Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 09
Pada saat menunggu itulah terjadi peristiwa baru. Tulisan yang sama dipahat di dinding benteng Keraton, terukir kembali. Kali ini bukan pada tempat yang keras dan tinggi, akan tetapi pada tempat yang empuk dan rendah. Keempat sapi putih kebanggaan Raja Jayakatwang, tubuhnya penuh dengan tulisan yang sama!
Rawikara langsung menuju tempat penyimpanan sapi-sapi Keraton. Ini adalah sapi kebanggaan yang dipelihara dengan kelewat hati-hati. Yang dijaga ekstra hati-hati oleh pengawal pribadi Raja. Karena sapi-sapi ini selain pengangkut kereta kebesaran juga merupakan klangenan Raja. Binatang yang sangat disayang dan dibanggakan.
Ternyata di punggung binatang itu ditoreh dengan senjata. Keempat-empatnya. Punggung dan perut yang putih berleleran darah sebagian sudah mengering. Dan tulisannya bisa dibaca jelas. 'Di lautan asmara, gelombang rindu menyapu...'
Rawikara mengertakkan gerahamnya. "Hukum pancung semua penjaga yang bertugas semalam. Tak ada ampunan bagi yang lalai. Mustahil mereka tak mendengar teriakan, tak mendengar sapi melenguh atau apa-apa. Seekor nyamuk pun bisa membuat gusar sapi klangenan Raja. Apalagi seluruh tubuhnya dicacah seperti ini."
Pemeriksaan kepada para penjaga memang tidak memberikan hasil. Mereka berjaga, tidak mengantuk, dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Meskipun tidak berada dalam satu bangunan dengan Keraton Utama, akan tetapi kandang sapi-sapi itu berada di dalam kompleks Keraton. Yang cukup jauh dari dinding sebelah luar. Kalau orang luar bisa leluasa gentayangan ke dalam, ini berarti bisa berbuat sesuatu yang lain lagi. Yang lebih berbahaya.
"Tindakan onar ini memancing perhatian. Untuk memberi kesan bahwa kita lemah," kata Rawikara setengah berteriak di antara prajurit-prajurit pilihan. "Kalau kalian semua memang lemah, katakan mulai sekarang. Tak akan menjadi prajurit lagi. Saya sendiri bisa menghukum pancung kalian semua. Mulai saat ini, tak ada lagi kejadian seperti ini."
Rawikara begitu beringas dan meluap kalimatnya. Akan tetapi justru ia menjadi sasaran. Keesokan harinya pintu gerbang bangunan yang didiami mendapat coretan yang sama bunyinya. Lebih kurang ajar lagi, karena coretan itu dibuat dengan tongkat kasar yang bagian ujungnya dileleti kotoran manusia.
"Memang aku yang membuat," terdengar teriakan keras, gagah, dan menggemuruh. "Kalian semua mengepung aku untuk apa? Aku datang kemari, mencoret, untuk menunjukkan bahwa aku menyimpan laut yang berisi asmara, gelombang rindu, batu karang penantian, dan lumut birahi yang sedang tumbuh. Kalau kamu katakan di mana Nyai Demang, masalah sudah selesai. Selama kamu sembunyikan kekasihku, pakaian Raja Jayakatwang pun akan kuolesi dengan kotoranku."
Lelaki yang berpakaian serampangan, memegang tongkat besar dari galih pohon asam itu tertawa. Melihat dengan sorot mata remeh kepada mengepungnya.
"Ayo tangkap aku. Kalian diperintahkan untuk menangkap aku hidup-hidup, kan? Coba saja. Bisa apa tidak. Telah seratus hari aku mencari Nyai Demang. Katakan sekarang juga, Galih Kaliki menunggu di sini. Tidak menunggu bulan purnama, tidak menunggu buih melambung."
Galih Kaliki memutar tubuhnya. Langkahnya lebar sekali. "Nyai Demang, di mana kamu? Jangan sembunyi. Aku tak sabar lagi, Nyai...."
Disertai tawa ngakak, Galih Kaliki meloncat maju ke depan. Tujuh prajurit pilihan dengan cepat menghadang. Tongkat hati pohon asam terayun dari bawah ke atas. Menyampok senjata yang ditujukan padanya. Galih Kaliki memang tak kenal kompromi, atau memakai taktik. Tenaga yang dipakai sedemikian kerasnya sehingga bentrokan tenaga menimbulkan bunyi keras.
Dari sisi kiri-kanan, dua ujung tombak menyerang ke arah lambungnya. Galih Kaliki memindahkan tongkat ke tangan kiri langsung mengemplang kepala. Tanpa memedulikan sodokan dari kanan. Cepat dan keras. Terdengar bunyi keras. Pergelangan tangan dua prajurit patah, luluh terkulai. Galih Kaliki menghindar tusukan dari kanan, dengan memutar tubuhnya. Kedua kakinya menendang senjata lawan. Bertumpu pada sabetan tangan kiri, tubuhnya meloncat ke depan. Berdiri dalam jarak dua tombak dari Rawikara.
Rawikara mengeluarkan suara dingin dari hidungnya. Walaupun Galih Kaliki cukup kuat, akan tetapi dilihat selintasan saja ilmu mengentengkan tubuhnya bukan yang prima. Sehingga, kecil kemungkinannya ia yang menulis di dinding benteng Keraton atau yang mencacah punggung sapi.
"Kamu pangeran hidung belang itu? Kembalikan Nyai Demang...." Ujung tongkat yang bau, bercampur lelehan darah, menuding langsung ke wajah Rawikara!
Rawikara tak bisa dipandang enteng. Meskipun sebutannya masih pangeran Anom, ia adalah pangeran pati, putra mahkota. Yang kelak menggantikan takhta. Di depan para prajurit, dituding dengan tongkat kotor semacam itu, darahnya naik melewati ubun-ubun. Lebih membuatnya jengkel lagi karena ia disebut sebagai hidung belang. Ini jelas tak masuk akalnya. Ia merasa jauh dari perbuatan itu. Meskipun tidak semurni yang diharapkan, Rawikara bukan tipe pengejar wanita seperti Bagus Respati.
Tetapi memang yang paling menusuk perasaannya adalah cara Galih Kaliki meremehkannya. Selama ini Rawikara merasa dirinya agak tersisih. Dalam penyerbuan ke Keraton Singasari boleh dikata ia dianggap masih hijau. Bahkan oleh Ugrawe sendiri ia tak dipercaya ke garis depan. Dalam pembunuhan habis-habisan di Perguruan Awan, ia tak disertakan. Disuruh mengurusi bagian pertahanan. Bukannya tidak penting, akan tetapi toh tetap bukan di barisan depan.
Sedikit-banyak ini mengurangi kebanggaannya. Kurang membuat hormat para prajurit. Bahwa mereka menghormati, jelas tak terbantah. Akan tetapi apakah mereka betul menghormati tulus karena kelebihannya, itu masih perlu dibuktikan. Maka Rawikara melihat kesempatan yang baik untuk membuktikan diri.
"Mundur semua. Biar aku yang menghadapi sendiri." Kedua tangan Rawikara mengibas. "Galih Kaliki, sebelum menjadi terlambat, katakan apa maumu membuat onar di Keraton?"
"Sudah kubilang sejak pertama. Aku mencari Nyai Demang."
"Kalau cuma itu urusanmu, kenapa harus berbuat seperti pencuri?"
"Ah, yang di dinding itu bukan urusanku. Soal sapi juga bukan urusanku. Aku ini manusia kasar. Bisaku cuma main kotoran. Serahkan Nyai Demang, atau kubikin rata batok kepalamu."
"Banyak tempat bisa dicari, kenapa harus masuk ke dalam Keraton?"
"Ke mana lagi kalau bukan kemari. Putri sundal yang mengaku jadi lelaki... aduh, sampai terbalik... Lelaki sundal yang mengaku sebagai putri itulah yang bikin gara-gara. Kalau ia ada di sini, masa Nyai Demang ada di tempat lain. Nah, kita sudah bicara banyak. Mau bertempur atau tidak?"
Mendadak terdengar jawaban dengan suara yang tinggi.
"Enak saja memaki orang. Apa hak kamu merendahkan diriku?"
Masih terdengar nada merdu. Memang itulah Mo Ing yang tubuhnya putih, sehingga kelihatan jelas.
"Nah, Pangeran... aku tak ada urusan sama kamu. Kecoak putih ini urusanku."
Galih Kaliki menggeser tongkatnya. Berpindah ke tangan kanan. Dipegang erat. Kaki kiri maju ke depan. Kaki kanan terangkat di ujung telapak. Berat badan condong ke depan. Pandangan matanya menyiratkan kegeraman.
"Awas..."
Bersamaan dengan itu, tongkat Galih Kaliki mengayun ke depan, seperti menebas. Gerakannya memang kaku dan lurus. Mo Ing tetap berdiri. Hanya mengangkat kedua kakinya dengan gerakan meloncat pendek. Kentara sekali bahwa Mo Ing menganggap serangan Galih Kaliki sebagai serangan enteng. Kedua tangan Mo Ing masih tetap bersidekap di depan dada.
Dilihat sepintas Galih Kaliki memang kelihatan bukan tokoh yang disegani. Apa yang ditunjukkan, baik gerakan maupun tenaga yang diatur, sangat sederhana. Tidak terlalu banyak kembangan, tidak banyak variasi. Seolah hanya mengikuti gerak yang sudah pakem. Akan tetapi justru di sinilah sebenarnya kekuatan Galih Kaliki. Sampai saat ini, belum diketahui asal-usul Galih Kaliki. Baik nama perguruan, maupun siapa yang mengajari. Lebih menambah baur lagi karena pemunculannya selalu ada kaitannya dengan Nyai Demang. Selalu mengejar-ngejar Nyai Demang. Maklum saja kalau Mo Ing menganggap enteng.
Dalam satu gebrakan, Galih Kaliki menekuk pergelangan tangan. Tongkat yang menyapu tiba-tiba arahnya berbelok menjadi tegak lurus ke atas. Tidak memerlukan lengkungan. Kaku tertekuk ke atas dan menyodok! Inilah kekuatan utama gerakan patah dan kaku.
Mo Ing tak memberikan tubuhnya disodok dari bawah begitu saja. Berat badannya jatuh ke satu sisi. Cepat sekali. Untuk menjaga kalau Galih Kaliki mengubah serangan, tangan kanannya menyampok keras. Mengembuskan tenaga panas. Galih Kaliki ternyata tidak mengubah arah tongkatnya. Sehingga Mo Ing dengan mudah bisa menangkap.
Galih Kaliki tertawa ngakak. "Bagus... bagus... kamu wong bagus, punya gerakan bagus. Enak baunya?"
Tanpa disadari Mo Ing memegang ujung tongkat. Yang diolesi kotoran. Keruan saja wajah yang putih berubah menjadi merah padam. Tongkat disentakkan keras. Kalau tadi merasa bisa mengatasi lawan dengan satu gerakan saja, kini justru merasa bisa dikerjain. Mo Ing meraih dua pedang di pinggangnya. Matanya menyipit. Dua kakinya bergeseran dengan cepat, merangsek maju.
Galih Kaliki tetap tak bergerak. Begitu dua pedang secara langsung menusuk ke arahnya, Galih Kaliki menangkis keras. Lagi-lagi tenaga keras. Terdengar suara berdengung, benturan senjata. Galih Kaliki menggenggam kembali, memutar di tengah, dan maju merangsek. Mo Ing memundurkan kakinya, dan dengan kuda-kuda yang cepat kakinya melangkah mengisi kekosongan. Kuda-kudanya memang rapi, kuat, dan kukuh.
Galih Kaliki terpaksa memundurkan kakinya. Tongkat yang dipegang di tengah kadang berganti ke ujung, dan terus-menerus menyambar. Dari sekian sambaran yang paling berbahaya ternyata kemplangan dari atas. Karena pada saat ujung tongkat mengarah ke batok kepala, rasanya seperti takkan berubah arah. Tak peduli dengan tusukan pedang lawan. Seakan percaya bahwa tongkatnya akan lebih dulu menghantam batok kepala, sebelum pedang lawan bisa menggores kulitnya.
Ini yang merepotkan Mo Ing, dan sekaligus menjadi pertempuran yang menarik. Mo Ing bisa mendesak Galih Kaliki dengan serangan kaki yang kuat, akan tetapi setiap kali memapak maju, harus mundur lagi untuk menjaga kepalanya. Dalam sekejap keduanya terlibat dalam pertempuran yang panjang.
Bagi Mo Ing sebenarnya penggunaan tenaga kuat tak menjadi masalah. Ia masih mempunyai darah Mongol, di mana tenaga sebagai andalan juga menjadi ciri khasnya. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya di negeri Cina, variasi silat dengan gerakan tangan lebih banyak mempengaruhi. Sebenarnya ini merupakan kelebihan untuk mengacaukan perhatian lawan. Kalau yang dihadapi bukan Galih Kaliki. Karena justru tipe permainan Galih Kaliki tak mengenal kompromi. Lawan main bagus atau tidak, ia akan terus mengemplang saja. Lawan menunjukkan permainan menarik atau tidak, sodok terus. Sepuluh jurus telah berlalu.
Rawikara menggelengkan kepalanya. "Mo Ing, mundur saja. Kalau tak bisa menangkap seorang penggali kotoran, lebih bagus pulang saja. Di rumah bisa kau bersihkan tanganmu."
Kentara sekali bahwa Rawikara tidak menganggap Mo Ing terlalu tinggi. Dari kalimatnya terlihat jelas justru Rawikara seperti merendahkan. Mo Ing terpancing panasnya.
"Kalau takut, aku dari tadi ada di pinggir." Mo Ing balas menyindir Rawikara. Dengan begitu Rawikara seperti dikatakan penakut, karena dari tadi tidak langsung turun ke gelanggang.
Dalam keadaan seperti ini Galih Kaliki jelas memperoleh keuntungan. Menghadapi tokoh yang rada aneh satu ini, tak bisa memecah konsentrasi seenaknya. Galih Kaliki tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ayunan tongkatnya makin berat, makin memberat dengan kesiuran angin yang mantap. Tongkat di tangannya berubah menjadi senjata pemukul yang dahsyat. Gerakan maju Mo Ing jadi tertahan. Dua pedang yang berkelebat dari arah kanan dan kiri seperti mau menggunting, dipatahkan dengan keras. Galih Kaliki maju terus. Tongkatnya menyambar dari atas ke bawah.
Lagi-lagi Mo Ing berusaha menghadang. Kali ini Mo Ing lebih taktis. Satu pedang kanan diangkat sedikit ke atas. Untuk menangkis. Sedang pedang di tangan kiri digerakkan cepat untuk mencuri tusukan. Kalau ini terjadi, Galih Kaliki boleh memegang dadanya yang tertusuk dalam. Soalnya, walaupun pedang kanan tak bisa menahan sepenuhnya kemplangan tongkat, namun tetap tak membuat Mo Ing remuk kepalanya. Ia juga sudah mengambil ancang-ancang dengan memiringkan kepalanya. Paling sial hanya pundaknyalah yang masih mungkin kena kemplang. Tapi pedang kirinya sudah akan menghentikan gerakan lawan.
Mo Ing memang ingin menghentikan serangan secepatnya. Agar bisa membuktikan bahwa ia bisa menguasai lawan lebih cepat dari perkiraan Rawikara. Agar membungkam komentar Rawikara. Perhitungan ini banyak benarnya. Tapi satu hal yang tak pernah diperkirakan oleh Mo Ing ialah bahwa tipe permainan silat Galih Kaliki lain daripada yang lain.
Selama main gebrakan mencapai lima belas jurus, Mo Ing unggul dengan kuda-kuda yang mantap. Geseran kaki secara teratur bisa mengukuhkan posisinya. Hampir semua lawan Galih Kaliki selalu menemukan peluang terbaik untuk menyerang dari bagian bawah. Dulu Bagus Respati, putra Patih Mahisa Anengah Panji Angragani pun melihat lubang pertahanan yang lemah di bagian bawah. Padahal justru inilah yang agaknya dirasa menjadi soal bagi Galih Kaliki.
Justru pada saat lawan merasa sangat aman dan kuat di bagian bawah, kaki Galih Kaliki menggempur mantap kuat. Kaki kanan mengentak lurus dengan gerakan menyelentak, gerakan merupakan sepakan kaki kuda. Tenaganya sangat besar. Yang diarah adalah tempurung kaki. Mo Ing tak akan bisa sekadar menggeser, karena justru slentakan jaran, tendangan kuda, ini jauh dari jangkauannya. Satu-satunya jalan adalah membuang diri jauh ke belakang. Atau memilih kemungkinan lain. Tetap menangkis tongkat di atas, menusuk dengan pedang yang lain, dan menggeser kaki sebisanya.
Dalam pertempuran semacam ini, Mo Ing belum tentu menderita lebih berat daripada Galih Kaliki. Kerugian fatal bisa berada di kedua belah pihak. Mo Ing pernah menyaksikan pertempuran antara Galih Kaliki dan Bagus Respati. Sehingga mengetahui bahwa serangan Galih Kaliki memang maut. Bukan hanya serangannya yang membahayakan lawan, tetapi juga seperti tak memedulikan keselamatan dirinya sendiri. Dalam pertempuran waktu lalu, Galih Kaliki dan Bagus Respati sama-sama nekat. Hanya kebetulan karena ada tokoh lain melerai secara jitu, keduanya terhindar dari kematian. Meskipun mengakibatkan keduanya terluka parah.
Mengetahui cara lawan, Mo Ing mengubah permainannya dengan cepat. Dalam sepersekian detik, tusukan dan tangkisan diubah menjadi sodetan ke arah wajah. Gerakan pedang menjadi lebih cepat dari datangnya kemplangan tongkat. Mo Ing sadar ini sekadar memecah sedikit perhatian, karena yang penting adalah meloloskan diri dari slentakan jaran. Mo Ing tak mau sekadar membuang tubuhnya ke belakang, ia mengayun, menjatuhkan tubuh di lantai dengan punggungnya dan kedua pedangnya menebas dari kiri dan kanan dengan gerakan miring.
Galih Kaliki telanjur dalam posisi seperti terjun. Memerlukan waktu untuk mengubah gerakannya dalam seketika. Tapi bukan itu yang dipilih. Tongkat andalan yang berwarna cokelat kehitaman terus menyapu ke bawah. Berhenti dengan suara keras menghantam lantai. Dalam perjalanan menghunjam ke lantai, berhasil menyapu dua pedang sekaligus. Tubuh Galih Kaliki berputar bagai kitiran, tertarik oleh gaya luncur kedua kakinya yang menendang ke arah luar. Jadilah pemandangan menarik. Mo Ing berputar dengan punggung menempel lantai, sementara Galih Kaliki berputar di atasnya dengan tangan memegang tongkat sebagai sumbu. Keduanya berputar dalam arah yang berlawanan.
Mo Ing terpancing dengan serangan berikut. Begitu putaran punggung makin cepat, kedua pedang menyodet ke atas. Akan sulit bagi Galih Kaliki mengelak. Akan tetapi saat itu Galih Kaliki sudah meluncur turun. Dahsyat sekali. Tongkat menyampok satu pedang hingga terpental jauh. Sementara pedang yang satu terlepas karena tangan Mo Ing kena diinjak. Persis di pergelangan tangan! Sekali getok, Galih Kaliki bisa menjebloskan ujung tongkat ke kepala Mo Ing. Atau menggempur dada.
Rawikara tak pernah menduga bahwa pertempuran bisa berakhir begitu cepat! Ia tak menganggap Galih Kaliki terlalu rendah. Akan tetapi juga sama sekali tak menduga bisa menyelesaikan pertempuran dengan begitu singkat dan mendadak! Ini semua terjadi dalam gerakan turun tubuh Galih Kaliki yang tepat! Menyampok pedang, menginjak pergelangan, dan menguasai keadaan secara penuh. Mo Ing dikalahkan secara sempurna.
"Ayo katakan, di mana Nyai Demang?"
Tergeletak di lantai, wajah Mo Ing berubah pias. "Kamu boleh bunuh aku. Aku sudah kalah. Untuk apa memaksa mengatakan yang sudah kau ketahui?"
