Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 06
Upasara melihat klika yang berisi Bantala Parwa sejenak. Lalu menggulung kembali, dan menyerahkan kepada Kawung Sen. "Tidak ada gunanya."
"Masa?"
"Kitab ini bukan berisi pelajaran ilmu silat. Ini mengenai uraian Tumbal Bantala Parwa. Artinya cara menjawab jurus-jurus atau ilmu mengenai bumi. Tanpa membaca Bantala Parwa, kitab ini tak ada artinya."
"Aku memang goblok, Kakang. Coba aku tahu. Aku bisa mengambil dua-duanya. Tapi mana mungkin aku tahu? Aku tak bisa membaca. Aku mengambil sekenanya.
"Hoho, tapi bagaimana Kakang bisa langsung menentukan tak ada gunanya?"
"Klika ini berjudul Tumbal Bantala Parwa, artinya Kitab Penolak Bumi. Berarti sebelum ini sudah ada Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Barangkali setelah menciptakan Bantala Parwa, empu yang sama ini menciptakan Tumbal Bantala Parwa. Untuk melengkapi atau mengoreksi kekurangan dalam kitab sebelumnya. Bagi yang telah mempelajari Bantala Parwa, kitab ini sangat berguna sekali. Akan tetapi bagi yang belum mengetahui, sama sekali tidak ada gunanya."
Kawung Sen sangat kecewa.
"Adik, aku sama sekali tidak berdusta."
"Kakang Upasara, mana mungkin aku berani mencurigai Kakang?" Kawung Sen membuang klika kedua. Dalam satu ikat hanya terdiri atas satu lembaran.
"Kakang, barangkali masih ada gunanya. Kalau kita bertemu dengan Ugrawe yang memainkan jurus Bumi, bukankah kita bisa mengatasi?"
"Memang. Tapi, apa itu jurus Bumi tak disebutkan di sini sama sekali." Upasara mengambil klika yang dicampakkan. Membukanya dan membaca. Aku mulai dengan baris pertama. Tumbal Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Catatan terakhir bagi Bantala Parwa. Terdiri atas tujuh catatan, sebagai berikut:
"Untuk jurus Manik Maya Sirna Lala, mempergunakan telapak tangan terbuka, seperti dua paruh itik, tenaga ada di sudut.
"Untuk jurus Sri Saddhana, mempergunakan tenaga isi yang dibungkus, seumpama pisang biji. Sumber tenaga dari utara-selatan.
"Untuk jurus Sekar Sinom, mempergunakan tenaga yang terpancing ke luar oleh lawan, ibarat biji asam yang membuka sendiri karena sudah tua. Sumber tenaga dari selatan.
"Untuk jurus Glagah Kabungan, mempergunakan tenaga panas di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas.
"Untuk jurus Kawula Katuban Bala, mempergunakan tenaga dua kaki terbenam, seumpama buah ketela. Sumber tenaga dari arah utara-timur.
"Untuk jurus Sigar Penjalin, mempergunakan tenaga dingin di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas.
"Untuk jurus Asu Angelak, mempergunakan tenaga runcing di setiap sudut. Sumber tenaga tidak disebutkan di sini.
"Untuk Singa Meta, mempergunakan tenaga diam di tengah. Sumber tenaga dari pengaturan napas terbuka tapi..."
Upasara menggeleng. "Bahkan catatan ini pun tidak selesai...."
Kawung Sen mengangguk-angguk. Lalu menggeleng-geleng. "Benar-benar mustahil untuk bisa mempelajari. Kalau mengenai Kartika Parwa saja sulit dicernakan, bagaimana mungkin kalau hanya mendapatkan kunci jawaban? Itu pun belum selesai. Dengan cara bagaimana Ugrawe itu bisa mempelajarinya, sehingga ilmunya demikian tinggi?"
"Satu hal yang selalu menyertai setiap lahirnya jurus-jurus ilmu silat. Jurus-jurus itu tidak pernah lahir dengan sendirinya. Ada dasar pemikiran yang menyertai. Jurus-jurus Banteng Ketaton yang diwariskan Ngabehi Pandu padaku juga diilhami dari gerakan seekor banteng terluka. Dari sifat-sifat itulah kemudian diubah, disesuaikan dengan kemampuan kita. Ngabehi Pandu pernah menuturkan hal ini. Ugrawe bisa mempelajari dengan baik kalau ia mengetahui mengenai sifat-sifat bumi. Setidaknya sifat-sifat yang disebut dalam nama jurus-jurus tersebut..."
"Kakang bisa mengetahui?"
"Tidak begitu pasti. Mungkin..." Upasara berdiam diri. "...mungkin sekali. Tetapi tidak. tidak. Apa hubungannya?"
"Apa yang Kakang katakan?"
"Manik Maya Sirna Lala ialah keadaan bumi di mana tanah di sebelah timur rendah dan tanah di sebelah barat lebih tinggi. Keadaan ini sangat tidak baik. Tidak bisa langgeng.
"Sri Saddhana adalah keadaan yang terbalik. Bumi di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat. Tidak baik dipakai untuk latihan, karena ini bisa menyebabkan luka berat. Salah-salah malah menyebabkan kehilangan kawan latihan.
"Sekar Sinom, keadaan bumi di mana sumber air di sebelah selatan, dan dikepung oleh tenaga lain. Banyak keuntungan akan tetapi... akan tetapi jurus ini tak banyak berguna jika kita tidak bisa menerima kenyataan bakal kehilangan kasih.
"Glagah Kabungan, keadaan bumi lebih tinggi di bagian selatan dan rendah di bagian utara.
"Kawula Katuban Bala, kebalikan dari Glagah Kabungan. Jika bumi dikepung oleh gunung.
"Sigar Penjalin, jika bumi dikepung air.
"Asu Angelak, jika tak ada tenaga di sebelah timur, atau tenaga yang patah. Ini keadaan bumi yang siap mengamuk.
"Singa Meta, jika keadaan bumi diterobos air secara terus-menerus, tetapi ia tetap kering."
Seumur-umur Kawung Sen belum pernah mendengar penjelasan seperti ini. Selama ini ia berlatih silat mengikuti petunjuk kakak-kakaknya. Menirukan gerakan, mengatur pernapasan, mengulang lagi, tanpa ada penjelasan seperti yang dikatakan Upasara.
"Mungkin jurus-jurus itu menggambarkan sifat-sifat bumi yang tadi. Tapi bagaimana penerapannya, tetap tak bisa dimengerti."
"Tak apa, Kakang. Lupakan saja."
Justru sebaliknya. Upasara merasa ditantang. Hatinya seperti dibakar. Tak mungkin sama sekali, ia tiba-tiba saja berkata seperti yang diucapkan oleh Kawung Sen. Untuk melupakan begitu saja hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu silat.
Kawung Sen memang tak bisa membayangkan cara hidup Upasara Wulung. Bahkan kalau diceritakan masa lampaunya, mungkin sulit menerima, meskipun jelas ia mudah percaya.
Upasara melewati masa kecilnya berbeda sekali dengan anak-anak sebaya. Juga berbeda dengan sentana dalem, atau kerabat Keraton. Sejauh ingatan Upasara, ia belum bisa berjalan ketika berada dalam suatu ruangan yang biasa dipakai untuk berlatih silat. Setiap harinya yang dilihatnya adalah para prajurit, para pendekar berlatih jungkir balik, memukul, melatih senjata, berlatih napas, dan membaca buku. Sejak masih kanak-kanak sekali, Upasara sama sekali tak mengenal siapa ayah dan siapa ibunya. Ia juga tak menanyakan hal itu, karena pada pikirnya hal itu tak perlu diketahui.
Sampai dengan usia enam tahun, Upasara melewati waktunya dalam ruangan luas yang sengaja dibangun untuk latihan. Bersama dengan dua puluh lima anak sebaya. Setiap harinya, baik siang ataupun malam, mereka berlatih silat, membaca buku, berlatih lagi, membaca buku, berlatih, membaca. Para guru datang silih berganti. Pada usia sewindu, untuk pertama kalinya ia diajak keluar dari dinding Keraton. Melihat sawah yang luas, gunung yang tinggi, sungai deras, dan pasar. Tetapi kemudian mengeram diri lagi.
Sejak itulah ia mulai dilatih khusus oleh Ngabehi Pandu. Yang memberitahukan mana kitab yang harus dibaca, perlu dibaca. Mana yang harus dilatih hingga mahir, mana yang perlu diketahui. Bagian yang ditempati Upasara adalah sebuah sudut Keraton. Suatu ruangan yang luas, tempat berlatih silat. Dan beberapa rumah yang dijadikan tempat tinggal. Dari sanalah Upasara mengenal dunia. Dari rumah yang ditinggali dan di tempat latihanlah Upasara menghabiskan masa kanak-kanaknya. Sampai usia dua belas tahun, ia diajak mengembara lagi. Ngabehi Pandu mengajaknya pergi ke hutan, dan memperkenalkan beberapa isi hutan.
Tiga bulan Upasara berdiam di hutan. Berlatih di sungai, di atas tebing, di atas pohon. Mencoba hidup dari hasil hutan yang bisa ditangkap. Setelah itu masuk kembali ke dalam Keraton. Kembali berlatih. Membaca semua kitab yang ada. Mengenai cara bernapas, mengatur pemerintahan, ilmu bumi, nama raja, tata cara, adat-istiadat, dan tentu saja sejarah Keraton sendiri. Sampai usia lima belas tahun, Ksatria Pingitan—begitulah sebutan untuk mereka yang berada dalam ruangan tersebut—tinggal tiga orang. Dan sejak itu Ngabehi Pandu secara khusus melatih sendiri secara maraton. Melatih membaca, menghafal, berkelahi, ilmu negara, dan segala ilmu pengetahuan yang ada.
Tapi sejak itu, Upasara mulai longgar. Ia diizinkan pergi ke luar Keraton, jika memang menghendaki Upasara mencoba, akan tetapi kemudian kembali lagi. Baginya dunia di luar dinding Keraton sangat ganjil. Bahkan suasana dalam Keraton sendiri tak membuatnya senang. Upasara hanya mencintai ruang di mana ia sejak kecil dibesarkan.
"Baginda Raja membuat dalem pingitan ini sengaja untuk melatih para ksatria. Agar kelak menjadi senopati yang linuwih," demikian ujar Ngabehi Pandu suatu ketika. "Kau terpilih di sini sampai akhir hayatmu."
"Terima kasih, Paman."
"Segala apa yang terjadi di luar dinding Keraton bisa kau pelajari di sini. Cara menanam padi atau mengubur mayat pun bisa kau pelajari. Kau memang disiapkan untuk menjadi senopati, yang kelak kemudian hari akan menjunjung nama Keraton..."
Menjelang usia delapan belas, Upasara setiap 35 hari sekali menjajal ilmunya. Dengan para senopati yang lain. Ia mengenal mereka hanya dalam latihan belaka. Termasuk di dalamnya adalah Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti. Baik sendiri-sendiri maupun menghadapi keroyokan mereka. Maka boleh dikatakan Upasara sama sekali tak mengenal kehidupan dinding Keraton secara langsung. Ia mengetahui dari buku-buku. Baginya tak ada yang bisa mengalahkan kecintaannya untuk membaca buku dan menembang.
Maka ketika membaca Kartika Parwa dan Bantala Parwa, dengan segera Upasara bisa melakukan. Dan untuk memecahkan isi kitab itu adalah tantangan besar. Selama ini tak ada kitab pusaka di Keraton yang tak dipahami. Kitab-kitab itu mempunyai sifat yang sama. Harus bisa dipahami dengan beberapa syarat tertentu. Tidak asal menghafal dari yang tertulis.
"Adik, mari kita jajal jurus Lintang Sapi Gumarang. Tidak perlu dibuka lagi catatan itu. Aku masih bisa menghafal. Di sini tidak diterangkan gerakan, karena hanya menyebutkan pengaturan tenaga belaka. Maka sangat boleh jadi, gerakan apa pun tak menjadi soal. Asal pengerahannya seperti yang dimaksudkan."
Upasara berdiri. Di tengah malam, hanya kena pantulan api dari kayu. Ia mengambil sikap sempurna, menghormat dalam dengan menghaturkan sembah. "Hamba yang rendah ini, Upasara Wulung, minta berkah pangestu. Maafkan segala kelancangan hamba mempelajari ilmu para sepuh."
Lalu dengan serta-merta mengumpulkan tenaga dari ujung-ujung hidung. Udara disedot masuk, naik ke atas ke ubun-ubun, turun lewat tulang belakang, dan dikumpulkan di pusar. Ditahan sekuatnya, sehingga arus tenaga yang bergelora itu terasa menggerakkan semua urat dan saraf, membuka semua jalan darah. Baru kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dari samping, hingga pangkal telapak tangan menyentuh ketiak. Kuda-kuda tetap mengangkang seperti seorang menunggang kuda. Perlahan kedua tangannya bergerak sesuai dengan yang dihafal. Tenaga dikerahkan dari arah utara dan selatan. Seirama dengan penyaluran napas, tangan kanan dan kiri digerakkan ke arah kanan dan kiri. Pusat perhatian tertuju di satu titik di depan, akan tetapi yang ada dalam bayangan adalah tetesan hujan pertama, loncatan belalang, luncuran burung, tumbuhnya benih padi. Merasa konsentrasinya kuat, Upasara melemparkan tenaganya ke depan.
Bupb!
Kayu api di depannya terpental semuanya. Api menjadi padam seketika, keadaan menjadi gelap. Cabang kayu yang tadi dipakai untuk api, baru beberapa saat kemudian terjatuh di tanah. Saking tinggi terlemparkan!
Kawung Sen berjingkrakan. "Bagus, kau berhasil, Kakang."
Upasara membuyarkan tenaga dalamnya. "Tidak. Tanpa jurus itu pun aku bisa melakukan."
"Lalu?"
"Ada yang belum bisa kupahami. Cara mengambil sumber tenaga inti masih belum bisa kuketahui. Dalam kitab disebutkan sebagai tenaga musim Kasa. Musim pertama. Itu juga bisa disebut tenaga Kartika. Musim pertama itu mempunyai sifat belas kasih. Aha, mungkin itu sebabnya kenapa dalam kitab itu disebutkan kalau mempunyai rasa pongah dan sombong, tidak mencapai sasaran."
"Coba lagi."
"Kita coba sama-sama."
Kawung Sen berjingkrakan. Ia berdiri sejajar, berjarak tiga tombak. Keduanya mulai bergerak. Upasara mengulangi gerakan tadi untuk menghimpun tenaga. Sedang Kawung Sen, karena latar belakang silatnya berbeda, mengambil tenaga dengan menggerakkan kedua tangan setengah lingkaran di depan tubuh. Lalu dalam saat yang bersamaan, keduanya melemparkan tenaga ke depan. Terdengar suara keras. Dua pohon sekaligus bergoyang. Pohon di depan Upasara rontok sebagian besar daunnya. Sedang pohon di depan Kawung Sen somplak beberapa cabangnya.
"Hoho... aku bisa. Aku bisa."
Upasara memusatkan konsentrasi. Ia mulai dengan jurus Lintang Tagih. Tenaga mengambil dari utara. Tenaga bergulung, dan bergelombang besar, dan Upasara memusatkan seluruh daya cipta kepada dirinya, tidak memedulikan arah pukulan. Membiarkan tenaga dingin tetap berada di dalam, dan tenaga panas menyembur ke luar.
Krak!
Kini pohon di depan Upasara tercabut seakarnya. Pohon di depan Kawung Sen rontok semua daun dan cabangnya.
"Adik, jurus kedua ini hanya mengerahkan tenaga luar, tenaga panas. Sebagian tetap disimpan."
"Kenapa begitu?"
"Inilah inti musim Karo. Musim kedua yang juga disebut Pusa. Jangan terlalu lama menahan tenaga di dalam. Gerakan harus dilakukan dengan cepat. Jauh lebih cepat dari jurus pertama."
"Dasar ilmu silat kita berbeda. Bagaimana Kakang bisa menjelaskan itu? Apa ditulis di situ?"
"Tidak. Tetapi kalau dilihat hasilnya, aku bisa menumbangkan pohon, sedang Adik tidak. Padahal tenaga dalam Adik jauh lebih besar dariku. Adik memiliki latihan dan pengendalian yang lebih berpengalaman. Hanya cara mengaturnya yang keliru. Kita ulangi jurus satu dan dua, dengan sasaran pohon yang lain. "Mulai!"
