Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Demi Tahta dan Cinta
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Demi Tahta dan Cinta
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
TENGAH pesta perkawinan berjalan dengan khidmatnya, tiba-tiba dari atap melorot sesosok tubuh seorang pemuda yang telah berdiri memandang tajam dan kurang ajar pada I Ayu Mantini. Senyum sinisnya mengembang, kakinya perlahan menghampiri kedua mempelai tanpa dapat dicegah. Tangannya dengan kurang ajar membelai janggut I Ayu Mantini, lalu dengan congkak ia berkata.
"Cah Ayu, tak pantas kau bersanding dengan pemuda yang berdiri di sampingmu, tapi kau pantasnya dengan aku."
Tangannya yang tadi hanya membelai janggut, seketika hendak menarik lengan I Ayu Mantini. Namun maksud Kardika tak kesampaian ketika terdengar suara bentakan di belakangnya.
"Iblis busuk! Apa perlunya kau mengganggu kami!" Walau suara itu keluar dari mulut orang tua, api karena dilandasi dengan tenaga dalam maka suara itu bagai menggelegar terdengarnya. Kardika seketika menoleh dan memandang sinis pada lelaki tua di hadapannya.
"Ki Putut Mantra. Kau tahu siapa aku?" ucapnya menyombong, lalu perlahan dihampirinya Ki Putut Mantra yang memandang padanya dengan sorot kebencian.
"Mengapa kau tidak bilang padaku kalau kau punya anak gadis semolek ini, Ki?"
"Itu bukan urusanmu, Iblis!" menjawab Ki Putut Mantra dengan ketus. Ia tahu siapa Kardika. Ia sudah bertekad tak mau menyerahkan putrinya pada iblis mata keranjang itu.
Mendengar ucapan Ki Putut Mantra, Kardika bukannya marah. Bahkan sebaliknya ia tertawa bergelak-gelak, kemudian ia berkata sinis: "Ki Putut Mantra! Kau telah tahu aku, semestinya kau tidak sembrono. Semestinya anakmu dengan ikhlas kau berikan padaku, dan nyawa tuamu yang bau tanah harus ku buang ke neraka. Ha... ha... ha...!"
Bagaikan tak memandang sebelah matapun Kardika membalikkan tubuhnya. Lalu dengan sebat dicekalnya tangan I Ayu Mantini. Tapi belum sampai maksudnya, tiba-tiba berkelebat Ki Putut Mantra menghalangi yang membuat Kardika menggeram kesal.
"Hem... kau mencari mampus tua bangka keparat...!"
"Kau yang mencari mampus, Iblis! Apa hakmu membuat kericuhan di sini...?" menjawab Ki Putut Mantra tak mau kalah ketusnya.
Kejengkelan telah melanda hati Kardika hingga tampak wajahnya merah membara, lalu dengan disertai emosi, Kardika membentak. "Tua bangka tak tahu diuntung, rupanya kau ingin mampus berani menentangku!"
Maka tanpa menunggu ucapan Ki Putut Mantra, Kardika telah menyerang dengan cepat. Suasana yang tadinya tenang kini riuh. Anak-anak dan wanita berserabutan mencari perlindungan. Kardika yang jengkel dengan ulah Ki Putut Mantra tanpa sungkan-sungkan segera menyerang dengan jurus-jurus yang membahayakan. Tak kalah Ki Putut Mantra, walaupun umurnya sudah tua tapi kegesitan sebagai seorang pendekar masih tersisa. Hingga serangan-serangan Kardika dengan mudah dapat dielakkan.
Melihat hal itu Kardika makin mendengus kesal. "Hem.... Rupanya kau masih lincah seperti dulu, Tua bangka! Tapi jangan harap kau mampu lepas dari tanganku." Bersama itu Kardika kembali menyerang. Kali ini dikeluarkan jurus-jurus intinya, ia tak ingin membuang-buang waktu.
Ki Putut Mantra yang sudah waspada segera mengimbanginya, mengelak dan sesekali menyerang. Walaupun begitu, karena usianya sudah tua, lama kelamaan Ki Putut Mantra dapat didesak oleh Kardika. Demi melihat mertuanya tidak unggulan, Wayan Saba segera bermaksud membantu. Namun hal itu bukan menjadi meringankan beban Ki Putut Mantra. Bahkan sebaliknya, pikiran Ki Putut Mantra bercabang. Pertama pada Kardika, dan kedua pada keselamatan menantunya. Ia tahu Kardika bukan tandingannya, walau dikeroyok sekalipun.
"Wayan... jangan mendekat!" seru Ki Putut Mantra memperingati.
Namun Wayan yang memang jengkel pada kelakuan Kardika sedari tadi tak ambil perduli, sehingga membuat Ki Putut Mantra gusar. "Wayan... pergi kau dan bawa istrimu!"
Bersamaan dengan selesai ucapannya, sebuah pukulan WESI GENI yang dilancarkan Kardika menghantam telak di dadanya. Ki Putut Mantra terpental tiga tombak ke belakang, dari mulut orang tua itu meleleh darah segar.
Melihat ayahnya terluka dalam, I Ayu Mantini segera memburu menghampiri. "Ayah... ayah...!" I Ayu Mantini menangis, kala ia tahu ayahnya telah meninggal. Sementara di lain pihak, Wayan tengah menjadi bulan-bulanan Kardika yang bukan tandingannya. Sebuah pukulan Kardika, membuat Wayan terpelanting lima tombak ke belakang jatuh di depan tetua Adat yang membantunya berdiri sembari berkata padanya:
"Pergilah! Kau tak akan mampu menghadapi dia. Pergilah ke wilayah Kulon dan carilah seorang Guru sahabatku yang bernama Ki Turangga Bayu. Cepat...! jangan hiraukan apa yang terjadi di sini, biar kami yang menangani."
"Lalu istriku...?"
Dengan tertatih-tatih Wayan berdiri bermaksud mendekati istrinya. Namun sebuah tendangan Kardika membuat ia terjungkal dan terpelanting keluar rumah. Merasa tidak unggulan, akhirnya Wayan pun menurut saran sesepuh Adat. Dengan terlebih dahulu menengok pada istrinya, Wayan segera mengambil kuda dan lari dari situ. Kardika yang melihat Wayan melarikan diri, segera memburunya.
Di ufuk Timur sudah nampak mentari, pertanda hari sudah pagi. Wayan menghentikan kudanya melangkah perlahan mencari sumber air. Kerongkongannya terasa kering, sebab semalam ia telah menguras habis tenaganya untuk bertarung sekaligus untuk berlari.
Lamunannya terus tertuju pada istrinya I Ayu Mantini. Dendamnya pada Kardika membuat Wayan melangkah dengan hampa, hingga jurang yang terpampang di hadapannya tak dilihatnya. Terdengar jeritan Wayan yang membahana, manakala tubuhnya terperosok, masuk ke dalam jurang.
Kardika yang telah sampai di situ segera mencari Wayan. Matanya yang tajam dan liar memandang ke segenap penjuru. Namun apa yang dicari tak ditemukannya. "Aneh.... Aku tadi melihat dia di sini." Belum puas Kardika mencari Wayan, dicobanya kembali untuk memeriksa sekeliling lembah itu. Dan ketika ia melihat ke bawah jurang, tampak olehnya bangkai kuda yang menjadi tunggangan Wayan.
"Hem.... Rupanya bocah ingusan itu telah mampus," ucap Kardika. Di bibirnya tersungging kemenangan, lalu dihelanya tali kuda tunggangannya kembali ke tempat I Ayu Mantini yang tadi ditinggalkan. Dipacu kudanya dengan cepat. Secepat pikirannya membayangkan I Ayu Mantini yang benar-benar ayu. Membayangkan hal itu, kembali Kardika tersenyum-senyum.
Kampung Tegal Rejo geger, semua warga berduyun-duyun datang ke tempat kepala kampungnya untuk melayat. Di situ masih tampak tetua Adat dibantu oleh anak buah sesepuh desa, tengah mengurus mayat sesepuh desa itu. Kaum wanita mencoba menghibur I Ayu Mantini yang masih menangis, sedang para pemudanya tampak berjaga-jaga di halaman rumah. Belum juga mereka tenang, tiba-tiba secepat kilat seekor kuda dengan penunggangnya menerobos di antara kerumunan orang-orang dan terus masuk menuju ruangan di mana I Ayu Mantini berada.
Para pemuda segera memburu dan mencoba menghalangi niat orang itu, yang tak lain Kardika adanya. Namun pemuda-pemuda itu bukan tandingan Kardika, terbukti dalam segebrakan saja mereka dibuat tak berdaya. Melihat hal itu, tetua Adat yang sedari tadi diam segera bertindak maju menghadap.
Melihat tetua Adat itu menghadangnya, Kardika sesaat melompat mundur. Dipandanginya sesaat, lalu ia berkata. "Ki Abiyasa, mengapa kau ikut campur?" ucap Kardika sengit.
"Amitohud.... Hamba minta maaf. Namun hamba sebagai sesepuh Adat seharusnya kewajiban hamba melerai keributan ini. Hamba tidak ingin terjadi korban yang tak berdosa hanya karena ambisi "
"Ah persetan, itu hakku."
"Benar, itu memang hak anda. Tapi anda telah menggunakan hak yang salah. Merampas istri orang dan membunuh orang tuanya, hal itu tak dapat dibenarkan "
Geram hati Kardika mendengar omongan Ki Abiyasa yang baginya suatu penghalang, maka dengan keras Kardika membentak. "Tutup bacotmu, Tua bangka! Rupanya kau sekarang berani menentangku. Ingat Abiyasa, barang siapa yang menentangku berarti memilih mati.,.."
Habis berkata begitu, Kardika segera menyerang Ki Abiyasa yang segera memapakinya, pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Melihat hal itu, anak-anak muda yang tadi ciut nyalinya kini bangkit dan mengurung kedua orang yang sedang bertarung. Jurus demi jurus dilampaui, sudah hampir tiga puluh jurus berlalu, keduanya tampak sama-sama tangguh. Ketika sampai jurus ketiga puluh lima, Kardika meloncat mundur.
"Ki Abiyasa, terimalah kematianmu! Aji Wesi Geni!" Kedua tangan Kardika tampak menghitam legam kemerahan laksana besi berani.
Ki Abiyasa segera surut mundur. Matanya terbelalak kaget, melihat Kardika mengeluarkan ajian yang tak asing baginya. "Wesi Geni. Apakah Kakang Turangga telah menurunkan padanya? Bahaya, sungguh bahaya kalau aji ini dipergunakan oleh orang yang sesat," membatin Ki Abiyasa.
Melihat Ki Abiyasa terdiam, Kardika menganggap Ki Abiyasa takut, maka dia pun tertawa bergelakgelak mengejek. "Ha... ha... ha! Abiyasa, menyerahlah! Dan jangan campuri urusanku kalau kau tak ingin mampus."
Ki Abiyasa masih tampak tenang dengan penuh kewaspadaan. "Kardika, kau jangan sombong. Setinggi-tingginya ilmu manusia, belum seberapa dibandingkan dengan Yang Wenang. Dan ingat Kardika, mati hidupnya manusia ada di tangan-Nya."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku pun dapat mengambil nyawa busukmu.... Hiaaat...!"
Tangan Kardika yang sudah disaluri aji Wesi Geni, berkelebat mencari sasaran. Ki Abiyasa yang maklum bahwa Kardika memang menghendaki nyawanya tak tinggal diam, tongkat "Sapu Angin" yang dipegangnya memapaki serangan itu. Namun betapa terkejut Ki Abiyasa ketika menerima kenyataan. Tongkat Sapu Angin tak mampu menahan aji Wesi Geni hingga....
"Braak !" Tongkat Sapu Angin pun patah menjadi dua. Ki Abiyasa terhuyung mundur ke belakang dan dari mulutnya keluar darah segar.
Pemuda-pemuda yang sedari tadi mengurung segera memburu, mengeroyok Kardika. Dikeroyok demikian Kardika bukannya takut, malah sebaliknya. Ia tertawa.
"Minggir!"
Bentakan Kardika yang diikuti dengan tenaga dalam menjadikan anak-anak muda itu terdiam terperangah. Ketika anak-anak muda itu masih terperangah, Kardika secepat kilat berkelebat dan tak lama kemudian di pundaknya telah tergendong I Ayu Mantini yang meronta-ronta.
"Lepaskan! Lepaskan aku!!"
"Ha... ha... ha... kau tak bakal mampu, Manis. Kau harus ikut aku!" Dengan ilmu lari cepatnya Kardika membawa lari I Ayu Mantini. Pemuda-pemuda itu hendak mengejarnya, tapi segera dicegah oleh Ki Abiyasa.
"Percuma kalian mengejar."
"Tapi, Ki...?" Seorang anak muda yang berbadan besar mencoba protes. Ki Abiyasa segera bangkit dan menghampiri pemuda itu.
"Percuma. Sia-sia, dia bukan tandingan kalian."
"Lalu apa yang harus kami perbuat...?" kembali pemuda itu bertanya meminta saran.
Ki Abiyasa terdiam, dihempaskan nafasnya panjang-panjang, kemudian ia berkata. "Ini sudah suratan Yang Wenang. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Sudahlah, mari kita urus mayat sesepuh desa."
Dengan rasa kecewa pemuda-pemuda itu pun akhirnya menurut. Siang itu dengan dipimpin tetua Adat, mayat kepala desa disemayamkan.
Ombak laut Utara bergulung-gulung menepiskan pasir-pasir pantai. Siang itu tampak seorang pemuda tengah berjalan-jalan menikmati keindahan alam sambil bernyanyi-nyanyi. Ketika dia sedang asyik-asyiknya bernyanyi, terdengar suara anak burung mencicit-cicit di atas sarangnya. Hatinya yang penyayang tergugah mendengar cicitan anak burung itu.
"Hai... kenapa anak burung itu?" tanya pemuda. Sesaat ia mendongak ke atas, lalu dengan sekali loncat dia pun telah hinggap di atas cabang pohon, sarang burung itu berada. "Oh, kenapa kau, Burung kecil...?" tanya sang pemuda pada anak burung kecil itu, yang hanya mencicit. "Oh... oh... ibumu pergi? Ke mana...?"
"Cit... cit..." Burung kecil itu kembali mencicit.
"Mati...! Di bawah!" Seketika pemuda itu menengok ke bawah pohon. Tak jauh dari dia berdiri tadi tampak olehnya seekor burung nuri menggeletak, di sampingnya menggeletak pula seekor ular.
"Kasihan, kau pipit kecil."
Kala pemuda itu sedang merenungi nasib anak burung Pipit dan dirinya yang mengembara mencari bapaknya. Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Dari kejauhan tampak lima orang penunggang kuda. Dilihat dari pakaiannya kelima orang itu adalah pengawal-pengawal kerajaan.
"Ke mana Kakang Wisesa?" tanya seorang lelaki bertubuh besar tinggi, bercambang lebat, pada orang yang berjalan dengan kudanya di depan. Orang yang dipanggil dengan nama Wisesa memperlambat lari kudanya, lalu berhenti tepat di bawah pohon di mana pemuda berpakaian sisik ular berada.
"Aku tadi melihat mereka lari ke sini...!"
Mata Arya Wisesa yang tajam menghujam pada semak-semak di sekeliling tempat itu. "Hem.... Ke mana perginya mereka? Seakan mereka hilang ditelan bumi." Gumam hati Arya Wisesa.
"Apa kakang tidak salah lihat?" tanya Naga Biru, Naga kedua dari empat Naga Gunung Kapur.
Ya... keempat orang yang kini bersama Arya Wisesa, tak lain dari keempat tokoh silat yang sudah kesohor namanya di dunia persilatan pada masa itu. Di samping ilmunya yang tinggi, keempat Naga itu terkenal aneh dalam pendiriannya.
"Tidak, Adik Naga Biru. Namun mengapa mereka bisa raib begitu saja...?"
"Kakang mengenal mereka?" Naga Kuning bertanya.
"Tidak, Adik Naga Kuning mereka memakai topeng. Tapi aku punya dugaan bahwa mereka adalah kaum pemberontak kerajaan."
"Kenapa kakang memastikan itu?" Kini Naga Putih yang angkat bicara. Matanya yang tajam memandang sekeliling, hampir setiap pelosok hutan bakau itu tak lepas dari pandangannya.
"Adik Naga Putih, bukankah adik telah mendengar terjadi pemberontakan di kerajaan...?" Naga Putih mengangguk mengiyakan, sebab dia tahu kenapa ia dan saudara-saudaranya dipanggil ke kerajaan. Tak lain karena adanya pemberontakan itu yang sampai sekarang belum diketahui siapa dalangnya.
"Semalam ketika aku sedang menghadap raja bersama kalian, dua orang yang kita kejar telah memasuki alun-alun istana dan membuat onar," Arya Wisesa menuturkan apa yang dia dengar dari laporan ponggawa istana. "Nah bukankah itu sebagian kecil dari aksi pemberontakan...?"
Keempat Naga itu mengangguk mengerti, kemudian kelimanya terdiam, sementara mata mereka terus mengawasi sekitarnya. Sementara pemuda yang berada di atas pohon yang tak lain Jaka atau Pendekar Siluman Darah mendengar pembicaraan mereka, tanpa disadari oleh kelima orang yang berada di bawahnya.
"Rupanya kerajaan tengah dilanda musibah yang tak enteng, hingga keempat Naga dari Gunung Kapur diundang juga. Aku akan berusaha menyelidikinya." Tak lama berselang setelah kelima orang istana berlalu, Jaka Ndableg meninggalkan tempat itu.
Di sebuah goa, di bawah jurang "Chandra Cipta" tampak seorang lelaki tua sedang duduk. Sementara di hadapannya seorang pemuda tengah belajar ilmu silat. Gerakan-gerakannya yang begitu lincah dan gesit ditunjang dengan semangatnya yang tinggi, membuat pemuda itu tak kenal lelah,
"Gerakanmu masih kurang, Wayan...." berkata lelaki tua yang duduk di depannya pintu goa. "Ingat... kakimu dalam menapak masih kurang lincah dan berat. Hal itu akan mengurangi kekuatan ilmumu, sebab ilmu Catur Langkah haruslah dilakukan dengan pikiran yang tenang dan konsentrasi yang penuh. Nah, lakukan lagi hingga benar-benar sempurna. Sebab hanya ilmu Catur Langkah yang dapat menandingi aji Wesi Geni murid durhaka itu."
"Baik guru. Ijinkanlah murid mengulang dari awal kembali."
"Lakukanlah, dan jangan berhenti sebelum aku perintahkan." Setelah berkata begitu orang tua itu kembali diam, matanya terpejam melakukan meditasi. Walaupun matanya terpejam, namun gerak-gerik Wayan Saba yang sedang berlatih silat dapat diikutinya.
"Hidup bagaikan perjalanan. Yang menuntun kita 'tuk melangkah. Bila kuat iman di dada. Kelak kita akan bahagia. Tapi bila setan yang ada. Neraka dunia yang kita ciptakan "
Bait-bait itu begitu indah, dilantunkan dengan suara merdu, gaungnya berkumandang memantul di antara sela-sela bebatuan di gunung itu. Tampak seorang wanita muda sedang duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Di tangannya tergenggam sebuah boneka kayu. Pandangannya yang kosong, serta pakaiannya yang kumal menandakan bahwa ia tengah dilanda guncangan jiwa yang berat. Seketika wajah yang sedari tadi riang berubah menjadi sendu, lalu tanpa sadar ia pun menangis sesenggukan.
"Bajingan...! Selama orang-orang semacam kau masih hidup, dunia tak akan tenang. Kau bunuh ayahku, kau bunuh kekasihku, lalu kau rusak diriku, hu, hu.... Kau harus mati ditanganku... hi... hi"
Dibelai-belainya boneka kayu yang sedari tadi ditimangnya, diajaknya bercanda. Gadis itu tak sadar kalau tingkah lakunya sedari tadi diperhatikan oleh orang lain.
"Kasihan. Gadis semuda dan secantik itu harus menanggung beban jiwa yang amat berat," membatin pemuda yang mengawasinya dengan rasa iba. "Betapa banyak orang-orang di dunia ini yang harus menanggung derita, hanya karena tingkah sesamanya..."
Ia bermaksud menghampiri gadis itu, namun niatnya segera diurungkan, saat telinganya yang tajam mendengar seseorang menuju ke situ. Secepatnya ia segera bersembunyi di balik semak-semak, sementara matanya terus mengawasi pada gadis itu.
"Hi... hi! Adik manis, rupanya ada orang yang menuju ke mari," kata gadis gila itu pada bonekanya yang masih ditimang-timang.
Pemuda yang bersembunyi dibalik semak-semak yang tak lain daripada Pendekar Siluman Darah terkejut, mendengar tutur kata gadis gila itu. "Hem.... Rupanya gadis gila itu tahu juga. Siapakah orang yang menuju ke mari? Sepertinya masih muda, mau apa dia...?"
Dari arah Timur seorang pemuda menghampiri gadis gila itu, yang tampaknya acuh tak acuh menyambutnya. "I Ayu Mantini, rupanya kau ada di sini..." berkata pemuda yang baru datang.
Gadis itu hanya memandang sesaat, kemudian kembali acuh sambil menimang-nimang bonekanya. "Mau apa kau datang ke sini, Mahesa...?" tanyanya dengan senyum sinis.
"I Ayu Mantini, Aku diutus oleh Kardika untuk membawamu kembali...."
Mendengar jawaban pemuda yang disebut Mahesa, I Ayu Mantini tertawa bergelak-gelak seakan ucapan Mahesa lucu. Mahesa mengerutkan kening, matanya seketika melotot marah. Ia merasa dipermainkan oleh I Ayu Mantini.
"Apa yang engkau tertawakan, I Ayu?"
"Hi... hi... hi.... Kau lucu, Mahesa." I Ayu Mantini bukannya menjawab, malah tertawa cekikikan. Panas telinga Mahesa, sepanas hatinya yang sudah terbakar oleh celoteh I Ayu Mantini. Belum sempat Mahesa berkata, I Ayu Mantini telah meneruskan ocehannya.
"Hi... hi.... Mahesa. Ternyata otakmu seperti namamu, Kebo."
Mata Mahesa melotot merah. Ia kesal mendengar ocehan I Ayu Mantini yang baginya sudah keterlaluan. Namun Mahesa berusaha sabar, karena ia tahu I Ayu Mantini sudah gila. Di samping itu ia pun diperintahkan Kardika agar tidak menurunkan tangan pada I Ayu Mantini.
"Sinting...! Ayo ikut aku.... Kalau kau bukan kekasih Kardika, sudah aku lumatkan mulutnya yang ceriwis itu...!" menggeretak Mahesa menahan amarahnya.
Tapi bagi I Ayu Mantini ucapan Mahesa dianggapnya ocehan anak kecil, terbukti I Ayu Mantini kini menggandakan tawa. "Hi... hi... hi.... Kekasih. Siapa yang sudi menjadi kekasih Iblis macam tuanmu itu, Kebo...!"
Mahesa tak dapat menahan amarahnya, disebut Kebo oleh I Ayu Mantini. Tangannya yang kekar seketika berkelebat hendak menangkap I Ayu Mantini. Namun bagai orang bercanda I Ayu Mantini segera berkelit. Tangan kanannya yang tak memegang boneka menghantam tubuh Mahesa. Mahesa yang tak menyangka akan mendapat serangan balasan tak dapat menghindar, hingga....
"Bugg!" Tubuh Mahesa yang besar dan kokoh, terhenyak ke belakang beberapa tombak terkena hantaman tangan I Ayu Mantini. Merah muka Mahesa menerima kenyataan itu. Matanya menyorot marah, giginya bergeletuk menahan kejengkelan. Perlakuan I Ayu Mantini membuat ia tak ingat apa yang diperintahkan oleh Kardika.
"Bedebah...! Rupanya kau cari mampus, Orang gila...!" Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa segera bertindak. Kali ini dia tidak ingin kecolongan lagi, maka Mahesa pun mengeluarkan ilmu silatnya.
Mahesa tampak bersungguh-sungguh, terbukti dalam sepuluh jurus saja, I Ayu Mantini dapat didesaknya. Demi melihat gadis gila itu dalam bahaya, Jaka yang sedari tadi menonton segera keluar dari persembunyiannya. Tepat ketika tangan jahat Mahesa hendak menghantam dada I Ayu Mantini, tiba-tiba...!
"Cuiiittt.... Dess...."
Berbareng dengan suara suitan nyaring, saat itu pula sebuah pukulan menghantam lengan Mahesa, yang segera menarik mundur tangannya. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok tubuh pemuda, I Ayu Mantini tegak berdiri di belakang pemuda itu. Melihat cara kedatangan pemuda, dan cara menangkisnya Mahesa telah maklum, bahwa pemuda yang kini berdiri di hadapannya bukan orang sembarangan. Namun sebagai tangan kanan Kardika yang sudah kesohor kesaktiannya, pantang baginya untuk menyerah dan mengakui ketinggian ilmu lawan. Maka dengan lantang ia membentak.
"Monyet...! Siapa kau! Berani turut campur urusanku...!"
"Monyet? Ha... ha... ha. Aku monyet? Ya, aku monyet. Tapi kau. Kau lebih rendah dari monyet, karena kau tak tahu belas kasihan," menjawab pemuda itu.
"Bedebah..,! Rupanya kau orang gila juga yang ingin mampus...!"
Mendengar kata-kata Mahesa, Jaka makin menggandakan tawanya. Kali ini tawanya melengking disertai dengan tenaga dalam yang tinggi, membuat suaranya bergema ke pelosok-pelosok hutan menggidikkan bulu kuduk bagi yang mendengarnya termasuk Mahesa. Melihat kenyataan itu Mahesa sadar, bahwa orang di hadapannya bukan tandingannya. Mahesa yang nyalinya sudah ciut, tanpa pikir panjang segera mengambil langkah seribu seraya meninggalkan kata-kata.
"Anak muda, tunggulah aku di sini...!"
Sepeninggal Mahesa, Jaka yang memang tidak ada maksud untuk mengejar hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Mahesa. Dihampirinya I Ayu Mantini yang masih berdiri mematung. "Nona, kalau aku boleh tahu, siapa nama Nona? Dan kenapa orang tadi hendak memaksa Nona untuk ikut dengannya...?"
I Ayu Mantini sesaat memandang pada Jaka, ditatapnya lekat-lekat dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Terima kasih atas pertolongan Tuan. Aku... aku I Ayu Mantini..." I Ayu Mantini kembali menangis. Kesadarannya tiba-tiba pulih.
Dan hal itu membuat sangat trenyuh. Maka dengan perlahan Jaka Ndableg pun kembali bertanya. "Kenapa Nona menangis? Siapa orang tadi?"
"Aku... aku sedih mengenang nasibku yang buruk ini. Ayahku dibunuh, lalu suamiku entah di mana, dan aku sendiri, semua karena ulah bajingan itu. Dia telah menghancurkan segalanya... hu... hu..." kembali I Ayu Mantini menangis.
Jaka Ndableg jadi iba, ingatannya kembali pada keadaan dirinya. Ibunya mati demi melindungi dirinya, sementara ayahnya... ah entah di mana rimbanya. "Mengapa kehidupan diwarnai dengan derita...? Kenapa sesama manusia harus saling bunuh membunuh, dan memperkosa hak orang lain...." Seribu pertanyaan hadir kembali di hati Jaka Ndableg, hingga tanpa sadar Jaka Ndableg pun meneteskan air mata.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Bertanya Jaka Ndableg pada I Ayu Mantini setelah dia dapat menenangkan suasana hatinya.
Mendengar pertanyaan Jaka Ndableg, kenangan pahit yang dialaminya kini tergugah lagi. Sambil mengusap air matanya, I Ayu Mantini pun mengisahkan kembali tentang apa yang telah menimpa dirinya, ayahnya, serta suaminya yang kini entah di mana berada.
Mendengar penuturan I Ayu Mantini yang begitu mengharukan, rasa kemanusiaan Jaka atau Pendekar Siluman Darah tergugah. Tak dirasakan olehnya, air matanya pun menetes di pipinya. "Ah, kenapa aku menangis?" Seketika Jaka Ndableg segera menyadari akan dirinya. Setelah dapat menguasai diri, Jaka Ndableg pun berkata pada I Ayu Mantini.
"I Ayu Mantini. Hidup bukan untuk terus berlarut dalam kesedihan, tapi hidup untuk dihayati dan diamalkan. Seperti sebait syair yang barusan kau ucapkan. Nah, untuk itu janganlah kau terpengaruh dengan jalannya kehidupan yang telah direncanakan oleh Yang Maha Esa. Kita tidak boleh menaruh dendam, sebaliknya kita harus dapat menyadarkan orang yang salah. Namun bila hal itu tidak dapatinya, barulah kita bertindak, juga bukan lantaran dendam. Sebab dendam-mendendam tak akan pernah habis, sebab itu adalah dorongan nafsu setan semata agar kita terbawa olehnya...." Sesaat Jaka Ndableg memandang pada I Ayu Mantini yang tertunduk mendengar penuturannya, kemudian Jaka Ndableg meneruskan ucapannya.
"Aku rasa, aku hanya dapat memberikan saran. Sementara pelaksanaannya itu aku serahkan kembali padamu. Hanya itu yang dapat aku berikan, dan ijinkanlah aku pergi..."
"Tuan pendekar...." I Ayu Mantini yang sedari tadi mendengarkan penuturan Jaka Ndableg, kini mendongakkan mukanya memanggil Jaka Ndableg kala hendak melangkah pergi.
Jaka Ndableg segera menghentikan langkahnya, kemudian berpaling menghadap pada I Ayu Mantini. "Ada apa..?" tanyanya.
I Ayu Mantini sesaat kembali terdiam, matanya yang sayu namun tidak menghilangkan keindahannya menatap lekat pada Jaka Ndableg. Sejenak ia berbuat begitu, lalu iapun berkata. "Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi...?"
Jaka Ndableg sejurus terdiam, membalas memandang pada I Ayu Mantini yang seketika tertunduk malu. "Apa yang dapat aku tolong? Katakanlah, bila aku dapat aku akan memberikannya. Namun bila aku tak mampu, aku minta maaf..."
Kini I Ayu Mantini kembali berani menatap wajah Jaka Ndableg, senyumnya mengembang di bibirnya yang sedari tadi terkatup. "Bawalah aku ke mana saja Tuan pendekar akan pergi..."
"Ah ?" Desahan itu tiba-tiba keluar dari mulut Jaka, sebab ia tak menyangka akan menerima permintaan semacam itu.
"Kenapa, Tuan Pendekar? Apa Tuan Pendekar merasa keberatan?"
"Ti tidak. Tapi aku adalah seorang pengelana, tujuanku tak tentu arah. Ke mana kaki melangkah itulah tujuanku. Aku takut kau menderita bersamaku."
"Tidak, Tuan Pendekar. Hidupku kini hanya sebatang kara, tak punya sanak-saudara, entah itu mati atau di mana. Sudah tekadku untuk mengabdi pada orang yang telah menyelamatkan jiwaku."
Jaka sesaat terdiam. Di dalam hatinya berkecamuk pertanyaan yang berbeda. Pertama ia harus ke kota raja untuk menyelidiki kerajaan yang sedang dilanda kerusuhan oleh pemberontak. Tak mungkin melibatkan I Ayu Mantini. Kedua masalah permintaan I Ayu Mantini. Hal ini menyangkut rasa kemanusiaan. Akankah ia tega meninggalkan I Ayu Mantini? Sementara ia mengawatirkan gadis itu? Bagaimana kalau nanti anak buah Kardika datang...? Akhirnya... demi rasa kemanusiaan. Jaka Ndableg pun memilih mengajak I Ayu Mantini ke kota raja.
"Baiklah, I Ayu Mantini. Aku memperbolehkan kau ikut denganku, tapi bukan aku ingin dilayani olehmu. Anggap saja kita berdua adalah saudara!"
Mendengar perkataan Jaka Ndableg yang mau menerimanya, seketika I Ayu Mantini menjura hormat. "Terima kasih, Tuan Pendekar..."
"Jangan begitu, aku bukan raja tak pantas untuk kau sembah. Sudahlah, mari kita segera pergi..."
Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini baru saja hendak meninggalkan hutan itu, ketika terdengar suara bentakan dari arah belakang.
"Tunggu...! Jangan pergi dulu..."
Jaka Ndableg segera mengurungkan langkahnya. Dibalikkan tubuhnya menghadap pada asal suara itu. Tampak lima orang lelaki menuju ke arahnya. Salah satu dari mereka sudah ia kenal, yaitu Mahesa adanya. Sambil menunggu kedatangan kelima lelaki itu, Jaka Ndableg menyuruh I Ayu Mantini untuk bersembunyi.
"Pergilah bersembunyi.... Biar mereka aku tangani. Cepatlah!"
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, I Ayu Mantini pun menuruti apa yang dikatakan oleh tuan pendekarnya, bersembunyi di balik semak-semak.
"Ada apa, Ki sanak? Hingga Ki sanak menghentikan langkahku...?" tanya Jaka atau Pendekar Siluman Darah, seakan-akan tak mengerti persoalannya.
"Jangan pura-pura bodoh, Anak muda. Di mana kau sembunyikan gadis tadi...!" Membentak Mahesa jengkel.
Jaka Ndableg tersenyum tenang, dengan lagak konyol ia bertanya. "Gadis yang mana, yang kisanak maksudkan..."
Mahesa Dungkul menyapukan pandangannya ke sekitar tempat itu, namun I Ayu Mantini tak ditemukannya. Maka rasa kekesalannya, dilampiaskannya pada Jaka Ndableg seraya membentak. "Kau sembunyikan di mana gadis itu...?"
"Aku tidak menyembunyikannya. Dia telah pergi dari sini," berdusta Jaka Ndableg, membuat Mahesa yang memang sebenarnya ingin mencoba ilmu yang dimiliki Jaka Ndableg jadi marah. Dengan lantang Mahesa berkata.
"Anak muda, siapa namamu? Jangan kau mati tanpa diketahui namanya...!"
Jaka Ndableg tersenyum tenang. "Ha, ha... ha... ha.... Apa arti sebuah nama. Aku adalah aku, tentang mati hidupku aku rasa bukan urusan kalian, tapi urusan Yang Wenang..."
Mendidih darah kelima anak buah Kardika. Belum pernah mereka diejek dan disepelekan seperti sekarang ini. Melihat yang mengejek anak masih muda keempat orangnya Mahesa tak sabar hendak menyerang.
"Tunggu...!" Mahesa melarangnya.
"Kenapa...? Kau takut, Mahesa...?" tanya salah seorang dari mereka yang wajahnya seram. Golok yang di tangannya hendak diayunkan ke tubuh Jaka Ndableg.
"Darga, sabar...! Jangan kau anggap enteng dia." Mahesa hendak mencegah, namun Darga tampak sudah tak dapat menahan emosinya. Di samping itu ia tidak yakin kalau pemuda yang sedang dihadapinya memiliki ilmu yang tinggi. Maka Darga pun segera menyerang Jaka Ndableg dengan tebasan goloknya.
Jaka Ndableg yang tidak menyangka akan mendapat serangan yang begitu tiba-tiba, tersentak juga. Hampir saja kepalanya tertebas golok besar di tangan Darga, kalau saja Jaka Ndableg tidak menundukkan kepala. Dalam keadaan seperti itu Jaka Ndableg masih berupaya menyadarkan penyerangnya.
"Tunggu...! Mengapa kalian memusuhiku...? Bukankah di antara kita tak ada silang sengketa...?"
Melihat Jaka Ndableg mundur dari serangan Darga, hati Mahesa menjadi besar. Dikiranya Jaka Ndableg takut menghadapi Darga. Dengan lantang Mahesa berseru. "Anak muda.... Kau telah berani mencampuri urusanku dan telah berani menyembunyikan serta melindungi I Ayu Mantini. Nah, itulah silang sengketa di antara kita...!"
"Picik...!" memaki Jaka Ndableg. "Baik...! Kalian rupanya manusia-manusia berhati iblis. Kalian sudah tak berperikemanusiaan. Kalau kalian menginginkan nyawaku karena aku melindungi orang yang tak berdaya, lakukan...!"
Mendengar omongan Jaka Ndableg, kelima orang anak buah Kardika tanpa sungkan-sungkan lagi segera mengurung dengan senjata di tangan masingmasing. Mahesa yang sudah tahu tingginya ilmu anak muda itu, memberi tahu pada anak buahnya untuk berhati-hati.
"Anak muda. Kalau kau ingin selamat katakan di mana kau sembunyikan gadis itu, cepat!" Mahesa masih bertanya. Sebenarnya ia sungkan untuk menghadapi Jaka Ndableg yang sudah ia ketahui ketinggian ilmunya. Ia berusaha mencari jalan yang halus saja, namun Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah hanya tertawa bergelak-gelak.
"Ha... ha... ha.... Sudah aku katakan pada kalian. Bila kalian menginginkan gadis yang tak berdaya itu, aku tak akan memberikannya. Apakah kalian sudah tuli, hingga tak mendengar...?"
Mendengar ejekan Jaka Ndableg, kelima orang yang dipimpin oleh Mahesa menjadi panas. Apalagi si Darga yang merasa unggulan. Dengan tak memandang sebelah mata pun pada Jaka Ndableg, ia membentak.
"Bedebah...! Kau belum kenal aku. Tapi kalau sudah di neraka kau baru tahu dan menyesal."
Jaka Ndableg kembali tertawa bergelak-gelak hingga pakaian berkilat-kilat terpantul cahaya matahari mengikuti irama tubuhnya. Merasa tak ada gunanya lagi bicara dengan Jaka Ndableg, secepat kilat kelima orang itu segera mengurung. Dikeroyok oleh lima orang bersenjata tidak menjadikan Jaka Ndableg bingung, malah dengan tertawa-tawa dia meladeni serangan kelimanya. Pertarungan lima melawan satu pun berlanjut. Jurus demi jurus terlampaui, namun Jaka Ndableg yang tak mau menurunkan tangan jahat masih berkelit menghindari serangan kelima pengeroyoknya.
Melihat hal itu, I Ayu Mantini menjadi was-was juga. Ia telah tahu akan kehebatan ilmu golok yang dimiliki oleh Empat Setan Golok. Dugaan I Ayu Mantini tampak tidak meleset, terbukti kini Jaka Ndableg dapat dipepet. Perasaan was-was melanda I Ayu Mantini, hingga keringat dingin tak terasa mengucur deras di pelipisnya.
Jaka Ndableg yang sudah terpepet bukannya grogi, bahkan sebaliknya. Dengan terlebih dahulu mengeluarkan gelak tawanya yang melengking, Jaka Ndableg segera mengubah jurusnya, Dewa Topan Melanda Karang. Tangan Jaka Ndableg seketika berubah. Tampak oleh kelima pengeroyoknya, tangan Jaka Ndableg menjadi beribu-ribu banyaknya.
Kelima pengeroyoknya tersentak kaget melihat hal itu. Namun belum sempat mereka dapat menyesuaikan keadaan dari keterkejutannya, terdengar suara pekik tiga orang teman mereka yang menggelepar-gelepar dengan badan membiru dan menggigil kedinginan. Hal ini makin membuat ciut nyali Mahesa dan Darga. Itulah keampuhan aji Dewa Topan Melanda Karang. Jangankan manusia, batu karang yang kokoh pun akan runtuh. Jaka Ndableg melompat mundur. Ia tersentak dan menyesal telah melepaskan tangan keras pada lawannya. Setelah dapat menguasai suasana, Jaka Ndableg berkata pada kedua orang yang masih hidup.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pendirian!"
Mahesa dan Darga yang sudah ciut nyalinya tanpa malu-malu segera berlari meninggalkan Jaka Ndableg. Jaka Ndableg segera duduk sujud menghadap ke Barat dan dari mulutnya terdengar suara penyesalan.
"Ampun guru. Sebenarnya murid tak bermaksud menurunkan tangan jahat. Tapi orang-orang itu telah memaksanya." Setelah berkata begitu, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah menundukkan kepalanya.
