Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Hidung Belang Penghisap Darah
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Hidung Belang Penghisap Darah
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
DI PANCORAN SEWU, saat itu tampak seorang nenek tua tengah mengajari ilmu-ilmu silat pada seorang pemuda yang tak lain Kandana adanya. Ya! Kandana yang dulu jatuh ke dalam jurang saat dikejar-kejar oleh warga Ketemenggungan karena telah memperkosa seorang gadis, tengah digembleng oleh nenek sakti yang bergelar Iblis Pancoran Sewu.
Tubuh Kandana dan nenek Iblis itu tampak berkelebat-kelebat dengan cepatnya burung sri gunting yang menyambar-nyambar. Mereka tengah melakukan latihan ilmu, yang diciptakan sendiri oleh si nenek. Jurus itu bernama Jurus Walet Siluman. Selesai berkelebat dengan cepat. Makin lama iramanya semakin cepat, hingga sukar untuk dihadiri dengan pandangan mata biasa.
"Kandana! Serang aku!" kata sang nenek memerintahkan.
Kandana tampak segera berkelebat, diangkat mengembang laksana sayap burung walet. Sesaat kemudian tangan yang mengembang itu terangkat. Dan! "Tapi... Tapi...!" Tangan Kandana dengan cepat menyambar. Si nenek tampak segera mengegoskan dibuka dan berbalik menyerang Kandana.
"Masih kaku! Masih kurang, Kandana," omel si nenek demi melihat Kandana bergerak lambat. Sampai kompilasi menyerang, Kandana tak mengelakkannya, jatuh ke tanah dengan mengeluarkan bunyi gedebug. Mata si nenek melotot marah. Dengan penuh kecewa sang nenek membentaknya.
"Dungu! Sudah aku bilang kurang cepat, ayo bangun!"
Kandana tanpa dapat dipindahkan, dengan meringis memegang rasa sakit segera bangun dari duduknya. Wajah Kandana tampak kelabu, tampak tajamot pada si nenek yang tersenyum mengikik melihat hal itu.
"Bagus! Sebagai seorang lelaki, apalagi akan menjadi seorang pendekar pilih tanding pantang baginya untuk menyerah begitu saja pada apa yang ada. Ayo kita mulai lagi!"
Setelah habis berkata begitu, si nenek dengan segera menyerang Kandana. Melihat dirinya diserang, maka dengan segera Kandana berkelebat mengelak dan kemudian ganti menyerang. Untuk sekian lama, keduanya kembali melakukan latihan ilmu silat Walet Siluman.
"Bagus, bagus! Rupanya kau cepat menerima apa yang telah aku ajarkan padamu. Nah... kini seranglah pohon pisang di depanmu," kata si nenek kembali memerintahkan.
Mendengar perintah itu, secepat kilat Kandana yang masih melayang di udara langsung menukik menuju ke pohon pisang yang ditunjuk oleh gurunya. Dalam sekejap, pohon pisang yang tadinya berdiri dengan kokohnya, kini hancur berkepingkeping, terhantam tangan Kandana.
Di wajah nenek Iblis Pancoran Sewu seketika terurai senyum senang, demi melihat hasil yang telah diperoleh muridnya. Dari mulut si nenek bergumam: "Bagus, bagus! Kau telah dapat menguasai salah satu jurus yang paling langka. Tapi kau jangan cepat merasa puas, masih banyak ilmu-ilmu yang harus kau pelajari, Untuk kali ini, aku rasa cukup."
Ketika si nenek hendak berlalu meninggalkannya, dengan cepat Kandana berseru memanggil: "Ada apa lagi?"
"Nek, kapankah wajah saya akan dapat kembali seperti sediakala? Maksudku, menjadi tampan kembali?"
Mendengar hal itu, si nenek terkekeh-kekeh dan menghampiri Kandana. Dipegangnya tubuh sang murid, lalu dengan penuh rasa kasih si nenek berkata: "Sabar, Kandana. Untuk memulihkan mukamu, perlu waktu yang tidak cepat. Hem... kau belum menceritakan mengapa wajahmu menjadi begitu?"
Mendengar pertanyaan si nenek, seketika Kandana tertunduk dalam. Dari matanya meleleh air mata. Pahit untuk mengenang kejadian yang telah sekian lama tenggelam. Si nenek seketika mengernyitkan dahinya, saat melihat Kandana yang tertunduk.
"Cengeng! Mengapa kau menangis?!" bentak si nenek, yang membuat Kandana seketika terdongak dan mengelap air matanya.
"Ayo kita ke grojokan. Di sana kau harus menceritakan apa yang telah kau alami, hingga kau begitu cengeng. Kalau kau ingin menjadi seorang pendekar sesat, pantang untuk mengurai air mata, apalagi ragu-ragu untuk bertindak. Ayo kita ke grojokan."
Kedua guru dan murid itu berkelebat menuju ke grojokan, di mana kedua murid dan guru itu meneduh. Sesampainya kedua guru dan murid di goa tempat mereka tinggal, Kandana pun segera menceritakan apa yang telah dialaminya lima tahun yang lalu.
"Lima tahun yang lalu, aku pernah berguru pada seorang tokoh sakti aliran lurus di wilayah Kidul bernama Ki Tambak Sande. Aku merupakan murid kesayangannya, hingga aku sangat diperhatikan dan dimanjakan oleh Ki Tambak Sande."
Mengerut alis mata nenek Iblis Pancoran Sewu demi mendengar nama Ki Tambak Sande. Wajahnya seketika berubah redup dan matanya membelalak kaget. Tanpa sadar, si nenek pun bertanya: "Bagaimana ciri-ciri bekas gurumu?"
Ditanya seperti itu oleh si nenek, Kandana membelalak kaget seraya bertanya ingin tahu. "Mengapa nenek menanyakan tentang orang itu? Apakah nenek mengenalnya?"
"Ceritakan dulu tentang ciri-ciri gurumu, nanti kalau memang orang itu yang kau maksud aku akan menceritakan apa yang pernah terjadi dengan kami. Hi... hi..." tawa si nenek dengan genitnya.
"Ki Tambak Sande mempunyai seorang anak wanita, yang bernama Sekar Sedati. Gadis itu sangat cantik, hingga banyak yang tergila-gila padanya. Begitu juga dengan diriku, menaruh hati pada Sekar Sedati. Tapi rupanya Sekar Sedati tidak mencintaiku, bahkan di depan mataku ia bermain cinta dengan Anggasana. Hal itu membuat dendamku padanya. Hingga suatu malam aku bermaksud..." Kandana tak segera meneruskan ucapannya. Di wajahnya seketika tergambar rasa malu. Membuat si nenek kembali mengerutkan alis matanya menyaksikan hal itu.
"Bermaksud apa?"
Dengan tersipu-sipu malu, Kandana pun akhirnya melanjutkan ceritanya: "Aku bermaksud mem... memperkosanya."
"Lalu? Apakah kau berhasil?" tanya si nenek.
"Tidak. Sebab keburu diketahui oleh Anggasana. Saat itu juga, murkalah Ki Tambak Sande. Dengan kemarahannya dia mengucap, "Percuma kau memiliki wajah tampan, kalau hatimu buruk seburuk hantu. Lebih baik wajahmu juga buruk!"
Karena Ki Tambak Sande orang yang mumpuni, seketika aku merasakan sesuatu pada wajahku. Dari wajahku menetes nanah busuk, juga benjolan-benjolan bisul yang menutupi seluruh wajahku. Aku berlari dengan dendam, pergi dari situ. Ketika terkaca pada air, kulihat wajahku telah buruk seburuk hantu. Oh...?" desah Kandana setelah mengakhiri ceritanya. Dari kedua matanya seketika kembali meleleh air mata.
Nenek Iblis Pancoran Sewu terdiam. Sepertinya turut merasakan penderitaan yang dialami muridnya. Dengan suara bergetar si nenek berkata: "Jangan kau bersedih hati, Kandana. Aku akan berusaha membantu memulihkan wajahmu yang rusak itu, namun nanti setelah kau menamatkan seluruh ilmu yang akan aku turunkan padamu. Ketahuilah! Ilmu itu adalah ilmu yang langka, yang tak ada tandingannya di dunia persilatan. Bila kau telah berhasil menguasai ilmu yang bernama Aji Seribu Rupa Iblis dan Aji Samber Nyawa, kau akan menjadi seorang tokoh silat yang tanpa tanding di dunia persilatan. Hi... hi...! Mulai besok kau harus rajin mempelajari kedua ajian itu. Kau harus bertapa 40 hari lamanya di bawah pancoran sewu, kau sanggup?"
Karena didorong oleh nafsu untuk dapat menjadi orang sakti dan ingin wajahnya kembali seperti sedia kala. Maka tanpa pikir panjang, Kandanapun mengangguk sembari berkata: "Sanggup, nek."
"Bagus... bagus. Nah! Untuk mempersiapkan semua itu hari ini kau harus beristirahat." kata si nenek yang dituruti oleh Kandana tanpa dapat membantah.
Pagi buta ketika kokok ayam belum terdengar, Kandana diiringi oleh gurunya si nenek Iblis Pancoran Sewu tampak berjalan menuju ke bawah pancoran.
"Buka seluruh pakaianmu, sebab kau harus melakukan tapamu dengan keadaan telanjang."
Kandana tersentak, seraya berkata protes. "Tapi, nek?"
"Jangan menentang. Ayo buka seluruh pakaianmu!" bentak nenek Iblis Pancoran Sewu.
Dengan tanpa banyak bicara lagi. Kandanapun akhirnya menurut membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Si nenek tertawa terkekeh-kekeh, saat melihat tubuh Kandana yang telanjang tanpa sehelai benang pun. Mata wanita tua itu nanar memandang tubuh Kandana dari ujung kaki ke ujung rambut membuat Kandana bengong. Perlahan si nenek mendekatinya. Dan dengan cepat direngkuhnya tubuh Kandana yang tak dapat mengelak.
"Nek, kau...?" Kandana mencoba meronta. Namun si nenek yang sudah terbakar nafsu malah makin keras memeluk tubuh Kandana, sembari berbisik: "Kandana, berilah aku kepuasan. Percayalah, aku akan membantu memulihkan seluruh tubuhmu. Lakukanlah, Kandana. Sebelum nanti kau di bawah pancoran pun akan melakukannya dengan para siluman."
Mendengar permintaan si nenek yang mengiba, seketika Kandana pun bagai dihipnotis merangsek dan menggeluti tubuh si nenek. Dalam pandangannya, si nenek berubah menjadi seorang gadis muda belia. Memang... dengan ajian Pangling Rupa, si nenek telah merubah wajahnya secantik bidadari. Hingga Kandana yang mulanya ragu, seketika penuh nafsu menggeluti tubuh si nenek.
Pagi buta itupun menjadi saksi, pergumulan kedua guru dan murid yang sama-sama dilanda nafsu iblis. Sampai akhirnya, si nenek mengeluh panjang dan terkulai lemas dengan senyum di bibirnya penuh kepuasan. Setelah sekian lama keduanya tergeletak lelah. Si nenek yang telah kembali merubah wajahnya seperti semula berbisik pada Kandana.
"Sekarang pergilah. Tapalah di bawah Pancoran Sewu selama 40 hari 40 malam. Jangan kau keluar sebelum dikabulkan permintaanmu. Ingat! Layani semua kemauan ratu siluman. Jangan sampai mengecewakannya."
"Baiklah, aku berangkat. Doa dan bantuanmu sangat aku perlukan." Setelah berkata begitu, ia menuju ke bawah pancoran, diikuti pandangan mata nenek Iblis Pancoran Sewu.
"Auw...!" Jaka menguap, ketika dirasakan sengatan matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela dedaunan di hutan Sanggreng. Dengan segera Jaka melompat turun dari pohon di mana ia semalam tidur. Dicarinya telaga untuk mencuci muka dan mulutnya yang terasa sepet.
"Ah... perutku lapar. Rupanya aku terlalu nyenyak tidur, hingga bangun kesiangan seperti ini," kata hati Jaka sembari terus berjalan mencari telaga.
Tak berapa lama kemudian, dilihatnya sebuah tambak tak jauh dari sebuah desa. Bergegas Jaka segera menuju ke tambak itu dan dengan tanpa berpikir lagi Jaka pun segera terjun mandi, setelah terlebih dahulu membuka pakaiannya.
"Ah... sejuk benar air tambak ini," Jaka pun segera menyelam ke dalam air, lalu kembali muncul.
Saking asyiknya mandi, hingga Jaka tak sadar ada sepasang mata yang mengintainya. Sepasang mata itu terus mengawasi Jaka. Perlahan orang yang mengintai itu mendekati pakaian Jaka dan ketika tangan orang itu hendak mengambil sesuatu yang ada di antara pakaian Jaka, tibatiba terdengar suara lain membentaknya.
"Maling, rendah!"
Orang yang bermaksud mengambil Pedang Siluman Darah seketika mengurungkan niatnya dan memandang pada orang yang membentaknya yang tak lain dari seorang gadis. Jaka yang mendengar suara gadis itu, seketika tersentak. Dengan sekali loncat, Jaka pun segera menyambar pakaiannya.
"Apa urusanmu menghalangiku!" bentak orang yang tadi bermaksud mengambil senjata Pedang Siluman Darah pada gadis di depannya yang hanya tersenyum dengan sinis.
"Aku tak mau melihat kejahatan di depan mataku, karena itu aku menghalangimu," jawab si gadis tak kalah kerasnya.
Maling itu tampak mendengus marah. Napasnya terdengar kasar memburu. Dengan mata melotot, lelaki itu kembali berkata: "Kau tahu, bahwa senjata yang akan aku ambil merupakan senjata sakti? Dengan tingkahmu itu, maka gagallah maksudku. Untuk itu, sebagai gantinya kau harus mati di tanganku."
Tanpa memperdulikan gadis di depannya, lelaki yang hendak mencuri berkelebat menyerang. Diserang dengan cepat begitu, si gadis tanpa mengalami kesulitan segera mengelak dan balik menyerang. Perkelahian keduanya segera berlangsung.
Jaka yang telah memakai kembali pakaiannya, berdiri menonton tak jauh dari situ. Jaka sengaja tak langsung menghajar orang yang bermaksud mencuri Pedang Siluman Darah, ia ingin tahu sampai di mana tingkat kedua orang yang tengah berkelahi itu.
Pertarungan keduanya tampak seimbang. Susah untuk memastikan siapa di antara keduanya yang bakal memenangkan pertarungan itu. Namun ketika menginjak jurus yang kedua puluh enam, tampak gadis itu keteter didesak oleh lelaki musuhnya. Ketika nyawa gadis yang telah menolongnya berada dalam ancaman musuhnya, dengan segera Jaka bersiul dan berkelebat menghadang serangan lelaki itu.
"Suit... Dug dug dug."
Lelaki yang menyerang gadis itu terhuyung ke belakang, di wajahnya seketika tergambar kekagetan. Matanya membelalak hampir keluar, saat melihat orang yang telah menghantamnya.
"Kau... kau yang bernama Jaka?" tanya lelaki itu, yang dijawab Jaka dengan senyum sinis.
"Ya aku yang bernama Jaka. Ada apa? Sepertinya kau kaget?"
Mendengar jawaban Jaka. Orang itu bukannya takut, malah sebaliknya tertawa bergelak-gelak. "Anak muda! Aku mendengar namamu telah kesohor di dunia persilatan, tapi aku si Kala Wasungsang tak gentar menghadapimu. Aku ingin tahu dan ingin membuktikan kebenaran desas-desus itu."
"Hem, begitu. Lalu dengan maksud apa engkau hendak mencuri senjataku?" tanya Jaka. Matanya memandang tajam pada lelaki yang berdiri di hadapannya.
Lelaki itu tertawa bergelak-gelak. Dengan congkaknya, Kala Wasungsang kembali berkata: "Aku tahu, Kalau senjata Pedang Siluman Darah tak ada pada dirimu, kau akan menjadi seorang bayi yang tak dapat berbuat apa-apa. Maka, aku bermaksud mengambilnya hingga dengan mudah aku dapat mengalahkanmu. Tapi walaupun kau memegang senjata itu, aku rasa aku akan mampu mengalahkanmu."
"Weh! Baru kali ini, selama aku terlahir di dunia ada orang yang sudah memastikan apa yang belum terjadi. Nah, kalau kau mampu mengalahkanku, lakukanlah olehmu," kata Jaka tenang, bibirnya terurai senyum. Sesaat matanya melirik pada gadis yang berdiri di sampingnya, yang seketika merona merah pipinya.
Mendengar perkataan Jaka, seketika lelaki itu kembali mendengus. Maka dengan segera, lelaki itu pun berkelebat menyerang. "Jangan menyesal bila kau mati di tanganku, anak muda!"
"Lakukanlah bila kau mampu, aku selalu menuruti apa yang kau ingini, Kala Wasungsang." Balas Jaka berkata sembari berkelit dari serangan Kala Wasungsang.
Seketika keduanya pun terlibat pertarungan. Keduanya saling serang dan mengelak. Sejauh itu, tampak Jaka masih mengelit dari serangan Kala Wasungsang. Jaka sengaja mengulur pertarungan, dengan maksud untuk mengetahui sampai di mana ilmu Kala Wasungsang.
Benar juga! Kala Wasungsang yang memang sudah tahu kehebatan Jaka dari tokoh-tokoh persilatan, tanpa sungkan-sungkan segera mengeluarkan jurus-jurus yang mematikan. Di samping itu pula, Kala Wasungsang ingin membuktikan hal kehebatan senjata Pedang Siluman Darah yang menghebohkan itu.
Merasa musuhnya telah menggunakan ilmu tingkat tingginya, dengan segera Jaka melompat mundur. "Pedang Siluman Darah, datanglah!"
Seketika Kala Wasungsang terbelalak kaget, ketika melihat Pedang Siluman Darah telah berada di tangan Jaka, mengeluarkan sinar menyilaukan. Dari mulut Kala Wasungsang memekik kaget: "Ah...! Inikah Pedang Siluman Darah? Hm, memang bukan omong kosong kalau senjata ini sangat menghebohkan dunia persilatan. Senjata ini sungguh aneh, dapat mengeluarkan Darah dan Angin besar. Hm, aku harus berhati-hati. Akan aku coba dengan Toya Setan ku," batin Kala Wasungsang, demi melihat Pedang Siluman. Diambilnya tongkat yang berbentuk pendek pada mulanya, dengan pangkal kepala manusia kecil. Ditariknya pangkal tongkat itu, yang seketika berubah menjadi sepanjang dua tombak.
"Bagaimana, Kala Wasungsang? Apa mau diteruskan?" tanya Jaka memberi kesempatan pada Kala Wasungsang untuk berpikir.
"Anak muda! Jangan kau kira Kala Wasungsang akan gentar dan menyerah kalah melihat Pedang Siluman Darah di tanganmu. Ayo kita lanjutkan sampai salah satu di antara kita mati."
Jaka mengerutkan dahi, demi mendengar jawab Kala Wasungsang. Lalu dengan mendengus Jaka kembali berkata: "Hem... Kala Wasungsang, jangan salahkan aku kalau itu yang engkau kehendaki. Bersiaplah!"
"Jangan banyak omong, anak muda! Sedari tadi aku memang sudah siap. Terimalah seranganku, hiat...!" Kala Wasungsang yang memang penasaran dengan berita-berita tenung Pedang Siluman Darah, dengan nekad segera berkelebat menyerang.
Jaka merasa musuhnya telah menyerang, dengan segera Pedang Siluman Darah dibalutkan ke arah Kala Wasungsang. Bagai gelombang prahara api, hawa panas yang terpancar dari Pedang Siluman Darah menderu menangkis serangan Tongkat Setan Kali Wasungsang sekaligus menyerangnya.
Kala Wasungsang menyurut mundur. Dari mulutnya terdengar suara memekik kaget, ketika hawa panas menghantamnya. Dengan segera diputar Tongkat Setan di tangannya dengan maksud menghalau serangan. Namun...
"Braak...!"
Tongkat Setan di tangan Kala Wasungsang patah menjadi dua, terbabat oleh Pedang Siluman Darah. Kala Wasungsang memekik, dipegangi tangannya yang terasa kesemutan akibat bentrokan itu. Belum juga Kala Wasungsang hilang kagetnya. Tiba-tiba Pedang Siluman yang berada di tangan Jaka berkelebat dan...
"Dess...!" Tebasan Pedang Siluman tak dapat dihindari oleh Kala Wasungsang yang seketika menjerit menahan sakit. Ketika sadar, tangan kirinya telah puntung dari tubuhnya.
Melihat hal itu, si gadis yang sedari tadi hanya menonton seketika menutupi matanya karena ngeri. Kala Wasungsang dengan menahan sakit, berlari meninggalkan Jaka dengan umpat dan caci maki. Ketika gadis yang sedari tadi memperhatikannya menyapa, Jaka tersentak dan memandang pada gadis itu yang tersenyum.
"Terima kasih. Nona telah memberikan pertolongan pada saya, kalau nona tak mencegah Kala Wasungsang, niscaya aku akan mendapat murka," kata Jaka.
"Ah... tak seberapa yang telah aku lakukan, dibandingkan dengan nama besar tuan yang telah rela berkorban untuk ketentraman dunia persilatan. Maaf, aku telah mengganggu keasyikan tuan mandi," kata gadis itu dengan tersipu-sipu.
"Nona terlalu berlebihan menilai diri saya, yang nyatanya tak lebih dari seorang bodoh dan telengas. Hingga tak menyadari akan apa yang bakal terjadi, kalau saja nona tak segera menghalangi maksud jahat Kala Wasungsang. Untuk itu, aku yang bodoh ini mengucapkan terima kasih. Oh ya, agar kelak aku dapat membalas budi nona, bolehkan aku tahu siapa nona sebenarnya?"
Gadis itu tersipu-sipu kembali, demi mendengar ucapan Jaka yang dirasa merendah. Masih dengan senyum menyungging di bibirnya, gadis itu berkata: "Hamba yang jelek dan hina ini bernama Ayu Sakiti."
"Oh... nama yang indah dan bagus, sebagus hati yang memiliki. Aku rasa, nona telah mengetahui namaku bukan?"
Gadis itu mengangguk sesaat, sebelum akhirnya berkata kembali: "Benar. Apakah benar tuan yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah dari Chandra Bilawa?"
"Hai...! Rupanya nona telah mengetahui begitu dalam tentang diri saya. Siapakah sebenarnya, Nona?" tersentak Jaka demi mendengar penuturan Ayu Sakiti yang telah mengetahui segala yang ada pada dirinya.
Gadis yang bernama Ayu Sakiti kembali tersenyum, lalu dengan malu-malu ia berkata: "Guruku pernah bercerita tentang diri tuan."
"Siapa gurumu?" Jaka kembali bertanya, karena ingin mengetahui siapa sebenarnya gadis yang berada di hadapannya.
"Guruku bernama Ki Martanu."
Jaka hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penuturan Ayu Sakiti. Setelah Ayu Sakiti selesai berkata, Jaka pun tersenyum sembari berkata: "Kalau kau benar murid Ki Martanu, sampaikan salam hormatku pada beliau. Dan katakan padanya bahwa Jaka ingin sekali bersua dengannya setelah bulan purnama."
"Kenapa mesti bulan purnama? Tidakkah lebih baik sekarang saja?" tanya Ayu Sakiti tak mengerti, membuat Jaka kembali tersenyum dan memandang tajam pada Ayu Sakiti yang seketika tertunduk.
"Aku dan gurumu, telah berjanji akan mengadakan pertemuan yang akan membicarakan... Ah... bilang saja pada gurumu begitu. Dan bila kau ingin mengerti akan apa yang bakalan kami bicarakan kau bisa bertanya langsung pada gurumu. Nah, selamat tinggal." Habis berkata begitu, Jaka segera berkelebat pergi tanpa memperdulikan Ayu Sakiti yang terbengong melihat kepergiannya yang begitu cepat.
Di goa Pancoran Sewu, tampak seorang lelaki yang tak lain Kandana adanya tengah melakukan semedi tapa brata selama 40 hari 40 malam. Hari itu adalah hari ke 35 Kandana melakukan tapa brata, ketika dari dunia lain tampak sesosok tubuh wanita datang menghampirinya dengan tubuh setengah bugil. Pakaian yang dikenakan oleh wanita itu, jelas transparan. Hingga Kandana dengan mudah dapat melihat lekuk-lekuk tubuh wanita cantik di hadapannya.
Wanita itu tersenyum penuh rangsangan dan mendekati tubuh Kandana yang masih tetap terdiam dalam semedinya. Dengan manja wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Kandana dan berbisik pelan.
"Kandana... bangunlah dari semedimu, bangunlah. Aku terima apa yang menjadi permintaanmu. Bangunlah dan ikutlah denganku."
Kandana sesaat membuka kedua matanya perlahan, dilihatnya wanita itu tersenyum. Dengan masih melingkarkan tangannya pada leher Kandana, wanita itu mengajak Kandana berdiri.
"Engkaukah yang bernama Sri Ratu Siluman?" tanya Kandana yang diangguki oleh Sri Ratu Siluman yang masih tersenyum.
"Kenapa, Kandana? Apa kau belum yakin?" tanya Sri Ratu Siluman sembari menatap tajam pada Kandana. Mata Sri Ratu yang tajam, seketika memancarkan selarik sinar menembus ke mata Kandana hingga menggugah hati Kandana.
Kandana yang telah terpengaruh oleh ilmu Sri Ratu seketika merengkuh tubuh Sri Ratu yang menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan. Angan Kandana seketika melayang terbang. Tampak olehnya goa itu kini berubah menjadi istana yang elok dan indah, lengkap dengan seluruh dayang dan prajurit.
Kandana yang tengah menggeluti tubuh Sri Ratu, tidak menyadari kalau sebenarnya yang tengah digumuli tak lain daripada seekor ular. Sri Ratu Siluman mendesis-desis, menikmati kenikmatan yang diperolehnya dari Kandana.
Sementara Kandana sendiri, merasakan adanya kelainan pada dirinya. Bersamaan dengan keringat yang menetes deras, perubahan di wajah Kandana pun berjalan. Luka-luka yang telah mengering, tampak mengelupas dan berganti kulit lain. Karena perubahan itu, membuat tubuh Kandana terasa panas dingin. Mungkin karena terlalu panasnya, Kandana pun akhirnya pingsan.
Lima hari lamanya Kandana berada di istana Sri Ratu Siluman Ular. Dan selama lima hari itu juga Kandana harus bersedia melayani nafsu Sri Ratu Siluman. Ketika telah habis masa tapa bratanya, Sri Ratu berkata pada Kandana:
"Kandana, kini kau telah mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu, yaitu ajian Seribu Rupa dan Samber Nyawa. Tapi untuk menyempurnakannya, kau harus minum tujuh darah gadis. Sekarang pulanglah kembali pada gurumu, nenek Pancoran Sewu."
Setelah berkata begitu, seketika tubuh Sri Ratu Siluman itu raib. Dan Kandana pun kini mendapatkan dirinya kembali di goa Pancoran Sewu. Dengan langkah ringan, Kandana berkelebat keluar dari goa itu. Di luar tampak nenek Iblis Pancoran Sewu tengah menantinya. Dengan wajah berseri, nenek Iblis Pancoran Sewu segera menyambutnya. Di peluknya tubuh Kandana, yang hanya terdiam sembari memandang tajam dan bengis.
Tanpa disadari oleh nenek Iblis Pancoran Sewu, tiba-tiba Kandana merapalkan aji Samber Nyawa. Dicobanya pada tubuh si nenek yang seketika menjerit. Sebelum meninggal, si tanak Iblis Pancoran Sewu sempat mengumpat dan mengutuk Kandana yang hanya tertawa bergelak-gelak, sepertinya merasa puas, demi melihat hasil yang telah dicapainya.
"Kau... kau, manusia tak tahu balas budi, Kau telah berbuat curang, maka kau kelak akan mati dengan tubuh hancur." Setelah berkata begitu yang diikuti oleh suara halilintar menggelegar, nenek Iblis Pancoran Sewa ambruk dengan tubuh hangus.
Tanpa memperdulikan tubuh si nenek, Kandana pan segera berlalu sembari tertawa tergelak-gelak. "Tak ada artinya kau mengumpat, nenek sinting. Dirimu sendiri bukan orang baik-baik, ha... ha...!"
Alam di situ seketika menjadi hening. Langit mendung, guntur bergelegar bersahut-sahutan, sepertinya memberikan tanda pada dunia persilatan bahwa telah datang malapetaka baru yang akan menggemparkan dunia persilatan.
Sejak itu dunia persilatan dilanda geger oleh perbuatan seseorang, yang dengan kejinya merenggut korban gadis. Biasanya gadis-gadis itu mati dengan leher berlubang, seperti habis digigit oleh seekor mahluk.
Kampung Rengas, kampung Lenggok, dan terakhir kampung Muara Sendang, telah menjadi korban jarahan mahluk yang selalu mencari mangsa seorang gadis. Gadis-gadis itu hilang kala hari menjelang senja, di mana mereka biasanya tengah mandi di pancuran. Dengan kejadian itu, makin menambah ketakutan di hati para penduduk desa hingga keamanan desa pun makin dipertingkat dan anakanak gadis dilarang keluar sore-sore.
Malam begitu mencekam, ditambah lagi dengan rintik hujan yang tak mau berhenti menambah seramnya malam itu. Petugas ronda tampak dengan siaga menjaga keamanan kampung, ketika dari kejauhan terdengar suara anjing hutan melolong. Seketika bulu kuduk kelima peronda itu berdiri. Rasa takut menjalar di hati mereka. Kalau bukan tugas, mungkin mereka telah lari ketakutan.
Namun karena merasa itu kewajiban yang harus dijalankan, maka dengan menekan perasaan takut kelimanya tetap waspada. Ketika kelimanya tengah dilanda ketakutan, tampak oleh mereka sesosok tubuh dengan memanggul seorang gadis berkelebat. Sesaat kelima peronda yang sedari tadi hanya terdiam tanpa berani berkata-kata. Kemudian setelah mereka sadar, mereka pun dengan segera mengejar orang yang berkelebat itu.
"Berhenti!" perintah salah seorang petugas ronda.
Lelaki yang berlari dengan membopong tubuh seorang gadis di pundaknya tampak berhenti. Ketika lelaki itu berpaling pada kelima peronda itu, tampak seraut wajah yang mengerikan. Kelima peronda itu tersentak mundur saat melihat wajah lelaki yang mirip hantu. Belum juga kelimanya sadar dari kengeriannya, tiba-tiba orang yang bermuka hantu itu membentak.
"Mau apa kalian! Cepat pergi! Atau kuhisap darah kalian, hah!"
