Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Pembalasan Dewi Bunga Kematian
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Pembalasan Dewi Bunga Kematian
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
DENGAN berlinang air mata, Angelir yang melihat kematian ayahnya terus berlari menuju ke arah Selatan di mana terpampang larikan Bukit Setan.
Bukit Setan merupakan bukit yang sangat angker. Jarang orang berani datang ke tempat itu. Bukit Setan dihuni oleh seorang tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi, bernama Rangga Bargawa dengan julukan Banas Pati.
Dua puluh tahun yang silam, Banas Pati telah malang melintang di dunia persilatan. Banyak sudah korban yang menemui kematian di tangannya. Kebanyakan korban itu adalah tokoh persilatan golongan lurus. Karena sepak terjangnya yang sungguh dapat mendirikan bulu kuduk Rangga Bargawa mendapat julukan Banas Pati. Korbannya selalu mati dengan hilang matanya, dimakan oleh Rangga Bargawa.
Dua puluh tahun Rangga Bargawa malang melintang di dunia persilatan. Dua puluh tahun juga tokoh-tokoh persilatan dibuat bertekuk lutut. Merasa dirinya orang yang paling sakti, Rangga Bargawa mengangkat dirinya menjadi raja di raja dunia persilatan.
Namun seperti ungkapan, jodoh, nasib, hidup dan mati adalah Yang Maha Kuasa yang berwenang. Baru setahun Rangga Bargawa memegang tampuk kekuasaan sebagai Raja Diraja, datang ke tempatnya seorang pendekar muda bernama Bayong atau Pendekar Suci.
Tanpa dapat dicegah, kedua pendekar berhaluan beda itupun bertempuh di Lembah Karang Tengkorak. Karena keduanya merupakan dua pendekar kelas wahid, sehingga pertempuran keduanya berjalan begitu alot. Berhari-hari keduanya bertempur, namun sepertinya kedua tokoh itu tak akan ada yang menang maupun yang kalah.
Namun pada hari kelima, Bayong yang sudah jenuh dengan pertempuran segera mengeluarkan ajian andalannya. Ajian yang hanya diwariskan oleh gurunya pada Bayong, yaitu ajian Buto Dewa Wisnu. Tubuh Bayong seketika berubah menjadi raksasa. Suaranya menggelegar dahsyat menjadikan alam seketika seperti runtuh. Dengan ajian tersebut, Bayong dapat mengalahkan Rangga Bargawa. Dilemparkannya tubuh Rangga Bargawa, sehingga Rangga Bargawa lumpuh.
"Ingat, Rangga Bargawa. Bila kau kelak akan mengulangi perbuatanmu, aku pun akan datang kembali walau lewat orang lain."
Sejak saat itu, Rangga Bargawa seperti hilang dari dunia persilatan. Hati kecilnya yang mendendam pada Bayong, tak dapat dilunasinya. Dengan kekalahan tersebut, Rangga Bargawa mengasingkan diri. Ia menempa segala ilmu kanuragan, serta berusaha menciptakan ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Kini sudah tiga puluh lima tahun Rangga Bargawa mengasingkan diri. Bermacam ilmu ia ciptakan dan ia pelajari, berbagai ajian ia ciptakan pula. Tujuannya hanya satu, membalas dendam pada Bayong atau muridnya,
Rangga Bargawa tengah merenungi dirinya yang telah sekian puluh tahun terkurung di Jurang Lembah Tengkorak. Walau pun Rangga Bargawa lumpuh kakinya, namun dengan ilmu yang ia miliki, Rangga Bargawa masih mampu bergerak. Banyak sudah tokoh-tokoh persilatan yang mati di tangannya. Mereka biasanya orang-orang yang hendak mencari Kitab Pedang Biru, sebuah kitab yang sangat berguna bagi orang-orang persilatan. Di samping kitab tersebut, mereka juga bermaksud mendapatkan Pedang Biru. Sebenarnya Bargawa pun tengah mencari kitab dan pedang tersebut. Namun sampai ia begitu tua, kitab dan pedang tersebut tak juga ia temukan.
"Tiga puluh lima tahun sudah aku mengurung diri di dasar jurang ini. Tujuannya hanya satu, mencari kitab dan pedang yang menjadi rebutan kaum persilatan. Kenapa sejauh ini aku tak menemukannya?" bergumam Bergawa dalam hati. Tengah Rangga Bargawa merenungi diri, terdengar olehnya seorang wanita berseru dan atas jurang.
"Paman... paman Bargawa, kau dengar seruan ku?"
"Hem, siapa yang telah memanggilku dengan sebutan paman?" bertanya hati Bargawa. "Siapa kau yang berseru!" seru Bargawa kemudian.
"Aku kemenakan mu! Aku Angelir, paman!"
"Angelir. Hem, bukankah anak itu anak kakakku Amuk Mungkur? Untuk apa bocah itu datang menemuiku?" tanya Bargawa pada diri sendiri. "Angelir! Apakah kau datang dengan bapak moyangmu?!"
"Tidak, Paman. Angelir datang sendirian," menjawab Angelir dari atas. Matanya memandang ke bawah jurang yang gelap, sehingga ia tak mampu melihat apa yang ada di dalam jurang itu. "Paman, bolehkan Angelir menemuimu?"
"Kau berani turun, Anak bandel?!"
"Berani, Paman!" jawab Angelir. "Jadi paman mengijinkan?"
"Kalau kau memang berani turun, turunlah!" seru Bargawa.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, Angelir segera melompat turun ke bawah jurang yang cukup dalam. Tubuhnya melayang bagaikan sehelai daun kering, lalu hinggap dengan enaknya di dasar jurang.
"Hoop, ya!"
"He, he, he... rupanya kau seperti ayahmu, bandel. Nah, apa perlumu datang ke mari, Anak bandel!"
Angelir tidak langsung menjawab pertanyaan sang paman, malah dari kedua matanya meleleh air mata. Angelir menangis, menjadikan Rangga Bargawa seketika menyipitkan mata tak mengerti dengan tingkah Angelir.
"Kenapa kau menangis, Anak bandel!"
"Paman, kini aku sebatang kara."
Tersentak Rangga Bargawa mendengar penuturan kemenakannya. Matanya membeliak, sepertinya tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan mengerutkan kening, Rangga Bargawa bertanya. "Apa maksudmu dengan ucapan sebatang kara, Angelir?"
Kembali Angelir tak segera menjawab, malah kini tangisnya makin kencang. Melihat hal itu, Rangga Bargawa yang biasanya garang seketika ikut iba.
"Ayo, Anak manis. Kenapa kau menangis?"
"Paman, kini ayah telah tiada"
"Apa...!" tersentak Rangga Bargawa bagaikan disengat Kala, demi mendengar ucapan kemenakannya. "Kau tidak bercanda, Anakku?"
Angelir menggeleng lemah, tak mampu untuk berkata-kata.
"Kapan ayahmu meninggal?"
"Ayah dibunuh...!"
"Dibunuh...!" kembali Rangga Bargawa terperanjat, sehingga matanya yang lebar makin melebar kala melotot. "Siapa yang berani membunuh kakang Amuk?"
Dengan masih menangis, Angelir segera menceritakan apa yang telah ia alami. Bargawa yang mendengarkannya, seketika darahnya bagaikan mendidih. Giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi gemeretuk. Saking marah dan kesalnya pada siapa-siapa yang telah mengakibatkan kakaknya mati, menjadikan Rangga Bargawa bagaikan orang kesetanan. Dihantamnya tembok jurang, yang seketika itu hancur lebur menjadikan gempa.
Tersentak Rangga Bargawa melihat jurang itu runtuh. Dengan segera dibopongnya tubuh Angelir, lalu dengan tubuh bagaikan terbang Rangga Bargawa melompat naik. Tak lama setelah Rangga Bargawa sampai di atas, terdengar longsornya jurang itu. Mata Bargawa membeliak, manakala melihat longsoran tanah yang seketika itu menutupi jurang.
"Sungguh tak dapat dibayangkan bila kita masih di dalam jurang itu." bergumam Rangga Bargawa. "Ayo kita pergi, Angelir."
"Ke mana, Paman?" bertanya Angelir tak mengerti.
"Ikut aku. Kau akan aku beri segala ilmu yang telah aku ciptakan selama tiga puluh lima tahun berada di dasar jurang. Ayo."
Tanpa banyak kata lagi, kedua paman dan kemenakan itu segera berkelebat pergi meninggalkan Jurang Karang Tengkorak.
"Di sinilah kau akan aku tempa menjadi seorang tokoh persilatan yang sukar untuk ditandingi." berkata Rangga Bargawa setelah keduanya sampai pada sebuah bukit, yang letaknya di tengah hutan. "Kau ingin membalas semua sakit hatimu, Angelir?"
"Benar, Paman." menjawab Angelir.
"Untuk itulah, paman akan menggembleng mu menjadi seorang pendekar yang tak akan terkalahkan. Kalau kau telah menjadi seorang tokoh sakti mandraguna, kau harus mampu menjadi seorang pimpinan. Kau harus menggantikan ayahmu," berkata Rangga Bargawa penuh semangat, yang diangguki oleh Angelir.
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera mengajarkan segala macam jurus-jurus temuannya. Angelir yang memang berambisi menjadi penguasa, juga menjadi tokoh paling sakti dengan giat mengikuti segala petunjuk pamannya.
"Ini yang aku beri nama jurus Seroja Biru. Lihatlah!" Rangga Bargawa segera memperagakan jurus Seroja Biru. Walau kakinya lumpuh, namun gerakannya tak terpengaruh sedikitpun. Gerakan Rangga Bargawa begitu lincah, malah lebih lincah bila dibandingkan dengan orang normal.
"Nah, sekarang kaulah yang melakukannya," perintah Rangga Bargawa, yang dengan senang hati dilaksanakan oleh Angelir.
Hari-hari pun dilalui oleh keduanya dengan berlatih dan berlatih. Cita-citanya yang ingin merajai dunia persilatan, seperti membimbingnya dalam berlatih. Tak terasa waktu berlalu, membawa mereka pada titik kulminasi latihan. Segala ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu silat telah Angelir kuasai. Hari itu Angelir tengah duduk berhadaphadapan dengan pamannya. Seperti nya Rangga Bargawa hendak mengutarakan maksud yang selama ini terpendam di hatinya, yaitu dendamnya pada Bayong yang telah menjadikannya lumpuh.
"Angelir, anakku. Hari ini adalah hari untuk yang terakhir kau bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki, telah seluruhnya aku limpahkan padamu. Segala ajian telah aku berikan padamu, tinggal satu ajian dahsyat yang hingga kini belum aku berikan."
"Apa itu, Paman?" tanya Angelir ingin tahu.
"Nanti kalau kau telah tahu duduk persoalannya kenapa aku mengurung diri di jurang Karang Tengkorak, akan aku beri tahu padamu sekaligus akan aku turunkan padamu. Dengarlah cerita ku."
Setelah terlebih dahulu menarik napas dalamdalam, Rangga Bargawa segera menceritakan apa yang pernah terjadi pada dirinya tiga puluh lima tahun yang silam.
"Aku dan ayahmu adalah kakak beradik seperguruan. Namun begitu, kami seperti kakak beradik sendiri. Aku menghormati ayahmu, seperti menghormati kakakku sendiri. Setelah kami sama-sama menimba ilmu pada Ki Lanang Edan, kami pun berpisah. Ayahmu menggantikan kakekmu menjadi raja. Sementara aku sendiri, terus berkelana menimba ilmu. Berpuluh-puluh perguruan aku singgahi, berpuluh-puluh guru aku pinta ilmunya. Namun hatiku tak puas, ya, aku merasa tak puas. Maka dengan ilmu yang aku miliki, aku segera bertualang mencari kepuasan batin. Ratusan pertarungan aku jalani, semua dapat aku menangi. Namun kembali aku tak puas. Ku umbar segala nafsu yang ada di hatiku. Kubunuh orang-orang yang menamakan dirinya pendekar, lalu kuambil matanya dan ku makan. Mulanya aku ngeri merasakan tindakanku sendiri. Tapi lama kelamaan, semuanya seperti biasa. Bahkan aku makin ketagihan untuk memakan mata orang. Hingga karena kesadisan ku, aku dijuluki oleh orang-orang persilatan Banas Pati. Julukan itu makin menambah keseraman ku. Semua tokoh-tokoh persilatan tunduk padaku dan mengangkat ku sebagai Raja Diraja dunia persilatan. Namun begitu, tindakanku yang telengas suka makan mata orang terus berlangsung. Hal itu menjadikan semua ngeri, lalu berbalik memusuhi aku. Tapi mereka tak ada seorangpun yang dapat mengalahkan ilmu yang aku miliki. Suatu hari datang ke tempatku seorang pendekar muda. Ia merupakan salah seorang dari Empat Pendekar Sakti, bernama Bayong. Ki Bayong diperintah oleh tokoh-tokoh persilatan untuk mencegah tindakanku. Karena aku merasa dia adalah duri yang menghalangi, kami pun akhirnya bertempur. Pertempuran itu berjalan begitu alot dan lama, karena kami merupakan tokoh-tokoh silat kelas wahid. Namun rupanya Ki Bayong memiliki ilmu lebih dibandingkan denganku yaitu Ajian Buto Dewa Wisnu. Dengan ajian tersebut, ia mampu mengubah dirinya menjadi Raksasa. Aku ditangkapnya dan dilemparkan jauh sampai membentur batu karang jurang Karang Tengkorak. Kakiku lumpuh dengan tulang remuk. Sejak saat itu, aku mengurung diri di dasar jurang Karang Tengkorak, mendalami segala ilmu dan berusaha menciptakan ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Tujuanku hanya satu, membalas kekalahan ku. Aku tekun mempelajari ajian itu. Tapa Brata empat puluh hari empat puluh malam aku lakukan. Tentunya kau mengerti apa yang aku maksud, Angelir?"
"Saya mengerti. Paman," jawab Angelir.
"Nah, dengarlah. Ajian yang aku ciptakan bernama Ajian Betari Kala. Sebenarnya ajian ini khusus untuk wanita. Ya, kebetulan kau datang, Anakku."
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera mewariskan ajian Betari Kala pada Angelir. Lengkaplah sudah ilmu yang dimiliki Angelir. Maka dengan segala ajian yang ia miliki, Angelir setelah meminta restu pada pamannya segera pergi untuk membalas sakit hatinya. Juga untuk menunaikan tugas dari pamannya, membalas dendam pada Ki Bayong atau muridnya.
Sejak membubarkan diri dari gerombolan Alas Rengas, Loro Ireng kembali pada jalan kebenaran. Dengan memakai nama samaran Dewi Rembulan Emas, Loro Ireng berkelana kembali. Hatinya yang telah terpaut pada Jaka Ndableg, menjadikannya ingin selalu dapat bersanding dengan pemuda itu. Siang itu Loro Ireng tengah berjalan di tepi pantai. Seperti hari-hari biasanya, Loro Ireng bertualang demi mencari Jaka Ndableg yang telah mengambil hatinya.
"Ke mana aku harus mencari? Sedang aku tak tahu di mana rimba belantaranya?" mengeluh hati Loro Ireng.
Dengan mengikuti ke mana langkah kakinya, Loro Ireng terus melangkah. Beratus bahkan beribu mil telah ia jalani, namun batang hidung orang yang dicarinya tak jua ditemukan. Tengah Loro Ireng berjalan dengan melamun, terdengar olehnya seorang berseru memanggil namanya. "Loro Ireng, tunggu!" Loro Ireng segera memalingkan mukanya, memandang pada asal suara itu. Terkesiap darah Loro Ireng, manakala dilihatnya orang yang telah memanggilnya.
"Kau... kaukah Angelir?" bergumam Loro Ireng, sepertinya tak percaya pada apa yang ia lihat. "Ke mana saja kau, Angelir?"
"Aku pergi mengasingkan diri, Loro. Apakah kau tak ingin kembali membentuk sebuah gerombolan?"
"Ah, apakah nantinya kita tak mengalami kesulitan seperti yang telah kita alami. Apalagi dengan datangnya anak muda yang sakti itu." berkata Loro Ireng, menjadikan Angelir yang mendengarnya hanya tersenyum.
"Kau tak yakin dengan apa yang aku miliki, Loro?"
"Bukan begitu. Apakah kita kelak mampu menghadapi pemuda sakti itu?"
Ditanya seperti itu oleh Loro Ireng, seketika Angelir yang merasa telah berilmu paling tinggi tertawa bergelak-gelak. Hal itu menjadikan Loro Ireng mengernyitkan kening, dan bertanya tak mengerti akan apa yang dijadikan bahan ketawaan Angelir.
"Kenapa kau tertawa, Angelir?"
"Kau ingin bukti bahwa aku akan mampu mengalahkan pemuda yang kau maksud? Lihat...!"
Habis berkata begitu, segera Angelir merapalkan ajian Batari Durga. Seketika tubuhnya yang kecil dan cantik jelita, berubah menjadi seorang raksasa yang menyeramkan. Rambutnya yang panjang dan halus, berubah menjadi kasar dan awut-awutan. Matanya yang lentik, kini berubah menjadi besar, sebesar piring makan. Tawanya yang dulu melengking, kini membahana bagaikan suara halilintar.
Loro Ireng seketika gemetaran, manakala tangan Batari Durga mencengkeramnya. Loro Ireng menyangka kalau Batari Durga akan memangsanya. "Ampunilah aku, Angelir." pinta Loro Ireng merengek.
"Jadi, kau mau menjadi pengikut ku lagi, Loro?"
"Benar, Angelir. Kini aku yakin, bahwa kau memang sakti," berkata Loro Ireng masih ketakutan. "Sekarang lepaskanlah aku."
Angelir segera menaruh tubuh Loro Ireng kembali, yang segera berlari menjauh. Perlahan-lahan, tubuh Angelir kembali ke bentuk semula. "Bagaimana, Loro Ireng? Apakah kau yakin?"
"Aku yakin, Angelir," menjawab Loro Ireng. Diwajahnya masih tergambar rasa takut yang amat sangat, menjadikan Angelir tersenyum melihatnya.
"Ayo kita taklukan gerombolan-gerombolan yang ada di sini. Kita ajak mereka bergabung. Kalau mereka tidak mau. Hem, akan tau rasa."
Dengan segera, kedua orang gadis itu bergegas pergi, meninggalkan pantai yang kembali sepi. Keduanya terus berlari masuk ke pedalaman, mencari gerombolan-gerombolan yang akan mereka jadikan pengikut.
Tengah kedua gadis itu berjalan menyusuri hutan yang tampaknya angker, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh bentakan seseorang yang menyuruhnya berhenti.
"Berhenti! Serahkan apa yang ada pada kalian dan ikutlah aku!"
"Hem... ini pasti, Loro!" berbisik Angelir.
"Ya, ini yang pertama!"
"Heh... apakah kalian gadis tuli?" kembali orang itu membentak.
Dibentak begitu kasar tidak menjadikan dua gadis itu takut. Bahkan dengan tersenyum Loro Ireng berkata mewakili Angelir. "Ki Sanak... bukanlah lebih baik kau dan anak buahmu ikut kami?"
"Edan! Diperintah malah menyuruh! Apakah kalian belum tahu siapa aku adanya, sehingga kalian berani lancang padaku!" membentak lelaki menyeramkan itu, menjadikan Loro Ireng tertawa bergelak-gelak. Sementara Angelir sendiri, nampak tenang melihat keduanya perang mulut.
"Apa sih yang perlu ditakuti pada dirimu. Bukankah kau tak lebihnya kaum kroco?"
"Setan alas! Rupanya kau mencari mampus."
"Hi, hi, hi... kau jangan sesumbar seenak udelmu. Dengar! Aku perintahkan padamu dan anak buahmu yang tengah bersembunyi di semak-semak, ikutlah aku. Kalian akan menjadi satu gerombolan besar, bukan macam kecoa! Dengar oleh kalian! Akulah Loro Ireng, pimpinan Gerombolan Alas Renges."
Terbelalak mata pimpinan gerombolan begal itu manakala tahu siapa yang tengah ia hadapi. Maka tanpa sungkan-sungkan, pimpinan begal itu segera jatuhkan diri berlutut yang diikuti oleh keempat puluh anggotanya.
"Ampuni segala kesalahanku, Tuan Putri." "Bagus. Mulai sekarang, kau harus menjadi pengikut ku."
"Daulat, Tuan Putri!" menjawab mereka serempak, menjadikan Loro Ireng dan Angelir tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... akulah penguasa tunggal gerombolan terbesar di jagad raya ini. Akan aku jadikan dunia ini ajang kebrutalan. Akan aku bikin mereka bertekuk lutut padaku." berseru Angelir dengan tawanya yang membahana. Bersamaan dengan habisnya gelak tawa Angelir, seketika tubuh Angelir berubah menjadi Betari Durga.
Melihat kenyataan gadis di hadapannya bukan gadis sembarangan, keempat puluh gerombolan begal itu seketika menyembah dengan tubuh bermandikan keringat dingin. "Ampunilah kami, Tuan Putri!" berkata pimpinan gerombolan begal itu dengan tubuh gemetaran.
"Siapa namamu!" membentak Betari Durga.
"Saya... saya bernama, Cobil," menjawab pimpinan gerombolan begal itu masih dengan rasa takut. "Ampuni atas tindakan saya tadi, Tuan Putri."
"Cobil, mulai saat ini kau harus menurut pada perintah Loro Ireng. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Tuan Putri."
"Kalian harus datang pada malam purnama di Bukit Karang Tengkorak!" berkata Betari Durga. "Ayo, Loro."
Kedua gadis itu kembali berkelebat pergi, meninggalkan gerombolan yang telah mereka taklukkan. Keduanya terus berlari untuk mencari gerombolan-gerombolan lain yang nantinya dapat dijadikan anggota mereka.
Malam bulan purnama tiba, di mana malam itu para gerombolan yang telah ditaklukan oleh Loro Ireng dan Angelir akan berkumpul. Angelir dan Loro Ireng telah berdiri di atas bukit, menunggu kedatangan mereka. Mata kedua gadis cantik itu memandang lurus ke muka, di mana jalan setapak terbentang. Hanya jalan itu yang dapat dilewati untuk menuju ke Bukit Karang Tengkorak.
"Kenapa mereka belum datang?" bertanya Loro Ireng agak cemas.
"Kalau mereka tak datang. Hem, jangan harap mereka akan hidup!" menjawab Angelir.
Tengah keduanya cemas, tampak oleh mereka serombongan orang berdatangan menuju tempatnya.
"Itu mereka datang! Rupanya mereka benar-benar ingin menjadi anggota kita." berkata Loro Ireng.
"Ya... siapa yang tak ingin menjadi anggota ku. Hua, ha, ha ha... bukankah aku orang yang paling sakti, Loro Ireng?"
"Benar ucapanmu, Angelir."
Dari kejauhan, rombongan orang yang terdiri dari para gerombolan yang mereka taklukan terus berjalan menuju ke bukit di mana mereka berdiri. Bulan purnama makin bergayut terang, bergeser perlahan menuju ke titik kulminasi. Orang-orang yang menjadi taklukan mereka telah berkumpul, mengelilingi bukit kecil di mana kedua gadis cantik itu berdiri.
"Kalian rupanya anggota yang baik, yang mengerti disiplin dan tanggung jawab. Dengarlah oleh kalian. Hari ini juga, kita dirikan sebuah kerajaan Gerombolan Begal bernama Persekutuan Dewi Bunga Kematian. Siapa yang menentang, nasibnya seperti ini...!" Habis berkata begitu, Angelir kiblatkan tangan ke arah bukit sebelahnya. Seketika terdengar ledakan dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya bukit itu.
Semua mata yang melihatnya terbelalak. Belum pernah mereka melihat ajian pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Belum juga mereka hilang dari tercengangnya, Angelir telah kembali berkata;
"Atau kalian akan menghadapi diriku dalam bentuk begini."
Angelir segera tiwi krama, duduk bersila, dengan mulut merapalkan mantra. Seketika tubuhnya yang kecil, berubah menjadi besar! Makin takluk saja mereka melihat hal itu. Serentak tanpa dikomando, mereka langsung menyembah. Dengan tubuh bergetar-getaran, semuanya berkata serempak.
"Ampun, Sri Ratu. Tak akan sekali-kali kami menentang Sri Ratu. Apapun titah Sri Ratu, kami akan melaksanakannya."
"Bagus! Hari ini juga, kalian akan aku bagi tugas. Cobil, kau dengan anak buahmu bekerja di hutan, Syarkom, kau dengan anak buahmu bekerja di sungai. Dan kau Lompeng, kau beserta anak buahmu bekerja di laut. Ingat! Bila kalian menemukan kesulitan, kalian salah seorang harus menghubungi kami di sini."
"Lalu apa tugas hamba, Sri Ratu?" tanya Gares, yang merasa dirinya dan anak buahnya belum juga mendapatkan tugas.
"Gares, kau dan anak buahmu jaga di istana. Esok pagi, kalian buat istana untukku. Dan kalian buat sebuah bangsal pertemuan sekaligus untuk belajar ilmu silat. Nah, sekarang kerjakan tugas kalian masing-masing. Loro Ireng, mari kita pergi."
Tanpa memperdulikan mereka semua, Angelir bersama Loro Ireng segera berkelebat pergi. Begitu kencangnya kedua gadis itu berlari, sampai-sampai dalam sekejap keduanya telah hilang ditelan gelapnya malam.
Sejak munculnya sebuah Persekutuan Dua Dewi, dunia persilatan makin gempar. Perampokan makin merajalela. Namun sejauh itu, korbannya hanya orang-orang dari dua kerajaan yaitu Kerajaan Pesisir Putih dan Segara Wetan. Maka makin mencekam saja tindakan Persekutuan Dewi bagi orang-orang dua kerajaan itu. Hal itu menjadikan rasa prihatin pada raja mereka.
Di pendopo Kerajaan Pesisir Putih, tampak para sesepuh istana berkumpul. Hadir pula di situ dua raja kakak beradik, yaitu Wulung Seta dan Amurwa Sakti. Mereka nampaknya tengah membicarakan apa yang telah terjadi, yang menimpa warga kerajaannya.
"Bagaimana menurutmu, Kakang Wulung?" bertanya Amurwa Sakti membuka pertemuan.
"Entahlah, Adinda. Aku juga tak habis pikir. Baru tiga tahun kita tenang, kini telah datang teror." Mendengar keluhan Wulung Seta, seketika semua terdiam tak ada yang berkata. Mereka sepertinya terhanyut oleh perasaan yang bergurat di hati.
"Aku rasa, orang yang melakukannya masih mereka juga."
"Maksudmu, Paman Randu?" tanya Amurwa Sakti, demi mendengar Randu Alasan memberikan pendapatnya.
"Menurut dugaan hamba, pelaku dari semua ini tak lain dari orang-orang Kurda Rumajang."
"Hem, bisa juga. Kalau memang begitu, awasi terus tindak-tanduk orang-orang Kurda Rumajang. Jangan sampai mereka dapat leluasa bergerak," perintah Wulung Seta.
"Apakah tidak sebaiknya kita adakan penyerbuan pada lokasi mereka, Kakang?" kembali Amurwa Sakti berkata.
"Percuma, Dinda. Kita tak tahu pasti tempat mereka."
Kembali semuanya terdiam, tak ada seorang pun yang berkata-kata. Tengah mereka tercekam diam tiba-tiba dari luar seseorang melemparkan sebuah bungkusan yang berselemotan darah. Tersentak semuanya berdiri, demi melihat bungkusan itu. Randu Alasan dengan segera membuka bungkusan itu. Seketika, mata mereka dibuat melotot tak berkedip. Ternyata bungkusan itu berisi sebuah kepala seorang lelaki, yang mereka kenali adalah prajurit Segara Wetan. Menggeramlah Amurwa Sakti, yang merasa dihina.
"Bedebah! Ini sudah keterlaluan!"
Dengan tanpa dapat dicegah, Amurwa Sakti segera berlari ke luar memburu orang yang telah melemparkan bungkusan itu. Namun ia tak menemukannya, maka sebagai pelampiasan rasa kemarahannya dihantamnya pagar pendopo yang seketika hancur berantakan.
"Sabar, Adinda. Bukan adinda saja yang merasa dihina. Kakanda pun merasakannya. Marilah kita cari jalan keluarnya," Wulung Seta segera menghampiri adiknya. Dengan penuh sabar sebagai seorang kakak, Wulung Seta menggandeng tangan Amurwa Sakti kembali masuk ke dalam pendopo.
Di pihak lain, Angelir yang mendapat laporan dari anak buahnya tertawa bergelak-gelak. "Telah aku mulai pembalasanku pada mereka. Hem, jangan harap mereka akan dapat tenang!" berseru Angelir yang menamakan dirinya Dewi Bunga Kematian "Loro Ireng, apakah kau mempunyai pendapat?"
Loro Ireng terdiam sesaat, lalu setelah menarik napas Loro Ireng pun berkata. "Ada... bagaimana kalau kita menampakkan diri kita?"
"Hem, apakah itu perlu?"
"Perlu, Angelir. Kita perlu menunjukkan pada dunia persilatan siapa kita adanya." menjawab Loro Ireng, yang seketika diangguki oleh Angelir dengan tawanya.
"Benar juga pendapatmu, Loro. Percuma aku memiliki ilmu segudang, kalau aku harus menyembunyikan diriku."
Tengah keduanya berbincang-bincang, tiba-tiba seorang anggotanya dengan terburu-buru datang. Lalu dengan napas ngos-ngosan, anak buahnya berkata: "Sri Ratu, orang-orang Pesisir Putih dan Segara Wetan hendak menyerbu."
Angelir tersenyum diliriknya Loro Ireng yang juga tersenyum. "Bagaimana, Loro? Rupanya mereka tak sabar menunggu kita." tanya.
"Menurutmu, Angelir?" balik Loro Ireng berAngelir kembali tersenyum. Lalu dengan tanpa memperdulikan orang yang melapor, keduanya segera berkelebat pergi ke luar.
Dengan memacu kuda begitu cepat, Angelir dan Loro Ireng segera menuju ke arah di mana pasukan dua kerajaan itu berada. Dihentakkan kais kuda, menjadikan sang kuda seketika itu kencang larinya.
"Hia, hia, hia...!"
"Ayo, Loro. Kita berpacu. Hia, hia, hia...!"
Bagaikan dua dewi dari kayangan, kedua gadis yang memiliki ilmu tinggi itu memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya. Di belakang mereka, seratus pasukan begal mengikuti. Karena mereka memacu kuda dengan kecepatan tinggi, hingga mereka pun dengan segera sampai pada tujuannya.
"Rupanya kalian sengaja mengantar nyawa!" mendesis Angelir, manakala dilihatnya pasukan dua kerajaan itu telah berdiri siaga menunggu kedatangannya.
Terbelalak mata semua prajurit kedua kerajaan, demi melihat orang yang bicara. Mereka menyangka pimpinan dari Persekutuan Dewi adalah lelaki. Namun dugaan mereka meleset, karena ternyata pimpinan gerombolan itu hanyalah dua orang wanita yang sudah mereka kenal.
"Kau... bukankah kau iblis yang telah membuat adu domba?"
"Ya, aku. Akulah pimpinan begal. Nah, karena kalian telah tahu siapa aku, maka kalian akan aku kirim ke akherat sekarang juga. Hiatt...!"
Tanpa sungkan-sungkan, Angelir segera menghantamkan ajiannya ke para prajurit dua kerajaan. Dihantam oleh ajian Gugur Gunung yang begitu tibatiba, menjadikan para prajurit tak dapat mengelakkannya. Tubuh mereka bagaikan disapu bersih, luluhlantak. Dalam sekejap saja, keseratus prajurit dua kerajaan yang dipimpin oleh seorang hulubalang mati tiada sisa.
"Hua, ha, ha... tenanglah kalian di akherat sana!" seru Angelir.
"Begeng! Kau tahu apa tugasmu?"
"Hamba mengerti, Kanjeng Ratu." menjawab Begeng.
"Lakukan olehmu. Penggal kepala hulubalang itu!"
Dengan perasaan agak merinding, Begeng yang memang tak berani menentang perintah ratunya segera memenggal kepala hulu balang itu.
"Cross...!" Darah seketika muncrat dari leher hulu balang yang terpancung golok di tangan Begeng. Dengan mata tertutup, Begeng segera membungkus kepala itu dengan kain yang telah disiapkan.
"Hua, ha, ha... bagus, Begeng! Kaulah abdi ku yang paling baik. Nah, nanti malam, kau gantung kepala hulubalang itu di depan alun-alun. Ingat! Jangan sampai kau tertangkap!"
"Daulat, Sri Ratu!" Jawab Begeng sembari menyembah.
"Apakah kita akan selalu begini, Angelir?" Loro Ireng yang sedari tadi terdiam, seketika bertanya. "Aku rasa, tindakan kita merupakan tindakan pengecut, Angelir!"
