Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Penguasa Bukit Karang Bolong
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Penguasa Bukit Karang Bolong
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
TIGA lelaki berpakaian kelabu yang bergelar Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit nampak berkelebat dengan cepat, mengurung seorang wanita berpakaian hijau pupus yang mukanya tertutup benang kain transparan hitam.
Entah apa sebabnya mereka bentrok, yang pasti tiba-tiba saja ketiga lelaki yang lebih terkenal dengan sebutan Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit itu diserang oleh orang bercadar hitam. Jelas hal itu tidak menjadikan ketiganya mau begitu saja mengakui keunggulan orang tersebut. Mereka juga merasa tidak salah dan tidak ada sangkut paut apa-apa dengan orang bercadar hitam tersebut.
"Kenapa engkau tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menyerang kami!?" bentak Hantu Kelangit kumis putih. Wajahnya beringas, sepertinya merasa kesal pada orang yang menyerang mereka.
"Hi, hi, hi...!" orang itu cekikikan. Suaranya jelas suara wanita.
Hal itu menjadikan ketiga Hantu Kelangit kerutkan kening. Mata ketiganya memandang tajam, sepertinya ingin menembus cadar hitam tersebut tembus ke wajah wanita yang menyerang mereka.
"Hi, hi, hi....! Bukankah kalian musuh-musuh Setan Berambut Putih?" tanyanya seperti ingin membuat Ketiga Hantu Dari Kelangit tersebut harus bertanya-tanya.
"Hai! Apa hubunganmu dengan Setan Berambut Putih?" tanya mereka hampir bareng, yang dijawab dengan cekikikan wanita bercadar tersebut. "Apakah mungkin kau kekasihnya?"
"Cuih! Lelaki macam dia mudah aku dapatkan. Mungkin kalau aku mau, aku dapat membawakannya untuk kalian segudang."
"Sombong," Hantu Kumis Hitam menggeretak mendengar ucapan wanita itu. "Kau terlalu sombong. Apakah wajahmu cakep?"
"Kalau cakep kalian mau apa?"
"Mau menidurimu," jawab Hantu berkumis hitam kalem.
Melotot wanita bercadar hitam itu, yang jelas nampak dari urat-uratnya yang menegang. Tangannya mengepal, sepertinya ada sesuatu yang membuat dia berbuat begitu. Napasnya mengencang, hampir menyerupai dengusan. Ya, wanita itu mendengus, merasa ketiga Hantu dari Kelangit menyepelekan dirinya. Maka dengan menggeretak penuh marah, wanita itu membentak.
"Pantas! Kalian memang manusia-manusia yang aku cari. Hem, tak aku sangka kalau akhirnya aku menemukan kalian semua. Sudah tiga tahun lamanya aku mencari kalian untuk sebuah keperluan, ternyata kalian aku jumpai di sini!"
Tersentak ketiganya kaget, demi mendengar ucapan yang nadanya mengancam mereka. Ketiga Hantu dari Kelangit terlolong bengong, tak mengerti maksud ucapan wanita bercadar hitam. Namun belum juga ketiganya dapat menguasai diri, tiba-tiba wanita tersebut telah berkelebat kembali menyerang mereka. Mereka yang kaget segera lompat mundur, lalu dengan segera balik menyerang.
"Siapa kau adanya, wanita?" tanya Hantu tak berkumis, yang merupakan Hantu paling bontot di antara ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Siapa adanya aku, tak penting bagi kalian yang berjiwa binatang. Yang utama, kalian harus mati di tanganku untuk menebus dosa-dosa yang pernah kalian lakukan pada muridku!" wanita bercadar itu nampak sunggingkan senyum yang tertutup oleh kain hitam. Ucapannya begitu mengandung ancaman, menjadikan Ketiga Hantu dari Kelangit kembali membeliakkan matanya. "Kalian sudah siap untuk aku kirim ke akherat sebagai penebus dosa-dosa kalian?"
"Omonganmu enak benar, wanita?" renguk Hantu berkumis putih jengkel. Ia merasa sudah keterlaluan omongan wanita di hadapannya tersebut. Hantu berkumis putih, menyangka kalaulah wanita itu hanya ingin mencari gara-gara saja tak lebih dari itu.
"Hi, hi, hi...! Kalianlah yang ingin enaknya sendiri. Kalian telah memperkosa seorang gadis, lalu dengan seenaknya tinggalkan gadis itu yang meratapi kemalangan nasibnya. Hampir saja gadis itu bunuh diri, kalau saja tidak segera aku tolong. Kini aku ingin menolong sekaligus menuntaskan hutang piutang di antara gadis tersebut yang kini aku angkat menjadi murid dengan diri kalian dan juga laki-laki hidung belang lainnya," wanita itu masih cekikikkan, tertawa bagaikan melihat kelucuan pada wajah Ketiga hantu Dari Kelangit yang mukanya seketika itu merah padam.
Mereka memang merasa bahwa merekalah yang telah memperkosa gadis Ningrum anak Pramanayuda. Namun yang tidak enak bagi mereka, adalah wanita yang kini mengaku-aku sebagai guru si gadis. Bukankah di dunia persilatan tak ada istilah guru harus ikut campur dengan sang murid? Begitulah dugaan Ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Kenapa kau tidak bunuh sekalian gadis itu. Bukankah kita sealiran?" Hantu kumis hitam mencoba merayu. Ia bermaksud agar wanita yang mengaku-aku guru Ningrum mau melemah hatinya. Sebab mereka telah tahu sendiri betapa ilmu yang dimiliki oleh wanita bercadar hitam tersebut sungguh tinggi. Manakala pertama kali mereka diserang, mereka merasakan betapa ilmu serangannya sungguh dahsyat. Hampir saja ketiga hantu tersebut dibuat kalang kabut, kalau saja si wanita tak segera hentikan serangan.
"Ya. Kenapa kau tidak bunuh saja sekalian gadis tak tahu diuntung itu," tambah Hantu tak berkumis menimpali kakak seperguruannya. "Kalau kau langsung membunuhnya, niscaya kami akan memberikan hadiah padamu."
"Bedebah! Kalian kira semudah itu membunuh anak manusia, heh?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit ganda tawa demi mendengar pertanyaan dari wanita tersebut, menjadikan wanita bercadar itu menggeretak kerakan rahangnya. Tangannya makin mengepal keras, seakan ingin menghancurkan sesuatu yang ada dalam kepalannya. Mata yang tertutup oleh kain cadar hitam, memandang penuh kebencian yang dalam pada ketiganya yang masih tertawa bergelak-gelak.
"Dasar kalian buaya. Mengapa kalian mau begitu saja diutus oleh Rengkana? Kenapa? Apa kalian dibayar untuk itu?" suara wanita itu begitu dalam, sedalam dendamnya pada orang yang kini berada di hadapannya.
Ya, orang-orang yang telah memperkosa dirinya. Siapakah sebenarnya wanita dalam cadar hitam tersebut? Wanita itu tidak lain Ningrum adanya. "Kalian harus mati untuk segala perbuatan yang telah kalian lakukan. Setelah kalian, maka Rengkana akan menyusul kalian ke alam akherat sana.
Bersiaplah!" Wanita bercadar hitam itu tak hiraukan lagi ucapan ketiganya, serta merta ia berkelebat dan tiba-tiba telah menyerang Serangkai Hantu Dari Kelangit yang terus berusaha mengerti apa tujuan sebenarnya wanita itu.
Maka dengan berkelit mengelakkan serangan wanita tersebut, Hantu Kumis Hitam berkata: "Wanita, mengapa tiba-tiba kau menyerangku?!"
"Kau yang melakukan terlebih dahulu, maka sepantasnyalah kalau kau yang terdahulu aku serang," jawab Ningrum sengit. Tangannya yang halus dan kecil itu bergerak cepat bagaikan seekor ular hidup, mematuk ke sana ke mari tiada henti, menjadikan Hantu Kumis Hitam keteter dibuatnya.
Melihat hal tersebut, secepat kilat kedua Hantu lainnya segera berusaha membantu. Namun sungguh tak disangka-sangka oleh keduanya, Ningrum serentak berbalik tinggalkan Hantu Kumis Hitam dan langsung mencerca keduanya dengan jurus-jurus yang mematikan. Kedua orang dari Hantu Dari Kelangit tersentak kaget melihat serangan Ningrum yang begitu ganas dan cepat. Keduanya untuk menghindar harus berjumpalitan ke sana ke mari. Kini giliran Hantu Kumis Hitam yang melihat kedua saudaranya diserang membantu, dan berusaha mendahului menyerang Ningrum.
Tapi sungguh Ningrum sekarang berbeda dengan Ningrum ketika dengan gampangnya mereka memperkosa. Ningrum sekarang adalah Ningrum yang telah dididik oleh seorang tokoh sakti dari Gunung Muria, yang bernama Nenek Sakti Ratu Kelabang. Seorang tokoh sakti beraliran sesat yang sangat bengis dan kejam. Ia tak pernah mau tahu kawan atau lawan. Bila di hatinya ada sedikit ganjelan, baik itu dilakukan oleh kawan atau pun lawan, maka kematianlah yang akan mereka alami. Ilmu Kelabang Racun Hitam sungguh belum ada tandingannya. Ilmu itu begitu sadis, dan ganas. Tak mungkin orang yang terkena dapat bertahan sehari, bila si Nenek tak segera memberikan obat pemunahnya.
Ketiga Hantu Dari Kelangit yang belum tahu siapa adanya orang yang menyerang nampak masih berusaha menghindar dengan sekali-kali berusaha menyerang. Sungguh pun demikian, ketiganya nampak belum dapat menerka siapa adanya wanita yang menyerangnya tersebut. Pertarungan tiga orang Hantu dengan seorang wanita itu masih terus berlanjut. Ketiganya seakan tak mau ada yang kalah maupun yang menang.
Tapi bila dilihat dengan seksama, jelas nampak ilmu ketiga Hantu Dari Kelangit berada di bawah setingkat ilmunya dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh si penyerang. Namun begitu, karena dikeroyok tiga menjadikan si penyerang agak susah juga mengakhiri pertarungan.
"Hem, kalau saja guru berpesan aku boleh menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam untuk menghukum mereka, sudah pasti mereka akan dengan mudah aku jatuhkan," dengus Ningrum dalam hati. Ia masih ingat akan petuah gurunya, agar jangan sekali-kali menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam pada Tiga Serangkai Hantu Dari Kelangit. Ucapan sang guru masih mengiang di telinganya, manakala Ningrum hendak melakukan balas dendam pada orang-orang yang telah memperkosanya. Orang-orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya, mengkoyak-koyak segala kebahagiaannya.
"Ingat, Ningrum. Kau tidak boleh menggunakan ajian tersebut untuk menghukum mereka, sebab mereka merupakan satu ikatan saudara dengan diriku. Guru mereka, tak lain adalah adik seperguruanku. Bukannya aku takut menghadapi guru mereka, namun apalah nantinya aku dikecam?" suara dengungan ucapan gurunya menggema di sela-sela relung-relung sanubarinya.
Namun suara lainpun tiba-tiba ikut muncul dan memberikan dorongan padanya. "Ningrum, suamimu dibunuh oleh mereka, juga kehormatanmu di renggut dengan paksa oleh mereka. Apakah kau akan tinggal diam dan menuruti kata-kata gurumu? Biarkanlah gurumu dengan mereka masih ada ikatan saudara, namun kau? Kau tak punya ikatan saudara dengan mereka, melainkan ikatan hutang piutang dendam... dendam, Ningrum. Dendam yang bisa atau tak bisa harus kau lunasi. Apakah batinmu tak tersiksa bila melihat mereka masih keliyaran hidup?"
Manakala Ningrum terdiam, berpikir mana yang harus ia kerjakan, ketiga Hantu Dari Kelangit pun nampak terdiam sembari memandang ke arahnya. Mata ketiganya nampak mengerut, tak mengerti apa sebenarnya yang kini berkecamuk di pikiran Ningrum. Namun demikian, mereka terus siap siaga, takut-takut kalau Ningrum kembali menyerang.
Ningrum yang saat itu hatinya tengah berkecamuk perang, saling dorong mendorong antara perasaan yang satu dengan yang lainnya nampak menggigit bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa gurunya Nenek Sakti Ratu Kelabang harus menolong dirinya kalau dirinya tak boleh membalas segala dendam kesumat yang tumbuh?
Betapapun, Ningrum merasa tuntutan jiwanya menghendaki ketiga Hantu Kelangit tersebut harus mati di tangannya. Namun gurunya menghendaki lain. Gurunya menghendaki agar dirinya tak sampai menurunkan tangan jahatnya. Dalam kebimbangan itu Ningrum mengerang, menggeretak penuh emosi. Dan akhir dari kontra batin tersebut Ningrum akhirnya tertawa bagaikan orang gila, menjadikan ketiga Hantu Kelangit makin dalamkan kerutan keningnya.
"Hua, ha, ha...! Aku!... aku Penguasa Bukit Karang Bolong, mengapa harus menurut pada ucapan orang lain? Aku akan mampu menguasai seluruh dunia persilatan. Aku tak perduli dengan ucapan nenek peot itu. Aku harus dapat membunuh ketiga orang yang sekarang berada di hadapanku. Hiat...!"
Tersentak ketiga Hantu Dari Kelangit, manakala dengan tiba-tiba Ningrum menghantamkan pukulan jarak jauhnya. Beruntung ketiganya waspada dari semula, kalau tidak. Niscaya tubuh mereka akan serupa dengan keadaan gunung kecil yang terletak tak jauh dari mereka. Gunung kecil itu mengepulkan asap, hancur berguguran menjadi batu-batu kecil, beterbangan laksana helaian daun terhempas angin topan. Mata ketiga Hantu Dari Kelangit membeliak, serta merta ketiganya kembali berteriak kaget melihat ilmu apa yang telah dilakukan oleh Ningrum.
"Demi Iblis! Mengapa kau mampu menggunakan Ajian Bagar Gede? Dari mana kau mencuri ajian tersebut, wanita?" tanya Hantu Kumis Putih kaget. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Hatinya seketika teringat pada seorang yang memiliki ilmu serupa dengan gurunya, Darga Buana. "Hem, apakah wanita ini benar-benar bibi guru?" batinnya tak percaya. "Kalau memang bibi guru, mengapa suaranya dan gerakannya lemah gemulai laksana gadis? Hem, tadi ia menyebut dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong. Siapakah dia? Aku baru kali ini mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Bukankah Penguasa Bukit Karang Bolong adalah Dewi Lanjut Ayu, seorang Dewi dari aliran sepertiku yang hidup sekitar lima puluh tahun yang silam? Hem, apa mungkin gadis ini telah dititisi olehnya? Sungguh bahaya dunia persilatan bila Dewi Lanjut Ayu muncul kembali. Khususnya para lelaki. Hem..."
"Kenapa kalian kaget. Kalian tahu ilmu yang aku gunakan, mengapa kalian tidak segera bersujud dan menyembah padaku. Apakah kalian benar-benar ingin mendapatkan azab, manusia-manusia dungu seperti binatang!?" Ningrum kembali membentak. Suaranya kini lain, bukan suara yang pertama kali keluar dari mulut Ningrum. Suara itu begitu parau, menyerupai suara seorang nenek-nenek yang telah benar-benar lanjut usia.
"Siapa kau sebenarnya, wanita?" Hantu Kumis Putih kembali menanya. "Kenapa kau memperoleh ajian yang dimiliki oleh bibi guru kami?"
"Hua, ha, ha...! Kalian bodoh! Jelas aku memiliki ilmu tersebut. Sebelum bibi gurumu dan gurumu memiliki ajian Bagar Gege, aku telah menguasainya. Aku Dewi Lanjut Ayu Penguasa Bukit Karang Bolong. Akulah yang akan menguasai dunia persilatan. Kalian harus mengikuti apa yang aku katakan bila kalian ingin hidup. Tapi bila tidak. Maka kalian akan aku kirim ke akherat. Hua, ha, ha !"
"Sombong! Aku tak percaya kalau kau memang Dewi Lanjut Ayu. Dewi Lanjut Ayu telah tiada, mana mungkin hidup kembali," Hantu Kumis Hitam turut menyangkal, menjadikan Dewi Lanjut Ayu bergelak tawa makin melebar.
"Kalau kalian tak percaya, lihatlah!" Habis berucap demikian, Dewi Lanjut Ayu segera kepalkan tangannya ke angkasa. Tiba-tiba petir membahana bersahut-sahutan, padahal hari itu sangat cerah.
Ketiga Hantu Dari Kelangit makin tersentak. Mereka tahu jenis ilmu apa yang tengah dilakukan oleh Dewi Lanjut Ayu, yang oleh guru mereka disebut ajian Penarik Dewa Petir. Jadi dalam keadaan apapun, bila ajian tersebut dilakukan maka Dewa Petir akan menyahuti. Belum juga ketiganya hilang dari rasa kejutnya, tiba-tiba Dewi Lanjut Ayu berseru.
"Dewa Petir, tunjukkan kehebatanmu!"
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Tiga kali berturut-turut petir membahana, dan tiga kali itu pula tanah di hadapan tiga Hantu Dari Kelangit menganga lebar, cukup untuk mengubur tubuh mereka. Mata ketiga Hantu Dari Kelangit terbeliak kaget, melompat mundur dengan mata memandang pada Dewi Lanjut Ayu.
"Mau pamer ilmu rupanya kau, orang sombong!" Hantu tak berkumis membentak marah, merasa diremehkan begitu rupa oleh gadis yang mengaku-aku sebagai Dewi Lanjut Ayu. Namun sang Dewi sepertinya tak perduli, malah kini ia nampak tersenyum di balik cadarnya.
"Terserah apa yang kalian katakan. Yang jelas Dewa Petir menghendaki nyawa kalian."
"Huh, jangan kira kau mudah melakukannya!" geretak marah Hantu berkumis Putih.
"Oh... begitu? Baik, akan aku buktikan bahwa aku tak susah untuk melakukannya. Ibarat aku hanya membalikkan telapak tanganku, maka dengan mudah nyawamu dan nyawa dua saudaramu itu akan aku ambil. Bersiaplah, hiat...!"
Kembali Ningrum berkelebat menyerang, kali ini sepertinya tak mau lama-lama lagi, terbukti serangannya begitu ganas dan cepat. Tak henti-hentinya ia menggeretak, lalu menjerit bagaikan orang histeris. Tangannya yang lentik, meliuk-liuk bagaikan ular yang hidup, menjadikan ketiga orang musuhnya harus hati-hati menghadapinya.
Ketiga Hantu Dari Kelangit berusaha mengimbangi, namun bagaimanapun juga gerakan mereka tak ada artinya untuk mengimbangi serangan Ningrum yang bagaikan kesetanan. Maka dalam waktu yang relatif singkat, Ningrum yang sudah kerasukan Dewi Lanjut Ayu makin menang angin saja. Dengan jurus-jurus anehnya Ningrum terus mendesak ketiga musuh-musuhnya, yang makin terdesak saja tanpa dapat membalas sekali pun.
Namun ketiga Hantu Dari Kelangit bukanlah orang-orang sembarangan yang hanya begitu saja sudah kalah. Mereka adalah didikan datuk silat yang sudah malang melintang di dunia persilatan, sehingga ilmu yang mereka miliki pun bukanlah ilmu kelas kroco. Ditambah lagi dengan keberanian mereka, jelas tampak bahwa mereka benarbenar sudah menuruni segala apa yang telah guru mereka ajari.
Meski dalam keadaan terdesak bagaimana pun, ketiga Hantu Dari Kelangit tak mau putus asa. Dan manakala ada kesempatan, tiba-tiba Hantu Kumis Putih berkelebat sembari keluarkan pekikkan menyayat yang mampu memecahkan konsentrasi Ningrum. Belum juga Ningrum dapat kuasai diri, tiba-tiba sebuah tangan yang bergerak cepat berkelebat menyabet cadar yang dikenakannya. Tersentak Ningrum seketika, namun lebih kaget lagi ketiga musuhnya. Mata mereka melotot, manakala tahu siapa yang tengah dihadapi.
"Ningrum! Kau...!" Ketiganya serentak berseru menyebut orang yang kini tersenyum sinis pada mereka, yang ternyata Ningrum adanya.
"Ya, aku. Akulah Ningrum yang dulu kalian perkosa atas suruhan Rengkana. Kalian harus mati, harus!"
Melihat siapa adanya gadis tersebut, serentak ketiga Hantu Dari Kelangit tertawa bergelak-gelak mendengar omongan Ningrum. Dan dengan angkuhnya ketiga Hantu Kelangit tersebut berkata mengejek:
"Hua, ha, ha...! Rupanya kau ingin mengulangi apa yang pernah kau rasakan dari kami, manis?"
"Cuh! Memang aku ingin merasakan membunuh diri kalian satu persatu dengan cara yang patut untuk orang-orang macam kalian yang tak lebihnya buaya-buaya busuk!"
Tak banyak kata lagi, segera Ningrum yang kini benar-benar dalam kuasaan Dewi Lanjut Ayu atau Penguasa Karang Bolong segera kembali buka serangan. Kali ini dia tidak mau kecolongan untuk yang kedua kalinya. Serangannya kini begitu cepat, cepat laksana gerakan siluman belaka. Tangannya, kini mencerca pada titik-titik kematian lawan.
Siapakah Ningrum yang mengaku-aku Penguasa Bukit Karang Bolong? Lalu siapakah sebenarnya Ketiga Hantu Dari Kelangit? Untuk mengetahuinya, marilah kita tinjau kembali kejadiannya pada bab selanjutnya.
Lima belas tahun yang lalu di desa Ketanggungan...
Desa Ketanggungan waktu itu nampak begitu tentram dan damai. Penduduknya ramah tamah, suka gotong royong, saling tolong menolong. Di desa Ketanggungan itulah Ningrum dilahirkan, dibesarkan oleh seorang tokoh masyarakat yang sudah terkenal yaitu Pramanayuda. Pramanayuda merupakan seorang tokoh persilatan dari aliran lurus dengan perguruannya bernama Perguruan Manik Astajingga.
Di bawah pimpinan Pramanayuda, perguruan Manik Astajingga sangat pesat perkembangannya. Kemajuan Perguruan Manik Astajingga rupanya mengundang pro dan kontra. Kaum persilatan aliran lurus khususnya bersahabat. Sebaliknya dari kaum persilatan aliran sesat, membenci dan berusaha untuk menjatuhkan Pramanayuda.
Pramanayuda mempunyai dua orang putra. Yang pertama bernama Tegalaras, seorang laki-laki. Sementara yang kedua bernama Ningrum Biyanti, adalah seorang wanita. Tegalaras sejak kecil diambil oleh adiknya yang bergelar Panggawa Iblis. Sebenarnya Pramanayuda kurang begitu sreg hatinya bila sang anak dididik oleh adik seperguruannya yang ugal-ugalan.
Namun dikarenakan rasa persaudaraan yang telah dibinanya sejak mereka masih satu perguruan, dengan berat hati akhirnya Pramanayuda pun memberikan anaknya yang lelaki tersebut. Sementara anak putrinya, dididik oleh Pramanayuda sendiri. Sejak saat itu Pramanayuda dan keluarganya tak lagi mengetahui di mana anaknya Tegalaras berada. Hubungan sebagai anak dan bapak pun terputus.
Selang tak begitu lama kemudian, Pramanayuda mendengar bahwa adik seperguruannya dibunuh oleh seorang tokoh sesat yang merupakan musuh bebuyutan adik seperguruannya. Pramanayuda berusaha mencari keberadaan anaknya, namun ia tak menemukan jejak secuil pun untuk dapat menemukan sang anak.
"Bagaimana kakang, apakah kakang dapat sebuah petunjuk di mana adanya anak kita?" tanya istrinya Arum Daru, manakala kedua suami istri tersebut tengah berbincang-bincang setelah perjalanan Pramanayuda mencari anaknya.
Pramanayuda sejenak tarik napas, memandang wajah istrinya yang nampak lusuh oleh duka akibat dipisahkan dengan sang anak. Setelah lama berbuat begitu Pramanayuda seketika tundukkan wajah, lalu dengan berat berkata menceritakan hal sebenarnya yang ia alami. "Aku gagal, Dinda"
"Gagal...?"
"Ya... aku tak menemukan jejaknya," jawab Pramanayuda lemah, sepertinya tak bersemangat barang setitik pun. "Entah siapa musuh adikku, dan yang mana? Sebab adikku banyak sekali musuhnya."
Sang istri seketika keraskan isak tangisnya, sedih bila harus berpisah untuk selamalamanya dengan sang anak. Melihat hal tersebut, hati Pramanayuda seperti diiris-iris, pedih sekali. Bagaimana pun, memang ia juga merasakan betapa sedihnya bila harus berpisah dengan sang anak yang kelak akan menggantikannya. Namun untuk menghibur hatinya, Pramanayuda segera berkata.
"Dinda, tak usahlah dinda terus-menerus bersedih hati. Bukankah kita masih diberi seorang anak?"
"Tapi Ningrum wanita, Kanda?"
"Apa bedanya? Wanita ataupun pria sama saja, asalkan kita mampu mendidiknya, kelak pun ia akan mampu membalas jasa pada orang tuanya."
Untuk sementara waktu istrinya dapat terhibur oleh kata-katanya. Meski hati mereka masih tak tenang dengan segala hasil yang mereka capai, namun setidak-tidaknya masih ada tersisa harapan bahwa keturunan mereka tetap ada. Namun begitu Pramanayuda tidak hanya mengalah pada nasib, ia terus berusaha untuk dapat menemukan siapa adanya orang yang telah membunuh adik seperguruannya sekaligus membawa anaknya. Seperti esok harinya kemudian, Pramanayuda kembali dengan menunggang kudanya memacu menyusuri bukit dan menuruni lembah dalam usahanya mencari jejak sang anak dan musuh adik seperguruannya.
Pagi masih begitu dingin, alam pun masih terselubung oleh kabut tebal yang menyelimuti wilayah yang dilintasi Pramana. Dengan mata sekali-kali memandang ke sekelilingnya Pramanayuda terus memacu kudanya. Tak hiraukan dingin menggigit tulang sumsum, tak hiraukan ilalang menyeret bulu-bulu kakinya hingga terasa gatal. Tujuannya hanya satu, mencari dan menemukan sang anak untuk dibawa pulang ke rumah.
Tengah Pramanayuda memacu kudanya, tiba-tiba berkelebat puluhan anak panah menyerangnya dari arah samping dan belakang. Serta merta Pramanayuda lemparkan tubuh, mencelat ke angkasa sembari babatkan pedangnya menangkis serta memutuskan anak-anak panah yang jumlahnya puluhan itu.
"Bangsat-bangsat rendah, keluar kalian! Jangan kalian hanya beraninya sembunyisembunyi. Kalau kalian memang jantan, hadapilah aku Pramanayuda!" teriaknya lantang, yang menggema manakala menerpa bebatuan gunung. "Keluar kalian! Tunjukkan padaku hidung kalian!"
"Kami di sini, Pramana!" terdengar suara jawaban yang disertai dengan kelebatan anak panah-anak panah yang jumlahnya melebihi semula, mengarah ke arah Pramanayuda.
Segera Pramanayuda kembali berkelit, ditangkapnya anak panah-anak panah yang mengarah telak ke arahnya, lalu dengan tenaga penuh dilemparkan anak panah tersebut ke arah datangnya. Terdengar desingan anak panah yang dilemparkan Pramanayuda diikuti oleh pekikkan tiga orang dari balik semak-semak rimbun. "Kalian keluarlah, jangan seperti tikus tanah!" bentak Pramanayuda, dengan berdiri lompat dari kudanya.
Tampak dari balik semak-semak bermunculan wajah-wajah beringas, berjalan menuju ke arahnya. Mata mereka memandang tajam ke arah Pramana, sepertinya ingin menombak mata Pramanayuda.
"Hem, rupanya orang-orang macam kalian. Mana ketua kalian, begal-begal kere?"
"Sombong kau. Pramana!" geretak Wedal, seorang pimpinan gerombolan Walang Kerek setelah ketuanya Beruk Kula-Kula.
"Aku tidak sombong! Aku hanya ingin mengetahui di mana ketua kalian berada, juga mengapa kalian tiba-tiba menyerangku?" Pramana berusaha sabar menghadapi orang-orang semacam itu. Ia tahu, bahwa orang-orang semcam Gerombolan Walang Kerek sangat banyak berguna bagi pencarian anaknya. "Apakah kalian semuanya diperintahkan oleh ketua kalian untuk menghadangku?"
"Ya! Memang ketua kami menyuruh begitu!"
"Hem, apa maksudnya?" tanya Pramana seraya kerutkan kening.
"Itu urusan ketua. Yang jelas ketua menghendaki kau harus lenyap dari muka bumi ini?"
"Oh... begitu? Mengapa tidak ketua kalian saja yang melakukannya? Mengapa ketua kalian malah bersembunyi? Kalau memang ia bermaksud untuk melenyapkan diriku, aku minta ketua kalian sajalah yang menemui diriku. Percuma kalau hanya kalian saja," Pramanayuda berkata dengan tenang, sepertinya menghiraukan katakata pimpinan Gerombolan Walang Kerek.
Mendengar ucapan Pramana, seketika pimpinan gerombolan Walang Kerek melototkan mata. Ia merasa ucapan Pramanayuda adalah ejekan yang sangat keterlaluan. Betapapun, mereka tak ingin diremehkan oleh orang lain, sebab mereka merasa adalah sebuah gerombolan yang sudah kondang namanya di dunia persilatan. Kalau orang lain yang berkata begitu, niscaya sudah menjadi apa orang yang berkata.
Tapi kini yang berkata adalah Pramanayuda, seorang pendekar yang sudah memiliki segala pengalaman segudang di dunia persilatan. Orang yang sangat disegani dan ditakuti, apalagi bila harus bersatu dengan dua orang saudara seperguruannya, jelas ketiganya sukar untuk ditaklukkan.
Namun kini salah seorang dari ketiganya telah tiada, mati dibunuh oleh seorang tokoh silat lainnya yang telah mendendam dengannya. Tapi untuk menghadapi seorang dari Tiga Pendekar Kumala, jelas harus memerlukan kehebatan ilmu yang paling tidak sebanding. Kalau tidak, maka sia-sialah segala apa yang akan mereka lakukan. Jangankan untuk mengalahkannya, untuk menghindari kematian saja susah.
"Pramana, janganlah kau sombong. Tak perlu ketua kami yang maju menghadapi dirimu, tapi kami pun akan mampu untuk menyingkirkan dirimu dari muka bumi ini!" geretak pimpinan gerombolan Walang Kerek.
"Hem, apakah kalian sudah pasti?" Pramana berkata tenang.
"Akan kami buktikan, Pramana!"
"Oh, sungguh kalian memang pemberani. Baiklah, aku layani apa yang menjadi tuntutan kalian. Nah, lakukan oleh kalian bila mampu untuk menyingkirkan diriku," sorot mata Pramana kini seperti liar, bahkan sorot mata itu seperti sorot mata penuh misteri. Terkadang redup, lalu menyala berapi-api. Nampaknya pendekar aneh itu sudah begitu marahnya, hingga ia begitu memperlihatkan keadaan dirinya yang sebenarnya. Bagaimana tidak marah? Ia tengah mencari putranya sekaligus musuh adiknya, kini harus berurusan dengan orang-orang yang dirasa telah menghadang dirinya. Pramanayuda mendesis, bagaikan ular sanca yang ingin melalap seekor katak.
Melihat keadaan Pramana, seketika kesemua orang yang berada di situ menarik napas berat, sepertinya mereka merasa ada sorot aneh keluar dari mata Pramana. Mereka segera bersiap cabut golok yang sedari tadi menggelantung di pinggang, siap untuk menyerang Pramana.
Pramana nampak tersenyum sinis, lalu dengan suara lantang setengah marah berkata; "Kenapa kalian terdiam, lakukanlah apa yang menjadi tugas kalian!"
"Sombong! Jangan menyesal, Pramana!"
"Selama hidupku, aku tak pernah menyesal!"
"Hem, begitu? Baik, bersiaplah, Pramana!" geretak pimpinan gerombolan marah. Sebenarnya dalam hati Wedal terbersit rasa takut juga menghadapi Pramana. Namun bila ia harus mengalah, sungguh petaka bagi dirinya. Ketua mereka yang bergelar Datuk Si Raja Karang bukanlah orang yang memiliki welas asih. Maka bila mereka gagal, mereka yang akan menjadi korban keganasan sang Datuk.
Beruk Kula-Kula atau Datuk Raja Karang, merupakan tokoh sesat yang memang menaruh permusuhan dengan Tiga Pendekar Gunung Langsat yang terdiri dari Pramana, Lugana, dan adik seperguruannya yang kini telah mati dibunuh entah oleh siapa. Mereka pernah menjatuhkan Datuk Kula-Kula atau Raja Karang, manakala mereka diperintah oleh guru mereka. Hal itu rupanya menjadi dendam yang berkepanjangan bagi sang Datuk Kula-Kula, sehingga ia sempat menyumpah serapah pada ketiganya bahwa nanti dirinya akan membuat perhitungan dengan ketiga saudara seperguruan. Datuk Raja Karang juga sempat mengancam, bahwa dia akan menumpas keluarga ketiganya dengan keturunan mereka sendiri. Apakah tidak mungkin yang membunuh dan menculik adik serta anaknya tak lain si Datuk?
Bila ingat akan semuanya, seketika Pramana merasakan pasti bahwa sang Datuklah yang lelah melakukan semuanya. Maka kemarahannya makin meledak-ledak laksana larva gunung Agung. Tanpa banyak kata lagi, segera Pramana memekik menyerang kedua puluh orang anak buah Datuk Raja Karang.
"Kalian harus mati! Kalian harus menebus kejahatan ketua kalian!" pekik Pramana penuh amarah. Bagaikan banteng kekaton Pramana terus mencerca dengan Pedang Sukma Layungnya. Hawa pedang yang seperti mengandung racun, seketika menyebar ke segenap penjuru.
Tanpa ampun lagi, mereka yang masih berilmu rendah langsung jatuh terkulai lemah pingsan. Sebaliknya yang berilmu tinggi, nampaknya harus berusaha sekuat tenaga menolak hawa pedang tersebut.
"Ilmu Iblis!" memekik Wedal kaget. Ia segera lemparkan tubuh ke belakang, diikuti oleh anak buahnya yang masih sadar dan kuat menangkis hawa aneh tersebut. Muka mereka melotot tak percaya, memandang tajam pada pedang yang tergenggam di tangan Pramanayuda.
"Kenapa kalian pucat seperti seekor babi yang hendak digorok! Mana keberanian kalian sebagai Gerombolan Walang Kerek!?" desis Pramana dengan senyum sinis melekat di bibirnya. "Sudah aku katakan, bahwa kalian tak akan mampu menghadapi diriku. Sekarang kalian minggatlah dan beritahukan pada ketua kalian si Datuk Raja Karang bahwa aku ingin menemuinya! Lakukanlah segera, atau dengan terpaksa aku akan menyate tubuh-tubuh kalian!"
"Sombong kau, Pramana! Jangan harap aku akan mengakui kehebatanmu! Mari kita lanjutkan!" Wedal membentak marah. Ia kini harus benar-benar nekad. Mati sudah pasti harus dihadapi, walau ia harus berusaha menghindari kematian itu. Namun bila ia mengalah pada Pramana, jelas kematian didapat olehnya dari tangan ketuanya si Datuk Raja Karang. Kematian semacam itu sungguh tidak terhormat, lebih baik mati di tangan musuh yang sudah kondang namanya. Maka dengan perhitungan demikian, Wedal dengan nekad segera menyerang Pramana, dibantu oleh sisa-sisa anak buahnya.
Diserang begitu rupa tidak menjadikan Pramana gugup, malah dengan mulut menyeringai seperti hendak menunjukkan kekuatan Pramana berkelebat mengelakkan serangan-serangan musuhnya. Pedang pusaka di tangannya bergerak cepat, sepertinya mempunyai mata sendiri. Hawa pedang yang mampu membuat orang pingsan terus mengalir, menyelimuti lingkungan pertarungan tersebut.
"Kalian tak akan mampu bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
"Hem, kau masih sombong, Pramana!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak percaya. Baiklah, aku akan membuktikan pada kalian bahwa hawa pedang ini mampu membuat kalian sesak napasnya, yang akhirnya kalian akan pingsan!" Setelah berkata begitu Pramana makin mempercepat kelebatan pedangnya. Asap bergulung-gulung, menyelimuti daerah itu makin lama makin tebal menghitam pekat.
Semua penyerangnya seketika tersentak, melototkan matanya. Dada mereka seperti sesak, terbatuk-batuk oleh terpaan asap tersebut. Namun mereka sepertinya yang tak mau mengalah, mereka terus berusaha bertahan dan semampu mereka membuang hawa asap tersebut. Namun rupanya mereka harus mengakui bahwa hawa yang keluar dari pedang lebih kuat daripada ilmu yang mereka keluarkan.
Satu persatu, akhirnya mereka berjatuhan pingsan. Tinggallah kini Wedal yang masih mampu bertahan, namun begitu Wedal nampak pucat pasi. Ia sadar bahwa dirinya tak mampu lagi untuk menghadapi serangan Pramana. Namun Wedal masih berusaha tersenyum, senyum puas karena akan mati di tangan seorang pendekar. Jurusjurus Pramana makin keras, akhirnya yang tampak hanya gulungan asap tebal.
"Hiaat... Bersiaplah, Wedal!"
"Aku sudah siap, Pramana!" balas Wedal tak mau kalah.
Kedua orang itu seketika mencelat, terbang berbarengan di udara. Namun nampaknya Pramana tak menginginkan kematian untuk Wedal. Maka dengan secara cepat pedang pusaka Sukma Layung disarungkan ke tempatnya, sementara tangannya yang telah diisi dengan tenaga dalam bergerak lurus memapaki serangan golok Wedal.
"Hiaaaat...!"
"Hiat...!"
Wust...!
Angin tebasan golok Wedal berdesah, menyerang dengan ganas. Namun Pramana sepertinya tahu kelebatan golok tersebut, dan dengan segera elakkan tubuh disusul oleh hantaman tangannya ke iga sebelah kiri lawan.
"Bug... bug... bug...!"
"Kretak!"
Terdengar suara tulang iga patah, diikuti oleh jeritan yang melolong dari mulut Wedal menyayat.
"Aaaah...!"
Wedal terkulai jatuh di atas tanah, dengan iga yang remuk menjadikan dirinya menyeringai menahan sakit. Matanya tajam memandang pada Pramana yang tersenyum, berdiri menghadapinya dengan pedang Sukma Layung yang sudah berada di sarungnya. Mata Wedal membeliak, seakan tak yakin bahwa suara retakan tulangnya bukan karena tebasan pedang pusaka tersebut.
"Kau...!"
"Kenapa, Wedal?" tanya Pramana tenang. "Aku sengaja tak menggunakan pedangku agar kau dapat hidup lebih lama. Sekarang katakan pada ketuamu, aku Pramana ingin bertemu. Aku tunggu ketuamu di lereng Gunung Kencana!"
"Tunggu! Jangan kau pergi dulu!" Pramana yang hendak berkelebat pergi segera hentikan langkah, lalu ditengoknya kembali Wedal yang memanggilnya.
"Ada apa, Wedal?"
"Pramana, lebih baik kau bunuh saja diriku. Aku meminta tolong padamu, bunuh saja aku!"
"Itu tak mungkin aku lakukan!"
"Kau tega melihat aku dibunuh oleh ketuaku?"
Pramana tersenyum, sepertinya ucapan Wedal bagaikan anak kecil saja. Mana mungkin ia harus mau mengurusi orang lain? Mau dibunuh oleh gurunya, kek. Yang pasti, guru Wedal yang juga ketuanya harus menemuinya di lereng Gunung Kencana. Setelah tersenyum begitu, segera Pramana kembali tinggalkan Wedal yang hanya mampu terlolong bengong.
Hati Wedal begitu marah, kecewa dan dendam pada Pramana yang tidak mau melakukan apa yang ia inginkan. Bagaimana pun ia sangat mengharapkan Pramana yang membunuh, bukan gurunya. Tapi rupanya nasib harus berbuat begitu.
Selang beberapa lama setelah Pramana berlalu, sebuah bayangan berkelebat menuju ke arah Wedal tergeletak. Wedal yang mengetahui siapa adanya yang datang seketika membelalakkan mata kaget, dan dari mulutnya keluar desisan kaget mengucap nama orang tersebut.
"Guru...!"
"Kau telah gagal, Wedal!" suara gurunya nampak penuh kebencian. Ya itulah sifat Datuk Raja Karang. Sifat yang angkuh dan tidak mengenal siapa kawan ataupun lawan. Bila memang seorang yang menjadi kawannya tak berguna lagi, maka seharusnya orang tersebut disingkirkan dari muka bumi.
Wedal hanya terpaku diam, tak dapat mulutnya untuk mengutarakan apa yang harus dikatakan.