"Bedebah! Jangan kau kira kami takut padamu, kami bukan anak kecil! yang perlu kau takut-takuti. Serahkan gadis itu pada kami, atau kami harus menghajarmu," kata salah seorang dari kelima peronda yang rupanya mempunyai nyali, tak kalah kerasnya.
Mendengar ucapan peronda itu, seketika lelaki berwajah hantu itu tersenyum sinis. Lalu dengan mata melotot dan menunjukkan gigi-giginya yang runcing, lelaki berwajah hantu itu kembali berkata. "Percuma kalian ingin melawanku. Pergi! Atau aku akan mengirim kalian ke akherat!"
Walaupun mereka takut, namun karena tugasnya sebagai penjaga keamanan kampung, mereka tak menghiraukan gertakan itu. Bahkan dengan segera mereka serempak mengeroyok lelaki bermuka hantu. Walaupun dengan menggendong tubuh seseorang di pundaknya, lelaki bermuka hantu itu tampak dengan mudah mengelak serangan kelima peronda. Bahkan dengan segera dapat mendesak kelimanya. Tak lama kemudian terdengar jeritan kematian. Dua dari kelima peronda itu terkapar meregang nyawa.
Melihat kedua temannya mati, ketiganya yang masih hidup tersentak mundur. Dan bagaikan dikomando, ketiganya segera berteriak meminta tolong.
"Tolong...! Tolong...!"
Mendengar suara ketiga peronda itu, seketika orang-orang kampung segera berhamburan keluar. Belum juga orang-orang kampung dapat menolong mereka, tiba-tiba lelaki bermuka hantu telah menghantam ketiganya hingga mati seketika dengan tubuh hangus. Lalu dengan secepat kilat, lelaki bermuka hantu itu berkelebat pergi meninggalkan kelima mayat korbannya.
Penduduk kampung hanya dapat melongo, ketika didapatinya kelima peronda itu telah mati dengan tubuh terbakar hangus. Merinding bulu kuduk penduduk kampung, menyaksikan keadaan kelima peronda itu. Dengan perasaan ngeri, mereka pun segera mengusung kelima peronda yang telah mati.
Di sebuah goa, lelaki berwajah hantu yang telah mengubah kembali wajahnya tengah membaringkan tubuh gadis yang diculiknya. Dibukanya totokan pada tubuh gadis itu, hingga si gadis kembali tersadar dari pingsannya.
"Jangan...! Jangan...! Jangan ganggu aku, pergi!" teriak gadis itu setelah terbebas dari totokan.
Lelaki di depannya tersenyum, perlahan didekatinya tubuh gadis yang kini terduduk dengan wajah ketakutan. Melihat orang yang di hadapannya bukan hantu yang tadi menculiknya, rasa tenang timbul di hati si gadis. Dengan tersipu-sipu, gadis itu menundukkan mukanya sembari bertanya:
"Tuan, siapakah tuan sebenarnya? Tuankah yang telah menolong diriku dari hantu itu?"
Mendengar pertanyaan gadis di depannya, seketika lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Perlahan dihampirinya tubuh si gadis dan dengan lembut direngkuhnya pundak si gadis yang hanya terdiam. Keduanya saling rengkuh dan bergulingguling di atas lantai batu. Gadis itu yang tadinya takut, tiba-tiba menjadi liar dan binal. Ia membalas merengkuh dan menciumi lelaki yang tengah menggelutinya, sampai akhirnya si gadis terdengar mengeluh panjang penuh kenikmatan.
Saat itu juga lelaki yang tadinya tampan, seketika berubah menjadi seram. Gadis itu hendak berontak, namun lelaki berwajah hantu itu telah mendahului menggigit leher si gadis. Sesaat si gadis menjerit, lalu terkulai lemas dengan tubuh membiru mati. Dari lehernya menetes darah sisa gigitan. Sementara lelaki yang berwajah hantu, tampak tersenyum penuh kepuasan dan berlalu meninggalkan tubuh si gadis.
Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan, pertanda hari telah pagi. Lelaki bermuka hantu itu berkelebat pergi meninggalkan goa, yang di dalamnya tergeletak tubuh seorang gadis yang telah beku.
Ketika mentari telah meninggi, seorang pencari kayu secara tidak sengaja datang ke goa itu. Pencari kayu itu tersengat kaget, kala dilihatnya di dalam goa itu seorang gadis telah mati dengan leher berlubang. Dengan tergopoh-gopoh, lelaki itu berlari sambil menjerit-jerit meminta tolong pada warga kampung terdekat yang kebetulan kampung si gadis,
"Ada apa, Bapak? Sepertinya kau tengah mengalami ketakutan. Apakah kau melihat sesuatu?" tanya kepala kampung yang menerima pencari kayu itu.
Dengan wajah pucat dan terbata-bata, lelaki pencari kayu itu menceritakan apa yang telah dilihatnya dalam goa di tengah hutan. "A... aku mencari kayu. Tiba-tiba perasaanku ingin menuju ke goa dan..." Lelaki pencari kayu itu tak segera meneruskan ucapannya, di wajahnya tergambar rasa ngeri yang dalam.
"Dan apa...?" tanya ketua kampung tak sabar.
"Aku melihat sesosok tubuh wanita..." Belum juga pencari kayu itu menyelesaikan ceritanya, dengan segera kepala kampung menggandeng tangannya pergi.
Dengan diikuti oleh sebagian warga kampung, keduanya segera menuju ke tempat di mana pencari kayu itu menemukan gadis yang telah mati. Sesampainya mereka ke tempat yang ditunjukan oleh pencari kayu, mata mereka seketika terbelalak. Dari mulut mereka terdengar pekik kaget, demi mengetahui gadis itu yang ternyata Mirah warga kampungnya. Dengan perasaan haru dan duka, mereka segera menggotong tubuh Mirah yang telah mati dengan cara menyedihkan.
Korban demi korban berjatuhan. Geger dunia persilatan oleh perbuatan teror lelaki berwajah hantu. Desas desus itu akhirnya terdengar juga di telinga Ayu Sakiti, murid Ki Mertanu. Merasa hal itu merupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pendekar beraliran lurus, Ayu Sakiti bermaksud menyelidiki siapa sebenarnya lelaki tersebut. Maka setelah mendapat restu dari gurunya, Ki Mertanu. Berangkatlah Ayu Sakiti untuk menyelidiki desas-desus yang kini ramai dibicarakan di dunia persilatan.
"Apakah Jaka belum mendengarnya? Ah... aku rasa dia sebagai tokoh persilatan tingkat utama, telah mendengar adanya desas-desus ini. Moga-moga dia akan segera datang membantuku," kata Ayu Sakiti dalam hati, setelah berlalu pergi meninggalkan perguruannya.
Siang begitu panasnya, terik matahari seakan hendak membakar seluruh isi muka bumi. Ayu Sakiti yang telah sampai pada sebuah desa, dengan segera mencari sebuah kedai. Tanpa mengalami kesulitan, Ayu Sakiti segera menemukan sebuah kedai. Kedatangan Ayu Sakiti, mengundang perhatian pengunjung kedai lainnya. Hingga salah seorang dari lima pengunjung kedai yang duduk di sudut ruangan berwajah sangar-sangar menyeletuk.
"Lihat, kawan. Rupanya ada bidadari yang hendak menemani kita di sini."
Seketika keempat orang lainnya segera memandang pada Ayu Sakiti yang tengah masuk ke dalam kedai itu. Ayu Sakiti tak menggubris omongan orang tersebut. Ia tetap melangkah masuk dan duduk tak jauh dari urang yang berkata. Seorang pelayan datang menghampirinya seraya bertanya.
"Mau pesan apa, nona?"
"Sebelum aku memesan makanan, aku minta usir dulu kelima lalat-lalat itu," kata Ayu Sakiti menyindir pada kelima lelaki yang bertampang sangar.
Seketika kelima lelaki itu tersentak dan berdiri kaget demi mendengar ucapan Ayu Sakiti yang memang menyindirnya. "Cuih, sombong! Jangan mentang-mentang cantik, lalu beraksi di depan Lima Iblis Burangrang," bentak salah seorang dari kelima Iblis Burangrang dengan marahnya.
Ayu Sakiti hanya tersenyum demi mendengar ucapan orang yang mengaku Lima Iblis Burangrang. Dan dengan kalemnya Ayu Sakiti kembali berkata acuh. "Iblis Burangrang. Kalau kalian merasa bukan lalat, mengapa kalian harus marah. Coba kalian lihat, bukankah memang di sini banyak lalat?"
Mungkin kalau anak kecil akan begitu percaya, namun karena mereka merupakan tokoh-tokoh persilatan dari golongan sesat, mereka tak mau menerima ucapan Ayu Sakiti begitu saja. Maka dengan membentak yang disertai kekesalan, salah seorang dari kelima Iblis Burangrang berkata!
"Hai, bocah gendeng! Aku tadinya menyangka kalau kau yang cantik itu, lemah lembut. Tapi ternyata kau mempunyai nyali juga, hingga berani menghina Lima Iblis Burangrang."
"Hi... hi...! Gendeng katamu. Siapa yang gendeng? Aku atau kalian semua yang tampangnya seperti orang-orang gila yang tak pernah terurus," Ayu Sakiti tertawa cekikikan, membuat kelima Iblis Burangrang tak dapat lagi menahan emosinya demi diledek begitu rupa oleh seorang gadis yang masih bau kencur.
"Sompret! Rupanya kau tak mau diuntung! Maka jangan salahkan aku, Burangrang Hitam mengajar adat pada kamu yang tak tahu sopan santun."
Kembali Ayu Sakiti tertawa cekikikan kala mendengar dan melihat kemarahan Burangrang hitam. Dengan nada mengejek yang membikin marah Burangrang tak dapat terbendung lagi, Ayu Sakiti kembali berkata: "Burangrang jelek! Siapa yang telah menjual sesuatu padamu, hingga kau mengatakan tak mau diuntung? Lagi pula siapa yang mau diberi keuntungan oleh iblis butut macam kalian."
Lima Iblis Burangrang itu mendengus dari mata mereka menyorot api kemarahan. Maka dengan tanpa malu-malu, kelimanya segera berkelebat menyerang Ayu Sakiti. Ayu Sakiti yang telah waspada, diserang oleh kelima Iblis Burangrang bersamaan, bukannya menjadi takut dan bingung. Bahkan dengan gesit, Ayu Sakiti segera mengelak dan secepat kilat lari keluar kedai.
Kelima Iblis Burangrang yang memang telah dilanda amarah oleh tingkah laku Ayu Sakiti, tak mau melepaskan begitu saja. Dengan serentak kelimanya segera memburu keluar, di mana Ayu Sakiti telah berdiri menanti mereka. Walaupun dikeroyok oleh lima tokoh golongan sesat, namun Ayu Sakiti yang merupakan murid tunggal Ki Mertanu atau si Dewa Tangan Maut tak menjadi gentar.
Pertarungan satu lawan lima pun terus berjalan, dari tangan kosong kini berganti dengan senjata. Ayu Sakiti dengan pedang Komaranya berkelebat dengan cepat, laksana seekor burung walet menyambar-nyambar musuhnya. Di lain pihak, kelima Iblis Burangrang yang sudah tersohor segera mengurung murid tunggal Ki Martanu. Kelima Iblis Burangrang itu mengeluarkan jurus Lingkaran Iblis, kelimanya dengan silih berganti menyerang Ayu Sakiti. Jurus Lingkaran Iblis memang begitu hebat dan sukar untuk dapat ditembus.
Mendapatkan hal semacam itu, Ayu Sakiti dengan segera mengubah jurusnya, Jurus Walet Merah Menyambar Ular Sanca. Dengan bergerak makin cepat, Ayu Sakiti menggerakan pedang di tangannya dengan cepat pula. Hingga... terdengar seketika jerit kesakitan membahana. Dan tampak salah seorang dari kelima Iblis Burangrang terkapar pingsan dengan tangan kanan putus.
Melihat hal itu, keempat Iblis Burangrang lainnya tersentak dan melompat mundur dengan mulut menganga seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Ayu Sakiti begitu saja, dengan cepat-cepat pedang di tangannya kembali berkelebat. Dan... untuk kedua kalinya terdengar jeritan sesaat, lalu tampak orang kedua dari Lima Iblis Burangrang tergeletak dengan leher hampir putus.
Ciut seketika nyali ketiga Iblis Burangrang demi melihat kedua temannya dapat dengan mudah dijatuhkan oleh seorang gadis yang masih muda belia. Maka tanpa membuang waktu lagi, ketiganya segera mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana kalian. Jangan harap kalian akan dapat lolos dari tanganku," kata Ayu Sakiti. Dengan seketika tubuhnya yang kecil dan ramping berkelebat memburu ketiganya.
Ketiga Iblis Burangrang tersentak, kala Ayu Sakiti tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka dengan senyum sinis di bibirnya. Merasa tak ada jalan lain, maka dengan nekad ketiganya segera menyerang Ayu Sakiti. Kembali perkelahian pun berlangsung. Ayu Sakiti yang memang tak suka dengan kelima orang Iblis, dengan tanpa menaruh rasa kasihan sedikit pun kembali berkelebat dengan pedang di tangannya.
Tak berapa lama antaranya, kembali terdengar pekikan kematian. Kembali salah seorang dari Iblis Burangrang menjadi korban pedangnya. Mendapatkan hal itu, kedua Iblis Burangrang yang masih tersisa makin nekad. Karena keduanya tak memperhitungkan lagi akan apa yang bakal mereka hadapi, maka keduanya berkelahi dengan jurus yang tak dapat dikontrol. Hal itu menjadikan kepahitan bagi mereka sendiri. Maka dengan sekali tebas, pedang di tangan Ayu Sakiti telah membabat tubuh keduanya yang langsung terkapar meregang nyawa lalu mati.
Setelah melihat kelima musuhnya telah mati, Ayu Sakiti segera kembali menuju kedai. Semua orang yang ada di kedai itu seketika merasa takut dan jeri. Hingga tanpa diperintah olehnya, semuanya seketika mengangguk hormat ketika Ayu Sakiti masuk. Pemilik kedai pun dengan ramahnya disertai hormat segera menghidangkan makanan yang dipesan oleh Ayu Sakiti.
"Bapak... apakah bapak pernah melihat pemuda yang berambut gondrong datang ke mari?" tanya Ayu Sakiti pada pemilik kedai yang tercenung diam, tak lama kemudian, dengan wajah tersenyum pemilik kedai pun berkata:
"Benar! Kira-kira seminggu yang lalu pemuda itu datang ke mari untuk makan siang."
"Hem, rupanya Jaka pun berada di sini pula," kata Ayu Sakiti dalam hati. "Bapak, apakah pemuda itu mengatakan hendak pergi ke mana?"
Ditanya seperti itu pemilik kedai hanya dapat menggeleng lemah. Ayu Sakiti hanya manggut-manggut, lalu dengan segera menyantap makanan yang telah dihidangkan. Setelah membayar makanan yang dimakannya, yang ditolak oleh pemilik kedai karena merasa berterima kasih atas pertolongan Ayu Sakiti, hingga kedainya tak akan dijadikan tongkrongan dan endonan kelima Iblis Burangrang lagi.
"Bapak, sudah menjadi kewajibanku untuk menolong dan membasmi kejahatan. Aku minta terimalah uang bayar makanku," kata Ayu Sakiti sembari menyerahkan uang itu pada pemilik kedai, yang kembali bermaksud menolaknya. Namun dengan segera Sakiti menggenggamkan uang itu di telapak tangannya. Mau tak mau pemilik kedai itu pun akhirnya menerima juga pembayaran Sakiti.
Dengan segera Sakiti pergi meninggalkan kedai untuk meneruskan perjalanannya mencari biang keonaran dunia persilatan. Yang menurut desas-desus bermuka hantu dan selalu menculik gadis untuk korbannya.
Gamelan melantunkan tembang kidung. Seluruh tamu yang akan memberikan doa restu pada kedua mempelai tampak sudah pada berdatangan. Seperti adat di Jawa, maka pengantin perempuan akan di boyong oleh pengantin laki-laki dan diiring berarak. Malam makin larut, saat kedua mempelai dijejer untuk menghadap dan diikrar oleh sesepuh adat. Dupa dari asap kemenyan mengepul beri gulung-gulung membumbung tinggi. Kedua mempelai dengan didampingi oleh dua orang saksi tengah dihadapkan pada sesepuh adat, yang akan mensyahkan pernikahan mereka. Di wajah kedua mempelai terkembang senyum bahagia, sama halnya yang hadirpun turut merasakan kegembiraan.
Gamelan dari wayang kulit berhenti, untuk memberikan waktu pada sesepuh adat guna mensyahkan upacara pernikahan. Sesaat, tampak sesepuh adat diam. Matanya terpejam, dari mulutnya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Asap dupa makin menebal. Bersamaan dengan itu, seketika semua yang hadir tersentak kaget. Dari luar seseorang bagaikan terbang menyambar mempelai wanita yang menjerit-jerit meminta tolong. Untuk sesaat semuanya terpaku diam. Lalu setelah sadar dari kekagetannya, mereka serentak memburu orang itu.
"Berhenti!" bentak tetua adat, setelah dapat mengejar orang yang membawa mempelai perempuan, yang kini tampak terdiam dalam pundaknya.
Lelaki yang menggendong mempelai perempuan itu berhenti dari larinya dan dengan tenangnya membalikkan tubuh menghadap pada sesepuh adat. Sesepuh adat dan orang-orang yang telah dapat mengejarnya tersentak kaget, demi melihat wajah penculik itu. Mata mereka melotot, demi menyaksikan muka seram yang persis hantu.
Keterkejutan mereka tak disia-siakan oleh lelaki penculik itu. Maka dengan sekali berkelebat, tubuh lelaki itu telah berlalu meninggalkan mereka yang kembali mengejarnya setelah sadar. Kejar mengejar pun terjadi, hingga sampailah mereka di persawahan yang luas. Penduduk yang sudah merasa marah oleh tindakan lelaki berwajah hantu itu, dengan nekad segera mengepungnya.
"Kembalikan gadis itu ada kami, atau terpaksa kami merencah tubuhmu!" kata sesepuh adat dengan penuh amarah, sementara yang lainnya tampak telah siaga dengan senjata di tangan mereka.
Lelaki bermuka hantu tampak tersenyum sinis, lalu dengan suara serak dan sember berkata: "Hem... jangan harap aku akan menyerahkan gadis ini pada kalian. Pergilah! Atau terpaksa aku menurunkan tangan jahatku!"
"Iblis laknat! Jangan kira kami dapat ditakut-takuti olehmu. Serahkan istriku, atau kau akan mati dengan tubuh dicincang!" Jatmoro yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh lelaki bermuka hantu membentak marah. Tubuhnya seketika tanpa dapat dicegah oleh yang lain berkelebat menyerang.
"Hem... rupanya kau hendak mencari mampus, anak muda. Baik, terimalah ini!" Setelah berkata begitu, tampak lelaki bermuka hantu mengepalkan tangan kanannya. Dari mulutnya terlihat ia membaca mantera. Seketika itu tampak tangan lelaki berwajah hantu memerah membara. Dikiblatkannya tangan yang telah membara itu pada pemuda yang bermaksud menyerangnya.
Tak ayal lagi, Jatmoro yang tak memperhitungkan sebelumnya terpelanting ke belakang sebelum sampai pada sasaran. Tubuh Jatmoro tampak hitam mengarang, nyawanya pun melayang. Melihat hal itu, tersentaklah semua yang ada di situ. Nyali mereka agak menciut juga. Namun ketika sesepuh adat mengomandokan untuk menyerang, semua yang ada di situ dengan senjata di tangan masing-masing, serempak maju menyerang lelaki berwajah hantu.
Dikeroyok begitu banyaknya, tidak menjadikan lelaki berwajah hantu itu mundur dan kabur. Bahkan sebaliknya dengan masih menggendong tubuh gadis yang diculiknya, lelaki itu dengan mudahnya mengelak setiap serangan mereka.
"Percuma kalian membuang-buang nyawa yang hanya satu. Lebih baik kembali ke rumah masing-masing dan tidur dengan nyenyak," kata lelaki berwajah hantu sembari melompat mundur hendak pergi meninggalkan mereka. Namun penduduk yang telah dibakar amarah itu tak mau perduli. Mereka terus mengejar dan kembali mengepung, membuat lelaki bermuka hantu itu tampak menggeram marah.
"Rupanya kematian yang kalian inginkan. Baik! Hari ini juga kalian akan aku kirim ke akherat, bersiaplah!" Habis berkata begitu, kembali dari tangan lelaki bermuka hantu itu keluar selarik sinar merah, menghantam penduduk kampung yang mengejarnya.
Pekik kematian terdengar silih berganti. Mereka mati dengan keadaan yang sama, mati dengan tubuh hangus terbakar menjadi arang. Ciut juga nyali mereka yang masih hidup termasuk sesepuh adat dan ketua kampung. Hingga mereka hanya terdiam memandang dan mengurung lelaki bermuka hantu tanpa berani menyerang.
"Sudah aku katakan. Lebih baik kalian kembali saja ke rumah masing-masing dan tidur dengan nyenyak dari pada harus berurusan denganku. Kini kembali aku perintahkan pada kalian, pulang dan..."
Belum juga habis ucapan lelaki berwajah hantu, tiba-tiba terdengar desiran angin yang diikuti oleh berkelebatnya sesosok tubuh. "Iblis laknat! Ternyata kaulah orangnya yang selalu membuat keonaran. Sudah tujuh ini korbanmu. Jangan harap kau dapat lolos." Habis ucapan itu, tiba-tiba telah berdiri sesosok tubuh wanita di situ dengan mata memandang penuh kebencian pada lelaki bermuka hantu yang tersentak mundur.
"Siapa kau!" bentak lelaki bermuka hantu, setelah dapat menguasai suasana kembali. Matanya yang besar dan merah memandang tak berkedip pada gadis yang baru datang.
Gadis itu tersenyum sinis dan berkata sebelum akhirnya berkelebat menyerangnya. "Siapa aku tak penting. Yang pasti kau harus lenyap dari muka bumi ini, hiaat...!"
Tersentak lelaki bermuka hantu mendapat serangan yang begitu tiba-tiba dan cepat dari gadis yang tak lain Ayu Sakiti adanya. Keduanya segera terlibat pertarungan. Ayu Sakiti yang berwatak keras, tanpa memberi waktu sedikit pun terus mendesak dan merangsek lelaki bermuka hantu yang masih mengelak serangan-serangannya dengan membopong tubuh gadis culikannya.
Kenapa Ayu Sakiti datang di situ? Sejak dari kedai, memang perasaan Ayu Sakiti seakan membimbingnya untuk datang ke kampung itu. Ia yang kemalaman, dengan segera mencari penginapan. Tapi di kampung itu rupanya tak ada penginapan, maka dengan terpaksa Ayu Sakiti pun akhirnya beristirahat di sebuah dangau. Ketika ia tengah tertidur sesaat, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar adanya keributan. Maka dengan segera Ayu Sakiti pun menuju ke asal suara itu dan menemukan perkelahian penduduk menyeroyok lelaki bermuka hantu.
Ketika mengetahui bahwa yang tengah dikeroyok oleh penduduk adalah orang yang dicarinya, Ayu Sakiti yang sedari tadi hanya menonton segera keluar dari persembunyiannya dan menyerang lelaki bermuka hantu. Penduduk yang telah ciut nyalinya, seketika tumbuh keberanian kembali demi melihat seorang gadis dengan beraninya menyerang orang yang berilmu tinggi itu. Semuanya segera kembali mengurung lelaki bermuka hantu, yang tengah bertempur melawan Ayu Sakiti.
Perkelahian antar Ayu Sakiti dan lelaki bermuka hantu kini makin seru. Keduanya telah menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi hingga keduanya tak dapat dilihat oleh orangorang yang menontonnya, sebab keduanya berkelebat begitu cepat. Jurus demi jurus yang diikuti dengan pekikan-pekikan terus berlalu. Hampir seratus jurus sudah mereka lampaui. Namun kelihatannya kedua orang yang bertanding itu sama-sama tangguh, seakan tak akan ada yang kalah atau menang.
Bulan yang bergayut di langit kini tampak telah beralih ke sebelah Barat, pertanda pagi akan segera tiba. Tapi pertarungan keduanya masih terus berlangsung. Melihat pagi sebentar lagi akan datang, tampak lelaki bermuka hantu mendengus. Dan dengan sekali melentingkan tubuhnya, lelaki bermuka hantu segera mundur sembari menghantamkan pukulannya.
Ayu Sakiti dan semua penduduk tersentak, semuanya segera mengelak. Namun tak urung, salah seorang dari penduduk ada yang terkena pukulan itu. Seketika orang yang terkena meregang nyawa, tubuhnya seketika berubah menghitam bagaikan arang. Setelah semuanya tersadar. Didapatinya lelaki bermuka hantu telah lenyap dari pandangan mereka, membuat Ayu Sakiti geram. Tanpa memperdulikan orang-orang yang memandangnya. Ayu Sakiti segera berkelebat mengejar.
Namun ilmu lari orang yang bermuka hantu, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengannya. Hingga Ayu Sakiti pun tak dapat mengejarnya. "Hem... ilmu lari tingkat tinggi. Percuma aku mengejarnya. Mungkin guruku pun masih di bawah orang itu dalam hal ilmu kesaktian. Hanya Pendekar Pedang Siluman atau Jaka Ndableg sajalah yang mungkin dapat mengejar larinya. Setahuku, guru pernah bercerita tentang kehebatan Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Kata guru, Pendekar Pedang siluman adalah pewaris ilmu Empat Pendekar Sakti. Empat tokoh persilatan yang pernah merajai dunia persilatan lima tahun yang lalu. Seperti halnya Empat Pendekar Sakti, Jaka Ndableg pun memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi yang belum ada tandingannya. Ia juga memiliki senjata yang pernah kulihat ketika bertarung melawan Kala Wasungsang. Senjata itu dapat mengeluarkan Darah dan Angin Prahara. Baik, aku kembali saja. Kali ini aku gagal, tapi lain kali aku harus dapat meringkus durjana itu. Dan untuk itu, aku harus meminta tolong pada Jaka Ndableg. Ah, aku rasa Jaka Ndableg pun telah mendengar kejadian ini, di mana dia sekarang...?" tanya Ayu Sakiti pada diri sendiri, sebelum akhirnya ia berkelebat pergi kembali menemui penduduk kampung yang masih tampak berkerumun.
Sementara itu, di sebuah bukit, seorang lelaki dengan membopong tubuh seorang gadis di pundaknya berjalan menuju ke sebuah semaksemak di antara bebatuan. Direbahkannya tubuh gadis yang sedari tadi digendongnya ke atas semak-semak. Dibukanya totokan pada gadis itu yang seketika sadar. Gadis itu hendak menjerit, namun ketika melihat tatapan mata pemuda di hadapannya, seketika ketakutan si gadis hilang dan berubah menjadi rasa nafsu yang bergejolak-gejolak di dadanya.
Maka ketika lelaki muda itu menggeluti tubuhnya, si gadis tampak dengan nafsu membalasnya. Si gadis terlena dalam khayal yang diciptakan oleh lelaki muda itu, ia tak menyadari akan apa yang terjadi. Gigi pemuda itu yang tadinya rata, kini dengan sendirinya memanjang runcing. Dan...! Seketika terdengar jeritan kematian dari mulut si gadis yang memberontak meminta dilepaskan dari gigitan pemuda itu lalu akhirnya terkulai lemas dengan tubuh tak bernyawa. Setelah berhasil menyedot darah gadis korbannya, pemuda itu segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh gadis korbannya dengan begitu saja.
Pagi itu, Jaka nampak berlari-lari menuju ke sebuah bukit, pendengarannya yang tajam telah mendengar suara pekik kematian di bukit itu. Penciumannya yang tajam segera dipasang. Hidungnya mengendus endus mencium bau amis darah.
"Di manakah?" tanya Jaka dalam hati, masih terus mencari tempatnya bau amis itu. Ketika ia tiba di semak-semak yang tertutup bebatuan, didapatinya sesosok tubuh seorang gadis telah mati dengan leher berlobang bekas gigitan suatu mahluk.
"Hem. Mahluk macam apa yang telah menggigit gadis ini? Ularkah...? Hai. Tidak mungkin kalau ular, kalau ular niscaya gadis ini telah dibeset tubuhnya. Tapi ini, ah... sebuah misteri. Manusiakah? Apakah ada manusia yang mempunyai taring? Iblis atau setankah? Tapi aku rasa setan tak ada yang doyan darah manusia, kecuali siluman. Heh, ya, ini jelas manusia yang berilmu siluman yang berbuat begini, akan aku selidiki."
Dengan tanpa dibantu orang lain, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman dari Kawah Chandra Bilawa dengan segera menguburkan mayat gadis itu. Setelah mengubur mayat gadis itu, dengan segera Jaka Ndableg berkelebat pergi menuju ke kampung terdekat untuk mencari keterangan dengan adanya kematian gadis-gadis yang telah menjadi desas-desus di dunia persilatan.
Sedang Jaka berjalan-jalan untuk mencari kedai dikarenakan perutnya telah lapar, terdengar olehnya suara orang berteriak-teriak tengah bertempur. Jaka segera memasang pendengarannya. Lalu ketika telah pasti betul bahwa memang tengah terjadi pertempuran yang tak jauh dari tempatnya lewat, Jaka pun segera berkelebat menuju ke asal suara itu. Dan memang benar, di situ tampak dua orang tengah bertempur. Jaka tersentak kaget, ketika tahu siapa yang tengah berkelahi. Gadis yang tengah berkelahi dengan seorang lelaki tua berkepala botak dan berwajah sangar itu, tak lain dari pada murid tunggal Ki Mertanu, si Ayu Sakiti.
Mulanya Jaka bermaksud hanya menonton saja karena merasa tak perlu turun tangan untuk membantu Ayu Sakiti yang diketahuinya mempunyai ilmu tidak rendah. Namun ketika melihat Ayu Sakiti terdesak dan nyawanya hendak terancam oleh senjata rantai yang dipegang oleh lelaki tua musuhnya, dengan segera Jaka berkelebat. Dengan Pedang Siluman Darah di tangan, Jaka segera menghadang serangan rantai maut itu.
"Minggir, Ayu Sakiti!" Bersamaan dengan suara Jaka, secepat itu pula Pedang Siluman Darah di tangan Jaka berkelebat membabat putus rantai maut itu.
Pucat pasi wajah lelaki tua yang menyerang Ayu Sakiti, demi melihat rantai mautnya terbabat putus oleh senjata yang berada di tangan seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapannya dengan bibir mengurai senyum. Ayu Sakiti yang tahu Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah menolongnya, hatinya seketika berbunga gembira.