"Diam, Loro! Aku ingin mereka membuka mata, siapa adanya aku." jawab Angelir dengan sengit. Pikirannya kembali membayang pada kejadian tiga tahun yang silam, di mana kepala ayahnya dengan patih kerajaan dipenggal oleh Wulung Seta dai adiknya Amurwa Sakti. "Dulu mereka memenggal kepala ayahku dan patihnya. Kini giliran mereka yang akan aku penggal. Namun untuk itu, aku harus membuat mereka seperti diteror, Loro."
"Kalau itu yang engkau mau, aku tak dapat menentangnya."
"Hi, hi, hi... kau memang teman setia ku Loro." Keduanya kembali menghela kais kuda, memacu kuda mereka kembali ke istananya. Dengan tertawa-tawa penuh kemenangan, Angelir menghempaskan segala pikirannya yang terasa mendera di dalam dadanya.
Esok paginya, seluruh rakyat kerajaan Segara Wetan dan Pesisir Putih geger. Mereka menemukan kepala hulu balang kedua dari kerajaan Segara Wetan, tergantung di sebatang cabang pohon yang berada di alun-alun. Berita ditemukannya kepala hulubalang kedua, sampai pula di telinga dua raja muda itu. Tak dapat lagi kedua raja itu menahan amarahnya.
"Ini sudah benar-benar keterlaluan. Kakang!" berkata Amurwa Sakti. Matanya tampak berkaca-kaca, merah membara bagai terbakar api kemarahan.
"Memang sudah keterlaluan tindakannya. Hem, rupanya mereka belum tahu siapa kita," bergumam Wulung Seta yang juga sudah tak dapat menahan amarahnya. "Hari ini juga, kita serbu ke tempat mereka!"
"Setuju, Kakang! Aku sudah tak sabar melihat hasilnya!"
"Mari kita bahas bagaimana cara yang terbaik."
Kedua raja kakak beradik itu segera berlalu meninggalkan alun-alun. Di wajah keduanya tak ada sedikitpun keceriaan, yang ada hanya kemuraman semata. Hari itu juga, kembali diadakan pertemuan untuk membahas masalah yang harus mereka temukan guna menyelesaikan masalah yang kini melanda kerajaan. Akhirnya disepakati, untuk mengadakan penyerbuan besar-besaran.
"Paman patih, Randu Alasan. Paman pimpin dua ratus pasukan untuk penyerbuan ini," kata Wulung Seta.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka, akan hamba laksanakan."
"Nah, paman pilih prajurit-prajurit pilihan, yang di samping pandai berperang juga pandai strategi dan ilmu bela diri." kembali Wulung Seta berkata. "Kerjakan secepatnya!"
"Daulat, Tuan ku yang mulia."
Dengan didahului menyembah, Randu Alasan segera mundur dari pertemuan. Wajah Randu Alasan begitu kuyu, sepertinya tak yakin dengan kemampuan yang ia miliki. Namun demi tugas, Randu Alasan akhirnya dengan berat melaksanakannya juga.
"Wahai para kadang prajurit, berkumpul!" berseru Randu Alasan, yang seketika itu dilaksanakan oleh para prajurit. Dengan keadaan siaga penuh, semua prajurit dua kerajaan berkumpul di alun-alun kerajaan Pesisir Putih. "Baginda Maha Raja Prabu Wulung Seta, menitahkan kita untuk berperang. Apakah kalian telah siap?"
"Kami siap, Paman patih!" menjawab para prajurit serentak.
"Bagus! Tapi aku akan memilih siapa di antara kalian yang memang memiliki persyaratan perang yang telah ditentukan oleh Baginda Raja."
Habis berkata begitu, Randu Alasan segera berjalan menuju para prajuritnya. Dipilihnya dua ratus prajurit yang memang memenuhi syarat. Setelah didapatkan dua ratus, Randu Alasan segera berkata memerintah pada prajurit yang lainnya untuk kembali ke tempat masing-masing.
"Apakah kalian semua siap?"
"Demi nama kerajaan dan raja, kami siap!" menjawab dua ratus prajurit itu serempak, menjadikan senyum di bibir Randu Alasan. Dengan berjalan memeriksa barisan prajurit, Randu Alasan kembali berkata:
"Bagus! Memang sebagai seorang abdi negara, kalian harus mempunyai prinsip. Mati untuk membela kerajaan, lebih baik dari pada hidup terinjak."
Mendengar penuturan Randu Alasan yang begitu memberi semangat, seketika semua prajurit berseru penuh rasa nasional.
Di sebuah goa di kaki gunung Slamet, tampak seorang lelaki tua duduk di atas sebuah batu. Di hadapannya duduk pula dua orang pemuda, yang berwajah tampan. Sepertinya kedua pemuda itu adalah murid dari orang tua itu. Orang tua itu bernama Rake Pinuluh, yang merupakan salah seorang tokoh silat dari golongan tua. Rake Pinuluh adalah seorang tokoh silat dari golongan lurus. Mata tuanya yang rabun, mungkin kurang jelas untuk melihat. Namun mata batinnya yang telah digembleng sejak muda, sangat tajam melebihi sinar mentari.
Hari itu Rake Pinuluh sengaja memanggil dua orang muridnya, yaitu Jaga Bayu dan Satria Wulung. Kedua murid itu sejak kecil dididik olehnya, hingga menjadikan keduanya tokoh-tokoh persilatan yang, mumpuni kelak.
"Jaga Bayu dan kau Satria Wulung. Kalian telah dewasa, segala ilmu baik kanuragan maupun kejiwaan telah aku berikan pada kalian. Hari ini, aku ingin mengutus kalian berdua menegakkan kebenaran dan kedamaian di muka bumi. Percuma ilmu yang kalian miliki, kalau ilmu itu tak kalian pergunakan."
"Daulat, Guru," jawab keduanya hampir bersamaan.
"Perlu kalian berdua ketahui. Kini dunia persilatan makin terasa panas oleh ulah-ulah orang yang sombong. Beruntung masih ada yang mau mengulurkan tangannya membasmi kemungkaran itu. Menurut pandangan mata batinku yang telah lapuk, orang yang kini selalu menumpas kejahatan adalah seorang pemuda seusia kalian. Dia bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah dari Kawah Chandra Bilawa. Nah, bantulah pendekar tersebut. Bukannya pendekar Pedang Siluman tak mampu menghalau segala kemungkaran, namun kalian membantu meringankan tugasnya. Kalian mengerti akan apa yang aku katakan?" bertanya Rake Pinuluh.
"Daulat, Guru," kembali kedua murid itu menjawab dengan hormat. "Apa yang mesti murid lakukan, Guru?"
"Murid-muridku. Kalian hari ini juga aku perintahkan turun gunung. Carilah oleh kalian pengalaman, sebab pengalaman adalah guru yang paling baik. Tapi ingat, kalian harus dapat mengendalikan perasaan kalian, mengerti?"
"Daulat guru, kami mengerti."
"Bagus! Aku tak dapat memberi kalian bekal, hanya ilmu dan do’a yang dapat aku berikan. Berangkatlah."
Hari itu juga, kedua murid Rake Pinuluh segera turun gunung untuk mencari pengalaman. Keduanya nampak berjalan beriringan, menuruni bukit dan sungai dengan hanya membawa bekal yang pas-pasan. Manakala keduanya sudah jauh melangkah, di hadapan mereka tiba-tiba tergeletak seorang lelaki tua renta. Demi melihat hal itu, Satria Wulung segera bergegas menghampiri. Sementara Jaga Bayu, tampak acuh tak acuh terus saja berjalan meninggalkan Satria yang masih mengurusi lelaki tua renta itu.
"Kenapa, Kek?"
"Aku lapar, Anak muda," berkata si kakek dengan suara terputus-putus. "Apakah kau membawa makanan, Anak muda?"
"Ada, Kek. Aku membawa bekal yang diberikan oleh guru."
Dengan segera tanpa memikirkan diri sendiri makan atau tidak, Satria Wulung segera membuka bungkusan bekalnya. Diambilnya dua potong singkong bakar dan diberikannya pada si kakek.
"Kau, Anak muda?" tanya si kakek, sepertinya merasa iba melihat Satria Wulung yang hanya membawa dua potong singkong bakar. "Apakah nanti kau tak kelaparan, Anak muda?"
"Ah, Kakek. Tak usahlah kakek memikirkan saya. Saya masih muda, sedang kakek telah tua. Aku rasa, aku akan mampu mencari makan nantinya." jawab Satria Wulung dengan ikhlas, menjadikan kakek itu tersenyum.
Tengah Satria Wulung tak mengerti akan senyum kakek yang ditolongnya, tiba-tiba tubuh kakek tua itu lenyap dari pandangan matanya. Lalu terdengarlah suara kakek tua yang ternyata suara gurunya berkata:
"Satria, kaulah calon pendekar sejati. Hati-hatilah dengan kakak seperguruanmu. Ingat, dia akan menjadi musuhmu, musuh yang sangat berbahaya. Berjalanlah ke arah Utara, carilah olehmu seorang pemuda berambut gondrong dengan dada terbuka tanpa memakai baju. Bila kau menemukan seorang tokoh persilatan muda yang bertelanjang dada, dialah pendekar Pedang Siluman Darah. Mintalah petunjuk padanya."
"Guru...! Di manakah engkau, Guru?"
"Aku baru saja ada di hadapanmu, Satria."
"Jadi... jadi tadi gurukah?" bertanya Satria tergagap.
"Benar, Muridku. Aku sengaja menguji kau dan kakakmu. Namun ternyata kaulah yang memenuhi syarat untuk kelak menggantikan ku. Nah, terimalah olehmu Keris Pusaka ini. Pergunakan keris itu untuk membela kebenaran dan keadilan. Selamat berjuang, Muridku."
"Terima kasih, Guru," jawab Satria Wulung. Lalu setelah menyembah, Satria Wulung segera kembali meneruskan perjalanannya. Arahnya segera mengikuti arah yang telah ditunjukkan oleh gurunya, yaitu ke arah Utara.
Jaka tengah berjalan-jalan menikmati pagi yang cerah, manakala dari belakang sebuah anak panah berdesing hendak menyerangnya. Beruntung indra perasa Jaka bekerja dengan cepat, sehingga Jaka pun dengan segera mengelakkan serangan gelap itu.
"Edan! Manusia macam apa pula yang menghendaki nyawaku?" bergumam Jaka. "Woi... kalau kau manusia, tunjukkan cocormu yang bau kentut busuk!"
"Aku di sini, Anak muda!"
Bareng dengan suara itu, sesosok tubuh berkelebat menghadang langkah Jaka. Jaka tersenyum cengengesan, lalu dengan segera menjura hormat. Namun betapa gusarnya orang yang berdiri menghadangnya demi mendapat penghormatan Jaka. Betapa tidak! Jaka menjura hormat dengan keadaan berbalik, sehingga pantatnya yang nungging. Mulanya kemarahan lelaki setengah tua itu setengah, namun maka kala Jaka mengeluarkan gas beracunnya menjadi kemarahan lelaki itu penuh.
"Kurang asem! Anak muda tak tahu diri!" memaki marah lelaki itu.
"Eeh, kenapa situ marah-marah? Bukankah aku tadi menghormatimu?"
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan aku!"
"Hah, apa iya, sih? Aku rasa tadi aku bertingkah wajar."
Mendengar ucapan Jaka yang bagaikan orang tak waras, menjadikan lelaki setengah tua itu makin keki berat. Betapa tidak seumur-umur dia baru melihat anak muda yang ndablegnya tidak ketulungan. Dengan mata melotot marah, lelaki setengah tua itu membentak. "Siapa kau, Anak edan!"
"Wah, kenapa marah-marah? Kau siapa, Kek?" Jaka balik menanya.
Merah membara bagaikan lautan api wajah lelaki setengah tua itu dipanggil kakek, menjadikan giginya bergemeretuk menahan marah. "Wah, rupanya engkau sejenis herbipora ya, Kek."
"Kunyuk! Rupanya kau belum kenal aku hah!" kembali lelaki setengah tua itu membentak.
Namun Jaka yang dasarnya ndableg malah tertawa-tawa cekakakan, menjadikan lelaki setengah tua itu makin membludak marahnya. Maka tanpa banyak kata lagi, segera ia berteriak menyerang Jaka.
Diserang secara tiba-tiba, bukannya Jaka bingung. Malah dengan bercanda memperagakan monyet, Jaka bergerak menghindar. Lelaki setengah tua itu makin mendengus marah, demi melihat tingkah laku Jaka yang seakan mengejeknya. Dengan gusar, dicercanya Jaka dengan pukulan-pukulannya.
"Wah... kurang keras, Kek! Apakah karena kau sudah tua, sehingga tenagamu seperti bekicot...?"
"Slompret! Mampus kau...!" Dihantamnya Jaka dengan pukulan tenaga dalamnya, namun bagaikan seekor monyet yang lincah Jaka berkelit. Mulutnya sengaja dimonyongkan, menjadikan makin gedeg saja lelaki setengah tua itu.
"Aku lumatkan kau, Anak edan!"
"Tidak kena, Kek. Uh, kenapa mulutmu bau jengkol, Kek?" seru Jaka menggoda. "Bagaimana, kalau aku yang menggosok gigi-gigimu?" Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat hingga tak dapat dicegah lelaki setengah tua itu Jaka menyodokkan tangannya ke mulut.
Seketika meraunglah lelaki setengah tua itu, giginya hancur berantakan. "Aduuh... aduh...!" Lelaki setengah tua itu terus berguling-guling di atas tanah, menahan sakit yang tiada terkira di mulutnya.
Melihat hal itu Jaka seketika tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, dengan begitu kau tak akan bau jengkol lagi. Selamat tinggal, Kek. Semoga kau menemukan harimau." Dengan tanpa menghiraukan lelaki setengah tua itu, Jaka segera berkelebat pergi. Setelah beberapa saat Jaka berlalu, terdengar oleh lelaki setengah tua itu auman harimau.
"Auuummmm...!"
Bagaikan tak merasa sakit, lelaki setengah tua itu langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan seember cairan yang berbau jengkol. Jaka yang memang sengaja mempermainkan lelaki setengah tua itu, segera ke luar dari persembunyiannya. Digelengkan kepalanya manakala melihat air kencing lelaki setengah tua yang berbau minta ampun, berserakan. Setelah celingukkan sesaat, Jaka segera pergi meninggalkan harta warisan lelaki setengah tua itu yang berupa zat cair mengandung belerang berkadar tinggi.
Sepeninggalnya Jaka, tampak seorang pemuda berjalan melewati tempat itu. Pemuda yang tak lain Satria Wulung, seketika menutup hidungnya, manakala tercium olehnya bau yang menyesakan pernapasan.
"Bujur busyet! Bau apa ini?" bergumam Satria Wulung.
Maka tanpa memperdulikan bau yang menyesakan pernapasan, Satria Wulung segera melesat pergi menyusul pada orang yang menurut gurunya bernama Jaka. "Sepertinya pemuda itu yang digambarkan oleh guru," bergumam hati Satria. "Ciri-cirinya tepat. Hem, akan aku kejar dia."
Satria Wulung terus berlari memburu Jaka, sehingga ia harus mengeluarkan segala ilmu larinya untuk mengejar Jaka yang menggunakan ajian Angin Puyuh.
Tindakan Persekutuan Dewi makin berani. Yang tadinya bersembunyi-sembunyi, kini mereka makin berani menampakkan diri. Hal itu makin menjadikan kemarahan dua kerajaan yang selalu menjadi korban. Dua kerajaan yang tak lain Pesisir Putih dan Segara Wetan, mengirim pasukannya yang dipimpin oleh patih Ulung Randu Alasan. Kedua pasukan dari dua kekuatan telah berhadap-hadapan. Namun sejauh itu, pimpinan utama gerombolan Persekutuan Dewi belum juga menampakkan batang hidungnya. Peperangan pun meletus, tanpa menunggu kehadiran sang pemimpin.
"Serang...!" berseru Randu Alasan.
Seketika kedua ratus prajuritnya berserabutan, menyerang pasukan gerombolan Persekutuan Dewi. Diserang oleh para prajurit pilihan, menjadikan mereka dalam sekejap saja keteter. Apa lagi kedua orang pimpinannya tak juga menampakkan batang hidungnya.
"Serang terus...! Jangan biarkan hidup...!"
Bagaikan minyak disulut api, pasukan dua kerajaan itu terbakar semangatnya. Dengan gagah berani, kedua ratus pasukan pilihan itu terus merangsek musuh. Sebaliknya di pihak gerombolan Persekutuan Dewi, nampak tak ada semangat. Tengah mereka hampir keteter oleh serangan prajurit-prajurit kerajaan, seketika terdengar suara pimpinannya memberi komando.
"Jangan mundur. Serang...!"
Para prajurit gerombolan Persekutuan Dewi yang tadinya patah semangat kembali tumbuh semangatnya. Dengan membabi buta bagaikan tak kenal rasa takut, para prajurit gerombolan itu kini balik mendesak.
Tersentak Randu Alasan, manakala tahu siapa yang menjadi pimpinan gerombolan Persekutuan Dewi. "Kau...!"
"Ya. Aku, Randu Alasan. Dulu kau seperti membuka kedokku. Namun kini aku telah membuka kedok. Karena kau telah tahu siapa aku, maka kau harus mati saat ini juga. Terimalah kematianmu, Hiaat...!"
Tersentak Randu Alasan diserang begitu tiba-tiba. Beruntung Randu Alasan waspada. Dengan segera Randu Alasan berkelit dan balik menyerang. Kedua pimpinan itu segera terlibat dalam peperangan. Keduanya masing-masing memiliki andalan sendiri-sendiri. Walaupun begitu, tampak Randu Alasan jauh di bawah ilmunya bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Angelir sekarang.
Randu Alasan tersentak mendapatkan kenyataan bahwa musuhnya ternyata berada di atas jauh ilmunya. Namun sebagai seorang patih yang disegani, Randu Alasan tak mau begitu saja mengalah. Dicobanya untuk terus bertahan, demi memberi motifasi bagi prajuritnya. Namun perhitungannya ternyata meleset jauh. Sebab Angelir ternyata bukan orang berhati welas asih. Maka dengan menggunakan ajian Gugur Gunungnya yang terkenal dahsyat, Angelir secepat kilat menyerang Randu Alasan.
"Randu Alasan, Hari ini akhir hidupmu. Hiat...!"
Hampir saja tubuh Randu Alasan terhantam ajian Gugur Gunung yang dilontarkan oleh Angelir, kalau saja tidak segera datang seseorang yang langsung menyabet tubuhnya dan membawa pergi.
"Bedebah! Siapa kau!" membentak Angelir marah, merasa korbannya terlepas gara-gara orang yang berkelebat itu. Namun orang itu tak menanggapinya, malah dia nampak mempercepat larinya dan menghilang dari pandangan mata. Dengan kemarahan yang meluap-luap, Angelir terus memburu orang yang membawa tubuh Randu Alasan pergi.
"Berhenti! Atau kau akan mati di tanganku!" membentak Angelir.
Namun seperti tadi, orang itu tak menjawab. Bahkan makin dipercepat larinya. Ketika Angelir hendak terus mengejar, orang itu mengibaskan tangannya. Seketika ratusan jarum-jarum beracun berdesing ke arah Angelir.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus. Hiat...!" Segera Angelir menghantamkan ajian Bledek Rajah ke arah orang itu, namun dengan segera orang yang membopong tubuh Randu Alasan menghantamkan pukulannya membalas ajian Bledek Rajah.
"Duar...!"
Seketika terdengar ledakan, manakala dua pukulan itu beradu menjadi satu. Tubuh Angelir terjengkang tiga tombak, dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sementara orang yang membopong tubuh Randu Alasan, sepertinya tak mengalami apa-apa. Orang itu terus berlari membawa tubuh Randu pergi, tanpa menghiraukan Angelir yang hanya dapat memandang kepergiannya. Lelaki tua itu terus berlari dengan menggendong tubuh Randu Alasan pergi. Lelaki tua itu bagaikan tak membawa beban secuilpun, dia lari seperti kijang.
"Kek, apakah tidak cape? Aku bisa berlari sendiri, Kek," berkata Randu Alasan meminta diturunkan. Namun kakek tua itu seperti tak mendengar permintaan Randu, dia terus berlari dengan menggendong tubuhnya.
"Kek, apakah kakek tak cape!" berseru Randu Alasan yang menyangka lelaki tua penolongnya tuli. Namun betapa tersentaknya Randu Alasan, manakala lelaki tua itu membentaknya.
"Diam! Aku tidak tuli! Kalau aku turunkan kau, aku takut iblis itu mampu mengejarmu."
"Tapi dia sepertinya sudah tak mengejar, Kek?"
"Apa iya?" bertanya si kakek seperti linglung dan segera menghentikan langkahnya, berpaling ke belakang. "Oh ya, ternyata iblis itu tak memburu kita."
Dengan seenaknya, lelaki tua itu melemparkan tubuh Randu Alasan ke rerumputan. Hal itu menjadikan Randu Alasan tak mengerti dengan tingkah lakunya yang aneh itu.
"Siapa kakek sebenarnya?"
"Huh, dunia makin tambah gila," gumam kakek itu, sepertinya ia tak mendengar pertanyaan Randu. "Heh, siapa kau namanya?"
"Nama saya Randu Alasan, Kek."
"Ya, ya, ya.... Randu Plingasan "
"Bukan, Kek. Bukan Randu Pelingasan, tapi Randu Alasan."
"Ya, aku tahu." membentak si kakek, menjadikan Randu Alasan mengerutkan keningnya.
"Aneh, kakek ini," gumam hati Randu.
"Randu Alasan...." tiba-tiba kakek itu berseru memanggil nama Randu Alasan.
"Ya, Kek."
"Ayo bangun, jangan seperti anak kecil." bentaknya, demi melihat Randu Alasan nyengir menahan sakit. "Apa sekalian aku tendang?"
"Jangan, Kek," meminta Randu Alasan dengan ketakutan. Ia yakin, kalau kakek aneh ini selalu akan menjalankan apa yang menjadi omongannya. Maka dengan menahan sakit di pinggangnya. Randu Alasan segera bangkit dari duduknya. "Ada apa, Kek."
"Dengar baik-baik olehmu. Bila kau mau mengadakan penyerbuan, carilah olehmu pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg dengan seorang pendekar yang baru turun gunung."
"Kalau Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah saya kenal, Kek." jawab Randu Alasan, menjadikan si kakek tersenyum. "Tapi...?"
"Kenapa, Randu?"
"Tapi pendekar satunya saya belum kenal, Kek," jawab Randu yang menjadikan si kakek terkekeh-kekeh.
"Nanti juga kau akan mengenalnya." berkata si kakek. "Dia adalah muridku, bernama Satria Wulung. Dia sengaja aku turunkan ke dunia persilatan untuk menimba pengalaman pada Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, sekarang pergilah. Aku juga akan pergi kembali."
Dengan tanpa memperdulikan Randu Alasan yang hanya terbengong tak mengerti, si kakek yang tak lain Rake Pinuluh segera berkelebat pergi.
"Sungguh macam-macam saja penghuni dunia ini," gumam Randu Alasan demi melihat tingkah laku kakek tua itu. Dengan menggelengkan kepala, Randu Alasan pun berlalu menuju ke kerajaan kembali.
"Apa...!" tersentak kaget kedua raja muda itu, demi mendengar laporan Randu Alasan. "Apa paman patih tak salah lihat?"
"Tidak, Tuan ku. Hamba tahu pasti siapa yang sebenarnya pimpinan Persekutuan Dewi. Gadis itu tak lain dari pada Angelir atau Dewi Bunga Mawar Kematian."
Terdiam kedua raja muda itu, dengan pikirannya masing-masing. Lalu setelah terdiam beberapa saat, Wulung Seta segera berkata kembali.
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita adakan penyerangan besar-besaran saja, Paman Patih?"
"Percuma, Tuan ku."
"Kenapa, Paman Patih?" bertanya Amurwa Sakti
"Dia bukanlah Angelir yang dulu. Ilmunya sungguh tak tertandingi." menjawab Randu Alasan. "Menurut orang tua yang telah menolong hamba, hanya Jaka Ndableg saja yang mampu mengalahkannya."
Kedua raja muda itu kembali manggut-manggut, mendengar penuturan patihnya. Sesaat keduanya saling pandang, sebelum akhirnya Wulung Seta berkata kembali.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda itu?"
"Demi ketentraman kerajaan, hamba akan mencarinya," jawab Randu Alasan. "Untuk itu, hamba sekarang juga mohon pamit untuk mencari pendekar Pedang Siluman."
"Ya, aku iringi dengan do'a," menjawab Wulung Seta.
Setelah terlebih dahulu menyembah, Randu Alasan segera meninggalkan dua raja muda kakak beradik itu. Kedua raja muda itu masih terlibat pembicaraan, ketika ibunda mereka datang menghampiri. Melihat ibundanya datang, serta merta keduanya segera menyembah.
"Ada apakah, Anakku? Sepertinya kalian mengalami kesulitan?"
"Ampun, Bunda. Memang hamba dan dinda Amurwa Sakti tengah dilanda kesusahan," jawab Wulung Seta.
"Benar, Bunda. Kami memang tengah menghadapi bencana," menambah Amurwa Sakti.
"Bencana apa itu, Anakku?" Sesaat kedua raja kakak beradik itu diam, saling pandang seperti hendak menyuruh satu sama lainnya berkata. Melihat kedua anaknya terdiam, Roro Kunti kembali bertanya. "Kenapa kalian diam, Anak-anakku?"
Mendapat desakan begitu, akhirnya Wulung Seta segera menceritakan apa yang telah dirinya hadapi. Roro Kunti yang mendengarkan seketika meneteskan air matanya, menjadikan kedua raja muda itu saling pandang dan bertanya.
"Kenapa, Bunda?"
"Ketahuilah oleh kalian. Bahwa Angelir adalah masih kakak kalian sendiri. Angelir adalah anakku dari Amuk Mungkur!"
"Jadi, Bunda?" tergagap Wulung Seta bertanya.
"Entahlah, Anakku. Mengapa Angelir harus menuruni tabiat ayahnya? Tidak seperti kalian yang baik, Angelir serakah. Bahkan menurut wangsit yang ibunda terima, salah seorang dari kalian akan menjadi korbannya."
Roro Kunti tak dapat menahan kepedihan hatinya, hingga Roro Kunti pun seketika terkulai lemas. Roro Kunti pingsan, menjadikan kedua anaknya tersentak. Dengan penuh kasih sayang, kedua anaknya segera membopong ibundanya menuju ke pembaringan.
Kedua raja muda itu tak dapat berkata-kata, setelah mendengar bahwa salah seorang di antara mereka akan menjadi korban kakak mereka sendiri dari keturunan Amuk Mungkur. Hati keduanya seketika diliputi beribu-ribu macam pertanyaan. Gundah-gulana, rasa was-was beraduk menjadi satu. Rasa takut pun seketika menjalar di hati keduanya. Menjadikan suasana di ruangan kamar ibundanya tercekam penuh kebisuan.
"Anak-anakku...." berseru Roro Kunti yang telah siuman.
"Ya, Bunda," menjawab keduanya, yang dengan segera berlari menghampiri ibundanya.
"Ketahuilah, Anakku. Semua wangsit itu akan tak ada guna, bila seorang pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg telah datang. Sebab hanya dialah yang mampu mengalahkannya."
"Kami sedang berusaha mencarinya, Bunda," menjawab Wulung Seta. "Kami telah mengutus paman patih Randu Alasan."
"Oh, Dewata Yang Agung, semoga Ki Patih akan segera menemukan Pendekar Jaka Ndableg itu," bergumam Roro Kunti, menjadikan kedua anaknya seketika membisu. Ada air bening menetes di pipi Wulung Seta dan Amurwa Sakti.
Angin dari gunung Slamet bertiup sepoi-sepoi, menjadikan hawa segar nan asri. Nelayan di pantai tampak tengah berjemur diri di atas perahu yang membawanya berlabuh untuk mencari nafkah hidup. Bocah-bocah kecil tampak berebutan mencari ikan lemparan, yang sengaja dilemparkan oleh para Nelayan yang baru pulang dari mayang.
Kesejukan angin yang berhembus dari gunung Slamet, serta ketenangan bocah-bocah itu bermain, seketika terpecahkan oleh datangnya dua orang penunggang kuda. Wajah dua orang penunggang kuda itu begitu menyeramkan, membuat anak-anak kecil itu ketakutan. Rumah-rumah penduduk seketika ditutup rapat-rapat.
"Hem, sepertinya mereka telah mengenali kita betul-betul, Kakang?" bertanya seorang dari keduanya yang menunggang kuda hitam.
"Benar, Adik Compal." jawab orang penunggang kuda putih yang badannya tampak lebih besar. Di pipinya segores luka yang telah mengering menjadikan tampangnya makin menakutkan.
"Apakah kita tidak mengisi perut dulu, Kakang?" tanya Compal kembali, mengajak pada temannya sembari menunjuk ke arah kedai yang tampak dari kejauhan. "Itu ada kedai."
"Ayolah." mengajak Condet.
Dengan segera, keduanya memacu kuda menuju ke kedai yang tampak tak jauh dari mereka. Selang tak begitu lama, keduanya pun sampai di kedai itu. Setelah menambatkan tali kudanya, segera kedua orang itu bergegas masuk. Semua pengunjung kedai seketika terdiam, manakala melihat Condet dan Compal memasuki kedai. Mereka sepertinya telah mengenal betul siapa adanya kedua orang itu.
"Bahaya..." berbisik seseorang pada temannya.
"Bahaya kenapa?" tanya temannya tak mengerti, juga berbisik.
"Apa kau tak tahu siapa mereka?"
"Siapa mereka?" kembali temannya yang belum mengerti bertanya.
"Mereka adalah gerombolan Persekutuan Dewi..."
Demi mendengar jawaban temannya, seketika pemuda satunya membelalakkan mata. Dan karena saking kagetnya, sampai-sampai pemuda itu menjerit. "Apa...! Jadi mereka gerombolan Persekutuan Dewi?"
"Sttt.... jangan keras-keras." berkata temannya memberitahukan.
Ketika keduanya baru saja hendak diam, tiba-tiba tubuh mereka seperti ada yang mengangkat dari kursi. "Apa yang tadi kalian bicarakan, hah!" membentak Condet sembari mengangkat tubuh kedua orang itu yang tampak gemetaran. "Rupanya kalian hendak menentang kami, hah!"
Tanpa banyak kata lagi. Condet segera lemparkan tubuh keduanya ke luar. Tubuh kedua pemuda itu seketika terpelanting ke luar dengan kencangnya dan jatuh ke tanah menimbulkan bunyi gedebug. Melihat perlakuan dua orang itu, seketika semua yang ada di kedai terbangun dari duduknya. Tanpa komando, serta merta semuanya menyerang Condet dan Compal.
Condet dan Compal tersentak melihat mereka berani melawan. Maka dengan terlebih dahulu menggeram, kedua anak buah Persekutuan Dewi itu segera memapaki pengeroyokan orang-orang tersebut. Tawuran pun terjadi dalam kedai itu. Walau dikeroyok oleh segitu banyaknya, tidak menjadikan kedua anak buah Persekutuan Dewi gentar. Mereka telah dididik keras oleh ketuanya yaitu Dewi Bunga Kematian, sehingga keduanya telah benar-benar menjadi orang yang pemberani juga nekad.
Keduanya bergerak dengan cepat, golok di tangan mereka bagaikan bermata. Golok itu berkelebat-kelebat, bagaikan malaikat saja layaknya. Setiap tebasan golok mereka, selalu ada jerit kematian menggema diikuti oleh ambruknya orang yang terkena. Darah berhamburan bagaikan air mancur, membasahi lantai kedai. Sia-sia mereka mengeroyok, sebab mereka bukanlah tandingan kedua anggota Persekutuan Dewi. Tubuh mereka bagaikan tak ada artinya sama sekali.
Namun begitu, para pengeroyok yang kebanyakan penduduk desa yang telah marah dengan tingkah laku keduanya seakan tak mau mengalah ataupun takut. Malah dengan sendirinya, penduduk yang melihat segera nimbrung mengeroyok.
"Rampok-rampok sialan! Kalian harus mati!" membentak salah seorang penduduk dengan nada kesal dan marah.
"Bukankah kalian ngomong terbalik? Kalianlah yang harus musnah!" balik membentak dengan sengitnya Compal. Kakinya bergerak cepat, menendang dan mendupak.
Salah seorang yang berhasil ditendang Compal, seketika tubuhnya melayang dan nyangkut di siku-siku tiang kedai. Orang itu menjerit-jerit minta tolong, namun semuanya seperti tak mendengar. Mereka disibukkan dengan pengeroyokan, mereka berambisi untuk segera menjatuhkan kedua anggota gerombolan Persekutuan Dewi. Pertempuran ini makin tambah seru, manakala tiga anggota gerombolan Persekutuan Dewi datang dan membantu dua temannya.