"Kau gagal. Wedal!" kini suara gurunya makin keras, merasa ucapannya tak digubris oleh Wedal. "Jawab, Wedal!"
"Ampun, ketua. Memang aku... aku gagal. Tapi..."
"Tak ada tapi-tapian, Wedal! Kau ingat apa yang telah aku katakan padamu? Barang siapa yang tidak ada guna lagi bagi diriku, maka aku akan menyingkirkannya."
Menggigil tubuh Wedal seketika mendengar ucapan gurunya yang dirasakan sebuah keputusan akhir. Ya, keputusan yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Namun Wedal tak ingat, bahwa di atas sana masih ada yang lebih kuasa dibandingkan dengan gurunya yaitu Allah S.W.T. yang telah menciptakannya.
"Sekarang katakanlah, di mana Pramana menunggu diriku?!"
"Ampun guru, Pramana menunggu kedatangan guru di lereng Gunung Kencana," jawab Wedal dengan masih diselimuti rasa takut yang teramat sangat.
Sang guru angguk-anggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba dengan suara menyeramkan sang guru berkelebat dengan golok di tangannya siap tebaskan ke leher Wedal. Hampir saja golok tersebut membabat putus leher Wedal, manakala tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menyelamatkannya.
"Bedebah! Siapa yang telah lancang di hadapanku!" maki Datuk Raja Karang marah. Segera ia kejar orang yang membopong tubuh muridnya, namun usahanya sia-sia karena orang tersebut jauh tinggi ilmunya hingga dengan cepat orang tersebut lenyap dari pandangannya.
"Monyet busuk! Siapa gerangan orang itu?" Datuk Raja Karang memaki-maki sendiri, lalu setelah puas menyumpah serapahi orang itu segera ia pun berkelebat pergi untuk menemui Pramana yang telah menantinya di lereng Gunung Kencana.
Angin gunung bertiup sunyi, menerpa lembut daun-daun kering yang beterbangan dan hinggap pada tempat-tempat yang telah di atur oleh Yang Maha Kuasa. Lembah itu kembali sepi, tiada suara ataupun jeritan manusia. Namun tak lama kemudian, serombongan burung-burung pemakan bangkai beterbangan, berputar-putar di situ dan kemudian menukik. Rupanya rombongan burung Nazar tersebut menemukan makanan yang sungguh menyenangkan.
Angin sore telah mengalunkan hawa yang aneh, yaitu hawa sebuah penentuan. Di lereng Gunung Kencana, nampak dua sosok tubuh saling berhadapan dengan hening seperti menjajagi apa yang ada di hati mereka masing-masing.
Matahari telah menggelincir, empat puluh derajat ke arah Barat. Sinarnya kini tak segarang manakala siang, namun redup. Bayang-bayang kedua orang tersebut panjang, melebihi keadaan sebenarnya. Mata mereka saling pandang, layaknya dua mata burung elang yang tajam saling menghujam. Napas mereka mendesah berat, seirama dengan deru angin yang menggayut berat.
"Kau menungguku, Pramana?" tanya Datuk Raja Karang.
"Ya, aku memang mencarimu," jawab Pramana tenang.
"Apakah kau ingin mengulang seperti lima tahun yang lalu?"
"Bukan! Bukan itu yang aku inginkan, tetapi lebih dari itu semua. Kini aku tak perduli lagi dengan segala tindakanmu, asal kau jangan mengganggu sanak kadangku."
Mata Datuk Raja Karang seketika menyipit, sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya tujuan Pramana. Setahunya ia tak pernah membuat kerusuhan lagi pada keluarga Pramana, ataupun sanak kadangnya. Kini Pramana mencari dirinya untuk mencari gara-gara. Sebenarnya memang hal itu yang dicari, sebab ia pun ingin sekali-kali kembali menjajagi ilmu yang dimiliki Pramana setelah lima tahun berlalu.
Tapi untuk menyatakan terus terang, sungguh ia belum berani. Sebab di samping akan diketahui oleh khalayak persilatan yang sudah tentu akan mencercanya, juga saudara seperguruan Pramana lainnya akan berusaha membantu. Bukankah hal itu masih menyangkut masalah perguruan? Maka demi mendengar pertanyaan Pramana, timbullah hatinya untuk mengakui segala tindakan orang lain. Dimaksudkan agar supaya Pramanayuda mampu marah.
"Apa yang sebenarnya engkau mau, Pramana?"
"Aku ingin kau kembalikan anakku yang kau culik dari adik seperguruanku."
"Huah, itu tidak mungkin, sebab anakmu sudah aku korbankan untuk para Roh-roh penguasa Bukit Setan! Kalau kau tak mau, maka kau akan menghadapi aku!"
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala seperti dulu, Datuk!"
"He,, he, he...! Aku memang seperti dulu, seperti ketika kalian kalahkan. Karena kekalahan itulah hingga aku sampai kini menaruh dendam. Dendam untuk mampu membalas segalanya padamu dan pada adik seperguruanmu lainnya."
Kalau saja Pramana mau meneliti dari omongannya, jelas bahwa Datuk Raja Karang bukanlah orangnya yang telah menculik dan membunuh anak dan adik seperguruannya. Tapi Pramana yang sudah dilanda oleh kobaran amarah tak menganalisa dan memperdulikannya. Tuduhannya pada Datuk Raja Karang begitu yakin, sepertinya Datuk Raja Karanglah yang benar-benar telah membunuh adik seperguruannya sekaligus menculik anaknya Tegalaras.
"Sudah aku duga, bahwa kaulah biangnya! Maka itu, kini aku tidak akan segan-segan lagi menurunkan tangan jahatku padamu, Datuk! Bersiaplah!"
Melihat kemarahan Pramanayuda. Datuk Raja Karang masih berusaha tenang. Ia tahu siapa adanya Pramanayuda, seorang tokoh persilatan berilmu tinggi yang disegani oleh musuh-musuhnya. Di samping itu ia harus memikirkan Pedang Sukma Layung yang berada di tangan Pramana. Pedang tersebut bukanlah pedang sembarangan, namun sebuah pedang yang mampu merontokkan sendi-sendi tubuh sekaligus mampu membunuh orang tanpa mengalami kematian luka-luka. Sebab dengan asapnya saja, orang akan dibuat pingsan dan akhirnya mati.
"Sudah siapkah kau, Datuk?" kembali Pramana bertanya.
"Aku memang sudah siap, Pramana. Tapi perlu kau ingatkan? Bahwa aku siap menghadapi dirimu bukan karena aku telah melakukan segala yang engkau lontarkan. Aku menghadapimu karena aku merasa ingin mengulang kejadian lima tahun silam. Lima tahun silam kau dan kedua adik seperguruanmu telah menjatuhkan aku di hadapan orang banyak. Kini akulah yang akan menjatuhkan nama besarmu, walau aku menjatuhkanmu bukan di kalayak ramai tapi bagiku sudah cukup puas!"
"Jadi kau masih mungkir?!"
"Aku tidak mungkir. Aku memang tak mengetahui siapa adanya anakmu, juga siapa yang menculiknya," jawab Datuk Raja Karang, menjadikan Pramana tersentak kaget. Pikiran Pramana seketika melayang, tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Kalau memang Datuk Raja Karang bukan orangnya, lalu siapa lagi yang telah berbuat begitu?" keluh hati Pramana bimbang. "Apakah masih ada orang lain yang menaruh dendam padaku? Atau barangkali musuh adikku yang memang ugal-ugalan?"
"Kenapa terdiam, Pramana?"
Pertanyaan Datuk Raja Karang begitu menghentakkan Pramana yang tengah tercenung. Matanya seketika membelalak, memandang lekat ke arah Datuk Raja Karang yang masih tersenyum. "Jadi kau bukan penculiknya?" tanya Pramana kemudian setelah tersadar dari lamunannya. "Kalau begitu aku rasa aku tak ada gunanya menemui dirimu!"
"Ada, Pramana!" Datuk Raja Karang mencerca, mengingatkan kembali pada Pramana. "Bukankah kita memang ada kepentingan sendiri? Kepentingan yang berhubungan dengan apa yang pernah kita lakukan, di mana kau dan saudara-saudara seperguruanmu menjatuhkan aku."
"Kau rupanya tak jemu-jemu, Datuk!"
"Memang aku tak pernah jemu bila belum mengalahkan kalian!"
"Sekarang apa yang kau mau?" tanya Pramana kembali sewot.
"Bertarung untuk menentukan siapa yang paling sakti di antara kita!" Datuk Raja Karang sunggingkan senyum sinis, mengarah pada Pramana yang masih menghela napas berusaha sabar.
Pramana tahu siapa sebenarnya Datuk Raja Karang, seorang tokoh sesat yang tak bisa diajak kompromi. Selalu ingin menang, ingin diaku oleh kalayak bahwa dirinyalah yang paling berkuasa. "Bertarung...?" ulang Pramana, sepertinya ingin meyakinkan pada diri sendiri kebenaran ucapan sang Datuk.
"Ya, bertarung! Kau takut, Pramana?" ejek sang Datuk.
"Tak akan pernah ada rasa takut untukku."
"Bagus! Itu yang aku harapkan! Aku minta kau mau sejenak melupakan masalah anakmu, atau mungkin kau akan tenang tanpa berpikir kalut memikirkan anakmu karena kau akan aku kirim ke alam sana! He, he, he...!"
"Sombong! Kau manusia sombong!"
"Apa pun yang kau katakan, bagiku tak menjadi masalah! Yang penting, aku mampu mengirim nyawamu ke akherat, hiaaat!"
Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Pramana, Datuk Raja Karang berkelebat menyerang. Hal itu menjadikan Pramana tersentak kaget dan dengan segera berkelebat miringkan tubuh mengelak. Namun karena didera hati yang tak tenang menjadikan Pramana lamban dalam mengelak, akibatnya!
"Bug...!"
Sebuah hantaman telak mendarat di bahu kirinya, menjadikan Pramana seketika terhuyung ke belakang dengan mulut menyeringai menahan sakit. Kini ia sadar, bahwa ucapan sang Datuk bukanlah main-main. Segera Pramana tarik napasnya panjang, lalu mendesis kencang laksana seekor ular sanca marah. Habis berbuat begitu, serta merta Pramana melompat dan menyerang sang Datuk yang masih senyum-senyum penuh kemenangan.
Sang Datuk melompat mundur, kaget melihat gerakan Pramana yang begitu cepat dan ganas. Ia tidak mengira kalau Pramana pun telah meningkatkan ilmu silatnya. Terbukti sang Datuk tak mampu lagi menghindar dari sergapan Pramana, dan...
"Hiat!"
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali berturut-turut, tendangan kaki dan pukulan tangan Pramana telah mendarat di wajah sang Datuk yang seketika itu melayang bagaikan terbang terdorong oleh hantaman tersebut. Mata sang Datuk membeliak tak percaya, menyaksikan kemajuan Pramana yang begitu pesat. Betapa mungkin, dalam lima tahun Pramana yang dulu ilmunya berada setingkat dengannya kini melebihi ilmunya. Namun sebagai orang yang berwatak keras. Sang Datuk tak mau begitu saja mau menyadari.
"Hebat! Kau ternyata lebih hebat, Pramana. Tapi aku tak mau begitu kalah olehmu. Aku ingin kau lebih banyak memberikan pelajaran padaku," sambung sang Datuk dengan sinis.
Pramana berusaha tenang, meski ucapan sang Datuk dirasakannya sangat menyinggung perasaan. Mata Pramana yang tajam, tak henti-hentinya menantang pandangan tatapan mata sang Datuk. Napasnya sangat tenang, berbeda dengan napas Datuk Raja Karang yang mendengus penuh kemarahan.
"Aku rasa, aku tak lebih darimu, Datuk. Maka itu aku minta tak usahlah kita teruskan segalanya. Kita bukan anak-anak lagi, Datuk."
"Tidak bisa!"
Tercengang Pramana mendengar ucapan Datuk Raja Karang, walau Pramana sudah menduga sebelumnya. Ia tahu bahwa sang Datuk pasti tak akan mau mengalah begitu saja, apalagi padanya yang telah pernah menjatuhkan. Kini hati Pramana dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti apa yang dimaui si Datuk atau mencari anaknya.
"Bagaimana, apakah kau mau menyerahkan nyawamu untukku?"
Ejekan Datuk Raja Karang sudah keterlaluan, sudah menjurus pada hal merendahkan martabat Pramana sebagai seorang pendekar. Pramana seketika mendengus marah, sepertinya jiwa seorang pendekarnya kembali menggentak-gentak hatinya untuk mau menerima tantangan sang Datuk. "Baik, aku layani apa maumu!"
Habis berkata begitu, Pramana seketika kembali berkelebat. Kali ini bukan tangan kosong, tapi pedang pusaka Sukma Layung ikut menentukan.
Terkesima Datuk Raja Karang melihat pedang tersebut, sehingga matanya yang sudah tua memandang membeliak. "Pedang Sukma Layung!" pekiknya tertahan.
Kini hanya ada dua keputusan, mati ditebas pedang Sukma Layung atau mati oleh asap pedang. Menilai begitu, Datuk Raja Karang bagaikan orang kesurupan. Ia nekad memapaki serangan yang dilancarkan Pramana dengan pedangnya.
Pertarungan dua musuh bebuyutan itu kembali berjalan, seperti hendak mengenangkan kembali mereka pada kejadian lima tahun silam. Bedanya kalau lima tahun yang silam Pramana bersama saudara-saudara seperguruannya, tapi kini Pramana menghadapi sendiri. Namun sungguh berbeda Pramana sekarang dengan yang dulu. Pramana sekarang sungguh tinggi ilmunya, apalagi dengan pedang Sukma Layung di tangannya yang begitu dahsyat. Orang menghadapi Pramana harus berpikir seribu kali, kecuali orang nekad seperti Datuk Raja Karang.
Karena hatinya didera rasa was-was pada pedang Sukma Layung, menjadikan gerakan Datuk Karang begitu lamban. Ya, hatinya tak tenang, penuh rasa takut kalau-kalau jalan napasnya tak tahan menghadapi asap tebal yang bergulung-gulung keluar dari pedang tersebut. Asap itu memang makin lama makin tebal, menyelimuti keadaan mereka seketika hilang. Bau asap tersebut mampu menyumbat pernapasan, menjadikan sang Datuk harus mampu menahan napasnya.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya sang Datuk lebih banyak terdesak daripada mendesaknya. Pedang Sukma Layung terus mencerca mencari titik mati bagi lawannya. Sebenarnya Pramana mudah untuk mengakhiri pertarungan tersebut, namun ia sengaja mengulur serangan. Kalau saja pedang tersebut digerakkan makin cepat, niscaya dalam sekejap saja sang Datuk sudah tak akan mampu lagi menahan napas. Tapi Pramana yang tak ingin membunuh berusaha menjatuhkan lawannya dengan tanpa korban.
"Menyerahlah, Datuk!"
"Tidak! Aku belum kalah olehmu! Aku akan mengadu jiwa dengan dirimu, Pramana!"
Pramana hanya mampu menghela napas panjang, terasa berat dirasakannya. Ia sebenarnya tak ingin pedangnya terlumur darah, tapi keadaan menghendaki lain. Kalau ia harus mengalah pada Datuk Raja Karang apalah nantinya yang akan terjadi pada keluarganya dan dunia persilatan. Dengan mendengus sewot Pramana kembali membentak:
"Datuk tak tahu diri! Kalau memang itu yang engkau mau, baiklah! Jangan salahkan aku mengasah pedang pusaka ini pada darahmu!"
"He, he, he! Ucapanmu sombong, Pramana!"
"Dasar manusia tak mau diuntung! Apakah kau kira aku tak mampu melakukannya!"
"Lakukanlah, Pramana! Lakukan kalau engkau mampu!" ejek sang Datuk dengan gelak tawa terkekeh, menjadikan Pramana yang tadinya masih memendam rasa kasihan kini berubah menjadi rasa benci.
Pedang Sukma Layung di tangannya tiba-tiba mengeluarkan sinar merah, seakan sinar itu hendak menghancurkan serta meremukkan apa saja. Pantulannya begitu menyilaukan, menjadikan mata sang Datuk seketika menyipit. Pandangan sang Datuk terganggu, tak mampu untuk melihat jelas apa yang ada di hadapannya. Namun, Pramana rupanya masih menghendaki penyelesaian secara damai, sehingga dengan nada melemah ia kembali berkata:
"Masihkah kau berkeras hati, Datuk?"
"Sudah aku katakan, aku tak akan menyerah dan tak akan membiarkan kau hidup!" gerutu sang Datuk marah. Hatinya panas, sepanas dendamnya yang membara. "Kalau kau tak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu, Pramana!"
Pramana masih terdiam, memandang pada sang Datuk yang nampak menutup kedua matanya dengan tangan. Hatinya seketika menggelegar marah, kesal, dan segala macam perasaan tak enak berkecamuk menjadi satu. Napasnya yang tadinya tenang, berganti dengan napas liar memburu. Tangannya bergetar hebat, hawa pedang Sukma Layung menyebabkan dirinya bagaikan diguncang. Pedang itu rupanya meminta darah, entah darah siapa. Apakah darah sang Datuk, atau mungkin darahnya sendiri bila ia tak mampu memberikannya.
"Hiat...!" tiba-tiba Pramana memekik, tebaskan pedangnya ke tubuh sang Datuk. Sang Datuk yang tersentak berusaha menghindar, namun gerakan pedang Sukma Layung ternyata lebih cepat dari dugaannya. Tak ayal lagi...!
"Aaah...!" Muncrat seketika darah Datuk Raja karang, kepalanya terbelah jadi dua. Memang apa yang dikatakan Pramana benar, bahwa pedang pusakanya akan diasah oleh darah. Terbukti sudah! Tubuh sang Datuk terlantah, menyosot ke tanah tanpa nyawa.
Dua mata dari balik semak menyaksikan hal itu, yang tanpa diketahui oleh Pramana. Pramana yang telah melihat musuhnya mati, dengan segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh mati tersebut. Bersamaan dengan hilangnya tubuh Pramana, pemilik mata itu seketika berkelebat menghampiri. Sesaat dipandangnya tubuh sang Datuk, hatinya menggumam.
"Pramana! Tunggulah pembalasanku, pembalasan kami!" Lalu tubuh pemuda itu berkelebat, menghilang tinggalkan mayat Datuk Raja Karang yang masih tergeletak menjadi dua.
Sejak kematian Datuk Raja Karang, maka Bukit Karang Bolong makin sepi bagaikan tak bertuan. Keangkeran Bukit Karang Bolong dikaitkan dengan berita-berita adanya hantu yang menghuni Bukit tersebut. Mungkinkah hantu itu roh Datuk Raja Karang? Entahlah! Yang pasti di Bukit Karang Bolong ada seorang wanita muda dan cantik yang muncul tiba-tiba. Sebenarnya wanita muda dan cantik itu adalah istri Datuk Raja Karang.
Dibanding dengan usianya, jauh sekali keadaan wajah serta fisik wanita tersebut. Wajahnya masih cantik jelita, juga fisiknya masih begitu kuat, tak ada kulit keriput atau guratan-guratan usia di mukanya. Dia bernama Nyi Mas Ayu Salidri, anak seorang pembesar istana yang dipersunting oleh sang Datuk. Sebenarnya dulu penyuntingan Nyi Mas Ayu Salidri tidak direstui oleh ayahandanya, mengingat Datuk Raja Karang bukanlah orang-orang lingkungan istana dan hanyalah tokoh persilatan.
Namun karena keduanya sudah saling menyinta, maka dengan penuh keberanian keduanya melarikan diri dari lingkungan istana dan menetap di Bukit Karang. Disebabkan penghuninya yaitu Nyi Mas Ayu Salidri telah tidak perawan, maka Bukit Karang itu dikenal dengan nama Bukit Karang Bolong.
Karena rasa cintanya yang begitu dalam terhadap Datuk Raja Karang, menjadikan Nyi Mas Ayu Salidri mendendam pada Pramana dan keluarganya. Namun untuk menghadapi sendiri, jelas ia tak mempunyai keberanian. Sebab di samping Pramana orang sakti mandraguna, juga memiliki pedang Pusaka Sukma Layung.
"Bagaimana aku harus menghadapi Pramana? Dia begitu sakti, ditambah dengan Pedang Sukma Layungnya yang sangat berbahaya. Jarang sekali orang mampu menghadapi pedang tersebut. Suamiku juga tak mampu, apalagi dengan diriku," renung Nyi Mas Ayu Salidri sendiri.
Tengah ia merenung, mencari bagaimana jalan untuk dapat membalas dendam, tiba-tiba telinganya mendengar suara suaminya yang sudah tiada seperti berkata:
"Nyi Mas, kalau kau ingin membalas dendam padanya aku rasa itu tak perlu. Ambilah nanti anak darinya yang gadis. Menitislah kau padanya, niscaya kau akan mendapatkan ketenangan diri. Berbuatlah sesuka hatimu, sebab dengan penitisanmu dengannya akan menjadikan sebuah kekuatan yang Maha Dahsyat! Kesaktianmu dan kesaktiannya akan bergabung menjadi satu. Gantikan kedudukanku sebagai seorang penguasa Bukit Karang Bolong. Ingat Nyi, kau harus mampu menunjukkan pada dunia bahwa Penguasa Bukit Karang Bolong masih ada dan masih harus diperhitungkan."
"Kenapa aku tidak boleh mendendam pada keluarga Pramana, Kakang?"
"Nyi Mas, aku sekarang dalam ketenangan. Bila kau mendendam, maka berarti kau tidak sayang padaku. Sudahlah, kau turuti saja apa yang menjadi saranku. Kacaukan dunia persilatan. Bukankah dengan kau menitis di tubuh anak gadis Pramana secara tak langsung kau sudah membalas dendam?" tanya suara Datuk Raja Karang, yang diangguki oleh sang istri. "Dengan anaknya berbuat sadis, maka Pramana akan mencoba menghentikannya. Bukankah dengan begitu kau mampu menghadapi Pramana?"
"Benar juga ucapanmu, Kakang." jawab Nyi Mas Ayu Salidri.
"Nah, kau lakukan segalanya nanti apabila telah terjadi sebuah petaka bagi anak gadis Pramana itu."
"Petaka apa yang datang menimpanya, Kakang?" tanya Nyi Mas Ayu ingin tahu.
Maka dengan suara berat Datuk Raja Karang pun menceritakan apa yang bakal terjadi di dunia persilatan, sampai-sampai mengenai akan datangnya seorang pendekar yang nantinya akan membantu istrinya menyusul ke alamnya sana. Sementara Datuk Raja Karang bercerita, Nyi Mas Ayu Salidri mendengarkannya dengan seksama tanpa berkeinginan menanya atau memutus cerita tersebut.
"Kalau begitu percuma usaha kita, Kakang?"
"Tidak, Nyi Mas. Memang untuk kita kembali bersatu harus menjalani hal-hal yang pernah aku lakukan."
Tercenung diam Nyi Mas Ayu Salidri mendengar jawaban suaminya. Hatinya seketika gundah, sebab ia tidak ingin mati terlebih dahulu sebelum dirinya mampu menguasai jagad. Kalau harus menuruti segala nasib, percuma ia harus menitis pada anak gadis Pramana.
"Tidak! Aku tidak ingin mati lebih dini! Aku harus mampu menjadikan diriku seorang Ratu yang disegani. Hi, hi, hi...! Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa menyeleweng dari apa yang kau rencanakan, karena aku ingin menjadi seorang Ratu. Ya, Ratu " membatin Nyi Mas Ayu Salidri.
Suasana kembali hening, sunyi senyap bagaikan di pekuburan. Bukit Karang Bolong nampak diselimuti dengan misteri. Bukit itu seakan tegak, menantang kehidupan manusia untuk mengadakan sebuah bencana yang harus ditanggulangi. Apakah yang bakal terjadi di Bukit Karang Bolong nantinya?
Pramanayuda yang sudah hampir putus asa mencari keberadaan anaknya nampak tercenung dalam duduknya. Ia masih memikirkan kematian Datuk Raja Karang. Sebenarnya hal itu tidak ia inginkan, namun sungguh di luar dugaan.
"Mengapa hal itu terjadi? Mengapa aku harus membunuh?" keluh Pramanayuda, seakan menyesali apa yang telah ia perbuat dengan segala tindakannya. "Sebenarnya aku tak ingin membunuh, tapi rupanya sang Datuk memaksaku. Oh, aku telah berdosa. Tanganku kini telah terlumur oleh darah."
Melihat suaminya tercenung, sang istri yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi dan singkong rebus sepiring terhenyak. Dia berdiri mematung, memandang pada suaminya yang seperti orang tak punya gairah. Perlahan ia menghampiri, dan sampai ia menaruh piring pun sang suami masih tampak tak acuh adanya. "Kakang, kenapa dengan dirimu?"
Pramanayuda tersentak seketika demi mendengar pertanyaan istrinya. Ia mencoba tersenyum, walau senyum itu dipaksakan agar gundah gulana dalam hatinya tidak diketahui oleh sang istri.
"Apakah kakang memikirkan sesuatu?" kembali istrinya bertanya.
"Ah, ti... tidak," jawab Pramana terbata.
"Mengapa Kakang melamun bengong?"
Pramana terdiam tanpa dapat menjawab pertanyaan sang istrinya. Matanya memandang lekat-lekat pada wajah istrinya, yang tersenyum sembari ulurkan tangan menggapai tangan suaminya. Terbayang semua kenangan lama, di mana kenangan indah bergayut saat-saat keduanya masih remaja. Walau keduanya anak orang-orang tak berada, namun karena rasa cinta yang tulus menjadikan keduanya hidup rukun dan tentram. Mereka bina satu keluarga bahagia, senang lahir maupun batin. Tapi kebahagiaan mereka yang sudah berjalan hampir dua puluh tahun, kini terenggut dengan hilangnya putra pertamanya yang bernama Tegalaras. Bocah tanggung itu kini raib bagaikan ditelan bumi, tak tentu di mana rimbanya.
"Aku telah melumuri tanganku dengan darah. Ya, aku telah membunuh seseorang musuhku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan membunuh lagi apabila aku telah mempunyai seorang anak wanita. Oh, petaka apa yang akan kita alami, Dinda?"
"Ah, mengapa kakang terlalu hanyut dalam kecemasan?" istrinya mencoba menghibur. "Tak perlulah kakang memikirkan hal itu. Kalau pun akan datang petaka bagi kita, maka sepantasnyalah kita serahkan semuanya pada yang Kuasa. Bukankah begitu, Kakang?"
"Ya, memang seharusnya begitu. Tapi aku sangat mengkhawatirkan akibatnya pada putri kita, Ningrum."
Terhenyak dalam diam istri Pramana mendengar ucapan sang suami. Sepertinya ucapan sang suami sebuah desau ketakutan yang teramat sangat. Namun untuk menghiburnya sungguh sukar, karena sepertinya sang suami memendam sebuah rahasia yang menyangkut keadaan dirinya dan keluarga khususnya anak gadisnya Ningrum. Memang sepengetahuan istri Pramana, sejak Pramana mempunyai anak wanita ia tidak lagi mengadakan pertarungan seperti layaknya kala ia masih muda atau manakala memiliki anak Tegalaras.
Sejak lahirnya Ningrum kegiatan Pramana untuk berkelana pun terkunci, dan ia lebih banyak mengurung diri di dalam rumah atau memomong anak-anaknya. Bahkan tugasnya sebagai seorang pimpinan di perguruan ia limpahkan pada murid utamanya Kala Jangka. Hanya akhir-akhir ini saja, yang menjadikan Pramana sibuk, yaitu mencari keberadaan anaknya Tegalaras.
"Kakang, sepertinya kakang memendam sebuah rahasia?" tanya istrinya kembali, setelah terhanyut dalam pikirannya manakala mendengar penuturan sang suami.
"Ah, aku rasa aku tidak memendam apa-apa, Dinda."
"Ya, sudahlah. Kalau memang kakang tidak memiliki sebuah rahasia, aku minta kakang tak perlu mencemaskan segalanya. Serahkanlah apa yang bakal terjadi pada Yang Kuasa, sebab hanya Dialah yang tahu rahasia alam ini. Kalau ia memang menghendaki demikian, aku rasa ada makna tersendiri."
Ucapan istrinya begitu dingin, menyirami hati Pramana yang saat itu tengah dalam keadaan gersang dan panas. Gersang oleh ketakutan yang bakal menimpa keluarganya, juga panas oleh api kemarahan pada diri sendiri yang tak mampu mencari jejak keberadaan anaknya, padahal ia telah terkenal sebagai seorang pendekar yang mumpuni.
"Ah! Tak ada artinya gelar pendekar, kalau aku tak mampu menemukan anakku," sering kata-kata itu melintas dalam benak Pramana, namun kadang juga ia sadar. Sehebat-hebatnya manusia, ia akan mengalah pada nasibnya. Nasib yang telah digariskan oleh Yang Wenang. Maka bila ia sadar, ia akan menggumam kembali.
"Mungkin semua kehendak Yang Mencipta alam. Aku hanyalah sebagai manusia yang mampu merencanakan tapi tak mampu menentukannya."
Hari telah makin larut, meninggalkan bekas-bekas waktu yang sedikit demi sedikit akan segera berubah. Begitu halnya dengan manusia, ia yang biasanya terjaga harus mengalah pada waktu. Kantuk pun datang, menghanyutkan segala pikiran dan halusinasi serta angan-angan.
Waktu terus berputar bagaikan balingbaling kehidupan yang cepat. Lima tahun sudah masa kebimbangan terlewati oleh Pramana dari keluarganya. Ningrum kini telah menginjak dewasa, menjadi seorang gadis cantik. Kecantikannya tiada tara, menjadikan banyak sekali pemuda yang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa yang ada pada diri Ningrum
Pada suatu hari, datanglah serombongan lelaki dan wanita yang ingin melamar Ningrum. Orang-orang tersebut, sepertinya dari kalangan orang berada. Ditilik dari pakaian yang mereka kenakan, jelas tergambai kemewahan dan kebesaran sebagaimana layaknya orang-orang yang memiliki banyak harta.
Rombongan itu memang dari kalangan orang berada, tepatnya dari seorang tuan tanah kaya! Di wajah-wajah orang tersebut, sepertinya membersit rasa ketidakpuasan. Wajah mereka kelam tenggelam oleh bayang-bayang sebuah kehidupan. Mungkin mereka menerima tugas untuk meminang Ningrum anak seorang pendekar yang mumpuni dengan secara paksa, atau mungkin mereka tidak menyukai juragannya melamar Ningrum?
Entahlah. Yang pasti, mereka melangkah dengan langkah berat, berwajah gelap penuh rasa tak percaya diri. Rombongan itu terus melangkah dengan bisu, tiada kata atau canda ria yang menggaung di hati mereka. Apalagi manakala mereka makin dekat ke rumah Pramana, sepertinya ketakutan dan rasa tak percaya diri makin menggayuti berat.
"Apakah kita akan membawa hasil?" seorang lelaki tua yang berjalan paling muka bernama Ki Rawe-rawe bertanya pada semuanya yang tak seorang pun mampu menjawabnya. "Bagaimana kalau pinangan kita ditolak?"
"Entahlah, Ki. Kalau memang ditolak, sudah sepantasnya, bukan?"
"Yang engkau maksudkan, Gakel?" Ki Rawe-rawe kerutkan kening demi mendengar ucapan temannya yang bernama Gakel, seorang lelaki tua sebayanya yang memiliki badan pendek
"Kita semestinya malu pada Tuan Pramana. Bagaimana pun, juragan kita sudah begitu lanjut, tak sepantasnya harus menyanding putri Ningrum. Ah, memang juragan kita keterlaluan."
"Huss... kau jangan ngomong begitu."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Apa kau tidak tahu kalau di sini banyak penjilat?" Ki Rawe-rawe memperingatkan pada temannya. Namun dia sendiri tidak menyadari kalau ucapannya juga mengandung bahaya bila didengar oleh orang-orang yang dikatakannya penjilat.
Kedua orang tua itu kembali diam, melangkah dengan ketidakyakinan di hati mereka. Mata mereka redup, sepertinya memiliki sakwa sangka yang tak enak. Dan manakala jarak mereka telah hampir dekat dengan rumah Pramana, langkah mereka merandek bagaikan tiada tenaga lagi untuk meneruskan.
"Siapa yang akan mendahului?" tanya Ki Rawe-rawe pada semuanya yang seketika saling pandang. Dari sorot mereka jelas sudah tampak bahwa mereka sangat jeri pada Pramana, seorang yang disegani oleh kawan maupun lawan. Seorang pendekar yang tidak sombong.
Melihat semuanya saling terdiam saling pandang, Ki Rawe-rawe kerutkan kening kembali seraya bertanya: "Heh, mengapa kalian terdiam? Apakah kalian telah lupa pada apa yang kalian katakan pada Juragan kalian?"
"Kami tak berani, Ki?"
"Ah, kalian ternyata orang-orang yang di depan dan di belakang lain. Di hadapan juragan, kalian mengatakan ya. Tapi di belakangnya, ternyata kalian tak lebih seekor tikus!"
Ki Rawe-rawe begitu sewot. Memang sebenarnya ia sendiri enggan untuk melakukan pinangan tersebut. Ia memikir apa mungkin seorang gadis cantik dan muda harus bersanding dengan seorang tua. Tak masuk di akal ulah juragannya, sungguh tidak masuk di akal!
Melihat kemarahan Ki Rawe-rawe, seketika semuanya tak ada yang berani membuka mulut. Mereka menyadari bahwa diri mereka memang kurang berani untuk melakukan semua perintah juragannya yang sangat keterlaluan.
"Bagaimana, apakah tak ada seorang pun yang berani?" Ki Rawe-rawe kembali berseru. "Ayo, mengapa kalian pada diam kayak cacingcacing kepanasan?"
"Ki, apa tidak sebaiknya kita pulang lagi?" seseorang mengusulkan. "Kita bilang saja bahwa usaha kita gagal karena pihak si gadis menolak."
"Sontoloyo! Kau tak lebihnya seorang banci! Minggat dari sini!" bentak Ki Rawe-rawe penuh amarah. Bagaimana mungkin ia akan menuruti kemauan orang tersebut, yang dirasakannya sungguh suatu tindakan kafir yang hendak mengadu domba. Orang tersebut seketika diam, tak berani mengulang kata lagi.
"Kalau kalian tidak berani, mengapa kalian harus mengatakannya, ya, ya, ya...! Dasar manusia-manusia tak tahu diri!"
Mereka terus terdiam tak hiraukan caci maki Ki Rawe-rawe. Mereka memang menyadari, bahwa merekalah yang serba salah. Di hadapan juragannya, mereka mengatakan ya berani untuk meminang. Tetapi kini, tak tahunya mereka melempem. Keributan tersebut rupanya didengar oleh Pramana yang segera datang menghampiri. Wajah Pramana mengerut, melihat serombongan orang dengan membawa lengkap apa yang dibutuhkan dalam tunangan mandek pada berdiri di halaman rumahnya.
"Ki Sanak sekalian, ada gerangan apa hingga ki sanak ribut-ribut?" tanya Pramana setelah mengetahui hal yang pasti. "Kalaulah Ki sanak sekalian ingin bertandang ke gubugku, mengapa Ki sanak tak langsung saja?"
Semuanya seketika menundukkan wajah, seakan tak berani untuk menentang pandang dengan seorang yang mereka kenal sebagai pendekar yang disegani. Melihat hal tersebut Pramana sunggingkan senyum, lalu dengan suara ramah kembali berkata:
"Kenapa? Apakah kalian merasa takut padaku? Ah, sungguh aku tak mengerti kalau kalian memang takut padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku tak akan pernah menyakiti seorang ataupun seekor pun binatang bila tidak mendahului. Begitu juga halnya dengan kalian, aku tak akan mengusik kalian bila kalian tidak terlebih dahulu mengusik diriku dan keluargaku."
Ucapan Pramana bagaikan sebuah air sejuk yang menyirami kerongkongan mereka saat dahaga. Mata mereka yang redup, seketika kembali bersinar. Ada setitik api menyinari hati mereka, menjadikan mereka makin tahu siapa adanya Pramana. Lama kelamaan, rasa tahu itu menjadikan rasa hormat dan segan di hati mereka.
"Maafkan segala kelakuan kami, Tuan Pramana," menjura hormat Ki Rawe-rawe mewakili segenap rekan-rekannya. "Kami diutus oleh juragan kami untuk..."
Belum juga Ki Rawe-rawe habis katanya, Pramana telah mendahului berkata: "Ah, apakah pantas kita bicara di pekarangan?"
Ki Rawe-rawe tersentak kaget, tak menyangka kalau ia akan mendapatkan sindiran yang halus. Maka dengan suara tergagap karena merasa tersindir, Ki Rawe-rawe kembali berujar: "Ah, maafkan atas kebodohan ku..."
"Tidak apa-apa, Ki. Mari silakan masuk ke rumahku. Rumahku terbuka lebar untuk siapa saja yang memang bermaksud baik. Tapi bila mempunyai tujuan buruk, maka Aki dapat melihat sendiri di sana." Dengan berkata Pramana tunjukkan jari telunjuknya ke tempat sebuah halaman di mana terdapat ratusan muridnya tengah berlatih ilmu silat.
Seketika orang-orang yang melihatnya terbelalak, ada rasa ngeri dan takut melihat hal tersebut. Memang, mereka yang akan berbuat jahat niscaya harus berhadapan dengan murid-murid Pramana yang banyak. Mereka mungkin telah dilatih segala kemampuan berkelahi dan ilmu-ilmu oleh Pramana selaku guru dan sekaligus pimpinannya di Perguruan Manik Astajingga.
Melihat tamu-tamunya merandek, Pramana kembali ulaskan senyum dan berkata: "Tak perlulah kalian takut, sebab aku yakin kalian bermaksud baik-baik. Bukan begitu, Ki?"
"E... be-benar," jawab Ki Rawe-rawe gagap, ia terkejut oleh pertanyaan Pramana yang datangnya secara tiba-tiba. "Memang kami bermaksud baik-baik."
Para tetamu itu kembali melangkah, memasuki halaman rumah Pramana dan terus ke balai-balai. Mereka disambut oleh istri Pramana serta anaknya Ningrum yang ramah tersenyum menyambut kedatangan mereka.
Setelah duduk-duduk dalam ramah tamah sesaat, maka dengan terlebih dahulu mengulum ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering Ki Rawe-rawe berkata menerangkan maksud kedatangannya dengan para temannya. Mulanya Pramana dan keluarganya hanya mendengar, namun setelah mengetahui siapa adanya orang yang menyuruh mereka maka dengan halus Pramana berkata:
"Maaf, Ki. Bukannya kami keberatan. Tapi, segala keputusan yang paling berhak adalah anak kami Ningrum."
"Hamba mengerti, Tuan," jawab Ki Rawe pasrah.
"Nah, bagaimana, Ningrum? Apakah kau menerimanya?"
"Ampun, Ayahanda, Ningrum sangat menyesal tak dapat menerima pinangan Ki Rengkana. Ningrum telah memiliki calon, Ayahanda."
"Nah Ki, itulah keputusan anakku," Pramana kembali berkata, yang segera diangguki oleh Ki Rawe-rawe dan segenap para kadangnya.
"Kalau begitu kami mohon pamit undur."
"Ah, mengapa mesti bergegas, Ki? Sabarlah dulu, bukankah kami belum mengobati kedatangan kalian?" Pramana mencoba mencegah, namun Ki Rawe dengan halus menolaknya. Maka akhirnya dengan pasrah Pramana dan keluarganya pun mengijinkan mereka kembali.
Dengan diiringi tatapan mata keluarga Pramana, mereka melangkah dengan berat meninggalkan rumah Pramana. Kini mereka dalam bimbang, ragu untuk kembali pulang. Betapa mungkin mereka akan menghadapi kemarahan tuannya. Senja telah datang, menepiskan siang yang telah menjalani masa tugasnya. Mereka terus melangkah menuju ke tempat asal, di mana mereka tadi datang. Sang mentari seperti tak memperdulikan mereka, lenyap di balik bumi sebelah Barat.
Kegagalan para suruhannya untuk meminang Ningrum memang sudah ada dalam pikirannya. Sebenarnya bukan itu maksud Rengkana sebenarnya. Maksud yang sebenarnya adalah mencari jalan untuk membalas kematian kakaknya si Datuk Raja Karang. Namun untuk terus terang melakukan balasan ia tak berani karena keberadaannya sebagai adik Datuk Raja Karang akan jelas kentara dan diketahui oleh kalayak ramai
Dengan kegagalan para utusannya untuk meminang Ningrum, maka jalan untuk mengadakan pembalasan terbuka sudah. Kini tinggal mencari siapa-siapa orangnya yang mampu melakukan segala apa yang telah direncanakan. Bagi Rengkana, tak berani pada ayah si gadis tak menjadi soal, yang penting ia akan membuat petaka bagi keluarga Pramana.
