Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Utusan Iblis
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Utusan Iblis
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
MALAM telah begitu larut dan dingin. Angin mendaki berhembus lembab, menciptakan embun pada dedauan. Sayup-sayup terdengar suara burung hantu, sebagai simbol burung malam.
Di rumah nampak lentera kecil menyala. Api lentera itu bergoyang-goyang diterpa angin. Dua orang suami istri nampak masih selamat. Pikiran mereka terhanyut dalam kehidupan yang tengah mereka alami. Sang suami yang bernama Rundanu, nampak tercenung. Tangannya menopang dagu, sepertinya kehidupan tengah yang terjadi atas dirinya.
"Oh, bune, Bagaimana hidup kita hari demi hari selalu begini?" terdengar keluh Rundanu. Sang istri yang bernama Rumini terdiam, memandang dengan mata yang ingin dibantu merasakan kepedihan menjauh.
"Bosan rasanya aku hidup sengsara terus Bune?" Kembali Rundanu disambut.
"Lalu harus bagaimana, Pakne?" sang istri yang sedari tadi terdiam turut berkata.
"Apakah kita akan begini terus?"
"Aku juga tak ingin, Pakne," menjawab si istri. "Namun, apalah yang dapat kita lakukan sebagai orang kere?"
"Bagaimana kalau nanti anak kita ada yang meminang?"
"Ah, Pakne... Mengapa kau memikirkan hal yang tidak-tidak?" kembali sang Istri berkata. "Jangankan orang melamar anak kita, mengenalpun mungkin enggan."
"Kau jangan terlalu pesimis, Bune."
"Bagaimana aku tak pesimis, Pakne," mengeluh sang istri sepertinya telah putus asa. "Pakne tahu sendiri kita orang yang tak punya. Semua orang menghina kita, semua orang sepertinya enggan mengenal kita. Dasar nasib, Pakne."
Mendengar ucapan istrinya, seketika Rundanu tak dapat berkata-kata lagi, diam membisu. Napas keduanya seakan berat, mendesah penuh risau. Keheningan malam kian mencekam. Layaknya kelambu hitam penuh misteri menyelimuti hening malam.
Kedua suami istri hanya diam. Diam dan diam, tanpa banyak kata. Mata-mata kedua-nya menerawang hampa, menatap kosong tiada gairah. Angin malam terus bertiup, menderu-deru bagaikan prahara. Tengah kedua suami istri itu terdiam merenungi nasibnya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gaung suara menggema. Seketika kedua Suami istri itu ketakutan, saling peluk dan gemetaran.
"Pakne, aku takut"
"Aku juga, Bune..."
Suara itu kembali menggaung-gaung bagaikan ledakan air bah yang hancur tanggulnya. Dibarengi dengan gaungan itu, terdengar gelak tawa mendirikan bulu kuduk.
"Hua, ha, ha!"
Kedua suami istri itu makin ketakutan, mengeratkan pelukan. Wajah kedua suami istri itu seketika memucat, bagaikan tak berdarah. Mata keduanya melototi mencari-cari asal suara itu. Namun keduanya tak menemukan apa yang mereka cari. Yang ada hanya kebisuan dan kebisuan malam yang makin larut. Keringat dingin bagaikan lelehan air hujan yang deras, bercucuran membasahi pelipis keduanya.
Tengah keduanya makin ketakutan, kembali terdengar suara erangan, layaknya orang yang tengah menerima siksa. Ya, erangan itu seperti erangan orang tersiksa. Habis erangan itu, terdengar suara berat seorang lelaki berkata.
"Ki dan Nini Rundanu, janganlah kalian takut padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku ingin menolong kalian."
"Menolong kami?" tanya Ki Rundanu seperti ingin meyakinkan.
"Benar, Ki!" jawab suara itu dengan nada berat. Nafasnya yang berat seperti mendesau. "Janganlah kalian bermurung durja karena kalian miskin. Kalian ingin kaya, ingin makmur? Juga kalian ingin menjadi orang yang sakti, Ki?"
"Be-benar!" menjawab Ki Rundanu terbata.
"Hua, ha, ha... gampang Ki. Gampang!"
"Ah, janganlah Ki Sanak membuat aku bingung," keluh Ki Rundanu, sepertinya tak percaya pada ucapan suara itu. "Kami tengah bingung bagaimana caranya untuk menjadi orang kaya sekaligus sakti."
Bergelak-gelak tawa suara itu, mendengar ucapan Ki Rundanu. Ki Rundanu dan istrinya yang tadi ketakutan, kini nampak agak tenang. Di bibir keduanya terpoles senyum, walau senyum itu tak tahu ditujukan pada siapa. Habis tertawa bergelak-gelak, kembali suara itu merintih dan merintih. Rintihan itu makin lama makin seru, lalu makin menyayat. Ya, rintihan itu seperti rintihan kesakitan, bahkan rintihan erangan. Kembali kedua suami istri itu ketakutan, merinding bulu kuduk mereka.
"Pakne..."
"Ya, Bune...." menjawab Ki Rundanu dengan ketakutan pula.
"Ki.. Ki... aku dingin. Tolonglah aku, Ki. Tologlah!"
Makin bertambah ketakutan saja kedua suami istri itu demi mendengar suara itu meminta tolong. Keringat dingin kembali deras membasahi kening keduanya.
"Kenapa engkau terdiam, Ki. Kenapa?" kembali suara itu berkata merintih.
"Kau jangan menakut-nakuti kami, Ki Sanak. Kami takut," berkata Ki Rundanu dengan bibir gemetar. Sementara sang istri hanya terdiam, diam dalam kelu dan rasa takut.
"Bukankah kau ingin menjadi orang kaya?"
"Memang... Namun kenapa engkau menakuti aku dan istriku?" menjawab Ki Rundanu masih ketakutan. "Kalau kau mau bunuh kami, bunuhlah!"
"Tidak! Aku tak akan membunuh kalian. Aku ingin kalian menjadi sahabat-sahabatku. Kau mengerti, Ki? Tolonglah aku, Ki. Tolonglah!"
"Apa yang dapat aku bantu, Ki Sanak?" tanya Ki Rundanu tak mengerti. Sejenak ditatapnya wajah sang istri yang tampak memucat ketakutan. "Aku orang miskin. Aku orang tak punya apa-apa."
"Aku tak perlu materi, Ki. Aku tak perlu itu..."
"Lalu, apa permintaanmu?" tanya Ki Rundanu.
"Tolonglah diriku, Ki."
"Ah,, apa yang dapat aku tolong?" balik bertanya Ki Rundanu.
Sesaat suara itu terdiam. Diam pula kedua suami istri Rundanu, sepertinya hendak mengikuti kebisuan malam yang kian melarut dan larut. Salak anjing liar terus menggema, sepertinya anjing-anjing itu tengah menghadapi musuh bebuyutannya.
"Auuuuuuuungg...! Auuuunnggg!"
"Hud... hud...! Blukuk, blukuk. Huuddddd!"
"Keluarlah kau bersama istrimu, bawa oleh kalian dupa."
"Untuk apa...?" bertanya Ki Rundanu tak mengerti. Wajahnya meredup. Matanya menatap tiada arah. Hanya langit-langit kamar tamu gubug rumahnya saja yang membisu, membalas tatapan ganjil dari sorot mata Ki Rundanu.
"Tak usahlah kau banyak tanya. Lakukan segala apa yang aku katakan."
"Baiklah! Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Akan aku beritahukan padamu nanti, Ki Rundanu."
"Ah, apakah kau tak bercanda?"
Terdengar desah berat sesaat. Desah itu bagaikan sebuah angin kencang bertiup, menerpa wajah suami istri itu yang terdiam. "Hua,ha,ha... aku tak bercanda, Ki. Nah, lakukanlah!"
"Baik, kami akan melakukannya!" menjawab Ki Rundanu.
"Hua, ha, ha... itu memang bagus, Ki. Kalau aku sudah terbebas, apa yang kau inginkan akan aku kabulkan."
"Benarkah itu...?" tanya istri Rundanu girang.
"Benar, Nini... maka itu, lakukanlah segera!"
Dengan habisnya ucapan suara itu, terdengar kembali bunyi gemuruh bagaikan air bah. Dan kembali anjing hutan melengkingkan lolongan panjang, seakan ada sebuah misteri di balik semuanya.
Setelah mempersiapkan apa yang mesti diperlukan, kedua suami istri itu dengan tertatih-tatih melangkah ke luar rumah. Kaki-kaki mereka yang tak beralas, terasa dingin menapak tanah. Udara yang dingin, bagaikan tak terasa oleh mereka.
Tanpa banyak bicara, kedua orang suami istri itu terus berjalan dan berjalan menyusuri malam. Di wajah keduanya tergambar ketakutan. Tubuh keduanya menggigil diterpa dingin malam. Lebih menggigil kala terdengar suara itu kembali bergema. Sampaisampai lutut keduanya terasa lemas bagai tak bertulang. Keduanya menjeprok terduduk lesu.
"Kenapa kalian mesti takut?" bertanya suara itu manakala melihat kedua suami istri Rundanu ketakutan. "Janganlah kalian takut. Percayalah, aku tak akan mengganggu kalian. Bahkan aku hendak menolong kalian dari kemiskinan."
Mendengar ucapan suara itu, seketika Ki Rundanu dan istrinya hilang rasa takut. Dengan hati yang diberani-beranikan, kedua orang suami istri itu kembali melangkah tak tahu arah.
"Teruskan langkah kalian ke muka. Bila kalian menemukan sebuah pohon beringin, berhentilah kalian di situ. Bakar dupa yang kalian bawa. Dan ucapkan kata-kata sebagai berikut. "Lening Uripe Kanjeng Baginda Penguasa Kegelapan, dengan ini kami persembahkan kunci pembuka kuburmu." Kalian paham...?"
"Paham," menjawab keduanya bareng.
"Coba kalian ucapkan lagi!" terdengar suara itu memerintah.
Sesaat kedua suami istri itu terdiam. Sepertinya kedua suami istri Rundanu tengah mengingatingat kembali kata-kata yang diajarkan oleh Penguasa Puri Kegelapan. Kemudian dengan suara terputus-putus keduanya berkata.
"Lening... Urip Kanjeng...." Ki Rundanu dan istrinya terdiam tak dapat meneruskan kata-katanya, membuat Penguasa Puri Kegelapan kembali bertanya.
"Kenapa, Ki?"
"Aku lupa," menjawab Ki Rundanu.
Bergelak-gelak tawa Penguasa Puri Kegelapan, demi mendengar jawaban Ki Rundanu. Ki Rundanu seketika mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa Iblis dapat bercanda?"
"Tidak hanya manusia saja yang dapat bercanda, Ki"
Tersentak Ki Rundanu kaget, demi mendengar ucapan Penguasa Puri Kegelapan. Bagaimana tidak! Ucapan itu hanya ada di hatinya, namun ternyata Penguasa Puri Kegelapan mengetahui. Lebih tersentak lagi Ki Rundanu, manakala Penguasa Puri Kegelapan kembali berkata,
"Jangan kau bingung, Ki. Memang aku dapat mengetahui segala apa yang ada di hatimu. Maka itu, janganlah sekali-kali kata mendustai ku."
"Baiklah, aku tak akan sekali-kali mendustai mu. Asalkan kita dapat mendapatkan apa yang aku harapkan," menjawab Ki Rundanu, menjadikan Penguasa Puri Kegelapan seketika kembali tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... Itu bagus, Ki. Dengan kau tak mendustai aku, maka segalanya akan berjalan dengan baik dan cepat. Kau akan menjadi orang kaya seketika dan sakti. Itu yang kau inginkan. Itu yang kau inginkan, bukan?"
Karena didorong oleh rasa ingin mendapatkan kekayaan dan janji-janji muluk dari Penguasa Puri Kegelapan, menjadikan Ki Rundanu dan istrinya bagaikan melangkah di siang hari. Langkah mereka bak ada yang menuntun, tak ada ganjelan atau pun sandungan.
"Percepat langkah kaki kalian. Percepat...." terdengar suara Penguasa Puri Kegelapan berkata, menyuruh mereka untuk mempercepat langkahnya.
Hal itu menjadikan kedua suami istri Rundanu tersentak. Menurut perasaan mereka, mereka telah melangkah dengan cepat bahkan hampir berlari. Namun kenapa Penguasa Puri Kegelapan menyuruh mereka mempercepat langkahnya? Tak tahunya, waktu hampir menjelang pagi. Angin terasa bagaikan tetesan-tetesan es, dingin menyabik tulang.
Tanpa banyak kata, kedua suami istri itu makin mempercepat langkah kaki mereka. Kini keduanya bukan berjalan, namun berlari. Ya, keduanya berlari memburu waktu yang sesaat lagi akan berganti. Tak berapa lama kemudian, kedua suami istri itu telah sampai pada apa yang ditunjukkan oleh Penguasa Puri Kegelapan. Keduanya segera menyalakan dupa. Tengah keduanya tepekur menghadapi dupa yang mengepul menjadikan asap tebal bergulung, terdengar suara Penguasa Puri Kegelapan kembali berkata.
"Kau ingat ucapan yang aku ajarkan, Ki"
"Tidak," menjawab Ki Rundanu yang seketika menjadikan bentakan marah Penguasa Puri Kegelapan.
"Bodoh! Kenapa kau tak mengingatnya?"
"Ampuni kami," meratap Ki Rundanu.
Sementara sang istri nampak ketakutan mendengar bentakan itu. Wajahnya pucat, seputih kertas. Sepertinya, darah yang mengalir di tubuh kini tak ada lagi. Bibirnya membiru oleh dingin, oleh perasaan yang mencekam, juga oleh gelora hatinya yang entah ada perasaan apa.
"Dengar baik-baik olehmu. 'Lening Urip penguasa Puri Kegelapan, kubuka kuburmu'. Mengerti...!"
"Mengerti," menjawab Ki Rundanu. "Sekarang juga, ucapkan!"
Dengan bibir gemetaran menahan perasaan dan hawa dingin yang menyayat tulang, Ki Rundanu berkata terputus-putus. "Lening Urip Penguasa Puri Kegelapan, kubuka kuburmu."
Berbareng dengan habisnya suara Ki Rundanu, seketika dari bawah pohon beringin keluar asap putih kehitam-hitaman, bergulung-gulung membumbung ke angkasa. Bersama itu pula, pohon beringin itu seketika jebol, mencelat ke atas bagai didorong oleh tenaga raksasa.
Melotot mata Ki Rundanu dan istrinya, melihat kejadian yang sukar untuk diterima akal mereka. Saking kagetnya, mereka seketika loncat dari duduknya. Mata mereka melotot, sedang mulut mereka bengong melompong. Keringat dingin keduanya seketika mengalir deras, lalu mereka ambruk dengan lutut bagai tak bertulang, ketika terdengar suara gelak tawa membahana memecahkan malam yang sunyi. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh yang mengerikan keluar dari dalam tanah.
Pertama tangannya keluar. Tangan itu tak berdaging sedikit pun. Tulang-tulangnya nampak jelas kelihatan. Bergidik kedua suami istri itu, sehingga keduanya seketika surut mundur. Lebih-lebih ketika kepala mahluk itu nongol, mereka baikan hendak pingsan saja. Kepala mahluk itu, jelas-jelas kepala tengkorak. Matanya kosong tiada isi. Hidungnya bolong dengan daging-daging membusuk bau. Saking takutnya kedua suami istri itu, keduanya hendak berkelebat pergi kalau saja tak terdengar seruan mahluk memanggil nama mereka.
"Ki Rundanu... kenapa kau hendak lari?"
Ki Rundanu seketika menghentikan larinya, diam terpaku pada tempat pijaknya. Lututnya naplok, bagaikan hendak patah layaknya.
"Jangan takut, Ki. Aku telah kau tolong, maka aku hendak membalas jasa padamu" berkata tengkorak hidup itu lagi. "Dengar olehmu, aku akan memberikan apa saja yang engkau inginkan. Asal... kalian mau selamanya menjadi pengikutku. Pengikut Penguasa Puri Kegelapan. Bagaimana, Ki?"
Dengan rasa takut, Ki Rundanu mengangguk. Hal itu menjadikan mahluk tengkorak hidup itu kembali tertawa bergelak-gelak, yang membuat tubuhnya ikut bergetar. Tubuh tengkorak yang bergetar, menjadikan bunyi bletok... bletok ketika tulang-belulangnya beradu.
"Sekarang juga, kalian akan menjadi orang kaya raya. Namun kalian mesti ingat! Kalian setiap malam Jum'at harus memberikan padaku seorang bayi merah. Kalian paham...?"
"Kami mengerti, Paduka Penguasa Puri Kegelapan," menjawab keduanya dengan ketakutan.
"Sekarang kalian kembalilah ke rumah. Ingat pesanku, kalian harus memberikan seorang bayi merah setiap malam Jum'at. Nah, lihat oleh kalian, bahwa di bawah tikar kalian akan ada sekantong uang emas. Itu harta pertama untuk kalian. Bila kalian telah memberi seorang bayi, maka kalian akan mendapatkan sekantong uang emas lagi. Jangan sekali-kali kalian ingkar. Ingat, aku akan menghukum kalian bila ingkar. Pulanglah!"
Dengan tanpa menengok-nengok lagi, kedua suami istri itu pun segera berlari pergi. Di hati keduanya kini tertanam seribu macam pertanyaan. Benarkah apa yang diucapkan oleh Penguasa Puri Kegelapan? Ketika keduanya telah kembali ke rumah, dengan segera kedua suami istri itu membuktikannya.
"Ah..." membelalak mata kedua suami istri itu, manakala dilihatnya sekantong uang emas. Maka dengan menangis bahagia, kedua orang suami istri itu saling berangkulan.
Malam kian bergerak cepat, berubah dengan datangnya pagi. Sekali-kali kokok ayam jantan terdengar bersamaan dengan fajar yang datang menyingsing di ufuk Timur. Embun perlahan-lahan berlari, pergi terusir sinar mentari.
Setelah bangkit dari kuburnya yang berada di bawah pohon beringin atas pertolongan kedua suami istri Rundanu, Penguasa Puri Kegelapan kini membikin teror. Bila malam telah datang, Penguasa Puri Kegelapan muncul untuk mencari orang-orang yang telah menghukumnya di bawah pohon beringin.
Siapakah Penguasa Puri Kegelapan itu? Agar supaya para pembaca tidak jengah dan bertanya-tanya, marilah kita tilik kembali ke beberapa tahun yang silam. Di mana kita akan mengetahui siapa adanya Penguasa Puri Kegelapan, yang kini kembali bangkit untuk menuntut balas.
Lima puluh tahun yang silam, tersebutlah satu perguruan yang sudah terkenal. Perguruan itu bernama "Perguruan Samudra Biru." Adapun pemimpin perguruan itu, adalah seorang Resi bernama Resi Wilmaka Suldra. Kesaktian Resi itu tiada tandingnya. Sampai-sampai hampir semua tokoh persilatan takut dan jera padanya.
Resi Wilmaka mempunyai lima orang murid, yang terkenal dengan sebutan Panca Gumilang. Panca artinya lima, sedang Gumilang artinya kemenangan. Jadi Panca Gumilang berarti Lima Kemenangan. Masing-masing kelima muridnya itu memiliki kesaktian yang sama tinggi. Murid pertamanya bernama Bomantara. Yang kedua bernama Saislendra. Yang ketiga bernama Reksa Pati. Sedang yang keempat dan kelima, bernama Wanggada dan Waskita.
Berbeda dengan watak gurunya yang berbudi pekerti, kelima murid sang Resi mempunyai tabiat buruk. Murid pertama suka Mabok. Murid kedua suka Maling. Murid ketiga suka Main. Sedang murid keempat dan kelima suka Madat dan Madon
Kesaktian yang mereka miliki itulah senjata mereka untuk mendapatkan segala apa yang mereka inginkan. Hingga saking seringnya mereka melakukan tindakan-tindakan itu, mereka pun mempunyai gelar apa yang sesuai dengan tindakan mereka. Si murid pertama bergelar Pendekar Sakti Dewa Mabok. Murid kedua bergelar Pendekar Raja Maling. Ketiga bergelar Pendekar Gila Judi. Dan keempat serta kelima bergelar Pendekar Kumbang dan Pendekar Candu.
Pada suatu hari, sang Resi memanggil kelima muridnya. Sang Resi sengaja memanggil mereka untuk memberikan kabar sesuatu. Walau mereka merupakan Pendekar-pendekar yang tindakannya tak sesuai dengan tata susila, namun mereka selalu menjaga nama baik guru mereka yaitu Resi Walmaka. Mereka pun merupakan murid-murid yang patuh, yang tak sekali-kali menentang ucapan gurunya.
Mereka segera menemui sang guru, yang telah menunggu kedatangan mereka berlima. Sang Resi tampak telah duduk di atas sebuah batu dengan agungnya. Mata sang Resi yang telah tua, sepertinya tak terhalang oleh kerabunan. Hingga mata tua itu, bagaikan sorot mata burung elang yang tajam. Kelima murid-muridnya segera menyembah, lalu duduk dengan berderet. Wajah kelimanya menunduk, tak seorang pun yang berani menentang pandangan sang guru.
"Murid-muridku."
"Hamba, Guru," menjawab kelimanya menjura hormat.
"Kalian tahu mengapa aku mengundang kalian?" bertanya sang Resi, menjadikan kelima muridnya makin tertunduk. Di hati kelimanya tersembul rasa was-was, takut kalau-kalau gurunya mempunyai marah padanya.
"Kami tak tahu, Guru," kembali kelimanya menjawab.
"Ketahuilah, murid-muridku. Kini dunia persilatan telah digegerkan oleh berita hilangnya sebuah senjata milik kerajaan. Senjata itu merupakan senjata wasiat. Barang siapa yang mampu menemukan senjata tersebut, dirinya akan menjadi orang tersakti di dunia ini."
Sang Resi kembali terdiam. Matanya memandang pada kelima murid-muridnya yang tampak masih terdiam, tak ada yang berkehendak bicara. Demi melihat kelima muridnya hanya diam, kembali sang Resi meneruskan ucapannya.
"Apakah kalian tak ingin mencari pusaka itu?"
"Ah, jadi guru hendak menyuruh kami turut serta mencari pusaka tersebut?" balik bertanya Saelendra.
"Benar, muridku." menjawab sang Resi, menjadikan kelima muridnya kembali terjengah. "Apakah Kalian tak ada yang ingin menjadi pejabat kerajaan?"
"Untuk apa?" tanya Bomantara, sepertinya tak tertarik dengan segala ucapan gurunya. "Bukankah lebih baik menjadi seperti sekarang ini? Kerajaan terlalu banyak aturan-aturan, yang dapat membuat pusing diri kita sendiri. Maaf, Guru, hamba tak berkenan."
"Tak mengapa, Bomantara," menjawab Resi Wilmaka. "Yang lainnya, bagaimana?"
"Hamba juga tak berminat, guru," kini Saelendra yang menjawab.
"Hem, dua orang sudah yang tak berminat," bergumam Resi Wanaka. "Yang lainnya...?"
Seperti Bomantara dan Saelendra, murid ketiga pun menolak untuk mengikuti sayembara raja. Baru setelah murid keempat dan kelima, keduanya menerima tawaran itu.
"Bagus! Kalau hal itu sudah bulat di hati kalian, maka kalian harus dapat melaksanakan tugas kalian dengan baik. Ingat jangan sampai membuat malu perguruan."
"Hamba mengerti, Guru," menjawab. keduanya bareng.
Esok harinya dengan, diantar oleh sang Resi, kedua murid itu segera menuju ke Istana untuk mendaftarkan diri mereka. Rupanya karena sang Raja mengenal siapa sang Resi Wilmaka adanya, tanpa mengalami kesulitan, kedua murid Resi Wilmaka itu diterima. Hari itu juga Wanggada dan Waskita yang telah diterima sebagai anggota pencari pusaka yang hilang segera bekerja. Keduanya yang mendambakan bakal menjadi abdi dalem istana, berusaha sekuat tenaga mencari pusaka Gong Emas Sakti yang hilang dicuri orang.
Gong Emas Sakti, merupakan sebuah benda yang mempunyai "Makna." Bila gong itu ditabuh pada siang hari, maka sepanas apapun matahari akan redup. Bila gong itu ditabuh dalam menghadapi musuh, maka seketika musuh akan lumpuh terkena getarannya.
Sungguh-sungguh merupakan benda langka dan sakti. Gong Emas Sakti itu merupakan pusaka turun temurun kerajaan. Barang siapa yang memegang gong tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja di Kerajaan Tanjung Lor. Itulah kenapa baginda Raja Ruda Galuh sangat mengkhawatirkannya. Di samping gong tersebut dapat membawa bencana bagi kerajaan, juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan olehnya selaku raja.
Karena baginda Ruda Galuh merupakan adik seperguruan Resi Wilmaka, maka baginda pun meminta bantuan pada sang Resi untuk mencarikan gong tersebut. Hingga akhirnya sang Resi memerintahkan pada kedua muridnya.
Kini kedua murid Resi Wilmaka telah menjalankan tugas, mencari pencuri gong tersebut yang belum diketahui orangnya. Hal itu menjadikan kesulitan bagi keduanya. Jangankan menangkap pencurinya dan mengambil gong tersebut, mengetahui wajah pencurinya pun mereka belum tahu.
"Aku rasa, pencurinya bukan orang sembarang, Kakang."
"Benar ucapanmu, Adik Waskita," menjawab Wanggada.
"Susah..." mengeluh Waskita seraya memperlambat lari kudanya.
"Apa mungkin kita dapat melakukannya?" kembali Waskita mengeluh, sepertinya keluh itu ditujukan pada diri sendiri. Wanggada hanya terdiam, ia nampaknya turut bimbang atas kemampuan diri sendiri. Bukannya apa, mereka memang belum tahu siapa orang yang telah mencuri gong tersebut.
"Apa tidak sebaiknya kita berpisah mencarinya, Kakang?"
"Terserah mu saja," menjawab Wanggada.
Setelah dicapai kata sepakat, dengan segera kedua kakak beradik itu berpisah. Wanggada mengambil jalan ke Barat, sementara Waskita segera mengambil jalan ke Timur
Sejak hilangnya gong Emas dari kerajaan, dunia persilatan seketika dibuat geger oleh seorang wanita yang sakti. Wanita itu masih muda, dengan senjata saktinya berbentuk gong emas. Semua tokoh persilatan dibuat kalang kabut, tak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Sebab di samping gong pusaka itu, si wanita juga memiliki ilmu yang tinggi.
Sejak itu, bantai membantai antar golongan persilatan terjadi. Semua hanya ada satu tujuan, mendapatkan gong pusaka dan menjadikan dirinya raja. Korban demi korban berjatuhan, mati dalam usahanya merebut gong Emas tersebut.
Kabar itu juga terdengar oleh kedua murid Resi Wilmaka yang tengah diutus sang Raja untuk mencari pencurinya. Kedua murid resi Wilmaka pun segera memburu pencuri yang sudah diketahui siapa adanya. Karena sudah mengetahui siapa adanya pencuri tersebut, maka kedua kakak seperguruan dengan segera dapat menemukan pencuri tersebut. Pencuri itu adalah seorang gadis cantik jelita. Ia adalah anak raja terdahulu bernama Rara Sumbadra. Dengan dibantu Dirgantoro, Rara Sumbadra bermaksud merebut kembali tahta Kerajaan yang telah direbut oleh Raja Ruda Galuh.
"Rara Sumbadra, keluar kau!" berseru Anggada, manakala keduanya telah sampai di padepokan Rara Sumbadra. "Cepat keluar dan serahkan kembali gong Emas itu pada kami!"
"Setan! Siapa yang berani berteriak-teriak kayak kunyuk!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan itu, sesosok tubuh wanita muda berkelebat ke luar. Senyumnya sinis mengulas di bibirnya. Matanya tajam menghujam, memandang pada kedua kakak beradik di depannya.
"Hem, rupanya kalian yang datang. Untuk apa kalian datang ke mari?"
"Rara Sumbadra... Kalau kau mau memberikan gong itu padaku, maka kau akan kami ampuni!" menggertak Waskita sengit.
Sedangkan Anggada nampaknya hanya terdiam. Hatinya telah terpanah oleh ulasan senyum Rara Sumbadra, sehingga hatinya seketika bergetar memandang Rara Sumbadra. Kini tujuannya berubah dari tujuan semula. Semula Anggada bermaksud menangkap Rara Sumbadra, berubah menjadi ingin dapat bersanding dengan gadis jelita itu.
"Adik Waskita, bukankah lebih baik kita mengikutinya?"
"Kakang...!" terbelalak mata Waskita mendengar ucapan Anggada.
"Kenapa, Adik?"
"Apakah Kakang hendak melupakan tujuan kita?" balik bertanya Waskita terheran-heran dengan tingkah kakaknya. "Ingat kakang, guru akan marah bila kau mengingkari tugas ini."
"Persetan dengan guru!"
"Kakang!" memekik Waskita.
Melihat kedua kakak beradik seperguruan itu bertengkar sendiri, Rara Sumbadra tampak tersenyum senang. Dan dengan genit, Rara Sumbadra yang telah tahu bahwa Anggada tertarik padanya segera berkata.
"Pendekar Kumbang, kalau kau mau membantuku maka aku pun akan dengan senang menyerahkan diriku padamu. Bukankah kau memang mengharapkan aku menjadi milikmu?"
Seketika hati Anggada yang telah terpanah oleh kecantikan Rara Sumbadra bimbang. Sesaat ditatapnya Waskita yang nampak terbelalak, lalu dengan senyum mengembang Anggada kembali berkata. "Baiklah, Rara Sumbadra, aku akan melindungimu. Tapi jangan sekali-kali kau mengingkari. Bila kau kelak mengingkari, maka tak ada ampun untukmu."
Rara Sumbadra makin melebarkan senyumnya. "Percayalah padaku, Kumbang. Aku juga menyintaimu, kok," merayu Rara Sumbadra, menjadi ser hati Anggada.
Dengan tanpa membuang-buang waktu, Anggada segera melompat dari kudanya dan berdiri di samping Rara Sumbadra. Senyumnya kini sinis pada adik seperguruannya, yang melotot tajam menghujam.
"Kau... Kau kakang!"
"Kenapa Waskita? Kalau kau ingin tenang, ikutlah kami," menjawab Anggada sinis. Sejenak ditatapnya Rara Sumbadra yang tersenyum, lalu dengan penuh permusuhan Anggada memandang tajam pada adik seperguruannya.
"Setan...! Aku tak akan mau mematuhi mengikuti kalian!" menggertak marah Waskita. "Ingat Anggada, kau nantinya menyesal!"
"Tak ada kamus menyesal pada Anggada, Waskita."
"Baik, mulai sekarang kita bukan saudara seperguruan. Kita sekarang mempunyai tujuan masing-masing!" Waskita berkata marah. Ia kecewa, ia gusar melihat kelakuan kakak seperguruannya yang telah mengingkari janjinya pada guru dan kerajaan. Tak dinyana, kalau tali persaudaraan yang selama ini dibina, harus hilang dengan begitu saja hanya karena tingkah Anggada yang tak dapat dimengerti.
"Kalau itu yang engkau mau, terserah. Nah, apakah kau akan menangkap kami?" bertanya Anggada, nadanya seperti mengejek.
Kegusaran hati Waskita kian menjadi. Maka dengan membentak, Waskita segera berkelebat menyerang dua musuhnya. Satu bekas kakak seperguruannya yang telah murtad, satunya lagi orang yang memang dicari-cari oleh kerajaan. "Anggada murid murtad! Jangan kira aku takut pada kalian, hiaat...!"
Anggada yang sudah tahu kemampuan adik seperguruannya segera berkelebat mengelak, begitu juga Rara Sumbadra. Dengan beringas karena marah dan kecewa, Waskita terus berusaha merangsek kedua musuhnya. Pertarungan itu pun terjadi. Jurus demi jurus mereka keluarkan, dengan harapan dapat segera menjatuhkan musuhnya. Serangan Anggada dan Rara Sumbadra silih berganti, sepertinya mereka telah kompak benar. Sekali Anggada menyerang, Sumbadra segera melanjutkan.
"Menyerahlah, Waskita!"
"Pantang bagiku untuk menyerah pada kalian! Langkahi dulu mayatku, atau kalian berdua yang minggat dari bumi ini!" Waskita yang sudah marah, makin marah mendengar ucapan kakak seperguruannya yang telah berhaluan pada musuh.
"Begitukah yang kau ingini, Waskita?"