Galih Kaliki mendongak sedih. "Pergilah kalau kamu memang tidak tahu."
Lembut, tenang, Galih Kaliki berjalan minggir. Meninggalkan Mo Ing yang tergeletak di lantai. Mo Ing menyambar pedang dan dengan cepat sekali menusukkan pedang. Ke arah tubuhnya! Dengan mengeluarkan jeritan tertahan, Mo Ing rebah ke lantai. Kejadian berlangsung sangat singkat. Bersamaan dengan itu, satu bayangan melayang, dan mengangkat tubuh Mo Ing ke dalam panggulan, sekaligus melepaskan pedang dari tubuh Mo Ing, menotok jalan darah. Semua dilakukan dalam seketika.
Kiai Sangga Langit berdiri gagah. Mengangguk ke arah Galih Kaliki, lalu menoleh kepada Rawikara dengan sudut mata. Lalu menjejakkan kakinya, memancal lantai, dan melayang melewati kerumunan. Kiai Sangga Langit seperti menyalahkan Rawikara. Karena Rawikara-lah yang berdiri paling dekat dengan Mo Ing. Sebenarnya kalau mau, bisa menahan tusukan pedang. Pun andai tusukan itu ditujukan ke arah Galih Kaliki. Akan tetapi Rawikara sengaja membiarkan saja. Tidak peduli siapa yang akan kena tusuk. Bagi Rawikara tidak penting benar siapa yang bakal tertusuk!
Tapi yang membuat Rawikara merasa gusar adalah pandangan mata Kiai Sangga Langit. Sorot mata yang tak terucapkan itu bukan sekadar menuduh bahwa, Rawikara tak ambil peduli. Bukan sekadar membiarkan, akan tetapi justru sengaja memperlakukan dengan cara yang hina.
Kiai Sangga Langit melihat, dalam sekelebatan saja, bahwa gerakan yang didemonstrasikan untuk menjebak tadi adalah gerakan yang sering diperagakan oleh Ugrawe. Bagian dari ilmu andalannya!
Rawikara sendiri setengah tak percaya. Mana mungkin dari gerakan dasar Sindhung Aliwawar yang memakai tenaga putaran sebagai angin puting beliung diperagakan orang lain. Selama ini Ugrawe sendiri mempraktekkan dengan gerakan tangan. Satu tangan bergerak di atas kepala, menggebah, dan satu putaran tangan lagi menarik dengan sedotan! Dengan demikian lawan akan terhantam di bagian atas tubuhnya, dan diseret di bagian bawah tubuhnya!
Galih Kaliki justru mempraktekkan dengan gerakan kaki. Yang dikombinasikan dengan tangan. Tangan menyampok ke arah luar kaki menekan ke bawah. Cara mengatur tenaga dalam seperti ini dengan cara yang bertentangan boleh dikatakan menjadi ciri khas ilmu andalan Ugrawe. Selama ini tak ada orang ketiga yang mempelajari. Karena cara pernapasan yang luar biasa sulit untuk mengendalikan tenaga yang berlawanan arah dan pemakaiannya. Hanya Ugrawe, melatih sendiri, dan Rawikara sebagai murid.
"Bagus sekali. Satu gerakan yang luar biasa. Boleh saya mengetahui nama gerakan tadi dan dari perguruan mana? Barangkali kita bisa berbicara lebih leluasa."
"Aku tidak butuh urusan seperti itu, Pangeran. Kalau kamu berikan Nyai Demang, baru itu namanya menjawab keperluanku kemari."
Rawikara mendongak ke atas langit. "Kalau hanya itu urusannya, mari kita jemput Nyai Demang."
"Tunggu!" teriak Galih Kaliki gusar.
"Ada apa lagi? Katanya mau ketemu Nyai Demang, tetapi sekarang pakai alot-alotan segala."
"Siapa suruh kamu bilang hanya itu. Soal Nyai Demang bukan soal hanya itu. Soal yang besar. Cabut kembali kata-kata itu!"
Rawikara mengangguk. "Maafkan kalau ini menyinggung perasaan. Saya mengira sesuatu yang tak bisa saya lakukan. Tetapi mungkin saya bisa menolong. Selama ini Nyai Demang ada di sini. Dalam keadaan aman. Nyai Demang menjadi penerjemah Kiai Sangga Langit yang baru saja mengangkat Mo Ing. Kita bisa ke sana bersama-sama."
Rawikara merenggangkan kedua tangannya. Menyilakan Galih Kaliki berjalan bersamanya. Ini adalah salah satu strategi Rawikara. Baginya Galih Kaliki seperti sengaja diciptakan untuk menjelaskan masalah yang ingin diketahui. Pertama kali tentang tulisan asmara di dinding. Kedua tentang asal-usul perguruan Galih Kaliki. Ketiga bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia yang ada di dalam kediaman Kiai Sangga Langit. Maka Rawikara membalik penampilannya. Kalau tadi merasa perlu menghadapi keras sama keras, kini harus menghadapi dengan kelembutan.
Sebagai murid langsung Ugrawe, Rawikara juga menuruni sifat-sifat Ugrawe. Malah sedikit lebih cerdik, atau licik. Dalam hati Rawikara mulai curiga kepada Ugrawe. Gurunya ini memang luar biasa saktinya. Ilmunya tak ada yang melawan. Dengan kekuasaan besar di tangannya, boleh dikatakan setiap saat bisa mengubah jalannya sejarah Keraton. Apalagi kalau ternyata telah menyiapkan bibit baru sebagai muridnya. Sebelum semua berkembang tak terkendalikan, ia bisa mengambil alih inisiatif. Agar tak bisa didikte oleh Ugrawe.
Maka jalan yang diambil adalah berdamai dengan Galih Kaliki. Untuk mengorek keterangan lebih banyak. Rawikara tahu bahwa Galih Kaliki memang ugal-ugalan dan kasar penampilannya. Akan tetapi sifatnya jujur dan tak mempunyai prasangka yang aneh-aneh. Dari keinginannya yang mengabaikan kepentingan lain, hanya sekadar mencari tahu Nyai Demang, hal ini sudah memberikan bukti kuat. Maka rombongan pun menuju ke kediaman Kiai Sangga Langit.
"Nyai Demang, ini aku, Pangeran Anom Rawikara... membawa seorang sahabat yang ingin menemuimu. Maukah kamu keluar barang sebentar?"
Tak ada jawaban.
"Nyai Demang, kalau Nyai tak mau keluar, biarlah aku yang masuk ke dalam. Maaf kalau kurang menghormati Kiai Sangga Langit, si pemilik rumah. Aku sudah minta izin baik-baik."
Pintu terbuka. Kiai Sangga Langit berdiri di tengah pintu. Kukuh, bergeming.
"Kiai Sangga Langit..."
Tangan Kiai Sangga Langit mengibas. Terdengar suara nyaring dari dalam.
"Hari ini Kiai Sangga Langit tak mau menerima tamu. Ia akan mengobati Mo Ing. Harap datang lain waktu."
"Nyai Demang... itu suaramu. Akulah garam yang tak bisa dipisahkan dari laut birumu."
Galih Kaliki meloncat, menerobos masuk. Kiai Sangga Langit mengangkat sebelah tangan. Dalam meloncat Galih Kaliki mengayunkan tongkat dengan keras sekali.
"Minggir kamu, hantu sawah...."
Kiai Sangga Langit tak menggeser tangannya. Sebat sekali mengangkat tongkat yang terayun ke arahnya. Dengan memusatkan tenaga, tongkat itu bisa digenggam dan dipelintir keras. Tubuh Galih Kaliki jadi ikut berputar. Ngilu menyerang seluruh saraf tangannya. Tak bisa ditahan lagi, terpaksa Galih Kaliki melepaskan pegangannya. Sebagai gantinya, kaki Galih Kaliki menyepak keras, jurus slentakan jaran yang perkasa.
Kiai Sangga Langit tetap tak menggeser kakinya, hanya mengubah tangannya yang kini memegang tongkat untuk menangkis. Galih Kaliki, seperti diduga, tak menarik kakinya. Tapi mencungkil ujung tongkat. Tongkat berputar ke arah wajah Kiai Sangga Langit, yang mengeluarkan suara dingin dari bibirnya, menangkis ke luar. Tongkat terayun, dan dengan berjumpalitan Galih Kaliki bisa menangkapnya. Berdiri di tempatnya semula.
Satu gebrakan yang luar biasa. Galih Kaliki tidak kehilangan muka dalam serangan ini. Meskipun ia harus jungkir-balik tidak kepalang tanggung. Kedudukan masih sama, akan tetapi jelas bahwa Galih Kaliki setidaknya berada tiga tingkat di bawah Kiai Sangga Langit.
Rawikara sejenak ragu bertindak. Saat itu mendadak terdengar gong kecil dipukul ringan. Semua kegiatan terhenti mendadak. Seorang prajurit menghaturkan sembah sambil berjongkok.
"Maaf. Baginda Raja berkenan memanggil Pangeran Anom."
Panggilan dari Raja, tak bisa ditawar sedikit pun. Rawikara mengangguk. "Saya akan menghadap sekarang juga," katanya lembut kepada prajurit. Lalu menoleh ke arah Galih Kaliki. "Saya merasa bahagia kalau setelah menerima dawuh Raja kita masih bertemu lagi. Soal Nyai Demang..." Suara Rawikara berubah agak tinggi. "Nyai, saya meminta Nyai menemui... saya meminta dengan segala kerendahan hati. Di belakang hari utang budi ini akan selalu saya ingat."
Terdengar jawaban dari dalam rumah.
"Saya mau menerima saat bulan purnama, seperti yang dijanjikan."
"Baik kalau begitu," teriak Galih Kaliki manggut-manggut. Lalu duduk di depan pintu. "Pangeran, kamu masuk ke dalam Keraton karena ada urusan. Aku akan menunggu di sini sampai bulan purnama. Kalau hantu sawah itu mau bikin gara-gara, aku masih bisa menghadapi."
Rawikara tak mempunyai pilihan lain. Ia mengangguk dan segera berlalu. Masuk ke dalam Keraton. Menyembah, berjongkok, dan kemudian mengambil tempat agak di sudut. Ugrawe ternyata telah duduk di situ pula. Yang agak mengherankan Rawikara ialah, bahwa ada suatu bayangan tubuh yang duduk khidmat di dekat singgasana Raja Jayakatwang. Seorang lelaki tua, yang menunduk dan tangannya tak pernah berhenti memegang biji-biji tasbih. Dia adalah Waisesa Sagara.
Rawikara tidak terlalu mengenal siapa Waisesa Sagara. Yang diketahui hanyalah: Ia satu-satunya pejabat Keraton semasa pemerintahan Baginda Raja Kertanegara yang sekarang masih mempunyai posisi tinggi dan jabatan utama. Malah boleh dikatakan naik pangkat. Kalau dulu menjadi penasihat rohani dan sekaligus dukun peramal Mahapatih Panji Angragani, orang kedua di Keraton Singasari, sekarang malah penasihat rohani orang nomor satu di Keraton!
Baik Rawikara maupun Ugrawe tak berani mempersoalkan atau mengungkit masalah ini kepada Raja Jayakatwang. Karena ini merupakan hak pribadi seorang raja untuk memilih pembantu terdekatnya. Bagi Rawikara, ketidaksukaan Ugrawe pernah tercetus walaupun tidak langsung. Namun kemudian, Rawikara menyadari bahwa Ugrawe mempunyai perhitungan sendiri. Bahwa pengaruh Waisesa Sagara tak akan menjadi besar, selama ia tidak diberi kekuasaan apa-apa. Selama Waisesa Sagara hanya berurusan dengan tasbihnya dan mulut yang terus-menerus berkomat-kamit.
Terdengar gong dipukul pelan. Serta langkah kaki yang ringan sekali.
Ugrawe, Rawikara, Waisesa Sagara segera menghaturkan sembah dengan menunduk seakan ingin mencium lantai. Sampai Raja Jayakatwang duduk di singgasana dan mengeluarkan suara perlahan. Ketiganya mendongak. Sedikit sekali. Sunyi di ruang pertemuan. Hanya ada mereka berempat. Terasa betapa ruangan menjadi sangat luas dan diisi oleh angin yang diam tak bergerak.
"Hari ini aku memanggil Paman Ugrawe dan putraku, karena kalian berdualah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Aku tak bisa menunggu sampai esok atau bahkan nanti...." Suaranya menggantung, seperti tak menemukan lanjutan.
Ugrawe tetap menunduk, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Raja Jayakatwang memanggil dirinya dan Pangeran Anom Rawikara. Sedangkan Waisesa Sagara tidak termasuk yang dipanggil. Ini berarti kehadirannya dalam pertemuan sudah otomatis. Dari cara berbicara, Ugrawe merasa bahwa Raja Jayakatwang seperti benar-benar kehabisan semangat.
"...Sebentar lagi aku berada di singgasana ini selama seratus hari. Masih saja belum hilang bayangan yang mengerikan. Mayat-mayat berjatuhan, banjir darah, erangan orang-orang yang kuhormati secara lahir-batin. Kadang aku berpikir sendiri, apakah tindakan yang kulakukan bukan suatu kekeliruan yang bakal dikutuk anak-cucuku besok? Tidak, seharusnya tidak. Aku mendengarkan apa yang dikatakan Paman Ugrawe, Pujangga Pamungkas, yang ahli dalam berbagai hal. Aku mendengarkan saran terbaik dari Paman Wiraraja di tanah Madura. Aku mendengarkan saran Patih Mandarang. Aku merasa di pihak yang benar. Meluruskan kembali sejarah raja-raja di tanah Jawa yang menguasai dunia. Mengembalikan ke jalan yang lurus, yang direstui dewa. Bahwa seorang raja yang menguasai jagat, menjadi panutan, menjadi contoh dalam kehidupan. Seorang raja adalah wakil Penguasa Jagat beserta isinya, seluruhnya. Dan seorang yang semacam ini tidak bisa kalau yang duduk adalah keturunan perampok, seorang pencuri, yang mengambil alih secara paksa. Aku mendapat wangsit, mendapat petunjuk dari Penguasa Jagat untuk meluruskan kembali keturunan raja-raja." Jalan inilah yang kutempuh. Dan hanya jalan ini yang kutempuh. Makanya, kepada Paman Ugrawe aku menganjurkan agar segala pertumpahan darah, segala balas dendam dihapuskan. Yang sudah ya sudah. Gelombang laut pun ada saatnya untuk surut kembali. Pertumpahan darah dan pembunuhan, balas dendam, bukan tujuanku. Bukan tujuan kita semua. Apakah aku bicara keliru?"
"Sama sekali tidak, Sinuwun. Segalanya benar adanya, seperti yang di-wangsit-kan Dewa Yang Mahatinggi," sembah Ugrawe.
"Tepat sekali, Sinuwun," sembah Waisesa Sagara.
Rawikara memberi hormat yang dalam.
Raja Jayakatwang mengambil napas lega. Hari ini aku akan memberikan pengampunan kepada semuanya. Untuk secara resmi, pihak Keraton tidak akan mengusut, menghukum, menindak kejadian masa lampau. Justru sebaliknya. Aku akan mengajak siapa saja yang mau bekerja, yang mau mengabdi kepada Keraton. Inilah saat membangun kembali masa kejayaan Keraton. Adalah mustahil. Kalau almarhum Baginda Raja Sri Kertanegara yang justru keturunan perampok bisa mengibarkan panji-panji kebesaran sampai ke tepi samudra jauh, aku justru tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah yang berdarah biru kalah dengan darah perampok? Aku telah memutuskan ini. Bagaimana pendapat Paman Ugrawe?"
Ugrawe menghaturkan sembah. "Keputusan Sinuwun adalah keputusan yang memberikan warna yang cemerlang, pijakan yang kukuh, gambaran nyata dari suatu jiwa yang amat besar. Dalam sejarah raja-raja yang hamba pelajari belum pernah ada penggambaran sikap begitu mulia. Semua ini demi keagungan Keraton. Dewa Maha tunggal mendengar maksud baik hati Sinuwun."
"Setelah basa-basi yang menyenangkan ini, apa yang akan Paman katakan?"
Ugrawe menghaturkan sembah kedua kalinya. "Baginda lebih arif dan bijak, mana hamba berani menyembunyikan kebodohan hamba. Tanpa mengurangi kebesaran jiwa Baginda, izinkanlah hamba menghaturkan apa yang hamba rasakan. Mohon seribu maaf jika kurang berkenan."
"Katakan, Paman."
"Maksud luhur Baginda bisa disalahgunakan, jika melihat situasi sekarang ini. Hamba kuatir jika sekarang ini Baginda mengatakan itu, para pembangkang dan mereka yang menginginkan kembalinya takhta Keraton ke tangan yang lain, akan merasa mendapat angin. Apakah Baginda tak ingin menunda barang satu purnama lagi?"
"Bulan depan atau sekarang apa bedanya? Makin cepat kita membangun kembali, rasanya makin baik. Kalau tidak, kita hanya berkubang sekitar masalah balas dendam. Seakan urusan kita hanyalah membunuh orang lain yang kebetulan berbeda pendapat dengan kita. Berapa kuburan lagi yang diperlukan untuk itu?" Suara Raja Jayakatwang bergelombang. Tapi diakhiri dengan suara yang lembut.
"Rawikara putraku... lebih baik pada kesempatan ini kamu berdiam diri saja. Aku memanggilmu agar kamu mendengar lebih banyak. Putraku, sesungguhnya nasibmulah yang membuat aku banyak merenung mengenai apa yang seharusnya kulakukan sekarang ini. Kehidupan dari kematian, menjelaskan bahwa seharusnya ada kehidupan baru dalam alam pikiran. Putraku, kamu tahu maksudku?"
"Sembah dalem... Rama...."
"Ketika kita menyerbu Keraton habis-habisan, ketika itulah kamu terluka parah dan kemudian dinyatakan meninggal dunia karena terkena racun Gendhuk Tri, siswi terakhir Mpu Raganata. Tubuhmu telah terbaring, membiru seluruhnya. Kamu sendiri tak ingat. Tak tahu. Bahwa aku menangis di sampingmu. Pada saat itu Mpu Raganata yang telah terbaring karena luka parah, karena seluruh tubuhnya penuh dengan luka, merangkak mendekatimu. Memeriksa nadimu, memeriksa pernapasanmu. Dan mengatakan bahwa untuk suatu ketika, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tak ada yang percaya. Bahkan Paman Ugrawe yang sangat kukagumi juga menggelengkan kepalanya. Tetapi Mpu Raganata mengatakan, 'Kematian ialah sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi sebelum mati, masih banyak kejadian yang bisa ditangani oleh manusia. Dalam diri anak muda ini, bertempur darah yang racunnya tak bisa dikuasai. Ia kalah. Tapi masih bisa diselamatkan. Seluruh darahnya dipompa ke luar, dan darahnya diganti dengan darah yang murni, darah yang diberikan secara suka rela. Karena hanya racunnya yang mematikan darah, belum mematikan hidupnya. 'Beberapa bagian tubuhnya yang dalam, sudah terluka, akan tetapi bisa disembuhkan dengan pengobatan biasa. Dan Mpu Raganata menyalurkan darah ke dalam tubuhmu, putraku. Setelah menguras habis semua darah beracun dari tubuhmu. Betapa mulia seorang Mpu Raganata. Pujangga Ugrawe menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena Mpu Raganata ingin menebus dosa. Racun itu berasal dari tangan siswinya, muridnya. Secara moral, Mpu Raganata berkewajiban untuk menyembuhkan, mencuci nama baiknya. Karena Mpu Raganata selama hidupnya tak pernah mempelajari ilmu racun. Tetapi ternyata tidak. Mpu Raganata tak tahu siapa yang dilukai, siapa yang melukai. Beliau yang sudah sangat sepuh, yang memerlukan tenaga untuk hidupnya sendiri, lebih suka menolong orang lain. Ketika aku bertanya sambil berlutut di depannya, Mpu Raganata tersenyum, 'Kalau kamu bisa berbuat baik bagi orang lain, apakah harus kau tanyakan sesuatu? Kalau kamu bisa berbuat baik, lakukanlah. Itu wajar.'"