"Aku akan membuat Pramana malu!" dengusnya berapi-api
Hari itu juga, dicarinya kenalannya yang dianggap mampu melakukan segala apa yang telah terencana. Rengkana dengan menunggang kuda bergegas menuju ke arah Wetan, di mana para sahabatnya yang bergelar Tiga Serangkai Hantu berada. Tempat yang dituju oleh Renggana tak lain desa Kelangitan di mana Tiga Serangkai Hantu tersebut berada.
Desa Kelangitan letaknya tak begitu jauh dari keberadaannya sekarang. Bila ditempuh dengan menunggang kuda, maka akan memerlukan waktu tiga jam. Sedang bila ditempuh dengan jalan kaki, memerlukan waktu setengah hari perjalanan. Kuda yang ditunggangi Rengkana terus melaju, menaiki gunung dan kadang harus menyeberangi sungai. Menerobos hutan serta semak-semak, lalu menjarah persawahan yang masih kering kerontang akibat kemarau yang panjang. Digebasnya kuda tersebut dengan kencang, sepertinya Rengkana tak sabar untuk menemui ketiga teman-temannya.
Ketika ia hampir mendekati tempat di mana Tiga Serangkai Hantu berada, segera Rengkana lambatkan lari kudanya. Matanya memandang lurus-lurus, sepertinya ia ingin menyaksikan apa yang berada di hadapannya. Di depannya kini terhampar hutan bakau, yang sarat dan sempit karena saking penuhnya. Perlahan kuda tunggangannya melangkah, ada perasaan aneh yang seketika bergayut di hatinya. Perasaan aneh itu, makin lama makin besar bersamaan dengan makin mendekatnya kuda yang ditumpangi Rengkana ke hutan bakau.
"Hem, apa yang menjadikan hatiku was-was. Aku harus berhati-hati, sebab tidak mungkin kalau keadaan tenang hatiku harus berdebar seperti ini." Rengkana makin memperlambatkan kudanya melangkah. Dipasangkan pendengarannya dengan tajam, sehingga suara gemeresek sedikit pun akan jelas ia dengar.
Pertama kaki kudanya memasuki hutan bakau, tak ada apa-apa. Makin ke dalam, lalu terus melangkah ke dalam. Ketika kuda yang ditumpangi Rengkana sampai di tengah-tengah hutan bakau, tiba-tiba sebuah tombak hampir saja menyate tubuhnya bila Rengkana tidak segera lompat. Tapi tak urung tombaknyalah yang melesat menghantam kudanya. Sesaat kuda itu meringkik, lalu akhirnya menggeletak mati. Mata Rengkana melotot, marah dan takut beraduk menjadi satu. Dengan agak takut Rengkana segera bangkit, lalu dengan penuh kemarahan ia membentak:
"Siapa adanya engkau, keluarlah!"
"Kau manusia iblis! Kau harus mati di tanganku!"
Rengkana tersentak kaget demi mendengar balasan bentakan suara seseorang yang telah menuduhnya. Dia berusaha mencari orang yang memiliki suara tersebut, namun sepertinya suara itu tiada yang memiliki. Orang yang berkata tak dilihat oleh Rengkana, menjadikan Rengkana seketika bergidig bulu kuduknya. Tengah Rengkana, bingung tak tahu siapa yang telah berkatakata, kembali terdengar suara bentakan.
"Kau manusia iblis! Kau telah dengan licik membunuh pamanku! Kau pura-pura ingin berguru pada paman, lalu setelah kau curi Kitab Serat Kumajang kau bunuh paman! Dasar manusia berhati iblis!"
"Siapa kau! Kalau kau manusia, aku minta keluar dan tunjukkan batang hidungnya agar dengan mudah aku congkel matamu!" bentak Rengkana sewot. Dihunusnya keris pusaka, lalu diacungkan ke arah suara itu. Namun belum juga ia tahu siapa adanya suara tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan...!
"Ini aku...!"
Bersamaan dengan munculnya bayangan tersebut, tiba-tiba Renggana mengerang memapaki orang tersebut. Namun gerakan orang tersebut ternyata lebih cepat dari apa yang ia duga hingga tak ayal hantaman tangan berisi yang dilancarkan oleh orang itu telak menghantam muka Rengkana.
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali suara hantaman itu terdengar, dan tiga kali Rengkana harus mengerang kesakitan. Tubuh Rengkana berguling-guling, menahan sakit yang teramat sangat mendera di wajahnya. Tulang pipinya terasa remuk, terkena tendangan yang keras. Rengkana terus meraung-raung kesakitan, sementara orang yang menyerangnya yang ternyata seorang pemuda berdiri tegak dengan senyum mengawasi tubuh Rengkana.
"Itulah balasanmu, seorang yang tidak memiliki rasa terima kasih! Kau telah ditolong oleh paman, namun balasanmu sungguh menyedihkan bahkan membuat paman akan mengutukmu!"
"Siapa kau, Anak muda?" terdengar suara seseorang lain menanyakan pada pemuda yang berdiri memandangi tubuh Rengkana.
Pemuda itu segera palingkan muka, memandang pada suara yang bertanya. Senyumnya masih mengembang, dan lebih tepat dikatakan sinis. Pemuda itu berjalan santai meninggalkan tubuh Rengkana yang masih mengerang dan menghampiri ketiga orang yang berdiri mengawasinya. "Namaku Tegalaras. Kalian dengar! Nah, karena aku tak ada urusan dengan kalian, maka kalian tak usah banyak kata! Sekarang ganti aku yang bertanya, siapa adanya kalian semua?"
"Kami dijuluki dengan sebutan Serangkai Hantu Dari Kelangitan," menjawab Hantu Kelangitan Kumis Putih, menjadikan pemuda yang berdiri di hadapannya seketika bergelak tawa.
"Apa yang engkau tertawakan, Tegalaras! Aku kira tak ada yang lucu dengan ucapanku!"
Pemuda itu masih gelak tawa. Lalu tanpa hiraukan mereka seketika kembali berkelebat pergi menjadikan mereka Hantu Dari Kelangitan terbingung-bingung dengan tingkah Tegalaras.
"Anak muda sinting. Kasihan, masih muda harus gila!" gumam Hantu Kumis Hitam. Namun tiba-tiba kembali terdengar bentakan si pemuda, menjadikan Serangkai Hantu Kelangitan tersentak kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu mendengar suara gumaman Hantu Kumis Hitam? Padahal jarak mereka sudah begitu jauh, hampir ada seribu tombak. Tapi pemuda itu dapat mendengarnya, bahkan membentaknya pun dari jarak jauh. Sungguh bukan pemuda sembarangan.
"Apa kalian bilang!"
"Heh, dia mendengar gumamanku," Hantu Kumis Hitam mendesah kaget, lalu dengan suara rendah berkata meminta maaf. "Maafkan kami bila kami telah berkata salah."
"Beruntung aku tengah tak ada waktu mengurusi kalian! Kalau saja aku sempat, maka kepala-kepala kalianlah yang akan aku puntungi!" Bergidig juga ketiga Serangkai Hantu Kelangitan mendengar ancaman Tegalaras. Mereka tahu bahwa Tegalaras bukanlah orang sembarangan, terbukti suara gumaman mereka pun sempat didengarnya. Sungguh seorang pemuda berilmu tinggi, sayang keadaannya sungguh memprihatinkan.
Setelah melihat Tegalaras menghilang, segera ketiga Hantu Kelangitan hampiri tubuh prang yang tergeletak. Mata mereka seketika melotot, manakala mengetahui siapa adanya orang tersebut. Orang tersebut tak lain Rengkana, teman mereka sekaligus juragan yang selalu membayar mereka mahal untuk segala kepentingannya.
"Rengkana! Hai, mengapa ia...?" tanya Hantu Kumis Hitam seperti bertanya pada diri sendiri. "Rupanya pemuda itu yang menyerangnya. Sungguh hebat serangan itu sehingga Rengkana yang terkenal dengan pendekar Balang Nipa, mampu dirobohkannya dalam segebrakan saja. Untung pemuda itu tidak kelepasan tangan."
Kedua saudaranya hanya diam, mengangkat tubuh Rengkana dan segera membawanya ke tempat di mana mereka jadikan kediaman. Wajah Rengkana memar, hancur tulang-tulang pipinya. Dari hidung Rengkana meleleh darah, juga dari mulutnya. Mungkin Rengkana mengalami kerusakan pada wajahnya.
Direbahkan tubuh Rengkana di atas sebuah dipan yang sudah bulukan dan reot. Dengan cepat ketiganya berusaha mencari serta meracik obat-obatan yang sekiranya berguna bagi Rengkana. Namun muka Rengkana harus begitu, rusak untuk selama-lamanya. Tulang pipinya keluar, membentuk gambaran wajah yang menyeramkan. Hidungnya hancur, hingga menjadikan koreng dan akhirnya memecah. Hidung itu belong, persis hidung tengkorak!
"Apakah kita tak dapat mengembalikan wajahnya, Kakang?"
"Lucu! Mana mungkin kita dapat?" jawab Hantu Kumis Hitam
"Sungguh kasihan keadaannya," gumam Hantu Kumis Putih.
"Mungkin harus begini akibatnya."
Ketiga Serangkai Hantu Dari Kelangitan hanya terpaku, menatap wajah Rengkana yang burak rantak. Mereka trenyuh melihatnya. Mereka juga bertanya-tanya, ilmu apa yang digunakan oleh Tegalaras hingga mampu membuat wajah Rengkana berantakan?
Rengkana terbaring pingsan selama tiga hari, ditunggui oleh Ketiga Hantu Kelangitan. Ketika hari telah kembali beranjak pagi Rengkana nampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Matanya memandang sekeliling, dilihatnya ketiga Hantu Kelangitan berada di sisinya.
"Di mana aku?" tanyanya dengan suara lemah.
"Kau berada di pondok kami," jawab Hantu Kumis Putih. "Beristirahatlah dulu, agar kau jangan lemah hingga tenagamu pulih kembali."
"Siapakah yang telah menyerangku?"
"Dia adalah anak muda, bernama Tegalaras."
"Tegalaras...?!" Nampak di wajah Rengkana ada rasa kekagetan demi mendengar siapa adanya penyerangnya. "Bukankah Tegalaras telah mati...?"
"Belum, Rengkana. Dia belum mati, bahkan ilmunya kini tinggi sekali," jawab Hantu Kumis Hitam. "Aku yang bergumam lirih saja mampu ia dengar dari jarak yang sangat jauh."
"Ah, dia bukan Tegalaras. Tegalaras telah jatuh kulemparkan ke bawah jurang."
Membeliak mata ketiga Hantu Kelangitan demi mendengar jawaban Rengkana yang menceritakan adanya keberadaan Tegalaras. Mereka seketika bergumam, kaget bercampur rasa tak percaya. "Apa mungkin ia hantunya?!"
"Mungkin," jawab Rengkana lemah.
"Tapi Rengkana?" Hantu Kumis Putih memutus. "Kalau ia hantu, mana mungkin ia membiarkan kau hidup-hidup. Sepertinya ia tak begitu menaruh dendam padamu."
"Mungkin juga," gumam Rengkana. Sesaat Rengkana hela napasnya, tiba-tiba ia merasakan laju napasnya terasa aneh. Napasnya kini besar, tidak seperti sebelumnya. Dalam kekagetannya itu Rengkana seketika memekik bertanya. "Kenapa aku?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit tak ada yang dapat menjawab. Ketiganya hanya diam, tak mengerti harus berkata bagaimana. Hal itu menjadikan Rengkana kembali bertanya seraya bangkit dari tidurnya.
"Kenapa denganku?! Kenapa?! Kenapa kalian hanya diam saja?"
Diguncang-guncangkan tubuh ketiga Hantu Dari Kelangit satu persatu. Namun ketiganya hanya diam, bahkan roman muka mereka seperti sedih. Hal itu menjadikan Rengkana ingin tahu, maka dirabanya muka dengan tangannya. Seketika Rengkana memekik, memekik karena harus menerima keadaan yang sangat menyedihkan. Hidungnya telah growong bagaikan hidung orang mati. Juga pipinya, pipinya menonjol keluar membentuk sebuah gunung yang mengalingi wajahnya. Rengkana seketika menangis, merasakan betapa perih dan sakitnya hal yang ia alami. Kini wajahnya mirip hantu, hantu yang menyeramkan. Tanpa hiraukan ketiga Hantu Kelangit, Rengkana segera berkelebat pergi untuk mencari air. Dan manakala ia memandang pada permukaan air, kembali Rengkana menjerit.
"Tidak...! Mukaku tidak seburuk ini, hu, hu, hu...!"
"Sudahlah, Rengkana. Memang itu yang harus kau terima. Akibat pukulan Tegalaras mukamu kini harus begitu," Hantu Kumis Putih mencoba menghibur.
"Tidak! Aku tak ingin mukaku begini!"
Sebenarnya ketiga Hantu Kelangitan hendak tertawa mendengar ucapan Rengkana yang lucu. Betapa tidak. Mana mungkin muka yang sudah rusak dibetulkan kembali? Apakah harus dipermak? Namun untuk tertawa, mereka sungguh tidak tega. Mereka tahu bagaimana menderitanya diri Rengkana. Kalau mereka yang mengalami, sungguh mereka pun akan mengalami guncangan jiwa seperti Rengkana. Beruntung Tegalaras tak menurunkan tangan jahat pada mereka. Kala menurunkan tangannya, sungguh petaka bagi mereka yang akan mengalami hal serupa dengan apa yang dialami Rengkana.
"Sudahlah, Rengkana. Tak perlu kau sesali apa yang telah terjadi. Sekarang katakan apa maksudmu menemui kami, semoga kami dapat membantumu."
Rengkana yang menangis segera terdiam. Ia kini teringat pada tujuannya semula, meminta tolong pada ketiga Hantu Dari Kelangit untuk melakukan apa yang telah ia kerjakan. Dengan masih terisak oleh tangis, Rengkana akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya yang menjadi tujuannya datang.
Wajah ketiga Hantu dari Kelangitan seketika terbelalak merah, tak menyangka kalau dirinya akan diberi tugas yang membikin degup jantung mereka berdetak. Tanpa pikir panjang lagi ketiga Hantu Dari Kelangit segera menyanggupinya.
Seperti hari biasanya, pagi itu pun Ningrum pergi ke sendang untuk mandi. Dengan berjalan sendiri Ningrum terus melangkah menuju sendang di mana biasanya teman-temannya telah menunggu dirinya. Namun pagi itu sendang nampak sepi, tak ada seorang pun yang datang untuk mandi. Tapi Ningrum tak mau perduli, dilangkahkannya kaki menuju ke sendang.
"Ke mana teman-temanku?" tanya Ningrum dalam hati. Namun ia terus melangkahkan kakinya, tak perduli dengan keadaan sendang yang sunyi senyap.
Tengah ia melangkah kakinya, tiba-tiba dari balik sendang bermunculan tiga orang lelaki menghampiri. Wajah lelaki itu cengengesan, seperti melihat makanan empuk. Lelaki itu melangkah terus menghampiri Ningrum yang terpaku diam.
"Siapakah Ki Sanak sekalian?" tanya Ningrum dengan suara tenang, sepertinya tak ada rasa takut yang menyelinap dalam hatinya.
Sementara ketiga lelaki itu terus menghampiri dengan senyum mengembang tanpa ucapan yang keluar dari mulut mereka. Hal itu menjadikan Ningrum seketika bersiap-siap. Ia sadar bahwa lelaki-lelaki tersebut pastilah akan bermaksud yang tidak baik.
"Rupanya kau seperti ayahmu, Nona?" salah seorang dari ketiganya yang berkumis putih bertanya. "Kau memang pantas untuk berbuat begitu pada orang lain, tapi pada kami Serangkai Hantu Dari Kelangit tak akan mampu."
"Oh, jadi kalian Hantu Kelangitan. Mau apa kalian menghadang langkahku?"
"Hua, ha, ha...! Kau begitu garangnya. Hem, baik! Kami menghadangmu karena kami ingin mencicipi kehangatan tubuhmu."
Betapa gusar dan marahnya Ningrum demi mendengar ucapan yang kurang ajar. Maka dengan bengisnya Ningrum pun membentak: "Bajingan! Jangan kira kalian akan mampu melakukan segala tingkah kalian terhadapku!"
"Hem, begitu?" Hantu Kumis Hitam sunggingkan senyum. "Apakah kau minta bukti, Nona?"
"Bangsat rendah! Pergi kalian!"
"Kami tak akan pergi sebelum dapat merasakan itu mu. He, he, he!"
"Kurang ajar! Hiat!"
Tanpa membuang waktu, Ningrum yang sudah jengkel segera berkelebat menyerang ketiganya. Namun mereka yang diserang malah ganda tertawa, bahkan tangan mereka di samping menangkis sekali-kali mencolek nakal barang milik Ningrum yang rawan. Tak ayal lagi Ningrum seketika mencak-mencak. Tangan mereka memang kurang ajar, asal colek saja, menjadikan dua buah gunung milik Ningrum meregang bangkit bagaikan gunung hendak meletus.
Gerakan-gerakan tangan mereka meremas buah dada Ningrum sungguh mampu membuat Ningrum kalang kabut tak dapat menyadarkan diri. Entah apa yang ada di tangan ketiganya, yang jelas Ningrum merasakan getaran-getaran aneh di hatinya manakala tangan mereka menjamah dan mencolek buah dadanya. Dan manakala tangan mereka kembali mencolek Ningrum hanya mampu mendesah panjang.
"Ooooh..."
"Bagaimana, Nona? Enak bukan?"
Suara Hantu tak berkumis tak didengarnya, kini Ningrum telah terbawa oleh perasaan dan khayalan yang indah setiap kali tangan mereka mencolek buah dadanya. Akhirnya Ningrum pun terkulai lemas, tak mampu pertahankan dirinya yang sudah terserang panas dingin akibat colak-colek tak bertanggung jawab dari ketiga Hantu Kelangit. Tubuh Ningrum akhirnya terkulai, jatuh dengan segenap nafsu yang menggebugebu di hatinya.
Tak dapat lagi Ningrum ingatkan dirinya, yang ada dalam benaknya hanya kepuasan untuk memenuhi segala dahaga yang kini melanda dirinya. Dan manakala satu persatu dari ketiga Hantu Kelangit mengkoyak-koyak kehormatannya, Ningrum hanya sekali menjerit yang akhirnya mengeluh panjang pingsan.
Ningrum tersadar dari pingsannya, lalu seketika itu ia menjerit manakala mendapatkan keadaan dirinya. Pakaiannya mosak masik tak karuan, berhamburan ke sana ke mari. Menyadari keadaan dirinya, dan manakala melihat percikan darah dari miliknya seketika Ningrum menjerit, lalu berlari entah ke mana setelah kembali mengenakan pakaiannya. Hatinya hancur berantakan, seperti puing-puing kehormatannya yang terkoyak-koyak
"Setan! Mereka harus menerima hukumanku! Hu, hu, hu...!"
Ningrum terus berlari dan menangis, meratapi segala apa yang telah terjadi pada dirinya. Karena hatinya gundah, Ningrum tak hiraukan ke mana ia melangkah. Ia begitu malu pada dirinya sendiri. Ia juga dendam pada orang-orang yang telah membuat dirinya harus menanggung beban mental. Namun untuk melakukan balas dendam, sungguh ia tak akan mampu. Dan bagaimana nanti kalau ayah serta ibunya mendengar, atau mengetahui keadaan dirinya? Niscaya kedua orang tuanyalah yang akan mendapat malu.
Pikiran Ningrum kini butek, tak tahu harus bagaimana. Bayangan yang ada dalam hatinya hanya satu, lebih baik mati daripada harus menanggung malu dan aib. Maka manakala dilihatnya jurang menganga, tanpa pikir panjang lagi Ningrum segera lemparkan tubuhnya ke bawah.
Namun segala Kodrat bukan berada di tangan manusia, tapi Tuhanlah yang berwenang. Dikarenakan Tuhan belum menghendaki Ningrum mati, tiba-tiba sesosok bayangan tua berkelebat menangkap tubuh Ningrum yang melayang dan membawanya entah ke mana. Begitulah keadaan Ningrum, yang kini menjadi seorang pendekar wanita, yang mengaku-aku sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong.
Pertarungan Ningrum melawan ketiga orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya terus berlanjut. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang sudah tahu siapa adanya Ningrum, kini tak dapat meremehkannya. Ningrum sekarang bukanlah Ningrum yang tiga tahun lalu mereka perdayai dan mereka buat pemuas nafsu, tapi Ningrum sekarang adalah Ningrum yang memiliki ilmu tinggi juga dititisi oleh Nyi Lanjut Ayu atau Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Karena kalian telah tahu siapa adanya diriku, maka kalian harus mati secepatnya. Hiat...!" Ningrum kini makin tampak garang, menyerang dengan serangan-serangan yang sukar untuk diikuti oleh mata ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Awas pukulan maut!" Hantu Kelangit Kumis Putih berseru memperingati pada kedua adiknya manakala sebuah hantaman menyerang ke arah mereka. Secepat kilat kedua adiknya berkelebat, lemparkan tubuh mereka menghindari serangan.
"Bangsat! Kalian rupanya ingin main-main, hiat...!" Ningrum nampak sewot merasa serangannya luput. Kembali ia menyerang, kali ini serangannya begitu cepat.
Dan untuk kedua kalinya ketiga Hantu Dari Kelangit lemparkan tubuh mereka menghindar. Mereka tak mampu untuk membalik menyerang, hanya dapat mengelak itu pun beruntung. Sebab serangan yang dilancarkan Ningrum bukanlah serangan kelas kecoa yang mudah dipapaki atau dihindarkan. Kalau mereka salah menghindar, tak ayal tubuh mereka akan remuk saling bentur.
"Kenapa kau begitu bernafsu hendak membunuh kami yang telah memberikan kepuasan padamu?" Hantu Kumis Hitam mencoba mengalihkan amarah Ningrum dengan berusaha mengingatkan Ningrum pada kejadian tiga tahun lalu.
Namun ternyata Ningrum bahkan makin menggeretak penuh amarah. "Bangsat! Kalian tak akan hidup lebih lama lagi. Terimalah ini. Racun Kelabang Ungu, hiat...!"
Tersentak kaget ketiganya demi mendengar seruan Ningrum menyebutkan nama ajian yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. Namun untuk berpikir lebih jauh mereka tak memiliki waktu, sebab ajian tersebut telah melaju dengan cepatnya mengancam jiwa mereka. Serta merta ketiganya melompat menghindar, namun tak urung salah seorang dari ketiganya yang bernama Hantu Kumis Hitam terhantam pukulan tersebut.
Tanpa ampun lagi, sesaat tubuh Hantu Kumis Hitam menggelepar-gelepar dengan tubuh biru dan akhirnya diam mati. Dari tubuhnya seketika keluar nanah biru, yang disertai oleh tumbuhnya jelentik-jelentik yang merayap ke luar dari tubuh Hantu Kumis Hitam. Sungguh sangat menjijikkan. Jelentik-jelentik itu begitu ganas, menggigiti daging Hantu Kumis Hitam sampai akhirnya membusuk berantakan.
"Iblis laknat! Kau telah membunuh saudaraku, maka kau pun harus mati di tangan kami!" menggeretak penuh kemarahan Hantu Tak berkumis. Tanpa pikir panjang Hantu Tak berkumis segera nekad menyerang Ningrum.
Diserang begitu rupa menjadikan Ningrum tergelak lawa. Maka dengan kembali hantamkan ajian Racun Kelabang Ungu, Ningrum papaki serangan Hantu Tak berkumis. Tak ayal lagi...!
"Hiaat...! Terimalah kematianmu!"
"Crooot!"
"Aaaaahh!"
Sebuah cairan ungu menyerang tubuh Hantu Tanpa Kumis. Seketika tubuh Hantu Tanpa Kumis menggelepar-gelepar, seperti apa yang dialami oleh kakak seperguruannya. Dan seperti Hantu Kumis Hitam, Hantu Tak Berkumis pun akhirnya mati dengan keadaan serupa. Melihat hal itu serta merta Hantu Kumis Putih lari, tinggalkan Ningrum yang masih bergelak tawa. Tapi baru saja ia beranjak, sebuah cairan ungu telah lebih dahulu hentikan langkahnya.
"Aaaaahhh..."
Sesaat Hantu Kumis Putih menjerit, lalu akhirnya seperti keadaan adik-adik seperguruannya ia pun menjadi busuk dengan jentik-jentik keluar dari tubuhnya. Tak berapa lama kemudian tubuhnya hancur dengan daging kerompong habis termakan jentik-jentik tersebut.
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasan dariku bagi orang-orang mata keranjang! Kini aku belum puas, bila aku belum dapat menjadikan diriku sebagai Ratu dunia persilatan. Akan aku bikin dunia ini sebagai ajang cita-citaku. Kakang Datuk Raja Karang, cita-citamu untuk menguasai dunia persilatan akan segera terlaksana. Kini aku dengan menyatu pada tubuh gadis ini akan mampu membuat dunia ini takluk padaku."
Tengah Ningrum tertawa bergelak-gelak, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba telah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut sungguh aneh keadaannya. Walau ia masih muda, namun rambutnya telah ubanan. Dialah Setan Berambut putih!
"Siapa kau!" bentak lelaki muda berpakaian serba merah dan rambut yang sudah putih seluruhnya padahal masih muda pada Ningrum yang segera hentikan tawanya dan menatap pada orang yang bertanya.
"Siapa pula kau adanya, orang aneh?" balik bertanya Ningrum, demi melihat pemuda di hadapannya yang berkeadaan fisik aneh. "Kau masih muda, namun rambutmu sudah memutih semua."
"Ditanya malah balik bertanya," rengut Setan Rambut Putih kerutkan kening. "Aku yang jelek ini bernama Setan Rambut Putih."
"Hi, hi, hi...! Kau mengakui sendiri bahwa kau jelek. Namaku Dewi Lanjut Ayu atau Penguasa Bukit Karang Bolong."
Mengerutkan kening Setan Rambut Putih demi mendengar orang di hadapannya menyebutkan dirinya. Hati Setan Rambut Putih tak percaya. Bagaimana mungkin Dewi Lanjut Ayu yang dikabarkan telah mati kini muncul kembali di dunia persilatan? Rasanya tak masuk di akal. Dan menurut apa yang ia dengar, Dewi Lanjut Ayu memang ayu, tapi tidak seperti gadis di hadapannya. Gadis di hadapannya mempunyai sebuah ciri, yaitu di janggutnya tumbuh tahi lalat yang makin menambah kecantikannya.
"Aku tak percaya kalau kau Dewi Lanjut Ayu. Kalau kau benar Dewi Lanjut Ayu, mana mungkin engkau membunuh orang-orang yang masih segolongan dengan dirimu?"
"Yang engkau maksud Tiga Hantu Dari Kelangit?" balik bertanya Ningrum, yang diangguki oleh Setan Rambut Putih. Ningrum seketika cekikikkan. "Memang ia adalah segolongan dengan suamiku, tapi mereka memang harus dibunuh!"
"Mengapa kau membunuh mereka?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Karena mereka adalah musuh-musuhku," jawab Setan Berambut Putih penuh selidik.
"Hi, hi, hi... kau marah kalau musuhmu aku bunuh?"
"Bukan begitu. Mereka telah membuat aku harus mengalami keadaan begini. Rambutku memutih, itu karena ulah mereka. Maka itu aku sebenarnya ingin membalas pada ketiganya, tapi ternyata kau telah mendahuluiku," Setan Rambut Putih menceritakan apa yang menjadi sebab dirinya harus berurusan dengan Serangkai Hantu Dari Kelangitan.
Sementara Ningrum hanya tersenyum-senyum saja mendengar, dengan sekalikali cekikikkan bagai melihat kelucuan. "Setan Rambut Putih, maukah engkau bergabung denganku?"
"Bergabung denganmu? Untuk apa?" Setan Rambut Putih bertanya, nadanya tak yakin bila Ningrum memiliki ilmu yang cukup diandalkan.
Memang Ningrum mampu mengalahkan Serangkai Hantu Dari Kelangit, tapi belum tentu Ningrum akan mampu menghadapi dirinya, begitulah apa yang tersirat di hati Setan Rambut Putih.
"Kalau kau memang berilmu tinggi, aku baru mau bergabung denganmu."
"Hem, rupanya kau belum yakin! Percuma aku dijuluki Penguasa Bukit Karang Bolong bila tak memiliki ilmu yang dapat diandalkan! Kau mau mencobanya...?"
"Tentu! Aku tak mau kalau sekutuku hanya orang yang berilmu picisan macam ilmu kecoak!" Setan Rambut Putih senyumkan bibir, sepertinya di balik senyum itu tergambar kesombongan. Ya, ia merasa bahwa ilmunya saat ini belum ada yang menandingi. Setan Rambut Putih belum tahu bahwa sebenarnya saat itu ada seorang pendekar seusianya yang ilmunya jauh lebih tinggi satu atau dua tingkat dibandingkan dengan yang ia miliki Pendekar muda tersebut tak lain Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan para pendekar di tanah Jawa sebelah Barat.
"Berapa jurus yang engkau mau, Setan Ubanan?"
"Sepuluh jurus! Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu menjatuhkan diriku, maka aku tak akan mau menjadi sekutumu," jawab Setan Rambut Putih dengan sombongnya. Ia merasa bahwa Ningrum tak akan mampu menghadapinya, apalagi dalam waktu sepuluh jurus. Setan Rambut Putih tidak ingat bahwa di atas segalanya masih ada yang lebih berkuasa yaitu nasib yang telah ditentukan oleh Yang Maha Wenang. Ia juga tak tahu kalau dengan penyatuan Ningrum dengan Dewi Lanjut Ayu akan menghasilkan sebuah kekuatan yang dahsyat.
"Tak terlalu selama itu, Setan Ubanan?"
Terbelalak mata Setan Rambut Putih demi mendengar pertanyaan Ningrum yang dirasa sombong. Seketika hatinya membatin, "Sombong! Ia mengira aku seperti tiga orang yang telah menjadi bangkai itu. Hem, akan aku coba jajaki ilmunya."
"Baik, dalam lima jurus!"
"Hi, hi, hi.....! Bagus! Kau sudah siap, Setan Ubanan?"
"Pertanyaan itu seharusnya aku yang bertanya. Tapi tak apalah. Siapapun yang bertanya tak menjadi soal, yang jelas mari kita buktikan siapa yang kuat. Bila ternyata dalam lima jurus. aku kalah, maka aku akan menjadi sekutumu. Tapi bila kau yang kalah, maka kau harus mau menjadi istriku."
"Hi, hi, hi...!" Ningrum cekikikan. "Sama saja! Menang ataupun kalah, kita akan menjadi satu juga. Aku pun mencintaimu."
Senyum Setan Rambut Putih seketika mengembang demi mendengar penuturan Ningrum. Hatinya berbunga-bunga, berdetak kencang laksana didera oleh letupan-letupan kecil yang mengajak matanya untuk melekatkan pandangannya ke wajah Ningrum. Sama halnya dengan, Setan Rambut Putih. Ningrum pun yang mengetahui bahwa hatinya juga telah terkait oleh si Setan memanahkan matanya memandang tanpa kedip ke arah Setan Rambut Putih.
"Hai, apakah kita akan seterusnya saling pandang?" tiba-tiba Setan Rambut Putih bertanya, menjadikan Ningrum tersipu-sipu. "Ayolah. Walaupun kita sehati, namun perjanjian kita harus kita laksanakan."
"Hi, hi, hi...! Baiklah! Memang hal itu sangat perlu bagi kita untuk menentukan keberadaan ilmu kita, mari kita main-main!"
Kedua muda mudi yang sudah terpaut hatinya lewat pandangan mata itu pun akhirnya berkelebat saling serang. Mereka tak ingin mendapatkan kekasihnya berilmu di bawahnya, dengan kata lain mereka ingin menunjukkan keberadaan mereka di dunia persilatan. Walau mereka mengatakannya hanya main-main, namun jurusjurus yang mereka keluarkan sungguh jurusjurus benar-benar. Apalagi mereka kini nampak mengeluarkan jurus-jurus simpanan mereka. Tubuh mereka seketika raib bersamaan dengan gerakan mereka yang begitu cepat.
"Awas, Setan Rambut Putih! Terimalah serangan!" pekik Ningrum berusaha memperingatkan kepada orang yang telah mampu menggurat hatinya.
"Kau pun hati-hatilah, Dewi!"
Keduanya seketika melayang bagaikan terbang, dan...!
"Sett... Duar...!"
Dua tangan yang menyalurkan tenaga dalam bertemu, mengadu kekuatan yang dimilikinya. Ledakan dahsyat seketika menggema, lalu diikuti oleh melayangnya dua tubuh tertolak ke belakang. Tapi bagaikan enteng saja tubuh mereka kembali tegak berdiri. Keduanya saling lemparkan senyum dan kemudian gelak tawa pun mendera dari mulut keduanya.
"Kau hebat, Dewi!"
"Kau juga, Setan Ubanan!"
Keduanya saling sanjung tentang ilmu yang mereka miliki, lalu dengan penuh kemesraan keduanya saling memeluk. Keduanya kemudian berjalan bareng, tinggalkan tempat itu entah ke mana.
Dengan menyatunya Setan Berambut Putih dengan Ningrum yang telah dititisi Dewi Lanjut Ayu, maka makin kokohlah keadaan Bukit Karang Bolong! Bukit angker tersebut makin bertambah angker saja untuk dijejakan kaki manusia. Banyak korban berjatuhan, mereka pada umumnya adalah orang-orang yang hendak melakukan pencarian sebuah kitab dan senjata yang sempat menggegerkan dunia persilatan setengah abad yang lalu. Kitab dan senjata pedang tersebut adalah kitab Pedang Pencabut Nyawa dan Pedang Mata Malaikat.
Kebesaran nama Dewi Lanjut Ayu dan Setan Berambut Putih seketika membumbung tinggi bagi para tokoh golongan sesat. Sepak terjang mereka sungguh membuat para tokoh golongan sesat merasa lapang dada karena merasa ada yang memihak. Namun sebaliknya dengan para tokoh golongan lurus dan rakyat, mereka seketika bagaikan dicekam oleh bayang-bayang maut yang setiap saat siap mencekik mereka.
Sepak terjang kedua muda mudi yang menamakan dirinya Sejoli Raja dan Ratu Penguasa Bukit Karang Bolong, tak luput dari pendengaran Pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Jaka merasa prihatin dengan keadaan dunia persilatan di wilayah Timur yang sudah menghadapi ambang kehancuran bagi para pendekar aliran lurus, sebab nampaknya dengan munculnya dua muda mudi yang telah mengikat diri menjadi satu.
"Sungguh tak dapat dibiarkan hal ini berlarut-larut," Jaka menggumam sendiri sambil berjalan menyusuri jalanan setapak di kaki gunung Kencana. "Kalau tidak dihentikan, wah apa yang akan terjadi di dunia persilatan khususnya di wilayah Wetan."
Jaka terus melangkahkan kakinya, dengan sekali-kali bersiul untuk menghibur diri. Manakala dia tengah berjalan dengan santai, tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki kuda yang berjumlah banyak. Sesaat Jaka kerutkan kening, lalu dengan sekali lebat ia pun menghilang di balik semak-semak.
"Tampaknya ada beberapa orang penunggang kuda menuju ke arah sini," gumam Jaka yang telah bersembunyi di balik rerumputan yang tinggi. Matanya mengintip dari balik cela-cela rumput, memandang tak berkedip ke arah datangnya suara tersebut. Tiba-tiba Jaka seketika dikagetkan oleh desisan dan koakan suara ular dan burung yang tengah bertarung di dekatnya.
"Setan! Mana bisa aku tenang bila harus menghadapi kalian yang ribut!" gerutu Jaka sewot pada kedua binatang yang tengah bertarung itu.
Tapi binatang-binatang tersebut mana mau tahu kemarahan Jaka yang merasa terusik sembunyi. Keduanya terus bertarung, makin lama makin seru, menjadikan Jaka akhirnya tertarik juga. Maka tanpa hiraukan lagi pada derap kaki kuda yang makin seru kedengarannya Jaka asyik menonton pertarungan dua hewan tersebut. Burung Elang itu sesaat menukik, lalu menyambar dan mematuk kepala ular Sanca. Ular Sanca itu pun tak mau mengalah begitu saja ia egoskan kepalanya menghindar lalu lemparkan ekor menghantam ke arah burung Elang. Melihat hal itu Jaka seketika bergumam sendiri, dan bagaikan orang gila mengikuti gerakan-gerakan yang diperlihatkan oleh dua hewan yang tengah bertarung.
"Hebat! Ayo Elang, serang lagi!" serunya bagaikan anak kecil mendapatkan permainan. "Hei Sanca, kenapa kau tidak membalas!"
Bila burung Elang itu mengepakkan sayapnya, segera Jaka pun membuka tangannya meniru. Lalu setelah burung Elang itu menukik dan menggerakkan kakinya seperti hendak mencakar Jaka pun segera mengangkat kakinya sebuah dan ditendangkan kakinya. Sungguh dahsyat hasil yang diperoleh, ternyata tendangan kakinya jauh melebihi apa yang dibayangkan. Ketika kaki kanan Jaka menirukan gerakan kaki burung Elang, terdengar ledakan dahsyat manakala angin tendangan kakinya menghantam pepohonan. Tak ayal lagi, pohon yang terkena ambruk dengan batang berantakan. Jaka segera melompat manakala pohon tersebut tumbang hendak menjatuhi dirinya.
"Pohon sialan! Hampir saja menjatuhi aku!" Jaka segera melompat maju lagi melihat perkelahian dua binatang yang nampaknya acuh pada kedatangannya.
Kini Sanca itu yang menyerang, dan Jaka pun kini mengikuti gerakan-gerakan ular Sanca dalam menghindar dan menyerang. "Oh, hebat! Ayo kawan, serang si Elang!" sambil berteriak-teriak Jaka terus mengikuti gerakan-gerakan sang Ular. Tangannya membentuk kepala, mulutnya mendesis bersamaan dengan gerakan tangannya mematuk-matuk.
"Oh, inikah gerakan Sanca Mematuk Elang. Dan tadi adalah jurus Elang menyambar Sanca. Hem, sungguh jurus-jurus dahsyat!" gumam Jaka lirih.
Kembali Jaka mengulang dan mengulang apa yang telah ia lihat dan pelajari dari kedua hewan tersebut. Makin lama gerakan-gerakan Jaka makin kencang, sehingga sukar untuk diikuti oleh mata. Jaka tak mengetahui bahwa gerakan-gerakannya yang meniru gerakan kedua binatang tersebut kini dalam pengawasan sepuluh pasang mata yang bertengger di atas kuda mereka masing-masing. Jaka tersentak kaget manakala terdengar seruan seseorang dari kesepuluh orang di atas kuda.
"Ki Sanak! Tengah apakah engkau di situ?"
Jaka segera hentikan gerakannya, lalu diputar tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara tersebut. Dilihatnya wajah kesepuluh orang bengis, sepertinya mereka bukan orang baik-baik. Jaka yang tingkahnya dilihat oleh mereka seketika garuk-garuk kepala, yang merupakan ciri khasnya bila merasa malu. Melihat Jaka masih cengar cengir tak menjawab, kembali orang yang berada di depan di antara kesepuluh orang tersebut berkata.
"Ki Sanak, apakah engkau tuli?"
"Aku tuli...?" Jaka mengulang bertanya. "Ah, aku rasa aku tak tuli. Mungkin kalianlah yang congean!"
"Bangsat! Ditanya baik-baik malah menjawab yang bukan-bukan! Dasar anak muda edan!"
"Apa...? Kalian edan!?" seru Jaka konyol. "Pantas! Pantas kalau wajah-wajah kalian kaya orang edan, eh tak tahunya memang edan beneran!"
"Kunyuk! Ke sini kau, Anak Edan!"
Tanpa banyak pikir lagi Jaka segera melompati semak-semak dan berdiri menghampiri mereka. Mereka seketika tersentak, manakala secara cepat Jaka melompat dan tahu-tahu telah berdiri tak jauh dan mereka, padahal jarak yang tadi ditempuh oleh Jaka cukup jauh ada kira-kira dua puluh tombak. Jaka cengengesan bagaikan orang tolol, lalu dengan masih senyum-senyum Jaka pun berkata:
"Kau bilang aku edan! Wah, kau salah besar! Aku tidak edan, cuma Ndableg. Ha, ha, ha!"
Tawa Jaka seketika melengking, menjadikan kesepuluh orang penunggang kuda itu tersentak. Kuda-kuda mereka seketika meringkik ketakutan bagaikan mendengar suara setan. Kudakuda itu akhirnya serabutan lari, meninggalkan tuannya yang jatuh terjengkang dengan pantat terasa sakit membentur tanah.