"Ya, itu yang aku ingini!" menjawab Waskita. "Tak sudi aku menjadi adik seperguruanmu. Dan ingat, sejak saat ini perguruan bukan menjadi Panca Gumilang. Namun sekarang perguruan bernama Catur Gumilang. Jangan injak lagi perguruan!"
"Hua, ha, ha... Tak menginjak pun, aku akan hidup bahagia bersama Rara Sumbadra. Bukan begitu, Rara!"
"Benar, Kakang. Kau akan bahagia bersamaku. Kau akan selalu merasakan keindahan-keindahan yang aku berikan," menjawab Rara Sumbadra genit. Senyumnya yang manis menghunjam di ulu hati Anggada.
"Iblis! Kalian memang benar-benar Iblis! Maka kalian kelak tak akan mati sempurna!" menyumpah Waskita marah. Habis berkata begitu, Waskita kembali berkelebat menyerang.
Pertarungan terus berjalan dengan serunya, sepertinya mereka sama-sama tangguh, sama-sama mumpuni. Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, tak terasa sudah jurus yang kelima puluh berlalu.
Tersentak Waskita, manakala selarik sinar merah menyala ke luar dari tangan kakak seperguruannya. Ia tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan kakaknya. Kakaknya kini telah mengeluarkan ajian andalannya, yang berupa larikan sinar merah panas membara. Ajian tersebut bernama, Serat Gumilang Jati, sebuah ajian yang telah guru mereka ajarkan.
Serat Gumilang Jati terdiri dari sepuluh tahapan. Setiap tahapan, selalu berubah-ubah penggunaan tenaganya juga kehebatannya. Tahap pertama, akan mampu membakar daun-daun kering. Tahapan kedua dan selanjutnya sudah dapat dibayangkan, betapa akan luluh lantak semua yang terkena. Kali ini Anggada menggunakan ajian Serat Gumilang Jati tingkat kelima, yang dapat menjadikan batu meleleh
"Tak pantas kau memakai ajian itu, Anggada!" membentak Waskita berang. "Kau bukan murid perguruan Gumilang."
"Itu bukan hakmu, Waskita!" balas menggertak Anggada. "Apakah kau takut!"
"Hem, jangan kira aku takut, Anggada. Aku pun memilikinya sepertimu. Lihat ini...!" Seketika tangan Waskita berubah menjadi merah membara, lebih merah dibandingkan tangan Anggada. Anggada yang telah tahu tingkat berapa Waskita menggunakannya, tersentak melompat mundur. Dari mulutnya terbersit seruan kaget.
"Serat Gumilang Jati tingkat tujuh. Dari mana kau memperolehnya?"
"Hem, kenapa kau pucat, Anggada? Ayo kita mulai!" Tanpa menunggu jawaban dari Anggada, Waskita yang sudah marah dan kecewa pada kakak seperguruannya segera lepaskan ajian Serat Gumilang Jati tingkat tujuhnya.
Tersentak Anggada dan Rara Sembadra melompat mundur, mengelakkan serangan ajian tersebut. Mata mereka melotot kaget, manakala melihat apa yang terjadi. Bukit di belakang mereka seketika runtuh dengan suara bergemuruh. Batu-batunya hancur menjadi abu, berterbangan menerpa keduanya.
"Bahaya, Kakang," menggumam Rara Sembadra.
"Tenanglah! Apakah kau mempunyai cermin?" bertanya Anggada.
"Untuk apa, Kakang?" Rara Sembadra kembali bertanya tak mengerti.
"Ambillah segera, biar aku menghalanginya."
Dengan segera, Sembadra berkelebat pergi meninggalkan kedua kakak beradik yang tengah bertempur. Waskita untuk kedua kalinya menghantamkan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketujuhnya, membuat Anggada harus berjumpalitan mengelakkan serangan itu. Melihat Anggada yang nampaknya keteter, Waskita yang telah marah terus mencecarnya dengan ajian Serat Gumilang Jati.
Hal itu menjadikan Anggada harus menguras tenaga. Hanya dengan meringankan tubuh saja yang dapat ia lakukan, untuk mengelakkan serangan ajian ganas itu. Ketika Anggada tengah benar-benar terdesak, secepat kilat Rara Sembadra yang telah dapatkan cermin berseru. Dilemparkannya cermin itu pada Anggada yang dengan segera menerimanya.
"Ini, Kakang!"
"Bagus! Hoop...!" Waskita yang masih dilandasi amarah, terus mencecar Anggada dengan ajian tersebut. Secepat kilat kala Waskita kembali menyerang, Anggada kiblatkan cermin memapaki serangan tersebut.
Tak ayal lagi, ajian Serat Gumilan Jati balik terpantul menyerang tuannya. Waskita yang tak menyadari hal itu, tersentak dan berusaha menghindar. Namun serangan balik ajiannya lebih cepat, dan menghantam tubuh Waskita. Seketika itu Waskita melolong panjang, tubuhnya terpental jatuh ke dalam jurang. Tersenyum senang keduanya, yang kemudian berlari melihat ke bawah jurang di mana Waskita jatuh. Setelah dilihatnya Waskita tak tampak, kedua orang itu segera kembali ke pondok.
"Kini halangan tak ada lagi, Rara. Aku meminta janjimu."
"Dengan senang hati, Kakang," jawab Rara Sembadra. Senyumnya mengembang, sepertinya sengaja menggoda.
Anggada yang sudah terbakar nafsunya, segera memeluk tubuh Rara Sembadra. Bagaikan dua macan yang kelaparan, kedua orang itu bergumul menyalurkan nafsu. Selang beberapa lama kemudian, terdengar pekikan Rara Sembadra bersamaan dengan darah merah menetes dari miliknya yang sangat berharga. Demi cita-cita, segalanya dipasrahkan...
Tersentak Resi Wilmaka dari semedinya. Seperti ada sesuatu tenaga penggerak yang sangat kuat, mengusiknya untuk bangun. Sejenak sang Resi terpekur diam, dengan pikiran menerawang entah pada sugesti apa. Matanya yang terbuka, terkejap-kejap perlahan. Keningnya dikerutkan seperti tengah menerawang.
“Ada apakah dengan Waskita? Sepertinya dia dalam kesusahan.” Bergumam sang Resi dalam hati, “Kenapa Anggada tak segera memberi tahu padaku? Ke mana pula Anggada…?”
Tengah sang Resi tercenung diam, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pintu Padepokan dibuka dengan paksa hingga menjadikan bunyi bergedubrak.
“Braak…!”
“Hai, siapa…?”
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara erangan kesakitan. Seketika sang Resi memburu ke muka. Betapa terbelalak mata Resi Wilmaka, manakala melihat apa yang ada di hadapannya. Sesosok tubuh dengan luka-luka mengedubrak di balai-balai. Ketika sang Resi tahu siapa adanya orang itu, seketika memekiklah sang Resi.
“Waskita… Waskita! Kenapa kau, Nak?”
Waskita hanya diam tak menjawab, tubuhnya terkulai lemas. Melihat muridnya begitu menderita, sang Resi tanpa banyak pikir panjang segera meraup tubuh penuh luka itu. Digendongnya dan dibawa ke dalam. Dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis, dibaringkan tubuh Waskita pada pembaringan. Resi Wilmaka tampak sibuk sendiri, berjalan hilir mudik ke depan dan ke dapur. Sampai-sampai karena pusingnya dan panik, sang Resi segera berseru memanggil ketiga muridnya.
“Bomantara… Saelendra… Reksa Pati…! Hai murid-murid gemblung, kalian pada ke mana? Apa kalian tidak tahu adik kalian dalam keadaan teler?”
Tak berapa lama kemudian setelah sang Resi menjerit-jerit memanggil ketiga muridnya. Ketiga orang murid sang resi segera berdatangan menghampiri dan bertanya serempak.
“Ada apa, Guru? Sepertinya kebakaran saja.”
“Kebakaran-kebakaran kepala kalian! Apa kalian tidak melihat adik kalian dalam keadaan mabok?”
“Mabok, Guru? Ah, guru jangan bercanda,” berkata Bomantara.
“Eh-eh-eh, kalian tak percaya. Lihat itu…”
Sang Resi segera menunjuk di mana Waskita terbaring dengan luka-luka. Seketika memekiklah ketiga murid sang Resi demi melihat adik seperguruannya yang luka parah.
“Waskita…! Waskita, kenapa kau, Adikku?”
Waskita yang masih pingsan hanya terdiam, walau ketiga kakak seperguruannya mengguncang-guncangkan tubuhnya. Ketiga kakak seperguruannya seketika menggeratak marah, manakala melihat adik seperguruannya dalam keadaan begitu.
“Siapa yang telah melakukannya, Guru?” tanya Bomantara.
“Entahlah, Bomantara. Aku sendiri belum mengerti siapa orang yang telah membuat dia luka-luka,” menjawab Resi Wilmaka. Kepalanya menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca seperti sedih melihat keadaan murid bungsunya.
Ketiga muridnya hanya diam membisu seribu kata. Mata mereka memandang tak berkedip penuh iba pada Waskita yang masih terbaring. Obat-obatan ramuan Resi Wilmaka, menutupi seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian, terdengar erangan Waskita yang siuman Serta merta, ketiga kakak seperguruannya segera menghampiri. Ketiganya diam menunggu apa yang bakal terjadi pada adik seperguruannya.
“Gu…ru…” berkata Waskita lemah.
“Ya, anakku, ada apa?” menjawab Resi Wilmaka trenyuh.
“Waskita, katakanlah pada kami siapa yang telah membuatmu begitu?”
Waskita sejenak diam, memandang pada Bomantara yang bicara. Kemudian matanya beralih memandang pada kakak-kakak seperguruannya yang lain. Lalu dengan suara lemah, Waskita pun berkata. “Kakang-kakang… Anggada telah mengkhianati perguruan…”
“Apa…!” Tersentak semua yang ada di situ mendengar penuturan Waskita yang tak terduga-duga.
“Ceritakanlah seluruhnya, Waskita,” meminta sang Resi.
Dengan suara tersendat-sendat, Waskita pun segera menceritakan apa yang dialami dari awal hingga akhir kejadian. Maka tak ayal lagi, ketiga kakak seperguruannya seketika marah besar. Mata mereka bagaikan memendam bola api, panas membara penuh kemarahan. Gigi mereka saling beradu, menimbulkan bunyi gemeretak.
“Murid durhaka!” memaki Resi Wilmaka gusar.
“Dia perlu dikasih pelajaran, Guru,” menyambung Bomantara.
“Benar apa yang dikatakan kakang Bomantara,” menambah Saelendra.
“Biar aku yang menguruinya. Akan aku lumatkan tubuh si Anggada keparat itu!” tak kalah marahnya Reksa Pati.
“Jangan kalian bertindak sendiri-sendiri. Kalian harus melakukan pemikiran yang matang.”
“Tapi dia sudah keterlaluan, Guru.”
“Benar, Guru. Murid macam apa dia. Hanya karena seorang wanita dia langsung murtad. Bukan itu saja, tapi tindakannya melukai adik Waskita sungguh tak dapat dimaafkan.”
“Aku mengerti perasaan kalian semua. Tapi dia juga telah terkena sumpah Waskita. Dia kelak akan mati menderita. Walaupun untuk beberapa puluh tahun dia akan hidup, namun dia akhirnya akan mati di tangan seorang pendekar yang memiliki senjata aneh,” berkata sang Resi mencoba menenangkan hati ketiga muridnya. “Ketahuilah oleh kalian, Anggada tak akan dapat mati oleh kalian.”
“Ah… Kenapa mesti begitu, Guru?” bertanya Saelendra terkejut.
“Apakah ia sudah menjadi sekutu Iblis?” Bomantara turut bertanya tak mengerti akan ucapan gurunya.
“Benar, Murid-muridku. Walau kalian dapat mengalahkannya, namun karena ia telah menjadi kekasih Iblis ia tak akan mati. Kecuali jika kalian menanamnya hidup-hidup di dalam sumur Jala Tunda”
“Kenapa harus di sumur Jala Tunda, Guru?” bertanya Bomantara belum juga mengerti.
“Hanya di sumur itulah ia tak akan dapat bergerak. Namun itu juga hanya sementara. Sebab kelak ada sepasang suami istri miskin yang akan membantunya.”
Mendengar ucapan gurunya seketika semuanya terdiam. Hati mereka bimbang. Kalau dibiarkan, jelas dia akan merajalela. Namun kalau tidak dibiarkan, dengan cara apa mereka harus mengalahkannya? Sedangkan kodrat kematian Anggada hanya terletak pada tangan Pendekar Muda yang entah kapan tahu datangnya.
“Apakah kita akan tinggal diam, Guru?” kembali Bomantara bertanya, yang menjadikan Resi Wilmaka makin terdiam dalam. “Kalau kita mendiamkannya jelas semua tokoh persilatan akan memandang pada kita sebagai perguruan yang tak bertanggung jawab.”
Terpukul juga hati Resi Wilmaka mendengar ucapan Bomantra. Ia mendesah panjang, merenung penuh ketidakmengertian kenapa dulu ia mengangkat murid Anggada. Tapi penyesalan setelah terjadi tak ada gunanya, yang penting sekarang bagaimana menanggulangi murid durhaka itu. Setelah lama terhanyut dalam diam, Resi Wilmaka akhirnya berkata.
“Baiklah, Murid-muridku. Lakukanlah oleh kalian apa yang sekiranya kalian anggap baik. Memang kalau didiamkan, Iblis yang telah merasuk di dalam tubuh adik seperguruan kalian akan merajalela. Nah, kalian berangkatlah. Cari oleh kalian murid sekutu setan itu. Bila kalian telah mengalahkannya, kubur dia hidup-hidup di sumur Jala Tunda. Biarlah hal yang kelak akan terjadi terjadilah, sebab semuanya memang sudah kodrat Yang Wenang.”
“Daulat, Guru.”
“Doa dan restuku akan selalu mengiringi kepergian kalian.”
Setelah menjura hormat, ketiga orang murid Resi Wilmaka segera pamit mundur. Setelah terlebih dahulu menengok adik seperguruannya yang masih terluka, ketiganya segera menggebah kuda-kuda mereka untuk berlari kencang. Sepertinya, ketiga murid Resi Wilmaka tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan adik seperguruannya yang telah mencoreng aib di perguruan.
Apa yang dikatakan oleh Resi Wilmaka ternyata benar adanya, bahwa Anggada memang telah bersekutu dengan Iblis. Kejadian persekutuan itu terjadi manakala bulan purnama ketiga, saat semua murid Panca Gumilang tengah mengadakan peningkatan ajian Serat Inti Gumilang. Hingga Anggada saja yang masih berada di tingkat tiga, bila dibandingkan dengan adik seperguruannya saja Anggada jauh tertinggal dalam ajian Serat Gumilang Jati.
Hal itu dapat dimaklumi, karena memang Anggada tak mengikuti peningkatan ajian tersebut. Dia lebih mengutamakan persekutuannya dengan Iblis, yang telah menjanjikan padanya segala fasilitas yang menggiurkan berupa ia tak akan dapat mati walau tubuhnya telah hancur luluh. Kedua, ia tak akan dapat dikalahkan oleh manusia biasa, kecuali oleh orang yang berilmu siluman yang ilmunya jauh di atas dirinya.
Sebenarnya Resi Wilmaka telah waspada dan sidik keadaan. Namun sebagai seorang guru, ia tak mau muridnya merasa tersinggung. Maka dibiarkannya sang murid untuk menentukan tindakannya. Sang Resi hanya memberikan peringatan. Mulanya sang murid menurutinya namun ini segala ketakutan itu terjadi…
Mau tak mau, sang Resi yang bijaksana hanya mampu memendam segala rasa dan perasaannya. Hatinya sebenarnya menjerit, sakit bila mengingat dirinya tak mampu mengawasi kelima muridnya. Tapi selaku manusia ia tak dapat menyalahkan diri sendiri. Bukankah manusia mempunyai segala kekurangan dan kesalahan? Hanya kata-kata itu yang mampu menghibur hatinya.
Sang Resi duduk terpekur khidmat, melakukan meditasi sebagai sarana penyerahan diri pada Yang Wenang yang mempunyai wewenang atas segala apa yang terjadi di dunia. Manusia memang dapat berencana, namun Yang Wenang jualah yang akan menentukannya. Tak dirasakan olehnya, air matanya meleleh deras. Sang Resi menangis, ya menangis. Menangisi segala kekurangannya, juga menangisi tindakan muridnya yang telah menyimpang dari kaedah yang telah ia ajarkan.
“Jagad Dewa Batara. Semoga kau berkenan mengampuni segala kesalahan dan kehilafanku. Juga atas segala penyelewengan dari jalan hidup yang telah Engkau gariskan oleh muridku,” berdoa sang Resi.
Tengah sang Resi terpekur dalam doanya, seketika sebuah sinar putih berkelebat masuk ke ruangannya. Lamat-lamat sinar itu membentuk sebuah ujud manusia, yang sungguh telah ia kenal. Manusia itu adalah Eyang gurunya, yang bernama Begawan Kisnenda. Sang Resi segera jatuhkan diri bersujud. “Ampunkanlah muridmu ini, Eyang Begawan.”
“Kenapa kau mesti bermuram durja, Cucuku?” bertanya Begawan Kisnenda. “Bukankah semua jalur kehidupan telah ada yang menggariskan? Janganlah kau terlalu menyesali diri, itu tak baik. Pikirkanlah olehmu apa yang sepatutnya kau lakukan, bukan memikirkan apa yang telah terjadi.”
Kembali Resi Wilmaka mendalamkan sujudnya. Dari kedua matanya, menetes air bening, ia menangis. Melihat Resi Wilmaka menangis, Eyang Begawan Kisnenda kembali berkata.
“Kenapa kau menangis, Cucuku?”
“Ampunkanlah segala kebodohan cucumu ini, Eyang,” menjawab Resi Wilmaka sedih. “Ternyata cucu tak mampu mendidik murid agar menjadi orang yang baik. Semua murid cucu tak ada yang selaras dengan kaidahku. Yang lebih menyedihkan, salah seorang muridku ternyata telah bersekutu dengan setan.”
Mendengar penuturan cucu muridnya, bukannya sang Begawan ikut bersedih dan prihatin. Bahkan dengan gelak tawa sang Begawan berkata tenang. Suaranya yang berat menggema di setiap sudut ruangan menjadikan ruangan yang tadinya sunyi, berubah pecah.
“Cucuku, tangis penyesalan bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Bahkan dengan ketenangan lahir dan batinlah segala persoalan dapat terselesaikan. Mengenai segala rupa bentuk murid-muridmu, itu merupakan suratan Yang Maha Kuasa. Terimalah dengan ketabahan. Hal itu memang sebagai ujian untukmu selaku guru.”
“Lalu bagaimana dengan muridku yang murtad itu, Eyang?”
“Hua, ha, ha… Kau lucu, Cucuku. Bukankah telah kukatakan tadi, bahwa segalanya telah ada yang mengatur. Muridmu yang murtad itu memang telah digarisan oleh Yang Maha Kuasa untuk memerani orang jahat, mengapa kau mesti terpusingkan?”
“Apakah tak ada yang mampu mengalahkannya, Eyang?”
“Ada, Cucuku. Tapi bukan kini saatnya kematian muridmu itu. Dia akan mati setelah kebangkitannya yang kedua kali. Setelah dia dapat memuaskan dendamnya pada keempat cucu muridmu yang dianggap olehnya orang-orang yang perlu disingkirkan, karena merupakan murid-murid musuhnya yaitu muridmu yang empat orang lainnya.”
“Siapakah kira-kira yang mampu mengalahkannya, Eyang?” Wilmaka bertanya ingin tahu. Secercah cahaya ketenangan nampak berkilau dari pandangan matanya. “Apakah dia juga manusia seperti kita, Eyang?”
“Ya, orang itu memang manusia. Pemuda itu memiliki senjata aneh. Senjata itu akan mengeluarkan darah bila telah menghadapi musuh berat. Karena kehebatan pedang itu, ia dijuluki oleh para tokoh persilatan Pendekar Pedang Siluman Darah. Kau paham, Cucuku? Semoga setelah kau aku jelaskan, kau akan tenang.”
Setelah berkata begitu, Begawan Kisnenda seketika raib dari hadapan sang Resi. Sang resi tersentak bangun, ketika terdengar erangan muridnya. Dengan penuh perhatian, Resi Wilmaka segera mendatangi muridnya.
“Ada apa, Waskita?”
“Aku bermimpi buruk, Guru.”
“Tentang apa, Muridku?”
Waskita sesaat menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata menerangkan mimpi yang telah dia alami. Sebuah mimpi yang mampu membuatnya takut dan ngeri. “Begitulah, Guru. Ia bangkit dari alam kegelapan. Dia membunuh anak-anak murid kami. Apakah arti mimpi itu, Guru?”
Ditanya begitu, sang Resi hanya mampu terdiam dan diam tanpa dapat menjawabnya. Ternyata apa yang telah diceritakan oleh eyang gurunya benar bahwa kelak ia akan bangkit dan menteror cucu-cucu muridnya. Mengingat semua itu sang Resi yang penyabar dan tawakal hanya mampu menghela napas. Dipasrahkan segala apa yang bakal terjadi kelak pada Yang Wenang, ya Yang Wenanglah yang akan mengatur semuanya. Bukan dirinya, juga bukan Iblis yang telah menyatu dengan diri muridnya Anggada.
Kerajaan Tanjung Lor yang biasanya tenang seketika berubah menjadi beringas panas. Pekikanpekikan para prajurit yang tengah bertempur bagaikan pekikan-pekikan histeris. Telah banyak tubuh bergelimpangan. Telah basah alun-alun kerajaan Tanjung Lor oleh darah para prajurit yang telah gugur. Namun begitu, rupanya para prajurit yang tengah bertempur tak mau menghiraukannya.
Mereka bahkan lebih panas dan garang. Senjata-senjata yang ada di tangan mereka, layaknya Dewa Kematian. Di pihak kerajaan dipimpin langsung oleh sang Raja. Sementara di pihak pemberontak dipimpin oleh Rara Sumbadra dan Anggada. Kedua tokoh sesat itu tampak beringas. Tangannya melayang telengas, membawa jerit kematian.
"Menyerahlah, Ruda Galuh! Kau bukan raja yang sah! Kau tak memiliki Gong Emas!" berseru Anggada liar, sementara kaki dan tangannya terus beraksi menerjang dan menendang musuh-musuhnya.
"Murid murtad! Kau harus dihukum atas tindakanmu yang telah mencoreng nama baik perguruan Panca Gumilang!"
Mendengar ucapan Ruda Galuh, seketika meledaklah tawa Anggada. "Ruda Galuh! Jangan harap kau dan kambrat-kambratmu yaitu Catur Gumilang mampu mengalahkan aku! Aku Anggada tak akan dapat kalian kalahkan. Akulah Penguasa Puri Kegelapan! Akulah Raja diraja para Iblis Marahkiyangan! Menyerahlah, Ruda Galuh!"
"Cuih...! Jangan harap! Langkahi dulu mayatku. Hiaat...!"
Raja Ruda Galuh segera berkelebat memapaki amukan Anggada, yang telah banyak memakan korban prajuritnya. Kedua paman dan kemenakan seperguruan itu saling berhadap-hadapan. Mata keduanya tajam menatap musuh, seperti hendak menusuk ulu hati.
Maka dengan didahului pekikan, keduanya segera memulai membuka serangan. Keduanya merupakan cucu murid dan murid Begawan Kisnenda, maka ilmu-ilmu yang keduanya miliki merupakan ilmu yang berasal dari satu sumber. Namun betapa tersentaknya Raja Ruda Galuh, manakala melihat keanehan pada jurus-jurus kembangan yang dilakukan oleh kemenakan muridnya.
Jurus-jurus kembangan murid kakak seperguruannya sangat kaku dan tak beraturan. Walau pun begitu, gerakan Anggada sangat cepat, liar dan penuh perhitungan bagaikan terkontrol. Setiap tangan Anggada bergerak, maka angin puting beliung keluar menerpa dahsyat.
Hampir saja tubuh Raja Ruda Galuh terpental diterpa angin pukulan yang dilancarkan Anggada, kalau saja Ruda Galuh tidak segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Dengan mata melotot tersentak, Ruda Galuh loncat ke belakang. Hal ini menjadikan Anggada seketika lepas tawa, bagaikan menemukan kemenangan.
Anggada berjalan dengan melenggang menghampiri Ruda Galuh yang masih tercekat undur, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Di dalam penglihatannnya yang telah menggunakan mata batin, ternyata bukan Anggada yang tengah ia hadapi. Ia kini tengah menghadapi sesosok tubuh yang sangat menyeramkan, yaitu sesosok tubuh Iblis yang telah ia kenal dari gurunya bernama Wala Kuwara atau Penguasa Puri Kegelapan. Saking kagetnya Ruda Galuh, sampai-sampai ia memekik.
"Wala Kuwara...!"
Anggada yang memang telah bersekutu dengan Iblis Penguasa Puri Kegelapan atau Wala Kuwala, tertawa mendengar seruan kaget Ruda Galuh yang telah mengetahui siapa adanya dirinya. "Ruda Galuh, menyerahlah. Tunduklah di bawah kuasaku!"
Wala Kuwara yang menggunakan jasad Anggada terus melangkah mendekati Raja Rada Galuh. Matanya yang tadi hitam, kini berubah memerah berapi-api. Gigi-giginya yang tadinya papak rata, seketika berubah meruncing. Hidungnya seketika hilang mendalam, sementara mulutnya makin lama makin monyong keluar. Tak berapa lama kemudian, bentuk tubuh Anggada benar-benar berubah. Kini mukanya bukan muka manusia, melainkan muka kelelawar.
"Hua, ha, ha...! Ruda Galuh, menyerahlah dan tunduklah pada segala kuasaku!"
"Setan! Jangan kau bermimpi mampu menggertakku, Wala. Tak sudi aku tunduk padamu..."
"Hem, begitu, Ruda Galuh? Baik, bersiaplah...!" Dengan terlebih dahulu mencicit layaknya kelelawar, Anggada secepat kilat berkelebat menyerang Ruda Galuh.
Hal itu menjadikan Ruda Galuh tersentak kaget dan berusaha mengelakkan serangan tersebut, namun sambaran tangan Anggada ternyata telah mendahului. Tak ayal lagi, muka Ruda Galuh terkena cakaran kuku-kuku Anggada yang tajam dan runcing. Beruntung kuku-kuku itu tak mengandung racun, sehingga mampu menjadikan Ruda Galuh bertahan dan hanya meringis menahan sakit saja.
"Iblis! Rupanya ia memang benar-benar telah menjadi Iblis!" Ruda Galuh membatin sembari lompat mundur manakala tangan Anggada hendak kembali menghantamnya. Merasa sasarannya terlepas, Anggada dengan mendengus marah kembali menyerang. Kali ini tidak tanggung-tanggung, menggunakan ilmu iblisnya. Ruda Galuh yang telah marah, tak mau dirinya jadi bulan-bulanan musuhnya. Maka dengan menggeram marah, Ruda Galuh lepaskan ajiannya. "Serat Gumilang Jati pamungkas!"
"Sreeeeeeett...! Bletaar!"
Terdengar ledakan dahsyat membahana, ketika ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas menghantam tubuh Anggada. Sinar merah menyala berkelebat cepat, menubruk tubuh Anggada. Sejenak Ruda Galuh agak tenang hatinya. Namun manakala dilihatnya Anggada tak apa-apa, hatinya tercekat juga.
"Edan! Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas tak berarti apa-apa pada tubuh-nya," keluh Ruda Galuh. "Hem, rupanya memang dia tak akan mati. Rupanya Wala Kuwara benar-benar ingin kembali ke dunia manusia. Hem, bahaya, sungguh bahaya."
Ruda Galuh yang tengah terjengah, tak menyadari bahwa bahaya akan datang menerpanya. Maka ketika kembali tangan Anggada berkelebat, Ruda Galuh tak sempat untuk menghindar. Tak ayal lagi, tubuh Ruda Galuh seketika terpental bagaikan disapu topan, berguling-guling di tengah dengan tulang belulang laksana remuk.
"Ruda Galuh, kenapa kau masih nekad. Apakah kurang segala apa yang aku berikan padamu?"
"Iblis! Jangan kira kau akan mampu berbuat seenakmu," menjawab Ruda Galuh sengit. Ia segera bangkit dan siap menyerang kembali.
Melihat Ruda Galuh telah bersiap-siap menyerang, seperti orang tak mengerti saja Anggada hanya menyunggingkan senyum dan ketika Ruda Galuh menyerangnya, Anggada hanya busungkan dada.
"Dug! Dug! Dug!"
Tiga kali pukulan yang dilampiri tenaga dalam tingkat tinggi yang dilancarkan Ruda Galuh menghantam telak dada Anggada, namun bagaikan tak berasa apa-apa Anggada tersenyum menyeringai. Bahkan Ruda Galuh sendiri yang mencelat ke belakang bagaikan terdorong kuat. Tubuh Ruda Galuh kembali berguling-guling, layaknya sebuah rol yang diputarkan dengan kencangnya. Tubuh Ruda Galuh berhenti, manakala tubuhnya mementok pohon.
Melihat musuhnya telah tak berdaya, bagaikan harimau kelaparan Anggada dengan menggerung menyerang. Namun ketika tangannya sebentar lagi menjamah tubuh Ruda Galuh, tiba-tiba tiga larik sinar merah membara menghantamnya. Tubuh Anggada seketika terpental lima tombak ke belakang. Namun sungguh membuat ketiga orang penyerangnya terperanjat, manakala dengan senyum sinis Anggada bangkit.
"Jagad Dewa Batara, ilmu apa yang ia miliki?" bergumam Bomantara.
"Edan! Sepertinya ajian kita tak berarti baginya!" menggerutu Saelendra kaget seperti yang dirasakan Bomantara.
"Lihat, Kakang! Iblis itu datang ke mari!" berseru Reksa Pati, menjadikan kedua kakak seperguruannya memperhatikan arah yang ditunjuknya.
"Apa daya kita," kembali Bomantra mengeluh.
"Jangan kita putus asa. Ayo kita hantam lagi dengan ajian Serat Gumilang Jati," mengajak Reksa Pati, yang dengan segera diikuti oleh kedua kakak seperguruannya. "Serat Gumilang Jati. Hiaat..!"
"Hiaaat...!"
"Hiaaat...!"
Tiga larik sinar merah menyala kembali keluar dari tangan ketiga murid Resi Wilmaka. Mereka tak tanggung-tanggung lagi menggunakan ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas.
"Bletar! Duar! Duar! Duar!"
"Hua, ha, ha...! Keluarkan oleh kalian apa yang kalian miliki. Aku, Penguasa Puri Kegelapan tak akan kalah oleh kalian murid-murid Resi Wilmaka dungu!"
"Setan! Kau berani menghina guruku!" membentak marah Bomantara atau Pendekar Mabok. "Mana tuak putih! Biar aku yang akan menghajar Iblis bujul buntung itu!"
Bomantara yang telah dibakar amarah, segera berkelebat dengan senjatanya Ciu Putih. Diminumnya Ciu Putih dan dikumurnya, lalu dengan berkelebat bagaikan angin Bomantara menyerang Anggada. Anggada yang tak menyangka Bomantara bakal menyerang, seketika tersentak dengan bibir masih tersenyum.
Kekesalan dan kemarahan Bomantara yang mendengar gurunya diejek begitu rupa tak dapat dibendung lagi. Maka setelah dirinya dekat, disemprotkan Ciu Putih dari mulutnya ke muka Anggada. Seketika Anggada meraung-raung kesakitan, sambil tangannya memegangi muka yang terasa perih. Tubuhnya berguling-guling di tanah, menerima siksaan yang tiada terkira.
Tengah tubuh Anggada kelojotan menahan perih, ketiga orang murid Resi Wilmaka segera bergerak cepat meringkus Anggada. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga murid Resi Wilmaka segera membawa tubuh Anggada yang telah tak berdaya ke sumur Jala Tunda. Dikuburnya tubuh Anggada yang telah tak berdaya itu di dalam sumur Jala Tunda, lalu dengan cara menguncinya ditumbuhi sumur itu sebatang pohon beringin.
Dengan dapat diringkusnya Anggada yang telah bersekutu dengan iblis, maka pihak kerajaan pun segera dapat mendesak pihak pemberontak. Bahkan pimpinan pemberontak yaitu Rara Sumbadra dapat ditangkap dan dijeblosan ke tahanan bawah tanah.
Kekayaan mendadak serta kesaktian yang diperoleh oleh kedua suami istri Rundanu, tak luput menjadi pertanyaan oleh tetangga-tetangganya. Namun begitu, mereka tak berani untuk menuduh sembarangan pada Rundanu.
