Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Misteri Bunga Mawar Kematian
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Misteri Bunga Mawar Kematian
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
LANGIT di atas alun-alun kerajaan Kurda Rumajang merah membara, terbakar oleh api yang begitu menyala-nyala. Pertempuran satu kerajaan melawan Dua musuhnya terus berjalan. Korban banyak yang telah berguguran, namun kesemuanya menjadi pertarungan bagi para prajurit-prajurit itu untuk terus berjuang.
"Serbu ...!"
"Serang ...!"
"Jangan biarkan pemberontak-pemberontak itu hidup!"
Itu semua adalah sebagian besar pekikan-pekikan dari para prajurit kerajaan Pesisir Putih dan kerajaan Wetan Segara. Dua kerajaan dipimpin oleh kakak beradik. Kerajaan Pesisir Putih, dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Wulung Seta. Sementara kerajaan Wetan Segara, dipimpin oleh adik Wulung Seta yang bernama Amurwa Sakti. Merupakan kakak beradik, satu ayah lain ibu.
Dari kejauhan seorang gadis berdiri mematung. Rupanya gadis itu tengah menyaksikan pertempuran yang berlangsung. Gadis itu bernama Angelir, puteri dari Kurda Rumajang anak Prabu Amuk Mungkur. Setelah sesaat terdiam memperhatikan dari kejauhan pertempuran itu, Angelir bergegas pergi. Langkahnya begitu cepat, sepertinya terburu-buru menuju ke keraton.
"Ayah, kenapa dua kerajaan itu mesti memusuhi kita?" tanya Angelir pada ayahnya Prabu Amuk Mungkur.
Ditanya begitu oleh putrinya, Amuk Mungkur hanya terdiam. Ditatapnya lekat-lekat wajah sang putri, ditariknya napas panjang.
"Kenapa ayah terdiam?" kembali Angelir bertanya.
"Ayah tak dapat menjawabnya, Anakku," Amuk Mungkur akhirnya membuka suara. Lewat suara itu, seakan ada desah berat yang mengganjal di kerongkongannya.
"Mengapa, ayah...?" kembali Angelir bertanya. Ia merasa jawaban ayahnya tak memuaskan, seakan masih ada teka-teki yang menyelimuti. "Apakah ayah pernah bersalah pada mereka?"
Amuk Mungkur tertunduk mukanya. Kembali ditariknya napas panjang-panjang. Dari matanya tak terasa menetes air mata. "Anakku... Sebenarnya ayah bermaksud merentangkan sayap, agar kerajaan ini makin melebar. Maka itulah, ayah bermaksud menaklukkan dua kerajaan sebelah. Kau adalah anak tunggalku, yang kelak menggantikan kedudukan ayah. Kau harus mampu meneruskan cita-citaku," kata Amuk Mungkur setelah sesaat terdiam.
Mendengar penuturan ayahnya, seketika Angelir mendongakkan kepalanya. Dipandangi wajah ayahnya dengan rasa bangga, lalu dengan mata berlinang Angelir berkata: "Semua petuah ayah akan Angelir lakukan. Hari ini juga, Angelir akan turut serta membantu dengan cara Angelir sendiri. Angelir minta do'a restu, Ayah."
"Kau mau apa, Anakku?"
"Angelir ingin mengadu domba kedua raja itu, Ayah."
"Kau mampu...?" tanya Amuk Mungkur seakan tak yakin.
Angelir hanya mengangguk, menjadikan seulas senyum di bibir ayahnya, Amuk Mungkur. Perlahan Amuk Mungkur berdiri dari singgasananya, mendekati Angelir yang terduduk bersimpuh di atas permadani. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya kepala sang anak. Diajaknya Angelir bangun, dituntunnya melangkah ke singgasana. Lalu dengan penuh bangga, didudukkan Angelir di atas singgasananya.
"Kelak kau yang akan duduk di atas singgasana itu, anakku."
Mendengar ucapan ayahnya, kembali mata Angelir berkaca-kaca. Perasaannya seketika bangga, bergejolak bagaikan letupan-letupan semangat. "Benar apa yang dikatakan ayah, aku harus dapat menjadikan diriku seorang ratu. Ya, seorang ratu...." gumam hati Angelir. Dengan lekat ditatapnya wajah sang Ayah, dan dengan penuh perhatian Angelir bertanya. "Apakah aku akan mampu, Ayah?"
"Pasti, anakku. Pasti kau mampu," jawab Amuk Mungkur dengan bibir terurai senyum, sementara matanya terus memandang bangga pada sang anak. "Kapan kau akan menyusup ke salah satu kerajaan musuh, Anakku?"
"Hari ini juga, Ayah. Setelah malam tiba," jawab Angelir, yang menjadikan ayahnya kembali tersenyum.
Perang masih berlangsung, dengan korban makin banyak. Dari pagi hari hingga datangnya sore, ketiga kerajaan itu masih terus berperang. Gelap telah datang, namun mereka seperti tak menghiraukannya. Pertempuran malah makin bertambah besar, laksana api disiram minyak. Baru setelah hari benar-benar telah larut, ketiga kerajaan itu menghentikan perang untuk meneruskannya esok hari. Tak dihiraukannya korban di medan laga, walau dari korban itu adalah teman mereka sendiri. Itulah perang, demi ambisi, demi kepuasan batin pimpinan, prajurit kecil yang menjadi korban.
Bulan bergayut di atas langit, menyinarkan warnanya yang keemasan. Prajuritprajurit jaga dari kerajaan Pesisir Putih tampak mondar-mandir, menjaga tenda-tenda yang digunakan untuk beristirahat temantemannya. Tengah mereka berjaga-jaga, tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita memecah kebisuan malam. Seketika semua mata penjaga beralih pandang ke asal suara itu.
"Kakang Darma, apa kau dengar suara jeritan itu?"
"Benar adik Lombak. Aku dengar suara itu di Selatan," jawab Darma. "Ayo kita dekati. Barangkali ada yang perlu kita bantu untuk wanita itu."
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang penjaga sebelah Selatan bergegas menuju ke arah di mana suara itu berasal. Tak lama kemudian, kedua penjaga itu telah menemukan orang yang berteriak minta tolong.
"Ada apa, Nona? Kenapa malam-malam begini Nona ada di perbatasan? Lalu kenapa nona berteriak-teriak?" tanya Lombak.
"Anu... Anu, Tuan. Saya... saya hendak diperkosa," jawab gadis itu terbata-bata, menjadikan kening kedua peronda mengerut.
"Diperkosa? Mana orang yang hendak memperkosa mu?" kembali Lombak bertanya.
"Anu... Anu, Tuan. Orang itu telah lari menuju ke wilayah Kurda Rumajang."
"Hem, nona tidak berdusta?"
Mendengar pertanyaan Darma, gadis itu tidak segera menjawab. Bahkan dengan senyum manisnya, dicobanya mempengaruhi kedua penjaga. Melihat gadis itu tersenyum manis, mereka seperti terbuai dalam khayal. Kedua penjaga itu balas tersenyum, menjadikan si gadis menjadi-jadi. Tangan si gadis perlahan bergerak, lalu dengan berani disingkapkan pakaiannya.
Terbelalak mata kedua penjaga itu, melotot menyaksikan pemandangan di hadapannya. Lidah keduanya melelet, menahan nafsu yang sudah tak terkendali. Melihat kedua penjaga itu nampak telah dapat dipengaruhi, si gadis makin berani. Tangan si gadis bukan saja menyingkap pakaian yang menutupi pahanya, namun kini kancing bajunya pun dibuka. Mata kedua penjaga makin melotot, sepertinya hampir keluar. Si gadis main melebarkan senyum, lalu dengan manja berkata yang menjadikan kedua penjaga terkesiap.
"Tuan-tuan, apakah tuan-tuan tidak menginginkan ini?"
"A... Anu," terbata Darma berucap. Matanya melotot tak berkedip. Begitu halnya dengan Lombak, darahnya mendidih bagaikan disetrum ribuan Watt.
"Kenapa, Tuan? Bukankah tuan jauh dari istri? Kenapa tuan mesti menolak?" tanya si gadis kembali dengan manja. Dikedipkan matanya yang lentik, membuat kedua penjaga bagaikan hilang sumsumnya gemetaran berdiri. "Ayolah, Tuan?"
"Ah... apakah nona tak bercanda?" tanya Darma. Dari pelipisnya mengalir keringat dingin, pertanda dia tengah menahan gejolak.
Si gadis menggeleng kepala, malah tangannya kini makin berani membuka dua kancing di bawahnya. Makin terbeliak kedua penjaga itu. "Kenapa tuan hendak menyia-nyiakan kesempatan ini?"
"Bagaimana, Lombak?"
"Benar juga, Kakang. Kenapa kita mesti menyia-nyiakan kesempatan ini? Ayolah, Kakang," jawab Lombak, makin menjadikan si gadis melebarkan senyum. Dengan acuh, si gadis pura-pura hendak berlalu.
Melihat si gadis hendak pergi, serta merta kedua penjaga itu segera memburunya. "Tunggu, Nona!"
"Ada apa lagi? Bukankah kalian tadi menolak?"
"Ti... tidak! Kami tidak menolak," jawab Darma terbata. Napas Darma bagaikan telah lari maraton, ngos-ngosan. Matanya tak henti-hentinya memandang ke dada si gadis yang terbuka.
"Kalian ingin?" tanya si gadis dengan genit.
Darma dan Lombak sesaat saling pandang, kemudian dengan tersenyum senang keduanya menganggukkan kepala. Melihat Darma dan Lombak mengangguk, si gadis segera berkelebat pergi. Melihat si gadis lari, Darma dan Lombak yang sudah terbakar nafsu segera memburunya. "Hai, kenapa kau lari, Denok?" seru keduanya.
"Hi, hi, hi... Ayo kejarlah aku! Bukankah kalian ingin mendapatkan tubuhku?"
Mendengar ucapan si gadis, tanpa banyak pikir lagi keduanya segera memburu. Kejar mengejar terus berlangsung, hingga tak terasa mereka telah jauh meninggalkan tenda. Mereka telah memasuki hutan lebat. "Hoi, Neng. Berhenti, dong!" seru Lombak.
"Ya, kami telah capai, nih!"
"Hi, hi, hi... Ayo, kenapa kalian letoi? Kejarlah aku! Bukankah kalian ingin tenang tanpa ada yang mengganggu?"
"Benar juga, Kakang." "Ayo, kita kejar!"
Kedua lelaki yang sudah streng oleh nafsu, kembali mengejar. Hal itu rupanya telah direncanakan oleh si gadis, yang terus berlari sampai ke tengah hutan. Ketika benar-benar di tengah hutan, si gadis menghentikan langkahnya.
"Hi, hi, hi... Ayo majulah kalian. Bukankah kalian ingin merasakan surga?" tanya si gadis dengan sinis. Senyumnya tampak bengis, mengandung hawa kematian. Tangan si gadis perlahan bergerak, sepertinya hendak membuka pakaian.
Namun sungguh tak disangka oleh Lombak dan Darma, kalau gadis itu bukannya membuka pakaian. Gadis itu telah mengambil dua kuntum bunga mawar dari balik bajunya. Tersentak kedua penjaga melihat si gadis tersenyum sinis. Namun belum juga kedua penjaga itu mengerti, si gadis telah terlebih dahulu membungkam mulut mereka. Tangan si gadis bergerak cepat, melontarkan kedua bunga yang dipegangnya.
"Kau...!"
"Aaahhhh. !" Melolong panjang kedua orang itu, dengan jidat bolong terhantam bunga mawar.
Si gadis tersenyum kecut dan menghampiri kedua penjaga yang tengah sekarat. "Itulah untuk kalian. Dan nanti, semua prajurit kerajaan Wetan Segara dan Pesisir Putih akan menerima bagiannya, Hi hi Hi hi hi...!" berkata si gadis dengan bengis.
"Siapa, kau?" bentak Darma dalam sekarat.
"Aku.... Hi, hi, hi... Akulah Dewi Angelir Putri Kerajaan Kurda Rumajang. Nah, karena kalian telah tahu siapa kau, maka kalian harus mati, hiaat...!"
Dengan tanpa belas kasihan, Angelir segera menendang keduanya. Seketika kedua orang yang tengah sekarat, melengking kesakitan dan ambruk dengan nyawa melayang. Melihat keduanya telah mati, Angelir segera berkelebat pergi dengan meninggalkan gelak tawa.
Tengah Raja Wulung Seta melamuni kematian dua orang penjaga malamnya, tiba-tiba seorang gadis cantik nan anggun datang menghampiri. Senyumnya begitu memikat, menjadikan sang Raja seketika tersentak.
"Siapa, kau?" tanya sang Raja.
Gadis itu hanya tersenyum, lalu dengan genit dikedipkan matanya. Melihat hal itu, hati Wulung Seta seketika terkesima. Matanya tak berkedip memandang. Hatinya bergumam. "Duh, betapa cantiknya gadis ini. Sungguh cocok bila kujadikan istri."
"Baginda melamun, kenapa?"
"Ah, ti... tidak. Siapa namamu, anak manis?"
"Hamba yang rendah ini bernama Angelir, Baginda."
"Ah, kenapa kau begitu merendah, Angelir?"
Angelir tersenyum tersipu-sipu menundukkan muka, membuat Wulung Seta makin gemes. Perlahan Wulung Seta bangkit dari duduknya. Dihampiri Angelir yang masih menunduk, lalu perlahan dipegangnya dagu Angelir.
"Kenapa kau tertunduk, Angelir?" "Hamba... hamba malu. Baginda," jawab Angelir tersipu.
"Malu...? Kenapa mesti malu, anak manis?"
Mendengar penuturan Wulung Seta, Angelir perlahan mendongakkan wajahnya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Wulung Seta, membuat Wulung Seta mengernyitkan kening.
"Hai, kenapa dengan aku, Angelir?"
"Ti... tidak, paduka. Hamba hanya kagum melihat paduka yang setampan dan semuda ini telah menjadi raja. Maafkan hamba, Paduka."
"Tak mengapa, Angelir. Aku senang denganmu. Maukah kau kujadikan isteri?"
Terbelalak mata Angelir demi mendengar ucapan Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta tersenyum dan kembali bertanya.
"Kenapa, Angelir? Kau tak mau...?"
"Bu... bukan begitu, Baginda. Apakah pantas hamba yang rendah ini mendampingi paduka?"
Mendengar jawaban Angelir, Wulung Seta tersenyum. Tangannya yang kasar seketika merenggut janggut Angelir. Di tengadahkan muka Angelir yang menunduk untuk memandangnya. Ditatapnya lekat-lekat mata Angelir. Sesaat keduanya saling pandang, menyatukan benang-benang kasih.
"Kenapa tidak pantas, Angelir?" tanya Wulung Seta setelah sesaat terdiam.
"Bukankah masih banyak bunga-bunga lain yang lebih cantik dan keturunan ningrat? Kenapa mesti Paduka meminta hamba yang hina?"
"Karena kau cantik dan anggun, Angelir!" jawab Wulung Seta. Tangannya yang lembut membelai janggut Angelir. Di jawilnya janggut Angelir yang berusaha mengelak. "Aku cinta padamu, Angelir."
"Hanya itu, Paduka?"
"Ya, kenapa?" tanya Wulung Seta tak mengerti.
Angelir tersenyum manja dan dengan segera berjalan meninggalkan Wulung Seta. Wulung Seta yang menyangka Angelir hendak meninggalkannya, segera memburu mengikuti. Namun rupanya Angelir tidak pergi jauh, ia hanya duduk di bawah pohon Kamboja. Melihat Angelir duduk, Wulung Seta segera ikut duduk di sisi Angelir. Kembali keduanya saling pandang, diam dengan perasaan hati masing-masing. Tak terasa oleh mereka, bibir mereka telah menyatu dalam diam.
"Ah, kenapa Paduka bertindak begini?" sentak Angelir seperti baru saja tersadar.
"Maafkan aku, Angelir. Sungguh aku tak dapat menahan perasaan yang ada di hatiku sekarang. Aku mencintaimu, Angelir."
"Hanya cinta?"
Tersentak Wulung Seta mendengar pertanyaan Angelir yang dirasakannya menyentuh hati. Dengan memandang tajam, Wulung Seta yang tak mengerti maksud ucapan Angelir bertanya. "Kenapa, Angelir? Apakah kau menolak cintaku?"
"Bukan begitu, Baginda. Aku menerima cinta mu, tapi..."
"Tapi apa, Angelir?" tanya Wulung Seta sembari mengernyitkan keningnya demi mendengar ucapan Angelir yang terputus.
"Baginda... cinta biasanya hanya hiasan mulut lelaki. Bila lelaki suka pada wanita dan ada maunya, ia akan bicara cinta. Tapi bila ia telah mendapatkan segalanya dan dirasakan telah bosan, maka cinta pun berlalu. Aku tak ingin hal seperti itu terjadi padaku, Paduka."
"Maksudmu, Angelir?" tanya Wulung Seta masih belum mengerti tujuan kata-kata Angelir.
Angelir tersenyum, matanya yang lentik memandang sendu pada Wulung Seta. Perlahan namun pasti, tangan Angelir bergerak menggenggam tangan Wulung Seta. Wulung Seta yang hatinya telah terpanah oleh cinta Angelir, tersenyum senang demi merasakan tangannya digenggam oleh Angelir.
"Hem, telah ku jerat dia!" gumam hati Angelir. "Apakah baginda benar-benar ingin menjadikan aku isteri?"
"Kenapa tidak. Aku mencintaimu," jawab Wulung Seta menjadikan Angelir tersenyum. Direbahkan kepalanya ke pundak Wulung Seta menjadikan Wulung Seta seketika bergetar-getar hatinya.
Baru sekali ini Wulung Seta merasakan debaran aneh di hatinya selama ia menjadi raja muda. Padahal banyak bunga-bunga yang mencoba mengambil hatinya, namun Wulung bagaikan tak ada hasrat untuk memetik. Tapi kini Angelir gadis yang baru ia kenal, telah mampu membuat hati Wulung Seta berbunga. Sekaligus Angelirlah yang telah mampu menembuskan panah ke hatinya.
"Kalau baginda memang berkenan menjadikan hamba istri, maka hamba meminta Paduka dengan setulus hari menyayangi hamba."
"Hanya itu pinta mu, Angelir?" tanya Wulung Seta seakan tak percaya.
"Ya, hanya itu, Paduka," jawab Angelir pendek.
"Kalau memang itu, apa pun akan aku lakukan untukmu. Demi cintaku padamu, segalanya akan aku lakukan."
Tersenyum senang Angelir mendengar ucapan Wulung Seta. Ditatapnya lekat-lekat wajah Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta makin gundah hatinya. Untuk kedua kalinya, keduanya terlelap dalam belaian-belaian kasih. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, menyeka panas mentari. Hingga mentari yang begitu terik tak terasa. Apalagi mereka yang telah hanyut oleh lautan cinta.
Lain keadaannya dengan raja mereka yang tengah menjalin cinta, prajurit-prajurit Pesisir Putih kini tengah berperang demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Segalanya dikorbankan, demi sang raja, demi kemerdekaan.
"Serbuuuuu...!"
"Seraaanggg...!"
"Jangan mundur!"
Pekik-pekik itu terus menggema, menyebarkan semangat para prajurit. Tak ada rasa kasihan, tak ada rasa kemanusiaan. Setiap tombak, golok, pedang dan senjata lainnya berkelebat, maka pekik kematian pun menggema.
Langit alun-alun Kurda Rumajang makin memerah, seperti tersiram darah para prajurit. Walaupun begitu, perang terus berjalan, perang terus membahana. Randu Alasan sebagai patih Kerajaan Pesisir Putih, bagaikan harimau kelaparan menerjang gagah berani. Pedang pusaka yang bernama Kyai Warakas, berkelebat dengan cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, setiap kali itu memekik prajurit Kurda Rumajang. Melihat hal itu, secepat kilat Rekso Giri selaku patih Kerajaan Kurda Rumajang segera memapakinya.
"Randu Alasan, akulah musuhmu!" bentak Rekso Giri marah.
"Rekso Giri penjilat. Memang aku tunggu-tunggu kemunculanmu. Mari kita buktikan siapa di antara kita yang harus meninggalkan dunia!"
"Setan Alas! Kau rupanya mempunyai taring. Bersiaplah untuk mampus, Randu!"
Habis berkata begitu, Rekso Giri segera berkelebat menyerang. Randu Alasan yang telah siaga, secepat kilat mengelak. Lalu dengan garang, Randu Alasan balik menyerang. Toya di tangan Rekso Giri berputar dengan cepat, begitu juga pedang Kyai Warakas di tangan Randu. Dua patih itu, berkelebat dengan cepatnya. Segala ilmu yang mereka miliki dikeluarkan.
Waktu terus berlalu, sepertinya tak mau perduli dengan api peperangan yang tengah berkobar. Ketika hari telah berubah, dari siang menjadi malam, ketiga prajurit kerajaan itu kembali ke tenda masing-masing. Ditinggalkannya segala yang telah terjadi, teman ataupun kawan yang gugur. Itulah perang, menang tiada arti, kalah tiada guna. Demi ambisi, demi kepuasan sang raja belaka, rakyat yang menjadi korban.
Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan di dalam hutan, seketika menghentikan langkahnya, manakala didengar olehnya suara-suara bergemerisik di sekelilingnya.
"Hem, ada kunyuk-kunyuk hendak main-main denganku. Eh, makin mendekat. Nekad benar monyet-monyet ini," gumam Jaka dalam hati. "1... 2... 3... 10. Ada sepuluh kunyuk!" Tengah Jaka tersenyum-senyum mendengar suara-suara gemerisik, seketika berkelebat sepuluh orang lelaki menghadangnya.
"Berhenti!" bentak pimpinan kesepuluh orang itu.
"Heh, bukankah aku telah berhenti? Kenapa kau menyuruhku lagi?" kata Jaka dengan tenangnya.
"Serahkan uang yang kau bawa," kembali pimpinan kesepuluh orang yang bermaksud merampok itu berkata.
Mendengar ucapan ketua garong itu, Jaka tersenyum. Lalu dengan nada acuh, Jaka menjawab. "Uang...? Kebetulan, aku memang sedang butuh uang. Mana uang kalian?"
"Setan alas! Diminta malah meminta!"
"Ah, aku rasa aku bukan setan alas. Kenapa kau memanggilku setan alas?"
"Anak edan!" bentak pimpinan garong marah, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya ngelantur. Namun bagaikan tak perduli dengan segala amarah pimpinan garong itu, Jaka kembali berkata:
"Edan...? Aku tidak edan. Aku cuma Ndableg!"
Tak dapat lagi pimpinan garong itu menahan amarah. Ia merasa Jaka telah mempermainkannya, Maka dengan mengibaskan tangan, sekaligus mengomandokan pada kesembilan anak buahnya ia segera menyerang Jaka. Diserang keroyokan begitu rupa tidak menjadikan Jaka gentar, bahkan dengan lagak pilonnya Jaka terus menghindar.
"Ampun, Oom! Jangan pukul saya...!" Jaka berteriak, manakala seorang dari pengeroyoknya bermaksud menghantamnya. Bersamaan dengan itu, Jaka seketika menghantamkan tangannya ke dada penyerangnya.
Terhuyung-huyung orang itu, dengan darah meleleh dari mulutnya. Sementara Jaka dengan memegangi tangannya yang dielus-elus, tersenyum-senyum. Hal itu menjadikan kesembilan garong lainnya marah. Serta merta, kesembilan garong itu mengeroyoknya.
"Wadauw, kenapa kalian sadis-sadis, sih?" gumam Jaka.
"Diam! Jangan kayak orang sinting!"
"Aduh mak, Jaka dibentak. Eh... Kenapa engkau hendak membokongku?"
Jaka kembali berkelebat cepat memutar tubuhnya menghadap pada orang yang bermaksud membokongnya. "Ini hadiah untukmu dariku sebagai kenang-kenangan atas jasamu yang hendak membokongku."
Secepat kilat tangan Jaka berkelebat, menghantam muka orang yang bermaksud membokongnya. Spontan, orang itu meraung kesakitan dengan tangan menutupi mukanya. Marahlah pimpinan garong, demi melihat dua anak buahnya telah dengan gampang dipecundangi. Maka tak ayal lagi, ketua garong itu segera menyerang Jaka.
"Wadauw, kenapa oom mau membacok ku? Ampun, Ooom...!" teriak Jaka manakala golok di tangan pimpinan Garong hendak membabat ke tubuhnya. Dengan segera, Jaka mempercepat gerakannya. Kakinya berkelebat menendang tubuh ketua garong itu. Tak dapat dibayangkan, kaki Jaka mendarat telak menghantam dada ketua garong.
"Enakkan Oom dapat kue Talam?"
"Setan! Jangan kira aku kalah, Monyet!" bentak marah pimpinan garong. Tangannya memegangi dada yang terasa sakit. Lalu dengan didahului geraman, ketua garong itu mengomandokan pada anak buahnya untuk menyerang. "Serang...!"
Bagaikan tak ada rasa takut sedikitpun, ketujuh anak buahnya segera berkelebat bareng menyerang Jaka.
"Wah, kenapa dengan ketujuh monyet ini? Apakah mereka terkena AIDS?" gumam Jaka seperti berbicara pada diri sendiri.
"Kunyuk! Sudah di ambang kematian masih berlagak!"
"Eh, siapa yang kunyuk? Kalian kunyuk? Pantas.... Pantas. Memang rupa kalian mirip kunyuk kelaparan. Aduh...! Kenapa kalian membabi huta?" seru Jaka, manakala salah seorang pengeroyok membabatkan golok ke arahnya. Dengan cepat, di jitak kepala penyerangnya.
Seketika orang yang di jitak menjerit dengan memegangi kepala. Berguling-guling, lalu ambruk mati. Dari atas kepalanya meleleh darah, keluar dari tiga lobang berbentuk mata dadu.
"Hi, hi, hi.... Ternyata orang itu suka main dadu. Lihat! Di kepalanya ada gambar dadu!" seru Jaka pada ketujuh pengeroyoknya, menjadikan ketujuh orang itu menggeram. Tanpa banyak kata lagi, mereka serempak kembali menyerang.
"Eh, eh. Rupanya kalian tidak kapok, Tong. Baik, untuk kalian akan aku beri hadiah gocap-gocap, ini!" Habis berkata begitu, Jaka yang tak ingin mengulur-ulur waktu segera berteriak bagai orang gila. Tubuhnya berputar bagaikan baling-baling. Tangannya dengan cepat bergerak, dan...
"Tok, tok, tok, tok, Bletak!"
Tujuh kali terdengar suara beradunya tangan Jaka dengan kepala pengeroyoknya. Seketika ketujuh pengeroyoknya menjerit, berguling-guling di tanah. Di atas kepala mereka tergambar bulatan sebesar uang 50-an.
"Ha, ha, ha... Kalian memang lucu-lucu. Kenapa uang Gocap ditempelin di atas kepala? Oh, rupanya kalian orang kaya, ya?" kata Jaka dengan tertawa-tawa.
Meskipun pimpinan garong itu geram, namun ia tak berani berbuat apa-apa. Ia tahu, kalau pemuda yang seperti tak waras itu ternyata berilmu tinggi. Tanpa memperdulikan musuh-musuhnya yang telah berjatuhan, Jaka segera berkelebat pergi.
Malam itu gerimis turun membasahi bumi. Peperangan telah lama usai untuk diteruskan esok hari. Di sebuah ruangan Kerajaan Kurda Rumajang, Prabu Amuk Mungkur telah duduk di atas kursi. Di hadapannya duduk seorang gadis yang tak lain daripada Angelir, anaknya.
"Bagaimana hasil mu, anakku?"
"Seperti yang telah direncanakan. Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dulu menyembah. "Angelir telah dapat mengambil hati Prabu Wulung Seta."
Tersenyum Amuk Mungkur mendengar penuturan anaknya. Rasa bangga menyelimuti wajah Amuk Mungkur, hingga hatinya seketika bergumam. "Tak aku sangka, kalau anakku mampu menjadi mata-mata. Hem, sungguh pintar Angelir. Lalu, apa yang menjadi pikiranmu, Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur, menjadikan Angelir seketika menundukkan mukanya.
"Kenapa, Anakku? Sepertinya kau menemui kesulitan?" kembali Amuk Mungkur bertanya, demi melihat putrinya hanya terdiam tak menjawab.
"Benar, ayahanda. Angelir memang mengalami kesulitan," jawab Angelir setelah sekian lama terdiam.
"Hem, coba kau katakan apa yang menjadi kesulitanmu!"
"Ampun, Ayahanda. Angelir merasa jatuh cinta pada Wulung Seta."
"Apa...?" tersentak Amuk Mungkur mendengar jawaban anaknya. Matanya melotot, memandang pada Angelir yang kembali menunduk tak berani menentang pandang. "Jangan, Anakku! Kau harus ingat, bahwa Wulung Seta adalah musuhku! Maka sebagai musuh ayah, dia juga musuhmu pula!"
"Tapi, Ayah...." Angelir mencoba menyela.
"Tak usah kau memikirkannya, Anakku."
"Baiklah, Ayah. Angelir akan selalu menurut apa yang dititahkan oleh ayah," jawab Angelir.
Amuk Mungkur kembali tersenyum, dihelanya napas dalam-dalam. Amuk Mungkur perlahan bangkit dari kursinya. Dihampiri anaknya, lalu dengan penuh kasih dibelai rambut sang anak sembari berkata: "Anakku, bila masanya kau menjadi Ratu, kau akan merasakan betapa kekuasaan lebih berguna dibandingkan dengan cinta. Cinta biasanya hanya sekata, tapi kuasa akan menentramkan hati. Bagaimanapun, kau harus mampu menjadikan dirimu orang yang disegani. Sebab syarat utama menjadi Raja harus mempunyai kewibawaan."
Sejenak keduanya hening, membisu dengan segala perasaan. Angelir masih menunduk sepertinya tengah meresapi makna ucapan sang ayah. Sementara Amuk Mungkur, dengan penuh kasih terus membelai rambut anaknya. "Anakku..."
"Daulat, Ayah," jawab Angelir,
"Dulu ibumu pun begitu. Ibumu mengutarakan cinta pada ayah. Namun setelah ayah tua, ibumu pergi entah ke mana. Ayah sakit hati, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa ibumu kini telah menikah lagi dengan ayahanda Wulung Seta."
