Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 01
Tokoh-Tokoh
Berdasarkan Urutan Penyebutan
Sanggrama Wijaya, atau Naraya Sanggrama Wijaya, atau Raden Wijaya. Nama yang dikenal ketika mengalahkan Raja Jayakatwang, yang secara culas menguasai Keraton Singasari dan mendepak Baginda Raja Kertanegara. Bersama dengan prajurit dan senopati yang setia, Wijaya berhasil menggempur balik pasukan Tartar dari negeri Cina.
Menurut catatan sejarah, dinobatkan menjadi Raja Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika atau sekitar bulan Oktober-November 1298. Nama kebesarannya adalah Kertarajasa Jayawardhana. Nama ini menunjukkan rasa hormat terhadap leluhurnya, raja-raja Singasari.
Upasara Wulung, salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan. Ksatria Pingitan adalah semacam perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang dilatih ilmu surat dan ilmu silat, atau kanuragan. Para ksatria yang terpilih, dilatih sejak lahir di Ksatria Pingitan.
Menurut cerita ini, Ksatria Pingitan didirikan atas gagasan Baginda Raja Sri Kertanegara Raja Singasari yang terakhir, dengan tujuan menciptakan manusia yang selain jago silat juga mempunyai watak luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati utama yang melanjutkan kebesaran Keraton dan melindungi penduduk.
Selama dua puluh tahun Upasara Wulung berada dalam Ksatria Pingitan, dilatih oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke medan persilatan. Ilmu dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Akan tetapi mengalami perubahan besar sejak mempelajari Bantala Parwa atau Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Bantala Parwa dianggap babon segala kitab kanuragan. Merupakan puncak berbagai sumber ilmu silat yang ada di tanah Jawa.
Gayatri, atau Permaisuri Rajapatni, salah satu dari empat putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raja Majapahit. Menjelang penyerbuan ke Daha untuk menaklukkan Jayakatwang. Gayatri pergi bersama Upasara Wulung untuk mengetahui kekuatan lawan. Di sinilah bibit-bibit daya asmara tumbuh. Dan berpuncak saat Gayatri ditawan di atas benteng dan Upasara maju menggempur tanpa memedulikan keselamatan dirinya.
Akan tetapi. Menurut perhitungan dan ramalan para pendeta, Gayatri harus menikah dengan Sanggrama Wijaya, karena inilah pasangan Dewi Uma dan Dewa Siwa, yang kelak kemudian hari akan menurunkan raja terbesar. Hubungan masa lalu ini ternyata banyak membebani tapi sekaligus juga mewarnai perjalanan hidupnya.
Mpu Renteng, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora, dengan menggunakan ujung kain yang tersampir di pundaknya.
Mpu Sora, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu. Tokoh yang tangguh ini banyak mendapat dukungan untuk menjabat sebagai mahapatih. Mahapatih ialah jabatan tertinggi di Keraton, orang kedua sesudah raja. Namun ia sendiri merasa tidak berhak. Pangkat yang disandang adalah adipati, semacam penguasa daerah, di Dahanapura. Tempat Kala Gemet, putra mahkota, berada.
Mpu Elam, salah seorang senopati Majapahit, yang menjadi prajurit telik sandi. Prajurit yang terpilih dalam pasukan telik sandi, atau pasukan rahasia, adalah prajurit pilihan yang tugasnya mengumpulkan semua laporan yang menyangkut keamanan. Dalam jajaran pemerintahan ditangani secara langsung oleh Mahapatih.
Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit. Anak buah langsung Senopati Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang bertugas menjadi prajurit pribadi Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka Merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan untuk menjadi pengganti.
Klikamuka, tokoh yang selalu menutupi wajahnya dengan klika atau kulit kayu. Kelihatannya mempunyai hubungan dekat dengan Keraton.
Toikromo, penduduk biasa yang ingin mengangkat Upasara Wulung sebagai menantu.
Gendhuk Tri, calon penari Keraton Singasari yang menjadi anak murid Mpu Raganata sebentar, lalu dilatih Jagaddhita. Ilmu andalannya menggunakan selendang seperti penari. Karena satu dan lain hal, seluruh darahnya teraliri racun sangat ganas. Dalam usianya yang masih belasan tahun, dan hidup di tengah pergolakan jago silat, adatnya memang rada aneh. Diam-diam sangat mengagumi Upasara Wulung, dan mencemburui setiap wanita yang mendekati Upasara.
Jaghana, salah seorang murid Perguruan Awan, perguruan yang dianggap sumber segala ilmu kanuragan di tanah Jawa. Kepalanya gundul pelontos, pakaian yang dikenakan asal menutup tubuh. Sabar dan welas asih. Namanya bisa diartikan sebagai "pantat". Ini cara merendahkan diri sebagai "bukan apa-apa, bukan siapa-siapa", salah satu ciri ajaran Perguruan Awan.
Eyang Sepuh, lebih dikenal sebagai nama seorang empu yang mahasakti yang mendiami Perguruan Awan. Dari Eyang Sepuh-lah terdengar gema ajaran Kitab Bumi dengan jurus yang ampuh, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ajaran yang sejajar dengan ajaran Budha, baik di negeri Hindia, Cina, maupun Jepun. Atau bahkan sampai ke negeri Turkana.
Eyang Sepuh pula yang membuat para jago seluruh penjuru jagat datang ke Trowulan, untuk membuktikan siapa yang mewarisi ilmu sejati. Namun sejak semula, Eyang Sepuh tak pernah menampakkan diri. Hanya beberapa orang, Gayatri dan Upasara, yang pernah mendengar suaranya. Penguasaan ilmu Eyang Sepuh telah sampai ke tingkat moksa, lenyap bersama raga dan jiwanya.
Adipati Lawe, atau Ranggalawe, salah seorang senopati Majapahit yang besar jasanya. Putra Aria Wiraraja ini nama kecilnya seperti juga ayahnya, Aria Adikara. Ranggalawe, nama pemberian Raden Sanggrama Wijaya yang mungkin menjadi petunjuk kepangkatannya ketika itu. Rangga adalah jabatan yang sama dengan camat sekarang ini.
Kuda hitam dan umbul-umbul bergambar kuda, menunjukkan kegagahannya ketika menjadi adipati, semacam patih penguasa suatu wilayah, di daerah Tuban. Sebutan yang lain ialah patih amancanegara, yaitu semacam kepala di wilayah luar Keraton. Patih amancanegara menunjukkan penguasaan di luar wilayah kekuasaan Keraton. Yang terbagi di daerah barat, timur, utara, maupun selatan letak Keraton.
Galih Kaliki, tokoh yang asal-usul ilmu silat dan perguruannya tidak gampang dimengerti. Senjata andalannya sebuah tongkat galih asam, bagian tengah atau hati pohon asam. Baru kemudian diketahui bahwa gaya permainannya mirip dengan ksatria pedang panjang dari Jepun. Orangnya keras, jujur, apa adanya. Dan sepanjang hidupnya kesengsem atau tergila-gila pada Nyai Demang.
Senopati Anabrang, atau Mahisa Anabrang. Salah seorang senopati zaman Keraton Singasari yang menjelajah sampai ke tlatah Melayu dan baru kembali dua puluh tahun kemudian. Melanjutkan pengabdian kepada Raja Majapahit, dengan membawa dua putri ayu yang salah satunya dipermaisurikan Baginda Raja.
Senopati Nambi, atau Mpu Nambi, salah seorang senopati Majapahit, pimpinan prajurit telik sandi, atau pasukan rahasia. Diangkat sebagai mahapatih, suatu jabatan tertinggi sesudah raja. Mahapatih menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para senopati, pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para senopati, adipati, ataupun patih. Pengangkatannya sebagai mahapatih banyak mengundang pertentangan. Terutama dari Adipati Lawe, yang mengharapkan dirinya atau Mpu Sora yang memangku jabatan tersebut.
Wilanda, salah seorang murid Perguruan Awan yang kemudian melepaskan diri dan menjadi prajurit andalan Keraton Singasari, dan kemudian kembali lagi ke Perguruan Awan. Budinya luhur, dan menjadi pendamping Upasara sejak kecil. Ilmunya yang sulit ditandingi ialah cara mengentengkan tubuh seperti capung hinggap di ujung daun.
Kiai Sumelang Gandring, atau Mpu Sumelang Gandring, turunan seorang ahli pembuat keris yang mengembara sampai ke ujung barat tanah Jawa. Di sana meneruskan ilmunya. Seluruh muridnya berjumlah dua belas, dan semua memakai sebutan Gandring. Istimewanya ialah kedua belas Gandring ini bisa menyusun barisan yang luwes dan ampuh. Di antaranya gaya serangan Jiwandana Jiwana, atau Tembang Kehidupan.
Nyai Demang, satu-satunya tokoh wanita yang sering dinilai hanya karena mengobral asmara, serta bentuk tubuhnya yang montok. Menurut cerita, dulu istri seorang demang, pangkat setingkat kepala desa. Banyak para ksatria menjadi korban senyuman dan bentuk tubuhnya. Akan tetapi di balik segala daya tarik lahiriahnya, Nyai Demang selama ini tak tertandingi dalam soal kemampuannya mempelajari bahasa mancanegara. Dialah yang menjadi penyalin bahasa sewaktu pasukan Tartar mendarat.
Halayudha, salah seorang senopati Majapahit yang tak terlalu menonjol dalam peperangan. Gerak-geriknya penuh teka-teki, karena hubungannya yang sangat dekat dengan Raja Majapahit, dan kemampuannya untuk taktik yang dijalankan sangat culas, bergetah, tapi berhasil. Ilmu silatnya termasuk sangat tinggi karena ia murid langsung Paman Sepuh, ditambah berbagai ilmu yang diperoleh sendiri.
Tribhuana, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raden Wijaya. Sebagai putri Keraton, Tribhuana dikenal memiliki pengetahuan yang luas dan cara berbicara yang ulung dalam menangkap suasana, sehingga digelari Mahalalila. Sebagai permaisuri pertama, sebenarnya Tribhuana berhak melahirkan putra mahkota. Akan tetapi nyatanya tidak, karena Raja Majapahit memilih permaisuri yang lain.
Mahadewi, adik Tribhuana yang juga dipermaisuri oleh Raja. Mahadewi dikenal sebagai putri landasan daya asmara Baginda.
Jayendradewi, atau Permaisuri Pradnyaparamita, adik Mahadewi yang juga dipermasurikan Baginda. Tidak secantik adiknya, Gayatri, namun kesetiaan dan keluhuran budinya menjadi contoh teladan.
Dara Jingga, putri boyongan dari Melayu yang dipersembahkan Senopati Anabrang kepada Baginda. Namun kemudian menikah dengan salah seorang bangsawan Keraton yang melanjutkan pemerintahan di tlatah Melayu.
Dara Petak, adik Dara Jingga, yang dipermaisurikan Baginda dengan gelar Permaisuri Indreswari. Disebut sebagai stri tinuheng pura atau permaisuri yang dituakan. Menggeser kedudukan Tribhuana dan dengan demikian berarti anak keturunannya yang bakal mewarisi takhta Baginda Kertarajasa.
Dewa Maut, tadinya menjadi tokoh yang ganas, setiap kali berperang harus mencabut nyawa lawan karena daya asmara kepada gadis pujaannya bertepuk sebelah tangan. Hidup menyendiri hanya dengan sesama kaum pria, di atas perahu yang selalu berada di Kali Brantas. Dalam salah satu pertarungan ilmunya lenyap, dan gayanya seperti kehilangan ingatan. Seluruh rambutnya putih. Gendhuk Tri dianggap "kekasihnya" yang hilang dan selalu dipanggil Tole, panggilan untuk anak lelaki. Dewa Maut hanya mau mengikuti perintah Gendhuk Tri.
Kama Kalacakra, salah seorang ksatria Jepun yang mahir memainkan pedang panjang.
Kama Kalandara, saudara seperguruan Kama Kalacakra. Dua nama yang berbeda akan tetapi artinya sama, yaitu "benih matahari". Bila bergabung, keduanya menjadi disegani, karena bisa memindah serangan sambil berputar kencang.
Kama Kangkam, guru Kama Kalacakra maupun Kama Kalandara. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu kekuatan dengan Eyang Sepuh, memperebutkan gelar sebagai ksatria lelananging jagat, atau ksatria yang paling lelaki yang paling tak terkalahkan.
Senopati Semi, salah seorang senopati Majapahit. Salah seorang dari tujuh dharmaputra, putra istana yang mendapat perlakuan istimewa dari Baginda. Senopati lain yang termasuk dharmaputra ialah Senopati Kuti, Senopati Pangsa, Senopati Wedeng, Senopati Yuyu, Senopati Tanca, serta Senopati Banyak.
Kala Gemet, putra mahkota Keraton Majapahit, putra Permaisuri Indreswari. Sejak muda telah diangkat menjadi calon pewaris takhta dengan mengambil tempat latihan kekuasaan di Dahanapura. Ketakutan disaingi saudaranya, ia melarang saudara lain ibu menikah.
Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, yang terbakar oleh dendam sejak kematian ayahnya di tangan Senopati Sora. Merasa pengabdian ayahnya kepada Keraton disia-siakan, Mahisa Taruna mudah dipermainkan orang lain.
Aria Wiraraja, tokoh yang dihormati dari Sumenep, Madura, inilah yang pertama kali mengulurkan tangan kepada Sanggrama Wijaya. Taktik dan strateginya jitu. Dengan kematian Lawe, putra kesayangannya, Aria Wiraraja sangat kecewa. Kemudian meninggalkan Keraton dan berdiam di Lumajang, yang membawahkan wilayah Majapahit sebelah timur.
Naga Nareswara, atau Raja Segala Naga, merupakan utusan tertinggi dari Tartar, yang masih menyimpan dendam, karena pasukannya yang mampu menaklukkan dunia dikalahkan oleh senopati-senopati Majapahit. Akan tetapi kedatangannya yang terutama untuk bertarung dengan Eyang Sepuh, dalam memperebutkan gelar ksatria lelananging jagat. Untuk membuktikan siapa pewaris suci dari ajaran yang sama sumbernya.
Kiai Sambartaka, atau Kiai Kiamat, seorang pendeta dari tanah Hindia. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu ilmu sejati dengan Kama Kangkam, Naga Nareswara, serta Eyang Sepuh. Agaknya, lima puluh tahun lalu, para tokoh itu sudah berjanji untuk mengadakan pertempuran habis-habisan.
Paman Sepuh Dodot Bintulu, atau menyebut dirinya Bik Suka Bintulu karena menyamakan dirinya sebagai pendeta peminta-minta. Dodot Bintulu adalah nama untuk menunjukkan kesederhanaan sebagai rakyat jelata. Panggilan Paman Sepuh karena tokoh sakti ini saudara seperguruan Eyang Sepuh maupun Mpu Raganata, dan yang sesungguhnya menuliskan Kitab Bumi atau Bantala Parwa bagian pertama, yaitu yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Wajahnya hancur karena dikhianati dua muridnya yang durhaka, yaitu Ugrawe dan Halayudha.
Kemunculannya kembali ke dalam dunia persilatan untuk memenuhi undangan yang disebarkan Eyang Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Di mana akan berkumpul seluruh jago silat, jawara dari jawara seluruh jagat. Salah satu gubahan ilmunya yang terkenal, selain Banjir Bandang Segara Asat yang disempurnakan Ugrawe, adalah jurus-jurus Timinggila Kurda, atau jurus-jurus Ikan Gajah Murka. Ikan gajah adalah sebutan untuk ikan paus pada masa lalu.
Kiai Gajah Mahakrura, nama lain Paman Sepuh yang dipakai oleh Halayudha, yang menggambarkan gurunya yang dianggap sebagai gajah mahabengis.
Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan sebutan bahwa di seluruh kolong langit ini, dialah yang paling ayu tanpa tanding. Nama sesungguhnya Ratu Ayu Azeri Baijani, datang dari negeri Turkana. Suatu negeri yang disebut sebagai tlatah tapel wates, karena merupakan tapal batas dengan wilayah yang tak dikenal. Ratu Ayu berkelana ke tanah Jawa karena mendengar bakal ada pertemuan seluruh jago silat.
Bersama para senopatinya, Ratu Ayu ingin mencari jodoh, yaitu yang bisa mengalahkannya. Karena ia percaya bahwa bersama lelaki yang mampu mengalahkannya, ia bisa membebaskan negerinya dari jajahan Raja Tartar. Repotnya, justru dalam pengelanaannya, tak ada yang mampu mematahkan ilmunya, yaitu Tathagati, atau ilmu Budha Wanita, yang dianggap sesat karena menyamakan sang Budha dengan wanita. Gerak langkah ilmu ini disebut Tathagata Pratiwimba atau gerakan Arca Budha yang Kaku, serupa dengan cara bergerak boneka.
Sariq, senopati utama Ratu Ayu Bawah Langit. Sariq berarti kuning, karena ketika memainkan ilmunya seakan tubuhnya berwarna kuning seluruhnya. Senopati lainnya ialah Uighur, Karaim, Wide, Chagatai, dan Kazakh. Bersama-sama mereka mampu memainkan barisan yang disebut Lompat Turkana, atau 64 Langkah Jong. Jong bisa berarti payung, bisa berarti tertutup. Barisan Lompat Turkana ini disusun sedemikian rupa, sehingga langkah ke belakang tertutup. Mereka selalu bergerak maju ke depan, ke samping kanan, atau ke samping kiri. Konon ini merupakan permainan yang lazim di negeri Turkana.
Gajah Biru, senopati yang setia kepada Mpu Sora, baik di saat jaya maupun ketika tersisih, seperti juga: Juru Demung, Maha Singanada, gagah perkasa, wajah dan penampilannya sangat mirip dengan Upasara Wulung. Hanya rambutnya dibiarkan tergerai dan sikapnya jauh lebih urakan, tak mengenal tata krama.
Senopati ini termasuk dalam rombongan yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara dari Keraton Singasari (itu sebabnya masih memakai nama Singa) ke tlatah Campa, ke Keraton Caban. Untuk mengantarkan Dyah Ayu Tapasi, putri Baginda Raja, untuk dipermaisurikan Raja Campa.
Senjata utamanya adalah kantar, atau tombak pendek. Ilmunya bersumber pada Kitab Bumi, akan tetapi cara mengatur pernapasannya disebut Nawawidha, atau Mengatur Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Jurus-jurusnya dikenal sebagai Nawagraha, atau Siasat Sembilan Bintang, yang kesemuanya berintikan kepada angka sembilan.
Pendeta Syangka, atau Pendeta Sidateka, berasal dari tanah Syangka atau Sri Langka. Merupakan pendeta kesayangan Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, sehingga kelak kemudian hari sang putra mahkota ini memakai gelar kebesaran sebagai Sri Sundarapandya Adiswara. Sebutan pandya berarti mengakui kebesaran dinasti Pandya yang memerintah di Sri Langka. Sejak tata pemerintahan Keraton Sriwijaya, pendeta-pendeta dari Syangka mencoba menanamkan pengaruhnya, akan tetapi selalu gagal. Sekali ini Pendeta Sidateka yang menguasai Pukulan Dingin, berhasil.
Maha Singa Marutma, salah seorang senopati yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara ke Keraton Mon, di delta Sungai Saluen di tlatah Burma. Keraton Mon menjadi rebutan kekuasaan antara Keraton Burma dan Keraton Sukothai, dari bangsa Thai. Maha Singa Marutma kembali ke tanah Jawa mencari bantuan untuk membebaskan Keraton Mon dari serbuan Burma maupun Sukothai.
Pangeran Jenang, nama yang dimudahkan untuk menyebutkan Pangeran Che Nam, yang terdesak oleh bangsa Vietnam. Karena Keraton Campa merupakan wilayah yang dikuasai Singasari, Pangeran Jenang minta bantuan ke tanah Jawa. Hanya saja ketika ia datang, yang memerintah bukan lagi Baginda Raja Sri Kertanegara. Oleh Bagus Kala Gemet, ditarik sebagai salah seorang pendukungnya.
Kebo Berune, oleh Upasara dipanggil dengan sebutan hormat Eyang Kebo Berune, sedangkan Nyai Demang memanggil dengan Kakek Kebo Berune. Salah seorang tokoh sakti yang hidup sezaman dan seangkatan dengan Paman Sepuh, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata. Bahkan sama-sama merumuskan lahirnya Kitab Bumi. Kebo Berune hanyalah nama sebutan karena tokoh ini mengembara sampai ke tlatah Berune atau Brunei, dan baru kembali untuk bertanding menguji ilmu siapa yang paling unggul.
Suatu pertemuan setiap lima puluh tahun sekali. Sayangnya, karena cara berlatih tenaga dalam yang keliru, Kebo Berune selalu dibayangi maut, dan tak bisa bergerak. Salah satu ajiannya yang sejajar dengan ilmu Weruh Sadurunging Winarah Mpu Raganata, sejajar dengan ajian Tepukan Satu Tangan Eyang Sepuh, sejajar dengan Banjir Bandang Segara Asat Paman Sepuh, adalah Pukulan Pu-Ni yang diciptakannya.
Pu-Ni sekadar untuk mengingatkan bahwa ilmu itu diciptakan di tanah Pu-Ni atau Berune atau Brunei. Konon ilmu-ilmu itu diciptakan untuk menjadi penangkal ilmu Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Pulangsih, atau Putri Pulangsih dalam sebutan Nyai Demang. Menurut cerita yang dituturkan Kebo Berune, Pulangsih adalah gadis yang diperebutkan oleh Mpu Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune. Tokoh wanita yang masih serba samar ini memilih Eyang Sepuh yang disebut Bejujag atau si kurang ajar, namun justru pada saat itu Eyang sepuh mencampakkannya. Penolakan itulah yang mengilhami lahirnya bagian terakhir Kitab Bumi, yang disebut Kitab Penolak Bumi, atau Tumbal Bantala Parwa. Pulangsih pastilah sebutan di antara keempat ksatria muda pada zamannya, karena arti pulangsih sesungguhnya adalah bersatunya daya asmara secara jasmani.
Cebol Jinalaya, si cebol berkulit hitam. Mewakili pemuja yang tetap mengagungkan Sri Kertanegara, sehingga menganggap bahwa bila mereka mati, bisa terus menjadi abdi Baginda Raja. Jinalaya sendiri nama yang dipakai untuk menunjukkan tempat untuk mati.
Senopati Agung Brahma, bangsawan tua yang dihormati oleh kalangan Keraton, tetapi juga jauh dari kekuasaan karena lebih suka menyepi. Kepedihan hatinya tetap tak terhibur dengan menikahi Dyah Dara Jingga, yang dengan demikian ia adalah kakak ipar Baginda. Termasuk salah seorang senopati yang dikirimkan ke seberang oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Hanya satu yang menyebabkan ia keluar dari "persembunyiannya", yaitu terutama karena mendengar berita datangnya utusan dari Keraton Caban di Campa, di samping keruwetan yang menimpa Keraton.
KOKOK ayam jantan pagi itu tak terdengar. Cengkerik juga tak sempat memperdengarkan musik akhir. Bahkan tetesan embun belum sepenuhnya mengental, ketika tiga ekor kuda melintas dengan tergesa. Suasana desa yang tenteram, hutan rimbun yang sunyi berubah serentak dengan suara bising. Tapak kuda menderap makin cepat dan rapat menyatu dengan dengusan napas kuda kelelahan. Ketiga penunggang kuda itu pun kalau diperhatikan cermat, sudah basah kuyup oleh keringat.
Robeknya alam pagi yang damai, seakan menandai terjadinya suatu peristiwa. Peristiwa yang berbeda dari sebelumnya—setidaknya puluhan tahun terakhir ini. Jalan setapak di desa tanpa, nama itu tak pernah terusik apa-apa. Bahkan sangat jarang sekali terdengar langkah kaki manusia. Binatang pun hanya sesekali, pada malam hari.