Raja Jayakatwang menutup matanya. Menahan guncangan yang menggemuruh dalam dada.
"Kenapa aku selalu mengulang cerita semacam ini? Karena aku bersyukur bahwa putraku lolos dari kematian. Namun lebih luhur dari semua itu, tindakan nyata Mpu Raganata. Kalimatnya begitu indah, begitu luhur, begitu suci: Kalau kamu bisa berbuat baik pada orang lain, lakukanlah. Itu wajar. Adakah kata keramat yang lebih hebat dari ini? Aku bukan seorang resi. Aku bukan orang bijak. Aku tak tahu, apakah memberi ampunan ini suatu perbuatan baik atau sesuatu yang wajar, tetapi aku ingin melakukan. Paman Waisesa Sagara, bagaimana?"
Waisesa Sagara menyembah. "Hari ini hari terbaik dalam tiga bulan mendatang."
Raja Jayakatwang mengangguk. "Hari ini akan kukatakan. Paman Ugrawe bisa mulai melaksanakan. Semua tahanan, tanpa kecuali, dibebaskan. Semua kecurigaan dihilangkan. Kita akan mulai membangun kejayaan Keraton yang sesungguhnya!"
Ugrawe, Rawikara, menunduk, menghaturkan sembah.
"Perintah Raja kami junjung tinggi."
"Baik. Mudah-mudahan ini mencuci tangan kita yang terlalu berdarah."
Lama setelah Raja Jayakatwang meninggalkan tempat pertemuan, Ugrawe masih tetap berdiam diri. Demikian juga Rawikara. Waisesa Sagara sudah pergi meninggalkan, mengikuti Raja.
"Aku telah mendengar laporan dari Patih Mandarang malam tadi," suara Ugrawe terpatah-patah. "Bahwa ada utusan dari tanah Madura diterima menghadap langsung. Patih Wiraraja mengajukan usul-usul mengenai kebijaksanaan yang baru. Pangeran Anom telah mendengar sendiri bahwa Raja berkenan menuruti nasihat Wiraraja."
"Bapa Guru, tak ada alasan lain, kita melaksanakan titah Raja."
"Ya, biarlah aku sendiri yang membebaskan para tahanan di Perguruan Awan!"
Rawikara termenung. "Saya merasa bersalah. Andai Mpu Raganata tidak menolong saya, barangkali akan lain."
"Jangan kecil hati, Pangeran Anom. Ini semua bukan kesalahan Pangeran. Ini karena jiwa besar Raja, sesembahan kita. Menangkap peristiwa itu sebagai karunia dewa. Raja kita sangat menyayangimu, Pangeran. Baik-baiklah memberi laporan kepada Sinuwun, aku akan segera berangkat ke Perguruan Awan."
Rawikara menghaturkan sembah.
"Ada apa lagi, Pangeran?"
"Tidak ada apa-apa, Bapa Guru...."
"Wajah Pangeran masih menyembunyikan sesuatu."
Rawikara mengatakan bahwa ia melihat Galih Kaliki ternyata bisa menunjukkan salah satu gerakan yang intinya sama dengan Sindhung Aliwawar. Jurus utama puting beliung dengan pembagian tenaga menolak dan mengisap itu ternyata bisa dimainkan.
"Galih Kaliki? Aku tak pernah mendengar nama itu. Dan aku tak yakin ada yang bisa mempelajari. Aku akan berangkat sekarang juga."
"Bapa Guru benar-benar akan membebaskan semua tawanan?"
"Ya. Aku akan membebaskan, sesuai dawuh, sesuai perintah Raja. Yang tidak kujanjikan, yang tidak ada dalam perintah Raja, ialah aku membebaskan semua dalam keadaan sebagaimana adanya. Aku akan menjajal ilmuku untuk menghabiskan semua ilmu silat mereka. Jika pukulan Banjir Bandang Segara Asat berhasil, Kiai Sangga Langit akan menggigit jari. Pangeran Anom boleh mengikuti jika ingin menjajal juga."
Ini adalah kesempatan terbaik. Selama ini sangat susah melatih pukulan Banjir Bandang Segara Asat, Banjir Bah Laut Kering. Ini merupakan jurus yang amat sulit untuk dilatih. Terutama sekali bukan karena sulit mempraktekkan gerak, akan tetapi sulit memilih siapa yang menjadi sasaran. Banjir Bandang Segara Asat mengisyaratkan adanya banjir besar yang menjadi bah, akan tetapi di saat yang sama laut menjadi kering. Jenis pukulan yang khas dari rangkaian Sindhung Aliwawar, yang serba bertentangan. Rangkaian yang bertentangan antara tenaga menolak dan mengisap.
Yang khas dari jurus Banjir Bandang Segara Asat ialah jurus ini merupakan jurus yang paling keras dari sifat menolak dan mengisap. Dalam jurus ini, pesilat akan mengirimkan pukulan ke arah lawan dengan tenaga penuh, dan sekaligus mengisap habis! Sehingga lawan yang terkena pukulan ini kehilangan kekuatan tenaga dalamnya. Seumpama laut, ia dikeringkan, dan tenaganya diisap menjadi banjir di daratan!
Pukulan Banjir Bandang Segara Asat tak menjadi masalah besar jika bisa dilatih sekenanya. Akan tetapi, pukulan ini tak bisa dipakai sembarangan. Kalau menghadapi lawan yang lebih kecil tenaga dalamnya, atau lebih lemah, bisa-bisa malah membahayakan diri. Soalnya tenaga gempuran begitu besar, sehingga hampir sepenuhnya tenaga dalam dikerahkan. Kalau yang ditarik hanya kecil sekali, tenaga sendiri bisa membalik dan melukai. Akibatnya bisa fatal. Ibarat kata bunuh diri.
Itulah sebabnya, untuk melatih pukulan ini diperlukan lawan yang kira-kira setanding. Makin setakar kekuatan tenaganya, makin menguntungkan. Karena dalam sesaat tenaga dalam yang dimiliki bisa berlipat. Selama ini Ugrawe dan Rawikara telah mempelajari secara teori. Dan memainkan tanpa tenaga dalam. Namun selalu masih ada dorongan untuk mengujinya. Dalam pertempuran yang sesungguhnya, Ugrawe sendiri belum pernah mempraktekkan. Karena masih merasa gamang.
Para tawanan di Perguruan Awan bisa dijadikan latihan yang menarik. Yang memenuhi syarat. Mereka adalah ksatria-ksatria yang mempunyai nama besar. Yang terlatih dengan baik. Setidaknya ada nama-nama besar seperti Jaghana, si gundul yang mewarisi ilmu Perguruan Awan sendiri. Tenaga dalamnya boleh diandalkan. Kemampuannya sudah diakui. Juga masih ada Dewa Maut yang kurang-lebih memiliki jenis pukulan yang sama. Masih ada tiga Pengelana Gunung Semeru, tiga bersaudara yang bila digabung ilmunya cukup tinggi.
Menghadapi lawan seperti ini sangat membangkitkan gairah pertempuran. Karena ketika bertanding, dipaksa mengeluarkan semua simpanan yang ada. Tanpa disadari kedua pihak mengeluarkan ilmu yang sesungguhnya. Dan justru itulah yang diharapkan dari latihan semacam ini! Mengisap laut sampai kering dan membuat banjir daratan!
Rawikara terkesima. Ia merasa dirinya cerdik, akan tetapi ternyata dalam masalah mempelajari ilmu silat serta menemukan cara berlatih, gurunya masih luar biasa. Dan ini semua dilakukan tanpa perlu harus melawan perintah Raja!
"Benar kata Waisesa Sagara... Hari ini hari terbaik. Kita tak harus menunda waktu. Pangeran Anom, hamba menunggu pertimbangan Pangeran."
"Sebaiknya saya menyertai Bapa Guru...."
"Atau soal Galih Kaliki masih menjadi ganjalan?"
"Untuk sementara tidak. Biarlah Keraton sepi barang sehari-dua hari."
Dengan diam-diam Ugrawe menyiapkan pasukannya. Maka iringan pun berjalan dengan diam-diam. Inilah perjalanan yang aneh. Menuju ke Perguruan Awan kembali. Pusat perguruan silat, sumber yang membuat barometer ilmu yang ada sekarang ini. Sejak Eyang Sepuh mendirikan perguruan, hingga namanya menyebar ke seluruh penjuru mata angin, Perguruan Awan menjadi sumber munculnya ksatria-ksatria baru, pendekar-pendekar yang mencapai tingkat yang patut diperhitungkan.
Justru karena di perguruan itu tidak semua menyelesaikan hingga tamat serta menjadi penghuni di situ seumur hidup. Justru mereka yang putus di tengah jalan, karena tidak sesuai lagi, menjadi warna yang dominan dalam kehidupan masyarakat dunia silat.
Perjalanan yang aneh. Kalau dulu Ugrawe dan rombongan datang untuk sekadar menghancurkan. Kini bukan hanya itu, akan tetapi untuk memindahkan tenaga dalam mereka. Kalau ini berhasil, Ugrawe benar-benar tiada tandingannya. Bahkan Eyang Sepuh pun takkan mampu mengimbangi. Barangkali hanya tokoh legendaris seperti Tamu dari Seberang yang bisa menandingi. Akan tetapi tokoh misterius itu saat ini belum pernah muncul. Belum ada yang mengaku pernah bertemu dengannya!
Kiai Sangga Langit masih memeriksa nadi Mo Ing, ketika mendengar suara yang melangkah tergesa. Tangan Mo Ing tetap dipegang ketika berbicara ke arah Nyai Demang.
"Nyai mendengar suara langkah tergesa?"
"Tidak... ya... tidak... tidak begitu jelas."
"Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting dan mendadak. Sepertinya Ugrawe sendiri yang pergi. Kurasa ada sesuatu yang akan dilakukan. Kalaupun ada hubungannya dengan perintah Raja, ini tetap sesuatu yang rahasia.
"Nyai, aku minta pertolongan. Mo Ing harap dijaga baik-baik. Untuk sementara Galih Kaliki tak akan banyak mengganggumu. Aku akan mengikuti Ugrawe pergi. Usahakan seolah aku masih di sini."
Sebelum kalimat terakhir lenyap, tubuh Kiai Sangga Langit yang tinggi besar telah meninggalkan tempat. Dalam tarikan satu napas saja, tubuh yang tinggi besar dan kelihatan berat bisa pindah tanpa menimbulkan kesiuran angin keras. Kiai Sangga Langit menunjukkan kelebihannya ketika mengikuti secara diam-diam. Perjalanan dari Keraton menuju Perguruan Awan bukan perjalanan yang gampang. Melalui jalan sepi, yang sedikit bunyi-bunyian saja terdengar. Tetapi ilmu mengentengkan tubuh dan membaca jejak Kiai Sangga Langit sangat tinggi. Sehingga dengan mudah bisa mengikuti tanpa diketahui.
Perguruan Awan sendiri masih seperti pertama kali diciptakan. Sebuah hutan yang lebat, lapangan di sana-sini, semak yang tinggi, rendah, gua-gua yang tersembunyi. Dari bentuk luarnya tak ada bedanya. Hanya saja, sebagian terbesar gua-gua itu dijadikan tempat penahanan para ksatria. Sejak penyerbuan habis-habisan, para ksatria yang terkena racun sebagian besar bisa ditawan. Sementara dipindahkan ke berbagai tempat, sebelum akhirnya diangkut ke Perguruan Awan. Dimasukkan ke dalam gua di bawah tanah. Dikumpulkan menjadi satu. Dan setengah dibiarkan mati atau hidup.
Ujung terowongan dijaga sangat kuat, sementara batu-batu bongkahan ditumpuk bersama dengan ujung tombak dan anak panah beracun yang selalu dalam keadaan siap ditembakkan. Berada di dalam gua, dalam keadaan nyaris tanpa sinar matahari, para ksatria mencoba bertahan. Yang paling menderita adalah Dewa Maut. Bukan karena luka dalam tubuhnya masih menggerogoti. Hal ini bisa dengan mudah diatasi karena cukup waktu untuk melatih tenaga dalam. Tapi jelas sekali manusia yang biasa hidup di atas air sepanjang sisa usianya, sejak mengasingkan diri, paling menderita. Karena Dewa Maut juga tak bisa melatih ilmu racunnya yang ganas. Di mana bisa mencari ikan yang beracun kalau berada dalam gua bawah tanah?
Tiga Pengelana Gunung Semeru, yang terdiri atas tiga bersaudara Pembarep, Panengah maupun Wuragil, meskipun biasa berdiam di atas gunung, masih bisa berlatih. Bahkan dalam bulan-bulan terakhir Barisan Trisula yang menjadi andalan mengalami kemajuan yang berarti. Seperti sudah diketahui unsur Barisan Trisula adalah menyatukan pikiran dari tiga orang. Dengan selalu berada dalam tempat yang sama.
Satu-satunya yang bertahan dalam keadaan yang sama ialah Jaghana. Bukan hanya karena tubuhnya tetap gemuk, atau kepalanya tetap pelontos. Sikapnya yang rendah hati, memberikan kekuatan batin dan menular kepada rekan-rekannya. Jaghana tetap menolak memakan binatang tanah. Ia mencari akar-akar tumbuhan yang sedang tumbuh. Mempertahankan hidup seperti itu. Jaghana pula yang mulai usaha mencari makanan sendiri, ketika kiriman dari atas kadang datang kadang tidak. Jaghana membuka terowongan baru. Sering kali gagal karena kemudian tanahnya ambruk.
"Gua bawah tanah ini disebut Lawang Sewu, Pintu Seribu. Sudah direncanakan sedemikian rupa sehingga tanah yang lembek tidak dibuatkan terowongan. Sehingga kalau kita mencoba menerobos mencari jalan keluar selalu akan sia-sia. Kalau melalui jalan biasa, di depan sudah ditunggu kawanan musuh.
"Tetapi kita tak berhenti dengan berdiam diri. Inilah yang saya harus lakukan. Maafkan kebodohan ini, akan tetapi biarkanlah saya selalu mencoba."
Jaghana pula yang merawat Wilanda.
"Kakang, saya telah berkhianat pada Perguruan Awan dengan meninggalkan kebahagiaan dan ketenteraman untuk mengabdi kepada nafsu. Saya sungguh tak pantas diperhatikan dengan cara seperti ini."
"Eyang Sepuh tak pernah membedakan anggota atau bukan anggota. Perguruan Awan yang dibangun Eyang Sepuh untuk menolong sesama, karena kita semua saudara dan anggota. Dalam keadaan sakit dan terluka, Adimas telah banyak menolong orang lain. Itulah tanda bahwa keinginan Eyang Sepuh masih tersimpan dalam diri Adimas. Jangan terlalu sungkan."
Begitulah, Jaghana melatih tenaga dalam Wilanda secara perlahan. Merawatnya seperti merawat bayi yang baru lahir. Kekerasan hati dan tekad Jaghana dalam mengobati Wilanda dan Dewa Maut, membuat Pembarep tergugah hatinya. Kalau tadinya mereka berhadapan sebagai musuh, dalam nasib yang sama, nyawa dan kesehatan masing-masing menjadi urusan bersama. Silih berganti Pembarep, Jaghana, Panengah, mengobati Wilanda dan Dewa Maut berganti-ganti.
Begitulah waktu terus berjalan. Tak bisa dihitung berapa lama waktu sudah berlalu. Mereka tak pernah melihat sinar matahari dan bulan purnama. Tak tahu ada hujan atau banjir, atau musim kering yang panjang. Sampai suatu ketika, entah pagi entah malam, sesosok bayangan masuk sambil menggendong karung.
"Makan yang banyak. Di situ ada daging, ada sayur yang segar. Ada jagung, ada tembakau. Ada bacaan yang bagus."
Pembarep lebih dulu maju ke depan, memberi hormat. "Terima kasih. Akan tetapi sebelum kami bisa menerima kenikmatan ini, berilah kami kesempatan untuk mengenal Paduka yang baik hati."
"O, Pembarep," terdengar suara yang nyaring tinggi. "Aku sudah tahu cacing dalam perutmu memberontak keras sekali. Mana ada makanan seperti yang kubawa ini? Tetapi kamu masih basa-basi. Takut kuberi racun? Hehe, itu masih lebih baik. Bukankah lebih enak merasakan sesuatu yang nikmat sebelum mati, daripada tak pernah merasakan sekali juga?"
"Siapa kamu yang berani omong besar?" Dewa Maut berdiri gagah. "Ugrawe sendiri tak berani turun kemari. Menyuruh anak ingusan seperti ini."
Bayangan yang ada di depan mereka menggerakkan kepalanya. "Dewa Maut, adatmu masih seperti anak kecil saja. Pantas saja Padmamuka suka padamu. Kamu memang masih tetap kekanak-kanakan."
Disinggung mengenai hubungannya dengan Padmamuka, Dewa Maut langsung bereaksi cepat. Tubuhnya meluncur dengan kedua tangan terjulur ke depan. Gua ini terlalu sempit untuk menghindar. Tapi bayangan yang menutupi wajahnya dengan daun pisang itu tidak berkelit. Malah mengangkat kedua tangan untuk memapak, sambil meniup dengan keras. Aneh, mendadak Dewa Maut berhenti. Hidungnya kembang-kempis. Lebih aneh lagi, lalu menunduk dan menyembah.
"Tole... arwahmu datang, kangen padaku?"
Tole adalah sebutan Dewa Maut untuk Padmamuka, si cebol yang wajahnya seperti bayi. Teman berlatih seumur-umur dengan Dewa Maut, yang malah dikatakan hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan teman lagi. Tak ada yang membuktikan sendiri, akan tetapi kecurigaan semacam itu cukup beralasan, kalau mengingat dalam jarak waktu yang panjang keduanya hidup bersama di atas perahu.
"Tole apa?"
"Kamu Tole, kan?"
"Enak saja kamu ngomong. Tole-mu itu pendek, cebol, biarpun manis. Lihat, aku cukup tinggi."
"Sangat tidak mungkin kamu bukan Tole. Bau tubuhmu, bau mulutmu sama persis."
"Padmamuka itu muridku. Tahu tidak? Maka kamu harus menghaturkan sembah padaku."
Mata Dewa Maut membelalak. Rambutnya yang putih seluruhnya, beriapan, nampak menambah kesan lucu. Kocak sekali. Mulutnya melongo tak mengerti. Kalau tahu persis mengenai Padmamuka, tak menjadi masalah. Akan tetapi bau tubuh bisa sama, itu baru luar biasa. Mungkinkah gurunya? Bisa jadi. Tapi sama sekali tak masuk akal. Karena guru Padmamuka adalah dirinya sendiri. Dewa Maut-lah yang mendidik sejak ditemukan.
"Kalau kamu gurunya, siapa aku?"
"Kamu juga muridku. Masa lupa. Hayo menyembah. Kalau tidak, aku tidak akan memberimu ikan sungai."
Dewa Maut serba salah. Ia sebenarnya tokoh yang mempunyai gelar tinggi. Kedudukannya dalam dunia persilatan termasuk kelas atas. Puluhan tahun merajalela di Bengawan Solo hingga Brantas, tak ada yang mengusik. Tak ada yang berani. Gelar Dewa Maut menunjukkan bahwa ia tak pernah membiarkan lawan yang bertempur dengannya pergi dalam keadaan hidup. Adalah di luar dugaan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang menggelikan. Bahkan ketika bayangan itu mengikik geli, Dewa Maut belum sadar sepenuhnya bahwa dirinyalah yang ditertawakan.
Sebenarnya keadaan Dewa Maut sendiri sedang guncang. Kesadarannya sudah berubah banyak. Perpisahannya dengan Padmamuka sangat menghancurkan kekerasannya. Tak terlalu sulit dibayangkan. Padmamuka selalu bersamanya, lalu tiba-tiba meninggal di depan matanya. Tanpa bisa menolong. Justru karena ingin menyelamatkannya. Betapa menyesal, karena saat itu Dewa Maut sedang luka parah.
