Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
Episode Rahasia Suling Kematian
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Episode Rahasia Suling Kematian
Karya Sandro S
Cetakan Pertama Penerbit Gultom Agency, Jakarta
SATU
SAYUP-SAYUP dari kejauhan terdengar suara tiupan seruling, iramanya begitu mendayudayu sepertinya mengajak para pendengarnya untuk mengupas kepedihan. Entah karena apa, setiap seruling itu ditiup maka akan terjadi sebuah petaka bagi yang mendengarnya. Petaka itu adalah, kematian bagi para pendengarnya. Karena hal tersebut, sehingga orang-orang persilatan menamakannya Seruling Kematian.
Sejauh ini, semua tokoh-tokoh persilatan belum ada yang mengetahui siapa adanya peniup seruling tersebut. Juga para tokoh persilatan diajukan pada pertanyaan gerangan apa yang menyebabkan orang tersebut meniup seruling?
Dari kejauhan nampak serombongan orang berjalan menapaki kaki mereka pada jalan setapak di sisi gunung. Di sebelah mereka berjalan, nampak jurang yang menganga. Sebelah lagi, bukit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuhnya. Bila dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, jelas mereka adalah orang-orang keraton.
Paling depan, berjalan seorang lelaki tinggi besar dengan cambang bawuk yang menutupi mukanya. Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain. Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang berjalan di kanan kiri orang tersebut juga mempunyai wajah yang beringas dengan kumis melintang lebat.
Berjalan di belakang ketiga orang tersebut, empat orang bertelanjang dada dengan tubuh kekar. Di atas pundak mereka, tertandu sebuah bangunan yang berbentuk rumah. Di belakangnya lagi, seratus orang lelaki lain yang berpakaian prajurit. Di tangan keseratus orang itu tergenggam tombak dan pedang serta senjata lainnya. Mata mereka garang, menyorot tajam ke muka.
Kala mereka tengah berjalan, tiba-tiba orang yang berjalan paling depan yang di tengah berseru:
"Para prajurit! Kalian bersiaplah, sebab sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan Kurawan!"
"Ada gerangan apa memangnya di perbatasan Kurawan, Kakang?"
"Adik Wong... Apakah adik Wong belum mengerti?" balik bertanya lelaki yang berjalan di tengah.
"Sungguh aku belum tahu, Kakang Ranesa," jawab Wong dengan mata menyimpit, makin sempit.
Ranesa sesaat terdiam memandangkan matanya ke depan lurus-lurus, lalu dengan setengah berbisik Ranesa berkata. "Di daerah perbatasan Kurawan, banyak sekali para begal yang ganas dan liar."
"Hem, kalau begitu kita mesti hati-hati, Kakang."
"Bukan hanya hati-hati, Adik Wong. Kita juga harus siap tempur. Biasanya mereka tak akan memperdulikan siapa adanya kita. Bagi mereka, uang dan harta kita saja yang penting. Sedangkan nyawa kita, dianggapnya tak berharga sama sekali."
"Hem, apakah mereka umumnya mempunyai ilmu yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka memang berilmu tinggi," jawab Ranesa. "Kabarnya, mereka adalah orang-orang bekas prajurit Mataram. Jadi mereka mahir dalam segala siasat perang."
"Hem, sungguh bukan begal sembarangan kalau begitu."
"Itulah, mengapa aku beritahukan pada para prajurit agar bersiap-siap."
Perlahan-lahan mereka melangkah, seakan kaki-kaki mereka ada yang membebani. Wajah para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat hantu saja. Mata mereka melotot tak berkedip, memandang ke muka dengan tangan siap senjata
"Wahai para prajurit...! Apakah kalian telah siaga?!" Kembali terdengar seruan Ranesa memberi perintah.
"Siaga, Panglima " jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Ranesa...?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya. Suara itu berasal dari dalam tandu yang berada di atas pundak keempat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya memperingatkan pada para prajurit agar bersiap-siap," jawab Ranesa sembari menyatukan tangannya ke dada, dan membongkokkan tubuhnya ke muka.
"Kenapa mesti begitu, Ranesa?"
"Entahlah, Tuan Putri."
"Ya sudahlah, kita berdo'a saja agar semuanya selamat. Usahakan jangan mencari-cari perselisihan dahulu. Kalau kita yang diserang, apa boleh buat. Sudahlah, kita berangkat!"
"Prajurit... Jalan lagi...!"
Mendengar seruan Ranesa, keseratus prajurit itu segera kembali melangkah setelah sesaat berhenti. Langkah demi langkah mereka tapaki, tak ada gangguan setapak pun. Mereka agak tenang ketika telah memasuki Alas Mentaok, namun mereka terus siap siaga untuk menghadapi hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dan mana kala mereka menjejaki kaki-kaki mereka di tengah hutan, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara raungan keras dan rintihan menyayat membuat bulu kuduk keseratus prajurit itu merinding berdiri. Ranesa dan dua orang wakilnya nampak siaga, menghunus pedang yang berada di pundaknya.
"Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai datang!" seru Ranesa kembali memperingatkan pada semua prajurit. "Adik Wong, rupanya kita akan menghadapi para rampok itu. Apakah kau telah siap?"
"Aku telah sedia, walaupun nyawaku untuk taruhannya," jawab Wong dengan penuh kewaspadaan. "Percuma aku menjadi murid Kok Siang Bun kalau harus takut menghadapi kroco-kroco bekas Mataram."
"Aku mengerti," gumam Ranesa datar. "Bagaimana denganmu, Adik San? Apakah kau juga telah siap?"
"Hua, ha, ha... dengan pedang pusaka Naga Krida, pantang bagiku untuk takut pada siapapun. Apalagi pada kroco-kroco tentara Mataram," jawab San Ing dengan angkuhnya, menandakan bahwa pendekar dari Cina itu seakan menyepelekan siapa adanya bekas prajurit-prajurit Mataram.
"Aku percaya pada kalian. Aku yakin, baginda raja mengambil diri kalian sebagai pengawal khusus ada sebabnya. Bukan begitu adik Wong, dan adik San?"
Wong dan San Ing tersenyum mengangguk. Memang kedua pengawal Cina itu diutus oleh raja mereka Nancu untuk mengiringi keberangkatan putrinya, Nancin Cu yang hendak menemui seorang raja di wilayah Mataram. Raja muda yang bergelar Prabu Amangkurat, adalah orang yang menjadi sahabat Nancin Cu. Persahabatan mereka telah terjalin sejak Amangkurat bertandang ke negeri Cina tiga tahun yang lalu. Sejak pertemuan itu Nancin Cu seakan tak dapat melupakan wajah Amangkurat yang tampan. Bila tidur ia selalu gelisah, makan pun tak enak rasanya.
Hanya bayangan wajah Amangkurat saja yang selalu melekat di kelopak matanya. Rasa rindu yang mendayu-dayu itulah, yang menjadikan Kaisar Nancu akhirnya mengirim utusan pada kerajaan Mataram khususnya pada Amangkurat sebagai rajanya. Dulu memang Amangkurat belum menduduki kursi singgasana raja. Dulu ia adalah orang buronan mana kala kerajaan Mataram dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan. Mana kala Rakai Pikatan telah wafat, maka Amangkuratlah yang segera menggeser kedudukan itu. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Mataram.
Ternyata utusan yang dikirim oleh Kaisar Nancu mendapat tanggapan yang positif dari Amangkurat yang waktu itu memang mengharapkan bantuan dari kerajaan Cina tersebut untuk menuju kedudukannya yang sekarang. Karena mendengar laporan utusannya yang mengatakan bahwa Amangkurat menerima pinangannya, Kaisar Nancu pun mengutus putrinya yang dikawal oleh seratus orang prajurit pilihan dan tiga orang pendekar menuju ke pulau Jawa.
Para prajurit pengawal putri raja Nancin Cu, terus melangkah setapak demi setapak. Walau mereka nampak tenang, namun di hati mereka terbersit rasa was-was juga. Mereka tidak seperti dua orang pimpinannya yang sombong, sebab mereka telah mendengar persis siapa-siapa adanya prajurit-prajurit Mataram yang terkenal ganas dan beringas tanpa kenal takut untuk mati. Sudah banyak contoh yang menguatkan. Telah banyak prajurit-prajurit kerajaan Mongol yang binasa manakala hendak melakukan infansi ke Pulau Jawa.
Mereka juga mengenal nama-nama yang sering menjadi momok, seperti Walet Ireng, Sumara Kerta, Kuda Maesan, Burit Geger, serta tokoh wanita muda yang setiap tindakannya selalu diluar dugaan bergelar Dewi Bayang Seda. Mereka tergabung dalam Panca Leluhur Sakti, yang merupakan gabungan tokoh-tokoh pemberontak Mataram.
Sebenarnya Amangkurat telah beberapa kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk menghentikan sepak terjang mereka, dan memintanya untuk terus membantu kedudukannya sebagai raja. Namun mereka seperti tak menggubrisnya, bahkan dengan berani-berani mereka menentang. Hanya karena mereka melihat Eyang Sindu Lelana, menjadikan mereka enggan untuk memusuhi Amangkurat. Ditambah lagi karena mereka telah terikat janji untuk tidak saling menjatuhkan.
Tengah mereka melangkah, tiba-tiba dari balik semak-semak dan atas pohon berloncatan orang-orang bertopeng menghadang langkah mereka. Seketika mereka tersentak mundur, mata mereka tajam mengawasi gerak gerik orang-orang yang baru datang.
"Siapa kalian!" bentak Ranesa.
"Hem, kiranya keroco-keroco macam ini yang sering membuat kelusuhan," dengus Wong seraya menghunus pedangnya. "Apa keperluan kalian menghadang kami, hah!"
"Hua, ha, ha... kaliankah yang hendak menghadap Raja Amangkurat?" tanya seorang berkedok yang berdiri paling muka di antara dua puluh lima orang berkedok lainnya, mungkin dialah ketua mereka. "Serahkan apa yang kalian bawa pada kami, dan minggatlah kalian dari sini. Biar kami yang akan memberikannya pada baginda Amangkurat."
Terbelalak mata Ranesa, Wang, juga yang lainnya mendengar permintaan ketua orang berkedok itu. Apalagi Nancin Cu yang berada di dalam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak karuan. Nancin Cu nampak gelisah, takut kalau-kalau para prajuritnya akan mengalami kekalahan.
"Oh Dewa Nancing, apakah para prajuritku akan dapat mengatasi semua ini?" tanya hati Nancin Cu bimbang. "Bagaimana kalau para prajuritku mengalami kekalahan? Bagaimana dengan nasibku..?"
Tengah Nancin Cu gelisah hatinya, terdengar suara Ranesa kembali membentak. "Apakah kalian tak tahu aturan! Atau barang kali kalian memang sengaja mencari gara-gara, hah!"
Dibentak oleh Ranesa begitu rupa tidak menjadikan ketua orang-orang berkedok itu takut, bahkan setelah saling pandang dengan anak buahnya ia gelak tawa sembari balas membentak. "Kalianlah yang tak tahu sopan santun. Kalian telah datang jauh-jauh, namun kalian tak menghiraukan kami yang menguasai daerah ini. Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki daerahku harus meninggalkan apa saja yang dibawa termasuk nyawa. Tapi kalian aku beri keringanan, kalian hanya cukup meninggalkan apa kalian bawa. Bukankah kami telah memberikan kebebasan pada kalian untuk hidup?"
"Bedebah! Kalian sangat meremehkan kami!" bentak Ranesa marah, merasa dirinya diremehkan begitu rupa. Ranesa yang telah kondang nama besarnya di negeri Cina, seakan tak dapat lagi membendung amarahnya demi direndahkan begitu rupa. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada kami harus meninggalkan apa yang kalian minta."
"Bedebah! Kalian orang-orang Cina berani lancang di daerah kekuasaan kami. Hem, jangan harap kalian akan mampu mempertahankan segalanya. Tadi kami memberi keringanan pada kalian, namun ternyata kalian seakan menolaknya. Hem, jangan harap kalian akan kami ampun lagi."
"Sudahlah, Kakang. Percuma kita bersitegang dengan mereka, yang tak mempunyai pengetahuan. Mereka orang-orang dungu, yang biasa hidup di hutan."
"Setan! Rupanya memang anjing-anjing Cina banyak bacot!" bentak ketua orang-orang berkedok marah, demi mendengar ucapan Wang yang sangat merendahkannya. "Anak-anak, serbu dan habisi mereka...!"
Seketika tanpa membuang waktu lagi kedua puluh lima orang berkedok itu serentak berkelebat mengepung mereka. Senjata golok dan tombak siap di tangan masing-masing. Begitu juga dengan para prajurit kerajaan Cina, serempak mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.
"Bagaimana? Apakah kalian masih bersitegang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hem, sudah aku katakan, lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada kami harus menuruti perintahmu!" bentak Ranesa marah.
"Bagus kalau itu yang kalian ingini, serang...!"
Serentak kedua puluh lima orang berkedok itu berkelebat menyerang para prajurit Cina.
Serta merta Ranesa pun segera berseru: "Prajurit, serang...!"
Pertarungan antara dua kelompok itu pun tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, bagaikan singa-singa kelaparan menyerang membabi buta. Walau jumlah prajurit kerajaan Cina lebih banyak ketimbang penyamun, namun karena di hati mereka tertekan keragu-raguan menjadikan mereka bertempur dengan beban. Mereka seperti menghadapi senjata saja layaknya, sehingga serangan-serangan mereka tak pernah memenuhi sasarannya. Bahkan para begal itulah yang makin mengganas. Merasa musuh ketakutan, para begal makin meningkatkan kenekadannya.
Melihat hal itu, serta merta keempat orang yang menandu putri Nancin Cu segera membawa sang putri pergi menyelamatkan diri. Mereka merasa khawatir kalau-kalau sang putri akan mengalami musibah. Keempat prajurit penandu itu, merupakan prajurit-prajurit yang setia pada Putri Nancin Cu yang sengaja dibawa oleh Putri Nancin Cu untuk menemaninya.
Melihat keempat prajurit pengusung itu melarikan diri dengan asungannya, serta merta ketua orang-orang berkedok berkelebat mengejar. Namun belum juga ketua orang berkedok itu jauh Ranesa telah pula mengejarnya. Dengan menggunakan Hin-Kang atau ilmu meringankan tubuhnya Ranesa secepat kilat berlari dan tahutahu telah menghadang pimpinan orang-orang berkedok.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak ketua orang berkedok jengkel merasa niatnya untuk mengejar terhalangi.
Ranesa tersenyum sunggingkan bibir demi mendengar bentakan pimpinan orang-orang berkedok. Setelah sesaat mengurai senyum, Ranesa dengan nada datar berkata: "Aku tak mencari mati, karena aku ingin hidup. Kaulah yang mencari mati, sebab kaulah yang telah membuat segalanya. Apa perlumu menghadang langkah kami? Apakah kau tak takut bila perbuatanmu diketahui oleh baginda Amangkurat?"
Lelaki pimpinan orang-orang berkedok itu tersenyum sinis, manakala mendengar Ranesa menyebut nama Amangkurat. Sepertinya nama Amangkurat bagi lelaki berkedok itu tak ada artinya, lalu dengan suara lantang lelaki berkedok itu kembali berkata setengah membentak. "Kalau kau memang ingin memanggil Amangkurat. Panggillah! Aku tak akan mundur menghadapinya. Hua, ha, ha.... Amangkurat tak lebihnya orang-orang sepertiku. Kalau Amangkurat melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!"
"Hua, ha, ha... Kau tak percaya?" Lelaki berkedok itu kembali sunggingkan senyum mengejek. "Kalau kau mendengar siapa adanya kami, niscaya kau dan para prajuritmu akan lari terkencing-kencing."
"Hem, mungkin hanya orang bodoh saja yang mau digertak oleh manusia macammu. Tapi aku, tidak," jawab Ranesa sengit. "Aku tak akan takut tentang siapa adanya kalian, sebab aku merasa benar. Kebenaran selalu dalam lindungan Yang Jagad Wenang."
"Bedebah! Jangan menyesal nantinya," menggertak pimpinan orang berkedok marah. "Jangan lengah, hiat...!"
Melihat musuhnya berkelebat menyerang, dengan segera Ranesa pun tak mau tinggal diam. Seketika Ranesa menggerang bagaikan seekor harimau, lalu dengan melompat bagaikan terbang Ranesa berkelebat memapakinya. Tanpa ayal lagi pertarungan dua pimpinan itu pun seketika berjalan. Keduanya nampak penuh antusias untuk saling menjatuhkan, sehingga kedua pimpinan itu tanpa segan-segan segera mengeluarkan jurusjurus yang sangat diandalkan.
Jurus demi jurus terus terlalui, sepertinya kedua pimpinan itu tak mengenal lelah. Dari jurus yang ringan, berubah menjadi jurus-jurus yang berat, yang mengarah pada mati hidupnya mereka. Namun begitu, keduanya nampak sama-sama tangguh dan sama-sama gesit bagaikan dua kekuatan yang tengah bertarung. Memang keduanya merupakan dua kekuatan. Yang satu menggunakan kekuatan Naga Api, sementara yang lainnya menggunakan Garuda Sakti.
Maka mereka pun kini benar-benar telah meniru gerakan-gerakan kedua hewan perkasa. Sang Naga Api yang penjelmaan dari Ranesa, nampak mengganas dengan semburan-semburan api dari mulutnya. Sementara sang Garuda yang merupakan penjelmaan dari pimpinan orang-orang berkedok yang tak lain Begal Sulasa nampak dengan gesit mengelakkan serangan dan dengan gesit mengelakkan serangan pula membalas menyerang dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat.
Di pihak lain, nampak para prajurit kerajaan Cina yang kini dipimpin oleh dua tokoh utama yaitu San Ing dan Wang masih terus berusaha membendung serangan-serangan anggota begal berkedok yang nampaknya terus mengganas. Sepertinya para begal itu tak kenal takut, walau menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di daratan Cina. Bahkan mereka nampaknya makin lama makin mengganas.
Melihat hal itu, maka para prajurit kerajaan Cinalah yang nampak keteter. Mereka seakan dibayang-bayangi oleh ketakutan, sehingga cara berperang mereka pun ngawur. Hal itu menjadikan para begal makin bernafsu saja untuk membunuh. Dan memang benar, mereka kini dengan garang meng-hunjamkan senjata mereka.
Korban berjatuhan dari pihak kerajaan Cina, menjadikan para prajurit lainnya makin lama makin bertambah susut semangatnya. Tanpa ampun lagi, mereka pun seketika menjadi bulan-bulanan para begal. Maka dalam sekejap saja, mayat bergelimpangan dari pihak kerajaan Cina. Sebaliknya dari para begal, makin menjadi-jadi keganasannya. Mereka bagaikan burung-burung nazar yang tak pernah kenyang.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini benar-benar menguras segala ilmu yang mereka miliki. Namun demikian, pertarungan mereka sepertinya tak akan berhenti. Kelebatan-kelebatan tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh mereka bagaikan menghilang tertutup oleh warna-warna pakaian yang mereka kenakan. Namun seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang akan binasa. Rupanya pepatah itu pula yang telah menentukan pertarungan mereka.
Manakala Ranesa lengah, dengan segera pimpinan begal berkedok itu hantamkan ajiannya. Tak ayal lagi, Ranesa pun seketika melengkingkan jeritan manakala ajian itu menghantam telak tubuhnya. Tubuh Ranesa seketika membiru, beku bagaikan tertimpa salju yang berjuta-juta kati. Tubuh itu mati dengan menyedihkan, beku bagaikan di es. Ya, Ranesa memang mati beku, terhantam ajian Topan Salju yang dilontarkan oleh pimpinan begal berkedok.
Setelah melihat musuhnya mati, dengan segera pimpinan begal berkedok itu pun berkelebat pergi setelah terlebih dahulu menendang tubuh Ranesa hingga melayang bagaikan terbang dan ambruk kembali ke bawah jurang. Dengan meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu kembali melesat untuk mengejar keempat orang penandu yang membawa apa yang mereka pertahankan.
Keempat prajurit yang menandu putri Nancin Cu nampak masih berlari dengan menandu. Wajah mereka begitu tegang, sepertinya ada rasa ketakutan yang amat sangat. Ya, mereka memang ketakutan setengah mati. Bukannya mereka takut mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti. Ketakutan mereka adalah keganasan para begal-begal, apabila mereka tahu siapa adanya putri Nancin Cu.
"Kenapa kalian tidak menuju ke Kerajaan Mataram saja?" tanya Nancin Cu pada keempat pengusungnya.
"Ke manakah tujuan arah yang harus kami tempuh, Tuan Putri?"
"Teruslah ke Selatan di sanalah kerajaan Mataram."
"Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh mereka serentak, menjadikan Nancin Cu seketika membuka tirai penutup tandunya. Mata Nancin Cu yang lentik, ditambah dengan wajahnya yang cantik jelita menjadikan anggun. Mata lentik itu memandang lepas ke muka, yang terpapar hamparan rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Hem, memang patut keempat pengawalku takut. Mereka rupanya sungkan menerobos ilalang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga kalau-kalau di ilalang itu juga akan ada bahaya."
"Tak adakah jalan lain...?" tanya Putri Nancin Cu seperti pada diri sendiri, sementara matanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," menambah yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya, sekarang telah dijadikan pertempuran antara para prajurit dengan para gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri."
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan lewat ilalang itu."
"Ah...." kembali keempat orang itu mendesah.
"Kenapa? Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri," jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi kami, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada nyawa kami yang tiada guna."
Tercenung masgul putri Nancin Cu mendengarnya. Hatinya bergetar, air matanya seketika menetes deras bagaikan membuang kepedihan yang tengah dideritanya. Memang benar apa yang dikatakan keempat penandunya yang setia. Mereka memang sangat mengkuatirkan dirinya, daripada memikirkan diri mereka. Hal itulah yang menjadikan Putri Nancin Cu merasa sedih.
Kini ia terlunta-lunta di pulau Jawa, tanpa mengerti apa yang bakal terjadi. Semua salahnya sendiri. Ya, semua salahnya sendiri, mengapa ingin menemui Amangkurat yang harus menempuh berbagai tantangan? Bila ingat itu semua, seketika hati Nanci Cu jadi kesal, marah pada Amangkurat. Bagaimana mungkin tidak marah, mereka datang jauh-jauh tapi nyatanya dari pihak Amangkurat tak ada seorang pun yang menjemput mereka. Sepertinya segala kejadian itu memang disengaja.
"Ah, Amangkurat... Kenapa ia tak menyambut kedatanganku?" keluh hati Nancin Cu. "Apakah memang sengaja Amangkurat hendak mencelakai diriku?"
Tengah putri Nancin Cu melamun, tiba-tiba penandu yang berada di belakang berteriak. "Awas! Orang berkedok itu mengejar kita. Ayo lari...!"
Dengan segera mereka pun berlari kembali. Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang terpapar meninggi di depannya. Dengan segala kenekadan mereka pun menerobos rumput ilalang. Namun seketika mereka tersentak kaget, manakala dengan tiba-tiba seseorang berkelebat menerobos masuk ke tandu. Belum juga keempat penandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang tersebut telah kembali berkelebat keluar dengan membopong tubuh Putri Nancin Cu yang terkulai.
Rupanya Nancin Cu telah tertotok. Keempat orang penandu itu segera bermaksud mengejar, ketika tiba-tiba orang tersebut mengibaskan tangannya. Dari kibasan tangan berhamburan ratusan jarum-jarum mendesing-desing mengarah ke arah mereka.
"Awas Jarum...!" pekik salah seorang dari keempatnya.
Seketika mereka berhamburan, jumpalitan berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum beracun itu. Namun tak urung salah seorang dari mereka terkena. Orang itu menjerit sesaat, berguling-guling merambah ilalang dan akhirnya terkulai.
Ketiga temannya seketika tersentak, manakala melihat apa yang dialami oleh rekannya. Tubuh temannya membiru, lalu dari tusukan jarum-jarum itu makin lama makin membesar. Dari sebesar jagung, membentuk sebesar kepalan tangan. Setelah benjolan-benjolan itu besar sebesar kepalan tangan, berjolan itu pun akhirnya pecah.
Dan kembali ketiga orang itu terbelalak kaget, ketika dilihat apa yang keluar dari pecahan benjolan tersebut. Ketiganya seketika melompat bagaikan terpental, manakala ketiganya melihat binatangbinatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-benjolan yang pecah. Binatang-binatang tersebut, tak lain dari kelabang yang berwarna ungu. Itulah racun Kelabang Ungu.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" terdengar seruan seseorang, manakala ketiganya tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mendekat, niscaya tubuh kalian pun akan terkena. Kelabang itu sangat ganas bila mencium bau manusia!"
Ketika ketiga orang Cina itu menengok, seketika mereka tersentak kaget. Ternyata orang yang memperingatkan mereka, tak lain daripada pimpinan begal yang tadi mengejarnya. Wajah ketiga orang Cina itu seketika pucat ketakutan. Mereka kini hanya pasrah untuk apa yang akan pimpinan begal itu lakukan.
"Heh, rupanya kalian," terbelalak pimpinan begal itu, manakala makin mendekati ketiganya. "Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri Kerajaan kami yang ingin menemui Raja Amangkurat."
"Di mana sekarang?"
Ketiga orang Cina itu seketika terdiam ditanya begitu. Mata mereka memandang pada pimpinan begal dengan pandangan mata tak percaya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali berkata. "Apakah pencuri putri Nan bukan anggotamu?"
"Hei, kau ngomong apa?" tanya pimpinan begal itu kaget.
"Putri Nan telah diculik oleh seseorang," jawab orang Cina itu sembari menengok ke belakang. Namun ternyata orang yang tadi melemparkan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pandangannya. "Heh, cepat benar orang itu menghilang."
"Siapa yang kau maksud?" tanya pimpinan begal itu kaget.
"Orang yang telah membunuh temanku ini dengan apa yang kau sebut racun Kelabang Ungu," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan begal seketika kerutkan kening.
Setelah memandang pada ketiga orang Cina itu, pimpinan begal segera berkelebat pergi meninggalkan ketiganya yang terbengong-bengong tak mengerti.
Pertarungan antara prajurit-prajurit kerajaan Cina yang dipimpin oleh Wang dan San Ing masih terus berlanjut, walau korban telah banyak berjatuhan. San Ing dengan pedang Naganya terus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tangan San Ing selalu membawa korban bagi pihak musuh. Kini pihak begal yang tadinya berjumlah dua puluh lima tinggal lima orang. Sementara dari pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang ditambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian.!" bentak Wang.
Namun kelima orang begal itu sepertinya tak mendengar. Bahkan kelimanya nampak makin nekad saja menyerang. Hal itu menjadikan Wang dan San Ing makin marah saja. Pedang di tangan kedua pendekar Cina itu terus berkelebat men-cari nyawa. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja kelima orang musuh-musuhnya habis terbabat oleh pedang mereka. Namun perjuangan mereka tak luput dari para prajurit-prajurit yang kini tiada sisa seorang pun. Seluruh prajurit binasa.
Tertegun Wang dan San Ing melihat keseratus prajurit-prajurit mereka mati. Tak terasa dari kelopak mata mereka meleleh air mata. Mereka menangis, menangisi para prajurit yang gugur demi membela kerajaan. Setelah sesaat hening membisu, kedua pendekar negeri Cina itu pun segera berlalu meninggalkan para prajuritnya yang telah gugur.
"Apakah kita akan kembali ke Cina?" tanya San Ing, manakala keduanya telah berlalu jauh meninggalkan medan pertempuran sekaligus meninggalkan korban yang berjatuhan.
"Tidak! Kita harus mencari tuan Putri Nancin Cu dulu."
"Ke mana...?"
"Bukankah kita punya kaki?" balik bertanya Wang.
San Ing terdiam, merasakan ucapan Wang memang ada benarnya. Bukankah kita punya kaki? Ya, lebih baik berjalan-jalan mencari Tuan Putrinya dari pada pulang dengan tangan hampa. Mereka malu pada Kaisar Nan Cu, yang telah mempercayai mereka untuk mengawal putrinya. Mau ditaruh di mana muka mereka? Bagaimana harus mempertanggungjawabkan pada rajanya?
"Baiklah, kita mencari tuan Putri," jawab San Ing menyetujui apa yang dikatakan Wang. "Oh ya, di manakah Koko Ranesa?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita cari semuanya."
Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar negeri Cina itu pun segera melangkahkan kaki mereka pergi. Tak lama kemudian setelah keduanya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok tubuh terkapar. Segera kedua pendekar Cina itu berlari menghampiri. Mata keduanya seketika membeliak, mulut mereka seketika berseru kaget menyebut nama orang yang tergeletak.
"Koko, Ran...!"
Kedua pendekar itu seketika menangis kembali, keduanya segera mengangkat tubuh Ranesa yang telah mati. Air mata kedua pendekar itu kembali meleleh, perih dan pedih terasa menyayat di hati keduanya.
"Koko Ran, mengapa kau tinggalkan kami?" isak San Ing.
"Siapakah yang telah berbuat semuanya ini, Koko?" Wang pun ikut bertanya pada mayat Ranesa, yang hanya diam tanpa dapat berkata-kata. "Jawab, Koko, Koko. Biar kami yang akan menuntut balas..."
Namun seperti semula, Ranesa yang telah mati tak dapat menjawab. Tubuh itu telah kaku, dingin bagaikan beku. Kedua pendekar negeri Cina itu terus menangis, sambil menggali liang yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Ranesa. Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera menyemayamkan tubuh Ranesa. Keduanya kembali hening tanpa kata, menundukkan muka memberikan penghormatan terakhir pada Ranesa.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya," ajak Wang setelah sekian lama terdiam dalam hening memberikan penghormatan terakhir. "Aku rasa, orang tersebut tak lain dari pada pimpinan begal keparat itu."
"Memang benar! Ayo kita cari. Lebih baik kita mati, daripada kita hidup terlunta-lunta di daerah orang."
"Jangan putus asa, Saudara San. Kita tak boleh berkata begitu, kita harus tegar menghadapi segala coba. Sebagai seorang pendekar, di mana saja tempatnya sama. Demi membela kebenaran dan keadilan, kita tak perlu memandang apa saja, baik itu ras atau derajat."
San Ing kembali terdiam, kemudian kedua pendekar Cina itu pun kembali berkelebat pergi meninggalkan gundukan tanah merah baru di mana Ranesa beristirahat untuk yang terakhir kalinya....
Lelaki yang membopong tubuh putri Nancin Cu masih terus berlari dengan cepatnya, sepertinya tak ingin ada orang lain yang bakal merebut apa yang telah ia peroleh. Orang tersebut bertampang kumal, dengan cambang lebat panjang mengurai dialah Datuk Raja Beracun. Datuk Raja Beracun yang telah berlari sambil membopong tubuh Nancin Cu, nampak terus mempercepat larinya. Ia tak ingin ada orang yang mengejarnya untuk merebut Nancin Cu dari tangannya.
Datuk Raja Beracun berharap impiannya untuk menurunkan Raja-raja yang kelak berkuasa di tanah Andalas akan menjadi kenyataan. Ia masih teringat akan wangsit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu mengatakan, "Siapa yang dapat memperistri Putri Nancin Cu maka dialah yang kelak akan mempunyai keturunan raja-raja yang nantinya menguasai tanah Andalas."
Tengah Datuk Raja Beracun lari, terdengar teriakan seseorang yang mengundang perhatiannya. "Datuk Raja Beracun, tunggu...!"
Datuk Raja Beracun tak hiraukan seruan itu, ia yang sudah menduga siapa adanya orang yang berseru makin tak menghiraukan. Datuk Raja Beracun yakin kalau orang-orang di pulau Jawa pun telah mendengar adanya desas desus siapa adanya putri Nancin Cu, orang yang kelak dapat menurunkan raja-raja di Nusantara khususnya raja di pulau Andalas.
"Datuk Raja Beracun, tunggu...!" kembali orang tersebut berseru seraya mempercepat larinya. Maka dalam sekejap saja, tubuh orang tersebut telah berkelebat cepat dan tiba-tiba telah menghadang langkah sang Datuk. "Berhenti!"
Melihat orang itu menghadangnya, dengan geram sang Datuk membentak: "Apa urusanmu," orang usil!"
Lelaki bercadar itu tersenyum mengejek, dan berkata: "Datuk, rupanya kau pun menghendaki gadis Cina itu. Hem, aku pun jadi ingin merebutnya dari tanganmu."
"Bedebah! Jangan bermimpi."
"Kenapa tidak, Datuk..,!" tiba-tiba terdengar suara orang lain membentaknya, menjadikan sang Datuk seketika tersentak kaget dan palingkan muka memandang ke asal suara tersebut.
"Rupanya kalian bersekongkol hendak merebut gadis ini. Hem, jangan kira kalian akan mampu merebutnya, langkahi dulu mayatku."
"Begitu?" tanya orang yang baru datang dengan sinis. Orang yang baru datang, ternyata tak lain dari pada Begal Sulasa yang telah mengejar sang Datuk setelah mendengarkan keterangan dari ketiga pengusung putri Nancin Cu.
Seperti Datuk Raja Beracun, kedua orang pengejarnya pun telah mengerti siapa adanya putri Nancin Cu yang menurut wangsit kelak akan menurunkan raja-raja di pulau Andalas. Karena berpegangan pada wangsit itulah, maka ketiga orang tersebut segera memburunya. Kini putri tersebut berada di tangan Datuk Raja Beracun, sehingga kedua orang pengejar itu pun mau tak mau harus menghadang Datuk Raja Beracun.
"Ya begitu, tak ada jalan lain," jawab sang Datuk sinis.
"Hem, kita bertiga," menggumam Begal Sulasa.
"Tak apa. Yang penting adalah salah seorang di antara kita harus dapat menjadi pemenangnya," orang bercadar menyarankan. "Bagaimana kalau kita langsung saling serang?"
"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya."
"Kau rupanya takut, Datuk?"
"Bedebah! Jangan kira aku takut menghadapi kalian berdua. Ayo kalian maju bareng mengeroyokku, Datu Raja Beracun tak akan mundur menghadapi kalian." Habis berkata begitu, serta merta sang Datuk kibaskan tangannya. Dari kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna ungu melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Begal Sulasa memperingatkan pada rekannya yang dengan segera berkelebat mengibaskan lengan bajunya.
"Datuk Edan! Rupanya kau memang ingin segera mampus!" bentak orang bercadar marah. Napasnya mendengus bagaikan memendam kekesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk Raja Beracun. "Terimalah pembalasan dariku. Hiat...!" Segera orang bercadar itu hantamkan tangan kanannya ke arah Datuk Raja Beracun.
Sang Datuk terkesiap kaget, mana kala melihat larikan sinar putih membersit dari telapak tangan orang bercadar. "Ah, kaukah Rumajang?" Sang Datuk mengeluh seakan ada rasa takut terbersit pada mimik mukanya. "Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Rumajang!"
"Hua, ha, ha... Ternyata matamu belum begitu rabun, Datuk? Nah, bila kau telah tahu siapa aku, mestinya kau menyembah dan dengan ikhlas berikan gadis dalam boponganmu padaku."
"Enak saja kau ngomong! Aku yang cape-cape, mengapa kau yang baru datang tiba-tiba menginginkan hasil jerih payahku?" ejek sang Datuk Beracun. "Walau pun namamu sudah setinggi langit, namun aku Datuk Raja Beracun tak akan gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi menghadapi begal kere macam temanmu itu."
"Setan! Rupanya kau memang harus kuberi hajaran!" bentak Begal Sulasa marah, ia merasa ucapan sang Datuk sangat meremehkan dirinya. Betapapun juga, Begal Sulasa merupakan anggota Panca Leluhur Sakti yang tak dapat dipandang enteng. Maka mendengar ucapan sang Datuk, darah Begal Sulasa seketika mendidih. "Jangan sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, maka hadapilah aku."
Sang Datuk yang memang telah siap-siap akan menghadapi dua orang sekaligus dengan tak mau kalah berkata lantang: "Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggung-tanggung biar aku dengan cepat membereskannya."
Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan dua tokoh dari pulau Jawa mendengar ejekan sang Datuk. Serta merta keduanya berkelebat menyerang sang Datuk. Serangan kedua orang tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu sepertinya kompak. Keduanya berganti-ganti menyerang sang Datuk. Namun begitu, sepertinya sang Datuk bagaikan tak kerepotan secuilpun. Bahkan dengan tubuh menggendong tubuh orang, sang Datuk masih lincah berkelit dan kala ada kesempatan balas menyerang.
Jurus demi jurus terlalui oleh mereka dengan cepat. Ketiganya seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa puluh jurus yang mereka keluarkan, karena saking cepatnya mereka bergerak sehingga tanpa sadar mereka terus bertempur dengan terus saling mendesak lawan-lawannya ke belakang.
"Cilaka!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget, mana kala tubuhnya kini telah sampai di tepi jurang terdesak oleh kedua lawannya yang nampak makin beringas saja. "Kalau begini terus menerus, maka tidak mungkin tidak akulah yang akan kalah oleh mereka. Aku harus mencari akal."
Kedua orang penyerangnya tak memperhatikan gerak gerik sang Datuk, mereka terjebak oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan. Melihat musuh-musuhnya terus mendesak ke pinggir jurang, serta merta Datuk Raja Beracun memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-tiba tubuh sang Datuk mencelat mana kala kedua musuhnya bareng menyerangnya. Tanpa dapat direm atau dihindari, tak ayal kedua orang bertutup muka itu meluncur deras ke bawah.
"Hua, ha, ha... Itulah untuk kalian. Selamat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat sana."
Setelah sesaat memandang ke bawah jurang yang menelan dua tubuh musuhnya, Datuk Raja Beracun dengan masih ganda tawa berkelebat meninggalkan tempat itu dengan masih membopong tubuh Nancin Cu. Nancin Cu walau dalam keadaan tertotok, saat itu ternyata telah siuman dari pingsannya, sehingga ia pun dapat menyaksikan betapa kedua orang bertopeng itu menemui ajalnya dengan tragis. Mata Nancin Cu seketika memejam rapat, tatkala melihat dua orang tersebut meluncur ke bawah.