Akan tetapi sekali, kali ini, dipecahkan oleh rombongan tiga ekor kuda yang tergesa. Sampai di ujung jalan, mereka tak bisa sejajar lagi. Terpaksa berurutan karena jalan terhalang dahan, ranting, dan pohon tumbang. Dari bawah menguap bau tanah. Angin sangat bersih.
Menyeberangi sungai kecil yang airnya dangkal, ketiga penunggang kuda itu kemudian memacu lagi. Kalau saja di sepanjang jalan itu ada rumah, pastilah penghuninya terheran-heran. Suatu pemandangan aneh dan baru; tiga ekor kuda perkasa melintas tergesa. Bau tubuh mereka seakan asing untuk suasana sekitar yang sepenuhnya berbau daun dan tumbuh-tumbuhan.
"Benarkah ini jalannya?" tanya salah seorang penunggang kuda yang nampaknya paling muda.
Namun dari nada bicaranya kentara sekali ia yang menjadi pemimpin. Setidaknya yang paling dihormati. Bukan karena wajahnya yang bersih—yang membedakannya dari kedua penunggang yang lain, juga bukan karena alis matanya yang tebal dengan sorot mata memerintah, akan tetapi terutama sekali dari sikap hormat yang diajak bicara.
"Benar, Raden Mas. Tak ada yang berubah sejak lima belas tahun lalu hamba lewat di sini." Yang menjawab adalah seorang lelaki bertubuh gempal , gagah dengan kumis tebal. Sikapnya amat sangat menghormat. Dan sekelebatan saja ketahuan bahwa jawaban ini keluar dari orang yang mempunyai ilmu.
Setidaknya dari caranya menunggang kuda yang seakan sama sekali tak menambah berat tunggangannya. Dibanding dengan bentuk tubuhnya, gerakannya sangat enteng. Bahkan ketika meloncat turun untuk memeriksa rumput dan kemudian meloncat kembali ke punggung kuda, dengan satu gerakan tak terputus, menegaskan sesuatu yang disembunyikan dengan sikapnya yang merendah.
Sebaliknya, penunggang ketiga yang berwajah sangat pucat—sedemikian pucatnya sehingga kalau saja ia berhenti di air sungai dan mandi, tak akan kelihatan lagi. Menyatu dengan warna air. Kehadirannya hanya ditandai dengan nampak gedombrangan. Kain yang dikenakan longgar di sana-sini. Nampaknya pemakainya tak peduli sama sekali. Juga tidak pada suasana sekitar. Pandangannya lurus ke arah belukar. Seakan ia sudah memperhitungkan dua tindak yang akan dilalui. Atau seperti tak memperhitungkan apa-apa.
Hanya mereka yang lama berkecimpung dalam dunia silat bisa melihat sesuatu yang luar biasa dari penunggang ketiga ini. Dari cara mengatur napasnya kelihatan bahwa simpanan tenaga dalamnya luar biasa. Dibandingkan dua penunggang kuda yang lain, si wajah pucat ini nampak tetap segar. Berkuda sepanjang malam tanpa henti sama sekali tak mempengaruhi tarikan dan embusan napasnya. Bahkan juga tidak membuat kulitnya berubah warna.
"Kalau begitu kita sudah sampai," kata penunggang kuda yang dipanggil Raden Mas. "Tapi tak ada apa-apa. Hmmm, mengherankan juga. Nama besar Nirada Manggala selama ini hanya kabar murahan saja. Percuma memakai nama Perguruan Awan kalau di markasnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sepotong batu untuk duduk, selembar daun untuk berteduh, dan secangkir teh untuk menyambut tetamu."
"Maaf, Raden Mas," suara si penunggang kuda kedua nampak sangat berhati-hati. Dari nadanya terasakan kekuatiran tetapi juga teguran. Kekuatiran akan suasana yang bisa mendadak berubah. Sebagai orang yang pernah mengenal dekat Nirada Manggala, ia tahu persis bagaimana perguruan ini bukan perguruan yang bisa dikatai seenaknya.
Nama besarnya juga bukan nama kosong belaka. Kalau nama sekadar nama, mereka tak akan datang kemari. Nada teguran lembut, karena walaupun, memegang jabatan yang penting, ia tak bisa begitu saja melarang atau mempengaruhi junjungan yang dipanggil Raden Mas.
"...memang beginilah hidup mereka."
"Seharusnya mereka tahu kita kemari. Bukan begitu, Pamanda Pandu ?"
Si muka pucat yang ditanyai sama sekali tak bereaksi.
"Ini sudah keterlaluan. Saya bisa memerintahkan agar hutan ini dibakar habis!"
Mendadak saja, sebelum ucapannya selesai, ia merasa ada yang menepuk pundaknya. Dan sebelum bisa mengerti apa yang terjadi, kuda yang ditungganginya sempoyongan. Dengan sigap ia meloncat turun, dan langsung pasang kuda-kuda. Semuanya terjadinya dalam sekejap. Penunggang kuda yang berwajah pucat yang dipanggil Pamanda Pandu sudah turun di samping kudanya. Sementara si kumis juga sudah meloncat enteng. Begitu kakinya menginjak rumput, punggungnya menekuk dengan sikap hormat.
"Kami utusan dan Keraton ingin bertemu dengan Eyang Sepuh yang terhormat. Nama saya Wilanda, bekas murid Nirada juga. Saya datang bersama Raden Mas Upasara Wulung, dengan Ngabehi Pandu. Kami datang menghaturkan sembah bekti kepada Eyang Sepuh dan membawa berita dari Keraton."
Upasara serasa tak percaya pada apa yang masuk di telinga. Ini hebat! Wilanda bukan prajurit sembarangan. Ia satu-satunya yang terpilih menyertai ke Perguruan Nirada ini di antara sekian puluh pemimpin pasukan yang lain. Ilmunya juga di atas rata-rata yang terpilih. Bahkan dalam kecepatan bergerak rasanya hanya satu-dua yang bisa menandinginya. Nama Wilanda adalah gelar kehormatan karena gerak meringankan tubuhnya bagai seekor capung. Yang sanggup hinggap di tangkai tanpa menggoyang ranting. Namanya itu sendiri adalah anugerah, dari wilala yang artinya capung. Maka cukup membuat Upasara agak bengong melihat Wilanda merendahkan diri.
Dalam sekejap saja Wilanda sudah menjelaskan semua. Bahkan secara langsung sudah menyebut-nyebut sebagai utusan resmi dan Keraton. Meskipun Upasara baru menginjak usia dua belas tahun, pengalamannya boleh dikatakan segudang. Ia mendengar nama Perguruan Nirada yang banyak disebut-sebut. Namun itu semua bukan berarti harus menghormat dengan cara seperti itu. Dan sebenarnya yang lebih mengherankan lagi ialah Ngabehi Pandu pun turut turun dari kudanya.
Selama ini Upasara mengenal pamannya sebagai seorang tokoh yang bergeming oleh gempa, tak terusik oleh badai. Di Keraton, tokoh ini boleh dikata tak peduli apa-apa. Bahkan upacara sowan kepada Baginda Raja pun tak dilakukan. Ia lebih suka menyembunyikan diri di gua pertapaannya, dan secara terus-menerus berlatih ilmunya. Paling sebentar hanya keluar dan ruangan semadinya seratus hari sekali. Itu pun sekadar menemui Upasara untuk melihatnya berlatih silat.
Upasara boleh dikatakan beruntung karena ia satu-satunya yang diajari secara langsung. Ia satu-satunya murid yang menerima ajaran dari Ngabehi Pandu. Ini saja sebenarnya sudah membuat Upasara bisa malang-melintang di Keraton. Ia merasa sedikit saja yang bisa menandinginya. Dan puncak kekagumannya memang pada Ngabehi Pandu, yang menurut perhitungannya orang yang paling sakti. kalau tokoh yang dikagumi sampai perlu turun dari kudanya, itu pasti bukan basa-basi belaka. Ngabehi Pandu bukan orang yang bisa dan biasa berpura-pura. Ataukah mereka berdua juga "dipaksa" turun dari punggung kuda. Seperti dirinya? Tak mungkin hal itu terjadi.
Upasara melihat secara lebih jelas. Kekuatannya dipersiapkan untuk satu serangan mendadak-baik untuk menyerang atau bertahan. Kuda-kudanya kuat mantap. Lebih heran lagi, karena yang keluar dari semak-semak adalah seorang lelaki gundul yang praktis telanjang. Hanya kain gombal sekenanya menutup di bagian bawah selebihnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sehelai rambut. Yang membuat Upasara gusar adalah kenyataan bahwa lelaki itu seperti tidak melirik ke arah mereka.
Bahwa di Perguruan Awan banyak hal yang ganjil, itu Sudah lama didengar. Tapi kenyataannya ternyata lebih ganjil lagi. Tak ada bangunan rumah, tak ada sambutan. Hanya tetumbuhan liar dan seorang lelaki setengah tua yang lebih mirip binatang hutan. Upasara merasa tak bisa menahan sabarnya.
"Bapak Gundul, saya ingin bertemu dengan pemimpin Nirada Manggala. Katakan kepadanya untuk menjemput saya. Katakan Raden Mas Upasara Wulung bersama Pamanda Ngabehi Pandu dan Wilanda sendiri yang datang. Paman Gundul, kau dengar apa yang saya katakan?"
"Saya...," jawab si gundul sambil menunduk hormat.
Upasara melihat Wilanda yang masih bersila seperti mengisyaratkan agar jangan kurang ajar. Tapi siapa yang peduli? Untuk apa menghormat lelaki setengah tua yang berpakaian saja tak sempurna?
"Paman Gundul, kau dengar?"
"Saya...." Tapi selain jawaban yang diberikan, paman gundul itu tetap bergeming.
"Rupanya di perguruan ini banyak yang angkuh dan sok. Saya sudah bicara baik-baik, tapi kalian memperlakukan seperti ini. Jangan bilang anak muda berlaku kurang ajar." Upasara menggeser kakinya.
"Saya..."
Seumur hidup, belum pernah Upasara mendapat perlakuan hina seperti ini. Di Keraton, semua menuruti keinginannya. Apa yang diharapkan bisa terlaksana. Tak ada yang membandel seperti ini.
"Maaf, Kisanak...," suara Wilanda tetap ramah. "Kami sudah mengenalkan diri. Bolehkah kami mengetahui nama besar Kisanak?"
"Saya... Saya bernama Jaghana, Kisanak."
Upasara tak bisa menahan diri lagi. Ini jelas cara mempermainkan yang keterlaluan. Bagaimana mungkin pertanyaan yang baik-baik, dengan rasa hormat, dijawab seenaknya? Bagaimana mungkin seorang bernama Jaghana yang artinya pantat? Tanpa memedulikan lirikan mata menahan, Upasara langsung menerjang. Jaraknya masih sekitar dua tombak, akan tetapi hanya dengan sekali menginjak tanah, tubuhnya sudah melayang maju ke depan Persis di depan Jaghana yang gundul, dan langsung menyerang. Dua tangan, kiri dan kanan, maju secara serentak seperti menjepit tubuh Jaghana.
Ini adalah gerakan dasar dari serangan banteng. Ilmu yang diandalkan selama ini. Kedua tangannya berfungsi sebagai pengganti tanduk. Kalau saja Jaghana bisa dijepit, kepalanya bisa retak, sebelum tubuhnya berputar dan melayang ke atas. Kunci utama dari serangan kilat ini adalah pada kekuatan besar yang mengunci gerak lawan, dan di samping itu juga tak memberi kesempatan lawan untuk menggagalkannya. Karena Upasara yang berarti banteng sangat kuat kuda-kudanya. Persis seperti ketiga banteng menyerbu harimau. Ilmu ini boleh dikatakan ciptaan Ngabehi Pandu sendiri, yang disesuaikan dengan sifat-sifat Upasara yang masih berdarah panas bertenaga besar seperti banteng.
Selama ini selalu terbukti bahwa jurus pembukaannya selalu membuat lawannya repot. Upasara sudah memperhitungkan andai terpaksa menghindar, Jaghana harus mundur, paling sedikit dua tindak. Itu juga akan menempatkan Jaghana pada posisi yang sulit, karena dua tangan Upasara akan menyusul langsung. Dan kali ini sasarannya adalah pusar. Bagai tanduk sepasang yang menemukan sasaran empuk. Pukulan ini merupakan rangkaian.
Hanya beberapa jago saja yang mampu menghindar dari rangkaian pukulan berantai ini, itu pun akan mempersulit posisinya kemudian. Dalam beberapa latihan, hanya Wilanda yang secara berturut-turut mampu menghindar. Terutama karena ilmu meringankan tubuh yang satu kelas di atasnya. Itu pun harus mengorbankan kedudukan kuda-kuda untuk tetap berada dalam sikap bertahan.
Ngabehi Pandu menciptakan jurus yang kelihatannya sederhana ini bukan sekadar bangun dari tidur. Walau kelihatannya sederhana, perubahannya cukup rumit. Sederhana karena gerakannya seperti kaku. Lurus menerjang dengan dua tangan sekaligus. Namun sebenarnya ini juga merupakan inti untuk menjajal kekuatan lawan.
Seperti diketahui, untuk menghadapi jurus ini hanya tersedia dua pilihan. Menghindar mundur atau langsung menggempur. Ini berarti secara langsung beradu tenaga. Saat itu juga, si penyerang sudah bisa memperkirakan kekuatan lawan. Karena saat beradu, dua tangan yang menjotos berputar arahnya ke bawah. Cara mengatur kekuatan lawan inilah yang disebut serangan efektif. Menerjang sekaligus menakar kekuatan lawan. Dengan mengetahui secara persis kekuatan lawan, si penyerang bisa mengatur siasat.
Ngabehi Pandu menciptakan rangkaian jurus ini terutama sekali untuk menerjang lawan yang belum dikenal seberapa kekuatannya. Namun dilihat dari kuda-kudanya, jurus ini tidak sekadar menjajal untuk coba-coba, akan tetapi sudah sekaligus menggilas. Seekor kerbau liar pernah terjungkir dan terbanting kasar di tanah ketika Upasara mempraktekkannya.
Apakah Jaghana akan terbanting seperti seekor kerbau? Itulah yang akan terjadi karena Jaghana tidak menggempur langsung dan tidak menghindar. Seakan membiarkan saja. Jaghana seperti membiarkan dirinya diserang! Upasara serta-merta mengurangi kekuatan tenaganya. Ia ingin sekadar memberi pelajaran kepada lawan dan bukan ingin menghancurkan.
Akan tetap justru di saat seperti itu, dalam sepersekian detik yang bersamaan, Upasara merasa kakinya bergetar. Seperti kesemutan. Aneh. Padahal Jaghana hanya menggeser sedikit posisi kakinya. Ini soal tenaga dalam. Dalam sekelebatan saja Jaghana sudah bisa membaca gerak dan inti serangan. Justru dengan sekali gebrak, Jaghana membalas pada posisinya yang paling kuat. Di arah kuda-kuda.
Upasara berpikir cepat. Membatalkan serangan utama, dan balik menggeser kaki kiri untuk mengurangi tekanan lawan. Sekaligus dengan itu tangan kirinya ditarik mundur untuk menampik lawan. Tanpa menggeser tubuh, Upasara kini melancarkan serangan berikut. Tubuhnya sedikit meloncat, dengan cara menjatuhkan diri, Upasara ingin mengetok punggung lawan dari belakang. Tubuhnya melengkung bagai plastik yang bisa berubah menjadi lebih panjang. Lawan akan mengira ia masih bertahan di tempatnya, tetapi secepat kilat ia menyerang arah belakang.
Inilah salah satu kehebatan jurus Ngabehi Pandu. Dua jenis serangan yang mempunyai sifat berbeda, bisa dilakukan secara beruntun. Meskipun sebenarnya gerakan ini pada awalnya mengandalkan kekerasan, tapi di saat yang bersamaan bisa diubah menjadi luwes. Untuk mempraktekkan gerak semacam ini sebenarnya tak diperlukan latihan yang panjang. Kekuatan utamanya justru terletak pada mengatur dan menyalurkan tenaga sesuai yang dibutuhkan.
Jaghana seperti mengeluarkan seruan pujian dari hidungnya. Lagi-lagi, seperti pada mulanya, ia seperti membiarkan punggungnya dipatuk dari belakang. Caranya menghadapi justru dengan meneruskan serangan kakinya ke depan. Sehingga tubuhnya seperti jatuh.
Upasara bersorak dalam hati. Sekuat-kuatnya badan manusia, tulang punggung bukan bagian yang boleh dibiarkan menerima pukulan. Secepat-secepatnya menjatuhkan diri, tak mungkin bisa menghindari pukulan. Memang begitu kenyataannya. Upasara merasa bahwa tangannya bukan mengenai punggung, tetapi kepala. Karena lawan menjatuhkan diri.
Tetapi kepala juga sama lemahnya dalam penjagaan. Hanya saja di luar segala perhitungannya, kepala Jaghana ternyata sangat licin. Sehingga emposan tenaganya seperti makin mendorong dirinya. Tenaganya justru menyeret, seperti orang terpeleset. Tak ada jalan lain, selain menyelamatkan diri. Upasara berjumpalitan satu setengah agar bisa berdiri tegak.
Ia memang berhasil berdiri tegak. Akan tetapi ini pertanda surut. Dari menggempur, dalam satu gebrak saja sudah mundur dan bertahan. Perubahan mendadak yang secara serentak membalik situasi. Upasara siap untuk menerima serangan. Tapi Jaghana, si pantat gundul, hanya memandang sambil tersenyum.
"Anak muda, sungguh luar biasa. Serangan yang mengagumkan. Saya tak pernah menyangka bahwa dunia sudah sedemikian majunya. Siapa mengira anak muda yang masih bau kencur ini mempunyai kepandaian luar biasa. Selamat, selamat."
Sebenarnya apa yang diucapkan Jaghana adalah ucapan yang jujur. Sesuatu yang nampaknya melekat sebagai sikap Perguruan Awan. Mereka memang sering dikatakan hidup dengan cara yang sangat ganjil dan tak menentu, akan tetapi mereka dikenal sebagai orang-orang yang jujur. Satu kata satu perbuatan. Apa yang putih tak bakal dibilang hitam. Pujian ini juga pujian yang jujur. Akan tetapi bagaimana mungkin Upasara bisa menelan kata-kata semacam itu?
Pertama, ia seorang bangsawan yang belum pernah mendapat perlakuan begitu "kurang ajar". Kedua, kata-kata "anak muda yang masih bau kencur" sangat menyinggung perasaannya. Ia tak menangkapnya sebagai pujian bahwa sesungguhnya anak seusianya belum tentu bisa menguasai jurus-jurus tadi dengan baik. Berarti masa depannya cukup bagus. Perbedaan latar belakang ini masih ditambah lagi bahwa Upasara tak cukup sabar.
"Kita lihat siapa yang bau kencur dan siapa yang bau bawang merah," ujarnya keras sambil terus menyeruduk. Karena merasa kalah dalam serangan pertama, Upasara menyerang dengan tenaga penuh. Kedua kakinya memancal tanah, jotosannya mengarah ke depan. Kedua-duanya. Hanya kali ini dalam perjalanan pergelangan tangan ini berputar seperti menyerap tenaga lawan. Menyerap, memutar, dan mengarahkan pada si pemilik sendiri.
Jaghana juga menjadi berhati-hati. Ia meloncat tinggi, tidak berusaha menghindar jarak pendek atau memapaki serangan. Sambil meloncat tinggi, seperti memantul, tubuhnya berputar. Serangan balasan yang dilancarkan dengan berputar bukan hanya berbahaya bagi lawan, tapi juga berbahaya bagi diri sendiri.
Wilanda yang pernah berada dalam perguruan yang sama, sedikitnya mengetahui hal ini. Harus diakui serangan sambil berputar adalah serangan yang mengandung risiko. Lawan memang bisa bingung, mau menyerang kepala bisa keliru pantat, mau menerjang dada bisa keliru kaki. Itu pun tenaganya tak akan mengena separuhnya, karena sebagian besar sudah dinetralisir dengan gerakan berputar.
Akan tetapi menyerang berputar perlu mengerahkan tenaga dalam yang kelewat banyak. ini bukan untuk pertempuran jangka panjang. Agaknya Jaghana ingin menyelesaikan pertandingan dalam waktu singkat. Kenyataan ini saja sebenarnya sudah harus membuat Upasara merasa bangga. Tak begitu banyak kesempatan seorang ksatria semacam dia menemukan lawan yang langsung mengeluarkan langkah-langkah rahasia berikut kuncinya.
Ditilik dari sudut ini, Upasara boleh dibilang sangat beruntung. Dalam usianya yang masih muda ia boleh dikatakan bisa mengimbangi lawan yang jauh lebih tua, lebih berpengalaman, dan sudah mempunyai nama besar. Kalau pada gebrakan pertama tadi ia dibuat bertahan, itu semata-mata karena soal pengalaman. Bukan soal perbedaan ilmu. Menghadapi lawan yang bergulung, Upasara mengubah gerakannya. Ia tak mau mengeluarkan tenaga keras, karena bisa terseret lawan. Ia melengkungkan tubuh, meloncat terbalik, dan kemudian masuk ke dalam pusaran lingkaran.
Wilanda mengeluarkan pekik tertahan. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Upasara akan mengimbangi lawan dengan gerakan yang sama. Dengan saling melibat diri, berarti pengurasan tenaga secara besar. Dan kalau sedikit saja alpa, satu jari saja menyentuh bagian lunak dari wajah bisa berakibat fatal seumur hidup. Lima kali kedua tangan lawan beradu. Suaranya terdengar bagai dua batu ditumbukkan. Upasara kaget karena tangan lawan seperti mempunyai sengat. Setiap kali beradu, ia cepat menarik tangan dan mengganti dengan sabetan kaki.
Namun ini pun mengalami hal yang sama. Yang tak diketahuinya ialah bahwa agaknya Jaghana pun mengalami hal sama. Sengatannya seperti tak bisa menusuk langsung. Beberapa bagian tenaganya bisa ditolak. Sepuluh jurus berlalu tanpa ada yang memisah. Tanpa ada tanda-tanda kalah. Tanpa ada yang menyerah.
"Kisanak Jaghana, maafkan kami..." Wilanda tetap bersujud. Suara perlahan tapi mengiang.
"Upasara, cukup." Terdengar suara mantap. Ngabehi Pandu mengucap seperti menggertak. Dan betapapun berangasan dan congkak, Upasara agaknya ada rasa takut kepada pamannya. Ia mengunci diri dan bergulung keluar satu tombak. Untuk bisa berdiri tetap, ia masih memerlukan beberapa tindak lagi. Sementara Jaghana tetap berdiri tegak sambil tersenyum.
"Sudah kurang ajar, kalah, masih berlagak?" Pandu berteriak.
Upasara menghela napas. Lalu berjongkok menghaturkan sembah. "Maaf, Paman Gundul. Saya terlalu lancang dan kurang ajar. Saya menerima kalah." Dari ucapannya terkesan bahwa Upasara sebetulnya masih belum mau menyerah. Sebutan Paman Gundul menandai kedongkolannya.
"Ah, jangan terlalu merendahkan diri dan mengangkat lawan terlalu tinggi. Nama saya memang Jaghana, tak pantas dipanggil Paman Gundul. Walaupun antara pantat dan kepala gundul tak ada bedanya. Tapi letaknya yang satu di atas dan lainnya di bawah. Silakan berdiri, anak muda."
Ya, begitulah cara hidup Perguruan Nirada yang aneh. Bahkan untuk ngomong pantat atau gundul saja tak ada bedanya. Tak merasa risi sama sekali.
"Wilanda menyampaikan sembah bekti."