"Teman-teman, kalian aku bantu!"
"Ya, Rumajang cepat bantu kami!" beri seru Condet sementara kaki dan tangannya masih bergerak dengan cepatnya menghantam dan menendang.
Melihat korban banyak berjatuhan di dalam kedainya, menjadikan pemilik kedai gemetaran. Dengan histeris, pemilik kedai itu menjerit-jerit sendirian. "Hoi... berhenti. Atuh? Bagaimana ini? Siapa yang akan menggantikan semuanya?" menangis si pemilik kedai. "Aoh...!" Pemilik kedai itu tersentak dan terkencing-kencing, manakala di atas mejanya terlempar sesosok tubuh dengan mata melotot mati.
Mata orang yang mati itu, menjadikan pemilik kedai turut melototkan mata kaget. Keringat dingin mengguyur tubuhnya, demi melihat keadaan orang yang berada di atas mejanya. Di samping matanya melotot, perutnya terbuka lebar dengan usus terbuai ke luar. Pemilik kedai yang memang sudah panik, makin bertambah panik. Dengan menjerit-jerit histeris, pemilik kedai yang kebingungan hendak ke mana akhirnya kembali menangis.
"Wadauw...!" Kembali pemilik kedai itu menjerit, manakala sebuah tangan yang terpotong mencelat menimpa mukanya. Seketika muka pemilik kedai tertutup oleh berlumuran darah yang muncrat dari potongan tangan itu. Tampaklah kini muka pemilik kedai seperti hantu. Pemilik kedai itu kembali menangis meraung-raung, menyesali keadaan kedainya juga keadaan dirinya.
"Hu, hu, hu... mimpi apa aku tadi malam?" tanya pemilik kedai pada diri sendiri dengan mengusap darah yang membasahi mukanya. Tengah tangannya menutupi kedua mata, tiba-tiba ia kembali disentakkan oleh sesuatu. Ketika tangannya membuka dari mata, pemilik kedai seketika pingsan manakala sesosok tubuh yang keadaannya morat-marit telah memeluk tubuhnya. Saking takutnya, pemilik kedai hanya mengeluh.
"Ooh..." Pingsanlah si pemilik kedai, tubuhnya menggelosor ke lantai tertindih orang yang mati
"Hentikan!"
Terdengar seruan seseorang membahana, menjadikan semua yang telah terlibat pertempuran segera menghentikannya. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat masuk ke dalam kedai. Pemuda itu tersenyum, namun matanya memandang sengit pada kelima orang yang berdiri dengan memegang golok di tangannya. Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg, telah menilai siapa adanya kelima orang bertampang menyeramkan itu.
"Kenapa kalian membuat kerusuhan di sini?"
"Huh, jangan ikut campur, Anak muda!" membentak Condet.
"Aku tak akan ikut campur kalau kalian bertempur di luar sana. Dan aku tak akan ikut campur kalau kalian orang baik-baik. Namun karena kalian orang-orang jahat, maka aku perlu ikut campur," menjawab Jaka dengan tenangnya.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja mencari persoalan, Anak muda!" kembali Condet membentak.
"Hem, sudah aku duga, kalau kalian memang orang-orang tak baik," gumam Jaka. "Aku minta, pergilah kalian dari sini. Ini bukan tempat berkelahi."
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi jagoan, Anak muda!"
"Terserah kalian. Yang pasti, aku tak suka dengan cara kalian yang telengas."
Menggeram kelima anak buah Persekutuan Dewi marah. Maka tanpa banyak kata lagi, kelimanya segera berbareng menyerang Jaka. Diserang begitu rupa dengan segera berkelebat ke luar kedai sembari berseru.
"Kalau kalian ingin bertarung, di luar sinilah yang pantas! Nah, keluarlah!"
"Sompret! Jangan kira kami takut!" Condet dan keempat temannya yang menyangka Jaka adalah pemuda biasa, segera mengikuti Jaka ke luar.
Maka ketika sampai di luar, Jaka telah memapaki mereka dengan hantaman. Tersentak kelimanya mendapat serangan yang begitu tiba-tiba. Kelimanya segera mengelak, dan dengan cepat membabatkan golok yang ada di tangan mereka.
"Kurang cepat, kawan. Apakah tak dapat kau bergerak cepat? Wow, rupanya perlu aku bantu, baik." habis berkata begitu, segera Jaka merentangkan kakinya. Dari rentangan kaki itu, Jaka segera kibaskan kaki kanan menendang kaki kiri dan kuda-kuda musuhnya. Seketika musuhnya terpelanting jatuh ke tanah.
"Nah, apa kataku. Bukankah kuda-kudamu lemah?"
"Bedebah! Rupanya kau hendak pamer kebolehan, Anak muda!"
Marahlah Condet, demi dilihat temannya dapat dengan mudah dipecundangi Jaka. Dibabatkan goloknya dengan cepat, namun Jaka yang sudah dapat mengukur ilmu silat musuhnya tampak tenang.
"Wow, rupanya kau suka membuat getuk, sehingga kau dalam membabatkan golokmu persis orang mengiris getuk," mengejek Jaka, yang mengakibatkan kemarahan Condet makin meluap-luap laksana kali Ciliwung dihujani membludak karena banyak sampah.
Pertarungan lima lawan satu terus berlangsung, membawa mereka untuk terus mengeluarkan tenaga. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, namun segitu jauhnya Jaka terus dapat mendikte gerakan-gerakan lawan. Orang-orang yang tadinya mengawatirkan keselamatan Jaka, seketika di bibir mereka terurai senyum. Mereka berteriak-teriak laksana suporter Indonesia yang sangat antusias, bahkan kadang-kadang suporter Indonesia melebihi batas maksimum, membakari tempat duduk stadion dan sering membuat kerusuhan lainnya.
"Adauw... kenapa kalian begitu ganasnya? Hampir saja kepalaku terbabat ole golok kalian."
"Jangan banyak bacot, Anak muda!" membentak Condet.
"Wah, galak nian kau, Mang?"
"Setan! Apa mulutmu itu perlu aku sunat!"
"Ladalah, Mang. Apa memang belum sunat?" ejek Jaka. "Kalau memang belum sunat, baiklah aku akan membantunya."
Setelah berkata begitu, Jaka dengan segera berkelebat cepat. Tahu-tahu, tangannya yang jahil telah mencengkeram milik Condel tanpa dapat dicegah. Seketika Condet menjerit, kala tangan Jaka meremas telur burung untanya. Terguling-guling Condet seketika menahan mules.
Melihat Condet sekarat, serta merta keempatnya segera menyerang Jaka. Kali ini keempatnya tampak beringas, sepertinya benar-benar ingin mengadu nyawa.
"Hem, rupanya kalian pun ingin merasakannya. Baik, aku akan memberi pada kalian semua. Nah, terimalah "
Kembali Jaka berkelebat cepat, tubuhnya melenting tinggi. Mana kala tubuhnya kembali ke bawah, kakinya tiba-tiba menginjak pundak salah seorang musuhnya. Karena tenaga dalam dikeluarkan oleh Jaka, ambleslah tubuh musuhnya masuk ke tanah. Terbelalak ketiga orang sisa musuhnya, bimbang untuk menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang memang konyol dan ndableg segera berkata mengejek:
"Heh, inikah tampang-tampang orang yang sering membuat keonaran? Tak tahunya hanya tampangnya saja yang batu, sedang jiwanya tak lebih dari combro."
Dikata dengan sebutan Conbro, marahlah Compal seketika. Hal itu menjadikan Jaka tersenyum-senyum senang karena pancingannya ternyata berhasil. Manakala Compal membabatkan goloknya, dengan segera Jaka melompat ke atas. Tak ayal lagi, leher temannya sendiri yang terkena babatan. Compal terbelalak kaget, namun belum juga ia hilang dari rasa kagetnya Jaka telah lebih dahulu mengamblaskan tubuhnya ke dalam tanah. Kini tinggal dua orang lagi yang masih hidup. Keduanya yang telah ciut nyali, segera jatuhkan diri bersimpuh meminta maaf.
"Aku tak berani mengampuni kalian. Yang berhak atas diri kalian adalah orang-orang kampung itu" jawab Jaka atas permintaan ampun keduanya. Lalu dengan tanpa menghiraukan semua yang masih terbelit dengan masalahnya, Jaka segera berkelebat pergi.
Seorang lelaki bercaping lebar tengah menyusuri pesisir pantai Laut Kidul. Pakaiannya yang tampak lusuh menandakan bahwa dia telah begitu lama tak pernah ganti. Lelaki bercaping lebar itu sesaat berhenti dan duduk di atas sebuah batu. Matanya yang tajam, memandang lepas ke tengah lautan. Tampak olehnya perahu nelayan kecil-kecil, terhempas ombak yang besar.
"Itulah kehidupan. Siapa yang berani menanggung resiko, dia juga yang akan mendapatkan hasilnya." bergumam hati kecil lelaki bercaping itu.
"Pak, sedang apakah bapak duduk melamun sendiri?"
Tersentak laki-laki bercaping lebar itu, manakala terdengar seseorang menyapa. "Eh, ada apakah?" tanyanya bingung.
"Kenapa bapak melamun?"
"Aku, aku tengah memikirkan anakku yang telah tiga bulan ini berlayar, namun tak juga ada kabar beritanya." jawab lelaki bercaping lebar itu. "Aku kini sebatang kara, Nak."
Pemuda yang diajak ngomong seketika merasa iba demi mendengar penuturan lelaki bercaping itu. Mana kala cupingnya dibuka, tampaklah seraut wajah tua yang tak lain Randu Alasan yaitu patih dari kerajaan Pesisir Putih.
"Kalau memang demikian adanya, bagaimana jika bapak ikut dengan ku saja?"
"Apakah tidak merepotkan nantinya, Nak?"
"Ah, mengapa merepotkan? Tidak, Bapak." menjawab pemuda nelayan itu. "Bahkan aku senang bila bapak mau menemaniku."
"Terima kasih. Kau sungguh baik budi, Nak." berkata Randu Alasan. "Jarang anak muda yang berhati sepertimu. Siapakah namamu, Nak?"
"Namaku Wiryo." jawab anak muda nelayan. "Siapakah nama bapak?"
"Namaku Bangkit, Nak."
Setelah keduanya saling kenal, lalu keduanya segera berlalu meninggalkan pesisir menuju ke rumah Wiryo. Di sepanjang jalan keduanya bercerita tentang diri masing-masing. Randu Alasan yang tengah menyamar sebagai rakyat jelata, mengarang segala cerita yang dapat menutupi dirinya agar tidak dikenal oleh anak muda itu.
Angin malam berhembus dingin menyekat urat. Hujan turun rintik-rintik, diselingi oleh deru angin yang lebat dan pesat. Hingga menjadikan tarian jalang pohon-pohon yang terkena, berdesir-desir.
Randu Alasan yang tengah menyamar menjadi seorang rakyat jelata, malam itu tengah duduk sendirian. Sementara anak muda yang telah menganggap dirinya ayah, telah tertidur pulas karena capai. Mata Randu Alasan menyipit, memandang tak berkedip ke depan dengan tatapan kosong. Ingatannya pada kerajaannya, yang membawa Randu Alasan harus mengembara mencari Pendekar Pedang Siluman Darah. Bayang-bayang kekhawatiran kalau-kalau gerombolan Persekutuan Dewi menyerang tiba-tiba, menjadikannya tercekam.
"Ke mana aku harus mencari Pendekar Pedang Siluman?" keluh hati Randu. "Sungguh bagaikan mencari sebuah jarum di pasir, sama susahnya."
"Duar...!"
Dewa petir membahana, menyentakkan Randu dari lamunan. Tengah Randu merenung sendiri, terdengar olehnya seruan orang-orang warga kampung histeris. Randu tersigap kaget, seperti juga yang dialami Wiryo. Wiryo yang waktu itu tertidur, tersentak bangun dan menghampiri Randu.
"Bapak, rupanya ada kejadian."
"Kejadian? Kejadian apa...?" tanya Randu tak mengerti.
"Bapak di rumah saja, biarlah aku yang ke luar. Tampaknya gerombolan maling itu datang lagi," jawab Wiryo, yang seketika mengagetkan Randu.
"Gerombolan maling?" gumam Randu.
"Ya, gerombolan maling itu selalu membuat kekacauan," jawab Wiryo dengan keluh. "Kemarin saja membawa korban, tiga orang mati."
"Ah..." lenguh Randu Alasan. "Kenapa mesti keluar, Nak?"
"Sudah kewajiban, Bapak?"
Randu Alasan sangat kagum atas ucapan anak angkatnya itu. Betapa anak muda itu mengerti kewajiban, dirinya lebih mementingkan kewajiban daripada menuntut haknya. Saking kagumnya Randu pada anak muda itu, sampai-sampai Randu mendesah dalam hati.
"Sungguh patut dibanggakan anak muda ini. Kelak akan aku ambil menjadi prajurit kerajaan. Aku yakin, keberaniannya sangat besar, patut dijadikan suri tauladan prajurit lain."
Wiryo yang hatinya tak tenang demi mendengar jeritan-jeritan penduduk, seketika melompat ke luar, meninggalkan Randu Alasan yang hanya terbengong menyaksikan keberanian anak angkatnya.
"Aku harus mengawasi bocah itu," gumam Randu. Sepertinya ia tak ingin kalau Wiryo menjadi korban. Maka dengan segera, Randu Alasan berkelebat meninggalkan rumah memburu ke asal suara jeritan itu.
"Serahkan semua apa yang kalian miliki pada kami!" membentak pimpinan gerombolan garong itu, menjadikan semua penduduk menggigil ketakutan. Wajah garong-garong itu sungguh menakutkan, dengan cambang bawuk yang lebat menutupi muka-muka mereka.
"Benar, serahkan apa yang kalian miliki pada kami. Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian berteriak, kalau kalian tidak ingin seperti kedua orang itu. Mengerti!" hardik yang lainnya.
"Jangan mau! Jangan takut dengan ucapan sundelnya!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, yang menjadikan garong-garong itu tersentak memutar tubuh mereka menghadap pada orang yang berseru itu. Namun belum juga mereka sadar, seketika orang yang berseru telah menyerang mereka dengan tendangannya.
"Orang-orang macam kalian, harus minggat dari sini!" membentak pemuda yang tak lain Wiryo dengan sengitnya. Tangan dan kakinya bergerak menghantam dan menendang garong-garong itu.
"Kupret! Rupanya hanya seekor tikus yang mau unjuk gigi!" membentak marah kedua garong dengan sengitnya. "Serang...!"
Tak ayal lagi, kesepuluh garong itu segera berkelebat menyerang Wiryo. Melihat Wiryo dikeroyok, seluruh penduduk yang tadinya hanya diam ketakutan serta merta turut membantu. Tak ayal lagi tawuran masal itu pun segera berjalan dengan seru. Melihat Wiryo dikeroyok, hati Randu Alasan makin bertambah kagum melihatnya. Kepalanya digeleng-gelengkan pertanda rasa kagumnya. Matanya tak berkedip memandang pada tawuran itu.
"Jangan kita mau diperbudak oleh mereka!" Wiryo kembali berseru, membuat semangat keberanian penduduk kian menjadi,
"Bedebah! Rupanya kau cecunguk yang ingin menjadi pimpinan. Jangan menyesal menerima akibatnya nanti!"
Setelah berkata begitu, dengan garang ketua rampok membabatkan golok-goloknya. Setiap tebasan goloknya, mengundang pekik kematian bagi yang terkena. Walaupun begitu, rakyat yang memang tak mau diperas terus menerus tak mau menyerah begitu saja. Mereka bahkan makin mengganas, dan dengan senjata apa adanya berusaha membalas kesepuluh garong itu.
Wiryo yang tengah mengamuk bagaikan banteng ketaton tak menghiraukan apa yang tengah terjadi. Dia terus merangsek salah seorang anggota garong itu. Dengan segala kemampuannya, akhirnya Wiryo dapat menghantamkan pukulan telak di ulu hati musuh.
"Bug, bug, bug!"
"Heck...!"
Tubuh garong itu seketika terhuyung ke belakang, lalu ambruk dengan mulut melelehkan darah segar. Wiryo tersenyum sinis dan diludahinya tubuh anggota garong yang telah mati. Tengah Wiryo terhanyut dengan apa yang telah ia lakukan, seketika sebuah sabetan golok berkelebat ke arahnya. Wiryo tersentak dan berusaha menghindar, namun tebasan golok itu lebih cepat dan menghantam lengannya. Mata Wiryo membeliak, melihat lengannya terluka mengeluarkan darah.
Melihat Wiryo terluka dengan tubuh terhuyung, menjadikan musuhnya tampak makin beringas. Ketika untuk kedua kalinya si garong hendak menebaskan golok nya ke tubuh Wiryo, seketika sebuah bayangan berkelebat dengan cepat menangkis serangan itu. Pucat pasi wajah sang garong, merasakan betapa pukulan orang yang menangkisnya sungguh menjadikan tangannya bagai lumpuh hingga golok yang dipegangnya seketika jatuh ke tanah.
"Bapak...!" Wiryo yang tahu bahwa orang yang menolong bapak angkatnya berseru, seakan tak percaya bahwa orang yang kelihatan lemah mampu membuat si garong pucat pasi.
"Patih Randu Alasan...!" tersengat si garong, yang telah mengenal betul siapa adanya lelaki tua itu.
Hal itu menjadikan Wiryo terbelalak kaget, tak menyangka kalau orang yang menjadi bapak angkatnya ternyata seorang patih yang sudah kondang namanya. "Ah, mengapa aku bodoh, tak mau memahami yang mulia?" keluh Wiryo seakan menyesali kebodohannya. Randu Alasan hanya tersenyum menggelengkan kepala, sembari berkata datar:
"Sudahlah, Wiryo. Kini yang penting kita menghalau para cecunguk ini."
Rakyat yang mendengar bahwa lelaki tua penolong Wiryo adalah patih kerajaan, seketika keberaniannya makin bertambah. Tanpa ada rasa takut, rakyat kembali menyerang serentak. Hal itu menjadikan para garong keteter, tersentak kaget. Pertarungan terus berjalan, kini keadaan berbalik. Garong-garong itu sungguh merasa takut manakala di situ ada orang kerajaan yang sangat ditakuti.
Nama patih Randu Alasan ternyata jauh lebih terkenal dan ditakuti oleh para garong daripada nama raja mereka. Kehebatan patih Randu Alasan dalam menumpas segala tindak kejahatan, sungguh sangat membuat namanya kondang bagi musuh-musuhnya. Karena pikiran kesepuluh garong itu bercabang, serta dibayangi dengan perasaan takut membuat kesembilan garong itu tak tentu dalam bertindak. Hal itu sangat menguntungkan rakyat yang telah terbakar amarah, maka tak ayal lagi mereka seketika menjadi ajang kemarahan rakyat. Tubuh mereka berantakan dibacok-bacok dan direncah oleh rakyat. Matilah kesembilan garong itu dengan keadaan mengerikan.
Jaka yang tengah berjalan sambil bernyanyi-nyanyi segera menghentikan langkahnya, manakala terasa olehnya ada orang mengikutinya. "Hem, aku tak habis pikir, mengapa banyak benar musuh-musuhku?" keluh Jaka dalam hati.
Segera Jaka mempercepat larinya, menjadikan orang yang menguntit tersentak dan berusaha mengejar. Namun Jaka tampaknya telah berlari dengan kencang hingga orang itu kehilangan jejaknya.
"Sungguh kencang benar larinya. Apakah aku tak salah lihat?" Tengah orang itu bergumam, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari atas pohon yang ada di sebelahnya. Bersamaan itu sesosok tubuh berkelebat turun dan berdiri di hadapannya.
"Kenapa kau kebingungan, Ki Sanak?"
Orang itu tersentak melompat mundur, matanya memandang tak percaya pada Jaka yang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Napas orang itu turun naik, sepertinya telah dilanda emosi yang memenuhi rongga-rongga dadanya.
"Ki Sanak mengejarku, ada apa?" tanya Jaka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" tanya orang itu dengan sorot mata tak berkedip, memandang pada Jaka yang seketika mengerutkan alis matanya.
"Aneh, kenapa namaku begitu terkenal dan dicari-cari?" bergumam hati Jaka masgul.
"Benar adanya, ada gerangan apa Ki Sanak mencariku?"
"Kebetulan..."
Tersentak Jaka mendengar jawaban orang itu, yang dirasa sangat aneh. Mengapa orang yang baru saja bertemu mengatakan kebetulan? "Ah, sungguh dunia ini penuh dengan keanehan." mengeluh hati Jaka. Lalu dengan ketidakmengertian, Jaka bertanya. "Apa yang Ki Sanak maksud kebetulan? Adakah kita pernah saling memendam sengketa?"
"Benar! Memang aku mencarimu untuk menyelesaikan sengketa antara kita."
Untuk kesekian kalinya Jaka tersentak kaget. Matanya memandang tak berkedip, hatinya penuh tanda tanya. Belum juga Jaka mengerti, lelaki yang berdiri di hadapannya kembali berkata:
"Aku adalah kakak seperguruan Balong Sakti. Karena aku mendengar kau telah mampu menundukkan adik-adikku, aku menjadi tertarik untuk menjajal seberapa ilmu yang kau miliki sehingga kau mampu menundukkan ketiga adik-adikku."
"Aku rasa aku tak pernah menundukkan siapa-siapa, karena itu aku tak ingin mengurusinya lagi. Nah, aku minta pamit."
Ketika Jaka hendak kembali berkelebat, tibatiba lelaki yang mengaku kakak seperguruan Ki Cupir, Balong dan Lumajang berkelebat menghadangnya serta menyilangkan tongkatnya yang panjang terbuat dari kayu alami.
"Kenapa kau begitu sombongnya, Anak muda?" berkata lelaki itu dengan sengit. "Apakah kau tak mau memberikan pelajaran barang sedikit padaku?"
"Maaf, aku bukannya guru. Untuk itu, sekali lagi menyingkirlah."
"Setan! Kau meremehkan aku, Anak muda!" menggeretak marah lelaki di hadapan Jaka. "Jangan kira aku takut pada nama besarmu yang telah kondang itu. Ayo, kita buktikan!"
Tengah Jaka tersentak kaget mendengar tantangan dari lelaki yang menyebut dirinya kakak seperguruan ketiga orang yang telah dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara seruan seseorang memanggil namanya.
"Jaka...! Biarkan orang dungu itu aku yang menghadapinya!" Berbareng dengan hilangnya suara itu, berkelebat sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Jaka. Lelaki yang baru datang memandang tajam pada orang yang mengaku kakak seperguruan Ki Cupir.
"Paman patih, tak usahlah paman patih repot-repot," berkata Jaka yang telah tahu siapa adanya lelaki di hadapannya. "Adakah paman patih mempunyai keperluan?"
"Itu nanti kita bicarakan, yang penting kita bereskan orang sinting ini."
Mendengar ucapan Randu Alasan, marahlah seketika orang yang mengaku-aku sebagai kakak seperguruan Ki Cupir. Maka dengan amarah yang meluap-luap, lelaki itu membentak. "Siapa kau, Orang tua!"
"Aku...? Bukankah kau telah mendengar dari anak muda temanku ini?" balik bertanya Randu Alasan. "Siapa pula namamu, Ki Sanak?"
"Aku Ludra Lanang!" menjawab lelaki itu ketus, matanya tajam menghunjam pada Randu Alasan seakan sorotnya membersit rasa ketidaksenangan atas campur tangan Randu Alasan. "Kalau memang kau hendak ikut campur, baiklah mari kita mulai!"
Mendengar tantangan itu, Randu Alasan tersenyum. Sesaat ditatapnya Jaka yang juga tersenyum, lalu dengan tenang Randu Alasan berkata: "Ludra Lanang, kalau itu yang kau mau, ayolah." Setelah berkata, Randu Alasan segera berkelebat mencari tempat yang cukup lebar diikuti oleh Ludra Lumajang di belakangnya.
Jaka yang menyaksikan hal itu hanya geleng kepala, lalu Jaka pun segera berkelebat menuju ke tempat di mana mereka hendak mengadakan pertarungan.
"Di sini, Ludra. Bukankah di sini luas?"
"Apa maumu aku layani. Ayo kita mulai, mana senjatamu?"
"Aku tak membawa senjata. Ayolah aku tangan kosong."
"Sombong! Jangan lengah, Ki Patih!" Dengan didahului pekikkan, Ludra Lanang segera berkelebat menyerang. Tongkat di tangannya diputar-putar membentuk baling-baling, berdesing-desing bagaikan ribuan lebah.
Randu Alasan yang telah berpikir akan kehebatan tongkat di tangan Ludra Lumajang tercekam juga. Segera Randu Alasan membersit, lalu dikeluarkannya jurus Seribu Naga Menghalau Badai. Tubuh Randu Alasan berkelebat cepat, tangannya bagaikan berubah menjadi banyak. Tangan itu menyambar-nyambar dengan keras, menjadikan angin pukulannya bagaikan deru badai. Kedua tubuh mereka seperti hilang, berganti dengan warna-warna pakaian mereka. Jaka hanya mampu menggumam, tak dapat memikirkan apa yang terjadi.
"Sungguh mereka orang-orang berilmu tinggi. Sayang, Ludra Lanang mengikuti hawa emosinya."
"Jangan lengah, Ki Patih!" membentak Ludra Lanang. Tangan yang memegang tongkat bergerak cepat, menyodok ke perut Randu Alasan.
Randu Alasan tersentak manakala ujung tongkat itu hendak menyodok perutnya, segera Randu Alasan melompat mundur. Melihat musuhnya melompat mundur, Ludra Lanang yang merasa telah mampu membuat musuhnya melompat ketakutan oleh sodokan tongkatnya makin bernafsu. Kembali tongkat di tangannya bergerak cepat, menyodok ulu hati Randu Alasan. Randu Alasan yang baru saja berkelit, untuk kedua kalinya harus mengerahkan segenap tenaganya mengelak. Tubuh Randu Lanang bergerak cepat, menangkis serangan tongkat maut.
"Duk...!"
"Aah...!" Randu Alasan memekik, manakala tangannya beradu dengan tongkat ditangan Ludra Lanang. Wajah Randu Alasan seketika pucat, merasakan tangannya seperti remuk tulangnya. Randu Alasan yang tak ingin mendapat malu di hadapan pendekar Pedang Siluman Darah, membentak marah. Lalu dengan disertai bentakkan, Randu Alasan kembali menyerang. Tangannya menggenggam keris pusaka Rawe Jingga, membersit dengan dengus yang memburu.
Ludra Lanang tersentak membelalakkan mata, manakala melihat sinar yang memancar pada keris yang di pegang Randu Alasan. Dan ketika keris itu hendak menusuk ke lambungnya, serta merta Ludra Lanang menangkisnya dengan tongkat.
"Brak...!"
Tongkat di tangan Ludra Lanang seketika patah menjadi dua, terbabat oleh keris pusaka Rawe Jingga. Pucat pasi wajah Ludra melihat kenyataan itu, dan dengan segera Ludra Lanang melompat mundur maka kala untuk kedua kalinya Randu Alasan menusukkan kerisnya.
"Suiiitt...!"
Tersentak Jaka dan Randu Alasan, demi mendengar suitan yang dikeluarkan oleh Ludra Lumajang. Bareng dengan habisnya suitan itu, seketika berpuluh-puluh orang keluar dari semak-semak.
"Curang!" memberetak Jaka marah.
"Pengecut...!" tak kalah marahnya Randu Alasan.
Jaka segera melompat turun dari atas pohon dan menghantam dengan ajiannya pada orang-orang yang hendak mengeroyok Randu Alasan. Maka tak ayal lagi, orang-orang yang terkena hantamannya melengking dan mati dengan tubuh meleleh.
"Serang...!" Ludra Lanang kembali berseru.
Bagaikan tak mengenal takut, empat puluh anak buahnya seketika berkelebat menyerang dua orang musuhnya. Pertarungan tampak ramai, dengan pekikan-pekikan yang memecah hutan itu. Kembali Jaka yang mempunyai ide konyol berseru, manakala tombak di tangan musuhnya menyodok ke arahnya.
"Ampun...! Mengapa kau hendak menyate ku? Aku bukan kambing, Mas!" Habis berseru begitu, secepat kilat Jaka mengulurkan tangannya. "Maaf, aku pinjam tombak mu. Nah, begini caranya kalau hendak membuat sate." Tahu-tahu tanpa dapat diikuti gerakannya Jaka telah merebut tombak dari tangan musuhnya yang tadi hendak menusukkan tombak.
Belum juga sang musuh tersadar dari rasa kagetnya, tiba-tiba tombak yang berada di tangan Jaka bergerak cepat dan menusuk dari kepala tembus sampai ke pantat. Tak ayal lagi, memekik lah orang itu tubuhnya tersate. Melihat temannya tersate oleh tombaknya sendiri, seketika marahlah yang lain. Serentak semuanya segera menyerang Jaka, yang tersentak dan membentak marah.
"Kalian orang-orang tak mau diuntung! Hem, jangan menyesal kalau aku bertindak telengas. Nah, terimalah ini."
Habis berkata begitu, serta merta Jaka mengeluarkan ajiannya Bayu Sakti. Seketika semua musuhnya terpelanting, dibawa oleh angin topan puting beliung. Tubuh-tubuh mereka beterbangan dan ambruk dengan tulang-belulangnya bagaikan remuk. Mereka hanya dapat menggerung-gerung menangis kesakitan.
Melihat anak buahnya berantakan tersapu ajian Bayu Sakti, ciutlah hati Ludar Lanang. Tanpa pikir panjang, Ludra Lanang segera ambil langkah seribu tinggalkan kedua orang musuhnya yang hanya tersenyum.
"Jaka, kerajaan sangat menunggu kedatanganmu," berkata Randu Alasan setelah semua musuhnya lari berhamburan, membuat Jaka tersentak kaget dan bertanya:
"Ada gerangan apa, Ki Patih?"
"Kerajaan kini tengah dilanda oleh teror yang dilakukan Persekutuan Dewi. Apakah kau belum mendengarnya, Jaka?"
"Aku telah mendengarnya, Paman Patih. Namun aku belum sempat menyelidiki siapa adanya tokoh di balik semua ini." menjawab Jaka. "Kalau memang itu yang Paman Patih maksudkan, percayalah aku akan datang ke kerajaan pada waktunya."
"Ah, terima kasih aku ucapkan terlebih dahulu," berkata Randu Alasan. "Sekarang hendak ke manakah kau, Pendekar?"
Jaka mendesah sesaat, matanya memandang kosong ke muka. Keduanya segera berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Setelah lama terdiam, Jaka kembali berkata:
"Aku hendak mencari tokoh di balik semua kejadian yang kini melanda dunia, khususnya biang dari bangkitnya kerusuhan yang dulu telah menghilang. Aku rasa, ada orang yang telah membantu Angelir si Dewi Bunga Kematian."
"Aku pun berpikir begitu, Jaka. Tapi aku tak mengerti siapa tokoh itu?" bergumam Randu Alasan. Digeleng-gelengkan kepalanya seperti ada sesuatu yang berat menggayut dipikirannya.
"Baiklah, Paman Patih. Sekarang kau pulanglah dulu. Aku rasa, tenagamu sangat diperlukan di kerajaan."
"Baiklah, aku akan kembali. Aku tunggu kedatanganmu, Pendekar," menjawab Randu Alasan. "Nah, selamat tinggal dan selamat berjuang."
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, Randu Alasan segera berlalu meninggalkan Jaka yang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh aneh, kenapa Dewi Bunga kematian yang telah digegerkan menghilang tiga tahun yang lalu kini muncul lagi? Bahkan makin merajalela dengan ilmunya yang makin tinggi?" bergumam Jaka sendirian. Maka dengan segera, Jaka pun berkelebat pergi meninggalkan hutan itu yang kembali sepi dan sunyi. Angin siang mendesau berat, sepertinya merasakan keberatan derita yang telah ditanggung oleh dunia.
Tubuh kakek tua itu berkelebat dengan cepat, berlari menuju hutan Barong di mana berdiam Rangga Bargawa. Lelaki tua yang tak lain Ki Rake Pinuluh, berhenti di depan goa yang dihuni Rangga Bargawa atau Banas Pati.
"Rangga Bargawa, keluar kau!" serunya.
Sesaat kemudian, dari dalam goa ke luar seorang lelaki sama tuanya menemui Rake Pinuluh. Lelaki tua itu bukannya berjalan, namun terbang. Dialah Rangga Bargawa atau Banas Pati. "Ada apa, Pinuluh?"
