singkatnya, pertemuan yang semula dimaksudkan untuk memilih seorang pemimpin bagi seluruh golongan putih, belum bisa diputuskan. Karena banyak tokoh tua yang belum hadir. Akhirnya pertemuan ditunda sampai purnama depan..."
Meskipun semua ucapan itu terdengar jelas, mata Panji lebih terpaku pada bibir kekasihnya sewaktu berbicara. Melihat tantangan terbentang di depan mata dan begitu dekat, Panji tak bisa lagi menahan diri. Seolah kerinduan di hati mereka masih belum terpuaskan!
Sesosok tubuh tinggi kurus menghentikan larinya di mulut sebuah hutan kecil. Ia berdiri tegak memandang berkeliling. Namun sejauh mata memandang, hanya kepekatan yang dilihatnya. Terdengar helaan napasnya. Kedua kakinya melangkah lambat-lambat sambil tetap mengawasi sekitar tempatitu.
"Bagus, Sagotra! Aku senang kau mau datang..."
Suara parau yang mirip sebuah desahan berat itu membuat Sogatra memutar tubuhnya. Sepasang matanya berkilat tajam, menatap sosok yang agak tersembunyi di kegelapan bayang pepohonan.
"Hua ha ha haaahhh...!" tiba-tiba saja sosok bertubuh pendek itu tertawa keras hingga tubuhnya yang gemuk terguncang-guncang.
"Hm..., mengapa kau masih menggangguku, Harimau Gila? Apa lagi yang kau inginkan dariku?" tegur lelaki kurus bernama Sagotra, menyembunyikan kemarahan.
"Sagotra... Sagotra, tahan dulu amarahmu! Apakah diantara sahabat tidak boleh saling mengunjungi...?" sahut lelaki pendek gemuk yang disebut dengan julukan Harimau Gila.
"Kita tidak lagi bersahabat, Harimau Gila!" tegas Sagotra dengan tatapan semakin mencorong. "Masa lalu yang bergelimang dosa sudah kulupakan! Dan sekarang kau tidak akan bisa lagi memaksaku untuk melakukan kesalahan kembali!"
Sosok gemuk pendek di kegelapan bayang pepohonan kembali memperdengarkan gelak tawanya yang aneh. Kemudian mengayunkan langkah mendekati tempat Sagotra berdiri. Kurang lebih satu tombak, langkahnya terhenti.
"Sagotra," ujar Harimau Gila dengan menentang mata Sagotra, "Untuk kedua kalinya, aku terpaksa mengganggu kehidupanmu. Kuharap kau tidak menolak permintaanku ini. Ingat, aku bukan saja bisa membuka kebusukanmu di depan anak dan istrimu! Tapi, aku juga bisa melibatkan namamu dalam kematian Kakek Jubah Hitam!"
"Bangsat licik..! Kau... benar-benar iblis, Harimau Gila!"
Bukan main murkanya Sagotra demi mendengar ancaman Harimau Gila. Peristiwa terbunuhnya tokoh golongan putih berjuluk Kakek Jubah Hitam, melintas sesaat dalam benaknya. Secara langsung ia memang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Hal itu dilakukannya dengan sangat terpaksa, karena ancaman Harimau Gila.
Namun, Harimau Gila yang berjanji tidak akan mengganggunya lagi setelah itu, ternyata mengingkarinya. Harimau Gila kembali mengirimkan sepucuk surat kepadanya, minta untuk bertemu di mulut hutan kecil di luar Desa Kranggan.
"Terpaksa kulakukan, Sagotra. Mulanya aku memang berjanji untuk tidak akan mengganggumu lagi, setelah kau menolongku melenyapkan Kakek Jubah Hitam, beberapa hari lalu. Tapi..., kali ini aku bersungguh-sungguh! Jika kau mau membantuku, aku tak akan mengusikmu lagi. Aku membutuhkan bantuanmu, Sagotra...," ujar Harimau Gila yang kemudian menundukkan kepalanya. Seolah ia merasa bersalah telah mengingkari janjinya.
"Tidak!" tandas Sagotra. "Cukup sekali saja kau menipuku! Seharusnya sejak semula aku sadar, bahwa janji sama sekali tidak berarti bagi orang sepertimu! Dan jika kali ini aku masih menuruti kehendakmu, sudah pasti kau akan terus meminta dengan ancaman yang serupa!" Setelah berkata demikian, Sagotra memutar tubuhnya, hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Sagotra...!" cegah Harimau Gila membentak.
Sagotra terpaksa menghentikan langkahnya. Tapi ia tidak berbalik, tetap membelakangi Harimau Gila.
"Dengar, Sagotra!" lanjut Harimau Gila, "Jika kau berkeras hendak pergi dan menolak permintaanku, berarti kau harus siap menerima kehancuran dalam hidupmu! Kau akan dikutuk dan dimusuhi oleh anak dan istrimu! Sementara, tokoh-tokoh persilatan golongan putih akan memburumu, menuntut tanggung jawabmu atas kematian Kakek Jubah Hitam. Kau bukan cuma akan kehilangan kebahagiaan, Sagotra, tapi hidupmu pun akan hancur! Pikirkanlah, betapa sempitnya dunia ini jika apa yang kukatakan itu benar-benar terjadi..."
Sagotra terpaksa memutar tubuh, menghadapi Harimau Gila. Apa yang dikatakan Harimau Gila, memang harus diakui kebenarannya. Ngeri hatinya membayangkan kehidupan seperti yang digambarkan Harimau Gila. Terlebih bayangan tentang anak dan istrinya, yang akan berbalik memusuhinya. Bayangan hari-hari mengerikan itu, membuat wajahnya menjadi pucat!
"Tapi, jika kau bersedia membantuku lagi, kehidupan yang mengerikan itu tidak akan pernah terjadi..." Harimau Gila melanjutkan ucapannya, sewaktu melihat Sagotra mulai terpengaruh.
Tidak terdengar tanggapan dari Sagotra. Lelaki tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun ini tampak menggeleng perlahan, disertai helaan napas berat yang berkepanjangan. Kedudukannya memang serba salah. Menuruti kehendak Harimau Gila, berarti mengingkari janji pada dirinya sendiri.
Dirinya telah bertekad meninggalkan kesesatan untuk selama-lamanya. Namun, jika ia menolak, bayangan hari-hari mengerikan yang digambarkan Harimau Gila, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Karena rahasia masa lalunya diketahui Harimau Gila. Sehingga Sagotra menjadi bingung tak tahu harus memilih yang mana.
"Mengapa kau sampai hati melakukan semua ini terhadap diriku, Harimau Gila? Bukankah aku tak pernah mengganggu ataupun menyakitimu? Bahkan sampai saat ini pun aku masih tetap mengganggapmu sebagai seorang sahabat baik..." Ucapan lemah Sagotra terdengar memecah kesunyian di antara mereka. Dalam ucapannya tergambar jelas nada keputusasaan.
"Hmmm, mengapa kau menjadi cengeng, Sagotra?" ejek Harimau Gila. Hatinya sama sekali tak tersentuh melihat wajah Sagotra yang terselimut kedukaan. "Padahal aku sama sekali belum melakukan apa-apa terhadapmu? Kebahagiaanmu masih utuh. Istri dan anakmu masih tetap mendampingimu dan menyayangimu. Dan aku cuma meminta sedikit bantuan darimu! Itu saja, tidak lebih!"
"Tapi bantuan yang kau inginkan itu membuat diriku kembali terseret ke dalam lumpur kenistaan!" tukas Sagotra menggeram marah. Tubuhnya gemetar dengan mata melotot. Dadanya bergelombang menahan amarah.
Harimau Gila mendengus kasar. Kakinya melangkah mundur sewaktu melihat sikap Sagotra seperti hendak menerkam tubuhnya. Namun, Sagotra sendiri sudah mengurungkan niatnya. Munculnya empat sosok tubuh dari kiri-kanan dan langsung mengapit tubuh Harimau Gila, membuat Sagotra sadar kalau dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Bagaimana, Sagotra?" desak Harimau Gila menuntut jawaban Sagotra. Sagotra berdiri me- matung. Ia tidak menjawab, tidak menggeleng ataupun mengangguk. Namun sikap itu dianggap Harimau Gila sebagai sikap menerima. Maka bibir lelaki pendek gemuk ini pun mengulas senyum kemenangan. "Siapa tokoh yang menjadi musuhmu kali ini...?" tanya Sagotra sekadar ingin tahu.
"Pendekar Clurit Perak. Ia sudah terlalu banyak menewaskan golongan kita. Orang seperti tokoh itu harus segera dilenyapkan...!" sahut Harimau Gila, membuat Sagotra kelihatan agak kaget.
"Pendekar Clurit Perak...!?" desisnya dengan kening berkerut Namun, sewaktu Sagotra mengangkat kepala, Harimau Gila dan keempat kawannya sudah melesat meninggalkan tempat itu. Pikirannya menerawang, terkenang pada awal kemunculan Harimau Gila, yang mengusik kebahagiaannya.
********************
Seperti biasanya, setiap pagi Sagotra duduk di taman belakang rumahnya. Namun pada pagi itu ketenangannya terusik oleh suara bergegas yang mendatanginya. Dia yang sudah siap mendamprat pemilik langkah suara itu, terpaksa harus menelan kembali kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Karena pemilik suara langkah kaki itu ternyata putrinya sendiri. Karuan saja wajah masam Sagotra berganti senyum.
"Ayah..." Andari, putri tunggal Sagotra, berlari-lari kecil mendatangi. Gadis belia berusia sekitar enam belas tahun ini tampak begitu riang.
"Ada apa, Andari...?" tanya Sagotra tersenyum membiarkan Andari menggayuti tubuhnya. Gadis remaja nan cantik rupawan ini memang sangat manja. Sagotra sendiri memakluminya. Karena ia memang sangat sayang dan memanjakan putri tunggalnya itu.
"Di luar ada tamu, yang katanya sahabat lama Ayah," jawab Andari dengan tubuh terus bergerak-gerak membuat tubuh ayahnya yang duduk di atas kursi ikut terguncang. "Tapi aku tidak begitu suka melihatnya, Ayah. Apalagi caranya memandangiku. Seperti harimau kelaparan!" lanjutnya sambil memonyongkan mulut, memperlihatkan ketidak-sukaannya.
"Sahabat lama Ayah...?!" desis Sagotra agak heran. Karena selama belasan tahun ia tidak lagi berhubungan dengan dunia luar, selain warga desa yang dipimpinnya. Sagotra adalah Kepala Desa Kranggan. Datangnya tamu yang mengaku sebagai sahabat lamanya, membuat kening Sagotra berkerut. "Apakah orang itu tidak menyebutkan namanya...?" tanyanya.
"Tidak, Ayah. Cuma, orang itu bilang kalau Ayah pasti akan segera tahu apabila melihatnya..."
"Hm...," Sagotra menggumam perlahan. Kemudian bangkit dan melangkah menuju ruang tamu. Sedang Andari menggantikan duduk memandangi tanaman bunga kesukaannya yang sedang bermekaran.
Tiba di ruang tamu, Sagotra mendapati seorang lelaki pendek gemuk yang pada pipi sebelah kirinya terdapat luka memanjang. Sehingga sudut bibir sebelah kirinya agak menjungkat. "Memang tidak salah penilaian Andari," pikirnya. Wajah tamu itu membuat orang merasa kurang suka. Terlebih sepasang matanya yang selalu jelalatan dan menyembunyikan kelicikan.
"Harimau Gila...?!" terka Sagotra setelah memperhatikan tamunya beberapa saat. Kerutan keheranan pada wajahnya mendadak lenyap, berganti dengan kekagetan, yang kemudian segera ditekannya.
"Kaget melihatku, Sagotra...?" tegur suara serak lelaki pendek gemuk itu. Mulutnya tersenyum tipis. Rupanya gambaran kekagetan yang hanya sekilas di wajah Sagotra dapat ditangkapnya.
Begitu mengenali siapa tamunya, ingatan Sagotra langsung menerawang ke masa belasan tahun silam. Waktu itu Harimau Gila memang merupakan sahabatnya yang cukup dekat. Bahkan pernah dirinya beberapa kali membantu Harimau Gila, yang merupakan kepala rampok dengan pengikut yang cukup banyak.
Sagotra sendiri bukan orang baik-baik. Dia merupakan seorang tokoh sesat tunggal, yang malang melintang mengandalkan kepandaiannya. Tidak memiliki pengikut seorang pun, karena memang lebih suka bekerja sendiri. Sagotra paling tidak suka terikat oleh siapa pun atau perkumpulan sesat apa pun.
Namun tetap tidak menutup kemungkinan apabila ada rekan segolongan yang meminta bantuannya. Tentu dengan imbalan yang diajukannya. Harimau Gila selalu menghubunginya apabila mangsa yang diincar memiliki pengawalan yang kuat. Dan dengan perjanjian membagi dua hasil rampokan, Sagotra pun sesekali bergabung. Setelah itu pergi dengan membawa harta rampokan yang menjadi bagiannya.
Itulah yang membuat Sagotra mengenal Harimau Gila cukup dekat. Harimau Gila sendiri sangat menyanjung dan memandang tinggi terhadap Sagotra. Bahkan menganggap sebagai pelindungnya, kendati Sagotra sendiri tak menghendaki pengakuan itu. Namun ia tetap datang jika Harimau Gila membutuhkannya untuk melakukan pekerjaan besar.
"Kau sengaja mencariku...?" tanya Sagotra, setelah mempersilakan Harimau Gila duduk.
"Benar, Sagotra," jawab lelaki gemuk itu masih tersenyum dan tetap memperlihatkan rasa segannya. "Kau menghilang begitu saja, membuat aku sempat kalang-kabut, tak tahu ke mana harus menghubungimu. Tidak adanya kau di antara kami, membuat pekerjaanku berantakan! Sekitar sebelas tahun silam, ada iring-iringan kereta barang, yang dikawal jago-jago silat tangguh. Karena tidak berhasil menghubungimu, aku dan kawan-kawan nekat untuk tetap melakukannya. tapi, siapa sangka kalau orang-orang yang mengawal iring-iringan kereta barang itu rata-rata berkepandaian tinggi. Hingga, bukan saja kami menemui kegagalan, bahkan separo pengikutku terpaksa harus menerima kematian di tangan mereka!"
Harimau Gila menghentikan ceritanya, menunggu tanggapan dari Sagotra. Namun Sagotra terlihat tetap tenang, tidak menunjukkan perasaan apa pun! Sikap ini membuat wajah Harimau Gila berkerut.
"Belakangan baru kami tahu, dan ini membuat kami menyesal telah berlaku ceroboh! Karena iring-iringan kereta yang kami rampok itu ternyata milik seorang pembesar kerajaan! Orangku, yang bertugas sebagai penyelidik, tidak lengkap dalam memberikan keterangan. Pembesar kerajaan itu murka, lalu mengirimkan dua lusin pasukan terlatih. Tempat persembunyian kami di obrak-abrik! Menyadari kalau pihakku akan kalah, maka aku pun mengambil keputusan untuk lari menyelamatkan diri. Sebagai orang buronan, aku pun tidak bisa tinggal di satu tempat lama-lama. Maka, aku melakukan pengembaraan tanpa tujuan, yang sekaligus menghindari kejaran mereka. Baru setelah kurang lebih lima tahun hidup sebagai pelarian, aku mulai dilupakan. Teringat akan dirimu, aku pun tidak menghentikan perjalanan. Tapi bukan lagi sebagai orang buronan, melainkan untuk mencari tahu tentang dirimu, mengapa kau mendadak lenyap tanpa berita? Sampai akhirnya aku tiba di desa ini, dan mendengar bahwa kepala desanya bernama Sagotra."
"Apakah cuma aku seorang yang bernama Sagotra di dunia ini?" potong Sagotra tak sabar. Karena ia memang tidak tertarik dengan cerita Harimau Gila.
"Sebelum datang ke rumah ini, aku sudah banyak bertanya kepada penduduk tentang gambaran kepala desanya. Baru kemudian aku merasa pasti kalau Sagotra Kepala Desa Kranggan adalah Sagotra sahabatku!" jelas Harimau Gila, kemudian memperdengarkan suara tawa sebagai pelampiasan kegembiraan hatinya, karena kembali bertemu orang yang dulu dianggap sebagai pelindungnya itu.
"Hm..., lalu, apa maksudmu datang menemuiku? apakah cuma sekadar ingin berjumpa dengan kawan lama, atau kau mempunyai kepentingan lain...?" tanya Sagotra tanpa senyum sedikit pun, membuat Harimau Gila menghentikan tawanya. "Perlu kau ketahui, Harimau Gila, bahwa Sagotra yang sekarang tidak sama dengan Sagotra yang dulu. Sudah kurang lebih sebelas tahun aku meninggalkan semua yang pernah kuperbuat. Aku tidak lagi berhubungan dengan kekerasan. Di desa ini dan di samping anak-istriku, kudapatkan ketenangan. Jadi, kalau kedatanganmu mempunyai maksud seperti dulu, sebaiknya lupakan saja! Tapi, selama kau datang dengan maksud baik, pintuku selalu terbuka untukmu. Kau mengerti maksudku, Harimau Gila...?"
Harimau Gila tidak menjawab. Meski pandang matanya tertuju ke wajah Sagotra, namun kosong. Karena ia merasa kaget mendengar penjelasan Sagotra.
"Dengan sikap yang kau ambil itu, tidakkah merasa bahwa dirimu telah berkhianat...?" tanya Harimau Gila setelah dapat menguasai perasaannya. Dan sikapnya berubah seketika. Tidak lagi ada nada hormat dalan ucapannya. Namun Sagotra tidak peduli dengan perubahan itu.
"Berkhianat...?!" desis Sagotra menegaskan, khawatir salah mendengar ucapan tamunya. "Terhadap siapa aku berkhianat? Kau tahu sendiri kalau selamanya aku tak pernah terlibat oleh orang atau komplotan apa pun!"
"Tapi, biar bagaimanapun kau tetap merupakan tokoh golongan sesat! Dan dengan menarik diri dari dunia sesat, berarti kau telah berkhianat, pada golonganmu, golongan kita!" ujar Harimau Gila, jelas-jelas menunjukkan ketidak senangannya atas sikap Sagotra.
"Lalu, siapa yang akan menuntutku...?" tanya Sagotra tersenyum sinis, tahu kalau Harimau Gila cuma mencari-cari alasan.
"Aku yang akan menuntutmu, juga tokoh-tokoh golongan sesat lainnya!" tukas Harimau Gila, menakut-nakuti Sagotra dengan maksud agar bekas pelindungnya itu kembali merubah sikap.
"Hm..., kalau memang begitu, apa boleh buat..."
Jengkel bukan main Harimau Gila mendengar ucapan Sagotra, yang sama artinya dengan menantang dirinya. Namun, ia pun bukan orang bodoh, dia sadar bahwa kepandaiannya berada jauh di bawah Sagotra.
"Hm...." Tiba-tiba wajah keruh Harimau Gila kembali cerah. Senyum liciknya terukir, membuat Sagotra agak heran. "Ada sesuatu yang lupa kuceritakan kepadamu, sewaktu aku masih seorang buronan, Sagotra...," lanjutnya berteka-teki.
Kepala desa itu menanggapi. Dirinya tahu Harimau Gila tidak senang dengan sikap yang diambilnya. Bahkan tahu kalau bekas kepala rampok itu tengah mencari-cari alasan yang mungkin akan bisa merubah pendiriannya.
"Waktu itu, aku baru saja lari menyelamatkan diri meninggalkan tempat dan pengikutku yang dihancurkan prajurit kerajaan. Aku berlari tanpa tujuan. Sampai akhirnya tiba di kaki Gunung Dampit, yang merupakan dua buah pegunungan berhimpit satu sama lain..."
Harimau Gila menghentikan ceritanya, hendak melihat tanggapan Sagotra. Namun, lelaki tinggi agak kurus itu masih tetap membisu, kendati ada sedikit kerutan di keningnya. Dan itu sudah cukup menim- bulkan senyum dingin di bibir Harimau Gila.
"Tidak disangka, aku tiba bertepatan dengan serombongan orang, yang hendak menuju ke suatu tempat. Kau tahu siapa rombongan itu, Sagotra...?" tanya Harimau Gila menyunggingkan senyum misterius.
"Aku bukan saja tidak tahu siapa rombongan itu, Harimau Gila. Tapi aku juga tidak mengerti apa sebenarnya yang tengah kau ceritakan ini...?" jawab Sagotra tetap tenang.
Lagi-lagi Harimau Gila menanggapi dengan senyum. Karena sempat melihat kilatan aneh pada mata Sagotra. Ia tahu kalau Sagotra mulai dapat menebak ceritanya. Namun berusaha disembunyikan dan tetap menunjukkan sikap tenang.
"Sebagai seorang kepala rampok, tentu saja aku tahu dan kenal perampok-perampok di hampir separo negeri ini. Jelasnya, rombongan itu adalah para perampok dari Hutan Pagar Jurang! Dan Ki Tambak Raja, pimpinan mereka merupakan salah seorang kenalan lamaku. Sewaktu kutanya apa tujuan mereka datang ke kaki Gunung Dampit, Ki Tambak Raja memberikan jawaban yang sangat jelas!"
Harimau Gila kembali menghentikan ceritanya. Matanya tak lepas dari wajah Sagotra. Kali ini Sagotra tak dapat lagi menguasai dirinya. Dengan wajah agak memucat, dia bangkit dari kursinya. Sepasang matanya membelalak lebar. Deru napasnya memburu. Menandakan ketegangan dan kegelisahan hatinya. Sepasang tangannya sudah terulur, hendak menjambret leher Harimau Gila.
Namun lelaki pendek gemuk itu, yang memang sejak tadi sudah waspada, bergegas melompat mundur, menghindari cengkeraman Sagotra. Kursi yang didudukinya terlempar, menimbulkan suara ribut! Tubuh Harimau Gila sudah berada di ambang pintu, terpisah satu tombak lebih dari tempat Sagotra berdiri.
"Rahasiamu ada di tanganku, Sagotra! Dan itu berarti mulai saat ini kau harus menuruti kehendakku. Jika tidak, akan kubongkar semua kebusukanmu! Kebahagiaan yang selama belasan tahun kau rasakan, dapat kuhancurkan hanya dalam beberapa kalimat saja...!" ujar Harimau Gila tertawa penuh kemenangan.
"Keparat, jangan lari kau, Manusia Busuk!" bentak Sagotra kalap. Kemudian menggenjot tubuhnya, melesat mengejar Harimau Gila yang sudah melarikan diri, meninggalkan rumah besar itu. "Tangkap! Jangan biarkan manusia jahat itu lolos...!"
