Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Geger Kitab Inti Jagat
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Geger Kitab Inti Jagat
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
MASIH tersisa sangat kecil, hingga masih tampak remang-remang. Ayam jantan telah berkukuk ruyuk menandakan bahwa hari telah disetujui subuh. Dari kejauhan terdengar derap langkah kaki kuda, yang dipacu dengan cepat.
Berbicara tentang mereka yang tengah berbicara tentang kereta tampak tergesa-gesa. Penunggang kereta itu ada tiga orang, dua lelaki dan seorang wanita. Setelah penunggang yang berada di kereta, menengok ke arah belakang di mana tampak dari kejauhan dua orang dengan menunggang kuda naik kereta mereka.
"Trenggono, tak bisakah kau percepat sedikit larinya?" bertanya si wanita yang duduk di kereta, saat jarak mereka dengan dua orang pengejarnya semakin menyempit.
Tanpa banyak kata, Trenggono si kusir kereta dengan segera menarik kais dan mencambuk kudakuda penarik kereta yang mengejutkan dan lari cepat.
"Ibu, siapakah kedua orang yang dari tadi mengejar kita? Sepertinya Arya lihat, kedua orang itu kemarin sore telah mengikuti kita." Anak lelaki yang bernama Arya seketika bertanya pada ibunya.
"Mereka orang jahat, Arya," menjawab sang ibu.
Tapi Arya yang belum tahu maksud ucapan ibunya, kembali bertanya. "Mengapa mereka hendak menjahati kita, Bu?"
Ditanya seperti itu oleh anaknya, seketika sang ibu tampak berkaca-kaca matanya. Lalu dengan mencoba membendung air mata agar tidak ke luar, si ibu menjawab. "Arya, bapakmu dulu seorang pendekar yang ditakuti dan disegani oleh kawan maupun lawan. Hal itu membuat Bapakmu banyak teman, juga banyak lawan. Teman kadang-kadang baik, ada juga yang jahat. Seperti saat kau masih bayi, bapakmu telah dikhianati oleh temannya sendiri..."
"Dikhianati? Mengapa bapak dikhianati? Apakah bapak punya salah, Bu?" bertanya Arya memotong cerita ibunya, yang kembali mendesah panjang.
"Entahlah anakku. Ibu tak tahu, apa kesalahan bapakmu hingga mereka tega membunuhnya." Dengan berlinang air mata, si ibu dengan terlebih dahulu mendekap tubuh anaknya bercerita tentang mengapa dan siapa yang telah membunuh suaminya.
"Sepuluh tahun yang silam. Ketika kau baru lahir ke dunia, keluarga kita hidup rukun dan penuh kebahagiaan. Ayahmu adalah seorang pendekar lurus yang berilmu tinggi, hingga ia ditakuti dan disegani. Pada suatu hari. Datang ke rumah tiga orang temannya, yang memang sudah sering kali datang. Tapi hari itu, mereka tampaknya lain dari biasanya. Mereka sepertinya marah pada ayahmu, yang waktu itu hanya mengernyitkan alis matanya sembari bertanya.
"Sodra, Lombang, dan kau Wungkal Gunung, ada hal apakah hingga kalian datang ke tempatku dengan membawa perasaan lain dari biasanya? Apakah aku telah berbuat salah pada kalian? Atau barang kali ada ganjelan di hati kalian yang ingin kalian sampaikan padaku?"
Ditanya seperti itu, mereka bukannya langsung menjawab. Tapi dengan sorot mata tajam, ketiganya memandang tajam pada Kerto Pati yang makin tak mengerti saja hal apa yang dikehendaki ketiga temannya.
"Heh, apakah kalian telah gagu hingga tak menjawab pertanyaan yang aku ucapkan? Atau barang kali kalian telah dirasuki iblis yang menjadikan kalian orang-orang tak tahu adat!" Sumo Kerto Pati membentak marah, demi melihat ketiga temannya berubah dalam segalanya.
Mendengar Sumo Kerto Pati membentak, tiba-tiba salah seorang dari ketiganya yang bernama Lombang balik membentak Kerto Pati yang seketika tersentak. "Kerto Pati! Rupanya di balik kebaikanmu, yang mengaku pendekar lurus tak lebihnya nafsu iblis. Kau telah mengorbankan temanmu guna memenuhi ambisi mu yang gila dan tak masuk akal. Kau bunuh temanmu, setelah kau mendapatkan kitab Inti Jagad. Tindakanmu begitu keji, Kerto Pati. Tak pantas kau menyandang gelar Pendekar berbudi luhur, kalau dalam kenyataannya tindakanmu tak lebih dari iblis!"
"Tutup mulutmu! Siapa yang telah membuat fitnah. Katakan! Siapa yang telah berkata begitu!" demi mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh Lombang. Dicengkeram dan diguncang-guncangkan tubuh Lombang, yang hanya terdiam memandang pada Kerto Pati. Melihat ketiganya terdiam, makin membuat Kerto Pati penasaran. "Lombang, aku tahu kau seorang pendekar yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Katakanlah padaku, siapa yang telah membuat fitnah keji itu?"
"Kerto Pati. Kalau kau ingin mengetahui siapa yang telah mengatakannya pada kami, kami harap kau mau turut bersama kami," menjawab Sodra.
Saat itu juga, mereka berempat pergi meninggalkan rumah Kerto Pati menuju tempat yang dimaksud.
"Sejak saat itu, Ayahmu tak pernah muncul lagi ke rumah. Hal itu membuat ibu cemas, lalu dengan menitipkan dirimu pada tetangga ibu segera mencari ayahmu. Ternyata ayahmu telah mati, dibantai oleh ketiga temannya yang sebenarnya bermaksud merebut kitab Inti Jagad," berkata si ibu, setelah menceritakan kejadian yang dialami ayah Arya.
"Apakah mereka mendapatkannya, Bu?"
"Tidak anakku, sebab Kitab itu telah ayah titipkan pada pamanmu yang bernama Rupaksi setelah ayahmu mendapat firasat tak baik."
"Lalu untuk apa orang-orang itu kini mengejar-ngejar kita, Bu?"
"Mulanya mereka berusaha mencari sendiri kitab yang oleh ayahmu dititipkan pada pamanmu. Namun setelah bertahun-tahun tak menemukannya, mereka pun akhirnya bermaksud meminta keterangan pada ibu tentang di mana Kitab itu disimpan. Namun sebelum mereka dapat menemukan ibu, ibu telah pergi meninggalkan rumah bersamamu. Tentu kau masih ingat, bukan?"
Mendengar penuturan ibunya, seketika mata Arya membeliak berkacakaca. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dipikirkan oleh bocah kecil itu, yang tiba-tiba berkata kembali pada ibunya. "Ibu, apapun yang terjadi janganlah sekali-kali ibu memberi tahukan keberadaan kitab itu. Sebab bila kitab itu jatuh ke tangan orang-orang seperti mereka, sangat berbahaya."
Terharu ibunya, demi mendengar penuturan yang diucapkan oleh anaknya yang baru sepuluh tahun. Mata wanita itu berkaca-kaca, seperti menggambarkan perasaan bangga pada anaknya yang telah mampu membandingkan mana yang baik dan buruk. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya rambut sang anak yang kini merebahkan kepala pada pangkuannya.
"Kalau begitu, ayah merupakan seorang pendekar yang agung yang lebih rela berkorban untuk kepentingan orang banyak, di atas kepentingan pribadinya," berkata Arya sepertinya menggumam pada diri sendiri, makin membuat sang ibu terharu.
Kereta yang mereka tumpangi masih melaju dengan kencangnya, meninggalkan kedua orang yang mengejarnya di belakang. Hari telah benar-benar pagi, ketika mereka tiba di desa yang mereka tuju yaitu desa Kemanggungan. Di desa itu, tinggal adik seperguruan ayah Arya yang bernama Kerta Rukita atau pendekar Kera. Maka dengan segera, disuruhnya sang kusir menuju tempat Kerta Rukita, Kerta Rukita sangat bahagia, melihat kedatangan kakak ipar dan kemenakannya. Mereka disambut dengan penuh suka cita.
"Mbakyu, lama kita tak bersua sejak kelahiran Arya. Kini mbakyu datang secara tiba-tiba tanpa memberi tahu pada kami sebelumnya, ada apakah gerangan?" bertanya Kerta Rukita setelah mempersilahkan kakak iparnya duduk.
Ditanya oleh adik iparnya seperti itu, seketika ibu Arya yang sudah tak dapat lagi menahan air mata akhirnya menangis membuat Kerta Rukita dan isterinya saling pandang dan mengerutkan alis mata demi melihat kakak iparnya menangis,
"Maaf, Mbakyu. Bukannya aku. bermaksud menggugah kepedihan hati mbakyu. Tapi, aku hanya ingin tahu saja apa yang telah terjadi pada keluarga kakak Kerto Pati?"
"Kakakmu mati dibunuh oleh teman-temannya yang telah mengkhianati, karena mereka menghendaki kitab Inti Jagad" berkata ibu Arya sembari berlinang air mata, membuat Kerta Rukita terbelalak dengan mata melotot penuh kemarahan.
Mulut Kerta Rukita mendesis, gigi-giginya seketika beradu bergemeretukan. Tak terasa air matanya meleleh, ketika memandang pada kemenakannya Arya. Maka bagaikan seorang anak kecil, Kerta Rukita menangis sembari memeluk tubuh kemenakannya
"Aku tak akan tinggal diam! Mereka harus menerima pembalasanku, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!" menggeram Kerta Rukita, hingga membuat semua yang ada di situ terdiam tanpa berani berkata.
"Besok pagi, aku akan pergi ke sana untuk menuntut balas kematian kakang Kerto Pati." lanjut Kerta Rukita berkata, membuat semuanya seketika membelalakkan mata. Sedang mereka dicekam ketegangan, tiba-tiba terdengar suara orang di luar berteriak mengucap salam.
"Sampurasun! Adakah orang di dalam ?!"
"Bedebah! Tamu macam apa kau, berteriak-teriak seperti di tengah hutan saja!" membentak Kerta Rukita yang tengah dilanda amarah. Dengan segera, Kerta Rukita berlari keluar rumah menemui tamunya diikuti oleh isteri dan kakak iparnya juga Arya yang digandeng oleh kusir keretanya.
"Siapa kalian! Apakah kalian tidak mengerti tata krama bertamu, hingga kalian berteriak-teriak seperti di tengah hutan saja!"
Sang tamu tersenyum sinis, demi mendengar ucapan Kerta Rukita. Sementara Ibu Arya, melihat siapa yang datang. "Mengapa kalian mengejar-ngejarku terus? Bukankah sudah aku katakan pada kalian, bahwa aku tak tahu tentang kitab yang kalian maksudkan?" berkata ibu Arya, membuat Kerta Rukita tersentak dan memandang bengis pada kedua tamunya sembari berkata sinis.
"Rupanya kalian orangnya, yang telah membunuh kakakku. Kebetulan, aku tak usah mencari-cari kalian."
Kembali kedua orang yang ternyata Sodra dan Wungkal Gunung adanya, tersenyum kecut dan berkata: "Hem, Rupanya kau adik seperguruan Kerta Pati, yang bernama Kerta Rukita. Bagus, bagus. Kami kira, kau tahu akan kitab Inti Jagad yang dimiliki kakakmu. Serahkanlah buku itu pada kami, sebab kamilah yang berhak, memilikinya," kata Wungkal Gunung.
"Kalaupun aku tahu. Maka aku tak akan memberi tahu pada kalian, sebab kalian bukan orang-orang yang tahu balas budi. Kalian dengan kedok sahabat, tak lebihnya seekor srigala! Orang-orang macam kalian, tak pantas untuk tetap hidup di dunia. Tempat kalian adalah Neraka!"
"Kerta Rukita, lancang kau berkata! Tak tahukah dengan siapa kau berhadapan, hingga berani kau berkata yang menyinggung perasaan kami?!" membentak Sodra, yang jengkel melihat tingkah Kerta Rukita. Tangannya telah diangkat ke atas siap untuk menyerang Kerta Rukita.
"Jangan dulu, Sodra. Tak ada gunanya mengumbar amarah, kalau akhirnya tujuan kita sia-sia. Kerta Rukita, kalau kau tak mau mengakuinya bahwa kau mengerti di mana kitab Inti Jagad disembunyikan. Maka aku minta biarkanlah aku menanyainya pada isteri Kerto Pati, yang mungkin tahu di mana kitab itu disembunyikan."
"Tidak! Aku tak mengijinkan kalian berbuat semena-mena terhadap iparku, apalagi kini berada di rumahku. Nah, kiranya kalian mengerti. Hiat...!"
Tanpa diduga oleh Sodra dan Wungkal Gunung, tiba-tiba Kerta Rukita menyerang dengan ganasnya. Kedua orang itu tersentak. Hampir saja keduanya kena terhantam pukulan Kerta Rukita, kalau saja mereka tak segera mengelak.
"Setan alas! Diajak baik-baik, rupanya memilih mati! Baik, jangan salahkan kami bila telengas menurunkan tangan jahat. Bersiaplah!" memaki Wungkal Gunung sembari berkelit menghindari serangan Kerta, kemudian berbalik menyerang.
"Slompret! Rupanya kau keras kepala, seperti kakakmu. Baik! Mari kita main-main," Sodra pun tak kalah marahnya, demi diserang begitu mendadak oleh Kerta.
Tanpa dapat dicegah, mereka akhirnya terlibat perkelahian. Kerta Rukita yang telah mendendam pada mereka, nampak seperti ingin segera menghabisi kedua musuhnya. Jurus demi jurus mereka lewati, sepertinya mereka seimbang. Walau dikeroyok dua orang sekaligus, namun murid Elang Buana tampak tak repot. Bahkan dengan gesit, Kerta Rukita berkelebatkelebat bagaikan burung Elang menyambar-nyambar kedua musuhnya.
Kaget juga Sodra dan Wungkal Gunung, yang tak menyangka kalau adik seperguruan Kerto Pati jauh lebih berbahaya dan lebih hebat dibandingkan kakak seperguruannya. Kedua pengeroyoknya tampak terdesak mundur, hal ini membuat Kerta Rukita makin bernafsu. Jurus-jurus yang didapat dari perguruan Elang Sakti, keluar bagaikan arus air deras berganti-ganti.
Sodra dan Wungkal Gunung seketika melompat mundur, lalu dengan segera keduanya mengubah jurus-jurusnya. Makin seru pertarungan itu, karena ketiganya kini makin meningkatkan serangannya. Jurus demi jurus kembali mereka lalui, hingga tak terasa telah melampaui jurus yang keempat puluh. Waktu yang tadinya pagi, telah berubah menjadi siang. Orang-orang yang lalu lalang di situ, seketika berhenti dan menonton perkelahian.
Saking serunya pertarungan itu, membuat semua pandangan orang seketika tertuju pada hal itu. Hingga mereka tak memperhatikan, bahwa ada seorang lelaki tua yang dari tadi terus mengawasi pertarungan itu. Mata orang tua itu, sesekali beralih pada Arya yang masih di gandeng oleh tukang sais keretanya
"Hem... Anak kecil itu, sepertinya mengandung daya tersendiri. Kelak apabila tak ada halangan, anak ini bakal menjadi seorang tokoh persilatan" dalam hati lelaki tua itu.
Di pihak lain, tampak pertarungan itu berjalan pincang. Nampaknya Kerta Rukita yang tengah dilanda emosi, mengumbar tenaga hingga serangan-serangannya tak setajam pertama.
"Bahaya, bahaya. Kalau terus-terusan seperti itu, aku rasa dalam beberapa jurus lagi kedua lelaki itu akan dapat menjatuhkannya. Aku harus waspada, sebab seperti yang aku dengar mereka berdua telah menguntit ibu dan anak itu. Aku harus dapat menyelamatkan bocah itu, bila memang kedua orang tersebut bermaksud mencelakainya," berguman lelaki tua itu.
Benar juga apa yang dikawatirkan lelaki tua itu. Dalam tempo beberapa jurus saja, kedua pengeroyok Kerta Rukita dengan mudah mendesaknya. Kerta Rukita tersentak seketika, mendapat serangan balik kedua musuhnya. Ia berusaha bertahan dan sesekali balik menyerang, namun seketika kedua pengeroyoknya telah dengan cepat menghantamkan pukulan yang disertai tenaga dalam menghantam tubuhnya. Kerta Rukita seketika memekik, tubuhnya terdorong ke belakang sepuluh tombak. Dari mulutnya meleleh darah segar. Seketika isteri dan ibu Arya memekik dan menjerit berlari memburu tubuh Kerta Rukita yang terkapar.
"Mbakyu Sukanti, dan kau Istriku. Aku... aku minta jaga di... diri Arya kemenakan ku. Aku... sudah tak, kuat..." Tubuh Kerta Rukita pun lemas, bersamaan dengan jerit tangis isterinya dan Sukanti ibu Arya.
Sodra dan Wungkal Gunung tersenyum sinis, lalu dengan kasar keduanya segera menarik dua wanita itu yang berontak melawan. Tarik menarik antara dua wanita, dan dua lelaki itu menjadikan si orang tua geleng-geleng kepala. Walaupun begitu, si orang tua tak bereaksi sedikitpun untuk berbuat sesuatu.
Melihat ibu dan bibinya disakiti oleh kedua lelaki yang ia tahu jahat, dengan segera Arya kecil itu berusaha membantunya. Digigitnya tangan Wungkal Gunung yang menarik tangan ibunya. Seketika Wungkal Gunung memekik kesakitan sembari melepaskan tangannya. Setelah Wungkal Gunung melepaskan ibunya, dengan cepat Arya berlari hendak menolong bibinya. Tapi, Sodra dengan segera menendangkan kaki ke arah Arya, yang seketika itu terpental.
Kakek tua yang sedari tadi memperhatikannya, terbelalak. "Jahat!" pekiknya dalam hati. Namun kakek tua itu masih tetap berdiri tanpa hendak menolong.
"Kenapa kau sakiti anakku! Iblis kejam!" memaki Sukanti, demi melihat Arya terpental jatuh. Dengan nekad, Sukanti segera menyerang Wungkal Gunung.
Orang-orang yang sedari tadi hanya menjadi penonton, segera bereaksi mengeroyok kedua lelaki itu. Tanpa ampun lagi, Sodra dan Wungkal Gunung pun seketika dikeroyok oleh massa. Sesaat Sodra dan Wungkal Gunung tersentak. Namun demi melihat mereka benar-benar hendak mengeroyoknya, dengan menggeram Sodra dan Wungkal Gunung pun segera memapaki.
"Hem, rupanya kalian pun menghendaki kematian hingga berani kalian mengeroyok kami. Jangan salahkan kalau kami berbuat telengas menurunkan tangan kasar!" membentak Sodra dengan penuh amarah.
Tawuran masal pun terjadi, namun karena si pengeroyok bukan orang-orang pandai bersilat maka sia-sialah keberanian mereka. Sekali tangan Sodra atau Wungkal Gunung berkelebat, jerit kematian pun seketika melengking di antara massa yang mengeroyok. Satu persatu, massa yang mengeroyok itu berjatuhan terhantam pukulan dan tendangan Sodra atau Wungkal Gunung.
"Mbakyu, pergilah selamatkan diri kalian. Biar kami yang menghadapi orang-orang jahat itu," berkata salah seorang di antara massa, yang segera mendorong Sukanti dan isteri Kerta Rukita pergi dari perkelahian itu.
Melihat Sukanti dan Arya serta isteri Kerta Rukita hendak berlari, segera tangan Sodra menghantam dengan pukulan jarak jauh!
"Deb! Deb! Deb!"
Pukulan jarak jauh yang ditujukan pada ketiga orang yang berlari, menghantam Sukanti dan isteri Kerta Rukita yang seketika itu memekik dan ambruk ke tanah. Menangislah Arya, demi melihat tubuh ibunya tak bergerak lagi. Bagaikan kesetanan, Arya berkelebat kembali dan segera menyerang Sodra. Digigitnya paha Sodra, yang seketika itu menjerit tak dapat mengelakkan gigitan Arya karena tengah menghadapi pengeroyokan.
"Iblis kecil!" menggeram Sodra, setelah tahu siapa yang telah menggigitnya. Dengan kasarnya, tangan Sodra berkelebat menghantam tubuh Arya yang masih mencengkeram pahanya.
Hampir saja tubuh anak kecil itu terhantam pukulan maut yang hendak dilontarkan Sodra, saat dengan seketika berkelebat seorang lelaki tua menyambar tubuh Arya dan membawanya pergi.
"Jangan lari!" membentak Sodra, demi melihat lelaki tua itu pergi dengan membawa tubuh Arya. Dihantamkannya pukulan jarak jauh pada tubuh lelaki tua yang dengan tanpa melihat segera mengelakkannya sembari berseru.
"Bukannya aku takut pada kalian, tapi bukan urusannya kalian denganku. Nanti... Sepuluh tahun lagi, kalian akan dapat membuka mata kalian atas perbuatan kalian pada masa-masa sekarang!"
Terbelalak Sodra dan Wungkal Gunung demi mendengar seruan orang tua itu, mereka pun segera mengejar. Namun lelaki tua yang membawa tubuh Arya, sangat cepat larinya meninggalkan mereka yang hanya berdiri mematung Gagal sudah semuanya, sebab tak ada orang lain yang tahu di mana Kitab Inti Jagad disembunyikan. Dengan wajah penuh kekecewaan, keduanya pun segera pergi meninggalkan desa itu kembali menuju tempatnya.
Setelah kegagalan mereka untuk mendapatkan kitab Inti Jagad, kedua orang itu bermaksud menemui temannya yang bernama Lombang. Dipacunya kuda mereka dengan kecepatan tinggi. Debu-debu seketika beterbangan terhempas kaki-kaki kuda mereka. Malam telah datang, kala keduanya sampai di sebuah hutan. Mereka nampak masih memacu kudanya, berlari di tengah hutan dalam kegelapan malam. Tiba-tiba...! Kuda-kuda mereka meringkik, sepertinya kuda-kuda itu ketakutan. Sodra dan Wungkal tersentak, memandang dengan mata tajam pada sekelilingnya dan menghentikan lari kudanya.
"Hati-hati Sodra! Rupanya ada sesuatu, hingga kuda kita ketakutan."
"Benar! Rupanya ada sesuatu, yang tengah mengintai kita. Hem, kalau manusia, jangan harap aku biarkan hidup-hidup." Habis berkata begitu, Sodra segera turun dari punggung kudanya diikuti oleh Wungkal Gunung.
Tiba-tiba...! Dari samping kiri mereka berkelebat sebuah bayangan, berlari mendahului. Dengan segera Sodra dan Wungkal memburu meninggalkan kuda mereka.
"Jangan lari!" Sodra sembari melancarkan pukulan jarak jauh, yang ditujukan ke tubuh orang yang berkelebat di hadapannya. Namun orang itu sepertinya tak mendengar dan terus berlari, membuat keduanya makin penasaran.
Keduanya makin jauh meninggalkan kudanya, terus mengejar bayangan yang berlari. Ketika bayangan orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah keduanya, seketika Sodra dan Wungkal terbelalak dan mundur demi melihat rupa orang yang mereka kejar. Rupa orang itu, adalah rupa seekor kera.
"Kera Siluman!"
Kera siluman menyengir, menunjukkan gigi-giginya yang kuning dan lancip tajam. Lalu tanpa memperdulikan kedua orang yang mengejarnya, Kera Siluman itu kembali berkelebat pergi meninggalkan Sodra dan Wungkal Gunung yang masih memaku.
"Beruntung dia tidak bermaksud jahat pada kita kalau tidak...?" berkata Wungkal Gunung bergidik, hingga pundaknya turut bergerak. Seperti Wungkal Gunung, Sodra pun mengalami hal yang sama.
"Huh... Kalau dia berniat jahat, mungkin kita tak akan dapat mencari kitab Inti Jagad lagi."
"Heh, kenapa kita mesti terbengong di sini? Bukankah kita telah meninggalkan kuda-kuda kita?" Dengan diikuti Sodra, Wungkal Gunung pun berlari menuju tempat di mana mereka meninggalkan kudanya.
Tersentak kaget Sodra dan Wungkal Gunung, demi dilihatnya kuda-kuda itu telah tak ada lagi di tempatnya. Tanpa banyak bicara, keduanya segera mencari kuda-kuda itu. Kedua orang itu berlari dan terus berlari dalam gelapnya malam, meninggalkan hutan itu untuk mencari kuda-kudanya. Tak terasa oleh keduanya, keduanya telah berlari cukup jauh dan lama.
"Hai! Bukankah ini perbatasan desa Cikulir?" berseru Sodra girang, ketika melihat tugu berdiri di depan. Demi mendengar seruan Sodra, Wungkal Gunung segera menghampiri. Di mata mereka seketika tampak kegembiraan, setelah pasti bahwa tugu itu benar-benar perbatasan desa Cikulir.
Keduanya, segera mempercepat larinya untuk memburu waktu, yang sebentar lagi menjelang pagi. Mereka tak menghiraukan lagi kuda-kudanya, terus berlari, menuju tempat yang mereka jadikan pertemuan.
"Bagaimana teman-teman? Apakah kalian berhasil?" bertanya seseorang, yang berdiri di ambang pintu masuk menyambut kedatangan keduanya.
"Gagal! Kami berdua gagal! Rupanya mereka lebih memilih mati daripada menunjukkan di mana kitab itu disimpan Kerto Pati. Mungkin Kerto Pati telah berpesan wanti-wanti pada mereka," berkata Wungkal Gunung.
"Berarti kita tak akan menjadi orang sakti," menggumam orang yang menjemput kedatangan Sodra dan Wungkal Gunung.
"Tidak, Lombang. Kita belum gagal total, setidak-tidaknya kita masih mempunyai harapan."
"Harapan? Harapan apa? Bukankah seluruh keluarga Kerto Pati telah kita bunuh, dari mana lagi kita akan tahu?"
"Tapi anaknya masih hidup. Apakah tak mungkin kita nanti dapat menanyai anaknya?" kata Wungkal Gunung seketika, membuat Lombang membeliakkan mata kaget.
"Masih hidup?" gumam Lombang. "Kenapa tidak kalian bawa ke mari?" lanjutnya bertanya.
"Anak itu dibawa kabur oleh seorang kakek tua, ketika hendak kami lumpukan."
Makin terbelalak kaget mata Lombang demi mendengar penuturan Wungkal Gunung, hingga tanpa sadar Lombang mendesah. "Ah... Bahaya, bahaya, sungguh bahaya besar!"
"Kenapa?" bertanya Wungkal Gunung tak menngerti
Mendengar pertanyaan Wungkal Gunung, seketika Lombang membentak marah. "Bodoh! Apakah kau tak berpikir kalau nantinya anak tersebut menuntut balas pada kita! Aku pikir anak itu telah mendengar bahwa ayahnya mati di tangan kita. Apakah itu bukan merupakan bahaya besar buat kita?"
Terdiam Wungkal Gunung dan Sodra, keduanya seketika menyadari akan kebenaran ucapan Lombang.
"Sudahlah! Tak perlu kita memikirkan apa yang telah berlalu, sekarang kita harus dapat kitab itu. Kalau kita telah mendapatkannya, aku rasa kita tak perlu takut akan ancaman balas dendam anak Kerto Pati"
"Lalu apa yang harus kita perbuat?" bertanya Sodra dengan perasaan agak tenang demi mendengar perkataan Lombang.
"Salah satunya jalan, kita harus menyebarkan ke dunia luas."
Kembali Wungkal Gunung dan Sodra terdiam, mendengar ucapan Lombang.
"Bagaimana...?" bertanya Lombang kembali saat melihat kedua temannya hanya terdiam tanpa reaksi apa-apa.
"Apakah hal itu tidak membuat kedudukan kita makin tercepit?" Sodra sepertinya tak menyetujui rencana temannya. Sementara Wungkal Gunung, hanya acuh-acuh saja tanpa reaksi.
"Tidak, Sodra. Kita harus dapat mempengaruhi mereka untuk berusaha mencari kitab itu. Bila telah mereka dapatkan maka kita harus merebutnya, bagaimana?" Lombang kembali meminta pendapat kedua temannya sembari tersenyum, membuat kedua temannya seketika turut tersenyum pula.
"Pintar kau, Lombang! Baiklah, kami mengikuti apa yang menjadi tujuanmu. Bukan begitu, Wungkal?" kata Sodra, yang diangguki oleh temannya Wungkal Gunung. Ketiganya akhirnya tertawa bersama, bergelak bagaikan menemui kemenangan.
Tokoh-tokoh dunia persilatan seketika gempar, demi mendapatkan berita tentang, hilangnya kitab yang merupakan salah satu kitab pusaka berisikan inti-inti ilmu silat tingkat tinggi. Seketika tokoh-tokoh persilatan pun berusaha mendapatkannya, baik dari golongan lurus maupun dan golongan sesat. Siang, itu tampak sepasang pendekar berjalan menyusuri jalan di desa Cikulir yang merupakan perbatasan wilayah kulon dan wilayah tengah.
"Kakang, bukankah ini tapal batas daerah tengah dan wilayah kulon?" bertanya gadis yang berjalan di samping pemuda.
"Benar, adinda. Desa ini memang desa perbatasan, yang membatasi wilayah kulon dan wilayah tengah. Menurut petunjuk guru, di desa inilah nanti kita akan bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Kakang, untuk apa guru memerintahkan pada kita untuk menemui Pendekar Pedang Siluman? Sepertinya guru sangat berkepentingan sekali dengannya?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu maksud guru. Guru hanya berpesan padaku, agar jangan sekali-kali berlaku tak sopan padanya. Dan yang lebih utama kita harus dapat mengajaknya ke tempat guru," berkata pemuda itu kembali sembari mengerutkan keningnya.
"Ada orang ke mari, mari kita bersembunyi." Diajak adik seperguruannya bersembunyi di balik semak-semak yang tak jauh dari situ.
Lewat seperminum teh keduanya bersembunyi, tampak dua orang penunggang kuda lewat di situ. Wajah kedua orang itu begitu beringas, sepertinya mereka tengah memburu seseorang. Setelah kedua orang penunggang kuda itu berlalu, dengan segera kedua pendekar muda-mudi itu berkelebat mengikutinya dari belakang.
"Kita ikuti mereka, Kakang?"
"Ya! Sepertinya mereka tengah mengejar seseorang, barangkali musuhnya. Kita harus dapat membantu, dan bila perlu menolong orang yang mereka kejar. Aku mempunyai pikiran, bahwa kedua orang tadi bukan orang baik-baik..."
Sepasang pendekar muda itu terus berlari, mengikuti arah yang ditempuh oleh kedua lelaki penunggang kuda didepannya. "Itu mereka, Kakang! Sepertinya mereka kehilangan jejak, mereka mencari-cari sesuatu." berkata gadis di samping pemuda itu, yang mengangguk dan segera menyeretnya bersembunyi.
"Hem... Aku rasa, orang itu bersembunyi di sini. Apakah kau tak tahu orang itu, Songka?" tanya salah seorang dari kedua penunggang kuda, pada temannya yang bernama Songka.
"Tidak! Aku hanya melihatnya ketika orang itu masih di desa Cipulir. Apakah kau yakin orang itu lari ke mari, Gondo?" balik bertanya Songka.
Gondo hanya menggeleng demi mendengar pertanyaan Songka, membuat Songka menggerutu kesal dan kembali berkata: "Kau ini bagaimana, Gondo! Siasia kita ke sini, kalau ternyata orang yang kita kejar tidak ke mari! Ayo kita kembali!"
Kedua orang itupun membelokkan kudanya kembali ke arah semula. Wajah keduanya tampak penuh kekecewaan. Dengan cepat mereka memacu kuda-kudanya. Bersama perginya kedua orang itu, dari dalam semak-semak muncul seorang lelaki dengan bungkusan di tangannya. Di wajah lelaki itu tampak ketegangan, sementara matanya sesekali memandang arah ke mana kedua lelaki itu pergi. Sesekali pula, matanya beralih memandang pada bungkusan kain putih yang tergenggam di tangannya.
"Huh! Gara-gara ketiga penghianat kakang Kerto itu, kini aku menjadi buruan semua pendekar yang menghendaki kitab ini. Kalau mereka tahu sebenarnya, mereka tak akan memburu kitab yang tak ada artinya bagi mereka. Kitab Inti Jagad ini hanya dapat dipecahkan oleh seorang yang mempunyai watak welas asih dan jiwa yang tenang serta budi pekerti yang luhur. Ke mana aku harus mencari keturunan Eka Bilawa?"
Tengah lelaki itu merenung, tiba-tiba di hadapannya telah berdiri sepasang anak muda. Lelaki itu tersentak mundur hendak berlari, ketika sepasang pendekar itu mencegahnya sembari berkata. "Jangan pergi dulu, Ki! Tadi kami mendengar kau menyebut nama Eka Bilawa. Apakah kau mengetahui di mana keturunan Eka Bilawa?" bertanya pemuda dari sepasang pendekar itu, membuat lelaki yang ditanya tersentak membelalakan mata.
"Heh, kau bertanya tentang keturunan Ki Eka Bilawa padaku, sedang aku pun tengah pusing mencarinya. Apalagi aku tengah pusing dengan masalah ku. Aku tak tahu pasti siapa keturunan Ki Eka Bilawa. Apakah kalian mengetahui di mana ia berada? Dan bagaimanakah rupa keturunan Ki Eka Bilawa itu?"
Seketika kedua pemuda itu saling pandang tak mengerti. Lalu dengan perlahan pemuda pendekar itu berkata: "Ki Sanak. Rupa-rupanya kita sama-sama mencari orang yang sama, yaitu anak Eka Bilawa. Apakah engkau mempunyai kepentingan dengannya?"
"Ada," menjawab lelaki itu pendek.
"Apa kepentingannya? Kalau boleh kami tahu?" tanya si dara, yang mengernyitkan alis matanya demi mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
Lelaki itu sesaat memandang pada kedua pemuda-pemudi di hadapannya, sepertinya menyelidik sebelum akhirnya berkata: "Apakah kalian tak tahu. Atau pura-pura tak tahu?"
"Hai. Kenapa kau berkata begitu, Ki Sanak?" bertanya si pemuda yang kaget demi mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
"Rupanya kalian orang baru di sini hingga kalian tak mengetahui apa yang tengah terjadi di desa ini. Aku percaya," berkata lelaki itu, setelah memandang sesaat pada kedua muda-mudi di hadapannya. "Kalau boleh aku tahu. Dari mana kalian? Dan ada kepentingan apakah hingga kalian datang ke mari?"
"Namaku Sendana, dan adikku Rekasih. Kami datang dari wilayah tengah yang tepatnya dari Purwo Karto. Kami datang ke mari karena mendapat perintah dari guru untuk menemui seorang pendekar muda yang bernama Jaka. Dia adalah anak Eka Bilawa atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Menurut wangsit yang diterima guru, pemuda tersebut akan kami temui di desa Cipulir," berkata Sendana menjelaskan.
"Ah, kalau begitu kita setujuan. Aku sendiri tengah mencari orang yang kalian cari, guna menyerahkan kitab pusaka yang menjadi bahan rebutan tokoh-tokoh dunia persilatan saat ini. Oh ya, namaku Rupaksi. Aku dari wilayah kulon yang bernama desa Renggalek."
"Ki Rupaksi, kalau boleh kami tahu, kenapa orang-orang persilatan memburumu? Dan apa yang kau pegang itu?" tanya Rekasih.
Rupaksi sesaat terdiam memandang sejenak pada kitab yang ada dalam genggamannya, sebelum kembali berkata menceritakan apa yang telah terjadi pada desa Cipulir dan kenapa kitab itu menjadi rebutan tokoh-tokoh persilatan.
"Sepuluh tahun yang silam, aku dititipi kitab ini oleh kakakku yang bernama Kerto Pati. Kakakku berpesan agar kitab ini diberikan pada seorang pendekar yang bergelar pendekar Pedang Siluman Darah, murid dari 4 pendekar Sakti. Kata kakakku hanya pendekar Pedang Siluman saja yang mampu mengartikan segala yang tertulis dan tergambar pada kitab ini. Lima tahun kemudian setelah menyerahkan kitab ini padaku. Kakakku mati dikhianati oleh teman-temannya yang berambisi untuk menguasai buku ini. Kalau mereka tahu, sebenarnya sia-sia saja mereka memperebutkan dan memburu kitab ini. Di samping mereka tak akan mampu menterjemahkannya, juga tak bakalan mereka dapat mempelajarinya. Namun karena mereka telah di kuasai ambisi dan nafsu setan, maka disebarlah berita bahwa barang siapa yang dapat memperoleh kitab Inti Jagad akan menjadi tokoh sakti. Memang benar. Barang siapa yang mampu mempelajari isi kitab ini dia akan menjadi tokoh persilatan yang sukar ditandingi."
Kedua pendekar muda-mudi, manggut-manggut mengerti, kemudian Sandana bertanya, "Ki Rupaksi kalau memang engkau bermaksud mencari Pendekar Pedang Siluman Darah, maka lebih baik kau jangan pergi dari desa ini."
"Kenapa?" bertanya Rupaksi, demi mendengar saran yang diucapkan oleh Sendana. Seketika hati Rupaksi bimbang, ketakutan kalau-kalau orang persilatan akan mengetahui bahwa kitab Inti Jagad ada di tangannya.