"Dasar orang tua tak tahu diri kau, Banas pati. Kenapa kau tak segera mau sadar?" berkata Rake Pinuluh. "Usiamu sudah bau tanah, mengapa kau masih saja gila?"
Mengerut kening Rangga Bargawa demi mendengar ucapan Rake Pinuluh. Lalu dengan tak mengerti maksud Rake Pinuluh, Rangga Bargawa bertanya. "Apa maksudmu, Pinuluh?"
"Bojreng-bojreng! Rupanya kau memang pikun! Untuk apa kau menyuruh Angelir berbuat edan?"
Tertawalah Rangga Bargawa setelah mendengar ucapan Rake Pinuluh, sehingga saking kerasnya ia tertawa tubuhnya sampai terguncang-guncang. "Itu hak ku, Pinuluh," jawab Bargawa seenaknya.
"Edan! Hal gila kau kerjakan. Apakah kau kira kau mampu menghadapi semuanya?" kembali Pinuluh berkata. "Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu kini telah tiada. Kenapa kau masih saja mengumbar dendam? Apakah kau tak memikirkan usiamu yang telah bau tanah itu, Bargawa?"
"Pinuluh.... Itu adalah hakku, sekali lagi itu semua hakku. Akulah yang akan menanggung semuanya. Jangan kau ikut campur."
"Hem, kau kira kau akan mampu," menyibir Pinuluh, menjadikan Bargawa marah.
"Bedebah! Kau rupanya telah bertaring sekarang, Pinuluh!"
"Huh.,. Apa yang perlu aku takuti dalam usiaku yang telah renta ini, Bargawa?" berkata Pinuluh ketus. "Kalaupun aku mati maka memang sepantasnyalah aku mati."
"Jadi kau memang ingin mati, Pinuluh?" menggeretak Bargawa marah, demi mendengar ucapan Pinuluh yang seperti mengejeknya. Dengan mendengus, Bargawa segera berkelebat menyerang.
Pinuluh yang sudah maklum siapa adanya Bargawa, maka ia pun telah waspada. Hingga ketika Bargawa menyerang, dengan segera Pinuluh berkelit. Tak ayal lagi, dua tokoh tua persilatan itu pun terlibat perkelahian. Walau usia mereka telah samasama tua, namun gerakan keduanya nampak begitu lincahnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, sepertinya tak dihiraukan oleh keduanya. Hampir enam puluh jurus berlalu, namun tampaknya kedua orang tua itu tak ada yang mau mengalah. Ajian-ajian yang mereka miliki telah diumbar, dengan harapan dapat segera menjatuhkan musuh. Walaupun begitu, ternyata ajian-ajian mereka tak ada artinya.
"Pinuluh, jangan harap kau akan mampu mengalahkanku."
"Aku tak bermaksud mengalahkanmu Bargawa," menjawab Pinuluh. "Aku hanya menghendaki kau sadar."
"Cih... Jangan berlagak seorang resi, Pinuluh!" membentak Bargawa dengan penuh kemarahan. Dilipatgandakan tenaga dalamnya, menyerang Pinuluh.
Pinuluh tak mau tinggal diam, dia pun segera melipatgandakan serangannya. Perkelahian makin seru, sepertinya kedua orang itu tak akan segera menghentikan pertarungan.
Sementara di tempat lain, yaitu di kerajaan gerombolan Persekutuan Dewi, Angelir tengah memanggil seluruh prajuritnya untuk mengadakan pertemuan. Angelir atas saran Loro Ireng, bermaksud mengadakan penyerangan ke Kerajaan Pesisir Putih.
"Para prajuritku. Malam nanti, kita akan mengadakan penyerbuan yang besar. Siapkan diri kalian, sebab yang akan kita serbu adalah sebuah kerajaan," berkata Angelir.
"Daulat, Sri Ratu. Kami telah siap,!" menjawab semua prajurit.
"Bagus! Nanti malam, akulah yang akan memimpin kalian menyerbu ke Kerajaan Pesisir Putih."
Sesaat Angelir terdiam, hatinya seketika menjerit. Rasa sedih dan cinta, beraduk menjadi satu. Sedih dan dendam karena ayahandanya dibunuh oleh orang yang dicintainya. Tanpa terasa, Angelir seketika menangis. Hal itu menjadikan semua terdiam tak ada yang berani berkata-kata, apalagi bertanya.
"Ada apa gerangan, Angelir?" Loro Ireng yang baru saja datang, seketika mengajukan pertanyaan demi melihat Angelir menangis. "Angelir, tak baik kau selalu mengenang masa silam. Bukankah kita ingin menjadikan diri kita kokoh?"
Tersenyum Angelir mendengar penuturan kerabatnya. Dengan segera Angelir menyeka air mata. Ditatapnya Loro Ireng, lalu dengan tersenyum Angelir mengangguk. Loro Ireng tersenyum melihat Angelir telah dapat menguasai diri. Memang Loro Irenglah yang selalu mendorongnya untuk tetap tegar, tidak rapuh.
"Apa kita jadi mengadakan penyerangan nanti malam?"
"Jadi, Loro," jawab Angelir pendek.
"Bagus, Angelir. Semoga dengan penyerbuan ini, semua orang-orang persilatan akan membuka mata."
"Benar ucapanmu, Loro. Semua mata orangorang persilatan, akan membuka mata dan melihat siapa kita, hi, hi, hi...!"
Kedua gadis itu tertawa bergelak-gelak, menjadikan ruangan itu seketika bagaikan terpecah. Semua anak buahnya hanya mampu terbengong, tak ada yang berani berkata apapun. Namun ketika pimpinan mereka berkelebat pergi, mereka pun tertawa bergelak.
Tengah Angelir duduk merenung seorang diri, tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat di hadapannya. Tersentak Angelir seketika itu, lalu dengan segera Angelir berlari mengejar.
"Berhenti...!"
Tapi bagaikan tak mendengar seruan Angelir, lelaki itu terus berlari. Hal itu menjadikan Angelir yang penasaran terus mengejar. Dengan menggunakan ilmu larinya, Angelir melesat dengan cepat dan tahu-tahu telah berdiri menghadang.
"Berhenti!"
"Siapa kau? Kenapa kau menghadang langkahku?" tanya pemuda yang merasa di-hadang oleh Angelir.
"Apakah kau tak merasa telah memasuki daerah ku, Pemuda tampan?" bertanya Angelir dengan genit. Hatinya begitu terpana oleh wajah pemuda itu. "Siapakah namamu. Pemuda tampan?"
"Apa perlumu menanyakan namaku."
"Apakah aku tak boleh mengenal namamu?" Angelir yang cantik segera merayu, menjadikan hati pemuda itu bergema bagaikan gong dipukul dengan kencangnya. Hatinya seketika bergetar, melantunkan tembang kasmaran.
Pemuda itu terdiam membisu, hanya matanya saja yang memandang tak berkedip. Melihat pemuda tampan itu terdiam, Angelir yang merasa jeratnya telah mengena segera menghampiri. Disenderkan kepalanya pada pundak pemuda itu, yang seketika gemetaran dengan badan terasa panas dingin. Pemuda itu baru saja turun gunung, hingga ia tak mengerti liku-liku sesungguhnya dunia ramai.
"Kau mau denganku?" tanya Angelir manja, menjadikan pemuda itu makin gemetaran. Tak disadarinya, keringat dingin mengalir deras. "Kau suka padaku?"
"Kau tak bercanda, Nona?" pemuda itu balik bertanya.
"Kenapa aku mesti bercanda? Kau tampan, aku suka." Angelir terus merayu, menjadikan pemuda itu akhirnya jatuh.
Di hati pemuda itu, tumbuh bayanganbayangan keindahan. Khayalnya yang ngeres seketika menyelimuti pikirannya. Dengan gemetaran, tangan pemuda itu membelai rambut Angelir. Angelir hanya tersenyum, sepertinya senang. "Benarkah kau suka padaku, Nona?" tanya pemuda itu seakan hendak memastikan ucapan Angelir.
"Benar! Aku menyukaimu, Pemuda tampan!" kata Angelir, diikuti dengan kerling mata genit. "Siapa namamu?"
"Namaku Jaga Bayu."
"Nama yang indah, setampan pemiliknya." bergumam Angelir sepertinya mengagumi Jaga Bayu. "Namaku, Dewi Angelir. Jaga Bayu, maukah kau menjadi pendamping ku?"
Tersentak Jaga Bayu demi mendengar permintaan Angelir. Matanya seketika memandang Angelir tak percaya. Melihat hal itu, Angelir tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Kau tak bercanda, Angelir?"
"Tidak, aku tak bercanda." menjawab Angelir, lalu dengan tak disangka oleh Jaga Bayu, Angelir telah menciumnya. Jaga Bayu tersentak, namun seketika tersenyum. Dengan agak gemetaran, Jaga Bayu membalas mencium bibir Angelir.
Pertarungan antara Rangga Bargawa dengan Rake Pinuluh, masih terus berlangsung. Sudah ratusan jurus mereka keluarkan, namun sepertinya mereka tak akan bakalan ada yang menang ataupun kalah. Rake Pinuluh kini mengambil senjata pusakanya, yang berupa sebuah tasbih bernama Tasbih Kematian. Sementara Rangga Bargawa, kini telah mengeluarkan senjata andalannya yang bernama Siwur Maut.
"Waspada Pinuluh, jangan sampai lengah!"
"Sedari mula aku telah waspada, Bargawa!" menjawab Pinuluh. "Ayolah, apa-apa mu aku ladeni."
"Terima seranganku ini. Hiat...!"
Dengan cepat, Rangga Bargawa segera berkelebat menyerang. Siwur Mautnya bergerak membabat, mematuk tubuh Pinuluh. Namun Pinuluh bukanlah tokoh persilatan kelas kroco yang dengan mudah dapat dijatuhkan. Pinuluh dengan senjatanya Tasbih Kematian, berkelebat sesekali membalas menyerang.
Melihat hal itu, Bargawa yang memang licik penuh siasat tak mau melihat Pinuluh menang atas dirinya. Maka dengan segala kelicikannya, Bargawa berusaha menjatuhkannya. Ketika Pinuluh lengah, Bargawa secepat kilat menghantamkan Siwur Mautnya. Pinuluh tersentak dan berusaha menghindar, tapi gerakannya begitu lambat. Siwur Maut di tangan Bargawa, seketika menghantamnya. Pinuluh terhuyung-huyung ke belakang dengan darah meleleh di sela-sela bibirnya. Matanya memandang tajam pada Bargawa, mulutnya mendesis marah,
"Licik kau, Bargawa!"
"Tak ada istilah licik atau tidak pada perkelahian, Pinuluh? Bagiku, licik atau tidak yang pasti aku harus dapat mengalahkanmu."
"Jangan bangga dulu, Bargawa. Aku belum kalah," mendengus marah Pinuluh. Lalu dengan segera, Pinuluh kembali berkelebat menyerang.
Bargawa tertawa bergelak, menghindari serangan Pinuluh. Kembali Siwur Mautnya berkelebat cepat, dan untuk kedua kalinya menghantam tubuh Pinuluh. Kembali Pinuluh terhuyung mundur, Makin banyak darah yang ke luar dari sela-sela bibirnya. Matanya yang tadinya garang, kini redup.
"Apakah aku akan mati sekarang?" bergumam hati Pinuluh. Tangannya terus memegangi dada yang terasa sakit, menjadikan Pinuluh tak dapat lagi mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Melihat musuhnya dalam keadaan luka dalam, Bargawa tak mau membiarkan begitu saja. Dengan didahului gelak tawa, Bargawa hendak menghantamkan Siwur Mautnya ketika terdengar suitan yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok bayangan menghantam Siwur Maut.
Tersentak Bargawa melompat mundur, ketika dirasakan Siwur Mautnya ada yang menghantam. Betapa gusarnya hati Bargawa, ketika dilihat Siwur Mautnya hancur berantakan. Mata Bargawa seketika memandang pada siapa yang telah membuat Siwur Mautnya hancur.
"Siapa kau, Anak muda?!" membentak Bargawa marah.
Belum juga pemuda itu menjawab pertanyaan Bargawa, Pinuluh yang masih memegang dadanya yang terasa sakit telah mendahului menjawab. "Dialah murid Ki Bayong, Bargawa."
"Hua, ha, ha.... Kebetulan! Gurunya telah tak ada, maka muridnyalah yang harus menerima pembalasanku. Gurumu telah membuat aku begini, maka kau pun akan menerima ganjarannya atas perbuatan gurumu."
"Ha, ha, ha Lucu, sungguh lucu. Apakah kau ini orang waras, atau orang gila?" berkata Jaka, menjadikan Bargawa melotot kaget. "Orang bangkotan! Seharusnya kau bersyukur kalau guru tidak sampai meremas tulang-tulangmu yang seperti besi karatan itu. Eh, kenapa kau masih juga nekad?"
"Kunyuk! Lancang mulutmu, Anak muda!"
"Wah, aku rasa aku tidak lancang. Aku mengira kau orang dungu yang melebihi kerbau. Otakmu tak kau pakai." menjawab Jaka, menjadikan Bargawa makin bertambah sewot.
"Edan! Rupanya kau mencari mampus, Anak muda!"
Mendengar ucapan Bargawa, seketika meledaklah tawa Jaka bergelak-gelak. Tawanya yang disertai ajian Pekik Buana, menjadikan telinga Bargawa bagaikan dipukul oleh ribuan kati. Mau tak mau, Bargawa harus menggerakkan tenaga dalam untuk menutup gendang telinganya. Begitu juga Rake Pinuluh, ia pun harus mengeluarkan tenaga mencegah suara tawa Jaka.
"Bargawa! Aku kira namamu yang berjuluk Banas Pati itu menyeramkan. Eh, tak tahunya seperti seekor cacing, ha, ha, ha..."
"Bedebah! Jangan kau kira aku tak dapat melumatkan dirimu, Anak muda!" menggeretak marah Bargawa, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya mengejek.
"Wau.... Rupanya kau pembuat kue Talam, sehingga ucapanmu selalu seperti tepung terigu," Jaka makin konyol berkata, membuat Rangga Bargawa gedeg.
"Monyet! Terimalah kematianmu...." Habis berkata begitu, Bargawa segera merapalkan ajian Betari Durga. Seketika tubuhnya berubah menjadi raksasa.
Namun Jaka yang melihat bentuk raksasa itu, malah tertawa bergelak-gelak menjadikan Pinuluh mengerutkan keningnya. "Kenapa kau tertawa, Anak muda? Bukankah itu sungguh bahaya?"
"Tenanglah, Ki. Jangan gentar menghadapi ini. Percayalah padaku."
Setelah memberi saran pada Ki Pinuluh, Jaka dengan segera merapalkan ajian warisan Ki Bayong. Sesaat Jaka duduk bersila, dan dari mulutnya ke luar ucapan mantra. "Buto Dewa Wisnu...!"
Perlahan tubuh Jaka berubah menjadi buto yang menyeramkan, bernama Buto Dewa Wisnu. "Kau lucu Bargawa. Kenapa kau menjadi Betari Durga, hua... ha... ha!" Buto Dewa Wisnu tertawa bergelak-gelak, menjadikan gema yang berturut-turut memecahkan bukit-bukit.
Tanpa banyak kata, Betari Durga segera berkelebat menyerang Dewa Wisnu. Pertempuran dua raksasa Dewa itu tak dapat dihindarkan. Setiap sabetan atau tendangan kedua raksasa itu, menjadikan bumi seakan diguncang. Senjata keduanya bukan senjata biasa, tapi bukit-bukit batu yang dicabut dari tempatnya.
Ki Pinuluh yang tidak menyangka bahwa keduanya mempunyai ajian yang sama, tercekam ketakutan. Hatinya yang dicekam rasa takut bergumam: "Sungguh dahsyat ajian mereka. Kalau saja Bargawa tadi menghendaki kematianku, niscaya aku dengan mudah dilumatnya. Beruntung Pendekar Pedang Siluman Darah datang. Kalau tidak, aku tak dapat membayangkan."
Kedua raksasa itu masih seru bertempur dengan segala ajian yang mereka miliki. Ketika kedua raksasa itu tengah seru-serunya bertempur, seseorang lelaki berlari menuju ke arahnya. Pemuda itu yang tak lain Satria Wulung segera bergegas menghampiri gurunya.
"Guru, kau seperti terluka."
"Ah, hanya luka kecil, Muridku," menjawab Pinuluh. "Sekarang lihatlah olehmu dua raksasa yang tengah bertempur itu."
Satria Wulung seketika menengok, memandang pada kedua raksasa yang tengah bertarung itu. "Kenapa dua raksasa itu bertempur, Guru?"
"Kau tahu siapa di antara mereka?" tanya Pinuluh pada muridnya yang hanya menggeleng. "Ketahuilah olehmu, salah satu raksasa itu adalah penjelmaan pendekar Pedang Siluman Darah."
Terbelalak mata Satria Wulung, demi mendengar perkataan gurunya. Matanya seketika menatap tajam pada pertarungan dua raksasa yang masih berlangsung, tiba-tiba Satria Wulung berseru. "Lihat, Guru. Raksasa lelaki itu tiba-tiba memegang pedang. Pedang itu.... Heh, pedang itu mengeluarkan darah, Guru? Dari mana pedang itu datang?"
"Itulah Pedang Siluman Darah, Muridku." menjawab Pinuluh, menerangkan. "Pedang itu akan datang sendiri, bila pendekar muda itu membutuhkannya."
Tengah kedua guru dan murid tercengang tak mengerti, terdengar salah seorang raksasa itu memekik. Pekikkannya begitu membahana. Habis pekikkan itu, terdengar bergedebugnya tubuh raksasa Batari Durga terbelah menjadi dua oleh Pedang Siluman Darah.
Setelah dirasa musuhnya telah mati, Jaka kembali ke bentuk semula. Sedang Pedang Siluman Darah, secara tiba-tiba lenyap dari genggaman tangan Jaka. Kedua guru dan murid segera memburu ke arah Jaka, yang tersenyum menyambut kedatangan mereka.
"Tuan pendekar, terimalah hormat. hamba," berkata Satria Wulung, menjadikan Jaka seketika mengernyitkan keningnya.
"Siapakah kau, Anak muda?" tanya Jaka.
"Dia muridku, Tuan. Dia ingin meminta petunjuk darimu," menjawab Pinuluh, menjadikan Jaka manggut-manggut mengerti. "Terimalah dia sebagai abdimu, Tuan pendekar."
"Ah, Ki. Aku bukanlah tuan tanah. Aku tak mau menganggap semua mahluk di muka bumi ini abdi. Aku rasa, semua manusia itu sama derajatnya." menjawab Jaka, menjadikan Pinuluh manggut-manggut. "Kalau memang muridmu ingin ikut denganku, aku tak keberatan. Asalkan dia mampu mengikutiku ke mana aku pergi. Bukan begitu, Ki?"
"Benar Tuan pendekar," menjawab Ki Pinuluh. "Nah, Muridku. Kini kau akan dapat pelajaran tambahan yang sangat berguna dari tuan pendekar Pedang Siluman Darah."
"Terima kasih, Tuan pendekar," berkata Satria Wulung seraya menjura hormat.
"Ah, tindak-tandukmu sungguh santun. Siapa namamu?"
"Nama hamba, Satria Wulung," menjawab Satria.
"Satria, aku akan mengujimu sampai seberapa ilmu dan keteguhan hatimu."
Terbelalak mata Pinuluh dan muridnya, demi mendengar ucapan Jaka. Mereka mengira kalau Jaka akan menguji Satria dengan ilmu yang dimiliki. Memang bukan tak mungkin kalau Jaka bertindak begitu. Jaka terkenal ndableg, suka bertindak yang di luar pikiran orang lain. Namun kedua guru dan murid seketika tersenyum, manakala mendengar penuturan Jaka.
"Kalian jangan salah duga. Memang tingkah laku ku sering tak terpikir oleh orang lain. Tapi muridmu bukan hendak aku uji dengan ilmu yang aku miliki. Aku hendak membawanya untuk menghadapi kakak seperguruannya yang telah bertindak telengas," berkata Jaka menerangkan. "Apakah Ki Pinuluh tak mendengar bahwa salah seorang muridmu telah mengabdi pada Dewi Bunga Kematian?"
"Apa...?" terbelalak mata Ki Pinuluh dan Satria, mendengar ucapan Jaka. "Apakah tuan pendekar tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Ki. Maka itu, aku meminta ijin mu untuk mengadu kedua muridmu." Jaka menerangkan. "Kalau memang harus ada salah seorang muridmu yang mati, aku rasa itu karena kesalahannya sendiri. Bagaimana, Ki?"
"Aku serahkan semuanya padamu, Tuan pendekar."
"Terima kasih, Ki?" menjawab Jaka. "Ayo, Satria...!"
Setelah Satria Wulung menjura sesaat pada gurunya, segera Jaka membawanya berlari pergi. Satria begitu tersentak, manakala Jaka lari bagaikan angin saja.
Kerajaan Pesisir Putih malam itu tengah dilanda pemberontakan yang dipimpin oleh Dewi Bunga Kematian. Peperangan antar prajurit gerombolan Persekutuan Dewi dengan prajurit-prajurit dua kerajaan terus berlangsung.
Melihat anak buahnya terdesak oleh pasukan kerajaan, Dewi Bunga Kematian nampak begitu marah. Seketika ia berkelebat, menyerang musuh-musuhnya. Ajian Gugur Gunung diumbar dengan membabi buta, menjadikan pekik-pekik kematian bagi yang terkena.
"Wulung Seta, keluar kau!" berseru Angelir.
Wulung Seta yang ada di dalam, seketika melompat ke luar. Hal itu menjadikan gelak tawa Dewi Bunga Kematian. Lalu dengan senyum sinis, si Dewi tersenyum dan berkata:
"Wulung Seta, apa kabarmu? Rupanya kita dipertemukan lagi. Sayang, pertemuan ini bukan pertemuan seperti tiga tahun yang lalu. Kini akulah musuhmu, ha, ha, ha...!"
"Sudah aku duga, kalau kau akhirnya datang juga. Kau harus membayar mahal atas segala perbuatanmu, Angelir!" membentak Wulung Seta geram. Dicabutnya keris pusaka Ronggeng Kelana, yang memancarkan sinar aneh kekuningan. Dengan disertai pekikkan, Wulung Seta yang sudah dilanda amarah segera melompat menyerang.
"Kau tak akan mampu mengalahkan aku, Wulung," berkata Angelir atau Dewi Bunga Kematian mengejek, menjadi Wulung Seta mendengus marah. Tanpa memperdulikan omongan Dewi Bunga Kematian, Wulung Seta terus mencerca dengan keris pusakanya.
Pertarungan dua orang bekas kekasih itu begitu seru. Masing-masing memiliki kepandaian tersendiri. Namun dilihat dari pertarungan itu, jelas Wulung Seta jauh berada di bawah Dewi Bunga Kematian. Walaupun Wulung Seta memegang senjata pusaka, namun menghadapi Dewi Bunga Kematian yang kini mewarisi ilmu-ilmu Rangga Bargawa atau Banas Pati tak ada artinya. Bahkan seringkali Wulung Seta dibuat mati langkah.
Dewi Bunga Kematian yang dendamnya menggebu, sepertinya tak mau membiarkan musuhnya lama hidup. Maka dengan segera, dirapalkan ajian Gugur Gunungnya. Dikiblatkan ajian tersebut ke arah Wulung Seta. Wulung Seta tersentak dan melompat mundur, namun Dewi Bunga Kematian telah terlebih dahulu menghantamkan ajian tersebut. Ketika ajian Gugur Gunung hendak menghantam tubuh Wulung Seta, seketika berkelebat seseorang menghadangnya. Orang itu seketika menjerit, ambruk jatuh ke tanah.
"Bunda...!" memekik Wulung Seta, manakala tahu siapa orang yang terkena hantaman ajian Gugur Gunung. Wulung Seta segera memburu ke arah tubuh wanita tua itu, yang meringis menahan sakit.
Bukan hanya Wulung Seta yang tersentak tapi Angelir yang tahu siapa wanita tua itu pun memekik tertahan. "Ibu...!"
Tapi bagaikan patung, Angelir hanya mampu berdiri memandang ke arah dua anak dan ibu yang sedang bertangisan.
"Anakku, Angelir. Kenapa kau terdiam, Nak?" terbata-bata Roro Kunti berkata, menjadikan Angelir seketika meneteskan air mata. Angelir hanya mampu menangis, tak dapat berkata apa-apa.
Setelah menangis, bagaikan orang kesurupan Angelir mengamuk membabi buta. Dari mulutnya terdengar erangan dan desisan, bareng dengan pukulan-pukulannya yang sangat membahayakan. Kekesalan dan kecewa beraduk menjadi satu, menjadikan Angelir tak dapat lagi mengontrol dirinya. Ketika kemarahannya telah memuncak, tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi besar. Ajian Betari Durga telah ia rapalkan. Bagaikan tak mengenal rasa kasihan, Betari Durga mengamuk. Setiap sergapan tangannya, sepuluh orang dapat ditangkap. Lalu dengan kasar tanpa belas kasih, diremasnya tubuh kesepuluh orang tersebut.
"Jagat Dewa Batara, mengapa ia sampai memiliki ilmu ganas itu?" mengeluh Wulung Seta tertahan. Dari matanya masih meleleh tangis.
"Hati-hati, Anakku. Jangan kau lengah, sebab dia memang bermaksud membunuhmu yang telah mengecewakannya."
"Baik, Bunda." menjawab Wulung Seta. "Prajurit, antar Bunda ke kamarnya!"
Setelah kepergian ibundanya, dengan gagah berani Wulung Seta segera berkelebat membantu para prajuritnya yang terkoyak oleh serangan Betari Durga. "Angelir! Kau adalah anak tak tahu diri. Kau telah melukai ibumu sendiri. Apakah kau tak sadar!" berseru Wulung Seta seraya berkelebat menyerang.
"Wulung Seta. Kaulah yang membuat segalanya. Kau harus mati di tanganku!"
Tengah Betari Durga mengamuk, yang menjadikan banyak korban berjatuhan. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menghadangnya. Bayangan itu datang tepat pada waktunya, manakala tangan Buto Betari Durga hendak mencengkeram Wulung Seta. Betari Durga seketika melompat mundur, demi dirasakannya ada seseorang yang telah menyerang. Tangannya terasa sakit manakala beradu dengan tangan orang itu.
Mata Betari Durga melotot, manakala melihat orang muda telah berdiri menghadang di depannya. Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg, tersenyum sinis ke arahnya. Sementara itu, Jaka tampak tengah tertawa bergelak-gelak manakala melihat Betari Durga menggeram marah. Dengan meninggalkan gelak tawa, Jaka berkata:
"Dewi Mawar Kematian. Dulu nyawamu aku ampuni, tapi kini aku tak akan mengampunimu lagi."
"Siapa kau, Anak muda?! Berani kau berkata lancang padaku!"
"Akulah orang yang kau cari. Akulah murid Ki Bayong, musuh paman gurumu. Aku Jaka Ndableg, atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Loro Ireng yang mendengar ucapan Jaka, nampak tersentak. Tak dinyana, kalau ia akan menemukan pendekar yang telah menawan hatinya di tempat ini. "Jaka " mendesis Loro Ireng, menjadikan Jaka seketika memalingkan muka.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Betari Durga, yang dengan cepat menghantamkan tangannya. Melihat hal itu, Loro Ireng segera berkelebat memapakinya. Seketika itu, Loro Ireng memekik ambruk. Tubuhnya bagaikan terhantam gada jutaan kati.
"Loro Ireng, kau,..!" membentak marah Angelir. "Kenapa kau menghalangi pemuda itu."
"Aku mencintainya, Angelir."
"Bedebah! Kau berani menentang ku, Loro!" menggeram Angelir marah.
"Maafkan aku, Angelir. Apapun akan aku lakukan demi dia."
Jaka yang mendengar ucapan Loro Ireng seketika trenyuh juga hatinya. Betapa tidak, demi dirinya Loro Ireng rela berkorban. "Loro Ireng, menyingkirlah. Biar aku yang akan menghadapinya," berkata Jaka, menjadikan Loro Ireng mengerutkan kening. Hatinya was-was, kalau-kalau Jaka akan menjadi korban Dewi Angelir.
"Hati-hati, Jaka." berkata Loro Ireng penuh rasa was-was.
Jaka hanya mengangguk mengiyakan. "Dewi Bunga Kematian. Kini aku telah siap menghadapimu. Nah, terimalah ini. Ajian Getih Sakti. Hiat...!" Secepat kilat Jaka berkelebat menyerang Angelir dengan ajian Getih Sakti. Melihat itu, Angelir segera memapakinya dengan ajian Gugur Gunungnya.
"Duar...!" Terdengar ledakan dahsyat manakala dua ajian itu bertemu.
"Keluarkan semua ilmumu, Anak ganteng, biar aku cepat meremaskan tubuhmu," berkata Angelir sombong. Jaka hanya tersenyum sinis, sepertinya sengaja memanas-manasi.
"Dewi Bunga Kematian. Terimalah ini Ajian Petir Sewu, hiat...!"
Kembali Jaka berkelebat menyerang dengan ajian Petir Sewu. Namun sebelum Jaka sampai, tangan Dewi Bunga Kematian telah mendahului bergerak. Dicengkeramnya tubuh Jaka hingga menjadikan semua yang melihat terpekik. Yang lebih was-was di antara mereka, tak lain Loro Ireng dan Satria Wulung. Keduanya sangat mencemaskan keadaan Jaka yang kini dalam genggaman Betari Durga. Namun ketakutan mereka seketika lenyap, berganti dengan rasa tak percaya. Sampai-sampai Wulung Seta dan Amurwa Sakti berseru saking kagetnya.
"Jagad Dewa Batara. Ternyata pendekar muda itu memiliki ilmu yang maha dahsyat."
Apa yang mereka lihat? Ternyata mereka melihat Jaka telah berubah ujud menjadi Raksasa Dewa Wisnu. Hal itu bukan saja mereka yang melihat, tapi Angelir yang telah menjadi Betari Durga pun tak kalah kagetnya.
"Hua, ha, ha.... Betari Durga. Akulah musuhmu," berkata Buto Dewa Wisnu. Suaranya menggema bagaikan halilintar. Habis berkata begitu, Buto Dewa Wisnu segera berkelebat menyerang. Pertarungan dua raksasa itu begitu seru, saling hantam dan terjang. Setiap kali tubuh mereka jatuh, terdengar debuman dahsyat. Tanah bagaikan diguncang gempa.
"Percuma kalau aku membuang-buang tenaga," bergumam hati Buto Dewa Wisnu. "Hem, akan aku panggil Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Tiba-tiba, di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang yang dari ujungnya mengeluarkan darah, menetes membasahi batang pedang. Dewi Bunga Kematian tersentak mundur, demi melihat apa yang telah terjadi. Belum juga Dewi Bunga Kematian hilang rasa kagetnya. Buto Dewa Wisnu telah berkelebat membabatkan pedang Siluman Darah yang berada di tangannya.
"Aaahhhh...!" memekik Betari Durga, lalu ambruk dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Seketika semua anak buah Dewi Bunga Kematian sujud menyembah mengaku kalah. Perlahan, Jaka kembali ke bentuk asalnya. Sementara pedang Siluman Darah telah lenyap dengan sendirinya. Tengah para prajurit merayakan kemenangan, terdengar pekikkan kematian dari Jaga Bayu. Ternyata Satria Wulung pun telah dapat membinasakan kakak seperguruannya. Makin riuhlah pesta kemenangan itu. Namun kegembiraan mereka hanya sesaat, ketika tiba-tiba terdengar berita duka. Ternyata Ibunda Ratu telah wafat bersama dengan matinya Dewi Bunga Kematian. Dua raja muda itu seketika menangis....
"Janganlah tuan ku berdua berlarut dalam kesedihan!"
Tengah keduanya menangis, terdengar suara Jaka bergema menjadikan kedua raja itu seketika tersentak dan mencari-cari Pendekar Muda itu.
"Di manakah kau Pendekar?" tanya Amurwa Sakti.
"Oh, aku minta maaf. Aku lupa meminta ijin pada tuan ku berdua. Aku kini telah jauh untuk kembali mengembara. Selamat atas ketentraman kerajaan tuan berdua "
Kedua raja muda itu hanya saling pandang dan bergumam penuh rasa kagum. Hari itu juga, seluruh rakyat kedua kerajaan berkabung atas kematian Ibunda Ratu. Seorang yang mampu memberikan rasa percaya diri pada rakyat, yang memang mengharapkan segala petuahnya.
Langit telah memerah, pertanda senja telah datang. Satu per satu mereka yang turut serta memberi penghormatan terakhir pada Ibunda Ratu, pergi meninggalkan makam yang kembali sepi bagaikan turut berduka....