Dari arah Timur I Ayu Mantini keluar dari semak-semak menghampiri Jaka, yang masih terdiam membisu sambil sujud. "Pendekar!"
Jaka Ndableg segera memalingkan wajahnya memandang pada asal suara itu.
"Tak usah tuan pendekar menyesali tindakan tuan. Dibandingkan apa yang tuan lakukan, belum seberapa dengan perbuatan mereka yang banyak membuat kejahatan." I Ayu Mantini mencoba menyadarkan Jaka Ndableg dari penyesalannya.
Perlahan Jaka Ndableg bangkit dan dihampirinya ketiga mayat itu. Setelah menguburkan mayat-mayat itu, keduanya pun berlalu meninggalkan hutan itu menuju ke kota raja.
"Duer...!"
Terdengar meja dihempas oleh tangan Kardika. Seketika meja itu hancur berantakan. Wajah Kardika tampak merona merah, pertanda marah. Dipandanginya satu persatu wajah Mahesa dan Darga yang tertunduk, tak berani memandanginya.
"Baru menghadapi kroco kalian kalah! Bagaimana kalian jadi prajurit nanti! Memalukan...! Di mana iblis Tangan Bisa...?"
"Dia sedang pergi, Kakang." jawab Mahesa memberanikan diri.
"Sudah. Kalian pergi dan jangan ganggu aku dulu. Bodoh!"
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Mahesa dan Darga berlalu meninggalkan Kardika. Kardika merenung, dalam hatinya ia bertanya-tanya,
"Siapa pemuda itu...? Hingga Empat Setan Golok yang sudah terkenal itu dapat dengan mudah dijatuhkan olehnya?" Belum habis pikiran Kardika pada pemuda itu, dari luar seorang lelaki setengah baya bersama seorang gadis cantik menghadapnya.
"Selamat sore, Tuan." sapa lelaki setengah tua itu dengan hormat.
Kardika tersentak, ditatapnya lelaki setengah baya bersama gadis di sampingnya. "Sangkumi, inikah yang kau maksud...?" tanya Kardika sambil mendekat ke arah gadis yang berdiri di samping Sangkumi.
"Benar, Tuan. Namanya Delima," menjawab Sangkumi cengar-cengir.
"Ha... ha... ha.... Cah ayu, di sini kau akan senang, ayo." Diajaknya Delima menuju ke dalam. Sangkumi melihatnya hanya meleletkan lidah. Ia tahu apa yang akan diperbuat oleh Kardika pada gadis itu. Sebelum masuk ke dalam kamar, ia segera menengok ke arah Sangkumi yang masih berdiri di pintu depan.
"Sangkumi... kau boleh istirahat dan bersenang-senang dengan gadis yang di gudang. Pilih olehmu yang kau sukai!"
"Terima kasih, Tuan..."
"Sangkumi, suruh yang lainnya untuk ikut bersamamu."
"Baik, Tuan" Sangkumi berlalu meninggalkan
Kardika yang telah masuk ke kamar mengikuti Delima dan menutup pintu kamar itu. Delima tersenyum melihat kelakuan Kardika yang sudah tak sabar lagi. Hal itu membuat Delima sengaja mempermainkannya. Dibukanya kancing bajunya perlahan, hingga mata Kardika melotot tak berkedip. Darahnya seketika memuncak ke ubun-ubun. Maka tanpa sabar ditubruknya tubuh Delima bagai macan kelaparan. Delima menggelinjang kegelian, kala kumis Kardika yang lebat menyentuh lehernya yang jenjang dan mulus. Belum sampai kedua manusia yang dilanda nafsu syetan itu bertindak jauh, tiba-tiba terdengar dari luar seseorang berseru.
"Kardika...! Iblis keparat, keluar kau...!"
Suara itu begitu lantang, hingga membuat Kardika tersentak dan mengurungkan niatnya. Dirapikan pakaiannya, lalu dengan segera ia meloncat keluar tanpa menghiraukan Delima lagi.
"Bangsat...! Siapa yang berani mencari mampus...! Hem.... Kau Eka Paksi, mau apa kau datang ke mari? Apa ingin mengantar nyawamu yang busuk itu...?"
Eka Paksi tertawa bergelak-gelak. Lalu ia pun berkata dengan nada dingin. "Kardika, lama kita tak berjumpa. Rupanya kebahagiaan sedang melanda mu hingga kau lupa pada sahabat lama."
Kardika tersenyum, ia tahu apa yang tersembunyi dalam ucapan Eka Paksi. Namun Kardika yang merasa aji Wesi Geninya sudah tinggi, tak merasa gentar sekalipun. "Oh.... Maaf. Bukannya aku lupa. Tapi karena kau datang tanpa memberitahukan dulu, jadi aku tak dapat menyambutmu dengan meriah...." Mata Kardika tampak tak berkedip memandang pada Eka Paksi.
Eka Paksi tertawa ganda mendengar ucapan Kardika, walau hatinya membatin; "Licik...!"
"Kardika, aku tak mau bertele-tele. Tentunya kau tahu akan apa yang menjadi maksudku datang ke mari...."
Kardika tertawa bergelak-gelak, mendengar apa yang diucapkan Eka Paksi. Dari sorot matanya, terlihat sebuah kebencian pada Eka Paksi. "Ha... ha... ha! Jangan kuatir, Eka Paksi. Aku bukanlah tipe pembohong. Untuk itu marilah masuk dulu, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Mana anak buahku...?" tanya Kardika seakan pada diri sendiri, matanya mengawasi sekelilingnya. "Sepi, ke mana mereka semua?" Belum habis Kardika bertanya-tanya dalam hati, terdengar Eka Paksi kembali tertawa bergelak-gelak.
"Kardika...! Maaf, aku telah membantu anak buahmu untuk sekedar tidur. Mungkin semalaman mereka berjaga..."
"Hem... Rupanya ada kemajuan yang pesat didapat oleh Eka Paksi, hingga Sangkumi yang ilmunya setara denganku tak mampu menghadapinya. Aku harus memakai cara halus," membatin Kardika, demi mendengar anak buahnya termasuk Sangkumi dapat diperdayai oleh Eka Paksi.
Melihat Kardika terdiam, Eka Paksi seketika berpikir. "Dia sedang mempersiapkan cara apa lagi untuk menjebakku?" tanya hati Eka Paksi.
Karena dalam hati mereka saling bertanya-tanya pada diri sendiri, untuk sekian lama keduanya terdiam. Mata-mata mereka yang tajam dan liar, tampak saling beradu hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu lawan. Kardika yang menyadari bahwa Eka Paksi terus memandangnya segera berseru:
"Eka Paksi...! Mari, jangan sungkan-sungkan. Tak enak bila kita membicarakan hal itu di luar. Apa kau tak takut ada pihak ketiga yang mengetahuinya?"
Eka Paksi tertawa bergelak-gelak, kepalanya mengangguk-angguk mengiyakan. "Baik, Kardika. Memang tak baik kalau kita membicarakan hal itu di luar." Dengan sekali loncat, tubuh Eka Paksi yang tadi berjarak sepuluh tombak kini telah berdiri di hadapan Kardika.
Belum juga Eka Paksi menginjakkan kakinya ke tanah, seketika Kardika yang licik tanpa sepengetahuan Eka Paksi telah menghantamkan aji Wesi Geninya. Hal itu membuat Eka Paksi tak dapat berkelit. Dan...!
"Deupbb!"
Tangan kanan Kardika yang sudah disalurkan aji Wesi Geni, mendarat telak di ulu hati Eka Paksi yang langsung terhuyung ke belakang dua tombak. Mulut Eka Paksi menyemburkan darah segar.
"Li... cik. Kau... kau...." Eka Paksi yang sudah parah masih mencoba bertahan dan hendak membalas. Namun akibat pukulan Wesi Geni yang ganas, Eka Paksi pun tak mampu untuk menjangkau dan ambruk ke tanah.
Melihat teman sekaligus musuh besarnya telah mati, Kardika tertawa lepas penuh kemenangan. Kakinya dihentakkan di atas tubuh Eka Paksi. "Ha... ha... ha...! Ambillah pusaka mu di neraka sana, Paksi!"
Tiba-tiba tanpa diketahui oleh Kardika sebelumnya, gadis yang bernama Delima telah menyerang. Sebuah pukulan telak Delima, menghantam di punggungnya. Kartika sempoyongan, dipandanginya Delima yang tadi menyerang dari belakang.
"Kau... kau.... Iblis betina !" Belum habis Kardika berbicara, Delima segera menyerang kembali. Melihat hal itu, Kardika segera berkelit dan membalas menyerang.
"Hari ini tamatlah riwayatmu, Jahanam!" membentak Delima sembari melancarkan serangannya.
Kardika yang sudah sadar bahwa dirinya telah ditipu mentah-mentah oleh gadis itu, emosinya segera meledak. Tanpa memperdulikan bahwa gadis itu tadi dicumbunya, Kardika segera membalik menyerang. Tadinya Kardika tidak begitu sungguh-sungguh melayani gadis itu. Namun demi dilihatnya gadis itu bukan wanita sembarangan, Kardika pun tanpa sungkan-sungkan langsung mengeluarkan ajiannya, Wesi Geni.
Terperanjat gadis itu, demi melihat ajian yang baru saja membunuh Eka Paksi. Delima pun segera melompat mundur. Wajah Delima nampak pucat pasi. Dari mulutnya keluar seruan kaget. "Ajian Wesi Geni!"
"Menyerahlah, Manis. Kau tak akan mampu melawanku, lebih baik kau menyerah dan mau melayaniku." Tangan Kardika bergerak cepat, hendak mencengkeram pundak Delima. Manakala tangan itu makin mendekat, terdengar sebuah tiupan angin kencang menangkis.
"Dessssttt...!"
Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan berkelebat dan menyambar tubuh Delima. Dibawanya tubuh Delima pergi, sehingga membuat Kardika gusar. Namun bayangan itu telah jauh berlalu, tinggallah Kardika yang mencaci maki penuh kemarahan dan kegusaran.
Lima tahun Wayan Saba terkurung di jurang Kendala Sukma, digembleng oleh seorang guru yang bernama Ki Turangga Bayu. Lima tahun bukanlah waktu yang pendek hingga tampak Wayan Saba sekarang, berbeda dengan yang dulu. Dulu di wajahnya tak ada goretan-goretan usia, juga tak ada kumis dan jenggot yang tubuh. Namun sekarang goretan usia tampak mengukir di keningnya juga jenggot dan kumisnya begitu lebat.
Pagi telah datang, menggantikan gelapnya malam yang telah setia menyelimuti bumi. Wayan Saba tampak tengah duduk di antara himpitan batu-batu cadas. Ia tengah menjalani ujian akhir. Tapa Brata Pati Geni, tidak makan dan tidak minum selama sebulan penuh.
Dari luar goa seorang lelaki tua renta menghampiri, di bibirnya tergerai senyuman. Diangguk-anggukkan kepala sepertinya puas. "Wayan Saba, bangunlah! Sudah cukup olehmu melakukan tapa brata."
Terdengar Ki Turangga Bayu berkata. Perlahan, mata Wayan Saba yang sedari tadi terpejam membuka dan sesaat menatap pada lelaki tua yang tengah berdiri di hadapannya. Lalu tanpa diperintah, Wayan Saba pun segera bersujud.
"Ampun, guru. Ada gerangan apa hingga guru membangunkan tapaku?"
"Muridku...lima tahun sudah kau di sini. Dan lima tahun pula kau telah menimba ilmu padaku. Kini segala ilmu yang kumiliki telah berpindah pada dirimu. Apakah kau tak ingin menjenguk istrimu? Apakah kau tak ingin menikmati alam kebebasan?" tanya sang guru.
Wayan Saba sesaat terdiam, memandang wajah sang guru dengan segenap keharuannya. "Ampun, Guru... bukannya hamba hendak menentang ucapan guru. Betapa beratnya hati hamba bila harus meninggalkan guru. Lagipula, tak ada gunanya murid pergi ke dunia bebas yang penuh dengan segala macam persoalan."
Mendengar perkataan Wayan Saba, Ki Turangga Bayu menggelengkan kepala, Dengan penuturan yang bijak, Ki Turangga Bayu berkata: "Wayan, aku tahu perasaan hatimu. Tapi sebagai seorang pendekar, kau dituntut untuk menghadapi segala kenyataan di dunia persilatan. Apalah artinya seorang pendekar, bila tak berani menghadapi liku-liku dunianya. Kita sebagai seorang persilatan harus mempunyai tujuan. Apalah artinya ilmu yang kita miliki, bila tidak kita gunakan..."
Wayan Saba terdiam mendengar petuah sang guru, hatinya membenarkan. Namun perasaannya sebagai seorang manusia yang mengerti akan balas budi, merupakan beban berat bila harus berpisah dengan sang guru yang telah sekian tahun menggemblengnya. Sang guru yang mengerti akan perasaan muridnya, segera meneruskan ucapannya.
"Wayan. Manusia hidup perlu saling tolong menolong. Dan sebagai manusia yang berbudi pekerti serta berbudaya, tak ada pamrih untuk menolong sesamanya yang memang membutuhkan. Janganlah kau terlalu memikirkan diriku. Masih banyak orang yang menderita oleh kesewenang-wenangan orang lain, yang membutuhkan pertolongan orang-orang sepertimu. Gunakanlah ilmu yang telah kau dapati untuk kebenaran, kau mengerti bukan?"
Wayan Saba mengangguk. Ucapan-ucapan gurunya pemberi semangat untuk kembali ke dunia bebas, yang telah sekian lama ia tinggalkan. "Terima kasih atas segala budi baik guru, yang dengan ikhlas telah membimbing ku. Mungkin bila tak ada guru, telah menjadi apa diriku ini." Wayan Saba tak dapat lagi menahan air matanya. Ia menangis, dan sujud memeluk kaki Ki Turangga Bayu.
"Jangan cengeng, Wayan. Seorang pendekar pantang untuk menangis," berkata Ki Turangga Bayu membuat Wayan Seba segera sadar dan mengusap air matanya. Sang guru tersenyum. "Wayan. Hari ini juga kau boleh pergi "
"Tapi, Guru?"
"Jangan membantah, Wayan."
"Ampun, Guru. Murid akan selalu menjunjung tinggi ucapan guru."
"Bagus...." berkata Ki Turangga Bayu, di bibirnya tampak tersungging senyum. "Pergilah sekarang. Carilah olehmu murid durhaka itu, mintalah buku kitab aji Wesi Geni yang ia curi."
"Bagaimana jika ia melawan, Guru...?" tanya Wayan Saba.
"Hem... kau masih ingat apa yang pernah aku katakan padamu?" sang guru balik bertanya.
Sesaat Wayan terdiam, mengingat satu persatu petuah yang telah diberikan gurunya. "Masih, Guru."
"Apa itu? Katakanlah?"
Ditariknya napas dalam-dalam oleh Wayan, sebelum akhirnya berkata: "Seorang pendekar, tidak akan melawan bila tidak ada perlawanan. Seorang pendekar tidak akan menyakiti, bila tidak disakiti terlebih dahulu. Baginya kepentingan orang banyak lebih utama daripada kepentingan diri sendiri."
Tersenyum senang Ki Turangga Bayu, demi mendengar ucapan muridnya. "Nah, Wayan. Dengan ucapanmu tadi, aku rasa kau mengerti apa yang harus kau lakukan jika Kardika melawanmu. Sebentar lagi hari akan siang, pergilah. Cari dia. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau bertindak berlandaskan dendam pribadi. Bertindaklah karena membela orang yang lemah."
Setelah sujud pada gurunya dan meminta restu, Wayan Saba pun meninggalkan jurang Kendala Sukma. Dengan cara melompat dari tebing yang satu ke tebing lainnya, akhirnya berhasil juga Wayan Saba sampai di atas.
"Ah... lima tahun sudah aku terkurung di jurang ini. Lima tahun pula aku tak melihat kejadian-kejadian di muka bumi ini," berkata hati Wayan. Sesaat ditatapnya mentari yang merah, yang baru muncul di atas permukaan bumi. Ditariknya napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan tepi jurang itu.
Di sebuah kedai, siang itu tampak banyak pengunjungnya. Kedai itu milik pak Romli yang mempunyai seorang anak gadis cantik dan bahenol bernama Romilah. Umumnya para pengunjung kedai bukan untuk makan semata, namun yang lain dari pada itu adalah ingin dapat melihat sekaligus bercanda dengan Romilah.
Dari luar dua anak muda memasuki kedai itu. Tanpa memperdulikan orang-orang yang memperhatikannya, kedua pemuda itu segera mengambil tempat di sudut sebelah Barat kedai. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Pelayan itu yang tak lain Romilah adanya, dengan genit menghampiri serta bertanya.
"Rupanya tuan-tuan datang dari jauh, dan baru kali ini datang ke mari?"
Kedua pemuda itu yang ternyata Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini tersenyum mengangguk, sembari memperhatikan tingkah Romilah. Melihat kedua pemuda itu memperhatikannya, Romilah menganggap mereka tertarik pada penampilannya. Maka dengan makin genit ia kembali bertanya.
"Pesan apa, Tuan-tuan...?" Dikerlingkan matanya pada Jaka yang tersenyum, membuat I Ayu Mantini dongkol hatinya.
Di samping itu juga karena ada rasa cemburu di hatinya. Sejak mereka jalan bersama, tanpa tersadari di hati I Ayu Mantini tumbuh perasaan lain pada Jaka. Perasaan yang sulit diutarakan dengan kata-kata. Namun untuk menyampaikannya pada Jaka ia tak berani.
"Kau pesan apa, Dewa?" bertanya Jaka pada I Ayu yang mengganti namanya dengan Dewa, I Ayu hendak tertawa, namun segera diurungkannya mengingat ia dalam penyamaran. Maka dengan suara lirih, I Ayu berkata:
"Nasi dan air putih."
"Hanya nasi putih saja?" bertanya Romilah sambil menyibirkan bibirnya, membuat I Ayu yang sudah muak dan kesal melototkan mata. Jaka yang melihat I Ayu melotot segera berkata menengahi.
"Maaf... temanku memesan nasi, bukan nasi putih saja, tapi sekaligus dengan lauknya. Bukan begitu, Dewa?"
"Ooh..." desis Romilah mengerti. Lalu dengan gayanya yang genit, Romilah kembali bertanya yang ditujukan kepada Jaka: "Lalu tuan?"
"Sama dengan temanku," jawab Jaka singkat. Ia pun merasa bosan melihat tingkah laku Romilah yang centil. Hanya ada satu jalan untuk mengusirnya, yaitu dengan cara meminta makanan secepatnya.
Dan memang benar, Romilah pun segera bergegas pergi meninggalkan keduanya yang hanya geleng-geleng kepala. Tak lama antaranya, pesanan mereka pun datang. Dengan tanpa bicara lagi keduanya segera menyantap makanan itu. Sedang keduanya menikmati santapannya, dari arah pintu tiga orang lelaki berwajah angker memasuki kedai yang dengan kasar meminta makan.
"Hai...! Kasih kami tiga piring nasi rames, sambel dan jengkol serta tuak. Cepat...!" berkata salah seorang dari mereka dengan membentak, hingga pelayan yang menghampiri tampak ketakutan.
Dengan terbata-bata pelayan itu berkata; "I... ia, Tuan. Ha... hanya i... itu?"
"Ia...! Cepat...!" Melotot mata orang kedua dari ketiganya, menjadikan pelayan itu makin ketakutan. Hingga tanpa diperintah lagi, pelayan itu segera pergi.
Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa pesanan ketiga orang itu. Ketika pelayan itu lewat di depannya, Jaka segera menghentikan dan bertanya:
"Siapa ketiga orang itu?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka, pelayan itu terdiam. Di matanya tergambar ketakutan yang amat sangat.
"Kenapa terdiam, Pak?" tanya Jaka mengulang.
Belum juga pelayan itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara salah seorang dari mereka berkata dengan congkaknya. "Hai, Bocah. Apa perlunya kau berbisik-bisik dengan orang dungu seperti dia. Kalau kau ingin tahu siapa kami, dengarlah! Kami dijuluki oleh orang-orang di sekitar sini Tiga Harimau Iblis. Nah... untuk kali ini aku maafkan tingkahmu yang sok ingin tahu, karena kau rupanya orang baru di sini. Sekarang, enyahlah dari hadapan kami."
Jaka hanya tertawa mendengar omongan salah satu dari ketiga Macan Iblis. Lalu dengan lantang Jaka berkata: "Hai, Harimau ompong! Sepantasnya kalian masuk ke kebun binatang, bukan di sini tempatnya!"
Ketiga Harimau Iblis seakan membelalakkan mata demi mendengar ucapan Jaka. Baru kali ini ada orang yang berani bertingkah di hadapan Tiga Harimau Iblis. Ketiganya segera menghentikan makan dan segera memandang pada Jaka yang masih tertawatawa. Hingga ketiganya menjadi berang, karena merasa diremehkan. Salah seorang dari ketiga Harimau Iblis itu membentak dengan marahnya.
"Jadah...! Rupanya ada lalat yang berani mengganggu makanku." Setelah berkata begitu, serta merta tangannya bergerak dengan cepat. Sebuah piring yang menjadi alas makannya melayang, di lemparkan olehnya ke arah Jaka Ndableg.
Hampir saja kepala I Ayu tersambar piring itu, kalau saja Jaka tak segera mendorongnya. Sementara Jaka sendiri tampak berjumpalitan di udara menghindari serangan piring terbang itu. Melihat serangan piringnya dapat dengan mudah dielakan oleh Jaka dengan berang orang yang tadi melemparkan piring segera meloncat menyerang. Melihat hal itu, Jaka segera memapaki.
"Hiat...!"
"Bug! Bug! Bug!" Tiga kali pukulan berturut-turut terdengar hantaman.
Jaka berdiri tegak, dengan senyum mengembang di bibirnya. Sementara lawannya tampak sempoyongan, darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibirnya. Melihat itu kedua macan lainnya segera memburu, membantu temannya berdiri. Dari mulut kedua macan itu terdengar seruan kaget.
"Adik Loreng... kenapa kau?" Keduanya hampir berbareng memapah adik seperguruannya yang tampak luka dalam oleh hantaman Jaka. Kedua macam itu menatap tajam pada Jaka sambil mendengus marah.
"Anak muda! Rupanya kau sengaja mencari penyakit. Bersiaplah untuk mati!"
Mendengar ucapan macan tertua, Jaka menggandakan tawanya. "Hai, Macan ompong! Aku tak pernah mencari musuh. Aku semata-mata hanya membela diri. Bukankah adikmu itu yang pertama kali menyerangku?"
"Persetan dengan ucapanmu, Anjing laknat! Kau telah melukai adik seperguruan kami, maka secara tidak langsung kau telah menantang kami." Setelah berkata begitu, kedua macam iblis itu segera menyerang Jaka.
Melihat keduanya menyerang, Jaka segera berlari keluar. Ia tak ingin kedai itu hancur oleh pertarungan. Demi melihat Jaka Ndableg lari keluar, serta merta keduanya segera memburu.
"Mau lari ke mana kau, Anjing buduk...!" membentak macan tertua.
"Aku tak lari ke mana-mana, Macan ompong! Aku hanya ingin kedai itu tak rusak oleh kita!"
Tak lama kemudian kedua macan itu pun telah sampai di halaman kedai pula. Ketiganya saling berhadapan dengan mata yang tajam mengawasi gerak-gerik lawan.
"Nah, macan-macam ompong. Sekarang apa mau kalian? Bukankah aku tak lari?" berkata Jaka sembari tertawa bergelak-gelak, membuat kedua macan itu tambah geram.
Maka dengan keras, Macan Tutul membentak: "Setan laknat! Jangan harap kau bisa lolos dari kami. Bersiaplah untuk mampus."
"Apa aku tak salah dengar, bahwa kalian ingin mati? Ha... ha...." Dibaliknya ucapan Macan Tutul, yang menjadikan kedua macan itu mendengus kesal. Dengan serentak kedua macan itu pun menyerangnya.
Tampak kedua macan itu tak segan-segan lagi mengeluarkan jurus-jurus intinya, dengan harapan dapat segera menghabisi Jaka. Tapi dugaan keduanya salah, sebab Jaka tampak dengan tenang mengelakkan serangan keduanya, bahkan sekali-kali balik menyerang. Melihat musuhnya dapat dengan mudah mengimbangi serangannya. Macan Kumbang dengan geram berseru:
"Terimalah jurus Macan Kembar Berebut Mangsa. Hiyaat...!"
Jurus Macan Kembar Berebut Mangsa adalah jurus yang dibanggakan oleh ketiga Macan Iblis itu. Kedua macan itu saling menyerang bergantian, membuat Jaka tak dapat kesempatan untuk berbalik menyerang. Hingga Jaka hanya mampu mengelak dan menangkis. Jaka tersentak, saat salah satu dari Macan Iblis hampir saja menghunjamkan tangannya yang berkuku panjang dan runcing beracun ke mukanya.
"Cilaka...! Kalau begini terus menerus," membatin Jaka, Dengan segera Jaka melompat mundur beberapa tombak. Ketika kedua Macan Iblis hendak kembali merangseknya dengan cepat Jaka mengubah jurusnya dengan jurus Dewa Topan Menghantam Karang! Dari gerakan kedua tangan Jaka yang seperti menari, keluar angin besar bak badai menghantam kedua macan itu.
Melihat kenyataan bahwa anak muda yang sedang mereka hadapi bukan tandingannya, keduanya membatin. "Cilaka! Ilmu siluman!" Di wajah kedua macan itu tampak tegang. Dan...
"Werr...! Dest...!"
Beruntung macan kedua segera menghindar. Bila tidak, maka nasibnya seperti kakak seperguruannya. Tubuh macan tertua mencelat terbang terbawa oleh arus topan, lalu jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. Tak luput pula kedai pak Romli, bilik dan atapnya beterbangan terbawa angin topan yang tercipta dari tangan Jaka.
Untuk sesaat Jaka termangu, memandangi kedai pak Romli yang menjadi korban jurusnya. Jaka segera melompat masuk ke kedai setelah ia ingat pada I Ayu Mantini yang ditinggalkannya. Namun betapa terkejutnya Jaka, karena I Ayu Mantini tak ada di tempatnya lagi. Di wajahnya tergurat kecemasan akan keselamatan I Ayu Mantini.
"Pelayan. Kau tahu ke mana temanku?" bertanya Jaka tak sabar. Tanpa disadarinya, ia telah mengguncang-guncangkan tubuh pelayan itu. "Ke mana...?"
"Di... dibawa oleh Macan Tutul," menjawab pelayan kedai dengan ketakutan.
"Kau tahu tempatnya?"
Pelayan kedai itu hanya menggeleng lemah, membuat Jaka seketika lemas dan melepaskan pegangannya. "Untuk apa ia membawa I Ayu Mantini? Ah.... Bagaimana kalau ia tahu I Ayu Mantini wanita? Aku harus segera mengejarnya," kata hati Jaka gundah.
Setelah terlebih dulu membayar uang makan dan ganti rugi kedai yang rusak, dengan segera Jaka memburu kedua macan yang membawa I Ayu Mantini. Secepat kilat Jaka melesat pergi, hingga membuat orang-orang yang melihatnya melototkan mata tak percaya.
"Wah... itu manusia atau siluman?" bergumam salah seorang yang bernama Somad.
"Tak nyana, bocah se-enom koe wis duwur ilmune." timpal yang lain.
Tak luput juga halnya dengan Romilah yang memang naksir pada Jaka, hingga tak sadar ia bergumam. "Seandainya aku jadi istrinya. Apapun kemauannya akan aku turuti. Sudah ganteng, klimis eh... wong sakti. Duh cah bagus, bilakah aku menjadi istrimu? Walau istri kelima sekalipun."
Mendengar omongan Romilah yang ngaco, seketika semua yang ada di situ menggerutu kesal. "Huuh... Maunya!" Romilah hanya nyengir dan ngeloyor pergi.
Alun-alun kerajaan tampak ramai oleh kerumunan rakyat. Mereka datang berbondong-bondong untuk menghadiri upacara penobatan putra mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya. Pengumuman itu telah disebar seminggu yang lalu pada rakyat, juga pada kerajaan lain. Walau rakyat telah datang sejak pagi, namun tampak bangsal yang akan dipergunakan sebagai tempat pengangkatan masih kosong.
Di Dalam keraton tepatnya di ruang pertemuan, Sang Baginda dengan dikelilingi oleh abdi keraton, tengah mengadakan rapat. Sang raja yang walaupun usianya telah lanjut, tampak kewibawaan masih melekat pada dirinya. Terlihat semua yang hadir di situ hanya terdiam, kala sang baginda bersabda membuka rapat.
"Para pinisepuh kerajaan yang saya hormati. Paman patih Arya Wisesa yang saya hormati, serta perwira-perwira tinggi kerajaan. Hari ini sengaja aku undang kalian semua ke tempat ini, tempat yang mungkin telah kalian semua ketahui sebagai tempat musyawarah. Begitu juga dengan hari ini, saya undang kalian semuanya ke mari juga untuk musyawarah. Yang mana telah kalian semua ketahui, bahwa kerajaan saat ini telah dilanda gelombang pemberontakan. Karena aku sudah tua, aku bermaksud menyerahkan tahta kerajaan ini pada anakku Arya Perwira. Bagaimana menurut pendapat para pinisepuh...?"
"Ampun, Tuanku yang mulia. Kalau tuanku berkenan, hamba ingin menyampaikan pendapat hamba."
Sang raja yang bijaksana, tampak tersenyum mendengar ucapan salah seorang sesepuh kerajaan. Lalu dengan suara bijak, Sang Rajapun bersabda: "Katakanlah apa pendapatmu. Bila memang baik, maka aku pun akan melaksanakannya."
"Ampun.... Menurut hemat hamba sebagai orang tua, hamba merasa bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi tidak luput kaitannya dengan orang-orang dalam sendiri. Dengan kata lain, ada orang dalam yang terlibat."
Mendengar penuturan sesepuh kerajaan, seketika semua yang hadir di balai pertemuan saling pandang dengan hati saling penuh tanda tanya. Setelah melihat semuanya terdiam, sesepuh kerajaan itu kembali meneruskan bicara:
"Ampun, Baginda sesembahan hamba. Itu hanyalah pendapat hamba semata. Maka bila hal itu dirasa salah, maka dengan memohon beribu-ribu ampun hamba meminta maaf."
Sang baginda tampak terdiam. Dipandanginya satu persatu orang yang hadir di situ. Semuanya tampak menunduk, tak ada yang berani untuk mengadu pandang dengan tatapan mata sang raja. "Aku rasa memang benar ucapanmu, Ki Wisesa Ludra. Terbukti dengan lolosnya kaum pemberontak dari sergapan prajurit-prajurit kerajaan, itu pertanda ada oknum dalam kerajaan. Bukan begitu, paman patih Arya Wisesa...?" berkata sang Raja pada patihnya Arya Wisesa.
Sang patih Arya Wisesa hanya mengangguk membenarkan, seraya menyembah. "Arya Wisesa. Coba kau ceritakan apa yang telah kau alami dengan para pemberontak?"
"Ampun, Baginda yang mulia sesembahan hamba. Seperti apa yang dikatakan Ki Wisesa Ludra, hambapun berkesimpulan begitu. Bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi akhir-akhir ini, dalangnya tak lain adalah orang dalam sendiri yang bermaksud merongrong kerajaan. Sudah berulang kali hamba melakukan pengepungan-pengepungan pada markas mereka. Namun sebelum hamba dan anak buah hamba datang ke tempatnya, mereka telah pergi entah ke mana. Juga ketika hamba dengan Empat Naga dari Gunung Kapur mengejar sekelompok pemberontak, kami kehilangan jejak secara tiba-tiba."
"Lalu bagaimana dengan keamanan kerajaan sekarang?" tanya sang raja.
"Ampun, Baginda yang mulia, sesembahan hamba. Sejak keamanan dipercayakan pada Ke Empat Naga, sampai sekarang belum ada kejadian pemberontakan lagi."
Sang raja tampak manggut-manggut mendengar laporan patihnya. "Rupanya Ke Empat Naga dari Gunung Kapur orang-orang yang berilmu tinggi." mendesah sang raja. "Telah tiba waktunya penobatan putraku. Mari, kita ke bangsal penobatan." ajaknya sembari berdiri dari kursi.
Semua yang hadir menunduk hormat, dan menepi memberikan jalan untuk rajanya. Setelah sang raja berlalu, semua yang ada di situ segera mengikutinya dari belakang. Di atas bangsal tampak ponggawa istana tengah membacakan acara-acara yang akan berlangsung. Rakyat dengan sabar menunggunya dan segera mengelu-elukan rajanya saat nama sang raja disebut.
"Hidup baginda Wangsa Dewa...! Hidup raja kita...!"
Tanpa memperdulikan suara rakyat yang bergemuruh, mengelu-elukan nama rajanya, kembali sang ponggawa istana berkata: "Saudara-saudara rakyat kerajaan Bayu Lor yang berbahagia. Waktu penobatan putra mahkota Pangeran Arya Prawira, sebentar lagi akan dilaksanakan...."
Mendengar penobatan Pangeran Arya Perwira sebentar lagi akan dilakukan, seketika kembali terdengar suara rakyat berseru. "Hidup Pangeran Arya Perwira...! Hidup Kerajaan Bayu Lor...!"
Sedang riuhnya rakyat mengelu-elukan nama Arya Perwira. Dari arah Barat seorang lelaki berjalan mendekati dan langsung masuk ke dalam kerumunan rakyat. Lelaki muda yang baru datang itu, tampak mengawasi sekelilingnya. Dengan mata yang tajam, lelaki muda itu memandang ke segenap penjuru alun-alun. Entah siapa yang sedang ia cari. Lelaki muda itu bertanya pada salah seorang penduduk yang berdiri dekat dengannya.
"Ki Sanak. Kalau boleh aku bertanya, sedang ada apa disini...?"
"Ini orang bagaimana, sih? Apakah memang orang asing, hingga tak tahu sedang apa kerajaan ini." membatin orang itu. "Ki Sanak, ini adalah kerajaan. Dan sekarang tengah mengadakan suatu acara pengangkatan putra mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya yang telah tua." Orang yang ditanya menerangkan.
Setelah tahu apa yang sedang berlangsung, lelaki muda itu keluar dari kerumunan rakyat. Dicari sebuah pohon, lalu segera pemuda itu melompat dan duduk di cabang dengan tenang. Di atas bangsal, ponggawa kerajaan masih berbicara dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, sang Raja dengan diiringi pengawal istana naik ke atas bangsal disambut dengan sorak-sorai serta elu-eluan rakyatnya.
"Hidup raja kita...! Hidup kerajaan Bayu Lor...!"
Melihat sambutan rakyat yang penuh antusias, sang Raja terurai senyum bangga penuh keharuan. Lalu setelah rakyatnya tenang, sang raja pun bersabda: "Terima kasih... terima kasih. Ternyata kalian semua adalah rakyat yang baik, yang mencintai raja dan negaranya. Aku bangga memimpin rakyat seperti kalian, yang rela berkorban demi raja dan negaranya. Namun aku kini telah tua, tenaga dan pikiranku telah berkurang. Maka mulai hari ini kalian semua akan mendapat raja yang baru, yaitu...." Belum habis ucapan sang raja, tiba-tiba dari kejauhan seseorang berteriak. Semua mata mengalihkan pandangannya pada orang tersebut, yang datang bersama bala tentaranya.
"Aku rajamu sekarang... ha... ha...." Orang itu melompat ke atas bangsal dan dengan cepat tanpa dapat dicegah, memporak-porandakan bangsal seenaknya.
Melihat sepak terjang orang yang baru datang, Arya Wisesa segera menghadang. "Siapa kau! Berani lancang membuat keonaran?!" membentak Arya Wisesa.
Ditanya begitu oleh Arya Wisesa, orang yang barusan datang bukannya segera menjawab malah tertawa dengan keras, rakyat yang tak dapat menahan getaran suara orang itu banyak yang luka dalam. Dari hidung dan telinga rakyat tampak mengalir darah. Belum puas melihat korban yang berjatuhan, kembali orang yang baru datang itu melipatgandakan tawanya. Mengerut kening Arya Wisesa, demi melihat apa yang telah terjadi.
"Hem.... Aji Gelak Pelebur Sukma." membatin Arya Wisesa. "Baik! Akan aku coba dengan ilmu Pengunci Suara," bergumam hati Arya Wisesa. Setelah untuk beberapa saat terdiam, Arya Wisesa pun membentak. "Diam...!"
Bagai kena hipnotis, orang yang sedari tadi tertawa seketika terdiam. Matanya melotot tak percaya. Dengan terlebih dahulu bergumam, orang itu berseru pada anak buahnya yang telah siaga. "Serbu...!"
Bagai air bah, anak buahnya segera turun dari bukit yang mengelilingi alun-alun. Seketika suasana yang tadi tenang, berubah menjadi pekik dan jerit kematian dan ketakutan. Pihak kerajaan pun tak tinggal diam, mereka dengan penuh semangat memapakinya. Perang tak dapat dicegah, meletus dengan seketika.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, namun tampaknya peperangan tak akan segera berakhir. Dari pihak pemberontak, nampaknya makin merangsek pertahanan pihak kerajaan yang hanya mengandalkan ilmu perang belaka. Lain dengan dari pihak pemberontak yang rata-rata berilmu silat, juga berlandaskan kenekadan.
Arya Wisesa kini telah berhadap-hadapan dengan pimpinan pemberontak, segelar sepapan. Di tangan Arya Wisewa tergenggam keris pusaka Kyai Plered Ijo. Matanya yang tajam bagai mata elang, memandang pada musuhnya. "Siapa namamu, Ki sanak?!" bertanya Arya Wisesa marah.
Musuhnya tampak tersenyum sinis, sepertinya mengabaikan dan meremehkannya. Melihat hal itu, kejengkelan Arya Wisesa makin menjadi. Dengan didahului bentakan, Arya Wisesa pun segera melompat menyerang.
Diserang secara tiba-tiba oleh Arya Wisesa, tidak menjadikan pemimpin pemberontakan itu gugup. Bahkan dengan disertai tawa nyaring, ia pun berkelit mengelakkan serangan Arya Wisesa. Dengan segenap kemampuan, Arya Wisesa mencoba merangsek musuhnya. Tapi dengan mudah sang musuh dapat mengelakkan serangan-serangannya bahkan sesekali membalas menyerang.
Jurus demi jurus telah dilewati, sudah tiga puluh lima jurus keduanya bertanding. Keris pusaka di tangan Arya Wisesa tampak berkelebat-kelebat dengan cepatnya mencari sasaran.
Pemimpin pemberontak tampak tidak ada gentar sedikitpun menghadapi keris pusaka di tangan Arya Wisesa. Hanya dengan mengibaskan tangan saja, semua serangan Arya Wisesa dapat ditangkisnya. Bahkan kini Arya Wisesa yang tampak keteter, didesak oleh lawannya yang hanya mengandalkan tangan kosong.
Tiba-tiba...! Tanpa diduga Arya Wisesa sebelumnya, pemimpin pemberontak itu melompat mundur beberapa tombak. Kedua telapak tangannya disatukan. Maka dari kedua telapak tangan itu tampak keluar sinar merah menyala. Arya Wisesa terperanjat, melompat mundur. Dari mulut-nya mendesis kaget, menyebut nama ajian yang dipakai musuhnya.
"Aji Panca Api...! Hem... dari mana ia memperoleh ajian itu? Bukankah hanya Siluman Neraka saja yang mempunyainya? Apakah ia muridnya? Bukankah murid Siluman Neraka hanya seorang yaitu Tumenggung Warok Rekso Poleng. Atau..."
Arya Wisesa segera tersadar dan berkelit kala sebuah hantaman dari pemimpin pemberontak yang menggunakan aji Panca Api menyerangnya. Namun tak urung, pundaknya terserempet juga. Baju yang dikenakannya terbakar dengan pundak terasa perih.