"Jadi...." terbelalak Angelir mendengar penuturan ayahnya.
"Ya, ibumu lari dari ayah dan menikah dengan Prabu Salya ketika kau masih kecil. Itulah mengapa ayah mendendam pada dua kerajaan itu. Tadinya ayah tak menghiraukan, namun melihat engkau menderita ayah jadi kesal. Kesal pada ibumu, juga kesal pada Prabu Salya. Maka sebagai pelampiasan kekesalan ayah, ayah memusuhi dua kerajaan turunan Salya."
Makin tergugah hati Angelir setelah tahu siapa musuh-musuh ayahnya. Kekecewaan pada ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil, menjadikan Angelir dendam. Tanpa sadar, Angelir mendesah seakan bersumpah, "Akan aku hancurkan keturunan Salya, Ayah!"
"Kau mampu, Anakku?" tanya Amuk Mungkur, yang dijawab oleh Angelir dengan tatapan mata kepastian.
Lalu dengan napas panjang yang dihempaskan, Angelir kembali berkata: "Akan aku coba, Ayah!"
Tak terurai rasa bahagia dan kagum mendengar ucapan anaknya, hingga Amuk Mungkur berkaca-kaca matanya. Diajaknya Angelir bangun dari duduk, dan dibimbingnya sang anak berjalan. "Apa yang hendak kau lakukan malam ini, Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur.
"Kini Wulung Seta telah terjerat oleh ku. Maka aku akan terus mencoba mengacaukan kedua kerajaan itu, Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dahulu memandang wajah ayahnya sesaat. Terlihat oleh Angelir goresan kekecewaan di wajah ayahnya, menjadikan Angelir tak mampu menahan air mata.
Angelir pun menangis haru melihat kesedihan ayahnya yang menjadikan ayahnya seorang pendiam dan pemarah. Saking terhanyutnya Angelir menyaksikan raut wajah ayahnya, tanpa disadari hatinya bergumam. "Sungguh ibu orang yang tak tahu kasih. Hem, Salya. Keturunanmu kelak akan menerima balasannya yang setimpal dengan perbuatanmu!"
"Ayah, Angelir mohon pamit!"
"Hendak ke mana, Anakku?" tanya Amuk Mungkur kaget demi mendengar ucapan anaknya. "Bukankah hari sudah malam?"
"Seperti rencana Angelir, Angelir hendak menyusup ke dalam tenda musuh. Do'a kan, Ayah. Semoga Angelir dapat melaksanakan apa yang menjadi rencana kita."
"Aku terus mengiringi mu, Anakku. Berangkatlah!" kata Amuk Mungkur dengan perasaan haru. Matanya berkaca-kaca, ketika mencium kening anaknya. Dengan penuh kebisuan, Amuk Mungkur melepas kepergian anaknya malam itu.
Angelir terus berlari menembus malam, seakan tiada rasa takut setetes pun di darahnya. Ia terus berlari menuju ke sebuah hutan yang lebat, hutan yang sepertinya menyimpan keangkeran. Demi cita-citanya, Angelir tak memperdulikan gelapnya malam. Setelah sekian lama berlari, Angelir akhirnya berhenti pada sebuah tempat di tengah hutan.
"Suiiit...!" Bersamaan dengan habisnya suitan yang dilontarkan Angelir, dari dalam semak-semak hutan bermunculan orang-orang berwajah sadis menuju ke arahnya.
"Ada gerangan apa Sri Ratu Angelir memanggil kami?" tanya Gober selaku ketua II setelah Angelir dan Loro Ireng, pada pimpinan Gerombolan Hutan Renges.
"Mana Loro Ireng?"
"Ampun Sri Ratu, Loro Ireng pergi!" jawab Gober.
"Pergi ke mana, Gober?"
"Loro Ireng mengatakan hendak mencari musuhnya!"
"Musuhnya...? Siapa musuhnya? Dan kenapa tidak mengajak kalian?" tanya Angelir tak mengerti. Matanya membeliak lebar, menjadikan sorotan cahaya di dalam gelap. Gober tak berani menantang pandang, begitu juga dengan keseratus anak buahnya. "Apa dia tak berpesan apa-apa?"
"Dia berpesan agar bila Sri Ratu datang, kami mengikuti Sri Ratu beroperasi."
Membeliak mata Angelir mendengar penuturan wakilnya. Nafasnya terdengar mendengus, pertanda dia tengah marah. Hal itu menjadikan Gober terpaku diam dengan wajah tertunduk. Gelapnya malam itu hening tiada kata.
"Kalau kalian ikut denganku, apakah kalian mampu melakukan tugas kalian?" tanya Angelir setelah terdiam untuk beberapa saat.
"Hamba siap, Sri Ratu...!" jawab keseratus anak buahnya.
"Benar kalian siap?"
"Daulat Sri Ratu. Tugas apapun akan kami lakukan!" jawab Gober mewakili keseratus anak buahnya. Mereka tak berani membantah pada Angelir, yang menjadikan dirinya sebagai Ratu Gerombolan Hutan Renges.
"Baiklah, aku tugaskan pada kalian, kacaukan barak-barak prajurit kerajaan Segara Wetan! Sementara aku sendiri, akan mengacaukan Kerajaan Pesisir Putih. Ingat, jangan sampai ada yang tertangkap. Seandainya ada, jangan mengaku! Mengerti...?"
"Daulat, Sri Ratu...!" jawab mereka serempak.
"Nah, lakukan tugas kalian dengan baik. Kita kacau dua kerajaan itu, ha, ha, ha..." Angelir tertawa bergelak-gelak, lalu dengan tanpa memperdulikan keseratus anak buahnya, Angelir berkelebat pergi.
Sepeninggalnya Angelir, Gober selaku pimpinan segera menyusun rencana dengan keseratus anak buahnya. "Walet, dan kau Jangkrik."
"Saya ketua," jawab keduanya bareng. "Kalian pimpin dua puluh lima orang menyerbu dari Wetan dan Kulon. Sementara aku dan Bangkong, akan memimpin lima puluh orang dari Lor dan Kidul. Ayo kita bergerak!"
Malam itu juga, keseratus gerombolan Hutan Renges bergerak seperti rencana. Tujuannya hanya satu, mengacaukan kerajaan Wetan Segara.
Malam itu Wulung Seta tak dapat memejamkan mata barang sekejap. Pikirannya melayang, terbayang wajah Angelir yang telah menawan hatinya. Wulung Seta gundah gulana, perasaannya tak dapat tenang. Ada rasa takut menyelimuti hatinya, takut kalau-kalau Angelir terkena apa-apa.
"Ke mana Angelir? Sudah malam begini tidak datang-datang?" gumam hati Wulung Seta was-was.
Saking tenggelam dalam pikirannya, Wulung Seta tak memperhatikan bahwa sedari tadi seorang wanita tengah memperhatikannya. Wanita itu tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala, melihat Wulung seta melamun. Wanita itu yang tak lain Dewi Roro Kunti ibunya, berjalan menghampiri.
"Ehm...!"
"Ibunda...?" tersentak Wulung Seta dari lamunannya, mendengar deheman sang ibu. "Kaget ananda, Bunda. Ada apa gerangan, Ibunda?"
"Kau melamun, Anakku? Kenapa? Apakah kau tengah jatuh hati dengan seorang wanita?" tanya Roro Kunti, yang menjadikan Wulung Seta tersipu. "Kenapa kau malu, Anakku? Katakanlah pada Ibu, mungkin Ibunda dapat membantu."
Wulung Seta tak menjawab, ia terdiam menundukkan muka. Seakan ada ganjalan yang menyelimuti hatinya untuk mengutarakan apa yang selalu meresahkannya. Sejenak ditatapnya wajah sang Ibu, sebelum akhirnya berkata: "Ibunda tak akan marah?"
"Kenapa mesti marah? Bukankah kau anakku, Wulung?"
Wulung Seta kembali terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang. Setelah merundukkan muka sesaat, Wulung Seta akhirnya kembali berkata. "Memang benar apa yang Ibunda terka. Wulung kini tengah merasakan apa yang dinamakan cinta, Bunda."
Tersenyum Roro Kunti mendengar ucapan anaknya. Dihampiri Wulung Seta yang masih terduduk. Melihat Ibundanya menghampiri, segera Wulung Seta turun dari kursinya dan duduk di permadani. Wulung Seta segera menyembah, bersimpuh di kaki sang Ibu. Roro Kunti tersenyum bahagia, demi melihat anaknya yang mengerti akan tata krama. Walau Wulung Seta telah dinobatkan menjadi raja, namun sifatnya yang santun tidak hilang. Hal ini menjadikan Roro Kunti yang sebenarnya ibu tiri merasa sayang, melebihi kasih sayangnya pada Amurwa Sakti anak kandungnya.
"Wulung Seta, Anakku. Siapakah gadis yang telah memikat hatimu, Anakku?"
"Ampun, Ibunda. Gadis itu bernama, Dewi Angelir," jawab Wulung Seta, menjadikan Roro Kunti seketika terkesiap kaget. Hal itu menjadikan Wulung Seta yang memperhatikannya kembali bertanya. "Kenapa, Ibunda?"
"Tak mengapa, Anakku. Ibu senang mendengar kau telah memilih jodohmu. Mana anak gadis itu, Anakku?" tanya Roro Kunti, yang hatinya bergumam lirih. "Hem, ternyata anakku sendiri yang telah mampu memikat hati Wulung Seta. Oh, mungkin dia sudah besar. Aku sungguh berdosa telah menelantarkannya."
"Ibunda melamun?" tanya Wulung Seta, demi melihat Roro Kunti terdiam dengan mata berkaca-kaca.
Terjengah Roro Kunti mendengar ucapan Wulung Seta. Dicobanya untuk tersenyum, walau senyum yang dipaksakan untuk menutupi perasaan hatinya yang merasa bersalah. Lalu dengan terbata, Roro Kunti pun berkata; "Ah, ti... tidak, Anakku. Ibu tengah memikirkan betapa nanti kau akan bahagia bersanding dengan gadis pilihan mu!"
"Ibunda bisa saja," gumam Wulung Seta tersenyum.
Tengah kedua anak dan ibu bercengkerama, terdengar suara seseorang menyapa.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab keduanya hampir bareng.
Roro Kunti begitu bahagia, manakala tahu siapa yang datang. Ternyata orang yang datang Amurwa Sakti anaknya. "Ada apa, Anakku. Hingga malam-malam kau datang ke mari?"
"Aku ingin bertemu dengan kanda Wulung Seta, Bunda," jawab Amurwa Sakti, menjadikan Wulung Seta tersentak dan segera berkata.
"Ada gerangan apa adinda mencari kanda?"
"Kanda… barak-barak kerajaan ku ada yang mengacau!"
"Mengacau...? Siapa yang telah berani berbuat begitu?" tanya Wulung Seta dengan mata menyipit, mendengar ucapan adiknya.
Amurwa Sakti tidak segera menjawab, malah tampak matanya menatap tajam menghujam pada wajah Wulung Seta. Melihat hal itu, dengan segera Roro Kunti bertanya:
"Amurwa! Kenapa tatapan mu begitu lancang pada kakakmu?"
"Siapa yang tidak marah, Bunda. Orang-orang yang telah merusak barak ku adalah orang-orang kakang Wulung Seta."
"Apa...!" tersentak kaget Wulung Seta, mendengar ucapan adiknya. "Apakah dinda tidak salah lihat?"
"Benar, Anakku. Kau jangan terlalu kesusu menuduh kakakmu. Selidiki dulu kebenarannya. Bukankah kini kalian tengah menghadapi perang? Siapa tahu orang-orang Kurda Rumajang yang telah melakukan semuanya," tambah Roro Kunti menengahi.
Mendengar ucapan Ibundanya, Amurwa Sakti terdiam. Ia sadar akan tindakannya yang terlalu kesusu. Maka dengan menangis, Amurwa Sakti berkata: "Ampunilah anakmu, Bunda. Kanda, adinda meminta maaf atas segala tingkah laku adinda yang kurang ajar ini."
"Tak mengapa, Dinda. Kanda pun menyadari, betapa hati adinda kini tengah kisruh."
"Terima kasih, Kanda. Bunda dan Kanda, hamba mohon pamit!"
Setelah terlebih dahulu menyembah pada Ibu dan kakaknya, Amurwa Sakti segera berlalu pergi diiringi oleh tatapan mata ibunya yang melelehkan air mata. Setelah kepergian anaknya, Roro Kunti segera berkata pada Wulung Seta, "Anakku Wulung Seta. Ibunda meminta maaf atas segala tingkah laku adikmu."
"Tak mengapa, Bunda. Ananda juga maklum. Tidak hanya adinda Amurwa Sakti yang marah bila melihat perlakuan itu, ananda juga mungkin akan mengalami hal serupa."
"Ah, betapa luhur budi pekerti mu, Ananda."
Tak dirasa oleh Roro Kunti, ia menangis. Dengan penuh rasa kasih layaknya seorang ibu, dipeluknya Wulung Seta yang juga turut menangis. "Bunda pamit undur, Anakku," kata Roro Kunti setelah untuk beberapa lama terhanyut diam.
"Ananda mengiringi," jawab Wulung Seta.
Roro Kunti segera pergi meninggalkan anaknya sendirian. Setelah kepergian Roro Kunti, Wulung Seta kembali terdiam melamun. Pikirannya kini tidak hanya satu, tapi bercabang. Memikirkan Angelir yang telah menambat hatinya, memikirkan kematian prajuritnya dengan bunga mawar merah di keningnya, juga memikirkan laporan adiknya.
"Kenapa semua terjadi? Kenapa sejak aku mengenal Angelir segalanya terjadi? Apakah ada orang-orang yang tak menyukai aku dengan Angelir? Atau... Ah, tidak. Angelir tidak segila itu!" Bergumam Wulung Seta taklim, tak mengerti akan segala kejadian-kejadian yang dialaminya.
Malam terus merambah dengan cepatnya, namun Angelir yang ditunggunya tak munculmuncul. Karena penat oleh pikiran-pikiran yang menyelimuti otaknya, Wulung Seta akhirnya tertidur di kursinya. Wulung Seta tersentak bangun, manakala seseorang mendekatinya. Dicabutnya keris pusaka yang selalu menyelip di pinggangnya, namun segera dimasukkannya kembali manakala tahu siapa yang datang.
"Kaukah, Angelir?" tanya Wulung Seta tak yakin. Dikucak-kucak matanya, seperti ingin meyakinkan apa yang dilihat.
Angelir tersenyum manis, menjadikan hati Wulung Seta yang sedari tadi menahan kerinduan bergema. Melihat Angelir berjalan menghampiri Wulung Seta, yang juga bangkit dari duduknya.
"Sungguh pulas tidur kanda Prabu, hingga hamba yang sedari tadi datang tak berani untuk mengusiknya."
"Ah, kau bisa saja, Angelir. Dari manakah kau, Angelir? Lama aku menunggu kedatanganmu. Betapa hati ini tak tenang memikirkan mu," berkata Wulung Seta, menjadikan Angelir tersipu-sipu.
"Ah, Paduka bisa saja," kata Angelir manja.
"Aku berkata sebenarnya, Angelir."
"Benarkah...?" Angelir masih menggoda, menjadikan Wulung Seta makin penasaran. Dicobanya untuk memeluk Angelir, namun bagaikan tak butuh, Angelir segera mengelak.
Hal itu menjadikan Wulung Seta makin bernafsu. Dikejarnya Angelir yang terus berlari memutari ruangan. "Awas kalau kena. Akan aku cium kau, Angelir!"
"Hi, hi, hi.... Ayolah Paduka. Kalau memang paduka ingin itu, kejarlah aku!"
"Baik! Jangan menjerit nanti!"
Keduanya pun segera saling kejar. Angelir berputar-putar dari satu tiang, ke tiang lainnya. Dengan tertawa-tawa, Angelir terus menggoda. Merasa dipermainkan, Wulung Seta makin bernafsu saja. Dikejarnya Angelir, kini dengan menggunakan ilmunya. Tersentak Angelir, melihat Wulung Seta berlari bagaikan angin.
"Kena...!"
"Auh...!" Angelir menjerit manja, manakala tangannya terpegang oleh Wulung Seta. Namun demikian, Angelir tersenyum manja. Direbahkan kepalanya pada pundak Wulung Seta, yang menerimanya dengan hati berbunga. Dibimbingnya Angelir berjalan menuju kursi. Dipangkunya tubuh Angelir yang tersenyumsenyum, menjadikan Wulung Seta makin gemes.
"Kanda...?" Angelir berkata manja, manakala Wulung Seta hendak menciumnya.
"Hem.... Ada apa, Angelir?"
"Apakah kita akan terus menerus begini?"
"Maksudmu...?" balik bertanya Wulung Seta. Mata keduanya saling paut, bibirnya saling senyum.
"Apakah kanda tidak berpikir untuk menjadikan ku isteri?"
"Ooh, kapan kau mau, Angelir?"
"Benarkah, Kanda?"
"Ya...." jawab Wulung Seta pendek. Lalu dengan tanpa menunggu reaksi Angelir, Wulung Seta segera mencium bibir Angelir.
Ciuman Wulung Seta yang lembut, menjadikan Angelir bergolak di hatinya. Antara perasaannya yang memang menghendaki Wulung Seta, dengan apa yang dicita-citakan oleh ayahnya. Rupanya perasaannya yang dapat mengendalikan hati Angelir, menjadikan Angelir membalas ciuman yang dilontarkan Wulung Seta. Keduanya terhanyut diam, seakan tak memikirkan segala apa yang tengah terjadi. Wulung Seta tersentak, manakala salah seorang patihnya datang,
"Ada apa, Randu Alasan?" tanya Wulung Seta sembari melepaskan ciumannya.
"Am... ampun, Paduka. Sungguh hamba tidak mengerti," terbata-bata Randu Alasan berkata. Hampir saja Randu Alasan kembali balik, tatkala Wulung Seta berseru.
"Tunggu, Randu! Ada apa gerangan?"
Randu Alasan segera menghentikan langkahnya, kembali menghadap ke Rajanya. Setelah kembali menyembah, Randu Alasan segera berkata: "Ampun Baginda yang Mulia, Ketiwasan!"
"Ketiwasan...? Ketiwasan apa maksudmu, Randu?" tanya Wulung Seta tak mengerti apa yang dimaksud oleh Randu Alasan. Matanya membeliak karena kaget, memandang pada Randu Alasan.
"Ampun Yang Mulia. Lima orang prajurit kedapatan mati," kata Randu Alasan menjadikan Wulung Seta makin membeliak matanya, seketika Wulung Seta berdiri.
Angelir yang melihatnya nampak ketakutan dan menundukkan kepalanya. Wulung Seta tercenung, memandang ke langit-langit pendopo. Matanya berkaca-kaca, sepertinya menangis. Ya, Wulung Seta memang menangis. Wulung Seta menangisi kejadian-kejadian yang tak pernah diduganya. Baru saja adiknya Amurwa Sakti menyangka kalau-kalau prajuritnya yang berbuat, tapi kini prajurit-prajuritnya sendiri yang terkena musibah.
"Kau tahu siapa orang yang melakukannya, Randu?"
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Kalau hamba mengetahui siapa orangnya tak akan hamba biarkan ia hidup-hidup," jawab Randu Alasan.
"Ayo kita ke sana!" ajak Wulung Seta. Dengan diiringi oleh Randu Alasan dan Angelir, Wulung Seta bergegas pergi menuju ke perkemahan prajuritnya. Langkahnya begitu memburu, sepertinya ingin segera bergegas mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Wulung Seta dan Angelir terbelalak kaget, manakala melihat korban yang mati. Lima orang mati dengan kening bolong, ditutup oleh setangkai bunga mawar merah darah. Diambilnya kelima bunga mawar itu oleh Wulung Seta. Ditatapnya sesaat kelima prajuritnya, hatinya bergumam perih: "Oh, apa artinya semua ini?"
"Sepertinya ada musuh dalam selimut, Paduka!" kata Randu Alasan menjadikan Angelir dan Wulung Seta terjengah kaget. Keduanya seketika memandang Randu Alasan, yang tertunduk tak berani menentang pandang.
"Mungkin juga, Randu. Untuk itu, periksa seteliti mungkin orang-orang yang patut dicurigai!"
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka, akan hamba junjung tinggi!" jawab Randu Alasan.
Angelir yang berdiri di samping Wulung Seta hanya diam membisu. Dalam hatinya bergumam penuh kemenangan. Sudah banyak korban yang jatuh, menjadikan makin berkurang beban prajurit ayahnya. "Bila masanya tiba, maka kaupun akan menerima nasib yang sama, Randu Alasan!" membatin Angelir.
Randu Alasan yang tengah memandang Angelir, seketika hatinya membersit sebuah tuduhan. Namun Randu Alasan tak berani mengutarakannya. Ia takut kalau-kalau Wulung Seta bahkan balik menuduhnya. "Ah, sungguh petaka! Tapi, apakah memang benar gadis ini yang berbuat? Memang sejak Wulung Seta bersamanya, korban banyak berjatuhan. Semua sama, mati dengan bunga mawar," batin Randu Alasan.
Melihat Randu Alasan menatapnya, Angelir yang merasa telah mampu mengait hati Wulung Seta menentang pandangan Randu. Hal itu menjadikan Randu Alasan tak berani untuk terus bertatap mata. Randu Alasan akhirnya menunduk. Malam pun berjalan dengan cepat, mengiringi kebisuan yang terjadi. Waktu terus memburu, sepertinya turut menyaksikan apa yang telah terjadi. Bila esok datang, kembali mereka akan disiapkan untuk berperang.
Kejadian malam itu seperti gelap, gelap tak ada yang dapat membuka tabir semuanya. Dengan langkah lesu, Wulung Seta yang diiringi Angelir berjalan kembali menuju istana. Randu Alasan hanya mampu mendesah, menarik napas panjang. Lalu dengan dibantu beberapa orang prajurit, Randu Alasan malam itu juga mengubur kelima teman-temannya.
"Siapakah pelaku semua ini?" gumam hati Randu Alasan.
Ia tak berani menuduh siapa yang telah berbuat, walaupun hati tuanya mengumandangkan sebuah terkaan pada siapa sebenarnya yang telah melakukan segalanya. Tapi kedudukannya selaku patih, menjadikan Tut Wuri Handayani. Manut untuk terus menjadi patih, daripada menentang tapi dipecat!
Dengan adanya perang yang terus berkelanjutan, menimbulkan bencana dari sosial. Pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan dan sebagainya. Kelaparan melanda di mana-mana, kejahatan sosial pun terus melanda. Tak ada yang dapat disalahkan, tak ada yang dapat membendungnya. Semua tertuju pada perang, ya perang.
Malam itu desa Kurawan tampak sepi. Angin malam menimbulkan rasa dingin yang menusuk-nusuk. Hujan mengguyur dengan derasnya, disertai suara halilintar yang menggema berkali-kali. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berlari menerobos hujan. Lelaki itu yang ternyata Jaka adanya, memaki-maki sendiri pada hujan.
"Hujan sialan! Basah semua pakaianku!" Jaka terus berlari menerobos gelap, memecahkan rintikan-rintikan air hujan yang mengguyur tubuhnya. Dicobanya untuk terus berlari, mencari salah sebuah rumah penduduk untuk menumpang teduh.
Tengah Jaka Ndableg berlari merambah hujan, seketika telinganya yang tajam mendengar jeritan dari arah depannya. Jeritan itu berasal dari sebuah desa. Jaka yang tadinya hendak mencari teduh, segera mengurungkan niatnya.
"Heh, seperti ada bencana. Apakah memang ada bencana di desa sana?" gumam Jaka yang terus mempercepat larinya, tak perduli lagi dengan tubuhnya yang tersiram air hujan. Walau dadanya yang telanjang terasa sesak oleh tempaan air hujan, Jaka terus berlari.
"Tolong...! Rampok...! Aaachhh...!" Orang yang berteriak itu seketika terkulai, darah berhamburan muncrat dari lehernya yang dibabat golok. Orang malang itu ambruk, mati dengan leher hampir putus.
Pekik-pekik wanita yang ketakutan, memecahkan kesunyian malam. Sementara gelak tawa para rampok, sepertinya gelak tawa setan yang mengerikan.
"Rambah semua rumah penduduk!" terdengar suara seorang wanita berseru, sekaligus memerintah pada anak buahnya. Wanita itu yang ternyata Loro Ireng tertawa bergelak-gelak. "Bunuh mereka yang menentang!"
Tengah garong-garong itu beraksi, terdengar suara bentakan yang seketika mengejutkan Loro Ireng. Seketika mata Loro Ireng mengalihkan pandangannya pada asal suara itu.
"Sundel Bolong! Rupanya kau orangnya yang selalu membuat kerusuhan!"
"Hem, kaukah lurah di sini?" tanya Loro Ireng sinis, menjadikan kepala desa di hadapannya mendelik. "Kebetulan! Lurah dungu, katakan pada penduduk mu supaya memberikan apa yang mereka miliki pada kami!"
"Setan Alas! Jangan kira aku mau diperbudak olehmu!" menggeretak kepala desa marah. "Serang...!"
Demi mendengar seruan kepala desa, seketika pamong praja berkelebat menyerang Loro Ireng berbarengan. Diserang begitu rupa Loro Ireng bukannya takut, malah dengan ganda tertawa Loro Ireng memapakinya.
"Rupanya kalian minta mampus! Baik, terimalah ini!"
Loro Ireng yang berjuluk Dewi Alas Renges berkelebat dengan cepat. Tangannya yang kecil dan halus, tak ubahnya bagaikan baja yang keras. Setiap hentakan tangannya, menimbulkan hawa panas. Itulah ajian Tangan Dewa. Walaupun seorang gadis, namun Loro Ireng adalah murid Datuk Wurang Geni yang terkenal kesaktiannya. Maka tak dapat disangsikan lagi kalau Loro Ireng pun memiliki ajian-ajian yang dimiliki oleh Wurang Geni. Di pihak lain, anak buahnya nampak makin mengganas. Korban sudah banyak berjatuhan, terbabat golok anak buah Loro Ireng.
"Ayo, jangan sisakan apa yang ada. Ambil semua!" seru Gober selaku wakil Loro Ireng.
Tak dapat dibayangkan, anak buah Gerombolan Hutan Renges seketika makin mengganas. Golok di tangan mereka, tak ubahnya malaikat elmaut. Setiap kelebatan golok itu, memekik pula kematian. Tengah mereka beraksi, membunuh dan menyiksa penduduk desa terdengar suara lantang membentak:
"Tikus, tikus busuk! Rupanya kalianlah tikus-tikus yang suka usil!"
"Bedebah! Siapa kau! Kalau kau manusia, tunjukkan batang hidungmu!" bentak Gober marah, merasa dihina dengan panggilan tikus. Matanya liar memandang ke asal suara, dengan golok siap di tangannya.
"Aku di sini, tikus dungu!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka, seketika berkelebat tubuhnya yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Gober. Gober tersentak dan melompat mundur. Bibirnya menyungging senyum sinis, manakala tahu siapa gerangan yang telah berdiri di hadapannya.
"Rupanya hanya seekor monyet," dengus Gober.
"Ah, apakah kau tak salah ngomong? Aku rasa, kaulah monyetnya. Kalau kau manusia, jelas kau memiliki rasa kemanusiaan. Tapi kau memang monyet. Ha, ha, ha.... Pantas, pantas!"
"Sinting! Siapa namamu, Anak muda? Jangan kau mati tak meninggalkan nama!" bentak Gober.
"Wow, gaya bahasa mu seperti filsuf. Namun tindakanmu, heh, he... tak lebih tindakan maling kelas teri. Eh, bukankah kau memang maling?"
"Pemuda sinting! Rupanya kau ingin mampus, berani lancang pada gerombolan Alas Renges!"
"Aduh... Maaf saja yang mulia. Sungguh aku tak tahu, kalau yang mulia ternyata pimpinan gerombolan tikus-tikus comberan. Ha, ha, ha..."
Tak dapat dicegah lagi kemarahan Gober mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka. Maka dengan mendengus marah, Gober segera berseru pada anak buahnya. "Serang...! Jangan biarkan pemuda gila ini hidup!"
"Wadauw.... Kenapa oom-oom semua menyerangku? Apa salahku, oom?"
Jaka bagai orang kebingungan diserang oleh begitu banyak orang. Tubuhnya yang berisi, berkelebat-kelebat dengan ilmu meringankan tubuh hingga serangan mereka hanya mengenai tempat yang kosong. Seharusnya mereka sadar siapa yang kini tengah mereka hadapi. Namun sebagai orang-orang yang kasar, mereka tak mau perduli siapa adanya Jaka.
"Ampun, oom. Jangan tendang aku...!"
Jaka berseru manakala salah seorang anggota Gerombolan Alas Renges hendak menendangnya. Dengan bergerak cepat membalik, Jaka tendangkan kakinya menghantam orang itu.
"Aaah...!" seketika memekiklah orang yang kena tendang. Matanya mendelik, tangannya memegangi dadanya yang terasa sakit. Jaka yang merasa main-main, tertawa bergelak-gelak demi melihat musuhnya muter-muter sambil menahan sakit.
"Hua, ha, ha.... Lucu teman kalian. Lihat, bukankah ia seperti tikus comberan mencium tai?"
"Edan! Jangan hiraukan ucapannya!" dengus marah Gober, melihat tingkah laku Jaka yang konyol. "Serang...!"
"Eeh.... Rupanya kalian juga ingin menikmati mimpi indah. Wah... memang malam telah larut, ditambah lagi dengan gerimis. Enak ya kalau tidur, apa lagi dengan isteri!"
"Setan! Jangan banyak bacot!" maki keki Gober yang merasa Jaka telah mempermainkannya. Tubuh Gober bergerak dengan cepat, membabatkan pedangnya ke tubuh Jaka.
Pertarungan terus berlangsung dengan serunya. Walau Jaka nampak seperti main-main, namun segala tindakannya selalu membawa hasil. Tangannya yang seperti menari, selalu menjadikan musuhnya terhempas ke belakang.
"Wah... wah... Kenapa kalian tidak pernah makan pisang? Kenapa srodak sono srodak sini? Jangan kesusu, kawan! Ini untukmu pisang molen!"