Teriakan Sagotra membuat empat orang pengawalnya bergegas menghadang di tengah pintu gerbang. Heran juga mereka sewaktu melihat orang yang mereka kenali sebagai tamu dan sahabat kepala desa mereka, tengah berlari dengan kecepatan tinggi. Bahkan dikejar-kejar Ki Lurah Sagotra!
"Minggir kalian...!" seru Harimau Gila, yang sambil berlari melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dua dari empat penjaga tempat tinggal kepala desa itu terjungkal muntah darah! Keduanya meregang lalu tewas seketika dengan mata mendelik!
"Pembunuh keji, serahkan dirimu...!" teriak salah satu penjaga, yang langsung saja menusukkan mata tombaknya ke tubuh Harimau Gila. Hal serupa juga dilakukan kawannya.
Namun, dengan sebuah pekikan keras, tubuh Harimau Gila melenting berputar ke udara. Sewaktu meluncur turun di belakang kedua penyerangnya, kedua tangannya melancarkan hantaman ke arah punggung, dan telak mengenai sasarannya. Akibatnya, dua penjaga yang tersisa itu, terlempar ke depan, memuntahkan darah segar. Keduanya langsung tewas dengan tulang punggung remuk!
Kaget juga Sagotra melihat kepandaian Harimau Gila. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau ilmu silat bekas kepala rampok itu telah berkembang pesat. Namun, hatinya sama sekali tidak gentar, terus melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak, menyuruh Harimau Gila berhenti.
Tentu saja lelaki gemuk pendek yang otaknya masih waras itu, tidak mau berhenti. Malah semakin menambah kecepatannya. Hingga, mereka saling berkejaran, melintasi jalan utama Desa Kranggan.
Teriakan-teriakan Ki Lurah Sagotra, membuat belasan orang keamanan desa ikut melakukan pengejaran. Namun, mereka tertinggal beberapa tombak, dan semakin lama semakin jauh tertinggal. Kendati demikian mereka tetap tidak berhenti, terus mengejar!
********************
DUA
Di dekat sebuah hutan kecil, yang terletak di luar batas wilayah Desa Kranggan, Harimau Gila tampak menghentikan larinya. Kemudian berbalik, seperti sengaja menunggu kedatangan Sagotra yang mengejarnya.
Sagotra yang saat itu sudah tinggal dua tombak di belakang buruannya, mengerutkan kening melihat sikap Harimau Gila. Namun kemarahan yang bagai menghanguskan dadanya, membuat Sagotra tidak mau ambil pusing. Tubuhnya tetap meluncur, bahkan ia langsung melancarkan pukulan lurus ke depan, mengarah dada Harimau Gila.
Whuttt...!
Kepalan Sagotra menerpa angin kosong. Karena Harimau Gila sudah menggeser tubuhnya ke samping. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kilat, mengancam lambung lawannya.
Plakkk!
Kibasan tangan Sagotra membentur kaki Harimau Gila, membuat tendangan itu terpental balik. Dan tubuh Harimau Gila sendiri sampai berputar, saking kerasnya tenaga kibasan itu. Wajah lelaki pendek gemuk ini terlihat menyeringai. Karena kakinya bagaikan membentur sebatang besi!
"Tamat riwayatmu, Manusia Berhati Busuk!" geram Sagotra menyusuli tangkisannya dengan sebuah bacokan sisi telapak tangan miring ke leher Harimau Gila. Dan sewaktu lelaki gemuk pendek itu merendahkan tubuh mengelak, Sagotra segera menyusul lagi dengan gedoran telapak tangan ke dada lawannya.
Desss...!
"Hukkhhh..!" Tanpa ampun lagi, gedoran telak itu membuat tubuh Harimau Gila terjengkang keras! Selebar wajahnya memerah, menahan rasa sesak. Dari sudut bibirnya tampak cairan merah merembes turun.
Keadaan lawan sama sekali tidak membuat Sagotra berhenti. Tampaknya ia benar-benar hendak menghabisi nyawa Harimau Gila. Serangan berikutnya meluncur cepat sekali. Menilik dari sambaran angin pukulannya, dapat diketahui kalau Sagotra telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan yang dimaksudkan sebagai pamungkas itu.
Sewaktu pukulan Sagotra tinggal setengah tombak lagi dari tubuh Harimau Gila, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan teras dari kanan-kirinya. Disusul dengan bermunculannya empat sosok bayangan, yang langsung melontarkan serangan ke arahnya. Sagotra terpaksa harus menunda serangannya, dan melompat mundur. Karena keempat sosok bayangan itu menggunakan senjata. Selain itu, dari suara sambaran anginnya, Sagotra dapat mengetahui bahwa tenaga keempat penyerang itu rata-rata cukup kuat. Dan ia pun tidak ingin bertindak ceroboh.
Melihat Sagotra sudah melompat mundur, keempat sosok bayangan itu tidak melanjutkan serangannya. Mereka bergerak menghampiri Harimau Gila. Lalu berdiri mengapit lelaki pendek gemuk itu dari kiri-kanan. Siap melindungi Harimau Gila apabila Sagotra masih melanjutkan serangannya.
"Hm..., rupanya semua ini sudah kau atur sedemikian rupa, Harimau Gila?" desis Sagotra geram sewaktu mendapat kenyataan bahwa keempat sosok bayangan itu ternyata kawan-kawan Harimau Gila. Sekarang baru ia mengerti, mengapa Harimau Gila tidak terus berusaha lolos dari kejarannya. Malah sengaja berhenti dan menunggu kedatangannya. Rupanya Harimau Gila sudah mempersiapkan kawan-kawannya yang baru akan muncul apabila dirinya terancam.
"Bagus kalau kau sudah mengetahuinya, Sagotra," tukas Harimau Gila. Meski wajahnya terlihat masih seperti orang menahan sakit, namun dia berusaha menyunggingkan senyum sinis. "Terus terang kukatakan, saat ini aku membutuhkan bantuanmu. Dan kau tulak mempunyai pilihan kecuali menerimanya. Kalau tidak, akan kuhancurkan kebahagiaanmu dengan membeberkan kebusukanmu di depan keluargamu!"
Ancaman Harimau Gila membuat Sagotra menggereng keras. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat! Kelihatan sekali kalau saat itu tengah terjadi peperangan di dalam hatinya. Beberapa saat kemudian, sewaktu Sagotra hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang banyak mendatangi tempat itu. Sagotra menoleh sekilas ke belakang. Dia menunda ucapannya begitu melihat ke- munculan belasan orang keamanan desa, yang juga merupakan pengawal-pengawalnya.
"Ki Lurah?! Kau tidak apa-apa...?!" tanya salah seorang yang merupakan kepala keamanan desa, menghampiri Sagotra. Sagotra cuma mengangguk sedikit sebagai jawaban atas pertanyaan bernada cemas itu. Sedang pandangan matanya tetap tertuju lurus ke arah Harimau Gila dan empat orang kawannya.
"Hm..., sebaiknya kau cepat-cepat perintahkan orang-orangmu agar kembali ke desa, Sagotra! Atau kau menghendaki agar aku mem..."
"Cukup! Tutup mulutmu, Harimau Gila!" Sagotra langsung memotong ucapan Harimau Gila. Karena ia tahu apa kelanjutan ucapan itu.
Harimau Gila sama sekali tidak tersinggung. Bahkan terdengar suara kekehnya berkepanjangan.
"Kalian kembalilah! Tidak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri. Selain itu, mereka pun tidak bermaksud mencelakakan aku...," ujar Sagotra kepada kepala keamanan desa, agar membawa yang lainnya meninggalkan tempat itu. "Cepatlah!" lanjut Sagotra setengah membentak, karena melihat kepala keamanan desa itu masih berdiri ditempatnya.
"Baik... baik, Ki...," sahut lelaki, yang merupakan tangan kanan kepala desa itu. Meski terlihat masih ragu, akhirnya dia menuruti juga perintah Sagotra.
"Bagaimana, Sagotra? Kau bersedia memenuhi permintaanku...?" tanya Harimau Gila setengah mendesak, setelah belasan keamanan desa sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya.
"Apa yang kau kehendaki dariku, Harimau Gila...?" geram Sagotra, terpaksa mengalah. Karena dirinya tak ingin kehilangan kebahagiaan yang telah dibinanya selama belasan tahun.
"He he he..., seperti pada belasan tahun silam yang sering kita lakukan, Sagotra...," sahut Harimau Gila.
"Tidak perlu bertele-tele, katakan saja apa mau mu?" sergah Sagotra tak sabar, karena tak men- dengar jawaban itu.
"Aku mempunyai seorang musuh yang sangat tangguh dan membuat pekerjaanku menjadi sulit. Aku memerlukan bantuanmu untuk melenyapkan penyakit itu. Sekarang, marilah kau ikut dengan kami...!"
"Tunggu, Harimau Gila...!" seru Sagotra mencegah langkah Harimau Gila dan kawan-kawannya, yang berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
Harimau Gila menunda langkahnya, berbalik menatap wajah Sagotra lekat-lekat. "Aku bersedia membantumu. Tapi hanya untuk sekali ini saja! Setelah itu, aku tak ingin melihat wajah busukmu muncul di Desa Kranggan lagi..."
"Baik. Aku berjanji, hanya sekali ini saja meminta bantuanmu. Setelah itu, aku akan pergi dari kehidupanmu untuk selama-lamanya," sahut Harimau Gila tanpa perlu berpikir lagi. Lelaki gemuk itu kembali memutar tubuh dan melangkah pergi, setelah memberikan isyarat kepada Sagotra untuk mengikutinya.
"Ke mana? Dan apa yang akan kita kerjakan...?!" seru Sagotra yang belum tahu jelas maksud dan tujuan Harimau Gila.
Namun Harimau Gila dan keempat kawannya tidak lagi mempedulikan. Mereka sudah melesat pergi mempergunakan ilmu lari meninggalkan tempat itu. Sagotra termenung sesaat, tapi akhirnya mengayun langkah, berlari mengikuti mereka.
********************
"Inilah tempat yang kita tuju...," jelas Harimau Gila, setelah tiba di depan sebuah bangunan yang cukup besar. Sebelum Sagotra sempat berkata sesuatu, ia sudah melangkah dan memukul hancur pintu gerbang bangunan yang tertutup rapat itu.
"Harimau Gila...?! Bukankah bangunan ini...," ucap Sagotra yang berpada kaget dan heran terhenti. Hatinya kaget, melihat Harimau Gila tengah memukul tewas dua orang lelaki berpakaian tukang kebun, yang berteriak dan datang menghadang. Perbuatan Harimau Gila membuat selebar wajah Sagotra menjadi pucat! Terlebih ketika seorang pelayan wanita muncul dari dalam bangunan, lalu kembali berlari masuk sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Ada pembunuh... ada pembunuh...!"
"Celaka! Kau benar-benar sinting, Harimau Gila! Kalau sejak mula kutahu musuhmu adalah majikan tempat ini, tentu aku tidak sudi untuk membantumu!" geram Sagotra yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah tindakan kejam Harimau Gila terhadap dua orang tukang kebun itu.
"Bagus...! Jadi kau tahu siapa pemilik rumah besar ini...," desis Harimau Gila, tak peduli dengan kecemasan yang diperlihatkan Sagotra.
"Tentu saja aku tahu. Ia adalah..."
"Hm..., siapa yang berani mengacau di tempat ini...?" Suara parau dan berat serta mengandung getaran perbawa kuat itu, membuat ucapan Sagotra terhenti. Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, yang tubuhnya terbungkus jubah panjang berwarna hitam, tampak berdiri di ambang pintu dengan kaki terpentang. Sorot matanya yang tajam menyapu wajah lima orang tamu yang tak diundangnya itu.
"Kakek Jubah Hitam...?!" desis Sagotra mengenali sosok lelaki tua itu. Pandangan kakek itu yang juga sudah menyapu wajahnya, membuat Sagotra sadar kalau ia tidak mungkin mundur lagi. Karena ia berada di antara orang-orang yang telah membunuh dua orang tukang kebun Kakek Jubah Hitam.
Kakek Jubah Hitam memang merupakan satu dari sekian banyak tokoh berilmu tinggi yang memiliki watak aneh. Usia tua membuat ia menghentikan petualangannya di rimba persilatan. Kemudian membangun sebuah tempat tinggal, yang letaknya agak terpencil, jauh dari pedesaan. Kakek Jubah Hitam tidak memelihara seorang murid pun. Ia hanya memelihara beberapa orang pembantu laki-laki dan pelayan perempuan, yang usianya tidak muda lagi, untuk melayani segala keperluannya. Namun, meski telah menjalani hidup layaknya seorang hartawan, ia tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai penentang segala bentuk kejahatan.
Sikap ini yang membuat Harimau Gila mendendam kepadanya. Tindak kejahatan yang dilakukan Harimau Gila telah digagalkannya, sewaktu hendak menjarah sebuah desa, yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Demikian pula dengan beberapa perampokan yang terjadi di desa-desa sekitar tempat tinggal tokoh tua itu. Begitu mendengar, Kakek Jubah Hitam langsung bertindak, menghajar mereka. Namun, kakek ini tidak membunuh, hanya memberikan hajaran, berharap agar para penjahat sadar dari kesesatannya.
Siapa sangka Harimau Gila dan para perampok yang pernah dihajarnya malah bergabung untuk membalas dendam. Sampai akhirnya Harimau Gila teringat kepada Sagotra dan meminta bantuan. Karena kepandaian Kakek Jubah Hitam tidak dapat ditandinginya, meski dengan mengandalkan keroyokan. Ketika melihat Kakek Jubah Hitam telah muncul, Harimau Gila langsung saja bergerak menghampiri.
"Kami datang untuk menuntut balas kepadamu, Kakek Bau Tanah! Dan kali ini kami yakin akan berhasil membunuhmu. Karena kami membawa seorang jago sebagai tandinganmu," ujar Harimau Gila, yang kemudian berpaling ke arah Sagotra. "Inilah jago kami. belasan tahun silam sepak terjangnya sudah terkenal di kalangan persilatan. Sampai ia mendapat julukan Setan Pantai Timur! Kau tentu pernah mendengar namanya, bukan?" lanjut Harimau Gila yang kemudian memperdengarkan suara kekeh berkepanjangan.
"Setan Pantai Timur...?!" desis Kakek Jubah Hitam, mengulang nama julukan Sagotra yang memang terkenal pada belasan tahun silam. "Ya, aku memang pernah mendengarnya. Hm..., rupanya setelah sekian lama menghilang, kini kau muncul lagi untuk melanjutkan kesesatan?" lanjutnya sambil menatap wajah Sagotra lekat-Iekat.
Sagotra hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan wajah penuh sesal. Ia tidak berusaha membantah. Karena ucapan Harimau Gila yang memunculkan kembali nama yang telah lama dilupakannya, sudah pasti tidak akan merubah pandangan Kakek Jubah Hitam terhadapnya, apa pun yang dikatakannya! Terlebih Harimau Gila dan empat orang kawannya sudah mencabut senjata, dan mengeroyok kakek itu. Sagotra pun terpaksa ikut maju mengeroyok, karena Harimau Gila berteriak-teriak memintanya untuk terjun ke arena.
Majunya Sagotra membuat kedudukan berubah seketika. Kalau semula Kakek Jubah Hitam masih dapat membuat Harimau Gila dan empat kawannya kewalahan, kini justru ia yang menjadi kelabakan! Lontaran serangan Sagotra yang menimbulkan sambaran angin tajam, membuat Kakek Jubah Hitam terpaksa harus lebih banyak berkelit dan bermain mundur. Sehingga kian lama kedudukannya kian terdesak! Desakan-desakan yang terutama dilakukan Sagotra, membuat Kakek Jubah Hitam menjadi geram! Hingga, sewaktu dua pukulan beruntun Sagotra datang mengancam tubuhnya, kakek ini terpaksa berlaku nekat, memapaki serangan itu.
Plakk, plakkk!
Kedua pasang lengan yang sama-sama berisi tenaga dalam kuat saling berbenturan keras, membuat keduanya terjajar mundur sampai sejauh satu setengah tombak. Hal itu menandakan bahwa kemampuan tenaga dalam Kakek Jubah Hitam dan Setan Pantai Timur berimbang.
Harimau Gila dan keempat kawannya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Selagi tubuh Kakek Jubah Hitam terjajar mundur, kelimanya langsung membabatkan senjata masing-masing ke tubuh kakek itu.
Brettt! Capp!
"Aaakkhh...!"
Dua di antara lima sambaran senjata itu tidak dapat lagi dielakkan Kakek Jubah Hitam. Tubuhnya kembali terhuyung mundur. Pada dada kirinya terdapat luka memanjang, yang merupakan sayatan ujung pedang Harimau Gila. Masih ditambah dengan luka di lambungnya yang mengalirkan banyak darah. Karena luka pada bagian ini cukup dalam, membuat kedua kaki Kakek Jubah Hitam agak gemetar, sewaktu dapat menguasai kuda-kudanya.
Melihat Kakek Jubah Hitam sudah terluka, dan terlihat agak lemah, Harimau Gila kembali memekik keras. Tubuhnya melesat disertai tebasan pedang dari atas kebawah.
Bweettt!
Meski agak payah, Kakek Jubah Hitam masih sempat menyeret tubuhnya ke samping. Hingga bacokan pedang Harimau Gila, yang nyaris membelah tubuhnya, dapat dihindarkan. Namun, dua serangan yang datang kemudian dari kawan-kawan Harimau Gila, tak dapat lagi dielakkannya. Karuan saja tubuh renta ini melintir disertai percikan darah dari luka yang kembali merobek tubuhnya.
"Habisi...!" Harimau Gila kembali membentak. Pedang di tangannya terayun deras ke tubuh yang tengah melintir itu.
Crakkk...!
Kakek Jubah Hitam tidak sempat berteriak lagi. Sambaran pedang lawan membuat kepalanya terpisah dari badan, jatuh menggelinding di atas tanah. Sedang tubuhnya yang tanpa kepala, masih bergoyang-goyang beberapa saat, dengan semburan darah segar dari leher yang terpenggal. Kemudian ambruk dan berkelojotan sesaat. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Kematian Kakek Jubah Hitam membuat Harimau Gila tertawa terbahak-bahak bersama empat orang kawannya. Kemudian kelimanya pergi meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan Sagotra, yang masih berdiri mematung, memandangi mayat Kakek Jubah Hitam.
********************
TIGA
"Hhuuff...!"
Hembusan angin malam yang semakin dingin, nenyadarkan Sagotra dari lamunannya. Sesaat ia menengadahkan kepalanya disertai hembusan napas panjang. Kematian Kakek Jubah Hitam membuatnya nenyesal berkepanjangan. Belum lagi hilang bayangan mayat yang terpisah dari kepalanya itu, Harimau Gila telah muncul lagi dan mengancamnya.
"Hhh..., seharusnya aku tahu kalau janji orang seperti Harimau Gila tidak dapat dipercaya...!" desis Sagotra masih menyesali perbuatannya. Meski yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah Harimau Gila, namun secara tidak langsung dialah yang jadi penyebabnya. Sebab, tanpa bantuannya belum tentu kakek itu sampai dapat terbunuh.
Dalam balutan rasa sesal, Sagotra mengayun langkahnya meninggalkan tempat itu. Dirinya sudah mengambil keputusan untuk tidak mengulangi perbuatan seperti itu. Apa pun yang bakal terjadi, Sagotra tak lagi peduli. Biarlah anak dan istrinya mengetahui kebusukan yang pernah dilakukannya di masa lalu. Biarlah orang-orang yang dicintainya itu berbalik membenci dirinya. Mengutuk dan menjauhinya. Baginya itu lebih baik daripada terus tersiksa di bawah ancaman Harimau Gila, yang ia tahu pasti akan terus berkelanjutan.
Sagotra yang melangkah dengan pikiran kalut, sama sekali tidak sadar kalau saat itu malam telah berganti siang. Bahkan ia tidak tahu kalau langkah kakinya telah membawanya meninggalkan Desa Kranggan yang menjadi tempat tinggalnya. Begitu dalam Sagotra terhanyut arus sesal dan kedukaan. Kesadaran itu baru didapatkannya kembali sewaktu kepalanya menengadah disertai tarikan napas panjang.
Pancaran sinar matahari membuat Sagotra lekas-lekas kembali menunduk. Kemudian kembali mengangkat kepala, memperhatikan sekitarnya. Tatkala menyadari dirinya berada di daerah sebuah kaki bukit, keheranan besar tergambar di wajahnya. Membuat ia memutar tubuh, memandang arah dari mana tadi ia datang.
"Sahabat, harap tunggu sebentar...!"
Langkah Sagotra yang hendak kembali ke desanya, tertahan oleh sebuah teguran halus. Namun, sebelum ia sempat mernbalikkan tubuh, tahu-tahu sesosok tubuh melayang lewat di atas kepalanya. Kaget bukan kepalang hati Sagotra menyaksikan kepandaian ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi. Sehingga gerakan sosok itu hampir tidak tertangkap pendengarannya.
"Maaf, kalau aku telah membuat kau terkejut...!" ujar sosok yang telah berdiri tegak di hadapannya. Setelah berkata demikian, sosok yang berupa seorang lelaki setengah baya berdahi lebar ini langsung mengulur tangannya dengan jari-jari terkembang ke arah leher Sagotra!
"Hei...?!" Sagotra berseru heran sambil menarik tubuhnya mundur dua langkah ke belakang. Namun, cengkeraman yang luput itu masih terus mengejarnya, membuat Sagotra semakin kaget. Jengkel dengan sikap orang yang tidak sopan itu, Sagotra mengangkat tangan untuk menyambut tangan yang hendak mencengkeram lehernya. Namun lagi-lagi ia dibuat kaget. Karena cengkeraman itu meliuk dengan gerakan cepat bukan main, membuat tangkisannya luput!
"Gila...?!" desis Sagotra memaki dalam kejengkelan yang berubah menjadi kemarahan. Bergegas ia berkelit sambil melepaskan sebuah pukulan jarak jauh ke tubuh lelaki berdahi lebar itu.
Debbb!
Hampir Sagotra tidak bisa menahan jeritan kagetnya. Pukulan yang dilancarkan laksana menghantam sebuah benda kenyal, saat lelaki berdahi lebar itu merubah cengkeramannya menjadi kibasan yang menerbitkan sambaran angin kuat. Tenaga yang saling berbenturan membuat tubuh kepala desa itu terjajar mundur sampai enam langkah.
"Siapa kau? Mengapa datang-datang langsung menyerangku?! Padahal rasanya kita baru sekali ini berjumpa...?" hardik Sagotra begitu mendapatkan kesempatan untuk menumpahkan kejengkelan dan rasa penasaran di hatinya.