Bukit Setan merupakan bukit yang sangat angker. Jarang orang berani datang ke tempat itu. Bukit Setan dihuni oleh seorang tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi, bernama Rangga Bargawa dengan julukan Banas Pati.
Dua puluh tahun yang silam, Banas Pati telah malang melintang di dunia persilatan. Banyak sudah korban yang menemui kematian di tangannya. Kebanyakan korban itu adalah tokoh persilatan golongan lurus. Karena sepak terjangnya yang sungguh dapat mendirikan bulu kuduk Rangga Bargawa mendapat julukan Banas Pati. Korbannya selalu mati dengan hilang matanya, dimakan oleh Rangga Bargawa.
Dua puluh tahun Rangga Bargawa malang melintang di dunia persilatan. Dua puluh tahun juga tokoh-tokoh persilatan dibuat bertekuk lutut. Merasa dirinya orang yang paling sakti, Rangga Bargawa mengangkat dirinya menjadi raja di raja dunia persilatan.
Namun seperti ungkapan, jodoh, nasib, hidup dan mati adalah Yang Maha Kuasa yang berwenang. Baru setahun Rangga Bargawa memegang tampuk kekuasaan sebagai Raja Diraja, datang ke tempatnya seorang pendekar muda bernama Bayong atau Pendekar Suci.
Tanpa dapat dicegah, kedua pendekar berhaluan beda itupun bertempuh di Lembah Karang Tengkorak. Karena keduanya merupakan dua pendekar kelas wahid, sehingga pertempuran keduanya berjalan begitu alot. Berhari-hari keduanya bertempur, namun sepertinya kedua tokoh itu tak akan ada yang menang maupun yang kalah.
Namun pada hari kelima, Bayong yang sudah jenuh dengan pertempuran segera mengeluarkan ajian andalannya. Ajian yang hanya diwariskan oleh gurunya pada Bayong, yaitu ajian Buto Dewa Wisnu. Tubuh Bayong seketika berubah menjadi raksasa. Suaranya menggelegar dahsyat menjadikan alam seketika seperti runtuh. Dengan ajian tersebut, Bayong dapat mengalahkan Rangga Bargawa. Dilemparkannya tubuh Rangga Bargawa, sehingga Rangga Bargawa lumpuh.
"Ingat, Rangga Bargawa. Bila kau kelak akan mengulangi perbuatanmu, aku pun akan datang kembali walau lewat orang lain."
Sejak saat itu, Rangga Bargawa seperti hilang dari dunia persilatan. Hati kecilnya yang mendendam pada Bayong, tak dapat dilunasinya. Dengan kekalahan tersebut, Rangga Bargawa mengasingkan diri. Ia menempa segala ilmu kanuragan, serta berusaha menciptakan ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Kini sudah tiga puluh lima tahun Rangga Bargawa mengasingkan diri. Bermacam ilmu ia ciptakan dan ia pelajari, berbagai ajian ia ciptakan pula. Tujuannya hanya satu, membalas dendam pada Bayong atau muridnya,
Rangga Bargawa tengah merenungi dirinya yang telah sekian puluh tahun terkurung di Jurang Lembah Tengkorak. Walau pun Rangga Bargawa lumpuh kakinya, namun dengan ilmu yang ia miliki, Rangga Bargawa masih mampu bergerak. Banyak sudah tokoh-tokoh persilatan yang mati di tangannya. Mereka biasanya orang-orang yang hendak mencari Kitab Pedang Biru, sebuah kitab yang sangat berguna bagi orang-orang persilatan. Di samping kitab tersebut, mereka juga bermaksud mendapatkan Pedang Biru. Sebenarnya Bargawa pun tengah mencari kitab dan pedang tersebut. Namun sampai ia begitu tua, kitab dan pedang tersebut tak juga ia temukan.
"Tiga puluh lima tahun sudah aku mengurung diri di dasar jurang ini. Tujuannya hanya satu, mencari kitab dan pedang yang menjadi rebutan kaum persilatan. Kenapa sejauh ini aku tak menemukannya?" bergumam Bergawa dalam hati. Tengah Rangga Bargawa merenungi diri, terdengar olehnya seorang wanita berseru dan atas jurang.
"Paman... paman Bargawa, kau dengar seruan ku?"
"Hem, siapa yang telah memanggilku dengan sebutan paman?" bertanya hati Bargawa. "Siapa kau yang berseru!" seru Bargawa kemudian.
"Aku kemenakan mu! Aku Angelir, paman!"
"Angelir. Hem, bukankah anak itu anak kakakku Amuk Mungkur? Untuk apa bocah itu datang menemuiku?" tanya Bargawa pada diri sendiri. "Angelir! Apakah kau datang dengan bapak moyangmu?!"
"Tidak, Paman. Angelir datang sendirian," menjawab Angelir dari atas. Matanya memandang ke bawah jurang yang gelap, sehingga ia tak mampu melihat apa yang ada di dalam jurang itu. "Paman, bolehkan Angelir menemuimu?"
"Kau berani turun, Anak bandel?!"
"Berani, Paman!" jawab Angelir. "Jadi paman mengijinkan?"
"Kalau kau memang berani turun, turunlah!" seru Bargawa.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, Angelir segera melompat turun ke bawah jurang yang cukup dalam. Tubuhnya melayang bagaikan sehelai daun kering, lalu hinggap dengan enaknya di dasar jurang.
"Hoop, ya!"
"He, he, he... rupanya kau seperti ayahmu, bandel. Nah, apa perlumu datang ke mari, Anak bandel!"
Angelir tidak langsung menjawab pertanyaan sang paman, malah dari kedua matanya meleleh air mata. Angelir menangis, menjadikan Rangga Bargawa seketika menyipitkan mata tak mengerti dengan tingkah Angelir.
"Kenapa kau menangis, Anak bandel!"
"Paman, kini aku sebatang kara."
Tersentak Rangga Bargawa mendengar penuturan kemenakannya. Matanya membeliak, sepertinya tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan mengerutkan kening, Rangga Bargawa bertanya. "Apa maksudmu dengan ucapan sebatang kara, Angelir?"
Kembali Angelir tak segera menjawab, malah kini tangisnya makin kencang. Melihat hal itu, Rangga Bargawa yang biasanya garang seketika ikut iba.
"Ayo, Anak manis. Kenapa kau menangis?"
"Paman, kini ayah telah tiada"
"Apa...!" tersentak Rangga Bargawa bagaikan disengat Kala, demi mendengar ucapan kemenakannya. "Kau tidak bercanda, Anakku?"
Angelir menggeleng lemah, tak mampu untuk berkata-kata.
"Kapan ayahmu meninggal?"
"Ayah dibunuh...!"
"Dibunuh...!" kembali Rangga Bargawa terperanjat, sehingga matanya yang lebar makin melebar kala melotot. "Siapa yang berani membunuh kakang Amuk?"
Dengan masih menangis, Angelir segera menceritakan apa yang telah ia alami. Bargawa yang mendengarkannya, seketika darahnya bagaikan mendidih. Giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi gemeretuk. Saking marah dan kesalnya pada siapa-siapa yang telah mengakibatkan kakaknya mati, menjadikan Rangga Bargawa bagaikan orang kesetanan. Dihantamnya tembok jurang, yang seketika itu hancur lebur menjadikan gempa.
Tersentak Rangga Bargawa melihat jurang itu runtuh. Dengan segera dibopongnya tubuh Angelir, lalu dengan tubuh bagaikan terbang Rangga Bargawa melompat naik. Tak lama setelah Rangga Bargawa sampai di atas, terdengar longsornya jurang itu. Mata Bargawa membeliak, manakala melihat longsoran tanah yang seketika itu menutupi jurang.
"Sungguh tak dapat dibayangkan bila kita masih di dalam jurang itu." bergumam Rangga Bargawa. "Ayo kita pergi, Angelir."
"Ke mana, Paman?" bertanya Angelir tak mengerti.
"Ikut aku. Kau akan aku beri segala ilmu yang telah aku ciptakan selama tiga puluh lima tahun berada di dasar jurang. Ayo."
Tanpa banyak kata lagi, kedua paman dan kemenakan itu segera berkelebat pergi meninggalkan Jurang Karang Tengkorak.
********************
"Di sinilah kau akan aku tempa menjadi seorang tokoh persilatan yang sukar untuk ditandingi." berkata Rangga Bargawa setelah keduanya sampai pada sebuah bukit, yang letaknya di tengah hutan. "Kau ingin membalas semua sakit hatimu, Angelir?"
"Benar, Paman." menjawab Angelir.
"Untuk itulah, paman akan menggembleng mu menjadi seorang pendekar yang tak akan terkalahkan. Kalau kau telah menjadi seorang tokoh sakti mandraguna, kau harus mampu menjadi seorang pimpinan. Kau harus menggantikan ayahmu," berkata Rangga Bargawa penuh semangat, yang diangguki oleh Angelir.
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera mengajarkan segala macam jurus-jurus temuannya. Angelir yang memang berambisi menjadi penguasa, juga menjadi tokoh paling sakti dengan giat mengikuti segala petunjuk pamannya.
"Ini yang aku beri nama jurus Seroja Biru. Lihatlah!" Rangga Bargawa segera memperagakan jurus Seroja Biru. Walau kakinya lumpuh, namun gerakannya tak terpengaruh sedikitpun. Gerakan Rangga Bargawa begitu lincah, malah lebih lincah bila dibandingkan dengan orang normal.
"Nah, sekarang kaulah yang melakukannya," perintah Rangga Bargawa, yang dengan senang hati dilaksanakan oleh Angelir.
Hari-hari pun dilalui oleh keduanya dengan berlatih dan berlatih. Cita-citanya yang ingin merajai dunia persilatan, seperti membimbingnya dalam berlatih. Tak terasa waktu berlalu, membawa mereka pada titik kulminasi latihan. Segala ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu silat telah Angelir kuasai. Hari itu Angelir tengah duduk berhadaphadapan dengan pamannya. Seperti nya Rangga Bargawa hendak mengutarakan maksud yang selama ini terpendam di hatinya, yaitu dendamnya pada Bayong yang telah menjadikannya lumpuh.
"Angelir, anakku. Hari ini adalah hari untuk yang terakhir kau bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki, telah seluruhnya aku limpahkan padamu. Segala ajian telah aku berikan padamu, tinggal satu ajian dahsyat yang hingga kini belum aku berikan."
"Apa itu, Paman?" tanya Angelir ingin tahu.
"Nanti kalau kau telah tahu duduk persoalannya kenapa aku mengurung diri di jurang Karang Tengkorak, akan aku beri tahu padamu sekaligus akan aku turunkan padamu. Dengarlah cerita ku."
Setelah terlebih dahulu menarik napas dalamdalam, Rangga Bargawa segera menceritakan apa yang pernah terjadi pada dirinya tiga puluh lima tahun yang silam.
"Aku dan ayahmu adalah kakak beradik seperguruan. Namun begitu, kami seperti kakak beradik sendiri. Aku menghormati ayahmu, seperti menghormati kakakku sendiri. Setelah kami sama-sama menimba ilmu pada Ki Lanang Edan, kami pun berpisah. Ayahmu menggantikan kakekmu menjadi raja. Sementara aku sendiri, terus berkelana menimba ilmu. Berpuluh-puluh perguruan aku singgahi, berpuluh-puluh guru aku pinta ilmunya. Namun hatiku tak puas, ya, aku merasa tak puas. Maka dengan ilmu yang aku miliki, aku segera bertualang mencari kepuasan batin. Ratusan pertarungan aku jalani, semua dapat aku menangi. Namun kembali aku tak puas. Ku umbar segala nafsu yang ada di hatiku. Kubunuh orang-orang yang menamakan dirinya pendekar, lalu kuambil matanya dan ku makan. Mulanya aku ngeri merasakan tindakanku sendiri. Tapi lama kelamaan, semuanya seperti biasa. Bahkan aku makin ketagihan untuk memakan mata orang. Hingga karena kesadisan ku, aku dijuluki oleh orang-orang persilatan Banas Pati. Julukan itu makin menambah keseraman ku. Semua tokoh-tokoh persilatan tunduk padaku dan mengangkat ku sebagai Raja Diraja dunia persilatan. Namun begitu, tindakanku yang telengas suka makan mata orang terus berlangsung. Hal itu menjadikan semua ngeri, lalu berbalik memusuhi aku. Tapi mereka tak ada seorangpun yang dapat mengalahkan ilmu yang aku miliki. Suatu hari datang ke tempatku seorang pendekar muda. Ia merupakan salah seorang dari Empat Pendekar Sakti, bernama Bayong. Ki Bayong diperintah oleh tokoh-tokoh persilatan untuk mencegah tindakanku. Karena aku merasa dia adalah duri yang menghalangi, kami pun akhirnya bertempur. Pertempuran itu berjalan begitu alot dan lama, karena kami merupakan tokoh-tokoh silat kelas wahid. Namun rupanya Ki Bayong memiliki ilmu lebih dibandingkan denganku yaitu Ajian Buto Dewa Wisnu. Dengan ajian tersebut, ia mampu mengubah dirinya menjadi Raksasa. Aku ditangkapnya dan dilemparkan jauh sampai membentur batu karang jurang Karang Tengkorak. Kakiku lumpuh dengan tulang remuk. Sejak saat itu, aku mengurung diri di dasar jurang Karang Tengkorak, mendalami segala ilmu dan berusaha menciptakan ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Tujuanku hanya satu, membalas kekalahan ku. Aku tekun mempelajari ajian itu. Tapa Brata empat puluh hari empat puluh malam aku lakukan. Tentunya kau mengerti apa yang aku maksud, Angelir?"
"Saya mengerti. Paman," jawab Angelir.
"Nah, dengarlah. Ajian yang aku ciptakan bernama Ajian Betari Kala. Sebenarnya ajian ini khusus untuk wanita. Ya, kebetulan kau datang, Anakku."
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera mewariskan ajian Betari Kala pada Angelir. Lengkaplah sudah ilmu yang dimiliki Angelir. Maka dengan segala ajian yang ia miliki, Angelir setelah meminta restu pada pamannya segera pergi untuk membalas sakit hatinya. Juga untuk menunaikan tugas dari pamannya, membalas dendam pada Ki Bayong atau muridnya.
********************
DUA
Sejak membubarkan diri dari gerombolan Alas Rengas, Loro Ireng kembali pada jalan kebenaran. Dengan memakai nama samaran Dewi Rembulan Emas, Loro Ireng berkelana kembali. Hatinya yang telah terpaut pada Jaka Ndableg, menjadikannya ingin selalu dapat bersanding dengan pemuda itu. Siang itu Loro Ireng tengah berjalan di tepi pantai. Seperti hari-hari biasanya, Loro Ireng bertualang demi mencari Jaka Ndableg yang telah mengambil hatinya.
"Ke mana aku harus mencari? Sedang aku tak tahu di mana rimba belantaranya?" mengeluh hati Loro Ireng.
Dengan mengikuti ke mana langkah kakinya, Loro Ireng terus melangkah. Beratus bahkan beribu mil telah ia jalani, namun batang hidung orang yang dicarinya tak jua ditemukan. Tengah Loro Ireng berjalan dengan melamun, terdengar olehnya seorang berseru memanggil namanya. "Loro Ireng, tunggu!" Loro Ireng segera memalingkan mukanya, memandang pada asal suara itu. Terkesiap darah Loro Ireng, manakala dilihatnya orang yang telah memanggilnya.
"Kau... kaukah Angelir?" bergumam Loro Ireng, sepertinya tak percaya pada apa yang ia lihat. "Ke mana saja kau, Angelir?"
"Aku pergi mengasingkan diri, Loro. Apakah kau tak ingin kembali membentuk sebuah gerombolan?"
"Ah, apakah nantinya kita tak mengalami kesulitan seperti yang telah kita alami. Apalagi dengan datangnya anak muda yang sakti itu." berkata Loro Ireng, menjadikan Angelir yang mendengarnya hanya tersenyum.
"Kau tak yakin dengan apa yang aku miliki, Loro?"
"Bukan begitu. Apakah kita kelak mampu menghadapi pemuda sakti itu?"
Ditanya seperti itu oleh Loro Ireng, seketika Angelir yang merasa telah berilmu paling tinggi tertawa bergelak-gelak. Hal itu menjadikan Loro Ireng mengernyitkan kening, dan bertanya tak mengerti akan apa yang dijadikan bahan ketawaan Angelir.
"Kenapa kau tertawa, Angelir?"
"Kau ingin bukti bahwa aku akan mampu mengalahkan pemuda yang kau maksud? Lihat...!"
Habis berkata begitu, segera Angelir merapalkan ajian Batari Durga. Seketika tubuhnya yang kecil dan cantik jelita, berubah menjadi seorang raksasa yang menyeramkan. Rambutnya yang panjang dan halus, berubah menjadi kasar dan awut-awutan. Matanya yang lentik, kini berubah menjadi besar, sebesar piring makan. Tawanya yang dulu melengking, kini membahana bagaikan suara halilintar.
Loro Ireng seketika gemetaran, manakala tangan Batari Durga mencengkeramnya. Loro Ireng menyangka kalau Batari Durga akan memangsanya. "Ampunilah aku, Angelir." pinta Loro Ireng merengek.
"Jadi, kau mau menjadi pengikut ku lagi, Loro?"
"Benar, Angelir. Kini aku yakin, bahwa kau memang sakti," berkata Loro Ireng masih ketakutan. "Sekarang lepaskanlah aku."
Angelir segera menaruh tubuh Loro Ireng kembali, yang segera berlari menjauh. Perlahan-lahan, tubuh Angelir kembali ke bentuk semula. "Bagaimana, Loro Ireng? Apakah kau yakin?"
"Aku yakin, Angelir," menjawab Loro Ireng. Diwajahnya masih tergambar rasa takut yang amat sangat, menjadikan Angelir tersenyum melihatnya.
"Ayo kita taklukan gerombolan-gerombolan yang ada di sini. Kita ajak mereka bergabung. Kalau mereka tidak mau. Hem, akan tau rasa."
Dengan segera, kedua orang gadis itu bergegas pergi, meninggalkan pantai yang kembali sepi. Keduanya terus berlari masuk ke pedalaman, mencari gerombolan-gerombolan yang akan mereka jadikan pengikut.
Tengah kedua gadis itu berjalan menyusuri hutan yang tampaknya angker, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh bentakan seseorang yang menyuruhnya berhenti.
"Berhenti! Serahkan apa yang ada pada kalian dan ikutlah aku!"
"Hem... ini pasti, Loro!" berbisik Angelir.
"Ya, ini yang pertama!"
"Heh... apakah kalian gadis tuli?" kembali orang itu membentak.
Dibentak begitu kasar tidak menjadikan dua gadis itu takut. Bahkan dengan tersenyum Loro Ireng berkata mewakili Angelir. "Ki Sanak... bukanlah lebih baik kau dan anak buahmu ikut kami?"
"Edan! Diperintah malah menyuruh! Apakah kalian belum tahu siapa aku adanya, sehingga kalian berani lancang padaku!" membentak lelaki menyeramkan itu, menjadikan Loro Ireng tertawa bergelak-gelak. Sementara Angelir sendiri, nampak tenang melihat keduanya perang mulut.
"Apa sih yang perlu ditakuti pada dirimu. Bukankah kau tak lebihnya kaum kroco?"
"Setan alas! Rupanya kau mencari mampus."
"Hi, hi, hi... kau jangan sesumbar seenak udelmu. Dengar! Aku perintahkan padamu dan anak buahmu yang tengah bersembunyi di semak-semak, ikutlah aku. Kalian akan menjadi satu gerombolan besar, bukan macam kecoa! Dengar oleh kalian! Akulah Loro Ireng, pimpinan Gerombolan Alas Renges."
Terbelalak mata pimpinan gerombolan begal itu manakala tahu siapa yang tengah ia hadapi. Maka tanpa sungkan-sungkan, pimpinan begal itu segera jatuhkan diri berlutut yang diikuti oleh keempat puluh anggotanya.
"Ampuni segala kesalahanku, Tuan Putri." "Bagus. Mulai sekarang, kau harus menjadi pengikut ku."
"Daulat, Tuan Putri!" menjawab mereka serempak, menjadikan Loro Ireng dan Angelir tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... akulah penguasa tunggal gerombolan terbesar di jagad raya ini. Akan aku jadikan dunia ini ajang kebrutalan. Akan aku bikin mereka bertekuk lutut padaku." berseru Angelir dengan tawanya yang membahana. Bersamaan dengan habisnya gelak tawa Angelir, seketika tubuh Angelir berubah menjadi Betari Durga.
Melihat kenyataan gadis di hadapannya bukan gadis sembarangan, keempat puluh gerombolan begal itu seketika menyembah dengan tubuh bermandikan keringat dingin. "Ampunilah kami, Tuan Putri!" berkata pimpinan gerombolan begal itu dengan tubuh gemetaran.
"Siapa namamu!" membentak Betari Durga.
"Saya... saya bernama, Cobil," menjawab pimpinan gerombolan begal itu masih dengan rasa takut. "Ampuni atas tindakan saya tadi, Tuan Putri."
"Cobil, mulai saat ini kau harus menurut pada perintah Loro Ireng. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Tuan Putri."
"Kalian harus datang pada malam purnama di Bukit Karang Tengkorak!" berkata Betari Durga. "Ayo, Loro."
Kedua gadis itu kembali berkelebat pergi, meninggalkan gerombolan yang telah mereka taklukkan. Keduanya terus berlari untuk mencari gerombolan-gerombolan lain yang nantinya dapat dijadikan anggota mereka.
********************
Malam bulan purnama tiba, di mana malam itu para gerombolan yang telah ditaklukan oleh Loro Ireng dan Angelir akan berkumpul. Angelir dan Loro Ireng telah berdiri di atas bukit, menunggu kedatangan mereka. Mata kedua gadis cantik itu memandang lurus ke muka, di mana jalan setapak terbentang. Hanya jalan itu yang dapat dilewati untuk menuju ke Bukit Karang Tengkorak.
"Kenapa mereka belum datang?" bertanya Loro Ireng agak cemas.
"Kalau mereka tak datang. Hem, jangan harap mereka akan hidup!" menjawab Angelir.
Tengah keduanya cemas, tampak oleh mereka serombongan orang berdatangan menuju tempatnya.
"Itu mereka datang! Rupanya mereka benar-benar ingin menjadi anggota kita." berkata Loro Ireng.
"Ya... siapa yang tak ingin menjadi anggota ku. Hua, ha, ha ha... bukankah aku orang yang paling sakti, Loro Ireng?"
"Benar ucapanmu, Angelir."
Dari kejauhan, rombongan orang yang terdiri dari para gerombolan yang mereka taklukan terus berjalan menuju ke bukit di mana mereka berdiri. Bulan purnama makin bergayut terang, bergeser perlahan menuju ke titik kulminasi. Orang-orang yang menjadi taklukan mereka telah berkumpul, mengelilingi bukit kecil di mana kedua gadis cantik itu berdiri.
"Kalian rupanya anggota yang baik, yang mengerti disiplin dan tanggung jawab. Dengarlah oleh kalian. Hari ini juga, kita dirikan sebuah kerajaan Gerombolan Begal bernama Persekutuan Dewi Bunga Kematian. Siapa yang menentang, nasibnya seperti ini...!" Habis berkata begitu, Angelir kiblatkan tangan ke arah bukit sebelahnya. Seketika terdengar ledakan dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya bukit itu.
Semua mata yang melihatnya terbelalak. Belum pernah mereka melihat ajian pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Belum juga mereka hilang dari tercengangnya, Angelir telah kembali berkata;
"Atau kalian akan menghadapi diriku dalam bentuk begini."
Angelir segera tiwi krama, duduk bersila, dengan mulut merapalkan mantra. Seketika tubuhnya yang kecil, berubah menjadi besar! Makin takluk saja mereka melihat hal itu. Serentak tanpa dikomando, mereka langsung menyembah. Dengan tubuh bergetar-getaran, semuanya berkata serempak.
"Ampun, Sri Ratu. Tak akan sekali-kali kami menentang Sri Ratu. Apapun titah Sri Ratu, kami akan melaksanakannya."
"Bagus! Hari ini juga, kalian akan aku bagi tugas. Cobil, kau dengan anak buahmu bekerja di hutan, Syarkom, kau dengan anak buahmu bekerja di sungai. Dan kau Lompeng, kau beserta anak buahmu bekerja di laut. Ingat! Bila kalian menemukan kesulitan, kalian salah seorang harus menghubungi kami di sini."
"Lalu apa tugas hamba, Sri Ratu?" tanya Gares, yang merasa dirinya dan anak buahnya belum juga mendapatkan tugas.
"Gares, kau dan anak buahmu jaga di istana. Esok pagi, kalian buat istana untukku. Dan kalian buat sebuah bangsal pertemuan sekaligus untuk belajar ilmu silat. Nah, sekarang kerjakan tugas kalian masing-masing. Loro Ireng, mari kita pergi."
Tanpa memperdulikan mereka semua, Angelir bersama Loro Ireng segera berkelebat pergi. Begitu kencangnya kedua gadis itu berlari, sampai-sampai dalam sekejap keduanya telah hilang ditelan gelapnya malam.
********************
TIGA
Sejak munculnya sebuah Persekutuan Dua Dewi, dunia persilatan makin gempar. Perampokan makin merajalela. Namun sejauh itu, korbannya hanya orang-orang dari dua kerajaan yaitu Kerajaan Pesisir Putih dan Segara Wetan. Maka makin mencekam saja tindakan Persekutuan Dewi bagi orang-orang dua kerajaan itu. Hal itu menjadikan rasa prihatin pada raja mereka.
Di pendopo Kerajaan Pesisir Putih, tampak para sesepuh istana berkumpul. Hadir pula di situ dua raja kakak beradik, yaitu Wulung Seta dan Amurwa Sakti. Mereka nampaknya tengah membicarakan apa yang telah terjadi, yang menimpa warga kerajaannya.
"Bagaimana menurutmu, Kakang Wulung?" bertanya Amurwa Sakti membuka pertemuan.
"Entahlah, Adinda. Aku juga tak habis pikir. Baru tiga tahun kita tenang, kini telah datang teror." Mendengar keluhan Wulung Seta, seketika semua terdiam tak ada yang berkata. Mereka sepertinya terhanyut oleh perasaan yang bergurat di hati.
"Aku rasa, orang yang melakukannya masih mereka juga."
"Maksudmu, Paman Randu?" tanya Amurwa Sakti, demi mendengar Randu Alasan memberikan pendapatnya.
"Menurut dugaan hamba, pelaku dari semua ini tak lain dari orang-orang Kurda Rumajang."
"Hem, bisa juga. Kalau memang begitu, awasi terus tindak-tanduk orang-orang Kurda Rumajang. Jangan sampai mereka dapat leluasa bergerak," perintah Wulung Seta.
"Apakah tidak sebaiknya kita adakan penyerbuan pada lokasi mereka, Kakang?" kembali Amurwa Sakti berkata.
"Percuma, Dinda. Kita tak tahu pasti tempat mereka."
Kembali semuanya terdiam, tak ada seorang pun yang berkata-kata. Tengah mereka tercekam diam tiba-tiba dari luar seseorang melemparkan sebuah bungkusan yang berselemotan darah. Tersentak semuanya berdiri, demi melihat bungkusan itu. Randu Alasan dengan segera membuka bungkusan itu. Seketika, mata mereka dibuat melotot tak berkedip. Ternyata bungkusan itu berisi sebuah kepala seorang lelaki, yang mereka kenali adalah prajurit Segara Wetan. Menggeramlah Amurwa Sakti, yang merasa dihina.
"Bedebah! Ini sudah keterlaluan!"
Dengan tanpa dapat dicegah, Amurwa Sakti segera berlari ke luar memburu orang yang telah melemparkan bungkusan itu. Namun ia tak menemukannya, maka sebagai pelampiasan rasa kemarahannya dihantamnya pagar pendopo yang seketika hancur berantakan.
"Sabar, Adinda. Bukan adinda saja yang merasa dihina. Kakanda pun merasakannya. Marilah kita cari jalan keluarnya," Wulung Seta segera menghampiri adiknya. Dengan penuh sabar sebagai seorang kakak, Wulung Seta menggandeng tangan Amurwa Sakti kembali masuk ke dalam pendopo.
********************
Di pihak lain, Angelir yang mendapat laporan dari anak buahnya tertawa bergelak-gelak. "Telah aku mulai pembalasanku pada mereka. Hem, jangan harap mereka akan dapat tenang!" berseru Angelir yang menamakan dirinya Dewi Bunga Kematian "Loro Ireng, apakah kau mempunyai pendapat?"
Loro Ireng terdiam sesaat, lalu setelah menarik napas Loro Ireng pun berkata. "Ada... bagaimana kalau kita menampakkan diri kita?"
"Hem, apakah itu perlu?"
"Perlu, Angelir. Kita perlu menunjukkan pada dunia persilatan siapa kita adanya." menjawab Loro Ireng, yang seketika diangguki oleh Angelir dengan tawanya.
"Benar juga pendapatmu, Loro. Percuma aku memiliki ilmu segudang, kalau aku harus menyembunyikan diriku."
Tengah keduanya berbincang-bincang, tiba-tiba seorang anggotanya dengan terburu-buru datang. Lalu dengan napas ngos-ngosan, anak buahnya berkata: "Sri Ratu, orang-orang Pesisir Putih dan Segara Wetan hendak menyerbu."
Angelir tersenyum diliriknya Loro Ireng yang juga tersenyum. "Bagaimana, Loro? Rupanya mereka tak sabar menunggu kita." tanya.
"Menurutmu, Angelir?" balik Loro Ireng berAngelir kembali tersenyum. Lalu dengan tanpa memperdulikan orang yang melapor, keduanya segera berkelebat pergi ke luar.
Dengan memacu kuda begitu cepat, Angelir dan Loro Ireng segera menuju ke arah di mana pasukan dua kerajaan itu berada. Dihentakkan kais kuda, menjadikan sang kuda seketika itu kencang larinya.
"Hia, hia, hia...!"
"Ayo, Loro. Kita berpacu. Hia, hia, hia...!"
Bagaikan dua dewi dari kayangan, kedua gadis yang memiliki ilmu tinggi itu memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya. Di belakang mereka, seratus pasukan begal mengikuti. Karena mereka memacu kuda dengan kecepatan tinggi, hingga mereka pun dengan segera sampai pada tujuannya.
"Rupanya kalian sengaja mengantar nyawa!" mendesis Angelir, manakala dilihatnya pasukan dua kerajaan itu telah berdiri siaga menunggu kedatangannya.
Terbelalak mata semua prajurit kedua kerajaan, demi melihat orang yang bicara. Mereka menyangka pimpinan dari Persekutuan Dewi adalah lelaki. Namun dugaan mereka meleset, karena ternyata pimpinan gerombolan itu hanyalah dua orang wanita yang sudah mereka kenal.
"Kau... bukankah kau iblis yang telah membuat adu domba?"
"Ya, aku. Akulah pimpinan begal. Nah, karena kalian telah tahu siapa aku, maka kalian akan aku kirim ke akherat sekarang juga. Hiatt...!"
Tanpa sungkan-sungkan, Angelir segera menghantamkan ajiannya ke para prajurit dua kerajaan. Dihantam oleh ajian Gugur Gunung yang begitu tibatiba, menjadikan para prajurit tak dapat mengelakkannya. Tubuh mereka bagaikan disapu bersih, luluhlantak. Dalam sekejap saja, keseratus prajurit dua kerajaan yang dipimpin oleh seorang hulubalang mati tiada sisa.
"Hua, ha, ha... tenanglah kalian di akherat sana!" seru Angelir.
"Begeng! Kau tahu apa tugasmu?"
"Hamba mengerti, Kanjeng Ratu." menjawab Begeng.
"Lakukan olehmu. Penggal kepala hulubalang itu!"
Dengan perasaan agak merinding, Begeng yang memang tak berani menentang perintah ratunya segera memenggal kepala hulu balang itu.
"Cross...!" Darah seketika muncrat dari leher hulu balang yang terpancung golok di tangan Begeng. Dengan mata tertutup, Begeng segera membungkus kepala itu dengan kain yang telah disiapkan.
"Hua, ha, ha... bagus, Begeng! Kaulah abdi ku yang paling baik. Nah, nanti malam, kau gantung kepala hulubalang itu di depan alun-alun. Ingat! Jangan sampai kau tertangkap!"
"Daulat, Sri Ratu!" Jawab Begeng sembari menyembah.
"Apakah kita akan selalu begini, Angelir?" Loro Ireng yang sedari tadi terdiam, seketika bertanya. "Aku rasa, tindakan kita merupakan tindakan pengecut, Angelir!"
