Senopati Pamungkas Bagian 10

Cerita silat Indonesia Serial Senopati Pamungkas Buku Pertama Bagian 10 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 10

Gendhuk Tri tertawa mengikik, dan meloncat ke atas dengan cara yang sama. Begitu tubuhnya keluar dari bawah tanah, dua tombak beruntun menyambar ke arahnya. Tanpa mengalami banyak kerepotan, Gendhuk Tri menangkap dua ujung tombak yang diarahkan kepadanya dan menyentakkan keras, sekaligus membalikkan arah tombak. Terdengar dua jeritan bersamaan. Gendhuk Tri turun dan berdiri di pinggir mulut lubang ke bawah tanah.

"Ayo semua naik."

Dewa Maut yang menyusul pertama kali. Sekali genjot, tubuhnya melayang tinggi di angkasa. Rawikara meloncat menyambut tubuh Dewa Maut. Sekali ini dengan mantap Rawikara menjajal jurus Banjir Bandang Segara Asat. Putaran tangan dan tubuhnya bagai awan panas yang keras. Dewa Maut masih tertawa ketika menyambut tangan Rawikara. Hanya saja kemudian terasa guncangan dalam ulu hatinya yang menyesakkan. Lalu seperti diaduk isi perutnya. Hanya beberapa kejap, tubuhnya lalu meluncur masuk kembali ke bawah tanah.

Pada saat itu Jaghana telah mumbul ke atas, sehingga tubuh mereka bertubrukan. Jaghana membopong tubuh Dewa Maut dan tetap membawa ke atas. Jaghana sudah dua kali membawa tubuh jatuh dari atas. Dan dua-duanya membuatnya terkejut. Karena orang yang dibopong seperti tak mempunyai tenaga lagi. Bagai sebongkah daging saja. Pembarep muncul dari permukaan sambil menggendong Wilanda, disusul Panengah dan Wuragil. Yang terakhir ini kembali menjadi sasaran Rawikara yang melakukan loncatan yang sama.

"Bagus," teriak Ugrawe gembira melihat Wuragil berusaha menangkis. Lekatnya dua tangan, disusul jeritan, dan tubuh Wuragil jatuh kembali ke bawah. Pembarep yang tengah melayang, melemparkan pelan tubuh Wilanda ke Panengah, dan ia sendiri meluncur turun kembali. Begitu kakinya menotol tanah di dasar gua, langsung mumbul kembali sambil membopong Wuragil. Yang terasakan hanyalah badan yang tak bereaksi, menggigil dengan gigi gemeretuk.

Belum hilang kagetnya, Pembarep melihat bahwa Ugrawe sudah meneriakkan kalimat keras sambil terbang ke arah Jaghana. Jurus yang sama, Banjir Bandang Segara Asat yang bergemuruh. Dua telapak tangan Jaghana membuka ke depan, menyambut pukulan Ugrawe. Tenaga Jaghana adalah tenaga lembek, tapi akan menjadi kuat jika lawan berkeras. Sepersekian detik Ugrawe kaget juga, akan tetapi dengan mengempos seluruh tenaga di pusat, dorongan tangan kanan menjadi golakan dahsyat, sementara tangan kirinya mengisap luar biasa.

Jaghana membelalak, untuk pertama kalinya. Tanpa mengeluarkan jeritan, tubuhnya meluncur turun. Jatuh tak bergerak-gerak lagi. Ugrawe mengibaskan tangannya untuk mengendalikan pergolakan dalam tubuhnya. Angin panas bergolak bagai mendidih dalam tubuhnya. Dalam waktu sekejap saja, Dewa Maut, Wuragil, dan Jaghana telah dibuat tak berdaya. Betul-betul ilmu yang luar biasa.

Pembarep meletakkan bopongannya. Bersiap. Kalau biasanya memakai senjata pedang, kini menghadapi dengan tangan kosong. Gendhuk Tri baru menyadari bahwa malapetaka itu sudah datang. Terlambat menolong! Kini praktis tinggal dirinya, Pembarep, dan Panengah yang bertahan. Rawikara kembali bergulung, meloncat tinggi ke angkasa, menerjang ke arah Panengah. Gendhuk Tri tak membiarkan lawan bereaksi seenaknya, cepat meloncat tinggi ke udara, membarengi dengan gempuran. Ia ingin menjajal pukulan yang ajaib.

Rawikara tak mengira bahwa Gendhuk Tri yang akan menyongsongnya. Kalau tadinya takut kena racun, kini Gendhuk Tri menjawab dengan telapak membuka. Alias beradu tenaga dalam, bukan untuk melukai bagian kulit luar. Namun dalam detik yang bersamaan Ugrawe menolak tubuh Rawikara hingga terlempar jauh. Ia sendiri berjumpalitan di angkasa, turun kembali dengan gagah.

"Berbahaya, Pangeran, tubuhnya penuh dengan racun."

Keringat dingin mengalir dari tubuh Rawikara. Ia masih bertanya-tanya, apakah benar racun dalam tubuh si bocah kecil itu demikian ganas tak terhalangi.

Panengah juga mengeluarkan keringat. Lebih dingin. Bukan karena racun yang menakutkan. Tetapi setiap kali Rawikara atau Ugrawe menggebrak, dengan satu pukulan saja lawan langsung kehilangan segala tenaga. Bahkan untuk bergerak menghindari serangan berikutnya sudah tak mungkin. Pembarep yang lebih waspada merasakan bahwa lawan menguasai ilmu iblis yang luar biasa ganasnya.

Semuanya serba sia-sia. Setelah bertahan dalam gua bawah tanah sekian lama, setelah Gendhuk Tri menerobos masuk untuk memberitahukan bahaya, ternyata tetap terlambat. Ternyata Ugrawe tetap bisa melaksanakan niatnya. Melumpuhkan semuanya. Bagi Pembarep tidak ada pilihan lain untuk menghadapi. Ia bersiap. Berjaga agar tidak terjadi penyedotan tenaga dalam. Ini hanya bisa dilakukan jika kedua tangan tidak bentrok. Namun ini pun sangat sulit, untuk tidak disebutkan sebagai tidak mungkin.

"Adik Panengah, hati-hati."

"Siap, Kakang."

"Gendhuk Tri, hari ini tugas kita bertiga untuk memberantas segala keganasan dan kelaliman."

"Mereka tak akan berani maju."

Belum selesai kalimat Gendhuk Tri, Ugrawe menggulung tubuhnya. Berputar dengan dahsyat dan meluncur ke arah depan. Dua tangan terentang arah kiri dan kanan. Pembarep meloncat sangat tinggi, dengan kaki menendang ke arah tengkuk lawan. Panengah tak mau kalah cepat. Dengan sigap ia meloncat sambil merampas senjata para prajurit sekenanya untuk menusuk pinggang Ugrawe. Ugrawe meraup tombak yang tertuju ke arah pinggangnya, dan dengan memakai kekuatan pelanting tubuhnya melayang ke atas. Sama tinggi, dan menggempur Pembarep. Di atas angin, Pembarep menekuk tangannya. Siku kanan dan kiri menghantam ke arah dada Ugrawe. Terdengar teriakan aduh yang keras.

Bukan Ugrawe yang mengaduh, akan tetapi Pembarep yang terjengkang. Siku tangannya seperti membentur karang baja yang melentingkan tenaga panas yang menerobos masuk ke dalam saraf tangannya. Di lain pihak, Panengah pun terbetot tenaganya sehingga seperti terbanting. Baru ketika kedua kakinya menjejak dan memasang kuda-kuda lagi, ia bisa berdiri tegak.

Ugrawe meloncat maju. Kedua tangan berputar di atas kepala. Satu bergerak ke depan dengan berputar, satu lagi menarik ke belakang dengan berputar. Gendhuk Tri berteriak nyaring sambil maju bergulung. Kedua tangannya terjulur dengan jari-jari yang berkembang. Siap mencakar apa saja. Sedikit saja lawan bisa dilukai, racun dari sekujur tangannya akan merembes tak terbendung ke arah lawan. Masuk terseret darah yang mengalir.

Ugrawe tentu tak membiarkan kulit atau pakaiannya tersentuh Gendhuk Tri. Tenaga mengisap dan mendorong diubah menjadi tenaga mendorong sepenuhnya. Tubuh Gendhuk Tri yang meluncur ke arahnya ditolak dengan tenaga keras, panas, dan menyentak. Untuk sementara serangan Ugrawe ke arah Pembarep dan Panengah gagal, akan tetapi Gendhuk Tri juga tak bisa mendesak maju. Malah beberapa kali arah pukulannya melenceng karena arus tenaga panas dari Ugrawe makin menyesakkan.

Bertarung dalam penjagaan jarak, Gendhuk Tri tak bisa berbuat banyak. Malah menjadi keteter karenanya. Ugrawe mempunyai peluang untuk melancarkan serangan satu-dua ke arah Panengah. Pukulan kosong jarak jauh membuat Panengah meloncat menghindar, dan pada saat yang bersamaan Rawikara meloncat ke atas. Masuk ke dalam pertempuran.

Pembarep yang sudah terluka dalam, masih memiliki tenaga. Ia tak membiarkan adiknya begitu saja dihajar musuh. Dengan sisa tenaga yang ada, Pembarep ikut meloncat. Darah merah mengalir dari kedua tepi bibirnya. Kedua tangannya terentang. Rawikara justru dengan gagah menyambut dua pukulan sekaligus! Akibatnya berat! Pembarep langsung ambruk, muntah darah, dan pingsan seketika. Tenaga dalamnya yang sudah terluka, menganga lebih dahsyat. Panengah justru habis tenaganya karena terisap!