Benar apa yang dikatakan Upasara. Pohon di depan Upasara sudah tumbang dan terlempar. Baru kemudian pohon di depan Kawung Sen bergoyang perlahan sebelum akhirnya rubuh.
"Astaga. Kenapa bisa begitu?"
"Waktu yang digunakan untuk pengerahan tenaga. Pada jurus pertama, karena pengaruh Kasa, waktunya lebih lama. Umur Kasa adalah 41 hari. Sedang Karo hanya 23 hari. Jadi hampir separuhnya. Waktu Karo sama juga dengan waktu Dhestha atau jurus kesebelas yang dipengaruhi Padrawana. Usianya juga 23 hari."
"Bagus, bagus. Boleh juga. Bagaimana dengan musim yang lain? Aku tak pernah mengerti berapa umur bulan yang ketiga dan seterusnya."
"Musim ketiga disebut Manggasri, berumur 24 hari, musim keempat disebut Sitra, berumur 25 hari. Musim kelima disebut Manggakala, berumur 27 hari. Musim keenam disebut Naya dihitung 43 hari. Demikian juga musim ketujuh disebut Palguna berusia 43 hari."
"Susah, susah, Kakang. Kenapa setiap bulan, setiap musim umurnya berbeda-beda?"
"Entahlah, Adik, bagaimana para leluhur menemukan perhitungan ini. Tetapi musim Kasa dihitung mulai terbitnya matahari ketika mulai condong ke selatan. Musim Naya, dihitung sejak matahari terbit ke arah selatan persis. Musim Palguna, ketika matahari terbit mulai condong ke utara. Sedangkan musim kedua belas, yang terakhir disebut Asuji, dihitung dari matahari terbit persis di utara. Dan panjang-pendeknya umur musim mempengaruhi jurus yang dimainkan."
"Bagaimana mungkin matahari agak ke selatan atau di selatan persis, agak ke utara atau di utara persis. Seumur-umur matahari terbit dari timur."
"Tidak persis begitu. Adakalanya agak ke utara dan agak ke selatan. Adik, para leluhur kita telah lama memperhitungkan ini semua dengan arah angin, hujan, ombak laut, ketika para senopati Keraton dikirim ke Melayu. Dengan dasar yang sama pula kini diciptakan dalam ilmu silat. Berbahagialah Adik menemukan ilmu ini."
"Tidak, Kakang yang membuat terang."
"Adik bisa berlatih sendiri. Setidaknya dari Kartika Parwa. Mungkin suatu hari kelak, kita bisa belajar bersama-sama lagi."
"Kakang akan melanjutkan perjalanan?"
"Tugas Keraton...."
"Sudahlah, Kakang. Pertolonganmu tak akan pernah kulupakan. Mudah-mudahan dewa di langit membalas semua budi baik Kakang. Kalau aku mengetahui rencana Maharesi Ugrawe, aku akan segera melaporkan padamu."
"Nuwun...."
Upasara mengangguk. Kawung Sen melompat memeluk Upasara. Lalu cepat melepaskan kembali.
"Aku sungguh tidak sopan."
"Adik Kawung Sen, selamat tinggal."
"Kakang Upasara, selamat jalan."
Upasara segera berlalu. Meskipun tidak menoleh ia tahu bahwa Kawung Sen masih berdiri di tempatnya, sampai ia menghilang di kegelapan malam. Dan malam itu Upasara terus melanjutkan perjalanan. Hingga dini hari. Setelah beristirahat sejenak, ia melanjutkan perjalanan kembali. Menjelang senja, sampailah ia di batas kota. Upasara mulai berhati-hati. Sekali lagi ia menyamar sebagai penduduk biasa. Malah ia memakai caping lebar sekali yang telah butut. Dengan perasaan aman, Upasara melangkah ke dalam desa.
Sebuah desa perbatasan yang cukup ramai, pikir Upasara. Apalagi menjelang senja begini masih banyak orang lalu-lalang. Setahuku, di luar Keraton tak pernah ada kegiatan begitu matahari tenggelam. Ataukah ada sesuatu yang terjadi? Dugaan Upasara tidak meleset. Orang yang berlalu-lalang ini menuju satu tempat. Yang dituju adalah lapangan yang diterangi banyak obor yang mulai dinyalakan. Ada panggung luas, di belakangnya dihiasi patung besar, serta umbul-umbul. Kelihatan kegiatan baru akan dimulai.
Upasara melirik sebentar. Berniat meneruskan perjalanan ketika terdengar sorak-sorai keras. Terpaksa kakinya berhenti melangkah. Pandangannya tertuju ke tengah panggung. Dan kecele. Karena panggung tetap kosong melompong. Dalam herannya, Upasara menegur seorang yang sebaya dengannya.
"Ada apa, Kisanak?"
Yang ditegur memandang heran ke arah Upasara. "Untuk apa datang kemari kalau tak tahu kegiatan apa?"
"Maaf, saya benar-benar tidak tahu. Apakah akan ada pertandingan silat?"
"Ini sudah malam ketujuh dari Sayembara Mantu. Bisa jadi kalau kamu ikut dan menang, bisa memboyong putri Cina. Ha... ha... ha."
Dari caranya tertawa, jelas Upasara ditertawakan.
"Majulah segera, siapa tahu nasibmu baik. Kami semua sudah tidak sabar menunggu siapa pemenangnya."
Sayembara Mantu, adalah sayembara untuk dipilih menjadi menantu. Upasara mengetahui bahwa ada cara-cara seperti itu. Agaknya terlalu banyak calon sehingga perlu diadakan sayembara. Hanya yang mengherankan, kenapa yang dipilih adalah putri Cina?
Upasara tahu bahwa dahulu pernah ada utusan dari negeri Cina yang datang ke Baginda Raja. Konon, raja dari negeri Cina terdiri atas para jagoan yang luar biasa. Namun mereka bisa diusir pergi. Malah utusannya dicoreng wajahnya dengan tulisan. Sejak itu mereka pulang balik ke negerinya minta bala bantuan. Akan tetapi Upasara juga mendengar berita bahwa tidak semua utusan pulang kandang. Beberapa jagonya yang kesohor masih tinggal di sekitar pantai. Siapa nyana sekarang berani mendirikan tempat pertemuan yang terbuka dan mengadakan Sayembara Mantu?
Kalau benar ini malam ketujuh, berarti sudah lebih dari sepasar kegiatan ini diadakan setiap malam. Dan jaraknya dari Keraton tak terlalu jauh. Sehingga pastilah pihak Keraton telah mendengarnya. Pasti juga tak ada larangan dari Keraton, karena nyatanya kegiatan ini masih terus berlangsung. Bagi Upasara tidak menjadi soal benar hal semacam ini. Ia sama sekali tak tertarik mencari pasangan. Dalam otaknya belum ada masalah seperti itu. Akan tetapi bahwa kegiatan ini diadakan oleh kelompok yang pernah diusir dari Keraton, memang agak mencengangkan.
Seingat Upasara, Ngabehi Pandu pernah menceritakan bahwa dalam utusan Meng-ki terdapat seorang ahli silat yang ilmunya kelewat tinggi. Yang harus diperhitungkan benar-benar. Upasara tidak bertanya lebih jauh saat itu. Akan tetapi mengingat bahwa gurunya memuji, ia jadi penasaran. Setahunya, gurunya hanya menyebut-nyebut beberapa nama yang termasuk luar biasa.
Yang pertama adalah Eyang Sepuh dari Perguruan Awan. Ia menduduki tempat teratas. Hanya saja sudah sejak lama Eyang Sepuh ini mengasingkan diri dan membina Perguruan Awan. Sehingga tak diketahui lagi. Menurut Ngabehi Pandu, kemampuan Eyang Sepuh tak bisa diukur lagi. "Bagaimana bisa diukur kemampuannya kalau selama ini Eyang Sepuh belum ada yang bisa mengalahkan? Bahkan murid-muridnya masih termasuk kelas tinggi. Di dunia ini, hanya Eyang Sepuh yang tak terkalahkan selama pertandingan."
Yang kedua adalah Mpu Raganata. Mahapatih Keraton yang dianggap mampu menandingi siapa saja, dalam soal apa saja. Baik dalam pertempuran satu lawan satu, baik dalam mengatur siasat perang, maupun dalam strategi, serta membaca maksud lawan. Salah satu ilmu andalannya disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Rangkaian jurus-jurus ini oleh Ngabehi Pandu disebut sebagai penangkis segala jurus. Karena Mpu Raganata mampu membaca apa yang dipikirkan lawan. Tahu ke mana gerakan dan serangan lawan. Sehingga dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawannya.
"Eyang Sepuh belum pernah terkalahkan. Paman Ngabehi, dibandingkan dengan Mpu Raganata yang menguasai Weruh Sadurunging Winarah, siapa yang lebih unggul?"
"Susah dibuktikan. Tapi Mpu Raganata selalu menolak bertanding dengan Eyang Sepuh. Beliau mengatakan bukan tandingan Eyang Sepuh. Mungkin justru dengan ilmunya itu Mpu Raganata mengetahui bahwa ia tak bisa mengungguli Eyang Sepuh."
Yang ketiga disebut-sebut adalah Ugrawe. Terutama karena ilmunya Sindhung Aliwawar yang beraneka ragam, dan sulit dipelajari oleh lawan. Sejak Eyang Sepuh tak lagi terjun ke dunia, dan Mpu Raganata tergeser dari pusat kekuasaan, hanya Ugrawe yang bisa malang-melintang. Baru kemudian, Ngabehi Pandu bercerita tentang tokoh keempat. Yaitu panglima utama dari negeri Cina, yang dikenal dengan Mojin, atau Bok Mojin.
"Mojin mewarisi ilmu gulat yang luar biasa yang dikembangkan dari negeri asalnya, negeri padang pasir Mongolia. Dipadu dengan kecepatan gerak bangsa Cina yang ditaklukkan, Mojin benar-benar luar biasa."
Saat itu Ngabehi Pandu tidak menyebut-nyebut Mahisa Anengah Panji Angragani yang menggantikan kedudukan Mpu Raganata.
"Jauh di bawah itu, jumlahnya banyak sekali."
"Termasuk Paman?"
"Aku bukan apa-apa."
"Pakde Senamata Karmuka?"
"Pakdemu itu juga bukan apa-apa."
Saat itu Upasara seperti tak bisa menerima apa yang dikatakan gurunya. Bagaimana bisa terjadi, Ngabehi Pandu tetap dikatakan bukan apa-apa? Selama ini Upasara mengetahui bahwa Ngabehi Pandu tak pernah bisa dikalahkan dalam Keraton! Kalau benar begitu, pastilah empat tokoh yang telah disebutkan tadi sangat luar biasa.
Upasara sendiri belum pernah menyaksikan jurus-jurus dan ilmu Eyang Sepuh. Ngabehi Pandu hanya memberikan dasar-dasar sumber gerak sebagai tambahan pengetahuan. Mengenai Mpu Raganata, Upasara pernah bertemu. Walau tidak sedang memperlihatkan ilmunya, Upasara bisa merasakan perbawa dan kehebatan sorot mata Mpu Raganata. Hanya dalam hatinya Upasara kurang hormat karena ketika itu Mpu Raganata seperti meremehkan kehadiran Upasara.
Saat itu ia sedang berlatih keras bersama Ngabehi Pandu, tiba-tiba sebuah bayangan menyeruak masuk. Upasara tidak mendengar desiran angin, tidak mendengar suara kaki, akan tetapi tiba-tiba melihat seorang tua dengan pakaian putih berdiri di depannya. Ngabehi Pandu langsung memberi sembah dengan hormat sekali. Upasara mengikuti.
"Ngabehi..."
"Sembah dalem, Begawan...."
"Hmmmmmmm, ini hasilmu melatih Ksatria Pingitan?"
"Nun inggih. Hamba sama sekali tak berbakat. Mohon petunjuk, Begawan."
"Susah, susah. Keinginan Keraton adalah menciptakan seorang ksatria tulen. Sejak lahir tak tahu apa-apa selain ilmu silat. Dilatih sejak lahir ceprot. Dikurung secara istimewa. Hmmmmm, tak tahunya hasilnya hanya sebegini. Saya dengar banyak sekali yang tak bisa mewarisi ilmu Keraton."
"Nun inggih, hanya tinggal satu orang. Yang lainnya menjadi prajurit."
"Hmmmmm, susah. Susah. Tinggal satu saja seperti ini."
"Hukumlah hamba yang tidak becus ini."
"Bukan salahmu. Mereka memang tidak punya darah ksatria. Dipaksa seperti apa ya susah. Sekalinya cacing tak bisa dipaksa menjadi naga."
Upasara yang terus menunduk sejak tadi, tak terasa mengangkat dagunya.
"Tapi anak muda ini boleh juga. Matanya berani menatapku. Besok kalau sudah pantas, aku ingin sekali melihatnya."
Darah Upasara mendidih. Sejak itu ia berlatih makin keras. Lebih keras dari biasanya. Namun Mpu Raganata tak pernah muncul kembali. Setiap kali Upasara menanyakan, Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya.
"Itu bukan urusanmu. Beliau mempunyai urusan lain lebih banyak. Urusanmu mewarisi ilmu Keraton."
Sejak itu Upasara tak pernah bertemu lagi. Kini, ia ingat lagi karena ia teringat kepada Mojin.
"Jangan-jangan Mojin...," kata Upasara pelan.
"Heh, kamu kenal juga nama itu?"
"Maaf, hamba hanya mendengar bahwa yang harus dikalahkan bernama Bok Mojin...."
"Semprul... kamu ini ngerti apa? Kiai Sangga Langit tak perlu turun tangan untuk mencari menantu. Cukup membiarkan kamu melawan pemenang dan itu sudah cukup untuk menjadi suami putri Cina."
Bulu kuduk Upasara bergidik. Hebat benar jika Mojin yang digelari Kiai Sangga Langit benar-benar ada di sini. Jelas ini bukan sayembara sembarangan. Tapi kenapa mengadakan sayembara di tapal batas Keraton? Kenapa tidak di Keraton sekalian atau di Gelang-Gelang atau di Kediri? Ini aneh, pikir Upasara. Ia banyak membaca kitab-kitab dan segala macam peraturan, akan tetapi toh kejadian seperti ini masih sulit dimengerti.
Kalau Kiai Sangga Langit berani muncul ke permukaan, pasti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sayembara Mantu ini sendiri pasti bukan tak ada apa-apanya. Selama ini boleh dikata, anak gadis yang memiliki sesuatu yang luar biasa, akan di-sowan-kan ke Keraton atau mendapat panggilan ke Keraton. Kalau-kalau Baginda Raja berkenan. Nah, kalau putri Cina terkenal karena keayuannya, kenapa tidak langsung di-sowan-kan ke Keraton?
Mata Upasara seperti dicolok. Di pentas muncul seorang wanita yang sangat menarik. Dahinya lebar, rambutnya yang berombak dibiarkan terurai hingga mencapai pantat. Pandangannya galak sekali. Bibirnya tipis, sedikit berwarna merah. Yang lebih menarik lagi adalah bentuk dadanya yang montok besar, dengan kemben yang lekat. Kainnya terbuka sedikit di bagian kaki.
"Saya Demang Wangi mengucapkan selamat datang kepada para ksatria di seluruh tanah Jawa. Ini adalah malam terakhir pemilihan menantu. Akan kita ketahui bersama siapa yang berhak mempersunting Dyah Muning Maduwani.... Akan tetapi seperti malam kemarin, Kiai Sangga Langit tetap memberi kesempatan bagi peserta yang ingin menjajal keberuntungan...."
Suaranya enak, seperti mengelus telinga. Ada nada bisik-bisik yang menggelitik. Apalagi ketika mengakhiri kalimatnya dengan menyungging senyum serta menunggu reaksi, membuat lelaki di samping Upasara berdecah-decah.
Demang Wangi, setahu Upasara adalah salah seorang jago silat yang disegani juga. Sebenarnya yang bergelar Demang Wangi adalah seorang lelaki. Tetapi entah kenapa malam ini yang muncul adalah perempuan yang mengobral senyum. Entah apa pula hubungannya dengan Kiai Sangga Langit atau juga Dyah Muning Maduwani.
Kalau ditilik dari namanya, Dyah Muning Maduwani adalah putri Cina yang disayembarakan. Dyah memang sebutan terhormat untuk gadis. Sedang Muning, bisa jadi kependekan atau nama yang diluweskan dari Mo dan Ing atau sejenis dengan itu. Maduwani sekadar julukan untuk menggambarkan keayuannya seperti madu. Dan wani yang juga berarti berani, mengandung pengertian tersendiri. Maduwani, bisa juga berarti sangat bermadu, atau menonjol kemaduannya.