Lelaki berdahi lebar, yang wajahnya terhias kumis tebal bercampur uban ini sama sekali tidak menyahut Sebaliknya ia malah menatap wajah Sagotra lekat-lekat. Beberapa kali keningnya terlihat berkerut-kerut seperti tengah berpikir keras, mengingat-ingat wajah Sagotra. Sagotra pun balas menatap dan meneliti wajah serta sosok lelaki itu.
"Kau... tidak salahkah penglihatanku...?! Bukankah kau yang dikenal dengan julukan Pendekar Bayangan Setan...?" desis Sagotra. Dia terkejut bukan main sewaktu mengenali siapa adanya lelaki berkening lebar, yang mengenakan pakaian kedodoran itu.
Sosok orang itu tampak lucu, karena ujung lengan bajunya terlalu panjang, sampai menutupi jari-jari tangannya. Kecuali itu, pakaiannya pun terbuat dari bahan kembang-kembang, yang tidak lumrah bagi laki-laki. Karena yang biasanya menggunakan bahan seperti itu hanyalah orang-orang perempuan! Sehingga, keseluruhan penampilan lelaki berdahi lebar ini terlihat sangat lucu.
"He he he..., bagus kau dapat mengenaliku, Sahabat. Dan rasa-rasanya aku pun pernah melihat rupa seperti rupamu yang jelek dan lucu itu. Sayangnya aku lupa di mana dan kapan pernah melihatmu...?" ujar lelaki berdahi lebar ini membenarkan terkaan Sagotra sambil memiringkan kepalanya ke kiri-kanan, seperti tengah berusaha untuk dapat mengenali Sagotra.
Namun tingkah Pendekar Bayangan Setan yang sesungguhnya sangat lucu itu, sama sekali tidak membuat Sagotra tertawa. Bahkan tersenyum pun tidak. Karena hati Sagotra sudah diliputi ketegangan, begitu mengenali siapa adanya lelaki berpenampilan aneh dan lucu itu. Dan ia tidak berusaha membantu ingatan Pendekar Bayangan Setan. Meski Sagotra sudah dapat mengingat kapan dan di mana pertama kali berjumpa dengan tokoh berpenampilan seperti orang kurang waras itu.
Dalam kalangan rimba persilatan, nama Pendekar Bayangan Setan memang cukup terkenal. Tapi, karena tokoh ini jarang menampakkan diri, nama dan keberadaannya pun tidak terlalu sering dibicarakan orang. Bahkan banyak tokoh tingkat pertengahan yang lupa dengan nama Pendekar Bayangan Setan. Terlebih setelah pendekar bertingkah laku aneh itu tidak muncul-muncul sampai beberapa tahun lamanya. Membuat namanya semakin tenggelam. Kecuali beberapa orang tokoh tua, yang memang menganggap Pendekar Bayangan Setan sebagai tokoh seangkatan.
"Aha, aku ingat sekarang...!" Tiba-tiba saja Pendekar Bayangan Setan berseru mengejutkan, membuat Sagotra sampai terlompat saking kagetnya! Karena tokoh yang oleh sebagian orang dianggap agak sinting ini, seperti tak sengaja, telah mengerahkan tenaga dalam sewaktu berseru.
Sagotra sudah melangkah mundur dengan urat-urat tubuh menegang! Jantungnya berdebar keras, dan merasa tegang menunggu kelanjutan ucapan tokoh setengah sinting itu.
"Ahh..., siiial...!" seru Pendekar Bayangan Setan sembari menelengkan keningnya perlahan, "Baru saja aku ingat, eh, sudah lupa lagi! Haiih..., dasar otakku memang sudah kurang beres...!"
Pengakuan Pendekar Bayangan Setan membuat Sagotra menghembuskan napas panjang tanda kelegaan hatinya. Namun ucapan itu juga membuat sekujur tubuhnya lemas. Sagotra merasa dirinya tak ubahnya seperti sebuah balon yang ditiup sebesar-besarnya, lalu dikempeskan dengan tiba-tiba.
"Aha...!" Lagi-lagi Pendekar Bayangan Setan berseru gembira, "Kau tunggulah sebentar, sahabat yang baik! Aku sudah mulai ingat lagi sedikit-sedikit. Harap kau jangan terlalu banyak bergerak, biar aku lebih mudah untuk mengingat di mana dan kapan pernah melihat rupa jelekmu itu...," lanjutnya yang kemudian bergerak mendekat, lalu mengitari tubuh Sagotra.
"Maaf, aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu, Pendekar Bayangan Setan. Aku harus pergi..." Sagotra yang kembali dibuat tegang oleh ucapan-ucapan Pendekar Bayangan Setan, bergegas melangkah hendak meninggalkannya. Khawatir kalau lama-lama diperhatikan, bisa-bisa tokoh aneh itu akan mengenali dan mengingat siapa dirinya. Maka, sebelum terlambat, Sagotra memutuskan untuk angkat kaki dari tempat itu.
"Hei, kau ini tuli atau sengaja hendak bikin aku marah, hah?" tiba-tiba saja Pendekar Bayangan Setan menghardik marah. Hingga, langkah Sagotra terpaksa tertunda.
"Apa maksudmu, Pendekar Bayangan Setan...?" tanya Sagotra tak mengerti mengapa tokoh agak sinting itu mendadak marah-marah.
"Masih pura-pura bertanya lagi...!" tukas Pendekar Bayangan Setan mengomel. "Tadi sudah kukatakan kalau kau jangan bergerak-gerak, karena aku sedang berusaha mengingat di mana pernah melihat wajah jelekmu. Eh, kau malah bukan cuma bergerak, tapi hendak pergi dari tempat ini! Hm..., kau sengaja ya, hendak membuat aku marah? Senang ya, melihat orang marah-marah?"
"Maaf, Orang Tua, tapi aku benar-benar tidak bisa menemanimu lebih lama..."
"Bisa! Kau bisa menemaniku sampai kapan pun! Karena, kalaupun benar tidak bisa, aku akan memaksamu untuk terus menemaniku. Dan itu sudah merupakan satu keharusan!" tandas Pendekar Bayangan Setan, bersikeras memaksakan kehendaknya.
"Sinting...!" desis Sagotra tak lagi ambil peduli. Kemudian melangkah hendak meninggalkan tempat itu.
"Kurang ajar!" Pendekar Bayangan Setan menghentakkan kakinya ke tanah. Hatinya benar-benar gusar melihat kebandelan Sagotra. Tanpa banyak cakap lagi, tubuh- nya langsung melesat dengan sebuah cengkeraman.
Melihat serangan yang cepat dan kuat itu, Sagotra tidak bisa lagi menahan diri. Dengan menggeser tubuhnya, Sagotra mengelakkan serangar itu. Ke- mudian langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat sebagai balasannya.
"Gerakan yang bagus...!" puji Pendekar Bayangan Setan tertawa-tawa, tidak berusaha menghindari tendangan.
Bukkk!
Telapak kaki Sagotra menghantam telak dada kanan lawannya. Namun bukan main kagetnya ketika merasakan betapa tendangannya bagaikan menghantam sebuah benda kenyal yang membuat tenaganya membalik. Bahkan tubuhnya nyaris terpelanting!
Pendekar Bayangan Setan tertawa geli melihat Sagotra berdiri terheran-heran.
"Tidak kusangka kalau kau memiliki perasaan halus, Sahabat. Aku senang kau tidak tega untuk menyakitiku...," ujar Pendekar Bayangan Setan, yang jelas-jelas sengaja hendak mengejek Sagotra.
Ejekan itu membuat wajah Sagotra seketika merah padam. Terdengar gerengan kemarahannya. "Pendekar Bayangan Setan...," ujar Sagotra masih menahan diri. "Rupanya kau memang sengaja hendak menghinaku! Tapi jangan kau kira aku takut menghadapimu! Kalau kau memang menantangku bertarung, marilah! Akan kuhadapi walau sampai seribu jurus sekalipun!"
"Ck ck ck...," Pendekar Bayangan Setan berdecak-decak sambil menggelengkan kepala, memperlihatkan rasa kagumnya terhadap sikap Sagotra, "Bukan main...! Aku sendiri mungkin tidak akan sanggup melakukan pertarungan sampai seribu jurus, seperti yang kau inginkan itu. Tapi..., tentu saja aku tak menolak tantanganmu" Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh Pendekar Bayangan Setan sudah melesat menerjang Sagotra. Kali ini ia menggunakan sepasang tangannya, melakukan serangkaian serangan yang mendatangkan deruan angin keras!
"Haiiittt!"
Sagotra yang tidak sudi dihina orang, segera membentak nyaring. Disambutnya serangan Pendekar Bayangan Setan, dengan tidak kalah garangnya. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit! Namun tidak sampai tiga puluh jurus, Sagotra sudah dipaksa untuk bermain mundur. Serangan Pendekar Bayangan Setan yang datang bertubi-tubi disertai sambaran angin keras, membuat setiap pukulan yang dilontarkannya selalu terpental balik. Akibatnya, Sagotra terpaksa harus memperkuat pertahanan dirinya. Dan ini membuatnya semakin terdesak!
Degk!
Lewat dari dua puluh jurus Sagotra tak dapat lagi menghalangi gempuran telapak tangan lawan, yang telak bersarang di dadanya. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terjengkang deras. Meski ia masih sanggup mempertahankan kuda-kudanya, namun pada sudut bibirnya terlihat ada cairan merah yang merembes turun.
"Heh heh heh..., gerakanmu memang cukup hebat, Sahabat. Dan aku bisa menduga kalau ilmu yang kau miliki berasal dari golongan sesat. Jurus-jurus seranganmu sangat keji dan tak pantas dilakukan oleh orang gagah." Terdengar ucapan Pendekar Bayangan Setan, yang tidak melanjutkan serangannya. Ia berdiri sambil tertawa-tawa memandang lawannya.
"Apa pedulimu, Pendekar Bayangan Setan! Tanpa sebab kau menyerang dan melukaiku. Padahal di antara kita tidak pernah ada permusuhan...," sahut Sagotra dengan nada geram bercampur penasaran.
"Heh, siapa bilang aku menyerangmu tanpa sebab? Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah bisa menebak kalau kau pastilah bukan orang baik-baik. Sedangkan aku paling benci dengan orang jahat! Terlebih setelah sahabatku Kakek Jubah Hitam, kutemui tewas di tempat kediamannya, membuatku semakin benci kepada orang-orang jahat. Dan aku bersumpah untuk membunuh siapa saja orang yang kutemui. Tentunya yang menurut pikiranku bukan dari kalangan orang baik-baik. Dan kau termasuk di antaranya!" ujar Pendekar Bayangan Setan dengan wajah yang tiba-tiba berubah beringas!
Sepasang matanya bergerak-gerak liar, tanda tokoh ini sedang dalam puncak kegilaannya. Sikap ini memang selalu muncul jika Pendekar Bayangan Setan tengah dilanda kemarahan ataupun kesedihan. Itu memang sudah menjadi cirinya, meski tidak terlalu banyak tokoh yang mengetahui.
Agak kecut juga hati Sagotra ketika mendengar perkataan Pendekar Bayangan Setan. Ia memang sudah tahu kalau tokoh setengah gila yang kini dihadapinya adalah sahabat Kakek Jubah Hitam. Sewaktu masih malang-melintang sebagai Setan Pantai Timur, Sagotra pernah berjumpa dengan kedua orang tokoh itu. Dan ia pun langsung bisa menduga apa maksud kemunculan Pendekar Bayangan Setan di tempat itu.
Dugaannya ternyata tidak meleset. Kemunculan tokoh setengah gila yang jarang terlihat itu, ternyata ada kaitannya dengan kematian Kakek Jubah Hitam. Hanya sama sekali tidak disangkanya kalau kematian Kakek Jubah Hitam membuat Pendekar Bayangan Setan terpukul, hingga bersumpah untuk membuhuh setiap orang yang dianggapnya sebagai tokoh sesat. Ucapan itu membuat Sagotra sadar kalau nyawanya berada dalam ancaman maut!
"Sekarang, sebelum aku mencabut nyawamu, jawablah pertanyaanku," ujar Pendekar Bayangan Sean lagi, "Apakah kau tahu siapa pembunuh sahabat yang juga adik seperguruanku itu?"
Pertanyaan itu membuat Sagotra kaget bukan main. Kini semakin jelaslah baginya, mengapa Pendekar Bayangan Setan sangat terpukul atas kematian Kakek Jubah Hitam. Mau tidak mau, miris juga hati Sagotra mengingat dirinya ikut terlibat dalam pembunuhan itu.
"Mengapa hal itu kau tanyakan kepadaku? Aku cuma orang desa, yang tidak tahu-menahu tentang urusan orang-orang persilatan. Sebaiknya kau tanyakan saja soal itu kepada orang lain," jawab Sagotra, mencoba mengelabui Pendekar Bayangan Setan. Kendati saat itu hatinya semakin tegang, khawatir kalau-kalau tokoh setengah gila itu keburu mengenalinya.
"Heh heh heh..., kau ingin membodohiku, ya? Mataku cukup awas untuk mengetahui sampai di mana tingkat kepandaianmu. Dan menurutku, kau termasuk salah satu orang yang pantas untuk kucurigai. Dan meski kau tidak tahu-menahu tentang kematian saudara seperguruanku itu, tetap aku tidak akan melepaskanmu sebelum tubuhmu menggeletak tanpa nyawa...!" tukas Pendekar Bayangan Setan, yang membuat Sagotra lagi-lagi harus menyembunyikan kekagetannya.
Sagotra bergegas melangkah mundur ketika dilihatnya Pendekar Bayangan Setan sudah siap untuk bergerak. Ia terpaksa harus mempertahankan diri dengan menggunakan ilmu tangan kosong. Karena setelah bertekad untuk meninggalkan kesesatan, Sagotra tidak pernah lagi membawa-bawa senjata.
Padahal ia merupakan seorang ahli pedang yang boleh dikatakan jarang tandingannya. Dengan kepandaiannya bermain pedang itu pula sebutan Setan Pantai Timur melekat dalam dirinya pada belasan tahun silam. Meski demikian, diam-diam Sagotra merasa bersyukur karena tidak membawa senjata. Sebab, jika ia menggunakan senjata sewaktu bertempur tadi, sudah pasti Pendekar Bayangan Setan akan segera ingat siapa dirinya.
"Hm..., sekarang bersiaplah! Kuberi waktu kau sepuluh jurus untuk membela diri...," ujar Pendekar Bayangan Setan yang kemudian melangkah maju empat tindak. Dan, begitu langkah yang keempat menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan menggetarkan!
Bergegas Sagotra melompat ke samping. Lalu mengirimkan dua pukulan dan satu tendangan sekaligus. Dan karena kali ini Sagotra telah mengerahkan seluruh tenaganya, sambaran angin pukulannya pun menderu keras, dengan kecepatan yang tinggi. Namun serangan itu sama sekali tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Lontaran pukulan dan tendangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Pendekar Bayangan Setan.
Demikian pula dengan serangan-serangan selanjutnya. Sehingga, sampai jurus yang ketiga puluh berakhir, belum satu pun serangan Sagotra yang mengenai sasarannya. Jangankan mengenai tubuh, untuk menyentuh ujung jubah tokoh itu saja, tak dapat dilakukan Sagotra. Karena gerakan Pendekar Bayangan Setan memang harus diakui, sangat cepat! Membuat serangannya selalu mengenai tempat kosong!
"Waktumu sudah habis, dan sekarang giliranku! Bersiaplah...!" Begitu ucapannya selesai, serangan Pendekar Bayangan Setan langsung datang mencari sasaran di tubuh Sagotra. Membuat bekas tokoh sesat ini menjadi kelabakan untuk menyelamatkan dirinya.
Plakkk! Bukkk!
Memasuki jurus ketiga puluh lima, Sagotra bertindak nekat memapaki serangan lawan. Akibatnya, tubuhnya terdorong mundur. Saat itu sebuah hantaman keras, yang merupakan serangan susulan lawan, menghantam telak dada kanannya. Hingga, tanpa ampun lagi, tubuh kepala desa itu terbanting ketanah. Pendekar Bayangan Setan kembali memperdengarkan kekehnya. Kemudian melangkah perlahan menghampiri Sagotra, yang tengah berusaha bangkit berdiri.
"Manusia jahat, kau apakan ayahku...!"
Sewaktu langkah Pendekar Bayangan Setan tinggal empat tindak lagi dari Sagotra, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring, yang bernada marah. Disusul kemudian dengan kelebatan sinar putih yang berdesingan datang mengancam tubuh Pendekar Bayangan Setan!
"Aaahh..., celaka...?!"
Pendekar Bayangan Setan yang menolehkan kepala sewaktu mendengar bentakan itu, memekik kaget. Wajahnya kontan memucat. Sepasang matanya membelalak lebar, bagaikan melihat hantu di siang bolong.
Whukkk...!
Sambaran angin berdesing itu lewat diatas kepala, karena Pendekar Bayangan Setan sudah merendahkan kepala dan kuda-kudanya. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah lompatan panjang kesampingkanan.
"Hm..., jangan harap kau bisa lolos dari pedangku, Setan Gundul...!" sosok bayangan merah, bertubuh ramping yang memegang sebatang pedang itu kembali membentak. Serangannya berkelebat lagi mengancam Pendekar Bayangan Setan.
Sementara, wajah pucat Pendekar Bayangan Setan tampak mulai dibanjiri peluh. Terlebih setelah dapat melihat tegas sosok dan wajah penyerangnya. Ketakutannya semakin tampak jelas!
"Waaa..., ada setaaannn...!" Belum lagi ujung pedang sosok bayangan merah ini meluncur ke tubuhnya, Pendekar Bayangan Setan sudah melesat pergi, lari terbirit-birit sambil berteriak teriak ketakutan!
"Jangan lari kau, Setan Gundul...!" maki bayangan merah ini yang melesat hendak mengejar.
"Andari, jangan kejar...! Biarkan ia pergi...!"
Sosok ramping terbungkus pakaian serba merah ini bergegas menghentikan larinya. Kemudian menoleh ke arah Sagotra, ayahnya, yang tampak mengulapkan tangan kepadanya. Bergegas dara remaja yang manis dan manja ini berlari menghampiri.
Sagotra masih termanggu dengan wajah dilanda keheranan besar, sewaktu putrinya datang. Hatinya masih belum mengerti kenapa Pendekar Bayangan Setan sampai sedemikian takutnya menghadapi serangan Andari. Padahal kepandaian tokoh setengah gila itu, ia tahu berada jauh di atas putrinya. Sagotra benar-benar tidak habis pikir dengan keanehan yang baru saja terjadi di depan matanya itu.
"Ayah..., kau tidak apa-apa...?" tanya Andari cemas sambil memapah tubuh Sagotra, "Siapa setan gundul itu, Ayah? Mengapa ia ingin membunuhmu?"
"Cuma orang sinting...," jawab Sagotra singkat, Mari, kita pulang...!" lanjutnya membuat Andari cuma bisa mengangkat bahu, tak banyak bertanya lagi. Kemudian dipapahnya sang Ayah pergi meninggalkan tempat itu.
********************
EMPAT
Kuda hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari busur, meninggalkan kepulan debu di atas jalanan yang dilewatinya. Setelah menerobos kelebatan hutan, sampailah di depan sebuah rumah panggung yang cukup besar. Penunggangnya bergegas melompat turun kemudian melangkah masuk dengan agak tergesa. Sedang kuda hitam itu sudah diurus oleh seorang lelaki yang menyambut kedatangannya.
"Kali ini kita benar-benar celaka, Penjagal...!" ucapnya cemas, kepada seorang lelaki gemuk bertelanjang dada, hingga menampakkan bulu-bulu lebat yan tumbuh di dadanya.
"Kau ini kenapa, Ronggawu?! Datang-datang, membuat orang kebingungan? Coba tenang dulu, dan ceritakan yang jelas...!" sambut lelaki gemuk yang dikenal sebagai Penjagal Kepala, seorang kepala rampok yang bengis dan kejam tak kenal ampun. Setiap lawan yang dihadapinya harus tewas dengan kepala putus. Kebengisan inilah yang membuat julukan Penjagal Kepala melekat pada dirinya.
"Kematian Kakek Jubah Hitam ternyata malah membuat diri kita terancam bahaya! Bahkan jauh lebih hebat ketimbang sewaktu kakek celaka itu masih hidup! Kalau dulu cuma dia seorang yang selalu menggagalkan usaha kita, sekarang justru semakin banyak. Kematiannya membuat orang-orang golongan putih menjadi marah! Mereka hendak mencari pembunuhnya. Menurutku, sebaiknya kita menyingkir dulu jauh-jauh sampai keadaan kembali tenang. Sebab, kalau sampai golongan putih tahu, mereka pasti akan mendatangi kita. Bukankah ini celaka namanya...?" jelas Ronggawu, yang membuat paras Penjagal Kepala berubah seketika.
"Dari mana kali dapatkan berita itu? Apakah itu bukan cuma desas-desus saja?" tanya Penjagal Kepala, yang kelihatan belum yakin benar akan ucapan kawannya.
"Orang-orangku yang bekerja sebagai pencari berita tentang mangsa yang bakal lewat di daerahku, datang dan melaporkan semua itu kepadaku," jawab Ronggawu, yang juga merupakan kepala rampok, dan mempunyai hubungan dekat dengan Penjagal Kepala. Hubungan antara kedua kepala rampok ini semakin dekat semenjak sepak terjang Kakek Jubah Hitam mengacaukan pekerjaan mereka.
Mendengar penjelasan rekannya, Penjagal Kepala menjadi termenung. Keningnya berkerut. Sepertinya tokoh ini tengah berpikir keras untuk mencari jalan keluarnya. "Apakah hal ini sudah kau beritahukan kepada Harimau Gila?" tanya Penjagal Kepala tiba-tiba.
"Aku tidak tahu ke mana harus mencarinya. Karena selama ini ia tidak pernah memberitahukan tempat tinggalnya kepada kita. Harimau Gila hanya muncul menemui kita jika memerlukan bantuan! Hhh... itulah yang membuatku kurang suka kepadanya. Sebaiknya kau tak perlu memikirkannya, Penjagal. Yang penting kita harus segera menyingkir. Jangan sampai mereka keburu mengetahui pelaku pembunuhan itu, lalu mendatangi tempat ini," jawab Ronggawu setengah mendesak.
"Pengikutmu sendiri bagaimana...?"
"Mereka sudah kusuruh menyingkir lebih dulu, dan menunggu di sekitar Lembah Sungai Gerong. Di sana ada tempat yang cukup baik dan tersembunyi. Rasanya, untuk sementara tempat itu bisa kita gunakan bersama-sama," jawab Ronggawu menerangkan tempat yang bakal mereka gunakan sebagai persembunyian sementara.