"Diam, Loro! Aku ingin mereka membuka mata, siapa adanya aku." jawab Angelir dengan sengit. Pikirannya kembali membayang pada kejadian tiga tahun yang silam, di mana kepala ayahnya dengan patih kerajaan dipenggal oleh Wulung Seta dai adiknya Amurwa Sakti. "Dulu mereka memenggal kepala ayahku dan patihnya. Kini giliran mereka yang akan aku penggal. Namun untuk itu, aku harus membuat mereka seperti diteror, Loro."
"Kalau itu yang engkau mau, aku tak dapat menentangnya."
"Hi, hi, hi... kau memang teman setia ku Loro." Keduanya kembali menghela kais kuda, memacu kuda mereka kembali ke istananya. Dengan tertawa-tawa penuh kemenangan, Angelir menghempaskan segala pikirannya yang terasa mendera di dalam dadanya.
********************
Esok paginya, seluruh rakyat kerajaan Segara Wetan dan Pesisir Putih geger. Mereka menemukan kepala hulu balang kedua dari kerajaan Segara Wetan, tergantung di sebatang cabang pohon yang berada di alun-alun. Berita ditemukannya kepala hulubalang kedua, sampai pula di telinga dua raja muda itu. Tak dapat lagi kedua raja itu menahan amarahnya.
"Ini sudah benar-benar keterlaluan. Kakang!" berkata Amurwa Sakti. Matanya tampak berkaca-kaca, merah membara bagai terbakar api kemarahan.
"Memang sudah keterlaluan tindakannya. Hem, rupanya mereka belum tahu siapa kita," bergumam Wulung Seta yang juga sudah tak dapat menahan amarahnya. "Hari ini juga, kita serbu ke tempat mereka!"
"Setuju, Kakang! Aku sudah tak sabar melihat hasilnya!"
"Mari kita bahas bagaimana cara yang terbaik."
Kedua raja kakak beradik itu segera berlalu meninggalkan alun-alun. Di wajah keduanya tak ada sedikitpun keceriaan, yang ada hanya kemuraman semata. Hari itu juga, kembali diadakan pertemuan untuk membahas masalah yang harus mereka temukan guna menyelesaikan masalah yang kini melanda kerajaan. Akhirnya disepakati, untuk mengadakan penyerbuan besar-besaran.
"Paman patih, Randu Alasan. Paman pimpin dua ratus pasukan untuk penyerbuan ini," kata Wulung Seta.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka, akan hamba laksanakan."
"Nah, paman pilih prajurit-prajurit pilihan, yang di samping pandai berperang juga pandai strategi dan ilmu bela diri." kembali Wulung Seta berkata. "Kerjakan secepatnya!"
"Daulat, Tuan ku yang mulia."
Dengan didahului menyembah, Randu Alasan segera mundur dari pertemuan. Wajah Randu Alasan begitu kuyu, sepertinya tak yakin dengan kemampuan yang ia miliki. Namun demi tugas, Randu Alasan akhirnya dengan berat melaksanakannya juga.
"Wahai para kadang prajurit, berkumpul!" berseru Randu Alasan, yang seketika itu dilaksanakan oleh para prajurit. Dengan keadaan siaga penuh, semua prajurit dua kerajaan berkumpul di alun-alun kerajaan Pesisir Putih. "Baginda Maha Raja Prabu Wulung Seta, menitahkan kita untuk berperang. Apakah kalian telah siap?"
"Kami siap, Paman patih!" menjawab para prajurit serentak.
"Bagus! Tapi aku akan memilih siapa di antara kalian yang memang memiliki persyaratan perang yang telah ditentukan oleh Baginda Raja."
Habis berkata begitu, Randu Alasan segera berjalan menuju para prajuritnya. Dipilihnya dua ratus prajurit yang memang memenuhi syarat. Setelah didapatkan dua ratus, Randu Alasan segera berkata memerintah pada prajurit yang lainnya untuk kembali ke tempat masing-masing.
"Apakah kalian semua siap?"
"Demi nama kerajaan dan raja, kami siap!" menjawab dua ratus prajurit itu serempak, menjadikan senyum di bibir Randu Alasan. Dengan berjalan memeriksa barisan prajurit, Randu Alasan kembali berkata:
"Bagus! Memang sebagai seorang abdi negara, kalian harus mempunyai prinsip. Mati untuk membela kerajaan, lebih baik dari pada hidup terinjak."
Mendengar penuturan Randu Alasan yang begitu memberi semangat, seketika semua prajurit berseru penuh rasa nasional.
********************
EMPAT
Di sebuah goa di kaki gunung Slamet, tampak seorang lelaki tua duduk di atas sebuah batu. Di hadapannya duduk pula dua orang pemuda, yang berwajah tampan. Sepertinya kedua pemuda itu adalah murid dari orang tua itu. Orang tua itu bernama Rake Pinuluh, yang merupakan salah seorang tokoh silat dari golongan tua. Rake Pinuluh adalah seorang tokoh silat dari golongan lurus. Mata tuanya yang rabun, mungkin kurang jelas untuk melihat. Namun mata batinnya yang telah digembleng sejak muda, sangat tajam melebihi sinar mentari.
Hari itu Rake Pinuluh sengaja memanggil dua orang muridnya, yaitu Jaga Bayu dan Satria Wulung. Kedua murid itu sejak kecil dididik olehnya, hingga menjadikan keduanya tokoh-tokoh persilatan yang, mumpuni kelak.
"Jaga Bayu dan kau Satria Wulung. Kalian telah dewasa, segala ilmu baik kanuragan maupun kejiwaan telah aku berikan pada kalian. Hari ini, aku ingin mengutus kalian berdua menegakkan kebenaran dan kedamaian di muka bumi. Percuma ilmu yang kalian miliki, kalau ilmu itu tak kalian pergunakan."
"Daulat, Guru," jawab keduanya hampir bersamaan.
"Perlu kalian berdua ketahui. Kini dunia persilatan makin terasa panas oleh ulah-ulah orang yang sombong. Beruntung masih ada yang mau mengulurkan tangannya membasmi kemungkaran itu. Menurut pandangan mata batinku yang telah lapuk, orang yang kini selalu menumpas kejahatan adalah seorang pemuda seusia kalian. Dia bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah dari Kawah Chandra Bilawa. Nah, bantulah pendekar tersebut. Bukannya pendekar Pedang Siluman tak mampu menghalau segala kemungkaran, namun kalian membantu meringankan tugasnya. Kalian mengerti akan apa yang aku katakan?" bertanya Rake Pinuluh.
"Daulat, Guru," kembali kedua murid itu menjawab dengan hormat. "Apa yang mesti murid lakukan, Guru?"
"Murid-muridku. Kalian hari ini juga aku perintahkan turun gunung. Carilah oleh kalian pengalaman, sebab pengalaman adalah guru yang paling baik. Tapi ingat, kalian harus dapat mengendalikan perasaan kalian, mengerti?"
"Daulat guru, kami mengerti."
"Bagus! Aku tak dapat memberi kalian bekal, hanya ilmu dan do’a yang dapat aku berikan. Berangkatlah."
Hari itu juga, kedua murid Rake Pinuluh segera turun gunung untuk mencari pengalaman. Keduanya nampak berjalan beriringan, menuruni bukit dan sungai dengan hanya membawa bekal yang pas-pasan. Manakala keduanya sudah jauh melangkah, di hadapan mereka tiba-tiba tergeletak seorang lelaki tua renta. Demi melihat hal itu, Satria Wulung segera bergegas menghampiri. Sementara Jaga Bayu, tampak acuh tak acuh terus saja berjalan meninggalkan Satria yang masih mengurusi lelaki tua renta itu.
"Kenapa, Kek?"
"Aku lapar, Anak muda," berkata si kakek dengan suara terputus-putus. "Apakah kau membawa makanan, Anak muda?"
"Ada, Kek. Aku membawa bekal yang diberikan oleh guru."
Dengan segera tanpa memikirkan diri sendiri makan atau tidak, Satria Wulung segera membuka bungkusan bekalnya. Diambilnya dua potong singkong bakar dan diberikannya pada si kakek.
"Kau, Anak muda?" tanya si kakek, sepertinya merasa iba melihat Satria Wulung yang hanya membawa dua potong singkong bakar. "Apakah nanti kau tak kelaparan, Anak muda?"
"Ah, Kakek. Tak usahlah kakek memikirkan saya. Saya masih muda, sedang kakek telah tua. Aku rasa, aku akan mampu mencari makan nantinya." jawab Satria Wulung dengan ikhlas, menjadikan kakek itu tersenyum.
Tengah Satria Wulung tak mengerti akan senyum kakek yang ditolongnya, tiba-tiba tubuh kakek tua itu lenyap dari pandangan matanya. Lalu terdengarlah suara kakek tua yang ternyata suara gurunya berkata:
"Satria, kaulah calon pendekar sejati. Hati-hatilah dengan kakak seperguruanmu. Ingat, dia akan menjadi musuhmu, musuh yang sangat berbahaya. Berjalanlah ke arah Utara, carilah olehmu seorang pemuda berambut gondrong dengan dada terbuka tanpa memakai baju. Bila kau menemukan seorang tokoh persilatan muda yang bertelanjang dada, dialah pendekar Pedang Siluman Darah. Mintalah petunjuk padanya."
"Guru...! Di manakah engkau, Guru?"
"Aku baru saja ada di hadapanmu, Satria."
"Jadi... jadi tadi gurukah?" bertanya Satria tergagap.
"Benar, Muridku. Aku sengaja menguji kau dan kakakmu. Namun ternyata kaulah yang memenuhi syarat untuk kelak menggantikan ku. Nah, terimalah olehmu Keris Pusaka ini. Pergunakan keris itu untuk membela kebenaran dan keadilan. Selamat berjuang, Muridku."
"Terima kasih, Guru," jawab Satria Wulung. Lalu setelah menyembah, Satria Wulung segera kembali meneruskan perjalanannya. Arahnya segera mengikuti arah yang telah ditunjukkan oleh gurunya, yaitu ke arah Utara.
********************
Jaka tengah berjalan-jalan menikmati pagi yang cerah, manakala dari belakang sebuah anak panah berdesing hendak menyerangnya. Beruntung indra perasa Jaka bekerja dengan cepat, sehingga Jaka pun dengan segera mengelakkan serangan gelap itu.
"Edan! Manusia macam apa pula yang menghendaki nyawaku?" bergumam Jaka. "Woi... kalau kau manusia, tunjukkan cocormu yang bau kentut busuk!"
"Aku di sini, Anak muda!"
Bareng dengan suara itu, sesosok tubuh berkelebat menghadang langkah Jaka. Jaka tersenyum cengengesan, lalu dengan segera menjura hormat. Namun betapa gusarnya orang yang berdiri menghadangnya demi mendapat penghormatan Jaka. Betapa tidak! Jaka menjura hormat dengan keadaan berbalik, sehingga pantatnya yang nungging. Mulanya kemarahan lelaki setengah tua itu setengah, namun maka kala Jaka mengeluarkan gas beracunnya menjadi kemarahan lelaki itu penuh.
"Kurang asem! Anak muda tak tahu diri!" memaki marah lelaki itu.
"Eeh, kenapa situ marah-marah? Bukankah aku tadi menghormatimu?"
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan aku!"
"Hah, apa iya, sih? Aku rasa tadi aku bertingkah wajar."
Mendengar ucapan Jaka yang bagaikan orang tak waras, menjadikan lelaki setengah tua itu makin keki berat. Betapa tidak seumur-umur dia baru melihat anak muda yang ndablegnya tidak ketulungan. Dengan mata melotot marah, lelaki setengah tua itu membentak. "Siapa kau, Anak edan!"
"Wah, kenapa marah-marah? Kau siapa, Kek?" Jaka balik menanya.
Merah membara bagaikan lautan api wajah lelaki setengah tua itu dipanggil kakek, menjadikan giginya bergemeretuk menahan marah. "Wah, rupanya engkau sejenis herbipora ya, Kek."
"Kunyuk! Rupanya kau belum kenal aku hah!" kembali lelaki setengah tua itu membentak.
Namun Jaka yang dasarnya ndableg malah tertawa-tawa cekakakan, menjadikan lelaki setengah tua itu makin membludak marahnya. Maka tanpa banyak kata lagi, segera ia berteriak menyerang Jaka.
Diserang secara tiba-tiba, bukannya Jaka bingung. Malah dengan bercanda memperagakan monyet, Jaka bergerak menghindar. Lelaki setengah tua itu makin mendengus marah, demi melihat tingkah laku Jaka yang seakan mengejeknya. Dengan gusar, dicercanya Jaka dengan pukulan-pukulannya.
"Wah... kurang keras, Kek! Apakah karena kau sudah tua, sehingga tenagamu seperti bekicot...?"
"Slompret! Mampus kau...!" Dihantamnya Jaka dengan pukulan tenaga dalamnya, namun bagaikan seekor monyet yang lincah Jaka berkelit. Mulutnya sengaja dimonyongkan, menjadikan makin gedeg saja lelaki setengah tua itu.
"Aku lumatkan kau, Anak edan!"
"Tidak kena, Kek. Uh, kenapa mulutmu bau jengkol, Kek?" seru Jaka menggoda. "Bagaimana, kalau aku yang menggosok gigi-gigimu?" Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat hingga tak dapat dicegah lelaki setengah tua itu Jaka menyodokkan tangannya ke mulut.
Seketika meraunglah lelaki setengah tua itu, giginya hancur berantakan. "Aduuh... aduh...!" Lelaki setengah tua itu terus berguling-guling di atas tanah, menahan sakit yang tiada terkira di mulutnya.
Melihat hal itu Jaka seketika tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, dengan begitu kau tak akan bau jengkol lagi. Selamat tinggal, Kek. Semoga kau menemukan harimau." Dengan tanpa menghiraukan lelaki setengah tua itu, Jaka segera berkelebat pergi. Setelah beberapa saat Jaka berlalu, terdengar oleh lelaki setengah tua itu auman harimau.
"Auuummmm...!"
Bagaikan tak merasa sakit, lelaki setengah tua itu langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan seember cairan yang berbau jengkol. Jaka yang memang sengaja mempermainkan lelaki setengah tua itu, segera ke luar dari persembunyiannya. Digelengkan kepalanya manakala melihat air kencing lelaki setengah tua yang berbau minta ampun, berserakan. Setelah celingukkan sesaat, Jaka segera pergi meninggalkan harta warisan lelaki setengah tua itu yang berupa zat cair mengandung belerang berkadar tinggi.
Sepeninggalnya Jaka, tampak seorang pemuda berjalan melewati tempat itu. Pemuda yang tak lain Satria Wulung, seketika menutup hidungnya, manakala tercium olehnya bau yang menyesakan pernapasan.
"Bujur busyet! Bau apa ini?" bergumam Satria Wulung.
Maka tanpa memperdulikan bau yang menyesakan pernapasan, Satria Wulung segera melesat pergi menyusul pada orang yang menurut gurunya bernama Jaka. "Sepertinya pemuda itu yang digambarkan oleh guru," bergumam hati Satria. "Ciri-cirinya tepat. Hem, akan aku kejar dia."
Satria Wulung terus berlari memburu Jaka, sehingga ia harus mengeluarkan segala ilmu larinya untuk mengejar Jaka yang menggunakan ajian Angin Puyuh.
********************
LIMA
Tindakan Persekutuan Dewi makin berani. Yang tadinya bersembunyi-sembunyi, kini mereka makin berani menampakkan diri. Hal itu makin menjadikan kemarahan dua kerajaan yang selalu menjadi korban. Dua kerajaan yang tak lain Pesisir Putih dan Segara Wetan, mengirim pasukannya yang dipimpin oleh patih Ulung Randu Alasan. Kedua pasukan dari dua kekuatan telah berhadap-hadapan. Namun sejauh itu, pimpinan utama gerombolan Persekutuan Dewi belum juga menampakkan batang hidungnya. Peperangan pun meletus, tanpa menunggu kehadiran sang pemimpin.
"Serang...!" berseru Randu Alasan.
Seketika kedua ratus prajuritnya berserabutan, menyerang pasukan gerombolan Persekutuan Dewi. Diserang oleh para prajurit pilihan, menjadikan mereka dalam sekejap saja keteter. Apa lagi kedua orang pimpinannya tak juga menampakkan batang hidungnya.
"Serang terus...! Jangan biarkan hidup...!"
Bagaikan minyak disulut api, pasukan dua kerajaan itu terbakar semangatnya. Dengan gagah berani, kedua ratus pasukan pilihan itu terus merangsek musuh. Sebaliknya di pihak gerombolan Persekutuan Dewi, nampak tak ada semangat. Tengah mereka hampir keteter oleh serangan prajurit-prajurit kerajaan, seketika terdengar suara pimpinannya memberi komando.
"Jangan mundur. Serang...!"
Para prajurit gerombolan Persekutuan Dewi yang tadinya patah semangat kembali tumbuh semangatnya. Dengan membabi buta bagaikan tak kenal rasa takut, para prajurit gerombolan itu kini balik mendesak.
Tersentak Randu Alasan, manakala tahu siapa yang menjadi pimpinan gerombolan Persekutuan Dewi. "Kau...!"
"Ya. Aku, Randu Alasan. Dulu kau seperti membuka kedokku. Namun kini aku telah membuka kedok. Karena kau telah tahu siapa aku, maka kau harus mati saat ini juga. Terimalah kematianmu, Hiaat...!"
Tersentak Randu Alasan diserang begitu tiba-tiba. Beruntung Randu Alasan waspada. Dengan segera Randu Alasan berkelit dan balik menyerang. Kedua pimpinan itu segera terlibat dalam peperangan. Keduanya masing-masing memiliki andalan sendiri-sendiri. Walaupun begitu, tampak Randu Alasan jauh di bawah ilmunya bila dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Angelir sekarang.
Randu Alasan tersentak mendapatkan kenyataan bahwa musuhnya ternyata berada di atas jauh ilmunya. Namun sebagai seorang patih yang disegani, Randu Alasan tak mau begitu saja mengalah. Dicobanya untuk terus bertahan, demi memberi motifasi bagi prajuritnya. Namun perhitungannya ternyata meleset jauh. Sebab Angelir ternyata bukan orang berhati welas asih. Maka dengan menggunakan ajian Gugur Gunungnya yang terkenal dahsyat, Angelir secepat kilat menyerang Randu Alasan.
"Randu Alasan, Hari ini akhir hidupmu. Hiat...!"
Hampir saja tubuh Randu Alasan terhantam ajian Gugur Gunung yang dilontarkan oleh Angelir, kalau saja tidak segera datang seseorang yang langsung menyabet tubuhnya dan membawa pergi.
"Bedebah! Siapa kau!" membentak Angelir marah, merasa korbannya terlepas gara-gara orang yang berkelebat itu. Namun orang itu tak menanggapinya, malah dia nampak mempercepat larinya dan menghilang dari pandangan mata. Dengan kemarahan yang meluap-luap, Angelir terus memburu orang yang membawa tubuh Randu Alasan pergi.
"Berhenti! Atau kau akan mati di tanganku!" membentak Angelir.
Namun seperti tadi, orang itu tak menjawab. Bahkan makin dipercepat larinya. Ketika Angelir hendak terus mengejar, orang itu mengibaskan tangannya. Seketika ratusan jarum-jarum beracun berdesing ke arah Angelir.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus. Hiat...!" Segera Angelir menghantamkan ajian Bledek Rajah ke arah orang itu, namun dengan segera orang yang membopong tubuh Randu Alasan menghantamkan pukulannya membalas ajian Bledek Rajah.
"Duar...!"
Seketika terdengar ledakan, manakala dua pukulan itu beradu menjadi satu. Tubuh Angelir terjengkang tiga tombak, dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sementara orang yang membopong tubuh Randu Alasan, sepertinya tak mengalami apa-apa. Orang itu terus berlari membawa tubuh Randu pergi, tanpa menghiraukan Angelir yang hanya dapat memandang kepergiannya. Lelaki tua itu terus berlari dengan menggendong tubuh Randu Alasan pergi. Lelaki tua itu bagaikan tak membawa beban secuilpun, dia lari seperti kijang.
"Kek, apakah tidak cape? Aku bisa berlari sendiri, Kek," berkata Randu Alasan meminta diturunkan. Namun kakek tua itu seperti tak mendengar permintaan Randu, dia terus berlari dengan menggendong tubuhnya.
"Kek, apakah kakek tak cape!" berseru Randu Alasan yang menyangka lelaki tua penolongnya tuli. Namun betapa tersentaknya Randu Alasan, manakala lelaki tua itu membentaknya.
"Diam! Aku tidak tuli! Kalau aku turunkan kau, aku takut iblis itu mampu mengejarmu."
"Tapi dia sepertinya sudah tak mengejar, Kek?"
"Apa iya?" bertanya si kakek seperti linglung dan segera menghentikan langkahnya, berpaling ke belakang. "Oh ya, ternyata iblis itu tak memburu kita."
Dengan seenaknya, lelaki tua itu melemparkan tubuh Randu Alasan ke rerumputan. Hal itu menjadikan Randu Alasan tak mengerti dengan tingkah lakunya yang aneh itu.
"Siapa kakek sebenarnya?"
"Huh, dunia makin tambah gila," gumam kakek itu, sepertinya ia tak mendengar pertanyaan Randu. "Heh, siapa kau namanya?"
"Nama saya Randu Alasan, Kek."
"Ya, ya, ya.... Randu Plingasan "
"Bukan, Kek. Bukan Randu Pelingasan, tapi Randu Alasan."
"Ya, aku tahu." membentak si kakek, menjadikan Randu Alasan mengerutkan keningnya.
"Aneh, kakek ini," gumam hati Randu.
"Randu Alasan...." tiba-tiba kakek itu berseru memanggil nama Randu Alasan.
"Ya, Kek."
"Ayo bangun, jangan seperti anak kecil." bentaknya, demi melihat Randu Alasan nyengir menahan sakit. "Apa sekalian aku tendang?"
"Jangan, Kek," meminta Randu Alasan dengan ketakutan. Ia yakin, kalau kakek aneh ini selalu akan menjalankan apa yang menjadi omongannya. Maka dengan menahan sakit di pinggangnya. Randu Alasan segera bangkit dari duduknya. "Ada apa, Kek."
"Dengar baik-baik olehmu. Bila kau mau mengadakan penyerbuan, carilah olehmu pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg dengan seorang pendekar yang baru turun gunung."
"Kalau Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah saya kenal, Kek." jawab Randu Alasan, menjadikan si kakek tersenyum. "Tapi...?"
"Kenapa, Randu?"
"Tapi pendekar satunya saya belum kenal, Kek," jawab Randu yang menjadikan si kakek terkekeh-kekeh.
"Nanti juga kau akan mengenalnya." berkata si kakek. "Dia adalah muridku, bernama Satria Wulung. Dia sengaja aku turunkan ke dunia persilatan untuk menimba pengalaman pada Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, sekarang pergilah. Aku juga akan pergi kembali."
Dengan tanpa memperdulikan Randu Alasan yang hanya terbengong tak mengerti, si kakek yang tak lain Rake Pinuluh segera berkelebat pergi.
"Sungguh macam-macam saja penghuni dunia ini," gumam Randu Alasan demi melihat tingkah laku kakek tua itu. Dengan menggelengkan kepala, Randu Alasan pun berlalu menuju ke kerajaan kembali.
********************
"Apa...!" tersentak kaget kedua raja muda itu, demi mendengar laporan Randu Alasan. "Apa paman patih tak salah lihat?"
"Tidak, Tuan ku. Hamba tahu pasti siapa yang sebenarnya pimpinan Persekutuan Dewi. Gadis itu tak lain dari pada Angelir atau Dewi Bunga Mawar Kematian."
Terdiam kedua raja muda itu, dengan pikirannya masing-masing. Lalu setelah terdiam beberapa saat, Wulung Seta segera berkata kembali.
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita adakan penyerangan besar-besaran saja, Paman Patih?"
"Percuma, Tuan ku."
"Kenapa, Paman Patih?" bertanya Amurwa Sakti
"Dia bukanlah Angelir yang dulu. Ilmunya sungguh tak tertandingi." menjawab Randu Alasan. "Menurut orang tua yang telah menolong hamba, hanya Jaka Ndableg saja yang mampu mengalahkannya."
Kedua raja muda itu kembali manggut-manggut, mendengar penuturan patihnya. Sesaat keduanya saling pandang, sebelum akhirnya Wulung Seta berkata kembali.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda itu?"
"Demi ketentraman kerajaan, hamba akan mencarinya," jawab Randu Alasan. "Untuk itu, hamba sekarang juga mohon pamit untuk mencari pendekar Pedang Siluman."
"Ya, aku iringi dengan do'a," menjawab Wulung Seta.
Setelah terlebih dahulu menyembah, Randu Alasan segera meninggalkan dua raja muda kakak beradik itu. Kedua raja muda itu masih terlibat pembicaraan, ketika ibunda mereka datang menghampiri. Melihat ibundanya datang, serta merta keduanya segera menyembah.
"Ada apakah, Anakku? Sepertinya kalian mengalami kesulitan?"
"Ampun, Bunda. Memang hamba dan dinda Amurwa Sakti tengah dilanda kesusahan," jawab Wulung Seta.
"Benar, Bunda. Kami memang tengah menghadapi bencana," menambah Amurwa Sakti.
"Bencana apa itu, Anakku?" Sesaat kedua raja kakak beradik itu diam, saling pandang seperti hendak menyuruh satu sama lainnya berkata. Melihat kedua anaknya terdiam, Roro Kunti kembali bertanya. "Kenapa kalian diam, Anak-anakku?"
Mendapat desakan begitu, akhirnya Wulung Seta segera menceritakan apa yang telah dirinya hadapi. Roro Kunti yang mendengarkan seketika meneteskan air matanya, menjadikan kedua raja muda itu saling pandang dan bertanya.
"Kenapa, Bunda?"
"Ketahuilah oleh kalian. Bahwa Angelir adalah masih kakak kalian sendiri. Angelir adalah anakku dari Amuk Mungkur!"
"Jadi, Bunda?" tergagap Wulung Seta bertanya.
"Entahlah, Anakku. Mengapa Angelir harus menuruni tabiat ayahnya? Tidak seperti kalian yang baik, Angelir serakah. Bahkan menurut wangsit yang ibunda terima, salah seorang dari kalian akan menjadi korbannya."
Roro Kunti tak dapat menahan kepedihan hatinya, hingga Roro Kunti pun seketika terkulai lemas. Roro Kunti pingsan, menjadikan kedua anaknya tersentak. Dengan penuh kasih sayang, kedua anaknya segera membopong ibundanya menuju ke pembaringan.
Kedua raja muda itu tak dapat berkata-kata, setelah mendengar bahwa salah seorang di antara mereka akan menjadi korban kakak mereka sendiri dari keturunan Amuk Mungkur. Hati keduanya seketika diliputi beribu-ribu macam pertanyaan. Gundah-gulana, rasa was-was beraduk menjadi satu. Rasa takut pun seketika menjalar di hati keduanya. Menjadikan suasana di ruangan kamar ibundanya tercekam penuh kebisuan.
"Anak-anakku...." berseru Roro Kunti yang telah siuman.
"Ya, Bunda," menjawab keduanya, yang dengan segera berlari menghampiri ibundanya.
"Ketahuilah, Anakku. Semua wangsit itu akan tak ada guna, bila seorang pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg telah datang. Sebab hanya dialah yang mampu mengalahkannya."
"Kami sedang berusaha mencarinya, Bunda," menjawab Wulung Seta. "Kami telah mengutus paman patih Randu Alasan."
"Oh, Dewata Yang Agung, semoga Ki Patih akan segera menemukan Pendekar Jaka Ndableg itu," bergumam Roro Kunti, menjadikan kedua anaknya seketika membisu. Ada air bening menetes di pipi Wulung Seta dan Amurwa Sakti.
********************
ENAM
Angin dari gunung Slamet bertiup sepoi-sepoi, menjadikan hawa segar nan asri. Nelayan di pantai tampak tengah berjemur diri di atas perahu yang membawanya berlabuh untuk mencari nafkah hidup. Bocah-bocah kecil tampak berebutan mencari ikan lemparan, yang sengaja dilemparkan oleh para Nelayan yang baru pulang dari mayang.
Kesejukan angin yang berhembus dari gunung Slamet, serta ketenangan bocah-bocah itu bermain, seketika terpecahkan oleh datangnya dua orang penunggang kuda. Wajah dua orang penunggang kuda itu begitu menyeramkan, membuat anak-anak kecil itu ketakutan. Rumah-rumah penduduk seketika ditutup rapat-rapat.
"Hem, sepertinya mereka telah mengenali kita betul-betul, Kakang?" bertanya seorang dari keduanya yang menunggang kuda hitam.
"Benar, Adik Compal." jawab orang penunggang kuda putih yang badannya tampak lebih besar. Di pipinya segores luka yang telah mengering menjadikan tampangnya makin menakutkan.
"Apakah kita tidak mengisi perut dulu, Kakang?" tanya Compal kembali, mengajak pada temannya sembari menunjuk ke arah kedai yang tampak dari kejauhan. "Itu ada kedai."
"Ayolah." mengajak Condet.
Dengan segera, keduanya memacu kuda menuju ke kedai yang tampak tak jauh dari mereka. Selang tak begitu lama, keduanya pun sampai di kedai itu. Setelah menambatkan tali kudanya, segera kedua orang itu bergegas masuk. Semua pengunjung kedai seketika terdiam, manakala melihat Condet dan Compal memasuki kedai. Mereka sepertinya telah mengenal betul siapa adanya kedua orang itu.
"Bahaya..." berbisik seseorang pada temannya.
"Bahaya kenapa?" tanya temannya tak mengerti, juga berbisik.
"Apa kau tak tahu siapa mereka?"
"Siapa mereka?" kembali temannya yang belum mengerti bertanya.
"Mereka adalah gerombolan Persekutuan Dewi..."
Demi mendengar jawaban temannya, seketika pemuda satunya membelalakkan mata. Dan karena saking kagetnya, sampai-sampai pemuda itu menjerit. "Apa...! Jadi mereka gerombolan Persekutuan Dewi?"
"Sttt.... jangan keras-keras." berkata temannya memberitahukan.
Ketika keduanya baru saja hendak diam, tiba-tiba tubuh mereka seperti ada yang mengangkat dari kursi. "Apa yang tadi kalian bicarakan, hah!" membentak Condet sembari mengangkat tubuh kedua orang itu yang tampak gemetaran. "Rupanya kalian hendak menentang kami, hah!"
Tanpa banyak kata lagi. Condet segera lemparkan tubuh keduanya ke luar. Tubuh kedua pemuda itu seketika terpelanting ke luar dengan kencangnya dan jatuh ke tanah menimbulkan bunyi gedebug. Melihat perlakuan dua orang itu, seketika semua yang ada di kedai terbangun dari duduknya. Tanpa komando, serta merta semuanya menyerang Condet dan Compal.
Condet dan Compal tersentak melihat mereka berani melawan. Maka dengan terlebih dahulu menggeram, kedua anak buah Persekutuan Dewi itu segera memapaki pengeroyokan orang-orang tersebut. Tawuran pun terjadi dalam kedai itu. Walau dikeroyok oleh segitu banyaknya, tidak menjadikan kedua anak buah Persekutuan Dewi gentar. Mereka telah dididik keras oleh ketuanya yaitu Dewi Bunga Kematian, sehingga keduanya telah benar-benar menjadi orang yang pemberani juga nekad.
Keduanya bergerak dengan cepat, golok di tangan mereka bagaikan bermata. Golok itu berkelebat-kelebat, bagaikan malaikat saja layaknya. Setiap tebasan golok mereka, selalu ada jerit kematian menggema diikuti oleh ambruknya orang yang terkena. Darah berhamburan bagaikan air mancur, membasahi lantai kedai. Sia-sia mereka mengeroyok, sebab mereka bukanlah tandingan kedua anggota Persekutuan Dewi. Tubuh mereka bagaikan tak ada artinya sama sekali.
Namun begitu, para pengeroyok yang kebanyakan penduduk desa yang telah marah dengan tingkah laku keduanya seakan tak mau mengalah ataupun takut. Malah dengan sendirinya, penduduk yang melihat segera nimbrung mengeroyok.
"Rampok-rampok sialan! Kalian harus mati!" membentak salah seorang penduduk dengan nada kesal dan marah.
"Bukankah kalian ngomong terbalik? Kalianlah yang harus musnah!" balik membentak dengan sengitnya Compal. Kakinya bergerak cepat, menendang dan mendupak.
Salah seorang yang berhasil ditendang Compal, seketika tubuhnya melayang dan nyangkut di siku-siku tiang kedai. Orang itu menjerit-jerit minta tolong, namun semuanya seperti tak mendengar. Mereka disibukkan dengan pengeroyokan, mereka berambisi untuk segera menjatuhkan kedua anggota gerombolan Persekutuan Dewi. Pertempuran ini makin tambah seru, manakala tiga anggota gerombolan Persekutuan Dewi datang dan membantu dua temannya.