Habis berkata begitu, Jaka segera menyodokkan bogem mentahnya ke mulut penyerangnya. Seketika menjeritlah orang itu, dengan mulut yang berlepotan darah. Giginya rontok, berjatuhan muncrat dari mulut bersamaan dengan muncratnya darah.
Semua yang mengeroyoknya tercengang. Namun belum juga mereka sadar, Jaka telah mendahuluinya. "Ini untuk kalian yang bengong!"
"Aduh...!" pekik seorang lagi.
"Ini juga! Biar mulutnya yang bau jengkol tidak menganga terus. Bahaya kalau mulutmu menganga, bisa menimbulkan polusi!"
Seperti yang pertama, orang kedua, ketiga, keempat, dan kelima pun seketika menjerit-jerit sambil memegangi mulutnya yang tertimpa kue pisang molen Jaka! Jeri juga yang lainnya melihat hal itu. Namun kejerian mereka hilang, kala Gober kembali berseru memerintahkan mereka agar menyerang.
"Serang lagi! Jangan biarkan anak gendeng ini bebas!"
Serta merta, kesembilan puluh anak buahnya bareng mengepung Jaka yang tertawatawa. Golok di tangan mereka, berkelebat tak beraturan menjadikan Jaka pusing juga. Namun bukanlah Pendekar Pedang Siluman Darah kalau harus mengalah. Diserang serabutan begitu rupa, tidak menjadikan Jaka gentar.
"Ampun, Emak! Mereka hendak mencincang Jaka...!" seru Jaka bagaikan anak kecil.
Hal itu menjadikan nafsu penyerangnya yang sedari tadi memang telah kesal dengan ulah Jaka. Mereka terus mencerca Jaka, bagaikan tak memberi kesempatan sedikit pun bagi Jaka untuk mengatur napas. Golok di tangan mereka silih berganti, menyerang. Hal itu menjadikan Jaka menggerutu kesal, yang dengan konyolnya menyemburkan ludah ke muka penyerangnya.
"Cuh...!"
Mata orang yang terkena semburan ludah Jaka, seketika gelap. Maka serangan mereka pun makin tak menentu. Bahkan teman sendiri diserang begitu saja.
"Edan si Jumro! Kenapa kau menyerang aku, hah!" maki orang yang diserang Jumro.
"Aduh... Aduh, mataku...!" Jumro menjerit-jerit.
"Hua, ha, ha...! Nah, siapa lagi yang ingin susu indomilk?"
"Sinting! Kau harus mampus, anak muda!" dengus Gober.
"Apa...? Kau minta mampus? Baiklah! Kalau memang itu kehendak kalian, akan aku bantu kau ke akherat, hiaat...!"
Jaka bergerak cepat, tak segan-segan lagi menghantamkan tangannya yang berisi tenaga dalam. Tangannya bagaikan burung pelatuk, mematuk jidat orang-orang itu. Seketika menjeritlah orang-orang yang terkena. Dalam sekali gebrakan saja, sepuluh orang telah terhantam. Di jidat mereka tergambar angka dadu, yang menjadikan Jaka makin ganda tawanya seperti melihat hal lucu.
Di pihak lain, Loro Ireng yang tengah dikeroyok oleh kepala desa dan para pamong Praja nampak masih tenang. Sudah lima orang yang meregang nyawa, terhantam tangan Loro Ireng yang disaluri ajian Tangan Dewa.
"Terimalah Dewa Brahma!" bentak Loro Ireng. Bersamaan dengan itu, tangan Loro Ireng seketika menyala bagaikan tertutup api. Itulah kehebatan tangan Dewa. Setiap kali Loro Ireng merapalkan segala Dewa, maka tangannya akan seketika berubah menjadi tangan Dewa. Dewa Brahma adalah Dewa Api, sehingga tangan Loro Ireng pun menjadi api.
Tersentak mundur kepala lurah melihat hal itu. Nyalinya seketika menciut. Namun sebagai kepala desa, ia dituntut untuk membasmi kerusuhan di desanya. Mau tak mau, kepala desa itu pun membuang segala kengerian di hatinya. Maka dengan Ajian Tirta Buananya, Kepala Desa segera berkelebat memapaki serangan Loro Ireng.
"Tirta Buana.... Hiaatt...!"
"Hiaatt...!"
"Duar!"
Ledakan terdengar seketika, manakala dua ajian bertemu menjadi satu saling serang. Kepala desa terpental lima tombak dengan tubuh terjengkang, mulutnya mengeluarkan darah segar. Sementara Loro Ireng pun tak luput. Tubuhnya terjengkang tiga tombak, matanya melotot tak percaya. Dengan mendengus marah, Loro Ireng yang sudah mampu menjaga keseimbangannya kembali hendak menyerang Kepala Desa. Membeliak mata Kepala Desa, manakala Loro Ireng berkelebat dengan ajian Dewa Wisnu. Tangan Loro Ireng seketika berubah banyak dengan api yang menyala-nyala.
"Gusti Allah! Mungkin hanya di sini umurku!" batin kepala desa, manakala Loro Ireng semakin dekat ke arahnya. Namun ketika Loro Ireng hendak menghabisi nyawa Kepala Desa, secepat kilat sebuah bayangan berkelebat memapakinya.
"Aaah...!" Orang yang memapakinya seketika melengking. Tubuh orang itu hangus, terbakar oleh api yang menyala-nyala. Kepala Desa tersentak membuka matanya, memekik manakala tahu siapa orang yang telah berusaha menolongnya.
"Rekso Panuluh! Rekso Panuluh!"
Rekso Panuluh yang telah mati, tak mendengar jeritan Kepala Desa yang mengguncang-guncang tubuhnya. Rekso Panuluh adalah salah seorang tangan kanan Kepala Desa yang sangat setia pada pimpinannya. Pengorbanan Rekso Panuluh begitu besar dengan cara mengorbankan nyawanya untuk keselamatan Kepala Desanya.
"Sundel Bolong! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" menggeretak Kepala Desa marah. Lalu dengan menggeram terlebih dahulu, kepala desa segera menyerang Loro Ireng yang tersenyum.
"Akan aku kirim kau ke neraka, Kepala Desa dungu!" bentak Loro Ireng. "Terimalah ajianku. Dewa Petir...!"
Dikiblatkan tangannya yang telah dilandasi dengan Ajian Dewa Petir. Seketika petir membahana, mengejutkan semua orang yang ada di situ termasuk Jaka. Jaka yang tengah mempermainkan anak buah Loro Ireng tersentak manakala didengarnya petir membahana.
"Hem, rupanya di sini ada yang memiliki ajian Petir seperti milikku!" batin Jaka. Dengan segera Jaka menengok sesaat ke asal suara petir itu. Matanya seketika membeliak, mana kala dilihatnya seorang gadis mengumbar ajiannya yang mengeluarkan petir menyerang orang tua yang tampak lemah. "Aku harus menolong orang tua itu!" pekik Jaka dalam hati. Maka dengan sekali loncat, tubuhnya telah melesat menghadang serangan Loro Ireng.
"Petir Sewu...!" seru Jaka.
Hampir saja Kepala Desa itu terhantam ajian Dewa Petir yang dilontarkan oleh Loro Ireng, kalau saja Jaka tidak segera memapaki serangan Loro Ireng dengan Petir Sewunya.
"Duar...!"
"Aah...!" pekik Loro Ireng dengan tubuh terjengkang kebelakang. Pakaian yang dikenakan seketika hancur terbakar oleh petir yang dilontarkan Jaka. "Anak muda! Kali ini aku mengalah. Tunggulah nanti!"
Dengan perasaan malu karena tubuhnya tak tertutup sehelai benang pun, Loro Ireng segera pergi diikuti oleh sisa-sisa anak buahnya.
Sepeninggalan Loro Ireng beserta kambrat-kambratnya, Jaka segera menghampiri Kepala Desa yang masih pucat. Dibantunya Kepala Desa itu bangun. "Siapa mereka, bapak?" tanya Jaka.
"Mereka adalah gerombolan Alas Renges, nak," jawab Ki Lurah dengan napas ngosngosan. "Kau hebat, anak muda. Kau mampu mengalahkan ajian Dewa Petir miliknya. Siapa namamu?"
"Nama saya Jaka, pak."
"Jaka, tanpa kedatanganmu mungkin entah jadi apa desa ini. Untuk itulah, aku selaku pimpinan desa mengucapkan terima kasih."
"Itu sudah kewajibanku, bapak. Tak perlulah bapak memikirkannya," jawab Jaka dengan senyum, menjadikan seluruh warga yang ada di situ memdecak kagum. Gadis-gadis yang melihatnya seketika melekatkan pandangan matanya pada wajah Jaka yang tampan.
"Wah, sudah tampan berilmu tinggi pula," gumam Kemuning pada temannya.
"Kau naksir, Kemuning?"
"Ah, mana dia mau yang tampan dan sakti denganku yang jelek? Bisa-bisa diketawai!" jawab Kemuning sambil tersenyum.
Sementara Jaka dengan Kepala Desa terus melangkah menuju ke rumah Kepala Desa. Sambil berjalan, mereka saling bercerita tentang keadaan diri mereka masing-masing. Tak terasa, dalam beberapa menit saja keduanya telah sampai.
"Inilah rumahku, Jaka. Ayo mampir!"
"Ah, terima kasih. Gampang lain waktu saja. Aku mohon pamit!"
"Kau mau ke mana, Jaka?"
"Aku akan melihat pertempuran itu!" Habis berkata begitu, secepat kilat Jaka telah berkelebat. Hal itu menjadikan Ki Lurah melototkan mata tak percaya sembari menggumam. "Apakah dia itu Dewa? Kalau orang, mana mungkin dapat berlari seperti angin?"
Orang-orang yang mengantar Ki Lurah hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala, demi melihat kelebatan Jaka yang bagaikan angin.
Pagi yang telah datang, manakala mentari menyibak daun-daun yang berada di hutan dengan sinarnya. Burung-burung terdengar bernyanyi dengan riangnya, seakan mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
"Ooh, hari telah pagi. Pantas kalau aku silau, tak tahunya sinar matahari menerpa wajahku," gumam Jaka yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Semalam aku bertempur dengan gerombolan Alas Renges. Hem, aku akan mencari mereka!"
Dengan sekali loncat, Jaka telah turun dari batang cabang pohon yang dijadikannya tempat tidur. Setelah melemaskan tubuh, Jaka segera berkelebat untuk mencari air. Tak berapa lama kemudian, Jaka dapat menemukan sebuah kolam air. Setelah celingukan ke sana ke mari dan dirasakan tak ada orang lain, dengan segera Jaka langsung menceburkan diri ke sendang itu.
"Ah, dingin benar air sendang ini!"
Walau air sendang itu memang dingin, namun terasa sejuk kala Jaka terus menyibakkan badannya. Hingga saking asyiknya Jaka mandi, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa musuh akan selalu datang tak mengenal waktu. Begitu juga saat itu, Jaka tak menyadari kalau sepasang mata lentik tengah mengawasi dirinya. Mata itu milik seorang wanita, yang merasa kagum atas ketampanan Jaka.
"Sungguh tampan pemuda itu," gumam wanita itu dalam hati. "Aku... Oh, kenapa kau begitu tertariknya untuk dapat mengenalnya?"
Perlahan-lahan gadis itu melangkah mendekati tempat di mana Jaka menaruh pakaiannya. Dengan perlahan-lahan hingga tak menimbulkan suara sedikitpun, gadis itu segera mengambil baju Jaka. Ketika Jaka telah selesai mandi dan hendak mengambil pakaiannya, seketika mata Jaka melotot kaget. Bajunya telah hilang, yang ada hanya celananya saja. Dengan menyabet celana dan bergegas mencari tempat bersembunyi, Jaka segera pergi untuk mengenakan celananya.
"Ke mana bajuku? Apakah aku lupa menaruh?" gumam Jaka dalam hati, bingung. "Ah, tidak. Aku tidak lupa, aku belum linglung. Atau barangkali terhanyut oleh air? Coba aku cari lagi!" Jaka dengan segera kembali berkelebat menuju ke sendang, di mana ia tadi mandi. Matanya memandang pada air sendang yang tampak bening.
"Hem, tak ada. Masa baru sekejap saja bajuku tenggelam? Tak mungkin...!" gumam hati Jaka penuh ketidak mengertian.
Tengah Jaka kebingungan mencari bajunya, terdengar seorang gadis mendehem dan bertanya kepadanya. "Ehm.... sedang apakah dirimu, Jaka?"
Jaka segera memalingkan mukanya, memandang pada gadis itu dengan terkejut. Betapa tidak, bertemu saja baru sekarang, mengapa gadis itu mengenalnya? "Apakah sedemikian tenarnya, sehingga namaku begitu melekat di hati gadis-gadis? Ah, kayak bintang film saja," gumam Jaka dalam hati.
"Heh, dari mana nona tahu namaku?" tanya Jaka dengan kebingungannya. Namun gadis itu bukannya menjawab, bahkan dengan tersenyum dia mengerlingkan matanya genit.
"Sompret...! Ditanya, eh malah main mata. Apa sih maunya?" kembali Jaka bergumam dalam hati, demi dilihatnya gadis itu main mata dengannya.
"Nona, apakah nona tahu bajuku?"
"Kalau aku tahu, mau kau beri aku apa?" balik bertanya si gadis, yang menjadikan Jaka jantungnya deg-degan melihat senyum yang sengaja ditujukan ke arahnya.
"Jadi benar namamu, Jaka?"
"Ya, ada apa?"
"Ah, tak apa-apa. Terus terang saja, kau tampan!"
"Aah...." Terbelalak mata Jaka mendengar pengakuan gadis itu yang polos. "Apa kau tak bercanda, nona?"
"Tidak! Aku tidak bercanda. Bukankah aku tadi mengatakan terus terang saja?" jawab si gadis makin melebarkan senyumnya.
Hati Jaka seketika bagai bedug ditabuh, bergemuruh dengan segala perasaan bangga. Tak terasa, Jaka pun menatap mata si gadis lekat-lekat. Hingga untuk beberapa lama Jaka hanya diam mematung, sementara matanya tak luput dari tatapan si gadis.
"Kenapa kau bengong, Jaka?"
"Ah, ti... tidak!" jawab Jaka terbata. Lalu setelah dapat menenangkan pikirannya, Jaka kembali meneruskan. "Nona, kau telah tahu siapa namaku. Sekarang aku ingin bertanya, tahukah kau siapa yang telah mengambil bajuku?"
Mendengar pertanyaan Jaka, gadis itu tampak merengut. Hal itu membuat Jaka seketika mengernyitkan kening tak mengerti, lalu dengan tergagap kembali bertanya.
"Ada apakah, nona? Apakah aku telah menyinggung perasaanmu?"
"Kau terlalu, Jaka," jawab si gadis, yang makin menjadikan Jaka mendalamkan lipatan kerut di keningnya.
"Hai... Kau bilang aku terlalu. Maksudmu terlalu bagaimana, Nona?"
Gadis itu tak segera menjawab, bahkan kini ia pergi meninggalkan Jaka yang hanya mematung tak mengerti. Pikiran Jaka yang sedang kacau, makin bertambah linglung bingung.
"Edan! Beginilah kalau menjadi orang ganteng," gumam Jaka menyanjung dirinya sendiri. "Huh, kalau begini caranya, aku termasuk orang-orang penghancur hati wanita!"
Tengah Jaka terbengong-bengong tak mengerti, didengarnya isak tangis. Jaka tersentak dan segera memasang telinganya, dan Jaka lebih tersentak lagi manakala ia tahu siapa yang tengah menangis itu. "Heh, inikah yang dinamakan dunia cinta?" tanya Jaka dalam hati. "Sungguh perilaku edan kalau begitu. Kenapa gadis ini menangis hanya karena aku tak tahu apa-apa? Huh... pusing-pusing."
Perlahan Jaka menghampiri gadis itu hingga tak terdengar langkahnya. Ketika tangan Jaka hendak memegang pundak si gadis, Jaka segera mengurungkannya. "Nona, kenapa nona menangis?" Gadis itu segera menengokkan wajahnya. Dipandangnya wajah Jaka lekat-lekat. Perlahan gadis itu bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Jaka yang berdiri bengong mematung.
"Apakah kau tak tahu perasaan, Jaka?" tanya si gadis, menjadikan Jaka membelalakkan mata dan bertanya tak mengerti.
"Heh, benarkah aku ini tak punya perasaan?" gumamnya seperti pada diri sendiri. "Aku rasa, aku mempunyai perasaan kaya-kaya seperti manusia."
"Kenapa kau tak mau memperhatikan aku?" sendah si gadis menjadikan Jaka makin menjadi-jadi kagetnya. Bagaimana mungkin, ia mungkin baru mengenalnya harus memperhatikan? Apakah itu bukan suatu hal yang sangat mustahil?"
"Nona ini bagaimana? Bertemu saja kita baru di sini, mana mungkin aku dapat memperhatikan mu?" tanya Jaka.
Gadis itu terdiam, matanya tetap melekat pada titik mata Jaka sepertinya hendak menembus ruang-ruang hati Jaka. Jaka mendesah berat, dirasakan olehnya bahwa gadis itu memang sengaja menaruh benang cinta untuknya. "Jaka, apakah kau tak tahu?"
"Maksudmu, Nona?" tanya Jaka tak mengerti.
Gadis itu tak meneruskan kata-katanya. Untuk kedua kalinya gadis itu menatap lekat pada Jaka, sehingga keduanya kembali diam. Tak dikira sebelumnya oleh Jaka, tangan gadis itu seketika bergayut di pundaknya. Mulanya Jaka hendak menolak, namun ketika melihat mata si gadis yang sendu, Jaka tak menggubrisnya. Dibiarkan tangan si gadis terus bergayut di pundaknya.
"Ah, bagaimana aku harus berbuat?" keluh Jaka dalam hati. Untuk kedua kalinya Jaka tersentak kaget, manakala untuk kedua kalinya pula gadis itu dengan berani menciumnya. Bukan alang kepalang bingungnya Jaka saat itu. "Nona, kenapa kau begitu berani? Bukankah kita belum saling kenal?"
"Aku tak perduli, Jaka," jawab si gadis dengan tenang, sepertinya tak pernah bersalah. "Bukankah aku telah mengenal namamu?"
"Ah..." keluh Jaka tertahan. "Bukankah aku belum mengenalmu? Apakah kau tak takut kalau aku orang jahat, nona?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka, si gadis malah tersenyum. Tangannya yang bergayut di pundak Jaka, makin menutup yang akhirnya memeluk leher Jaka. "Kalau kau ingin tahu namamu, aku bernama Dewi Ayu Angelir," jawab si gadis. "Nah, bukankah kita tak ada halangan sekarang?"
"Ada, nona!" jawab Jaka seketika, menjadikan si gadis yang bernama Angelir membelalakkan mata.
"Apa itu, Jaka?"
"Kita terbatas dengan susila, bukan?"
"Ah, Jaka...." keluh si gadis manja dan kembali menggayutkan kedua tangannya di pundak Jaka.
"Nona, apakah kau tahu bajuku?" kembali Jaka bertanya.
"Kenapa kau tak mau memanggil namaku saja, Jaka?"
"Baiklah, No... Eh, Angelir. Tahukah kau siapa yang mengambil bajuku?"
"Tahu...." jawab si gadis dengan manja. "Kalau aku tahu dan mau menunjukkan siapa pencurinya, apa yang bakal kau hadiahkan padaku?"
"Kau minta apa?"
"Aku... Hem, aku minta ini."
Terjengah Jaka tak mampu menolak ketika bibir si gadis menjarah bibirnya. Jaka berusaha melepaskannya, namun si gadis tak mau perduli. Hingga akhirnya, Jaka pun terhanyut dalam suasana romantis itu. Namun ketika gadis itu mengajaknya makin tak karuan, dengan segera Jaka menyadarkan dirinya sendiri. Jaka dengan segala perasaannya segera meninggalkan gadis itu sendirian, tanpa menghiraukan bajunya yang hilang entah ke mana.
"Huh.... Ada-ada saja kehidupan di dunia," gumam Jaka sembari terus berjalan dalam usahanya mencari markas gerombolan Alas Renges, yang telah membuat kerusuhan. Tak terasa langkahnya telah begitu jauh, meninggalkan tempat di mana Angelir hampir saja menjerumuskannya.
Siang itu di wilayah pendukuan Goa Selerong nampak ramai. Tampak orang-orang berlalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Kebanyakan mereka orang-orang yang melancong untuk berdagang, atau sekedar mencari hiburan. Biasanya mereka datang untuk sekedar mencari wanita-wanita penghibur, atau main koprok yang telah mendarah daging di daerah itu. Saking susahnya permainan Koprok dibubarkan, sampai-sampai pihak kerajaan tak mau ambil perduli lagi. Jaka terus berjalan, manakala tampak olehnya segerombolan orang-orang tengah menyaksikan sesuatu. Karena tertarik, Jaka pun segera mendatangi tempat itu.
"Ada gerangan apakah, Ki Sanak?" tanya Jaka pada salah seorang penonton.
"Ada orang berkelahi," jawab yang ditanya.
"Berkelahi...?" kembali Jaka bertanya, sepertinya ingin meyakinkan jawaban orang itu.
"Benar, Anak muda," jawab orang itu kembali.
"Mengapa tak ada yang memisahkannya? Dan siapa yang berkelahi?"
Orang yang ditanya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jaka. Lalu dengan acuh sambil kembali menonton, orang itu berkata. "Bagaimana untuk memisah? Wong mereka itu diadu."
"Di adu...?"
"Ya, mereka diadu!" jawab lelaki itu kembali. "Mereka merupakan orang-orang yang kalah main Koprok. Mereka diadu oleh Ki Coper, dengan maksud siapa yang menang dia tak usah mengembalikan hutang-hutangnya pada Ki Coper."
"Hem, begitu?"
"Ya, kebanyakan mereka tak mengerti akan tujuan Ki Coper. Mereka bermain tak pernah menang. Harta benda ditaruhkannya."
Jaka tercenung demi mendengar keluhan orang tersebut, dalam hatinya bergumam penuh tanda tanya. Matanya memandang tak berkedip pada dua orang yang tengah berlaga. "Apa yang sebenarnya terjadi di pedukuan ini?"
Perkelahian antara dua orang laki-laki itu terus berjalan, saling baku hantam. Walau muka keduanya telah babak belur, namun sepertinya kedua orang itu tak bakal ada yang kalah. Keduanya tetap bertahan, dengan harapan dapat impas hutang-hutangnya bila menang.
"Ki Sanak, kalau boleh aku tanya, di mana biasanya orang-orang main dadu Koprok?" tanya Jaka pada orang di sampingnya.
"Mau apa...?" orang itu balik bertanya.
"Aku ingin main!"
"Mau main?" tanya orang itu dengan kaget. "Jangan, Anak muda, percuma!"
"Kenapa...?" Jaka bertanya mendesak, menjadikan orang itu terdiam menarik nafasnya. Sepertinya orang itu sangat iba mendengar penuturan Jaka.
"Mereka curang, kau pasti akan kalah," jawab lelaki itu, nadanya seperti khawatir. "Kuharap janganlah sekali-kali kau terjerat oleh Ki Coper."
"Terima kasih atas perhatianmu, Ki Sanak," kata Jaka. Sejenak Jaka kembali memandang pada mereka yang tengah berkelahi. Tampak darah telah membasahi sekujur tubuh orang-orang itu. Jaka yang merasa kasihan, serta merta berteriak:
"Hentikan...!"
Tersentak semua yang ada di situ manakala mendengar seruan itu. Mereka seketika memandang pada Jaka, seakan tak percaya bahwa orang yang membentaknya adalah anak muda usia. Belum juga mereka tersadar dari kekagetannya, Jaka dengan segera berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri di antara kedua orang yang berkelahi.
"Kalian bukan binatang, kenapa kalian mau diadu?" tanya Jaka pada keduanya, yang seketika menghentikan perkelahian seraya memandang padanya. "Berapa hutang-hutang kalian, sehingga kalian mau saja diperbudak?"
"Apa maksudmu, Anak muda?" tanya salah seorang yang tadi berkelahi.
"Aku tak ingin kalian baku hantam hanya karena masalah yang gila," jawab Jaka. "Kalau kalian mau berkelahi, kenapa tidak mengeroyok biangnya sekalian?"
"Maksudmu, Anak muda?" orang satu-nya ikut bertanya.
"Kalau kalian ingin benar-benar bebas dari buaya, mengapa kalian tidak membasmi buayanya saja? Mengapa justru kalian yang baku hantam sendiri?"
"Kau maksud kami menentang Ki Coper?" tanya orang pertama yang berbadan tinggi dengan rambut awut-awutan dan jenggot tumbuh lebat.
"Ya...." jawab Jaka pendek.
Tengah mereka terdiam mendengar penuturan Jaka, tiba-tiba terdengar seruan yang nadanya membentak ditujukan pada Jaka. "Anak muda, lancang kau mengajari orang-orang sini! Apa kau belum tahu siapa Ki Coper, hah!"
Mendengar seruan orang itu serta merta Jaka tertawa bergelak-gelak, menjadikan semua yang ada di situ terperanjat dan berusaha menahan getaran tawa Jaka. "Hai orang yang bicara! Kalau kau benar manusia, aku harap sudilah datang ke mari. Hanya monyet sajalah yang beraninya berkoar. Apa engkau tak ingin kue talam?"
"Setan alas! Lancang mulutmu!" bentak orang tersebut, yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok tubuh langsing menuju ke tengah-tengah arena di mana Jaka berdiri.
Seketika semua orang yang ada di situ tersentak, manakala tahu siapa gerangan orang yang datang. Saking kagetnya mereka demi melihat orang tersebut, sehingga dari mulut semuanya terdengar pekikan menyebut nama orang itu.
"Balong Sakti...!"
"Siapa kau, Anak muda?" bentak Balong Sakti. "Belumkah kau tahu siapa Ki Coper adanya, sehingga kau berani lancang hendak mengadu domba?"
"Aku bukan hendak mengadu domba, aku hanya memberikan saran pada mereka. Kalau mereka mau, ya syukur. Tapi kalau tidak, itu hak mereka."
Mendengar ucapan Jaka, Balong Sakti yang belum tahu siapa adanya Jaka tersenyum mencibirkan mulut. "Lagakmu seperti jagoan, Anak muda!"
"Itu hakmu untuk menilaiku apa," jawab Jaka tenang. "Yang penting aku tak pernah merasakan menjadi seorang jagoan. Lagi pula, jagoan hanyalah ada pada orang-orang yang gila sebutan."
"Jangan banyak khotbah! Sebutkan namamu sebelum aku kirim kau ke neraka!" kata Balong Sakti gusar.
"Hem, mampukah kau mengirim ku ke sana?" tanya Jaka dengan seenaknya, membuat Balong Sakti seketika melototkan mata marah. Apalagi manakala Jaka kembali berkata, Balong Sakti tak dapat membendung amarahnya. "Sebenarnya aku juga ingin piknik ke sana, tapi Tuhan belum mengijinkan ku. Apakah kau juga, Bangkong?"
"Setan...! Namaku bukan Bangkong, Monyet!" bentak Balong.
"Oh, jadi namamu bukan Bangkong melainkan Monyet?" tanya Jaka dengan tenangnya, bagaikan orang pilon yang baru masuk ke kota. "Pantas, kalau kau monyet. Lihat saja, monyongmu memang seperti monyet. Lancip dan ceriwis!"
"Setan!" geram Balong, yang disertai dengan kelebatan tubuhnya menyerang Jaka. Jaka yang diserang secara tiba-tiba tampak tersenyum, dan ganda tertawa manakala melihat jurus-jurus Balong.
"Wua, kenapa kau tidak menjadi raja monyet saja, Balong?"
Balong yang sudah tak dapat menahan amarah, tak mengeluarkan kata-kata lagi. Tubuhnya terus berkelebat dengan cepat menyerang Jaka. Tapi rupanya segala serangan Balong tak berarti apa-apa untuk Jaka. Dengan segera, Jaka menangkap kaki Balong manakala kaki itu berkelebat menyerangnya. Tanpa dapat dielakkan oleh Balong yang meronta-ronta, Jaka yang timbul ide konyolnya segera menarik celana panjang yang dikenakan Balong. Ketika Balong meronta lagi, maka sudah pasti celananya yang menutupi auratnya lepas terbesot tangan Jaka. Demi melihat keadaan Balong yang telanjang, seketika orang-orang yang tadinya tercekam tertawa bergelak-gelak. Tinggallah Balong yang mengumpat-umpat sendiri penuh kemarahan.
"Awas kau anak muda! Tunggu kakakku nanti!"
Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya yang tak tertutup celana, Balong segera berlari ngacir. Hal itu menjadikan semua orang yang berpapasan dengannya terpekik, khususnya kaum wanita yang seketika menjerit sembari menutupi matanya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumum dan mengkhawatirkan Jaka, kini segera mengangguk-anggukan kepala kagum. Semua orang yang melihatnya seketika mengikuti ke mana Jaka pergi, hingga ketika Jaka ke kedai mereka pun ikut ke kedai.
"Apakah kalian tahu di mana kediaman Ki Coper?"
"Kami tahu, Tuan Pendekar," jawab semuanya bareng.
"Terima kasih. Apakah ada yang mau mengantarkan aku ke sana?" kembali Jaka bertanya. Kali ini semuanya terdiam tak ada yang berani menjawab. "Bagaimana? Adakah yang mau?"
Selang beberapa lama setelah semuanya diam, terdengar seruan seseorang dari luar kedai. "Anak muda yang tidak memakai baju, keluar kau!"
"Siapa dia...?" tanya Jaka pada semuanya, manakala tampak orang-orang di sekitarnya terdiam tak ada yang berani berkata.
"Dialah Ki Coper, kakak Ki Balong yang telah tuan kalahkan tadi," jawab seseorang tiba-tiba, yang menjadikan Jaka tersentak seraya memandang ke orang tersebut.
"Siapakah Ki Sanak?" tanya Jaka.
"Aku adik Ki Balong," jawab pemuda itu sembari melemparkan topi yang dikenakannya ke arah Jaka.
Dengan segera Jaka berkelebat mengelakkannya. Tubuh Jaka seketika melompat ke atas dan menjebol atap kedai itu, lalu berdiri menghadapi ketiga kakak beradik itu. "Hem, rupanya kalian kecoa-kecoa busuknya!"