"Hm..., kalau begitu kau tunggulah sebentar. Aku akan berkemas...," ujar Penjagal Kepala, mengambil keputusan untuk mengikuti anjuran rekannya.
Namun, baru saja Penjaglal Kepala memutartubuh hendak masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba dari luar rumah terdengar bentakan dan suara benturan senjata tajam. Penjagal Kepala menjadi kaget. Lalu menoleh dan bertukar pandang dengan Ronggawu. Seperti telah mendapat kata sepakat, kedua gembong perampok ini sama melesat keluar.
"Berhenti, tahan senjata...!"
Begitu tiba di luar dan menyaksikan adanya dua orang lelaki berseragam biru muda, tengah dikeroyok belasan orang anggota perampok, Penjagal Kepala langsung membentak. Disusul kemudian dengan tubuh gemuknya yang melayang ke tengah arena dan mendarat tepat di hadapan dua orang lelaki gagah itu.
"Hm..., siapa kalian, dan mau apa datang ke tempat ini?" tegur Penjagal Kepala dengan sorot mata bengis mengandung ancaman maut. Di sebelah kanannya, sudah berdiri Ronggawu, yang juga meneliti kedua orang lelaki gagah berseragam biru muda itu.
"Namaku Banadri, sedangkan saudaraku ini adalah Sandrila. Kami berdua datang dari daerah Pantai Utara, dan dijuluki sebagai Sepasang Elang Laut Utara. Mengenai tujuan kami datang ke tempat ini, adalah untuk mencari kepala rampok yang berjuluk Penjagal Kepala. Siapakah di antara kalian berdua yang memiliki julukan itu?" tanya salah satu dari kedua orang lelaki gagah yang berwajah agak mirip dengan kawannya.
Keduanya terlihat masih berusia muda, sekitar tiga puluh tahun. Kendati demikian, sorot wajah dan sinar mata mereka terlihat tajam dan berpengaruh. Hingga, sempat membuat hati Penjagal Kepala dan Ronggawu tergetar.
"Hm..., keperluan apa yang membuat kalian berdua ingin bertemu dengan Penjagal Kepala?" kali ini yang melontarkan pertanyaan adalah Ronggawu.
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan kepadanya, sehubungan dengan terbunuhnya Kakek Jubah Hitam, yang merupakan sahabat guru kami. Dan kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki serta membekuk pelaku laknat itu...!" Sandrila yang menjawab pertanyaan Ronggawu. Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak pernah lepas dari wajah Penjagal Kepala. Sepertinya ia sudah dapat menebak siapa di antara kedua orang itu yang berjuluk Penjagal Kepala.
"Kalau begitu, kalian berdua salah alamat. Karena di sini tidak ada yang berjuluk Penjagal Kepala. Sebaiknya kalian cari di tempat lain...!" Lagi-lagi Ronggawu berkata mendahului rekannya. Sedang Penjagal Kepala masih diam, belum bisa mengambil keputusan harus bagaimana.
"Hmhh...!" Banadri mendengus dan tersenyum sinis ketika mendengar jawaban Ronggawu. Demikian pula dengan Sandrila. Kemudian keduanya saling bertukar pandang.
"Ternyata kabar tentang kebengisan dan kekejaman Penjagal Kepala cuma isapan jempol belaka," ujar Sandrila kepada Banadri.
"Benar. Sejak semula aku memang sudah dapat menebak kalau kepala rampok yang berjuluk Penjagal Kepala itu tak lebih dari seorang pengecut besar!" Banadri menimpali dengan suara lantang sambil mengerling ke arah Penjagal Kepala. "Sekarang terbukti bahwa dugaanku itu benar..."
"Keparat...!" Penjagal Kepala menggeram dengan wajah terbakar. Dadanya serasa hendak meledak menahan gejolak amarah. Dia tidak bisa menerima penghinaan itu. "Bocah-bocah sombong! Perhatikanlah baik-baik! Akulah yang berjuluk Penjagal Kepala, yang akan segera membuat kalian berdua menjadi mayat-mayat tanpa kepala!"
Usai berkata demikian, Penjagal Kepala meloloskan sebatang golok besar yang matanya bergerigi. Kemudian memutarnya hingga menerbitkan deru angin keras. Dan dibarengi dengan sebuah teriakan mengguntur, golok di tangannya menyambar begitu cepat ke arah Banadri, orang yang telah berani mati menghinanya.
Trang...!
Bunga api berpijar seiring dengan suara benturan keras dua batang senjata. Entah kapan menggerakkan tangannya, tahu-tahu dalam genggaman Banadri ada sebilah pedang, yang digunakan untuk menyambut sambaran golok Penjagal Kepala.
Gembong perampok dari Hutan Gagak ini menjadi kaget bukan main, sewaktu merasakan lengan kanannya bergetar keras, nyaris membuat goloknya terlepas dari pegangan! Selain itu, tubuhnya pun sampai terjajar mundur beberapa langkah. Padahal lawannya sendiri seperti tidak terpengaruh oleh benturan keras itu. Kenyataan ini membuat Penjagal Kepala sadar kalau tenaganya kalah dua tingkat dari lawannya.
"Hm..., pantas kau berani membuka mulut besar! Rupanya kepandaianmu boleh juga...!" dengus Penjagal Kepala mengakui kelebihan lawannya.
Banadri tidak menanggapi. Tokoh muda yang berjuluk Elang Laut Utara ini cuma tersenyum tipis. Kemudian menggeser langkahnya ke kanan sambil memutar pedang.
Wuttt!
Sambaran angin panas menderu sewaktu pedang di tangan Banadri menyambar. Penjagal Kepala pun tidak mau kalah. Golok besarnya datang menyambut disertai deruan angin yang bergulung-gulung. Sebentar saja kedua tokoh ini sudah saling serang dengan hebatnya!
"Tunggu, Sahabat...!" seru Sandrila mencegah Ronggawu yang hendak campur tangan ke dalam arena pertarungan itu. "Akulah yang bakal menjadi lawanmu..."
"Hmmhh!" Ronggawu menggereng bagai binatang buas terluka. Sebatang tongkat pendek berantai, yang pada bagian ujungnya terdapat bola berduri, diputar hingga menimbulkan suara berdengung-dengung. Dan, tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung diayunkan ke kepala Sandrila, yang langsung menyambut dengan pedangnya.
Tingkat kepandaian Ronggawu tampaknya masih berada jauh di bawah lawannya. Serangan-serangan tongkat bola berdurinya yang datang menderu-deru, selalu gagal menemui sasarannya. Bahkan beberapa kali ujung pedang lawan, yang menerobos masuk, nyaris melukai tubuhnya. Sehingga, setelah pertarungan berjalan tiga puluh jurus, Ronggawu sudah kelabakan oleh sambaran pedang lawan, yang memiliki kecepatan mengagumkan itu. Ia tidak lagi diberi kesempatan untuk balas menyerang. Karena sambaran pedang lawan demikian gencar, membuat Ronggawu sibuk melindungi tubuhnya dari incaran mata pedang Sandrila.
"Yeaaattt...!"
Setelah selama kurang lebih sepuluh jurus mencecar lawan yang semakin tak berdaya itu, tiba-tiba Sandrila berteriak mengejutkan. Gerakan-gerakan kakinya berubah, membuat kepala Ronggawu menjadi pening. Karena tubuh lawannya selalu bergerak ke kiri-kanan dengan lompatan-lompatan yang cepat dan sulit diikuti pandangan matanya.
Breettt...!
Ronggawu menjerit kesakitan sewaktu pedang lawan merobek lambung kanannya. Tubuhnya terhuyung mundur disertai ceceran darah segar, yang mengucur dari luka di lambungnya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Penjagal Kepala pun harus mengakui keunggulan lawannya. Sebuah tendangan keras dan tusukan pada dada kanannya, membuat tubuh kepala rampok ini terlempar dan terbanting keras. Penjagal Kepala menyeret tubuhnya sewaktu Banadri melangkah menghampiri dengan sorot mata nengancam.
Sementara Ronggawu yang hatinya sudah merasa gentar, juga bergerak mundur, dan memberikan isyarat kepada para pengikut Penjagal Kepala untuk maju mengeroyok. Banadri dan Sandrila terpaksa bergerak mundur ketika kurang lebih tiga puluh orang anggota perampok bergerak menghadang langkah mereka.
Namun sepasang Elang Laut Utara ini sama sekali tidak terlihat gentar. Mereka memutar senjata, dan merobohkan beberapa orang perampok yang menerjang maju. Sekali bergerak saja keduanya telah membuat enam orang perampok berkelojotan mandi darah! Hingga, perampok yang lainnya merasa gentar dan ragu-ragu untuk maju menyerang.
"Bodoh, ayo habisi kedua manusia celaka itu...!" Penjagal Kepala membentak marah ketika melihat sikap gentar anak buahnya. Sehingga, meski agak takut-takut, akhirnya mereka pun menyerbu dua orang saudara kembar yang berjuluk Sepasang Elang Laut Utara itu.
Serbuan anggota perampok itu disambut sambaran pedang Banadri dan Sandrila. Deruan angin panas yang timbul dari sambaran pedang kedua tokoh ini, membuat para pengeroyoknya tak berani terlalu dekat Sehingga, pedang di tangan Elang Laut Utara kembali merenggut empat orang korban. Membuat yang lainnya kembali bergerak mundur dengan wajah agak pucat!
"Hih hih hih...!"
Banadri dan Sandrila menahan gerakannya dan melompat mundur ketika mendadak terdengar suara tawa mengikik, yang membuat telinga mereka berdenging kesakitan. Cepat keduanya mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh suara tawa itu. Pertempuran pun terhenti seketika. Beberapa saat kemudian, suara tawa mengikik itu lenyap. Di gantikan oleh munculnya sesosok tubuh kurus seorang perempuan tua. Kemunculan sosok perempuan tua ini, membuat semua orang yang berada di tempat itu sama membelalakkan mata!
Karena tubuh perempuan tua ini sama sekali tidak terbungkus pakaian, kecuali celana hitam setinggi betis, yang pada bagian bawahnya compang-camping. Rambutnya yang putih dan tipis, digelung di atas, dan terdapat hiasan berupa tulang, yang digunakan sebagai tusuk konde. Sedang buah dadanya yang keriput dan panjang, menjuntai hingga ke perut, dibiarkan terbuka begitu saja. Tentu saja penampilan yang menunjukkan ketadakwarasan ini membuat heran siapa saja yang menyaksikannya.
Banadri dan Sandrila yang semula sempat merasa risih melihat penampilan nenek itu, kini menjadi kaget bukan main. Sekali melihat saja, keduanya langsung bisa mengenali siapa adanya nenek berpenampilan sangat 'berani'itu.
"Kalong Wewe...?!" desis Banadri yang tanpa sadar melangkah mundur. Pada wajahnya terlihat gam- baran kegentaran.
"Tidak salah lagi! Ciri-ciri nenek itu sama persis dengan yang digambarkan ayah kita!" desis Sandrila yang juga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan gentarnya.
Karena dari apa yang mereka dengar, Kalong Wewe merupakan seorang tokoh wanita tua yang kepandaiannya sukar diukur. Dan merupakan tokoh gila, yang memiliki kebiasaan tidak lumrah. Kabarnya Kalong Wewe gila anak, dan kadang suka menculik laki-laki muda untuk diteteki. Namun kemudian dibunuhnya setelah nenek itu merasa bosan.
"Hih hih hih...! Orang-orang muda cakap dan gagah, kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian putra Pendekar Elang Bulu Emas, yang tinggal di daerah Pantai Utara?" tanya nenek berpenampilan aneh itu sambil memperdengarkan tawa mengikiknya, lalu gerak maju mendekati Banadri dan Sandrila.
"Benar, beliau memang ayah kami," Banadri menjawab sambil menggeser mundur kakinya dengangerakan perlahan dan tidak terlalu kentara. Meski berusaha disembunyikan, rasa ngeri tetap saja terlihat pada wajahnya.
"Kuharap Nenek suka memandang ayah kami, dan tidak mencampuri urusan ini...!" timpal Sandrila yang mencoba mengusir Kalong Wewe dengan mengandalkan nama besar ayahnya. Karena, seperti halnya Banadri, Sandrila pun merasa agak ngeri jika mengingat nenek itu mempunyai penyakit gila anak. Jika pikirannya terganggu atau kumat, perempuan itu melakukan perbuatan menakutkan sekaligus menjijikkan.
"Hih hih hih...! Tanpa memandang nama besar ayah kalian pun, aku memang tidak bermaksud mencampuri urusan ini. Bahkan kalau kalian menghendaki, aku akan suka sekali untuk membantu. Karena begitu melihat, aku langsung merasa suka dengan kegagahan dan ketampanan kalian...," ujar Kalong Wewe dengan suara lembut dan pandang mata menggambarkan perasaan sayang kepada Banadri dan Sandrila.
"Celaka...?!" desis Banadri, kaget mendengar ucapan Kalong Wewe.
"Sebaiknya kita tunda saja urusan dengan Penjagal Kepala, Kakang...!" bisik Sandrila, yang menjadi tegang ketika mendengar pengakuan nenek sinting itu. Sandrila menggelengkan kepala, ketika di depan matanya melintas bayangan dirinya yang tengah dipeluk dan dipaksa untuk menetek. Bayangan itu membuat perutnya tiba-tiba menjadi mual.
Banadri yang juga ngeri terhadap nenek sinting itu, langsung saja mengangguk setuju. Kemudian berpaling memandang Kalong Wewe. "Maaf, Nek. Kami terpaksa harus pergi. Karena masih ada yang harus segera kami kerjakan di tempat lain...," ujar Banadri, yang kemudian menoleh kepada Sandrila. Setelah memberikan isyarat dengan anggukkan kepala, Banadri segera memutar tubuh, lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sandrila bergegas mengikuti.
"Hih hih hih...! Apa kalian kira bisa pergi begitu mudah setelah berhadapan dengan Kalong Wewe?!" ujar Kalong Wewe dengan sorot mata berkilat. Dan dibarengi dengan suara tawa mengikik, tubuh nenek ini sudah melayang mengejar Sepasang Elang Laut Utara.
Banadri dan Sandrila bukan tidak tahu kalau mereka berdua dikejar. Suara tawa mengikik dan sambaran angin kuat yang semakin dekat, membuat keduanya bergegas membungkuk. Sehingga, cengkeraman kedua jari-jari tangan Kalong Wewe tidak mengenai sasarannya.
Namun tubuh kurus yang terus meluncur ke depan itu, mendadak terhenti di udara. Kemudian kedua kakinya bergerak menendang-nendang di udara. Bukan main kagetnya hati Sepasang Elang Laut Utara ketika menyaksikan tubuh Kalong Wewe dapat berputar balik! Padahal kedua kakinya sama sekali belum menginjak tanah!
"Gila...! Ilmu meringankan tubuh nenek itu hebat sekali...?!" desis Banadri kaget dan takjub.
Sandrila, meski tidak berkata apa-apa, tubuhnya tegak terpaku dengan sepasang mata masih membelalak. Sebab, apa yang dilakukan Kalong Wewe memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Hanya tokoh persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi sajalah, yang kiranya akan mampu melakukan perbuatan itu. Ilmu meringankan tubuh milik keluarganya sendiri sudah cukup terkenal di kalangan persilatan. Namun Sandrila sangsi apakah ayahnya sanggup melakukan yang seperti ditunjukkan Kalong Wewe itu.
"Sandrila, awaaaass...! " Banadri berteriak memperingatkan adiknya, yang masih berdiri terpaku. Karena saat itu tubuh Kalong Wewe sudah kembali meluncur dengan kedua tangan terulur ke depan.
Sandrila tersadar begitu mendengar teriakan kakaknya. Tapi, ia menjadi gugup sewaktu melihat bayangan tubuh Kalong Wewe sudah demikian dekat di depannya. Tahu kalau untuk mengelak jelas tidak mungkin keburu, Sandrila mengambil keputusan nekat. Dengan mengempos seluruh kekuatan yang ada, kedua tangannya memukul ke depan memapaki uluran tangan Kalong Wewe, yang berkuku runcing itu.
Bedd, beddd!
Namun, tokoh wanita sinting yang dijuluki Kalong Wewe ini, ternyata merubah gerakannya. Kedua tangannya yang semula siap mencengkeram, mendadak meliuk berputar. Sehingga kedua pukulan Sandrila hanya mengenai tempat kosong. Dan, tahu-tahu kuku-kuku runcing Kalong Wewe sudah berada dekat lehernya. Karuan saja Sandrila menjadi pucat!
Cusss...!
Sandrila tak dapat lagi menghindar sewaktu ujung kuku runcing Kalong Wewe menusuk jalan darah di lehernya. Akibatnya, tubuh pemuda itu langsung melorot ke tanah bagai sehelai karung basah Dan, tergeletak pingsan seketika.
"Sandrila...?!" Banadri merasa kaget dan juga heran melihat adiknya langsung roboh begitu tersentuh kuku runcing Kalong Wewe. Sepintas saja, Banadri langsung bisa menebak kalau kuku perempuan tua itu mengandung racun pembius, yang bisa membuat lawan roboh seketika, apabila tertusuk.
"Kalong Wewe...!" ujar Banadri. Dia semakin bertambah tegang bukan main, karena sadar kalau adiknya berada dalam cengkeraman seorang aneh yang wataknya tidak lumrah manusia. "Lepaskan adikku, atau kau sengaja ingin menanam permusuhan dengan keluarga kami? Kalau kau tidak mau membebaskannya, ayahku pasti akan marah, dan menghajarmu sampai babak belur...!" Banadri terus menggunakan nama besar ayahnya untuk menggertak Kalong Wewe.
"Hih hih hih...! Jangankan cuma ayahmu, Bocah Bagus! Kakek dan buyutmu pun boleh kau panggil dari kuburnya untuk menghadapiku. Sebaiknya kau tinggallah dulu di sini bersama keroc-keroco itu! Kelak kalau adikmu dapat membuat hatiku senang, akan kukembalikan dia kepadamu. Nah, apakah kau masih juga menganggap aku jahat?" sahut Kalong Wewe, yang sama sekali tidak gentar dengan ancaman Banadri.
Setelah berkata demikian, disambarnya tubuh Sandrila yang terkulai menelungkup di tanah. Sekali cungkil dengan ujung kakinya, tubuh yang rebah itu melayang naik, kemudian diterima dengan bahunya. Lagi-lagi Banadri dibuat kagum oleh pertunjukan tenaga dalam Kalong Wewe.
"Hei..., mau kau bawa ke mana adikku...? Kalong Wewe, tunggu...!" Wajah Banadri semakin pucat, melihat Kalong Wewe memutar tubuhnya dan melesat pergi meninggalkannya. Ia berteriak-teriak mencegah, namun perempuan tua renta itu sama sekali tidak peduli. Sehingga Banadri nekat mengejar dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang ada pada dirinya.
"Nenek Iblis, kembalikan adikku...!"
Kalong Wewe sendiri hanya memperdengarkan suara tawa mengikiknya yang panjang. Dan tampaknya ia tidak berlari sungguh-sungguh, karena sampai sejauh itu Banadri tetap cuma tertinggal sekitar tiga tombak. Itu sebabnya, mengapa Banadri masih nekat terus mengejar.
LIMA
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih menghadang sekitar satu setengah tombak di hadapan Kalong Wewe.
Namun perempuan tua yang tidak lumrah manusia itu seperti tidak mendengar ataupun melihat sosok yang berdiri menghadang di depannya. Tubuhnya terus meluncur ke depan, membuat sosok bayangan putih yang melakukan penghadangan menjadi tertegun. Sedangkan saat itu, Kalong Wewe yang sudah begitu dekat, tahu-tahu menjulurkan tangan kirinya dengan sebuah cengkeraman.
Whuttt! Plakkk!
Sepasang lengan berbenturan keras sewaktu sosok bayangan putih mengangkat tangan kirinya sambil memiringkan tubuh. Akibatnya, justru Kalong Wewe sendiri yang terpekik tak dapat menahan rasa terkejutnya. Bahkan tubuh tua renta keriput itu terhuyung ke tepi jalan, menabrak semak-semak!
"Cuh, cuhh, cuhhh...!"
Setelah dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, beberapa kali Kalong Wewe menyemburkan ludah sebagai tanda kegusaran hatinya. Baru kemudian mengangkat wajah, didahului sambaran matanya yang memancarkan sinar berapi. Ketika pandangannya matanya berubah melembut. Bahkan mulutnya menyeringai, membentuk seuntai senyum, menampakkan gigi-giginya yang hitam.
Sementara Banadri sudah tiba di tempat itu. Ia yang dari kejauhan telah melihat sosok bayangan putih yang menghadang jalan Kalong Wewe, kini menatap dengan kening berkerut agak heran. Dia pun tadi sempat melihat ketika sosok bayangan putih itu menyambut cengkeraman Kalong Wewe, yang membuat nenek itu terhuyung. Rasa heran ketika mendapati sosok bayangan putih itu ternyata seorang pemuda berwajah tampan, membuat Banadri menelitinya beberapa saat
"Kalau aku tidak salah mengenali orang, kau pastilah yang berjuluk Pendekar Naga Putih, Sobat...?" ujar Banadri langsung menduga setelah meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
"Begitulah orang memberikan julukan kepadaku...," sahut pemuda tampan yang ternyata memang Panji. Pendekar Naga Putih tersenyum merangkapkan kedua tangannya ke arah Banadri. "Secara kebetulan aku sedang menuju ke daerah sekitar sini, dan mendengar suara tawa mengikik serta teriakanmu," lanjutnya menjelaskan keberadaannya di tempat itu.
Sementara, Kalong Wewe yang mendengar pembicaraan itu, menghentikan langkahnya. Karena tertarik begitu melihat wajah penghadangnya, dan langsung merasa suka, dia bermaksud menukar pemuda yang dibawanya dengan Panji. Namun setelah mendengar pemuda tampan itu berjuluk Pendekar Naga Putih, nenek menggiriskan ini menjadi ragu sejenak.
"Hih hih hih...! Siapa kira hari ini aku ternyata sangat beruntung bisa berjumpa dengan Pendekar Naga Putih! Aih..., sudah lama sekali aku merindukanmu, Bocah Bagus! Sekarang, setelah melihatmu, rasanya aku tak memerlukan lagi pemuda ini...," ujar Kalong Wewe. Keraguannya seketika lenyap, berganti kegembiraan yang meluap-luap. Sambil berkata begitu tubuh Sandrila yang semula dipanggulnya, dilemparkan begitu saja ke arah Banadri.
Banadri bertindak cepat melesat ke udara, menangkap tubuh adiknya. Sekali mengulur tangan saja, tubuh Sandrila dapat diselamatkannya. Kemudian meluncur turun dengan gerakan yang ringan sekali. Lalu menoleh kepada Panji.