Melihat ketakutan di wajah Rupaksi, dengan halus Rekasih berkata mewakili kakak seperguruannya: "Ki Rupaksi. Kalau kau ingin tahu, sebenarnya pendekar yang kau cari saat ini ada di desa ini. Mengenai keselamatan kitab itu, kami akan berusaha melindunginya darimu."
Mendengar ucapan Rekasih, seketika tersirat kegembiraan di wajah Rupaksi. Lalu dengan terlebih dahulu menjura, Rupaksi pun berkata: "Ah... Betapa aku yang bodoh ini mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan kalian membantuku. Tapi, apakah nantinya tidak merepotkan?"
Tersenyum Sendana dan Rekasih, mendengar ucapan Rupaksi yang nadanya merendah, dengan masih mengurai senyum, Sendana berkata: "Tidak, Ki. Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai sosial dan kemanusiaan, wajib bagi kami untuk melindungi kitab yang bukan hak mereka yang berada di tanganmu. Ayolah! Segera kita pergi dari sini, sebab bukan tak mungkin orang tadi kembali ke mari."
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera berlalu meninggalkan hutan itu. Memang benar apa yang dikatakan Sendana, kedua orang yang tadi mengejar Rupaksi datang kembali selang beberapa saat setelah mereka pergi.
"Tadi aku dengar ada orang bercakap-cakap, namun kenapa seketika menghilang?" bergumam Gondo, dengan mata mengawasi sekeliling hutan itu.
"Benar! Memang tadi ada orang ke sini. Lihatlah bekas-bekas sepatu mereka, rupanya kita telah keduluan orang lain. Gagal sudah usaha kita untuk menjadi orang paling sakti di dunia persilatan! Mungkin bukan jodoh kita, Gondo?" keluh Songka.
Dengan perasaan kecewa, kedua orang kakak beradik itu kembali menghela kais kudanya meninggalkan hutan menuju ke desa Cipulir lagi. Dihelanya kais kuda dengan cepat, secepat pikiran keduanya yang diliputi kekecewaan menuju ke sebuah kedai di desa Cipulir.
"Kita makan dan mengaso dulu, Gondo!" berkata Songka.
Dihela kais kudanya membelok ke arah Utara, di mana kedai berada. Setelah menambatkan tali kudanya, kedua orang itu segera masuk ke dalam kedai. Keduanya langsung mencari tempat duduk yang masih kosong, karena siang itu kedai tampak penuh dengan pengunjung. Di ujung sebelah kiri kedai, akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk.
Tengah mereka duduk, tampak seorang pemuda masuk ke kedai, yang seketika mengundang perhatian seluruh pengunjung kedai termasuk Soka dan Gondo. Pemuda yang baru datang, yang tak lain si pendekar Pedang Siluman acuh saja berjalan dan mencari tempat duduk
"Jaka Ndableg! Hai, apakah pendekar muda ini juga tengah memburu kitab itu? Kalau memang ya, percuma saja kita turut memburu."
"Kenapa...?" bertanya Gondo, demi mendapat ucapan Soka yang tampaknya jeri melihat pemuda itu. "Kau tahu, Gondo. Kalau pendekar muda itu telah ikut campur, jangan harap kita dapat leluasa dan mampu mendapatkan kitab itu. Jangankan kita, tokoh kelas wahid pun akan berpikir tujuh kali untuk dapat menandingi. Ilmunya sungguh tak ada tandingan pada masa sekarang," kata Soka, memberi tahukan pada Gondo yang seketika terbelalak matanya dan menggumam.
"Hem, jadi inikah pendekar Pedang Siluman Darah yang sering dibicarakan oleh Guru?"
"Ya! maka itu, percuma kita ini. Jangankan kita, guru kita pun tak akan mampu menghadapinya."
Yang mendengar percakapan mereka, tampak acuh saja. Ia terus menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh pelayan kedai di hadapannya. "Hem, rupanya kedatanganku telah dikenal di sini. Heh! Tadi kedua orang itu berbisik mengatakan tentang kitab, kitab apakah gerangan? Ah, coba aku tanyakan pada mereka," bergumam Jaka dalam hati, lalu dengan perlahan penuh ketenangan Jakapun menghampiri Gondo dan Soka yang tersentak kaget demi melihat Jaka tahu-tahu telah berdiri di sampingnya. Belum juga hilang kekagetan mereka, terdengar Jaka Ndableg berkata.
"Boleh aku duduk di sini, Ki Sanak?"
"Bo... Boleh, boleh." tergagap keduanya berkata hampir bersamaan dan dengan segera mempersilahkan Kelana, yang dengan tenang duduk di hadapan mereka.
"Maaf, tadi aku mendengar pembicaraan kalian. Aku mendengar kalian menceritakan tentang kitab. Kitab apakah itu hingga mengundang kaum persilatan berlomba untuk mendapatkan?" bertanya Jaka ingin tahu, membuat kedua orang yang ditanya seketika membelalakan mata.
"Jadi... Jadi tuan pendekar belum mengerti?" bertanya Gondo, dengan ucapan terbata-bata. Sepertinya Gondo tak percaya, demi mendengar pertanyaan Kelana yang seketika tersenyum dan berkata.
"Ki Sanak, janganlah kau meninggikan diriku dengan sebutan tuan pendekar. Apakah aku ini pantas menyandang sebutan itu, yang terlalu tinggi dan agung? Aku orang biasa seperti kalian berdua, yang kadang kalanya senang dan susah. Ah, sudahlah! Oh ya, apakah aku boleh mengetahui kitab yang tengah diperebutkan oleh kaum persilatan?"
Tanpa sungkan-sungkan, kedua orang itu bercerita bergantian saling sambung. Sementara Jaka mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkehendak untuk bertanya ataupun memotong cerita keduanya.
"Begitulah tuan pendekar," berkata Soka, setelah selesai bercerita. Di wajah kedua orang itu tampak was-was, kalau-kalau Kelana marah padanya. Namun seketika keduanya tampak tenang, ketika mendengar ucapan Jaka.
"Ki Sanak semua. Kalau benar apa yang telah Ki Sanak ceritakan, aku rasa janganlah Ki Sanak berdua meneruskannya. Sebab di samping kalian akan mendapatkan tantangan berat bila telah mendapatkan kitab tersebut, juga kitab tersebut bukanlah hak kalian. Aku merasa, ada seseorang yang menghendaki kitab tersebut di belakang kejadian ini. Menurut pendapatku, lebih baik kalian kembali saja ke perguruan. Bagaimana, Ki Sanak?"
Mendengar saran Jaka, kedua orang itu tampak mengangguk. Sepertinya kedua orang tersebut menyadari, betapa selama ini keduanya telah berbuat bodoh. Maka dengan terlebih dahulu mengucapkan terimakasih, kedua orang itu akhirnya menuruti ucapan Jaka, kembali ke perguruan.
"Hem... Menarik juga berita ini, akan aku selidiki. Aku yakin ada maksud tertentu dari seseorang, yang sengaja membuat cerita dusta ini. Siapa kira-kira orang tersebut? Akan aku coba untuk mengungkap misteri ini," membatin Jaka setelah kepergian kedua orang tersebut. Setelah membayar makanan yang dimakan. Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan kedai untuk menyelidiki apa yang sebenarnya tengah terjadi di desa Cipulir.
Semua mata yang hadir di situ, mengikuti kepergian Jaka yang diikuti oleh seseorang dari belakangnya. "Hem... Rupanya ada orang yang mengikutiku, baik akan aku biarkan apa maunya." Merasa ada orang yang mengikutinya, segera Jaka mempercepat larinya dengan menggunakan ajian Delapan Angin. Orang yang menguntitnya pun seketika kebingungan, karena Jaka telah melesat pergi dengan cepatnya bagaikan angin.
Jaka terus berlari meninggalkan orang yang menguntitnya, dan berhenti setelah dirasakannya orang itu telah tak menguntitnya lagi. "Mana yang harus aku kerjakan? Meneruskan mencari Alas Waru, atau menyelidiki berita gegernya Kitab Inti Jagad? Huh, pusing. Kalau aku menyelidiki desas-desus yang diceritakan oleh kedua orang di kedai itu, maka aku tak dapat segera menemukan persembunyian Iblis Alas Waru yang telah membikin keonaran di wilayah wetan. Kalau aku mengejar terus Iblis Alas Waru, berarti aku tak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik kejadian di desa Cipulir tentang Kitab Inti Jagad. Ah, biarlah aku memburu Iblis Alas Waru dulu, setelah itu baru aku menyelidiki desas-desus ini."
Sedang Jaka bingung harus berbuat apa, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara seruling dibawa angin yang ditiup oleh seseorang dengan merdunya. Tanpa sadar, Jaka Ndableg turut berdendang ria. "Kehidupan, adalah perjalanan yang harus kita jalani. Bila kita salah melangkahnya, kesesatan yang kita dapatkan. Tapi bila kita ingat pada yang kuasa, Akan selamat dunia dan akherat..."
Sambil berdendang, kakinya terus melangkah menuju ke asal suara seruling itu ditiup. Tampak di atas cabang pohon asem, seorang wanita duduk dengan santai sembari meniup seruling. "Ni Sanak yang ada di atas, aku kagum mendengar suara seruling mu. Kalau boleh aku tahu, siapakah gerangan Ni Sanak?" bertanya Jaka pada gadis yang duduk menyelonjorkan kaki memandang ke arahnya sembari menghentikan tiupan serulingnya.
Sekonyong-konyong, gadis itu segera melompat turun dan berdiri di hadapan Jaka sembari tersenyum dan berkata: "Ah, Sungguh beruntung hari ini diriku."
"Heh! Apa yang kau maksudkan beruntung, Ni Sanak?" bertanya Jaka kaget, demi mendengar ucapan gadis di hadapannya yang kini tersenyum simpatik.
"Yah, hari ini aku sangat beruntung karena telah bersua dengan seorang tokoh persilatan. Terimalah salam hormat dariku yang rendah dan bodoh ini, semogalah tuan pendekar berkenan menerimanya." tanpa menghiraukan Jaka yang terbengong-bengong tak mengerti, gadis itu telah menjura.
Belum hilang ketidak mengertian Jaka, tiba-tiba gadis yang menjura itu menyerangnya. Makin tak mengerti dan terkejut Jaka Ndableg diserang tiba-tiba. Hampir saja serangan gadis itu mengenai tubuhnya, kalau saja ia tidak segera berkelit menghindar sembari melompat mundur dan bertanya:
"Nona centil! Kenapa kau menyerangku?"
"Kau telah berbuat salah padaku!" menjawab si gadis sembari terus melancarkan serangannya, membuat Jaka Ndableg makin bingung dan berusaha mengelit serangan-serangan yang dilancarkan si gadis.
"Apa?! Bersua saja baru sekarang, kenapa mesti berbuat salah. Kalau memang aku telah bersalah padamu, katakan apa salahku?" tanya Jaka," Kau jangan mengada-ada!"
"Dengar baik-baik. Pertama kau telah berbuat salah, yaitu kau telah ikut berdendang, padahal aku yang meniup seruling bukan kau. Dan yang terakhir, aku ingin tahu sampai di mana ilmu seorang pendekar kelas wahid macammu."
Mendengar alasan si gadis yang menyerangnya, seketika Jaka tertawa bergelak-gelak hingga si gadis segera menghentikan serangan dan memandang sembari mengerutkan alls matanya yang lentik. "Kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu, hingga kau tertawa seenak udel?" bertanya si gadis, makin membuat Jaka tertawa bergelak-gelak dan berkata.
"Ni Sanak. Aku tak akan tertawa bila tak lucu, takut dibilang gila. Bagaimana aku tak tertawa, jawabanmu lucu. Masa hanya karena alasan itu kau menyerangku?"
"Lalu harus alasan apa aku menyerangmu?" bertanya si gadis, yang masih berdiri mematung di tempatnya sembari memandang Jaka yang masih cengengesan.
"Aku rasa, ada sebab lain."
"Ah! Apa itu?"
Mendengar pertanyaan si gadis yang tampaknya menyimpan sesuatu di hatinya, maka Kelana dengan terlebih dulu mengedipkan matanya yang membuat si gadis ded-degan hatinya berkata konyol.
"Aku rasa, kau menyerangku karena kau ada..." Jaka Ndableg tak segera meneruskan ucapannya, membuat si gadis melototkan mata dan mendesak bertanya ingin tahu.
"Ada apa?!"
"Ada hati! ya, kan?"
Gemes hati si Gadis demi mendengar ucapan Jaka. Maka dengan pura-pura marah gadis itu kembali menyerang Jaka yang tertawa bergelak-gelak sembari mengelak.
"Benarkan?"
"Tidak!"
"Ah, yang benar?"
"Kurang, Asem!" kesel dan berbunga-bunga hati si gadis mendengar ucapan yang konyol, yang masih tertawa-tawa sembari mengelakkan serangannya.
Keduanya seketika berkelebat-kelebat dengan cepatnya, bagaikan sepasang seriti yang tengah menari-nari. Si gadis terus menyerang Jaka, yang tampaknya tidak untuk meladeni hingga hanya mengelak dan mengelak dari serangan si gadis. Tiba-tiba Jaka melompat tinggi sembari berseru pada si gadis, yang terbengong melihat tingkahnya. "Ni Sanak! Cepatlah bersembunyi!"
"Kenapa?" bertanya si Gadis, yang belum mengerti maksud Jaka. Namun karena ia percaya dan telah tahu siapa sebenarnya, si gadis pun segera melompat ke atas dan menangkring di atas cabang pohon asem di samping.
"Ada apa?" kembali si gadis bertanya.
"Apakah kau tak mendengar?"
Mendengar pertanyaan Jaka, segera si gadis memusatkan pendengarannya. Terdengar dari kejauhan langkah-langkah kaki, sepertinya menuju ke arah di mana mereka berada. "Benar! Sepertinya ada orang datang ke mari dan sepertinya tidak sendirian. Hai, lihat!" berseri si gadis, menunjuk ke arah muka di mana tampak tiga orang tengah berjalan menuju ke arah mereka. Ketiga orang yang ditunjuk si gadis, tampak berlari-lari dengan wajah yang diliputi ketegangan. Sementara di belakangnya, tampak enam orang tengah mengejar mereka.
"Sepertinya, ketiga orang itu tengah dikejar oleh keenam orang di belakangnya. Kita harus menolong ketiga orang itu. Hai! Bukankah orang yang mengejar ketiga orang itu, si Iblis Alas Waru?"
Jaka yang mendengar gumaman si gadis, seketika mengernyitkan alis matanya memandang si gadis yang kembali berkata:
"Tak disangka, akhirnya kutemukan juga iblis itu."
"Hai! Rupanya Ni Sanak telah mengenalnya. Apakah pernah bersangkutan?" bertanya Jaka, setelah untuk kedua kalinya mendengar gumaman si gadis yang tampaknya memendam kemarahan dan dendam.
Sesaat gadis itu memandang ke arah Jaka, sebelum akhirnya berkata: "Ya! Karena Iblis itu, aku kini sebatang kara. Ayah dan ibuku mati dibunuh olehnya."
Sekilas wajah si gadis berubah sedih, kala ingat akan kejadian yang telah menimpa keluarganya lima tahun yang silam. Ayah dan ibunya dibantai dengan sadis di depan mukanya, yang kala itu masih kecil. Dirinya juga hampir dibantai, kalau saja tidak segera datang seorang tua yang menolong dirinya. Mengingat semua itu, napas si gadis tampak memburu. Matanya memandang bengis. Giginya terdengar bergemeretukan menahan emosinya yang meluap-luap.
Kala ketiga orang itu telah dekat ke arahnya, dengan segera tanpa dapat dicegah oleh Jaka si gadis melompat turun. Seketika ketiga orang itu tersentak, dan berhenti dari larinya demi melihat seorang gadis menghadangnya.
"Jangan kalian takut, Ki Sanak. Aku tak bermaksud buruk pada kalian, tapi aku ada urusan dengan orang yang memimpin kelima orang yang mengejar kalian," berkata si gadis.
"Kalau Ni Sanak tak bermaksud buruk pada kami, biarkanlah kami pergi untuk menghindari kejaran mereka," meminta salah seorang di antara ketiga orang itu.
"Tak usah kalian berlari, bersembunyilah!"
Dengan perasaan was-was, ketiga orang itupun menurut bersembunyi di balik semak-semak yang tak jauh dari si gadis berdiri. Tampak enam orang berlari mendekati si gadis yang melotot bengis ke arah pemimpin orang-orang itu. Merasa tak punya sangkut paut apa-apa dengan gadis di depannya. Segera pemimpin kelima orang pengejar ketiga orang yang bersembunyi segera bertanya.
"Ni Sanak... Apakah Ni Sanak melihat tiga orang berlari ke mari?"
Ditanya seperti itu, si gadis bukannya menjawab. Bahkan dengan mata tajam memandang si gadis membentak. "Iblis Alas Waru, apa kabar? Lima tahun sudah kita tak bertemu, rupanya tak menjadikan kau berubah?!"
Dibentak begitu rupa oleh si gadis, Iblis Alas Waru mengernyitkan kening dan memandang penuh tanda tanya pada gadis di hadapannya yang tak dikenal.
"Iblis Alas Waru. Rupanya ketuaan mu telah menjadikan kau pikun dan tidak mengenaliku lagi. Atau kau pura-pura tak mengenal, agar kau bisa bebas dariku?" bertanya si gadis dengan nada bengis.
Orang yang ditanya untuk kedua kalinya mengernyitkan kening dan balik bertanya. "Ni Sanak...! Gerangan apa hingga kau berkata kasar padaku? Melihatmu pun, baru sekarang. Bagaimana aku bisa mengenalmu?"
Geram si gadis mendengar ucapan Iblis Alas Waru, maka dengan membentak si gadis kembali berkata: "Dasar Iblis! Dengar! Masihkah kau ingat kejadian lima tahun yang silam di desa Karang Asem? Di mana kau dengan sifat iblismu, membantai sebuah keluarga?"
Mendapat pertanyaan dari si gadis, tampak Iblis Alas Waru mengernyitkan keningnya. Kembali ia terdiam, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu kejadian. Namun, ia sepertinya tak pernah membuat keonaran di desa yang disebutkan si gadis. Maka dengan masih tenang, Iblis Alas Waru kembali berkata: "Ni Sanak, sungguh aku tak mengenalmu, juga desa yang kau sebut. Mungkin Ni Sanak telah salah lihat, atau barang kali ada orang yang mengatas namakan namaku untuk berbuat kekejaman. Jika Ni Sanak percaya, walaupun julukanku Iblis namun aku tak pernah berbuat sekeji itu. Percayalah?"
Geram si gadis mendengar ucapan si Iblis, yang dianggapnya hendak lari dari tanggung jawab. Maka dengan penuh kemarahan, si gadispun segera menyerangnya. Jaka yang berada di tas pohon, seketika menjadi ragu demi melihat orang yang diserang si gadis. Setahunya. Yang bernama Iblis Alas Waru, bukanlah orang yang kini tengah berkelahi dengan si gadis.
"Hem... setahuku, Iblis Alas Waru bukan orang itu. Kalau begitu, bukan tidak mungkin ada orang lain yang memakai nama Iblis Alas Waru. Dan menurut pikiranku, orang yang mengaku Iblis Alas Waru tentunya mempunyai wajah tiruan. Pusing, pusing! Kenapa bisa begini? Aku harus mencegah mereka," membatin Jaka penuh tidak pengertian, sebab setahunya Iblis Alas Waru berbadan tinggi besar walau wajahnya memang seperti wajah orang yang masih diserang oleh si gadis. Dengan segera, Jaka melompat turun dan berdiri di tengah-tengah kedua orang yang kini melompat mundur karena terdorong oleh dorongan tangan Jaka.
"Tunggu!" berseru Jaka Ndableg.
"Kenapa kau memisahkan kami?" bertanya si gadis penuh kekecewaan dan kekesalan, demi melihat Joko memisahkan perkelahiannya.
"Sabar, Ni Sanak. Apakah kau tak salah menyerang orang? Coba kau ingat-ingat, benarkah ini orang yang dulu membantai keluargamu? Memang wajahnya sama, tapi tidakkah kau lihat kelainan orang ini dengan orang yang membantai keluargamu?" bertanya Jaka pada si gadis, yang segera memandang tajam pada orang yang tadi diserangnya.
Si Gadis menatap lekat-lekat seluruh tubuh Iblis Alas Waru, dan memang ada kelainan pada tubuh orang ini dengan orang yang dulu membantai keluarganya. "Benar! Orang ini berbeda dengan orang yang dulu membantai keluargaku. Hem... Jadi siapakah sebenarnya orang yang dulu membantai keluargaku?" bertanya gadis itu dalam hati, lalu ucapnya kemudian. "Maafkan aku, Ki Sanak. Sebab aku telah salah menuduh tanpa memperhatikan lebih seksama."
"Tak mengapa. Aku juga menyadari apa yang Ni Sanak perbuat. Bagaimanapun juga, memang ada orang yang menggunakan nama dan wajahku untuk membuat keributan dan keonaran. Aku sendiri tak tahu, siapa sebenarnya yang telah memakai nama dan wajahku untuk berbuat kejahatan... Oh ya. Kalau kalian ingin tahu siapa orang yang telah membuat namaku cemar, maka ketiga orang yang kami kejar itulah yang mengetahuinya."
Tersentak kaget si gadis, demi mendengar penuturan Iblis Alas Waru. Dengan segera, si gadis pun berkelebat menuju semak-semak yang tadi digunakan untuk bersembunyi ketiga orang itu. Betapa gusar dan marah si gadis, mendapatkan semak-semak itu telah kosong. Maka sebagai pelampiasan kekesalannya, dicabutnya pedang yang tergantung di pundaknya dan dibabatkan ke semak-semak itu. Orang-orang yang ada di situ, seketika datang menghampiri karena mengira si gadis telah menemukan dan membunuh ketiga orang itu dengan pedangnya.
"Bagaimana? Apakah kau telah menemukannya?" bertanya Jaka setelah gadis menghentikan sabetan pedangnya.
Dengan wajah penuh kekecewaan, si gadis menggeleng lemah sembari mengangkat pundaknya. Jaka dan Iblis Alas Waru, terharu melihat wajah si gadis yang sayu.
"Sudahlah, Ni Sanak. Hari ini kau gagal, siapa tahu esok atau lusa kau berhasil. Oya, kita belum saling kenal. Siapakah nama Ni Sanak, dan Ki Sanak?" bertanya Iblis Alas Waru pada kedua orang muda di hadapannya.
"Namaku Siti Gendari."
"Aku yang bodoh ini, bernama Jaka Ndableg!"
Tersentak kaget Iblis Alas Waru demi mendengar nama pemuda itu, yang ia kenal dari tokoh-tokoh persilatan bergelar pendekar Pedang Siluman Darah. Dengan terlebih dahulu menjura, Iblis Alas Waru berkata: "Ah... rupanya aku yang bodoh makin bodoh saja, terbukti aku tak sadar tengah berhadapan dengan siapa. Dengan segala kerendahan hati, aku yang bodoh ini mohon maaf atas kelancangan yang telah aku lakukan. Anak-anak, menghormatlah!"
Mendengar perintah dari pimpinannya, seketika itu kelima anak buah Iblis Alas Waru serempak menjura hormat hingga membuat Jaka menggelengkan kepalanya dan berkata:
"Ah! Kalian terlalu merendahkan diri, yang seharusnya tak perlu kalian lakukan. Bukankah aku juga seperti kalian? Yang masih merasa membutuhkan pertolongan orang lain?"
"Oh... Tuan pendekar sungguh baik hati, berkenan memaafkan segala kesalahan kami. Bagaimana kalau kita bersama-sama mencari orang yang mengaku-aku diriku?" berkata Iblis Alas Waru menyarankan.
"Baiklah, aku ikut bersamamu. Bagaimana dengan tuan pendekar? Apakah akan turun serta?" bertanya Siti Gendari sembari melirik Jaka, yang tersenyum berdiri di sampingnya.
"Tidak. Aku menyusul kalian nanti setelah urusanku telah selesai. Semoga kita dapat bertemu lagi nanti. Selamat jalan, semoga kalian selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa." Dengan segera, Jaka Ndableg berkelebat meninggalkan mereka yang memandang kepergiannya dengan kagum.
"Sungguh sangat baik budi pekertinya, jarang orang semuda dia dan berilmu tinggi yang berbudi pekerti sepertinya. Walaupun namanya sudah kesohor di kolong langit, namun tindakan dan tingkah lakunya tak pernah menggambarkan keangkuhan dan kesombongan. Ayo kita pergi," berkata Iblis Alas Waru, setelah sesaat memandang kepergian Jaka.
Siti Gendari tersentak dari lamunannya, yang tengah mengembara membayangkan Jaka yang telah dengan cepat mengisi relung-relung kalbunya "Ah...! Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah aku telah mencintainya?" mendesah Siti Gendari dalam hati, seraya melangkah pergi mengikuti Iblis Alas Waru dengan membawa rasa cinta kasih di hatinya. Cinta yang datang seketika, pada seorang pemuda yang baru saja ia kenal.
Iblis Alas Waru yang mengetahui dan mengerti apa yang tengah dirasakan oleh Siti Gendari saat itu, hanya tersenyum membiarkannya tanpa berkehendak untuk mengganggu.
"Berhenti! Serahkan kitab yang berada di tanganmu pada kami, Rupaksi!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan, yang datang dari atas bukit. Rupaksi dan Sepasang Pendekar muda tengah berjalan dalam usahanya mencari Jaka. Seketika ketiganya berhenti, dan memandang ke atas bukit di mana tampak berdiri tiga orang berwajah sangar menyeramkan.
"Ki Sanak sekalian yang berada di atas bukit, turunlah ke bawah kalau memang ada kepentingan dengan kami!" berseru Sendana.
Mendengar seruan Sendana, seketika Tiga Setan Api melompat turun dan berdiri satu persatu menghadapi ketiga orang di hadapannya sembari tertawa-tawa. "Memang kami berkepentingan dengan kalian, khusus dengan orang yang membawa bungkusan kain di pundaknya," berkata Setan Api tertua sembari tertawa, diikuti oleh kedua adiknya.
"Apa yang hendak kalian ingini dari bungkusan yang kubawa ini?" tanya Rupaksi. Tiga Setan Api tertawa bergelak-gelak hingga tubuh mereka yang kurus ikut terguncang.
"Rupaksi. Jangan kau kira aku dapat dikibuli olehmu. Kami bukan anak kecil lagi. Serahkan kitab yang kau bawa itu pada kami, atau terpaksa kami merebutnya dengan jalan kekerasan?" berkata setan Api penengah, dengan melototkan matanya yang jereng pada ketiga orang yang berdiri di hadapannya.
"Setan Api. Kalian jangan mengada-ada, sebab kami tak membawa apa yang kalian maksudkan. Biarkan kami lewat!" membentak Rekasih. Ia muak melihat tampang ketiga Setan Api yang memandang padanya dengan pandangan kurang ajar.
"Wew, wew, wew. Ternyata wanita secantikmu bisa galak juga, ya? Wew, wew, wew. Mungkin kau lebih galak bila di atas tempat tidur, bukan begitu kakak?" berkata Setan Bungsu, seraya mengerling kan matanya liar pada Rekasih.
"Setan Bangkotan! Lancang mulut kalian! Jangan banyak mulut. Kalau berani hadapilah aku. Hiat...!" Kemarahan dan kemuakan hati Rekasih pada ketiga Setan Api tak dapat dibendung lagi. Dengan penuh amarah Rekasih segera menyerang ketiga Setan Api yang segera melompat mundur.
"Biarkan aku saja yang menghadapi gadis liar ini, kalian hadapilah kedua lelaki itu," berkata Setan Api tertua, yang segera menghadapi Rekasih.
"Hai anak muda, dan kau Rupaksi. Jangan kalian bengong menonton! Serahkan kitab itu pada kami, dan mari kita main-main sebentar!"
Mendengar ucapan Setan Panengah yang bernada merendahkan, mendengus marah Rupaksi. Maka dengan segera, Rupaksi pun menerima tantangan itu sembari berkata: "Setan Api. Kalau kalian menghendaki kitab ini, maka langkahi dulu mayatku! Hiat!"
Tanpa dapat dicegah, Rupaksi dan Setan Panengah pun terlibat perkelahian. Tinggal Setan Bungsu dengan Sendana, yang masih tampak berdiri saling pandang. Mungkin karena merasa tinggal dirinya saja yang belum berkelahi, maka dengan tanpa banyak bicara Setan Bungsu pun segera berkelebat menyerang Sendana. Diserang dengan tiba-tiba tidak menjadikan Sendana bingung, bahkan sebaliknya. Dengan penuh kewaspadaan, Sendana mengimbangi serangan yang dilancarkan Setan Bungsu.
Perkelahian tiga lawan tiga itupun berlangsung seru, karena ketiganya merupakan tokoh-tokoh persilatan yang diperhitungkan keberadaannya di dunia persilatan. Walaupun sepasang pendekar itu masih muda, namun dalam hal ilmu kanuragan mereka tak dapat dianggap enteng. Sementara Rupaksi, dia sebagai adik seperguruan Kerto Pati dari perguruan Elang Sakti, setidak-tidaknya ilmu yang dimilikinya juga tidak rendah Jurus demi jurus mereka lalui.
Pada jurus yang kelima puluh, tiba-tiba Setan Penengah berteriak dan berkelebat dengan cepatnya menyerang Rupaksi yang dengan segera mengelakkannya. Namun serangan yang dilancarkan Setan Penengah, ternyata hanya tipuan belaka. Sedang tujuan sebenarnya, tertuju pada bungkusan yang ada di punggung Rupaksi.
Maka ketika Rupaksi menunduk menghindari serangannya, dengan segera Setan Penengah menyabet bungkusan di punggung Rupaksi. Tersentak Rupaksi segera menyerang. Namun Setan Penengah telah lebih dahulu mengelak dan berlari menuju bukit diikuti oleh kedua saudaranya yang segera bangun dari duduknya akibat jatuh terhantam tendangan dan pukulan Sepasang Pendekar Muda itu.
"Jangan lari!" membentak Sendana sembari mengejar, diikuti oleh adik seperguruannya dan Rupaksi. Ketiganya segera memburu ke atas bukit, di mana ketiga Setan Api berlari. Bukit Wirangrang kembali sepi, setelah keenam orang itu pergi meninggalkannya saling kejar mengejar. Angin seketika bertiup, menyapu debu-debu yang seketika berterbangan ke angkasa menutupi tegalan di bawah bukit Wirangrang.
Di sebuah tegalan dekat puncak gunung Ciremai, tampak seorang lelaki tua yang rambutnya telah memutih tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Di hadapan orang tua itu, tampak seorang pemuda tengah menggelantung dengan kaki di atas batang pohon dan kepala di bawah. Kedua tangannya bersidakap, sementara mata pemuda itu tampak terpejam.
"Anakku, Arya. Bangunlah dari semedi mu. Bangunlah, anakku!" terdengar lelaki tua itu berkata yang ditujukan pada anak muda yang menggantung dengan kepala di bawah.
Perlahan. Mata pemuda itu membuka, memandang pada lelaki tua di hadapannya. Dari mulutnya seketika keluar pertanyaan yang ditujukan pada lelaki tua di hadapannya: "Ada apakah guru membangunkan semediku?"
"Turunlah, Nak! Telah usai sudah ujian yang kau tempuh yang kau lakukan dengan penuh ketabahan dan rasa percaya diri. Kini kau telah memperoleh hasilnya," berkata kembali lelaki tua yang dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemuda yang sedari tadi menggantung turun ke bawah dan berdiri menghormat pada lelaki tua di hadapannya.
"Anakku, sepuluh tahun sudah kau bersamaku. Hari ini adalah hari terakhir kau menuntut ilmu yang telah kuturunkan semuanya padamu. Kini masa mu untuk turun ke dunia bebas untuk mencari pengalaman sekaligus mengamalkan ilmu-ilmu yang kau miliki. Ingat, anakku. Ilmu yang telah kau miliki janganlah kau pergunakan untuk kemungkaran. Pergunakanlah ilmumu untuk membela kebenaran dan keadilan. Sekarang mandilah dulu, nanti kita bicara lagi."
Pemuda yang bernama Arya kembali menghormat menjura sebelum akhirnya pergi meninggalkan sang guru yang memandangnya dengan tersenyum bangga seraya bergumam: "Hem. Semoga kau akan menjadi seorang pendekar sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Dengan ilmu yang kau miliki, maka kau pantas disejajarkan dengan tokoh-tokoh persilatan kelas wahid."
Sang guru segera berkelebat masuk ke dalam rumah setelah kepergian muridnya. Tak lama kemudian, sang guru telah keluar kembali dengan tangan membawa lipatan pakaian berwarna putih yang telah ia persiapkan sejak sebelas tahun yang silam sebelum ia mendapatkan murid. Pakaian itu terbuat dari serat pohon yang kuat hingga dapat bertahan lama dan awet walau sebelas tahun disimpan. Segera dihampiri muridnya yang masih mandi. Lalu ketika Arya muncul di permukaan air sendang, lelaki tua itu berkata:
"Arya, ini pakaianmu aku taruh di sini. Pakailah nanti setelah kau habis mandi."
"Terimakasih, Guru."
Setelah menaruh pakaian itu kembali lelaki tua itu berkelebat pergi meninggalkan Arya yang masih mandi menuju ke halaman rumahnya dan duduk di atas batu. Tak lama berselang. Tampak Arya telah selesai mandi, datang menghampiri lelaki tua gurunya dengan pakaian putih bersabuk merah menyala. Setelah dekat di hadapan sang guru, seketika Arya pun bersujud menyembah sembari berkata:
"Terimalah sembah hamba."
Mendengar ucapan muridnya, lelaki tua itu tersenyum penuh kebahagiaan dan berkata: "Anakku, Arya. Sembah mu aku terima, duduklah."
Dengan tanpa membantah, Arya pun segera duduk menuruti perintah gurunya yang kembali tersenyum dan melanjutkan kata-katanya:
"Anakku. Hari ini telah sepuluh tahun kau berada di sini bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki telah aku turunkan padamu. Baik ilmu kanuragan maupun ilmu batin yang menjadikan dirimu sakti mandraguna. Kau sekarang dapat disejajarkan dengan tokoh persilatan kelas wahid yang bakal disegani baik lawan maupun kawan. Tapi, janganlah sekali-kali kau sombong karena kesombongan akan menjadikan seseorang menjadi takabur dan lupa pada asal-usulnya. Pergunakan ilmumu pada jalan kebenaran dan keadilan yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Buanglah segala dendam karena dendam akan menjadikan kau dengan mudah dipengaruhi iblis..."
Arya tampak terdiam menundukkan kepala, sepertinya tengah menghayati makna ucapan sang guru. Melihat muridnya hanya terdiam kembali sang guru berkata meneruskan: "Karena kau kini kesaktiannya setingkat dengan pendekar kelas wahid maka hari ini pula kau kuberi sebutan Malaikat Putih dari Ciremai. Hal itu, karena disesuaikan dengan nama yang kusandang, pendekar Malaikat Suci. Juga, karena pakaianmu yang berwarna putih bersih. Sekarang juga, pergilah ke dunia bebas. Cari olehmu ketiga orang yang telah membunuh ayah, ibu, paman dan bibimu. Tapi ingat anakku jangan sekali-kali kau mendendam. Ajaklah ketiganya kembali ke dunia lurus, bila tak mau baru kau bertindak. Itupun jangan sampai ketelengasan, cukup diberi pelajaran. Namun bila mereka memang sudah tak dapat dimaafkan dosanya, terserah apa yang hendak kau lakukan."
"Terimakasih atas semua nasehat guru yang akan menjadikan sebuah tongkat penuntun jalan hamba, yang masih buta dengan kehidupan dan liku-likunya. Terimakasih pula atas pemberian nama Malaikat Putih oleh guru pada hamba. Sesuai dengan nama tersebut, maka hamba akan berusaha menjalankan tugas hamba sebagai orang persilatan untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan."
Malaikat Suci tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala senang, demi mendengar tutur kata muridnya. Lalu setelah terkekeh-kekeh, Malaikat Suci pun kembali berkata: "Muridku ada yang aku lupa yang belum aku sampaikan padamu."
"Apakah gerangan, Guru?"
"Dua puluh tahun yang silam, aku telah bentrok dengan seorang pendekar dari aliran sesat yang berilmu tinggi. Masalahnya sepele karena ingin dianggap paling tinggi ilmunya, pendekar itu bergelar Kera Siluman. Dengan ilmu-ilmu silumannya dia bermaksud menjatuhkan diriku. Tapi, Alhamdulillah, Tuhan bersamaku. Hingga aku dapat mengimbangi ilmunya, bahkan aku mampu mengalahkannya. Merasa terkalahkan, kera Siluman berjanji akan mengadakan pembalasan dua puluh tahun kemudian tepatnya pada purnama kelima. Ini purnama pertama, jadi empat purnama lagi dia akan menungguku di Bukit Kematian yang letaknya di sebelah Selatan desa Cipulir. Karena aku merasa sudah tua, aku bermaksud mengasingkan diri dari dunia ramai. Untuk itu, aku meminta tolong padamu untuk menghadapinya. Kau siap?"