Sebenarnya hasil yang diperoleh Rundanu sangat besar pengorbanannya. Pertama yang sangat diperhitungkan adalah istri dan anak gadisnya. Ya, bukan tidak mungkin kalau Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan yang dulunya bergelar Pendekar Kumbang, akan meminta kepuasan batinnya.
Malam itu hujan rintik-rintik turun. Sekali-kali suara petir bergema. Hawa dingin karena siraman air hujan, makin terasa dingin di rumah Rundanu. Rundanu yang terdiam membisu, bersama istrinya yang juga tenggelam dalam hening.
"Pakne, apa kau tak mencium bau sesuatu?"
"Ah, bukankah bau-bau itu memang seperti hari-hari biasanya, Bune?" menjawab Rundanu. Dihisapnya rokok kawung dalam-dalam, lalu dihempaskan asapnya. "Kita bersyukur, Bune. Kita dapat menikmati apa yang diberikan oleh Penguasa Puri Kegelapan pada kita, yang berupa uang dan kesaktian."
"Iya, ya, Pakne. Tapi kita jadi pencuri," berkata istrinya, yang seketika itu mengejutkan Rundanu.
"Kenapa kau berkata begitu, Bune?"
"Coba pakne pikir. Bukankah tiap malam Jum'at kita telah mencuri seorang bayi?"
Tengah kedua suami istri itu bercakap-cakap, seketika hawa dingin makin terasa dingin, menyelimuti ruang itu. Ruangan tamu seketika bagaikan diguyur air es, dingin bagaikan hendak membekukan. Dari hawa dingin itu, sayup-sayup tergambar gulungan asap dari asap rokok Rundanu. Aneh, asap rokok Rundanu seketika berubah menjadi besar dan besar. Lama kelamaan asap itu mengumpul, lalu membentuk ujud tubuh sosok manusia. Manusia yang belum mereka kenal, manusia yang hidup pada kurun waktu seabad yang lalu. Dialah Anggada, atau Penguasa Puri Kegelapan. Senyumnya mengembang, menjadikan kedua suami istri itu terhenyak tak mengerti dan bertanya.
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" tanya Rudanu.
Pemuda di hadapannya tersenyum, makin melebar. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah kedua suami istri, lalu duduk di hadapan mereka yang masih terjengah tak mengerti.
"Lupakah kalian padaku, Ki?" tanya pemuda itu, sepertinya telah mengenal kedua suami istri yang duduk di hadapannya. "Akulah Penguasa Puri Kegelapan."
Terperanjat kedua suami istri bagaikan digigit bangsat kepinding di pantatnya, mereka hampir saja terbangun dari duduknya. Mata kedua suami istri itu melotot tak percaya, memandang tak berkedip dari kaki sampai ke ujung rambut pemuda yang duduk di hadapannya.
"Kenapa, Ki? Sepertinya kau terkejut?"
"Be-benar," menjawab Ki Rundanu terbata.
"Benara, Tuan. Sepertinya kami tak dapat percaya," sambung istri Rundanu, yang membuat pemuda itu tersenyum. Senyumnya manis dengan sorot mata tajam, setajam mata burung rajawali.
"Inilah hasil dari kerja kalian."
"Maksud tuan?" Ki Rundanu masih belum mengerti. Dan memang tak akan mengerti akan apa yang dialami oleh Penguasa Puri Kegelapan atau Anggada.
"Karena aku selalu meminum darah bayi, maka segala tubuhku pun kembali seperti seratus tahun yang silam."
"Apa...?"
Terlongong-longong Ki Rundanu dan istri, demi mendengar penuturan pemuda yang duduk di hadapannya. Untuk kesekian kalinya suami istri itu memandang tak berkedip. Mulut mereka ternganga, sepertinya sukar untuk mempercayai bahwa pemuda di hadapannya telah berumur ratusan tahun.
"Jangan kaget, Ki. Kau dan istrimu pun akan dapat seperti aku, asalkan kalian berdua selalu mau menuruti segala apa yang aku katakan."
"Benarkan itu, Tuan?" tanya Ki Rundanu ingin memastikan.
"Apakah aku pernah berdusta pada kalian? Kalian adalah hambaku, maka kalian tak akan pernah aku dustai," menjawab si pemuda dengan masih tersenyum. Matanya yang tadi hitam, seketika memerah bagai menyala. Mata itu menembus tajam pada mata Ki Rundanu, lalu berganti menembus istri Ki Rundanu.
"Cari olehmu sebuah perguruan Cawak Sakti," berkata Anggada. Ditunjuknya Ki Rundanu yang kini telah terpengaruh olehnya, sehingga Ki Rundanu kini bagaikan sebuah robot, menurut dan mematuhi setiap ucapan tuannya.
"Cari perguruan itu, bumi hanguskan!" kembali pemuda itu berseru memerintah.
"Malam ini juga...?" Ki Rundanu bertanya.
"Ya, malam ini juga!"
Tanpa banyak berkata lagi, Ki Rundanu segera berkelebat pergi untuk mencari perguruan yang dimaksud tuannya. Tubuhnya berkelebat cepat, merambah gelapnya malam.
Sementara Anggada yang tengah menunggu bersama istri Rundanu, perlahan segera pindah duduknya. Didekati tubuh istri Rundanu, lalu dibisikan kata-kata mesra.
Seperti suaminya, sang istri pun bagaikan robot saja menurut. Malah ia tersenyum, manakala Anggada mengajaknya berdiri dan berjalan memasuki kamar di mana biasanya ia dan Rundanu melakukannya. Satu persatu pakaian istri Rundanu melayang, lepas dari tubuhnya. Hal itu menjadikan Anggada memburu nafasnya. Matanya menghujam tajam, memandang pada setiap liku-liku tubuh istri Rundanu yang kini membaringkan tubuhnya di atas dipan. Tak lama kemudian, keadaan kamar itu hening hanya desah-desah napas jalang saja yang terdengar.
Surti Kanti yang tengah tertidur seketika terusik bangun, kala terdengar suara ganjil di dalam kamar sebelah. Kamar di mana biasanya untuk tidur kedua orang tuanya. Surti Kanti seketika mengerutkan kening, bimbang untuk mengintip apa yang tengah terjadi di kamar sebelah?
"Apakah bukan ayah?" tanya hati Surti Kanti. "Ah, bukan. Mana mungkin ayah bersuara begini kerasnya? Dengkurnya begitu memekikkan telinga. Apakah aku harus.. Ah, jangan-jangan..."
Hati Surti Rukanti diliputi kebimbangan, bingung harus berbuat bagaimana. Mengintip, takut kalau-kalau yang tengah berbuat adalah ayah dan ibunya. Tidak diintip, suara dengus lelaki itu sungguh aneh dan janggal.
Sesaat Surti Kanti menahan napas, bimbang dan ragu terus menyelimuti hatinya. Namun demi mendengar keganjilan itu, seperti layaknya manusia normal Surti Kanti pun ingin mengetahuinya. Dengan langkah perlahan, didekati bilik yang memisahkan kamarnya dengan kamar orang tuanya. Seketika mata Surti Kanti terbelalak, manakala melihat apa yang terjadi di dalam kamar orang tuanya. Pemandangan itu, menjadikan lututnya bergetar gemetaran.
Bagaimana tidak, Surti Kanti yang benar-benar masih perawan belum tahu apa-apa kini harus melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian itu. Nafasnya seketika memburu, liar. Tangannya yang tadinya diam, seketika beroperasi sendiri, bagaikan latah pada pemandangan yang terpampang di hadapannya. Ketika ibunya mengeluh panjang, Surti Kanti pun turut mengeluh. Dan ketika tangannya menyapu ke bawah dirasakan olehnya cairan kental.
Ketika lelaki yang ia tahu bukan ayahnya berpaling ke arahnya, seketika terpekiklah Surti Kanti. Dilihatnya wajah lelaki itu bukan wajah manusia, namun wajah lelaki itu adalah wajah kelelawar. Tak dapat lagi Surti Kanti menahan ketakutan itu, sehingga ia pun jatuh terkulai lemas pingsan. Lelaki itu menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Sorot matanya merah membara, bagaikan mengandung bara api. Setelah mencicit sejenak lelaki muda itu berkelebat pergi menghilang ditelan gelapnya malam.
Ki Rundanu yang telah terpengaruh oleh Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan, masih terus berlari dalam usahanya mencari di mana perguruan Cawak Sakti berada. Tubuhnya berkelebat cepat, layaknya sebuah bayangan hitam yang hilang lamat-lamat kala tertimpa sinar. Tengah Ki Rundanu berlari, tiba-tiba terdengar olehnya seorang membentak.
"Berhenti! Siapa kau, malam-malam keluyuran!"
Ki Rundanu yang telah dipengaruhi ilmu Anggada segera menghentikan langkahnya. Dipalingkan mukanya menghadap pada orang yang membentaknya. Seketika ketiga lelaki yang ada di belakangnya tersentak kaget, melihat wajah Ki Rundanu. Wajah itu bukan wajah manusia, tapi wajah seekor kelelawar. Mulut manusia kelelawar itu menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing. Sorot mata kelelawar hantu memerah bagai berapi, lalu dengan didahului cicitan manusia kelelawar itu menyerang ketiganya. Serta merta, ketiga orang itu cabut goloknya, babatkan ke tubuh manusia kelelawar.
"Wuuut...!" tangan manusia kelelawar bergerak menyerang. Jari-jarinya yang berkuku runcing dan tajam, menyambar ke arah musuh-musuhnya. Seketika ketiga orang lelaki itu melompat, mengelakkan serangan itu sembari tebaskan golok. Namun dengan cepat, manusia bermuka kelelawar tepiskan serangan itu. Matanya makin memerah, garang penuh rasa membunuh.
"Setan!" memaki salah seorang dari ketiganya. "Rupanya dia iblis yang selalu menjarah kampung kita. Dialah yang telah mencuri keempat puluh bayi."
"Benar, memang kata orang-orang yang melihat pencuri bayi itu orang ini!" menambah temannya.
"Jangan kita biarkan ia lolos!"
Dengan penuh keberanian, ketiga orang yang merupakan keamanan kampung segera menyerang kembali. Golok di tangan mereka bergerak cepat, silih brganti menyerang mahluk berkepala kelelawar yang kembali menyeringai menunjukkan gigi-giginya. Dengan suara serak berat, lelaki bermuka kelelawar itu membentak.
"Minggirlah kalian, jangan sampai aku berubah pikiran."
"Enak saja kau mengusir kami, Iblis!"
"Langkahi dulu kami, baru kau dapat seenaknya berkeliaran hidup!" membentak seorang lagi.
"Hem, kalian rupanya mencari mati. Bersiaplah!" Habis berkata begitu, dengan mencicit terlebih dahulu mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat menyerang. Tubuhnya berkelebat cepat, laksana seekor kelelawar yang tengah terbang. Jurus-jurusnya begitu aneh, kaku namun ganas. Jurusnya selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan.
Ketiga orang pengeroyoknya tersentak kaget, melihat jurus-jurus silat yang aneh. Ketiganya segera babatkan golok, manakala tangan manusia berkepala kelelawar hendak mencengkram mereka. Kuku-kuku yang hitam dan panjang itu, sungguh sangat berbahaya bila mengenai sasaran.
Mata mahluk itu yang tadi memerah, makin bertambah membara manakala mendapatkan ketiga musuhnya dapat menghindar. Kembali dengan cicitannya yang melengking mahluk itu kembali menyerang. Kali ini jurusnya berubah, makin aneh dan kaku. Tapi dari kekakuan itu, keluar angin menderu bila tangannya dikibaskan.
"Gila! Rupanya ia memang benar-benar siluman!" memekik seseorang dari ketiganya, tatkala tangan mahluk itu berhasil menjambret lengan bajunya hingga lengan baju itu koyak lebar.
Melihat salah seorang musuhnya dapat dipecundangi, mahluk berkepala kelelawar itu makin telengas. Matanya melotot tajam, merah membara. Tangannya bergerak cepat, dan...!
"Bret! Bret...!"
Dua kali terdengar besetan, manakala tangan mahluk itu berhasil mencakar muka salah seorang dari ketiganya. Orang yang terkena seketika memekik kesakitan. Dari pipinya yang terbeset, keluar darah mengucur deras. Mata mahluk itu makin liar, ketika dilihatnya darah merah membanjiri muka salah seorang musuhnya. Dengan kembali men-cicit, mahluk itu kembali menyerang. Kali ini serangannya begitu beringas, liar penuh nafsu membunuh.
"Kalian telah menyita waktuku. Kalian harus mati!" Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat cepat. Dengan liar dan ganas mengibaskan tangannya, sehingga seketika angin menderu keluar dari kibasan tangan.
Tersentak ketiganya berusaha menghindar, namun ternyata gerakan mahluk itu lebih cepat. Hingga ketiganya tak dapat mengelakkan serangan tersebut.
"Wut... Wut... Wut..!"
Ketiganya kibaskan golok menangkis, namun rupanya jurus itu hanya tipuan. Sedang yang sebenarnya, adalah gerakan tangan kiri mahluk berkepala kelelawar. Tak ayal lagi, jerit kesakitan seketika membahana manakala tangan mahluk itu mengoyak muka mereka. Belum juga ketiganya tersadar, tiba-tiba mahluk itu lepaskan sebuah pukulan yang mengeluarkan sinar merah membara dari tangannya. Pukulan itu adalah ajian Serat Gumilang Jati. Ya, pukulan ajian Serat Gumilang Jati yang dimiliki oleh Panca Gumilang. Belum juga ketiga orang itu tersadar, mereka tak dapat lagi mengelakkan pukulan ajian Gumilang Jati. Dan...!
"Bletar...! Bletar! Bletar...!"
Tiga kali ledakan itu bergema, dan tiga kali pula terdengar jeritan dari ketiga orang itu yang roboh dengan tubuh terbakar hangus. Melihat ketiganya telah mati, mahluk berkepala kelelawar itu ambil langkah seribu.
Wulu Gudug sangat gusar, manakala mendengar laporan anak buahnya yang mengatakan usaha mereka untuk beroperasi telah diporak-porandakan oleh seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Ndableg. Wulu Gudug merupakan seorang pimpinan judi Koprok dan pelacuran yang beroperasi di desa Wulung Segara. Namun di samping pembuka judi dan pelacuran, juga melakukan perampokan dan pembegalan. Anak buahnya begitu banyak, hampir mencapai seratus orang.
"Setan...! Kenapa mesti dibocorkan? Siapa yang telah berlaku kurang ajar, hah?"
"Maaf, Ketua Wulu Gudug, saya rasa ada orang dalam yang berani berbuat culas ini."
"Maksudmu, Luragung?" tanya Wulu Gudug belum mengerti.
"Tidakkah tetua mencurigai seseorang?"
"Ah, siapakah yang kau maksud, Luragung?" kembali Wulu Gudug bertanya. "Apakah yang kau maksud, anggota kita yang baru? Siapa namanya?"
"Benar, ketua. Itulah yang aku maksudkan," menjawab Luragung, yang menjadikan Wulu Gudug seketika melotot marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi gemeretukan menahan emosi. Dengan amarah yang berapi-api Wulu Gudug berkata.
"Panggil kunyuk kupret itu ke mari. Bila perlu, cincang dia!"
"Baik, Tetua."
Setelah berkata begitu, Luragung segera berkelebat pergi untuk memanggil anggotanya yang baru yang mengaku-aku bernama Wulung Ampar. Namun sesampainya di barak anggota, betapa Luragung sangat terkejut. Betapa tidak, di situ tergeletak beberapa orang anggotanya yang mati dengan keadaan menyedihkan. Menggeram marah Luragung seketika, merasa telah dihina mentah-mentah oleh Wulung Ampar. Maka dengan berseru, Luragung memaki-maki sendiri.
"Wulung Ampar keparat, ke luar kau! Ke mana pun kau lari, aku tak akan membiarkannya! Ke luar kau Wulung!"
"Luragung, kenapa kau mesti berteriak-teriak kayak anak kecil? Kalau kau ingin menemui aku, masuklah!" menjawab suara orang di dalam yang menjadikan Luragung geram.
Dengan didahului bentakan, Luragung segera berkelebat masuk. "Wulung Ampar, jangan kira aku takut padamu. Hiaaat...!"
Golok di tangannya lurus terjurus ke muka, sepertinya siap menghujam musuhnya. Namun betapa tersentaknya Luragung sekaligus mental tubuhnya, manakala sebuah hantaman telak mendarat di dadanya. Tubuh Luragung mencelat ke luar dan jatuh terhempas ke tanah, dari mulutnya seketika meleleh darah segar. Walau begitu, Luragung tampak masih bertahan. Luragung segera bangkit dengan mata melotot kaget manakala orang yang dari dalam bilik itu keluar. Orang yang ia kenal sebagai Wulung Ampar, ternyata kini telah berubah. Lelaki muda itu kini bukan Wulung Ampar, namun orang yang ia kenal sebagai seorang pendekar yang telah mengobrak-abrik markas judinya.
"Kau... Kau Pendekar Jaka Ndableg!"
"Ya, kenapa kau kaget?" kembali bertanya Jaka.
"Setan! Rupanya kau sengaja menelusup kemari. Jangan salahkan kalau nantinya kau akan celaka, Anak muda!" menggeretak marah Luragung, nafasnya mendengus liar, matanya memandang tajam menghujam pada Jaka Ndableg yang tampak masih tersenyum.
Jaka melangkah perlahan, menghampiri Luragung yang kini telah berdiri. "Katakan di mana pimpinanmu berada?"
"Jangan harap kau akan dapat seenaknya menyuruhku!"
"Hem, kau yakin itu, Luragung?" bertanya Jaka sinis.
"Setan! Kau anggap aku apa, hah! Jangan kira aku takut mendengar nama dan julukanmu. Ayo, kita buktikan, hiaaat..!" Luragung yang merasa mangkel dengan tingkah laku Jaka, tak lagi banyak berkata. Secepat kilat ia berkelebat, tebaskan golok di tangannya ke arah Jaka.
Diserang demikian, bukan menjadi Jaka keteter. Bahkan dengan ketawa-tawa sendiri Jaka berkelebat mengelakkannya. Mulutnya yang suka usil, tak henti-hentinya berkata. "Kurang tepat, Mang. Lihatlah, kau akan kecapaian sendiri. Apakah kau tak melihat aku di sampingmu?"
Ketika Luragung membalikkan tubuh ke samping, seketika sebuah tamparan tangan Jaka telak menghantam pipinya. Menjeritlah Luragung, pipinya merah tergurat bekas tangan Jaka. Kepalanya terasa pening, menjadikan Luragung sempoyongan dan jatuh. Jaka tersenyum, dihampirinya tubuh Luragung. Luragung yang sudah panik tampak segera bangkit, golok di tangannya ia kiblatkan ke arah Jaka yang datang menghampiri. Ketika Jaka hampir sampai, Luragung tebaskan goloknya dengan memekik dahsyat.
"Wuuuut... Wuuut... Wuuuut!"
"Kurang tepat, Mang!" seru Jaka bagaikan seorang guru mengajari ilmu silat muridnya. "Begini caranya memegang golok, agar kau tak salah lagi. Sini aku pinjam sebentar."
Habis ucapan itu, tiba-tiba tangan Jaka bergerak cepat. Mata Luragung seketika melotot, manakala tangan Jaka tiba-tiba telah merampas golok di tangannya. Luragung lompatkan tubuh ke belakang, bermaksud elakan sambaran golok yang dilancarkan Jaka. Namun ternyata samberan golok itu hanya tipuan, yang dilancarkan Jaka untuk memancing Luragung. Ketika Luragung lompat, maka tak ayal lagi kaki Jaka yang mengait terkait oleh kakinya tanpa disadari.
"Gedebug...!"
Tubuh Luragung terpelanting jatuh, manakala kakinya terkait kaki Jaka. Luragung meringis, dirasakan Luragung pantatnya sakit sekali. Ketika pantatnya diraba, ternyata bisul yang besar telah pecah. Tak kepalang Luragung menjerit, menerima bisul kesayangannya pecah berantakan. Maka dengan nekad Luragung kembali bangkit menyerang.
Jaka yang masih tenang segera kelitkan tubuhnya ke samping, tatkala sebuah hantaman tangan kosong yang dilancarkan Luragung menuju ke arahnya. "Mau nangkep kodok, Mang?" Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Luragung seketika meluncur deras. Maka ketika kaki Jaka mengait, tak ayal lagi tubuh Luragung kembali terjerembab mencium tanah.
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan aku! Jangan kira aku akan mengalah padamu, terimalah ini!"
Selesai berkata begitu, Luragung yang telah disakiti dengan cara mencium tanah dua kali lancarkan pukulan jarak jauhnya. Jaka tersentak melompat mundur, kibaskan tangan yang telah disaluri ajian menghantam balik serangan itu. Tak ayal lagi, serangan yang dilancarkan Luragung balik menyerang tuannya.
Luragung tersentak dan berusaha menghindar, namun tak cepat. Larikan sinar dari serangannya, kini lebih cepat berbalik ke arahnya dan menghantam telak tubuh Luragung. Luragung seketika itu menjerit, ambruk menggelesor ke tanah. Sesaat tubuhnya kelojotan, lalu diam dan mati.
Demi melihat apa yang terjadi pada diri Luragung, bergidig juga Jaka. Di atas tubuh Luragung yang telah mati, seketika muncul anak-anak kalajengking yang cepat membesar menggerogoti tubuh Luragung. Saking kagetnya Jaka melihat hal itu, dari mulut Jaka memekik menyebut nama ajian yang digunakan Luragung.
"Ajian Racun Kala! Hem, sungguh menggidikan. Kalau orang lain, niscaya akan seperti Luragung keadaannya. Ajian aneh!"
Setelah memandang sesaat pada mayat Luragung, segera Jaka berkelebat loncat ke atas pohon manakala dirasa ada orang yang datang. Mata Jaka yang tajam, memandang pada bayangan seorang yang menuju ke arahnya.
Orang itu yang tak lain dari Wulu Gudug, seketika membelalakkan mata demi melihat tangan kanannya telah mati terhantam oleh ajiannya sendiri. Gusar Wulu Gudug seketika itu, lalu dengan membabi buta dihantamnya apa yang ada di hutan itu dengan ajiannya yang bernama Jelentar Ungu. Dari telapak tangan Wulu Gudug keluar sinar ungu menghantam pepohonan, seketika pepohonan yang ada di situ runtuh daun-daunnya dan tumbang. Tengah Wulu Gudug mengumbar amarah, terdengar gelak tawa seseorang mengejeknya.
"Wulu Gudug, kenapa kau kayak orang gila!"
"Keluar kau, Monyet!"
"Hua, ha, ha... kalau aku monyet, memang benar. Namun kau lebih dari monyet. Kau adalah anjing gudigan! Bukan begitu, Wulu Gudug!"
"Setan! Tampakan ujud mu, jangan hanya berani berkoar!"
"Aku di belakangmu, Wulu Gudug!"
Tersentak kaget Wulu Gudug, manakala ia menengok ke belakang tampak olehnya seorang pemuda yang telah ia ketahui sebagai Pendekar Pedang Siluman Darah telah berdiri sembari tersenyum sinis padanya.
"Kau...!"
"Ya, aku Wulu Gudug. Kenapa kau kaget? Bukankah tadi kau menyuruhku untuk keluar!" berkata Jaka tenang. "Kini aku telah keluar... apa yang hendak kau lakukan padaku, Wulu Gudug?"
"Jangan kira aku takut mendengar namamu, Anak muda!" membentak Wulu Gudug marah. Matanya membara penuh permusuhan, menjadikan Wulu Gudug yang sudah garang tampak makin garang saja. Maka tanpa berkata lagi, Wulu Gudug telah memekik menyerang Jaka.
"Heh, rupanya kau masih lancar mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat, walau badanmu telah gemuk bagaikan kingkong. Hua, ha, ha..."
"Setan! Terima ini, hiat!"
Wulu Gudug yang sudah marah pada Jaka tak tanggung-tanggung lagi, hantamkan ajiannya yang bernama Jelentar Ungu. Dari tangan Wulu Gudug nampak larikan sinar ungu mengkiblat ke arah Jaka. Jaka lemparkan tubuh ke samping, sehingga larikan sinar ungu itu melesat beberapa senti di samping tubuhnya, menghantam pepohonan yang seketika itu berguguran dan tumbang.
Jaka kembali tersentak dari lamunannya, manakala tangan Wulu Gudug yang telah disaluri ajian Jelentar Ungu kembali mengkiblat ke arahnya. Merasa untuk mengelak sudah tak ada kesempatan, Jaka segera hantamkan ajian Getih Saktinya.
"Ajian Jelantarr Ungu, hiaat!"
"Getih Sakti, hiaat!"
"Duar! Wessst... Pess!"
Terpental keduanya ke belakang, jatuh dengan tubuh terduduk Jaka tampak meringis, dadanya terasa sesak. Ternyata ajian Getih Saktinya belum dapat mengalahkan Jelentar Ungu. Darah meleleh dari sudut bibirnya, yang segera dilap oleh Jaka dengan tangan. Sementara Wulu Gudug nampak tak mengalami apa-apa, bahkan ia telah bangkit dan ganda tawa melihat Jaka meringis menahan sakit di dadanya.
"Hua, ha, ha..! Ternyata segitu kemampuan Pendekar yang tengah menjadi buah bibir di kolong Langit. Hem, hari ini juga tamatlah riwayatmu," berkata Wulu Gudug sinis. "Bersiaplah untuk akhir kejayaan mu. Aku Wulu Gudug, akan mengirimmu ke akherat. Terimalah ini...! Ajian Jelentar Ungu, hiaat...!" Wulu Gudug yang menyangka Jaka telah habis ilmunya, dengan garang hantamkan ajian Jelantar Ungu.
Terbelalak Jaka melihat hal itu, belum sempat Jaka berpikir untuk berbuat apa. Ketika sebentar lagi sinar ungu itu hendak menghantamnya, dengan spekulasi Jaka hantamkan ajian Petir Sewu. "Petir Sewu, hiaat..!"
"Bletar... Bletar... Bletar...!"
"Aaaah..." Melengking suara Wulu Gudug, tubuhnya terhantam ajian Petir Sewu yang dilancarkan Jaka, terpental jauh dan ambruk dengan tubuh hancur berantakan hangus bagaikan dipanggang.
Jaka terdiam sesaat, duduk bersila. Diaturnya napas perlahan, hingga benar-benar nafasnya telah sempurna. Ya, itulah meditasi cara mengatur jalan darah yang diajarkan oleh keempat gurunya. Merasa telah segar, Jaka segera kelebatkan dirinya pergi meninggalkan tempat itu, yang kembali sepi dan hanya ada dua sosok tubuh pimpinan dan tangan kanannya yang mati mengerikan. Itulah Wulu Gudug pimpinan gerombolan dan Luragung tangan kanannya.
Angin berhembus sepoi, menerpa tubuh-tubuh keduanya yang tak lagi merasakan sejuknya hembusan angin. Daun-daun berguguran, bersama datangnya burung pemakan bangkai. Burung itu berteriak-teriak, bagai berbahagia dapat mangsa yang lezat. Namun sungguh aneh, burung-burung itu ternyata tak doyan memakan bangkai Wulu Gudug dan Luragung.
DI PERGURUAN CAWAK SAKTI...
Hari itu langit tampak mendung, awan bergumpal-gumpal menutup langit di atas Perguruan Cawak Sakti. Perguruan Cawak Sakti dipimpin oleh murid dari Catur Gumilang yang bergelar Pendekar Mabok atau Bomantara. Sementara murid Bomantara yang kini memimpin Cawak Sakti, merupakan murid tunggalnya bernama Suwarna Angresta. Suwarna Angresta, adalah anak seorang Raja. Dia merelakan tampuk kerajaan pada adiknya dan dia sendiri mendalami ilmu-ilmu kanuragan.
Cita-citanya menjadi seorang pendekar, mendorongnya untuk mencari guru yang sakti dan benar-benar mumpuni. Maka ketika ia melihat Bomantara yang menurut pelatih silat istana adalah tokoh yang disegani, Suwarna Angresta segera berguru padanya. Beruntung, Bomantara ternyata mau menjadikannya murid. Segala ilmu yang dimiliki Bomantara atau Pendekar Mabok, diturunkannya pada sang murid tunggal. Maka setelah Bomantara wafat, Suwarna Angrestalah yang menggantikannya.
Hari itu Suwarna Angresta tampak tengah melatih murid-muridnya yang berjumlah seratus orang dengan berbagai macam ilmu silat. Murid yang berjumlah seratus orang terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama, merupakan bagian yang tengah mempelajari tingkat dasar. Bagian yang kedua merupakan bagian yang mempelajari segala ilmu silat biasa. Sedang yang ketiga, mereka mempelajari ajian Serat Gumilang Jati tingkat dasar, satu, dua, dan tiga. Dan yang terakhir, mereka mempelajari ajian Gumilang Jati tingkat empat, lima dan enam.
Suwarna Angresta tersenyum senang melihat keseratus muridnya yang tampak bersemangat mempelajari apa yang ia turunkan. Ia melangkah perlahan, menghampiri murid-murid utamanya yang terdiri dari empat orang. Keempat orang murid utama itu, bergelar Catur Cawak Sakti. Mereka merupakan murid-murid yang patuh, setia dan mempunyai tata krama yang tinggi.
"Eka Cawak, bagaimana adik-adikmu berlatih?"
"Seperti Guru lihat," menjawab Eka Cawak demi mendengar pertanyaan Gurunya.
Sang guru segera berlalu meninggalkan Eka Cawak yang kembali melatih menuju ke murid utamanya yang kedua, yang diberi nama Dwi Cawak dan bertanya. "Dwi Cawak, bagaimana adik-adik yang engkau pimpin?"
"Seperti yang Guru saksikan," menjawab Dwi Cawak yang tengah memimpin adik-adiknya berlatih tingkat dasar. Setelah menanyai keempat murid utamanya, Suwarna Angresta segera kembali ke tempatnya yaitu sebuah kursi yang terletak di balai-balai. Di situ biasanya Suwarna Angresta duduk, memperhatikan murid-muridnya berlatih. Hatinya bangga, walau jauh dari kehidupan yang serba berkecukupan. Dilupakannya kalangan istana, dipusatkan segala pikiran dan tenaga pada ilmu-ilmu silat. Jika ia ingat semuanya, ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Tengah mereka berlatih silat, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana berbarengan dengan berkelebatnya sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Suwarna Angresta. Suwarna Angresta tersentak, bangun dari duduknya.
"Siapa engkau, Ki Sanak?"
"Hua, ha, ha... akulah Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan."
"Bohong! Paman Anggda telah mati. Juga badanmu lain dengan apa yang diceritakan guru padaku, siapa kau sebenarnya?"
"Suwarna Angresta, memang jasad ini bukan milikku. Tapi rohku lah yang telah menggerakkannya untuk menuju ke mari. Nah, bersiaplah kau menerima pembalasanku."
"Kenapa paman guru memusuhiku? Bukankah aku tak tahu apa-apa?"
"Persetan... Eh, bukankah aku juga telah menjadi setan?" Belum habis kebingungan Rundanu, Suwarna Angresta telah mendahului berkata.
"Paman guru... Kalau benar engkau paman guru, maka terimalah sembah sujudku." Suwarna Angresta hendak menyembah, ketika sebuah hantaman dari tangan Rundanu menjadikannya membatalkan sujud. Suwarna Angresta loncatkan tubuh, melenting keluar.
Melihat gurunya diserang oleh orang asing, serentak keseratus muridnya tanpa diperintah segera berkelebat menghadang. Maka tak ayal lagi, keseratus murid Suwarna Angresta mengeroyok Rundanu. Rundanu yang telah dikuasai oleh Anggada, nampaknya tidak gentar sedikitpun menghadapi pengeroyokan itu. Bahkan dengan ganda tawa, Rundanu berseru.
"Suwarna, rupanya kau memang kemenakan yang baik. Kau sambut kedatanganku dengan meriah. Baik, memang aku telah bersumpah ketika di sumur Jala Tunda, bahwa aku akan menghabiskan semua pewaris ilmu Resi Wilmaka. Nah, bersiaplah!"
Tersentak semua murid Catur Cawak, manakala melihat perubahan pada diri Rundanu. Muka Rundanu seketika berubah menjadi muka kelelawar. Matanya memerah bagaikan menyala, dengan mulut menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Belum sempat semuanya tersadar dari rasa kaget, Penguasa Puri Kegelapan telah berkelebat menyerang mereka.