"Bagaimana?"
"Bagaimana kalau saya melamar Demang Wangi saja?" Tiba-tiba terdengar suara dari arah timur. Suaranya cukup keras dan gemanya seperti lebah berdengung.
"Kenapa bicara di tempat gelap, kalau di sini disediakan tempat terang? Silakan maju, biar saya bisa berkenalan."
Terdengar suara tawa berkekeh, disela batuk lunak, ketika satu sosok bayangan masuk ke dalam arena. Bayangan seorang lelaki yang badannya tinggi tegap, dengan jidat sangat lebar. Di tangannya tergenggam tongkat berwarna gelap. Tongkat itu kelihatannya sangat berat sekali, mengilap di sekujur batangnya, sehingga membalikkan sinar api.
Upasara tahu siapa tokoh yang memakai tongkat dari galih pepohonan. Atau dibuat dari tengah batang pohon. Galih Kaliki! Mengilatnya tongkat itu konon karena selalu dilap dengan darah korban yang kena kemplangannya.
"O, kiranya Kakang Galih Kaliki yang menginginkan saya."
"Jauh sebelum kau menjanda, aku sudah menginginkan dirimu. Dan kau tahu itu, Nyai Demang. Hari ini aku datang untuk melamarmu."
Nyai Demang Wangi tersenyum menggoda. "Aha, saya sudah tua. Janda yang tak laku. Kenapa pula Kakang menginginkan saya? Kalau Kakang bisa memperoleh Dyah Muning Maduwani, dengan sendirinya saya akan menjadi pelayan Kakang. Baiklah kalau Kakang juga akan mengikuti sayembara ini."
Galih Kaliki menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku cuma ingin dirimu. Bukan yang lain. Apakah ia bidadari atau ular naga apa peduliku. Bicaralah terus terang, Nyai Demang. Kau bersedia atau tidak. Kalau bersedia, aku akan mengemplang siapa pun yang menghalangi. Kalau tidak, aku akan menunggu lagi. Perkara lain kita bicarakan nanti. Biarlah para ksatria yang hadir di sini menjadi saksi. Bahwa aku Galih Kaliki melamarmu." Suaranya keras, nadanya tegas.
Upasara mengenal dari penuturan bahwa Galih Kaliki termasuk tokoh yang aneh. Bahwa semua tokoh persilatan mempunyai sifat aneh, itu sudah dengan sendirinya. Akan tetapi Galih Kaliki termasuk yang paling aneh, karena ia tak bisa dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan hitam atau putih. Apakah ia memusuhi atau setia kepada Keraton, tidak bisa begitu saja dipastikan. Bahkan asal-usul perguruannya juga aneh. Selama ini tak diketahui. Lebih aneh lagi sifatnya seperti yang ditunjukkan sekarang ini. Secara demonstratif ia melamar Nyai Demang, justru di saat bukan Nyai yang disayembarakan.
"Saya kira tukang kayu ini salah alamat. Untuk apa ia tampil ke panggung ini?"
"Bayi mana berani bersuara dalam gelap seperti ini?"
"Aku, Bagus Respati dari Keraton Singasari." Terdengar jawaban ringan dan sesosok tubuh melayang dengan indah. Wajah yang tampan, bersih, dengan pakaian mewah, kedua kakinya dihiasi dengan gelang emas, melemparkan senyum tinggi. Titik-titik berlian di hulu kerisnya memantulkan sinar balik dengan terang sekali. Titik-titik berlian yang sebesar biji kacang.
Upasara kenal baik dengan Bagus Respati. Dulu, Bagus Respati adalah Ksatria Pingitan juga. Seperti dirinya ini. Hanya kemudian memilih jalan sendiri karena secara khusus diundangkan beberapa guru kepadanya. Sejak berpisah lima tahun yang lalu, Upasara tak pernah bertemu lagi. Baru kali ini sempat melihat dari jarak jauh.
"Apa hubunganmu dengan Keraton, cah bagus?"
"Aku adalah putra Yang Mulia Mahisa Anengah Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari, tangan kanan Baginda Raja Kertanegara."
"Jadi kau ingin berebut denganku soal Nyai Demang? Mari kujajal dulu. Apakah masih tercium bau pupuk bawangmu atau tidak." Galih Kaliki langsung mengambil posisi.
Bagus Respati menggelengkan kepalanya. "Kalau kau menjadi peserta sayembara, aku akan melayani. Karena malam ini aku adalah pemenang terakhir. Kalau kau menginginkan Nyai Demang, aku tak mau meladenimu. Malam ini juga akan kuboyong Dyah Muning Maduwani."
Bagus Respati berbalik ke arah penonton.
"Karena aku tidak mau main curang, aku akan memberi kesempatan terakhir. Siapa yang masih mengikuti sayembara, silakan maju. Aku tidak mau menakuti. Akan tetapi sayembara ini hanya ditentukan pemenangnya setelah lawannya tak bisa bangkit lagi. Jangan salahkan aku kalau terlalu keras. Silakan kalau ada yang mau mencoba."
Suasana menjadi hening.
Upasara berniat meninggalkan lapangan. Tapi kakinya terasa berat melihat senyum Nyai Demang.
"Ternyata peserta yang lain lebih suka mengundurkan diri. Kalau memang tidak ada..." suaranya tertahan, seperti menunggu ada yang mengusulkan sesuatu, "...kalau memang tak ada... memang tak ada?"
Mendadak perhatian terserap ke panggung sebelah kiri. Serombongan orang berjalan masuk sambil memanggul tandu. Upasara melihat bahwa bentuk tandu yang sekarang ini agak istimewa. Penuh dengan hiasan warna-warni. Warnanya juga beraneka ragam. Tandu itu diletakkan di pinggir sebelah kiri. Bagian depan yang tertutup kain tiba-tiba menyibak. Serentak dengan itu terdengar decak kagum, dan para penonton berdesakan.
Dari dalam tandu terlihatlah bayangan seorang gadis. Rambutnya panjang, hitam, disanggul sempurna. Seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain sutra putih yang ujungnya diberi hiasan bunga merah muda. Kulitnya putih, sangat putih sekali. Terutama di bagian wajah, dan lehernya yang jenjang. Yang membuat Upasara kagum adalah tenaga dalam untuk membuka tirai penutup. Tirai yang dibuat dari sutra itu membuka, dan ujungnya tetap menunjuk ke atas. Tertahan di tengah udara. Mata yang sipit menatap ke arah panggung.
"Karena telah berada di atas panggung, mengapa tidak turut serta?"
Untuk pertama kalinya Upasara merinding. Suaranya sangat halus, merdu, dan menyentuh. Walaupun bibirnya bergerak sangat pelan sekali.
Galih Kaliki mendengus keras. "Aku datang tidak untuk melamarmu. Aku tak suka kamu." Galih Kaliki membuang muka.
Bagus Respati menjejak panggung dan tubuhnya melayang. "Orang dusun tak tahu tata krama, bagaimana kau bisa menghina begitu busuk? Jangan panggil aku Bagus Respati kalau tak bisa menyingkirkanmu."
Meskipun dalam keadaan murka, Bagus Respati masih memperingatkan lebih dulu. Kedua tangannya menarik dua keris, satu dari belakang yang diketahui oleh penonton, satu lagi entah dari mana. Dua keris itu tergetar mengeluarkan bau amis.
Galih Kaliki menyambar tongkatnya, dan langsung menerjang. Tongkat hati kayu mengemplang dari atas. Yang diarah langsung batok kepala lawan. Dengan memiringkan kepalanya, Bagus Respati menarik tubuhnya ke samping. Gerakan kakinya sangat lincah dan bagus.
Upasara diam-diam memuji kagum. Karena dengan gerakan kaki itu Bagus Respati bisa memiringkan tubuhnya, menghindar, dan dalam langkah berikutnya yang bersambungan sudah berada dalam jarak dekat. Kedua kerisnya bagai sepasang gunting. Sekali tusuk bakal membuat dua luka. Dengan variasi gerakan yang ada. Dua bisa menjadi empat, empat bisa menjadi delapan. Dalam sekejap seperti ada 32 ujung keris yang datang dan pergi, dengan tusukan tempat yang berbahaya.
Galih Kaliki seperti menyapu semuanya. Ia maju terus, menggempur dengan tongkat hati kayu. Gebrakan sapuan tongkatnya hanya satu. Batok kepala lawan. Kalaupun menyabet ke bawah, akhirnya langsung ke atas lagi. Mencongkel dari bawah. Menggebuk dari samping pun arahnya tetap jidat. Dengan cara menyerbu seperti ini, Bagus Respati tak bisa mempraktekkan kelebihannya. Ia tak bisa memamerkan kelebihannya bermain dengan indah. Karena sebelum satu jurus selesai separuh, sudah harus diubah dari awal, atau ditarik mundur. Galih Kaliki terlalu merangsek maju.
"Ayo pamerkan ilmu menggelitik ini."
Namun meskipun Galih Kaliki kelihatan sesumbar, ayunan tongkatnya selalu menemui tempat kosong. Cara bergerak Bagus Respati memang rapi dan tangguh. Perubahan gerak kakinya sangat luar biasa. Sebentar merandek maju, ditarik mundur ke samping, dan tahu-tahu sudah berada dalam jarak yang jauh lagi.
Dalam sepuluh jurus pertama, Galih Kaliki jadi repot. Beberapa kali tongkatnya ditarik mundur—tertarik dengan sendirinya, karena serbuan kaki lawan yang merepotkan. Sementara Bagus Respati juga tak bisa maju sepenuhnya. Setiap kali memperoleh peluang, ia tak bisa menggunakan dengan baik. Karena angin dari tongkat Galih Kaliki sudah terasa di ubun-ubunnya.
Lima jurus lagi telah berlalu, tanpa ada yang berani memastikan pihak mana yang lebih unggul. Sebenarnya kalau pertempuran diteruskan hingga jurus kelima puluh, Bagus Respati bisa berada di atas angin. Bagaimanapun juga gerakan kakinya makin terarah dan tetap rapi. Sementara Galih Kaliki harus terus mengeluarkan tenaga ekstra keras. Jenis pukulan dan serangannya menuntut tenaga besar. Jadi biar bagaimanapun kuatnya, makin lama akan makin keteter. Makin terkuras.
Tapi Bagus Respati tak sabar menunggu. Selama mengikuti sayembara ini, ia telah mengalahkan empat lawan. Semuanya di bawah sepuluh jurus dan semuanya tewas dengan enam belas tusukan di satu tempat. Korban pertama, tertusuk di bagian leher. Korban kedua, sama juga. Korban ketiga di bagian dada kiri. Dan korban keempat... semuanya di bagian wajah.
Semua dikalahkan dengan cara yang sama. Posisi kuda-kudanya makin lama makin kedodoran. Dan ketika suasana menjadi kritis, yang dibenahi lebih dulu adalah bagian penjagaan. Saat itulah Bagus Respati melancarkan serangan kilatnya. Dua keris bergerak bersamaan!
Memang Galih Kaliki yang dihadapi sekali ini jauh berbeda. Namun dengan cara yang sama, Bagus Respati bisa mendesak. Hanya saja setelah lewat dua puluh jurus, masih bisa bertahan dengan kuat dan tetap berbahaya, Bagus Respati tidak sabaran. Ia mempercepat serangan kaki, setiap kali Galih Kaliki beringsut, tempat yang barusan diinjak ganti diinjak. Tak peduli Galih Kaliki mundur ke samping kiri atau kanan. Bahkan kalau mencoba maju, Bagus Respati berusaha mengambil posisi yang ditinggalkan.
Dengan cepat kedua tubuh yang tengah bertempur jadi berputar-putar. Dari ujung kiri panggung ke kanan, pindah lagi ke tengah, minggir lagi. Bagus Respati bisa makin keras mendesak, karena ayunan tongkat Galih Kaliki bisa dikenali. Keras-lembut tenaga serta sasarannya terlalu monoton.
Upasara yang menonton di pinggir panggung hanya bisa kuatir dalam hati. Dalam perhitungannya, Bagus Respati memang sangat pesat kemajuannya. Sebagai sama-sama Ksatria Pingitan dulunya, Upasara melihat kepesatan Bagus Respati bukan hanya dalam soal ilmu silat, tetapi juga dalam membaca kemampuan lawan.
Sementara itu justru sebaliknya dengan Galih Kaliki. Tokoh aneh yang tak dimengerti asal-usulnya ini, dalam sepuluh jurus pertama sungguh mengagumkan. Ayunan tongkatnya betul-betul berhasil menekan lawan dengan berat. Sehingga lawan tak sempat berkembang permainannya. Didikte dengan keras. Arah dan sasarannya juga maut. Ubun-ubun. Tenaganya yang tidak kecil. Sehingga untuk ditangkis hampir tidak mungkin. Hanya bisa dihindari. Akan tetapi terasa juga tekanan itu tidak makin berat, tetapi malah melonggar di sana-sini. Terutama karena gerakan pengulangannya
Maka perlahan, Galih Kaliki menjadi jatuh di bawah angin. Bagus Respati memperhitungkan bahwa peluang untuk mengeluarkan pukulan atau lebih tepat tusukan terakhir yang menentukan. Agaknya Bagus Respati melihat kesempatan itu ketika ayunan tongkat Galih Kaliki berputar sedikit. Dengan sebat ia menyepak ke arah paha lawan untuk meminjam tenaga, dan pada saat yang bersamaan tubuhnya melayang ke atas. Dengan kedua keris seperti mencari kutu. Bergerak cepat, bergantian arahnya, seperti menyerang leher, dagu, telinga, mata, dari arah bawah.
Upasara mengeluarkan seruan tertahan! "Tahan...."
Terlambat. Tubuh Bagus Respati telah melayang ke atas dan dari ujung kerisnya terlihat warna merah. Tapi Galih Kaliki tidak sekadar memukul angin. Putaran tongkatnya dari menyerang kepala menjadi sodokan keras. Tak urung dada Bagus Respati kena disodok. Tubuh Bagus Respati melayang ke bawah. Jatuh di panggung. Tetapi dengan bergulingan, Bagus Respati mampu berdiri kembali. Dadanya masih terasa sakit sehingga jalannya terhuyung-huyung. Sementara Galih Kaliki masih berdiri tegak. Tapi ada goresan dari dada ke atas. Goresan yang mengalirkan darah segar.
"Ayo maju lagi!" teriak Galih Kaliki keras sambil menyerbu tanpa memedulikan bahwa darah yang mengalir makin banyak. Ayunan tongkat ditangkis dengan dua buah keris. Saking kerasnya satu keris terlempar ke tengah udara. Galih Kaliki mengulang kembali serangannya. Kalau tadi gerakan monoton yang berulang agak merugikan dirinya, sekarang justru berarti sekali. Sebelum Bagus Respati bisa mengerahkan tenaganya secara sempurna, lawan sudah mengemplang lagi!
Upasara yang berdiri di bagian pinggir hanya melihat satu kemungkinan: Bagus Respati bakal melemparkan kerisnya, dan Galih Kaliki tak akan memedulikan tapi terus mengemplang. Akibatnya jelas. Galih Kaliki akan mati seketika dan ubun-ubun Bagus Respati akan hancur luluh berantakan. Upasara bisa menebak gerakan Bagus Respati karena dasar gerakan dalam memainkan keris sama dengan yang dipelajari. Yang berbeda hanya variasi kecilnya. Maka Upasara melayang maju ke depan. Ia memegang dua pundak orang di kanan-kirinya. Sebelum mereka ini tahu apa yang terjadi, tenaga mereka telah dipinjam Upasara. Di tengah udara, Upasara melemparkan capingnya dengan sepenuh tenaga. Perhitungan tak banyak berbeda.
Caping itu berputar keras sekali. Menyelip di antara Bagus Respati dan Galih Kaliki. Sekaligus "menelan" keris Bagus Respati. Tenaga luncuran keris itu meluncur terbawa pusaran caping. Dan dalam melayang ke atas caping itu mengenai pergelangan tangan Galih Kaliki. Sehingga tongkatnya tak bisa dikuasai lagi arahnya. Malah terlepas dari tangannya. Upasara menyambar tongkat itu sambil melayang turun. Lalu dengan berjongkok, menghaturkan sembah ke arah dua orang yang saling menjauh. Galih Kaliki baru menyadari bahwa caping itu telah menolong nyawanya dari luncuran keris. Sebaliknya Bagus Respati juga menyadari bahwa ubun-ubunnya telah dibebaskan dari bentuk yang mengerikan.