"Anak muda, karena kau telah berani lancang di daerah ku, maka kau akan tahu sendiri akibatnya!"
Tersenyum Jaka mendengar ucapan Ki Coper. "Hem, begitukah? Aku jadi ingin tahu, apa yang bakal kalian lakukan padaku yang bodoh ini."
"Hati-hati, Anak muda!" bentak Ki Coper.
"Sedari tadi aku sudah hati-hati. Kenapa kau memikirkan aku? Bukankah lebih baik kalian memikirkan diri kalian yang sebentar lagi akan menjadi cacing tanah?" ejek Jaka, menjadikan ketiga kakak beradik itu mendengus marah.
Tanpa dapat dicegah, ketika kakak beradik itu spontan mengeroyok Jaka. Jaka yang sudah tahu siapa mereka, nampak tak mau mainmain. Namun walaupun begitu, Jaka yang memang dasarnya Ndableg terus bertingkah konyol. Ketika Lumajang menebaskan golok ke arahnya, serta merta Jaka berteriak.
"Ampun, Mas.... Jangan galak-galak, dong! Itu kan rempeyek, kenapa kau gunakan untuk bertarung? Bukankah lebih baik dimakan saja? Eh, kalau kau tak bisa makannya, sini aku beritahu!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba Jaka telah berkelebat dengan cepat. Tanpa dapat dilihat, Jaka telah merampas golok yang dipegang Lumajang. Hampir saja Lumajang benar-benar makan golok, kalau saja Balong tidak segera membantu menyerang.
"Eh, rupanya ada kodok Bangkong yang datang. Wah, kebetulan aku sudah lama tidak makan daging Bangkon!" Jaka mengibaskan tangannya yang memegang golok, menjadikan Balong tersentak. Gerakan Jaka begitu cepat, sukar untuk diikuti dengan mata.
Melihat adinya dalam keadaan bahaya, secepat kilat Ki Coper bergerak menangkis tangan Jaka. Balong selamat, namun kini dirinya sendiri yang terancam oleh sabetan golok Jaka. Hampir saja golok di tangan Jaka menebas leher Ki Cuper, ketika dengan nekad Lumajang menghantamkan pukulannya. Hal itu menjadikan fatal bagi dirinya sendiri, sebab Jaka yang memang tak menghendaki tubuh musuhnya terkena golok di tangannya segera memapaki pukulan Lumajang dengan pukulan Getih Sakti.
"Crootttt...!"
Tanpa dapat dihindari, Getih Sakti menghantam telak pada tubuh Lumajang. Seketika itu tubuh Lumajang meleleh bagaikan terpanggang. Semua orang yang menonton menggidikkan tengkuknya, demi melihat hal itu.
Melihat adiknya mati, bukannya kedua orang kakak beradik itu menyadari. Bahkan dengan nekad, keduanya segera menyerang Jaka. Kali ini mereka menyerang tidak tanggung-tanggung. Mereka menyerang dengan segala ajian yang mereka miliki.
Jaka tersentak manakala sebuah ajian yang dilancarkan oleh Ki Cuper menghantam ke arahnya. Jaka berusaha menghindar, namun masih juga pahanya tersamber. Seketika daging yang ada di pahanya panas membara bagaikan terbakar, menjadikan rasa nyeri yang teramat sangat.
"Hem, kau telah mulai. Aku pun akan memulainya, bersiaplah! menggeretak Jaka marah. "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak kedua musuhnya, kala tahu siapa yang tengah mereka hadapi. Ternyata mereka tengah menghadapi seorang pendekar pilih tanding, yang saat ini tengah menggemparkan dunia persilatan. Saking kagetnya kedua kakak beradik itu, dari mulut mereka seketika terdengar seruan, menjadikan semua yang ada di situ turut tersentak kaget.
"Pendekar Pedang Siluman...!"
Tanpa disuruh, kedua orang kakak beradik itu langsung jatuhkan diri minta ampun. "Ampuni nyawa kami, Tuan Pendekar. Sungguh kami telah lancang!"
"Kalian benar ingin menginsafi tindakan kalian?"
"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Ki Cuper dengan gemetaran.
"Baiklah! Ingat oleh kalian, aku akan datang bila kalian ternyata ingkar!" kata Jaka seperti mengancam. "Dan aku minta, bubarkan apa yang selama ini kalian lakukan!"
"Baik, Tuan Pendekar," jawab Ki Cuper.
Jaka yang segera tempelkan Pedang Pusaka Siluman Darah ke paha yang luka, seketika luka itu hilang dengan sendirinya. Bersamaan dengan hilangnya luka di paha Jaka, Pedang Siluman Darah hilang dari tangan Jaka. Dengan tanpa berkata lagi, Jaka segera berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanannya mencari gerombolan Alas Renges. Semua mata yang ada di situ, memandang kagum atas kepergiannya.
Ketika Jaka tengah berlari, seketika seorang lelaki berbadan besar menghadang langkahnya. Jaka tersentak dan melompat mundur. "Ada apa Ki Sanak menghadangku?" tanya Jaka
"Hua, ha, ha... Kaukah yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
"Benar adanya. Siapakah Ki Sanak adanya?"
"Hua, ha, ha... Aku Woro Gendo!" jawab Woro Gendo disertai dengan tawanya yang besar. "Tak aku sangka kalau kita akan bertemu di sini. Lama aku mencarimu, Pendekar!"
"Hem, ada keperluan apa Ki Sanak mencariku?" tanya Jaka seraya mengernyitkan alis matanya tak mengerti.
"Pendekar... sengaja aku mencarimu, karena aku ingin menjajal sampai di mana ilmu yang kau miliki!"
"Ooh, sungguh salah alamat bila begitu," jawab Jaka.
"Jangan kau mungkir, Pendekar. Ayo, kita mulai, cabut senjata yang kau miliki itu!"
"Hem, maaf aku tak ada waktu!" Dengan segera Jaka bermaksud meninggalkan Woro Gendo, namun dengan cepat Woro Gendo segera menghadangnya.
"Sombong kau, Anak muda!" bentaknya marah.
"Aku tidak sombong, Woro Gendo. Tapi aku tak merasa kalau aku seorang pendekar, jadi kalau kau menantangku itu suatu kesalahan. Nah, aku hendak pergi..."
Belum juga Jaka Ndableg berlalu, tibatiba Woro Gendo telah berkelebat menyerang dengan gadanya. Pekikannya begitu mendengungkan gendang telinga. Tersentak Jaka dan melompat mundur, manakala dirasakan sabetan Gada di tangan Woro Gendo. Angin yang keluar dari gada, bagaikan angin puting beliung.
"Ayo, keluarkan Pedang Pusaka mu itu!"
"Baiklah, Woro Gendo. Kalau itu yang engkau inginkan, aku pun tak akan mengecewakan mu. Nah, aku hanya dengan tangan kosong!"
Makin marahlah Woro Gendo yang merasa diremehkan oleh anak muda di depannya. Dengan menggeram marah, Woro Gendo segera kembali berkelebat menyerang. "Jangan lengah, Anak muda!"
Dengan membabi buta, Woro Gendo terus mencerca Jaka. Namun begitu Jaka bagaikan main-main menghindar sembari tertawa-tawa. "Wah, kaku benar jurus-jurusmu, Woro. Apakah kau tak pernah berlatih?"
"Sombong! Ini makan!" bentak Woro Gendo sembari menyodokkan gadanya ke muka Jaka. Secepat kilat Jaka berkelit, dan...
"Rupanya kaulah yang suka makan roti, Woro. Ini untukmu!" Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Jaka telah merebut gada di tangan Woro Gendo dan menyodorkannya ke mulut Woro. Seketika melengkinglah Woro Gendo kesakitan, giginya rontok dan dari mulutnya meleleh darah.
"Aku mengaku kalah, Anak muda. Namun kelak aku akan mencarimu!" Habis berkata begitu, tanpa memperdulikan Jaka yang hanya geleng-geleng kepala Woro Gendo cabut pergi.
"Loro Ireng, keluar kau!"
Loro Ireng yang tengah duduk-duduk dihadapan anak buahnya tersentak manakala mendengar seseorang dengan lantang berseru.
"Siapa yang tengah hari bolong begini berteriak-teriak?" tanya Loro Ireng, sepertinya pada diri sendiri. "Gober, coba kau lihat siapa dia!"
"Daulat, Ketua."
Dengan menggeram marah, Gober segera berkelebat pergi menuju ke luar. Tersentak Gober, manakala tahu siapa adanya orang yang telah berseru itu. "Kau...!"
"Ya, aku. Mana pimpinanmu?" bentak pemuda yang tak lain Jaka adanya.
Demi mendengar namanya disebut, seketika Loro Ireng berkelebat ke luar menemui. "Siapakah, Gober?" tanya Loro Ireng.
"Aku, Loro Ireng..."
Tersentak Loro Ireng, ketika melihat siapa adanya orang yang telah berani menyatroni markasnya. Orang itulah yang telah membuat hatinya tak tenteram, didera oleh rasa yang aneh. "Kau...!" tergagap Loro Ireng berkata.
"Ya aku, Loro Ireng. Aku datang untuk membubarkan kalian."
Loro Ireng tidak menyahut, tapi dari kedua matanya seketika menetes air mata. Melihat hal itu, Jaka yang melihatnya seketika trenyuh. Maka dengan nada lemah Jaka berkata: "Kenapa kau menangis, Loro Ireng?"
"Ampunilah aku, Tuan Pendekar. Aku berjanji tak akan melakukan semua lagi," kata Loro Ireng, matanya tak berkedip menatap Jaka.
"Benar apa yang kau katakan, Loro?"
"Be... benar, Tuan Pendekar," jawab Loro Ireng.
"Baiklah, kalau itu benar. Tapi kalau nanti aku melihat kau melakukannya, maka kau pun tak akan segan-segan menurunkan tangan!" kata Jaka. "Kaukah pimpinannya, Loro?"
"Bukan..."
"Lalu siapa?"
"Orang itu kini telah menyusup di salah satu kerajaan!"
"Maksudmu kerajaan mana, Loro?"
"Entahlah. Yang pasti dua kerajaan musuh kerajaan ayahnya."
Mendengar jawaban Loro Ireng, seketika Jaka berkelebat meninggalkan mereka dengan meninggalkan ucapan yang berupa ancaman. "Loro Ireng, ingat olehmu. Kalau engkau melakukan lagi, aku akan menurunkan tangan pada kalian!"
Loro Ireng tersentak, lalu dengan lesu ia pun segera kembali masuk ke markasnya. Melihat pimpinannya terdiam, semua anak buahnya pun tak ada yang berkata-kata. Mereka segera mengikuti langkah Ireng, masuk ke dalam gubuk.
Malam kembali menjelajah, sepertinya menyelimuti kebisuan. Bulan bergayut di atas cakrawala dengan tenangnya, ketika terdengar pekikan lima kali berturut-turut. Randu Alasan yang malam itu tak mampu memejamkan mata, seketika berlari menuju ke arah suara itu. Seketika mata Randu Alasan melotot, manakala dilihatnya lima orang pasukannya telah mati dengan kening berlubang tertutup bunga Mawar Merah.
"Bunga Mawar!" pekik Randu Alasan. "Hem, untuk yang kesekian kalinya Bunga Mawar ini mencari korban. Aku tak habis pikir, siapa gerangan tokoh di balik kejadian semua ini?"
"Ada apa, Randu?" tanya Wulung Seta yang berlari-lari menuju ke arah Randu bersama Angelir. Demi melihat Angelir bersama Rajanya, seketika Randu makin tak mengerti. Tuduhannya yang selama ini menuju Angelir, buyar seketika. Dengan menyembah, Randu menceritakan apa yang terjadi.
"Korban lagi, Paduka." Wulung Seta terdiam masgul. Didekatinya kelima prajurit yang telah mati. Kembali diambilnya bunga Mawar yang menutupi luka di kening kelima prajurit itu.
"Hem, setiap korbannya selalu ditinggal Bunga Mawar," gumam Wulung Seta. "Siapakah kira-kira tokohnya, Randu?"
"Ini jelas tindakan orang-orang Amurwa Sakti, Tuan ku!"
"Kau yakin, Angelir?" tanya Wulung Seta, demi mendengar penuturan Angelir yang mengejutkannya. "Mana mungkin Amurwa Sakti berbuat begini?"
"Itu bisa saja, Kanda. Bukankah kanda pernah bercerita tentang Amurwa Sakti yang marah-marah karena baraknya dirusak oleh orang-orangnya paduka? Mungkin hal itu semata untuk menutup segala maksud buruknya!"
"Ah...!" tersentak Wulung Seta mendengar analisa yang diucapkan oleh Angelir. "Mungkin juga!"
Kembali Wulung Seta mengamati kelima prajuritnya yang telah mati. Tak terasa, matanya berkaca-kaca. Hatinya gundah, demi mengingat semuanya. "Apakah benar adikku bertindak semuanya?"
"Randu Alasan, juga seluruh perbatasan. Tangkap siapa pun orangnya yang hendak masuk!" perintahnya pada Randu Alasan.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka akan hamba laksanakan, walau nyawa sebagai taruhannya!" Setelah menyembah terlebih dahulu, Randu Alasan segera berkelebat pergi meninggalkan rajanya dengan hati gundah. Seribu satu pertanyaan, menggema di hatinya.
"Apakah mungkin tuan ku Amurwa Sakti berbuat sekeji itu? Tapi aku pun tak dapat memastikan kalau Angelir yang melakukannya. Kenapa tiba-tiba Angelir bersama Wulung Seta? Ah, aku tak habis pikir. Kalau benar Angelir yang melakukannya, jelas ia akan aku ketahui. Huh, apakah ada orang lain? Kalau orang lain yang bertindak, sudah pasti pasukanku telah mengetahuinya."
Saking bingungnya Randu Alasan, menjadikannya berjalan bagai tak ada tujuan. Langkah kakinya begitu ringan, tak ada gairah untuk menyeret. Tengah Randu Alasan berjalan, seketika prajurit-prajuritnya berlarian ke arahnya.
"Ada apa, Prajurit?"
"Ampun, Tuan ku. Ada seorang pemuda masuk ke perbatasan," jawab para prajurit.
"Kenapa tidak kalian tangkap?"
"Pemuda itu ingin menemui paduka."
"Hem, baiklah. Aku akan menuju ke sana."
Setelah berkata begitu, dengan diikuti oleh kelima prajuritnya Randu Alasan segera berkelebat menuju arah yang ditunjuk oleh para prajuritnya. Tampak oleh Randu Alasan seorang pemuda tampan dengan bertelanjang dada tersenyum padanya. Pemuda itu seketika menjura hormat, menjadikan Randu Alasan mengernyitkan kening. Pemuda itu sungguh mengerti tata krama, walau seperti pemuda gelandangan.
"Ada gerangan apakah engkau mencari aku, Anak muda?" tanya Randu Alasan setelah mengangguk, menerima sembah pemuda itu.
"Hamba ingin mencari seorang wanita yang menjadi pimpinan Gerombongan Alas Renges," jawab pemuda itu dengan masih menjura hormat.
"Siapa namamu, Anak muda?" tanya Randu Alasan kembali. "Lalu apakah kau yakin bahwa orang yang kau maksud ada di sini?"
"Nama hamba yang rendah ini, Jaka. Orang biasa memanggil hamba Jaka Ndableg!"
Tersentak Randu Alasan demi mendengar nama pemuda itu. Saking kagetnya, sampaisampai Randu Alasan memelototkan matanya sembari memekik tertahan. "Aha...! Rupanya kaulah pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Selamat datang saya ucapkan. Sungguh saya yang tua renta ini, tak juga tahu tata krama. Maafkan saya, Tuan Pendekar!"
"Ah, tuan terlalu meninggikan diri saya, yang nyatanya tidak ada artinya sama sekali. Terima kasih atas penghormatan tuan. Apakah tuan yang bernama Randu Alasan?" tanya Jaka.
"Benar adanya apa yang kau katakan, Anak muda," jawab Randu Alasan. "Memang hamba yang bodoh inilah Randu Alasan."
"Tuan Patih Randu Alasan, boleh hamba memeriksa di sini?"
"Oh, dengan senang hati. Mari...." ajak Randu Alasan.
Keduanya segera berjalan beriringan memasuki perkampungan tenda-tenda yang digunakan untuk kamp prajurit. Mata Jaka yang tajam setajam mata burung elang, memandang liar setiap pelosok. Namun sejauh mereka berjalan hingga dua kali sudah perkampungan prajurit itu mereka kelilingi, Jaka belum juga mendapatkan orang yang dicarinya.
"Bagaimana saudara Pendekar?" tanya Randu Alasan.
"Tak ada. Hem, apakah orang-orang itu berdusta?" gumam Jaka, menjadikan Randu Alasan seketika mengernyitkan alis matanya sembari tertawa.
"Yang saudara pendekar maksudkan, mereka siapa?"
"Mereka anak buah Mawar Merah!"
"Apa...!" terbelalak mata Randu Alasan, demi mendengar penuturan Jaka. "Jadi... Jadi pemimpinan gerombolan Alas Renges orang yang selalu membunuh korbannya dengan bunga Mawar?"
"Ya, dialah yang menjadi otak gerombolan Alas Renges."
"Hem, jadi di sini telah menyusup musuh dalam selimut," gumam Randu Alasan, menjadikan Jaka seketika menyipitkan matanya.
"Maksudmu, Paman Patih?"
"Sudah beberapa kali jatuh korban di sini. Prajurit-prajurit itu pun mati dengan bunga Mawar Merah."
"Jadi benar orang itu menyusup ke mari, Paman Randu Alasan?" tanya Jaka, yang diangguki oleh Randu Alasan. "Kalau begitu, aku akan kembali pada markas mereka untuk menanyakan ciri-ciri pimpinan mereka."
Tanpa menunggu jawaban dari Randu Alasan, Jaka segera berkelebat pergi. Randu Alasan yang melihatnya tersentak kaget. Betapa tidak, Jaka berkelebat bagaikan angin, tahu-tahu telah menghilang ditelan malam.
"Rupanya kau berdusta, Loro Ireng!" bentak Jaka dengan penuh marah, merasa Loro Ireng telah membohonginya. "Aku telah ke sana, namun aku tak menemukan pimpinanmu!"
"Sungguh aku tidak berdusta, pimpinan kami memang ada di sana," jawab Loro Ireng dengan rasa takut. Loro Ireng yang telah tahu kehebatan ilmu Jaka, telah mengakui kekalahannya. Ia bahkan berjanji akan kembali ke gurunya, sekaligus meninggalkan dunianya. Dunia gelap yang telah menjadikannya seorang gadis berwatak beringas.
"Hem, kau bisa menunjukkan padaku ciri-cirinya?"
Loro Ireng pun segera menggambarkan ciri-ciri pimpinannya, yang tak lain daripada Angelir. Jaka sesaat mengangguk-angguk, lalu tanyanya kemudian.
"Di mana lagi biasanya dia menyusup?"
"Kalau tidak di kerajaan Pesisir Putih, mungkin di Kerajaan Segara Wetan."
"Pesisir Putih telah aku cari, namun tak ada. Baiklah aku akan ke Segara Wetan. Aku sarankan kalian segeralah bubar!"
"Baik, Tuan Pendekar," serempak mereka menjawab.
Setelah melihat semua anggota gerombolan Alas Renges bubar dan pergi ke masing-masing, Jaka dengan segera berkelebat pergi menuju ke Segara Wetan.
"Petaka kalau terus didiamkan," batin Jaka. "Kenapa mesti seorang wanita berbuat begitu?"
Dengan mempercepat larinya, Jaka terus menerobos malam menuju Kerajaan Segara Wetan untuk mencari orang yang telah menjadi biang dari kejadian semuanya.
"Kalau di Wetan Segara aku tak menemukannya, ke mana lagi aku mencarinya? Aku rasa wanita itu berilmu cukup tinggi. Kalau wanita biasa, mana mungkin Loro Ireng yang aku ketahui memiliki ilmu tinggi mau menjadi anak buahnya?"
Prabu Amurwa Sakti menghantamkan tinjunya ke meja. Kekesalannya pada Wulung Seta telah memuncak. Tuduhan Wulung Seta yang menganggap dirinya melindungi orang yang membunuh prajurit-prajurit Pesisir Putih telah membuatnya marah.
"Sabar, Tuan ku. Bukankah Prabu Wulung Seta adalah kakak tuan sendiri?" Patih Nara Soma mencoba menasehati.
"Memang dia kakakku, Paman Patih. Namun tindakannya terlalu membuat aku marah. Mana mungkin aku melindungi musuh? Coba paman Patih pikir," kata Amurwa Sakti.
"Apakah tidak sebaiknya tuan ku menemui Prabu Wulung Seta dan Ibunda Ratu untuk membicarakannya? Hamba rasa, ada orang yang sengaja mengadu domba."
"Memang itu yang aku pikirkan, Paman Patih. Tapi kakanda sepertinya tak percaya. Aku jadi tak mengerti dengan tindakan kanda Wulung Seta."
Tengah keduanya bercakap-cakap, terdengar seseorang berseru memberi salam. Seketika raja dan patih itu menghentikan ucapannya dan memandang ke arah asal suara itu.
"Sampurasun...!"
"Rampes...! Siapakah gerangan?" tanya Amurwa Sakti. "Paman Patih, coba kau lihat siapa yang di luar."
"Daulat, Tuan ku."
Patih Nara Soma segera bergegas pergi setelah terlebih dahulu menyembah. Nara Soma begitu terkejutnya, manakala dilihatnya seorang pemuda yang datang. "Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada keperluan apakah?"
"Hamba bernama Jaka. Atau Jaka Ndableg," jawab Jaka, yang menjadikan Nara Soma seketika memekik kaget demi mendengar nama pemuda yang ada di hadapannya.
"Jadi, tuan ku Pendekar Muda yang tengah harum namanya?"
"Ah, tuan patih terlalu meninggikan apa yang sebenarnya tak ada. Hamba hanyalah orang biasa," jawab Jaka merendah, menjadikan Nara Soma masgul.
"Ada keperluan apakah tuan pendekar datang ke mari?"
"Hamba ingin bertemu dengan Paduka Amurwa Sakti," jawab Jaka.
"Suruh dia masuk, Paman Patih!" Amurwa Sakti telah mendahului berseru.
"Tuan pendekar diperkenankan masuk," kata Nara Soma.
Setelah keduanya masuk kembali, Amurwa Sakti segera mempersilahkan Jaka duduk. Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka segera duduk di hadapan Amurwa Sakti.
"Ada gerangan apakah tuan pendekar datang ke mari?" tanya Amurwa Sakti.
"Ampun, Tuan ku. Hamba sengaja berkunjung ke mari, karena hamba tengah mencari orang yang telah membuat kerusuhan dengan cara memanfaatkan situasi perang ini."
"Maksud, Tuan Pendekar?" tanya Amurwa Sakti belum memahami ucapan Jaka.
Sesaat Jaka menarik napas panjang. "Ampun, Tuan ku. Kalau orang itu tidak segera diketahui, niscaya akan merepotkan tuan ku Amurwa Sakti dan tuan ku Wulung Seta. Orang itu adalah anak dari raja Kurda Rumajang, yang sengaja menyusup ke salah satu kerajaan. Tujuannya adalah mengadu domba tuan ku berdua."
Terbelalak mata Amurwa Sakti mendengar penuturan Jaka yang begitu mendalam. Mata Amurwa Sakti seketika memandang Jaka, lalu dengan suara berat bertanya: "Apakah tuan pendekar tahu ciri-cirinya?"
"Menurut gambaran anak buahnya, dia seorang wanita."
"Wanita...!"
"Benar, Tuan ku."
"Siapakah kira-kira? Di sini tak ada seorang wanita yang baru. Heh, bukankah sejak kakanda Prabu bertemu dengan Angelir hal itu terjadi?" gumam Amurwa Sakti. "Apakah hal itu ada hubungannya dengan kekacauan di barak prajurit?"
"Maksud, Tuan ku?"
"Paman patih Nara Soma, masih ingatkah kau dengan kekacauan sebulan yang lalu?" tanya Amurwa Sakti pada patihnya.
"Benar, Tuan ku. Kala itu segerombolan lelaki yang kami kira orang-orang Pesisir Putih menyerbu barak-barak prajurit."
"Hem, tepat!" seru Jaka tiba-tiba, menjadikan kedua raja dan patih tersentak. "Memang mereka bercerita, bahwa mereka telah melakukan pengrusakan barak."
"Maksud tuan pendekar?" kembali Amurwa Sakti bertanya.
"Jadi yang merusak barak dan membuat kekacauan bukan orang-orang Pesisir Putih?" Nara Soma melanjurkan bertanya.
"Benar apa yang tuan berdua katakan. Baiklah Tuan ku Amurwa Sakti dan Paman Patih Nara Soma, hamba mohon bantuannya untuk terus mengawasi wilayah tuan dengan seksama. Hamba pamit undur." Setelah terlebih dahulu menyembah, dengan segera Jaka pergi meninggalkan kedua raja dan patih yang hanya terdiam saling pandang.
Malam itu bulan tak nampak, mendung bergayut menghitam. Jaka yang tengah berjalan nampak memandang sesaat ke atas. Ia bergumam manakala dilihatnya mendung menebal. "Huh, kenapa aku bodoh benar? Kenapa orang yang aku cari-cari tak juga aku temukan?"
Jaka terus melangkah dengan pikiran tak menentu. "Apakah aku harus menyerbu ke Kurda Rumajang?" tanya Jaka dalam hati. "Baiklah, aku akan menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang."
Dengan segera, Jaka mempercepat larinya menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang. Dengan menggunakan Ajian Angin Puyuh, Jaka melesat laksana angin. Tengah Jaka berlari menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang, seketika ia dikejutkan oleh suara pekikan orang yang berkelahi. Tanpa berpikir panjang, Jaka segera memburu ke arah suara itu.
Terbelalak mata Jaka, manakala tahu siapa yang tengah bertempur. Salah seorang dari keduanya tak lain Hulubalang Kerajaan Pesisir Putih yang bernama Surya Lembayung, sementara seorang lagi adalah seorang wanita cantik.
"Hem, apakah gadis ini yang dimaksud Loro Ireng?" tanya Jaka dalam hati. "Kalau dilihat dari wajahnya, orang inilah orang yang dimaksud Loro Ireng."
Jaka dengan segera melompat ke atas sebuah pohon, dan memperhatikan dengan seksama jalannya pertarungan itu. "Ini sebuah kesempatan untuk memberitahukan pada kedua raja itu siapa sebenarnya dalang dari semuanya," kembali Jaka bergumam. "Akan aku panggil mereka dengan ilmu penyusup suaraku!"
Jaka kemudian duduk bersila dengan mata terpejam rapat. Disalurkan nafasnya lewat tenggorokan. "Prabu Wulung Seta...! Prabu Amurwa Sakti...! Aku memanggil kalian. Datanglah ke perbatasan Kerajaan Kurda Rumajang, kalian pasti akan tahu siapa sebenarnya tokoh dari segala teror, yang bermaksud mengadu domba kalian. Cepat, datanglah!"
Di tempat lain, kedua raja muda itu tersentak demi mendengar suara orang memanggilnya. Maka dengan mengajak patih-patih mereka, kedua raja itu segera menuruti panggilan orang itu. Tak lama kemudian, kedua raja dan patih-patihnya telah sampai ke tempat itu. Wulung Seta terperanjat, ketika tahu siapa yang tengah bertarung dengan hulubalangnya.
"Kau, Angelir!"
Angelir yang mendengar suara Wulung Seta seketika tersentak mundur. Maka ketika dilihatnya banyak orang yang datang, tanpa banyak pikir lagi Angelir segera berkelebat pergi. Mereka yang ada di situ seketika hendak mengejarnya, manakala Jaka mencegah.
"Tak usah dikejar!"
Seketika semua terbelalak, manakala melihat sesosok tubuh pemuda telah berdiri di hadapan mereka. Demi melihat pemuda yang mereka kenal, seketika mereka memekik:
"Jaka Ndableg!"
"Ah, rupanya tuan pendekar yang telah memanggil kami," bergumam Amurwa Sakti. "Terima kasih atas pertolongan tuan. Apalah jadinya kami ini, kalau tuan tidak segera memberitahukan hal ini pada kami."
"Ah, Paduka terlalu berlebihan menilai hamba. Sudah kewajiban hamba untuk memberantas kemungkaran dan kejahilan. Selamat tinggal tuan-tuan sekalian!" Bersama dengan habisnya suara Jaka, seketika semua terbelalak. Mereka kaget demi mendapatkan Jaka tak ada lagi di antara mereka.
"Sungguh pendekar aneh. Walau ilmunya tinggi, ia tak sombong. Maafkan aku, Dinda," kata Wulung Seta. "Kalau tak ada Pendekar Pedang Siluman, apalah jadinya kita."
"Sama-sama, Kanda," balas Amurwa Sakti.
Kedua raja kakak beradik itu saling peluk. Dengan beriringan, mereka melangkah kembali ke tempat masing-masing untuk merencanakan penyerangan esok hari.
Perang kembali meletus, kali ini makin seru. Dengan perginya Angelir atau si Mawar Merah, semangat prajurit-prajurit dua kerajaan makin tinggi. Hal itu dapat dilihat dari cara perang mereka. Tengah mereka berperang, terdengar seruan seseorang yang seketika menghentikan peperangan.
"Lihat ini, Raja kalian telah mati!" Orang itu yang ternyata Wulung Seta, menenteng kepala Raja Amuk Mungkur. Di sampingnya berjalan Amurwa Sakti, yang juga menenteng kepala patih Amuk Mungkur yaitu Rekso Giri.
Dari atas bukit yang agak jauh, seorang gadis memandang kematian Amuk Mungkur dengan berlinang air mata. Dialah Angelir, anak Prabu Amuk Mungkur. Hati Angelir seketika membahana, dengan dendam meletus-letus.
"Wulung Seta dan kau Amurwa Sakti. Tunggulah pembalasanku!"
Dengan masih berderai air mata, Angelir atau Dewi Mawar Merah berlari meninggalkan bukit. Nah, bagaimanakah nasib Angelir? Bagaimana pula dendamnya dapat terlaksana? Lalu apa yang akan dilakukan Jaka selanjutnya? Silahkan ikuti kisah selanjutnya dengan judul Pembalasan Dewi Mawar Merah
"Serbu ...!"