"Saya tak bisa menerima kehormatan ini," lalu sambil melirik ke arah Ngabehi Pandu, suaranya jadi penuh hormat. "Terima kasih atas pertolongannya. Kalau saja tidak dihentikan tadi, saya tak bisa mengelus kepala lagi. Ternyata nama besar Ngabehi Pandu terlalu kecil untuk menunjukkan hal yang sebenarnya. Terimalah salam saya."
Wilanda maju ke depan.
"Kisanak Wilanda, rasanya baru kemarin kita berpisah. Tapi kini Kisanak sudah hidup enak mempunyai pakaian bagus dan kuda bagus. Aha, kapan lagi mengajak saudara lama ini?" Kalimatnya setengah menyindir setengah mengalem. Sulit dibedakan.
"Kerinduan saya tak bisa diutarakan lagi. Namun kali ini, saya datang membawa perintah Baginda Raja."
"O, jadi kalau punya pakaian dan kuda bagus harus begitu, ya? Siapa itu Baginda Raja?"
Upasara merasa darahnya mendidih lagi. Kalau tadi kurang ajar keterlaluan, sekarang ini sudah buyutnya keterlaluan. Tak ada ampunan. Maka sekarang ini tanpa bertanya ba atau bu langsung saja menerjang. Kali ini malah langsung dengan keris saktinya. Ujung keris tergetar karena menahan dendam. Yang diarah pun tak kepalang tanggung. Tenggorokan.
Ini sebenarnya merupakan jurus pamungkas, atau jurus terakhir dari rangkaian serangan ilmu banteng yang disebut Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Serangan ini biasanya hanya muncul kalau keadaan sudah betul-betul kepepet, tak ada jalan keluar sama sekali. Seperti banteng yang terluka tak ada harapan lagi. Dengan sekali gempur, bisalah mendahului lawan, atau setidaknya mati bersama. Dengan jurus ini semua tenaga dihimpun ke ujung keris. Sehingga bagian yang lain tidak sepenuhnya terlindungi. Kalau saat itu lawan menyobek perut atau menotok urat nadi di leher, tak ada halangan yang berarti. Akan tetapi juga dengan demikian Upasara bisa meneruskan niatnya. Kalau lawan mengurungkan niatnya, berarti Upasara terbebas dari sergapan untuk sementara.
Dan Upasara mengeluarkan jurus Banteng Terluka meskipun sama sekali tidak dalam keadaan terjepit. Wilanda mengeluarkan seruan tertahan. Langsung bersamaan dengan itu tubuhnya meloncat keras dan menubruk Jaghana. Caranya sedemikian rupa sehingga punggungnya yang dibiarkan terbuka. Dalam detik yang pendek ia ternyata tak berpikir untuk nyawanya sendiri.
Jaghana sendiri nampaknya tidak memperhitungkan bahwa seorang anak muda bisa begitu telengas dan ringan tangan untuk mengeluarkan jurus maut. Alisnya berkerut tapi tak sempat menghindar.
Hanya karena Ngabehi Pandu bergerak lebih dulu. segalanya berakhir tanpa ada yang terluka. Sebagai tokoh yang menciptakan jurus itu. Ngabehi Pandu tahu kelemahannya. Dua jarinya menghadang pergelangan tangan Upasara, dan disertai entakan tenaga dalam, keris itu terloncat dari tangan Upasara. Melesat ke udara. Ngabehi Pandu menggerakkan tubuhnya meloncat, menyambar keris, dan sebelum kakinya menyentuh tanah ia bisa mengembalikan lagi ke sarung keris yang terselip di punggung Upasara. Suatu gerakan indah bagai tarian yang memesona. Dengan sekali gebrak, tiga gerakan berbahaya dilakukan. Menggagalkan serangan dengan melontarkan keris ke udara, menangkap, dan mengembalikan ke sarungnya yang masih dipakai pemiliknya.
Ngabehi Pandu menunduk. "Maafkan, kami yang tua ini tak bisa mendidik anak."
Jaghana berdiri tegak, lalu membalas hormat dan menghela napas. "Yang tua makin arif, yang muda makin sulit dikendalikan. Anak muda, kau berbakat besar, mempunyai guru yang sungguh luar biasa. Di belakang hari nanti tanah Jawa menjadi ramai karenanya. Luar biasa. Sayang aku si pantat bulat tak bisa menyaksikan semua ini. Setelah nyawa yang tak berharga ini diselamatkan berkali-kali rasanya tak pantas menjadi murid Nirada lagi." Suaranya berubah parau. "Eyang Sepuh, mohon ampun... murid Eyang memang tak pantas berdiam di sini." Lalu disertai helaan napas, Jaghana berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Ada yang ingin kami ketahui."
"Kanjeng Ngabehi, nyawa yang hina telah Ngabehi tolong. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk Ngabehi, mati pun saya rela melakukannya."
"Jangan terlalu sungkan, Kisanak. Ini semua karena kesalahan kami. Sesungguhnya kami datang untuk menemui Eyang Sepuh."
"Sedih sekali rasanya. Untuk permintaan yang tak berarti itu saya tak bisa menjawab. Saya sendiri tak tahu di mana beliau berada."
"Ah," Wilanda mengeluarkan suara tertahan.
Ngabehi Pandu menghela napas. Dengan pengalaman yang sudah setua umurnya, ia tahu bahwa Jaghana tidak berdusta sama sekali. "Satu pertanyaan lagi. Apakah dalam sebulan ini ada Tamu dari Seberang datang kemari?"
Jaghana menampilkan senyum. Senyum getir. "Entah kenapa begitu banyak yang menanyakan hal yang sama. Hal yang saya sendiri tidak tahu. Ketika Eyang Sepuh memilih desa tanpa nama ini rasanya sudah tak ada tempat lain yang lebih sunyi. Akan tetapi nyatanya sekarang ini jadi tempat berkumpul para jagoan di seluruh jagat. Oi, tak ada lagi tempat sepi."
Begitu selesai ucapannya, terlihat dua bayangan melesat datang. Seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih nampak menjinjing kadut-kantong karung dari serat pohon-besar. Seorang lagi adalah seorang bocah, yang nampak ganjil karena wajahnya seperti merah membara. Dua manusia aneh yang berdiri berjajar aneh. Lelaki tua berambut putih dan seorang bocah berwajah merah.
"Nah, kita di sini dulu, Tole. Mendengarkan orang bicara," kata lelaki tua berambut putih. Yang dipanggil sebagai tole-artinya anak lelaki kecil-tidak menjawab, hanya memandang selintas. Lalu duduk di rumput.
Wilanda seperti terbangun dari tidurnya. Memang aneh, di tempat yang kelewat sunyi ini tiba-tiba datang dua orang yang namanya pernah menggetarkan Kali Brantas. Yang dipanggil Tole adalah Padmamuka, alias Padmanaba, alias si Muka Merah. Yang tua berambut perak dipanggil Niriti, alias Dewa Maut yang Kekal Abadi. Entah dari mana mereka mendapat sebutan itu dan apa alasannya. Selama ini Wilanda tak pernah mendengar. Karena selama ini keduanya hanya beroperasi di sepanjang Kali Brantas Menurut cerita, keduanya tak pernah berada di daratan, selalu saja tengah sungai. Bahkan menurut dongeng, mereka bertempat tinggal di salah satu kedung Brantas. Pasti ada sesuatu yang luar biasa kalau sampai turun ke darat. Apalagi berada di daerah terpencil.
"Tole, mereka tidak ngomong lagi. Apa perlu kita paksa?"
"Semaumulah. Kau dewa maut yang bisa berbuat sekehendakmu. Apa susahnya memaksa orang bicara mengenai Tamu dari Seberang?"
"Tole, siapa yang kita paksa pertama?"
"Siapa saja. Lebih baik dimulai dari yang paling jelek."
"Bagus. Bagus." Suara Niriti berubah gembira. Kadutnya bergoyang-goyang. "Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Ayo, mengaku saja. Siapa yang paling jelek harap menyembah."
Padmamuka terkekeh. "Kalau ditanya begitu, mereka pasti akan berebutan. Karena semuanya memang jelek. Paksa saja semua."
"Itu juga bagus. Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Dan sesungguhnya, aku tak pernah menolak apa yang diminta cucuku. Baiklah. Kalian perlu kupaksa atau langsung berterus terang di mana Tamu dari Seberang itu?"
"Agaknya Kali Brantas sudah kering. Tak ada ikan kecil lagi, sehingga nelayan sungai cari makan di darat. Pengemis pun harus menunjukkan hormat kalau meminta sesuatu. Bukannya omong besar."
Upasara yang maju ke depan. Agaknya ia yang paling muak dengan segala kesombongan dan kecongkakan-barangkali juga karena ia memiliki sifat yang sama.
"Tole, ada yang berani berkata. Kau dengar?"
"Ya, tetapi tidak jelas maksudnya."
"Lalu bagaimana, Tole?"
"Suruh menjilat kakiku, agar lidahnya bisa ngomong ndak ngawur."
Niriti, si kakek berambut putih, tertawa terkekeh. "Nah, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan cucuku. Ayo lekas, jilat kakinya. Biar dewa bermurah hati hanya memotong lidah bukan nyawamu. Lakukan, tunggu apa lagi?"
Hanya karena merasa terantuk batu pengalaman yang keras, Upasara tidak segera menyerang. Coba saja tidak mengalami peristiwa yang baru saja terjadi, ia sudah langsung menerjang.
"Soal menjilat kaki apa susahnya. Tetapi kenapa harus melakukan itu, kalau ada soal lain?"
"Tole, kau dengar siapa itu yang ngomong?"
"Maaf, namaku yang rendah adalah Wilanda. Salam hormat untuk Dewa Maut dan Padmamuka."
"Bagus. Itu bagus. Kamu menjawab dengan baik. Apa kau dari Perguruan Mendung ini?"
Jelek-jelek Wilanda bekas murid Perguruan Nirada. Memang nirada bisa berarti awan, tetapi juga bisa berarti mendung. Namun cara si kakek merendahkan dalam sebutan cukup membuatnya panas. "Saya hanya murid yang tak tercatat. Silakan memberi pelajaran."
Wilanda langsung mengambil kuda-kuda memberi hormat. Ini berarti tantangan yang resmi. Tantangan seorang ksatria. Wilanda cukup menghormati lawan untuk memulai dengan gerakan pembukaan, menghormat ke arah lawan. Kakek tua itu langsung bergelak.
"Kalian manusia darat terlalu banyak sopan santun. Buka mulut di mana Tamu dari Seberang atau bakal jadi makanan cacing."
Niriti meluncur, dalam artian sebenarnya. Tiba-tiba saja tubuhnya tertekuk, seperti gerakan orang mau meloncat ke air. Dan benar-benar meloncat. Hanya bedanya kalau meloncat ke air, tubuhnya turun ke bawah, yang ini meluncur ke depan lurus. Kedua tangannya terbuka dan siap mencakar wajah. Wilanda menotol dengan ujung kakinya tanpa menekuk lebih dulu, atau memang tak terlihat saking cepatnya dan tubuhnya melayang ke atas. Dari atas, kedua kakinya ditekuk seakan ingin berdiri di punggung si kakek. Namun sebelum gerakan itu sempurna, bentuknya sudah diubah lagi, karena Niriti memutar kakinya. Sehingga tubuhnya menjauh dan cakar tangannya tetap mengarah ke lawan.
Meluncur bagai peloncat indah, sambil tetap menjinjing kadut besar dan dengan enak bisa memutar di tengah udara. Semua bisa dilakukan sambil tetap menyerang. Kalau Upasara yang disergap semacam itu, pasti sudah kelabakan. Wilanda jauh lebih berhati-hati. Gaya capungnya dipertontonkan dengan indah. Tangan lawan yang mencakar dibentur keras, dan meminjam, tenaga benturan ia melayang tinggi berjumpalitan di udara, lalu turun di tanah, menotol lagi, menyerang ganti. Kakek berambut putih itu mengeluarkan suara di hidung. Kali ini kadutnya dipakai untuk memapak serangan. Wilanda bisa menjajal kemampuan lawan. Tetapi ia cukup cerdik untuk memeras tenaga si kakek. Lagi-lagi ia meminjam tenaga kadut berputar untuk berjumpalitan, meluncur turun, menotol tanah, dan balik menyerang.
Taktik yang membuat Niriti terkesiap dan untuk beberapa kejap seperti bertempur dengan angin kosong. Namun sebagai jago kelas satu yang menguasai daerah tertentu, dengan cepat ia bisa menentukan cara untuk mengatasi. Kali ini ia menyerang dengan tenaga yang lembek, hanya dua persepuluh saja. Sehingga Wilanda tak mungkin meminjam tenaganya.
Memang ini sempat mengacau Wilanda, namun cara mengentengkan tubuhnya boleh dibilang sudah kelas satu. Sehingga meskipun tak terlalu keras, ia tetap bisa berjumpalitan, menotol tanah, dan tetap menyerang.
"Kakek tua tak tahu diri. Apa susahnya menangkap capung?"
"Bagus, Tole. Nih, aku tangkap."
Serentak dengan itu Niriti mengayunkan karungnya dengan keras ke atas. Kedua tangannya terentang lebar, lalu menutup dengan gerakan berputar, dan langsung menyerang lawan. Wilanda tak menduga bahwa tenaga dalam si kakek sedemikian saktinya. Sehingga hawa di sekitar dada dan wajahnya jadi panas dan sesak. Lalu secara cepat hawa panas dan menyesakkan itu musnah, dan Wilanda seperti berada dalam ruang tanpa udara. Kekuatannya jadi lenyap seketika. Tak ada jalan lain kecuali mengerahkan sisa kekuatan yang tersimpan di bawah pusar. Tubuhnya berputar pendek, seirama dengan tangan yang melingkar ke depan dengan sangat cepat.
Dalam setiap ajaran silat, gerakan ini sangat umum dan mudah dikenali sebagai gerakan untuk mencari tenaga dari bumi. Hanya dengan latihan yang keras dan konsentrasi penuh, "kekuatan bumi" ini bisa dipinjam. Kalau dasarnya tidak mempunyai tenaga dalam, yang diisap adalah tenaga kosong belaka. Sebenarnya ini gerakan yang sangat efektif. Hanya saja karena merupakan gerakan umum, lawan pun melakukan. Jadi boleh diartikan siapa yang lebih dulu mengambil tenaga dari bumi. Niriti bukannya mengambil, melainkan membuyarkan dengan sapuan kakinya.
Terkurung dalam lingkaran pukulan Niriti, Wilanda mengempos kekuatannya. Ia menekuk lutut dan melompat ke atas. Dalam keadaan biasa hal itu tak perlu dilakukan. Seakan tanpa menekuk pun bisa meloncat, Akan tetapi kekuatan ini diperlukan, karena kedua tangan Niriti tak akan membiarkan bebas. Ini berarti adu tenaga.
Wilanda mengegos sedikit untuk melunakkan tenaga lawan, dan tubuhnya mumbul ke atas. Agaknya ini pun sudah diperhitungkan Niriti ketika melemparkan kadutnya ke atas. Bersamaan dengan itu, kadut itu bakal menimpa tubuhnya. Paling tidak ia bisa menjotos. Hanya saja kesadarannya yang tinggi menahan gerakan itu. Berarti kadut itu berisi manusia. Astaga. Siapa pula yang berada di dalamnya? Kalau seseorang yang sedang menderita, bisa saja menjadi luka atau bahkan meninggal dunia. Jiwa ksatria Wilanda menahan pukulan itu. Akibatnya memang gerakannya jadi terganggu. Apalagi ia justru berusaha menangkap kadut itu, menyebabkan pinggangnya terbuka. Niriti bersorak dingin.
"Kena!"
Sebenarnya, sejak Niriti datang, Jaghana sudah melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mencurigakan dari kadut. Makin jelas ketika kadut itu dilemparkan ke atas. Mendengar suara rintihan, Jaghana bahkan mengenali nada rintihannya. Tak ayal lagi ia langsung menyerbu ke arah pertempuran. Hanya saja terlambat.
Kadut itu sudah ditangkap oleh Wilanda yang pinggangnya serasa patah Namun walau begitu dalam jatuhnya, ia masih membiarkan dirinya lebih dulu. Wilanda tetap memegang karung itu dengan sakit yang serentak menjalar ke arah perutnya.
Niriti berbalik menghadapi Jaghana yang melancarkan pukulan dan samping kiri. Dewa Maut hanya menggeser kepalanya sedikit, lalu balas menyerang. Di luar dugaan, Jaghana tidak berusaha menghindar. Malah langsung menyapu lawan dengan keras. Jika mereka membiarkan diri, keduanya akan terkena pukulan lawan. Dewa Maut mengegos ke samping. Tak urung ikat kepalanya tercongkel sedikit. Lepas, dan rambutnya yang putih terurai ke depan.
Jaghana menjambak rambut itu dan menarik ke bawah sekuatnya, sementara kedua lututnya terayun ke atas. Gaya membungkuk menyebabkan punggungnya terbuka. Namun seperti tidak peduli, Jaghana terus merangsek lawan. Dewa Maut mengeluarkan seruan tertahan dan menahan benturan lutut dengan kedua tangannya. Terdengar bunyi plak yang sangat keras.
Biarpun Dewa Maut sangat hebat tenaga dalamnya, tak urung terguncang pula. Biar bagaimanapun, kekuatan kaki Jaghana lebih tangguh dari daya tahan tangannya. Tubuhnya terdorong ke belakang. Segenggam rambutnya lepas. Belum berdiri lurus, Jaghana sudah memutar tubuhnya dan bagai pusaran angin beliung langsung menggulung lawan.
Baru kini Upasara sadar bahwa Jaghana bukan sembarang jago. Tadi ia sudah menyaksikan dan mengalami sendiri. Baru kini Upasara sadar bahwa tadi Jaghana tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Kalau tadi ia diserang dengan cara seperti ini, barangkali tubuhnya sudah terlipat bagai tali pelintiran.
Jaghana adalah tokoh yang mempunyai watak sabar, pikir Upasara. Bahwa ia menjadi begitu geram dan menyerbu tanpa memikirkan keselamatan dirinya, ini pasti ada yang menyebabkan. Tak mungkin orang yang begitu ramah, sabar, dan suka tersenyum menjadi nekat tanpa sebab. Hanya saja Upasara tidak mengetahui apa yang membuat Jaghana begitu bernafsu. Mungkin ia juga tetap tak tahu, kalaupun mengetahui, bahwa isi kadut itu salah seorang dari Perguruan Awan. Dasar-dasar yang kuat dari perguruan ini adalah rasa setia kawan sesama anggota perguruan. Bahwa dasar ini berlaku di setiap perguruan, itu tak ada yang membantah. Hanya pada Perguruan Awan, dasar ini memperoleh bentuknya, yang kadang sangat ekstrem.
Seperti diketahui, dalam perguruan ini tak ada perbedaan antara murid yang satu dan yang lain. Soal ilmu dibagi rata, soal pemilikan tak ada yang mempersoalkan. Ini barangkali bedanya dari perguruan lain. Di Perguruan Awan tak ada tingkat yang berbeda. Tak ada yang dianggap senior atau yunior. Tak ada murid ketua atau wakil atau yang biasa. Bahkan Eyang Sepuh sendiri, yang dianggap ketua, mendapat perlakuan yang sama. Mereka semua hidup di hutan secara bersama. Eyang Sepuh pun harus menanam sayur atau mencari sendiri buah-buahan. Mereka berlatih bersama dan belajar bersama.
Hal ini mudah diduga kenapa Wilanda mau mengorbankan dirinya ketika mengetahui ada saudara seperguruan yang tersimpan dalam kadut. Walaupun itu sudah lewat bertahun-tahun dan ia hidup sebagai prajurit utama di Keraton, perasaannya masih sama. Tak ada yang lebih mulia daripada membantu sesama. begitulah kira-kira salah satu ajaran dari Eyang Sepuh. Barangkali itu pula sebabnya perguruan ini tak pernah memiliki apa-apa. Pondok secuil pun tidak. Bahkan dalam bentuk yang juga berlebihan. mereka tak memerlukan pakaian penutup tubuh—semuanya diberikan pada orang lain yang dianggap memerlukan.
Ajaran yang mendarah daging ini boleh dikatakan menjadi undang-undang tak tertulis. Barang siapa merasa perlu memiliki sesuatu apa pun, walau seikat rumput untuk kepentingan sendiri, ia tak diakui lagi sebagai anggota. Wilanda dulu juga begitu. Karena merasa perlu untuk memperdalam ilmu meringankan tubuh, ia perlu mencari guru di tempat lain. Ia merasa dirinya tak pantas menjadi murid lagi, dan minta keluar dari hutan. Sejak itu beberapa kali Wilanda ganti guru, menjajal kemampuan. Perjalanan hidup mempertemukannya dengan Ngabehi Pandu yang tertarik pada tekad besarnya.
Sementara itu di tengah lapangan, Jaghana terus berputar menggulung. Sepertinya ia akan membelitkan tubuhnya ke tubuh Dewa Maut dan mereka berdua bakal terpelintir jadi satu. Dewa Maut terdesak menghadapi gempuran habis-habisan ini. Sejak ia masuk daratan, belum pernah bertemu lawan setangguh dan senekat ini. Lagi pula ia baru saja menghadapi Wilanda yang dalam beberapa hal ilmunya berbeda sekali dari Jaghana. Wilanda jauh lebih mengandalkan ilmu mengentengkan tubuh. Berkelit ke sana. membelok kemari. Sementara Jaghana sama sekali mengandalkan kekuatan menggempur. Sebagai seorang yang tergolong kelas satu, hal ini sebenarnya bukan masalah utama. Hanya saja waktunya berurutan, dan lawan yang dihadapi sekarang seperti tidak ingin memperpanjang waktu. Dalam jangka pendek saja tanpa peduli menang atau kalah. hidup atau mati.
"Hei, tahu diri dikit," teriak Tole yang masih duduk di tanah. "Kalau berputar macam begitu kau bisa kentut. Dan aku tak suka."
Padmamuka menggelinding maju. Wilanda masih merasa perutnya bagai ditusuk-tusuk. Jangan kata untuk bergerak, untuk mengambil napas pun sakitnya tak tertahankan. Akan tetapi melihat Tole maju, ia tak bisa menahan diri. Dengan mengempos tenaga terakhir ia meloncat untuk mencegat gelundungan Padmamuka. Keduanya bertemu, berbenturan, dan Wilanda terbanting. Muntah darah.
Upasara mencabut kerisnya. Dalam keadaan terluka Wilanda sekilas masih melihat Upasara menghalangi gelundungan Padmanaba dengan, lagi-lagi, rangkaian jurus Banteng Keraton. Dalam banyak hal, Upasara adalah seorang yang boleh dikatakan congkak. Kesombongannya karena lingkungan yang memanjakan. Namun sebagai seorang ksatria yang banyak menerima ajaran silat dan biasanya ajaran seperti ini tidak berdiri sendiri, selalu dengan sikap-sikap yang lain, ia tak tega melihat Wilanda yang sudah muntah darah diserang. Pun kalau Wilanda bukan orang dekatnya, Upasara bisa maju menolong.
"Anak kecil, kau tak usah ikut."
Padmanaba meraih pergelangan tangan Upasara dengan gaya meyakinkan. Yakin bahwa dengan sekali gebrak ia bakal bisa merebut keris lawan. Perhitungan ini cukup beralasan. Padmamuka bisa melihat sejak pertama tadi, bahwa di antara yang hadir Upasara paling lemah. Apalagi dandanannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pendekar. Pakaian yang dikenakan terlalu bagus. Ikat kepalanya juga milik para pangeran yang biasa digunakan dalam upacara besar, mewah. Kerisnya bertatahkan intan. Gelang kakinya dibuat dari emas murni. Mana ada pendekar silat sempat berpakaian begitu necis?