"Siapa sebenarnya orang ini? Sungguh licik dan berilmu tinggi, sehingga dua orang yang aku tahu salah satunya Begal yang menghadang para prajuritku dapat dengan mudah dijatuhkan," batin putri Nancin Cu dengan perasaan was-was. Ia memang perlu mengalami kecemasan, sebab Datuk Raja Beracun merupakan orang baru dalam penglihatannya. Setiap orang baru tentunya tak dapat diterka pikiran dan perbuatannya.
"Anak manis, kau akan aku bawa ke pulau tempatku tinggal. Di sana tak seperti di sini yang serba keras. He, he, he..." Habis berkata begitu pada Nancin Cu yang masih tertotok dan berada dalam bopongannya. Dengan meninggalkan gelak tawa berkepanjangan Datuk Raja Beracun segera berkelebat tinggalkan tempat itu, pergi.
Selang tak begitu lama kemudian, nampak dua orang dengan membawa senjata pedang di pundaknya berjalan ke arah situ. Kedua orang yang tidak lain Wang dan San Ing yang tengah mencari tuan putri dan para musuhnya dengan wajah setengah murung terus melangkah menuju ke tempat tersebut. Sesaat keduanya berhenti, berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Mata kedua pendekar Cina itu seketika membelalak, mana kala melihat beberapa tapak kaki yang masih melekat jelas di tanah yang sedikit basah.
"Rupanya barusan ada yang bertempur di sini, Saudara Wang."
"Ya, coba lihat bekas kaki-kaki ini. Bukankah ini menggambarkan bahwa seretan kaki orang perang?" balik bertanya Wang, matanya mengerut penuh ketidakmengertian. "Mungkin di jurang itu ada orang yang kalah."
San Ing dan Wang segera menelusuri jejak-jejak kaki yang masih tergambar jelas menapak di tanah. Mata mereka terus melekat pada jejakjejak tersebut. Tak lama kemudian keduanya terbawa oleh jejak kaki menuju ke jurang. Seketika mata kedua pendekar Cina itu kembali menyipit, tatkala dilihatnya jejak kaki itu hilang setelah berada di bibir jurang.
"Tak salah!" pekik Wang mengejutkan San Ing yang seketika menghampiri dan turut memandang ke bawah jurang yang tajam, sehingga hanya nampak gelap gulita.
"Memang benar, ternyata di bawah jurang sana ada orang."
"Heh, benar!" Wang memekik manakala menajamkan pendengarannya.
"Bagaimana, apakah perlu kita bantu?" tanya San Ing, menjadikan Wang seketika mengerutkan kening. Bagaimana mungkin mereka akan membantu? Bukankah jurang itu curam dan dalam?
"Kau jangan bercanda, San? Mana mungkin kita dapat membantu mereka? Mereka yang berilmu tinggi pun, aku rasa tak akan mampu menundukkan jurang yang dalam dan curam ini, apa-lagi kita?"
Terdiam San Ing demi mendengar pertanyaan Wang yang nadanya tak yakin. Memang apa yang dikatakan Wang ada benarnya. Bagaimana mungkin mereka dapat membantu orangorang yang ada di dalam jurang yang dalam dan curam? Sedangkan orang-orang yang berada di dalam jurang adalah dua orang yang mempunyai nama di dunia persilatan, ternyata mereka saja tak mampu menolong diri mereka sendiri. Tengah kedua pendekar Cina itu terdiam tak mengerti harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar seruan dua orang dari bawah jurang yang tak nampak orangnya.
"Ki Sanak yang berada di atas, dapatkah Ki Sanak menolong kami?"
"Hai, ternyata di bawah bukannya hanya seorang. Ternyata mereka berdua," gumam San Ing sedikit kaget. Dipandangnya Wang yang juga memandang ke arahnya. "Bagaimana, Saudara Wang? Apakah kita akan menolong mereka?"
"Bagaimana caranya, Saudara San? Sedangkan kita tak dapat berbuat banyak," lenguh Wang putus asa. "Apakah kita akan mengorbankan diri kita untuk menolong orang yang belum kita ketahui siapa adanya dan bagaimana sifat mereka? Aku takut nanti kita sendiri yang mengalami kesusahan. Kau mesti ingat, ini wilayah orang bukan wilayah kita. Kita belum tahu satu persatu sifat orang-orang Nusantara ini. Bayangkan saja, baru saja kita dihadapkan pada kejadian yang bagi kita tak masuk di akal,"
"Woi… Kalian yang berada di atas, apakah kalian tak mendengar seruan kami?" terdengar kembali seruan orang yang berada di bawah, menjadikan kedua pendekar Cina yang masih terpaku tak mengerti seketika kembali saling pandang seolah-olah ingin mencari kepastian di antara mereka.
Hati kedua pendekar Cina itu bimbang untuk berbuat. Keduanya masih terbayang kejadiankejadian yang baru saja keduanya alami, yang dirasa sangat menekan jiwa keduanya. Keduanya tak ingin kejadian yang tak diinginkan terulang untuk kedua kali. Korban telah banyak, apa mungkin diri mereka harus menjadi korban pula?
"Ah, kenapa Ki Sanak berdua hanya diam...?!"
"Kami bingung harus bagaimana. Apakah Ki Sanak yang berada di bawah dapat mencarikan kami jalan? Kalau memang Ki Sanak mampu mencarikan jalan, mungkin kami pun akan mampu untuk membantu Ki Sanak sekalian," jawab San Ing dengan logat Cinanya yang masih kentara menjadikan orang yang berada di bawah jurang mengerutkan kening.
Walau kekagetan orang yang berada di bawah jurang tidak diketahui oleh San Ing dan Wang yang berada di atas, namun dari ucapan orang tersebut jelas menunjukkan kekagetannya.
"Ah, kiranya kalian pimpinan prajurit Cina."
"Hai, kalian mengenal kami," tersentak Wang kaget demi mendengar ucapan orang yang berada di bawah. "Apakah kalian orang-orang yang telah mengeroyok dan membegal prajurit kami?"
Tak ada jawaban yang terdengar dari dasar jurang, menjadikan San Ing dan Wang kerutkan kening saling pandang. Kedua pendekar Cina itu kini mengetahui siapa adanya orang yang berada di dasar jurang itu. Hati mereka seketika diliputi rasa dendam benci yang teramat dalam. Maka dengan tanpa bicara lagi, kedua orang pendekar Cina itu pun berkelebat pergi tanpa menghiraukan seruan orang-orang yang berada di dasar jurang.
PULAU ANDALAS
Datuk Raja Beracun yang telah menguasai putri Nancin Cu dan membawanya ke pulau Andalas terus berusaha merayu putri tersebut agar mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri sang putri kelak keturunannya akan menjadi raja penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali sang Datuk berusaha mempengaruhi sang putri. Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia miliki namun ternyata tak ada yang mempan sedikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak mendapatkan hasil, sang Datuk hampir saja putus asa kalau saja pembantu setianya yang bernama Datuk Begugu, tidak kembali memberi semangat.
"Jangan tuan putus asa dulu, sebab tidak mungkin nantinya kalau tuanlah yang bakal mendapatkan anugrah tersebut," kata Datuk Begugu memberi saran, manakala didengarnya keluhan tuannya yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Begugu. Dan nyatanya, ah... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Raja Beracun. "Bukannya sekali aku mencoba pengaruhi dia, tapi sepertinya tak ada yang dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tidak lebih baik aku perkosa saja?"
Tersentak kaget Datuk Begugu mendengar ucapan tuannya. Ia tak menyangka kalau tuannya yang sangat kokoh dan ulet akan prustasi menghadapi putri Cina tersebut. Memperkosa, berarti hubungan yang tidak selaras. Hal itu tidak mungkin tidak akan menjadikan sebuah tekanan jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa tuan begitu cepat putus asa?" tanya Begugu tercenung. "Memperkosa itu tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terlalu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini dianggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kembali meminta maaf."
"Hem, katakanlah. Bagiku kau sama saja dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang setia, yang selalu memberikan saran yang baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau ragu, Begugu."
Datuk Begugu sesaat terdiam, tundukan kepala sembari menarik napas panjang. Sesaat kemudian sang Datuk pun menengadahkan wajahnya, memandang pada tuannya yang nampak menggurat rasa ketidak mengertian. Setelah kembali menunduk Datuk Begugu pun akhirnya membuka suara berkata:
"Menurut hamba yang telah tua, perkosaan itu tidak baik bagi diri kita. Pertama, kita akan menanggung beban mental yang berat kalau-kalau sampai orang yang diperkosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan kita dengan yang diperkosa akan menjadikan sebuah hubungan pertumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunanku berani melawanku?" Datuk Raja Beracun mengelak seakan tak yakin dengan segala ucapan Datuk Begugu. "Tak akan anak berani dengan orang tua."
"Itu menurut pendapat tuan. Tapi perlu tuan ingat, bukankah anak akan lebih dekat dengan sang ibu?"
Terangguk-angguk kepala Datuk Raja Beracun mendengar keterangan pembantunya. Dirasakannya segala petuah pembantunya memang benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha sedini mungkin untuk dapat menggugah hati putri raja Cina, dan nyatanya segalanya mengalami hasil nihil. Namun bila niatnya untuk memperkosa putri raja Cina itu dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Begugu akan menjadi kenyataan.
Lama Datuk Raja Beracun terdiam membisu, angannya melayang pada khayalan untuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhormat. Orang yang menurunkan raja-raja di pulau Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama kelamaan akan ada orang lain yang berilmu lebih tinggi darinya dapat merebut putri Nancin Cu. Apakah tidak mungkin itu terjadi?
"Hem, sungguh aku terlalu penakut. Biarlah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang akan menjadikan namaku dihormati. Bukankah margaku nanti yang menjadi raja? Persetan dengan segala balas dendam, bagiku yang utama aku berhasil mendapatkan anak dari putri Nan yang kelak akan menjadi raja," gumam hati Datuk Raja Beracun
"Baiklah aku pura-pura menuruti apa yang dikatakan oleh pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Begugu. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak boleh melakukan itu. Apakah kau dapat membantuku mencarikan seorang dukun yang dapat memikat putri Raja Cina itu, Begugu?" tanyanya kemudian.
Datuk Begugu kembali terdiam hening, pikirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati Datuk Begugu ada rasa kasihan melihat Nancin Cu. Putri raja Cina itu begitu mengibakan hatinya. Putri itu setiap hari-harinya hanya melamun dan menangis. Makanan yang dihidangkan tak pernah disentuhnya, sehingga badannya kurus kering. Pernah Begugu mencoba bertanya bagaimana dengan diri putri tersebut. Jawabannya sungguh mengejutkan, sang putri memilih lebih baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Raja Beracun yang jahat dan keji.
"Kenapa, Begugu? Kenapa kau terdiam melamun?"
Tersentak Datuk Begugu dari lamunannya, mana kala mendengar pertanyaan Datuk Raja Beracun yang secara tiba-tiba itu. Maka dengan gagap Datuk Begugu menjawab. "Am-ampun, hamba tengah berpikir bagaimana supaya segalanya dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga hamba akan berusaha kembali mencarikan seorang dukun pemikat."
"Hua, ha, ha... Bagus, bagus. Kalau kelak aku mendapatkan putri tersebut, maka kau akan aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan aku berikan separuh dari kekuasaanku. Dan kau akan aku jadikan Raja Datuk Begugu, bagaimana?"
"Terimakasih atas segala yang bakal tuan berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, hamba lebih senang mengabdi pada tuan Datuk yang terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama Datuk, sebab tuan Datuk sangat tinggi ilmunya," berkata Datuk Begugu dengan nada menyanjung, menjadikan Datuk Raja Beracun kembali gelak tawa senang.
Saking senangnya sang Datuk, sampai-sampai ia melupakan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari Minggu Manis, kala biasanya Datuk Raja Beracun melakukan meditasi. Namun hari itu ia lupa. Hal ini akan menjadikan dirinya berkurang ilmu yang dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian tidak menjalankan nyepi, niscaya kemudaan sang Datuk akan pudar dan akan tampaklah wajahnya yang asli.
Tersentak Datuk Raja Beracun mana kala mengingat itu, serta merta ia berlari tinggalkan pembantunya yang hanya terbengong-bengong tak mengerti menuju ke kamar khususnya. Dengan napas memburu dan keringat dingin bercucuran, Datuk Raja Beracun segera pusatkan segalanya menuju satu titik temu. Setelah sesaat hat itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening, terdengar sayup-sayup suara auman dahsyat memecah ruangan gelap itu.
"Auuuummm...."
"Guru, ampunilah kelalaian murid." Gemetaran Datuk Raja Beracun seperti ketakutan. Wajahnya yang tampak biasanya sadis, kini berubah pucat memutih bagaikan tak berdarah setetes pun. "Ampunilah kelalaian murid, Guru,"
Kata-kata itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa kali. Ketiga kata ulang berulang itu mencapai sepuluh kali, tampak sebuah bayangan keluar dari balik dupa. Tubuh itu, jelas nampak sesosok tubuh harimau besar dan tinggi, tak lajim dengan harimau biasa. Tubuh hari mau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor, Senta! Aku lapar, Senta! Aku lapar!" terdengar seruan harimau itu dengan mata menyorot merah marah. Liurnya yang berbau menyengat terasa menusuk hidung, menjadikan rasa mual. "Kau harus mencarikan darah untukku, darah perawan."
"Apakah tidak bisa ditunda, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masing siang, Guru?" keluh Datuk Raja Beracun.
Namun bagaikan tak mau perduli Harimau Iblis itu menggeram, mengeluarkan aumannya yang melengking dan mendirikan bulu kuduk. "Jangan kau ingkar, Senta! Ingat perjanjian yang telah kita lakukan. Bukankah kau akan memberikan padaku sebaskom darah bila hari Minggu Manis? Kenapa kau lalai? Apakah darahmu yang akan aku minum, hah!"
"Ampun, Guru. Baiklah, murid akan mencarikannya. Murid minta, guru untuk bersabar sesaat."
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam," ucap harimau itu, sebelum pergi menghilang meninggalkan Datuk Beracun yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengucapkan mantra, Datuk Raja Beracun melakukan pangling ujud, seketika ujud sang Datuk berubah menjadi harimau hitam legam. Tanpa menunggu-nunggu lagi, harimau jejadian sang Datuk mengaung lalu berkelebat pergi tinggalkan kamar tersebut lewat jendela.
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa terus menerobos hutan belantara, menuruni lembah dan melompati sungai bagaikan terbang. Raungannya yang kencang, seketika menjadikan bulu kuduk yang mendengarnya meremang berdiri. Harimau itu dikenal oleh penduduk dengan sebutan Datuk Kumbang, yang keluar pada waktu hari Minggu Manis belaka.
Tengah Datuk Raja Beracun mencari mangsa yaitu darah gadis, di rumah tepatnya dikerangkeng yang digunakan untuk menyekap putri Nancin Cu seorang lelaki muda datang menemui gadis itu. Bila dilihat dari gerak-geriknya, jelas lelaki muda itu hampir mirip dengan Datuk Begugu tangan kanan Datuk Raja Berbisa. Namun kenapa tiba-tiba saja menjadi muda dan tampan? Lalu siapakah anak muda itu sebenarnya?
Pemuda itu, tak lain dari Amangkurat sendiri. Sengaja Amangkurat menyamar menjadi Datuk Begugu agar supaya dirinya dapat menemui putri Nancin Cu yang dibawa oleh Datuk Raja Berbisa. Amangkurat tahu betapa ilmu Datuk Raja Berbisa sangat tinggi, tak mungkin untuk melawannya. Desas-desus bahwa akan datang di Nusantara seorang wanita yang kelak melahirkan raja-raja di pulau Andalas memang sudah tersebar sejak Amangkurat belum menjadi raja Mataram. Hal itu setelah diketahui olehnya bahwa gadis itu putri Raja Cina yaitu Nancin Cu, maka Amangkurat pun segera menyelidikinya. Pantaslah kalau dulu Amangkurat tak menampakkan diri.
Tersentak kaget Nancin Cu, mana kala melihat siapa adanya lelaki yang mendatanginya. Wajah lelaki itu sangat mengingatkan Nancin Cu pada seseorang yang ia kenal. Nancin Cu kerutkan kening mencoba mengingat-ingat. Lalu dengan nada heran bercampur tak mengerti Nancin Cu bertanya:
"Siapakah kau? Dilihat dari jalanmu, sepertinya engkau ini mirip dengan Datuk Begugu. Apakah kau anaknya?"
Amangkurat atau Datuk Begugu tersenyum mendengar pertanyaan Nancin Cu. Amangkurat perlahan makin mendekat, lalu dengan segera ia pun membuka pintu kerangkeng setelah terlebih dahulu mengawasi sekelilingnya. Dengan senyum mengembang di bibir Amangkurat berkata pelan setengah berbisik.
"Kau masih ingat aku, Nona Nan?"
"Hai, kau mengenal namaku?" desis Nancin Cu kaget. "Bukankah kau... kau," Nancin Cu tak dapat meneruskan kata-katanya.
Seketika hatinya berdegup kencang. Walau matanya dapat dikibuli dengan topeng tua penutup wajah yang tiap hari dipakai Amangkurat, namun gerak gerik dan tutur kata Amangkurat jelas melekat dalam ingatannya. Kembali Nancin Cu mengingat-ingat kejadian di negerinya sana, mana kala untuk pertama kalinya Amangkurat memperkenalkan diri. Suara Datuk Begugu memang persis dengan suara Amangkurat.
"Apakah Amangkurat... Ah, tidak. Walau mataku dapat kau dustai, namun kata hatiku tidak, Amangkurat. Kau adalah Amangkurat, ya Amangkurat yang aku cintai," desis hatinya berbunga. Tak terasa air matanya meleleh, menjadikan Datuk Begugu atau Amangkurat seketika tak tahan dengan segera membelai pipi kuning langsat itu. Hal ini menjadikan Nancin Cu tergetar, ia merasa tak ada perbedaan dengan apa yang pernah ia alami mana kala kejadian serupa di negerinya. Dengan terisak dan kata terbata Nancin Cu mendesah. "Amangkurat, kaukah ini?"
Amangkurat hanya dapat mengangguk tanpa dapat berkata apa-apa. Hatinya trenyuh berbaur dengan rasa iba, melihat air mata meleleh di pipi sang kekasih. Dengan lembut, diusapnya air mata itu menggunakan telunjuknya.
"Kenapa kau tak menjemputku, Koko Amangkurat? Kenapa?" desak Nancin Cu ingin tahu apa sebabnya Amangkurat tak menjemput kedatangan mereka. "Apakah memang kau sengaja bersekongkol dengan orang-orang itu?"
Ditanya begitu rupa, menjadikan Amangkurat susah untuk berkata-kata. Dihelanya napas panjang-panjang, lalu dengan suara berat lirih setengah berbisik Amangkurat pun berkata: "Nona Nan, memang aku sengaja memerintahkan pada seluruh teman-temanku untuk pura-pura menyerangmu. Tapi perlu kau ketahui, bahwa panglima perangmu yang mati itu adalah mata-mata Datuk Raja Berbisa yang disuruh menjemputmu dari negeri Cina."
Terbelalak seketika mata Nancin Cu kaget, mana kala mendengar penuturan Amangkurat. Ia tak menyangka, kalau ternyata kehadirannya di pulau Jawa telah dikawal oleh seorang mata-mata musuh. Walaupun akhirnya dirinya terperangkap oleh Datuk Raja Berbisa, namun ia agak tenang sedikit karena ternyata segala tindakan orang-orang Mataram ada benarnya juga. Bayangkan kalau tidak terjadi begitu, niscaya sudah sejak awal dirinya terkena tipu muslihat Ranesa. Namun bagaimana pun Nancin Cu tak mau segera meyakini apa yang dikatakan oleh Amangkurat.
"Ah, mana mungkin? Bukankah ayahanda telah mengambilnya dengan bayaran yang mahal serta seleksi yang ketat?" tanya Nancin Cu seakan tak yakin. "Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?"
Amangkurat tersenyum, melihat Nancin Cu kini tidak menangis lagi. Perlahan didekapnya tubuh Nancin Cu erat, menjadikan Nancin Cu seakan tersengal untuk bernapas. Walau dadanya terasa sesak akibat desakan dada Amangkurat, tapi Nancin Cu tersenyum juga. Dengan agak sedikit manja diciumnya bibir Amangkurat. Darah Amangkurat seketika tergetar hebat.
Walaupun ia tahu bahwa orang di hadapannya yang kini menggurat bibirnya tak lain calon istri, tapi dia kini dalam kandang macan. Kalau lengah sedikit niscaya korbannya adalah nyawa. Amangkurat mencoba bertahan dari amukan badai yang menerjan-nerjang di lubuk hatinya, namun ternyata badai itu lebih besar dan lebih kuat menghantam. Tanpa ayal lagi, gelombang nafsu yang dilancarkan putri Nancin Cu seketika membobol benteng hati Amangkurat.
Perlahan namun pasti, Amangkurat membimbing tubuh Nancin Cu ke luar dari ruang kerangkeng. Tubuh putih mulus itu kini tak berbenang sehelai pun, telanjang membugil. Sekejap saja, kedua orang yang dilanda badai birahi itu akhirnya terlelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan panjang yang mendayu.
Betapa murkanya Datuk Raja Berbisa, mana kala melihat apa yang telah kedua orang itu perbuat. Walau keduanya telah mengenakan pakaian masing-masing, namun Datuk Raja Berbisa dapat menduga apa yang keduanya lakukan. Dari keringatnya, jelas mereka habis melakukan apa yang seharusnya tak perlu terjadi. Sang Datuk yang saat itu membawa korban seorang gadis dengan tubuh terkoyak-koyak matanya memandang penuh hawa membunuh pada keduanya.
Sesaat Datuk Raja Beracun menggeram marah, mimik mukanya menandakan kekesalannya. Darah Datuk Raja Beracun sudah tak terbendung, seakan hendak muncrat ke luar. Tapi seketika ia ingat akan gurunya, serta merta dengan terlebih dahulu membentak Datuk Raja Beracun pergi.
"Hem, aku tengah ada urusan dengan guru. Kalau tidak, maka kalian akan aku cabik-cabik seperti tubuh gadis ini!" geramnya marah, dengan tangan masih menyeret tubuh gadis yang koyak-koyak. "Tapi nanti pun akan kalian alami hal demikian!"
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun segera kelebat pergi menuju ke ruang pemujaan. Dicobanya untuk tenang melakukan meditasi namun hatinya selalu gelisah dan bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya orang yang mengaku-aku tangan kanannya.
"Memang aku mengenalnya baru beberapa bulan belakangan ini. Dia mengaku bernama Datuk Begugu. Hem, apakah kiranya dia juga mempunyai maksud sepertiku? Ah, aku telah keduluan. Aku telah keduluan olehnya. Jadi aku tak akan menjadi ayah dari raja-raja yang akan memimpin pulau Andalas. Aku akan membunuh mereka. Bedebah! Mereka seolah-olah saling menyintai. Datuk Begugu bajingan! Aku bunuh engkau!"
Hati Datuk Raja Beracun gundah gulana. Kesal, marah, merasa ditipu mentah-mentah oleh orang yang selama ini dijadikan tangan kanannya. Karena pikirannya tak tenang, menjadikan Datuk Raja Beracun tak dapat segera menyambung kontak batinnya dengan sang Guru. Kembali dicobanya untuk tenang, namun bayangan kebencian dan keputusasaan lebih melanda emosinya. Tibatiba dari arah depannya yang berdiri dupa melompat ke luar seekor harimau. Harimau itu yang tak lain Siluman guru sang Datuk menggeram.
"Kenapa kau tidak segera menyajikan darah itu padaku? Apakah kau belum dapat?" tanya Siluman Harimau. Matanya bersinar menyala, sepertinya memendam api, entah api apa.
"Ampun, Guru. Semuanya sudah saya sediakan."
"Mana...?" tanya Siluman Harimau dengan mimik muka bersinar terang, tak kelabu seperti semula.
Datuk Raja Beracun dengan menunduk hormat segera tunjukkan darah yang mengembang di dalam baskom. Dengan tertawa bergelakgelak layaknya manusia, Siluman Harimau itu tanpa berkata lagi segera meminum darah itu dengan lahapnya hingga dalam waktu singkat darah itu ludes terminum semua. Siluman Harimau itu sesaat terduduk kekenyangan, wajahnya tak seganas tadi. Kini wajah itu bukanlah wajah harimau yang menakutkan, tapi berubah perlahan-lahan menjadi wajah manusia. Segera sang Datuk menyembah.
"Sudah siapkah kau menerima penambahan ilmu?"
"Sudah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Tapi nampaknya pikiranmu tak tenang, kenapa?" tanya Siluman Harimau penuh selidik, menjadikan Datuk Raja Beracun seketika terjengah menundukkan kepala. "Hem, kau seperti orang yang patah semangat. Apa pula yang tengah kau pikirkan? Adakah masalah yang sukar untuk kau pecahkan? Atau barangkali ada musuh yang ilmunya melebihi ilmu yang kau miliki?"
Setelah lama terdiam dengan tundukkan muka, Datuk Raja Beracun akhirnya ceritakan apa yang sebenarnya dipikirkan. Ia memikirkan tentang kegagalannya untuk menjadi ayah dari calon raja-raja yang kelak menguasai pulau Andalas, sesuai dengan wangsit yang dia terima.
"Muridku, memang wangsit itu telah menyebar. Tidak kau saja yang menerimanya, namun hampir seluruh kerajaan di Nusantara ini mendengarnya. Hanya satu orang yang beruntung mendapatkan hati gadis itu, karena memang keduanya telah sekian lama bertemu."
"Siapakah orangnya, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun setelah tenang kembali dari keterkejutannya. Dalam hatinya seketika membersit sumpah serapah pada Datuk Begugu tangan kanannya yang telah mendapatkan gadis itu. "Begugu bajingan! Aku akan membunuhnya!"
"Kau sudah tekad hendak membunuh pemuda itu?"
"Ah, ternyata guru telah mengetahui keinginanku. Begitulah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun setengah kaget, menjadikan Siluman Harimau terkekeh gelengkan kepala.
"Memang itu yang harus kau lakukan sebagai pengikutku. Ketahuilah olehmu, bahwa pemuda itu tak lain dari pada turunan Penguasa Laut Selatan. Dia adalah Amangkurat, raja dari Mataram."
"Apa...?" tersentak Datuk Raja Beracun kaget, manakala mengetahui siapa adanya orang yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk Begugu, "Jadi... jadi dia seorang Raja?"
"Ya, kenapa? Kau takut?"
"Tidak, Guru."
"Bagus! Memang kau tak perlu takut padanya. Di sini, Penguasa Laut Selatan tak akan dapat membantunya. Mumpung masih di sini, bertindaklah. Sebagai muridku, kau harus berani pantang untuk mengenal takut. Percayalah, kau tak akan mati sekarang. Sekarang ini tak ada seorang tokoh silat mana pun yang mampu mengalahkan dirimu, kecuali dia turunan siluman juga."
"Baiklah, Guru. Aku hendak membunuh Amangkurat. Akan aku minum darahnya sebagai tanda rasa kekecewaanku."
"Hem, bagus. Nah, lakukan apa yang menjadi tugasmu. Hua, ha, ha..." bergelak tawa Siluman Harimau mendengar kesanggupan muridnya. Maka setelah menerima sembah dari sang murid, Siluman Harimau itu pun berkelebat pergi ke alamnya kembali.
Asap dupa masih mengepul, menjadikan ruangan itu seketika terpenuhi oleh gulungan-gulungan asap. Bersamaan makin menebalnya asap dupa, seketika tubuh Datuk Raja Beracun berubah perlahan menjadi seekor harimau yang besar. Setelah mengaum sesaat dengan auman yang memekakkan telinga, Siluman Harimau itu berkelebat menerobos dari jendela keluar menembus sore hari yang agak gelap meremang.
Lama harimau jejadian itu menunggu di depan pintu rumahnya, namun ternyata orang yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul. Tengah Datuk Raja Beracun yang telah menjelma menjadi harimau jejadian itu menunggu kedatangan kedua orang yang ada di dalam rumahnya, terdengar suara Siluman Harimau berkata.
"Muridku, dua orang yang kau tunggu sudah tak ada di tempatmu, mereka telah melarikan diri sebelum kau keluar. Kini mereka tengah menuju ke arah Selatan. Mereka bermaksud menuju ke pulau Jawa kembali."
Mendengar ucapan gurunya, tanpa banyak kata lagi Datuk Raja Beracun yang telah menjadi harimau segera berkelebat menuju ke arah Selatan. Larinya bagaikan kilat, seakan terbang. Pikirannya telah dirasuki hawa kemarahan dan pembunuhan. Kekecewaan yang telah mengerak di hatinya, seolah-olah menuntutnya untuk menghisap darah Amangkurat.
"Tak akan aku tenang bila belum menghisap darah Amangkurat sialan itu!"
Matanya yang tajam seketika memancarkan sinar bagaikan menerangi langkah larinya. Tak lama harimau jejadian itu berlari, seketika matanya memandang ke depan dengan beringas. Tampak di depannya agak jauh berlari-lari dua orang pemuda dan gadis.
"Hem, itu dia..." Harimau jejadian itu makin mempercepat langkahnya. Angin desiran kelebatan larinya, menjadikan topan puting beliung yang mampu menggoyangkan pepohonan.
Hal itu terasa oleh Amangkurat, yang seketika itu pula palingkan muka ke belakang. Sesaat Amangkurat tersentak kaget, darahnya seketika mendesir. Amangkurat tahu kalau harimau itu tak lain dari pada Datuk Raja Beracun.
"Hem, rupanya dia telah mengejar kami. Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup, aku terpaksa menghadapi harimau itu," gumam hati Amangkurat.
"Nancin Cu, kau menyingkirlah dulu."
"Kenapa, Kakang?"
"Kau pergilah lebih dahulu. Bila aku tak menyusulmu, itu berarti aku telah binasa di tangan Datuk Raja Beracun itu."
Terkesiap Nancin Cu, mana kala melihat seekor harimau besar berlari kencang menuju ke arah mereka. Mata harimau itu sepertinya menyorotkan sinar merah membara bagaikan bola api, menghunjam pada mata Nancin Cu.
"Menyingkirlah, Nancin."
"Tapi, kakang," Nancin Cu bermaksud menolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk meninggalkan Amangkurat. Ia takut kalau-kalau Datuk Iblis itu akan menjadikan tubuh Amangkurat terkoyak-koyak seperti gadis yang dibawanya.
"Aku katakan, menyingkirlah. Demi dirimu, biarkan aku menghadapi iblis itu sendirian. Sedapatnyalah kau berlari menyelamatkan dirimu dan anak kita nantinya," perintah Amangkurat.
Sesaat Nancin Cu terdiam memandang lekat pada Amangkurat seakan penuh kebimbangan. Amangkurat yang mengerti, segera dengan lembut kecup kening kekasihnya seraya berbisik lembut.
"Pergilah, jangan sampai kita berdua mati. Ingat, menurut wangsit kaulah orang yang akan menurunkan anak raja-raja nantinya. Aku hanya titip anakku yang telah kutanam di rahimmu."
"Dengan senang hati, Kanda..."
"Nah, berangkatlah pergi. Aku hanya berdo'a semoga Datuk Iblis itu tak akan mencelakaimu."
Setelah sesaat kembali memandang pada Amangkurat, dengan hati setengah ragu Nancin Cu pun berangkat pergi meninggalkan kekasihnya yang kini masih berdiri tegak menanti kedatangan Datuk Raja Beracun. Mata Amangkurat tajam menantang sorot mata harimau jejadian itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin mengucap kata sepatahpun. Mana kala harimau jejadian itu makin mendekat, Amangkurat segera melangkah mendekati.
"Amangkurat, hari ini juga riwayatmu akan habis!" seru Datuk Raja Beracun marah masih dalam bentuk harimau. "Kau telah menggagalkan segala cita-citaku. Kau telah menipuku mentah-mentah dengan pura-pura jadi pembantuku. Hem, licik kau Amangkurat!"
"Datuk Raja Beracun, kau memang tak berhak menjadi seorang ayah dari raja-raja yang kelak memimpin di pulau Andalas ini, kenapa kau mesti marah dan prustasi?" jawab Amangkurat tenang. "Ketahuilah olehmu, bahwa Nancin Cu memang sudah digariskan oleh Yang Wenang untukku bukan untukmu."
"Hem... Jangan banyak omong. Aku tak akan tenang bila belum menghisap darahmu dan darah kekasihmu itu, hiat...!"
Rupanya kemarahan Datuk Raja Beracun tak terbendung lagi, sehingga tanpa banyak kata lagi dia segera berkelebat menyerang Amangkurat. Sebagai salah seorang dari Panca Leluhur Sakti, tidak menjadikan Amangkurat gentar diserang begitu rupa. Jiwa seorang pendekarnya seperti tersenyum. Memang senyum bukan bahagia, namun senyum seakan dia dibangkitkan lagi dari ketidurannya.
Memang sejak menjadi raja, Amangkurat telah melupakan dunia persilatan. Amangkurat lebih banyak berkecimpung dalam dunia ketatanegaraan. Walaupun demikian, bukan berarti Amangkurat hilang segalanya. Ilmunya sebagai ketua Panca Leluhur Sakti bukanlah ilmu yang ringan. Namun seperti kata pepatah, rejeki, maut, jodoh dan nasib bukan manusia yang menentukannya. Seperti juga pertarungan Amangkurat melawan Datuk Raja Berbisa. Walau sesakti apapun Amangkurat, tapi kalau nasibnya sedang jelek maka bukan kemenangan yang ia peroleh.
Kelicikan Datuk Raja Beracun rupanya memang tersohor. Maka dengan kelicikan itu pula, Datuk Raja Beracun menjatuhkan Amangkurat yang merupakan salah seorang tokoh Panca Leluhur Sakti. Tubuh Amangkurat seketika melesat, jatuh ke bawah jurang mana kala hendak menghindari serangan jarum-jarum beracun Kecubung Ungu yang di-lontarkan Datuk.
Datuk Raja Beracun sejenak terkesima melihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya tiba-tiba tanpa ia duga melayang ke bawah jurang. Gagallah cita-citanya untuk menghisap darah Amangkurat. Maka sebagai pelampiasan kemarahannya, ditendangnya batu besar yang seketika menggelinding jatuh ke bawah jurang dengan harapan tubuh Amangkurat tertindih batu tersebut.
Setelah sesaat memaku di tempatnya, Datuk Raja Beracun seketika teringat dengan Putri Nancin Cu yang tadi berlari meninggalkan Amangkurat. Segera Datuk Raja Beracun memburu pergi mencarinya. Namun sungguh membuat sang Datuk terheran-heran, sebab tiba-tiba Nancin Cu telah lenyap menghilang.
Merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Datuk Raja Berbisa dengan penuh kekecewaan hancurkan batu-batuan yang menutupi tempat-tempat yang dianggapnya dapat untuk bersembunyi. Setelah tak mendapatkan hasil, Datuk Raja Beracun menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan. Suaranya seketika melengking bagaikan jeritan histeris.
Di manakah Nancin Cu? Bagaimana pula dengan nasib Amangkurat? Nah, ikuti terus kisah ini pada bab selanjutnya.
DUA PULUH TAHUN setelah kejadian itu, di sebuah lereng gunung Kerinci nampak seorang pemuda bertubuh tegap dan dada berisi berteriak-teriak dengan tubuh sekali-kali berkelebatkelebat laksana burung elang. Gerakan pemuda itu gesit, sekali-kali mencelat ke udara. Lalu menukik ke bawah dengan lengkingan memekikkan. Lengkingannya saja mampu meruntuhkan bebatuan, apa lagi tenaga anak muda tersebut, mungkin melebihi seribu ekor kuda jantan. Dan...
"Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
"Duar, duar, duar!"
Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghantam bebatuan gunung Kerinci yang seketika itu pula runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil yang telah dicapainya, pemuda berkulit kuning itu sesaat terpaku diam.
Dari jarak yang agak jauh dua orang memandang ke arahnya dengan pandangan mata kagum. Salah seorang dari mereka adalah seorang kakek tua renta berpakaian serba putih dan berjanggut serta rambut putih semua, dialah Daeng Dato Kumbuh. Seorang lagi adalah seorang wanita setengah baya yang wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang Cina, ia tak lain putri Nancin Cu ibu dari pemuda itu. Walau usianya telah tua, namun kecantikan wajah Nancin Cu jelas masih tergambar di wajahnya. Matanya yang lentik, memandang penuh rasa bangga pada sang anak.
Melihat kedua orang tua itu datang menghampiri, pemuda yang tadi latihan segera hampiri mereka. Dengan penuh hormat sang pemuda sujud di kaki dua orang tua itu, dan berkata:
"Ibu dan kakek, terimalah sembah ananda."
"Dengan do'a kakek ucapkan sejahtera untukmu," jawab Daeng Dato Kumbuh. Dibelainya rambut pemuda itu dengan kasih. "Daeng Surih, kau kini telah dewasa. Ilmumu kakek rasa cukup, maka kakek tak segan-segan memberi nama pada mu Daeng yang berarti orang besar atau pimpinan kaum. Apa yang hendak engkau lakukan setelah semuanya kau miliki, Cucuku?"
"Ah, Kek. Surih belum memikirkan untuk berbuat apa. Surih masih ingin berbakti pada kakek dan bunda, bolehkan, Kek?"
"Boleh, kenapa tidak. Kau adalah cucuku, jadi kau adalah warga Daeng," jawab sang kakek setelah sesaat memandang pada Nancin Cu yang tersenyum mengangguk. "Tapi, kakek rasa apakah kau tidak ingin menambah pengalamanmu?"