Namun sebagai seorang yang telah dididik dengan ilmu silat dan ilmu kanuragan, mereka tak gentar melihat hal itu. Maka dengan serentak keseratus anak murid Suwarna Angresta segera berbareng menghadang mahluk berkepala kelelawar itu yang bermaksud menyerang guru mereka. Pertarungan pun berjalan, membawa segala jerit-jerit kematian dan pekik-pekik kemarahan.
Melihat semuanya nampak terdesak oleh amukan mahluk itu, serentak Catur Cawak berkelebat menghadang. Tanpa membuang-buang waktu, keempat Catur Cawak segera menyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga.
"Duar...!"
Ledakan itu terdengar membahana, manakala empat larik sinar merah membara menghantam tubuh mahluk berkepala kelelawar. Namun bagaikan tak berarti, ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga, tak menjadikan mahluk berkepala kelelawar itu hancur, roboh pun tidak. Hal itu menjadikan rasa kaget ada keempat Catur Cawak, mereka tak yakin akan apa yang mereka lihat.
Bagaimana tidak, ajian Serat Gumilang Jati, merupakan ajian yang sangat ampuh. Jangankan tingkat ketiga, tingkat pertama saja mampu membakar daun-daun kering. Namun mahluk itu, tak mengalami apa-apa. Keempat Catur Cawak yang tengah terperangah segera lompat ke belakang, manakala mahluk itu menyerang mereka. Tangan mahluk berkepala kelelawar itu menyabet dengan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Matanya merah penuh api kematian memandang tak berkedip pada Catur Cawak.
"Kita jangan terpengaruh. Ayo, kita labrak mahluk itu dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat empat."
"Benar apa yang dikatakan Kakang Eka Cawak. Ayo kita serang kembali mahluk itu..." menyambung Dwi Cawak berkata.
Maka dengan tanpa banyak kata, karena keadaan sangat mendesak keempat Cawak Sakti itu segera hantamkan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keempat pada tubuh mahluk itu. Namun untuk seperti semula, keempatnya dibuat terperangah. Tengah keempat Cawak Sakti itu terjengah, terdengar suara mahluk itu berkata mengejek.
"Keluarkan semua ilmu kentut busuk yang kalian miliki. Akupun mampu melakukannya, lihat...!" Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelelawar itu hantamkan tangannya yang telah dialiri ajian Serat Gumilang Jati tingkat kelima.
Tersentak keempat Cawak Sakti, manakala melihat ajian yang mereka miliki juga dimiliki mahluk berkepala kelelawar itu. Belum juga mereka dapat mengendalikan kekagetannya, larikan sinar merah dari tangan mahluk menyeramkan itu menghantam ke arah mereka. Cawak Eka dan Cawak Dwi mampu menghindarinya. Namun kedua Cawak yang lainnya, tak mampu menghindar. Dengan nekad, kedua Cawak Sakti itu lepaskan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keenamnya.
"Hiaaat...!"
"Hiaaattt...!"
"Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tiga ajian yang sama jenisnya saling beradu. Tubuh kedua Cawak Sakti terlempar jauh, lalu jatuh dengan mulut meleleh darah. Dua Cawak Sakti itu luka dalam, hingga keduanya pingsan.
Melihat kedua adik seperguruannya tergeletak, kedua Cawak Sakti lainnya dengan geram menyerang mahluk berkepala kelelawar yang masih tertawa bergelak-gelak melihat keduanya menyerang.
"Percuma kalian membuang-buang tenaga, menyerahlah!"
"Setan! Jangan kira kami takut padamu. Bagi kami, lebih baik mati daripada menjadi hamba iblis. Ayo adik-adik, serang...!"
Mendengar seruan Eka Cawak, seketika semua anak murid Cawak Sakti bagaikan tak kenal takut menyerang. Karena mereka dididik dengan cara ksatria, mereka bertarung pun memakai ala ksatria. Musuh tangan kosong, mereka pun tangan kosong pula.
"Bedebah! Rupanya kalian memilih mampus! Bersiaplah, tak akan aku biarkan pewaris ilmu Catur Gumilang hidup." Habis berkata begitu, mahluk menyeramkan segera mengumbar kesaktiannya.
Ajian-ajian iblis dikeluarkannya, menjadikan semua musuh tak mampu menyangkal. Hanya pimpinan Cawak Sakti saja atau guru besar Cawak Sakti, yaitu Suwarna Angresta yang mampu menangkal. Melihat anak muridnya tak mampu menghadapi ilmu iblis Rundanu, Suwarna Angresta segera berkelebat menghadang.
"Paman guru, sungguh terlalu telengas paman guru tindakannya."
"Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu!" membentak Penguasa Puri Kegelapan. "Aku dan gurumu telah menjadi musuh. Gurumu lah dan paman gurumu yang lain, yang telah mengubur ku hidup-hidup. Aku mendekam selama lima puluh tahun lebih di dalam sumur Jala Tunda, semua gara-gara tindakan guru dan paman-paman gurumu yang menamakan diri Catur Gumilang Sakti. Karena mereka telah tiada, maka aku melimpahkan segala dendam ku pada murid-muridnya termasuk kau!"
"Baiklah! Kalau memang itu yang paman guru inginkan. Demi membela kebenaran dan keadilan, aku siap!"
Tertawa bergelak-gelak Penguasa Puri Kegelapan, mendengar ucapan Suwarna Angresta. "Bersiaplah!"
"Aku sudah siap! Mati pun, aku rela demi menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Nah, silahkan apa yang akan paman guru lakukan padaku."
Dengan didahului mencicit, mahluk berkepala kelelawar itu segera menyerang. Suwarna Angresta yang telah siaga, segera memapakinya. Pertarungan dua paman dan murid perguruan itu berlangsung, tanpa banyak kata lagi. Penguasa Puri Kegelapan yang telah tahu siapa orang musuhnya, tak segan-segan mengeluarkan segala ilmu iblisnya. Mahluk itu menyerang bagaikan mencari kematian. Ya, memang mahluk berkepala kelelawar itu telah bertekad untuk memusnahkan keturunan Catur Gumilang.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya tak terasa oleh kedua orang yang berkelahi itu. Namun bila dilihat, tampaklah ilmu yang dimiliki Suwarna Angresta tiada arti sama sekali. Terbelalak mata Suwarna Angresta, melihat kenyataan itu. Kini hatinya diliputi kemarahan, dan kekesalan yang meledak-ledak.
"Terimalah ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas. Hiaat!"
"Keluarkan semua ilmu yang kau miliki, Suwarna. Tak akan ada artinya sama sekali bagiku. Hiaaat...!"
Dua tubuh itu berkelebat bagaikan terbang, melayang di udara. Lalu keduanya pun bertemu, mengadu dua kekuatan sakti yang mereka miliki.
"Duar...!"
Tubuh keduanya terhenyak ke belakang, terlempar beberapa tombak. Namun begitu, keduanya masih sama-sama tangguh. Keduanya kini telah siap siaga, siap untuk melakukan serangan. Mata keduanya sejenak saling pandang, tajam menghunjam melebihi tajamnya pedang. Keduanya seperti tengah menjajaki ilmu yang dimiliki musuh-musuhnya.
"Suwarna... Lebih baik kau mengakui kalah dan gorok lehermu sendiri."
"Bedebah! Jangan kira aku mau menuruti ucapanmu. Aku belum kalah! Ayo, kita lanjutkan."
"Hua, ha, ha... Percuma kau sombongkan ajianmu, Suwarna. Tak ada artinya semua ajian warisan Resi Wilmaka bagi diriku."
"Jangan sombong, Anggada. Bersiaplah..." Dengan segera, Suwarna Angresta kerahkan tenaga dalam pada pusat kepalan tangannya. Kini ia tengah merapalkan ajian Pukulan Tangan Besinya. Tangan Suwarna seketika menghitam, legam bagaikan baja alami. Dengan didahului pekikkan, Suwarna segera berkelebat menyerang. "Hiaaaaat !"
"Hem, ilmu apa pula yang hendak kau keluarkan. Jangan kira kau akan mampu mengalahkan aku, hiaat!"
Kembali keduanya berkelebat, saling serang dengan ilmu yang mereka miliki. Betapa tersentaknya Suwarna yang tengah melayang, ketika dilihat olehnya dari tangan Anggada keluar larikan hitam legam.
"Hem. kenapa dia memiliki ajian ganas itu? Cilaka!"
Belum sempat Suwarna mengelak, Penguasa Puri Kegelapan telah mendahului menyerang. Mau tak mau, Suwarna segera hadang dengan ajian Pukulan Tangan Besi.
"Duar...!"
"Aaaaaahhh..." Suwarna Angresta memekik, tubuhnya melayang bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya seketika retak, lalu pecah-pecah laksana batu terhantam martil raksasa. Tubuh itu ambruk, mati...
Melihat musuhnya telah mati, dengan gelak tawa Penguasa Puri Kegelapan segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu. Mayat-mayat bergelimpangan, memenuhi lapangan perguruan Cawak Sakti. Satu keturunan Resi Wilmaka hilang, mati di tangan Penguasa Puri Kegelapan. Dan rupanya benar apa yang dikatakan oleh Begawan Kisnenda...
Korban demi korban dari keturunan Resi Wilmaka berjatuhan. Sepertinya memang sudah digariskan. Kodrat alam memang tak dapat dirubah, atau dihindari. Kodrat harus berjalan, sesuai dengan larikan sang waktu.
Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah yang konyol, nampak termangu melihat apa yang ada di hadapannya. Mayat-mayat bergelimpangan, sepertinya telah terjadi pertempuran. Namun bila dilihat, mana ada pertempuran hanya korban dari sepihak? Jelas semua yang melakukan adalah orang yang berilmu tinggi.
"Hem, aneh. Kalau pertempuran, jelas tak semuanya hanya sepihak yang mati. Paling tidak ada orang musuhnya, tapi kenapa ini satu perguruan?" bergumam Jaka dalam hati. "Aku rasa ini merupakan sebuah pembalasan. Sungguh sangat disayangkan, Perguruan Cawak Sakti yang kondang dalam nama baik sebagai perguruan berhaluan lurus kini hilang bagaikan dilanda topan."
Tengah Jaka merenung bingung, sehingga ia seperti seorang yang benar-benar linglung terdengar suara seseorang merintih. Jaka segera mencari suara itu, dan tak begitu lama Jaka pun segera menemukannya. Tersentak Jaka setelah tahu siapa adanya orang tersebut, yang tak lain Suwarna Angresta pimpinan Cawak Sakti.
Tubuh Suwarna tampak retak-retak dengan darah mengalir dari retakan-retakan tersebut. Ia tampak merangkak, menuju ke arah Jaka berada. Melihat hal itu, dengan segera Jaka memburu ke arahnya.
"Tuan Suwarna, apa yang telah terjadi?"
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Suwarna matanya tak dapat melihat akibat tertutup darah.
"Aku Jaka, Jaka Ndableg."
Mendengar jawaban Jaka, tersentak kaget Suwarna girang. Hingga ia bagaikan tak mengalami rasa sakit berseru. "Jaka..!! Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah yang tengah kesohor itu?"
"Benar, tapi aku tidak kesohor."
Dalam keadaan yang kalut seperti itu, Jaka masih juga sempat ngebanyol. Hal itu membuat Suwarna Angresta yang tengah sekarat, bagaikan tak mengalami rasa sakit. Bibirnya terurai senyum. Ia tahu bahwa Pendekar ini memang suka macam-macam dengan tingkah lakunya yang dapat membuat ketawa temannya, namun dapat membuat marah musuh-musuhnya. Pendekar ini banyak teman, tapi juga banyak lawan.
"Ah, kenapa engkau selalu merendah, Pendekar?"
"Sudahlah, Tuan. Tuan tak usah mendebatkan namaku atau julukan yang ada pada diriku. Kini tubuh tuan begitu lemah, ayo aku bantu." Dengan segera, Jaka membopong tubuh Suwarna Angresta yang penuh berlumuran darah menuju ke dalam pondoknya. Disapunya darah yang menutupi muka Suwarna, sehingga bersih.
"Katakanlah, apa yang telah menimpa perguruan Cawak Sakti? Dan siapakah yang telah berbuat demikian telengasnya?"
Sejenak Suwarna terdiam. Diaturnya napas perlahan yang terasa berat menyesak. Mulutnya sekali-kali meringis, menahan sakit yang mendera tubuhnya. Betapa tidak, tubuhnya telah begitu hancur. "Ceritanya panjang, Tuan pendekar."
"Kau mampu untuk menuturkannya.?"
"Akan aku coba sebelum ajalku tiba."
Dengan suara pelan, Suwarna akhirnya menceritakan apa yang telah dialami oleh perguruannya. Juga tak lupa akan siapa yang telah melakukannya. Mendengar penuturan cerita Suwarna, bagaikan orang terjaga dari tidur Jaka berseru kaget.
"Ah... Jadi Penguasa Puri Kegelapan yang aku dengar hidup pada seabad yang lalu itu muncul lagi? Dan ternyata ia adalah paman seperguruanmu?"
"Benar, Tuan," menjawab Suwarna. "Aku minta tuan Pendekar sudi menghentikannya. Dia sangat berbahaya. Mungkin kini atau esok, dia akan menumpas perguruan adik Lumabang, lalu perguruan Sentana, dan perguruan Braja Muspita."
"Hem, akan aku coba. Demi kebenaran dan keadilan serta ketentraman dunia, akan aku coba menghentikan sepak terjangnya walau nyawaku sebagai taruhannya."
"Terima kasih, Tuan Pen-de-kar..." Terkulai kepala Suwarna Angresta, mati.
Trenyuh Jaka melihat hal itu, ia hanya mampu menitikkan air mata. Jaka menangis, menangis karena sedih melihat kematian yang tragis. Kembali ingatannya pada kedua orang tuannya, yang juga mati akibat ulah saudara seperguruannya. "Semoga kau tenang di alam sana, Suwarna," keluh Jaka.
Hari itu juga, Jaka bekerja sendiri menggali lubang untuk mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Hem, bodoh amat aku ini. Mana mungkin sehari selesai bila aku tak memakai akal. Akan aku gunakan Pedang Siluman Darah," gumamnya membodohkan dirinya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Seperti biasanya, Pedang Siluman Darah pun seketika muncul dan telah tergenggam di tangannya. Maka dengan Pedang Siluman Darah, Jaka dalam waktu singkat dapat membuat seratus sepuluh lubang. Hanya dengan cara menancapkan pedang, akan terjadilah lubang-lubang yang pas untuk tubuh manusia. Setelah tubuh-tubuh mereka masuk ke dalam lubang, kembali Jaka mengiblatkan ujung Pedang Siluman Darah pada lobang yang dengan sendirinya menutup. Tanah-tanah yang semula membuka, berhamburan menutupi lobang.
"Aku harus segera mencegah semua tindakan telengasnya. Kalau tidak... sungguh petaka bagi kehidupan!"
Secepat kilat, Jaka berkelebat pergi meninggalkan Perguruan Cawak Sakti yang kini telah berubah menjadi pemakaman. Hari telah berganti, dari malam berubah menjadi pagi. Embun yang menari, perlahan menghilang tersapu angin yang datang....
Kerajaan Segara Anakan...
Raja Sri Baginda Damar Angkik adalah adik Suwarna Angresta. Sri Baginda Damar Angkik begitu gusarnya, mendengar kabar bahwa kakaknya mati terbantai bersama murid-muridnya. Kemarahan sang Raja tak dapat dibendung, sehingga sang Raja yang biasanya tenang dan sabar kini bagaikan macan yang kehilangan anaknya. Matanya merah, tangannya mengepal, nafasnya mendengus...
"Cari orang itu! Tangkap dia dan kita beri hukuman picis!"
"Daulat, Baginda yang mulia," menyembah sang Patih.
"Jangan kalian kembali, sebelum orang itu dapat kalian seret kemari. Penggal kepalanya...!"
"Daulat, Baginda!"
Setelah menjura menyembah, kedua patih kerajaan itu segera pergi meninggalkan bangsal istana. Kedua patih itu pun turut gusar, mendengar kakak rajanya yang baik dan bijak mati terbunuh bersama murid-muridnya. Dengan tanpa menyuruh hulubalangnya, kedua Patih yang bernama Rangket Ungu dan Singa Barong segera memacu kudanya untuk mencari orang yang telah telengas membunuh kakak baginda rajanya.
Karena di hati kedua patih itu tergurat kemarahan pada orang yang telah membunuh kakak Rajanya, sehingga kedua patih itu memacu kuda bagaikan kesetanan. Kuda yang sudah berlari kencang, digebahnya untuk dapat menambah larinya. Kedua patih itu telah terkenal kesaktiannya. Keduanya disegani baik oleh patih kerajaan lain, ataupun oleh pengacau. Semenjak kedua patih itu menjabat patih di kerajaan Segara Anakan, kerajaan itu aman tentram.
"Ke mana kita harus mencarinya, Kakang Rangket Ungu?"
"Entahlah, Adik Singa Barong," menjawab Rangket Ungu.
"Bukankah kita lebih bebas bila menyamar sebagai pengelana?"
Rangket Ungu terdiam mendengar ucapan Singa Barong. Sejenak dipandangi Singa Barong, lalu dengan tersenyum ia pun berkata. "Benar juga. Hem, bagus pendapatmu. Ayo, kita kembali ke rumah masing-masing untuk berganti dengan seragam perguruan."
Segera kedua patih yang memang saudara seperguruan bergegas menghalau kuda-kudanya menuju ke rumah masing-masing. Kedua patih itu, sebelum menjabat patih mereka adalah seorang pendekar yang sukar ditandingi pada masanya. Mereka berdua berjuluk, Pendekar Jagad Kelana. Karena keduanya sepasang, orang menyebutnya "Sepasang Pendekar Jagad Kelana."
Tak lama setelah kedua patih itu kembali, tampak dua orang manusia mengenakan pakaian merah menyala menunggang kuda berlalu dari pintu gerbang istana. Dua orang itu, tak lain adalah kedua patih yang telah mengganti pakaian mereka dengan pakaian perguruan.
"Kita menuju ke arah Selatan, Kakang?"
"Ya, sebab menurut dugaanku orang itu akan menuju ke Selatan," menjawab Rangket Ungu.
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu segera kembali memacu kudanya menuju ke arah Selatan.
Malam itu kembali rumah Rundanu hening. Seperti malam-malam sebelumnya, rumah Rundanu pun diselimuti tabir kegelapan dan misteri yang sukar untuk disibakkan. Walau semua penduduk di desa itu telah mengetahui siapa Rundanu, namun untuk bergerak mereka belum berani. Pertama kepala desa belum memerintahkan, kedua belum pasti kesalahan Rundanu. Malam itu seperti biasanya Rundanu dan istrinya tengah duduk-duduk ngobrol. Sementara anaknya yang telah menginjak gadis telah tertidur.
Sebenarnya anak Rundanu yang bernama Surti Kanti tidak tidur, ia ingin membuktikan apa yang pernah ia lihat pada kejadian malam yang telah berlangsung seminggu yang lalu. Namun untuk menanyakannya pada ibu atau bapaknya, ia tak berani. Malam semakin larut, hawa dingin tiba-tiba terasa menggigil. Mata Surti Kanti seketika bagai dibebani batu puluhan kati, mengantuk berat. Namun tekadnya untuk membuktikan apa yang telah terjadi pada keluarganya, menjadikan Surti Kanti berusaha tetap melek.
Ketika malam makin bertambah larut, terdengar suara deheman seseorang di ruang tamu di mana ayah dan ibunya tengah duduk. Perlahan Surti Kanti mengintip dari bilik kamarnya. Terbelalak kaget Surti Kanti, manakala dilihatnya ada seorang pemuda diantar kedua orang tuanya.
"Siapakah pemuda itu?" bertanya hati Surti Kanti.
Kedua orang tuanya nampak tersenyum menyambut kedatangan pemuda ganteng itu. Sepertinya, kedua orang tuanya tengah bercerita pada pemuda ganteng itu yang kini berbicara.
"Rundanu dan kau Rumini, malam ini kalian harus mampu menemukan dua perguruan silat yang dipimpin oleh murid Saelendra dan Reksa Pati."
"Apa nama perguruan itu, Tuan?"
"Naga Kuldu dan Maling Demang! Malam ini juga, kalian berangkatlah. Ingat, kalian harus segera kembali sebelum pagi datang, sebab aku akan meminjam jasadmu, Rundanu."
"Daulat, tuanku," menjawab kedua suami istri itu bareng.
Setelah menyembah, kedua suami istri itu segera pergi meninggalkan rumah, menjera malam yang gelap. Walau malam begitu gelapnya, namun suami istri itu bagaikan tak mengalami kesulitan. Mereka bagaikan kelelawar berlari dengan kencangnya
Sementara di rumah... Anggada yang telah mengetahui bahwa di situ ada anak Rundanu yang masih perawan tersenyum dan tak segera pergi. Hal itu menjadikan Surti Kanti seketika gemetar ketakutan. Keringat dingin seketika deras mengalir.
"Aoh...!" Surti Kanti menjerit tertahan, manakala pintu kamarnya dibuka oleh si pemuda. "Kau...?"
Pemuda itu tak menjawab, namun tersenyum manis ke arahnya senyumnya begitu manis, menjadikan Surti Kanti seketika hatinya terpanah. Dan manakala tangan pemuda itu memegang janggutnya, Surti Kanti hanya dapat mendesah. Lalu setelah pemuda itu merebahkan tubuhnya ke atas dipan, Surti Kanti hanya mampu mendesah panjang. Lalu selanjutnya kedua muda-mudi itu diam. Hanya napas keduanya yang memburu liar. Surti Kanti terjengah, mengeluh panjang.
"Aaaah...!" Surti Kanti menjerit, manakala sesuatu telah membuat tubuhnya terasa lain. Darah menetes. Bersamaan dengan itu, seketika Surti Kanti menjerit panik manakala dilihatnya bentuk muka pemuda yang telah menyetubuhinya. Wajah pemuda yang tadinya gagah, kini berubah menjadi wajah kelelawar yang mencicit menyeramkan.
Saking paniknya, Surti Kanti pun akhirnya pingsan. Dengan didahului dengan cicitan nyaring, mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat pergi menghilang di kegelapan malam, meninggalkan Surti Kanti yang masih tergeletak pingsan dengan keadaan tubuh telanjang.....
PERGURUAN MALING DEMANG.
Pertarungan antara Utusan Iblis-Penguasa Puri Kegelapan dikeroyok oleh murid-murid perguruan tampak berjalan dengan seru. Ternyata kedatangan Rundanu yang menjadi utusan Iblis Penguasa Puri Kegelapan diketahui oleh murid-murid perguruan Maling Deman. Tanpa ayal lagi, pertarungan pun terjadi. Namun walau dikeroyok oleh sebanyak murid perguruan Maling Deman, Rundanu yang telah mewarisi ilmu Penguasa Puri Kegelapan tak dapat dengan mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.
Tengah pertempuran itu terjadi, seorang pemuda yang kita kenal dengan nama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah datang dan langsung menghadang sepak terjang orang berkepala kelelawar.
"Hem, ternyata kaulah cecunguknya yang telah membuat kerusuhan di Perguruan Cawak Sakti."
"Benar adanya. Siapa kau, Anak muda?"
"Aku yang bodoh dan ingin meminta sedikit ilmu iblis padamu bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Mendengar penuturan Jaka, seketika semua yang ada di situ tersentak kaget. Mereka pada umumnya telah mendengar nama pendekar muda yang tengah menggoncangkan dunia persilatan. Namun melihatnya, mereka baru kali ini.
"Apa urusanmu ikut campur, Anak muda!" membentak manusia berkepala kelelawar. Sengit. Jaka hanya tersenyum sinis.
"Bedebah! Ditanya bukan menjawab, malah cengengesan. Apakah kau belum tahu siapa aku adanya?"
"Hem, aku rasa kau tak lebih hanya tuyul bau!"
"Slompret! Berani kau menghina Utusan Iblis!"
Tertawa bergelak-gelak Jaka seketika itu, demi mendengar manusia berkepala kelelawar menyebut namanya. Hal itu menjadikan manusia Utusan Iblis menggeram gusar.
"Hua, ha, ha... Kalau begitu, memang tepat dugaanku. Kaulah tuyul-tuyul bau tai!"
"Bangsat! Lancang mulutmu, Anak muda! Jangan lengah, hiaat...!"
Manusia bermuka kelelawar itu secepat kilat berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang memang suka membikin musuh marah hanya tertawa bergelak-gelak sembari elakan serangan. Hal itu menjadikan Utusan Iblis makin bertambah marah, lalu dengan mencicit terlebih dahulu Utusan Iblis melipat gandakan serangannya. Dikeluarkannya ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga.
Tersentak Jaka dan semuanya melihat hal itu. Ketika tangan mahluk berkepala kelelawar menghantam, secepat kilat Jaka berkelebat mengelak. Jaka terbebas dari hantaman maut itu, namun murid-murid Maling Deman-lah yang menjadi sasarannya. Seketika puluhan murid perguruan Maling Deman mati dengan tubuh hangus.
"Ilmu Iblis!" memekik Jaka.
"Kenapa kau takut. Anak muda? Mana nama besarmu! Mana ilmu yang telah menggemparkan dunia persilatan, hua, ha, ha...!"
"Setan! Jangan tertawa dulu, lihat ini!"
Jaka segera keluarkan ajiannya yaitu Getih Sakti. Selarik sinar merah membara keluar dari telapak tangan Jaka. Namun dengan segera ajian Getih Sakti pupus, manakala terhantam dengan ajian Serat Gumilang Jati. Tersentak Jaka menerima kenyataan itu.
"Hua, ha, ha... Keluarkan segala kepandaianmu, Anak muda! Aku Utusan Iblis tak akan dapat kau kalahkan!"
"Sombong! Terimalah ini, hiaat...! Petir Sewu!" "Hem, aku pun bisa. Iblis Geledeg, hiat...!"
"Duar...!"
Dua kekuatan sakti itu beradu, menjadikan percikan api yang menyala terang. Tubuh keduanya terpental ke belakang beberapa tombak, jatuh dengan pantat menggusur tanah.
Kembali terdengar gelak tawa Utusan Iblis, sepertinya mengejek Jaka yang masih berusaha menenangkan keadaan dirinya. "Hua, ha, ha. Ternyata namamu akan berakhir sampai di sini, Anak muda!"
"Gusti Allah! Dia seperti mempunyai segala ilmu tandingan yang aku miliki! Dengan apa lagi aku harus berbuat," mengeluh Jaka hampir putus asa. "Ooh, akan aku gunakan pedangku. Baik, akan aku panggil Ratu Siluman Darah. Semoga ia dapat membantuku. DENING RATU SILUMAN DARAH, DATANGLAH!"
Terbelalak mata Utusan Iblis, melihat sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning kemerahmerahan telah tergenggam di tangan Jaka. Namun yang lebih mengejutkan Utusan Iblis, Pedang itu dari ujungnya melelehkan darah segar, membasahi batangnya.
Mata Utusan Iblis seketika bagaikan silau, terpantul cahaya yang dikeluarkan oleh Pedang Siluman Darah. Maka ketika Utusan Iblis tengah terpengaruh oleh cahaya pedang, secepat kilat Jaka berkelebat tebaskan Pedang Siluman Darah ke tubuh Utusan Iblis.
"Aaaaaahhhhhhhh..... Tobat...!" Melengkinglah suara Utusan Iblis sesaat, sebelum akhirnya mati dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Melihat Utusan Iblis itu mati, Jaka segera berkelebat pergi menuju ke tempat Perguruan Naga Kuldu untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Bagaikan terbang, Jaka berlari dengan ajian Angin Puyuhnya.
Dua patih kerajaan Segara Anakan tampak tengah menghadapi seorang wanita. Dua patih itu merasa gusar, setelah melihat siapa adanya wanita yang telah mengobrak-abrik perguruan Naga Kuldu. Setelah melihat dengan seksama bahwa wanita itu wajahnya bukan wajah manusia biasa, kedua patih kerajaan Segara Anakan pun segera dapat menerka siapa adanya wanita itu. Ya, wanita itu memang bukan wanita sembarangan. Ia diutus oleh Penguasa Puri Kegelapan untuk maksudnya menumpas pewaris ilmu Resi Wilmaka.
"Iblis! Rupanya kaulah yang telah membuat keonaran di Perguruan Cawak Sakti. Untuk itu, kau harus mati!" membentak Singa Barong gusar. Tubuh Singa Barong seketika berkelebat cepat, menyerang Utusan Iblis.
Namun bagaikan seorang yang telah mengetahui gerak-gerik dan jurus lawan, Utusan Iblis berkelit dengan entengnya. Bahkan dengan segera balik menyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga. Tersentak kedua patih penyerang itu, manakala Iblis Wanita berkepala kelelawar itu mampu menggunakan ajian Serat Gumilang Jati.
"Hi, hi, hi.... Terimalah kematian kalian! Hiat...!"
Tengah kedua patih itu terdesak dan nyawa keduanya dalam bahaya, Jaka Ndableg yang telah sampai di situ segera hantamkan ajian Petir Sewu menangkis serangan tersebut. Tersentak Utusan iblis, manakala ajian yang dilancarkannya hancur di tengah jalan. Dengan menggeram marah, ia palingkan muka memandang pada pemuda yang baru datang.
"Siapa kau!"
"Hem, rupanya kalian suami istri manusia-manusia serakah! Hanya untuk mencari kepuasan batin, kalian rela menjadi budak Iblis!" menggeretak Jaka marah. "Suamimu telah aku tenangkan, kini tinggal kau! Aku berbuat begitu, karena bila tidak dunia akan kalian bikin kotor dengan tingkah kalian."
Tertawa wanita Utusan Iblis mendengar ucapan Jaka. "Hi, hi, hi... Anak muda, karena kau telah membunuh suamiku maka kau pun harus aku kirim ke akherat, hiat...!"
Tanpa banyak kata lagi, Utusan Iblis bergerak cepat hantamkan ajiannya ke tubuh Jaka. Segera Jaka melompat, berkelit sembari tebaskan Pedang Siluman Darah. Pukulan Utusan Iblis seketika musnah, terbabat oleh Pedang Siluman Darah. Mata utusan iblis membelalak kaget, manakala melihat apa yang tengah tergenggam di tangan Jaka. Bukan saja Utusan Iblis yang kaget, tapi kedua patih itu pun sama.
"Pendekar Pedang Siluman Darah! Ah, sungguh tak kami duga kalau kami akan menemui tuan Pendekar di sini," berkata keduanya sembari menjura hormat.
"Ah, terimakasih, Tuan Patih. Aku mohon kalian menyingkirlah terlebih dahulu. Dia bukan tandingan kalian," meminta Jaka pada kedua patih yang segera menurut menyingkir. Kedua patih itu tahu, bahwa diri mereka tak akan mampu menghadapi Utusan Iblis yang telah dikuasai oleh Penguasa Puri Kegelapan.
"Utusan Iblis. Agar kau tenang, kau harus aku singkirkan. Tempatmu bukan di dunia, tapi di neraka sana... Hiat...!"
"Jangan mengigau, Anak muda. Hiat...!"
Keduanya segera melompat bagaikan terbang. Tangan Utusan Iblis yang telah disaluri ajian lurus mengiblat ke arah Jaka. Sementara Jaka dengan Pedang Siluman Darah, telah siaga mengkiblatkan pedang itu ke arah Utusan Iblis. Keduanya bertemu di udara. Jaka segera babatkan Pedang Siluman Darah ke tubuh Utusan Iblis, yang seketika itu pula menjerit.
"Tobaaaaat....! Aaaaaah...!"
Dengan matinya Dua Utusan Iblis, apakah dunia persilatan akan tenang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, silahkan ikuti terus petualangan Jaka Ndableg si PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH, dalam Judul. "PEMBALASAN SURTI KANTI"
Utusan iblis dua-duanya telah mati, hal itu menjadikan Penguasa Puri Kegelapan tak dapat bangkit lagi. Maka salah satunya jalan, ia harus mempengaruhi anak Rundanu yang bernama Surti Kanti untuk mau mengabdi padanya...
Nah, apakah Surti Kanti akan menuruti kemauan Penguasa Puri Iblis yang telah menjerumuskan ayahnya? Apa yang hendak dilakukan oleh Surti Kanti setelah mendengar kedua orang tuanya mati oleh Pendekar Siluman Darah? Silahkan ikuti Episode Pendekar Pedang Siluman Darah dalam judul: Pembalasan Surti Kanti.