"Hati-hati, Pendekar Naga, Putih! Nenek itu adalah tokoh wanita sakti berotak sinting, yang terkenal dengan julukan Kalong Wewe. Tampaknya, nenek yang dikabarkan gila anak itu menaruh rasa suka kepadamu...," bisik Banadri mengingatkan Pendekar Naga Putih.
"Kalong Wewe...!" desis Panji yang merasa agak kaget mendengar ucapan Banadri. Dirinya memang pernah mendengar tentang tokoh wanita tua yang sakti dan tidak lumrah manusia itu. Juga tahu tentang kebiasaan Kalong Wewe, yang gila mengangkat anak, dan memperlakukannya dengan cara yang meng- gelikan sekaligus membuat hati bergidik.
"Hih hih hih..., marilah ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih...!" bujuk Kalong Wewe dengan suara lembut dan penuh kasih. Tak ubahnya seorang ibu yand menyayangi anaknya.
Panji masih berdiri tegak, tanpa sepatah kata pun. Karena ia merasa bingung bagaimana harus bersikap menghadapi perempuan sinting seperti Kalong Wewe. Jika ia menolak, nenek itu sudah pasti akan marah dan memaksanya. Tapi, ia pun tidak sudi ikut bersamanya.
Kalong Wewe tidak dapat menahan kesabaran ketika melihat Pendekar Naga Putih masih berdiri diam. Tubuhnya langsung melesat dengan kedua tangan terjulur ke depan, siap meringkus Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih, awaaasss...!" Banadri yang menjadi cemas ketika melihat Panji masih diam tak bergerak, berseru memperingatkan.
Namun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan Banadri. Karena meski Panji kelihatan seperti orang linglung, sambaran angin keras yang terbit dari kedua cengkeraman Kalong Wewe, sudah membangkitkan kesadarannya. Tepat pada saat cengkeraman itu hampir merenggutnya, Panji langsung melompat mundur. Sehingga, cengkeraman Kalong Wewe menemui kegagalan.
"Kalong Wewe, tahan serangan...!" seru Panji yang sudah melompat agak jauh, berdiri tegak mengangkat tangannya mencegah kelanjutan serangan nenek itu. Seruan yang dilakukan Panji dengan pengerahan tenaga dalam itu, membuat langkah Kalong Wewe terhenti. Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih itu dengan mulut menyeringai.
"Kau harus ikut bersamaku, Pendekar Naga Putih..!" desak Kalong Wewe memecah keheningan, yang beberapa saat menyelimuti mereka. Kemudian kakinya kembali bergerak mau mendekati Panji.
"Celaka...! Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap menghadapi nenek gila ini...!" gumam Panji, yang mau tidak mau ikut menggeser langkahnya. Hingga keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar dua tombak. Kalong Wewe siap untuk menerjang. Sedangkan Pendekar Naga Putih siap untuk membela diri.
********************
Sosok pemuda tampan terbungkus jubah putih, duduk menikmati makannya di sebuah kedai yang memiliki ruangan cukup besar. Melihat dari cara makannya yang lambat-lambat dan seringkali terhenti terlalu lama, serta ada kerutan pada keningnya, seolah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Paman...," ujar pemuda tampan itu setelah menyudahi makannya. Dia memanggil pelayan, yang segera datang menghampiri. "Apakah kau pernah dengar tentang seorang tua yang disebut sebagai Kakek Jubah Hitam...?" tanyanya dengan suara agak direndahkan.
"Kalau nama itu, hampir seluruh penduduk desa sekitar kaki Bukit Bantaran ini pernah mendengar dan mengenalnya, Tuan. Karena, secara tidak langung, beliau merupakan pelindung kami semua," jawab pelayan kedai, yang kemudian duduk di depan pemuda tampan ini. Lalu dia bercerita panjang lebar tentang sepak terjang Kakek Jubah Hitam. Pelayan ini tampak semakin bersemangat sewaktu ceritanya didengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Sayang beliau sekarang sudah tewas dibunuh orang jahat yang kemungkinan besar menaruh dendam kepadanya...," sesalnya pada akhir cerita.
Pemuda berjubah putih yang tak lain si Pendekar Naga Putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Cerita itu baginya tidak terlalu aneh, dan hampir sama dengan yang dituturkan beberapa penduduk desa sekitar Bukit Bantaran, yang pernah ditanyainya. Panji yang memang kebetulan lewat di sekitar Bukit Bantaran dan mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam, langsung mengambil keputusan untuk menyelidik dan mencari pembunuhnya. Dan karena hal itu masih sangat gelap baginya, maka ia pun mulai mencari keterangan dari penduduk desasekitar tempat tinggal Kakek Jubah Hitam.
"Apakah kira-kira Paman bisa menduga siapa yang melakukan pembunuhan itu...?" tanya Panji setelah terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan ketika dilihatnya pelayan itu menggelengkan kepala, "Bagaimana dengan orang-orang jahat yang pernah diusirnya, apakah Paman mengenai beberapa di antara mereka...?"
"Terlalu banyak orang jahat yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam, dan aku tak dapat mengenali mereka satu persatu," jawab si Pelayan Kedai dengan suara lambat-lambat, sambil mengerahkan ingatannya. "Tapi..."
"Tapi apa, Paman...?" tanya Panji mendekatkan wajahnya, mengerti akan kekhawatiran pelayan kedai, yang menghentikan ucapannya dan menoleh ke kiri-kanan dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.
"Salah satu dari sekian banyak orang yang pernah dihajar Kakek Jubah Hitam adalah gerombolan perampok. Kalau aku tidak salah ingat, pemimpinnya dijuluki sebagai Penjagal Kepala...!" jelasnya. Lagi-lagi ucapannya terhenti, dan menoleh ke sana kemari dengan takut-takut, "Kepala rampok itu sangat terkenal kekejaman dan kebuasannya...," lanjutnya dengan suara yang lebih rendah. Kemudian bergerak bangkit dan meninggalkan Panji setelah membersih-kan meja. Namun, langkahnya terhenti. Karena Panji sudah menangkap lengannya.
"Di mana markas Penjagal Kepala itu, Paman...?" tanya Panji setengah berbisik.
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Tuan...?!" pelayan kedai tampak terkejut mendengar per- tanyaan itu.
"Tidak, Paman. Cuma sekadar ingir tahu saja...," jawab Pendekar Naga Putih berdusta, khawatir pelayan kedai itu akan bertanya macam-macam.
"Sepanjang yang kudengar, Penjagal Kepala sering melakukan penghadangan terhadap kereta-kereta barang di sekitar Hutan Gagak. Kira-kira setengah hari perjalanan dari desa ini...," jelas pelayan kedai, yang kemudian memutar tubuhnya setelah merasakan pegangan pada pergelangan tangannya dilepaskan.
Setelah mendapat keterangan dan membayar makanannya, Pendekar Naga Putih meninggalkan kedai. Ia sudah mendapat keterangan tentang letak Hutan Gagak, dan bermaksud mendatangi tempat itu. Maka, begitu berada di luar desa, dan jalanan agak sepi, Panji melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Ketika hampir tiba di Hutan Gagak, mendadak langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri. Selain itu, ia juga mendengar adanya suara orang berteriak, seperti tengah mengejar seseorang yang melarikan diri. Bergegas Panji melesat ke arah asal suara. Dilihatnya seorang nenek berpenampilan aneh sedang berlari cepat memanggul sesosok tubuh di bahu kanannya. Di belakang si Nenek tampak seorang lelaki muda tengah mengejar-ngejar.
Segera saja Panji mengambil keputusan untuk menghadang nenek yang diduganya telah melakukan penculikan itu. Sampai akhirnya ia terpaksa harus bertarung melawan nenek itu. Perempuan aneh itu ternyata suka kepadanya, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak. Tentu saja Panji tidak sudi ikut bersama nenek yang otaknya tidak waras itu.
********************
Wrrettt!
Kalong Wewe membuka serangan lebih dulu, memulai perkelahian itu. Sepasang tangannya yang berkuku runcing dan hitam, menyambar disertai deru angin keras.
Namun, Panji yang sudah siap menghadapi serangan nenek gila itu, dengan cepat bergerak mengelak. Sehingga, serangan Kalong Wewe tidak mengenai sasarannya. Bahkan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan serangan balasan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya.
Gelombang angin keras berhawa dingin berhembus menyertai datangnya serangan balasan Panji, yang terus berlanjut ketika nenek itu dapat menghindarinya. Dalam jurus-jurus pertama, Panji langsung melakukan desakan, karena ia ingin mengakhiri pertarungan secepatnya.
Namun untuk mewujudkan niat itu ternyata bukan suatu hal yang mudah! Karena Kalong Wewe merupakan salah satu gembong golongan sesat, yang tingkat kepandaiannya sulit diukur. Sehingga, untuk menghadapinya Pendekar Naga Putih harus bekerja keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Termasuk 'Ilmu Silat Naga Sakti', yang sangat jarang digunakan.
Selama kurang lebih dua puluh jurus, Kalong Wewe terus mengambil sikap bertahan, menggunakan kedua tangannya sebagai benteng, yang sukar ditembus. Bahkan ketika pertarungan menginjak pada jurus yang keempat puluh, perempuan tua renta itu mulai melakukan serangan balik, sambil tetap memperkuat pertahanannya. Gelombang pukulannya menderu tajam, mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat, membuat serangan Panji mulai mengendur. Sampai akhirnya giliran pendekar muda itu yang harus bertahan dari serangan gencar lawannya.
Plakkk...!
Untuk kesekian kalinya, benturan kedua lengan mereka kembali terjadi. Kali ini Panji benar-benar dibuat kaget! Tenaga pukulan lawan yang semakin bertambah kuat itu, membuat tubuhnya terhuyung beberapa langkah. Sedangkan Kalong Wewe, yang cuma merasakan getaran pada tubuhnya, sudah kembali menyusuli serangannya.
Blakkk!
"Hukkhh...!"
Sebuah hantaman telapak tangan Kalong Wewe yang berhasil menjebol benteng pertahanan Panji, membuat tubuh pendekar muda itu terdorong ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Hantaman keras yang telak mengenai perutnya membuat Panji merasa mual seketika.
Namun, meski dalam keadaan demikian, pemuda itu masih juga sempat menyelamatkan diri dari incaran kuku-kuku runcing lawan yang mengirimkan serangan susulan. Tindakan itu sempat membuat kedudukannya semakin tidak seimbang, dan terus terhuyung. Sampai akhirnya ia bisa menguasai diri, setelah melompat jauh. ke belakang dengan berputaran beberapa kali di udara.
Dengan kuda-kuda yang kokoh laksana tertanam di tanah, Pendekar Naga Putih mengumpulkantenaga dalam, berusaha menekan rasa mual yang membuat gerakannya agak terganggu itu. Saat serangan lawan yang terus mengejarnya datang, Panji menepiskan rasa ibanya terhadap sosok nenek berwajah mengerikan itu. Disambutnya serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya. Sehingga, pertempuran semakin bertambah sengit!
Tiga puluh jurus lebih, setelah pertempuran. Pendekar Naga Putih tiba-tiba memekik keras. Tubuhnya melenting dan melayang-layang di udara. Sepasang cakar naganya berputaran menerbitkan pendaran sinar putih keperakan yang menyilau-kan mata. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus pamungkas, sempat membuat Kalong Wewe kelabakan, dan tak mampu lagi melindungi dirinya.
Plakk!
Bukk! Blukkk!
Tiga hantaman berturut-turut bersarang di tubuh Kalong Wewe, membuat nenek gila ini terhumbalang ke kiri-kanan, dan akhirnya terbanting ke tanah. Namun, Panji benar-benar dibuat terbelalak kagum oleh kekuatan tubuh kurus yang kulitnya sudah ber-keriput itu. Meski kelihatan telah menderita luka dalam, nenek ini masih sanggup untuk langsung bangkit berdiri, meski kuda-kudanya terlihat goyah.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" aku Kalong Wewe, yang kali ini bicaranya lancar, dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dirinya berotak miring. "Untuk kali ini aku mengaku kalah. Tapi, kelak aku akan menebus sekaligus dengan bunganya...," lanjutnya menyiratkan ancaman dan dendam. Setelah berkata demikian, dengan tertatih-tatih, Kalong Wewe bergerak meninggalkan tempat itu.
Panji hanya bisa menghela napas. Ia tidak berkata apa-apa. Dibiarkan saja nenek gila itu pergi membawa luka di dalam tubuhnya. Meski agak menyesal telah menanam bibit permusuhan baru dengan seorang tokoh gila yang berbahaya, namun Panji merasa lega telah dapat mengusir pergi Kalong Wewe.
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan adikku, Pendekar Naga Putih. Kami berdua tentu tak akan melupakan jasamu..." Ucapan Banadri membuat Panji memutar tubuh menghadapi tokoh muda dari Pantai Utara itu.
"Pertolongan sesama manusia adalah satu kewajiban. Jadi, janganlah kau anggap sebagai hutang, Sobat..!" sahut Panji yang tanpa diminta segera memeriksa keadaan Sandrila. Lalu menotok di beberapa bagian tubuhnya untuk memulihkan kesadaran orang kedua dari Sepasang Elang Pantai Utara itu. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna putih salju yang berkhasiat untuk mengusir racun dari dalam tubuh.
"Sebenarnya siapa kalian berdua ini, dan berasal dari mana? Mengapa sampai bisa bentrok dengan Kalong Wewe?" tanya Panji setelah keadaan Sandrila sudah tidak mengkhawatirkan lagi.
Ketiganya duduk saling berhadapan. Setelah memperkenalkan diri dan tempat asalnya, Banadri menceritakan secara singkat tentang tujuannya, juga pertemuannya dengan Kalong Wewe. Sementara Sandrila hanya diam, ikut mendengarkan.
"Hm..., tidak aneh kalau Elang Bulu Emas sampai mengirimkan kalian berdua sebagai putra-putranya untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Kakek Jubah Hitam. Kematiannya memang membuat tokoh-tokoh golongan putih menjadi marah. Mereka bertekad untuk membekuk si Pembunuh Keji itu. Aku pun mempunyai tujuan yang sama dengan kalian berdua. Dan hendak nendatangi Penjagal Kepala guna mencari keterangan. Karena kepala rampok itu merupakan salah seorang musuh Kakek Jubah Hitam, yang menaruh dendam. Begitulah keterangan beberapa penduduk sekitar Bukit Bantaran, sewaktu ku tanya...," ujar Panji menatap kagum dua orang tokoh muda di hadapannya. Karena ia juga sudah mendengar akan nama besar Elang Bulu Emas, yang juga dijuluki sebagai Majikan Pantai Utara itu.
"Bagaimana kalau sekarang kita datangi lagi Penjagal Kepala itu. Karena kami berdua pun mendapatkan keterangan yang sama denganmu, Pendekar Naga Putih," ujar Sandrila mulai menimpali pembicaraan.
"Ayolah, mudah-mudahan kepala rampok itu bisa memberikan keterangan yang memuaskan...," sambut Panji yang segera bangkit berdiri. Lalu ketiganya melangkah, kembali menuju perkampungan peram-pok yang dipimpin Penjagal Kepala.
Tiba di tempat tujuan, ketiganya mendapati perkampungan itu sudah kosong! Tak satu pun anggota perampok yang masih berada di sana.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah meninggalkan tempat ini...!" geram Banadri, yang tak menemukan sepotong manusia pun, meski ia telah memeriksa semua rumah dengan teliti.
"Mungkin mereka sudah mendengar tentang kemarahan tokoh-tokoh golongan putih. Lalu menghindar dan menyembunyikan diri di tempat yang mereka anggap cukup aman...," timpal Panji dengan nada agak kecewa. Dia berdiri menatapi rumah-rumah yang telah ditinggal pergi penghuninya itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Sandrila, yang pikirannya mendadak buntu karena rasa kecewa.
"Kurasa mereka belum terlalu jauh. Ada baiknya kita melakukan pengejaran dengan berpencar. Dengan begitu, ada kemungkinan salah satu dari kita dapat menemukan Penjagal Kepala dan para pengikutnya itu...," jawab Panji mengajukan usul, yang disambut anggukan kepala Banadri dan Sandrila.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji dan Sepasang Elang Pantai Utara melesat meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda.
********************
ENAM
"Maaf, Nyi Lurah...!"
Andari dan ibunya mengerutkan kening menatap penjaga yang menghadap tanpa dipanggil itu. Keduanya mengangguk, sebagai isyarat agar penjaga itu segera mengatakan keperluannya.
"Seseorang tak dikenal, memberikan surat yang minta disampaikan kepada Nyi Lurah...," lanjut penjaga ini sambil mengangsurkan surat yang dimaksud. Setelah itu ia membungkuk hormat, lalu beranjak meninggalkan ruangan di rumah Kepala Desa Kranggan.
Wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun, yang tubuhnya masih terlihat ramping ini, segera membuka gulungan daun lontar itu dan membaca isinya. Mula-mula wajahnya tampak berkerut, lalu berubah pucat. Sekujur tubuhnya gemetar, sehingga surat yang dipegangnya ikut bergetar.
"Dusta! Ini pasti fitnah...!" desisnya berkeras menyangkal isi surat yang dibacanya. Meski demikian dalam nada suaranya terkandung keraguan atas bantahan itu.
"Ada apa, Ibu? Apa isi surat itu, dan siapa yang mengirimnya?" tanya Andari yang tentu saja menjadi bingung dan cemas ketika melihat keadaan ibunya. Namun sang Ibu tidak berkata apa-apa, dan menyerahkan surat itu kepadanya. Andari semakin kaget tak mengerti ketika melihat wajah ibunya dibasahi mata. Buru-buru dibacanya isi surat itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Seperti halnya yang dialami ibunya, paras Andari pun berubah pucat setelah membaca isi surat itu. Setelah selesai, gadis itu menoleh kepada ibunya, yang duduk lemas di atas kursi sambil menekap wajah dengan kedua tangan.
"Ibu..., apakah benar apa yang tertera dalam surat ini? Benarkah aku bukan anak Ayah? Benarkah aku sebenarnya putri seorang pendekar yang berjuluk Garuda Kuku Baja?!" tanya Andari dengan wajah pucat dan bibir gemetar menahan jatuhnya air mata. Ketika tidak mendengar adanya jawaban, Andari mengguncang tubuh ibunya dengan keras, "Jawablah, Ibu? Katakan kalau semua ini tidak benar!"
Guncangan Andari membuat ibunya mengangkat kepala, memandang wajah putrinya dengan air mata berlinang. Lalu mengangguk perlahan. Kemudian kembali menangis, menutupi wajahnya. Jawaban ibunya membuat Andari merasakan tanah tempat kaki berpijak bergoyang. Tubuh gadis remaja ini terjajar mundur. Air mata yang kini tak bisa lagi ditahannya, mengalir di pipinya yang bertambah pucat. Kenyataan itu membuat Andari terguncang hatinya.
"Lalu..., apakah semua isi surat ini benar, Ibu...?" desis Andari setengah berbisik. Seperti takut kalau ibunya kembali membenarkan pertanyaan itu.
"Tidak seluruhnya, Anakku. Hanya sebagian saja yang benar. Selebihnya hanyalah fitnahan keji Harimau Gila, si Pengirim Surat itu," jawabnya sambil menghapus air mata, "Sebelum menjadi istri ayahmu yang sekarang, Ibu adalah seorang janda, Anakku. semula Ibu pun menolak lamaran Sagotra. Saat itu kau baru berusia kurang lebih lima tahun. Sagotralah yang menyelamatkan kita berdua dari ancaman kematian, sewaktu rumah kita diserbu gerombolan perampok. Sebenarnya, kalau saja para perampok itu tidak berbuat curang, kemungkinan besar mereka akan dapat dikalahkan ayahmu. Tapi mereka berlaku licik dengan membakar tempat kediaman kita. Ayahmu menjadi sibuk dan kewalahan waktu itu. Sebab, selain harus menyelamatkan kita berdua, beliau masih harus berusaha memadamkan api, dan serbuan manusia-manusia biadab itu. Hingga, akhirnya beliau tewas tertembus belasan senjata. Saat kita berdua dalam bahaya itulah, Sagotra muncul, mengamuk menerobos kepungan, lalu membawa lari kita berdua. Budinya yang sangat besar, membuat Ibu akhirnya menerima lamarannya, sewaktu usiamu mencapai tujuh tahun. Tak tega hati Ibu untuk mengecewakan lelaki yang demikian baik dan sabar menunggu sampai sedemikian lama..."
Cerita ibunya membuat Andari termenung masih dengan wajah pucat. Ia percaya akan cerita sang Ibu, yang menurutnya tidak mungkin tega membohongi anaknya. Namun di sisi lain, dirinya juga ragu akan isi surat itu. Karena apa yang tertera di dalamnya demikian jelas, dan sama persis kejadiannya. Hanya saja ada beberapa tambahan, yang merupakan tuduhan keji terhadap ayahnya yang sekarang. Hal ini membuat Andari tidak puas dengan cerita Ibunya.
"Belakangan ini kuperhatikan sikap Ayah sangat aneh...?" gumamnya perlahan seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Itu terjadi setelah Ayah kedatangan seorang sahabat lamanya. Dan..., kalau tidak salah orang itu juga berjuluk Harimau Gila! Aku sempat mendengar Ayah menyebutnya sewaktu mereka bertengkar mulut, sampai kemudian orang itu lari dikejar-kejar Ayah...?!" Sampai disini Andari menghentikan. ucapannya. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir keras.
"Kau bicara apa, Andari?" tegur ibunya setengah membentak, "Tidak pantas kau mencurigai orang yang telah begitu besar budinya terhadap kita berdua! Apa lagi ia adalah orang yang telah merawatmu sampai besar, dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu silat tinggi. Sebaiknya hentikan ocehanmu itu, dan segera kita tinggalkan tempat ini untuk mencari ayahmu itu..."
"Itulah, Ibu...!" seru Andari mengejutkan, seperti baru teringat sesuatu. "Belakangan setelah kedatangan Harimau Gila, Ayah beberapa kali meninggalkan rumah pada waktu malam. Bahkan beberapa malam yang lalu, Ayah sampai tidak pulang. Dan aku menemukannya jauh di luar desa ini. Ibu masih ingat dengan ceritaku itu, bukan?"
Istri Sagotra mengangguk lemah, melihat tatapan putrinya, yang menunggu jawabannya.
"Setelah itu, Ayah lebih sering termenung dan mengurung dirinya di kamar semadi. Dan akhirnya.., Ayah lenyap tanpa kita tahu kapan dan ke mana perginya. Padahal seluruh keamanan desa sudah kita kerahkan untuk mencari. Namun, Ayah lenyap seperti ditelan bumi! Nah, tidakkah tindakan Ayah ini sangat mencurigakan?" lanjut Andari mengutarakan semua apa yang dilihat dan didengar tentang ayahnya belakangan ini. Kini dalam sorot mata dan nada ucapannya, menimbulkan kesan bahwa gadis remaja ini semakin menaruh kecurigaan kepada sang Ayah yang juga seorang kepala desa.