"Maafkan, Paman Galih, maafkan, Kakang Respati...." Upasara menghormat sekali lagi. Lalu mengembalikan kedua pusaka ke pemiliknya masing-masing.
"Siapa kau?" Nyai Demang bergerak maju. "Kenapa kau berani kurang ajar? Tidak tahu bahwa dalam sayembara ini pemenangnya harus bisa mengalahkan lawan-lawannya? Kalau kau mempunyai sifat ksatria, bukan begitu caranya. Sebutkan namamu sebelum terlambat."
"Nama saya Upa, putra Bapak Toikromo. Saya memang kurang ksatria. Akan tetapi kelancangan saya terutama karena dalam Sayembara Mantu ini harus ada pemenangnya. Kalau keduanya tewas, Dyah Muning bakal menjadi janda sebelum mempunyai suami. Lagi pula, dalam hal ini sudah ada pemenangnya. Bagus Respati. Sedang Paman Galih menghendaki Mbakyu Demang."
Hebat kata-kata Upasara. Nyai Demang sedetik berubah parasnya. Warna merah meronai wajahnya. Baru sekarang ini ada yang memanggilnya mbakyu, alias kakak perempuan. Dan bukan nyai. Dalam sedetik itu Nyai Demang merasa sepuluh tahun lebih muda. Tapi Nyai Demang dalam detik berikutnya malah berubah geram.
"Anak desa yang sombong. Apa kau kira kau begitu jago sehingga bisa berbuat sesukamu?"
"Maafkan saya, Mbakyu Demang. Usia kita mungkin tak jauh berbeda, akan tetapi saya tidak mengerti tata krama. Saya memang anak desa."
Lagi Upasara melemparkan umpan yang berbisa. Siapa saja juga bisa melihat dengan mudah, bahwa usia Nyai Demang jauh di atas Upasara yang nampak masih segar. Tapi Upasara sengaja melemparkan kalimat itu. Nyai Demang tergetar hatinya. Akan tetapi penampilannya justru lebih galak.
"Huh. Siapa sudi mempunyai adik seperti kamu? Anak desa, ketahuilah bahwa dalam Sayembara Mantu, siapa pun yang masuk ke dalam gelanggang adalah peserta sayembara. Maka bereskanlah lawan yang lain dan kau akan memperoleh Dyah Muning Maduwani."
Upasara melengak. Ia tak menyangka bakal disebut sebagai calon. "Tidak bisa. Saya telah mempunyai istri...."
Nyai Demang tertawa cekikikan. Juga para penonton. Cara Upasara mengucapkan kata istri, sangat janggal sekali. Apalagi Upasara sendiri lalu terlihat salah tingkah.
"Anak dusun, kalaupun kau telah mempunyai istri tidak menjadi penghalang. Maka kalau kau bisa mengalahkan lawan-lawan yang masih ada di panggung sekarang, kamu akan menjadi pemenang."
Upasara menunduk. Memberi hormat kepada Bagus Respati. "Kakang Respati, silakan menjemput calon mempelai putri." Lalu berbalik ke arah Galih Kaliki. "Paman, silakan mengambil Mbakyu Demang."
"Anak dusun Upa, siapa suruh kau jadi makcomblang seperti ini? Saya bilang lawanlah mereka, kalau kau ingin menjadi pemenangnya?"
"Jelas tidak ksatria, Mbakyu. Dan bukankah sifat itu yang Mbakyu kutuk barusan?"
Bagus Respati menahan rasa sakit di dadanya. Terasa ulu hatinya seperti ditindih beban yang berat sekali. Ia bisa mengenali bahwa Upasara adalah teman dekat di Pingitan. Akan tetapi karena Upasara sendiri tidak mau memperkenalkan diri, Bagus Respati tidak memperlihatkan bahwa ia mengenali.
Galih Kaliki merasa sangat perih. Luka yang menyayat mulai menimbulkan gatal-gatal. Upasara mendekati Bagus Respati, dan membimbingnya ke tengah. Diam-diam ia berusaha menyalurkan tenaga, sambil memencet nadi dibagian punggung. Bagus Respati merasa sedikit lebih enak. Makanya tanpa diminta pun ia menyerahkan bubuk pemunah gatal. Upasara sendiri lalu mendekati ke arah Nyai Demang, sambil menyerahkan bubuk dalam bungkus daun pisang.
"Mbakyu bisa membantu Paman Galih. Kalau saya bisa salah menaburkan."
Galih Kaliki tersipu-sipu. "Terimalah hormatku, Upa...."
"Paman terlalu merendahkan diri."
"Pertolongan dan kebaikanmu tak akan kulupakan."
"Saya tak berani menerima, Paman."
Galih Kaliki nampak merasa gembira ketika Nyai Demang menuntunnya. Namun baru tiga tindak langkahnya terhenti. Tirai sutra terbuka, dan kembali terdengar suara halus.
"Siapa pemenangnya?"
Upasara tergetar mendengar suara yang begitu merdu di telinganya.
"Aku pemenangnya," jawab Bagus Respati tegas.
"Bawa saya pergi."
Tirai tertutup lagi. Dari samping panggung, tanpa terdengar suara apa pun, bergerak satu bayangan. Tanpa memperdengarkan suara berisik. Bahkan, sepertinya, obor di pinggir lapangan pun tak bergerak karena angin. Nyai Demang yang lebih dulu memberi hormat.
Upasara menjilat bibirnya. Sebagian ludahnya tersendat. Jago mengentengkan tubuh yang selama ini dikenal adalah Wilanda. Yang bisa bergerak dan meloncat bagai capung. Namun dibandingkan dengan tokoh yang baru muncul ini, kelihatannya Wilanda masih dua kelas di bawahnya.
Upasara memperhatikan dengan cermat. Seorang lelaki yang badannya tegap. Sangat tegap. Daging di lengannya menonjol seperti paha. Otot-ototnya terlihat jelas. Di bawah topi bulu binatang yang aneh, sepasang mata sipit mengawasi panggung. Dadanya licin, dengan otot-otot keras. Licin, sehingga seperti diminyaki. Mengenakan celana yang komprang sebatas lutut. Kakinya juga memperlihatkan kekukuhan yang luar biasa. Sedikit di atas mata kaki dibalut dengan bulu binatang yang agaknya berasal dari bulu binatang yang dikenakan sebagai topi. Kalau melihat bentuk tubuh yang kokoh bagai tukang gulat, sungguh luar biasa ilmu mengentengkan badannya. Lelaki bertopi itu mengeluarkan suara aneh.
Nyai Demang berbalik ke arah Upasara. "Kiai Sangga Langit belum menganggap Sayembara Mantu selesai. Masih ada satu pertandingan lagi. Siapa yang keluar dari tempat ini sebagai pemenang pertama, baru boleh membawa pergi putrinya."
Upasara mengertakkan giginya. Ini ternyata yang disebut-sebut sebagai Kiai Sangga Langit! Pantas saja Ngabehi Pandu memuji dan meletakkan dalam kedudukan yang terhormat. Kalau benar Kiai Sangga Langit turun tangan sendiri, siapa yang bisa melawannya?
"Paman, tanyakan kepada siapa Kiai menantang? Karena ia tak bisa bicara langsung dengan kita dan melalui perantaraan Mbakyu Demang kita pun melalui perantaraan Paman."
"Aku senang sekali. Itu peran bagus untukku," teriak Galih Kaliki.
Nyai Demang menerjemahkan ke arah Kiai Sangga Langit. Kiai Sangga Langit menyeringai, berbicara, dan Nyai Demang kembali menerjemahkan.
"Kepada orang asing yang berada di atas panggung."
"Aneh. Dua tokoh utama sedang dalam keadaan terluka. Saya sendiri tidak berminat, untuk apa melayani Kiai Sangga Langit?"
"Kalau tidak mau melayani, akan dipaksa. Kalian bertiga boleh mengeroyok."
"Paman Galih, tolong katakan padanya bahwa kita yang biasa hidup di tanah subur, lain dengan mereka yang dibesarkan di padang pasir. Kita ksatria yang merasa tidak gagah kalau main keroyok. Kalau modalnya cuma ilmu mengentengkan tubuh, katakan bahwa di sini seekor nyamuk bisa melakukan itu tanpa perlu dipamerkan."
Nyai Demang terbata-bata menerjemahkan. Agaknya merasa kurang enak harus mengatakan secara persis apa yang diucapkan Upasara. "Anak dusun Upa, Kiai Sangga Langit tidak mengada-ada. Sayembara Mantu ini terdiri atas dua bagian. Bagian yang pertama ialah siapa yang berdiri terakhir di panggung dianggap sebagai pemenang. Dalam sayembara ini, kalau ada yang terluka, atau meninggal, tidak akan menjadi masalah di belakang hari. Sejak awal itu sudah dijelaskan. Bagian yang kedua, ialah Kiai Sangga Langit sendiri yang akan menguji dengan suatu permainan. Kalau bisa lulus, pemenang terakhir berhak atas Dyah Maduwani. Kalau segalanya telah menjadi jelas, kau tidak akan menuduh bahwa ini hanya akal-akalan saja."
Meskipun bercekat, Upasara tak mau kalah bicara. "Kalau keinginannya hanya main-main, cukup aku anak dusun yang menghadapi. Tak perlu seorang putra mahapatih yang terhormat, tak perlu seorang pendekar sejati."
Kata-kata Upasara ada benarnya. Karena kini Bagus Respati tengah bersila di panggung. Berusaha memusatkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengusir rasa sakit. Kalau pencetan Upasara tadi berhasil mengurangi, bukan berarti ia telah tersembuhkan. Beberapa aliran jalan darahnya masih macet.
Juga Galih Kaliki. Meskipun ia mendapat bubuk pemunah yang dibuat dari ilalang, tidak berarti racun dalam tubuhnya telah bebas. Bagian luar memang tak akan dirembeti. Akan tetapi yang sudah terbawa aliran darah sulit ditahan. Terpaksa Galih Kaliki pun duduk bersila untuk memusatkan konsentrasi. Tinggal Upasara sendirian.
"Bagi Kiai Sangga Langit tak menjadi masalah siapa pun yang akan menghadapi. Sendirian atau keroyokan. Permainan ini hanya dimainkan seorang saja. Pikiran boleh meminta bantuan siapa saja. Hanya saja, kalau gagal mengatasi permainan ini, tergantung Kiai Sangga Langit, apakah ia akan memberi ampunan atau tidak."
"Mbakyu Demang, kau bisa mengerti suara aneh. Kau bisa menerjemahkan dengan bagus. Terimalah rasa kagum saya yang bahasanya sendiri masih belepotan tidak keruan. Mbakyu sudah tahu, kira-kira jenis permainan apa? Biarlah saya yang tak berharga ini menjajalnya."
Nyai Demang tersenyum manja. Upasara melengos. Ia tak berani menatap secara langsung.
"Anak dusun, kau akan segera mengetahui."
"Tunggu dulu, Mbakyu Demang. Dalam sayembara ini ada yang tidak adil. Dalam perang tanding, pemenangnya ditentukan dengan mengalahkan lawan secara mutlak. Saya baru tahu ternyata malam-malam kemarin sudah ada korban berjatuhan. Kini masih ada jenis permainan. Kalau gagal, apakah hanya sekadar menggantungkan nasib pada kebaikan hati Kiai Sangga Langit? Sedangkan hadiah bagi pemenangnya tak seberapa."
"Anak dusun, kau benar-benar keras kepala. Bagaimana mungkin Dyah Muning Maduwani kau bilang hadiah tak seberapa?"
"Tidak. Katakan bahwa saya sama sekali tak menghendaki Dyah Muning Maduwani. Paman Galih juga tidak. Bagus Respati jelas telah mendapatkannya. Permainan akhir ini hanya berlaku untuk saya. Kalau saya bisa memecahkan, saya berhak atas satu permintaan. Kalau saya gagal, itu urusan saya dengan Kiai Sangga Langit. Tak ada hubungannya dengan Bagus Respati dan Paman Galih Kaliki. Kalau syarat ini tidak diterima, saya akan turun panggung. Kalau Kiai Sangga Langit akan menahan saya, biarlah kita selesaikan berdua saja."
Nyai Demang memoncongkan bibirnya. Kagumnya bangkit seketika. Anak dusun yang mengaku tak kenal tata krama ini jelas cerdik luar biasa. Tapi lebih dari semua itu sifat ksatrianya sangat utama. Ia menghadapi sendirian risiko yang bakal diterima. Ia tak mau melibatkan Bagus Respati atau Galih Kaliki. Bahkan menganggap persoalan Bagus Respati dan Galih Kaliki sudah selesai. Sudah mendapatkan haknya! Padahal bukankah dalam saat seperti ini, kemungkinan untuk mendapatkan semuanya itu ada padanya? Bukankah kalau nanti bisa memecahkan persoalan, ia bisa mempersunting Dyah Muning Maduwani—impian sekian banyak lelaki?
Agak janggal sifat anak dusun ini, pikir Nyai Demang. Kalau Galih Kaliki tidak menghendaki Maduwani, itu bisa dimengerti. Sejak Nyai Demang masih kecil, masih jadi istri orang, Galih Kaliki memang selalu mengejarnya. Sejak awal tak tergiur oleh Maduwani. Kenapa anak dusun ini menolak kesempatan emas? Ataukah, ataukah... Nyai Demang gemas. Ataukah anak dusun ini sudah mempunyai "Nyai Demang" yang lain—seperti Galih Kaliki. Itu satu-satunya alasan terkuat. Hmmmmm, bahagialah wanita yang mempunyai kekasih seperti anak dusun ini. Wajahnya jatmika, tenang, dan bersih berwibawa; penampilannya jujur serta polos. Ah, siapa wanita yang begitu bahagia hidupnya?
Kiai Sangga Langit bersuara pelan, sehingga lamunan Nyai Demang buyar. Nyai Demang mengatakan persyaratan apa yang diminta oleh Upasara. Kiai Sangga Langit bertanya apa yang bakal diminta Upasara.
"Tak nanti saya minta Kiai Sangga Langit bunuh diri atau pulang ke negaranya atau mengajari ilmu silat. Saat ini saya tidak berpikir untuk menghinanya. Kalau ia cemas apa yang saya minta, apakah ia juga sudah bersiap bahwa saya bisa memecahkan permainannya?"
Selesai Nyai Demang menerjemahkan, Kiai Sangga Langit melompat ke atas arena. Mengangkat kedua tangan dengan cara sedikit menghormat. Lalu berteriak nyaring. Bagian tengah panggung itu masih terdiri atas tanah berbatu-batu yang diratakan. Di beberapa tempat yang agak pinggir ditambahi dengan papan. Tanah berbatu-batu cukup keras juga, dan justru tempat itulah yang dipilih Kiai Sangga Langit. Sehabis berteriak menghimpun tenaganya, kakinya melangkah dengan tumit untuk berpijak. Sehabis satu langkah tubuhnya berputar. Dan tanah di bawahnya menjadi berlubang besar. Menganga.
Upasara menyedot udara keras-keras. Ini baru namanya demonstrasi tenaga dalam yang dahsyat. Membuat tanah berlekuk hanya dengan menginjaknya. Dalam sekejap terlihat sembilan pasang lekukan yang dalam. Rapi berpasangan. Di masing-masing ujung ada lubang yang sangat besar, lebih besar dari sembilan lekukan yang berpasangan.
Belum hilang kagetnya, Upasara melihat Kiai Sangga Langit meloncat dengan cara berjumpalitan, berlingkaran menuju pinggir panggung. Dari sisi paling tepi tubuhnya meloncat ke atas, menuju pohon asam. Ringan sekali tubuhnya melayang, bagai kupu-kupu raksasa. Hanya saja ketika menyentuh pohon, kakinya menendang kuat. Seketika pohon asam tergetar dan daunnya rontok. Berikut buahnya!
Sehabis menendang, tubuhnya melayang lagi, meraup buah asam yang berjatuhan, lalu kembali menendang pohon dengan keras, dan menangkap kembali guguran buah asam.
Beberapa penonton malahan bubar. Terasa ada yang mengerikan.
Upasara merasa lehernya tegang. Ini benar-benar pameran pengendalian yang luar biasa. Tenaga keras ketika membuat lekukan di tanah, tenaga keras ketika menendang pohon, tapi juga sekaligus pameran kelembutan dengan tubuh melayang menyambut buah asam. Pantas dan tepat Ngabehi Pandu memujinya...!