"Hamba siap, Guru?!" menjawab Arya atau si Malaikat Putih dengan penuh hormat, membuat Malaikat Suci terkekeh-kekeh tertawa dan kembali berkata:
"Nah, sekarang pergilah ke arah Timur, di sanalah kau dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, tepatnya di desa Cipulir kau akan menemukan orang-orang yang telah membunuh ayahmu. Tak ada yang dapat kuberikan untuk bekalmu, hanya do'a dan beberapa keping uang saja yang ada padaku."
Dirogohnya saku baju yang dikenakannya, mengambil uang dan diberikannya pada Arya yang terbelalak melihat uang emas di tangan gurunya banyak sekali.
"Ah. Jangan terlalu banyak guru memberikan uang padaku. Aku takut, kalau-kalau nanti menjadi orang pemalas."
Mendengar ucapan muridnya, si Malaikat Suci kembali terkekeh-kekeh dan berkata: "Ha, ha, ha. Benar kata-katamu. Baiklah, uang ini kita bagi dua saja."
Dibaginya uang yang berada di tangannya dengan adil, untuknya dan untuk muridnya. Akhirnya. Kedua guru dan murid tertawa bergelak-gelak hingga tubuh mereka turut terguncang-guncang. Setelah menyalami dan mencium tangan gurunya, Malaikat Putih pun dengan diantar gurunya pergi meninggalkan gunung Ciremai yang telah mengasuhnya sepuluh tahun lamanya. Meninggalkan gurunya yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai. Dengan berlari-lari kecil, Malaikat Putih menuruni lereng gunung Ciremai untuk mengembara mencari kitab milik ayahnya yang bernama kitab Inti Jagad yang setahunya berada di tangan pamannya.
Jaka dan ketiga orang yang lainnya yang tengah mencari Setan Api, tertarik melihat rumah yang hancur berantakan. Segera keempatnya menuju ke rumah itu yang tampaknya habis digunakan untuk pertempuran. Seketika keempat orang itu tersentak kaget, demi melihat mayat-mayat yang membusuk di rumah itu yang mereka kenali. Hingga karena kagetnya, seketika dari mulut ketiga orang teman jaka memekik berseru:
"Setan Api!"
"Hai! Merekakah yang berjuluk Setan Api?" tanya Jaka.
"Benar! Mereka memang Tiga Setan Api. Tapi, mengapa mereka telah binasa? Siapa yang telah membinasakan mereka?" bertanya Rupaksi, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
"Benar, Saudara Rupaksi. Bukankah lima hari yang lalu mereka bentrok dengan kita?" Menambahkan Sendana. Ia juga kaget mendapatkan orang yang baru lima hari berselang bertempur dengannya telah menjadi mayat.
Lain halnya Jaka, yang tampaknya tenang tanpa ekspresi kekagetan di wajahnya. Dengan penuh seksama Jaka memperhatikan mayat-mayat ketiga Setan Api. "Hem... rupanya mereka mati dalam kaitannya dengan kitab itu. Bahaya! Sungguh bahaya! Bila dibiarkan berlarut-larut korban akan terus berjatuhan hanya karena ambisi yang tak mengarah pada hal-hal yang sebenarnya. Coba geledah tempat ini, siapa tahu kitab itu masih di sini," berkata Jaka setelah memeriksa ketiga tubuh Setan Api yang telah menjadi mayat dengan tubuh beracun.
Ketiga orang temannya yaitu Rupaksi, Sendana, dan Rekasih dengan segera berkelebat masuk ke dalam rumah. Digeledahnya seisi rumah, namun kitab yang dicari telah raib. Dengan penuh kekecewaan, Rupaksi kembali menemui Jaka yang masih mengamati ketiga mayat Setan Api.
"Bagaimana? Apakah kau berhasil?" tanya Jaka.
"Coba kau perhatikan dengan seksama, Saudara Rupaksi? Mayat-mayat ini sepertinya terkena racun ganas. Aku menilai bahwa orang yang melakukannya mempunyai ilmu racun. Apakah kau mengetahui siapa orangnya?"
Rupaksi seketika tercenung memikirkan siapa gerangan orang yang mempunyai ilmu beracun. Tak lama kemudian, wajah Rupaksi berubah cerah. Dan dengan berseru ia berkata: "Aku ingat! Sepertinya ilmu itu milik tiga teman kakang Kerto Pati. Ya, dia yang memilikinya."
Mendengar penuturan Rupaksi seketika Jaka dan sepasang pendekar yang telah tiba di tempat itu tersentak dan hampir berbarengan berseru:
"Siapakah orang itu!"
"Mereka bernama Sodra, Lombang, dan Wungkal Gunung. Mereka juga yang telah menghabisi nyawa kakang Kerto Pati yang sebenarnya teman mereka sendiri. Ayo kita ke sana!" Mengajak Rupaksi yang segera diikuti oleh Jaka dan sepasang pendekar.
Seorang pemuda berpakaian putih dengan ikat pinggang merah, tampak berjalan menyelusuri pematang sawah. Pemuda itu yang tak lain Arya atau Malaikat Putih tampak mengernyitkan keningnya, demi melihat desa di ujung sawah yang tengah ia tapaki. Sorot mata pemuda itu tajam memandang ke depan di mana desa Cipulir telah tampak. Memandang desa Cipulir, seketika matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali melayang pada kejadian sepuluh tahun yang silam. Kejadian yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya juga paman dan bibinya.
"Ah. Desa itu mengingatkan aku pada ayah dan ibu, pada paman dan bibi. Sungguh biadab orang-orang itu yang telah membunuh ayah dan ibu serta paman dan bibiku. Apakah aku harus tinggal diam?" bertanya hatinya penuh keraguan. Betapa tidak! Rasa kekecewaan dan dendam melanda hatinya, namun kedudukannya sebagai seorang pendekar harus menjadikannya bersifat adil dan bijaksana.
"Dendam! Kata guru hanyalah pertumpahan darah yang tak habis-habisnya. Ah, bagaimana aku harus bertindak?" kembali hatinya mengeluh, tak tahu harus berbuat apa.
Dengan langkah-langkah yang tak pasti, Malaikat Putih berjalan menuju ke desa Cipulir yang tampak di hadapan matanya. Desa yang telah menjadi tumpah darahnya, desa yang mengingatkannya pada kepedihan dan sakit hati yang sebisanya harus dipendam dalam-dalam.
"Sampurasun...!" Menyapa Malaikat Putih ketika sampai di hadapan sebuah rumah yang mengingatkannya pada kenangan sepuluh tahun yang silam. Ditunggu beberapa saat tak ada jawaban yang terdengar dari dalam rumah. Hingga untuk kedua kalinya kembali Malaikat Putih berseru menyapa. "Sampurasun...!"
"Rampes...!" terdengar suara sahutan, sepertinya suara seorang lelaki tua. Tak lama antaranya, tampak seorang lelaki tua keluar menemuinya. Melihat pemuda yang belum dikenalnya berdiri di depan rumahnya sembari tersenyum, lelaki tua itupun bertanya: "Siapakah gerangan anak ini? Dan apakah keperluannya?"
Dengan terlebih dahulu menjura hormat, Malaikat Putih berkata menjawab. "Saya Arya Purbaya, anak Kerto Pati."
Tersentak kaget lelaki tua itu, demi mendengar nama-nama yang disebutkan oleh anak muda yang berdiri di hadapannya. Dengan penuh rasa haru bagaikan anak kecil, lelaki tua itu seketika menangis dan memeluk tubuh Arya yang terpaku diam penuh keharuan. "Oh, rupanya kau, nak Arya? Ke mana saja kau selama sepuluh tahun? Kenapa tak pernah kembali?"
Malaikat Putih seketika berlinang-linang air matanya, demi melihat orang tua di hadapannya menangis sesenggukan. "Sudahlah, Paman Trenggono. Tak perlu paman menangisi apa yang telah terjadi yang telah menimpa diri keluargaku. Yang penting sekarang, apakah paman tahu tempat paman Rupaksi?"
Lelaki tua yang ternyata Trenggono Si kusir kereta keluarga Kerto Pati adanya, seketika menghentikan tangisnya demi mendengar ucapan Arya. Alisnya seketika mengerut mendengar pertanyaan Arya. Sepertinya Trenggono tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Bagaimana, Paman?" kembali Arya bertanya. "Sebentar, nak Arya, paman ingat-ingat dulu. Kalau seingat paman, den Rupaksi tinggal di padukuan Sawo Jajar. Ada keperluankah kau dengannya?"
"Benar! Hal ini menyangkut kitab yang ayah titipkan pada paman Rupaksi. Aku khawatir dengan kitab itu di tangan paman Rupaksi."
"Hai, apa yang kau khawatirkan? Bukankah den Rupaksi adik seperguruan ayahmu?"
"Benar! Bukannya aku tak percaya pada paman Rupaksi. Namun dengan kitab itu di tangannya, aku khawatir orang-orang yang bermaksud jahat akan memburunya. Bukankah hal itu akan menjadikan paman Rupaksi harus menghadapi masalah yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya? Aku bermaksud mengambil kitab itu untuk menjaganya. Demi kitab itu, aku siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi."
Terangguk-angguk kepala Trenggono, demi mendengar ucapan Arya. Dalam hati Trenggono, seketika timbul kekaguman pada anak majikannya. Tak menyangka sebelumnya kalau Arya yang dulu kecilnya nakal kini mengerti akan tanggung jawab. "Kalau itu yang menurut nak Arya baik maka lakukanlah dengan kebulatan tekad yang ada di hati nak Arya. Kapan rencananya nak Arya hendak mengunjungi den Rupaksi?"
"Secepatnya, Paman. Aku takut dan merasa khawatir dengan paman Rupaksi dan kitab itu. Aku mohon pamit, Paman Trenggono."
"Eh! Kenapa mesti terburu-buru. Apakah kau tak menyekar ke makam ayah dan ibumu dahulu?"
Mendengar penuturan Trenggono, seketika hati Arya bergetar. Kesedihan kembali menyelimuti hatinya. Kecewa dan marah pada orang-orang yang telah membunuh orang tuanya. Giginya seketika bergemeretuk menahan amarah menjadikan suara yang menyeramkan. Matanya seketika kembali berkaca-kaca, memandang liar namun hampa. Nafasnya memburu, hingga terdengar bagaikan desahan angin prahara.
"Baiklah, Paman Trenggono. Aku hendak menyekar dulu ke makam ayah dan ibu. Tolong antarkan aku ke sana," meminta Arya.
Tanpa membuang waktu lagi, keduanyapun segera pergi menuju ke makam ayah dan ibunya yang tak jauh dari rumah yang dihuni Trenggono. Terduduk sujud Arya Purbaya di depan makam kedua orang tuanya, air matanya seketika meleleh tak dapat dibendung. Hati Arya bagaikan teriris-iris, pedih mengingat kejadian sepuluh tahun yang silam. Melihat Arya menangis, rasa kemanusiaan Trenggono seketika tergugah. Dengan terisak-isak, Trenggono pun turut menangis.
"Sudahlah, Nak Arya. Jangan kau menangisi kepergian kedua orang tuamu, yang mungkin sudah suratan nasib. Sekarang, yang penting kau harus mampu membalas sakit hati mereka. Ayo kita pergi?" kata Trenggono terbata-bata, tertahan oleh isak tangisnya. Disentuhnya pundak Arya yang masih menunduk menangis di atas makam kedua orang tuanya.
"Ayah dan ibu. Kalau kalian tahu diriku sekarang, betapa kalian akan bahagia. Tapi... kenapa petaka ini harus terjadi pada kalian? Kenapa mereka begitu keji? Kenapa? Apakah ayah dulu pernah bersalah hingga ayah harus menerimanya?"
Karena tak kuat menghadapi gejolak hatinya. Dengan menjerit, Arya Purbaya berlari meninggalkan Trenggono yang hanya terbengong tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Akan kucari orang-orang itu! Akan kucari mereka sampai kutemui!" berteriak Arya penuh emosi.
Arya Purbaya terus berlari meninggalkan Trenggono yang semakin jauh di belakang. Karena dalam keadaan emosi dan dikarenakan ia adalah seorang pendekar yang mendapat gemblengan ilmu kanuragan tingkat tinggi, maka setiap sepak terjang kaki dan tangannya menjadikan kerusakan dan kehancuran bagi yang terkena. Akhir dari rasa kekecewaan dan kekesalannya, dihantamnya pohon asem di hadapannya hingga hancur berantakan. Karena lelah, Arya pun terduduk lemas di bawah pohon jamblang. Sayup-sayup, terdengar suara gurunya si Malaikat Suci berkata:
"Anakku, Arya. Sudah aku katakan, jangan turuti kata hati. Ketahuilah, Nak. Bahwa semua yang terjadi di dunia ini tak luput dari suratan takdir yang telah ditentukan olehNya."
Arya Purbaya tersentak kaget dan berusaha mencari gurunya yang tengah bicara. "Guru, di manakah engkau?"
"Aku masih di Ceremai, Anakku. Aku hanya mendengar suaramu, tanpa dapat melihat keadaanmu saat ini. Aku tersentak kaget dari semediku, kala kudengar kau berteriak-teriak tak dapat mengalahkan perasaanmu. Sekarang sadarlah. Langkahmu harus mantap untuk menghadapi segala tantangan kehidupan yang sering tidak kita kehendaki."
Seketika Arya Purbaya terdiam meresapi segala makna ucapan gurunya. Lalu kembali terdengar suara gurunya berkata: "Anakku, Arya. Aku berpesan padamu, jangan bertindak menuruti kata hati. Bertindaklah dengan perhitungan, hingga tak ada yang dirugikan. Nah, teruskanlah pengembaraanmu, tak lama lagi kau bakal mendapatkan apa yang seharusnya kau lakukan. Bersiaplah untuk menghadapi tantangan hidup."
"Baik, Guru. Segala yang telah guru sarankan, akan saya laksanakan dengan segenap jiwa saya."
"Bagus! Sekarang, teruskanlah langkahmu untuk mencari kitab milik ayahmu. Selamat berjuang, Anakku?"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Malaikat Suci, angin pun bertiup dengan kencangnya menyapu dedaunan di sekitar tempat Arya terduduk. Arya Purbaya segera memusatkan segala panca indranya untuk bersemedi, mengembalikan segalanya pada yang berwenang. Setelah dirasa cukup, Arya Purbaya atau si Malaikat Putih segera berkelebat pergi menuju ke Utara di mana pedukuan Sawo Jajar berada.
Pedukuan Sawo Jajar tampak ramai, meskipun hanya merupakan pedukuan kecil. Penduduknya yang berniaga mata pencahariannya, menjadikan padukuan Sawo Jajar banyak dikunjungi orang. Di samping itu pula, letak padukuan Sawo Jajar strategis untuk lalu lintas perhubungan darat.
Siang itu, seorang pemuda tengah berjalan menyusuri jalan, yang menjadi jalan utama di pedukuan Sawo Jajar. Pemuda yang tak lain Arya Purbaya, tampak berjalan dengan lenggang. Matanya yang tajam setajam mata rajawali, selalu memandang pada deretan rumah-rumah di sepanjang jalan.
"Ah! Bodoh benar aku. Bagaimana mungkin aku akan dapat menemukan rumah paman Rupaksi, kalau aku tak menanyakannya pada orang? Aku akan mencoba bertanya pada nelayan itu," berkata hati Arya, yang seketika menghampiri nelayan yang berjalan ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada nelayan itu, yang seketika menengadahkan mukanya memandang pada Arya sembari membalas salam.
"Rampes...! Ada apakah Ki Sanak menghadang langkahku?"
"Maaf. Aku telah mengganggu langkahmu. Kalau boleh aku bertanya, di manakah rumah paman Rupaksi?"
Nelayan muda itu sesaat menatap kembali pada Arya demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan Arya padanya. Setelah sesaat terdiam memandang Arya, nelayan muda itu berkata balik bertanya:
"Yang Ki Sanak maksud. Apakah pendekar Rupaksi?"
"Benar, Ki Sanak." menjawab Arya, menjadikan nelayan muda itu mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Lalu dengan ramah, nelayan muda itupun kembali berkata:
"Ayo, aku antarkan. Aku sendiri dekat dengannya sebab rumahku bertetangga dengan pendekar Rupaksi." Keduanya segera berjalan menuju ke tempat yang dituju.
"Besarkah pendapatan Ki Sanak sebagai seorang nelayan?" tanya Arya pada nelayan muda itu kala keduanya berjalan.
Sesaat nelayan muda itu menatap Arya penuh selidik, sebelum akhirnya menjawab: "Sebenarnya besar, tapi karena adanya pungutan uang keamanan yang tidak seimbang, maka habislah pendapatan kami para nelayan."
"Apa! Uang keamanan?" Arya terkejut.
"Ya! Kalau kami tak memberi, maka siksaan dan deraanlah yang kami terima dari mandor Damad."
"Apakah sudah ada perjanjian sebelumnya?"
"Perjanjian? Boro-boro perjanjian. Ngasih tahu saja tidak!" menjawab nelayan muda setelah kembali memandang pada Arya yang seketika mengerutkan alis matanya.
"Kau tahu rumah mandor Damad?"
"Mau ngapain?"
"Aku mau menemuinya," menjawab Arya, yang membuat terbelalak mata nelayan muda itu dan memandang tajam pada Arya seperti tak percaya.
"Kenapa?" bertanya Arya kembali.
"Percuma," jawab nelayan muda itu singkat, sepertinya was-was.
"Kenapa?"
Sesaat nelayan muda itu menghela napas mendengar pertanyaan Arya, sebelum akhirnya kembali berkata: "Sudah banyak orang yang hendak menyadarkannya, tapi semua menemui kebuntuan. Ada yang mundur, ada pula yang mati disiksa oleh centeng-centeng mandor Damad yang kejam."
"Hem, begitu?"
"Ya. Karena kekejaman mereka, kami para nelayan tak berani menghadapinya."
Arya tercenung seakan ia tengah berpikir. Matanya menyipit memandang pada nelayan muda di sampingnya yang juga mengernyitkan alis matanya. Kedua orang itu terdiam, melangkah terus menyusuri pantai. Dalam hati Arya, bergejolak perasaan ingin menolong nelayan-nelayan itu. Maka diputuskannya, setelah menemui pamannya akan mendatangi mandor Damad.
"Ini rumahku dan itu tiga rumah dari sini adalah rumah Ki Rupaksi. Ayo mampir dulu?" berkata nelayan muda itu.
"Ah, terimakasih. Nanti setelah aku dari rumah paman aku akan mampir bila ada waktu. Terimakasih atas pertolonganmu, Ki sanak. Mari...?" menjawab Arya, yang segera pergi meninggalkan nelayan muda itu yang memandang kepergiannya dengan penuh ketidak mengertian.
"Sampurasun...!?" memberi salam Arya Purbaya, kala telah sampai di rumah pamannya.
"Rampes...!?" Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya suara wanita. Tak lama kemudian, seorang wanita setengah baya ke luar menemui Arya.
Melihat orang tua di hadapannya, tanpa dapat dicegah Arya segera bersujud memeluk kaki wanita itu sembari menangis membuat wanita itu terbengong-bengong tak mengerti. "Bibi, apakah bibi lupa pada saya?"
"Kamu siapa?" tanya wanita tua itu pada Arya, karena belum mengetahui siapa adanya pemuda yang saat itu menangis sembari memeluk kakinya.
"Bibi, saya Arya. Arya Purbaya, Bibi?"
"Arya Purbaya anak mbakyu Sukanti dan kangmas Kerto Pati?" tanya wanita itu ingin memastikan dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Arya. Seketika wanita itu segera memeluk Arya dan menangis tersedu-sedu setelah tahu siapa adanya anak muda di hadapannya. "Anakku, malang benar nasibmu, nak?!"
Kedua bibi dan kemenakan itu menangis sembari berpelukan, melepas segala kepiluan dan rasa rindu yang mendalam di hati keduanya.
"Bibi... ke manakah paman Rupaksi?" tanya Arya, setelah sekian lama terhanyut dalam tangis.
Dengan terlebih dahulu mengusap air mata, sang bibi menceritakan tentang suaminya yang diburu oleh orang-orang persilatan yang menghendaki kitab Inti Jagad.
"Jadi sekarang paman tengah diburu?" Bergelegar hati Arya, seakan ada sejuta halilintar yang menghantam di hatinya. Perasaannya seketika menuntut agar dia segera menemui orang-orang yang sepantasnya disingkirkan.
"Baiklah, Bibi. Aku akan mencari paman, do'akan agar aku dapat dengan segera menemui paman."
"Ya, bibi do'akan. Hati-hati, anakku!"
Setelah mencium tangan bibinya, Arya pun segera pergi meninggalkan rumah bibinya untuk mencari pamannya sekaligus musuh-musuh ayahnya yang jahat. Ketika Arya lewat di depan rumah nelayan muda yang tadi menemaninya, dan menunjukkan rumah pamannya. Seketika ia teringat pada rencananya mendatangi juragan Damad, yang bertindak sewenangwenang pada warga. Maka segera dihentikan langkah kakinya balik menuju ke rumah nelayan muda.
"Sampurasun...!" menyapa Arya.
"Rampes...!" terdengar suara orang lelaki, menjawab salam Arya. Dan tak lama kemudian tampak nelayan muda itu keluar dari dalam rumahnya.
"Eh, Ki Sanak. Ayo masuk?"
"Ah, terimakasih, Ki Sanak. Sebenarnya aku ingin meminta tolong pada Ki Sanak, yaitu masalah juragan Damad. Kalau Ki Sanak tak keberatan, saya minta tolong untuk mengantar saya ke rumahnya."
"Untuk apa?" nelayan muda itu terbelalak, demi mendengar maksud Arya.
"Sekarang aku belum bisa menjawab, nanti pun aku rasa Ki Sanak akan mengerti."
Tercenung nelayan muda itu memandang pada Arya seakan ada kebimbangan di hatinya. Melihat hal itu, dengan tersenyum Arya kembali berkata menjelaskan:
"Ki Sanak. Janganlah Ki Sanak bimbang dan menaruh sakwa sangka padaku, yang bermaksud baik pada kalian. Yang penting, tunjukanlah rumah juragan Damad. Aku akan pergi ke sana sendiri kalau Ki Sanak tak mau ikut."
Sejenak nelayan muda itu kembali terdiam, berpikir sesuatu sebelum akhirnya berkata: "Baiklah, aku akan ikut denganmu."
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya pun segera menuju ke rumah juragan Damad. Rumah juragan Damad ternyata tak jauh dari rumah nelayan muda itu, hingga tak begitu lama keduanya berjalan telah sampai pada yang dituju.
"Itu rumahnya!" berkata nelayan muda, seraya menunjuk pada rumah besar di depan, tak jauh dari mereka berdiri.
"Kau mau ikut ke dalam, Ki Sanak?" tanya Arya pada nelayan muda itu, yang untuk kesekian kalinya terjengah diam memandang pada Arya.
"Bagaimana? Apa mau ikut ke dalam?" Kembali Arya bertanya, demi melihat nelayan muda itu masih terdiam.
"Ayolah!" menjawab nelayan muda, membuat Arya tersenyum. Dengan segera, keduanya pun berkelebat menuju ke rumah besar di hadapannya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada centeng-centeng juragan Damad yang saat itu tengah berjaga. Ketiga centeng juragan Damad tersentak kaget begitu mendengar ucapan salam yang diucapkan Arya yang tak diketahui datangnya.
"Siapa kau!" membentak seorang centeng yang badannya tinggi gede dan bermuka menyeramkan dengan kumis dan jenggot lebat seperti tak pernah dicukur.
"Aku ingin bertemu juragan mu," menjawab Arya. Sementara itu, nelayan muda tampak ketakutan dan berdiri bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Kau belum kami kenal, ada kepentingan apa kau dengan juragan kami?" kembali orang yang berbadan besar bertanya, sepertinya memandang enteng pada pemuda di hadapannya.
Sesaat Arya tersenyum, lalu dengan menghormat menjura Arya kembali berkata: "Apakah itu perlu kau ketahui? Aku khawatir nanti juragan mu marah bila aku mengatakannya padamu. Nah, sekarang katakan pada juragan mu bahwa ada orang yang ingin menemuinya ingin menanyakan masalah tempo hari."
Sejenak centeng itu kembali memandang Arya, sebelum akhirnya berkata: "Baik! Tunggu sebentar aku akan menghadap juragan ku dulu." Setelah berkata begitu, sang centeng segera berkelebat menuju ke dalam rumah untuk memberi tahukan pada majikannya.
"Suruh orang itu menunggu sebentar!" terdengar suara orang yang sepertinya suara juragan Damad. Tak lama antaranya, centeng itupun kembali menemui Arya.
"Anda disuruh menunggu sebentar," berkata centeng memberi tahukan pada Arya yang mengangguk. Habis ucapan si centeng, dari dalam rumah seorang lelaki gendut keluar menemui mereka. Lelaki gendut itu mengerutkan dahinya saat melihat orang yang datang yang belum ia kenal sama sekali.
"Wongso! Mana orang yang kau maksud?" berseru juragan Damad marah merasa telah dipermainkan oleh anak muda yang kini tersenyum sinis walau ramah.
Terbelalak bingung centeng yang bernama Wongso, demi melihat kemarahan juragannya. Seketika matanya memandang tajam dan bengis pada Arya yang tampaknya tenang sembari berkata:
"Apa kabar, juragan Pemeras? Badanmu bertambah gendut saja sekarang. Apa karena makin banyak uang haram yang kau makan?"
Menggeram marah juragan Damad, demi mendengar ucapan yang dilontarkan Arya. Begitu juga sang centeng, tampak gusar mendengar juragannya diejek begitu rupa. Sedangkan nelayan muda yang berada di belakang Arya, tampak menggigil ketakutan.
Demi melihat juragan dan centengnya marah, Arya bagai orang gila tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan suara yang dibuat sengau, Arya kembali berkata: "Persis! Persis lintah yang bertemu seekor ular tampang kalian yang kedoknya terbongkar. Juragan Damad, kuminta padamu untuk segera mengembalikan yang bukan hakmu pada penduduk. Aku takut bencana akan datang menimpamu kalau kau tak segera sadar."
"Sompret! Kurang ajar! Berani kau menggurui ku, Anak muda! Wongso, tangkap pemuda gila itu dan jebloskan ke dalam penjara bahwa tanah!"
Demi mendengar perintah juragannya segera Wongso dan kedua anak buahnya menyerang Arya. Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan Arya yang telah mendapat nama dari gurunya Malaikat Putih keteter. Bahkan dengan tertawa-tawa bagaikan tengah bercanda, dengan mudahnya Arya mengelakkan semua serangan centeng-centeng juragan Damad. Merasa musuhnya licin bagaikan belut, alot bagaikan inti kayu asem. Centeng-centeng juragan Damad bukannya segera menyadari bahkan dengan makin ganas mereka berusaha mencerca tubuh Arya.
"Ha... ha... ha...! Inikah yang kau banggakan, Juragan? Untuk apa kau pelihara tikus-tikus ini? Atau memang untuk menakut-nakuti para nelayan agar mereka takut?"
Makin marah centeng-centeng juragan Damad, yang dengan membentak berkata sembari terus menyerang. "Bedebah! Rupanya kau belum tahu siapa kami, yang dijuluki tiga Badak dari padukuan Sawo Jajar hingga kau begitu lancang berbicara! Ayo teman-teman, kita habisi anak sundel ini!"
Dengan serentak, ketiga centeng juragan Damad kembali menyerang Arya yang masih tersenyum-senyum mengejek
"Maaf! Karena aku tak ada waktu panjang untuk bermain-main, maka akan kubantu kalian istirahat. Hiat...!" Bersamaan dengan habis ucapannya, seketika tubuh Arya berkelebat melenting ke angkasa membuat ketiga centeng juragan Damad terbelalak melihatnya.
Tengah ketiga centeng itu tersentak, tiba-tiba Arya telah menukik ke arah mereka. Dan dengan cepat Arya mengibaskan tangannya diikuti dengan memekiknya suara ketiga centeng juragan Damad yang ambruk terkulai di tanah dengan tubuh lemas. Terbelalak kaget juragan Damad menyaksikan keadaan ketiga centengnya yang tergeletak bagaikan anak kecil. Ketiga centeng itu menangis meminta dibebaskan dari keadaannya.
"Tuan pendekar, ampunilah kami. Kami mengaku kalah," meratap ketiganya hampir bersamaan, yang menjadikan juragan Damad marah. Dengan terlebih dahulu menggeram, juragan Damad membentak sembari menyerang Arya yang tertawa-tawa seraya berkata:
"Bagus! Memang kau yang ku kehendaki, kau harus bertanggung jawab atas semua penderitaan rakyat padukuan Sawo Jajar ini."
"Sompret! Jangan kira aku takut denganmu, Anak Sundel! Walaupun kau dapat melumpuhkan ketiga centeng ku namun aku tak mau menyerah padamu begitu saja. Ayo, kita buktikan, siapa diantara kita yang harus pergi dari dunia ini!" membentak marah juragan Damad hingga matanya yang lebar melotot hampir keluar.
Maka tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang itupun seketika terlibat perkelahian. Dengan dilandasi amarah yang meluap-luap, juragan Damad menyerang Arya dengan membabi buta.
"Wah, wah, wah! Jurus-jurusmu begitu kaku, Juragan. Apakah karena kegendutan mu yang banyak menghisap uang nelayan atau karena sudah terbiasa ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaanmu yang diperoleh dengan cara yang tak halal, hingga kau malas untuk memperlancar jurus-jurusmu?"
Makin marah dan gusar juragan Damad, demi mendengar kata-kata Arya yang bernada mengejeknya. Maka dengan penuh amarah, Juragan Damad menggeram sembari menyerang. "Jangan banyak bacot, Sompret! Jangan salahkan aku kalau aku nanti bertindak telengas!"
"Ha... ha... ha...! Apa yang dapat kau lakukan dengan tubuhmu yang gendut itu? Paling-paling, pantasnya kau menangkap bangkong. Ha.... ha.... ha...!" Kembali Arya bergelak tawa, mendengar ucapan juragan Damad.
"Sompret! Bersiaplah, anak muda? Jangan sampai kau lengah yang akan mengakibatkan kematianmu!" Habis berkata begitu, juragan Damad tampak melompat mundur. Kakinya ditekuk berlutut, dengan tangan menyilang di dadanya. Mulut juragan Damad tampak berkomat-kamit membaca sesuatu mantra, sementara matanya terpejam rapat. Tak berapa lama kemudian dari tubuh juragan Damad tampak mengepul asap hitam bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan, tampak perubahan di badan juragan Damad. Bersamaan dengan hilangnya tubuh juragan Damad, seketika asap tebal itu berubah membentuk sosok tubuh yang mengerikan.
"Ilmu Iblis! Hem, rupanya ia pengikut siluman babi, hingga ia dapat mengubah ujudnya menjadi manusia berkepala babi. Baik! Akan ku lawan dengan ini! Hiat...!" Bersamaan dengan melompatnya tubuh manusia berkepala babi hendak menyerangnya, seketika Arya Purbaya segera memapakinya menyerang.
"Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, kala kedua orang itu bertemu di udara mengadu tenaga. Keduanya terpental mundur ke belakang dengan keadaan yang tak sama. Malaikat putih tampak hanya mengegoskan tubuhnya mencari keseimbangan dan berdiri lagi dengan kuda-kuda lagi. Sementara di lain pihak, juragan Damad tampak terpelanting roboh dengan cap tangan di dadanya.
Nelayan muda yang sedari tadi ketakutan, tampak mengurai senyum demi melihat apa yang terjadi. Juragan Damad yang ditakutinya telah mati menemui ajal di tangan pemuda yang baru dikenalnya. Sementara itu, ketiga centang juragan Domad nampak makin ketakutan saja melihat juragannya telah binasa. Dengan meratap bagaikan anak kecil, ketiga centeng yang lumpuh itu meminta maaf.
"Tuan pendekar, ampunilah nyawa kami. Kami kapok, tak akan berani mengulangi melawan tuan."
"Ki Sanak. Lumpuh yang kau derita disebabkan oleh diri kalian sendiri. Maka lumpuh kalian akan sembuh bila kalian berbuat kebajikan. Dan meminta ampun pada diri kalian sendiri yang merasa telah dikhianati. Namun bila kalian kembali bermaksud jahat maka kalian akan menemukan kelumpuhan lagi."
Tersentak kaget ketiga centeng itu sebab baru mendengar ilmu yang aneh. Ilmu yang dapat berjalan sendiri walau tak dilancarkan oleh si pemilik.
"Nah! Kalau kalian telah berjanji pada hati kecil kalian akan berbuat kebajikan maka aku rasa kalian akan sembuh dengan sendirinya. Sebaliknya jika kalian hendak mengingkari, ilmu itu akan bereaksi dengan sendirinya. Selamat tinggal!"
Tanpa dapat dicegah oleh nelayan muda yang seketika ketakutan, Aryapun berkelebat pergi meninggalkan ketiga centeng juragan Damad.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Arya Purbaya tentang ilmu yang telah dilancarkan pada ketiga centeng juragan Damad. Terbukti, ketika dalam hati mereka berjanji akan selalu berbuat baik dan meminta tobat pada yang Kuasa. Maka saat itu pula, tubuh mereka yang tadinya lemas bagaikan tak bertulang sembuh seketika seperti sedia kala. Nelayan muda itu makin ketakutan dan hendak berlari ketika terdengar ketiga centeng juragan Damad yang telah terbebas itu berteriak memanggilnya.
"Ki Sanak, jangan kau takut. Kami tak akan mengganggumu, karena kami sekarang sadar dan insyaf. Maukah Ki Sanak menolong kami untuk meminta maaf pada teman-teman Ki Sanak?"
Nelayan muda yang tadinya hendak lari segera menghentikan langkahnya dan memandang pada ketiga centeng juragan Domad yang kini berjalan menghampirinya.
"Ki Sanak. Kami ingin mengundang semua nelayan di sini untuk membagi harta yang telah kami dapat dari kalian. Maka itu, kami meminta tolong padamu untuk memanggil seluruh warga pedukuan Sawo Jajar. Soma, kau temanilah Ki Sanak ini," berkata Wongso, menyuruh pada Soma untuk menemani nelayan muda.
"Baiklah, Kakang Wongso. Ayo, Ki Sanak?!" ajak Soma yang diangguki oleh nelayan muda itu. Keduanya pun segera menuju kampung warga untuk memberi tahukan hal itu.
Sore harinya, semua penduduk padukuan Sawo Jajar berbondong-bondong datang ke tempat juragan Damad untuk mendapatkan bagiannya masing-masing. Sebagai rasa kegembiraan penduduk Pedukuan Sawo Jajar kepada ketiga centeng juragan Damad, maka penduduk pun mengangkat mereka menjadi ketua pedukuan yang selama ini kosong.
"Mana kitab itu, Somad?" bertanya seorang lelaki yang wajahnya hampir mirip dengan Iblis Alas Waru kepada Somad yang nampaknya tunduk dan takut.
"Ada, Wanara Seta. Kitab itu ada pada kami namun kami juga meminta janjimu. Mana Pedang Siluman Darah yang katanya telah kau dapatkan?"
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Wanara Seta tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan masih tertawa, Wanara Seta berkata: "Sodra, kalau kau menginginkan pedang Siluman Darah dariku, aku minta kalian datanglah nanti pada malam Jum’at di kala bulan purnama kelima. Di sana, di tempatku, kalian akan mendapatkannya sekaligus mendapat tontonan yang menyenangkan. Nah, sekarang serahkan kitab itu padaku dan datanglah tepat di malam bulan purnama kelima."
Sodra mengeryitkan alis matanya, demi mendengar ucapan Wanara Seta yang kembali tertawa sembari melanjutkan berkata demi melihat Sodra sepertinya tak mempercayainya.
"Sepertinya kau tak percaya padaku, Sodra?"
"Bukan begitu. Tapi layaknya seorang pedagang, maka aku perlu mendapat gantinya, bukan?"
Sesaat Wanara Seta mengangguk-anggukan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata: "Baik-baik." Dirogohnya kantong bajunya dan diambilnya sebuah benda yang membikin mata Sodra terbelalak seraya memekik:
"Hai. Bukankah itu Mutiara Sakti? Bukankah mutiara itu telah lenyap?"
"Benar. Ini Mutiara Sakti yang telah menggemparkan dunia persilatan seperempat abad yang silam. Mutiara ini, aku dapatkan atas pemberian pendekar muda. Cukupkah ini untuk pengganti sementara Pedang Siluman Darah?" bertanya Wanara Seta, yang dijawab dengan kegembiraan Sodra.
"Cukup-cukup. Baiklah, sebentar aku ambilkan kitab itu. Sekalian aku memanggil kedua temanku." Setelah berkata begitu, Sodra pun segera berlalu meninggalkan Wanara Seta yang hanya tersenyum sembari berkata di hatinya:
"Bodoh, bodoh. Mana mungkin kau mendapatkan Mutiara Sakti? Jangankan aku, guruku pun kalau masih hidup mungkin tak dapat merebutnya. Bodoh! Dasar bodoh. Mutiara palsu, dianggapnya mutiara Sakti."
Selang beberapa lama kemudian tampak Sodra dan kedua temannya telah datang sambil membawa kitab Inti Jagad di tangannya. "Wanara Seta, ini Kitab yang kau maksud. Sekarang berikan Mutiara Sakti itu pada kami," berkata Lombang.