"Serang ...!"
"Jangan biarkan pemberontak-pemberontak itu hidup!"
Itu semua adalah sebagian besar pekikan-pekikan dari para prajurit kerajaan Pesisir Putih dan kerajaan Wetan Segara. Dua kerajaan dipimpin oleh kakak beradik. Kerajaan Pesisir Putih, dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Wulung Seta. Sementara kerajaan Wetan Segara, dipimpin oleh adik Wulung Seta yang bernama Amurwa Sakti. Merupakan kakak beradik, satu ayah lain ibu.
Dari kejauhan seorang gadis berdiri mematung. Rupanya gadis itu tengah menyaksikan pertempuran yang berlangsung. Gadis itu bernama Angelir, puteri dari Kurda Rumajang anak Prabu Amuk Mungkur. Setelah sesaat terdiam memperhatikan dari kejauhan pertempuran itu, Angelir bergegas pergi. Langkahnya begitu cepat, sepertinya terburu-buru menuju ke keraton.
"Ayah, kenapa dua kerajaan itu mesti memusuhi kita?" tanya Angelir pada ayahnya Prabu Amuk Mungkur.
Ditanya begitu oleh putrinya, Amuk Mungkur hanya terdiam. Ditatapnya lekat-lekat wajah sang putri, ditariknya napas panjang.
"Kenapa ayah terdiam?" kembali Angelir bertanya.
"Ayah tak dapat menjawabnya, Anakku," Amuk Mungkur akhirnya membuka suara. Lewat suara itu, seakan ada desah berat yang mengganjal di kerongkongannya.
"Mengapa, ayah...?" kembali Angelir bertanya. Ia merasa jawaban ayahnya tak memuaskan, seakan masih ada teka-teki yang menyelimuti. "Apakah ayah pernah bersalah pada mereka?"
Amuk Mungkur tertunduk mukanya. Kembali ditariknya napas panjang-panjang. Dari matanya tak terasa menetes air mata. "Anakku... Sebenarnya ayah bermaksud merentangkan sayap, agar kerajaan ini makin melebar. Maka itulah, ayah bermaksud menaklukkan dua kerajaan sebelah. Kau adalah anak tunggalku, yang kelak menggantikan kedudukan ayah. Kau harus mampu meneruskan cita-citaku," kata Amuk Mungkur setelah sesaat terdiam.
Mendengar penuturan ayahnya, seketika Angelir mendongakkan kepalanya. Dipandangi wajah ayahnya dengan rasa bangga, lalu dengan mata berlinang Angelir berkata: "Semua petuah ayah akan Angelir lakukan. Hari ini juga, Angelir akan turut serta membantu dengan cara Angelir sendiri. Angelir minta do'a restu, Ayah."
"Kau mau apa, Anakku?"
"Angelir ingin mengadu domba kedua raja itu, Ayah."
"Kau mampu...?" tanya Amuk Mungkur seakan tak yakin.
Angelir hanya mengangguk, menjadikan seulas senyum di bibir ayahnya, Amuk Mungkur. Perlahan Amuk Mungkur berdiri dari singgasananya, mendekati Angelir yang terduduk bersimpuh di atas permadani. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya kepala sang anak. Diajaknya Angelir bangun, dituntunnya melangkah ke singgasana. Lalu dengan penuh bangga, didudukkan Angelir di atas singgasananya.
"Kelak kau yang akan duduk di atas singgasana itu, anakku."
Mendengar ucapan ayahnya, kembali mata Angelir berkaca-kaca. Perasaannya seketika bangga, bergejolak bagaikan letupan-letupan semangat. "Benar apa yang dikatakan ayah, aku harus dapat menjadikan diriku seorang ratu. Ya, seorang ratu...." gumam hati Angelir. Dengan lekat ditatapnya wajah sang Ayah, dan dengan penuh perhatian Angelir bertanya. "Apakah aku akan mampu, Ayah?"
"Pasti, anakku. Pasti kau mampu," jawab Amuk Mungkur dengan bibir terurai senyum, sementara matanya terus memandang bangga pada sang anak. "Kapan kau akan menyusup ke salah satu kerajaan musuh, Anakku?"
"Hari ini juga, Ayah. Setelah malam tiba," jawab Angelir, yang menjadikan ayahnya kembali tersenyum.
Perang masih berlangsung, dengan korban makin banyak. Dari pagi hari hingga datangnya sore, ketiga kerajaan itu masih terus berperang. Gelap telah datang, namun mereka seperti tak menghiraukannya. Pertempuran malah makin bertambah besar, laksana api disiram minyak. Baru setelah hari benar-benar telah larut, ketiga kerajaan itu menghentikan perang untuk meneruskannya esok hari. Tak dihiraukannya korban di medan laga, walau dari korban itu adalah teman mereka sendiri. Itulah perang, demi ambisi, demi kepuasan batin pimpinan, prajurit kecil yang menjadi korban.
********************
Bulan bergayut di atas langit, menyinarkan warnanya yang keemasan. Prajuritprajurit jaga dari kerajaan Pesisir Putih tampak mondar-mandir, menjaga tenda-tenda yang digunakan untuk beristirahat temantemannya. Tengah mereka berjaga-jaga, tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita memecah kebisuan malam. Seketika semua mata penjaga beralih pandang ke asal suara itu.
"Kakang Darma, apa kau dengar suara jeritan itu?"
"Benar adik Lombak. Aku dengar suara itu di Selatan," jawab Darma. "Ayo kita dekati. Barangkali ada yang perlu kita bantu untuk wanita itu."
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang penjaga sebelah Selatan bergegas menuju ke arah di mana suara itu berasal. Tak lama kemudian, kedua penjaga itu telah menemukan orang yang berteriak minta tolong.
"Ada apa, Nona? Kenapa malam-malam begini Nona ada di perbatasan? Lalu kenapa nona berteriak-teriak?" tanya Lombak.
"Anu... Anu, Tuan. Saya... saya hendak diperkosa," jawab gadis itu terbata-bata, menjadikan kening kedua peronda mengerut.
"Diperkosa? Mana orang yang hendak memperkosa mu?" kembali Lombak bertanya.
"Anu... Anu, Tuan. Orang itu telah lari menuju ke wilayah Kurda Rumajang."
"Hem, nona tidak berdusta?"
Mendengar pertanyaan Darma, gadis itu tidak segera menjawab. Bahkan dengan senyum manisnya, dicobanya mempengaruhi kedua penjaga. Melihat gadis itu tersenyum manis, mereka seperti terbuai dalam khayal. Kedua penjaga itu balas tersenyum, menjadikan si gadis menjadi-jadi. Tangan si gadis perlahan bergerak, lalu dengan berani disingkapkan pakaiannya.
Terbelalak mata kedua penjaga itu, melotot menyaksikan pemandangan di hadapannya. Lidah keduanya melelet, menahan nafsu yang sudah tak terkendali. Melihat kedua penjaga itu nampak telah dapat dipengaruhi, si gadis makin berani. Tangan si gadis bukan saja menyingkap pakaian yang menutupi pahanya, namun kini kancing bajunya pun dibuka. Mata kedua penjaga makin melotot, sepertinya hampir keluar. Si gadis main melebarkan senyum, lalu dengan manja berkata yang menjadikan kedua penjaga terkesiap.
"Tuan-tuan, apakah tuan-tuan tidak menginginkan ini?"
"A... Anu," terbata Darma berucap. Matanya melotot tak berkedip. Begitu halnya dengan Lombak, darahnya mendidih bagaikan disetrum ribuan Watt.
"Kenapa, Tuan? Bukankah tuan jauh dari istri? Kenapa tuan mesti menolak?" tanya si gadis kembali dengan manja. Dikedipkan matanya yang lentik, membuat kedua penjaga bagaikan hilang sumsumnya gemetaran berdiri. "Ayolah, Tuan?"
"Ah... apakah nona tak bercanda?" tanya Darma. Dari pelipisnya mengalir keringat dingin, pertanda dia tengah menahan gejolak.
Si gadis menggeleng kepala, malah tangannya kini makin berani membuka dua kancing di bawahnya. Makin terbeliak kedua penjaga itu. "Kenapa tuan hendak menyia-nyiakan kesempatan ini?"
"Bagaimana, Lombak?"
"Benar juga, Kakang. Kenapa kita mesti menyia-nyiakan kesempatan ini? Ayolah, Kakang," jawab Lombak, makin menjadikan si gadis melebarkan senyum. Dengan acuh, si gadis pura-pura hendak berlalu.
Melihat si gadis hendak pergi, serta merta kedua penjaga itu segera memburunya. "Tunggu, Nona!"
"Ada apa lagi? Bukankah kalian tadi menolak?"
"Ti... tidak! Kami tidak menolak," jawab Darma terbata. Napas Darma bagaikan telah lari maraton, ngos-ngosan. Matanya tak henti-hentinya memandang ke dada si gadis yang terbuka.
"Kalian ingin?" tanya si gadis dengan genit.
Darma dan Lombak sesaat saling pandang, kemudian dengan tersenyum senang keduanya menganggukkan kepala. Melihat Darma dan Lombak mengangguk, si gadis segera berkelebat pergi. Melihat si gadis lari, Darma dan Lombak yang sudah terbakar nafsu segera memburunya. "Hai, kenapa kau lari, Denok?" seru keduanya.
"Hi, hi, hi... Ayo kejarlah aku! Bukankah kalian ingin mendapatkan tubuhku?"
Mendengar ucapan si gadis, tanpa banyak pikir lagi keduanya segera memburu. Kejar mengejar terus berlangsung, hingga tak terasa mereka telah jauh meninggalkan tenda. Mereka telah memasuki hutan lebat. "Hoi, Neng. Berhenti, dong!" seru Lombak.
"Ya, kami telah capai, nih!"
"Hi, hi, hi... Ayo, kenapa kalian letoi? Kejarlah aku! Bukankah kalian ingin tenang tanpa ada yang mengganggu?"
"Benar juga, Kakang." "Ayo, kita kejar!"
Kedua lelaki yang sudah streng oleh nafsu, kembali mengejar. Hal itu rupanya telah direncanakan oleh si gadis, yang terus berlari sampai ke tengah hutan. Ketika benar-benar di tengah hutan, si gadis menghentikan langkahnya.
"Hi, hi, hi... Ayo majulah kalian. Bukankah kalian ingin merasakan surga?" tanya si gadis dengan sinis. Senyumnya tampak bengis, mengandung hawa kematian. Tangan si gadis perlahan bergerak, sepertinya hendak membuka pakaian.
Namun sungguh tak disangka oleh Lombak dan Darma, kalau gadis itu bukannya membuka pakaian. Gadis itu telah mengambil dua kuntum bunga mawar dari balik bajunya. Tersentak kedua penjaga melihat si gadis tersenyum sinis. Namun belum juga kedua penjaga itu mengerti, si gadis telah terlebih dahulu membungkam mulut mereka. Tangan si gadis bergerak cepat, melontarkan kedua bunga yang dipegangnya.
"Kau...!"
"Aaahhhh. !" Melolong panjang kedua orang itu, dengan jidat bolong terhantam bunga mawar.
Si gadis tersenyum kecut dan menghampiri kedua penjaga yang tengah sekarat. "Itulah untuk kalian. Dan nanti, semua prajurit kerajaan Wetan Segara dan Pesisir Putih akan menerima bagiannya, Hi hi Hi hi hi...!" berkata si gadis dengan bengis.
"Siapa, kau?" bentak Darma dalam sekarat.
"Aku.... Hi, hi, hi... Akulah Dewi Angelir Putri Kerajaan Kurda Rumajang. Nah, karena kalian telah tahu siapa kau, maka kalian harus mati, hiaat...!"
Dengan tanpa belas kasihan, Angelir segera menendang keduanya. Seketika kedua orang yang tengah sekarat, melengking kesakitan dan ambruk dengan nyawa melayang. Melihat keduanya telah mati, Angelir segera berkelebat pergi dengan meninggalkan gelak tawa.
********************
DUA
Tengah Raja Wulung Seta melamuni kematian dua orang penjaga malamnya, tiba-tiba seorang gadis cantik nan anggun datang menghampiri. Senyumnya begitu memikat, menjadikan sang Raja seketika tersentak.
"Siapa, kau?" tanya sang Raja.
Gadis itu hanya tersenyum, lalu dengan genit dikedipkan matanya. Melihat hal itu, hati Wulung Seta seketika terkesima. Matanya tak berkedip memandang. Hatinya bergumam. "Duh, betapa cantiknya gadis ini. Sungguh cocok bila kujadikan istri."
"Baginda melamun, kenapa?"
"Ah, ti... tidak. Siapa namamu, anak manis?"
"Hamba yang rendah ini bernama Angelir, Baginda."
"Ah, kenapa kau begitu merendah, Angelir?"
Angelir tersenyum tersipu-sipu menundukkan muka, membuat Wulung Seta makin gemes. Perlahan Wulung Seta bangkit dari duduknya. Dihampiri Angelir yang masih menunduk, lalu perlahan dipegangnya dagu Angelir.
"Kenapa kau tertunduk, Angelir?" "Hamba... hamba malu. Baginda," jawab Angelir tersipu.
"Malu...? Kenapa mesti malu, anak manis?"
Mendengar penuturan Wulung Seta, Angelir perlahan mendongakkan wajahnya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Wulung Seta, membuat Wulung Seta mengernyitkan kening.
"Hai, kenapa dengan aku, Angelir?"
"Ti... tidak, paduka. Hamba hanya kagum melihat paduka yang setampan dan semuda ini telah menjadi raja. Maafkan hamba, Paduka."
"Tak mengapa, Angelir. Aku senang denganmu. Maukah kau kujadikan isteri?"
Terbelalak mata Angelir demi mendengar ucapan Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta tersenyum dan kembali bertanya.
"Kenapa, Angelir? Kau tak mau...?"
"Bu... bukan begitu, Baginda. Apakah pantas hamba yang rendah ini mendampingi paduka?"
Mendengar jawaban Angelir, Wulung Seta tersenyum. Tangannya yang kasar seketika merenggut janggut Angelir. Di tengadahkan muka Angelir yang menunduk untuk memandangnya. Ditatapnya lekat-lekat mata Angelir. Sesaat keduanya saling pandang, menyatukan benang-benang kasih.
"Kenapa tidak pantas, Angelir?" tanya Wulung Seta setelah sesaat terdiam.
"Bukankah masih banyak bunga-bunga lain yang lebih cantik dan keturunan ningrat? Kenapa mesti Paduka meminta hamba yang hina?"
"Karena kau cantik dan anggun, Angelir!" jawab Wulung Seta. Tangannya yang lembut membelai janggut Angelir. Di jawilnya janggut Angelir yang berusaha mengelak. "Aku cinta padamu, Angelir."
"Hanya itu, Paduka?"
"Ya, kenapa?" tanya Wulung Seta tak mengerti.
Angelir tersenyum manja dan dengan segera berjalan meninggalkan Wulung Seta. Wulung Seta yang menyangka Angelir hendak meninggalkannya, segera memburu mengikuti. Namun rupanya Angelir tidak pergi jauh, ia hanya duduk di bawah pohon Kamboja. Melihat Angelir duduk, Wulung Seta segera ikut duduk di sisi Angelir. Kembali keduanya saling pandang, diam dengan perasaan hati masing-masing. Tak terasa oleh mereka, bibir mereka telah menyatu dalam diam.
"Ah, kenapa Paduka bertindak begini?" sentak Angelir seperti baru saja tersadar.
"Maafkan aku, Angelir. Sungguh aku tak dapat menahan perasaan yang ada di hatiku sekarang. Aku mencintaimu, Angelir."
"Hanya cinta?"
Tersentak Wulung Seta mendengar pertanyaan Angelir yang dirasakannya menyentuh hati. Dengan memandang tajam, Wulung Seta yang tak mengerti maksud ucapan Angelir bertanya. "Kenapa, Angelir? Apakah kau menolak cintaku?"
"Bukan begitu, Baginda. Aku menerima cinta mu, tapi..."
"Tapi apa, Angelir?" tanya Wulung Seta sembari mengernyitkan keningnya demi mendengar ucapan Angelir yang terputus.
"Baginda... cinta biasanya hanya hiasan mulut lelaki. Bila lelaki suka pada wanita dan ada maunya, ia akan bicara cinta. Tapi bila ia telah mendapatkan segalanya dan dirasakan telah bosan, maka cinta pun berlalu. Aku tak ingin hal seperti itu terjadi padaku, Paduka."
"Maksudmu, Angelir?" tanya Wulung Seta masih belum mengerti tujuan kata-kata Angelir.
Angelir tersenyum, matanya yang lentik memandang sendu pada Wulung Seta. Perlahan namun pasti, tangan Angelir bergerak menggenggam tangan Wulung Seta. Wulung Seta yang hatinya telah terpanah oleh cinta Angelir, tersenyum senang demi merasakan tangannya digenggam oleh Angelir.
"Hem, telah ku jerat dia!" gumam hati Angelir. "Apakah baginda benar-benar ingin menjadikan aku isteri?"
"Kenapa tidak. Aku mencintaimu," jawab Wulung Seta menjadikan Angelir tersenyum. Direbahkan kepalanya ke pundak Wulung Seta menjadikan Wulung Seta seketika bergetar-getar hatinya.
Baru sekali ini Wulung Seta merasakan debaran aneh di hatinya selama ia menjadi raja muda. Padahal banyak bunga-bunga yang mencoba mengambil hatinya, namun Wulung bagaikan tak ada hasrat untuk memetik. Tapi kini Angelir gadis yang baru ia kenal, telah mampu membuat hati Wulung Seta berbunga. Sekaligus Angelirlah yang telah mampu menembuskan panah ke hatinya.
"Kalau baginda memang berkenan menjadikan hamba istri, maka hamba meminta Paduka dengan setulus hari menyayangi hamba."
"Hanya itu pinta mu, Angelir?" tanya Wulung Seta seakan tak percaya.
"Ya, hanya itu, Paduka," jawab Angelir pendek.
"Kalau memang itu, apa pun akan aku lakukan untukmu. Demi cintaku padamu, segalanya akan aku lakukan."
Tersenyum senang Angelir mendengar ucapan Wulung Seta. Ditatapnya lekat-lekat wajah Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta makin gundah hatinya. Untuk kedua kalinya, keduanya terlelap dalam belaian-belaian kasih. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, menyeka panas mentari. Hingga mentari yang begitu terik tak terasa. Apalagi mereka yang telah hanyut oleh lautan cinta.
********************
Lain keadaannya dengan raja mereka yang tengah menjalin cinta, prajurit-prajurit Pesisir Putih kini tengah berperang demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Segalanya dikorbankan, demi sang raja, demi kemerdekaan.
"Serbuuuuu...!"
"Seraaanggg...!"
"Jangan mundur!"
Pekik-pekik itu terus menggema, menyebarkan semangat para prajurit. Tak ada rasa kasihan, tak ada rasa kemanusiaan. Setiap tombak, golok, pedang dan senjata lainnya berkelebat, maka pekik kematian pun menggema.
Langit alun-alun Kurda Rumajang makin memerah, seperti tersiram darah para prajurit. Walaupun begitu, perang terus berjalan, perang terus membahana. Randu Alasan sebagai patih Kerajaan Pesisir Putih, bagaikan harimau kelaparan menerjang gagah berani. Pedang pusaka yang bernama Kyai Warakas, berkelebat dengan cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, setiap kali itu memekik prajurit Kurda Rumajang. Melihat hal itu, secepat kilat Rekso Giri selaku patih Kerajaan Kurda Rumajang segera memapakinya.
"Randu Alasan, akulah musuhmu!" bentak Rekso Giri marah.
"Rekso Giri penjilat. Memang aku tunggu-tunggu kemunculanmu. Mari kita buktikan siapa di antara kita yang harus meninggalkan dunia!"
"Setan Alas! Kau rupanya mempunyai taring. Bersiaplah untuk mampus, Randu!"
Habis berkata begitu, Rekso Giri segera berkelebat menyerang. Randu Alasan yang telah siaga, secepat kilat mengelak. Lalu dengan garang, Randu Alasan balik menyerang. Toya di tangan Rekso Giri berputar dengan cepat, begitu juga pedang Kyai Warakas di tangan Randu. Dua patih itu, berkelebat dengan cepatnya. Segala ilmu yang mereka miliki dikeluarkan.
Waktu terus berlalu, sepertinya tak mau perduli dengan api peperangan yang tengah berkobar. Ketika hari telah berubah, dari siang menjadi malam, ketiga prajurit kerajaan itu kembali ke tenda masing-masing. Ditinggalkannya segala yang telah terjadi, teman ataupun kawan yang gugur. Itulah perang, menang tiada arti, kalah tiada guna. Demi ambisi, demi kepuasan sang raja belaka, rakyat yang menjadi korban.
********************
TIGA
Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan di dalam hutan, seketika menghentikan langkahnya, manakala didengar olehnya suara-suara bergemerisik di sekelilingnya.
"Hem, ada kunyuk-kunyuk hendak main-main denganku. Eh, makin mendekat. Nekad benar monyet-monyet ini," gumam Jaka dalam hati. "1... 2... 3... 10. Ada sepuluh kunyuk!" Tengah Jaka tersenyum-senyum mendengar suara-suara gemerisik, seketika berkelebat sepuluh orang lelaki menghadangnya.
"Berhenti!" bentak pimpinan kesepuluh orang itu.
"Heh, bukankah aku telah berhenti? Kenapa kau menyuruhku lagi?" kata Jaka dengan tenangnya.
"Serahkan uang yang kau bawa," kembali pimpinan kesepuluh orang yang bermaksud merampok itu berkata.
Mendengar ucapan ketua garong itu, Jaka tersenyum. Lalu dengan nada acuh, Jaka menjawab. "Uang...? Kebetulan, aku memang sedang butuh uang. Mana uang kalian?"
"Setan alas! Diminta malah meminta!"
"Ah, aku rasa aku bukan setan alas. Kenapa kau memanggilku setan alas?"
"Anak edan!" bentak pimpinan garong marah, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya ngelantur. Namun bagaikan tak perduli dengan segala amarah pimpinan garong itu, Jaka kembali berkata:
"Edan...? Aku tidak edan. Aku cuma Ndableg!"
Tak dapat lagi pimpinan garong itu menahan amarah. Ia merasa Jaka telah mempermainkannya, Maka dengan mengibaskan tangan, sekaligus mengomandokan pada kesembilan anak buahnya ia segera menyerang Jaka. Diserang keroyokan begitu rupa tidak menjadikan Jaka gentar, bahkan dengan lagak pilonnya Jaka terus menghindar.
"Ampun, Oom! Jangan pukul saya...!" Jaka berteriak, manakala seorang dari pengeroyoknya bermaksud menghantamnya. Bersamaan dengan itu, Jaka seketika menghantamkan tangannya ke dada penyerangnya.
Terhuyung-huyung orang itu, dengan darah meleleh dari mulutnya. Sementara Jaka dengan memegangi tangannya yang dielus-elus, tersenyum-senyum. Hal itu menjadikan kesembilan garong lainnya marah. Serta merta, kesembilan garong itu mengeroyoknya.
"Wadauw, kenapa kalian sadis-sadis, sih?" gumam Jaka.
"Diam! Jangan kayak orang sinting!"
"Aduh mak, Jaka dibentak. Eh... Kenapa engkau hendak membokongku?"
Jaka kembali berkelebat cepat memutar tubuhnya menghadap pada orang yang bermaksud membokongnya. "Ini hadiah untukmu dariku sebagai kenang-kenangan atas jasamu yang hendak membokongku."
Secepat kilat tangan Jaka berkelebat, menghantam muka orang yang bermaksud membokongnya. Spontan, orang itu meraung kesakitan dengan tangan menutupi mukanya. Marahlah pimpinan garong, demi melihat dua anak buahnya telah dengan gampang dipecundangi. Maka tak ayal lagi, ketua garong itu segera menyerang Jaka.
"Wadauw, kenapa oom mau membacok ku? Ampun, Ooom...!" teriak Jaka manakala golok di tangan pimpinan Garong hendak membabat ke tubuhnya. Dengan segera, Jaka mempercepat gerakannya. Kakinya berkelebat menendang tubuh ketua garong itu. Tak dapat dibayangkan, kaki Jaka mendarat telak menghantam dada ketua garong.
"Enakkan Oom dapat kue Talam?"
"Setan! Jangan kira aku kalah, Monyet!" bentak marah pimpinan garong. Tangannya memegangi dada yang terasa sakit. Lalu dengan didahului geraman, ketua garong itu mengomandokan pada anak buahnya untuk menyerang. "Serang...!"
Bagaikan tak ada rasa takut sedikitpun, ketujuh anak buahnya segera berkelebat bareng menyerang Jaka.
"Wah, kenapa dengan ketujuh monyet ini? Apakah mereka terkena AIDS?" gumam Jaka seperti berbicara pada diri sendiri.
"Kunyuk! Sudah di ambang kematian masih berlagak!"
"Eh, siapa yang kunyuk? Kalian kunyuk? Pantas.... Pantas. Memang rupa kalian mirip kunyuk kelaparan. Aduh...! Kenapa kalian membabi huta?" seru Jaka, manakala salah seorang pengeroyok membabatkan golok ke arahnya. Dengan cepat, di jitak kepala penyerangnya.
Seketika orang yang di jitak menjerit dengan memegangi kepala. Berguling-guling, lalu ambruk mati. Dari atas kepalanya meleleh darah, keluar dari tiga lobang berbentuk mata dadu.
"Hi, hi, hi.... Ternyata orang itu suka main dadu. Lihat! Di kepalanya ada gambar dadu!" seru Jaka pada ketujuh pengeroyoknya, menjadikan ketujuh orang itu menggeram. Tanpa banyak kata lagi, mereka serempak kembali menyerang.
"Eh, eh. Rupanya kalian tidak kapok, Tong. Baik, untuk kalian akan aku beri hadiah gocap-gocap, ini!" Habis berkata begitu, Jaka yang tak ingin mengulur-ulur waktu segera berteriak bagai orang gila. Tubuhnya berputar bagaikan baling-baling. Tangannya dengan cepat bergerak, dan...
"Tok, tok, tok, tok, Bletak!"
Tujuh kali terdengar suara beradunya tangan Jaka dengan kepala pengeroyoknya. Seketika ketujuh pengeroyoknya menjerit, berguling-guling di tanah. Di atas kepala mereka tergambar bulatan sebesar uang 50-an.
"Ha, ha, ha... Kalian memang lucu-lucu. Kenapa uang Gocap ditempelin di atas kepala? Oh, rupanya kalian orang kaya, ya?" kata Jaka dengan tertawa-tawa.
Meskipun pimpinan garong itu geram, namun ia tak berani berbuat apa-apa. Ia tahu, kalau pemuda yang seperti tak waras itu ternyata berilmu tinggi. Tanpa memperdulikan musuh-musuhnya yang telah berjatuhan, Jaka segera berkelebat pergi.
********************
Malam itu gerimis turun membasahi bumi. Peperangan telah lama usai untuk diteruskan esok hari. Di sebuah ruangan Kerajaan Kurda Rumajang, Prabu Amuk Mungkur telah duduk di atas kursi. Di hadapannya duduk seorang gadis yang tak lain daripada Angelir, anaknya.
"Bagaimana hasil mu, anakku?"
"Seperti yang telah direncanakan. Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dulu menyembah. "Angelir telah dapat mengambil hati Prabu Wulung Seta."
Tersenyum Amuk Mungkur mendengar penuturan anaknya. Rasa bangga menyelimuti wajah Amuk Mungkur, hingga hatinya seketika bergumam. "Tak aku sangka, kalau anakku mampu menjadi mata-mata. Hem, sungguh pintar Angelir. Lalu, apa yang menjadi pikiranmu, Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur, menjadikan Angelir seketika menundukkan mukanya.
"Kenapa, Anakku? Sepertinya kau menemui kesulitan?" kembali Amuk Mungkur bertanya, demi melihat putrinya hanya terdiam tak menjawab.
"Benar, ayahanda. Angelir memang mengalami kesulitan," jawab Angelir setelah sekian lama terdiam.
"Hem, coba kau katakan apa yang menjadi kesulitanmu!"
"Ampun, Ayahanda. Angelir merasa jatuh cinta pada Wulung Seta."
"Apa...?" tersentak Amuk Mungkur mendengar jawaban anaknya. Matanya melotot, memandang pada Angelir yang kembali menunduk tak berani menentang pandang. "Jangan, Anakku! Kau harus ingat, bahwa Wulung Seta adalah musuhku! Maka sebagai musuh ayah, dia juga musuhmu pula!"
"Tapi, Ayah...." Angelir mencoba menyela.
"Tak usah kau memikirkannya, Anakku."
"Baiklah, Ayah. Angelir akan selalu menurut apa yang dititahkan oleh ayah," jawab Angelir.
Amuk Mungkur kembali tersenyum, dihelanya napas dalam-dalam. Amuk Mungkur perlahan bangkit dari kursinya. Dihampiri anaknya, lalu dengan penuh kasih dibelai rambut sang anak sembari berkata: "Anakku, bila masanya kau menjadi Ratu, kau akan merasakan betapa kekuasaan lebih berguna dibandingkan dengan cinta. Cinta biasanya hanya sekata, tapi kuasa akan menentramkan hati. Bagaimanapun, kau harus mampu menjadikan dirimu orang yang disegani. Sebab syarat utama menjadi Raja harus mempunyai kewibawaan."
Sejenak keduanya hening, membisu dengan segala perasaan. Angelir masih menunduk sepertinya tengah meresapi makna ucapan sang ayah. Sementara Amuk Mungkur, dengan penuh kasih terus membelai rambut anaknya. "Anakku..."
"Daulat, Ayah," jawab Angelir,
"Dulu ibumu pun begitu. Ibumu mengutarakan cinta pada ayah. Namun setelah ayah tua, ibumu pergi entah ke mana. Ayah sakit hati, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa ibumu kini telah menikah lagi dengan ayahanda Wulung Seta."
"Jadi...." terbelalak Angelir mendengar penuturan ayahnya.