"Tapi itu semua tidaklah dapat dijadian alasan bagimu untuk mencurigai ayahmu, Andari! Sudahlah! Sebaiknya kita segera berangkat untuk mencarinya...!" tukas ibunya tetap berkeras membantah tuduhan Andari. Perempuan ini memang terlihat sudah mengenakan pakaian ringkas. Dan pada waktu penjaga datang memberikan surat kepadanya, mereka berdua memang sudah bersiap untuk pergi mencari suami dan ayah mereka, yang tiba-tiba lenyap tanpa diketahui ke mana dan kapan perginya.
"Tunggu dulu, Ibu...!" ujar Andari, yang kelihatannya masih belum puas, "Coba Ibu katakan, apakah benar gerombolan perampok yang menyerbu tempat tinggal kita dulu dipimpin seorang yang bernama Ki Tambak Rejo?"
"Itu memang benar...," jawab ibunya membenarkan apa yang juga tertera di dalam surat itu.
"Lalu, bagaimana Harimau Gila bisa mengetahuinya dengan pasti?! Padahal peristiwa itu sudah lama sekali terjadinya? Jangan-jangan..., ia memang benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentang peristiwa belasan tahun silam itu? Kalau tidak, bagaimana mungkin ia dapat menuliskannya sama persis baik tempat maupun waktunya?" gumam Andari sambil tak lepas menatap wajah ibunya.
"Hanya ayahmu yang bisa menjelaskannya. Itu sebabnya kita harus pergi mencarinya...," tukas ibunya, yang kali ini tidak dibantah Andari. Lalu melangkah keluar dari dalam rumah, menemui dan berpesan kepada penjaga.
"Kami berdua akan pergi untuk beberapa waktu. Harap kalian urus segala sesuatunya di rumah ini. Dan apabila suamiku sudah kembali, katakan kepada beliau agar tidak perlu mencari kami. Karena secepatnya kami berdua akan kembali ke sini...," pesan ibunya Andari kepada empat orang keamanan desa, yang bertugas menjaga tempat kediaman Ki Sagotra, kepala desanya.
********************
Seorang lelaki tinggi kurus tengah melangkah lambat-lambat menyusuri tanah berlumpur, yang sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman bunga, sedang bermekaran. Ayunan langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa kecil dan riang. Merasa tertarik dan penasaran, langkahnya pun diputar mendatangi sumber suara yang menggelitik keingin tahuannya.
Tidak berapa lama kemudian, lelaki tinggi kurus ini menemukan sumber suara itu. Dari balik sebatang pohon, tempatnya bersembunyi, lelaki ini melihat seorang bocah perempuan berusia sekitar lima tahun. Melihat tingkah lucu bocah perempuan yang berlari tertatih-tatih mengejar seekor kupu-kupu, lelaki setengah tua itu tersenyum. Menyaksikan tingkah bocah perempuan itu, seketika timbul rasa suka dan sayangnya. Suatu perasaan asing, yang nyaris tidak pernah dialaminya. Selama ini hidupnya dipenuhi dengan kekerasan dan bau darah!
Lelaki ini bernama Sagotra, yang juga dikenal dengan julukan Setan Pantai Timur. Sepak terjangnya sebagai seorang penjahat tunggal, yang kadang juga menerima tugas untuk membunuh seseorang dengan imbalan cukup besar, membuat nama Setan Pantai Timur semakin terkenal.
Kali ini, secara tak sengaja, langkahnya membawanya ke daerah sekitar kaki Gunung Dampit. Dia sempat termenung memikirkan perasaan yang tiba-tiba menyeruak di sudut hatinya. Suara jeritan bocah perempuan yang lucu itu membuyarkan lamunan Setan Pantai Timur. Tubuhnya langsung melesat ke luar dari tempat persembunyian ketika melihat bocah perempuan itu terjerembab jatuh.
Ia yang biasanya tidak pernah mempedulikan nasib orang, kini mendadak tergerak untuk menolong bocah perempuan itu. Sikap dan kata-kata yang diucapkannya terdengar asing bagi telinganya. Demikian lembut dan penuh kasih, se- waktu menghibur bocah yang kini telah berada dalam gendongannya itu.
Selagi sibuk menghibur bocah perempuan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki lembut mendatangi dari arah belakangnya. Bergegas Setan Pantai Timur memutar tubuh. Dan..., sepasang matanya sekilas membelalak lebar, melihat seorang wanita berparas cantik dengan kulit wajah segar kemerahan. Perempuan itu berlari mendatangi. Rambutnya yang panjang dan tergerai lepas, terayun lembut mengikuti langkah kakinya. Dada Setan Pantai Timur berdebur keras sewaktu sosok perempuan yang membuatnya terpaku bagai patung itu, semakin dekat.
"Maaf, kalau putriku telah mengganggu Tuan...!"
Suara lembut dan merdu bagaikan nyanyian bidadari itu, menyelusup masuk melalui telinga Setan Pantai Timur, membuat tokoh sesat ini memejamkan mata, seakan ingin suara itu buru-buru lenyap dari pendengarnya. Hal itu membuat dirinya terlena untuk beberapa saat, dan baru tersadar ketika suara merdu itu kembali terdengar, meminta agar ia menyerahkan anak dalam pondongannya.
"Kau... kau cantik sekali, Nyi...," puji Setan Pantai Timur berterus terang, sambil menyerahkan bocah perempuan itu. "Maaf kalau aku telah berkata lancang...," lanjutnya sewaktu melihat kedua belah pipi wanita cantik itu merona. Permintaan maafnya membuat kilatan marah dalam sorot mata perempuan itu lenyap seketika.
"Terima kasih, aku harus segera pergi...," ujar perempuan cantik yang telah membuat hati Setan Pantai Timur serasa jungkir balik. Setelah menerima putrinya, bergegas memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
"Nyi... tunggu...!" Setan Pantai Timur berseru mencegah. Tapi, ia tidak bergerak dari tempatnya semula. Membuat wanita cantik itu menunda langkah dan memutar tubuhnya, berbalik.
"Ada apa, Tuan...?!" tanya perempuan cantik ini mengerutkan kening, menatap lekat-lekat wajah lelaki didepannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap putrimu. Kebetulan aku sedang lewat ketika melihat putrimu yang tengah mengejar seekor kupu-kupu, terjatuh. Lalu aku membantunya berdiri...," jelas Setan Pantai Timur, yang lagi-lagi merasa asing dengan ucapannya.
Karena perkataannya demikian lembut dan sopan. Padahal ia sudah banyak bergaul dengan perempuan cantik. Namun perempuan yang satu ini, benar-benar harus diakui memiliki pesona yang membuat dirinya seperti Iumpuh. Sehingga, ia ingin agar perempuan itu memandangnya sebagai orang baik-baik. Karena saat itu juga Setan Pantai Timur sadar kalau dirinya telah jatuh cinta kepada perempuan itu. Hal ini dapat diketahui, karena terhadap perempuan lain, yang pernah digaulinya, tidak pernah hatinya merasakan seperti apa yang dialami kali ini.
"Aku tahu, Tuan. Karena aku juga melihatnya. Kebetulan Tuan lebih dulu menolongnya. Itu sebabnya aku mengucapkan terimakasih kepada Tuan, yang telah menolong putriku," tukas perempuan cantik itu dengan suaranya yang bagi Setan Pantai Timur terdengar sangat nikmat. Bahkan membuatnya ingin agar perempuan itu berbicara lebih banyak. Sayang harapannya tidak terkabul. Karena perem- puan itu sudah tidak berkata apa-apa lagi.
"Mmm..., kalau tidak dianggap terlalu lancang, bolehkah aku mengetahui nama dan suamimu...? Dan apakah tempat tinggal Nyai berada di sekitar kaki Gunung Dampit ini...?" tanya Setan Pantai Timur setengah memohon dengan wajah harap-harap cemas. Khawatir kalau perempuan cantik itu menjadi marah karena pertanyaannya.
"Maaf, tanpa setahu suamiku, rasanya kurang pantas kalau aku memperkenalkan nama kepadamu, Tuan. Cukup kau ketahui nama suamiku saja, yang disebut orang dengan julukan Garuda Kuku Baja. Dan tempat tinggal kami memang sekitar kaki Gunung Dampit ini. Nah, jika Tuan ingin singgah, silakan. Suamiku selalu membuka pintu kepada siapa saja yang datang dengan maksud baik...," ujar perempuan cantik ini, yang kemudian berlari-lari kecil meninggalkannya.
Sagotra si Setan Pantai Timur hanya bisa menghela napas, memandangi bayangan perempuan cantik itu yang semakin jauh. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba merasa kosong. Serasa semangatnya ikut pergi bersama perempuan itu. Baru kali ini Sagotra merasa hatinya merasa begitu nelangsa. Dan untuk pertama kalinya, Sagotra merasa bahwa kehidupannya selama ini tidaklah lengkap. Dirinya tidak mempunyai istri dan anak. Pertemuan yang hanya terjadi beberapa saat itu, membuat Sagotra jatuh cinta! Sebuah perasaan yang selama ini tak pernah dikenalnya.
"Aku harus memiliki mereka...!" desis Sagotra dengan sorot mata tajam, menunjukkan kebulatan tekadnya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Sagotra pun mulai menyelidiki tempat kediaman Garuda Kuku Baja. Sebenarnya bisa saja ia merampas perempuan itu dengan kekerasan dan memaksa untuk menjadi istrinya. Namun bukan itu yang diinginkannya. Ia ingin agar perempuan itu menjadi istrinya dengan suka rela. Keinginan ini membuat Sagotra berpikir keras, mencari cara untuk dapat memiliki perempuan itu. Sampai akhirnya muncul sebuah rencana di kepalanya, yang dianggap akan dapat mewujudkan keinginan itu. Dan untuk menjalankan rencana itu, Sagotra membutuhkan bantuan orang lain.
"Aahh..., selamat datang di tempatku, Setan Pantai Timur...?!" seru seorang lelaki setengah baya, yang bertubuh kekar, dan wajahnya terhias kumis tebal. Lelaki ini tampak gembira menyambut kedatangan Sagotra.
Sagotra cuma tersenyum tipis. Dan tidak menolak sewaktu lelaki itu mengajaknya masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar dan bagus. "Aku memerlukan bantuanmu, Ki Tambak Rejo," Begitu duduk, Sagotra langsung saja mengutarakan maksud kedatangannya.
Ki Tambak Rejo, seorang kepala rampok yang menganggap dirinya sebagai penguasa daerah Hutan Pagar Jurang, tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ada kebanggaan terselip di hatinya sewaktu mendengar Setan Pantai Timur membutuhkan bantuannya. Karena selama ini ia mendengar dan mengetahui bahwa orang-orang seperti dirinyalah yang justru lebih banyak meminta bantuan kepada Setan Pantai Timur. Tentu saja permintaan yang baginya merupakan suatu kehormatan itu, langsung diterimanya. Kendati belum tahu apa jenis bantuan yang diminta Setan Pantai Timur kepadanya.
"Kau tidak usah khawatir, Ki Tambak Rejo," lanjut Sagotra sewaktu melihat Ki Tambak Rejo tersenyum-senyum, "Sebagian harta yang kukumpulkan selama ini, akan kuberikan kepadamu. Tapi dengan syarat, kau harus melaksanakan semua apa yang kuperintahkan! Dan tidak perlu bertanya apa-apa! Kau paham...?"
Ki Tambak Rejo mengangguk senang. Karena biar bagaimanapun orang seperti dirinya tak lepas dari keinginan untuk mendapatkan imbalan. Sekalipun yang meminta bantuan rekan segolongan, dan mempunyai nama besar seperti Setan Pantai Timur.
Perlahan-lahan, Sagotra mengutarakan rencana yang sudah diatur dalam otaknya. Sedang Ki Tambak Rejo cuma mengangguk dan mengiyakan saja.
"Aku ingin kau lakukan pada hari ini juga...!" tegas Sagotra setelah membeberkan rencananya.
"Baik!" tukas Ki Tambak Rejo, kemudian bangkit dan mengumpulkan orang-orangnya, yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Setelah menjelaskan tentang apa yang disebutnya sebagai 'pekerjaan besar' dan 'terhormat' itu, Ki Tambak Rejo pun berangkat bersama anak buahnya, menuju Gunung Dampit, yang letaknya kira-kira setengah hari perjalanan dari Hutan Pagar Jurang.
Lewat tengah hari, Ki Tambak Rejo dan rombongannya sudah mulai menginjak daerah kaki Gunung Dampit. Setelah berhenti sebentar, meneliti sekitar, ia kembali membawa rombongannya menuruni sebuah lembah, yang terletak di sebelah timur kaki gunung itu.
"Ki Tambak Rejo...!"
Suara panggilan itu membuat Ki Tambak Rejo menarik tali kekang kudanya, menoleh ke arah asal suara. Wajahnya yang semula agak berkerut, tampak bersinar cerah sewaktu ia mengenali siapa orang yang memanggilnya itu.
"Harimau Gila, kaukah itu, Sahabatku...?!" Tanyanya memastikan sosok pendek gemuk, yang melangkah menghampirinya. Dan tawanya terdengar berkepanjangan sewaktu lelaki pendek gemuk itu semakin dekat dan jelas.
Lelaki pendek gemuk, yang berjuluk Harimau Gila ini, juga tertawa gembira. Kendati demikian, ia tidak bisa menyembunyikan keheranannya melihat Ki Tambak Rejo diiringi para pengikutnya dalam jumlah yang cukup besar. Rasa heran itu langsung diungkapkannya melalui pertanyaan.
"Sebaiknya kau jelaskan dulu tentang keberadaanmu di daerah ini, Harimau Gila. Kelihatannya keadaanmu tidak begitu menyenangkan? Mana pengikut-pengikutmu, apakah mereka tidak menyertaimu...?" tanya Ki Tambak Rejo, sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan Harimau Gila. Karena keadaan Harimau Gila yang kusut dan terdapat noda darah pada pakaiannya yang koyak di beberapa tempat, membuat hati Ki Tambak Rejo menjadi ingin tahu.
"Beginilah keadaanku sekarang...," ujar Harimau Gila, yang kemudian menceritakan tentang penyerbuan tentara kerajaan, hingga markasnya hancur berantakan. Harimau Gila juga menjelaskan bahwa selain dirinya, tak ada lagi yang selamat. Dan ia sendiri saat itu sedang dalam pelarian.
"Wah, nasibmu benar-benar sedang sial, Sobat..." Ki Tambak Rejo menghela napas panjang, seperti ikut merasa berduka atas apa yang telah menimpa gerombolan sahabatnya itu, "Sebaliknya denganku. Aku kini sedang dalam tugas untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar! Sebab imbalannya tidak akan habis meski dimakan sampai ke anak cucuku dan seluruh pengikutku! Nah, karena kulihat kau sedang susah, maka aku menawarkanmu untuk bekerja sama," lanjut Ki Tambak Rejo, yang kemudian menjelaskan tentang pekerjaan besar yang dikatakannya itu.
Kening Harimau Gila tampak berkerut. Wajahnya jelas menggambarkan keheranan besar sewaktu mendengar penjelasan Ki Tambak Rejo. Karena ia tentu saja kenal baik dengan Setan Pantai Timur, dan tahu kalau tokoh sesat yang juga merupakan kawan dekatnya itu, paling tidak suka membagi-bagikan hartanya kepada orang lain. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Ki Tambak Rejo. Harimau Gila cuma mengangguk-angguk, meski pikirannya berputar dan ingin tahu apa tujuan Setan Pantai Timur sampai menyewa Ki Tambak Rejo untuk melakukan tugas itu.
"Sebenarnya aku ingin sekali dapat ikut denganmu, Ki Tambak Rejo. Tapi, karena aku sedang dalam kejaran musuh-musuhku, terpaksa menolak kebaikanmu. Aku tidak ingin kau ikut susah nantinya. Nah, lanjutkanlah perjalananmu, Sobat...! Semoga pekerjaan besar ini dapat kau selesaikan dengan baik!" tolak Harimau Gila, yang kemudian bergerak mundur memberikan jalan kepada Ki Tambak Rejo dan rombongan.
Ki Tambak Rejo mengerti akan keadaan sahabatnya itu. Maka ia tidak berusaha memaksa. Sambil menggelengkan kepala mengingat nasib sial yang menimpa sahabatnya, ia membawa rombongan melanjutkan perjalanan. Kepala rampok dan para pengikutnya ini sama sekali tidak menduga kalau Harimau Gila mengikuti perjalanan mereka dengan menjaga jarak, agar perbuatannya tidak sampai diketahui.
********************
TUJUH
"Kakang"
Panggilan lembut yang menelusup masuk kedalam telinganya, membuat lelaki gagah ini terbangkit kesadarannya. Perlahan ia menolehkan kepala, setelah terlebih dulu menarik napas panjang-panjang.
"Beberapa hari belakangan ini aku sering menjumpai Kakang sedang termenung. Adakah sesuatu yang mengganggu pikiran Kakang? Tidakkah sebaiknya Kakang berbagi beban itu denganku? Siapa tahu dengan menceritakannya kepadaku, beban itu akan terasa lebih ringan...," lanjut sosok perempuan cantik ini, yang kemudian ikut duduk di samping lelaki gagah itu.
"Ke mana Andari...?" tanya lelaki ini mengalihkan pembicaraan itu.
"Dia baru saja tidur, Kakang...," sahut perempuan cantik ini seraya memandang bola mata suaminya, seakan menunggu jawaban permintaannya tadi.
"Ceritamu tentang laki-laki yang menolong putri kita itulah, yang membuat ketenanganku agak terganggu." Lelaki gagah ini mulai mengungkapkan apa yang menjadi beban pikirannya. "Dari ciri-ciri yang kau gambarkan, rasanya aku dapat menduga siapa adanya lelaki itu...," mendadak ucapannya terhenti. Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, membuat istrinya tersentak kaget.
"Ada apa,Kakang..?!"
"Aku mendengar suara derap kaki kuda dalam jumlah yang cukup banyak...," jawab lelaki gagah yang dalam dunia persilatan dujuluki sebagai Garuda Kuku Baja ini, dengan kening berkerut. Karena sebagai seorang tokoh silat berpengalaman luas, nalurinya mengisyaratkan ada ancaman bahaya bagi keluarganya. Perasaan seperti ini memang sulit dijabarkan. Namun, hampir setiap tokoh silat berpengalaman memilikinya. Dan, baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras yang mengandung tenaga dalam kuat.
"Garuda Kuku Baja, keluar kau! Aku Ki Tambak Rejo datang untuk mengirimmu ke akherat...!"
"Kurang ajar...! Mengapa tiba-tiba perampok busuk itu mendatangi tempat ini...?!" desis Garuda Kuku Baja, yang menjadi geram bukan main. Lalu menoleh ke arah istrinya. "Kau masuklah ke kamar, dan jaga anak kita...!" Sebelum istrinya menjawab, tubuh Garuda Kuku Baja sudah melesat ke luar dengan jejakan yang mengagumkan.
Whuukkk, whuuukkk!
Baru saja tubuhnya melewati pintu, empat benda runcing, yang merupakan mata tombak, langsung menyambut kemunculannya. Namun Garuda Kuku Baja tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan luar bisa, sepasang tangannya mengibas dengan jurus 'Garuda Sakti Membuka Sayap'. Karuan saja empat penyerang itu terlempar ke kiri-kanan. Sedang senjata mereka telah patah menjadi tiga bagian!
"Sebagian kepung rumah ini, yang lainnya habisi pendekar sombong itu...!" Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Tambak Rejo segera memberi perintah. Ia sendiri sudah melayang turun dari atas kudanya. Dengan senjata berupa sepasang trisula perak, kepala rampok itu menerjang Garuda Kuku Baja.
"Keparat kau, Ki Tambak Rejo...! Akan kuhabisi kalian semua...! Heaaattt...!"
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Garuda Kuku Baja melesat ke depan menyambut serangan Ki Tambak Rejo dan para pengikutnya. Kedua tangannya yang membentuk cakar garuda, menyambar-nyambar disertai suara angin berkesiutan. Sekali dua lengannya bergerak, terdengar suara jerit kesakitan, yang disusul dengan robohnya dua orang pengeroyoknya. Mereka tewas seketika dengan tenggorokan terkoyak jari-jari sekeras baja itu.
Siuuttt! Cwittt...!
Sepasang trisula perak Ki Tambak Rejo menyambar dengan kecepatan tinggi. Namun dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Karena Garuda Kuku Baja telah menggeser langkahnya ke kanan. Sembari menghindar, cakar garudanya kembali beraksi merobohkan seorang pengeroyok, hingga terbanting tewas dengan luka menganga pada bagian Iambungnya. Kemudian disusul dengan beberapa orang lawan lagi, yang tak sempat menghindari sambaran kuku sekeras baja lelaki gagah ini. Sehingga amukannya sempat membuat kepungan merenggang.
"Pengecut, ayo maju...!" Ki Tambak Rejo kembali berteriak-teriak memberi perintah kepada para pengikutnya. Kemudian mengayunkan sepasang trisulanya ke tubuh Garuda Kuku Baja.
"Hmmhh...!" Garuda Kuku Baja benar-benar marah sekali kepada Ki Tambak Rejo. Namun ia tidak sempat untuk mencecar kepala rampok itu dengan serangannya. Karena para pengikut Ki Tambak Rejo menghambur maju dengan sambaran senjatanya masing-masing. Hal itu membuat Garuda Kuku Baja harus membagi perhatiannya, tak bisa cuma mengurusi seorang saja.
Selagi mengamuk dengan keampuhan cakarnya, tiba-tiba saja wajah Garuda Kuku Baja berubah pucat! Bayangan para pengikut Ki Tambak Rejo yang tengah berusaha untuk memasuki rumahnya, membuat Garuda Kuku Baja melenting ke udara, meninggalkan lawan-lawannya. Sambil membagi-bagi sambaran jari-jari bajanya, lelaki gagah itu menerobos masuk ke rumah. Karena ia merasa khawatir akan keselamatan anak dan istrinya.
Cappp! Crabbb!
Garuda Kuku Baja terpekik ketika dua ujung tombak menancap di tubuh bagian belakangnya, ketika dia berusaha masuk ke rumah. Secepat kilat tubuhnya berputar disertai suara menggereng yang menggetarkan jantung. Sepasang cakarnya meluncur deras, dan mencekal tenggorokan dua orang penyerangnya. Kedua orang itu mendelik, karena jalan napasnya tercekik!