"Masa?"
"Kitab ini bukan berisi pelajaran ilmu silat. Ini mengenai uraian Tumbal Bantala Parwa. Artinya cara menjawab jurus-jurus atau ilmu mengenai bumi. Tanpa membaca Bantala Parwa, kitab ini tak ada artinya."
"Aku memang goblok, Kakang. Coba aku tahu. Aku bisa mengambil dua-duanya. Tapi mana mungkin aku tahu? Aku tak bisa membaca. Aku mengambil sekenanya.
"Hoho, tapi bagaimana Kakang bisa langsung menentukan tak ada gunanya?"
"Klika ini berjudul Tumbal Bantala Parwa, artinya Kitab Penolak Bumi. Berarti sebelum ini sudah ada Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Barangkali setelah menciptakan Bantala Parwa, empu yang sama ini menciptakan Tumbal Bantala Parwa. Untuk melengkapi atau mengoreksi kekurangan dalam kitab sebelumnya. Bagi yang telah mempelajari Bantala Parwa, kitab ini sangat berguna sekali. Akan tetapi bagi yang belum mengetahui, sama sekali tidak ada gunanya."
Kawung Sen sangat kecewa.
"Adik, aku sama sekali tidak berdusta."
"Kakang Upasara, mana mungkin aku berani mencurigai Kakang?" Kawung Sen membuang klika kedua. Dalam satu ikat hanya terdiri atas satu lembaran.
"Kakang, barangkali masih ada gunanya. Kalau kita bertemu dengan Ugrawe yang memainkan jurus Bumi, bukankah kita bisa mengatasi?"
"Memang. Tapi, apa itu jurus Bumi tak disebutkan di sini sama sekali." Upasara mengambil klika yang dicampakkan. Membukanya dan membaca. Aku mulai dengan baris pertama. Tumbal Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Catatan terakhir bagi Bantala Parwa. Terdiri atas tujuh catatan, sebagai berikut:
"Untuk jurus Manik Maya Sirna Lala, mempergunakan telapak tangan terbuka, seperti dua paruh itik, tenaga ada di sudut.
"Untuk jurus Sri Saddhana, mempergunakan tenaga isi yang dibungkus, seumpama pisang biji. Sumber tenaga dari utara-selatan.
"Untuk jurus Sekar Sinom, mempergunakan tenaga yang terpancing ke luar oleh lawan, ibarat biji asam yang membuka sendiri karena sudah tua. Sumber tenaga dari selatan.
"Untuk jurus Glagah Kabungan, mempergunakan tenaga panas di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas.
"Untuk jurus Kawula Katuban Bala, mempergunakan tenaga dua kaki terbenam, seumpama buah ketela. Sumber tenaga dari arah utara-timur.
"Untuk jurus Sigar Penjalin, mempergunakan tenaga dingin di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas.
"Untuk jurus Asu Angelak, mempergunakan tenaga runcing di setiap sudut. Sumber tenaga tidak disebutkan di sini.
"Untuk Singa Meta, mempergunakan tenaga diam di tengah. Sumber tenaga dari pengaturan napas terbuka tapi..."
Upasara menggeleng. "Bahkan catatan ini pun tidak selesai...."
Kawung Sen mengangguk-angguk. Lalu menggeleng-geleng. "Benar-benar mustahil untuk bisa mempelajari. Kalau mengenai Kartika Parwa saja sulit dicernakan, bagaimana mungkin kalau hanya mendapatkan kunci jawaban? Itu pun belum selesai. Dengan cara bagaimana Ugrawe itu bisa mempelajarinya, sehingga ilmunya demikian tinggi?"
"Satu hal yang selalu menyertai setiap lahirnya jurus-jurus ilmu silat. Jurus-jurus itu tidak pernah lahir dengan sendirinya. Ada dasar pemikiran yang menyertai. Jurus-jurus Banteng Ketaton yang diwariskan Ngabehi Pandu padaku juga diilhami dari gerakan seekor banteng terluka. Dari sifat-sifat itulah kemudian diubah, disesuaikan dengan kemampuan kita. Ngabehi Pandu pernah menuturkan hal ini. Ugrawe bisa mempelajari dengan baik kalau ia mengetahui mengenai sifat-sifat bumi. Setidaknya sifat-sifat yang disebut dalam nama jurus-jurus tersebut..."
"Kakang bisa mengetahui?"
"Tidak begitu pasti. Mungkin..." Upasara berdiam diri. "...mungkin sekali. Tetapi tidak. tidak. Apa hubungannya?"
"Apa yang Kakang katakan?"
"Manik Maya Sirna Lala ialah keadaan bumi di mana tanah di sebelah timur rendah dan tanah di sebelah barat lebih tinggi. Keadaan ini sangat tidak baik. Tidak bisa langgeng.
"Sri Saddhana adalah keadaan yang terbalik. Bumi di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat. Tidak baik dipakai untuk latihan, karena ini bisa menyebabkan luka berat. Salah-salah malah menyebabkan kehilangan kawan latihan.
"Sekar Sinom, keadaan bumi di mana sumber air di sebelah selatan, dan dikepung oleh tenaga lain. Banyak keuntungan akan tetapi... akan tetapi jurus ini tak banyak berguna jika kita tidak bisa menerima kenyataan bakal kehilangan kasih.
"Glagah Kabungan, keadaan bumi lebih tinggi di bagian selatan dan rendah di bagian utara.
"Kawula Katuban Bala, kebalikan dari Glagah Kabungan. Jika bumi dikepung oleh gunung.
"Sigar Penjalin, jika bumi dikepung air.
"Asu Angelak, jika tak ada tenaga di sebelah timur, atau tenaga yang patah. Ini keadaan bumi yang siap mengamuk.
"Singa Meta, jika keadaan bumi diterobos air secara terus-menerus, tetapi ia tetap kering."
Seumur-umur Kawung Sen belum pernah mendengar penjelasan seperti ini. Selama ini ia berlatih silat mengikuti petunjuk kakak-kakaknya. Menirukan gerakan, mengatur pernapasan, mengulang lagi, tanpa ada penjelasan seperti yang dikatakan Upasara.
"Mungkin jurus-jurus itu menggambarkan sifat-sifat bumi yang tadi. Tapi bagaimana penerapannya, tetap tak bisa dimengerti."
"Tak apa, Kakang. Lupakan saja."
Justru sebaliknya. Upasara merasa ditantang. Hatinya seperti dibakar. Tak mungkin sama sekali, ia tiba-tiba saja berkata seperti yang diucapkan oleh Kawung Sen. Untuk melupakan begitu saja hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu silat.
Kawung Sen memang tak bisa membayangkan cara hidup Upasara Wulung. Bahkan kalau diceritakan masa lampaunya, mungkin sulit menerima, meskipun jelas ia mudah percaya.
Upasara melewati masa kecilnya berbeda sekali dengan anak-anak sebaya. Juga berbeda dengan sentana dalem, atau kerabat Keraton. Sejauh ingatan Upasara, ia belum bisa berjalan ketika berada dalam suatu ruangan yang biasa dipakai untuk berlatih silat. Setiap harinya yang dilihatnya adalah para prajurit, para pendekar berlatih jungkir balik, memukul, melatih senjata, berlatih napas, dan membaca buku. Sejak masih kanak-kanak sekali, Upasara sama sekali tak mengenal siapa ayah dan siapa ibunya. Ia juga tak menanyakan hal itu, karena pada pikirnya hal itu tak perlu diketahui.
Sampai dengan usia enam tahun, Upasara melewati waktunya dalam ruangan luas yang sengaja dibangun untuk latihan. Bersama dengan dua puluh lima anak sebaya. Setiap harinya, baik siang ataupun malam, mereka berlatih silat, membaca buku, berlatih lagi, membaca buku, berlatih, membaca. Para guru datang silih berganti. Pada usia sewindu, untuk pertama kalinya ia diajak keluar dari dinding Keraton. Melihat sawah yang luas, gunung yang tinggi, sungai deras, dan pasar. Tetapi kemudian mengeram diri lagi.
Sejak itulah ia mulai dilatih khusus oleh Ngabehi Pandu. Yang memberitahukan mana kitab yang harus dibaca, perlu dibaca. Mana yang harus dilatih hingga mahir, mana yang perlu diketahui. Bagian yang ditempati Upasara adalah sebuah sudut Keraton. Suatu ruangan yang luas, tempat berlatih silat. Dan beberapa rumah yang dijadikan tempat tinggal. Dari sanalah Upasara mengenal dunia. Dari rumah yang ditinggali dan di tempat latihanlah Upasara menghabiskan masa kanak-kanaknya. Sampai usia dua belas tahun, ia diajak mengembara lagi. Ngabehi Pandu mengajaknya pergi ke hutan, dan memperkenalkan beberapa isi hutan.
Tiga bulan Upasara berdiam di hutan. Berlatih di sungai, di atas tebing, di atas pohon. Mencoba hidup dari hasil hutan yang bisa ditangkap. Setelah itu masuk kembali ke dalam Keraton. Kembali berlatih. Membaca semua kitab yang ada. Mengenai cara bernapas, mengatur pemerintahan, ilmu bumi, nama raja, tata cara, adat-istiadat, dan tentu saja sejarah Keraton sendiri. Sampai usia lima belas tahun, Ksatria Pingitan—begitulah sebutan untuk mereka yang berada dalam ruangan tersebut—tinggal tiga orang. Dan sejak itu Ngabehi Pandu secara khusus melatih sendiri secara maraton. Melatih membaca, menghafal, berkelahi, ilmu negara, dan segala ilmu pengetahuan yang ada.
Tapi sejak itu, Upasara mulai longgar. Ia diizinkan pergi ke luar Keraton, jika memang menghendaki Upasara mencoba, akan tetapi kemudian kembali lagi. Baginya dunia di luar dinding Keraton sangat ganjil. Bahkan suasana dalam Keraton sendiri tak membuatnya senang. Upasara hanya mencintai ruang di mana ia sejak kecil dibesarkan.
"Baginda Raja membuat dalem pingitan ini sengaja untuk melatih para ksatria. Agar kelak menjadi senopati yang linuwih," demikian ujar Ngabehi Pandu suatu ketika. "Kau terpilih di sini sampai akhir hayatmu."
"Terima kasih, Paman."
"Segala apa yang terjadi di luar dinding Keraton bisa kau pelajari di sini. Cara menanam padi atau mengubur mayat pun bisa kau pelajari. Kau memang disiapkan untuk menjadi senopati, yang kelak kemudian hari akan menjunjung nama Keraton..."
Menjelang usia delapan belas, Upasara setiap 35 hari sekali menjajal ilmunya. Dengan para senopati yang lain. Ia mengenal mereka hanya dalam latihan belaka. Termasuk di dalamnya adalah Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti. Baik sendiri-sendiri maupun menghadapi keroyokan mereka. Maka boleh dikatakan Upasara sama sekali tak mengenal kehidupan dinding Keraton secara langsung. Ia mengetahui dari buku-buku. Baginya tak ada yang bisa mengalahkan kecintaannya untuk membaca buku dan menembang.
Maka ketika membaca Kartika Parwa dan Bantala Parwa, dengan segera Upasara bisa melakukan. Dan untuk memecahkan isi kitab itu adalah tantangan besar. Selama ini tak ada kitab pusaka di Keraton yang tak dipahami. Kitab-kitab itu mempunyai sifat yang sama. Harus bisa dipahami dengan beberapa syarat tertentu. Tidak asal menghafal dari yang tertulis.
"Adik, mari kita jajal jurus Lintang Sapi Gumarang. Tidak perlu dibuka lagi catatan itu. Aku masih bisa menghafal. Di sini tidak diterangkan gerakan, karena hanya menyebutkan pengaturan tenaga belaka. Maka sangat boleh jadi, gerakan apa pun tak menjadi soal. Asal pengerahannya seperti yang dimaksudkan."
Upasara berdiri. Di tengah malam, hanya kena pantulan api dari kayu. Ia mengambil sikap sempurna, menghormat dalam dengan menghaturkan sembah. "Hamba yang rendah ini, Upasara Wulung, minta berkah pangestu. Maafkan segala kelancangan hamba mempelajari ilmu para sepuh."
Lalu dengan serta-merta mengumpulkan tenaga dari ujung-ujung hidung. Udara disedot masuk, naik ke atas ke ubun-ubun, turun lewat tulang belakang, dan dikumpulkan di pusar. Ditahan sekuatnya, sehingga arus tenaga yang bergelora itu terasa menggerakkan semua urat dan saraf, membuka semua jalan darah. Baru kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dari samping, hingga pangkal telapak tangan menyentuh ketiak. Kuda-kuda tetap mengangkang seperti seorang menunggang kuda. Perlahan kedua tangannya bergerak sesuai dengan yang dihafal. Tenaga dikerahkan dari arah utara dan selatan. Seirama dengan penyaluran napas, tangan kanan dan kiri digerakkan ke arah kanan dan kiri. Pusat perhatian tertuju di satu titik di depan, akan tetapi yang ada dalam bayangan adalah tetesan hujan pertama, loncatan belalang, luncuran burung, tumbuhnya benih padi. Merasa konsentrasinya kuat, Upasara melemparkan tenaganya ke depan.
Bupb!
Kayu api di depannya terpental semuanya. Api menjadi padam seketika, keadaan menjadi gelap. Cabang kayu yang tadi dipakai untuk api, baru beberapa saat kemudian terjatuh di tanah. Saking tinggi terlemparkan!
Kawung Sen berjingkrakan. "Bagus, kau berhasil, Kakang."
Upasara membuyarkan tenaga dalamnya. "Tidak. Tanpa jurus itu pun aku bisa melakukan."
"Lalu?"
"Ada yang belum bisa kupahami. Cara mengambil sumber tenaga inti masih belum bisa kuketahui. Dalam kitab disebutkan sebagai tenaga musim Kasa. Musim pertama. Itu juga bisa disebut tenaga Kartika. Musim pertama itu mempunyai sifat belas kasih. Aha, mungkin itu sebabnya kenapa dalam kitab itu disebutkan kalau mempunyai rasa pongah dan sombong, tidak mencapai sasaran."
"Coba lagi."
"Kita coba sama-sama."
Kawung Sen berjingkrakan. Ia berdiri sejajar, berjarak tiga tombak. Keduanya mulai bergerak. Upasara mengulangi gerakan tadi untuk menghimpun tenaga. Sedang Kawung Sen, karena latar belakang silatnya berbeda, mengambil tenaga dengan menggerakkan kedua tangan setengah lingkaran di depan tubuh. Lalu dalam saat yang bersamaan, keduanya melemparkan tenaga ke depan. Terdengar suara keras. Dua pohon sekaligus bergoyang. Pohon di depan Upasara rontok sebagian besar daunnya. Sedang pohon di depan Kawung Sen somplak beberapa cabangnya.
"Hoho... aku bisa. Aku bisa."
Upasara memusatkan konsentrasi. Ia mulai dengan jurus Lintang Tagih. Tenaga mengambil dari utara. Tenaga bergulung, dan bergelombang besar, dan Upasara memusatkan seluruh daya cipta kepada dirinya, tidak memedulikan arah pukulan. Membiarkan tenaga dingin tetap berada di dalam, dan tenaga panas menyembur ke luar.
Krak!
Kini pohon di depan Upasara tercabut seakarnya. Pohon di depan Kawung Sen rontok semua daun dan cabangnya.
"Adik, jurus kedua ini hanya mengerahkan tenaga luar, tenaga panas. Sebagian tetap disimpan."
"Kenapa begitu?"
"Inilah inti musim Karo. Musim kedua yang juga disebut Pusa. Jangan terlalu lama menahan tenaga di dalam. Gerakan harus dilakukan dengan cepat. Jauh lebih cepat dari jurus pertama."
"Dasar ilmu silat kita berbeda. Bagaimana Kakang bisa menjelaskan itu? Apa ditulis di situ?"
"Tidak. Tetapi kalau dilihat hasilnya, aku bisa menumbangkan pohon, sedang Adik tidak. Padahal tenaga dalam Adik jauh lebih besar dariku. Adik memiliki latihan dan pengendalian yang lebih berpengalaman. Hanya cara mengaturnya yang keliru. Kita ulangi jurus satu dan dua, dengan sasaran pohon yang lain. "Mulai!"
Benar apa yang dikatakan Upasara. Pohon di depan Upasara sudah tumbang dan terlempar. Baru kemudian pohon di depan Kawung Sen bergoyang perlahan sebelum akhirnya rubuh.