"Siapa kau, anak muda? Mengapa kau mencampuri urusan kami!" bentak lelaki tua berkepala gundul.
"Aku bukannya hendak mencampuri urusanmu, bila kau tidak bermaksud membunuh gadis ini. Tapi karena kau bermaksud mencelakai gadis ini, maka aku pun tak akan tinggal diam begitu saja," kata Jaka dengan tenangnya.
"Apa sangkut pautmu. Aku berurusan dengan gadis yang berada di sampingmu karena ia telah membunuh kelima murid-muridku." kata lelaki tua berkepala gundul itu dengan geramnya.
Namun tampaknya Jaka hanya tersenyum sembari kembali berkata setelah melirik pada Ayu Sakiti sesaat yang tersenyum padanya. "Orang tua. Kalau muridmu tidak jahat aku rasa temanku ini tidak akan menurunkan tangan jahatnya. Tapi karena kelima muridmu memang orang-orang jahat, maka sudah sepantasnyalah harus dibasmi."
Mendengar ucapan Jaka yang dirasakannya ngelantur, makin geramlah lelaki tua berkepala gundul. Dengan mata menatapi tajam, lelaki tua berkepala gundul itu kembali membentak. "Anak muda, rupanya kau tidak memandang sebelah mata pun pada Singkek Iblis, hingga berani lancang ngomong sembarangan. Jangan salahkan aku yang tua ini mengajar adat pada kalian!"
Mendengar ancaman Singkek Iblis, Jaka Ndableg bukannya takut, malah tertawa bergelak-gelak. Hingga Singkek Iblis tersentak dengan penuh amarah. Tanpa banyak berkata lagi, Singkek Iblis yang sudah tak dapat menahan amarah segera berkelebat menyerang Jaka dengan senjata lainnya yang berbentuk trisula. Diserang begitu tiba-tiba, tidak menjadikan Jaka Ndableg bingung. Maka dengan sekali berkelit, Jaka pun dapat mengelakan serangan Singkek Iblis.
Menerima kenyataan serangannya dapat dengan mudah dielakkan oleh pemuda musuhnya, makin geramlah lelaki tua berkepala botak itu. Dengan makin meningkatkan serangannya yang langsung menuju ke sasaran kematian, Singkek Iblis mencoba merangsek Jaka. Dengan bersuit nyaring, Jaka segera mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya yang menggunakan jurus Elang Mencakar Mangsa.
Tersentak Singkek Iblis melihat jurus aneh yang dipakai oleh pemuda musuhnya. Dengan melompat mundur, Singkek Iblis segera mengeluarkan ajiannya setelah menggeram sesaat. Seketika tubuh Singkek Iblis berubah menjadi banyak. Kini Jaka yang tersentak dan melompat mundur seraya berkata dengan masih penuh ketenangan.
"Singkek Iblis. Kalau kau hendak memamerkan ajian siluman mu, baik. Nah, aku pun akan mengimbanginya."
Setelah habis ucapannya, dengan segera Jaka duduk bersila. Matanya terpejam rapat, dari mulutnya keluar ucapan yang tak terdengar. Itulah ucapan mantera. Seketika itu, tubuh Jaka yang tadinya kecil berubah besar dan makin besar. Ajian Dewa Buto Sewu memang tak pernah dipakai oleh Jaka sejak diajarkan, oleh Ki Bayong guru tertuanya. Sebab ajian itu begitu hebat, juga akan mendatangkan petaka di dunia persilatan bila tidak dapat dijinakkan oleh pemiliknya yang tengah dilanda emosi. Ayu Sakiti tersentak mundur demi melihat tubuh Jaka seketika berubah menjadi Raksasa Dewa Wisnu, yang besar dan tinggi. Tawanya membahana, menjadikan pepohonan di sekitarnya tumbang berhamburan.
Melihat hal itu, keseribu tubuh Singkek Iblis segera menyerbu raksasa Dewa Wisnu. Maka tak ayal lagi, kedua ajian aneh itu bertempur mengadu kekuatan. Tinggal Ayu Sakiti sendiri yang tampak pucat melihat hal di depan matanya. Raksasa Dewa Wisnu mengamuk. Tangannya yang besar berkelebat menangkap keseribu Singkek Iblis. Dan dengan sekali remas keseribu Singkek Iblis itu hancur berkeping-keping menjadi abu.
Walaupun Singkek Iblis telah mati, namun Ayu Sakiti tak juga berani memunculkan diri. Ia masih takut melihat Raksasa Dewa Wisnu, hingga wajahnya pucat pasi. Karena Jaka melakukan tidak dalam keadaan emosi, maka perubahan ujud kembali pada dirinya semula pun tidak mengalami kesulitan. Jaka terduduk lemas, wajahnya tampak berkeringat. Sepertinya ia telah melakukan pekerjaan yang sangat berat. Setelah lama terdiam, Jaka pun segera mencari Ayu Sakiti yang bersembunyi karena ketakutan. Walaupun ia seorang pendekar namun demi melihat ilmu-ilmu aneh yang baru saja ia tahu, ia takut juga.
"Ayu Sakiti, di mana kamu?" seru Jaka memanggil nama Ayu Sakiti.
Tak lama kemudian, tampak Ayu Sakiti keluar dari persembunyiannya masih dengan wajah pucat. Hal itu membuat Jaka tersenyum sembari berkata:
"Wajahmu pucat. Kenapa?"
"Aku takut."
"Takut...? Takut pada siapa?" tanya Jaka kembali, di bibirnya terurai senyuman. Hingga Ayu Sakiti pun turut tersenyum tersipu-sipu seraya berkata manja.
"Ah. Kau bercanda. Siapa yang tak takut melihat kau berubah ujud segitu gedenya?"
Mendengar penuturan Ayu Sakiti, seketika Jaka tersenyum sembari berkata: "Seharusnya aku tak usah mengeluarkan ajian itu kalau Singkek Iblis tidak mendahului dengan ajian seribu Iblisnya. Tapi sudahlah... oh ya, kenapa kau ada di sini?"
Ayu Sakiti pun menceritakan tentang apa yang telah ia alami di kampung itu. Tak lupa Ayu Sakiti memberi tahukan tentang siapa yang selama ini menggegerkan dunia persilatan.
Di perguruan Tambak Segara, tampak pagi itu dua orang muda mudi tengah berlatih ilmu silat. Keduanya berkelebat-kelebat dengan cepatnya. Keduanya saling serang dan bertahan dari gempuran yang lain. Tak jauh dari mereka berlatih, seorang lelaki yang rambutnya telah berubah menjadi putih duduk bersila di atas sebuah batu yang terletak di sisi kiri pintu padepokan. Walau matanya terpejam, namun dengan penglihatan batinnya yang tajam lelaki tua yang bernama Ki Tambak Sande dapat mengikuti kedua muridnya berlatih.
Salah satu dari kedua muridnya yang tak lain dari anaknya sendiri, sementara yang seorang lagi adalah Anggasana menantunya. Kedua muda mudi itu telah dijodohkan oleh guru sekaligus ayah sang gadis yang bernama Sekar Sedati.
Hubungan kedua sejoli itu tampak intim dan penuh kasih sayang hingga keduanya tampak seperti Kama Jaya dan Dewi Ratih. Keharmonisan hubungan mereka sempat menjadikan iri hati pada seorang murid Ki Tambak Sande lainnya yang bernama Kandana. Pernah Kandana yang merasa iri hati kepada Anggasana telah berusaha memperkosa Sekar Sedati. Namun untung segera diketahui oleh Ki Tambak Sande, yang dengan kesaktiannya sempat mengutuk sang murid. Hingga wajahnya berubah menjadi buruk rupa saat itu pula.
"Ciat...! Awas, kakang Angga. Terimalah seranganku," kata Sekar Sedati seraya berkelebat dengan cepat menyerang kekasihnya.
Anggasana dengan seketika mengelak, lalu dengan terlebih dahulu memperingatkan pada Sekar Sedati, Anggasana segera balik menyerang. "Awas, Sekar. Ganti aku yang menyerang. Hiaat...!"
Mungkin karena disengaja atau karena ingin menguji kasih sayang Anggasana, maka Sekar Sedati tidak segera mengelak serangan Anggasana. Hingga pukulan yang dilontarkan Anggasana pun seketika mendarat di dada sebelah kanannya. Sekar Sedati seketika terhuyung-huyung ke belakang dengan muka meringis menahan sakit.
Anggasana sesaat tersentak demi melihat kekasihnya terhuyung kena pukulannya dengan perasaan takut kalau-kalau kekasihnya terluka, Anggasana pun segera memburu tubuh Sekar Sedati dan dengan cepatnya dipeluk tubuh Sekar Sedati dalam pelukannya. Menerima hal itu Sekar Sedati yang memang hanya berpura-pura sakit dengan seketika membalas memeluk Anggasana yang seketika tergagap.
"Kenapa kakang?" tanya Sekar Sedati, demi melihat Anggasana hendak melepaskan pelukannya. Dengan segera, Anggasana memberi tanda isyarat. Tapi dasar Sekar Sedati manja, sudah diberi isyarat bukannya segera melepaskan pelukannya, bahkan makin mempererat.
"Sekar. Bukankah ada ayahmu?" bisik Anggasana memperingatkan, karena ia takut kalau-kalau Ki Tambak Sande yang tengah bersemedi melihatnya.
Sekar Sedati tak mau perduli, malah dengan manja dirangkul dan diciumnya pipi Anggasana yang seketika makin gelagapan sembari berkata: "Biarin. Bukankah kita telah ditunangkan?"
"Aku tahu, Sekar. Tapi kita ini belum resmi, maka belum layaklah bila kita berbuat begini di depan orang lain walau itu ayahmu," kata Anggasana kembali menjelaskan.
Belum juga Sekar Sedati berkata, tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Sande berkata: "Benar, anakku. Walau kalian telah terikat, tapi hal itu bukannya tanda kalian boleh sesuka hati berbuat. Kalian sebagai orang-orang persilatan harus dapat menjaga hal-hal yang sekiranya kurang baik. Nanti kalau memang sudah masanya, maka kalian berhak atas segala yang menjadi hak kalian."
Anggasana tersentak kaget hingga dengan segera melepaskan pelukan Sekar Sedati. Wajahnya merah padam menahan malu, sementara Sekar Sedati tampak hanya cengar-cengir manja dan masih terus menggayuti pundak Anggasana yang kini telah berdiri. Sebagai murid Ki Tambak Sande yang baik, maka merasa dirinya bersalah Anggasana tanpa disuruh oleh gurunya segera bersujud memohon ampun.
"Ampun, guru. Tidak sekali-kali murid bermaksud berbuat rendah. Namun bila tindakan muridmu ini ternyata memang salah, maka murid siap untuk menerima hukumannya," kata Anggasana sembari bersujud di depan kaki gurunya Ki Tambak Sande yang tampak masih semedi dengan mata terpejam.
"Kau tidak bersalah, Angga. Memang darah muda akan selalu dihinggapi dengan segala nafsu angkara dan kelalaian. Tapi kau telah mampu mengatasinya. Aku bersyukur telah dapat mendidikmu dengan baik hingga menjadi orang yang mengerti tata krama kehidupan," kata Ki Tambak Sande dengan masih memejamkan matanya.
"Ayah... Sekar juga meminta maaf karena Sekar telah berbuat yang tak seharusnya Sekar lakukan," Sekar Sedati segera mengikuti kekasihnya bersujud di hadapan ayahnya dan mengakui segala kesalahannya.
Ki Tambak Sande tampak tersenyum demi melihat kedua anak dan muridnya tampak bersujud. Lalu dengan mata masih terpejam, Ki Tambak Sande berkata pelan. Tapi kata-kata Ki Tambak Sande seketika menjadikan Sekar Sedati dan Anggasana terbelalak.
"Angasana dan Sekar Sedati, bersiaplah! Sebentar lagi akan datang orang yang berilmu tinggi yang dulu pernah kita kenal..."
Dalam keterkejutannya, Anggasana pun melontarkan pertanyaan ingin tahu gerangan siapa orang yang datang hingga ia harus bersiap-siap. "Siapa gerangan orang itu, guru?"
Sesaat Ki Tambak Sande terdiam, lalu dengan membuka matanya perlahan. Ki Tambak Sande pun berkata kembali. "Kalian masih ingat kejadian enam tahun yang silam?"
Terbelalak Anggasana Dan Sekar Sedati mendengar ucapan guru dan ayahnya. Kembali terbayang di benak Anggasana dan Sekar Sedati wajah seseorang yang telah membuat keributan. Tanpa sadar, Anggasana dan Sekar Sedati bergumam menyebut nama lelaki itu.
"Kandana, mau apa dia ke mari?"
"Muridku dan anakku. Memang benar akan apa yang kalian katakan, orang itu memang Kandana adanya. Tapi ingat, dia sekarang bukanlah Kandana yang dulu kalian kenal. Dulu kalian mengenalnya sebagai orang yang bodoh dan dungu, namun sekarang. Kandana telah bersekutu dengan iblis, hingga ilmunya pun ilmu iblis pula. Tapi kalian tak perlu takut, bagi seorang pendekar lebih baik mati daripada harus menyerah kalah pada iblis," kata Ki Tambak Sande memberi semangat.
"Apa yang menjadi ucapan guru, akan murid junjung tinggi dan pertahankan. Murid telah siap untuk menghadapinya, walau nyawa murid sebagai taruhannya," sahut Anggasana dengan penuh rasa percaya diri dan siap menghadapi segalanya.
Begitu juga Sekar Sedati, yang dihatinya telah tertanam benih dendam atas perlakuan Kandana enam tahun yang silam, yang hampir saja merenggut miliknya yang paling mahal. Maka dengan mata bersinar penuh kebencian, Sekar Sedati pun berkata: "Seperti kakang Anggasana, aku pun telah siap untuk mati daripada harus menyerah pada iblis Kandana."
"Bagus. Ketahuilah, Kandana datang ke mari dengan tujuan ingin membuat perhitungan pada kita dan sekaligus ingin mengulangi perbuatannya enam tahun yang silam yang dapat kita gagalkan." Sehabis berkata begitu, Ki Tambak Sande tampak berdiri dari duduknya dan dengan mata membuka lebar ditatapnya pemandangan di sebelah Timur rumahnya.
Melihat sang guru berbuat begitu, maka Anggasana pun segera mengikuti di belakangnya bersama Sekar Sedati. Kala mereka tengah memandang ke arah Timur, Ki Tambak Sande dengan tanpa berpaling berkata: "Bersiaplah. Sebentar lagi iblis itu akan segera datang. Aku peringatkan pada kalian, jangan terpengaruh dengan tatapan matanya sebab jika kalian memandang matanya celakalah kalian."
"Kenapa begitu, guru?" tanya Anggasana belum mengerti akan ucapan gurunya, dan merasa aneh kedengarannya.
Mendengar pertanyaan muridnya, sang guru sesaat menengok memandang pada murid dan anaknya seraya kembali berkata menerangkan. "Ketahuilah. Jika kalian memandang matanya, maka kalian akan terpengaruh oleh iblis. Kalau kalian telah terpengaruh, maka dengan mudah iblis itu akan membunuh kalian bagaikan membalik telapak tangannya. Pahamkah kalian?"
"Murid mengerti, guru."
"Sekar mengerti, ayah."
Sesaat ketiganya terdiam hening, tak ada yang berkata-kata. Sepertinya mereka tengah tegang menghadapi sesuatu yang bakal menimpa mereka. Angin siang itu tidak seperti biasanya. Angin siang itu tampak begitu kencang dan dingin, disertai dengan bunyibunyi aneh menerpa mereka.
Hilang angin itu, tiba-tiba ketiganya tersentak mendengar suara gelak tawa yang membahana. Kembali ketiganya tegang, mata mereka sesaat membeliak dan memandang sekeliling. Namun mereka tak menemukan apa-apa, maka dengan berbisik pada murid dan anaknya Ki Tambak Sande berkata memperingatkan.
"Awas. Iblis itu telah datang, bersiap-siaplah." Habis kata-kata Ki Tambak Sande. Seketika dari arah Timur berkelebat sesosok tubuh dengan gelak tawa membahana menuju mereka.
"Selamat bertemu kembali, Ki Tambak Sande? Mungkin engkau masih mengenalku, walau wajahku telah berubah tidak buruk seperti dulu."
Habis ucapan itu, tiba-tiba tanpa diketahui kedatangannya oleh Ki Tambak Sande. Orang yang mereka maksud telah berdiri tak jauh darinya, hal itu membuat Ki Tambak Sande terbelalak kaget. Namun sebagai seorang yang telah tersohor di dunia persilatan, dan telah banyak makan asam garam. Ki Tambak Sande dapat segera menghilangkan ketegangan, maka dengan nada datar penuh ketenangan, Ki Tambak Sande berkata: "Kandana, untuk apa kau datang ke mari?"
Mendengar pertanyaan Ki Tambak Sande, seketika Kandana kembali tertawa bergelak-gelak. Dengan senyum sinis, Kandana memandang tajam pada Ki Tambak sesaat, lalu pandangannya tertuju pada Sekar Sedati. "Hem. Rupanya kau makin tambah cantik saja, manis. Dulu aku tak sempat mencicipi tubuhmu yang bahenol itu, kini saatnya aku harus dapat merasakannya. Ayo, denok. Kau harus mau melayaniku."
Habis berkata begitu, tanpa memandang sedikit pun pada Ki Tambak Sande dan Anggasana yang melotot marah. Kandana dengan sekelebat segera hendak menangkap Sekar Sedati, yang seketika mengelak dan mengirimkan tendangannya. Geram Kandana menerima hal itu. Ia tak menyangka kalau Sekar Sedati akan menendangnya, hingga perutnya pun tak ayal lagi menjadi hantaman kaki Sekar.
"Bug...!"
Terbelalak mata Kandana. Giginya bergerutuk menahan amarah, hingga matanya seketika berubah menjadi merah. Maka dengan terlebih dahulu mengeluarkan suara geraman, Kandana kembali menubruk tubuh Sekar Sedati. Tapi belum juga maksudnya kesampaian, tiba-tiba Anggasana telah menghantamkan pukulan Palu Sewunya. Dan untuk kedua kalinya Kandana terhuyung ke belakang dengan darah menetes di bibirnya.
Makin marah saja Kandana menerima perlakuan seperti itu, maka dengan menggeram kembali dan dari mulutnya merapal ajian yang diperolehnya di goa Pancoran Sewu yaitu ajian Samber Nyawa, Kandana pun kembali menyerang. Sekar Sedati dan Anggasana yang telah waspada, dengan segera berkelit mengelakan serangan Kandana yang sudah nampak memuncak amarahnya. Merasa buruannya dapat lolos, makin bertambah saja amarahnya. Dengan perasaan iblis, Kandana pun segera mengiblatkan ajian Samber Nyawa pada dua sejoli itu.
"Awas...!" seru Ki Tambak Sande demi melihat selarik sinar merah membara menuju ke murid dan anaknya yang dengan segera mengelak.
Pucat pasi wajah kedua sejoli itu demi melihat apa yang baru saja hampir merengut nyawa mereka. Sementara Ki Tambak Sande menggumam saat mengetahui ilmu yang digunakan oleh Kandana.
"Hem. Ajian Samber Nyawa. Rupanya benar apa yang telah dikatakan oleh wangsit yang aku terima. Anggasana dan kau Sekar Sedati, minggirlah. Dia bukan lawan kalian, biar aku yang menghadapi," seru Ki Tambak Sande yang tahu bahwa murid dan anaknya tak akan mampu menghadapi Kandana. Tanpa banyak bicara. Dengan segera Anggasana dan Sekar Sedati segera melompat mundur. Melihat kedua musuhnya mundur, dan demi mendengar ucapan Ki Tambak Sande, dengan senyum sinis Kandana berkata sengau:
"Hem. Rupanya kau telah tahu ilmu yang kugunakan. Nah, sekarang kuperintahkan pada kalian. Menyerahlah!"
Mata Anggasana dan Sekar Sedati terbelalak demi mendengar ucapan Kandana, seketika keduanya memandang pada Ki Tambak Sande yang tampak masih tenang dan tersenyum sinis dan berkata menjawab ucapan Kandana.
"Kandana. Jangan kau berbesar hati dan sombong karena telah memiliki ilmu iblis. Pantang bagiku, Ki Tambak Sande menyerah pada iblis. Nah, Aku telah siap menghadapimu, walaupun nyawaku sebagai penggantinya."
"Hem. Begitu. Baik, bersiaplah kau kukirim ke akherat. Bersiaplah, hiat...!"
Habis berkata begitu, dengan secepat kilat Kandana berkelebat menyerang Ki Tambak Sande. Tangan Kandana yang telah merapalkan aji Samber Nyawa tampak merah menyala bagaikan bara api, dengan segera dikiblatkannya pada Ki Tambak Sande yang-segera mengelak dan langsung mengirimkan serangan balik dengan aji Gampar Bumi. Kedua kekuatan sakti itu saling bertemu dan beradu di udara, menjadikan suara ledakan dahsyat.
"Blaar...!"
Ki Tambak Sande terdorong lima tombak ke belakang, dadanya terasa sesak. Sementara Kandana tampak hanya melengoskan tubuhnya menerima hantaman itu, di bibirnya tergerai senyum sinis mengejek.
Kaget Ki Tambak Sande, demi melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Hatinya seketika bergumam: "Hem. Memang bukan ilmu sembarangan, tapi apapun yang terjadi daripada aku harus menyerah kalah pada iblis, lebih baik aku mati." Tanpa disadari Kandana. Ki Tambak Sande dengan segera kembali berkelebat menyerang Kandana. Diserang tiba-tiba seperti itu, membuat Kandana menggeram dan mengumpat-umpat marah sembari berkelit.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus cepat-cepat, tua bangka!" Dengan reflek yang tinggi, Kandana segera mengiblatkan kembali tangan yang telah disaluri ajian Samber Nyawa ke arah Ki Tambak Sande yang tak menduga. Hingga tanpa dapat berkelit, Ki Tambak Sande akhirnya hanya mampu mengadunya dengan ajian Gampar Bumi. Dan... Kembali terdengar suara ledakan membahana di angkasa.
"Duar!"
Untuk kedua kalinya Ki Tambak Sande terdorong ke belakang, kali ini malah makin fatal akibatnya. Ki Tambak Sande tampak bukannya terdorong saja, malah kini terluka dalam. Sementara Kandana tampak makin melebarkan senyumnya, demi menyaksikan musuhnya terkapar dengan tangan memegangi dadanya. Maka dengan congkaknya Kandana tertawa seraya berkata:
"Sudah aku bilang, percuma saja kalian melawanku. Maka begitulah akibatnya, ha... ha..."
Mendengar ucapan Kandana yang sombong, membuat Anggasana dan Sekar Sedati yang tengah mengerumuni tubuh Ki Tambak Sande menggeram. Dan dengan nekad, keduanya segera berkelebat menyerang Kandana seraya berkata membentak:
"Jangan takabur iblis. Langkahi dulu mayat kami, sebelum kau dapat menguasai diri kami," kata keduanya hampir berbarengan.
"Hem. Bagus. Rupanya kalian pun menghendaki mati, baiklah. Akan aku kirim kalian semuanya ke akherat, walaupun aku merasa sayang dengan tubuhmu yang bahenol itu, Sekar. Namun kalaupun begitu, aku akan menikmati dulu tubuhmu sebelum aku kirim kau ke neraka."
Kandana yang telah dirasuki iblis, tanpa mengenal rasa kasihan segera memapaki serangan keduanya dengan ajian Samber Nyawa. Dicecarnya tubuh Anggasana, sementara Sekar Sedati yang memang diinginkannya hidup. Dibiarkannya menyerang. Pertarungan dua lawan satu pun terus berjalan. Walaupun demikian, tampak Kandana dengan mudah dapat mendesak keduanya. Hingga pada sebuah kesempatan, Kandana dapat menghantamkan ajian Samber Nyawanya ke tubuh Anggasana yang seketika hangus mati.
Melihat kekasihnya mati di tangan Kandana, Sekar Sedati dengan nekad menyerang Kandana berhadap-hadapan. Untung Kandana tidak menurunkan tangan mautnya. Hingga ketika keduanya bentrok, Sekar Sedati tak mengalami hal seperti kekasihnya. Namun tubuhnya seketika lemas, terkena totokan yang dilancarkan oleh Kandana. Kandana tampak meringis tersenyum, demi melihat tubuh Sekar Sedati tergeletak dengan tak berdaya. Perlahan didekatinya tubuh Sekar yang tergeletak lemas, membuat Sekar Sedati membeliakkan matanya penuh kebencian. Dari mulutnya keluar caci maki.
"Iblis laknat, lepaskan aku. Aku tak sudi melayanimu, cih!"
Dicaci maki seperti itu, bukan menjadikan Kandana marah. Bahkan dengan tersenyum, Kandana pun segera membuka pakaian yang melekat di tubuh Sekar yang hanya mampu memejamkan mata rapat-rapat pasrah.
Ki Tambak Sande yang menyaksikan hal itu menjadi sangat geram dan dengan sisa-sisa tenaganya segera melompat menyerang Kandana. Ditendangnya Kandana yang tengah mengangkangi tubuh anaknya hingga terpental mencium tanah dan dengan segera dibebaskannya totokan yang membelenggu tubuh anaknya hingga terbebas. Setelah Sekar Sedati terbebas, disuruhnya Sekar Sedati pergi
"Cepat tinggalkan tempat ini. Cepat!"
Mulanya Sekar Sedati tampak ragu, hingga membuat Ki Tambak Sande kembali membentaknya. "Anak dungu! dia tak akan membunuhmu, namun dia akan memperkosamu. Cepat pergi!"
"Tapi, ayah?" tanya Sekar Sedati ragu hingga membuat Ki Tambak Sande melotot marah dan kembali membentak.
"Dungu! Jangan kau hiraukan aku. Cepat pergi!"
Maka dengan menurut tanpa banyak kata lagi, Sekar Sedati pun segera berlari pergi meninggalkan tempat itu. Kandana yang sudah berdiri kembali bermaksud mengejar Sekar Sedati yang berlari, ketika dengan segera Ki Tambak Sande menghadangnya. Geram Kandana merasa buruannya lolos karena Ki Tambak Sande, maka tanpa ampun lagi Ki Tambak Sande pun dengan segera menjadi bulan-bulanan kemarahan Kandana hingga tubuhnya hancur. Belum puas sampai di situ, ditendangnya tubuh Ki Tambak Sande hingga melayang jauh.
"Bedebah! Dendamku belum habis bila aku belum dapat merasakan tubuh Sekar Sedati. Hem... Ke mana pun larinya, akan kukejar." Sehabis berkata begitu, tubuh Kandana seketika berkelebat menuju ke arah yang ditempuh Sekar Sedati.
Jaka dan Ayu Sakiti tengah berjalan dalam usahanya memburu manusia bermuka hantu yang telah menggemparkan dunia persilatan. Sudah cukup jauh mereka berjalan, menyusuri hutan dan desa namun belum juga mereka menemukan jejak yang dapat menuntun mereka menunjukkan adanya orang tersebut. Siang itu keduanya tampak berjalan beriringan menyusuri jalan Setapak di tengah hutan yang belum dijamah oleh manusia.
"Ke mana kita harus mencarinya? Rasarasanya sangat susah bagi kita untuk dapat menemukannya. Aku yakin bahwa orang mungkin telah mencium maksud kita," kata Jaka dengan putus asa, menjadikan Ayu Sakiti mengernyitkan alis.
"Kenapa kau menjadi orang yang pesimis? Bukanlah seorang pendekar bila cepat menyerah." Jaka nyengir kuda, demi mendengar ucapan Ayu Sakiti yang dirasa menyindirnya. Maka tanpa dapat berkata lagi, Jaka pun segera melanjutkan langkahnya dengan perasaan malu.
"Ke mana kita?" kembali Jaka bertanya untuk kedua kalinya, Ayu Sakiti kembali mengernyitkan pelipisnya. Dipandangnya Jaka dengan tajam, hingga membuat Jaka salah tingkah dan bertanya heran.
"Kenapa kau memandangku begitu? Apa ada yang tak beres padaku?"
"Ada," jawab Ayu Sakiti dengan muka cemberut. Membuat Jaka makin tak mengerti dengan tingkahnya.
"Hai... kau marah padaku? Ada ucapanku yang menyinggung perasaanmu, Ayu?" Melihat Ayu Sakiti cemberut begitu rupa timbul di hati Jaka untuk menggoda. Dengan berkelebat cepat. Jaka segera meninggalkan ayu Sakiti yang terbengong-bengong sembari mencari-cari.
"Ke mana dia?" tanya hati Ayu Sakiti. Dipanggilnya Jaka dengan berteriak-teriak. "Jaka...! Di mana kau?"
Tanpa ada jawaban, membuat Ayu Sakiti makin bingung. Walaupun dia seorang pendekar, tapi dia juga seorang wanita. Ditinggal sendirian di dalam hutan yang masih perawan, seketika bulu kuduknya meremang berdiri. Sedang Ayu Sakiti ketakutan. Tiba-tiba terdengar suara yang menyeramkan.
"Aum...aum!"
Ayu Sakiti semakin ketakutan, dicarinya asal suara itu, namun ia tak menemukan apa-apa di sekitarnya. Keringat dingin seketika deras membasahi pelipis Ayu Sakiti, lalu dengan gemetaran Ayu Sakiti kembali berseru memanggil.
"Jaka...! Di mana kau?!"
"Ha... ha...! Anak manis, sedang apa kau di sini sendirian?"
Tiba-tiba terdengar suara orang tanpa ujud, membikin Ayu Sakiti seketika terduduk dengan tubuh gemetaran. Belum hilang rasa takutnya, sekonyong-konyong sesosok tubuh berkelebat dan langsung memeluknya hingga Ayu Sakiti terlonjak sembari menjerit.
"Auh...!"
Orang yang memeluknya yang ternyata Jaka Ndableg, seketika tertawa terpingkal-pingkal membuat Ayu Sakiti kembali cemberut. Tapi ketika Jaka hendak melepaskan pelukannya, Ayu Sakiti malah melingkarkan kedua tangannya ke leher Jaka dan merebahkan kepalanya pada dada Jaka.
"Ayu, sadarlah."
"Tidak!" jawab Ayu Sakiti dengan manja, yang membuat Jaka seketika bingung harus berbuat apa. Jaka pun akhirnya hanya terdiam membiarkan Ayu Sakiti rebah di dadanya.