Rawikara berdiri dengan gagah. "Hari ini Dewa Yang Agung menakdirkan seluruh ksatria menyerahkan tenaganya secara terhormat. Bapa Guru, racun ganas macam apa yang ada di tubuh gadis ingusan ini, biar saya mencicipi."

Dengan tenaga yang bergolak dahsyat, Rawikara seolah mabuk dengan gumpalan tenaga yang mendesak-desak. Maka tak bisa menahan diri untuk tidak menyalurkan dengan gempuran.

Dikeroyok dua jago utama, guru dan murid, Gendhuk Tri terdesak dalam waktu singkat. Jelas bahwa ilmu silat Gendhuk Tri bukan tandingan Ugrawe. Belum ada takaran untuk bisa diperbandingkan. Meskipun gaya dan jurus Gendhuk Tri aneh dan tidak wajar, akan tetapi variasi demi variasi bisa dibaca oleh Ugrawe dengan tepat. Keunggulannya hanyalah karena Ugrawe tak bisa melukai secara langsung.

Gendhuk Tri berlari, jungkir balik bagai penari yang kesetanan. Selendangnya sudah sobek di beberapa ujungnya. Rambutnya terurai lepas, kedua tangan dan kaki mencakar ke sana-kemari. Dilihat selintasan justru Gendhuk Tri seperti bola mainan yang begitu lemah.

"Tak ada aturan lagi. Mengaku sebagai panglima perang terbesar, mengangkat diri sebagai pujangga pamungkas, tak tahunya hanya pengeroyok murahan. Ini baru namanya kabar yang perlu didengar oleh belalang dan angin. Guru yang nomor satu, yang lebih hebat dari sinar matahari, bersama dengan muridnya... main-main sepenuh tenaga dengan seorang anak perempuan yang bahkan belum disunat." Suara yang dikeluarkan oleh sosok tubuh yang tinggi, kurus, seperti melengkung.

"Tenang saja, Pakde. Saya bisa mengencingi mereka. Ini malah bagus," jawab Gendhuk Tri dengan suara keras.

Rawikara memutar tubuh, dengan satu jejakan tubuh langsung melayang ke angkasa. Kedua tangan berputar ke atas, tangan kiri turun di pusar. Banjir Bandang Segara Asat langsung dipakai dalam gebrakan pertama.

Tubuh yang diserang mengeluarkan teriakan keras. Sama-sama meloncat ke atas dan memapaki serangan Rawikara. Tak ada benturan tenaga yang keras. Tak ada tepukan yang mengeluarkan suara, ketika dua tangan beradu. Hanya tubuh keduanya melayang turun ke tanah. Kaki lelaki yang dipanggil Pakde itu masih bisa terangkat, menyepak Rawikara yang berusaha menangkis. Tubuhnya terpental jauh. Tubuh Pakde menyentuh tanah dan mumbul kembali ke atas. Sebelum tubuh Rawikara jatuh mengenai tanah, bisa diungkit dengan ujung kaki, Hingga membal ke atas dan disambut dengan pukulan mencengkeram ke arah pundaknya. Rawikara mengeluarkan jeritan kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tak bangun lagi.

Dalam sekejap saja, pertempuran yang benar-benar maut terjadi. Banjir Bandang Segara Asat memang jurus maut yang paling ganas. Kali ini juga terbukti. Tenaga dalam Rawikara yang sudah berlipat tetap kalah oleh Pakde, hingga akibatnya sangat fatal. Cengkeramannya tetap menghancurkan tulang pundak, yang bagi seorang jago silat merupakan segala pusat gerakan di tangan.

"Ngabehi Pandu, jadi kamu masih hidup?" Teriakan Ugrawe, membuat Pakde yang kurus tinggi itu tak bereaksi.

"Sebelum kamu bisa membunuhku, apakah aku mau mati lebih awal?"

"Pakde, jangan layani omongannya...."

"Gendhuk Tri ... aku segan mengeroyoknya. Biarlah kau beri aku kesempatan untuk menyerap kembali tenaga para ksatria yang dirampok olehnya."

Ugrawe bercekat juga. Meski tidak tahu-menahu tentang nama jurus, Ngabehi Pandu mengetahui prinsip-prinsip dasarnya. Ngabehi Pandu memang satu-satunya tokoh yang lolos dari serangan habis-habisan di Perguruan Awan. Yang menjadi guru Upasara Wulung.

"Sungguh bahagia hari ini aku bisa bertemu denganmu, Ngabehi Pandu. Tak kunyana, bahwa kini kamu bisa banyak bicara. Kiranya kamu pula yang selama ini menyaru sebagai Senamata Karmuka. Pantas kamu bisa mengelabui semuanya. Perguruan Awan ini menjadi saksi, siapa di antara kita berdua yang lebih terang dari matahari. Di jagat ini hanya ada satu matahari, tak pernah ada matahari kembar. Bersiaplah, Pandu."

Suasana sunyi.

Ugrawe berhadapan dengan Ngabehi Pandu. Sementara korban yang lain tak bisa bergerak. Gendhuk Tri juga berdiri lurus, mengatur pernapasan. Ini baru pertempuran tingkat di atas tinggi. Pertempuran yang sempurna. Gendhuk Tri berharap saat ini ada Kakang Upasara. Setidaknya akan mendengar sendiri teka-teki yang masih menghantui dirinya. Seperti diketahui, tahun yang lalu Upasara Wulung bersama dengan Ngabehi Pandu dan Wilanda datang ke Perguruan awan. Karena menurut berita di situ akan datang Tamu dari Seberang, seorang tokoh misterius yang konon membawa wangsit siapa yang bakal menjadi raja di tanah Jawa.

Mitos tentang Tamu dari Seberang memang sudah lama mengakar dalam masyarakat sejak Ken Arok naik takhta. Konon sebelum naik takhta, ada berita yang dikatakan oleh Tamu dari Seberang. Akan tetapi sekali ini adalah muslihat Ugrawe untuk menyikat semua ksatria Singasari yang dikuatirkan akan membantu Baginda Raja Sri Kertanegara. Saat itu kemudian berhasil disergap oleh Ugrawe dan pasukan dari Gelang-Gelang yang dipimpin langsung oleh Raja Muda, saat itu, Jayakatwang.

Dalam pertempuran itu terlihat munculnya Senamata Karmuka, senopati terpercaya Keraton Singasari. Hanya saja ketika Upasara kembali ke Keraton untuk mengabarkan hal ini, omongannya dibantah keras. Malah Upasara dianggap berdusta. Karena selama ini Senamata Karmuka tak pernah meninggalkan Keraton. Tak pernah menjauh dari bayangan tubuh Baginda Raja. Upasara tentu saja tidak mengerti.

Bahwa saat itu Ngabehi Pandu, yang adalah saudara kandung Senamata Karmuka, menyamar sebagai Senamata Karmuka. Sebaliknya, Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe bertempur dengan Senamata Karmuka, dan merasa bahwa ilmu andalan Senamata Karmuka yaitu dalam membidik dengan anak panah tak terlalu hebat. Sekarang baru jelas bahwa itu semua dilakukan oleh Ngabehi Pandu!

Gara-gara inilah Upasara Wulung hampir saja meninggal dunia. Karena dianggap mendustai Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari. Upasara dihukum dengan cara tubuhnya diberikan sebagai santapan harimau kesayangan Baginda Raja. Untunglah saat itu ditolong secara diam-diam oleh Mpu Raganata!

"Ngabehi, aku menghormatimu sebagai ksatria sejati. Kamulah tulang punggung Keraton Singasari yang tak banyak bicara. Sebagai sesama pendekar, aku memberi kesempatan padamu meminta sesuatu padaku, kalau kamu tak bisa melihat matahari lagi."

Congkak dan tinggi nadanya, akan tetapi di balik itu Ugrawe juga memperlihatkan bahwa ia seorang ksatria. Setidaknya masih merasa sebagai pendekar yang menepati janji.

"Hmmmmm, aku tak berani meminta apa-apa."

"Ngabehi, aku tahu tak begitu mudah mengalahkanmu. Akan tetapi kamu harus sadar bahwa yang kamu hadapi sekarang ini adalah pujangga pamungkas. Orang bijak paling akhir. Cepat atau lambat kamu pasti kalah. Maka sebelum mati, katakan apa permintaanmu. Akan kubuktikan bahwa aku bisa tetap menyandang gelar pendekar sejati seperti kamu. Apakah kamu meminta aku membebaskan Gendhuk Tri?"

"Enak saja kalau bicara. Dengar, Pendeta busuk bertelinga satu. Kalaupun aku bisa hidup dari belas kasihanmu, aku lebih suka jadi hantu penasaran seumur hidup. Tak nanti Pakde-ku yang gagah bakal mengemis sesuatu yang begitu hina. Lebih baik kamu sendiri yang berpesan. Apakah kamu ingin dikubur telanjang atau dikubur dengan tambahan satu telinga dari seekor anjing."

Ugrawe tertawa bergelak. "Di jagat ini ternyata ada lidah yang begitu tajam dan ganas, sehingga semua senjata di dunia ingin memotongnya. Ngabehi, kalau merasa tak ada permintaan, ayolah kita mulai."