"Ini mutiaranya. Sekarang aku ingin melihat dulu benar atau tidak kitab itu. Bukalah!"
Dengan segera, Sodra yang mendapat anggukan dari kedua temannya segera membuka bungkusan kain putih. Tampak sebuah kitab yang memancarkan sinar kala bungkusan itu telah dibuka.
"Bagaimana, Wanara Seta? Apakah puas?"
"Ya! Ini Mutiara Sakti sebagai pengganti sementara Pedang Siluman Darah yang boleh kalian ambil saat bulan purnama kelima sambil menyaksikan pertunjukan yang menyenangkan."
Tanpa rasa curiga, ketiga orang itupun segera memberikan kitab Inti Jagad pada Wanara Seta yang memberikan jaminannya dengan batu Mutiara Sakti palsu. Setelah mendapatkan Kitab Inti Jagad, dengan tertawa riang Wanara Seta berkelebat pergi meninggalkan ketiganya yang juga tersenyum puas mendapatkan Mutiara Sakti.
Tampak dari kejauhan oleh Malaikat Putih, empat orang tengah berjalan menuju ke arahnya. Empat orang itu, tiga lelaki dan satu wanita muda cantik. "Siapa mereka? Sepertinya searah dengan tujuanku?" bertanya Malaikat putih dalam hati, yang segera menghentikan langkah kakinya. Saat keempat orang itu telah agak dekat dengannya, tersentak Malaikat putih demi mengetahui seseorang di antara mereka yang tak lain dari pada Rupaksi, pamannya.
"Sampurasun...!" menyapa Malaikat putih.
"Rampes...!" menjawab keempatnya hampir bersamaan.
"Paman...? Paman Rupaksi?"
Tersentak Rupaksi dan ketiga temannya, Jaka, dan sepasang pendekar demi mendengar pemuda itu menyebut nama Rupaksi. Karena tak tahu siapa sebenarnya pemuda yang kini berdiri di hadapannya, maka bagaikan orang linglung Rupaksi pun bertanya pada pemuda itu: "Anak muda, kau mengenalku dan menyebutku paman. Siapakah dirimu sebenarnya?"
"Ah, benar. Mungkin paman telah lupa padaku. Namaku Arya Purbaya, aku..."
Belum habis ucapan Arya si Malaikat Putih. Seketika Rupaksi telah memotong ucapannya. Dengan menangis memeluk Arya si Malaikat Putih yang ternyata kemenakannya sendiri. "Kaukah ini kemenakan ku?"
"Ya, Paman! Aku memang kemenakan mu yang hilang sepuluh tahun yang silam kala terjadi keributan di desa Cipulir."
Bagaikan tak melihat ada orang lain di tempat itu. Kedua paman dan kemenakan itu saling tangis berangkulan. Hingga membuat ketiga orang yang lain ikut terharu melihatnya.
"Kau telah besar, Anakku. Tak kusangka, kalau aku masih dapat dipertemukan denganmu."
"Sudahlah, Paman, tak perlu kita bertangis ratap yang akan melemahkan semangat kita. Bukankah kita sekarang tengah mencari orang yang telah membunuh dan mengejar-ngejar paman? Oh ya, Paman. Apakah kitab Inti Jagad masih aman di tangan paman?"
Mendengar pertanyaan kemenakannya, seketika Rupaksi kembali menangis. Membuat Malaikat Putih mengernyitkan keningnya tak mengerti apa yang tengah terjadi.
"Ki Sanak Arya, kami saat ini pula tengah mencari kitab yang telah dicuri orang. Kitab itu tadinya diambil oleh Tiga Setan Api yang telah mati oleh orang lain yang kini tengah kami hendak datangi," berkata Jaka mewakili Rupaksi yang masih menangis karena menyesal atas ketidak mampuannya menjaga keberadaan kitab itu.
Mendengar ucapan Jaka Ndableg, seketika Malaikat Putih Arya Purbaya tersentak dan memandang ke arah Jaka sembari bertanya. "Siapakah kini yang mengambil kitab itu, Ki Sanak?"
"Aku juga tak mengenalnya, maafkan aku. Tanyakanlah pada paman Ki Sanak, yang mengenal siapa mereka sebenarnya."
"Anakku Arya, orang-orang yang kini menguasai kitab milik ayahmu tak lain daripada orang yang telah memperdayai ibumu. Kau mengenalnya, bukan?"
Malaikat Putih Arya Purbaya tercenung sesaat, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu. Lalu iapun berkata: "Mengenai namanya, aku tak tahu. Namun wajah-wajah mereka, aku masih ingat betul."
"Itulah orang-orangnya, yang kini menguasai kitab Inti Jagad. Kami sendiri, hendak menuju ke sana untuk sedapatnya meminta kitab itu. Dan di sini, kita bertemu. Oh ya anakku, perkenalkan ketiga orang gagah ini adalah teman paman. Yang sepasang pemuda-pemudi bernama Sendana dan Rekasih. Keduanya adalah pendekar dari wetan, bergelar Sepasang Pendekar. Sementara yang seorang lagi bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman dari kawah Candra Bilawa..."
Tanpa diperintah, ketiga pendekar itu menjura hormat. Malaikat putih tersentak sembari menggumam demi mengetahui salah seorang dari mereka adalah orang yang sering diceritakan gurunya. Maka dengan balik menjura, Malaikat putih yang tersentak kaget tak nyana bakal bersua dengan orang nomor wahid di dunia persilatan dan berkata:
"Ah... sungguh saya yang rendah ini tak tahu diri telah bertingkah tak hormat pada tuan Pendekar Pedang Siluman. Maka dengan rendah hati, aku mohon maaf."
"Ah, kenapa Ki Sanak Arya begitu meninggikan ku? Padahal aku tak lebihnya dari diri Ki Sanak. Kalau Ki Sanak menganggap aku ini pendekar, sungguh suatu yang terlalu tinggi."
Mendengar penuturan Jaka Ndableg, seketika Malaikat Putih bergumam di hati: "Sungguh-sungguh seorang pendekar sejati, rendah hati dan baik tutur katanya."
"Tuan Pendekar terlalu merendah. Karena menurut cerita guru, tuan Pendekar merupakan salah satu pendekar wahid."
"Oh...sungguh mengada-ada. Mana mungkin pendekar kelas wahid seperti tampangku? Oh ya, kalau boleh aku tahu. Siapakah guru Ki Sanak?" tanya Jaka Ndableg.
"Guru saya yang bodoh ini, bernama Malaikat Suci."
Tersentak kaget keempat orang termasuk Rupaksi yang tak mengira kemenakannya adalah murid tunggal Malaikat Suci yang kesohor dan belum mempunyai murid seorangpun.
"Jadi sesuai silsilah, berarti Ki Sanakpun mendapat gelar Malaikat. Bukankah begitu, Ki Sanak?" tanya Jaka mengejutkan Malaikat putih.
"Ah... Tuan pendekar di samping berilmu tinggi, juga memiliki wawasan yang panjang. Maka dengan tanpa mampu mengelak, aku yang rendah ini membenarkan ucapan Tuan Pendekar. Memang guru memberi gelar padaku Malaikat Putih."
"Beruntung kau, Anakku. Karena tokoh sakti itu telah berkenan mengangkatmu sebagai murid. Padahal tak jarang ia menolak orang untuk menjadi muridnya." Rupaksi yang sedari tadi hanya mendengarkan kemenakannya bertutur kata dengan Pendekar Pedang Siluman kini nimbrung bicara.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh pamanmu, Ki Sanak. Kau beruntung diangkat murid olehnya, yang tak mau menerima murid kalau tidak berkenan di hatinya," menambahkan Sendana.
"Ah! Sudahlah, jangan karena membicarakan seseorang lalu kita lalai dengan tujuan kita. Bagaimana? Apakah kita akan di sini saja bercakap-cakap? Aku khawatir orang yang kita cari telah meninggalkan tempatnya," kata Rekasih menjadikan keempat lelaki itu tersadar.
"Benar, apa yang dikatakan saudari Rekasih. Kalau kita terus-terusan di sini bisa-bisa orang-orang itu telah pergi meninggalkan tempatnya. Ayo kita teruskan sambil berjalan ngobrolkan bisa?"
Ketiga lelaki lainnya tersenyum-senyum demi mendengar ucapan Jaka yang bernada lucu. Tanpa banyak kata lagi, kelima orang itupun kembali meneruskan perjalanan yang telah tertunda menuju ke tempat yang dituju.
"Setan alas! Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wanara Seta keparat! Mutiara ini bukan yang aslinya tapi palsu!"
Tersentak Sodra dan Wungkal gunung, demi mendengar caci maki temannya. Seketika, keduanya yang berada di depan rumah segera berlari ke belakang.
"Ada apa, Lombang? Sepertinya kau marah-marah," bertanya Sodra setelah mendapatkan Lombang yang tengah membanting sesuatu.
"Hai! Kenapa kau banting Mutiara Sakti itu, Lombang?" Wungkal Gunung pun tak kalah kagetnya melihat Lombang membanting Mutiara Sakti.
"Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wanara Seta! Lihat! Kalau memang mutiara itu, Mutiara Biru. Maka akan mengeluarkan hawa panas bila digosok dengan senjata pusaka."
Mendengar ucapan Lombang, seketika keduanya tersentak dan menggumam umpatan. "Benar! Ternyata Wanara Seta memang telah membohongi kita, dengan mutiara buatannya. Babi buntung! Lalu apa yang harus kita lakukan? Sedang untuk menghadapinya belum tentu kita akan mampu," Sondra sepertinya putus asa mengingat ilmu Wanara Seta jauh lebih tinggi dibanding ilmu mereka bertiga.
Ketika ketiga orang itu tengah dilanda kebingungan untuk mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar suara orang memberi salam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab ketiganya hampir berbarengan, dan dengan segera menuju ke muka rumah. Mata mereka seketika tersentak kaget, demi melihat Rupaksi dan teman-temannya yang datang.
"Selamat berjumpa lagi sahabat-sahabat. Lama kita tak berjumpa. Bagaimana keadaan kalian?" menyapa Rupaksi pada ketiganya yang seketika tersenyum menyengir sepertinya menganggap enteng orang-orang yang bersama Rupaksi. Maka dengan congkaknya Lombang berkata:
"Rupaksi, apakah kau datang ke mari untuk menuntut balas kematian kakakmu, Kerto Pati? Kalau memang hal itu, kau datang jauh-jauh ke mari percuma! Sebab kau hanya akan mengantar nyawa saja. Apa kau mengandalkan teman-temanmu yang masih bau kencur?"
"Tidak itu saja, Lombang. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu aku akan meminta kitab Inti Jagad yang kau rampas dari Tiga Setan Api."
Mendengar ucapan Rupaksi, seketika ketiganya tertawa bergelak-gelak. Sedang di pihak lain, keempat orang muda yang berdiri di belakang Rupaksi hanya terdiam tenang.
"Rupaksi, jangankan dirimu, kakakmu saja mampu aku kalahkan. Ha... ha... ha...!" berkata Wungkal Gunung.
"Benar! Percuma kau datang ke sini kalau hanya untuk mengantar nyawa tuamu. Memang aku telah bersepakat dengan kedua saudaraku untuk melenyapkan segala keturunan dan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan Kerto Pati. Namun beruntung anak Kerto Pati dapat lolos, tertolong oleh seorang lelaki tua yang membawanya pergi. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak. Hendak kau apakan?" tanya seorang pemuda yang berpakaian putih-putih dengan sabuk merah menyala, yang tak lain Arya Purbaya si Malaikat Putih.
Terbelalak Mata Sodra, demi mengetahui seorang pemuda telah berani memutus omongannya. Maka dengan geram, Sodra kembali berkata: "Kalau tidak ditolong oleh lelaki tua itu sudah ku bikin bergedel tubuhnya!"
Bergelak tawa pemuda berpakaian putih-putih setelah mendengar ucapan Sodra yang kembali tersentak melihat pemuda itu bergelak tawa. "Mampukah kau membuat bergedel dari anak Kerto Pati?" tanya Malaikat Putih yang membuat Sodra bertambah marah dan dengan membentak kembali berkata:
"Iblis! Siapa kau, anak muda, hingga berani kau guyon denganku. Atau kau yang akan menjadi pengganti bocah itu. Hah!"
Untuk kedua kalinya Arya Purbaya tertawa bergelak-gelak demi mendengar omongan Sodra. Lalu dengan tenangnya ia berkata: "Kalau kau ingin tahu... Akulah anak Kerto Pati yang dulu ditolong lelaki tua kala kau dan rekanmu yang berkepala botak membunuh paman, bibi dan ibuku. Nah, lakukanlah bila kau pun mampu membuatku jadi bergedel."
Tersentak bukan alang kepalang ketiganya, demi mengetahui siapa adanya pemuda yang kini berdiri di belakang Rupaksi. Hati mereka seketika ciut. Tidak mungkin tidak, kalau pemuda anak Kerto Pati itulah yang diandalkan Rupaksi hingga berani mendatanginya. Mereka menyangka bahwa pemuda itulah yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu bahwa di antara kelima orang yang di hadapannya terdapat seorang pendekar yang kalau mereka tahu mungkin langsung ngibrit pergi.
"Rupaksi, ternyata kau mengandalkan kemenakan mu hingga kau berani menyantroni kami. Lalu untuk apa kau bawa-bawa tikus-tikus itu? Apakah untuk menakut-nakuti kami? Ha... ha... ha...! Jangan kira kami takut dengan kemenakan mu."
"Jangan takabur, Lombang! Kau jangan merendahkan mereka, yang mungkin menurutmu hanya tikus-tikus comberan belaka. Kalau kau mengetahui siapa mereka adanya, mungkin kau akan menyumbat mulutmu sendiri yang telah lancang berbicara."
Lombang dan ketiga saudara seperguruannya tertawa bergelak-gelak, demi mendengar ucapan Rupaksi yang dianggapnya hendak menakut-nakuti mereka. Maka dengan masih congkak dan sombong, Lombang kembali berkata setelah mengerling pada kedua adik seperguruannya yang juga tersenyum sinis.
"Rupanya kau hendak menakut-nakuti kami dengan tikus-tikus comberan mu, Rupaksi. Baik! Aku ingin tahu nama-nama tikus busukmu itu yang sangat kau bangga-banggakan."
Mendengus Rupaksi, demi mendengar ucapan Lombang yang menganggap enteng pada ketiga orang muda di sampingnya. Maka dengan terlebih dahulu meludah, Rupaksi yang telah marah berkata memberi tahu siapa adanya orang-orang di sampingnya. "Dengar oleh kalian semua dan aku minta kalian jangan menyesal dengan ucapan kalian bila telah tahu siapa adanya ketiga orang muda ini. Yang muda-mudi ini adalah Sepasang Pendekar."
Tak terkejut ketiganya demi mendengar julukan sepasang muda-mudi itu, bahkan ketiganya makin menyibirkan mulut mengejek.
"Dan yang ini adalah Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah dari kawah Chandra Bilawa."
Bagaikan disengat halilintar di siang bolong, mata ketiganya seketika terbelalak kaget mendengar nama pemuda bertampang bloon yang ternyata seorang pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Maka dengan tak mempunyai rasa malu, ketiga orang itu segera berkelebat hendak melarikan diri. Dengan segera Arya Purbaya si Malaikat Putih, Sendana, dan Rekasih memburu mengejar mereka. Ketiganya tanpa mengalami kesulitan dapat dengan segera memburu ketiga orang itu.
"Berhenti!" membentak Arya Purbaya yang telah berhasil menghadang ketiganya.
Tersentak ketiga orang itu, demi melihat pemuda anak Kerto Pati telah berdiri di hadapannya. "Minggir! Atau kami akan melawanmu!"
Dibentak seperti itu oleh Lombang bukannya si pemuda menepi. Bahkan dengan senyum sinis, si pemuda makin mendekati ketiga musuhnya. Sementara itu. Sepasang pendekar yang tengah mengejar pun telah sampai juga. Merasa tak ada artinya lagi untuk berturut kata, dengan nekad ketiganya segera menerobos sembari menyerang.
"Rupanya kalian ingin mati! Terimalah ini!" Bersamaan dengan habisnya suara ketiganya, seketika ketiganya tampak menyatukan tangan mereka. Seketika itu pula dari tangan mereka mengepul asap dan larikan sinar biru mengarah kepada ketiga pemuda-pemudi di hadapannya yang segera berjumpalitan menghindar.
"Ilmu Iblis!" memaki ketiga anak muda itu yang langsung membalas menyerang dengan cepatnya.
Perkelahian pun tak dapat dihindarkan, tiga melawan tiga. Jurus demi jurus terlalui. Ketika tampak kedua pendekar muda itu terdesak, dengan segera Malaikat Putih berseru yang segera dituruti oleh Sepasang Pendekar.
"Ki Sanak dan Ni Sanak Sepasang Pendekar, menyingkirlah agak jauh biar aku hadapi ketiganya. Maaf, bukannya aku bermaksud merendahkan kalian. Tapi ilmu yang mereka pakai bukanlah ilmu sembarangan, yang banyak dimiliki orang. Ilmu mereka sangat sukar bila harus dilawan dengan banyak orang yang beda ilmunya. Maka itu ijinkanlah aku menghadapinya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, keduanya segera menyingkir ke belakang membiarkan Malaikat Putih menghadapi sendirian. "Karena kalian menggunakan ilmu Iblis, maka aku pun ingin mengajak main-main dengan kalian. Bersiaplah!"
"Jangan banyak omong, Anak Muda! Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang akan lebih dulu ke akherat. Hiat...!" Dengan terlebih dahulu membentak, ketiga orang yang menyatu itu segera kembali melancarkan serangannya.
Malaikat Putih yang sudah tahu ilmu mereka begitu keji dan dahsyat, dengan segera melenting ke angkasa menghindar dari serangan mereka. Ketika telah mencapai titik kulminasi, Malaikat Putih segera menukik mengarah ke kepala ketiga orang yang menyerangnya.
"Hiat...!"
"Oh...!" Terdengar keluhan dari ketiga orang itu, yang seketika terkulai lemas bagaikan tak bertulang.
Terbelalak mata Sepasang Pendekar, demi melihat hal yang terjadi pada ketiga orang itu. Ketiga orang itu kini bagaikan anak kecil, merintih meminta pertolongan. Tak ubahnya dengan Sepasang Pendekar. Jaka dan Rupaksi pun terperanjat melihat ilmu yang dipergunakan oleh si Malaikat Putih, yang tampak berjalan menghampiri ketiga orang di hadapannya yang terkulai tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Katakan padaku, di mana kau simpan kitab Inti Jagad? Dan katakan pula, siapa yang telah menjamah kalian memperdayai ayahku?"
"Ampunilah kami. Kami akan mengatakannya padamu, bila kau mau mengampuni dan mengembalikan tenaga kami."
"Katakan dulu padaku. Di mana kalian simpan kitab itu, dan siapa yang telah menyuruh kalian mencelakai seluruh keluargaku! Kalau kalian telah mengatakannya, maka kalian akan aku beri tahu cara membebaskannya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, di samping itu juga karena Pendekar Pedang Siluman telah berdiri di situ maka dengan rasa takut ketiganya segera menceritakan siapa sebenarnya yang menjadi dalangnya. "Baiklah, aku percaya pada kalian. Nah, dengarlah bahwa yang mampu menyembuhkan kelumpuhan kalian adalah diri kalian sendiri. Bila kalian insyaf, maka kalian akan sembuh. Namun bila kalian hendak mengulangi berbuat jahat, maka kalian akan mengalami kelumpuhan lagi sebelum kalian mampu berbuat kejahatan."
Tersentak semuanya mendengar ucapan Malaikat Putih yang sepertinya bercanda. Belum juga hilang rasa kaget, mereka semua mendengar ucapan Arya si Malaikat Putih, seketika mereka dibuat makin terbelalak karena melihat sesuatu hal yang aneh. Ketiga orang yang mengalami kelumpuhan itu berjanji, dan bersumpah tak akan melakukan hal yang jahat. Tiba-tiba, tubuh mereka kembali pulih seperti sedia kala.
Namun dasar mereka itu orang-orang yang tak mau diuntung, sudah diberi pengertian begitu mereka masih tak percaya. Akibatnya, ketika mereka hendak menyerang, seketika mereka mengalami kelumpuhan lagi. Melihat hal itu, Malaikat Putih tampak gusar dan mendengus marah.
"Rupanya hati kalian telah menjadi batu yang dihuni iblis hingga kalian tak mempercayai segala omongan orang. Maka dari pada kalian menderita seumur hidup, lebih baik kalian mati saja. Hiat...!" Tanpa dapat dicegah, Malaikat Putih berkelebat mengibaskan tangan bagai mengusir lalat. Seketika terdengar jeritan melengking dari ketiga orang itu yang langsung meregang nyawa.
"Kita harus segera menuju ke Hutan Rengganis, di mana Wanara Seta berdiam. Hai! Bukankah nanti malam bulan purnama kelima?" bertanya Malaikat Putih, sepertinya berbicara pada diri sendiri.
"Benar, Ki Sanak Malaikat Putih. Ada apakah gerangan?" bertanya Jaka ingin tahu yang dengan segera diceritakan oleh Malaikat Putih tentang pesan dari gurunya.
"Guruku berpesan agar aku pada malam purnama kelima harus memenuhi tantangan musuh guru yang bernama Wanara Seta. Tak dinyana, kalau orang itu juga adalah tokoh utama dari segala yang menimpa keluargaku. Ayo, Paman dan Ki Sanak sekalian, hendakkah kalian ikut denganku?"
Tanpa ada yang menolak, kelima orang itupun segera berkelebat pergi menuju ke Hutan Rengganis di sebelah selatan desa Cipulir.
Malam bulan purnama telah tiba, seketika tampak sebuah bayangan berkelebat dari Hutan Rengganis menuju ke bukit Kematian yang letaknya seperempat mil dari hutan. Bayangan itu kemudian berhenti dan berdiri sembari memandang ke sekitar bukit. Wajah orang itu tampak kecut, sepertinya ia tengah menunggu kemunculan seseorang.
"He.., ini bulan purnama kelima. kenapa tua bangka itu tak muncul-muncul?" bergumam hati orang yang berdiri di atas bukit setelah memandang sekelilingnya.
Tiba-tiba matanya melihat serombongan orang yang terdiri dari enam orang dari arah Timur sementara dari arah Utara muncul pula serombongan orang yang terdiri dari lima orang. Rombongan orang itu yang tak lain dari rombongan Iblis Alas Waru, dan rombongan dari Rupaksi. Kedua rombongan itu bertemu di kaki bukit, saling memberi salam.
"Ah. Rupanya kita masih jodoh, Pendekar Pedang Siluman Darah hingga yang Maha Kuasa kembali mempertemukan kita," berkata Iblis Alas Waru, setelah kesemuanya saling berkenalan dan bertegur sapa.
"Syukur, Iblis Alas Waru, kita dapat bertemu lagi. Oh ya, gerangan apakah hingga kalian tahu dan datang ke sini?"
"Jaka, aku senang bertemu denganmu kembali. Lama kita berpisah, eh, tak tahunya kita bertemu di sini. Ketika kami tengah mencari orang yang mengaku bernama Iblis Alas Waru, kami mendapat keterangan bahwa kami akan mendapatkannya di bukit Kematian pada bulan purnama kelima. Maka itu, kami segera menuju ke mari."
Tengah mereka bercakap-cakap, terdengar orang yang berdiri di atas bukit berseru: "Hei!. Kalian yang ada di situ, ada keperluan apa kalian ke mari?!"
"Iblis, mengejutkan saja. Hai orang di atas bukit! Siapakah engkau adanya?!" membalas Jaka Ndableg berseru.
"Akulah Wanara Seta atau Siluman Kera. Adakah di situ si Malaikat Suci! Kalau ada, cepatlah naik! Jangan sembunyi seperti tikus!"
"Bedebah! Kalau begitu, inilah orangnya!" menggerutu Siti Gendari, yang seketika itu berkelebat lari menuju ke atas bukit tanpa dapat dicegah. "Iblis! Jangan kau enak-enakan lari dari tanggung jawab yang telah kau lakukan!"
Tersentak Wanara Seta, demi mendengar seorang gadis memaki-maki dirinya. Maka dengan masih tak mengerti, Wanara Seta pun berkata: "Nona! Gerangan apa hingga kau menuduhku begitu? Apakah kita pernah berbuat sedang bertemu pun baru sekarang ini."
"Cih! Najis! Masih ingatkah kau pada sebuah keluarga yang kau bantai sepuluh tahun yang silam?"
"Hai, rupanya kau anak yang lolos dari maut. Mau apakah kau ke mari? apakah kau mau menjadi istriku?"
"Bedebah! Aku akan menuntut balas. Bersiaplah. Hiat...!"
Dengan segera, Siti Gendari yang di hatinya membara dendam berkelebat menyerang Wanara Seta yang tertawa-tawa sembari menghindari serangan yang dilancarkannya. Walau Siti Gendari didikan tokoh sakti, namun menghadapi Wanara Seta sepertinya tak ada artinya. Bahkan dengan seketika, ketika telah berkelahi beberapa jurus, Wanara Seta dengan mudah menemukan titik luang pada tubuh Siti Gendari, hingga ketika Siti Gendari kembali menyerangnya dengan cepat Wanara Seta berkelit ke belakang tubuhnya dan menghantam telak punggung Siti Gendari.
Pukulan Wanara Seta yang berisikan tenaga dalam, menjadikan Siti Gendari langsung mental ke belakang. Beruntung! Dengan secepat kilat Jaka berkelebat dan menangkap tubuh Siti Gendari, kalau tidak! Tak ayal lagi, cadas-cadas tajam akan merencah tubuhnya. Melihat hal itu, Maka serempak Iblis Alas Waru dan anak buahnya berkelebat menyerang Wanara Seta menggantikan Siti Gendari. Dikeroyok oleh lima orang, bukannya keder. Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta meladeni serangan mereka. Setiap tangannya berkelebat, maka satu nyawa melayang.
Sementara di atas bukit tengah terjadi pertempuran, satu melawan lima. Di bawah bukit, Jaka tampak masih menunggui Siti Gendari yang masih menderita luka parah.
"Jaka... aku... aku bahagia. Walaupun aku harus mati, namun aku bahagia dapat bertemu denganmu. Aku cinta padamu." Bersamaan dengan habisnya ucapan, Siti Gendari seketika melemas dan tergolek di pangkuan Jaka Ndableg.
Seketika semua orang yang hadir menundukan muka, seperti turut berduka cita atas kematian Siti Gendari. Sementara di atas sana, pekik kematian terus menggema.
"Tak dapat dibiarkan!" menggeretak Rekasih penuh amarah, demi menyaksikan korban telah banyak berjatuhan.
Di atas bukit, kini tinggal Iblis Alas Waru yang tengah menghadapi Wanara Seta. Tampaknya Iblis Alas Waru terdesak mundur, hingga tubuhnya terus mundur dan mundur sampai mendekati jurang. Melihat Iblis Alas Waru dalam bahaya, dengan segera Sepasang Pendekar dan Rupaksi berkelebat menyerang Wanara Seta bersama.
Tersentak Wanara Seta diserang seketika oleh ketiga orang yang ilmunya dibilang tinggi. Dengan segera Wanara Seta meninggalkan Iblis Alas Waru, berbalik menghadapi ketiga orang menyerangnya. Pertarungan pun berlangsung seru, karena mereka memiliki ilmu yang sama-sama tinggi. Jurus demi jurus telah berlalu begitu cepatnya, hingga tanpa terasa telah enam puluh jurus mereka lalui.
Kala meningkat ke jurus tujuh puluh. Tiba-tiba Sepasang Pendekar mempercepat serangannya dengan pedang yang ada di tangan mereka, yang bergerak cepat laksana baling-baling. Silih berganti Sepasang Pendekar menyerang dan menangkis, hingga membuat bingung Wanara Seta. Seketika itu. Pedang di tangan Rekasih berkelebat cepat, dan menghujam telak di tubuh Wanara Seta. Tersentak kaget Rekasih sembari melompat mundur, kala dilihatnya Wanara Seta mematahkan pedangnya yang telah menancap di dadanya.
Dengan menggeram, dicabutnya ujung pedang yang tersisa, hingga darah tampak keluar. Makin tersentak kaget ketiga orang penyerangnya, saat dengan ludahnya Wanara Seta mengobati luka di dada yang langsung sembuh seperti sedia kala. Belum hilang rasa kaget ketiganya, tiba-tiba Wanara Seta mendengus dan seketika tubuhnya berubah menjadi seekor gorila besar yang langsung menyerang. Bukan hanya ketiga orang di atas yang tersentak melihat perubahan diri Wanara Seta. Di bawah pun, Jaka dan Malaikat Putih terperanjat dan menggumam hampir bersamaan.
"Ilmu siluman! Tak mungkin mereka dapat mengalahkannya. Aku akan berusaha menolong mereka," berkata Malaikat Putih sembari berkelebat diikuti Jaka di belakangnya.
"Paman Rupaksi, dan saudara Sepasang Pendekar, mundurlah. Dia bukan musuh kalian, biar aku yang menghadapinya." Malaikat Putih segera berkelebat menggantikan kedudukan tiga orang menghadapi Wanara Seta.
"Wanara Seta. Aku tak dapat datang sendiri, untuk itulah aku mengutus muridku si Malaikat Putih memenuhi tantanganmu. Bukannya aku tak berani menghadapimu, namun aku telah mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku rasa muridku pun sama denganku, bukan begitu, Wanara Seta? Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah, aku memohon tolong padamu, jaga muridku. Ia masih muda dan baru menginjakkan kaki di dunia persilatan jadi perlu bimbingan. Untuk itu, aku percayakan padamu, Tuan Pendekar." terdengar suara Malaikat Suci berkata.
Mungkin kalau Malaikat Suci tak menyebutkan nama Pendekar Pedang Siluman, Wanara Seta tak akan terkejut dan membelalakan mata. Namun demi mendengar bahwa di situ ada seorang pendekar yang namanya tengah menjadi buah bibir orang-orang persilatan, seketika Wanara Seta menjadi ciut hatinya. Hingga ia tak begitu konsentrasi menghadapi Malaikat Putih.
Melihat Wanara Seta lengah, dengan segera Malaikat Putih berkelebat menghantamkan pukulannya. Pukulan yang didasari dengan tenaga dalam itu, menghantam telak pada tubuh Wanara Seta. Namun seketika Malaikat Putih tersentak, demi melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Pukulan Inti Sakti yang dilancarkannya, tak berarti apa-apa bagi Wanara Seta yang seketika mendengus marah dan menyerangnya. Karena terkejut, menjadikan Malaikat Putih tak dapat mengelakkan serangan Wanara Seta. Dicobanya berkelit, namun tak urung pundaknya terkena sambaran tangan Wanara Seta.
Melihat Malaikat Putih terdesak. Dengan segera Jaka yang sedari tadi hanya menonton berkelebat membantunya. Tersentak mundur Wanara Seta, melihat orang yang ternyata Pendekar Pedang Siluman menyerangnya. Dalam hati Wanara Seta membatin.
"Mungkinkah aku harus mati saat ini, sesuai dengan ucapan Ki Badrawi ketika hendak meninggal dunia?"
Seketika itu, terbayang oleh Wanara Seta ucapan yang dilontarkan Ki Badrawi sebelum ajal. "Kau... kau, manusia berhati binatang. Kau tak tahu balas budi. Kenapa kau hendak membunuhku? Ingat! Aku akan membalas semua ini padamu, kelak lewat seorang pendekar muda yang memiliki senjata pedang yang bernama Pedang Siluman Darah. Tubuhmu, kelak akan mati oleh senjata itu."
"Tidak! Aku tak akan mati. Jangankan pendekar Pedang Siluman Darah, seribu orang persilatan pun tak akan membunuhku!" memekik Wanara Seta, mencoba menghilangkan bayangan Ki Badrawi yang sepertinya ada di tubuh Jaka.
Jaka dan Malaikat Putih tersentak, demi mendengar jeritan Wanara Seta yang seperti ketakutan menyebut namanya. "Sepertinya, ia dibayangi oleh seseorang yang pernah dibunuhnya," berbisik Jaka pada Malaikat Putih.
"Benar! Tadi ia menyebut nama tuan. Mari kita serang."
Dengan cepat. Pendekar-pendekar muda itu berkelebat, menyerang dengan kesaktian yang ada pada diri masing-masing. Terbelalak mata kedua pendekar muda itu, demi melihat kenyataan yang terjadi. Ajian Lebur Raga yang dilancarkan oleh Jaka sepertinya tak ada artinya, juga Ajian Petir Dewa yang dilancarkan Malaikat Putih juga tak berarti. Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta berkata mengejek
"Keluarkan semua ajian yang kalian miliki. Aku Wanara Seta, tak akan mundur."
"Sombong!" memaki Malaikat Putih gusar.
"Jangan kita terpancing olehnya, Malaikat Putih. Ayo, kita serang berbarengan. Kalimu Sada! Hiat...!"
"Serat Brahma!! Hiat...!"
"Jleger!" terdengar ledakan dahsyat, ketika dua ajian pamungkas menggempur berbarengan tubuh Wanara Seta. Namun untuk kesekian kali, kedua pendekar muda itu tersentak demi melihat ajian pamungkasnya tak mempan. Bahkan! Keduanya hampir saja terkena hantaman Wanara Seta yang melancarkan Ajian Serbuk Kematian, bila saja keduanya tak segera mengelak.
"Siluman! Mati kita di sini." berkata Malaikat Putih lesu, sepertinya telah habis akalnya. Semua ajian telah dikerahkan, namun sepertinya mahluk gorila itu tak mempan.
Seperti halnya Malaikat Putih, Jaka Ndableg hampir putus asa. "Gusti Allah. Apakah aku di sini matinya?... Ah! Aku tak boleh putus asa dulu. Aku tak boleh menyerah pada nasib. Akan aku coba dengan Pedang Siluman Darah. "DENING RATU SILUMAN DARAH, DATANGLAH!"
Seketika di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah membasahi batangnya. Terbelalak mata Wanara Seta demi melihat senjata yang telah menggemparkan dunia persilatan berada di tangan Jaka Ndableg. Tak kalah kagetnya yang lain. Seketika semuanya memekik berseru:
"Pedang Siluman Darah...!" Bayangan Ki Badrawi kembali muncul. Menggantikan tubuh Jaka yang dengan senyum sinis berkata: "Jangan kau ketakutan, Wanara. Aku telah datang..."
"Tidak.,.!" memekik Wanara Seta.
Bersamaan dengan itu, Jaka Ndableg telah membabatkan Pedang Siluman Darah ke arahnya. "Inilah bagianmu. Hiaatt...!"
Seketika Wanara Seta memekik, lalu ambruk dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darah seketika mencurat, keluar dari tubuh Wanara Seta. Sementara darah yang menempel di batang pedang, seketika lenyap terhisap oleh Pedang Siluman Darah. Dengan matinya Wanara Seta, berakhir pula kejahatan di desa Cipulir. Segera keempat orang yang sedari tadi terkesima, bergegas menggeledah tubuh Wanara Seta yang ambruk dengan tubuh terbelah menjadi dua.
"Ini kitab itu!" berseru Rupaksi girang.
"Sungguh kitab yang maha sakti," bergumam Jaka demi melihat kitab tersebut.
"Ini, terimalah."
"Untukku...? Hai, bukankah kitab ini milik ayah Malaikat Putih?"
"Tidak, Ki Sanak Jaka. Kitab ini merupakan kitab milik Ki Eka Bilawa, ayahmu, terimalah."
Akhirnya dengan masih bimbang, Jaka segera menerima Kitab Inti Jagat yang telah menggegerkan Dunia persilatan. Dipandangi kitab tersebut, yang memancarkan sinar kuning menyala. Pedang Siluman Darah di tangan Jaka, tiba-tiba menghilang sendiri. Hal itu makin membeliakkan mata keempat temannya yang kaget bercampur heran. Tengah semuanya terheran-heran, tiba-tiba Jaka telah berkelebat sembari memanggul tubuh Siti Gendari pergi.
"Maaf, aku pergi dulu. Selamat berjuang para pendekar!"
Tersentak kelimanya yang dengan segera memandang pada asal suara itu. Tampak Jaka dengan menggendong tubuh Siti Gendari, telah jauh meninggalkan mereka yang hanya geleng kepala.
"Sungguh, sungguh aneh pendekar muda itu."
"Benar, apa yang Ki Sanak Malaikat Putih ucapkan. Di samping dia mempunyai ilmu yang tinggi, tabiatnya pun aneh. Dia suka Ndableg hingga tokoh-tokoh persilatan memberi nama JAKA NDABLEG," menyambung Iblis Alas Waru yang wajahnya tampak lesu.
"Ooh, hari telah pagi. Kami permisi dulu," berkata Sendana.
"Kenapa mesti cepat-cepat, saudara Sepasang Pendekar?" bertanya Malaikat Putih.
"Sebenarnya kami ingin lama. Tapi... Guru menyuruh kami untuk segera kembali bila kami telah menyampaikan maksud guru pada pendekar Pedang Siluman Darah atau Jaka Ndableg. Nah, kami mohon diri," meminta Rekasih.
Kedua Pendekar Muda itupun segera berkelebat pergi. Pagi telah tiba, manakala ketiga orang yang masih di tempat itupun turut berlalu pergi. Sunyi kembali Bukit Kematian, sepertinya turut terhanyut dengan kejadian yang semalam terjadi....