Keduanya sesaat terlelap dalam diam. Tak terasa Ayu Sakiti merasakan getaran aneh di hatinya, hingga tanpa disadarinya makin erat Ayu Sakiti memeluk tubuh Jaka. Kedua insan mudamudi itu seketika saling pandang, bibir mereka akhirnya yang bicara mengutarakan isi hati. Benih-benih cinta pun tumbuh, seirama dengan desiran angin yang merambat lewat dedaunan. Lama keduanya saling berciuman. Jaka Ndableg tersadar dan dengan perlahan melepaskan pelukan Ayu Sakit sembari berbisik.
"Ayu, sadarlah. Kita tengah berada di dalam hutan. Dan tidakkah kita tengah memburu seseorang? Kalau kita menuruti hati kita, bukan tak mungkin kita yang akan celaka oleh musuh."
Mendengar penuturan Jaka, Ayu Sakiti pun akhirnya mau melepaskan rangkulannya dengan tersipu-sipu, sementara matanya yang lentik memandang sayu penuh rasa kagum dan cinta pada Jaka. Jaka mengerti akan apa yang tersirat dari pandangan Ayu Sakiti, seperti halnya dengan hatinya sendiri yang juga merasakan adanya getaran-getaran aneh.
Dari bibir Ayu Sakiti yang mungil, dengan perlahan keluar kata-kata. "Jaka, aku harap kau jangan meninggalkanku. Aku yakin kau mengerti perasaanku."
Mendengar ucapan Ayu Sakiti yang tulus dan polos, tak terasa Jaka berkaca-kaca matanya tak mampu untuk berucap, hanya anggukan kepala saja yang dapat ia lakukan sebagai jawaban. Berbunga hati Ayu Sakiti, melihat Jaka menganggukkan kepalanya, bagaikan anak kecil saja, Ayu Sakiti segera memeluk Jaka kembali seraya berseru girang.
"Terima kasih, Jaka. Ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan."
Melihat Ayu Sakiti tampak bahagia, Jaka pun merasa turut bahagia. Entahlah, baru sekali ini Jaka merasakan getaran perasaan lain pada Ayu Sakiti. Keduanya kembali terhanyut dalam keindahan asmara, yang membawa mereka ke alam indah penuh misteri yang tak dapat dipecahkan. Sedang keduanya berciuman, tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh bentakan seseorang.
"Kurang asem! Berani benar menjadikan wilayahku untuk bermesraan. Hai monyet-monyet muda, apa kau tidak tahu jika hutan ini adalah wilayah kekuasaanku, hah!"
Jaka dan Ayu Sakiti tersentak, hingga ciuman mereka pun terlepas. Namun yang membuat marah Jaka bukannya itu, tapi ucapan lelaki gembrot yang kini berada tiga tombak di hadapannya. Maka dengan balik membentak, Jaka pun berkata.
"Hai babi gudig! Apa hakmu melarang kami, ini adalah hutan. Maka siapa pun berhak untuk singgah atau bermukim di sini, jangan seenak udel saja kau mengaku-aku yang bukan menjadi hakmu."
"Bojleng-bojleng. Kera kurapan, rupanya kau belum tahu siapa aku hingga berani lancang ngomong sembarangan," dengus lelaki gembrot itu dengan marahnya, demi mendengar ucapan yang dilontarkan Jaka.
Ayu Sakiti hanya tersenyum menyaksikan kekasihnya tengah berperang mulut dengan lelaki gendut yang telah mengganggu mereka.
"Aku tak perduli siapa kau. Yang pasti, kau tak lebih dari orang-orang jahat hingga tempatmu di hutan seperti ini, agar kau tak dapat diburu oleh orang-orang penegak kebenaran dan keadilan. Nah mengakulah, agar aku dapat menangkapmu untuk kuserahkan ke kerajaan," kata Jaka mereka-reka.
Namun ternyata rekaan Jaka benar adanya. Terbukti lelaki gemuk itu tersentak demi mendengar ucapan Jaka Ndableg yang tadinya hanya mereka, kini merasa yakin bahwa orang itu memang jahat. Maka sebelum lelaki gembrot itu berkata, Jaka telah mendahuluinya.
"Nah, kau akhirnya mengakui siapa kau sebenarnya. Ayu, dia ternyata seorang buronan kerajaan. Maka sepantasnyalah kita harus menangkapnya."
"Benar, kakang. Orang-orang macam dia memang harus ditangkap dan dijebloskan ke penjara, atau harus dihukum picis sesuai dengan kejahatannya." jawab Ayu Sakiti.
Lelaki gemuk itu seketika marah, demi mendengar kedua anak muda di hadapannya berkata. Ia memang seorang buronan kerajaan, tanpa banyak kata lagi menyerang. "Monyet-monyet gendeng, memang aku musuh kerajaan. Akulah yang bernama Begal Bajing Ireng. Kalau kalian mau menangkap aku langkahi dulu mayatku."
Tubuh Begal Bajing Ireng yang gemuk ternyata tidak menjadikannya kaku. Bahkan dengan tubuh yang gemuk, Begal Bajing Ireng bergerak lincah menyerang Jaka. Merasa dirinya tak perlu untuk turun tangan. Maka Jaka dengan segera melompat mundur, menonton Ayu Sakiti bertempur menghadapi Begal Bajing Ireng. Merasa Ayu Sakiti adalah seperti wanita kebanyakan. Begal Bajing Ireng menganggap enteng saja. Ia tak mengetahui siapa sebenarnya yang tengah ia hadapi, yang tak lain dari murid tunggal Ki Martanu. Begal Bajing Ireng tersentak, ketika tangan Ayu Sakiti berkelebat cepat dan menghantam tubuhnya yang gendut hingga terhuyung ke belakang.
"Bojeng-bojeng, lebih baik menyerahlah. Kalau kau mau menyerah, maka akan ringan hukumanmu," kata Jaka yang tampak tenang duduk di atas sebatang pohon yang tumbang. Geram Begal Bajing Ireng merasa diremehkan. Maka dengan mendengus marah, ia pun kembali menyerang Ayu Sakiti.
"Rupanya kau alot juga, orang tua. Baik! Ayo kita teruskan," kata Ayu Sakiti, demi melihat Begal Bajing Ireng yang kembali menyerangnya.
Pertempuran keduanya pun kembali berjalan. Sementara Jaka tampak hanya memandang mengawasi dengan siaga, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Sedang keduanya berkelahi. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berseru:
"Kakang Bajing Ireng, biar sundel ini aku yang menghadapi. Kakang hadapilah pemuda itu, jangan biarkan pemuda itu ongkang-ongkang di tempatnya." Habis ucapan itu, berkelebat seketika sesosok tubuh gadis yang sebaya dengan Ayu Sakiti dan langsung menggantikan Bajing Ireng yang segera menyerang Jaka yang sedari tadi menjadi penonton.
"Heh bagus. Rupanya di sini ada kuntilanak juga! Baiklah kalau kau mengingini berhadapan dengan aku," kata Jaka seraya mengelakan pukulan Begal Bajing Ireng.
Kini pertarungan menjadi ramai, dengan turunnya adik Bajing Ireng. Jaka yang sudah sedari tadi melihat ilmu Begal Bajing Ireng, dengan tenangnya meladeni setiap serangan yang dilancarkan Bajing Ireng.
"Ayu... sia-sia kita mengulur waktu, lihatlah." Habis berkata begitu, tangan Jaka berkelebat dengan cepatnya dan...!
"Bug, bug bug!"
Bersamaan dengan itu, seketika tubuh Bajing Ireng terdorong ke belakang dan jatuh. Bersamaan dengan itu pula, Ayu Sakiti yang mendapatkan musuh di bawah ilmunya memekik dan menghantam telak pukulannya ke tubuh adik Bajing Ireng yang seketika menjerit dan roboh. Tanpa memperdulikan lagi kedua kakak beradik yang mereka robohkan, Jaka dengan segera menggandeng tangan Ayu Sakiti berkelebat pergi meninggalkan hutan itu.
"Sampurasun...! seru seorang lelaki di depan pintu rumah Tumenggung Panggaluh. Lelaki itu memandang ke dalam halaman rumah, dalam hatinya bergumam. "Hem... rumah ini masih seperti yang dulu, segalanya tak ada yang berubah seperti setahun setengah yang lalu." Sedang ia terdiam memandangi rumah itu, dari dalam rumah tampak seorang wanita muda keluar dan menyahuti:
"Rampes... siapakah gerangan, Ki sanak?" tanya wanita muda yang tak lain dari pada istri Tumenggung Panggaluh yang bernama Dewi Sekasih dengan senyum ramah, membuat jantung pemuda itu seketika bergetar.
"Ah. Betapa cantik dan tanpa celanya Dewi Sekasih. Sungguh tak setara bila harus Tumenggung Panggaluh yang mendampinginya, harusnya aku. Ya, aku yang harus mendampingi Dewi Sekasih yang cantik," gumam hati lelaki muda itu, hingga ia pun terdiam. Matanya memandang tajam pada mata Dewi Sekasih yang tak mampu mengelakan pandangan mata pemuda di hadapannya.
"Kanjeng Dewi. Apa benar Tumenggung mencari seorang pesuruh untuk menyabit rumput?" tanya si pemuda setelah dapat mempengaruhi Dewi Sekasih dengan mata iblisnya.
Hati dewi Sekasih yang sudah dikuasai oleh ilmu iblis pemuda itu, seketika bergetar. Dengan senyumnya yang manis Dewi Sekasih membuka pintu dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Terima kasih, Kanjeng Dewi. Hamba hanya ingin menanyakan kebenaran berita, bahwa Kanjeng Tumenggung tengah mencari tukang arit," kata lelaki itu kembali.
Dewi Sekasih terdiam dengan mata memandang penuh nafsu. "Dulu memang mencari seorang lelaki untuk mengarit. Namun kini telah ada. Lagi pula, apakah ki sanak yang tampan ini hendak menjadi tukang arit?" tanya Dewi Sekasih setelah lama terdiam. Di hatinya tumbuh sebuah perasaan yang aneh kala memandang mata pemuda itu, hingga Dewi Sekasih tampak ingin manja.
"Kalau begitu, baiklah. Aku mohon pamit," kata lelaki muda itu hendak pergi.
Namun dengan cepatnya Dewi Sekasih yang sudah terpengaruh oleh ilmu iblis pemuda itu segera menghadangnya. Dan dengan tersipu-sipu berkata manja. "Anak muda, mengapa mesti terburu-buru?"
"Maaf, Kanjeng Dewi. Karena hamba bertujuan hendak mencari kerja dan ternyata di sini tak ada, jadi hamba bermaksud kembali ke kampung hamba." Pemuda itu hendak kembali berlalu, ketika untuk kedua kalinya Dewi Sekasih segera menghalanginya dengan berseru memanggil.
"Anak muda, tunggu!"
"Ada apakah Kanjeng Dewi?"
"Kenapa mesti terburu-buru?"
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah laku Dewi Sekasih yang telah terpengaruh oleh ilmunya. Maka dengan pura-pura, pemuda itu berkata: "Kanjeng Dewi, tidak baik aku lama-lama di sini. Aku takut nanti ketahuan oleh Kanjeng Tumenggung atau prajurit-prajuritnya, apa jadinya?" Dewi Sekasih bukannya mendengar ucapan pemuda itu yang menuturinya. Namun sebaliknya, Dewi Sekasih hanya tersenyum. Tanpa terpikir oleh pemuda itu sebelumnya, Dewi Sekasih tiba-tiba telah melingkarkan tangannya ke leher pemuda itu.
"Kanjeng Dewi," kata pemuda itu pura-pura kaget. Tapi hatinya bersorak senang, sebab apa yang diimpi-impikannya selama ini telah terpenuhi. Dalam hati pemuda itu berkata: "Hem, apakah aku menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini. Tidak!"
"Anak muda, janganlah kau tinggalkan aku. Berilah aku kehangatan. Aku... aku telah lama mendambakan orang yang mengerti tentang perasaanku." Setelah berkata begitu, Dewi Sekasih segera membimbing pemuda itu yang hanya diam saja menuju ke kamarnya.
"Kanjeng Dewi. Kau...?" tergagap pemuda itu ketika tubuhnya di tarik menuju ke dalam kamar. Namun Dewi Sekasih tampak hanya tersenyum, dan dengan manja berbisik.
"Kanjeng Tumenggung tak ada di rumah, begitu halnya dengan kelima prajuritnya. Mereka tengah menghadap raja untuk membicarakan masalah yang kini tengah melanda dunia persilatan dan kerajaan ini."
"Masalah apa?" tanya pemuda itu ingin tahu. Karena telah dikuasai ilmu iblis si pemuda, Dewi Sekasih pun dengan tanpa menaruh curiga menceritakannya.
"Jadi Kanjeng Tumenggung dan prajurit-prajuritnya kini tengah menghadap Sri Baginda?" tanya pemuda itu setelah dapat mengorek gerangan apa yang menjadikan Sri Baginda memanggil Tumenggung.
"Ya... maka dari itulah, aku mohon kau mau menemaniku. Berilah aku kehangatan anak muda. Sungguh... aku selama ini didera oleh rasa sepi dan ketidakpuasan, karena Tumenggung orangnya loyo."
Tersenyum pemuda itu mendengar pengakuan Dewi Sekasih yang seketika itu menggelinjang kegelian penuh nikmat. Akhirnya keduanya pun bercanda sambil menikmati kenikmatan yang tengah mereka lakukan.
"Ayo anak muda, berilah aku kepuasan, aku yakin kau pun sebenarnya menghendaki diriku bukan?" kata Dewi Sekasih sembari tertawatawa kegelian ketika tangan pemuda itu liar menjarah tubuhnya.
"Kalau itu yang dikehendaki Kanjeng Dewi, maka hamba pun siap memberikannya." Dengan penuh nafsu setan, pemuda itu menggeluti tubuh Dewi Sekasih yang hanya mampu memejamkan mata dan sekali-kali membukanya.
"Hem, mengapa sepi?" gumam hati Tumenggung Panggaluh saat melihat keadaan rumahnya tampak sepi. "Ke mana Dewi? Kenapa tidak mengetahui kedatanganku? Janganjangan...?" Seketika perasaan Tumenggung Panggaluh tidak enak. Segera diperintahkannya Karta untuk masuk lebih dahulu.
Tersentak Karta, saat melihat apa yang tengah terjadi di depan matanya. Istri Tumenggung tampak dengan tubuh setengah telanjang tengah dikangkangi oleh seorang pemuda yang belum ia kenal. "Dajal buntung!" bentak Karta dengan penuh amarah, dan diserangnya pemuda yang mengangkangi istri Tumenggung.
Mendengar bentakan Karta, serta merta pemuda itu segera bangkit. Dengan tubuh setengah telanjang, pemuda itu segera berlari keluar. Namun di luar tampak keempat prajurit lain bersama Tumenggung Panggaluh telah menghadangnya.
"Dajal! Rupanya kaulah buaya darat yang telah membuat keonaran. Tangkap...!" seru Tumenggung Panggaluh dengan penuh amarah. Seketika keempat prajuritnya segera berkelebat serentak menyerang pemuda itu. Karta yang mengejar kini turut menggempurnya. Walaupun dikeroyok oleh lima orang prajurit, namun tampaknya pemuda itu dengan mudah mengelakkan serangan mereka.
"Hem... karena kalian telah tahu siapa orang yang selama ini menjadi buah bibir, maka aku perintahkan kalian segeralah menyembah," kata pemuda itu dengan sombong.
"Iblis! Jangan karena kau terkenal lalu sombong! Kami prajurit-prajurit Ketemenggungan, pantang bagi kami untuk menyerah. Apapun maumu, kami turuti. Serang...!" kata Karta selaku pimpinan prajurit Ketemenggungan yang dengan segera dilaksanakan oleh keempat prajurit Ketemenggungan.
Kelima prajurit itu pun dengan serentak menyerang pemuda dihadapannya, yang masih tampak tersenyum sinis mengejek. Tanpa dapat dicegah, pertarungan satu melawan lima pun tak dapat dielakkan. Kelima prajurit-prajurit setia Tumenggung Panggaluh dengan gagah berani menyerbu. Pemuda itu makin melebarkan senyumnya. Sekali tangannya berkelebat, terdengar pekikan membahana dari prajurit Ketemenggungan. Dua di antara kelima prajurit itu tersungkur mencium tanah dengan tubuh hangus.
Tumenggung Panggaluh tersentak demi melihat ajian yang dipakai oleh pemuda itu, hingga dari mulutnya terdengar menggumam. "Hem, Aji Samber Nyawa. Anak muda, apa hubunganmu dengan Iblis Pancoran Sewu!" bentak Tumenggung Panggaluh, yang membuat si pemuda untuk sesaat tersentak kaget.
"Ketahuilah oleh kalian. Aku adalah murid Sri Ratu Siluman, yang bertahta di goa Pancoran Sewu, untuk itu aku minta kalian menyerahlah."
"Iblis! Pantas perbuatanmu biadab seperti buaya, tak tahunya kau memang siluman ular putih. Walaupun begitu, aku tak akan menyerah. Ayo prajurit, serang iblis laknat itu!" seru Tumenggung Panggaluh.
Dengan segera dilakukan oleh ketiga prajuritnya yang masih tersisa. Walaupun mereka agak jeri. Namun demi membela nama baik Ketemenggungan, rasa takut di hati mereka seketika dibuang jauh-jauh dan berganti dengan rasa patriotisme yang tinggi. Kembali pertarungan di antara prajurit Ketemenggungan mengeroyok pemuda berilmu iblis itu terjadi. Walau ketiga prajurit itu merupakan prajurit pilihan, namun menghadapi si pemuda, ketiganya bagaikan tak ada apa-apanya. Hingga dengan mudah pemuda itu kembali dapat menjatuhkan mereka, yang memekik meregang nyawa.
Terbelalak mata Tumenggung Panggaluh menyaksikan ketiga prajuritnya mati. Dengan penuh amarah Tumenggung Panggaluh segera melompat dari kudanya langsung menyerang pemuda di depannya. Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan si pemuda keteter. Bahkan dengan enaknya, pemuda itu berkelit dan melakukan serangan balik.
"Bagus! Memang hal itu yang aku inginkan. Aku ingin tahu, sampai di mana ilmunya seorang Tumenggung," kata pemuda itu dengan senyum mengejek, membuat Tumenggung Panggaluh makin marah.
Dengan membabi buta laksana banteng ketaton, Tumenggung Panggaluh mencoba merangsek si pemuda, yang tampak masih tenang dengan senyum di bibirnya mengelakan serangan Tumenggung. Mungkin karena usianya yang jauh lebih tua, seketika serangan Tumenggung Panggaluh yang tadi keras berubah mengendur. Hal ini makin membuat pemuda itu tertawa mengejeknya. Tanpa ayal lagi... tubuh Tumenggung Panggaluh pun terkena, dihantam oleh si pemuda. Panggaluh seketika terhuyung ke belakang tiga tombak, dadanya terasa sakit. Dari mulutnya yang menetes darah menggeram.
"Hem... jangan kira kau telah menang, anak muda. Ayo kita lanjutkan."
"Hem... rupanya kau masih kuat, Tumenggung. Baiklah! agar kau tak penasaran setelah mati, maka ketahuilah olehmu, aku yang dibicarakan oleh orang-orang tak lain dari pada Kandana bekas juru aritmu."
Makin terkejut Tumenggung Panggaluh, demi mendengar nama pemuda itu. Ia tak menyangka, pemuda yang dulu buruk dan lemah. Kini menjadi tampan dan berilmu tinggi. Namun ketika ia ingat akan siapa yang menjadi guru si pemuda Kandana, seketika ia tak merasa ragu lagi.
"Rupanya kau orangnya, kenapa dulu aku tak membunuhmu. Dan aku rasa, kaulah yang pernah membuat firasat jelek waktu itu. Rupanya kau bermaksud mempengaruhi istriku dengan ilmu iblismu, beruntung aku memergokinya!" geram Tumenggung Panggaluh marah, hingga giginya tampak beradu dan lehernya tampak menggembung.
Kandana tertawa bergelak-gelak. "Nah, kau telah tahu segalanya. Kuharap kau akan mati dengan tenang, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Kandana segera merapalkan ajian Samber Nyawanya. Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor burung rajawali, Kandana segera menyerang Tumenggung Panggaluh. Tumenggung Panggaluh yang telah melihat dengan mata kepala sendiri, kehebatan Ajian Samber Nyawa. Dengan segera, ia pun merapal ajiannya Geledek Buana.
"Hiaat...!" terdengar pekik Kandana menyerang dengan ajian Samber Nyawanya. Tubuhnya berkelebat dengan cepat.
Sebaliknya Tumenggung Panggaluh pun tak mau mati konyol. Dengan ajian Geledek Buananya, ia pun berkelebat memapaki serangan itu. "Hiat...!"
Dua kekuatan tenaga dalam berbentrokan di udara menjadikan satu ledakan yang hebat. Bumi di bawahnya seperti di aduk, muncrat ke angkasa. Panggaluh terdorong lima tombak ke belakang, sementara Kandana tampak lebih parah. Tubuhnya terdorong hampir sepuluh tombak. Dari mulutnya meleleh darah segar.
Mata Kandana melotot heran, demi melihat ilmu Tumenggung ternyata ada satu tingkat di atas ajian Samber Nyawa miliknya. Maka dengan menggeram sesaat, disertai mulutnya berkomat-kamit mengucap mantera. Tiba-tiba...! Tubuh Kandana yang tadinya gagah dan tampan, seketika berubah menjadi buruk dan mengerikan. Wajah Kandana berubah menjadi wajah ular, matanya menyorot merah, tajam menghunjam mata Tumenggung Panggaluh yang tersentak kaget.
"Ilmu iblis! Benar-benar ia telah menguasai ilmu iblis Ratu Siluman."
Sedang ia tersentak, tiba-tiba Kandana yang telah berubah ujud itu menyerangnya. Panggaluh segera mengelak, lalu dengan cepat dihantamnya tubuh mahluk itu dengan ajian Geledek Buana. Sesaat mahluk itu tergetar, namun tampaknya mahluk itu tak mengalami apa-apa. Bahkan tubuh mahluk itu kini bertambah besar.
Panggaluh kembali tersentak kaget. Merasa ia belum yakin, dicobanya kembali menyerang mahluk itu. Namun untuk kedua kalinya, tubuh mahluk itu bertambah dua kali lipat dari semula. Semakin Panggaluh menghantamkan ajiannya terus, makin bertambah besar tubuh mahluk itu.
"Ampun! Mungkin hari ini akhir hidupku. Tuhan, berilah pertolongan," membatin Panggaluh merasa tak mampu lagi untuk menghadapi mahluk siluman itu. Mata Panggaluh terpejam rapat, ia telah siap menerima kematian itu. Mahluk menyeramkan itu tampak berjalan menghampiri tubuh Panggaluh yang telah pasrah pada nasib.
"Panggaluh, bersiaplah untuk mati. Ha... ha...!" terdengar mahluk itu berkata sembari tertawa bergelak-gelak. Dan ketika tangan mahluk raksasa itu hendak mencengkeram tubuh Panggaluh, tiba-tiba...!
"Suit... Dest!"
Mahluk raksasa yang menyeramkan itu tersentak dan terdorong ke belakang. Matanya yang merah memandang bengis pada orang yang telah menghalanginya yang ternyata seorang pemuda. Pemuda itu yang ternyata Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah dengan segera meraup tubuh Tumenggung Panggaluh dan membawanya pergi. Sementara mahluk raksasa itu, kini tengah dihadapi oleh seorang gadis yang tak lain Ayu Sakiti adanya.
"Rupanya kaulah yang selama ini membuat keonaran dengan menculik dan membunuh gadis-gadis, aku kira kau pernah bertemu denganku bukan?"
Mahluk raksasa yang bermuka menyeramkan itu, sesaat memandang tajam pada Ayu Sakiti sepertinya mengingat sesuatu. Lalu terdengar mahluk itu menggeram dan tertawa bergelak-gelak. "Ha... ha...! Gadis kecil, rupanya memang kau sengaja mencari permusuhan denganku. Dulu kau kuampuni, tapi sekarang kau telah ikut campur urusanku. Hem... jangan salahkan kalau aku melukaimu."
"Iblis laknat! Iblis cabul! Dari dulu aku memang telah siap menghadapimu. Ayo kita lanjutkan pertarungan kita tempo hari yang tertunda."
Habis berkata begitu, tubuh Ayu Sakiti dengan cepat berkelebat. Dengan pedang pusaka di tangannya. Ayu Sakiti menebaskan pedangnya ke tubuh mahluk itu. Tersentak kaget Ayu Sakiti, ketika pedang pusakanya membentur tubuh mahluk itu. Bagai menebas baja saja, pedang pusaka itu tak berarti apa-apa.
Bahkan mahluk itu tertawa bergelakgelak sembari berkata: "Percuma kau melawanku, anak manis." Tangan mahluk itu berkelebat hendak menangkap tubuh Ayu Sakiti, yang dengan gesit mengelak sembari melancarkan pukulan tangan mautnya.
"Dum...!"
Ayu Sakiti tampak agak gembira, demi melihat hasil dari hantamannya. Namun seketika ia kembali tersentak. Ketika asap yang mengepul itu hilang, ternyata mahluk itu bukannya mati, bahkan makin bertambah besar saja. Mahluk menyeramkan itu yang kini bertambah besar, kembali tertawa bergelak-gelak. Tangannya kembali menyambar hendak menangkap tubuh Ayu Sakiti, yang hanya dapat mundur dan mundur. Ketika tangan mahluk menyeramkan itu hendak mencengkeram tubuh Ayu Sakiti, untuk kedua kalinya Jaka berkelebat mencegahnya.
"Suit... Dest!"
Tubuh mahluk menyeramkan itu terdorong ke belakang, matanya menyorot penuh amarah pada Jaka. Tanpa berkata lagi, mahluk itu seketika menyerang Jaka. Jaka segera berkelebat sembari berkata.
"Iblis cabul, hari ini juga kau harus lenyap dari muka bumi. Terimalah ini, Ajian Getih Sakti, hiat...!" Habis berkata begitu, dengan segera Jaka mengkiblatkan tangan kanannya yang telah dialiri ajian Getih Sakti ke arah tubuh mahluk raksasa itu. Dari tangan Jaka menyemprot deras dan mahluk itu memang seketika beku. Namun seketika tersentak kaget, kala melihat mahluk itu dapat terlepas dari sinar yang membelitnya
Mahluk itu bergelak-gelak mengejek dan dengan cepat tangannya berkelebat menyerang Jaka yang segera menghindar dan menghantam mahluk raksasa itu dengan ajian Bledek Sewu. Seketika berkelebat membakar tubuh mahluk itu, namun untuk kedua kalinya mahluk raksasa berwajah ular itu dapat melepaskan dirinya dari ajian Bledek sewu.
Hampir saja Jaka tersambar hantaman tangan mahluk raksasa itu, saat ia tengah tersentak kaget melihat apa yang terjadi di depan matanya. Jaka dengan segera mengelak, lalu kembali dengan segera menghantam tubuh mahluk itu. Kali ini ajian Pamungkasnya yang diincarkan, yaitu ajian Tapak Prahara. Tangan Jaka seketika itu berubah menjadi merah menyala, tubuhnya melenting tinggi. Kemudian dengan tubuh masih melayang, dihantamnya tubuh mahluk raksasa itu dengan ajian Tapak Prahara. Terdengar ledakan dahsyat membahana Kalau orang lain, maka tak ayal lagi, tubuhnya akan hancur menjadi abu. Namun mahluk raksasa itu jangankan hancur menjadi abu, mati pun tidak.
"Gusti Allah! Harus bagaimana lagi aku?"
Putus asa sudah Jaka menghadapi mahluk itu. Hingga ketika mahluk raksasa itu menyerangnya, Jaka terpental dihantam tangan besar mahluk itu. Tubuhnya terasa nyeri, tembok pagar rumah Tumenggung jebol tertimpa tubuh Jaka. Ketika mahluk itu hendak kembali menghantamnya, dengan cepat Jaka berlari mengelak. Hingga tembok pagar yang menjadi sasaran, hancur berantakan terhantam tangan mahluk menyeramkan itu.
"Sungguh dahsyat! Segala ajian yang aku miliki tak berdaya. Baik, akan aku gunakan Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Seketika di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang. Dari ujung pedang, menetes darah membasahi batangnya.
Namun mahluk itu seperti tak takut sedikitpun. Bahkan dengan congkaknya berkata. "Menyerahlah kau, anak muda! Tak akan kau dapat mengalahkan aku, hua, ha...!"
Namun Jaka yang telah digembleng oleh empat tokoh sakti, mana mau menyerah begitu saja. Apalagi Pedang Siluman Darah kini telah berada di tangannya. "Iblis cabul, jangan kira aku mau menyerah begitu saja padamu. Kalau aku belum mati, tak ada dalam catatanku menyerah pada iblis. Mari kita lanjutkan, bersiaplah! Hiaaaat...!"
Dengan Pedang Siluman Darah di tangannya, Jaka segera berkelebat menyerang. Angin serangannya begitu kencang, menderu-deru, menerpa tubuh mahluk menyeramkan itu.
"Hiaaat!"
Ditebaskan Pedang Siluman Darah pada mahluk menyeramkan itu, yang seketika memekik dengan tubuh terbelah-belah menjadi beberapa potong karena saking cepatnya Jaka membabatkan Pedang Siluman Darah. Darah yang membasahi pedang seketika mengering, terhisap masuk ke dalam tubuh pedang. Kemudian pedang itu hilang kembali dari tangan Jaka. Ketiga orang yang sedari tadi hanya menonton dengan perasaan takut, segera menghampiri Jaka. Ayu Sakiti segera memeluk Jaka dengan penuh rasa bangga.
"Kau hebat, Jaka. Kau hebat!" teriaknya dengan nada bangga.
"Benar ucapmu, nona. Temanmu memang hebat," tambah Tumenggung Pangaluh yang tersenyum senang.
"Ah, kalian terlalu meninggikan. Kanjeng Tumenggung, karena semuanya telah tenang aku bermaksud meminta diri. Ayo, Ayu!"
Jaka dengan menggandeng tangan Ayu Sakiti segera berkelebat pergi, meninggalkan Tumenggung Panggaluh dan istrinya yang terbengong-bengong memandang kepergian mereka. "Sungguh baik budi dan tak sombong Pendekar Muda itu," gumam Tumenggung Panggaluh, sepertinya berkata pada diri sendiri.
"Benar, Kang mas. Betapa kita berhutang budi padanya," lanjut Dewi Sekasih meneruskan ucapan suaminya.