"Teman-teman, kalian aku bantu!"
"Ya, Rumajang cepat bantu kami!" beri seru Condet sementara kaki dan tangannya masih bergerak dengan cepatnya menghantam dan menendang.
Melihat korban banyak berjatuhan di dalam kedainya, menjadikan pemilik kedai gemetaran. Dengan histeris, pemilik kedai itu menjerit-jerit sendirian. "Hoi... berhenti. Atuh? Bagaimana ini? Siapa yang akan menggantikan semuanya?" menangis si pemilik kedai. "Aoh...!" Pemilik kedai itu tersentak dan terkencing-kencing, manakala di atas mejanya terlempar sesosok tubuh dengan mata melotot mati.
Mata orang yang mati itu, menjadikan pemilik kedai turut melototkan mata kaget. Keringat dingin mengguyur tubuhnya, demi melihat keadaan orang yang berada di atas mejanya. Di samping matanya melotot, perutnya terbuka lebar dengan usus terbuai ke luar. Pemilik kedai yang memang sudah panik, makin bertambah panik. Dengan menjerit-jerit histeris, pemilik kedai yang kebingungan hendak ke mana akhirnya kembali menangis.
"Wadauw...!" Kembali pemilik kedai itu menjerit, manakala sebuah tangan yang terpotong mencelat menimpa mukanya. Seketika muka pemilik kedai tertutup oleh berlumuran darah yang muncrat dari potongan tangan itu. Tampaklah kini muka pemilik kedai seperti hantu. Pemilik kedai itu kembali menangis meraung-raung, menyesali keadaan kedainya juga keadaan dirinya.
"Hu, hu, hu... mimpi apa aku tadi malam?" tanya pemilik kedai pada diri sendiri dengan mengusap darah yang membasahi mukanya. Tengah tangannya menutupi kedua mata, tiba-tiba ia kembali disentakkan oleh sesuatu. Ketika tangannya membuka dari mata, pemilik kedai seketika pingsan manakala sesosok tubuh yang keadaannya morat-marit telah memeluk tubuhnya. Saking takutnya, pemilik kedai hanya mengeluh.
"Ooh..." Pingsanlah si pemilik kedai, tubuhnya menggelosor ke lantai tertindih orang yang mati
"Hentikan!"
Terdengar seruan seseorang membahana, menjadikan semua yang telah terlibat pertempuran segera menghentikannya. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh berkelebat masuk ke dalam kedai. Pemuda itu tersenyum, namun matanya memandang sengit pada kelima orang yang berdiri dengan memegang golok di tangannya. Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg, telah menilai siapa adanya kelima orang bertampang menyeramkan itu.
"Kenapa kalian membuat kerusuhan di sini?"
"Huh, jangan ikut campur, Anak muda!" membentak Condet.
"Aku tak akan ikut campur kalau kalian bertempur di luar sana. Dan aku tak akan ikut campur kalau kalian orang baik-baik. Namun karena kalian orang-orang jahat, maka aku perlu ikut campur," menjawab Jaka dengan tenangnya.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja mencari persoalan, Anak muda!" kembali Condet membentak.
"Hem, sudah aku duga, kalau kalian memang orang-orang tak baik," gumam Jaka. "Aku minta, pergilah kalian dari sini. Ini bukan tempat berkelahi."
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi jagoan, Anak muda!"
"Terserah kalian. Yang pasti, aku tak suka dengan cara kalian yang telengas."
Menggeram kelima anak buah Persekutuan Dewi marah. Maka tanpa banyak kata lagi, kelimanya segera berbareng menyerang Jaka. Diserang begitu rupa dengan segera berkelebat ke luar kedai sembari berseru.
"Kalau kalian ingin bertarung, di luar sinilah yang pantas! Nah, keluarlah!"
"Sompret! Jangan kira kami takut!" Condet dan keempat temannya yang menyangka Jaka adalah pemuda biasa, segera mengikuti Jaka ke luar.
Maka ketika sampai di luar, Jaka telah memapaki mereka dengan hantaman. Tersentak kelimanya mendapat serangan yang begitu tiba-tiba. Kelimanya segera mengelak, dan dengan cepat membabatkan golok yang ada di tangan mereka.
"Kurang cepat, kawan. Apakah tak dapat kau bergerak cepat? Wow, rupanya perlu aku bantu, baik." habis berkata begitu, segera Jaka merentangkan kakinya. Dari rentangan kaki itu, Jaka segera kibaskan kaki kanan menendang kaki kiri dan kuda-kuda musuhnya. Seketika musuhnya terpelanting jatuh ke tanah.
"Nah, apa kataku. Bukankah kuda-kudamu lemah?"
"Bedebah! Rupanya kau hendak pamer kebolehan, Anak muda!"
Marahlah Condet, demi dilihat temannya dapat dengan mudah dipecundangi Jaka. Dibabatkan goloknya dengan cepat, namun Jaka yang sudah dapat mengukur ilmu silat musuhnya tampak tenang.
"Wow, rupanya kau suka membuat getuk, sehingga kau dalam membabatkan golokmu persis orang mengiris getuk," mengejek Jaka, yang mengakibatkan kemarahan Condet makin meluap-luap laksana kali Ciliwung dihujani membludak karena banyak sampah.
Pertarungan lima lawan satu terus berlangsung, membawa mereka untuk terus mengeluarkan tenaga. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, namun segitu jauhnya Jaka terus dapat mendikte gerakan-gerakan lawan. Orang-orang yang tadinya mengawatirkan keselamatan Jaka, seketika di bibir mereka terurai senyum. Mereka berteriak-teriak laksana suporter Indonesia yang sangat antusias, bahkan kadang-kadang suporter Indonesia melebihi batas maksimum, membakari tempat duduk stadion dan sering membuat kerusuhan lainnya.
"Adauw... kenapa kalian begitu ganasnya? Hampir saja kepalaku terbabat ole golok kalian."
"Jangan banyak bacot, Anak muda!" membentak Condet.
"Wah, galak nian kau, Mang?"
"Setan! Apa mulutmu itu perlu aku sunat!"
"Ladalah, Mang. Apa memang belum sunat?" ejek Jaka. "Kalau memang belum sunat, baiklah aku akan membantunya."
Setelah berkata begitu, Jaka dengan segera berkelebat cepat. Tahu-tahu, tangannya yang jahil telah mencengkeram milik Condel tanpa dapat dicegah. Seketika Condet menjerit, kala tangan Jaka meremas telur burung untanya. Terguling-guling Condet seketika menahan mules.
Melihat Condet sekarat, serta merta keempatnya segera menyerang Jaka. Kali ini keempatnya tampak beringas, sepertinya benar-benar ingin mengadu nyawa.
"Hem, rupanya kalian pun ingin merasakannya. Baik, aku akan memberi pada kalian semua. Nah, terimalah "
Kembali Jaka berkelebat cepat, tubuhnya melenting tinggi. Mana kala tubuhnya kembali ke bawah, kakinya tiba-tiba menginjak pundak salah seorang musuhnya. Karena tenaga dalam dikeluarkan oleh Jaka, ambleslah tubuh musuhnya masuk ke tanah. Terbelalak ketiga orang sisa musuhnya, bimbang untuk menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang memang konyol dan ndableg segera berkata mengejek:
"Heh, inikah tampang-tampang orang yang sering membuat keonaran? Tak tahunya hanya tampangnya saja yang batu, sedang jiwanya tak lebih dari combro."
Dikata dengan sebutan Conbro, marahlah Compal seketika. Hal itu menjadikan Jaka tersenyum-senyum senang karena pancingannya ternyata berhasil. Manakala Compal membabatkan goloknya, dengan segera Jaka melompat ke atas. Tak ayal lagi, leher temannya sendiri yang terkena babatan. Compal terbelalak kaget, namun belum juga ia hilang dari rasa kagetnya Jaka telah lebih dahulu mengamblaskan tubuhnya ke dalam tanah. Kini tinggal dua orang lagi yang masih hidup. Keduanya yang telah ciut nyali, segera jatuhkan diri bersimpuh meminta maaf.
"Aku tak berani mengampuni kalian. Yang berhak atas diri kalian adalah orang-orang kampung itu" jawab Jaka atas permintaan ampun keduanya. Lalu dengan tanpa menghiraukan semua yang masih terbelit dengan masalahnya, Jaka segera berkelebat pergi.
********************
TUJUH
Seorang lelaki bercaping lebar tengah menyusuri pesisir pantai Laut Kidul. Pakaiannya yang tampak lusuh menandakan bahwa dia telah begitu lama tak pernah ganti. Lelaki bercaping lebar itu sesaat berhenti dan duduk di atas sebuah batu. Matanya yang tajam, memandang lepas ke tengah lautan. Tampak olehnya perahu nelayan kecil-kecil, terhempas ombak yang besar.
"Itulah kehidupan. Siapa yang berani menanggung resiko, dia juga yang akan mendapatkan hasilnya." bergumam hati kecil lelaki bercaping itu.
"Pak, sedang apakah bapak duduk melamun sendiri?"
Tersentak laki-laki bercaping lebar itu, manakala terdengar seseorang menyapa. "Eh, ada apakah?" tanyanya bingung.
"Kenapa bapak melamun?"
"Aku, aku tengah memikirkan anakku yang telah tiga bulan ini berlayar, namun tak juga ada kabar beritanya." jawab lelaki bercaping lebar itu. "Aku kini sebatang kara, Nak."
Pemuda yang diajak ngomong seketika merasa iba demi mendengar penuturan lelaki bercaping itu. Mana kala cupingnya dibuka, tampaklah seraut wajah tua yang tak lain Randu Alasan yaitu patih dari kerajaan Pesisir Putih.
"Kalau memang demikian adanya, bagaimana jika bapak ikut dengan ku saja?"
"Apakah tidak merepotkan nantinya, Nak?"
"Ah, mengapa merepotkan? Tidak, Bapak." menjawab pemuda nelayan itu. "Bahkan aku senang bila bapak mau menemaniku."
"Terima kasih. Kau sungguh baik budi, Nak." berkata Randu Alasan. "Jarang anak muda yang berhati sepertimu. Siapakah namamu, Nak?"
"Namaku Wiryo." jawab anak muda nelayan. "Siapakah nama bapak?"
"Namaku Bangkit, Nak."
Setelah keduanya saling kenal, lalu keduanya segera berlalu meninggalkan pesisir menuju ke rumah Wiryo. Di sepanjang jalan keduanya bercerita tentang diri masing-masing. Randu Alasan yang tengah menyamar sebagai rakyat jelata, mengarang segala cerita yang dapat menutupi dirinya agar tidak dikenal oleh anak muda itu.
Angin malam berhembus dingin menyekat urat. Hujan turun rintik-rintik, diselingi oleh deru angin yang lebat dan pesat. Hingga menjadikan tarian jalang pohon-pohon yang terkena, berdesir-desir.
Randu Alasan yang tengah menyamar menjadi seorang rakyat jelata, malam itu tengah duduk sendirian. Sementara anak muda yang telah menganggap dirinya ayah, telah tertidur pulas karena capai. Mata Randu Alasan menyipit, memandang tak berkedip ke depan dengan tatapan kosong. Ingatannya pada kerajaannya, yang membawa Randu Alasan harus mengembara mencari Pendekar Pedang Siluman Darah. Bayang-bayang kekhawatiran kalau-kalau gerombolan Persekutuan Dewi menyerang tiba-tiba, menjadikannya tercekam.
"Ke mana aku harus mencari Pendekar Pedang Siluman?" keluh hati Randu. "Sungguh bagaikan mencari sebuah jarum di pasir, sama susahnya."
"Duar...!"
Dewa petir membahana, menyentakkan Randu dari lamunan. Tengah Randu merenung sendiri, terdengar olehnya seruan orang-orang warga kampung histeris. Randu tersigap kaget, seperti juga yang dialami Wiryo. Wiryo yang waktu itu tertidur, tersentak bangun dan menghampiri Randu.
"Bapak, rupanya ada kejadian."
"Kejadian? Kejadian apa...?" tanya Randu tak mengerti.
"Bapak di rumah saja, biarlah aku yang ke luar. Tampaknya gerombolan maling itu datang lagi," jawab Wiryo, yang seketika mengagetkan Randu.
"Gerombolan maling?" gumam Randu.
"Ya, gerombolan maling itu selalu membuat kekacauan," jawab Wiryo dengan keluh. "Kemarin saja membawa korban, tiga orang mati."
"Ah..." lenguh Randu Alasan. "Kenapa mesti keluar, Nak?"
"Sudah kewajiban, Bapak?"
Randu Alasan sangat kagum atas ucapan anak angkatnya itu. Betapa anak muda itu mengerti kewajiban, dirinya lebih mementingkan kewajiban daripada menuntut haknya. Saking kagumnya Randu pada anak muda itu, sampai-sampai Randu mendesah dalam hati.
"Sungguh patut dibanggakan anak muda ini. Kelak akan aku ambil menjadi prajurit kerajaan. Aku yakin, keberaniannya sangat besar, patut dijadikan suri tauladan prajurit lain."
Wiryo yang hatinya tak tenang demi mendengar jeritan-jeritan penduduk, seketika melompat ke luar, meninggalkan Randu Alasan yang hanya terbengong menyaksikan keberanian anak angkatnya.
"Aku harus mengawasi bocah itu," gumam Randu. Sepertinya ia tak ingin kalau Wiryo menjadi korban. Maka dengan segera, Randu Alasan berkelebat meninggalkan rumah memburu ke asal suara jeritan itu.
"Serahkan semua apa yang kalian miliki pada kami!" membentak pimpinan gerombolan garong itu, menjadikan semua penduduk menggigil ketakutan. Wajah garong-garong itu sungguh menakutkan, dengan cambang bawuk yang lebat menutupi muka-muka mereka.
"Benar, serahkan apa yang kalian miliki pada kami. Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian berteriak, kalau kalian tidak ingin seperti kedua orang itu. Mengerti!" hardik yang lainnya.
"Jangan mau! Jangan takut dengan ucapan sundelnya!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, yang menjadikan garong-garong itu tersentak memutar tubuh mereka menghadap pada orang yang berseru itu. Namun belum juga mereka sadar, seketika orang yang berseru telah menyerang mereka dengan tendangannya.
"Orang-orang macam kalian, harus minggat dari sini!" membentak pemuda yang tak lain Wiryo dengan sengitnya. Tangan dan kakinya bergerak menghantam dan menendang garong-garong itu.
"Kupret! Rupanya hanya seekor tikus yang mau unjuk gigi!" membentak marah kedua garong dengan sengitnya. "Serang...!"
Tak ayal lagi, kesepuluh garong itu segera berkelebat menyerang Wiryo. Melihat Wiryo dikeroyok, seluruh penduduk yang tadinya hanya diam ketakutan serta merta turut membantu. Tak ayal lagi tawuran masal itu pun segera berjalan dengan seru. Melihat Wiryo dikeroyok, hati Randu Alasan makin bertambah kagum melihatnya. Kepalanya digeleng-gelengkan pertanda rasa kagumnya. Matanya tak berkedip memandang pada tawuran itu.
"Jangan kita mau diperbudak oleh mereka!" Wiryo kembali berseru, membuat semangat keberanian penduduk kian menjadi,
"Bedebah! Rupanya kau cecunguk yang ingin menjadi pimpinan. Jangan menyesal menerima akibatnya nanti!"
Setelah berkata begitu, dengan garang ketua rampok membabatkan golok-goloknya. Setiap tebasan goloknya, mengundang pekik kematian bagi yang terkena. Walaupun begitu, rakyat yang memang tak mau diperas terus menerus tak mau menyerah begitu saja. Mereka bahkan makin mengganas, dan dengan senjata apa adanya berusaha membalas kesepuluh garong itu.
Wiryo yang tengah mengamuk bagaikan banteng ketaton tak menghiraukan apa yang tengah terjadi. Dia terus merangsek salah seorang anggota garong itu. Dengan segala kemampuannya, akhirnya Wiryo dapat menghantamkan pukulan telak di ulu hati musuh.
"Bug, bug, bug!"
"Heck...!"
Tubuh garong itu seketika terhuyung ke belakang, lalu ambruk dengan mulut melelehkan darah segar. Wiryo tersenyum sinis dan diludahinya tubuh anggota garong yang telah mati. Tengah Wiryo terhanyut dengan apa yang telah ia lakukan, seketika sebuah sabetan golok berkelebat ke arahnya. Wiryo tersentak dan berusaha menghindar, namun tebasan golok itu lebih cepat dan menghantam lengannya. Mata Wiryo membeliak, melihat lengannya terluka mengeluarkan darah.
Melihat Wiryo terluka dengan tubuh terhuyung, menjadikan musuhnya tampak makin beringas. Ketika untuk kedua kalinya si garong hendak menebaskan golok nya ke tubuh Wiryo, seketika sebuah bayangan berkelebat dengan cepat menangkis serangan itu. Pucat pasi wajah sang garong, merasakan betapa pukulan orang yang menangkisnya sungguh menjadikan tangannya bagai lumpuh hingga golok yang dipegangnya seketika jatuh ke tanah.
"Bapak...!" Wiryo yang tahu bahwa orang yang menolong bapak angkatnya berseru, seakan tak percaya bahwa orang yang kelihatan lemah mampu membuat si garong pucat pasi.
"Patih Randu Alasan...!" tersengat si garong, yang telah mengenal betul siapa adanya lelaki tua itu.
Hal itu menjadikan Wiryo terbelalak kaget, tak menyangka kalau orang yang menjadi bapak angkatnya ternyata seorang patih yang sudah kondang namanya. "Ah, mengapa aku bodoh, tak mau memahami yang mulia?" keluh Wiryo seakan menyesali kebodohannya. Randu Alasan hanya tersenyum menggelengkan kepala, sembari berkata datar:
"Sudahlah, Wiryo. Kini yang penting kita menghalau para cecunguk ini."
Rakyat yang mendengar bahwa lelaki tua penolong Wiryo adalah patih kerajaan, seketika keberaniannya makin bertambah. Tanpa ada rasa takut, rakyat kembali menyerang serentak. Hal itu menjadikan para garong keteter, tersentak kaget. Pertarungan terus berjalan, kini keadaan berbalik. Garong-garong itu sungguh merasa takut manakala di situ ada orang kerajaan yang sangat ditakuti.
Nama patih Randu Alasan ternyata jauh lebih terkenal dan ditakuti oleh para garong daripada nama raja mereka. Kehebatan patih Randu Alasan dalam menumpas segala tindak kejahatan, sungguh sangat membuat namanya kondang bagi musuh-musuhnya. Karena pikiran kesepuluh garong itu bercabang, serta dibayangi dengan perasaan takut membuat kesembilan garong itu tak tentu dalam bertindak. Hal itu sangat menguntungkan rakyat yang telah terbakar amarah, maka tak ayal lagi mereka seketika menjadi ajang kemarahan rakyat. Tubuh mereka berantakan dibacok-bacok dan direncah oleh rakyat. Matilah kesembilan garong itu dengan keadaan mengerikan.
********************
DELAPAN
Jaka yang tengah berjalan sambil bernyanyi-nyanyi segera menghentikan langkahnya, manakala terasa olehnya ada orang mengikutinya. "Hem, aku tak habis pikir, mengapa banyak benar musuh-musuhku?" keluh Jaka dalam hati.
Segera Jaka mempercepat larinya, menjadikan orang yang menguntit tersentak dan berusaha mengejar. Namun Jaka tampaknya telah berlari dengan kencang hingga orang itu kehilangan jejaknya.
"Sungguh kencang benar larinya. Apakah aku tak salah lihat?" Tengah orang itu bergumam, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari atas pohon yang ada di sebelahnya. Bersamaan itu sesosok tubuh berkelebat turun dan berdiri di hadapannya.
"Kenapa kau kebingungan, Ki Sanak?"
Orang itu tersentak melompat mundur, matanya memandang tak percaya pada Jaka yang tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Napas orang itu turun naik, sepertinya telah dilanda emosi yang memenuhi rongga-rongga dadanya.
"Ki Sanak mengejarku, ada apa?" tanya Jaka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?" tanya orang itu dengan sorot mata tak berkedip, memandang pada Jaka yang seketika mengerutkan alis matanya.
"Aneh, kenapa namaku begitu terkenal dan dicari-cari?" bergumam hati Jaka masgul.
"Benar adanya, ada gerangan apa Ki Sanak mencariku?"
"Kebetulan..."
Tersentak Jaka mendengar jawaban orang itu, yang dirasa sangat aneh. Mengapa orang yang baru saja bertemu mengatakan kebetulan? "Ah, sungguh dunia ini penuh dengan keanehan." mengeluh hati Jaka. Lalu dengan ketidakmengertian, Jaka bertanya. "Apa yang Ki Sanak maksud kebetulan? Adakah kita pernah saling memendam sengketa?"
"Benar! Memang aku mencarimu untuk menyelesaikan sengketa antara kita."
Untuk kesekian kalinya Jaka tersentak kaget. Matanya memandang tak berkedip, hatinya penuh tanda tanya. Belum juga Jaka mengerti, lelaki yang berdiri di hadapannya kembali berkata:
"Aku adalah kakak seperguruan Balong Sakti. Karena aku mendengar kau telah mampu menundukkan adik-adikku, aku menjadi tertarik untuk menjajal seberapa ilmu yang kau miliki sehingga kau mampu menundukkan ketiga adik-adikku."
"Aku rasa aku tak pernah menundukkan siapa-siapa, karena itu aku tak ingin mengurusinya lagi. Nah, aku minta pamit."
Ketika Jaka hendak kembali berkelebat, tibatiba lelaki yang mengaku kakak seperguruan Ki Cupir, Balong dan Lumajang berkelebat menghadangnya serta menyilangkan tongkatnya yang panjang terbuat dari kayu alami.
"Kenapa kau begitu sombongnya, Anak muda?" berkata lelaki itu dengan sengit. "Apakah kau tak mau memberikan pelajaran barang sedikit padaku?"
"Maaf, aku bukannya guru. Untuk itu, sekali lagi menyingkirlah."
"Setan! Kau meremehkan aku, Anak muda!" menggeretak marah lelaki di hadapan Jaka. "Jangan kira aku takut pada nama besarmu yang telah kondang itu. Ayo, kita buktikan!"
Tengah Jaka tersentak kaget mendengar tantangan dari lelaki yang menyebut dirinya kakak seperguruan ketiga orang yang telah dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara seruan seseorang memanggil namanya.
"Jaka...! Biarkan orang dungu itu aku yang menghadapinya!" Berbareng dengan hilangnya suara itu, berkelebat sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Jaka. Lelaki yang baru datang memandang tajam pada orang yang mengaku kakak seperguruan Ki Cupir.
"Paman patih, tak usahlah paman patih repot-repot," berkata Jaka yang telah tahu siapa adanya lelaki di hadapannya. "Adakah paman patih mempunyai keperluan?"
"Itu nanti kita bicarakan, yang penting kita bereskan orang sinting ini."
Mendengar ucapan Randu Alasan, marahlah seketika orang yang mengaku-aku sebagai kakak seperguruan Ki Cupir. Maka dengan amarah yang meluap-luap, lelaki itu membentak. "Siapa kau, Orang tua!"
"Aku...? Bukankah kau telah mendengar dari anak muda temanku ini?" balik bertanya Randu Alasan. "Siapa pula namamu, Ki Sanak?"
"Aku Ludra Lanang!" menjawab lelaki itu ketus, matanya tajam menghunjam pada Randu Alasan seakan sorotnya membersit rasa ketidaksenangan atas campur tangan Randu Alasan. "Kalau memang kau hendak ikut campur, baiklah mari kita mulai!"
Mendengar tantangan itu, Randu Alasan tersenyum. Sesaat ditatapnya Jaka yang juga tersenyum, lalu dengan tenang Randu Alasan berkata: "Ludra Lanang, kalau itu yang kau mau, ayolah." Setelah berkata, Randu Alasan segera berkelebat mencari tempat yang cukup lebar diikuti oleh Ludra Lumajang di belakangnya.
Jaka yang menyaksikan hal itu hanya geleng kepala, lalu Jaka pun segera berkelebat menuju ke tempat di mana mereka hendak mengadakan pertarungan.
"Di sini, Ludra. Bukankah di sini luas?"
"Apa maumu aku layani. Ayo kita mulai, mana senjatamu?"
"Aku tak membawa senjata. Ayolah aku tangan kosong."
"Sombong! Jangan lengah, Ki Patih!" Dengan didahului pekikkan, Ludra Lanang segera berkelebat menyerang. Tongkat di tangannya diputar-putar membentuk baling-baling, berdesing-desing bagaikan ribuan lebah.
Randu Alasan yang telah berpikir akan kehebatan tongkat di tangan Ludra Lumajang tercekam juga. Segera Randu Alasan membersit, lalu dikeluarkannya jurus Seribu Naga Menghalau Badai. Tubuh Randu Alasan berkelebat cepat, tangannya bagaikan berubah menjadi banyak. Tangan itu menyambar-nyambar dengan keras, menjadikan angin pukulannya bagaikan deru badai. Kedua tubuh mereka seperti hilang, berganti dengan warna-warna pakaian mereka. Jaka hanya mampu menggumam, tak dapat memikirkan apa yang terjadi.
"Sungguh mereka orang-orang berilmu tinggi. Sayang, Ludra Lanang mengikuti hawa emosinya."
"Jangan lengah, Ki Patih!" membentak Ludra Lanang. Tangan yang memegang tongkat bergerak cepat, menyodok ke perut Randu Alasan.
Randu Alasan tersentak manakala ujung tongkat itu hendak menyodok perutnya, segera Randu Alasan melompat mundur. Melihat musuhnya melompat mundur, Ludra Lanang yang merasa telah mampu membuat musuhnya melompat ketakutan oleh sodokan tongkatnya makin bernafsu. Kembali tongkat di tangannya bergerak cepat, menyodok ulu hati Randu Alasan. Randu Alasan yang baru saja berkelit, untuk kedua kalinya harus mengerahkan segenap tenaganya mengelak. Tubuh Randu Lanang bergerak cepat, menangkis serangan tongkat maut.
"Duk...!"
"Aah...!" Randu Alasan memekik, manakala tangannya beradu dengan tongkat ditangan Ludra Lanang. Wajah Randu Alasan seketika pucat, merasakan tangannya seperti remuk tulangnya. Randu Alasan yang tak ingin mendapat malu di hadapan pendekar Pedang Siluman Darah, membentak marah. Lalu dengan disertai bentakkan, Randu Alasan kembali menyerang. Tangannya menggenggam keris pusaka Rawe Jingga, membersit dengan dengus yang memburu.
Ludra Lanang tersentak membelalakkan mata, manakala melihat sinar yang memancar pada keris yang di pegang Randu Alasan. Dan ketika keris itu hendak menusuk ke lambungnya, serta merta Ludra Lanang menangkisnya dengan tongkat.
"Brak...!"
Tongkat di tangan Ludra Lanang seketika patah menjadi dua, terbabat oleh keris pusaka Rawe Jingga. Pucat pasi wajah Ludra melihat kenyataan itu, dan dengan segera Ludra Lanang melompat mundur maka kala untuk kedua kalinya Randu Alasan menusukkan kerisnya.
"Suiiitt...!"
Tersentak Jaka dan Randu Alasan, demi mendengar suitan yang dikeluarkan oleh Ludra Lumajang. Bareng dengan habisnya suitan itu, seketika berpuluh-puluh orang keluar dari semak-semak.
"Curang!" memberetak Jaka marah.
"Pengecut...!" tak kalah marahnya Randu Alasan.
Jaka segera melompat turun dari atas pohon dan menghantam dengan ajiannya pada orang-orang yang hendak mengeroyok Randu Alasan. Maka tak ayal lagi, orang-orang yang terkena hantamannya melengking dan mati dengan tubuh meleleh.
"Serang...!" Ludra Lanang kembali berseru.
Bagaikan tak mengenal takut, empat puluh anak buahnya seketika berkelebat menyerang dua orang musuhnya. Pertarungan tampak ramai, dengan pekikan-pekikan yang memecah hutan itu. Kembali Jaka yang mempunyai ide konyol berseru, manakala tombak di tangan musuhnya menyodok ke arahnya.
"Ampun...! Mengapa kau hendak menyate ku? Aku bukan kambing, Mas!" Habis berseru begitu, secepat kilat Jaka mengulurkan tangannya. "Maaf, aku pinjam tombak mu. Nah, begini caranya kalau hendak membuat sate." Tahu-tahu tanpa dapat diikuti gerakannya Jaka telah merebut tombak dari tangan musuhnya yang tadi hendak menusukkan tombak.
Belum juga sang musuh tersadar dari rasa kagetnya, tiba-tiba tombak yang berada di tangan Jaka bergerak cepat dan menusuk dari kepala tembus sampai ke pantat. Tak ayal lagi, memekik lah orang itu tubuhnya tersate. Melihat temannya tersate oleh tombaknya sendiri, seketika marahlah yang lain. Serentak semuanya segera menyerang Jaka, yang tersentak dan membentak marah.
"Kalian orang-orang tak mau diuntung! Hem, jangan menyesal kalau aku bertindak telengas. Nah, terimalah ini."
Habis berkata begitu, serta merta Jaka mengeluarkan ajiannya Bayu Sakti. Seketika semua musuhnya terpelanting, dibawa oleh angin topan puting beliung. Tubuh-tubuh mereka beterbangan dan ambruk dengan tulang-belulangnya bagaikan remuk. Mereka hanya dapat menggerung-gerung menangis kesakitan.
Melihat anak buahnya berantakan tersapu ajian Bayu Sakti, ciutlah hati Ludar Lanang. Tanpa pikir panjang, Ludra Lanang segera ambil langkah seribu tinggalkan kedua orang musuhnya yang hanya tersenyum.
"Jaka, kerajaan sangat menunggu kedatanganmu," berkata Randu Alasan setelah semua musuhnya lari berhamburan, membuat Jaka tersentak kaget dan bertanya:
"Ada gerangan apa, Ki Patih?"
"Kerajaan kini tengah dilanda oleh teror yang dilakukan Persekutuan Dewi. Apakah kau belum mendengarnya, Jaka?"
"Aku telah mendengarnya, Paman Patih. Namun aku belum sempat menyelidiki siapa adanya tokoh di balik semua ini." menjawab Jaka. "Kalau memang itu yang Paman Patih maksudkan, percayalah aku akan datang ke kerajaan pada waktunya."
"Ah, terima kasih aku ucapkan terlebih dahulu," berkata Randu Alasan. "Sekarang hendak ke manakah kau, Pendekar?"
Jaka mendesah sesaat, matanya memandang kosong ke muka. Keduanya segera berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Setelah lama terdiam, Jaka kembali berkata:
"Aku hendak mencari tokoh di balik semua kejadian yang kini melanda dunia, khususnya biang dari bangkitnya kerusuhan yang dulu telah menghilang. Aku rasa, ada orang yang telah membantu Angelir si Dewi Bunga Kematian."
"Aku pun berpikir begitu, Jaka. Tapi aku tak mengerti siapa tokoh itu?" bergumam Randu Alasan. Digeleng-gelengkan kepalanya seperti ada sesuatu yang berat menggayut dipikirannya.
"Baiklah, Paman Patih. Sekarang kau pulanglah dulu. Aku rasa, tenagamu sangat diperlukan di kerajaan."
"Baiklah, aku akan kembali. Aku tunggu kedatanganmu, Pendekar," menjawab Randu Alasan. "Nah, selamat tinggal dan selamat berjuang."
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, Randu Alasan segera berlalu meninggalkan Jaka yang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh aneh, kenapa Dewi Bunga kematian yang telah digegerkan menghilang tiga tahun yang lalu kini muncul lagi? Bahkan makin merajalela dengan ilmunya yang makin tinggi?" bergumam Jaka sendirian. Maka dengan segera, Jaka pun berkelebat pergi meninggalkan hutan itu yang kembali sepi dan sunyi. Angin siang mendesau berat, sepertinya merasakan keberatan derita yang telah ditanggung oleh dunia.
********************
SEMBILAN
Tubuh kakek tua itu berkelebat dengan cepat, berlari menuju hutan Barong di mana berdiam Rangga Bargawa. Lelaki tua yang tak lain Ki Rake Pinuluh, berhenti di depan goa yang dihuni Rangga Bargawa atau Banas Pati.
"Rangga Bargawa, keluar kau!" serunya.
Sesaat kemudian, dari dalam goa ke luar seorang lelaki sama tuanya menemui Rake Pinuluh. Lelaki tua itu bukannya berjalan, namun terbang. Dialah Rangga Bargawa atau Banas Pati. "Ada apa, Pinuluh?"
"Dasar orang tua tak tahu diri kau, Banas pati. Kenapa kau tak segera mau sadar?" berkata Rake Pinuluh. "Usiamu sudah bau tanah, mengapa kau masih saja gila?"