"Kapan saja bisa. Tetapi kenapa kamu selalu main curang? Kenapa teman dekatmu kamu sembunyikan? Aku jadi bertanya-tanya, apakah tanpa kebusukan kamu tidak pernah merasa menjadi manusia hina?"

Ugrawe merasa dikalahkan dalam satu langkah. Pendengaran jarak jauh dan keahlian membaca dengus napas yang dimiliki Ngabehi Pandu memang luar biasa. Sedikit dengus yang berbeda pun bisa dirasakan. Selama ini memang dalam dunia persilatan lebih dikenal pamor Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu hanya dikenal di kalangan terbatas. Akan tetapi para pendekar menyadari bahwa Ngabehi Pandu sebenarnya jauh lebih tangguh. Sekarang ini baru bisa dibuktikan.

"Aha, aku memang dikenal sebagai ular busuk. Tapi dalam soal keroyokan, aku masih percaya kekuatanku sendiri. Justru tadinya kukira temanmu. Maka kubiarkan, karena aku tak gentar menghadapi keroyokan secara sembunyi-sembunyi. Sahabat licik, keluarlah."

Tangan Ugrawe menggebrak keras. Kesiuran angin panas menggetarkan dedaunan dan pepohonan yang jaraknya lima-enam tombak. Kesiuran angin itu mengenai tempat yang kosong.

Ngabehi Pandu tertawa pendek. "Bukan di situ, Ugrawe."

Kali ini Ugrawe benar-benar terkesiap. Hatinya kaget. Sangat jelas pendengarannya di tempat mana orang itu bersembunyi. Akan tetapi di luar dugaannya, bahwa ia tak ada di tempat itu. Mana mungkin pendengarannya bisa salah?

"Pakde maklum saja. Ugrawe cuma punya satu daun telinga."

Belum pernah Ugrawe dikalahkan begitu telak. Ugrawe mengernyitkan keningnya. Mendadak tubuhnya berputar dan kedua tangannya terentang lebar. Tenaga hawa panas menyambar sekitar lapangan. Dengan cara seperti ini, siapa pun yang berada di balik pepohonan bakal kena sambar tenaganya. Beberapa batang pohon malah retak. Sebagian patah cabangnya, rontok daunnya, sebagian lagi tumbang.

Tapi tetap tak ada bayangan muncul. Ugrawe lebih bercekat lagi. Jangan-jangan Ngabehi Pandu main gila. Sengaja mempermainkan karena memang tak ada orang yang bersembunyi. Lama suasana masih sepi, sampai kemudian terdengar suara yang serak dan parau, bersamaan munculnya dua bayangan berpakaian serba hitam.

"Cara menyambut tetamu yang penuh sopan santun manusia belahan timur. Kami dua manusia dari ujung barat tanah Jawa bernama Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana, khusus datang kemari untuk membalas dendam kematian saudara kami. Siapa yang merasa membunuhnya, hari ini kami akan melunaskan."

Bisa dimengerti kalau bicaranya begitu tegas dan apa adanya, karena mereka datang dari daerah masyarakat di ujung barat. Gendhuk Tri bisa mengenali dari pakaiannya, dan caranya yang mirip-mirip dengan Pu'un yang telah tewas. Agaknya mereka rekan sesama perguruan, walau mengatakan saudara karena semua dianggap bersaudara yang datang untuk menuntut balas.

"Pu'un dan Pu'un," teriak Gendhuk Tri. "Kedatangan kalian berdua sungguh tepat sekali. Dewa yang di langit memberi petunjuk. Orang yang kalian cari ada di sini. Pu'un yang kalian cari memang sudah mati dikubur hidup-hidup."

Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana menghadap ke arah Gendhuk Tri. Kedua kakinya membuka bersamaan, dengan tubuh condong ke depan. "Siapa yang melakukan itu?"

"Orangnya ada di sini. Entah dia berani mengakui atau tidak."

Ugrawe meringis. Gendhuk Tri memang merupakan lawan yang selalu bisa memojokkan. Kini ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Memang dulu Pu'un meninggal dalam penyerbuan habis-habisan di Perguruan Awan. Langsung atau tidak, dialah yang bertanggung jawab. Untuk menghadapi Ngabehi Pandu saja harus konsentrasi penuh, kini sudah muncul dua Pu'un yang mestinya ilmunya tak bisa dibilang sembarangan. Dengan satu kalimat saja, mereka berdua sudah ditarik ke dalam kelompok yang harus dihadapi!

"Yang mana?"

"Pu'un, di dunia ini ada lelaki, dan ada binatang. Kalau berani menjawab dialah lelaki, kalau tidak ia memang binatang."

"Kamu bicara tidak jelas. Katakan atau kubunuh."

Aneh adatnya, akan tetapi Pamor dan Wahana sudah langsung menubruk dengan gerakan harimau. Dua tangan terulur bersamaan, mencakar, dan tubuhnya meluncur dari enjotan kaki. Persis dua ekor harimau yang menerkam secara bersamaan. Gendhuk Tri sama sekali tak menduga bakal diserang seperti itu. Mengegos pun tak sempat. Dalam sekejap kedua tangan dan kakinya sudah terpegang oleh lawan.

"Katakan lelaki mana yang membunuh saudaraku. Kalau tidak kamu yang akan menemani saudaraku." Bukan ancaman kosong kalau dilihat gaya dan sikap hidup mereka berdua selalu langsung apa adanya.

"Kalian pikir bisa memaksa aku? Mau bunuh bunuhlah. Kalian sendiri yang membunuh saudara kalian untuk kedua kalinya!"

Pu'un Pamor bercekat. Mengawasi Gendhuk Tri dengan terheran-heran. Secara aneh terasa bahwa aliran darah Gendhuk Tri agak ganjil. Juga bau tubuhnya, mengingatkan bau tubuh mereka sendiri. Memang. Gendhuk Tri pernah kena aji sirep Pu'un sebelumnya. Juga ilmu tenaga dalam Pu'un telah tertukar dan masuk ke dalam tubuhnya.

"Jadi kamu jelmaan Pu'un Elam?"

Pu'un Wahana melepaskan secara bersamaan dengan Pu'un Pamor. Berganti dengan merangkul Gendhuk Tri sambil tertawa riang.

Gendhuk Tri berdiri tegak. Kalau tadi bisa mempermainkan Dewa Maut, sekarang dua Pu'un, dua jagoan yang datang dari jauh, juga kena kibul.

"Pu'un Elam telah memberikan jiwanya padaku. Rohnya ada dalam diriku. Untung kalian berdua cepat menyadari tidak keliru lawan. Aku sendiri akan menuntut balas atas kematian Pu'un Elam. Akan tetapi lawan itu terlalu licik. Sekarang kalian berdua datang membantuku. Ayo tunggu apa lagi?"

"Yang mana?"

"Dari wajahnya sudah ketahuan. Yang normal telinganya dua. Ini cuma satu. Aku baru bisa memotes telinganya untuk membalas dendam. Membalaskan dendam Pu'un Elam. Tapi satu telinga ditukar nyawa, belum lunas. Masih tanya mana yang telinganya cuma satu?"

Pamor dan Wahana mendongak ke atas. Kedua tangannya terangkap di dada.

"Dewa Langit, tenanglah arwah saudaraku. Kami berdua akan menyusul ke sana kalau gagal. Kalau berhasil, akan menyusulkan arwah si pembunuh, agar saudara kami Elam tenang adanya."

Selesai bicara, tanpa mengambil napas tambahan, langsung menubruk ke arah Ugrawe. Ugrawe telah bersiap. Begitu kedua tubuh menerkam ke arahnya, Ugrawe memutar tubuhnya. Dua kakinya melayang ke depan sementara tangannya menyangga tubuh. Dengan mengerahkan tenaga tendangan, terkaman harimau dihadapi. Pamor mengeluarkan erangan tinggi. Merangkul kaki yang datang. Wahana juga melakukan hal yang sama. Dalam saat yang gawat itu, Gendhuk Tri melayang dekat. Kedua kakinya menyapu tangan Ugrawe yang menjadi penyangga tubuhnya. Ugrawe tetap berusaha bertahan. Dua kaki dibetot paksa masih ditahan. Adu kekuatan masih berimbang. Satu tangan dipakai menyangga juga masih bisa. Kini satu tangan untuk memapaki tendangan Gendhuk Tri.

Gendhuk Tri tertawa mengejek. Kaki yang mau ditangkap Ugrawe ditarik ke atas, ganti kaki lain menginjak leher. Suara ejekannya seakan yakin bahwa kali ini Ugrawe akan terkecoh. Karena Gendhuk Tri mengubah gerakan yang elok dalam sekejap. Dengan dasar penari, gerakan kaki Gendhuk Tri memang hidup sekali.

Posisi Ugrawe memang serba salah. Dengan disangga satu tangan dan dua kaki dipeluk Pu'un yang nekat, kekuatannya terbatas. Tapi ia adalah jagonya jago yang menggelari dirinya dengan berbagai sebutan luar biasa. Dan ini bukan sebutan omong kosong. Ugrawe mengerahkan kekuatan lewat satu tangan yang menyangga. Seluruh tenaga dientakkan, kedua kakinya mengayunkan keras. Tubuhnya melayang secara terbalik. Dengan Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana turut melayang ke atas, karena tak mau melepaskan pegangannya. Sementara tenaga tolakan dari tangan Ugrawe mendesak Gendhuk Tri hingga terlempar. Empat tubuh melayang di angkasa. Ngabehi Pandu berdehem kecil sambil mengeluarkan teriakan pendek.