"Ya, ibumu lari dari ayah dan menikah dengan Prabu Salya ketika kau masih kecil. Itulah mengapa ayah mendendam pada dua kerajaan itu. Tadinya ayah tak menghiraukan, namun melihat engkau menderita ayah jadi kesal. Kesal pada ibumu, juga kesal pada Prabu Salya. Maka sebagai pelampiasan kekesalan ayah, ayah memusuhi dua kerajaan turunan Salya."
Makin tergugah hati Angelir setelah tahu siapa musuh-musuh ayahnya. Kekecewaan pada ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil, menjadikan Angelir dendam. Tanpa sadar, Angelir mendesah seakan bersumpah, "Akan aku hancurkan keturunan Salya, Ayah!"
"Kau mampu, Anakku?" tanya Amuk Mungkur, yang dijawab oleh Angelir dengan tatapan mata kepastian.
Lalu dengan napas panjang yang dihempaskan, Angelir kembali berkata: "Akan aku coba, Ayah!"
Tak terurai rasa bahagia dan kagum mendengar ucapan anaknya, hingga Amuk Mungkur berkaca-kaca matanya. Diajaknya Angelir bangun dari duduk, dan dibimbingnya sang anak berjalan. "Apa yang hendak kau lakukan malam ini, Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur.
"Kini Wulung Seta telah terjerat oleh ku. Maka aku akan terus mencoba mengacaukan kedua kerajaan itu, Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dahulu memandang wajah ayahnya sesaat. Terlihat oleh Angelir goresan kekecewaan di wajah ayahnya, menjadikan Angelir tak mampu menahan air mata.
Angelir pun menangis haru melihat kesedihan ayahnya yang menjadikan ayahnya seorang pendiam dan pemarah. Saking terhanyutnya Angelir menyaksikan raut wajah ayahnya, tanpa disadari hatinya bergumam. "Sungguh ibu orang yang tak tahu kasih. Hem, Salya. Keturunanmu kelak akan menerima balasannya yang setimpal dengan perbuatanmu!"
"Ayah, Angelir mohon pamit!"
"Hendak ke mana, Anakku?" tanya Amuk Mungkur kaget demi mendengar ucapan anaknya. "Bukankah hari sudah malam?"
"Seperti rencana Angelir, Angelir hendak menyusup ke dalam tenda musuh. Do'a kan, Ayah. Semoga Angelir dapat melaksanakan apa yang menjadi rencana kita."
"Aku terus mengiringi mu, Anakku. Berangkatlah!" kata Amuk Mungkur dengan perasaan haru. Matanya berkaca-kaca, ketika mencium kening anaknya. Dengan penuh kebisuan, Amuk Mungkur melepas kepergian anaknya malam itu.
Angelir terus berlari menembus malam, seakan tiada rasa takut setetes pun di darahnya. Ia terus berlari menuju ke sebuah hutan yang lebat, hutan yang sepertinya menyimpan keangkeran. Demi cita-citanya, Angelir tak memperdulikan gelapnya malam. Setelah sekian lama berlari, Angelir akhirnya berhenti pada sebuah tempat di tengah hutan.
"Suiiit...!" Bersamaan dengan habisnya suitan yang dilontarkan Angelir, dari dalam semak-semak hutan bermunculan orang-orang berwajah sadis menuju ke arahnya.
"Ada gerangan apa Sri Ratu Angelir memanggil kami?" tanya Gober selaku ketua II setelah Angelir dan Loro Ireng, pada pimpinan Gerombolan Hutan Renges.
"Mana Loro Ireng?"
"Ampun Sri Ratu, Loro Ireng pergi!" jawab Gober.
"Pergi ke mana, Gober?"
"Loro Ireng mengatakan hendak mencari musuhnya!"
"Musuhnya...? Siapa musuhnya? Dan kenapa tidak mengajak kalian?" tanya Angelir tak mengerti. Matanya membeliak lebar, menjadikan sorotan cahaya di dalam gelap. Gober tak berani menantang pandang, begitu juga dengan keseratus anak buahnya. "Apa dia tak berpesan apa-apa?"
"Dia berpesan agar bila Sri Ratu datang, kami mengikuti Sri Ratu beroperasi."
Membeliak mata Angelir mendengar penuturan wakilnya. Nafasnya terdengar mendengus, pertanda dia tengah marah. Hal itu menjadikan Gober terpaku diam dengan wajah tertunduk. Gelapnya malam itu hening tiada kata.
"Kalau kalian ikut denganku, apakah kalian mampu melakukan tugas kalian?" tanya Angelir setelah terdiam untuk beberapa saat.
"Hamba siap, Sri Ratu...!" jawab keseratus anak buahnya.
"Benar kalian siap?"
"Daulat Sri Ratu. Tugas apapun akan kami lakukan!" jawab Gober mewakili keseratus anak buahnya. Mereka tak berani membantah pada Angelir, yang menjadikan dirinya sebagai Ratu Gerombolan Hutan Renges.
"Baiklah, aku tugaskan pada kalian, kacaukan barak-barak prajurit kerajaan Segara Wetan! Sementara aku sendiri, akan mengacaukan Kerajaan Pesisir Putih. Ingat, jangan sampai ada yang tertangkap. Seandainya ada, jangan mengaku! Mengerti...?"
"Daulat, Sri Ratu...!" jawab mereka serempak.
"Nah, lakukan tugas kalian dengan baik. Kita kacau dua kerajaan itu, ha, ha, ha..." Angelir tertawa bergelak-gelak, lalu dengan tanpa memperdulikan keseratus anak buahnya, Angelir berkelebat pergi.
Sepeninggalnya Angelir, Gober selaku pimpinan segera menyusun rencana dengan keseratus anak buahnya. "Walet, dan kau Jangkrik."
"Saya ketua," jawab keduanya bareng. "Kalian pimpin dua puluh lima orang menyerbu dari Wetan dan Kulon. Sementara aku dan Bangkong, akan memimpin lima puluh orang dari Lor dan Kidul. Ayo kita bergerak!"
Malam itu juga, keseratus gerombolan Hutan Renges bergerak seperti rencana. Tujuannya hanya satu, mengacaukan kerajaan Wetan Segara.
********************
EMPAT
Malam itu Wulung Seta tak dapat memejamkan mata barang sekejap. Pikirannya melayang, terbayang wajah Angelir yang telah menawan hatinya. Wulung Seta gundah gulana, perasaannya tak dapat tenang. Ada rasa takut menyelimuti hatinya, takut kalau-kalau Angelir terkena apa-apa.
"Ke mana Angelir? Sudah malam begini tidak datang-datang?" gumam hati Wulung Seta was-was.
Saking tenggelam dalam pikirannya, Wulung Seta tak memperhatikan bahwa sedari tadi seorang wanita tengah memperhatikannya. Wanita itu tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala, melihat Wulung seta melamun. Wanita itu yang tak lain Dewi Roro Kunti ibunya, berjalan menghampiri.
"Ehm...!"
"Ibunda...?" tersentak Wulung Seta dari lamunannya, mendengar deheman sang ibu. "Kaget ananda, Bunda. Ada apa gerangan, Ibunda?"
"Kau melamun, Anakku? Kenapa? Apakah kau tengah jatuh hati dengan seorang wanita?" tanya Roro Kunti, yang menjadikan Wulung Seta tersipu. "Kenapa kau malu, Anakku? Katakanlah pada Ibu, mungkin Ibunda dapat membantu."
Wulung Seta tak menjawab, ia terdiam menundukkan muka. Seakan ada ganjalan yang menyelimuti hatinya untuk mengutarakan apa yang selalu meresahkannya. Sejenak ditatapnya wajah sang Ibu, sebelum akhirnya berkata: "Ibunda tak akan marah?"
"Kenapa mesti marah? Bukankah kau anakku, Wulung?"
Wulung Seta kembali terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang. Setelah merundukkan muka sesaat, Wulung Seta akhirnya kembali berkata. "Memang benar apa yang Ibunda terka. Wulung kini tengah merasakan apa yang dinamakan cinta, Bunda."
Tersenyum Roro Kunti mendengar ucapan anaknya. Dihampiri Wulung Seta yang masih terduduk. Melihat Ibundanya menghampiri, segera Wulung Seta turun dari kursinya dan duduk di permadani. Wulung Seta segera menyembah, bersimpuh di kaki sang Ibu. Roro Kunti tersenyum bahagia, demi melihat anaknya yang mengerti akan tata krama. Walau Wulung Seta telah dinobatkan menjadi raja, namun sifatnya yang santun tidak hilang. Hal ini menjadikan Roro Kunti yang sebenarnya ibu tiri merasa sayang, melebihi kasih sayangnya pada Amurwa Sakti anak kandungnya.
"Wulung Seta, Anakku. Siapakah gadis yang telah memikat hatimu, Anakku?"
"Ampun, Ibunda. Gadis itu bernama, Dewi Angelir," jawab Wulung Seta, menjadikan Roro Kunti seketika terkesiap kaget. Hal itu menjadikan Wulung Seta yang memperhatikannya kembali bertanya. "Kenapa, Ibunda?"
"Tak mengapa, Anakku. Ibu senang mendengar kau telah memilih jodohmu. Mana anak gadis itu, Anakku?" tanya Roro Kunti, yang hatinya bergumam lirih. "Hem, ternyata anakku sendiri yang telah mampu memikat hati Wulung Seta. Oh, mungkin dia sudah besar. Aku sungguh berdosa telah menelantarkannya."
"Ibunda melamun?" tanya Wulung Seta, demi melihat Roro Kunti terdiam dengan mata berkaca-kaca.
Terjengah Roro Kunti mendengar ucapan Wulung Seta. Dicobanya untuk tersenyum, walau senyum yang dipaksakan untuk menutupi perasaan hatinya yang merasa bersalah. Lalu dengan terbata, Roro Kunti pun berkata; "Ah, ti... tidak, Anakku. Ibu tengah memikirkan betapa nanti kau akan bahagia bersanding dengan gadis pilihan mu!"
"Ibunda bisa saja," gumam Wulung Seta tersenyum.
Tengah kedua anak dan ibu bercengkerama, terdengar suara seseorang menyapa.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab keduanya hampir bareng.
Roro Kunti begitu bahagia, manakala tahu siapa yang datang. Ternyata orang yang datang Amurwa Sakti anaknya. "Ada apa, Anakku. Hingga malam-malam kau datang ke mari?"
"Aku ingin bertemu dengan kanda Wulung Seta, Bunda," jawab Amurwa Sakti, menjadikan Wulung Seta tersentak dan segera berkata.
"Ada gerangan apa adinda mencari kanda?"
"Kanda… barak-barak kerajaan ku ada yang mengacau!"
"Mengacau...? Siapa yang telah berani berbuat begitu?" tanya Wulung Seta dengan mata menyipit, mendengar ucapan adiknya.
Amurwa Sakti tidak segera menjawab, malah tampak matanya menatap tajam menghujam pada wajah Wulung Seta. Melihat hal itu, dengan segera Roro Kunti bertanya:
"Amurwa! Kenapa tatapan mu begitu lancang pada kakakmu?"
"Siapa yang tidak marah, Bunda. Orang-orang yang telah merusak barak ku adalah orang-orang kakang Wulung Seta."
"Apa...!" tersentak kaget Wulung Seta, mendengar ucapan adiknya. "Apakah dinda tidak salah lihat?"
"Benar, Anakku. Kau jangan terlalu kesusu menuduh kakakmu. Selidiki dulu kebenarannya. Bukankah kini kalian tengah menghadapi perang? Siapa tahu orang-orang Kurda Rumajang yang telah melakukan semuanya," tambah Roro Kunti menengahi.
Mendengar ucapan Ibundanya, Amurwa Sakti terdiam. Ia sadar akan tindakannya yang terlalu kesusu. Maka dengan menangis, Amurwa Sakti berkata: "Ampunilah anakmu, Bunda. Kanda, adinda meminta maaf atas segala tingkah laku adinda yang kurang ajar ini."
"Tak mengapa, Dinda. Kanda pun menyadari, betapa hati adinda kini tengah kisruh."
"Terima kasih, Kanda. Bunda dan Kanda, hamba mohon pamit!"
Setelah terlebih dahulu menyembah pada Ibu dan kakaknya, Amurwa Sakti segera berlalu pergi diiringi oleh tatapan mata ibunya yang melelehkan air mata. Setelah kepergian anaknya, Roro Kunti segera berkata pada Wulung Seta, "Anakku Wulung Seta. Ibunda meminta maaf atas segala tingkah laku adikmu."
"Tak mengapa, Bunda. Ananda juga maklum. Tidak hanya adinda Amurwa Sakti yang marah bila melihat perlakuan itu, ananda juga mungkin akan mengalami hal serupa."
"Ah, betapa luhur budi pekerti mu, Ananda."
Tak dirasa oleh Roro Kunti, ia menangis. Dengan penuh rasa kasih layaknya seorang ibu, dipeluknya Wulung Seta yang juga turut menangis. "Bunda pamit undur, Anakku," kata Roro Kunti setelah untuk beberapa lama terhanyut diam.
"Ananda mengiringi," jawab Wulung Seta.
Roro Kunti segera pergi meninggalkan anaknya sendirian. Setelah kepergian Roro Kunti, Wulung Seta kembali terdiam melamun. Pikirannya kini tidak hanya satu, tapi bercabang. Memikirkan Angelir yang telah menambat hatinya, memikirkan kematian prajuritnya dengan bunga mawar merah di keningnya, juga memikirkan laporan adiknya.
"Kenapa semua terjadi? Kenapa sejak aku mengenal Angelir segalanya terjadi? Apakah ada orang-orang yang tak menyukai aku dengan Angelir? Atau... Ah, tidak. Angelir tidak segila itu!" Bergumam Wulung Seta taklim, tak mengerti akan segala kejadian-kejadian yang dialaminya.
Malam terus merambah dengan cepatnya, namun Angelir yang ditunggunya tak munculmuncul. Karena penat oleh pikiran-pikiran yang menyelimuti otaknya, Wulung Seta akhirnya tertidur di kursinya. Wulung Seta tersentak bangun, manakala seseorang mendekatinya. Dicabutnya keris pusaka yang selalu menyelip di pinggangnya, namun segera dimasukkannya kembali manakala tahu siapa yang datang.
"Kaukah, Angelir?" tanya Wulung Seta tak yakin. Dikucak-kucak matanya, seperti ingin meyakinkan apa yang dilihat.
Angelir tersenyum manis, menjadikan hati Wulung Seta yang sedari tadi menahan kerinduan bergema. Melihat Angelir berjalan menghampiri Wulung Seta, yang juga bangkit dari duduknya.
"Sungguh pulas tidur kanda Prabu, hingga hamba yang sedari tadi datang tak berani untuk mengusiknya."
"Ah, kau bisa saja, Angelir. Dari manakah kau, Angelir? Lama aku menunggu kedatanganmu. Betapa hati ini tak tenang memikirkan mu," berkata Wulung Seta, menjadikan Angelir tersipu-sipu.
"Ah, Paduka bisa saja," kata Angelir manja.
"Aku berkata sebenarnya, Angelir."
"Benarkah...?" Angelir masih menggoda, menjadikan Wulung Seta makin penasaran. Dicobanya untuk memeluk Angelir, namun bagaikan tak butuh, Angelir segera mengelak.
Hal itu menjadikan Wulung Seta makin bernafsu. Dikejarnya Angelir yang terus berlari memutari ruangan. "Awas kalau kena. Akan aku cium kau, Angelir!"
"Hi, hi, hi.... Ayolah Paduka. Kalau memang paduka ingin itu, kejarlah aku!"
"Baik! Jangan menjerit nanti!"
Keduanya pun segera saling kejar. Angelir berputar-putar dari satu tiang, ke tiang lainnya. Dengan tertawa-tawa, Angelir terus menggoda. Merasa dipermainkan, Wulung Seta makin bernafsu saja. Dikejarnya Angelir, kini dengan menggunakan ilmunya. Tersentak Angelir, melihat Wulung Seta berlari bagaikan angin.
"Kena...!"
"Auh...!" Angelir menjerit manja, manakala tangannya terpegang oleh Wulung Seta. Namun demikian, Angelir tersenyum manja. Direbahkan kepalanya pada pundak Wulung Seta, yang menerimanya dengan hati berbunga. Dibimbingnya Angelir berjalan menuju kursi. Dipangkunya tubuh Angelir yang tersenyumsenyum, menjadikan Wulung Seta makin gemes.
"Kanda...?" Angelir berkata manja, manakala Wulung Seta hendak menciumnya.
"Hem.... Ada apa, Angelir?"
"Apakah kita akan terus menerus begini?"
"Maksudmu...?" balik bertanya Wulung Seta. Mata keduanya saling paut, bibirnya saling senyum.
"Apakah kanda tidak berpikir untuk menjadikan ku isteri?"
"Ooh, kapan kau mau, Angelir?"
"Benarkah, Kanda?"
"Ya...." jawab Wulung Seta pendek. Lalu dengan tanpa menunggu reaksi Angelir, Wulung Seta segera mencium bibir Angelir.
Ciuman Wulung Seta yang lembut, menjadikan Angelir bergolak di hatinya. Antara perasaannya yang memang menghendaki Wulung Seta, dengan apa yang dicita-citakan oleh ayahnya. Rupanya perasaannya yang dapat mengendalikan hati Angelir, menjadikan Angelir membalas ciuman yang dilontarkan Wulung Seta. Keduanya terhanyut diam, seakan tak memikirkan segala apa yang tengah terjadi. Wulung Seta tersentak, manakala salah seorang patihnya datang,
"Ada apa, Randu Alasan?" tanya Wulung Seta sembari melepaskan ciumannya.
"Am... ampun, Paduka. Sungguh hamba tidak mengerti," terbata-bata Randu Alasan berkata. Hampir saja Randu Alasan kembali balik, tatkala Wulung Seta berseru.
"Tunggu, Randu! Ada apa gerangan?"
Randu Alasan segera menghentikan langkahnya, kembali menghadap ke Rajanya. Setelah kembali menyembah, Randu Alasan segera berkata: "Ampun Baginda yang Mulia, Ketiwasan!"
"Ketiwasan...? Ketiwasan apa maksudmu, Randu?" tanya Wulung Seta tak mengerti apa yang dimaksud oleh Randu Alasan. Matanya membeliak karena kaget, memandang pada Randu Alasan.
"Ampun Yang Mulia. Lima orang prajurit kedapatan mati," kata Randu Alasan menjadikan Wulung Seta makin membeliak matanya, seketika Wulung Seta berdiri.
Angelir yang melihatnya nampak ketakutan dan menundukkan kepalanya. Wulung Seta tercenung, memandang ke langit-langit pendopo. Matanya berkaca-kaca, sepertinya menangis. Ya, Wulung Seta memang menangis. Wulung Seta menangisi kejadian-kejadian yang tak pernah diduganya. Baru saja adiknya Amurwa Sakti menyangka kalau-kalau prajuritnya yang berbuat, tapi kini prajurit-prajuritnya sendiri yang terkena musibah.
"Kau tahu siapa orang yang melakukannya, Randu?"
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Kalau hamba mengetahui siapa orangnya tak akan hamba biarkan ia hidup-hidup," jawab Randu Alasan.
"Ayo kita ke sana!" ajak Wulung Seta. Dengan diiringi oleh Randu Alasan dan Angelir, Wulung Seta bergegas pergi menuju ke perkemahan prajuritnya. Langkahnya begitu memburu, sepertinya ingin segera bergegas mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Wulung Seta dan Angelir terbelalak kaget, manakala melihat korban yang mati. Lima orang mati dengan kening bolong, ditutup oleh setangkai bunga mawar merah darah. Diambilnya kelima bunga mawar itu oleh Wulung Seta. Ditatapnya sesaat kelima prajuritnya, hatinya bergumam perih: "Oh, apa artinya semua ini?"
"Sepertinya ada musuh dalam selimut, Paduka!" kata Randu Alasan menjadikan Angelir dan Wulung Seta terjengah kaget. Keduanya seketika memandang Randu Alasan, yang tertunduk tak berani menentang pandang.
"Mungkin juga, Randu. Untuk itu, periksa seteliti mungkin orang-orang yang patut dicurigai!"
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka, akan hamba junjung tinggi!" jawab Randu Alasan.
Angelir yang berdiri di samping Wulung Seta hanya diam membisu. Dalam hatinya bergumam penuh kemenangan. Sudah banyak korban yang jatuh, menjadikan makin berkurang beban prajurit ayahnya. "Bila masanya tiba, maka kaupun akan menerima nasib yang sama, Randu Alasan!" membatin Angelir.
Randu Alasan yang tengah memandang Angelir, seketika hatinya membersit sebuah tuduhan. Namun Randu Alasan tak berani mengutarakannya. Ia takut kalau-kalau Wulung Seta bahkan balik menuduhnya. "Ah, sungguh petaka! Tapi, apakah memang benar gadis ini yang berbuat? Memang sejak Wulung Seta bersamanya, korban banyak berjatuhan. Semua sama, mati dengan bunga mawar," batin Randu Alasan.
Melihat Randu Alasan menatapnya, Angelir yang merasa telah mampu mengait hati Wulung Seta menentang pandangan Randu. Hal itu menjadikan Randu Alasan tak berani untuk terus bertatap mata. Randu Alasan akhirnya menunduk. Malam pun berjalan dengan cepat, mengiringi kebisuan yang terjadi. Waktu terus memburu, sepertinya turut menyaksikan apa yang telah terjadi. Bila esok datang, kembali mereka akan disiapkan untuk berperang.
Kejadian malam itu seperti gelap, gelap tak ada yang dapat membuka tabir semuanya. Dengan langkah lesu, Wulung Seta yang diiringi Angelir berjalan kembali menuju istana. Randu Alasan hanya mampu mendesah, menarik napas panjang. Lalu dengan dibantu beberapa orang prajurit, Randu Alasan malam itu juga mengubur kelima teman-temannya.
"Siapakah pelaku semua ini?" gumam hati Randu Alasan.
Ia tak berani menuduh siapa yang telah berbuat, walaupun hati tuanya mengumandangkan sebuah terkaan pada siapa sebenarnya yang telah melakukan segalanya. Tapi kedudukannya selaku patih, menjadikan Tut Wuri Handayani. Manut untuk terus menjadi patih, daripada menentang tapi dipecat!
********************
LIMA
Dengan adanya perang yang terus berkelanjutan, menimbulkan bencana dari sosial. Pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan dan sebagainya. Kelaparan melanda di mana-mana, kejahatan sosial pun terus melanda. Tak ada yang dapat disalahkan, tak ada yang dapat membendungnya. Semua tertuju pada perang, ya perang.
Malam itu desa Kurawan tampak sepi. Angin malam menimbulkan rasa dingin yang menusuk-nusuk. Hujan mengguyur dengan derasnya, disertai suara halilintar yang menggema berkali-kali. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berlari menerobos hujan. Lelaki itu yang ternyata Jaka adanya, memaki-maki sendiri pada hujan.
"Hujan sialan! Basah semua pakaianku!" Jaka terus berlari menerobos gelap, memecahkan rintikan-rintikan air hujan yang mengguyur tubuhnya. Dicobanya untuk terus berlari, mencari salah sebuah rumah penduduk untuk menumpang teduh.
Tengah Jaka Ndableg berlari merambah hujan, seketika telinganya yang tajam mendengar jeritan dari arah depannya. Jeritan itu berasal dari sebuah desa. Jaka yang tadinya hendak mencari teduh, segera mengurungkan niatnya.
"Heh, seperti ada bencana. Apakah memang ada bencana di desa sana?" gumam Jaka yang terus mempercepat larinya, tak perduli lagi dengan tubuhnya yang tersiram air hujan. Walau dadanya yang telanjang terasa sesak oleh tempaan air hujan, Jaka terus berlari.
********************
"Tolong...! Rampok...! Aaachhh...!" Orang yang berteriak itu seketika terkulai, darah berhamburan muncrat dari lehernya yang dibabat golok. Orang malang itu ambruk, mati dengan leher hampir putus.
Pekik-pekik wanita yang ketakutan, memecahkan kesunyian malam. Sementara gelak tawa para rampok, sepertinya gelak tawa setan yang mengerikan.
"Rambah semua rumah penduduk!" terdengar suara seorang wanita berseru, sekaligus memerintah pada anak buahnya. Wanita itu yang ternyata Loro Ireng tertawa bergelak-gelak. "Bunuh mereka yang menentang!"
Tengah garong-garong itu beraksi, terdengar suara bentakan yang seketika mengejutkan Loro Ireng. Seketika mata Loro Ireng mengalihkan pandangannya pada asal suara itu.
"Sundel Bolong! Rupanya kau orangnya yang selalu membuat kerusuhan!"
"Hem, kaukah lurah di sini?" tanya Loro Ireng sinis, menjadikan kepala desa di hadapannya mendelik. "Kebetulan! Lurah dungu, katakan pada penduduk mu supaya memberikan apa yang mereka miliki pada kami!"
"Setan Alas! Jangan kira aku mau diperbudak olehmu!" menggeretak kepala desa marah. "Serang...!"
Demi mendengar seruan kepala desa, seketika pamong praja berkelebat menyerang Loro Ireng berbarengan. Diserang begitu rupa Loro Ireng bukannya takut, malah dengan ganda tertawa Loro Ireng memapakinya.
"Rupanya kalian minta mampus! Baik, terimalah ini!"
Loro Ireng yang berjuluk Dewi Alas Renges berkelebat dengan cepat. Tangannya yang kecil dan halus, tak ubahnya bagaikan baja yang keras. Setiap hentakan tangannya, menimbulkan hawa panas. Itulah ajian Tangan Dewa. Walaupun seorang gadis, namun Loro Ireng adalah murid Datuk Wurang Geni yang terkenal kesaktiannya. Maka tak dapat disangsikan lagi kalau Loro Ireng pun memiliki ajian-ajian yang dimiliki oleh Wurang Geni. Di pihak lain, anak buahnya nampak makin mengganas. Korban sudah banyak berjatuhan, terbabat golok anak buah Loro Ireng.
"Ayo, jangan sisakan apa yang ada. Ambil semua!" seru Gober selaku wakil Loro Ireng.
Tak dapat dibayangkan, anak buah Gerombolan Hutan Renges seketika makin mengganas. Golok di tangan mereka, tak ubahnya malaikat elmaut. Setiap kelebatan golok itu, memekik pula kematian. Tengah mereka beraksi, membunuh dan menyiksa penduduk desa terdengar suara lantang membentak:
"Tikus, tikus busuk! Rupanya kalianlah tikus-tikus yang suka usil!"
"Bedebah! Siapa kau! Kalau kau manusia, tunjukkan batang hidungmu!" bentak Gober marah, merasa dihina dengan panggilan tikus. Matanya liar memandang ke asal suara, dengan golok siap di tangannya.
"Aku di sini, tikus dungu!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka, seketika berkelebat tubuhnya yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Gober. Gober tersentak dan melompat mundur. Bibirnya menyungging senyum sinis, manakala tahu siapa gerangan yang telah berdiri di hadapannya.
"Rupanya hanya seekor monyet," dengus Gober.
"Ah, apakah kau tak salah ngomong? Aku rasa, kaulah monyetnya. Kalau kau manusia, jelas kau memiliki rasa kemanusiaan. Tapi kau memang monyet. Ha, ha, ha.... Pantas, pantas!"
"Sinting! Siapa namamu, Anak muda? Jangan kau mati tak meninggalkan nama!" bentak Gober.
"Wow, gaya bahasa mu seperti filsuf. Namun tindakanmu, heh, he... tak lebih tindakan maling kelas teri. Eh, bukankah kau memang maling?"
"Pemuda sinting! Rupanya kau ingin mampus, berani lancang pada gerombolan Alas Renges!"
"Aduh... Maaf saja yang mulia. Sungguh aku tak tahu, kalau yang mulia ternyata pimpinan gerombolan tikus-tikus comberan. Ha, ha, ha..."
Tak dapat dicegah lagi kemarahan Gober mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka. Maka dengan mendengus marah, Gober segera berseru pada anak buahnya. "Serang...! Jangan biarkan pemuda gila ini hidup!"
"Wadauw.... Kenapa oom-oom semua menyerangku? Apa salahku, oom?"
Jaka bagai orang kebingungan diserang oleh begitu banyak orang. Tubuhnya yang berisi, berkelebat-kelebat dengan ilmu meringankan tubuh hingga serangan mereka hanya mengenai tempat yang kosong. Seharusnya mereka sadar siapa yang kini tengah mereka hadapi. Namun sebagai orang-orang yang kasar, mereka tak mau perduli siapa adanya Jaka.
"Ampun, oom. Jangan tendang aku...!"
Jaka berseru manakala salah seorang anggota Gerombolan Alas Renges hendak menendangnya. Dengan bergerak cepat membalik, Jaka tendangkan kakinya menghantam orang itu.
"Aaah...!" seketika memekiklah orang yang kena tendang. Matanya mendelik, tangannya memegangi dadanya yang terasa sakit. Jaka yang merasa main-main, tertawa bergelak-gelak demi melihat musuhnya muter-muter sambil menahan sakit.
"Hua, ha, ha.... Lucu teman kalian. Lihat, bukankah ia seperti tikus comberan mencium tai?"
"Edan! Jangan hiraukan ucapannya!" dengus marah Gober, melihat tingkah laku Jaka yang konyol. "Serang...!"
"Eeh.... Rupanya kalian juga ingin menikmati mimpi indah. Wah... memang malam telah larut, ditambah lagi dengan gerimis. Enak ya kalau tidur, apa lagi dengan isteri!"
"Setan! Jangan banyak bacot!" maki keki Gober yang merasa Jaka telah mempermainkannya. Tubuh Gober bergerak dengan cepat, membabatkan pedangnya ke tubuh Jaka.
Pertarungan terus berlangsung dengan serunya. Walau Jaka nampak seperti main-main, namun segala tindakannya selalu membawa hasil. Tangannya yang seperti menari, selalu menjadikan musuhnya terhempas ke belakang.
"Wah... wah... Kenapa kalian tidak pernah makan pisang? Kenapa srodak sono srodak sini? Jangan kesusu, kawan! Ini untukmu pisang molen!"
Habis berkata begitu, Jaka segera menyodokkan bogem mentahnya ke mulut penyerangnya. Seketika menjeritlah orang itu, dengan mulut yang berlepotan darah. Giginya rontok, berjatuhan muncrat dari mulut bersamaan dengan muncratnya darah.