Melihat musuhnya tampak lengah karena sakit di pundaknya, pemimpin pemberontak kembali menghantamkan pukulan aji Panca Apinya. Tapi ketika ia mengkiblatkan tangan ke Arya Wisesa, tiba-tiba dari atas pohon kapuk berkelebat sesosok tubuh menghadang pukulannya,
"Bum...!"
Benturan dua tenaga dalam yang dahsyat, membuat tanah dibawahnya menyembur ke atas. Ketua pemberontak tampak terkejut, tubuhnya sempoyongan ke belakang dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sementara orang yang telah memapaki pukulan Aji Panca Apinya, kini tampak berdiri dengan bibir menyungging senyum.
"Siapa dia? Belum pernah ada yang dapat memecahkan aji Panca Api. Tapi kenapa orang ini mampu memecahkannya?" membatin pemimpin pemberontak. Ia sadar, bahwa orang yang sekarang berdiri di hadapanya bukan orang sembarangan. Tapi sebagai orang yang telah makan asam garam dunia persilatan, pemimpin pemberontak itu segera menghilangkan kejeriannya dan dengan lantang bertanya: "Siapa kau! Berani ikut campur urusanku?!"
Si lelaki muda yang tadi memapaki serangannya hanya tersenyum. "Ki sanak, nama tidak selalu menjadikan patokan tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki oleh orang itu. Ada kalanya orang yang ternama di dunia persilatan, tindak-tanduknya bertentangan. Sebaliknya orang yang tidak terkenal, biasanya akan hati-hati dalam bertindak. Tapi baiklah, agar Ki sanak puas, maka aku yang rendah dan dungu ini memperkenalkan namaku yang tak ada artinya. Namaku Wayan Saba..."
"Wayan Saba...? Wayan Saba, untuk kali ini aku menyerah kalah. Tapi lain waktu aku akan mengadakan perhitungan denganmu," berkata pemimpin pemberontak sembari hendak pergi.
Tapi belum juga pemimpin pemberontak melangkah jauh, segera Wayan Saba menghentikannya. "Tunggu!"
Pemimpin pemberontak itu seketika berhenti, dengan wajah tegang. Mengira Wayan Saba hendak menangkapnya, dengan nekad pemimpin pemberontak itupun menyerang. "Serbu!" serunya memerintah pada sisa-sisa anak buahnya.
Wayan yang tak menyangka bakalan dikeroyok, seketika mendengus marah. Dari mulutnya terdengar caci maki gusar. "Hem... memang orang-orang macam kalian, licik dan keji. Bila kalian tak mau menyerah, jangan salahkan aku bertindak. Terimalah ini!"
Sehabis berkata begitu, Wayan pun segera mengeluarkan ilmunya yaitu aji Inti Pusaran. Seketika semua anggota pemberontak itu tersedot mendekati Wayan. Setelah hampir sampai pada dirinya, dihentakkan anak buah pemberontak itu hingga terpelanting saling tindih menindih.
Pemimpin pemberontak yang memang sudah ciut nyalinya menghadapi Wayan, segera kabur menyelamatkan diri. Rakyat yang sedari tadi ketakutan, kini timbul nyalinya. Dengan penuh semangat disertai rasa kekesalan, diburunya pimpinan pemberontak itu beramai-ramai. Tak lama antaranya, tubuh pemimpin pemberontak itu telah lumat oleh amukan rakyat tanpa dapat dicegah. Wayan Saba hanya dapat memandang tanpa dapat berbuat apa-apa.
Setelah keadaan tenang, sang Raja dan permaisuri serta putra mahkota yang sejak tadi bersembunyi segera keluar kembali. Di wajah-wajah mereka kini tergurat senyum, ditujukan pada Wayan Saba yang masih berdiri mematung di sisi Arya Wisesa. Melihat sang Raja berjalan menghampiri, Wayan segera menghormat.
"Hamba yang bodoh ini menyampaikan sembah, sekaligus memohon ampun atas kelancangan hamba yang telah turut campur tanpa terlebih dahulu meminta restu dari paduka. Sekiranya hal ini dianggap kesalahan besar, hamba siap menerima hukumannya."
Melihat sikap Wayan yang sopan penuh tata krama, sang Raja tampak tersenyum senang dan berkata: "Anak muda, janganlah terlalu merendahkan diri. Aku tahu di balik kerendahan hatimu tersimpan hati yang agung, yang jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Aku senang dapat bertemu dan sekaligus berkenalan dengan dirimu, Anak muda! Siapa namamu...?"
"Hamba yang rendah ini, bernama Wayan Saba," menjawab Wayan.
"Wayan Saba, aku atas nama rakyat Bayu Lor mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Maka atas rasa terima kasih kami, mulai saat ini kau kuangkat menjadi pembantu utama patih Arya Wisesa. Kuharap kau mau menerimanya, Anak muda. Bukan begitu, Paman patih Arya Wisesa?" bertanya sang raja pada patihnya, yang mengangguk dan berkata menambahkan.
"Benar, Saudara Wayan. Kami sangat memerlukan tenaga seperti saudara. Untuk itu, kami mohon saudara mau menerimanya."
Mendengar permintaan yang diucapkan oleh Raja dan patihnya secara tulus, Wayan Saba sesaat terdiam. "Betapa beratnya tanggung jawab seorang patih sebagai abdi negara. Walaupun begitu, tugas patih adalah mulia. Namun apakah aku harus menerimanya? Sedang aku sendiri sampai kini masih berkelana mencari Kardika dan istriku. Apakah aku dapat bertemu? Negara memang dalam keadaan terdesak oleh pemberontakan-pemberontakan. Aku sebagai seorang yang telah digembleng dengan ilmu kanuragan dan kesaktian, apakah harus tinggal diam? Baiklah! Demi negara dan rakyat, aku menerimanya." kata hati Wayan.
"Bagaimana saudara, Wayan?" terdengar sang Raja kembali bertanya, demi melihat Wayan hanya terdiam sekian lama.
Wayan yang tengah berpikir, seketika tersentak demi mendengar pertanyaan sang Raja. "Ampun, Baginda yang mulia. Kalau memang itu yang baginda kehendaki, hamba tak dapat menolak."
Mendengar pernyataan Wayan yang menyanggupi permintaannya, sang Raja mengurai senyum. Perlahan didekatinya tubuh Wayan yang masih menghormat, dipegangnya pundak Wayan. "Terima kasih, Anak muda. Aku harap dengan diangkatnya dirimu menjadi patih kedua di kerajaan ini, akan tentramlah kerajaan. Paman patih Arya Wisesa..."
"Daulat, Gusti...?" menjawab Arya Wisesa hormat.
"Mulai hari ini, semua tugasmu akan dibantu oleh Wayan. Bekerjalah kalian berdua bahu membahu. Pikullah keamanan dan ketertiban kerajaan di atas pundak kalian. Mengenai pengangkatan putraku menggantikan diriku, aku rasa belum waktunya karena aku perlu membenahi sedini mungkin. Ponggawa, beritahu pada rakyat kerajaan ini bahwa kini kerajaan telah mengangkat Wayan Saba sebagai patih kedua. Dan kau, Panglima tamtama Utama, coba kau dengan beberapa prajurit-prajurit mu berjaga-jaga di perbatasan. Juga cari Keempat Naga yang sampai sekarang belum muncul," berkata sang Raja dengan, penuh wibawa dan bijaksana.
"Daulat, Gusti. Hamba pamit undur," berkata kedua ponggawa istana. Setelah menyembah, keduanya pun segera berlalu pergi menjalankan tugas.
Sepeninggal kedua ponggawa utama kerajaan, sang Raja segera mengajak Wayan menuju ke ruang pertemuan di mana para sesepuh kerajaan tengah berkumpul. Wayan pun hanya dapat menurut. Beriring dengan Arya Wisesa yang tampak masih menahan sakit terbakar, keduanya berjalan mengikuti sang Raja menuju tempat pertemuan. Para sesepuh kerajaan seketika memberi hormat, kala baginda dan Wayan Saba serta Arya Wisesa masuk ke ruang pertemuan. Dengan hampir berbarengan, para sesepuh kerajaan itu memberi salam:
"Selamat datang, Saudara pendekar!"
Melihat penghormatan yang dilakukan oleh para sesepuh kerajaan padanya, Wayan pun segera balik menghormat. "Sejahtera hamba ucapkan untuk kalian semua. Semoga Yang Wenang selalu bersama kita."
Para sesepuh tampak tercengang, kagum dengan tindak-tanduk Wayan yang begitu santun. Setelah semuanya duduk. Baginda raja segera membuka rapat.
"Para sesepuh kerjaan. Para perwira tinggi, dan paman patih Arya Wisesa. Mulai saat ini saudara Wayan Saba resmi menjadi patih. Hal ini saya nilai, karena kerajaan sangat membutuhkan orang-orang gagah seperti dirinya."
Semua mata yang hadir di persidangan tertuju pada Wayan yang tertunduk hormat. Baginda pun kembali meneruskan ucapannya: "Kalian tahu. Baru saja bencana hampir menghanyutkan kerajaan. Aku rasa, bencana-bencana pemberontakan lainya akan muncul lagi. Dengan adanya Saudara Wayan menjadi patih di sini, dapatlah kiranya kita lebih tentram. Bukan begitu, Paman patih Arya Wisesa?"
Arya Wisesa yang masih meringis menahan sakit akibat pukulan Panca Api, hanya mengangguk seraya memandang pada Wayan Saba dengan senyum.
"Aku mengangkat Wayan Saba langsung pada kedudukan yang tinggi bukanlah tanpa pertimbangan dan pemikiran. Maka jika ada yang tidak setuju dengan pengangkatan Wayan Saba sebagai patih, kuanjurkan pergi."
Semua yang hadir tampak terdiam, tak berani berkata apalagi menentangnya. "Karena semua yang hadir setuju. Maka dengan ini resmilah Saudara Wayan Saba menjadi patih pembantu," berkata sang Raja, sembari melirik Wayan Saba yang mengangguk hormat.
"Terima kasih atas kepercayaan Baginda, juga sesepuh kerajaan pada diri hamba yang bodoh ini untuk memegang tanggung jawab. Maka sebagai rasa terima kasih, hamba berjanji dan bersumpah tak akan minum tuak dan makan buah Dewa (Apel) sebelum pemberontakan hilang dari bumi Bayu Lor ini."
Mendengar sumpah yang diucapkan oleh Wayan, seketika semua yang hadir terdiam bisu. Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Wayan, seketika cuaca yang tadinya panas berubah menjadi mendung.
"Blar...! Bletar...!" Suara petirpun menggema, seakan menjadi saksi dan turut merestui.
Bersamaan dengan hilangnya suara petir, terdengar gelak tawa seseorang tanpa ujud berkata: "Wayan. Sumpah seorang kesatria, apalagi kesatria yang berbudi luhur seperti kamu akan terlaksana. Tunaikan tugasmu dengan baik, jangan kau abaikan. Juga ingat olehmu, jangan kau melakukan tindakan karena rasa dendammu. Bertindaklah karena kepentingan orang banyak. Perangilah keangkaramurkaan. Aku berdo'a semoga kau berhasil..."
"Guru...! Di mana kau?" berseru Wayan memanggil Gurunya. Namun suara Wayan berlalu begitu saja, karena sang guru yang tak lain dari pada Ki Turangga Bayu telah berlalu.
Semua yang hadir membelalakkan mata, demi mendengar suara tanpa ujud itu berkata pada Wayan. Kini semua yang hadir di situ makin percaya dan menaruh rasa segan pada Wayan Saba, yang masih terdiam sepeninggal suara gurunya, tersentak, kala sang raja berkata padanya.
"Ki Patih Wayan Saba, kau kenal dengan suara itu? Siapa beliau?"
"Ampun, Baginda yang mulia. Beliau adalah guru hamba," menjawab Wayan Saba.
"Kalau boleh aku tahu. Siapakah gurumu, Ki Patih?"
Sesaat Wayan Saba terdiam, dihelanya napas panjang-panjang, sebelum akhirnya berkata: "Ampun, Yang mulia. Sebenarnya, guru hamba adalah orang biasa seperti kita. Beliau bernama Ki Turangga Bayu."
Mendengar nama yang disebut Wayan sebagai gurunya. Seketika semua mata terbelalak, dalam hati mereka berkata. "Pantas kalau pemuda ini memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan yang tinggi."
Sejak saat itu, Wayan Saba semakin disegani dan dihormati di kalangan keraton. Hal itu dikarenakan tindak-tanduk Wayan Saba yang tidak sombong, juga karena mereka tahu siapa sebenarnya Wayan Saba. Sejak itu pula keamanan kerajaan pun terjamin. Walau masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil, namun semuanya dapat dengan mudah dipatahkan oleh Wayan Saba dengan pasukannya yang kini telah dibekali dengan ilmu silat.
Wayan Saba di samping menjadi patih kedua, juga melatih ilmu silat untuk para prajurit kerajaan. Hal itu membuat salah seorang putri baginda sangat tertarik padanya. Wayan Saba yang tak mengerti akan hal itu menanggapinya dengan biasa-biasa. Seakan tak ada hal-hal yang aneh pada hubungannya dengan Kanjeng Dewi Ayu Laras. Hingga pada suatu hari; kala Wayan Saba tengah duduk melamun sendirian, Dewi Ayu Laras telah datang menemuinya.
"Kanjeng Dewi! Ada gerangan apa, hingga Kanjeng Dewi datang ke tempat. hamba?" tanya Wayan terkejut.
Mendengar Wayan berkata keras, Dewi Ayu Laras segera mengisyaratkan telunjuknya di kedua bibirnya. "Stttt...! Jangan keras-keras." ucapnya sembari mendekati Wayan yang masih terbengong-bengong tak mengerti.
Wayan semakin tak mengerti, kala Dewi Ayu Laras makin mendekatinya. "Kanjeng Dewi... ada perlu apakah Kanjeng Dewi datang ke mari? Apakah tidak nantinya menjadi gunjingan?"
"Aku memang sengaja datang ke tempatmu. Ketahuilah Wayan, bahwa sesungguhnya aku... aku mencintaimu," berkata Dewi Ayu Laras dengan polosnya, membuat Wayan terbelalak dan terjengah mendesah.
"Ah... apakah Kanjeng Dewi tengah bercanda?"
"Tidak, Wayan. Aku tidak bercanda. Aku berkata dengan sesungguhnya."
Wayan Saba yang tadinya penenang dan sabar, seketika menjadi bingung. Hatinya seketika berdebar, antara menerima cinta Dewi Ayu Laras dengan perasaan lain yang menuntutnya untuk selalu mengingat pada istrinya I Ayu Mantini. Karena bingung harus memilih yang mana, Wayan Saba terdiam.
"Kau melamun, Wayan?"
Tergagap Wayan ditanya begitu "Ah... tidak!" Jawaban Wayan, menjadikan Dewi Ayu Laras mengerutkan alisnya.
"Lalu apa yang tengah kau pikirkan, Wayan?" Untuk yang kedua kalinya Wayan tersentak.
"Hamba berpikir, apakah pantas, diri hamba yang rendah ini menerima cinta Kanjeng Dewi yang tulus? Dan apakah pantas, bila hamba yang bertugas melindungi sang Dewi ternyata malah sebaliknya? Apakah tidak seperti kata pepatah, pagar makan tanaman?"
Mendengar ucapan Wayan, Dewi Ayu Laras tersenyum. "Wayan. Cinta tak pernah memandang derajat, keadaan atau pun bentuk. Maka apa yang kau perbuat untuk mencintai adalah hal yang wajar, seperti halnya dengan diriku yang mencintaimu. Apakah tak boleh...?"
Walau sekuat apapun tapi Wayan manusia juga. Maka akhirnya Wayan pun jatuh, meski dalam hatinya masih memikirkan I Ayu Mantini istrinya. Wayan pun akhirnya menerima cinta Dewi Ayu Laras. Sejak saat itu, di hati kedua tumbuh benih-benih cinta! Keduanya saling mengisi dan memberi, dalam rangkaian-rangkaian cinta yang mereka bina.
Seorang pemuda tampak berjalan dengan santainya di tengah hutan. Di wajahnya tampak kekhawatiran, dan perasaan bersalah. "Inilah resikonya bila berjalan dengan seorang wanita. Ah... ke mana aku harus mencarinya? Sudah hampir seluruh pelosok aku datangi. Namun batang hidung macan sialan itu tak kutemui," menggerutu pemuda itu dalam hati. Sedang asyiknya sang pemuda melamun, tiba-tiba terdengar olehnya derai tawa seorang wanita.
"Hi... hi... hi...! Anak muda, kenapa melamun? Sedang mikirkan pacarnya kesamber orang, ya?" Bersamaan dengan itu, dari atas pohon jati meloncat turun seorang wanita muda menghadang langkahnya.
Sang pemuda segera melompat mundur, lalu dengan keras bertanya. "Siapa kau? Apa perlumu menghadang langkahku?"
Ditanya begitu, wanita itu makin melebarkan senyumnya yang genit dan berkata: "Anak muda, kenapa kau memikirkan yang telah tiada? Bagaimana jika seandainya aku menggantikannya?"
"Sinting!" maki pemuda itu dalam hati. Ia menyadari, jika wanita yang kini menghadang langkahnya bukanlah wanita sembarangan. Hal itu dapat dimaklumi, mana mungkin seorang wanita muda dan cantik sendirian di hutan itu.
"Hei, siluman! Walau kau cantik seperti bidadari, tapi aku tak suka. Bahkan mungkin ayam jagoku pun tak mau bila disuruh mengawinimu," berkata pemuda itu sembari tertawa cekikikkan, membuat wanita di depannya seketika memerah wajahnya, marah.
"Tuyul...! Berani kau sembrono padaku." membentak wanita itu, namun sang pemuda tampak makin menggandakan tawanya demi melihat kemarahan wanita itu. Bahkan dengan konyolnya, si pemuda kembali berkata mengejek.
"Kalau aku tuyul, maka kau adalah ibunya tuyul dan tak lain dari Kalong Wewe, ha... ha... ha..."
"Diam! Semprul butut! Kau rupanya belum tahu siapa aku adanya,"
"Aku tahu, kalau kau adalah perawan tak laku..."
"Siapa kau! Katakan siapa namamu, sebelum kukirim ke akherat!"
Kembali pemuda itu tertawa, lalu dengan bersiul pemuda itu menjawab pilon. "Aku...? Aku ya aku. Mengenai kau ingin mengirim aku ke akherat, wah... makin membuat aku geli saja. Apa kau ini pegawai post bagian akherat?"
Makin membara api amarah wanita itu, demi mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Dengan terlebih dahulu bersuit, wanita itu pun menyerang. Bersamaan dengan hilangnya suitan wanita itu, dari semak-semak muncul beberapa orang mengurung si pemuda yang celingukan bagai kebingungan.
"Wah... kenapa kau bawa tuyul-tuyul ini ke mari?" mengejek pemuda itu sambil mengelakkan serangan yang datang kepadanya.
Si wanita yang memang sudah gedeg pada pemuda itu, tak banyak lagi bicara, terus menyerang. Sementara anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang gundul, mengurung membentuk lingkaran. Pertarungan pun makin tampak seru. Wanita itu tampak gesit dan lincah. Tangan dan kakinya selalu mencari sasaran yang mematikan. Tapi pemuda yang sedang dihadapi ternyata bukan pemuda kebanyakan yang selalu menjadi korbannya. Pemuda itu tak lain Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah dengan mudah mengelakkan serangan-serangannya. Sedang seru-serunya pertarungan antara keduanya, terdengar seruan dari anak buah wanita itu.
"Nyi Tunjung Raminten, biarkan kami yang membereskan pemuda kurang ajar ini."
Wanita yang bernama Nyi Tunjung Raminten, yang sudah merasa terpepet oleh serangan Jaka Ndableg segera melompat mundur. Saat itu juga kedua puluh anak buahnya segera maju mengeroyok Jaka Ndableg yang tampak masih tenang.
Melihat kedua puluh lelaki gundul itu mengeroyoknya, maka meledaklah tawa Jaka.
"Sini tong! Wah... kepalamu persis seperti tempurung kelapa. Coba aku ketuk, tua atau tidak? Siapa tahu dapat dipakai untuk main dadu. Ha... ha...." Habis berkata begitu, dengan cepat tanpa dapat dihindari oleh keduapuluh lelaki botak itu, Jaka telah melesat. Dan...!
Tok... duk... kletak!
Terdengar jerit kesakitan dari mulut kedua puluh anak buahnya dengan mudah dijatuhkan oleh Jaka. Maka dengan mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan di tangan kanannya, Nyi Tunjung Raminten kembali menyerang.
"Terimalah jurusku ini! Hiat...!" Dengan jurus Kuntul Mematuk Ikan, Nyai Tunjung Raminten mencoba merangsek.
Tapi Jaka yang telah waspada segera menghadangnya dengan jurus Lumba-lumba Menari. Nyi Tunjung Raminten tersentak kaget, ketika menyaksikan jurus yang digunakan oleh lawannya. Jurus itu begitu kaku tampaknya, namun hal itu bukanlah enteng untuk melakukannya. Saking terkejutnya Nyi Tunjung Raminten, membuat ia terdiam. Hingga ketika Jaka menyerang, Nyi Raminten tak dapat lagi mengelak. Kaki Jaka yang menutup rapat membentuk ekor menghantam tubuhnya, yang terpental beberapa tombak ke belakang dengan mulut melelehkan darah.
Melihat musuhnya tak berdaya. Jaka segera menghentikan serangannya. Hal itu tak disia-siakan oleh Nyi Tunjung Raminten, yang seketika kembali menyerang dengan ajian Pramusti. Yaitu sejenis ajian yang dapat melumpuhkan persendian tubuh. Jaka Ndableg tersentak, kaget manakala Nyi Raminten melancarkan ajiannya. Hampir saja ajian itu menghantamnya, kalau saja Jaka tak waspada.
Ketika Nyi Raminten hendak kembali melancarkan ajiannya, secepat kilat Jaka melentingkah tubuhnya ke angkasa. Itulah jurus Camar Laut Lor. Setelah beberapa detik di angkasa, Jaka Ndableg memutar tubuh, menghadap pada Nyi Raminten. Kedua tangan Jaka menggembang. Sejurus kemudian dari tangan Jaka memancar api yang beribu-ribu watt panasnya, menghantam ke arah Nyi Raminten. Beruntung Nyi Raminten masih sempat menghindar. Kalau tidak, ia akan menjadi abu.
Melihat kenyataan itu, Nyi Raminten segera sadar. Dan tanpa malu-malu, Nyi Raminten segera mengambil langkah seribu, diikuti oleh semua anak buahnya. Kini tinggal Jaka yang hanya geleng-geleng kepala. Setelah berdiam diri beberapa saat, Jaka pun segera meneruskan perjalanannya.
"Bodoh....! Hanya menghadapi seorang Wayan Saba saja, kalian tidak becus! Kalian tahu. Apa hukuman yang bakalan kalian terima dari Ayahanda nanti, jika mendengar bahwa kalian telah gagal?" berkata Kardika dengan marah pada kesepuluh anak buahnya.
Kesepuluh anak buahnya terdiam, tak ada seorangpun yang berani berbicara. Kardika sendiri tak habis pikir, bukankah Wayan Saba telah mati di bawah jurang? Kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi dengan ilmu yang tinggi?
"Hem.., mungkinkah si keparat Turangga Bayu masih hidup, setelah dengan luka dalam aku lemparkan ke dalam jurang itu?" tanya Kardika dalam hati. Kalau benar bekas gurunya itu yang telah menolong Wayan Saba, maka dapat dibayangkan bahwa Wayan Saba pun telah menerima gemblengan dari orang tua itu
"Ke mana si Harimau Tutul?" tanya Kardika, setelah untuk beberapa saat terdiam.
"Dia sedang ada di belakang bersama adik seperguruannya si Loreng," menjawab salah seorang dari mereka. Mendengar itu, Kardika tampak menganggukanggukkan kepala senang, lalu ucapnya kemudian.
"Kalian semua, aku tugaskan untuk membuat kekacauan di wilayah Lor. Dan kau Sengkuni, kacaukan wilayah Wetan. Hadang setiap pendatang, mengerti?!"
"Mengerti...!" menjawab mereka serempak.
"Nah... kerjakan! Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian gagal lagi." Setelah berkata begitu, Kardika tanpa menoleh kembali pada anak buahnya segera berlalu masuk ke dalam kamar di mana seorang gadis tengah menantinya. Entah apa yang tengah Kardika perbuat dengan gadis itu, yang jelas semua anak buahnya hanya mampu menelan ludah.
Sempat pula salah seorang di antaranya berbisik pada temannya. "Sungguh sangat beruntung, Kardika."
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya temannya berbisik pula.
"Bayangkan saja, gadis itu masih putih. Usianya saja baru menginjak enam belas tahun. Bukankah sedang imut-imutnya?"
Mendengar ucapan temannya, seketika orang yang bertanya tak dapat lagi menahan tawanya. Di buritan rumah, yaitu di belakang rumah utama yang didiami Kardika. Di situ terpampang tanah lebar. Di ujungnya tampak berdiri sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Di tempat itulah, Kardika menyekap para tahanan dan gadis-gadis yang membandel tak mau diajak kencan. Tempat itu dijaga oleh ketiga tukang pukul Kardika yang bertampang seram dan bengis, hingga tak ada seorangpun yang berani menentang atau membangkang.
Bila pagi telah tiba, orang-orang yang ditahan itu dipaksa untuk bekerja diladang, sementara kesehatan dan makanan mereka tak terjamin sama sekali. Pagi itu semua tahanan digiring ke luar, berjalan berderet dengan tangan diikat. Sedang mereka bekerja, dari rumah utama. Kardika dengan wajah berseri datang ke tempat mereka bekerja.
"Berhenti...!" seru Kardika dengan suara lantang. Seketika, semua orang yang tengah bekerja paksa berhenti.
Namun salah seorang pemuda seakan tak mendengarnya tetap terus bekerja, menjadikan Kardika menggeram kesal dan marah. "Rupanya ada tikus kecil yang berani membangkang perintahku. Pengawal, seret dia ke mari."
Sang body guard pun dengan menurut melakukan perintahnya. Diseretnya anak lelaki muda itu yang berontak menuju Kardika. Tapi... sekuat apapun tenaga anak muda itu, digeret oleh orang yang berbadan besar dengan paksa menjadikan ia tak mampu berontak. Penyamaran I Ayu Mantini pun terbuka, membuat Kardika terperangah menggumam:
"I Ayu Mantini...? Kenapa kau berbuat begitu?"
Mendengar nada ucapan Kardika yang seperti menyesali tindakannya, I Ayu Mantini hanya mencibirkan bibirnya sembari berseru: "Kenapa kau tidak suruh algojomu untuk sekalian membunuhku saja, Kardika?"
"Tidak. I Ayu, aku sungguh-sungguh menyesal telah menyakitimu. Aku mencintaimu..."
"Percuma, Kardika, karena aku tak mencintaimu. Lagipula, aku benci padamu. Aku benci...! Kau bunuh ayahku, suamiku. Kau tak lebih dari pada iblis... kau iblis! Kubunuh kau, kubunuh!"
Bagai orang kesetanan I Ayu Mantini menyerang Kardika yang seketika itu mengelaknya. Hingga I Ayu Mantini tersungkur jatuh mencium tanah. Belum juga Kardika hilang dari keterkejutannya, I Ayu Mantini tampak telah berdiri dan kembali menyerang.
Melihat I Ayu Mantini menyerang Kardika, serta merta semua orang yang dari tadi takut dan menurut beramai-ramai mengeroyok. Ketiga algojo Kardika kelabakan. Karena diserang mendadak. Ketiganya hanya dijadikan ajang kekesalan orang-orang yang selama ini dikekangnya.
Melihat hal itu, Kardika jadi berang. Tanpa ampun lagi, dihempaskannya tubuh I Ayu Mantini yang seketika terjatuh dan pingsan. Setelah dirasa I Ayu Mantini tak akan merepotkan lagi, maka dengan aji Wesi Geni, Kardika segera menyerang membabi buta pada pengeroyok algojonya. Jerit kematian susul menyusul, kala tangan Kardika menghantam tubuh pengeroyok itu. Tapi walaupun begitu, para pengeroyok tampak tak merasa takut sedikitpun. Dengan nekad terus merangsek Kardika dan ketiga algojonya yang tampak luka-luka.
Pertarungan tiga lawan seratus orang pun terus berlangsung, walau korban makin banyak. Di pihak pengeroyok tak ada tanda-tanda mau mengalah sedikitpun. Kardika hampir kewalahan, kalau saja tidak segera datang anak buahnya yang segera membantunya. Sedang ramai-ramainya pertempuran yang tak seimbang itu, terdengar suitan nyaring secara tiba-tiba. Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda yang tak lain Jaka adanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Jaka atau Pendekar Siluman Darah segera turun membantu para pengeroyok. Melihat ada tuan penolong datang, semangat para pengeroyok yang tadinya hampir tak ada seketika muncul kembali. Hal itu menjadikan para anak buah Kardika tersentak kaget terteter.
Kardika yang tahu ada orang lain ikut campur, dengan berang menyerbu ke pertempuran. "Hai, Pemuda usilan. Berani kau lancang di tempatku. Rupanya kau memang sengaja minta mampus!" berkata Kardika dengan sombongnya. Ia tak tahu siapa pemuda yang tengah dihadapinya. Kardika menganggap pemuda di hadapannya tak lebih dari orang persilatan pada umumnya.
Sementara pemuda yang tak lain Jaka Ndableg adanya, tertawa ngakak mendengar ucapan Kardika yang terlalu sombong. "Aku tak akan ikut campur urusanmu, bila kau tak dengan semena-mena membunuh orang-orang yang tidak berdaya."
Jaka yang belum tahu bahwa orang di hadapannya Kardika, masih tampak sabar. Kardika menggeram marah demi mendengar ucapan yang dilontarkan Jaka.
"Anak muda! Aku tak ada silang sengketa denganmu. Aku minta kau segeralah minggat dari hadapanku, atau terpaksa aku panggilkan anak buahku yang lain untuk mengganyang mu."
Tertawa Jaka mendengar ucapan Kardika, lalu dengan tenang Jaka berkata: "Orang sombong! Ternyata ucapanmu tidak lebih dari kentut bau! Sedangkan nyalimu, tak lebih dari nyali seekor tikus tanah!"
Mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka pada dirinya, tak dapat lagi Kardika menahan amarah. Dengan geram, Kardika pun berkelebat menyerang Jaka yang dengan segera mengelak dengan mengegoskan badannya. Menerima kenyataan itu, makin menjadikan Kardika sewot. Dengan gigi bergeretuk, ditambahkannya serangan yang mencari titik lemah musuh. Namun sejauh itu, Kardika selalu mendapatkan angin belaka. Bahkan sebaliknya, sebuah tendangan telak yang dilancarkan Jaka menghantam dadanya.
Sedang Kardika menahan rasa sakit di dadanya, seorang lelaki berlari-lari menuju ke arah itu. Lelaki yang ternyata Mahesa adanya, membelalakkan mata demi melihat Jaka atau Pendekar Siluman Darah. Melihat Mahesa tercekam saat melihat Jaka Ndableg Kardika bertanya:
"Kau kenal, Mahesa...?"
"Bukan kenal lagi, Kardika. Dialah orangnya yang telah membunuh ketiga dari keempat setan golok."
Walau Kardika telah mendengar kehebatan pemuda di hadapannya dari Mahesa, namun Kardika yang merasa ajian Wesi Geni adalah yang paling tinggi hendak kembali menyerang. Mahesa yang melihat gelagat tak menguntungkan pada saat itu, dengan segera mencoba menghalanginya sembari berkata:
"Kardika, bukannya aku meremehkan ilmu yang kau miliki, tapi keadaan kita sedang gawat."
"Apa kau bilang, Mahesa...?" Kardika melotot marah.
"Benar Kardika. Pertahanan kita di Barat telah diketahui oleh pihak kerajaan yang dengan mudah menghancurkannya. Bahkan pihak kerajaan telah tahu tempat kita. Cepatlah pergi Kardika."
Kardika yang tadinya bermaksud meneruskan pertarungan dengan Jaka, seketika mengurungkan niatnya. Maka dengan memanggul tubuh I Ayu Mantini yang masih pingsan, Kardika pun pergi meninggalkan tempat itu.
Jaka yang tak tahu bahwa yang digendong Kardika adalah I Ayu Mantini, membiarkan Kardika pergi. Bagai macan tanpa taring, anak buah Kardika pun tak lagi dapat berbuat banyak. Maka dengan mudah, para pengeroyok pun segera mendesaknya. Melihat orang-orang yang tadi dibantunya telah berada di atas angin, Jaka segera berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanannya mencari I Ayu Mantini.
Setelah musuh-musuhnya mati, orang-orang yang memberontak pada Kardika mencari-cari pemuda yang telah membantu mereka. Tapi pemuda yang tak lain Jaka telah pergi tanpa sepengetahuan mereka. Merekapun menganggap Jaka adalah Dewa yang diturunkan dari langit untuk membebaskan mereka dari belenggu Kardika.
Tak lama berselang, dari arah Barat tampak serombongan pasukan kerajaan menuju ke tempat itu. Berjalan paling depan Wayan Saba dengan gagahnya memimpin di atas kudanya. Setelah dekat dengan rakyat, Wayan Saba pun segera turun dari kudanya. Dihampirinya rakyat yang menghormat menyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Kanjeng patih Wayan?" menyapa seorang pemuda menjadikan Wayan tersentak kaget. Betapa tidak. Ia baru memangku jabatan patih sebulan yang lalu, tapi orang di hadapannya yang telah berbulan-bulan disandera Kardika telah mengenalnya.
"Siapakah dirimu, Anak muda? Rasanya aku belum kenal denganmu."
"Ampun, Kanjeng Patih. Hamba memang orang hina dina. Hamba tahu nama paduka dari seorang gadis yang mengaku istri paduka," menjawab pemuda itu.
Mendengar kata istri disebut oleh pemuda itu, mata Wayan Saba seketika membelalak kaget. Pemuda dihadapannya gemetar ketakutan, kalau-kalau Wayan Saba akan marah padanya. Namun hal itu tak terjadi, karena Wayan ternyata bersikap sebaliknya. Dipegangnya pundak pemuda itu, lalu dengan ramah Wayan bertanya.
"Siapa nama wanita yang mengaku istriku, Anak muda?"
"Ampun, Kanjeng patih. Wanita itu bernama I Ayu Mantini..."
"I Ayu Mantini...! Di mana dia sekarang?" bertanya Wayan tak sabar. Ditengadahkannya muka pemuda itu yang tampak pucat ketakutan, yang dengan terbata-bata kembali menjawab:
"Ia... ia dibawa oleh Kardika, ketika kami sedang melakukan perlawanan..."
"Kardika! Hem..." mendesis Wayan Saba demi mendengar nama musuh besarnya. Mata Wayan Saba menerawang lurus ke depan dengan hampa. Di benaknya tergambar kejadian-kejadian yang telah menimpanya lima tahun yang lalu. Ternyata orang yang telah menghancurkan rumah tangganya, adalah musuh kerajaan. Orang yang harus dibasminya, karena tugas. Tanpa sadar, Wayan Saba meremas tangannya keras-keras.
"Ke mana perginya iblis itu?" bertanya Wayan.
Semua orang yang ada di situ, hanya menunduk. Tak ada yang berani berkata, atau pun menjawab pertanyaan Wayan. Hingga untuk kedua kalinya, Wayan pun bertanya:
"Siapa di antara kalian yang tahu tempatnya?"
"Ampun, Gusti Patih. Sungguh kami semua tak ada yang tahu, untuk itu kami mohon pengampunan gusti...." menjawab orang yang paling tua di antara semuanya.
"Baiklah. Kalau kalian tak ada yang tahu, tak mengapa. Sekarang kalian bebas. Kembalilah pada keluarga kalian masing-masing, dan hati-hatilah. Bila kelak kalian ada yang tahu, maka kami sebagai pelindung kerajaan mohon bantuan kalian untuk melaporkannya."
Habis berkata begitu, Wayan pun dengan segera mengajak anak buahnya kembali ke kerajaan. Diiringi oleh tatap mata rakyat yang merasa kagum, Wayan segera menghentakkan kudanya yang seketika melesat cepat.
"Kenapa aku bodoh benar? Bukankah aku tadi melihat seorang wanita berpakaian laki-laki dalam gendongannya. Oh... Tuhan! Kenapa aku tak berpikir ke situ?" menggerutu hati Jaka, setelah disadari betapa dirinya kurang waspada.
Sedang Jaka melamun sambil melangkah, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda menuju ke arahnya. Jaka bermaksud sembunyi, namun segera diurungkan niatnya. Maka dengan acuh tak acuh, Jaka meneruskan langkah kakinya.
Dari kejauhan tampak serombongan prajurit kerajaan menuju ke arahnya. Di depan sekali tampak seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebesaran seorang pangeran. Sepertinya mereka sedang memburu waktu, hingga mereka tak memperhatikan dan berlalu begitu saja.
"Ada apakah gerangan, hingga pangeran itu tampak keburu-buru dan ketakutan?" bertanya Jaka Ndableg pada diri sendiri.
Belum juga Jaka dapat menemukan jawabannya, dari arah tadi serombongan orang lain datang. Di wajah mereka menggabarkan orang tak baik-baik, setidaknya ada maksud-maksud tertentu pada Putra Mahkota itu. Mendapat pirasat tidak baik pada wajah orangorang yang baru saja lewat, Jaka dengan diam-diam segera menguntitnya. Memang benar apa yang ditakuti oleh Jaka. Terbukti, belum juga Jaka tiba, terdengar suara beradunya senjata pertanda tengah terjadi pertempuran. Dengan secara sembunyi-sembunyi, Jaka segera melihatnya.
"Benar juga apa yang telah aku khawatirkan. Ternyata orang-orang itu menghendaki nyawa Pangeran. Aku harus menolongnya." berkata Jaka dalam hati. Dengan cepat bagaikan angin, Jaka Ndableg segera melompat dari persembunyiannya tepat ketika nyawa sang Pangeran terancam.
"Trang...!"
Terdengar beradunya dua senjata. Orang yang tadi hendak menebaskan goloknya pada pangeran menjerit. Golok di tangannya telah patah menjadi dua. Orang itu pun terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi saat mengetahui goloknya telah putus menjadi dua. Sementara orang yang telah menangkisnya, kini tampak berdiri di hadapannya dengan tersenyum seraya berkata dingin.
"Ternyata kau kembali. Bukankah kau yang bernama Darga?"
Orang itu, yang memang Darga adanya, tampak ketakutan setelah mengetahui siapa pemuda yang tadi menangkis tebasan goloknya. Orang itu kini berdiri dengan tangan memegang senjatanya yaitu Pendekar Siluman Darah.
"Pendekar Siluman Darah! Mundur...!" Darga segera mengomandokan pada anak buahnya untuk mundur, karena merasa tak bakal unggulan.
Setelah semua anggota Darga pergi, Pangeran dan seorang panglima perang kerajaan segera menghampiri Jaka yang menghormat. "Sepertinya mereka jerih menghadapimu, Anak muda? Apakah kau kenal dengan mereka?"
Merasa pertanyaan itu ditujukan pada dirinya, Jaka dengan tak mengurangi rasa hormat, menjawab: "Benar. Kami bertemu dua bulan yang lalu. Waktu itu kami bentrok, karena hamba bermaksud melindungi seorang wanita yang dikejar-kejar oleh pimpinan mereka."
Sang pangeran tampak mengangguk-angguk mendengar cerita Jaka. "Lalu. Kenapa dia tampak jeri padamu? Apakah pernah kau kalahkan?"
"Ah... kanjeng Pangeran terlalu berlebihan menilai diri hamba yang bodoh ini," menjawab Jaka Ndableg merendah.