Upasara sendiri memang sangat cerdik. Bahwa Ngabehi Pandu mau menerimanya sebagai murid tunggal, pasti ada alasan kuat. Ngabehi Pandu melihat bahwa Upasara mempunyai ketajaman yang luar biasa dalam membaca persoalan. Ajaran yang diberikan Ngabehi tak pernah diulang. Sekali dengar bisa dipraktekkan dan dikembangkannya.
Menyadari dirinya sudah dibikin keok pada awal pertarungan tadi, Upasara memanfaatkan ini. Ia sengaja menyerang dengan cara yang tidak terlalu rumit. Jebakannya berhasil. Lawan mencengkeram tangan kanannya dalam usaha merampas keris. Memang itu berhasil, akan tetapi yang tak diperhitungkan si wajah merah adalah bahwa tangan kiri Upasara bisa mengambil oper keris itu dan langsung menikam! Semua terjadi dalam satu gerakan tanpa putus. Ini merupakan rangkaian jurus Banteng Terluka, di mana Ngabehi Pandu menciptakan dari serangan banteng. Tanduk kiri atau kanan sama saja! Kalau yang kiri tak bisa, yang kanan akan sampai juga.
Padmamuka tak menduga bahwa "anak kecil" yang berpakaian model bangsawan pelesiran ini menguasai dengan baik perubahan secara mendadak. Cepat sekali ia mengibaskan tangan Upasara dengan maksud agar tangan Upasara sendiri yang menangkis kerisnya. Ini juga yang tak diduga olehnya. Tangan kanan Upasara memang bisa dikibaskan semaunya akan tetapi justru ini untuk menyambut keris dari tangan kiri dan sekaligus mengarah ke tengah dada. Harus diakui bahwa dalam soal bertempur, Upasara tidak memperhitungkan apakah serangannya terlalu ganas atau tidak. Pertimbangan semacam itu belum merasuk dalam dirinya. Kalau bisa menyerang, ia akan menyerang sepenuhnya. Kalau bisa menusuk dada kenapa harus dibelokkan ke arah lengan.
Ini karena Upasara masih berusia muda, di samping soal tenggang rasa, tak pernah dirasa perlu diperhatikan. Ia tak biasa mengalah. Bahkan untuk tunduk pada orang bin pun, rasanya ogah. Satu-satunya yang didengar dan dipatuhi hanya Ngabehi Pandu. Selama Ngabehi Pandu tidak melarang, ia merasa yang dilakukannya adalah benar.
Walau ilmunya lebih tinggi dan pengalamannya lebih kaya. saat ini Padmamuka tak mempunyai kesempatan untuk lolos dengan mulus. Sambil menggertak keras, ia paksa membuang tubuh sejauh mungkin. Tak urung keris lawan menyerempet baju bagian atas serta memotong kain. Kulit ari di dada teriris panjang ke bawah hingga paha! Kalau saja Upasara meloncat sekali dan menancapkan kerisnya, Padmamuka bisa berubah nama menjadi Pandumuka, alias si muka pucat karena jadi mayat.
Upasara sebenarnya tidak bermurah hati. Ia tak menyangka sama sekali lawan masih bisa lolos. Dalam perhitungannya kerisnya bakal amblas di dada lawan. Dasar cerdik, Upasara mengeluarkan suara mengejek di hidung sambil membanting kerisnya amblas ke tanah
"Hari ini aku masih bermurah hati. Kutitipkan nyawa tak berguna itu dalam dirimu. Hayo. masih bengong di situ? Kenapa tidak menghaturkan sembah dan lekas angkat kaki dari sini?"
Padmamuka memang tak tahu bahwa sebenarnya Upasara tidak bisa memperdaya dalam seketika. Keringat dingin mengucur dan wajahnya makin merah. Ia berjongkok. Betul-betul menghaturkan sembah. Kalau ada orang luar yang melihat kejadian ini pasti tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Saya mohon diri," kata Padmamuka sambil menggelinding pergi, dalam artian sebenarnya karena tubuhnya memang bergulung menggelinding.
"Tole, aku mau tangkap mainan ini," seru Dewa Maut yang terus mendesak Jaghana.
"Pulang...." Sayup-sayup terdengar jawaban Padmamuka. Dalam sekejap saja ternyata Padmamuka telah menggelinding jauh. Entah dengan cara bagaimana tubuhnya bisa menghindar dari onak dan duri.
"Baik, Tole. Aku tak pernah bisa membantah permintaanmu." Lalu dengan mengibaskan tangannya, Dewa Maut mendorong lawannya mundur. Ia sendiri meloncat ke atas dan berlalu. Di tengah udara ia sempat mengayunkan tangannya ke segala penjuru.
Upasara tak menduga apa-apa bila saja Ngabehi Pandu tidak bergerak sangat cepat luar bisa. Tubuhnya berkelebat, kainnya dibuka. dan dengan kain itu ia menangkap apa yang dilemparkan oleh Dewa Maut. lalu mengembalikan ke arah lawan. Dewa Maut telah berlalu, dan yang menjadi sasaran adalah pohon di kejauhan. Upasara melongok melihat perubahan yang menakjubkan. Pohon itu seperti bergoyang. Dan daunnya yang dekat dengan tanah melayu secara perlahan.
"Iblis jahat, Tunggu..."
"Tahan," seru Ngabehi Pandu yang kini berdiri lurus, kakinya hanya mengenakan celana sebatas lutut. Kainnya itu lalu dilemparnya jauh. Upasara baru bermaksud mengambil kain pengganti di kudanya ketika menyadari bahwa ketiga ekor kuda itu sudah lari menjauh. Berlari kencang sekali, dua di antaranya menabrak pohon hingga tunggang langgang, mengeluarkan pekikan keras, berkelojotan bangun, dan berlari terus.
Ngabehi Pandu berjalan mendekati Wilanda, memeriksa nadi dan pernapasannya. Lalu mendekati orang yang berada dalam karung. Memeriksa, sambil mengernyitkan alisnya hingga beradu. Setelah memencet beberapa nadi, Ngabehi Pandu duduk bersila di tanah. Menempelkan telapak tangan ke dada orang yang masih mengerang perlahan itu. Erangan itu makin lama makin pelan. Jaghana berlutut di sampingnya. Tenaganya seperti habis terkuras, dan ia sedang melakukan semadi untuk memulihkannya.
Suasana kembali sunyi. Sepi. Hanya bunyi napas teratur. Upasara melihat bahwa Wilanda masih terbaring pingsan. Ngabehi Pandu masih mengobati, dan Jaghana belum sepenuhnya bisa menguasai pergolakan tenaganya, karena masih tersengal-sengal. Kalau tadi terlambat beberapa saat saja, bukan tidak mungkin Jaghana akan mengalami jalan hidup yang berbeda.
Upasara berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang tak diinginkan. Sementara itu otaknya berpikir keras, merangkai kejadian yang baru saja terjadi. Dewa Maut sambil meloncat pergi karena gusar, sempat melemparkan senjata rahasia, yang bisa ditangkis oleh Ngabehi Pandu. Tidak seluruhnya karena sebagian dari senjata rahasia itu mengenai kuda. Meski masih muda, secara teori Upasara telah menguasai banyak hal. Ia tahu bahwa senjata rahasia yang dilemparkan Dewa Maut mengandung bisa. Bukan sembarang bisa, karena pohon pun bisa layu secara perlahan, dan kuda jadi gila tak karuan. Lalu menabrak pohon dan nekat lari terus.
Samar-samar Upasara ingat bahwa pasangan Dewa Maut dengan Padmamuka adalah pasangan yang memang maut. Kalau mereka berkelahi tak pernah meninggalkan lawan tanpa membunuh! Itulah sebabnya gelar mereka Dewa Maut. Tak ada lawan yang pernah bertempur dengan mereka pulang dengan selamat. Mereka berdua terkenal sakti dan juga jahat. Dewa Maut memiliki senjata rahasia yang diramu dari segala macam bisa ikan sungai. Dengan ramuan khusus yang hanya diketahuinya sendiri, ia mengambil sari pati sengat dan bisa segala hewan air. Bisa itu dimasukkan ke dalam tulang ikan.
Itulah yang tadi disambitkan ke arah lawan. Orang biasa yang terkena sengatan seekor ikan saja bisa demam panas-dingin tiga hari tiga malam! Apalagi yang sudah diramu. Apalagi yang memang dibuat sedemikian rupa untuk membunuh. Entah berapa ratus, atau ribu, binatang air yang dikorbankan oleh Dewa Maut untuk meramu senjata rahasia! Ini saja sudah pertanda betapa kejamnya mereka.
Dan kalau seekor kuda terkena menjadi gatal-gatal tak karuan, pohon perlahan bisa layu, bisa dibayangkan bagaimana sakitnya jika mengenai manusia. Dan pasti juga bukan satu atau dua senjata saja. Upasara merinding. Korban yang kena itu adalah yang dicoba untuk disembuhkan Ngabehi Pandu.
Dan sekarang Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya. "Kenapa tak ditolong, Kisanak?"
Yang ditolong membuka mata tersenyum. "Tidak usah, Ngabehi. Sudah terlambat. Untuk apa Ngabehi membuang tenaga percuma? Ini semua tak mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami." Suaranya bening.
Jaghana menghela napas, membetulkan posisinya, dan duduk di dekat yang terluka.
"Jaghana, adikku..."
"Kakang, tenanglah. Saya akan..."
"Tak perlu. Aku memang tak tahan sakit. Ketika tadi Dewa Maut memaksakan duri ikan ke dalam mulutku, aku tak tahan rasa sakitnya... Gatal luar biasa. Makanya kubuka semua jalan darah, dan kubiarkan semua racun mengalir. Biar aku segera mati. Adikku, jangan sedih. Kematian menjadi ada, bukan menjadi tidak ada."
Upasara tidak sepenuhnya mengerti kata-kata yang terakhir, tapi ia tak berani mengusik.
"Tak nyana, perguruan yang dibangun Eyang Sepuh puluhan tahun lenyap begitu saja. Ah, kita belum sempat membantu orang lain. Kamu yang harus meneruskan, Adik Jaghana."
"Kakang..."
"Dengar, adikku. Aku tak bisa bertahan lama. Tugas seluruh perguruan ini ada padamu. Sampai Eyang Sepuh bisa ditemukan kembali. Usahanya tak boleh berhenti.
"Eyang Sepuh sangat luhur dan agung jiwanya. Bukankah Wilanda saja masih mau menolong sesama dan berani mengorbankan dirinya? Ia harus tetap kita akui sebagai saudara sendiri. Kita tak harus memanggilnya dengan sebutan kisanak. Ah, sebenarnya aku ingin menunggu ia siuman dan mengatakan ini. Akan tetapi aku kuatir tak bisa bertahan lama. Adikku..." Kalimat itu terhenti oleh batuk-batuk keras.
Upasara berlutut di samping, lalu menggeser duduknya. Tanpa sengaja ia memangku kepala yang terluka.
"Anak muda yang mempunyai masa depan hebat. Banyak ksatria yang akan menolong orang yang memerlukan. Yah, Eyang-andai masih ada. akan merasa bahagia sekali. Sayang, kita tak tahu di mana Eyang... sayang, banyak yang jahat dan juga sakti. Aku dibokong, dipaksa mengaku di mana Tamu dari Seberang. Padahal kita semua tak tahu tamu yang mana... Tak kusangka sama sekali, dua tokoh kenamaan dalam dunia persilatan begitu curang. Eyang Sepuh mengatakan bahwa menolong orang lain, bahwa berbuat baik, adalah suatu kebajikan. Sesuatu yang harus dilakukan dengan rela. Bukan karena terpaksa oleh suatu ajaran. Sesuatu yang biasa. Tetapi justru yang dilakukan Eyang menjadi sesuatu yang istimewa-Istimewa kalau dibandingkan dengan perbuatan curang dan keji. Ah..."
Suaranya seperti menahan kesakitan yang lebih dalam dari sekadar mengamuknya racun dalam tubuh. Suaranya mengaduh keperihan.
Upasara melihat orang yang dipangkunya nampak mengerahkan sisa tenaga yang terakhir.
"Aku harus mengatakan ini semua, adikku. Ketika tadi Dewa Maut datang bersama Padmamuka, mereka menanyakan Eyang. Sambil membawa bingkisan persembahan. Katanya untuk menjamu Tamu dari Seberang. Aku mengatakan apa adanya bahwa Eyang Sepuh tak ada di tempat, bahwa kita tak mempunyai Tamu dari Seberang. Aku disergap serentak, dan sebelum sadar mereka telah bisa melumpuhkanku. Dan mengatakan kalau aku tak mengatakan di mana Eyang dan di mana Tamu dari Seberang, aku akan diracuni. Kalaupun tahu, aku tak mau membuka mulut. Tapi Dewa Maut memaksa aku membuka mulut dan menyambitkan senjata rahasianya. Kemudian aku dimasukkan ke dalam karung kulit kayu. Mereka berdua ingin mempraktekkan ilmu Pasangan Ikan dengan Keong pada tubuh mereka. Lalu mereka mendengar suara pertempuran kalian dan aku dibawa kemari. Adikku, jangan berpikir tentang balas dendam. Aku kalah dan mati karena kesalahanku. Yang harus dilakukan adalah mencari Eyang dan meneruskan ajarannya. Itu permintaanku. Dan aku akan mati dengan tenang..."
"Ngabehi Pandu..."
Ngabehi Pandu menoleh dengan wajah dingin. Tetap dingin.
"Terima kasih atas budi baik Ngabehi. Anak muda, kau mempunyai ilmu yang hebat di usiamu yang masih muda. Mudah-mudahan..." Suara batuknya menghentikan kata-katanya. Terhenti untuk selamanya.
Ngabehi Pandu menghela napas. Jaghana memberi hormat dengan dalam. Lalu perlahan menutup mata saudara seperguruannya, sambil berbisik di telinga. Dan rasanya air sungai pun berhenti mengalir. Hanya helaan napas yang berat. Selebihnya sepi. Sepi yang diam membeku.
Angin kembali bertiup seperti sediakala. Seperti tak ada yang berubah. Seperti tak ada yang terjadi. Semua kembali ke keadaan yang tenang, damai. Suatu perkampungan-yang tak bisa dinamai kampung karena tak ada rumah satu pun dilingkari pohon-pohon tinggi, rumput yang lebih tinggi dari lutut.
Upasara tak menemukan perubahan. Juga tidak dengan adanya kuburan seorang anggota Nirada. Karena sesuai dengan kepercayaan Perguruan Awan, mereka yang meninggal dikubur tanpa nisan tanda pengenal. Bahkan tanah di atasnya diratakan seperti semula. Rumput dan ilalang yang tercongkel dikembalikan seperti keadaan aslinya. Suasana memang seperti sebelumnya.
Hanya manusianya yang berbeda. Wilanda masih jauh dari pulih. Ia masih mengerang perlahan. Racun dari bisa ikan sungai yang dilepaskan oleh Dewa Maut tetap menyiksanya. Ngabehi Pandu berusaha menghentikan menjalarnya rasa sakit. Tapi ia sendiri bukan tabib. Sementara Jaghana menunggui di sebelahnya. Selebihnya sunyi yang sama.
Ini pertama kalinya Upasara turun ke lapangan. Sebelumnya ia tak pernah meninggalkan dinding Keraton. Sebagai pemuda yang lagi mekar-mekarnya, rasa hausnya memang tak bisa dibendung. Segala apa ingin ditenggak—kalau bisa sekaligus. Pengalaman ini sudah lama ditunggu-tunggu. Sejak masih bocah, Upasara tertarik mempelajari ilmu silat. Tak ada yang lebih menyita perhatiannya selain ilmu silat.
Pada usia belum ada sewindu, belum ada delapan tahun. Upasara mampu tapa pati geni. Bertapa hidup tanpa api. Berada di tempat gelap selama empat puluh hari empat puluh malam. Boleh dikata setiap harinya dilalui dengan berbagai macam pantangan. Gemblengan dari Ngabehi Pandu yang dilakukan dengan keras dan secara maraton, membuatnya sebagai ksatria yang boleh dibilang komplet. Sejak usia dua belas tahun Upasara hanya keluar dari tempat latihannya setahun sekali. Untuk menjajal ilmunya. Dengan para prajurit yang lain. Baik satu lawan satu, ataupun dikeroyok. Dengan lawan perwira yang biasa-biasa, sampai dengan yang pilihan. Dan setiap 33 hari sekali, Ngabehi Pandu menemuinya untuk menurunkan ilmunya. Memberikan pelajaran satu-dua jurus baru. Selebihnya mengulang yang lama.
Meskipun boleh dibilang gila silat, Upasara jemu sekali. Itu sebabnya tanpa membantah ia mengatakan sanggup. Apalagi dikawal langsung oleh Ngabehi Pandu, Dan Wilanda satu-satunya perwira Keraton yang mengenal Perguruan Nirada. Upasara boleh dibilang tak menemukan lawan yang setanding di Keraton. Akan tetapi begitu terjun ke gelanggang, ia menyadari bahwa apa yang dimiliki selama ini masih tingkat awal sekali. Boleh dikatakan, sekali pun ia belum pernah menang. Malah boleh dikata kalah. Beberapa kali, malahan ditolong oleh gurunya sendiri untuk menyelamatkan nyawa.
Sebenarnya Upasara tak perlu menggetuni dirinya sendiri. Boleh dikatakan lawan yang ditemui adalah jagoan kelas tinggi. Dewa Maut dengan Padmamuka misalnya, adalah jagoan yang tersohor. Bukan nama sembarangan. Apalagi kini sekali masuk, ia berada di Perguruan Awan yang mempunyai pengaruh begitu luas. Namun, mudah diduga, Upasara tidak merasa puas. Justru sebaliknya sangat mendongkol. Darahnya serasa masih berdesir panas. Makanya, ketika yang lainnya mempergunakan kesempatan untuk beristirahat dan bersemadi, Upasara melihat sekeliling.
Menemukan kudanya yang mati kaku. Lagi-lagi korban racun Dewa Maut. Kalau beberapa saat lalu disaksikannya sendiri kuda itu lari pontang-panting menabrak cabang dan ranting tanpa peduli, kini sudah mati kering. Mata kuda itu membelalak, badannya kaku kejang. Dari bibirnya seperti keluar ringkik yang tak selesai. Dan tak ada air liur meleleh. Itulah sebabnya Upasara menyebut sebagai mati kering.
Berjalan beberapa tindak lagi, tiba-tiba Upasara mendengar suara-suara. Dengan sigap ia meloncat ke atas pohon untuk mengawasi keadaan sekitar. Tak begitu sulit memanjat pohon sampai ke ujung tanpa menimbulkan suara. Hanya saja, begitu sampai di ujung Upasara terperanjat sekali. Ia tak pernah menduga bahwa di bagian lain dari tempatnya bertempur, kini sedang terjadi sesuatu yang lebih besar. Bagaimana mungkin ia bisa tak mengetahui?
Memang apa yang dilihat Upasara cukup membuat heran. Di sebuah lapangan yang rada luas, tapi masih tetap dikelilingi pohon tinggi, berdiri sepuluh perwira Keraton. Dalam keadaan siap siaga dengan tombak dan tameng. Agak jauh di belakang mereka ada seorang pemimpin yang naik kuda. Kuda hitam mulus. Sekelebatan, Upasara bisa mengenalinya sebagai Senopati Suro, Kepala pasukan Keraton. Mana mungkin bisa sampai kemari lebih dulu, pikir Upasara.
Rasanya, Ngabehi Pandu memberitahukan bahwa ini tugas rahasia dari Keraton. Boleh dikata tak ada yang tahu. Tapi nyatanya, jelas omong kosong, Karena Senopati Suro sudah mengerahkan sepuluh pengawalnya yang terbaik. Agak di belakang ada sebuah tandu tertutup. Upasara tidak bisa memastikan siapa yang ada di dalamnya.
Tapi ini pasti hebat. Ia sendiri berkuda siang-malam. Boleh dikatakan tanpa berhenti untuk makan atau mandi. Eh, toh ada rombongan lain yang juga dari Keraton serta memakai tandu. Apa bukan luar biasa?
"Kami datang dengan baik-baik. Tetapi kalau tuan rumah tak mau menyambut, jangan salahkan kami yang berlaku kurang ajar," Senopati Suro menyepit perut kuda hitamnya. Yang seperti busur panah melesat ke depan.
Baru kini Upasara bisa melihat jelas. Ternyata di lapangan itu ada beberapa kelompok. Selain pasukan Senopati Suro juga ada tiga kelompok lain. Salah satu kelompok berjalan dengan seenaknya maju ke tengah.
"Aha, kalau negara sudah ikut campur, urusan ini bakalan ramai. Ramai sekali. Tetapi untuk apa berkaok-kaok seperti itu. Semut bisa takut lihat kuda gagah, tetapi manusia bukanlah semut. Tak bisa ditakuti seperti anak kecil. Hai, penunggang kuda yang gagah, apa maksudmu berteriak seperti itu?"
Upasara melengak. Benar-benar aneh dunia silat ini. Kalau di Keraton segalanya serba teratur, serba penuh tata krama, tapi kayaknya di sini tak ada aturan apa-apa. Boleh main tegur sekenanya. Siapa kira seorang yang setengah baya, berpakaian penduduk biasa, berani menggertak seorang senopati?
"Maaf, kami tak ada urusan dengan kalian. Kami ingin bertemu tuan rumah."
"Astaga, sebagai sesama tetamu kenapa mesti berbuat kasar? Kami juga tetamu yang justru datang lebih dulu. Kenapa yang datang belakangan minta dilayani lebih dulu? Apa karena ia senopati Keraton sehingga bisa dan boleh berbuat semaunya? Aku tak bisa melihat cara-cara seperti ini. Kalian harus antre dengan baik."
Dua prajurit yang di depan bereaksi. Akan tetapi Senopati Suro memberi tanda untuk bersikap tenang.
"Saya datang kemari ngemban dawuh, mengemban sabda raja, tidak ada waktu untuk bermain-main. Maaf, bisa kita lanjutkan pada kesempatan yang lain. Kami bukan tak kenal dengan Tiga Pengelana Gunung Semeru yang terhormat. Kami bukan tak gatal untuk menjajal nama besar, akan tetapi sekarang bukan saatnya."
Lelaki yang disebut sebagai anggota Tiga Pengelana Gunung Semeru tertawa lebar. "Siapa minta dilayani? Siapa minta bermain? Saya hanya bilang kalau mau bertemu dengan tuan rumah, harap pakai aturan yang benar. Kita datang lebih dulu. Bukan begitu?"
Pertanyaannya entah ditujukan kepada siapa. Karena tak ada yang menjawab dan tak ada yang bereaksi. Di atas pohon, Upasara merasa bergirang hati. Ia mengetahui dari Wilanda tentang tokoh-tokoh dunia silat. Tiga Pengelana Gunung Semeru termasuk yang disegani. Terutama jika ketiganya maju secara bersamaan membentuk Barisan Trisula.
Mereka ini terdiri atas tiga orang yang selalu pergi bersama-sama. Malah menurut beberapa sumber ketiganya masih saudara kandung. Nama mereka tak terlalu sulit, karena merupakan urutan persaudaraan. Yaitu Kakang Mbarep—si sulung, Panengah—yang kedua, serta Wuragil—yang paling berangasan sifatnya. Namun seperti pendekar yang lain, selama ini meskipun namanya pengelana, mereka sudah sejak lima tahun terakhir tak ada kabar beritanya. Karena memusatkan diri di Gunung Semeru. Boleh dikatakan, meskipun ketiganya termasuk jagoan, akan tetapi karena lebih banyak berkutat dengan diri sendiri, pengaruhnya tak begitu terasa. Bahkan dalam kurun waktu terakhir ini boleh dikata tak ada yang membicarakan lagi...