Daeng Surih terdiam, memandang lekatlekat pada wajah ibunya yang masih tersenyum. Dalam hati Daeng Surih terbersit beberapa macam pertanyaan manakala memandang pada ibunya. Wajah ibunya memang mirip dengan wajahnya. Tapi yang belum Daeng Surih mengerti, siapakah ayahnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu menggaung dalam lubuk hatinya.
Sejak kecil ia tak mengetahui siapa adanya sang ayah. Ia dididik dan dibesarkan oleh ibunya bersama Daeng Dato Kumbuh yang sudah dianggap kakeknya sendiri. Perlahan-lahan Daeng Surih bangkit dari jongkoknya. Dihampiri sang ibu yang tersenyum. Niatnya untuk bertanya pada sang ibu siapa adanya ayahnya dan di mana sekarang, telah membulat.
"Maaf, Bunda. Bolehkah Surih bertanya?"
"Oh, tanya apa, Anakku?"
Daeng Surih kembali terdiam tak menjawab. Kembali ia memandang wajah sang ibu, sesaat kemudian. "Ibu, kalau boleh Surih tahu, siapa ayah Surih sebenarnya? Surih selalu bertanya pada diri Surih sendiri, tentang siapa sebenarnya ayah Surih. Dapatkah ibu menjawabnya?"
Mendengar pertanyaan sang anak, seketika air mata Nancin Cu berlinang. Ia kembali teringat pada kekasihnya Amangkurat yang entah hidup atau mati. Bayangan wajah Amangkurat, sebenarnya tertempel lekat pada wajah anaknya. Maka itu, kalau ia melihat wajah sang anak kembali Nancin Cu diingatkan pada Amangkurat. Amangkurat yang tampan dan telah mampu merebut hatinya hingga ia nekad datang ke Nusantara untuk menemuinya sampai terlunta-lunta.
Namun kebahagiaan mereka seketika lenyap, manakala Datuk Raja Beracun yang berambisi untuk menjadi suaminya telah menghancurkan kebahagiaan itu. Kini sudah dua puluh satu tahun lamanya Amangkurat tak muncul, jadi jelasnya Amangkurat telah tiada. Namun Nancin Cu tak berani untuk mempercayai kata hatinya, ia masih menyangka kalau Amangkurat mungkin masih hidup hanya saja tak tahu di mana sekarang.
"Kenapa ibu menangis?"
Tersentak Nancin Cu seketika, mana kala tiba-tiba suara Daeng Surih memecahkan lamunannya. Dengan tangan mengusap air mata yang meleleh Nancin Cu akhirnya menjawab: "Anakku, kalau kau ingin tahu siapa ayahmu, ibu akan memberitahukannya. Tapi bila kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh ibu tak tahu di mana ayahmu sekarang. Entah hidup atau mati."
"Kenapa bisa begitu, Bu?" Daeng Surih seketika tersentak mendengar ucapan ibunya yang dirasa kurang dapat diterima. Ibunya selalu berusaha menutup-nutupi apa yang sekiranya ingin Daeng Surih ketahui.
"Surih anakku, ayahmu adalah seorang raja. Dia bernama Amangkurat, yaitu raja kerajaan Mataram. Dulu ayahmu datang ke pulau ini untuk mengajak ibu ke pulau Jawa. Waktu itu ibu dalam sekapan Datuk Raja Beracun, yang ingin memaksa ibu untuk menjadi istrinya. Karena ibu menolak, rupanya Datuk Raja Beracun marah. Maka sejak saat itu ibu disekap...."
Nancin Cu dengan suara bergetar menceritakan segala apa yang pernah dialaminya selama di pulau Andalas itu. Dari pertama datang dari Cina, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Amangkurat yang entah mati atau hidup di tangan Datuk Raja Beracun. "Begitulah, Anakku. Ibu sendiri tak tahu hidup atau matikah ayahmu mana kala bertarung melawan Datuk Raja Beracun, sebab ibu tiba-tiba jatuh pingsan dan tahu-tahu telah berada di rumah kakekmu ini."
"Siapa sebenarnya Datuk Raja Beracun itu, Kek?"
Ditanya seperti itu oleh Daeng Surih, Daeng Dato Kumbuh tersenyum. Ditariknya napas sesaat, lalu dihembuskannya perlahan sepertinya ingin membuang segala kepedihan cerita manusia di sekelilingnya. Dengan tangan memegang pundak Daeng Surih, serta tangan kiri memegang sebuah seruling, Daeng Dato Kumbuh akhirnya berkata:
"Datuk Raja Berbisa adalah tokoh silat aliran sesat yang ilmunya sangat tinggi. Ayahmu yang terkenal dengan sebutan Panca Leluhur Sakti dapat dikalahkan, apalagi dengan aku. Karena aku merasa tak akan mampu menghadapinya, aku pun akhirnya lebih baik menyelamatkan ibumu dari kekejaman Datuk Raja Beracun. Kakek sempat menyaksikan tubuh ayahmu jatuh ke bawah jurang akibat kelicikan Datuk Raja Beracun. Sebenarnya ayahmu tak akan kalah oleh Datuk Iblis itu kalau saja ayahmu waspada. Datuk itu sangat licik dan kejam. Ia berilmu tinggi karena bersekutu dengan siluman harimau dengan imbalan setiap hari Minggu Manis harus menyediakan darah gadis untuk iblis tersebut. Kalau kau ingin menuntut balas atas kematian ayahmu, lebih baik kau carilah seorang pendekar yang kini namanya tengah membumbung tinggi. Pendekar itu seusia denganmu. Ilmunya sangat tinggi, dengan senjatanya yang sangat aneh karena dapat mengeluarkan darah. Karena kehebatan senjata tersebut, pendekar muda itu bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Hanya pendekar itulah yang mampu membinasakan Datuk Raja Berbisa."
"Kenapa begitu, Kek?" tanya Daeng Surih tak mengerti.
Daeng Dato Kumbuh kembali tersenyum, lalu kemudian. "Ya, karena Datuk Raja Beracun adalah anggota siluman, maka hanya orang-orang siluman sajalah yang mampu mengalahkannya. Itu pun hanya pilihan saja seperti Pendekar Pedang Siluman Darah. Kenapa kakek mengatakannya demikian, sebab menurut hemat kakek hanya pendekar itulah yang ilmu kadigjayaannya berada di atas Datuk Raja Beracun atau paling tidak setingkat."
"Di mana aku harus menemui pendekar itu, Kek?" tanya Daeng Surih penuh perhatian.
Sang kakek atau Daeng Dato Kumbuh anggukanggukkan kepalanya sesaat. Dibimbingnya Daeng Surih berjalan, diiringi oleh Nancin Cu yang melangkah di belakang ayah angkatnya dan anaknya. Sambil berjalan menuju ke gubug tempat mereka berteduh Daeng Dato Kumbuh kembali berkata.
"Pendekar muda itu tak tentu rimbanya, sebab dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Dia selalu berkelana semau kakinya berjalan. Kadang dia ada di pulau Jawa, kadang pula dia ada di Kalimantan, bisa juga ada di sini. Namun asal mulanya pendekar muda itu, tak lain dari pada kerajaan ayahmu Mataram."
Daeng Surih masih terdiam dalam rangkulan Daeng Dato Kumbuh. Pemuda itu sepertinya sangat akrab dan manja pada Daeng Dato Kumbuh yang sudah dianggapnya sebagai kakek. Ketiganya terus melangkah berjalan menuju ke gubuk.
"Aku jadi tertarik ingin mencari pendekar muda itu. Aku ingin sekali menimba ilmu padanya," gumam Daeng Surih setelah sekian lama terdiam seperti gumaman itu ditujukan pada diri sendiri. Sang kakek tersenyum.
"Itu bagus. Di samping nantinya kau akan bertambah pengalaman, kau juga dapat mengenal tokoh persilatan yang tergolong dalam tokoh-tokoh kelas wahid."
Daeng Dato Kumbuh yang merasa cucu angkatnya mempunyai watak pendekar bangga. Maka dengan panjang lebar Daeng Dato Kumbuh pun menceritakan segala yang ada di dunia pendekar. Bagaimana menjadi pendekar yang baik, bagaimana pula seharusnya yang dilakukan oleh seorang pendekar. Daeng Surih yang memang antusias dengan hal-hal seperti itu memperhatikannya dengan seksama tanpa berkehendak memotong atau bertanya terlebih dahulu. Baru setelah Daeng Dato Kumbuh menghentikan ceritanya Daeng Surih bertanya.
"Kek, apakah mungkin aku bisa jadi pendekar?"
"Tentu. Kalau kau mau belajar dan belajar pada orang yang lebih tinggi ilmunya dan pengalamannya darimu, kau akan dapat menjadi pendekar," jawab sang kakek bangga. "Maka itulah, gunakan ilmu yang kau miliki pada tempatnya. Jadilah pendekar yang mampu menggunakan ilmu dengan baik. Seorang pendekar akan rela dirinya untuk korban daripada rakyat yang tak dapat apa-apa. Seorang pendekar juga akan merasa bahagia bila rakyat kecil bahagia. Jadi jelasnya, seorang pendekar mementingkan rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Kalau kau bisa melakukan semuanya, maka kau pun dapat dikatakan seorang pendekar, Cucuku!"
Meledak-ledak seketika darah muda Daeng Surih, mendengar penuturan Daeng Dato Kumbuh, kakeknya. Matanya seketika berkaca-kaca, sepertinya dari sorot mata itu hendak mengatakan niatnya untuk melakukan semua itu. Daeng Dato Kumbuh yang jeli telah mengerti apa yang sebenarnya tersirat dari sorot mata cucunya. Ia bangga mempunyai cucu sekaligus murid yang cerdas seperti Daeng Surih. Daeng Dato Kumbuh telah menduga sejak Surih masih bayi. Maka itu Daeng Kumbuh tak segan-segan memberi sebutan pada Surih, Daeng.
"Bagaimana, Ibu? Apakah ibu mengijinkan Surih mengelana?"
"Oh, dengan senang hati dan do'a-do'a untuk keselamatanmu, Anakku," jawab Nancin Cu. "Kalau kau akan menuju ke Mataram, ibu hanya akan memberikan padamu bekal sebuah suling yang menjadi milik ayahmu. Suling itu janganlah kau tiup semaumu, sebab suling itu sangat berbahaya."
Mengerut kening Daeng Surih mendengar penuturan ibunya. Daeng Surih yakin kalau seruling yang dimaksud ibunya bukan seruling sembarangan, sehingga bila ditiup tidak pada tempatnya akan mengundang bahaya. Tapi bahaya apakah? Hal itu yang mengundang pertanyaan Daeng Surih yang memang ingin tahu.
"Ibu, kalau boleh Surih tahu, bahaya apakah yang diakibatkan oleh suling itu bila ditiup bukan pada tempatnya?"
Nancin Cu tak segera menjawab pertanyaan anaknya. Ditatapnya lekat wajah sang anak, lalu beralih memandang pada Daeng Dato Kumbuh yang tangannya masih menggenggam seruling berwarna kuning emas. Memang seruling itu dibuat dengan emas, menjadikan seruling itu dapat dijadikan senjata pusaka. Setelah sejenak menarik napas dan memandang pada Daeng Dato Kumbuh seolah-olah ingin meminta pendapat, yang diangguki oleh Daeng Dato Kumbuh Nancin Cu pun akhirnya menjawab.
"Sesuai dengan namanya Suling Kematian, maka suling itu pun akan mengundang kematian bila ditiup pada saat menghadapi orang-orang yang tidak berkenan dengan hatimu. Sebaliknya orang yang berkenan di hatimu, orang itu akan senang dan terhibur mendengarkan tiupan serulingmu. Hanya ada dua orang yang mampu memecahkan rahasia Suling Kematian, yaitu ayahmu Amangkurat dan seorang lagi Ki Bagong guru Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, apabila kau menemukan dua orang yang mampu memecahkan Seruling Kematianmu, maka mereka tak lain dari ayahmu dan murid Ki Bagong atau Pendekar Pedang Siluman Darah tersebut. Kau bisa mencari pendekar muda itu hanya dengan cara meniup Suling Kematian. Bila pendekar muda itu menangkal sulingmu dengan sebilah pedang, maka dialah orangnya."
"Ananda akan selalu ingat itu, Bunda," jawab Daeng Surih.
Ketiga orang itu akhirnya terdiam kembali dengan pikiran masing-masing. Daeng Surih kini dengan pikirannya bagaimana untuk dapat mengalahkan Datuk Raja Berbisa tanpa meminta bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya seketika terpaut dengan Suling Kematian yang dikatakan ibunya. Sebagai seorang pemuda, jelas Daeng Surih ingin mengetahui khasiat Suling Kematian tersebut.
"Mungkinkah Datuk Raja Beracun akan mampu aku kalahkan dengan Suling Kematian itu?" tanya hati Daeng Surih. "Ah, lebih baik besok aku akan mencobanya. Bila memang aku gagal, maka aku baru akan mencari Pendekar Pedang Siluman Darah."
Ketiganya terus melangkah dalam diam, mengajak kaki-kaki mereka menuju ke sebuah gubug yang tak jauh dari mereka. Senja telah datang, ketika nampak matahari makin lama makin menyurut jauh tergelincir di arah Barat. Matahari itu sepertinya tenggelam dalam alunan waktu yang terus melangkah.
Esok paginya Daeng Surih nampak berjalan menuruni lereng gunung Kerinci menuju ke arah Utara, diiringi oleh pandangan mata Daeng Dato Kumbuh dan Nancin Cu. Kedua orang tua itu nampak berkaca-kaca hendak menangis. Bagaimana tidak, dua puluh tahun mereka saling menjalin keluarga, kini harus berpisah salah seorang yaitu anak atau cucu mereka.
Langkah Daeng Surih seperti ringan, melompat-lompat di antara bebatuan. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan oleh kakek angkatnya Daeng Dato Kumbuh, maka lari Daeng Surih pun bagaikan seekor rusa melesat menjadikan bayang-bayang belaka. Tubuh itu melompat, melayang dengan ringannya dan hinggap di atas sebuah batu yang agak tinggi.
Sesaat Daeng Surih terhenti, memandang pada tempat tinggalnya. Tak terasa matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ya, Daeng Surih memang hendak menangis bila ingat kembali bagaimana ibu dan kakeknya telah merawatnya sejak ia masih bayi hingga sebesar sekarang. Betapa pengorbanan dua orang itu sangat tinggi tak ternilai harganya.
Tengah Daeng Surih terdiam memaku sambil memandang ke arah gunung Kerinci, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepatnya berlari. Habis bayangan seorang berlari melintas di hadapannya, nampak sebuah bayangan lain pun melintas pula di hadapannya. Terkejut Daeng Surih tak habis pikir.
"Hem, tengah apakah kedua orang itu?" gumam Daeng Surih masih terpaku pada tempatnya. Setelah sejenak terdiam, tiba-tiba rasa ingin tahunya mengajak Daeng Surih untuk menguntit kedua orang yang tengah berlari saling kejar itu. Maka dengan segera Daeng Surih pun berkelebat mengikuti arah kedua bayangan itu lari.
Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua orang manusia yang saling kejar. Kedua lelaki itu, tak hiraukan Daeng Surih yang kini mengikutinya. Keduanya terus saling kejar mengejar bagaikan tak kenal rasa capai. Baru setelah berada di sebuah lapangan yang cukup luas, kedua orang itu hentikan langkah larinya.
"Jangan lari, Mujolo! Mari kita teruskan di sini," lelaki pengejar itu membentak pada orang yang tadi dikejarnya yang bernama Mujolo.
"Aku tak akan lari, Sande. Mari kita teruskan pertarungan kita untuk membuktikan siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari perguruan," Mujolo menggeretakkan gigi-giginya.
"Kau seharusnya menyadari bahwa ilmumu masih rendah, tak pantas untuk mewakili perguruan."
"Sombong kau, Mujolo. Ilmumu pun aku rasa belum ada apa-apanya. Sudahlah, kita tak perlu saling mencemooh ilmu kita masing-masing, mari kita buktikan siapa di antara kita yang berhak mewakili Perguruan Samosir," balas Sande tak mau kalah. "Ayolah, mari kita buktikan. Hiat...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Mujolo, Sande secepat kilat berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Mujolo yang tak mau begitu saja dijatuhkan oleh adik seperguruannya dengan segera memapaki serangan Sande. Tanpa ampun lagi, kedua kakak beradik seperguruan itu saling hantam. Tubuh kedua kakak beradik itu mental ke belakang. Namun dengan cepat keduanya kembali bangkit, lalu dengan didahului dengan pekikan kedua orang kakak beradik itu kembali saling menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehingga keduanya pun dalam setiap gerakannya selalu serupa.
Daeng Surih yang mengintai pertarungan kedua kakak beradik itu hanya terbengong. Daeng Surih walau belum mengerti siapa adanya kedua orang yang bertarung, telah dapat mengetahui siapa adanya mereka.
"Orang-orang tolol," makinya dalam hati. "Mengapa seperguruan harus saling baku hantam?"
Lama Daeng Surih mengintai pertarungan kedua kakak beradik seperguruan itu. Manakala salah seorang melompat ke belakang, serta merta Daeng Surih yang tak ingin melihat dua saudara seperguruan itu saling serang melompat dari persembunyiannya seraya membentak.
"Kalian orang-orang dungu! Untuk apa kalian bertempur dengan saudara sendiri?"
Habis ucapan itu, kedua kakak beradik seperguruan yang tengah tercengang seketika mental beberapa tombak ke belakang terdorong oleh angin pukulan Daeng Surih yang dahsyat. Mata kedua adik kakak seperguruan itu melotot tak percaya. Mata keduanya memandang lekat pada Daeng Surih yang telah berdiri menengahi mereka.
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Mujolo terheran-heran. Ia merasa bahwa anak muda di hadapannya bukan anak muda sembarangan. Terbukti angin hentakkannya saja mampu membuat orang tergetar bagaikan dihantam angin puting beliung. Tak kalah kaget Sande, ia juga merasakan hawa lain manakala pemuda yang berdiri di hadapannya membentak.
"Siapakah adanya Ki Sanak ini?" tanya Sande, yang dijawab dengan senyum oleh si pemuda. "Apa keperluan Ki Sanak menyerang kami?"
"Hai, kalian orang-orang persilatan yang telah berumur, mengapa kalian masih seperti anak kecil berebut kue? Apakah tidak ada cara lain untuk menentukan siapa yang akan mewakili perguruan kalian? Coba kalian terus saja berantem memperebutkan sesuatu yang kosong, apakah itu tidak akan menjadikan diri kalian tertekan nantinya? Salah seorang umpama ada yang kalah, jelas yang kalah itu akan mendendam pada yang menang. Baikkah saudara seperguruan saling dendam mendendam?"
Kedua orang kakak beradik yang tadi bertarung seketika terdiam mendengar ucapan Daeng Surih yang dirasa mengena di hati. Keduanya perlahan bangkit, menghampiri Daeng Surih yang masih berdiri tegak di tempatnya dengan tangan menimang-nimang Suling Kematiannya.
"Ah, sungguh Ki Sanak sangat peka dan mempunyai pandangan yang luas. Kalau boleh kami tahu, siapa nama Ki Sanak dan apa julukannya?" tanya Mujolo seraya menjura hormat. "Namaku yang bodoh ini, Mujolo."
"Namaku Sande. Kami berasal dari perguruan Dadak Wugu Samosir. Kami bertarung untuk menjadi wakil dari kerajaan dalam pertemuan pada tokoh persilatan pulau Andalas."
Mendengar ucapan Sande, seketika Daeng Surih mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini kembali pada Datuk Raja Beracun yang hendak dicarinya. "Kalau aku mengikuti mereka, niscaya aku akan dapat menemui Datuk Raja Beracun" gumam Daeng Surih dalam hati, lalu katanya kemudian:
"Ah, ternyata hanya masalah itu. Sebenarnya ada apakah sehingga tokoh persilatan dari pulau Andalas mengadakan pertemuan?"
"Apakah Ki Sanak belum mengerti?" balik menanya Mujolo.
"Belum. Aku baru saja turun gunung," jawab Daeng Surih pendek.
"Oh, apakah Ki Sanak tidak membaca pengumuman yang disebar oleh pimpinan sekarang yaitu Daeng Loreng?"
Untuk kedua kalinya Daeng Surih gelengkan kepala mendengar pertanyaan Sande. Ia memang belum tahu apa-apa di dunia persilatan, karena memang ia baru turun gunung. Namanama tokoh persilatan pun ia belum hapal, siapasiapa adanya. Yang dihapal dalam ingatannya hanya beberapa nama, seperti Pendekar Pedang Siluman Darah, Datuk Raja Beracun musuhnya dan Amangkurat ayahnya.
"Apakah hendak mereka lakukan hingga memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?" Daeng Surih yang belum tahu menahu, sepertinya Daeng Surih ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang bakal dilakukan oleh para tokoh persilatan tersebut hingga melakukan pertemuan.
"Para tokoh persilatan akan mengadakan pemilihan ketua yang baru. Sudah menjadi kebiasaan bila dua tahun sekali ketua persilatan pulau Andalas memilih ketua untuk mengatur para tokoh persilatan," jawab Mujolo menerangkan, menjadikan Daeng Surih terangguk-angguk kepalanya mengerti.
Masalah pemilihan ketua tokoh persilatan di tanah Andalas memang sudah sering kali ia dengar manakala kakeknya Daeng Dato Kumbuh berangkat menghadirinya. Namun sudah dua tahun berselang Daeng Dato Kumbuh tak menghadiri pengangkatan ketua tokoh silat Andalas. Kakeknya Daeng Dato Kumbuh memilih menyendiri di gunung Kerinci daripada harus bersangkut paut dengan dunia persilatan yang banyak macam ragamnya.
"Aku rasa, kali ini Datuk Raja Beracunlah yang akan terpilih menjadi ketuanya."
"Jadi... jadi Datuk Raja Beracun juga hadir?!" tersentak kaget Daeng Surih demi mendengar nama Datuk Raja Beracun.
Hal itu menjadikan kedua orang di sampingnya seketika kernyitkan kening tak mengerti. Saking kesalnya dan marah bila mengingat Datuk Raja Beracun yang telah mencelakakan ayahnya Daeng Surih tanpa sadar menggumam.
"Hem, kebetulan sekali."
Makin terbelalak kedua orang yang diajak bicara mendengar gumaman Daeng Surih. Mereka tak tahu apa arti dari kata kebetulan sekali yang dilontarkan Daeng Surih. Belum juga keduanya mengerti maksud ucapan Daeng Surih, Daeng Surih telah kembali meneruskan berkata.
"Kebetulan kalau memang Datuk Raja Beracun ada di situ. Aku memang tengah bermaksud mencarinya, namun aku belum tahu dimana ia tinggal. Dengan adanya pertemuan ini, aku akan dengan mudah menemukannya. Aku akan ikut kalian, bagaimana?"
"Oh, dengan senang hati," jawab keduanya.
"Bagaimana kalau Ki Sanak, em...." Mujolo menghentikan ucapannya manakala ia bingung harus menyebut apa. "Siapa nama Ki Sanak? Sungguh tak enak bila berkata-kata belum mengerti nama orang yang diajak bicara."
"Oh, namaku yang bodoh ini Daeng Surih."
"Daeng...!" terkesima dua orang itu mendengar sebutan Daeng yang berarti ketua. "Oh, rupanya aku ini tengah berhadapan dengan cucu Daeng Dato Kumbuh. Maafkan kelancangan kami,"
Setelah berkata begitu, Mujolo dan Sande segera bungkukkan badan menjura hormat. Kini keduanya benar-benar menyadari siapa adanya pemuda yang berada di hadapannya. Pantas kalau ilmunya tinggi, tak tahunya cucu angkat Daeng Dato Kumbuh yang sudah terkenal.
Melihat dua orang itu menjura hormat, seketika Daeng Surih berkata. "Ki Sanak Mujolo dan Sande, janganlah kalian meninggikan keadaanku. Mungkin kalau kakekku memang orang yang tinggi di dunia persilatan, tapi aku tak lebihnya orang yang bodoh dan masih belum tahu apa-apa. Sudahlah, kalian tak perlu terlalu menyanjungku. Mari kita berangkat ke tempat pertemuan pendekar. Kalian tahu tempatnya?"
"Kami tahu. Mari kami antar," serempak keduanya menjawab.
Dengan diiringi dua orang dari perguruan Dadak Wugu Samosir yang bernama Sande dan Mujolo, Daeng Surih segera hari itu juga berangkat menuju ke tempat yang akan dijadikan pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Sebenarnya Daeng Surih bukan bermaksud mengikuti pertemuan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, mencari Datuk Raja Beracun dan sebisanya menuntut balas.
Lelaki tua berjenggot lebat dengan muka yang nampak beringas berdiri menengadahkan muka ke langit. Wajahnya nampak mendung, sepertinya ada sesuatu yang terpendam pada wajah mendung tersebut. Napas lelaki itu sesekali mendesah, lalu kepalanya menggeleng lemah bagai ada yang dirasakannya.
"Hem, ada pertanda apa tiba-tiba hatiku tak tenang untuk berangkat menuju ke Lembah Jagat Andalas?" keluh lelaki tua bermuka tebal dengan jenggot dan kumis lebat itu. "Apakah ini pertanda buruk?"
Lelaki tua bermuka tebal dan ditumbuhi cambang bawuk serta kumis tebal itu, kembali untuk kesekian kalinya mendesah panjang. Napasnya bagaikan memburu, liar seperti mencium sesuatu. Manakala matanya nampak merah bagaikan memendam bara, tiba-tiba ujudnya berubah menjadi harimau.
"Auuum...!"
Tiga kali berturut-turut harimau itu mengaum, sepertinya harimau jejadian itu memanggil kaumnya. Memang benar, tak lama kemudian tiba-tiba muncul seekor harimau lagi yang besar dan menyeramkan. Rupanya harimau yang datang tak lain dari pada gurunya, Siluman Harimau. Dan harimau jejadian itu tak lain Datuk Raja Beracun adanya.
"Ada apa kau memanggilku, Muridku?" tanya harimau yang besar, setelah sejenak memandang dengan sinar matanya yang menyala pada harimau jejadian Datuk Raja Beracun, muridnya. "Apa kau mengalami kesusahan?"
"Ampun, Guru. Mengapa tiba-tiba hati hamba gelisah? Apakah Guru mengetahui sebabnya?"
Harimau Iblis itu sejenak kembali diam. Matanya memandang tak berkedip pada Datuk Raja Beracun. Setelah menghela napas panjang, Siluman Harimau itu berkata menerangkan apa yang menjadi sebab hati muridnya gelisah.
"Kau harus berhati-hati menghadapi anak Amangkurat. Sulingnya sangat berbahaya, hanya dua orang yang mampu menangkis serangan suara Suling Kematian milik Amangkurat. Orang tersebut adalah Amangkurat sendiri dan murid Ki Bayong dari Empat Pendekar Sakti yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Tapi kau jangan kuatir, sebab kau tak akan dapat mati bila belum menemukan Sendi ilmumu. Manusia macam apapun, tak akan sanggup menghadapi dirimu," berkata Siluman Harimau sombong, menjadikan hati Datuk Raja Beracun seketika bangga dan berganti keangkuhan karena merasa dirinya tak akan mudah terkalahkan. "Nah, jangan kau sekali-kali mengikuti irama suling anak itu. Bila anak itu hendak meniupkan Suling Kematian, kau harus segera mencegahnya sedapat mungkin."
"Tapi menurut guru, aku tak akan mati."
"Memang benar. Namun bila kau mendengar suling itu, maka ilmu yang kau miliki akan lenyap. Kau akan berubah menjadi bentuk seperti sekarang untuk selama-lamanya. Dan bila kau ingin memulihkan kesaktianmu lagi, kau harus meminum darah tujuh gadis."
Tercenung harimau jejadian mendengar ucapan gurunya. Hatinya gundah, tak yakin pada apa yang dikatakan gurunya tentang dirinya yang tak bisa mati. "Apakah aku akan dapat mengalahkan anak Amangkurat dengan Suling Kematiannya?" keluh hati Datuk Raja Berbisa. "Kalau dia meniup sulingnya, bagaimana yang akan aku lakukan? Ah, sungguh sebuah petaka bila aku kalah dengannya. Hem, rupanya anak itu bermaksud menuntut balas atas kematian ayahnya dua puluh tahun yang lalu. Ah, tidak! Aku tak akan pernah mati. Aku tak akan terkalahkan oleh siapapun. Heh... Bukankah aku memiliki aji Sirep Wedara Bayu? Kenapa mesti aku takutkan suara seruling itu?"
"Baiklah, Guru. Aku akan menjalankan apa yang engkau katakan. Tapi, bagaimana dengan aji Sirep Wedara Bayu, Guru?"
"Ah, benar. Sungguh aku telah lalai. Ya, dengan ajian Sirep Wedara Bayu kau akan mampu menyirep suara suling tersebut."
Siluman Harimau nampak gembira manakala mendengar muridnya mengingatkan padanya tentang aji Sirep Wedara Bayu. Aji sirep itu akan mampu membendung segala apa yang akan membuat diri muridnya celaka termasuk suara Suling Kematian.
"Nah, gunakan ajian tersebut untuk menangkalnya. Dan sebelum ia sempat mengingat dirinya, secepatnya kau hantam tubuhnya dengan ajian Serat Kentala. Ingat itu, Muridku. Walaupun kau tak dapat mati, namun dengan cara begitu dia akan kapok."
"Baiklah, Guru. Hamba berangkat."
Habis menyembah pada sang guru dengan cara menganggukan kepalanya, Datuk Raja Beracun yang telah menjadi harimau segera berkelebat pergi meninggalkan gurunya. Harimau Iblis itu akhirnya kembali menghilang, lenyap dari pandangan mata bersamaan dengan lenyapnya harimau jejadian Datuk Raja Beracun.
Tiga orang yang tengah berjalan untuk menuju ke tempat dimana akan diadakan pertemuan antar pendekar pulau Andalas seketika hentikan langkah manakala melihat seekor harimau berlari kencang menuju ke arahnya.
"Hai, harimau apakah itu? Besarnya hampir sebesar anak kerbau?" gumam Daeng Surih kaget demi melihat harimau tersebut. "Apakah kalian ada yang tahu harimau macam apa?"
"Dia bukan harimau biasa. Dialah harimau loreng jelmaan Datuk Raja Beracun."
Terbelalak mata Daeng Surih mendengar keterangan Mujolo, yang mengatakan bahwa harimau besar tersebut adalah jelmaan Datuk Raja Beracun musuhnya. "Jadi harimau itu jelmaan Datuk keparat tersebut?"
Kedua orang temannya hanya mengangguk mengiyakan. Sesaat Daeng Surih hentikan langkah memandang tajam pada harimau yang makin lama makin mendekat. Manakala harimau itu benar-benar telah dekat, dengan menggunakan tenaga dalamnya yang kuat Daeng Surih membentak.
"Berhenti!"
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa tersentak kaget dan hentikan larinya. Sejurus harimau itu memandang pada Daeng Surih, seketika hatinya membatin. "Hem, ternyata anak muda ini yang dikatakan guru, terbukti sulingnya adalah suling emas. Itukah Suling Kematian? Sebelum anak muda ini menyerangku, aku akan mendahuluinya."
Harimau itu sesaat mengaum, lalu tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya oleh Daeng Surih dan kedua temannya, harimau jejadian itu telah menyerang Daeng Surih. Tersentak ketiganya seraya melompat mundur, menjadikan harimau jejadian itu kembali dengan liar menyerang.
"Datuk keparat! Kau harus menerima hukuman atas segala apa yang telah kau perbuat pada ayahku. Hiat...!" Dengan memaki marah Daeng Surih hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah harimau jejadian tersebut.
Harimau jejadian itu tersentak, manakala melihat pukulan yang dilontarkan oleh sang pemuda hingga saking kagetnya harimau jejadian itu menggumam. "Pukulan Tangan Maut Dewa Badai! Apa hubunganmu dengan Daeng Dato Kumbuh, Anak muda?"
"Aku adalah cucunya, cucu angkatnya!" jawab Daeng Surih tenang.
"Aum... Bagus! Kau akan aku kirim ke akherat menemui ayahmu." Harimau jejadian itu menggeram dan dengan cepat menyerang Daeng Surih.
Segera Daeng Surih kembali hantamkan pukulan Tangan Maut Dewa Badainya. "Hiat...!!"
"Duar!"
Tubuh Harimau jejadian itu terhantam pukulan Tangan Maut Dewa Badai, namun betapa terkejutnya Daeng Surih menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Harimau jejadian itu ternyata tak mempan, bahkan kini dengan beringas menyerang ke arahnya. Serta merta Daeng Surih elakan serangan, tapi akibatnya sungguh fatal. Dua orang temannyalah yang terhantam pukulan yang dilancarkan harimau jejadian tersebut. Seketika tubuh kedua temannya mengejang biru, lalu mati dengan mengerikan. Dari tubuhnya mengeluarkan benjolan-benjolan yang makin lama makin membesar, benjolan itu akhirnya pecah dengan mengeluarkan binatang yang sangat menjijikkan.
Belum juga hilang kekagetan Daeng Surih, Datuk Raja Beracun yang memiliki seribu macam racun maut kembali menyerangnya. Desingan sinar putih menyilaukan, menerpa ke arah Daeng Surih. Daeng Surih tersentak, segera cabut Suling Kematiannya dan hantamkan suling tersebut.
"Wuut..."
"Dest..."
Jarum-jarum maut yang membentuk larikan sinar putih itu, runtuh terhantam Suling Kematian di tangan Daeng Surih. Dan manakala Datuk Raja Beracun tengah tersentak kaget, segera Daeng Surih tiupkan sulingnya. Suara suling itu begitu mendayu, namun anginnya seakan hendak mencekik leher. Memang, Datuk Raja Berbisa seketika lehernya terasa ada yang mencekik manakala mendengar suara Suling Kematian. Irama Suling Kematian begitu mendayu, melantunkan lagu kematian yang mampu mengajak orang yang mendengarnya terbawa.
Datuk Raja Beracun hampir saja mati terbawa arus, manakala ia teringat akan ajian sirepnya. Dengan segera sang Datuk rapalkan ajian tersebut. Seketika suara Suling Kematian berhenti sendiri, hal itu menjadikan Daeng Surih tersentak kaget. Dan manakala Daeng Surih dalam keadaan tak mengerti, tiba-tiba Datuk Raja Beracun hantamkan pukulannya. Daeng Surih tersentak, kibaskan Suling Kematiannya. Namun tak urung, pecahan pukulan itu menghantam tubuhnya yang seketika melayang bagaikan terbang terdorong pukulan itu. Datuk Raja Beracun yang merasa musuhnya telah mati dengan segera bergegas meninggalkan tempat itu.
Bulan Purnama nampak terang, menghiasi malam itu. Sesosok tubuh milik Daeng Surih yang terhantam pukulan Datuk Raja Beracun berdiri tertatih-tatih. Kini ia menyadari bahwa ucapan orang tuanya ternyata benar. Mau tak mau, ia harus mencari Pendekar Pedang Siluman Darah. Tapi apakah mungkin Pendekar Pedang Siluman Darah mau membantunya?
Ikutilah terus cerita ini sampai akhir... Daeng Surih terus melangkah menembus malam pergi menuju balik ke arah Selatan. Kini cita-citanya hanya satu, mencari Pendekar Pedang Siluman Darah untuk meminta bantuannya.
JAKA Ndableg yang mendapat undangan dari para pendekar di wilayah pulau Andalas, saat itu juga bergegas menuju ke pulau Andalas sekaligus ingin menemui temannya Daeng Loreng selaku pimpinan tokoh persilatan. Dengan menggunakan perahu hasil rakitannya sendiri, Jaka Ndableg segera berlayar menuju ke pulau Andalas.
Pagi begitu cerahnya, angin bertiup sepoisepoi menjadikan suasana di laut terasa sejuk. Jaka Ndableg yang masih mengarungi lautan dengan perahu rakitannya sendiri terus bernyanyi-nyanyi sambil bersiul. Manakala perahu rakitannya telah sampai di tengah lautan, tiba-tiba tampak oleh Jaka sebuah perahu besar menuju ke arahnya. Perahu itu sepertinya sengaja menuju ke arah Jaka. Makin lama perahu besar itu makin mendekat, menjadikan Jaka Ndableg terkesiap darahnya.
"Edan! Rupanya mereka sengaja hendak membunuhku di lautan," maki Jaka dalam hati. "Hem, apa mau mereka dengan tingkah laku seperti itu?"
Belum juga Jaka habis berpikir, perahu besar itu telah makin mendekatnya. Perlahan-lahan, perahu besar itu makin lama makin mendekati! Dan ketika perahu besar itu menghantam perahu yang ditumpangi Jaka, serta merta Jaka berkelebat menghindar. Melihat Jaka telah hilang dari perahu kecilnya, seketika meledaklah tawa seluruh orang-orang yang berada di dalam perahu besar itu. Orang-orang berwajah menyeramkan dengan pakaian tak terurus, serta wajah berkumis dan janggut lebat itu terus menggelak tawa.
"Ternyata kita mampu membunuh Pendekar Pedang Siluman Darah yang kesohor, hua, ha, ha..." ucap Ranceng, selaku ketuanya dengan wajah berseri. "Kita kelak akan mendapatkan hadiah dari sang Datuk. Hua, ha, ha...!"
Melihat pimpinannya bergelak tawa, maka sepontan anak buahnya yang berjumlah empat puluh orang pun turut bergelak dengan diselingi ucapan-ucapan mereka yang sombong.
"Benar, Ketua. Ternyata ilmu pendekar muda itu tak mampu menghadapi kita. Terbukti..." Belum habis ucapan anggota Bajak Laut, tiba-tiba keempat puluh Bajak Laut itu tersentak manakala terdengar seruan seseorang meneruskan ucapan mereka.
"Terbukti kalian semua akan mendapatkan hadiah dariku!"
"Kau...." terbata ketua Bajak Laut, manakala melihat siapa adanya yang telah berkata.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg pendekar kita tersenyum renyah, melangkah perlahan menghampiri keempat puluh anggota Bajak Laut yang seketika pucat pasi mukanya. "Kenapa kalian seperti ketakutan, Anjing-anjing Laut!" bentak Jaka masih terus melangkah mendekati mereka.