Dalam keadaan kurang seimbang kewarasannya harus terbenam di dalam gua bawah tanah selama beberapa bulan. Segala impian, gagasan, dan pikirannya selalu ke Padmamuka. Kini tak disangka tak dinyana, ada bayangan yang mengaku guru Padmamuka. Keruan saja ia jadi blingsatan. Dalam bingungnya Dewa Maut benar-benar menunduk, dan menghaturkan sembah.
"Bagus, kumaafkan segala kesalahanmu. Nah, sekarang aku tak bisa lama-lama di sini. Aku sengaja masuk kemari untuk mengirimkan makanan, dan mungkin sedikit bacaan. Sekaligus memberitahukan bahwa ada kejadian penting. Dalam satu-dua hari ini Raja Jayakatwang akan membebaskan kalian semua. Tidak menjadi penting, karena hal ini ada embel-embelnya. Ugrawe yang busuk itu akan datang kemari. Itu berarti ia tak sekadar membebaskan kalian. Pasti ada apa-apanya. Sudah itu saja. Saya mau kembali lagi." Bayangan itu berbalik.
Jaghana menghela napas. "Terima kasih, Gendhuk Tri... atas pemberian ini semua."
Bayangan itu berhenti bergerak, dan membalik. "Paman Jaghana kenal aku?"
Pembarep memandang lebih jelas. Tak salah lagi, itulah Gendhuk Tri. Jelas sekali sekarang ini. Meskipun pakaiannya awut-awutan dan rambutnya beberapa dibiarkan tergerai. "Anak yang manis, anak yang baik budi, yang bersedia memberikan nyawanya untuk memberitahukan bahaya kepada orang lain, apakah bisa dilupakan?"
Dasar Gendhuk Tri, ia bukannya senang ketika dipuji secara tulus oleh tokoh seperti Jaghana, malah berteriak, "Siapa sudi mengorbankan nyawa untuk kalian?"
Jaghana menghela napas. "Dewa Agung yang mengatur jagat seisinya memberimu anugerah hebat. Gendhuk Tri, hanya kamu dan Upasara yang bisa lolos dari Lawang Sewu. Tetapi ketika kamu lolos dulu, bukankah seluruh isi gua menutup, karena tanahnya longsor? Kini kamu bisa masuk kembali. Bukankah itu pun berarti tanah yang kamu lewati longsor dan menutup jalan keluar? Bukankah itu berarti kamu mengorbankan nyawamu sendiri untuk kami? Dewa Yang Mahaagung, begitu besar dan mulia jiwamu, Gendhuk...."
Pembarep, Panengah, dan Wuragil hampir bersamaan menghela napas kagum. Wuragil dan Panengah boleh dikatakan pernah dilecekin oleh Gendhuk Tri. Pembarep juga kena sedikit. Memang, hampir semua tokoh di dunia persilatan yang bertemu dengan Gendhuk Tri pernah dipecundangi. Sedikit-banyak mereka merasa keki. Kesal. Apalagi sikap Gendhuk Tri, anak gadis yang bau kencur ini, sleboran semacam itu. Ugal-ugalan seenaknya sendiri dalam mengolok-olok orang yang jauh lebih tua.
Akan tetapi mendengar penuturan Jaghana, semua yang mendengar sangat terharu. Tak pernah terpikirkan bahwa seorang anak kecil seperti Gendhuk Tri rela masuk ke dalam gua Lawang Sewu dengan kemungkinan tak bisa keluar lagi, hanya untuk memberitahukan kemungkinan bahaya! Pembarep menekuk lututnya, diiringi Panengah dan Wuragil. Wilanda juga menekuk lututnya memberikan hormat.
"Hei, jangan tolol. Kalian sudah tua bangka begini melakukan apa?" Gendhuk Tri membuang penutup wajahnya dengan kesal. "Kalian kira kalau menghormat seperti itu, aku mau ganti menghormat. Jangan berharap tinggi. Ayo kalian makan semua makanan itu."
"Terimalah rasa hormatku," kata Wilanda perlahan.
"Aku tak punya waktu. Aku mau pergi."
Jaghana menghela napas. "Pergi ke mana, anak manis...?"
"Siapa bilang aku anak manis. Kamu yang gundul itu juga tak akan manis biarpun seluruhnya diberi manisan." Gendhuk Tri masih saja berteriak-teriak dengan gusar.
"Marilah duduk di sini, seadanya... kita makan bersama... sambil berbicara." Pembarep mengangsurkan tangan untuk membimbing. "Adik manis..."
"Jangan panggil dengan cara itu. Aku punya nama sendiri."
"Gendhuk Tri..."
"Dari dulu aku nggak suka dipanggil itu. Hanya Kakang Upasara yang boleh memanggil itu. Kalian hanya boleh menyebut Jagattri. Dari dulu sudah kuumumkan begitu. Dasar kalian bandel semua. Pantas saja Ugrawe yang sudah rongsokan bisa menjebak kalian. Begini masih mau bilang sebagai ksatria atau pendekar. Kucing pun tak mau menyebut kalian ini ksatria, meskipun dibayar dengan daging burung perkutut."
"Jagattri... apa sebenarnya maksud Ugrawe datang kemari?"
"Apa lagi kalau bukan mau menyiksamu? Menyiksa kalian semua?"
Dewa Maut menatap Gendhuk Tri, menggelengkan kepalanya sendiri. Termenung lagi. "Kamu bukan tole-ku?"
"Tole-mu sudah berada dalam tubuhku. Kalau kamu masih mencintainya, sekarang boleh mencintaiku."
Ngawur saja omongan Gendhuk Tri. Tanpa memedulikan perasaan Dewa Maut yang memang sedang terombang-ambing. Gendhuk Tri secara sengaja mempermainkan hubungan antara Dewa Maut dan Padmamuka. Dalam banyak hal memang sangat beralasan sekali kalau Gendhuk Tri mengaku Padmamuka masuk ke dalam tubuhnya.
Secara tidak langsung memang begitulah adanya. Racun lama yang tersimpan dalam tubuh Padmamuka telah mengental semua sari patinya, dan terisap secara tak sengaja oleh Gendhuk Tri. Tidak pula berlebihan kalau dikatakan bahwa bau tubuh dan napas Gendhuk Tri terasa seperti bau Padmamuka. Dan Dewa Maut mendadak berjingkrakan gembira sekali. Menari-nari, menggerakkan kedua tangannya.
"Jagat raya, Dewa Yang Maha-Apa-Saja, ternyata kau hidupkan kembali tole-ku. Aku tak bersyukur, tak berterima kasih, karena memang itu sudah menjadi pekerjaanmu. Kalau bukan Kamu, siapa yang bisa?"
Saking gembiranya, Dewa Maut menubruk Pembarep, merangkul dan menciumi, juga Panengah dan Wuragil, serta Wilanda. Sampai giliran Jaghana, Dewa Maut berhenti.
"Kamu lain kali saja."
Pembarep menjadi sangat prihatin melihat perubahan sikap Dewa Maut.
Wilanda berdehem kecil. "Gendhuk Tri... kamu mengatakan mengenai Upasara Wulung. Apakah momonganku itu baik-baik saja?"
Wajah Gendhuk Tri berubah kusut. "Ia tetap selamat dari penyerbuan di Perguruan Awan ini?"
Dari nada suaranya, kentara sekali bahwa Wilanda sangat memperhatikan Upasara Wulung.
"Kakang Upasara mau selamat atau tidak, kenapa ditanyakan padaku? Biar saja, itu urusannya sendiri. Mau selamat atau mau sekarat, itu urusannya. Kakang Upasara itu hatinya jahat. Sangat jahat."
Wilanda tersenyum bahagia. Ini berarti Upasara dalam keadaan selamat. Lolos dari penyerbuan massal. Sesuatu yang sangat menguatirkan hatinya, karena sejak berpisah, Wilanda tak mengetahui kabar beritanya, dan tak bersama-sama dalam tahanan.
"Kakang Upasara sangat jahat. Waktu sama-sama terkubur di dalam gua, ia melarikan diri sendirian. Meninggalkan aku. Untung aku bisa keluar. Mengajak bersama menyerbu Keraton untuk membebaskan Baginda Raja dan Rama Guru. Kami lari bersama, berkelana bersama, lalu tiba-tiba saja Kakang pergi!"
"Pergi?"
"Katanya mau kawin. Jahat banget!" Gendhuk Tri menggedrukkan kakinya dengan sebal.
Dewa Maut membelalak. Teriakannya nyaring, "Tole Gendhuk Tri, siapa berani kurang ajar padamu? Aku akan menghajarnya hingga habis, akan kukuliti tubuhnya hingga tinggal tulang-tulangnya."
Gendhuk Tri ganti membelalak. "Siapa suruh kamu yang tua bangka itu menguliti? Sebelum kamu menyenggol tubuhnya, aku sudah akan menguliti bulu-bulu tubuhmu."
Memang aneh. Dalam gua bawah tanah yang tak mempunyai kemungkinan keluar, masing-masing masih ribut dengan persoalan sendiri. Dewa Maut menjadi dewa linglung dan Gendhuk Tri ternyata bukan sekadar mempermainkan, akan tetapi juga dipermainkan sendiri oleh perasaannya.
Wilanda hanya terdiam karena belum sepenuhnya sembuh. Jalan pikirannya berjalan cepat: bahwa ada suatu peristiwa yang menyebabkan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri berpisah. Kalau ditilik dari gusarnya Gendhuk Tri, ini ada hubungannya dengan soal asmara. Malah ada nada cemburu dari suaranya. Agak sulit masuk akal, akan tetapi itu bukannya tidak mungkin.
Tiga Pengelana Gunung Semeru hanya memandang semua yang terjadi dengan perhitungan sendiri. Sementara yang tetap paling tenang adalah Jaghana. Duduk bersila bagai sesosok patung Budha.
"Gendhuk Tri... lebih baik kamu sedikit bersembunyi. Ugrawe sebentar lagi akan datang kemari. Ia paling murka denganmu."
"Justru sekarang ini aku ingin menghadapi, kenapa harus sembunyi?"
"Betul, Tole, jangan sembunyi. Aku yang tua ini masih bisa membereskan siapa pun yang mengganggumu."
Pembarep maju sedikit. "Apa yang dikatakan Kangmas Jaghana ada benarnya. Ugrawe bukan hanya tinggi ilmu silatnya, akan tetapi sangat licik. Kita harus mengatur siasat. Kalau Ugrawe tidak pernah menduga Gendhuk Tri ada di sini, ia bisa tetap sembunyi. Dan, setidaknya, kita bisa melawan bersama-sama. Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri."
"Aku datang kemari dengan tekad mantap. Lebih baik aku mati daripada melihat Kakang Upasara kawin. Kenapa kalian menghalangi?
"Ugrawe, pujangga busuk, ayo masuk kemari. Ini aku sudah siap untuk mencopot telingamu yang sebelah."
Teriakan Gendhuk Tri keras sekali hingga gua menggelegar. Menggemakan suaranya dengan keras. Terdengar jawaban tertawa pendek dan dingin. Disusul dengan masuknya sinar matahari. Lubang yang ditutup batu dan senjata telah disingkirkan. Ugrawe sendiri melangkah masuk diiringi oleh Rawikara dan beberapa prajurit pilihan. Tegap dan lebar langkahnya. Berhenti pada jarak dua tombak, Ugrawe mengelus misainya.
"Pangeran Anom, itulah gadis nakal yang telah hampir membunuh Pangeran Anom."
Pandangan Rawikara bentrok dengan Gendhuk Tri. Keduanya seperti kaget. Rawikara sama sekali tak menyangka akan bertemu begitu cepat dengan Gendhuk Tri, yang telah meracuni hingga hampir mati. Gendhuk Tri mengerutkan kening tak menduga bahwa Rawikara ternyata masih segar bugar.
"Hari ini Raja Jayakatwang berkenan mengampuni kalian semua di sini, kecuali satu orang itu. Gendhuk Tri. Ia tak dapat pengampunan karena tak bersalah. Hanya masih ada urusan dengan kami berdua. Silakan keluar dari gua, dan berterimakasihlah kepada raja kita yang welas asih."
Ugrawe memberikan jalan. Rawikara juga minggir. Para prajurit yang berjaga menyingkir. Sehingga terbuka jalan yang luas, lebar. Menuju ke kebebasan. Tapi justru tak ada seorang pun yang bergerak.
"Jadi kalian menolak anugerah Raja? Bersiap-siap sajalah."
Tiga Pengelana Gunung Semeru mengambil sikap bersiap. "Kami telah bersama-sama di dalam gua, dalam gelap dan dingin. Kalau diberikan kesempatan menghirup udara bebas, biarlah semua keluar. Atau semuanya tidak keluar."
"Bagus, aku suka ketotolan semacam ini. Kalian pikir itu sikap patriot sejati. Mendasari jiwa setia kawan. Itulah ajaran terburuk dari ksatria yang tersesat. Dalam hidup ini, majulah kalau bisa maju. Jangan menunggu yang lain. Karena kalian sudah memutuskan untuk menolak perintah Raja, aku tak perlu sungkan lagi."
Ugrawe mengibaskan tangannya. Tangan kanan terangkat ke udara, tangan kiri berputar di bagian dada.
"Biarlah aku Jaghana yang menerima kehormatan pertama," Jaghana menggelinding maju. Benar-benar seperti menggelinding karena bentuk tubuhnya yang bulat. Jaghana menunjukkan sikap seorang ksatria sejati dalam tindakan. Tanpa banyak bicara ia langsung menghadang sendirian. Sebab, jika para ksatria main keroyok, mana ada keberanian untuk menatap matahari lagi?
Bahwa Ugrawe diakui sebagai jago nomor satu, Jaghana juga menyadari. Bahwa Ugrawe setingkat di atas Jaghana, bukan alasan untuk main keroyok. Soal kalah-menang atau bahkan mati-hidup adalah urusan nomor sekian. Seorang ksatria tak boleh melakukan perbuatan hina, yang lebih berat akibatnya dibandingkan suatu kekalahan dalam pertandingan.
Pembarep mengangguk hormat.
"Karena kalian juga datang bersamaan dengan sama-sama mengemban titah Raja Muda Gelang-Gelang, saya pun ingin menyambut satu per satu."
Pembarep tetap menyebut Raja Jayakatwang sebagai Raja Muda Gelang-Gelang. Seakan tidak mau mengakui kedudukannya yang paling terhormat saat ini. Itu cukup untuk membuat Rawikara menggebrak maju. Dengan posisi awal yang sama, Rawikara menggerakkan kedua tangan bersamaan. Satu tangan bergerak di tengah udara dan memukul, satu tangan di dada untuk menarik tubuh lawan.
Pembarep menerobos maju, dengan tangan kosong. Tanpa memedulikan kesiuran angin, ia menjotos ke arah dagu lawan. Pembarep memang dalam keadaan yang lapar tanding. Selama dalam penahanan, ia hanya berdiam dan berlatih saja. Belum menemui lawan untuk benar-benar mempraktekkan. Maka serangan Rawikara langsung disambut dengan gairah besar.
Ketika dua prajurit pengawal bersiaga di samping Rawikara, Panengah dan Wuragil punya alasan kuat buat bergabung. Dalam ruang yang sumpek, gerakan-gerakan pendek lebih tepat. Ini agak mengurangi kelebihan Tiga Pengelana, yang biasa bermain di udara terbuka. Apalagi ilmu silat mereka merupakan ciri khas ilmu pegunungan, yang lebih mengandalkan loncatan daripada serangan kaki. Meskipun demikian, Tiga Pengelana Gunung Semeru dengan mudah menekan Rawikara. Karena ilmu mereka bertiga merupakan gabungan yang mutlak diperlukan. Bukan sekadar tambahan tenaga seperti Rawikara dan prajuritnya.
"Tole, kita ikut main?"
"Tenang saja," jawab Gendhuk Tri tak peduli. "Aku masih ingin melihat pertempuran kampungan ini. Kalau aku turun tangan, sekali kena tanganku, mana ada yang bisa bernapas kembali?"
"Itu bagus, Tole... itu bagus... Kita tonton saja."
Meskipun diucapkan secara berkelakar, apa yang dikatakan Gendhuk Tri ada benarnya. Ugrawe, dan terutama Rawikara, sangat menyadari hal ini. Mereka akan dibuat repot menghadapi sumber racun ganas ini. Sekali saja kena cengkeram atau berhasil dilukai, tak ada lagi kesempatan untuk melawan. Dan dalam ruang yang begini pendek, hal itu sangat mungkin sekali terjadi. Apalagi Gendhuk Tri seperti tak memedulikan keselamatan dirinya.
Satu-satunya jalan ialah melukai dari jarak jauh. Tapi juga tak bisa sembarangan. Gendhuk Tri, meskipun dalam usia yang masih belasan dan nampak ingusan, adalah murid langsung Rama Guru alias Mpu Raganata. Ditambah adatnya yang liar, ia menjadi monster yang menakutkan. Jaghana masih menunggu. Ia tak membuka serangan lebih dulu. Wilanda tetap duduk dengan sinar mata menyala. Ingin terjun dan melibatkan diri, apa daya tak mempunyai kemampuan.
"Baiklah. Hari ini kalian semua dapat pengampunan. Termasuk Gendhuk Tri. Hanya saja di belakang hari, jangan salahkan saya kalau kita bertemu lagi." Ugrawe mendongak ke atas. "Hanya dalam hati masih bertanya-tanya, bagaimana Gendhuk yang pintar ini bisa masuk kemari?"
"Tolol kamu ini," teriak Gendhuk Tri.
"Tolol kamu ini," kata Dewa Maut mengulangi.
"Aku masuk kemari dengan mudah, dan bisa keluar dengan mudah, karena akulah yang membuat Lawang Sewu ini. Masakan kamu tidak tahu."
"Benar. Tole yang membuat Lawang Sewu. Aku sendiri membuatnya... eh, aku sendiri melihatnya."
"Perjalananku kemari pun serba rahasia, bagaimana mungkin diketahui orang lain?"
"Kamu lupa, Ugrawe yang bertelinga satu! Yang menyuruhku kemari adalah orang yang merindukanku. Yang menuliskan guritan katresnan, sajak cinta, itulah yang menyuruhku. Ia menulis guritan katresnan karena rindu padaku. Aku baru mau menemuinya jika ia sudah menuliskan di jidatmu itu."
Wajah Ugrawe berubah merah sepenuhnya. Tiba-tiba tubuhnya membalik, kedua tangan mendorong ke depan. Angin puyuh, panas, menyorong ke depan, menyesakkan napas. Di saat yang hampir bersamaan, dorongan dari tangan kiri berubah menjadi putaran, dan menjadi tenaga yang mengisap. Dengan menurunkan tangan kiri ke bawah, tenaga mengisap ini menjadi daya serap yang hebat. Kalau lawan memusatkan pikiran dan tenaga untuk mengadu tenaga di atas, dengan demikian bagian bawah menjadi kosong. Inilah yang termakan. Rangkaian dasar Sindhung Aliwawar ini mempunyai variasi yang banyak sekali. Dan bisa berubah dalam seketika.
Jaghana tetap mempertahankan sikap berdiri, kedua tangan terangkap seolah menyembah, di depan dada. Hanya dengan cepat badannya berputar, mengikuti tenaga dorongan dan isapan sekaligus. Gendhuk Tri tertawa mengikik, ia biarkan tubuhnya terseret maju, seolah meluncur dengan kaki lebih dulu. Kedua tangan terulur ke depan, menjambret sekenanya.
Dewa Maut juga langsung bereaksi. Ia menggempur tenaga di atas dengan cara meluncur. Melawan dorongan yang ada. Tanpa diisap pun ia akan maju ke depan. Karena ilmunya memang ilmu yang dikembangkan untuk melawan arus air sungai.
Yang terlontar ke belakang adalah Wilanda. Yang bertahan secara sia-sia. Gempuran hawa panas membuatnya susah bernapas. Dalam satu gebrakan, semua bereaksi dan pertempuran terjadi dalam ruang yang begitu sempit.
Ugrawe mengegos tak berani menyambut sambaran Gendhuk Tri. Meloncat mundur untuk menangkis serangan Dewa Maut dan sekaligus menepiskan gulungan tubuh Jaghana. Ugrawe memang tak mau berisiko sedikit pun. Ia lebih suka mengambil jalan yang menguntungkan. Menerobos ke belakang. Sambil menarik tubuh Rawikara ke arah luar gua...