"Astaga. Kenapa bisa begitu?"
"Waktu yang digunakan untuk pengerahan tenaga. Pada jurus pertama, karena pengaruh Kasa, waktunya lebih lama. Umur Kasa adalah 41 hari. Sedang Karo hanya 23 hari. Jadi hampir separuhnya. Waktu Karo sama juga dengan waktu Dhestha atau jurus kesebelas yang dipengaruhi Padrawana. Usianya juga 23 hari."
"Bagus, bagus. Boleh juga. Bagaimana dengan musim yang lain? Aku tak pernah mengerti berapa umur bulan yang ketiga dan seterusnya."
"Musim ketiga disebut Manggasri, berumur 24 hari, musim keempat disebut Sitra, berumur 25 hari. Musim kelima disebut Manggakala, berumur 27 hari. Musim keenam disebut Naya dihitung 43 hari. Demikian juga musim ketujuh disebut Palguna berusia 43 hari."
"Susah, susah, Kakang. Kenapa setiap bulan, setiap musim umurnya berbeda-beda?"
"Entahlah, Adik, bagaimana para leluhur menemukan perhitungan ini. Tetapi musim Kasa dihitung mulai terbitnya matahari ketika mulai condong ke selatan. Musim Naya, dihitung sejak matahari terbit ke arah selatan persis. Musim Palguna, ketika matahari terbit mulai condong ke utara. Sedangkan musim kedua belas, yang terakhir disebut Asuji, dihitung dari matahari terbit persis di utara. Dan panjang-pendeknya umur musim mempengaruhi jurus yang dimainkan."
"Bagaimana mungkin matahari agak ke selatan atau di selatan persis, agak ke utara atau di utara persis. Seumur-umur matahari terbit dari timur."
"Tidak persis begitu. Adakalanya agak ke utara dan agak ke selatan. Adik, para leluhur kita telah lama memperhitungkan ini semua dengan arah angin, hujan, ombak laut, ketika para senopati Keraton dikirim ke Melayu. Dengan dasar yang sama pula kini diciptakan dalam ilmu silat. Berbahagialah Adik menemukan ilmu ini."
"Tidak, Kakang yang membuat terang."
"Adik bisa berlatih sendiri. Setidaknya dari Kartika Parwa. Mungkin suatu hari kelak, kita bisa belajar bersama-sama lagi."
"Kakang akan melanjutkan perjalanan?"
"Tugas Keraton...."
"Sudahlah, Kakang. Pertolonganmu tak akan pernah kulupakan. Mudah-mudahan dewa di langit membalas semua budi baik Kakang. Kalau aku mengetahui rencana Maharesi Ugrawe, aku akan segera melaporkan padamu."
"Nuwun...."
Upasara mengangguk. Kawung Sen melompat memeluk Upasara. Lalu cepat melepaskan kembali.
"Aku sungguh tidak sopan."
"Adik Kawung Sen, selamat tinggal."
"Kakang Upasara, selamat jalan."
Upasara segera berlalu. Meskipun tidak menoleh ia tahu bahwa Kawung Sen masih berdiri di tempatnya, sampai ia menghilang di kegelapan malam. Dan malam itu Upasara terus melanjutkan perjalanan. Hingga dini hari. Setelah beristirahat sejenak, ia melanjutkan perjalanan kembali. Menjelang senja, sampailah ia di batas kota. Upasara mulai berhati-hati. Sekali lagi ia menyamar sebagai penduduk biasa. Malah ia memakai caping lebar sekali yang telah butut. Dengan perasaan aman, Upasara melangkah ke dalam desa.
Sebuah desa perbatasan yang cukup ramai, pikir Upasara. Apalagi menjelang senja begini masih banyak orang lalu-lalang. Setahuku, di luar Keraton tak pernah ada kegiatan begitu matahari tenggelam. Ataukah ada sesuatu yang terjadi? Dugaan Upasara tidak meleset. Orang yang berlalu-lalang ini menuju satu tempat. Yang dituju adalah lapangan yang diterangi banyak obor yang mulai dinyalakan. Ada panggung luas, di belakangnya dihiasi patung besar, serta umbul-umbul. Kelihatan kegiatan baru akan dimulai.
Upasara melirik sebentar. Berniat meneruskan perjalanan ketika terdengar sorak-sorai keras. Terpaksa kakinya berhenti melangkah. Pandangannya tertuju ke tengah panggung. Dan kecele. Karena panggung tetap kosong melompong. Dalam herannya, Upasara menegur seorang yang sebaya dengannya.
"Ada apa, Kisanak?"
Yang ditegur memandang heran ke arah Upasara. "Untuk apa datang kemari kalau tak tahu kegiatan apa?"
"Maaf, saya benar-benar tidak tahu. Apakah akan ada pertandingan silat?"
"Ini sudah malam ketujuh dari Sayembara Mantu. Bisa jadi kalau kamu ikut dan menang, bisa memboyong putri Cina. Ha... ha... ha."
Dari caranya tertawa, jelas Upasara ditertawakan.
"Majulah segera, siapa tahu nasibmu baik. Kami semua sudah tidak sabar menunggu siapa pemenangnya."
Sayembara Mantu, adalah sayembara untuk dipilih menjadi menantu. Upasara mengetahui bahwa ada cara-cara seperti itu. Agaknya terlalu banyak calon sehingga perlu diadakan sayembara. Hanya yang mengherankan, kenapa yang dipilih adalah putri Cina?
Upasara tahu bahwa dahulu pernah ada utusan dari negeri Cina yang datang ke Baginda Raja. Konon, raja dari negeri Cina terdiri atas para jagoan yang luar biasa. Namun mereka bisa diusir pergi. Malah utusannya dicoreng wajahnya dengan tulisan. Sejak itu mereka pulang balik ke negerinya minta bala bantuan. Akan tetapi Upasara juga mendengar berita bahwa tidak semua utusan pulang kandang. Beberapa jagonya yang kesohor masih tinggal di sekitar pantai. Siapa nyana sekarang berani mendirikan tempat pertemuan yang terbuka dan mengadakan Sayembara Mantu?
Kalau benar ini malam ketujuh, berarti sudah lebih dari sepasar kegiatan ini diadakan setiap malam. Dan jaraknya dari Keraton tak terlalu jauh. Sehingga pastilah pihak Keraton telah mendengarnya. Pasti juga tak ada larangan dari Keraton, karena nyatanya kegiatan ini masih terus berlangsung. Bagi Upasara tidak menjadi soal benar hal semacam ini. Ia sama sekali tak tertarik mencari pasangan. Dalam otaknya belum ada masalah seperti itu. Akan tetapi bahwa kegiatan ini diadakan oleh kelompok yang pernah diusir dari Keraton, memang agak mencengangkan.
Seingat Upasara, Ngabehi Pandu pernah menceritakan bahwa dalam utusan Meng-ki terdapat seorang ahli silat yang ilmunya kelewat tinggi. Yang harus diperhitungkan benar-benar. Upasara tidak bertanya lebih jauh saat itu. Akan tetapi mengingat bahwa gurunya memuji, ia jadi penasaran. Setahunya, gurunya hanya menyebut-nyebut beberapa nama yang termasuk luar biasa.
Yang pertama adalah Eyang Sepuh dari Perguruan Awan. Ia menduduki tempat teratas. Hanya saja sudah sejak lama Eyang Sepuh ini mengasingkan diri dan membina Perguruan Awan. Sehingga tak diketahui lagi. Menurut Ngabehi Pandu, kemampuan Eyang Sepuh tak bisa diukur lagi. "Bagaimana bisa diukur kemampuannya kalau selama ini Eyang Sepuh belum ada yang bisa mengalahkan? Bahkan murid-muridnya masih termasuk kelas tinggi. Di dunia ini, hanya Eyang Sepuh yang tak terkalahkan selama pertandingan."
Yang kedua adalah Mpu Raganata. Mahapatih Keraton yang dianggap mampu menandingi siapa saja, dalam soal apa saja. Baik dalam pertempuran satu lawan satu, baik dalam mengatur siasat perang, maupun dalam strategi, serta membaca maksud lawan. Salah satu ilmu andalannya disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Rangkaian jurus-jurus ini oleh Ngabehi Pandu disebut sebagai penangkis segala jurus. Karena Mpu Raganata mampu membaca apa yang dipikirkan lawan. Tahu ke mana gerakan dan serangan lawan. Sehingga dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawannya.
"Eyang Sepuh belum pernah terkalahkan. Paman Ngabehi, dibandingkan dengan Mpu Raganata yang menguasai Weruh Sadurunging Winarah, siapa yang lebih unggul?"
"Susah dibuktikan. Tapi Mpu Raganata selalu menolak bertanding dengan Eyang Sepuh. Beliau mengatakan bukan tandingan Eyang Sepuh. Mungkin justru dengan ilmunya itu Mpu Raganata mengetahui bahwa ia tak bisa mengungguli Eyang Sepuh."
Yang ketiga disebut-sebut adalah Ugrawe. Terutama karena ilmunya Sindhung Aliwawar yang beraneka ragam, dan sulit dipelajari oleh lawan. Sejak Eyang Sepuh tak lagi terjun ke dunia, dan Mpu Raganata tergeser dari pusat kekuasaan, hanya Ugrawe yang bisa malang-melintang. Baru kemudian, Ngabehi Pandu bercerita tentang tokoh keempat. Yaitu panglima utama dari negeri Cina, yang dikenal dengan Mojin, atau Bok Mojin.
"Mojin mewarisi ilmu gulat yang luar biasa yang dikembangkan dari negeri asalnya, negeri padang pasir Mongolia. Dipadu dengan kecepatan gerak bangsa Cina yang ditaklukkan, Mojin benar-benar luar biasa."
Saat itu Ngabehi Pandu tidak menyebut-nyebut Mahisa Anengah Panji Angragani yang menggantikan kedudukan Mpu Raganata.
"Jauh di bawah itu, jumlahnya banyak sekali."
"Termasuk Paman?"
"Aku bukan apa-apa."
"Pakde Senamata Karmuka?"
"Pakdemu itu juga bukan apa-apa."
Saat itu Upasara seperti tak bisa menerima apa yang dikatakan gurunya. Bagaimana bisa terjadi, Ngabehi Pandu tetap dikatakan bukan apa-apa? Selama ini Upasara mengetahui bahwa Ngabehi Pandu tak pernah bisa dikalahkan dalam Keraton! Kalau benar begitu, pastilah empat tokoh yang telah disebutkan tadi sangat luar biasa.
Upasara sendiri belum pernah menyaksikan jurus-jurus dan ilmu Eyang Sepuh. Ngabehi Pandu hanya memberikan dasar-dasar sumber gerak sebagai tambahan pengetahuan. Mengenai Mpu Raganata, Upasara pernah bertemu. Walau tidak sedang memperlihatkan ilmunya, Upasara bisa merasakan perbawa dan kehebatan sorot mata Mpu Raganata. Hanya dalam hatinya Upasara kurang hormat karena ketika itu Mpu Raganata seperti meremehkan kehadiran Upasara.
Saat itu ia sedang berlatih keras bersama Ngabehi Pandu, tiba-tiba sebuah bayangan menyeruak masuk. Upasara tidak mendengar desiran angin, tidak mendengar suara kaki, akan tetapi tiba-tiba melihat seorang tua dengan pakaian putih berdiri di depannya. Ngabehi Pandu langsung memberi sembah dengan hormat sekali. Upasara mengikuti.
"Ngabehi..."
"Sembah dalem, Begawan...."
"Hmmmmmmm, ini hasilmu melatih Ksatria Pingitan?"
"Nun inggih. Hamba sama sekali tak berbakat. Mohon petunjuk, Begawan."
"Susah, susah. Keinginan Keraton adalah menciptakan seorang ksatria tulen. Sejak lahir tak tahu apa-apa selain ilmu silat. Dilatih sejak lahir ceprot. Dikurung secara istimewa. Hmmmmm, tak tahunya hasilnya hanya sebegini. Saya dengar banyak sekali yang tak bisa mewarisi ilmu Keraton."
"Nun inggih, hanya tinggal satu orang. Yang lainnya menjadi prajurit."
"Hmmmmm, susah. Susah. Tinggal satu saja seperti ini."
"Hukumlah hamba yang tidak becus ini."
"Bukan salahmu. Mereka memang tidak punya darah ksatria. Dipaksa seperti apa ya susah. Sekalinya cacing tak bisa dipaksa menjadi naga."
Upasara yang terus menunduk sejak tadi, tak terasa mengangkat dagunya.
"Tapi anak muda ini boleh juga. Matanya berani menatapku. Besok kalau sudah pantas, aku ingin sekali melihatnya."
Darah Upasara mendidih. Sejak itu ia berlatih makin keras. Lebih keras dari biasanya. Namun Mpu Raganata tak pernah muncul kembali. Setiap kali Upasara menanyakan, Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya.
"Itu bukan urusanmu. Beliau mempunyai urusan lain lebih banyak. Urusanmu mewarisi ilmu Keraton."
Sejak itu Upasara tak pernah bertemu lagi. Kini, ia ingat lagi karena ia teringat kepada Mojin.
"Jangan-jangan Mojin...," kata Upasara pelan.
"Heh, kamu kenal juga nama itu?"
"Maaf, hamba hanya mendengar bahwa yang harus dikalahkan bernama Bok Mojin...."
"Semprul... kamu ini ngerti apa? Kiai Sangga Langit tak perlu turun tangan untuk mencari menantu. Cukup membiarkan kamu melawan pemenang dan itu sudah cukup untuk menjadi suami putri Cina."
Bulu kuduk Upasara bergidik. Hebat benar jika Mojin yang digelari Kiai Sangga Langit benar-benar ada di sini. Jelas ini bukan sayembara sembarangan. Tapi kenapa mengadakan sayembara di tapal batas Keraton? Kenapa tidak di Keraton sekalian atau di Gelang-Gelang atau di Kediri? Ini aneh, pikir Upasara. Ia banyak membaca kitab-kitab dan segala macam peraturan, akan tetapi toh kejadian seperti ini masih sulit dimengerti.
Kalau Kiai Sangga Langit berani muncul ke permukaan, pasti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sayembara Mantu ini sendiri pasti bukan tak ada apa-apanya. Selama ini boleh dikata, anak gadis yang memiliki sesuatu yang luar biasa, akan di-sowan-kan ke Keraton atau mendapat panggilan ke Keraton. Kalau-kalau Baginda Raja berkenan. Nah, kalau putri Cina terkenal karena keayuannya, kenapa tidak langsung di-sowan-kan ke Keraton?
Mata Upasara seperti dicolok. Di pentas muncul seorang wanita yang sangat menarik. Dahinya lebar, rambutnya yang berombak dibiarkan terurai hingga mencapai pantat. Pandangannya galak sekali. Bibirnya tipis, sedikit berwarna merah. Yang lebih menarik lagi adalah bentuk dadanya yang montok besar, dengan kemben yang lekat. Kainnya terbuka sedikit di bagian kaki.
"Saya Demang Wangi mengucapkan selamat datang kepada para ksatria di seluruh tanah Jawa. Ini adalah malam terakhir pemilihan menantu. Akan kita ketahui bersama siapa yang berhak mempersunting Dyah Muning Maduwani.... Akan tetapi seperti malam kemarin, Kiai Sangga Langit tetap memberi kesempatan bagi peserta yang ingin menjajal keberuntungan...."
Suaranya enak, seperti mengelus telinga. Ada nada bisik-bisik yang menggelitik. Apalagi ketika mengakhiri kalimatnya dengan menyungging senyum serta menunggu reaksi, membuat lelaki di samping Upasara berdecah-decah.
Demang Wangi, setahu Upasara adalah salah seorang jago silat yang disegani juga. Sebenarnya yang bergelar Demang Wangi adalah seorang lelaki. Tetapi entah kenapa malam ini yang muncul adalah perempuan yang mengobral senyum. Entah apa pula hubungannya dengan Kiai Sangga Langit atau juga Dyah Muning Maduwani.
Kalau ditilik dari namanya, Dyah Muning Maduwani adalah putri Cina yang disayembarakan. Dyah memang sebutan terhormat untuk gadis. Sedang Muning, bisa jadi kependekan atau nama yang diluweskan dari Mo dan Ing atau sejenis dengan itu. Maduwani sekadar julukan untuk menggambarkan keayuannya seperti madu. Dan wani yang juga berarti berani, mengandung pengertian tersendiri. Maduwani, bisa juga berarti sangat bermadu, atau menonjol kemaduannya.