Berdasarkan Urutan Penyebutan
Sanggrama Wijaya, atau Naraya Sanggrama Wijaya, atau Raden Wijaya. Nama yang dikenal ketika mengalahkan Raja Jayakatwang, yang secara culas menguasai Keraton Singasari dan mendepak Baginda Raja Kertanegara. Bersama dengan prajurit dan senopati yang setia, Wijaya berhasil menggempur balik pasukan Tartar dari negeri Cina.
Menurut catatan sejarah, dinobatkan menjadi Raja Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika atau sekitar bulan Oktober-November 1298. Nama kebesarannya adalah Kertarajasa Jayawardhana. Nama ini menunjukkan rasa hormat terhadap leluhurnya, raja-raja Singasari.
Upasara Wulung, salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan. Ksatria Pingitan adalah semacam perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang dilatih ilmu surat dan ilmu silat, atau kanuragan. Para ksatria yang terpilih, dilatih sejak lahir di Ksatria Pingitan.
Menurut cerita ini, Ksatria Pingitan didirikan atas gagasan Baginda Raja Sri Kertanegara Raja Singasari yang terakhir, dengan tujuan menciptakan manusia yang selain jago silat juga mempunyai watak luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati utama yang melanjutkan kebesaran Keraton dan melindungi penduduk.
Selama dua puluh tahun Upasara Wulung berada dalam Ksatria Pingitan, dilatih oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke medan persilatan. Ilmu dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Akan tetapi mengalami perubahan besar sejak mempelajari Bantala Parwa atau Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Bantala Parwa dianggap babon segala kitab kanuragan. Merupakan puncak berbagai sumber ilmu silat yang ada di tanah Jawa.
Gayatri, atau Permaisuri Rajapatni, salah satu dari empat putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raja Majapahit. Menjelang penyerbuan ke Daha untuk menaklukkan Jayakatwang. Gayatri pergi bersama Upasara Wulung untuk mengetahui kekuatan lawan. Di sinilah bibit-bibit daya asmara tumbuh. Dan berpuncak saat Gayatri ditawan di atas benteng dan Upasara maju menggempur tanpa memedulikan keselamatan dirinya.
Akan tetapi. Menurut perhitungan dan ramalan para pendeta, Gayatri harus menikah dengan Sanggrama Wijaya, karena inilah pasangan Dewi Uma dan Dewa Siwa, yang kelak kemudian hari akan menurunkan raja terbesar. Hubungan masa lalu ini ternyata banyak membebani tapi sekaligus juga mewarnai perjalanan hidupnya.
Mpu Renteng, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora, dengan menggunakan ujung kain yang tersampir di pundaknya.
Mpu Sora, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu. Tokoh yang tangguh ini banyak mendapat dukungan untuk menjabat sebagai mahapatih. Mahapatih ialah jabatan tertinggi di Keraton, orang kedua sesudah raja. Namun ia sendiri merasa tidak berhak. Pangkat yang disandang adalah adipati, semacam penguasa daerah, di Dahanapura. Tempat Kala Gemet, putra mahkota, berada.
Mpu Elam, salah seorang senopati Majapahit, yang menjadi prajurit telik sandi. Prajurit yang terpilih dalam pasukan telik sandi, atau pasukan rahasia, adalah prajurit pilihan yang tugasnya mengumpulkan semua laporan yang menyangkut keamanan. Dalam jajaran pemerintahan ditangani secara langsung oleh Mahapatih.
Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit. Anak buah langsung Senopati Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang bertugas menjadi prajurit pribadi Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka Merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan untuk menjadi pengganti.
Klikamuka, tokoh yang selalu menutupi wajahnya dengan klika atau kulit kayu. Kelihatannya mempunyai hubungan dekat dengan Keraton.
Toikromo, penduduk biasa yang ingin mengangkat Upasara Wulung sebagai menantu.
Gendhuk Tri, calon penari Keraton Singasari yang menjadi anak murid Mpu Raganata sebentar, lalu dilatih Jagaddhita. Ilmu andalannya menggunakan selendang seperti penari. Karena satu dan lain hal, seluruh darahnya teraliri racun sangat ganas. Dalam usianya yang masih belasan tahun, dan hidup di tengah pergolakan jago silat, adatnya memang rada aneh. Diam-diam sangat mengagumi Upasara Wulung, dan mencemburui setiap wanita yang mendekati Upasara.
Jaghana, salah seorang murid Perguruan Awan, perguruan yang dianggap sumber segala ilmu kanuragan di tanah Jawa. Kepalanya gundul pelontos, pakaian yang dikenakan asal menutup tubuh. Sabar dan welas asih. Namanya bisa diartikan sebagai "pantat". Ini cara merendahkan diri sebagai "bukan apa-apa, bukan siapa-siapa", salah satu ciri ajaran Perguruan Awan.
Eyang Sepuh, lebih dikenal sebagai nama seorang empu yang mahasakti yang mendiami Perguruan Awan. Dari Eyang Sepuh-lah terdengar gema ajaran Kitab Bumi dengan jurus yang ampuh, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ajaran yang sejajar dengan ajaran Budha, baik di negeri Hindia, Cina, maupun Jepun. Atau bahkan sampai ke negeri Turkana.
Eyang Sepuh pula yang membuat para jago seluruh penjuru jagat datang ke Trowulan, untuk membuktikan siapa yang mewarisi ilmu sejati. Namun sejak semula, Eyang Sepuh tak pernah menampakkan diri. Hanya beberapa orang, Gayatri dan Upasara, yang pernah mendengar suaranya. Penguasaan ilmu Eyang Sepuh telah sampai ke tingkat moksa, lenyap bersama raga dan jiwanya.
Adipati Lawe, atau Ranggalawe, salah seorang senopati Majapahit yang besar jasanya. Putra Aria Wiraraja ini nama kecilnya seperti juga ayahnya, Aria Adikara. Ranggalawe, nama pemberian Raden Sanggrama Wijaya yang mungkin menjadi petunjuk kepangkatannya ketika itu. Rangga adalah jabatan yang sama dengan camat sekarang ini.
Kuda hitam dan umbul-umbul bergambar kuda, menunjukkan kegagahannya ketika menjadi adipati, semacam patih penguasa suatu wilayah, di daerah Tuban. Sebutan yang lain ialah patih amancanegara, yaitu semacam kepala di wilayah luar Keraton. Patih amancanegara menunjukkan penguasaan di luar wilayah kekuasaan Keraton. Yang terbagi di daerah barat, timur, utara, maupun selatan letak Keraton.
Galih Kaliki, tokoh yang asal-usul ilmu silat dan perguruannya tidak gampang dimengerti. Senjata andalannya sebuah tongkat galih asam, bagian tengah atau hati pohon asam. Baru kemudian diketahui bahwa gaya permainannya mirip dengan ksatria pedang panjang dari Jepun. Orangnya keras, jujur, apa adanya. Dan sepanjang hidupnya kesengsem atau tergila-gila pada Nyai Demang.
Senopati Anabrang, atau Mahisa Anabrang. Salah seorang senopati zaman Keraton Singasari yang menjelajah sampai ke tlatah Melayu dan baru kembali dua puluh tahun kemudian. Melanjutkan pengabdian kepada Raja Majapahit, dengan membawa dua putri ayu yang salah satunya dipermaisurikan Baginda Raja.
Senopati Nambi, atau Mpu Nambi, salah seorang senopati Majapahit, pimpinan prajurit telik sandi, atau pasukan rahasia. Diangkat sebagai mahapatih, suatu jabatan tertinggi sesudah raja. Mahapatih menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para senopati, pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para senopati, adipati, ataupun patih. Pengangkatannya sebagai mahapatih banyak mengundang pertentangan. Terutama dari Adipati Lawe, yang mengharapkan dirinya atau Mpu Sora yang memangku jabatan tersebut.
Wilanda, salah seorang murid Perguruan Awan yang kemudian melepaskan diri dan menjadi prajurit andalan Keraton Singasari, dan kemudian kembali lagi ke Perguruan Awan. Budinya luhur, dan menjadi pendamping Upasara sejak kecil. Ilmunya yang sulit ditandingi ialah cara mengentengkan tubuh seperti capung hinggap di ujung daun.
Kiai Sumelang Gandring, atau Mpu Sumelang Gandring, turunan seorang ahli pembuat keris yang mengembara sampai ke ujung barat tanah Jawa. Di sana meneruskan ilmunya. Seluruh muridnya berjumlah dua belas, dan semua memakai sebutan Gandring. Istimewanya ialah kedua belas Gandring ini bisa menyusun barisan yang luwes dan ampuh. Di antaranya gaya serangan Jiwandana Jiwana, atau Tembang Kehidupan.
Nyai Demang, satu-satunya tokoh wanita yang sering dinilai hanya karena mengobral asmara, serta bentuk tubuhnya yang montok. Menurut cerita, dulu istri seorang demang, pangkat setingkat kepala desa. Banyak para ksatria menjadi korban senyuman dan bentuk tubuhnya. Akan tetapi di balik segala daya tarik lahiriahnya, Nyai Demang selama ini tak tertandingi dalam soal kemampuannya mempelajari bahasa mancanegara. Dialah yang menjadi penyalin bahasa sewaktu pasukan Tartar mendarat.
Halayudha, salah seorang senopati Majapahit yang tak terlalu menonjol dalam peperangan. Gerak-geriknya penuh teka-teki, karena hubungannya yang sangat dekat dengan Raja Majapahit, dan kemampuannya untuk taktik yang dijalankan sangat culas, bergetah, tapi berhasil. Ilmu silatnya termasuk sangat tinggi karena ia murid langsung Paman Sepuh, ditambah berbagai ilmu yang diperoleh sendiri.
Tribhuana, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raden Wijaya. Sebagai putri Keraton, Tribhuana dikenal memiliki pengetahuan yang luas dan cara berbicara yang ulung dalam menangkap suasana, sehingga digelari Mahalalila. Sebagai permaisuri pertama, sebenarnya Tribhuana berhak melahirkan putra mahkota. Akan tetapi nyatanya tidak, karena Raja Majapahit memilih permaisuri yang lain.
Mahadewi, adik Tribhuana yang juga dipermaisuri oleh Raja. Mahadewi dikenal sebagai putri landasan daya asmara Baginda.
Jayendradewi, atau Permaisuri Pradnyaparamita, adik Mahadewi yang juga dipermasurikan Baginda. Tidak secantik adiknya, Gayatri, namun kesetiaan dan keluhuran budinya menjadi contoh teladan.
Dara Jingga, putri boyongan dari Melayu yang dipersembahkan Senopati Anabrang kepada Baginda. Namun kemudian menikah dengan salah seorang bangsawan Keraton yang melanjutkan pemerintahan di tlatah Melayu.
Dara Petak, adik Dara Jingga, yang dipermaisurikan Baginda dengan gelar Permaisuri Indreswari. Disebut sebagai stri tinuheng pura atau permaisuri yang dituakan. Menggeser kedudukan Tribhuana dan dengan demikian berarti anak keturunannya yang bakal mewarisi takhta Baginda Kertarajasa.
Dewa Maut, tadinya menjadi tokoh yang ganas, setiap kali berperang harus mencabut nyawa lawan karena daya asmara kepada gadis pujaannya bertepuk sebelah tangan. Hidup menyendiri hanya dengan sesama kaum pria, di atas perahu yang selalu berada di Kali Brantas. Dalam salah satu pertarungan ilmunya lenyap, dan gayanya seperti kehilangan ingatan. Seluruh rambutnya putih. Gendhuk Tri dianggap "kekasihnya" yang hilang dan selalu dipanggil Tole, panggilan untuk anak lelaki. Dewa Maut hanya mau mengikuti perintah Gendhuk Tri.
Kama Kalacakra, salah seorang ksatria Jepun yang mahir memainkan pedang panjang.
Kama Kalandara, saudara seperguruan Kama Kalacakra. Dua nama yang berbeda akan tetapi artinya sama, yaitu "benih matahari". Bila bergabung, keduanya menjadi disegani, karena bisa memindah serangan sambil berputar kencang.
Kama Kangkam, guru Kama Kalacakra maupun Kama Kalandara. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu kekuatan dengan Eyang Sepuh, memperebutkan gelar sebagai ksatria lelananging jagat, atau ksatria yang paling lelaki yang paling tak terkalahkan.
Senopati Semi, salah seorang senopati Majapahit. Salah seorang dari tujuh dharmaputra, putra istana yang mendapat perlakuan istimewa dari Baginda. Senopati lain yang termasuk dharmaputra ialah Senopati Kuti, Senopati Pangsa, Senopati Wedeng, Senopati Yuyu, Senopati Tanca, serta Senopati Banyak.
Kala Gemet, putra mahkota Keraton Majapahit, putra Permaisuri Indreswari. Sejak muda telah diangkat menjadi calon pewaris takhta dengan mengambil tempat latihan kekuasaan di Dahanapura. Ketakutan disaingi saudaranya, ia melarang saudara lain ibu menikah.
Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, yang terbakar oleh dendam sejak kematian ayahnya di tangan Senopati Sora. Merasa pengabdian ayahnya kepada Keraton disia-siakan, Mahisa Taruna mudah dipermainkan orang lain.
Aria Wiraraja, tokoh yang dihormati dari Sumenep, Madura, inilah yang pertama kali mengulurkan tangan kepada Sanggrama Wijaya. Taktik dan strateginya jitu. Dengan kematian Lawe, putra kesayangannya, Aria Wiraraja sangat kecewa. Kemudian meninggalkan Keraton dan berdiam di Lumajang, yang membawahkan wilayah Majapahit sebelah timur.
Naga Nareswara, atau Raja Segala Naga, merupakan utusan tertinggi dari Tartar, yang masih menyimpan dendam, karena pasukannya yang mampu menaklukkan dunia dikalahkan oleh senopati-senopati Majapahit. Akan tetapi kedatangannya yang terutama untuk bertarung dengan Eyang Sepuh, dalam memperebutkan gelar ksatria lelananging jagat. Untuk membuktikan siapa pewaris suci dari ajaran yang sama sumbernya.
Kiai Sambartaka, atau Kiai Kiamat, seorang pendeta dari tanah Hindia. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu ilmu sejati dengan Kama Kangkam, Naga Nareswara, serta Eyang Sepuh. Agaknya, lima puluh tahun lalu, para tokoh itu sudah berjanji untuk mengadakan pertempuran habis-habisan.
Paman Sepuh Dodot Bintulu, atau menyebut dirinya Bik Suka Bintulu karena menyamakan dirinya sebagai pendeta peminta-minta. Dodot Bintulu adalah nama untuk menunjukkan kesederhanaan sebagai rakyat jelata. Panggilan Paman Sepuh karena tokoh sakti ini saudara seperguruan Eyang Sepuh maupun Mpu Raganata, dan yang sesungguhnya menuliskan Kitab Bumi atau Bantala Parwa bagian pertama, yaitu yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Wajahnya hancur karena dikhianati dua muridnya yang durhaka, yaitu Ugrawe dan Halayudha.
Kemunculannya kembali ke dalam dunia persilatan untuk memenuhi undangan yang disebarkan Eyang Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Di mana akan berkumpul seluruh jago silat, jawara dari jawara seluruh jagat. Salah satu gubahan ilmunya yang terkenal, selain Banjir Bandang Segara Asat yang disempurnakan Ugrawe, adalah jurus-jurus Timinggila Kurda, atau jurus-jurus Ikan Gajah Murka. Ikan gajah adalah sebutan untuk ikan paus pada masa lalu.
Kiai Gajah Mahakrura, nama lain Paman Sepuh yang dipakai oleh Halayudha, yang menggambarkan gurunya yang dianggap sebagai gajah mahabengis.
Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan sebutan bahwa di seluruh kolong langit ini, dialah yang paling ayu tanpa tanding. Nama sesungguhnya Ratu Ayu Azeri Baijani, datang dari negeri Turkana. Suatu negeri yang disebut sebagai tlatah tapel wates, karena merupakan tapal batas dengan wilayah yang tak dikenal. Ratu Ayu berkelana ke tanah Jawa karena mendengar bakal ada pertemuan seluruh jago silat.
Bersama para senopatinya, Ratu Ayu ingin mencari jodoh, yaitu yang bisa mengalahkannya. Karena ia percaya bahwa bersama lelaki yang mampu mengalahkannya, ia bisa membebaskan negerinya dari jajahan Raja Tartar. Repotnya, justru dalam pengelanaannya, tak ada yang mampu mematahkan ilmunya, yaitu Tathagati, atau ilmu Budha Wanita, yang dianggap sesat karena menyamakan sang Budha dengan wanita. Gerak langkah ilmu ini disebut Tathagata Pratiwimba atau gerakan Arca Budha yang Kaku, serupa dengan cara bergerak boneka.
Sariq, senopati utama Ratu Ayu Bawah Langit. Sariq berarti kuning, karena ketika memainkan ilmunya seakan tubuhnya berwarna kuning seluruhnya. Senopati lainnya ialah Uighur, Karaim, Wide, Chagatai, dan Kazakh. Bersama-sama mereka mampu memainkan barisan yang disebut Lompat Turkana, atau 64 Langkah Jong. Jong bisa berarti payung, bisa berarti tertutup. Barisan Lompat Turkana ini disusun sedemikian rupa, sehingga langkah ke belakang tertutup. Mereka selalu bergerak maju ke depan, ke samping kanan, atau ke samping kiri. Konon ini merupakan permainan yang lazim di negeri Turkana.
Gajah Biru, senopati yang setia kepada Mpu Sora, baik di saat jaya maupun ketika tersisih, seperti juga: Juru Demung, Maha Singanada, gagah perkasa, wajah dan penampilannya sangat mirip dengan Upasara Wulung. Hanya rambutnya dibiarkan tergerai dan sikapnya jauh lebih urakan, tak mengenal tata krama.
Senopati ini termasuk dalam rombongan yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara dari Keraton Singasari (itu sebabnya masih memakai nama Singa) ke tlatah Campa, ke Keraton Caban. Untuk mengantarkan Dyah Ayu Tapasi, putri Baginda Raja, untuk dipermaisurikan Raja Campa.
Senjata utamanya adalah kantar, atau tombak pendek. Ilmunya bersumber pada Kitab Bumi, akan tetapi cara mengatur pernapasannya disebut Nawawidha, atau Mengatur Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Jurus-jurusnya dikenal sebagai Nawagraha, atau Siasat Sembilan Bintang, yang kesemuanya berintikan kepada angka sembilan.
Pendeta Syangka, atau Pendeta Sidateka, berasal dari tanah Syangka atau Sri Langka. Merupakan pendeta kesayangan Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, sehingga kelak kemudian hari sang putra mahkota ini memakai gelar kebesaran sebagai Sri Sundarapandya Adiswara. Sebutan pandya berarti mengakui kebesaran dinasti Pandya yang memerintah di Sri Langka. Sejak tata pemerintahan Keraton Sriwijaya, pendeta-pendeta dari Syangka mencoba menanamkan pengaruhnya, akan tetapi selalu gagal. Sekali ini Pendeta Sidateka yang menguasai Pukulan Dingin, berhasil.
Maha Singa Marutma, salah seorang senopati yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara ke Keraton Mon, di delta Sungai Saluen di tlatah Burma. Keraton Mon menjadi rebutan kekuasaan antara Keraton Burma dan Keraton Sukothai, dari bangsa Thai. Maha Singa Marutma kembali ke tanah Jawa mencari bantuan untuk membebaskan Keraton Mon dari serbuan Burma maupun Sukothai.
Pangeran Jenang, nama yang dimudahkan untuk menyebutkan Pangeran Che Nam, yang terdesak oleh bangsa Vietnam. Karena Keraton Campa merupakan wilayah yang dikuasai Singasari, Pangeran Jenang minta bantuan ke tanah Jawa. Hanya saja ketika ia datang, yang memerintah bukan lagi Baginda Raja Sri Kertanegara. Oleh Bagus Kala Gemet, ditarik sebagai salah seorang pendukungnya.
Kebo Berune, oleh Upasara dipanggil dengan sebutan hormat Eyang Kebo Berune, sedangkan Nyai Demang memanggil dengan Kakek Kebo Berune. Salah seorang tokoh sakti yang hidup sezaman dan seangkatan dengan Paman Sepuh, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata. Bahkan sama-sama merumuskan lahirnya Kitab Bumi. Kebo Berune hanyalah nama sebutan karena tokoh ini mengembara sampai ke tlatah Berune atau Brunei, dan baru kembali untuk bertanding menguji ilmu siapa yang paling unggul.
Suatu pertemuan setiap lima puluh tahun sekali. Sayangnya, karena cara berlatih tenaga dalam yang keliru, Kebo Berune selalu dibayangi maut, dan tak bisa bergerak. Salah satu ajiannya yang sejajar dengan ilmu Weruh Sadurunging Winarah Mpu Raganata, sejajar dengan ajian Tepukan Satu Tangan Eyang Sepuh, sejajar dengan Banjir Bandang Segara Asat Paman Sepuh, adalah Pukulan Pu-Ni yang diciptakannya.
Pu-Ni sekadar untuk mengingatkan bahwa ilmu itu diciptakan di tanah Pu-Ni atau Berune atau Brunei. Konon ilmu-ilmu itu diciptakan untuk menjadi penangkal ilmu Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Pulangsih, atau Putri Pulangsih dalam sebutan Nyai Demang. Menurut cerita yang dituturkan Kebo Berune, Pulangsih adalah gadis yang diperebutkan oleh Mpu Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune. Tokoh wanita yang masih serba samar ini memilih Eyang Sepuh yang disebut Bejujag atau si kurang ajar, namun justru pada saat itu Eyang sepuh mencampakkannya. Penolakan itulah yang mengilhami lahirnya bagian terakhir Kitab Bumi, yang disebut Kitab Penolak Bumi, atau Tumbal Bantala Parwa. Pulangsih pastilah sebutan di antara keempat ksatria muda pada zamannya, karena arti pulangsih sesungguhnya adalah bersatunya daya asmara secara jasmani.
Cebol Jinalaya, si cebol berkulit hitam. Mewakili pemuja yang tetap mengagungkan Sri Kertanegara, sehingga menganggap bahwa bila mereka mati, bisa terus menjadi abdi Baginda Raja. Jinalaya sendiri nama yang dipakai untuk menunjukkan tempat untuk mati.
Senopati Agung Brahma, bangsawan tua yang dihormati oleh kalangan Keraton, tetapi juga jauh dari kekuasaan karena lebih suka menyepi. Kepedihan hatinya tetap tak terhibur dengan menikahi Dyah Dara Jingga, yang dengan demikian ia adalah kakak ipar Baginda. Termasuk salah seorang senopati yang dikirimkan ke seberang oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Hanya satu yang menyebabkan ia keluar dari "persembunyiannya", yaitu terutama karena mendengar berita datangnya utusan dari Keraton Caban di Campa, di samping keruwetan yang menimpa Keraton.
* * *
KOKOK ayam jantan pagi itu tak terdengar. Cengkerik juga tak sempat memperdengarkan musik akhir. Bahkan tetesan embun belum sepenuhnya mengental, ketika tiga ekor kuda melintas dengan tergesa. Suasana desa yang tenteram, hutan rimbun yang sunyi berubah serentak dengan suara bising. Tapak kuda menderap makin cepat dan rapat menyatu dengan dengusan napas kuda kelelahan. Ketiga penunggang kuda itu pun kalau diperhatikan cermat, sudah basah kuyup oleh keringat.
Robeknya alam pagi yang damai, seakan menandai terjadinya suatu peristiwa. Peristiwa yang berbeda dari sebelumnya—setidaknya puluhan tahun terakhir ini. Jalan setapak di desa tanpa, nama itu tak pernah terusik apa-apa. Bahkan sangat jarang sekali terdengar langkah kaki manusia. Binatang pun hanya sesekali, pada malam hari.