Di rumah nampak lentera kecil menyala. Api lentera itu bergoyang-goyang diterpa angin. Dua orang suami istri nampak masih selamat. Pikiran mereka terhanyut dalam kehidupan yang tengah mereka alami. Sang suami yang bernama Rundanu, nampak tercenung. Tangannya menopang dagu, sepertinya kehidupan tengah yang terjadi atas dirinya.
"Oh, bune, Bagaimana hidup kita hari demi hari selalu begini?" terdengar keluh Rundanu. Sang istri yang bernama Rumini terdiam, memandang dengan mata yang ingin dibantu merasakan kepedihan menjauh.
"Bosan rasanya aku hidup sengsara terus Bune?" Kembali Rundanu disambut.
"Lalu harus bagaimana, Pakne?" sang istri yang sedari tadi terdiam turut berkata.
"Apakah kita akan begini terus?"
"Aku juga tak ingin, Pakne," menjawab si istri. "Namun, apalah yang dapat kita lakukan sebagai orang kere?"
"Bagaimana kalau nanti anak kita ada yang meminang?"
"Ah, Pakne... Mengapa kau memikirkan hal yang tidak-tidak?" kembali sang Istri berkata. "Jangankan orang melamar anak kita, mengenalpun mungkin enggan."
"Kau jangan terlalu pesimis, Bune."
"Bagaimana aku tak pesimis, Pakne," mengeluh sang istri sepertinya telah putus asa. "Pakne tahu sendiri kita orang yang tak punya. Semua orang menghina kita, semua orang sepertinya enggan mengenal kita. Dasar nasib, Pakne."
Mendengar ucapan istrinya, seketika Rundanu tak dapat berkata-kata lagi, diam membisu. Napas keduanya seakan berat, mendesah penuh risau. Keheningan malam kian mencekam. Layaknya kelambu hitam penuh misteri menyelimuti hening malam.
Kedua suami istri hanya diam. Diam dan diam, tanpa banyak kata. Mata-mata kedua-nya menerawang hampa, menatap kosong tiada gairah. Angin malam terus bertiup, menderu-deru bagaikan prahara. Tengah kedua suami istri itu terdiam merenungi nasibnya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gaung suara menggema. Seketika kedua Suami istri itu ketakutan, saling peluk dan gemetaran.
"Pakne, aku takut"
"Aku juga, Bune..."
Suara itu kembali menggaung-gaung bagaikan ledakan air bah yang hancur tanggulnya. Dibarengi dengan gaungan itu, terdengar gelak tawa mendirikan bulu kuduk.
"Hua, ha, ha!"
Kedua suami istri itu makin ketakutan, mengeratkan pelukan. Wajah kedua suami istri itu seketika memucat, bagaikan tak berdarah. Mata keduanya melototi mencari-cari asal suara itu. Namun keduanya tak menemukan apa yang mereka cari. Yang ada hanya kebisuan dan kebisuan malam yang makin larut. Keringat dingin bagaikan lelehan air hujan yang deras, bercucuran membasahi pelipis keduanya.
Tengah keduanya makin ketakutan, kembali terdengar suara erangan, layaknya orang yang tengah menerima siksa. Ya, erangan itu seperti erangan orang tersiksa. Habis erangan itu, terdengar suara berat seorang lelaki berkata.
"Ki dan Nini Rundanu, janganlah kalian takut padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku ingin menolong kalian."
"Menolong kami?" tanya Ki Rundanu seperti ingin meyakinkan.
"Benar, Ki!" jawab suara itu dengan nada berat. Nafasnya yang berat seperti mendesau. "Janganlah kalian bermurung durja karena kalian miskin. Kalian ingin kaya, ingin makmur? Juga kalian ingin menjadi orang yang sakti, Ki?"
"Be-benar!" menjawab Ki Rundanu terbata.
"Hua, ha, ha... gampang Ki. Gampang!"
"Ah, janganlah Ki Sanak membuat aku bingung," keluh Ki Rundanu, sepertinya tak percaya pada ucapan suara itu. "Kami tengah bingung bagaimana caranya untuk menjadi orang kaya sekaligus sakti."
Bergelak-gelak tawa suara itu, mendengar ucapan Ki Rundanu. Ki Rundanu dan istrinya yang tadi ketakutan, kini nampak agak tenang. Di bibir keduanya terpoles senyum, walau senyum itu tak tahu ditujukan pada siapa. Habis tertawa bergelak-gelak, kembali suara itu merintih dan merintih. Rintihan itu makin lama makin seru, lalu makin menyayat. Ya, rintihan itu seperti rintihan kesakitan, bahkan rintihan erangan. Kembali kedua suami istri itu ketakutan, merinding bulu kuduk mereka.
"Pakne..."
"Ya, Bune...." menjawab Ki Rundanu dengan ketakutan pula.
"Ki.. Ki... aku dingin. Tolonglah aku, Ki. Tologlah!"
Makin bertambah ketakutan saja kedua suami istri itu demi mendengar suara itu meminta tolong. Keringat dingin kembali deras membasahi kening keduanya.
"Kenapa engkau terdiam, Ki. Kenapa?" kembali suara itu berkata merintih.
"Kau jangan menakut-nakuti kami, Ki Sanak. Kami takut," berkata Ki Rundanu dengan bibir gemetar. Sementara sang istri hanya terdiam, diam dalam kelu dan rasa takut.
"Bukankah kau ingin menjadi orang kaya?"
"Memang... Namun kenapa engkau menakuti aku dan istriku?" menjawab Ki Rundanu masih ketakutan. "Kalau kau mau bunuh kami, bunuhlah!"
"Tidak! Aku tak akan membunuh kalian. Aku ingin kalian menjadi sahabat-sahabatku. Kau mengerti, Ki? Tolonglah aku, Ki. Tolonglah!"
"Apa yang dapat aku bantu, Ki Sanak?" tanya Ki Rundanu tak mengerti. Sejenak ditatapnya wajah sang istri yang tampak memucat ketakutan. "Aku orang miskin. Aku orang tak punya apa-apa."
"Aku tak perlu materi, Ki. Aku tak perlu itu..."
"Lalu, apa permintaanmu?" tanya Ki Rundanu.
"Tolonglah diriku, Ki."
"Ah,, apa yang dapat aku tolong?" balik bertanya Ki Rundanu.
Sesaat suara itu terdiam. Diam pula kedua suami istri Rundanu, sepertinya hendak mengikuti kebisuan malam yang kian melarut dan larut. Salak anjing liar terus menggema, sepertinya anjing-anjing itu tengah menghadapi musuh bebuyutannya.
"Auuuuuuuungg...! Auuuunnggg!"
"Hud... hud...! Blukuk, blukuk. Huuddddd!"
"Keluarlah kau bersama istrimu, bawa oleh kalian dupa."
"Untuk apa...?" bertanya Ki Rundanu tak mengerti. Wajahnya meredup. Matanya menatap tiada arah. Hanya langit-langit kamar tamu gubug rumahnya saja yang membisu, membalas tatapan ganjil dari sorot mata Ki Rundanu.
"Tak usahlah kau banyak tanya. Lakukan segala apa yang aku katakan."
"Baiklah! Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Akan aku beritahukan padamu nanti, Ki Rundanu."
"Ah, apakah kau tak bercanda?"
Terdengar desah berat sesaat. Desah itu bagaikan sebuah angin kencang bertiup, menerpa wajah suami istri itu yang terdiam. "Hua,ha,ha... aku tak bercanda, Ki. Nah, lakukanlah!"
"Baik, kami akan melakukannya!" menjawab Ki Rundanu.
"Hua, ha, ha... itu memang bagus, Ki. Kalau aku sudah terbebas, apa yang kau inginkan akan aku kabulkan."
"Benarkah itu...?" tanya istri Rundanu girang.
"Benar, Nini... maka itu, lakukanlah segera!"
Dengan habisnya ucapan suara itu, terdengar kembali bunyi gemuruh bagaikan air bah. Dan kembali anjing hutan melengkingkan lolongan panjang, seakan ada sebuah misteri di balik semuanya.
********************
Setelah mempersiapkan apa yang mesti diperlukan, kedua suami istri itu dengan tertatih-tatih melangkah ke luar rumah. Kaki-kaki mereka yang tak beralas, terasa dingin menapak tanah. Udara yang dingin, bagaikan tak terasa oleh mereka.
Tanpa banyak bicara, kedua orang suami istri itu terus berjalan dan berjalan menyusuri malam. Di wajah keduanya tergambar ketakutan. Tubuh keduanya menggigil diterpa dingin malam. Lebih menggigil kala terdengar suara itu kembali bergema. Sampaisampai lutut keduanya terasa lemas bagai tak bertulang. Keduanya menjeprok terduduk lesu.
"Kenapa kalian mesti takut?" bertanya suara itu manakala melihat kedua suami istri Rundanu ketakutan. "Janganlah kalian takut. Percayalah, aku tak akan mengganggu kalian. Bahkan aku hendak menolong kalian dari kemiskinan."
Mendengar ucapan suara itu, seketika Ki Rundanu dan istrinya hilang rasa takut. Dengan hati yang diberani-beranikan, kedua orang suami istri itu kembali melangkah tak tahu arah.
"Teruskan langkah kalian ke muka. Bila kalian menemukan sebuah pohon beringin, berhentilah kalian di situ. Bakar dupa yang kalian bawa. Dan ucapkan kata-kata sebagai berikut. "Lening Uripe Kanjeng Baginda Penguasa Kegelapan, dengan ini kami persembahkan kunci pembuka kuburmu." Kalian paham...?"
"Paham," menjawab keduanya bareng.
"Coba kalian ucapkan lagi!" terdengar suara itu memerintah.
Sesaat kedua suami istri itu terdiam. Sepertinya kedua suami istri Rundanu tengah mengingatingat kembali kata-kata yang diajarkan oleh Penguasa Puri Kegelapan. Kemudian dengan suara terputus-putus keduanya berkata.
"Lening... Urip Kanjeng...." Ki Rundanu dan istrinya terdiam tak dapat meneruskan kata-katanya, membuat Penguasa Puri Kegelapan kembali bertanya.
"Kenapa, Ki?"
"Aku lupa," menjawab Ki Rundanu.
Bergelak-gelak tawa Penguasa Puri Kegelapan, demi mendengar jawaban Ki Rundanu. Ki Rundanu seketika mengerutkan kening, bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa Iblis dapat bercanda?"
"Tidak hanya manusia saja yang dapat bercanda, Ki"
Tersentak Ki Rundanu kaget, demi mendengar ucapan Penguasa Puri Kegelapan. Bagaimana tidak! Ucapan itu hanya ada di hatinya, namun ternyata Penguasa Puri Kegelapan mengetahui. Lebih tersentak lagi Ki Rundanu, manakala Penguasa Puri Kegelapan kembali berkata,
"Jangan kau bingung, Ki. Memang aku dapat mengetahui segala apa yang ada di hatimu. Maka itu, janganlah sekali-kali kata mendustai ku."
"Baiklah, aku tak akan sekali-kali mendustai mu. Asalkan kita dapat mendapatkan apa yang aku harapkan," menjawab Ki Rundanu, menjadikan Penguasa Puri Kegelapan seketika kembali tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha... Itu bagus, Ki. Dengan kau tak mendustai aku, maka segalanya akan berjalan dengan baik dan cepat. Kau akan menjadi orang kaya seketika dan sakti. Itu yang kau inginkan. Itu yang kau inginkan, bukan?"
Karena didorong oleh rasa ingin mendapatkan kekayaan dan janji-janji muluk dari Penguasa Puri Kegelapan, menjadikan Ki Rundanu dan istrinya bagaikan melangkah di siang hari. Langkah mereka bak ada yang menuntun, tak ada ganjelan atau pun sandungan.
"Percepat langkah kaki kalian. Percepat...." terdengar suara Penguasa Puri Kegelapan berkata, menyuruh mereka untuk mempercepat langkahnya.
Hal itu menjadikan kedua suami istri Rundanu tersentak. Menurut perasaan mereka, mereka telah melangkah dengan cepat bahkan hampir berlari. Namun kenapa Penguasa Puri Kegelapan menyuruh mereka mempercepat langkahnya? Tak tahunya, waktu hampir menjelang pagi. Angin terasa bagaikan tetesan-tetesan es, dingin menyabik tulang.
Tanpa banyak kata, kedua suami istri itu makin mempercepat langkah kaki mereka. Kini keduanya bukan berjalan, namun berlari. Ya, keduanya berlari memburu waktu yang sesaat lagi akan berganti. Tak berapa lama kemudian, kedua suami istri itu telah sampai pada apa yang ditunjukkan oleh Penguasa Puri Kegelapan. Keduanya segera menyalakan dupa. Tengah keduanya tepekur menghadapi dupa yang mengepul menjadikan asap tebal bergulung, terdengar suara Penguasa Puri Kegelapan kembali berkata.
"Kau ingat ucapan yang aku ajarkan, Ki"
"Tidak," menjawab Ki Rundanu yang seketika menjadikan bentakan marah Penguasa Puri Kegelapan.
"Bodoh! Kenapa kau tak mengingatnya?"
"Ampuni kami," meratap Ki Rundanu.
Sementara sang istri nampak ketakutan mendengar bentakan itu. Wajahnya pucat, seputih kertas. Sepertinya, darah yang mengalir di tubuh kini tak ada lagi. Bibirnya membiru oleh dingin, oleh perasaan yang mencekam, juga oleh gelora hatinya yang entah ada perasaan apa.
"Dengar baik-baik olehmu. 'Lening Urip penguasa Puri Kegelapan, kubuka kuburmu'. Mengerti...!"
"Mengerti," menjawab Ki Rundanu. "Sekarang juga, ucapkan!"
Dengan bibir gemetaran menahan perasaan dan hawa dingin yang menyayat tulang, Ki Rundanu berkata terputus-putus. "Lening Urip Penguasa Puri Kegelapan, kubuka kuburmu."
Berbareng dengan habisnya suara Ki Rundanu, seketika dari bawah pohon beringin keluar asap putih kehitam-hitaman, bergulung-gulung membumbung ke angkasa. Bersama itu pula, pohon beringin itu seketika jebol, mencelat ke atas bagai didorong oleh tenaga raksasa.
Melotot mata Ki Rundanu dan istrinya, melihat kejadian yang sukar untuk diterima akal mereka. Saking kagetnya, mereka seketika loncat dari duduknya. Mata mereka melotot, sedang mulut mereka bengong melompong. Keringat dingin keduanya seketika mengalir deras, lalu mereka ambruk dengan lutut bagai tak bertulang, ketika terdengar suara gelak tawa membahana memecahkan malam yang sunyi. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh yang mengerikan keluar dari dalam tanah.
Pertama tangannya keluar. Tangan itu tak berdaging sedikit pun. Tulang-tulangnya nampak jelas kelihatan. Bergidik kedua suami istri itu, sehingga keduanya seketika surut mundur. Lebih-lebih ketika kepala mahluk itu nongol, mereka baikan hendak pingsan saja. Kepala mahluk itu, jelas-jelas kepala tengkorak. Matanya kosong tiada isi. Hidungnya bolong dengan daging-daging membusuk bau. Saking takutnya kedua suami istri itu, keduanya hendak berkelebat pergi kalau saja tak terdengar seruan mahluk memanggil nama mereka.
"Ki Rundanu... kenapa kau hendak lari?"
Ki Rundanu seketika menghentikan larinya, diam terpaku pada tempat pijaknya. Lututnya naplok, bagaikan hendak patah layaknya.
"Jangan takut, Ki. Aku telah kau tolong, maka aku hendak membalas jasa padamu" berkata tengkorak hidup itu lagi. "Dengar olehmu, aku akan memberikan apa saja yang engkau inginkan. Asal... kalian mau selamanya menjadi pengikutku. Pengikut Penguasa Puri Kegelapan. Bagaimana, Ki?"
Dengan rasa takut, Ki Rundanu mengangguk. Hal itu menjadikan mahluk tengkorak hidup itu kembali tertawa bergelak-gelak, yang membuat tubuhnya ikut bergetar. Tubuh tengkorak yang bergetar, menjadikan bunyi bletok... bletok ketika tulang-belulangnya beradu.
"Sekarang juga, kalian akan menjadi orang kaya raya. Namun kalian mesti ingat! Kalian setiap malam Jum'at harus memberikan padaku seorang bayi merah. Kalian paham...?"
"Kami mengerti, Paduka Penguasa Puri Kegelapan," menjawab keduanya dengan ketakutan.
"Sekarang kalian kembalilah ke rumah. Ingat pesanku, kalian harus memberikan seorang bayi merah setiap malam Jum'at. Nah, lihat oleh kalian, bahwa di bawah tikar kalian akan ada sekantong uang emas. Itu harta pertama untuk kalian. Bila kalian telah memberi seorang bayi, maka kalian akan mendapatkan sekantong uang emas lagi. Jangan sekali-kali kalian ingkar. Ingat, aku akan menghukum kalian bila ingkar. Pulanglah!"
Dengan tanpa menengok-nengok lagi, kedua suami istri itu pun segera berlari pergi. Di hati keduanya kini tertanam seribu macam pertanyaan. Benarkah apa yang diucapkan oleh Penguasa Puri Kegelapan? Ketika keduanya telah kembali ke rumah, dengan segera kedua suami istri itu membuktikannya.
"Ah..." membelalak mata kedua suami istri itu, manakala dilihatnya sekantong uang emas. Maka dengan menangis bahagia, kedua orang suami istri itu saling berangkulan.
Malam kian bergerak cepat, berubah dengan datangnya pagi. Sekali-kali kokok ayam jantan terdengar bersamaan dengan fajar yang datang menyingsing di ufuk Timur. Embun perlahan-lahan berlari, pergi terusir sinar mentari.
********************
DUA
Setelah bangkit dari kuburnya yang berada di bawah pohon beringin atas pertolongan kedua suami istri Rundanu, Penguasa Puri Kegelapan kini membikin teror. Bila malam telah datang, Penguasa Puri Kegelapan muncul untuk mencari orang-orang yang telah menghukumnya di bawah pohon beringin.
Siapakah Penguasa Puri Kegelapan itu? Agar supaya para pembaca tidak jengah dan bertanya-tanya, marilah kita tilik kembali ke beberapa tahun yang silam. Di mana kita akan mengetahui siapa adanya Penguasa Puri Kegelapan, yang kini kembali bangkit untuk menuntut balas.
Lima puluh tahun yang silam, tersebutlah satu perguruan yang sudah terkenal. Perguruan itu bernama "Perguruan Samudra Biru." Adapun pemimpin perguruan itu, adalah seorang Resi bernama Resi Wilmaka Suldra. Kesaktian Resi itu tiada tandingnya. Sampai-sampai hampir semua tokoh persilatan takut dan jera padanya.
Resi Wilmaka mempunyai lima orang murid, yang terkenal dengan sebutan Panca Gumilang. Panca artinya lima, sedang Gumilang artinya kemenangan. Jadi Panca Gumilang berarti Lima Kemenangan. Masing-masing kelima muridnya itu memiliki kesaktian yang sama tinggi. Murid pertamanya bernama Bomantara. Yang kedua bernama Saislendra. Yang ketiga bernama Reksa Pati. Sedang yang keempat dan kelima, bernama Wanggada dan Waskita.
Berbeda dengan watak gurunya yang berbudi pekerti, kelima murid sang Resi mempunyai tabiat buruk. Murid pertama suka Mabok. Murid kedua suka Maling. Murid ketiga suka Main. Sedang murid keempat dan kelima suka Madat dan Madon
Kesaktian yang mereka miliki itulah senjata mereka untuk mendapatkan segala apa yang mereka inginkan. Hingga saking seringnya mereka melakukan tindakan-tindakan itu, mereka pun mempunyai gelar apa yang sesuai dengan tindakan mereka. Si murid pertama bergelar Pendekar Sakti Dewa Mabok. Murid kedua bergelar Pendekar Raja Maling. Ketiga bergelar Pendekar Gila Judi. Dan keempat serta kelima bergelar Pendekar Kumbang dan Pendekar Candu.
Pada suatu hari, sang Resi memanggil kelima muridnya. Sang Resi sengaja memanggil mereka untuk memberikan kabar sesuatu. Walau mereka merupakan Pendekar-pendekar yang tindakannya tak sesuai dengan tata susila, namun mereka selalu menjaga nama baik guru mereka yaitu Resi Walmaka. Mereka pun merupakan murid-murid yang patuh, yang tak sekali-kali menentang ucapan gurunya.
Mereka segera menemui sang guru, yang telah menunggu kedatangan mereka berlima. Sang Resi tampak telah duduk di atas sebuah batu dengan agungnya. Mata sang Resi yang telah tua, sepertinya tak terhalang oleh kerabunan. Hingga mata tua itu, bagaikan sorot mata burung elang yang tajam. Kelima murid-muridnya segera menyembah, lalu duduk dengan berderet. Wajah kelimanya menunduk, tak seorang pun yang berani menentang pandangan sang guru.
"Murid-muridku."
"Hamba, Guru," menjawab kelimanya menjura hormat.
"Kalian tahu mengapa aku mengundang kalian?" bertanya sang Resi, menjadikan kelima muridnya makin tertunduk. Di hati kelimanya tersembul rasa was-was, takut kalau-kalau gurunya mempunyai marah padanya.
"Kami tak tahu, Guru," kembali kelimanya menjawab.
"Ketahuilah, murid-muridku. Kini dunia persilatan telah digegerkan oleh berita hilangnya sebuah senjata milik kerajaan. Senjata itu merupakan senjata wasiat. Barang siapa yang mampu menemukan senjata tersebut, dirinya akan menjadi orang tersakti di dunia ini."
Sang Resi kembali terdiam. Matanya memandang pada kelima murid-muridnya yang tampak masih terdiam, tak ada yang berkehendak bicara. Demi melihat kelima muridnya hanya diam, kembali sang Resi meneruskan ucapannya.
"Apakah kalian tak ingin mencari pusaka itu?"
"Ah, jadi guru hendak menyuruh kami turut serta mencari pusaka tersebut?" balik bertanya Saelendra.
"Benar, muridku." menjawab sang Resi, menjadikan kelima muridnya kembali terjengah. "Apakah Kalian tak ada yang ingin menjadi pejabat kerajaan?"
"Untuk apa?" tanya Bomantara, sepertinya tak tertarik dengan segala ucapan gurunya. "Bukankah lebih baik menjadi seperti sekarang ini? Kerajaan terlalu banyak aturan-aturan, yang dapat membuat pusing diri kita sendiri. Maaf, Guru, hamba tak berkenan."
"Tak mengapa, Bomantara," menjawab Resi Wilmaka. "Yang lainnya, bagaimana?"
"Hamba juga tak berminat, guru," kini Saelendra yang menjawab.
"Hem, dua orang sudah yang tak berminat," bergumam Resi Wanaka. "Yang lainnya...?"
Seperti Bomantara dan Saelendra, murid ketiga pun menolak untuk mengikuti sayembara raja. Baru setelah murid keempat dan kelima, keduanya menerima tawaran itu.
"Bagus! Kalau hal itu sudah bulat di hati kalian, maka kalian harus dapat melaksanakan tugas kalian dengan baik. Ingat jangan sampai membuat malu perguruan."
"Hamba mengerti, Guru," menjawab. keduanya bareng.
Esok harinya dengan, diantar oleh sang Resi, kedua murid itu segera menuju ke Istana untuk mendaftarkan diri mereka. Rupanya karena sang Raja mengenal siapa sang Resi Wilmaka adanya, tanpa mengalami kesulitan, kedua murid Resi Wilmaka itu diterima. Hari itu juga Wanggada dan Waskita yang telah diterima sebagai anggota pencari pusaka yang hilang segera bekerja. Keduanya yang mendambakan bakal menjadi abdi dalem istana, berusaha sekuat tenaga mencari pusaka Gong Emas Sakti yang hilang dicuri orang.
Gong Emas Sakti, merupakan sebuah benda yang mempunyai "Makna." Bila gong itu ditabuh pada siang hari, maka sepanas apapun matahari akan redup. Bila gong itu ditabuh dalam menghadapi musuh, maka seketika musuh akan lumpuh terkena getarannya.
Sungguh-sungguh merupakan benda langka dan sakti. Gong Emas Sakti itu merupakan pusaka turun temurun kerajaan. Barang siapa yang memegang gong tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja di Kerajaan Tanjung Lor. Itulah kenapa baginda Raja Ruda Galuh sangat mengkhawatirkannya. Di samping gong tersebut dapat membawa bencana bagi kerajaan, juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan olehnya selaku raja.
Karena baginda Ruda Galuh merupakan adik seperguruan Resi Wilmaka, maka baginda pun meminta bantuan pada sang Resi untuk mencarikan gong tersebut. Hingga akhirnya sang Resi memerintahkan pada kedua muridnya.
Kini kedua murid Resi Wilmaka telah menjalankan tugas, mencari pencuri gong tersebut yang belum diketahui orangnya. Hal itu menjadikan kesulitan bagi keduanya. Jangankan menangkap pencurinya dan mengambil gong tersebut, mengetahui wajah pencurinya pun mereka belum tahu.
"Aku rasa, pencurinya bukan orang sembarang, Kakang."
"Benar ucapanmu, Adik Waskita," menjawab Wanggada.
"Susah..." mengeluh Waskita seraya memperlambat lari kudanya.
"Apa mungkin kita dapat melakukannya?" kembali Waskita mengeluh, sepertinya keluh itu ditujukan pada diri sendiri. Wanggada hanya terdiam, ia nampaknya turut bimbang atas kemampuan diri sendiri. Bukannya apa, mereka memang belum tahu siapa orang yang telah mencuri gong tersebut.
"Apa tidak sebaiknya kita berpisah mencarinya, Kakang?"
"Terserah mu saja," menjawab Wanggada.
Setelah dicapai kata sepakat, dengan segera kedua kakak beradik itu berpisah. Wanggada mengambil jalan ke Barat, sementara Waskita segera mengambil jalan ke Timur
********************
Sejak hilangnya gong Emas dari kerajaan, dunia persilatan seketika dibuat geger oleh seorang wanita yang sakti. Wanita itu masih muda, dengan senjata saktinya berbentuk gong emas. Semua tokoh persilatan dibuat kalang kabut, tak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Sebab di samping gong pusaka itu, si wanita juga memiliki ilmu yang tinggi.
Sejak itu, bantai membantai antar golongan persilatan terjadi. Semua hanya ada satu tujuan, mendapatkan gong pusaka dan menjadikan dirinya raja. Korban demi korban berjatuhan, mati dalam usahanya merebut gong Emas tersebut.
Kabar itu juga terdengar oleh kedua murid Resi Wilmaka yang tengah diutus sang Raja untuk mencari pencurinya. Kedua murid resi Wilmaka pun segera memburu pencuri yang sudah diketahui siapa adanya. Karena sudah mengetahui siapa adanya pencuri tersebut, maka kedua kakak seperguruan dengan segera dapat menemukan pencuri tersebut. Pencuri itu adalah seorang gadis cantik jelita. Ia adalah anak raja terdahulu bernama Rara Sumbadra. Dengan dibantu Dirgantoro, Rara Sumbadra bermaksud merebut kembali tahta Kerajaan yang telah direbut oleh Raja Ruda Galuh.
"Rara Sumbadra, keluar kau!" berseru Anggada, manakala keduanya telah sampai di padepokan Rara Sumbadra. "Cepat keluar dan serahkan kembali gong Emas itu pada kami!"
"Setan! Siapa yang berani berteriak-teriak kayak kunyuk!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan itu, sesosok tubuh wanita muda berkelebat ke luar. Senyumnya sinis mengulas di bibirnya. Matanya tajam menghujam, memandang pada kedua kakak beradik di depannya.
"Hem, rupanya kalian yang datang. Untuk apa kalian datang ke mari?"
"Rara Sumbadra... Kalau kau mau memberikan gong itu padaku, maka kau akan kami ampuni!" menggertak Waskita sengit.
Sedangkan Anggada nampaknya hanya terdiam. Hatinya telah terpanah oleh ulasan senyum Rara Sumbadra, sehingga hatinya seketika bergetar memandang Rara Sumbadra. Kini tujuannya berubah dari tujuan semula. Semula Anggada bermaksud menangkap Rara Sumbadra, berubah menjadi ingin dapat bersanding dengan gadis jelita itu.
"Adik Waskita, bukankah lebih baik kita mengikutinya?"
"Kakang...!" terbelalak mata Waskita mendengar ucapan Anggada.
"Kenapa, Adik?"
"Apakah Kakang hendak melupakan tujuan kita?" balik bertanya Waskita terheran-heran dengan tingkah kakaknya. "Ingat kakang, guru akan marah bila kau mengingkari tugas ini."
"Persetan dengan guru!"
"Kakang!" memekik Waskita.
Melihat kedua kakak beradik seperguruan itu bertengkar sendiri, Rara Sumbadra tampak tersenyum senang. Dan dengan genit, Rara Sumbadra yang telah tahu bahwa Anggada tertarik padanya segera berkata.
"Pendekar Kumbang, kalau kau mau membantuku maka aku pun akan dengan senang menyerahkan diriku padamu. Bukankah kau memang mengharapkan aku menjadi milikmu?"
Seketika hati Anggada yang telah terpanah oleh kecantikan Rara Sumbadra bimbang. Sesaat ditatapnya Waskita yang nampak terbelalak, lalu dengan senyum mengembang Anggada kembali berkata. "Baiklah, Rara Sumbadra, aku akan melindungimu. Tapi jangan sekali-kali kau mengingkari. Bila kau kelak mengingkari, maka tak ada ampun untukmu."
Rara Sumbadra makin melebarkan senyumnya. "Percayalah padaku, Kumbang. Aku juga menyintaimu, kok," merayu Rara Sumbadra, menjadi ser hati Anggada.
Dengan tanpa membuang-buang waktu, Anggada segera melompat dari kudanya dan berdiri di samping Rara Sumbadra. Senyumnya kini sinis pada adik seperguruannya, yang melotot tajam menghujam.
"Kau... Kau kakang!"
"Kenapa Waskita? Kalau kau ingin tenang, ikutlah kami," menjawab Anggada sinis. Sejenak ditatapnya Rara Sumbadra yang tersenyum, lalu dengan penuh permusuhan Anggada memandang tajam pada adik seperguruannya.
"Setan...! Aku tak akan mau mematuhi mengikuti kalian!" menggertak marah Waskita. "Ingat Anggada, kau nantinya menyesal!"
"Tak ada kamus menyesal pada Anggada, Waskita."
"Baik, mulai sekarang kita bukan saudara seperguruan. Kita sekarang mempunyai tujuan masing-masing!" Waskita berkata marah. Ia kecewa, ia gusar melihat kelakuan kakak seperguruannya yang telah mengingkari janjinya pada guru dan kerajaan. Tak dinyana, kalau tali persaudaraan yang selama ini dibina, harus hilang dengan begitu saja hanya karena tingkah Anggada yang tak dapat dimengerti.
"Kalau itu yang engkau mau, terserah. Nah, apakah kau akan menangkap kami?" bertanya Anggada, nadanya seperti mengejek.
Kegusaran hati Waskita kian menjadi. Maka dengan membentak, Waskita segera berkelebat menyerang dua musuhnya. Satu bekas kakak seperguruannya yang telah murtad, satunya lagi orang yang memang dicari-cari oleh kerajaan. "Anggada murid murtad! Jangan kira aku takut pada kalian, hiaat...!"
Anggada yang sudah tahu kemampuan adik seperguruannya segera berkelebat mengelak, begitu juga Rara Sumbadra. Dengan beringas karena marah dan kecewa, Waskita terus berusaha merangsek kedua musuhnya. Pertarungan itu pun terjadi. Jurus demi jurus mereka keluarkan, dengan harapan dapat segera menjatuhkan musuhnya. Serangan Anggada dan Rara Sumbadra silih berganti, sepertinya mereka telah kompak benar. Sekali Anggada menyerang, Sumbadra segera melanjutkan.
"Menyerahlah, Waskita!"
"Pantang bagiku untuk menyerah pada kalian! Langkahi dulu mayatku, atau kalian berdua yang minggat dari bumi ini!" Waskita yang sudah marah, makin marah mendengar ucapan kakak seperguruannya yang telah berhaluan pada musuh.
"Begitukah yang kau ingini, Waskita?"
"Ya, itu yang aku ingini!" menjawab Waskita. "Tak sudi aku menjadi adik seperguruanmu. Dan ingat, sejak saat ini perguruan bukan menjadi Panca Gumilang. Namun sekarang perguruan bernama Catur Gumilang. Jangan injak lagi perguruan!"
"Hua, ha, ha... Tak menginjak pun, aku akan hidup bahagia bersama Rara Sumbadra. Bukan begitu, Rara!"