"Awas, Gendhuk." Pendek suaranya, tubuhnya melayang dan menempel rapat ke arah tubuh Ugrawe. Tangan Ngabehi Pandu menangkap Gendhuk Tri yang terlempar, akan tetapi kedua sikunya sempat menghajar Ugrawe. Telak di ulu hati. Gendhuk Tri sendiri, begitu merasa aman dalam pegangan Ngabehi Pandu, langsung mencakar wajah Ugrawe. Goresan kuku membuat tubuh Ugrawe menggigil. Begitu jatuh di tanah, Pamor dan "Wahana langsung bisa meringkusnya.

"Kalau Ugrawe tak mau melepaskan siksaan para ksatria yang dilukai, biar aku bereskan sekarang juga!" teriak Gendhuk Tri.

Ugrawe paling merasa ngeri dengan Gendhuk Tri, sumber dari segala sumber racun yang ganas dan sulit dikendalikan. Kini melihat Gendhuk Tri bersiap menerjang ia hanya pasrah menunggu nasib.

"Tunggu. Tak baik kalau menyerang lawan yang terbelenggu. Itu bukan sifat seorang ksatria." Ngabehi Pandu menggerakkan tangannya. "Kalau ingin menyelesaikan pertempuran, biarlah aku yang akan menghadapi sendirian."

Ugrawe sendiri merasa kagok. Karena di dunia ini ternyata masih ada seorang yang bersikap ksatria. Tetap ksatria walau dicurangi. Dari balik gerombolan pohon, terdengar helaan napas panjang. Dua bayangan masuk ke dalam lapangan. Satu orang bisa segera dikenali sebagai Kiai Sangga Langit yang perkasa. Satu orang lagi tak bisa diduga siapa. Karena gerak-geriknya masih asing. Hanya kalau dilihat dari segi pakaian yang dikenakan, tak berbeda dari Kiai Sangga Langit. Malah lebih lengkap dengan pakaian panglima perang. Kiai Sangga Langit mengeluarkan kalimat pendek. Ngabehi Pandu berbalik, memberi hormat kepada Kiai Sangga Langit, dan di luar dugaan bisa menjawab apa yang dikatakan Kiai Sangga Langit.

"Ini bukan ksatria atau tidak ksatria. Terima kasih untuk sebutan orang gagah. Saya tak berhak gelar terhormat dari keraton kalian."

"Sungguh berbudi. Bahkan bisa berbicara dalam bahasa kami."

"Dengan banyak salah, karena selama ini saya hanya mempelajari dari buku. Perkenalkan, saya Ngabehi Pandu."

"Nama besar itu sudah lama kami dengar. Saya Bok Mo Jin atau Sangga Langit, dan ini saudaraku, Panglima Sih Pi yang bergelar Naga Wolak-Walik."

Naga Wolak-Walik membungkukkan tubuh sambil merangkapkan kedua tangannya. Ngabehi Pandu balas menghormat dengan jempolnya, dan badan ditekuk. Naga Wolak-Walik adalah gelar yang luar biasa di negeri Cina. Di mana seorang pendekar biasanya mempunyai gelar tertentu yang menggambarkan kelebihannya. Dengan sebutan Naga Wolak-Walik bisa diartikan naga yang mempunyai dua kepala. Di ekornya pun ada kepalanya. Untuk menggambarkan betapa dahsyatnya. Satu kepala saja sudah dahsyat, apalagi kembar dan bolak-balik. Apalagi diperkenalkan sebagai panglima perang.

"Saya merasa dapat kehormatan besar dengan keterusterangan Naga Wolak-Walik. Akan tetapi kenapa Kiai Sangga Langit menyembunyikan kemampuan untuk bisa memahami bahasa kami? Apakah bahasa kami sedemikian rendahnya sehingga tak berhak untuk dibicarakan?"

Kiai Sangga Langit menarik keningnya. Berkerut. Alisnya yang tebal seakan bersatu. "Sebagai seorang imam agung yang banyak mempelajari buku dan berpengetahuan luas, sangat muskil sekali tak bisa mempelajari. Kenapa Kiai harus selalu berlindung di balik Nyai Demang?"

Kiai Sangga Langit tertawa lebar. "Sungguh cerdik sekali," suaranya menurun, lalu berganti dengan bahasa yang dimengerti seisi lapangan, kecuali Naga Wolak-Walik.

"Sekali bertemu, Ngabehi Pandu bisa menelanjangiku. Sungguh di tanah Jawa ini begitu banyak orang cerdik pandai. Maka Kaisar Mulia yang menguasai atap dunia di daratan Cina sulit sekali mengalahkan. Benar-benar luar biasa. Aku hargai kejujuran dan keterusterangan Ngabehi Pandu. Di negeri kami, kamu pantas mendapat sebutan orang gagah."

"Terima kasih atas gelar kehormatan ini. Kini para pemuka sudah muncul di Perguruan Awan. Entah apa pula maunya. Kalau memang ada yang bisa saya lakukan, akan saya lakukan."

Di balik kata-kata Ngabehi Pandu tersirat suatu tantangan besar. Kiai Sangga Langit berdecak kagum. Kini boleh dikata semua kartu telah dibuka. Semua batu telah disingkirkan, hingga udangnya kelihatan. Apa yang dikatakan Ngabehi Pandu merupakan tantangan terbuka: Kalau memang masih ada urusan, itu bisa diselesaikan. Dan Ngabehi Pandu siap untuk menghadapinya! Itu bisa berarti perang tanding. Kiai Sangga Langit mendongak ke arah langit.

"Aku selalu merasa diriku seorang ksatria, seorang pendekar yang berkelana ke ujung penjuru dunia untuk mengetahui luasnya langit. Puncak-puncak gunung dingin, padang kembara yang panas, telah aku jalani. Kini, di tanah yang subur aku menemukan sarang ilmu silat yang sesungguhnya. Sehingga ketika semua rombongan datang dan dihina rajamu, aku masih bertahan di sini. Tetapi aku tetap seorang imam negara. Aku diperintah oleh kaisar kami yang menguasai jagat. Hari ini aku menjadi prajurit yang menjalankan tugas untuk membalas dendam kepada raja yang telah menghina kaisar kami. Naga Wolak-Walik dan rombongannya sudah tiba untuk membalaskan penghinaan ini."

"Sudah sepantasnya saya mewakili untuk menyambutnya. Sebab yang meremehkan kaisar kamu adalah raja saya. Kita harus berbahagia, karena kita masing-masing masih mempunyai sesuatu yang harus dipertahankan, yaitu kehormatan. Kiai Sangga Langit, saya telah siap."

Ngabehi Pandu menggeser kakinya. Memilih tempat agak di tengah. Ke tempat yang lebih lapang. Berdiri dengan gagah. Kiai Sangga Langit meloncat pendek, mengambil kuda-kuda. Naga Wolak-Walik bersiap.

"Karena ini pertempuran antara utusan kaisar dan prajurit raja, saya tak bisa berdiam diri," kata Naga Wolak-Walik. "Kalian yang ada di sini, bersiaplah."

Ngabehi Pandu menerjemahkan kalimat Naga Wolak-Walik.

Gendhuk Tri meringis. "Kaisar-kaisar macam apa yang kalian sebut itu aku tak tahu. Tetapi kalau kalian berdua mau sesumbar, boleh menjajal dulu kami. Pamor, Wahana, ayo, ini ada tugas menarik."

Sementara semua bersiaga, Ugrawe berusaha mengumpulkan tenaga dalam untuk menghentikan menjalarnya racun di wajahnya. Dirasakan bahwa pelan-pelan bagian dari wajahnya yang kena cakar Gendhuk Tri mulai membeku. Mulai kehilangan rasa. Tapi ada yang lebih bercekat dalam hatinya. Belum ada setahun yang lalu, ia datang ke Perguruan Awan ini untuk membasmi semua ksatria. Tidak tahunya justru sekarang barisan kaisar Mongol datang untuk melakukan hal yang sama. Kalau panglima perangnya sudah turun ke daratan, bisa dipastikan bahwa sekitar tempat ini telah dikepung rapat.

Betul-betul pahit. Sejarah berulang, dengan dirinya kini menjadi korban. Perguruan Awan bakal menjadi saksi kembali. Pertumpahan darah yang tak ada habisnya. Pertumpahan darah dan pembasmian yang habis-habisan. Kekuatiran Ugrawe memang menurut perhitungan. Karena sayup-sayup terdengar suara ringkikan kuda dan pasukan yang bergerak. Tak bisa tidak inilah prajurit pilihan yang datang dari Mongolia dan daratan Cina yang dibawa Naga Wolak-Walik. Melihat kemungkinan buruk, Ugrawe mulai menggeser tubuhnya. Surut ke belakang, dan berusaha perlahan menghilang. Karena kedatangan pasukan Tartar ini akan menyulitkan kedudukannya.

Kiai Sangga Langit meloncat maju dengan kedua tangan kukuh siap merangkul dan meremukkan punggung Ngabehi Pandu. Gaya serangan gulat Mongol yang paling diandalkan. Dalam satu loncatan, Sangga Langit telah menutup semua ruang gerak menghindar. Memang hebat. Dua kemungkinan yang bisa diambil oleh Ngabehi Pandu. Satu, meloncat ke belakang. Kedua, menghindar dengan meloncat ke atas. Kalau yang pertama dilakukan ia sudah kalah satu tindak dan tercecer. Kalau meloncat akibatnya bisa fatal. Sangga Langit siap untuk meraup kaki atau tubuh dan menekuk bagai melipat kain.