Akan tetapi sekali, kali ini, dipecahkan oleh rombongan tiga ekor kuda yang tergesa. Sampai di ujung jalan, mereka tak bisa sejajar lagi. Terpaksa berurutan karena jalan terhalang dahan, ranting, dan pohon tumbang. Dari bawah menguap bau tanah. Angin sangat bersih.
Menyeberangi sungai kecil yang airnya dangkal, ketiga penunggang kuda itu kemudian memacu lagi. Kalau saja di sepanjang jalan itu ada rumah, pastilah penghuninya terheran-heran. Suatu pemandangan aneh dan baru; tiga ekor kuda perkasa melintas tergesa. Bau tubuh mereka seakan asing untuk suasana sekitar yang sepenuhnya berbau daun dan tumbuh-tumbuhan.
"Benarkah ini jalannya?" tanya salah seorang penunggang kuda yang nampaknya paling muda.
Namun dari nada bicaranya kentara sekali ia yang menjadi pemimpin. Setidaknya yang paling dihormati. Bukan karena wajahnya yang bersih—yang membedakannya dari kedua penunggang yang lain, juga bukan karena alis matanya yang tebal dengan sorot mata memerintah, akan tetapi terutama sekali dari sikap hormat yang diajak bicara.
"Benar, Raden Mas. Tak ada yang berubah sejak lima belas tahun lalu hamba lewat di sini." Yang menjawab adalah seorang lelaki bertubuh gempal , gagah dengan kumis tebal. Sikapnya amat sangat menghormat. Dan sekelebatan saja ketahuan bahwa jawaban ini keluar dari orang yang mempunyai ilmu.
Setidaknya dari caranya menunggang kuda yang seakan sama sekali tak menambah berat tunggangannya. Dibanding dengan bentuk tubuhnya, gerakannya sangat enteng. Bahkan ketika meloncat turun untuk memeriksa rumput dan kemudian meloncat kembali ke punggung kuda, dengan satu gerakan tak terputus, menegaskan sesuatu yang disembunyikan dengan sikapnya yang merendah.
Sebaliknya, penunggang ketiga yang berwajah sangat pucat—sedemikian pucatnya sehingga kalau saja ia berhenti di air sungai dan mandi, tak akan kelihatan lagi. Menyatu dengan warna air. Kehadirannya hanya ditandai dengan nampak gedombrangan. Kain yang dikenakan longgar di sana-sini. Nampaknya pemakainya tak peduli sama sekali. Juga tidak pada suasana sekitar. Pandangannya lurus ke arah belukar. Seakan ia sudah memperhitungkan dua tindak yang akan dilalui. Atau seperti tak memperhitungkan apa-apa.
Hanya mereka yang lama berkecimpung dalam dunia silat bisa melihat sesuatu yang luar biasa dari penunggang ketiga ini. Dari cara mengatur napasnya kelihatan bahwa simpanan tenaga dalamnya luar biasa. Dibandingkan dua penunggang kuda yang lain, si wajah pucat ini nampak tetap segar. Berkuda sepanjang malam tanpa henti sama sekali tak mempengaruhi tarikan dan embusan napasnya. Bahkan juga tidak membuat kulitnya berubah warna.
"Kalau begitu kita sudah sampai," kata penunggang kuda yang dipanggil Raden Mas. "Tapi tak ada apa-apa. Hmmm, mengherankan juga. Nama besar Nirada Manggala selama ini hanya kabar murahan saja. Percuma memakai nama Perguruan Awan kalau di markasnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sepotong batu untuk duduk, selembar daun untuk berteduh, dan secangkir teh untuk menyambut tetamu."
"Maaf, Raden Mas," suara si penunggang kuda kedua nampak sangat berhati-hati. Dari nadanya terasakan kekuatiran tetapi juga teguran. Kekuatiran akan suasana yang bisa mendadak berubah. Sebagai orang yang pernah mengenal dekat Nirada Manggala, ia tahu persis bagaimana perguruan ini bukan perguruan yang bisa dikatai seenaknya.
Nama besarnya juga bukan nama kosong belaka. Kalau nama sekadar nama, mereka tak akan datang kemari. Nada teguran lembut, karena walaupun, memegang jabatan yang penting, ia tak bisa begitu saja melarang atau mempengaruhi junjungan yang dipanggil Raden Mas.
"...memang beginilah hidup mereka."
"Seharusnya mereka tahu kita kemari. Bukan begitu, Pamanda Pandu ?"
Si muka pucat yang ditanyai sama sekali tak bereaksi.
"Ini sudah keterlaluan. Saya bisa memerintahkan agar hutan ini dibakar habis!"
Mendadak saja, sebelum ucapannya selesai, ia merasa ada yang menepuk pundaknya. Dan sebelum bisa mengerti apa yang terjadi, kuda yang ditungganginya sempoyongan. Dengan sigap ia meloncat turun, dan langsung pasang kuda-kuda. Semuanya terjadinya dalam sekejap. Penunggang kuda yang berwajah pucat yang dipanggil Pamanda Pandu sudah turun di samping kudanya. Sementara si kumis juga sudah meloncat enteng. Begitu kakinya menginjak rumput, punggungnya menekuk dengan sikap hormat.
"Kami utusan dan Keraton ingin bertemu dengan Eyang Sepuh yang terhormat. Nama saya Wilanda, bekas murid Nirada juga. Saya datang bersama Raden Mas Upasara Wulung, dengan Ngabehi Pandu. Kami datang menghaturkan sembah bekti kepada Eyang Sepuh dan membawa berita dari Keraton."
Upasara serasa tak percaya pada apa yang masuk di telinga. Ini hebat! Wilanda bukan prajurit sembarangan. Ia satu-satunya yang terpilih menyertai ke Perguruan Nirada ini di antara sekian puluh pemimpin pasukan yang lain. Ilmunya juga di atas rata-rata yang terpilih. Bahkan dalam kecepatan bergerak rasanya hanya satu-dua yang bisa menandinginya. Nama Wilanda adalah gelar kehormatan karena gerak meringankan tubuhnya bagai seekor capung. Yang sanggup hinggap di tangkai tanpa menggoyang ranting. Namanya itu sendiri adalah anugerah, dari wilala yang artinya capung. Maka cukup membuat Upasara agak bengong melihat Wilanda merendahkan diri.
Dalam sekejap saja Wilanda sudah menjelaskan semua. Bahkan secara langsung sudah menyebut-nyebut sebagai utusan resmi dan Keraton. Meskipun Upasara baru menginjak usia dua belas tahun, pengalamannya boleh dikatakan segudang. Ia mendengar nama Perguruan Nirada yang banyak disebut-sebut. Namun itu semua bukan berarti harus menghormat dengan cara seperti itu. Dan sebenarnya yang lebih mengherankan lagi ialah Ngabehi Pandu pun turut turun dari kudanya.
Selama ini Upasara mengenal pamannya sebagai seorang tokoh yang bergeming oleh gempa, tak terusik oleh badai. Di Keraton, tokoh ini boleh dikata tak peduli apa-apa. Bahkan upacara sowan kepada Baginda Raja pun tak dilakukan. Ia lebih suka menyembunyikan diri di gua pertapaannya, dan secara terus-menerus berlatih ilmunya. Paling sebentar hanya keluar dan ruangan semadinya seratus hari sekali. Itu pun sekadar menemui Upasara untuk melihatnya berlatih silat.
Upasara boleh dikatakan beruntung karena ia satu-satunya yang diajari secara langsung. Ia satu-satunya murid yang menerima ajaran dari Ngabehi Pandu. Ini saja sebenarnya sudah membuat Upasara bisa malang-melintang di Keraton. Ia merasa sedikit saja yang bisa menandinginya. Dan puncak kekagumannya memang pada Ngabehi Pandu, yang menurut perhitungannya orang yang paling sakti. kalau tokoh yang dikagumi sampai perlu turun dari kudanya, itu pasti bukan basa-basi belaka. Ngabehi Pandu bukan orang yang bisa dan biasa berpura-pura. Ataukah mereka berdua juga "dipaksa" turun dari punggung kuda. Seperti dirinya? Tak mungkin hal itu terjadi.
Upasara melihat secara lebih jelas. Kekuatannya dipersiapkan untuk satu serangan mendadak-baik untuk menyerang atau bertahan. Kuda-kudanya kuat mantap. Lebih heran lagi, karena yang keluar dari semak-semak adalah seorang lelaki gundul yang praktis telanjang. Hanya kain gombal sekenanya menutup di bagian bawah selebihnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sehelai rambut. Yang membuat Upasara gusar adalah kenyataan bahwa lelaki itu seperti tidak melirik ke arah mereka.
Bahwa di Perguruan Awan banyak hal yang ganjil, itu Sudah lama didengar. Tapi kenyataannya ternyata lebih ganjil lagi. Tak ada bangunan rumah, tak ada sambutan. Hanya tetumbuhan liar dan seorang lelaki setengah tua yang lebih mirip binatang hutan. Upasara merasa tak bisa menahan sabarnya.
"Bapak Gundul, saya ingin bertemu dengan pemimpin Nirada Manggala. Katakan kepadanya untuk menjemput saya. Katakan Raden Mas Upasara Wulung bersama Pamanda Ngabehi Pandu dan Wilanda sendiri yang datang. Paman Gundul, kau dengar apa yang saya katakan?"
"Saya...," jawab si gundul sambil menunduk hormat.
Upasara melihat Wilanda yang masih bersila seperti mengisyaratkan agar jangan kurang ajar. Tapi siapa yang peduli? Untuk apa menghormat lelaki setengah tua yang berpakaian saja tak sempurna?
"Paman Gundul, kau dengar?"
"Saya...." Tapi selain jawaban yang diberikan, paman gundul itu tetap bergeming.
"Rupanya di perguruan ini banyak yang angkuh dan sok. Saya sudah bicara baik-baik, tapi kalian memperlakukan seperti ini. Jangan bilang anak muda berlaku kurang ajar." Upasara menggeser kakinya.
"Saya..."
Seumur hidup, belum pernah Upasara mendapat perlakuan hina seperti ini. Di Keraton, semua menuruti keinginannya. Apa yang diharapkan bisa terlaksana. Tak ada yang membandel seperti ini.
"Maaf, Kisanak...," suara Wilanda tetap ramah. "Kami sudah mengenalkan diri. Bolehkah kami mengetahui nama besar Kisanak?"
"Saya... Saya bernama Jaghana, Kisanak."
Upasara tak bisa menahan diri lagi. Ini jelas cara mempermainkan yang keterlaluan. Bagaimana mungkin pertanyaan yang baik-baik, dengan rasa hormat, dijawab seenaknya? Bagaimana mungkin seorang bernama Jaghana yang artinya pantat? Tanpa memedulikan lirikan mata menahan, Upasara langsung menerjang. Jaraknya masih sekitar dua tombak, akan tetapi hanya dengan sekali menginjak tanah, tubuhnya sudah melayang maju ke depan Persis di depan Jaghana yang gundul, dan langsung menyerang. Dua tangan, kiri dan kanan, maju secara serentak seperti menjepit tubuh Jaghana.
Ini adalah gerakan dasar dari serangan banteng. Ilmu yang diandalkan selama ini. Kedua tangannya berfungsi sebagai pengganti tanduk. Kalau saja Jaghana bisa dijepit, kepalanya bisa retak, sebelum tubuhnya berputar dan melayang ke atas. Kunci utama dari serangan kilat ini adalah pada kekuatan besar yang mengunci gerak lawan, dan di samping itu juga tak memberi kesempatan lawan untuk menggagalkannya. Karena Upasara yang berarti banteng sangat kuat kuda-kudanya. Persis seperti ketiga banteng menyerbu harimau. Ilmu ini boleh dikatakan ciptaan Ngabehi Pandu sendiri, yang disesuaikan dengan sifat-sifat Upasara yang masih berdarah panas bertenaga besar seperti banteng.
Selama ini selalu terbukti bahwa jurus pembukaannya selalu membuat lawannya repot. Upasara sudah memperhitungkan andai terpaksa menghindar, Jaghana harus mundur, paling sedikit dua tindak. Itu juga akan menempatkan Jaghana pada posisi yang sulit, karena dua tangan Upasara akan menyusul langsung. Dan kali ini sasarannya adalah pusar. Bagai tanduk sepasang yang menemukan sasaran empuk. Pukulan ini merupakan rangkaian.
Hanya beberapa jago saja yang mampu menghindar dari rangkaian pukulan berantai ini, itu pun akan mempersulit posisinya kemudian. Dalam beberapa latihan, hanya Wilanda yang secara berturut-turut mampu menghindar. Terutama karena ilmu meringankan tubuh yang satu kelas di atasnya. Itu pun harus mengorbankan kedudukan kuda-kuda untuk tetap berada dalam sikap bertahan.
Ngabehi Pandu menciptakan jurus yang kelihatannya sederhana ini bukan sekadar bangun dari tidur. Walau kelihatannya sederhana, perubahannya cukup rumit. Sederhana karena gerakannya seperti kaku. Lurus menerjang dengan dua tangan sekaligus. Namun sebenarnya ini juga merupakan inti untuk menjajal kekuatan lawan.
Seperti diketahui, untuk menghadapi jurus ini hanya tersedia dua pilihan. Menghindar mundur atau langsung menggempur. Ini berarti secara langsung beradu tenaga. Saat itu juga, si penyerang sudah bisa memperkirakan kekuatan lawan. Karena saat beradu, dua tangan yang menjotos berputar arahnya ke bawah. Cara mengatur kekuatan lawan inilah yang disebut serangan efektif. Menerjang sekaligus menakar kekuatan lawan. Dengan mengetahui secara persis kekuatan lawan, si penyerang bisa mengatur siasat.
Ngabehi Pandu menciptakan rangkaian jurus ini terutama sekali untuk menerjang lawan yang belum dikenal seberapa kekuatannya. Namun dilihat dari kuda-kudanya, jurus ini tidak sekadar menjajal untuk coba-coba, akan tetapi sudah sekaligus menggilas. Seekor kerbau liar pernah terjungkir dan terbanting kasar di tanah ketika Upasara mempraktekkannya.
Apakah Jaghana akan terbanting seperti seekor kerbau? Itulah yang akan terjadi karena Jaghana tidak menggempur langsung dan tidak menghindar. Seakan membiarkan saja. Jaghana seperti membiarkan dirinya diserang! Upasara serta-merta mengurangi kekuatan tenaganya. Ia ingin sekadar memberi pelajaran kepada lawan dan bukan ingin menghancurkan.
Akan tetap justru di saat seperti itu, dalam sepersekian detik yang bersamaan, Upasara merasa kakinya bergetar. Seperti kesemutan. Aneh. Padahal Jaghana hanya menggeser sedikit posisi kakinya. Ini soal tenaga dalam. Dalam sekelebatan saja Jaghana sudah bisa membaca gerak dan inti serangan. Justru dengan sekali gebrak, Jaghana membalas pada posisinya yang paling kuat. Di arah kuda-kuda.
Upasara berpikir cepat. Membatalkan serangan utama, dan balik menggeser kaki kiri untuk mengurangi tekanan lawan. Sekaligus dengan itu tangan kirinya ditarik mundur untuk menampik lawan. Tanpa menggeser tubuh, Upasara kini melancarkan serangan berikut. Tubuhnya sedikit meloncat, dengan cara menjatuhkan diri, Upasara ingin mengetok punggung lawan dari belakang. Tubuhnya melengkung bagai plastik yang bisa berubah menjadi lebih panjang. Lawan akan mengira ia masih bertahan di tempatnya, tetapi secepat kilat ia menyerang arah belakang.
Inilah salah satu kehebatan jurus Ngabehi Pandu. Dua jenis serangan yang mempunyai sifat berbeda, bisa dilakukan secara beruntun. Meskipun sebenarnya gerakan ini pada awalnya mengandalkan kekerasan, tapi di saat yang bersamaan bisa diubah menjadi luwes. Untuk mempraktekkan gerak semacam ini sebenarnya tak diperlukan latihan yang panjang. Kekuatan utamanya justru terletak pada mengatur dan menyalurkan tenaga sesuai yang dibutuhkan.
Jaghana seperti mengeluarkan seruan pujian dari hidungnya. Lagi-lagi, seperti pada mulanya, ia seperti membiarkan punggungnya dipatuk dari belakang. Caranya menghadapi justru dengan meneruskan serangan kakinya ke depan. Sehingga tubuhnya seperti jatuh.
Upasara bersorak dalam hati. Sekuat-kuatnya badan manusia, tulang punggung bukan bagian yang boleh dibiarkan menerima pukulan. Secepat-secepatnya menjatuhkan diri, tak mungkin bisa menghindari pukulan. Memang begitu kenyataannya. Upasara merasa bahwa tangannya bukan mengenai punggung, tetapi kepala. Karena lawan menjatuhkan diri.
Tetapi kepala juga sama lemahnya dalam penjagaan. Hanya saja di luar segala perhitungannya, kepala Jaghana ternyata sangat licin. Sehingga emposan tenaganya seperti makin mendorong dirinya. Tenaganya justru menyeret, seperti orang terpeleset. Tak ada jalan lain, selain menyelamatkan diri. Upasara berjumpalitan satu setengah agar bisa berdiri tegak.
Ia memang berhasil berdiri tegak. Akan tetapi ini pertanda surut. Dari menggempur, dalam satu gebrak saja sudah mundur dan bertahan. Perubahan mendadak yang secara serentak membalik situasi. Upasara siap untuk menerima serangan. Tapi Jaghana, si pantat gundul, hanya memandang sambil tersenyum.
"Anak muda, sungguh luar biasa. Serangan yang mengagumkan. Saya tak pernah menyangka bahwa dunia sudah sedemikian majunya. Siapa mengira anak muda yang masih bau kencur ini mempunyai kepandaian luar biasa. Selamat, selamat."
Sebenarnya apa yang diucapkan Jaghana adalah ucapan yang jujur. Sesuatu yang nampaknya melekat sebagai sikap Perguruan Awan. Mereka memang sering dikatakan hidup dengan cara yang sangat ganjil dan tak menentu, akan tetapi mereka dikenal sebagai orang-orang yang jujur. Satu kata satu perbuatan. Apa yang putih tak bakal dibilang hitam. Pujian ini juga pujian yang jujur. Akan tetapi bagaimana mungkin Upasara bisa menelan kata-kata semacam itu?
Pertama, ia seorang bangsawan yang belum pernah mendapat perlakuan begitu "kurang ajar". Kedua, kata-kata "anak muda yang masih bau kencur" sangat menyinggung perasaannya. Ia tak menangkapnya sebagai pujian bahwa sesungguhnya anak seusianya belum tentu bisa menguasai jurus-jurus tadi dengan baik. Berarti masa depannya cukup bagus. Perbedaan latar belakang ini masih ditambah lagi bahwa Upasara tak cukup sabar.
"Kita lihat siapa yang bau kencur dan siapa yang bau bawang merah," ujarnya keras sambil terus menyeruduk. Karena merasa kalah dalam serangan pertama, Upasara menyerang dengan tenaga penuh. Kedua kakinya memancal tanah, jotosannya mengarah ke depan. Kedua-duanya. Hanya kali ini dalam perjalanan pergelangan tangan ini berputar seperti menyerap tenaga lawan. Menyerap, memutar, dan mengarahkan pada si pemilik sendiri.
Jaghana juga menjadi berhati-hati. Ia meloncat tinggi, tidak berusaha menghindar jarak pendek atau memapaki serangan. Sambil meloncat tinggi, seperti memantul, tubuhnya berputar. Serangan balasan yang dilancarkan dengan berputar bukan hanya berbahaya bagi lawan, tapi juga berbahaya bagi diri sendiri.
Wilanda yang pernah berada dalam perguruan yang sama, sedikitnya mengetahui hal ini. Harus diakui serangan sambil berputar adalah serangan yang mengandung risiko. Lawan memang bisa bingung, mau menyerang kepala bisa keliru pantat, mau menerjang dada bisa keliru kaki. Itu pun tenaganya tak akan mengena separuhnya, karena sebagian besar sudah dinetralisir dengan gerakan berputar.
Akan tetapi menyerang berputar perlu mengerahkan tenaga dalam yang kelewat banyak. ini bukan untuk pertempuran jangka panjang. Agaknya Jaghana ingin menyelesaikan pertandingan dalam waktu singkat. Kenyataan ini saja sebenarnya sudah harus membuat Upasara merasa bangga. Tak begitu banyak kesempatan seorang ksatria semacam dia menemukan lawan yang langsung mengeluarkan langkah-langkah rahasia berikut kuncinya.
Ditilik dari sudut ini, Upasara boleh dibilang sangat beruntung. Dalam usianya yang masih muda ia boleh dikatakan bisa mengimbangi lawan yang jauh lebih tua, lebih berpengalaman, dan sudah mempunyai nama besar. Kalau pada gebrakan pertama tadi ia dibuat bertahan, itu semata-mata karena soal pengalaman. Bukan soal perbedaan ilmu. Menghadapi lawan yang bergulung, Upasara mengubah gerakannya. Ia tak mau mengeluarkan tenaga keras, karena bisa terseret lawan. Ia melengkungkan tubuh, meloncat terbalik, dan kemudian masuk ke dalam pusaran lingkaran.
Wilanda mengeluarkan pekik tertahan. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Upasara akan mengimbangi lawan dengan gerakan yang sama. Dengan saling melibat diri, berarti pengurasan tenaga secara besar. Dan kalau sedikit saja alpa, satu jari saja menyentuh bagian lunak dari wajah bisa berakibat fatal seumur hidup. Lima kali kedua tangan lawan beradu. Suaranya terdengar bagai dua batu ditumbukkan. Upasara kaget karena tangan lawan seperti mempunyai sengat. Setiap kali beradu, ia cepat menarik tangan dan mengganti dengan sabetan kaki.
Namun ini pun mengalami hal yang sama. Yang tak diketahuinya ialah bahwa agaknya Jaghana pun mengalami hal sama. Sengatannya seperti tak bisa menusuk langsung. Beberapa bagian tenaganya bisa ditolak. Sepuluh jurus berlalu tanpa ada yang memisah. Tanpa ada tanda-tanda kalah. Tanpa ada yang menyerah.
"Kisanak Jaghana, maafkan kami..." Wilanda tetap bersujud. Suara perlahan tapi mengiang.
"Upasara, cukup." Terdengar suara mantap. Ngabehi Pandu mengucap seperti menggertak. Dan betapapun berangasan dan congkak, Upasara agaknya ada rasa takut kepada pamannya. Ia mengunci diri dan bergulung keluar satu tombak. Untuk bisa berdiri tetap, ia masih memerlukan beberapa tindak lagi. Sementara Jaghana tetap berdiri tegak sambil tersenyum.
"Sudah kurang ajar, kalah, masih berlagak?" Pandu berteriak.
Upasara menghela napas. Lalu berjongkok menghaturkan sembah. "Maaf, Paman Gundul. Saya terlalu lancang dan kurang ajar. Saya menerima kalah." Dari ucapannya terkesan bahwa Upasara sebetulnya masih belum mau menyerah. Sebutan Paman Gundul menandai kedongkolannya.
"Ah, jangan terlalu merendahkan diri dan mengangkat lawan terlalu tinggi. Nama saya memang Jaghana, tak pantas dipanggil Paman Gundul. Walaupun antara pantat dan kepala gundul tak ada bedanya. Tapi letaknya yang satu di atas dan lainnya di bawah. Silakan berdiri, anak muda."
Ya, begitulah cara hidup Perguruan Nirada yang aneh. Bahkan untuk ngomong pantat atau gundul saja tak ada bedanya. Tak merasa risi sama sekali.
"Wilanda menyampaikan sembah bekti."