Rawikara langsung menuju tempat penyimpanan sapi-sapi Keraton. Ini adalah sapi kebanggaan yang dipelihara dengan kelewat hati-hati. Yang dijaga ekstra hati-hati oleh pengawal pribadi Raja. Karena sapi-sapi ini selain pengangkut kereta kebesaran juga merupakan klangenan Raja. Binatang yang sangat disayang dan dibanggakan.
Ternyata di punggung binatang itu ditoreh dengan senjata. Keempat-empatnya. Punggung dan perut yang putih berleleran darah sebagian sudah mengering. Dan tulisannya bisa dibaca jelas. 'Di lautan asmara, gelombang rindu menyapu...'
Rawikara mengertakkan gerahamnya. "Hukum pancung semua penjaga yang bertugas semalam. Tak ada ampunan bagi yang lalai. Mustahil mereka tak mendengar teriakan, tak mendengar sapi melenguh atau apa-apa. Seekor nyamuk pun bisa membuat gusar sapi klangenan Raja. Apalagi seluruh tubuhnya dicacah seperti ini."
Pemeriksaan kepada para penjaga memang tidak memberikan hasil. Mereka berjaga, tidak mengantuk, dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Meskipun tidak berada dalam satu bangunan dengan Keraton Utama, akan tetapi kandang sapi-sapi itu berada di dalam kompleks Keraton. Yang cukup jauh dari dinding sebelah luar. Kalau orang luar bisa leluasa gentayangan ke dalam, ini berarti bisa berbuat sesuatu yang lain lagi. Yang lebih berbahaya.
"Tindakan onar ini memancing perhatian. Untuk memberi kesan bahwa kita lemah," kata Rawikara setengah berteriak di antara prajurit-prajurit pilihan. "Kalau kalian semua memang lemah, katakan mulai sekarang. Tak akan menjadi prajurit lagi. Saya sendiri bisa menghukum pancung kalian semua. Mulai saat ini, tak ada lagi kejadian seperti ini."
Rawikara begitu beringas dan meluap kalimatnya. Akan tetapi justru ia menjadi sasaran. Keesokan harinya pintu gerbang bangunan yang didiami mendapat coretan yang sama bunyinya. Lebih kurang ajar lagi, karena coretan itu dibuat dengan tongkat kasar yang bagian ujungnya dileleti kotoran manusia.
"Memang aku yang membuat," terdengar teriakan keras, gagah, dan menggemuruh. "Kalian semua mengepung aku untuk apa? Aku datang kemari, mencoret, untuk menunjukkan bahwa aku menyimpan laut yang berisi asmara, gelombang rindu, batu karang penantian, dan lumut birahi yang sedang tumbuh. Kalau kamu katakan di mana Nyai Demang, masalah sudah selesai. Selama kamu sembunyikan kekasihku, pakaian Raja Jayakatwang pun akan kuolesi dengan kotoranku."
Lelaki yang berpakaian serampangan, memegang tongkat besar dari galih pohon asam itu tertawa. Melihat dengan sorot mata remeh kepada mengepungnya.
"Ayo tangkap aku. Kalian diperintahkan untuk menangkap aku hidup-hidup, kan? Coba saja. Bisa apa tidak. Telah seratus hari aku mencari Nyai Demang. Katakan sekarang juga, Galih Kaliki menunggu di sini. Tidak menunggu bulan purnama, tidak menunggu buih melambung."
Galih Kaliki memutar tubuhnya. Langkahnya lebar sekali. "Nyai Demang, di mana kamu? Jangan sembunyi. Aku tak sabar lagi, Nyai...."
Disertai tawa ngakak, Galih Kaliki meloncat maju ke depan. Tujuh prajurit pilihan dengan cepat menghadang. Tongkat hati pohon asam terayun dari bawah ke atas. Menyampok senjata yang ditujukan padanya. Galih Kaliki memang tak kenal kompromi, atau memakai taktik. Tenaga yang dipakai sedemikian kerasnya sehingga bentrokan tenaga menimbulkan bunyi keras.
Dari sisi kiri-kanan, dua ujung tombak menyerang ke arah lambungnya. Galih Kaliki memindahkan tongkat ke tangan kiri langsung mengemplang kepala. Tanpa memedulikan sodokan dari kanan. Cepat dan keras. Terdengar bunyi keras. Pergelangan tangan dua prajurit patah, luluh terkulai. Galih Kaliki menghindar tusukan dari kanan, dengan memutar tubuhnya. Kedua kakinya menendang senjata lawan. Bertumpu pada sabetan tangan kiri, tubuhnya meloncat ke depan. Berdiri dalam jarak dua tombak dari Rawikara.
Rawikara mengeluarkan suara dingin dari hidungnya. Walaupun Galih Kaliki cukup kuat, akan tetapi dilihat selintasan saja ilmu mengentengkan tubuhnya bukan yang prima. Sehingga, kecil kemungkinannya ia yang menulis di dinding benteng Keraton atau yang mencacah punggung sapi.
"Kamu pangeran hidung belang itu? Kembalikan Nyai Demang...." Ujung tongkat yang bau, bercampur lelehan darah, menuding langsung ke wajah Rawikara!
Rawikara tak bisa dipandang enteng. Meskipun sebutannya masih pangeran Anom, ia adalah pangeran pati, putra mahkota. Yang kelak menggantikan takhta. Di depan para prajurit, dituding dengan tongkat kotor semacam itu, darahnya naik melewati ubun-ubun. Lebih membuatnya jengkel lagi karena ia disebut sebagai hidung belang. Ini jelas tak masuk akalnya. Ia merasa jauh dari perbuatan itu. Meskipun tidak semurni yang diharapkan, Rawikara bukan tipe pengejar wanita seperti Bagus Respati.
Tetapi memang yang paling menusuk perasaannya adalah cara Galih Kaliki meremehkannya. Selama ini Rawikara merasa dirinya agak tersisih. Dalam penyerbuan ke Keraton Singasari boleh dikata ia dianggap masih hijau. Bahkan oleh Ugrawe sendiri ia tak dipercaya ke garis depan. Dalam pembunuhan habis-habisan di Perguruan Awan, ia tak disertakan. Disuruh mengurusi bagian pertahanan. Bukannya tidak penting, akan tetapi toh tetap bukan di barisan depan.
Sedikit-banyak ini mengurangi kebanggaannya. Kurang membuat hormat para prajurit. Bahwa mereka menghormati, jelas tak terbantah. Akan tetapi apakah mereka betul menghormati tulus karena kelebihannya, itu masih perlu dibuktikan. Maka Rawikara melihat kesempatan yang baik untuk membuktikan diri.
"Mundur semua. Biar aku yang menghadapi sendiri." Kedua tangan Rawikara mengibas. "Galih Kaliki, sebelum menjadi terlambat, katakan apa maumu membuat onar di Keraton?"
"Sudah kubilang sejak pertama. Aku mencari Nyai Demang."
"Kalau cuma itu urusanmu, kenapa harus berbuat seperti pencuri?"
"Ah, yang di dinding itu bukan urusanku. Soal sapi juga bukan urusanku. Aku ini manusia kasar. Bisaku cuma main kotoran. Serahkan Nyai Demang, atau kubikin rata batok kepalamu."
"Banyak tempat bisa dicari, kenapa harus masuk ke dalam Keraton?"
"Ke mana lagi kalau bukan kemari. Putri sundal yang mengaku jadi lelaki... aduh, sampai terbalik... Lelaki sundal yang mengaku sebagai putri itulah yang bikin gara-gara. Kalau ia ada di sini, masa Nyai Demang ada di tempat lain. Nah, kita sudah bicara banyak. Mau bertempur atau tidak?"
Mendadak terdengar jawaban dengan suara yang tinggi.
"Enak saja memaki orang. Apa hak kamu merendahkan diriku?"
Masih terdengar nada merdu. Memang itulah Mo Ing yang tubuhnya putih, sehingga kelihatan jelas.
"Nah, Pangeran... aku tak ada urusan sama kamu. Kecoak putih ini urusanku."
Galih Kaliki menggeser tongkatnya. Berpindah ke tangan kanan. Dipegang erat. Kaki kiri maju ke depan. Kaki kanan terangkat di ujung telapak. Berat badan condong ke depan. Pandangan matanya menyiratkan kegeraman.
"Awas..."
Bersamaan dengan itu, tongkat Galih Kaliki mengayun ke depan, seperti menebas. Gerakannya memang kaku dan lurus. Mo Ing tetap berdiri. Hanya mengangkat kedua kakinya dengan gerakan meloncat pendek. Kentara sekali bahwa Mo Ing menganggap serangan Galih Kaliki sebagai serangan enteng. Kedua tangan Mo Ing masih tetap bersidekap di depan dada.
Dilihat sepintas Galih Kaliki memang kelihatan bukan tokoh yang disegani. Apa yang ditunjukkan, baik gerakan maupun tenaga yang diatur, sangat sederhana. Tidak terlalu banyak kembangan, tidak banyak variasi. Seolah hanya mengikuti gerak yang sudah pakem. Akan tetapi justru di sinilah sebenarnya kekuatan Galih Kaliki. Sampai saat ini, belum diketahui asal-usul Galih Kaliki. Baik nama perguruan, maupun siapa yang mengajari. Lebih menambah baur lagi karena pemunculannya selalu ada kaitannya dengan Nyai Demang. Selalu mengejar-ngejar Nyai Demang. Maklum saja kalau Mo Ing menganggap enteng.
Dalam satu gebrakan, Galih Kaliki menekuk pergelangan tangan. Tongkat yang menyapu tiba-tiba arahnya berbelok menjadi tegak lurus ke atas. Tidak memerlukan lengkungan. Kaku tertekuk ke atas dan menyodok! Inilah kekuatan utama gerakan patah dan kaku.
Mo Ing tak memberikan tubuhnya disodok dari bawah begitu saja. Berat badannya jatuh ke satu sisi. Cepat sekali. Untuk menjaga kalau Galih Kaliki mengubah serangan, tangan kanannya menyampok keras. Mengembuskan tenaga panas. Galih Kaliki ternyata tidak mengubah arah tongkatnya. Sehingga Mo Ing dengan mudah bisa menangkap.
Galih Kaliki tertawa ngakak. "Bagus... bagus... kamu wong bagus, punya gerakan bagus. Enak baunya?"
Tanpa disadari Mo Ing memegang ujung tongkat. Yang diolesi kotoran. Keruan saja wajah yang putih berubah menjadi merah padam. Tongkat disentakkan keras. Kalau tadi merasa bisa mengatasi lawan dengan satu gerakan saja, kini justru merasa bisa dikerjain. Mo Ing meraih dua pedang di pinggangnya. Matanya menyipit. Dua kakinya bergeseran dengan cepat, merangsek maju.
Galih Kaliki tetap tak bergerak. Begitu dua pedang secara langsung menusuk ke arahnya, Galih Kaliki menangkis keras. Lagi-lagi tenaga keras. Terdengar suara berdengung, benturan senjata. Galih Kaliki menggenggam kembali, memutar di tengah, dan maju merangsek. Mo Ing memundurkan kakinya, dan dengan kuda-kuda yang cepat kakinya melangkah mengisi kekosongan. Kuda-kudanya memang rapi, kuat, dan kukuh.
Galih Kaliki terpaksa memundurkan kakinya. Tongkat yang dipegang di tengah kadang berganti ke ujung, dan terus-menerus menyambar. Dari sekian sambaran yang paling berbahaya ternyata kemplangan dari atas. Karena pada saat ujung tongkat mengarah ke batok kepala, rasanya seperti takkan berubah arah. Tak peduli dengan tusukan pedang lawan. Seakan percaya bahwa tongkatnya akan lebih dulu menghantam batok kepala, sebelum pedang lawan bisa menggores kulitnya.
Ini yang merepotkan Mo Ing, dan sekaligus menjadi pertempuran yang menarik. Mo Ing bisa mendesak Galih Kaliki dengan serangan kaki yang kuat, akan tetapi setiap kali memapak maju, harus mundur lagi untuk menjaga kepalanya. Dalam sekejap keduanya terlibat dalam pertempuran yang panjang.
Bagi Mo Ing sebenarnya penggunaan tenaga kuat tak menjadi masalah. Ia masih mempunyai darah Mongol, di mana tenaga sebagai andalan juga menjadi ciri khasnya. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya di negeri Cina, variasi silat dengan gerakan tangan lebih banyak mempengaruhi. Sebenarnya ini merupakan kelebihan untuk mengacaukan perhatian lawan. Kalau yang dihadapi bukan Galih Kaliki. Karena justru tipe permainan Galih Kaliki tak mengenal kompromi. Lawan main bagus atau tidak, ia akan terus mengemplang saja. Lawan menunjukkan permainan menarik atau tidak, sodok terus. Sepuluh jurus telah berlalu.
Rawikara menggelengkan kepalanya. "Mo Ing, mundur saja. Kalau tak bisa menangkap seorang penggali kotoran, lebih bagus pulang saja. Di rumah bisa kau bersihkan tanganmu."
Kentara sekali bahwa Rawikara tidak menganggap Mo Ing terlalu tinggi. Dari kalimatnya terlihat jelas justru Rawikara seperti merendahkan. Mo Ing terpancing panasnya.
"Kalau takut, aku dari tadi ada di pinggir." Mo Ing balas menyindir Rawikara. Dengan begitu Rawikara seperti dikatakan penakut, karena dari tadi tidak langsung turun ke gelanggang.
Dalam keadaan seperti ini Galih Kaliki jelas memperoleh keuntungan. Menghadapi tokoh yang rada aneh satu ini, tak bisa memecah konsentrasi seenaknya. Galih Kaliki tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ayunan tongkatnya makin berat, makin memberat dengan kesiuran angin yang mantap. Tongkat di tangannya berubah menjadi senjata pemukul yang dahsyat. Gerakan maju Mo Ing jadi tertahan. Dua pedang yang berkelebat dari arah kanan dan kiri seperti mau menggunting, dipatahkan dengan keras. Galih Kaliki maju terus. Tongkatnya menyambar dari atas ke bawah.
Lagi-lagi Mo Ing berusaha menghadang. Kali ini Mo Ing lebih taktis. Satu pedang kanan diangkat sedikit ke atas. Untuk menangkis. Sedang pedang di tangan kiri digerakkan cepat untuk mencuri tusukan. Kalau ini terjadi, Galih Kaliki boleh memegang dadanya yang tertusuk dalam. Soalnya, walaupun pedang kanan tak bisa menahan sepenuhnya kemplangan tongkat, namun tetap tak membuat Mo Ing remuk kepalanya. Ia juga sudah mengambil ancang-ancang dengan memiringkan kepalanya. Paling sial hanya pundaknyalah yang masih mungkin kena kemplang. Tapi pedang kirinya sudah akan menghentikan gerakan lawan.
Mo Ing memang ingin menghentikan serangan secepatnya. Agar bisa membuktikan bahwa ia bisa menguasai lawan lebih cepat dari perkiraan Rawikara. Agar membungkam komentar Rawikara. Perhitungan ini banyak benarnya. Tapi satu hal yang tak pernah diperkirakan oleh Mo Ing ialah bahwa tipe permainan silat Galih Kaliki lain daripada yang lain.
Selama main gebrakan mencapai lima belas jurus, Mo Ing unggul dengan kuda-kuda yang mantap. Geseran kaki secara teratur bisa mengukuhkan posisinya. Hampir semua lawan Galih Kaliki selalu menemukan peluang terbaik untuk menyerang dari bagian bawah. Dulu Bagus Respati, putra Patih Mahisa Anengah Panji Angragani pun melihat lubang pertahanan yang lemah di bagian bawah. Padahal justru inilah yang agaknya dirasa menjadi soal bagi Galih Kaliki.
Justru pada saat lawan merasa sangat aman dan kuat di bagian bawah, kaki Galih Kaliki menggempur mantap kuat. Kaki kanan mengentak lurus dengan gerakan menyelentak, gerakan merupakan sepakan kaki kuda. Tenaganya sangat besar. Yang diarah adalah tempurung kaki. Mo Ing tak akan bisa sekadar menggeser, karena justru slentakan jaran, tendangan kuda, ini jauh dari jangkauannya. Satu-satunya jalan adalah membuang diri jauh ke belakang. Atau memilih kemungkinan lain. Tetap menangkis tongkat di atas, menusuk dengan pedang yang lain, dan menggeser kaki sebisanya.
Dalam pertempuran semacam ini, Mo Ing belum tentu menderita lebih berat daripada Galih Kaliki. Kerugian fatal bisa berada di kedua belah pihak. Mo Ing pernah menyaksikan pertempuran antara Galih Kaliki dan Bagus Respati. Sehingga mengetahui bahwa serangan Galih Kaliki memang maut. Bukan hanya serangannya yang membahayakan lawan, tetapi juga seperti tak memedulikan keselamatan dirinya sendiri. Dalam pertempuran waktu lalu, Galih Kaliki dan Bagus Respati sama-sama nekat. Hanya kebetulan karena ada tokoh lain melerai secara jitu, keduanya terhindar dari kematian. Meskipun mengakibatkan keduanya terluka parah.
Mengetahui cara lawan, Mo Ing mengubah permainannya dengan cepat. Dalam sepersekian detik, tusukan dan tangkisan diubah menjadi sodetan ke arah wajah. Gerakan pedang menjadi lebih cepat dari datangnya kemplangan tongkat. Mo Ing sadar ini sekadar memecah sedikit perhatian, karena yang penting adalah meloloskan diri dari slentakan jaran. Mo Ing tak mau sekadar membuang tubuhnya ke belakang, ia mengayun, menjatuhkan tubuh di lantai dengan punggungnya dan kedua pedangnya menebas dari kiri dan kanan dengan gerakan miring.
Galih Kaliki telanjur dalam posisi seperti terjun. Memerlukan waktu untuk mengubah gerakannya dalam seketika. Tapi bukan itu yang dipilih. Tongkat andalan yang berwarna cokelat kehitaman terus menyapu ke bawah. Berhenti dengan suara keras menghantam lantai. Dalam perjalanan menghunjam ke lantai, berhasil menyapu dua pedang sekaligus. Tubuh Galih Kaliki berputar bagai kitiran, tertarik oleh gaya luncur kedua kakinya yang menendang ke arah luar. Jadilah pemandangan menarik. Mo Ing berputar dengan punggung menempel lantai, sementara Galih Kaliki berputar di atasnya dengan tangan memegang tongkat sebagai sumbu. Keduanya berputar dalam arah yang berlawanan.
Mo Ing terpancing dengan serangan berikut. Begitu putaran punggung makin cepat, kedua pedang menyodet ke atas. Akan sulit bagi Galih Kaliki mengelak. Akan tetapi saat itu Galih Kaliki sudah meluncur turun. Dahsyat sekali. Tongkat menyampok satu pedang hingga terpental jauh. Sementara pedang yang satu terlepas karena tangan Mo Ing kena diinjak. Persis di pergelangan tangan! Sekali getok, Galih Kaliki bisa menjebloskan ujung tongkat ke kepala Mo Ing. Atau menggempur dada.
Rawikara tak pernah menduga bahwa pertempuran bisa berakhir begitu cepat! Ia tak menganggap Galih Kaliki terlalu rendah. Akan tetapi juga sama sekali tak menduga bisa menyelesaikan pertempuran dengan begitu singkat dan mendadak! Ini semua terjadi dalam gerakan turun tubuh Galih Kaliki yang tepat! Menyampok pedang, menginjak pergelangan, dan menguasai keadaan secara penuh. Mo Ing dikalahkan secara sempurna.
"Ayo katakan, di mana Nyai Demang?"
Tergeletak di lantai, wajah Mo Ing berubah pias. "Kamu boleh bunuh aku. Aku sudah kalah. Untuk apa memaksa mengatakan yang sudah kau ketahui?"
Galih Kaliki mendongak sedih. "Pergilah kalau kamu memang tidak tahu."