Ngabehi Pandu bukan tokoh sembarangan. Ia justru memasang kuda-kuda. Dua tangan bergerak sekaligus memapak. Bukan memapaki jotosan, akan tetapi menekuk siku. Secara berturut-turut menyodok dada, perut, lambung, dada, ulu hati. Lima gerakan secara berurutan dengan kedua tangan. Sangga Langit menangkis kelimanya. Benturan tenaga tak terhindarkan. Duk-duk-duk-plak-plak, sementara kedua kaki masing-masing juga saling menyepak, menendang, dan menangkis. Berkutat dalam jarak pendek, keduanya tak bisa melemparkan jurus-jurus maut. Tapi benturan dan empasan tenaga dalam cukup menyita dan menguras. Satu hal yang bisa dilihat adalah kenyataan bahwa Sangga Langit sampai sekian jurus belum juga merangkul lawan untuk dilibas habis. Sementara Ngabehi Pandu juga tak bisa meloloskan pukulan dengan mulus. Selalu bisa ditangkis.

Naga Wolak-Walik yang dikeroyok oleh Pu'un Wahana dan Pu'un Pamor melayani dengan tenang. Bahkan seperti setengah mengambil hati. Hanya yang membuatnya bercekat ialah serbuan mendadak dari Gendhuk Tri. Sebagai panglima perang yang berpengalaman luas, Naga Wolak-Walik merasa jeri dengan bau tubuh yang keluar dari badan Gendhuk Tri. Penciuman Naga Wolak-Walik menjadi risi karena mengendus sesuatu yang sangat berat.

Sewaktu pertempuran makin meningkat, suara rombongan mendekat makin jelas. Yang tak diduga oleh Ugrawe, justru rombongan ini adalah rombongan dari Keraton. Secara resmi dipimpin oleh Sagara Winotan dan Jangkung Angilo. Dua pejabat tinggi Keraton yang membawa pengawalan lengkap. Lebih dahsyat lagi dalam rombongan ini juga dikibarkan umbul-umbul, atau bendera Keraton. Ini berarti kedua menteri ini merupakan utusan resmi Raja Jayakatwang.

Jangkung Angilo, yang memang bertubuh jangkung itu, meloncat tinggi dari kudanya. Melihat sekeliling. Sebagian besar tergeletak tak berdaya, sebagian justru sedang bertempur. Melihat bahwa salah seorang korban adalah Rawikara, Jangkung Angilo segera menyiapkan pasukannya.

"Orang asing, kalau kalian datang sekadar mengumbar nafsu besar, hari ini kami akan menutup mulutmu."

Naga Wolak-Walik meloncat tinggi ke angkasa dengan gagah. Melepaskan kerubutan. Sangga Langit berusaha berkelit menghindar dari sergapan Ngabehi Pandu, akan tetapi setiap kali kena libatan.

"Para menteri yang terhormat, kami terpaksa membereskan manusia-manusia pengacau," teriak Sangga Langit.

"Raja Jayakatwang telah memberikan pengampunan. Kalau Kiai Sangga Langit mematuhi perintah Raja, harap minggir! Bagi kami persoalannya jelas. Siapa yang membantah adalah musuh yang harus dimusnahkan."

Naga Wolak-Walik, sebaliknya malah meloncat maju. Empat lapis prajurit yang berdiri di depan Jangkung Angilo dilewati dengan enteng. Sebagai panglima perang, ia bisa menghadapi barisan prajurit dengan tenang karena tahu cara-caranya. Naga Wolak-Walik hafal bagaimana mengatasi kerumunan atau barisan prajurit. Jangkung Angilo tak menduga bakal diserbu secara mendadak. Segera mencabut kerisnya. Tanpa berkelit, Naga Wolak-Walik maju merampas. Pergelangan tangan Jangkung Angilo langsung kena tekuk, tubuhnya bisa tertarik maju. Masuk ke dalam dekapan Naga Wolak-Walik yang dengan cepat membanting ke tanah. Naga Wolak-Walik sendiri kemudian melesat lagi dan menyerbu ke arah Sagara Winotan.

Sagara Winotan menyambar dua tombak sekaligus dan memapaki. Dua tusukan ke arah lambung. Terdengar bunyi "trang" yang keras. Ternyata Naga Wolak-Walik mengenakan pakaian lapis yang mampu menahan tusukan benda tajam. Dua tangannya keras mencengkeram ke arah tenggorokan lawan. Tapi Sagara Winotan bukan sembarang menteri. Melihat tusukan andalannya seperti menyentuh benda keras, kedua tangan siap menangkis serangan ke arah tenggorokan. Dua tangan membuka kuat, sekaligus tubuhnya melayang ke atas.

Naga Wolak-Walik seperti menangkap angin. Akan tetapi mungkin benar juga gelarnya naga berkepala dua, bisa melihat dari bagian belakang. Naga Wolak-Walik juga segera memutar dan tubuhnya melayang di angkasa. Melewati barisan prajurit. Lagi-lagi siap untuk merangkul. Ilmu andalan Sagara Winotan bukanlah ilmu bertempur di udara. Justru julukan Sagara yang berarti laut, lebih mengandalkan pertempuran di bawah. Karena kekuatannya terletak pada gerakan kaki, yang bisa berputar bagai gelombang. Padahal justru sekarang ini terjadi duel di udara!

Sagara Winotan kena dirangkul, dan tubuhnya dibawa amblas ke bawah. Saat itu tak ada prajurit yang bisa melakukan gerak menolong karena tak tahu mana kawan mana lawan. Bahkan sebagian besar seperti terpesona. Akan tetapi di saat yang begitu kritis, mendadak sebilah keris meluncur deras dari bawah. Seperti membelah dua tubuh yang lengket.

Perhitungan pelempar keris cukup luar biasa. Dari desis keris terasakan hawa dingin yang menandai bukan keris sembarangan. Dari arah bidikan sangat jelas sekali bahwa pembidiknya adalah seorang yang lihai dan pintar. Karena bidikan itu tak bisa diterima dengan pakaian lapis anti senjata yang melindungi. Karena sasarannya bukan dipaser dari depan, melainkan dari bawah.

Tak ada jalan bagi Naga Wolak-Walik selain melepaskan rangkulannya. Daripada dimakan keris. Dengan sendirinya Sagara Winotan lepas dari cengkeraman juga. Keris yang meluncur ke atas tiba-tiba membelok, dan meluncur turun. Bersamaan suatu bayangan meloncat untuk menangkap kembali.

"Kakang Upasara..." Teriakan Gendhuk Tri yang nyaring dan tinggi sekali.

Bayangan yang menahan keris tadi memang Upasara Wulung. Yang berdiri di tanah dengan gagah. Dadanya terbuka. Hanya mengenakan kain di bawah, tak ubahnya seperti prajurit yang lain.

"Kakang jadi kawin atau tidak?"

Itulah Gendhuk Tri! Dalam suasana yang begitu gawat, yang dipersoalkan pertama kali adalah soal apakah Upasara Wulung jadi kawin atau tidak. Bukan soal keselamatan orang lain, termasuk Sagara Winotan atau Jangkung Angilo. Bukan soal Keraton, dan kenapa Upasara ikut dalam barisan Keraton.

"Tentu saja belum. Masakan ada pengantin baru keluyuran. Kemarilah, Gendhuk...."

Gendhuk Tri tertawa ngikik sambil meloncat maju, bagai terbang. Selendangnya berkembang. Dan hinggap di sisi Upasara sambil memegangi tangan dengan manja. "Saya kira Kakang sudah kawin dengan anak Pak Toikromo itu."

"Tidak. Sebelum kawin kan harus bekerja dulu."

"Ya, tapi kenapa pilih jadi prajurit Jayakatwang? Kan dulu kita berada dalam kelompok Baginda Raja Kertanegara."

Nyeplos seenak isi hatinya sendiri. Bagi yang mendengar bisa tersinggung. Masakan begitu enak bicara sembarangan tentang Jayakatwang, padahal menyebut Toikromo saja pakai Pak? Tapi mana Gendhuk Tri peduli soal itu?

"Nanti akan aku ceritakan. Sekarang ini, masih ada soal lain. Gendhuk Tri, adik kecil, kamu tambah ayu...."

"Ya, tapi aku bukan anak kecil lagi."

"Ya, kamu tambah gede."

"Kakang, Ngabehi Pandu juga ada di sini. Itu... lagi bermain-main dengan Sangga Langit yang jelek."

Wajah Upasara berubah. Rona merah, riang, mewarnai. Bisa dibayangkan, bahwa selama dua puluh tahun Upasara diasuh secara telaten oleh Ngabehi Pandu. Dan dalam suatu pertempuran mereka tercerai tanpa tahu mati-hidupnya. Maka kini Upasara langsung menunduk dan menyembah. Lalu berdiri kembali dengan gagah.

Naga Wolak-Walik sejak tadi berdiri kukuh memperhatikan. Kini ia berada dalam kepungan yang siaga. Satu komando dari Sagara Winotan atau Jangkung Angilo, maka para prajurit akan menjadi barisan penyerang yang ganas.

"Terima kasih, anak muda," kata Sagara Winotan perlahan. "Pertolongan-mu sangat berarti sekali. Telah menyelamatkan jiwaku."