"Saya tak bisa menerima kehormatan ini," lalu sambil melirik ke arah Ngabehi Pandu, suaranya jadi penuh hormat. "Terima kasih atas pertolongannya. Kalau saja tidak dihentikan tadi, saya tak bisa mengelus kepala lagi. Ternyata nama besar Ngabehi Pandu terlalu kecil untuk menunjukkan hal yang sebenarnya. Terimalah salam saya."
Wilanda maju ke depan.
"Kisanak Wilanda, rasanya baru kemarin kita berpisah. Tapi kini Kisanak sudah hidup enak mempunyai pakaian bagus dan kuda bagus. Aha, kapan lagi mengajak saudara lama ini?" Kalimatnya setengah menyindir setengah mengalem. Sulit dibedakan.
"Kerinduan saya tak bisa diutarakan lagi. Namun kali ini, saya datang membawa perintah Baginda Raja."
"O, jadi kalau punya pakaian dan kuda bagus harus begitu, ya? Siapa itu Baginda Raja?"
Upasara merasa darahnya mendidih lagi. Kalau tadi kurang ajar keterlaluan, sekarang ini sudah buyutnya keterlaluan. Tak ada ampunan. Maka sekarang ini tanpa bertanya ba atau bu langsung saja menerjang. Kali ini malah langsung dengan keris saktinya. Ujung keris tergetar karena menahan dendam. Yang diarah pun tak kepalang tanggung. Tenggorokan.
Ini sebenarnya merupakan jurus pamungkas, atau jurus terakhir dari rangkaian serangan ilmu banteng yang disebut Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Serangan ini biasanya hanya muncul kalau keadaan sudah betul-betul kepepet, tak ada jalan keluar sama sekali. Seperti banteng yang terluka tak ada harapan lagi. Dengan sekali gempur, bisalah mendahului lawan, atau setidaknya mati bersama. Dengan jurus ini semua tenaga dihimpun ke ujung keris. Sehingga bagian yang lain tidak sepenuhnya terlindungi. Kalau saat itu lawan menyobek perut atau menotok urat nadi di leher, tak ada halangan yang berarti. Akan tetapi juga dengan demikian Upasara bisa meneruskan niatnya. Kalau lawan mengurungkan niatnya, berarti Upasara terbebas dari sergapan untuk sementara.
Dan Upasara mengeluarkan jurus Banteng Terluka meskipun sama sekali tidak dalam keadaan terjepit. Wilanda mengeluarkan seruan tertahan. Langsung bersamaan dengan itu tubuhnya meloncat keras dan menubruk Jaghana. Caranya sedemikian rupa sehingga punggungnya yang dibiarkan terbuka. Dalam detik yang pendek ia ternyata tak berpikir untuk nyawanya sendiri.
Jaghana sendiri nampaknya tidak memperhitungkan bahwa seorang anak muda bisa begitu telengas dan ringan tangan untuk mengeluarkan jurus maut. Alisnya berkerut tapi tak sempat menghindar.
Hanya karena Ngabehi Pandu bergerak lebih dulu. segalanya berakhir tanpa ada yang terluka. Sebagai tokoh yang menciptakan jurus itu. Ngabehi Pandu tahu kelemahannya. Dua jarinya menghadang pergelangan tangan Upasara, dan disertai entakan tenaga dalam, keris itu terloncat dari tangan Upasara. Melesat ke udara. Ngabehi Pandu menggerakkan tubuhnya meloncat, menyambar keris, dan sebelum kakinya menyentuh tanah ia bisa mengembalikan lagi ke sarung keris yang terselip di punggung Upasara. Suatu gerakan indah bagai tarian yang memesona. Dengan sekali gebrak, tiga gerakan berbahaya dilakukan. Menggagalkan serangan dengan melontarkan keris ke udara, menangkap, dan mengembalikan ke sarungnya yang masih dipakai pemiliknya.
Ngabehi Pandu menunduk. "Maafkan, kami yang tua ini tak bisa mendidik anak."
Jaghana berdiri tegak, lalu membalas hormat dan menghela napas. "Yang tua makin arif, yang muda makin sulit dikendalikan. Anak muda, kau berbakat besar, mempunyai guru yang sungguh luar biasa. Di belakang hari nanti tanah Jawa menjadi ramai karenanya. Luar biasa. Sayang aku si pantat bulat tak bisa menyaksikan semua ini. Setelah nyawa yang tak berharga ini diselamatkan berkali-kali rasanya tak pantas menjadi murid Nirada lagi." Suaranya berubah parau. "Eyang Sepuh, mohon ampun... murid Eyang memang tak pantas berdiam di sini." Lalu disertai helaan napas, Jaghana berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Ada yang ingin kami ketahui."
"Kanjeng Ngabehi, nyawa yang hina telah Ngabehi tolong. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk Ngabehi, mati pun saya rela melakukannya."
"Jangan terlalu sungkan, Kisanak. Ini semua karena kesalahan kami. Sesungguhnya kami datang untuk menemui Eyang Sepuh."
"Sedih sekali rasanya. Untuk permintaan yang tak berarti itu saya tak bisa menjawab. Saya sendiri tak tahu di mana beliau berada."
"Ah," Wilanda mengeluarkan suara tertahan.
Ngabehi Pandu menghela napas. Dengan pengalaman yang sudah setua umurnya, ia tahu bahwa Jaghana tidak berdusta sama sekali. "Satu pertanyaan lagi. Apakah dalam sebulan ini ada Tamu dari Seberang datang kemari?"
Jaghana menampilkan senyum. Senyum getir. "Entah kenapa begitu banyak yang menanyakan hal yang sama. Hal yang saya sendiri tidak tahu. Ketika Eyang Sepuh memilih desa tanpa nama ini rasanya sudah tak ada tempat lain yang lebih sunyi. Akan tetapi nyatanya sekarang ini jadi tempat berkumpul para jagoan di seluruh jagat. Oi, tak ada lagi tempat sepi."
Begitu selesai ucapannya, terlihat dua bayangan melesat datang. Seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih nampak menjinjing kadut-kantong karung dari serat pohon-besar. Seorang lagi adalah seorang bocah, yang nampak ganjil karena wajahnya seperti merah membara. Dua manusia aneh yang berdiri berjajar aneh. Lelaki tua berambut putih dan seorang bocah berwajah merah.
"Nah, kita di sini dulu, Tole. Mendengarkan orang bicara," kata lelaki tua berambut putih. Yang dipanggil sebagai tole-artinya anak lelaki kecil-tidak menjawab, hanya memandang selintas. Lalu duduk di rumput.
Wilanda seperti terbangun dari tidurnya. Memang aneh, di tempat yang kelewat sunyi ini tiba-tiba datang dua orang yang namanya pernah menggetarkan Kali Brantas. Yang dipanggil Tole adalah Padmamuka, alias Padmanaba, alias si Muka Merah. Yang tua berambut perak dipanggil Niriti, alias Dewa Maut yang Kekal Abadi. Entah dari mana mereka mendapat sebutan itu dan apa alasannya. Selama ini Wilanda tak pernah mendengar. Karena selama ini keduanya hanya beroperasi di sepanjang Kali Brantas Menurut cerita, keduanya tak pernah berada di daratan, selalu saja tengah sungai. Bahkan menurut dongeng, mereka bertempat tinggal di salah satu kedung Brantas. Pasti ada sesuatu yang luar biasa kalau sampai turun ke darat. Apalagi berada di daerah terpencil.
"Tole, mereka tidak ngomong lagi. Apa perlu kita paksa?"
"Semaumulah. Kau dewa maut yang bisa berbuat sekehendakmu. Apa susahnya memaksa orang bicara mengenai Tamu dari Seberang?"
"Tole, siapa yang kita paksa pertama?"
"Siapa saja. Lebih baik dimulai dari yang paling jelek."
"Bagus. Bagus." Suara Niriti berubah gembira. Kadutnya bergoyang-goyang. "Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Ayo, mengaku saja. Siapa yang paling jelek harap menyembah."
Padmamuka terkekeh. "Kalau ditanya begitu, mereka pasti akan berebutan. Karena semuanya memang jelek. Paksa saja semua."
"Itu juga bagus. Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Dan sesungguhnya, aku tak pernah menolak apa yang diminta cucuku. Baiklah. Kalian perlu kupaksa atau langsung berterus terang di mana Tamu dari Seberang itu?"
"Agaknya Kali Brantas sudah kering. Tak ada ikan kecil lagi, sehingga nelayan sungai cari makan di darat. Pengemis pun harus menunjukkan hormat kalau meminta sesuatu. Bukannya omong besar."
Upasara yang maju ke depan. Agaknya ia yang paling muak dengan segala kesombongan dan kecongkakan-barangkali juga karena ia memiliki sifat yang sama.
"Tole, ada yang berani berkata. Kau dengar?"
"Ya, tetapi tidak jelas maksudnya."
"Lalu bagaimana, Tole?"
"Suruh menjilat kakiku, agar lidahnya bisa ngomong ndak ngawur."
Niriti, si kakek berambut putih, tertawa terkekeh. "Nah, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan cucuku. Ayo lekas, jilat kakinya. Biar dewa bermurah hati hanya memotong lidah bukan nyawamu. Lakukan, tunggu apa lagi?"
Hanya karena merasa terantuk batu pengalaman yang keras, Upasara tidak segera menyerang. Coba saja tidak mengalami peristiwa yang baru saja terjadi, ia sudah langsung menerjang.
"Soal menjilat kaki apa susahnya. Tetapi kenapa harus melakukan itu, kalau ada soal lain?"
"Tole, kau dengar siapa itu yang ngomong?"
"Maaf, namaku yang rendah adalah Wilanda. Salam hormat untuk Dewa Maut dan Padmamuka."
"Bagus. Itu bagus. Kamu menjawab dengan baik. Apa kau dari Perguruan Mendung ini?"
Jelek-jelek Wilanda bekas murid Perguruan Nirada. Memang nirada bisa berarti awan, tetapi juga bisa berarti mendung. Namun cara si kakek merendahkan dalam sebutan cukup membuatnya panas. "Saya hanya murid yang tak tercatat. Silakan memberi pelajaran."
Wilanda langsung mengambil kuda-kuda memberi hormat. Ini berarti tantangan yang resmi. Tantangan seorang ksatria. Wilanda cukup menghormati lawan untuk memulai dengan gerakan pembukaan, menghormat ke arah lawan. Kakek tua itu langsung bergelak.
"Kalian manusia darat terlalu banyak sopan santun. Buka mulut di mana Tamu dari Seberang atau bakal jadi makanan cacing."
Niriti meluncur, dalam artian sebenarnya. Tiba-tiba saja tubuhnya tertekuk, seperti gerakan orang mau meloncat ke air. Dan benar-benar meloncat. Hanya bedanya kalau meloncat ke air, tubuhnya turun ke bawah, yang ini meluncur ke depan lurus. Kedua tangannya terbuka dan siap mencakar wajah. Wilanda menotol dengan ujung kakinya tanpa menekuk lebih dulu, atau memang tak terlihat saking cepatnya dan tubuhnya melayang ke atas. Dari atas, kedua kakinya ditekuk seakan ingin berdiri di punggung si kakek. Namun sebelum gerakan itu sempurna, bentuknya sudah diubah lagi, karena Niriti memutar kakinya. Sehingga tubuhnya menjauh dan cakar tangannya tetap mengarah ke lawan.
Meluncur bagai peloncat indah, sambil tetap menjinjing kadut besar dan dengan enak bisa memutar di tengah udara. Semua bisa dilakukan sambil tetap menyerang. Kalau Upasara yang disergap semacam itu, pasti sudah kelabakan. Wilanda jauh lebih berhati-hati. Gaya capungnya dipertontonkan dengan indah. Tangan lawan yang mencakar dibentur keras, dan meminjam, tenaga benturan ia melayang tinggi berjumpalitan di udara, lalu turun di tanah, menotol lagi, menyerang ganti. Kakek berambut putih itu mengeluarkan suara di hidung. Kali ini kadutnya dipakai untuk memapak serangan. Wilanda bisa menjajal kemampuan lawan. Tetapi ia cukup cerdik untuk memeras tenaga si kakek. Lagi-lagi ia meminjam tenaga kadut berputar untuk berjumpalitan, meluncur turun, menotol tanah, dan balik menyerang.
Taktik yang membuat Niriti terkesiap dan untuk beberapa kejap seperti bertempur dengan angin kosong. Namun sebagai jago kelas satu yang menguasai daerah tertentu, dengan cepat ia bisa menentukan cara untuk mengatasi. Kali ini ia menyerang dengan tenaga yang lembek, hanya dua persepuluh saja. Sehingga Wilanda tak mungkin meminjam tenaganya.
Memang ini sempat mengacau Wilanda, namun cara mengentengkan tubuhnya boleh dibilang sudah kelas satu. Sehingga meskipun tak terlalu keras, ia tetap bisa berjumpalitan, menotol tanah, dan tetap menyerang.
"Kakek tua tak tahu diri. Apa susahnya menangkap capung?"
"Bagus, Tole. Nih, aku tangkap."
Serentak dengan itu Niriti mengayunkan karungnya dengan keras ke atas. Kedua tangannya terentang lebar, lalu menutup dengan gerakan berputar, dan langsung menyerang lawan. Wilanda tak menduga bahwa tenaga dalam si kakek sedemikian saktinya. Sehingga hawa di sekitar dada dan wajahnya jadi panas dan sesak. Lalu secara cepat hawa panas dan menyesakkan itu musnah, dan Wilanda seperti berada dalam ruang tanpa udara. Kekuatannya jadi lenyap seketika. Tak ada jalan lain kecuali mengerahkan sisa kekuatan yang tersimpan di bawah pusar. Tubuhnya berputar pendek, seirama dengan tangan yang melingkar ke depan dengan sangat cepat.
Dalam setiap ajaran silat, gerakan ini sangat umum dan mudah dikenali sebagai gerakan untuk mencari tenaga dari bumi. Hanya dengan latihan yang keras dan konsentrasi penuh, "kekuatan bumi" ini bisa dipinjam. Kalau dasarnya tidak mempunyai tenaga dalam, yang diisap adalah tenaga kosong belaka. Sebenarnya ini gerakan yang sangat efektif. Hanya saja karena merupakan gerakan umum, lawan pun melakukan. Jadi boleh diartikan siapa yang lebih dulu mengambil tenaga dari bumi. Niriti bukannya mengambil, melainkan membuyarkan dengan sapuan kakinya.
Terkurung dalam lingkaran pukulan Niriti, Wilanda mengempos kekuatannya. Ia menekuk lutut dan melompat ke atas. Dalam keadaan biasa hal itu tak perlu dilakukan. Seakan tanpa menekuk pun bisa meloncat, Akan tetapi kekuatan ini diperlukan, karena kedua tangan Niriti tak akan membiarkan bebas. Ini berarti adu tenaga.
Wilanda mengegos sedikit untuk melunakkan tenaga lawan, dan tubuhnya mumbul ke atas. Agaknya ini pun sudah diperhitungkan Niriti ketika melemparkan kadutnya ke atas. Bersamaan dengan itu, kadut itu bakal menimpa tubuhnya. Paling tidak ia bisa menjotos. Hanya saja kesadarannya yang tinggi menahan gerakan itu. Berarti kadut itu berisi manusia. Astaga. Siapa pula yang berada di dalamnya? Kalau seseorang yang sedang menderita, bisa saja menjadi luka atau bahkan meninggal dunia. Jiwa ksatria Wilanda menahan pukulan itu. Akibatnya memang gerakannya jadi terganggu. Apalagi ia justru berusaha menangkap kadut itu, menyebabkan pinggangnya terbuka. Niriti bersorak dingin.
"Kena!"
Sebenarnya, sejak Niriti datang, Jaghana sudah melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mencurigakan dari kadut. Makin jelas ketika kadut itu dilemparkan ke atas. Mendengar suara rintihan, Jaghana bahkan mengenali nada rintihannya. Tak ayal lagi ia langsung menyerbu ke arah pertempuran. Hanya saja terlambat.
Kadut itu sudah ditangkap oleh Wilanda yang pinggangnya serasa patah Namun walau begitu dalam jatuhnya, ia masih membiarkan dirinya lebih dulu. Wilanda tetap memegang karung itu dengan sakit yang serentak menjalar ke arah perutnya.
Niriti berbalik menghadapi Jaghana yang melancarkan pukulan dan samping kiri. Dewa Maut hanya menggeser kepalanya sedikit, lalu balas menyerang. Di luar dugaan, Jaghana tidak berusaha menghindar. Malah langsung menyapu lawan dengan keras. Jika mereka membiarkan diri, keduanya akan terkena pukulan lawan. Dewa Maut mengegos ke samping. Tak urung ikat kepalanya tercongkel sedikit. Lepas, dan rambutnya yang putih terurai ke depan.
Jaghana menjambak rambut itu dan menarik ke bawah sekuatnya, sementara kedua lututnya terayun ke atas. Gaya membungkuk menyebabkan punggungnya terbuka. Namun seperti tidak peduli, Jaghana terus merangsek lawan. Dewa Maut mengeluarkan seruan tertahan dan menahan benturan lutut dengan kedua tangannya. Terdengar bunyi plak yang sangat keras.
Biarpun Dewa Maut sangat hebat tenaga dalamnya, tak urung terguncang pula. Biar bagaimanapun, kekuatan kaki Jaghana lebih tangguh dari daya tahan tangannya. Tubuhnya terdorong ke belakang. Segenggam rambutnya lepas. Belum berdiri lurus, Jaghana sudah memutar tubuhnya dan bagai pusaran angin beliung langsung menggulung lawan.
Baru kini Upasara sadar bahwa Jaghana bukan sembarang jago. Tadi ia sudah menyaksikan dan mengalami sendiri. Baru kini Upasara sadar bahwa tadi Jaghana tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Kalau tadi ia diserang dengan cara seperti ini, barangkali tubuhnya sudah terlipat bagai tali pelintiran.
Jaghana adalah tokoh yang mempunyai watak sabar, pikir Upasara. Bahwa ia menjadi begitu geram dan menyerbu tanpa memikirkan keselamatan dirinya, ini pasti ada yang menyebabkan. Tak mungkin orang yang begitu ramah, sabar, dan suka tersenyum menjadi nekat tanpa sebab. Hanya saja Upasara tidak mengetahui apa yang membuat Jaghana begitu bernafsu. Mungkin ia juga tetap tak tahu, kalaupun mengetahui, bahwa isi kadut itu salah seorang dari Perguruan Awan. Dasar-dasar yang kuat dari perguruan ini adalah rasa setia kawan sesama anggota perguruan. Bahwa dasar ini berlaku di setiap perguruan, itu tak ada yang membantah. Hanya pada Perguruan Awan, dasar ini memperoleh bentuknya, yang kadang sangat ekstrem.
Seperti diketahui, dalam perguruan ini tak ada perbedaan antara murid yang satu dan yang lain. Soal ilmu dibagi rata, soal pemilikan tak ada yang mempersoalkan. Ini barangkali bedanya dari perguruan lain. Di Perguruan Awan tak ada tingkat yang berbeda. Tak ada yang dianggap senior atau yunior. Tak ada murid ketua atau wakil atau yang biasa. Bahkan Eyang Sepuh sendiri, yang dianggap ketua, mendapat perlakuan yang sama. Mereka semua hidup di hutan secara bersama. Eyang Sepuh pun harus menanam sayur atau mencari sendiri buah-buahan. Mereka berlatih bersama dan belajar bersama.
Hal ini mudah diduga kenapa Wilanda mau mengorbankan dirinya ketika mengetahui ada saudara seperguruan yang tersimpan dalam kadut. Walaupun itu sudah lewat bertahun-tahun dan ia hidup sebagai prajurit utama di Keraton, perasaannya masih sama. Tak ada yang lebih mulia daripada membantu sesama. begitulah kira-kira salah satu ajaran dari Eyang Sepuh. Barangkali itu pula sebabnya perguruan ini tak pernah memiliki apa-apa. Pondok secuil pun tidak. Bahkan dalam bentuk yang juga berlebihan. mereka tak memerlukan pakaian penutup tubuh—semuanya diberikan pada orang lain yang dianggap memerlukan.
Ajaran yang mendarah daging ini boleh dikatakan menjadi undang-undang tak tertulis. Barang siapa merasa perlu memiliki sesuatu apa pun, walau seikat rumput untuk kepentingan sendiri, ia tak diakui lagi sebagai anggota. Wilanda dulu juga begitu. Karena merasa perlu untuk memperdalam ilmu meringankan tubuh, ia perlu mencari guru di tempat lain. Ia merasa dirinya tak pantas menjadi murid lagi, dan minta keluar dari hutan. Sejak itu beberapa kali Wilanda ganti guru, menjajal kemampuan. Perjalanan hidup mempertemukannya dengan Ngabehi Pandu yang tertarik pada tekad besarnya.
Sementara itu di tengah lapangan, Jaghana terus berputar menggulung. Sepertinya ia akan membelitkan tubuhnya ke tubuh Dewa Maut dan mereka berdua bakal terpelintir jadi satu. Dewa Maut terdesak menghadapi gempuran habis-habisan ini. Sejak ia masuk daratan, belum pernah bertemu lawan setangguh dan senekat ini. Lagi pula ia baru saja menghadapi Wilanda yang dalam beberapa hal ilmunya berbeda sekali dari Jaghana. Wilanda jauh lebih mengandalkan ilmu mengentengkan tubuh. Berkelit ke sana. membelok kemari. Sementara Jaghana sama sekali mengandalkan kekuatan menggempur. Sebagai seorang yang tergolong kelas satu, hal ini sebenarnya bukan masalah utama. Hanya saja waktunya berurutan, dan lawan yang dihadapi sekarang seperti tidak ingin memperpanjang waktu. Dalam jangka pendek saja tanpa peduli menang atau kalah. hidup atau mati.
"Hei, tahu diri dikit," teriak Tole yang masih duduk di tanah. "Kalau berputar macam begitu kau bisa kentut. Dan aku tak suka."
Padmamuka menggelinding maju. Wilanda masih merasa perutnya bagai ditusuk-tusuk. Jangan kata untuk bergerak, untuk mengambil napas pun sakitnya tak tertahankan. Akan tetapi melihat Tole maju, ia tak bisa menahan diri. Dengan mengempos tenaga terakhir ia meloncat untuk mencegat gelundungan Padmamuka. Keduanya bertemu, berbenturan, dan Wilanda terbanting. Muntah darah.
Upasara mencabut kerisnya. Dalam keadaan terluka Wilanda sekilas masih melihat Upasara menghalangi gelundungan Padmanaba dengan, lagi-lagi, rangkaian jurus Banteng Keraton. Dalam banyak hal, Upasara adalah seorang yang boleh dikatakan congkak. Kesombongannya karena lingkungan yang memanjakan. Namun sebagai seorang ksatria yang banyak menerima ajaran silat dan biasanya ajaran seperti ini tidak berdiri sendiri, selalu dengan sikap-sikap yang lain, ia tak tega melihat Wilanda yang sudah muntah darah diserang. Pun kalau Wilanda bukan orang dekatnya, Upasara bisa maju menolong.
"Anak kecil, kau tak usah ikut."
Padmanaba meraih pergelangan tangan Upasara dengan gaya meyakinkan. Yakin bahwa dengan sekali gebrak ia bakal bisa merebut keris lawan. Perhitungan ini cukup beralasan. Padmamuka bisa melihat sejak pertama tadi, bahwa di antara yang hadir Upasara paling lemah. Apalagi dandanannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pendekar. Pakaian yang dikenakan terlalu bagus. Ikat kepalanya juga milik para pangeran yang biasa digunakan dalam upacara besar, mewah. Kerisnya bertatahkan intan. Gelang kakinya dibuat dari emas murni. Mana ada pendekar silat sempat berpakaian begitu necis?