"Benar, Kakang. Kau akan bahagia bersamaku. Kau akan selalu merasakan keindahan-keindahan yang aku berikan," menjawab Rara Sumbadra genit. Senyumnya yang manis menghunjam di ulu hati Anggada.
"Iblis! Kalian memang benar-benar Iblis! Maka kalian kelak tak akan mati sempurna!" menyumpah Waskita marah. Habis berkata begitu, Waskita kembali berkelebat menyerang.
Pertarungan terus berjalan dengan serunya, sepertinya mereka sama-sama tangguh, sama-sama mumpuni. Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, tak terasa sudah jurus yang kelima puluh berlalu.
Tersentak Waskita, manakala selarik sinar merah menyala ke luar dari tangan kakak seperguruannya. Ia tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan kakaknya. Kakaknya kini telah mengeluarkan ajian andalannya, yang berupa larikan sinar merah panas membara. Ajian tersebut bernama, Serat Gumilang Jati, sebuah ajian yang telah guru mereka ajarkan.
Serat Gumilang Jati terdiri dari sepuluh tahapan. Setiap tahapan, selalu berubah-ubah penggunaan tenaganya juga kehebatannya. Tahap pertama, akan mampu membakar daun-daun kering. Tahapan kedua dan selanjutnya sudah dapat dibayangkan, betapa akan luluh lantak semua yang terkena. Kali ini Anggada menggunakan ajian Serat Gumilang Jati tingkat kelima, yang dapat menjadikan batu meleleh
"Tak pantas kau memakai ajian itu, Anggada!" membentak Waskita berang. "Kau bukan murid perguruan Gumilang."
"Itu bukan hakmu, Waskita!" balas menggertak Anggada. "Apakah kau takut!"
"Hem, jangan kira aku takut, Anggada. Aku pun memilikinya sepertimu. Lihat ini...!" Seketika tangan Waskita berubah menjadi merah membara, lebih merah dibandingkan tangan Anggada. Anggada yang telah tahu tingkat berapa Waskita menggunakannya, tersentak melompat mundur. Dari mulutnya terbersit seruan kaget.
"Serat Gumilang Jati tingkat tujuh. Dari mana kau memperolehnya?"
"Hem, kenapa kau pucat, Anggada? Ayo kita mulai!" Tanpa menunggu jawaban dari Anggada, Waskita yang sudah marah dan kecewa pada kakak seperguruannya segera lepaskan ajian Serat Gumilang Jati tingkat tujuhnya.
Tersentak Anggada dan Rara Sembadra melompat mundur, mengelakkan serangan ajian tersebut. Mata mereka melotot kaget, manakala melihat apa yang terjadi. Bukit di belakang mereka seketika runtuh dengan suara bergemuruh. Batu-batunya hancur menjadi abu, berterbangan menerpa keduanya.
"Bahaya, Kakang," menggumam Rara Sembadra.
"Tenanglah! Apakah kau mempunyai cermin?" bertanya Anggada.
"Untuk apa, Kakang?" Rara Sembadra kembali bertanya tak mengerti.
"Ambillah segera, biar aku menghalanginya."
Dengan segera, Sembadra berkelebat pergi meninggalkan kedua kakak beradik yang tengah bertempur. Waskita untuk kedua kalinya menghantamkan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketujuhnya, membuat Anggada harus berjumpalitan mengelakkan serangan itu. Melihat Anggada yang nampaknya keteter, Waskita yang telah marah terus mencecarnya dengan ajian Serat Gumilang Jati.
Hal itu menjadikan Anggada harus menguras tenaga. Hanya dengan meringankan tubuh saja yang dapat ia lakukan, untuk mengelakkan serangan ajian ganas itu. Ketika Anggada tengah benar-benar terdesak, secepat kilat Rara Sembadra yang telah dapatkan cermin berseru. Dilemparkannya cermin itu pada Anggada yang dengan segera menerimanya.
"Ini, Kakang!"
"Bagus! Hoop...!" Waskita yang masih dilandasi amarah, terus mencecar Anggada dengan ajian tersebut. Secepat kilat kala Waskita kembali menyerang, Anggada kiblatkan cermin memapaki serangan tersebut.
Tak ayal lagi, ajian Serat Gumilan Jati balik terpantul menyerang tuannya. Waskita yang tak menyadari hal itu, tersentak dan berusaha menghindar. Namun serangan balik ajiannya lebih cepat, dan menghantam tubuh Waskita. Seketika itu Waskita melolong panjang, tubuhnya terpental jatuh ke dalam jurang. Tersenyum senang keduanya, yang kemudian berlari melihat ke bawah jurang di mana Waskita jatuh. Setelah dilihatnya Waskita tak tampak, kedua orang itu segera kembali ke pondok.
"Kini halangan tak ada lagi, Rara. Aku meminta janjimu."
"Dengan senang hati, Kakang," jawab Rara Sembadra. Senyumnya mengembang, sepertinya sengaja menggoda.
Anggada yang sudah terbakar nafsunya, segera memeluk tubuh Rara Sembadra. Bagaikan dua macan yang kelaparan, kedua orang itu bergumul menyalurkan nafsu. Selang beberapa lama kemudian, terdengar pekikan Rara Sembadra bersamaan dengan darah merah menetes dari miliknya yang sangat berharga. Demi cita-cita, segalanya dipasrahkan...
********************
TIGA
Tersentak Resi Wilmaka dari semedinya. Seperti ada sesuatu tenaga penggerak yang sangat kuat, mengusiknya untuk bangun. Sejenak sang Resi terpekur diam, dengan pikiran menerawang entah pada sugesti apa. Matanya yang terbuka, terkejap-kejap perlahan. Keningnya dikerutkan seperti tengah menerawang.
“Ada apakah dengan Waskita? Sepertinya dia dalam kesusahan.” Bergumam sang Resi dalam hati, “Kenapa Anggada tak segera memberi tahu padaku? Ke mana pula Anggada…?”
Tengah sang Resi tercenung diam, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pintu Padepokan dibuka dengan paksa hingga menjadikan bunyi bergedubrak.
“Braak…!”
“Hai, siapa…?”
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara erangan kesakitan. Seketika sang Resi memburu ke muka. Betapa terbelalak mata Resi Wilmaka, manakala melihat apa yang ada di hadapannya. Sesosok tubuh dengan luka-luka mengedubrak di balai-balai. Ketika sang Resi tahu siapa adanya orang itu, seketika memekiklah sang Resi.
“Waskita… Waskita! Kenapa kau, Nak?”
Waskita hanya diam tak menjawab, tubuhnya terkulai lemas. Melihat muridnya begitu menderita, sang Resi tanpa banyak pikir panjang segera meraup tubuh penuh luka itu. Digendongnya dan dibawa ke dalam. Dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis, dibaringkan tubuh Waskita pada pembaringan. Resi Wilmaka tampak sibuk sendiri, berjalan hilir mudik ke depan dan ke dapur. Sampai-sampai karena pusingnya dan panik, sang Resi segera berseru memanggil ketiga muridnya.
“Bomantara… Saelendra… Reksa Pati…! Hai murid-murid gemblung, kalian pada ke mana? Apa kalian tidak tahu adik kalian dalam keadaan teler?”
Tak berapa lama kemudian setelah sang Resi menjerit-jerit memanggil ketiga muridnya. Ketiga orang murid sang resi segera berdatangan menghampiri dan bertanya serempak.
“Ada apa, Guru? Sepertinya kebakaran saja.”
“Kebakaran-kebakaran kepala kalian! Apa kalian tidak melihat adik kalian dalam keadaan mabok?”
“Mabok, Guru? Ah, guru jangan bercanda,” berkata Bomantara.
“Eh-eh-eh, kalian tak percaya. Lihat itu…”
Sang Resi segera menunjuk di mana Waskita terbaring dengan luka-luka. Seketika memekiklah ketiga murid sang Resi demi melihat adik seperguruannya yang luka parah.
“Waskita…! Waskita, kenapa kau, Adikku?”
Waskita yang masih pingsan hanya terdiam, walau ketiga kakak seperguruannya mengguncang-guncangkan tubuhnya. Ketiga kakak seperguruannya seketika menggeratak marah, manakala melihat adik seperguruannya dalam keadaan begitu.
“Siapa yang telah melakukannya, Guru?” tanya Bomantara.
“Entahlah, Bomantara. Aku sendiri belum mengerti siapa orang yang telah membuat dia luka-luka,” menjawab Resi Wilmaka. Kepalanya menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca seperti sedih melihat keadaan murid bungsunya.
Ketiga muridnya hanya diam membisu seribu kata. Mata mereka memandang tak berkedip penuh iba pada Waskita yang masih terbaring. Obat-obatan ramuan Resi Wilmaka, menutupi seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian, terdengar erangan Waskita yang siuman Serta merta, ketiga kakak seperguruannya segera menghampiri. Ketiganya diam menunggu apa yang bakal terjadi pada adik seperguruannya.
“Gu…ru…” berkata Waskita lemah.
“Ya, anakku, ada apa?” menjawab Resi Wilmaka trenyuh.
“Waskita, katakanlah pada kami siapa yang telah membuatmu begitu?”
Waskita sejenak diam, memandang pada Bomantara yang bicara. Kemudian matanya beralih memandang pada kakak-kakak seperguruannya yang lain. Lalu dengan suara lemah, Waskita pun berkata. “Kakang-kakang… Anggada telah mengkhianati perguruan…”
“Apa…!” Tersentak semua yang ada di situ mendengar penuturan Waskita yang tak terduga-duga.
“Ceritakanlah seluruhnya, Waskita,” meminta sang Resi.
Dengan suara tersendat-sendat, Waskita pun segera menceritakan apa yang dialami dari awal hingga akhir kejadian. Maka tak ayal lagi, ketiga kakak seperguruannya seketika marah besar. Mata mereka bagaikan memendam bola api, panas membara penuh kemarahan. Gigi mereka saling beradu, menimbulkan bunyi gemeretak.
“Murid durhaka!” memaki Resi Wilmaka gusar.
“Dia perlu dikasih pelajaran, Guru,” menyambung Bomantara.
“Benar apa yang dikatakan kakang Bomantara,” menambah Saelendra.
“Biar aku yang menguruinya. Akan aku lumatkan tubuh si Anggada keparat itu!” tak kalah marahnya Reksa Pati.
“Jangan kalian bertindak sendiri-sendiri. Kalian harus melakukan pemikiran yang matang.”
“Tapi dia sudah keterlaluan, Guru.”
“Benar, Guru. Murid macam apa dia. Hanya karena seorang wanita dia langsung murtad. Bukan itu saja, tapi tindakannya melukai adik Waskita sungguh tak dapat dimaafkan.”
“Aku mengerti perasaan kalian semua. Tapi dia juga telah terkena sumpah Waskita. Dia kelak akan mati menderita. Walaupun untuk beberapa puluh tahun dia akan hidup, namun dia akhirnya akan mati di tangan seorang pendekar yang memiliki senjata aneh,” berkata sang Resi mencoba menenangkan hati ketiga muridnya. “Ketahuilah oleh kalian, Anggada tak akan dapat mati oleh kalian.”
“Ah… Kenapa mesti begitu, Guru?” bertanya Saelendra terkejut.
“Apakah ia sudah menjadi sekutu Iblis?” Bomantara turut bertanya tak mengerti akan ucapan gurunya.
“Benar, Murid-muridku. Walau kalian dapat mengalahkannya, namun karena ia telah menjadi kekasih Iblis ia tak akan mati. Kecuali jika kalian menanamnya hidup-hidup di dalam sumur Jala Tunda”
“Kenapa harus di sumur Jala Tunda, Guru?” bertanya Bomantara belum juga mengerti.
“Hanya di sumur itulah ia tak akan dapat bergerak. Namun itu juga hanya sementara. Sebab kelak ada sepasang suami istri miskin yang akan membantunya.”
Mendengar ucapan gurunya seketika semuanya terdiam. Hati mereka bimbang. Kalau dibiarkan, jelas dia akan merajalela. Namun kalau tidak dibiarkan, dengan cara apa mereka harus mengalahkannya? Sedangkan kodrat kematian Anggada hanya terletak pada tangan Pendekar Muda yang entah kapan tahu datangnya.
“Apakah kita akan tinggal diam, Guru?” kembali Bomantara bertanya, yang menjadikan Resi Wilmaka makin terdiam dalam. “Kalau kita mendiamkannya jelas semua tokoh persilatan akan memandang pada kita sebagai perguruan yang tak bertanggung jawab.”
Terpukul juga hati Resi Wilmaka mendengar ucapan Bomantra. Ia mendesah panjang, merenung penuh ketidakmengertian kenapa dulu ia mengangkat murid Anggada. Tapi penyesalan setelah terjadi tak ada gunanya, yang penting sekarang bagaimana menanggulangi murid durhaka itu. Setelah lama terhanyut dalam diam, Resi Wilmaka akhirnya berkata.
“Baiklah, Murid-muridku. Lakukanlah oleh kalian apa yang sekiranya kalian anggap baik. Memang kalau didiamkan, Iblis yang telah merasuk di dalam tubuh adik seperguruan kalian akan merajalela. Nah, kalian berangkatlah. Cari oleh kalian murid sekutu setan itu. Bila kalian telah mengalahkannya, kubur dia hidup-hidup di sumur Jala Tunda. Biarlah hal yang kelak akan terjadi terjadilah, sebab semuanya memang sudah kodrat Yang Wenang.”
“Daulat, Guru.”
“Doa dan restuku akan selalu mengiringi kepergian kalian.”
Setelah menjura hormat, ketiga orang murid Resi Wilmaka segera pamit mundur. Setelah terlebih dahulu menengok adik seperguruannya yang masih terluka, ketiganya segera menggebah kuda-kuda mereka untuk berlari kencang. Sepertinya, ketiga murid Resi Wilmaka tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan adik seperguruannya yang telah mencoreng aib di perguruan.
Apa yang dikatakan oleh Resi Wilmaka ternyata benar adanya, bahwa Anggada memang telah bersekutu dengan Iblis. Kejadian persekutuan itu terjadi manakala bulan purnama ketiga, saat semua murid Panca Gumilang tengah mengadakan peningkatan ajian Serat Inti Gumilang. Hingga Anggada saja yang masih berada di tingkat tiga, bila dibandingkan dengan adik seperguruannya saja Anggada jauh tertinggal dalam ajian Serat Gumilang Jati.
Hal itu dapat dimaklumi, karena memang Anggada tak mengikuti peningkatan ajian tersebut. Dia lebih mengutamakan persekutuannya dengan Iblis, yang telah menjanjikan padanya segala fasilitas yang menggiurkan berupa ia tak akan dapat mati walau tubuhnya telah hancur luluh. Kedua, ia tak akan dapat dikalahkan oleh manusia biasa, kecuali oleh orang yang berilmu siluman yang ilmunya jauh di atas dirinya.
Sebenarnya Resi Wilmaka telah waspada dan sidik keadaan. Namun sebagai seorang guru, ia tak mau muridnya merasa tersinggung. Maka dibiarkannya sang murid untuk menentukan tindakannya. Sang Resi hanya memberikan peringatan. Mulanya sang murid menurutinya namun ini segala ketakutan itu terjadi…
Mau tak mau, sang Resi yang bijaksana hanya mampu memendam segala rasa dan perasaannya. Hatinya sebenarnya menjerit, sakit bila mengingat dirinya tak mampu mengawasi kelima muridnya. Tapi selaku manusia ia tak dapat menyalahkan diri sendiri. Bukankah manusia mempunyai segala kekurangan dan kesalahan? Hanya kata-kata itu yang mampu menghibur hatinya.
Sang Resi duduk terpekur khidmat, melakukan meditasi sebagai sarana penyerahan diri pada Yang Wenang yang mempunyai wewenang atas segala apa yang terjadi di dunia. Manusia memang dapat berencana, namun Yang Wenang jualah yang akan menentukannya. Tak dirasakan olehnya, air matanya meleleh deras. Sang Resi menangis, ya menangis. Menangisi segala kekurangannya, juga menangisi tindakan muridnya yang telah menyimpang dari kaedah yang telah ia ajarkan.
“Jagad Dewa Batara. Semoga kau berkenan mengampuni segala kesalahan dan kehilafanku. Juga atas segala penyelewengan dari jalan hidup yang telah Engkau gariskan oleh muridku,” berdoa sang Resi.
Tengah sang Resi terpekur dalam doanya, seketika sebuah sinar putih berkelebat masuk ke ruangannya. Lamat-lamat sinar itu membentuk sebuah ujud manusia, yang sungguh telah ia kenal. Manusia itu adalah Eyang gurunya, yang bernama Begawan Kisnenda. Sang Resi segera jatuhkan diri bersujud. “Ampunkanlah muridmu ini, Eyang Begawan.”
“Kenapa kau mesti bermuram durja, Cucuku?” bertanya Begawan Kisnenda. “Bukankah semua jalur kehidupan telah ada yang menggariskan? Janganlah kau terlalu menyesali diri, itu tak baik. Pikirkanlah olehmu apa yang sepatutnya kau lakukan, bukan memikirkan apa yang telah terjadi.”
Kembali Resi Wilmaka mendalamkan sujudnya. Dari kedua matanya, menetes air bening, ia menangis. Melihat Resi Wilmaka menangis, Eyang Begawan Kisnenda kembali berkata.
“Kenapa kau menangis, Cucuku?”
“Ampunkanlah segala kebodohan cucumu ini, Eyang,” menjawab Resi Wilmaka sedih. “Ternyata cucu tak mampu mendidik murid agar menjadi orang yang baik. Semua murid cucu tak ada yang selaras dengan kaidahku. Yang lebih menyedihkan, salah seorang muridku ternyata telah bersekutu dengan setan.”
Mendengar penuturan cucu muridnya, bukannya sang Begawan ikut bersedih dan prihatin. Bahkan dengan gelak tawa sang Begawan berkata tenang. Suaranya yang berat menggema di setiap sudut ruangan menjadikan ruangan yang tadinya sunyi, berubah pecah.
“Cucuku, tangis penyesalan bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Bahkan dengan ketenangan lahir dan batinlah segala persoalan dapat terselesaikan. Mengenai segala rupa bentuk murid-muridmu, itu merupakan suratan Yang Maha Kuasa. Terimalah dengan ketabahan. Hal itu memang sebagai ujian untukmu selaku guru.”
“Lalu bagaimana dengan muridku yang murtad itu, Eyang?”
“Hua, ha, ha… Kau lucu, Cucuku. Bukankah telah kukatakan tadi, bahwa segalanya telah ada yang mengatur. Muridmu yang murtad itu memang telah digarisan oleh Yang Maha Kuasa untuk memerani orang jahat, mengapa kau mesti terpusingkan?”
“Apakah tak ada yang mampu mengalahkannya, Eyang?”
“Ada, Cucuku. Tapi bukan kini saatnya kematian muridmu itu. Dia akan mati setelah kebangkitannya yang kedua kali. Setelah dia dapat memuaskan dendamnya pada keempat cucu muridmu yang dianggap olehnya orang-orang yang perlu disingkirkan, karena merupakan murid-murid musuhnya yaitu muridmu yang empat orang lainnya.”
“Siapakah kira-kira yang mampu mengalahkannya, Eyang?” Wilmaka bertanya ingin tahu. Secercah cahaya ketenangan nampak berkilau dari pandangan matanya. “Apakah dia juga manusia seperti kita, Eyang?”
“Ya, orang itu memang manusia. Pemuda itu memiliki senjata aneh. Senjata itu akan mengeluarkan darah bila telah menghadapi musuh berat. Karena kehebatan pedang itu, ia dijuluki oleh para tokoh persilatan Pendekar Pedang Siluman Darah. Kau paham, Cucuku? Semoga setelah kau aku jelaskan, kau akan tenang.”
Setelah berkata begitu, Begawan Kisnenda seketika raib dari hadapan sang Resi. Sang resi tersentak bangun, ketika terdengar erangan muridnya. Dengan penuh perhatian, Resi Wilmaka segera mendatangi muridnya.
“Ada apa, Waskita?”
“Aku bermimpi buruk, Guru.”
“Tentang apa, Muridku?”
Waskita sesaat menarik napas panjang, sebelum akhirnya berkata menerangkan mimpi yang telah dia alami. Sebuah mimpi yang mampu membuatnya takut dan ngeri. “Begitulah, Guru. Ia bangkit dari alam kegelapan. Dia membunuh anak-anak murid kami. Apakah arti mimpi itu, Guru?”
Ditanya begitu, sang Resi hanya mampu terdiam dan diam tanpa dapat menjawabnya. Ternyata apa yang telah diceritakan oleh eyang gurunya benar bahwa kelak ia akan bangkit dan menteror cucu-cucu muridnya. Mengingat semua itu sang Resi yang penyabar dan tawakal hanya mampu menghela napas. Dipasrahkan segala apa yang bakal terjadi kelak pada Yang Wenang, ya Yang Wenanglah yang akan mengatur semuanya. Bukan dirinya, juga bukan Iblis yang telah menyatu dengan diri muridnya Anggada.
********************
EMPAT
Kerajaan Tanjung Lor yang biasanya tenang seketika berubah menjadi beringas panas. Pekikanpekikan para prajurit yang tengah bertempur bagaikan pekikan-pekikan histeris. Telah banyak tubuh bergelimpangan. Telah basah alun-alun kerajaan Tanjung Lor oleh darah para prajurit yang telah gugur. Namun begitu, rupanya para prajurit yang tengah bertempur tak mau menghiraukannya.
Mereka bahkan lebih panas dan garang. Senjata-senjata yang ada di tangan mereka, layaknya Dewa Kematian. Di pihak kerajaan dipimpin langsung oleh sang Raja. Sementara di pihak pemberontak dipimpin oleh Rara Sumbadra dan Anggada. Kedua tokoh sesat itu tampak beringas. Tangannya melayang telengas, membawa jerit kematian.
"Menyerahlah, Ruda Galuh! Kau bukan raja yang sah! Kau tak memiliki Gong Emas!" berseru Anggada liar, sementara kaki dan tangannya terus beraksi menerjang dan menendang musuh-musuhnya.
"Murid murtad! Kau harus dihukum atas tindakanmu yang telah mencoreng nama baik perguruan Panca Gumilang!"
Mendengar ucapan Ruda Galuh, seketika meledaklah tawa Anggada. "Ruda Galuh! Jangan harap kau dan kambrat-kambratmu yaitu Catur Gumilang mampu mengalahkan aku! Aku Anggada tak akan dapat kalian kalahkan. Akulah Penguasa Puri Kegelapan! Akulah Raja diraja para Iblis Marahkiyangan! Menyerahlah, Ruda Galuh!"
"Cuih...! Jangan harap! Langkahi dulu mayatku. Hiaat...!"
Raja Ruda Galuh segera berkelebat memapaki amukan Anggada, yang telah banyak memakan korban prajuritnya. Kedua paman dan kemenakan seperguruan itu saling berhadap-hadapan. Mata keduanya tajam menatap musuh, seperti hendak menusuk ulu hati.
Maka dengan didahului pekikan, keduanya segera memulai membuka serangan. Keduanya merupakan cucu murid dan murid Begawan Kisnenda, maka ilmu-ilmu yang keduanya miliki merupakan ilmu yang berasal dari satu sumber. Namun betapa tersentaknya Raja Ruda Galuh, manakala melihat keanehan pada jurus-jurus kembangan yang dilakukan oleh kemenakan muridnya.
Jurus-jurus kembangan murid kakak seperguruannya sangat kaku dan tak beraturan. Walau pun begitu, gerakan Anggada sangat cepat, liar dan penuh perhitungan bagaikan terkontrol. Setiap tangan Anggada bergerak, maka angin puting beliung keluar menerpa dahsyat.
Hampir saja tubuh Raja Ruda Galuh terpental diterpa angin pukulan yang dilancarkan Anggada, kalau saja Ruda Galuh tidak segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Dengan mata melotot tersentak, Ruda Galuh loncat ke belakang. Hal ini menjadikan Anggada seketika lepas tawa, bagaikan menemukan kemenangan.
Anggada berjalan dengan melenggang menghampiri Ruda Galuh yang masih tercekat undur, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Di dalam penglihatannnya yang telah menggunakan mata batin, ternyata bukan Anggada yang tengah ia hadapi. Ia kini tengah menghadapi sesosok tubuh yang sangat menyeramkan, yaitu sesosok tubuh Iblis yang telah ia kenal dari gurunya bernama Wala Kuwara atau Penguasa Puri Kegelapan. Saking kagetnya Ruda Galuh, sampai-sampai ia memekik.
"Wala Kuwara...!"
Anggada yang memang telah bersekutu dengan Iblis Penguasa Puri Kegelapan atau Wala Kuwala, tertawa mendengar seruan kaget Ruda Galuh yang telah mengetahui siapa adanya dirinya. "Ruda Galuh, menyerahlah. Tunduklah di bawah kuasaku!"
Wala Kuwara yang menggunakan jasad Anggada terus melangkah mendekati Raja Rada Galuh. Matanya yang tadi hitam, kini berubah memerah berapi-api. Gigi-giginya yang tadinya papak rata, seketika berubah meruncing. Hidungnya seketika hilang mendalam, sementara mulutnya makin lama makin monyong keluar. Tak berapa lama kemudian, bentuk tubuh Anggada benar-benar berubah. Kini mukanya bukan muka manusia, melainkan muka kelelawar.
"Hua, ha, ha...! Ruda Galuh, menyerahlah dan tunduklah pada segala kuasaku!"
"Setan! Jangan kau bermimpi mampu menggertakku, Wala. Tak sudi aku tunduk padamu..."
"Hem, begitu, Ruda Galuh? Baik, bersiaplah...!" Dengan terlebih dahulu mencicit layaknya kelelawar, Anggada secepat kilat berkelebat menyerang Ruda Galuh.
Hal itu menjadikan Ruda Galuh tersentak kaget dan berusaha mengelakkan serangan tersebut, namun sambaran tangan Anggada ternyata telah mendahului. Tak ayal lagi, muka Ruda Galuh terkena cakaran kuku-kuku Anggada yang tajam dan runcing. Beruntung kuku-kuku itu tak mengandung racun, sehingga mampu menjadikan Ruda Galuh bertahan dan hanya meringis menahan sakit saja.
"Iblis! Rupanya ia memang benar-benar telah menjadi Iblis!" Ruda Galuh membatin sembari lompat mundur manakala tangan Anggada hendak kembali menghantamnya. Merasa sasarannya terlepas, Anggada dengan mendengus marah kembali menyerang. Kali ini tidak tanggung-tanggung, menggunakan ilmu iblisnya. Ruda Galuh yang telah marah, tak mau dirinya jadi bulan-bulanan musuhnya. Maka dengan menggeram marah, Ruda Galuh lepaskan ajiannya. "Serat Gumilang Jati pamungkas!"
"Sreeeeeeett...! Bletaar!"
Terdengar ledakan dahsyat membahana, ketika ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas menghantam tubuh Anggada. Sinar merah menyala berkelebat cepat, menubruk tubuh Anggada. Sejenak Ruda Galuh agak tenang hatinya. Namun manakala dilihatnya Anggada tak apa-apa, hatinya tercekat juga.
"Edan! Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas tak berarti apa-apa pada tubuh-nya," keluh Ruda Galuh. "Hem, rupanya memang dia tak akan mati. Rupanya Wala Kuwara benar-benar ingin kembali ke dunia manusia. Hem, bahaya, sungguh bahaya."
Ruda Galuh yang tengah terjengah, tak menyadari bahwa bahaya akan datang menerpanya. Maka ketika kembali tangan Anggada berkelebat, Ruda Galuh tak sempat untuk menghindar. Tak ayal lagi, tubuh Ruda Galuh seketika terpental bagaikan disapu topan, berguling-guling di tengah dengan tulang belulang laksana remuk.
"Ruda Galuh, kenapa kau masih nekad. Apakah kurang segala apa yang aku berikan padamu?"
"Iblis! Jangan kira kau akan mampu berbuat seenakmu," menjawab Ruda Galuh sengit. Ia segera bangkit dan siap menyerang kembali.
Melihat Ruda Galuh telah bersiap-siap menyerang, seperti orang tak mengerti saja Anggada hanya menyunggingkan senyum dan ketika Ruda Galuh menyerangnya, Anggada hanya busungkan dada.
"Dug! Dug! Dug!"
Tiga kali pukulan yang dilampiri tenaga dalam tingkat tinggi yang dilancarkan Ruda Galuh menghantam telak dada Anggada, namun bagaikan tak berasa apa-apa Anggada tersenyum menyeringai. Bahkan Ruda Galuh sendiri yang mencelat ke belakang bagaikan terdorong kuat. Tubuh Ruda Galuh kembali berguling-guling, layaknya sebuah rol yang diputarkan dengan kencangnya. Tubuh Ruda Galuh berhenti, manakala tubuhnya mementok pohon.
Melihat musuhnya telah tak berdaya, bagaikan harimau kelaparan Anggada dengan menggerung menyerang. Namun ketika tangannya sebentar lagi menjamah tubuh Ruda Galuh, tiba-tiba tiga larik sinar merah membara menghantamnya. Tubuh Anggada seketika terpental lima tombak ke belakang. Namun sungguh membuat ketiga orang penyerangnya terperanjat, manakala dengan senyum sinis Anggada bangkit.
"Jagad Dewa Batara, ilmu apa yang ia miliki?" bergumam Bomantara.
"Edan! Sepertinya ajian kita tak berarti baginya!" menggerutu Saelendra kaget seperti yang dirasakan Bomantara.
"Lihat, Kakang! Iblis itu datang ke mari!" berseru Reksa Pati, menjadikan kedua kakak seperguruannya memperhatikan arah yang ditunjuknya.
"Apa daya kita," kembali Bomantra mengeluh.
"Jangan kita putus asa. Ayo kita hantam lagi dengan ajian Serat Gumilang Jati," mengajak Reksa Pati, yang dengan segera diikuti oleh kedua kakak seperguruannya. "Serat Gumilang Jati. Hiaat..!"
"Hiaaat...!"
"Hiaaat...!"
Tiga larik sinar merah menyala kembali keluar dari tangan ketiga murid Resi Wilmaka. Mereka tak tanggung-tanggung lagi menggunakan ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas.
"Bletar! Duar! Duar! Duar!"
"Hua, ha, ha...! Keluarkan oleh kalian apa yang kalian miliki. Aku, Penguasa Puri Kegelapan tak akan kalah oleh kalian murid-murid Resi Wilmaka dungu!"
"Setan! Kau berani menghina guruku!" membentak marah Bomantara atau Pendekar Mabok. "Mana tuak putih! Biar aku yang akan menghajar Iblis bujul buntung itu!"
Bomantara yang telah dibakar amarah, segera berkelebat dengan senjatanya Ciu Putih. Diminumnya Ciu Putih dan dikumurnya, lalu dengan berkelebat bagaikan angin Bomantara menyerang Anggada. Anggada yang tak menyangka Bomantara bakal menyerang, seketika tersentak dengan bibir masih tersenyum.
Kekesalan dan kemarahan Bomantara yang mendengar gurunya diejek begitu rupa tak dapat dibendung lagi. Maka setelah dirinya dekat, disemprotkan Ciu Putih dari mulutnya ke muka Anggada. Seketika Anggada meraung-raung kesakitan, sambil tangannya memegangi muka yang terasa perih. Tubuhnya berguling-guling di tanah, menerima siksaan yang tiada terkira.
Tengah tubuh Anggada kelojotan menahan perih, ketiga orang murid Resi Wilmaka segera bergerak cepat meringkus Anggada. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga murid Resi Wilmaka segera membawa tubuh Anggada yang telah tak berdaya ke sumur Jala Tunda. Dikuburnya tubuh Anggada yang telah tak berdaya itu di dalam sumur Jala Tunda, lalu dengan cara menguncinya ditumbuhi sumur itu sebatang pohon beringin.
Dengan dapat diringkusnya Anggada yang telah bersekutu dengan iblis, maka pihak kerajaan pun segera dapat mendesak pihak pemberontak. Bahkan pimpinan pemberontak yaitu Rara Sumbadra dapat ditangkap dan dijeblosan ke tahanan bawah tanah.
********************
LIMA
Kekayaan mendadak serta kesaktian yang diperoleh oleh kedua suami istri Rundanu, tak luput menjadi pertanyaan oleh tetangga-tetangganya. Namun begitu, mereka tak berani untuk menuduh sembarangan pada Rundanu.
Sebenarnya hasil yang diperoleh Rundanu sangat besar pengorbanannya. Pertama yang sangat diperhitungkan adalah istri dan anak gadisnya. Ya, bukan tidak mungkin kalau Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan yang dulunya bergelar Pendekar Kumbang, akan meminta kepuasan batinnya.