"Kebetulan hamba berada di dekat Paduka Menteri." Upasara menghormat perlahan.

"Siapa namamu, dan apa maumu datang-datang langsung menyerang?"

Ditanya begitu Naga Wolak-Walik hanya celingukan saja. Berteriak dalam bahasa yang tak dimengerti.

"Saya datang...," teriak Kiai Sangga Langit mumbul ke atas, bersamaan dengan tubuh Ngabehi Pandu. Begitu sampai jarak dekat dengan Sagara Winotan, Kiai Sangga Langit segera membungkuk.

"Maaf kalau kami mengganggu perjalanan pejabat tinggi Keraton sebagai utusan resmi Baginda Raja. Kami tak bermaksud menghalangi perjalanan pejabat resmi."

"Bahasamu fasih sekali, Kiai. Saya hanya mengemban tugas Baginda Raja untuk menyebarkan perdamaian. Tak ada gunanya pertumpahan darah."

"Maafkan saya. Juga teman saya yang menyusul saya kemari untuk kembali ke negeri asal."

Sagara Winotan menghela napas. "Atas perkenan dan kemurahan Baginda Raja, silakan mundur."

Kiai Sangga Langit membungkuk hormat. Lalu memandang ke arah Upasara. "Anak muda, sejak pertemuan terakhir ilmumu maju pesat. Terimalah hormatku." Lalu balik ke arah Ngabehi Pandu. "Orang gagah nomor satu, sayang kita tak bisa melanjutkan permainan anak-anak ini. Di lain waktu, kita pasti bertemu lagi."

Ngabehi Pandu berdiri teguh. Tak menjawab tak bereaksi. Hanya wajahnya sedikit berubah ketika Gendhuk Tri menyeret Upasara Wulung datang mendekat ke arahnya.

"Sujud dan hormat saya...."

"Sejak kapan kamu menjadi prajurit pemberontak?"

"Sejak membaca tembang di dinding benteng Keraton."

Ngabehi Pandu maju, mengusap rambut Upasara Wulung. Dalam percakapan pendek itu, terbukalah semuanya. Bahwa sebenarnya Ngabehi Pandu-lah yang mencoretkan tulisan di dinding benteng Keraton. Pantas bisa leluasa masuk ke dalam benteng Keraton, dan menulis terbalik. Kalau bukan tokoh yang ilmunya tinggi dan tahu seluk-beluk Keraton, memang tak mungkin.

Ngabehi Pandu, biar bagaimanapun, adalah orang Keraton Singasari. Baginya kebesaran Singasari dengan Baginda Raja Sri Kertanegara adalah satu-satunya. Maka ia cukup berang melihat Upasara Wulung bergabung dengan dan sebagai prajurit Gelang-Gelang yang kini menduduki Keraton. Akan tetapi jawaban Upasara melegakan Ngabehi Pandu, karena ternyata Upasara menyadari hal ini.

Dalam satu-dua patah kata, keduanya sudah mengerti posisi masing-masing. Meskipun dalam sikap jelas berbeda. Ngabehi Pandu sama sekali tak memandang sebelah mata kepada utusan resmi Raja Jayakatwang. Ia tak menunduk, tak memberi hormat, tak menyapa. Selesai mengusap rambut Upasara Wulung, langsung berlalu begitu saja. Kalau tadi membela mati-hidup soal Keraton dalam menghadapi orang luar, kini masalah ke dalam jadi berbeda sekali.

Sagara Winotan tak terlalu memedulikan. Ia memerintahkan agar diberikan prioritas pengobatan bagi Rawikara dan Jangkung Angilo, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan. Tiga Pengelana Gunung Semeru, Dewa Maut, Wilanda juga mendapat perawatan. Akan tetapi, kondisi Wilanda dan Dewa Maut sangat payah sekali.

Sore hari rombongan berangkat lagi. Gendhuk Tri tak pernah lepas dari lengketnya bergayut di tubuh Upasara Wulung.

"Bagaimana Kakang bisa urung kawin?"

"Ya, itu memang seharusnya begitu."

"Kakang menyukai anak Pak Toikromo?"

"Entahlah. Aku sendiri tak terlalu memedulikan."

"Kenapa dulu Kakang lari meninggalkanku?"

"Aku hormat kepada orang lugu yang baik, yang pernah menyelamatkan diriku. Pak Toikromo begitu ingin bermenantukan aku. Aku sendiri tak mempunyai sanak keluarga, jauh atau dekat. Tawaran itu tak bisa kutolak. Daripada terus mengembara tak tentu, hanya akan menyengsarakanmu. Tetapi ketika ke rumah Pak Toikromo, terjadi perubahan besar. Aku ditemui Raden Sanggrama Wijaya. Salah seorang kerabat utama Keraton Singasari, yang akan melarikan diri ke tanah Madura. Aku diminta ikut menemui Adipati Wiraraja. Maka kami pun berangkat cepat-cepat."

"Siapa Raden Sanggrama Wijaya?"

"Dulu juga pernah masuk latihan di Ksatria Pingitan. Nama kebesaran beliau adalah Naraya Sanggrama Wijaya. Ketika Ksatria Pingitan dibubarkan, Raden Wijaya kembali menjadi putra bangsawan. Sedang aku kembali menjadi anak asuh Ngabehi Pandu."

"Urusan apa ke tanah Madura?"

Upasara mendongak mengawasi langit.

"Kakang tak mau cerita padaku?"

"Ini persoalan yang rumit dan aneh. Adipati Wiraraja menyarankan kita semua mengakui kebesaran Raja Jayakatwang. Dengan demikian penyerbuan, pemburuan pengikut Baginda Raja Kertanegara tak akan dilanjutkan lagi. Pertumpahan darah bisa dihindarkan. Kalau Raden Wijaya mau mengakui kebesaran Raja Jayakatwang, ia akan menjadi simbol penyerahan kita semua. Sebab Raden Wijaya-lah yang masih dekat hubungannya dengan Baginda Kertanegara. Yang paling dekat. Untuk menghindarkan pertumpahan darah, untuk mengurangi korban, dan demi masyarakat semua, persyaratan itu diterima. Hari ini, utusan Raja Jayakatwang akan menjemput Raden Wijaya sebagai penunjuk jalan."

"Kakang, aku tak mau tahu urusan negara. Keraton mana, rajanya siapa, apa peduliku? Jangan gusar dulu, Kakang. Bagiku Baginda Kertanegara memang hebat, tetapi kalau ia benar-benar hebat, bukankah tak akan ada pemberontakan? Bukankah tak akan begini jadinya? Semua ini omong kosong belaka. Yang namanya pembesar, yang namanya pendekar, yang katanya membela Keraton, yang mendapatkan pangkat dan kehormatan, juga bertindak semaunya. Aku cukup kenyang dengan itu. Tak ada yang benar!"

"Rama Guru juga tidak benar?"

"Ya," teriak Gendhuk Tri mengejutkan. "Aku mau mengabdi ke Keraton dengan baik. Sebagaimana seorang anak desa yang dipanggil. Siapa sangka aku malah diculik, diajari ilmu silat, dan dibiarkan terombang-ambing seperti sekarang ini? Kini seluruh tubuhku penuh dengan racun. Tak ada yang mau mendekati. Semuanya ngeri dan tak mau kusentuh. Bukankah aku akan lebih bahagia kalau tetap tinggal di Keraton? Menjadi selir kesekian ratus Baginda Raja, dan tak tahu-menahu balas dendam semacam ini?"

"Pun, seandainya Keraton diratakan Raja Jayakatwang?"

"Pun andai lebih dari itu. Kakang pikir mereka akan membunuhku? Menyiksaku? Paling akan menjadikan aku selir. Aku tak punya urusan balas dendam."

"Gendhuk, adik kecil... kalau semua hanya mengurusi dirinya sendiri, apa jadinya kita ini? Kalau Baginda Raja Kertanegara hanya mengurusi dirinya sendiri, beliau tak akan mengirim utusan ke luar. Tak akan menggeser para pimpinan yang dianggap merintangi. Tak akan mencapai kebesaran sebagai manusia."

"Tapi kan juga tak akan tumpah darah seperti ini. Kakang, seorang raja bisa mati sekali setelah hidup bersenang-senang lama sekali. Tetapi yang seperti aku ini, seperti Pak Toikromo itu, berkali-kali sengsara sampai ke anak-cucu tanpa mengerti."

Upasara memandang lekat Gendhuk Tri. Seakan tak percaya bahwa kalimat itu bisa diucapkan seorang anak kecil. Sebagai murid langsung Mpu Raganata, memang tak mungkin Gendhuk Tri mendengar banyak hal.

"Masih selalu lebih baik berbuat sesuatu untuk tanah air daripada tidak berbuat sama sekali. Aku dibesarkan dalam tradisi ini. Dan begitulah yang terbawa sampai sekarang."

"Untuk apa, Kakang?"

"Untuk kesempurnaan pengabdian pada Raja, pada Keraton, pada Dewa yang menciptakan kita semua. Inilah arti hidup."

"Kakang kira semua orang seperti Kakang? Lihatlah sekitar Kakang. Aku mendengar nama besar Eyang Sepuh dari Perguruan Awan yang dahsyat. Semua tokoh silat memujinya. Tetapi kenapa dalam soal begini besar, begini menentukan soal runtuh dan jayanya Keraton, beliau tetap tak muncul? Tokoh macam apa pula itu?"