"Bagaimana?"
"Bagaimana kalau saya melamar Demang Wangi saja?" Tiba-tiba terdengar suara dari arah timur. Suaranya cukup keras dan gemanya seperti lebah berdengung.
"Kenapa bicara di tempat gelap, kalau di sini disediakan tempat terang? Silakan maju, biar saya bisa berkenalan."
Terdengar suara tawa berkekeh, disela batuk lunak, ketika satu sosok bayangan masuk ke dalam arena. Bayangan seorang lelaki yang badannya tinggi tegap, dengan jidat sangat lebar. Di tangannya tergenggam tongkat berwarna gelap. Tongkat itu kelihatannya sangat berat sekali, mengilap di sekujur batangnya, sehingga membalikkan sinar api.
Upasara tahu siapa tokoh yang memakai tongkat dari galih pepohonan. Atau dibuat dari tengah batang pohon. Galih Kaliki! Mengilatnya tongkat itu konon karena selalu dilap dengan darah korban yang kena kemplangannya.
"O, kiranya Kakang Galih Kaliki yang menginginkan saya."
"Jauh sebelum kau menjanda, aku sudah menginginkan dirimu. Dan kau tahu itu, Nyai Demang. Hari ini aku datang untuk melamarmu."
Nyai Demang Wangi tersenyum menggoda. "Aha, saya sudah tua. Janda yang tak laku. Kenapa pula Kakang menginginkan saya? Kalau Kakang bisa memperoleh Dyah Muning Maduwani, dengan sendirinya saya akan menjadi pelayan Kakang. Baiklah kalau Kakang juga akan mengikuti sayembara ini."
Galih Kaliki menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku cuma ingin dirimu. Bukan yang lain. Apakah ia bidadari atau ular naga apa peduliku. Bicaralah terus terang, Nyai Demang. Kau bersedia atau tidak. Kalau bersedia, aku akan mengemplang siapa pun yang menghalangi. Kalau tidak, aku akan menunggu lagi. Perkara lain kita bicarakan nanti. Biarlah para ksatria yang hadir di sini menjadi saksi. Bahwa aku Galih Kaliki melamarmu." Suaranya keras, nadanya tegas.
Upasara mengenal dari penuturan bahwa Galih Kaliki termasuk tokoh yang aneh. Bahwa semua tokoh persilatan mempunyai sifat aneh, itu sudah dengan sendirinya. Akan tetapi Galih Kaliki termasuk yang paling aneh, karena ia tak bisa dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan hitam atau putih. Apakah ia memusuhi atau setia kepada Keraton, tidak bisa begitu saja dipastikan. Bahkan asal-usul perguruannya juga aneh. Selama ini tak diketahui. Lebih aneh lagi sifatnya seperti yang ditunjukkan sekarang ini. Secara demonstratif ia melamar Nyai Demang, justru di saat bukan Nyai yang disayembarakan.
"Saya kira tukang kayu ini salah alamat. Untuk apa ia tampil ke panggung ini?"
"Bayi mana berani bersuara dalam gelap seperti ini?"
"Aku, Bagus Respati dari Keraton Singasari." Terdengar jawaban ringan dan sesosok tubuh melayang dengan indah. Wajah yang tampan, bersih, dengan pakaian mewah, kedua kakinya dihiasi dengan gelang emas, melemparkan senyum tinggi. Titik-titik berlian di hulu kerisnya memantulkan sinar balik dengan terang sekali. Titik-titik berlian yang sebesar biji kacang.
Upasara kenal baik dengan Bagus Respati. Dulu, Bagus Respati adalah Ksatria Pingitan juga. Seperti dirinya ini. Hanya kemudian memilih jalan sendiri karena secara khusus diundangkan beberapa guru kepadanya. Sejak berpisah lima tahun yang lalu, Upasara tak pernah bertemu lagi. Baru kali ini sempat melihat dari jarak jauh.
"Apa hubunganmu dengan Keraton, cah bagus?"
"Aku adalah putra Yang Mulia Mahisa Anengah Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari, tangan kanan Baginda Raja Kertanegara."
"Jadi kau ingin berebut denganku soal Nyai Demang? Mari kujajal dulu. Apakah masih tercium bau pupuk bawangmu atau tidak." Galih Kaliki langsung mengambil posisi.
Bagus Respati menggelengkan kepalanya. "Kalau kau menjadi peserta sayembara, aku akan melayani. Karena malam ini aku adalah pemenang terakhir. Kalau kau menginginkan Nyai Demang, aku tak mau meladenimu. Malam ini juga akan kuboyong Dyah Muning Maduwani."
Bagus Respati berbalik ke arah penonton.
"Karena aku tidak mau main curang, aku akan memberi kesempatan terakhir. Siapa yang masih mengikuti sayembara, silakan maju. Aku tidak mau menakuti. Akan tetapi sayembara ini hanya ditentukan pemenangnya setelah lawannya tak bisa bangkit lagi. Jangan salahkan aku kalau terlalu keras. Silakan kalau ada yang mau mencoba."
Suasana menjadi hening.
Upasara berniat meninggalkan lapangan. Tapi kakinya terasa berat melihat senyum Nyai Demang.
"Ternyata peserta yang lain lebih suka mengundurkan diri. Kalau memang tidak ada..." suaranya tertahan, seperti menunggu ada yang mengusulkan sesuatu, "...kalau memang tak ada... memang tak ada?"
Mendadak perhatian terserap ke panggung sebelah kiri. Serombongan orang berjalan masuk sambil memanggul tandu. Upasara melihat bahwa bentuk tandu yang sekarang ini agak istimewa. Penuh dengan hiasan warna-warni. Warnanya juga beraneka ragam. Tandu itu diletakkan di pinggir sebelah kiri. Bagian depan yang tertutup kain tiba-tiba menyibak. Serentak dengan itu terdengar decak kagum, dan para penonton berdesakan.
Dari dalam tandu terlihatlah bayangan seorang gadis. Rambutnya panjang, hitam, disanggul sempurna. Seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain sutra putih yang ujungnya diberi hiasan bunga merah muda. Kulitnya putih, sangat putih sekali. Terutama di bagian wajah, dan lehernya yang jenjang. Yang membuat Upasara kagum adalah tenaga dalam untuk membuka tirai penutup. Tirai yang dibuat dari sutra itu membuka, dan ujungnya tetap menunjuk ke atas. Tertahan di tengah udara. Mata yang sipit menatap ke arah panggung.
"Karena telah berada di atas panggung, mengapa tidak turut serta?"
Untuk pertama kalinya Upasara merinding. Suaranya sangat halus, merdu, dan menyentuh. Walaupun bibirnya bergerak sangat pelan sekali.
Galih Kaliki mendengus keras. "Aku datang tidak untuk melamarmu. Aku tak suka kamu." Galih Kaliki membuang muka.
Bagus Respati menjejak panggung dan tubuhnya melayang. "Orang dusun tak tahu tata krama, bagaimana kau bisa menghina begitu busuk? Jangan panggil aku Bagus Respati kalau tak bisa menyingkirkanmu."
Meskipun dalam keadaan murka, Bagus Respati masih memperingatkan lebih dulu. Kedua tangannya menarik dua keris, satu dari belakang yang diketahui oleh penonton, satu lagi entah dari mana. Dua keris itu tergetar mengeluarkan bau amis.
Galih Kaliki menyambar tongkatnya, dan langsung menerjang. Tongkat hati kayu mengemplang dari atas. Yang diarah langsung batok kepala lawan. Dengan memiringkan kepalanya, Bagus Respati menarik tubuhnya ke samping. Gerakan kakinya sangat lincah dan bagus.
Upasara diam-diam memuji kagum. Karena dengan gerakan kaki itu Bagus Respati bisa memiringkan tubuhnya, menghindar, dan dalam langkah berikutnya yang bersambungan sudah berada dalam jarak dekat. Kedua kerisnya bagai sepasang gunting. Sekali tusuk bakal membuat dua luka. Dengan variasi gerakan yang ada. Dua bisa menjadi empat, empat bisa menjadi delapan. Dalam sekejap seperti ada 32 ujung keris yang datang dan pergi, dengan tusukan tempat yang berbahaya.
Galih Kaliki seperti menyapu semuanya. Ia maju terus, menggempur dengan tongkat hati kayu. Gebrakan sapuan tongkatnya hanya satu. Batok kepala lawan. Kalaupun menyabet ke bawah, akhirnya langsung ke atas lagi. Mencongkel dari bawah. Menggebuk dari samping pun arahnya tetap jidat. Dengan cara menyerbu seperti ini, Bagus Respati tak bisa mempraktekkan kelebihannya. Ia tak bisa memamerkan kelebihannya bermain dengan indah. Karena sebelum satu jurus selesai separuh, sudah harus diubah dari awal, atau ditarik mundur. Galih Kaliki terlalu merangsek maju.
"Ayo pamerkan ilmu menggelitik ini."
Namun meskipun Galih Kaliki kelihatan sesumbar, ayunan tongkatnya selalu menemui tempat kosong. Cara bergerak Bagus Respati memang rapi dan tangguh. Perubahan gerak kakinya sangat luar biasa. Sebentar merandek maju, ditarik mundur ke samping, dan tahu-tahu sudah berada dalam jarak yang jauh lagi.
Dalam sepuluh jurus pertama, Galih Kaliki jadi repot. Beberapa kali tongkatnya ditarik mundur—tertarik dengan sendirinya, karena serbuan kaki lawan yang merepotkan. Sementara Bagus Respati juga tak bisa maju sepenuhnya. Setiap kali memperoleh peluang, ia tak bisa menggunakan dengan baik. Karena angin dari tongkat Galih Kaliki sudah terasa di ubun-ubunnya.
Lima jurus lagi telah berlalu, tanpa ada yang berani memastikan pihak mana yang lebih unggul. Sebenarnya kalau pertempuran diteruskan hingga jurus kelima puluh, Bagus Respati bisa berada di atas angin. Bagaimanapun juga gerakan kakinya makin terarah dan tetap rapi. Sementara Galih Kaliki harus terus mengeluarkan tenaga ekstra keras. Jenis pukulan dan serangannya menuntut tenaga besar. Jadi biar bagaimanapun kuatnya, makin lama akan makin keteter. Makin terkuras.
Tapi Bagus Respati tak sabar menunggu. Selama mengikuti sayembara ini, ia telah mengalahkan empat lawan. Semuanya di bawah sepuluh jurus dan semuanya tewas dengan enam belas tusukan di satu tempat. Korban pertama, tertusuk di bagian leher. Korban kedua, sama juga. Korban ketiga di bagian dada kiri. Dan korban keempat... semuanya di bagian wajah.
Semua dikalahkan dengan cara yang sama. Posisi kuda-kudanya makin lama makin kedodoran. Dan ketika suasana menjadi kritis, yang dibenahi lebih dulu adalah bagian penjagaan. Saat itulah Bagus Respati melancarkan serangan kilatnya. Dua keris bergerak bersamaan!
Memang Galih Kaliki yang dihadapi sekali ini jauh berbeda. Namun dengan cara yang sama, Bagus Respati bisa mendesak. Hanya saja setelah lewat dua puluh jurus, masih bisa bertahan dengan kuat dan tetap berbahaya, Bagus Respati tidak sabaran. Ia mempercepat serangan kaki, setiap kali Galih Kaliki beringsut, tempat yang barusan diinjak ganti diinjak. Tak peduli Galih Kaliki mundur ke samping kiri atau kanan. Bahkan kalau mencoba maju, Bagus Respati berusaha mengambil posisi yang ditinggalkan.
Dengan cepat kedua tubuh yang tengah bertempur jadi berputar-putar. Dari ujung kiri panggung ke kanan, pindah lagi ke tengah, minggir lagi. Bagus Respati bisa makin keras mendesak, karena ayunan tongkat Galih Kaliki bisa dikenali. Keras-lembut tenaga serta sasarannya terlalu monoton.
Upasara yang menonton di pinggir panggung hanya bisa kuatir dalam hati. Dalam perhitungannya, Bagus Respati memang sangat pesat kemajuannya. Sebagai sama-sama Ksatria Pingitan dulunya, Upasara melihat kepesatan Bagus Respati bukan hanya dalam soal ilmu silat, tetapi juga dalam membaca kemampuan lawan.
Sementara itu justru sebaliknya dengan Galih Kaliki. Tokoh aneh yang tak dimengerti asal-usulnya ini, dalam sepuluh jurus pertama sungguh mengagumkan. Ayunan tongkatnya betul-betul berhasil menekan lawan dengan berat. Sehingga lawan tak sempat berkembang permainannya. Didikte dengan keras. Arah dan sasarannya juga maut. Ubun-ubun. Tenaganya yang tidak kecil. Sehingga untuk ditangkis hampir tidak mungkin. Hanya bisa dihindari. Akan tetapi terasa juga tekanan itu tidak makin berat, tetapi malah melonggar di sana-sini. Terutama karena gerakan pengulangannya
Maka perlahan, Galih Kaliki menjadi jatuh di bawah angin. Bagus Respati memperhitungkan bahwa peluang untuk mengeluarkan pukulan atau lebih tepat tusukan terakhir yang menentukan. Agaknya Bagus Respati melihat kesempatan itu ketika ayunan tongkat Galih Kaliki berputar sedikit. Dengan sebat ia menyepak ke arah paha lawan untuk meminjam tenaga, dan pada saat yang bersamaan tubuhnya melayang ke atas. Dengan kedua keris seperti mencari kutu. Bergerak cepat, bergantian arahnya, seperti menyerang leher, dagu, telinga, mata, dari arah bawah.
Upasara mengeluarkan seruan tertahan! "Tahan...."
Terlambat. Tubuh Bagus Respati telah melayang ke atas dan dari ujung kerisnya terlihat warna merah. Tapi Galih Kaliki tidak sekadar memukul angin. Putaran tongkatnya dari menyerang kepala menjadi sodokan keras. Tak urung dada Bagus Respati kena disodok. Tubuh Bagus Respati melayang ke bawah. Jatuh di panggung. Tetapi dengan bergulingan, Bagus Respati mampu berdiri kembali. Dadanya masih terasa sakit sehingga jalannya terhuyung-huyung. Sementara Galih Kaliki masih berdiri tegak. Tapi ada goresan dari dada ke atas. Goresan yang mengalirkan darah segar.
"Ayo maju lagi!" teriak Galih Kaliki keras sambil menyerbu tanpa memedulikan bahwa darah yang mengalir makin banyak. Ayunan tongkat ditangkis dengan dua buah keris. Saking kerasnya satu keris terlempar ke tengah udara. Galih Kaliki mengulang kembali serangannya. Kalau tadi gerakan monoton yang berulang agak merugikan dirinya, sekarang justru berarti sekali. Sebelum Bagus Respati bisa mengerahkan tenaganya secara sempurna, lawan sudah mengemplang lagi!
Upasara yang berdiri di bagian pinggir hanya melihat satu kemungkinan: Bagus Respati bakal melemparkan kerisnya, dan Galih Kaliki tak akan memedulikan tapi terus mengemplang. Akibatnya jelas. Galih Kaliki akan mati seketika dan ubun-ubun Bagus Respati akan hancur luluh berantakan. Upasara bisa menebak gerakan Bagus Respati karena dasar gerakan dalam memainkan keris sama dengan yang dipelajari. Yang berbeda hanya variasi kecilnya. Maka Upasara melayang maju ke depan. Ia memegang dua pundak orang di kanan-kirinya. Sebelum mereka ini tahu apa yang terjadi, tenaga mereka telah dipinjam Upasara. Di tengah udara, Upasara melemparkan capingnya dengan sepenuh tenaga. Perhitungan tak banyak berbeda.
Caping itu berputar keras sekali. Menyelip di antara Bagus Respati dan Galih Kaliki. Sekaligus "menelan" keris Bagus Respati. Tenaga luncuran keris itu meluncur terbawa pusaran caping. Dan dalam melayang ke atas caping itu mengenai pergelangan tangan Galih Kaliki. Sehingga tongkatnya tak bisa dikuasai lagi arahnya. Malah terlepas dari tangannya. Upasara menyambar tongkat itu sambil melayang turun. Lalu dengan berjongkok, menghaturkan sembah ke arah dua orang yang saling menjauh. Galih Kaliki baru menyadari bahwa caping itu telah menolong nyawanya dari luncuran keris. Sebaliknya Bagus Respati juga menyadari bahwa ubun-ubunnya telah dibebaskan dari bentuk yang mengerikan.