"Bedebah! Jangan kira kami takut menghadapimu, Anak muda!"
"Hai, kaukah ketuanya. Pantas! Memang aku tak menyuruhmu untuk takut padaku, sebab aku bukanlah hantu." Jaka terus melangkah mendekat dengan senyum menyungging di bibirnya. "Kalian telah mendahului, maka aku akan memberikan balas jasa pada kalian yang telah membantu aku hingga aku berada di perahumu."
"Jangan banyak bacot! Serang...!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan segera keempat puluh Bajak Laut itu berkelebat mengurung Jaka yang masih nampak tersenyum-senyum. Matanya yang tajam, memandang satu persatu pada musuhnya, menjadikan keempat puluh Bajak Laut itu agak jeri juga melihat sorot mata Jaka. Namun kejerian keempat puluh Bajak Laut itu seketika dikagetkan dengan seruan pimpinannya.
"Kenapa kalian bengong. Serang...!"
Serta merta keempat puluh orang anggotanya berkelebat dengan senjata siap di tangan membabat ke arah Jaka. Diserang begitu rupa, bagi Jaka yang sudah seringkali merasakannya hanya tersenyum sembari elakan serangan mereka. Tubuhnya yang berisi melompat-lompat laksana burung elang, terbang menghindari serangan.
"Inilah jurus Elang Mencaplok Anjing Laut, hiat...!"
Setelah berkata begitu Jaka yang telah berada melayang di udara menukik dengan tangan siap menggempur salah seorang anak buah Bajak Laut. Memekik saat itu juga orang yang terpatok tangan Jaka. Kepalanya bagaikan terhantam martil godam yang beratnya berkati-kati. Orang tersebut muter-muter kesakitan dengan tangan memegangi kepala yang berdenyut.
"Tobat...!"
"Lihat! Siapa lagi yang ingin belajar silat denganku. Nah, kau rupanya. Ini jurus Bangau Tong-tong Mengepak Sayap."
Tangan Jaka terpampang lebar, lalu dengan keadaan seperti itu tangannya mengepret orang-orang yang terbengong-bengong. Tanpa ampun lagi, mulut orang yang terkena kepretan tangan Jaka mengsol dengan gigi rontok. Berguling-gulinglah kedua orang tersebut, tangannya mendekap mulutnya yang terasa sakit.
Melihat anak buahnya dikerjai Jaka, tanpa ampun lagi ketua Bajak Laut itu marah bukan kepalang. Dengan mendengus laksana seekor banteng menghadapi matador, pimpinan Bajak Laut tersebut menyerang Jaka.
"Eh, kau rupanya lebih suka menjadi banteng. Baik, aku matadornya. Hoi, hoi, hoi..." Jaka bagaikan mengibaskan kain merah tangannya menggeber-geber.
Maka makin mangkellah pimpinan Bajak Laut yang merasa dirinya dipermainkan. Tak ayal, dengan kembali mendengus pimpinan Bajak Laut itu benar-benar seperti banteng ketaton menyerang dengan membabi buta.
Layaknya seperti matador, Jaka yang memang ndablegnya tidak ketulungan peragakan tangannya seperti mengibas kain. Manakala pimpinan Bajak Laut itu menyerang, segera Jaka berkelit ke samping menghindar. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh pimpinan Bajak Laut seketika nyungsep mencium geladak.
"Hua, ha, ha... Lucu, lucu. Lihat, pimpinan kalian tak ubahnya seekor banteng letoi. Baru saja sekali pertunjukan, eh dia telah kamsoh mencium geladak." Jaka dengan ndablengnya terus mengolok-olok.
Namun rupanya pimpinan Bajak Laut masih terasa sakit, sehingga lama ia tak bangun-bangun. Melihat hal itu, segera Jaka yang ndableg hampiri tubuh pimpinan Bajak laut, dan...!
"Untuk obat sakit puyeng, ini yang paling manjur!"
"Duuut... Duut... Duut!"
Tiga kali Jaka memonyongkan pantatnya ke arah muka pimpinan Bajak laut, dan tiga kali itu juga Jaka kentuti pimpinan Bajak Laut. Tanpa ampun lagi, pimpinan Bajak Laut itu menggeram marah.
"Setan! Kuremukan tulang-tulangmu!"
"Hua, ha, ha... Jangankan meremukkan tulang-tulangku. Makan peyek kacang saja kau tak mampu." Jaka meledek, yang makin menjadikan amarah pimpinan Bajak laut meluap-luap. Namun dasar Jaka Ndableg, kemarahan pimpinan Bajak Laut digunakannya sebagai bahan ejekan yang bermutu. "Kalian semua, lihatlah. Nanti kalian akan menyaksikan tontonan yang sangat menarik. Pimpinan kalian akan main akrobat."
"Setan! Aku akan mengadu nyawa dengan mu, Bangsat!"
"Huah, siapakah di antara kalian yang merasa bangsat. Eh, bukankah bangsat itu binatang terhormat. Kau tahu sendiri, bagaimana bangsat itu bila mati. Bukankah dicium olehmu sendiri?"
"Bedebah! Jangan lengah. Hiat...!" Dengan penuh amarah yang meluap-luap pimpinan Bajak Laut itu makin mengganas saja menyerang.
Jaka melihat hal itu cukup tenang. Dikibaskan tangannya, menjadikan angin menderu memapaki hantaman pukulan yang dilontarkan pimpinan Bajak Laut. Tubuh pimpinan Bajak Laut itu terhuyung ke belakang, terkena hantaman angin kibasan dari tangan Jaka. Sebenarnya hal itu sudah menjadi gambaran bagi pimpinan Bajak Laut bahwa pemuda itu bukan tandingannya. Merasa ia tak akan mampu menghadapi sendiri, segera pimpinan Bajak Laut itu berseru mengomandokan pada anak buahnya.
"Serang bangsat itu...!"
Tanpa banyak kata lagi ketiga puluh tujuh anak buahnya serempak berkelebat mengurung Jaka kembali. Seketika golok dan senjata lainnya berkelebat-kelebat menghunjam ke arah Jaka.
Melihat hal itu Jaka seketika lemparkan tubuh ke udara sembari berseru. "Wadaow... Kenapa kalian kayak jagal babi buntung saja?"
Habis berkata begitu, serta merta Jaka menukik ke bawah. Tangannya yang kokoh siap menghantam dengan dua jari telunjuk dan tangan mengembang. Itulah jurus Gunting. Maka....
"Aaah...!" melengkinglah jeritan orang yang terkena jepitan dua jari tangan Jaka. Kupingnya yang terkena seketika tanggal dan mengucurkan darah.
"Hua, ha, ha... Siapa yang suka sate kuping? Aku akan membuat sate kuping hari ini. Ini baru dapat satu, aku rasa empat puluh cukup untuk dijadikan satu kodi."
Bergidig sebenarnya ketiga puluh anak Bajak Laut itu mendengar ucapan Jaka. Mereka tahu bahwa pendekar muda itu bukanlah main-main dalam ucapannya. Mudah saja pendekar muda itu melaksanakan niatnya. Maka tanpa dapat menahan rasa takut, seketika ketiga puluh enam orang tersebut tertegun berdiri. Dari balik celana mereka seketika merembes air kuning yang baunya minta ampun, sampai-sampai Jaka membersit sambil menutup hidungnya.
"Waladalah, kenapa kalian kencing siang-siang begini di celana? Jangan takut, aku hanya ingin kuping kalian saja."
Lutut ketiga puluh enam Bajak Laut itu seketika bagaikan tak bertulang, ambruk mengejuprak di atas geladak dengan keringat dingin mengucur dari kening mereka dan muka pucat pasi.
"Ampunilah nyawa kami, Pendekar. Sungguh kami sebenarnya tak bermaksud mencelakai tuan." Mereka terduduk lesu, dengan mata yang menyorot redup, setitik harapan masih tergambar di mata mereka.
Jaka yang suka menggoda cibirkan bibir. Tangannya terangkat seperti hendak melakukan hantaman, menjadikan mereka seketika menekuk muka pasrah pada apa yang bakal terjadi. Di hati mereka hanya dapat mengeluh, mengeluh akan nasib mereka yang harus menghadapi seorang pendekar yang sudah malang melintang namanya.
"Kalian benar-benar ingin hidup?"
Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga puluh enam Bajak Laut itu dongakan kepala memandang takut-takut pada Jaka yang hanya tersenyum. Sesaat setelah memandang Jaka, kepala mereka serentak mengangguk.
"Kalian aku ampuni, tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya, Tuan Pendekar?" serempak mereka menyahuti dengan muka kini agak tenang. Sorot mata mereka pun, kini bertambah harapan hidupnya. "Apapun akan kami lakukan asalkan kami dibebaskan hidup."
"Aku tak menginginkan kalian menjadi abdiku. Aku hanya minta kalian menjawab dengan jujur, siapa yang telah memerintah kalian untuk membunuh diriku?"
Semuanya terdiam, seakan ada rasa takut menyelimuti mereka mendengar pertanyaan Jaka. Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan kening, tak mengerti mengapa mereka seperti ketakutan untuk menjawabnya. Mata Jaka yang jeli seketika memandang sekelilingnya. Dan...!
"Jangan lari!" bentak Jaka manakala melihat sesosok tubuh berkelebat. Segera Jaka memburu, namun lelaki bertopeng itu telah mendahului terjun ke laut. Jaka yang sudah menyangka kalau orang itu yang ditakuti mereka seketika hantamkan ajian Petir Sewunya. Tak berapa lama, terdengar lengkingan dari lautan. Jaka segera terjunkan diri ke laut, lalu diangkatnya tubuh tanpa nyawa itu ke atas.
"Nah, kini orang yang kalian takuti telah mati. Sekarang katakan padaku siapa yang menyuruh kalian, cepat! Atau terpaksa aku turunkan tangan jahatku seperti orang ini?" tanya Jaka seraya menunjuk pada mayat yang tergeletak. Perlahan tangan Jaka membuka cadar yang dikenakan oleh orang tersebut. "Siapa dia?"
"Dia... dia anak buah Datuk... Datuk Raja Berbisa," jawab mereka serempak, menjadikan Jaka tersenyum senang. Jawaban mereka secara tidak langsung telah membuka siapa sebenarnya yang menyuruh mereka.
"Aku sudah menduga, kalau Datuk Raja Berbisa akan membuat langkahku terhadang. Hem, begitulah kalau orang yang merasa bersalah dan penuh dosa, sepertinya melihatku bagaikan melihat Malaikat Elmaut," gumam Jaka seperti berkata pada diri sendiri. "Sekarang antarkan aku ke daratan pulau Andalas."
"Daulat, Tuan Pendekar!" serempak mereka menjawab.
Dengan tanpa banyak menentang lagi semuanya segera menuruti apa kata Jaka, perahu itu pun kembali melaju menuju ka pulau Andalas yang nampak masih agak jauh. Angin laut masih menerpa dengan sejuknya, menambah lajunya perahu tersebut.
"Hem, Datuk Raja Berbisa, ternyata kau telah mengetahui kehadiranku," gumam Jaka dalam hati. "Apakah sahabatku Daeng Loreng belum mengerti siapa adanya Datuk Raja Berbisa? Oh, sungguh-sungguh petaka bagi dunia persilatan pulau Andalas bila benar-benar Datuk Iblis itu menjadi pimpinan."
"Awak kapal! Percepat sedikit laju perahunya...!" Jaka berseru memerintah. "Cepat...! Jangan sampai kita terlambat sampai di tujuan!"
"Daulat, Tuan Pendekar!"
Dengan cepat ketiga puluh enam Bajak Laut tersebut bekerja. Semuanya kelihatan sibuk, ada yang menggulung, menarik dan membuka layar. Layar pun seketika mengembang melebar, menjadikan laju perahu makin kencang. Angin menerpa-nerpa, sepertinya turut membantu jalannya perahu itu. Jaka yang berdiri di depan nampak menambatkan matanya pada pulau Andalas yang nampak remang-remang hanya berwarna hijau daun. Gunung Kerinci tampak menjulang jauh.
Tiupan seruling itu mendayu-dayu, sepertinya dilantunkan dengan kesedihan hati. Apabila orang mendengarnya, maka orang itu akan terjerat dan terseret untuk mengikuti alunan suling. Seorang pemuda duduk di atas sebuah dahan pohon, matanya memandang jauh ke depan. Mulutnya meniup seruling yang terbuat dari emas, itulah Seruling Kematian. Pemuda itu, tak lain Daeng Surih adanya. Sengaja ia bertengger di situ, dan sehari-hari meniup seruling.
Dibawahnya tempat Daeng Surih duduk, bergelimpangan mayat-mayat. Mereka biasanya orang yang terjerat oleh alunan Suling Kematian. Memang bila didengar-dengar, irama suling itu begitu mendayu. Tapi bila lama-kelamaan, maka irama suling itu bukanlah irama hiburan melainkan irama kematian yang mampu menutup segala jalan darah dan pernapasan di tubuh si pendengarnya.
Entah karena apa, Daeng Surih terus menerus meniup seruling mautnya. Hati Daeng Surih seketika terhibur, manakala meniup suling tersebut. Bila suling tersebut ditiup, maka bayangan ayahnya Amangkurat sepertinya muncul dan menemani. Ya, memang Amangkurat saat itu muncul menemani anaknya.
Seperti saat itu, Amangkurat yang digegerkan telah mati muncul dan duduk di samping anaknya yang tengah meniup seruling. Wajah Amangkurat nampak pucat, sepertinya tak berdarah setetes pun. Tersentak Daeng Surih manakala melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahutahu telah duduk di sisinya.
"Siapakah Ki Sanak ini? Dan dari manakah hingga tiba-tiba datang tanpa dapat aku lihat?"
Mendengar pertanyaan Daeng Surih, lelaki berwajah pucat pasi itu hanya tersenyum. Hal itu menjadikan Daeng Surih kerutkan kening tak mengerti. Namun belum juga Daeng Surih hilang kagetnya, lelaki berwajah pucat berkata: "Teruskan tiupan sulingmu, Nak?"
"Ah, aku tak akan meniup kalau engkau tak memberi tahu padaku siapa adanya dirimu," jawab Daeng Surih sembari genggam Suling Kematiannya. Matanya terus mengawasi wajah pucat di sisinya, yang seperti mirip-mirip dengan wajahnya.
Lelaki berwajah pucat itu kembali tersenyum. Tangannya tanpa sepengetahuan Daeng Surih telah melekat di kepala, dan membelai rambut Daeng Surih dengan lembut sepertinya penuh kasih sayang.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Dengarlah olehmu baik-baik," lelaki berwajah pucat itu akhirnya berkata lagi. "Aku adalah pemilik Suling Kematian yang kau pegang."
Tersentak Daeng Surih hampir terjatuh dari duduknya, manakala ia mengetahui siapa adanya lelaki berwajah pucat. Tak terasa mulutnya seketika itu membersitkan suara, menyebut nama lelaki tersebut. "Ayah! Kaukah ayah?"
Lelaki berwajah pucat itu tersenyum, diambilnya kepala Daeng dan direbahkan ke pangku-annya dengan penuh kasih. Lalu dengan suara agak berat karena menahan tangis, lelaki berwajah pucat itu kembali berkata: "Ketahuilah anakku, aku mengambil korban adalah semua musuh-musuhku. Jadi semua korban tiupan seruling kematian yang kau tiup semua adalah musuh ayah. Ah, tapi rupanya Datuk Iblis itu sangat tinggi ilmunya."
"Jadi ayah secara tak langsung yang telah menyerang Datuk Raja Beracun, manakala aku bertempur dengannya?"
"Benar, Anakku. Namun aku tak dapat mengalahkannya, sebab dia adalah warga siluman yang paling tinggi ilmunya. Walau ayah kini menjadi warga siluman, namun ayah belum dapat mengalahkannya. Hanya ada seseorang yang mampu menandingi ilmunya. Orang itu kini hendak menuju ke mari. Dia adalah pendekar muda seusiamu bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Tunggulah, sebentar lagi dia akan muncul di sini. Ayah akan mencobanya, siapa tahu pirasat ayah salah."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Amangkurat, sebab tak lama kemudian serombongan orang berjalan menuju ke situ. Paling depan berjalan seorang anak muda berambut gondrong lurus, dengan wajah tampan bagaikan wajah Dewa. Mata pemuda itu tajam, mengawasi sekeliling tempat itu.
"Tiup serulingmu, Anakku?" perintah Amangkurat pada Daeng Surih. "Jangan kau ragu, sebab pendekar itu tak akan dapat terbunuh olehmu dan Seruling Kematianmu. Dia adalah murid tunggal Empat Pendekar Sakti, juga murid angkat Siluman Darah, siluman yang paling tinggi ilmunya di jagad raya ini."
Mendengar perintah ayahnya, segera Daeng Surih meniup Suling Kematiannya. Perlahan-lahan suara suling itu menggema, mengalun dan sayup-sayup didengar oleh mereka yang tengah berjalan menuju ke situ.
Jaka Ndableg yang berjalan paling muka, seketika tersentak kaget. Sementara ketiga puluh enam orang pengikutnya bagaikan gila saat itu juga menari-nari dan menyanyi. Jaka yang melihat hal itu makin bertambah kaget, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Langkah orang-orang yang mengikutinya terus maju, makin lama makin mendekat ke arah sebuah pohon. Jaka yang melihatnya seketika membelalakkan mata kaget, manakala satu persatu dari orang-orang itu mencekik lehernya masing-masing dengan tangannya sendiri.
"Gusti Allah, kenapa dengan mereka semua?" Jaka terbelalak kaget, manakala satu persatu dari mereka bergelimpangan ke tanah dengan lidah menjulur ke luar, mati. "Hem, siapakah yang telah berbuat begitu?"
Perlahan Jaka melangkah, makin lama langkahnya makin mendekat. Tiba-tiba dirasa oleh Jaka Sebuah dorongan aneh, menyentakan dirinya untuk terus mengikuti alunan suara suling tersebut. Langkahnya terseret, karena Jaka berusaha menahan tarikan sesuatu kekuatan yang mendera tubuhnya.
"Gusti Allah, apakah yang harus aku perbuat? Sungguh sebuah kejadian yang aneh. Heh, aku merasa tenaga dalamku tak ada gunanya," keluh Jaka dalam hati. "Apakah ini yang dinamakan Suling Kematian yang terkenal itu? Oh, mungkinkah aku akan mati oleh suling itu?" Jaka terus menyeret kakinya, melangkah berat menuju ke arah di mana Daeng Surih dan ayahnya Amangkurat yang tak tampak oleh mata berada.
"Terus tiup serulingmu, Nak. Dia memang kini tengah menerima tenaga Suling Kematian. Tapi kau tak perlu khawatir, sebab dia bukanlah manusia sembarangan. Biarkan Ratu Siluman Darah muncul."
"Ratu Siluman Darah, Ayah? Jadi Ratu Siluman Darah tahu bahwa muridnya dalam keadaan bahaya?" tanya Daeng Surih tak mengerti bercampur kaget. "Sungguh luar biasa."
"Tentunya kau belum mengetahui senjata pendekar muda itu?"
"Benar, Ayah. Memang aku belum melihat macam apa senjatanya yang digegerkan orang sangat aneh."
"Maka itu, tiuplah sulingmu terus. Nanti bila dia telah kehilangan sabarnya, dia akan memanggil senjatanya."
Terbelalak melotot mata Daeng Surih mendengar penuturan ayahnya yang dirasa aneh. Bagaimana mungkin senjata harus dipanggil-panggil seperti manusia? Memang pemuda tersebut tidak membawa senjata sebatang tangkai pun. Itukah memang keanehannya?
"Kalau begitu, senjata pendekar muda itu bernyawa, Ayah?"
"Benar, Anakku. Senjata itu memang bernyawa," jawab sang ayah dengan mata terus memperhatikan Jaka Ndableg yang masih terseret-seret berusaha mempertahankan tarikan tenaganya. Hampir saja tenaga Amangkurat terbetot oleh tenaga Jaka, namun karena dibantu oleh tiupan suling menjadikan tenaga Amangkurat bagaikan seratus kali lipat dari tenaga sebenarnya.
"Setan alas! Kenapa Suling Kematian itu ada lagi? Padahal menurut guru, suling itu berada pada masa Amangkurat. Hem, siapakah sebenarnya orang yang sekarang memilikinya? Kalau aku sampai mati, Oh, Gusti Allah, apa yang bakal melanda dunia persilatan bila Suling Kematian berada di tangan tokoh sesat?" keluh Jaka seperti putus asa. "Oh, aku... aku terasa sakit dadanya. Ouh, Ratu... aku..."
Tengah Jaka dalam keadaan sekarat, tiba-tiba Pedang Siluman Darah muncul melayang di depannya. Dengan segera Jaka menangkapnya, dan babatkan pedang tersebut ke muka. Seketika tenaga yang menariknya hilang.
Tersentak Amangkurat dan Daeng Surih melihat pedang yang melayang sendiri dan menghampiri pendekar muda itu. Namun lebih tersentak mereka, manakala dirasa semuanya tak ada guna manakala pendekar muda itu tebaskan pedangnya.
"Itukah senjatanya, Ayah?" tanya Daeng Surih setelah dapat menenangkan diri dari rasa kagetnya.
"Benar, Anakku. Lihatlah itu... pedang itu mengeluarkan darah dari ujungnya..."
Mendengar seruan ayahnya, segera Daeng Surih mengikuti arah yang ditunjuk oleh ayahnya. Memang benar, nampak pedang di tangan Jaka mengeluarkan darah meleleh membasahi batang pedang. Pedang itu juga bersinar kuning kemerah-merahan, menjadikan pantulan yang menyilaukan.
"Ah, sungguh aneh!" seru Daeng Surih bergumam kaget.
Tengah kedua ayah dan anak itu tersentak kaget, tiba-tiba Jaka yang sudah marah merasa dipermainkan berseru membentak dengan Pedang Siluman Darah mengkiblat ke arah mereka.
"Kalian yang berada di atas pohon, turunlah!"
Tanpa banyak membangkang, kedua anak bapak tersebut segera melompat turun dan langsung menjura pada Jaka yang terbengongbengong tak mengerti akan tingkah laku mereka. Belum juga Jaka mengerti apa maksud mereka sesungguhnya yang telah mengerjai dirinya, terdengar Amangkurat berkata mewakili anaknya.
"Ampunkanlah kami, Tuan Pendekar. Sungguh kami tidak sengaja berbuat begitu. Kami hanya ingin mencari kebenaran adanya tuan pendekar yang katanya hendak hadir di pulau Andalas ini."
"Hem, kau adalah siluman. Kenapa kau berteman dengan pemuda manusia?" tanya Jaka setelah mengetahui bahwa Amangkurat memang kini bukan kaum manusia lagi melainkan kaum siluman. "Apa kepentinganmu meniup Suling Kematian, Anak Muda?"
"Nama hamba, Daeng Surih," jawab Daeng Surih yang merasa pertanyaan Jaka ditujukan padanya. "Hamba memang diutus oleh kakek hamba Daeng Dato Kumbuh untuk meminta tolong pada tuan pendekar."
"Daeng Dato Kumbuh, heh bukankah kakekmu adalah adik seperguruan Daeng Loreng?" tanya Jaka agak sedikit terkejut mendengar nama Daeng Dato Kumbuh disebut. "Apa yang dikatakan olehnya? Ah, kenapa mesti aku? Bukankah kau sendiri memiliki ilmu yang tinggi? Terbukti kau mampu meniup Suling Kematian milik Amangkurat."
Mendengar namanya disebut oleh Jaka, seketika Amangkurat tundukan kepala makin dalam sembari berkata: "Hambalah Amangkurat. Dan Daeng Surih ini adalah anak hamba."
"Ah, tak aku sangka kalau aku dapat bertemu dengan Amangkurat yang namanya sudah kondang pada masa guruku. Bukankah engkau Amangkurat Leluhur Sakti?" tanya Jaka setelah hilang kagetnya.
"Begitulah, Tuan Pendekar," jawab Amangkurat.
"Apa yang aku dapat bantu? Sedangkan aku sendiri kini tengah menghadapi masalah. Aku sengaja datang dari Jawa untuk membereskan masalahku, yaitu menangkap hidup atau mati Datuk Raja Beracun yang telah membuat keonaran dengan menculik gadis-gadis."
Membelalak mata kedua anak dan bapak mendengar keterangan yang dilontarkan Jaka. Karena saking girangnya, kedua anak dan bapak seketika tanpa sadar memekik.
"Itulah yang hendak kami mintai tolong!"
"Jadi kalian ada masalah dengan Datuk Raja Beracun?"
"Benar, Tuan Pendekar. Ceritanya begini..." Amangkurat akhirnya perlahan-lahan mengulur kembali kejadian-kejadian dua puluh tahun yang silam. Kejadian yang menyebabkan dirinya kini harus menjadi bangsa Siluman, kejadian yang menjadikan dirinya harus berpisah dengan anak dan istrinya.
"Begitulah, Tuan Pendekar. Kami telah berusaha menghalau dan menghentikan sepak terjangnya, sampai-sampai aku meminta pertolongan pada Ratuku. Semua ternyata sia-sia, sebab ilmu Datuk Raja Beracun jauh di atas ilmu Ratuku."
"Baiklah. Aku akan mencoba menghentikan sepak terjangnya, tapi bukan karena urusan perorangan. Aku bertindak hanya karena ketentraman manusia," jawab Jaka menyanggupi. "Mari kita ke sana. Aku rasa, kini mereka tengah menghadapi pemilihan ketua pendekar. Jangan sampai kita terlambat."
"Mari, Tuan Pendekar...."
Dengan segera ketiga orang itu berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Karena mereka menggunakan ilmu lari, sehingga langkah mereka seperti terbang. Maka dalam sekejap saja, tubuh mereka telah menghilang dari pandangan.
Suasana pemilihan ketua pendekar pulau Andalas nampak riuh. Masing-masing mengajukan calon-calonnya. Ketika calon terkuat yang dianggapnya paling sakti dan mumpuni yaitu Datuk Raja Beracun hendak dilantik jadi pimpinan Pendekar, tiba-tiba terdengar dari luar suara membentak yang dibarengi oleh kelebatnya sesosok tubuh pemuda.
"Hentikan!"
"Siapa kau!" bentak Raja Beracun marah, merasa penobatan dirinya menjadi pimpinan pendekar terganggu. "Lancang benar kau, Anak muda!"
Seketika semua orang yang berada di situ tancapkan mata mereka memandang ke arah pemuda tampan yang telah berdiri menghadapi Datuk Raja Beracun. Orang-orang yang telah tahu siapa adanya pemuda itu, seperti Daeng Loreng seketika menyerukan nama sang pemuda.
"Jaka Ndableg!"
"Saudara-saudara, kalian ternyata telah ditipu mentah-mentah oleh Datuk Iblis ini. Apakah kalian akan mau menanggung dosa Datuk Iblis yang telah bertumpuk?" tanya Jaka acuhkan semua yang ada di situ. Seketika semua yang hadir terdiam hening, tak seorang pun yang berani membuka mulut. "Datuk Iblis ini yang telah membuat resah dunia persilatan hendak kalian angkat jadi ketua. Apakah kalian semua tak menyadari bahaya apabila benar-benar ia menjadi ketua pendekar?"
"Setan! Lancang mulutmu, Anak Muda!" bentak Datuk Raja Beracun geram. "Jangan percaya dengan omongannya! Dia hanya ingin mengacau rencana kita saja."
"Tidak! Dia tidak mengarang cerita! Memang dia berkata benar adanya. Datuk Raja Beracun tak layak menjadi ketua perserikatan Pendekar Pulau Andalas!"
Bareng dengan habisnya suara itu, sekonyong-konyong berkelebat sebuah bayangan yang remang-remang. Bayangan itu adalah milik Amangkurat, yang hanya dapat dilihat oleh orangorang yang berilmu tinggi saja.
"Aku bernama Amangkurat, aku telah menjadi korbannya..."
"Amangkurat!" tersentak semua yang hadir, manakala mendengar seruan tanpa rupa mengenalkan dirinya.
"Bangsat? Kalian telah mengacau semuanya, hiat...!" Tiba-tiba dengan membentak marah Datuk Raja Beracun menyerang Jaka dan Amangkurat yang berada di atas panggung. "Kalian harus lenyap dari muka bumi ini!"
Seketika Jaka dan Amangkurat melompat elakan serangan Datuk Raja Beracun. Jaka yang tak ingin Amangkurat terkena hantaman pukulan beracun yang dilancarkan Datuk Raja Beracun segera berseru memerintahkan pada Amangkurat untuk minggir.
"Amangkurat, menepilah. Lebih baik anakmu yang membantuku. Hanya dengan Suling Kematian, ilmunya akan lenyap. Biar aku yang akan mengacau konsentrasinya. Cepat suruh anakmu untuk menghadapinya, biar aku membantu."
Amangkurat yang tahu siapa adanya Pendekar Pedang Siluman Darah dengan segera berkelebat meninggalkan panggung. Kini tinggal Jaka yang terus memapaki setiap serangan Datuk Raja Berbisa. Di pihak lain, semua yang hadir pun seketika saling serang. Para tokoh persilatan yang tahu siapa adanya Datuk Raja Beracun seketika menyerang anak buah Datuk Iblis itu. Pertarungan pun makin bertambah seru.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Datuk Raja Beracun tak mau main-main lagi, semua ajian yang ia miliki kecuali Jamus Kalimu Sada dikeluarkannya untuk menghadapi serangan sang Datuk. Jurus demi jurus terus terlalui, seirama dengan ledakan-ledakan yang diakibatkan oleh bertemunya dua ajian bila bertemu. Ketika keduanya terus berjalan melanjutkan pertarungan, Daeng Surih yang telah diperintahkan oleh ayahnya seketika berkelebat dengan Suling Kematian siap mengalun. Melihat hal itu, Datuk Raja Berbisa segera mengalihkan serangannya pada Daeng Surih. Namun demikian, dengan segera Jaka berkelebat memapakinya sembari berseru.
"Jangan gentar, Daeng Surih! Cepat tiup serulingmu, biar aku yang mengacaunya!"
"Bedebah! Jangan harap kalian akan mampu menghadapiku." Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun seketika diam bagaikan patung! Asap seketika mengepul dari tubuhnya. Dan...!
Jaka yang tengah menyerangnya seketika tersentak mundur, manakala dilihatnya wujud Datuk Raja Beracun seketika berubah. Datuk Raja Beracun kini bukan berujud manusia, tapi kini telah menjadi seekor harimau besar. Tengah Jaka dan Daeng Surih tersentak kaget, harimau jejadian itu seketika menyerang mereka. Beruntung kedua anak muda itu waspada yang dengan segera berloncatan mengelakannya.
"Petir Sewu...!" Jaka tiba-tiba berteriak, lalu hantamkan ajian Petir Sewu ke tubuh harimau jejadian tersebut. Ledakan-ledakan petir seketika membahana, menjadikan semuanya seketika tutup telinganya tak tahan mendengar ledakan yang bagaikan seribu suara petir. Namun bagi Harimau itu bukan menjadi masalah, ajian Petir Sewu bagaikan tak berarti sama sekali lewat begitu saja.
"Tiup serulingmu, Daeng!" Jaka memerintahkan.
Daeng Surih segera meniup serulingnya. Seketika Datuk Raja Berbisa menggelepar, bagaikan kepanasan. Namun demikian, tubuh itu bagaikan kebal. Walau Suling Kematian terus ditiup, tubuh Datuk Raja Berbisa dengan ganas bangkit sambil meraung panjang dan menyerang dua pemuda pendekar tersebut.
"Tapak Prahara, hiat...!" Jaka kembali berkelebat, tangannya berwarna merah menyala bagaikan bara api. Dipapakinya serangan Datuk Raja Beracun. Dan....
"Hiat!"
"Aum...!"
"Bum, bum, bum!"
Tiga kali bunyi gedebum menggema, manakala tangan Jaka Ndableg yang telah disaluri ajian Tapak Bahana menghantam tubuh Harimau jejadian. Jaka agak sedikit tenang, namun seketika matanya kembali membelalak manakala melihat apa yang terjadi. Harimau itu kini bukan satu, tapi bertambah banyak.
"Gusti Allah, mengapa demikian jadinya?" keluh Jaka terjengah.
"Saudara pendekar, Awas!"
Jaka tersentak, manakala puluhan harimau itu menyerangnya. Untung Daeng Surih memperingatkannya, kalau tidak. Niscaya tubuhnya telah terkoyak-koyak. Sambil melompat mengelakkan serangan sepuluh harimau itu Jaka berseru: "Daeng Loreng, dapatkah kau membantuku?"
Daeng Loreng seketika menengok, lalu dengan senyum Daeng Loreng berseru. "Dapat Jaka, terimalah bulu harimau ini. Taburkan bulu harimau itu ke tanah. Kau hadapi satunya yang paling besar."
Jaka Ndableg segera lemparkan tubuh ke luar arena, lalu dengan cepat diambilnya bulu-bulu harimau dari tangan Daeng Loreng. Ditebarkan bulu-bulu itu, seketika bulu-bulu tersebut berubah menjadi harimau-harimau loreng. Tak ayal lagi, harimau-harimau itu pun saling serang. kini Jaka tinggal menghadapi yang satu, yang merupakan jelmaan Datuk Raja Berbisa.
"Ayo Datuk, kita lanjutkan permainan kita."
"Aum...." Harimau jejadian itu mengaum, menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam. "Aku lumatkan tubuhmu, Anak sombong."
"Hem, silahkan kalau memang kau mampu, Datuk!"
Dengan menggeram terlebih dahulu Datuk Raja Berbisa berkelebat kembali menyerang Jaka Ndableg. Jaka yang telah waspada segera elakan serangan, namun tak ayal pundaknya tercakar kuku-kuku harimau itu. Rupanya kuku-kuku harimau jejadian itu mengandung racun, menjadikan Jaka seketika merasakan pening. Segera Jaka diam heningkan cipta, lalu dari mulutnya membersit suara memanggil gurunya Ratu Siluman Darah. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Setelah pedang Siluman Darah berada di tangannya, segera Jaka tempelkan pedang tersebut pada bahu kirinya yang luka. Sesaat, bahu itu mengering sembuh, darah biru bercampur racun keluar terhisap Pedang Siluman Darah. "Nah, Datuk, bersiaplah. Kini giliranku untuk menyerang!"
Mata Datuk Raja Berbisa seketika menyala, melotot kaget demi melihat senjata di tangan Jaka. Senjata itu mengeluarkan darah, meleleh dari ujungnya membasahi batang pedang. Belum sempat sang Datuk hilang kagetnya, Jaka dengan cepat berkelebat sembari babatkan pedang Siluman Darah. Sang Datuk mencoba berkelit, namun dengan cepat Pedang Siluman Darah memapakinya. Tak ayal lagi, seketika Datuk Raja Beracun mengaung panjang. Tubuhnya dari leher terpotong, hingga kepalanya menggelinding jatuh ke bawah. Seketika kepala itu berubah kembali jadi kepala manusia.
Melihat pimpinannya mati, serta merta anak buah Datuk Raja Berbisa yang tengah bertempur melawan para pendekar menyerah kalah. Amangkurat dan Daeng Surih segera melompat hendak menghampiri Jaka, manakala keduanya tersentak kaget. Jaka yang tadi masih berada di tempat itu, tiba-tiba menghilang entah ke mana. Tengah semua terbengong-bengong mencari Jaka, terdengar suara Jaka berseru.
"Aku sudah berada di pantai, aku ucapkan selamat berjuang, Daeng Loreng, bila kau ingin tenang angkatlah Daeng Surih sebagai raja. Dia kelak akan menjadi pelindung kalian yang bijaksana. Nah, selamat berjuang Daeng Surih "
Semua mata hanya terjengah tanpa dapat melihat Jaka. Semuanya hanya mendesah panjang. Hari itu juga Daeng Surih diangkat menjadi Raja kaum Persilatan Pulau Andalas...
Sejauh ini, semua tokoh-tokoh persilatan belum ada yang mengetahui siapa adanya peniup seruling tersebut. Juga para tokoh persilatan diajukan pada pertanyaan gerangan apa yang menyebabkan orang tersebut meniup seruling?
Dari kejauhan nampak serombongan orang berjalan menapaki kaki mereka pada jalan setapak di sisi gunung. Di sebelah mereka berjalan, nampak jurang yang menganga. Sebelah lagi, bukit-bukit batu cadas menjulang dengan angkuhnya. Bila dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, jelas mereka adalah orang-orang keraton.
Paling depan, berjalan seorang lelaki tinggi besar dengan cambang bawuk yang menutupi mukanya. Di sisinya berjalan dua orang lelaki lain. Seperti orang yang di tengah, dua lelaki yang berjalan di kanan kiri orang tersebut juga mempunyai wajah yang beringas dengan kumis melintang lebat.
Berjalan di belakang ketiga orang tersebut, empat orang bertelanjang dada dengan tubuh kekar. Di atas pundak mereka, tertandu sebuah bangunan yang berbentuk rumah. Di belakangnya lagi, seratus orang lelaki lain yang berpakaian prajurit. Di tangan keseratus orang itu tergenggam tombak dan pedang serta senjata lainnya. Mata mereka garang, menyorot tajam ke muka.
Kala mereka tengah berjalan, tiba-tiba orang yang berjalan paling depan yang di tengah berseru:
"Para prajurit! Kalian bersiaplah, sebab sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan Kurawan!"
"Ada gerangan apa memangnya di perbatasan Kurawan, Kakang?"
"Adik Wong... Apakah adik Wong belum mengerti?" balik bertanya lelaki yang berjalan di tengah.
"Sungguh aku belum tahu, Kakang Ranesa," jawab Wong dengan mata menyimpit, makin sempit.
Ranesa sesaat terdiam memandangkan matanya ke depan lurus-lurus, lalu dengan setengah berbisik Ranesa berkata. "Di daerah perbatasan Kurawan, banyak sekali para begal yang ganas dan liar."