Berbicara tentang mereka yang tengah berbicara tentang kereta tampak tergesa-gesa. Penunggang kereta itu ada tiga orang, dua lelaki dan seorang wanita. Setelah penunggang yang berada di kereta, menengok ke arah belakang di mana tampak dari kejauhan dua orang dengan menunggang kuda naik kereta mereka.
"Trenggono, tak bisakah kau percepat sedikit larinya?" bertanya si wanita yang duduk di kereta, saat jarak mereka dengan dua orang pengejarnya semakin menyempit.
Tanpa banyak kata, Trenggono si kusir kereta dengan segera menarik kais dan mencambuk kudakuda penarik kereta yang mengejutkan dan lari cepat.
"Ibu, siapakah kedua orang yang dari tadi mengejar kita? Sepertinya Arya lihat, kedua orang itu kemarin sore telah mengikuti kita." Anak lelaki yang bernama Arya seketika bertanya pada ibunya.
"Mereka orang jahat, Arya," menjawab sang ibu.
Tapi Arya yang belum tahu maksud ucapan ibunya, kembali bertanya. "Mengapa mereka hendak menjahati kita, Bu?"
Ditanya seperti itu oleh anaknya, seketika sang ibu tampak berkaca-kaca matanya. Lalu dengan mencoba membendung air mata agar tidak ke luar, si ibu menjawab. "Arya, bapakmu dulu seorang pendekar yang ditakuti dan disegani oleh kawan maupun lawan. Hal itu membuat Bapakmu banyak teman, juga banyak lawan. Teman kadang-kadang baik, ada juga yang jahat. Seperti saat kau masih bayi, bapakmu telah dikhianati oleh temannya sendiri..."
"Dikhianati? Mengapa bapak dikhianati? Apakah bapak punya salah, Bu?" bertanya Arya memotong cerita ibunya, yang kembali mendesah panjang.
"Entahlah anakku. Ibu tak tahu, apa kesalahan bapakmu hingga mereka tega membunuhnya." Dengan berlinang air mata, si ibu dengan terlebih dahulu mendekap tubuh anaknya bercerita tentang mengapa dan siapa yang telah membunuh suaminya.
"Sepuluh tahun yang silam. Ketika kau baru lahir ke dunia, keluarga kita hidup rukun dan penuh kebahagiaan. Ayahmu adalah seorang pendekar lurus yang berilmu tinggi, hingga ia ditakuti dan disegani. Pada suatu hari. Datang ke rumah tiga orang temannya, yang memang sudah sering kali datang. Tapi hari itu, mereka tampaknya lain dari biasanya. Mereka sepertinya marah pada ayahmu, yang waktu itu hanya mengernyitkan alis matanya sembari bertanya.
"Sodra, Lombang, dan kau Wungkal Gunung, ada hal apakah hingga kalian datang ke tempatku dengan membawa perasaan lain dari biasanya? Apakah aku telah berbuat salah pada kalian? Atau barang kali ada ganjelan di hati kalian yang ingin kalian sampaikan padaku?"
Ditanya seperti itu, mereka bukannya langsung menjawab. Tapi dengan sorot mata tajam, ketiganya memandang tajam pada Kerto Pati yang makin tak mengerti saja hal apa yang dikehendaki ketiga temannya.
"Heh, apakah kalian telah gagu hingga tak menjawab pertanyaan yang aku ucapkan? Atau barang kali kalian telah dirasuki iblis yang menjadikan kalian orang-orang tak tahu adat!" Sumo Kerto Pati membentak marah, demi melihat ketiga temannya berubah dalam segalanya.
Mendengar Sumo Kerto Pati membentak, tiba-tiba salah seorang dari ketiganya yang bernama Lombang balik membentak Kerto Pati yang seketika tersentak. "Kerto Pati! Rupanya di balik kebaikanmu, yang mengaku pendekar lurus tak lebihnya nafsu iblis. Kau telah mengorbankan temanmu guna memenuhi ambisi mu yang gila dan tak masuk akal. Kau bunuh temanmu, setelah kau mendapatkan kitab Inti Jagad. Tindakanmu begitu keji, Kerto Pati. Tak pantas kau menyandang gelar Pendekar berbudi luhur, kalau dalam kenyataannya tindakanmu tak lebih dari iblis!"
"Tutup mulutmu! Siapa yang telah membuat fitnah. Katakan! Siapa yang telah berkata begitu!" demi mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh Lombang. Dicengkeram dan diguncang-guncangkan tubuh Lombang, yang hanya terdiam memandang pada Kerto Pati. Melihat ketiganya terdiam, makin membuat Kerto Pati penasaran. "Lombang, aku tahu kau seorang pendekar yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Katakanlah padaku, siapa yang telah membuat fitnah keji itu?"
"Kerto Pati. Kalau kau ingin mengetahui siapa yang telah mengatakannya pada kami, kami harap kau mau turut bersama kami," menjawab Sodra.
Saat itu juga, mereka berempat pergi meninggalkan rumah Kerto Pati menuju tempat yang dimaksud.
"Sejak saat itu, Ayahmu tak pernah muncul lagi ke rumah. Hal itu membuat ibu cemas, lalu dengan menitipkan dirimu pada tetangga ibu segera mencari ayahmu. Ternyata ayahmu telah mati, dibantai oleh ketiga temannya yang sebenarnya bermaksud merebut kitab Inti Jagad," berkata si ibu, setelah menceritakan kejadian yang dialami ayah Arya.
"Apakah mereka mendapatkannya, Bu?"
"Tidak anakku, sebab Kitab itu telah ayah titipkan pada pamanmu yang bernama Rupaksi setelah ayahmu mendapat firasat tak baik."
"Lalu untuk apa orang-orang itu kini mengejar-ngejar kita, Bu?"
"Mulanya mereka berusaha mencari sendiri kitab yang oleh ayahmu dititipkan pada pamanmu. Namun setelah bertahun-tahun tak menemukannya, mereka pun akhirnya bermaksud meminta keterangan pada ibu tentang di mana Kitab itu disimpan. Namun sebelum mereka dapat menemukan ibu, ibu telah pergi meninggalkan rumah bersamamu. Tentu kau masih ingat, bukan?"
Mendengar penuturan ibunya, seketika mata Arya membeliak berkacakaca. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dipikirkan oleh bocah kecil itu, yang tiba-tiba berkata kembali pada ibunya. "Ibu, apapun yang terjadi janganlah sekali-kali ibu memberi tahukan keberadaan kitab itu. Sebab bila kitab itu jatuh ke tangan orang-orang seperti mereka, sangat berbahaya."
Terharu ibunya, demi mendengar penuturan yang diucapkan oleh anaknya yang baru sepuluh tahun. Mata wanita itu berkaca-kaca, seperti menggambarkan perasaan bangga pada anaknya yang telah mampu membandingkan mana yang baik dan buruk. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya rambut sang anak yang kini merebahkan kepala pada pangkuannya.
"Kalau begitu, ayah merupakan seorang pendekar yang agung yang lebih rela berkorban untuk kepentingan orang banyak, di atas kepentingan pribadinya," berkata Arya sepertinya menggumam pada diri sendiri, makin membuat sang ibu terharu.
********************
Kereta yang mereka tumpangi masih melaju dengan kencangnya, meninggalkan kedua orang yang mengejarnya di belakang. Hari telah benar-benar pagi, ketika mereka tiba di desa yang mereka tuju yaitu desa Kemanggungan. Di desa itu, tinggal adik seperguruan ayah Arya yang bernama Kerta Rukita atau pendekar Kera. Maka dengan segera, disuruhnya sang kusir menuju tempat Kerta Rukita, Kerta Rukita sangat bahagia, melihat kedatangan kakak ipar dan kemenakannya. Mereka disambut dengan penuh suka cita.
"Mbakyu, lama kita tak bersua sejak kelahiran Arya. Kini mbakyu datang secara tiba-tiba tanpa memberi tahu pada kami sebelumnya, ada apakah gerangan?" bertanya Kerta Rukita setelah mempersilahkan kakak iparnya duduk.
Ditanya oleh adik iparnya seperti itu, seketika ibu Arya yang sudah tak dapat lagi menahan air mata akhirnya menangis membuat Kerta Rukita dan isterinya saling pandang dan mengerutkan alis mata demi melihat kakak iparnya menangis,
"Maaf, Mbakyu. Bukannya aku. bermaksud menggugah kepedihan hati mbakyu. Tapi, aku hanya ingin tahu saja apa yang telah terjadi pada keluarga kakak Kerto Pati?"
"Kakakmu mati dibunuh oleh teman-temannya yang telah mengkhianati, karena mereka menghendaki kitab Inti Jagad" berkata ibu Arya sembari berlinang air mata, membuat Kerta Rukita terbelalak dengan mata melotot penuh kemarahan.
Mulut Kerta Rukita mendesis, gigi-giginya seketika beradu bergemeretukan. Tak terasa air matanya meleleh, ketika memandang pada kemenakannya Arya. Maka bagaikan seorang anak kecil, Kerta Rukita menangis sembari memeluk tubuh kemenakannya
"Aku tak akan tinggal diam! Mereka harus menerima pembalasanku, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!" menggeram Kerta Rukita, hingga membuat semua yang ada di situ terdiam tanpa berani berkata.
"Besok pagi, aku akan pergi ke sana untuk menuntut balas kematian kakang Kerto Pati." lanjut Kerta Rukita berkata, membuat semuanya seketika membelalakkan mata. Sedang mereka dicekam ketegangan, tiba-tiba terdengar suara orang di luar berteriak mengucap salam.
"Sampurasun! Adakah orang di dalam ?!"
"Bedebah! Tamu macam apa kau, berteriak-teriak seperti di tengah hutan saja!" membentak Kerta Rukita yang tengah dilanda amarah. Dengan segera, Kerta Rukita berlari keluar rumah menemui tamunya diikuti oleh isteri dan kakak iparnya juga Arya yang digandeng oleh kusir keretanya.
"Siapa kalian! Apakah kalian tidak mengerti tata krama bertamu, hingga kalian berteriak-teriak seperti di tengah hutan saja!"
Sang tamu tersenyum sinis, demi mendengar ucapan Kerta Rukita. Sementara Ibu Arya, melihat siapa yang datang. "Mengapa kalian mengejar-ngejarku terus? Bukankah sudah aku katakan pada kalian, bahwa aku tak tahu tentang kitab yang kalian maksudkan?" berkata ibu Arya, membuat Kerta Rukita tersentak dan memandang bengis pada kedua tamunya sembari berkata sinis.
"Rupanya kalian orangnya, yang telah membunuh kakakku. Kebetulan, aku tak usah mencari-cari kalian."
Kembali kedua orang yang ternyata Sodra dan Wungkal Gunung adanya, tersenyum kecut dan berkata: "Hem, Rupanya kau adik seperguruan Kerta Pati, yang bernama Kerta Rukita. Bagus, bagus. Kami kira, kau tahu akan kitab Inti Jagad yang dimiliki kakakmu. Serahkanlah buku itu pada kami, sebab kamilah yang berhak, memilikinya," kata Wungkal Gunung.
"Kalaupun aku tahu. Maka aku tak akan memberi tahu pada kalian, sebab kalian bukan orang-orang yang tahu balas budi. Kalian dengan kedok sahabat, tak lebihnya seekor srigala! Orang-orang macam kalian, tak pantas untuk tetap hidup di dunia. Tempat kalian adalah Neraka!"
"Kerta Rukita, lancang kau berkata! Tak tahukah dengan siapa kau berhadapan, hingga berani kau berkata yang menyinggung perasaan kami?!" membentak Sodra, yang jengkel melihat tingkah Kerta Rukita. Tangannya telah diangkat ke atas siap untuk menyerang Kerta Rukita.
"Jangan dulu, Sodra. Tak ada gunanya mengumbar amarah, kalau akhirnya tujuan kita sia-sia. Kerta Rukita, kalau kau tak mau mengakuinya bahwa kau mengerti di mana kitab Inti Jagad disembunyikan. Maka aku minta biarkanlah aku menanyainya pada isteri Kerto Pati, yang mungkin tahu di mana kitab itu disembunyikan."
"Tidak! Aku tak mengijinkan kalian berbuat semena-mena terhadap iparku, apalagi kini berada di rumahku. Nah, kiranya kalian mengerti. Hiat...!"
Tanpa diduga oleh Sodra dan Wungkal Gunung, tiba-tiba Kerta Rukita menyerang dengan ganasnya. Kedua orang itu tersentak. Hampir saja keduanya kena terhantam pukulan Kerta Rukita, kalau saja mereka tak segera mengelak.
"Setan alas! Diajak baik-baik, rupanya memilih mati! Baik, jangan salahkan kami bila telengas menurunkan tangan jahat. Bersiaplah!" memaki Wungkal Gunung sembari berkelit menghindari serangan Kerta, kemudian berbalik menyerang.
"Slompret! Rupanya kau keras kepala, seperti kakakmu. Baik! Mari kita main-main," Sodra pun tak kalah marahnya, demi diserang begitu mendadak oleh Kerta.
Tanpa dapat dicegah, mereka akhirnya terlibat perkelahian. Kerta Rukita yang telah mendendam pada mereka, nampak seperti ingin segera menghabisi kedua musuhnya. Jurus demi jurus mereka lewati, sepertinya mereka seimbang. Walau dikeroyok dua orang sekaligus, namun murid Elang Buana tampak tak repot. Bahkan dengan gesit, Kerta Rukita berkelebatkelebat bagaikan burung Elang menyambar-nyambar kedua musuhnya.
Kaget juga Sodra dan Wungkal Gunung, yang tak menyangka kalau adik seperguruan Kerto Pati jauh lebih berbahaya dan lebih hebat dibandingkan kakak seperguruannya. Kedua pengeroyoknya tampak terdesak mundur, hal ini membuat Kerta Rukita makin bernafsu. Jurus-jurus yang didapat dari perguruan Elang Sakti, keluar bagaikan arus air deras berganti-ganti.
Sodra dan Wungkal Gunung seketika melompat mundur, lalu dengan segera keduanya mengubah jurus-jurusnya. Makin seru pertarungan itu, karena ketiganya kini makin meningkatkan serangannya. Jurus demi jurus kembali mereka lalui, hingga tak terasa telah melampaui jurus yang keempat puluh. Waktu yang tadinya pagi, telah berubah menjadi siang. Orang-orang yang lalu lalang di situ, seketika berhenti dan menonton perkelahian.
Saking serunya pertarungan itu, membuat semua pandangan orang seketika tertuju pada hal itu. Hingga mereka tak memperhatikan, bahwa ada seorang lelaki tua yang dari tadi terus mengawasi pertarungan itu. Mata orang tua itu, sesekali beralih pada Arya yang masih di gandeng oleh tukang sais keretanya
"Hem... Anak kecil itu, sepertinya mengandung daya tersendiri. Kelak apabila tak ada halangan, anak ini bakal menjadi seorang tokoh persilatan" dalam hati lelaki tua itu.
Di pihak lain, tampak pertarungan itu berjalan pincang. Nampaknya Kerta Rukita yang tengah dilanda emosi, mengumbar tenaga hingga serangan-serangannya tak setajam pertama.
"Bahaya, bahaya. Kalau terus-terusan seperti itu, aku rasa dalam beberapa jurus lagi kedua lelaki itu akan dapat menjatuhkannya. Aku harus waspada, sebab seperti yang aku dengar mereka berdua telah menguntit ibu dan anak itu. Aku harus dapat menyelamatkan bocah itu, bila memang kedua orang tersebut bermaksud mencelakainya," berguman lelaki tua itu.
Benar juga apa yang dikawatirkan lelaki tua itu. Dalam tempo beberapa jurus saja, kedua pengeroyok Kerta Rukita dengan mudah mendesaknya. Kerta Rukita tersentak seketika, mendapat serangan balik kedua musuhnya. Ia berusaha bertahan dan sesekali balik menyerang, namun seketika kedua pengeroyoknya telah dengan cepat menghantamkan pukulan yang disertai tenaga dalam menghantam tubuhnya. Kerta Rukita seketika memekik, tubuhnya terdorong ke belakang sepuluh tombak. Dari mulutnya meleleh darah segar. Seketika isteri dan ibu Arya memekik dan menjerit berlari memburu tubuh Kerta Rukita yang terkapar.
"Mbakyu Sukanti, dan kau Istriku. Aku... aku minta jaga di... diri Arya kemenakan ku. Aku... sudah tak, kuat..." Tubuh Kerta Rukita pun lemas, bersamaan dengan jerit tangis isterinya dan Sukanti ibu Arya.
Sodra dan Wungkal Gunung tersenyum sinis, lalu dengan kasar keduanya segera menarik dua wanita itu yang berontak melawan. Tarik menarik antara dua wanita, dan dua lelaki itu menjadikan si orang tua geleng-geleng kepala. Walaupun begitu, si orang tua tak bereaksi sedikitpun untuk berbuat sesuatu.
Melihat ibu dan bibinya disakiti oleh kedua lelaki yang ia tahu jahat, dengan segera Arya kecil itu berusaha membantunya. Digigitnya tangan Wungkal Gunung yang menarik tangan ibunya. Seketika Wungkal Gunung memekik kesakitan sembari melepaskan tangannya. Setelah Wungkal Gunung melepaskan ibunya, dengan cepat Arya berlari hendak menolong bibinya. Tapi, Sodra dengan segera menendangkan kaki ke arah Arya, yang seketika itu terpental.
Kakek tua yang sedari tadi memperhatikannya, terbelalak. "Jahat!" pekiknya dalam hati. Namun kakek tua itu masih tetap berdiri tanpa hendak menolong.
"Kenapa kau sakiti anakku! Iblis kejam!" memaki Sukanti, demi melihat Arya terpental jatuh. Dengan nekad, Sukanti segera menyerang Wungkal Gunung.
Orang-orang yang sedari tadi hanya menjadi penonton, segera bereaksi mengeroyok kedua lelaki itu. Tanpa ampun lagi, Sodra dan Wungkal Gunung pun seketika dikeroyok oleh massa. Sesaat Sodra dan Wungkal Gunung tersentak. Namun demi melihat mereka benar-benar hendak mengeroyoknya, dengan menggeram Sodra dan Wungkal Gunung pun segera memapaki.
"Hem, rupanya kalian pun menghendaki kematian hingga berani kalian mengeroyok kami. Jangan salahkan kalau kami berbuat telengas menurunkan tangan kasar!" membentak Sodra dengan penuh amarah.
Tawuran masal pun terjadi, namun karena si pengeroyok bukan orang-orang pandai bersilat maka sia-sialah keberanian mereka. Sekali tangan Sodra atau Wungkal Gunung berkelebat, jerit kematian pun seketika melengking di antara massa yang mengeroyok. Satu persatu, massa yang mengeroyok itu berjatuhan terhantam pukulan dan tendangan Sodra atau Wungkal Gunung.
"Mbakyu, pergilah selamatkan diri kalian. Biar kami yang menghadapi orang-orang jahat itu," berkata salah seorang di antara massa, yang segera mendorong Sukanti dan isteri Kerta Rukita pergi dari perkelahian itu.
Melihat Sukanti dan Arya serta isteri Kerta Rukita hendak berlari, segera tangan Sodra menghantam dengan pukulan jarak jauh!
"Deb! Deb! Deb!"
Pukulan jarak jauh yang ditujukan pada ketiga orang yang berlari, menghantam Sukanti dan isteri Kerta Rukita yang seketika itu memekik dan ambruk ke tanah. Menangislah Arya, demi melihat tubuh ibunya tak bergerak lagi. Bagaikan kesetanan, Arya berkelebat kembali dan segera menyerang Sodra. Digigitnya paha Sodra, yang seketika itu menjerit tak dapat mengelakkan gigitan Arya karena tengah menghadapi pengeroyokan.
"Iblis kecil!" menggeram Sodra, setelah tahu siapa yang telah menggigitnya. Dengan kasarnya, tangan Sodra berkelebat menghantam tubuh Arya yang masih mencengkeram pahanya.
Hampir saja tubuh anak kecil itu terhantam pukulan maut yang hendak dilontarkan Sodra, saat dengan seketika berkelebat seorang lelaki tua menyambar tubuh Arya dan membawanya pergi.
"Jangan lari!" membentak Sodra, demi melihat lelaki tua itu pergi dengan membawa tubuh Arya. Dihantamkannya pukulan jarak jauh pada tubuh lelaki tua yang dengan tanpa melihat segera mengelakkannya sembari berseru.
"Bukannya aku takut pada kalian, tapi bukan urusannya kalian denganku. Nanti... Sepuluh tahun lagi, kalian akan dapat membuka mata kalian atas perbuatan kalian pada masa-masa sekarang!"
Terbelalak Sodra dan Wungkal Gunung demi mendengar seruan orang tua itu, mereka pun segera mengejar. Namun lelaki tua yang membawa tubuh Arya, sangat cepat larinya meninggalkan mereka yang hanya berdiri mematung Gagal sudah semuanya, sebab tak ada orang lain yang tahu di mana Kitab Inti Jagad disembunyikan. Dengan wajah penuh kekecewaan, keduanya pun segera pergi meninggalkan desa itu kembali menuju tempatnya.
********************
DUA
Setelah kegagalan mereka untuk mendapatkan kitab Inti Jagad, kedua orang itu bermaksud menemui temannya yang bernama Lombang. Dipacunya kuda mereka dengan kecepatan tinggi. Debu-debu seketika beterbangan terhempas kaki-kaki kuda mereka. Malam telah datang, kala keduanya sampai di sebuah hutan. Mereka nampak masih memacu kudanya, berlari di tengah hutan dalam kegelapan malam. Tiba-tiba...! Kuda-kuda mereka meringkik, sepertinya kuda-kuda itu ketakutan. Sodra dan Wungkal tersentak, memandang dengan mata tajam pada sekelilingnya dan menghentikan lari kudanya.
"Hati-hati Sodra! Rupanya ada sesuatu, hingga kuda kita ketakutan."
"Benar! Rupanya ada sesuatu, yang tengah mengintai kita. Hem, kalau manusia, jangan harap aku biarkan hidup-hidup." Habis berkata begitu, Sodra segera turun dari punggung kudanya diikuti oleh Wungkal Gunung.
Tiba-tiba...! Dari samping kiri mereka berkelebat sebuah bayangan, berlari mendahului. Dengan segera Sodra dan Wungkal memburu meninggalkan kuda mereka.
"Jangan lari!" Sodra sembari melancarkan pukulan jarak jauh, yang ditujukan ke tubuh orang yang berkelebat di hadapannya. Namun orang itu sepertinya tak mendengar dan terus berlari, membuat keduanya makin penasaran.
Keduanya makin jauh meninggalkan kudanya, terus mengejar bayangan yang berlari. Ketika bayangan orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah keduanya, seketika Sodra dan Wungkal terbelalak dan mundur demi melihat rupa orang yang mereka kejar. Rupa orang itu, adalah rupa seekor kera.
"Kera Siluman!"
Kera siluman menyengir, menunjukkan gigi-giginya yang kuning dan lancip tajam. Lalu tanpa memperdulikan kedua orang yang mengejarnya, Kera Siluman itu kembali berkelebat pergi meninggalkan Sodra dan Wungkal Gunung yang masih memaku.
"Beruntung dia tidak bermaksud jahat pada kita kalau tidak...?" berkata Wungkal Gunung bergidik, hingga pundaknya turut bergerak. Seperti Wungkal Gunung, Sodra pun mengalami hal yang sama.
"Huh... Kalau dia berniat jahat, mungkin kita tak akan dapat mencari kitab Inti Jagad lagi."
"Heh, kenapa kita mesti terbengong di sini? Bukankah kita telah meninggalkan kuda-kuda kita?" Dengan diikuti Sodra, Wungkal Gunung pun berlari menuju tempat di mana mereka meninggalkan kudanya.
Tersentak kaget Sodra dan Wungkal Gunung, demi dilihatnya kuda-kuda itu telah tak ada lagi di tempatnya. Tanpa banyak bicara, keduanya segera mencari kuda-kuda itu. Kedua orang itu berlari dan terus berlari dalam gelapnya malam, meninggalkan hutan itu untuk mencari kuda-kudanya. Tak terasa oleh keduanya, keduanya telah berlari cukup jauh dan lama.
"Hai! Bukankah ini perbatasan desa Cikulir?" berseru Sodra girang, ketika melihat tugu berdiri di depan. Demi mendengar seruan Sodra, Wungkal Gunung segera menghampiri. Di mata mereka seketika tampak kegembiraan, setelah pasti bahwa tugu itu benar-benar perbatasan desa Cikulir.
Keduanya, segera mempercepat larinya untuk memburu waktu, yang sebentar lagi menjelang pagi. Mereka tak menghiraukan lagi kuda-kudanya, terus berlari, menuju tempat yang mereka jadikan pertemuan.
"Bagaimana teman-teman? Apakah kalian berhasil?" bertanya seseorang, yang berdiri di ambang pintu masuk menyambut kedatangan keduanya.
"Gagal! Kami berdua gagal! Rupanya mereka lebih memilih mati daripada menunjukkan di mana kitab itu disimpan Kerto Pati. Mungkin Kerto Pati telah berpesan wanti-wanti pada mereka," berkata Wungkal Gunung.
"Berarti kita tak akan menjadi orang sakti," menggumam orang yang menjemput kedatangan Sodra dan Wungkal Gunung.
"Tidak, Lombang. Kita belum gagal total, setidak-tidaknya kita masih mempunyai harapan."
"Harapan? Harapan apa? Bukankah seluruh keluarga Kerto Pati telah kita bunuh, dari mana lagi kita akan tahu?"
"Tapi anaknya masih hidup. Apakah tak mungkin kita nanti dapat menanyai anaknya?" kata Wungkal Gunung seketika, membuat Lombang membeliakkan mata kaget.
"Masih hidup?" gumam Lombang. "Kenapa tidak kalian bawa ke mari?" lanjutnya bertanya.
"Anak itu dibawa kabur oleh seorang kakek tua, ketika hendak kami lumpukan."
Makin terbelalak kaget mata Lombang demi mendengar penuturan Wungkal Gunung, hingga tanpa sadar Lombang mendesah. "Ah... Bahaya, bahaya, sungguh bahaya besar!"
"Kenapa?" bertanya Wungkal Gunung tak menngerti
Mendengar pertanyaan Wungkal Gunung, seketika Lombang membentak marah. "Bodoh! Apakah kau tak berpikir kalau nantinya anak tersebut menuntut balas pada kita! Aku pikir anak itu telah mendengar bahwa ayahnya mati di tangan kita. Apakah itu bukan merupakan bahaya besar buat kita?"
Terdiam Wungkal Gunung dan Sodra, keduanya seketika menyadari akan kebenaran ucapan Lombang.
"Sudahlah! Tak perlu kita memikirkan apa yang telah berlalu, sekarang kita harus dapat kitab itu. Kalau kita telah mendapatkannya, aku rasa kita tak perlu takut akan ancaman balas dendam anak Kerto Pati"
"Lalu apa yang harus kita perbuat?" bertanya Sodra dengan perasaan agak tenang demi mendengar perkataan Lombang.
"Salah satunya jalan, kita harus menyebarkan ke dunia luas."
Kembali Wungkal Gunung dan Sodra terdiam, mendengar ucapan Lombang.
"Bagaimana...?" bertanya Lombang kembali saat melihat kedua temannya hanya terdiam tanpa reaksi apa-apa.
"Apakah hal itu tidak membuat kedudukan kita makin tercepit?" Sodra sepertinya tak menyetujui rencana temannya. Sementara Wungkal Gunung, hanya acuh-acuh saja tanpa reaksi.
"Tidak, Sodra. Kita harus dapat mempengaruhi mereka untuk berusaha mencari kitab itu. Bila telah mereka dapatkan maka kita harus merebutnya, bagaimana?" Lombang kembali meminta pendapat kedua temannya sembari tersenyum, membuat kedua temannya seketika turut tersenyum pula.
"Pintar kau, Lombang! Baiklah, kami mengikuti apa yang menjadi tujuanmu. Bukan begitu, Wungkal?" kata Sodra, yang diangguki oleh temannya Wungkal Gunung. Ketiganya akhirnya tertawa bersama, bergelak bagaikan menemui kemenangan.
********************
Tokoh-tokoh dunia persilatan seketika gempar, demi mendapatkan berita tentang, hilangnya kitab yang merupakan salah satu kitab pusaka berisikan inti-inti ilmu silat tingkat tinggi. Seketika tokoh-tokoh persilatan pun berusaha mendapatkannya, baik dari golongan lurus maupun dan golongan sesat. Siang, itu tampak sepasang pendekar berjalan menyusuri jalan di desa Cikulir yang merupakan perbatasan wilayah kulon dan wilayah tengah.
"Kakang, bukankah ini tapal batas daerah tengah dan wilayah kulon?" bertanya gadis yang berjalan di samping pemuda.
"Benar, adinda. Desa ini memang desa perbatasan, yang membatasi wilayah kulon dan wilayah tengah. Menurut petunjuk guru, di desa inilah nanti kita akan bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Kakang, untuk apa guru memerintahkan pada kita untuk menemui Pendekar Pedang Siluman? Sepertinya guru sangat berkepentingan sekali dengannya?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu maksud guru. Guru hanya berpesan padaku, agar jangan sekali-kali berlaku tak sopan padanya. Dan yang lebih utama kita harus dapat mengajaknya ke tempat guru," berkata pemuda itu kembali sembari mengerutkan keningnya.
"Ada orang ke mari, mari kita bersembunyi." Diajak adik seperguruannya bersembunyi di balik semak-semak yang tak jauh dari situ.
Lewat seperminum teh keduanya bersembunyi, tampak dua orang penunggang kuda lewat di situ. Wajah kedua orang itu begitu beringas, sepertinya mereka tengah memburu seseorang. Setelah kedua orang penunggang kuda itu berlalu, dengan segera kedua pendekar muda-mudi itu berkelebat mengikutinya dari belakang.
"Kita ikuti mereka, Kakang?"
"Ya! Sepertinya mereka tengah mengejar seseorang, barangkali musuhnya. Kita harus dapat membantu, dan bila perlu menolong orang yang mereka kejar. Aku mempunyai pikiran, bahwa kedua orang tadi bukan orang baik-baik..."
Sepasang pendekar muda itu terus berlari, mengikuti arah yang ditempuh oleh kedua lelaki penunggang kuda didepannya. "Itu mereka, Kakang! Sepertinya mereka kehilangan jejak, mereka mencari-cari sesuatu." berkata gadis di samping pemuda itu, yang mengangguk dan segera menyeretnya bersembunyi.
"Hem... Aku rasa, orang itu bersembunyi di sini. Apakah kau tak tahu orang itu, Songka?" tanya salah seorang dari kedua penunggang kuda, pada temannya yang bernama Songka.
"Tidak! Aku hanya melihatnya ketika orang itu masih di desa Cipulir. Apakah kau yakin orang itu lari ke mari, Gondo?" balik bertanya Songka.
Gondo hanya menggeleng demi mendengar pertanyaan Songka, membuat Songka menggerutu kesal dan kembali berkata: "Kau ini bagaimana, Gondo! Siasia kita ke sini, kalau ternyata orang yang kita kejar tidak ke mari! Ayo kita kembali!"
Kedua orang itupun membelokkan kudanya kembali ke arah semula. Wajah keduanya tampak penuh kekecewaan. Dengan cepat mereka memacu kuda-kudanya. Bersama perginya kedua orang itu, dari dalam semak-semak muncul seorang lelaki dengan bungkusan di tangannya. Di wajah lelaki itu tampak ketegangan, sementara matanya sesekali memandang arah ke mana kedua lelaki itu pergi. Sesekali pula, matanya beralih memandang pada bungkusan kain putih yang tergenggam di tangannya.
"Huh! Gara-gara ketiga penghianat kakang Kerto itu, kini aku menjadi buruan semua pendekar yang menghendaki kitab ini. Kalau mereka tahu sebenarnya, mereka tak akan memburu kitab yang tak ada artinya bagi mereka. Kitab Inti Jagad ini hanya dapat dipecahkan oleh seorang yang mempunyai watak welas asih dan jiwa yang tenang serta budi pekerti yang luhur. Ke mana aku harus mencari keturunan Eka Bilawa?"
Tengah lelaki itu merenung, tiba-tiba di hadapannya telah berdiri sepasang anak muda. Lelaki itu tersentak mundur hendak berlari, ketika sepasang pendekar itu mencegahnya sembari berkata. "Jangan pergi dulu, Ki! Tadi kami mendengar kau menyebut nama Eka Bilawa. Apakah kau mengetahui di mana keturunan Eka Bilawa?" bertanya pemuda dari sepasang pendekar itu, membuat lelaki yang ditanya tersentak membelalakan mata.
"Heh, kau bertanya tentang keturunan Ki Eka Bilawa padaku, sedang aku pun tengah pusing mencarinya. Apalagi aku tengah pusing dengan masalah ku. Aku tak tahu pasti siapa keturunan Ki Eka Bilawa. Apakah kalian mengetahui di mana ia berada? Dan bagaimanakah rupa keturunan Ki Eka Bilawa itu?"
Seketika kedua pemuda itu saling pandang tak mengerti. Lalu dengan perlahan pemuda pendekar itu berkata: "Ki Sanak. Rupa-rupanya kita sama-sama mencari orang yang sama, yaitu anak Eka Bilawa. Apakah engkau mempunyai kepentingan dengannya?"
"Ada," menjawab lelaki itu pendek.
"Apa kepentingannya? Kalau boleh kami tahu?" tanya si dara, yang mengernyitkan alis matanya demi mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
Lelaki itu sesaat memandang pada kedua pemuda-pemudi di hadapannya, sepertinya menyelidik sebelum akhirnya berkata: "Apakah kalian tak tahu. Atau pura-pura tak tahu?"
"Hai. Kenapa kau berkata begitu, Ki Sanak?" bertanya si pemuda yang kaget demi mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
"Rupanya kalian orang baru di sini hingga kalian tak mengetahui apa yang tengah terjadi di desa ini. Aku percaya," berkata lelaki itu, setelah memandang sesaat pada kedua muda-mudi di hadapannya. "Kalau boleh aku tahu. Dari mana kalian? Dan ada kepentingan apakah hingga kalian datang ke mari?"
"Namaku Sendana, dan adikku Rekasih. Kami datang dari wilayah tengah yang tepatnya dari Purwo Karto. Kami datang ke mari karena mendapat perintah dari guru untuk menemui seorang pendekar muda yang bernama Jaka. Dia adalah anak Eka Bilawa atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Menurut wangsit yang diterima guru, pemuda tersebut akan kami temui di desa Cipulir," berkata Sendana menjelaskan.
"Ah, kalau begitu kita setujuan. Aku sendiri tengah mencari orang yang kalian cari, guna menyerahkan kitab pusaka yang menjadi bahan rebutan tokoh-tokoh dunia persilatan saat ini. Oh ya, namaku Rupaksi. Aku dari wilayah kulon yang bernama desa Renggalek."
"Ki Rupaksi, kalau boleh kami tahu, kenapa orang-orang persilatan memburumu? Dan apa yang kau pegang itu?" tanya Rekasih.
Rupaksi sesaat terdiam memandang sejenak pada kitab yang ada dalam genggamannya, sebelum kembali berkata menceritakan apa yang telah terjadi pada desa Cipulir dan kenapa kitab itu menjadi rebutan tokoh-tokoh persilatan.
"Sepuluh tahun yang silam, aku dititipi kitab ini oleh kakakku yang bernama Kerto Pati. Kakakku berpesan agar kitab ini diberikan pada seorang pendekar yang bergelar pendekar Pedang Siluman Darah, murid dari 4 pendekar Sakti. Kata kakakku hanya pendekar Pedang Siluman saja yang mampu mengartikan segala yang tertulis dan tergambar pada kitab ini. Lima tahun kemudian setelah menyerahkan kitab ini padaku. Kakakku mati dikhianati oleh teman-temannya yang berambisi untuk menguasai buku ini. Kalau mereka tahu, sebenarnya sia-sia saja mereka memperebutkan dan memburu kitab ini. Di samping mereka tak akan mampu menterjemahkannya, juga tak bakalan mereka dapat mempelajarinya. Namun karena mereka telah di kuasai ambisi dan nafsu setan, maka disebarlah berita bahwa barang siapa yang dapat memperoleh kitab Inti Jagad akan menjadi tokoh sakti. Memang benar. Barang siapa yang mampu mempelajari isi kitab ini dia akan menjadi tokoh persilatan yang sukar ditandingi."
Kedua pendekar muda-mudi, manggut-manggut mengerti, kemudian Sandana bertanya, "Ki Rupaksi kalau memang engkau bermaksud mencari Pendekar Pedang Siluman Darah, maka lebih baik kau jangan pergi dari desa ini."
"Kenapa?" bertanya Rupaksi, demi mendengar saran yang diucapkan oleh Sendana. Seketika hati Rupaksi bimbang, ketakutan kalau-kalau orang persilatan akan mengetahui bahwa kitab Inti Jagad ada di tangannya.
Melihat ketakutan di wajah Rupaksi, dengan halus Rekasih berkata mewakili kakak seperguruannya: "Ki Rupaksi. Kalau kau ingin tahu, sebenarnya pendekar yang kau cari saat ini ada di desa ini. Mengenai keselamatan kitab itu, kami akan berusaha melindunginya darimu."