Lembut, tenang, Galih Kaliki berjalan minggir. Meninggalkan Mo Ing yang tergeletak di lantai. Mo Ing menyambar pedang dan dengan cepat sekali menusukkan pedang. Ke arah tubuhnya! Dengan mengeluarkan jeritan tertahan, Mo Ing rebah ke lantai. Kejadian berlangsung sangat singkat. Bersamaan dengan itu, satu bayangan melayang, dan mengangkat tubuh Mo Ing ke dalam panggulan, sekaligus melepaskan pedang dari tubuh Mo Ing, menotok jalan darah. Semua dilakukan dalam seketika.
Kiai Sangga Langit berdiri gagah. Mengangguk ke arah Galih Kaliki, lalu menoleh kepada Rawikara dengan sudut mata. Lalu menjejakkan kakinya, memancal lantai, dan melayang melewati kerumunan. Kiai Sangga Langit seperti menyalahkan Rawikara. Karena Rawikara-lah yang berdiri paling dekat dengan Mo Ing. Sebenarnya kalau mau, bisa menahan tusukan pedang. Pun andai tusukan itu ditujukan ke arah Galih Kaliki. Akan tetapi Rawikara sengaja membiarkan saja. Tidak peduli siapa yang akan kena tusuk. Bagi Rawikara tidak penting benar siapa yang bakal tertusuk!
Tapi yang membuat Rawikara merasa gusar adalah pandangan mata Kiai Sangga Langit. Sorot mata yang tak terucapkan itu bukan sekadar menuduh bahwa, Rawikara tak ambil peduli. Bukan sekadar membiarkan, akan tetapi justru sengaja memperlakukan dengan cara yang hina.
Kiai Sangga Langit melihat, dalam sekelebatan saja, bahwa gerakan yang didemonstrasikan untuk menjebak tadi adalah gerakan yang sering diperagakan oleh Ugrawe. Bagian dari ilmu andalannya!
Rawikara sendiri setengah tak percaya. Mana mungkin dari gerakan dasar Sindhung Aliwawar yang memakai tenaga putaran sebagai angin puting beliung diperagakan orang lain. Selama ini Ugrawe sendiri mempraktekkan dengan gerakan tangan. Satu tangan bergerak di atas kepala, menggebah, dan satu putaran tangan lagi menarik dengan sedotan! Dengan demikian lawan akan terhantam di bagian atas tubuhnya, dan diseret di bagian bawah tubuhnya!
Galih Kaliki justru mempraktekkan dengan gerakan kaki. Yang dikombinasikan dengan tangan. Tangan menyampok ke arah luar kaki menekan ke bawah. Cara mengatur tenaga dalam seperti ini dengan cara yang bertentangan boleh dikatakan menjadi ciri khas ilmu andalan Ugrawe. Selama ini tak ada orang ketiga yang mempelajari. Karena cara pernapasan yang luar biasa sulit untuk mengendalikan tenaga yang berlawanan arah dan pemakaiannya. Hanya Ugrawe, melatih sendiri, dan Rawikara sebagai murid.
"Bagus sekali. Satu gerakan yang luar biasa. Boleh saya mengetahui nama gerakan tadi dan dari perguruan mana? Barangkali kita bisa berbicara lebih leluasa."
"Aku tidak butuh urusan seperti itu, Pangeran. Kalau kamu berikan Nyai Demang, baru itu namanya menjawab keperluanku kemari."
Rawikara mendongak ke atas langit. "Kalau hanya itu urusannya, mari kita jemput Nyai Demang."
"Tunggu!" teriak Galih Kaliki gusar.
"Ada apa lagi? Katanya mau ketemu Nyai Demang, tetapi sekarang pakai alot-alotan segala."
"Siapa suruh kamu bilang hanya itu. Soal Nyai Demang bukan soal hanya itu. Soal yang besar. Cabut kembali kata-kata itu!"
Rawikara mengangguk. "Maafkan kalau ini menyinggung perasaan. Saya mengira sesuatu yang tak bisa saya lakukan. Tetapi mungkin saya bisa menolong. Selama ini Nyai Demang ada di sini. Dalam keadaan aman. Nyai Demang menjadi penerjemah Kiai Sangga Langit yang baru saja mengangkat Mo Ing. Kita bisa ke sana bersama-sama."
Rawikara merenggangkan kedua tangannya. Menyilakan Galih Kaliki berjalan bersamanya. Ini adalah salah satu strategi Rawikara. Baginya Galih Kaliki seperti sengaja diciptakan untuk menjelaskan masalah yang ingin diketahui. Pertama kali tentang tulisan asmara di dinding. Kedua tentang asal-usul perguruan Galih Kaliki. Ketiga bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia yang ada di dalam kediaman Kiai Sangga Langit. Maka Rawikara membalik penampilannya. Kalau tadi merasa perlu menghadapi keras sama keras, kini harus menghadapi dengan kelembutan.
Sebagai murid langsung Ugrawe, Rawikara juga menuruni sifat-sifat Ugrawe. Malah sedikit lebih cerdik, atau licik. Dalam hati Rawikara mulai curiga kepada Ugrawe. Gurunya ini memang luar biasa saktinya. Ilmunya tak ada yang melawan. Dengan kekuasaan besar di tangannya, boleh dikatakan setiap saat bisa mengubah jalannya sejarah Keraton. Apalagi kalau ternyata telah menyiapkan bibit baru sebagai muridnya. Sebelum semua berkembang tak terkendalikan, ia bisa mengambil alih inisiatif. Agar tak bisa didikte oleh Ugrawe.
Maka jalan yang diambil adalah berdamai dengan Galih Kaliki. Untuk mengorek keterangan lebih banyak. Rawikara tahu bahwa Galih Kaliki memang ugal-ugalan dan kasar penampilannya. Akan tetapi sifatnya jujur dan tak mempunyai prasangka yang aneh-aneh. Dari keinginannya yang mengabaikan kepentingan lain, hanya sekadar mencari tahu Nyai Demang, hal ini sudah memberikan bukti kuat. Maka rombongan pun menuju ke kediaman Kiai Sangga Langit.
"Nyai Demang, ini aku, Pangeran Anom Rawikara... membawa seorang sahabat yang ingin menemuimu. Maukah kamu keluar barang sebentar?"
Tak ada jawaban.
"Nyai Demang, kalau Nyai tak mau keluar, biarlah aku yang masuk ke dalam. Maaf kalau kurang menghormati Kiai Sangga Langit, si pemilik rumah. Aku sudah minta izin baik-baik."
Pintu terbuka. Kiai Sangga Langit berdiri di tengah pintu. Kukuh, bergeming.
"Kiai Sangga Langit..."
Tangan Kiai Sangga Langit mengibas. Terdengar suara nyaring dari dalam.
"Hari ini Kiai Sangga Langit tak mau menerima tamu. Ia akan mengobati Mo Ing. Harap datang lain waktu."
"Nyai Demang... itu suaramu. Akulah garam yang tak bisa dipisahkan dari laut birumu."
Galih Kaliki meloncat, menerobos masuk. Kiai Sangga Langit mengangkat sebelah tangan. Dalam meloncat Galih Kaliki mengayunkan tongkat dengan keras sekali.
"Minggir kamu, hantu sawah...."
Kiai Sangga Langit tak menggeser tangannya. Sebat sekali mengangkat tongkat yang terayun ke arahnya. Dengan memusatkan tenaga, tongkat itu bisa digenggam dan dipelintir keras. Tubuh Galih Kaliki jadi ikut berputar. Ngilu menyerang seluruh saraf tangannya. Tak bisa ditahan lagi, terpaksa Galih Kaliki melepaskan pegangannya. Sebagai gantinya, kaki Galih Kaliki menyepak keras, jurus slentakan jaran yang perkasa.
Kiai Sangga Langit tetap tak menggeser kakinya, hanya mengubah tangannya yang kini memegang tongkat untuk menangkis. Galih Kaliki, seperti diduga, tak menarik kakinya. Tapi mencungkil ujung tongkat. Tongkat berputar ke arah wajah Kiai Sangga Langit, yang mengeluarkan suara dingin dari bibirnya, menangkis ke luar. Tongkat terayun, dan dengan berjumpalitan Galih Kaliki bisa menangkapnya. Berdiri di tempatnya semula.
Satu gebrakan yang luar biasa. Galih Kaliki tidak kehilangan muka dalam serangan ini. Meskipun ia harus jungkir-balik tidak kepalang tanggung. Kedudukan masih sama, akan tetapi jelas bahwa Galih Kaliki setidaknya berada tiga tingkat di bawah Kiai Sangga Langit.
Rawikara sejenak ragu bertindak. Saat itu mendadak terdengar gong kecil dipukul ringan. Semua kegiatan terhenti mendadak. Seorang prajurit menghaturkan sembah sambil berjongkok.
"Maaf. Baginda Raja berkenan memanggil Pangeran Anom."
Panggilan dari Raja, tak bisa ditawar sedikit pun. Rawikara mengangguk. "Saya akan menghadap sekarang juga," katanya lembut kepada prajurit. Lalu menoleh ke arah Galih Kaliki. "Saya merasa bahagia kalau setelah menerima dawuh Raja kita masih bertemu lagi. Soal Nyai Demang..." Suara Rawikara berubah agak tinggi. "Nyai, saya meminta Nyai menemui... saya meminta dengan segala kerendahan hati. Di belakang hari utang budi ini akan selalu saya ingat."
Terdengar jawaban dari dalam rumah.
"Saya mau menerima saat bulan purnama, seperti yang dijanjikan."
"Baik kalau begitu," teriak Galih Kaliki manggut-manggut. Lalu duduk di depan pintu. "Pangeran, kamu masuk ke dalam Keraton karena ada urusan. Aku akan menunggu di sini sampai bulan purnama. Kalau hantu sawah itu mau bikin gara-gara, aku masih bisa menghadapi."
Rawikara tak mempunyai pilihan lain. Ia mengangguk dan segera berlalu. Masuk ke dalam Keraton. Menyembah, berjongkok, dan kemudian mengambil tempat agak di sudut. Ugrawe ternyata telah duduk di situ pula. Yang agak mengherankan Rawikara ialah, bahwa ada suatu bayangan tubuh yang duduk khidmat di dekat singgasana Raja Jayakatwang. Seorang lelaki tua, yang menunduk dan tangannya tak pernah berhenti memegang biji-biji tasbih. Dia adalah Waisesa Sagara.
Rawikara tidak terlalu mengenal siapa Waisesa Sagara. Yang diketahui hanyalah: Ia satu-satunya pejabat Keraton semasa pemerintahan Baginda Raja Kertanegara yang sekarang masih mempunyai posisi tinggi dan jabatan utama. Malah boleh dikatakan naik pangkat. Kalau dulu menjadi penasihat rohani dan sekaligus dukun peramal Mahapatih Panji Angragani, orang kedua di Keraton Singasari, sekarang malah penasihat rohani orang nomor satu di Keraton!
Baik Rawikara maupun Ugrawe tak berani mempersoalkan atau mengungkit masalah ini kepada Raja Jayakatwang. Karena ini merupakan hak pribadi seorang raja untuk memilih pembantu terdekatnya. Bagi Rawikara, ketidaksukaan Ugrawe pernah tercetus walaupun tidak langsung. Namun kemudian, Rawikara menyadari bahwa Ugrawe mempunyai perhitungan sendiri. Bahwa pengaruh Waisesa Sagara tak akan menjadi besar, selama ia tidak diberi kekuasaan apa-apa. Selama Waisesa Sagara hanya berurusan dengan tasbihnya dan mulut yang terus-menerus berkomat-kamit.
Terdengar gong dipukul pelan. Serta langkah kaki yang ringan sekali.
Ugrawe, Rawikara, Waisesa Sagara segera menghaturkan sembah dengan menunduk seakan ingin mencium lantai. Sampai Raja Jayakatwang duduk di singgasana dan mengeluarkan suara perlahan. Ketiganya mendongak. Sedikit sekali. Sunyi di ruang pertemuan. Hanya ada mereka berempat. Terasa betapa ruangan menjadi sangat luas dan diisi oleh angin yang diam tak bergerak.
"Hari ini aku memanggil Paman Ugrawe dan putraku, karena kalian berdualah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Aku tak bisa menunggu sampai esok atau bahkan nanti...." Suaranya menggantung, seperti tak menemukan lanjutan.
Ugrawe tetap menunduk, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Raja Jayakatwang memanggil dirinya dan Pangeran Anom Rawikara. Sedangkan Waisesa Sagara tidak termasuk yang dipanggil. Ini berarti kehadirannya dalam pertemuan sudah otomatis. Dari cara berbicara, Ugrawe merasa bahwa Raja Jayakatwang seperti benar-benar kehabisan semangat.
"...Sebentar lagi aku berada di singgasana ini selama seratus hari. Masih saja belum hilang bayangan yang mengerikan. Mayat-mayat berjatuhan, banjir darah, erangan orang-orang yang kuhormati secara lahir-batin. Kadang aku berpikir sendiri, apakah tindakan yang kulakukan bukan suatu kekeliruan yang bakal dikutuk anak-cucuku besok? Tidak, seharusnya tidak. Aku mendengarkan apa yang dikatakan Paman Ugrawe, Pujangga Pamungkas, yang ahli dalam berbagai hal. Aku mendengarkan saran terbaik dari Paman Wiraraja di tanah Madura. Aku mendengarkan saran Patih Mandarang. Aku merasa di pihak yang benar. Meluruskan kembali sejarah raja-raja di tanah Jawa yang menguasai dunia. Mengembalikan ke jalan yang lurus, yang direstui dewa. Bahwa seorang raja yang menguasai jagat, menjadi panutan, menjadi contoh dalam kehidupan. Seorang raja adalah wakil Penguasa Jagat beserta isinya, seluruhnya. Dan seorang yang semacam ini tidak bisa kalau yang duduk adalah keturunan perampok, seorang pencuri, yang mengambil alih secara paksa. Aku mendapat wangsit, mendapat petunjuk dari Penguasa Jagat untuk meluruskan kembali keturunan raja-raja." Jalan inilah yang kutempuh. Dan hanya jalan ini yang kutempuh. Makanya, kepada Paman Ugrawe aku menganjurkan agar segala pertumpahan darah, segala balas dendam dihapuskan. Yang sudah ya sudah. Gelombang laut pun ada saatnya untuk surut kembali. Pertumpahan darah dan pembunuhan, balas dendam, bukan tujuanku. Bukan tujuan kita semua. Apakah aku bicara keliru?"
"Sama sekali tidak, Sinuwun. Segalanya benar adanya, seperti yang di-wangsit-kan Dewa Yang Mahatinggi," sembah Ugrawe.
"Tepat sekali, Sinuwun," sembah Waisesa Sagara.
Rawikara memberi hormat yang dalam.
Raja Jayakatwang mengambil napas lega. Hari ini aku akan memberikan pengampunan kepada semuanya. Untuk secara resmi, pihak Keraton tidak akan mengusut, menghukum, menindak kejadian masa lampau. Justru sebaliknya. Aku akan mengajak siapa saja yang mau bekerja, yang mau mengabdi kepada Keraton. Inilah saat membangun kembali masa kejayaan Keraton. Adalah mustahil. Kalau almarhum Baginda Raja Sri Kertanegara yang justru keturunan perampok bisa mengibarkan panji-panji kebesaran sampai ke tepi samudra jauh, aku justru tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah yang berdarah biru kalah dengan darah perampok? Aku telah memutuskan ini. Bagaimana pendapat Paman Ugrawe?"
Ugrawe menghaturkan sembah. "Keputusan Sinuwun adalah keputusan yang memberikan warna yang cemerlang, pijakan yang kukuh, gambaran nyata dari suatu jiwa yang amat besar. Dalam sejarah raja-raja yang hamba pelajari belum pernah ada penggambaran sikap begitu mulia. Semua ini demi keagungan Keraton. Dewa Maha tunggal mendengar maksud baik hati Sinuwun."
"Setelah basa-basi yang menyenangkan ini, apa yang akan Paman katakan?"
Ugrawe menghaturkan sembah kedua kalinya. "Baginda lebih arif dan bijak, mana hamba berani menyembunyikan kebodohan hamba. Tanpa mengurangi kebesaran jiwa Baginda, izinkanlah hamba menghaturkan apa yang hamba rasakan. Mohon seribu maaf jika kurang berkenan."
"Katakan, Paman."
"Maksud luhur Baginda bisa disalahgunakan, jika melihat situasi sekarang ini. Hamba kuatir jika sekarang ini Baginda mengatakan itu, para pembangkang dan mereka yang menginginkan kembalinya takhta Keraton ke tangan yang lain, akan merasa mendapat angin. Apakah Baginda tak ingin menunda barang satu purnama lagi?"
"Bulan depan atau sekarang apa bedanya? Makin cepat kita membangun kembali, rasanya makin baik. Kalau tidak, kita hanya berkubang sekitar masalah balas dendam. Seakan urusan kita hanyalah membunuh orang lain yang kebetulan berbeda pendapat dengan kita. Berapa kuburan lagi yang diperlukan untuk itu?" Suara Raja Jayakatwang bergelombang. Tapi diakhiri dengan suara yang lembut.
"Rawikara putraku... lebih baik pada kesempatan ini kamu berdiam diri saja. Aku memanggilmu agar kamu mendengar lebih banyak. Putraku, sesungguhnya nasibmulah yang membuat aku banyak merenung mengenai apa yang seharusnya kulakukan sekarang ini. Kehidupan dari kematian, menjelaskan bahwa seharusnya ada kehidupan baru dalam alam pikiran. Putraku, kamu tahu maksudku?"
"Sembah dalem... Rama...."
"Ketika kita menyerbu Keraton habis-habisan, ketika itulah kamu terluka parah dan kemudian dinyatakan meninggal dunia karena terkena racun Gendhuk Tri, siswi terakhir Mpu Raganata. Tubuhmu telah terbaring, membiru seluruhnya. Kamu sendiri tak ingat. Tak tahu. Bahwa aku menangis di sampingmu. Pada saat itu Mpu Raganata yang telah terbaring karena luka parah, karena seluruh tubuhnya penuh dengan luka, merangkak mendekatimu. Memeriksa nadimu, memeriksa pernapasanmu. Dan mengatakan bahwa untuk suatu ketika, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tak ada yang percaya. Bahkan Paman Ugrawe yang sangat kukagumi juga menggelengkan kepalanya. Tetapi Mpu Raganata mengatakan, 'Kematian ialah sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi sebelum mati, masih banyak kejadian yang bisa ditangani oleh manusia. Dalam diri anak muda ini, bertempur darah yang racunnya tak bisa dikuasai. Ia kalah. Tapi masih bisa diselamatkan. Seluruh darahnya dipompa ke luar, dan darahnya diganti dengan darah yang murni, darah yang diberikan secara suka rela. Karena hanya racunnya yang mematikan darah, belum mematikan hidupnya. 'Beberapa bagian tubuhnya yang dalam, sudah terluka, akan tetapi bisa disembuhkan dengan pengobatan biasa. Dan Mpu Raganata menyalurkan darah ke dalam tubuhmu, putraku. Setelah menguras habis semua darah beracun dari tubuhmu. Betapa mulia seorang Mpu Raganata. Pujangga Ugrawe menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena Mpu Raganata ingin menebus dosa. Racun itu berasal dari tangan siswinya, muridnya. Secara moral, Mpu Raganata berkewajiban untuk menyembuhkan, mencuci nama baiknya. Karena Mpu Raganata selama hidupnya tak pernah mempelajari ilmu racun. Tetapi ternyata tidak. Mpu Raganata tak tahu siapa yang dilukai, siapa yang melukai. Beliau yang sudah sangat sepuh, yang memerlukan tenaga untuk hidupnya sendiri, lebih suka menolong orang lain. Ketika aku bertanya sambil berlutut di depannya, Mpu Raganata tersenyum, 'Kalau kamu bisa berbuat baik bagi orang lain, apakah harus kau tanyakan sesuatu? Kalau kamu bisa berbuat baik, lakukanlah. Itu wajar.'"
Raja Jayakatwang menutup matanya. Menahan guncangan yang menggemuruh dalam dada.