"Hem, kalau begitu kita mesti hati-hati, Kakang."
"Bukan hanya hati-hati, Adik Wong. Kita juga harus siap tempur. Biasanya mereka tak akan memperdulikan siapa adanya kita. Bagi mereka, uang dan harta kita saja yang penting. Sedangkan nyawa kita, dianggapnya tak berharga sama sekali."
"Hem, apakah mereka umumnya mempunyai ilmu yang tinggi, Kakang?"
"Biasanya mereka memang berilmu tinggi," jawab Ranesa. "Kabarnya, mereka adalah orang-orang bekas prajurit Mataram. Jadi mereka mahir dalam segala siasat perang."
"Hem, sungguh bukan begal sembarangan kalau begitu."
"Itulah, mengapa aku beritahukan pada para prajurit agar bersiap-siap."
Perlahan-lahan mereka melangkah, seakan kaki-kaki mereka ada yang membebani. Wajah para prajurit seketika tegang, bagaikan melihat hantu saja. Mata mereka melotot tak berkedip, memandang ke muka dengan tangan siap senjata
"Wahai para prajurit...! Apakah kalian telah siaga?!" Kembali terdengar seruan Ranesa memberi perintah.
"Siaga, Panglima " jawab seluruh prajurit.
"Ada apa, Ranesa...?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya. Suara itu berasal dari dalam tandu yang berada di atas pundak keempat orang yang bertelanjang dada.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba hanya memperingatkan pada para prajurit agar bersiap-siap," jawab Ranesa sembari menyatukan tangannya ke dada, dan membongkokkan tubuhnya ke muka.
"Kenapa mesti begitu, Ranesa?"
"Entahlah, Tuan Putri."
"Ya sudahlah, kita berdo'a saja agar semuanya selamat. Usahakan jangan mencari-cari perselisihan dahulu. Kalau kita yang diserang, apa boleh buat. Sudahlah, kita berangkat!"
"Prajurit... Jalan lagi...!"
Mendengar seruan Ranesa, keseratus prajurit itu segera kembali melangkah setelah sesaat berhenti. Langkah demi langkah mereka tapaki, tak ada gangguan setapak pun. Mereka agak tenang ketika telah memasuki Alas Mentaok, namun mereka terus siap siaga untuk menghadapi hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dan mana kala mereka menjejaki kaki-kaki mereka di tengah hutan, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara raungan keras dan rintihan menyayat membuat bulu kuduk keseratus prajurit itu merinding berdiri. Ranesa dan dua orang wakilnya nampak siaga, menghunus pedang yang berada di pundaknya.
"Siaplah kalian, nampaknya mereka mulai datang!" seru Ranesa kembali memperingatkan pada semua prajurit. "Adik Wong, rupanya kita akan menghadapi para rampok itu. Apakah kau telah siap?"
"Aku telah sedia, walaupun nyawaku untuk taruhannya," jawab Wong dengan penuh kewaspadaan. "Percuma aku menjadi murid Kok Siang Bun kalau harus takut menghadapi kroco-kroco bekas Mataram."
"Aku mengerti," gumam Ranesa datar. "Bagaimana denganmu, Adik San? Apakah kau juga telah siap?"
"Hua, ha, ha... dengan pedang pusaka Naga Krida, pantang bagiku untuk takut pada siapapun. Apalagi pada kroco-kroco tentara Mataram," jawab San Ing dengan angkuhnya, menandakan bahwa pendekar dari Cina itu seakan menyepelekan siapa adanya bekas prajurit-prajurit Mataram.
"Aku percaya pada kalian. Aku yakin, baginda raja mengambil diri kalian sebagai pengawal khusus ada sebabnya. Bukan begitu adik Wong, dan adik San?"
Wong dan San Ing tersenyum mengangguk. Memang kedua pengawal Cina itu diutus oleh raja mereka Nancu untuk mengiringi keberangkatan putrinya, Nancin Cu yang hendak menemui seorang raja di wilayah Mataram. Raja muda yang bergelar Prabu Amangkurat, adalah orang yang menjadi sahabat Nancin Cu. Persahabatan mereka telah terjalin sejak Amangkurat bertandang ke negeri Cina tiga tahun yang lalu. Sejak pertemuan itu Nancin Cu seakan tak dapat melupakan wajah Amangkurat yang tampan. Bila tidur ia selalu gelisah, makan pun tak enak rasanya.
Hanya bayangan wajah Amangkurat saja yang selalu melekat di kelopak matanya. Rasa rindu yang mendayu-dayu itulah, yang menjadikan Kaisar Nancu akhirnya mengirim utusan pada kerajaan Mataram khususnya pada Amangkurat sebagai rajanya. Dulu memang Amangkurat belum menduduki kursi singgasana raja. Dulu ia adalah orang buronan mana kala kerajaan Mataram dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan. Mana kala Rakai Pikatan telah wafat, maka Amangkuratlah yang segera menggeser kedudukan itu. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Mataram.
Ternyata utusan yang dikirim oleh Kaisar Nancu mendapat tanggapan yang positif dari Amangkurat yang waktu itu memang mengharapkan bantuan dari kerajaan Cina tersebut untuk menuju kedudukannya yang sekarang. Karena mendengar laporan utusannya yang mengatakan bahwa Amangkurat menerima pinangannya, Kaisar Nancu pun mengutus putrinya yang dikawal oleh seratus orang prajurit pilihan dan tiga orang pendekar menuju ke pulau Jawa.
Para prajurit pengawal putri raja Nancin Cu, terus melangkah setapak demi setapak. Walau mereka nampak tenang, namun di hati mereka terbersit rasa was-was juga. Mereka tidak seperti dua orang pimpinannya yang sombong, sebab mereka telah mendengar persis siapa-siapa adanya prajurit-prajurit Mataram yang terkenal ganas dan beringas tanpa kenal takut untuk mati. Sudah banyak contoh yang menguatkan. Telah banyak prajurit-prajurit kerajaan Mongol yang binasa manakala hendak melakukan infansi ke Pulau Jawa.
Mereka juga mengenal nama-nama yang sering menjadi momok, seperti Walet Ireng, Sumara Kerta, Kuda Maesan, Burit Geger, serta tokoh wanita muda yang setiap tindakannya selalu diluar dugaan bergelar Dewi Bayang Seda. Mereka tergabung dalam Panca Leluhur Sakti, yang merupakan gabungan tokoh-tokoh pemberontak Mataram.
Sebenarnya Amangkurat telah beberapa kali memperingatkan pada rekan-rekannya yang tergabung dalam Panca Leluhur Sakti untuk menghentikan sepak terjang mereka, dan memintanya untuk terus membantu kedudukannya sebagai raja. Namun mereka seperti tak menggubrisnya, bahkan dengan berani-berani mereka menentang. Hanya karena mereka melihat Eyang Sindu Lelana, menjadikan mereka enggan untuk memusuhi Amangkurat. Ditambah lagi karena mereka telah terikat janji untuk tidak saling menjatuhkan.
Tengah mereka melangkah, tiba-tiba dari balik semak-semak dan atas pohon berloncatan orang-orang bertopeng menghadang langkah mereka. Seketika mereka tersentak mundur, mata mereka tajam mengawasi gerak gerik orang-orang yang baru datang.
"Siapa kalian!" bentak Ranesa.
"Hem, kiranya keroco-keroco macam ini yang sering membuat kelusuhan," dengus Wong seraya menghunus pedangnya. "Apa keperluan kalian menghadang kami, hah!"
"Hua, ha, ha... kaliankah yang hendak menghadap Raja Amangkurat?" tanya seorang berkedok yang berdiri paling muka di antara dua puluh lima orang berkedok lainnya, mungkin dialah ketua mereka. "Serahkan apa yang kalian bawa pada kami, dan minggatlah kalian dari sini. Biar kami yang akan memberikannya pada baginda Amangkurat."
Terbelalak mata Ranesa, Wang, juga yang lainnya mendengar permintaan ketua orang berkedok itu. Apalagi Nancin Cu yang berada di dalam tandu, hatinya seketika dag dig dug tak karuan. Nancin Cu nampak gelisah, takut kalau-kalau para prajuritnya akan mengalami kekalahan.
"Oh Dewa Nancing, apakah para prajuritku akan dapat mengatasi semua ini?" tanya hati Nancin Cu bimbang. "Bagaimana kalau para prajuritku mengalami kekalahan? Bagaimana dengan nasibku..?"
Tengah Nancin Cu gelisah hatinya, terdengar suara Ranesa kembali membentak. "Apakah kalian tak tahu aturan! Atau barang kali kalian memang sengaja mencari gara-gara, hah!"
Dibentak oleh Ranesa begitu rupa tidak menjadikan ketua orang-orang berkedok itu takut, bahkan setelah saling pandang dengan anak buahnya ia gelak tawa sembari balas membentak. "Kalianlah yang tak tahu sopan santun. Kalian telah datang jauh-jauh, namun kalian tak menghiraukan kami yang menguasai daerah ini. Perlu kalian ketahui, siapa saja yang memasuki daerahku harus meninggalkan apa saja yang dibawa termasuk nyawa. Tapi kalian aku beri keringanan, kalian hanya cukup meninggalkan apa kalian bawa. Bukankah kami telah memberikan kebebasan pada kalian untuk hidup?"
"Bedebah! Kalian sangat meremehkan kami!" bentak Ranesa marah, merasa dirinya diremehkan begitu rupa. Ranesa yang telah kondang nama besarnya di negeri Cina, seakan tak dapat lagi membendung amarahnya demi direndahkan begitu rupa. "Dengar oleh kalian. Lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada kami harus meninggalkan apa yang kalian minta."
"Bedebah! Kalian orang-orang Cina berani lancang di daerah kekuasaan kami. Hem, jangan harap kalian akan mampu mempertahankan segalanya. Tadi kami memberi keringanan pada kalian, namun ternyata kalian seakan menolaknya. Hem, jangan harap kalian akan kami ampun lagi."
"Sudahlah, Kakang. Percuma kita bersitegang dengan mereka, yang tak mempunyai pengetahuan. Mereka orang-orang dungu, yang biasa hidup di hutan."
"Setan! Rupanya memang anjing-anjing Cina banyak bacot!" bentak ketua orang-orang berkedok marah, demi mendengar ucapan Wang yang sangat merendahkannya. "Anak-anak, serbu dan habisi mereka...!"
Seketika tanpa membuang waktu lagi kedua puluh lima orang berkedok itu serentak berkelebat mengepung mereka. Senjata golok dan tombak siap di tangan masing-masing. Begitu juga dengan para prajurit kerajaan Cina, serempak mereka pun menyiapkan senjata masing-masing.
"Bagaimana? Apakah kalian masih bersitegang mempertahankan apa yang kalian bawa?"
"Hem, sudah aku katakan, lebih baik kami meninggalkan nyawa daripada kami harus menuruti perintahmu!" bentak Ranesa marah.
"Bagus kalau itu yang kalian ingini, serang...!"
Serentak kedua puluh lima orang berkedok itu berkelebat menyerang para prajurit Cina.
Serta merta Ranesa pun segera berseru: "Prajurit, serang...!"
Pertarungan antara dua kelompok itu pun tak dapat dihindari. Kedua kelompok itu, bagaikan singa-singa kelaparan menyerang membabi buta. Walau jumlah prajurit kerajaan Cina lebih banyak ketimbang penyamun, namun karena di hati mereka tertekan keragu-raguan menjadikan mereka bertempur dengan beban. Mereka seperti menghadapi senjata saja layaknya, sehingga serangan-serangan mereka tak pernah memenuhi sasarannya. Bahkan para begal itulah yang makin mengganas. Merasa musuh ketakutan, para begal makin meningkatkan kenekadannya.
Melihat hal itu, serta merta keempat orang yang menandu putri Nancin Cu segera membawa sang putri pergi menyelamatkan diri. Mereka merasa khawatir kalau-kalau sang putri akan mengalami musibah. Keempat prajurit penandu itu, merupakan prajurit-prajurit yang setia pada Putri Nancin Cu yang sengaja dibawa oleh Putri Nancin Cu untuk menemaninya.
Melihat keempat prajurit pengusung itu melarikan diri dengan asungannya, serta merta ketua orang-orang berkedok berkelebat mengejar. Namun belum juga ketua orang berkedok itu jauh Ranesa telah pula mengejarnya. Dengan menggunakan Hin-Kang atau ilmu meringankan tubuhnya Ranesa secepat kilat berlari dan tahutahu telah menghadang pimpinan orang-orang berkedok.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mati!" bentak ketua orang berkedok jengkel merasa niatnya untuk mengejar terhalangi.
Ranesa tersenyum sunggingkan bibir demi mendengar bentakan pimpinan orang-orang berkedok. Setelah sesaat mengurai senyum, Ranesa dengan nada datar berkata: "Aku tak mencari mati, karena aku ingin hidup. Kaulah yang mencari mati, sebab kaulah yang telah membuat segalanya. Apa perlumu menghadang langkah kami? Apakah kau tak takut bila perbuatanmu diketahui oleh baginda Amangkurat?"
Lelaki pimpinan orang-orang berkedok itu tersenyum sinis, manakala mendengar Ranesa menyebut nama Amangkurat. Sepertinya nama Amangkurat bagi lelaki berkedok itu tak ada artinya, lalu dengan suara lantang lelaki berkedok itu kembali berkata setengah membentak. "Kalau kau memang ingin memanggil Amangkurat. Panggillah! Aku tak akan mundur menghadapinya. Hua, ha, ha.... Amangkurat tak lebihnya orang-orang sepertiku. Kalau Amangkurat melihat hal ini, pasti dia akan membantuku."
"Sombong!"
"Hua, ha, ha... Kau tak percaya?" Lelaki berkedok itu kembali sunggingkan senyum mengejek. "Kalau kau mendengar siapa adanya kami, niscaya kau dan para prajuritmu akan lari terkencing-kencing."
"Hem, mungkin hanya orang bodoh saja yang mau digertak oleh manusia macammu. Tapi aku, tidak," jawab Ranesa sengit. "Aku tak akan takut tentang siapa adanya kalian, sebab aku merasa benar. Kebenaran selalu dalam lindungan Yang Jagad Wenang."
"Bedebah! Jangan menyesal nantinya," menggertak pimpinan orang berkedok marah. "Jangan lengah, hiat...!"
Melihat musuhnya berkelebat menyerang, dengan segera Ranesa pun tak mau tinggal diam. Seketika Ranesa menggerang bagaikan seekor harimau, lalu dengan melompat bagaikan terbang Ranesa berkelebat memapakinya. Tanpa ayal lagi pertarungan dua pimpinan itu pun seketika berjalan. Keduanya nampak penuh antusias untuk saling menjatuhkan, sehingga kedua pimpinan itu tanpa segan-segan segera mengeluarkan jurusjurus yang sangat diandalkan.
Jurus demi jurus terus terlalui, sepertinya kedua pimpinan itu tak mengenal lelah. Dari jurus yang ringan, berubah menjadi jurus-jurus yang berat, yang mengarah pada mati hidupnya mereka. Namun begitu, keduanya nampak sama-sama tangguh dan sama-sama gesit bagaikan dua kekuatan yang tengah bertarung. Memang keduanya merupakan dua kekuatan. Yang satu menggunakan kekuatan Naga Api, sementara yang lainnya menggunakan Garuda Sakti.
Maka mereka pun kini benar-benar telah meniru gerakan-gerakan kedua hewan perkasa. Sang Naga Api yang penjelmaan dari Ranesa, nampak mengganas dengan semburan-semburan api dari mulutnya. Sementara sang Garuda yang merupakan penjelmaan dari pimpinan orang-orang berkedok yang tak lain Begal Sulasa nampak dengan gesit mengelakkan serangan dan dengan gesit mengelakkan serangan pula membalas menyerang dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat.
Di pihak lain, nampak para prajurit kerajaan Cina yang kini dipimpin oleh dua tokoh utama yaitu San Ing dan Wang masih terus berusaha membendung serangan-serangan anggota begal berkedok yang nampaknya terus mengganas. Sepertinya para begal itu tak kenal takut, walau menghadapi dua tokoh yang sudah terkenal di daratan Cina. Bahkan mereka nampaknya makin lama makin mengganas.
Melihat hal itu, maka para prajurit kerajaan Cinalah yang nampak keteter. Mereka seakan dibayang-bayangi oleh ketakutan, sehingga cara berperang mereka pun ngawur. Hal itu menjadikan para begal makin bernafsu saja untuk membunuh. Dan memang benar, mereka kini dengan garang meng-hunjamkan senjata mereka.
Korban berjatuhan dari pihak kerajaan Cina, menjadikan para prajurit lainnya makin lama makin bertambah susut semangatnya. Tanpa ampun lagi, mereka pun seketika menjadi bulan-bulanan para begal. Maka dalam sekejap saja, mayat bergelimpangan dari pihak kerajaan Cina. Sebaliknya dari para begal, makin menjadi-jadi keganasannya. Mereka bagaikan burung-burung nazar yang tak pernah kenyang.
Di pihak lainnya pertarungan antara dua orang pimpinan itu masih berjalan. Keduanya kini benar-benar menguras segala ilmu yang mereka miliki. Namun demikian, pertarungan mereka sepertinya tak akan berhenti. Kelebatan-kelebatan tubuh keduanya begitu cepat, menjadikan tubuh mereka bagaikan menghilang tertutup oleh warna-warna pakaian yang mereka kenakan. Namun seperti pepatah, siapa yang lengah dialah yang akan binasa. Rupanya pepatah itu pula yang telah menentukan pertarungan mereka.
Manakala Ranesa lengah, dengan segera pimpinan begal berkedok itu hantamkan ajiannya. Tak ayal lagi, Ranesa pun seketika melengkingkan jeritan manakala ajian itu menghantam telak tubuhnya. Tubuh Ranesa seketika membiru, beku bagaikan tertimpa salju yang berjuta-juta kati. Tubuh itu mati dengan menyedihkan, beku bagaikan di es. Ya, Ranesa memang mati beku, terhantam ajian Topan Salju yang dilontarkan oleh pimpinan begal berkedok.
Setelah melihat musuhnya mati, dengan segera pimpinan begal berkedok itu pun berkelebat pergi setelah terlebih dahulu menendang tubuh Ranesa hingga melayang bagaikan terbang dan ambruk kembali ke bawah jurang. Dengan meninggalkan gelak tawa, pimpinan begal itu kembali melesat untuk mengejar keempat orang penandu yang membawa apa yang mereka pertahankan.
********************
DUA
Keempat prajurit yang menandu putri Nancin Cu nampak masih berlari dengan menandu. Wajah mereka begitu tegang, sepertinya ada rasa ketakutan yang amat sangat. Ya, mereka memang ketakutan setengah mati. Bukannya mereka takut mati, namun lebih dari itu yang mereka takuti. Ketakutan mereka adalah keganasan para begal-begal, apabila mereka tahu siapa adanya putri Nancin Cu.
"Kenapa kalian tidak menuju ke Kerajaan Mataram saja?" tanya Nancin Cu pada keempat pengusungnya.
"Ke manakah tujuan arah yang harus kami tempuh, Tuan Putri?"
"Teruslah ke Selatan di sanalah kerajaan Mataram."
"Ah, tidak mungkin, Tuan Putri," keluh mereka serentak, menjadikan Nancin Cu seketika membuka tirai penutup tandunya. Mata Nancin Cu yang lentik, ditambah dengan wajahnya yang cantik jelita menjadikan anggun. Mata lentik itu memandang lepas ke muka, yang terpapar hamparan rumput-rumput ilalang menghijau. Melihat hal itu, seketika hatinya bergumam.
"Hem, memang patut keempat pengawalku takut. Mereka rupanya sungkan menerobos ilalang yang tinggi. Mereka mungkin menduga-duga kalau-kalau di ilalang itu juga akan ada bahaya."
"Tak adakah jalan lain...?" tanya Putri Nancin Cu seperti pada diri sendiri, sementara matanya masih terus memandang ke muka.
"Tak ada, Tuan Putri," jawab penandu di muka sebelah kanan.
"Kami rasa, memang tak ada," menambah yang sebelah kiri. "Jalan lain satu-satunya, sekarang telah dijadikan pertempuran antara para prajurit dengan para gerombolan begal itu."
"Jadi tak ada jalan lain?"
"Benar, Tuan Putri."
"Kalau begitu, tak apalah menempuh jalan lewat ilalang itu."
"Ah...." kembali keempat orang itu mendesah.
"Kenapa? Apakah kalian takut...?"
"Bukannya kami takut mati, Tuan Putri," jawab orang yang di depan sebelah kiri. "Bagi kami, keselamatan Tuan Putri lebih utama daripada nyawa kami yang tiada guna."
Tercenung masgul putri Nancin Cu mendengarnya. Hatinya bergetar, air matanya seketika menetes deras bagaikan membuang kepedihan yang tengah dideritanya. Memang benar apa yang dikatakan keempat penandunya yang setia. Mereka memang sangat mengkuatirkan dirinya, daripada memikirkan diri mereka. Hal itulah yang menjadikan Putri Nancin Cu merasa sedih.
Kini ia terlunta-lunta di pulau Jawa, tanpa mengerti apa yang bakal terjadi. Semua salahnya sendiri. Ya, semua salahnya sendiri, mengapa ingin menemui Amangkurat yang harus menempuh berbagai tantangan? Bila ingat itu semua, seketika hati Nanci Cu jadi kesal, marah pada Amangkurat. Bagaimana mungkin tidak marah, mereka datang jauh-jauh tapi nyatanya dari pihak Amangkurat tak ada seorang pun yang menjemput mereka. Sepertinya segala kejadian itu memang disengaja.
"Ah, Amangkurat... Kenapa ia tak menyambut kedatanganku?" keluh hati Nancin Cu. "Apakah memang sengaja Amangkurat hendak mencelakai diriku?"
Tengah putri Nancin Cu melamun, tiba-tiba penandu yang berada di belakang berteriak. "Awas! Orang berkedok itu mengejar kita. Ayo lari...!"
Dengan segera mereka pun berlari kembali. Mereka tak menghiraukan lagi ilalang yang terpapar meninggi di depannya. Dengan segala kenekadan mereka pun menerobos rumput ilalang. Namun seketika mereka tersentak kaget, manakala dengan tiba-tiba seseorang berkelebat menerobos masuk ke tandu. Belum juga keempat penandu itu hilang dari rasa kagetnya, orang tersebut telah kembali berkelebat keluar dengan membopong tubuh Putri Nancin Cu yang terkulai.
Rupanya Nancin Cu telah tertotok. Keempat orang penandu itu segera bermaksud mengejar, ketika tiba-tiba orang tersebut mengibaskan tangannya. Dari kibasan tangan berhamburan ratusan jarum-jarum mendesing-desing mengarah ke arah mereka.
"Awas Jarum...!" pekik salah seorang dari keempatnya.
Seketika mereka berhamburan, jumpalitan berusaha mengelakkan serangan jarum-jarum beracun itu. Namun tak urung salah seorang dari mereka terkena. Orang itu menjerit sesaat, berguling-guling merambah ilalang dan akhirnya terkulai.
Ketiga temannya seketika tersentak, manakala melihat apa yang dialami oleh rekannya. Tubuh temannya membiru, lalu dari tusukan jarum-jarum itu makin lama makin membesar. Dari sebesar jagung, membentuk sebesar kepalan tangan. Setelah benjolan-benjolan itu besar sebesar kepalan tangan, berjolan itu pun akhirnya pecah.
Dan kembali ketiga orang itu terbelalak kaget, ketika dilihat apa yang keluar dari pecahan benjolan tersebut. Ketiganya seketika melompat bagaikan terpental, manakala ketiganya melihat binatangbinatang yang menjijikkan keluar dari benjolan-benjolan yang pecah. Binatang-binatang tersebut, tak lain dari kelabang yang berwarna ungu. Itulah racun Kelabang Ungu.
"Awas...! Kalian jangan mendekatinya!" terdengar seruan seseorang, manakala ketiganya tengah dilanda kekagetan. "Kalau kalian mendekat, niscaya tubuh kalian pun akan terkena. Kelabang itu sangat ganas bila mencium bau manusia!"
Ketika ketiga orang Cina itu menengok, seketika mereka tersentak kaget. Ternyata orang yang memperingatkan mereka, tak lain daripada pimpinan begal yang tadi mengejarnya. Wajah ketiga orang Cina itu seketika pucat ketakutan. Mereka kini hanya pasrah untuk apa yang akan pimpinan begal itu lakukan.
"Heh, rupanya kalian," terbelalak pimpinan begal itu, manakala makin mendekati ketiganya. "Di mana barang yang kau bawa itu?"
"Kami membawa putri Kerajaan kami yang ingin menemui Raja Amangkurat."
"Di mana sekarang?"
Ketiga orang Cina itu seketika terdiam ditanya begitu. Mata mereka memandang pada pimpinan begal dengan pandangan mata tak percaya, lalu salah seorang dari ketiganya kembali berkata. "Apakah pencuri putri Nan bukan anggotamu?"
"Hei, kau ngomong apa?" tanya pimpinan begal itu kaget.
"Putri Nan telah diculik oleh seseorang," jawab orang Cina itu sembari menengok ke belakang. Namun ternyata orang yang tadi melemparkan jarum-jarum berbisa telah hilang dari pandangannya. "Heh, cepat benar orang itu menghilang."
"Siapa yang kau maksud?" tanya pimpinan begal itu kaget.
"Orang yang telah membunuh temanku ini dengan apa yang kau sebut racun Kelabang Ungu," jawab yang ditanya, menjadikan pimpinan begal seketika kerutkan kening.
Setelah memandang pada ketiga orang Cina itu, pimpinan begal segera berkelebat pergi meninggalkan ketiganya yang terbengong-bengong tak mengerti.
********************
Pertarungan antara prajurit-prajurit kerajaan Cina yang dipimpin oleh Wang dan San Ing masih terus berlanjut, walau korban telah banyak berjatuhan. San Ing dengan pedang Naganya terus mengamuk. Setiap kelebatan pedang di tangan San Ing selalu membawa korban bagi pihak musuh. Kini pihak begal yang tadinya berjumlah dua puluh lima tinggal lima orang. Sementara dari pihak prajurit kerajaan tinggal empat orang ditambah dua pimpinannya.
"Menyerahlah kalian.!" bentak Wang.
Namun kelima orang begal itu sepertinya tak mendengar. Bahkan kelimanya nampak makin nekad saja menyerang. Hal itu menjadikan Wang dan San Ing makin marah saja. Pedang di tangan kedua pendekar Cina itu terus berkelebat men-cari nyawa. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja kelima orang musuh-musuhnya habis terbabat oleh pedang mereka. Namun perjuangan mereka tak luput dari para prajurit-prajurit yang kini tiada sisa seorang pun. Seluruh prajurit binasa.
Tertegun Wang dan San Ing melihat keseratus prajurit-prajurit mereka mati. Tak terasa dari kelopak mata mereka meleleh air mata. Mereka menangis, menangisi para prajurit yang gugur demi membela kerajaan. Setelah sesaat hening membisu, kedua pendekar negeri Cina itu pun segera berlalu meninggalkan para prajuritnya yang telah gugur.
"Apakah kita akan kembali ke Cina?" tanya San Ing, manakala keduanya telah berlalu jauh meninggalkan medan pertempuran sekaligus meninggalkan korban yang berjatuhan.
"Tidak! Kita harus mencari tuan Putri Nancin Cu dulu."
"Ke mana...?"
"Bukankah kita punya kaki?" balik bertanya Wang.
San Ing terdiam, merasakan ucapan Wang memang ada benarnya. Bukankah kita punya kaki? Ya, lebih baik berjalan-jalan mencari Tuan Putrinya dari pada pulang dengan tangan hampa. Mereka malu pada Kaisar Nan Cu, yang telah mempercayai mereka untuk mengawal putrinya. Mau ditaruh di mana muka mereka? Bagaimana harus mempertanggungjawabkan pada rajanya?
"Baiklah, kita mencari tuan Putri," jawab San Ing menyetujui apa yang dikatakan Wang. "Oh ya, di manakah Koko Ranesa?"
"Entahlah. Maka itu, marilah kita cari semuanya."
Tanpa banyak berkata lagi, dua pendekar negeri Cina itu pun segera melangkahkan kaki mereka pergi. Tak lama kemudian setelah keduanya berjalan, tiba-tiba mata mereka melihat sosok tubuh terkapar. Segera kedua pendekar Cina itu berlari menghampiri. Mata keduanya seketika membeliak, mulut mereka seketika berseru kaget menyebut nama orang yang tergeletak.
"Koko, Ran...!"
Kedua pendekar itu seketika menangis kembali, keduanya segera mengangkat tubuh Ranesa yang telah mati. Air mata kedua pendekar itu kembali meleleh, perih dan pedih terasa menyayat di hati keduanya.
"Koko Ran, mengapa kau tinggalkan kami?" isak San Ing.
"Siapakah yang telah berbuat semuanya ini, Koko?" Wang pun ikut bertanya pada mayat Ranesa, yang hanya diam tanpa dapat berkata-kata. "Jawab, Koko, Koko. Biar kami yang akan menuntut balas..."
Namun seperti semula, Ranesa yang telah mati tak dapat menjawab. Tubuh itu telah kaku, dingin bagaikan beku. Kedua pendekar negeri Cina itu terus menangis, sambil menggali liang yang akan dijadikan tempat terakhir bagi Ranesa. Setelah dirasa cukup, kedua pendekar itu segera menyemayamkan tubuh Ranesa. Keduanya kembali hening tanpa kata, menundukkan muka memberikan penghormatan terakhir pada Ranesa.
"Kita cari orang yang telah membunuhnya," ajak Wang setelah sekian lama terdiam dalam hening memberikan penghormatan terakhir. "Aku rasa, orang tersebut tak lain dari pada pimpinan begal keparat itu."
"Memang benar! Ayo kita cari. Lebih baik kita mati, daripada kita hidup terlunta-lunta di daerah orang."
"Jangan putus asa, Saudara San. Kita tak boleh berkata begitu, kita harus tegar menghadapi segala coba. Sebagai seorang pendekar, di mana saja tempatnya sama. Demi membela kebenaran dan keadilan, kita tak perlu memandang apa saja, baik itu ras atau derajat."
San Ing kembali terdiam, kemudian kedua pendekar Cina itu pun kembali berkelebat pergi meninggalkan gundukan tanah merah baru di mana Ranesa beristirahat untuk yang terakhir kalinya....
********************
TIGA
Lelaki yang membopong tubuh putri Nancin Cu masih terus berlari dengan cepatnya, sepertinya tak ingin ada orang lain yang bakal merebut apa yang telah ia peroleh. Orang tersebut bertampang kumal, dengan cambang lebat panjang mengurai dialah Datuk Raja Beracun. Datuk Raja Beracun yang telah berlari sambil membopong tubuh Nancin Cu, nampak terus mempercepat larinya. Ia tak ingin ada orang yang mengejarnya untuk merebut Nancin Cu dari tangannya.
Datuk Raja Beracun berharap impiannya untuk menurunkan Raja-raja yang kelak berkuasa di tanah Andalas akan menjadi kenyataan. Ia masih teringat akan wangsit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu mengatakan, "Siapa yang dapat memperistri Putri Nancin Cu maka dialah yang kelak akan mempunyai keturunan raja-raja yang nantinya menguasai tanah Andalas."
Tengah Datuk Raja Beracun lari, terdengar teriakan seseorang yang mengundang perhatiannya. "Datuk Raja Beracun, tunggu...!"
Datuk Raja Beracun tak hiraukan seruan itu, ia yang sudah menduga siapa adanya orang yang berseru makin tak menghiraukan. Datuk Raja Beracun yakin kalau orang-orang di pulau Jawa pun telah mendengar adanya desas desus siapa adanya putri Nancin Cu, orang yang kelak dapat menurunkan raja-raja di Nusantara khususnya raja di pulau Andalas.
"Datuk Raja Beracun, tunggu...!" kembali orang tersebut berseru seraya mempercepat larinya. Maka dalam sekejap saja, tubuh orang tersebut telah berkelebat cepat dan tiba-tiba telah menghadang langkah sang Datuk. "Berhenti!"
Melihat orang itu menghadangnya, dengan geram sang Datuk membentak: "Apa urusanmu," orang usil!"
Lelaki bercadar itu tersenyum mengejek, dan berkata: "Datuk, rupanya kau pun menghendaki gadis Cina itu. Hem, aku pun jadi ingin merebutnya dari tanganmu."
"Bedebah! Jangan bermimpi."
"Kenapa tidak, Datuk..,!" tiba-tiba terdengar suara orang lain membentaknya, menjadikan sang Datuk seketika tersentak kaget dan palingkan muka memandang ke asal suara tersebut.
"Rupanya kalian bersekongkol hendak merebut gadis ini. Hem, jangan kira kalian akan mampu merebutnya, langkahi dulu mayatku."
"Begitu?" tanya orang yang baru datang dengan sinis. Orang yang baru datang, ternyata tak lain dari pada Begal Sulasa yang telah mengejar sang Datuk setelah mendengarkan keterangan dari ketiga pengusung putri Nancin Cu.
Seperti Datuk Raja Beracun, kedua orang pengejarnya pun telah mengerti siapa adanya putri Nancin Cu yang menurut wangsit kelak akan menurunkan raja-raja di pulau Andalas. Karena berpegangan pada wangsit itulah, maka ketiga orang tersebut segera memburunya. Kini putri tersebut berada di tangan Datuk Raja Beracun, sehingga kedua orang pengejar itu pun mau tak mau harus menghadang Datuk Raja Beracun.
"Ya begitu, tak ada jalan lain," jawab sang Datuk sinis.
"Hem, kita bertiga," menggumam Begal Sulasa.
"Tak apa. Yang penting adalah salah seorang di antara kita harus dapat menjadi pemenangnya," orang bercadar menyarankan. "Bagaimana kalau kita langsung saling serang?"
"Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya."
"Kau rupanya takut, Datuk?"
"Bedebah! Jangan kira aku takut menghadapi kalian berdua. Ayo kalian maju bareng mengeroyokku, Datu Raja Beracun tak akan mundur menghadapi kalian." Habis berkata begitu, serta merta sang Datuk kibaskan tangannya. Dari kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna ungu melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan!" pekik Begal Sulasa memperingatkan pada rekannya yang dengan segera berkelebat mengibaskan lengan bajunya.
"Datuk Edan! Rupanya kau memang ingin segera mampus!" bentak orang bercadar marah. Napasnya mendengus bagaikan memendam kekesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk Raja Beracun. "Terimalah pembalasan dariku. Hiat...!" Segera orang bercadar itu hantamkan tangan kanannya ke arah Datuk Raja Beracun.
Sang Datuk terkesiap kaget, mana kala melihat larikan sinar putih membersit dari telapak tangan orang bercadar. "Ah, kaukah Rumajang?" Sang Datuk mengeluh seakan ada rasa takut terbersit pada mimik mukanya. "Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Rumajang!"
"Hua, ha, ha... Ternyata matamu belum begitu rabun, Datuk? Nah, bila kau telah tahu siapa aku, mestinya kau menyembah dan dengan ikhlas berikan gadis dalam boponganmu padaku."
"Enak saja kau ngomong! Aku yang cape-cape, mengapa kau yang baru datang tiba-tiba menginginkan hasil jerih payahku?" ejek sang Datuk Beracun. "Walau pun namamu sudah setinggi langit, namun aku Datuk Raja Beracun tak akan gentar sedikit pun menghadapimu. Apalagi menghadapi begal kere macam temanmu itu."
"Setan! Rupanya kau memang harus kuberi hajaran!" bentak Begal Sulasa marah, ia merasa ucapan sang Datuk sangat meremehkan dirinya. Betapapun juga, Begal Sulasa merupakan anggota Panca Leluhur Sakti yang tak dapat dipandang enteng. Maka mendengar ucapan sang Datuk, darah Begal Sulasa seketika mendidih. "Jangan sombong, Datuk! Kalau kau memang jantan, maka hadapilah aku."
Sang Datuk yang memang telah siap-siap akan menghadapi dua orang sekaligus dengan tak mau kalah berkata lantang: "Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggung-tanggung biar aku dengan cepat membereskannya."
Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan dua tokoh dari pulau Jawa mendengar ejekan sang Datuk. Serta merta keduanya berkelebat menyerang sang Datuk. Serangan kedua orang tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu sepertinya kompak. Keduanya berganti-ganti menyerang sang Datuk. Namun begitu, sepertinya sang Datuk bagaikan tak kerepotan secuilpun. Bahkan dengan tubuh menggendong tubuh orang, sang Datuk masih lincah berkelit dan kala ada kesempatan balas menyerang.
Jurus demi jurus terlalui oleh mereka dengan cepat. Ketiganya seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan jurus-jurus yang mereka miliki. Entah berapa puluh jurus yang mereka keluarkan, karena saking cepatnya mereka bergerak sehingga tanpa sadar mereka terus bertempur dengan terus saling mendesak lawan-lawannya ke belakang.
"Cilaka!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget, mana kala tubuhnya kini telah sampai di tepi jurang terdesak oleh kedua lawannya yang nampak makin beringas saja. "Kalau begini terus menerus, maka tidak mungkin tidak akulah yang akan kalah oleh mereka. Aku harus mencari akal."
Kedua orang penyerangnya tak memperhatikan gerak gerik sang Datuk, mereka terjebak oleh serangan-serangan yang mereka lancarkan. Melihat musuh-musuhnya terus mendesak ke pinggir jurang, serta merta Datuk Raja Beracun memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu, tiba-tiba tubuh sang Datuk mencelat mana kala kedua musuhnya bareng menyerangnya. Tanpa dapat direm atau dihindari, tak ayal kedua orang bertutup muka itu meluncur deras ke bawah.
"Hua, ha, ha... Itulah untuk kalian. Selamat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat sana."