Mendengar ucapan Rekasih, seketika tersirat kegembiraan di wajah Rupaksi. Lalu dengan terlebih dahulu menjura, Rupaksi pun berkata: "Ah... Betapa aku yang bodoh ini mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan kalian membantuku. Tapi, apakah nantinya tidak merepotkan?"
Tersenyum Sendana dan Rekasih, mendengar ucapan Rupaksi yang nadanya merendah, dengan masih mengurai senyum, Sendana berkata: "Tidak, Ki. Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai sosial dan kemanusiaan, wajib bagi kami untuk melindungi kitab yang bukan hak mereka yang berada di tanganmu. Ayolah! Segera kita pergi dari sini, sebab bukan tak mungkin orang tadi kembali ke mari."
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera berlalu meninggalkan hutan itu. Memang benar apa yang dikatakan Sendana, kedua orang yang tadi mengejar Rupaksi datang kembali selang beberapa saat setelah mereka pergi.
"Tadi aku dengar ada orang bercakap-cakap, namun kenapa seketika menghilang?" bergumam Gondo, dengan mata mengawasi sekeliling hutan itu.
"Benar! Memang tadi ada orang ke sini. Lihatlah bekas-bekas sepatu mereka, rupanya kita telah keduluan orang lain. Gagal sudah usaha kita untuk menjadi orang paling sakti di dunia persilatan! Mungkin bukan jodoh kita, Gondo?" keluh Songka.
Dengan perasaan kecewa, kedua orang kakak beradik itu kembali menghela kais kudanya meninggalkan hutan menuju ke desa Cipulir lagi. Dihelanya kais kuda dengan cepat, secepat pikiran keduanya yang diliputi kekecewaan menuju ke sebuah kedai di desa Cipulir.
"Kita makan dan mengaso dulu, Gondo!" berkata Songka.
Dihela kais kudanya membelok ke arah Utara, di mana kedai berada. Setelah menambatkan tali kudanya, kedua orang itu segera masuk ke dalam kedai. Keduanya langsung mencari tempat duduk yang masih kosong, karena siang itu kedai tampak penuh dengan pengunjung. Di ujung sebelah kiri kedai, akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk.
Tengah mereka duduk, tampak seorang pemuda masuk ke kedai, yang seketika mengundang perhatian seluruh pengunjung kedai termasuk Soka dan Gondo. Pemuda yang baru datang, yang tak lain si pendekar Pedang Siluman acuh saja berjalan dan mencari tempat duduk
"Jaka Ndableg! Hai, apakah pendekar muda ini juga tengah memburu kitab itu? Kalau memang ya, percuma saja kita turut memburu."
"Kenapa...?" bertanya Gondo, demi mendapat ucapan Soka yang tampaknya jeri melihat pemuda itu. "Kau tahu, Gondo. Kalau pendekar muda itu telah ikut campur, jangan harap kita dapat leluasa dan mampu mendapatkan kitab itu. Jangankan kita, tokoh kelas wahid pun akan berpikir tujuh kali untuk dapat menandingi. Ilmunya sungguh tak ada tandingan pada masa sekarang," kata Soka, memberi tahukan pada Gondo yang seketika terbelalak matanya dan menggumam.
"Hem, jadi inikah pendekar Pedang Siluman Darah yang sering dibicarakan oleh Guru?"
"Ya! maka itu, percuma kita ini. Jangankan kita, guru kita pun tak akan mampu menghadapinya."
Yang mendengar percakapan mereka, tampak acuh saja. Ia terus menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh pelayan kedai di hadapannya. "Hem, rupanya kedatanganku telah dikenal di sini. Heh! Tadi kedua orang itu berbisik mengatakan tentang kitab, kitab apakah gerangan? Ah, coba aku tanyakan pada mereka," bergumam Jaka dalam hati, lalu dengan perlahan penuh ketenangan Jakapun menghampiri Gondo dan Soka yang tersentak kaget demi melihat Jaka tahu-tahu telah berdiri di sampingnya. Belum juga hilang kekagetan mereka, terdengar Jaka Ndableg berkata.
"Boleh aku duduk di sini, Ki Sanak?"
"Bo... Boleh, boleh." tergagap keduanya berkata hampir bersamaan dan dengan segera mempersilahkan Kelana, yang dengan tenang duduk di hadapan mereka.
"Maaf, tadi aku mendengar pembicaraan kalian. Aku mendengar kalian menceritakan tentang kitab. Kitab apakah itu hingga mengundang kaum persilatan berlomba untuk mendapatkan?" bertanya Jaka ingin tahu, membuat kedua orang yang ditanya seketika membelalakan mata.
"Jadi... Jadi tuan pendekar belum mengerti?" bertanya Gondo, dengan ucapan terbata-bata. Sepertinya Gondo tak percaya, demi mendengar pertanyaan Kelana yang seketika tersenyum dan berkata.
"Ki Sanak, janganlah kau meninggikan diriku dengan sebutan tuan pendekar. Apakah aku ini pantas menyandang sebutan itu, yang terlalu tinggi dan agung? Aku orang biasa seperti kalian berdua, yang kadang kalanya senang dan susah. Ah, sudahlah! Oh ya, apakah aku boleh mengetahui kitab yang tengah diperebutkan oleh kaum persilatan?"
Tanpa sungkan-sungkan, kedua orang itu bercerita bergantian saling sambung. Sementara Jaka mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkehendak untuk bertanya ataupun memotong cerita keduanya.
"Begitulah tuan pendekar," berkata Soka, setelah selesai bercerita. Di wajah kedua orang itu tampak was-was, kalau-kalau Kelana marah padanya. Namun seketika keduanya tampak tenang, ketika mendengar ucapan Jaka.
"Ki Sanak semua. Kalau benar apa yang telah Ki Sanak ceritakan, aku rasa janganlah Ki Sanak berdua meneruskannya. Sebab di samping kalian akan mendapatkan tantangan berat bila telah mendapatkan kitab tersebut, juga kitab tersebut bukanlah hak kalian. Aku merasa, ada seseorang yang menghendaki kitab tersebut di belakang kejadian ini. Menurut pendapatku, lebih baik kalian kembali saja ke perguruan. Bagaimana, Ki Sanak?"
Mendengar saran Jaka, kedua orang itu tampak mengangguk. Sepertinya kedua orang tersebut menyadari, betapa selama ini keduanya telah berbuat bodoh. Maka dengan terlebih dahulu mengucapkan terimakasih, kedua orang itu akhirnya menuruti ucapan Jaka, kembali ke perguruan.
"Hem... Menarik juga berita ini, akan aku selidiki. Aku yakin ada maksud tertentu dari seseorang, yang sengaja membuat cerita dusta ini. Siapa kira-kira orang tersebut? Akan aku coba untuk mengungkap misteri ini," membatin Jaka setelah kepergian kedua orang tersebut. Setelah membayar makanan yang dimakan. Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan kedai untuk menyelidiki apa yang sebenarnya tengah terjadi di desa Cipulir.
Semua mata yang hadir di situ, mengikuti kepergian Jaka yang diikuti oleh seseorang dari belakangnya. "Hem... Rupanya ada orang yang mengikutiku, baik akan aku biarkan apa maunya." Merasa ada orang yang mengikutinya, segera Jaka mempercepat larinya dengan menggunakan ajian Delapan Angin. Orang yang menguntitnya pun seketika kebingungan, karena Jaka telah melesat pergi dengan cepatnya bagaikan angin.
TIGA
Jaka terus berlari meninggalkan orang yang menguntitnya, dan berhenti setelah dirasakannya orang itu telah tak menguntitnya lagi. "Mana yang harus aku kerjakan? Meneruskan mencari Alas Waru, atau menyelidiki berita gegernya Kitab Inti Jagad? Huh, pusing. Kalau aku menyelidiki desas-desus yang diceritakan oleh kedua orang di kedai itu, maka aku tak dapat segera menemukan persembunyian Iblis Alas Waru yang telah membikin keonaran di wilayah wetan. Kalau aku mengejar terus Iblis Alas Waru, berarti aku tak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik kejadian di desa Cipulir tentang Kitab Inti Jagad. Ah, biarlah aku memburu Iblis Alas Waru dulu, setelah itu baru aku menyelidiki desas-desus ini."
Sedang Jaka bingung harus berbuat apa, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara seruling dibawa angin yang ditiup oleh seseorang dengan merdunya. Tanpa sadar, Jaka Ndableg turut berdendang ria. "Kehidupan, adalah perjalanan yang harus kita jalani. Bila kita salah melangkahnya, kesesatan yang kita dapatkan. Tapi bila kita ingat pada yang kuasa, Akan selamat dunia dan akherat..."
Sambil berdendang, kakinya terus melangkah menuju ke asal suara seruling itu ditiup. Tampak di atas cabang pohon asem, seorang wanita duduk dengan santai sembari meniup seruling. "Ni Sanak yang ada di atas, aku kagum mendengar suara seruling mu. Kalau boleh aku tahu, siapakah gerangan Ni Sanak?" bertanya Jaka pada gadis yang duduk menyelonjorkan kaki memandang ke arahnya sembari menghentikan tiupan serulingnya.
Sekonyong-konyong, gadis itu segera melompat turun dan berdiri di hadapan Jaka sembari tersenyum dan berkata: "Ah, Sungguh beruntung hari ini diriku."
"Heh! Apa yang kau maksudkan beruntung, Ni Sanak?" bertanya Jaka kaget, demi mendengar ucapan gadis di hadapannya yang kini tersenyum simpatik.
"Yah, hari ini aku sangat beruntung karena telah bersua dengan seorang tokoh persilatan. Terimalah salam hormat dariku yang rendah dan bodoh ini, semogalah tuan pendekar berkenan menerimanya." tanpa menghiraukan Jaka yang terbengong-bengong tak mengerti, gadis itu telah menjura.
Belum hilang ketidak mengertian Jaka, tiba-tiba gadis yang menjura itu menyerangnya. Makin tak mengerti dan terkejut Jaka Ndableg diserang tiba-tiba. Hampir saja serangan gadis itu mengenai tubuhnya, kalau saja ia tidak segera berkelit menghindar sembari melompat mundur dan bertanya:
"Nona centil! Kenapa kau menyerangku?"
"Kau telah berbuat salah padaku!" menjawab si gadis sembari terus melancarkan serangannya, membuat Jaka Ndableg makin bingung dan berusaha mengelit serangan-serangan yang dilancarkan si gadis.
"Apa?! Bersua saja baru sekarang, kenapa mesti berbuat salah. Kalau memang aku telah bersalah padamu, katakan apa salahku?" tanya Jaka," Kau jangan mengada-ada!"
"Dengar baik-baik. Pertama kau telah berbuat salah, yaitu kau telah ikut berdendang, padahal aku yang meniup seruling bukan kau. Dan yang terakhir, aku ingin tahu sampai di mana ilmu seorang pendekar kelas wahid macammu."
Mendengar alasan si gadis yang menyerangnya, seketika Jaka tertawa bergelak-gelak hingga si gadis segera menghentikan serangan dan memandang sembari mengerutkan alls matanya yang lentik. "Kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu, hingga kau tertawa seenak udel?" bertanya si gadis, makin membuat Jaka tertawa bergelak-gelak dan berkata.
"Ni Sanak. Aku tak akan tertawa bila tak lucu, takut dibilang gila. Bagaimana aku tak tertawa, jawabanmu lucu. Masa hanya karena alasan itu kau menyerangku?"
"Lalu harus alasan apa aku menyerangmu?" bertanya si gadis, yang masih berdiri mematung di tempatnya sembari memandang Jaka yang masih cengengesan.
"Aku rasa, ada sebab lain."
"Ah! Apa itu?"
Mendengar pertanyaan si gadis yang tampaknya menyimpan sesuatu di hatinya, maka Kelana dengan terlebih dulu mengedipkan matanya yang membuat si gadis ded-degan hatinya berkata konyol.
"Aku rasa, kau menyerangku karena kau ada..." Jaka Ndableg tak segera meneruskan ucapannya, membuat si gadis melototkan mata dan mendesak bertanya ingin tahu.
"Ada apa?!"
"Ada hati! ya, kan?"
Gemes hati si Gadis demi mendengar ucapan Jaka. Maka dengan pura-pura marah gadis itu kembali menyerang Jaka yang tertawa bergelak-gelak sembari mengelak.
"Benarkan?"
"Tidak!"
"Ah, yang benar?"
"Kurang, Asem!" kesel dan berbunga-bunga hati si gadis mendengar ucapan yang konyol, yang masih tertawa-tawa sembari mengelakkan serangannya.
Keduanya seketika berkelebat-kelebat dengan cepatnya, bagaikan sepasang seriti yang tengah menari-nari. Si gadis terus menyerang Jaka, yang tampaknya tidak untuk meladeni hingga hanya mengelak dan mengelak dari serangan si gadis. Tiba-tiba Jaka melompat tinggi sembari berseru pada si gadis, yang terbengong melihat tingkahnya. "Ni Sanak! Cepatlah bersembunyi!"
"Kenapa?" bertanya si Gadis, yang belum mengerti maksud Jaka. Namun karena ia percaya dan telah tahu siapa sebenarnya, si gadis pun segera melompat ke atas dan menangkring di atas cabang pohon asem di samping.
"Ada apa?" kembali si gadis bertanya.
"Apakah kau tak mendengar?"
Mendengar pertanyaan Jaka, segera si gadis memusatkan pendengarannya. Terdengar dari kejauhan langkah-langkah kaki, sepertinya menuju ke arah di mana mereka berada. "Benar! Sepertinya ada orang datang ke mari dan sepertinya tidak sendirian. Hai, lihat!" berseri si gadis, menunjuk ke arah muka di mana tampak tiga orang tengah berjalan menuju ke arah mereka. Ketiga orang yang ditunjuk si gadis, tampak berlari-lari dengan wajah yang diliputi ketegangan. Sementara di belakangnya, tampak enam orang tengah mengejar mereka.
"Sepertinya, ketiga orang itu tengah dikejar oleh keenam orang di belakangnya. Kita harus menolong ketiga orang itu. Hai! Bukankah orang yang mengejar ketiga orang itu, si Iblis Alas Waru?"
Jaka yang mendengar gumaman si gadis, seketika mengernyitkan alis matanya memandang si gadis yang kembali berkata:
"Tak disangka, akhirnya kutemukan juga iblis itu."
"Hai! Rupanya Ni Sanak telah mengenalnya. Apakah pernah bersangkutan?" bertanya Jaka, setelah untuk kedua kalinya mendengar gumaman si gadis yang tampaknya memendam kemarahan dan dendam.
Sesaat gadis itu memandang ke arah Jaka, sebelum akhirnya berkata: "Ya! Karena Iblis itu, aku kini sebatang kara. Ayah dan ibuku mati dibunuh olehnya."
Sekilas wajah si gadis berubah sedih, kala ingat akan kejadian yang telah menimpa keluarganya lima tahun yang silam. Ayah dan ibunya dibantai dengan sadis di depan mukanya, yang kala itu masih kecil. Dirinya juga hampir dibantai, kalau saja tidak segera datang seorang tua yang menolong dirinya. Mengingat semua itu, napas si gadis tampak memburu. Matanya memandang bengis. Giginya terdengar bergemeretukan menahan emosinya yang meluap-luap.
Kala ketiga orang itu telah dekat ke arahnya, dengan segera tanpa dapat dicegah oleh Jaka si gadis melompat turun. Seketika ketiga orang itu tersentak, dan berhenti dari larinya demi melihat seorang gadis menghadangnya.
"Jangan kalian takut, Ki Sanak. Aku tak bermaksud buruk pada kalian, tapi aku ada urusan dengan orang yang memimpin kelima orang yang mengejar kalian," berkata si gadis.
"Kalau Ni Sanak tak bermaksud buruk pada kami, biarkanlah kami pergi untuk menghindari kejaran mereka," meminta salah seorang di antara ketiga orang itu.
"Tak usah kalian berlari, bersembunyilah!"
Dengan perasaan was-was, ketiga orang itupun menurut bersembunyi di balik semak-semak yang tak jauh dari si gadis berdiri. Tampak enam orang berlari mendekati si gadis yang melotot bengis ke arah pemimpin orang-orang itu. Merasa tak punya sangkut paut apa-apa dengan gadis di depannya. Segera pemimpin kelima orang pengejar ketiga orang yang bersembunyi segera bertanya.
"Ni Sanak... Apakah Ni Sanak melihat tiga orang berlari ke mari?"
Ditanya seperti itu, si gadis bukannya menjawab. Bahkan dengan mata tajam memandang si gadis membentak. "Iblis Alas Waru, apa kabar? Lima tahun sudah kita tak bertemu, rupanya tak menjadikan kau berubah?!"
Dibentak begitu rupa oleh si gadis, Iblis Alas Waru mengernyitkan kening dan memandang penuh tanda tanya pada gadis di hadapannya yang tak dikenal.
"Iblis Alas Waru. Rupanya ketuaan mu telah menjadikan kau pikun dan tidak mengenaliku lagi. Atau kau pura-pura tak mengenal, agar kau bisa bebas dariku?" bertanya si gadis dengan nada bengis.
Orang yang ditanya untuk kedua kalinya mengernyitkan kening dan balik bertanya. "Ni Sanak...! Gerangan apa hingga kau berkata kasar padaku? Melihatmu pun, baru sekarang. Bagaimana aku bisa mengenalmu?"
Geram si gadis mendengar ucapan Iblis Alas Waru, maka dengan membentak si gadis kembali berkata: "Dasar Iblis! Dengar! Masihkah kau ingat kejadian lima tahun yang silam di desa Karang Asem? Di mana kau dengan sifat iblismu, membantai sebuah keluarga?"
Mendapat pertanyaan dari si gadis, tampak Iblis Alas Waru mengernyitkan keningnya. Kembali ia terdiam, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu kejadian. Namun, ia sepertinya tak pernah membuat keonaran di desa yang disebutkan si gadis. Maka dengan masih tenang, Iblis Alas Waru kembali berkata: "Ni Sanak, sungguh aku tak mengenalmu, juga desa yang kau sebut. Mungkin Ni Sanak telah salah lihat, atau barang kali ada orang yang mengatas namakan namaku untuk berbuat kekejaman. Jika Ni Sanak percaya, walaupun julukanku Iblis namun aku tak pernah berbuat sekeji itu. Percayalah?"
Geram si gadis mendengar ucapan si Iblis, yang dianggapnya hendak lari dari tanggung jawab. Maka dengan penuh kemarahan, si gadispun segera menyerangnya. Jaka yang berada di tas pohon, seketika menjadi ragu demi melihat orang yang diserang si gadis. Setahunya. Yang bernama Iblis Alas Waru, bukanlah orang yang kini tengah berkelahi dengan si gadis.
"Hem... setahuku, Iblis Alas Waru bukan orang itu. Kalau begitu, bukan tidak mungkin ada orang lain yang memakai nama Iblis Alas Waru. Dan menurut pikiranku, orang yang mengaku Iblis Alas Waru tentunya mempunyai wajah tiruan. Pusing, pusing! Kenapa bisa begini? Aku harus mencegah mereka," membatin Jaka penuh tidak pengertian, sebab setahunya Iblis Alas Waru berbadan tinggi besar walau wajahnya memang seperti wajah orang yang masih diserang oleh si gadis. Dengan segera, Jaka melompat turun dan berdiri di tengah-tengah kedua orang yang kini melompat mundur karena terdorong oleh dorongan tangan Jaka.
"Tunggu!" berseru Jaka Ndableg.
"Kenapa kau memisahkan kami?" bertanya si gadis penuh kekecewaan dan kekesalan, demi melihat Joko memisahkan perkelahiannya.
"Sabar, Ni Sanak. Apakah kau tak salah menyerang orang? Coba kau ingat-ingat, benarkah ini orang yang dulu membantai keluargamu? Memang wajahnya sama, tapi tidakkah kau lihat kelainan orang ini dengan orang yang membantai keluargamu?" bertanya Jaka pada si gadis, yang segera memandang tajam pada orang yang tadi diserangnya.
Si Gadis menatap lekat-lekat seluruh tubuh Iblis Alas Waru, dan memang ada kelainan pada tubuh orang ini dengan orang yang dulu membantai keluarganya. "Benar! Orang ini berbeda dengan orang yang dulu membantai keluargaku. Hem... Jadi siapakah sebenarnya orang yang dulu membantai keluargaku?" bertanya gadis itu dalam hati, lalu ucapnya kemudian. "Maafkan aku, Ki Sanak. Sebab aku telah salah menuduh tanpa memperhatikan lebih seksama."
"Tak mengapa. Aku juga menyadari apa yang Ni Sanak perbuat. Bagaimanapun juga, memang ada orang yang menggunakan nama dan wajahku untuk membuat keributan dan keonaran. Aku sendiri tak tahu, siapa sebenarnya yang telah memakai nama dan wajahku untuk berbuat kejahatan... Oh ya. Kalau kalian ingin tahu siapa orang yang telah membuat namaku cemar, maka ketiga orang yang kami kejar itulah yang mengetahuinya."
Tersentak kaget si gadis, demi mendengar penuturan Iblis Alas Waru. Dengan segera, si gadis pun berkelebat menuju semak-semak yang tadi digunakan untuk bersembunyi ketiga orang itu. Betapa gusar dan marah si gadis, mendapatkan semak-semak itu telah kosong. Maka sebagai pelampiasan kekesalannya, dicabutnya pedang yang tergantung di pundaknya dan dibabatkan ke semak-semak itu. Orang-orang yang ada di situ, seketika datang menghampiri karena mengira si gadis telah menemukan dan membunuh ketiga orang itu dengan pedangnya.
"Bagaimana? Apakah kau telah menemukannya?" bertanya Jaka setelah gadis menghentikan sabetan pedangnya.
Dengan wajah penuh kekecewaan, si gadis menggeleng lemah sembari mengangkat pundaknya. Jaka dan Iblis Alas Waru, terharu melihat wajah si gadis yang sayu.
"Sudahlah, Ni Sanak. Hari ini kau gagal, siapa tahu esok atau lusa kau berhasil. Oya, kita belum saling kenal. Siapakah nama Ni Sanak, dan Ki Sanak?" bertanya Iblis Alas Waru pada kedua orang muda di hadapannya.
"Namaku Siti Gendari."
"Aku yang bodoh ini, bernama Jaka Ndableg!"
Tersentak kaget Iblis Alas Waru demi mendengar nama pemuda itu, yang ia kenal dari tokoh-tokoh persilatan bergelar pendekar Pedang Siluman Darah. Dengan terlebih dahulu menjura, Iblis Alas Waru berkata: "Ah... rupanya aku yang bodoh makin bodoh saja, terbukti aku tak sadar tengah berhadapan dengan siapa. Dengan segala kerendahan hati, aku yang bodoh ini mohon maaf atas kelancangan yang telah aku lakukan. Anak-anak, menghormatlah!"
Mendengar perintah dari pimpinannya, seketika itu kelima anak buah Iblis Alas Waru serempak menjura hormat hingga membuat Jaka menggelengkan kepalanya dan berkata:
"Ah! Kalian terlalu merendahkan diri, yang seharusnya tak perlu kalian lakukan. Bukankah aku juga seperti kalian? Yang masih merasa membutuhkan pertolongan orang lain?"
"Oh... Tuan pendekar sungguh baik hati, berkenan memaafkan segala kesalahan kami. Bagaimana kalau kita bersama-sama mencari orang yang mengaku-aku diriku?" berkata Iblis Alas Waru menyarankan.
"Baiklah, aku ikut bersamamu. Bagaimana dengan tuan pendekar? Apakah akan turun serta?" bertanya Siti Gendari sembari melirik Jaka, yang tersenyum berdiri di sampingnya.
"Tidak. Aku menyusul kalian nanti setelah urusanku telah selesai. Semoga kita dapat bertemu lagi nanti. Selamat jalan, semoga kalian selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa." Dengan segera, Jaka Ndableg berkelebat meninggalkan mereka yang memandang kepergiannya dengan kagum.
"Sungguh sangat baik budi pekertinya, jarang orang semuda dia dan berilmu tinggi yang berbudi pekerti sepertinya. Walaupun namanya sudah kesohor di kolong langit, namun tindakan dan tingkah lakunya tak pernah menggambarkan keangkuhan dan kesombongan. Ayo kita pergi," berkata Iblis Alas Waru, setelah sesaat memandang kepergian Jaka.
Siti Gendari tersentak dari lamunannya, yang tengah mengembara membayangkan Jaka yang telah dengan cepat mengisi relung-relung kalbunya "Ah...! Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah aku telah mencintainya?" mendesah Siti Gendari dalam hati, seraya melangkah pergi mengikuti Iblis Alas Waru dengan membawa rasa cinta kasih di hatinya. Cinta yang datang seketika, pada seorang pemuda yang baru saja ia kenal.
Iblis Alas Waru yang mengetahui dan mengerti apa yang tengah dirasakan oleh Siti Gendari saat itu, hanya tersenyum membiarkannya tanpa berkehendak untuk mengganggu.
********************
"Berhenti! Serahkan kitab yang berada di tanganmu pada kami, Rupaksi!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan, yang datang dari atas bukit. Rupaksi dan Sepasang Pendekar muda tengah berjalan dalam usahanya mencari Jaka. Seketika ketiganya berhenti, dan memandang ke atas bukit di mana tampak berdiri tiga orang berwajah sangar menyeramkan.
"Ki Sanak sekalian yang berada di atas bukit, turunlah ke bawah kalau memang ada kepentingan dengan kami!" berseru Sendana.
Mendengar seruan Sendana, seketika Tiga Setan Api melompat turun dan berdiri satu persatu menghadapi ketiga orang di hadapannya sembari tertawa-tawa. "Memang kami berkepentingan dengan kalian, khusus dengan orang yang membawa bungkusan kain di pundaknya," berkata Setan Api tertua sembari tertawa, diikuti oleh kedua adiknya.
"Apa yang hendak kalian ingini dari bungkusan yang kubawa ini?" tanya Rupaksi. Tiga Setan Api tertawa bergelak-gelak hingga tubuh mereka yang kurus ikut terguncang.
"Rupaksi. Jangan kau kira aku dapat dikibuli olehmu. Kami bukan anak kecil lagi. Serahkan kitab yang kau bawa itu pada kami, atau terpaksa kami merebutnya dengan jalan kekerasan?" berkata setan Api penengah, dengan melototkan matanya yang jereng pada ketiga orang yang berdiri di hadapannya.
"Setan Api. Kalian jangan mengada-ada, sebab kami tak membawa apa yang kalian maksudkan. Biarkan kami lewat!" membentak Rekasih. Ia muak melihat tampang ketiga Setan Api yang memandang padanya dengan pandangan kurang ajar.
"Wew, wew, wew. Ternyata wanita secantikmu bisa galak juga, ya? Wew, wew, wew. Mungkin kau lebih galak bila di atas tempat tidur, bukan begitu kakak?" berkata Setan Bungsu, seraya mengerling kan matanya liar pada Rekasih.
"Setan Bangkotan! Lancang mulut kalian! Jangan banyak mulut. Kalau berani hadapilah aku. Hiat...!" Kemarahan dan kemuakan hati Rekasih pada ketiga Setan Api tak dapat dibendung lagi. Dengan penuh amarah Rekasih segera menyerang ketiga Setan Api yang segera melompat mundur.
"Biarkan aku saja yang menghadapi gadis liar ini, kalian hadapilah kedua lelaki itu," berkata Setan Api tertua, yang segera menghadapi Rekasih.
"Hai anak muda, dan kau Rupaksi. Jangan kalian bengong menonton! Serahkan kitab itu pada kami, dan mari kita main-main sebentar!"
Mendengar ucapan Setan Panengah yang bernada merendahkan, mendengus marah Rupaksi. Maka dengan segera, Rupaksi pun menerima tantangan itu sembari berkata: "Setan Api. Kalau kalian menghendaki kitab ini, maka langkahi dulu mayatku! Hiat!"
Tanpa dapat dicegah, Rupaksi dan Setan Panengah pun terlibat perkelahian. Tinggal Setan Bungsu dengan Sendana, yang masih tampak berdiri saling pandang. Mungkin karena merasa tinggal dirinya saja yang belum berkelahi, maka dengan tanpa banyak bicara Setan Bungsu pun segera berkelebat menyerang Sendana. Diserang dengan tiba-tiba tidak menjadikan Sendana bingung, bahkan sebaliknya. Dengan penuh kewaspadaan, Sendana mengimbangi serangan yang dilancarkan Setan Bungsu.
Perkelahian tiga lawan tiga itupun berlangsung seru, karena ketiganya merupakan tokoh-tokoh persilatan yang diperhitungkan keberadaannya di dunia persilatan. Walaupun sepasang pendekar itu masih muda, namun dalam hal ilmu kanuragan mereka tak dapat dianggap enteng. Sementara Rupaksi, dia sebagai adik seperguruan Kerto Pati dari perguruan Elang Sakti, setidak-tidaknya ilmu yang dimilikinya juga tidak rendah Jurus demi jurus mereka lalui.
Pada jurus yang kelima puluh, tiba-tiba Setan Penengah berteriak dan berkelebat dengan cepatnya menyerang Rupaksi yang dengan segera mengelakkannya. Namun serangan yang dilancarkan Setan Penengah, ternyata hanya tipuan belaka. Sedang tujuan sebenarnya, tertuju pada bungkusan yang ada di punggung Rupaksi.
Maka ketika Rupaksi menunduk menghindari serangannya, dengan segera Setan Penengah menyabet bungkusan di punggung Rupaksi. Tersentak Rupaksi segera menyerang. Namun Setan Penengah telah lebih dahulu mengelak dan berlari menuju bukit diikuti oleh kedua saudaranya yang segera bangun dari duduknya akibat jatuh terhantam tendangan dan pukulan Sepasang Pendekar Muda itu.
"Jangan lari!" membentak Sendana sembari mengejar, diikuti oleh adik seperguruannya dan Rupaksi. Ketiganya segera memburu ke atas bukit, di mana ketiga Setan Api berlari. Bukit Wirangrang kembali sepi, setelah keenam orang itu pergi meninggalkannya saling kejar mengejar. Angin seketika bertiup, menyapu debu-debu yang seketika berterbangan ke angkasa menutupi tegalan di bawah bukit Wirangrang.
********************
EMPAT
Di sebuah tegalan dekat puncak gunung Ciremai, tampak seorang lelaki tua yang rambutnya telah memutih tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Di hadapan orang tua itu, tampak seorang pemuda tengah menggelantung dengan kaki di atas batang pohon dan kepala di bawah. Kedua tangannya bersidakap, sementara mata pemuda itu tampak terpejam.
"Anakku, Arya. Bangunlah dari semedi mu. Bangunlah, anakku!" terdengar lelaki tua itu berkata yang ditujukan pada anak muda yang menggantung dengan kepala di bawah.
Perlahan. Mata pemuda itu membuka, memandang pada lelaki tua di hadapannya. Dari mulutnya seketika keluar pertanyaan yang ditujukan pada lelaki tua di hadapannya: "Ada apakah guru membangunkan semediku?"
"Turunlah, Nak! Telah usai sudah ujian yang kau tempuh yang kau lakukan dengan penuh ketabahan dan rasa percaya diri. Kini kau telah memperoleh hasilnya," berkata kembali lelaki tua yang dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemuda yang sedari tadi menggantung turun ke bawah dan berdiri menghormat pada lelaki tua di hadapannya.
"Anakku, sepuluh tahun sudah kau bersamaku. Hari ini adalah hari terakhir kau menuntut ilmu yang telah kuturunkan semuanya padamu. Kini masa mu untuk turun ke dunia bebas untuk mencari pengalaman sekaligus mengamalkan ilmu-ilmu yang kau miliki. Ingat, anakku. Ilmu yang telah kau miliki janganlah kau pergunakan untuk kemungkaran. Pergunakanlah ilmumu untuk membela kebenaran dan keadilan. Sekarang mandilah dulu, nanti kita bicara lagi."
Pemuda yang bernama Arya kembali menghormat menjura sebelum akhirnya pergi meninggalkan sang guru yang memandangnya dengan tersenyum bangga seraya bergumam: "Hem. Semoga kau akan menjadi seorang pendekar sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Dengan ilmu yang kau miliki, maka kau pantas disejajarkan dengan tokoh-tokoh persilatan kelas wahid."
Sang guru segera berkelebat masuk ke dalam rumah setelah kepergian muridnya. Tak lama kemudian, sang guru telah keluar kembali dengan tangan membawa lipatan pakaian berwarna putih yang telah ia persiapkan sejak sebelas tahun yang silam sebelum ia mendapatkan murid. Pakaian itu terbuat dari serat pohon yang kuat hingga dapat bertahan lama dan awet walau sebelas tahun disimpan. Segera dihampiri muridnya yang masih mandi. Lalu ketika Arya muncul di permukaan air sendang, lelaki tua itu berkata:
"Arya, ini pakaianmu aku taruh di sini. Pakailah nanti setelah kau habis mandi."
"Terimakasih, Guru."
Setelah menaruh pakaian itu kembali lelaki tua itu berkelebat pergi meninggalkan Arya yang masih mandi menuju ke halaman rumahnya dan duduk di atas batu. Tak lama berselang. Tampak Arya telah selesai mandi, datang menghampiri lelaki tua gurunya dengan pakaian putih bersabuk merah menyala. Setelah dekat di hadapan sang guru, seketika Arya pun bersujud menyembah sembari berkata:
"Terimalah sembah hamba."
Mendengar ucapan muridnya, lelaki tua itu tersenyum penuh kebahagiaan dan berkata: "Anakku, Arya. Sembah mu aku terima, duduklah."
Dengan tanpa membantah, Arya pun segera duduk menuruti perintah gurunya yang kembali tersenyum dan melanjutkan kata-katanya:
"Anakku. Hari ini telah sepuluh tahun kau berada di sini bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki telah aku turunkan padamu. Baik ilmu kanuragan maupun ilmu batin yang menjadikan dirimu sakti mandraguna. Kau sekarang dapat disejajarkan dengan tokoh persilatan kelas wahid yang bakal disegani baik lawan maupun kawan. Tapi, janganlah sekali-kali kau sombong karena kesombongan akan menjadikan seseorang menjadi takabur dan lupa pada asal-usulnya. Pergunakan ilmumu pada jalan kebenaran dan keadilan yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Buanglah segala dendam karena dendam akan menjadikan kau dengan mudah dipengaruhi iblis..."
Arya tampak terdiam menundukkan kepala, sepertinya tengah menghayati makna ucapan sang guru. Melihat muridnya hanya terdiam kembali sang guru berkata meneruskan: "Karena kau kini kesaktiannya setingkat dengan pendekar kelas wahid maka hari ini pula kau kuberi sebutan Malaikat Putih dari Ciremai. Hal itu, karena disesuaikan dengan nama yang kusandang, pendekar Malaikat Suci. Juga, karena pakaianmu yang berwarna putih bersih. Sekarang juga, pergilah ke dunia bebas. Cari olehmu ketiga orang yang telah membunuh ayah, ibu, paman dan bibimu. Tapi ingat anakku jangan sekali-kali kau mendendam. Ajaklah ketiganya kembali ke dunia lurus, bila tak mau baru kau bertindak. Itupun jangan sampai ketelengasan, cukup diberi pelajaran. Namun bila mereka memang sudah tak dapat dimaafkan dosanya, terserah apa yang hendak kau lakukan."
"Terimakasih atas semua nasehat guru yang akan menjadikan sebuah tongkat penuntun jalan hamba, yang masih buta dengan kehidupan dan liku-likunya. Terimakasih pula atas pemberian nama Malaikat Putih oleh guru pada hamba. Sesuai dengan nama tersebut, maka hamba akan berusaha menjalankan tugas hamba sebagai orang persilatan untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan."
Malaikat Suci tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala senang, demi mendengar tutur kata muridnya. Lalu setelah terkekeh-kekeh, Malaikat Suci pun kembali berkata: "Muridku ada yang aku lupa yang belum aku sampaikan padamu."
"Apakah gerangan, Guru?"
"Dua puluh tahun yang silam, aku telah bentrok dengan seorang pendekar dari aliran sesat yang berilmu tinggi. Masalahnya sepele karena ingin dianggap paling tinggi ilmunya, pendekar itu bergelar Kera Siluman. Dengan ilmu-ilmu silumannya dia bermaksud menjatuhkan diriku. Tapi, Alhamdulillah, Tuhan bersamaku. Hingga aku dapat mengimbangi ilmunya, bahkan aku mampu mengalahkannya. Merasa terkalahkan, kera Siluman berjanji akan mengadakan pembalasan dua puluh tahun kemudian tepatnya pada purnama kelima. Ini purnama pertama, jadi empat purnama lagi dia akan menungguku di Bukit Kematian yang letaknya di sebelah Selatan desa Cipulir. Karena aku merasa sudah tua, aku bermaksud mengasingkan diri dari dunia ramai. Untuk itu, aku meminta tolong padamu untuk menghadapinya. Kau siap?"
"Hamba siap, Guru?!" menjawab Arya atau si Malaikat Putih dengan penuh hormat, membuat Malaikat Suci terkekeh-kekeh tertawa dan kembali berkata:
"Nah, sekarang pergilah ke arah Timur, di sanalah kau dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, tepatnya di desa Cipulir kau akan menemukan orang-orang yang telah membunuh ayahmu. Tak ada yang dapat kuberikan untuk bekalmu, hanya do'a dan beberapa keping uang saja yang ada padaku."