"Kenapa aku selalu mengulang cerita semacam ini? Karena aku bersyukur bahwa putraku lolos dari kematian. Namun lebih luhur dari semua itu, tindakan nyata Mpu Raganata. Kalimatnya begitu indah, begitu luhur, begitu suci: Kalau kamu bisa berbuat baik pada orang lain, lakukanlah. Itu wajar. Adakah kata keramat yang lebih hebat dari ini? Aku bukan seorang resi. Aku bukan orang bijak. Aku tak tahu, apakah memberi ampunan ini suatu perbuatan baik atau sesuatu yang wajar, tetapi aku ingin melakukan. Paman Waisesa Sagara, bagaimana?"
Waisesa Sagara menyembah. "Hari ini hari terbaik dalam tiga bulan mendatang."
Raja Jayakatwang mengangguk. "Hari ini akan kukatakan. Paman Ugrawe bisa mulai melaksanakan. Semua tahanan, tanpa kecuali, dibebaskan. Semua kecurigaan dihilangkan. Kita akan mulai membangun kejayaan Keraton yang sesungguhnya!"
Ugrawe, Rawikara, menunduk, menghaturkan sembah.
"Perintah Raja kami junjung tinggi."
"Baik. Mudah-mudahan ini mencuci tangan kita yang terlalu berdarah."
Lama setelah Raja Jayakatwang meninggalkan tempat pertemuan, Ugrawe masih tetap berdiam diri. Demikian juga Rawikara. Waisesa Sagara sudah pergi meninggalkan, mengikuti Raja.
"Aku telah mendengar laporan dari Patih Mandarang malam tadi," suara Ugrawe terpatah-patah. "Bahwa ada utusan dari tanah Madura diterima menghadap langsung. Patih Wiraraja mengajukan usul-usul mengenai kebijaksanaan yang baru. Pangeran Anom telah mendengar sendiri bahwa Raja berkenan menuruti nasihat Wiraraja."
"Bapa Guru, tak ada alasan lain, kita melaksanakan titah Raja."
"Ya, biarlah aku sendiri yang membebaskan para tahanan di Perguruan Awan!"
Rawikara termenung. "Saya merasa bersalah. Andai Mpu Raganata tidak menolong saya, barangkali akan lain."
"Jangan kecil hati, Pangeran Anom. Ini semua bukan kesalahan Pangeran. Ini karena jiwa besar Raja, sesembahan kita. Menangkap peristiwa itu sebagai karunia dewa. Raja kita sangat menyayangimu, Pangeran. Baik-baiklah memberi laporan kepada Sinuwun, aku akan segera berangkat ke Perguruan Awan."
Rawikara menghaturkan sembah.
"Ada apa lagi, Pangeran?"
"Tidak ada apa-apa, Bapa Guru...."
"Wajah Pangeran masih menyembunyikan sesuatu."
Rawikara mengatakan bahwa ia melihat Galih Kaliki ternyata bisa menunjukkan salah satu gerakan yang intinya sama dengan Sindhung Aliwawar. Jurus utama puting beliung dengan pembagian tenaga menolak dan mengisap itu ternyata bisa dimainkan.
"Galih Kaliki? Aku tak pernah mendengar nama itu. Dan aku tak yakin ada yang bisa mempelajari. Aku akan berangkat sekarang juga."
"Bapa Guru benar-benar akan membebaskan semua tawanan?"
"Ya. Aku akan membebaskan, sesuai dawuh, sesuai perintah Raja. Yang tidak kujanjikan, yang tidak ada dalam perintah Raja, ialah aku membebaskan semua dalam keadaan sebagaimana adanya. Aku akan menjajal ilmuku untuk menghabiskan semua ilmu silat mereka. Jika pukulan Banjir Bandang Segara Asat berhasil, Kiai Sangga Langit akan menggigit jari. Pangeran Anom boleh mengikuti jika ingin menjajal juga."
Ini adalah kesempatan terbaik. Selama ini sangat susah melatih pukulan Banjir Bandang Segara Asat, Banjir Bah Laut Kering. Ini merupakan jurus yang amat sulit untuk dilatih. Terutama sekali bukan karena sulit mempraktekkan gerak, akan tetapi sulit memilih siapa yang menjadi sasaran. Banjir Bandang Segara Asat mengisyaratkan adanya banjir besar yang menjadi bah, akan tetapi di saat yang sama laut menjadi kering. Jenis pukulan yang khas dari rangkaian Sindhung Aliwawar, yang serba bertentangan. Rangkaian yang bertentangan antara tenaga menolak dan mengisap.
Yang khas dari jurus Banjir Bandang Segara Asat ialah jurus ini merupakan jurus yang paling keras dari sifat menolak dan mengisap. Dalam jurus ini, pesilat akan mengirimkan pukulan ke arah lawan dengan tenaga penuh, dan sekaligus mengisap habis! Sehingga lawan yang terkena pukulan ini kehilangan kekuatan tenaga dalamnya. Seumpama laut, ia dikeringkan, dan tenaganya diisap menjadi banjir di daratan!
Pukulan Banjir Bandang Segara Asat tak menjadi masalah besar jika bisa dilatih sekenanya. Akan tetapi, pukulan ini tak bisa dipakai sembarangan. Kalau menghadapi lawan yang lebih kecil tenaga dalamnya, atau lebih lemah, bisa-bisa malah membahayakan diri. Soalnya tenaga gempuran begitu besar, sehingga hampir sepenuhnya tenaga dalam dikerahkan. Kalau yang ditarik hanya kecil sekali, tenaga sendiri bisa membalik dan melukai. Akibatnya bisa fatal. Ibarat kata bunuh diri.
Itulah sebabnya, untuk melatih pukulan ini diperlukan lawan yang kira-kira setanding. Makin setakar kekuatan tenaganya, makin menguntungkan. Karena dalam sesaat tenaga dalam yang dimiliki bisa berlipat. Selama ini Ugrawe dan Rawikara telah mempelajari secara teori. Dan memainkan tanpa tenaga dalam. Namun selalu masih ada dorongan untuk mengujinya. Dalam pertempuran yang sesungguhnya, Ugrawe sendiri belum pernah mempraktekkan. Karena masih merasa gamang.
Para tawanan di Perguruan Awan bisa dijadikan latihan yang menarik. Yang memenuhi syarat. Mereka adalah ksatria-ksatria yang mempunyai nama besar. Yang terlatih dengan baik. Setidaknya ada nama-nama besar seperti Jaghana, si gundul yang mewarisi ilmu Perguruan Awan sendiri. Tenaga dalamnya boleh diandalkan. Kemampuannya sudah diakui. Juga masih ada Dewa Maut yang kurang-lebih memiliki jenis pukulan yang sama. Masih ada tiga Pengelana Gunung Semeru, tiga bersaudara yang bila digabung ilmunya cukup tinggi.
Menghadapi lawan seperti ini sangat membangkitkan gairah pertempuran. Karena ketika bertanding, dipaksa mengeluarkan semua simpanan yang ada. Tanpa disadari kedua pihak mengeluarkan ilmu yang sesungguhnya. Dan justru itulah yang diharapkan dari latihan semacam ini! Mengisap laut sampai kering dan membuat banjir daratan!
Rawikara terkesima. Ia merasa dirinya cerdik, akan tetapi ternyata dalam masalah mempelajari ilmu silat serta menemukan cara berlatih, gurunya masih luar biasa. Dan ini semua dilakukan tanpa perlu harus melawan perintah Raja!
"Benar kata Waisesa Sagara... Hari ini hari terbaik. Kita tak harus menunda waktu. Pangeran Anom, hamba menunggu pertimbangan Pangeran."
"Sebaiknya saya menyertai Bapa Guru...."
"Atau soal Galih Kaliki masih menjadi ganjalan?"
"Untuk sementara tidak. Biarlah Keraton sepi barang sehari-dua hari."
Dengan diam-diam Ugrawe menyiapkan pasukannya. Maka iringan pun berjalan dengan diam-diam. Inilah perjalanan yang aneh. Menuju ke Perguruan Awan kembali. Pusat perguruan silat, sumber yang membuat barometer ilmu yang ada sekarang ini. Sejak Eyang Sepuh mendirikan perguruan, hingga namanya menyebar ke seluruh penjuru mata angin, Perguruan Awan menjadi sumber munculnya ksatria-ksatria baru, pendekar-pendekar yang mencapai tingkat yang patut diperhitungkan.
Justru karena di perguruan itu tidak semua menyelesaikan hingga tamat serta menjadi penghuni di situ seumur hidup. Justru mereka yang putus di tengah jalan, karena tidak sesuai lagi, menjadi warna yang dominan dalam kehidupan masyarakat dunia silat.
Perjalanan yang aneh. Kalau dulu Ugrawe dan rombongan datang untuk sekadar menghancurkan. Kini bukan hanya itu, akan tetapi untuk memindahkan tenaga dalam mereka. Kalau ini berhasil, Ugrawe benar-benar tiada tandingannya. Bahkan Eyang Sepuh pun takkan mampu mengimbangi. Barangkali hanya tokoh legendaris seperti Tamu dari Seberang yang bisa menandingi. Akan tetapi tokoh misterius itu saat ini belum pernah muncul. Belum ada yang mengaku pernah bertemu dengannya!
Kiai Sangga Langit masih memeriksa nadi Mo Ing, ketika mendengar suara yang melangkah tergesa. Tangan Mo Ing tetap dipegang ketika berbicara ke arah Nyai Demang.
"Nyai mendengar suara langkah tergesa?"
"Tidak... ya... tidak... tidak begitu jelas."
"Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting dan mendadak. Sepertinya Ugrawe sendiri yang pergi. Kurasa ada sesuatu yang akan dilakukan. Kalaupun ada hubungannya dengan perintah Raja, ini tetap sesuatu yang rahasia.
"Nyai, aku minta pertolongan. Mo Ing harap dijaga baik-baik. Untuk sementara Galih Kaliki tak akan banyak mengganggumu. Aku akan mengikuti Ugrawe pergi. Usahakan seolah aku masih di sini."
Sebelum kalimat terakhir lenyap, tubuh Kiai Sangga Langit yang tinggi besar telah meninggalkan tempat. Dalam tarikan satu napas saja, tubuh yang tinggi besar dan kelihatan berat bisa pindah tanpa menimbulkan kesiuran angin keras. Kiai Sangga Langit menunjukkan kelebihannya ketika mengikuti secara diam-diam. Perjalanan dari Keraton menuju Perguruan Awan bukan perjalanan yang gampang. Melalui jalan sepi, yang sedikit bunyi-bunyian saja terdengar. Tetapi ilmu mengentengkan tubuh dan membaca jejak Kiai Sangga Langit sangat tinggi. Sehingga dengan mudah bisa mengikuti tanpa diketahui.
Perguruan Awan sendiri masih seperti pertama kali diciptakan. Sebuah hutan yang lebat, lapangan di sana-sini, semak yang tinggi, rendah, gua-gua yang tersembunyi. Dari bentuk luarnya tak ada bedanya. Hanya saja, sebagian terbesar gua-gua itu dijadikan tempat penahanan para ksatria. Sejak penyerbuan habis-habisan, para ksatria yang terkena racun sebagian besar bisa ditawan. Sementara dipindahkan ke berbagai tempat, sebelum akhirnya diangkut ke Perguruan Awan. Dimasukkan ke dalam gua di bawah tanah. Dikumpulkan menjadi satu. Dan setengah dibiarkan mati atau hidup.
Ujung terowongan dijaga sangat kuat, sementara batu-batu bongkahan ditumpuk bersama dengan ujung tombak dan anak panah beracun yang selalu dalam keadaan siap ditembakkan. Berada di dalam gua, dalam keadaan nyaris tanpa sinar matahari, para ksatria mencoba bertahan. Yang paling menderita adalah Dewa Maut. Bukan karena luka dalam tubuhnya masih menggerogoti. Hal ini bisa dengan mudah diatasi karena cukup waktu untuk melatih tenaga dalam. Tapi jelas sekali manusia yang biasa hidup di atas air sepanjang sisa usianya, sejak mengasingkan diri, paling menderita. Karena Dewa Maut juga tak bisa melatih ilmu racunnya yang ganas. Di mana bisa mencari ikan yang beracun kalau berada dalam gua bawah tanah?
Tiga Pengelana Gunung Semeru, yang terdiri atas tiga bersaudara Pembarep, Panengah maupun Wuragil, meskipun biasa berdiam di atas gunung, masih bisa berlatih. Bahkan dalam bulan-bulan terakhir Barisan Trisula yang menjadi andalan mengalami kemajuan yang berarti. Seperti sudah diketahui unsur Barisan Trisula adalah menyatukan pikiran dari tiga orang. Dengan selalu berada dalam tempat yang sama.
Satu-satunya yang bertahan dalam keadaan yang sama ialah Jaghana. Bukan hanya karena tubuhnya tetap gemuk, atau kepalanya tetap pelontos. Sikapnya yang rendah hati, memberikan kekuatan batin dan menular kepada rekan-rekannya. Jaghana tetap menolak memakan binatang tanah. Ia mencari akar-akar tumbuhan yang sedang tumbuh. Mempertahankan hidup seperti itu. Jaghana pula yang mulai usaha mencari makanan sendiri, ketika kiriman dari atas kadang datang kadang tidak. Jaghana membuka terowongan baru. Sering kali gagal karena kemudian tanahnya ambruk.
"Gua bawah tanah ini disebut Lawang Sewu, Pintu Seribu. Sudah direncanakan sedemikian rupa sehingga tanah yang lembek tidak dibuatkan terowongan. Sehingga kalau kita mencoba menerobos mencari jalan keluar selalu akan sia-sia. Kalau melalui jalan biasa, di depan sudah ditunggu kawanan musuh.
"Tetapi kita tak berhenti dengan berdiam diri. Inilah yang saya harus lakukan. Maafkan kebodohan ini, akan tetapi biarkanlah saya selalu mencoba."
Jaghana pula yang merawat Wilanda.
"Kakang, saya telah berkhianat pada Perguruan Awan dengan meninggalkan kebahagiaan dan ketenteraman untuk mengabdi kepada nafsu. Saya sungguh tak pantas diperhatikan dengan cara seperti ini."
"Eyang Sepuh tak pernah membedakan anggota atau bukan anggota. Perguruan Awan yang dibangun Eyang Sepuh untuk menolong sesama, karena kita semua saudara dan anggota. Dalam keadaan sakit dan terluka, Adimas telah banyak menolong orang lain. Itulah tanda bahwa keinginan Eyang Sepuh masih tersimpan dalam diri Adimas. Jangan terlalu sungkan."
Begitulah, Jaghana melatih tenaga dalam Wilanda secara perlahan. Merawatnya seperti merawat bayi yang baru lahir. Kekerasan hati dan tekad Jaghana dalam mengobati Wilanda dan Dewa Maut, membuat Pembarep tergugah hatinya. Kalau tadinya mereka berhadapan sebagai musuh, dalam nasib yang sama, nyawa dan kesehatan masing-masing menjadi urusan bersama. Silih berganti Pembarep, Jaghana, Panengah, mengobati Wilanda dan Dewa Maut berganti-ganti.
Begitulah waktu terus berjalan. Tak bisa dihitung berapa lama waktu sudah berlalu. Mereka tak pernah melihat sinar matahari dan bulan purnama. Tak tahu ada hujan atau banjir, atau musim kering yang panjang. Sampai suatu ketika, entah pagi entah malam, sesosok bayangan masuk sambil menggendong karung.
"Makan yang banyak. Di situ ada daging, ada sayur yang segar. Ada jagung, ada tembakau. Ada bacaan yang bagus."
Pembarep lebih dulu maju ke depan, memberi hormat. "Terima kasih. Akan tetapi sebelum kami bisa menerima kenikmatan ini, berilah kami kesempatan untuk mengenal Paduka yang baik hati."
"O, Pembarep," terdengar suara yang nyaring tinggi. "Aku sudah tahu cacing dalam perutmu memberontak keras sekali. Mana ada makanan seperti yang kubawa ini? Tetapi kamu masih basa-basi. Takut kuberi racun? Hehe, itu masih lebih baik. Bukankah lebih enak merasakan sesuatu yang nikmat sebelum mati, daripada tak pernah merasakan sekali juga?"
"Siapa kamu yang berani omong besar?" Dewa Maut berdiri gagah. "Ugrawe sendiri tak berani turun kemari. Menyuruh anak ingusan seperti ini."
Bayangan yang ada di depan mereka menggerakkan kepalanya. "Dewa Maut, adatmu masih seperti anak kecil saja. Pantas saja Padmamuka suka padamu. Kamu memang masih tetap kekanak-kanakan."
Disinggung mengenai hubungannya dengan Padmamuka, Dewa Maut langsung bereaksi cepat. Tubuhnya meluncur dengan kedua tangan terjulur ke depan. Gua ini terlalu sempit untuk menghindar. Tapi bayangan yang menutupi wajahnya dengan daun pisang itu tidak berkelit. Malah mengangkat kedua tangan untuk memapak, sambil meniup dengan keras. Aneh, mendadak Dewa Maut berhenti. Hidungnya kembang-kempis. Lebih aneh lagi, lalu menunduk dan menyembah.
"Tole... arwahmu datang, kangen padaku?"
Tole adalah sebutan Dewa Maut untuk Padmamuka, si cebol yang wajahnya seperti bayi. Teman berlatih seumur-umur dengan Dewa Maut, yang malah dikatakan hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan teman lagi. Tak ada yang membuktikan sendiri, akan tetapi kecurigaan semacam itu cukup beralasan, kalau mengingat dalam jarak waktu yang panjang keduanya hidup bersama di atas perahu.
"Tole apa?"
"Kamu Tole, kan?"
"Enak saja kamu ngomong. Tole-mu itu pendek, cebol, biarpun manis. Lihat, aku cukup tinggi."
"Sangat tidak mungkin kamu bukan Tole. Bau tubuhmu, bau mulutmu sama persis."
"Padmamuka itu muridku. Tahu tidak? Maka kamu harus menghaturkan sembah padaku."
Mata Dewa Maut membelalak. Rambutnya yang putih seluruhnya, beriapan, nampak menambah kesan lucu. Kocak sekali. Mulutnya melongo tak mengerti. Kalau tahu persis mengenai Padmamuka, tak menjadi masalah. Akan tetapi bau tubuh bisa sama, itu baru luar biasa. Mungkinkah gurunya? Bisa jadi. Tapi sama sekali tak masuk akal. Karena guru Padmamuka adalah dirinya sendiri. Dewa Maut-lah yang mendidik sejak ditemukan.
"Kalau kamu gurunya, siapa aku?"
"Kamu juga muridku. Masa lupa. Hayo menyembah. Kalau tidak, aku tidak akan memberimu ikan sungai."
Dewa Maut serba salah. Ia sebenarnya tokoh yang mempunyai gelar tinggi. Kedudukannya dalam dunia persilatan termasuk kelas atas. Puluhan tahun merajalela di Bengawan Solo hingga Brantas, tak ada yang mengusik. Tak ada yang berani. Gelar Dewa Maut menunjukkan bahwa ia tak pernah membiarkan lawan yang bertempur dengannya pergi dalam keadaan hidup. Adalah di luar dugaan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang menggelikan. Bahkan ketika bayangan itu mengikik geli, Dewa Maut belum sadar sepenuhnya bahwa dirinyalah yang ditertawakan.
Sebenarnya keadaan Dewa Maut sendiri sedang guncang. Kesadarannya sudah berubah banyak. Perpisahannya dengan Padmamuka sangat menghancurkan kekerasannya. Tak terlalu sulit dibayangkan. Padmamuka selalu bersamanya, lalu tiba-tiba meninggal di depan matanya. Tanpa bisa menolong. Justru karena ingin menyelamatkannya. Betapa menyesal, karena saat itu Dewa Maut sedang luka parah.
Dalam keadaan kurang seimbang kewarasannya harus terbenam di dalam gua bawah tanah selama beberapa bulan. Segala impian, gagasan, dan pikirannya selalu ke Padmamuka. Kini tak disangka tak dinyana, ada bayangan yang mengaku guru Padmamuka. Keruan saja ia jadi blingsatan. Dalam bingungnya Dewa Maut benar-benar menunduk, dan menghaturkan sembah.