"Kau terlalu merendahkan diri, Anak muda. Apakah kau kenal dengan Wayan Saba?" tanya Sang Pangeran mencoba memancing.
Sesaat Jaka terdiam demi mendengar nama Wayan Saba. Kembali ia teringat pada cerita I Ayu Mantini. "Tapi... bukankah Wayan Saba telah mati?" bertanya Jaka dalam hati. "Benar. Hamba mengenalnya dari teman hamba," jawab Jaka.
"Siapa nama teman wanita mu?"
"Namanya I Ayu Mantini, Pangeran."
Sang Pangeran mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Ia tahu, kalau pemuda di hadapannya memang berkata benar. Maka setelah berdiam diri sesaat, sang pangeran pun kembali berkata: "Anak muda, aku percaya akan kejujuranmu. Atas budimu yang telah menyelamatkan nyawa kami, kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan apabila engkau tak menolak, kami ingin mengajak mu ke kerajaan untuk menemukanmu dengan suami teman wanita mu."
Tersentak Jaka untuk kedua kalinya. Ia tak mengira, kalau orang yang diceritakan oleh I Ayu Mantini ternyata masih hidup. "Terima kasih! Memang hamba ingin sekali dapat bertatap muka dan berkenalan langsung dengan Tuan Wayan Saba." menjawab Jaka.
"Baiklah. Oh, ya, kita belum saling kenal. Siapakah namamu, Anak muda? Aku adalah putra mahkota kerajaan Bayu Lor. Namaku Arya Perwira." berkata Arya Perwira dengan penuh persahabatan.
"Nama hamba yang rendah ini, Jaka," menjawab Jaka hormat, menjadikan Arya Perwira makin kagum akan tindak-tanduknya.
Setelah saling kenal, keduanya pun menuju ke kerajaan diiringi para pengawal. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya putra mahkota mengajak ngobrol dengan Jaka. Sesekali terdengar gelak tawa keduanya memecahkan kesunyian hutan yang mereka lewati.
Mentari telah condong ke arah Barat, ketika rombongan Putra mahkota dan Jaka sampai di pintu gerbang kerajaan. Mereka disambut dengan penghormatan kebesaran istana.
Apa yang dikuatirkan oleh Jaka ternyata benar adanya. Kerajaan saat itu tengah diserang oleh kaum pemberontak, yang berjumlah besar. Pemberontakan itu memang telah direncanakan. Ketika Wayan Saba menemui tantangan Kardika, saat itu pula para pemberontak yang kini langsung dipimpin oleh Warok Rekso Poleng menyerbu ke kerajaan.
Karena tidak menyangka akan terjadi pemberontakan, bala tentara kerajaan tidak dapat membendungnya. Apalagi dengan perginya seorang Patih yang mumpuni seperti Wayan Saba, menjadikan pertahanan kerajaan lemah. Sedang dari kaum pemberontak yang dipimpin langsung oleh Tumenggung Warok Rekso Poleng, tampak penuh semangat.
Kini terbuka sudah, siapa sebenarnya dalang dari pemberontakan-pemberontakan yang selalu membuat kekacauan itu. Tak lain dari orang istana sendiri, seperti Tumenggung Warok Rekso Poleng yang menjabat Tumenggung di ketemenggungan Tegal Alur. Dalam sekejap saja para pemberontak dapat menghancurkan pertahanan prajurit kerajaan yang dipimpin langsung oleh Patih Arya Wisesa.
Melihat keadaan yang sangat mengawatirkan, maka dengan beberapa ponggawa istananya Raja dan permaisuri serta putra-putrinya segera mengungsi. Hanya dalam beberapa kejap saja. Para pemberontak dapat segera mengambil alih kekuasaan. Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng tertawa bergelakgelak melihat kemenangannya. Hari itu juga Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng mengangkat dirinya menjadi Raja.
Malam harinya, pesta kemenangan pun segera dirayakan. Pesta yang dipenuhi dengan segala macam kemaksiatan. Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng yang telah mengangkat dirinya menjadi Raja, duduk di bangku singgasana. Di kanan kirinya dua wanita muda dengan setia memijetinya. Sekali-sekali terdengar gelak tawa Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng, saat mencium kedua gundiknya.
"Cah ayu, kini aku telah menjadi raja, katakanlah apa yang kau minta." berkata Ki Rekso Poleng merayu wanita muda di sisi kanannya. Dengan kasar diciumnya pipi wanita itu yang tersenyum kegelian.
Malam pun makin larut, makin menambah panasnya acara itu. Ada yang mabok hingga ngeduprak. Ada yang langsung ngeloyor pergi ke kamar dengan wanita penghibur. Istana kini bukan tempat tahta kerajaan, tapi menjadi tahta kemaksiatan.
Jaka yang tengah berjalan hendak menuju ke kerajaan kembali, segera menghentikan langkahnya, ketika dari arah Timur tampak olehnya rombongan kerajaan. "Sampurasun...?" menyapa Jaka setelah dekat.
"Rampes...? Engkaukah saudara Jaka?" bertanya Baginda Raja demi melihat orang yang barusan datang menghadangnya.
"Benar, Baginda yang mulia. Hamba Jaka.... Kalau boleh hamba tahu, ada gerangan apa hingga baginda dan permaisuri serta putra-putri tampak seperti diburu?"
Ditanya begitu oleh Jaka, sang Raja terdiam sesaat. Di matanya tergambar kepedihan. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, Baginda pun menceritakan apa yang telah menimpa kerajaan. "Begitulah, Saudara Jaka"
"Kalau hamba boleh tahu, siapa sebenarnya Ki Warok Rekso Poleng itu?"
"Dia adalah orang dari golongan hitam yang kuangkat menjadi Tumenggung. Dia juga yang telah menyuruh tokoh-tokoh golongan hitam untuk membuat kekacauan di kerajaan karena dia berambisi menjadi raja. Banyak kaum persilatan dari golongan putih dengan sadis dibantai olehnya, demi mencapai cita-citanya."
Mendengar penuturan raja, Jaka seketika tergugah untuk bertindak. Bukan karena mencari muka pada raja, tapi tindakan Ki Warok Rekso Poleng telah melebihi batas kemanusiaan. "Ini tak dapat dibiarkan," bergumam Jaka tanpa sadar.
Sang Raja membelalakkan matanya tak percaya mendengar omongan Jaka. Lalu dengan segala harapan Raja berkata: "Memang benar ucapanmu, Saudara Jaka. Karena bila tidak, maka muka bumi ini akan menjadi ajang iblis dan syetan. Tapi Ki Warok berilmu sangat tinggi. Sudah berapa kali kaum persilatan dari golongan putih mencoba menyingkirkannya, namun hasilnya sebaliknya. Kaum persilatan golongan putihlah yang dibantai habis-habisan oleh Warok Rekso Poleng."
Setelah menyembah Jaka segera melesat pergi meninggalkan mereka yang hanya terbengong tak mengerti, menuju ke kerajaan. "Baginda yang mulia. Bila masanya tiba, hamba mengharap baginda berkenan duduk di singgasana seperti dulu...!" Terdengar suara Jaka berkata, yang diucapkan dari kejauhan.
Maka dengan segera Baginda Raja pun menyuruh beberapa perwiranya untuk mengikuti ke mana Jaka pergi, sedangkan dia dan sisa-sisa prajurit akan menunggunya di hutan Dadaka.
Dalam sebuah ruangan kamar, Ki Warok Rekso Poleng tengah duduk, dengan wanita-wanita muda yang berpakaian sangat minim. Mereka adalah wanita-wanita culikan anak buah Ki Warok, yang sengaja dipersembahkan untuk Ki Warok Rekso Poleng. Biasanya, wanita-wanita itu masih gadis. Sebab dengan melalap daun muda, maka ilmu Ki Warok akan makin tinggi. Yang lebih mengerikan, gadis-gadis yang telah direnggut mahkotanya akan dijadikan tumbal ilmunya. Gadis itu akan dikorbankan untuk guru besarnya yang bernama Ratu Iblis Karang Bolong. Sedang asyiknya Ki Warok Rekso Poleng dengan ketujuh gadisnya, tiba-tiba terdengar suara lantang memanggil namanya.
"Ki Warok Rekso Poleng, keluarlah kau! Bukan tempatmu di istana, tapi tempatmu adalah hutan belantara. Maka aku mohon padamu segeralah pergi dari sini?"
"Dobleng...! Dobleng...! Kecoa mana yang berani lancang padaku!" membentak Ki Rekso Poleng dengan geramnya. Lalu dengan segera, ditinggalkannya ketujuh gadis itu keluar.
Ki Warok Rekso Poleng menyengir geli, demi dilihatnya yang bicara lancang padanya hanyalah anak muda, maka Ki Warok Rekso Poleng tertawa bergelak-gelak. "Hai... Anak muda! Lancang benar mulutmu! Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"
Kini gantian Jaka yang tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan konyolnya, Jaka berkata mengejek. "Aku tahu dengan siapa aku berhadapan. Aku sekarang tengah berhadapan dengan seekor Kodok Bangkong."
Merah padam wajah Ki Rekso Poleng, mendengar ejekan yang dilontarkan oleh anak muda yang berdiri dengan tolak pinggang di hadapannya. Ki Warok Rekso Poleng seketika mendengus penuh marah. "Setan laknat, Deg. Degan! Rupanya kau mencari mampus! Sebut namamu, sebelum aku kirim nyawa busukmu ke akherat!"
"Ki Warok! Kau bilang nyawaku busuk. Tapi lebih busuk lagi nyawamu, yang telah membantai kaum persilatan guna memenuhi ambisimu. Untuk itu maka hari ini juga aku akan menyingkirkan iblis sepertimu," berkata Jaka dengan nada mengejek, membuat Ki Warok Rekso Poleng menggeram. Maka tanpa banyak bicara lagi, Ki Warok segera menyerang.
Tak ayal lagi, keduanya segera terlibat dalam pertempuran. Warok Rekso Poleng, walau telah tua namun tampak masih lincah. Tubuhnya yang gemuk berkelebat menyerang dan berkelit. Jurus demi jurus telah berlalu, tampaknya kedua orang itu tak akan segera menghentikan pertempurannya. Dari arah Barat, tampak serombongan orang menuju ke situ, mereka tak lain dari para panglima perang raja, yang ditugasi untuk ikut menyaksikan jalannya pertarungan Ki Warok dengan Jaka.
"Anak muda. Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih kuat," berkata Ki Warok, setelah ia merasa akan kehebatan musuhnya.
"Aku layani apa yang menjadi mau mu, Ki Warok!"
Sehabis berkata begitu, keduanya kembali saling serang dengan ilmu tingkat tingginya.
Mendengar keramaian di luar, anak buah Ki Warok Rekso Poleng segera berlari keluar. Sesampainya di luar, semuanya hanya dapat menjadi penonton belaka, karena perkelahian mereka berdua bukanlah perkelahian biasa yang mengandalkan jurus-jurus enteng. Tapi perkelahian antar Ki Warok dengan Jaka merupakan perkelahian tingkat tinggi. Yang memakai segala jurus tingkat tinggi pula.
Semua mata anak buah Ki Warok Rekso Poleng terbelalak kagum, demi melihat siapa orang yang berani menghadapi Ki Warok yang terkenal kesaktiannya. Gusar hati Ki Warok, menyadari bahwa musuhnya ternyata bukan orang sembarangan. Segera Ki Warokpun melompat mundur, sembari berseru.
"Terimalah ini! Hiat!"
Semua mata yang menyaksikan, seketika terbelalak kaget demi melihat ajian Panca Api yang dilontarkan oleh Ki Warok. Jaka yang selalu siaga, melihat api bergulung-gulung menyerangnya seketika memapakinya dengan ajian Getih Sakti. Seketika dari kedua belah tangannya meluncur cairan yang disertai angin topan besar menyapu hembusan api itu yang segera padam. Kini angin topan itu yang berbalik menyerang Ki Warok. Menjadikan pohon-pohon dan rumah-rumah ambruk.
Menyaksikan hal itu, mata Ki Warok tampak menyipit. Segera Ki Warok pun kembali mengeluarkan ajiannya yaitu "Bedeng Buana". Seketika angin topan itu hilang. berganti dengan suara ribuan tawon yang menyakitkan telinga. Hingga bila tak mampu, maka sudah barang tentu orang itu akan mati dan dengan kuping dan hidung keluar darah.
Jaka Ndableg tersentak melihat ajian yang dikeluarkan oleh Ki Warok, yang membuat indra tubuhnya dirasa tak berfungsi. Setelah terkesiap sesaat, Jaka segera menghantamkan kembali ajian Petir Sewu, maka luluh lantaklah semua desingan tawon, berganti dengan ledakan yang disertai panas membara.
Menerima kenyataan itu, Ki Warok yang merasa telah dipencundangi oleh yang masih hijau menggeretak penuh amarah. Dalam hatinya tak percaya akan apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin anak semuda itu telah mampu menghalau segala serangannya?
Karena merasa dirinya yang paling sakti, Ki Warok Rekso Poleng tak mau menerima semua, itu. Kembali Ki Warok Rekso Poleng menyerang, kali ini dengan ajian Pelebur Sukma. Jaka Ndableg tersentak dan berusaha menghindar, namun terlambat. Tubuhnya seketika tersedot, mendekati ke Ki Warok Rekso Poleng. Jaka terus bertahan agar tidak terus tersedot. Namun rupanya kekuatan lawan jauh lebih besar, sehingga Jaka perlahan-lahan terseret mendekat.
"Hem, kalau begini hanya ada satu cara untuk melawannya. Aku akan memanggil Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak Ki Warok Rekso Poleng, manakala melihat tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang. Dari ujung pedang meleleh darah membasahi batangnya. "Aaah...!" tersentak Ki Warok memekik.
"Ki Warok, bersiaplah!"
Belum juga Ki Warok tersadar dari kagetnya, Jaka telah dengan cepat membabatkan pedangnya. Memekik seketika Ki Warok ketika pedang di tangan Jaka membabat tubuhnya. Tubuh Ki Warok terbelah menjadi dua, dengan darah mengering.
Melihat Ki Warok telah mati, serta merta seluruh rakyat bersorak dan menari-nari dengan riang. Hari itu adalah hari kemenangan bagi Kerajaan Bayu Lor. Wayan yang baru saja datang, segera menyalami Jaka. Begitu juga dengan Sri Baginda Raja dan lainnya, mereka mengucapkan rasa terima kasih. Tengah pesta itu berlangsung dengan meriah, Jaka tanpa sepengetahuan lainnya berkelebat pergi. Semua tersadar manakala Jaka telah jauh berlalu.
Ketika Wayan Saba tengah duduk sambil bercakap-cakap dengan Jaka, tiba-tiba sebatang anak panah berdesir di depan mereka. Dengan reflek yang kuat, keduanya mengelak dan memburu asal anak panah itu datang.
"Hem... aku kira yang melakukan tadi masih orang dalam istana ini?" berkata Jaka setelah mengelilingi tempat itu.
"Mengapa saudara Jaka berpendapat begitu? Apakah ada bukti yang kuat?" tanya Wayan Saba tak yakin. Sepengetahuannya, orang-orang istana sangat baik terhadap dirinya. "Mana mungkin melakukan hal sesembrono tadi? Atau barang kali ada yang tidak senang dengan kedatangan Jaka di tempatnya? Ah, tidak juga, Jaka orang baik-baik," bergumam hati Wayan.
"Ada... dan bukti itu kuat. Coba saudara Wayan perhatikan. Tempat ini sangat terlindung dan berdekatan dengan kediaman baginda Raja yang dijaga ketat. Bila orang luar, pasti dengan segera dapat dicurigai?" berkata Jaka menjelaskan alasan-alasannya.
Kini Wayan Saba sadar, bahwa orang yang berdiri di sampingnya bukan orang sembarangan. Di samping ilmu kedikjayaannya yang tinggi, ilmu strateginya bahkan lebih menonjol. "Ah... rupanya aku harus belajar lagi pada anda, Saudara Jaka?" berkata Wayan agak malu.
"Tidak begitu, Saudara Wayan. Bukan karena aku lebih pandai dibandingkan dengan diri saudara, namun hal ini hanya kejelian semata."
Wayan Saba mengangguk mengiyakan. Setelah dirasakan tak ada apa-apa lagi, keduanya kembali masuk. Wayan Saba segera mengambil anak panah yang menancap di atas meja, dengan sehelai kain yang menggulung di pangkalnya. Perlahan dibukanya kain gulungan di pangkal anak panah itu, dan dibacanya.
Wayan Saba....
Kita bertemu lagi. Rupanya Yang Wenang masih menghendaki kau hidup. Aku tahu, kalau kau ditolong oleh seseorang yang bernama Ki Turangga Bayu. Kalau kau memang seorang pendekar kutunggu dirimu di desa Randu.
Ingat...! Jangan kau bawa prajurit-prajurit mu, bila nyawa istrimu selamat.Tapi bila kau mengingkarinya, maka nyawa istri-mulah balasannya. Kutunggu dirimu di desa Randu, saat bulan Purnama.
Kardika
Setelah selesai membaca, diserahkannya surat itu pada Jaka yang segera membacanya. "Bagaimana menurutmu, Saudara Jaka?" bertanya Wayan meminta pendapat.
"Menurutku, lebih baik kita tepati agar dia merasa puas. Memang dia merupakan musuh kerajaan, tapi apalah bedanya musuh kerajaan dengan musuh kita? Bukankah kita dituntut untuk turut mengamankan kerajaan? Kedua, dengan mendatanginya tanpa pasukan secara tidak langsung kita bertindak kesatria. Bukan begitu saudara, Wayan?" Jaka Ndableg balik bertanya.
"Benar! Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Saudara Jaka?"
"Aku akan berusaha mengikutimu secara sembunyi. Bukannya aku merendahkan ilmu yang kau miliki. Tidak! Tapi, biasanya orang-orang semacam dia sering berbuat licik dan curang. Bagaimana, Saudara Wayan?"
"Terimakasih atas bantuanmu sebelumnya. Mari kita menghadap baginda untuk melaporkan kejadian ini, sekaligus kita selidiki siapa orang yang terlibat."
"Setuju! Mungkin dengan cara begitu, kita akan segera mengetahui siapa orang dalam istana yang ikut terlibat dalam pemberontakan."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya segera menuju ke istana untuk menghadap baginda raja. Sementara tanpa sepengetahuan keduanya, seseorang mengawasi mereka dengan sembunyi. Lalu setelah kedua orang yang diawasinya masuk ke istana, orang itu segera berkelebat pergi.
Wayan segera menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Diceritakan pula tentang keinginannya untuk membekuk Kardika seorang diri, seperti yang diperintahkan dalam surat. Sang raja tampak terdiam untuk beberapa lama. Ia berpikir keras, untuk dapat memutuskannya. Sesaat setelah terdiam, baginda pun berkata:
"Ki Patih Wayan Saba dan saudara Jaka, bukannya aku meremehkan kesaktian yang ada pada diri kalian. Namun sebagai seorang raja, aku juga berpikir tentang apa yang harus aku perbuat agar jangan sampai terjadi hal-hal yang akan mencelakakan kalian."
"Terima kasih atas perhatian paduka terhadap hamba. Namun perlu hamba sampaikan, sebenarnya di antara hamba dan Kardika ada silang sengketa. Adapun silang sengketa antara hamba dengannya, terjadi kira-kira lima tahun yang silam." Wayan Saba segera menceritakan kembali apa yang pernah dialaminya kala lima tahun silam, tentang kehancuran rumah tangganya karena ulah Kardika.
Mendengar penuturan Wayan, Jaka dari sang Raja pun terdiam. Dari wajah mereka tergambar rasa haru. Setelah Wayan selesai menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, Baginda berkata:
"Kalau memang begitu, aku mengijinkan kau untuk menghadapinya. Tangkaplah dia hidup-hidup bila dapat, bila tidak, lebih baik dibunuh saja, agar tak ada lagi pemberontak-pemberontak. Kalau kau mampu menyingkirkannya, secara tak langsung, kau telah melindungi seluruh rakyat kerajaan ini dari cengkeramannya. Aku hanya dapat berdo'a semoga kau berhasil, Ki Patih?"
"Terima kasih, Baginda sesembahan hamba. Semoga dengan do'a dari baginda dan rakyat kerajaan ini, hamba dapat melaksanakan tugas."
Setelah meminta pamit pada Rajanya, Wayan Saba dengan segera kembali ke rumahnya. Untuk menukar pakaian patihnya dengan pakaian persilatan.
Dihentakkan tali kudanya, hingga kuda yang ditumpanginya segera lari dengan kencangnya. Wayan Saba terus melarikan kudanya dengan cepat, menuju desa Randu yang telah ditentukan oleh Kardika untuk saling bertemu.
Desa Randu adalah sebuah desa yang sangat makmur, di mana letaknya sangat strategis untuk lalu lintas perdagangan. Di situ pula lima tahun yang silam, Kardika telah membuat keonaran saat malam pengantin Wayan Saba dengan I Ayu Mantini tengah berlangsung, yang menjadikan Wayan harus terkurung di dasar jurang lima tahun lebih.
Dalam perjalanan menuju ke desa Randu, kembali Wayan teringat akan istrinya. Tapi wajah Dewi Ayu Laras pun muncul menggodanya, hingga kebimbangan di hati Wayan pun terjadi. Bimbang untuk menentukan sifat, bimbang untuk menyerahkan cinta di hatinya. Apakah pada I Ayu Mantini yang ia sayangi lima tahun yang lalu? Atau pada Dewi Ayu Laras yang selalu menghibur dan merayunya di kala dia tengah bimbang untuk berbuat?
Ingat akan Dewi Ayu Laras, menjadikan Wayan kembali teringat akan kejadian-kejadian yang telah mereka berdua lakukan selama setengah tahun belakangan. Malam itu, ketika udara terasa panas, Wayan tampak gundah gulana. Sudah beberapa kali ia mencoba memejamkan mata, namun ia tak mampu. Maka dengan agak malas, Wayan pun segera keluar untuk mencari angin.
Ketika ia tengah menikmati udara malam, tibatiba ia dikejutkan oleh seseorang yang datang menghampirinya. Orang itu yang ternyata Dewi Ayu Laras, tersenyum padanya, senyum memikat hingga Wayan tak mampu berkata apa-apa, Wayan hanya dapat memandang tubuh Dewi Ayu Laras yang malam itu mengenakan gaun tipis, hingga lekuk-lekuk tubuhnya tampak jelas kelihatan.
"Kau masih di luar, Wayan? Kenapa...?" tanya Dewi Laras manja.
"Benar, Kanjeng Dewi. Udara di dalam terasa panas, hingga aku memutuskan untuk mencari hawa di luar. Bagaimana dengan kanjeng Dewi sendiri?"
"Aku tak dapat tidur, Wayan?" "Kenapa demikian, Kanjeng Dewi...?"
"Entahlah. Kenapa bayangan itu selalu datang saat aku hendak tidur?" tanya Dewi Laras seperti pada diri sendiri.
"Bayangan apakah gerangan? Apakah ada orang yang berani mengganggu ketenangan kanjeng Dewi?" bertanya Wayan tak mengerti, yang mengira bahwa Dewi Laras tengah berkata dengan sesungguhnya. Dewi Laras tampak tersenyum memikat, demi mendengar pertanyaan Wayan. Membuat Wayan mengernyitkan alis matanya, kembali bertanya:
"Kenapa kanjeng Dewi tersenyum? Apa ada yang lucu pada ucapan hamba?"
Untuk kedua kalinya Dewi Laras tersenyum. "Wayan, Kau tahu orang yang mengganggu tidurku?"
"Tidak, Kanjeng Dewi. Kanjeng Dewi berkenan mengatakannya...?"
Lagi-lagi Dewi Laras tersenyum, makin mendekat pada Wayan yang hanya terdiam. Tanpa diduga sebelumnya oleh Wayan, Dewi Laras seketika memeluk tubuhnya membuat Wayan tersentak kaget.
"Kanjeng Dewi! Kenapa kau...?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dewi Laras. Bahkan makin dieratkannya pelukan ke tubuh Wayan yang tak mengerti. Dari mulut Dewi Laras, terdengar desah: "Wayan... aku merindukan saat-saat seperti ini. Peluklah aku, Wayan... peluklah. Berbuatlah sesukamu."
Sekokoh-kokohnya hati Wayan, menerima keadaan seperti itu seketika runtuh. Dengan segala gejolak dibopongnya tubuh Dewi Laras yang masih bergayut dengan manja ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian, kedua insan manusia itu telah lupa pada keadaannya. Keduanya kini telah terjerat oleh angan-angan yang dibuat setan. Angan-angan mereka melambung tinggi, hingga ke puncak yang diinginkan. Lalu keduanya sama-sama terjatuh dengan sejuta kenyataan yang ada. Kenyataan yang tak mungkin dihapus, atau dibuang begitu saja.
Wayan tersentak dari lamunannya, ketika terdengar suara Jaka yang diucapkan dari jarak jauh. "Saudara Wayan, kau seperti melamun. Kenapa...? Kau tak boleh bimbang, sebab kebimbangan akan menjadikanmu teledor. Hal itu akan membuatmu merasa kurang percaya diri untuk menghadapi Kardika. Buanglah segala macam pikiranmu, pusatkan pada apa yang telah menjadi tujuanmu semula..."
"Saudara Jaka, terima kasih atas peringatanmu. Di mana sekarang engkau berada?" tanya Wayan setelah dapat menenangkan pikirannya. Dalam hatinya terbersit rasa kagum pada sahabatnya. Betapa tidak! Dari jarak yang begitu jauhnya, masih dapat memantau dirinya.
"Aku selalu berada di belakangmu. Aku di sini, Saudara Wayan!"
Tiba-tiba tanpa diketahui oleh Wayan sebelumnya, telah duduk di atas punggung kudanya membonceng di belakangnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Maka untuk yang kedua kalinya, Wayan terkejut. Makin yakinlah di hati Wayan, bahwa orang yang menjadi sahabatnya adalah orang yang dikatakan oleh gurunya.
"Inikah orang yang dimaksud guru? Salah seorang yang ilmunya sukar untuk ditandingi?" membatin Wayan bertanya pada diri sendiri.
Melihat Wayan terkejut, Jaka Ndableg tersenyum sembari bertanya. "Kenapa terkejut? Aku sebenarnya dari tadi ada di belakangmu. Namun karena kau tengah melamun, hingga kau tak merasakan ada orang yang naik di belakangmu. Karena kau lalai, aku sengaja memperingatkanmu."
Makin bertambah yakinlah hati Wayan, mendengar penuturan Jaka, yang nadanya merendah. Wayan tahu sejak keluar dari istana, Jaka tidak bareng dengannya. Tapi tahu-tahu pemuda itu telah duduk di kudanya. Hal ini sangat mustahil dilakukan oleh orang biasa, karena Wayan yang berilmu cukup tinggi akan mengetahuinya terlebih dahulu. Tapi pemuda ini, membikin Wayan merasa dirinya masih jauh dan kecil bila dibandingkan dengannya.
"Terima kasih, Saudara Jaka. Kini aku sadar atas kelalaianku. Apa jadinya bila kau musuhku?" bergumam Wayan seperti menyesali keteledorannya.
"Kau terlalu merendahkan diri. Nah, aku turun di sini. Aku akan selalu mengikutimu," berkata Jaka, membuat tenang hati Wayan yang segera menghentakkan tali kudanya. Kuda yang ditumpakinya segera lari dengan kencang.
Kala Wayan kembali menengok ke belakang, Jaka sudah tak ada di tempat semula. "Sungguh luar biasa ilmunya!" mendecak kagum hati Wayan.
Ketika malam tiba, Wayan Saba pun segera mencari penginapan untuk beristirahat. Karena perjalanan yang sangat melelahkan, hingga Wayan pun langsung tertidur dengan nyenyaknya. Malam begitu dingin, hingga keadaan di sekeliling penginapan itu sepi. Dua sosok bayangan berkelebat dari rerumpunan pohon yang tumbuh di sekitar penginapan itu. Bayangan kedua orang itu, meloncat ke atas wuwungan penginapan. Dibukanya genting penginapan itu dengan tanpa mengeluarkan suara, hingga Wayan yang tengah tertidur tidak mendengar suara sedikitpun.
Tanpa diketahui oleh kedua orang yang bermaksud jahat pada Wayan, seseorang dari tadi mengawasi gerak-gerik keduanya dari atas pohon kapuk. "Hem... Wayan rupanya tak sadar akan bahaya yang akan menimpa. Mungkin ia tengah tertidur pulas karena kecapaian setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Apakah aku harus turun tangan? Tidak! Biarlah Wayan sendiri yang mengatasinya. Tapi... kenapa dia tidak segera terbangun? Akan aku bangunkan dia dengan ilmu Penyusup Suara. Wayan... bangunlah! Bahaya ada di mana-mana, termasuk di hadapanmu sekarang. Bangunlah...!"
Mendengar suara orang yang cukup dikenalnya, seketika Wayan tersentak bangun. Bersamaan dengan itu, dua orang yang bermaksud jahat padanya turun dan langsung menyerang. Wayan yang merasa jengkel dan menyesali akan kelalaiannya, menumpahkannya pada kedua orang yang menyerangnya. Maka ajian Tapak Sakti pun dikeluarkan. Kedua orang yang bermaksud buruk padanya menjerit panjang, hangus bagai dipanggang api terhantam pukulan Wayan. Dibukanya cadar yang menutupi muka kedua orang tersebut. Wayan Saba seketika terkejut bukan alang kepalang, karena orang-orang itu adalah prajurit-prajurit istana.
"Apa arti semua ini? Mengapa orang-orang istana hendak membunuhku? Kini aku tahu, memang dalang dari semuanya ini adalah orang istana yang menghendaki kerajaan hancur." membatin Wayan.
Dengan rasa gusar, dilemparkannya kedua tubuh orang itu yang telah menjadi bongkahan arang keluar. Malam itupun, Wayan Saba tak dapat memejamkan matanya sampai pagi tiba. Ketika dilihatnya hari telah pagi, Wayan Saba pun segera meneruskan perjalanannya menuju ke desa Randu. Di dalam pikirannya terus bertanya-tanya tentang kejadian semalam. Kini Wayan mengerti akan apa yang dikatakan oleh sahabatnya Jaka, bahwa Kardika pasti akan berbuat licik. Hal itu telah terbukti semalam, untung Jaka telah mengirimkan peringatan lewat ilmu Penyusup Suara.
Firasatnya yang tajam, mengatakan bahwa kerajaan kini tengah dilanda pemberontakan. Hal itu membuat Jaka, bimbang. Apakah akan terus mengikuti Wayan, atau kembali ke kerajaan dan meninggalkan Wayan sendirian? Setelah berpikir masak-masak. Jaka dengan ilmu menyusupkan suaranya berkata pada Wayan yang saat itu masih melanjutkan perjalanannya menuju ke desa Randu.
"Saudara Wayan, kau dengar suaraku?" Mendengar suara Jaka memanggilnya, segera Wayan memperlambat lari kudanya.
"Ya...! Di mana kau, Saudara Jaka?" tanya Wayan sembari mencari-cari Jaka yang belum juga nampak di hadapannya.
"Aku masih di desa Tunggeng. Aku mendapat firasat, bahwa kerajaan kini tengah mendapat ancaman. Maka dari itu, aku bermaksud kembali ke kerajaan. Apabila kau telah selesai menjalankan tugasmu, kuharap kau segera kembali. Ku doa'kan kau berhasil..." Setelah berkata begitu tanpa menunggu jawaban dari Wayan, segera berlalu meninggalkan desa Tunggeng Jaka kembali ke kerajaan Bayu Lor.
Malam bulan purnama tiba, ketika di sebuah lapangan yang cukup luas, sesosok tubuh berdiri tak bergeming. Orang itu, yang ternyata Wayan adanya, tengah menunggu kedatangan Kardika. Angin malam yang dingin, makin menambahkan suasana mencekam. Dari arah Timur tampak bayangan lain melangkah menuju ke tengah lapangan. Wayan segera dapat mengenali orang itu, walau orang yang kini melangkah mendekatinya telah berubah pisik dengan kumis dan jambang yang tubuh di mukanya. Wayan tampak masih tenang, ketika orang yang ia tunggu makin mendekat ke arahnya dengan senyum mengejek.
"Wayan Saba, tak nyana kita bakal bertemu kembali di sini. Dulu nyawamu masih dilindungi oleh Yang Wenang. Namun sekarang, aku akan mencabutnya."
Wayan tampak masih tenang, tak terpengaruh dengan ucapan Kardika sedikit pun. Hanya matanya saja yang terus mengawasi gerak-gerik Kardika. "Kardika! Kau tak lebihnya iblis berbentuk manusia, yang tak mengerti akan rasa terima kasih. Setelah kau dapatkan ilmu Wesi Geni, begitu teganya kau siksa guru. Dan yang lebih dari pada itu, kau lemparkan guru yang sudah tak berdaya ke dalam jurang itu, lalu kau curi kitab aji Wesi Geni. Sesuai amanat guru, aku hendak meminta kembali kitab itu, sekaligus menghukum mu!"
Mendengar ucapan Wayan, seketika meledaklah tawa Kardika yang menganggap ucapan Wayan tak ubahnya anak kecil. Karena merasa aji Wesi Geni paling tinggi, maka Kardika pun meremehkan orang lain. Ia tak menyangka kalau Ki Turangga Bayu telah menciptakan ilmu tandingannya, yaitu Ilmu Catur Langkah! "Wayan Saba, kitab yang kau maksud telah menjadi milikku. Tak seorang pun yang akan dapat mengambilnya dariku, termasuk kau! Ha... ha... ha!"
"Jangan takabur, Kardika. Kuakui ilmumu memang tinggi, apalagi dengan aji Wesi Geni. Tapi setinggi-tingginya ilmu orang, pasti akan ada yang lebih tinggi. Maka itu aku sarankan, kembalikan kitab itu padaku. Kau bukan haknya, sebab kau mendapatkannya dengan cara mencuri..."
"Sudah aku katakan, bahwa aku tak akan menyerahkan kitab yang telah di tanganku. Sekarang hal lain, Wayan Saba. Ketahuilah, aku akan mengampuni selembar nyawamu bila kau mau membantuku menggulingkan raja dungu itu. Dan lebih dari itu, kau akan dapat bersanding kembali dengan istrimu. Sekaligus akan kuberikan padamu kedudukan yang lebih tinggi." Mendengar ucapan Kardika yang seakan menghinanya, seketika Wayan menjadi geram. Dengan lantang, Wayan pun berkata sengit: "Kardika! Kukatakan sekali lagi, menyerahlah!"
"Kardika tak ada istilah menyerah. Lakukanlah apa yang kau mampu terhadap diriku, Wayan."
Wayan Saba yang sedari tadi mencoba sabar, kini berubah jadi berang. Wayan pun kembali berkata dengan penuh kekesalan. "Bila kau tak mau mengembalikan kitab yang kau curi, dan tak mau menyerah, jangan salahkan aku bertindak!"
"Sudah kubilang, Patih busuk! Aku tak sudi menyerah, dan tak akan menyerahkan kitab Aji Wesi Geni padamu. Mari kita buktikan, siapa yang sakti di antara kita!"
Kembali Wayan Saba mendengus marah. Maka dengan didahului bentakan, Wayan Saba pun segera menyerang. "Jangan lengah, Kardika!"
Pertarungan antara kedua musuh bebuyutan, yang sekaligus bekas saudara seperguruan tak dapat dicegah. Masing-masing mempunyai andalan ilmu yang mereka miliki, yang sumbernya dari seorang yaitu Ki Turangga Bayu. Jurus-jurus mereka keluarkan dengan cepat. Sudah hampir enam puluh jurus mereka saling serang dan mengejar. Tapi nampaknya keduanya seimbang. Dari adu ilmu tangan kosong, kini keduanya menggunakan senjata masing-masing.
Wayan Saba dengan senjata Pedang Seriti Kuning, sementara Kardika dengan senjatanya sepasang clurit emas. Karena keduanya menggunakan ilmu silat tingkat tinggi, hingga gerakan-gerakan mereka tampak cepat. Pedang Seriti Kuning di tangan Wayan Saba bergulung-gulung dengan cepatnya, sepertinya memiliki mata terus mencari sasaran yang mematikan.
Kardika agak tersentak melihat permainan pedang Wayan Saba yang begitu cepatnya, yang tak memberi peluang sekalipun baginya untuk berbalik menyerang. Dengan melompat mundur, Kardika segera merapalkan ajiannya Wesi Geni. Seketika tangan Kardika berwarna merah kehitam-hitaman bagai besi yang membara.
Melihat hal itu, dengan segera Wayan pun melompat mundur beberapa tombak. Lalu Wayan pun segera mengeluarkan ilmu Catur Langkah, sejenis jurus silat yang aneh dengan mengandalkan langkah-langkah yang merupai permainan catur. Dengan didahului oleh pekikan, keduanya segera berkelebat saling menyerang.
"Duaar...!" Terdengar suara ledakan dahsyat, ketika dua tenaga dalam beradu. Wayan terdorong dua tombak ke belakang, sementara Kardika sendiri terpental hampir sepuluh tombak. Mulutnya keluar darah segar.
"Katakan, di mana istriku! Dan di mana kau sembunyikan kitab Aji Wesi Geni yang telah kau curi?" bertanya Wayan Saba, setelah untuk beberapa saat terdiam memandang pada Kardika yang terduduk tak berdaya.
"Bunuhlah aku! Bunuh...!"
"Tidak, Kardika. Katakanlah di mana istriku, dan kitab Wesi Geni. Mengenai dirimu, aku tak berhak. Tapi kerajaan dan gurulah yang berhak menghukum mu."
Kardika sesaat terdiam, di hatinya kelicikan pun menjalar. Setelah segala kelicikan terlukis di hatinya, Kardika berkata: "Itu istrimu!"
Wayan Saba segera mengikuti arah yang ditunjuk Kardika. Tampak seorang wanita yang tak lain dari pada I Ayu Mantini berlari-lari menuju ke arahnya.
"Kakang...!"
Melihat hal itu, Wayan Saba pun segera menyongsongnya sembari berseru. "I Ayu...!"
Ketika keduanya hampir berpelukan, Kardika yang memang licik segera melemparkan cluritnya dengan sisa-sisa tenaga ke arah mereka. I Ayu Mantini yang melihat Kardika melemparkan cluritnya, berseru memperingatkan pada Wayan, yang segera mengelak.
"Ah…!"
Selamat bagi Wayan, tapi hal itu harus ditebus dengan tubuh I Ayu Mantini. Clurit Kardika telah menancap tepat di perut I Ayu Mantini, yang seketika roboh terkulai di tanah dengan darah yang keluar dari lukanya. Serta merta, Wayan pun segera memeluk tubuh istrinya. Dan dengan bibir bergetar menahan marah, Wayan berkata:
"Istriku... kenapa kita harus berpisah. Kenapa kau harus meninggalkan aku setelah kita bertemu?"
"Ka... kang. A... aku mencintaimu. A... aku tung... gu dirimu, di surga." I Ayu Mantini pun terkulai lemas.
"Istriku... I Ayu Mantini, jangan tinggalkan aku! Iblis... kubunuh kau! Kubunuh...!" Digeletakkannya tubuh I Ayu Mantini yang telah meninggal. Dengan segenap emosinya, Wayan pun segera menyerang Kardika dengan aji Lebur Raga.
Kardika yang tak sempat menghindar menjerit kala ajian itu menghantamnya. Seketika tubuh Kardika hancur berantakan, hangus terbakar. Api yang keluar dari tangan Wayan Saba, membakar seluruh tubuh Kardika yang telah hancur luluh.
Setelah menyaksikan musuhnya telah hancur, Wayan Saba pun segera kembali ke tubuh istrinya yang telah mati. Dengan penuh kasih, dibopongnya mayat I Ayu Mantini pergi meninggalkan desa Randu.