Setelah sesaat memandang ke bawah jurang yang menelan dua tubuh musuhnya, Datuk Raja Beracun dengan masih ganda tawa berkelebat meninggalkan tempat itu dengan masih membopong tubuh Nancin Cu. Nancin Cu walau dalam keadaan tertotok, saat itu ternyata telah siuman dari pingsannya, sehingga ia pun dapat menyaksikan betapa kedua orang bertopeng itu menemui ajalnya dengan tragis. Mata Nancin Cu seketika memejam rapat, tatkala melihat dua orang tersebut meluncur ke bawah.
"Siapa sebenarnya orang ini? Sungguh licik dan berilmu tinggi, sehingga dua orang yang aku tahu salah satunya Begal yang menghadang para prajuritku dapat dengan mudah dijatuhkan," batin putri Nancin Cu dengan perasaan was-was. Ia memang perlu mengalami kecemasan, sebab Datuk Raja Beracun merupakan orang baru dalam penglihatannya. Setiap orang baru tentunya tak dapat diterka pikiran dan perbuatannya.
"Anak manis, kau akan aku bawa ke pulau tempatku tinggal. Di sana tak seperti di sini yang serba keras. He, he, he..." Habis berkata begitu pada Nancin Cu yang masih tertotok dan berada dalam bopongannya. Dengan meninggalkan gelak tawa berkepanjangan Datuk Raja Beracun segera berkelebat tinggalkan tempat itu, pergi.
********************
Selang tak begitu lama kemudian, nampak dua orang dengan membawa senjata pedang di pundaknya berjalan ke arah situ. Kedua orang yang tidak lain Wang dan San Ing yang tengah mencari tuan putri dan para musuhnya dengan wajah setengah murung terus melangkah menuju ke tempat tersebut. Sesaat keduanya berhenti, berdiri dan memandang sekeliling tempat itu. Mata kedua pendekar Cina itu seketika membelalak, mana kala melihat beberapa tapak kaki yang masih melekat jelas di tanah yang sedikit basah.
"Rupanya barusan ada yang bertempur di sini, Saudara Wang."
"Ya, coba lihat bekas kaki-kaki ini. Bukankah ini menggambarkan bahwa seretan kaki orang perang?" balik bertanya Wang, matanya mengerut penuh ketidakmengertian. "Mungkin di jurang itu ada orang yang kalah."
San Ing dan Wang segera menelusuri jejak-jejak kaki yang masih tergambar jelas menapak di tanah. Mata mereka terus melekat pada jejakjejak tersebut. Tak lama kemudian keduanya terbawa oleh jejak kaki menuju ke jurang. Seketika mata kedua pendekar Cina itu kembali menyipit, tatkala dilihatnya jejak kaki itu hilang setelah berada di bibir jurang.
"Tak salah!" pekik Wang mengejutkan San Ing yang seketika menghampiri dan turut memandang ke bawah jurang yang tajam, sehingga hanya nampak gelap gulita.
"Memang benar, ternyata di bawah jurang sana ada orang."
"Heh, benar!" Wang memekik manakala menajamkan pendengarannya.
"Bagaimana, apakah perlu kita bantu?" tanya San Ing, menjadikan Wang seketika mengerutkan kening. Bagaimana mungkin mereka akan membantu? Bukankah jurang itu curam dan dalam?
"Kau jangan bercanda, San? Mana mungkin kita dapat membantu mereka? Mereka yang berilmu tinggi pun, aku rasa tak akan mampu menundukkan jurang yang dalam dan curam ini, apa-lagi kita?"
Terdiam San Ing demi mendengar pertanyaan Wang yang nadanya tak yakin. Memang apa yang dikatakan Wang ada benarnya. Bagaimana mungkin mereka dapat membantu orangorang yang ada di dalam jurang yang dalam dan curam? Sedangkan orang-orang yang berada di dalam jurang adalah dua orang yang mempunyai nama di dunia persilatan, ternyata mereka saja tak mampu menolong diri mereka sendiri. Tengah kedua pendekar Cina itu terdiam tak mengerti harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar seruan dua orang dari bawah jurang yang tak nampak orangnya.
"Ki Sanak yang berada di atas, dapatkah Ki Sanak menolong kami?"
"Hai, ternyata di bawah bukannya hanya seorang. Ternyata mereka berdua," gumam San Ing sedikit kaget. Dipandangnya Wang yang juga memandang ke arahnya. "Bagaimana, Saudara Wang? Apakah kita akan menolong mereka?"
"Bagaimana caranya, Saudara San? Sedangkan kita tak dapat berbuat banyak," lenguh Wang putus asa. "Apakah kita akan mengorbankan diri kita untuk menolong orang yang belum kita ketahui siapa adanya dan bagaimana sifat mereka? Aku takut nanti kita sendiri yang mengalami kesusahan. Kau mesti ingat, ini wilayah orang bukan wilayah kita. Kita belum tahu satu persatu sifat orang-orang Nusantara ini. Bayangkan saja, baru saja kita dihadapkan pada kejadian yang bagi kita tak masuk di akal,"
"Woi… Kalian yang berada di atas, apakah kalian tak mendengar seruan kami?" terdengar kembali seruan orang yang berada di bawah, menjadikan kedua pendekar Cina yang masih terpaku tak mengerti seketika kembali saling pandang seolah-olah ingin mencari kepastian di antara mereka.
Hati kedua pendekar Cina itu bimbang untuk berbuat. Keduanya masih terbayang kejadiankejadian yang baru saja keduanya alami, yang dirasa sangat menekan jiwa keduanya. Keduanya tak ingin kejadian yang tak diinginkan terulang untuk kedua kali. Korban telah banyak, apa mungkin diri mereka harus menjadi korban pula?
"Ah, kenapa Ki Sanak berdua hanya diam...?!"
"Kami bingung harus bagaimana. Apakah Ki Sanak yang berada di bawah dapat mencarikan kami jalan? Kalau memang Ki Sanak mampu mencarikan jalan, mungkin kami pun akan mampu untuk membantu Ki Sanak sekalian," jawab San Ing dengan logat Cinanya yang masih kentara menjadikan orang yang berada di bawah jurang mengerutkan kening.
Walau kekagetan orang yang berada di bawah jurang tidak diketahui oleh San Ing dan Wang yang berada di atas, namun dari ucapan orang tersebut jelas menunjukkan kekagetannya.
"Ah, kiranya kalian pimpinan prajurit Cina."
"Hai, kalian mengenal kami," tersentak Wang kaget demi mendengar ucapan orang yang berada di bawah. "Apakah kalian orang-orang yang telah mengeroyok dan membegal prajurit kami?"
Tak ada jawaban yang terdengar dari dasar jurang, menjadikan San Ing dan Wang kerutkan kening saling pandang. Kedua pendekar Cina itu kini mengetahui siapa adanya orang yang berada di dasar jurang itu. Hati mereka seketika diliputi rasa dendam benci yang teramat dalam. Maka dengan tanpa bicara lagi, kedua orang pendekar Cina itu pun berkelebat pergi tanpa menghiraukan seruan orang-orang yang berada di dasar jurang.
********************
EMPAT
PULAU ANDALAS
Datuk Raja Beracun yang telah menguasai putri Nancin Cu dan membawanya ke pulau Andalas terus berusaha merayu putri tersebut agar mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri sang putri kelak keturunannya akan menjadi raja penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali sang Datuk berusaha mempengaruhi sang putri. Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia miliki namun ternyata tak ada yang mempan sedikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak mendapatkan hasil, sang Datuk hampir saja putus asa kalau saja pembantu setianya yang bernama Datuk Begugu, tidak kembali memberi semangat.
"Jangan tuan putus asa dulu, sebab tidak mungkin nantinya kalau tuanlah yang bakal mendapatkan anugrah tersebut," kata Datuk Begugu memberi saran, manakala didengarnya keluhan tuannya yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Begugu. Dan nyatanya, ah... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Raja Beracun. "Bukannya sekali aku mencoba pengaruhi dia, tapi sepertinya tak ada yang dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tidak lebih baik aku perkosa saja?"
Tersentak kaget Datuk Begugu mendengar ucapan tuannya. Ia tak menyangka kalau tuannya yang sangat kokoh dan ulet akan prustasi menghadapi putri Cina tersebut. Memperkosa, berarti hubungan yang tidak selaras. Hal itu tidak mungkin tidak akan menjadikan sebuah tekanan jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa tuan begitu cepat putus asa?" tanya Begugu tercenung. "Memperkosa itu tidak baik, Tuan."
"Alasannya...?"
"Maaf, hamba mungkin dalam hal ini terlalu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini dianggap sok pintar, terlebih dahulu hamba kembali meminta maaf."
"Hem, katakanlah. Bagiku kau sama saja dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang setia, yang selalu memberikan saran yang baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau ragu, Begugu."
Datuk Begugu sesaat terdiam, tundukan kepala sembari menarik napas panjang. Sesaat kemudian sang Datuk pun menengadahkan wajahnya, memandang pada tuannya yang nampak menggurat rasa ketidak mengertian. Setelah kembali menunduk Datuk Begugu pun akhirnya membuka suara berkata:
"Menurut hamba yang telah tua, perkosaan itu tidak baik bagi diri kita. Pertama, kita akan menanggung beban mental yang berat kalau-kalau sampai orang yang diperkosa nanti membalas dendam. Kedua, hubungan kita dengan yang diperkosa akan menjadikan sebuah hubungan pertumpahan darah."
"Ah, apa mungkin nanti keturunanku berani melawanku?" Datuk Raja Beracun mengelak seakan tak yakin dengan segala ucapan Datuk Begugu. "Tak akan anak berani dengan orang tua."
"Itu menurut pendapat tuan. Tapi perlu tuan ingat, bukankah anak akan lebih dekat dengan sang ibu?"
Terangguk-angguk kepala Datuk Raja Beracun mendengar keterangan pembantunya. Dirasakannya segala petuah pembantunya memang benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha sedini mungkin untuk dapat menggugah hati putri raja Cina, dan nyatanya segalanya mengalami hasil nihil. Namun bila niatnya untuk memperkosa putri raja Cina itu dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Begugu akan menjadi kenyataan.
Lama Datuk Raja Beracun terdiam membisu, angannya melayang pada khayalan untuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhormat. Orang yang menurunkan raja-raja di pulau Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau lama kelamaan akan ada orang lain yang berilmu lebih tinggi darinya dapat merebut putri Nancin Cu. Apakah tidak mungkin itu terjadi?
"Hem, sungguh aku terlalu penakut. Biarlah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang akan menjadikan namaku dihormati. Bukankah margaku nanti yang menjadi raja? Persetan dengan segala balas dendam, bagiku yang utama aku berhasil mendapatkan anak dari putri Nan yang kelak akan menjadi raja," gumam hati Datuk Raja Beracun
"Baiklah aku pura-pura menuruti apa yang dikatakan oleh pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Begugu. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak boleh melakukan itu. Apakah kau dapat membantuku mencarikan seorang dukun yang dapat memikat putri Raja Cina itu, Begugu?" tanyanya kemudian.
Datuk Begugu kembali terdiam hening, pikirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati Datuk Begugu ada rasa kasihan melihat Nancin Cu. Putri raja Cina itu begitu mengibakan hatinya. Putri itu setiap hari-harinya hanya melamun dan menangis. Makanan yang dihidangkan tak pernah disentuhnya, sehingga badannya kurus kering. Pernah Begugu mencoba bertanya bagaimana dengan diri putri tersebut. Jawabannya sungguh mengejutkan, sang putri memilih lebih baik mati daripada harus menjadi istri Datuk Raja Beracun yang jahat dan keji.
"Kenapa, Begugu? Kenapa kau terdiam melamun?"
Tersentak Datuk Begugu dari lamunannya, mana kala mendengar pertanyaan Datuk Raja Beracun yang secara tiba-tiba itu. Maka dengan gagap Datuk Begugu menjawab. "Am-ampun, hamba tengah berpikir bagaimana supaya segalanya dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga hamba akan berusaha kembali mencarikan seorang dukun pemikat."
"Hua, ha, ha... Bagus, bagus. Kalau kelak aku mendapatkan putri tersebut, maka kau akan aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan aku berikan separuh dari kekuasaanku. Dan kau akan aku jadikan Raja Datuk Begugu, bagaimana?"
"Terimakasih atas segala yang bakal tuan berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, hamba lebih senang mengabdi pada tuan Datuk yang terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama Datuk, sebab tuan Datuk sangat tinggi ilmunya," berkata Datuk Begugu dengan nada menyanjung, menjadikan Datuk Raja Beracun kembali gelak tawa senang.
Saking senangnya sang Datuk, sampai-sampai ia melupakan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari Minggu Manis, kala biasanya Datuk Raja Beracun melakukan meditasi. Namun hari itu ia lupa. Hal ini akan menjadikan dirinya berkurang ilmu yang dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian tidak menjalankan nyepi, niscaya kemudaan sang Datuk akan pudar dan akan tampaklah wajahnya yang asli.
Tersentak Datuk Raja Beracun mana kala mengingat itu, serta merta ia berlari tinggalkan pembantunya yang hanya terbengong-bengong tak mengerti menuju ke kamar khususnya. Dengan napas memburu dan keringat dingin bercucuran, Datuk Raja Beracun segera pusatkan segalanya menuju satu titik temu. Setelah sesaat hat itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening, terdengar sayup-sayup suara auman dahsyat memecah ruangan gelap itu.
"Auuuummm...."
"Guru, ampunilah kelalaian murid." Gemetaran Datuk Raja Beracun seperti ketakutan. Wajahnya yang tampak biasanya sadis, kini berubah pucat memutih bagaikan tak berdarah setetes pun. "Ampunilah kelalaian murid, Guru,"
Kata-kata itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa kali. Ketiga kata ulang berulang itu mencapai sepuluh kali, tampak sebuah bayangan keluar dari balik dupa. Tubuh itu, jelas nampak sesosok tubuh harimau besar dan tinggi, tak lajim dengan harimau biasa. Tubuh hari mau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor, Senta! Aku lapar, Senta! Aku lapar!" terdengar seruan harimau itu dengan mata menyorot merah marah. Liurnya yang berbau menyengat terasa menusuk hidung, menjadikan rasa mual. "Kau harus mencarikan darah untukku, darah perawan."
"Apakah tidak bisa ditunda, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun.
"Tidak! Sekarang lakukan!"
"Tapi hari masing siang, Guru?" keluh Datuk Raja Beracun.
Namun bagaikan tak mau perduli Harimau Iblis itu menggeram, mengeluarkan aumannya yang melengking dan mendirikan bulu kuduk. "Jangan kau ingkar, Senta! Ingat perjanjian yang telah kita lakukan. Bukankah kau akan memberikan padaku sebaskom darah bila hari Minggu Manis? Kenapa kau lalai? Apakah darahmu yang akan aku minum, hah!"
"Ampun, Guru. Baiklah, murid akan mencarikannya. Murid minta, guru untuk bersabar sesaat."
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam," ucap harimau itu, sebelum pergi menghilang meninggalkan Datuk Beracun yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengucapkan mantra, Datuk Raja Beracun melakukan pangling ujud, seketika ujud sang Datuk berubah menjadi harimau hitam legam. Tanpa menunggu-nunggu lagi, harimau jejadian sang Datuk mengaung lalu berkelebat pergi tinggalkan kamar tersebut lewat jendela.
********************
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa terus menerobos hutan belantara, menuruni lembah dan melompati sungai bagaikan terbang. Raungannya yang kencang, seketika menjadikan bulu kuduk yang mendengarnya meremang berdiri. Harimau itu dikenal oleh penduduk dengan sebutan Datuk Kumbang, yang keluar pada waktu hari Minggu Manis belaka.
Tengah Datuk Raja Beracun mencari mangsa yaitu darah gadis, di rumah tepatnya dikerangkeng yang digunakan untuk menyekap putri Nancin Cu seorang lelaki muda datang menemui gadis itu. Bila dilihat dari gerak-geriknya, jelas lelaki muda itu hampir mirip dengan Datuk Begugu tangan kanan Datuk Raja Berbisa. Namun kenapa tiba-tiba saja menjadi muda dan tampan? Lalu siapakah anak muda itu sebenarnya?
Pemuda itu, tak lain dari Amangkurat sendiri. Sengaja Amangkurat menyamar menjadi Datuk Begugu agar supaya dirinya dapat menemui putri Nancin Cu yang dibawa oleh Datuk Raja Berbisa. Amangkurat tahu betapa ilmu Datuk Raja Berbisa sangat tinggi, tak mungkin untuk melawannya. Desas-desus bahwa akan datang di Nusantara seorang wanita yang kelak melahirkan raja-raja di pulau Andalas memang sudah tersebar sejak Amangkurat belum menjadi raja Mataram. Hal itu setelah diketahui olehnya bahwa gadis itu putri Raja Cina yaitu Nancin Cu, maka Amangkurat pun segera menyelidikinya. Pantaslah kalau dulu Amangkurat tak menampakkan diri.
Tersentak kaget Nancin Cu, mana kala melihat siapa adanya lelaki yang mendatanginya. Wajah lelaki itu sangat mengingatkan Nancin Cu pada seseorang yang ia kenal. Nancin Cu kerutkan kening mencoba mengingat-ingat. Lalu dengan nada heran bercampur tak mengerti Nancin Cu bertanya:
"Siapakah kau? Dilihat dari jalanmu, sepertinya engkau ini mirip dengan Datuk Begugu. Apakah kau anaknya?"
Amangkurat atau Datuk Begugu tersenyum mendengar pertanyaan Nancin Cu. Amangkurat perlahan makin mendekat, lalu dengan segera ia pun membuka pintu kerangkeng setelah terlebih dahulu mengawasi sekelilingnya. Dengan senyum mengembang di bibir Amangkurat berkata pelan setengah berbisik.
"Kau masih ingat aku, Nona Nan?"
"Hai, kau mengenal namaku?" desis Nancin Cu kaget. "Bukankah kau... kau," Nancin Cu tak dapat meneruskan kata-katanya.
Seketika hatinya berdegup kencang. Walau matanya dapat dikibuli dengan topeng tua penutup wajah yang tiap hari dipakai Amangkurat, namun gerak gerik dan tutur kata Amangkurat jelas melekat dalam ingatannya. Kembali Nancin Cu mengingat-ingat kejadian di negerinya sana, mana kala untuk pertama kalinya Amangkurat memperkenalkan diri. Suara Datuk Begugu memang persis dengan suara Amangkurat.
"Apakah Amangkurat... Ah, tidak. Walau mataku dapat kau dustai, namun kata hatiku tidak, Amangkurat. Kau adalah Amangkurat, ya Amangkurat yang aku cintai," desis hatinya berbunga. Tak terasa air matanya meleleh, menjadikan Datuk Begugu atau Amangkurat seketika tak tahan dengan segera membelai pipi kuning langsat itu. Hal ini menjadikan Nancin Cu tergetar, ia merasa tak ada perbedaan dengan apa yang pernah ia alami mana kala kejadian serupa di negerinya. Dengan terisak dan kata terbata Nancin Cu mendesah. "Amangkurat, kaukah ini?"
Amangkurat hanya dapat mengangguk tanpa dapat berkata apa-apa. Hatinya trenyuh berbaur dengan rasa iba, melihat air mata meleleh di pipi sang kekasih. Dengan lembut, diusapnya air mata itu menggunakan telunjuknya.
"Kenapa kau tak menjemputku, Koko Amangkurat? Kenapa?" desak Nancin Cu ingin tahu apa sebabnya Amangkurat tak menjemput kedatangan mereka. "Apakah memang kau sengaja bersekongkol dengan orang-orang itu?"
Ditanya begitu rupa, menjadikan Amangkurat susah untuk berkata-kata. Dihelanya napas panjang-panjang, lalu dengan suara berat lirih setengah berbisik Amangkurat pun berkata: "Nona Nan, memang aku sengaja memerintahkan pada seluruh teman-temanku untuk pura-pura menyerangmu. Tapi perlu kau ketahui, bahwa panglima perangmu yang mati itu adalah mata-mata Datuk Raja Berbisa yang disuruh menjemputmu dari negeri Cina."
Terbelalak seketika mata Nancin Cu kaget, mana kala mendengar penuturan Amangkurat. Ia tak menyangka, kalau ternyata kehadirannya di pulau Jawa telah dikawal oleh seorang mata-mata musuh. Walaupun akhirnya dirinya terperangkap oleh Datuk Raja Berbisa, namun ia agak tenang sedikit karena ternyata segala tindakan orang-orang Mataram ada benarnya juga. Bayangkan kalau tidak terjadi begitu, niscaya sudah sejak awal dirinya terkena tipu muslihat Ranesa. Namun bagaimana pun Nancin Cu tak mau segera meyakini apa yang dikatakan oleh Amangkurat.
"Ah, mana mungkin? Bukankah ayahanda telah mengambilnya dengan bayaran yang mahal serta seleksi yang ketat?" tanya Nancin Cu seakan tak yakin. "Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?"
Amangkurat tersenyum, melihat Nancin Cu kini tidak menangis lagi. Perlahan didekapnya tubuh Nancin Cu erat, menjadikan Nancin Cu seakan tersengal untuk bernapas. Walau dadanya terasa sesak akibat desakan dada Amangkurat, tapi Nancin Cu tersenyum juga. Dengan agak sedikit manja diciumnya bibir Amangkurat. Darah Amangkurat seketika tergetar hebat.
Walaupun ia tahu bahwa orang di hadapannya yang kini menggurat bibirnya tak lain calon istri, tapi dia kini dalam kandang macan. Kalau lengah sedikit niscaya korbannya adalah nyawa. Amangkurat mencoba bertahan dari amukan badai yang menerjan-nerjang di lubuk hatinya, namun ternyata badai itu lebih besar dan lebih kuat menghantam. Tanpa ayal lagi, gelombang nafsu yang dilancarkan putri Nancin Cu seketika membobol benteng hati Amangkurat.
Perlahan namun pasti, Amangkurat membimbing tubuh Nancin Cu ke luar dari ruang kerangkeng. Tubuh putih mulus itu kini tak berbenang sehelai pun, telanjang membugil. Sekejap saja, kedua orang yang dilanda badai birahi itu akhirnya terlelap dalam hening dan lenguhan-lenguhan panjang yang mendayu.
********************
Betapa murkanya Datuk Raja Berbisa, mana kala melihat apa yang telah kedua orang itu perbuat. Walau keduanya telah mengenakan pakaian masing-masing, namun Datuk Raja Berbisa dapat menduga apa yang keduanya lakukan. Dari keringatnya, jelas mereka habis melakukan apa yang seharusnya tak perlu terjadi. Sang Datuk yang saat itu membawa korban seorang gadis dengan tubuh terkoyak-koyak matanya memandang penuh hawa membunuh pada keduanya.
Sesaat Datuk Raja Beracun menggeram marah, mimik mukanya menandakan kekesalannya. Darah Datuk Raja Beracun sudah tak terbendung, seakan hendak muncrat ke luar. Tapi seketika ia ingat akan gurunya, serta merta dengan terlebih dahulu membentak Datuk Raja Beracun pergi.
"Hem, aku tengah ada urusan dengan guru. Kalau tidak, maka kalian akan aku cabik-cabik seperti tubuh gadis ini!" geramnya marah, dengan tangan masih menyeret tubuh gadis yang koyak-koyak. "Tapi nanti pun akan kalian alami hal demikian!"
Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun segera kelebat pergi menuju ke ruang pemujaan. Dicobanya untuk tenang melakukan meditasi namun hatinya selalu gelisah dan bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya orang yang mengaku-aku tangan kanannya.
"Memang aku mengenalnya baru beberapa bulan belakangan ini. Dia mengaku bernama Datuk Begugu. Hem, apakah kiranya dia juga mempunyai maksud sepertiku? Ah, aku telah keduluan. Aku telah keduluan olehnya. Jadi aku tak akan menjadi ayah dari raja-raja yang akan memimpin pulau Andalas. Aku akan membunuh mereka. Bedebah! Mereka seolah-olah saling menyintai. Datuk Begugu bajingan! Aku bunuh engkau!"
Hati Datuk Raja Beracun gundah gulana. Kesal, marah, merasa ditipu mentah-mentah oleh orang yang selama ini dijadikan tangan kanannya. Karena pikirannya tak tenang, menjadikan Datuk Raja Beracun tak dapat segera menyambung kontak batinnya dengan sang Guru. Kembali dicobanya untuk tenang, namun bayangan kebencian dan keputusasaan lebih melanda emosinya. Tibatiba dari arah depannya yang berdiri dupa melompat ke luar seekor harimau. Harimau itu yang tak lain Siluman guru sang Datuk menggeram.
"Kenapa kau tidak segera menyajikan darah itu padaku? Apakah kau belum dapat?" tanya Siluman Harimau. Matanya bersinar menyala, sepertinya memendam api, entah api apa.
"Ampun, Guru. Semuanya sudah saya sediakan."
"Mana...?" tanya Siluman Harimau dengan mimik muka bersinar terang, tak kelabu seperti semula.
Datuk Raja Beracun dengan menunduk hormat segera tunjukkan darah yang mengembang di dalam baskom. Dengan tertawa bergelakgelak layaknya manusia, Siluman Harimau itu tanpa berkata lagi segera meminum darah itu dengan lahapnya hingga dalam waktu singkat darah itu ludes terminum semua. Siluman Harimau itu sesaat terduduk kekenyangan, wajahnya tak seganas tadi. Kini wajah itu bukanlah wajah harimau yang menakutkan, tapi berubah perlahan-lahan menjadi wajah manusia. Segera sang Datuk menyembah.
"Sudah siapkah kau menerima penambahan ilmu?"
"Sudah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun.
"Tapi nampaknya pikiranmu tak tenang, kenapa?" tanya Siluman Harimau penuh selidik, menjadikan Datuk Raja Beracun seketika terjengah menundukkan kepala. "Hem, kau seperti orang yang patah semangat. Apa pula yang tengah kau pikirkan? Adakah masalah yang sukar untuk kau pecahkan? Atau barangkali ada musuh yang ilmunya melebihi ilmu yang kau miliki?"
Setelah lama terdiam dengan tundukkan muka, Datuk Raja Beracun akhirnya ceritakan apa yang sebenarnya dipikirkan. Ia memikirkan tentang kegagalannya untuk menjadi ayah dari calon raja-raja yang kelak menguasai pulau Andalas, sesuai dengan wangsit yang dia terima.
"Muridku, memang wangsit itu telah menyebar. Tidak kau saja yang menerimanya, namun hampir seluruh kerajaan di Nusantara ini mendengarnya. Hanya satu orang yang beruntung mendapatkan hati gadis itu, karena memang keduanya telah sekian lama bertemu."
"Siapakah orangnya, Guru?" tanya Datuk Raja Beracun setelah tenang kembali dari keterkejutannya. Dalam hatinya seketika membersit sumpah serapah pada Datuk Begugu tangan kanannya yang telah mendapatkan gadis itu. "Begugu bajingan! Aku akan membunuhnya!"
"Kau sudah tekad hendak membunuh pemuda itu?"
"Ah, ternyata guru telah mengetahui keinginanku. Begitulah, Guru," jawab Datuk Raja Beracun setengah kaget, menjadikan Siluman Harimau terkekeh gelengkan kepala.
"Memang itu yang harus kau lakukan sebagai pengikutku. Ketahuilah olehmu, bahwa pemuda itu tak lain dari pada turunan Penguasa Laut Selatan. Dia adalah Amangkurat, raja dari Mataram."
"Apa...?" tersentak Datuk Raja Beracun kaget, manakala mengetahui siapa adanya orang yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk Begugu, "Jadi... jadi dia seorang Raja?"
"Ya, kenapa? Kau takut?"
"Tidak, Guru."
"Bagus! Memang kau tak perlu takut padanya. Di sini, Penguasa Laut Selatan tak akan dapat membantunya. Mumpung masih di sini, bertindaklah. Sebagai muridku, kau harus berani pantang untuk mengenal takut. Percayalah, kau tak akan mati sekarang. Sekarang ini tak ada seorang tokoh silat mana pun yang mampu mengalahkan dirimu, kecuali dia turunan siluman juga."
"Baiklah, Guru. Aku hendak membunuh Amangkurat. Akan aku minum darahnya sebagai tanda rasa kekecewaanku."
"Hem, bagus. Nah, lakukan apa yang menjadi tugasmu. Hua, ha, ha..." bergelak tawa Siluman Harimau mendengar kesanggupan muridnya. Maka setelah menerima sembah dari sang murid, Siluman Harimau itu pun berkelebat pergi ke alamnya kembali.
Asap dupa masih mengepul, menjadikan ruangan itu seketika terpenuhi oleh gulungan-gulungan asap. Bersamaan makin menebalnya asap dupa, seketika tubuh Datuk Raja Beracun berubah perlahan menjadi seekor harimau yang besar. Setelah mengaum sesaat dengan auman yang memekakkan telinga, Siluman Harimau itu berkelebat menerobos dari jendela keluar menembus sore hari yang agak gelap meremang.
********************
Lama harimau jejadian itu menunggu di depan pintu rumahnya, namun ternyata orang yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul. Tengah Datuk Raja Beracun yang telah menjelma menjadi harimau jejadian itu menunggu kedatangan kedua orang yang ada di dalam rumahnya, terdengar suara Siluman Harimau berkata.
"Muridku, dua orang yang kau tunggu sudah tak ada di tempatmu, mereka telah melarikan diri sebelum kau keluar. Kini mereka tengah menuju ke arah Selatan. Mereka bermaksud menuju ke pulau Jawa kembali."
Mendengar ucapan gurunya, tanpa banyak kata lagi Datuk Raja Beracun yang telah menjadi harimau segera berkelebat menuju ke arah Selatan. Larinya bagaikan kilat, seakan terbang. Pikirannya telah dirasuki hawa kemarahan dan pembunuhan. Kekecewaan yang telah mengerak di hatinya, seolah-olah menuntutnya untuk menghisap darah Amangkurat.
"Tak akan aku tenang bila belum menghisap darah Amangkurat sialan itu!"
Matanya yang tajam seketika memancarkan sinar bagaikan menerangi langkah larinya. Tak lama harimau jejadian itu berlari, seketika matanya memandang ke depan dengan beringas. Tampak di depannya agak jauh berlari-lari dua orang pemuda dan gadis.
"Hem, itu dia..." Harimau jejadian itu makin mempercepat langkahnya. Angin desiran kelebatan larinya, menjadikan topan puting beliung yang mampu menggoyangkan pepohonan.
Hal itu terasa oleh Amangkurat, yang seketika itu pula palingkan muka ke belakang. Sesaat Amangkurat tersentak kaget, darahnya seketika mendesir. Amangkurat tahu kalau harimau itu tak lain dari pada Datuk Raja Beracun.
"Hem, rupanya dia telah mengejar kami. Aku harus menghadapinya. Mati atau pun hidup, aku terpaksa menghadapi harimau itu," gumam hati Amangkurat.
"Nancin Cu, kau menyingkirlah dulu."
"Kenapa, Kakang?"
"Kau pergilah lebih dahulu. Bila aku tak menyusulmu, itu berarti aku telah binasa di tangan Datuk Raja Beracun itu."
Terkesiap Nancin Cu, mana kala melihat seekor harimau besar berlari kencang menuju ke arah mereka. Mata harimau itu sepertinya menyorotkan sinar merah membara bagaikan bola api, menghunjam pada mata Nancin Cu.
"Menyingkirlah, Nancin."
"Tapi, kakang," Nancin Cu bermaksud menolak. Hatinya bimbang dan ragu untuk meninggalkan Amangkurat. Ia takut kalau-kalau Datuk Iblis itu akan menjadikan tubuh Amangkurat terkoyak-koyak seperti gadis yang dibawanya.
"Aku katakan, menyingkirlah. Demi dirimu, biarkan aku menghadapi iblis itu sendirian. Sedapatnyalah kau berlari menyelamatkan dirimu dan anak kita nantinya," perintah Amangkurat.
Sesaat Nancin Cu terdiam memandang lekat pada Amangkurat seakan penuh kebimbangan. Amangkurat yang mengerti, segera dengan lembut kecup kening kekasihnya seraya berbisik lembut.
"Pergilah, jangan sampai kita berdua mati. Ingat, menurut wangsit kaulah orang yang akan menurunkan anak raja-raja nantinya. Aku hanya titip anakku yang telah kutanam di rahimmu."
"Dengan senang hati, Kanda..."
"Nah, berangkatlah pergi. Aku hanya berdo'a semoga Datuk Iblis itu tak akan mencelakaimu."
Setelah sesaat kembali memandang pada Amangkurat, dengan hati setengah ragu Nancin Cu pun berangkat pergi meninggalkan kekasihnya yang kini masih berdiri tegak menanti kedatangan Datuk Raja Beracun. Mata Amangkurat tajam menantang sorot mata harimau jejadian itu. Mulutnya terkunci rapat, sepertinya tak ingin mengucap kata sepatahpun. Mana kala harimau jejadian itu makin mendekat, Amangkurat segera melangkah mendekati.
"Amangkurat, hari ini juga riwayatmu akan habis!" seru Datuk Raja Beracun marah masih dalam bentuk harimau. "Kau telah menggagalkan segala cita-citaku. Kau telah menipuku mentah-mentah dengan pura-pura jadi pembantuku. Hem, licik kau Amangkurat!"
"Datuk Raja Beracun, kau memang tak berhak menjadi seorang ayah dari raja-raja yang kelak memimpin di pulau Andalas ini, kenapa kau mesti marah dan prustasi?" jawab Amangkurat tenang. "Ketahuilah olehmu, bahwa Nancin Cu memang sudah digariskan oleh Yang Wenang untukku bukan untukmu."
"Hem... Jangan banyak omong. Aku tak akan tenang bila belum menghisap darahmu dan darah kekasihmu itu, hiat...!"
Rupanya kemarahan Datuk Raja Beracun tak terbendung lagi, sehingga tanpa banyak kata lagi dia segera berkelebat menyerang Amangkurat. Sebagai salah seorang dari Panca Leluhur Sakti, tidak menjadikan Amangkurat gentar diserang begitu rupa. Jiwa seorang pendekarnya seperti tersenyum. Memang senyum bukan bahagia, namun senyum seakan dia dibangkitkan lagi dari ketidurannya.
Memang sejak menjadi raja, Amangkurat telah melupakan dunia persilatan. Amangkurat lebih banyak berkecimpung dalam dunia ketatanegaraan. Walaupun demikian, bukan berarti Amangkurat hilang segalanya. Ilmunya sebagai ketua Panca Leluhur Sakti bukanlah ilmu yang ringan. Namun seperti kata pepatah, rejeki, maut, jodoh dan nasib bukan manusia yang menentukannya. Seperti juga pertarungan Amangkurat melawan Datuk Raja Berbisa. Walau sesakti apapun Amangkurat, tapi kalau nasibnya sedang jelek maka bukan kemenangan yang ia peroleh.
Kelicikan Datuk Raja Beracun rupanya memang tersohor. Maka dengan kelicikan itu pula, Datuk Raja Beracun menjatuhkan Amangkurat yang merupakan salah seorang tokoh Panca Leluhur Sakti. Tubuh Amangkurat seketika melesat, jatuh ke bawah jurang mana kala hendak menghindari serangan jarum-jarum beracun Kecubung Ungu yang di-lontarkan Datuk.
Datuk Raja Beracun sejenak terkesima melihat musuhnya yang hendak dihisap darahnya tiba-tiba tanpa ia duga melayang ke bawah jurang. Gagallah cita-citanya untuk menghisap darah Amangkurat. Maka sebagai pelampiasan kemarahannya, ditendangnya batu besar yang seketika menggelinding jatuh ke bawah jurang dengan harapan tubuh Amangkurat tertindih batu tersebut.
Setelah sesaat memaku di tempatnya, Datuk Raja Beracun seketika teringat dengan Putri Nancin Cu yang tadi berlari meninggalkan Amangkurat. Segera Datuk Raja Beracun memburu pergi mencarinya. Namun sungguh membuat sang Datuk terheran-heran, sebab tiba-tiba Nancin Cu telah lenyap menghilang.
Merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Datuk Raja Berbisa dengan penuh kekecewaan hancurkan batu-batuan yang menutupi tempat-tempat yang dianggapnya dapat untuk bersembunyi. Setelah tak mendapatkan hasil, Datuk Raja Beracun menggeram penuh kemarahan dan kekecewaan. Suaranya seketika melengking bagaikan jeritan histeris.
Di manakah Nancin Cu? Bagaimana pula dengan nasib Amangkurat? Nah, ikuti terus kisah ini pada bab selanjutnya.
********************
LIMA
DUA PULUH TAHUN setelah kejadian itu, di sebuah lereng gunung Kerinci nampak seorang pemuda bertubuh tegap dan dada berisi berteriak-teriak dengan tubuh sekali-kali berkelebatkelebat laksana burung elang. Gerakan pemuda itu gesit, sekali-kali mencelat ke udara. Lalu menukik ke bawah dengan lengkingan memekikkan. Lengkingannya saja mampu meruntuhkan bebatuan, apa lagi tenaga anak muda tersebut, mungkin melebihi seribu ekor kuda jantan. Dan...
"Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
"Duar, duar, duar!"
Tiga kali berturut-turut tangan pemuda itu mengeluarkan larikan sinar pelangi, menghantam bebatuan gunung Kerinci yang seketika itu pula runtuh menjadi puing-puing. Melihat hasil yang telah dicapainya, pemuda berkulit kuning itu sesaat terpaku diam.
Dari jarak yang agak jauh dua orang memandang ke arahnya dengan pandangan mata kagum. Salah seorang dari mereka adalah seorang kakek tua renta berpakaian serba putih dan berjanggut serta rambut putih semua, dialah Daeng Dato Kumbuh. Seorang lagi adalah seorang wanita setengah baya yang wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang Cina, ia tak lain putri Nancin Cu ibu dari pemuda itu. Walau usianya telah tua, namun kecantikan wajah Nancin Cu jelas masih tergambar di wajahnya. Matanya yang lentik, memandang penuh rasa bangga pada sang anak.