Dengan matinya Kandana, tentramlah kembali Ketemenggungan. Tumenggung Panggaluh bersama istrinya segera melangkah meninggalkan halaman rumahnya menuju ke kerajaan untuk melaporkan itu pada Rajanya.
Tubuh Kandana dan nenek Iblis itu tampak berkelebat-kelebat dengan cepatnya burung sri gunting yang menyambar-nyambar. Mereka tengah melakukan latihan ilmu, yang diciptakan sendiri oleh si nenek. Jurus itu bernama Jurus Walet Siluman. Selesai berkelebat dengan cepat. Makin lama iramanya semakin cepat, hingga sukar untuk dihadiri dengan pandangan mata biasa.
"Kandana! Serang aku!" kata sang nenek memerintahkan.
Kandana tampak segera berkelebat, diangkat mengembang laksana sayap burung walet. Sesaat kemudian tangan yang mengembang itu terangkat. Dan! "Tapi... Tapi...!" Tangan Kandana dengan cepat menyambar. Si nenek tampak segera mengegoskan dibuka dan berbalik menyerang Kandana.
"Masih kaku! Masih kurang, Kandana," omel si nenek demi melihat Kandana bergerak lambat. Sampai kompilasi menyerang, Kandana tak mengelakkannya, jatuh ke tanah dengan mengeluarkan bunyi gedebug. Mata si nenek melotot marah. Dengan penuh kecewa sang nenek membentaknya.
"Dungu! Sudah aku bilang kurang cepat, ayo bangun!"
Kandana tanpa dapat dipindahkan, dengan meringis memegang rasa sakit segera bangun dari duduknya. Wajah Kandana tampak kelabu, tampak tajamot pada si nenek yang tersenyum mengikik melihat hal itu.
"Bagus! Sebagai seorang lelaki, apalagi akan menjadi seorang pendekar pilih tanding pantang baginya untuk menyerah begitu saja pada apa yang ada. Ayo kita mulai lagi!"
Setelah habis berkata begitu, si nenek dengan segera menyerang Kandana. Melihat dirinya diserang, maka dengan segera Kandana berkelebat mengelak dan kemudian ganti menyerang. Untuk sekian lama, keduanya kembali melakukan latihan ilmu silat Walet Siluman.
"Bagus, bagus! Rupanya kau cepat menerima apa yang telah aku ajarkan padamu. Nah... kini seranglah pohon pisang di depanmu," kata si nenek kembali memerintahkan.
Mendengar perintah itu, secepat kilat Kandana yang masih melayang di udara langsung menukik menuju ke pohon pisang yang ditunjuk oleh gurunya. Dalam sekejap, pohon pisang yang tadinya berdiri dengan kokohnya, kini hancur berkepingkeping, terhantam tangan Kandana.
Di wajah nenek Iblis Pancoran Sewu seketika terurai senyum senang, demi melihat hasil yang telah diperoleh muridnya. Dari mulut si nenek bergumam: "Bagus, bagus! Kau telah dapat menguasai salah satu jurus yang paling langka. Tapi kau jangan cepat merasa puas, masih banyak ilmu-ilmu yang harus kau pelajari, Untuk kali ini, aku rasa cukup."
Ketika si nenek hendak berlalu meninggalkannya, dengan cepat Kandana berseru memanggil: "Ada apa lagi?"
"Nek, kapankah wajah saya akan dapat kembali seperti sediakala? Maksudku, menjadi tampan kembali?"
Mendengar hal itu, si nenek terkekeh-kekeh dan menghampiri Kandana. Dipegangnya tubuh sang murid, lalu dengan penuh rasa kasih si nenek berkata: "Sabar, Kandana. Untuk memulihkan mukamu, perlu waktu yang tidak cepat. Hem... kau belum menceritakan mengapa wajahmu menjadi begitu?"
Mendengar pertanyaan si nenek, seketika Kandana tertunduk dalam. Dari matanya meleleh air mata. Pahit untuk mengenang kejadian yang telah sekian lama tenggelam. Si nenek seketika mengernyitkan dahinya, saat melihat Kandana yang tertunduk.
"Cengeng! Mengapa kau menangis?!" bentak si nenek, yang membuat Kandana seketika terdongak dan mengelap air matanya.
"Ayo kita ke grojokan. Di sana kau harus menceritakan apa yang telah kau alami, hingga kau begitu cengeng. Kalau kau ingin menjadi seorang pendekar sesat, pantang untuk mengurai air mata, apalagi ragu-ragu untuk bertindak. Ayo kita ke grojokan."
Kedua guru dan murid itu berkelebat menuju ke grojokan, di mana kedua murid dan guru itu meneduh. Sesampainya kedua guru dan murid di goa tempat mereka tinggal, Kandana pun segera menceritakan apa yang telah dialaminya lima tahun yang lalu.
"Lima tahun yang lalu, aku pernah berguru pada seorang tokoh sakti aliran lurus di wilayah Kidul bernama Ki Tambak Sande. Aku merupakan murid kesayangannya, hingga aku sangat diperhatikan dan dimanjakan oleh Ki Tambak Sande."
Mengerut alis mata nenek Iblis Pancoran Sewu demi mendengar nama Ki Tambak Sande. Wajahnya seketika berubah redup dan matanya membelalak kaget. Tanpa sadar, si nenek pun bertanya: "Bagaimana ciri-ciri bekas gurumu?"
Ditanya seperti itu oleh si nenek, Kandana membelalak kaget seraya bertanya ingin tahu. "Mengapa nenek menanyakan tentang orang itu? Apakah nenek mengenalnya?"
"Ceritakan dulu tentang ciri-ciri gurumu, nanti kalau memang orang itu yang kau maksud aku akan menceritakan apa yang pernah terjadi dengan kami. Hi... hi..." tawa si nenek dengan genitnya.
"Ki Tambak Sande mempunyai seorang anak wanita, yang bernama Sekar Sedati. Gadis itu sangat cantik, hingga banyak yang tergila-gila padanya. Begitu juga dengan diriku, menaruh hati pada Sekar Sedati. Tapi rupanya Sekar Sedati tidak mencintaiku, bahkan di depan mataku ia bermain cinta dengan Anggasana. Hal itu membuat dendamku padanya. Hingga suatu malam aku bermaksud..." Kandana tak segera meneruskan ucapannya. Di wajahnya seketika tergambar rasa malu. Membuat si nenek kembali mengerutkan alis matanya menyaksikan hal itu.
"Bermaksud apa?"
Dengan tersipu-sipu malu, Kandana pun akhirnya melanjutkan ceritanya: "Aku bermaksud mem... memperkosanya."
"Lalu? Apakah kau berhasil?" tanya si nenek.
"Tidak. Sebab keburu diketahui oleh Anggasana. Saat itu juga, murkalah Ki Tambak Sande. Dengan kemarahannya dia mengucap, "Percuma kau memiliki wajah tampan, kalau hatimu buruk seburuk hantu. Lebih baik wajahmu juga buruk!"
Karena Ki Tambak Sande orang yang mumpuni, seketika aku merasakan sesuatu pada wajahku. Dari wajahku menetes nanah busuk, juga benjolan-benjolan bisul yang menutupi seluruh wajahku. Aku berlari dengan dendam, pergi dari situ. Ketika terkaca pada air, kulihat wajahku telah buruk seburuk hantu. Oh...?" desah Kandana setelah mengakhiri ceritanya. Dari kedua matanya seketika kembali meleleh air mata.
Nenek Iblis Pancoran Sewu terdiam. Sepertinya turut merasakan penderitaan yang dialami muridnya. Dengan suara bergetar si nenek berkata: "Jangan kau bersedih hati, Kandana. Aku akan berusaha membantu memulihkan wajahmu yang rusak itu, namun nanti setelah kau menamatkan seluruh ilmu yang akan aku turunkan padamu. Ketahuilah! Ilmu itu adalah ilmu yang langka, yang tak ada tandingannya di dunia persilatan. Bila kau telah berhasil menguasai ilmu yang bernama Aji Seribu Rupa Iblis dan Aji Samber Nyawa, kau akan menjadi seorang tokoh silat yang tanpa tanding di dunia persilatan. Hi... hi...! Mulai besok kau harus rajin mempelajari kedua ajian itu. Kau harus bertapa 40 hari lamanya di bawah pancoran sewu, kau sanggup?"
Karena didorong oleh nafsu untuk dapat menjadi orang sakti dan ingin wajahnya kembali seperti sedia kala. Maka tanpa pikir panjang, Kandanapun mengangguk sembari berkata: "Sanggup, nek."
"Bagus... bagus. Nah! Untuk mempersiapkan semua itu hari ini kau harus beristirahat." kata si nenek yang dituruti oleh Kandana tanpa dapat membantah.
********************
Pagi buta ketika kokok ayam belum terdengar, Kandana diiringi oleh gurunya si nenek Iblis Pancoran Sewu tampak berjalan menuju ke bawah pancoran.
"Buka seluruh pakaianmu, sebab kau harus melakukan tapamu dengan keadaan telanjang."
Kandana tersentak, seraya berkata protes. "Tapi, nek?"
"Jangan menentang. Ayo buka seluruh pakaianmu!" bentak nenek Iblis Pancoran Sewu.
Dengan tanpa banyak bicara lagi. Kandanapun akhirnya menurut membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Si nenek tertawa terkekeh-kekeh, saat melihat tubuh Kandana yang telanjang tanpa sehelai benang pun. Mata wanita tua itu nanar memandang tubuh Kandana dari ujung kaki ke ujung rambut membuat Kandana bengong. Perlahan si nenek mendekatinya. Dan dengan cepat direngkuhnya tubuh Kandana yang tak dapat mengelak.
"Nek, kau...?" Kandana mencoba meronta. Namun si nenek yang sudah terbakar nafsu malah makin keras memeluk tubuh Kandana, sembari berbisik: "Kandana, berilah aku kepuasan. Percayalah, aku akan membantu memulihkan seluruh tubuhmu. Lakukanlah, Kandana. Sebelum nanti kau di bawah pancoran pun akan melakukannya dengan para siluman."
Mendengar permintaan si nenek yang mengiba, seketika Kandana pun bagai dihipnotis merangsek dan menggeluti tubuh si nenek. Dalam pandangannya, si nenek berubah menjadi seorang gadis muda belia. Memang... dengan ajian Pangling Rupa, si nenek telah merubah wajahnya secantik bidadari. Hingga Kandana yang mulanya ragu, seketika penuh nafsu menggeluti tubuh si nenek.
Pagi buta itupun menjadi saksi, pergumulan kedua guru dan murid yang sama-sama dilanda nafsu iblis. Sampai akhirnya, si nenek mengeluh panjang dan terkulai lemas dengan senyum di bibirnya penuh kepuasan. Setelah sekian lama keduanya tergeletak lelah. Si nenek yang telah kembali merubah wajahnya seperti semula berbisik pada Kandana.
"Sekarang pergilah. Tapalah di bawah Pancoran Sewu selama 40 hari 40 malam. Jangan kau keluar sebelum dikabulkan permintaanmu. Ingat! Layani semua kemauan ratu siluman. Jangan sampai mengecewakannya."
"Baiklah, aku berangkat. Doa dan bantuanmu sangat aku perlukan." Setelah berkata begitu, ia menuju ke bawah pancoran, diikuti pandangan mata nenek Iblis Pancoran Sewu.
********************
"Auw...!" Jaka menguap, ketika dirasakan sengatan matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela dedaunan di hutan Sanggreng. Dengan segera Jaka melompat turun dari pohon di mana ia semalam tidur. Dicarinya telaga untuk mencuci muka dan mulutnya yang terasa sepet.
"Ah... perutku lapar. Rupanya aku terlalu nyenyak tidur, hingga bangun kesiangan seperti ini," kata hati Jaka sembari terus berjalan mencari telaga.
Tak berapa lama kemudian, dilihatnya sebuah tambak tak jauh dari sebuah desa. Bergegas Jaka segera menuju ke tambak itu dan dengan tanpa berpikir lagi Jaka pun segera terjun mandi, setelah terlebih dahulu membuka pakaiannya.
"Ah... sejuk benar air tambak ini," Jaka pun segera menyelam ke dalam air, lalu kembali muncul.
Saking asyiknya mandi, hingga Jaka tak sadar ada sepasang mata yang mengintainya. Sepasang mata itu terus mengawasi Jaka. Perlahan orang yang mengintai itu mendekati pakaian Jaka dan ketika tangan orang itu hendak mengambil sesuatu yang ada di antara pakaian Jaka, tibatiba terdengar suara lain membentaknya.
"Maling, rendah!"
Orang yang bermaksud mengambil Pedang Siluman Darah seketika mengurungkan niatnya dan memandang pada orang yang membentaknya yang tak lain dari seorang gadis. Jaka yang mendengar suara gadis itu, seketika tersentak. Dengan sekali loncat, Jaka pun segera menyambar pakaiannya.
"Apa urusanmu menghalangiku!" bentak orang yang tadi bermaksud mengambil senjata Pedang Siluman Darah pada gadis di depannya yang hanya tersenyum dengan sinis.
"Aku tak mau melihat kejahatan di depan mataku, karena itu aku menghalangimu," jawab si gadis tak kalah kerasnya.
Maling itu tampak mendengus marah. Napasnya terdengar kasar memburu. Dengan mata melotot, lelaki itu kembali berkata: "Kau tahu, bahwa senjata yang akan aku ambil merupakan senjata sakti? Dengan tingkahmu itu, maka gagallah maksudku. Untuk itu, sebagai gantinya kau harus mati di tanganku."
Tanpa memperdulikan gadis di depannya, lelaki yang hendak mencuri berkelebat menyerang. Diserang dengan cepat begitu, si gadis tanpa mengalami kesulitan segera mengelak dan balik menyerang. Perkelahian keduanya segera berlangsung.
Jaka yang telah memakai kembali pakaiannya, berdiri menonton tak jauh dari situ. Jaka sengaja tak langsung menghajar orang yang bermaksud mencuri Pedang Siluman Darah, ia ingin tahu sampai di mana tingkat kedua orang yang tengah berkelahi itu.
Pertarungan keduanya tampak seimbang. Susah untuk memastikan siapa di antara keduanya yang bakal memenangkan pertarungan itu. Namun ketika menginjak jurus yang kedua puluh enam, tampak gadis itu keteter didesak oleh lelaki musuhnya. Ketika nyawa gadis yang telah menolongnya berada dalam ancaman musuhnya, dengan segera Jaka bersiul dan berkelebat menghadang serangan lelaki itu.
"Suit... Dug dug dug."
Lelaki yang menyerang gadis itu terhuyung ke belakang, di wajahnya seketika tergambar kekagetan. Matanya membelalak hampir keluar, saat melihat orang yang telah menghantamnya.
"Kau... kau yang bernama Jaka?" tanya lelaki itu, yang dijawab Jaka dengan senyum sinis.
"Ya aku yang bernama Jaka. Ada apa? Sepertinya kau kaget?"
Mendengar jawaban Jaka. Orang itu bukannya takut, malah sebaliknya tertawa bergelak-gelak. "Anak muda! Aku mendengar namamu telah kesohor di dunia persilatan, tapi aku si Kala Wasungsang tak gentar menghadapimu. Aku ingin tahu dan ingin membuktikan kebenaran desas-desus itu."
"Hem, begitu. Lalu dengan maksud apa engkau hendak mencuri senjataku?" tanya Jaka. Matanya memandang tajam pada lelaki yang berdiri di hadapannya.
Lelaki itu tertawa bergelak-gelak. Dengan congkaknya, Kala Wasungsang kembali berkata: "Aku tahu, Kalau senjata Pedang Siluman Darah tak ada pada dirimu, kau akan menjadi seorang bayi yang tak dapat berbuat apa-apa. Maka, aku bermaksud mengambilnya hingga dengan mudah aku dapat mengalahkanmu. Tapi walaupun kau memegang senjata itu, aku rasa aku akan mampu mengalahkanmu."
"Weh! Baru kali ini, selama aku terlahir di dunia ada orang yang sudah memastikan apa yang belum terjadi. Nah, kalau kau mampu mengalahkanku, lakukanlah olehmu," kata Jaka tenang, bibirnya terurai senyum. Sesaat matanya melirik pada gadis yang berdiri di sampingnya, yang seketika merona merah pipinya.
Mendengar perkataan Jaka, seketika lelaki itu kembali mendengus. Maka dengan segera, lelaki itu pun berkelebat menyerang. "Jangan menyesal bila kau mati di tanganku, anak muda!"
"Lakukanlah bila kau mampu, aku selalu menuruti apa yang kau ingini, Kala Wasungsang." Balas Jaka berkata sembari berkelit dari serangan Kala Wasungsang.
Seketika keduanya pun terlibat pertarungan. Keduanya saling serang dan mengelak. Sejauh itu, tampak Jaka masih mengelit dari serangan Kala Wasungsang. Jaka sengaja mengulur pertarungan, dengan maksud untuk mengetahui sampai di mana ilmu Kala Wasungsang.
Benar juga! Kala Wasungsang yang memang sudah tahu kehebatan Jaka dari tokoh-tokoh persilatan, tanpa sungkan-sungkan segera mengeluarkan jurus-jurus yang mematikan. Di samping itu pula, Kala Wasungsang ingin membuktikan hal kehebatan senjata Pedang Siluman Darah yang menghebohkan itu.
Merasa musuhnya telah menggunakan ilmu tingkat tingginya, dengan segera Jaka melompat mundur. "Pedang Siluman Darah, datanglah!"
Seketika Kala Wasungsang terbelalak kaget, ketika melihat Pedang Siluman Darah telah berada di tangan Jaka, mengeluarkan sinar menyilaukan. Dari mulut Kala Wasungsang memekik kaget: "Ah...! Inikah Pedang Siluman Darah? Hm, memang bukan omong kosong kalau senjata ini sangat menghebohkan dunia persilatan. Senjata ini sungguh aneh, dapat mengeluarkan Darah dan Angin besar. Hm, aku harus berhati-hati. Akan aku coba dengan Toya Setan ku," batin Kala Wasungsang, demi melihat Pedang Siluman. Diambilnya tongkat yang berbentuk pendek pada mulanya, dengan pangkal kepala manusia kecil. Ditariknya pangkal tongkat itu, yang seketika berubah menjadi sepanjang dua tombak.
"Bagaimana, Kala Wasungsang? Apa mau diteruskan?" tanya Jaka memberi kesempatan pada Kala Wasungsang untuk berpikir.
"Anak muda! Jangan kau kira Kala Wasungsang akan gentar dan menyerah kalah melihat Pedang Siluman Darah di tanganmu. Ayo kita lanjutkan sampai salah satu di antara kita mati."
Jaka mengerutkan dahi, demi mendengar jawab Kala Wasungsang. Lalu dengan mendengus Jaka kembali berkata: "Hem... Kala Wasungsang, jangan salahkan aku kalau itu yang engkau kehendaki. Bersiaplah!"
"Jangan banyak omong, anak muda! Sedari tadi aku memang sudah siap. Terimalah seranganku, hiat...!" Kala Wasungsang yang memang penasaran dengan berita-berita tenung Pedang Siluman Darah, dengan nekad segera berkelebat menyerang.
Jaka merasa musuhnya telah menyerang, dengan segera Pedang Siluman Darah dibalutkan ke arah Kala Wasungsang. Bagai gelombang prahara api, hawa panas yang terpancar dari Pedang Siluman Darah menderu menangkis serangan Tongkat Setan Kali Wasungsang sekaligus menyerangnya.
Kala Wasungsang menyurut mundur. Dari mulutnya terdengar suara memekik kaget, ketika hawa panas menghantamnya. Dengan segera diputar Tongkat Setan di tangannya dengan maksud menghalau serangan. Namun...
"Braak...!"
Tongkat Setan di tangan Kala Wasungsang patah menjadi dua, terbabat oleh Pedang Siluman Darah. Kala Wasungsang memekik, dipegangi tangannya yang terasa kesemutan akibat bentrokan itu. Belum juga Kala Wasungsang hilang kagetnya. Tiba-tiba Pedang Siluman yang berada di tangan Jaka berkelebat dan...
"Dess...!" Tebasan Pedang Siluman tak dapat dihindari oleh Kala Wasungsang yang seketika menjerit menahan sakit. Ketika sadar, tangan kirinya telah puntung dari tubuhnya.
Melihat hal itu, si gadis yang sedari tadi hanya menonton seketika menutupi matanya karena ngeri. Kala Wasungsang dengan menahan sakit, berlari meninggalkan Jaka dengan umpat dan caci maki. Ketika gadis yang sedari tadi memperhatikannya menyapa, Jaka tersentak dan memandang pada gadis itu yang tersenyum.
"Terima kasih. Nona telah memberikan pertolongan pada saya, kalau nona tak mencegah Kala Wasungsang, niscaya aku akan mendapat murka," kata Jaka.
"Ah... tak seberapa yang telah aku lakukan, dibandingkan dengan nama besar tuan yang telah rela berkorban untuk ketentraman dunia persilatan. Maaf, aku telah mengganggu keasyikan tuan mandi," kata gadis itu dengan tersipu-sipu.
"Nona terlalu berlebihan menilai diri saya, yang nyatanya tak lebih dari seorang bodoh dan telengas. Hingga tak menyadari akan apa yang bakal terjadi, kalau saja nona tak segera menghalangi maksud jahat Kala Wasungsang. Untuk itu, aku yang bodoh ini mengucapkan terima kasih. Oh ya, agar kelak aku dapat membalas budi nona, bolehkan aku tahu siapa nona sebenarnya?"
Gadis itu tersipu-sipu kembali, demi mendengar ucapan Jaka yang dirasa merendah. Masih dengan senyum menyungging di bibirnya, gadis itu berkata: "Hamba yang jelek dan hina ini bernama Ayu Sakiti."
"Oh... nama yang indah dan bagus, sebagus hati yang memiliki. Aku rasa, nona telah mengetahui namaku bukan?"
Gadis itu mengangguk sesaat, sebelum akhirnya berkata kembali: "Benar. Apakah benar tuan yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah dari Chandra Bilawa?"
"Hai...! Rupanya nona telah mengetahui begitu dalam tentang diri saya. Siapakah sebenarnya, Nona?" tersentak Jaka demi mendengar penuturan Ayu Sakiti yang telah mengetahui segala yang ada pada dirinya.
Gadis yang bernama Ayu Sakiti kembali tersenyum, lalu dengan malu-malu ia berkata: "Guruku pernah bercerita tentang diri tuan."
"Siapa gurumu?" Jaka kembali bertanya, karena ingin mengetahui siapa sebenarnya gadis yang berada di hadapannya.
"Guruku bernama Ki Martanu."
Jaka hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penuturan Ayu Sakiti. Setelah Ayu Sakiti selesai berkata, Jaka pun tersenyum sembari berkata: "Kalau kau benar murid Ki Martanu, sampaikan salam hormatku pada beliau. Dan katakan padanya bahwa Jaka ingin sekali bersua dengannya setelah bulan purnama."
"Kenapa mesti bulan purnama? Tidakkah lebih baik sekarang saja?" tanya Ayu Sakiti tak mengerti, membuat Jaka kembali tersenyum dan memandang tajam pada Ayu Sakiti yang seketika tertunduk.
"Aku dan gurumu, telah berjanji akan mengadakan pertemuan yang akan membicarakan... Ah... bilang saja pada gurumu begitu. Dan bila kau ingin mengerti akan apa yang bakalan kami bicarakan kau bisa bertanya langsung pada gurumu. Nah, selamat tinggal." Habis berkata begitu, Jaka segera berkelebat pergi tanpa memperdulikan Ayu Sakiti yang terbengong melihat kepergiannya yang begitu cepat.
********************
DUA
Di goa Pancoran Sewu, tampak seorang lelaki yang tak lain Kandana adanya tengah melakukan semedi tapa brata selama 40 hari 40 malam. Hari itu adalah hari ke 35 Kandana melakukan tapa brata, ketika dari dunia lain tampak sesosok tubuh wanita datang menghampirinya dengan tubuh setengah bugil. Pakaian yang dikenakan oleh wanita itu, jelas transparan. Hingga Kandana dengan mudah dapat melihat lekuk-lekuk tubuh wanita cantik di hadapannya.
Wanita itu tersenyum penuh rangsangan dan mendekati tubuh Kandana yang masih tetap terdiam dalam semedinya. Dengan manja wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Kandana dan berbisik pelan.
"Kandana... bangunlah dari semedimu, bangunlah. Aku terima apa yang menjadi permintaanmu. Bangunlah dan ikutlah denganku."
Kandana sesaat membuka kedua matanya perlahan, dilihatnya wanita itu tersenyum. Dengan masih melingkarkan tangannya pada leher Kandana, wanita itu mengajak Kandana berdiri.
"Engkaukah yang bernama Sri Ratu Siluman?" tanya Kandana yang diangguki oleh Sri Ratu Siluman yang masih tersenyum.
"Kenapa, Kandana? Apa kau belum yakin?" tanya Sri Ratu Siluman sembari menatap tajam pada Kandana. Mata Sri Ratu yang tajam, seketika memancarkan selarik sinar menembus ke mata Kandana hingga menggugah hati Kandana.
Kandana yang telah terpengaruh oleh ilmu Sri Ratu seketika merengkuh tubuh Sri Ratu yang menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan. Angan Kandana seketika melayang terbang. Tampak olehnya goa itu kini berubah menjadi istana yang elok dan indah, lengkap dengan seluruh dayang dan prajurit.
Kandana yang tengah menggeluti tubuh Sri Ratu, tidak menyadari kalau sebenarnya yang tengah digumuli tak lain daripada seekor ular. Sri Ratu Siluman mendesis-desis, menikmati kenikmatan yang diperolehnya dari Kandana.
Sementara Kandana sendiri, merasakan adanya kelainan pada dirinya. Bersamaan dengan keringat yang menetes deras, perubahan di wajah Kandana pun berjalan. Luka-luka yang telah mengering, tampak mengelupas dan berganti kulit lain. Karena perubahan itu, membuat tubuh Kandana terasa panas dingin. Mungkin karena terlalu panasnya, Kandana pun akhirnya pingsan.
********************
Lima hari lamanya Kandana berada di istana Sri Ratu Siluman Ular. Dan selama lima hari itu juga Kandana harus bersedia melayani nafsu Sri Ratu Siluman. Ketika telah habis masa tapa bratanya, Sri Ratu berkata pada Kandana:
"Kandana, kini kau telah mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu, yaitu ajian Seribu Rupa dan Samber Nyawa. Tapi untuk menyempurnakannya, kau harus minum tujuh darah gadis. Sekarang pulanglah kembali pada gurumu, nenek Pancoran Sewu."
Setelah berkata begitu, seketika tubuh Sri Ratu Siluman itu raib. Dan Kandana pun kini mendapatkan dirinya kembali di goa Pancoran Sewu. Dengan langkah ringan, Kandana berkelebat keluar dari goa itu. Di luar tampak nenek Iblis Pancoran Sewu tengah menantinya. Dengan wajah berseri, nenek Iblis Pancoran Sewu segera menyambutnya. Di peluknya tubuh Kandana, yang hanya terdiam sembari memandang tajam dan bengis.
Tanpa disadari oleh nenek Iblis Pancoran Sewu, tiba-tiba Kandana merapalkan aji Samber Nyawa. Dicobanya pada tubuh si nenek yang seketika menjerit. Sebelum meninggal, si tanak Iblis Pancoran Sewu sempat mengumpat dan mengutuk Kandana yang hanya tertawa bergelak-gelak, sepertinya merasa puas, demi melihat hasil yang telah dicapainya.
"Kau... kau, manusia tak tahu balas budi, Kau telah berbuat curang, maka kau kelak akan mati dengan tubuh hancur." Setelah berkata begitu yang diikuti oleh suara halilintar menggelegar, nenek Iblis Pancoran Sewa ambruk dengan tubuh hangus.
Tanpa memperdulikan tubuh si nenek, Kandana pan segera berlalu sembari tertawa tergelak-gelak. "Tak ada artinya kau mengumpat, nenek sinting. Dirimu sendiri bukan orang baik-baik, ha... ha...!"
Alam di situ seketika menjadi hening. Langit mendung, guntur bergelegar bersahut-sahutan, sepertinya memberikan tanda pada dunia persilatan bahwa telah datang malapetaka baru yang akan menggemparkan dunia persilatan.
********************
Sejak itu dunia persilatan dilanda geger oleh perbuatan seseorang, yang dengan kejinya merenggut korban gadis. Biasanya gadis-gadis itu mati dengan leher berlubang, seperti habis digigit oleh seekor mahluk.
Kampung Rengas, kampung Lenggok, dan terakhir kampung Muara Sendang, telah menjadi korban jarahan mahluk yang selalu mencari mangsa seorang gadis. Gadis-gadis itu hilang kala hari menjelang senja, di mana mereka biasanya tengah mandi di pancuran. Dengan kejadian itu, makin menambah ketakutan di hati para penduduk desa hingga keamanan desa pun makin dipertingkat dan anakanak gadis dilarang keluar sore-sore.
Malam begitu mencekam, ditambah lagi dengan rintik hujan yang tak mau berhenti menambah seramnya malam itu. Petugas ronda tampak dengan siaga menjaga keamanan kampung, ketika dari kejauhan terdengar suara anjing hutan melolong. Seketika bulu kuduk kelima peronda itu berdiri. Rasa takut menjalar di hati mereka. Kalau bukan tugas, mungkin mereka telah lari ketakutan.
Namun karena merasa itu kewajiban yang harus dijalankan, maka dengan menekan perasaan takut kelimanya tetap waspada. Ketika kelimanya tengah dilanda ketakutan, tampak oleh mereka sesosok tubuh dengan memanggul seorang gadis berkelebat. Sesaat kelima peronda yang sedari tadi hanya terdiam tanpa berani berkata-kata. Kemudian setelah mereka sadar, mereka pun dengan segera mengejar orang yang berkelebat itu.
"Berhenti!" perintah salah seorang petugas ronda.
Lelaki yang berlari dengan membopong tubuh seorang gadis di pundaknya tampak berhenti. Ketika lelaki itu berpaling pada kelima peronda itu, tampak seraut wajah yang mengerikan. Kelima peronda itu tersentak mundur saat melihat wajah lelaki yang mirip hantu. Belum juga kelimanya sadar dari kengeriannya, tiba-tiba orang yang bermuka hantu itu membentak.
"Mau apa kalian! Cepat pergi! Atau kuhisap darah kalian, hah!"
"Bedebah! Jangan kau kira kami takut padamu, kami bukan anak kecil! yang perlu kau takut-takuti. Serahkan gadis itu pada kami, atau kami harus menghajarmu," kata salah seorang dari kelima peronda yang rupanya mempunyai nyali, tak kalah kerasnya.