Bulan purnama pun seketika tampak redup. Seakan mengiringi kepergian Wayan yang membawa mayat istrinya, melangkah meninggalkan lapangan yang tampak terang oleh api yang terus menjilati tubuh Kardika.
"Cah Ayu, tak pantas kau bersanding dengan pemuda yang berdiri di sampingmu, tapi kau pantasnya dengan aku."
Tangannya yang tadi hanya membelai janggut, seketika hendak menarik lengan I Ayu Mantini. Namun maksud Kardika tak kesampaian ketika terdengar suara bentakan di belakangnya.
"Iblis busuk! Apa perlunya kau mengganggu kami!" Walau suara itu keluar dari mulut orang tua, api karena dilandasi dengan tenaga dalam maka suara itu bagai menggelegar terdengarnya. Kardika seketika menoleh dan memandang sinis pada lelaki tua di hadapannya.
"Ki Putut Mantra. Kau tahu siapa aku?" ucapnya menyombong, lalu perlahan dihampirinya Ki Putut Mantra yang memandang padanya dengan sorot kebencian.
"Mengapa kau tidak bilang padaku kalau kau punya anak gadis semolek ini, Ki?"
"Itu bukan urusanmu, Iblis!" menjawab Ki Putut Mantra dengan ketus. Ia tahu siapa Kardika. Ia sudah bertekad tak mau menyerahkan putrinya pada iblis mata keranjang itu.
Mendengar ucapan Ki Putut Mantra, Kardika bukannya marah. Bahkan sebaliknya ia tertawa bergelak-gelak, kemudian ia berkata sinis: "Ki Putut Mantra! Kau telah tahu aku, semestinya kau tidak sembrono. Semestinya anakmu dengan ikhlas kau berikan padaku, dan nyawa tuamu yang bau tanah harus ku buang ke neraka. Ha... ha... ha...!"
Bagaikan tak memandang sebelah matapun Kardika membalikkan tubuhnya. Lalu dengan sebat dicekalnya tangan I Ayu Mantini. Tapi belum sampai maksudnya, tiba-tiba berkelebat Ki Putut Mantra menghalangi yang membuat Kardika menggeram kesal.
"Hem... kau mencari mampus tua bangka keparat...!"
"Kau yang mencari mampus, Iblis! Apa hakmu membuat kericuhan di sini...?" menjawab Ki Putut Mantra tak mau kalah ketusnya.
Kejengkelan telah melanda hati Kardika hingga tampak wajahnya merah membara, lalu dengan disertai emosi, Kardika membentak. "Tua bangka tak tahu diuntung, rupanya kau ingin mampus berani menentangku!"
Maka tanpa menunggu ucapan Ki Putut Mantra, Kardika telah menyerang dengan cepat. Suasana yang tadinya tenang kini riuh. Anak-anak dan wanita berserabutan mencari perlindungan. Kardika yang jengkel dengan ulah Ki Putut Mantra tanpa sungkan-sungkan segera menyerang dengan jurus-jurus yang membahayakan. Tak kalah Ki Putut Mantra, walaupun umurnya sudah tua tapi kegesitan sebagai seorang pendekar masih tersisa. Hingga serangan-serangan Kardika dengan mudah dapat dielakkan.
Melihat hal itu Kardika makin mendengus kesal. "Hem.... Rupanya kau masih lincah seperti dulu, Tua bangka! Tapi jangan harap kau mampu lepas dari tanganku." Bersama itu Kardika kembali menyerang. Kali ini dikeluarkan jurus-jurus intinya, ia tak ingin membuang-buang waktu.
Ki Putut Mantra yang sudah waspada segera mengimbanginya, mengelak dan sesekali menyerang. Walaupun begitu, karena usianya sudah tua, lama kelamaan Ki Putut Mantra dapat didesak oleh Kardika. Demi melihat mertuanya tidak unggulan, Wayan Saba segera bermaksud membantu. Namun hal itu bukan menjadi meringankan beban Ki Putut Mantra. Bahkan sebaliknya, pikiran Ki Putut Mantra bercabang. Pertama pada Kardika, dan kedua pada keselamatan menantunya. Ia tahu Kardika bukan tandingannya, walau dikeroyok sekalipun.
"Wayan... jangan mendekat!" seru Ki Putut Mantra memperingati.
Namun Wayan yang memang jengkel pada kelakuan Kardika sedari tadi tak ambil perduli, sehingga membuat Ki Putut Mantra gusar. "Wayan... pergi kau dan bawa istrimu!"
Bersamaan dengan selesai ucapannya, sebuah pukulan WESI GENI yang dilancarkan Kardika menghantam telak di dadanya. Ki Putut Mantra terpental tiga tombak ke belakang, dari mulut orang tua itu meleleh darah segar.
Melihat ayahnya terluka dalam, I Ayu Mantini segera memburu menghampiri. "Ayah... ayah...!" I Ayu Mantini menangis, kala ia tahu ayahnya telah meninggal. Sementara di lain pihak, Wayan tengah menjadi bulan-bulanan Kardika yang bukan tandingannya. Sebuah pukulan Kardika, membuat Wayan terpelanting lima tombak ke belakang jatuh di depan tetua Adat yang membantunya berdiri sembari berkata padanya:
"Pergilah! Kau tak akan mampu menghadapi dia. Pergilah ke wilayah Kulon dan carilah seorang Guru sahabatku yang bernama Ki Turangga Bayu. Cepat...! jangan hiraukan apa yang terjadi di sini, biar kami yang menangani."
"Lalu istriku...?"
Dengan tertatih-tatih Wayan berdiri bermaksud mendekati istrinya. Namun sebuah tendangan Kardika membuat ia terjungkal dan terpelanting keluar rumah. Merasa tidak unggulan, akhirnya Wayan pun menurut saran sesepuh Adat. Dengan terlebih dahulu menengok pada istrinya, Wayan segera mengambil kuda dan lari dari situ. Kardika yang melihat Wayan melarikan diri, segera memburunya.
Di ufuk Timur sudah nampak mentari, pertanda hari sudah pagi. Wayan menghentikan kudanya melangkah perlahan mencari sumber air. Kerongkongannya terasa kering, sebab semalam ia telah menguras habis tenaganya untuk bertarung sekaligus untuk berlari.
Lamunannya terus tertuju pada istrinya I Ayu Mantini. Dendamnya pada Kardika membuat Wayan melangkah dengan hampa, hingga jurang yang terpampang di hadapannya tak dilihatnya. Terdengar jeritan Wayan yang membahana, manakala tubuhnya terperosok, masuk ke dalam jurang.
********************
Kardika yang telah sampai di situ segera mencari Wayan. Matanya yang tajam dan liar memandang ke segenap penjuru. Namun apa yang dicari tak ditemukannya. "Aneh.... Aku tadi melihat dia di sini." Belum puas Kardika mencari Wayan, dicobanya kembali untuk memeriksa sekeliling lembah itu. Dan ketika ia melihat ke bawah jurang, tampak olehnya bangkai kuda yang menjadi tunggangan Wayan.
"Hem.... Rupanya bocah ingusan itu telah mampus," ucap Kardika. Di bibirnya tersungging kemenangan, lalu dihelanya tali kuda tunggangannya kembali ke tempat I Ayu Mantini yang tadi ditinggalkan. Dipacu kudanya dengan cepat. Secepat pikirannya membayangkan I Ayu Mantini yang benar-benar ayu. Membayangkan hal itu, kembali Kardika tersenyum-senyum.
********************
Kampung Tegal Rejo geger, semua warga berduyun-duyun datang ke tempat kepala kampungnya untuk melayat. Di situ masih tampak tetua Adat dibantu oleh anak buah sesepuh desa, tengah mengurus mayat sesepuh desa itu. Kaum wanita mencoba menghibur I Ayu Mantini yang masih menangis, sedang para pemudanya tampak berjaga-jaga di halaman rumah. Belum juga mereka tenang, tiba-tiba secepat kilat seekor kuda dengan penunggangnya menerobos di antara kerumunan orang-orang dan terus masuk menuju ruangan di mana I Ayu Mantini berada.
Para pemuda segera memburu dan mencoba menghalangi niat orang itu, yang tak lain Kardika adanya. Namun pemuda-pemuda itu bukan tandingan Kardika, terbukti dalam segebrakan saja mereka dibuat tak berdaya. Melihat hal itu, tetua Adat yang sedari tadi diam segera bertindak maju menghadap.
Melihat tetua Adat itu menghadangnya, Kardika sesaat melompat mundur. Dipandanginya sesaat, lalu ia berkata. "Ki Abiyasa, mengapa kau ikut campur?" ucap Kardika sengit.
"Amitohud.... Hamba minta maaf. Namun hamba sebagai sesepuh Adat seharusnya kewajiban hamba melerai keributan ini. Hamba tidak ingin terjadi korban yang tak berdosa hanya karena ambisi "
"Ah persetan, itu hakku."
"Benar, itu memang hak anda. Tapi anda telah menggunakan hak yang salah. Merampas istri orang dan membunuh orang tuanya, hal itu tak dapat dibenarkan "
Geram hati Kardika mendengar omongan Ki Abiyasa yang baginya suatu penghalang, maka dengan keras Kardika membentak. "Tutup bacotmu, Tua bangka! Rupanya kau sekarang berani menentangku. Ingat Abiyasa, barang siapa yang menentangku berarti memilih mati.,.."
Habis berkata begitu, Kardika segera menyerang Ki Abiyasa yang segera memapakinya, pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Melihat hal itu, anak-anak muda yang tadi ciut nyalinya kini bangkit dan mengurung kedua orang yang sedang bertarung. Jurus demi jurus dilampaui, sudah hampir tiga puluh jurus berlalu, keduanya tampak sama-sama tangguh. Ketika sampai jurus ketiga puluh lima, Kardika meloncat mundur.
"Ki Abiyasa, terimalah kematianmu! Aji Wesi Geni!" Kedua tangan Kardika tampak menghitam legam kemerahan laksana besi berani.
Ki Abiyasa segera surut mundur. Matanya terbelalak kaget, melihat Kardika mengeluarkan ajian yang tak asing baginya. "Wesi Geni. Apakah Kakang Turangga telah menurunkan padanya? Bahaya, sungguh bahaya kalau aji ini dipergunakan oleh orang yang sesat," membatin Ki Abiyasa.
Melihat Ki Abiyasa terdiam, Kardika menganggap Ki Abiyasa takut, maka dia pun tertawa bergelakgelak mengejek. "Ha... ha... ha! Abiyasa, menyerahlah! Dan jangan campuri urusanku kalau kau tak ingin mampus."
Ki Abiyasa masih tampak tenang dengan penuh kewaspadaan. "Kardika, kau jangan sombong. Setinggi-tingginya ilmu manusia, belum seberapa dibandingkan dengan Yang Wenang. Dan ingat Kardika, mati hidupnya manusia ada di tangan-Nya."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku pun dapat mengambil nyawa busukmu.... Hiaaat...!"
Tangan Kardika yang sudah disaluri aji Wesi Geni, berkelebat mencari sasaran. Ki Abiyasa yang maklum bahwa Kardika memang menghendaki nyawanya tak tinggal diam, tongkat "Sapu Angin" yang dipegangnya memapaki serangan itu. Namun betapa terkejut Ki Abiyasa ketika menerima kenyataan. Tongkat Sapu Angin tak mampu menahan aji Wesi Geni hingga....
"Braak !" Tongkat Sapu Angin pun patah menjadi dua. Ki Abiyasa terhuyung mundur ke belakang dan dari mulutnya keluar darah segar.
Pemuda-pemuda yang sedari tadi mengurung segera memburu, mengeroyok Kardika. Dikeroyok demikian Kardika bukannya takut, malah sebaliknya. Ia tertawa.
"Minggir!"
Bentakan Kardika yang diikuti dengan tenaga dalam menjadikan anak-anak muda itu terdiam terperangah. Ketika anak-anak muda itu masih terperangah, Kardika secepat kilat berkelebat dan tak lama kemudian di pundaknya telah tergendong I Ayu Mantini yang meronta-ronta.
"Lepaskan! Lepaskan aku!!"
"Ha... ha... ha... kau tak bakal mampu, Manis. Kau harus ikut aku!" Dengan ilmu lari cepatnya Kardika membawa lari I Ayu Mantini. Pemuda-pemuda itu hendak mengejarnya, tapi segera dicegah oleh Ki Abiyasa.
"Percuma kalian mengejar."
"Tapi, Ki...?" Seorang anak muda yang berbadan besar mencoba protes. Ki Abiyasa segera bangkit dan menghampiri pemuda itu.
"Percuma. Sia-sia, dia bukan tandingan kalian."
"Lalu apa yang harus kami perbuat...?" kembali pemuda itu bertanya meminta saran.
Ki Abiyasa terdiam, dihempaskan nafasnya panjang-panjang, kemudian ia berkata. "Ini sudah suratan Yang Wenang. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Sudahlah, mari kita urus mayat sesepuh desa."
Dengan rasa kecewa pemuda-pemuda itu pun akhirnya menurut. Siang itu dengan dipimpin tetua Adat, mayat kepala desa disemayamkan.
********************
DUA
Ombak laut Utara bergulung-gulung menepiskan pasir-pasir pantai. Siang itu tampak seorang pemuda tengah berjalan-jalan menikmati keindahan alam sambil bernyanyi-nyanyi. Ketika dia sedang asyik-asyiknya bernyanyi, terdengar suara anak burung mencicit-cicit di atas sarangnya. Hatinya yang penyayang tergugah mendengar cicitan anak burung itu.
"Hai... kenapa anak burung itu?" tanya pemuda. Sesaat ia mendongak ke atas, lalu dengan sekali loncat dia pun telah hinggap di atas cabang pohon, sarang burung itu berada. "Oh, kenapa kau, Burung kecil...?" tanya sang pemuda pada anak burung kecil itu, yang hanya mencicit. "Oh... oh... ibumu pergi? Ke mana...?"
"Cit... cit..." Burung kecil itu kembali mencicit.
"Mati...! Di bawah!" Seketika pemuda itu menengok ke bawah pohon. Tak jauh dari dia berdiri tadi tampak olehnya seekor burung nuri menggeletak, di sampingnya menggeletak pula seekor ular.
"Kasihan, kau pipit kecil."
Kala pemuda itu sedang merenungi nasib anak burung Pipit dan dirinya yang mengembara mencari bapaknya. Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Dari kejauhan tampak lima orang penunggang kuda. Dilihat dari pakaiannya kelima orang itu adalah pengawal-pengawal kerajaan.
"Ke mana Kakang Wisesa?" tanya seorang lelaki bertubuh besar tinggi, bercambang lebat, pada orang yang berjalan dengan kudanya di depan. Orang yang dipanggil dengan nama Wisesa memperlambat lari kudanya, lalu berhenti tepat di bawah pohon di mana pemuda berpakaian sisik ular berada.
"Aku tadi melihat mereka lari ke sini...!"
Mata Arya Wisesa yang tajam menghujam pada semak-semak di sekeliling tempat itu. "Hem.... Ke mana perginya mereka? Seakan mereka hilang ditelan bumi." Gumam hati Arya Wisesa.
"Apa kakang tidak salah lihat?" tanya Naga Biru, Naga kedua dari empat Naga Gunung Kapur.
Ya... keempat orang yang kini bersama Arya Wisesa, tak lain dari keempat tokoh silat yang sudah kesohor namanya di dunia persilatan pada masa itu. Di samping ilmunya yang tinggi, keempat Naga itu terkenal aneh dalam pendiriannya.
"Tidak, Adik Naga Biru. Namun mengapa mereka bisa raib begitu saja...?"
"Kakang mengenal mereka?" Naga Kuning bertanya.
"Tidak, Adik Naga Kuning mereka memakai topeng. Tapi aku punya dugaan bahwa mereka adalah kaum pemberontak kerajaan."
"Kenapa kakang memastikan itu?" Kini Naga Putih yang angkat bicara. Matanya yang tajam memandang sekeliling, hampir setiap pelosok hutan bakau itu tak lepas dari pandangannya.
"Adik Naga Putih, bukankah adik telah mendengar terjadi pemberontakan di kerajaan...?" Naga Putih mengangguk mengiyakan, sebab dia tahu kenapa ia dan saudara-saudaranya dipanggil ke kerajaan. Tak lain karena adanya pemberontakan itu yang sampai sekarang belum diketahui siapa dalangnya.
"Semalam ketika aku sedang menghadap raja bersama kalian, dua orang yang kita kejar telah memasuki alun-alun istana dan membuat onar," Arya Wisesa menuturkan apa yang dia dengar dari laporan ponggawa istana. "Nah bukankah itu sebagian kecil dari aksi pemberontakan...?"
Keempat Naga itu mengangguk mengerti, kemudian kelimanya terdiam, sementara mata mereka terus mengawasi sekitarnya. Sementara pemuda yang berada di atas pohon yang tak lain Jaka atau Pendekar Siluman Darah mendengar pembicaraan mereka, tanpa disadari oleh kelima orang yang berada di bawahnya.
"Rupanya kerajaan tengah dilanda musibah yang tak enteng, hingga keempat Naga dari Gunung Kapur diundang juga. Aku akan berusaha menyelidikinya." Tak lama berselang setelah kelima orang istana berlalu, Jaka Ndableg meninggalkan tempat itu.
********************
Di sebuah goa, di bawah jurang "Chandra Cipta" tampak seorang lelaki tua sedang duduk. Sementara di hadapannya seorang pemuda tengah belajar ilmu silat. Gerakan-gerakannya yang begitu lincah dan gesit ditunjang dengan semangatnya yang tinggi, membuat pemuda itu tak kenal lelah,
"Gerakanmu masih kurang, Wayan...." berkata lelaki tua yang duduk di depannya pintu goa. "Ingat... kakimu dalam menapak masih kurang lincah dan berat. Hal itu akan mengurangi kekuatan ilmumu, sebab ilmu Catur Langkah haruslah dilakukan dengan pikiran yang tenang dan konsentrasi yang penuh. Nah, lakukan lagi hingga benar-benar sempurna. Sebab hanya ilmu Catur Langkah yang dapat menandingi aji Wesi Geni murid durhaka itu."
"Baik guru. Ijinkanlah murid mengulang dari awal kembali."
"Lakukanlah, dan jangan berhenti sebelum aku perintahkan." Setelah berkata begitu orang tua itu kembali diam, matanya terpejam melakukan meditasi. Walaupun matanya terpejam, namun gerak-gerik Wayan Saba yang sedang berlatih silat dapat diikutinya.
********************
"Hidup bagaikan perjalanan. Yang menuntun kita 'tuk melangkah. Bila kuat iman di dada. Kelak kita akan bahagia. Tapi bila setan yang ada. Neraka dunia yang kita ciptakan "
Bait-bait itu begitu indah, dilantunkan dengan suara merdu, gaungnya berkumandang memantul di antara sela-sela bebatuan di gunung itu. Tampak seorang wanita muda sedang duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Di tangannya tergenggam sebuah boneka kayu. Pandangannya yang kosong, serta pakaiannya yang kumal menandakan bahwa ia tengah dilanda guncangan jiwa yang berat. Seketika wajah yang sedari tadi riang berubah menjadi sendu, lalu tanpa sadar ia pun menangis sesenggukan.
"Bajingan...! Selama orang-orang semacam kau masih hidup, dunia tak akan tenang. Kau bunuh ayahku, kau bunuh kekasihku, lalu kau rusak diriku, hu, hu.... Kau harus mati ditanganku... hi... hi"
Dibelai-belainya boneka kayu yang sedari tadi ditimangnya, diajaknya bercanda. Gadis itu tak sadar kalau tingkah lakunya sedari tadi diperhatikan oleh orang lain.
"Kasihan. Gadis semuda dan secantik itu harus menanggung beban jiwa yang amat berat," membatin pemuda yang mengawasinya dengan rasa iba. "Betapa banyak orang-orang di dunia ini yang harus menanggung derita, hanya karena tingkah sesamanya..."
Ia bermaksud menghampiri gadis itu, namun niatnya segera diurungkan, saat telinganya yang tajam mendengar seseorang menuju ke situ. Secepatnya ia segera bersembunyi di balik semak-semak, sementara matanya terus mengawasi pada gadis itu.
"Hi... hi! Adik manis, rupanya ada orang yang menuju ke mari," kata gadis gila itu pada bonekanya yang masih ditimang-timang.
Pemuda yang bersembunyi dibalik semak-semak yang tak lain daripada Pendekar Siluman Darah terkejut, mendengar tutur kata gadis gila itu. "Hem.... Rupanya gadis gila itu tahu juga. Siapakah orang yang menuju ke mari? Sepertinya masih muda, mau apa dia...?"
Dari arah Timur seorang pemuda menghampiri gadis gila itu, yang tampaknya acuh tak acuh menyambutnya. "I Ayu Mantini, rupanya kau ada di sini..." berkata pemuda yang baru datang.
Gadis itu hanya memandang sesaat, kemudian kembali acuh sambil menimang-nimang bonekanya. "Mau apa kau datang ke sini, Mahesa...?" tanyanya dengan senyum sinis.
"I Ayu Mantini, Aku diutus oleh Kardika untuk membawamu kembali...."
Mendengar jawaban pemuda yang disebut Mahesa, I Ayu Mantini tertawa bergelak-gelak seakan ucapan Mahesa lucu. Mahesa mengerutkan kening, matanya seketika melotot marah. Ia merasa dipermainkan oleh I Ayu Mantini.
"Apa yang engkau tertawakan, I Ayu?"
"Hi... hi... hi.... Kau lucu, Mahesa." I Ayu Mantini bukannya menjawab, malah tertawa cekikikan. Panas telinga Mahesa, sepanas hatinya yang sudah terbakar oleh celoteh I Ayu Mantini. Belum sempat Mahesa berkata, I Ayu Mantini telah meneruskan ocehannya.
"Hi... hi.... Mahesa. Ternyata otakmu seperti namamu, Kebo."
Mata Mahesa melotot merah. Ia kesal mendengar ocehan I Ayu Mantini yang baginya sudah keterlaluan. Namun Mahesa berusaha sabar, karena ia tahu I Ayu Mantini sudah gila. Di samping itu ia pun diperintahkan Kardika agar tidak menurunkan tangan pada I Ayu Mantini.
"Sinting...! Ayo ikut aku.... Kalau kau bukan kekasih Kardika, sudah aku lumatkan mulutnya yang ceriwis itu...!" menggeretak Mahesa menahan amarahnya.
Tapi bagi I Ayu Mantini ucapan Mahesa dianggapnya ocehan anak kecil, terbukti I Ayu Mantini kini menggandakan tawa. "Hi... hi... hi.... Kekasih. Siapa yang sudi menjadi kekasih Iblis macam tuanmu itu, Kebo...!"
Mahesa tak dapat menahan amarahnya, disebut Kebo oleh I Ayu Mantini. Tangannya yang kekar seketika berkelebat hendak menangkap I Ayu Mantini. Namun bagai orang bercanda I Ayu Mantini segera berkelit. Tangan kanannya yang tak memegang boneka menghantam tubuh Mahesa. Mahesa yang tak menyangka akan mendapat serangan balasan tak dapat menghindar, hingga....
"Bugg!" Tubuh Mahesa yang besar dan kokoh, terhenyak ke belakang beberapa tombak terkena hantaman tangan I Ayu Mantini. Merah muka Mahesa menerima kenyataan itu. Matanya menyorot marah, giginya bergeletuk menahan kejengkelan. Perlakuan I Ayu Mantini membuat ia tak ingat apa yang diperintahkan oleh Kardika.
"Bedebah...! Rupanya kau cari mampus, Orang gila...!" Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa segera bertindak. Kali ini dia tidak ingin kecolongan lagi, maka Mahesa pun mengeluarkan ilmu silatnya.
Mahesa tampak bersungguh-sungguh, terbukti dalam sepuluh jurus saja, I Ayu Mantini dapat didesaknya. Demi melihat gadis gila itu dalam bahaya, Jaka yang sedari tadi menonton segera keluar dari persembunyiannya. Tepat ketika tangan jahat Mahesa hendak menghantam dada I Ayu Mantini, tiba-tiba...!
"Cuiiittt.... Dess...."
Berbareng dengan suara suitan nyaring, saat itu pula sebuah pukulan menghantam lengan Mahesa, yang segera menarik mundur tangannya. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok tubuh pemuda, I Ayu Mantini tegak berdiri di belakang pemuda itu. Melihat cara kedatangan pemuda, dan cara menangkisnya Mahesa telah maklum, bahwa pemuda yang kini berdiri di hadapannya bukan orang sembarangan. Namun sebagai tangan kanan Kardika yang sudah kesohor kesaktiannya, pantang baginya untuk menyerah dan mengakui ketinggian ilmu lawan. Maka dengan lantang ia membentak.
"Monyet...! Siapa kau! Berani turut campur urusanku...!"
"Monyet? Ha... ha... ha. Aku monyet? Ya, aku monyet. Tapi kau. Kau lebih rendah dari monyet, karena kau tak tahu belas kasihan," menjawab pemuda itu.
"Bedebah..,! Rupanya kau orang gila juga yang ingin mampus...!"
Mendengar kata-kata Mahesa, Jaka makin menggandakan tawanya. Kali ini tawanya melengking disertai dengan tenaga dalam yang tinggi, membuat suaranya bergema ke pelosok-pelosok hutan menggidikkan bulu kuduk bagi yang mendengarnya termasuk Mahesa. Melihat kenyataan itu Mahesa sadar, bahwa orang di hadapannya bukan tandingannya. Mahesa yang nyalinya sudah ciut, tanpa pikir panjang segera mengambil langkah seribu seraya meninggalkan kata-kata.
"Anak muda, tunggulah aku di sini...!"
Sepeninggal Mahesa, Jaka yang memang tidak ada maksud untuk mengejar hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Mahesa. Dihampirinya I Ayu Mantini yang masih berdiri mematung. "Nona, kalau aku boleh tahu, siapa nama Nona? Dan kenapa orang tadi hendak memaksa Nona untuk ikut dengannya...?"
I Ayu Mantini sesaat memandang pada Jaka, ditatapnya lekat-lekat dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Terima kasih atas pertolongan Tuan. Aku... aku I Ayu Mantini..." I Ayu Mantini kembali menangis. Kesadarannya tiba-tiba pulih.
Dan hal itu membuat sangat trenyuh. Maka dengan perlahan Jaka Ndableg pun kembali bertanya. "Kenapa Nona menangis? Siapa orang tadi?"
"Aku... aku sedih mengenang nasibku yang buruk ini. Ayahku dibunuh, lalu suamiku entah di mana, dan aku sendiri, semua karena ulah bajingan itu. Dia telah menghancurkan segalanya... hu... hu..." kembali I Ayu Mantini menangis.
Jaka Ndableg jadi iba, ingatannya kembali pada keadaan dirinya. Ibunya mati demi melindungi dirinya, sementara ayahnya... ah entah di mana rimbanya. "Mengapa kehidupan diwarnai dengan derita...? Kenapa sesama manusia harus saling bunuh membunuh, dan memperkosa hak orang lain...." Seribu pertanyaan hadir kembali di hati Jaka Ndableg, hingga tanpa sadar Jaka Ndableg pun meneteskan air mata.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Bertanya Jaka Ndableg pada I Ayu Mantini setelah dia dapat menenangkan suasana hatinya.
Mendengar pertanyaan Jaka Ndableg, kenangan pahit yang dialaminya kini tergugah lagi. Sambil mengusap air matanya, I Ayu Mantini pun mengisahkan kembali tentang apa yang telah menimpa dirinya, ayahnya, serta suaminya yang kini entah di mana berada.
Mendengar penuturan I Ayu Mantini yang begitu mengharukan, rasa kemanusiaan Jaka atau Pendekar Siluman Darah tergugah. Tak dirasakan olehnya, air matanya pun menetes di pipinya. "Ah, kenapa aku menangis?" Seketika Jaka Ndableg segera menyadari akan dirinya. Setelah dapat menguasai diri, Jaka Ndableg pun berkata pada I Ayu Mantini.
"I Ayu Mantini. Hidup bukan untuk terus berlarut dalam kesedihan, tapi hidup untuk dihayati dan diamalkan. Seperti sebait syair yang barusan kau ucapkan. Nah, untuk itu janganlah kau terpengaruh dengan jalannya kehidupan yang telah direncanakan oleh Yang Maha Esa. Kita tidak boleh menaruh dendam, sebaliknya kita harus dapat menyadarkan orang yang salah. Namun bila hal itu tidak dapatinya, barulah kita bertindak, juga bukan lantaran dendam. Sebab dendam-mendendam tak akan pernah habis, sebab itu adalah dorongan nafsu setan semata agar kita terbawa olehnya...." Sesaat Jaka Ndableg memandang pada I Ayu Mantini yang tertunduk mendengar penuturannya, kemudian Jaka Ndableg meneruskan ucapannya.
"Aku rasa, aku hanya dapat memberikan saran. Sementara pelaksanaannya itu aku serahkan kembali padamu. Hanya itu yang dapat aku berikan, dan ijinkanlah aku pergi..."
"Tuan pendekar...." I Ayu Mantini yang sedari tadi mendengarkan penuturan Jaka Ndableg, kini mendongakkan mukanya memanggil Jaka Ndableg kala hendak melangkah pergi.
Jaka Ndableg segera menghentikan langkahnya, kemudian berpaling menghadap pada I Ayu Mantini. "Ada apa..?" tanyanya.
I Ayu Mantini sesaat kembali terdiam, matanya yang sayu namun tidak menghilangkan keindahannya menatap lekat pada Jaka Ndableg. Sejenak ia berbuat begitu, lalu iapun berkata. "Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi...?"
Jaka Ndableg sejurus terdiam, membalas memandang pada I Ayu Mantini yang seketika tertunduk malu. "Apa yang dapat aku tolong? Katakanlah, bila aku dapat aku akan memberikannya. Namun bila aku tak mampu, aku minta maaf..."
Kini I Ayu Mantini kembali berani menatap wajah Jaka Ndableg, senyumnya mengembang di bibirnya yang sedari tadi terkatup. "Bawalah aku ke mana saja Tuan pendekar akan pergi..."
"Ah ?" Desahan itu tiba-tiba keluar dari mulut Jaka, sebab ia tak menyangka akan menerima permintaan semacam itu.
"Kenapa, Tuan Pendekar? Apa Tuan Pendekar merasa keberatan?"
"Ti tidak. Tapi aku adalah seorang pengelana, tujuanku tak tentu arah. Ke mana kaki melangkah itulah tujuanku. Aku takut kau menderita bersamaku."
"Tidak, Tuan Pendekar. Hidupku kini hanya sebatang kara, tak punya sanak-saudara, entah itu mati atau di mana. Sudah tekadku untuk mengabdi pada orang yang telah menyelamatkan jiwaku."
Jaka sesaat terdiam. Di dalam hatinya berkecamuk pertanyaan yang berbeda. Pertama ia harus ke kota raja untuk menyelidiki kerajaan yang sedang dilanda kerusuhan oleh pemberontak. Tak mungkin melibatkan I Ayu Mantini. Kedua masalah permintaan I Ayu Mantini. Hal ini menyangkut rasa kemanusiaan. Akankah ia tega meninggalkan I Ayu Mantini? Sementara ia mengawatirkan gadis itu? Bagaimana kalau nanti anak buah Kardika datang...? Akhirnya... demi rasa kemanusiaan. Jaka Ndableg pun memilih mengajak I Ayu Mantini ke kota raja.
"Baiklah, I Ayu Mantini. Aku memperbolehkan kau ikut denganku, tapi bukan aku ingin dilayani olehmu. Anggap saja kita berdua adalah saudara!"
Mendengar perkataan Jaka Ndableg yang mau menerimanya, seketika I Ayu Mantini menjura hormat. "Terima kasih, Tuan Pendekar..."
"Jangan begitu, aku bukan raja tak pantas untuk kau sembah. Sudahlah, mari kita segera pergi..."
Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini baru saja hendak meninggalkan hutan itu, ketika terdengar suara bentakan dari arah belakang.
"Tunggu...! Jangan pergi dulu..."
Jaka Ndableg segera mengurungkan langkahnya. Dibalikkan tubuhnya menghadap pada asal suara itu. Tampak lima orang lelaki menuju ke arahnya. Salah satu dari mereka sudah ia kenal, yaitu Mahesa adanya. Sambil menunggu kedatangan kelima lelaki itu, Jaka Ndableg menyuruh I Ayu Mantini untuk bersembunyi.
"Pergilah bersembunyi.... Biar mereka aku tangani. Cepatlah!"
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, I Ayu Mantini pun menuruti apa yang dikatakan oleh tuan pendekarnya, bersembunyi di balik semak-semak.
"Ada apa, Ki sanak? Hingga Ki sanak menghentikan langkahku...?" tanya Jaka atau Pendekar Siluman Darah, seakan-akan tak mengerti persoalannya.
"Jangan pura-pura bodoh, Anak muda. Di mana kau sembunyikan gadis tadi...!" Membentak Mahesa jengkel.
Jaka Ndableg tersenyum tenang, dengan lagak konyol ia bertanya. "Gadis yang mana, yang kisanak maksudkan..."
Mahesa Dungkul menyapukan pandangannya ke sekitar tempat itu, namun I Ayu Mantini tak ditemukannya. Maka rasa kekesalannya, dilampiaskannya pada Jaka Ndableg seraya membentak. "Kau sembunyikan di mana gadis itu...?"
"Aku tidak menyembunyikannya. Dia telah pergi dari sini," berdusta Jaka Ndableg, membuat Mahesa yang memang sebenarnya ingin mencoba ilmu yang dimiliki Jaka Ndableg jadi marah. Dengan lantang Mahesa berkata.
"Anak muda, siapa namamu? Jangan kau mati tanpa diketahui namanya...!"
Jaka Ndableg tersenyum tenang. "Ha, ha... ha... ha.... Apa arti sebuah nama. Aku adalah aku, tentang mati hidupku aku rasa bukan urusan kalian, tapi urusan Yang Wenang..."
Mendidih darah kelima anak buah Kardika. Belum pernah mereka diejek dan disepelekan seperti sekarang ini. Melihat yang mengejek anak masih muda keempat orangnya Mahesa tak sabar hendak menyerang.
"Tunggu...!" Mahesa melarangnya.
"Kenapa...? Kau takut, Mahesa...?" tanya salah seorang dari mereka yang wajahnya seram. Golok yang di tangannya hendak diayunkan ke tubuh Jaka Ndableg.
"Darga, sabar...! Jangan kau anggap enteng dia." Mahesa hendak mencegah, namun Darga tampak sudah tak dapat menahan emosinya. Di samping itu ia tidak yakin kalau pemuda yang sedang dihadapinya memiliki ilmu yang tinggi. Maka Darga pun segera menyerang Jaka Ndableg dengan tebasan goloknya.
Jaka Ndableg yang tidak menyangka akan mendapat serangan yang begitu tiba-tiba, tersentak juga. Hampir saja kepalanya tertebas golok besar di tangan Darga, kalau saja Jaka Ndableg tidak menundukkan kepala. Dalam keadaan seperti itu Jaka Ndableg masih berupaya menyadarkan penyerangnya.
"Tunggu...! Mengapa kalian memusuhiku...? Bukankah di antara kita tak ada silang sengketa...?"
Melihat Jaka Ndableg mundur dari serangan Darga, hati Mahesa menjadi besar. Dikiranya Jaka Ndableg takut menghadapi Darga. Dengan lantang Mahesa berseru. "Anak muda.... Kau telah berani mencampuri urusanku dan telah berani menyembunyikan serta melindungi I Ayu Mantini. Nah, itulah silang sengketa di antara kita...!"
"Picik...!" memaki Jaka Ndableg. "Baik...! Kalian rupanya manusia-manusia berhati iblis. Kalian sudah tak berperikemanusiaan. Kalau kalian menginginkan nyawaku karena aku melindungi orang yang tak berdaya, lakukan...!"
Mendengar omongan Jaka Ndableg, kelima orang anak buah Kardika tanpa sungkan-sungkan lagi segera mengurung dengan senjata di tangan masingmasing. Mahesa yang sudah tahu tingginya ilmu anak muda itu, memberi tahu pada anak buahnya untuk berhati-hati.
"Anak muda. Kalau kau ingin selamat katakan di mana kau sembunyikan gadis itu, cepat!" Mahesa masih bertanya. Sebenarnya ia sungkan untuk menghadapi Jaka Ndableg yang sudah ia ketahui ketinggian ilmunya. Ia berusaha mencari jalan yang halus saja, namun Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah hanya tertawa bergelak-gelak.
"Ha... ha... ha.... Sudah aku katakan pada kalian. Bila kalian menginginkan gadis yang tak berdaya itu, aku tak akan memberikannya. Apakah kalian sudah tuli, hingga tak mendengar...?"
Mendengar ejekan Jaka Ndableg, kelima orang yang dipimpin oleh Mahesa menjadi panas. Apalagi si Darga yang merasa unggulan. Dengan tak memandang sebelah mata pun pada Jaka Ndableg, ia membentak.
"Bedebah...! Kau belum kenal aku. Tapi kalau sudah di neraka kau baru tahu dan menyesal."
Jaka Ndableg kembali tertawa bergelak-gelak hingga pakaian berkilat-kilat terpantul cahaya matahari mengikuti irama tubuhnya. Merasa tak ada gunanya lagi bicara dengan Jaka Ndableg, secepat kilat kelima orang itu segera mengurung. Dikeroyok oleh lima orang bersenjata tidak menjadikan Jaka Ndableg bingung, malah dengan tertawa-tawa dia meladeni serangan kelimanya. Pertarungan lima melawan satu pun berlanjut. Jurus demi jurus terlampaui, namun Jaka Ndableg yang tak mau menurunkan tangan jahat masih berkelit menghindari serangan kelima pengeroyoknya.
Melihat hal itu, I Ayu Mantini menjadi was-was juga. Ia telah tahu akan kehebatan ilmu golok yang dimiliki oleh Empat Setan Golok. Dugaan I Ayu Mantini tampak tidak meleset, terbukti kini Jaka Ndableg dapat dipepet. Perasaan was-was melanda I Ayu Mantini, hingga keringat dingin tak terasa mengucur deras di pelipisnya.
Jaka Ndableg yang sudah terpepet bukannya grogi, bahkan sebaliknya. Dengan terlebih dahulu mengeluarkan gelak tawanya yang melengking, Jaka Ndableg segera mengubah jurusnya, Dewa Topan Melanda Karang. Tangan Jaka Ndableg seketika berubah. Tampak oleh kelima pengeroyoknya, tangan Jaka Ndableg menjadi beribu-ribu banyaknya.
Kelima pengeroyoknya tersentak kaget melihat hal itu. Namun belum sempat mereka dapat menyesuaikan keadaan dari keterkejutannya, terdengar suara pekik tiga orang teman mereka yang menggelepar-gelepar dengan badan membiru dan menggigil kedinginan. Hal ini makin membuat ciut nyali Mahesa dan Darga. Itulah keampuhan aji Dewa Topan Melanda Karang. Jangankan manusia, batu karang yang kokoh pun akan runtuh. Jaka Ndableg melompat mundur. Ia tersentak dan menyesal telah melepaskan tangan keras pada lawannya. Setelah dapat menguasai suasana, Jaka Ndableg berkata pada kedua orang yang masih hidup.
"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pendirian!"
Mahesa dan Darga yang sudah ciut nyalinya tanpa malu-malu segera berlari meninggalkan Jaka Ndableg. Jaka Ndableg segera duduk sujud menghadap ke Barat dan dari mulutnya terdengar suara penyesalan.
"Ampun guru. Sebenarnya murid tak bermaksud menurunkan tangan jahat. Tapi orang-orang itu telah memaksanya." Setelah berkata begitu, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah menundukkan kepalanya.
Dari arah Timur I Ayu Mantini keluar dari semak-semak menghampiri Jaka, yang masih terdiam membisu sambil sujud. "Pendekar!"
Jaka Ndableg segera memalingkan wajahnya memandang pada asal suara itu.