Kembali Jaka gandakan tawa melihat kesepuluh orang itu meringis menahan sakit yang mendera pantatnya akibat jatuh dari kuda-kuda yang mereka tunggangi, yang entah ke mana larinya karena ketakutan mendengar suara tawa Jaka.
"Diam! Tidak lucu!" bentak seorang dari mereka yang tadi telah menanya Jaka.
Dengan agak pura-pura merengut Jaka pun menurut diam. "Kenapa kalian marah-marah? Apakah aku berdosa bila tertawa? Bukankah tertawa itu bebas?" tanya Jaka konyol. "Kalau kalian melarang aku tertawa, pantas kalian nampak tua."
Betapa gusarnya kesepuluh orang tersebut demi mendengar celotehan Jaka yang bagaikan orang tolol. Mata mereka melotot marah, gigi-gigi mereka saling beradu menggeretuk menahan kekesalan. "Anak edan! Siapa kau sebenarnya? Jangan kau mati tak bernama akibat ulahmu berani menghina anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong!"
Mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong disebut-sebut, Jaka seketika gandakan tawa bukannya takut seperti orang-orang lainnya. Hal itu menjadikan kesepuluh orang anggota Penguasa Bukit Karang Bolong terbelalak kaget seraya kerutkan kening heran.
"Pantas, pantas! Ternyata wajah-wajah kalian semuanya persis dengan monyet! Ternyata kalian anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong! Apa kabar dengan pimpinan kalian?" ucapan Jaka sepertinya mengandung persahabatan, menjadikan kesepuluh anggota Penguasa Bukit Karang Bolong makin tidak mengerti. Kesepuluh orang tersebut menatap lekat-lekat pada Jaka dengan segala tanda tanya di hati mereka seraya bangkit berdiri.
"Nadamu sungguh bersahabat. Siapakah engkau adanya?" tanya ketua rombongan itu kini dengan suara melembut
"Aku..? Aku sahabat pimpinan kalian! Sampaikan salamku untuk kedua pimpinan kalian bila kalian kelak bertemu. Katakan pada keduanya bahwa aku Si Penjelajah Jagad mengucapkan selamat dan menyampaikan salam. Katakan pula, bahwa mereka diharap sabar menunggu kedatanganku," Jaka berkata berbohong, namun kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong seperti percaya saja. "Nah, sekarang juga kalian minggat dari sini dan kembali temui kedua pimpinan kalian!"
"Tidak bisa begitu, Ki Sanak. Kami saat ini tengah mengemban tugas dari pimpinan kami."
"Tugas...? Tugas apa?" tanya Jaka ingin tahu. Sesaat kesepuluh orang tersebut saling pandang, sepertinya mereka hendak mencari kesepakatan bagaimana sebaiknya. Setelah kesepuluh orang tersebut berbuat begitu, salah seorang yang orang-orang tadi juga berkata:
"Kami diutus untuk mencari orang yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Tersentak Jaka demi mendengar namanya disebut-sebut. Namun segera ia berusaha menyembunyikan kekagetannya, lalu dengan pura-pura tak tahu siapa adanya dirinya Jaka pun kembali bertanya pada mereka: "Ada keperluan apa kalian mencari Pendekar yang sudah kesohor itu? Bukankah kalian akan mengalami kebinasaan apabila menghadapi pendekar yang suka usilan dan ingin menegakkan kebenaran serta keadilan di dunia ini?"
"Kami diutus untuk menyampaikan surat undangan," jawab orang tadi. "Apakah Ki Sanak tahu di mana pendekar tersebut berada?"
Jaka kembali terdiam mikir, "Bagaimana akalku. Hem, bagaimana kalau aku minta saja surat tersebut dan pura-pura hendak menyampaikannya pada orang yang mereka maksud? Beruntung mereka tidak mengenali siapa adanya diriku."
"Baiklah, Ki Sanak. Aku akan membantu kalian untuk menyampaikan surat tersebut pada Pendekar Pedang siluman Darah. Nah, serahkanlah surat itu padaku dan segeralah kembali ke Bukit Karang Bolong. Jangan lupa, sampaikan salam dariku, Si Penjelajah Jagad."
Mendengar ucapan Jaka, nampak keraguan menyelimuti wajah kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong yang kembali menatap lekat-lekat ke wajah Jaka. Mata mereka yang garang, sepertinya ingin mengorek siapa sebenarnya orang yang mengaku Si Penjelajah Jagad. Seorang pendekar aneh, walau pun masih muda tapi berilmu tinggi dengan segala tingkah polahnya yang bagaikan orang tolol. Mereka memang tidak mengerti siapa adanya orang yang tengah berdiri di hadapannya, orang yang sebenarnya tengah mereka cari,
"Bagaimana? Apakah kalian masih kurang percaya?" tanya Jaka manakala melihat kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong masih diam memikir. "Kalau kalian tak percaya, ya sudah. Aku tak memaksa, dan silahkan kalian cari sendiri adanya pendekar muda tersebut. Jangankan kalian dapat memberikan surat tersebut, untuk hidup pun kalian tak mampu apabila pendekar tersebut telah mengetahui siapa adanya kalian. Tapi jika aku... pasti pendekar tersebut tak akan berani. Ha, ha, ha...! Kalian tahu sendiri kehebatan suara tawaku bukan? Inilah suara tawa Iblis Marakayangan pesta!"
Mendengar keterangan Jaka yang ngibul, mereka seketika agak takut juga. Kalau memang benar pendekar muda tersebut berbuat demikian, sungguh mereka tak akan ada artinya. Rasa takut akan apa yang dikatakan Jaka, menjadikan kesepuluh orang tersebut akhirnya mau menyerahkan surat tersebut.
"Baiklah, baiklah! Aku pun merasakan demikian. Kabarnya memang pendekar muda itu tak kenal kompromi dengan orang-orang aliran sesat. Kami jadi ngeri sendiri. Untuk itu, kami dengan amat sangat agar Ki Sanak Penjelajah Jagat sudi menyampaikan surat ini pada Jaka Ndableg."
Disodorkan surat yang ditulis di atas kain pada Jaka yang menerimanya dengan senyum-senyum "Kena juga mereka aku akali. Hem, dengan begini aku tak akan mudah dikenali oleh orang-orang yang memang mencari-cari diriku. Dasar orang-orang songong, mereka tak mengenali siapa adanya diriku. He, he, he...!" gumam hati Jaka penuh ketenangan, sebab merasa dirinya belum dikenali oleh orang-orang persilatan wilayah Wetan.
"Kami minta tolong pada Ki Sanak," kembali pimpinan kesepuluh orang utusan Penguasa Bukit Karang Bolong berkata, yang hanya diangguki oleh Jaka. Setelah kesemuanya menjura, segera kesepuluh orang tersebut berkelebat meninggalkan Jaka yang hanya tersenyum-senyum sembari geleng-gelengkan kepala seraya tak hentihentinya bergumam:
"Hem, dasar orang-orang bodoh. Mana mau sih orang belum kenal diperintah? Oh, coba aku lihat apa isi surat yang untukku."
Perlahan-lahan Jaka membuka gulungan kain yang diserahkan orang-orang Bukit Karang Bolong padanya, lalu dengan perlahan pula dibacanya isi surat tersebut.
"Hem, mereka mengira aku tak tahu siapa-siapa adanya mereka sehingga mereka hendak mengelabui diriku. Tapi apa sih maunya? Ah, biarlah aku turuti saja apa kemauan mereka mengundang para tokoh persilatan serta menawarkan padaku sebagai sahabat. Huh, enak, saja mengajak aku sebagai sahabat.... Sahabat memang untuk dicari, tapi bila keadaan mereka begitu... sungguh bukan bersahabat lagi."
Jaka seketika kembali tercenung, memikirkan jalan apa yang harus ia tempuh untuk menyelesaikan keberadaan mereka sebagai Raja dan Ratu. "Aku harus bertindak! Kalau tidak, maka kehancuran akan dialami oleh para pendekar!"
Setelah berkata begitu dan membuang gulungan kain yang sudah dibacanya, segera Jaka pun berkelebat pergi tinggalkan tempat tersebut lari menuju arah yang tadi ditempuh oleh orangorang Karang Bolong.
"Kakang Rakini, apakah engkau tak dapat mengajar muridmu untuk mengerti bahwa yang ia bunuh adalah murid-muridku?" Darga Buana nampak sedikit marah. Betapapun ia telah tertantang oleh Penguasa Bukit Karang Bolong yang tidak lain murid kakak seperguruannya, yang telah berani membunuh ketiga muridnya.
Namun Nenek Ratu Kelabang tak mau mengalah begitu saja, demi dirinya dijadikan beban kesalahan juga muridnya Ningrum. Ia tahu mengapa Ningrum mendendam pada murid kemenakannya, tak lain karena ketiga murid kemenakannya telah berbuat yang membuat muridnya menderita lahir dan batin, terkoyak-koyak keperawanannya yang direnggut oleh ketiga murid kemenakannya. "Kau tak berhak salahkan muridku! Murid-muridmulah yang salah dalam hal ini, Darga!" rungut si nenek membela muridnya.
"Kesalahan apa yang telah murid-muridku lakukan?"
"Huh, makanya jangan asal tuduh saja. Murid-muridmu telah membuat muridku menderita lahir dan batin. Murid-muridmu telah memperkosa muridku!"
"Dusta!" sentak Darga tak mau percaya.
Si nenek cibirkan bibirnya yang telah keriput, mengejek adik seperguruannya yang masih keras kepala. "Kapan aku berdusta, Darga?!"
"Tak mungkin murid-muridku melakukan hal itu!" Darga masih saja tak mau percaya, membuat si Nenek Kelabang sunggingkan senyumnya yang telah layu oleh usia
"Di depanmu mungkin mereka alim, tapi di luaran... siapa yang tahu kelakuan mereka? Apakah kau selalu mengawasi mereka, Darga?" tanya si nenek yang kemudian dijawab olehnya sendiri. "Kau tidak tahu perbuatan murid-muridmu di luaran bukan? Kalau saja Pramana mendengar tentang perbuatan murid-muridmu, sudah pasti kau akan terkena hukuman darinya. Jangan-jangan Pedang Sukma Layung akan membelah tubuhmu jadi dua. Beruntung muridku tidak menceritakan aib yang ia alami pada ayahnya."
"Aku tak takut pada Pramana!"
"Hem, kau terlalu sombong! Kau tidak memikir siapa adanya Pramana. Mungkin dengan Pramana kau tak takut, tapi tidakkah engkau dengar seorang tokoh persilatan pembela kebenaran yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah?! Kalau pendekar tersebut mencium siapa adanya dirimu, niscaya engkau pun tak akan luput darinya."
Nenek Ratu Kelabang terus berusaha menyadarkan adik seperguruannya agar mau mengerti, tapi rupanya angkara murka telah melalap hati Darga hingga Darga pun tak hiraukan segala ucapan kakak gurunya.
"Kakang Rakini, mulai sekarang kita bukanlah saudara lagi, tapi kita adalah musuh. Karena kita musuh, maka aku akan menuntut balas kematian murid-muridku padamu!"
"Padaku...?" Nenek Ratu Kelabang mengulang tanya sepertinya tak percaya pada apa yang didengarnya. "Kenapa mesti padaku? Apakah aku yang telah membunuh murid-muridmu?"
"Memang bukan engkau, tapi muridmu."
"Kalau memang bukan aku, mengapa engkau limpahkan padaku? Kalau kau berani dan bukan seorang pengecut, hadapilah muridku di Karang Bolong sana. Bukankah sebentar lagi kau akan ke Karang Bolong?"
Mendengar ucapan Ratu Kelabang, maka mendenguslah Darga marah. Ia memang masih berpikir akan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Penguasa Bukit Karang Bolong, apalagi kini Ningrum bukan seorang, tapi berpasangan dengan Setan Berambut Putih. Menghadapi Ningrum saja ia belum tentu menang, apalagi harus menghadapi Setan Berambut Putih segala. Maka sebagai pelampiasan ketidaktenangan hatinya, Darga curahkan kemarahannya pada Ratu Kelabang yang dituduhnya tak bisa menjadi guru yang baik.
"Tapi engkaukan gurunya, bukan?"
"Memang aku gurunya," jawab Nenek Ratu Kelabang tenang. "Kalau aku gurunya, kau akan mencurahkan segalanya padaku, begitu?"
"Ya!"
"Picik! Kau telah picik, Darga!"
"Terserah apa katamu!" rentak Darga marah.
"Baik! Kalau itu yang engkau mau, apa yang hendak engkau lakukan padaku, Darga!"
Sesaat Darga memandang lekat ke arah kakak seperguruannya yang masih nampak tenang. Hatinya gundah, tak percaya akan apa yang dihadapi. Ia tahu siapa adanya Nyi Rakini atau Ratu Kelabang, murid yang paling dimanja oleh guru mereka dan mendapat seluruh ilmu yang dimiliki gurunya. Dari dulu memang Darga selalu membuat gara-gara, namun Rakini berusaha mengalah karena ia merasa lebih tua. Tapi kini mungkin tak akan dapat dicegah bahwa perang saudara seperguruan akan benar-benar terjadi. Darga mendengus keras, matanya tajam menghunjam bagaikan sebilah pedang yang hendak menusuk hati Rakini dan mencabut nyawanya.
"Maaf, aku terlebih dahulu meminta maaf padamu, Kakang."
"Tak usah, Darga. Nah, lakukan apa yang menjadi kehendakmu!"
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, Darga segera berkelebat menyerang Nenek Ratu Kelabang. Darga berbuat begitu karena Nenek Ratu Kelabang adalah kakak seperguruannya yang masih harus ia hormati. Pekikkannya begitu membahana, hampir menyerupai lengkingan yang menyayat.
Melihat Darga telah berkelebat menyerang, segera Nenek Ratu Kelabang pun tak tinggal diam, ia pun segera berkelebat memapakinya. Dua saudara seperguruan itu akhirnya bertempur hanya demi membela murid-muridnya. Namun meski begitu, nampak Nenek Ratu Kelabang tidak bertarung sungguh-sungguh menghadapi Darga. Si Nenek rupanya masih mempunyai rasa kasih pada adik seperguruannya hingga ia tak tega untuk menurunkan tangan jahatnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, sepertinya kedua saudara seperguruan yang telah tua renta itu tak ada yang mau mengalah dan mengakui kesalahannya. Keduanya terus mengumbar jurus-jurus yang hampir sama, sebab keduanya merupakan satu guru, sehingga ilmu yang mereka miliki berasal dari satu sumber. Tengah mereka bertarung, tiba-tiba terdengar suara membentak bersamaan dengan berkelebatnya sesosok tubuh ramping.
"Hentikan!"
"Siapa kau!?" balas Darga membentak.
Tubuh ramping yang rupanya milik seorang wanita tidak segera menjawab pertanyaan Darga, tapi malah dengan tenangnya menghampiri Nenek Ratu Kelabang sembari sujud. "Guru, siapa adanya dia?" tanya gadis bercadar hitam tersebut pada Nenek Ratu Kelabang setelah menyembah. "Mengapa guru harus bertarung dengannya?"
"Dia adik seperguruanku, Ningrum," jawab Nenek Ratu Kelabang tenang. Suaranya datar, dingin bagaikan tak mempunyai gairah. "Dia hendak membalas dendam atas kematian murid-muridnya yang telah engkau bunuh."
Mendengar uraian gurunya, seketika Ningrum palingkan wajah memandang pada Darga yang kini tampak berdiri mematung di tempatnya dengan muka menunduk. Darga telah tahu siapa adanya Penguasa Bukit Karang Bolong. Berbeda dengan gurunya, Penguasa Bukit Karang Bolong entah dari mana tahu-tahu telah memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Paman Darga, terimalah salam hormatku,"
Ningrum menjura hormat, menjadikan Darga terbengong-bengong tak mengerti. Ia yang menyangka kalau Ningrum akan balas menyerang ternyata dugaannya meleset. Darga tidak mengerti apa yang dilakukan oleh murid kemenakannya manakala ia berbuat begitu. Tiba-tiba...!
Darga tersentak dari ketidakmengertiannya, manakala selarik sinar ungu membersit dari tangan Ningrum. Maka keluarlah caci maki dari mulut Darga yang sudah jengkel dan marah pada Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Anak sundel! Memang sifatmu sudah tak dapat dimaafkan. Aku Darga akan membunuhmu!" rungut Darga marah. "Lebih baik aku mati daripada harus mengakui kekalahan padamu, Anak terkutuk!"
Darga yang telah benar-benar marah segera berkelebat menyerang Ningrum dan gurunya. Namun serangan Darga sepertinya tiada arti bagi Ningrum yang telah bersekutu dengan Dewi Lanjut Ayu, Penguasa Bukit Karang Bolong. Serangan-serangan Darga hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan tubuh Dargalah yang menjadi bulan-bulanan permainan Ningrum.
Manakala kaki Ningrum menendang, maka memekiklah Darga dengan tulang iga patah. Dan manakala tangan Ningrum menghantam, tak ayal lagi muka Darga seketika menjadi bubur buruk. Darah keluar dari hidung, telinga, mulut dan mata, menjadikan Darga tak mampu lagi untuk bangkit. Darga hanya dapat mengerang serta menyumpah serapah segala apa yang telah dilakukan Ningrum.
"Sumpah serapahmu tiada arti, Darga!" gertak Ningrum sengit.
"Bangsat rendah! Bunuhlah aku, bunuh!"
"Memang aku hendak membunuhmu, tapi aku ingin melihat dulu sampai di mana ketabahanmu menghadapi maut dengan siksaan seperti itu,"
Ningrum sekarang bukanlah Ningrum didikan Pramana ayahnya, tapi Ningrum didikan dan pengaruh Iblis hingga ia tak mengenal adanya rasa kasihan pada orang yang dianggapnya musuh walau ia tahu bahwa Darga adalah paman gurunya.
"Orang-orang sadis! Ternyata para wanita sekarang sudah berubah menjadi para jagal yang sadis!" membersit sebuah suara, manakala Ningrum yang tengah menyiksa Darga hendak mengakhiri kehidupan Darga.
Bersamaan dengan habisnya suara itu, sesosok tubuh padat berisi berkelebat dan meraup tubuh Darga yang terkulai. Sesaat pemuda itu sunggingkan senyum pada Ningrum, lalu dengan suara membersit pemuda itu kembali berkata: "Apakah kalian tak pernah mengenai belas kasihan pada orang yang telah sudah tak berdaya? Walaupun orang ini adalah musuh kalian, tak pantas kalian menyiksanya begini rupa!"
"Anak muda, siapa kau adanya? Mengapa kau ikut campur dalam urusanku?" Ningrum bertanya seraya masih sunggingkan senyum yang diarahkan pada pemuda tersebut. "Kau tampan, maka aku tak menyakitimu. Nah, siapa adanya dirimu, Anak muda?"
Jaka Ndableg garukkan tangan kiri ke kepala, sunggingkan senyum aneh dan kemudian ia pun berkata setelah memandang orang dalam bopongannya. "Aku...? Aku siapa?"
Hampir saja Ningrum dan gurunya mengekeh tertawa melihat kelucuan Jaka, namun hal itu tak dilakukannya karena mereka masih melihat gelagat yang tidak enak pada diri Jaka. Walaupun Jaka seperti orang tolol, namun gerak-geriknya seperti orang yang berilmu tinggi.
"Ya, engkau?" Ningrum meyakinkannya.
"Aku... ya akulah!"
"Lucu tingkahmu, Anak tampan. Masakan kau tak mengetahui siapa adanya dirimu?" kembali Ningrum berkata, kali ini matanya mengedip genit pada Jaka.
Dan Jaka yang dasarnya ndableg tak mau begitu saja menyia-nyiakan kedipan mata Ningrum, dia pun balas kedipkan mata. Tinggalah Nenek Ratu Kelabang bingung melihat muridnya dan pemuda bertampang tolol tersebut saling main mata.
"Kau tampan, Anak muda?"
"Ah, sungguhkah?" Jaka merajuk pura-pura.
"Ya, aku jadi suka padamu," Ucapan polos itu mungkin bagi pemuda lain akan menjadikan debaran-debaran aneh, tapi bagi Jaka yang tak hiraukan semuanya hanya permainan belaka yang akan ia buang manakala telah berlalu. "Siapa sih namamu?"
"Namaku... apa perlu?"
"Jelas perlu, Anak muda."
"Ningrum, percuma kau tanyai pemuda tolol macam dia," Si nenek yang sudah jemu dengan tingkah laku Jaka berusaha mengalihkan perhatian muridnya.
Namun Ningrum yang telah terpana oleh ketampanan Jaka bagaikan tak mendengarnya. Dia masih terus menatap Jaka dengan pandangan penuh arti, menjadikan Jaka salah tingkah.
"Ah, sudahlah. Bukankah nenekmu sudah menyuruh kau berlalu?"
"Tapi aku ingin mengenalmu, Anak tampan. Aku mencintaimu."
Jaka menarik napas panjang mendengar ucapan Ningrum, tapi sebaliknya Nenek Ratu Kelabang nampak terbelalak kaget. Hatinya tak setuju bila muridnya harus menjadi kekasih pemuda tolol itu. Maka dengan suara tak suka si nenek kembali berkata:
"Ah, apakah kau sudah gila akibat ketularan pemuda itu, Ningrum?"
"Aku belum gila, Nek. Aku cuma ndableg. Eh, ya namaku Jaka Ndableg. Begitulah orang menyebutku."
Terbelalak mata kedua guru dan murid setelah mengetahui siapa adanya pemuda bertampang konyol tersebut. Sesaat si nenek sikutkan tangan ke tubuh muridnya, dan dengan segera keduanya tanpa disadari oleh Jaka berkelebat tinggalkan Jaka sendirian yang terbengong-bengong sesaat kemudian berseru.
"Hoi...! Katanya kau cinta padaku, mengapa kau lari!"
"Jangan hiraukan dia, Ningrum!" Si nenek memperingatkan muridnya agar terus saja lari. "Dia akan menyusahkan dirimu kalau tahu siapa adanya dirimu."
"Tapi aku mencintainya, Guru," bantah Ningrum hendak merandek, yang segera diseret oleh Nenek Kelabang.
"Anak bodoh! Apakah kau hendak mati?"
Ningrum kini menurut, setelah berpikir akan kebenaran ucapan gurunya. Memang benar, bila ia akhirnya diketahui oleh Jaka siapa adanya dirinya niscaya Jaka akan membuat repot. Bukannya ia takut menghadapi Jaka, namun hal itu belum waktunya. Tapi hati Ningrum tak dapat dibohongi, hati kecil mengatakan bahwa ia benar-benar mencintai Jaka. Dengan terus berlari kencang Ningrum menggumam dalam hati, gumaman sebagai seorang yang tengah dilanda gelora cinta. Ningrum lupa bahwa dirinya telah mempunyai suami si Setan Rambut Putih.
"Anak muda, mengapa kau biarkan keduanya meninggalkanmu?"
"Hai, kau telah sadar. Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" tanya Jaka mendengar orang dalam bopongannya telah sadar dari pingsannya. "Dan siapa yang kau maksudkan dengan keduanya? Apakah kedua wanita genit dan liar yang telah menyiksamu sampai engkau berantakan mukanya?"
Lelaki itu terdiam sesaat, meraba mukanya yang terasa nyeri. Darah kering membasahi hidung, mulut, telinga dan matanya. Seketika ia memekik, "Tidak! Aku tak mau buta!"
Iba juga Jaka mendengar dan melihatnya, maka dengan suara haru Jaka pun berkata mencoba menghibur: "Ki Sanak, mungkin sudah kodrat bagimu begitu, terimalah apa yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Aku rasa, semua ini ada hikmahnya"
Tercengang Darga mendengar kata-kata Jaka. Ia tak menyangka kalau seorang pendekar yang namanya kondang mempunyai watak yang terpuji, sabar dan penuh rasa kasih, beda dengan apa yang didengung-dengungkan oleh rekan-rekannya sealiran yang mengatakan bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah berwatak ganas bila menghadapi tokoh aliran sesat macam dirinya. Melihat kenyataan tersebut, tanpa sadar Darga mendesah.
"Oh, tak aku sangka..."
"Apa yang engkau maksud, Ki Sanak?" Jaka menanya ingin mengerti apa yang dimaksud oleh Darga. Karena menyangka Darga meratapi segala apa yang diterimanya, segera Jaka kembali berkata: "Janganlah Ki Sanak meratapi segalanya yang telah terjadi, sebab hal itu akan menjadikan beban pikiran Ki Sanak sendiri."
"Bukan itu yang aku maksud, Tuan Pendekar. Aku merasa telah salah sangka padamu. Tadinya aku hanya mendengar dari sahabat-sahabatku yang mengatakan bahwa engkau bertingkah telengas, tak mengenai kata ampun bagi golongan sepertiku."
Jaka tersenyum gelengkan kepala mendengar penuturan Darga.
"Tapi kenyataannya sekarang, sungguh membuat hatiku merasa berdosa. Kau telah mampu menyadarkan siapa adanya aku sebenarnya, yang selama ini telah menyimpang dari segala ketentuan alam dengan kata lain telah sesat. Oh, sungguh kau telah menjadikan aku sadar. Kalau boleh aku tahu, masihkah aku diampuni segala dosa-dosaku?" Darga berkata dengan segenap perasaannya, sehingga tanpa sadar air matanya meleleh deras membasahi kedua pipinya. "Dapatkah aku menerima pintu tobat?"
Jaka terdiam hanyut oleh rasa iba yang dialunkan lewat kata-kata Darga yang begitu tulus. Tak disadari air matanya pun turut meleleh. Ya, Jaka menangis. Dia menangis bahagia, karena ternyata dirinya telah mampu membuat orang yang selama hidupnya sesat menjadi sadar. Dengan suara tersengal oleh lelehan air mata Jaka pun menjawab:
"Kapan saja engkau mau, Tuhan masih terus membukakan pintu tobat bagi umatNya."
"Oh, betapa agungnya hati Tuhan, Tuan Pendekar?"
"Ya. Memang itulah Tuhan. Ia Maha Agung, Maha Pengasih serta Penyayang. Dibanding dengan Tuhan, aku belumlah ada artinya sama sekali," Jaka mencoba menghibur Darga.
Lamat-lamat dari bibir Darga mengurai senyum, dan lamat-lamat pula terdengar desah Darga. "Oh, Tuhanku, sungguh aku selama ini telah menyimpang dari jalan yang Engkau gariskan. Semoga Engkau berkenan mengampuni diriku. Tuan Pendekar, mengapa engkau tak segera menghentikan sepak terjang mereka?"
"Siapa yang engkau maksudkan, Ki Sanak?" tanya Jaka belum mengerti apa yang dimaksud oleh Darga.
"Mereka berdua yang telah menyiksaku. Mereka salah satunya adanya Penguasa Bukit Karang Bolong."
Terbelalak Jaka mendengar keterangan yang dilontarkan oleh Darga, yang menyebutkan bahwa salah seorang dari dua orang wanita tersebut adalah orang yang ia cari. Tapi yang mana...? "Ki Sanak, yang manakah yang menyebut dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong?"
"Dia yang muda."
"Yang cantik itu?" tanya Jaka mencoba meyakinkan.
"Kau jangan terpengaruh oleh kecantikannya, Tuan Pendekar. Dia memang cantik, tapi di balik kecantikannya tersembunyi Iblis. Ketahuilah olehmu bahwa gadis yang bernama Ningrum itu, kini dalam kuasa Iblis Dewi Lanjut Ayu si Penguasa Bukit Karang Bolong,"
Darga bercerita panjang lebar, menjadikan Jaka mengerti siapa sebenarnya Penguasa Bukit Karang Bolong yang tindakannya sungguh sangat telengas dan tak kenal kompromi itu. "Dia sebenarnya anak seorang Pendekar sakti beraliran lurus yang namanya mungkin sudah Tuan Pendekar dengar. Pendekar tersebut bernama Pramanayuda..."
"Pramanayuda...!? Hei, bukankah dia pemilik Pedang Sukma Layung yang sudah kesohor dengan keampuhannya?" Jaka bergumam sepertinya gumamannya tersebut ditujukan pada diri sendiri. "Ya, ya aku mendengar kebesaran namanya. Hem, ternyata di balik semua bencana yang menimpa wilayah ini adalah seorang Iblis yang ingin melampiaskan keangkaramurkaan.. Baiklah, Ki Sanak. Kini aku telah mengetahui benar apa yang terjadi dan siapa yang menjadi tokohnya. Nah, ke mana aku harus membawa tubuhmu untuk sekedar istirahat memulihkan kelemahan tubuhmu?"
"Bawalah aku ke Bukit Kemasan, di sana adalah tempat temanku tinggal. Dia juga seorang tabib dari India."
"Baiklah aku akan membawamu ke tempat tersebut."
Dengan segera Jaka berkelebat sambil membopong tubuh Darga pergi meninggalkan alas yang kembali sunyi. Lari Jaka begitu cepat karena dilandasi dengan ilmu lari Angin Puyuh. Jaka berbuat begitu karena ia ingin memburu waktu untuk selekasnya menuju ke Bukit Karang Bolong.
Merasakan dirinya dibawa bagaikan terbang saja Darga yang telah buta seketika tersentak dan makin yakin bahwa Pendekar muda ini memang bukan pendekar sembarangan. Tiupan angin yang keluar dari tubuh Jaka, bagaikan prahara topan yang mampu merobohkan pohon-pohon di sekitar yang dilaluinya. Tak luput binatang-binatang hutan, berserabutan seperti takut mendengarnya.
Kita tinggalkan Jaka yang membawa tubuh Darga Buana yang luka-luka menuju ke tempat Tabib sahabatnya. Marilah kita tengok di tempat Bukit Karang Bolong di mana Ningrum dan Setan Rambut Putih mengangkat dirinya menjadi ketuanya dengan menyebut diri mereka Penguasa Bukit Karang Bolong.
Bukit Karang Bolong nampak sepi, sepertinya mengandung keangkeran yang begitu dalam. Muka dua orang penjaga pintu masuk nampak tak berekspresi, dingin dan kaku. Mereka memang sudah dilatih dengan keadaan demikian, harus memiliki keberanian dan keangkeran. Mereka juga dilatih untuk tidak mengenal belas kasihan atau kompromi dengan orang-orang yang mereka anggap musuh.
Tengah penjaga pintu masuk tenang dalam tugasnya, seorang pemuda berkelebat menghampiri mereka. Pemuda itu serta merta menerobos hendak masuk ke dalam wilayah Bukit Karang Bolong, menjadikan kedua penjaga tersebut segera menghalanginya dengan silangkan tombak, dan membentak.
"Pemuda tolol, siapa kau!? Dan apa keperluanmu datang ke mari? Apakah kau tak tahu di mana kau kini berada?!"
Pemuda itu hanya tersenyum, lalu dengan sekali hentak dua tombak di tangan kedua penjaga yang menghalanginya patah berantakan. Hal itu menjadikan kedua penjaga pintu masuk terbelalak matanya kaget. Keduanya tak percaya kalau pemuda semuda itu mampu memiliki tenaga yang besar, sehingga dengan mudah tombak yang terbuat dari kayu alami yang kuat dan kokoh hanya sekali gebrak patah berantakan.
"Katakan pada pimpinan kalian, aku Tegalaras datang! Cepat!"
Kedua orang penjaga itu tersentak membelalakan mata kaget demi mendengar bentakan Tegalaras yang bagaikan suara petir menggelegar. Namun belum juga kedua penjaga tersebut berkata, tiba-tiba terdengar seruan dari dalam:
"Biarkan dia masuk, Penjaga!"
Tanpa hiraukan kedua penjaga yang dalam keadaan bengong yang disebabkan oleh bentakan Tegalaras, Tegalaras segera berkelebat langkahi dua orang tersebut masuk ke dalam. Langkahnya begitu ringan, boleh dikata terbang. Tahu-tahu tubuhnya telah melesat, dan berhenti manakala dilihatnya dua orang muda telah menunggunya.
"Selamat datang Tegalaras," sapa keduanya serempak
Tegalaras tak hiraukan sambutan mereka. Bibirnya terurai senyum sinis, lalu dengan suara enteng Tegalaras berkata: "Aku minta kalian tinggalkan tubuh adikku."
Mendengar ucapan Tegalaras, seketika kedua muda mudi yang salah satunya adalah adiknya sendiri tertawa bergelak-gelak. Hal ini menjadikan Tegalaras melototkan mata marah dan jengkel pada yang ia ketahui adalah iblis-iblis pengganggu adiknya.
"Dewi Lanjut Ayu, tak pantas kau mengangkangi tubuh adikku. Segeralah minggat dari tubuh adikku, atau aku dengan terpaksa mengusirmu!"
"Hi, hi, hi...! Tegalaras, lakukan bila kau mampu!"
"Iblis! Jangan kira aku tak mampu, Dewi iblis. Nah, bersiaplah, hiat...!" Tegalaras segera berkelebat, menyerang dengan cepat dan disertai dengan serangan-serangan kilat yang hanya dapat dilakukan oleh para Siluman belaka.
Namun Dewi Lanjut Ayu bukanlah tokoh sembarangan. Sebagai istri dari Datuk Raja Karang ia telah benar-benar digembleng segala ilmu kanuragan baik oleh gurunya, ayahnya maupun suaminya. Gerakan sang Dewi Ayu Lanjut pun tak kalah cepat dibanding Tegalaras.
Namun rupanya Tegalaras yang memang telah dididik oleh Bangsa Siluman bukanlah musuh yang enteng bagi Dewi Ayu Lanjut, sehingga dalam sebentar saja Dewi Ayu lanjut pun dapat dengan segera didesaknya. Dan manakala ada kesempatan, segera Tegalaras hantamkan ajian Penyekap Iblis ke tubuh Ningrum yang tengah dikuasai oleh Dewi Ayu Laras. "Ajian Pelebur Iblis, hiat...!"
"Wuuuut... duar!"
"Aaaaah...!" Tubuh Ningrum gontai, akhirnya ambruk pingsan. Dari tubuhnya keluar asap mengepul, bergulung-gulung keluar dan membentuk tubuh Dewi Ayu Laras.
Melihat hal itu, serta merta Setan Rambut Putih tak tinggal diam, segera ia menyerang dengan cepat pada Tegalaras yang dianggapnya telah membuat kerusuhan pada Bukit Karang Bolong wilayah kekuasaannya. Serangan Setan Rambut Putih ternyata sangat dahsyat, jauh melebihi ilmu yang dimiliki oleh Ningrum yang bersekutu dengan Dewi Ayu Lanjut. Setan Berambut Putih ternyata lebih tinggi dua atau tiga tingkat dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh kekasihnya Ningrum atau Dewi Ayu Lanjut.
Nampaklah kini keberadaan Tegalaras, bahwa ilmunya tak ada guna sama sekali untuk menghadapi Setan Berambut Putih. Ternyata Setan Berambut Putih bukanlah nama kosong melompong belaka. Terbukti kini dalam beberapa gebrakan saja Tegalaras yang sudah digembleng oleh bangsa Siluman mampu didesaknya.
"Bangsat! Aku akan mengadu nyawa denganmu, Iblis Laknat! Kau harus minggat dari dunia ini!" bentak Tegalaras yang telah tahu siapa sebenarnya Setan Berambut Putih. Nah, untuk mengetahui siapa adanya Setan Berambut Putih, silahkan anda baca kisah Titisan Penghuni Bukit Gempol...!
"Kau tak akan mampu, Tegalaras! Menyerahlah dan ikutlah dengan kami!"
"Jangan hiraukan omongannya, Saudara!" tiba-tiba sebuah suara yang dilontarkan dari jarak yang agak jauh menggema, menjadikan Setan Rambut Putih tersentak.
Belum juga Setan Rambut Putih hilang kagetnya sesosok tubuh berkelebat dan tiba-tiba telah berdiri menjejeri Tegalaras. Pemuda itu tersenyum, lalu dengan menjura hormat pada Tegalaras pemuda yang tak lain Pendekar kita Jaka Ndableg berkata:
"Saudara Pendekar, mungkin iblis ini bukan tandingan saudara sendirian. Mari kita hadapi bersama!"
"Siapakah engkau adanya, Ki sanak?" tanya Tegalaras ingin kenal adanya pemuda di sampingnya.
"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka dengan tenang, sementara matanya memandang tajam ke arah Setan Rambut Putih.
Mendengar siapa adanya pemuda di sampingnya, dengan suara kaget Tegalaras berseru: "Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah?!"
"Ya... begitulah! Awas! Dia menyerang...!" Tersentak Jaka dan Tegalaras yang segeranbuang tubuh masing-masing ke samping menghindari serangan yang dilancarkan oleh Setan Rambut Putih.
"Kalian harus mati, sebab kalianlah yang bakal merintangi niatku untuk menguasai jagad raya ini!" bentak Setan Rambut Putih sambil terus gencarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauhnya yang sungguh dahsyat, menjadikan kedua pendekar itu harus menguras tenaga untuk menghindarinya. Kalau saja mereka terlambat mengelak, maka tak ayal lagi tubuh mereka akan hancur berantakan seperti tembok-tembok yang terhantam.
Merasa serangannya luput, Setan Rambut Putih makin menggeram marah. Kembali ia melancarkan ajiannya yang sungguh dahsyat, ajian yang hanya dimiliki oleh siluman dan iblis. Jaka dan Tegalaras tersentak kaget, karena belum pernah melihat ajian tersebut. Ya, walaupun mereka murid-murid bangsa Siluman, namun ajian-ajian yang keluar dari tangan Setan Rambut Putih sungguh belum mereka kenal.
"Gusti Allah, ajian apakah itu?!" gumam Jaka.
"Ilmu iblis!" mengumpat Tegalaras.
"Awas! Dia hantamkan ajiannya ke mari!" Jaka memekik memperingatkan pada Tegalaras, namun Tegalaras yang tengah kaget begitu lamban menghindar, sehingga pundaknya seketika terhantam ajian tersebut. Dan....! Mata Jaka seketika melotot kaget, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Binatang-binatang sebesar tikus tanah tiba-tiba muncul menggeruguti pundak Tegalaras yang meraung-raung kesakitan.
"Demi Allah, ilmu iblis macam apa ini. Hem, aku harus menggunakan Pedang Siluman Darah untuk membasmi binatang-binatang neraka terkutuk itu! Dening Ratu Siluman Darah Datanglah!"
Pedang Siluman Darah seketika telah berada di tangan Jaka yang dengan cepat tebaskan pada pundak Tegalaras. Seketika binatan-gbinatang menjijikkan tersebut lenyap tanpa bekas dan luka di pundak Tegalaras pun bagaikan tak pernah ada.
"Terima kasih, Jaka."
"Sudahlah, kita kini tengah menghadapi maut yang siap mengancam diri kita. Menyingkirlah, biar aku hadapi dengan Pedang Siluman Darah."
Tegalaras menurut, melompat menepi sepuluh tombak dari tempat mereka bertarung. Kini ia jadi penonton, menyaksikan Jaka dan Setan Rambut Putih tengah berhadap-hadapan siap untuk saling serang.
"Iblis Bukit Gempol, minggatlah dari sini!" bentak Jaka yang telah diberi tahu oleh Ratunya yang berada di pedang tentang siapa adanya Setan Rambut Putih.
"Hoar...! Jangan mimpi, Pendekar! Walau namamu telah mengangkangi langit, tapi aku tak akan mau mengalah, terimalah ini. Hiat!"
Setan Rambut Putih kembali hantamkan ajian iblisnya. Selarik sinar merah, biru, hitam bercampur jadi satu menerpa ke arah Jaka. Segera Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, dan sinar itu pun seketika lenyap tanpa bekas.
Melihat serangannya dengan mudah dapat dihilangkan oleh Jaka makin marahlah Setan Rambut Putih. Dengan didahului menggerang ia berkelebat melompat menyerang. Hal itu tidak disia-siakan oleh Jaka yang sudah siap dengan pedangnya. Maka manakala Setan Rambut Putih melayangkan tubuhnya, segera Jaka pun memapakinya dengan menebaskan Pedang Siluman Darah, dan...!
"Croooos...!"
"Aaaaah....!" terdengar pekikan, bersamaan dengan suara babatan Pedang Siluman Darah. Tak lama kemudian, terdengar suara ambruknya tubuh Setan Rambut Putih. Maka dengan kematian tersebut, Bukit Karang Bolong pun kembali sepi.
Tegalaras segera hampiri Jaka, namun bagaikan sebuah bayangan saja Jaka telah raib. Begitu juga halnya dengan Ningrum, ia telah raib dari situ entah ke mana. Tinggallah Tegalaras sendiri, melangkah diiringi bekas-bekas anggota Bukit Karang Bolong.