Semua yang mengeroyoknya tercengang. Namun belum juga mereka sadar, Jaka telah mendahuluinya. "Ini untuk kalian yang bengong!"
"Aduh...!" pekik seorang lagi.
"Ini juga! Biar mulutnya yang bau jengkol tidak menganga terus. Bahaya kalau mulutmu menganga, bisa menimbulkan polusi!"
Seperti yang pertama, orang kedua, ketiga, keempat, dan kelima pun seketika menjerit-jerit sambil memegangi mulutnya yang tertimpa kue pisang molen Jaka! Jeri juga yang lainnya melihat hal itu. Namun kejerian mereka hilang, kala Gober kembali berseru memerintahkan mereka agar menyerang.
"Serang lagi! Jangan biarkan anak gendeng ini bebas!"
Serta merta, kesembilan puluh anak buahnya bareng mengepung Jaka yang tertawatawa. Golok di tangan mereka, berkelebat tak beraturan menjadikan Jaka pusing juga. Namun bukanlah Pendekar Pedang Siluman Darah kalau harus mengalah. Diserang serabutan begitu rupa, tidak menjadikan Jaka gentar.
"Ampun, Emak! Mereka hendak mencincang Jaka...!" seru Jaka bagaikan anak kecil.
Hal itu menjadikan nafsu penyerangnya yang sedari tadi memang telah kesal dengan ulah Jaka. Mereka terus mencerca Jaka, bagaikan tak memberi kesempatan sedikit pun bagi Jaka untuk mengatur napas. Golok di tangan mereka silih berganti, menyerang. Hal itu menjadikan Jaka menggerutu kesal, yang dengan konyolnya menyemburkan ludah ke muka penyerangnya.
"Cuh...!"
Mata orang yang terkena semburan ludah Jaka, seketika gelap. Maka serangan mereka pun makin tak menentu. Bahkan teman sendiri diserang begitu saja.
"Edan si Jumro! Kenapa kau menyerang aku, hah!" maki orang yang diserang Jumro.
"Aduh... Aduh, mataku...!" Jumro menjerit-jerit.
"Hua, ha, ha...! Nah, siapa lagi yang ingin susu indomilk?"
"Sinting! Kau harus mampus, anak muda!" dengus Gober.
"Apa...? Kau minta mampus? Baiklah! Kalau memang itu kehendak kalian, akan aku bantu kau ke akherat, hiaat...!"
Jaka bergerak cepat, tak segan-segan lagi menghantamkan tangannya yang berisi tenaga dalam. Tangannya bagaikan burung pelatuk, mematuk jidat orang-orang itu. Seketika menjeritlah orang-orang yang terkena. Dalam sekali gebrakan saja, sepuluh orang telah terhantam. Di jidat mereka tergambar angka dadu, yang menjadikan Jaka makin ganda tawanya seperti melihat hal lucu.
Di pihak lain, Loro Ireng yang tengah dikeroyok oleh kepala desa dan para pamong Praja nampak masih tenang. Sudah lima orang yang meregang nyawa, terhantam tangan Loro Ireng yang disaluri ajian Tangan Dewa.
"Terimalah Dewa Brahma!" bentak Loro Ireng. Bersamaan dengan itu, tangan Loro Ireng seketika menyala bagaikan tertutup api. Itulah kehebatan tangan Dewa. Setiap kali Loro Ireng merapalkan segala Dewa, maka tangannya akan seketika berubah menjadi tangan Dewa. Dewa Brahma adalah Dewa Api, sehingga tangan Loro Ireng pun menjadi api.
Tersentak mundur kepala lurah melihat hal itu. Nyalinya seketika menciut. Namun sebagai kepala desa, ia dituntut untuk membasmi kerusuhan di desanya. Mau tak mau, kepala desa itu pun membuang segala kengerian di hatinya. Maka dengan Ajian Tirta Buananya, Kepala Desa segera berkelebat memapaki serangan Loro Ireng.
"Tirta Buana.... Hiaatt...!"
"Hiaatt...!"
"Duar!"
Ledakan terdengar seketika, manakala dua ajian bertemu menjadi satu saling serang. Kepala desa terpental lima tombak dengan tubuh terjengkang, mulutnya mengeluarkan darah segar. Sementara Loro Ireng pun tak luput. Tubuhnya terjengkang tiga tombak, matanya melotot tak percaya. Dengan mendengus marah, Loro Ireng yang sudah mampu menjaga keseimbangannya kembali hendak menyerang Kepala Desa. Membeliak mata Kepala Desa, manakala Loro Ireng berkelebat dengan ajian Dewa Wisnu. Tangan Loro Ireng seketika berubah banyak dengan api yang menyala-nyala.
"Gusti Allah! Mungkin hanya di sini umurku!" batin kepala desa, manakala Loro Ireng semakin dekat ke arahnya. Namun ketika Loro Ireng hendak menghabisi nyawa Kepala Desa, secepat kilat sebuah bayangan berkelebat memapakinya.
"Aaah...!" Orang yang memapakinya seketika melengking. Tubuh orang itu hangus, terbakar oleh api yang menyala-nyala. Kepala Desa tersentak membuka matanya, memekik manakala tahu siapa orang yang telah berusaha menolongnya.
"Rekso Panuluh! Rekso Panuluh!"
Rekso Panuluh yang telah mati, tak mendengar jeritan Kepala Desa yang mengguncang-guncang tubuhnya. Rekso Panuluh adalah salah seorang tangan kanan Kepala Desa yang sangat setia pada pimpinannya. Pengorbanan Rekso Panuluh begitu besar dengan cara mengorbankan nyawanya untuk keselamatan Kepala Desanya.
"Sundel Bolong! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" menggeretak Kepala Desa marah. Lalu dengan menggeram terlebih dahulu, kepala desa segera menyerang Loro Ireng yang tersenyum.
"Akan aku kirim kau ke neraka, Kepala Desa dungu!" bentak Loro Ireng. "Terimalah ajianku. Dewa Petir...!"
Dikiblatkan tangannya yang telah dilandasi dengan Ajian Dewa Petir. Seketika petir membahana, mengejutkan semua orang yang ada di situ termasuk Jaka. Jaka yang tengah mempermainkan anak buah Loro Ireng tersentak manakala didengarnya petir membahana.
"Hem, rupanya di sini ada yang memiliki ajian Petir seperti milikku!" batin Jaka. Dengan segera Jaka menengok sesaat ke asal suara petir itu. Matanya seketika membeliak, mana kala dilihatnya seorang gadis mengumbar ajiannya yang mengeluarkan petir menyerang orang tua yang tampak lemah. "Aku harus menolong orang tua itu!" pekik Jaka dalam hati. Maka dengan sekali loncat, tubuhnya telah melesat menghadang serangan Loro Ireng.
"Petir Sewu...!" seru Jaka.
Hampir saja Kepala Desa itu terhantam ajian Dewa Petir yang dilontarkan oleh Loro Ireng, kalau saja Jaka tidak segera memapaki serangan Loro Ireng dengan Petir Sewunya.
"Duar...!"
"Aah...!" pekik Loro Ireng dengan tubuh terjengkang kebelakang. Pakaian yang dikenakan seketika hancur terbakar oleh petir yang dilontarkan Jaka. "Anak muda! Kali ini aku mengalah. Tunggulah nanti!"
Dengan perasaan malu karena tubuhnya tak tertutup sehelai benang pun, Loro Ireng segera pergi diikuti oleh sisa-sisa anak buahnya.
********************
Sepeninggalan Loro Ireng beserta kambrat-kambratnya, Jaka segera menghampiri Kepala Desa yang masih pucat. Dibantunya Kepala Desa itu bangun. "Siapa mereka, bapak?" tanya Jaka.
"Mereka adalah gerombolan Alas Renges, nak," jawab Ki Lurah dengan napas ngosngosan. "Kau hebat, anak muda. Kau mampu mengalahkan ajian Dewa Petir miliknya. Siapa namamu?"
"Nama saya Jaka, pak."
"Jaka, tanpa kedatanganmu mungkin entah jadi apa desa ini. Untuk itulah, aku selaku pimpinan desa mengucapkan terima kasih."
"Itu sudah kewajibanku, bapak. Tak perlulah bapak memikirkannya," jawab Jaka dengan senyum, menjadikan seluruh warga yang ada di situ memdecak kagum. Gadis-gadis yang melihatnya seketika melekatkan pandangan matanya pada wajah Jaka yang tampan.
"Wah, sudah tampan berilmu tinggi pula," gumam Kemuning pada temannya.
"Kau naksir, Kemuning?"
"Ah, mana dia mau yang tampan dan sakti denganku yang jelek? Bisa-bisa diketawai!" jawab Kemuning sambil tersenyum.
Sementara Jaka dengan Kepala Desa terus melangkah menuju ke rumah Kepala Desa. Sambil berjalan, mereka saling bercerita tentang keadaan diri mereka masing-masing. Tak terasa, dalam beberapa menit saja keduanya telah sampai.
"Inilah rumahku, Jaka. Ayo mampir!"
"Ah, terima kasih. Gampang lain waktu saja. Aku mohon pamit!"
"Kau mau ke mana, Jaka?"
"Aku akan melihat pertempuran itu!" Habis berkata begitu, secepat kilat Jaka telah berkelebat. Hal itu menjadikan Ki Lurah melototkan mata tak percaya sembari menggumam. "Apakah dia itu Dewa? Kalau orang, mana mungkin dapat berlari seperti angin?"
Orang-orang yang mengantar Ki Lurah hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala, demi melihat kelebatan Jaka yang bagaikan angin.
********************
Pagi yang telah datang, manakala mentari menyibak daun-daun yang berada di hutan dengan sinarnya. Burung-burung terdengar bernyanyi dengan riangnya, seakan mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
"Ooh, hari telah pagi. Pantas kalau aku silau, tak tahunya sinar matahari menerpa wajahku," gumam Jaka yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Semalam aku bertempur dengan gerombolan Alas Renges. Hem, aku akan mencari mereka!"
Dengan sekali loncat, Jaka telah turun dari batang cabang pohon yang dijadikannya tempat tidur. Setelah melemaskan tubuh, Jaka segera berkelebat untuk mencari air. Tak berapa lama kemudian, Jaka dapat menemukan sebuah kolam air. Setelah celingukan ke sana ke mari dan dirasakan tak ada orang lain, dengan segera Jaka langsung menceburkan diri ke sendang itu.
"Ah, dingin benar air sendang ini!"
Walau air sendang itu memang dingin, namun terasa sejuk kala Jaka terus menyibakkan badannya. Hingga saking asyiknya Jaka mandi, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa musuh akan selalu datang tak mengenal waktu. Begitu juga saat itu, Jaka tak menyadari kalau sepasang mata lentik tengah mengawasi dirinya. Mata itu milik seorang wanita, yang merasa kagum atas ketampanan Jaka.
"Sungguh tampan pemuda itu," gumam wanita itu dalam hati. "Aku... Oh, kenapa kau begitu tertariknya untuk dapat mengenalnya?"
Perlahan-lahan gadis itu melangkah mendekati tempat di mana Jaka menaruh pakaiannya. Dengan perlahan-lahan hingga tak menimbulkan suara sedikitpun, gadis itu segera mengambil baju Jaka. Ketika Jaka telah selesai mandi dan hendak mengambil pakaiannya, seketika mata Jaka melotot kaget. Bajunya telah hilang, yang ada hanya celananya saja. Dengan menyabet celana dan bergegas mencari tempat bersembunyi, Jaka segera pergi untuk mengenakan celananya.
"Ke mana bajuku? Apakah aku lupa menaruh?" gumam Jaka dalam hati, bingung. "Ah, tidak. Aku tidak lupa, aku belum linglung. Atau barangkali terhanyut oleh air? Coba aku cari lagi!" Jaka dengan segera kembali berkelebat menuju ke sendang, di mana ia tadi mandi. Matanya memandang pada air sendang yang tampak bening.
"Hem, tak ada. Masa baru sekejap saja bajuku tenggelam? Tak mungkin...!" gumam hati Jaka penuh ketidak mengertian.
Tengah Jaka kebingungan mencari bajunya, terdengar seorang gadis mendehem dan bertanya kepadanya. "Ehm.... sedang apakah dirimu, Jaka?"
Jaka segera memalingkan mukanya, memandang pada gadis itu dengan terkejut. Betapa tidak, bertemu saja baru sekarang, mengapa gadis itu mengenalnya? "Apakah sedemikian tenarnya, sehingga namaku begitu melekat di hati gadis-gadis? Ah, kayak bintang film saja," gumam Jaka dalam hati.
"Heh, dari mana nona tahu namaku?" tanya Jaka dengan kebingungannya. Namun gadis itu bukannya menjawab, bahkan dengan tersenyum dia mengerlingkan matanya genit.
"Sompret...! Ditanya, eh malah main mata. Apa sih maunya?" kembali Jaka bergumam dalam hati, demi dilihatnya gadis itu main mata dengannya.
"Nona, apakah nona tahu bajuku?"
"Kalau aku tahu, mau kau beri aku apa?" balik bertanya si gadis, yang menjadikan Jaka jantungnya deg-degan melihat senyum yang sengaja ditujukan ke arahnya.
"Jadi benar namamu, Jaka?"
"Ya, ada apa?"
"Ah, tak apa-apa. Terus terang saja, kau tampan!"
"Aah...." Terbelalak mata Jaka mendengar pengakuan gadis itu yang polos. "Apa kau tak bercanda, nona?"
"Tidak! Aku tidak bercanda. Bukankah aku tadi mengatakan terus terang saja?" jawab si gadis makin melebarkan senyumnya.
Hati Jaka seketika bagai bedug ditabuh, bergemuruh dengan segala perasaan bangga. Tak terasa, Jaka pun menatap mata si gadis lekat-lekat. Hingga untuk beberapa lama Jaka hanya diam mematung, sementara matanya tak luput dari tatapan si gadis.
"Kenapa kau bengong, Jaka?"
"Ah, ti... tidak!" jawab Jaka terbata. Lalu setelah dapat menenangkan pikirannya, Jaka kembali meneruskan. "Nona, kau telah tahu siapa namaku. Sekarang aku ingin bertanya, tahukah kau siapa yang telah mengambil bajuku?"
Mendengar pertanyaan Jaka, gadis itu tampak merengut. Hal itu membuat Jaka seketika mengernyitkan kening tak mengerti, lalu dengan tergagap kembali bertanya.
"Ada apakah, nona? Apakah aku telah menyinggung perasaanmu?"
"Kau terlalu, Jaka," jawab si gadis, yang makin menjadikan Jaka mendalamkan lipatan kerut di keningnya.
"Hai... Kau bilang aku terlalu. Maksudmu terlalu bagaimana, Nona?"
Gadis itu tak segera menjawab, bahkan kini ia pergi meninggalkan Jaka yang hanya mematung tak mengerti. Pikiran Jaka yang sedang kacau, makin bertambah linglung bingung.
"Edan! Beginilah kalau menjadi orang ganteng," gumam Jaka menyanjung dirinya sendiri. "Huh, kalau begini caranya, aku termasuk orang-orang penghancur hati wanita!"
Tengah Jaka terbengong-bengong tak mengerti, didengarnya isak tangis. Jaka tersentak dan segera memasang telinganya, dan Jaka lebih tersentak lagi manakala ia tahu siapa yang tengah menangis itu. "Heh, inikah yang dinamakan dunia cinta?" tanya Jaka dalam hati. "Sungguh perilaku edan kalau begitu. Kenapa gadis ini menangis hanya karena aku tak tahu apa-apa? Huh... pusing-pusing."
Perlahan Jaka menghampiri gadis itu hingga tak terdengar langkahnya. Ketika tangan Jaka hendak memegang pundak si gadis, Jaka segera mengurungkannya. "Nona, kenapa nona menangis?" Gadis itu segera menengokkan wajahnya. Dipandangnya wajah Jaka lekat-lekat. Perlahan gadis itu bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Jaka yang berdiri bengong mematung.
"Apakah kau tak tahu perasaan, Jaka?" tanya si gadis, menjadikan Jaka membelalakkan mata dan bertanya tak mengerti.
"Heh, benarkah aku ini tak punya perasaan?" gumamnya seperti pada diri sendiri. "Aku rasa, aku mempunyai perasaan kaya-kaya seperti manusia."
"Kenapa kau tak mau memperhatikan aku?" sendah si gadis menjadikan Jaka makin menjadi-jadi kagetnya. Bagaimana mungkin, ia mungkin baru mengenalnya harus memperhatikan? Apakah itu bukan suatu hal yang sangat mustahil?"
"Nona ini bagaimana? Bertemu saja kita baru di sini, mana mungkin aku dapat memperhatikan mu?" tanya Jaka.
Gadis itu terdiam, matanya tetap melekat pada titik mata Jaka sepertinya hendak menembus ruang-ruang hati Jaka. Jaka mendesah berat, dirasakan olehnya bahwa gadis itu memang sengaja menaruh benang cinta untuknya. "Jaka, apakah kau tak tahu?"
"Maksudmu, Nona?" tanya Jaka tak mengerti.
Gadis itu tak meneruskan kata-katanya. Untuk kedua kalinya gadis itu menatap lekat pada Jaka, sehingga keduanya kembali diam. Tak dikira sebelumnya oleh Jaka, tangan gadis itu seketika bergayut di pundaknya. Mulanya Jaka hendak menolak, namun ketika melihat mata si gadis yang sendu, Jaka tak menggubrisnya. Dibiarkan tangan si gadis terus bergayut di pundaknya.
"Ah, bagaimana aku harus berbuat?" keluh Jaka dalam hati. Untuk kedua kalinya Jaka tersentak kaget, manakala untuk kedua kalinya pula gadis itu dengan berani menciumnya. Bukan alang kepalang bingungnya Jaka saat itu. "Nona, kenapa kau begitu berani? Bukankah kita belum saling kenal?"
"Aku tak perduli, Jaka," jawab si gadis dengan tenang, sepertinya tak pernah bersalah. "Bukankah aku telah mengenal namamu?"
"Ah..." keluh Jaka tertahan. "Bukankah aku belum mengenalmu? Apakah kau tak takut kalau aku orang jahat, nona?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka, si gadis malah tersenyum. Tangannya yang bergayut di pundak Jaka, makin menutup yang akhirnya memeluk leher Jaka. "Kalau kau ingin tahu namamu, aku bernama Dewi Ayu Angelir," jawab si gadis. "Nah, bukankah kita tak ada halangan sekarang?"
"Ada, nona!" jawab Jaka seketika, menjadikan si gadis yang bernama Angelir membelalakkan mata.
"Apa itu, Jaka?"
"Kita terbatas dengan susila, bukan?"
"Ah, Jaka...." keluh si gadis manja dan kembali menggayutkan kedua tangannya di pundak Jaka.
"Nona, apakah kau tahu bajuku?" kembali Jaka bertanya.
"Kenapa kau tak mau memanggil namaku saja, Jaka?"
"Baiklah, No... Eh, Angelir. Tahukah kau siapa yang mengambil bajuku?"
"Tahu...." jawab si gadis dengan manja. "Kalau aku tahu dan mau menunjukkan siapa pencurinya, apa yang bakal kau hadiahkan padaku?"
"Kau minta apa?"
"Aku... Hem, aku minta ini."
Terjengah Jaka tak mampu menolak ketika bibir si gadis menjarah bibirnya. Jaka berusaha melepaskannya, namun si gadis tak mau perduli. Hingga akhirnya, Jaka pun terhanyut dalam suasana romantis itu. Namun ketika gadis itu mengajaknya makin tak karuan, dengan segera Jaka menyadarkan dirinya sendiri. Jaka dengan segala perasaannya segera meninggalkan gadis itu sendirian, tanpa menghiraukan bajunya yang hilang entah ke mana.
"Huh.... Ada-ada saja kehidupan di dunia," gumam Jaka sembari terus berjalan dalam usahanya mencari markas gerombolan Alas Renges, yang telah membuat kerusuhan. Tak terasa langkahnya telah begitu jauh, meninggalkan tempat di mana Angelir hampir saja menjerumuskannya.
Siang itu di wilayah pendukuan Goa Selerong nampak ramai. Tampak orang-orang berlalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Kebanyakan mereka orang-orang yang melancong untuk berdagang, atau sekedar mencari hiburan. Biasanya mereka datang untuk sekedar mencari wanita-wanita penghibur, atau main koprok yang telah mendarah daging di daerah itu. Saking susahnya permainan Koprok dibubarkan, sampai-sampai pihak kerajaan tak mau ambil perduli lagi. Jaka terus berjalan, manakala tampak olehnya segerombolan orang-orang tengah menyaksikan sesuatu. Karena tertarik, Jaka pun segera mendatangi tempat itu.
"Ada gerangan apakah, Ki Sanak?" tanya Jaka pada salah seorang penonton.
"Ada orang berkelahi," jawab yang ditanya.
"Berkelahi...?" kembali Jaka bertanya, sepertinya ingin meyakinkan jawaban orang itu.
"Benar, Anak muda," jawab orang itu kembali.
"Mengapa tak ada yang memisahkannya? Dan siapa yang berkelahi?"
Orang yang ditanya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jaka. Lalu dengan acuh sambil kembali menonton, orang itu berkata. "Bagaimana untuk memisah? Wong mereka itu diadu."
"Di adu...?"
"Ya, mereka diadu!" jawab lelaki itu kembali. "Mereka merupakan orang-orang yang kalah main Koprok. Mereka diadu oleh Ki Coper, dengan maksud siapa yang menang dia tak usah mengembalikan hutang-hutangnya pada Ki Coper."
"Hem, begitu?"
"Ya, kebanyakan mereka tak mengerti akan tujuan Ki Coper. Mereka bermain tak pernah menang. Harta benda ditaruhkannya."
Jaka tercenung demi mendengar keluhan orang tersebut, dalam hatinya bergumam penuh tanda tanya. Matanya memandang tak berkedip pada dua orang yang tengah berlaga. "Apa yang sebenarnya terjadi di pedukuan ini?"
Perkelahian antara dua orang laki-laki itu terus berjalan, saling baku hantam. Walau muka keduanya telah babak belur, namun sepertinya kedua orang itu tak bakal ada yang kalah. Keduanya tetap bertahan, dengan harapan dapat impas hutang-hutangnya bila menang.
"Ki Sanak, kalau boleh aku tanya, di mana biasanya orang-orang main dadu Koprok?" tanya Jaka pada orang di sampingnya.
"Mau apa...?" orang itu balik bertanya.
"Aku ingin main!"
"Mau main?" tanya orang itu dengan kaget. "Jangan, Anak muda, percuma!"
"Kenapa...?" Jaka bertanya mendesak, menjadikan orang itu terdiam menarik nafasnya. Sepertinya orang itu sangat iba mendengar penuturan Jaka.
"Mereka curang, kau pasti akan kalah," jawab lelaki itu, nadanya seperti khawatir. "Kuharap janganlah sekali-kali kau terjerat oleh Ki Coper."
"Terima kasih atas perhatianmu, Ki Sanak," kata Jaka. Sejenak Jaka kembali memandang pada mereka yang tengah berkelahi. Tampak darah telah membasahi sekujur tubuh orang-orang itu. Jaka yang merasa kasihan, serta merta berteriak:
"Hentikan...!"
Tersentak semua yang ada di situ manakala mendengar seruan itu. Mereka seketika memandang pada Jaka, seakan tak percaya bahwa orang yang membentaknya adalah anak muda usia. Belum juga mereka tersadar dari kekagetannya, Jaka dengan segera berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri di antara kedua orang yang berkelahi.
"Kalian bukan binatang, kenapa kalian mau diadu?" tanya Jaka pada keduanya, yang seketika menghentikan perkelahian seraya memandang padanya. "Berapa hutang-hutang kalian, sehingga kalian mau saja diperbudak?"
"Apa maksudmu, Anak muda?" tanya salah seorang yang tadi berkelahi.
"Aku tak ingin kalian baku hantam hanya karena masalah yang gila," jawab Jaka. "Kalau kalian mau berkelahi, kenapa tidak mengeroyok biangnya sekalian?"
"Maksudmu, Anak muda?" orang satu-nya ikut bertanya.
"Kalau kalian ingin benar-benar bebas dari buaya, mengapa kalian tidak membasmi buayanya saja? Mengapa justru kalian yang baku hantam sendiri?"
"Kau maksud kami menentang Ki Coper?" tanya orang pertama yang berbadan tinggi dengan rambut awut-awutan dan jenggot tumbuh lebat.
"Ya...." jawab Jaka pendek.
Tengah mereka terdiam mendengar penuturan Jaka, tiba-tiba terdengar seruan yang nadanya membentak ditujukan pada Jaka. "Anak muda, lancang kau mengajari orang-orang sini! Apa kau belum tahu siapa Ki Coper, hah!"
Mendengar seruan orang itu serta merta Jaka tertawa bergelak-gelak, menjadikan semua yang ada di situ terperanjat dan berusaha menahan getaran tawa Jaka. "Hai orang yang bicara! Kalau kau benar manusia, aku harap sudilah datang ke mari. Hanya monyet sajalah yang beraninya berkoar. Apa engkau tak ingin kue talam?"
"Setan alas! Lancang mulutmu!" bentak orang tersebut, yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok tubuh langsing menuju ke tengah-tengah arena di mana Jaka berdiri.
Seketika semua orang yang ada di situ tersentak, manakala tahu siapa gerangan orang yang datang. Saking kagetnya mereka demi melihat orang tersebut, sehingga dari mulut semuanya terdengar pekikan menyebut nama orang itu.
"Balong Sakti...!"
"Siapa kau, Anak muda?" bentak Balong Sakti. "Belumkah kau tahu siapa Ki Coper adanya, sehingga kau berani lancang hendak mengadu domba?"
"Aku bukan hendak mengadu domba, aku hanya memberikan saran pada mereka. Kalau mereka mau, ya syukur. Tapi kalau tidak, itu hak mereka."
Mendengar ucapan Jaka, Balong Sakti yang belum tahu siapa adanya Jaka tersenyum mencibirkan mulut. "Lagakmu seperti jagoan, Anak muda!"
"Itu hakmu untuk menilaiku apa," jawab Jaka tenang. "Yang penting aku tak pernah merasakan menjadi seorang jagoan. Lagi pula, jagoan hanyalah ada pada orang-orang yang gila sebutan."
"Jangan banyak khotbah! Sebutkan namamu sebelum aku kirim kau ke neraka!" kata Balong Sakti gusar.
"Hem, mampukah kau mengirim ku ke sana?" tanya Jaka dengan seenaknya, membuat Balong Sakti seketika melototkan mata marah. Apalagi manakala Jaka kembali berkata, Balong Sakti tak dapat membendung amarahnya. "Sebenarnya aku juga ingin piknik ke sana, tapi Tuhan belum mengijinkan ku. Apakah kau juga, Bangkong?"
"Setan...! Namaku bukan Bangkong, Monyet!" bentak Balong.
"Oh, jadi namamu bukan Bangkong melainkan Monyet?" tanya Jaka dengan tenangnya, bagaikan orang pilon yang baru masuk ke kota. "Pantas, kalau kau monyet. Lihat saja, monyongmu memang seperti monyet. Lancip dan ceriwis!"
"Setan!" geram Balong, yang disertai dengan kelebatan tubuhnya menyerang Jaka. Jaka yang diserang secara tiba-tiba tampak tersenyum, dan ganda tertawa manakala melihat jurus-jurus Balong.
"Wua, kenapa kau tidak menjadi raja monyet saja, Balong?"
Balong yang sudah tak dapat menahan amarah, tak mengeluarkan kata-kata lagi. Tubuhnya terus berkelebat dengan cepat menyerang Jaka. Tapi rupanya segala serangan Balong tak berarti apa-apa untuk Jaka. Dengan segera, Jaka menangkap kaki Balong manakala kaki itu berkelebat menyerangnya. Tanpa dapat dielakkan oleh Balong yang meronta-ronta, Jaka yang timbul ide konyolnya segera menarik celana panjang yang dikenakan Balong. Ketika Balong meronta lagi, maka sudah pasti celananya yang menutupi auratnya lepas terbesot tangan Jaka. Demi melihat keadaan Balong yang telanjang, seketika orang-orang yang tadinya tercekam tertawa bergelak-gelak. Tinggallah Balong yang mengumpat-umpat sendiri penuh kemarahan.
"Awas kau anak muda! Tunggu kakakku nanti!"
Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya yang tak tertutup celana, Balong segera berlari ngacir. Hal itu menjadikan semua orang yang berpapasan dengannya terpekik, khususnya kaum wanita yang seketika menjerit sembari menutupi matanya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumum dan mengkhawatirkan Jaka, kini segera mengangguk-anggukan kepala kagum. Semua orang yang melihatnya seketika mengikuti ke mana Jaka pergi, hingga ketika Jaka ke kedai mereka pun ikut ke kedai.
"Apakah kalian tahu di mana kediaman Ki Coper?"
"Kami tahu, Tuan Pendekar," jawab semuanya bareng.
"Terima kasih. Apakah ada yang mau mengantarkan aku ke sana?" kembali Jaka bertanya. Kali ini semuanya terdiam tak ada yang berani menjawab. "Bagaimana? Adakah yang mau?"
Selang beberapa lama setelah semuanya diam, terdengar seruan seseorang dari luar kedai. "Anak muda yang tidak memakai baju, keluar kau!"
"Siapa dia...?" tanya Jaka pada semuanya, manakala tampak orang-orang di sekitarnya terdiam tak ada yang berani berkata.
"Dialah Ki Coper, kakak Ki Balong yang telah tuan kalahkan tadi," jawab seseorang tiba-tiba, yang menjadikan Jaka tersentak seraya memandang ke orang tersebut.
"Siapakah Ki Sanak?" tanya Jaka.
"Aku adik Ki Balong," jawab pemuda itu sembari melemparkan topi yang dikenakannya ke arah Jaka.
Dengan segera Jaka berkelebat mengelakkannya. Tubuh Jaka seketika melompat ke atas dan menjebol atap kedai itu, lalu berdiri menghadapi ketiga kakak beradik itu. "Hem, rupanya kalian kecoa-kecoa busuknya!"
"Anak muda, karena kau telah berani lancang di daerah ku, maka kau akan tahu sendiri akibatnya!"