"Tak usah tuan pendekar menyesali tindakan tuan. Dibandingkan apa yang tuan lakukan, belum seberapa dengan perbuatan mereka yang banyak membuat kejahatan." I Ayu Mantini mencoba menyadarkan Jaka Ndableg dari penyesalannya.
Perlahan Jaka Ndableg bangkit dan dihampirinya ketiga mayat itu. Setelah menguburkan mayat-mayat itu, keduanya pun berlalu meninggalkan hutan itu menuju ke kota raja.
********************
"Duer...!"
Terdengar meja dihempas oleh tangan Kardika. Seketika meja itu hancur berantakan. Wajah Kardika tampak merona merah, pertanda marah. Dipandanginya satu persatu wajah Mahesa dan Darga yang tertunduk, tak berani memandanginya.
"Baru menghadapi kroco kalian kalah! Bagaimana kalian jadi prajurit nanti! Memalukan...! Di mana iblis Tangan Bisa...?"
"Dia sedang pergi, Kakang." jawab Mahesa memberanikan diri.
"Sudah. Kalian pergi dan jangan ganggu aku dulu. Bodoh!"
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Mahesa dan Darga berlalu meninggalkan Kardika. Kardika merenung, dalam hatinya ia bertanya-tanya,
"Siapa pemuda itu...? Hingga Empat Setan Golok yang sudah terkenal itu dapat dengan mudah dijatuhkan olehnya?" Belum habis pikiran Kardika pada pemuda itu, dari luar seorang lelaki setengah baya bersama seorang gadis cantik menghadapnya.
"Selamat sore, Tuan." sapa lelaki setengah tua itu dengan hormat.
Kardika tersentak, ditatapnya lelaki setengah baya bersama gadis di sampingnya. "Sangkumi, inikah yang kau maksud...?" tanya Kardika sambil mendekat ke arah gadis yang berdiri di samping Sangkumi.
"Benar, Tuan. Namanya Delima," menjawab Sangkumi cengar-cengir.
"Ha... ha... ha.... Cah ayu, di sini kau akan senang, ayo." Diajaknya Delima menuju ke dalam. Sangkumi melihatnya hanya meleletkan lidah. Ia tahu apa yang akan diperbuat oleh Kardika pada gadis itu. Sebelum masuk ke dalam kamar, ia segera menengok ke arah Sangkumi yang masih berdiri di pintu depan.
"Sangkumi... kau boleh istirahat dan bersenang-senang dengan gadis yang di gudang. Pilih olehmu yang kau sukai!"
"Terima kasih, Tuan..."
"Sangkumi, suruh yang lainnya untuk ikut bersamamu."
"Baik, Tuan" Sangkumi berlalu meninggalkan
Kardika yang telah masuk ke kamar mengikuti Delima dan menutup pintu kamar itu. Delima tersenyum melihat kelakuan Kardika yang sudah tak sabar lagi. Hal itu membuat Delima sengaja mempermainkannya. Dibukanya kancing bajunya perlahan, hingga mata Kardika melotot tak berkedip. Darahnya seketika memuncak ke ubun-ubun. Maka tanpa sabar ditubruknya tubuh Delima bagai macan kelaparan. Delima menggelinjang kegelian, kala kumis Kardika yang lebat menyentuh lehernya yang jenjang dan mulus. Belum sampai kedua manusia yang dilanda nafsu syetan itu bertindak jauh, tiba-tiba terdengar dari luar seseorang berseru.
"Kardika...! Iblis keparat, keluar kau...!"
Suara itu begitu lantang, hingga membuat Kardika tersentak dan mengurungkan niatnya. Dirapikan pakaiannya, lalu dengan segera ia meloncat keluar tanpa menghiraukan Delima lagi.
"Bangsat...! Siapa yang berani mencari mampus...! Hem.... Kau Eka Paksi, mau apa kau datang ke mari? Apa ingin mengantar nyawamu yang busuk itu...?"
Eka Paksi tertawa bergelak-gelak. Lalu ia pun berkata dengan nada dingin. "Kardika, lama kita tak berjumpa. Rupanya kebahagiaan sedang melanda mu hingga kau lupa pada sahabat lama."
Kardika tersenyum, ia tahu apa yang tersembunyi dalam ucapan Eka Paksi. Namun Kardika yang merasa aji Wesi Geninya sudah tinggi, tak merasa gentar sekalipun. "Oh.... Maaf. Bukannya aku lupa. Tapi karena kau datang tanpa memberitahukan dulu, jadi aku tak dapat menyambutmu dengan meriah...." Mata Kardika tampak tak berkedip memandang pada Eka Paksi.
Eka Paksi tertawa ganda mendengar ucapan Kardika, walau hatinya membatin; "Licik...!"
"Kardika, aku tak mau bertele-tele. Tentunya kau tahu akan apa yang menjadi maksudku datang ke mari...."
Kardika tertawa bergelak-gelak, mendengar apa yang diucapkan Eka Paksi. Dari sorot matanya, terlihat sebuah kebencian pada Eka Paksi. "Ha... ha... ha! Jangan kuatir, Eka Paksi. Aku bukanlah tipe pembohong. Untuk itu marilah masuk dulu, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Mana anak buahku...?" tanya Kardika seakan pada diri sendiri, matanya mengawasi sekelilingnya. "Sepi, ke mana mereka semua?" Belum habis Kardika bertanya-tanya dalam hati, terdengar Eka Paksi kembali tertawa bergelak-gelak.
"Kardika...! Maaf, aku telah membantu anak buahmu untuk sekedar tidur. Mungkin semalaman mereka berjaga..."
"Hem... Rupanya ada kemajuan yang pesat didapat oleh Eka Paksi, hingga Sangkumi yang ilmunya setara denganku tak mampu menghadapinya. Aku harus memakai cara halus," membatin Kardika, demi mendengar anak buahnya termasuk Sangkumi dapat diperdayai oleh Eka Paksi.
Melihat Kardika terdiam, Eka Paksi seketika berpikir. "Dia sedang mempersiapkan cara apa lagi untuk menjebakku?" tanya hati Eka Paksi.
Karena dalam hati mereka saling bertanya-tanya pada diri sendiri, untuk sekian lama keduanya terdiam. Mata-mata mereka yang tajam dan liar, tampak saling beradu hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu lawan. Kardika yang menyadari bahwa Eka Paksi terus memandangnya segera berseru:
"Eka Paksi...! Mari, jangan sungkan-sungkan. Tak enak bila kita membicarakan hal itu di luar. Apa kau tak takut ada pihak ketiga yang mengetahuinya?"
Eka Paksi tertawa bergelak-gelak, kepalanya mengangguk-angguk mengiyakan. "Baik, Kardika. Memang tak baik kalau kita membicarakan hal itu di luar." Dengan sekali loncat, tubuh Eka Paksi yang tadi berjarak sepuluh tombak kini telah berdiri di hadapan Kardika.
Belum juga Eka Paksi menginjakkan kakinya ke tanah, seketika Kardika yang licik tanpa sepengetahuan Eka Paksi telah menghantamkan aji Wesi Geninya. Hal itu membuat Eka Paksi tak dapat berkelit. Dan...!
"Deupbb!"
Tangan kanan Kardika yang sudah disalurkan aji Wesi Geni, mendarat telak di ulu hati Eka Paksi yang langsung terhuyung ke belakang dua tombak. Mulut Eka Paksi menyemburkan darah segar.
"Li... cik. Kau... kau...." Eka Paksi yang sudah parah masih mencoba bertahan dan hendak membalas. Namun akibat pukulan Wesi Geni yang ganas, Eka Paksi pun tak mampu untuk menjangkau dan ambruk ke tanah.
Melihat teman sekaligus musuh besarnya telah mati, Kardika tertawa lepas penuh kemenangan. Kakinya dihentakkan di atas tubuh Eka Paksi. "Ha... ha... ha...! Ambillah pusaka mu di neraka sana, Paksi!"
Tiba-tiba tanpa diketahui oleh Kardika sebelumnya, gadis yang bernama Delima telah menyerang. Sebuah pukulan telak Delima, menghantam di punggungnya. Kartika sempoyongan, dipandanginya Delima yang tadi menyerang dari belakang.
"Kau... kau.... Iblis betina !" Belum habis Kardika berbicara, Delima segera menyerang kembali. Melihat hal itu, Kardika segera berkelit dan membalas menyerang.
"Hari ini tamatlah riwayatmu, Jahanam!" membentak Delima sembari melancarkan serangannya.
Kardika yang sudah sadar bahwa dirinya telah ditipu mentah-mentah oleh gadis itu, emosinya segera meledak. Tanpa memperdulikan bahwa gadis itu tadi dicumbunya, Kardika segera membalik menyerang. Tadinya Kardika tidak begitu sungguh-sungguh melayani gadis itu. Namun demi dilihatnya gadis itu bukan wanita sembarangan, Kardika pun tanpa sungkan-sungkan langsung mengeluarkan ajiannya, Wesi Geni.
Terperanjat gadis itu, demi melihat ajian yang baru saja membunuh Eka Paksi. Delima pun segera melompat mundur. Wajah Delima nampak pucat pasi. Dari mulutnya keluar seruan kaget. "Ajian Wesi Geni!"
"Menyerahlah, Manis. Kau tak akan mampu melawanku, lebih baik kau menyerah dan mau melayaniku." Tangan Kardika bergerak cepat, hendak mencengkeram pundak Delima. Manakala tangan itu makin mendekat, terdengar sebuah tiupan angin kencang menangkis.
"Dessssttt...!"
Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan berkelebat dan menyambar tubuh Delima. Dibawanya tubuh Delima pergi, sehingga membuat Kardika gusar. Namun bayangan itu telah jauh berlalu, tinggallah Kardika yang mencaci maki penuh kemarahan dan kegusaran.
********************
TIGA
Lima tahun Wayan Saba terkurung di jurang Kendala Sukma, digembleng oleh seorang guru yang bernama Ki Turangga Bayu. Lima tahun bukanlah waktu yang pendek hingga tampak Wayan Saba sekarang, berbeda dengan yang dulu. Dulu di wajahnya tak ada goretan-goretan usia, juga tak ada kumis dan jenggot yang tubuh. Namun sekarang goretan usia tampak mengukir di keningnya juga jenggot dan kumisnya begitu lebat.
Pagi telah datang, menggantikan gelapnya malam yang telah setia menyelimuti bumi. Wayan Saba tampak tengah duduk di antara himpitan batu-batu cadas. Ia tengah menjalani ujian akhir. Tapa Brata Pati Geni, tidak makan dan tidak minum selama sebulan penuh.
Dari luar goa seorang lelaki tua renta menghampiri, di bibirnya tergerai senyuman. Diangguk-anggukkan kepala sepertinya puas. "Wayan Saba, bangunlah! Sudah cukup olehmu melakukan tapa brata."
Terdengar Ki Turangga Bayu berkata. Perlahan, mata Wayan Saba yang sedari tadi terpejam membuka dan sesaat menatap pada lelaki tua yang tengah berdiri di hadapannya. Lalu tanpa diperintah, Wayan Saba pun segera bersujud.
"Ampun, guru. Ada gerangan apa hingga guru membangunkan tapaku?"
"Muridku...lima tahun sudah kau di sini. Dan lima tahun pula kau telah menimba ilmu padaku. Kini segala ilmu yang kumiliki telah berpindah pada dirimu. Apakah kau tak ingin menjenguk istrimu? Apakah kau tak ingin menikmati alam kebebasan?" tanya sang guru.
Wayan Saba sesaat terdiam, memandang wajah sang guru dengan segenap keharuannya. "Ampun, Guru... bukannya hamba hendak menentang ucapan guru. Betapa beratnya hati hamba bila harus meninggalkan guru. Lagipula, tak ada gunanya murid pergi ke dunia bebas yang penuh dengan segala macam persoalan."
Mendengar perkataan Wayan Saba, Ki Turangga Bayu menggelengkan kepala, Dengan penuturan yang bijak, Ki Turangga Bayu berkata: "Wayan, aku tahu perasaan hatimu. Tapi sebagai seorang pendekar, kau dituntut untuk menghadapi segala kenyataan di dunia persilatan. Apalah artinya seorang pendekar, bila tak berani menghadapi liku-liku dunianya. Kita sebagai seorang persilatan harus mempunyai tujuan. Apalah artinya ilmu yang kita miliki, bila tidak kita gunakan..."
Wayan Saba terdiam mendengar petuah sang guru, hatinya membenarkan. Namun perasaannya sebagai seorang manusia yang mengerti akan balas budi, merupakan beban berat bila harus berpisah dengan sang guru yang telah sekian tahun menggemblengnya. Sang guru yang mengerti akan perasaan muridnya, segera meneruskan ucapannya.
"Wayan. Manusia hidup perlu saling tolong menolong. Dan sebagai manusia yang berbudi pekerti serta berbudaya, tak ada pamrih untuk menolong sesamanya yang memang membutuhkan. Janganlah kau terlalu memikirkan diriku. Masih banyak orang yang menderita oleh kesewenang-wenangan orang lain, yang membutuhkan pertolongan orang-orang sepertimu. Gunakanlah ilmu yang telah kau dapati untuk kebenaran, kau mengerti bukan?"
Wayan Saba mengangguk. Ucapan-ucapan gurunya pemberi semangat untuk kembali ke dunia bebas, yang telah sekian lama ia tinggalkan. "Terima kasih atas segala budi baik guru, yang dengan ikhlas telah membimbing ku. Mungkin bila tak ada guru, telah menjadi apa diriku ini." Wayan Saba tak dapat lagi menahan air matanya. Ia menangis, dan sujud memeluk kaki Ki Turangga Bayu.
"Jangan cengeng, Wayan. Seorang pendekar pantang untuk menangis," berkata Ki Turangga Bayu membuat Wayan Seba segera sadar dan mengusap air matanya. Sang guru tersenyum. "Wayan. Hari ini juga kau boleh pergi "
"Tapi, Guru?"
"Jangan membantah, Wayan."
"Ampun, Guru. Murid akan selalu menjunjung tinggi ucapan guru."
"Bagus...." berkata Ki Turangga Bayu, di bibirnya tampak tersungging senyum. "Pergilah sekarang. Carilah olehmu murid durhaka itu, mintalah buku kitab aji Wesi Geni yang ia curi."
"Bagaimana jika ia melawan, Guru...?" tanya Wayan Saba.
"Hem... kau masih ingat apa yang pernah aku katakan padamu?" sang guru balik bertanya.
Sesaat Wayan terdiam, mengingat satu persatu petuah yang telah diberikan gurunya. "Masih, Guru."
"Apa itu? Katakanlah?"
Ditariknya napas dalam-dalam oleh Wayan, sebelum akhirnya berkata: "Seorang pendekar, tidak akan melawan bila tidak ada perlawanan. Seorang pendekar tidak akan menyakiti, bila tidak disakiti terlebih dahulu. Baginya kepentingan orang banyak lebih utama daripada kepentingan diri sendiri."
Tersenyum senang Ki Turangga Bayu, demi mendengar ucapan muridnya. "Nah, Wayan. Dengan ucapanmu tadi, aku rasa kau mengerti apa yang harus kau lakukan jika Kardika melawanmu. Sebentar lagi hari akan siang, pergilah. Cari dia. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau bertindak berlandaskan dendam pribadi. Bertindaklah karena membela orang yang lemah."
Setelah sujud pada gurunya dan meminta restu, Wayan Saba pun meninggalkan jurang Kendala Sukma. Dengan cara melompat dari tebing yang satu ke tebing lainnya, akhirnya berhasil juga Wayan Saba sampai di atas.
"Ah... lima tahun sudah aku terkurung di jurang ini. Lima tahun pula aku tak melihat kejadian-kejadian di muka bumi ini," berkata hati Wayan. Sesaat ditatapnya mentari yang merah, yang baru muncul di atas permukaan bumi. Ditariknya napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan tepi jurang itu.
********************
Di sebuah kedai, siang itu tampak banyak pengunjungnya. Kedai itu milik pak Romli yang mempunyai seorang anak gadis cantik dan bahenol bernama Romilah. Umumnya para pengunjung kedai bukan untuk makan semata, namun yang lain dari pada itu adalah ingin dapat melihat sekaligus bercanda dengan Romilah.
Dari luar dua anak muda memasuki kedai itu. Tanpa memperdulikan orang-orang yang memperhatikannya, kedua pemuda itu segera mengambil tempat di sudut sebelah Barat kedai. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Pelayan itu yang tak lain Romilah adanya, dengan genit menghampiri serta bertanya.
"Rupanya tuan-tuan datang dari jauh, dan baru kali ini datang ke mari?"
Kedua pemuda itu yang ternyata Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini tersenyum mengangguk, sembari memperhatikan tingkah Romilah. Melihat kedua pemuda itu memperhatikannya, Romilah menganggap mereka tertarik pada penampilannya. Maka dengan makin genit ia kembali bertanya.
"Pesan apa, Tuan-tuan...?" Dikerlingkan matanya pada Jaka yang tersenyum, membuat I Ayu Mantini dongkol hatinya.
Di samping itu juga karena ada rasa cemburu di hatinya. Sejak mereka jalan bersama, tanpa tersadari di hati I Ayu Mantini tumbuh perasaan lain pada Jaka. Perasaan yang sulit diutarakan dengan kata-kata. Namun untuk menyampaikannya pada Jaka ia tak berani.
"Kau pesan apa, Dewa?" bertanya Jaka pada I Ayu yang mengganti namanya dengan Dewa, I Ayu hendak tertawa, namun segera diurungkannya mengingat ia dalam penyamaran. Maka dengan suara lirih, I Ayu berkata:
"Nasi dan air putih."
"Hanya nasi putih saja?" bertanya Romilah sambil menyibirkan bibirnya, membuat I Ayu yang sudah muak dan kesal melototkan mata. Jaka yang melihat I Ayu melotot segera berkata menengahi.
"Maaf... temanku memesan nasi, bukan nasi putih saja, tapi sekaligus dengan lauknya. Bukan begitu, Dewa?"
"Ooh..." desis Romilah mengerti. Lalu dengan gayanya yang genit, Romilah kembali bertanya yang ditujukan kepada Jaka: "Lalu tuan?"
"Sama dengan temanku," jawab Jaka singkat. Ia pun merasa bosan melihat tingkah laku Romilah yang centil. Hanya ada satu jalan untuk mengusirnya, yaitu dengan cara meminta makanan secepatnya.
Dan memang benar, Romilah pun segera bergegas pergi meninggalkan keduanya yang hanya geleng-geleng kepala. Tak lama antaranya, pesanan mereka pun datang. Dengan tanpa bicara lagi keduanya segera menyantap makanan itu. Sedang keduanya menikmati santapannya, dari arah pintu tiga orang lelaki berwajah angker memasuki kedai yang dengan kasar meminta makan.
"Hai...! Kasih kami tiga piring nasi rames, sambel dan jengkol serta tuak. Cepat...!" berkata salah seorang dari mereka dengan membentak, hingga pelayan yang menghampiri tampak ketakutan.
Dengan terbata-bata pelayan itu berkata; "I... ia, Tuan. Ha... hanya i... itu?"
"Ia...! Cepat...!" Melotot mata orang kedua dari ketiganya, menjadikan pelayan itu makin ketakutan. Hingga tanpa diperintah lagi, pelayan itu segera pergi.
Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan membawa pesanan ketiga orang itu. Ketika pelayan itu lewat di depannya, Jaka segera menghentikan dan bertanya:
"Siapa ketiga orang itu?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka, pelayan itu terdiam. Di matanya tergambar ketakutan yang amat sangat.
"Kenapa terdiam, Pak?" tanya Jaka mengulang.
Belum juga pelayan itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara salah seorang dari mereka berkata dengan congkaknya. "Hai, Bocah. Apa perlunya kau berbisik-bisik dengan orang dungu seperti dia. Kalau kau ingin tahu siapa kami, dengarlah! Kami dijuluki oleh orang-orang di sekitar sini Tiga Harimau Iblis. Nah... untuk kali ini aku maafkan tingkahmu yang sok ingin tahu, karena kau rupanya orang baru di sini. Sekarang, enyahlah dari hadapan kami."
Jaka hanya tertawa mendengar omongan salah satu dari ketiga Macan Iblis. Lalu dengan lantang Jaka berkata: "Hai, Harimau ompong! Sepantasnya kalian masuk ke kebun binatang, bukan di sini tempatnya!"
Ketiga Harimau Iblis seakan membelalakkan mata demi mendengar ucapan Jaka. Baru kali ini ada orang yang berani bertingkah di hadapan Tiga Harimau Iblis. Ketiganya segera menghentikan makan dan segera memandang pada Jaka yang masih tertawatawa. Hingga ketiganya menjadi berang, karena merasa diremehkan. Salah seorang dari ketiga Harimau Iblis itu membentak dengan marahnya.
"Jadah...! Rupanya ada lalat yang berani mengganggu makanku." Setelah berkata begitu, serta merta tangannya bergerak dengan cepat. Sebuah piring yang menjadi alas makannya melayang, di lemparkan olehnya ke arah Jaka Ndableg.
Hampir saja kepala I Ayu tersambar piring itu, kalau saja Jaka tak segera mendorongnya. Sementara Jaka sendiri tampak berjumpalitan di udara menghindari serangan piring terbang itu. Melihat serangan piringnya dapat dengan mudah dielakan oleh Jaka dengan berang orang yang tadi melemparkan piring segera meloncat menyerang. Melihat hal itu, Jaka segera memapaki.
"Hiat...!"
"Bug! Bug! Bug!" Tiga kali pukulan berturut-turut terdengar hantaman.
Jaka berdiri tegak, dengan senyum mengembang di bibirnya. Sementara lawannya tampak sempoyongan, darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibirnya. Melihat itu kedua macan lainnya segera memburu, membantu temannya berdiri. Dari mulut kedua macan itu terdengar seruan kaget.
"Adik Loreng... kenapa kau?" Keduanya hampir berbareng memapah adik seperguruannya yang tampak luka dalam oleh hantaman Jaka. Kedua macam itu menatap tajam pada Jaka sambil mendengus marah.
"Anak muda! Rupanya kau sengaja mencari penyakit. Bersiaplah untuk mati!"
Mendengar ucapan macan tertua, Jaka menggandakan tawanya. "Hai, Macan ompong! Aku tak pernah mencari musuh. Aku semata-mata hanya membela diri. Bukankah adikmu itu yang pertama kali menyerangku?"
"Persetan dengan ucapanmu, Anjing laknat! Kau telah melukai adik seperguruan kami, maka secara tidak langsung kau telah menantang kami." Setelah berkata begitu, kedua macam iblis itu segera menyerang Jaka.
Melihat keduanya menyerang, Jaka segera berlari keluar. Ia tak ingin kedai itu hancur oleh pertarungan. Demi melihat Jaka Ndableg lari keluar, serta merta keduanya segera memburu.
"Mau lari ke mana kau, Anjing buduk...!" membentak macan tertua.
"Aku tak lari ke mana-mana, Macan ompong! Aku hanya ingin kedai itu tak rusak oleh kita!"
Tak lama kemudian kedua macan itu pun telah sampai di halaman kedai pula. Ketiganya saling berhadapan dengan mata yang tajam mengawasi gerak-gerik lawan.
"Nah, macan-macam ompong. Sekarang apa mau kalian? Bukankah aku tak lari?" berkata Jaka sembari tertawa bergelak-gelak, membuat kedua macan itu tambah geram.
Maka dengan keras, Macan Tutul membentak: "Setan laknat! Jangan harap kau bisa lolos dari kami. Bersiaplah untuk mampus."
"Apa aku tak salah dengar, bahwa kalian ingin mati? Ha... ha...." Dibaliknya ucapan Macan Tutul, yang menjadikan kedua macan itu mendengus kesal. Dengan serentak kedua macan itu pun menyerangnya.
Tampak kedua macan itu tak segan-segan lagi mengeluarkan jurus-jurus intinya, dengan harapan dapat segera menghabisi Jaka. Tapi dugaan keduanya salah, sebab Jaka tampak dengan tenang mengelakkan serangan keduanya, bahkan sekali-kali balik menyerang. Melihat musuhnya dapat dengan mudah mengimbangi serangannya. Macan Kumbang dengan geram berseru:
"Terimalah jurus Macan Kembar Berebut Mangsa. Hiyaat...!"
Jurus Macan Kembar Berebut Mangsa adalah jurus yang dibanggakan oleh ketiga Macan Iblis itu. Kedua macan itu saling menyerang bergantian, membuat Jaka tak dapat kesempatan untuk berbalik menyerang. Hingga Jaka hanya mampu mengelak dan menangkis. Jaka tersentak, saat salah satu dari Macan Iblis hampir saja menghunjamkan tangannya yang berkuku panjang dan runcing beracun ke mukanya.
"Cilaka...! Kalau begini terus menerus," membatin Jaka, Dengan segera Jaka melompat mundur beberapa tombak. Ketika kedua Macan Iblis hendak kembali merangseknya dengan cepat Jaka mengubah jurusnya dengan jurus Dewa Topan Menghantam Karang! Dari gerakan kedua tangan Jaka yang seperti menari, keluar angin besar bak badai menghantam kedua macan itu.
Melihat kenyataan bahwa anak muda yang sedang mereka hadapi bukan tandingannya, keduanya membatin. "Cilaka! Ilmu siluman!" Di wajah kedua macan itu tampak tegang. Dan...
"Werr...! Dest...!"
Beruntung macan kedua segera menghindar. Bila tidak, maka nasibnya seperti kakak seperguruannya. Tubuh macan tertua mencelat terbang terbawa oleh arus topan, lalu jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. Tak luput pula kedai pak Romli, bilik dan atapnya beterbangan terbawa angin topan yang tercipta dari tangan Jaka.
Untuk sesaat Jaka termangu, memandangi kedai pak Romli yang menjadi korban jurusnya. Jaka segera melompat masuk ke kedai setelah ia ingat pada I Ayu Mantini yang ditinggalkannya. Namun betapa terkejutnya Jaka, karena I Ayu Mantini tak ada di tempatnya lagi. Di wajahnya tergurat kecemasan akan keselamatan I Ayu Mantini.
"Pelayan. Kau tahu ke mana temanku?" bertanya Jaka tak sabar. Tanpa disadarinya, ia telah mengguncang-guncangkan tubuh pelayan itu. "Ke mana...?"
"Di... dibawa oleh Macan Tutul," menjawab pelayan kedai dengan ketakutan.
"Kau tahu tempatnya?"
Pelayan kedai itu hanya menggeleng lemah, membuat Jaka seketika lemas dan melepaskan pegangannya. "Untuk apa ia membawa I Ayu Mantini? Ah.... Bagaimana kalau ia tahu I Ayu Mantini wanita? Aku harus segera mengejarnya," kata hati Jaka gundah.
Setelah terlebih dulu membayar uang makan dan ganti rugi kedai yang rusak, dengan segera Jaka memburu kedua macan yang membawa I Ayu Mantini. Secepat kilat Jaka melesat pergi, hingga membuat orang-orang yang melihatnya melototkan mata tak percaya.
"Wah... itu manusia atau siluman?" bergumam salah seorang yang bernama Somad.
"Tak nyana, bocah se-enom koe wis duwur ilmune." timpal yang lain.
Tak luput juga halnya dengan Romilah yang memang naksir pada Jaka, hingga tak sadar ia bergumam. "Seandainya aku jadi istrinya. Apapun kemauannya akan aku turuti. Sudah ganteng, klimis eh... wong sakti. Duh cah bagus, bilakah aku menjadi istrimu? Walau istri kelima sekalipun."
Mendengar omongan Romilah yang ngaco, seketika semua yang ada di situ menggerutu kesal. "Huuh... Maunya!" Romilah hanya nyengir dan ngeloyor pergi.
********************
EMPAT
Alun-alun kerajaan tampak ramai oleh kerumunan rakyat. Mereka datang berbondong-bondong untuk menghadiri upacara penobatan putra mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya. Pengumuman itu telah disebar seminggu yang lalu pada rakyat, juga pada kerajaan lain. Walau rakyat telah datang sejak pagi, namun tampak bangsal yang akan dipergunakan sebagai tempat pengangkatan masih kosong.
Di Dalam keraton tepatnya di ruang pertemuan, Sang Baginda dengan dikelilingi oleh abdi keraton, tengah mengadakan rapat. Sang raja yang walaupun usianya telah lanjut, tampak kewibawaan masih melekat pada dirinya. Terlihat semua yang hadir di situ hanya terdiam, kala sang baginda bersabda membuka rapat.
"Para pinisepuh kerajaan yang saya hormati. Paman patih Arya Wisesa yang saya hormati, serta perwira-perwira tinggi kerajaan. Hari ini sengaja aku undang kalian semua ke tempat ini, tempat yang mungkin telah kalian semua ketahui sebagai tempat musyawarah. Begitu juga dengan hari ini, saya undang kalian semuanya ke mari juga untuk musyawarah. Yang mana telah kalian semua ketahui, bahwa kerajaan saat ini telah dilanda gelombang pemberontakan. Karena aku sudah tua, aku bermaksud menyerahkan tahta kerajaan ini pada anakku Arya Perwira. Bagaimana menurut pendapat para pinisepuh...?"
"Ampun, Tuanku yang mulia. Kalau tuanku berkenan, hamba ingin menyampaikan pendapat hamba."
Sang raja yang bijaksana, tampak tersenyum mendengar ucapan salah seorang sesepuh kerajaan. Lalu dengan suara bijak, Sang Rajapun bersabda: "Katakanlah apa pendapatmu. Bila memang baik, maka aku pun akan melaksanakannya."
"Ampun.... Menurut hemat hamba sebagai orang tua, hamba merasa bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi tidak luput kaitannya dengan orang-orang dalam sendiri. Dengan kata lain, ada orang dalam yang terlibat."
Mendengar penuturan sesepuh kerajaan, seketika semua yang hadir di balai pertemuan saling pandang dengan hati saling penuh tanda tanya. Setelah melihat semuanya terdiam, sesepuh kerajaan itu kembali meneruskan bicara:
"Ampun, Baginda sesembahan hamba. Itu hanyalah pendapat hamba semata. Maka bila hal itu dirasa salah, maka dengan memohon beribu-ribu ampun hamba meminta maaf."
Sang baginda tampak terdiam. Dipandanginya satu persatu orang yang hadir di situ. Semuanya tampak menunduk, tak ada yang berani untuk mengadu pandang dengan tatapan mata sang raja. "Aku rasa memang benar ucapanmu, Ki Wisesa Ludra. Terbukti dengan lolosnya kaum pemberontak dari sergapan prajurit-prajurit kerajaan, itu pertanda ada oknum dalam kerajaan. Bukan begitu, paman patih Arya Wisesa...?" berkata sang Raja pada patihnya Arya Wisesa.
Sang patih Arya Wisesa hanya mengangguk membenarkan, seraya menyembah. "Arya Wisesa. Coba kau ceritakan apa yang telah kau alami dengan para pemberontak?"
"Ampun, Baginda yang mulia sesembahan hamba. Seperti apa yang dikatakan Ki Wisesa Ludra, hambapun berkesimpulan begitu. Bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi akhir-akhir ini, dalangnya tak lain adalah orang dalam sendiri yang bermaksud merongrong kerajaan. Sudah berulang kali hamba melakukan pengepungan-pengepungan pada markas mereka. Namun sebelum hamba dan anak buah hamba datang ke tempatnya, mereka telah pergi entah ke mana. Juga ketika hamba dengan Empat Naga dari Gunung Kapur mengejar sekelompok pemberontak, kami kehilangan jejak secara tiba-tiba."
"Lalu bagaimana dengan keamanan kerajaan sekarang?" tanya sang raja.
"Ampun, Baginda yang mulia, sesembahan hamba. Sejak keamanan dipercayakan pada Ke Empat Naga, sampai sekarang belum ada kejadian pemberontakan lagi."
Sang raja tampak manggut-manggut mendengar laporan patihnya. "Rupanya Ke Empat Naga dari Gunung Kapur orang-orang yang berilmu tinggi." mendesah sang raja. "Telah tiba waktunya penobatan putraku. Mari, kita ke bangsal penobatan." ajaknya sembari berdiri dari kursi.
Semua yang hadir menunduk hormat, dan menepi memberikan jalan untuk rajanya. Setelah sang raja berlalu, semua yang ada di situ segera mengikutinya dari belakang. Di atas bangsal tampak ponggawa istana tengah membacakan acara-acara yang akan berlangsung. Rakyat dengan sabar menunggunya dan segera mengelu-elukan rajanya saat nama sang raja disebut.
"Hidup baginda Wangsa Dewa...! Hidup raja kita...!"
Tanpa memperdulikan suara rakyat yang bergemuruh, mengelu-elukan nama rajanya, kembali sang ponggawa istana berkata: "Saudara-saudara rakyat kerajaan Bayu Lor yang berbahagia. Waktu penobatan putra mahkota Pangeran Arya Prawira, sebentar lagi akan dilaksanakan...."
Mendengar penobatan Pangeran Arya Perwira sebentar lagi akan dilakukan, seketika kembali terdengar suara rakyat berseru. "Hidup Pangeran Arya Perwira...! Hidup Kerajaan Bayu Lor...!"
Sedang riuhnya rakyat mengelu-elukan nama Arya Perwira. Dari arah Barat seorang lelaki berjalan mendekati dan langsung masuk ke dalam kerumunan rakyat. Lelaki muda yang baru datang itu, tampak mengawasi sekelilingnya. Dengan mata yang tajam, lelaki muda itu memandang ke segenap penjuru alun-alun. Entah siapa yang sedang ia cari. Lelaki muda itu bertanya pada salah seorang penduduk yang berdiri dekat dengannya.
"Ki Sanak. Kalau boleh aku bertanya, sedang ada apa disini...?"
"Ini orang bagaimana, sih? Apakah memang orang asing, hingga tak tahu sedang apa kerajaan ini." membatin orang itu. "Ki Sanak, ini adalah kerajaan. Dan sekarang tengah mengadakan suatu acara pengangkatan putra mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya yang telah tua." Orang yang ditanya menerangkan.
Setelah tahu apa yang sedang berlangsung, lelaki muda itu keluar dari kerumunan rakyat. Dicari sebuah pohon, lalu segera pemuda itu melompat dan duduk di cabang dengan tenang. Di atas bangsal, ponggawa kerajaan masih berbicara dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, sang Raja dengan diiringi pengawal istana naik ke atas bangsal disambut dengan sorak-sorai serta elu-eluan rakyatnya.
"Hidup raja kita...! Hidup kerajaan Bayu Lor...!"
Melihat sambutan rakyat yang penuh antusias, sang Raja terurai senyum bangga penuh keharuan. Lalu setelah rakyatnya tenang, sang raja pun bersabda: "Terima kasih... terima kasih. Ternyata kalian semua adalah rakyat yang baik, yang mencintai raja dan negaranya. Aku bangga memimpin rakyat seperti kalian, yang rela berkorban demi raja dan negaranya. Namun aku kini telah tua, tenaga dan pikiranku telah berkurang. Maka mulai hari ini kalian semua akan mendapat raja yang baru, yaitu...." Belum habis ucapan sang raja, tiba-tiba dari kejauhan seseorang berteriak. Semua mata mengalihkan pandangannya pada orang tersebut, yang datang bersama bala tentaranya.
"Aku rajamu sekarang... ha... ha...." Orang itu melompat ke atas bangsal dan dengan cepat tanpa dapat dicegah, memporak-porandakan bangsal seenaknya.
Melihat sepak terjang orang yang baru datang, Arya Wisesa segera menghadang. "Siapa kau! Berani lancang membuat keonaran?!" membentak Arya Wisesa.
Ditanya begitu oleh Arya Wisesa, orang yang barusan datang bukannya segera menjawab malah tertawa dengan keras, rakyat yang tak dapat menahan getaran suara orang itu banyak yang luka dalam. Dari hidung dan telinga rakyat tampak mengalir darah. Belum puas melihat korban yang berjatuhan, kembali orang yang baru datang itu melipatgandakan tawanya. Mengerut kening Arya Wisesa, demi melihat apa yang telah terjadi.
"Hem.... Aji Gelak Pelebur Sukma." membatin Arya Wisesa. "Baik! Akan aku coba dengan ilmu Pengunci Suara," bergumam hati Arya Wisesa. Setelah untuk beberapa saat terdiam, Arya Wisesa pun membentak. "Diam...!"
Bagai kena hipnotis, orang yang sedari tadi tertawa seketika terdiam. Matanya melotot tak percaya. Dengan terlebih dahulu bergumam, orang itu berseru pada anak buahnya yang telah siaga. "Serbu...!"
Bagai air bah, anak buahnya segera turun dari bukit yang mengelilingi alun-alun. Seketika suasana yang tadi tenang, berubah menjadi pekik dan jerit kematian dan ketakutan. Pihak kerajaan pun tak tinggal diam, mereka dengan penuh semangat memapakinya. Perang tak dapat dicegah, meletus dengan seketika.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, namun tampaknya peperangan tak akan segera berakhir. Dari pihak pemberontak, nampaknya makin merangsek pertahanan pihak kerajaan yang hanya mengandalkan ilmu perang belaka. Lain dengan dari pihak pemberontak yang rata-rata berilmu silat, juga berlandaskan kenekadan.
Arya Wisesa kini telah berhadap-hadapan dengan pimpinan pemberontak, segelar sepapan. Di tangan Arya Wisewa tergenggam keris pusaka Kyai Plered Ijo. Matanya yang tajam bagai mata elang, memandang pada musuhnya. "Siapa namamu, Ki sanak?!" bertanya Arya Wisesa marah.
Musuhnya tampak tersenyum sinis, sepertinya mengabaikan dan meremehkannya. Melihat hal itu, kejengkelan Arya Wisesa makin menjadi. Dengan didahului bentakan, Arya Wisesa pun segera melompat menyerang.
Diserang secara tiba-tiba oleh Arya Wisesa, tidak menjadikan pemimpin pemberontakan itu gugup. Bahkan dengan disertai tawa nyaring, ia pun berkelit mengelakkan serangan Arya Wisesa. Dengan segenap kemampuan, Arya Wisesa mencoba merangsek musuhnya. Tapi dengan mudah sang musuh dapat mengelakkan serangan-serangannya bahkan sesekali membalas menyerang.
Jurus demi jurus telah dilewati, sudah tiga puluh lima jurus keduanya bertanding. Keris pusaka di tangan Arya Wisesa tampak berkelebat-kelebat dengan cepatnya mencari sasaran.
Pemimpin pemberontak tampak tidak ada gentar sedikitpun menghadapi keris pusaka di tangan Arya Wisesa. Hanya dengan mengibaskan tangan saja, semua serangan Arya Wisesa dapat ditangkisnya. Bahkan kini Arya Wisesa yang tampak keteter, didesak oleh lawannya yang hanya mengandalkan tangan kosong.
Tiba-tiba...! Tanpa diduga Arya Wisesa sebelumnya, pemimpin pemberontak itu melompat mundur beberapa tombak. Kedua telapak tangannya disatukan. Maka dari kedua telapak tangan itu tampak keluar sinar merah menyala. Arya Wisesa terperanjat, melompat mundur. Dari mulut-nya mendesis kaget, menyebut nama ajian yang dipakai musuhnya.
"Aji Panca Api...! Hem... dari mana ia memperoleh ajian itu? Bukankah hanya Siluman Neraka saja yang mempunyainya? Apakah ia muridnya? Bukankah murid Siluman Neraka hanya seorang yaitu Tumenggung Warok Rekso Poleng. Atau..."
Arya Wisesa segera tersadar dan berkelit kala sebuah hantaman dari pemimpin pemberontak yang menggunakan aji Panca Api menyerangnya. Namun tak urung, pundaknya terserempet juga. Baju yang dikenakannya terbakar dengan pundak terasa perih.
Melihat musuhnya tampak lengah karena sakit di pundaknya, pemimpin pemberontak kembali menghantamkan pukulan aji Panca Apinya. Tapi ketika ia mengkiblatkan tangan ke Arya Wisesa, tiba-tiba dari atas pohon kapuk berkelebat sesosok tubuh menghadang pukulannya,
"Bum...!"