"Bagus, kumaafkan segala kesalahanmu. Nah, sekarang aku tak bisa lama-lama di sini. Aku sengaja masuk kemari untuk mengirimkan makanan, dan mungkin sedikit bacaan. Sekaligus memberitahukan bahwa ada kejadian penting. Dalam satu-dua hari ini Raja Jayakatwang akan membebaskan kalian semua. Tidak menjadi penting, karena hal ini ada embel-embelnya. Ugrawe yang busuk itu akan datang kemari. Itu berarti ia tak sekadar membebaskan kalian. Pasti ada apa-apanya. Sudah itu saja. Saya mau kembali lagi." Bayangan itu berbalik.
Jaghana menghela napas. "Terima kasih, Gendhuk Tri... atas pemberian ini semua."
Bayangan itu berhenti bergerak, dan membalik. "Paman Jaghana kenal aku?"
Pembarep memandang lebih jelas. Tak salah lagi, itulah Gendhuk Tri. Jelas sekali sekarang ini. Meskipun pakaiannya awut-awutan dan rambutnya beberapa dibiarkan tergerai. "Anak yang manis, anak yang baik budi, yang bersedia memberikan nyawanya untuk memberitahukan bahaya kepada orang lain, apakah bisa dilupakan?"
Dasar Gendhuk Tri, ia bukannya senang ketika dipuji secara tulus oleh tokoh seperti Jaghana, malah berteriak, "Siapa sudi mengorbankan nyawa untuk kalian?"
Jaghana menghela napas. "Dewa Agung yang mengatur jagat seisinya memberimu anugerah hebat. Gendhuk Tri, hanya kamu dan Upasara yang bisa lolos dari Lawang Sewu. Tetapi ketika kamu lolos dulu, bukankah seluruh isi gua menutup, karena tanahnya longsor? Kini kamu bisa masuk kembali. Bukankah itu pun berarti tanah yang kamu lewati longsor dan menutup jalan keluar? Bukankah itu berarti kamu mengorbankan nyawamu sendiri untuk kami? Dewa Yang Mahaagung, begitu besar dan mulia jiwamu, Gendhuk...."
Pembarep, Panengah, dan Wuragil hampir bersamaan menghela napas kagum. Wuragil dan Panengah boleh dikatakan pernah dilecekin oleh Gendhuk Tri. Pembarep juga kena sedikit. Memang, hampir semua tokoh di dunia persilatan yang bertemu dengan Gendhuk Tri pernah dipecundangi. Sedikit-banyak mereka merasa keki. Kesal. Apalagi sikap Gendhuk Tri, anak gadis yang bau kencur ini, sleboran semacam itu. Ugal-ugalan seenaknya sendiri dalam mengolok-olok orang yang jauh lebih tua.
Akan tetapi mendengar penuturan Jaghana, semua yang mendengar sangat terharu. Tak pernah terpikirkan bahwa seorang anak kecil seperti Gendhuk Tri rela masuk ke dalam gua Lawang Sewu dengan kemungkinan tak bisa keluar lagi, hanya untuk memberitahukan kemungkinan bahaya! Pembarep menekuk lututnya, diiringi Panengah dan Wuragil. Wilanda juga menekuk lututnya memberikan hormat.
"Hei, jangan tolol. Kalian sudah tua bangka begini melakukan apa?" Gendhuk Tri membuang penutup wajahnya dengan kesal. "Kalian kira kalau menghormat seperti itu, aku mau ganti menghormat. Jangan berharap tinggi. Ayo kalian makan semua makanan itu."
"Terimalah rasa hormatku," kata Wilanda perlahan.
"Aku tak punya waktu. Aku mau pergi."
Jaghana menghela napas. "Pergi ke mana, anak manis...?"
"Siapa bilang aku anak manis. Kamu yang gundul itu juga tak akan manis biarpun seluruhnya diberi manisan." Gendhuk Tri masih saja berteriak-teriak dengan gusar.
"Marilah duduk di sini, seadanya... kita makan bersama... sambil berbicara." Pembarep mengangsurkan tangan untuk membimbing. "Adik manis..."
"Jangan panggil dengan cara itu. Aku punya nama sendiri."
"Gendhuk Tri..."
"Dari dulu aku nggak suka dipanggil itu. Hanya Kakang Upasara yang boleh memanggil itu. Kalian hanya boleh menyebut Jagattri. Dari dulu sudah kuumumkan begitu. Dasar kalian bandel semua. Pantas saja Ugrawe yang sudah rongsokan bisa menjebak kalian. Begini masih mau bilang sebagai ksatria atau pendekar. Kucing pun tak mau menyebut kalian ini ksatria, meskipun dibayar dengan daging burung perkutut."
"Jagattri... apa sebenarnya maksud Ugrawe datang kemari?"
"Apa lagi kalau bukan mau menyiksamu? Menyiksa kalian semua?"
Dewa Maut menatap Gendhuk Tri, menggelengkan kepalanya sendiri. Termenung lagi. "Kamu bukan tole-ku?"
"Tole-mu sudah berada dalam tubuhku. Kalau kamu masih mencintainya, sekarang boleh mencintaiku."
Ngawur saja omongan Gendhuk Tri. Tanpa memedulikan perasaan Dewa Maut yang memang sedang terombang-ambing. Gendhuk Tri secara sengaja mempermainkan hubungan antara Dewa Maut dan Padmamuka. Dalam banyak hal memang sangat beralasan sekali kalau Gendhuk Tri mengaku Padmamuka masuk ke dalam tubuhnya.
Secara tidak langsung memang begitulah adanya. Racun lama yang tersimpan dalam tubuh Padmamuka telah mengental semua sari patinya, dan terisap secara tak sengaja oleh Gendhuk Tri. Tidak pula berlebihan kalau dikatakan bahwa bau tubuh dan napas Gendhuk Tri terasa seperti bau Padmamuka. Dan Dewa Maut mendadak berjingkrakan gembira sekali. Menari-nari, menggerakkan kedua tangannya.
"Jagat raya, Dewa Yang Maha-Apa-Saja, ternyata kau hidupkan kembali tole-ku. Aku tak bersyukur, tak berterima kasih, karena memang itu sudah menjadi pekerjaanmu. Kalau bukan Kamu, siapa yang bisa?"
Saking gembiranya, Dewa Maut menubruk Pembarep, merangkul dan menciumi, juga Panengah dan Wuragil, serta Wilanda. Sampai giliran Jaghana, Dewa Maut berhenti.
"Kamu lain kali saja."
Pembarep menjadi sangat prihatin melihat perubahan sikap Dewa Maut.
Wilanda berdehem kecil. "Gendhuk Tri... kamu mengatakan mengenai Upasara Wulung. Apakah momonganku itu baik-baik saja?"
Wajah Gendhuk Tri berubah kusut. "Ia tetap selamat dari penyerbuan di Perguruan Awan ini?"
Dari nada suaranya, kentara sekali bahwa Wilanda sangat memperhatikan Upasara Wulung.
"Kakang Upasara mau selamat atau tidak, kenapa ditanyakan padaku? Biar saja, itu urusannya sendiri. Mau selamat atau mau sekarat, itu urusannya. Kakang Upasara itu hatinya jahat. Sangat jahat."
Wilanda tersenyum bahagia. Ini berarti Upasara dalam keadaan selamat. Lolos dari penyerbuan massal. Sesuatu yang sangat menguatirkan hatinya, karena sejak berpisah, Wilanda tak mengetahui kabar beritanya, dan tak bersama-sama dalam tahanan.
"Kakang Upasara sangat jahat. Waktu sama-sama terkubur di dalam gua, ia melarikan diri sendirian. Meninggalkan aku. Untung aku bisa keluar. Mengajak bersama menyerbu Keraton untuk membebaskan Baginda Raja dan Rama Guru. Kami lari bersama, berkelana bersama, lalu tiba-tiba saja Kakang pergi!"
"Pergi?"
"Katanya mau kawin. Jahat banget!" Gendhuk Tri menggedrukkan kakinya dengan sebal.
Dewa Maut membelalak. Teriakannya nyaring, "Tole Gendhuk Tri, siapa berani kurang ajar padamu? Aku akan menghajarnya hingga habis, akan kukuliti tubuhnya hingga tinggal tulang-tulangnya."
Gendhuk Tri ganti membelalak. "Siapa suruh kamu yang tua bangka itu menguliti? Sebelum kamu menyenggol tubuhnya, aku sudah akan menguliti bulu-bulu tubuhmu."
Memang aneh. Dalam gua bawah tanah yang tak mempunyai kemungkinan keluar, masing-masing masih ribut dengan persoalan sendiri. Dewa Maut menjadi dewa linglung dan Gendhuk Tri ternyata bukan sekadar mempermainkan, akan tetapi juga dipermainkan sendiri oleh perasaannya.
Wilanda hanya terdiam karena belum sepenuhnya sembuh. Jalan pikirannya berjalan cepat: bahwa ada suatu peristiwa yang menyebabkan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri berpisah. Kalau ditilik dari gusarnya Gendhuk Tri, ini ada hubungannya dengan soal asmara. Malah ada nada cemburu dari suaranya. Agak sulit masuk akal, akan tetapi itu bukannya tidak mungkin.
Tiga Pengelana Gunung Semeru hanya memandang semua yang terjadi dengan perhitungan sendiri. Sementara yang tetap paling tenang adalah Jaghana. Duduk bersila bagai sesosok patung Budha.
"Gendhuk Tri... lebih baik kamu sedikit bersembunyi. Ugrawe sebentar lagi akan datang kemari. Ia paling murka denganmu."
"Justru sekarang ini aku ingin menghadapi, kenapa harus sembunyi?"
"Betul, Tole, jangan sembunyi. Aku yang tua ini masih bisa membereskan siapa pun yang mengganggumu."
Pembarep maju sedikit. "Apa yang dikatakan Kangmas Jaghana ada benarnya. Ugrawe bukan hanya tinggi ilmu silatnya, akan tetapi sangat licik. Kita harus mengatur siasat. Kalau Ugrawe tidak pernah menduga Gendhuk Tri ada di sini, ia bisa tetap sembunyi. Dan, setidaknya, kita bisa melawan bersama-sama. Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri."
"Aku datang kemari dengan tekad mantap. Lebih baik aku mati daripada melihat Kakang Upasara kawin. Kenapa kalian menghalangi?
"Ugrawe, pujangga busuk, ayo masuk kemari. Ini aku sudah siap untuk mencopot telingamu yang sebelah."
Teriakan Gendhuk Tri keras sekali hingga gua menggelegar. Menggemakan suaranya dengan keras. Terdengar jawaban tertawa pendek dan dingin. Disusul dengan masuknya sinar matahari. Lubang yang ditutup batu dan senjata telah disingkirkan. Ugrawe sendiri melangkah masuk diiringi oleh Rawikara dan beberapa prajurit pilihan. Tegap dan lebar langkahnya. Berhenti pada jarak dua tombak, Ugrawe mengelus misainya.
"Pangeran Anom, itulah gadis nakal yang telah hampir membunuh Pangeran Anom."
Pandangan Rawikara bentrok dengan Gendhuk Tri. Keduanya seperti kaget. Rawikara sama sekali tak menyangka akan bertemu begitu cepat dengan Gendhuk Tri, yang telah meracuni hingga hampir mati. Gendhuk Tri mengerutkan kening tak menduga bahwa Rawikara ternyata masih segar bugar.
"Hari ini Raja Jayakatwang berkenan mengampuni kalian semua di sini, kecuali satu orang itu. Gendhuk Tri. Ia tak dapat pengampunan karena tak bersalah. Hanya masih ada urusan dengan kami berdua. Silakan keluar dari gua, dan berterimakasihlah kepada raja kita yang welas asih."
Ugrawe memberikan jalan. Rawikara juga minggir. Para prajurit yang berjaga menyingkir. Sehingga terbuka jalan yang luas, lebar. Menuju ke kebebasan. Tapi justru tak ada seorang pun yang bergerak.
"Jadi kalian menolak anugerah Raja? Bersiap-siap sajalah."
Tiga Pengelana Gunung Semeru mengambil sikap bersiap. "Kami telah bersama-sama di dalam gua, dalam gelap dan dingin. Kalau diberikan kesempatan menghirup udara bebas, biarlah semua keluar. Atau semuanya tidak keluar."
"Bagus, aku suka ketotolan semacam ini. Kalian pikir itu sikap patriot sejati. Mendasari jiwa setia kawan. Itulah ajaran terburuk dari ksatria yang tersesat. Dalam hidup ini, majulah kalau bisa maju. Jangan menunggu yang lain. Karena kalian sudah memutuskan untuk menolak perintah Raja, aku tak perlu sungkan lagi."
Ugrawe mengibaskan tangannya. Tangan kanan terangkat ke udara, tangan kiri berputar di bagian dada.
"Biarlah aku Jaghana yang menerima kehormatan pertama," Jaghana menggelinding maju. Benar-benar seperti menggelinding karena bentuk tubuhnya yang bulat. Jaghana menunjukkan sikap seorang ksatria sejati dalam tindakan. Tanpa banyak bicara ia langsung menghadang sendirian. Sebab, jika para ksatria main keroyok, mana ada keberanian untuk menatap matahari lagi?
Bahwa Ugrawe diakui sebagai jago nomor satu, Jaghana juga menyadari. Bahwa Ugrawe setingkat di atas Jaghana, bukan alasan untuk main keroyok. Soal kalah-menang atau bahkan mati-hidup adalah urusan nomor sekian. Seorang ksatria tak boleh melakukan perbuatan hina, yang lebih berat akibatnya dibandingkan suatu kekalahan dalam pertandingan.
Pembarep mengangguk hormat.
"Karena kalian juga datang bersamaan dengan sama-sama mengemban titah Raja Muda Gelang-Gelang, saya pun ingin menyambut satu per satu."
Pembarep tetap menyebut Raja Jayakatwang sebagai Raja Muda Gelang-Gelang. Seakan tidak mau mengakui kedudukannya yang paling terhormat saat ini. Itu cukup untuk membuat Rawikara menggebrak maju. Dengan posisi awal yang sama, Rawikara menggerakkan kedua tangan bersamaan. Satu tangan bergerak di tengah udara dan memukul, satu tangan di dada untuk menarik tubuh lawan.
Pembarep menerobos maju, dengan tangan kosong. Tanpa memedulikan kesiuran angin, ia menjotos ke arah dagu lawan. Pembarep memang dalam keadaan yang lapar tanding. Selama dalam penahanan, ia hanya berdiam dan berlatih saja. Belum menemui lawan untuk benar-benar mempraktekkan. Maka serangan Rawikara langsung disambut dengan gairah besar.
Ketika dua prajurit pengawal bersiaga di samping Rawikara, Panengah dan Wuragil punya alasan kuat buat bergabung. Dalam ruang yang sumpek, gerakan-gerakan pendek lebih tepat. Ini agak mengurangi kelebihan Tiga Pengelana, yang biasa bermain di udara terbuka. Apalagi ilmu silat mereka merupakan ciri khas ilmu pegunungan, yang lebih mengandalkan loncatan daripada serangan kaki. Meskipun demikian, Tiga Pengelana Gunung Semeru dengan mudah menekan Rawikara. Karena ilmu mereka bertiga merupakan gabungan yang mutlak diperlukan. Bukan sekadar tambahan tenaga seperti Rawikara dan prajuritnya.
"Tole, kita ikut main?"
"Tenang saja," jawab Gendhuk Tri tak peduli. "Aku masih ingin melihat pertempuran kampungan ini. Kalau aku turun tangan, sekali kena tanganku, mana ada yang bisa bernapas kembali?"
"Itu bagus, Tole... itu bagus... Kita tonton saja."
Meskipun diucapkan secara berkelakar, apa yang dikatakan Gendhuk Tri ada benarnya. Ugrawe, dan terutama Rawikara, sangat menyadari hal ini. Mereka akan dibuat repot menghadapi sumber racun ganas ini. Sekali saja kena cengkeram atau berhasil dilukai, tak ada lagi kesempatan untuk melawan. Dan dalam ruang yang begini pendek, hal itu sangat mungkin sekali terjadi. Apalagi Gendhuk Tri seperti tak memedulikan keselamatan dirinya.
Satu-satunya jalan ialah melukai dari jarak jauh. Tapi juga tak bisa sembarangan. Gendhuk Tri, meskipun dalam usia yang masih belasan dan nampak ingusan, adalah murid langsung Rama Guru alias Mpu Raganata. Ditambah adatnya yang liar, ia menjadi monster yang menakutkan. Jaghana masih menunggu. Ia tak membuka serangan lebih dulu. Wilanda tetap duduk dengan sinar mata menyala. Ingin terjun dan melibatkan diri, apa daya tak mempunyai kemampuan.
"Baiklah. Hari ini kalian semua dapat pengampunan. Termasuk Gendhuk Tri. Hanya saja di belakang hari, jangan salahkan saya kalau kita bertemu lagi." Ugrawe mendongak ke atas. "Hanya dalam hati masih bertanya-tanya, bagaimana Gendhuk yang pintar ini bisa masuk kemari?"
"Tolol kamu ini," teriak Gendhuk Tri.
"Tolol kamu ini," kata Dewa Maut mengulangi.
"Aku masuk kemari dengan mudah, dan bisa keluar dengan mudah, karena akulah yang membuat Lawang Sewu ini. Masakan kamu tidak tahu."
"Benar. Tole yang membuat Lawang Sewu. Aku sendiri membuatnya... eh, aku sendiri melihatnya."
"Perjalananku kemari pun serba rahasia, bagaimana mungkin diketahui orang lain?"
"Kamu lupa, Ugrawe yang bertelinga satu! Yang menyuruhku kemari adalah orang yang merindukanku. Yang menuliskan guritan katresnan, sajak cinta, itulah yang menyuruhku. Ia menulis guritan katresnan karena rindu padaku. Aku baru mau menemuinya jika ia sudah menuliskan di jidatmu itu."
Wajah Ugrawe berubah merah sepenuhnya. Tiba-tiba tubuhnya membalik, kedua tangan mendorong ke depan. Angin puyuh, panas, menyorong ke depan, menyesakkan napas. Di saat yang hampir bersamaan, dorongan dari tangan kiri berubah menjadi putaran, dan menjadi tenaga yang mengisap. Dengan menurunkan tangan kiri ke bawah, tenaga mengisap ini menjadi daya serap yang hebat. Kalau lawan memusatkan pikiran dan tenaga untuk mengadu tenaga di atas, dengan demikian bagian bawah menjadi kosong. Inilah yang termakan. Rangkaian dasar Sindhung Aliwawar ini mempunyai variasi yang banyak sekali. Dan bisa berubah dalam seketika.
Jaghana tetap mempertahankan sikap berdiri, kedua tangan terangkap seolah menyembah, di depan dada. Hanya dengan cepat badannya berputar, mengikuti tenaga dorongan dan isapan sekaligus. Gendhuk Tri tertawa mengikik, ia biarkan tubuhnya terseret maju, seolah meluncur dengan kaki lebih dulu. Kedua tangan terulur ke depan, menjambret sekenanya.
Dewa Maut juga langsung bereaksi. Ia menggempur tenaga di atas dengan cara meluncur. Melawan dorongan yang ada. Tanpa diisap pun ia akan maju ke depan. Karena ilmunya memang ilmu yang dikembangkan untuk melawan arus air sungai.
Yang terlontar ke belakang adalah Wilanda. Yang bertahan secara sia-sia. Gempuran hawa panas membuatnya susah bernapas. Dalam satu gebrakan, semua bereaksi dan pertempuran terjadi dalam ruang yang begitu sempit.
Ugrawe mengegos tak berani menyambut sambaran Gendhuk Tri. Meloncat mundur untuk menangkis serangan Dewa Maut dan sekaligus menepiskan gulungan tubuh Jaghana. Ugrawe memang tak mau berisiko sedikit pun. Ia lebih suka mengambil jalan yang menguntungkan. Menerobos ke belakang. Sambil menarik tubuh Rawikara ke arah luar gua...
BAGIAN 08 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 10 |
---|