Kemanakah Ningrum...? Untuk mengetahuinya silahkan anda ikuti kisah berikutnya dalam serial Jaka Ndableg 'Pendekar Pedang Siluman Darah episode Ratu Maksiat Telaga Warna'
Entah apa sebabnya mereka bentrok, yang pasti tiba-tiba saja ketiga lelaki yang lebih terkenal dengan sebutan Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit itu diserang oleh orang bercadar hitam. Jelas hal itu tidak menjadikan ketiganya mau begitu saja mengakui keunggulan orang tersebut. Mereka juga merasa tidak salah dan tidak ada sangkut paut apa-apa dengan orang bercadar hitam tersebut.
"Kenapa engkau tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menyerang kami!?" bentak Hantu Kelangit kumis putih. Wajahnya beringas, sepertinya merasa kesal pada orang yang menyerang mereka.
"Hi, hi, hi...!" orang itu cekikikan. Suaranya jelas suara wanita.
Hal itu menjadikan ketiga Hantu Kelangit kerutkan kening. Mata ketiganya memandang tajam, sepertinya ingin menembus cadar hitam tersebut tembus ke wajah wanita yang menyerang mereka.
"Hi, hi, hi....! Bukankah kalian musuh-musuh Setan Berambut Putih?" tanyanya seperti ingin membuat Ketiga Hantu Dari Kelangit tersebut harus bertanya-tanya.
"Hai! Apa hubunganmu dengan Setan Berambut Putih?" tanya mereka hampir bareng, yang dijawab dengan cekikikan wanita bercadar tersebut. "Apakah mungkin kau kekasihnya?"
"Cuih! Lelaki macam dia mudah aku dapatkan. Mungkin kalau aku mau, aku dapat membawakannya untuk kalian segudang."
"Sombong," Hantu Kumis Hitam menggeretak mendengar ucapan wanita itu. "Kau terlalu sombong. Apakah wajahmu cakep?"
"Kalau cakep kalian mau apa?"
"Mau menidurimu," jawab Hantu berkumis hitam kalem.
Melotot wanita bercadar hitam itu, yang jelas nampak dari urat-uratnya yang menegang. Tangannya mengepal, sepertinya ada sesuatu yang membuat dia berbuat begitu. Napasnya mengencang, hampir menyerupai dengusan. Ya, wanita itu mendengus, merasa ketiga Hantu dari Kelangit menyepelekan dirinya. Maka dengan menggeretak penuh marah, wanita itu membentak.
"Pantas! Kalian memang manusia-manusia yang aku cari. Hem, tak aku sangka kalau akhirnya aku menemukan kalian semua. Sudah tiga tahun lamanya aku mencari kalian untuk sebuah keperluan, ternyata kalian aku jumpai di sini!"
Tersentak ketiganya kaget, demi mendengar ucapan yang nadanya mengancam mereka. Ketiga Hantu dari Kelangit terlolong bengong, tak mengerti maksud ucapan wanita bercadar hitam. Namun belum juga ketiganya dapat menguasai diri, tiba-tiba wanita tersebut telah berkelebat kembali menyerang mereka. Mereka yang kaget segera lompat mundur, lalu dengan segera balik menyerang.
"Siapa kau adanya, wanita?" tanya Hantu tak berkumis, yang merupakan Hantu paling bontot di antara ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Siapa adanya aku, tak penting bagi kalian yang berjiwa binatang. Yang utama, kalian harus mati di tanganku untuk menebus dosa-dosa yang pernah kalian lakukan pada muridku!" wanita bercadar itu nampak sunggingkan senyum yang tertutup oleh kain hitam. Ucapannya begitu mengandung ancaman, menjadikan Ketiga Hantu dari Kelangit kembali membeliakkan matanya. "Kalian sudah siap untuk aku kirim ke akherat sebagai penebus dosa-dosa kalian?"
"Omonganmu enak benar, wanita?" renguk Hantu berkumis putih jengkel. Ia merasa sudah keterlaluan omongan wanita di hadapannya tersebut. Hantu berkumis putih, menyangka kalaulah wanita itu hanya ingin mencari gara-gara saja tak lebih dari itu.
"Hi, hi, hi...! Kalianlah yang ingin enaknya sendiri. Kalian telah memperkosa seorang gadis, lalu dengan seenaknya tinggalkan gadis itu yang meratapi kemalangan nasibnya. Hampir saja gadis itu bunuh diri, kalau saja tidak segera aku tolong. Kini aku ingin menolong sekaligus menuntaskan hutang piutang di antara gadis tersebut yang kini aku angkat menjadi murid dengan diri kalian dan juga laki-laki hidung belang lainnya," wanita itu masih cekikikkan, tertawa bagaikan melihat kelucuan pada wajah Ketiga hantu Dari Kelangit yang mukanya seketika itu merah padam.
Mereka memang merasa bahwa merekalah yang telah memperkosa gadis Ningrum anak Pramanayuda. Namun yang tidak enak bagi mereka, adalah wanita yang kini mengaku-aku sebagai guru si gadis. Bukankah di dunia persilatan tak ada istilah guru harus ikut campur dengan sang murid? Begitulah dugaan Ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Kenapa kau tidak bunuh sekalian gadis itu. Bukankah kita sealiran?" Hantu kumis hitam mencoba merayu. Ia bermaksud agar wanita yang mengaku-aku guru Ningrum mau melemah hatinya. Sebab mereka telah tahu sendiri betapa ilmu yang dimiliki oleh wanita bercadar hitam tersebut sungguh tinggi. Manakala pertama kali mereka diserang, mereka merasakan betapa ilmu serangannya sungguh dahsyat. Hampir saja ketiga hantu tersebut dibuat kalang kabut, kalau saja si wanita tak segera hentikan serangan.
"Ya. Kenapa kau tidak bunuh saja sekalian gadis tak tahu diuntung itu," tambah Hantu tak berkumis menimpali kakak seperguruannya. "Kalau kau langsung membunuhnya, niscaya kami akan memberikan hadiah padamu."
"Bedebah! Kalian kira semudah itu membunuh anak manusia, heh?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit ganda tawa demi mendengar pertanyaan dari wanita tersebut, menjadikan wanita bercadar itu menggeretak kerakan rahangnya. Tangannya makin mengepal keras, seakan ingin menghancurkan sesuatu yang ada dalam kepalannya. Mata yang tertutup oleh kain cadar hitam, memandang penuh kebencian yang dalam pada ketiganya yang masih tertawa bergelak-gelak.
"Dasar kalian buaya. Mengapa kalian mau begitu saja diutus oleh Rengkana? Kenapa? Apa kalian dibayar untuk itu?" suara wanita itu begitu dalam, sedalam dendamnya pada orang yang kini berada di hadapannya.
Ya, orang-orang yang telah memperkosa dirinya. Siapakah sebenarnya wanita dalam cadar hitam tersebut? Wanita itu tidak lain Ningrum adanya. "Kalian harus mati untuk segala perbuatan yang telah kalian lakukan. Setelah kalian, maka Rengkana akan menyusul kalian ke alam akherat sana.
Bersiaplah!" Wanita bercadar hitam itu tak hiraukan lagi ucapan ketiganya, serta merta ia berkelebat dan tiba-tiba telah menyerang Serangkai Hantu Dari Kelangit yang terus berusaha mengerti apa tujuan sebenarnya wanita itu.
Maka dengan berkelit mengelakkan serangan wanita tersebut, Hantu Kumis Hitam berkata: "Wanita, mengapa tiba-tiba kau menyerangku?!"
"Kau yang melakukan terlebih dahulu, maka sepantasnyalah kalau kau yang terdahulu aku serang," jawab Ningrum sengit. Tangannya yang halus dan kecil itu bergerak cepat bagaikan seekor ular hidup, mematuk ke sana ke mari tiada henti, menjadikan Hantu Kumis Hitam keteter dibuatnya.
Melihat hal tersebut, secepat kilat kedua Hantu lainnya segera berusaha membantu. Namun sungguh tak disangka-sangka oleh keduanya, Ningrum serentak berbalik tinggalkan Hantu Kumis Hitam dan langsung mencerca keduanya dengan jurus-jurus yang mematikan. Kedua orang dari Hantu Dari Kelangit tersentak kaget melihat serangan Ningrum yang begitu ganas dan cepat. Keduanya untuk menghindar harus berjumpalitan ke sana ke mari. Kini giliran Hantu Kumis Hitam yang melihat kedua saudaranya diserang membantu, dan berusaha mendahului menyerang Ningrum.
Tapi sungguh Ningrum sekarang berbeda dengan Ningrum ketika dengan gampangnya mereka memperkosa. Ningrum sekarang adalah Ningrum yang telah dididik oleh seorang tokoh sakti dari Gunung Muria, yang bernama Nenek Sakti Ratu Kelabang. Seorang tokoh sakti beraliran sesat yang sangat bengis dan kejam. Ia tak pernah mau tahu kawan atau lawan. Bila di hatinya ada sedikit ganjelan, baik itu dilakukan oleh kawan atau pun lawan, maka kematianlah yang akan mereka alami. Ilmu Kelabang Racun Hitam sungguh belum ada tandingannya. Ilmu itu begitu sadis, dan ganas. Tak mungkin orang yang terkena dapat bertahan sehari, bila si Nenek tak segera memberikan obat pemunahnya.
Ketiga Hantu Dari Kelangit yang belum tahu siapa adanya orang yang menyerang nampak masih berusaha menghindar dengan sekali-kali berusaha menyerang. Sungguh pun demikian, ketiganya nampak belum dapat menerka siapa adanya wanita yang menyerangnya tersebut. Pertarungan tiga orang Hantu dengan seorang wanita itu masih terus berlanjut. Ketiganya seakan tak mau ada yang kalah maupun yang menang.
Tapi bila dilihat dengan seksama, jelas nampak ilmu ketiga Hantu Dari Kelangit berada di bawah setingkat ilmunya dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh si penyerang. Namun begitu, karena dikeroyok tiga menjadikan si penyerang agak susah juga mengakhiri pertarungan.
"Hem, kalau saja guru berpesan aku boleh menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam untuk menghukum mereka, sudah pasti mereka akan dengan mudah aku jatuhkan," dengus Ningrum dalam hati. Ia masih ingat akan petuah gurunya, agar jangan sekali-kali menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam pada Tiga Serangkai Hantu Dari Kelangit. Ucapan sang guru masih mengiang di telinganya, manakala Ningrum hendak melakukan balas dendam pada orang-orang yang telah memperkosanya. Orang-orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya, mengkoyak-koyak segala kebahagiaannya.
"Ingat, Ningrum. Kau tidak boleh menggunakan ajian tersebut untuk menghukum mereka, sebab mereka merupakan satu ikatan saudara dengan diriku. Guru mereka, tak lain adalah adik seperguruanku. Bukannya aku takut menghadapi guru mereka, namun apalah nantinya aku dikecam?" suara dengungan ucapan gurunya menggema di sela-sela relung-relung sanubarinya.
Namun suara lainpun tiba-tiba ikut muncul dan memberikan dorongan padanya. "Ningrum, suamimu dibunuh oleh mereka, juga kehormatanmu di renggut dengan paksa oleh mereka. Apakah kau akan tinggal diam dan menuruti kata-kata gurumu? Biarkanlah gurumu dengan mereka masih ada ikatan saudara, namun kau? Kau tak punya ikatan saudara dengan mereka, melainkan ikatan hutang piutang dendam... dendam, Ningrum. Dendam yang bisa atau tak bisa harus kau lunasi. Apakah batinmu tak tersiksa bila melihat mereka masih keliyaran hidup?"
Manakala Ningrum terdiam, berpikir mana yang harus ia kerjakan, ketiga Hantu Dari Kelangit pun nampak terdiam sembari memandang ke arahnya. Mata ketiganya nampak mengerut, tak mengerti apa sebenarnya yang kini berkecamuk di pikiran Ningrum. Namun demikian, mereka terus siap siaga, takut-takut kalau Ningrum kembali menyerang.
Ningrum yang saat itu hatinya tengah berkecamuk perang, saling dorong mendorong antara perasaan yang satu dengan yang lainnya nampak menggigit bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa gurunya Nenek Sakti Ratu Kelabang harus menolong dirinya kalau dirinya tak boleh membalas segala dendam kesumat yang tumbuh?
Betapapun, Ningrum merasa tuntutan jiwanya menghendaki ketiga Hantu Kelangit tersebut harus mati di tangannya. Namun gurunya menghendaki lain. Gurunya menghendaki agar dirinya tak sampai menurunkan tangan jahatnya. Dalam kebimbangan itu Ningrum mengerang, menggeretak penuh emosi. Dan akhir dari kontra batin tersebut Ningrum akhirnya tertawa bagaikan orang gila, menjadikan ketiga Hantu Kelangit makin dalamkan kerutan keningnya.
"Hua, ha, ha...! Aku!... aku Penguasa Bukit Karang Bolong, mengapa harus menurut pada ucapan orang lain? Aku akan mampu menguasai seluruh dunia persilatan. Aku tak perduli dengan ucapan nenek peot itu. Aku harus dapat membunuh ketiga orang yang sekarang berada di hadapanku. Hiat...!"
Tersentak ketiga Hantu Dari Kelangit, manakala dengan tiba-tiba Ningrum menghantamkan pukulan jarak jauhnya. Beruntung ketiganya waspada dari semula, kalau tidak. Niscaya tubuh mereka akan serupa dengan keadaan gunung kecil yang terletak tak jauh dari mereka. Gunung kecil itu mengepulkan asap, hancur berguguran menjadi batu-batu kecil, beterbangan laksana helaian daun terhempas angin topan. Mata ketiga Hantu Dari Kelangit membeliak, serta merta ketiganya kembali berteriak kaget melihat ilmu apa yang telah dilakukan oleh Ningrum.
"Demi Iblis! Mengapa kau mampu menggunakan Ajian Bagar Gede? Dari mana kau mencuri ajian tersebut, wanita?" tanya Hantu Kumis Putih kaget. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Hatinya seketika teringat pada seorang yang memiliki ilmu serupa dengan gurunya, Darga Buana. "Hem, apakah wanita ini benar-benar bibi guru?" batinnya tak percaya. "Kalau memang bibi guru, mengapa suaranya dan gerakannya lemah gemulai laksana gadis? Hem, tadi ia menyebut dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong. Siapakah dia? Aku baru kali ini mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong. Bukankah Penguasa Bukit Karang Bolong adalah Dewi Lanjut Ayu, seorang Dewi dari aliran sepertiku yang hidup sekitar lima puluh tahun yang silam? Hem, apa mungkin gadis ini telah dititisi olehnya? Sungguh bahaya dunia persilatan bila Dewi Lanjut Ayu muncul kembali. Khususnya para lelaki. Hem..."
"Kenapa kalian kaget. Kalian tahu ilmu yang aku gunakan, mengapa kalian tidak segera bersujud dan menyembah padaku. Apakah kalian benar-benar ingin mendapatkan azab, manusia-manusia dungu seperti binatang!?" Ningrum kembali membentak. Suaranya kini lain, bukan suara yang pertama kali keluar dari mulut Ningrum. Suara itu begitu parau, menyerupai suara seorang nenek-nenek yang telah benar-benar lanjut usia.
"Siapa kau sebenarnya, wanita?" Hantu Kumis Putih kembali menanya. "Kenapa kau memperoleh ajian yang dimiliki oleh bibi guru kami?"
"Hua, ha, ha...! Kalian bodoh! Jelas aku memiliki ilmu tersebut. Sebelum bibi gurumu dan gurumu memiliki ajian Bagar Gege, aku telah menguasainya. Aku Dewi Lanjut Ayu Penguasa Bukit Karang Bolong. Akulah yang akan menguasai dunia persilatan. Kalian harus mengikuti apa yang aku katakan bila kalian ingin hidup. Tapi bila tidak. Maka kalian akan aku kirim ke akherat. Hua, ha, ha !"
"Sombong! Aku tak percaya kalau kau memang Dewi Lanjut Ayu. Dewi Lanjut Ayu telah tiada, mana mungkin hidup kembali," Hantu Kumis Hitam turut menyangkal, menjadikan Dewi Lanjut Ayu bergelak tawa makin melebar.
"Kalau kalian tak percaya, lihatlah!" Habis berucap demikian, Dewi Lanjut Ayu segera kepalkan tangannya ke angkasa. Tiba-tiba petir membahana bersahut-sahutan, padahal hari itu sangat cerah.
Ketiga Hantu Dari Kelangit makin tersentak. Mereka tahu jenis ilmu apa yang tengah dilakukan oleh Dewi Lanjut Ayu, yang oleh guru mereka disebut ajian Penarik Dewa Petir. Jadi dalam keadaan apapun, bila ajian tersebut dilakukan maka Dewa Petir akan menyahuti. Belum juga ketiganya hilang dari rasa kejutnya, tiba-tiba Dewi Lanjut Ayu berseru.
"Dewa Petir, tunjukkan kehebatanmu!"
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Tiga kali berturut-turut petir membahana, dan tiga kali itu pula tanah di hadapan tiga Hantu Dari Kelangit menganga lebar, cukup untuk mengubur tubuh mereka. Mata ketiga Hantu Dari Kelangit terbeliak kaget, melompat mundur dengan mata memandang pada Dewi Lanjut Ayu.
"Mau pamer ilmu rupanya kau, orang sombong!" Hantu tak berkumis membentak marah, merasa diremehkan begitu rupa oleh gadis yang mengaku-aku sebagai Dewi Lanjut Ayu. Namun sang Dewi sepertinya tak perduli, malah kini ia nampak tersenyum di balik cadarnya.
"Terserah apa yang kalian katakan. Yang jelas Dewa Petir menghendaki nyawa kalian."
"Huh, jangan kira kau mudah melakukannya!" geretak marah Hantu berkumis Putih.
"Oh... begitu? Baik, akan aku buktikan bahwa aku tak susah untuk melakukannya. Ibarat aku hanya membalikkan telapak tanganku, maka dengan mudah nyawamu dan nyawa dua saudaramu itu akan aku ambil. Bersiaplah, hiat...!"
Kembali Ningrum berkelebat menyerang, kali ini sepertinya tak mau lama-lama lagi, terbukti serangannya begitu ganas dan cepat. Tak henti-hentinya ia menggeretak, lalu menjerit bagaikan orang histeris. Tangannya yang lentik, meliuk-liuk bagaikan ular yang hidup, menjadikan ketiga orang musuhnya harus hati-hati menghadapinya.
Ketiga Hantu Dari Kelangit berusaha mengimbangi, namun bagaimanapun juga gerakan mereka tak ada artinya untuk mengimbangi serangan Ningrum yang bagaikan kesetanan. Maka dalam waktu yang relatif singkat, Ningrum yang sudah kerasukan Dewi Lanjut Ayu makin menang angin saja. Dengan jurus-jurus anehnya Ningrum terus mendesak ketiga musuh-musuhnya, yang makin terdesak saja tanpa dapat membalas sekali pun.
Namun ketiga Hantu Dari Kelangit bukanlah orang-orang sembarangan yang hanya begitu saja sudah kalah. Mereka adalah didikan datuk silat yang sudah malang melintang di dunia persilatan, sehingga ilmu yang mereka miliki pun bukanlah ilmu kelas kroco. Ditambah lagi dengan keberanian mereka, jelas tampak bahwa mereka benarbenar sudah menuruni segala apa yang telah guru mereka ajari.
Meski dalam keadaan terdesak bagaimana pun, ketiga Hantu Dari Kelangit tak mau putus asa. Dan manakala ada kesempatan, tiba-tiba Hantu Kumis Putih berkelebat sembari keluarkan pekikkan menyayat yang mampu memecahkan konsentrasi Ningrum. Belum juga Ningrum dapat kuasai diri, tiba-tiba sebuah tangan yang bergerak cepat berkelebat menyabet cadar yang dikenakannya. Tersentak Ningrum seketika, namun lebih kaget lagi ketiga musuhnya. Mata mereka melotot, manakala tahu siapa yang tengah dihadapi.
"Ningrum! Kau...!" Ketiganya serentak berseru menyebut orang yang kini tersenyum sinis pada mereka, yang ternyata Ningrum adanya.
"Ya, aku. Akulah Ningrum yang dulu kalian perkosa atas suruhan Rengkana. Kalian harus mati, harus!"
Melihat siapa adanya gadis tersebut, serentak ketiga Hantu Dari Kelangit tertawa bergelak-gelak mendengar omongan Ningrum. Dan dengan angkuhnya ketiga Hantu Kelangit tersebut berkata mengejek:
"Hua, ha, ha...! Rupanya kau ingin mengulangi apa yang pernah kau rasakan dari kami, manis?"
"Cuh! Memang aku ingin merasakan membunuh diri kalian satu persatu dengan cara yang patut untuk orang-orang macam kalian yang tak lebihnya buaya-buaya busuk!"
Tak banyak kata lagi, segera Ningrum yang kini benar-benar dalam kuasaan Dewi Lanjut Ayu atau Penguasa Karang Bolong segera kembali buka serangan. Kali ini dia tidak mau kecolongan untuk yang kedua kalinya. Serangannya kini begitu cepat, cepat laksana gerakan siluman belaka. Tangannya, kini mencerca pada titik-titik kematian lawan.
Siapakah Ningrum yang mengaku-aku Penguasa Bukit Karang Bolong? Lalu siapakah sebenarnya Ketiga Hantu Dari Kelangit? Untuk mengetahuinya, marilah kita tinjau kembali kejadiannya pada bab selanjutnya.
********************
DUA
Lima belas tahun yang lalu di desa Ketanggungan...
Desa Ketanggungan waktu itu nampak begitu tentram dan damai. Penduduknya ramah tamah, suka gotong royong, saling tolong menolong. Di desa Ketanggungan itulah Ningrum dilahirkan, dibesarkan oleh seorang tokoh masyarakat yang sudah terkenal yaitu Pramanayuda. Pramanayuda merupakan seorang tokoh persilatan dari aliran lurus dengan perguruannya bernama Perguruan Manik Astajingga.
Di bawah pimpinan Pramanayuda, perguruan Manik Astajingga sangat pesat perkembangannya. Kemajuan Perguruan Manik Astajingga rupanya mengundang pro dan kontra. Kaum persilatan aliran lurus khususnya bersahabat. Sebaliknya dari kaum persilatan aliran sesat, membenci dan berusaha untuk menjatuhkan Pramanayuda.
Pramanayuda mempunyai dua orang putra. Yang pertama bernama Tegalaras, seorang laki-laki. Sementara yang kedua bernama Ningrum Biyanti, adalah seorang wanita. Tegalaras sejak kecil diambil oleh adiknya yang bergelar Panggawa Iblis. Sebenarnya Pramanayuda kurang begitu sreg hatinya bila sang anak dididik oleh adik seperguruannya yang ugal-ugalan.
Namun dikarenakan rasa persaudaraan yang telah dibinanya sejak mereka masih satu perguruan, dengan berat hati akhirnya Pramanayuda pun memberikan anaknya yang lelaki tersebut. Sementara anak putrinya, dididik oleh Pramanayuda sendiri. Sejak saat itu Pramanayuda dan keluarganya tak lagi mengetahui di mana anaknya Tegalaras berada. Hubungan sebagai anak dan bapak pun terputus.
Selang tak begitu lama kemudian, Pramanayuda mendengar bahwa adik seperguruannya dibunuh oleh seorang tokoh sesat yang merupakan musuh bebuyutan adik seperguruannya. Pramanayuda berusaha mencari keberadaan anaknya, namun ia tak menemukan jejak secuil pun untuk dapat menemukan sang anak.
"Bagaimana kakang, apakah kakang dapat sebuah petunjuk di mana adanya anak kita?" tanya istrinya Arum Daru, manakala kedua suami istri tersebut tengah berbincang-bincang setelah perjalanan Pramanayuda mencari anaknya.
Pramanayuda sejenak tarik napas, memandang wajah istrinya yang nampak lusuh oleh duka akibat dipisahkan dengan sang anak. Setelah lama berbuat begitu Pramanayuda seketika tundukkan wajah, lalu dengan berat berkata menceritakan hal sebenarnya yang ia alami. "Aku gagal, Dinda"
"Gagal...?"
"Ya... aku tak menemukan jejaknya," jawab Pramanayuda lemah, sepertinya tak bersemangat barang setitik pun. "Entah siapa musuh adikku, dan yang mana? Sebab adikku banyak sekali musuhnya."
Sang istri seketika keraskan isak tangisnya, sedih bila harus berpisah untuk selamalamanya dengan sang anak. Melihat hal tersebut, hati Pramanayuda seperti diiris-iris, pedih sekali. Bagaimana pun, memang ia juga merasakan betapa sedihnya bila harus berpisah dengan sang anak yang kelak akan menggantikannya. Namun untuk menghibur hatinya, Pramanayuda segera berkata.
"Dinda, tak usahlah dinda terus-menerus bersedih hati. Bukankah kita masih diberi seorang anak?"
"Tapi Ningrum wanita, Kanda?"
"Apa bedanya? Wanita ataupun pria sama saja, asalkan kita mampu mendidiknya, kelak pun ia akan mampu membalas jasa pada orang tuanya."
Untuk sementara waktu istrinya dapat terhibur oleh kata-katanya. Meski hati mereka masih tak tenang dengan segala hasil yang mereka capai, namun setidak-tidaknya masih ada tersisa harapan bahwa keturunan mereka tetap ada. Namun begitu Pramanayuda tidak hanya mengalah pada nasib, ia terus berusaha untuk dapat menemukan siapa adanya orang yang telah membunuh adik seperguruannya sekaligus membawa anaknya. Seperti esok harinya kemudian, Pramanayuda kembali dengan menunggang kudanya memacu menyusuri bukit dan menuruni lembah dalam usahanya mencari jejak sang anak dan musuh adik seperguruannya.
Pagi masih begitu dingin, alam pun masih terselubung oleh kabut tebal yang menyelimuti wilayah yang dilintasi Pramana. Dengan mata sekali-kali memandang ke sekelilingnya Pramanayuda terus memacu kudanya. Tak hiraukan dingin menggigit tulang sumsum, tak hiraukan ilalang menyeret bulu-bulu kakinya hingga terasa gatal. Tujuannya hanya satu, mencari dan menemukan sang anak untuk dibawa pulang ke rumah.
Tengah Pramanayuda memacu kudanya, tiba-tiba berkelebat puluhan anak panah menyerangnya dari arah samping dan belakang. Serta merta Pramanayuda lemparkan tubuh, mencelat ke angkasa sembari babatkan pedangnya menangkis serta memutuskan anak-anak panah yang jumlahnya puluhan itu.
"Bangsat-bangsat rendah, keluar kalian! Jangan kalian hanya beraninya sembunyisembunyi. Kalau kalian memang jantan, hadapilah aku Pramanayuda!" teriaknya lantang, yang menggema manakala menerpa bebatuan gunung. "Keluar kalian! Tunjukkan padaku hidung kalian!"
"Kami di sini, Pramana!" terdengar suara jawaban yang disertai dengan kelebatan anak panah-anak panah yang jumlahnya melebihi semula, mengarah ke arah Pramanayuda.
Segera Pramanayuda kembali berkelit, ditangkapnya anak panah-anak panah yang mengarah telak ke arahnya, lalu dengan tenaga penuh dilemparkan anak panah tersebut ke arah datangnya. Terdengar desingan anak panah yang dilemparkan Pramanayuda diikuti oleh pekikkan tiga orang dari balik semak-semak rimbun. "Kalian keluarlah, jangan seperti tikus tanah!" bentak Pramanayuda, dengan berdiri lompat dari kudanya.
Tampak dari balik semak-semak bermunculan wajah-wajah beringas, berjalan menuju ke arahnya. Mata mereka memandang tajam ke arah Pramana, sepertinya ingin menombak mata Pramanayuda.
"Hem, rupanya orang-orang macam kalian. Mana ketua kalian, begal-begal kere?"
"Sombong kau. Pramana!" geretak Wedal, seorang pimpinan gerombolan Walang Kerek setelah ketuanya Beruk Kula-Kula.
"Aku tidak sombong! Aku hanya ingin mengetahui di mana ketua kalian berada, juga mengapa kalian tiba-tiba menyerangku?" Pramana berusaha sabar menghadapi orang-orang semacam itu. Ia tahu, bahwa orang-orang semcam Gerombolan Walang Kerek sangat banyak berguna bagi pencarian anaknya. "Apakah kalian semuanya diperintahkan oleh ketua kalian untuk menghadangku?"
"Ya! Memang ketua kami menyuruh begitu!"
"Hem, apa maksudnya?" tanya Pramana seraya kerutkan kening.
"Itu urusan ketua. Yang jelas ketua menghendaki kau harus lenyap dari muka bumi ini?"
"Oh... begitu? Mengapa tidak ketua kalian saja yang melakukannya? Mengapa ketua kalian malah bersembunyi? Kalau memang ia bermaksud untuk melenyapkan diriku, aku minta ketua kalian sajalah yang menemui diriku. Percuma kalau hanya kalian saja," Pramanayuda berkata dengan tenang, sepertinya menghiraukan katakata pimpinan Gerombolan Walang Kerek.
Mendengar ucapan Pramana, seketika pimpinan gerombolan Walang Kerek melototkan mata. Ia merasa ucapan Pramanayuda adalah ejekan yang sangat keterlaluan. Betapapun, mereka tak ingin diremehkan oleh orang lain, sebab mereka merasa adalah sebuah gerombolan yang sudah kondang namanya di dunia persilatan. Kalau orang lain yang berkata begitu, niscaya sudah menjadi apa orang yang berkata.
Tapi kini yang berkata adalah Pramanayuda, seorang pendekar yang sudah memiliki segala pengalaman segudang di dunia persilatan. Orang yang sangat disegani dan ditakuti, apalagi bila harus bersatu dengan dua orang saudara seperguruannya, jelas ketiganya sukar untuk ditaklukkan.
Namun kini salah seorang dari ketiganya telah tiada, mati dibunuh oleh seorang tokoh silat lainnya yang telah mendendam dengannya. Tapi untuk menghadapi seorang dari Tiga Pendekar Kumala, jelas harus memerlukan kehebatan ilmu yang paling tidak sebanding. Kalau tidak, maka sia-sialah segala apa yang akan mereka lakukan. Jangankan untuk mengalahkannya, untuk menghindari kematian saja susah.
"Pramana, janganlah kau sombong. Tak perlu ketua kami yang maju menghadapi dirimu, tapi kami pun akan mampu untuk menyingkirkan dirimu dari muka bumi ini!" geretak pimpinan gerombolan Walang Kerek.
"Hem, apakah kalian sudah pasti?" Pramana berkata tenang.
"Akan kami buktikan, Pramana!"
"Oh, sungguh kalian memang pemberani. Baiklah, aku layani apa yang menjadi tuntutan kalian. Nah, lakukan oleh kalian bila mampu untuk menyingkirkan diriku," sorot mata Pramana kini seperti liar, bahkan sorot mata itu seperti sorot mata penuh misteri. Terkadang redup, lalu menyala berapi-api. Nampaknya pendekar aneh itu sudah begitu marahnya, hingga ia begitu memperlihatkan keadaan dirinya yang sebenarnya. Bagaimana tidak marah? Ia tengah mencari putranya sekaligus musuh adiknya, kini harus berurusan dengan orang-orang yang dirasa telah menghadang dirinya. Pramanayuda mendesis, bagaikan ular sanca yang ingin melalap seekor katak.
Melihat keadaan Pramana, seketika kesemua orang yang berada di situ menarik napas berat, sepertinya mereka merasa ada sorot aneh keluar dari mata Pramana. Mereka segera bersiap cabut golok yang sedari tadi menggelantung di pinggang, siap untuk menyerang Pramana.
Pramana nampak tersenyum sinis, lalu dengan suara lantang setengah marah berkata; "Kenapa kalian terdiam, lakukanlah apa yang menjadi tugas kalian!"
"Sombong! Jangan menyesal, Pramana!"
"Selama hidupku, aku tak pernah menyesal!"
"Hem, begitu? Baik, bersiaplah, Pramana!" geretak pimpinan gerombolan marah. Sebenarnya dalam hati Wedal terbersit rasa takut juga menghadapi Pramana. Namun bila ia harus mengalah, sungguh petaka bagi dirinya. Ketua mereka yang bergelar Datuk Si Raja Karang bukanlah orang yang memiliki welas asih. Maka bila mereka gagal, mereka yang akan menjadi korban keganasan sang Datuk.
Beruk Kula-Kula atau Datuk Raja Karang, merupakan tokoh sesat yang memang menaruh permusuhan dengan Tiga Pendekar Gunung Langsat yang terdiri dari Pramana, Lugana, dan adik seperguruannya yang kini telah mati dibunuh entah oleh siapa. Mereka pernah menjatuhkan Datuk Kula-Kula atau Raja Karang, manakala mereka diperintah oleh guru mereka. Hal itu rupanya menjadi dendam yang berkepanjangan bagi sang Datuk Kula-Kula, sehingga ia sempat menyumpah serapah pada ketiganya bahwa nanti dirinya akan membuat perhitungan dengan ketiga saudara seperguruan. Datuk Raja Karang juga sempat mengancam, bahwa dia akan menumpas keluarga ketiganya dengan keturunan mereka sendiri. Apakah tidak mungkin yang membunuh dan menculik adik serta anaknya tak lain si Datuk?
Bila ingat akan semuanya, seketika Pramana merasakan pasti bahwa sang Datuklah yang lelah melakukan semuanya. Maka kemarahannya makin meledak-ledak laksana larva gunung Agung. Tanpa banyak kata lagi, segera Pramana memekik menyerang kedua puluh orang anak buah Datuk Raja Karang.
"Kalian harus mati! Kalian harus menebus kejahatan ketua kalian!" pekik Pramana penuh amarah. Bagaikan banteng kekaton Pramana terus mencerca dengan Pedang Sukma Layungnya. Hawa pedang yang seperti mengandung racun, seketika menyebar ke segenap penjuru.
Tanpa ampun lagi, mereka yang masih berilmu rendah langsung jatuh terkulai lemah pingsan. Sebaliknya yang berilmu tinggi, nampaknya harus berusaha sekuat tenaga menolak hawa pedang tersebut.
"Ilmu Iblis!" memekik Wedal kaget. Ia segera lemparkan tubuh ke belakang, diikuti oleh anak buahnya yang masih sadar dan kuat menangkis hawa aneh tersebut. Muka mereka melotot tak percaya, memandang tajam pada pedang yang tergenggam di tangan Pramanayuda.
"Kenapa kalian pucat seperti seekor babi yang hendak digorok! Mana keberanian kalian sebagai Gerombolan Walang Kerek!?" desis Pramana dengan senyum sinis melekat di bibirnya. "Sudah aku katakan, bahwa kalian tak akan mampu menghadapi diriku. Sekarang kalian minggatlah dan beritahukan pada ketua kalian si Datuk Raja Karang bahwa aku ingin menemuinya! Lakukanlah segera, atau dengan terpaksa aku akan menyate tubuh-tubuh kalian!"
"Sombong kau, Pramana! Jangan harap aku akan mengakui kehebatanmu! Mari kita lanjutkan!" Wedal membentak marah. Ia kini harus benar-benar nekad. Mati sudah pasti harus dihadapi, walau ia harus berusaha menghindari kematian itu. Namun bila ia mengalah pada Pramana, jelas kematian didapat olehnya dari tangan ketuanya si Datuk Raja Karang. Kematian semacam itu sungguh tidak terhormat, lebih baik mati di tangan musuh yang sudah kondang namanya. Maka dengan perhitungan demikian, Wedal dengan nekad segera menyerang Pramana, dibantu oleh sisa-sisa anak buahnya.
Diserang begitu rupa tidak menjadikan Pramana gugup, malah dengan mulut menyeringai seperti hendak menunjukkan kekuatan Pramana berkelebat mengelakkan serangan-serangan musuhnya. Pedang pusaka di tangannya bergerak cepat, sepertinya mempunyai mata sendiri. Hawa pedang yang mampu membuat orang pingsan terus mengalir, menyelimuti lingkungan pertarungan tersebut.
"Kalian tak akan mampu bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
"Hem, kau masih sombong, Pramana!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak percaya. Baiklah, aku akan membuktikan pada kalian bahwa hawa pedang ini mampu membuat kalian sesak napasnya, yang akhirnya kalian akan pingsan!" Setelah berkata begitu Pramana makin mempercepat kelebatan pedangnya. Asap bergulung-gulung, menyelimuti daerah itu makin lama makin tebal menghitam pekat.
Semua penyerangnya seketika tersentak, melototkan matanya. Dada mereka seperti sesak, terbatuk-batuk oleh terpaan asap tersebut. Namun mereka sepertinya yang tak mau mengalah, mereka terus berusaha bertahan dan semampu mereka membuang hawa asap tersebut. Namun rupanya mereka harus mengakui bahwa hawa yang keluar dari pedang lebih kuat daripada ilmu yang mereka keluarkan.
Satu persatu, akhirnya mereka berjatuhan pingsan. Tinggallah kini Wedal yang masih mampu bertahan, namun begitu Wedal nampak pucat pasi. Ia sadar bahwa dirinya tak mampu lagi untuk menghadapi serangan Pramana. Namun Wedal masih berusaha tersenyum, senyum puas karena akan mati di tangan seorang pendekar. Jurusjurus Pramana makin keras, akhirnya yang tampak hanya gulungan asap tebal.
"Hiaat... Bersiaplah, Wedal!"
"Aku sudah siap, Pramana!" balas Wedal tak mau kalah.
Kedua orang itu seketika mencelat, terbang berbarengan di udara. Namun nampaknya Pramana tak menginginkan kematian untuk Wedal. Maka dengan secara cepat pedang pusaka Sukma Layung disarungkan ke tempatnya, sementara tangannya yang telah diisi dengan tenaga dalam bergerak lurus memapaki serangan golok Wedal.
"Hiaaaat...!"
"Hiat...!"
Wust...!
Angin tebasan golok Wedal berdesah, menyerang dengan ganas. Namun Pramana sepertinya tahu kelebatan golok tersebut, dan dengan segera elakkan tubuh disusul oleh hantaman tangannya ke iga sebelah kiri lawan.
"Bug... bug... bug...!"
"Kretak!"
Terdengar suara tulang iga patah, diikuti oleh jeritan yang melolong dari mulut Wedal menyayat.
"Aaaah...!"
Wedal terkulai jatuh di atas tanah, dengan iga yang remuk menjadikan dirinya menyeringai menahan sakit. Matanya tajam memandang pada Pramana yang tersenyum, berdiri menghadapinya dengan pedang Sukma Layung yang sudah berada di sarungnya. Mata Wedal membeliak, seakan tak yakin bahwa suara retakan tulangnya bukan karena tebasan pedang pusaka tersebut.
"Kau...!"
"Kenapa, Wedal?" tanya Pramana tenang. "Aku sengaja tak menggunakan pedangku agar kau dapat hidup lebih lama. Sekarang katakan pada ketuamu, aku Pramana ingin bertemu. Aku tunggu ketuamu di lereng Gunung Kencana!"
"Tunggu! Jangan kau pergi dulu!" Pramana yang hendak berkelebat pergi segera hentikan langkah, lalu ditengoknya kembali Wedal yang memanggilnya.
"Ada apa, Wedal?"
"Pramana, lebih baik kau bunuh saja diriku. Aku meminta tolong padamu, bunuh saja aku!"
"Itu tak mungkin aku lakukan!"
"Kau tega melihat aku dibunuh oleh ketuaku?"
Pramana tersenyum, sepertinya ucapan Wedal bagaikan anak kecil saja. Mana mungkin ia harus mau mengurusi orang lain? Mau dibunuh oleh gurunya, kek. Yang pasti, guru Wedal yang juga ketuanya harus menemuinya di lereng Gunung Kencana. Setelah tersenyum begitu, segera Pramana kembali tinggalkan Wedal yang hanya mampu terlolong bengong.
Hati Wedal begitu marah, kecewa dan dendam pada Pramana yang tidak mau melakukan apa yang ia inginkan. Bagaimana pun ia sangat mengharapkan Pramana yang membunuh, bukan gurunya. Tapi rupanya nasib harus berbuat begitu.
Selang beberapa lama setelah Pramana berlalu, sebuah bayangan berkelebat menuju ke arah Wedal tergeletak. Wedal yang mengetahui siapa adanya yang datang seketika membelalakkan mata kaget, dan dari mulutnya keluar desisan kaget mengucap nama orang tersebut.
"Guru...!"
"Kau telah gagal, Wedal!" suara gurunya nampak penuh kebencian. Ya itulah sifat Datuk Raja Karang. Sifat yang angkuh dan tidak mengenal siapa kawan ataupun lawan. Bila memang seorang yang menjadi kawannya tak berguna lagi, maka seharusnya orang tersebut disingkirkan dari muka bumi.
Wedal hanya terpaku diam, tak dapat mulutnya untuk mengutarakan apa yang harus dikatakan.
"Kau gagal. Wedal!" kini suara gurunya makin keras, merasa ucapannya tak digubris oleh Wedal. "Jawab, Wedal!"
"Ampun, ketua. Memang aku... aku gagal. Tapi..."