Benturan dua tenaga dalam yang dahsyat, membuat tanah dibawahnya menyembur ke atas. Ketua pemberontak tampak terkejut, tubuhnya sempoyongan ke belakang dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sementara orang yang telah memapaki pukulan Aji Panca Apinya, kini tampak berdiri dengan bibir menyungging senyum.
"Siapa dia? Belum pernah ada yang dapat memecahkan aji Panca Api. Tapi kenapa orang ini mampu memecahkannya?" membatin pemimpin pemberontak. Ia sadar, bahwa orang yang sekarang berdiri di hadapanya bukan orang sembarangan. Tapi sebagai orang yang telah makan asam garam dunia persilatan, pemimpin pemberontak itu segera menghilangkan kejeriannya dan dengan lantang bertanya: "Siapa kau! Berani ikut campur urusanku?!"
Si lelaki muda yang tadi memapaki serangannya hanya tersenyum. "Ki sanak, nama tidak selalu menjadikan patokan tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki oleh orang itu. Ada kalanya orang yang ternama di dunia persilatan, tindak-tanduknya bertentangan. Sebaliknya orang yang tidak terkenal, biasanya akan hati-hati dalam bertindak. Tapi baiklah, agar Ki sanak puas, maka aku yang rendah dan dungu ini memperkenalkan namaku yang tak ada artinya. Namaku Wayan Saba..."
"Wayan Saba...? Wayan Saba, untuk kali ini aku menyerah kalah. Tapi lain waktu aku akan mengadakan perhitungan denganmu," berkata pemimpin pemberontak sembari hendak pergi.
Tapi belum juga pemimpin pemberontak melangkah jauh, segera Wayan Saba menghentikannya. "Tunggu!"
Pemimpin pemberontak itu seketika berhenti, dengan wajah tegang. Mengira Wayan Saba hendak menangkapnya, dengan nekad pemimpin pemberontak itupun menyerang. "Serbu!" serunya memerintah pada sisa-sisa anak buahnya.
Wayan yang tak menyangka bakalan dikeroyok, seketika mendengus marah. Dari mulutnya terdengar caci maki gusar. "Hem... memang orang-orang macam kalian, licik dan keji. Bila kalian tak mau menyerah, jangan salahkan aku bertindak. Terimalah ini!"
Sehabis berkata begitu, Wayan pun segera mengeluarkan ilmunya yaitu aji Inti Pusaran. Seketika semua anggota pemberontak itu tersedot mendekati Wayan. Setelah hampir sampai pada dirinya, dihentakkan anak buah pemberontak itu hingga terpelanting saling tindih menindih.
Pemimpin pemberontak yang memang sudah ciut nyalinya menghadapi Wayan, segera kabur menyelamatkan diri. Rakyat yang sedari tadi ketakutan, kini timbul nyalinya. Dengan penuh semangat disertai rasa kekesalan, diburunya pimpinan pemberontak itu beramai-ramai. Tak lama antaranya, tubuh pemimpin pemberontak itu telah lumat oleh amukan rakyat tanpa dapat dicegah. Wayan Saba hanya dapat memandang tanpa dapat berbuat apa-apa.
Setelah keadaan tenang, sang Raja dan permaisuri serta putra mahkota yang sejak tadi bersembunyi segera keluar kembali. Di wajah-wajah mereka kini tergurat senyum, ditujukan pada Wayan Saba yang masih berdiri mematung di sisi Arya Wisesa. Melihat sang Raja berjalan menghampiri, Wayan segera menghormat.
"Hamba yang bodoh ini menyampaikan sembah, sekaligus memohon ampun atas kelancangan hamba yang telah turut campur tanpa terlebih dahulu meminta restu dari paduka. Sekiranya hal ini dianggap kesalahan besar, hamba siap menerima hukumannya."
Melihat sikap Wayan yang sopan penuh tata krama, sang Raja tampak tersenyum senang dan berkata: "Anak muda, janganlah terlalu merendahkan diri. Aku tahu di balik kerendahan hatimu tersimpan hati yang agung, yang jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Aku senang dapat bertemu dan sekaligus berkenalan dengan dirimu, Anak muda! Siapa namamu...?"
"Hamba yang rendah ini, bernama Wayan Saba," menjawab Wayan.
"Wayan Saba, aku atas nama rakyat Bayu Lor mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Maka atas rasa terima kasih kami, mulai saat ini kau kuangkat menjadi pembantu utama patih Arya Wisesa. Kuharap kau mau menerimanya, Anak muda. Bukan begitu, Paman patih Arya Wisesa?" bertanya sang raja pada patihnya, yang mengangguk dan berkata menambahkan.
"Benar, Saudara Wayan. Kami sangat memerlukan tenaga seperti saudara. Untuk itu, kami mohon saudara mau menerimanya."
Mendengar permintaan yang diucapkan oleh Raja dan patihnya secara tulus, Wayan Saba sesaat terdiam. "Betapa beratnya tanggung jawab seorang patih sebagai abdi negara. Walaupun begitu, tugas patih adalah mulia. Namun apakah aku harus menerimanya? Sedang aku sendiri sampai kini masih berkelana mencari Kardika dan istriku. Apakah aku dapat bertemu? Negara memang dalam keadaan terdesak oleh pemberontakan-pemberontakan. Aku sebagai seorang yang telah digembleng dengan ilmu kanuragan dan kesaktian, apakah harus tinggal diam? Baiklah! Demi negara dan rakyat, aku menerimanya." kata hati Wayan.
"Bagaimana saudara, Wayan?" terdengar sang Raja kembali bertanya, demi melihat Wayan hanya terdiam sekian lama.
Wayan yang tengah berpikir, seketika tersentak demi mendengar pertanyaan sang Raja. "Ampun, Baginda yang mulia. Kalau memang itu yang baginda kehendaki, hamba tak dapat menolak."
Mendengar pernyataan Wayan yang menyanggupi permintaannya, sang Raja mengurai senyum. Perlahan didekatinya tubuh Wayan yang masih menghormat, dipegangnya pundak Wayan. "Terima kasih, Anak muda. Aku harap dengan diangkatnya dirimu menjadi patih kedua di kerajaan ini, akan tentramlah kerajaan. Paman patih Arya Wisesa..."
"Daulat, Gusti...?" menjawab Arya Wisesa hormat.
"Mulai hari ini, semua tugasmu akan dibantu oleh Wayan. Bekerjalah kalian berdua bahu membahu. Pikullah keamanan dan ketertiban kerajaan di atas pundak kalian. Mengenai pengangkatan putraku menggantikan diriku, aku rasa belum waktunya karena aku perlu membenahi sedini mungkin. Ponggawa, beritahu pada rakyat kerajaan ini bahwa kini kerajaan telah mengangkat Wayan Saba sebagai patih kedua. Dan kau, Panglima tamtama Utama, coba kau dengan beberapa prajurit-prajurit mu berjaga-jaga di perbatasan. Juga cari Keempat Naga yang sampai sekarang belum muncul," berkata sang Raja dengan, penuh wibawa dan bijaksana.
"Daulat, Gusti. Hamba pamit undur," berkata kedua ponggawa istana. Setelah menyembah, keduanya pun segera berlalu pergi menjalankan tugas.
Sepeninggal kedua ponggawa utama kerajaan, sang Raja segera mengajak Wayan menuju ke ruang pertemuan di mana para sesepuh kerajaan tengah berkumpul. Wayan pun hanya dapat menurut. Beriring dengan Arya Wisesa yang tampak masih menahan sakit terbakar, keduanya berjalan mengikuti sang Raja menuju tempat pertemuan. Para sesepuh kerajaan seketika memberi hormat, kala baginda dan Wayan Saba serta Arya Wisesa masuk ke ruang pertemuan. Dengan hampir berbarengan, para sesepuh kerajaan itu memberi salam:
"Selamat datang, Saudara pendekar!"
Melihat penghormatan yang dilakukan oleh para sesepuh kerajaan padanya, Wayan pun segera balik menghormat. "Sejahtera hamba ucapkan untuk kalian semua. Semoga Yang Wenang selalu bersama kita."
Para sesepuh tampak tercengang, kagum dengan tindak-tanduk Wayan yang begitu santun. Setelah semuanya duduk. Baginda raja segera membuka rapat.
"Para sesepuh kerjaan. Para perwira tinggi, dan paman patih Arya Wisesa. Mulai saat ini saudara Wayan Saba resmi menjadi patih. Hal ini saya nilai, karena kerajaan sangat membutuhkan orang-orang gagah seperti dirinya."
Semua mata yang hadir di persidangan tertuju pada Wayan yang tertunduk hormat. Baginda pun kembali meneruskan ucapannya: "Kalian tahu. Baru saja bencana hampir menghanyutkan kerajaan. Aku rasa, bencana-bencana pemberontakan lainya akan muncul lagi. Dengan adanya Saudara Wayan menjadi patih di sini, dapatlah kiranya kita lebih tentram. Bukan begitu, Paman patih Arya Wisesa?"
Arya Wisesa yang masih meringis menahan sakit akibat pukulan Panca Api, hanya mengangguk seraya memandang pada Wayan Saba dengan senyum.
"Aku mengangkat Wayan Saba langsung pada kedudukan yang tinggi bukanlah tanpa pertimbangan dan pemikiran. Maka jika ada yang tidak setuju dengan pengangkatan Wayan Saba sebagai patih, kuanjurkan pergi."
Semua yang hadir tampak terdiam, tak berani berkata apalagi menentangnya. "Karena semua yang hadir setuju. Maka dengan ini resmilah Saudara Wayan Saba menjadi patih pembantu," berkata sang Raja, sembari melirik Wayan Saba yang mengangguk hormat.
"Terima kasih atas kepercayaan Baginda, juga sesepuh kerajaan pada diri hamba yang bodoh ini untuk memegang tanggung jawab. Maka sebagai rasa terima kasih, hamba berjanji dan bersumpah tak akan minum tuak dan makan buah Dewa (Apel) sebelum pemberontakan hilang dari bumi Bayu Lor ini."
Mendengar sumpah yang diucapkan oleh Wayan, seketika semua yang hadir terdiam bisu. Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Wayan, seketika cuaca yang tadinya panas berubah menjadi mendung.
"Blar...! Bletar...!" Suara petirpun menggema, seakan menjadi saksi dan turut merestui.
Bersamaan dengan hilangnya suara petir, terdengar gelak tawa seseorang tanpa ujud berkata: "Wayan. Sumpah seorang kesatria, apalagi kesatria yang berbudi luhur seperti kamu akan terlaksana. Tunaikan tugasmu dengan baik, jangan kau abaikan. Juga ingat olehmu, jangan kau melakukan tindakan karena rasa dendammu. Bertindaklah karena kepentingan orang banyak. Perangilah keangkaramurkaan. Aku berdo'a semoga kau berhasil..."
"Guru...! Di mana kau?" berseru Wayan memanggil Gurunya. Namun suara Wayan berlalu begitu saja, karena sang guru yang tak lain dari pada Ki Turangga Bayu telah berlalu.
Semua yang hadir membelalakkan mata, demi mendengar suara tanpa ujud itu berkata pada Wayan. Kini semua yang hadir di situ makin percaya dan menaruh rasa segan pada Wayan Saba, yang masih terdiam sepeninggal suara gurunya, tersentak, kala sang raja berkata padanya.
"Ki Patih Wayan Saba, kau kenal dengan suara itu? Siapa beliau?"
"Ampun, Baginda yang mulia. Beliau adalah guru hamba," menjawab Wayan Saba.
"Kalau boleh aku tahu. Siapakah gurumu, Ki Patih?"
Sesaat Wayan Saba terdiam, dihelanya napas panjang-panjang, sebelum akhirnya berkata: "Ampun, Yang mulia. Sebenarnya, guru hamba adalah orang biasa seperti kita. Beliau bernama Ki Turangga Bayu."
Mendengar nama yang disebut Wayan sebagai gurunya. Seketika semua mata terbelalak, dalam hati mereka berkata. "Pantas kalau pemuda ini memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan yang tinggi."
Sejak saat itu, Wayan Saba semakin disegani dan dihormati di kalangan keraton. Hal itu dikarenakan tindak-tanduk Wayan Saba yang tidak sombong, juga karena mereka tahu siapa sebenarnya Wayan Saba. Sejak itu pula keamanan kerajaan pun terjamin. Walau masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil, namun semuanya dapat dengan mudah dipatahkan oleh Wayan Saba dengan pasukannya yang kini telah dibekali dengan ilmu silat.
Wayan Saba di samping menjadi patih kedua, juga melatih ilmu silat untuk para prajurit kerajaan. Hal itu membuat salah seorang putri baginda sangat tertarik padanya. Wayan Saba yang tak mengerti akan hal itu menanggapinya dengan biasa-biasa. Seakan tak ada hal-hal yang aneh pada hubungannya dengan Kanjeng Dewi Ayu Laras. Hingga pada suatu hari; kala Wayan Saba tengah duduk melamun sendirian, Dewi Ayu Laras telah datang menemuinya.
"Kanjeng Dewi! Ada gerangan apa, hingga Kanjeng Dewi datang ke tempat. hamba?" tanya Wayan terkejut.
Mendengar Wayan berkata keras, Dewi Ayu Laras segera mengisyaratkan telunjuknya di kedua bibirnya. "Stttt...! Jangan keras-keras." ucapnya sembari mendekati Wayan yang masih terbengong-bengong tak mengerti.
Wayan semakin tak mengerti, kala Dewi Ayu Laras makin mendekatinya. "Kanjeng Dewi... ada perlu apakah Kanjeng Dewi datang ke mari? Apakah tidak nantinya menjadi gunjingan?"
"Aku memang sengaja datang ke tempatmu. Ketahuilah Wayan, bahwa sesungguhnya aku... aku mencintaimu," berkata Dewi Ayu Laras dengan polosnya, membuat Wayan terbelalak dan terjengah mendesah.
"Ah... apakah Kanjeng Dewi tengah bercanda?"
"Tidak, Wayan. Aku tidak bercanda. Aku berkata dengan sesungguhnya."
Wayan Saba yang tadinya penenang dan sabar, seketika menjadi bingung. Hatinya seketika berdebar, antara menerima cinta Dewi Ayu Laras dengan perasaan lain yang menuntutnya untuk selalu mengingat pada istrinya I Ayu Mantini. Karena bingung harus memilih yang mana, Wayan Saba terdiam.
"Kau melamun, Wayan?"
Tergagap Wayan ditanya begitu "Ah... tidak!" Jawaban Wayan, menjadikan Dewi Ayu Laras mengerutkan alisnya.
"Lalu apa yang tengah kau pikirkan, Wayan?" Untuk yang kedua kalinya Wayan tersentak.
"Hamba berpikir, apakah pantas, diri hamba yang rendah ini menerima cinta Kanjeng Dewi yang tulus? Dan apakah pantas, bila hamba yang bertugas melindungi sang Dewi ternyata malah sebaliknya? Apakah tidak seperti kata pepatah, pagar makan tanaman?"
Mendengar ucapan Wayan, Dewi Ayu Laras tersenyum. "Wayan. Cinta tak pernah memandang derajat, keadaan atau pun bentuk. Maka apa yang kau perbuat untuk mencintai adalah hal yang wajar, seperti halnya dengan diriku yang mencintaimu. Apakah tak boleh...?"
Walau sekuat apapun tapi Wayan manusia juga. Maka akhirnya Wayan pun jatuh, meski dalam hatinya masih memikirkan I Ayu Mantini istrinya. Wayan pun akhirnya menerima cinta Dewi Ayu Laras. Sejak saat itu, di hati kedua tumbuh benih-benih cinta! Keduanya saling mengisi dan memberi, dalam rangkaian-rangkaian cinta yang mereka bina.
********************
LIMA
Seorang pemuda tampak berjalan dengan santainya di tengah hutan. Di wajahnya tampak kekhawatiran, dan perasaan bersalah. "Inilah resikonya bila berjalan dengan seorang wanita. Ah... ke mana aku harus mencarinya? Sudah hampir seluruh pelosok aku datangi. Namun batang hidung macan sialan itu tak kutemui," menggerutu pemuda itu dalam hati. Sedang asyiknya sang pemuda melamun, tiba-tiba terdengar olehnya derai tawa seorang wanita.
"Hi... hi... hi...! Anak muda, kenapa melamun? Sedang mikirkan pacarnya kesamber orang, ya?" Bersamaan dengan itu, dari atas pohon jati meloncat turun seorang wanita muda menghadang langkahnya.
Sang pemuda segera melompat mundur, lalu dengan keras bertanya. "Siapa kau? Apa perlumu menghadang langkahku?"
Ditanya begitu, wanita itu makin melebarkan senyumnya yang genit dan berkata: "Anak muda, kenapa kau memikirkan yang telah tiada? Bagaimana jika seandainya aku menggantikannya?"
"Sinting!" maki pemuda itu dalam hati. Ia menyadari, jika wanita yang kini menghadang langkahnya bukanlah wanita sembarangan. Hal itu dapat dimaklumi, mana mungkin seorang wanita muda dan cantik sendirian di hutan itu.
"Hei, siluman! Walau kau cantik seperti bidadari, tapi aku tak suka. Bahkan mungkin ayam jagoku pun tak mau bila disuruh mengawinimu," berkata pemuda itu sembari tertawa cekikikkan, membuat wanita di depannya seketika memerah wajahnya, marah.
"Tuyul...! Berani kau sembrono padaku." membentak wanita itu, namun sang pemuda tampak makin menggandakan tawanya demi melihat kemarahan wanita itu. Bahkan dengan konyolnya, si pemuda kembali berkata mengejek.
"Kalau aku tuyul, maka kau adalah ibunya tuyul dan tak lain dari Kalong Wewe, ha... ha... ha..."
"Diam! Semprul butut! Kau rupanya belum tahu siapa aku adanya,"
"Aku tahu, kalau kau adalah perawan tak laku..."
"Siapa kau! Katakan siapa namamu, sebelum kukirim ke akherat!"
Kembali pemuda itu tertawa, lalu dengan bersiul pemuda itu menjawab pilon. "Aku...? Aku ya aku. Mengenai kau ingin mengirim aku ke akherat, wah... makin membuat aku geli saja. Apa kau ini pegawai post bagian akherat?"
Makin membara api amarah wanita itu, demi mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Dengan terlebih dahulu bersuit, wanita itu pun menyerang. Bersamaan dengan hilangnya suitan wanita itu, dari semak-semak muncul beberapa orang mengurung si pemuda yang celingukan bagai kebingungan.
"Wah... kenapa kau bawa tuyul-tuyul ini ke mari?" mengejek pemuda itu sambil mengelakkan serangan yang datang kepadanya.
Si wanita yang memang sudah gedeg pada pemuda itu, tak banyak lagi bicara, terus menyerang. Sementara anak buahnya yang berjumlah dua puluh orang gundul, mengurung membentuk lingkaran. Pertarungan pun makin tampak seru. Wanita itu tampak gesit dan lincah. Tangan dan kakinya selalu mencari sasaran yang mematikan. Tapi pemuda yang sedang dihadapi ternyata bukan pemuda kebanyakan yang selalu menjadi korbannya. Pemuda itu tak lain Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah dengan mudah mengelakkan serangan-serangannya. Sedang seru-serunya pertarungan antara keduanya, terdengar seruan dari anak buah wanita itu.
"Nyi Tunjung Raminten, biarkan kami yang membereskan pemuda kurang ajar ini."
Wanita yang bernama Nyi Tunjung Raminten, yang sudah merasa terpepet oleh serangan Jaka Ndableg segera melompat mundur. Saat itu juga kedua puluh anak buahnya segera maju mengeroyok Jaka Ndableg yang tampak masih tenang.
Melihat kedua puluh lelaki gundul itu mengeroyoknya, maka meledaklah tawa Jaka.
"Sini tong! Wah... kepalamu persis seperti tempurung kelapa. Coba aku ketuk, tua atau tidak? Siapa tahu dapat dipakai untuk main dadu. Ha... ha...." Habis berkata begitu, dengan cepat tanpa dapat dihindari oleh keduapuluh lelaki botak itu, Jaka telah melesat. Dan...!
Tok... duk... kletak!
Terdengar jerit kesakitan dari mulut kedua puluh anak buahnya dengan mudah dijatuhkan oleh Jaka. Maka dengan mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan di tangan kanannya, Nyi Tunjung Raminten kembali menyerang.
"Terimalah jurusku ini! Hiat...!" Dengan jurus Kuntul Mematuk Ikan, Nyai Tunjung Raminten mencoba merangsek.
Tapi Jaka yang telah waspada segera menghadangnya dengan jurus Lumba-lumba Menari. Nyi Tunjung Raminten tersentak kaget, ketika menyaksikan jurus yang digunakan oleh lawannya. Jurus itu begitu kaku tampaknya, namun hal itu bukanlah enteng untuk melakukannya. Saking terkejutnya Nyi Tunjung Raminten, membuat ia terdiam. Hingga ketika Jaka menyerang, Nyi Raminten tak dapat lagi mengelak. Kaki Jaka yang menutup rapat membentuk ekor menghantam tubuhnya, yang terpental beberapa tombak ke belakang dengan mulut melelehkan darah.
Melihat musuhnya tak berdaya. Jaka segera menghentikan serangannya. Hal itu tak disia-siakan oleh Nyi Tunjung Raminten, yang seketika kembali menyerang dengan ajian Pramusti. Yaitu sejenis ajian yang dapat melumpuhkan persendian tubuh. Jaka Ndableg tersentak, kaget manakala Nyi Raminten melancarkan ajiannya. Hampir saja ajian itu menghantamnya, kalau saja Jaka tak waspada.
Ketika Nyi Raminten hendak kembali melancarkan ajiannya, secepat kilat Jaka melentingkah tubuhnya ke angkasa. Itulah jurus Camar Laut Lor. Setelah beberapa detik di angkasa, Jaka Ndableg memutar tubuh, menghadap pada Nyi Raminten. Kedua tangan Jaka menggembang. Sejurus kemudian dari tangan Jaka memancar api yang beribu-ribu watt panasnya, menghantam ke arah Nyi Raminten. Beruntung Nyi Raminten masih sempat menghindar. Kalau tidak, ia akan menjadi abu.
Melihat kenyataan itu, Nyi Raminten segera sadar. Dan tanpa malu-malu, Nyi Raminten segera mengambil langkah seribu, diikuti oleh semua anak buahnya. Kini tinggal Jaka yang hanya geleng-geleng kepala. Setelah berdiam diri beberapa saat, Jaka pun segera meneruskan perjalanannya.
********************
"Bodoh....! Hanya menghadapi seorang Wayan Saba saja, kalian tidak becus! Kalian tahu. Apa hukuman yang bakalan kalian terima dari Ayahanda nanti, jika mendengar bahwa kalian telah gagal?" berkata Kardika dengan marah pada kesepuluh anak buahnya.
Kesepuluh anak buahnya terdiam, tak ada seorangpun yang berani berbicara. Kardika sendiri tak habis pikir, bukankah Wayan Saba telah mati di bawah jurang? Kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi dengan ilmu yang tinggi?
"Hem.., mungkinkah si keparat Turangga Bayu masih hidup, setelah dengan luka dalam aku lemparkan ke dalam jurang itu?" tanya Kardika dalam hati. Kalau benar bekas gurunya itu yang telah menolong Wayan Saba, maka dapat dibayangkan bahwa Wayan Saba pun telah menerima gemblengan dari orang tua itu
"Ke mana si Harimau Tutul?" tanya Kardika, setelah untuk beberapa saat terdiam.
"Dia sedang ada di belakang bersama adik seperguruannya si Loreng," menjawab salah seorang dari mereka. Mendengar itu, Kardika tampak menganggukanggukkan kepala senang, lalu ucapnya kemudian.
"Kalian semua, aku tugaskan untuk membuat kekacauan di wilayah Lor. Dan kau Sengkuni, kacaukan wilayah Wetan. Hadang setiap pendatang, mengerti?!"
"Mengerti...!" menjawab mereka serempak.
"Nah... kerjakan! Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian gagal lagi." Setelah berkata begitu, Kardika tanpa menoleh kembali pada anak buahnya segera berlalu masuk ke dalam kamar di mana seorang gadis tengah menantinya. Entah apa yang tengah Kardika perbuat dengan gadis itu, yang jelas semua anak buahnya hanya mampu menelan ludah.
Sempat pula salah seorang di antaranya berbisik pada temannya. "Sungguh sangat beruntung, Kardika."
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya temannya berbisik pula.
"Bayangkan saja, gadis itu masih putih. Usianya saja baru menginjak enam belas tahun. Bukankah sedang imut-imutnya?"
Mendengar ucapan temannya, seketika orang yang bertanya tak dapat lagi menahan tawanya. Di buritan rumah, yaitu di belakang rumah utama yang didiami Kardika. Di situ terpampang tanah lebar. Di ujungnya tampak berdiri sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Di tempat itulah, Kardika menyekap para tahanan dan gadis-gadis yang membandel tak mau diajak kencan. Tempat itu dijaga oleh ketiga tukang pukul Kardika yang bertampang seram dan bengis, hingga tak ada seorangpun yang berani menentang atau membangkang.
Bila pagi telah tiba, orang-orang yang ditahan itu dipaksa untuk bekerja diladang, sementara kesehatan dan makanan mereka tak terjamin sama sekali. Pagi itu semua tahanan digiring ke luar, berjalan berderet dengan tangan diikat. Sedang mereka bekerja, dari rumah utama. Kardika dengan wajah berseri datang ke tempat mereka bekerja.
"Berhenti...!" seru Kardika dengan suara lantang. Seketika, semua orang yang tengah bekerja paksa berhenti.
Namun salah seorang pemuda seakan tak mendengarnya tetap terus bekerja, menjadikan Kardika menggeram kesal dan marah. "Rupanya ada tikus kecil yang berani membangkang perintahku. Pengawal, seret dia ke mari."
Sang body guard pun dengan menurut melakukan perintahnya. Diseretnya anak lelaki muda itu yang berontak menuju Kardika. Tapi... sekuat apapun tenaga anak muda itu, digeret oleh orang yang berbadan besar dengan paksa menjadikan ia tak mampu berontak. Penyamaran I Ayu Mantini pun terbuka, membuat Kardika terperangah menggumam:
"I Ayu Mantini...? Kenapa kau berbuat begitu?"
Mendengar nada ucapan Kardika yang seperti menyesali tindakannya, I Ayu Mantini hanya mencibirkan bibirnya sembari berseru: "Kenapa kau tidak suruh algojomu untuk sekalian membunuhku saja, Kardika?"
"Tidak. I Ayu, aku sungguh-sungguh menyesal telah menyakitimu. Aku mencintaimu..."
"Percuma, Kardika, karena aku tak mencintaimu. Lagipula, aku benci padamu. Aku benci...! Kau bunuh ayahku, suamiku. Kau tak lebih dari pada iblis... kau iblis! Kubunuh kau, kubunuh!"
Bagai orang kesetanan I Ayu Mantini menyerang Kardika yang seketika itu mengelaknya. Hingga I Ayu Mantini tersungkur jatuh mencium tanah. Belum juga Kardika hilang dari keterkejutannya, I Ayu Mantini tampak telah berdiri dan kembali menyerang.
Melihat I Ayu Mantini menyerang Kardika, serta merta semua orang yang dari tadi takut dan menurut beramai-ramai mengeroyok. Ketiga algojo Kardika kelabakan. Karena diserang mendadak. Ketiganya hanya dijadikan ajang kekesalan orang-orang yang selama ini dikekangnya.
Melihat hal itu, Kardika jadi berang. Tanpa ampun lagi, dihempaskannya tubuh I Ayu Mantini yang seketika terjatuh dan pingsan. Setelah dirasa I Ayu Mantini tak akan merepotkan lagi, maka dengan aji Wesi Geni, Kardika segera menyerang membabi buta pada pengeroyok algojonya. Jerit kematian susul menyusul, kala tangan Kardika menghantam tubuh pengeroyok itu. Tapi walaupun begitu, para pengeroyok tampak tak merasa takut sedikitpun. Dengan nekad terus merangsek Kardika dan ketiga algojonya yang tampak luka-luka.
Pertarungan tiga lawan seratus orang pun terus berlangsung, walau korban makin banyak. Di pihak pengeroyok tak ada tanda-tanda mau mengalah sedikitpun. Kardika hampir kewalahan, kalau saja tidak segera datang anak buahnya yang segera membantunya. Sedang ramai-ramainya pertempuran yang tak seimbang itu, terdengar suitan nyaring secara tiba-tiba. Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda yang tak lain Jaka adanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Jaka atau Pendekar Siluman Darah segera turun membantu para pengeroyok. Melihat ada tuan penolong datang, semangat para pengeroyok yang tadinya hampir tak ada seketika muncul kembali. Hal itu menjadikan para anak buah Kardika tersentak kaget terteter.
Kardika yang tahu ada orang lain ikut campur, dengan berang menyerbu ke pertempuran. "Hai, Pemuda usilan. Berani kau lancang di tempatku. Rupanya kau memang sengaja minta mampus!" berkata Kardika dengan sombongnya. Ia tak tahu siapa pemuda yang tengah dihadapinya. Kardika menganggap pemuda di hadapannya tak lebih dari orang persilatan pada umumnya.
Sementara pemuda yang tak lain Jaka Ndableg adanya, tertawa ngakak mendengar ucapan Kardika yang terlalu sombong. "Aku tak akan ikut campur urusanmu, bila kau tak dengan semena-mena membunuh orang-orang yang tidak berdaya."
Jaka yang belum tahu bahwa orang di hadapannya Kardika, masih tampak sabar. Kardika menggeram marah demi mendengar ucapan yang dilontarkan Jaka.
"Anak muda! Aku tak ada silang sengketa denganmu. Aku minta kau segeralah minggat dari hadapanku, atau terpaksa aku panggilkan anak buahku yang lain untuk mengganyang mu."
Tertawa Jaka mendengar ucapan Kardika, lalu dengan tenang Jaka berkata: "Orang sombong! Ternyata ucapanmu tidak lebih dari kentut bau! Sedangkan nyalimu, tak lebih dari nyali seekor tikus tanah!"
Mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka pada dirinya, tak dapat lagi Kardika menahan amarah. Dengan geram, Kardika pun berkelebat menyerang Jaka yang dengan segera mengelak dengan mengegoskan badannya. Menerima kenyataan itu, makin menjadikan Kardika sewot. Dengan gigi bergeretuk, ditambahkannya serangan yang mencari titik lemah musuh. Namun sejauh itu, Kardika selalu mendapatkan angin belaka. Bahkan sebaliknya, sebuah tendangan telak yang dilancarkan Jaka menghantam dadanya.
Sedang Kardika menahan rasa sakit di dadanya, seorang lelaki berlari-lari menuju ke arah itu. Lelaki yang ternyata Mahesa adanya, membelalakkan mata demi melihat Jaka atau Pendekar Siluman Darah. Melihat Mahesa tercekam saat melihat Jaka Ndableg Kardika bertanya:
"Kau kenal, Mahesa...?"
"Bukan kenal lagi, Kardika. Dialah orangnya yang telah membunuh ketiga dari keempat setan golok."
Walau Kardika telah mendengar kehebatan pemuda di hadapannya dari Mahesa, namun Kardika yang merasa ajian Wesi Geni adalah yang paling tinggi hendak kembali menyerang. Mahesa yang melihat gelagat tak menguntungkan pada saat itu, dengan segera mencoba menghalanginya sembari berkata:
"Kardika, bukannya aku meremehkan ilmu yang kau miliki, tapi keadaan kita sedang gawat."
"Apa kau bilang, Mahesa...?" Kardika melotot marah.
"Benar Kardika. Pertahanan kita di Barat telah diketahui oleh pihak kerajaan yang dengan mudah menghancurkannya. Bahkan pihak kerajaan telah tahu tempat kita. Cepatlah pergi Kardika."
Kardika yang tadinya bermaksud meneruskan pertarungan dengan Jaka, seketika mengurungkan niatnya. Maka dengan memanggul tubuh I Ayu Mantini yang masih pingsan, Kardika pun pergi meninggalkan tempat itu.
Jaka yang tak tahu bahwa yang digendong Kardika adalah I Ayu Mantini, membiarkan Kardika pergi. Bagai macan tanpa taring, anak buah Kardika pun tak lagi dapat berbuat banyak. Maka dengan mudah, para pengeroyok pun segera mendesaknya. Melihat orang-orang yang tadi dibantunya telah berada di atas angin, Jaka segera berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanannya mencari I Ayu Mantini.
Setelah musuh-musuhnya mati, orang-orang yang memberontak pada Kardika mencari-cari pemuda yang telah membantu mereka. Tapi pemuda yang tak lain Jaka telah pergi tanpa sepengetahuan mereka. Merekapun menganggap Jaka adalah Dewa yang diturunkan dari langit untuk membebaskan mereka dari belenggu Kardika.
********************
Tak lama berselang, dari arah Barat tampak serombongan pasukan kerajaan menuju ke tempat itu. Berjalan paling depan Wayan Saba dengan gagahnya memimpin di atas kudanya. Setelah dekat dengan rakyat, Wayan Saba pun segera turun dari kudanya. Dihampirinya rakyat yang menghormat menyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Kanjeng patih Wayan?" menyapa seorang pemuda menjadikan Wayan tersentak kaget. Betapa tidak. Ia baru memangku jabatan patih sebulan yang lalu, tapi orang di hadapannya yang telah berbulan-bulan disandera Kardika telah mengenalnya.
"Siapakah dirimu, Anak muda? Rasanya aku belum kenal denganmu."
"Ampun, Kanjeng Patih. Hamba memang orang hina dina. Hamba tahu nama paduka dari seorang gadis yang mengaku istri paduka," menjawab pemuda itu.
Mendengar kata istri disebut oleh pemuda itu, mata Wayan Saba seketika membelalak kaget. Pemuda dihadapannya gemetar ketakutan, kalau-kalau Wayan Saba akan marah padanya. Namun hal itu tak terjadi, karena Wayan ternyata bersikap sebaliknya. Dipegangnya pundak pemuda itu, lalu dengan ramah Wayan bertanya.
"Siapa nama wanita yang mengaku istriku, Anak muda?"
"Ampun, Kanjeng patih. Wanita itu bernama I Ayu Mantini..."
"I Ayu Mantini...! Di mana dia sekarang?" bertanya Wayan tak sabar. Ditengadahkannya muka pemuda itu yang tampak pucat ketakutan, yang dengan terbata-bata kembali menjawab:
"Ia... ia dibawa oleh Kardika, ketika kami sedang melakukan perlawanan..."
"Kardika! Hem..." mendesis Wayan Saba demi mendengar nama musuh besarnya. Mata Wayan Saba menerawang lurus ke depan dengan hampa. Di benaknya tergambar kejadian-kejadian yang telah menimpanya lima tahun yang lalu. Ternyata orang yang telah menghancurkan rumah tangganya, adalah musuh kerajaan. Orang yang harus dibasminya, karena tugas. Tanpa sadar, Wayan Saba meremas tangannya keras-keras.
"Ke mana perginya iblis itu?" bertanya Wayan.
Semua orang yang ada di situ, hanya menunduk. Tak ada yang berani berkata, atau pun menjawab pertanyaan Wayan. Hingga untuk kedua kalinya, Wayan pun bertanya:
"Siapa di antara kalian yang tahu tempatnya?"
"Ampun, Gusti Patih. Sungguh kami semua tak ada yang tahu, untuk itu kami mohon pengampunan gusti...." menjawab orang yang paling tua di antara semuanya.
"Baiklah. Kalau kalian tak ada yang tahu, tak mengapa. Sekarang kalian bebas. Kembalilah pada keluarga kalian masing-masing, dan hati-hatilah. Bila kelak kalian ada yang tahu, maka kami sebagai pelindung kerajaan mohon bantuan kalian untuk melaporkannya."
Habis berkata begitu, Wayan pun dengan segera mengajak anak buahnya kembali ke kerajaan. Diiringi oleh tatap mata rakyat yang merasa kagum, Wayan segera menghentakkan kudanya yang seketika melesat cepat.
********************
"Kenapa aku bodoh benar? Bukankah aku tadi melihat seorang wanita berpakaian laki-laki dalam gendongannya. Oh... Tuhan! Kenapa aku tak berpikir ke situ?" menggerutu hati Jaka, setelah disadari betapa dirinya kurang waspada.
Sedang Jaka melamun sambil melangkah, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda menuju ke arahnya. Jaka bermaksud sembunyi, namun segera diurungkan niatnya. Maka dengan acuh tak acuh, Jaka meneruskan langkah kakinya.
Dari kejauhan tampak serombongan prajurit kerajaan menuju ke arahnya. Di depan sekali tampak seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebesaran seorang pangeran. Sepertinya mereka sedang memburu waktu, hingga mereka tak memperhatikan dan berlalu begitu saja.
"Ada apakah gerangan, hingga pangeran itu tampak keburu-buru dan ketakutan?" bertanya Jaka Ndableg pada diri sendiri.
Belum juga Jaka dapat menemukan jawabannya, dari arah tadi serombongan orang lain datang. Di wajah mereka menggabarkan orang tak baik-baik, setidaknya ada maksud-maksud tertentu pada Putra Mahkota itu. Mendapat pirasat tidak baik pada wajah orangorang yang baru saja lewat, Jaka dengan diam-diam segera menguntitnya. Memang benar apa yang ditakuti oleh Jaka. Terbukti, belum juga Jaka tiba, terdengar suara beradunya senjata pertanda tengah terjadi pertempuran. Dengan secara sembunyi-sembunyi, Jaka segera melihatnya.
"Benar juga apa yang telah aku khawatirkan. Ternyata orang-orang itu menghendaki nyawa Pangeran. Aku harus menolongnya." berkata Jaka dalam hati. Dengan cepat bagaikan angin, Jaka Ndableg segera melompat dari persembunyiannya tepat ketika nyawa sang Pangeran terancam.
"Trang...!"
Terdengar beradunya dua senjata. Orang yang tadi hendak menebaskan goloknya pada pangeran menjerit. Golok di tangannya telah patah menjadi dua. Orang itu pun terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi saat mengetahui goloknya telah putus menjadi dua. Sementara orang yang telah menangkisnya, kini tampak berdiri di hadapannya dengan tersenyum seraya berkata dingin.
"Ternyata kau kembali. Bukankah kau yang bernama Darga?"
Orang itu, yang memang Darga adanya, tampak ketakutan setelah mengetahui siapa pemuda yang tadi menangkis tebasan goloknya. Orang itu kini berdiri dengan tangan memegang senjatanya yaitu Pendekar Siluman Darah.
"Pendekar Siluman Darah! Mundur...!" Darga segera mengomandokan pada anak buahnya untuk mundur, karena merasa tak bakal unggulan.
Setelah semua anggota Darga pergi, Pangeran dan seorang panglima perang kerajaan segera menghampiri Jaka yang menghormat. "Sepertinya mereka jerih menghadapimu, Anak muda? Apakah kau kenal dengan mereka?"
Merasa pertanyaan itu ditujukan pada dirinya, Jaka dengan tak mengurangi rasa hormat, menjawab: "Benar. Kami bertemu dua bulan yang lalu. Waktu itu kami bentrok, karena hamba bermaksud melindungi seorang wanita yang dikejar-kejar oleh pimpinan mereka."
Sang pangeran tampak mengangguk-angguk mendengar cerita Jaka. "Lalu. Kenapa dia tampak jeri padamu? Apakah pernah kau kalahkan?"
"Ah... kanjeng Pangeran terlalu berlebihan menilai diri hamba yang bodoh ini," menjawab Jaka Ndableg merendah.
"Kau terlalu merendahkan diri, Anak muda. Apakah kau kenal dengan Wayan Saba?" tanya Sang Pangeran mencoba memancing.