Mengerut kening Rangga Bargawa demi mendengar ucapan Rake Pinuluh. Lalu dengan tak mengerti maksud Rake Pinuluh, Rangga Bargawa bertanya. "Apa maksudmu, Pinuluh?"
"Bojreng-bojreng! Rupanya kau memang pikun! Untuk apa kau menyuruh Angelir berbuat edan?"
Tertawalah Rangga Bargawa setelah mendengar ucapan Rake Pinuluh, sehingga saking kerasnya ia tertawa tubuhnya sampai terguncang-guncang. "Itu hak ku, Pinuluh," jawab Bargawa seenaknya.
"Edan! Hal gila kau kerjakan. Apakah kau kira kau mampu menghadapi semuanya?" kembali Pinuluh berkata. "Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu kini telah tiada. Kenapa kau masih saja mengumbar dendam? Apakah kau tak memikirkan usiamu yang telah bau tanah itu, Bargawa?"
"Pinuluh.... Itu adalah hakku, sekali lagi itu semua hakku. Akulah yang akan menanggung semuanya. Jangan kau ikut campur."
"Hem, kau kira kau akan mampu," menyibir Pinuluh, menjadikan Bargawa marah.
"Bedebah! Kau rupanya telah bertaring sekarang, Pinuluh!"
"Huh.,. Apa yang perlu aku takuti dalam usiaku yang telah renta ini, Bargawa?" berkata Pinuluh ketus. "Kalaupun aku mati maka memang sepantasnyalah aku mati."
"Jadi kau memang ingin mati, Pinuluh?" menggeretak Bargawa marah, demi mendengar ucapan Pinuluh yang seperti mengejeknya. Dengan mendengus, Bargawa segera berkelebat menyerang.
Pinuluh yang sudah maklum siapa adanya Bargawa, maka ia pun telah waspada. Hingga ketika Bargawa menyerang, dengan segera Pinuluh berkelit. Tak ayal lagi, dua tokoh tua persilatan itu pun terlibat perkelahian. Walau usia mereka telah samasama tua, namun gerakan keduanya nampak begitu lincahnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, sepertinya tak dihiraukan oleh keduanya. Hampir enam puluh jurus berlalu, namun tampaknya kedua orang tua itu tak ada yang mau mengalah. Ajian-ajian yang mereka miliki telah diumbar, dengan harapan dapat segera menjatuhkan musuh. Walaupun begitu, ternyata ajian-ajian mereka tak ada artinya.
"Pinuluh, jangan harap kau akan mampu mengalahkanku."
"Aku tak bermaksud mengalahkanmu Bargawa," menjawab Pinuluh. "Aku hanya menghendaki kau sadar."
"Cih... Jangan berlagak seorang resi, Pinuluh!" membentak Bargawa dengan penuh kemarahan. Dilipatgandakan tenaga dalamnya, menyerang Pinuluh.
Pinuluh tak mau tinggal diam, dia pun segera melipatgandakan serangannya. Perkelahian makin seru, sepertinya kedua orang itu tak akan segera menghentikan pertarungan.
********************
Sementara di tempat lain, yaitu di kerajaan gerombolan Persekutuan Dewi, Angelir tengah memanggil seluruh prajuritnya untuk mengadakan pertemuan. Angelir atas saran Loro Ireng, bermaksud mengadakan penyerangan ke Kerajaan Pesisir Putih.
"Para prajuritku. Malam nanti, kita akan mengadakan penyerbuan yang besar. Siapkan diri kalian, sebab yang akan kita serbu adalah sebuah kerajaan," berkata Angelir.
"Daulat, Sri Ratu. Kami telah siap,!" menjawab semua prajurit.
"Bagus! Nanti malam, akulah yang akan memimpin kalian menyerbu ke Kerajaan Pesisir Putih."
Sesaat Angelir terdiam, hatinya seketika menjerit. Rasa sedih dan cinta, beraduk menjadi satu. Sedih dan dendam karena ayahandanya dibunuh oleh orang yang dicintainya. Tanpa terasa, Angelir seketika menangis. Hal itu menjadikan semua terdiam tak ada yang berani berkata-kata, apalagi bertanya.
"Ada apa gerangan, Angelir?" Loro Ireng yang baru saja datang, seketika mengajukan pertanyaan demi melihat Angelir menangis. "Angelir, tak baik kau selalu mengenang masa silam. Bukankah kita ingin menjadikan diri kita kokoh?"
Tersenyum Angelir mendengar penuturan kerabatnya. Dengan segera Angelir menyeka air mata. Ditatapnya Loro Ireng, lalu dengan tersenyum Angelir mengangguk. Loro Ireng tersenyum melihat Angelir telah dapat menguasai diri. Memang Loro Irenglah yang selalu mendorongnya untuk tetap tegar, tidak rapuh.
"Apa kita jadi mengadakan penyerangan nanti malam?"
"Jadi, Loro," jawab Angelir pendek.
"Bagus, Angelir. Semoga dengan penyerbuan ini, semua orang-orang persilatan akan membuka mata."
"Benar ucapanmu, Loro. Semua mata orangorang persilatan, akan membuka mata dan melihat siapa kita, hi, hi, hi...!"
Kedua gadis itu tertawa bergelak-gelak, menjadikan ruangan itu seketika bagaikan terpecah. Semua anak buahnya hanya mampu terbengong, tak ada yang berani berkata apapun. Namun ketika pimpinan mereka berkelebat pergi, mereka pun tertawa bergelak.
********************
Tengah Angelir duduk merenung seorang diri, tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat di hadapannya. Tersentak Angelir seketika itu, lalu dengan segera Angelir berlari mengejar.
"Berhenti...!"
Tapi bagaikan tak mendengar seruan Angelir, lelaki itu terus berlari. Hal itu menjadikan Angelir yang penasaran terus mengejar. Dengan menggunakan ilmu larinya, Angelir melesat dengan cepat dan tahu-tahu telah berdiri menghadang.
"Berhenti!"
"Siapa kau? Kenapa kau menghadang langkahku?" tanya pemuda yang merasa di-hadang oleh Angelir.
"Apakah kau tak merasa telah memasuki daerah ku, Pemuda tampan?" bertanya Angelir dengan genit. Hatinya begitu terpana oleh wajah pemuda itu. "Siapakah namamu. Pemuda tampan?"
"Apa perlumu menanyakan namaku."
"Apakah aku tak boleh mengenal namamu?" Angelir yang cantik segera merayu, menjadikan hati pemuda itu bergema bagaikan gong dipukul dengan kencangnya. Hatinya seketika bergetar, melantunkan tembang kasmaran.
Pemuda itu terdiam membisu, hanya matanya saja yang memandang tak berkedip. Melihat pemuda tampan itu terdiam, Angelir yang merasa jeratnya telah mengena segera menghampiri. Disenderkan kepalanya pada pundak pemuda itu, yang seketika gemetaran dengan badan terasa panas dingin. Pemuda itu baru saja turun gunung, hingga ia tak mengerti liku-liku sesungguhnya dunia ramai.
"Kau mau denganku?" tanya Angelir manja, menjadikan pemuda itu makin gemetaran. Tak disadarinya, keringat dingin mengalir deras. "Kau suka padaku?"
"Kau tak bercanda, Nona?" pemuda itu balik bertanya.
"Kenapa aku mesti bercanda? Kau tampan, aku suka." Angelir terus merayu, menjadikan pemuda itu akhirnya jatuh.
Di hati pemuda itu, tumbuh bayanganbayangan keindahan. Khayalnya yang ngeres seketika menyelimuti pikirannya. Dengan gemetaran, tangan pemuda itu membelai rambut Angelir. Angelir hanya tersenyum, sepertinya senang. "Benarkah kau suka padaku, Nona?" tanya pemuda itu seakan hendak memastikan ucapan Angelir.
"Benar! Aku menyukaimu, Pemuda tampan!" kata Angelir, diikuti dengan kerling mata genit. "Siapa namamu?"
"Namaku Jaga Bayu."
"Nama yang indah, setampan pemiliknya." bergumam Angelir sepertinya mengagumi Jaga Bayu. "Namaku, Dewi Angelir. Jaga Bayu, maukah kau menjadi pendamping ku?"
Tersentak Jaga Bayu demi mendengar permintaan Angelir. Matanya seketika memandang Angelir tak percaya. Melihat hal itu, Angelir tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Kau tak bercanda, Angelir?"
"Tidak, aku tak bercanda." menjawab Angelir, lalu dengan tak disangka oleh Jaga Bayu, Angelir telah menciumnya. Jaga Bayu tersentak, namun seketika tersenyum. Dengan agak gemetaran, Jaga Bayu membalas mencium bibir Angelir.
********************
Pertarungan antara Rangga Bargawa dengan Rake Pinuluh, masih terus berlangsung. Sudah ratusan jurus mereka keluarkan, namun sepertinya mereka tak akan bakalan ada yang menang ataupun kalah. Rake Pinuluh kini mengambil senjata pusakanya, yang berupa sebuah tasbih bernama Tasbih Kematian. Sementara Rangga Bargawa, kini telah mengeluarkan senjata andalannya yang bernama Siwur Maut.
"Waspada Pinuluh, jangan sampai lengah!"
"Sedari mula aku telah waspada, Bargawa!" menjawab Pinuluh. "Ayolah, apa-apa mu aku ladeni."
"Terima seranganku ini. Hiat...!"
Dengan cepat, Rangga Bargawa segera berkelebat menyerang. Siwur Mautnya bergerak membabat, mematuk tubuh Pinuluh. Namun Pinuluh bukanlah tokoh persilatan kelas kroco yang dengan mudah dapat dijatuhkan. Pinuluh dengan senjatanya Tasbih Kematian, berkelebat sesekali membalas menyerang.
Melihat hal itu, Bargawa yang memang licik penuh siasat tak mau melihat Pinuluh menang atas dirinya. Maka dengan segala kelicikannya, Bargawa berusaha menjatuhkannya. Ketika Pinuluh lengah, Bargawa secepat kilat menghantamkan Siwur Mautnya. Pinuluh tersentak dan berusaha menghindar, tapi gerakannya begitu lambat. Siwur Maut di tangan Bargawa, seketika menghantamnya. Pinuluh terhuyung-huyung ke belakang dengan darah meleleh di sela-sela bibirnya. Matanya memandang tajam pada Bargawa, mulutnya mendesis marah,
"Licik kau, Bargawa!"
"Tak ada istilah licik atau tidak pada perkelahian, Pinuluh? Bagiku, licik atau tidak yang pasti aku harus dapat mengalahkanmu."
"Jangan bangga dulu, Bargawa. Aku belum kalah," mendengus marah Pinuluh. Lalu dengan segera, Pinuluh kembali berkelebat menyerang.
Bargawa tertawa bergelak, menghindari serangan Pinuluh. Kembali Siwur Mautnya berkelebat cepat, dan untuk kedua kalinya menghantam tubuh Pinuluh. Kembali Pinuluh terhuyung mundur, Makin banyak darah yang ke luar dari sela-sela bibirnya. Matanya yang tadinya garang, kini redup.
"Apakah aku akan mati sekarang?" bergumam hati Pinuluh. Tangannya terus memegangi dada yang terasa sakit, menjadikan Pinuluh tak dapat lagi mengendalikan keseimbangan tubuhnya.
Melihat musuhnya dalam keadaan luka dalam, Bargawa tak mau membiarkan begitu saja. Dengan didahului gelak tawa, Bargawa hendak menghantamkan Siwur Mautnya ketika terdengar suitan yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok bayangan menghantam Siwur Maut.
Tersentak Bargawa melompat mundur, ketika dirasakan Siwur Mautnya ada yang menghantam. Betapa gusarnya hati Bargawa, ketika dilihat Siwur Mautnya hancur berantakan. Mata Bargawa seketika memandang pada siapa yang telah membuat Siwur Mautnya hancur.
"Siapa kau, Anak muda?!" membentak Bargawa marah.
Belum juga pemuda itu menjawab pertanyaan Bargawa, Pinuluh yang masih memegang dadanya yang terasa sakit telah mendahului menjawab. "Dialah murid Ki Bayong, Bargawa."
"Hua, ha, ha.... Kebetulan! Gurunya telah tak ada, maka muridnyalah yang harus menerima pembalasanku. Gurumu telah membuat aku begini, maka kau pun akan menerima ganjarannya atas perbuatan gurumu."
"Ha, ha, ha Lucu, sungguh lucu. Apakah kau ini orang waras, atau orang gila?" berkata Jaka, menjadikan Bargawa melotot kaget. "Orang bangkotan! Seharusnya kau bersyukur kalau guru tidak sampai meremas tulang-tulangmu yang seperti besi karatan itu. Eh, kenapa kau masih juga nekad?"
"Kunyuk! Lancang mulutmu, Anak muda!"
"Wah, aku rasa aku tidak lancang. Aku mengira kau orang dungu yang melebihi kerbau. Otakmu tak kau pakai." menjawab Jaka, menjadikan Bargawa makin bertambah sewot.
"Edan! Rupanya kau mencari mampus, Anak muda!"
Mendengar ucapan Bargawa, seketika meledaklah tawa Jaka bergelak-gelak. Tawanya yang disertai ajian Pekik Buana, menjadikan telinga Bargawa bagaikan dipukul oleh ribuan kati. Mau tak mau, Bargawa harus menggerakkan tenaga dalam untuk menutup gendang telinganya. Begitu juga Rake Pinuluh, ia pun harus mengeluarkan tenaga mencegah suara tawa Jaka.
"Bargawa! Aku kira namamu yang berjuluk Banas Pati itu menyeramkan. Eh, tak tahunya seperti seekor cacing, ha, ha, ha..."
"Bedebah! Jangan kau kira aku tak dapat melumatkan dirimu, Anak muda!" menggeretak marah Bargawa, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya mengejek.
"Wau.... Rupanya kau pembuat kue Talam, sehingga ucapanmu selalu seperti tepung terigu," Jaka makin konyol berkata, membuat Rangga Bargawa gedeg.
"Monyet! Terimalah kematianmu...." Habis berkata begitu, Bargawa segera merapalkan ajian Betari Durga. Seketika tubuhnya berubah menjadi raksasa.
Namun Jaka yang melihat bentuk raksasa itu, malah tertawa bergelak-gelak menjadikan Pinuluh mengerutkan keningnya. "Kenapa kau tertawa, Anak muda? Bukankah itu sungguh bahaya?"
"Tenanglah, Ki. Jangan gentar menghadapi ini. Percayalah padaku."
Setelah memberi saran pada Ki Pinuluh, Jaka dengan segera merapalkan ajian warisan Ki Bayong. Sesaat Jaka duduk bersila, dan dari mulutnya ke luar ucapan mantra. "Buto Dewa Wisnu...!"
Perlahan tubuh Jaka berubah menjadi buto yang menyeramkan, bernama Buto Dewa Wisnu. "Kau lucu Bargawa. Kenapa kau menjadi Betari Durga, hua... ha... ha!" Buto Dewa Wisnu tertawa bergelak-gelak, menjadikan gema yang berturut-turut memecahkan bukit-bukit.
Tanpa banyak kata, Betari Durga segera berkelebat menyerang Dewa Wisnu. Pertempuran dua raksasa Dewa itu tak dapat dihindarkan. Setiap sabetan atau tendangan kedua raksasa itu, menjadikan bumi seakan diguncang. Senjata keduanya bukan senjata biasa, tapi bukit-bukit batu yang dicabut dari tempatnya.
Ki Pinuluh yang tidak menyangka bahwa keduanya mempunyai ajian yang sama, tercekam ketakutan. Hatinya yang dicekam rasa takut bergumam: "Sungguh dahsyat ajian mereka. Kalau saja Bargawa tadi menghendaki kematianku, niscaya aku dengan mudah dilumatnya. Beruntung Pendekar Pedang Siluman Darah datang. Kalau tidak, aku tak dapat membayangkan."
Kedua raksasa itu masih seru bertempur dengan segala ajian yang mereka miliki. Ketika kedua raksasa itu tengah seru-serunya bertempur, seseorang lelaki berlari menuju ke arahnya. Pemuda itu yang tak lain Satria Wulung segera bergegas menghampiri gurunya.
"Guru, kau seperti terluka."
"Ah, hanya luka kecil, Muridku," menjawab Pinuluh. "Sekarang lihatlah olehmu dua raksasa yang tengah bertempur itu."
Satria Wulung seketika menengok, memandang pada kedua raksasa yang tengah bertarung itu. "Kenapa dua raksasa itu bertempur, Guru?"
"Kau tahu siapa di antara mereka?" tanya Pinuluh pada muridnya yang hanya menggeleng. "Ketahuilah olehmu, salah satu raksasa itu adalah penjelmaan pendekar Pedang Siluman Darah."
Terbelalak mata Satria Wulung, demi mendengar perkataan gurunya. Matanya seketika menatap tajam pada pertarungan dua raksasa yang masih berlangsung, tiba-tiba Satria Wulung berseru. "Lihat, Guru. Raksasa lelaki itu tiba-tiba memegang pedang. Pedang itu.... Heh, pedang itu mengeluarkan darah, Guru? Dari mana pedang itu datang?"
"Itulah Pedang Siluman Darah, Muridku." menjawab Pinuluh, menerangkan. "Pedang itu akan datang sendiri, bila pendekar muda itu membutuhkannya."
Tengah kedua guru dan murid tercengang tak mengerti, terdengar salah seorang raksasa itu memekik. Pekikkannya begitu membahana. Habis pekikkan itu, terdengar bergedebugnya tubuh raksasa Batari Durga terbelah menjadi dua oleh Pedang Siluman Darah.
Setelah dirasa musuhnya telah mati, Jaka kembali ke bentuk semula. Sedang Pedang Siluman Darah, secara tiba-tiba lenyap dari genggaman tangan Jaka. Kedua guru dan murid segera memburu ke arah Jaka, yang tersenyum menyambut kedatangan mereka.
"Tuan pendekar, terimalah hormat. hamba," berkata Satria Wulung, menjadikan Jaka seketika mengernyitkan keningnya.
"Siapakah kau, Anak muda?" tanya Jaka.
"Dia muridku, Tuan. Dia ingin meminta petunjuk darimu," menjawab Pinuluh, menjadikan Jaka manggut-manggut mengerti. "Terimalah dia sebagai abdimu, Tuan pendekar."
"Ah, Ki. Aku bukanlah tuan tanah. Aku tak mau menganggap semua mahluk di muka bumi ini abdi. Aku rasa, semua manusia itu sama derajatnya." menjawab Jaka, menjadikan Pinuluh manggut-manggut. "Kalau memang muridmu ingin ikut denganku, aku tak keberatan. Asalkan dia mampu mengikutiku ke mana aku pergi. Bukan begitu, Ki?"
"Benar Tuan pendekar," menjawab Ki Pinuluh. "Nah, Muridku. Kini kau akan dapat pelajaran tambahan yang sangat berguna dari tuan pendekar Pedang Siluman Darah."
"Terima kasih, Tuan pendekar," berkata Satria Wulung seraya menjura hormat.
"Ah, tindak-tandukmu sungguh santun. Siapa namamu?"
"Nama hamba, Satria Wulung," menjawab Satria.
"Satria, aku akan mengujimu sampai seberapa ilmu dan keteguhan hatimu."
Terbelalak mata Pinuluh dan muridnya, demi mendengar ucapan Jaka. Mereka mengira kalau Jaka akan menguji Satria dengan ilmu yang dimiliki. Memang bukan tak mungkin kalau Jaka bertindak begitu. Jaka terkenal ndableg, suka bertindak yang di luar pikiran orang lain. Namun kedua guru dan murid seketika tersenyum, manakala mendengar penuturan Jaka.
"Kalian jangan salah duga. Memang tingkah laku ku sering tak terpikir oleh orang lain. Tapi muridmu bukan hendak aku uji dengan ilmu yang aku miliki. Aku hendak membawanya untuk menghadapi kakak seperguruannya yang telah bertindak telengas," berkata Jaka menerangkan. "Apakah Ki Pinuluh tak mendengar bahwa salah seorang muridmu telah mengabdi pada Dewi Bunga Kematian?"
"Apa...?" terbelalak mata Ki Pinuluh dan Satria, mendengar ucapan Jaka. "Apakah tuan pendekar tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Ki. Maka itu, aku meminta ijin mu untuk mengadu kedua muridmu." Jaka menerangkan. "Kalau memang harus ada salah seorang muridmu yang mati, aku rasa itu karena kesalahannya sendiri. Bagaimana, Ki?"
"Aku serahkan semuanya padamu, Tuan pendekar."
"Terima kasih, Ki?" menjawab Jaka. "Ayo, Satria...!"
Setelah Satria Wulung menjura sesaat pada gurunya, segera Jaka membawanya berlari pergi. Satria begitu tersentak, manakala Jaka lari bagaikan angin saja.
********************
SEPULUH
Kerajaan Pesisir Putih malam itu tengah dilanda pemberontakan yang dipimpin oleh Dewi Bunga Kematian. Peperangan antar prajurit gerombolan Persekutuan Dewi dengan prajurit-prajurit dua kerajaan terus berlangsung.
Melihat anak buahnya terdesak oleh pasukan kerajaan, Dewi Bunga Kematian nampak begitu marah. Seketika ia berkelebat, menyerang musuh-musuhnya. Ajian Gugur Gunung diumbar dengan membabi buta, menjadikan pekik-pekik kematian bagi yang terkena.
"Wulung Seta, keluar kau!" berseru Angelir.
Wulung Seta yang ada di dalam, seketika melompat ke luar. Hal itu menjadikan gelak tawa Dewi Bunga Kematian. Lalu dengan senyum sinis, si Dewi tersenyum dan berkata:
"Wulung Seta, apa kabarmu? Rupanya kita dipertemukan lagi. Sayang, pertemuan ini bukan pertemuan seperti tiga tahun yang lalu. Kini akulah musuhmu, ha, ha, ha...!"
"Sudah aku duga, kalau kau akhirnya datang juga. Kau harus membayar mahal atas segala perbuatanmu, Angelir!" membentak Wulung Seta geram. Dicabutnya keris pusaka Ronggeng Kelana, yang memancarkan sinar aneh kekuningan. Dengan disertai pekikkan, Wulung Seta yang sudah dilanda amarah segera melompat menyerang.
"Kau tak akan mampu mengalahkan aku, Wulung," berkata Angelir atau Dewi Bunga Kematian mengejek, menjadi Wulung Seta mendengus marah. Tanpa memperdulikan omongan Dewi Bunga Kematian, Wulung Seta terus mencerca dengan keris pusakanya.
Pertarungan dua orang bekas kekasih itu begitu seru. Masing-masing memiliki kepandaian tersendiri. Namun dilihat dari pertarungan itu, jelas Wulung Seta jauh berada di bawah Dewi Bunga Kematian. Walaupun Wulung Seta memegang senjata pusaka, namun menghadapi Dewi Bunga Kematian yang kini mewarisi ilmu-ilmu Rangga Bargawa atau Banas Pati tak ada artinya. Bahkan seringkali Wulung Seta dibuat mati langkah.
Dewi Bunga Kematian yang dendamnya menggebu, sepertinya tak mau membiarkan musuhnya lama hidup. Maka dengan segera, dirapalkan ajian Gugur Gunungnya. Dikiblatkan ajian tersebut ke arah Wulung Seta. Wulung Seta tersentak dan melompat mundur, namun Dewi Bunga Kematian telah terlebih dahulu menghantamkan ajian tersebut. Ketika ajian Gugur Gunung hendak menghantam tubuh Wulung Seta, seketika berkelebat seseorang menghadangnya. Orang itu seketika menjerit, ambruk jatuh ke tanah.
"Bunda...!" memekik Wulung Seta, manakala tahu siapa orang yang terkena hantaman ajian Gugur Gunung. Wulung Seta segera memburu ke arah tubuh wanita tua itu, yang meringis menahan sakit.
Bukan hanya Wulung Seta yang tersentak tapi Angelir yang tahu siapa wanita tua itu pun memekik tertahan. "Ibu...!"
Tapi bagaikan patung, Angelir hanya mampu berdiri memandang ke arah dua anak dan ibu yang sedang bertangisan.
"Anakku, Angelir. Kenapa kau terdiam, Nak?" terbata-bata Roro Kunti berkata, menjadikan Angelir seketika meneteskan air mata. Angelir hanya mampu menangis, tak dapat berkata apa-apa.
Setelah menangis, bagaikan orang kesurupan Angelir mengamuk membabi buta. Dari mulutnya terdengar erangan dan desisan, bareng dengan pukulan-pukulannya yang sangat membahayakan. Kekesalan dan kecewa beraduk menjadi satu, menjadikan Angelir tak dapat lagi mengontrol dirinya. Ketika kemarahannya telah memuncak, tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi besar. Ajian Betari Durga telah ia rapalkan. Bagaikan tak mengenal rasa kasihan, Betari Durga mengamuk. Setiap sergapan tangannya, sepuluh orang dapat ditangkap. Lalu dengan kasar tanpa belas kasih, diremasnya tubuh kesepuluh orang tersebut.
"Jagat Dewa Batara, mengapa ia sampai memiliki ilmu ganas itu?" mengeluh Wulung Seta tertahan. Dari matanya masih meleleh tangis.
"Hati-hati, Anakku. Jangan kau lengah, sebab dia memang bermaksud membunuhmu yang telah mengecewakannya."
"Baik, Bunda." menjawab Wulung Seta. "Prajurit, antar Bunda ke kamarnya!"
Setelah kepergian ibundanya, dengan gagah berani Wulung Seta segera berkelebat membantu para prajuritnya yang terkoyak oleh serangan Betari Durga. "Angelir! Kau adalah anak tak tahu diri. Kau telah melukai ibumu sendiri. Apakah kau tak sadar!" berseru Wulung Seta seraya berkelebat menyerang.
"Wulung Seta. Kaulah yang membuat segalanya. Kau harus mati di tanganku!"
Tengah Betari Durga mengamuk, yang menjadikan banyak korban berjatuhan. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menghadangnya. Bayangan itu datang tepat pada waktunya, manakala tangan Buto Betari Durga hendak mencengkeram Wulung Seta. Betari Durga seketika melompat mundur, demi dirasakannya ada seseorang yang telah menyerang. Tangannya terasa sakit manakala beradu dengan tangan orang itu.
Mata Betari Durga melotot, manakala melihat orang muda telah berdiri menghadang di depannya. Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg, tersenyum sinis ke arahnya. Sementara itu, Jaka tampak tengah tertawa bergelak-gelak manakala melihat Betari Durga menggeram marah. Dengan meninggalkan gelak tawa, Jaka berkata:
"Dewi Mawar Kematian. Dulu nyawamu aku ampuni, tapi kini aku tak akan mengampunimu lagi."
"Siapa kau, Anak muda?! Berani kau berkata lancang padaku!"
"Akulah orang yang kau cari. Akulah murid Ki Bayong, musuh paman gurumu. Aku Jaka Ndableg, atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Loro Ireng yang mendengar ucapan Jaka, nampak tersentak. Tak dinyana, kalau ia akan menemukan pendekar yang telah menawan hatinya di tempat ini. "Jaka " mendesis Loro Ireng, menjadikan Jaka seketika memalingkan muka.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Betari Durga, yang dengan cepat menghantamkan tangannya. Melihat hal itu, Loro Ireng segera berkelebat memapakinya. Seketika itu, Loro Ireng memekik ambruk. Tubuhnya bagaikan terhantam gada jutaan kati.
"Loro Ireng, kau,..!" membentak marah Angelir. "Kenapa kau menghalangi pemuda itu."
"Aku mencintainya, Angelir."
"Bedebah! Kau berani menentang ku, Loro!" menggeram Angelir marah.
"Maafkan aku, Angelir. Apapun akan aku lakukan demi dia."
Jaka yang mendengar ucapan Loro Ireng seketika trenyuh juga hatinya. Betapa tidak, demi dirinya Loro Ireng rela berkorban. "Loro Ireng, menyingkirlah. Biar aku yang akan menghadapinya," berkata Jaka, menjadikan Loro Ireng mengerutkan kening. Hatinya was-was, kalau-kalau Jaka akan menjadi korban Dewi Angelir.
"Hati-hati, Jaka." berkata Loro Ireng penuh rasa was-was.
Jaka hanya mengangguk mengiyakan. "Dewi Bunga Kematian. Kini aku telah siap menghadapimu. Nah, terimalah ini. Ajian Getih Sakti. Hiat...!" Secepat kilat Jaka berkelebat menyerang Angelir dengan ajian Getih Sakti. Melihat itu, Angelir segera memapakinya dengan ajian Gugur Gunungnya.
"Duar...!" Terdengar ledakan dahsyat manakala dua ajian itu bertemu.
"Keluarkan semua ilmumu, Anak ganteng, biar aku cepat meremaskan tubuhmu," berkata Angelir sombong. Jaka hanya tersenyum sinis, sepertinya sengaja memanas-manasi.
"Dewi Bunga Kematian. Terimalah ini Ajian Petir Sewu, hiat...!"
Kembali Jaka berkelebat menyerang dengan ajian Petir Sewu. Namun sebelum Jaka sampai, tangan Dewi Bunga Kematian telah mendahului bergerak. Dicengkeramnya tubuh Jaka hingga menjadikan semua yang melihat terpekik. Yang lebih was-was di antara mereka, tak lain Loro Ireng dan Satria Wulung. Keduanya sangat mencemaskan keadaan Jaka yang kini dalam genggaman Betari Durga. Namun ketakutan mereka seketika lenyap, berganti dengan rasa tak percaya. Sampai-sampai Wulung Seta dan Amurwa Sakti berseru saking kagetnya.
"Jagad Dewa Batara. Ternyata pendekar muda itu memiliki ilmu yang maha dahsyat."
Apa yang mereka lihat? Ternyata mereka melihat Jaka telah berubah ujud menjadi Raksasa Dewa Wisnu. Hal itu bukan saja mereka yang melihat, tapi Angelir yang telah menjadi Betari Durga pun tak kalah kagetnya.
"Hua, ha, ha.... Betari Durga. Akulah musuhmu," berkata Buto Dewa Wisnu. Suaranya menggema bagaikan halilintar. Habis berkata begitu, Buto Dewa Wisnu segera berkelebat menyerang. Pertarungan dua raksasa itu begitu seru, saling hantam dan terjang. Setiap kali tubuh mereka jatuh, terdengar debuman dahsyat. Tanah bagaikan diguncang gempa.
"Percuma kalau aku membuang-buang tenaga," bergumam hati Buto Dewa Wisnu. "Hem, akan aku panggil Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Tiba-tiba, di tangan Jaka telah tergenggam sebilah pedang yang dari ujungnya mengeluarkan darah, menetes membasahi batang pedang. Dewi Bunga Kematian tersentak mundur, demi melihat apa yang telah terjadi. Belum juga Dewi Bunga Kematian hilang rasa kagetnya. Buto Dewa Wisnu telah berkelebat membabatkan pedang Siluman Darah yang berada di tangannya.
"Aaahhhh...!" memekik Betari Durga, lalu ambruk dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Seketika semua anak buah Dewi Bunga Kematian sujud menyembah mengaku kalah. Perlahan, Jaka kembali ke bentuk asalnya. Sementara pedang Siluman Darah telah lenyap dengan sendirinya. Tengah para prajurit merayakan kemenangan, terdengar pekikkan kematian dari Jaga Bayu. Ternyata Satria Wulung pun telah dapat membinasakan kakak seperguruannya. Makin riuhlah pesta kemenangan itu. Namun kegembiraan mereka hanya sesaat, ketika tiba-tiba terdengar berita duka. Ternyata Ibunda Ratu telah wafat bersama dengan matinya Dewi Bunga Kematian. Dua raja muda itu seketika menangis....
"Janganlah tuan ku berdua berlarut dalam kesedihan!"
Tengah keduanya menangis, terdengar suara Jaka bergema menjadikan kedua raja itu seketika tersentak dan mencari-cari Pendekar Muda itu.
"Di manakah kau Pendekar?" tanya Amurwa Sakti.
"Oh, aku minta maaf. Aku lupa meminta ijin pada tuan ku berdua. Aku kini telah jauh untuk kembali mengembara. Selamat atas ketentraman kerajaan tuan berdua "
Kedua raja muda itu hanya saling pandang dan bergumam penuh rasa kagum. Hari itu juga, seluruh rakyat kedua kerajaan berkabung atas kematian Ibunda Ratu. Seorang yang mampu memberikan rasa percaya diri pada rakyat, yang memang mengharapkan segala petuahnya.
Langit telah memerah, pertanda senja telah datang. Satu per satu mereka yang turut serta memberi penghormatan terakhir pada Ibunda Ratu, pergi meninggalkan makam yang kembali sepi bagaikan turut berduka....
S E L E S A I