Mendengar ucapan peronda itu, seketika lelaki berwajah hantu itu tersenyum sinis. Lalu dengan mata melotot dan menunjukkan gigi-giginya yang runcing, lelaki berwajah hantu itu kembali berkata. "Percuma kalian ingin melawanku. Pergi! Atau aku akan mengirim kalian ke akherat!"
Walaupun mereka takut, namun karena tugasnya sebagai penjaga keamanan kampung, mereka tak menghiraukan gertakan itu. Bahkan dengan segera mereka serempak mengeroyok lelaki bermuka hantu. Walaupun dengan menggendong tubuh seseorang di pundaknya, lelaki bermuka hantu itu tampak dengan mudah mengelak serangan kelima peronda. Bahkan dengan segera dapat mendesak kelimanya. Tak lama kemudian terdengar jeritan kematian. Dua dari kelima peronda itu terkapar meregang nyawa.
Melihat kedua temannya mati, ketiganya yang masih hidup tersentak mundur. Dan bagaikan dikomando, ketiganya segera berteriak meminta tolong.
"Tolong...! Tolong...!"
Mendengar suara ketiga peronda itu, seketika orang-orang kampung segera berhamburan keluar. Belum juga orang-orang kampung dapat menolong mereka, tiba-tiba lelaki bermuka hantu telah menghantam ketiganya hingga mati seketika dengan tubuh hangus. Lalu dengan secepat kilat, lelaki bermuka hantu itu berkelebat pergi meninggalkan kelima mayat korbannya.
Penduduk kampung hanya dapat melongo, ketika didapatinya kelima peronda itu telah mati dengan tubuh terbakar hangus. Merinding bulu kuduk penduduk kampung, menyaksikan keadaan kelima peronda itu. Dengan perasaan ngeri, mereka pun segera mengusung kelima peronda yang telah mati.
********************
Di sebuah goa, lelaki berwajah hantu yang telah mengubah kembali wajahnya tengah membaringkan tubuh gadis yang diculiknya. Dibukanya totokan pada tubuh gadis itu, hingga si gadis kembali tersadar dari pingsannya.
"Jangan...! Jangan...! Jangan ganggu aku, pergi!" teriak gadis itu setelah terbebas dari totokan.
Lelaki di depannya tersenyum, perlahan didekatinya tubuh gadis yang kini terduduk dengan wajah ketakutan. Melihat orang yang di hadapannya bukan hantu yang tadi menculiknya, rasa tenang timbul di hati si gadis. Dengan tersipu-sipu, gadis itu menundukkan mukanya sembari bertanya:
"Tuan, siapakah tuan sebenarnya? Tuankah yang telah menolong diriku dari hantu itu?"
Mendengar pertanyaan gadis di depannya, seketika lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Perlahan dihampirinya tubuh si gadis dan dengan lembut direngkuhnya pundak si gadis yang hanya terdiam. Keduanya saling rengkuh dan bergulingguling di atas lantai batu. Gadis itu yang tadinya takut, tiba-tiba menjadi liar dan binal. Ia membalas merengkuh dan menciumi lelaki yang tengah menggelutinya, sampai akhirnya si gadis terdengar mengeluh panjang penuh kenikmatan.
Saat itu juga lelaki yang tadinya tampan, seketika berubah menjadi seram. Gadis itu hendak berontak, namun lelaki berwajah hantu itu telah mendahului menggigit leher si gadis. Sesaat si gadis menjerit, lalu terkulai lemas dengan tubuh membiru mati. Dari lehernya menetes darah sisa gigitan. Sementara lelaki yang berwajah hantu, tampak tersenyum penuh kepuasan dan berlalu meninggalkan tubuh si gadis.
Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan, pertanda hari telah pagi. Lelaki bermuka hantu itu berkelebat pergi meninggalkan goa, yang di dalamnya tergeletak tubuh seorang gadis yang telah beku.
Ketika mentari telah meninggi, seorang pencari kayu secara tidak sengaja datang ke goa itu. Pencari kayu itu tersengat kaget, kala dilihatnya di dalam goa itu seorang gadis telah mati dengan leher berlubang. Dengan tergopoh-gopoh, lelaki itu berlari sambil menjerit-jerit meminta tolong pada warga kampung terdekat yang kebetulan kampung si gadis,
"Ada apa, Bapak? Sepertinya kau tengah mengalami ketakutan. Apakah kau melihat sesuatu?" tanya kepala kampung yang menerima pencari kayu itu.
Dengan wajah pucat dan terbata-bata, lelaki pencari kayu itu menceritakan apa yang telah dilihatnya dalam goa di tengah hutan. "A... aku mencari kayu. Tiba-tiba perasaanku ingin menuju ke goa dan..." Lelaki pencari kayu itu tak segera meneruskan ucapannya, di wajahnya tergambar rasa ngeri yang dalam.
"Dan apa...?" tanya ketua kampung tak sabar.
"Aku melihat sesosok tubuh wanita..." Belum juga pencari kayu itu menyelesaikan ceritanya, dengan segera kepala kampung menggandeng tangannya pergi.
Dengan diikuti oleh sebagian warga kampung, keduanya segera menuju ke tempat di mana pencari kayu itu menemukan gadis yang telah mati. Sesampainya mereka ke tempat yang ditunjukan oleh pencari kayu, mata mereka seketika terbelalak. Dari mulut mereka terdengar pekik kaget, demi mengetahui gadis itu yang ternyata Mirah warga kampungnya. Dengan perasaan haru dan duka, mereka segera menggotong tubuh Mirah yang telah mati dengan cara menyedihkan.
********************
Korban demi korban berjatuhan. Geger dunia persilatan oleh perbuatan teror lelaki berwajah hantu. Desas desus itu akhirnya terdengar juga di telinga Ayu Sakiti, murid Ki Mertanu. Merasa hal itu merupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pendekar beraliran lurus, Ayu Sakiti bermaksud menyelidiki siapa sebenarnya lelaki tersebut. Maka setelah mendapat restu dari gurunya, Ki Mertanu. Berangkatlah Ayu Sakiti untuk menyelidiki desas-desus yang kini ramai dibicarakan di dunia persilatan.
"Apakah Jaka belum mendengarnya? Ah... aku rasa dia sebagai tokoh persilatan tingkat utama, telah mendengar adanya desas-desus ini. Moga-moga dia akan segera datang membantuku," kata Ayu Sakiti dalam hati, setelah berlalu pergi meninggalkan perguruannya.
Siang begitu panasnya, terik matahari seakan hendak membakar seluruh isi muka bumi. Ayu Sakiti yang telah sampai pada sebuah desa, dengan segera mencari sebuah kedai. Tanpa mengalami kesulitan, Ayu Sakiti segera menemukan sebuah kedai. Kedatangan Ayu Sakiti, mengundang perhatian pengunjung kedai lainnya. Hingga salah seorang dari lima pengunjung kedai yang duduk di sudut ruangan berwajah sangar-sangar menyeletuk.
"Lihat, kawan. Rupanya ada bidadari yang hendak menemani kita di sini."
Seketika keempat orang lainnya segera memandang pada Ayu Sakiti yang tengah masuk ke dalam kedai itu. Ayu Sakiti tak menggubris omongan orang tersebut. Ia tetap melangkah masuk dan duduk tak jauh dari urang yang berkata. Seorang pelayan datang menghampirinya seraya bertanya.
"Mau pesan apa, nona?"
"Sebelum aku memesan makanan, aku minta usir dulu kelima lalat-lalat itu," kata Ayu Sakiti menyindir pada kelima lelaki yang bertampang sangar.
Seketika kelima lelaki itu tersentak dan berdiri kaget demi mendengar ucapan Ayu Sakiti yang memang menyindirnya. "Cuih, sombong! Jangan mentang-mentang cantik, lalu beraksi di depan Lima Iblis Burangrang," bentak salah seorang dari kelima Iblis Burangrang dengan marahnya.
Ayu Sakiti hanya tersenyum demi mendengar ucapan orang yang mengaku Lima Iblis Burangrang. Dan dengan kalemnya Ayu Sakiti kembali berkata acuh. "Iblis Burangrang. Kalau kalian merasa bukan lalat, mengapa kalian harus marah. Coba kalian lihat, bukankah memang di sini banyak lalat?"
Mungkin kalau anak kecil akan begitu percaya, namun karena mereka merupakan tokoh-tokoh persilatan dari golongan sesat, mereka tak mau menerima ucapan Ayu Sakiti begitu saja. Maka dengan membentak yang disertai kekesalan, salah seorang dari kelima Iblis Burangrang berkata!
"Hai, bocah gendeng! Aku tadinya menyangka kalau kau yang cantik itu, lemah lembut. Tapi ternyata kau mempunyai nyali juga, hingga berani menghina Lima Iblis Burangrang."
"Hi... hi...! Gendeng katamu. Siapa yang gendeng? Aku atau kalian semua yang tampangnya seperti orang-orang gila yang tak pernah terurus," Ayu Sakiti tertawa cekikikan, membuat kelima Iblis Burangrang tak dapat lagi menahan emosinya demi diledek begitu rupa oleh seorang gadis yang masih bau kencur.
"Sompret! Rupanya kau tak mau diuntung! Maka jangan salahkan aku, Burangrang Hitam mengajar adat pada kamu yang tak tahu sopan santun."
Kembali Ayu Sakiti tertawa cekikikan kala mendengar dan melihat kemarahan Burangrang hitam. Dengan nada mengejek yang membikin marah Burangrang tak dapat terbendung lagi, Ayu Sakiti kembali berkata: "Burangrang jelek! Siapa yang telah menjual sesuatu padamu, hingga kau mengatakan tak mau diuntung? Lagi pula siapa yang mau diberi keuntungan oleh iblis butut macam kalian."
Lima Iblis Burangrang itu mendengus dari mata mereka menyorot api kemarahan. Maka dengan tanpa malu-malu, kelimanya segera berkelebat menyerang Ayu Sakiti. Ayu Sakiti yang telah waspada, diserang oleh kelima Iblis Burangrang bersamaan, bukannya menjadi takut dan bingung. Bahkan dengan gesit, Ayu Sakiti segera mengelak dan secepat kilat lari keluar kedai.
Kelima Iblis Burangrang yang memang telah dilanda amarah oleh tingkah laku Ayu Sakiti, tak mau melepaskan begitu saja. Dengan serentak kelimanya segera memburu keluar, di mana Ayu Sakiti telah berdiri menanti mereka. Walaupun dikeroyok oleh lima tokoh golongan sesat, namun Ayu Sakiti yang merupakan murid tunggal Ki Mertanu atau si Dewa Tangan Maut tak menjadi gentar.
Pertarungan satu lawan lima pun terus berjalan, dari tangan kosong kini berganti dengan senjata. Ayu Sakiti dengan pedang Komaranya berkelebat dengan cepat, laksana seekor burung walet menyambar-nyambar musuhnya. Di lain pihak, kelima Iblis Burangrang yang sudah tersohor segera mengurung murid tunggal Ki Martanu. Kelima Iblis Burangrang itu mengeluarkan jurus Lingkaran Iblis, kelimanya dengan silih berganti menyerang Ayu Sakiti. Jurus Lingkaran Iblis memang begitu hebat dan sukar untuk dapat ditembus.
Mendapatkan hal semacam itu, Ayu Sakiti dengan segera mengubah jurusnya, Jurus Walet Merah Menyambar Ular Sanca. Dengan bergerak makin cepat, Ayu Sakiti menggerakan pedang di tangannya dengan cepat pula. Hingga... terdengar seketika jerit kesakitan membahana. Dan tampak salah seorang dari kelima Iblis Burangrang terkapar pingsan dengan tangan kanan putus.
Melihat hal itu, keempat Iblis Burangrang lainnya tersentak dan melompat mundur dengan mulut menganga seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Ayu Sakiti begitu saja, dengan cepat-cepat pedang di tangannya kembali berkelebat. Dan... untuk kedua kalinya terdengar jeritan sesaat, lalu tampak orang kedua dari Lima Iblis Burangrang tergeletak dengan leher hampir putus.
Ciut seketika nyali ketiga Iblis Burangrang demi melihat kedua temannya dapat dengan mudah dijatuhkan oleh seorang gadis yang masih muda belia. Maka tanpa membuang waktu lagi, ketiganya segera mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana kalian. Jangan harap kalian akan dapat lolos dari tanganku," kata Ayu Sakiti. Dengan seketika tubuhnya yang kecil dan ramping berkelebat memburu ketiganya.
Ketiga Iblis Burangrang tersentak, kala Ayu Sakiti tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka dengan senyum sinis di bibirnya. Merasa tak ada jalan lain, maka dengan nekad ketiganya segera menyerang Ayu Sakiti. Kembali perkelahian pun berlangsung. Ayu Sakiti yang memang tak suka dengan kelima orang Iblis, dengan tanpa menaruh rasa kasihan sedikit pun kembali berkelebat dengan pedang di tangannya.
Tak berapa lama antaranya, kembali terdengar pekikan kematian. Kembali salah seorang dari Iblis Burangrang menjadi korban pedangnya. Mendapatkan hal itu, kedua Iblis Burangrang yang masih tersisa makin nekad. Karena keduanya tak memperhitungkan lagi akan apa yang bakal mereka hadapi, maka keduanya berkelahi dengan jurus yang tak dapat dikontrol. Hal itu menjadikan kepahitan bagi mereka sendiri. Maka dengan sekali tebas, pedang di tangan Ayu Sakiti telah membabat tubuh keduanya yang langsung terkapar meregang nyawa lalu mati.
Setelah melihat kelima musuhnya telah mati, Ayu Sakiti segera kembali menuju kedai. Semua orang yang ada di kedai itu seketika merasa takut dan jeri. Hingga tanpa diperintah olehnya, semuanya seketika mengangguk hormat ketika Ayu Sakiti masuk. Pemilik kedai pun dengan ramahnya disertai hormat segera menghidangkan makanan yang dipesan oleh Ayu Sakiti.
"Bapak... apakah bapak pernah melihat pemuda yang berambut gondrong datang ke mari?" tanya Ayu Sakiti pada pemilik kedai yang tercenung diam, tak lama kemudian, dengan wajah tersenyum pemilik kedai pun berkata:
"Benar! Kira-kira seminggu yang lalu pemuda itu datang ke mari untuk makan siang."
"Hem, rupanya Jaka pun berada di sini pula," kata Ayu Sakiti dalam hati. "Bapak, apakah pemuda itu mengatakan hendak pergi ke mana?"
Ditanya seperti itu pemilik kedai hanya dapat menggeleng lemah. Ayu Sakiti hanya manggut-manggut, lalu dengan segera menyantap makanan yang telah dihidangkan. Setelah membayar makanan yang dimakannya, yang ditolak oleh pemilik kedai karena merasa berterima kasih atas pertolongan Ayu Sakiti, hingga kedainya tak akan dijadikan tongkrongan dan endonan kelima Iblis Burangrang lagi.
"Bapak, sudah menjadi kewajibanku untuk menolong dan membasmi kejahatan. Aku minta terimalah uang bayar makanku," kata Ayu Sakiti sembari menyerahkan uang itu pada pemilik kedai, yang kembali bermaksud menolaknya. Namun dengan segera Sakiti menggenggamkan uang itu di telapak tangannya. Mau tak mau pemilik kedai itu pun akhirnya menerima juga pembayaran Sakiti.
Dengan segera Sakiti pergi meninggalkan kedai untuk meneruskan perjalanannya mencari biang keonaran dunia persilatan. Yang menurut desas-desus bermuka hantu dan selalu menculik gadis untuk korbannya.
********************
TIGA
Gamelan melantunkan tembang kidung. Seluruh tamu yang akan memberikan doa restu pada kedua mempelai tampak sudah pada berdatangan. Seperti adat di Jawa, maka pengantin perempuan akan di boyong oleh pengantin laki-laki dan diiring berarak. Malam makin larut, saat kedua mempelai dijejer untuk menghadap dan diikrar oleh sesepuh adat. Dupa dari asap kemenyan mengepul beri gulung-gulung membumbung tinggi. Kedua mempelai dengan didampingi oleh dua orang saksi tengah dihadapkan pada sesepuh adat, yang akan mensyahkan pernikahan mereka. Di wajah kedua mempelai terkembang senyum bahagia, sama halnya yang hadirpun turut merasakan kegembiraan.
Gamelan dari wayang kulit berhenti, untuk memberikan waktu pada sesepuh adat guna mensyahkan upacara pernikahan. Sesaat, tampak sesepuh adat diam. Matanya terpejam, dari mulutnya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Asap dupa makin menebal. Bersamaan dengan itu, seketika semua yang hadir tersentak kaget. Dari luar seseorang bagaikan terbang menyambar mempelai wanita yang menjerit-jerit meminta tolong. Untuk sesaat semuanya terpaku diam. Lalu setelah sadar dari kekagetannya, mereka serentak memburu orang itu.
"Berhenti!" bentak tetua adat, setelah dapat mengejar orang yang membawa mempelai perempuan, yang kini tampak terdiam dalam pundaknya.
Lelaki yang menggendong mempelai perempuan itu berhenti dari larinya dan dengan tenangnya membalikkan tubuh menghadap pada sesepuh adat. Sesepuh adat dan orang-orang yang telah dapat mengejarnya tersentak kaget, demi melihat wajah penculik itu. Mata mereka melotot, demi menyaksikan muka seram yang persis hantu.
Keterkejutan mereka tak disia-siakan oleh lelaki penculik itu. Maka dengan sekali berkelebat, tubuh lelaki itu telah berlalu meninggalkan mereka yang kembali mengejarnya setelah sadar. Kejar mengejar pun terjadi, hingga sampailah mereka di persawahan yang luas. Penduduk yang sudah merasa marah oleh tindakan lelaki berwajah hantu itu, dengan nekad segera mengepungnya.
"Kembalikan gadis itu ada kami, atau terpaksa kami merencah tubuhmu!" kata sesepuh adat dengan penuh amarah, sementara yang lainnya tampak telah siaga dengan senjata di tangan mereka.
Lelaki bermuka hantu tampak tersenyum sinis, lalu dengan suara serak dan sember berkata: "Hem... jangan harap aku akan menyerahkan gadis ini pada kalian. Pergilah! Atau terpaksa aku menurunkan tangan jahatku!"
"Iblis laknat! Jangan kira kami dapat ditakut-takuti olehmu. Serahkan istriku, atau kau akan mati dengan tubuh dicincang!" Jatmoro yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh lelaki bermuka hantu membentak marah. Tubuhnya seketika tanpa dapat dicegah oleh yang lain berkelebat menyerang.
"Hem... rupanya kau hendak mencari mampus, anak muda. Baik, terimalah ini!" Setelah berkata begitu, tampak lelaki bermuka hantu mengepalkan tangan kanannya. Dari mulutnya terlihat ia membaca mantera. Seketika itu tampak tangan lelaki berwajah hantu memerah membara. Dikiblatkannya tangan yang telah membara itu pada pemuda yang bermaksud menyerangnya.
Tak ayal lagi, Jatmoro yang tak memperhitungkan sebelumnya terpelanting ke belakang sebelum sampai pada sasaran. Tubuh Jatmoro tampak hitam mengarang, nyawanya pun melayang. Melihat hal itu, tersentaklah semua yang ada di situ. Nyali mereka agak menciut juga. Namun ketika sesepuh adat mengomandokan untuk menyerang, semua yang ada di situ dengan senjata di tangan masing-masing, serempak maju menyerang lelaki berwajah hantu.
Dikeroyok begitu banyaknya, tidak menjadikan lelaki berwajah hantu itu mundur dan kabur. Bahkan sebaliknya dengan masih menggendong tubuh gadis yang diculiknya, lelaki itu dengan mudahnya mengelak setiap serangan mereka.
"Percuma kalian membuang-buang nyawa yang hanya satu. Lebih baik kembali ke rumah masing-masing dan tidur dengan nyenyak," kata lelaki berwajah hantu sembari melompat mundur hendak pergi meninggalkan mereka. Namun penduduk yang telah dibakar amarah itu tak mau perduli. Mereka terus mengejar dan kembali mengepung, membuat lelaki bermuka hantu itu tampak menggeram marah.
"Rupanya kematian yang kalian inginkan. Baik! Hari ini juga kalian akan aku kirim ke akherat, bersiaplah!" Habis berkata begitu, kembali dari tangan lelaki bermuka hantu itu keluar selarik sinar merah, menghantam penduduk kampung yang mengejarnya.
Pekik kematian terdengar silih berganti. Mereka mati dengan keadaan yang sama, mati dengan tubuh hangus terbakar menjadi arang. Ciut juga nyali mereka yang masih hidup termasuk sesepuh adat dan ketua kampung. Hingga mereka hanya terdiam memandang dan mengurung lelaki bermuka hantu tanpa berani menyerang.
"Sudah aku katakan. Lebih baik kalian kembali saja ke rumah masing-masing dan tidur dengan nyenyak dari pada harus berurusan denganku. Kini kembali aku perintahkan pada kalian, pulang dan..."
Belum juga habis ucapan lelaki berwajah hantu, tiba-tiba terdengar desiran angin yang diikuti oleh berkelebatnya sesosok tubuh. "Iblis laknat! Ternyata kaulah orangnya yang selalu membuat keonaran. Sudah tujuh ini korbanmu. Jangan harap kau dapat lolos." Habis ucapan itu, tiba-tiba telah berdiri sesosok tubuh wanita di situ dengan mata memandang penuh kebencian pada lelaki bermuka hantu yang tersentak mundur.
"Siapa kau!" bentak lelaki bermuka hantu, setelah dapat menguasai suasana kembali. Matanya yang besar dan merah memandang tak berkedip pada gadis yang baru datang.
Gadis itu tersenyum sinis dan berkata sebelum akhirnya berkelebat menyerangnya. "Siapa aku tak penting. Yang pasti kau harus lenyap dari muka bumi ini, hiaat...!"
Tersentak lelaki bermuka hantu mendapat serangan yang begitu tiba-tiba dan cepat dari gadis yang tak lain Ayu Sakiti adanya. Keduanya segera terlibat pertarungan. Ayu Sakiti yang berwatak keras, tanpa memberi waktu sedikit pun terus mendesak dan merangsek lelaki bermuka hantu yang masih mengelak serangan-serangannya dengan membopong tubuh gadis culikannya.
Kenapa Ayu Sakiti datang di situ? Sejak dari kedai, memang perasaan Ayu Sakiti seakan membimbingnya untuk datang ke kampung itu. Ia yang kemalaman, dengan segera mencari penginapan. Tapi di kampung itu rupanya tak ada penginapan, maka dengan terpaksa Ayu Sakiti pun akhirnya beristirahat di sebuah dangau. Ketika ia tengah tertidur sesaat, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar adanya keributan. Maka dengan segera Ayu Sakiti pun menuju ke asal suara itu dan menemukan perkelahian penduduk menyeroyok lelaki bermuka hantu.
Ketika mengetahui bahwa yang tengah dikeroyok oleh penduduk adalah orang yang dicarinya, Ayu Sakiti yang sedari tadi hanya menonton segera keluar dari persembunyiannya dan menyerang lelaki bermuka hantu. Penduduk yang telah ciut nyalinya, seketika tumbuh keberanian kembali demi melihat seorang gadis dengan beraninya menyerang orang yang berilmu tinggi itu. Semuanya segera kembali mengurung lelaki bermuka hantu, yang tengah bertempur melawan Ayu Sakiti.
Perkelahian antar Ayu Sakiti dan lelaki bermuka hantu kini makin seru. Keduanya telah menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi hingga keduanya tak dapat dilihat oleh orangorang yang menontonnya, sebab keduanya berkelebat begitu cepat. Jurus demi jurus yang diikuti dengan pekikan-pekikan terus berlalu. Hampir seratus jurus sudah mereka lampaui. Namun kelihatannya kedua orang yang bertanding itu sama-sama tangguh, seakan tak akan ada yang kalah atau menang.
Bulan yang bergayut di langit kini tampak telah beralih ke sebelah Barat, pertanda pagi akan segera tiba. Tapi pertarungan keduanya masih terus berlangsung. Melihat pagi sebentar lagi akan datang, tampak lelaki bermuka hantu mendengus. Dan dengan sekali melentingkan tubuhnya, lelaki bermuka hantu segera mundur sembari menghantamkan pukulannya.
Ayu Sakiti dan semua penduduk tersentak, semuanya segera mengelak. Namun tak urung, salah seorang dari penduduk ada yang terkena pukulan itu. Seketika orang yang terkena meregang nyawa, tubuhnya seketika berubah menghitam bagaikan arang. Setelah semuanya tersadar. Didapatinya lelaki bermuka hantu telah lenyap dari pandangan mereka, membuat Ayu Sakiti geram. Tanpa memperdulikan orang-orang yang memandangnya. Ayu Sakiti segera berkelebat mengejar.
Namun ilmu lari orang yang bermuka hantu, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengannya. Hingga Ayu Sakiti pun tak dapat mengejarnya. "Hem... ilmu lari tingkat tinggi. Percuma aku mengejarnya. Mungkin guruku pun masih di bawah orang itu dalam hal ilmu kesaktian. Hanya Pendekar Pedang Siluman atau Jaka Ndableg sajalah yang mungkin dapat mengejar larinya. Setahuku, guru pernah bercerita tentang kehebatan Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Kata guru, Pendekar Pedang siluman adalah pewaris ilmu Empat Pendekar Sakti. Empat tokoh persilatan yang pernah merajai dunia persilatan lima tahun yang lalu. Seperti halnya Empat Pendekar Sakti, Jaka Ndableg pun memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi yang belum ada tandingannya. Ia juga memiliki senjata yang pernah kulihat ketika bertarung melawan Kala Wasungsang. Senjata itu dapat mengeluarkan Darah dan Angin Prahara. Baik, aku kembali saja. Kali ini aku gagal, tapi lain kali aku harus dapat meringkus durjana itu. Dan untuk itu, aku harus meminta tolong pada Jaka Ndableg. Ah, aku rasa Jaka Ndableg pun telah mendengar kejadian ini, di mana dia sekarang...?" tanya Ayu Sakiti pada diri sendiri, sebelum akhirnya ia berkelebat pergi kembali menemui penduduk kampung yang masih tampak berkerumun.
********************
Sementara itu, di sebuah bukit, seorang lelaki dengan membopong tubuh seorang gadis di pundaknya berjalan menuju ke sebuah semaksemak di antara bebatuan. Direbahkannya tubuh gadis yang sedari tadi digendongnya ke atas semak-semak. Dibukanya totokan pada gadis itu yang seketika sadar. Gadis itu hendak menjerit, namun ketika melihat tatapan mata pemuda di hadapannya, seketika ketakutan si gadis hilang dan berubah menjadi rasa nafsu yang bergejolak-gejolak di dadanya.
Maka ketika lelaki muda itu menggeluti tubuhnya, si gadis tampak dengan nafsu membalasnya. Si gadis terlena dalam khayal yang diciptakan oleh lelaki muda itu, ia tak menyadari akan apa yang terjadi. Gigi pemuda itu yang tadinya rata, kini dengan sendirinya memanjang runcing. Dan...! Seketika terdengar jeritan kematian dari mulut si gadis yang memberontak meminta dilepaskan dari gigitan pemuda itu lalu akhirnya terkulai lemas dengan tubuh tak bernyawa. Setelah berhasil menyedot darah gadis korbannya, pemuda itu segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh gadis korbannya dengan begitu saja.
********************
Pagi itu, Jaka nampak berlari-lari menuju ke sebuah bukit, pendengarannya yang tajam telah mendengar suara pekik kematian di bukit itu. Penciumannya yang tajam segera dipasang. Hidungnya mengendus endus mencium bau amis darah.
"Di manakah?" tanya Jaka dalam hati, masih terus mencari tempatnya bau amis itu. Ketika ia tiba di semak-semak yang tertutup bebatuan, didapatinya sesosok tubuh seorang gadis telah mati dengan leher berlobang bekas gigitan suatu mahluk.
"Hem. Mahluk macam apa yang telah menggigit gadis ini? Ularkah...? Hai. Tidak mungkin kalau ular, kalau ular niscaya gadis ini telah dibeset tubuhnya. Tapi ini, ah... sebuah misteri. Manusiakah? Apakah ada manusia yang mempunyai taring? Iblis atau setankah? Tapi aku rasa setan tak ada yang doyan darah manusia, kecuali siluman. Heh, ya, ini jelas manusia yang berilmu siluman yang berbuat begini, akan aku selidiki."
Dengan tanpa dibantu orang lain, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman dari Kawah Chandra Bilawa dengan segera menguburkan mayat gadis itu. Setelah mengubur mayat gadis itu, dengan segera Jaka Ndableg berkelebat pergi menuju ke kampung terdekat untuk mencari keterangan dengan adanya kematian gadis-gadis yang telah menjadi desas-desus di dunia persilatan.
Sedang Jaka berjalan-jalan untuk mencari kedai dikarenakan perutnya telah lapar, terdengar olehnya suara orang berteriak-teriak tengah bertempur. Jaka segera memasang pendengarannya. Lalu ketika telah pasti betul bahwa memang tengah terjadi pertempuran yang tak jauh dari tempatnya lewat, Jaka pun segera berkelebat menuju ke asal suara itu. Dan memang benar, di situ tampak dua orang tengah bertempur. Jaka tersentak kaget, ketika tahu siapa yang tengah berkelahi. Gadis yang tengah berkelahi dengan seorang lelaki tua berkepala botak dan berwajah sangar itu, tak lain dari pada murid tunggal Ki Mertanu, si Ayu Sakiti.
Mulanya Jaka bermaksud hanya menonton saja karena merasa tak perlu turun tangan untuk membantu Ayu Sakiti yang diketahuinya mempunyai ilmu tidak rendah. Namun ketika melihat Ayu Sakiti terdesak dan nyawanya hendak terancam oleh senjata rantai yang dipegang oleh lelaki tua musuhnya, dengan segera Jaka berkelebat. Dengan Pedang Siluman Darah di tangan, Jaka segera menghadang serangan rantai maut itu.
"Minggir, Ayu Sakiti!" Bersamaan dengan suara Jaka, secepat itu pula Pedang Siluman Darah di tangan Jaka berkelebat membabat putus rantai maut itu.
Pucat pasi wajah lelaki tua yang menyerang Ayu Sakiti, demi melihat rantai mautnya terbabat putus oleh senjata yang berada di tangan seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapannya dengan bibir mengurai senyum. Ayu Sakiti yang tahu Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah menolongnya, hatinya seketika berbunga gembira.
"Siapa kau, anak muda? Mengapa kau mencampuri urusan kami!" bentak lelaki tua berkepala gundul.