"Tak ada tapi-tapian, Wedal! Kau ingat apa yang telah aku katakan padamu? Barang siapa yang tidak ada guna lagi bagi diriku, maka aku akan menyingkirkannya."
Menggigil tubuh Wedal seketika mendengar ucapan gurunya yang dirasakan sebuah keputusan akhir. Ya, keputusan yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Namun Wedal tak ingat, bahwa di atas sana masih ada yang lebih kuasa dibandingkan dengan gurunya yaitu Allah S.W.T. yang telah menciptakannya.
"Sekarang katakanlah, di mana Pramana menunggu diriku?!"
"Ampun guru, Pramana menunggu kedatangan guru di lereng Gunung Kencana," jawab Wedal dengan masih diselimuti rasa takut yang teramat sangat.
Sang guru angguk-anggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba dengan suara menyeramkan sang guru berkelebat dengan golok di tangannya siap tebaskan ke leher Wedal. Hampir saja golok tersebut membabat putus leher Wedal, manakala tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menyelamatkannya.
"Bedebah! Siapa yang telah lancang di hadapanku!" maki Datuk Raja Karang marah. Segera ia kejar orang yang membopong tubuh muridnya, namun usahanya sia-sia karena orang tersebut jauh tinggi ilmunya hingga dengan cepat orang tersebut lenyap dari pandangannya.
"Monyet busuk! Siapa gerangan orang itu?" Datuk Raja Karang memaki-maki sendiri, lalu setelah puas menyumpah serapahi orang itu segera ia pun berkelebat pergi untuk menemui Pramana yang telah menantinya di lereng Gunung Kencana.
Angin gunung bertiup sunyi, menerpa lembut daun-daun kering yang beterbangan dan hinggap pada tempat-tempat yang telah di atur oleh Yang Maha Kuasa. Lembah itu kembali sepi, tiada suara ataupun jeritan manusia. Namun tak lama kemudian, serombongan burung-burung pemakan bangkai beterbangan, berputar-putar di situ dan kemudian menukik. Rupanya rombongan burung Nazar tersebut menemukan makanan yang sungguh menyenangkan.
********************
TIGA
Angin sore telah mengalunkan hawa yang aneh, yaitu hawa sebuah penentuan. Di lereng Gunung Kencana, nampak dua sosok tubuh saling berhadapan dengan hening seperti menjajagi apa yang ada di hati mereka masing-masing.
Matahari telah menggelincir, empat puluh derajat ke arah Barat. Sinarnya kini tak segarang manakala siang, namun redup. Bayang-bayang kedua orang tersebut panjang, melebihi keadaan sebenarnya. Mata mereka saling pandang, layaknya dua mata burung elang yang tajam saling menghujam. Napas mereka mendesah berat, seirama dengan deru angin yang menggayut berat.
"Kau menungguku, Pramana?" tanya Datuk Raja Karang.
"Ya, aku memang mencarimu," jawab Pramana tenang.
"Apakah kau ingin mengulang seperti lima tahun yang lalu?"
"Bukan! Bukan itu yang aku inginkan, tetapi lebih dari itu semua. Kini aku tak perduli lagi dengan segala tindakanmu, asal kau jangan mengganggu sanak kadangku."
Mata Datuk Raja Karang seketika menyipit, sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya tujuan Pramana. Setahunya ia tak pernah membuat kerusuhan lagi pada keluarga Pramana, ataupun sanak kadangnya. Kini Pramana mencari dirinya untuk mencari gara-gara. Sebenarnya memang hal itu yang dicari, sebab ia pun ingin sekali-kali kembali menjajagi ilmu yang dimiliki Pramana setelah lima tahun berlalu.
Tapi untuk menyatakan terus terang, sungguh ia belum berani. Sebab di samping akan diketahui oleh khalayak persilatan yang sudah tentu akan mencercanya, juga saudara seperguruan Pramana lainnya akan berusaha membantu. Bukankah hal itu masih menyangkut masalah perguruan? Maka demi mendengar pertanyaan Pramana, timbullah hatinya untuk mengakui segala tindakan orang lain. Dimaksudkan agar supaya Pramanayuda mampu marah.
"Apa yang sebenarnya engkau mau, Pramana?"
"Aku ingin kau kembalikan anakku yang kau culik dari adik seperguruanku."
"Huah, itu tidak mungkin, sebab anakmu sudah aku korbankan untuk para Roh-roh penguasa Bukit Setan! Kalau kau tak mau, maka kau akan menghadapi aku!"
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala seperti dulu, Datuk!"
"He,, he, he...! Aku memang seperti dulu, seperti ketika kalian kalahkan. Karena kekalahan itulah hingga aku sampai kini menaruh dendam. Dendam untuk mampu membalas segalanya padamu dan pada adik seperguruanmu lainnya."
Kalau saja Pramana mau meneliti dari omongannya, jelas bahwa Datuk Raja Karang bukanlah orangnya yang telah menculik dan membunuh anak dan adik seperguruannya. Tapi Pramana yang sudah dilanda oleh kobaran amarah tak menganalisa dan memperdulikannya. Tuduhannya pada Datuk Raja Karang begitu yakin, sepertinya Datuk Raja Karanglah yang benar-benar telah membunuh adik seperguruannya sekaligus menculik anaknya Tegalaras.
"Sudah aku duga, bahwa kaulah biangnya! Maka itu, kini aku tidak akan segan-segan lagi menurunkan tangan jahatku padamu, Datuk! Bersiaplah!"
Melihat kemarahan Pramanayuda. Datuk Raja Karang masih berusaha tenang. Ia tahu siapa adanya Pramanayuda, seorang tokoh persilatan berilmu tinggi yang disegani oleh musuh-musuhnya. Di samping itu ia harus memikirkan Pedang Sukma Layung yang berada di tangan Pramana. Pedang tersebut bukanlah pedang sembarangan, namun sebuah pedang yang mampu merontokkan sendi-sendi tubuh sekaligus mampu membunuh orang tanpa mengalami kematian luka-luka. Sebab dengan asapnya saja, orang akan dibuat pingsan dan akhirnya mati.
"Sudah siapkah kau, Datuk?" kembali Pramana bertanya.
"Aku memang sudah siap, Pramana. Tapi perlu kau ingatkan? Bahwa aku siap menghadapi dirimu bukan karena aku telah melakukan segala yang engkau lontarkan. Aku menghadapimu karena aku merasa ingin mengulang kejadian lima tahun silam. Lima tahun silam kau dan kedua adik seperguruanmu telah menjatuhkan aku di hadapan orang banyak. Kini akulah yang akan menjatuhkan nama besarmu, walau aku menjatuhkanmu bukan di kalayak ramai tapi bagiku sudah cukup puas!"
"Jadi kau masih mungkir?!"
"Aku tidak mungkir. Aku memang tak mengetahui siapa adanya anakmu, juga siapa yang menculiknya," jawab Datuk Raja Karang, menjadikan Pramana tersentak kaget. Pikiran Pramana seketika melayang, tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
"Kalau memang Datuk Raja Karang bukan orangnya, lalu siapa lagi yang telah berbuat begitu?" keluh hati Pramana bimbang. "Apakah masih ada orang lain yang menaruh dendam padaku? Atau barangkali musuh adikku yang memang ugal-ugalan?"
"Kenapa terdiam, Pramana?"
Pertanyaan Datuk Raja Karang begitu menghentakkan Pramana yang tengah tercenung. Matanya seketika membelalak, memandang lekat ke arah Datuk Raja Karang yang masih tersenyum. "Jadi kau bukan penculiknya?" tanya Pramana kemudian setelah tersadar dari lamunannya. "Kalau begitu aku rasa aku tak ada gunanya menemui dirimu!"
"Ada, Pramana!" Datuk Raja Karang mencerca, mengingatkan kembali pada Pramana. "Bukankah kita memang ada kepentingan sendiri? Kepentingan yang berhubungan dengan apa yang pernah kita lakukan, di mana kau dan saudara-saudara seperguruanmu menjatuhkan aku."
"Kau rupanya tak jemu-jemu, Datuk!"
"Memang aku tak pernah jemu bila belum mengalahkan kalian!"
"Sekarang apa yang kau mau?" tanya Pramana kembali sewot.
"Bertarung untuk menentukan siapa yang paling sakti di antara kita!" Datuk Raja Karang sunggingkan senyum sinis, mengarah pada Pramana yang masih menghela napas berusaha sabar.
Pramana tahu siapa sebenarnya Datuk Raja Karang, seorang tokoh sesat yang tak bisa diajak kompromi. Selalu ingin menang, ingin diaku oleh kalayak bahwa dirinyalah yang paling berkuasa. "Bertarung...?" ulang Pramana, sepertinya ingin meyakinkan pada diri sendiri kebenaran ucapan sang Datuk.
"Ya, bertarung! Kau takut, Pramana?" ejek sang Datuk.
"Tak akan pernah ada rasa takut untukku."
"Bagus! Itu yang aku harapkan! Aku minta kau mau sejenak melupakan masalah anakmu, atau mungkin kau akan tenang tanpa berpikir kalut memikirkan anakmu karena kau akan aku kirim ke alam sana! He, he, he...!"
"Sombong! Kau manusia sombong!"
"Apa pun yang kau katakan, bagiku tak menjadi masalah! Yang penting, aku mampu mengirim nyawamu ke akherat, hiaaat!"
Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Pramana, Datuk Raja Karang berkelebat menyerang. Hal itu menjadikan Pramana tersentak kaget dan dengan segera berkelebat miringkan tubuh mengelak. Namun karena didera hati yang tak tenang menjadikan Pramana lamban dalam mengelak, akibatnya!
"Bug...!"
Sebuah hantaman telak mendarat di bahu kirinya, menjadikan Pramana seketika terhuyung ke belakang dengan mulut menyeringai menahan sakit. Kini ia sadar, bahwa ucapan sang Datuk bukanlah main-main. Segera Pramana tarik napasnya panjang, lalu mendesis kencang laksana seekor ular sanca marah. Habis berbuat begitu, serta merta Pramana melompat dan menyerang sang Datuk yang masih senyum-senyum penuh kemenangan.
Sang Datuk melompat mundur, kaget melihat gerakan Pramana yang begitu cepat dan ganas. Ia tidak mengira kalau Pramana pun telah meningkatkan ilmu silatnya. Terbukti sang Datuk tak mampu lagi menghindar dari sergapan Pramana, dan...
"Hiat!"
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali berturut-turut, tendangan kaki dan pukulan tangan Pramana telah mendarat di wajah sang Datuk yang seketika itu melayang bagaikan terbang terdorong oleh hantaman tersebut. Mata sang Datuk membeliak tak percaya, menyaksikan kemajuan Pramana yang begitu pesat. Betapa mungkin, dalam lima tahun Pramana yang dulu ilmunya berada setingkat dengannya kini melebihi ilmunya. Namun sebagai orang yang berwatak keras. Sang Datuk tak mau begitu saja mau menyadari.
"Hebat! Kau ternyata lebih hebat, Pramana. Tapi aku tak mau begitu kalah olehmu. Aku ingin kau lebih banyak memberikan pelajaran padaku," sambung sang Datuk dengan sinis.
Pramana berusaha tenang, meski ucapan sang Datuk dirasakannya sangat menyinggung perasaan. Mata Pramana yang tajam, tak henti-hentinya menantang pandangan tatapan mata sang Datuk. Napasnya sangat tenang, berbeda dengan napas Datuk Raja Karang yang mendengus penuh kemarahan.
"Aku rasa, aku tak lebih darimu, Datuk. Maka itu aku minta tak usahlah kita teruskan segalanya. Kita bukan anak-anak lagi, Datuk."
"Tidak bisa!"
Tercengang Pramana mendengar ucapan Datuk Raja Karang, walau Pramana sudah menduga sebelumnya. Ia tahu bahwa sang Datuk pasti tak akan mau mengalah begitu saja, apalagi padanya yang telah pernah menjatuhkan. Kini hati Pramana dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti apa yang dimaui si Datuk atau mencari anaknya.
"Bagaimana, apakah kau mau menyerahkan nyawamu untukku?"
Ejekan Datuk Raja Karang sudah keterlaluan, sudah menjurus pada hal merendahkan martabat Pramana sebagai seorang pendekar. Pramana seketika mendengus marah, sepertinya jiwa seorang pendekarnya kembali menggentak-gentak hatinya untuk mau menerima tantangan sang Datuk. "Baik, aku layani apa maumu!"
Habis berkata begitu, Pramana seketika kembali berkelebat. Kali ini bukan tangan kosong, tapi pedang pusaka Sukma Layung ikut menentukan.
Terkesima Datuk Raja Karang melihat pedang tersebut, sehingga matanya yang sudah tua memandang membeliak. "Pedang Sukma Layung!" pekiknya tertahan.
Kini hanya ada dua keputusan, mati ditebas pedang Sukma Layung atau mati oleh asap pedang. Menilai begitu, Datuk Raja Karang bagaikan orang kesurupan. Ia nekad memapaki serangan yang dilancarkan Pramana dengan pedangnya.
Pertarungan dua musuh bebuyutan itu kembali berjalan, seperti hendak mengenangkan kembali mereka pada kejadian lima tahun silam. Bedanya kalau lima tahun yang silam Pramana bersama saudara-saudara seperguruannya, tapi kini Pramana menghadapi sendiri. Namun sungguh berbeda Pramana sekarang dengan yang dulu. Pramana sekarang sungguh tinggi ilmunya, apalagi dengan pedang Sukma Layung di tangannya yang begitu dahsyat. Orang menghadapi Pramana harus berpikir seribu kali, kecuali orang nekad seperti Datuk Raja Karang.
Karena hatinya didera rasa was-was pada pedang Sukma Layung, menjadikan gerakan Datuk Karang begitu lamban. Ya, hatinya tak tenang, penuh rasa takut kalau-kalau jalan napasnya tak tahan menghadapi asap tebal yang bergulung-gulung keluar dari pedang tersebut. Asap itu memang makin lama makin tebal, menyelimuti keadaan mereka seketika hilang. Bau asap tersebut mampu menyumbat pernapasan, menjadikan sang Datuk harus mampu menahan napasnya.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya sang Datuk lebih banyak terdesak daripada mendesaknya. Pedang Sukma Layung terus mencerca mencari titik mati bagi lawannya. Sebenarnya Pramana mudah untuk mengakhiri pertarungan tersebut, namun ia sengaja mengulur serangan. Kalau saja pedang tersebut digerakkan makin cepat, niscaya dalam sekejap saja sang Datuk sudah tak akan mampu lagi menahan napas. Tapi Pramana yang tak ingin membunuh berusaha menjatuhkan lawannya dengan tanpa korban.
"Menyerahlah, Datuk!"
"Tidak! Aku belum kalah olehmu! Aku akan mengadu jiwa dengan dirimu, Pramana!"
Pramana hanya mampu menghela napas panjang, terasa berat dirasakannya. Ia sebenarnya tak ingin pedangnya terlumur darah, tapi keadaan menghendaki lain. Kalau ia harus mengalah pada Datuk Raja Karang apalah nantinya yang akan terjadi pada keluarganya dan dunia persilatan. Dengan mendengus sewot Pramana kembali membentak:
"Datuk tak tahu diri! Kalau memang itu yang engkau mau, baiklah! Jangan salahkan aku mengasah pedang pusaka ini pada darahmu!"
"He, he, he! Ucapanmu sombong, Pramana!"
"Dasar manusia tak mau diuntung! Apakah kau kira aku tak mampu melakukannya!"
"Lakukanlah, Pramana! Lakukan kalau engkau mampu!" ejek sang Datuk dengan gelak tawa terkekeh, menjadikan Pramana yang tadinya masih memendam rasa kasihan kini berubah menjadi rasa benci.
Pedang Sukma Layung di tangannya tiba-tiba mengeluarkan sinar merah, seakan sinar itu hendak menghancurkan serta meremukkan apa saja. Pantulannya begitu menyilaukan, menjadikan mata sang Datuk seketika menyipit. Pandangan sang Datuk terganggu, tak mampu untuk melihat jelas apa yang ada di hadapannya. Namun, Pramana rupanya masih menghendaki penyelesaian secara damai, sehingga dengan nada melemah ia kembali berkata:
"Masihkah kau berkeras hati, Datuk?"
"Sudah aku katakan, aku tak akan menyerah dan tak akan membiarkan kau hidup!" gerutu sang Datuk marah. Hatinya panas, sepanas dendamnya yang membara. "Kalau kau tak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu, Pramana!"
Pramana masih terdiam, memandang pada sang Datuk yang nampak menutup kedua matanya dengan tangan. Hatinya seketika menggelegar marah, kesal, dan segala macam perasaan tak enak berkecamuk menjadi satu. Napasnya yang tadinya tenang, berganti dengan napas liar memburu. Tangannya bergetar hebat, hawa pedang Sukma Layung menyebabkan dirinya bagaikan diguncang. Pedang itu rupanya meminta darah, entah darah siapa. Apakah darah sang Datuk, atau mungkin darahnya sendiri bila ia tak mampu memberikannya.
"Hiat...!" tiba-tiba Pramana memekik, tebaskan pedangnya ke tubuh sang Datuk. Sang Datuk yang tersentak berusaha menghindar, namun gerakan pedang Sukma Layung ternyata lebih cepat dari dugaannya. Tak ayal lagi...!
"Aaah...!" Muncrat seketika darah Datuk Raja karang, kepalanya terbelah jadi dua. Memang apa yang dikatakan Pramana benar, bahwa pedang pusakanya akan diasah oleh darah. Terbukti sudah! Tubuh sang Datuk terlantah, menyosot ke tanah tanpa nyawa.
Dua mata dari balik semak menyaksikan hal itu, yang tanpa diketahui oleh Pramana. Pramana yang telah melihat musuhnya mati, dengan segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh mati tersebut. Bersamaan dengan hilangnya tubuh Pramana, pemilik mata itu seketika berkelebat menghampiri. Sesaat dipandangnya tubuh sang Datuk, hatinya menggumam.
"Pramana! Tunggulah pembalasanku, pembalasan kami!" Lalu tubuh pemuda itu berkelebat, menghilang tinggalkan mayat Datuk Raja Karang yang masih tergeletak menjadi dua.
********************
EMPAT
Sejak kematian Datuk Raja Karang, maka Bukit Karang Bolong makin sepi bagaikan tak bertuan. Keangkeran Bukit Karang Bolong dikaitkan dengan berita-berita adanya hantu yang menghuni Bukit tersebut. Mungkinkah hantu itu roh Datuk Raja Karang? Entahlah! Yang pasti di Bukit Karang Bolong ada seorang wanita muda dan cantik yang muncul tiba-tiba. Sebenarnya wanita muda dan cantik itu adalah istri Datuk Raja Karang.
Dibanding dengan usianya, jauh sekali keadaan wajah serta fisik wanita tersebut. Wajahnya masih cantik jelita, juga fisiknya masih begitu kuat, tak ada kulit keriput atau guratan-guratan usia di mukanya. Dia bernama Nyi Mas Ayu Salidri, anak seorang pembesar istana yang dipersunting oleh sang Datuk. Sebenarnya dulu penyuntingan Nyi Mas Ayu Salidri tidak direstui oleh ayahandanya, mengingat Datuk Raja Karang bukanlah orang-orang lingkungan istana dan hanyalah tokoh persilatan.
Namun karena keduanya sudah saling menyinta, maka dengan penuh keberanian keduanya melarikan diri dari lingkungan istana dan menetap di Bukit Karang. Disebabkan penghuninya yaitu Nyi Mas Ayu Salidri telah tidak perawan, maka Bukit Karang itu dikenal dengan nama Bukit Karang Bolong.
Karena rasa cintanya yang begitu dalam terhadap Datuk Raja Karang, menjadikan Nyi Mas Ayu Salidri mendendam pada Pramana dan keluarganya. Namun untuk menghadapi sendiri, jelas ia tak mempunyai keberanian. Sebab di samping Pramana orang sakti mandraguna, juga memiliki pedang Pusaka Sukma Layung.
"Bagaimana aku harus menghadapi Pramana? Dia begitu sakti, ditambah dengan Pedang Sukma Layungnya yang sangat berbahaya. Jarang sekali orang mampu menghadapi pedang tersebut. Suamiku juga tak mampu, apalagi dengan diriku," renung Nyi Mas Ayu Salidri sendiri.
Tengah ia merenung, mencari bagaimana jalan untuk dapat membalas dendam, tiba-tiba telinganya mendengar suara suaminya yang sudah tiada seperti berkata:
"Nyi Mas, kalau kau ingin membalas dendam padanya aku rasa itu tak perlu. Ambilah nanti anak darinya yang gadis. Menitislah kau padanya, niscaya kau akan mendapatkan ketenangan diri. Berbuatlah sesuka hatimu, sebab dengan penitisanmu dengannya akan menjadikan sebuah kekuatan yang Maha Dahsyat! Kesaktianmu dan kesaktiannya akan bergabung menjadi satu. Gantikan kedudukanku sebagai seorang penguasa Bukit Karang Bolong. Ingat Nyi, kau harus mampu menunjukkan pada dunia bahwa Penguasa Bukit Karang Bolong masih ada dan masih harus diperhitungkan."
"Kenapa aku tidak boleh mendendam pada keluarga Pramana, Kakang?"
"Nyi Mas, aku sekarang dalam ketenangan. Bila kau mendendam, maka berarti kau tidak sayang padaku. Sudahlah, kau turuti saja apa yang menjadi saranku. Kacaukan dunia persilatan. Bukankah dengan kau menitis di tubuh anak gadis Pramana secara tak langsung kau sudah membalas dendam?" tanya suara Datuk Raja Karang, yang diangguki oleh sang istri. "Dengan anaknya berbuat sadis, maka Pramana akan mencoba menghentikannya. Bukankah dengan begitu kau mampu menghadapi Pramana?"
"Benar juga ucapanmu, Kakang." jawab Nyi Mas Ayu Salidri.
"Nah, kau lakukan segalanya nanti apabila telah terjadi sebuah petaka bagi anak gadis Pramana itu."
"Petaka apa yang datang menimpanya, Kakang?" tanya Nyi Mas Ayu ingin tahu.
Maka dengan suara berat Datuk Raja Karang pun menceritakan apa yang bakal terjadi di dunia persilatan, sampai-sampai mengenai akan datangnya seorang pendekar yang nantinya akan membantu istrinya menyusul ke alamnya sana. Sementara Datuk Raja Karang bercerita, Nyi Mas Ayu Salidri mendengarkannya dengan seksama tanpa berkeinginan menanya atau memutus cerita tersebut.
"Kalau begitu percuma usaha kita, Kakang?"
"Tidak, Nyi Mas. Memang untuk kita kembali bersatu harus menjalani hal-hal yang pernah aku lakukan."
Tercenung diam Nyi Mas Ayu Salidri mendengar jawaban suaminya. Hatinya seketika gundah, sebab ia tidak ingin mati terlebih dahulu sebelum dirinya mampu menguasai jagad. Kalau harus menuruti segala nasib, percuma ia harus menitis pada anak gadis Pramana.
"Tidak! Aku tidak ingin mati lebih dini! Aku harus mampu menjadikan diriku seorang Ratu yang disegani. Hi, hi, hi...! Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa menyeleweng dari apa yang kau rencanakan, karena aku ingin menjadi seorang Ratu. Ya, Ratu " membatin Nyi Mas Ayu Salidri.
Suasana kembali hening, sunyi senyap bagaikan di pekuburan. Bukit Karang Bolong nampak diselimuti dengan misteri. Bukit itu seakan tegak, menantang kehidupan manusia untuk mengadakan sebuah bencana yang harus ditanggulangi. Apakah yang bakal terjadi di Bukit Karang Bolong nantinya?
********************
Pramanayuda yang sudah hampir putus asa mencari keberadaan anaknya nampak tercenung dalam duduknya. Ia masih memikirkan kematian Datuk Raja Karang. Sebenarnya hal itu tidak ia inginkan, namun sungguh di luar dugaan.
"Mengapa hal itu terjadi? Mengapa aku harus membunuh?" keluh Pramanayuda, seakan menyesali apa yang telah ia perbuat dengan segala tindakannya. "Sebenarnya aku tak ingin membunuh, tapi rupanya sang Datuk memaksaku. Oh, aku telah berdosa. Tanganku kini telah terlumur oleh darah."
Melihat suaminya tercenung, sang istri yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi dan singkong rebus sepiring terhenyak. Dia berdiri mematung, memandang pada suaminya yang seperti orang tak punya gairah. Perlahan ia menghampiri, dan sampai ia menaruh piring pun sang suami masih tampak tak acuh adanya. "Kakang, kenapa dengan dirimu?"
Pramanayuda tersentak seketika demi mendengar pertanyaan istrinya. Ia mencoba tersenyum, walau senyum itu dipaksakan agar gundah gulana dalam hatinya tidak diketahui oleh sang istri.
"Apakah kakang memikirkan sesuatu?" kembali istrinya bertanya.
"Ah, ti... tidak," jawab Pramana terbata.
"Mengapa Kakang melamun bengong?"
Pramana terdiam tanpa dapat menjawab pertanyaan sang istrinya. Matanya memandang lekat-lekat pada wajah istrinya, yang tersenyum sembari ulurkan tangan menggapai tangan suaminya. Terbayang semua kenangan lama, di mana kenangan indah bergayut saat-saat keduanya masih remaja. Walau keduanya anak orang-orang tak berada, namun karena rasa cinta yang tulus menjadikan keduanya hidup rukun dan tentram. Mereka bina satu keluarga bahagia, senang lahir maupun batin. Tapi kebahagiaan mereka yang sudah berjalan hampir dua puluh tahun, kini terenggut dengan hilangnya putra pertamanya yang bernama Tegalaras. Bocah tanggung itu kini raib bagaikan ditelan bumi, tak tentu di mana rimbanya.
"Aku telah melumuri tanganku dengan darah. Ya, aku telah membunuh seseorang musuhku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan membunuh lagi apabila aku telah mempunyai seorang anak wanita. Oh, petaka apa yang akan kita alami, Dinda?"
"Ah, mengapa kakang terlalu hanyut dalam kecemasan?" istrinya mencoba menghibur. "Tak perlulah kakang memikirkan hal itu. Kalau pun akan datang petaka bagi kita, maka sepantasnyalah kita serahkan semuanya pada yang Kuasa. Bukankah begitu, Kakang?"
"Ya, memang seharusnya begitu. Tapi aku sangat mengkhawatirkan akibatnya pada putri kita, Ningrum."
Terhenyak dalam diam istri Pramana mendengar ucapan sang suami. Sepertinya ucapan sang suami sebuah desau ketakutan yang teramat sangat. Namun untuk menghiburnya sungguh sukar, karena sepertinya sang suami memendam sebuah rahasia yang menyangkut keadaan dirinya dan keluarga khususnya anak gadisnya Ningrum. Memang sepengetahuan istri Pramana, sejak Pramana mempunyai anak wanita ia tidak lagi mengadakan pertarungan seperti layaknya kala ia masih muda atau manakala memiliki anak Tegalaras.
Sejak lahirnya Ningrum kegiatan Pramana untuk berkelana pun terkunci, dan ia lebih banyak mengurung diri di dalam rumah atau memomong anak-anaknya. Bahkan tugasnya sebagai seorang pimpinan di perguruan ia limpahkan pada murid utamanya Kala Jangka. Hanya akhir-akhir ini saja, yang menjadikan Pramana sibuk, yaitu mencari keberadaan anaknya Tegalaras.
"Kakang, sepertinya kakang memendam sebuah rahasia?" tanya istrinya kembali, setelah terhanyut dalam pikirannya manakala mendengar penuturan sang suami.
"Ah, aku rasa aku tidak memendam apa-apa, Dinda."
"Ya, sudahlah. Kalau memang kakang tidak memiliki sebuah rahasia, aku minta kakang tak perlu mencemaskan segalanya. Serahkanlah apa yang bakal terjadi pada Yang Kuasa, sebab hanya Dialah yang tahu rahasia alam ini. Kalau ia memang menghendaki demikian, aku rasa ada makna tersendiri."
Ucapan istrinya begitu dingin, menyirami hati Pramana yang saat itu tengah dalam keadaan gersang dan panas. Gersang oleh ketakutan yang bakal menimpa keluarganya, juga panas oleh api kemarahan pada diri sendiri yang tak mampu mencari jejak keberadaan anaknya, padahal ia telah terkenal sebagai seorang pendekar yang mumpuni.
"Ah! Tak ada artinya gelar pendekar, kalau aku tak mampu menemukan anakku," sering kata-kata itu melintas dalam benak Pramana, namun kadang juga ia sadar. Sehebat-hebatnya manusia, ia akan mengalah pada nasibnya. Nasib yang telah digariskan oleh Yang Wenang. Maka bila ia sadar, ia akan menggumam kembali.
"Mungkin semua kehendak Yang Mencipta alam. Aku hanyalah sebagai manusia yang mampu merencanakan tapi tak mampu menentukannya."
Hari telah makin larut, meninggalkan bekas-bekas waktu yang sedikit demi sedikit akan segera berubah. Begitu halnya dengan manusia, ia yang biasanya terjaga harus mengalah pada waktu. Kantuk pun datang, menghanyutkan segala pikiran dan halusinasi serta angan-angan.
********************
Waktu terus berputar bagaikan balingbaling kehidupan yang cepat. Lima tahun sudah masa kebimbangan terlewati oleh Pramana dari keluarganya. Ningrum kini telah menginjak dewasa, menjadi seorang gadis cantik. Kecantikannya tiada tara, menjadikan banyak sekali pemuda yang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa yang ada pada diri Ningrum
Pada suatu hari, datanglah serombongan lelaki dan wanita yang ingin melamar Ningrum. Orang-orang tersebut, sepertinya dari kalangan orang berada. Ditilik dari pakaian yang mereka kenakan, jelas tergambai kemewahan dan kebesaran sebagaimana layaknya orang-orang yang memiliki banyak harta.
Rombongan itu memang dari kalangan orang berada, tepatnya dari seorang tuan tanah kaya! Di wajah-wajah orang tersebut, sepertinya membersit rasa ketidakpuasan. Wajah mereka kelam tenggelam oleh bayang-bayang sebuah kehidupan. Mungkin mereka menerima tugas untuk meminang Ningrum anak seorang pendekar yang mumpuni dengan secara paksa, atau mungkin mereka tidak menyukai juragannya melamar Ningrum?
Entahlah. Yang pasti, mereka melangkah dengan langkah berat, berwajah gelap penuh rasa tak percaya diri. Rombongan itu terus melangkah dengan bisu, tiada kata atau canda ria yang menggaung di hati mereka. Apalagi manakala mereka makin dekat ke rumah Pramana, sepertinya ketakutan dan rasa tak percaya diri makin menggayuti berat.
"Apakah kita akan membawa hasil?" seorang lelaki tua yang berjalan paling muka bernama Ki Rawe-rawe bertanya pada semuanya yang tak seorang pun mampu menjawabnya. "Bagaimana kalau pinangan kita ditolak?"
"Entahlah, Ki. Kalau memang ditolak, sudah sepantasnya, bukan?"
"Yang engkau maksudkan, Gakel?" Ki Rawe-rawe kerutkan kening demi mendengar ucapan temannya yang bernama Gakel, seorang lelaki tua sebayanya yang memiliki badan pendek
"Kita semestinya malu pada Tuan Pramana. Bagaimana pun, juragan kita sudah begitu lanjut, tak sepantasnya harus menyanding putri Ningrum. Ah, memang juragan kita keterlaluan."
"Huss... kau jangan ngomong begitu."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Apa kau tidak tahu kalau di sini banyak penjilat?" Ki Rawe-rawe memperingatkan pada temannya. Namun dia sendiri tidak menyadari kalau ucapannya juga mengandung bahaya bila didengar oleh orang-orang yang dikatakannya penjilat.
Kedua orang tua itu kembali diam, melangkah dengan ketidakyakinan di hati mereka. Mata mereka redup, sepertinya memiliki sakwa sangka yang tak enak. Dan manakala jarak mereka telah hampir dekat dengan rumah Pramana, langkah mereka merandek bagaikan tiada tenaga lagi untuk meneruskan.
"Siapa yang akan mendahului?" tanya Ki Rawe-rawe pada semuanya yang seketika saling pandang. Dari sorot mereka jelas sudah tampak bahwa mereka sangat jeri pada Pramana, seorang yang disegani oleh kawan maupun lawan. Seorang pendekar yang tidak sombong.
Melihat semuanya saling terdiam saling pandang, Ki Rawe-rawe kerutkan kening kembali seraya bertanya: "Heh, mengapa kalian terdiam? Apakah kalian telah lupa pada apa yang kalian katakan pada Juragan kalian?"
"Kami tak berani, Ki?"
"Ah, kalian ternyata orang-orang yang di depan dan di belakang lain. Di hadapan juragan, kalian mengatakan ya. Tapi di belakangnya, ternyata kalian tak lebih seekor tikus!"
Ki Rawe-rawe begitu sewot. Memang sebenarnya ia sendiri enggan untuk melakukan pinangan tersebut. Ia memikir apa mungkin seorang gadis cantik dan muda harus bersanding dengan seorang tua. Tak masuk di akal ulah juragannya, sungguh tidak masuk di akal!
Melihat kemarahan Ki Rawe-rawe, seketika semuanya tak ada yang berani membuka mulut. Mereka menyadari bahwa diri mereka memang kurang berani untuk melakukan semua perintah juragannya yang sangat keterlaluan.
"Bagaimana, apakah tak ada seorang pun yang berani?" Ki Rawe-rawe kembali berseru. "Ayo, mengapa kalian pada diam kayak cacingcacing kepanasan?"
"Ki, apa tidak sebaiknya kita pulang lagi?" seseorang mengusulkan. "Kita bilang saja bahwa usaha kita gagal karena pihak si gadis menolak."
"Sontoloyo! Kau tak lebihnya seorang banci! Minggat dari sini!" bentak Ki Rawe-rawe penuh amarah. Bagaimana mungkin ia akan menuruti kemauan orang tersebut, yang dirasakannya sungguh suatu tindakan kafir yang hendak mengadu domba. Orang tersebut seketika diam, tak berani mengulang kata lagi.
"Kalau kalian tidak berani, mengapa kalian harus mengatakannya, ya, ya, ya...! Dasar manusia-manusia tak tahu diri!"
Mereka terus terdiam tak hiraukan caci maki Ki Rawe-rawe. Mereka memang menyadari, bahwa merekalah yang serba salah. Di hadapan juragannya, mereka mengatakan ya berani untuk meminang. Tetapi kini, tak tahunya mereka melempem. Keributan tersebut rupanya didengar oleh Pramana yang segera datang menghampiri. Wajah Pramana mengerut, melihat serombongan orang dengan membawa lengkap apa yang dibutuhkan dalam tunangan mandek pada berdiri di halaman rumahnya.
"Ki Sanak sekalian, ada gerangan apa hingga ki sanak ribut-ribut?" tanya Pramana setelah mengetahui hal yang pasti. "Kalaulah Ki sanak sekalian ingin bertandang ke gubugku, mengapa Ki sanak tak langsung saja?"
Semuanya seketika menundukkan wajah, seakan tak berani untuk menentang pandang dengan seorang yang mereka kenal sebagai pendekar yang disegani. Melihat hal tersebut Pramana sunggingkan senyum, lalu dengan suara ramah kembali berkata:
"Kenapa? Apakah kalian merasa takut padaku? Ah, sungguh aku tak mengerti kalau kalian memang takut padaku. Ketahuilah oleh kalian, aku tak akan pernah menyakiti seorang ataupun seekor pun binatang bila tidak mendahului. Begitu juga halnya dengan kalian, aku tak akan mengusik kalian bila kalian tidak terlebih dahulu mengusik diriku dan keluargaku."
Ucapan Pramana bagaikan sebuah air sejuk yang menyirami kerongkongan mereka saat dahaga. Mata mereka yang redup, seketika kembali bersinar. Ada setitik api menyinari hati mereka, menjadikan mereka makin tahu siapa adanya Pramana. Lama kelamaan, rasa tahu itu menjadikan rasa hormat dan segan di hati mereka.
"Maafkan segala kelakuan kami, Tuan Pramana," menjura hormat Ki Rawe-rawe mewakili segenap rekan-rekannya. "Kami diutus oleh juragan kami untuk..."
Belum juga Ki Rawe-rawe habis katanya, Pramana telah mendahului berkata: "Ah, apakah pantas kita bicara di pekarangan?"
Ki Rawe-rawe tersentak kaget, tak menyangka kalau ia akan mendapatkan sindiran yang halus. Maka dengan suara tergagap karena merasa tersindir, Ki Rawe-rawe kembali berujar: "Ah, maafkan atas kebodohan ku..."
"Tidak apa-apa, Ki. Mari silakan masuk ke rumahku. Rumahku terbuka lebar untuk siapa saja yang memang bermaksud baik. Tapi bila mempunyai tujuan buruk, maka Aki dapat melihat sendiri di sana." Dengan berkata Pramana tunjukkan jari telunjuknya ke tempat sebuah halaman di mana terdapat ratusan muridnya tengah berlatih ilmu silat.
Seketika orang-orang yang melihatnya terbelalak, ada rasa ngeri dan takut melihat hal tersebut. Memang, mereka yang akan berbuat jahat niscaya harus berhadapan dengan murid-murid Pramana yang banyak. Mereka mungkin telah dilatih segala kemampuan berkelahi dan ilmu-ilmu oleh Pramana selaku guru dan sekaligus pimpinannya di Perguruan Manik Astajingga.
Melihat tamu-tamunya merandek, Pramana kembali ulaskan senyum dan berkata: "Tak perlulah kalian takut, sebab aku yakin kalian bermaksud baik-baik. Bukan begitu, Ki?"
"E... be-benar," jawab Ki Rawe-rawe gagap, ia terkejut oleh pertanyaan Pramana yang datangnya secara tiba-tiba. "Memang kami bermaksud baik-baik."
Para tetamu itu kembali melangkah, memasuki halaman rumah Pramana dan terus ke balai-balai. Mereka disambut oleh istri Pramana serta anaknya Ningrum yang ramah tersenyum menyambut kedatangan mereka.
Setelah duduk-duduk dalam ramah tamah sesaat, maka dengan terlebih dahulu mengulum ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering Ki Rawe-rawe berkata menerangkan maksud kedatangannya dengan para temannya. Mulanya Pramana dan keluarganya hanya mendengar, namun setelah mengetahui siapa adanya orang yang menyuruh mereka maka dengan halus Pramana berkata:
"Maaf, Ki. Bukannya kami keberatan. Tapi, segala keputusan yang paling berhak adalah anak kami Ningrum."
"Hamba mengerti, Tuan," jawab Ki Rawe pasrah.
"Nah, bagaimana, Ningrum? Apakah kau menerimanya?"
"Ampun, Ayahanda, Ningrum sangat menyesal tak dapat menerima pinangan Ki Rengkana. Ningrum telah memiliki calon, Ayahanda."
"Nah Ki, itulah keputusan anakku," Pramana kembali berkata, yang segera diangguki oleh Ki Rawe-rawe dan segenap para kadangnya.
"Kalau begitu kami mohon pamit undur."
"Ah, mengapa mesti bergegas, Ki? Sabarlah dulu, bukankah kami belum mengobati kedatangan kalian?" Pramana mencoba mencegah, namun Ki Rawe dengan halus menolaknya. Maka akhirnya dengan pasrah Pramana dan keluarganya pun mengijinkan mereka kembali.
Dengan diiringi tatapan mata keluarga Pramana, mereka melangkah dengan berat meninggalkan rumah Pramana. Kini mereka dalam bimbang, ragu untuk kembali pulang. Betapa mungkin mereka akan menghadapi kemarahan tuannya. Senja telah datang, menepiskan siang yang telah menjalani masa tugasnya. Mereka terus melangkah menuju ke tempat asal, di mana mereka tadi datang. Sang mentari seperti tak memperdulikan mereka, lenyap di balik bumi sebelah Barat.
********************
LIMA
Kegagalan para suruhannya untuk meminang Ningrum memang sudah ada dalam pikirannya. Sebenarnya bukan itu maksud Rengkana sebenarnya. Maksud yang sebenarnya adalah mencari jalan untuk membalas kematian kakaknya si Datuk Raja Karang. Namun untuk terus terang melakukan balasan ia tak berani karena keberadaannya sebagai adik Datuk Raja Karang akan jelas kentara dan diketahui oleh kalayak ramai
Dengan kegagalan para utusannya untuk meminang Ningrum, maka jalan untuk mengadakan pembalasan terbuka sudah. Kini tinggal mencari siapa-siapa orangnya yang mampu melakukan segala apa yang telah direncanakan. Bagi Rengkana, tak berani pada ayah si gadis tak menjadi soal, yang penting ia akan membuat petaka bagi keluarga Pramana.