Tersenyum Jaka mendengar ucapan Ki Coper. "Hem, begitukah? Aku jadi ingin tahu, apa yang bakal kalian lakukan padaku yang bodoh ini."
"Hati-hati, Anak muda!" bentak Ki Coper.
"Sedari tadi aku sudah hati-hati. Kenapa kau memikirkan aku? Bukankah lebih baik kalian memikirkan diri kalian yang sebentar lagi akan menjadi cacing tanah?" ejek Jaka, menjadikan ketiga kakak beradik itu mendengus marah.
Tanpa dapat dicegah, ketika kakak beradik itu spontan mengeroyok Jaka. Jaka yang sudah tahu siapa mereka, nampak tak mau mainmain. Namun walaupun begitu, Jaka yang memang dasarnya Ndableg terus bertingkah konyol. Ketika Lumajang menebaskan golok ke arahnya, serta merta Jaka berteriak.
"Ampun, Mas.... Jangan galak-galak, dong! Itu kan rempeyek, kenapa kau gunakan untuk bertarung? Bukankah lebih baik dimakan saja? Eh, kalau kau tak bisa makannya, sini aku beritahu!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba Jaka telah berkelebat dengan cepat. Tanpa dapat dilihat, Jaka telah merampas golok yang dipegang Lumajang. Hampir saja Lumajang benar-benar makan golok, kalau saja Balong tidak segera membantu menyerang.
"Eh, rupanya ada kodok Bangkong yang datang. Wah, kebetulan aku sudah lama tidak makan daging Bangkon!" Jaka mengibaskan tangannya yang memegang golok, menjadikan Balong tersentak. Gerakan Jaka begitu cepat, sukar untuk diikuti dengan mata.
Melihat adinya dalam keadaan bahaya, secepat kilat Ki Coper bergerak menangkis tangan Jaka. Balong selamat, namun kini dirinya sendiri yang terancam oleh sabetan golok Jaka. Hampir saja golok di tangan Jaka menebas leher Ki Cuper, ketika dengan nekad Lumajang menghantamkan pukulannya. Hal itu menjadikan fatal bagi dirinya sendiri, sebab Jaka yang memang tak menghendaki tubuh musuhnya terkena golok di tangannya segera memapaki pukulan Lumajang dengan pukulan Getih Sakti.
"Crootttt...!"
Tanpa dapat dihindari, Getih Sakti menghantam telak pada tubuh Lumajang. Seketika itu tubuh Lumajang meleleh bagaikan terpanggang. Semua orang yang menonton menggidikkan tengkuknya, demi melihat hal itu.
Melihat adiknya mati, bukannya kedua orang kakak beradik itu menyadari. Bahkan dengan nekad, keduanya segera menyerang Jaka. Kali ini mereka menyerang tidak tanggung-tanggung. Mereka menyerang dengan segala ajian yang mereka miliki.
Jaka tersentak manakala sebuah ajian yang dilancarkan oleh Ki Cuper menghantam ke arahnya. Jaka berusaha menghindar, namun masih juga pahanya tersamber. Seketika daging yang ada di pahanya panas membara bagaikan terbakar, menjadikan rasa nyeri yang teramat sangat.
"Hem, kau telah mulai. Aku pun akan memulainya, bersiaplah! menggeretak Jaka marah. "Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak kedua musuhnya, kala tahu siapa yang tengah mereka hadapi. Ternyata mereka tengah menghadapi seorang pendekar pilih tanding, yang saat ini tengah menggemparkan dunia persilatan. Saking kagetnya kedua kakak beradik itu, dari mulut mereka seketika terdengar seruan, menjadikan semua yang ada di situ turut tersentak kaget.
"Pendekar Pedang Siluman...!"
Tanpa disuruh, kedua orang kakak beradik itu langsung jatuhkan diri minta ampun. "Ampuni nyawa kami, Tuan Pendekar. Sungguh kami telah lancang!"
"Kalian benar ingin menginsafi tindakan kalian?"
"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Ki Cuper dengan gemetaran.
"Baiklah! Ingat oleh kalian, aku akan datang bila kalian ternyata ingkar!" kata Jaka seperti mengancam. "Dan aku minta, bubarkan apa yang selama ini kalian lakukan!"
"Baik, Tuan Pendekar," jawab Ki Cuper.
Jaka yang segera tempelkan Pedang Pusaka Siluman Darah ke paha yang luka, seketika luka itu hilang dengan sendirinya. Bersamaan dengan hilangnya luka di paha Jaka, Pedang Siluman Darah hilang dari tangan Jaka. Dengan tanpa berkata lagi, Jaka segera berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanannya mencari gerombolan Alas Renges. Semua mata yang ada di situ, memandang kagum atas kepergiannya.
********************
Ketika Jaka tengah berlari, seketika seorang lelaki berbadan besar menghadang langkahnya. Jaka tersentak dan melompat mundur. "Ada apa Ki Sanak menghadangku?" tanya Jaka
"Hua, ha, ha... Kaukah yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
"Benar adanya. Siapakah Ki Sanak adanya?"
"Hua, ha, ha... Aku Woro Gendo!" jawab Woro Gendo disertai dengan tawanya yang besar. "Tak aku sangka kalau kita akan bertemu di sini. Lama aku mencarimu, Pendekar!"
"Hem, ada keperluan apa Ki Sanak mencariku?" tanya Jaka seraya mengernyitkan alis matanya tak mengerti.
"Pendekar... sengaja aku mencarimu, karena aku ingin menjajal sampai di mana ilmu yang kau miliki!"
"Ooh, sungguh salah alamat bila begitu," jawab Jaka.
"Jangan kau mungkir, Pendekar. Ayo, kita mulai, cabut senjata yang kau miliki itu!"
"Hem, maaf aku tak ada waktu!" Dengan segera Jaka bermaksud meninggalkan Woro Gendo, namun dengan cepat Woro Gendo segera menghadangnya.
"Sombong kau, Anak muda!" bentaknya marah.
"Aku tidak sombong, Woro Gendo. Tapi aku tak merasa kalau aku seorang pendekar, jadi kalau kau menantangku itu suatu kesalahan. Nah, aku hendak pergi..."
Belum juga Jaka Ndableg berlalu, tibatiba Woro Gendo telah berkelebat menyerang dengan gadanya. Pekikannya begitu mendengungkan gendang telinga. Tersentak Jaka dan melompat mundur, manakala dirasakan sabetan Gada di tangan Woro Gendo. Angin yang keluar dari gada, bagaikan angin puting beliung.
"Ayo, keluarkan Pedang Pusaka mu itu!"
"Baiklah, Woro Gendo. Kalau itu yang engkau inginkan, aku pun tak akan mengecewakan mu. Nah, aku hanya dengan tangan kosong!"
Makin marahlah Woro Gendo yang merasa diremehkan oleh anak muda di depannya. Dengan menggeram marah, Woro Gendo segera kembali berkelebat menyerang. "Jangan lengah, Anak muda!"
Dengan membabi buta, Woro Gendo terus mencerca Jaka. Namun begitu Jaka bagaikan main-main menghindar sembari tertawa-tawa. "Wah, kaku benar jurus-jurusmu, Woro. Apakah kau tak pernah berlatih?"
"Sombong! Ini makan!" bentak Woro Gendo sembari menyodokkan gadanya ke muka Jaka. Secepat kilat Jaka berkelit, dan...
"Rupanya kaulah yang suka makan roti, Woro. Ini untukmu!" Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Jaka telah merebut gada di tangan Woro Gendo dan menyodorkannya ke mulut Woro. Seketika melengkinglah Woro Gendo kesakitan, giginya rontok dan dari mulutnya meleleh darah.
"Aku mengaku kalah, Anak muda. Namun kelak aku akan mencarimu!" Habis berkata begitu, tanpa memperdulikan Jaka yang hanya geleng-geleng kepala Woro Gendo cabut pergi.
********************
"Loro Ireng, keluar kau!"
Loro Ireng yang tengah duduk-duduk dihadapan anak buahnya tersentak manakala mendengar seseorang dengan lantang berseru.
"Siapa yang tengah hari bolong begini berteriak-teriak?" tanya Loro Ireng, sepertinya pada diri sendiri. "Gober, coba kau lihat siapa dia!"
"Daulat, Ketua."
Dengan menggeram marah, Gober segera berkelebat pergi menuju ke luar. Tersentak Gober, manakala tahu siapa adanya orang yang telah berseru itu. "Kau...!"
"Ya, aku. Mana pimpinanmu?" bentak pemuda yang tak lain Jaka adanya.
Demi mendengar namanya disebut, seketika Loro Ireng berkelebat ke luar menemui. "Siapakah, Gober?" tanya Loro Ireng.
"Aku, Loro Ireng..."
Tersentak Loro Ireng, ketika melihat siapa adanya orang yang telah berani menyatroni markasnya. Orang itulah yang telah membuat hatinya tak tenteram, didera oleh rasa yang aneh. "Kau...!" tergagap Loro Ireng berkata.
"Ya aku, Loro Ireng. Aku datang untuk membubarkan kalian."
Loro Ireng tidak menyahut, tapi dari kedua matanya seketika menetes air mata. Melihat hal itu, Jaka yang melihatnya seketika trenyuh. Maka dengan nada lemah Jaka berkata: "Kenapa kau menangis, Loro Ireng?"
"Ampunilah aku, Tuan Pendekar. Aku berjanji tak akan melakukan semua lagi," kata Loro Ireng, matanya tak berkedip menatap Jaka.
"Benar apa yang kau katakan, Loro?"
"Be... benar, Tuan Pendekar," jawab Loro Ireng.
"Baiklah, kalau itu benar. Tapi kalau nanti aku melihat kau melakukannya, maka kau pun tak akan segan-segan menurunkan tangan!" kata Jaka. "Kaukah pimpinannya, Loro?"
"Bukan..."
"Lalu siapa?"
"Orang itu kini telah menyusup di salah satu kerajaan!"
"Maksudmu kerajaan mana, Loro?"
"Entahlah. Yang pasti dua kerajaan musuh kerajaan ayahnya."
Mendengar jawaban Loro Ireng, seketika Jaka berkelebat meninggalkan mereka dengan meninggalkan ucapan yang berupa ancaman. "Loro Ireng, ingat olehmu. Kalau engkau melakukan lagi, aku akan menurunkan tangan pada kalian!"
Loro Ireng tersentak, lalu dengan lesu ia pun segera kembali masuk ke markasnya. Melihat pimpinannya terdiam, semua anak buahnya pun tak ada yang berkata-kata. Mereka segera mengikuti langkah Ireng, masuk ke dalam gubuk.
********************
ENAM
Malam kembali menjelajah, sepertinya menyelimuti kebisuan. Bulan bergayut di atas cakrawala dengan tenangnya, ketika terdengar pekikan lima kali berturut-turut. Randu Alasan yang malam itu tak mampu memejamkan mata, seketika berlari menuju ke arah suara itu. Seketika mata Randu Alasan melotot, manakala dilihatnya lima orang pasukannya telah mati dengan kening berlubang tertutup bunga Mawar Merah.
"Bunga Mawar!" pekik Randu Alasan. "Hem, untuk yang kesekian kalinya Bunga Mawar ini mencari korban. Aku tak habis pikir, siapa gerangan tokoh di balik kejadian semua ini?"
"Ada apa, Randu?" tanya Wulung Seta yang berlari-lari menuju ke arah Randu bersama Angelir. Demi melihat Angelir bersama Rajanya, seketika Randu makin tak mengerti. Tuduhannya yang selama ini menuju Angelir, buyar seketika. Dengan menyembah, Randu menceritakan apa yang terjadi.
"Korban lagi, Paduka." Wulung Seta terdiam masgul. Didekatinya kelima prajurit yang telah mati. Kembali diambilnya bunga Mawar yang menutupi luka di kening kelima prajurit itu.
"Hem, setiap korbannya selalu ditinggal Bunga Mawar," gumam Wulung Seta. "Siapakah kira-kira tokohnya, Randu?"
"Ini jelas tindakan orang-orang Amurwa Sakti, Tuan ku!"
"Kau yakin, Angelir?" tanya Wulung Seta, demi mendengar penuturan Angelir yang mengejutkannya. "Mana mungkin Amurwa Sakti berbuat begini?"
"Itu bisa saja, Kanda. Bukankah kanda pernah bercerita tentang Amurwa Sakti yang marah-marah karena baraknya dirusak oleh orang-orangnya paduka? Mungkin hal itu semata untuk menutup segala maksud buruknya!"
"Ah...!" tersentak Wulung Seta mendengar analisa yang diucapkan oleh Angelir. "Mungkin juga!"
Kembali Wulung Seta mengamati kelima prajuritnya yang telah mati. Tak terasa, matanya berkaca-kaca. Hatinya gundah, demi mengingat semuanya. "Apakah benar adikku bertindak semuanya?"
"Randu Alasan, juga seluruh perbatasan. Tangkap siapa pun orangnya yang hendak masuk!" perintahnya pada Randu Alasan.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka akan hamba laksanakan, walau nyawa sebagai taruhannya!" Setelah menyembah terlebih dahulu, Randu Alasan segera berkelebat pergi meninggalkan rajanya dengan hati gundah. Seribu satu pertanyaan, menggema di hatinya.
"Apakah mungkin tuan ku Amurwa Sakti berbuat sekeji itu? Tapi aku pun tak dapat memastikan kalau Angelir yang melakukannya. Kenapa tiba-tiba Angelir bersama Wulung Seta? Ah, aku tak habis pikir. Kalau benar Angelir yang melakukannya, jelas ia akan aku ketahui. Huh, apakah ada orang lain? Kalau orang lain yang bertindak, sudah pasti pasukanku telah mengetahuinya."
Saking bingungnya Randu Alasan, menjadikannya berjalan bagai tak ada tujuan. Langkah kakinya begitu ringan, tak ada gairah untuk menyeret. Tengah Randu Alasan berjalan, seketika prajurit-prajuritnya berlarian ke arahnya.
"Ada apa, Prajurit?"
"Ampun, Tuan ku. Ada seorang pemuda masuk ke perbatasan," jawab para prajurit.
"Kenapa tidak kalian tangkap?"
"Pemuda itu ingin menemui paduka."
"Hem, baiklah. Aku akan menuju ke sana."
Setelah berkata begitu, dengan diikuti oleh kelima prajuritnya Randu Alasan segera berkelebat menuju arah yang ditunjuk oleh para prajuritnya. Tampak oleh Randu Alasan seorang pemuda tampan dengan bertelanjang dada tersenyum padanya. Pemuda itu seketika menjura hormat, menjadikan Randu Alasan mengernyitkan kening. Pemuda itu sungguh mengerti tata krama, walau seperti pemuda gelandangan.
"Ada gerangan apakah engkau mencari aku, Anak muda?" tanya Randu Alasan setelah mengangguk, menerima sembah pemuda itu.
"Hamba ingin mencari seorang wanita yang menjadi pimpinan Gerombongan Alas Renges," jawab pemuda itu dengan masih menjura hormat.
"Siapa namamu, Anak muda?" tanya Randu Alasan kembali. "Lalu apakah kau yakin bahwa orang yang kau maksud ada di sini?"
"Nama hamba yang rendah ini, Jaka. Orang biasa memanggil hamba Jaka Ndableg!"
Tersentak Randu Alasan demi mendengar nama pemuda itu. Saking kagetnya, sampaisampai Randu Alasan memelototkan matanya sembari memekik tertahan. "Aha...! Rupanya kaulah pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Selamat datang saya ucapkan. Sungguh saya yang tua renta ini, tak juga tahu tata krama. Maafkan saya, Tuan Pendekar!"
"Ah, tuan terlalu meninggikan diri saya, yang nyatanya tidak ada artinya sama sekali. Terima kasih atas penghormatan tuan. Apakah tuan yang bernama Randu Alasan?" tanya Jaka.
"Benar adanya apa yang kau katakan, Anak muda," jawab Randu Alasan. "Memang hamba yang bodoh inilah Randu Alasan."
"Tuan Patih Randu Alasan, boleh hamba memeriksa di sini?"
"Oh, dengan senang hati. Mari...." ajak Randu Alasan.
Keduanya segera berjalan beriringan memasuki perkampungan tenda-tenda yang digunakan untuk kamp prajurit. Mata Jaka yang tajam setajam mata burung elang, memandang liar setiap pelosok. Namun sejauh mereka berjalan hingga dua kali sudah perkampungan prajurit itu mereka kelilingi, Jaka belum juga mendapatkan orang yang dicarinya.
"Bagaimana saudara Pendekar?" tanya Randu Alasan.
"Tak ada. Hem, apakah orang-orang itu berdusta?" gumam Jaka, menjadikan Randu Alasan seketika mengernyitkan alis matanya sembari tertawa.
"Yang saudara pendekar maksudkan, mereka siapa?"
"Mereka anak buah Mawar Merah!"
"Apa...!" terbelalak mata Randu Alasan, demi mendengar penuturan Jaka. "Jadi... Jadi pemimpinan gerombolan Alas Renges orang yang selalu membunuh korbannya dengan bunga Mawar?"
"Ya, dialah yang menjadi otak gerombolan Alas Renges."
"Hem, jadi di sini telah menyusup musuh dalam selimut," gumam Randu Alasan, menjadikan Jaka seketika menyipitkan matanya.
"Maksudmu, Paman Patih?"
"Sudah beberapa kali jatuh korban di sini. Prajurit-prajurit itu pun mati dengan bunga Mawar Merah."
"Jadi benar orang itu menyusup ke mari, Paman Randu Alasan?" tanya Jaka, yang diangguki oleh Randu Alasan. "Kalau begitu, aku akan kembali pada markas mereka untuk menanyakan ciri-ciri pimpinan mereka."
Tanpa menunggu jawaban dari Randu Alasan, Jaka segera berkelebat pergi. Randu Alasan yang melihatnya tersentak kaget. Betapa tidak, Jaka berkelebat bagaikan angin, tahu-tahu telah menghilang ditelan malam.
********************
"Rupanya kau berdusta, Loro Ireng!" bentak Jaka dengan penuh marah, merasa Loro Ireng telah membohonginya. "Aku telah ke sana, namun aku tak menemukan pimpinanmu!"
"Sungguh aku tidak berdusta, pimpinan kami memang ada di sana," jawab Loro Ireng dengan rasa takut. Loro Ireng yang telah tahu kehebatan ilmu Jaka, telah mengakui kekalahannya. Ia bahkan berjanji akan kembali ke gurunya, sekaligus meninggalkan dunianya. Dunia gelap yang telah menjadikannya seorang gadis berwatak beringas.
"Hem, kau bisa menunjukkan padaku ciri-cirinya?"
Loro Ireng pun segera menggambarkan ciri-ciri pimpinannya, yang tak lain daripada Angelir. Jaka sesaat mengangguk-angguk, lalu tanyanya kemudian.
"Di mana lagi biasanya dia menyusup?"
"Kalau tidak di kerajaan Pesisir Putih, mungkin di Kerajaan Segara Wetan."
"Pesisir Putih telah aku cari, namun tak ada. Baiklah aku akan ke Segara Wetan. Aku sarankan kalian segeralah bubar!"
"Baik, Tuan Pendekar," serempak mereka menjawab.
Setelah melihat semua anggota gerombolan Alas Renges bubar dan pergi ke masing-masing, Jaka dengan segera berkelebat pergi menuju ke Segara Wetan.
"Petaka kalau terus didiamkan," batin Jaka. "Kenapa mesti seorang wanita berbuat begitu?"
Dengan mempercepat larinya, Jaka terus menerobos malam menuju Kerajaan Segara Wetan untuk mencari orang yang telah menjadi biang dari kejadian semuanya.
"Kalau di Wetan Segara aku tak menemukannya, ke mana lagi aku mencarinya? Aku rasa wanita itu berilmu cukup tinggi. Kalau wanita biasa, mana mungkin Loro Ireng yang aku ketahui memiliki ilmu tinggi mau menjadi anak buahnya?"
Prabu Amurwa Sakti menghantamkan tinjunya ke meja. Kekesalannya pada Wulung Seta telah memuncak. Tuduhan Wulung Seta yang menganggap dirinya melindungi orang yang membunuh prajurit-prajurit Pesisir Putih telah membuatnya marah.
"Sabar, Tuan ku. Bukankah Prabu Wulung Seta adalah kakak tuan sendiri?" Patih Nara Soma mencoba menasehati.
"Memang dia kakakku, Paman Patih. Namun tindakannya terlalu membuat aku marah. Mana mungkin aku melindungi musuh? Coba paman Patih pikir," kata Amurwa Sakti.
"Apakah tidak sebaiknya tuan ku menemui Prabu Wulung Seta dan Ibunda Ratu untuk membicarakannya? Hamba rasa, ada orang yang sengaja mengadu domba."
"Memang itu yang aku pikirkan, Paman Patih. Tapi kakanda sepertinya tak percaya. Aku jadi tak mengerti dengan tindakan kanda Wulung Seta."
Tengah keduanya bercakap-cakap, terdengar seseorang berseru memberi salam. Seketika raja dan patih itu menghentikan ucapannya dan memandang ke arah asal suara itu.
"Sampurasun...!"
"Rampes...! Siapakah gerangan?" tanya Amurwa Sakti. "Paman Patih, coba kau lihat siapa yang di luar."
"Daulat, Tuan ku."
Patih Nara Soma segera bergegas pergi setelah terlebih dahulu menyembah. Nara Soma begitu terkejutnya, manakala dilihatnya seorang pemuda yang datang. "Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada keperluan apakah?"
"Hamba bernama Jaka. Atau Jaka Ndableg," jawab Jaka, yang menjadikan Nara Soma seketika memekik kaget demi mendengar nama pemuda yang ada di hadapannya.
"Jadi, tuan ku Pendekar Muda yang tengah harum namanya?"
"Ah, tuan patih terlalu meninggikan apa yang sebenarnya tak ada. Hamba hanyalah orang biasa," jawab Jaka merendah, menjadikan Nara Soma masgul.
"Ada keperluan apakah tuan pendekar datang ke mari?"
"Hamba ingin bertemu dengan Paduka Amurwa Sakti," jawab Jaka.
"Suruh dia masuk, Paman Patih!" Amurwa Sakti telah mendahului berseru.
"Tuan pendekar diperkenankan masuk," kata Nara Soma.
Setelah keduanya masuk kembali, Amurwa Sakti segera mempersilahkan Jaka duduk. Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka segera duduk di hadapan Amurwa Sakti.
"Ada gerangan apakah tuan pendekar datang ke mari?" tanya Amurwa Sakti.
"Ampun, Tuan ku. Hamba sengaja berkunjung ke mari, karena hamba tengah mencari orang yang telah membuat kerusuhan dengan cara memanfaatkan situasi perang ini."
"Maksud, Tuan Pendekar?" tanya Amurwa Sakti belum memahami ucapan Jaka.
Sesaat Jaka menarik napas panjang. "Ampun, Tuan ku. Kalau orang itu tidak segera diketahui, niscaya akan merepotkan tuan ku Amurwa Sakti dan tuan ku Wulung Seta. Orang itu adalah anak dari raja Kurda Rumajang, yang sengaja menyusup ke salah satu kerajaan. Tujuannya adalah mengadu domba tuan ku berdua."
Terbelalak mata Amurwa Sakti mendengar penuturan Jaka yang begitu mendalam. Mata Amurwa Sakti seketika memandang Jaka, lalu dengan suara berat bertanya: "Apakah tuan pendekar tahu ciri-cirinya?"
"Menurut gambaran anak buahnya, dia seorang wanita."
"Wanita...!"
"Benar, Tuan ku."
"Siapakah kira-kira? Di sini tak ada seorang wanita yang baru. Heh, bukankah sejak kakanda Prabu bertemu dengan Angelir hal itu terjadi?" gumam Amurwa Sakti. "Apakah hal itu ada hubungannya dengan kekacauan di barak prajurit?"
"Maksud, Tuan ku?"
"Paman patih Nara Soma, masih ingatkah kau dengan kekacauan sebulan yang lalu?" tanya Amurwa Sakti pada patihnya.
"Benar, Tuan ku. Kala itu segerombolan lelaki yang kami kira orang-orang Pesisir Putih menyerbu barak-barak prajurit."
"Hem, tepat!" seru Jaka tiba-tiba, menjadikan kedua raja dan patih tersentak. "Memang mereka bercerita, bahwa mereka telah melakukan pengrusakan barak."
"Maksud tuan pendekar?" kembali Amurwa Sakti bertanya.
"Jadi yang merusak barak dan membuat kekacauan bukan orang-orang Pesisir Putih?" Nara Soma melanjurkan bertanya.
"Benar apa yang tuan berdua katakan. Baiklah Tuan ku Amurwa Sakti dan Paman Patih Nara Soma, hamba mohon bantuannya untuk terus mengawasi wilayah tuan dengan seksama. Hamba pamit undur." Setelah terlebih dahulu menyembah, dengan segera Jaka pergi meninggalkan kedua raja dan patih yang hanya terdiam saling pandang.
Malam itu bulan tak nampak, mendung bergayut menghitam. Jaka yang tengah berjalan nampak memandang sesaat ke atas. Ia bergumam manakala dilihatnya mendung menebal. "Huh, kenapa aku bodoh benar? Kenapa orang yang aku cari-cari tak juga aku temukan?"
Jaka terus melangkah dengan pikiran tak menentu. "Apakah aku harus menyerbu ke Kurda Rumajang?" tanya Jaka dalam hati. "Baiklah, aku akan menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang."
Dengan segera, Jaka mempercepat larinya menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang. Dengan menggunakan Ajian Angin Puyuh, Jaka melesat laksana angin. Tengah Jaka berlari menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang, seketika ia dikejutkan oleh suara pekikan orang yang berkelahi. Tanpa berpikir panjang, Jaka segera memburu ke arah suara itu.
Terbelalak mata Jaka, manakala tahu siapa yang tengah bertempur. Salah seorang dari keduanya tak lain Hulubalang Kerajaan Pesisir Putih yang bernama Surya Lembayung, sementara seorang lagi adalah seorang wanita cantik.
"Hem, apakah gadis ini yang dimaksud Loro Ireng?" tanya Jaka dalam hati. "Kalau dilihat dari wajahnya, orang inilah orang yang dimaksud Loro Ireng."
Jaka dengan segera melompat ke atas sebuah pohon, dan memperhatikan dengan seksama jalannya pertarungan itu. "Ini sebuah kesempatan untuk memberitahukan pada kedua raja itu siapa sebenarnya dalang dari semuanya," kembali Jaka bergumam. "Akan aku panggil mereka dengan ilmu penyusup suaraku!"
Jaka kemudian duduk bersila dengan mata terpejam rapat. Disalurkan nafasnya lewat tenggorokan. "Prabu Wulung Seta...! Prabu Amurwa Sakti...! Aku memanggil kalian. Datanglah ke perbatasan Kerajaan Kurda Rumajang, kalian pasti akan tahu siapa sebenarnya tokoh dari segala teror, yang bermaksud mengadu domba kalian. Cepat, datanglah!"
Di tempat lain, kedua raja muda itu tersentak demi mendengar suara orang memanggilnya. Maka dengan mengajak patih-patih mereka, kedua raja itu segera menuruti panggilan orang itu. Tak lama kemudian, kedua raja dan patih-patihnya telah sampai ke tempat itu. Wulung Seta terperanjat, ketika tahu siapa yang tengah bertarung dengan hulubalangnya.
"Kau, Angelir!"
Angelir yang mendengar suara Wulung Seta seketika tersentak mundur. Maka ketika dilihatnya banyak orang yang datang, tanpa banyak pikir lagi Angelir segera berkelebat pergi. Mereka yang ada di situ seketika hendak mengejarnya, manakala Jaka mencegah.
"Tak usah dikejar!"
Seketika semua terbelalak, manakala melihat sesosok tubuh pemuda telah berdiri di hadapan mereka. Demi melihat pemuda yang mereka kenal, seketika mereka memekik:
"Jaka Ndableg!"
"Ah, rupanya tuan pendekar yang telah memanggil kami," bergumam Amurwa Sakti. "Terima kasih atas pertolongan tuan. Apalah jadinya kami ini, kalau tuan tidak segera memberitahukan hal ini pada kami."
"Ah, Paduka terlalu berlebihan menilai hamba. Sudah kewajiban hamba untuk memberantas kemungkaran dan kejahilan. Selamat tinggal tuan-tuan sekalian!" Bersama dengan habisnya suara Jaka, seketika semua terbelalak. Mereka kaget demi mendapatkan Jaka tak ada lagi di antara mereka.
"Sungguh pendekar aneh. Walau ilmunya tinggi, ia tak sombong. Maafkan aku, Dinda," kata Wulung Seta. "Kalau tak ada Pendekar Pedang Siluman, apalah jadinya kita."
"Sama-sama, Kanda," balas Amurwa Sakti.
Kedua raja kakak beradik itu saling peluk. Dengan beriringan, mereka melangkah kembali ke tempat masing-masing untuk merencanakan penyerangan esok hari.
********************
Perang kembali meletus, kali ini makin seru. Dengan perginya Angelir atau si Mawar Merah, semangat prajurit-prajurit dua kerajaan makin tinggi. Hal itu dapat dilihat dari cara perang mereka. Tengah mereka berperang, terdengar seruan seseorang yang seketika menghentikan peperangan.
"Lihat ini, Raja kalian telah mati!" Orang itu yang ternyata Wulung Seta, menenteng kepala Raja Amuk Mungkur. Di sampingnya berjalan Amurwa Sakti, yang juga menenteng kepala patih Amuk Mungkur yaitu Rekso Giri.
Dari atas bukit yang agak jauh, seorang gadis memandang kematian Amuk Mungkur dengan berlinang air mata. Dialah Angelir, anak Prabu Amuk Mungkur. Hati Angelir seketika membahana, dengan dendam meletus-letus.
"Wulung Seta dan kau Amurwa Sakti. Tunggulah pembalasanku!"
Dengan masih berderai air mata, Angelir atau Dewi Mawar Merah berlari meninggalkan bukit. Nah, bagaimanakah nasib Angelir? Bagaimana pula dendamnya dapat terlaksana? Lalu apa yang akan dilakukan Jaka selanjutnya? Silahkan ikuti kisah selanjutnya dengan judul Pembalasan Dewi Mawar Merah
S E L E S A I