"Aku bukannya hendak mencampuri urusanmu, bila kau tidak bermaksud membunuh gadis ini. Tapi karena kau bermaksud mencelakai gadis ini, maka aku pun tak akan tinggal diam begitu saja," kata Jaka dengan tenangnya.
"Apa sangkut pautmu. Aku berurusan dengan gadis yang berada di sampingmu karena ia telah membunuh kelima murid-muridku." kata lelaki tua berkepala gundul itu dengan geramnya.
Namun tampaknya Jaka hanya tersenyum sembari kembali berkata setelah melirik pada Ayu Sakiti sesaat yang tersenyum padanya. "Orang tua. Kalau muridmu tidak jahat aku rasa temanku ini tidak akan menurunkan tangan jahatnya. Tapi karena kelima muridmu memang orang-orang jahat, maka sudah sepantasnyalah harus dibasmi."
Mendengar ucapan Jaka yang dirasakannya ngelantur, makin geramlah lelaki tua berkepala gundul. Dengan mata menatapi tajam, lelaki tua berkepala gundul itu kembali membentak. "Anak muda, rupanya kau tidak memandang sebelah mata pun pada Singkek Iblis, hingga berani lancang ngomong sembarangan. Jangan salahkan aku yang tua ini mengajar adat pada kalian!"
Mendengar ancaman Singkek Iblis, Jaka Ndableg bukannya takut, malah tertawa bergelak-gelak. Hingga Singkek Iblis tersentak dengan penuh amarah. Tanpa banyak berkata lagi, Singkek Iblis yang sudah tak dapat menahan amarah segera berkelebat menyerang Jaka dengan senjata lainnya yang berbentuk trisula. Diserang begitu tiba-tiba, tidak menjadikan Jaka Ndableg bingung. Maka dengan sekali berkelit, Jaka pun dapat mengelakan serangan Singkek Iblis.
Menerima kenyataan serangannya dapat dengan mudah dielakkan oleh pemuda musuhnya, makin geramlah lelaki tua berkepala botak itu. Dengan makin meningkatkan serangannya yang langsung menuju ke sasaran kematian, Singkek Iblis mencoba merangsek Jaka. Dengan bersuit nyaring, Jaka segera mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya yang menggunakan jurus Elang Mencakar Mangsa.
Tersentak Singkek Iblis melihat jurus aneh yang dipakai oleh pemuda musuhnya. Dengan melompat mundur, Singkek Iblis segera mengeluarkan ajiannya setelah menggeram sesaat. Seketika tubuh Singkek Iblis berubah menjadi banyak. Kini Jaka yang tersentak dan melompat mundur seraya berkata dengan masih penuh ketenangan.
"Singkek Iblis. Kalau kau hendak memamerkan ajian siluman mu, baik. Nah, aku pun akan mengimbanginya."
Setelah habis ucapannya, dengan segera Jaka duduk bersila. Matanya terpejam rapat, dari mulutnya keluar ucapan yang tak terdengar. Itulah ucapan mantera. Seketika itu, tubuh Jaka yang tadinya kecil berubah besar dan makin besar. Ajian Dewa Buto Sewu memang tak pernah dipakai oleh Jaka sejak diajarkan, oleh Ki Bayong guru tertuanya. Sebab ajian itu begitu hebat, juga akan mendatangkan petaka di dunia persilatan bila tidak dapat dijinakkan oleh pemiliknya yang tengah dilanda emosi. Ayu Sakiti tersentak mundur demi melihat tubuh Jaka seketika berubah menjadi Raksasa Dewa Wisnu, yang besar dan tinggi. Tawanya membahana, menjadikan pepohonan di sekitarnya tumbang berhamburan.
Melihat hal itu, keseribu tubuh Singkek Iblis segera menyerbu raksasa Dewa Wisnu. Maka tak ayal lagi, kedua ajian aneh itu bertempur mengadu kekuatan. Tinggal Ayu Sakiti sendiri yang tampak pucat melihat hal di depan matanya. Raksasa Dewa Wisnu mengamuk. Tangannya yang besar berkelebat menangkap keseribu Singkek Iblis. Dan dengan sekali remas keseribu Singkek Iblis itu hancur berkeping-keping menjadi abu.
Walaupun Singkek Iblis telah mati, namun Ayu Sakiti tak juga berani memunculkan diri. Ia masih takut melihat Raksasa Dewa Wisnu, hingga wajahnya pucat pasi. Karena Jaka melakukan tidak dalam keadaan emosi, maka perubahan ujud kembali pada dirinya semula pun tidak mengalami kesulitan. Jaka terduduk lemas, wajahnya tampak berkeringat. Sepertinya ia telah melakukan pekerjaan yang sangat berat. Setelah lama terdiam, Jaka pun segera mencari Ayu Sakiti yang bersembunyi karena ketakutan. Walaupun ia seorang pendekar namun demi melihat ilmu-ilmu aneh yang baru saja ia tahu, ia takut juga.
"Ayu Sakiti, di mana kamu?" seru Jaka memanggil nama Ayu Sakiti.
Tak lama kemudian, tampak Ayu Sakiti keluar dari persembunyiannya masih dengan wajah pucat. Hal itu membuat Jaka tersenyum sembari berkata:
"Wajahmu pucat. Kenapa?"
"Aku takut."
"Takut...? Takut pada siapa?" tanya Jaka kembali, di bibirnya terurai senyuman. Hingga Ayu Sakiti pun turut tersenyum tersipu-sipu seraya berkata manja.
"Ah. Kau bercanda. Siapa yang tak takut melihat kau berubah ujud segitu gedenya?"
Mendengar penuturan Ayu Sakiti, seketika Jaka tersenyum sembari berkata: "Seharusnya aku tak usah mengeluarkan ajian itu kalau Singkek Iblis tidak mendahului dengan ajian seribu Iblisnya. Tapi sudahlah... oh ya, kenapa kau ada di sini?"
Ayu Sakiti pun menceritakan tentang apa yang telah ia alami di kampung itu. Tak lupa Ayu Sakiti memberi tahukan tentang siapa yang selama ini menggegerkan dunia persilatan.
********************
Di perguruan Tambak Segara, tampak pagi itu dua orang muda mudi tengah berlatih ilmu silat. Keduanya berkelebat-kelebat dengan cepatnya. Keduanya saling serang dan bertahan dari gempuran yang lain. Tak jauh dari mereka berlatih, seorang lelaki yang rambutnya telah berubah menjadi putih duduk bersila di atas sebuah batu yang terletak di sisi kiri pintu padepokan. Walau matanya terpejam, namun dengan penglihatan batinnya yang tajam lelaki tua yang bernama Ki Tambak Sande dapat mengikuti kedua muridnya berlatih.
Salah satu dari kedua muridnya yang tak lain dari anaknya sendiri, sementara yang seorang lagi adalah Anggasana menantunya. Kedua muda mudi itu telah dijodohkan oleh guru sekaligus ayah sang gadis yang bernama Sekar Sedati.
Hubungan kedua sejoli itu tampak intim dan penuh kasih sayang hingga keduanya tampak seperti Kama Jaya dan Dewi Ratih. Keharmonisan hubungan mereka sempat menjadikan iri hati pada seorang murid Ki Tambak Sande lainnya yang bernama Kandana. Pernah Kandana yang merasa iri hati kepada Anggasana telah berusaha memperkosa Sekar Sedati. Namun untung segera diketahui oleh Ki Tambak Sande, yang dengan kesaktiannya sempat mengutuk sang murid. Hingga wajahnya berubah menjadi buruk rupa saat itu pula.
"Ciat...! Awas, kakang Angga. Terimalah seranganku," kata Sekar Sedati seraya berkelebat dengan cepat menyerang kekasihnya.
Anggasana dengan seketika mengelak, lalu dengan terlebih dahulu memperingatkan pada Sekar Sedati, Anggasana segera balik menyerang. "Awas, Sekar. Ganti aku yang menyerang. Hiaat...!"
Mungkin karena disengaja atau karena ingin menguji kasih sayang Anggasana, maka Sekar Sedati tidak segera mengelak serangan Anggasana. Hingga pukulan yang dilontarkan Anggasana pun seketika mendarat di dada sebelah kanannya. Sekar Sedati seketika terhuyung-huyung ke belakang dengan muka meringis menahan sakit.
Anggasana sesaat tersentak demi melihat kekasihnya terhuyung kena pukulannya dengan perasaan takut kalau-kalau kekasihnya terluka, Anggasana pun segera memburu tubuh Sekar Sedati dan dengan cepatnya dipeluk tubuh Sekar Sedati dalam pelukannya. Menerima hal itu Sekar Sedati yang memang hanya berpura-pura sakit dengan seketika membalas memeluk Anggasana yang seketika tergagap.
"Kenapa kakang?" tanya Sekar Sedati, demi melihat Anggasana hendak melepaskan pelukannya. Dengan segera, Anggasana memberi tanda isyarat. Tapi dasar Sekar Sedati manja, sudah diberi isyarat bukannya segera melepaskan pelukannya, bahkan makin mempererat.
"Sekar. Bukankah ada ayahmu?" bisik Anggasana memperingatkan, karena ia takut kalau-kalau Ki Tambak Sande yang tengah bersemedi melihatnya.
Sekar Sedati tak mau perduli, malah dengan manja dirangkul dan diciumnya pipi Anggasana yang seketika makin gelagapan sembari berkata: "Biarin. Bukankah kita telah ditunangkan?"
"Aku tahu, Sekar. Tapi kita ini belum resmi, maka belum layaklah bila kita berbuat begini di depan orang lain walau itu ayahmu," kata Anggasana kembali menjelaskan.
Belum juga Sekar Sedati berkata, tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Sande berkata: "Benar, anakku. Walau kalian telah terikat, tapi hal itu bukannya tanda kalian boleh sesuka hati berbuat. Kalian sebagai orang-orang persilatan harus dapat menjaga hal-hal yang sekiranya kurang baik. Nanti kalau memang sudah masanya, maka kalian berhak atas segala yang menjadi hak kalian."
Anggasana tersentak kaget hingga dengan segera melepaskan pelukan Sekar Sedati. Wajahnya merah padam menahan malu, sementara Sekar Sedati tampak hanya cengar-cengir manja dan masih terus menggayuti pundak Anggasana yang kini telah berdiri. Sebagai murid Ki Tambak Sande yang baik, maka merasa dirinya bersalah Anggasana tanpa disuruh oleh gurunya segera bersujud memohon ampun.
"Ampun, guru. Tidak sekali-kali murid bermaksud berbuat rendah. Namun bila tindakan muridmu ini ternyata memang salah, maka murid siap untuk menerima hukumannya," kata Anggasana sembari bersujud di depan kaki gurunya Ki Tambak Sande yang tampak masih semedi dengan mata terpejam.
"Kau tidak bersalah, Angga. Memang darah muda akan selalu dihinggapi dengan segala nafsu angkara dan kelalaian. Tapi kau telah mampu mengatasinya. Aku bersyukur telah dapat mendidikmu dengan baik hingga menjadi orang yang mengerti tata krama kehidupan," kata Ki Tambak Sande dengan masih memejamkan matanya.
"Ayah... Sekar juga meminta maaf karena Sekar telah berbuat yang tak seharusnya Sekar lakukan," Sekar Sedati segera mengikuti kekasihnya bersujud di hadapan ayahnya dan mengakui segala kesalahannya.
Ki Tambak Sande tampak tersenyum demi melihat kedua anak dan muridnya tampak bersujud. Lalu dengan mata masih terpejam, Ki Tambak Sande berkata pelan. Tapi kata-kata Ki Tambak Sande seketika menjadikan Sekar Sedati dan Anggasana terbelalak.
"Angasana dan Sekar Sedati, bersiaplah! Sebentar lagi akan datang orang yang berilmu tinggi yang dulu pernah kita kenal..."
Dalam keterkejutannya, Anggasana pun melontarkan pertanyaan ingin tahu gerangan siapa orang yang datang hingga ia harus bersiap-siap. "Siapa gerangan orang itu, guru?"
Sesaat Ki Tambak Sande terdiam, lalu dengan membuka matanya perlahan. Ki Tambak Sande pun berkata kembali. "Kalian masih ingat kejadian enam tahun yang silam?"
Terbelalak Anggasana Dan Sekar Sedati mendengar ucapan guru dan ayahnya. Kembali terbayang di benak Anggasana dan Sekar Sedati wajah seseorang yang telah membuat keributan. Tanpa sadar, Anggasana dan Sekar Sedati bergumam menyebut nama lelaki itu.
"Kandana, mau apa dia ke mari?"
"Muridku dan anakku. Memang benar akan apa yang kalian katakan, orang itu memang Kandana adanya. Tapi ingat, dia sekarang bukanlah Kandana yang dulu kalian kenal. Dulu kalian mengenalnya sebagai orang yang bodoh dan dungu, namun sekarang. Kandana telah bersekutu dengan iblis, hingga ilmunya pun ilmu iblis pula. Tapi kalian tak perlu takut, bagi seorang pendekar lebih baik mati daripada harus menyerah kalah pada iblis," kata Ki Tambak Sande memberi semangat.
"Apa yang menjadi ucapan guru, akan murid junjung tinggi dan pertahankan. Murid telah siap untuk menghadapinya, walau nyawa murid sebagai taruhannya," sahut Anggasana dengan penuh rasa percaya diri dan siap menghadapi segalanya.
Begitu juga Sekar Sedati, yang dihatinya telah tertanam benih dendam atas perlakuan Kandana enam tahun yang silam, yang hampir saja merenggut miliknya yang paling mahal. Maka dengan mata bersinar penuh kebencian, Sekar Sedati pun berkata: "Seperti kakang Anggasana, aku pun telah siap untuk mati daripada harus menyerah pada iblis Kandana."
"Bagus. Ketahuilah, Kandana datang ke mari dengan tujuan ingin membuat perhitungan pada kita dan sekaligus ingin mengulangi perbuatannya enam tahun yang silam yang dapat kita gagalkan." Sehabis berkata begitu, Ki Tambak Sande tampak berdiri dari duduknya dan dengan mata membuka lebar ditatapnya pemandangan di sebelah Timur rumahnya.
Melihat sang guru berbuat begitu, maka Anggasana pun segera mengikuti di belakangnya bersama Sekar Sedati. Kala mereka tengah memandang ke arah Timur, Ki Tambak Sande dengan tanpa berpaling berkata: "Bersiaplah. Sebentar lagi iblis itu akan segera datang. Aku peringatkan pada kalian, jangan terpengaruh dengan tatapan matanya sebab jika kalian memandang matanya celakalah kalian."
"Kenapa begitu, guru?" tanya Anggasana belum mengerti akan ucapan gurunya, dan merasa aneh kedengarannya.
Mendengar pertanyaan muridnya, sang guru sesaat menengok memandang pada murid dan anaknya seraya kembali berkata menerangkan. "Ketahuilah. Jika kalian memandang matanya, maka kalian akan terpengaruh oleh iblis. Kalau kalian telah terpengaruh, maka dengan mudah iblis itu akan membunuh kalian bagaikan membalik telapak tangannya. Pahamkah kalian?"
"Murid mengerti, guru."
"Sekar mengerti, ayah."
Sesaat ketiganya terdiam hening, tak ada yang berkata-kata. Sepertinya mereka tengah tegang menghadapi sesuatu yang bakal menimpa mereka. Angin siang itu tidak seperti biasanya. Angin siang itu tampak begitu kencang dan dingin, disertai dengan bunyibunyi aneh menerpa mereka.
Hilang angin itu, tiba-tiba ketiganya tersentak mendengar suara gelak tawa yang membahana. Kembali ketiganya tegang, mata mereka sesaat membeliak dan memandang sekeliling. Namun mereka tak menemukan apa-apa, maka dengan berbisik pada murid dan anaknya Ki Tambak Sande berkata memperingatkan.
"Awas. Iblis itu telah datang, bersiap-siaplah." Habis kata-kata Ki Tambak Sande. Seketika dari arah Timur berkelebat sesosok tubuh dengan gelak tawa membahana menuju mereka.
"Selamat bertemu kembali, Ki Tambak Sande? Mungkin engkau masih mengenalku, walau wajahku telah berubah tidak buruk seperti dulu."
Habis ucapan itu, tiba-tiba tanpa diketahui kedatangannya oleh Ki Tambak Sande. Orang yang mereka maksud telah berdiri tak jauh darinya, hal itu membuat Ki Tambak Sande terbelalak kaget. Namun sebagai seorang yang telah tersohor di dunia persilatan, dan telah banyak makan asam garam. Ki Tambak Sande dapat segera menghilangkan ketegangan, maka dengan nada datar penuh ketenangan, Ki Tambak Sande berkata: "Kandana, untuk apa kau datang ke mari?"
Mendengar pertanyaan Ki Tambak Sande, seketika Kandana kembali tertawa bergelak-gelak. Dengan senyum sinis, Kandana memandang tajam pada Ki Tambak sesaat, lalu pandangannya tertuju pada Sekar Sedati. "Hem. Rupanya kau makin tambah cantik saja, manis. Dulu aku tak sempat mencicipi tubuhmu yang bahenol itu, kini saatnya aku harus dapat merasakannya. Ayo, denok. Kau harus mau melayaniku."
Habis berkata begitu, tanpa memandang sedikit pun pada Ki Tambak Sande dan Anggasana yang melotot marah. Kandana dengan sekelebat segera hendak menangkap Sekar Sedati, yang seketika mengelak dan mengirimkan tendangannya. Geram Kandana menerima hal itu. Ia tak menyangka kalau Sekar Sedati akan menendangnya, hingga perutnya pun tak ayal lagi menjadi hantaman kaki Sekar.
"Bug...!"
Terbelalak mata Kandana. Giginya bergerutuk menahan amarah, hingga matanya seketika berubah menjadi merah. Maka dengan terlebih dahulu mengeluarkan suara geraman, Kandana kembali menubruk tubuh Sekar Sedati. Tapi belum juga maksudnya kesampaian, tiba-tiba Anggasana telah menghantamkan pukulan Palu Sewunya. Dan untuk kedua kalinya Kandana terhuyung ke belakang dengan darah menetes di bibirnya.
Makin marah saja Kandana menerima perlakuan seperti itu, maka dengan menggeram kembali dan dari mulutnya merapal ajian yang diperolehnya di goa Pancoran Sewu yaitu ajian Samber Nyawa, Kandana pun kembali menyerang. Sekar Sedati dan Anggasana yang telah waspada, dengan segera berkelit mengelakan serangan Kandana yang sudah nampak memuncak amarahnya. Merasa buruannya dapat lolos, makin bertambah saja amarahnya. Dengan perasaan iblis, Kandana pun segera mengiblatkan ajian Samber Nyawa pada dua sejoli itu.
"Awas...!" seru Ki Tambak Sande demi melihat selarik sinar merah membara menuju ke murid dan anaknya yang dengan segera mengelak.
Pucat pasi wajah kedua sejoli itu demi melihat apa yang baru saja hampir merengut nyawa mereka. Sementara Ki Tambak Sande menggumam saat mengetahui ilmu yang digunakan oleh Kandana.
"Hem. Ajian Samber Nyawa. Rupanya benar apa yang telah dikatakan oleh wangsit yang aku terima. Anggasana dan kau Sekar Sedati, minggirlah. Dia bukan lawan kalian, biar aku yang menghadapi," seru Ki Tambak Sande yang tahu bahwa murid dan anaknya tak akan mampu menghadapi Kandana. Tanpa banyak bicara. Dengan segera Anggasana dan Sekar Sedati segera melompat mundur. Melihat kedua musuhnya mundur, dan demi mendengar ucapan Ki Tambak Sande, dengan senyum sinis Kandana berkata sengau:
"Hem. Rupanya kau telah tahu ilmu yang kugunakan. Nah, sekarang kuperintahkan pada kalian. Menyerahlah!"
Mata Anggasana dan Sekar Sedati terbelalak demi mendengar ucapan Kandana, seketika keduanya memandang pada Ki Tambak Sande yang tampak masih tenang dan tersenyum sinis dan berkata menjawab ucapan Kandana.
"Kandana. Jangan kau berbesar hati dan sombong karena telah memiliki ilmu iblis. Pantang bagiku, Ki Tambak Sande menyerah pada iblis. Nah, Aku telah siap menghadapimu, walaupun nyawaku sebagai penggantinya."
"Hem. Begitu. Baik, bersiaplah kau kukirim ke akherat. Bersiaplah, hiat...!"
Habis berkata begitu, dengan secepat kilat Kandana berkelebat menyerang Ki Tambak Sande. Tangan Kandana yang telah merapalkan aji Samber Nyawa tampak merah menyala bagaikan bara api, dengan segera dikiblatkannya pada Ki Tambak Sande yang-segera mengelak dan langsung mengirimkan serangan balik dengan aji Gampar Bumi. Kedua kekuatan sakti itu saling bertemu dan beradu di udara, menjadikan suara ledakan dahsyat.
"Blaar...!"
Ki Tambak Sande terdorong lima tombak ke belakang, dadanya terasa sesak. Sementara Kandana tampak hanya melengoskan tubuhnya menerima hantaman itu, di bibirnya tergerai senyum sinis mengejek.
Kaget Ki Tambak Sande, demi melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Hatinya seketika bergumam: "Hem. Memang bukan ilmu sembarangan, tapi apapun yang terjadi daripada aku harus menyerah kalah pada iblis, lebih baik aku mati." Tanpa disadari Kandana. Ki Tambak Sande dengan segera kembali berkelebat menyerang Kandana. Diserang tiba-tiba seperti itu, membuat Kandana menggeram dan mengumpat-umpat marah sembari berkelit.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus cepat-cepat, tua bangka!" Dengan reflek yang tinggi, Kandana segera mengiblatkan kembali tangan yang telah disaluri ajian Samber Nyawa ke arah Ki Tambak Sande yang tak menduga. Hingga tanpa dapat berkelit, Ki Tambak Sande akhirnya hanya mampu mengadunya dengan ajian Gampar Bumi. Dan... Kembali terdengar suara ledakan membahana di angkasa.
"Duar!"
Untuk kedua kalinya Ki Tambak Sande terdorong ke belakang, kali ini malah makin fatal akibatnya. Ki Tambak Sande tampak bukannya terdorong saja, malah kini terluka dalam. Sementara Kandana tampak makin melebarkan senyumnya, demi menyaksikan musuhnya terkapar dengan tangan memegangi dadanya. Maka dengan congkaknya Kandana tertawa seraya berkata:
"Sudah aku bilang, percuma saja kalian melawanku. Maka begitulah akibatnya, ha... ha..."
Mendengar ucapan Kandana yang sombong, membuat Anggasana dan Sekar Sedati yang tengah mengerumuni tubuh Ki Tambak Sande menggeram. Dan dengan nekad, keduanya segera berkelebat menyerang Kandana seraya berkata membentak:
"Jangan takabur iblis. Langkahi dulu mayat kami, sebelum kau dapat menguasai diri kami," kata keduanya hampir berbarengan.
"Hem. Bagus. Rupanya kalian pun menghendaki mati, baiklah. Akan aku kirim kalian semuanya ke akherat, walaupun aku merasa sayang dengan tubuhmu yang bahenol itu, Sekar. Namun kalaupun begitu, aku akan menikmati dulu tubuhmu sebelum aku kirim kau ke neraka."
Kandana yang telah dirasuki iblis, tanpa mengenal rasa kasihan segera memapaki serangan keduanya dengan ajian Samber Nyawa. Dicecarnya tubuh Anggasana, sementara Sekar Sedati yang memang diinginkannya hidup. Dibiarkannya menyerang. Pertarungan dua lawan satu pun terus berjalan. Walaupun demikian, tampak Kandana dengan mudah dapat mendesak keduanya. Hingga pada sebuah kesempatan, Kandana dapat menghantamkan ajian Samber Nyawanya ke tubuh Anggasana yang seketika hangus mati.
Melihat kekasihnya mati di tangan Kandana, Sekar Sedati dengan nekad menyerang Kandana berhadap-hadapan. Untung Kandana tidak menurunkan tangan mautnya. Hingga ketika keduanya bentrok, Sekar Sedati tak mengalami hal seperti kekasihnya. Namun tubuhnya seketika lemas, terkena totokan yang dilancarkan oleh Kandana. Kandana tampak meringis tersenyum, demi melihat tubuh Sekar Sedati tergeletak dengan tak berdaya. Perlahan didekatinya tubuh Sekar yang tergeletak lemas, membuat Sekar Sedati membeliakkan matanya penuh kebencian. Dari mulutnya keluar caci maki.
"Iblis laknat, lepaskan aku. Aku tak sudi melayanimu, cih!"
Dicaci maki seperti itu, bukan menjadikan Kandana marah. Bahkan dengan tersenyum, Kandana pun segera membuka pakaian yang melekat di tubuh Sekar yang hanya mampu memejamkan mata rapat-rapat pasrah.
Ki Tambak Sande yang menyaksikan hal itu menjadi sangat geram dan dengan sisa-sisa tenaganya segera melompat menyerang Kandana. Ditendangnya Kandana yang tengah mengangkangi tubuh anaknya hingga terpental mencium tanah dan dengan segera dibebaskannya totokan yang membelenggu tubuh anaknya hingga terbebas. Setelah Sekar Sedati terbebas, disuruhnya Sekar Sedati pergi
"Cepat tinggalkan tempat ini. Cepat!"
Mulanya Sekar Sedati tampak ragu, hingga membuat Ki Tambak Sande kembali membentaknya. "Anak dungu! dia tak akan membunuhmu, namun dia akan memperkosamu. Cepat pergi!"
"Tapi, ayah?" tanya Sekar Sedati ragu hingga membuat Ki Tambak Sande melotot marah dan kembali membentak.
"Dungu! Jangan kau hiraukan aku. Cepat pergi!"
Maka dengan menurut tanpa banyak kata lagi, Sekar Sedati pun segera berlari pergi meninggalkan tempat itu. Kandana yang sudah berdiri kembali bermaksud mengejar Sekar Sedati yang berlari, ketika dengan segera Ki Tambak Sande menghadangnya. Geram Kandana merasa buruannya lolos karena Ki Tambak Sande, maka tanpa ampun lagi Ki Tambak Sande pun dengan segera menjadi bulan-bulanan kemarahan Kandana hingga tubuhnya hancur. Belum puas sampai di situ, ditendangnya tubuh Ki Tambak Sande hingga melayang jauh.
"Bedebah! Dendamku belum habis bila aku belum dapat merasakan tubuh Sekar Sedati. Hem... Ke mana pun larinya, akan kukejar." Sehabis berkata begitu, tubuh Kandana seketika berkelebat menuju ke arah yang ditempuh Sekar Sedati.
********************
EMPAT
Jaka dan Ayu Sakiti tengah berjalan dalam usahanya memburu manusia bermuka hantu yang telah menggemparkan dunia persilatan. Sudah cukup jauh mereka berjalan, menyusuri hutan dan desa namun belum juga mereka menemukan jejak yang dapat menuntun mereka menunjukkan adanya orang tersebut. Siang itu keduanya tampak berjalan beriringan menyusuri jalan Setapak di tengah hutan yang belum dijamah oleh manusia.
"Ke mana kita harus mencarinya? Rasarasanya sangat susah bagi kita untuk dapat menemukannya. Aku yakin bahwa orang mungkin telah mencium maksud kita," kata Jaka dengan putus asa, menjadikan Ayu Sakiti mengernyitkan alis.
"Kenapa kau menjadi orang yang pesimis? Bukanlah seorang pendekar bila cepat menyerah." Jaka nyengir kuda, demi mendengar ucapan Ayu Sakiti yang dirasa menyindirnya. Maka tanpa dapat berkata lagi, Jaka pun segera melanjutkan langkahnya dengan perasaan malu.
"Ke mana kita?" kembali Jaka bertanya untuk kedua kalinya, Ayu Sakiti kembali mengernyitkan pelipisnya. Dipandangnya Jaka dengan tajam, hingga membuat Jaka salah tingkah dan bertanya heran.
"Kenapa kau memandangku begitu? Apa ada yang tak beres padaku?"
"Ada," jawab Ayu Sakiti dengan muka cemberut. Membuat Jaka makin tak mengerti dengan tingkahnya.
"Hai... kau marah padaku? Ada ucapanku yang menyinggung perasaanmu, Ayu?" Melihat Ayu Sakiti cemberut begitu rupa timbul di hati Jaka untuk menggoda. Dengan berkelebat cepat. Jaka segera meninggalkan ayu Sakiti yang terbengong-bengong sembari mencari-cari.
"Ke mana dia?" tanya hati Ayu Sakiti. Dipanggilnya Jaka dengan berteriak-teriak. "Jaka...! Di mana kau?"
Tanpa ada jawaban, membuat Ayu Sakiti makin bingung. Walaupun dia seorang pendekar, tapi dia juga seorang wanita. Ditinggal sendirian di dalam hutan yang masih perawan, seketika bulu kuduknya meremang berdiri. Sedang Ayu Sakiti ketakutan. Tiba-tiba terdengar suara yang menyeramkan.
"Aum...aum!"
Ayu Sakiti semakin ketakutan, dicarinya asal suara itu, namun ia tak menemukan apa-apa di sekitarnya. Keringat dingin seketika deras membasahi pelipis Ayu Sakiti, lalu dengan gemetaran Ayu Sakiti kembali berseru memanggil.
"Jaka...! Di mana kau?!"
"Ha... ha...! Anak manis, sedang apa kau di sini sendirian?"
Tiba-tiba terdengar suara orang tanpa ujud, membikin Ayu Sakiti seketika terduduk dengan tubuh gemetaran. Belum hilang rasa takutnya, sekonyong-konyong sesosok tubuh berkelebat dan langsung memeluknya hingga Ayu Sakiti terlonjak sembari menjerit.
"Auh...!"
Orang yang memeluknya yang ternyata Jaka Ndableg, seketika tertawa terpingkal-pingkal membuat Ayu Sakiti kembali cemberut. Tapi ketika Jaka hendak melepaskan pelukannya, Ayu Sakiti malah melingkarkan kedua tangannya ke leher Jaka dan merebahkan kepalanya pada dada Jaka.
"Ayu, sadarlah."
"Tidak!" jawab Ayu Sakiti dengan manja, yang membuat Jaka seketika bingung harus berbuat apa. Jaka pun akhirnya hanya terdiam membiarkan Ayu Sakiti rebah di dadanya.