"Aku akan membuat Pramana malu!" dengusnya berapi-api
Hari itu juga, dicarinya kenalannya yang dianggap mampu melakukan segala apa yang telah terencana. Rengkana dengan menunggang kuda bergegas menuju ke arah Wetan, di mana para sahabatnya yang bergelar Tiga Serangkai Hantu berada. Tempat yang dituju oleh Renggana tak lain desa Kelangitan di mana Tiga Serangkai Hantu tersebut berada.
Desa Kelangitan letaknya tak begitu jauh dari keberadaannya sekarang. Bila ditempuh dengan menunggang kuda, maka akan memerlukan waktu tiga jam. Sedang bila ditempuh dengan jalan kaki, memerlukan waktu setengah hari perjalanan. Kuda yang ditunggangi Rengkana terus melaju, menaiki gunung dan kadang harus menyeberangi sungai. Menerobos hutan serta semak-semak, lalu menjarah persawahan yang masih kering kerontang akibat kemarau yang panjang. Digebasnya kuda tersebut dengan kencang, sepertinya Rengkana tak sabar untuk menemui ketiga teman-temannya.
Ketika ia hampir mendekati tempat di mana Tiga Serangkai Hantu berada, segera Rengkana lambatkan lari kudanya. Matanya memandang lurus-lurus, sepertinya ia ingin menyaksikan apa yang berada di hadapannya. Di depannya kini terhampar hutan bakau, yang sarat dan sempit karena saking penuhnya. Perlahan kuda tunggangannya melangkah, ada perasaan aneh yang seketika bergayut di hatinya. Perasaan aneh itu, makin lama makin besar bersamaan dengan makin mendekatnya kuda yang ditumpangi Rengkana ke hutan bakau.
"Hem, apa yang menjadikan hatiku was-was. Aku harus berhati-hati, sebab tidak mungkin kalau keadaan tenang hatiku harus berdebar seperti ini." Rengkana makin memperlambatkan kudanya melangkah. Dipasangkan pendengarannya dengan tajam, sehingga suara gemeresek sedikit pun akan jelas ia dengar.
Pertama kaki kudanya memasuki hutan bakau, tak ada apa-apa. Makin ke dalam, lalu terus melangkah ke dalam. Ketika kuda yang ditumpangi Rengkana sampai di tengah-tengah hutan bakau, tiba-tiba sebuah tombak hampir saja menyate tubuhnya bila Rengkana tidak segera lompat. Tapi tak urung tombaknyalah yang melesat menghantam kudanya. Sesaat kuda itu meringkik, lalu akhirnya menggeletak mati. Mata Rengkana melotot, marah dan takut beraduk menjadi satu. Dengan agak takut Rengkana segera bangkit, lalu dengan penuh kemarahan ia membentak:
"Siapa adanya engkau, keluarlah!"
"Kau manusia iblis! Kau harus mati di tanganku!"
Rengkana tersentak kaget demi mendengar balasan bentakan suara seseorang yang telah menuduhnya. Dia berusaha mencari orang yang memiliki suara tersebut, namun sepertinya suara itu tiada yang memiliki. Orang yang berkata tak dilihat oleh Rengkana, menjadikan Rengkana seketika bergidig bulu kuduknya. Tengah Rengkana, bingung tak tahu siapa yang telah berkatakata, kembali terdengar suara bentakan.
"Kau manusia iblis! Kau telah dengan licik membunuh pamanku! Kau pura-pura ingin berguru pada paman, lalu setelah kau curi Kitab Serat Kumajang kau bunuh paman! Dasar manusia berhati iblis!"
"Siapa kau! Kalau kau manusia, aku minta keluar dan tunjukkan batang hidungnya agar dengan mudah aku congkel matamu!" bentak Rengkana sewot. Dihunusnya keris pusaka, lalu diacungkan ke arah suara itu. Namun belum juga ia tahu siapa adanya suara tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan...!
"Ini aku...!"
Bersamaan dengan munculnya bayangan tersebut, tiba-tiba Renggana mengerang memapaki orang tersebut. Namun gerakan orang tersebut ternyata lebih cepat dari apa yang ia duga hingga tak ayal hantaman tangan berisi yang dilancarkan oleh orang itu telak menghantam muka Rengkana.
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali suara hantaman itu terdengar, dan tiga kali Rengkana harus mengerang kesakitan. Tubuh Rengkana berguling-guling, menahan sakit yang teramat sangat mendera di wajahnya. Tulang pipinya terasa remuk, terkena tendangan yang keras. Rengkana terus meraung-raung kesakitan, sementara orang yang menyerangnya yang ternyata seorang pemuda berdiri tegak dengan senyum mengawasi tubuh Rengkana.
"Itulah balasanmu, seorang yang tidak memiliki rasa terima kasih! Kau telah ditolong oleh paman, namun balasanmu sungguh menyedihkan bahkan membuat paman akan mengutukmu!"
"Siapa kau, Anak muda?" terdengar suara seseorang lain menanyakan pada pemuda yang berdiri memandangi tubuh Rengkana.
Pemuda itu segera palingkan muka, memandang pada suara yang bertanya. Senyumnya masih mengembang, dan lebih tepat dikatakan sinis. Pemuda itu berjalan santai meninggalkan tubuh Rengkana yang masih mengerang dan menghampiri ketiga orang yang berdiri mengawasinya. "Namaku Tegalaras. Kalian dengar! Nah, karena aku tak ada urusan dengan kalian, maka kalian tak usah banyak kata! Sekarang ganti aku yang bertanya, siapa adanya kalian semua?"
"Kami dijuluki dengan sebutan Serangkai Hantu Dari Kelangitan," menjawab Hantu Kelangitan Kumis Putih, menjadikan pemuda yang berdiri di hadapannya seketika bergelak tawa.
"Apa yang engkau tertawakan, Tegalaras! Aku kira tak ada yang lucu dengan ucapanku!"
Pemuda itu masih gelak tawa. Lalu tanpa hiraukan mereka seketika kembali berkelebat pergi menjadikan mereka Hantu Dari Kelangitan terbingung-bingung dengan tingkah Tegalaras.
"Anak muda sinting. Kasihan, masih muda harus gila!" gumam Hantu Kumis Hitam. Namun tiba-tiba kembali terdengar bentakan si pemuda, menjadikan Serangkai Hantu Kelangitan tersentak kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu mendengar suara gumaman Hantu Kumis Hitam? Padahal jarak mereka sudah begitu jauh, hampir ada seribu tombak. Tapi pemuda itu dapat mendengarnya, bahkan membentaknya pun dari jarak jauh. Sungguh bukan pemuda sembarangan.
"Apa kalian bilang!"
"Heh, dia mendengar gumamanku," Hantu Kumis Hitam mendesah kaget, lalu dengan suara rendah berkata meminta maaf. "Maafkan kami bila kami telah berkata salah."
"Beruntung aku tengah tak ada waktu mengurusi kalian! Kalau saja aku sempat, maka kepala-kepala kalianlah yang akan aku puntungi!" Bergidig juga ketiga Serangkai Hantu Kelangitan mendengar ancaman Tegalaras. Mereka tahu bahwa Tegalaras bukanlah orang sembarangan, terbukti suara gumaman mereka pun sempat didengarnya. Sungguh seorang pemuda berilmu tinggi, sayang keadaannya sungguh memprihatinkan.
Setelah melihat Tegalaras menghilang, segera ketiga Hantu Kelangitan hampiri tubuh prang yang tergeletak. Mata mereka seketika melotot, manakala mengetahui siapa adanya orang tersebut. Orang tersebut tak lain Rengkana, teman mereka sekaligus juragan yang selalu membayar mereka mahal untuk segala kepentingannya.
"Rengkana! Hai, mengapa ia...?" tanya Hantu Kumis Hitam seperti bertanya pada diri sendiri. "Rupanya pemuda itu yang menyerangnya. Sungguh hebat serangan itu sehingga Rengkana yang terkenal dengan pendekar Balang Nipa, mampu dirobohkannya dalam segebrakan saja. Untung pemuda itu tidak kelepasan tangan."
Kedua saudaranya hanya diam, mengangkat tubuh Rengkana dan segera membawanya ke tempat di mana mereka jadikan kediaman. Wajah Rengkana memar, hancur tulang-tulang pipinya. Dari hidung Rengkana meleleh darah, juga dari mulutnya. Mungkin Rengkana mengalami kerusakan pada wajahnya.
Direbahkan tubuh Rengkana di atas sebuah dipan yang sudah bulukan dan reot. Dengan cepat ketiganya berusaha mencari serta meracik obat-obatan yang sekiranya berguna bagi Rengkana. Namun muka Rengkana harus begitu, rusak untuk selama-lamanya. Tulang pipinya keluar, membentuk gambaran wajah yang menyeramkan. Hidungnya hancur, hingga menjadikan koreng dan akhirnya memecah. Hidung itu belong, persis hidung tengkorak!
"Apakah kita tak dapat mengembalikan wajahnya, Kakang?"
"Lucu! Mana mungkin kita dapat?" jawab Hantu Kumis Hitam
"Sungguh kasihan keadaannya," gumam Hantu Kumis Putih.
"Mungkin harus begini akibatnya."
Ketiga Serangkai Hantu Dari Kelangitan hanya terpaku, menatap wajah Rengkana yang burak rantak. Mereka trenyuh melihatnya. Mereka juga bertanya-tanya, ilmu apa yang digunakan oleh Tegalaras hingga mampu membuat wajah Rengkana berantakan?
********************
Rengkana terbaring pingsan selama tiga hari, ditunggui oleh Ketiga Hantu Kelangitan. Ketika hari telah kembali beranjak pagi Rengkana nampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Matanya memandang sekeliling, dilihatnya ketiga Hantu Kelangitan berada di sisinya.
"Di mana aku?" tanyanya dengan suara lemah.
"Kau berada di pondok kami," jawab Hantu Kumis Putih. "Beristirahatlah dulu, agar kau jangan lemah hingga tenagamu pulih kembali."
"Siapakah yang telah menyerangku?"
"Dia adalah anak muda, bernama Tegalaras."
"Tegalaras...?!" Nampak di wajah Rengkana ada rasa kekagetan demi mendengar siapa adanya penyerangnya. "Bukankah Tegalaras telah mati...?"
"Belum, Rengkana. Dia belum mati, bahkan ilmunya kini tinggi sekali," jawab Hantu Kumis Hitam. "Aku yang bergumam lirih saja mampu ia dengar dari jarak yang sangat jauh."
"Ah, dia bukan Tegalaras. Tegalaras telah jatuh kulemparkan ke bawah jurang."
Membeliak mata ketiga Hantu Kelangitan demi mendengar jawaban Rengkana yang menceritakan adanya keberadaan Tegalaras. Mereka seketika bergumam, kaget bercampur rasa tak percaya. "Apa mungkin ia hantunya?!"
"Mungkin," jawab Rengkana lemah.
"Tapi Rengkana?" Hantu Kumis Putih memutus. "Kalau ia hantu, mana mungkin ia membiarkan kau hidup-hidup. Sepertinya ia tak begitu menaruh dendam padamu."
"Mungkin juga," gumam Rengkana. Sesaat Rengkana hela napasnya, tiba-tiba ia merasakan laju napasnya terasa aneh. Napasnya kini besar, tidak seperti sebelumnya. Dalam kekagetannya itu Rengkana seketika memekik bertanya. "Kenapa aku?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit tak ada yang dapat menjawab. Ketiganya hanya diam, tak mengerti harus berkata bagaimana. Hal itu menjadikan Rengkana kembali bertanya seraya bangkit dari tidurnya.
"Kenapa denganku?! Kenapa?! Kenapa kalian hanya diam saja?"
Diguncang-guncangkan tubuh ketiga Hantu Dari Kelangit satu persatu. Namun ketiganya hanya diam, bahkan roman muka mereka seperti sedih. Hal itu menjadikan Rengkana ingin tahu, maka dirabanya muka dengan tangannya. Seketika Rengkana memekik, memekik karena harus menerima keadaan yang sangat menyedihkan. Hidungnya telah growong bagaikan hidung orang mati. Juga pipinya, pipinya menonjol keluar membentuk sebuah gunung yang mengalingi wajahnya. Rengkana seketika menangis, merasakan betapa perih dan sakitnya hal yang ia alami. Kini wajahnya mirip hantu, hantu yang menyeramkan. Tanpa hiraukan ketiga Hantu Kelangit, Rengkana segera berkelebat pergi untuk mencari air. Dan manakala ia memandang pada permukaan air, kembali Rengkana menjerit.
"Tidak...! Mukaku tidak seburuk ini, hu, hu, hu...!"
"Sudahlah, Rengkana. Memang itu yang harus kau terima. Akibat pukulan Tegalaras mukamu kini harus begitu," Hantu Kumis Putih mencoba menghibur.
"Tidak! Aku tak ingin mukaku begini!"
Sebenarnya ketiga Hantu Kelangitan hendak tertawa mendengar ucapan Rengkana yang lucu. Betapa tidak. Mana mungkin muka yang sudah rusak dibetulkan kembali? Apakah harus dipermak? Namun untuk tertawa, mereka sungguh tidak tega. Mereka tahu bagaimana menderitanya diri Rengkana. Kalau mereka yang mengalami, sungguh mereka pun akan mengalami guncangan jiwa seperti Rengkana. Beruntung Tegalaras tak menurunkan tangan jahat pada mereka. Kala menurunkan tangannya, sungguh petaka bagi mereka yang akan mengalami hal serupa dengan apa yang dialami Rengkana.
"Sudahlah, Rengkana. Tak perlu kau sesali apa yang telah terjadi. Sekarang katakan apa maksudmu menemui kami, semoga kami dapat membantumu."
Rengkana yang menangis segera terdiam. Ia kini teringat pada tujuannya semula, meminta tolong pada ketiga Hantu Dari Kelangit untuk melakukan apa yang telah ia kerjakan. Dengan masih terisak oleh tangis, Rengkana akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya yang menjadi tujuannya datang.
Wajah ketiga Hantu dari Kelangitan seketika terbelalak merah, tak menyangka kalau dirinya akan diberi tugas yang membikin degup jantung mereka berdetak. Tanpa pikir panjang lagi ketiga Hantu Dari Kelangit segera menyanggupinya.
********************
Seperti hari biasanya, pagi itu pun Ningrum pergi ke sendang untuk mandi. Dengan berjalan sendiri Ningrum terus melangkah menuju sendang di mana biasanya teman-temannya telah menunggu dirinya. Namun pagi itu sendang nampak sepi, tak ada seorang pun yang datang untuk mandi. Tapi Ningrum tak mau perduli, dilangkahkannya kaki menuju ke sendang.
"Ke mana teman-temanku?" tanya Ningrum dalam hati. Namun ia terus melangkahkan kakinya, tak perduli dengan keadaan sendang yang sunyi senyap.
Tengah ia melangkah kakinya, tiba-tiba dari balik sendang bermunculan tiga orang lelaki menghampiri. Wajah lelaki itu cengengesan, seperti melihat makanan empuk. Lelaki itu melangkah terus menghampiri Ningrum yang terpaku diam.
"Siapakah Ki Sanak sekalian?" tanya Ningrum dengan suara tenang, sepertinya tak ada rasa takut yang menyelinap dalam hatinya.
Sementara ketiga lelaki itu terus menghampiri dengan senyum mengembang tanpa ucapan yang keluar dari mulut mereka. Hal itu menjadikan Ningrum seketika bersiap-siap. Ia sadar bahwa lelaki-lelaki tersebut pastilah akan bermaksud yang tidak baik.
"Rupanya kau seperti ayahmu, Nona?" salah seorang dari ketiganya yang berkumis putih bertanya. "Kau memang pantas untuk berbuat begitu pada orang lain, tapi pada kami Serangkai Hantu Dari Kelangit tak akan mampu."
"Oh, jadi kalian Hantu Kelangitan. Mau apa kalian menghadang langkahku?"
"Hua, ha, ha...! Kau begitu garangnya. Hem, baik! Kami menghadangmu karena kami ingin mencicipi kehangatan tubuhmu."
Betapa gusar dan marahnya Ningrum demi mendengar ucapan yang kurang ajar. Maka dengan bengisnya Ningrum pun membentak: "Bajingan! Jangan kira kalian akan mampu melakukan segala tingkah kalian terhadapku!"
"Hem, begitu?" Hantu Kumis Hitam sunggingkan senyum. "Apakah kau minta bukti, Nona?"
"Bangsat rendah! Pergi kalian!"
"Kami tak akan pergi sebelum dapat merasakan itu mu. He, he, he!"
"Kurang ajar! Hiat!"
Tanpa membuang waktu, Ningrum yang sudah jengkel segera berkelebat menyerang ketiganya. Namun mereka yang diserang malah ganda tertawa, bahkan tangan mereka di samping menangkis sekali-kali mencolek nakal barang milik Ningrum yang rawan. Tak ayal lagi Ningrum seketika mencak-mencak. Tangan mereka memang kurang ajar, asal colek saja, menjadikan dua buah gunung milik Ningrum meregang bangkit bagaikan gunung hendak meletus.
Gerakan-gerakan tangan mereka meremas buah dada Ningrum sungguh mampu membuat Ningrum kalang kabut tak dapat menyadarkan diri. Entah apa yang ada di tangan ketiganya, yang jelas Ningrum merasakan getaran-getaran aneh di hatinya manakala tangan mereka menjamah dan mencolek buah dadanya. Dan manakala tangan mereka kembali mencolek Ningrum hanya mampu mendesah panjang.
"Ooooh..."
"Bagaimana, Nona? Enak bukan?"
Suara Hantu tak berkumis tak didengarnya, kini Ningrum telah terbawa oleh perasaan dan khayalan yang indah setiap kali tangan mereka mencolek buah dadanya. Akhirnya Ningrum pun terkulai lemas, tak mampu pertahankan dirinya yang sudah terserang panas dingin akibat colak-colek tak bertanggung jawab dari ketiga Hantu Kelangit. Tubuh Ningrum akhirnya terkulai, jatuh dengan segenap nafsu yang menggebugebu di hatinya.
Tak dapat lagi Ningrum ingatkan dirinya, yang ada dalam benaknya hanya kepuasan untuk memenuhi segala dahaga yang kini melanda dirinya. Dan manakala satu persatu dari ketiga Hantu Kelangit mengkoyak-koyak kehormatannya, Ningrum hanya sekali menjerit yang akhirnya mengeluh panjang pingsan.
********************
Ningrum tersadar dari pingsannya, lalu seketika itu ia menjerit manakala mendapatkan keadaan dirinya. Pakaiannya mosak masik tak karuan, berhamburan ke sana ke mari. Menyadari keadaan dirinya, dan manakala melihat percikan darah dari miliknya seketika Ningrum menjerit, lalu berlari entah ke mana setelah kembali mengenakan pakaiannya. Hatinya hancur berantakan, seperti puing-puing kehormatannya yang terkoyak-koyak
"Setan! Mereka harus menerima hukumanku! Hu, hu, hu...!"
Ningrum terus berlari dan menangis, meratapi segala apa yang telah terjadi pada dirinya. Karena hatinya gundah, Ningrum tak hiraukan ke mana ia melangkah. Ia begitu malu pada dirinya sendiri. Ia juga dendam pada orang-orang yang telah membuat dirinya harus menanggung beban mental. Namun untuk melakukan balas dendam, sungguh ia tak akan mampu. Dan bagaimana nanti kalau ayah serta ibunya mendengar, atau mengetahui keadaan dirinya? Niscaya kedua orang tuanyalah yang akan mendapat malu.
Pikiran Ningrum kini butek, tak tahu harus bagaimana. Bayangan yang ada dalam hatinya hanya satu, lebih baik mati daripada harus menanggung malu dan aib. Maka manakala dilihatnya jurang menganga, tanpa pikir panjang lagi Ningrum segera lemparkan tubuhnya ke bawah.
Namun segala Kodrat bukan berada di tangan manusia, tapi Tuhanlah yang berwenang. Dikarenakan Tuhan belum menghendaki Ningrum mati, tiba-tiba sesosok bayangan tua berkelebat menangkap tubuh Ningrum yang melayang dan membawanya entah ke mana. Begitulah keadaan Ningrum, yang kini menjadi seorang pendekar wanita, yang mengaku-aku sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong.
********************
ENAM
Pertarungan Ningrum melawan ketiga orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya terus berlanjut. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang sudah tahu siapa adanya Ningrum, kini tak dapat meremehkannya. Ningrum sekarang bukanlah Ningrum yang tiga tahun lalu mereka perdayai dan mereka buat pemuas nafsu, tapi Ningrum sekarang adalah Ningrum yang memiliki ilmu tinggi juga dititisi oleh Nyi Lanjut Ayu atau Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Karena kalian telah tahu siapa adanya diriku, maka kalian harus mati secepatnya. Hiat...!" Ningrum kini makin tampak garang, menyerang dengan serangan-serangan yang sukar untuk diikuti oleh mata ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Awas pukulan maut!" Hantu Kelangit Kumis Putih berseru memperingati pada kedua adiknya manakala sebuah hantaman menyerang ke arah mereka. Secepat kilat kedua adiknya berkelebat, lemparkan tubuh mereka menghindari serangan.
"Bangsat! Kalian rupanya ingin main-main, hiat...!" Ningrum nampak sewot merasa serangannya luput. Kembali ia menyerang, kali ini serangannya begitu cepat.
Dan untuk kedua kalinya ketiga Hantu Dari Kelangit lemparkan tubuh mereka menghindar. Mereka tak mampu untuk membalik menyerang, hanya dapat mengelak itu pun beruntung. Sebab serangan yang dilancarkan Ningrum bukanlah serangan kelas kecoa yang mudah dipapaki atau dihindarkan. Kalau mereka salah menghindar, tak ayal tubuh mereka akan remuk saling bentur.
"Kenapa kau begitu bernafsu hendak membunuh kami yang telah memberikan kepuasan padamu?" Hantu Kumis Hitam mencoba mengalihkan amarah Ningrum dengan berusaha mengingatkan Ningrum pada kejadian tiga tahun lalu.
Namun ternyata Ningrum bahkan makin menggeretak penuh amarah. "Bangsat! Kalian tak akan hidup lebih lama lagi. Terimalah ini. Racun Kelabang Ungu, hiat...!"
Tersentak kaget ketiganya demi mendengar seruan Ningrum menyebutkan nama ajian yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. Namun untuk berpikir lebih jauh mereka tak memiliki waktu, sebab ajian tersebut telah melaju dengan cepatnya mengancam jiwa mereka. Serta merta ketiganya melompat menghindar, namun tak urung salah seorang dari ketiganya yang bernama Hantu Kumis Hitam terhantam pukulan tersebut.
Tanpa ampun lagi, sesaat tubuh Hantu Kumis Hitam menggelepar-gelepar dengan tubuh biru dan akhirnya diam mati. Dari tubuhnya seketika keluar nanah biru, yang disertai oleh tumbuhnya jelentik-jelentik yang merayap ke luar dari tubuh Hantu Kumis Hitam. Sungguh sangat menjijikkan. Jelentik-jelentik itu begitu ganas, menggigiti daging Hantu Kumis Hitam sampai akhirnya membusuk berantakan.
"Iblis laknat! Kau telah membunuh saudaraku, maka kau pun harus mati di tangan kami!" menggeretak penuh kemarahan Hantu Tak berkumis. Tanpa pikir panjang Hantu Tak berkumis segera nekad menyerang Ningrum.
Diserang begitu rupa menjadikan Ningrum tergelak lawa. Maka dengan kembali hantamkan ajian Racun Kelabang Ungu, Ningrum papaki serangan Hantu Tak berkumis. Tak ayal lagi...!
"Hiaat...! Terimalah kematianmu!"
"Crooot!"
"Aaaaahh!"
Sebuah cairan ungu menyerang tubuh Hantu Tanpa Kumis. Seketika tubuh Hantu Tanpa Kumis menggelepar-gelepar, seperti apa yang dialami oleh kakak seperguruannya. Dan seperti Hantu Kumis Hitam, Hantu Tak Berkumis pun akhirnya mati dengan keadaan serupa. Melihat hal itu serta merta Hantu Kumis Putih lari, tinggalkan Ningrum yang masih bergelak tawa. Tapi baru saja ia beranjak, sebuah cairan ungu telah lebih dahulu hentikan langkahnya.
"Aaaaahhh..."
Sesaat Hantu Kumis Putih menjerit, lalu akhirnya seperti keadaan adik-adik seperguruannya ia pun menjadi busuk dengan jentik-jentik keluar dari tubuhnya. Tak berapa lama kemudian tubuhnya hancur dengan daging kerompong habis termakan jentik-jentik tersebut.
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasan dariku bagi orang-orang mata keranjang! Kini aku belum puas, bila aku belum dapat menjadikan diriku sebagai Ratu dunia persilatan. Akan aku bikin dunia ini sebagai ajang cita-citaku. Kakang Datuk Raja Karang, cita-citamu untuk menguasai dunia persilatan akan segera terlaksana. Kini aku dengan menyatu pada tubuh gadis ini akan mampu membuat dunia ini takluk padaku."
Tengah Ningrum tertawa bergelak-gelak, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba telah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut sungguh aneh keadaannya. Walau ia masih muda, namun rambutnya telah ubanan. Dialah Setan Berambut putih!
"Siapa kau!" bentak lelaki muda berpakaian serba merah dan rambut yang sudah putih seluruhnya padahal masih muda pada Ningrum yang segera hentikan tawanya dan menatap pada orang yang bertanya.
"Siapa pula kau adanya, orang aneh?" balik bertanya Ningrum, demi melihat pemuda di hadapannya yang berkeadaan fisik aneh. "Kau masih muda, namun rambutmu sudah memutih semua."
"Ditanya malah balik bertanya," rengut Setan Rambut Putih kerutkan kening. "Aku yang jelek ini bernama Setan Rambut Putih."
"Hi, hi, hi...! Kau mengakui sendiri bahwa kau jelek. Namaku Dewi Lanjut Ayu atau Penguasa Bukit Karang Bolong."
Mengerutkan kening Setan Rambut Putih demi mendengar orang di hadapannya menyebutkan dirinya. Hati Setan Rambut Putih tak percaya. Bagaimana mungkin Dewi Lanjut Ayu yang dikabarkan telah mati kini muncul kembali di dunia persilatan? Rasanya tak masuk di akal. Dan menurut apa yang ia dengar, Dewi Lanjut Ayu memang ayu, tapi tidak seperti gadis di hadapannya. Gadis di hadapannya mempunyai sebuah ciri, yaitu di janggutnya tumbuh tahi lalat yang makin menambah kecantikannya.
"Aku tak percaya kalau kau Dewi Lanjut Ayu. Kalau kau benar Dewi Lanjut Ayu, mana mungkin engkau membunuh orang-orang yang masih segolongan dengan dirimu?"
"Yang engkau maksud Tiga Hantu Dari Kelangit?" balik bertanya Ningrum, yang diangguki oleh Setan Rambut Putih. Ningrum seketika cekikikkan. "Memang ia adalah segolongan dengan suamiku, tapi mereka memang harus dibunuh!"
"Mengapa kau membunuh mereka?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Karena mereka adalah musuh-musuhku," jawab Setan Berambut Putih penuh selidik.
"Hi, hi, hi... kau marah kalau musuhmu aku bunuh?"
"Bukan begitu. Mereka telah membuat aku harus mengalami keadaan begini. Rambutku memutih, itu karena ulah mereka. Maka itu aku sebenarnya ingin membalas pada ketiganya, tapi ternyata kau telah mendahuluiku," Setan Rambut Putih menceritakan apa yang menjadi sebab dirinya harus berurusan dengan Serangkai Hantu Dari Kelangitan.
Sementara Ningrum hanya tersenyum-senyum saja mendengar, dengan sekalikali cekikikkan bagai melihat kelucuan. "Setan Rambut Putih, maukah engkau bergabung denganku?"
"Bergabung denganmu? Untuk apa?" Setan Rambut Putih bertanya, nadanya tak yakin bila Ningrum memiliki ilmu yang cukup diandalkan.
Memang Ningrum mampu mengalahkan Serangkai Hantu Dari Kelangit, tapi belum tentu Ningrum akan mampu menghadapi dirinya, begitulah apa yang tersirat di hati Setan Rambut Putih.
"Kalau kau memang berilmu tinggi, aku baru mau bergabung denganmu."
"Hem, rupanya kau belum yakin! Percuma aku dijuluki Penguasa Bukit Karang Bolong bila tak memiliki ilmu yang dapat diandalkan! Kau mau mencobanya...?"
"Tentu! Aku tak mau kalau sekutuku hanya orang yang berilmu picisan macam ilmu kecoak!" Setan Rambut Putih senyumkan bibir, sepertinya di balik senyum itu tergambar kesombongan. Ya, ia merasa bahwa ilmunya saat ini belum ada yang menandingi. Setan Rambut Putih belum tahu bahwa sebenarnya saat itu ada seorang pendekar seusianya yang ilmunya jauh lebih tinggi satu atau dua tingkat dibandingkan dengan yang ia miliki Pendekar muda tersebut tak lain Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan para pendekar di tanah Jawa sebelah Barat.
"Berapa jurus yang engkau mau, Setan Ubanan?"
"Sepuluh jurus! Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu menjatuhkan diriku, maka aku tak akan mau menjadi sekutumu," jawab Setan Rambut Putih dengan sombongnya. Ia merasa bahwa Ningrum tak akan mampu menghadapinya, apalagi dalam waktu sepuluh jurus. Setan Rambut Putih tidak ingat bahwa di atas segalanya masih ada yang lebih berkuasa yaitu nasib yang telah ditentukan oleh Yang Maha Wenang. Ia juga tak tahu kalau dengan penyatuan Ningrum dengan Dewi Lanjut Ayu akan menghasilkan sebuah kekuatan yang dahsyat.
"Tak terlalu selama itu, Setan Ubanan?"
Terbelalak mata Setan Rambut Putih demi mendengar pertanyaan Ningrum yang dirasa sombong. Seketika hatinya membatin, "Sombong! Ia mengira aku seperti tiga orang yang telah menjadi bangkai itu. Hem, akan aku coba jajaki ilmunya."
"Baik, dalam lima jurus!"
"Hi, hi, hi.....! Bagus! Kau sudah siap, Setan Ubanan?"
"Pertanyaan itu seharusnya aku yang bertanya. Tapi tak apalah. Siapapun yang bertanya tak menjadi soal, yang jelas mari kita buktikan siapa yang kuat. Bila ternyata dalam lima jurus. aku kalah, maka aku akan menjadi sekutumu. Tapi bila kau yang kalah, maka kau harus mau menjadi istriku."
"Hi, hi, hi...!" Ningrum cekikikan. "Sama saja! Menang ataupun kalah, kita akan menjadi satu juga. Aku pun mencintaimu."
Senyum Setan Rambut Putih seketika mengembang demi mendengar penuturan Ningrum. Hatinya berbunga-bunga, berdetak kencang laksana didera oleh letupan-letupan kecil yang mengajak matanya untuk melekatkan pandangannya ke wajah Ningrum. Sama halnya dengan, Setan Rambut Putih. Ningrum pun yang mengetahui bahwa hatinya juga telah terkait oleh si Setan memanahkan matanya memandang tanpa kedip ke arah Setan Rambut Putih.
"Hai, apakah kita akan seterusnya saling pandang?" tiba-tiba Setan Rambut Putih bertanya, menjadikan Ningrum tersipu-sipu. "Ayolah. Walaupun kita sehati, namun perjanjian kita harus kita laksanakan."
"Hi, hi, hi...! Baiklah! Memang hal itu sangat perlu bagi kita untuk menentukan keberadaan ilmu kita, mari kita main-main!"
Kedua muda mudi yang sudah terpaut hatinya lewat pandangan mata itu pun akhirnya berkelebat saling serang. Mereka tak ingin mendapatkan kekasihnya berilmu di bawahnya, dengan kata lain mereka ingin menunjukkan keberadaan mereka di dunia persilatan. Walau mereka mengatakannya hanya main-main, namun jurusjurus yang mereka keluarkan sungguh jurusjurus benar-benar. Apalagi mereka kini nampak mengeluarkan jurus-jurus simpanan mereka. Tubuh mereka seketika raib bersamaan dengan gerakan mereka yang begitu cepat.
"Awas, Setan Rambut Putih! Terimalah serangan!" pekik Ningrum berusaha memperingatkan kepada orang yang telah mampu menggurat hatinya.
"Kau pun hati-hatilah, Dewi!"
Keduanya seketika melayang bagaikan terbang, dan...!
"Sett... Duar...!"
Dua tangan yang menyalurkan tenaga dalam bertemu, mengadu kekuatan yang dimilikinya. Ledakan dahsyat seketika menggema, lalu diikuti oleh melayangnya dua tubuh tertolak ke belakang. Tapi bagaikan enteng saja tubuh mereka kembali tegak berdiri. Keduanya saling lemparkan senyum dan kemudian gelak tawa pun mendera dari mulut keduanya.
"Kau hebat, Dewi!"
"Kau juga, Setan Ubanan!"
Keduanya saling sanjung tentang ilmu yang mereka miliki, lalu dengan penuh kemesraan keduanya saling memeluk. Keduanya kemudian berjalan bareng, tinggalkan tempat itu entah ke mana.
********************
TUJUH
Dengan menyatunya Setan Berambut Putih dengan Ningrum yang telah dititisi Dewi Lanjut Ayu, maka makin kokohlah keadaan Bukit Karang Bolong! Bukit angker tersebut makin bertambah angker saja untuk dijejakan kaki manusia. Banyak korban berjatuhan, mereka pada umumnya adalah orang-orang yang hendak melakukan pencarian sebuah kitab dan senjata yang sempat menggegerkan dunia persilatan setengah abad yang lalu. Kitab dan senjata pedang tersebut adalah kitab Pedang Pencabut Nyawa dan Pedang Mata Malaikat.
Kebesaran nama Dewi Lanjut Ayu dan Setan Berambut Putih seketika membumbung tinggi bagi para tokoh golongan sesat. Sepak terjang mereka sungguh membuat para tokoh golongan sesat merasa lapang dada karena merasa ada yang memihak. Namun sebaliknya dengan para tokoh golongan lurus dan rakyat, mereka seketika bagaikan dicekam oleh bayang-bayang maut yang setiap saat siap mencekik mereka.
Sepak terjang kedua muda mudi yang menamakan dirinya Sejoli Raja dan Ratu Penguasa Bukit Karang Bolong, tak luput dari pendengaran Pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Jaka merasa prihatin dengan keadaan dunia persilatan di wilayah Timur yang sudah menghadapi ambang kehancuran bagi para pendekar aliran lurus, sebab nampaknya dengan munculnya dua muda mudi yang telah mengikat diri menjadi satu.
"Sungguh tak dapat dibiarkan hal ini berlarut-larut," Jaka menggumam sendiri sambil berjalan menyusuri jalanan setapak di kaki gunung Kencana. "Kalau tidak dihentikan, wah apa yang akan terjadi di dunia persilatan khususnya di wilayah Wetan."
Jaka terus melangkahkan kakinya, dengan sekali-kali bersiul untuk menghibur diri. Manakala dia tengah berjalan dengan santai, tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki kuda yang berjumlah banyak. Sesaat Jaka kerutkan kening, lalu dengan sekali lebat ia pun menghilang di balik semak-semak.
"Tampaknya ada beberapa orang penunggang kuda menuju ke arah sini," gumam Jaka yang telah bersembunyi di balik rerumputan yang tinggi. Matanya mengintip dari balik cela-cela rumput, memandang tak berkedip ke arah datangnya suara tersebut. Tiba-tiba Jaka seketika dikagetkan oleh desisan dan koakan suara ular dan burung yang tengah bertarung di dekatnya.
"Setan! Mana bisa aku tenang bila harus menghadapi kalian yang ribut!" gerutu Jaka sewot pada kedua binatang yang tengah bertarung itu.
Tapi binatang-binatang tersebut mana mau tahu kemarahan Jaka yang merasa terusik sembunyi. Keduanya terus bertarung, makin lama makin seru, menjadikan Jaka akhirnya tertarik juga. Maka tanpa hiraukan lagi pada derap kaki kuda yang makin seru kedengarannya Jaka asyik menonton pertarungan dua hewan tersebut. Burung Elang itu sesaat menukik, lalu menyambar dan mematuk kepala ular Sanca. Ular Sanca itu pun tak mau mengalah begitu saja ia egoskan kepalanya menghindar lalu lemparkan ekor menghantam ke arah burung Elang. Melihat hal itu Jaka seketika bergumam sendiri, dan bagaikan orang gila mengikuti gerakan-gerakan yang diperlihatkan oleh dua hewan yang tengah bertarung.
"Hebat! Ayo Elang, serang lagi!" serunya bagaikan anak kecil mendapatkan permainan. "Hei Sanca, kenapa kau tidak membalas!"
Bila burung Elang itu mengepakkan sayapnya, segera Jaka pun membuka tangannya meniru. Lalu setelah burung Elang itu menukik dan menggerakkan kakinya seperti hendak mencakar Jaka pun segera mengangkat kakinya sebuah dan ditendangkan kakinya. Sungguh dahsyat hasil yang diperoleh, ternyata tendangan kakinya jauh melebihi apa yang dibayangkan. Ketika kaki kanan Jaka menirukan gerakan kaki burung Elang, terdengar ledakan dahsyat manakala angin tendangan kakinya menghantam pepohonan. Tak ayal lagi, pohon yang terkena ambruk dengan batang berantakan. Jaka segera melompat manakala pohon tersebut tumbang hendak menjatuhi dirinya.
"Pohon sialan! Hampir saja menjatuhi aku!" Jaka segera melompat maju lagi melihat perkelahian dua binatang yang nampaknya acuh pada kedatangannya.
Kini Sanca itu yang menyerang, dan Jaka pun kini mengikuti gerakan-gerakan ular Sanca dalam menghindar dan menyerang. "Oh, hebat! Ayo kawan, serang si Elang!" sambil berteriak-teriak Jaka terus mengikuti gerakan-gerakan sang Ular. Tangannya membentuk kepala, mulutnya mendesis bersamaan dengan gerakan tangannya mematuk-matuk.
"Oh, inikah gerakan Sanca Mematuk Elang. Dan tadi adalah jurus Elang menyambar Sanca. Hem, sungguh jurus-jurus dahsyat!" gumam Jaka lirih.
Kembali Jaka mengulang dan mengulang apa yang telah ia lihat dan pelajari dari kedua hewan tersebut. Makin lama gerakan-gerakan Jaka makin kencang, sehingga sukar untuk diikuti oleh mata. Jaka tak mengetahui bahwa gerakan-gerakannya yang meniru gerakan kedua binatang tersebut kini dalam pengawasan sepuluh pasang mata yang bertengger di atas kuda mereka masing-masing. Jaka tersentak kaget manakala terdengar seruan seseorang dari kesepuluh orang di atas kuda.
"Ki Sanak! Tengah apakah engkau di situ?"
Jaka segera hentikan gerakannya, lalu diputar tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara tersebut. Dilihatnya wajah kesepuluh orang bengis, sepertinya mereka bukan orang baik-baik. Jaka yang tingkahnya dilihat oleh mereka seketika garuk-garuk kepala, yang merupakan ciri khasnya bila merasa malu. Melihat Jaka masih cengar cengir tak menjawab, kembali orang yang berada di depan di antara kesepuluh orang tersebut berkata.
"Ki Sanak, apakah engkau tuli?"
"Aku tuli...?" Jaka mengulang bertanya. "Ah, aku rasa aku tak tuli. Mungkin kalianlah yang congean!"
"Bangsat! Ditanya baik-baik malah menjawab yang bukan-bukan! Dasar anak muda edan!"
"Apa...? Kalian edan!?" seru Jaka konyol. "Pantas! Pantas kalau wajah-wajah kalian kaya orang edan, eh tak tahunya memang edan beneran!"
"Kunyuk! Ke sini kau, Anak Edan!"
Tanpa banyak pikir lagi Jaka segera melompati semak-semak dan berdiri menghampiri mereka. Mereka seketika tersentak, manakala secara cepat Jaka melompat dan tahu-tahu telah berdiri tak jauh dan mereka, padahal jarak yang tadi ditempuh oleh Jaka cukup jauh ada kira-kira dua puluh tombak. Jaka cengengesan bagaikan orang tolol, lalu dengan masih senyum-senyum Jaka pun berkata:
"Kau bilang aku edan! Wah, kau salah besar! Aku tidak edan, cuma Ndableg. Ha, ha, ha!"
Tawa Jaka seketika melengking, menjadikan kesepuluh orang penunggang kuda itu tersentak. Kuda-kuda mereka seketika meringkik ketakutan bagaikan mendengar suara setan. Kudakuda itu akhirnya serabutan lari, meninggalkan tuannya yang jatuh terjengkang dengan pantat terasa sakit membentur tanah.
Kembali Jaka gandakan tawa melihat kesepuluh orang itu meringis menahan sakit yang mendera pantatnya akibat jatuh dari kuda-kuda yang mereka tunggangi, yang entah ke mana larinya karena ketakutan mendengar suara tawa Jaka.