"Jiaaahhh...!" Sembari membentak, Garuda Kuku Baja membetot jari-jarinya yang terbenam di tenggorokan lawan. Hingga, kedua lengannya berlumuran darah. Dan pada tiga buah jari kedua tangannya, yang membentuk cakar garuda, terdapat serpihan kulit dan daging kedua orang lawannya, yang telah tersungkur dengan napas putus!
Ki Tambak Rejo tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tubuh Garuda Kuku Baja menegang, sehabis mencabut nyawa kedua orang pengikutnya. Sepasang trisulanya bekerja cepat menusuk kedua lambung yang terbuka itu. Karena saat itu Garuda Kuku Baja tengah berdiri dengan kedua tangan dikembangkan.
Tanpa ampun lagi, senjata bermata tiga itu langsung menembus sasarannya. Seketika Garuda Kuku Baja menjerit setinggi langit Tubuhnya limbung disertai semburan darah ketika Ki Tambak Rejo mencabut senjatanya yang menancap cukup dalam.
"Kakang...?!"
Istri Garuda Kuku Baja, yang berdiri di depan pintu kamarnya, menjerit, menyaksikan tubuh suaminya terhuyung dengan percikan darah yang membasahi lantai. Perempuan cantik ini sudah mengikat tubuh putrinya di punggung dengan sehelai kain. Dia bergegas menyambut tubuh suaminya, dan melepaskan pedang yang dipegangnya. Namun, ia tak sempat lagi untuk mengurusi sang Suami, karena tiga orang perampok menerobos masuk dengan senjata di tangan. Cepat wanita cantik ini menyambar pedangnya yang tergeletak di lantai.
"Pergilah kalian ke neraka, manusia-manusia busuk...!" pekik istri Garuda Kuku Baja sambil menyabetkan pedangnya mengarah perut ketiga perampok itu.
Terdengar jeritan kematian susul menyusul ketika pedang itu merobek sasarannya. Darah pun seketika muncrat membanjiri lantai rumahnya. Namun robohnya ketiga perampok itu bukan berarti istri Garuda Kuku Baja sudah bisa bernapas lega, karena enam perampok menyusul masuk ke dalam rumah. Sehingga, wanita cantik yang menggendong putrinya di punggung ini, harus berjuang keras menghadapi enam orang perampok yang menyerangnya.
Sebagai istri seorang tokoh kenamaan, tentu saja dirinya bukanlah perempuan lemah. Kendati ilmunya berada jauh di bawah Garuda Kuku Baja, namun serangan enam orang perampok itu masih dapat ditanggulanginya. Sayangnya lawan yang harus dihadapi bukan cuma enam orang itu. Beberapa orang perampok yang telah menerobos masuk, ikut bergabung mengeroyok. Sehingga wanita ini mulai kewalahan dan terdesak ke sudut ruangan.
"Manusia-manusia keji, tak tahu malu melakukan pengeroyokan terhadap seorang wanita...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan marah, yang disusul dengan melayangnya sesosok tubuh, menerobos atap rumah. Belum lagi kakinya menginjak tanah, sebatang pedang yang tergenggam di tangannya, telah datang menyambar para pengeroyok istri Garuda Kuku Baja. Seketika itu pula empat orang perampok terlempar mandi darah!
"Pergilah, selamatkan dirimu dan anakmu! Biar aku yang akan menghadapi perampok-perampok busuk itu...!" ujar sosok tubuh berpakaian serba hitam yang sebagian wajahnya juga tertutup selembar kain hitam.
"Tapi..., suamiku...," wanita cantik itu masih juga belum bergerak dari tempatnya. Sepasang matanya yang basah menatap sayu tubuh sang Suami yang tampak sudah tidak bergerak.
"Percuma, Nyi, suamimu sudah tewas...," tukas sosok berpakaian serba hitam seraya menghela napas penuh sesal melihat sosok Garuda Kuku Baja, yang sudah tidak bernapas lagi.
Wanita cantik ini mengeluh dengan air mata yang kembali meluncur membasahi wajahnya. Kepalanya menggeleng perlahan, seolah tak dapat menerima kematian suaminya. Jiwanya mengalami guncangan hebat, membuat tubuhnya terhuyung mundur. Seolah bumi yang dipijaknya ikut berguncang. Untung lelaki berpakaian serba hitam yang barusan menyelamatkan dirinya sempat melihat dan langsung menyambar. Sehingga tubuh wanita itu tidak sampai terbanting roboh.
"Nyi, jumlah mereka terlampau banyak. Kurasa aku pun tidak akan sanggup menghadapinya. Kita harus cepat tinggalkan tempat ini...!" bisik sosok berpakaian serba hitam sambil menahan tubuh wanita malang itu agar tidak jatuh.
Namun lagi-lagi istri Garuda Kuku Baja menggelengkan kepala disertai isak tangis yang memilukan. Hatinya masih berat meninggalkan tubuh sang suami meski sudah tidak bernyawa lagi itu.
"Pikirkanlah keselamatan putrimu, Nyi...! Apakah kau menghendaki ia dibantai perampok-perampok biadab itu...?!" lanjut lelaki berpakaian serba hitam, sambil menusukkan pedangnya dua kali ke tubuh dua orang perampok yang datang menyerang. Korban pun kembali jatuh terkapar berlumur darah.
Ucapan penolongnya membuat istri Garuda Kuku Baja baru sadar kalau saat itu ia masih menggendong putrinya. Ia pun mengangguk setuju, setelah kembali menatap mayat suaminya. Wanita ini tidak berusaha memberontak sewaktu tubuhnya dibawa melayang naik, menerobos atap rumah. Kemudian terus dibawa pergi oleh penolongnya ke arah selatan.
Matahari sudah naik semakin tinggi, sewaktu lelaki berpakaian serba hitam yang membawa istri dan putri Garuda Kuku Baja tiba di sebuah desa. Dia langsung membawa kedua orang yang ditolongnya ke sebuah rumah penginapan, yang dianggapnya cukup aman untuk sementara waktu.
"Mengapa kau menolongku, Tuan...?" tanya istri Garuda Kuku Baja, setelah mengenali penolongnya. Dia ternyata lelaki yang pernah dijumpainya, sewaktu ia sedang bermain-main dengan putrinya. Lelaki berpakaian serba hitam ini memang tak lain Sagotra.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong sesama, selama pertolongan yang kita berikan bukanlah untuk berbuat jahat..." jawab Sagotra sambil tersenyum tipis, "Untuk sementara waktu, tempat ini cukup aman. Aku akan pergi sebentar untuk melihat keadaan di sana. Siapa tahu masih ada harta yang tersisa, yang aku yakin akan berguna banyak untuk kalian berdua. Tunggulah di tempat ini, dan jangan sekali-kali keluar sebelum aku kembali!" lanjutnya, berpesan kepada kedua ibu dan anak itu.
"Tuan..., hati-hatilah...!" ujar wanita cantik ini dengan suara menggambarkan kecemasan hatinya.
Sagotra menunda langkah dan menoleh ke belakang. Dia tersenyum untuk menenangkan hati wanita cantik itu. Kemudian mengangguk dan melesat pergi meninggalkan rumah penginapan.
********************
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Sagotra melesat menuju Hutan Pagar Jurang. Hatinya benar-benar gembira karena rencana yang diaturnya berjalan lancar. Kini tidak ada halangan lagi baginya untuk selalu dekat dengan perempuan cantik yang membuatnya tergila-gila itu.
Membayangkan wajah cantik dengan tubuh molek itu berada dalam pelukannya, hati Sagotra berdebar nikmat. Rasanya ia tak sabar untuk segera kembali bertemu dan berkumpul dengan wanita cantik itu. Bayangan wajah cantik itu membuat Sagotra semakin mempercepat larinya. Hingga akhirnya ia tiba di Hutan Pagar Jurang, markas gerombolan perampok yang disewanya untuk membunuh Garuda Kuku Baja.
Ki Tambak Rejo yang sudah menunggu-nunggu kedatangan Setan Pantai Timur, bergegas menyambut begitu melihat sosok bayangan hitam berlari mendatangi markasnya. Mulutnya tersenyum dan memperdengarkan kekeh senang. Karena Setan Pantai Timur tampak membawa buntalan besar dan terlihat sangat berat
Pimpinan Perampok Hutan Pagar Jurang itu menggosok kedua telapak tangan seraya membayangkan imbalan yang bakal diterimanya. Meski untuk itu telah kehilangan beberapa orang pengikutnya, Ki Tambak Rejo sama sekali tidak terlihat menyesal. Yang penting dirinya selamat. Mengenai pengikutnya ia tidak mau ambil pusing. Sebab, semua itu memang sudah menjadi resiko pekerjaan.
"Pekerjaanmu membuat aku bangga dan gembira, Ki Tambak Rejo...," ujar Setan Pantai Timur memperlihatkan wajah berseri. "Garuda Kuku Baja tewas dalam penyerbuan itu. Dan aku pun sudah mendapatkan istrinya yang cantik. Sekarang kau boleh menerima imbalannya...," berkata demikian, Setan Pantai Timur segera membuka buntalan, memperlihatkan kepingan emas, dalam jumlah banyak.
Ki Tambak Rejo terkekeh dengan mata berkilat-kitat. Bersama para pengikutnya, kepala rampok ini mengelilingi Setan Pantai Timur.
"Ini hanya untuk membuktikan janjiku. Selain ini, masih ada sepuluh kotak besar penuh emas permata yang akan membuat kalian semua hidup senang. Oleh karena ini merupakan permulaan, maka aku akan membagikannya kepada kalian semua," lanjut Setan Pantai Timur, yang memang telah banyak mengumpulkan harta selama belasan tahun malang melintang melakukan perbuatan jahatnya. Ucapannya disambut sorak-sorai para pengikut Ki Tambak Rejo.
"Kau tidak perlu khawatir, Ki Tambak! Kau akan mendapat dua puluh kali lipat dari pengikut- pengikutmu..."
Ki Tambak Rejo yang semula mengerutkan kening mendengar Setan Pantai Timur akan membagi-bagikan kepingan emas itu, kini tersenyum lebar. Kepalanya mengangguk-angguk mendengar tentang bagian yang akan diperolehnya.
Setan Pantai Timur mempersilakan Ki Tambak Rejo lebih dulu untuk mengambil kepingan emas dalam kantong besar itu. Sambil terkekeh-kekeh, kepala rampok ini meraup kepingan emas sebanyak-banyaknya dengan kedua tangan. Baru kemudian para pengikutnya bergantian maju meraup hanya dengan satu tangan, seperti yang diperintahkan Setan Pantai Timur. Sampai akhirnya seluruh isi kantong ludes tanpa sisa.
Dengan bibir menyunggingkan senyum licik, Sagotra alias Setan Pantai Timur bergerak mundur menjauhi Ki Tambak Rejo dan pengikutnya yang tengah menari-nari sambil tertawa-tawa seperti orang gila.
"Aakhh...?!" Tiba-tiba saja, Ki Tambak Rejo yang tengah tertawa-tawa menatap kepingan emas kedua telapak tangannya, memekik keras. Tubuhnya terhuyung dengan wajah pucat! Kepingan emas di kedua tangannya dilemparkan ke tanah. Mulutnya menjerit- jerit ketika melihat kedua telapak tangannya telah berubah kehitaman. Ki Tambak Rejo memutar tubuhnya ke tempat Setan Pantai Timur berada.
"Kau... keparat...! Emas-emas ini telah kau lumuri racun jahat...!" desis Ki Tambak Rejo, yang wajahnya juga mulai berwarna kehitaman.
Setan Pantai Timur tertawa berkakakan. Ia sama sekali tidak khawatir meski Ki Tambak Rejo sudah bergerak maju dengan sepasang trisulanya. Karena sebelum tiba dekat, kepala rampok ini sudah roboh ke tanah, tak sanggup melangkah lebih jauh.
"Hua ha ha...! Apa kau kira aku rela membagi-bagikan harta hasil jerih payahku kepadamu, Ki Tambak Rejo? Dan apa kau pikir aku percaya kau bisa menjaga rahasiaku? Tidak, Ki Tambak! Semua yang tahu rahasiaku harus mampus! Aku tak ingin kau akan mendatangkan kesulitan kepadaku di kemudian hari nanti...!" ujar Setan Pantai Timur sambil tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin keras ketika Ki Tambak Rejo berkelojotan hingga akhirnya tewas dengan tubuh mengejang.
Kemalangan yang menimpa Ki Tambak Rejo juga dialami semua pengikutnya. Puluhan anggota perampok itu roboh bergelimpangan dengan mulut berbusa dan kulit kehitaman. Dalam beberapa saat saja, Ki Tambak Rejo dan seluruh pengikutnya telah tewas oleh kelicikan dan kekejaman Setan Pantai Timur.
Setelah agak lama, dan yakin kalau semuanya sudah tewas, Setan Pantai Timur melangkah perlahan, mengumpulkan kepingan uang yang berserakan di tanah. Kemudian dimasukkan kembali ke kantong yang masih dipegangnya. Tokoh sesat yang licik dan kejam ini tentu saja tidak terpengaruh oleh racun itu. Karena ia telah menelan obat penangkal, selain melumuri kedua belah telapak tangannya dengan bubuk putih, yang merupakan obat penawar racun.
Setelah semua keping emas terkumpul, Setan Pantai Timur melesat pergi sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Sebentar saja sosoknya telah jauh dan merupakan bayangan samar, sampai akhirnya lenyap ditelan kelebatan pohon Hutan Pagar Jurang.
Tidak berapa lama sepeninggal Setan Pantai Timur, muncullah sesosok tubuh pendek gemuk dari balik rimbunan semak. Sosok itu tak lain Harimau Gila, yang telah menyaksikan semua kejadian tadi sejak awal.
"Hm..., sejak semula aku memang sudah menaruh curiga kepada manusia satu itu. Sebab, setahuku ia sangat sayang terhadap harta hasil jerih-payahnya. Sekarang terbukti apa yang membuatku penasaran. Hm... hati-hati, Sagotra! Rahasia kebusukanmu ada di tanganku...!" setelah berkata demikian, Harimau Gila pun meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
********************
"Mengapa begitu lama Tuan pergi? Membuat aku cemas memikirkannya," ujar wanita cantik bekas istri Garuda Kuku Baja, menyambut kedatangan Sagotra. Kecemasan pada wajahnya perlahan lenyap saat melihat penolongnya kembali dengan selamat. Hampir dua hari ia menunggu-nunggu kedatangan penolongnya itu.
"Maaf, aku harus mengurus mayat suamimu dulu. Kemudian mencari-cari kalau-kalau ada yang terlewatkan dari perampok-perampok busuk itu. Sayang aku tidak menemukan satu pun benda berharga yang masih tersisa. Sedangkan aku cuma memiliki ini saja...," jawab Sagotra menjelaskan. Kemudian memperlihatkan sekantong uang yang dibawanya sebagai bekal. Sedang selebihnya ia sembunyikan di tempat tinggalnya. Itu yang menyebabkan Sagotra sampai hampir dua hari baru kembali.
"Tuan begitu baik kepada kami. Entah bagaimana aku bisa membalasnya...," ujar wanita cantik ini seraya menundukkan wajahnya. Karena Sagotra, yang tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan tertariknya, terus menatapnya tak berkedip. Kendati demikian, istri Garuda Kuku Baja tidak marah, karena penolongnya itu tidak berbuat kurang ajar, selain memandangnya dengan sorot mata kagum. Selebihnya sikap Sagotra memang terlihat sopan, membuat wanita ini tidak merasa khawatir.
"Aku tidak mengharapkan balasan darimu, Nyai..."
"Namaku Nilam, Tuan. Panggil saja dengan nama itu. Tidak enak rasanya mendengar Tuan terus-menerus menyebutkan Nyai...," sela wanita cantik ini menyebutkan namanya.
"Nilam...," desis Sagotra beberapa kali, seperti hendak mengukir nama itu di dalam hatinya. Hal itu membuat wajah istri Garuda Kuku Baja kemerahan karena jengah. "Sebuah nama yang indah. Aku suka mengucapkannya. Sangat cocok sekali dengan parasmu yang laksana dewi, Nyai... eh, Nilam. Dan kau boleh panggil aku dengan nama Sagotra, tanpa embel-embel Tuan seperti yang sering kau ucapkan," lanjut Sagotra tersenyum lembut, bagai tak pernah puas menikmati wajah cantik dihadapannya.
"Terima kasih, Sagotra. Mmm..., malam sudah semakin larut Aku ingin beristirahat...," ucap Nilam mengangkat wajah dan mengangguk kepada Sagotra.
"Baiklah, Nilam. Dan besok pagi-pagi sekali kita harus segera meninggalkan desa ini. Aku khawatir para perampok itu masih akan mengincarmu. Terlebih putrimu. Menurut dugaanku, mereka akan membunuhnya. Khawatir kalau-kalau ia akan menjadi penyakit di kemudian hari...," ujar Sagotra mengingatkan Nilam dalam bahaya yang masih akan terus membayangi.
Agak kaget juga hati Nilam mendengar ucapan Sagotra. Membuat langkahnya terhenti, dan memutar tubuh menghadapi penolongnya itu. Sebagai seorang istri tokoh silat, tentu saja Nilam mengerti bahwa ancaman itu ada kemungkinan akan datang lagi.
"Ke mana tujuan kita selanjutnya. ..?" tanya Nilam yang tidak tahu harus bagaimana, dan menyerahkan keputusannya kepada Sagotra. Karena ia tidak mempunyai tempat lagi untuk berlindung kecuali kepada lelaki penolongnya itu.
"Ke mana saja yang kira-kira aman untuk kau dan putrimu, Nilam. Dan kau tidak perlu khawatir karena aku akan melindungi kalian berdua dengan taruhan nyawa," janji Sagotra untuk menenangkan hati Nilam.
"Mengapa... mengapa kau sampai mau berkorban nyawa untuk kami berdua, Sagotra? Sedangkan kita baru saling mengenal...?" Agak kaget juga hati Nilam telanjur melontarkan pertanyaan itu. Namun untuk menariknya sudah terlambat. Terpaksa ia menunggu jawaban Sagotra dengan hati berdebar. Sebagai wanita, terlebih sudah pernah bersuami, tentu saja Nilam menangkap getaran perasaan dan pancaran mata Sagotra.
"Karena... terus terang sejak pertama kali berjumpa, aku merasa kagum dan tertarik kepadamu, Nilam. Tapi, bukan berarti aku merasa senang melihat kau kehilangan suamimu. Aku pun turut menyesal mengapa aku datang terlambat waktu itu. Kalau saja aku tiba lebih cepat, kemungkinan besar kau masih akan bersama-sama suamimu..."
Nilam menghela napas perlahan, menenangkan gemuruh di dalam dadanya. "Aku baru saja kehilangan suamiku, Sagotra...," ucapnya lemah, teringat kembali akan kematian suaminya.
"Maafkan aku, Nilam..."
Nilam tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka berdua, sampai akhirnya Nilam minta diri untuk istirahat. Sagotra hanya mengangguk lemah. Setelah sosok Nilam lenyap di balik pintu, Sagotra pun melangkah memasuki kamarnya, yang bersebelahan letaknya dengan kamar wanita cantik itu.
********************
Bayangan kejadian masa lalu yang melintas jelas dalam benak Sagotra, membuat wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di dadanya. Langkah kakinya terhuyung seperti tak dapat menapak dengan baik.
"Nilam... Andari... ampuni dosa-dosaku...!" rintih suara parau Sagotra mengungkapkan kedukaan hatinya. Kakinya terus melangkah lambat-lambat melintasi jalan setapak.
Sudah dua hari dua malam Sagotra menempuh perjalanan tanpa mempedulikan keadaan dirinya, yang kini tak ubahnya dengan seorang gembel. Pakaiannya kotor dan koyak di beberapa tempat. Demikian pula dengan rambut dan wajahnya. Kotor dan dipenuhi debu. Sepasang matanya sayu, memandang kosong ke depan. Keadaan ini menunjukkan betapa hati Sagotra tengah dilanda kedukaan hebat!
Bayangan anak dan istri yang akan membenci dan memusuhi dirinya, membuat hatinya tidak bisa tenang tinggal di rumah. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan anak istrinya. Karena menurutnya lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan.
Tanpa disadari, langkahnya telah membawa Sagotra jauh meninggalkan Desa Kranggan. Kini langkahnya terhenti. Di hadapannya membentang sebatang sungai berair deras berwarna keruh kecoklatan. Lebar sungai kurang lebih sekitar tiga tombak lebih. Di sini Sagotra termenung. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
"Hua ha ha...! Sagotra... Sagotra...! Kau tak ubahnya seekor ular yang menghampiri penggebuk...!"
Sebuah suara yang besar dan berat membuatSagotra tersadar dari lamunannya. Bergegas iamemutar tubuh. Didapatinya sesosok tubuh pendekgemuk berdiri sekitar dua tombak di hadapannya. Selain lelaki itu, juga masih terdapat empat lelaki lain.
"Harimau Gila...?!" desis Sagotra terkejut dan juga heran, "Rupanya kau masih juga belum puas hingga terus membayangi langkahku...!" lanjutnya dengan nada geram!
"Hmmhh...! Kau telah mengingkari janjimu, Sagotra. Sehingga, niat untuk membunuh Pendekar Clurit Perak terpaksa batal! Dan kaulah yang menjadi penyebab utamanya!" ujar Harimau Gila tanpa mempedulikan perkataan Sagotra, "Aku telah menulis surat kepada istri dan anakmu. Dan melihat keadaanmu, aku bisa menebak kalau kau pasti melarikan diri, karena mereka hendak membunuhmu! Itu akibatnya, karena kau tidak mau membantuku!"
"Hm..., lalu apa lagi yang kau kehendaki dariku sekarang?" tukas Sagotra menatap wajah Harimau Gila dengan penuh kebencian.
"Mengajakmu untuk bergabung. Dan kau tidak punya pilihan lain. Saat ini tokoh-tokoh golongan putih sedang mencari-cari pembunuh Kakek Jubah Hitam! Itu sebabnya kami berkumpul di tempat ini. Karena kami harus menyembunyikan diri di tempat yang aman sampai keadaan kembali tenang. Dan perlu kau ketahui, Sagotra! Kami telah menyebar berita bahwa yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah Setan Pantai Timur! Tapi, karena tanpa sengaja kau telah menginjak daerah persembunyian kami, dan mengingat hubungan lama kita, aku merasa kasihan kepadamu. Jawabannya terserah kepadamu. Kami tak aka memaksa...," Harimau Gila yang mengakhiri ucapannya dengan tawa bergelak.