Keduanya sesaat terlelap dalam diam. Tak terasa Ayu Sakiti merasakan getaran aneh di hatinya, hingga tanpa disadarinya makin erat Ayu Sakiti memeluk tubuh Jaka. Kedua insan mudamudi itu seketika saling pandang, bibir mereka akhirnya yang bicara mengutarakan isi hati. Benih-benih cinta pun tumbuh, seirama dengan desiran angin yang merambat lewat dedaunan. Lama keduanya saling berciuman. Jaka Ndableg tersadar dan dengan perlahan melepaskan pelukan Ayu Sakit sembari berbisik.
"Ayu, sadarlah. Kita tengah berada di dalam hutan. Dan tidakkah kita tengah memburu seseorang? Kalau kita menuruti hati kita, bukan tak mungkin kita yang akan celaka oleh musuh."
Mendengar penuturan Jaka, Ayu Sakiti pun akhirnya mau melepaskan rangkulannya dengan tersipu-sipu, sementara matanya yang lentik memandang sayu penuh rasa kagum dan cinta pada Jaka. Jaka mengerti akan apa yang tersirat dari pandangan Ayu Sakiti, seperti halnya dengan hatinya sendiri yang juga merasakan adanya getaran-getaran aneh.
Dari bibir Ayu Sakiti yang mungil, dengan perlahan keluar kata-kata. "Jaka, aku harap kau jangan meninggalkanku. Aku yakin kau mengerti perasaanku."
Mendengar ucapan Ayu Sakiti yang tulus dan polos, tak terasa Jaka berkaca-kaca matanya tak mampu untuk berucap, hanya anggukan kepala saja yang dapat ia lakukan sebagai jawaban. Berbunga hati Ayu Sakiti, melihat Jaka menganggukkan kepalanya, bagaikan anak kecil saja, Ayu Sakiti segera memeluk Jaka kembali seraya berseru girang.
"Terima kasih, Jaka. Ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan."
Melihat Ayu Sakiti tampak bahagia, Jaka pun merasa turut bahagia. Entahlah, baru sekali ini Jaka merasakan getaran perasaan lain pada Ayu Sakiti. Keduanya kembali terhanyut dalam keindahan asmara, yang membawa mereka ke alam indah penuh misteri yang tak dapat dipecahkan. Sedang keduanya berciuman, tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh bentakan seseorang.
"Kurang asem! Berani benar menjadikan wilayahku untuk bermesraan. Hai monyet-monyet muda, apa kau tidak tahu jika hutan ini adalah wilayah kekuasaanku, hah!"
Jaka dan Ayu Sakiti tersentak, hingga ciuman mereka pun terlepas. Namun yang membuat marah Jaka bukannya itu, tapi ucapan lelaki gembrot yang kini berada tiga tombak di hadapannya. Maka dengan balik membentak, Jaka pun berkata.
"Hai babi gudig! Apa hakmu melarang kami, ini adalah hutan. Maka siapa pun berhak untuk singgah atau bermukim di sini, jangan seenak udel saja kau mengaku-aku yang bukan menjadi hakmu."
"Bojleng-bojleng. Kera kurapan, rupanya kau belum tahu siapa aku hingga berani lancang ngomong sembarangan," dengus lelaki gembrot itu dengan marahnya, demi mendengar ucapan yang dilontarkan Jaka.
Ayu Sakiti hanya tersenyum menyaksikan kekasihnya tengah berperang mulut dengan lelaki gendut yang telah mengganggu mereka.
"Aku tak perduli siapa kau. Yang pasti, kau tak lebih dari orang-orang jahat hingga tempatmu di hutan seperti ini, agar kau tak dapat diburu oleh orang-orang penegak kebenaran dan keadilan. Nah mengakulah, agar aku dapat menangkapmu untuk kuserahkan ke kerajaan," kata Jaka mereka-reka.
Namun ternyata rekaan Jaka benar adanya. Terbukti lelaki gemuk itu tersentak demi mendengar ucapan Jaka Ndableg yang tadinya hanya mereka, kini merasa yakin bahwa orang itu memang jahat. Maka sebelum lelaki gembrot itu berkata, Jaka telah mendahuluinya.
"Nah, kau akhirnya mengakui siapa kau sebenarnya. Ayu, dia ternyata seorang buronan kerajaan. Maka sepantasnyalah kita harus menangkapnya."
"Benar, kakang. Orang-orang macam dia memang harus ditangkap dan dijebloskan ke penjara, atau harus dihukum picis sesuai dengan kejahatannya." jawab Ayu Sakiti.
Lelaki gemuk itu seketika marah, demi mendengar kedua anak muda di hadapannya berkata. Ia memang seorang buronan kerajaan, tanpa banyak kata lagi menyerang. "Monyet-monyet gendeng, memang aku musuh kerajaan. Akulah yang bernama Begal Bajing Ireng. Kalau kalian mau menangkap aku langkahi dulu mayatku."
Tubuh Begal Bajing Ireng yang gemuk ternyata tidak menjadikannya kaku. Bahkan dengan tubuh yang gemuk, Begal Bajing Ireng bergerak lincah menyerang Jaka. Merasa dirinya tak perlu untuk turun tangan. Maka Jaka dengan segera melompat mundur, menonton Ayu Sakiti bertempur menghadapi Begal Bajing Ireng. Merasa Ayu Sakiti adalah seperti wanita kebanyakan. Begal Bajing Ireng menganggap enteng saja. Ia tak mengetahui siapa sebenarnya yang tengah ia hadapi, yang tak lain dari murid tunggal Ki Martanu. Begal Bajing Ireng tersentak, ketika tangan Ayu Sakiti berkelebat cepat dan menghantam tubuhnya yang gendut hingga terhuyung ke belakang.
"Bojeng-bojeng, lebih baik menyerahlah. Kalau kau mau menyerah, maka akan ringan hukumanmu," kata Jaka yang tampak tenang duduk di atas sebatang pohon yang tumbang. Geram Begal Bajing Ireng merasa diremehkan. Maka dengan mendengus marah, ia pun kembali menyerang Ayu Sakiti.
"Rupanya kau alot juga, orang tua. Baik! Ayo kita teruskan," kata Ayu Sakiti, demi melihat Begal Bajing Ireng yang kembali menyerangnya.
Pertempuran keduanya pun kembali berjalan. Sementara Jaka tampak hanya memandang mengawasi dengan siaga, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Sedang keduanya berkelahi. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berseru:
"Kakang Bajing Ireng, biar sundel ini aku yang menghadapi. Kakang hadapilah pemuda itu, jangan biarkan pemuda itu ongkang-ongkang di tempatnya." Habis ucapan itu, berkelebat seketika sesosok tubuh gadis yang sebaya dengan Ayu Sakiti dan langsung menggantikan Bajing Ireng yang segera menyerang Jaka yang sedari tadi menjadi penonton.
"Heh bagus. Rupanya di sini ada kuntilanak juga! Baiklah kalau kau mengingini berhadapan dengan aku," kata Jaka seraya mengelakan pukulan Begal Bajing Ireng.
Kini pertarungan menjadi ramai, dengan turunnya adik Bajing Ireng. Jaka yang sudah sedari tadi melihat ilmu Begal Bajing Ireng, dengan tenangnya meladeni setiap serangan yang dilancarkan Bajing Ireng.
"Ayu... sia-sia kita mengulur waktu, lihatlah." Habis berkata begitu, tangan Jaka berkelebat dengan cepatnya dan...!
"Bug, bug bug!"
Bersamaan dengan itu, seketika tubuh Bajing Ireng terdorong ke belakang dan jatuh. Bersamaan dengan itu pula, Ayu Sakiti yang mendapatkan musuh di bawah ilmunya memekik dan menghantam telak pukulannya ke tubuh adik Bajing Ireng yang seketika menjerit dan roboh. Tanpa memperdulikan lagi kedua kakak beradik yang mereka robohkan, Jaka dengan segera menggandeng tangan Ayu Sakiti berkelebat pergi meninggalkan hutan itu.
********************
LIMA
"Sampurasun...! seru seorang lelaki di depan pintu rumah Tumenggung Panggaluh. Lelaki itu memandang ke dalam halaman rumah, dalam hatinya bergumam. "Hem... rumah ini masih seperti yang dulu, segalanya tak ada yang berubah seperti setahun setengah yang lalu." Sedang ia terdiam memandangi rumah itu, dari dalam rumah tampak seorang wanita muda keluar dan menyahuti:
"Rampes... siapakah gerangan, Ki sanak?" tanya wanita muda yang tak lain dari pada istri Tumenggung Panggaluh yang bernama Dewi Sekasih dengan senyum ramah, membuat jantung pemuda itu seketika bergetar.
"Ah. Betapa cantik dan tanpa celanya Dewi Sekasih. Sungguh tak setara bila harus Tumenggung Panggaluh yang mendampinginya, harusnya aku. Ya, aku yang harus mendampingi Dewi Sekasih yang cantik," gumam hati lelaki muda itu, hingga ia pun terdiam. Matanya memandang tajam pada mata Dewi Sekasih yang tak mampu mengelakan pandangan mata pemuda di hadapannya.
"Kanjeng Dewi. Apa benar Tumenggung mencari seorang pesuruh untuk menyabit rumput?" tanya si pemuda setelah dapat mempengaruhi Dewi Sekasih dengan mata iblisnya.
Hati dewi Sekasih yang sudah dikuasai oleh ilmu iblis pemuda itu, seketika bergetar. Dengan senyumnya yang manis Dewi Sekasih membuka pintu dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Terima kasih, Kanjeng Dewi. Hamba hanya ingin menanyakan kebenaran berita, bahwa Kanjeng Tumenggung tengah mencari tukang arit," kata lelaki itu kembali.
Dewi Sekasih terdiam dengan mata memandang penuh nafsu. "Dulu memang mencari seorang lelaki untuk mengarit. Namun kini telah ada. Lagi pula, apakah ki sanak yang tampan ini hendak menjadi tukang arit?" tanya Dewi Sekasih setelah lama terdiam. Di hatinya tumbuh sebuah perasaan yang aneh kala memandang mata pemuda itu, hingga Dewi Sekasih tampak ingin manja.
"Kalau begitu, baiklah. Aku mohon pamit," kata lelaki muda itu hendak pergi.
Namun dengan cepatnya Dewi Sekasih yang sudah terpengaruh oleh ilmu iblis pemuda itu segera menghadangnya. Dan dengan tersipu-sipu berkata manja. "Anak muda, mengapa mesti terburu-buru?"
"Maaf, Kanjeng Dewi. Karena hamba bertujuan hendak mencari kerja dan ternyata di sini tak ada, jadi hamba bermaksud kembali ke kampung hamba." Pemuda itu hendak kembali berlalu, ketika untuk kedua kalinya Dewi Sekasih segera menghalanginya dengan berseru memanggil.
"Anak muda, tunggu!"
"Ada apakah Kanjeng Dewi?"
"Kenapa mesti terburu-buru?"
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah laku Dewi Sekasih yang telah terpengaruh oleh ilmunya. Maka dengan pura-pura, pemuda itu berkata: "Kanjeng Dewi, tidak baik aku lama-lama di sini. Aku takut nanti ketahuan oleh Kanjeng Tumenggung atau prajurit-prajuritnya, apa jadinya?" Dewi Sekasih bukannya mendengar ucapan pemuda itu yang menuturinya. Namun sebaliknya, Dewi Sekasih hanya tersenyum. Tanpa terpikir oleh pemuda itu sebelumnya, Dewi Sekasih tiba-tiba telah melingkarkan tangannya ke leher pemuda itu.
"Kanjeng Dewi," kata pemuda itu pura-pura kaget. Tapi hatinya bersorak senang, sebab apa yang diimpi-impikannya selama ini telah terpenuhi. Dalam hati pemuda itu berkata: "Hem, apakah aku menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini. Tidak!"
"Anak muda, janganlah kau tinggalkan aku. Berilah aku kehangatan. Aku... aku telah lama mendambakan orang yang mengerti tentang perasaanku." Setelah berkata begitu, Dewi Sekasih segera membimbing pemuda itu yang hanya diam saja menuju ke kamarnya.
"Kanjeng Dewi. Kau...?" tergagap pemuda itu ketika tubuhnya di tarik menuju ke dalam kamar. Namun Dewi Sekasih tampak hanya tersenyum, dan dengan manja berbisik.
"Kanjeng Tumenggung tak ada di rumah, begitu halnya dengan kelima prajuritnya. Mereka tengah menghadap raja untuk membicarakan masalah yang kini tengah melanda dunia persilatan dan kerajaan ini."
"Masalah apa?" tanya pemuda itu ingin tahu. Karena telah dikuasai ilmu iblis si pemuda, Dewi Sekasih pun dengan tanpa menaruh curiga menceritakannya.
"Jadi Kanjeng Tumenggung dan prajurit-prajuritnya kini tengah menghadap Sri Baginda?" tanya pemuda itu setelah dapat mengorek gerangan apa yang menjadikan Sri Baginda memanggil Tumenggung.
"Ya... maka dari itulah, aku mohon kau mau menemaniku. Berilah aku kehangatan anak muda. Sungguh... aku selama ini didera oleh rasa sepi dan ketidakpuasan, karena Tumenggung orangnya loyo."
Tersenyum pemuda itu mendengar pengakuan Dewi Sekasih yang seketika itu menggelinjang kegelian penuh nikmat. Akhirnya keduanya pun bercanda sambil menikmati kenikmatan yang tengah mereka lakukan.
"Ayo anak muda, berilah aku kepuasan, aku yakin kau pun sebenarnya menghendaki diriku bukan?" kata Dewi Sekasih sembari tertawatawa kegelian ketika tangan pemuda itu liar menjarah tubuhnya.
"Kalau itu yang dikehendaki Kanjeng Dewi, maka hamba pun siap memberikannya." Dengan penuh nafsu setan, pemuda itu menggeluti tubuh Dewi Sekasih yang hanya mampu memejamkan mata dan sekali-kali membukanya.
********************
"Hem, mengapa sepi?" gumam hati Tumenggung Panggaluh saat melihat keadaan rumahnya tampak sepi. "Ke mana Dewi? Kenapa tidak mengetahui kedatanganku? Janganjangan...?" Seketika perasaan Tumenggung Panggaluh tidak enak. Segera diperintahkannya Karta untuk masuk lebih dahulu.
Tersentak Karta, saat melihat apa yang tengah terjadi di depan matanya. Istri Tumenggung tampak dengan tubuh setengah telanjang tengah dikangkangi oleh seorang pemuda yang belum ia kenal. "Dajal buntung!" bentak Karta dengan penuh amarah, dan diserangnya pemuda yang mengangkangi istri Tumenggung.
Mendengar bentakan Karta, serta merta pemuda itu segera bangkit. Dengan tubuh setengah telanjang, pemuda itu segera berlari keluar. Namun di luar tampak keempat prajurit lain bersama Tumenggung Panggaluh telah menghadangnya.
"Dajal! Rupanya kaulah buaya darat yang telah membuat keonaran. Tangkap...!" seru Tumenggung Panggaluh dengan penuh amarah. Seketika keempat prajuritnya segera berkelebat serentak menyerang pemuda itu. Karta yang mengejar kini turut menggempurnya. Walaupun dikeroyok oleh lima orang prajurit, namun tampaknya pemuda itu dengan mudah mengelakkan serangan mereka.
"Hem... karena kalian telah tahu siapa orang yang selama ini menjadi buah bibir, maka aku perintahkan kalian segeralah menyembah," kata pemuda itu dengan sombong.
"Iblis! Jangan karena kau terkenal lalu sombong! Kami prajurit-prajurit Ketemenggungan, pantang bagi kami untuk menyerah. Apapun maumu, kami turuti. Serang...!" kata Karta selaku pimpinan prajurit Ketemenggungan yang dengan segera dilaksanakan oleh keempat prajurit Ketemenggungan.
Kelima prajurit itu pun dengan serentak menyerang pemuda dihadapannya, yang masih tampak tersenyum sinis mengejek. Tanpa dapat dicegah, pertarungan satu melawan lima pun tak dapat dielakkan. Kelima prajurit-prajurit setia Tumenggung Panggaluh dengan gagah berani menyerbu. Pemuda itu makin melebarkan senyumnya. Sekali tangannya berkelebat, terdengar pekikan membahana dari prajurit Ketemenggungan. Dua di antara kelima prajurit itu tersungkur mencium tanah dengan tubuh hangus.
Tumenggung Panggaluh tersentak demi melihat ajian yang dipakai oleh pemuda itu, hingga dari mulutnya terdengar menggumam. "Hem, Aji Samber Nyawa. Anak muda, apa hubunganmu dengan Iblis Pancoran Sewu!" bentak Tumenggung Panggaluh, yang membuat si pemuda untuk sesaat tersentak kaget.
"Ketahuilah oleh kalian. Aku adalah murid Sri Ratu Siluman, yang bertahta di goa Pancoran Sewu, untuk itu aku minta kalian menyerahlah."
"Iblis! Pantas perbuatanmu biadab seperti buaya, tak tahunya kau memang siluman ular putih. Walaupun begitu, aku tak akan menyerah. Ayo prajurit, serang iblis laknat itu!" seru Tumenggung Panggaluh.
Dengan segera dilakukan oleh ketiga prajuritnya yang masih tersisa. Walaupun mereka agak jeri. Namun demi membela nama baik Ketemenggungan, rasa takut di hati mereka seketika dibuang jauh-jauh dan berganti dengan rasa patriotisme yang tinggi. Kembali pertarungan di antara prajurit Ketemenggungan mengeroyok pemuda berilmu iblis itu terjadi. Walau ketiga prajurit itu merupakan prajurit pilihan, namun menghadapi si pemuda, ketiganya bagaikan tak ada apa-apanya. Hingga dengan mudah pemuda itu kembali dapat menjatuhkan mereka, yang memekik meregang nyawa.
Terbelalak mata Tumenggung Panggaluh menyaksikan ketiga prajuritnya mati. Dengan penuh amarah Tumenggung Panggaluh segera melompat dari kudanya langsung menyerang pemuda di depannya. Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan si pemuda keteter. Bahkan dengan enaknya, pemuda itu berkelit dan melakukan serangan balik.
"Bagus! Memang hal itu yang aku inginkan. Aku ingin tahu, sampai di mana ilmunya seorang Tumenggung," kata pemuda itu dengan senyum mengejek, membuat Tumenggung Panggaluh makin marah.
Dengan membabi buta laksana banteng ketaton, Tumenggung Panggaluh mencoba merangsek si pemuda, yang tampak masih tenang dengan senyum di bibirnya mengelakan serangan Tumenggung. Mungkin karena usianya yang jauh lebih tua, seketika serangan Tumenggung Panggaluh yang tadi keras berubah mengendur. Hal ini makin membuat pemuda itu tertawa mengejeknya. Tanpa ayal lagi... tubuh Tumenggung Panggaluh pun terkena, dihantam oleh si pemuda. Panggaluh seketika terhuyung ke belakang tiga tombak, dadanya terasa sakit. Dari mulutnya yang menetes darah menggeram.
"Hem... jangan kira kau telah menang, anak muda. Ayo kita lanjutkan."
"Hem... rupanya kau masih kuat, Tumenggung. Baiklah! agar kau tak penasaran setelah mati, maka ketahuilah olehmu, aku yang dibicarakan oleh orang-orang tak lain dari pada Kandana bekas juru aritmu."
Makin terkejut Tumenggung Panggaluh, demi mendengar nama pemuda itu. Ia tak menyangka, pemuda yang dulu buruk dan lemah. Kini menjadi tampan dan berilmu tinggi. Namun ketika ia ingat akan siapa yang menjadi guru si pemuda Kandana, seketika ia tak merasa ragu lagi.
"Rupanya kau orangnya, kenapa dulu aku tak membunuhmu. Dan aku rasa, kaulah yang pernah membuat firasat jelek waktu itu. Rupanya kau bermaksud mempengaruhi istriku dengan ilmu iblismu, beruntung aku memergokinya!" geram Tumenggung Panggaluh marah, hingga giginya tampak beradu dan lehernya tampak menggembung.
Kandana tertawa bergelak-gelak. "Nah, kau telah tahu segalanya. Kuharap kau akan mati dengan tenang, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Kandana segera merapalkan ajian Samber Nyawanya. Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor burung rajawali, Kandana segera menyerang Tumenggung Panggaluh. Tumenggung Panggaluh yang telah melihat dengan mata kepala sendiri, kehebatan Ajian Samber Nyawa. Dengan segera, ia pun merapal ajiannya Geledek Buana.
"Hiaat...!" terdengar pekik Kandana menyerang dengan ajian Samber Nyawanya. Tubuhnya berkelebat dengan cepat.
Sebaliknya Tumenggung Panggaluh pun tak mau mati konyol. Dengan ajian Geledek Buananya, ia pun berkelebat memapaki serangan itu. "Hiat...!"
Dua kekuatan tenaga dalam berbentrokan di udara menjadikan satu ledakan yang hebat. Bumi di bawahnya seperti di aduk, muncrat ke angkasa. Panggaluh terdorong lima tombak ke belakang, sementara Kandana tampak lebih parah. Tubuhnya terdorong hampir sepuluh tombak. Dari mulutnya meleleh darah segar.
Mata Kandana melotot heran, demi melihat ilmu Tumenggung ternyata ada satu tingkat di atas ajian Samber Nyawa miliknya. Maka dengan menggeram sesaat, disertai mulutnya berkomat-kamit mengucap mantera. Tiba-tiba...! Tubuh Kandana yang tadinya gagah dan tampan, seketika berubah menjadi buruk dan mengerikan. Wajah Kandana berubah menjadi wajah ular, matanya menyorot merah, tajam menghunjam mata Tumenggung Panggaluh yang tersentak kaget.
"Ilmu iblis! Benar-benar ia telah menguasai ilmu iblis Ratu Siluman."
Sedang ia tersentak, tiba-tiba Kandana yang telah berubah ujud itu menyerangnya. Panggaluh segera mengelak, lalu dengan cepat dihantamnya tubuh mahluk itu dengan ajian Geledek Buana. Sesaat mahluk itu tergetar, namun tampaknya mahluk itu tak mengalami apa-apa. Bahkan tubuh mahluk itu kini bertambah besar.
Panggaluh kembali tersentak kaget. Merasa ia belum yakin, dicobanya kembali menyerang mahluk itu. Namun untuk kedua kalinya, tubuh mahluk itu bertambah dua kali lipat dari semula. Semakin Panggaluh menghantamkan ajiannya terus, makin bertambah besar tubuh mahluk itu.
"Ampun! Mungkin hari ini akhir hidupku. Tuhan, berilah pertolongan," membatin Panggaluh merasa tak mampu lagi untuk menghadapi mahluk siluman itu. Mata Panggaluh terpejam rapat, ia telah siap menerima kematian itu. Mahluk menyeramkan itu tampak berjalan menghampiri tubuh Panggaluh yang telah pasrah pada nasib.
"Panggaluh, bersiaplah untuk mati. Ha... ha...!" terdengar mahluk itu berkata sembari tertawa bergelak-gelak. Dan ketika tangan mahluk raksasa itu hendak mencengkeram tubuh Panggaluh, tiba-tiba...!
"Suit... Dest!"
Mahluk raksasa yang menyeramkan itu tersentak dan terdorong ke belakang. Matanya yang merah memandang bengis pada orang yang telah menghalanginya yang ternyata seorang pemuda. Pemuda itu yang ternyata Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah dengan segera meraup tubuh Tumenggung Panggaluh dan membawanya pergi. Sementara mahluk raksasa itu, kini tengah dihadapi oleh seorang gadis yang tak lain Ayu Sakiti adanya.
"Rupanya kaulah yang selama ini membuat keonaran dengan menculik dan membunuh gadis-gadis, aku kira kau pernah bertemu denganku bukan?"
Mahluk raksasa yang bermuka menyeramkan itu, sesaat memandang tajam pada Ayu Sakiti sepertinya mengingat sesuatu. Lalu terdengar mahluk itu menggeram dan tertawa bergelak-gelak. "Ha... ha...! Gadis kecil, rupanya memang kau sengaja mencari permusuhan denganku. Dulu kau kuampuni, tapi sekarang kau telah ikut campur urusanku. Hem... jangan salahkan kalau aku melukaimu."
"Iblis laknat! Iblis cabul! Dari dulu aku memang telah siap menghadapimu. Ayo kita lanjutkan pertarungan kita tempo hari yang tertunda."
Habis berkata begitu, tubuh Ayu Sakiti dengan cepat berkelebat. Dengan pedang pusaka di tangannya. Ayu Sakiti menebaskan pedangnya ke tubuh mahluk itu. Tersentak kaget Ayu Sakiti, ketika pedang pusakanya membentur tubuh mahluk itu. Bagai menebas baja saja, pedang pusaka itu tak berarti apa-apa.
Bahkan mahluk itu tertawa bergelakgelak sembari berkata: "Percuma kau melawanku, anak manis." Tangan mahluk itu berkelebat hendak menangkap tubuh Ayu Sakiti, yang dengan gesit mengelak sembari melancarkan pukulan tangan mautnya.
"Dum...!"
Ayu Sakiti tampak agak gembira, demi melihat hasil dari hantamannya. Namun seketika ia kembali tersentak. Ketika asap yang mengepul itu hilang, ternyata mahluk itu bukannya mati, bahkan makin bertambah besar saja. Mahluk menyeramkan itu yang kini bertambah besar, kembali tertawa bergelak-gelak. Tangannya kembali menyambar hendak menangkap tubuh Ayu Sakiti, yang hanya dapat mundur dan mundur. Ketika tangan mahluk menyeramkan itu hendak mencengkeram tubuh Ayu Sakiti, untuk kedua kalinya Jaka berkelebat mencegahnya.
"Suit... Dest!"
Tubuh mahluk menyeramkan itu terdorong ke belakang, matanya menyorot penuh amarah pada Jaka. Tanpa berkata lagi, mahluk itu seketika menyerang Jaka. Jaka segera berkelebat sembari berkata.
"Iblis cabul, hari ini juga kau harus lenyap dari muka bumi. Terimalah ini, Ajian Getih Sakti, hiat...!" Habis berkata begitu, dengan segera Jaka mengkiblatkan tangan kanannya yang telah dialiri ajian Getih Sakti ke arah tubuh mahluk raksasa itu. Dari tangan Jaka menyemprot deras dan mahluk itu memang seketika beku. Namun seketika tersentak kaget, kala melihat mahluk itu dapat terlepas dari sinar yang membelitnya
Mahluk itu bergelak-gelak mengejek dan dengan cepat tangannya berkelebat menyerang Jaka yang segera menghindar dan menghantam mahluk raksasa itu dengan ajian Bledek Sewu. Seketika berkelebat membakar tubuh mahluk itu, namun untuk kedua kalinya mahluk raksasa berwajah ular itu dapat melepaskan dirinya dari ajian Bledek sewu.
Hampir saja Jaka tersambar hantaman tangan mahluk raksasa itu, saat ia tengah tersentak kaget melihat apa yang terjadi di depan matanya. Jaka dengan segera mengelak, lalu kembali dengan segera menghantam tubuh mahluk itu. Kali ini ajian Pamungkasnya yang diincarkan, yaitu ajian Tapak Prahara. Tangan Jaka seketika itu berubah menjadi merah menyala, tubuhnya melenting tinggi. Kemudian dengan tubuh masih melayang, dihantamnya tubuh mahluk raksasa itu dengan ajian Tapak Prahara. Terdengar ledakan dahsyat membahana Kalau orang lain, maka tak ayal lagi, tubuhnya akan hancur menjadi abu. Namun mahluk raksasa itu jangankan hancur menjadi abu, mati pun tidak.
"Gusti Allah! Harus bagaimana lagi aku?"
Putus asa sudah Jaka menghadapi mahluk itu. Hingga ketika mahluk raksasa itu menyerangnya, Jaka terpental dihantam tangan besar mahluk itu. Tubuhnya terasa nyeri, tembok pagar rumah Tumenggung jebol tertimpa tubuh Jaka. Ketika mahluk itu hendak kembali menghantamnya, dengan cepat Jaka berlari mengelak. Hingga tembok pagar yang menjadi sasaran, hancur berantakan terhantam tangan mahluk menyeramkan itu.
"Sungguh dahsyat! Segala ajian yang aku miliki tak berdaya. Baik, akan aku gunakan Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Seketika di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang. Dari ujung pedang, menetes darah membasahi batangnya.
Namun mahluk itu seperti tak takut sedikitpun. Bahkan dengan congkaknya berkata. "Menyerahlah kau, anak muda! Tak akan kau dapat mengalahkan aku, hua, ha...!"
Namun Jaka yang telah digembleng oleh empat tokoh sakti, mana mau menyerah begitu saja. Apalagi Pedang Siluman Darah kini telah berada di tangannya. "Iblis cabul, jangan kira aku mau menyerah begitu saja padamu. Kalau aku belum mati, tak ada dalam catatanku menyerah pada iblis. Mari kita lanjutkan, bersiaplah! Hiaaaat...!"
Dengan Pedang Siluman Darah di tangannya, Jaka segera berkelebat menyerang. Angin serangannya begitu kencang, menderu-deru, menerpa tubuh mahluk menyeramkan itu.
"Hiaaat!"
Ditebaskan Pedang Siluman Darah pada mahluk menyeramkan itu, yang seketika memekik dengan tubuh terbelah-belah menjadi beberapa potong karena saking cepatnya Jaka membabatkan Pedang Siluman Darah. Darah yang membasahi pedang seketika mengering, terhisap masuk ke dalam tubuh pedang. Kemudian pedang itu hilang kembali dari tangan Jaka. Ketiga orang yang sedari tadi hanya menonton dengan perasaan takut, segera menghampiri Jaka. Ayu Sakiti segera memeluk Jaka dengan penuh rasa bangga.
"Kau hebat, Jaka. Kau hebat!" teriaknya dengan nada bangga.
"Benar ucapmu, nona. Temanmu memang hebat," tambah Tumenggung Pangaluh yang tersenyum senang.
"Ah, kalian terlalu meninggikan. Kanjeng Tumenggung, karena semuanya telah tenang aku bermaksud meminta diri. Ayo, Ayu!"
Jaka dengan menggandeng tangan Ayu Sakiti segera berkelebat pergi, meninggalkan Tumenggung Panggaluh dan istrinya yang terbengong-bengong memandang kepergian mereka. "Sungguh baik budi dan tak sombong Pendekar Muda itu," gumam Tumenggung Panggaluh, sepertinya berkata pada diri sendiri.
"Benar, Kang mas. Betapa kita berhutang budi padanya," lanjut Dewi Sekasih meneruskan ucapan suaminya.
Dengan matinya Kandana, tentramlah kembali Ketemenggungan. Tumenggung Panggaluh bersama istrinya segera melangkah meninggalkan halaman rumahnya menuju ke kerajaan untuk melaporkan itu pada Rajanya.
S E L E S A I