Upasara sendiri memang sangat cerdik. Bahwa Ngabehi Pandu mau menerimanya sebagai murid tunggal, pasti ada alasan kuat. Ngabehi Pandu melihat bahwa Upasara mempunyai ketajaman yang luar biasa dalam membaca persoalan. Ajaran yang diberikan Ngabehi tak pernah diulang. Sekali dengar bisa dipraktekkan dan dikembangkannya.
Menyadari dirinya sudah dibikin keok pada awal pertarungan tadi, Upasara memanfaatkan ini. Ia sengaja menyerang dengan cara yang tidak terlalu rumit. Jebakannya berhasil. Lawan mencengkeram tangan kanannya dalam usaha merampas keris. Memang itu berhasil, akan tetapi yang tak diperhitungkan si wajah merah adalah bahwa tangan kiri Upasara bisa mengambil oper keris itu dan langsung menikam! Semua terjadi dalam satu gerakan tanpa putus. Ini merupakan rangkaian jurus Banteng Terluka, di mana Ngabehi Pandu menciptakan dari serangan banteng. Tanduk kiri atau kanan sama saja! Kalau yang kiri tak bisa, yang kanan akan sampai juga.
Padmamuka tak menduga bahwa "anak kecil" yang berpakaian model bangsawan pelesiran ini menguasai dengan baik perubahan secara mendadak. Cepat sekali ia mengibaskan tangan Upasara dengan maksud agar tangan Upasara sendiri yang menangkis kerisnya. Ini juga yang tak diduga olehnya. Tangan kanan Upasara memang bisa dikibaskan semaunya akan tetapi justru ini untuk menyambut keris dari tangan kiri dan sekaligus mengarah ke tengah dada. Harus diakui bahwa dalam soal bertempur, Upasara tidak memperhitungkan apakah serangannya terlalu ganas atau tidak. Pertimbangan semacam itu belum merasuk dalam dirinya. Kalau bisa menyerang, ia akan menyerang sepenuhnya. Kalau bisa menusuk dada kenapa harus dibelokkan ke arah lengan.
Ini karena Upasara masih berusia muda, di samping soal tenggang rasa, tak pernah dirasa perlu diperhatikan. Ia tak biasa mengalah. Bahkan untuk tunduk pada orang bin pun, rasanya ogah. Satu-satunya yang didengar dan dipatuhi hanya Ngabehi Pandu. Selama Ngabehi Pandu tidak melarang, ia merasa yang dilakukannya adalah benar.
Walau ilmunya lebih tinggi dan pengalamannya lebih kaya. saat ini Padmamuka tak mempunyai kesempatan untuk lolos dengan mulus. Sambil menggertak keras, ia paksa membuang tubuh sejauh mungkin. Tak urung keris lawan menyerempet baju bagian atas serta memotong kain. Kulit ari di dada teriris panjang ke bawah hingga paha! Kalau saja Upasara meloncat sekali dan menancapkan kerisnya, Padmamuka bisa berubah nama menjadi Pandumuka, alias si muka pucat karena jadi mayat.
Upasara sebenarnya tidak bermurah hati. Ia tak menyangka sama sekali lawan masih bisa lolos. Dalam perhitungannya kerisnya bakal amblas di dada lawan. Dasar cerdik, Upasara mengeluarkan suara mengejek di hidung sambil membanting kerisnya amblas ke tanah
"Hari ini aku masih bermurah hati. Kutitipkan nyawa tak berguna itu dalam dirimu. Hayo. masih bengong di situ? Kenapa tidak menghaturkan sembah dan lekas angkat kaki dari sini?"
Padmamuka memang tak tahu bahwa sebenarnya Upasara tidak bisa memperdaya dalam seketika. Keringat dingin mengucur dan wajahnya makin merah. Ia berjongkok. Betul-betul menghaturkan sembah. Kalau ada orang luar yang melihat kejadian ini pasti tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Saya mohon diri," kata Padmamuka sambil menggelinding pergi, dalam artian sebenarnya karena tubuhnya memang bergulung menggelinding.
"Tole, aku mau tangkap mainan ini," seru Dewa Maut yang terus mendesak Jaghana.
"Pulang...." Sayup-sayup terdengar jawaban Padmamuka. Dalam sekejap saja ternyata Padmamuka telah menggelinding jauh. Entah dengan cara bagaimana tubuhnya bisa menghindar dari onak dan duri.
"Baik, Tole. Aku tak pernah bisa membantah permintaanmu." Lalu dengan mengibaskan tangannya, Dewa Maut mendorong lawannya mundur. Ia sendiri meloncat ke atas dan berlalu. Di tengah udara ia sempat mengayunkan tangannya ke segala penjuru.
Upasara tak menduga apa-apa bila saja Ngabehi Pandu tidak bergerak sangat cepat luar bisa. Tubuhnya berkelebat, kainnya dibuka. dan dengan kain itu ia menangkap apa yang dilemparkan oleh Dewa Maut. lalu mengembalikan ke arah lawan. Dewa Maut telah berlalu, dan yang menjadi sasaran adalah pohon di kejauhan. Upasara melongok melihat perubahan yang menakjubkan. Pohon itu seperti bergoyang. Dan daunnya yang dekat dengan tanah melayu secara perlahan.
"Iblis jahat, Tunggu..."
"Tahan," seru Ngabehi Pandu yang kini berdiri lurus, kakinya hanya mengenakan celana sebatas lutut. Kainnya itu lalu dilemparnya jauh. Upasara baru bermaksud mengambil kain pengganti di kudanya ketika menyadari bahwa ketiga ekor kuda itu sudah lari menjauh. Berlari kencang sekali, dua di antaranya menabrak pohon hingga tunggang langgang, mengeluarkan pekikan keras, berkelojotan bangun, dan berlari terus.
Ngabehi Pandu berjalan mendekati Wilanda, memeriksa nadi dan pernapasannya. Lalu mendekati orang yang berada dalam karung. Memeriksa, sambil mengernyitkan alisnya hingga beradu. Setelah memencet beberapa nadi, Ngabehi Pandu duduk bersila di tanah. Menempelkan telapak tangan ke dada orang yang masih mengerang perlahan itu. Erangan itu makin lama makin pelan. Jaghana berlutut di sampingnya. Tenaganya seperti habis terkuras, dan ia sedang melakukan semadi untuk memulihkannya.
Suasana kembali sunyi. Sepi. Hanya bunyi napas teratur. Upasara melihat bahwa Wilanda masih terbaring pingsan. Ngabehi Pandu masih mengobati, dan Jaghana belum sepenuhnya bisa menguasai pergolakan tenaganya, karena masih tersengal-sengal. Kalau tadi terlambat beberapa saat saja, bukan tidak mungkin Jaghana akan mengalami jalan hidup yang berbeda.
Upasara berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang tak diinginkan. Sementara itu otaknya berpikir keras, merangkai kejadian yang baru saja terjadi. Dewa Maut sambil meloncat pergi karena gusar, sempat melemparkan senjata rahasia, yang bisa ditangkis oleh Ngabehi Pandu. Tidak seluruhnya karena sebagian dari senjata rahasia itu mengenai kuda. Meski masih muda, secara teori Upasara telah menguasai banyak hal. Ia tahu bahwa senjata rahasia yang dilemparkan Dewa Maut mengandung bisa. Bukan sembarang bisa, karena pohon pun bisa layu secara perlahan, dan kuda jadi gila tak karuan. Lalu menabrak pohon dan nekat lari terus.
Samar-samar Upasara ingat bahwa pasangan Dewa Maut dengan Padmamuka adalah pasangan yang memang maut. Kalau mereka berkelahi tak pernah meninggalkan lawan tanpa membunuh! Itulah sebabnya gelar mereka Dewa Maut. Tak ada lawan yang pernah bertempur dengan mereka pulang dengan selamat. Mereka berdua terkenal sakti dan juga jahat. Dewa Maut memiliki senjata rahasia yang diramu dari segala macam bisa ikan sungai. Dengan ramuan khusus yang hanya diketahuinya sendiri, ia mengambil sari pati sengat dan bisa segala hewan air. Bisa itu dimasukkan ke dalam tulang ikan.
Itulah yang tadi disambitkan ke arah lawan. Orang biasa yang terkena sengatan seekor ikan saja bisa demam panas-dingin tiga hari tiga malam! Apalagi yang sudah diramu. Apalagi yang memang dibuat sedemikian rupa untuk membunuh. Entah berapa ratus, atau ribu, binatang air yang dikorbankan oleh Dewa Maut untuk meramu senjata rahasia! Ini saja sudah pertanda betapa kejamnya mereka.
Dan kalau seekor kuda terkena menjadi gatal-gatal tak karuan, pohon perlahan bisa layu, bisa dibayangkan bagaimana sakitnya jika mengenai manusia. Dan pasti juga bukan satu atau dua senjata saja. Upasara merinding. Korban yang kena itu adalah yang dicoba untuk disembuhkan Ngabehi Pandu.
Dan sekarang Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya. "Kenapa tak ditolong, Kisanak?"
Yang ditolong membuka mata tersenyum. "Tidak usah, Ngabehi. Sudah terlambat. Untuk apa Ngabehi membuang tenaga percuma? Ini semua tak mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami." Suaranya bening.
Jaghana menghela napas, membetulkan posisinya, dan duduk di dekat yang terluka.
"Jaghana, adikku..."
"Kakang, tenanglah. Saya akan..."
"Tak perlu. Aku memang tak tahan sakit. Ketika tadi Dewa Maut memaksakan duri ikan ke dalam mulutku, aku tak tahan rasa sakitnya... Gatal luar biasa. Makanya kubuka semua jalan darah, dan kubiarkan semua racun mengalir. Biar aku segera mati. Adikku, jangan sedih. Kematian menjadi ada, bukan menjadi tidak ada."
Upasara tidak sepenuhnya mengerti kata-kata yang terakhir, tapi ia tak berani mengusik.
"Tak nyana, perguruan yang dibangun Eyang Sepuh puluhan tahun lenyap begitu saja. Ah, kita belum sempat membantu orang lain. Kamu yang harus meneruskan, Adik Jaghana."
"Kakang..."
"Dengar, adikku. Aku tak bisa bertahan lama. Tugas seluruh perguruan ini ada padamu. Sampai Eyang Sepuh bisa ditemukan kembali. Usahanya tak boleh berhenti.
"Eyang Sepuh sangat luhur dan agung jiwanya. Bukankah Wilanda saja masih mau menolong sesama dan berani mengorbankan dirinya? Ia harus tetap kita akui sebagai saudara sendiri. Kita tak harus memanggilnya dengan sebutan kisanak. Ah, sebenarnya aku ingin menunggu ia siuman dan mengatakan ini. Akan tetapi aku kuatir tak bisa bertahan lama. Adikku..." Kalimat itu terhenti oleh batuk-batuk keras.
Upasara berlutut di samping, lalu menggeser duduknya. Tanpa sengaja ia memangku kepala yang terluka.
"Anak muda yang mempunyai masa depan hebat. Banyak ksatria yang akan menolong orang yang memerlukan. Yah, Eyang-andai masih ada. akan merasa bahagia sekali. Sayang, kita tak tahu di mana Eyang... sayang, banyak yang jahat dan juga sakti. Aku dibokong, dipaksa mengaku di mana Tamu dari Seberang. Padahal kita semua tak tahu tamu yang mana... Tak kusangka sama sekali, dua tokoh kenamaan dalam dunia persilatan begitu curang. Eyang Sepuh mengatakan bahwa menolong orang lain, bahwa berbuat baik, adalah suatu kebajikan. Sesuatu yang harus dilakukan dengan rela. Bukan karena terpaksa oleh suatu ajaran. Sesuatu yang biasa. Tetapi justru yang dilakukan Eyang menjadi sesuatu yang istimewa-Istimewa kalau dibandingkan dengan perbuatan curang dan keji. Ah..."
Suaranya seperti menahan kesakitan yang lebih dalam dari sekadar mengamuknya racun dalam tubuh. Suaranya mengaduh keperihan.
Upasara melihat orang yang dipangkunya nampak mengerahkan sisa tenaga yang terakhir.
"Aku harus mengatakan ini semua, adikku. Ketika tadi Dewa Maut datang bersama Padmamuka, mereka menanyakan Eyang. Sambil membawa bingkisan persembahan. Katanya untuk menjamu Tamu dari Seberang. Aku mengatakan apa adanya bahwa Eyang Sepuh tak ada di tempat, bahwa kita tak mempunyai Tamu dari Seberang. Aku disergap serentak, dan sebelum sadar mereka telah bisa melumpuhkanku. Dan mengatakan kalau aku tak mengatakan di mana Eyang dan di mana Tamu dari Seberang, aku akan diracuni. Kalaupun tahu, aku tak mau membuka mulut. Tapi Dewa Maut memaksa aku membuka mulut dan menyambitkan senjata rahasianya. Kemudian aku dimasukkan ke dalam karung kulit kayu. Mereka berdua ingin mempraktekkan ilmu Pasangan Ikan dengan Keong pada tubuh mereka. Lalu mereka mendengar suara pertempuran kalian dan aku dibawa kemari. Adikku, jangan berpikir tentang balas dendam. Aku kalah dan mati karena kesalahanku. Yang harus dilakukan adalah mencari Eyang dan meneruskan ajarannya. Itu permintaanku. Dan aku akan mati dengan tenang..."
"Ngabehi Pandu..."
Ngabehi Pandu menoleh dengan wajah dingin. Tetap dingin.
"Terima kasih atas budi baik Ngabehi. Anak muda, kau mempunyai ilmu yang hebat di usiamu yang masih muda. Mudah-mudahan..." Suara batuknya menghentikan kata-katanya. Terhenti untuk selamanya.
Ngabehi Pandu menghela napas. Jaghana memberi hormat dengan dalam. Lalu perlahan menutup mata saudara seperguruannya, sambil berbisik di telinga. Dan rasanya air sungai pun berhenti mengalir. Hanya helaan napas yang berat. Selebihnya sepi. Sepi yang diam membeku.
Angin kembali bertiup seperti sediakala. Seperti tak ada yang berubah. Seperti tak ada yang terjadi. Semua kembali ke keadaan yang tenang, damai. Suatu perkampungan-yang tak bisa dinamai kampung karena tak ada rumah satu pun dilingkari pohon-pohon tinggi, rumput yang lebih tinggi dari lutut.
Upasara tak menemukan perubahan. Juga tidak dengan adanya kuburan seorang anggota Nirada. Karena sesuai dengan kepercayaan Perguruan Awan, mereka yang meninggal dikubur tanpa nisan tanda pengenal. Bahkan tanah di atasnya diratakan seperti semula. Rumput dan ilalang yang tercongkel dikembalikan seperti keadaan aslinya. Suasana memang seperti sebelumnya.
Hanya manusianya yang berbeda. Wilanda masih jauh dari pulih. Ia masih mengerang perlahan. Racun dari bisa ikan sungai yang dilepaskan oleh Dewa Maut tetap menyiksanya. Ngabehi Pandu berusaha menghentikan menjalarnya rasa sakit. Tapi ia sendiri bukan tabib. Sementara Jaghana menunggui di sebelahnya. Selebihnya sunyi yang sama.
Ini pertama kalinya Upasara turun ke lapangan. Sebelumnya ia tak pernah meninggalkan dinding Keraton. Sebagai pemuda yang lagi mekar-mekarnya, rasa hausnya memang tak bisa dibendung. Segala apa ingin ditenggak—kalau bisa sekaligus. Pengalaman ini sudah lama ditunggu-tunggu. Sejak masih bocah, Upasara tertarik mempelajari ilmu silat. Tak ada yang lebih menyita perhatiannya selain ilmu silat.
Pada usia belum ada sewindu, belum ada delapan tahun. Upasara mampu tapa pati geni. Bertapa hidup tanpa api. Berada di tempat gelap selama empat puluh hari empat puluh malam. Boleh dikata setiap harinya dilalui dengan berbagai macam pantangan. Gemblengan dari Ngabehi Pandu yang dilakukan dengan keras dan secara maraton, membuatnya sebagai ksatria yang boleh dibilang komplet. Sejak usia dua belas tahun Upasara hanya keluar dari tempat latihannya setahun sekali. Untuk menjajal ilmunya. Dengan para prajurit yang lain. Baik satu lawan satu, ataupun dikeroyok. Dengan lawan perwira yang biasa-biasa, sampai dengan yang pilihan. Dan setiap 33 hari sekali, Ngabehi Pandu menemuinya untuk menurunkan ilmunya. Memberikan pelajaran satu-dua jurus baru. Selebihnya mengulang yang lama.
Meskipun boleh dibilang gila silat, Upasara jemu sekali. Itu sebabnya tanpa membantah ia mengatakan sanggup. Apalagi dikawal langsung oleh Ngabehi Pandu, Dan Wilanda satu-satunya perwira Keraton yang mengenal Perguruan Nirada. Upasara boleh dibilang tak menemukan lawan yang setanding di Keraton. Akan tetapi begitu terjun ke gelanggang, ia menyadari bahwa apa yang dimiliki selama ini masih tingkat awal sekali. Boleh dikatakan, sekali pun ia belum pernah menang. Malah boleh dikata kalah. Beberapa kali, malahan ditolong oleh gurunya sendiri untuk menyelamatkan nyawa.
Sebenarnya Upasara tak perlu menggetuni dirinya sendiri. Boleh dikatakan lawan yang ditemui adalah jagoan kelas tinggi. Dewa Maut dengan Padmamuka misalnya, adalah jagoan yang tersohor. Bukan nama sembarangan. Apalagi kini sekali masuk, ia berada di Perguruan Awan yang mempunyai pengaruh begitu luas. Namun, mudah diduga, Upasara tidak merasa puas. Justru sebaliknya sangat mendongkol. Darahnya serasa masih berdesir panas. Makanya, ketika yang lainnya mempergunakan kesempatan untuk beristirahat dan bersemadi, Upasara melihat sekeliling.
Menemukan kudanya yang mati kaku. Lagi-lagi korban racun Dewa Maut. Kalau beberapa saat lalu disaksikannya sendiri kuda itu lari pontang-panting menabrak cabang dan ranting tanpa peduli, kini sudah mati kering. Mata kuda itu membelalak, badannya kaku kejang. Dari bibirnya seperti keluar ringkik yang tak selesai. Dan tak ada air liur meleleh. Itulah sebabnya Upasara menyebut sebagai mati kering.
Berjalan beberapa tindak lagi, tiba-tiba Upasara mendengar suara-suara. Dengan sigap ia meloncat ke atas pohon untuk mengawasi keadaan sekitar. Tak begitu sulit memanjat pohon sampai ke ujung tanpa menimbulkan suara. Hanya saja, begitu sampai di ujung Upasara terperanjat sekali. Ia tak pernah menduga bahwa di bagian lain dari tempatnya bertempur, kini sedang terjadi sesuatu yang lebih besar. Bagaimana mungkin ia bisa tak mengetahui?
Memang apa yang dilihat Upasara cukup membuat heran. Di sebuah lapangan yang rada luas, tapi masih tetap dikelilingi pohon tinggi, berdiri sepuluh perwira Keraton. Dalam keadaan siap siaga dengan tombak dan tameng. Agak jauh di belakang mereka ada seorang pemimpin yang naik kuda. Kuda hitam mulus. Sekelebatan, Upasara bisa mengenalinya sebagai Senopati Suro, Kepala pasukan Keraton. Mana mungkin bisa sampai kemari lebih dulu, pikir Upasara.
Rasanya, Ngabehi Pandu memberitahukan bahwa ini tugas rahasia dari Keraton. Boleh dikata tak ada yang tahu. Tapi nyatanya, jelas omong kosong, Karena Senopati Suro sudah mengerahkan sepuluh pengawalnya yang terbaik. Agak di belakang ada sebuah tandu tertutup. Upasara tidak bisa memastikan siapa yang ada di dalamnya.
Tapi ini pasti hebat. Ia sendiri berkuda siang-malam. Boleh dikatakan tanpa berhenti untuk makan atau mandi. Eh, toh ada rombongan lain yang juga dari Keraton serta memakai tandu. Apa bukan luar biasa?
"Kami datang dengan baik-baik. Tetapi kalau tuan rumah tak mau menyambut, jangan salahkan kami yang berlaku kurang ajar," Senopati Suro menyepit perut kuda hitamnya. Yang seperti busur panah melesat ke depan.
Baru kini Upasara bisa melihat jelas. Ternyata di lapangan itu ada beberapa kelompok. Selain pasukan Senopati Suro juga ada tiga kelompok lain. Salah satu kelompok berjalan dengan seenaknya maju ke tengah.
"Aha, kalau negara sudah ikut campur, urusan ini bakalan ramai. Ramai sekali. Tetapi untuk apa berkaok-kaok seperti itu. Semut bisa takut lihat kuda gagah, tetapi manusia bukanlah semut. Tak bisa ditakuti seperti anak kecil. Hai, penunggang kuda yang gagah, apa maksudmu berteriak seperti itu?"
Upasara melengak. Benar-benar aneh dunia silat ini. Kalau di Keraton segalanya serba teratur, serba penuh tata krama, tapi kayaknya di sini tak ada aturan apa-apa. Boleh main tegur sekenanya. Siapa kira seorang yang setengah baya, berpakaian penduduk biasa, berani menggertak seorang senopati?
"Maaf, kami tak ada urusan dengan kalian. Kami ingin bertemu tuan rumah."
"Astaga, sebagai sesama tetamu kenapa mesti berbuat kasar? Kami juga tetamu yang justru datang lebih dulu. Kenapa yang datang belakangan minta dilayani lebih dulu? Apa karena ia senopati Keraton sehingga bisa dan boleh berbuat semaunya? Aku tak bisa melihat cara-cara seperti ini. Kalian harus antre dengan baik."
Dua prajurit yang di depan bereaksi. Akan tetapi Senopati Suro memberi tanda untuk bersikap tenang.
"Saya datang kemari ngemban dawuh, mengemban sabda raja, tidak ada waktu untuk bermain-main. Maaf, bisa kita lanjutkan pada kesempatan yang lain. Kami bukan tak kenal dengan Tiga Pengelana Gunung Semeru yang terhormat. Kami bukan tak gatal untuk menjajal nama besar, akan tetapi sekarang bukan saatnya."
Lelaki yang disebut sebagai anggota Tiga Pengelana Gunung Semeru tertawa lebar. "Siapa minta dilayani? Siapa minta bermain? Saya hanya bilang kalau mau bertemu dengan tuan rumah, harap pakai aturan yang benar. Kita datang lebih dulu. Bukan begitu?"
Pertanyaannya entah ditujukan kepada siapa. Karena tak ada yang menjawab dan tak ada yang bereaksi. Di atas pohon, Upasara merasa bergirang hati. Ia mengetahui dari Wilanda tentang tokoh-tokoh dunia silat. Tiga Pengelana Gunung Semeru termasuk yang disegani. Terutama jika ketiganya maju secara bersamaan membentuk Barisan Trisula.
Mereka ini terdiri atas tiga orang yang selalu pergi bersama-sama. Malah menurut beberapa sumber ketiganya masih saudara kandung. Nama mereka tak terlalu sulit, karena merupakan urutan persaudaraan. Yaitu Kakang Mbarep—si sulung, Panengah—yang kedua, serta Wuragil—yang paling berangasan sifatnya. Namun seperti pendekar yang lain, selama ini meskipun namanya pengelana, mereka sudah sejak lima tahun terakhir tak ada kabar beritanya. Karena memusatkan diri di Gunung Semeru. Boleh dikatakan, meskipun ketiganya termasuk jagoan, akan tetapi karena lebih banyak berkutat dengan diri sendiri, pengaruhnya tak begitu terasa. Bahkan dalam kurun waktu terakhir ini boleh dikata tak ada yang membicarakan lagi...
CERSIL LAINNYA | BAGIAN 02 |
---|