Melihat kedua orang tua itu datang menghampiri, pemuda yang tadi latihan segera hampiri mereka. Dengan penuh hormat sang pemuda sujud di kaki dua orang tua itu, dan berkata:
"Ibu dan kakek, terimalah sembah ananda."
"Dengan do'a kakek ucapkan sejahtera untukmu," jawab Daeng Dato Kumbuh. Dibelainya rambut pemuda itu dengan kasih. "Daeng Surih, kau kini telah dewasa. Ilmumu kakek rasa cukup, maka kakek tak segan-segan memberi nama pada mu Daeng yang berarti orang besar atau pimpinan kaum. Apa yang hendak engkau lakukan setelah semuanya kau miliki, Cucuku?"
"Ah, Kek. Surih belum memikirkan untuk berbuat apa. Surih masih ingin berbakti pada kakek dan bunda, bolehkan, Kek?"
"Boleh, kenapa tidak. Kau adalah cucuku, jadi kau adalah warga Daeng," jawab sang kakek setelah sesaat memandang pada Nancin Cu yang tersenyum mengangguk. "Tapi, kakek rasa apakah kau tidak ingin menambah pengalamanmu?"
Daeng Surih terdiam, memandang lekatlekat pada wajah ibunya yang masih tersenyum. Dalam hati Daeng Surih terbersit beberapa macam pertanyaan manakala memandang pada ibunya. Wajah ibunya memang mirip dengan wajahnya. Tapi yang belum Daeng Surih mengerti, siapakah ayahnya? Ya, pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu menggaung dalam lubuk hatinya.
Sejak kecil ia tak mengetahui siapa adanya sang ayah. Ia dididik dan dibesarkan oleh ibunya bersama Daeng Dato Kumbuh yang sudah dianggap kakeknya sendiri. Perlahan-lahan Daeng Surih bangkit dari jongkoknya. Dihampiri sang ibu yang tersenyum. Niatnya untuk bertanya pada sang ibu siapa adanya ayahnya dan di mana sekarang, telah membulat.
"Maaf, Bunda. Bolehkah Surih bertanya?"
"Oh, tanya apa, Anakku?"
Daeng Surih kembali terdiam tak menjawab. Kembali ia memandang wajah sang ibu, sesaat kemudian. "Ibu, kalau boleh Surih tahu, siapa ayah Surih sebenarnya? Surih selalu bertanya pada diri Surih sendiri, tentang siapa sebenarnya ayah Surih. Dapatkah ibu menjawabnya?"
Mendengar pertanyaan sang anak, seketika air mata Nancin Cu berlinang. Ia kembali teringat pada kekasihnya Amangkurat yang entah hidup atau mati. Bayangan wajah Amangkurat, sebenarnya tertempel lekat pada wajah anaknya. Maka itu, kalau ia melihat wajah sang anak kembali Nancin Cu diingatkan pada Amangkurat. Amangkurat yang tampan dan telah mampu merebut hatinya hingga ia nekad datang ke Nusantara untuk menemuinya sampai terlunta-lunta.
Namun kebahagiaan mereka seketika lenyap, manakala Datuk Raja Beracun yang berambisi untuk menjadi suaminya telah menghancurkan kebahagiaan itu. Kini sudah dua puluh satu tahun lamanya Amangkurat tak muncul, jadi jelasnya Amangkurat telah tiada. Namun Nancin Cu tak berani untuk mempercayai kata hatinya, ia masih menyangka kalau Amangkurat mungkin masih hidup hanya saja tak tahu di mana sekarang.
"Kenapa ibu menangis?"
Tersentak Nancin Cu seketika, mana kala tiba-tiba suara Daeng Surih memecahkan lamunannya. Dengan tangan mengusap air mata yang meleleh Nancin Cu akhirnya menjawab: "Anakku, kalau kau ingin tahu siapa ayahmu, ibu akan memberitahukannya. Tapi bila kau tanyakan di mana ayahmu, sungguh ibu tak tahu di mana ayahmu sekarang. Entah hidup atau mati."
"Kenapa bisa begitu, Bu?" Daeng Surih seketika tersentak mendengar ucapan ibunya yang dirasa kurang dapat diterima. Ibunya selalu berusaha menutup-nutupi apa yang sekiranya ingin Daeng Surih ketahui.
"Surih anakku, ayahmu adalah seorang raja. Dia bernama Amangkurat, yaitu raja kerajaan Mataram. Dulu ayahmu datang ke pulau ini untuk mengajak ibu ke pulau Jawa. Waktu itu ibu dalam sekapan Datuk Raja Beracun, yang ingin memaksa ibu untuk menjadi istrinya. Karena ibu menolak, rupanya Datuk Raja Beracun marah. Maka sejak saat itu ibu disekap...."
Nancin Cu dengan suara bergetar menceritakan segala apa yang pernah dialaminya selama di pulau Andalas itu. Dari pertama datang dari Cina, sampai akhirnya ia harus berpisah dengan Amangkurat yang entah mati atau hidup di tangan Datuk Raja Beracun. "Begitulah, Anakku. Ibu sendiri tak tahu hidup atau matikah ayahmu mana kala bertarung melawan Datuk Raja Beracun, sebab ibu tiba-tiba jatuh pingsan dan tahu-tahu telah berada di rumah kakekmu ini."
"Siapa sebenarnya Datuk Raja Beracun itu, Kek?"
Ditanya seperti itu oleh Daeng Surih, Daeng Dato Kumbuh tersenyum. Ditariknya napas sesaat, lalu dihembuskannya perlahan sepertinya ingin membuang segala kepedihan cerita manusia di sekelilingnya. Dengan tangan memegang pundak Daeng Surih, serta tangan kiri memegang sebuah seruling, Daeng Dato Kumbuh akhirnya berkata:
"Datuk Raja Berbisa adalah tokoh silat aliran sesat yang ilmunya sangat tinggi. Ayahmu yang terkenal dengan sebutan Panca Leluhur Sakti dapat dikalahkan, apalagi dengan aku. Karena aku merasa tak akan mampu menghadapinya, aku pun akhirnya lebih baik menyelamatkan ibumu dari kekejaman Datuk Raja Beracun. Kakek sempat menyaksikan tubuh ayahmu jatuh ke bawah jurang akibat kelicikan Datuk Raja Beracun. Sebenarnya ayahmu tak akan kalah oleh Datuk Iblis itu kalau saja ayahmu waspada. Datuk itu sangat licik dan kejam. Ia berilmu tinggi karena bersekutu dengan siluman harimau dengan imbalan setiap hari Minggu Manis harus menyediakan darah gadis untuk iblis tersebut. Kalau kau ingin menuntut balas atas kematian ayahmu, lebih baik kau carilah seorang pendekar yang kini namanya tengah membumbung tinggi. Pendekar itu seusia denganmu. Ilmunya sangat tinggi, dengan senjatanya yang sangat aneh karena dapat mengeluarkan darah. Karena kehebatan senjata tersebut, pendekar muda itu bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Hanya pendekar itulah yang mampu membinasakan Datuk Raja Berbisa."
"Kenapa begitu, Kek?" tanya Daeng Surih tak mengerti.
Daeng Dato Kumbuh kembali tersenyum, lalu kemudian. "Ya, karena Datuk Raja Beracun adalah anggota siluman, maka hanya orang-orang siluman sajalah yang mampu mengalahkannya. Itu pun hanya pilihan saja seperti Pendekar Pedang Siluman Darah. Kenapa kakek mengatakannya demikian, sebab menurut hemat kakek hanya pendekar itulah yang ilmu kadigjayaannya berada di atas Datuk Raja Beracun atau paling tidak setingkat."
"Di mana aku harus menemui pendekar itu, Kek?" tanya Daeng Surih penuh perhatian.
Sang kakek atau Daeng Dato Kumbuh anggukanggukkan kepalanya sesaat. Dibimbingnya Daeng Surih berjalan, diiringi oleh Nancin Cu yang melangkah di belakang ayah angkatnya dan anaknya. Sambil berjalan menuju ke gubug tempat mereka berteduh Daeng Dato Kumbuh kembali berkata.
"Pendekar muda itu tak tentu rimbanya, sebab dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Dia selalu berkelana semau kakinya berjalan. Kadang dia ada di pulau Jawa, kadang pula dia ada di Kalimantan, bisa juga ada di sini. Namun asal mulanya pendekar muda itu, tak lain dari pada kerajaan ayahmu Mataram."
Daeng Surih masih terdiam dalam rangkulan Daeng Dato Kumbuh. Pemuda itu sepertinya sangat akrab dan manja pada Daeng Dato Kumbuh yang sudah dianggapnya sebagai kakek. Ketiganya terus melangkah berjalan menuju ke gubuk.
"Aku jadi tertarik ingin mencari pendekar muda itu. Aku ingin sekali menimba ilmu padanya," gumam Daeng Surih setelah sekian lama terdiam seperti gumaman itu ditujukan pada diri sendiri. Sang kakek tersenyum.
"Itu bagus. Di samping nantinya kau akan bertambah pengalaman, kau juga dapat mengenal tokoh persilatan yang tergolong dalam tokoh-tokoh kelas wahid."
Daeng Dato Kumbuh yang merasa cucu angkatnya mempunyai watak pendekar bangga. Maka dengan panjang lebar Daeng Dato Kumbuh pun menceritakan segala yang ada di dunia pendekar. Bagaimana menjadi pendekar yang baik, bagaimana pula seharusnya yang dilakukan oleh seorang pendekar. Daeng Surih yang memang antusias dengan hal-hal seperti itu memperhatikannya dengan seksama tanpa berkehendak memotong atau bertanya terlebih dahulu. Baru setelah Daeng Dato Kumbuh menghentikan ceritanya Daeng Surih bertanya.
"Kek, apakah mungkin aku bisa jadi pendekar?"
"Tentu. Kalau kau mau belajar dan belajar pada orang yang lebih tinggi ilmunya dan pengalamannya darimu, kau akan dapat menjadi pendekar," jawab sang kakek bangga. "Maka itulah, gunakan ilmu yang kau miliki pada tempatnya. Jadilah pendekar yang mampu menggunakan ilmu dengan baik. Seorang pendekar akan rela dirinya untuk korban daripada rakyat yang tak dapat apa-apa. Seorang pendekar juga akan merasa bahagia bila rakyat kecil bahagia. Jadi jelasnya, seorang pendekar mementingkan rakyat di atas kepentingan diri sendiri. Kalau kau bisa melakukan semuanya, maka kau pun dapat dikatakan seorang pendekar, Cucuku!"
Meledak-ledak seketika darah muda Daeng Surih, mendengar penuturan Daeng Dato Kumbuh, kakeknya. Matanya seketika berkaca-kaca, sepertinya dari sorot mata itu hendak mengatakan niatnya untuk melakukan semua itu. Daeng Dato Kumbuh yang jeli telah mengerti apa yang sebenarnya tersirat dari sorot mata cucunya. Ia bangga mempunyai cucu sekaligus murid yang cerdas seperti Daeng Surih. Daeng Dato Kumbuh telah menduga sejak Surih masih bayi. Maka itu Daeng Kumbuh tak segan-segan memberi sebutan pada Surih, Daeng.
"Bagaimana, Ibu? Apakah ibu mengijinkan Surih mengelana?"
"Oh, dengan senang hati dan do'a-do'a untuk keselamatanmu, Anakku," jawab Nancin Cu. "Kalau kau akan menuju ke Mataram, ibu hanya akan memberikan padamu bekal sebuah suling yang menjadi milik ayahmu. Suling itu janganlah kau tiup semaumu, sebab suling itu sangat berbahaya."
Mengerut kening Daeng Surih mendengar penuturan ibunya. Daeng Surih yakin kalau seruling yang dimaksud ibunya bukan seruling sembarangan, sehingga bila ditiup tidak pada tempatnya akan mengundang bahaya. Tapi bahaya apakah? Hal itu yang mengundang pertanyaan Daeng Surih yang memang ingin tahu.
"Ibu, kalau boleh Surih tahu, bahaya apakah yang diakibatkan oleh suling itu bila ditiup bukan pada tempatnya?"
Nancin Cu tak segera menjawab pertanyaan anaknya. Ditatapnya lekat wajah sang anak, lalu beralih memandang pada Daeng Dato Kumbuh yang tangannya masih menggenggam seruling berwarna kuning emas. Memang seruling itu dibuat dengan emas, menjadikan seruling itu dapat dijadikan senjata pusaka. Setelah sejenak menarik napas dan memandang pada Daeng Dato Kumbuh seolah-olah ingin meminta pendapat, yang diangguki oleh Daeng Dato Kumbuh Nancin Cu pun akhirnya menjawab.
"Sesuai dengan namanya Suling Kematian, maka suling itu pun akan mengundang kematian bila ditiup pada saat menghadapi orang-orang yang tidak berkenan dengan hatimu. Sebaliknya orang yang berkenan di hatimu, orang itu akan senang dan terhibur mendengarkan tiupan serulingmu. Hanya ada dua orang yang mampu memecahkan rahasia Suling Kematian, yaitu ayahmu Amangkurat dan seorang lagi Ki Bagong guru Pendekar Pedang Siluman Darah. Nah, apabila kau menemukan dua orang yang mampu memecahkan Seruling Kematianmu, maka mereka tak lain dari ayahmu dan murid Ki Bagong atau Pendekar Pedang Siluman Darah tersebut. Kau bisa mencari pendekar muda itu hanya dengan cara meniup Suling Kematian. Bila pendekar muda itu menangkal sulingmu dengan sebilah pedang, maka dialah orangnya."
"Ananda akan selalu ingat itu, Bunda," jawab Daeng Surih.
Ketiga orang itu akhirnya terdiam kembali dengan pikiran masing-masing. Daeng Surih kini dengan pikirannya bagaimana untuk dapat mengalahkan Datuk Raja Berbisa tanpa meminta bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya seketika terpaut dengan Suling Kematian yang dikatakan ibunya. Sebagai seorang pemuda, jelas Daeng Surih ingin mengetahui khasiat Suling Kematian tersebut.
"Mungkinkah Datuk Raja Beracun akan mampu aku kalahkan dengan Suling Kematian itu?" tanya hati Daeng Surih. "Ah, lebih baik besok aku akan mencobanya. Bila memang aku gagal, maka aku baru akan mencari Pendekar Pedang Siluman Darah."
Ketiganya terus melangkah dalam diam, mengajak kaki-kaki mereka menuju ke sebuah gubug yang tak jauh dari mereka. Senja telah datang, ketika nampak matahari makin lama makin menyurut jauh tergelincir di arah Barat. Matahari itu sepertinya tenggelam dalam alunan waktu yang terus melangkah.
********************
ENAM
Esok paginya Daeng Surih nampak berjalan menuruni lereng gunung Kerinci menuju ke arah Utara, diiringi oleh pandangan mata Daeng Dato Kumbuh dan Nancin Cu. Kedua orang tua itu nampak berkaca-kaca hendak menangis. Bagaimana tidak, dua puluh tahun mereka saling menjalin keluarga, kini harus berpisah salah seorang yaitu anak atau cucu mereka.
Langkah Daeng Surih seperti ringan, melompat-lompat di antara bebatuan. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan oleh kakek angkatnya Daeng Dato Kumbuh, maka lari Daeng Surih pun bagaikan seekor rusa melesat menjadikan bayang-bayang belaka. Tubuh itu melompat, melayang dengan ringannya dan hinggap di atas sebuah batu yang agak tinggi.
Sesaat Daeng Surih terhenti, memandang pada tempat tinggalnya. Tak terasa matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ya, Daeng Surih memang hendak menangis bila ingat kembali bagaimana ibu dan kakeknya telah merawatnya sejak ia masih bayi hingga sebesar sekarang. Betapa pengorbanan dua orang itu sangat tinggi tak ternilai harganya.
Tengah Daeng Surih terdiam memaku sambil memandang ke arah gunung Kerinci, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepatnya berlari. Habis bayangan seorang berlari melintas di hadapannya, nampak sebuah bayangan lain pun melintas pula di hadapannya. Terkejut Daeng Surih tak habis pikir.
"Hem, tengah apakah kedua orang itu?" gumam Daeng Surih masih terpaku pada tempatnya. Setelah sejenak terdiam, tiba-tiba rasa ingin tahunya mengajak Daeng Surih untuk menguntit kedua orang yang tengah berlari saling kejar itu. Maka dengan segera Daeng Surih pun berkelebat mengikuti arah kedua bayangan itu lari.
Bayangan yang berkelebat itu ternyata dua orang manusia yang saling kejar. Kedua lelaki itu, tak hiraukan Daeng Surih yang kini mengikutinya. Keduanya terus saling kejar mengejar bagaikan tak kenal rasa capai. Baru setelah berada di sebuah lapangan yang cukup luas, kedua orang itu hentikan langkah larinya.
"Jangan lari, Mujolo! Mari kita teruskan di sini," lelaki pengejar itu membentak pada orang yang tadi dikejarnya yang bernama Mujolo.
"Aku tak akan lari, Sande. Mari kita teruskan pertarungan kita untuk membuktikan siapa di antara kita yang patut menjadi wakil dari perguruan," Mujolo menggeretakkan gigi-giginya.
"Kau seharusnya menyadari bahwa ilmumu masih rendah, tak pantas untuk mewakili perguruan."
"Sombong kau, Mujolo. Ilmumu pun aku rasa belum ada apa-apanya. Sudahlah, kita tak perlu saling mencemooh ilmu kita masing-masing, mari kita buktikan siapa di antara kita yang berhak mewakili Perguruan Samosir," balas Sande tak mau kalah. "Ayolah, mari kita buktikan. Hiat...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Mujolo, Sande secepat kilat berkelebat menyerang. Melihat hal itu, Mujolo yang tak mau begitu saja dijatuhkan oleh adik seperguruannya dengan segera memapaki serangan Sande. Tanpa ampun lagi, kedua kakak beradik seperguruan itu saling hantam. Tubuh kedua kakak beradik itu mental ke belakang. Namun dengan cepat keduanya kembali bangkit, lalu dengan didahului dengan pekikan kedua orang kakak beradik itu kembali saling menyerang. Jurus-jurus mereka sama, sehingga keduanya pun dalam setiap gerakannya selalu serupa.
Daeng Surih yang mengintai pertarungan kedua kakak beradik itu hanya terbengong. Daeng Surih walau belum mengerti siapa adanya kedua orang yang bertarung, telah dapat mengetahui siapa adanya mereka.
"Orang-orang tolol," makinya dalam hati. "Mengapa seperguruan harus saling baku hantam?"
Lama Daeng Surih mengintai pertarungan kedua kakak beradik seperguruan itu. Manakala salah seorang melompat ke belakang, serta merta Daeng Surih yang tak ingin melihat dua saudara seperguruan itu saling serang melompat dari persembunyiannya seraya membentak.
"Kalian orang-orang dungu! Untuk apa kalian bertempur dengan saudara sendiri?"
Habis ucapan itu, kedua kakak beradik seperguruan yang tengah tercengang seketika mental beberapa tombak ke belakang terdorong oleh angin pukulan Daeng Surih yang dahsyat. Mata kedua adik kakak seperguruan itu melotot tak percaya. Mata keduanya memandang lekat pada Daeng Surih yang telah berdiri menengahi mereka.
"Siapakah engkau, Anak muda?" tanya Mujolo terheran-heran. Ia merasa bahwa anak muda di hadapannya bukan anak muda sembarangan. Terbukti angin hentakkannya saja mampu membuat orang tergetar bagaikan dihantam angin puting beliung. Tak kalah kaget Sande, ia juga merasakan hawa lain manakala pemuda yang berdiri di hadapannya membentak.
"Siapakah adanya Ki Sanak ini?" tanya Sande, yang dijawab dengan senyum oleh si pemuda. "Apa keperluan Ki Sanak menyerang kami?"
"Hai, kalian orang-orang persilatan yang telah berumur, mengapa kalian masih seperti anak kecil berebut kue? Apakah tidak ada cara lain untuk menentukan siapa yang akan mewakili perguruan kalian? Coba kalian terus saja berantem memperebutkan sesuatu yang kosong, apakah itu tidak akan menjadikan diri kalian tertekan nantinya? Salah seorang umpama ada yang kalah, jelas yang kalah itu akan mendendam pada yang menang. Baikkah saudara seperguruan saling dendam mendendam?"
Kedua orang kakak beradik yang tadi bertarung seketika terdiam mendengar ucapan Daeng Surih yang dirasa mengena di hati. Keduanya perlahan bangkit, menghampiri Daeng Surih yang masih berdiri tegak di tempatnya dengan tangan menimang-nimang Suling Kematiannya.
"Ah, sungguh Ki Sanak sangat peka dan mempunyai pandangan yang luas. Kalau boleh kami tahu, siapa nama Ki Sanak dan apa julukannya?" tanya Mujolo seraya menjura hormat. "Namaku yang bodoh ini, Mujolo."
"Namaku Sande. Kami berasal dari perguruan Dadak Wugu Samosir. Kami bertarung untuk menjadi wakil dari kerajaan dalam pertemuan pada tokoh persilatan pulau Andalas."
Mendengar ucapan Sande, seketika Daeng Surih mengernyitkan keningnya. Ingatannya kini kembali pada Datuk Raja Beracun yang hendak dicarinya. "Kalau aku mengikuti mereka, niscaya aku akan dapat menemui Datuk Raja Beracun" gumam Daeng Surih dalam hati, lalu katanya kemudian:
"Ah, ternyata hanya masalah itu. Sebenarnya ada apakah sehingga tokoh persilatan dari pulau Andalas mengadakan pertemuan?"
"Apakah Ki Sanak belum mengerti?" balik menanya Mujolo.
"Belum. Aku baru saja turun gunung," jawab Daeng Surih pendek.
"Oh, apakah Ki Sanak tidak membaca pengumuman yang disebar oleh pimpinan sekarang yaitu Daeng Loreng?"
Untuk kedua kalinya Daeng Surih gelengkan kepala mendengar pertanyaan Sande. Ia memang belum tahu apa-apa di dunia persilatan, karena memang ia baru turun gunung. Namanama tokoh persilatan pun ia belum hapal, siapasiapa adanya. Yang dihapal dalam ingatannya hanya beberapa nama, seperti Pendekar Pedang Siluman Darah, Datuk Raja Beracun musuhnya dan Amangkurat ayahnya.
"Apakah hendak mereka lakukan hingga memanggil semua tokoh-tokoh persilatan?" Daeng Surih yang belum tahu menahu, sepertinya Daeng Surih ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang bakal dilakukan oleh para tokoh persilatan tersebut hingga melakukan pertemuan.
"Para tokoh persilatan akan mengadakan pemilihan ketua yang baru. Sudah menjadi kebiasaan bila dua tahun sekali ketua persilatan pulau Andalas memilih ketua untuk mengatur para tokoh persilatan," jawab Mujolo menerangkan, menjadikan Daeng Surih terangguk-angguk kepalanya mengerti.
Masalah pemilihan ketua tokoh persilatan di tanah Andalas memang sudah sering kali ia dengar manakala kakeknya Daeng Dato Kumbuh berangkat menghadirinya. Namun sudah dua tahun berselang Daeng Dato Kumbuh tak menghadiri pengangkatan ketua tokoh silat Andalas. Kakeknya Daeng Dato Kumbuh memilih menyendiri di gunung Kerinci daripada harus bersangkut paut dengan dunia persilatan yang banyak macam ragamnya.
"Aku rasa, kali ini Datuk Raja Beracunlah yang akan terpilih menjadi ketuanya."
"Jadi... jadi Datuk Raja Beracun juga hadir?!" tersentak kaget Daeng Surih demi mendengar nama Datuk Raja Beracun.
Hal itu menjadikan kedua orang di sampingnya seketika kernyitkan kening tak mengerti. Saking kesalnya dan marah bila mengingat Datuk Raja Beracun yang telah mencelakakan ayahnya Daeng Surih tanpa sadar menggumam.
"Hem, kebetulan sekali."
Makin terbelalak kedua orang yang diajak bicara mendengar gumaman Daeng Surih. Mereka tak tahu apa arti dari kata kebetulan sekali yang dilontarkan Daeng Surih. Belum juga keduanya mengerti maksud ucapan Daeng Surih, Daeng Surih telah kembali meneruskan berkata.
"Kebetulan kalau memang Datuk Raja Beracun ada di situ. Aku memang tengah bermaksud mencarinya, namun aku belum tahu dimana ia tinggal. Dengan adanya pertemuan ini, aku akan dengan mudah menemukannya. Aku akan ikut kalian, bagaimana?"
"Oh, dengan senang hati," jawab keduanya.
"Bagaimana kalau Ki Sanak, em...." Mujolo menghentikan ucapannya manakala ia bingung harus menyebut apa. "Siapa nama Ki Sanak? Sungguh tak enak bila berkata-kata belum mengerti nama orang yang diajak bicara."
"Oh, namaku yang bodoh ini Daeng Surih."
"Daeng...!" terkesima dua orang itu mendengar sebutan Daeng yang berarti ketua. "Oh, rupanya aku ini tengah berhadapan dengan cucu Daeng Dato Kumbuh. Maafkan kelancangan kami,"
Setelah berkata begitu, Mujolo dan Sande segera bungkukkan badan menjura hormat. Kini keduanya benar-benar menyadari siapa adanya pemuda yang berada di hadapannya. Pantas kalau ilmunya tinggi, tak tahunya cucu angkat Daeng Dato Kumbuh yang sudah terkenal.
Melihat dua orang itu menjura hormat, seketika Daeng Surih berkata. "Ki Sanak Mujolo dan Sande, janganlah kalian meninggikan keadaanku. Mungkin kalau kakekku memang orang yang tinggi di dunia persilatan, tapi aku tak lebihnya orang yang bodoh dan masih belum tahu apa-apa. Sudahlah, kalian tak perlu terlalu menyanjungku. Mari kita berangkat ke tempat pertemuan pendekar. Kalian tahu tempatnya?"
"Kami tahu. Mari kami antar," serempak keduanya menjawab.
Dengan diiringi dua orang dari perguruan Dadak Wugu Samosir yang bernama Sande dan Mujolo, Daeng Surih segera hari itu juga berangkat menuju ke tempat yang akan dijadikan pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Sebenarnya Daeng Surih bukan bermaksud mengikuti pertemuan tersebut. Niat di hatinya hanya satu, mencari Datuk Raja Beracun dan sebisanya menuntut balas.
********************
Lelaki tua berjenggot lebat dengan muka yang nampak beringas berdiri menengadahkan muka ke langit. Wajahnya nampak mendung, sepertinya ada sesuatu yang terpendam pada wajah mendung tersebut. Napas lelaki itu sesekali mendesah, lalu kepalanya menggeleng lemah bagai ada yang dirasakannya.
"Hem, ada pertanda apa tiba-tiba hatiku tak tenang untuk berangkat menuju ke Lembah Jagat Andalas?" keluh lelaki tua bermuka tebal dengan jenggot dan kumis lebat itu. "Apakah ini pertanda buruk?"
Lelaki tua bermuka tebal dan ditumbuhi cambang bawuk serta kumis tebal itu, kembali untuk kesekian kalinya mendesah panjang. Napasnya bagaikan memburu, liar seperti mencium sesuatu. Manakala matanya nampak merah bagaikan memendam bara, tiba-tiba ujudnya berubah menjadi harimau.
"Auuum...!"
Tiga kali berturut-turut harimau itu mengaum, sepertinya harimau jejadian itu memanggil kaumnya. Memang benar, tak lama kemudian tiba-tiba muncul seekor harimau lagi yang besar dan menyeramkan. Rupanya harimau yang datang tak lain dari pada gurunya, Siluman Harimau. Dan harimau jejadian itu tak lain Datuk Raja Beracun adanya.
"Ada apa kau memanggilku, Muridku?" tanya harimau yang besar, setelah sejenak memandang dengan sinar matanya yang menyala pada harimau jejadian Datuk Raja Beracun, muridnya. "Apa kau mengalami kesusahan?"
"Ampun, Guru. Mengapa tiba-tiba hati hamba gelisah? Apakah Guru mengetahui sebabnya?"
Harimau Iblis itu sejenak kembali diam. Matanya memandang tak berkedip pada Datuk Raja Beracun. Setelah menghela napas panjang, Siluman Harimau itu berkata menerangkan apa yang menjadi sebab hati muridnya gelisah.
"Kau harus berhati-hati menghadapi anak Amangkurat. Sulingnya sangat berbahaya, hanya dua orang yang mampu menangkis serangan suara Suling Kematian milik Amangkurat. Orang tersebut adalah Amangkurat sendiri dan murid Ki Bayong dari Empat Pendekar Sakti yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Tapi kau jangan kuatir, sebab kau tak akan dapat mati bila belum menemukan Sendi ilmumu. Manusia macam apapun, tak akan sanggup menghadapi dirimu," berkata Siluman Harimau sombong, menjadikan hati Datuk Raja Beracun seketika bangga dan berganti keangkuhan karena merasa dirinya tak akan mudah terkalahkan. "Nah, jangan kau sekali-kali mengikuti irama suling anak itu. Bila anak itu hendak meniupkan Suling Kematian, kau harus segera mencegahnya sedapat mungkin."
"Tapi menurut guru, aku tak akan mati."
"Memang benar. Namun bila kau mendengar suling itu, maka ilmu yang kau miliki akan lenyap. Kau akan berubah menjadi bentuk seperti sekarang untuk selama-lamanya. Dan bila kau ingin memulihkan kesaktianmu lagi, kau harus meminum darah tujuh gadis."
Tercenung harimau jejadian mendengar ucapan gurunya. Hatinya gundah, tak yakin pada apa yang dikatakan gurunya tentang dirinya yang tak bisa mati. "Apakah aku akan dapat mengalahkan anak Amangkurat dengan Suling Kematiannya?" keluh hati Datuk Raja Berbisa. "Kalau dia meniup sulingnya, bagaimana yang akan aku lakukan? Ah, sungguh sebuah petaka bila aku kalah dengannya. Hem, rupanya anak itu bermaksud menuntut balas atas kematian ayahnya dua puluh tahun yang lalu. Ah, tidak! Aku tak akan pernah mati. Aku tak akan terkalahkan oleh siapapun. Heh... Bukankah aku memiliki aji Sirep Wedara Bayu? Kenapa mesti aku takutkan suara seruling itu?"
"Baiklah, Guru. Aku akan menjalankan apa yang engkau katakan. Tapi, bagaimana dengan aji Sirep Wedara Bayu, Guru?"
"Ah, benar. Sungguh aku telah lalai. Ya, dengan ajian Sirep Wedara Bayu kau akan mampu menyirep suara suling tersebut."
Siluman Harimau nampak gembira manakala mendengar muridnya mengingatkan padanya tentang aji Sirep Wedara Bayu. Aji sirep itu akan mampu membendung segala apa yang akan membuat diri muridnya celaka termasuk suara Suling Kematian.
"Nah, gunakan ajian tersebut untuk menangkalnya. Dan sebelum ia sempat mengingat dirinya, secepatnya kau hantam tubuhnya dengan ajian Serat Kentala. Ingat itu, Muridku. Walaupun kau tak dapat mati, namun dengan cara begitu dia akan kapok."
"Baiklah, Guru. Hamba berangkat."
Habis menyembah pada sang guru dengan cara menganggukan kepalanya, Datuk Raja Beracun yang telah menjadi harimau segera berkelebat pergi meninggalkan gurunya. Harimau Iblis itu akhirnya kembali menghilang, lenyap dari pandangan mata bersamaan dengan lenyapnya harimau jejadian Datuk Raja Beracun.
********************
Tiga orang yang tengah berjalan untuk menuju ke tempat dimana akan diadakan pertemuan antar pendekar pulau Andalas seketika hentikan langkah manakala melihat seekor harimau berlari kencang menuju ke arahnya.
"Hai, harimau apakah itu? Besarnya hampir sebesar anak kerbau?" gumam Daeng Surih kaget demi melihat harimau tersebut. "Apakah kalian ada yang tahu harimau macam apa?"
"Dia bukan harimau biasa. Dialah harimau loreng jelmaan Datuk Raja Beracun."
Terbelalak mata Daeng Surih mendengar keterangan Mujolo, yang mengatakan bahwa harimau besar tersebut adalah jelmaan Datuk Raja Beracun musuhnya. "Jadi harimau itu jelmaan Datuk keparat tersebut?"
Kedua orang temannya hanya mengangguk mengiyakan. Sesaat Daeng Surih hentikan langkah memandang tajam pada harimau yang makin lama makin mendekat. Manakala harimau itu benar-benar telah dekat, dengan menggunakan tenaga dalamnya yang kuat Daeng Surih membentak.
"Berhenti!"
Harimau jejadian Datuk Raja Berbisa tersentak kaget dan hentikan larinya. Sejurus harimau itu memandang pada Daeng Surih, seketika hatinya membatin. "Hem, ternyata anak muda ini yang dikatakan guru, terbukti sulingnya adalah suling emas. Itukah Suling Kematian? Sebelum anak muda ini menyerangku, aku akan mendahuluinya."
Harimau itu sesaat mengaum, lalu tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya oleh Daeng Surih dan kedua temannya, harimau jejadian itu telah menyerang Daeng Surih. Tersentak ketiganya seraya melompat mundur, menjadikan harimau jejadian itu kembali dengan liar menyerang.
"Datuk keparat! Kau harus menerima hukuman atas segala apa yang telah kau perbuat pada ayahku. Hiat...!" Dengan memaki marah Daeng Surih hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah harimau jejadian tersebut.
Harimau jejadian itu tersentak, manakala melihat pukulan yang dilontarkan oleh sang pemuda hingga saking kagetnya harimau jejadian itu menggumam. "Pukulan Tangan Maut Dewa Badai! Apa hubunganmu dengan Daeng Dato Kumbuh, Anak muda?"
"Aku adalah cucunya, cucu angkatnya!" jawab Daeng Surih tenang.
"Aum... Bagus! Kau akan aku kirim ke akherat menemui ayahmu." Harimau jejadian itu menggeram dan dengan cepat menyerang Daeng Surih.
Segera Daeng Surih kembali hantamkan pukulan Tangan Maut Dewa Badainya. "Hiat...!!"
"Duar!"
Tubuh Harimau jejadian itu terhantam pukulan Tangan Maut Dewa Badai, namun betapa terkejutnya Daeng Surih menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Harimau jejadian itu ternyata tak mempan, bahkan kini dengan beringas menyerang ke arahnya. Serta merta Daeng Surih elakan serangan, tapi akibatnya sungguh fatal. Dua orang temannyalah yang terhantam pukulan yang dilancarkan harimau jejadian tersebut. Seketika tubuh kedua temannya mengejang biru, lalu mati dengan mengerikan. Dari tubuhnya mengeluarkan benjolan-benjolan yang makin lama makin membesar, benjolan itu akhirnya pecah dengan mengeluarkan binatang yang sangat menjijikkan.
Belum juga hilang kekagetan Daeng Surih, Datuk Raja Beracun yang memiliki seribu macam racun maut kembali menyerangnya. Desingan sinar putih menyilaukan, menerpa ke arah Daeng Surih. Daeng Surih tersentak, segera cabut Suling Kematiannya dan hantamkan suling tersebut.
"Wuut..."
"Dest..."
Jarum-jarum maut yang membentuk larikan sinar putih itu, runtuh terhantam Suling Kematian di tangan Daeng Surih. Dan manakala Datuk Raja Beracun tengah tersentak kaget, segera Daeng Surih tiupkan sulingnya. Suara suling itu begitu mendayu, namun anginnya seakan hendak mencekik leher. Memang, Datuk Raja Berbisa seketika lehernya terasa ada yang mencekik manakala mendengar suara Suling Kematian. Irama Suling Kematian begitu mendayu, melantunkan lagu kematian yang mampu mengajak orang yang mendengarnya terbawa.
Datuk Raja Beracun hampir saja mati terbawa arus, manakala ia teringat akan ajian sirepnya. Dengan segera sang Datuk rapalkan ajian tersebut. Seketika suara Suling Kematian berhenti sendiri, hal itu menjadikan Daeng Surih tersentak kaget. Dan manakala Daeng Surih dalam keadaan tak mengerti, tiba-tiba Datuk Raja Beracun hantamkan pukulannya. Daeng Surih tersentak, kibaskan Suling Kematiannya. Namun tak urung, pecahan pukulan itu menghantam tubuhnya yang seketika melayang bagaikan terbang terdorong pukulan itu. Datuk Raja Beracun yang merasa musuhnya telah mati dengan segera bergegas meninggalkan tempat itu.
Bulan Purnama nampak terang, menghiasi malam itu. Sesosok tubuh milik Daeng Surih yang terhantam pukulan Datuk Raja Beracun berdiri tertatih-tatih. Kini ia menyadari bahwa ucapan orang tuanya ternyata benar. Mau tak mau, ia harus mencari Pendekar Pedang Siluman Darah. Tapi apakah mungkin Pendekar Pedang Siluman Darah mau membantunya?
Ikutilah terus cerita ini sampai akhir... Daeng Surih terus melangkah menembus malam pergi menuju balik ke arah Selatan. Kini cita-citanya hanya satu, mencari Pendekar Pedang Siluman Darah untuk meminta bantuannya.
********************
TUJUH
JAKA Ndableg yang mendapat undangan dari para pendekar di wilayah pulau Andalas, saat itu juga bergegas menuju ke pulau Andalas sekaligus ingin menemui temannya Daeng Loreng selaku pimpinan tokoh persilatan. Dengan menggunakan perahu hasil rakitannya sendiri, Jaka Ndableg segera berlayar menuju ke pulau Andalas.
Pagi begitu cerahnya, angin bertiup sepoisepoi menjadikan suasana di laut terasa sejuk. Jaka Ndableg yang masih mengarungi lautan dengan perahu rakitannya sendiri terus bernyanyi-nyanyi sambil bersiul. Manakala perahu rakitannya telah sampai di tengah lautan, tiba-tiba tampak oleh Jaka sebuah perahu besar menuju ke arahnya. Perahu itu sepertinya sengaja menuju ke arah Jaka. Makin lama perahu besar itu makin mendekat, menjadikan Jaka Ndableg terkesiap darahnya.