Malam itu hujan rintik-rintik turun. Sekali-kali suara petir bergema. Hawa dingin karena siraman air hujan, makin terasa dingin di rumah Rundanu. Rundanu yang terdiam membisu, bersama istrinya yang juga tenggelam dalam hening.
"Pakne, apa kau tak mencium bau sesuatu?"
"Ah, bukankah bau-bau itu memang seperti hari-hari biasanya, Bune?" menjawab Rundanu. Dihisapnya rokok kawung dalam-dalam, lalu dihempaskan asapnya. "Kita bersyukur, Bune. Kita dapat menikmati apa yang diberikan oleh Penguasa Puri Kegelapan pada kita, yang berupa uang dan kesaktian."
"Iya, ya, Pakne. Tapi kita jadi pencuri," berkata istrinya, yang seketika itu mengejutkan Rundanu.
"Kenapa kau berkata begitu, Bune?"
"Coba pakne pikir. Bukankah tiap malam Jum'at kita telah mencuri seorang bayi?"
Tengah kedua suami istri itu bercakap-cakap, seketika hawa dingin makin terasa dingin, menyelimuti ruang itu. Ruangan tamu seketika bagaikan diguyur air es, dingin bagaikan hendak membekukan. Dari hawa dingin itu, sayup-sayup tergambar gulungan asap dari asap rokok Rundanu. Aneh, asap rokok Rundanu seketika berubah menjadi besar dan besar. Lama kelamaan asap itu mengumpul, lalu membentuk ujud tubuh sosok manusia. Manusia yang belum mereka kenal, manusia yang hidup pada kurun waktu seabad yang lalu. Dialah Anggada, atau Penguasa Puri Kegelapan. Senyumnya mengembang, menjadikan kedua suami istri itu terhenyak tak mengerti dan bertanya.
"Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" tanya Rudanu.
Pemuda di hadapannya tersenyum, makin melebar. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah kedua suami istri, lalu duduk di hadapan mereka yang masih terjengah tak mengerti.
"Lupakah kalian padaku, Ki?" tanya pemuda itu, sepertinya telah mengenal kedua suami istri yang duduk di hadapannya. "Akulah Penguasa Puri Kegelapan."
Terperanjat kedua suami istri bagaikan digigit bangsat kepinding di pantatnya, mereka hampir saja terbangun dari duduknya. Mata kedua suami istri itu melotot tak percaya, memandang tak berkedip dari kaki sampai ke ujung rambut pemuda yang duduk di hadapannya.
"Kenapa, Ki? Sepertinya kau terkejut?"
"Be-benar," menjawab Ki Rundanu terbata.
"Benara, Tuan. Sepertinya kami tak dapat percaya," sambung istri Rundanu, yang membuat pemuda itu tersenyum. Senyumnya manis dengan sorot mata tajam, setajam mata burung rajawali.
"Inilah hasil dari kerja kalian."
"Maksud tuan?" Ki Rundanu masih belum mengerti. Dan memang tak akan mengerti akan apa yang dialami oleh Penguasa Puri Kegelapan atau Anggada.
"Karena aku selalu meminum darah bayi, maka segala tubuhku pun kembali seperti seratus tahun yang silam."
"Apa...?"
Terlongong-longong Ki Rundanu dan istri, demi mendengar penuturan pemuda yang duduk di hadapannya. Untuk kesekian kalinya suami istri itu memandang tak berkedip. Mulut mereka ternganga, sepertinya sukar untuk mempercayai bahwa pemuda di hadapannya telah berumur ratusan tahun.
"Jangan kaget, Ki. Kau dan istrimu pun akan dapat seperti aku, asalkan kalian berdua selalu mau menuruti segala apa yang aku katakan."
"Benarkan itu, Tuan?" tanya Ki Rundanu ingin memastikan.
"Apakah aku pernah berdusta pada kalian? Kalian adalah hambaku, maka kalian tak akan pernah aku dustai," menjawab si pemuda dengan masih tersenyum. Matanya yang tadi hitam, seketika memerah bagai menyala. Mata itu menembus tajam pada mata Ki Rundanu, lalu berganti menembus istri Ki Rundanu.
"Cari olehmu sebuah perguruan Cawak Sakti," berkata Anggada. Ditunjuknya Ki Rundanu yang kini telah terpengaruh olehnya, sehingga Ki Rundanu kini bagaikan sebuah robot, menurut dan mematuhi setiap ucapan tuannya.
"Cari perguruan itu, bumi hanguskan!" kembali pemuda itu berseru memerintah.
"Malam ini juga...?" Ki Rundanu bertanya.
"Ya, malam ini juga!"
Tanpa banyak berkata lagi, Ki Rundanu segera berkelebat pergi untuk mencari perguruan yang dimaksud tuannya. Tubuhnya berkelebat cepat, merambah gelapnya malam.
Sementara Anggada yang tengah menunggu bersama istri Rundanu, perlahan segera pindah duduknya. Didekati tubuh istri Rundanu, lalu dibisikan kata-kata mesra.
Seperti suaminya, sang istri pun bagaikan robot saja menurut. Malah ia tersenyum, manakala Anggada mengajaknya berdiri dan berjalan memasuki kamar di mana biasanya ia dan Rundanu melakukannya. Satu persatu pakaian istri Rundanu melayang, lepas dari tubuhnya. Hal itu menjadikan Anggada memburu nafasnya. Matanya menghujam tajam, memandang pada setiap liku-liku tubuh istri Rundanu yang kini membaringkan tubuhnya di atas dipan. Tak lama kemudian, keadaan kamar itu hening hanya desah-desah napas jalang saja yang terdengar.
********************
Surti Kanti yang tengah tertidur seketika terusik bangun, kala terdengar suara ganjil di dalam kamar sebelah. Kamar di mana biasanya untuk tidur kedua orang tuanya. Surti Kanti seketika mengerutkan kening, bimbang untuk mengintip apa yang tengah terjadi di kamar sebelah?
"Apakah bukan ayah?" tanya hati Surti Kanti. "Ah, bukan. Mana mungkin ayah bersuara begini kerasnya? Dengkurnya begitu memekikkan telinga. Apakah aku harus.. Ah, jangan-jangan..."
Hati Surti Rukanti diliputi kebimbangan, bingung harus berbuat bagaimana. Mengintip, takut kalau-kalau yang tengah berbuat adalah ayah dan ibunya. Tidak diintip, suara dengus lelaki itu sungguh aneh dan janggal.
Sesaat Surti Kanti menahan napas, bimbang dan ragu terus menyelimuti hatinya. Namun demi mendengar keganjilan itu, seperti layaknya manusia normal Surti Kanti pun ingin mengetahuinya. Dengan langkah perlahan, didekati bilik yang memisahkan kamarnya dengan kamar orang tuanya. Seketika mata Surti Kanti terbelalak, manakala melihat apa yang terjadi di dalam kamar orang tuanya. Pemandangan itu, menjadikan lututnya bergetar gemetaran.
Bagaimana tidak, Surti Kanti yang benar-benar masih perawan belum tahu apa-apa kini harus melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian itu. Nafasnya seketika memburu, liar. Tangannya yang tadinya diam, seketika beroperasi sendiri, bagaikan latah pada pemandangan yang terpampang di hadapannya. Ketika ibunya mengeluh panjang, Surti Kanti pun turut mengeluh. Dan ketika tangannya menyapu ke bawah dirasakan olehnya cairan kental.
Ketika lelaki yang ia tahu bukan ayahnya berpaling ke arahnya, seketika terpekiklah Surti Kanti. Dilihatnya wajah lelaki itu bukan wajah manusia, namun wajah lelaki itu adalah wajah kelelawar. Tak dapat lagi Surti Kanti menahan ketakutan itu, sehingga ia pun jatuh terkulai lemas pingsan. Lelaki itu menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Sorot matanya merah membara, bagaikan mengandung bara api. Setelah mencicit sejenak lelaki muda itu berkelebat pergi menghilang ditelan gelapnya malam.
********************
Ki Rundanu yang telah terpengaruh oleh Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan, masih terus berlari dalam usahanya mencari di mana perguruan Cawak Sakti berada. Tubuhnya berkelebat cepat, layaknya sebuah bayangan hitam yang hilang lamat-lamat kala tertimpa sinar. Tengah Ki Rundanu berlari, tiba-tiba terdengar olehnya seorang membentak.
"Berhenti! Siapa kau, malam-malam keluyuran!"
Ki Rundanu yang telah dipengaruhi ilmu Anggada segera menghentikan langkahnya. Dipalingkan mukanya menghadap pada orang yang membentaknya. Seketika ketiga lelaki yang ada di belakangnya tersentak kaget, melihat wajah Ki Rundanu. Wajah itu bukan wajah manusia, tapi wajah seekor kelelawar. Mulut manusia kelelawar itu menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing. Sorot mata kelelawar hantu memerah bagai berapi, lalu dengan didahului cicitan manusia kelelawar itu menyerang ketiganya. Serta merta, ketiga orang itu cabut goloknya, babatkan ke tubuh manusia kelelawar.
"Wuuut...!" tangan manusia kelelawar bergerak menyerang. Jari-jarinya yang berkuku runcing dan tajam, menyambar ke arah musuh-musuhnya. Seketika ketiga orang lelaki itu melompat, mengelakkan serangan itu sembari tebaskan golok. Namun dengan cepat, manusia bermuka kelelawar tepiskan serangan itu. Matanya makin memerah, garang penuh rasa membunuh.
"Setan!" memaki salah seorang dari ketiganya. "Rupanya dia iblis yang selalu menjarah kampung kita. Dialah yang telah mencuri keempat puluh bayi."
"Benar, memang kata orang-orang yang melihat pencuri bayi itu orang ini!" menambah temannya.
"Jangan kita biarkan ia lolos!"
Dengan penuh keberanian, ketiga orang yang merupakan keamanan kampung segera menyerang kembali. Golok di tangan mereka bergerak cepat, silih brganti menyerang mahluk berkepala kelelawar yang kembali menyeringai menunjukkan gigi-giginya. Dengan suara serak berat, lelaki bermuka kelelawar itu membentak.
"Minggirlah kalian, jangan sampai aku berubah pikiran."
"Enak saja kau mengusir kami, Iblis!"
"Langkahi dulu kami, baru kau dapat seenaknya berkeliaran hidup!" membentak seorang lagi.
"Hem, kalian rupanya mencari mati. Bersiaplah!" Habis berkata begitu, dengan mencicit terlebih dahulu mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat menyerang. Tubuhnya berkelebat cepat, laksana seekor kelelawar yang tengah terbang. Jurus-jurusnya begitu aneh, kaku namun ganas. Jurusnya selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan.
Ketiga orang pengeroyoknya tersentak kaget, melihat jurus-jurus silat yang aneh. Ketiganya segera babatkan golok, manakala tangan manusia berkepala kelelawar hendak mencengkram mereka. Kuku-kuku yang hitam dan panjang itu, sungguh sangat berbahaya bila mengenai sasaran.
Mata mahluk itu yang tadi memerah, makin bertambah membara manakala mendapatkan ketiga musuhnya dapat menghindar. Kembali dengan cicitannya yang melengking mahluk itu kembali menyerang. Kali ini jurusnya berubah, makin aneh dan kaku. Tapi dari kekakuan itu, keluar angin menderu bila tangannya dikibaskan.
"Gila! Rupanya ia memang benar-benar siluman!" memekik seseorang dari ketiganya, tatkala tangan mahluk itu berhasil menjambret lengan bajunya hingga lengan baju itu koyak lebar.
Melihat salah seorang musuhnya dapat dipecundangi, mahluk berkepala kelelawar itu makin telengas. Matanya melotot tajam, merah membara. Tangannya bergerak cepat, dan...!
"Bret! Bret...!"
Dua kali terdengar besetan, manakala tangan mahluk itu berhasil mencakar muka salah seorang dari ketiganya. Orang yang terkena seketika memekik kesakitan. Dari pipinya yang terbeset, keluar darah mengucur deras. Mata mahluk itu makin liar, ketika dilihatnya darah merah membanjiri muka salah seorang musuhnya. Dengan kembali men-cicit, mahluk itu kembali menyerang. Kali ini serangannya begitu beringas, liar penuh nafsu membunuh.
"Kalian telah menyita waktuku. Kalian harus mati!" Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat cepat. Dengan liar dan ganas mengibaskan tangannya, sehingga seketika angin menderu keluar dari kibasan tangan.
Tersentak ketiganya berusaha menghindar, namun ternyata gerakan mahluk itu lebih cepat. Hingga ketiganya tak dapat mengelakkan serangan tersebut.
"Wut... Wut... Wut..!"
Ketiganya kibaskan golok menangkis, namun rupanya jurus itu hanya tipuan. Sedang yang sebenarnya, adalah gerakan tangan kiri mahluk berkepala kelelawar. Tak ayal lagi, jerit kesakitan seketika membahana manakala tangan mahluk itu mengoyak muka mereka. Belum juga ketiganya tersadar, tiba-tiba mahluk itu lepaskan sebuah pukulan yang mengeluarkan sinar merah membara dari tangannya. Pukulan itu adalah ajian Serat Gumilang Jati. Ya, pukulan ajian Serat Gumilang Jati yang dimiliki oleh Panca Gumilang. Belum juga ketiga orang itu tersadar, mereka tak dapat lagi mengelakkan pukulan ajian Gumilang Jati. Dan...!
"Bletar...! Bletar! Bletar...!"
Tiga kali ledakan itu bergema, dan tiga kali pula terdengar jeritan dari ketiga orang itu yang roboh dengan tubuh terbakar hangus. Melihat ketiganya telah mati, mahluk berkepala kelelawar itu ambil langkah seribu.
********************
ENAM
Wulu Gudug sangat gusar, manakala mendengar laporan anak buahnya yang mengatakan usaha mereka untuk beroperasi telah diporak-porandakan oleh seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Ndableg. Wulu Gudug merupakan seorang pimpinan judi Koprok dan pelacuran yang beroperasi di desa Wulung Segara. Namun di samping pembuka judi dan pelacuran, juga melakukan perampokan dan pembegalan. Anak buahnya begitu banyak, hampir mencapai seratus orang.
"Setan...! Kenapa mesti dibocorkan? Siapa yang telah berlaku kurang ajar, hah?"
"Maaf, Ketua Wulu Gudug, saya rasa ada orang dalam yang berani berbuat culas ini."
"Maksudmu, Luragung?" tanya Wulu Gudug belum mengerti.
"Tidakkah tetua mencurigai seseorang?"
"Ah, siapakah yang kau maksud, Luragung?" kembali Wulu Gudug bertanya. "Apakah yang kau maksud, anggota kita yang baru? Siapa namanya?"
"Benar, ketua. Itulah yang aku maksudkan," menjawab Luragung, yang menjadikan Wulu Gudug seketika melotot marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi gemeretukan menahan emosi. Dengan amarah yang berapi-api Wulu Gudug berkata.
"Panggil kunyuk kupret itu ke mari. Bila perlu, cincang dia!"
"Baik, Tetua."
Setelah berkata begitu, Luragung segera berkelebat pergi untuk memanggil anggotanya yang baru yang mengaku-aku bernama Wulung Ampar. Namun sesampainya di barak anggota, betapa Luragung sangat terkejut. Betapa tidak, di situ tergeletak beberapa orang anggotanya yang mati dengan keadaan menyedihkan. Menggeram marah Luragung seketika, merasa telah dihina mentah-mentah oleh Wulung Ampar. Maka dengan berseru, Luragung memaki-maki sendiri.
"Wulung Ampar keparat, ke luar kau! Ke mana pun kau lari, aku tak akan membiarkannya! Ke luar kau Wulung!"
"Luragung, kenapa kau mesti berteriak-teriak kayak anak kecil? Kalau kau ingin menemui aku, masuklah!" menjawab suara orang di dalam yang menjadikan Luragung geram.
Dengan didahului bentakan, Luragung segera berkelebat masuk. "Wulung Ampar, jangan kira aku takut padamu. Hiaaat...!"
Golok di tangannya lurus terjurus ke muka, sepertinya siap menghujam musuhnya. Namun betapa tersentaknya Luragung sekaligus mental tubuhnya, manakala sebuah hantaman telak mendarat di dadanya. Tubuh Luragung mencelat ke luar dan jatuh terhempas ke tanah, dari mulutnya seketika meleleh darah segar. Walau begitu, Luragung tampak masih bertahan. Luragung segera bangkit dengan mata melotot kaget manakala orang yang dari dalam bilik itu keluar. Orang yang ia kenal sebagai Wulung Ampar, ternyata kini telah berubah. Lelaki muda itu kini bukan Wulung Ampar, namun orang yang ia kenal sebagai seorang pendekar yang telah mengobrak-abrik markas judinya.
"Kau... Kau Pendekar Jaka Ndableg!"
"Ya, kenapa kau kaget?" kembali bertanya Jaka.
"Setan! Rupanya kau sengaja menelusup kemari. Jangan salahkan kalau nantinya kau akan celaka, Anak muda!" menggeretak marah Luragung, nafasnya mendengus liar, matanya memandang tajam menghujam pada Jaka Ndableg yang tampak masih tersenyum.
Jaka melangkah perlahan, menghampiri Luragung yang kini telah berdiri. "Katakan di mana pimpinanmu berada?"
"Jangan harap kau akan dapat seenaknya menyuruhku!"
"Hem, kau yakin itu, Luragung?" bertanya Jaka sinis.
"Setan! Kau anggap aku apa, hah! Jangan kira aku takut mendengar nama dan julukanmu. Ayo, kita buktikan, hiaaat..!" Luragung yang merasa mangkel dengan tingkah laku Jaka, tak lagi banyak berkata. Secepat kilat ia berkelebat, tebaskan golok di tangannya ke arah Jaka.
Diserang demikian, bukan menjadi Jaka keteter. Bahkan dengan ketawa-tawa sendiri Jaka berkelebat mengelakkannya. Mulutnya yang suka usil, tak henti-hentinya berkata. "Kurang tepat, Mang. Lihatlah, kau akan kecapaian sendiri. Apakah kau tak melihat aku di sampingmu?"
Ketika Luragung membalikkan tubuh ke samping, seketika sebuah tamparan tangan Jaka telak menghantam pipinya. Menjeritlah Luragung, pipinya merah tergurat bekas tangan Jaka. Kepalanya terasa pening, menjadikan Luragung sempoyongan dan jatuh. Jaka tersenyum, dihampirinya tubuh Luragung. Luragung yang sudah panik tampak segera bangkit, golok di tangannya ia kiblatkan ke arah Jaka yang datang menghampiri. Ketika Jaka hampir sampai, Luragung tebaskan goloknya dengan memekik dahsyat.
"Wuuuut... Wuuut... Wuuuut!"
"Kurang tepat, Mang!" seru Jaka bagaikan seorang guru mengajari ilmu silat muridnya. "Begini caranya memegang golok, agar kau tak salah lagi. Sini aku pinjam sebentar."
Habis ucapan itu, tiba-tiba tangan Jaka bergerak cepat. Mata Luragung seketika melotot, manakala tangan Jaka tiba-tiba telah merampas golok di tangannya. Luragung lompatkan tubuh ke belakang, bermaksud elakan sambaran golok yang dilancarkan Jaka. Namun ternyata samberan golok itu hanya tipuan, yang dilancarkan Jaka untuk memancing Luragung. Ketika Luragung lompat, maka tak ayal lagi kaki Jaka yang mengait terkait oleh kakinya tanpa disadari.
"Gedebug...!"
Tubuh Luragung terpelanting jatuh, manakala kakinya terkait kaki Jaka. Luragung meringis, dirasakan Luragung pantatnya sakit sekali. Ketika pantatnya diraba, ternyata bisul yang besar telah pecah. Tak kepalang Luragung menjerit, menerima bisul kesayangannya pecah berantakan. Maka dengan nekad Luragung kembali bangkit menyerang.
Jaka yang masih tenang segera kelitkan tubuhnya ke samping, tatkala sebuah hantaman tangan kosong yang dilancarkan Luragung menuju ke arahnya. "Mau nangkep kodok, Mang?" Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, Luragung seketika meluncur deras. Maka ketika kaki Jaka mengait, tak ayal lagi tubuh Luragung kembali terjerembab mencium tanah.
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan aku! Jangan kira aku akan mengalah padamu, terimalah ini!"
Selesai berkata begitu, Luragung yang telah disakiti dengan cara mencium tanah dua kali lancarkan pukulan jarak jauhnya. Jaka tersentak melompat mundur, kibaskan tangan yang telah disaluri ajian menghantam balik serangan itu. Tak ayal lagi, serangan yang dilancarkan Luragung balik menyerang tuannya.
Luragung tersentak dan berusaha menghindar, namun tak cepat. Larikan sinar dari serangannya, kini lebih cepat berbalik ke arahnya dan menghantam telak tubuh Luragung. Luragung seketika itu menjerit, ambruk menggelesor ke tanah. Sesaat tubuhnya kelojotan, lalu diam dan mati.
Demi melihat apa yang terjadi pada diri Luragung, bergidig juga Jaka. Di atas tubuh Luragung yang telah mati, seketika muncul anak-anak kalajengking yang cepat membesar menggerogoti tubuh Luragung. Saking kagetnya Jaka melihat hal itu, dari mulut Jaka memekik menyebut nama ajian yang digunakan Luragung.
"Ajian Racun Kala! Hem, sungguh menggidikan. Kalau orang lain, niscaya akan seperti Luragung keadaannya. Ajian aneh!"
Setelah memandang sesaat pada mayat Luragung, segera Jaka berkelebat loncat ke atas pohon manakala dirasa ada orang yang datang. Mata Jaka yang tajam, memandang pada bayangan seorang yang menuju ke arahnya.
Orang itu yang tak lain dari Wulu Gudug, seketika membelalakkan mata demi melihat tangan kanannya telah mati terhantam oleh ajiannya sendiri. Gusar Wulu Gudug seketika itu, lalu dengan membabi buta dihantamnya apa yang ada di hutan itu dengan ajiannya yang bernama Jelentar Ungu. Dari telapak tangan Wulu Gudug keluar sinar ungu menghantam pepohonan, seketika pepohonan yang ada di situ runtuh daun-daunnya dan tumbang. Tengah Wulu Gudug mengumbar amarah, terdengar gelak tawa seseorang mengejeknya.
"Wulu Gudug, kenapa kau kayak orang gila!"
"Keluar kau, Monyet!"
"Hua, ha, ha... kalau aku monyet, memang benar. Namun kau lebih dari monyet. Kau adalah anjing gudigan! Bukan begitu, Wulu Gudug!"
"Setan! Tampakan ujud mu, jangan hanya berani berkoar!"
"Aku di belakangmu, Wulu Gudug!"
Tersentak kaget Wulu Gudug, manakala ia menengok ke belakang tampak olehnya seorang pemuda yang telah ia ketahui sebagai Pendekar Pedang Siluman Darah telah berdiri sembari tersenyum sinis padanya.
"Kau...!"
"Ya, aku Wulu Gudug. Kenapa kau kaget? Bukankah tadi kau menyuruhku untuk keluar!" berkata Jaka tenang. "Kini aku telah keluar... apa yang hendak kau lakukan padaku, Wulu Gudug?"
"Jangan kira aku takut mendengar namamu, Anak muda!" membentak Wulu Gudug marah. Matanya membara penuh permusuhan, menjadikan Wulu Gudug yang sudah garang tampak makin garang saja. Maka tanpa berkata lagi, Wulu Gudug telah memekik menyerang Jaka.
"Heh, rupanya kau masih lancar mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat, walau badanmu telah gemuk bagaikan kingkong. Hua, ha, ha..."
"Setan! Terima ini, hiat!"
Wulu Gudug yang sudah marah pada Jaka tak tanggung-tanggung lagi, hantamkan ajiannya yang bernama Jelentar Ungu. Dari tangan Wulu Gudug nampak larikan sinar ungu mengkiblat ke arah Jaka. Jaka lemparkan tubuh ke samping, sehingga larikan sinar ungu itu melesat beberapa senti di samping tubuhnya, menghantam pepohonan yang seketika itu berguguran dan tumbang.
Jaka kembali tersentak dari lamunannya, manakala tangan Wulu Gudug yang telah disaluri ajian Jelentar Ungu kembali mengkiblat ke arahnya. Merasa untuk mengelak sudah tak ada kesempatan, Jaka segera hantamkan ajian Getih Saktinya.
"Ajian Jelantarr Ungu, hiaat!"
"Getih Sakti, hiaat!"
"Duar! Wessst... Pess!"
Terpental keduanya ke belakang, jatuh dengan tubuh terduduk Jaka tampak meringis, dadanya terasa sesak. Ternyata ajian Getih Saktinya belum dapat mengalahkan Jelentar Ungu. Darah meleleh dari sudut bibirnya, yang segera dilap oleh Jaka dengan tangan. Sementara Wulu Gudug nampak tak mengalami apa-apa, bahkan ia telah bangkit dan ganda tawa melihat Jaka meringis menahan sakit di dadanya.
"Hua, ha, ha..! Ternyata segitu kemampuan Pendekar yang tengah menjadi buah bibir di kolong Langit. Hem, hari ini juga tamatlah riwayatmu," berkata Wulu Gudug sinis. "Bersiaplah untuk akhir kejayaan mu. Aku Wulu Gudug, akan mengirimmu ke akherat. Terimalah ini...! Ajian Jelentar Ungu, hiaat...!" Wulu Gudug yang menyangka Jaka telah habis ilmunya, dengan garang hantamkan ajian Jelantar Ungu.
Terbelalak Jaka melihat hal itu, belum sempat Jaka berpikir untuk berbuat apa. Ketika sebentar lagi sinar ungu itu hendak menghantamnya, dengan spekulasi Jaka hantamkan ajian Petir Sewu. "Petir Sewu, hiaat..!"
"Bletar... Bletar... Bletar...!"
"Aaaah..." Melengking suara Wulu Gudug, tubuhnya terhantam ajian Petir Sewu yang dilancarkan Jaka, terpental jauh dan ambruk dengan tubuh hancur berantakan hangus bagaikan dipanggang.
Jaka terdiam sesaat, duduk bersila. Diaturnya napas perlahan, hingga benar-benar nafasnya telah sempurna. Ya, itulah meditasi cara mengatur jalan darah yang diajarkan oleh keempat gurunya. Merasa telah segar, Jaka segera kelebatkan dirinya pergi meninggalkan tempat itu, yang kembali sepi dan hanya ada dua sosok tubuh pimpinan dan tangan kanannya yang mati mengerikan. Itulah Wulu Gudug pimpinan gerombolan dan Luragung tangan kanannya.
Angin berhembus sepoi, menerpa tubuh-tubuh keduanya yang tak lagi merasakan sejuknya hembusan angin. Daun-daun berguguran, bersama datangnya burung pemakan bangkai. Burung itu berteriak-teriak, bagai berbahagia dapat mangsa yang lezat. Namun sungguh aneh, burung-burung itu ternyata tak doyan memakan bangkai Wulu Gudug dan Luragung.
********************
TUJUH
DI PERGURUAN CAWAK SAKTI...
Hari itu langit tampak mendung, awan bergumpal-gumpal menutup langit di atas Perguruan Cawak Sakti. Perguruan Cawak Sakti dipimpin oleh murid dari Catur Gumilang yang bergelar Pendekar Mabok atau Bomantara. Sementara murid Bomantara yang kini memimpin Cawak Sakti, merupakan murid tunggalnya bernama Suwarna Angresta. Suwarna Angresta, adalah anak seorang Raja. Dia merelakan tampuk kerajaan pada adiknya dan dia sendiri mendalami ilmu-ilmu kanuragan.
Cita-citanya menjadi seorang pendekar, mendorongnya untuk mencari guru yang sakti dan benar-benar mumpuni. Maka ketika ia melihat Bomantara yang menurut pelatih silat istana adalah tokoh yang disegani, Suwarna Angresta segera berguru padanya. Beruntung, Bomantara ternyata mau menjadikannya murid. Segala ilmu yang dimiliki Bomantara atau Pendekar Mabok, diturunkannya pada sang murid tunggal. Maka setelah Bomantara wafat, Suwarna Angrestalah yang menggantikannya.
Hari itu Suwarna Angresta tampak tengah melatih murid-muridnya yang berjumlah seratus orang dengan berbagai macam ilmu silat. Murid yang berjumlah seratus orang terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama, merupakan bagian yang tengah mempelajari tingkat dasar. Bagian yang kedua merupakan bagian yang mempelajari segala ilmu silat biasa. Sedang yang ketiga, mereka mempelajari ajian Serat Gumilang Jati tingkat dasar, satu, dua, dan tiga. Dan yang terakhir, mereka mempelajari ajian Gumilang Jati tingkat empat, lima dan enam.
Suwarna Angresta tersenyum senang melihat keseratus muridnya yang tampak bersemangat mempelajari apa yang ia turunkan. Ia melangkah perlahan, menghampiri murid-murid utamanya yang terdiri dari empat orang. Keempat orang murid utama itu, bergelar Catur Cawak Sakti. Mereka merupakan murid-murid yang patuh, setia dan mempunyai tata krama yang tinggi.
"Eka Cawak, bagaimana adik-adikmu berlatih?"
"Seperti Guru lihat," menjawab Eka Cawak demi mendengar pertanyaan Gurunya.
Sang guru segera berlalu meninggalkan Eka Cawak yang kembali melatih menuju ke murid utamanya yang kedua, yang diberi nama Dwi Cawak dan bertanya. "Dwi Cawak, bagaimana adik-adik yang engkau pimpin?"
"Seperti yang Guru saksikan," menjawab Dwi Cawak yang tengah memimpin adik-adiknya berlatih tingkat dasar. Setelah menanyai keempat murid utamanya, Suwarna Angresta segera kembali ke tempatnya yaitu sebuah kursi yang terletak di balai-balai. Di situ biasanya Suwarna Angresta duduk, memperhatikan murid-muridnya berlatih. Hatinya bangga, walau jauh dari kehidupan yang serba berkecukupan. Dilupakannya kalangan istana, dipusatkan segala pikiran dan tenaga pada ilmu-ilmu silat. Jika ia ingat semuanya, ia hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Tengah mereka berlatih silat, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana berbarengan dengan berkelebatnya sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di hadapan Suwarna Angresta. Suwarna Angresta tersentak, bangun dari duduknya.
"Siapa engkau, Ki Sanak?"
"Hua, ha, ha... akulah Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan."
"Bohong! Paman Anggda telah mati. Juga badanmu lain dengan apa yang diceritakan guru padaku, siapa kau sebenarnya?"
"Suwarna Angresta, memang jasad ini bukan milikku. Tapi rohku lah yang telah menggerakkannya untuk menuju ke mari. Nah, bersiaplah kau menerima pembalasanku."
"Kenapa paman guru memusuhiku? Bukankah aku tak tahu apa-apa?"
"Persetan... Eh, bukankah aku juga telah menjadi setan?" Belum habis kebingungan Rundanu, Suwarna Angresta telah mendahului berkata.
"Paman guru... Kalau benar engkau paman guru, maka terimalah sembah sujudku." Suwarna Angresta hendak menyembah, ketika sebuah hantaman dari tangan Rundanu menjadikannya membatalkan sujud. Suwarna Angresta loncatkan tubuh, melenting keluar.
Melihat gurunya diserang oleh orang asing, serentak keseratus muridnya tanpa diperintah segera berkelebat menghadang. Maka tak ayal lagi, keseratus murid Suwarna Angresta mengeroyok Rundanu. Rundanu yang telah dikuasai oleh Anggada, nampaknya tidak gentar sedikitpun menghadapi pengeroyokan itu. Bahkan dengan ganda tawa, Rundanu berseru.
"Suwarna, rupanya kau memang kemenakan yang baik. Kau sambut kedatanganku dengan meriah. Baik, memang aku telah bersumpah ketika di sumur Jala Tunda, bahwa aku akan menghabiskan semua pewaris ilmu Resi Wilmaka. Nah, bersiaplah!"
Tersentak semua murid Catur Cawak, manakala melihat perubahan pada diri Rundanu. Muka Rundanu seketika berubah menjadi muka kelelawar. Matanya memerah bagaikan menyala, dengan mulut menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Belum sempat semuanya tersadar dari rasa kaget, Penguasa Puri Kegelapan telah berkelebat menyerang mereka.
Namun sebagai seorang yang telah dididik dengan ilmu silat dan ilmu kanuragan, mereka tak gentar melihat hal itu. Maka dengan serentak keseratus anak murid Suwarna Angresta segera berbareng menghadang mahluk berkepala kelelawar itu yang bermaksud menyerang guru mereka. Pertarungan pun berjalan, membawa segala jerit-jerit kematian dan pekik-pekik kemarahan.