"Tidak! Lebih baik mati daripada bergabung dengan manusia licik dan kejam sepertimu, Harimau Gila! Malah aku akan membawamu untuk bergabung dengan malaikat maut!" usai berkata demikian, Sagotra menghunus pedangnya. Ia menjadi nekat, karena merasa hidupnya sekarang tak ubahnya orang yang telah mati. Sagotra merasa kematian jauh lebih baik ketimbang menjalani hidup dengan beban yang baginya terasa sangat berat.
"Hm..., sebenarnya aku sudah tidak berminat untuk membunuhmu, Sagotra. Aku lebih suka melihat keadaanmu sekarang, yang tak ubahnya mayat berjalan. Hatimu akan terus digerogoti penderitaan, yang kelak akan menghantarmu ke akherat. Tapi, karena tanpa sengaja kau telah mengetahui tempat persembunyian ini, terpaksa aku harus membunuhmu...!" sahut Harimau Gila, lalu segera memberi isyarat kepada empat orang kawannya, yang dua di antaranya ternyata Penjagal Kepala dan Ronggawu. Mereka telah bergabung di tempat persembunyian itu.
Sagotra memutar pedang di sekeliling tubuhnya membentuk gulungan sinar menderu-deru. Dan dengan diiringi sebuah teriakan panjang, tubuhnya melesat menerjang Harimau Gila, yang memang sangat dibencinya.
Harimau Gila dan empat kawannya pun tidak tinggal diam. Dengan senjata di tangan, mereka mengeroyok Setan Pantai Timur. Hingga, sebentar saja pertempuran seru pun berlangsung! Namun setelah pertarungan lewat dari tiga puluh jurus, terlihat Sagotra mulai kewalahan. Hal itu disebabkan keadaannya yang memang tidak memungkinkan. Rasa lelah lahir dan batin, membuat ketangkasannya jauh berkurang. Kini dirinya harus bertahan mati-matian dari desakan lima orang pengeroyoknya itu.
"Haiiittt...!"
Di saat keadaan Sagotra semakin payah, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang, yang disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hijau ke tengah arena. Begitu tiba, sosok bayangan hijau itu langsung membuat desakan Harimau Gila dan kawan-kawannya terhadap Sagotra menjadi berantakan! Sambaran sinar putih keperakan yang disertai gelombang angin dingin menusuk tulang, membuat lima orang kepala rampok itu berlompatan. Mereka mundur meninggalkan Sagotra yang tampak kepayahan dengan sekujur tubuh dibanjiri peluh.
Kini sosok bayangan hijau yang menyelamatkan nyawa Sagotra, telah berdiri dengan kedua kaki terpentang. Di tangannya tergenggam sebatang pedang bersinar putih keperakan yang menyebarkan hawa dingin. Sosok itu ternyata seorang wanita muda berparas jetita, yang mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita ini kalau bukan Kenanga.
DELAPAN
Melihat paras cantik jelita dengan bentuk tubuh mengundang selera itu, Harimau Gila dan keempat kawannya sama terbelalak menelan air liur. Mereka tak jadi marah. Bahkan kelimanya kemudian menyeringai, sambil menjilati wajah dan tubuh Kenanga dengan pandang matanya.
"Aku kebetulan lewat di tempat ini dan mendengar semua pembicaraan kalian. Aku memang belum mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam. Tapi, mendengar pembicaraan kalian, yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh golongan putih tengah mencari-cari si Pelaku Pembunuhan, hatiku pun tergerak. Aku terpaksa turun tangan membela lelaki yang kalian sebut sebagai Setan Pantai Timur ini. Karena ia ikut terlibat dan menjadi saksi pembunuhan itu. Selain itu, aku membelanya karena mendengar sikapnya yang menentang kalian semua. Aku pernah dengar nama besar Setan Pantai Timur. Tapi, melihat keadaan dan perkataannya sekarang, aku bisa menduga kalau ia telah sadar dari kesesatannya. Dan orang yang telah sadar patut dibela!" ujar Kenanga tidak mempedulikan pandangan kelima orang kepala rampok itu.
"Celaka...!" desis Harimau Gila setelah mendengar ucapan dara jelita itu. Seleranya langsung lenyap seketika, berganti dengan kecemasan. Kini ia tidak lagi memandang Kenanga sebagai sosok yang menggiurkan, melainkan orang berbahaya yang juga harus dilenyapkan! Maka, Harimau Gila kembali memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok dan membunuh Kenanga serta Setan. Pantai Timur!
Kenanga dan Sagotra seolah sudah saling sepakat untuk maju bersama. Maka, mereka pun bergerak maju untuk menghadapi keroyokan lima orang lawan itu.
"Hih hih hih...!"
Kedua belah pihak yang sudah siap saling terjang ini sama tertegun, ketika mendadak terdengar suara tawa mengikik, yang bagaikan datang dari delapan penjuru angin.
"Bibi Guru...?!" Tiba-tiba saja Harimau Gila berseru dengan wajah berseri. Kemudian bergegas lari menyambut ketika melihat adanya sesosok bayangan yang mendatangi tempat itu.
"Hih hih hih...! Kau rupanya, Harimau Gila!" seru seorang nenek bertelanjang dada. Perempuan tua renta itu tak lain Kalong Wewe. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya kepada Harimau Gila, yang rupanya dikenal baik oleh nenek sinting ini.
Harimau Gila, yang menjatuhkan diri di depan Kalong Wewe, bergegas bangkit. Mereka berdua memang memiliki hubungan yang cukup dekat. Karena guru dari Harimau Gila adalah adik seperguruan Kalong Wewe. Itu sebabnya mengapa mereka berdua saling kenal satu sama lain. Dan Harimau Gila tentu saja sangat gembira dengan kemunculan bibi gurunya itu. Karena dengan adanya nenek sinting ini, pihaknya jelas bertambah kuat
"Aku sedang mendapat kesulitan, Bibi Guru," jawab Harimau Gila separo melapor, "Dan aku terpaksa bersembunyi karena tengah dicari-cari tokoh-tokoh golongan putih. Mereka berdua termasuk di antara orang-orang yang memburuku..."
"Aiihh..., kalau begitu, kaulah yang telah membunuh tua bangka Kakek Jubah Hitam?!" tukas Kalong Wewe memperlihatkan seringai senang. Tawanya terdengar berkepanjangan ketika melihat Harimau Gila mengangguk pasti.
"Bagus... bagus...! Orang-orang seperti tua bangka sombong itu memang sudah seharusnya dilenyapkan. Karena mereka hanya membuat susah gerakan kita saja. Kalau begitu, biar kedua orang itu menjadi bagianku...!" lanjutnya yang kemudian menghampiri Kenanga dan Sagotra.
Kemunculan Kalong Wewe, tentu saja membuat Kenanga merasa terkejut. Terlebih Sagotra yang telah mendengar kesaktian nenek sinting itu. Hatinya menjadi tegang. Wajahnya agak pucat. Meski ia tidak takut menghadapi kematian, namun menghadapi nenek yang tidak lumrah manusia itu, hatinya merasa gentar juga.
"Kalian berdua bersiaplah untuk meninggalkan dunia ini...!" ujar Kalong Wewe. Begitu ucapan itu selesai, dia langsung menyerang Kenanga dan Sagotra dengan menggunakan kuku-kukunya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku sekeras besi ini meluncur disertai suara angin berkesiutan.
Kenanga dan Sagotra bergerak menyebar ke kiri dan kanan. Sambaran kuku-kuku runcing itu langsung dipapaki Kenanga dengan sambaran Pedang Sinar Bulannya. Namun, betapa terkejut Kenanga ketika pedangnya berbenturan dengan kuku nenek sinting itu, lengannya bergetar keras. Bahkan tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Sedangkan tubuh Kalong Wewe terlihat cuma bergetar dan masih tetap di tempatnya. Kuku-kuku jari tangan nenek sinting itu terlihat tetap utuh, menandakan bahwa tenaga dalam yang melindunginya sangatlah kuat.
Sesaat setelah benturan itu terjadi, Sagotra memekik keras sambil menusukkan pedangnya ke tubuh Kalong Wewe. Namun, nenek tanpa baju itu sudah memiringkan tubuh, membuat ujung pedang Sagotra lewat di depannya. Dan sebelum Sagotra sempat menarik senjatanya tangan kanan Kalong Wewe sudah terulur hendak merampas pedang itu. Sedang tangan kirinya menusuk ke arah ulu hati Sagotra. Gerakan nenek ini sangat cepat bukan main, membuat Sagotra sadar bahwa kalau mau selamat, ia harus merelakan senjatanya dirampas.
Sayang gerakannya kalah cepat. Sebelum ia bergerak melempar tubuh ke belakang, pedangnya telah tercengkeram jari-jari tangan lawan. Untung saja ia masih sempat memiringkan tubuh saat jari-jari yang mengandung racun pelumpuh itu menyambar ulu hatinya. Sehingga, meski ia tidak berhasil menghindar, namun tusukan itu meleset dari sasaran, dan hanya menggores iga kanannya. Namun, alangkah terkejut hati Sagotra ketika merasakan tenaganya mendadak lenyap. Sekelilingnya terasa berputaran, membuat ia tak sanggup lagi mempertahankan dirinya. Sagotra pun roboh tak sadarkan diri!
Melihat kenyataan itu, Kenanga tentu saja menjadi kaget bukan main. Tak disangkanya kalau nenek sinting itu ternyata mampu merobohkan Setan Pantai Timur, yang menurut penglihatannya memiliki ilmu cukup tangguh. Hal itu membuat hatinya geram. Maka, pedang di tangannya kembali diputar, membentuk gundukan sinar putih keperakan berhawa dingin. Serangan datang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian terlemah di tubuh Kalong Wewe.
Namun sampai lima belas jurus lebih ia mencecar, pedangnya sama sekali tidak mampu mengenai sasaran. Ternyata Kalong Wewe selalu dapat menghindar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, yang memang mengagumkan sekali. Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus yang keempat puluh, serangan-serangan Kalong Wewe membuat Kenanga tak sempat lagi untuk membangun serangan. Kenanga terdesak dan hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
"Hiiihhh...!" Kalong Wewe yang merasakan penasaran karena benteng pertahanan lawannya sangat sukar untuk diterobos, tiba-tiba mengeluarkan pekikan nyaring menyakitkan telinga. Seketika Kenanga tersentak mundur, karena ia harus membagi tenaga untuk melindungi telinganya. Perbuatan ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi kendor. Dia baru sadar ketika melihat kuku-kuku jari tangan lawan meluncur pada saat putaran pedangnya melambat.
Whuuuttt...! Plakkk!
Mendadak Kalong Wewe terpekik kesakitan! Karena pada saat serangannya hampir merenggut tubuh Kenanga, tahu-tahu ada sesosok bayangan putih yang datang dan memapaki serangannya. Seketika itu pula benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh Kalong Wewe terdorong mundur sejauh satu setengah tombak. Meski masih dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, namun paras nenek sinting itu tampak memucat. Mulutnya menyeringai, menahan rasa sakit pada lengannya yang untuk beberapa saat bagaikan lumpuh, tak bisa digerakkan.
"Kau... Pendekar Naga Putih...?!"desis Kalong Wewe dengan mata terbelalak. Dilihatnya sosok pemuda tampan berjubah putih telah berdiri disebelah Kenanga. Rasa jerih tampak jelas pada sepasang matanya. Hingga, mendadak ia memutar tubuhnya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu diiringi lengkingan panjang yang mirip suara tangisan.
"Kakang...!" Begitu mengenali penolongnya, Kenanga langsung saja menghambur kedalam pelukan Pendekar Naga Putih. Karena penolongnya ternyata Panji, kekasihnya.
"Kenanga...," desah Panji tak dapat menahan gejolak kerinduan di hatinya. Dipeluknya tubuh dara jelita itu erat-erat. "Senang sekali melihatmu kembali. Aku sendiri hendak menyusulmu. Sayang perjalananku selalu terhambat oleh persoalan-persoalan yang kutemui," lanjut Panji, yang kemudian menanyakan tentang pertemuan tokoh-tokoh silat yang dihadiri Kenanga.
"Nanti saja, Kakang. Waktu untuk itu masih banyak. Sedangkan sekarang kita tengah menghadapi pembunuh-pembunuh Kakek Jubah Hitam...," ujar Kenanga mengingatkan Panji, bahwa mereka tidak cuma berdua di tempat itu.
Harimau Gila dan keempat kawannya menjadi pucat, melihat Pendekar Naga Putih menoleh ke arah mereka.
"Berhenti...!" bentak Panji ketika melihat kelima orang itu hendak melarikan diri. Sambil berseru demikian, tubuhnya langsung melayang berputaran di udara. Kemudian meluncur turun di hadapan Harimau Gila dan kawan-kawannya.
Harimau Gila dan kawan-kawannya yang sadar bahwa mereka tidak mungkin dapat menghindar dari Pendekar Naga Putih, langsung menerjang maju dengan senjata terhunus. Mereka merasa lebih baik mati ketimbang tertawan dan diadili di hadapan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
Wuttt!
Tusukan pedang Harimau Gila, yang dibarengi dua kawannya tak menemui sasaran. Dengan menggeser mundur kakinya Pendekar Naga Putih dapat mengelakkan serangan yang mengarah ketiga tempat di tubuhnya. Kemudian dikibaskan kedua tangannya dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Bressshh...!
Terdengar jerita kesakitan susul-menyusul. Kibasan yang sangat kuat itu membuat tubuh Harimau Gila dan dua orang kawannya terhumbalang ke kiri dan kanan. Berturut-turut tubuh ketiganya terbanting keras ke tanah. Mereka tak sanggup langsung bangkit. Karena hantaman itu membuat tubuh mereka menggigil bagaikan terserang demam tinggi. Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menghadapi sisa pengeroyoknya. Tubuhnya berlompatan menghindari sambaran pedang kedua orang lawannya.
Lewat sepuluh jurus kemudian, Panji yang melihat adanya peluang, langsung mengirimkan hantaman dua kali berturut-turut Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu pun terlempar deras dengan memuntahkan darah segar. Keduanya jatuh terduduk dengan senjata terlepas dari genggaman, tergeletak di samping tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih, jangan bunuh mereka...!" Saat Panji melangkah mendekati tubuh lawan-lawannya yang tergeletak di tanah, terdengar sebuah seruan.
Panji menoleh, menunggu kedatangan dua orang yang dikenalinya sebagai Sepasang Elang Laut Utara.
"Sebaiknya kita bawa mereka untuk diadili di hadapan tokoh-tokoh persilatan...!" Begitu tiba, Banadri langsung saja mengusulkan.
"Aku setuju," jawab Panji, "Penjahat-penjahat itu aku serahkan kepada kalian..."
Harimau Gila dan dua orang kawannya yang masih sadar, tentu saja menjadi pucat. Mereka menoleh ke arah Sagotra yang masih tergeletak pingsan. Namun, sebelum ketiga orang kepala rampok ini membuka suara, totokan Kenanga telah tiba lebih dulu, membuat lidah mereka kaku. Karena Kenanga telah menotok urat gagu mereka.
"Bawalah mereka pergi...!" ujar Kenanga tersenyum kepada Sepasang Elang Laut Utara.
Meski agak sedikit heran dengan perbuatan dara jelita berpakaian serba hijau itu, Banadri maupun Sandrila tidak berkata apa-apa. Mereka langsung membawa pergi Harimau Gila dan empat orang kepala rampok itu, setelah berpamit kepada Pendekar Naga Putih.
Beberapa saat setelah Sepasang Elang Laut Utara pergi, Panji dan Kenanga yang tengah menyadarkan Sagotra sama menolehkan kepalanya ke arah yang sama. Tiba-tiba mereka mendengar adanya suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Ketika melihat sosok dua orang perempuan yang kelihatannya hendak menghampiri mereka, Kenanga dan Panji pun bangkit berdiri.
Sagotra yang saat itu baru tersadar dari pingsannya, mendadak pucat! Ia langsung saja melompat bangkit dan berlari ke arah dua orang perempuan yang tak lain istri dan putrinya. Karuan saja sikap Sagotra membuat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Nilam... Andari..., ampuni aku...!" Begitu tiba, Sagotra langsung saja menjatuhkan tubuhnya di hadapan istri dan putrinya.
"Hm..., jadi isi surat yang dikirimkan Harimau Gila kepada kami bukan cuma fitnahan belaka...," desis Nilam menarik napas panjang dan menengadahkan wajahnya menatap langit. "Ahh..., betapa besar dosaku terhadap mendiang suamiku. Ternyata selama ini aku hidup bersama seorang pembunuh biadab...!"
Andari sendiri tidak bisa berkata apa-apa. Kenyataannya itu terlalu mengejutkan baginya. Karena orang yang selama ini menjadi tempatnya bermanja, ternyata orang yang telah membunuh ayah kandungnya.
"Aku... aku terlalu mencintaimu, Nilam. Dan karena ingin memilikimu aku pun menjadi mata gelap...," aku Sagotra menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Sekarang terserah kalian. Aku siap menerima hukuman dari kalian berdua...," lanjutnya dengan suara parau dan bergetar.
"Keparat busuk kau, Sagotra...!" Tiba-tiba saja, Andari yang sejak tadi hanya diam dengan air mata bercucuran, mendesis tajam. Secepal kilat, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.
"Tahan...!" Melihat pedang yang sudah siap memenggal kepala Sagotra, Panji berseru mencegah. Sekali berkelebat, ia telah berdiri di dekat ketiga orang itu.
"Jangan ikut campur dengan urusan kami! Kau tidak tahu duduk persoalannya...!" hardik Andari, menatap Panji dengan sorot mata tajam memancarkan ketidaksenangan hatinya.
"Dik...," ujar Panji tenang. "Apa pun bentuk persoalannya, sebaiknya dicari penyelesaian yang paling baik..."
"Hm..., kau tahu, lelaki jahat ini adalah pembunuh Ayah kandungku! Dan dia melakukannya dengan menggunakan kelicikan! Lalu berpura-pura menjadi penolong kami. Hingga kami menganggapnya sebagai dewa penolong, yang mempunyai budi besar dan tidak mungkin dapat kami balas. Sampai akhirnya ia melamar ibuku untuk menjadi istrinya. Karena hendak membalas jasa, Ibu terpaksa menerima lamarannya. Sayang, perbuatan busuknya ada yang menyaksikan tanpa sepengetahuannya. Nah, apa jawabmu sekarang setelah mengetahui persoalannya?" ujar Andari setelah menjelaskan persoalannya kepada Panji dan Kenanga.
"Benar ia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar," jawab Kenanga, yang telah melihat sendiri bagaimana sikap Sagotra sewaktu menghadapi Harimau Gila. "Tapi, setahuku ia telah sadar akan kesesatannya. Bahkan sewaktu Harimau Gila mengajaknya untuk bergabung, ia lebih memilih mati. Jadi, sebaiknya pikirkanlah apa yang bakal kalian perbuat, sebelum menyesal di belakang hari!"
Mendengar ucapan Kenanga, Andari menghela napas panjang. Kemudian menoleh kepada ibunya, yang kebetulan juga tengah memandangnya.
"Pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi, Sagotra!" Akhirnya Nilam memutuskan, setelah berpikir agak lama. Lalu dia berpaling kepada putrinya. "Mari, kita tinggalkan tempat ini, Andari...!"
"Nilam...!" Sagotra berteriak parau. Ia langsung melompat dan memeluk kedua kaki istrinya. Terdengar suara tangis penyesalannya. "Aku tak mungkin dapat hidup tanpa kalian. Berilah aku kesempatan untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu. Meski jadi pelayan sekalipun, aku bersedia asalkan tetap berada dekat dengan kalian..."
Sekeras apa pun hati Nilam, dan bagaimanapun bencinya kepada Sagotra saat itu, akhirnya luluh juga. Masa belasan tahun yang dilewati bersama-sama, telah menimbulkan rasa cinta di hatinya. Apalagi selama menjadi suami dan ayah dari putrinya, Sagotra memperlihatkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar. Kalau saja sejak dulu ia mengetahui bahwa Sagotra ternyata pembunuh suaminya, mungkin akan jadi lain persoalannya. Bahkan kemungkinan besar akan dibunuhnya Sagotra. Namun, peristiwa itu sudah sangat lama berlalu. Hingga, dendam dan kebencian yang dirasakannya tidak terlalu dalam.
"Aku belum bisa memaafkan kesalahanmu sepenuhnya, Sagotra. Sebaiknya, untuk sementara waktu, kau pergilah menjauh! Aku tidak tahu kapan bisa menerima kehadiranmu kembali...," ujar Nilam, yang kemudian melepaskan pelukan Sagotra pada kedua kakinya. Lalu bergerak meninggalkan tempat itu.
"Ibu..."
Panggilan Andari membuat langkah Nilam kembali terhenti. Perempuan cantik ini menoleh ke arah putrinya. Sekali pandang saja dirinya tahu kalau Andira telah memaafkan perbuatan Sagotra di masa silam. Baginya hal itu tidak aneh, karena Andari hampir tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Dia tahu kalau putrinya sudah terlalu dekat kepada Sagotra.
Hingga, sosok seorang ayah, bagi Andari lebih jelas adalah Sagotra, yang semenjak dia masih kecil telah memberikan kasih sayang dan kenangan yang tidak mudah untuk dihapusnya. Hal inilah yang membuat sosok ayah kandungnya sendiri hanya merupakan bayang-bayang yang tak jelas. Nilam maklum dengan apa yang ada dalam hati dan pikiran putrinya.
"Maafkanlah Ayah, Ibu...!" pintanya setengah memohon, "Berilah ia kesempatan untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu...!"
Nilam menghela napas beberapa saat Lalu mengangguk dan tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengayun langkah mendahului Andari.
"Mari, Ayah...!" ajak Andari sambil mengangkat tubuh Sagotra. Kemudian membawanya menyusul langkah ibunya.
Panji dan Kenanga memandangi kepergian ketiga sosok tubuh itu, hingga lenyap di kejauhan. Keduanya saling berpandangan sebentar dan tersenyum lega. Dan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, tahu-tahu saja keduanya telah berpelukan erat.
"Kau belum menceritakan tentang pertemuan para pendekar yang kau hadiri itu, Kenanga...," Panji menagih janji Kenanga tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak ada yang terlalu penting, Kakang. Singkatnya, pertemuan yang semula dimaksudkan untuk memilih seorang pemimpin bagi seluruh golongan putih, belum bisa diputuskan. Karena banyak tokoh tua yang belum hadir. Akhirnya pertemuan ditunda sampai purnama depan..."
Meskipun semua ucapan itu terdengar jelas, mata Panji lebih terpaku pada bibir kekasihnya sewaktu berbicara. Melihat tantangan terbentang di depan mata dan begitu dekat, Panji tak bisa lagi menahan diri. Seolah kerinduan di hati mereka masih belum terpuaskan!
S E L E S A I