Upasara terdiam. Menghela napas. "Kita tak berhak menilai dengan cara kurang ajar seperti itu. Eyang Sepuh adalah tokoh luhur yang dihormati semua orang."

"Ah. Itu sudah kuno. Buktinya tidak ada. Kalau Kakang tetap mau membela dia, terserah. Tetapi aku tidak. Aku, Gendhuk Tri ini, lebih hebat dari Eyang Sepuh. Aku melawan Ugrawe yang jahat. Nah, mana lebih hebat?"

Tuduhan dan pernyataan Gendhuk Tri, kalau dirasakan ada benarnya. Tetapi juga terasa sangat kasar sekali. Hanya bagi Gendhuk Tri, omongan seperti ini tak menjadi beban. Latar belakang dan kekecewaannya begitu besar. Terpisahkan dari Jagaddhita, seluruh tubuhnya terkena racun yang menyebabkan disingkiri semua orang, satu-satunya yang bisa dekat dengannya hanya Upasara Wulung—itu pun memperhatikan kepentingan yang lain.

Hari kedua perjalanan mereka sampai di Jung Biru. Suatu daerah di sisi timur Perguruan Awan. Gendhuk Tri sebenarnya kesal dengan upacara tetamuan yang baginya penuh basa-basi membosankan. Akan tetapi karena Upasara Wulung ada di sana, malah agak berperanan, maka ia pun mencoba mengikutinya. Hanya saja ketika pandangannya menyapu keliling, sinar matanya bentrok dengan pandangan seorang gadis yang sangat ayu sekali. Gadis itu sedang mencuri pandang ke arah Upasara.

Bagi Gendhuk Tri, sepasang sorot mata ayu gadis yang berpakaian kebesaran itu jauh lebih menarik perhatian daripada omongan basa-basi yang terlalu banyak bunga kata dan tangan menyembah. Hanya saja, untuk sementara Gendhuk Tri tak bisa berkutik. Ia berada di dalam ruang pertemuan, yang begitu banyak orang tak bergerak. Semua pusat perhatian tertuju kepada tiga orang yang duduk di kursi utama. Naraya Sanggrama Wijaya, yang elok rupawan dengan rambut panjang melengkung berombak. Pandangan matanya tajam, akan tetapi nampak lembut sekaligus. Dadanya bidang, terbuka, memperlihatkan kulit yang sangat halus.

Di depannya berdiri Sagara Winotan serta Jangkung Angilo. Suara Sagara Winotan terdengar keras dan lantang, ketika memegang bendera yang dibawa dari Keraton Daha. Semua hadirin duduk di lantai dan melakukan sembah.

"Atas nama Baginda Raja Jayakatwang, atas kemurahan hati Raja di Keraton Daha, Naraya Sanggrama Wijaya diterima pasuwitannya. Diterima pengabdiannya. Dan diampuni segala kesalahan, ada ataupun tidak. Dasar pertimbangan Baginda Raja adalah untuk memberi ampunan kepada mereka yang bisa berbakti kepada Keraton. Naraya Sanggrama Wijaya diterima, karena masih mempunyai darah murni Keraton Singasari yang benar. Sanggrama Wijaya diterima karena keturunan langsung Dyah Lembu Tal, dan adalah cucu Narasingamurti. Semoga pengampunan ini diterima...."

Seluruh isi ruangan melakukan sembah.

"Anugerah kedua, Nayara Sanggrama Wijaya dikabulkan permintaannya untuk membuka hutan Tarik, sebagai tempat perburuan Baginda Raja Jayakatwang. Sebagai tanda kesetiaan, tanah Tarik hanya diizinkan untuk daerah perburuan, jika Baginda Raja Jayakatwang sewaktu-waktu ingin pesiar. Untuk itu semua, pengawasan hutan Tarik diserahkan kepada Sagara Winotan, yang berhak menentukan penggunaannya atas nama Baginda Raja Jayakatwang. Mengenai tenaga untuk membuka, Adipati Aria Wiraraja dari tanah Madura akan membantu. Demikian sabda Baginda Raja...."

"Sembah nuwun..." seru sekalian punggawa sebagai ucapan terima kasih.

Gendhuk Tri makin tak tahan saja. Perlahan ia mulai meninggalkan ruang pertemuan ketika acara jamuan makan. Langsung ke bagian di mana barisan putri-putri berkumpul. Namun ia dihalangi oleh tiga prajurit yang menjaga.

"Sekali kucakar kamu bakal mampus tujuh turunan," kata Gendhuk Tri. "Kenapa kamu menghalangi aku?"

"Kami semua ditugaskan menjaga putri kedaton."

Gendhuk Tri menarik suara di hidung. Putri kedaton adalah sebutan bunga Keraton. Dan ini artinya putri seorang raja. Kalau begitu yang melirik Upasara Wulung ini pasti putri-putri Raja. Gendhuk Tri jadi sadar. Dulu di Keraton Singasari, ia rasanya bahkan pernah menjadi pelayan keempat putri itu. Tak pelak lagi, mereka berempat adalah putri Baginda Raja Sri Kertanegara.

"O, jadi mereka ini Tribhuana, Mahadewi, Jayendradewi, serta Gayatri?"

"Maaf, kami tak biasa mendengar sebutan lancang seperti itu."

Gendhuk Tri justru senyum meledek.

Sebelum prajurit mengambil tindakan, Gayatri yang paling ayu dan sayu pandangannya datang mendekat. "Adik manis, silakan... kamu mau bertemu siapa?" Suaranya lembut, mendayu, penuh keakraban.

"Aha, jadi kamu yang bernama Gayatri atau dikenal sebagai Dewi Rajapatni, putri kesayangan Baginda Raja Sri Kertanegara?"

Wajah Gayatri berubah sepersekian kejap, menjadi sangat sedih. Helaan napasnya pun membuat Gendhuk Tri harus memuji bahwa Gayatri merupakan jelmaan yang sempurna dari seorang wanita. "Soal Ramanda, tidak usah kita bicarakan. Adik manis, mari kita makan bersama-sama, di bagian belakang."

Gendhuk Tri menggeleng. Walau sikap mencibirnya berkurang. "Aku cuma mau tahu kenapa kau melirik Kakang Upasara."

"O, jadi dia yang bernama Upasara Wulung?"

Gendhuk Tri merasa menyesal mengatakan nama lelaki yang dikaguminya. "Kamu baru tahu sekarang. Aku sudah tahu sejak dulu."

"Ya, aku mendengar kabar bahwa seorang lelaki, asal didikan dari Ksatria Pingitan, bernama Upasara Wulung, mempunyai adik manis. Jadi kamu yang bernama Jagattri? Yang ikut perang tanding ketika Keraton diserbu?"

"Ya, akulah orangnya."

Gayatri merangkul manis. Lembut. "Terima kasih, adik manis. Baru sekarang aku sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada penolong yang terhormat. Ketika adik manis dan Kakang Upasara membela Baginda Raja, pada saat itulah kami mempunyai waktu untuk meloloskan diri. Sungguh tak nyana, hari ini bisa berjumpa. Adik manis, tolong sampaikan terima kasih kami berempat kepada kakangmu."

Gendhuk Tri melengos. "Tak bakal aku menyampaikan ucapan itu."

"Kenapa? Apa salahku?"

"Kakang Upasara adalah kakangku sendiri. Orang lain tak boleh ikut melirik. Apalagi bicara padanya."

Gayatri tersenyum. Tetap lembut. "Maafkan kalau begitu. Aku mencabut kembali ucapan itu."

Gendhuk Tri merasa amblas ke dalam jurang yang dalam. Karena justru Gayatri seperti menerima seluruh sikap bengal yang dilakukan. Kalau Gayatri melawan dalam kata-kata, Gendhuk Tri siap untuk berteriak. Tak peduli dengan keadaan sekitar. Akan tetapi ternyata sikap mengalah Gayatri melembekkan semua kekerasan hatinya.

"Hari ini, saya secara pribadi juga menyampaikan terima kasih kepada utusan Naraya Saggrama Wijaya, yang bernama Upasara Wulung. Karena ia telah menyelamatkan diri saya. Dan terutama menyelamatkan kebesaran nama Baginda Raja Jayakatwang," suara Jangkung Angilo terdengar ke seluruh ruangan.

Upasara Wulung menghaturkan sembah.

"Berbahagialah Raden mempunyai pembantu ksatria seperti dia. Saya ingin membawanya ke Keraton kalau Raden Wijaya relakan."

"Apa yang Paduka Menteri katakan dan kehendaki, selama bisa kami laksanakan, akan kami laksanakan. Hanya saja Upasara masih terlalu muda untuk mengerti sopan santun Keraton." Jelas sekali dari kalimat ini, Raden Wijaya menyatakan penolakan dengan sangat halus. "Kelak kalau sudah sedikit mengerti adat-istiadat Keraton, kami akan menyowankan, membawa, ke Keraton Daha."

Yang membuat Gendhuk Tri makin kesal ialah bahwa meskipun melirik sedikit, akan tetapi Gayatri ternyata mempunyai perhatian ketika nama Upasara Wulung disebut-sebut. Untuk memperlihatkan bahwa dirinya lebih dekat, Gendhuk Tri maju mendekati Upasara Wulung. Langsung duduk di sebelahnya. Tindakan Gendhuk Tri ini secara tidak langsung mendukung apa yang dikatakan Raden Wijaya.