"Diam! Tidak lucu!" bentak seorang dari mereka yang tadi telah menanya Jaka.
Dengan agak pura-pura merengut Jaka pun menurut diam. "Kenapa kalian marah-marah? Apakah aku berdosa bila tertawa? Bukankah tertawa itu bebas?" tanya Jaka konyol. "Kalau kalian melarang aku tertawa, pantas kalian nampak tua."
Betapa gusarnya kesepuluh orang tersebut demi mendengar celotehan Jaka yang bagaikan orang tolol. Mata mereka melotot marah, gigi-gigi mereka saling beradu menggeretuk menahan kekesalan. "Anak edan! Siapa kau sebenarnya? Jangan kau mati tak bernama akibat ulahmu berani menghina anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong!"
Mendengar nama Penguasa Bukit Karang Bolong disebut-sebut, Jaka seketika gandakan tawa bukannya takut seperti orang-orang lainnya. Hal itu menjadikan kesepuluh orang anggota Penguasa Bukit Karang Bolong terbelalak kaget seraya kerutkan kening heran.
"Pantas, pantas! Ternyata wajah-wajah kalian semuanya persis dengan monyet! Ternyata kalian anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong! Apa kabar dengan pimpinan kalian?" ucapan Jaka sepertinya mengandung persahabatan, menjadikan kesepuluh anggota Penguasa Bukit Karang Bolong makin tidak mengerti. Kesepuluh orang tersebut menatap lekat-lekat pada Jaka dengan segala tanda tanya di hati mereka seraya bangkit berdiri.
"Nadamu sungguh bersahabat. Siapakah engkau adanya?" tanya ketua rombongan itu kini dengan suara melembut
"Aku..? Aku sahabat pimpinan kalian! Sampaikan salamku untuk kedua pimpinan kalian bila kalian kelak bertemu. Katakan pada keduanya bahwa aku Si Penjelajah Jagad mengucapkan selamat dan menyampaikan salam. Katakan pula, bahwa mereka diharap sabar menunggu kedatanganku," Jaka berkata berbohong, namun kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong seperti percaya saja. "Nah, sekarang juga kalian minggat dari sini dan kembali temui kedua pimpinan kalian!"
"Tidak bisa begitu, Ki Sanak. Kami saat ini tengah mengemban tugas dari pimpinan kami."
"Tugas...? Tugas apa?" tanya Jaka ingin tahu. Sesaat kesepuluh orang tersebut saling pandang, sepertinya mereka hendak mencari kesepakatan bagaimana sebaiknya. Setelah kesepuluh orang tersebut berbuat begitu, salah seorang yang orang-orang tadi juga berkata:
"Kami diutus untuk mencari orang yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Tersentak Jaka demi mendengar namanya disebut-sebut. Namun segera ia berusaha menyembunyikan kekagetannya, lalu dengan pura-pura tak tahu siapa adanya dirinya Jaka pun kembali bertanya pada mereka: "Ada keperluan apa kalian mencari Pendekar yang sudah kesohor itu? Bukankah kalian akan mengalami kebinasaan apabila menghadapi pendekar yang suka usilan dan ingin menegakkan kebenaran serta keadilan di dunia ini?"
"Kami diutus untuk menyampaikan surat undangan," jawab orang tadi. "Apakah Ki Sanak tahu di mana pendekar tersebut berada?"
Jaka kembali terdiam mikir, "Bagaimana akalku. Hem, bagaimana kalau aku minta saja surat tersebut dan pura-pura hendak menyampaikannya pada orang yang mereka maksud? Beruntung mereka tidak mengenali siapa adanya diriku."
"Baiklah, Ki Sanak. Aku akan membantu kalian untuk menyampaikan surat tersebut pada Pendekar Pedang siluman Darah. Nah, serahkanlah surat itu padaku dan segeralah kembali ke Bukit Karang Bolong. Jangan lupa, sampaikan salam dariku, Si Penjelajah Jagad."
Mendengar ucapan Jaka, nampak keraguan menyelimuti wajah kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong yang kembali menatap lekat-lekat ke wajah Jaka. Mata mereka yang garang, sepertinya ingin mengorek siapa sebenarnya orang yang mengaku Si Penjelajah Jagad. Seorang pendekar aneh, walau pun masih muda tapi berilmu tinggi dengan segala tingkah polahnya yang bagaikan orang tolol. Mereka memang tidak mengerti siapa adanya orang yang tengah berdiri di hadapannya, orang yang sebenarnya tengah mereka cari,
"Bagaimana? Apakah kalian masih kurang percaya?" tanya Jaka manakala melihat kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong masih diam memikir. "Kalau kalian tak percaya, ya sudah. Aku tak memaksa, dan silahkan kalian cari sendiri adanya pendekar muda tersebut. Jangankan kalian dapat memberikan surat tersebut, untuk hidup pun kalian tak mampu apabila pendekar tersebut telah mengetahui siapa adanya kalian. Tapi jika aku... pasti pendekar tersebut tak akan berani. Ha, ha, ha...! Kalian tahu sendiri kehebatan suara tawaku bukan? Inilah suara tawa Iblis Marakayangan pesta!"
Mendengar keterangan Jaka yang ngibul, mereka seketika agak takut juga. Kalau memang benar pendekar muda tersebut berbuat demikian, sungguh mereka tak akan ada artinya. Rasa takut akan apa yang dikatakan Jaka, menjadikan kesepuluh orang tersebut akhirnya mau menyerahkan surat tersebut.
"Baiklah, baiklah! Aku pun merasakan demikian. Kabarnya memang pendekar muda itu tak kenal kompromi dengan orang-orang aliran sesat. Kami jadi ngeri sendiri. Untuk itu, kami dengan amat sangat agar Ki Sanak Penjelajah Jagat sudi menyampaikan surat ini pada Jaka Ndableg."
Disodorkan surat yang ditulis di atas kain pada Jaka yang menerimanya dengan senyum-senyum "Kena juga mereka aku akali. Hem, dengan begini aku tak akan mudah dikenali oleh orang-orang yang memang mencari-cari diriku. Dasar orang-orang songong, mereka tak mengenali siapa adanya diriku. He, he, he...!" gumam hati Jaka penuh ketenangan, sebab merasa dirinya belum dikenali oleh orang-orang persilatan wilayah Wetan.
"Kami minta tolong pada Ki Sanak," kembali pimpinan kesepuluh orang utusan Penguasa Bukit Karang Bolong berkata, yang hanya diangguki oleh Jaka. Setelah kesemuanya menjura, segera kesepuluh orang tersebut berkelebat meninggalkan Jaka yang hanya tersenyum-senyum sembari geleng-gelengkan kepala seraya tak hentihentinya bergumam:
"Hem, dasar orang-orang bodoh. Mana mau sih orang belum kenal diperintah? Oh, coba aku lihat apa isi surat yang untukku."
Perlahan-lahan Jaka membuka gulungan kain yang diserahkan orang-orang Bukit Karang Bolong padanya, lalu dengan perlahan pula dibacanya isi surat tersebut.
"Hem, mereka mengira aku tak tahu siapa-siapa adanya mereka sehingga mereka hendak mengelabui diriku. Tapi apa sih maunya? Ah, biarlah aku turuti saja apa kemauan mereka mengundang para tokoh persilatan serta menawarkan padaku sebagai sahabat. Huh, enak, saja mengajak aku sebagai sahabat.... Sahabat memang untuk dicari, tapi bila keadaan mereka begitu... sungguh bukan bersahabat lagi."
Jaka seketika kembali tercenung, memikirkan jalan apa yang harus ia tempuh untuk menyelesaikan keberadaan mereka sebagai Raja dan Ratu. "Aku harus bertindak! Kalau tidak, maka kehancuran akan dialami oleh para pendekar!"
Setelah berkata begitu dan membuang gulungan kain yang sudah dibacanya, segera Jaka pun berkelebat pergi tinggalkan tempat tersebut lari menuju arah yang tadi ditempuh oleh orangorang Karang Bolong.
********************
DELAPAN
"Kakang Rakini, apakah engkau tak dapat mengajar muridmu untuk mengerti bahwa yang ia bunuh adalah murid-muridku?" Darga Buana nampak sedikit marah. Betapapun ia telah tertantang oleh Penguasa Bukit Karang Bolong yang tidak lain murid kakak seperguruannya, yang telah berani membunuh ketiga muridnya.
Namun Nenek Ratu Kelabang tak mau mengalah begitu saja, demi dirinya dijadikan beban kesalahan juga muridnya Ningrum. Ia tahu mengapa Ningrum mendendam pada murid kemenakannya, tak lain karena ketiga murid kemenakannya telah berbuat yang membuat muridnya menderita lahir dan batin, terkoyak-koyak keperawanannya yang direnggut oleh ketiga murid kemenakannya. "Kau tak berhak salahkan muridku! Murid-muridmulah yang salah dalam hal ini, Darga!" rungut si nenek membela muridnya.
"Kesalahan apa yang telah murid-muridku lakukan?"
"Huh, makanya jangan asal tuduh saja. Murid-muridmu telah membuat muridku menderita lahir dan batin. Murid-muridmu telah memperkosa muridku!"
"Dusta!" sentak Darga tak mau percaya.
Si nenek cibirkan bibirnya yang telah keriput, mengejek adik seperguruannya yang masih keras kepala. "Kapan aku berdusta, Darga?!"
"Tak mungkin murid-muridku melakukan hal itu!" Darga masih saja tak mau percaya, membuat si Nenek Kelabang sunggingkan senyumnya yang telah layu oleh usia
"Di depanmu mungkin mereka alim, tapi di luaran... siapa yang tahu kelakuan mereka? Apakah kau selalu mengawasi mereka, Darga?" tanya si nenek yang kemudian dijawab olehnya sendiri. "Kau tidak tahu perbuatan murid-muridmu di luaran bukan? Kalau saja Pramana mendengar tentang perbuatan murid-muridmu, sudah pasti kau akan terkena hukuman darinya. Jangan-jangan Pedang Sukma Layung akan membelah tubuhmu jadi dua. Beruntung muridku tidak menceritakan aib yang ia alami pada ayahnya."
"Aku tak takut pada Pramana!"
"Hem, kau terlalu sombong! Kau tidak memikir siapa adanya Pramana. Mungkin dengan Pramana kau tak takut, tapi tidakkah engkau dengar seorang tokoh persilatan pembela kebenaran yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah?! Kalau pendekar tersebut mencium siapa adanya dirimu, niscaya engkau pun tak akan luput darinya."
Nenek Ratu Kelabang terus berusaha menyadarkan adik seperguruannya agar mau mengerti, tapi rupanya angkara murka telah melalap hati Darga hingga Darga pun tak hiraukan segala ucapan kakak gurunya.
"Kakang Rakini, mulai sekarang kita bukanlah saudara lagi, tapi kita adalah musuh. Karena kita musuh, maka aku akan menuntut balas kematian murid-muridku padamu!"
"Padaku...?" Nenek Ratu Kelabang mengulang tanya sepertinya tak percaya pada apa yang didengarnya. "Kenapa mesti padaku? Apakah aku yang telah membunuh murid-muridmu?"
"Memang bukan engkau, tapi muridmu."
"Kalau memang bukan aku, mengapa engkau limpahkan padaku? Kalau kau berani dan bukan seorang pengecut, hadapilah muridku di Karang Bolong sana. Bukankah sebentar lagi kau akan ke Karang Bolong?"
Mendengar ucapan Ratu Kelabang, maka mendenguslah Darga marah. Ia memang masih berpikir akan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Penguasa Bukit Karang Bolong, apalagi kini Ningrum bukan seorang, tapi berpasangan dengan Setan Berambut Putih. Menghadapi Ningrum saja ia belum tentu menang, apalagi harus menghadapi Setan Berambut Putih segala. Maka sebagai pelampiasan ketidaktenangan hatinya, Darga curahkan kemarahannya pada Ratu Kelabang yang dituduhnya tak bisa menjadi guru yang baik.
"Tapi engkaukan gurunya, bukan?"
"Memang aku gurunya," jawab Nenek Ratu Kelabang tenang. "Kalau aku gurunya, kau akan mencurahkan segalanya padaku, begitu?"
"Ya!"
"Picik! Kau telah picik, Darga!"
"Terserah apa katamu!" rentak Darga marah.
"Baik! Kalau itu yang engkau mau, apa yang hendak engkau lakukan padaku, Darga!"
Sesaat Darga memandang lekat ke arah kakak seperguruannya yang masih nampak tenang. Hatinya gundah, tak percaya akan apa yang dihadapi. Ia tahu siapa adanya Nyi Rakini atau Ratu Kelabang, murid yang paling dimanja oleh guru mereka dan mendapat seluruh ilmu yang dimiliki gurunya. Dari dulu memang Darga selalu membuat gara-gara, namun Rakini berusaha mengalah karena ia merasa lebih tua. Tapi kini mungkin tak akan dapat dicegah bahwa perang saudara seperguruan akan benar-benar terjadi. Darga mendengus keras, matanya tajam menghunjam bagaikan sebilah pedang yang hendak menusuk hati Rakini dan mencabut nyawanya.
"Maaf, aku terlebih dahulu meminta maaf padamu, Kakang."
"Tak usah, Darga. Nah, lakukan apa yang menjadi kehendakmu!"
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, Darga segera berkelebat menyerang Nenek Ratu Kelabang. Darga berbuat begitu karena Nenek Ratu Kelabang adalah kakak seperguruannya yang masih harus ia hormati. Pekikkannya begitu membahana, hampir menyerupai lengkingan yang menyayat.
Melihat Darga telah berkelebat menyerang, segera Nenek Ratu Kelabang pun tak tinggal diam, ia pun segera berkelebat memapakinya. Dua saudara seperguruan itu akhirnya bertempur hanya demi membela murid-muridnya. Namun meski begitu, nampak Nenek Ratu Kelabang tidak bertarung sungguh-sungguh menghadapi Darga. Si Nenek rupanya masih mempunyai rasa kasih pada adik seperguruannya hingga ia tak tega untuk menurunkan tangan jahatnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, sepertinya kedua saudara seperguruan yang telah tua renta itu tak ada yang mau mengalah dan mengakui kesalahannya. Keduanya terus mengumbar jurus-jurus yang hampir sama, sebab keduanya merupakan satu guru, sehingga ilmu yang mereka miliki berasal dari satu sumber. Tengah mereka bertarung, tiba-tiba terdengar suara membentak bersamaan dengan berkelebatnya sesosok tubuh ramping.
"Hentikan!"
"Siapa kau!?" balas Darga membentak.
Tubuh ramping yang rupanya milik seorang wanita tidak segera menjawab pertanyaan Darga, tapi malah dengan tenangnya menghampiri Nenek Ratu Kelabang sembari sujud. "Guru, siapa adanya dia?" tanya gadis bercadar hitam tersebut pada Nenek Ratu Kelabang setelah menyembah. "Mengapa guru harus bertarung dengannya?"
"Dia adik seperguruanku, Ningrum," jawab Nenek Ratu Kelabang tenang. Suaranya datar, dingin bagaikan tak mempunyai gairah. "Dia hendak membalas dendam atas kematian murid-muridnya yang telah engkau bunuh."
Mendengar uraian gurunya, seketika Ningrum palingkan wajah memandang pada Darga yang kini tampak berdiri mematung di tempatnya dengan muka menunduk. Darga telah tahu siapa adanya Penguasa Bukit Karang Bolong. Berbeda dengan gurunya, Penguasa Bukit Karang Bolong entah dari mana tahu-tahu telah memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Paman Darga, terimalah salam hormatku,"
Ningrum menjura hormat, menjadikan Darga terbengong-bengong tak mengerti. Ia yang menyangka kalau Ningrum akan balas menyerang ternyata dugaannya meleset. Darga tidak mengerti apa yang dilakukan oleh murid kemenakannya manakala ia berbuat begitu. Tiba-tiba...!
Darga tersentak dari ketidakmengertiannya, manakala selarik sinar ungu membersit dari tangan Ningrum. Maka keluarlah caci maki dari mulut Darga yang sudah jengkel dan marah pada Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Anak sundel! Memang sifatmu sudah tak dapat dimaafkan. Aku Darga akan membunuhmu!" rungut Darga marah. "Lebih baik aku mati daripada harus mengakui kekalahan padamu, Anak terkutuk!"
Darga yang telah benar-benar marah segera berkelebat menyerang Ningrum dan gurunya. Namun serangan Darga sepertinya tiada arti bagi Ningrum yang telah bersekutu dengan Dewi Lanjut Ayu, Penguasa Bukit Karang Bolong. Serangan-serangan Darga hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan tubuh Dargalah yang menjadi bulan-bulanan permainan Ningrum.
Manakala kaki Ningrum menendang, maka memekiklah Darga dengan tulang iga patah. Dan manakala tangan Ningrum menghantam, tak ayal lagi muka Darga seketika menjadi bubur buruk. Darah keluar dari hidung, telinga, mulut dan mata, menjadikan Darga tak mampu lagi untuk bangkit. Darga hanya dapat mengerang serta menyumpah serapah segala apa yang telah dilakukan Ningrum.
"Sumpah serapahmu tiada arti, Darga!" gertak Ningrum sengit.
"Bangsat rendah! Bunuhlah aku, bunuh!"
"Memang aku hendak membunuhmu, tapi aku ingin melihat dulu sampai di mana ketabahanmu menghadapi maut dengan siksaan seperti itu,"
Ningrum sekarang bukanlah Ningrum didikan Pramana ayahnya, tapi Ningrum didikan dan pengaruh Iblis hingga ia tak mengenal adanya rasa kasihan pada orang yang dianggapnya musuh walau ia tahu bahwa Darga adalah paman gurunya.
"Orang-orang sadis! Ternyata para wanita sekarang sudah berubah menjadi para jagal yang sadis!" membersit sebuah suara, manakala Ningrum yang tengah menyiksa Darga hendak mengakhiri kehidupan Darga.
Bersamaan dengan habisnya suara itu, sesosok tubuh padat berisi berkelebat dan meraup tubuh Darga yang terkulai. Sesaat pemuda itu sunggingkan senyum pada Ningrum, lalu dengan suara membersit pemuda itu kembali berkata: "Apakah kalian tak pernah mengenai belas kasihan pada orang yang telah sudah tak berdaya? Walaupun orang ini adalah musuh kalian, tak pantas kalian menyiksanya begini rupa!"
"Anak muda, siapa kau adanya? Mengapa kau ikut campur dalam urusanku?" Ningrum bertanya seraya masih sunggingkan senyum yang diarahkan pada pemuda tersebut. "Kau tampan, maka aku tak menyakitimu. Nah, siapa adanya dirimu, Anak muda?"
Jaka Ndableg garukkan tangan kiri ke kepala, sunggingkan senyum aneh dan kemudian ia pun berkata setelah memandang orang dalam bopongannya. "Aku...? Aku siapa?"
Hampir saja Ningrum dan gurunya mengekeh tertawa melihat kelucuan Jaka, namun hal itu tak dilakukannya karena mereka masih melihat gelagat yang tidak enak pada diri Jaka. Walaupun Jaka seperti orang tolol, namun gerak-geriknya seperti orang yang berilmu tinggi.
"Ya, engkau?" Ningrum meyakinkannya.
"Aku... ya akulah!"
"Lucu tingkahmu, Anak tampan. Masakan kau tak mengetahui siapa adanya dirimu?" kembali Ningrum berkata, kali ini matanya mengedip genit pada Jaka.
Dan Jaka yang dasarnya ndableg tak mau begitu saja menyia-nyiakan kedipan mata Ningrum, dia pun balas kedipkan mata. Tinggalah Nenek Ratu Kelabang bingung melihat muridnya dan pemuda bertampang tolol tersebut saling main mata.
"Kau tampan, Anak muda?"
"Ah, sungguhkah?" Jaka merajuk pura-pura.
"Ya, aku jadi suka padamu," Ucapan polos itu mungkin bagi pemuda lain akan menjadikan debaran-debaran aneh, tapi bagi Jaka yang tak hiraukan semuanya hanya permainan belaka yang akan ia buang manakala telah berlalu. "Siapa sih namamu?"
"Namaku... apa perlu?"
"Jelas perlu, Anak muda."
"Ningrum, percuma kau tanyai pemuda tolol macam dia," Si nenek yang sudah jemu dengan tingkah laku Jaka berusaha mengalihkan perhatian muridnya.
Namun Ningrum yang telah terpana oleh ketampanan Jaka bagaikan tak mendengarnya. Dia masih terus menatap Jaka dengan pandangan penuh arti, menjadikan Jaka salah tingkah.
"Ah, sudahlah. Bukankah nenekmu sudah menyuruh kau berlalu?"
"Tapi aku ingin mengenalmu, Anak tampan. Aku mencintaimu."
Jaka menarik napas panjang mendengar ucapan Ningrum, tapi sebaliknya Nenek Ratu Kelabang nampak terbelalak kaget. Hatinya tak setuju bila muridnya harus menjadi kekasih pemuda tolol itu. Maka dengan suara tak suka si nenek kembali berkata:
"Ah, apakah kau sudah gila akibat ketularan pemuda itu, Ningrum?"
"Aku belum gila, Nek. Aku cuma ndableg. Eh, ya namaku Jaka Ndableg. Begitulah orang menyebutku."
Terbelalak mata kedua guru dan murid setelah mengetahui siapa adanya pemuda bertampang konyol tersebut. Sesaat si nenek sikutkan tangan ke tubuh muridnya, dan dengan segera keduanya tanpa disadari oleh Jaka berkelebat tinggalkan Jaka sendirian yang terbengong-bengong sesaat kemudian berseru.
"Hoi...! Katanya kau cinta padaku, mengapa kau lari!"
"Jangan hiraukan dia, Ningrum!" Si nenek memperingatkan muridnya agar terus saja lari. "Dia akan menyusahkan dirimu kalau tahu siapa adanya dirimu."
"Tapi aku mencintainya, Guru," bantah Ningrum hendak merandek, yang segera diseret oleh Nenek Kelabang.
"Anak bodoh! Apakah kau hendak mati?"
Ningrum kini menurut, setelah berpikir akan kebenaran ucapan gurunya. Memang benar, bila ia akhirnya diketahui oleh Jaka siapa adanya dirinya niscaya Jaka akan membuat repot. Bukannya ia takut menghadapi Jaka, namun hal itu belum waktunya. Tapi hati Ningrum tak dapat dibohongi, hati kecil mengatakan bahwa ia benar-benar mencintai Jaka. Dengan terus berlari kencang Ningrum menggumam dalam hati, gumaman sebagai seorang yang tengah dilanda gelora cinta. Ningrum lupa bahwa dirinya telah mempunyai suami si Setan Rambut Putih.
SEMBILAN
"Anak muda, mengapa kau biarkan keduanya meninggalkanmu?"
"Hai, kau telah sadar. Siapakah engkau adanya, Ki Sanak?" tanya Jaka mendengar orang dalam bopongannya telah sadar dari pingsannya. "Dan siapa yang kau maksudkan dengan keduanya? Apakah kedua wanita genit dan liar yang telah menyiksamu sampai engkau berantakan mukanya?"
Lelaki itu terdiam sesaat, meraba mukanya yang terasa nyeri. Darah kering membasahi hidung, mulut, telinga dan matanya. Seketika ia memekik, "Tidak! Aku tak mau buta!"
Iba juga Jaka mendengar dan melihatnya, maka dengan suara haru Jaka pun berkata mencoba menghibur: "Ki Sanak, mungkin sudah kodrat bagimu begitu, terimalah apa yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Aku rasa, semua ini ada hikmahnya"
Tercengang Darga mendengar kata-kata Jaka. Ia tak menyangka kalau seorang pendekar yang namanya kondang mempunyai watak yang terpuji, sabar dan penuh rasa kasih, beda dengan apa yang didengung-dengungkan oleh rekan-rekannya sealiran yang mengatakan bahwa Pendekar Pedang Siluman Darah berwatak ganas bila menghadapi tokoh aliran sesat macam dirinya. Melihat kenyataan tersebut, tanpa sadar Darga mendesah.
"Oh, tak aku sangka..."
"Apa yang engkau maksud, Ki Sanak?" Jaka menanya ingin mengerti apa yang dimaksud oleh Darga. Karena menyangka Darga meratapi segala apa yang diterimanya, segera Jaka kembali berkata: "Janganlah Ki Sanak meratapi segalanya yang telah terjadi, sebab hal itu akan menjadikan beban pikiran Ki Sanak sendiri."
"Bukan itu yang aku maksud, Tuan Pendekar. Aku merasa telah salah sangka padamu. Tadinya aku hanya mendengar dari sahabat-sahabatku yang mengatakan bahwa engkau bertingkah telengas, tak mengenai kata ampun bagi golongan sepertiku."
Jaka tersenyum gelengkan kepala mendengar penuturan Darga.
"Tapi kenyataannya sekarang, sungguh membuat hatiku merasa berdosa. Kau telah mampu menyadarkan siapa adanya aku sebenarnya, yang selama ini telah menyimpang dari segala ketentuan alam dengan kata lain telah sesat. Oh, sungguh kau telah menjadikan aku sadar. Kalau boleh aku tahu, masihkah aku diampuni segala dosa-dosaku?" Darga berkata dengan segenap perasaannya, sehingga tanpa sadar air matanya meleleh deras membasahi kedua pipinya. "Dapatkah aku menerima pintu tobat?"
Jaka terdiam hanyut oleh rasa iba yang dialunkan lewat kata-kata Darga yang begitu tulus. Tak disadari air matanya pun turut meleleh. Ya, Jaka menangis. Dia menangis bahagia, karena ternyata dirinya telah mampu membuat orang yang selama hidupnya sesat menjadi sadar. Dengan suara tersengal oleh lelehan air mata Jaka pun menjawab:
"Kapan saja engkau mau, Tuhan masih terus membukakan pintu tobat bagi umatNya."
"Oh, betapa agungnya hati Tuhan, Tuan Pendekar?"
"Ya. Memang itulah Tuhan. Ia Maha Agung, Maha Pengasih serta Penyayang. Dibanding dengan Tuhan, aku belumlah ada artinya sama sekali," Jaka mencoba menghibur Darga.
Lamat-lamat dari bibir Darga mengurai senyum, dan lamat-lamat pula terdengar desah Darga. "Oh, Tuhanku, sungguh aku selama ini telah menyimpang dari jalan yang Engkau gariskan. Semoga Engkau berkenan mengampuni diriku. Tuan Pendekar, mengapa engkau tak segera menghentikan sepak terjang mereka?"
"Siapa yang engkau maksudkan, Ki Sanak?" tanya Jaka belum mengerti apa yang dimaksud oleh Darga.
"Mereka berdua yang telah menyiksaku. Mereka salah satunya adanya Penguasa Bukit Karang Bolong."
Terbelalak Jaka mendengar keterangan yang dilontarkan oleh Darga, yang menyebutkan bahwa salah seorang dari dua orang wanita tersebut adalah orang yang ia cari. Tapi yang mana...? "Ki Sanak, yang manakah yang menyebut dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong?"
"Dia yang muda."
"Yang cantik itu?" tanya Jaka mencoba meyakinkan.
"Kau jangan terpengaruh oleh kecantikannya, Tuan Pendekar. Dia memang cantik, tapi di balik kecantikannya tersembunyi Iblis. Ketahuilah olehmu bahwa gadis yang bernama Ningrum itu, kini dalam kuasa Iblis Dewi Lanjut Ayu si Penguasa Bukit Karang Bolong,"
Darga bercerita panjang lebar, menjadikan Jaka mengerti siapa sebenarnya Penguasa Bukit Karang Bolong yang tindakannya sungguh sangat telengas dan tak kenal kompromi itu. "Dia sebenarnya anak seorang Pendekar sakti beraliran lurus yang namanya mungkin sudah Tuan Pendekar dengar. Pendekar tersebut bernama Pramanayuda..."
"Pramanayuda...!? Hei, bukankah dia pemilik Pedang Sukma Layung yang sudah kesohor dengan keampuhannya?" Jaka bergumam sepertinya gumamannya tersebut ditujukan pada diri sendiri. "Ya, ya aku mendengar kebesaran namanya. Hem, ternyata di balik semua bencana yang menimpa wilayah ini adalah seorang Iblis yang ingin melampiaskan keangkaramurkaan.. Baiklah, Ki Sanak. Kini aku telah mengetahui benar apa yang terjadi dan siapa yang menjadi tokohnya. Nah, ke mana aku harus membawa tubuhmu untuk sekedar istirahat memulihkan kelemahan tubuhmu?"
"Bawalah aku ke Bukit Kemasan, di sana adalah tempat temanku tinggal. Dia juga seorang tabib dari India."
"Baiklah aku akan membawamu ke tempat tersebut."
Dengan segera Jaka berkelebat sambil membopong tubuh Darga pergi meninggalkan alas yang kembali sunyi. Lari Jaka begitu cepat karena dilandasi dengan ilmu lari Angin Puyuh. Jaka berbuat begitu karena ia ingin memburu waktu untuk selekasnya menuju ke Bukit Karang Bolong.
Merasakan dirinya dibawa bagaikan terbang saja Darga yang telah buta seketika tersentak dan makin yakin bahwa Pendekar muda ini memang bukan pendekar sembarangan. Tiupan angin yang keluar dari tubuh Jaka, bagaikan prahara topan yang mampu merobohkan pohon-pohon di sekitar yang dilaluinya. Tak luput binatang-binatang hutan, berserabutan seperti takut mendengarnya.
********************
Kita tinggalkan Jaka yang membawa tubuh Darga Buana yang luka-luka menuju ke tempat Tabib sahabatnya. Marilah kita tengok di tempat Bukit Karang Bolong di mana Ningrum dan Setan Rambut Putih mengangkat dirinya menjadi ketuanya dengan menyebut diri mereka Penguasa Bukit Karang Bolong.
Bukit Karang Bolong nampak sepi, sepertinya mengandung keangkeran yang begitu dalam. Muka dua orang penjaga pintu masuk nampak tak berekspresi, dingin dan kaku. Mereka memang sudah dilatih dengan keadaan demikian, harus memiliki keberanian dan keangkeran. Mereka juga dilatih untuk tidak mengenal belas kasihan atau kompromi dengan orang-orang yang mereka anggap musuh.
Tengah penjaga pintu masuk tenang dalam tugasnya, seorang pemuda berkelebat menghampiri mereka. Pemuda itu serta merta menerobos hendak masuk ke dalam wilayah Bukit Karang Bolong, menjadikan kedua penjaga tersebut segera menghalanginya dengan silangkan tombak, dan membentak.
"Pemuda tolol, siapa kau!? Dan apa keperluanmu datang ke mari? Apakah kau tak tahu di mana kau kini berada?!"
Pemuda itu hanya tersenyum, lalu dengan sekali hentak dua tombak di tangan kedua penjaga yang menghalanginya patah berantakan. Hal itu menjadikan kedua penjaga pintu masuk terbelalak matanya kaget. Keduanya tak percaya kalau pemuda semuda itu mampu memiliki tenaga yang besar, sehingga dengan mudah tombak yang terbuat dari kayu alami yang kuat dan kokoh hanya sekali gebrak patah berantakan.
"Katakan pada pimpinan kalian, aku Tegalaras datang! Cepat!"
Kedua orang penjaga itu tersentak membelalakan mata kaget demi mendengar bentakan Tegalaras yang bagaikan suara petir menggelegar. Namun belum juga kedua penjaga tersebut berkata, tiba-tiba terdengar seruan dari dalam:
"Biarkan dia masuk, Penjaga!"
Tanpa hiraukan kedua penjaga yang dalam keadaan bengong yang disebabkan oleh bentakan Tegalaras, Tegalaras segera berkelebat langkahi dua orang tersebut masuk ke dalam. Langkahnya begitu ringan, boleh dikata terbang. Tahu-tahu tubuhnya telah melesat, dan berhenti manakala dilihatnya dua orang muda telah menunggunya.
"Selamat datang Tegalaras," sapa keduanya serempak
Tegalaras tak hiraukan sambutan mereka. Bibirnya terurai senyum sinis, lalu dengan suara enteng Tegalaras berkata: "Aku minta kalian tinggalkan tubuh adikku."
Mendengar ucapan Tegalaras, seketika kedua muda mudi yang salah satunya adalah adiknya sendiri tertawa bergelak-gelak. Hal ini menjadikan Tegalaras melototkan mata marah dan jengkel pada yang ia ketahui adalah iblis-iblis pengganggu adiknya.
"Dewi Lanjut Ayu, tak pantas kau mengangkangi tubuh adikku. Segeralah minggat dari tubuh adikku, atau aku dengan terpaksa mengusirmu!"
"Hi, hi, hi...! Tegalaras, lakukan bila kau mampu!"
"Iblis! Jangan kira aku tak mampu, Dewi iblis. Nah, bersiaplah, hiat...!" Tegalaras segera berkelebat, menyerang dengan cepat dan disertai dengan serangan-serangan kilat yang hanya dapat dilakukan oleh para Siluman belaka.
Namun Dewi Lanjut Ayu bukanlah tokoh sembarangan. Sebagai istri dari Datuk Raja Karang ia telah benar-benar digembleng segala ilmu kanuragan baik oleh gurunya, ayahnya maupun suaminya. Gerakan sang Dewi Ayu Lanjut pun tak kalah cepat dibanding Tegalaras.
Namun rupanya Tegalaras yang memang telah dididik oleh Bangsa Siluman bukanlah musuh yang enteng bagi Dewi Ayu Lanjut, sehingga dalam sebentar saja Dewi Ayu lanjut pun dapat dengan segera didesaknya. Dan manakala ada kesempatan, segera Tegalaras hantamkan ajian Penyekap Iblis ke tubuh Ningrum yang tengah dikuasai oleh Dewi Ayu Laras. "Ajian Pelebur Iblis, hiat...!"
"Wuuuut... duar!"
"Aaaaah...!" Tubuh Ningrum gontai, akhirnya ambruk pingsan. Dari tubuhnya keluar asap mengepul, bergulung-gulung keluar dan membentuk tubuh Dewi Ayu Laras.
Melihat hal itu, serta merta Setan Rambut Putih tak tinggal diam, segera ia menyerang dengan cepat pada Tegalaras yang dianggapnya telah membuat kerusuhan pada Bukit Karang Bolong wilayah kekuasaannya. Serangan Setan Rambut Putih ternyata sangat dahsyat, jauh melebihi ilmu yang dimiliki oleh Ningrum yang bersekutu dengan Dewi Ayu Lanjut. Setan Berambut Putih ternyata lebih tinggi dua atau tiga tingkat dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh kekasihnya Ningrum atau Dewi Ayu Lanjut.
Nampaklah kini keberadaan Tegalaras, bahwa ilmunya tak ada guna sama sekali untuk menghadapi Setan Berambut Putih. Ternyata Setan Berambut Putih bukanlah nama kosong melompong belaka. Terbukti kini dalam beberapa gebrakan saja Tegalaras yang sudah digembleng oleh bangsa Siluman mampu didesaknya.
"Bangsat! Aku akan mengadu nyawa denganmu, Iblis Laknat! Kau harus minggat dari dunia ini!" bentak Tegalaras yang telah tahu siapa sebenarnya Setan Berambut Putih. Nah, untuk mengetahui siapa adanya Setan Berambut Putih, silahkan anda baca kisah Titisan Penghuni Bukit Gempol...!
"Kau tak akan mampu, Tegalaras! Menyerahlah dan ikutlah dengan kami!"
"Jangan hiraukan omongannya, Saudara!" tiba-tiba sebuah suara yang dilontarkan dari jarak yang agak jauh menggema, menjadikan Setan Rambut Putih tersentak.
Belum juga Setan Rambut Putih hilang kagetnya sesosok tubuh berkelebat dan tiba-tiba telah berdiri menjejeri Tegalaras. Pemuda itu tersenyum, lalu dengan menjura hormat pada Tegalaras pemuda yang tak lain Pendekar kita Jaka Ndableg berkata:
"Saudara Pendekar, mungkin iblis ini bukan tandingan saudara sendirian. Mari kita hadapi bersama!"
"Siapakah engkau adanya, Ki sanak?" tanya Tegalaras ingin kenal adanya pemuda di sampingnya.
"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka dengan tenang, sementara matanya memandang tajam ke arah Setan Rambut Putih.
Mendengar siapa adanya pemuda di sampingnya, dengan suara kaget Tegalaras berseru: "Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah?!"
"Ya... begitulah! Awas! Dia menyerang...!" Tersentak Jaka dan Tegalaras yang segeranbuang tubuh masing-masing ke samping menghindari serangan yang dilancarkan oleh Setan Rambut Putih.
"Kalian harus mati, sebab kalianlah yang bakal merintangi niatku untuk menguasai jagad raya ini!" bentak Setan Rambut Putih sambil terus gencarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauhnya yang sungguh dahsyat, menjadikan kedua pendekar itu harus menguras tenaga untuk menghindarinya. Kalau saja mereka terlambat mengelak, maka tak ayal lagi tubuh mereka akan hancur berantakan seperti tembok-tembok yang terhantam.
Merasa serangannya luput, Setan Rambut Putih makin menggeram marah. Kembali ia melancarkan ajiannya yang sungguh dahsyat, ajian yang hanya dimiliki oleh siluman dan iblis. Jaka dan Tegalaras tersentak kaget, karena belum pernah melihat ajian tersebut. Ya, walaupun mereka murid-murid bangsa Siluman, namun ajian-ajian yang keluar dari tangan Setan Rambut Putih sungguh belum mereka kenal.
"Gusti Allah, ajian apakah itu?!" gumam Jaka.
"Ilmu iblis!" mengumpat Tegalaras.
"Awas! Dia hantamkan ajiannya ke mari!" Jaka memekik memperingatkan pada Tegalaras, namun Tegalaras yang tengah kaget begitu lamban menghindar, sehingga pundaknya seketika terhantam ajian tersebut. Dan....! Mata Jaka seketika melotot kaget, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Binatang-binatang sebesar tikus tanah tiba-tiba muncul menggeruguti pundak Tegalaras yang meraung-raung kesakitan.
"Demi Allah, ilmu iblis macam apa ini. Hem, aku harus menggunakan Pedang Siluman Darah untuk membasmi binatang-binatang neraka terkutuk itu! Dening Ratu Siluman Darah Datanglah!"
Pedang Siluman Darah seketika telah berada di tangan Jaka yang dengan cepat tebaskan pada pundak Tegalaras. Seketika binatan-gbinatang menjijikkan tersebut lenyap tanpa bekas dan luka di pundak Tegalaras pun bagaikan tak pernah ada.
"Terima kasih, Jaka."
"Sudahlah, kita kini tengah menghadapi maut yang siap mengancam diri kita. Menyingkirlah, biar aku hadapi dengan Pedang Siluman Darah."
Tegalaras menurut, melompat menepi sepuluh tombak dari tempat mereka bertarung. Kini ia jadi penonton, menyaksikan Jaka dan Setan Rambut Putih tengah berhadap-hadapan siap untuk saling serang.
"Iblis Bukit Gempol, minggatlah dari sini!" bentak Jaka yang telah diberi tahu oleh Ratunya yang berada di pedang tentang siapa adanya Setan Rambut Putih.
"Hoar...! Jangan mimpi, Pendekar! Walau namamu telah mengangkangi langit, tapi aku tak akan mau mengalah, terimalah ini. Hiat!"
Setan Rambut Putih kembali hantamkan ajian iblisnya. Selarik sinar merah, biru, hitam bercampur jadi satu menerpa ke arah Jaka. Segera Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, dan sinar itu pun seketika lenyap tanpa bekas.
Melihat serangannya dengan mudah dapat dihilangkan oleh Jaka makin marahlah Setan Rambut Putih. Dengan didahului menggerang ia berkelebat melompat menyerang. Hal itu tidak disia-siakan oleh Jaka yang sudah siap dengan pedangnya. Maka manakala Setan Rambut Putih melayangkan tubuhnya, segera Jaka pun memapakinya dengan menebaskan Pedang Siluman Darah, dan...!
"Croooos...!"
"Aaaaah....!" terdengar pekikan, bersamaan dengan suara babatan Pedang Siluman Darah. Tak lama kemudian, terdengar suara ambruknya tubuh Setan Rambut Putih. Maka dengan kematian tersebut, Bukit Karang Bolong pun kembali sepi.
Tegalaras segera hampiri Jaka, namun bagaikan sebuah bayangan saja Jaka telah raib. Begitu juga halnya dengan Ningrum, ia telah raib dari situ entah ke mana. Tinggallah Tegalaras sendiri, melangkah diiringi bekas-bekas anggota Bukit Karang Bolong.
Kemanakah Ningrum...? Untuk mengetahuinya silahkan anda ikuti kisah berikutnya dalam serial Jaka Ndableg 'Pendekar Pedang Siluman Darah episode Ratu Maksiat Telaga Warna'
S E L E S A I