Dirogohnya saku baju yang dikenakannya, mengambil uang dan diberikannya pada Arya yang terbelalak melihat uang emas di tangan gurunya banyak sekali.
"Ah. Jangan terlalu banyak guru memberikan uang padaku. Aku takut, kalau-kalau nanti menjadi orang pemalas."
Mendengar ucapan muridnya, si Malaikat Suci kembali terkekeh-kekeh dan berkata: "Ha, ha, ha. Benar kata-katamu. Baiklah, uang ini kita bagi dua saja."
Dibaginya uang yang berada di tangannya dengan adil, untuknya dan untuk muridnya. Akhirnya. Kedua guru dan murid tertawa bergelak-gelak hingga tubuh mereka turut terguncang-guncang. Setelah menyalami dan mencium tangan gurunya, Malaikat Putih pun dengan diantar gurunya pergi meninggalkan gunung Ciremai yang telah mengasuhnya sepuluh tahun lamanya. Meninggalkan gurunya yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai. Dengan berlari-lari kecil, Malaikat Putih menuruni lereng gunung Ciremai untuk mengembara mencari kitab milik ayahnya yang bernama kitab Inti Jagad yang setahunya berada di tangan pamannya.
********************
Jaka dan ketiga orang yang lainnya yang tengah mencari Setan Api, tertarik melihat rumah yang hancur berantakan. Segera keempatnya menuju ke rumah itu yang tampaknya habis digunakan untuk pertempuran. Seketika keempat orang itu tersentak kaget, demi melihat mayat-mayat yang membusuk di rumah itu yang mereka kenali. Hingga karena kagetnya, seketika dari mulut ketiga orang teman jaka memekik berseru:
"Setan Api!"
"Hai! Merekakah yang berjuluk Setan Api?" tanya Jaka.
"Benar! Mereka memang Tiga Setan Api. Tapi, mengapa mereka telah binasa? Siapa yang telah membinasakan mereka?" bertanya Rupaksi, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
"Benar, Saudara Rupaksi. Bukankah lima hari yang lalu mereka bentrok dengan kita?" Menambahkan Sendana. Ia juga kaget mendapatkan orang yang baru lima hari berselang bertempur dengannya telah menjadi mayat.
Lain halnya Jaka, yang tampaknya tenang tanpa ekspresi kekagetan di wajahnya. Dengan penuh seksama Jaka memperhatikan mayat-mayat ketiga Setan Api. "Hem... rupanya mereka mati dalam kaitannya dengan kitab itu. Bahaya! Sungguh bahaya! Bila dibiarkan berlarut-larut korban akan terus berjatuhan hanya karena ambisi yang tak mengarah pada hal-hal yang sebenarnya. Coba geledah tempat ini, siapa tahu kitab itu masih di sini," berkata Jaka setelah memeriksa ketiga tubuh Setan Api yang telah menjadi mayat dengan tubuh beracun.
Ketiga orang temannya yaitu Rupaksi, Sendana, dan Rekasih dengan segera berkelebat masuk ke dalam rumah. Digeledahnya seisi rumah, namun kitab yang dicari telah raib. Dengan penuh kekecewaan, Rupaksi kembali menemui Jaka yang masih mengamati ketiga mayat Setan Api.
"Bagaimana? Apakah kau berhasil?" tanya Jaka.
"Coba kau perhatikan dengan seksama, Saudara Rupaksi? Mayat-mayat ini sepertinya terkena racun ganas. Aku menilai bahwa orang yang melakukannya mempunyai ilmu racun. Apakah kau mengetahui siapa orangnya?"
Rupaksi seketika tercenung memikirkan siapa gerangan orang yang mempunyai ilmu beracun. Tak lama kemudian, wajah Rupaksi berubah cerah. Dan dengan berseru ia berkata: "Aku ingat! Sepertinya ilmu itu milik tiga teman kakang Kerto Pati. Ya, dia yang memilikinya."
Mendengar penuturan Rupaksi seketika Jaka dan sepasang pendekar yang telah tiba di tempat itu tersentak dan hampir berbarengan berseru:
"Siapakah orang itu!"
"Mereka bernama Sodra, Lombang, dan Wungkal Gunung. Mereka juga yang telah menghabisi nyawa kakang Kerto Pati yang sebenarnya teman mereka sendiri. Ayo kita ke sana!" Mengajak Rupaksi yang segera diikuti oleh Jaka dan sepasang pendekar.
********************
Seorang pemuda berpakaian putih dengan ikat pinggang merah, tampak berjalan menyelusuri pematang sawah. Pemuda itu yang tak lain Arya atau Malaikat Putih tampak mengernyitkan keningnya, demi melihat desa di ujung sawah yang tengah ia tapaki. Sorot mata pemuda itu tajam memandang ke depan di mana desa Cipulir telah tampak. Memandang desa Cipulir, seketika matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali melayang pada kejadian sepuluh tahun yang silam. Kejadian yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya juga paman dan bibinya.
"Ah. Desa itu mengingatkan aku pada ayah dan ibu, pada paman dan bibi. Sungguh biadab orang-orang itu yang telah membunuh ayah dan ibu serta paman dan bibiku. Apakah aku harus tinggal diam?" bertanya hatinya penuh keraguan. Betapa tidak! Rasa kekecewaan dan dendam melanda hatinya, namun kedudukannya sebagai seorang pendekar harus menjadikannya bersifat adil dan bijaksana.
"Dendam! Kata guru hanyalah pertumpahan darah yang tak habis-habisnya. Ah, bagaimana aku harus bertindak?" kembali hatinya mengeluh, tak tahu harus berbuat apa.
Dengan langkah-langkah yang tak pasti, Malaikat Putih berjalan menuju ke desa Cipulir yang tampak di hadapan matanya. Desa yang telah menjadi tumpah darahnya, desa yang mengingatkannya pada kepedihan dan sakit hati yang sebisanya harus dipendam dalam-dalam.
"Sampurasun...!" Menyapa Malaikat Putih ketika sampai di hadapan sebuah rumah yang mengingatkannya pada kenangan sepuluh tahun yang silam. Ditunggu beberapa saat tak ada jawaban yang terdengar dari dalam rumah. Hingga untuk kedua kalinya kembali Malaikat Putih berseru menyapa. "Sampurasun...!"
"Rampes...!" terdengar suara sahutan, sepertinya suara seorang lelaki tua. Tak lama antaranya, tampak seorang lelaki tua keluar menemuinya. Melihat pemuda yang belum dikenalnya berdiri di depan rumahnya sembari tersenyum, lelaki tua itupun bertanya: "Siapakah gerangan anak ini? Dan apakah keperluannya?"
Dengan terlebih dahulu menjura hormat, Malaikat Putih berkata menjawab. "Saya Arya Purbaya, anak Kerto Pati."
Tersentak kaget lelaki tua itu, demi mendengar nama-nama yang disebutkan oleh anak muda yang berdiri di hadapannya. Dengan penuh rasa haru bagaikan anak kecil, lelaki tua itu seketika menangis dan memeluk tubuh Arya yang terpaku diam penuh keharuan. "Oh, rupanya kau, nak Arya? Ke mana saja kau selama sepuluh tahun? Kenapa tak pernah kembali?"
Malaikat Putih seketika berlinang-linang air matanya, demi melihat orang tua di hadapannya menangis sesenggukan. "Sudahlah, Paman Trenggono. Tak perlu paman menangisi apa yang telah terjadi yang telah menimpa diri keluargaku. Yang penting sekarang, apakah paman tahu tempat paman Rupaksi?"
Lelaki tua yang ternyata Trenggono Si kusir kereta keluarga Kerto Pati adanya, seketika menghentikan tangisnya demi mendengar ucapan Arya. Alisnya seketika mengerut mendengar pertanyaan Arya. Sepertinya Trenggono tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Bagaimana, Paman?" kembali Arya bertanya. "Sebentar, nak Arya, paman ingat-ingat dulu. Kalau seingat paman, den Rupaksi tinggal di padukuan Sawo Jajar. Ada keperluankah kau dengannya?"
"Benar! Hal ini menyangkut kitab yang ayah titipkan pada paman Rupaksi. Aku khawatir dengan kitab itu di tangan paman Rupaksi."
"Hai, apa yang kau khawatirkan? Bukankah den Rupaksi adik seperguruan ayahmu?"
"Benar! Bukannya aku tak percaya pada paman Rupaksi. Namun dengan kitab itu di tangannya, aku khawatir orang-orang yang bermaksud jahat akan memburunya. Bukankah hal itu akan menjadikan paman Rupaksi harus menghadapi masalah yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya? Aku bermaksud mengambil kitab itu untuk menjaganya. Demi kitab itu, aku siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi."
Terangguk-angguk kepala Trenggono, demi mendengar ucapan Arya. Dalam hati Trenggono, seketika timbul kekaguman pada anak majikannya. Tak menyangka sebelumnya kalau Arya yang dulu kecilnya nakal kini mengerti akan tanggung jawab. "Kalau itu yang menurut nak Arya baik maka lakukanlah dengan kebulatan tekad yang ada di hati nak Arya. Kapan rencananya nak Arya hendak mengunjungi den Rupaksi?"
"Secepatnya, Paman. Aku takut dan merasa khawatir dengan paman Rupaksi dan kitab itu. Aku mohon pamit, Paman Trenggono."
"Eh! Kenapa mesti terburu-buru. Apakah kau tak menyekar ke makam ayah dan ibumu dahulu?"
Mendengar penuturan Trenggono, seketika hati Arya bergetar. Kesedihan kembali menyelimuti hatinya. Kecewa dan marah pada orang-orang yang telah membunuh orang tuanya. Giginya seketika bergemeretuk menahan amarah menjadikan suara yang menyeramkan. Matanya seketika kembali berkaca-kaca, memandang liar namun hampa. Nafasnya memburu, hingga terdengar bagaikan desahan angin prahara.
"Baiklah, Paman Trenggono. Aku hendak menyekar dulu ke makam ayah dan ibu. Tolong antarkan aku ke sana," meminta Arya.
Tanpa membuang waktu lagi, keduanyapun segera pergi menuju ke makam ayah dan ibunya yang tak jauh dari rumah yang dihuni Trenggono. Terduduk sujud Arya Purbaya di depan makam kedua orang tuanya, air matanya seketika meleleh tak dapat dibendung. Hati Arya bagaikan teriris-iris, pedih mengingat kejadian sepuluh tahun yang silam. Melihat Arya menangis, rasa kemanusiaan Trenggono seketika tergugah. Dengan terisak-isak, Trenggono pun turut menangis.
"Sudahlah, Nak Arya. Jangan kau menangisi kepergian kedua orang tuamu, yang mungkin sudah suratan nasib. Sekarang, yang penting kau harus mampu membalas sakit hati mereka. Ayo kita pergi?" kata Trenggono terbata-bata, tertahan oleh isak tangisnya. Disentuhnya pundak Arya yang masih menunduk menangis di atas makam kedua orang tuanya.
"Ayah dan ibu. Kalau kalian tahu diriku sekarang, betapa kalian akan bahagia. Tapi... kenapa petaka ini harus terjadi pada kalian? Kenapa mereka begitu keji? Kenapa? Apakah ayah dulu pernah bersalah hingga ayah harus menerimanya?"
Karena tak kuat menghadapi gejolak hatinya. Dengan menjerit, Arya Purbaya berlari meninggalkan Trenggono yang hanya terbengong tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Akan kucari orang-orang itu! Akan kucari mereka sampai kutemui!" berteriak Arya penuh emosi.
Arya Purbaya terus berlari meninggalkan Trenggono yang semakin jauh di belakang. Karena dalam keadaan emosi dan dikarenakan ia adalah seorang pendekar yang mendapat gemblengan ilmu kanuragan tingkat tinggi, maka setiap sepak terjang kaki dan tangannya menjadikan kerusakan dan kehancuran bagi yang terkena. Akhir dari rasa kekecewaan dan kekesalannya, dihantamnya pohon asem di hadapannya hingga hancur berantakan. Karena lelah, Arya pun terduduk lemas di bawah pohon jamblang. Sayup-sayup, terdengar suara gurunya si Malaikat Suci berkata:
"Anakku, Arya. Sudah aku katakan, jangan turuti kata hati. Ketahuilah, Nak. Bahwa semua yang terjadi di dunia ini tak luput dari suratan takdir yang telah ditentukan olehNya."
Arya Purbaya tersentak kaget dan berusaha mencari gurunya yang tengah bicara. "Guru, di manakah engkau?"
"Aku masih di Ceremai, Anakku. Aku hanya mendengar suaramu, tanpa dapat melihat keadaanmu saat ini. Aku tersentak kaget dari semediku, kala kudengar kau berteriak-teriak tak dapat mengalahkan perasaanmu. Sekarang sadarlah. Langkahmu harus mantap untuk menghadapi segala tantangan kehidupan yang sering tidak kita kehendaki."
Seketika Arya Purbaya terdiam meresapi segala makna ucapan gurunya. Lalu kembali terdengar suara gurunya berkata: "Anakku, Arya. Aku berpesan padamu, jangan bertindak menuruti kata hati. Bertindaklah dengan perhitungan, hingga tak ada yang dirugikan. Nah, teruskanlah pengembaraanmu, tak lama lagi kau bakal mendapatkan apa yang seharusnya kau lakukan. Bersiaplah untuk menghadapi tantangan hidup."
"Baik, Guru. Segala yang telah guru sarankan, akan saya laksanakan dengan segenap jiwa saya."
"Bagus! Sekarang, teruskanlah langkahmu untuk mencari kitab milik ayahmu. Selamat berjuang, Anakku?"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Malaikat Suci, angin pun bertiup dengan kencangnya menyapu dedaunan di sekitar tempat Arya terduduk. Arya Purbaya segera memusatkan segala panca indranya untuk bersemedi, mengembalikan segalanya pada yang berwenang. Setelah dirasa cukup, Arya Purbaya atau si Malaikat Putih segera berkelebat pergi menuju ke Utara di mana pedukuan Sawo Jajar berada.
********************
LIMA
Pedukuan Sawo Jajar tampak ramai, meskipun hanya merupakan pedukuan kecil. Penduduknya yang berniaga mata pencahariannya, menjadikan padukuan Sawo Jajar banyak dikunjungi orang. Di samping itu pula, letak padukuan Sawo Jajar strategis untuk lalu lintas perhubungan darat.
Siang itu, seorang pemuda tengah berjalan menyusuri jalan, yang menjadi jalan utama di pedukuan Sawo Jajar. Pemuda yang tak lain Arya Purbaya, tampak berjalan dengan lenggang. Matanya yang tajam setajam mata rajawali, selalu memandang pada deretan rumah-rumah di sepanjang jalan.
"Ah! Bodoh benar aku. Bagaimana mungkin aku akan dapat menemukan rumah paman Rupaksi, kalau aku tak menanyakannya pada orang? Aku akan mencoba bertanya pada nelayan itu," berkata hati Arya, yang seketika menghampiri nelayan yang berjalan ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada nelayan itu, yang seketika menengadahkan mukanya memandang pada Arya sembari membalas salam.
"Rampes...! Ada apakah Ki Sanak menghadang langkahku?"
"Maaf. Aku telah mengganggu langkahmu. Kalau boleh aku bertanya, di manakah rumah paman Rupaksi?"
Nelayan muda itu sesaat menatap kembali pada Arya demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan Arya padanya. Setelah sesaat terdiam memandang Arya, nelayan muda itu berkata balik bertanya:
"Yang Ki Sanak maksud. Apakah pendekar Rupaksi?"
"Benar, Ki Sanak." menjawab Arya, menjadikan nelayan muda itu mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Lalu dengan ramah, nelayan muda itupun kembali berkata:
"Ayo, aku antarkan. Aku sendiri dekat dengannya sebab rumahku bertetangga dengan pendekar Rupaksi." Keduanya segera berjalan menuju ke tempat yang dituju.
"Besarkah pendapatan Ki Sanak sebagai seorang nelayan?" tanya Arya pada nelayan muda itu kala keduanya berjalan.
Sesaat nelayan muda itu menatap Arya penuh selidik, sebelum akhirnya menjawab: "Sebenarnya besar, tapi karena adanya pungutan uang keamanan yang tidak seimbang, maka habislah pendapatan kami para nelayan."
"Apa! Uang keamanan?" Arya terkejut.
"Ya! Kalau kami tak memberi, maka siksaan dan deraanlah yang kami terima dari mandor Damad."
"Apakah sudah ada perjanjian sebelumnya?"
"Perjanjian? Boro-boro perjanjian. Ngasih tahu saja tidak!" menjawab nelayan muda setelah kembali memandang pada Arya yang seketika mengerutkan alis matanya.
"Kau tahu rumah mandor Damad?"
"Mau ngapain?"
"Aku mau menemuinya," menjawab Arya, yang membuat terbelalak mata nelayan muda itu dan memandang tajam pada Arya seperti tak percaya.
"Kenapa?" bertanya Arya kembali.
"Percuma," jawab nelayan muda itu singkat, sepertinya was-was.
"Kenapa?"
Sesaat nelayan muda itu menghela napas mendengar pertanyaan Arya, sebelum akhirnya kembali berkata: "Sudah banyak orang yang hendak menyadarkannya, tapi semua menemui kebuntuan. Ada yang mundur, ada pula yang mati disiksa oleh centeng-centeng mandor Damad yang kejam."
"Hem, begitu?"
"Ya. Karena kekejaman mereka, kami para nelayan tak berani menghadapinya."
Arya tercenung seakan ia tengah berpikir. Matanya menyipit memandang pada nelayan muda di sampingnya yang juga mengernyitkan alis matanya. Kedua orang itu terdiam, melangkah terus menyusuri pantai. Dalam hati Arya, bergejolak perasaan ingin menolong nelayan-nelayan itu. Maka diputuskannya, setelah menemui pamannya akan mendatangi mandor Damad.
"Ini rumahku dan itu tiga rumah dari sini adalah rumah Ki Rupaksi. Ayo mampir dulu?" berkata nelayan muda itu.
"Ah, terimakasih. Nanti setelah aku dari rumah paman aku akan mampir bila ada waktu. Terimakasih atas pertolonganmu, Ki sanak. Mari...?" menjawab Arya, yang segera pergi meninggalkan nelayan muda itu yang memandang kepergiannya dengan penuh ketidak mengertian.
"Sampurasun...!?" memberi salam Arya Purbaya, kala telah sampai di rumah pamannya.
"Rampes...!?" Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya suara wanita. Tak lama kemudian, seorang wanita setengah baya ke luar menemui Arya.
Melihat orang tua di hadapannya, tanpa dapat dicegah Arya segera bersujud memeluk kaki wanita itu sembari menangis membuat wanita itu terbengong-bengong tak mengerti. "Bibi, apakah bibi lupa pada saya?"
"Kamu siapa?" tanya wanita tua itu pada Arya, karena belum mengetahui siapa adanya pemuda yang saat itu menangis sembari memeluk kakinya.
"Bibi, saya Arya. Arya Purbaya, Bibi?"
"Arya Purbaya anak mbakyu Sukanti dan kangmas Kerto Pati?" tanya wanita itu ingin memastikan dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Arya. Seketika wanita itu segera memeluk Arya dan menangis tersedu-sedu setelah tahu siapa adanya anak muda di hadapannya. "Anakku, malang benar nasibmu, nak?!"
Kedua bibi dan kemenakan itu menangis sembari berpelukan, melepas segala kepiluan dan rasa rindu yang mendalam di hati keduanya.
"Bibi... ke manakah paman Rupaksi?" tanya Arya, setelah sekian lama terhanyut dalam tangis.
Dengan terlebih dahulu mengusap air mata, sang bibi menceritakan tentang suaminya yang diburu oleh orang-orang persilatan yang menghendaki kitab Inti Jagad.
"Jadi sekarang paman tengah diburu?" Bergelegar hati Arya, seakan ada sejuta halilintar yang menghantam di hatinya. Perasaannya seketika menuntut agar dia segera menemui orang-orang yang sepantasnya disingkirkan.
"Baiklah, Bibi. Aku akan mencari paman, do'akan agar aku dapat dengan segera menemui paman."
"Ya, bibi do'akan. Hati-hati, anakku!"
Setelah mencium tangan bibinya, Arya pun segera pergi meninggalkan rumah bibinya untuk mencari pamannya sekaligus musuh-musuh ayahnya yang jahat. Ketika Arya lewat di depan rumah nelayan muda yang tadi menemaninya, dan menunjukkan rumah pamannya. Seketika ia teringat pada rencananya mendatangi juragan Damad, yang bertindak sewenangwenang pada warga. Maka segera dihentikan langkah kakinya balik menuju ke rumah nelayan muda.
"Sampurasun...!" menyapa Arya.
"Rampes...!" terdengar suara orang lelaki, menjawab salam Arya. Dan tak lama kemudian tampak nelayan muda itu keluar dari dalam rumahnya.
"Eh, Ki Sanak. Ayo masuk?"
"Ah, terimakasih, Ki Sanak. Sebenarnya aku ingin meminta tolong pada Ki Sanak, yaitu masalah juragan Damad. Kalau Ki Sanak tak keberatan, saya minta tolong untuk mengantar saya ke rumahnya."
"Untuk apa?" nelayan muda itu terbelalak, demi mendengar maksud Arya.
"Sekarang aku belum bisa menjawab, nanti pun aku rasa Ki Sanak akan mengerti."
Tercenung nelayan muda itu memandang pada Arya seakan ada kebimbangan di hatinya. Melihat hal itu, dengan tersenyum Arya kembali berkata menjelaskan:
"Ki Sanak. Janganlah Ki Sanak bimbang dan menaruh sakwa sangka padaku, yang bermaksud baik pada kalian. Yang penting, tunjukanlah rumah juragan Damad. Aku akan pergi ke sana sendiri kalau Ki Sanak tak mau ikut."
Sejenak nelayan muda itu kembali terdiam, berpikir sesuatu sebelum akhirnya berkata: "Baiklah, aku akan ikut denganmu."
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya pun segera menuju ke rumah juragan Damad. Rumah juragan Damad ternyata tak jauh dari rumah nelayan muda itu, hingga tak begitu lama keduanya berjalan telah sampai pada yang dituju.
"Itu rumahnya!" berkata nelayan muda, seraya menunjuk pada rumah besar di depan, tak jauh dari mereka berdiri.
"Kau mau ikut ke dalam, Ki Sanak?" tanya Arya pada nelayan muda itu, yang untuk kesekian kalinya terjengah diam memandang pada Arya.
"Bagaimana? Apa mau ikut ke dalam?" Kembali Arya bertanya, demi melihat nelayan muda itu masih terdiam.
"Ayolah!" menjawab nelayan muda, membuat Arya tersenyum. Dengan segera, keduanya pun berkelebat menuju ke rumah besar di hadapannya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada centeng-centeng juragan Damad yang saat itu tengah berjaga. Ketiga centeng juragan Damad tersentak kaget begitu mendengar ucapan salam yang diucapkan Arya yang tak diketahui datangnya.
"Siapa kau!" membentak seorang centeng yang badannya tinggi gede dan bermuka menyeramkan dengan kumis dan jenggot lebat seperti tak pernah dicukur.
"Aku ingin bertemu juragan mu," menjawab Arya. Sementara itu, nelayan muda tampak ketakutan dan berdiri bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Kau belum kami kenal, ada kepentingan apa kau dengan juragan kami?" kembali orang yang berbadan besar bertanya, sepertinya memandang enteng pada pemuda di hadapannya.
Sesaat Arya tersenyum, lalu dengan menghormat menjura Arya kembali berkata: "Apakah itu perlu kau ketahui? Aku khawatir nanti juragan mu marah bila aku mengatakannya padamu. Nah, sekarang katakan pada juragan mu bahwa ada orang yang ingin menemuinya ingin menanyakan masalah tempo hari."
Sejenak centeng itu kembali memandang Arya, sebelum akhirnya berkata: "Baik! Tunggu sebentar aku akan menghadap juragan ku dulu." Setelah berkata begitu, sang centeng segera berkelebat menuju ke dalam rumah untuk memberi tahukan pada majikannya.
"Suruh orang itu menunggu sebentar!" terdengar suara orang yang sepertinya suara juragan Damad. Tak lama antaranya, centeng itupun kembali menemui Arya.
"Anda disuruh menunggu sebentar," berkata centeng memberi tahukan pada Arya yang mengangguk. Habis ucapan si centeng, dari dalam rumah seorang lelaki gendut keluar menemui mereka. Lelaki gendut itu mengerutkan dahinya saat melihat orang yang datang yang belum ia kenal sama sekali.
"Wongso! Mana orang yang kau maksud?" berseru juragan Damad marah merasa telah dipermainkan oleh anak muda yang kini tersenyum sinis walau ramah.
Terbelalak bingung centeng yang bernama Wongso, demi melihat kemarahan juragannya. Seketika matanya memandang tajam dan bengis pada Arya yang tampaknya tenang sembari berkata:
"Apa kabar, juragan Pemeras? Badanmu bertambah gendut saja sekarang. Apa karena makin banyak uang haram yang kau makan?"
Menggeram marah juragan Damad, demi mendengar ucapan yang dilontarkan Arya. Begitu juga sang centeng, tampak gusar mendengar juragannya diejek begitu rupa. Sedangkan nelayan muda yang berada di belakang Arya, tampak menggigil ketakutan.
Demi melihat juragan dan centengnya marah, Arya bagai orang gila tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan suara yang dibuat sengau, Arya kembali berkata: "Persis! Persis lintah yang bertemu seekor ular tampang kalian yang kedoknya terbongkar. Juragan Damad, kuminta padamu untuk segera mengembalikan yang bukan hakmu pada penduduk. Aku takut bencana akan datang menimpamu kalau kau tak segera sadar."
"Sompret! Kurang ajar! Berani kau menggurui ku, Anak muda! Wongso, tangkap pemuda gila itu dan jebloskan ke dalam penjara bahwa tanah!"
Demi mendengar perintah juragannya segera Wongso dan kedua anak buahnya menyerang Arya. Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan Arya yang telah mendapat nama dari gurunya Malaikat Putih keteter. Bahkan dengan tertawa-tawa bagaikan tengah bercanda, dengan mudahnya Arya mengelakkan semua serangan centeng-centeng juragan Damad. Merasa musuhnya licin bagaikan belut, alot bagaikan inti kayu asem. Centeng-centeng juragan Damad bukannya segera menyadari bahkan dengan makin ganas mereka berusaha mencerca tubuh Arya.
"Ha... ha... ha...! Inikah yang kau banggakan, Juragan? Untuk apa kau pelihara tikus-tikus ini? Atau memang untuk menakut-nakuti para nelayan agar mereka takut?"
Makin marah centeng-centeng juragan Damad, yang dengan membentak berkata sembari terus menyerang. "Bedebah! Rupanya kau belum tahu siapa kami, yang dijuluki tiga Badak dari padukuan Sawo Jajar hingga kau begitu lancang berbicara! Ayo teman-teman, kita habisi anak sundel ini!"
Dengan serentak, ketiga centeng juragan Damad kembali menyerang Arya yang masih tersenyum-senyum mengejek
"Maaf! Karena aku tak ada waktu panjang untuk bermain-main, maka akan kubantu kalian istirahat. Hiat...!" Bersamaan dengan habis ucapannya, seketika tubuh Arya berkelebat melenting ke angkasa membuat ketiga centeng juragan Damad terbelalak melihatnya.
Tengah ketiga centeng itu tersentak, tiba-tiba Arya telah menukik ke arah mereka. Dan dengan cepat Arya mengibaskan tangannya diikuti dengan memekiknya suara ketiga centeng juragan Damad yang ambruk terkulai di tanah dengan tubuh lemas. Terbelalak kaget juragan Damad menyaksikan keadaan ketiga centengnya yang tergeletak bagaikan anak kecil. Ketiga centeng itu menangis meminta dibebaskan dari keadaannya.
"Tuan pendekar, ampunilah kami. Kami mengaku kalah," meratap ketiganya hampir bersamaan, yang menjadikan juragan Damad marah. Dengan terlebih dahulu menggeram, juragan Damad membentak sembari menyerang Arya yang tertawa-tawa seraya berkata:
"Bagus! Memang kau yang ku kehendaki, kau harus bertanggung jawab atas semua penderitaan rakyat padukuan Sawo Jajar ini."
"Sompret! Jangan kira aku takut denganmu, Anak Sundel! Walaupun kau dapat melumpuhkan ketiga centeng ku namun aku tak mau menyerah padamu begitu saja. Ayo, kita buktikan, siapa diantara kita yang harus pergi dari dunia ini!" membentak marah juragan Damad hingga matanya yang lebar melotot hampir keluar.
Maka tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang itupun seketika terlibat perkelahian. Dengan dilandasi amarah yang meluap-luap, juragan Damad menyerang Arya dengan membabi buta.
"Wah, wah, wah! Jurus-jurusmu begitu kaku, Juragan. Apakah karena kegendutan mu yang banyak menghisap uang nelayan atau karena sudah terbiasa ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaanmu yang diperoleh dengan cara yang tak halal, hingga kau malas untuk memperlancar jurus-jurusmu?"
Makin marah dan gusar juragan Damad, demi mendengar kata-kata Arya yang bernada mengejeknya. Maka dengan penuh amarah, Juragan Damad menggeram sembari menyerang. "Jangan banyak bacot, Sompret! Jangan salahkan aku kalau aku nanti bertindak telengas!"
"Ha... ha... ha...! Apa yang dapat kau lakukan dengan tubuhmu yang gendut itu? Paling-paling, pantasnya kau menangkap bangkong. Ha.... ha.... ha...!" Kembali Arya bergelak tawa, mendengar ucapan juragan Damad.
"Sompret! Bersiaplah, anak muda? Jangan sampai kau lengah yang akan mengakibatkan kematianmu!" Habis berkata begitu, juragan Damad tampak melompat mundur. Kakinya ditekuk berlutut, dengan tangan menyilang di dadanya. Mulut juragan Damad tampak berkomat-kamit membaca sesuatu mantra, sementara matanya terpejam rapat. Tak berapa lama kemudian dari tubuh juragan Damad tampak mengepul asap hitam bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan, tampak perubahan di badan juragan Damad. Bersamaan dengan hilangnya tubuh juragan Damad, seketika asap tebal itu berubah membentuk sosok tubuh yang mengerikan.
"Ilmu Iblis! Hem, rupanya ia pengikut siluman babi, hingga ia dapat mengubah ujudnya menjadi manusia berkepala babi. Baik! Akan ku lawan dengan ini! Hiat...!" Bersamaan dengan melompatnya tubuh manusia berkepala babi hendak menyerangnya, seketika Arya Purbaya segera memapakinya menyerang.
"Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, kala kedua orang itu bertemu di udara mengadu tenaga. Keduanya terpental mundur ke belakang dengan keadaan yang tak sama. Malaikat putih tampak hanya mengegoskan tubuhnya mencari keseimbangan dan berdiri lagi dengan kuda-kuda lagi. Sementara di lain pihak, juragan Damad tampak terpelanting roboh dengan cap tangan di dadanya.
Nelayan muda yang sedari tadi ketakutan, tampak mengurai senyum demi melihat apa yang terjadi. Juragan Damad yang ditakutinya telah mati menemui ajal di tangan pemuda yang baru dikenalnya. Sementara itu, ketiga centang juragan Domad nampak makin ketakutan saja melihat juragannya telah binasa. Dengan meratap bagaikan anak kecil, ketiga centeng yang lumpuh itu meminta maaf.
"Tuan pendekar, ampunilah nyawa kami. Kami kapok, tak akan berani mengulangi melawan tuan."
"Ki Sanak. Lumpuh yang kau derita disebabkan oleh diri kalian sendiri. Maka lumpuh kalian akan sembuh bila kalian berbuat kebajikan. Dan meminta ampun pada diri kalian sendiri yang merasa telah dikhianati. Namun bila kalian kembali bermaksud jahat maka kalian akan menemukan kelumpuhan lagi."
Tersentak kaget ketiga centeng itu sebab baru mendengar ilmu yang aneh. Ilmu yang dapat berjalan sendiri walau tak dilancarkan oleh si pemilik.
"Nah! Kalau kalian telah berjanji pada hati kecil kalian akan berbuat kebajikan maka aku rasa kalian akan sembuh dengan sendirinya. Sebaliknya jika kalian hendak mengingkari, ilmu itu akan bereaksi dengan sendirinya. Selamat tinggal!"
Tanpa dapat dicegah oleh nelayan muda yang seketika ketakutan, Aryapun berkelebat pergi meninggalkan ketiga centeng juragan Damad.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Arya Purbaya tentang ilmu yang telah dilancarkan pada ketiga centeng juragan Damad. Terbukti, ketika dalam hati mereka berjanji akan selalu berbuat baik dan meminta tobat pada yang Kuasa. Maka saat itu pula, tubuh mereka yang tadinya lemas bagaikan tak bertulang sembuh seketika seperti sedia kala. Nelayan muda itu makin ketakutan dan hendak berlari ketika terdengar ketiga centeng juragan Damad yang telah terbebas itu berteriak memanggilnya.
"Ki Sanak, jangan kau takut. Kami tak akan mengganggumu, karena kami sekarang sadar dan insyaf. Maukah Ki Sanak menolong kami untuk meminta maaf pada teman-teman Ki Sanak?"
Nelayan muda yang tadinya hendak lari segera menghentikan langkahnya dan memandang pada ketiga centeng juragan Domad yang kini berjalan menghampirinya.
"Ki Sanak. Kami ingin mengundang semua nelayan di sini untuk membagi harta yang telah kami dapat dari kalian. Maka itu, kami meminta tolong padamu untuk memanggil seluruh warga pedukuan Sawo Jajar. Soma, kau temanilah Ki Sanak ini," berkata Wongso, menyuruh pada Soma untuk menemani nelayan muda.
"Baiklah, Kakang Wongso. Ayo, Ki Sanak?!" ajak Soma yang diangguki oleh nelayan muda itu. Keduanya pun segera menuju kampung warga untuk memberi tahukan hal itu.
Sore harinya, semua penduduk padukuan Sawo Jajar berbondong-bondong datang ke tempat juragan Damad untuk mendapatkan bagiannya masing-masing. Sebagai rasa kegembiraan penduduk Pedukuan Sawo Jajar kepada ketiga centeng juragan Damad, maka penduduk pun mengangkat mereka menjadi ketua pedukuan yang selama ini kosong.
********************
ENAM
"Mana kitab itu, Somad?" bertanya seorang lelaki yang wajahnya hampir mirip dengan Iblis Alas Waru kepada Somad yang nampaknya tunduk dan takut.
"Ada, Wanara Seta. Kitab itu ada pada kami namun kami juga meminta janjimu. Mana Pedang Siluman Darah yang katanya telah kau dapatkan?"
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Wanara Seta tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan masih tertawa, Wanara Seta berkata: "Sodra, kalau kau menginginkan pedang Siluman Darah dariku, aku minta kalian datanglah nanti pada malam Jum’at di kala bulan purnama kelima. Di sana, di tempatku, kalian akan mendapatkannya sekaligus mendapat tontonan yang menyenangkan. Nah, sekarang serahkan kitab itu padaku dan datanglah tepat di malam bulan purnama kelima."
Sodra mengeryitkan alis matanya, demi mendengar ucapan Wanara Seta yang kembali tertawa sembari melanjutkan berkata demi melihat Sodra sepertinya tak mempercayainya.
"Sepertinya kau tak percaya padaku, Sodra?"
"Bukan begitu. Tapi layaknya seorang pedagang, maka aku perlu mendapat gantinya, bukan?"
Sesaat Wanara Seta mengangguk-anggukan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata: "Baik-baik." Dirogohnya kantong bajunya dan diambilnya sebuah benda yang membikin mata Sodra terbelalak seraya memekik:
"Hai. Bukankah itu Mutiara Sakti? Bukankah mutiara itu telah lenyap?"
"Benar. Ini Mutiara Sakti yang telah menggemparkan dunia persilatan seperempat abad yang silam. Mutiara ini, aku dapatkan atas pemberian pendekar muda. Cukupkah ini untuk pengganti sementara Pedang Siluman Darah?" bertanya Wanara Seta, yang dijawab dengan kegembiraan Sodra.
"Cukup-cukup. Baiklah, sebentar aku ambilkan kitab itu. Sekalian aku memanggil kedua temanku." Setelah berkata begitu, Sodra pun segera berlalu meninggalkan Wanara Seta yang hanya tersenyum sembari berkata di hatinya:
"Bodoh, bodoh. Mana mungkin kau mendapatkan Mutiara Sakti? Jangankan aku, guruku pun kalau masih hidup mungkin tak dapat merebutnya. Bodoh! Dasar bodoh. Mutiara palsu, dianggapnya mutiara Sakti."
Selang beberapa lama kemudian tampak Sodra dan kedua temannya telah datang sambil membawa kitab Inti Jagad di tangannya. "Wanara Seta, ini Kitab yang kau maksud. Sekarang berikan Mutiara Sakti itu pada kami," berkata Lombang.
"Ini mutiaranya. Sekarang aku ingin melihat dulu benar atau tidak kitab itu. Bukalah!"