Melihat semuanya nampak terdesak oleh amukan mahluk itu, serentak Catur Cawak berkelebat menghadang. Tanpa membuang-buang waktu, keempat Catur Cawak segera menyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga.
"Duar...!"
Ledakan itu terdengar membahana, manakala empat larik sinar merah membara menghantam tubuh mahluk berkepala kelelawar. Namun bagaikan tak berarti, ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga, tak menjadikan mahluk berkepala kelelawar itu hancur, roboh pun tidak. Hal itu menjadikan rasa kaget ada keempat Catur Cawak, mereka tak yakin akan apa yang mereka lihat.
Bagaimana tidak, ajian Serat Gumilang Jati, merupakan ajian yang sangat ampuh. Jangankan tingkat ketiga, tingkat pertama saja mampu membakar daun-daun kering. Namun mahluk itu, tak mengalami apa-apa. Keempat Catur Cawak yang tengah terperangah segera lompat ke belakang, manakala mahluk itu menyerang mereka. Tangan mahluk berkepala kelelawar itu menyabet dengan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Matanya merah penuh api kematian memandang tak berkedip pada Catur Cawak.
"Kita jangan terpengaruh. Ayo, kita labrak mahluk itu dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat empat."
"Benar apa yang dikatakan Kakang Eka Cawak. Ayo kita serang kembali mahluk itu..." menyambung Dwi Cawak berkata.
Maka dengan tanpa banyak kata, karena keadaan sangat mendesak keempat Cawak Sakti itu segera hantamkan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keempat pada tubuh mahluk itu. Namun untuk seperti semula, keempatnya dibuat terperangah. Tengah keempat Cawak Sakti itu terjengah, terdengar suara mahluk itu berkata mengejek.
"Keluarkan semua ilmu kentut busuk yang kalian miliki. Akupun mampu melakukannya, lihat...!" Habis berkata begitu, mahluk berkepala kelelawar itu hantamkan tangannya yang telah dialiri ajian Serat Gumilang Jati tingkat kelima.
Tersentak keempat Cawak Sakti, manakala melihat ajian yang mereka miliki juga dimiliki mahluk berkepala kelelawar itu. Belum juga mereka dapat mengendalikan kekagetannya, larikan sinar merah dari tangan mahluk menyeramkan itu menghantam ke arah mereka. Cawak Eka dan Cawak Dwi mampu menghindarinya. Namun kedua Cawak yang lainnya, tak mampu menghindar. Dengan nekad, kedua Cawak Sakti itu lepaskan ajian Serat Gumilang Jati tingkat keenamnya.
"Hiaaat...!"
"Hiaaattt...!"
"Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tiga ajian yang sama jenisnya saling beradu. Tubuh kedua Cawak Sakti terlempar jauh, lalu jatuh dengan mulut meleleh darah. Dua Cawak Sakti itu luka dalam, hingga keduanya pingsan.
Melihat kedua adik seperguruannya tergeletak, kedua Cawak Sakti lainnya dengan geram menyerang mahluk berkepala kelelawar yang masih tertawa bergelak-gelak melihat keduanya menyerang.
"Percuma kalian membuang-buang tenaga, menyerahlah!"
"Setan! Jangan kira kami takut padamu. Bagi kami, lebih baik mati daripada menjadi hamba iblis. Ayo adik-adik, serang...!"
Mendengar seruan Eka Cawak, seketika semua anak murid Cawak Sakti bagaikan tak kenal takut menyerang. Karena mereka dididik dengan cara ksatria, mereka bertarung pun memakai ala ksatria. Musuh tangan kosong, mereka pun tangan kosong pula.
"Bedebah! Rupanya kalian memilih mampus! Bersiaplah, tak akan aku biarkan pewaris ilmu Catur Gumilang hidup." Habis berkata begitu, mahluk menyeramkan segera mengumbar kesaktiannya.
Ajian-ajian iblis dikeluarkannya, menjadikan semua musuh tak mampu menyangkal. Hanya pimpinan Cawak Sakti saja atau guru besar Cawak Sakti, yaitu Suwarna Angresta yang mampu menangkal. Melihat anak muridnya tak mampu menghadapi ilmu iblis Rundanu, Suwarna Angresta segera berkelebat menghadang.
"Paman guru, sungguh terlalu telengas paman guru tindakannya."
"Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu!" membentak Penguasa Puri Kegelapan. "Aku dan gurumu telah menjadi musuh. Gurumu lah dan paman gurumu yang lain, yang telah mengubur ku hidup-hidup. Aku mendekam selama lima puluh tahun lebih di dalam sumur Jala Tunda, semua gara-gara tindakan guru dan paman-paman gurumu yang menamakan diri Catur Gumilang Sakti. Karena mereka telah tiada, maka aku melimpahkan segala dendam ku pada murid-muridnya termasuk kau!"
"Baiklah! Kalau memang itu yang paman guru inginkan. Demi membela kebenaran dan keadilan, aku siap!"
Tertawa bergelak-gelak Penguasa Puri Kegelapan, mendengar ucapan Suwarna Angresta. "Bersiaplah!"
"Aku sudah siap! Mati pun, aku rela demi menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Nah, silahkan apa yang akan paman guru lakukan padaku."
Dengan didahului mencicit, mahluk berkepala kelelawar itu segera menyerang. Suwarna Angresta yang telah siaga, segera memapakinya. Pertarungan dua paman dan murid perguruan itu berlangsung, tanpa banyak kata lagi. Penguasa Puri Kegelapan yang telah tahu siapa orang musuhnya, tak segan-segan mengeluarkan segala ilmu iblisnya. Mahluk itu menyerang bagaikan mencari kematian. Ya, memang mahluk berkepala kelelawar itu telah bertekad untuk memusnahkan keturunan Catur Gumilang.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya tak terasa oleh kedua orang yang berkelahi itu. Namun bila dilihat, tampaklah ilmu yang dimiliki Suwarna Angresta tiada arti sama sekali. Terbelalak mata Suwarna Angresta, melihat kenyataan itu. Kini hatinya diliputi kemarahan, dan kekesalan yang meledak-ledak.
"Terimalah ajian Serat Gumilang Jati tingkat pamungkas. Hiaat!"
"Keluarkan semua ilmu yang kau miliki, Suwarna. Tak akan ada artinya sama sekali bagiku. Hiaaat...!"
Dua tubuh itu berkelebat bagaikan terbang, melayang di udara. Lalu keduanya pun bertemu, mengadu dua kekuatan sakti yang mereka miliki.
"Duar...!"
Tubuh keduanya terhenyak ke belakang, terlempar beberapa tombak. Namun begitu, keduanya masih sama-sama tangguh. Keduanya kini telah siap siaga, siap untuk melakukan serangan. Mata keduanya sejenak saling pandang, tajam menghunjam melebihi tajamnya pedang. Keduanya seperti tengah menjajaki ilmu yang dimiliki musuh-musuhnya.
"Suwarna... Lebih baik kau mengakui kalah dan gorok lehermu sendiri."
"Bedebah! Jangan kira aku mau menuruti ucapanmu. Aku belum kalah! Ayo, kita lanjutkan."
"Hua, ha, ha... Percuma kau sombongkan ajianmu, Suwarna. Tak ada artinya semua ajian warisan Resi Wilmaka bagi diriku."
"Jangan sombong, Anggada. Bersiaplah..." Dengan segera, Suwarna Angresta kerahkan tenaga dalam pada pusat kepalan tangannya. Kini ia tengah merapalkan ajian Pukulan Tangan Besinya. Tangan Suwarna seketika menghitam, legam bagaikan baja alami. Dengan didahului pekikkan, Suwarna segera berkelebat menyerang. "Hiaaaaat !"
"Hem, ilmu apa pula yang hendak kau keluarkan. Jangan kira kau akan mampu mengalahkan aku, hiaat!"
Kembali keduanya berkelebat, saling serang dengan ilmu yang mereka miliki. Betapa tersentaknya Suwarna yang tengah melayang, ketika dilihat olehnya dari tangan Anggada keluar larikan hitam legam.
"Hem. kenapa dia memiliki ajian ganas itu? Cilaka!"
Belum sempat Suwarna mengelak, Penguasa Puri Kegelapan telah mendahului menyerang. Mau tak mau, Suwarna segera hadang dengan ajian Pukulan Tangan Besi.
"Duar...!"
"Aaaaaahhh..." Suwarna Angresta memekik, tubuhnya melayang bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya seketika retak, lalu pecah-pecah laksana batu terhantam martil raksasa. Tubuh itu ambruk, mati...
Melihat musuhnya telah mati, dengan gelak tawa Penguasa Puri Kegelapan segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu. Mayat-mayat bergelimpangan, memenuhi lapangan perguruan Cawak Sakti. Satu keturunan Resi Wilmaka hilang, mati di tangan Penguasa Puri Kegelapan. Dan rupanya benar apa yang dikatakan oleh Begawan Kisnenda...
********************
DELAPAN
Korban demi korban dari keturunan Resi Wilmaka berjatuhan. Sepertinya memang sudah digariskan. Kodrat alam memang tak dapat dirubah, atau dihindari. Kodrat harus berjalan, sesuai dengan larikan sang waktu.
Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah yang konyol, nampak termangu melihat apa yang ada di hadapannya. Mayat-mayat bergelimpangan, sepertinya telah terjadi pertempuran. Namun bila dilihat, mana ada pertempuran hanya korban dari sepihak? Jelas semua yang melakukan adalah orang yang berilmu tinggi.
"Hem, aneh. Kalau pertempuran, jelas tak semuanya hanya sepihak yang mati. Paling tidak ada orang musuhnya, tapi kenapa ini satu perguruan?" bergumam Jaka dalam hati. "Aku rasa ini merupakan sebuah pembalasan. Sungguh sangat disayangkan, Perguruan Cawak Sakti yang kondang dalam nama baik sebagai perguruan berhaluan lurus kini hilang bagaikan dilanda topan."
Tengah Jaka merenung bingung, sehingga ia seperti seorang yang benar-benar linglung terdengar suara seseorang merintih. Jaka segera mencari suara itu, dan tak begitu lama Jaka pun segera menemukannya. Tersentak Jaka setelah tahu siapa adanya orang tersebut, yang tak lain Suwarna Angresta pimpinan Cawak Sakti.
Tubuh Suwarna tampak retak-retak dengan darah mengalir dari retakan-retakan tersebut. Ia tampak merangkak, menuju ke arah Jaka berada. Melihat hal itu, dengan segera Jaka memburu ke arahnya.
"Tuan Suwarna, apa yang telah terjadi?"
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Suwarna matanya tak dapat melihat akibat tertutup darah.
"Aku Jaka, Jaka Ndableg."
Mendengar jawaban Jaka, tersentak kaget Suwarna girang. Hingga ia bagaikan tak mengalami rasa sakit berseru. "Jaka..!! Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah yang tengah kesohor itu?"
"Benar, tapi aku tidak kesohor."
Dalam keadaan yang kalut seperti itu, Jaka masih juga sempat ngebanyol. Hal itu membuat Suwarna Angresta yang tengah sekarat, bagaikan tak mengalami rasa sakit. Bibirnya terurai senyum. Ia tahu bahwa Pendekar ini memang suka macam-macam dengan tingkah lakunya yang dapat membuat ketawa temannya, namun dapat membuat marah musuh-musuhnya. Pendekar ini banyak teman, tapi juga banyak lawan.
"Ah, kenapa engkau selalu merendah, Pendekar?"
"Sudahlah, Tuan. Tuan tak usah mendebatkan namaku atau julukan yang ada pada diriku. Kini tubuh tuan begitu lemah, ayo aku bantu." Dengan segera, Jaka membopong tubuh Suwarna Angresta yang penuh berlumuran darah menuju ke dalam pondoknya. Disapunya darah yang menutupi muka Suwarna, sehingga bersih.
"Katakanlah, apa yang telah menimpa perguruan Cawak Sakti? Dan siapakah yang telah berbuat demikian telengasnya?"
Sejenak Suwarna terdiam. Diaturnya napas perlahan yang terasa berat menyesak. Mulutnya sekali-kali meringis, menahan sakit yang mendera tubuhnya. Betapa tidak, tubuhnya telah begitu hancur. "Ceritanya panjang, Tuan pendekar."
"Kau mampu untuk menuturkannya.?"
"Akan aku coba sebelum ajalku tiba."
Dengan suara pelan, Suwarna akhirnya menceritakan apa yang telah dialami oleh perguruannya. Juga tak lupa akan siapa yang telah melakukannya. Mendengar penuturan cerita Suwarna, bagaikan orang terjaga dari tidur Jaka berseru kaget.
"Ah... Jadi Penguasa Puri Kegelapan yang aku dengar hidup pada seabad yang lalu itu muncul lagi? Dan ternyata ia adalah paman seperguruanmu?"
"Benar, Tuan," menjawab Suwarna. "Aku minta tuan Pendekar sudi menghentikannya. Dia sangat berbahaya. Mungkin kini atau esok, dia akan menumpas perguruan adik Lumabang, lalu perguruan Sentana, dan perguruan Braja Muspita."
"Hem, akan aku coba. Demi kebenaran dan keadilan serta ketentraman dunia, akan aku coba menghentikan sepak terjangnya walau nyawaku sebagai taruhannya."
"Terima kasih, Tuan Pen-de-kar..." Terkulai kepala Suwarna Angresta, mati.
Trenyuh Jaka melihat hal itu, ia hanya mampu menitikkan air mata. Jaka menangis, menangis karena sedih melihat kematian yang tragis. Kembali ingatannya pada kedua orang tuannya, yang juga mati akibat ulah saudara seperguruannya. "Semoga kau tenang di alam sana, Suwarna," keluh Jaka.
Hari itu juga, Jaka bekerja sendiri menggali lubang untuk mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Hem, bodoh amat aku ini. Mana mungkin sehari selesai bila aku tak memakai akal. Akan aku gunakan Pedang Siluman Darah," gumamnya membodohkan dirinya. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Seperti biasanya, Pedang Siluman Darah pun seketika muncul dan telah tergenggam di tangannya. Maka dengan Pedang Siluman Darah, Jaka dalam waktu singkat dapat membuat seratus sepuluh lubang. Hanya dengan cara menancapkan pedang, akan terjadilah lubang-lubang yang pas untuk tubuh manusia. Setelah tubuh-tubuh mereka masuk ke dalam lubang, kembali Jaka mengiblatkan ujung Pedang Siluman Darah pada lobang yang dengan sendirinya menutup. Tanah-tanah yang semula membuka, berhamburan menutupi lobang.
"Aku harus segera mencegah semua tindakan telengasnya. Kalau tidak... sungguh petaka bagi kehidupan!"
Secepat kilat, Jaka berkelebat pergi meninggalkan Perguruan Cawak Sakti yang kini telah berubah menjadi pemakaman. Hari telah berganti, dari malam berubah menjadi pagi. Embun yang menari, perlahan menghilang tersapu angin yang datang....
********************
Kerajaan Segara Anakan...
Raja Sri Baginda Damar Angkik adalah adik Suwarna Angresta. Sri Baginda Damar Angkik begitu gusarnya, mendengar kabar bahwa kakaknya mati terbantai bersama murid-muridnya. Kemarahan sang Raja tak dapat dibendung, sehingga sang Raja yang biasanya tenang dan sabar kini bagaikan macan yang kehilangan anaknya. Matanya merah, tangannya mengepal, nafasnya mendengus...
"Cari orang itu! Tangkap dia dan kita beri hukuman picis!"
"Daulat, Baginda yang mulia," menyembah sang Patih.
"Jangan kalian kembali, sebelum orang itu dapat kalian seret kemari. Penggal kepalanya...!"
"Daulat, Baginda!"
Setelah menjura menyembah, kedua patih kerajaan itu segera pergi meninggalkan bangsal istana. Kedua patih itu pun turut gusar, mendengar kakak rajanya yang baik dan bijak mati terbunuh bersama murid-muridnya. Dengan tanpa menyuruh hulubalangnya, kedua Patih yang bernama Rangket Ungu dan Singa Barong segera memacu kudanya untuk mencari orang yang telah telengas membunuh kakak baginda rajanya.
Karena di hati kedua patih itu tergurat kemarahan pada orang yang telah membunuh kakak Rajanya, sehingga kedua patih itu memacu kuda bagaikan kesetanan. Kuda yang sudah berlari kencang, digebahnya untuk dapat menambah larinya. Kedua patih itu telah terkenal kesaktiannya. Keduanya disegani baik oleh patih kerajaan lain, ataupun oleh pengacau. Semenjak kedua patih itu menjabat patih di kerajaan Segara Anakan, kerajaan itu aman tentram.
"Ke mana kita harus mencarinya, Kakang Rangket Ungu?"
"Entahlah, Adik Singa Barong," menjawab Rangket Ungu.
"Bukankah kita lebih bebas bila menyamar sebagai pengelana?"
Rangket Ungu terdiam mendengar ucapan Singa Barong. Sejenak dipandangi Singa Barong, lalu dengan tersenyum ia pun berkata. "Benar juga. Hem, bagus pendapatmu. Ayo, kita kembali ke rumah masing-masing untuk berganti dengan seragam perguruan."
Segera kedua patih yang memang saudara seperguruan bergegas menghalau kuda-kudanya menuju ke rumah masing-masing. Kedua patih itu, sebelum menjabat patih mereka adalah seorang pendekar yang sukar ditandingi pada masanya. Mereka berdua berjuluk, Pendekar Jagad Kelana. Karena keduanya sepasang, orang menyebutnya "Sepasang Pendekar Jagad Kelana."
Tak lama setelah kedua patih itu kembali, tampak dua orang manusia mengenakan pakaian merah menyala menunggang kuda berlalu dari pintu gerbang istana. Dua orang itu, tak lain adalah kedua patih yang telah mengganti pakaian mereka dengan pakaian perguruan.
"Kita menuju ke arah Selatan, Kakang?"
"Ya, sebab menurut dugaanku orang itu akan menuju ke Selatan," menjawab Rangket Ungu.
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu segera kembali memacu kudanya menuju ke arah Selatan.
********************
Malam itu kembali rumah Rundanu hening. Seperti malam-malam sebelumnya, rumah Rundanu pun diselimuti tabir kegelapan dan misteri yang sukar untuk disibakkan. Walau semua penduduk di desa itu telah mengetahui siapa Rundanu, namun untuk bergerak mereka belum berani. Pertama kepala desa belum memerintahkan, kedua belum pasti kesalahan Rundanu. Malam itu seperti biasanya Rundanu dan istrinya tengah duduk-duduk ngobrol. Sementara anaknya yang telah menginjak gadis telah tertidur.
Sebenarnya anak Rundanu yang bernama Surti Kanti tidak tidur, ia ingin membuktikan apa yang pernah ia lihat pada kejadian malam yang telah berlangsung seminggu yang lalu. Namun untuk menanyakannya pada ibu atau bapaknya, ia tak berani. Malam semakin larut, hawa dingin tiba-tiba terasa menggigil. Mata Surti Kanti seketika bagai dibebani batu puluhan kati, mengantuk berat. Namun tekadnya untuk membuktikan apa yang telah terjadi pada keluarganya, menjadikan Surti Kanti berusaha tetap melek.
Ketika malam makin bertambah larut, terdengar suara deheman seseorang di ruang tamu di mana ayah dan ibunya tengah duduk. Perlahan Surti Kanti mengintip dari bilik kamarnya. Terbelalak kaget Surti Kanti, manakala dilihatnya ada seorang pemuda diantar kedua orang tuanya.
"Siapakah pemuda itu?" bertanya hati Surti Kanti.
Kedua orang tuanya nampak tersenyum menyambut kedatangan pemuda ganteng itu. Sepertinya, kedua orang tuanya tengah bercerita pada pemuda ganteng itu yang kini berbicara.
"Rundanu dan kau Rumini, malam ini kalian harus mampu menemukan dua perguruan silat yang dipimpin oleh murid Saelendra dan Reksa Pati."
"Apa nama perguruan itu, Tuan?"
"Naga Kuldu dan Maling Demang! Malam ini juga, kalian berangkatlah. Ingat, kalian harus segera kembali sebelum pagi datang, sebab aku akan meminjam jasadmu, Rundanu."
"Daulat, tuanku," menjawab kedua suami istri itu bareng.
Setelah menyembah, kedua suami istri itu segera pergi meninggalkan rumah, menjera malam yang gelap. Walau malam begitu gelapnya, namun suami istri itu bagaikan tak mengalami kesulitan. Mereka bagaikan kelelawar berlari dengan kencangnya
Sementara di rumah... Anggada yang telah mengetahui bahwa di situ ada anak Rundanu yang masih perawan tersenyum dan tak segera pergi. Hal itu menjadikan Surti Kanti seketika gemetar ketakutan. Keringat dingin seketika deras mengalir.
"Aoh...!" Surti Kanti menjerit tertahan, manakala pintu kamarnya dibuka oleh si pemuda. "Kau...?"
Pemuda itu tak menjawab, namun tersenyum manis ke arahnya senyumnya begitu manis, menjadikan Surti Kanti seketika hatinya terpanah. Dan manakala tangan pemuda itu memegang janggutnya, Surti Kanti hanya dapat mendesah. Lalu setelah pemuda itu merebahkan tubuhnya ke atas dipan, Surti Kanti hanya mampu mendesah panjang. Lalu selanjutnya kedua muda-mudi itu diam. Hanya napas keduanya yang memburu liar. Surti Kanti terjengah, mengeluh panjang.
"Aaaah...!" Surti Kanti menjerit, manakala sesuatu telah membuat tubuhnya terasa lain. Darah menetes. Bersamaan dengan itu, seketika Surti Kanti menjerit panik manakala dilihatnya bentuk muka pemuda yang telah menyetubuhinya. Wajah pemuda yang tadinya gagah, kini berubah menjadi wajah kelelawar yang mencicit menyeramkan.
Saking paniknya, Surti Kanti pun akhirnya pingsan. Dengan didahului dengan cicitan nyaring, mahluk berkepala kelelawar itu berkelebat pergi menghilang di kegelapan malam, meninggalkan Surti Kanti yang masih tergeletak pingsan dengan keadaan tubuh telanjang.....
********************
SEMBILAN
PERGURUAN MALING DEMANG.
Pertarungan antara Utusan Iblis-Penguasa Puri Kegelapan dikeroyok oleh murid-murid perguruan tampak berjalan dengan seru. Ternyata kedatangan Rundanu yang menjadi utusan Iblis Penguasa Puri Kegelapan diketahui oleh murid-murid perguruan Maling Deman. Tanpa ayal lagi, pertarungan pun terjadi. Namun walau dikeroyok oleh sebanyak murid perguruan Maling Deman, Rundanu yang telah mewarisi ilmu Penguasa Puri Kegelapan tak dapat dengan mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.
Tengah pertempuran itu terjadi, seorang pemuda yang kita kenal dengan nama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah datang dan langsung menghadang sepak terjang orang berkepala kelelawar.
"Hem, ternyata kaulah cecunguknya yang telah membuat kerusuhan di Perguruan Cawak Sakti."
"Benar adanya. Siapa kau, Anak muda?"
"Aku yang bodoh dan ingin meminta sedikit ilmu iblis padamu bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Mendengar penuturan Jaka, seketika semua yang ada di situ tersentak kaget. Mereka pada umumnya telah mendengar nama pendekar muda yang tengah menggoncangkan dunia persilatan. Namun melihatnya, mereka baru kali ini.
"Apa urusanmu ikut campur, Anak muda!" membentak manusia berkepala kelelawar. Sengit. Jaka hanya tersenyum sinis.
"Bedebah! Ditanya bukan menjawab, malah cengengesan. Apakah kau belum tahu siapa aku adanya?"
"Hem, aku rasa kau tak lebih hanya tuyul bau!"
"Slompret! Berani kau menghina Utusan Iblis!"
Tertawa bergelak-gelak Jaka seketika itu, demi mendengar manusia berkepala kelelawar menyebut namanya. Hal itu menjadikan manusia Utusan Iblis menggeram gusar.
"Hua, ha, ha... Kalau begitu, memang tepat dugaanku. Kaulah tuyul-tuyul bau tai!"
"Bangsat! Lancang mulutmu, Anak muda! Jangan lengah, hiaat...!"
Manusia bermuka kelelawar itu secepat kilat berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang memang suka membikin musuh marah hanya tertawa bergelak-gelak sembari elakan serangan. Hal itu menjadikan Utusan Iblis makin bertambah marah, lalu dengan mencicit terlebih dahulu Utusan Iblis melipat gandakan serangannya. Dikeluarkannya ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga.
Tersentak Jaka dan semuanya melihat hal itu. Ketika tangan mahluk berkepala kelelawar menghantam, secepat kilat Jaka berkelebat mengelak. Jaka terbebas dari hantaman maut itu, namun murid-murid Maling Deman-lah yang menjadi sasarannya. Seketika puluhan murid perguruan Maling Deman mati dengan tubuh hangus.
"Ilmu Iblis!" memekik Jaka.
"Kenapa kau takut. Anak muda? Mana nama besarmu! Mana ilmu yang telah menggemparkan dunia persilatan, hua, ha, ha...!"
"Setan! Jangan tertawa dulu, lihat ini!"
Jaka segera keluarkan ajiannya yaitu Getih Sakti. Selarik sinar merah membara keluar dari telapak tangan Jaka. Namun dengan segera ajian Getih Sakti pupus, manakala terhantam dengan ajian Serat Gumilang Jati. Tersentak Jaka menerima kenyataan itu.
"Hua, ha, ha... Keluarkan segala kepandaianmu, Anak muda! Aku Utusan Iblis tak akan dapat kau kalahkan!"
"Sombong! Terimalah ini, hiaat...! Petir Sewu!" "Hem, aku pun bisa. Iblis Geledeg, hiat...!"
"Duar...!"
Dua kekuatan sakti itu beradu, menjadikan percikan api yang menyala terang. Tubuh keduanya terpental ke belakang beberapa tombak, jatuh dengan pantat menggusur tanah.
Kembali terdengar gelak tawa Utusan Iblis, sepertinya mengejek Jaka yang masih berusaha menenangkan keadaan dirinya. "Hua, ha, ha. Ternyata namamu akan berakhir sampai di sini, Anak muda!"
"Gusti Allah! Dia seperti mempunyai segala ilmu tandingan yang aku miliki! Dengan apa lagi aku harus berbuat," mengeluh Jaka hampir putus asa. "Ooh, akan aku gunakan pedangku. Baik, akan aku panggil Ratu Siluman Darah. Semoga ia dapat membantuku. DENING RATU SILUMAN DARAH, DATANGLAH!"
Terbelalak mata Utusan Iblis, melihat sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning kemerahmerahan telah tergenggam di tangan Jaka. Namun yang lebih mengejutkan Utusan Iblis, Pedang itu dari ujungnya melelehkan darah segar, membasahi batangnya.
Mata Utusan Iblis seketika bagaikan silau, terpantul cahaya yang dikeluarkan oleh Pedang Siluman Darah. Maka ketika Utusan Iblis tengah terpengaruh oleh cahaya pedang, secepat kilat Jaka berkelebat tebaskan Pedang Siluman Darah ke tubuh Utusan Iblis.
"Aaaaaahhhhhhhh..... Tobat...!" Melengkinglah suara Utusan Iblis sesaat, sebelum akhirnya mati dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darahnya telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Melihat Utusan Iblis itu mati, Jaka segera berkelebat pergi menuju ke tempat Perguruan Naga Kuldu untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Bagaikan terbang, Jaka berlari dengan ajian Angin Puyuhnya.
********************
Dua patih kerajaan Segara Anakan tampak tengah menghadapi seorang wanita. Dua patih itu merasa gusar, setelah melihat siapa adanya wanita yang telah mengobrak-abrik perguruan Naga Kuldu. Setelah melihat dengan seksama bahwa wanita itu wajahnya bukan wajah manusia biasa, kedua patih kerajaan Segara Anakan pun segera dapat menerka siapa adanya wanita itu. Ya, wanita itu memang bukan wanita sembarangan. Ia diutus oleh Penguasa Puri Kegelapan untuk maksudnya menumpas pewaris ilmu Resi Wilmaka.
"Iblis! Rupanya kaulah yang telah membuat keonaran di Perguruan Cawak Sakti. Untuk itu, kau harus mati!" membentak Singa Barong gusar. Tubuh Singa Barong seketika berkelebat cepat, menyerang Utusan Iblis.
Namun bagaikan seorang yang telah mengetahui gerak-gerik dan jurus lawan, Utusan Iblis berkelit dengan entengnya. Bahkan dengan segera balik menyerang dengan ajian Serat Gumilang Jati tingkat ketiga. Tersentak kedua patih penyerang itu, manakala Iblis Wanita berkepala kelelawar itu mampu menggunakan ajian Serat Gumilang Jati.
"Hi, hi, hi.... Terimalah kematian kalian! Hiat...!"
Tengah kedua patih itu terdesak dan nyawa keduanya dalam bahaya, Jaka Ndableg yang telah sampai di situ segera hantamkan ajian Petir Sewu menangkis serangan tersebut. Tersentak Utusan iblis, manakala ajian yang dilancarkannya hancur di tengah jalan. Dengan menggeram marah, ia palingkan muka memandang pada pemuda yang baru datang.
"Siapa kau!"
"Hem, rupanya kalian suami istri manusia-manusia serakah! Hanya untuk mencari kepuasan batin, kalian rela menjadi budak Iblis!" menggeretak Jaka marah. "Suamimu telah aku tenangkan, kini tinggal kau! Aku berbuat begitu, karena bila tidak dunia akan kalian bikin kotor dengan tingkah kalian."
Tertawa wanita Utusan Iblis mendengar ucapan Jaka. "Hi, hi, hi... Anak muda, karena kau telah membunuh suamiku maka kau pun harus aku kirim ke akherat, hiat...!"
Tanpa banyak kata lagi, Utusan Iblis bergerak cepat hantamkan ajiannya ke tubuh Jaka. Segera Jaka melompat, berkelit sembari tebaskan Pedang Siluman Darah. Pukulan Utusan Iblis seketika musnah, terbabat oleh Pedang Siluman Darah. Mata utusan iblis membelalak kaget, manakala melihat apa yang tengah tergenggam di tangan Jaka. Bukan saja Utusan Iblis yang kaget, tapi kedua patih itu pun sama.
"Pendekar Pedang Siluman Darah! Ah, sungguh tak kami duga kalau kami akan menemui tuan Pendekar di sini," berkata keduanya sembari menjura hormat.
"Ah, terimakasih, Tuan Patih. Aku mohon kalian menyingkirlah terlebih dahulu. Dia bukan tandingan kalian," meminta Jaka pada kedua patih yang segera menurut menyingkir. Kedua patih itu tahu, bahwa diri mereka tak akan mampu menghadapi Utusan Iblis yang telah dikuasai oleh Penguasa Puri Kegelapan.
"Utusan Iblis. Agar kau tenang, kau harus aku singkirkan. Tempatmu bukan di dunia, tapi di neraka sana... Hiat...!"
"Jangan mengigau, Anak muda. Hiat...!"
Keduanya segera melompat bagaikan terbang. Tangan Utusan Iblis yang telah disaluri ajian lurus mengiblat ke arah Jaka. Sementara Jaka dengan Pedang Siluman Darah, telah siaga mengkiblatkan pedang itu ke arah Utusan Iblis. Keduanya bertemu di udara. Jaka segera babatkan Pedang Siluman Darah ke tubuh Utusan Iblis, yang seketika itu pula menjerit.
"Tobaaaaat....! Aaaaaah...!"
Dengan matinya Dua Utusan Iblis, apakah dunia persilatan akan tenang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, silahkan ikuti terus petualangan Jaka Ndableg si PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH, dalam Judul. "PEMBALASAN SURTI KANTI"
Utusan iblis dua-duanya telah mati, hal itu menjadikan Penguasa Puri Kegelapan tak dapat bangkit lagi. Maka salah satunya jalan, ia harus mempengaruhi anak Rundanu yang bernama Surti Kanti untuk mau mengabdi padanya...
Nah, apakah Surti Kanti akan menuruti kemauan Penguasa Puri Iblis yang telah menjerumuskan ayahnya? Apa yang hendak dilakukan oleh Surti Kanti setelah mendengar kedua orang tuanya mati oleh Pendekar Siluman Darah? Silahkan ikuti Episode Pendekar Pedang Siluman Darah dalam judul: Pembalasan Surti Kanti.
S E L E S A I