"Maafkan, Paman Galih, maafkan, Kakang Respati...." Upasara menghormat sekali lagi. Lalu mengembalikan kedua pusaka ke pemiliknya masing-masing.
"Siapa kau?" Nyai Demang bergerak maju. "Kenapa kau berani kurang ajar? Tidak tahu bahwa dalam sayembara ini pemenangnya harus bisa mengalahkan lawan-lawannya? Kalau kau mempunyai sifat ksatria, bukan begitu caranya. Sebutkan namamu sebelum terlambat."
"Nama saya Upa, putra Bapak Toikromo. Saya memang kurang ksatria. Akan tetapi kelancangan saya terutama karena dalam Sayembara Mantu ini harus ada pemenangnya. Kalau keduanya tewas, Dyah Muning bakal menjadi janda sebelum mempunyai suami. Lagi pula, dalam hal ini sudah ada pemenangnya. Bagus Respati. Sedang Paman Galih menghendaki Mbakyu Demang."
Hebat kata-kata Upasara. Nyai Demang sedetik berubah parasnya. Warna merah meronai wajahnya. Baru sekarang ini ada yang memanggilnya mbakyu, alias kakak perempuan. Dan bukan nyai. Dalam sedetik itu Nyai Demang merasa sepuluh tahun lebih muda. Tapi Nyai Demang dalam detik berikutnya malah berubah geram.
"Anak desa yang sombong. Apa kau kira kau begitu jago sehingga bisa berbuat sesukamu?"
"Maafkan saya, Mbakyu Demang. Usia kita mungkin tak jauh berbeda, akan tetapi saya tidak mengerti tata krama. Saya memang anak desa."
Lagi Upasara melemparkan umpan yang berbisa. Siapa saja juga bisa melihat dengan mudah, bahwa usia Nyai Demang jauh di atas Upasara yang nampak masih segar. Tapi Upasara sengaja melemparkan kalimat itu. Nyai Demang tergetar hatinya. Akan tetapi penampilannya justru lebih galak.
"Huh. Siapa sudi mempunyai adik seperti kamu? Anak desa, ketahuilah bahwa dalam Sayembara Mantu, siapa pun yang masuk ke dalam gelanggang adalah peserta sayembara. Maka bereskanlah lawan yang lain dan kau akan memperoleh Dyah Muning Maduwani."
Upasara melengak. Ia tak menyangka bakal disebut sebagai calon. "Tidak bisa. Saya telah mempunyai istri...."
Nyai Demang tertawa cekikikan. Juga para penonton. Cara Upasara mengucapkan kata istri, sangat janggal sekali. Apalagi Upasara sendiri lalu terlihat salah tingkah.
"Anak dusun, kalaupun kau telah mempunyai istri tidak menjadi penghalang. Maka kalau kau bisa mengalahkan lawan-lawan yang masih ada di panggung sekarang, kamu akan menjadi pemenang."
Upasara menunduk. Memberi hormat kepada Bagus Respati. "Kakang Respati, silakan menjemput calon mempelai putri." Lalu berbalik ke arah Galih Kaliki. "Paman, silakan mengambil Mbakyu Demang."
"Anak dusun Upa, siapa suruh kau jadi makcomblang seperti ini? Saya bilang lawanlah mereka, kalau kau ingin menjadi pemenangnya?"
"Jelas tidak ksatria, Mbakyu. Dan bukankah sifat itu yang Mbakyu kutuk barusan?"
Bagus Respati menahan rasa sakit di dadanya. Terasa ulu hatinya seperti ditindih beban yang berat sekali. Ia bisa mengenali bahwa Upasara adalah teman dekat di Pingitan. Akan tetapi karena Upasara sendiri tidak mau memperkenalkan diri, Bagus Respati tidak memperlihatkan bahwa ia mengenali.
Galih Kaliki merasa sangat perih. Luka yang menyayat mulai menimbulkan gatal-gatal. Upasara mendekati Bagus Respati, dan membimbingnya ke tengah. Diam-diam ia berusaha menyalurkan tenaga, sambil memencet nadi dibagian punggung. Bagus Respati merasa sedikit lebih enak. Makanya tanpa diminta pun ia menyerahkan bubuk pemunah gatal. Upasara sendiri lalu mendekati ke arah Nyai Demang, sambil menyerahkan bubuk dalam bungkus daun pisang.
"Mbakyu bisa membantu Paman Galih. Kalau saya bisa salah menaburkan."
Galih Kaliki tersipu-sipu. "Terimalah hormatku, Upa...."
"Paman terlalu merendahkan diri."
"Pertolongan dan kebaikanmu tak akan kulupakan."
"Saya tak berani menerima, Paman."
Galih Kaliki nampak merasa gembira ketika Nyai Demang menuntunnya. Namun baru tiga tindak langkahnya terhenti. Tirai sutra terbuka, dan kembali terdengar suara halus.
"Siapa pemenangnya?"
Upasara tergetar mendengar suara yang begitu merdu di telinganya.
"Aku pemenangnya," jawab Bagus Respati tegas.
"Bawa saya pergi."
Tirai tertutup lagi. Dari samping panggung, tanpa terdengar suara apa pun, bergerak satu bayangan. Tanpa memperdengarkan suara berisik. Bahkan, sepertinya, obor di pinggir lapangan pun tak bergerak karena angin. Nyai Demang yang lebih dulu memberi hormat.
Upasara menjilat bibirnya. Sebagian ludahnya tersendat. Jago mengentengkan tubuh yang selama ini dikenal adalah Wilanda. Yang bisa bergerak dan meloncat bagai capung. Namun dibandingkan dengan tokoh yang baru muncul ini, kelihatannya Wilanda masih dua kelas di bawahnya.
Upasara memperhatikan dengan cermat. Seorang lelaki yang badannya tegap. Sangat tegap. Daging di lengannya menonjol seperti paha. Otot-ototnya terlihat jelas. Di bawah topi bulu binatang yang aneh, sepasang mata sipit mengawasi panggung. Dadanya licin, dengan otot-otot keras. Licin, sehingga seperti diminyaki. Mengenakan celana yang komprang sebatas lutut. Kakinya juga memperlihatkan kekukuhan yang luar biasa. Sedikit di atas mata kaki dibalut dengan bulu binatang yang agaknya berasal dari bulu binatang yang dikenakan sebagai topi. Kalau melihat bentuk tubuh yang kokoh bagai tukang gulat, sungguh luar biasa ilmu mengentengkan badannya. Lelaki bertopi itu mengeluarkan suara aneh.
Nyai Demang berbalik ke arah Upasara. "Kiai Sangga Langit belum menganggap Sayembara Mantu selesai. Masih ada satu pertandingan lagi. Siapa yang keluar dari tempat ini sebagai pemenang pertama, baru boleh membawa pergi putrinya."
Upasara mengertakkan giginya. Ini ternyata yang disebut-sebut sebagai Kiai Sangga Langit! Pantas saja Ngabehi Pandu memuji dan meletakkan dalam kedudukan yang terhormat. Kalau benar Kiai Sangga Langit turun tangan sendiri, siapa yang bisa melawannya?
"Paman, tanyakan kepada siapa Kiai menantang? Karena ia tak bisa bicara langsung dengan kita dan melalui perantaraan Mbakyu Demang kita pun melalui perantaraan Paman."
"Aku senang sekali. Itu peran bagus untukku," teriak Galih Kaliki.
Nyai Demang menerjemahkan ke arah Kiai Sangga Langit. Kiai Sangga Langit menyeringai, berbicara, dan Nyai Demang kembali menerjemahkan.
"Kepada orang asing yang berada di atas panggung."
"Aneh. Dua tokoh utama sedang dalam keadaan terluka. Saya sendiri tidak berminat, untuk apa melayani Kiai Sangga Langit?"
"Kalau tidak mau melayani, akan dipaksa. Kalian bertiga boleh mengeroyok."
"Paman Galih, tolong katakan padanya bahwa kita yang biasa hidup di tanah subur, lain dengan mereka yang dibesarkan di padang pasir. Kita ksatria yang merasa tidak gagah kalau main keroyok. Kalau modalnya cuma ilmu mengentengkan tubuh, katakan bahwa di sini seekor nyamuk bisa melakukan itu tanpa perlu dipamerkan."
Nyai Demang terbata-bata menerjemahkan. Agaknya merasa kurang enak harus mengatakan secara persis apa yang diucapkan Upasara. "Anak dusun Upa, Kiai Sangga Langit tidak mengada-ada. Sayembara Mantu ini terdiri atas dua bagian. Bagian yang pertama ialah siapa yang berdiri terakhir di panggung dianggap sebagai pemenang. Dalam sayembara ini, kalau ada yang terluka, atau meninggal, tidak akan menjadi masalah di belakang hari. Sejak awal itu sudah dijelaskan. Bagian yang kedua, ialah Kiai Sangga Langit sendiri yang akan menguji dengan suatu permainan. Kalau bisa lulus, pemenang terakhir berhak atas Dyah Maduwani. Kalau segalanya telah menjadi jelas, kau tidak akan menuduh bahwa ini hanya akal-akalan saja."
Meskipun bercekat, Upasara tak mau kalah bicara. "Kalau keinginannya hanya main-main, cukup aku anak dusun yang menghadapi. Tak perlu seorang putra mahapatih yang terhormat, tak perlu seorang pendekar sejati."
Kata-kata Upasara ada benarnya. Karena kini Bagus Respati tengah bersila di panggung. Berusaha memusatkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengusir rasa sakit. Kalau pencetan Upasara tadi berhasil mengurangi, bukan berarti ia telah tersembuhkan. Beberapa aliran jalan darahnya masih macet.
Juga Galih Kaliki. Meskipun ia mendapat bubuk pemunah yang dibuat dari ilalang, tidak berarti racun dalam tubuhnya telah bebas. Bagian luar memang tak akan dirembeti. Akan tetapi yang sudah terbawa aliran darah sulit ditahan. Terpaksa Galih Kaliki pun duduk bersila untuk memusatkan konsentrasi. Tinggal Upasara sendirian.
"Bagi Kiai Sangga Langit tak menjadi masalah siapa pun yang akan menghadapi. Sendirian atau keroyokan. Permainan ini hanya dimainkan seorang saja. Pikiran boleh meminta bantuan siapa saja. Hanya saja, kalau gagal mengatasi permainan ini, tergantung Kiai Sangga Langit, apakah ia akan memberi ampunan atau tidak."
"Mbakyu Demang, kau bisa mengerti suara aneh. Kau bisa menerjemahkan dengan bagus. Terimalah rasa kagum saya yang bahasanya sendiri masih belepotan tidak keruan. Mbakyu sudah tahu, kira-kira jenis permainan apa? Biarlah saya yang tak berharga ini menjajalnya."
Nyai Demang tersenyum manja. Upasara melengos. Ia tak berani menatap secara langsung.
"Anak dusun, kau akan segera mengetahui."
"Tunggu dulu, Mbakyu Demang. Dalam sayembara ini ada yang tidak adil. Dalam perang tanding, pemenangnya ditentukan dengan mengalahkan lawan secara mutlak. Saya baru tahu ternyata malam-malam kemarin sudah ada korban berjatuhan. Kini masih ada jenis permainan. Kalau gagal, apakah hanya sekadar menggantungkan nasib pada kebaikan hati Kiai Sangga Langit? Sedangkan hadiah bagi pemenangnya tak seberapa."
"Anak dusun, kau benar-benar keras kepala. Bagaimana mungkin Dyah Muning Maduwani kau bilang hadiah tak seberapa?"
"Tidak. Katakan bahwa saya sama sekali tak menghendaki Dyah Muning Maduwani. Paman Galih juga tidak. Bagus Respati jelas telah mendapatkannya. Permainan akhir ini hanya berlaku untuk saya. Kalau saya bisa memecahkan, saya berhak atas satu permintaan. Kalau saya gagal, itu urusan saya dengan Kiai Sangga Langit. Tak ada hubungannya dengan Bagus Respati dan Paman Galih Kaliki. Kalau syarat ini tidak diterima, saya akan turun panggung. Kalau Kiai Sangga Langit akan menahan saya, biarlah kita selesaikan berdua saja."
Nyai Demang memoncongkan bibirnya. Kagumnya bangkit seketika. Anak dusun yang mengaku tak kenal tata krama ini jelas cerdik luar biasa. Tapi lebih dari semua itu sifat ksatrianya sangat utama. Ia menghadapi sendirian risiko yang bakal diterima. Ia tak mau melibatkan Bagus Respati atau Galih Kaliki. Bahkan menganggap persoalan Bagus Respati dan Galih Kaliki sudah selesai. Sudah mendapatkan haknya! Padahal bukankah dalam saat seperti ini, kemungkinan untuk mendapatkan semuanya itu ada padanya? Bukankah kalau nanti bisa memecahkan persoalan, ia bisa mempersunting Dyah Muning Maduwani—impian sekian banyak lelaki?
Agak janggal sifat anak dusun ini, pikir Nyai Demang. Kalau Galih Kaliki tidak menghendaki Maduwani, itu bisa dimengerti. Sejak Nyai Demang masih kecil, masih jadi istri orang, Galih Kaliki memang selalu mengejarnya. Sejak awal tak tergiur oleh Maduwani. Kenapa anak dusun ini menolak kesempatan emas? Ataukah, ataukah... Nyai Demang gemas. Ataukah anak dusun ini sudah mempunyai "Nyai Demang" yang lain—seperti Galih Kaliki. Itu satu-satunya alasan terkuat. Hmmmmm, bahagialah wanita yang mempunyai kekasih seperti anak dusun ini. Wajahnya jatmika, tenang, dan bersih berwibawa; penampilannya jujur serta polos. Ah, siapa wanita yang begitu bahagia hidupnya?
Kiai Sangga Langit bersuara pelan, sehingga lamunan Nyai Demang buyar. Nyai Demang mengatakan persyaratan apa yang diminta oleh Upasara. Kiai Sangga Langit bertanya apa yang bakal diminta Upasara.
"Tak nanti saya minta Kiai Sangga Langit bunuh diri atau pulang ke negaranya atau mengajari ilmu silat. Saat ini saya tidak berpikir untuk menghinanya. Kalau ia cemas apa yang saya minta, apakah ia juga sudah bersiap bahwa saya bisa memecahkan permainannya?"
Selesai Nyai Demang menerjemahkan, Kiai Sangga Langit melompat ke atas arena. Mengangkat kedua tangan dengan cara sedikit menghormat. Lalu berteriak nyaring. Bagian tengah panggung itu masih terdiri atas tanah berbatu-batu yang diratakan. Di beberapa tempat yang agak pinggir ditambahi dengan papan. Tanah berbatu-batu cukup keras juga, dan justru tempat itulah yang dipilih Kiai Sangga Langit. Sehabis berteriak menghimpun tenaganya, kakinya melangkah dengan tumit untuk berpijak. Sehabis satu langkah tubuhnya berputar. Dan tanah di bawahnya menjadi berlubang besar. Menganga.
Upasara menyedot udara keras-keras. Ini baru namanya demonstrasi tenaga dalam yang dahsyat. Membuat tanah berlekuk hanya dengan menginjaknya. Dalam sekejap terlihat sembilan pasang lekukan yang dalam. Rapi berpasangan. Di masing-masing ujung ada lubang yang sangat besar, lebih besar dari sembilan lekukan yang berpasangan.
Belum hilang kagetnya, Upasara melihat Kiai Sangga Langit meloncat dengan cara berjumpalitan, berlingkaran menuju pinggir panggung. Dari sisi paling tepi tubuhnya meloncat ke atas, menuju pohon asam. Ringan sekali tubuhnya melayang, bagai kupu-kupu raksasa. Hanya saja ketika menyentuh pohon, kakinya menendang kuat. Seketika pohon asam tergetar dan daunnya rontok. Berikut buahnya!
Sehabis menendang, tubuhnya melayang lagi, meraup buah asam yang berjatuhan, lalu kembali menendang pohon dengan keras, dan menangkap kembali guguran buah asam.
Beberapa penonton malahan bubar. Terasa ada yang mengerikan.
Upasara merasa lehernya tegang. Ini benar-benar pameran pengendalian yang luar biasa. Tenaga keras ketika membuat lekukan di tanah, tenaga keras ketika menendang pohon, tapi juga sekaligus pameran kelembutan dengan tubuh melayang menyambut buah asam. Pantas dan tepat Ngabehi Pandu memujinya...!
BAGIAN 05 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 07 |
---|