Sesaat Jaka terdiam demi mendengar nama Wayan Saba. Kembali ia teringat pada cerita I Ayu Mantini. "Tapi... bukankah Wayan Saba telah mati?" bertanya Jaka dalam hati. "Benar. Hamba mengenalnya dari teman hamba," jawab Jaka.
"Siapa nama teman wanita mu?"
"Namanya I Ayu Mantini, Pangeran."
Sang Pangeran mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Ia tahu, kalau pemuda di hadapannya memang berkata benar. Maka setelah berdiam diri sesaat, sang pangeran pun kembali berkata: "Anak muda, aku percaya akan kejujuranmu. Atas budimu yang telah menyelamatkan nyawa kami, kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan apabila engkau tak menolak, kami ingin mengajak mu ke kerajaan untuk menemukanmu dengan suami teman wanita mu."
Tersentak Jaka untuk kedua kalinya. Ia tak mengira, kalau orang yang diceritakan oleh I Ayu Mantini ternyata masih hidup. "Terima kasih! Memang hamba ingin sekali dapat bertatap muka dan berkenalan langsung dengan Tuan Wayan Saba." menjawab Jaka.
"Baiklah. Oh, ya, kita belum saling kenal. Siapakah namamu, Anak muda? Aku adalah putra mahkota kerajaan Bayu Lor. Namaku Arya Perwira." berkata Arya Perwira dengan penuh persahabatan.
"Nama hamba yang rendah ini, Jaka," menjawab Jaka hormat, menjadikan Arya Perwira makin kagum akan tindak-tanduknya.
Setelah saling kenal, keduanya pun menuju ke kerajaan diiringi para pengawal. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya putra mahkota mengajak ngobrol dengan Jaka. Sesekali terdengar gelak tawa keduanya memecahkan kesunyian hutan yang mereka lewati.
Mentari telah condong ke arah Barat, ketika rombongan Putra mahkota dan Jaka sampai di pintu gerbang kerajaan. Mereka disambut dengan penghormatan kebesaran istana.
********************
ENAM
Apa yang dikuatirkan oleh Jaka ternyata benar adanya. Kerajaan saat itu tengah diserang oleh kaum pemberontak, yang berjumlah besar. Pemberontakan itu memang telah direncanakan. Ketika Wayan Saba menemui tantangan Kardika, saat itu pula para pemberontak yang kini langsung dipimpin oleh Warok Rekso Poleng menyerbu ke kerajaan.
Karena tidak menyangka akan terjadi pemberontakan, bala tentara kerajaan tidak dapat membendungnya. Apalagi dengan perginya seorang Patih yang mumpuni seperti Wayan Saba, menjadikan pertahanan kerajaan lemah. Sedang dari kaum pemberontak yang dipimpin langsung oleh Tumenggung Warok Rekso Poleng, tampak penuh semangat.
Kini terbuka sudah, siapa sebenarnya dalang dari pemberontakan-pemberontakan yang selalu membuat kekacauan itu. Tak lain dari orang istana sendiri, seperti Tumenggung Warok Rekso Poleng yang menjabat Tumenggung di ketemenggungan Tegal Alur. Dalam sekejap saja para pemberontak dapat menghancurkan pertahanan prajurit kerajaan yang dipimpin langsung oleh Patih Arya Wisesa.
Melihat keadaan yang sangat mengawatirkan, maka dengan beberapa ponggawa istananya Raja dan permaisuri serta putra-putrinya segera mengungsi. Hanya dalam beberapa kejap saja. Para pemberontak dapat segera mengambil alih kekuasaan. Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng tertawa bergelakgelak melihat kemenangannya. Hari itu juga Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng mengangkat dirinya menjadi Raja.
********************
Malam harinya, pesta kemenangan pun segera dirayakan. Pesta yang dipenuhi dengan segala macam kemaksiatan. Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng yang telah mengangkat dirinya menjadi Raja, duduk di bangku singgasana. Di kanan kirinya dua wanita muda dengan setia memijetinya. Sekali-sekali terdengar gelak tawa Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng, saat mencium kedua gundiknya.
"Cah ayu, kini aku telah menjadi raja, katakanlah apa yang kau minta." berkata Ki Rekso Poleng merayu wanita muda di sisi kanannya. Dengan kasar diciumnya pipi wanita itu yang tersenyum kegelian.
Malam pun makin larut, makin menambah panasnya acara itu. Ada yang mabok hingga ngeduprak. Ada yang langsung ngeloyor pergi ke kamar dengan wanita penghibur. Istana kini bukan tempat tahta kerajaan, tapi menjadi tahta kemaksiatan.
********************
Jaka yang tengah berjalan hendak menuju ke kerajaan kembali, segera menghentikan langkahnya, ketika dari arah Timur tampak olehnya rombongan kerajaan. "Sampurasun...?" menyapa Jaka setelah dekat.
"Rampes...? Engkaukah saudara Jaka?" bertanya Baginda Raja demi melihat orang yang barusan datang menghadangnya.
"Benar, Baginda yang mulia. Hamba Jaka.... Kalau boleh hamba tahu, ada gerangan apa hingga baginda dan permaisuri serta putra-putri tampak seperti diburu?"
Ditanya begitu oleh Jaka, sang Raja terdiam sesaat. Di matanya tergambar kepedihan. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, Baginda pun menceritakan apa yang telah menimpa kerajaan. "Begitulah, Saudara Jaka"
"Kalau hamba boleh tahu, siapa sebenarnya Ki Warok Rekso Poleng itu?"
"Dia adalah orang dari golongan hitam yang kuangkat menjadi Tumenggung. Dia juga yang telah menyuruh tokoh-tokoh golongan hitam untuk membuat kekacauan di kerajaan karena dia berambisi menjadi raja. Banyak kaum persilatan dari golongan putih dengan sadis dibantai olehnya, demi mencapai cita-citanya."
Mendengar penuturan raja, Jaka seketika tergugah untuk bertindak. Bukan karena mencari muka pada raja, tapi tindakan Ki Warok Rekso Poleng telah melebihi batas kemanusiaan. "Ini tak dapat dibiarkan," bergumam Jaka tanpa sadar.
Sang Raja membelalakkan matanya tak percaya mendengar omongan Jaka. Lalu dengan segala harapan Raja berkata: "Memang benar ucapanmu, Saudara Jaka. Karena bila tidak, maka muka bumi ini akan menjadi ajang iblis dan syetan. Tapi Ki Warok berilmu sangat tinggi. Sudah berapa kali kaum persilatan dari golongan putih mencoba menyingkirkannya, namun hasilnya sebaliknya. Kaum persilatan golongan putihlah yang dibantai habis-habisan oleh Warok Rekso Poleng."
Setelah menyembah Jaka segera melesat pergi meninggalkan mereka yang hanya terbengong tak mengerti, menuju ke kerajaan. "Baginda yang mulia. Bila masanya tiba, hamba mengharap baginda berkenan duduk di singgasana seperti dulu...!" Terdengar suara Jaka berkata, yang diucapkan dari kejauhan.
Maka dengan segera Baginda Raja pun menyuruh beberapa perwiranya untuk mengikuti ke mana Jaka pergi, sedangkan dia dan sisa-sisa prajurit akan menunggunya di hutan Dadaka.
********************
Dalam sebuah ruangan kamar, Ki Warok Rekso Poleng tengah duduk, dengan wanita-wanita muda yang berpakaian sangat minim. Mereka adalah wanita-wanita culikan anak buah Ki Warok, yang sengaja dipersembahkan untuk Ki Warok Rekso Poleng. Biasanya, wanita-wanita itu masih gadis. Sebab dengan melalap daun muda, maka ilmu Ki Warok akan makin tinggi. Yang lebih mengerikan, gadis-gadis yang telah direnggut mahkotanya akan dijadikan tumbal ilmunya. Gadis itu akan dikorbankan untuk guru besarnya yang bernama Ratu Iblis Karang Bolong. Sedang asyiknya Ki Warok Rekso Poleng dengan ketujuh gadisnya, tiba-tiba terdengar suara lantang memanggil namanya.
"Ki Warok Rekso Poleng, keluarlah kau! Bukan tempatmu di istana, tapi tempatmu adalah hutan belantara. Maka aku mohon padamu segeralah pergi dari sini?"
"Dobleng...! Dobleng...! Kecoa mana yang berani lancang padaku!" membentak Ki Rekso Poleng dengan geramnya. Lalu dengan segera, ditinggalkannya ketujuh gadis itu keluar.
Ki Warok Rekso Poleng menyengir geli, demi dilihatnya yang bicara lancang padanya hanyalah anak muda, maka Ki Warok Rekso Poleng tertawa bergelak-gelak. "Hai... Anak muda! Lancang benar mulutmu! Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"
Kini gantian Jaka yang tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan konyolnya, Jaka berkata mengejek. "Aku tahu dengan siapa aku berhadapan. Aku sekarang tengah berhadapan dengan seekor Kodok Bangkong."
Merah padam wajah Ki Rekso Poleng, mendengar ejekan yang dilontarkan oleh anak muda yang berdiri dengan tolak pinggang di hadapannya. Ki Warok Rekso Poleng seketika mendengus penuh marah. "Setan laknat, Deg. Degan! Rupanya kau mencari mampus! Sebut namamu, sebelum aku kirim nyawa busukmu ke akherat!"
"Ki Warok! Kau bilang nyawaku busuk. Tapi lebih busuk lagi nyawamu, yang telah membantai kaum persilatan guna memenuhi ambisimu. Untuk itu maka hari ini juga aku akan menyingkirkan iblis sepertimu," berkata Jaka dengan nada mengejek, membuat Ki Warok Rekso Poleng menggeram. Maka tanpa banyak bicara lagi, Ki Warok segera menyerang.
Tak ayal lagi, keduanya segera terlibat dalam pertempuran. Warok Rekso Poleng, walau telah tua namun tampak masih lincah. Tubuhnya yang gemuk berkelebat menyerang dan berkelit. Jurus demi jurus telah berlalu, tampaknya kedua orang itu tak akan segera menghentikan pertempurannya. Dari arah Barat, tampak serombongan orang menuju ke situ, mereka tak lain dari para panglima perang raja, yang ditugasi untuk ikut menyaksikan jalannya pertarungan Ki Warok dengan Jaka.
"Anak muda. Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih kuat," berkata Ki Warok, setelah ia merasa akan kehebatan musuhnya.
"Aku layani apa yang menjadi mau mu, Ki Warok!"
Sehabis berkata begitu, keduanya kembali saling serang dengan ilmu tingkat tingginya.
Mendengar keramaian di luar, anak buah Ki Warok Rekso Poleng segera berlari keluar. Sesampainya di luar, semuanya hanya dapat menjadi penonton belaka, karena perkelahian mereka berdua bukanlah perkelahian biasa yang mengandalkan jurus-jurus enteng. Tapi perkelahian antar Ki Warok dengan Jaka merupakan perkelahian tingkat tinggi. Yang memakai segala jurus tingkat tinggi pula.
Semua mata anak buah Ki Warok Rekso Poleng terbelalak kagum, demi melihat siapa orang yang berani menghadapi Ki Warok yang terkenal kesaktiannya. Gusar hati Ki Warok, menyadari bahwa musuhnya ternyata bukan orang sembarangan. Segera Ki Warokpun melompat mundur, sembari berseru.
"Terimalah ini! Hiat!"
Semua mata yang menyaksikan, seketika terbelalak kaget demi melihat ajian Panca Api yang dilontarkan oleh Ki Warok. Jaka yang selalu siaga, melihat api bergulung-gulung menyerangnya seketika memapakinya dengan ajian Getih Sakti. Seketika dari kedua belah tangannya meluncur cairan yang disertai angin topan besar menyapu hembusan api itu yang segera padam. Kini angin topan itu yang berbalik menyerang Ki Warok. Menjadikan pohon-pohon dan rumah-rumah ambruk.
Menyaksikan hal itu, mata Ki Warok tampak menyipit. Segera Ki Warok pun kembali mengeluarkan ajiannya yaitu "Bedeng Buana". Seketika angin topan itu hilang. berganti dengan suara ribuan tawon yang menyakitkan telinga. Hingga bila tak mampu, maka sudah barang tentu orang itu akan mati dan dengan kuping dan hidung keluar darah.
Jaka Ndableg tersentak melihat ajian yang dikeluarkan oleh Ki Warok, yang membuat indra tubuhnya dirasa tak berfungsi. Setelah terkesiap sesaat, Jaka segera menghantamkan kembali ajian Petir Sewu, maka luluh lantaklah semua desingan tawon, berganti dengan ledakan yang disertai panas membara.
Menerima kenyataan itu, Ki Warok yang merasa telah dipencundangi oleh yang masih hijau menggeretak penuh amarah. Dalam hatinya tak percaya akan apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin anak semuda itu telah mampu menghalau segala serangannya?
Karena merasa dirinya yang paling sakti, Ki Warok Rekso Poleng tak mau menerima semua, itu. Kembali Ki Warok Rekso Poleng menyerang, kali ini dengan ajian Pelebur Sukma. Jaka Ndableg tersentak dan berusaha menghindar, namun terlambat. Tubuhnya seketika tersedot, mendekati ke Ki Warok Rekso Poleng. Jaka terus bertahan agar tidak terus tersedot. Namun rupanya kekuatan lawan jauh lebih besar, sehingga Jaka perlahan-lahan terseret mendekat.
"Hem, kalau begini hanya ada satu cara untuk melawannya. Aku akan memanggil Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak Ki Warok Rekso Poleng, manakala melihat tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang. Dari ujung pedang meleleh darah membasahi batangnya. "Aaah...!" tersentak Ki Warok memekik.
"Ki Warok, bersiaplah!"
Belum juga Ki Warok tersadar dari kagetnya, Jaka telah dengan cepat membabatkan pedangnya. Memekik seketika Ki Warok ketika pedang di tangan Jaka membabat tubuhnya. Tubuh Ki Warok terbelah menjadi dua, dengan darah mengering.
Melihat Ki Warok telah mati, serta merta seluruh rakyat bersorak dan menari-nari dengan riang. Hari itu adalah hari kemenangan bagi Kerajaan Bayu Lor. Wayan yang baru saja datang, segera menyalami Jaka. Begitu juga dengan Sri Baginda Raja dan lainnya, mereka mengucapkan rasa terima kasih. Tengah pesta itu berlangsung dengan meriah, Jaka tanpa sepengetahuan lainnya berkelebat pergi. Semua tersadar manakala Jaka telah jauh berlalu.
********************
TUJUH
Ketika Wayan Saba tengah duduk sambil bercakap-cakap dengan Jaka, tiba-tiba sebatang anak panah berdesir di depan mereka. Dengan reflek yang kuat, keduanya mengelak dan memburu asal anak panah itu datang.
"Hem... aku kira yang melakukan tadi masih orang dalam istana ini?" berkata Jaka setelah mengelilingi tempat itu.
"Mengapa saudara Jaka berpendapat begitu? Apakah ada bukti yang kuat?" tanya Wayan Saba tak yakin. Sepengetahuannya, orang-orang istana sangat baik terhadap dirinya. "Mana mungkin melakukan hal sesembrono tadi? Atau barang kali ada yang tidak senang dengan kedatangan Jaka di tempatnya? Ah, tidak juga, Jaka orang baik-baik," bergumam hati Wayan.
"Ada... dan bukti itu kuat. Coba saudara Wayan perhatikan. Tempat ini sangat terlindung dan berdekatan dengan kediaman baginda Raja yang dijaga ketat. Bila orang luar, pasti dengan segera dapat dicurigai?" berkata Jaka menjelaskan alasan-alasannya.
Kini Wayan Saba sadar, bahwa orang yang berdiri di sampingnya bukan orang sembarangan. Di samping ilmu kedikjayaannya yang tinggi, ilmu strateginya bahkan lebih menonjol. "Ah... rupanya aku harus belajar lagi pada anda, Saudara Jaka?" berkata Wayan agak malu.
"Tidak begitu, Saudara Wayan. Bukan karena aku lebih pandai dibandingkan dengan diri saudara, namun hal ini hanya kejelian semata."
Wayan Saba mengangguk mengiyakan. Setelah dirasakan tak ada apa-apa lagi, keduanya kembali masuk. Wayan Saba segera mengambil anak panah yang menancap di atas meja, dengan sehelai kain yang menggulung di pangkalnya. Perlahan dibukanya kain gulungan di pangkal anak panah itu, dan dibacanya.
Wayan Saba....
Kita bertemu lagi. Rupanya Yang Wenang masih menghendaki kau hidup. Aku tahu, kalau kau ditolong oleh seseorang yang bernama Ki Turangga Bayu. Kalau kau memang seorang pendekar kutunggu dirimu di desa Randu.
Ingat...! Jangan kau bawa prajurit-prajurit mu, bila nyawa istrimu selamat.Tapi bila kau mengingkarinya, maka nyawa istri-mulah balasannya. Kutunggu dirimu di desa Randu, saat bulan Purnama.
Kardika
Setelah selesai membaca, diserahkannya surat itu pada Jaka yang segera membacanya. "Bagaimana menurutmu, Saudara Jaka?" bertanya Wayan meminta pendapat.
"Menurutku, lebih baik kita tepati agar dia merasa puas. Memang dia merupakan musuh kerajaan, tapi apalah bedanya musuh kerajaan dengan musuh kita? Bukankah kita dituntut untuk turut mengamankan kerajaan? Kedua, dengan mendatanginya tanpa pasukan secara tidak langsung kita bertindak kesatria. Bukan begitu saudara, Wayan?" Jaka Ndableg balik bertanya.
"Benar! Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Saudara Jaka?"
"Aku akan berusaha mengikutimu secara sembunyi. Bukannya aku merendahkan ilmu yang kau miliki. Tidak! Tapi, biasanya orang-orang semacam dia sering berbuat licik dan curang. Bagaimana, Saudara Wayan?"
"Terimakasih atas bantuanmu sebelumnya. Mari kita menghadap baginda untuk melaporkan kejadian ini, sekaligus kita selidiki siapa orang yang terlibat."
"Setuju! Mungkin dengan cara begitu, kita akan segera mengetahui siapa orang dalam istana yang ikut terlibat dalam pemberontakan."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya segera menuju ke istana untuk menghadap baginda raja. Sementara tanpa sepengetahuan keduanya, seseorang mengawasi mereka dengan sembunyi. Lalu setelah kedua orang yang diawasinya masuk ke istana, orang itu segera berkelebat pergi.
Wayan segera menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Diceritakan pula tentang keinginannya untuk membekuk Kardika seorang diri, seperti yang diperintahkan dalam surat. Sang raja tampak terdiam untuk beberapa lama. Ia berpikir keras, untuk dapat memutuskannya. Sesaat setelah terdiam, baginda pun berkata:
"Ki Patih Wayan Saba dan saudara Jaka, bukannya aku meremehkan kesaktian yang ada pada diri kalian. Namun sebagai seorang raja, aku juga berpikir tentang apa yang harus aku perbuat agar jangan sampai terjadi hal-hal yang akan mencelakakan kalian."
"Terima kasih atas perhatian paduka terhadap hamba. Namun perlu hamba sampaikan, sebenarnya di antara hamba dan Kardika ada silang sengketa. Adapun silang sengketa antara hamba dengannya, terjadi kira-kira lima tahun yang silam." Wayan Saba segera menceritakan kembali apa yang pernah dialaminya kala lima tahun silam, tentang kehancuran rumah tangganya karena ulah Kardika.
Mendengar penuturan Wayan, Jaka dari sang Raja pun terdiam. Dari wajah mereka tergambar rasa haru. Setelah Wayan selesai menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, Baginda berkata:
"Kalau memang begitu, aku mengijinkan kau untuk menghadapinya. Tangkaplah dia hidup-hidup bila dapat, bila tidak, lebih baik dibunuh saja, agar tak ada lagi pemberontak-pemberontak. Kalau kau mampu menyingkirkannya, secara tak langsung, kau telah melindungi seluruh rakyat kerajaan ini dari cengkeramannya. Aku hanya dapat berdo'a semoga kau berhasil, Ki Patih?"
"Terima kasih, Baginda sesembahan hamba. Semoga dengan do'a dari baginda dan rakyat kerajaan ini, hamba dapat melaksanakan tugas."
Setelah meminta pamit pada Rajanya, Wayan Saba dengan segera kembali ke rumahnya. Untuk menukar pakaian patihnya dengan pakaian persilatan.
********************
Dihentakkan tali kudanya, hingga kuda yang ditumpanginya segera lari dengan kencangnya. Wayan Saba terus melarikan kudanya dengan cepat, menuju desa Randu yang telah ditentukan oleh Kardika untuk saling bertemu.
Desa Randu adalah sebuah desa yang sangat makmur, di mana letaknya sangat strategis untuk lalu lintas perdagangan. Di situ pula lima tahun yang silam, Kardika telah membuat keonaran saat malam pengantin Wayan Saba dengan I Ayu Mantini tengah berlangsung, yang menjadikan Wayan harus terkurung di dasar jurang lima tahun lebih.
Dalam perjalanan menuju ke desa Randu, kembali Wayan teringat akan istrinya. Tapi wajah Dewi Ayu Laras pun muncul menggodanya, hingga kebimbangan di hati Wayan pun terjadi. Bimbang untuk menentukan sifat, bimbang untuk menyerahkan cinta di hatinya. Apakah pada I Ayu Mantini yang ia sayangi lima tahun yang lalu? Atau pada Dewi Ayu Laras yang selalu menghibur dan merayunya di kala dia tengah bimbang untuk berbuat?
Ingat akan Dewi Ayu Laras, menjadikan Wayan kembali teringat akan kejadian-kejadian yang telah mereka berdua lakukan selama setengah tahun belakangan. Malam itu, ketika udara terasa panas, Wayan tampak gundah gulana. Sudah beberapa kali ia mencoba memejamkan mata, namun ia tak mampu. Maka dengan agak malas, Wayan pun segera keluar untuk mencari angin.
Ketika ia tengah menikmati udara malam, tibatiba ia dikejutkan oleh seseorang yang datang menghampirinya. Orang itu yang ternyata Dewi Ayu Laras, tersenyum padanya, senyum memikat hingga Wayan tak mampu berkata apa-apa, Wayan hanya dapat memandang tubuh Dewi Ayu Laras yang malam itu mengenakan gaun tipis, hingga lekuk-lekuk tubuhnya tampak jelas kelihatan.
"Kau masih di luar, Wayan? Kenapa...?" tanya Dewi Laras manja.
"Benar, Kanjeng Dewi. Udara di dalam terasa panas, hingga aku memutuskan untuk mencari hawa di luar. Bagaimana dengan kanjeng Dewi sendiri?"
"Aku tak dapat tidur, Wayan?" "Kenapa demikian, Kanjeng Dewi...?"
"Entahlah. Kenapa bayangan itu selalu datang saat aku hendak tidur?" tanya Dewi Laras seperti pada diri sendiri.
"Bayangan apakah gerangan? Apakah ada orang yang berani mengganggu ketenangan kanjeng Dewi?" bertanya Wayan tak mengerti, yang mengira bahwa Dewi Laras tengah berkata dengan sesungguhnya. Dewi Laras tampak tersenyum memikat, demi mendengar pertanyaan Wayan. Membuat Wayan mengernyitkan alis matanya, kembali bertanya:
"Kenapa kanjeng Dewi tersenyum? Apa ada yang lucu pada ucapan hamba?"
Untuk kedua kalinya Dewi Laras tersenyum. "Wayan, Kau tahu orang yang mengganggu tidurku?"
"Tidak, Kanjeng Dewi. Kanjeng Dewi berkenan mengatakannya...?"
Lagi-lagi Dewi Laras tersenyum, makin mendekat pada Wayan yang hanya terdiam. Tanpa diduga sebelumnya oleh Wayan, Dewi Laras seketika memeluk tubuhnya membuat Wayan tersentak kaget.
"Kanjeng Dewi! Kenapa kau...?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dewi Laras. Bahkan makin dieratkannya pelukan ke tubuh Wayan yang tak mengerti. Dari mulut Dewi Laras, terdengar desah: "Wayan... aku merindukan saat-saat seperti ini. Peluklah aku, Wayan... peluklah. Berbuatlah sesukamu."
Sekokoh-kokohnya hati Wayan, menerima keadaan seperti itu seketika runtuh. Dengan segala gejolak dibopongnya tubuh Dewi Laras yang masih bergayut dengan manja ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian, kedua insan manusia itu telah lupa pada keadaannya. Keduanya kini telah terjerat oleh angan-angan yang dibuat setan. Angan-angan mereka melambung tinggi, hingga ke puncak yang diinginkan. Lalu keduanya sama-sama terjatuh dengan sejuta kenyataan yang ada. Kenyataan yang tak mungkin dihapus, atau dibuang begitu saja.
********************
Wayan tersentak dari lamunannya, ketika terdengar suara Jaka yang diucapkan dari jarak jauh. "Saudara Wayan, kau seperti melamun. Kenapa...? Kau tak boleh bimbang, sebab kebimbangan akan menjadikanmu teledor. Hal itu akan membuatmu merasa kurang percaya diri untuk menghadapi Kardika. Buanglah segala macam pikiranmu, pusatkan pada apa yang telah menjadi tujuanmu semula..."
"Saudara Jaka, terima kasih atas peringatanmu. Di mana sekarang engkau berada?" tanya Wayan setelah dapat menenangkan pikirannya. Dalam hatinya terbersit rasa kagum pada sahabatnya. Betapa tidak! Dari jarak yang begitu jauhnya, masih dapat memantau dirinya.
"Aku selalu berada di belakangmu. Aku di sini, Saudara Wayan!"
Tiba-tiba tanpa diketahui oleh Wayan sebelumnya, telah duduk di atas punggung kudanya membonceng di belakangnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Maka untuk yang kedua kalinya, Wayan terkejut. Makin yakinlah di hati Wayan, bahwa orang yang menjadi sahabatnya adalah orang yang dikatakan oleh gurunya.
"Inikah orang yang dimaksud guru? Salah seorang yang ilmunya sukar untuk ditandingi?" membatin Wayan bertanya pada diri sendiri.
Melihat Wayan terkejut, Jaka Ndableg tersenyum sembari bertanya. "Kenapa terkejut? Aku sebenarnya dari tadi ada di belakangmu. Namun karena kau tengah melamun, hingga kau tak merasakan ada orang yang naik di belakangmu. Karena kau lalai, aku sengaja memperingatkanmu."
Makin bertambah yakinlah hati Wayan, mendengar penuturan Jaka, yang nadanya merendah. Wayan tahu sejak keluar dari istana, Jaka tidak bareng dengannya. Tapi tahu-tahu pemuda itu telah duduk di kudanya. Hal ini sangat mustahil dilakukan oleh orang biasa, karena Wayan yang berilmu cukup tinggi akan mengetahuinya terlebih dahulu. Tapi pemuda ini, membikin Wayan merasa dirinya masih jauh dan kecil bila dibandingkan dengannya.
"Terima kasih, Saudara Jaka. Kini aku sadar atas kelalaianku. Apa jadinya bila kau musuhku?" bergumam Wayan seperti menyesali keteledorannya.
"Kau terlalu merendahkan diri. Nah, aku turun di sini. Aku akan selalu mengikutimu," berkata Jaka, membuat tenang hati Wayan yang segera menghentakkan tali kudanya. Kuda yang ditumpakinya segera lari dengan kencang.
Kala Wayan kembali menengok ke belakang, Jaka sudah tak ada di tempat semula. "Sungguh luar biasa ilmunya!" mendecak kagum hati Wayan.
Ketika malam tiba, Wayan Saba pun segera mencari penginapan untuk beristirahat. Karena perjalanan yang sangat melelahkan, hingga Wayan pun langsung tertidur dengan nyenyaknya. Malam begitu dingin, hingga keadaan di sekeliling penginapan itu sepi. Dua sosok bayangan berkelebat dari rerumpunan pohon yang tumbuh di sekitar penginapan itu. Bayangan kedua orang itu, meloncat ke atas wuwungan penginapan. Dibukanya genting penginapan itu dengan tanpa mengeluarkan suara, hingga Wayan yang tengah tertidur tidak mendengar suara sedikitpun.
Tanpa diketahui oleh kedua orang yang bermaksud jahat pada Wayan, seseorang dari tadi mengawasi gerak-gerik keduanya dari atas pohon kapuk. "Hem... Wayan rupanya tak sadar akan bahaya yang akan menimpa. Mungkin ia tengah tertidur pulas karena kecapaian setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Apakah aku harus turun tangan? Tidak! Biarlah Wayan sendiri yang mengatasinya. Tapi... kenapa dia tidak segera terbangun? Akan aku bangunkan dia dengan ilmu Penyusup Suara. Wayan... bangunlah! Bahaya ada di mana-mana, termasuk di hadapanmu sekarang. Bangunlah...!"
Mendengar suara orang yang cukup dikenalnya, seketika Wayan tersentak bangun. Bersamaan dengan itu, dua orang yang bermaksud jahat padanya turun dan langsung menyerang. Wayan yang merasa jengkel dan menyesali akan kelalaiannya, menumpahkannya pada kedua orang yang menyerangnya. Maka ajian Tapak Sakti pun dikeluarkan. Kedua orang yang bermaksud buruk padanya menjerit panjang, hangus bagai dipanggang api terhantam pukulan Wayan. Dibukanya cadar yang menutupi muka kedua orang tersebut. Wayan Saba seketika terkejut bukan alang kepalang, karena orang-orang itu adalah prajurit-prajurit istana.
"Apa arti semua ini? Mengapa orang-orang istana hendak membunuhku? Kini aku tahu, memang dalang dari semuanya ini adalah orang istana yang menghendaki kerajaan hancur." membatin Wayan.
Dengan rasa gusar, dilemparkannya kedua tubuh orang itu yang telah menjadi bongkahan arang keluar. Malam itupun, Wayan Saba tak dapat memejamkan matanya sampai pagi tiba. Ketika dilihatnya hari telah pagi, Wayan Saba pun segera meneruskan perjalanannya menuju ke desa Randu. Di dalam pikirannya terus bertanya-tanya tentang kejadian semalam. Kini Wayan mengerti akan apa yang dikatakan oleh sahabatnya Jaka, bahwa Kardika pasti akan berbuat licik. Hal itu telah terbukti semalam, untung Jaka telah mengirimkan peringatan lewat ilmu Penyusup Suara.
Firasatnya yang tajam, mengatakan bahwa kerajaan kini tengah dilanda pemberontakan. Hal itu membuat Jaka, bimbang. Apakah akan terus mengikuti Wayan, atau kembali ke kerajaan dan meninggalkan Wayan sendirian? Setelah berpikir masak-masak. Jaka dengan ilmu menyusupkan suaranya berkata pada Wayan yang saat itu masih melanjutkan perjalanannya menuju ke desa Randu.
"Saudara Wayan, kau dengar suaraku?" Mendengar suara Jaka memanggilnya, segera Wayan memperlambat lari kudanya.
"Ya...! Di mana kau, Saudara Jaka?" tanya Wayan sembari mencari-cari Jaka yang belum juga nampak di hadapannya.
"Aku masih di desa Tunggeng. Aku mendapat firasat, bahwa kerajaan kini tengah mendapat ancaman. Maka dari itu, aku bermaksud kembali ke kerajaan. Apabila kau telah selesai menjalankan tugasmu, kuharap kau segera kembali. Ku doa'kan kau berhasil..." Setelah berkata begitu tanpa menunggu jawaban dari Wayan, segera berlalu meninggalkan desa Tunggeng Jaka kembali ke kerajaan Bayu Lor.
********************
Malam bulan purnama tiba, ketika di sebuah lapangan yang cukup luas, sesosok tubuh berdiri tak bergeming. Orang itu, yang ternyata Wayan adanya, tengah menunggu kedatangan Kardika. Angin malam yang dingin, makin menambahkan suasana mencekam. Dari arah Timur tampak bayangan lain melangkah menuju ke tengah lapangan. Wayan segera dapat mengenali orang itu, walau orang yang kini melangkah mendekatinya telah berubah pisik dengan kumis dan jambang yang tubuh di mukanya. Wayan tampak masih tenang, ketika orang yang ia tunggu makin mendekat ke arahnya dengan senyum mengejek.
"Wayan Saba, tak nyana kita bakal bertemu kembali di sini. Dulu nyawamu masih dilindungi oleh Yang Wenang. Namun sekarang, aku akan mencabutnya."
Wayan tampak masih tenang, tak terpengaruh dengan ucapan Kardika sedikit pun. Hanya matanya saja yang terus mengawasi gerak-gerik Kardika. "Kardika! Kau tak lebihnya iblis berbentuk manusia, yang tak mengerti akan rasa terima kasih. Setelah kau dapatkan ilmu Wesi Geni, begitu teganya kau siksa guru. Dan yang lebih dari pada itu, kau lemparkan guru yang sudah tak berdaya ke dalam jurang itu, lalu kau curi kitab aji Wesi Geni. Sesuai amanat guru, aku hendak meminta kembali kitab itu, sekaligus menghukum mu!"
Mendengar ucapan Wayan, seketika meledaklah tawa Kardika yang menganggap ucapan Wayan tak ubahnya anak kecil. Karena merasa aji Wesi Geni paling tinggi, maka Kardika pun meremehkan orang lain. Ia tak menyangka kalau Ki Turangga Bayu telah menciptakan ilmu tandingannya, yaitu Ilmu Catur Langkah! "Wayan Saba, kitab yang kau maksud telah menjadi milikku. Tak seorang pun yang akan dapat mengambilnya dariku, termasuk kau! Ha... ha... ha!"
"Jangan takabur, Kardika. Kuakui ilmumu memang tinggi, apalagi dengan aji Wesi Geni. Tapi setinggi-tingginya ilmu orang, pasti akan ada yang lebih tinggi. Maka itu aku sarankan, kembalikan kitab itu padaku. Kau bukan haknya, sebab kau mendapatkannya dengan cara mencuri..."
"Sudah aku katakan, bahwa aku tak akan menyerahkan kitab yang telah di tanganku. Sekarang hal lain, Wayan Saba. Ketahuilah, aku akan mengampuni selembar nyawamu bila kau mau membantuku menggulingkan raja dungu itu. Dan lebih dari itu, kau akan dapat bersanding kembali dengan istrimu. Sekaligus akan kuberikan padamu kedudukan yang lebih tinggi." Mendengar ucapan Kardika yang seakan menghinanya, seketika Wayan menjadi geram. Dengan lantang, Wayan pun berkata sengit: "Kardika! Kukatakan sekali lagi, menyerahlah!"
"Kardika tak ada istilah menyerah. Lakukanlah apa yang kau mampu terhadap diriku, Wayan."
Wayan Saba yang sedari tadi mencoba sabar, kini berubah jadi berang. Wayan pun kembali berkata dengan penuh kekesalan. "Bila kau tak mau mengembalikan kitab yang kau curi, dan tak mau menyerah, jangan salahkan aku bertindak!"
"Sudah kubilang, Patih busuk! Aku tak sudi menyerah, dan tak akan menyerahkan kitab Aji Wesi Geni padamu. Mari kita buktikan, siapa yang sakti di antara kita!"
Kembali Wayan Saba mendengus marah. Maka dengan didahului bentakan, Wayan Saba pun segera menyerang. "Jangan lengah, Kardika!"
Pertarungan antara kedua musuh bebuyutan, yang sekaligus bekas saudara seperguruan tak dapat dicegah. Masing-masing mempunyai andalan ilmu yang mereka miliki, yang sumbernya dari seorang yaitu Ki Turangga Bayu. Jurus-jurus mereka keluarkan dengan cepat. Sudah hampir enam puluh jurus mereka saling serang dan mengejar. Tapi nampaknya keduanya seimbang. Dari adu ilmu tangan kosong, kini keduanya menggunakan senjata masing-masing.
Wayan Saba dengan senjata Pedang Seriti Kuning, sementara Kardika dengan senjatanya sepasang clurit emas. Karena keduanya menggunakan ilmu silat tingkat tinggi, hingga gerakan-gerakan mereka tampak cepat. Pedang Seriti Kuning di tangan Wayan Saba bergulung-gulung dengan cepatnya, sepertinya memiliki mata terus mencari sasaran yang mematikan.
Kardika agak tersentak melihat permainan pedang Wayan Saba yang begitu cepatnya, yang tak memberi peluang sekalipun baginya untuk berbalik menyerang. Dengan melompat mundur, Kardika segera merapalkan ajiannya Wesi Geni. Seketika tangan Kardika berwarna merah kehitam-hitaman bagai besi yang membara.
Melihat hal itu, dengan segera Wayan pun melompat mundur beberapa tombak. Lalu Wayan pun segera mengeluarkan ilmu Catur Langkah, sejenis jurus silat yang aneh dengan mengandalkan langkah-langkah yang merupai permainan catur. Dengan didahului oleh pekikan, keduanya segera berkelebat saling menyerang.
"Duaar...!" Terdengar suara ledakan dahsyat, ketika dua tenaga dalam beradu. Wayan terdorong dua tombak ke belakang, sementara Kardika sendiri terpental hampir sepuluh tombak. Mulutnya keluar darah segar.
"Katakan, di mana istriku! Dan di mana kau sembunyikan kitab Aji Wesi Geni yang telah kau curi?" bertanya Wayan Saba, setelah untuk beberapa saat terdiam memandang pada Kardika yang terduduk tak berdaya.
"Bunuhlah aku! Bunuh...!"
"Tidak, Kardika. Katakanlah di mana istriku, dan kitab Wesi Geni. Mengenai dirimu, aku tak berhak. Tapi kerajaan dan gurulah yang berhak menghukum mu."
Kardika sesaat terdiam, di hatinya kelicikan pun menjalar. Setelah segala kelicikan terlukis di hatinya, Kardika berkata: "Itu istrimu!"
Wayan Saba segera mengikuti arah yang ditunjuk Kardika. Tampak seorang wanita yang tak lain dari pada I Ayu Mantini berlari-lari menuju ke arahnya.
"Kakang...!"
Melihat hal itu, Wayan Saba pun segera menyongsongnya sembari berseru. "I Ayu...!"
Ketika keduanya hampir berpelukan, Kardika yang memang licik segera melemparkan cluritnya dengan sisa-sisa tenaga ke arah mereka. I Ayu Mantini yang melihat Kardika melemparkan cluritnya, berseru memperingatkan pada Wayan, yang segera mengelak.
"Ah…!"
Selamat bagi Wayan, tapi hal itu harus ditebus dengan tubuh I Ayu Mantini. Clurit Kardika telah menancap tepat di perut I Ayu Mantini, yang seketika roboh terkulai di tanah dengan darah yang keluar dari lukanya. Serta merta, Wayan pun segera memeluk tubuh istrinya. Dan dengan bibir bergetar menahan marah, Wayan berkata:
"Istriku... kenapa kita harus berpisah. Kenapa kau harus meninggalkan aku setelah kita bertemu?"
"Ka... kang. A... aku mencintaimu. A... aku tung... gu dirimu, di surga." I Ayu Mantini pun terkulai lemas.
"Istriku... I Ayu Mantini, jangan tinggalkan aku! Iblis... kubunuh kau! Kubunuh...!" Digeletakkannya tubuh I Ayu Mantini yang telah meninggal. Dengan segenap emosinya, Wayan pun segera menyerang Kardika dengan aji Lebur Raga.
Kardika yang tak sempat menghindar menjerit kala ajian itu menghantamnya. Seketika tubuh Kardika hancur berantakan, hangus terbakar. Api yang keluar dari tangan Wayan Saba, membakar seluruh tubuh Kardika yang telah hancur luluh.
Setelah menyaksikan musuhnya telah hancur, Wayan Saba pun segera kembali ke tubuh istrinya yang telah mati. Dengan penuh kasih, dibopongnya mayat I Ayu Mantini pergi meninggalkan desa Randu.
Bulan purnama pun seketika tampak redup. Seakan mengiringi kepergian Wayan yang membawa mayat istrinya, melangkah meninggalkan lapangan yang tampak terang oleh api yang terus menjilati tubuh Kardika.
S E L E S A I