"Edan! Rupanya mereka sengaja hendak membunuhku di lautan," maki Jaka dalam hati. "Hem, apa mau mereka dengan tingkah laku seperti itu?"
Belum juga Jaka habis berpikir, perahu besar itu telah makin mendekatnya. Perlahan-lahan, perahu besar itu makin lama makin mendekati! Dan ketika perahu besar itu menghantam perahu yang ditumpangi Jaka, serta merta Jaka berkelebat menghindar. Melihat Jaka telah hilang dari perahu kecilnya, seketika meledaklah tawa seluruh orang-orang yang berada di dalam perahu besar itu. Orang-orang berwajah menyeramkan dengan pakaian tak terurus, serta wajah berkumis dan janggut lebat itu terus menggelak tawa.
"Ternyata kita mampu membunuh Pendekar Pedang Siluman Darah yang kesohor, hua, ha, ha..." ucap Ranceng, selaku ketuanya dengan wajah berseri. "Kita kelak akan mendapatkan hadiah dari sang Datuk. Hua, ha, ha...!"
Melihat pimpinannya bergelak tawa, maka sepontan anak buahnya yang berjumlah empat puluh orang pun turut bergelak dengan diselingi ucapan-ucapan mereka yang sombong.
"Benar, Ketua. Ternyata ilmu pendekar muda itu tak mampu menghadapi kita. Terbukti..." Belum habis ucapan anggota Bajak Laut, tiba-tiba keempat puluh Bajak Laut itu tersentak manakala terdengar seruan seseorang meneruskan ucapan mereka.
"Terbukti kalian semua akan mendapatkan hadiah dariku!"
"Kau...." terbata ketua Bajak Laut, manakala melihat siapa adanya yang telah berkata.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg pendekar kita tersenyum renyah, melangkah perlahan menghampiri keempat puluh anggota Bajak Laut yang seketika pucat pasi mukanya. "Kenapa kalian seperti ketakutan, Anjing-anjing Laut!" bentak Jaka masih terus melangkah mendekati mereka.
"Bedebah! Jangan kira kami takut menghadapimu, Anak muda!"
"Hai, kaukah ketuanya. Pantas! Memang aku tak menyuruhmu untuk takut padaku, sebab aku bukanlah hantu." Jaka terus melangkah mendekat dengan senyum menyungging di bibirnya. "Kalian telah mendahului, maka aku akan memberikan balas jasa pada kalian yang telah membantu aku hingga aku berada di perahumu."
"Jangan banyak bacot! Serang...!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan segera keempat puluh Bajak Laut itu berkelebat mengurung Jaka yang masih nampak tersenyum-senyum. Matanya yang tajam, memandang satu persatu pada musuhnya, menjadikan keempat puluh Bajak Laut itu agak jeri juga melihat sorot mata Jaka. Namun kejerian keempat puluh Bajak Laut itu seketika dikagetkan dengan seruan pimpinannya.
"Kenapa kalian bengong. Serang...!"
Serta merta keempat puluh orang anggotanya berkelebat dengan senjata siap di tangan membabat ke arah Jaka. Diserang begitu rupa, bagi Jaka yang sudah seringkali merasakannya hanya tersenyum sembari elakan serangan mereka. Tubuhnya yang berisi melompat-lompat laksana burung elang, terbang menghindari serangan.
"Inilah jurus Elang Mencaplok Anjing Laut, hiat...!"
Setelah berkata begitu Jaka yang telah berada melayang di udara menukik dengan tangan siap menggempur salah seorang anak buah Bajak Laut. Memekik saat itu juga orang yang terpatok tangan Jaka. Kepalanya bagaikan terhantam martil godam yang beratnya berkati-kati. Orang tersebut muter-muter kesakitan dengan tangan memegangi kepala yang berdenyut.
"Tobat...!"
"Lihat! Siapa lagi yang ingin belajar silat denganku. Nah, kau rupanya. Ini jurus Bangau Tong-tong Mengepak Sayap."
Tangan Jaka terpampang lebar, lalu dengan keadaan seperti itu tangannya mengepret orang-orang yang terbengong-bengong. Tanpa ampun lagi, mulut orang yang terkena kepretan tangan Jaka mengsol dengan gigi rontok. Berguling-gulinglah kedua orang tersebut, tangannya mendekap mulutnya yang terasa sakit.
Melihat anak buahnya dikerjai Jaka, tanpa ampun lagi ketua Bajak Laut itu marah bukan kepalang. Dengan mendengus laksana seekor banteng menghadapi matador, pimpinan Bajak Laut tersebut menyerang Jaka.
"Eh, kau rupanya lebih suka menjadi banteng. Baik, aku matadornya. Hoi, hoi, hoi..." Jaka bagaikan mengibaskan kain merah tangannya menggeber-geber.
Maka makin mangkellah pimpinan Bajak Laut yang merasa dirinya dipermainkan. Tak ayal, dengan kembali mendengus pimpinan Bajak Laut itu benar-benar seperti banteng ketaton menyerang dengan membabi buta.
Layaknya seperti matador, Jaka yang memang ndablegnya tidak ketulungan peragakan tangannya seperti mengibas kain. Manakala pimpinan Bajak Laut itu menyerang, segera Jaka berkelit ke samping menghindar. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh pimpinan Bajak Laut seketika nyungsep mencium geladak.
"Hua, ha, ha... Lucu, lucu. Lihat, pimpinan kalian tak ubahnya seekor banteng letoi. Baru saja sekali pertunjukan, eh dia telah kamsoh mencium geladak." Jaka dengan ndablengnya terus mengolok-olok.
Namun rupanya pimpinan Bajak Laut masih terasa sakit, sehingga lama ia tak bangun-bangun. Melihat hal itu, segera Jaka yang ndableg hampiri tubuh pimpinan Bajak laut, dan...!
"Untuk obat sakit puyeng, ini yang paling manjur!"
"Duuut... Duut... Duut!"
Tiga kali Jaka memonyongkan pantatnya ke arah muka pimpinan Bajak laut, dan tiga kali itu juga Jaka kentuti pimpinan Bajak Laut. Tanpa ampun lagi, pimpinan Bajak Laut itu menggeram marah.
"Setan! Kuremukan tulang-tulangmu!"
"Hua, ha, ha... Jangankan meremukkan tulang-tulangku. Makan peyek kacang saja kau tak mampu." Jaka meledek, yang makin menjadikan amarah pimpinan Bajak laut meluap-luap. Namun dasar Jaka Ndableg, kemarahan pimpinan Bajak Laut digunakannya sebagai bahan ejekan yang bermutu. "Kalian semua, lihatlah. Nanti kalian akan menyaksikan tontonan yang sangat menarik. Pimpinan kalian akan main akrobat."
"Setan! Aku akan mengadu nyawa dengan mu, Bangsat!"
"Huah, siapakah di antara kalian yang merasa bangsat. Eh, bukankah bangsat itu binatang terhormat. Kau tahu sendiri, bagaimana bangsat itu bila mati. Bukankah dicium olehmu sendiri?"
"Bedebah! Jangan lengah. Hiat...!" Dengan penuh amarah yang meluap-luap pimpinan Bajak Laut itu makin mengganas saja menyerang.
Jaka melihat hal itu cukup tenang. Dikibaskan tangannya, menjadikan angin menderu memapaki hantaman pukulan yang dilontarkan pimpinan Bajak Laut. Tubuh pimpinan Bajak Laut itu terhuyung ke belakang, terkena hantaman angin kibasan dari tangan Jaka. Sebenarnya hal itu sudah menjadi gambaran bagi pimpinan Bajak Laut bahwa pemuda itu bukan tandingannya. Merasa ia tak akan mampu menghadapi sendiri, segera pimpinan Bajak Laut itu berseru mengomandokan pada anak buahnya.
"Serang bangsat itu...!"
Tanpa banyak kata lagi ketiga puluh tujuh anak buahnya serempak berkelebat mengurung Jaka kembali. Seketika golok dan senjata lainnya berkelebat-kelebat menghunjam ke arah Jaka.
Melihat hal itu Jaka seketika lemparkan tubuh ke udara sembari berseru. "Wadaow... Kenapa kalian kayak jagal babi buntung saja?"
Habis berkata begitu, serta merta Jaka menukik ke bawah. Tangannya yang kokoh siap menghantam dengan dua jari telunjuk dan tangan mengembang. Itulah jurus Gunting. Maka....
"Aaah...!" melengkinglah jeritan orang yang terkena jepitan dua jari tangan Jaka. Kupingnya yang terkena seketika tanggal dan mengucurkan darah.
"Hua, ha, ha... Siapa yang suka sate kuping? Aku akan membuat sate kuping hari ini. Ini baru dapat satu, aku rasa empat puluh cukup untuk dijadikan satu kodi."
Bergidig sebenarnya ketiga puluh anak Bajak Laut itu mendengar ucapan Jaka. Mereka tahu bahwa pendekar muda itu bukanlah main-main dalam ucapannya. Mudah saja pendekar muda itu melaksanakan niatnya. Maka tanpa dapat menahan rasa takut, seketika ketiga puluh enam orang tersebut tertegun berdiri. Dari balik celana mereka seketika merembes air kuning yang baunya minta ampun, sampai-sampai Jaka membersit sambil menutup hidungnya.
"Waladalah, kenapa kalian kencing siang-siang begini di celana? Jangan takut, aku hanya ingin kuping kalian saja."
Lutut ketiga puluh enam Bajak Laut itu seketika bagaikan tak bertulang, ambruk mengejuprak di atas geladak dengan keringat dingin mengucur dari kening mereka dan muka pucat pasi.
"Ampunilah nyawa kami, Pendekar. Sungguh kami sebenarnya tak bermaksud mencelakai tuan." Mereka terduduk lesu, dengan mata yang menyorot redup, setitik harapan masih tergambar di mata mereka.
Jaka yang suka menggoda cibirkan bibir. Tangannya terangkat seperti hendak melakukan hantaman, menjadikan mereka seketika menekuk muka pasrah pada apa yang bakal terjadi. Di hati mereka hanya dapat mengeluh, mengeluh akan nasib mereka yang harus menghadapi seorang pendekar yang sudah malang melintang namanya.
"Kalian benar-benar ingin hidup?"
Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga puluh enam Bajak Laut itu dongakan kepala memandang takut-takut pada Jaka yang hanya tersenyum. Sesaat setelah memandang Jaka, kepala mereka serentak mengangguk.
"Kalian aku ampuni, tapi dengan syarat."
"Apa syaratnya, Tuan Pendekar?" serempak mereka menyahuti dengan muka kini agak tenang. Sorot mata mereka pun, kini bertambah harapan hidupnya. "Apapun akan kami lakukan asalkan kami dibebaskan hidup."
"Aku tak menginginkan kalian menjadi abdiku. Aku hanya minta kalian menjawab dengan jujur, siapa yang telah memerintah kalian untuk membunuh diriku?"
Semuanya terdiam, seakan ada rasa takut menyelimuti mereka mendengar pertanyaan Jaka. Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan kening, tak mengerti mengapa mereka seperti ketakutan untuk menjawabnya. Mata Jaka yang jeli seketika memandang sekelilingnya. Dan...!
"Jangan lari!" bentak Jaka manakala melihat sesosok tubuh berkelebat. Segera Jaka memburu, namun lelaki bertopeng itu telah mendahului terjun ke laut. Jaka yang sudah menyangka kalau orang itu yang ditakuti mereka seketika hantamkan ajian Petir Sewunya. Tak berapa lama, terdengar lengkingan dari lautan. Jaka segera terjunkan diri ke laut, lalu diangkatnya tubuh tanpa nyawa itu ke atas.
"Nah, kini orang yang kalian takuti telah mati. Sekarang katakan padaku siapa yang menyuruh kalian, cepat! Atau terpaksa aku turunkan tangan jahatku seperti orang ini?" tanya Jaka seraya menunjuk pada mayat yang tergeletak. Perlahan tangan Jaka membuka cadar yang dikenakan oleh orang tersebut. "Siapa dia?"
"Dia... dia anak buah Datuk... Datuk Raja Berbisa," jawab mereka serempak, menjadikan Jaka tersenyum senang. Jawaban mereka secara tidak langsung telah membuka siapa sebenarnya yang menyuruh mereka.
"Aku sudah menduga, kalau Datuk Raja Berbisa akan membuat langkahku terhadang. Hem, begitulah kalau orang yang merasa bersalah dan penuh dosa, sepertinya melihatku bagaikan melihat Malaikat Elmaut," gumam Jaka seperti berkata pada diri sendiri. "Sekarang antarkan aku ke daratan pulau Andalas."
"Daulat, Tuan Pendekar!" serempak mereka menjawab.
Dengan tanpa banyak menentang lagi semuanya segera menuruti apa kata Jaka, perahu itu pun kembali melaju menuju ka pulau Andalas yang nampak masih agak jauh. Angin laut masih menerpa dengan sejuknya, menambah lajunya perahu tersebut.
"Hem, Datuk Raja Berbisa, ternyata kau telah mengetahui kehadiranku," gumam Jaka dalam hati. "Apakah sahabatku Daeng Loreng belum mengerti siapa adanya Datuk Raja Berbisa? Oh, sungguh-sungguh petaka bagi dunia persilatan pulau Andalas bila benar-benar Datuk Iblis itu menjadi pimpinan."
"Awak kapal! Percepat sedikit laju perahunya...!" Jaka berseru memerintah. "Cepat...! Jangan sampai kita terlambat sampai di tujuan!"
"Daulat, Tuan Pendekar!"
Dengan cepat ketiga puluh enam Bajak Laut tersebut bekerja. Semuanya kelihatan sibuk, ada yang menggulung, menarik dan membuka layar. Layar pun seketika mengembang melebar, menjadikan laju perahu makin kencang. Angin menerpa-nerpa, sepertinya turut membantu jalannya perahu itu. Jaka yang berdiri di depan nampak menambatkan matanya pada pulau Andalas yang nampak remang-remang hanya berwarna hijau daun. Gunung Kerinci tampak menjulang jauh.
********************
DELAPAN
Tiupan seruling itu mendayu-dayu, sepertinya dilantunkan dengan kesedihan hati. Apabila orang mendengarnya, maka orang itu akan terjerat dan terseret untuk mengikuti alunan suling. Seorang pemuda duduk di atas sebuah dahan pohon, matanya memandang jauh ke depan. Mulutnya meniup seruling yang terbuat dari emas, itulah Seruling Kematian. Pemuda itu, tak lain Daeng Surih adanya. Sengaja ia bertengger di situ, dan sehari-hari meniup seruling.
Dibawahnya tempat Daeng Surih duduk, bergelimpangan mayat-mayat. Mereka biasanya orang yang terjerat oleh alunan Suling Kematian. Memang bila didengar-dengar, irama suling itu begitu mendayu. Tapi bila lama-kelamaan, maka irama suling itu bukanlah irama hiburan melainkan irama kematian yang mampu menutup segala jalan darah dan pernapasan di tubuh si pendengarnya.
Entah karena apa, Daeng Surih terus menerus meniup seruling mautnya. Hati Daeng Surih seketika terhibur, manakala meniup suling tersebut. Bila suling tersebut ditiup, maka bayangan ayahnya Amangkurat sepertinya muncul dan menemani. Ya, memang Amangkurat saat itu muncul menemani anaknya.
Seperti saat itu, Amangkurat yang digegerkan telah mati muncul dan duduk di samping anaknya yang tengah meniup seruling. Wajah Amangkurat nampak pucat, sepertinya tak berdarah setetes pun. Tersentak Daeng Surih manakala melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahutahu telah duduk di sisinya.
"Siapakah Ki Sanak ini? Dan dari manakah hingga tiba-tiba datang tanpa dapat aku lihat?"
Mendengar pertanyaan Daeng Surih, lelaki berwajah pucat pasi itu hanya tersenyum. Hal itu menjadikan Daeng Surih kerutkan kening tak mengerti. Namun belum juga Daeng Surih hilang kagetnya, lelaki berwajah pucat berkata: "Teruskan tiupan sulingmu, Nak?"
"Ah, aku tak akan meniup kalau engkau tak memberi tahu padaku siapa adanya dirimu," jawab Daeng Surih sembari genggam Suling Kematiannya. Matanya terus mengawasi wajah pucat di sisinya, yang seperti mirip-mirip dengan wajahnya.
Lelaki berwajah pucat itu kembali tersenyum. Tangannya tanpa sepengetahuan Daeng Surih telah melekat di kepala, dan membelai rambut Daeng Surih dengan lembut sepertinya penuh kasih sayang.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Dengarlah olehmu baik-baik," lelaki berwajah pucat itu akhirnya berkata lagi. "Aku adalah pemilik Suling Kematian yang kau pegang."
Tersentak Daeng Surih hampir terjatuh dari duduknya, manakala ia mengetahui siapa adanya lelaki berwajah pucat. Tak terasa mulutnya seketika itu membersitkan suara, menyebut nama lelaki tersebut. "Ayah! Kaukah ayah?"
Lelaki berwajah pucat itu tersenyum, diambilnya kepala Daeng dan direbahkan ke pangku-annya dengan penuh kasih. Lalu dengan suara agak berat karena menahan tangis, lelaki berwajah pucat itu kembali berkata: "Ketahuilah anakku, aku mengambil korban adalah semua musuh-musuhku. Jadi semua korban tiupan seruling kematian yang kau tiup semua adalah musuh ayah. Ah, tapi rupanya Datuk Iblis itu sangat tinggi ilmunya."
"Jadi ayah secara tak langsung yang telah menyerang Datuk Raja Beracun, manakala aku bertempur dengannya?"
"Benar, Anakku. Namun aku tak dapat mengalahkannya, sebab dia adalah warga siluman yang paling tinggi ilmunya. Walau ayah kini menjadi warga siluman, namun ayah belum dapat mengalahkannya. Hanya ada seseorang yang mampu menandingi ilmunya. Orang itu kini hendak menuju ke mari. Dia adalah pendekar muda seusiamu bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Tunggulah, sebentar lagi dia akan muncul di sini. Ayah akan mencobanya, siapa tahu pirasat ayah salah."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Amangkurat, sebab tak lama kemudian serombongan orang berjalan menuju ke situ. Paling depan berjalan seorang anak muda berambut gondrong lurus, dengan wajah tampan bagaikan wajah Dewa. Mata pemuda itu tajam, mengawasi sekeliling tempat itu.
"Tiup serulingmu, Anakku?" perintah Amangkurat pada Daeng Surih. "Jangan kau ragu, sebab pendekar itu tak akan dapat terbunuh olehmu dan Seruling Kematianmu. Dia adalah murid tunggal Empat Pendekar Sakti, juga murid angkat Siluman Darah, siluman yang paling tinggi ilmunya di jagad raya ini."
Mendengar perintah ayahnya, segera Daeng Surih meniup Suling Kematiannya. Perlahan-lahan suara suling itu menggema, mengalun dan sayup-sayup didengar oleh mereka yang tengah berjalan menuju ke situ.
Jaka Ndableg yang berjalan paling muka, seketika tersentak kaget. Sementara ketiga puluh enam orang pengikutnya bagaikan gila saat itu juga menari-nari dan menyanyi. Jaka yang melihat hal itu makin bertambah kaget, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Langkah orang-orang yang mengikutinya terus maju, makin lama makin mendekat ke arah sebuah pohon. Jaka yang melihatnya seketika membelalakkan mata kaget, manakala satu persatu dari orang-orang itu mencekik lehernya masing-masing dengan tangannya sendiri.
"Gusti Allah, kenapa dengan mereka semua?" Jaka terbelalak kaget, manakala satu persatu dari mereka bergelimpangan ke tanah dengan lidah menjulur ke luar, mati. "Hem, siapakah yang telah berbuat begitu?"
Perlahan Jaka melangkah, makin lama langkahnya makin mendekat. Tiba-tiba dirasa oleh Jaka Sebuah dorongan aneh, menyentakan dirinya untuk terus mengikuti alunan suara suling tersebut. Langkahnya terseret, karena Jaka berusaha menahan tarikan sesuatu kekuatan yang mendera tubuhnya.
"Gusti Allah, apakah yang harus aku perbuat? Sungguh sebuah kejadian yang aneh. Heh, aku merasa tenaga dalamku tak ada gunanya," keluh Jaka dalam hati. "Apakah ini yang dinamakan Suling Kematian yang terkenal itu? Oh, mungkinkah aku akan mati oleh suling itu?" Jaka terus menyeret kakinya, melangkah berat menuju ke arah di mana Daeng Surih dan ayahnya Amangkurat yang tak tampak oleh mata berada.
"Terus tiup serulingmu, Nak. Dia memang kini tengah menerima tenaga Suling Kematian. Tapi kau tak perlu khawatir, sebab dia bukanlah manusia sembarangan. Biarkan Ratu Siluman Darah muncul."
"Ratu Siluman Darah, Ayah? Jadi Ratu Siluman Darah tahu bahwa muridnya dalam keadaan bahaya?" tanya Daeng Surih tak mengerti bercampur kaget. "Sungguh luar biasa."
"Tentunya kau belum mengetahui senjata pendekar muda itu?"
"Benar, Ayah. Memang aku belum melihat macam apa senjatanya yang digegerkan orang sangat aneh."
"Maka itu, tiuplah sulingmu terus. Nanti bila dia telah kehilangan sabarnya, dia akan memanggil senjatanya."
Terbelalak melotot mata Daeng Surih mendengar penuturan ayahnya yang dirasa aneh. Bagaimana mungkin senjata harus dipanggil-panggil seperti manusia? Memang pemuda tersebut tidak membawa senjata sebatang tangkai pun. Itukah memang keanehannya?
"Kalau begitu, senjata pendekar muda itu bernyawa, Ayah?"
"Benar, Anakku. Senjata itu memang bernyawa," jawab sang ayah dengan mata terus memperhatikan Jaka Ndableg yang masih terseret-seret berusaha mempertahankan tarikan tenaganya. Hampir saja tenaga Amangkurat terbetot oleh tenaga Jaka, namun karena dibantu oleh tiupan suling menjadikan tenaga Amangkurat bagaikan seratus kali lipat dari tenaga sebenarnya.
"Setan alas! Kenapa Suling Kematian itu ada lagi? Padahal menurut guru, suling itu berada pada masa Amangkurat. Hem, siapakah sebenarnya orang yang sekarang memilikinya? Kalau aku sampai mati, Oh, Gusti Allah, apa yang bakal melanda dunia persilatan bila Suling Kematian berada di tangan tokoh sesat?" keluh Jaka seperti putus asa. "Oh, aku... aku terasa sakit dadanya. Ouh, Ratu... aku..."
Tengah Jaka dalam keadaan sekarat, tiba-tiba Pedang Siluman Darah muncul melayang di depannya. Dengan segera Jaka menangkapnya, dan babatkan pedang tersebut ke muka. Seketika tenaga yang menariknya hilang.
Tersentak Amangkurat dan Daeng Surih melihat pedang yang melayang sendiri dan menghampiri pendekar muda itu. Namun lebih tersentak mereka, manakala dirasa semuanya tak ada guna manakala pendekar muda itu tebaskan pedangnya.
"Itukah senjatanya, Ayah?" tanya Daeng Surih setelah dapat menenangkan diri dari rasa kagetnya.
"Benar, Anakku. Lihatlah itu... pedang itu mengeluarkan darah dari ujungnya..."
Mendengar seruan ayahnya, segera Daeng Surih mengikuti arah yang ditunjuk oleh ayahnya. Memang benar, nampak pedang di tangan Jaka mengeluarkan darah meleleh membasahi batang pedang. Pedang itu juga bersinar kuning kemerah-merahan, menjadikan pantulan yang menyilaukan.
"Ah, sungguh aneh!" seru Daeng Surih bergumam kaget.
Tengah kedua ayah dan anak itu tersentak kaget, tiba-tiba Jaka yang sudah marah merasa dipermainkan berseru membentak dengan Pedang Siluman Darah mengkiblat ke arah mereka.
"Kalian yang berada di atas pohon, turunlah!"
Tanpa banyak membangkang, kedua anak bapak tersebut segera melompat turun dan langsung menjura pada Jaka yang terbengongbengong tak mengerti akan tingkah laku mereka. Belum juga Jaka mengerti apa maksud mereka sesungguhnya yang telah mengerjai dirinya, terdengar Amangkurat berkata mewakili anaknya.
"Ampunkanlah kami, Tuan Pendekar. Sungguh kami tidak sengaja berbuat begitu. Kami hanya ingin mencari kebenaran adanya tuan pendekar yang katanya hendak hadir di pulau Andalas ini."
"Hem, kau adalah siluman. Kenapa kau berteman dengan pemuda manusia?" tanya Jaka setelah mengetahui bahwa Amangkurat memang kini bukan kaum manusia lagi melainkan kaum siluman. "Apa kepentinganmu meniup Suling Kematian, Anak Muda?"
"Nama hamba, Daeng Surih," jawab Daeng Surih yang merasa pertanyaan Jaka ditujukan padanya. "Hamba memang diutus oleh kakek hamba Daeng Dato Kumbuh untuk meminta tolong pada tuan pendekar."
"Daeng Dato Kumbuh, heh bukankah kakekmu adalah adik seperguruan Daeng Loreng?" tanya Jaka agak sedikit terkejut mendengar nama Daeng Dato Kumbuh disebut. "Apa yang dikatakan olehnya? Ah, kenapa mesti aku? Bukankah kau sendiri memiliki ilmu yang tinggi? Terbukti kau mampu meniup Suling Kematian milik Amangkurat."
Mendengar namanya disebut oleh Jaka, seketika Amangkurat tundukan kepala makin dalam sembari berkata: "Hambalah Amangkurat. Dan Daeng Surih ini adalah anak hamba."
"Ah, tak aku sangka kalau aku dapat bertemu dengan Amangkurat yang namanya sudah kondang pada masa guruku. Bukankah engkau Amangkurat Leluhur Sakti?" tanya Jaka setelah hilang kagetnya.
"Begitulah, Tuan Pendekar," jawab Amangkurat.
"Apa yang aku dapat bantu? Sedangkan aku sendiri kini tengah menghadapi masalah. Aku sengaja datang dari Jawa untuk membereskan masalahku, yaitu menangkap hidup atau mati Datuk Raja Beracun yang telah membuat keonaran dengan menculik gadis-gadis."
Membelalak mata kedua anak dan bapak mendengar keterangan yang dilontarkan Jaka. Karena saking girangnya, kedua anak dan bapak seketika tanpa sadar memekik.
"Itulah yang hendak kami mintai tolong!"
"Jadi kalian ada masalah dengan Datuk Raja Beracun?"
"Benar, Tuan Pendekar. Ceritanya begini..." Amangkurat akhirnya perlahan-lahan mengulur kembali kejadian-kejadian dua puluh tahun yang silam. Kejadian yang menyebabkan dirinya kini harus menjadi bangsa Siluman, kejadian yang menjadikan dirinya harus berpisah dengan anak dan istrinya.
"Begitulah, Tuan Pendekar. Kami telah berusaha menghalau dan menghentikan sepak terjangnya, sampai-sampai aku meminta pertolongan pada Ratuku. Semua ternyata sia-sia, sebab ilmu Datuk Raja Beracun jauh di atas ilmu Ratuku."
"Baiklah. Aku akan mencoba menghentikan sepak terjangnya, tapi bukan karena urusan perorangan. Aku bertindak hanya karena ketentraman manusia," jawab Jaka menyanggupi. "Mari kita ke sana. Aku rasa, kini mereka tengah menghadapi pemilihan ketua pendekar. Jangan sampai kita terlambat."
"Mari, Tuan Pendekar...."
Dengan segera ketiga orang itu berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Karena mereka menggunakan ilmu lari, sehingga langkah mereka seperti terbang. Maka dalam sekejap saja, tubuh mereka telah menghilang dari pandangan.
********************
Suasana pemilihan ketua pendekar pulau Andalas nampak riuh. Masing-masing mengajukan calon-calonnya. Ketika calon terkuat yang dianggapnya paling sakti dan mumpuni yaitu Datuk Raja Beracun hendak dilantik jadi pimpinan Pendekar, tiba-tiba terdengar dari luar suara membentak yang dibarengi oleh kelebatnya sesosok tubuh pemuda.
"Hentikan!"
"Siapa kau!" bentak Raja Beracun marah, merasa penobatan dirinya menjadi pimpinan pendekar terganggu. "Lancang benar kau, Anak muda!"
Seketika semua orang yang berada di situ tancapkan mata mereka memandang ke arah pemuda tampan yang telah berdiri menghadapi Datuk Raja Beracun. Orang-orang yang telah tahu siapa adanya pemuda itu, seperti Daeng Loreng seketika menyerukan nama sang pemuda.
"Jaka Ndableg!"
"Saudara-saudara, kalian ternyata telah ditipu mentah-mentah oleh Datuk Iblis ini. Apakah kalian akan mau menanggung dosa Datuk Iblis yang telah bertumpuk?" tanya Jaka acuhkan semua yang ada di situ. Seketika semua yang hadir terdiam hening, tak seorang pun yang berani membuka mulut. "Datuk Iblis ini yang telah membuat resah dunia persilatan hendak kalian angkat jadi ketua. Apakah kalian semua tak menyadari bahaya apabila benar-benar ia menjadi ketua pendekar?"
"Setan! Lancang mulutmu, Anak Muda!" bentak Datuk Raja Beracun geram. "Jangan percaya dengan omongannya! Dia hanya ingin mengacau rencana kita saja."
"Tidak! Dia tidak mengarang cerita! Memang dia berkata benar adanya. Datuk Raja Beracun tak layak menjadi ketua perserikatan Pendekar Pulau Andalas!"
Bareng dengan habisnya suara itu, sekonyong-konyong berkelebat sebuah bayangan yang remang-remang. Bayangan itu adalah milik Amangkurat, yang hanya dapat dilihat oleh orangorang yang berilmu tinggi saja.
"Aku bernama Amangkurat, aku telah menjadi korbannya..."
"Amangkurat!" tersentak semua yang hadir, manakala mendengar seruan tanpa rupa mengenalkan dirinya.
"Bangsat? Kalian telah mengacau semuanya, hiat...!" Tiba-tiba dengan membentak marah Datuk Raja Beracun menyerang Jaka dan Amangkurat yang berada di atas panggung. "Kalian harus lenyap dari muka bumi ini!"
Seketika Jaka dan Amangkurat melompat elakan serangan Datuk Raja Beracun. Jaka yang tak ingin Amangkurat terkena hantaman pukulan beracun yang dilancarkan Datuk Raja Beracun segera berseru memerintahkan pada Amangkurat untuk minggir.
"Amangkurat, menepilah. Lebih baik anakmu yang membantuku. Hanya dengan Suling Kematian, ilmunya akan lenyap. Biar aku yang akan mengacau konsentrasinya. Cepat suruh anakmu untuk menghadapinya, biar aku membantu."
Amangkurat yang tahu siapa adanya Pendekar Pedang Siluman Darah dengan segera berkelebat meninggalkan panggung. Kini tinggal Jaka yang terus memapaki setiap serangan Datuk Raja Berbisa. Di pihak lain, semua yang hadir pun seketika saling serang. Para tokoh persilatan yang tahu siapa adanya Datuk Raja Beracun seketika menyerang anak buah Datuk Iblis itu. Pertarungan pun makin bertambah seru.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Datuk Raja Beracun tak mau main-main lagi, semua ajian yang ia miliki kecuali Jamus Kalimu Sada dikeluarkannya untuk menghadapi serangan sang Datuk. Jurus demi jurus terus terlalui, seirama dengan ledakan-ledakan yang diakibatkan oleh bertemunya dua ajian bila bertemu. Ketika keduanya terus berjalan melanjutkan pertarungan, Daeng Surih yang telah diperintahkan oleh ayahnya seketika berkelebat dengan Suling Kematian siap mengalun. Melihat hal itu, Datuk Raja Berbisa segera mengalihkan serangannya pada Daeng Surih. Namun demikian, dengan segera Jaka berkelebat memapakinya sembari berseru.
"Jangan gentar, Daeng Surih! Cepat tiup serulingmu, biar aku yang mengacaunya!"
"Bedebah! Jangan harap kalian akan mampu menghadapiku." Habis berkata begitu Datuk Raja Beracun seketika diam bagaikan patung! Asap seketika mengepul dari tubuhnya. Dan...!
Jaka yang tengah menyerangnya seketika tersentak mundur, manakala dilihatnya wujud Datuk Raja Beracun seketika berubah. Datuk Raja Beracun kini bukan berujud manusia, tapi kini telah menjadi seekor harimau besar. Tengah Jaka dan Daeng Surih tersentak kaget, harimau jejadian itu seketika menyerang mereka. Beruntung kedua anak muda itu waspada yang dengan segera berloncatan mengelakannya.
"Petir Sewu...!" Jaka tiba-tiba berteriak, lalu hantamkan ajian Petir Sewu ke tubuh harimau jejadian tersebut. Ledakan-ledakan petir seketika membahana, menjadikan semuanya seketika tutup telinganya tak tahan mendengar ledakan yang bagaikan seribu suara petir. Namun bagi Harimau itu bukan menjadi masalah, ajian Petir Sewu bagaikan tak berarti sama sekali lewat begitu saja.
"Tiup serulingmu, Daeng!" Jaka memerintahkan.
Daeng Surih segera meniup serulingnya. Seketika Datuk Raja Berbisa menggelepar, bagaikan kepanasan. Namun demikian, tubuh itu bagaikan kebal. Walau Suling Kematian terus ditiup, tubuh Datuk Raja Berbisa dengan ganas bangkit sambil meraung panjang dan menyerang dua pemuda pendekar tersebut.
"Tapak Prahara, hiat...!" Jaka kembali berkelebat, tangannya berwarna merah menyala bagaikan bara api. Dipapakinya serangan Datuk Raja Beracun. Dan....
"Hiat!"
"Aum...!"
"Bum, bum, bum!"
Tiga kali bunyi gedebum menggema, manakala tangan Jaka Ndableg yang telah disaluri ajian Tapak Bahana menghantam tubuh Harimau jejadian. Jaka agak sedikit tenang, namun seketika matanya kembali membelalak manakala melihat apa yang terjadi. Harimau itu kini bukan satu, tapi bertambah banyak.
"Gusti Allah, mengapa demikian jadinya?" keluh Jaka terjengah.
"Saudara pendekar, Awas!"
Jaka tersentak, manakala puluhan harimau itu menyerangnya. Untung Daeng Surih memperingatkannya, kalau tidak. Niscaya tubuhnya telah terkoyak-koyak. Sambil melompat mengelakkan serangan sepuluh harimau itu Jaka berseru: "Daeng Loreng, dapatkah kau membantuku?"
Daeng Loreng seketika menengok, lalu dengan senyum Daeng Loreng berseru. "Dapat Jaka, terimalah bulu harimau ini. Taburkan bulu harimau itu ke tanah. Kau hadapi satunya yang paling besar."
Jaka Ndableg segera lemparkan tubuh ke luar arena, lalu dengan cepat diambilnya bulu-bulu harimau dari tangan Daeng Loreng. Ditebarkan bulu-bulu itu, seketika bulu-bulu tersebut berubah menjadi harimau-harimau loreng. Tak ayal lagi, harimau-harimau itu pun saling serang. kini Jaka tinggal menghadapi yang satu, yang merupakan jelmaan Datuk Raja Berbisa.
"Ayo Datuk, kita lanjutkan permainan kita."
"Aum...." Harimau jejadian itu mengaum, menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam. "Aku lumatkan tubuhmu, Anak sombong."
"Hem, silahkan kalau memang kau mampu, Datuk!"
Dengan menggeram terlebih dahulu Datuk Raja Berbisa berkelebat kembali menyerang Jaka Ndableg. Jaka yang telah waspada segera elakan serangan, namun tak ayal pundaknya tercakar kuku-kuku harimau itu. Rupanya kuku-kuku harimau jejadian itu mengandung racun, menjadikan Jaka seketika merasakan pening. Segera Jaka diam heningkan cipta, lalu dari mulutnya membersit suara memanggil gurunya Ratu Siluman Darah. "Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Setelah pedang Siluman Darah berada di tangannya, segera Jaka tempelkan pedang tersebut pada bahu kirinya yang luka. Sesaat, bahu itu mengering sembuh, darah biru bercampur racun keluar terhisap Pedang Siluman Darah. "Nah, Datuk, bersiaplah. Kini giliranku untuk menyerang!"
Mata Datuk Raja Berbisa seketika menyala, melotot kaget demi melihat senjata di tangan Jaka. Senjata itu mengeluarkan darah, meleleh dari ujungnya membasahi batang pedang. Belum sempat sang Datuk hilang kagetnya, Jaka dengan cepat berkelebat sembari babatkan pedang Siluman Darah. Sang Datuk mencoba berkelit, namun dengan cepat Pedang Siluman Darah memapakinya. Tak ayal lagi, seketika Datuk Raja Beracun mengaung panjang. Tubuhnya dari leher terpotong, hingga kepalanya menggelinding jatuh ke bawah. Seketika kepala itu berubah kembali jadi kepala manusia.
Melihat pimpinannya mati, serta merta anak buah Datuk Raja Berbisa yang tengah bertempur melawan para pendekar menyerah kalah. Amangkurat dan Daeng Surih segera melompat hendak menghampiri Jaka, manakala keduanya tersentak kaget. Jaka yang tadi masih berada di tempat itu, tiba-tiba menghilang entah ke mana. Tengah semua terbengong-bengong mencari Jaka, terdengar suara Jaka berseru.
"Aku sudah berada di pantai, aku ucapkan selamat berjuang, Daeng Loreng, bila kau ingin tenang angkatlah Daeng Surih sebagai raja. Dia kelak akan menjadi pelindung kalian yang bijaksana. Nah, selamat berjuang Daeng Surih "
Semua mata hanya terjengah tanpa dapat melihat Jaka. Semuanya hanya mendesah panjang. Hari itu juga Daeng Surih diangkat menjadi Raja kaum Persilatan Pulau Andalas...
S E L E S A I