Dengan segera, Sodra yang mendapat anggukan dari kedua temannya segera membuka bungkusan kain putih. Tampak sebuah kitab yang memancarkan sinar kala bungkusan itu telah dibuka.
"Bagaimana, Wanara Seta? Apakah puas?"
"Ya! Ini Mutiara Sakti sebagai pengganti sementara Pedang Siluman Darah yang boleh kalian ambil saat bulan purnama kelima sambil menyaksikan pertunjukan yang menyenangkan."
Tanpa rasa curiga, ketiga orang itupun segera memberikan kitab Inti Jagad pada Wanara Seta yang memberikan jaminannya dengan batu Mutiara Sakti palsu. Setelah mendapatkan Kitab Inti Jagad, dengan tertawa riang Wanara Seta berkelebat pergi meninggalkan ketiganya yang juga tersenyum puas mendapatkan Mutiara Sakti.
********************
Tampak dari kejauhan oleh Malaikat Putih, empat orang tengah berjalan menuju ke arahnya. Empat orang itu, tiga lelaki dan satu wanita muda cantik. "Siapa mereka? Sepertinya searah dengan tujuanku?" bertanya Malaikat putih dalam hati, yang segera menghentikan langkah kakinya. Saat keempat orang itu telah agak dekat dengannya, tersentak Malaikat putih demi mengetahui seseorang di antara mereka yang tak lain dari pada Rupaksi, pamannya.
"Sampurasun...!" menyapa Malaikat putih.
"Rampes...!" menjawab keempatnya hampir bersamaan.
"Paman...? Paman Rupaksi?"
Tersentak Rupaksi dan ketiga temannya, Jaka, dan sepasang pendekar demi mendengar pemuda itu menyebut nama Rupaksi. Karena tak tahu siapa sebenarnya pemuda yang kini berdiri di hadapannya, maka bagaikan orang linglung Rupaksi pun bertanya pada pemuda itu: "Anak muda, kau mengenalku dan menyebutku paman. Siapakah dirimu sebenarnya?"
"Ah, benar. Mungkin paman telah lupa padaku. Namaku Arya Purbaya, aku..."
Belum habis ucapan Arya si Malaikat Putih. Seketika Rupaksi telah memotong ucapannya. Dengan menangis memeluk Arya si Malaikat Putih yang ternyata kemenakannya sendiri. "Kaukah ini kemenakan ku?"
"Ya, Paman! Aku memang kemenakan mu yang hilang sepuluh tahun yang silam kala terjadi keributan di desa Cipulir."
Bagaikan tak melihat ada orang lain di tempat itu. Kedua paman dan kemenakan itu saling tangis berangkulan. Hingga membuat ketiga orang yang lain ikut terharu melihatnya.
"Kau telah besar, Anakku. Tak kusangka, kalau aku masih dapat dipertemukan denganmu."
"Sudahlah, Paman, tak perlu kita bertangis ratap yang akan melemahkan semangat kita. Bukankah kita sekarang tengah mencari orang yang telah membunuh dan mengejar-ngejar paman? Oh ya, Paman. Apakah kitab Inti Jagad masih aman di tangan paman?"
Mendengar pertanyaan kemenakannya, seketika Rupaksi kembali menangis. Membuat Malaikat Putih mengernyitkan keningnya tak mengerti apa yang tengah terjadi.
"Ki Sanak Arya, kami saat ini pula tengah mencari kitab yang telah dicuri orang. Kitab itu tadinya diambil oleh Tiga Setan Api yang telah mati oleh orang lain yang kini tengah kami hendak datangi," berkata Jaka mewakili Rupaksi yang masih menangis karena menyesal atas ketidak mampuannya menjaga keberadaan kitab itu.
Mendengar ucapan Jaka Ndableg, seketika Malaikat Putih Arya Purbaya tersentak dan memandang ke arah Jaka sembari bertanya. "Siapakah kini yang mengambil kitab itu, Ki Sanak?"
"Aku juga tak mengenalnya, maafkan aku. Tanyakanlah pada paman Ki Sanak, yang mengenal siapa mereka sebenarnya."
"Anakku Arya, orang-orang yang kini menguasai kitab milik ayahmu tak lain daripada orang yang telah memperdayai ibumu. Kau mengenalnya, bukan?"
Malaikat Putih Arya Purbaya tercenung sesaat, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu. Lalu iapun berkata: "Mengenai namanya, aku tak tahu. Namun wajah-wajah mereka, aku masih ingat betul."
"Itulah orang-orangnya, yang kini menguasai kitab Inti Jagad. Kami sendiri, hendak menuju ke sana untuk sedapatnya meminta kitab itu. Dan di sini, kita bertemu. Oh ya anakku, perkenalkan ketiga orang gagah ini adalah teman paman. Yang sepasang pemuda-pemudi bernama Sendana dan Rekasih. Keduanya adalah pendekar dari wetan, bergelar Sepasang Pendekar. Sementara yang seorang lagi bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman dari kawah Candra Bilawa..."
Tanpa diperintah, ketiga pendekar itu menjura hormat. Malaikat putih tersentak sembari menggumam demi mengetahui salah seorang dari mereka adalah orang yang sering diceritakan gurunya. Maka dengan balik menjura, Malaikat putih yang tersentak kaget tak nyana bakal bersua dengan orang nomor wahid di dunia persilatan dan berkata:
"Ah... sungguh saya yang rendah ini tak tahu diri telah bertingkah tak hormat pada tuan Pendekar Pedang Siluman. Maka dengan rendah hati, aku mohon maaf."
"Ah, kenapa Ki Sanak Arya begitu meninggikan ku? Padahal aku tak lebihnya dari diri Ki Sanak. Kalau Ki Sanak menganggap aku ini pendekar, sungguh suatu yang terlalu tinggi."
Mendengar penuturan Jaka Ndableg, seketika Malaikat Putih bergumam di hati: "Sungguh-sungguh seorang pendekar sejati, rendah hati dan baik tutur katanya."
"Tuan Pendekar terlalu merendah. Karena menurut cerita guru, tuan Pendekar merupakan salah satu pendekar wahid."
"Oh...sungguh mengada-ada. Mana mungkin pendekar kelas wahid seperti tampangku? Oh ya, kalau boleh aku tahu. Siapakah guru Ki Sanak?" tanya Jaka Ndableg.
"Guru saya yang bodoh ini, bernama Malaikat Suci."
Tersentak kaget keempat orang termasuk Rupaksi yang tak mengira kemenakannya adalah murid tunggal Malaikat Suci yang kesohor dan belum mempunyai murid seorangpun.
"Jadi sesuai silsilah, berarti Ki Sanakpun mendapat gelar Malaikat. Bukankah begitu, Ki Sanak?" tanya Jaka mengejutkan Malaikat putih.
"Ah... Tuan pendekar di samping berilmu tinggi, juga memiliki wawasan yang panjang. Maka dengan tanpa mampu mengelak, aku yang rendah ini membenarkan ucapan Tuan Pendekar. Memang guru memberi gelar padaku Malaikat Putih."
"Beruntung kau, Anakku. Karena tokoh sakti itu telah berkenan mengangkatmu sebagai murid. Padahal tak jarang ia menolak orang untuk menjadi muridnya." Rupaksi yang sedari tadi hanya mendengarkan kemenakannya bertutur kata dengan Pendekar Pedang Siluman kini nimbrung bicara.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh pamanmu, Ki Sanak. Kau beruntung diangkat murid olehnya, yang tak mau menerima murid kalau tidak berkenan di hatinya," menambahkan Sendana.
"Ah! Sudahlah, jangan karena membicarakan seseorang lalu kita lalai dengan tujuan kita. Bagaimana? Apakah kita akan di sini saja bercakap-cakap? Aku khawatir orang yang kita cari telah meninggalkan tempatnya," kata Rekasih menjadikan keempat lelaki itu tersadar.
"Benar, apa yang dikatakan saudari Rekasih. Kalau kita terus-terusan di sini bisa-bisa orang-orang itu telah pergi meninggalkan tempatnya. Ayo kita teruskan sambil berjalan ngobrolkan bisa?"
Ketiga lelaki lainnya tersenyum-senyum demi mendengar ucapan Jaka yang bernada lucu. Tanpa banyak kata lagi, kelima orang itupun kembali meneruskan perjalanan yang telah tertunda menuju ke tempat yang dituju.
********************
"Setan alas! Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wanara Seta keparat! Mutiara ini bukan yang aslinya tapi palsu!"
Tersentak Sodra dan Wungkal gunung, demi mendengar caci maki temannya. Seketika, keduanya yang berada di depan rumah segera berlari ke belakang.
"Ada apa, Lombang? Sepertinya kau marah-marah," bertanya Sodra setelah mendapatkan Lombang yang tengah membanting sesuatu.
"Hai! Kenapa kau banting Mutiara Sakti itu, Lombang?" Wungkal Gunung pun tak kalah kagetnya melihat Lombang membanting Mutiara Sakti.
"Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wanara Seta! Lihat! Kalau memang mutiara itu, Mutiara Biru. Maka akan mengeluarkan hawa panas bila digosok dengan senjata pusaka."
Mendengar ucapan Lombang, seketika keduanya tersentak dan menggumam umpatan. "Benar! Ternyata Wanara Seta memang telah membohongi kita, dengan mutiara buatannya. Babi buntung! Lalu apa yang harus kita lakukan? Sedang untuk menghadapinya belum tentu kita akan mampu," Sondra sepertinya putus asa mengingat ilmu Wanara Seta jauh lebih tinggi dibanding ilmu mereka bertiga.
Ketika ketiga orang itu tengah dilanda kebingungan untuk mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar suara orang memberi salam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab ketiganya hampir berbarengan, dan dengan segera menuju ke muka rumah. Mata mereka seketika tersentak kaget, demi melihat Rupaksi dan teman-temannya yang datang.
"Selamat berjumpa lagi sahabat-sahabat. Lama kita tak berjumpa. Bagaimana keadaan kalian?" menyapa Rupaksi pada ketiganya yang seketika tersenyum menyengir sepertinya menganggap enteng orang-orang yang bersama Rupaksi. Maka dengan congkaknya Lombang berkata:
"Rupaksi, apakah kau datang ke mari untuk menuntut balas kematian kakakmu, Kerto Pati? Kalau memang hal itu, kau datang jauh-jauh ke mari percuma! Sebab kau hanya akan mengantar nyawa saja. Apa kau mengandalkan teman-temanmu yang masih bau kencur?"
"Tidak itu saja, Lombang. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu aku akan meminta kitab Inti Jagad yang kau rampas dari Tiga Setan Api."
Mendengar ucapan Rupaksi, seketika ketiganya tertawa bergelak-gelak. Sedang di pihak lain, keempat orang muda yang berdiri di belakang Rupaksi hanya terdiam tenang.
"Rupaksi, jangankan dirimu, kakakmu saja mampu aku kalahkan. Ha... ha... ha...!" berkata Wungkal Gunung.
"Benar! Percuma kau datang ke sini kalau hanya untuk mengantar nyawa tuamu. Memang aku telah bersepakat dengan kedua saudaraku untuk melenyapkan segala keturunan dan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan Kerto Pati. Namun beruntung anak Kerto Pati dapat lolos, tertolong oleh seorang lelaki tua yang membawanya pergi. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak. Hendak kau apakan?" tanya seorang pemuda yang berpakaian putih-putih dengan sabuk merah menyala, yang tak lain Arya Purbaya si Malaikat Putih.
Terbelalak Mata Sodra, demi mengetahui seorang pemuda telah berani memutus omongannya. Maka dengan geram, Sodra kembali berkata: "Kalau tidak ditolong oleh lelaki tua itu sudah ku bikin bergedel tubuhnya!"
Bergelak tawa pemuda berpakaian putih-putih setelah mendengar ucapan Sodra yang kembali tersentak melihat pemuda itu bergelak tawa. "Mampukah kau membuat bergedel dari anak Kerto Pati?" tanya Malaikat Putih yang membuat Sodra bertambah marah dan dengan membentak kembali berkata:
"Iblis! Siapa kau, anak muda, hingga berani kau guyon denganku. Atau kau yang akan menjadi pengganti bocah itu. Hah!"
Untuk kedua kalinya Arya Purbaya tertawa bergelak-gelak demi mendengar omongan Sodra. Lalu dengan tenangnya ia berkata: "Kalau kau ingin tahu... Akulah anak Kerto Pati yang dulu ditolong lelaki tua kala kau dan rekanmu yang berkepala botak membunuh paman, bibi dan ibuku. Nah, lakukanlah bila kau pun mampu membuatku jadi bergedel."
Tersentak bukan alang kepalang ketiganya, demi mengetahui siapa adanya pemuda yang kini berdiri di belakang Rupaksi. Hati mereka seketika ciut. Tidak mungkin tidak, kalau pemuda anak Kerto Pati itulah yang diandalkan Rupaksi hingga berani mendatanginya. Mereka menyangka bahwa pemuda itulah yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu bahwa di antara kelima orang yang di hadapannya terdapat seorang pendekar yang kalau mereka tahu mungkin langsung ngibrit pergi.
"Rupaksi, ternyata kau mengandalkan kemenakan mu hingga kau berani menyantroni kami. Lalu untuk apa kau bawa-bawa tikus-tikus itu? Apakah untuk menakut-nakuti kami? Ha... ha... ha...! Jangan kira kami takut dengan kemenakan mu."
"Jangan takabur, Lombang! Kau jangan merendahkan mereka, yang mungkin menurutmu hanya tikus-tikus comberan belaka. Kalau kau mengetahui siapa mereka adanya, mungkin kau akan menyumbat mulutmu sendiri yang telah lancang berbicara."
Lombang dan ketiga saudara seperguruannya tertawa bergelak-gelak, demi mendengar ucapan Rupaksi yang dianggapnya hendak menakut-nakuti mereka. Maka dengan masih congkak dan sombong, Lombang kembali berkata setelah mengerling pada kedua adik seperguruannya yang juga tersenyum sinis.
"Rupanya kau hendak menakut-nakuti kami dengan tikus-tikus comberan mu, Rupaksi. Baik! Aku ingin tahu nama-nama tikus busukmu itu yang sangat kau bangga-banggakan."
Mendengus Rupaksi, demi mendengar ucapan Lombang yang menganggap enteng pada ketiga orang muda di sampingnya. Maka dengan terlebih dahulu meludah, Rupaksi yang telah marah berkata memberi tahu siapa adanya orang-orang di sampingnya. "Dengar oleh kalian semua dan aku minta kalian jangan menyesal dengan ucapan kalian bila telah tahu siapa adanya ketiga orang muda ini. Yang muda-mudi ini adalah Sepasang Pendekar."
Tak terkejut ketiganya demi mendengar julukan sepasang muda-mudi itu, bahkan ketiganya makin menyibirkan mulut mengejek.
"Dan yang ini adalah Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah dari kawah Chandra Bilawa."
Bagaikan disengat halilintar di siang bolong, mata ketiganya seketika terbelalak kaget mendengar nama pemuda bertampang bloon yang ternyata seorang pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Maka dengan tak mempunyai rasa malu, ketiga orang itu segera berkelebat hendak melarikan diri. Dengan segera Arya Purbaya si Malaikat Putih, Sendana, dan Rekasih memburu mengejar mereka. Ketiganya tanpa mengalami kesulitan dapat dengan segera memburu ketiga orang itu.
"Berhenti!" membentak Arya Purbaya yang telah berhasil menghadang ketiganya.
Tersentak ketiga orang itu, demi melihat pemuda anak Kerto Pati telah berdiri di hadapannya. "Minggir! Atau kami akan melawanmu!"
Dibentak seperti itu oleh Lombang bukannya si pemuda menepi. Bahkan dengan senyum sinis, si pemuda makin mendekati ketiga musuhnya. Sementara itu. Sepasang pendekar yang tengah mengejar pun telah sampai juga. Merasa tak ada artinya lagi untuk berturut kata, dengan nekad ketiganya segera menerobos sembari menyerang.
"Rupanya kalian ingin mati! Terimalah ini!" Bersamaan dengan habisnya suara ketiganya, seketika ketiganya tampak menyatukan tangan mereka. Seketika itu pula dari tangan mereka mengepul asap dan larikan sinar biru mengarah kepada ketiga pemuda-pemudi di hadapannya yang segera berjumpalitan menghindar.
"Ilmu Iblis!" memaki ketiga anak muda itu yang langsung membalas menyerang dengan cepatnya.
Perkelahian pun tak dapat dihindarkan, tiga melawan tiga. Jurus demi jurus terlalui. Ketika tampak kedua pendekar muda itu terdesak, dengan segera Malaikat Putih berseru yang segera dituruti oleh Sepasang Pendekar.
"Ki Sanak dan Ni Sanak Sepasang Pendekar, menyingkirlah agak jauh biar aku hadapi ketiganya. Maaf, bukannya aku bermaksud merendahkan kalian. Tapi ilmu yang mereka pakai bukanlah ilmu sembarangan, yang banyak dimiliki orang. Ilmu mereka sangat sukar bila harus dilawan dengan banyak orang yang beda ilmunya. Maka itu ijinkanlah aku menghadapinya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, keduanya segera menyingkir ke belakang membiarkan Malaikat Putih menghadapi sendirian. "Karena kalian menggunakan ilmu Iblis, maka aku pun ingin mengajak main-main dengan kalian. Bersiaplah!"
"Jangan banyak omong, Anak Muda! Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang akan lebih dulu ke akherat. Hiat...!" Dengan terlebih dahulu membentak, ketiga orang yang menyatu itu segera kembali melancarkan serangannya.
Malaikat Putih yang sudah tahu ilmu mereka begitu keji dan dahsyat, dengan segera melenting ke angkasa menghindar dari serangan mereka. Ketika telah mencapai titik kulminasi, Malaikat Putih segera menukik mengarah ke kepala ketiga orang yang menyerangnya.
"Hiat...!"
"Oh...!" Terdengar keluhan dari ketiga orang itu, yang seketika terkulai lemas bagaikan tak bertulang.
Terbelalak mata Sepasang Pendekar, demi melihat hal yang terjadi pada ketiga orang itu. Ketiga orang itu kini bagaikan anak kecil, merintih meminta pertolongan. Tak ubahnya dengan Sepasang Pendekar. Jaka dan Rupaksi pun terperanjat melihat ilmu yang dipergunakan oleh si Malaikat Putih, yang tampak berjalan menghampiri ketiga orang di hadapannya yang terkulai tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Katakan padaku, di mana kau simpan kitab Inti Jagad? Dan katakan pula, siapa yang telah menjamah kalian memperdayai ayahku?"
"Ampunilah kami. Kami akan mengatakannya padamu, bila kau mau mengampuni dan mengembalikan tenaga kami."
"Katakan dulu padaku. Di mana kalian simpan kitab itu, dan siapa yang telah menyuruh kalian mencelakai seluruh keluargaku! Kalau kalian telah mengatakannya, maka kalian akan aku beri tahu cara membebaskannya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, di samping itu juga karena Pendekar Pedang Siluman telah berdiri di situ maka dengan rasa takut ketiganya segera menceritakan siapa sebenarnya yang menjadi dalangnya. "Baiklah, aku percaya pada kalian. Nah, dengarlah bahwa yang mampu menyembuhkan kelumpuhan kalian adalah diri kalian sendiri. Bila kalian insyaf, maka kalian akan sembuh. Namun bila kalian hendak mengulangi berbuat jahat, maka kalian akan mengalami kelumpuhan lagi sebelum kalian mampu berbuat kejahatan."
Tersentak semuanya mendengar ucapan Malaikat Putih yang sepertinya bercanda. Belum juga hilang rasa kaget, mereka semua mendengar ucapan Arya si Malaikat Putih, seketika mereka dibuat makin terbelalak karena melihat sesuatu hal yang aneh. Ketiga orang yang mengalami kelumpuhan itu berjanji, dan bersumpah tak akan melakukan hal yang jahat. Tiba-tiba, tubuh mereka kembali pulih seperti sedia kala.
Namun dasar mereka itu orang-orang yang tak mau diuntung, sudah diberi pengertian begitu mereka masih tak percaya. Akibatnya, ketika mereka hendak menyerang, seketika mereka mengalami kelumpuhan lagi. Melihat hal itu, Malaikat Putih tampak gusar dan mendengus marah.
"Rupanya hati kalian telah menjadi batu yang dihuni iblis hingga kalian tak mempercayai segala omongan orang. Maka dari pada kalian menderita seumur hidup, lebih baik kalian mati saja. Hiat...!" Tanpa dapat dicegah, Malaikat Putih berkelebat mengibaskan tangan bagai mengusir lalat. Seketika terdengar jeritan melengking dari ketiga orang itu yang langsung meregang nyawa.
"Kita harus segera menuju ke Hutan Rengganis, di mana Wanara Seta berdiam. Hai! Bukankah nanti malam bulan purnama kelima?" bertanya Malaikat Putih, sepertinya berbicara pada diri sendiri.
"Benar, Ki Sanak Malaikat Putih. Ada apakah gerangan?" bertanya Jaka ingin tahu yang dengan segera diceritakan oleh Malaikat Putih tentang pesan dari gurunya.
"Guruku berpesan agar aku pada malam purnama kelima harus memenuhi tantangan musuh guru yang bernama Wanara Seta. Tak dinyana, kalau orang itu juga adalah tokoh utama dari segala yang menimpa keluargaku. Ayo, Paman dan Ki Sanak sekalian, hendakkah kalian ikut denganku?"
Tanpa ada yang menolak, kelima orang itupun segera berkelebat pergi menuju ke Hutan Rengganis di sebelah selatan desa Cipulir.
********************
Malam bulan purnama telah tiba, seketika tampak sebuah bayangan berkelebat dari Hutan Rengganis menuju ke bukit Kematian yang letaknya seperempat mil dari hutan. Bayangan itu kemudian berhenti dan berdiri sembari memandang ke sekitar bukit. Wajah orang itu tampak kecut, sepertinya ia tengah menunggu kemunculan seseorang.
"He.., ini bulan purnama kelima. kenapa tua bangka itu tak muncul-muncul?" bergumam hati orang yang berdiri di atas bukit setelah memandang sekelilingnya.
Tiba-tiba matanya melihat serombongan orang yang terdiri dari enam orang dari arah Timur sementara dari arah Utara muncul pula serombongan orang yang terdiri dari lima orang. Rombongan orang itu yang tak lain dari rombongan Iblis Alas Waru, dan rombongan dari Rupaksi. Kedua rombongan itu bertemu di kaki bukit, saling memberi salam.
"Ah. Rupanya kita masih jodoh, Pendekar Pedang Siluman Darah hingga yang Maha Kuasa kembali mempertemukan kita," berkata Iblis Alas Waru, setelah kesemuanya saling berkenalan dan bertegur sapa.
"Syukur, Iblis Alas Waru, kita dapat bertemu lagi. Oh ya, gerangan apakah hingga kalian tahu dan datang ke sini?"
"Jaka, aku senang bertemu denganmu kembali. Lama kita berpisah, eh, tak tahunya kita bertemu di sini. Ketika kami tengah mencari orang yang mengaku bernama Iblis Alas Waru, kami mendapat keterangan bahwa kami akan mendapatkannya di bukit Kematian pada bulan purnama kelima. Maka itu, kami segera menuju ke mari."
Tengah mereka bercakap-cakap, terdengar orang yang berdiri di atas bukit berseru: "Hei!. Kalian yang ada di situ, ada keperluan apa kalian ke mari?!"
"Iblis, mengejutkan saja. Hai orang di atas bukit! Siapakah engkau adanya?!" membalas Jaka Ndableg berseru.
"Akulah Wanara Seta atau Siluman Kera. Adakah di situ si Malaikat Suci! Kalau ada, cepatlah naik! Jangan sembunyi seperti tikus!"
"Bedebah! Kalau begitu, inilah orangnya!" menggerutu Siti Gendari, yang seketika itu berkelebat lari menuju ke atas bukit tanpa dapat dicegah. "Iblis! Jangan kau enak-enakan lari dari tanggung jawab yang telah kau lakukan!"
Tersentak Wanara Seta, demi mendengar seorang gadis memaki-maki dirinya. Maka dengan masih tak mengerti, Wanara Seta pun berkata: "Nona! Gerangan apa hingga kau menuduhku begitu? Apakah kita pernah berbuat sedang bertemu pun baru sekarang ini."
"Cih! Najis! Masih ingatkah kau pada sebuah keluarga yang kau bantai sepuluh tahun yang silam?"
"Hai, rupanya kau anak yang lolos dari maut. Mau apakah kau ke mari? apakah kau mau menjadi istriku?"
"Bedebah! Aku akan menuntut balas. Bersiaplah. Hiat...!"
Dengan segera, Siti Gendari yang di hatinya membara dendam berkelebat menyerang Wanara Seta yang tertawa-tawa sembari menghindari serangan yang dilancarkannya. Walau Siti Gendari didikan tokoh sakti, namun menghadapi Wanara Seta sepertinya tak ada artinya. Bahkan dengan seketika, ketika telah berkelahi beberapa jurus, Wanara Seta dengan mudah menemukan titik luang pada tubuh Siti Gendari, hingga ketika Siti Gendari kembali menyerangnya dengan cepat Wanara Seta berkelit ke belakang tubuhnya dan menghantam telak punggung Siti Gendari.
Pukulan Wanara Seta yang berisikan tenaga dalam, menjadikan Siti Gendari langsung mental ke belakang. Beruntung! Dengan secepat kilat Jaka berkelebat dan menangkap tubuh Siti Gendari, kalau tidak! Tak ayal lagi, cadas-cadas tajam akan merencah tubuhnya. Melihat hal itu, Maka serempak Iblis Alas Waru dan anak buahnya berkelebat menyerang Wanara Seta menggantikan Siti Gendari. Dikeroyok oleh lima orang, bukannya keder. Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta meladeni serangan mereka. Setiap tangannya berkelebat, maka satu nyawa melayang.
Sementara di atas bukit tengah terjadi pertempuran, satu melawan lima. Di bawah bukit, Jaka tampak masih menunggui Siti Gendari yang masih menderita luka parah.
"Jaka... aku... aku bahagia. Walaupun aku harus mati, namun aku bahagia dapat bertemu denganmu. Aku cinta padamu." Bersamaan dengan habisnya ucapan, Siti Gendari seketika melemas dan tergolek di pangkuan Jaka Ndableg.
Seketika semua orang yang hadir menundukan muka, seperti turut berduka cita atas kematian Siti Gendari. Sementara di atas sana, pekik kematian terus menggema.
"Tak dapat dibiarkan!" menggeretak Rekasih penuh amarah, demi menyaksikan korban telah banyak berjatuhan.
Di atas bukit, kini tinggal Iblis Alas Waru yang tengah menghadapi Wanara Seta. Tampaknya Iblis Alas Waru terdesak mundur, hingga tubuhnya terus mundur dan mundur sampai mendekati jurang. Melihat Iblis Alas Waru dalam bahaya, dengan segera Sepasang Pendekar dan Rupaksi berkelebat menyerang Wanara Seta bersama.
Tersentak Wanara Seta diserang seketika oleh ketiga orang yang ilmunya dibilang tinggi. Dengan segera Wanara Seta meninggalkan Iblis Alas Waru, berbalik menghadapi ketiga orang menyerangnya. Pertarungan pun berlangsung seru, karena mereka memiliki ilmu yang sama-sama tinggi. Jurus demi jurus telah berlalu begitu cepatnya, hingga tanpa terasa telah enam puluh jurus mereka lalui.
Kala meningkat ke jurus tujuh puluh. Tiba-tiba Sepasang Pendekar mempercepat serangannya dengan pedang yang ada di tangan mereka, yang bergerak cepat laksana baling-baling. Silih berganti Sepasang Pendekar menyerang dan menangkis, hingga membuat bingung Wanara Seta. Seketika itu. Pedang di tangan Rekasih berkelebat cepat, dan menghujam telak di tubuh Wanara Seta. Tersentak kaget Rekasih sembari melompat mundur, kala dilihatnya Wanara Seta mematahkan pedangnya yang telah menancap di dadanya.
Dengan menggeram, dicabutnya ujung pedang yang tersisa, hingga darah tampak keluar. Makin tersentak kaget ketiga orang penyerangnya, saat dengan ludahnya Wanara Seta mengobati luka di dada yang langsung sembuh seperti sedia kala. Belum hilang rasa kaget ketiganya, tiba-tiba Wanara Seta mendengus dan seketika tubuhnya berubah menjadi seekor gorila besar yang langsung menyerang. Bukan hanya ketiga orang di atas yang tersentak melihat perubahan diri Wanara Seta. Di bawah pun, Jaka dan Malaikat Putih terperanjat dan menggumam hampir bersamaan.
"Ilmu siluman! Tak mungkin mereka dapat mengalahkannya. Aku akan berusaha menolong mereka," berkata Malaikat Putih sembari berkelebat diikuti Jaka di belakangnya.
"Paman Rupaksi, dan saudara Sepasang Pendekar, mundurlah. Dia bukan musuh kalian, biar aku yang menghadapinya." Malaikat Putih segera berkelebat menggantikan kedudukan tiga orang menghadapi Wanara Seta.
"Wanara Seta. Aku tak dapat datang sendiri, untuk itulah aku mengutus muridku si Malaikat Putih memenuhi tantanganmu. Bukannya aku tak berani menghadapimu, namun aku telah mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku rasa muridku pun sama denganku, bukan begitu, Wanara Seta? Tuan Pendekar Pedang Siluman Darah, aku memohon tolong padamu, jaga muridku. Ia masih muda dan baru menginjakkan kaki di dunia persilatan jadi perlu bimbingan. Untuk itu, aku percayakan padamu, Tuan Pendekar." terdengar suara Malaikat Suci berkata.
Mungkin kalau Malaikat Suci tak menyebutkan nama Pendekar Pedang Siluman, Wanara Seta tak akan terkejut dan membelalakan mata. Namun demi mendengar bahwa di situ ada seorang pendekar yang namanya tengah menjadi buah bibir orang-orang persilatan, seketika Wanara Seta menjadi ciut hatinya. Hingga ia tak begitu konsentrasi menghadapi Malaikat Putih.
Melihat Wanara Seta lengah, dengan segera Malaikat Putih berkelebat menghantamkan pukulannya. Pukulan yang didasari dengan tenaga dalam itu, menghantam telak pada tubuh Wanara Seta. Namun seketika Malaikat Putih tersentak, demi melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Pukulan Inti Sakti yang dilancarkannya, tak berarti apa-apa bagi Wanara Seta yang seketika mendengus marah dan menyerangnya. Karena terkejut, menjadikan Malaikat Putih tak dapat mengelakkan serangan Wanara Seta. Dicobanya berkelit, namun tak urung pundaknya terkena sambaran tangan Wanara Seta.
Melihat Malaikat Putih terdesak. Dengan segera Jaka yang sedari tadi hanya menonton berkelebat membantunya. Tersentak mundur Wanara Seta, melihat orang yang ternyata Pendekar Pedang Siluman menyerangnya. Dalam hati Wanara Seta membatin.
"Mungkinkah aku harus mati saat ini, sesuai dengan ucapan Ki Badrawi ketika hendak meninggal dunia?"
Seketika itu, terbayang oleh Wanara Seta ucapan yang dilontarkan Ki Badrawi sebelum ajal. "Kau... kau, manusia berhati binatang. Kau tak tahu balas budi. Kenapa kau hendak membunuhku? Ingat! Aku akan membalas semua ini padamu, kelak lewat seorang pendekar muda yang memiliki senjata pedang yang bernama Pedang Siluman Darah. Tubuhmu, kelak akan mati oleh senjata itu."
"Tidak! Aku tak akan mati. Jangankan pendekar Pedang Siluman Darah, seribu orang persilatan pun tak akan membunuhku!" memekik Wanara Seta, mencoba menghilangkan bayangan Ki Badrawi yang sepertinya ada di tubuh Jaka.
Jaka dan Malaikat Putih tersentak, demi mendengar jeritan Wanara Seta yang seperti ketakutan menyebut namanya. "Sepertinya, ia dibayangi oleh seseorang yang pernah dibunuhnya," berbisik Jaka pada Malaikat Putih.
"Benar! Tadi ia menyebut nama tuan. Mari kita serang."
Dengan cepat. Pendekar-pendekar muda itu berkelebat, menyerang dengan kesaktian yang ada pada diri masing-masing. Terbelalak mata kedua pendekar muda itu, demi melihat kenyataan yang terjadi. Ajian Lebur Raga yang dilancarkan oleh Jaka sepertinya tak ada artinya, juga Ajian Petir Dewa yang dilancarkan Malaikat Putih juga tak berarti. Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta berkata mengejek
"Keluarkan semua ajian yang kalian miliki. Aku Wanara Seta, tak akan mundur."
"Sombong!" memaki Malaikat Putih gusar.
"Jangan kita terpancing olehnya, Malaikat Putih. Ayo, kita serang berbarengan. Kalimu Sada! Hiat...!"
"Serat Brahma!! Hiat...!"
"Jleger!" terdengar ledakan dahsyat, ketika dua ajian pamungkas menggempur berbarengan tubuh Wanara Seta. Namun untuk kesekian kali, kedua pendekar muda itu tersentak demi melihat ajian pamungkasnya tak mempan. Bahkan! Keduanya hampir saja terkena hantaman Wanara Seta yang melancarkan Ajian Serbuk Kematian, bila saja keduanya tak segera mengelak.
"Siluman! Mati kita di sini." berkata Malaikat Putih lesu, sepertinya telah habis akalnya. Semua ajian telah dikerahkan, namun sepertinya mahluk gorila itu tak mempan.
Seperti halnya Malaikat Putih, Jaka Ndableg hampir putus asa. "Gusti Allah. Apakah aku di sini matinya?... Ah! Aku tak boleh putus asa dulu. Aku tak boleh menyerah pada nasib. Akan aku coba dengan Pedang Siluman Darah. "DENING RATU SILUMAN DARAH, DATANGLAH!"
Seketika di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah membasahi batangnya. Terbelalak mata Wanara Seta demi melihat senjata yang telah menggemparkan dunia persilatan berada di tangan Jaka Ndableg. Tak kalah kagetnya yang lain. Seketika semuanya memekik berseru:
"Pedang Siluman Darah...!" Bayangan Ki Badrawi kembali muncul. Menggantikan tubuh Jaka yang dengan senyum sinis berkata: "Jangan kau ketakutan, Wanara. Aku telah datang..."
"Tidak.,.!" memekik Wanara Seta.
Bersamaan dengan itu, Jaka Ndableg telah membabatkan Pedang Siluman Darah ke arahnya. "Inilah bagianmu. Hiaatt...!"
Seketika Wanara Seta memekik, lalu ambruk dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darah seketika mencurat, keluar dari tubuh Wanara Seta. Sementara darah yang menempel di batang pedang, seketika lenyap terhisap oleh Pedang Siluman Darah. Dengan matinya Wanara Seta, berakhir pula kejahatan di desa Cipulir. Segera keempat orang yang sedari tadi terkesima, bergegas menggeledah tubuh Wanara Seta yang ambruk dengan tubuh terbelah menjadi dua.
"Ini kitab itu!" berseru Rupaksi girang.
"Sungguh kitab yang maha sakti," bergumam Jaka demi melihat kitab tersebut.
"Ini, terimalah."
"Untukku...? Hai, bukankah kitab ini milik ayah Malaikat Putih?"
"Tidak, Ki Sanak Jaka. Kitab ini merupakan kitab milik Ki Eka Bilawa, ayahmu, terimalah."
Akhirnya dengan masih bimbang, Jaka segera menerima Kitab Inti Jagat yang telah menggegerkan Dunia persilatan. Dipandangi kitab tersebut, yang memancarkan sinar kuning menyala. Pedang Siluman Darah di tangan Jaka, tiba-tiba menghilang sendiri. Hal itu makin membeliakkan mata keempat temannya yang kaget bercampur heran. Tengah semuanya terheran-heran, tiba-tiba Jaka telah berkelebat sembari memanggul tubuh Siti Gendari pergi.
"Maaf, aku pergi dulu. Selamat berjuang para pendekar!"
Tersentak kelimanya yang dengan segera memandang pada asal suara itu. Tampak Jaka dengan menggendong tubuh Siti Gendari, telah jauh meninggalkan mereka yang hanya geleng kepala.
"Sungguh, sungguh aneh pendekar muda itu."
"Benar, apa yang Ki Sanak Malaikat Putih ucapkan. Di samping dia mempunyai ilmu yang tinggi, tabiatnya pun aneh. Dia suka Ndableg hingga tokoh-tokoh persilatan memberi nama JAKA NDABLEG," menyambung Iblis Alas Waru yang wajahnya tampak lesu.
"Ooh, hari telah pagi. Kami permisi dulu," berkata Sendana.
"Kenapa mesti cepat-cepat, saudara Sepasang Pendekar?" bertanya Malaikat Putih.
"Sebenarnya kami ingin lama. Tapi... Guru menyuruh kami untuk segera kembali bila kami telah menyampaikan maksud guru pada pendekar Pedang Siluman Darah atau Jaka Ndableg. Nah, kami mohon diri," meminta Rekasih.
Kedua Pendekar Muda itupun segera berkelebat pergi. Pagi telah tiba, manakala ketiga orang yang masih di tempat itupun turut berlalu pergi. Sunyi kembali Bukit Kematian, sepertinya turut terhanyut dengan kejadian yang semalam terjadi....
S E L E S A I