Pertemuan di Jung Biru berakhir larut malam, setelah disajikan beberapa tarian. Upasara sendiri kemudian menuju tempat peristirahatan. Menemui Wilanda yang masih terbaring, Tiga Pengelana Gunung Semeru, Jaghana, serta Dewa Maut. Dengan bantuan para tabib yang dipilih, rasa sakit memang berkurang banyak, akan tetapi tak membuat tokoh-tokoh silat ini pulih kembali.

"Satu-satunya yang bisa membuka kunci tenaga dalam ini adalah Ugrawe sendiri," kata Jaghana lembut. "Anakmas tak perlu bersusah payah. Kami semua dikalahkan dalam pertempuran secara ksatria."

"Pukulannya sangat jahat sekali, Paman."

"Pukulan itu sendiri tak ada jahat dan tak ada baik."

Dewa Maut terbatuk keras. "Apa benar jenis ilmu pukulan seperti itu tak ada duanya di jagat ini? Sehingga hanya Ugrawe sendiri yang menguasai?"

"Ada, muridnya, Rawikara. Tetapi ia pun kini terluka oleh pukulan yang sama."

"Aku tak percaya," teriak Dewa Maut. "Aku tak percaya di jagat ini ada ilmu yang begitu khusus dan tak dimengerti orang lain. Aku tak percaya. Ya, Tole, apa yang kukatakan benar atau tidak?"

"Rasanya benar. Tetapi entahlah, aku tak mau mikir soal itu," jawab Gendhuk Tri.

"Bagus, bagus sekali. Aku juga tak mau mikir soal itu."

Gendhuk Tri mulai sadar bahwa Upasara Wulung mulai sibuk dengan urusan Keraton. Urusan negara! Yang lebih membuat jengkel lagi bagi Gendhuk Tri adalah bahwa itu semua membuat Upasara Wulung berada dalam Keraton, dan ini berarti bakal ketemu Gayatri!

Sebagian yang dikuatirkan Gendhuk Tri ada benarnya. Dini hari Raden Wijaya sudah mulai dengan pertemuan khusus para pembantunya. Ada sekitar dua puluh prajurit yang mengelilingi. Mulai dari Dyah Pamasi, Dyah Singlar, Dyah Palasir sampai dengan yang digelari empu, yaitu Mpu Tambi, Mpu Sora, Mpu Renteng, Mpu Elam, Mpu Sasi. Bersama dengan Upasara Wulung mereka semua duduk di lantai.

"Ada prajurit baru, yang kalian semua sudah mengenal. Aku mempercayai karena ia dulunya di Ksatria Pingitan. Namanya Upasara Wulung. Murid langsung yang terhormat Ngabehi Pandu. Kalian semua yang berkumpul di sini adalah diriku sendiri. Mati, jaya, dan runtuhnya semua kemungkinan yang akan datang di tangan kalian. Jika Dewa yang menguasai jagat merestui, aku tak akan melupakan kalian semua. Tapi perjalanan kita masih panjang sekali. Selama ini Tarik telah kita buka. Akan tetapi masih ada klilip, ada kotoran di pelupuk mata. Pengawasan dari Menteri Sagara Winotan. Kita akan berusaha agar bagian-bagian dalam dari tlatah Tarik tak diketahui oleh beliau. Masalah kedua yang sampai kini masih merupakan ganjalan terbesar adalah bahwa sekarang ini di sekitar Tuban sudah datang prajurit Tartar yang jaya. Ini bukan klilip di pelupuk mata, akan tetapi ini masalah yang besar. Sejauh keterangan yang kita peroleh, mereka membawa tiga panglima perang. Naga Wolak-Walik, Naga Kembar atau Ike Meese, dan Naga Murka atau Kau Hsing. Ilmu perang mereka sangat hebat. Ditambah dengan Kiai Sangga Langit, mereka betul-betul luar biasa. Hanya kelas Ngabehi Pandu saja yang secara perorangan bisa menghadapinya. Sementara kita ini semua masih harus belajar banyak. Kalau saja Eyang Sepuh dan Mpu Raganata masih ada, rasanya tak bakal jadi masalah utama."

Suasana hening.

"Sesembahan kami tinggal Paduka Raden Wijaya," sembah Mpu Ranggalawe. "Kami semua hanya bisa membaktikan diri dengan nyawa, karena itu satu-satunya milik kami yang bisa dipertahankan saat ini. Dan itulah yang akan kami berikan, Raden."

Semua yang hadir menghaturkan sembah.

"Aku sama sekali tak meragukan kesetiaan kalian. Justru aku mempercayai secara luar-dalam. Tetapi pengorbanan kita terlalu besar. Bisa jadi kita akan rontok sebelum bertarung. Sebelum pertempuran yang sesungguhnya dengan prajurit sesat yang kini di Keraton Daha. Mpu Ugrawe sendiri masih merajalela dengan pukulan yang menurut kabar bernama Banjir Bandang Segara Asat. Tanpa satu siasat, rasanya kita akan runtuh sebelum bisa berdiri. "Hmmmmm, sebagai panutan aku seharusnya tak mengatakan hal ini, tetapi kita memang memerlukan seorang seperti Mpu Raganata."

"Maaf, Sesembahan, bagaimana dengan Pamanda Aria Wiraraja?"

"Selama ini posisinya sulit. Sebelum perang terbuka dengan genderang, Pamanda Wiraraja harus tetap berdiam diri."

Raden Wijaya menghela napas.

"Upasara, kamu berjaga di Tarik. Sore nanti saya bersama Paman Ranggalawe dan Paman Sora akan mencoba melihat suasana di perkemahan Tartar. Sudah lama aku tidak menggunakan trisula."

Trisula Muka adalah tombak berujung tiga yang menjadi senjata andalan Raden Wijaya. Dengan ilmu andalan Kerta Rajasa Jaya Wardhana, yang merupakan ilmu meniru pancaran sinar matahari yang dahsyat. Yang mengubah gelap menjadi terang, kekacauan menjadi kemakmuran dan ketenteraman dengan kejayaan. Ilmu yang diperdalam dengan berbagai unsur berdasarkan kepada apa yang diajarkan oleh Mpu Raganata, yaitu bagian dari Weruh Sadurunging Winarah.

Ilmu yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam, kekuatan batin yang bersih. Unsur-unsur yang muncul seperti kerta, berarti mengembalikan segala kejahatan menjadi kebaikan. Mengubah serangan lawan yang jahat menjadi tawar. Unsur rajasa, mengubah gelap menjadi terang dengan cara menggempur, seperti juga sifat matahari. Unsur jaya, mencapai kemenangan dengan tombak Trisula Muka. Sedangkan unsur wardhana adalah unsur kekuatan dalam, yang intinya disarikan dari berbagai aliran tenaga dalam dari berbagai agama dan kepercayaan. Kekuatan yang lahir adalah kekuatan seperti lahirnya butir padi dari berbagai unsur tanah.

Secara langsung, Upasara Wulung belum pernah melihat kehebatan penggunaan Trisula Muka. Akan tetapi mengingat kemelut yang meruntuhkan Keraton Singasari lalu, bisa diduga bahwa Raden Wijaya cukup mempunyai ilmu tinggi. Ditambah pengawal pribadi yang begitu tegar, rasanya memang tak bisa dipandang biasa.

"Upasara, tugasmu yang utama menjaga seluruh padepokan ini. Pertama dari gangguan kenakalan, kedua dari pengawasan Jangkung Angilo dan Sagara Winotan. Seluruh wewenang selama aku tinggalkan ada di tanganmu."

"Saya akan mencoba sebisanya."

Menjelang dini hari, rombongan Raden Wijaya berangkat. Tinggal Upasara Wulung yang mendiami gedung utama. Bersama para dyah dan empu yang menjaga di bagian luar. Bagi Upasara Wulung, soal menjaga dan berjaga adalah soal yang biasa. Meskipun terasa bahwa penunjukan wewenang yang diberikan padanya termasuk sangat istimewa. Mengingat ia seorang yang belum cukup lama dikenal langsung. Akan tetapi kepercayaan besar yang diberikan justru menumbuhkan kepercayaan dalam diri Upasara.

Yang membuatnya sedikit kikuk adalah karena ia juga harus menjaga bagian kaputren. Yang lebih menggelisahkan lagi ialah karena keempat sekar kedaton mengundang untuk makan siang bersama. Bahwa hal itu biasa dilakukan oleh Naraya Sanggrama Wijaya bukan sesuatu yang mengejutkan. Bahwa para pengawal pribadi juga turut makan bersama, tidak menjadi soal. Bahwa yang menyediakan makanan adalah para dayang, juga memang keharusannya begitu. Akan tetapi Upasara Wulung jadi merasa serba salah. Wajahnya merah seluruhnya. Ujung hidungnya seperti buah merekah.

"Kakang Upasara," sapa Tribhuana, "kami menghaturkan selamat datang di dusun Tarik ini. Kami tak bisa melayani lebih dari yang bisa kami sediakan."

"Ini sudah lebih dari cukup, Gusti Ayu...."

"Kenapa masih memakai sebutan itu?"

"Sulit bagi hamba mengubah sebutan itu. Hamba adalah rakyat biasa yang dulu bisa bernasib baik ditolong bergabung dalam Pingitan."

"Ah, memang tak ada yang bisa melupakan kebesaran Kanjeng Rama Prabu. Selama ini kekuatan kita masih lemah. Para ksatria dan pendekar justru masih sakit. Apa mungkin, sebelum seribu hari nanti, Kanjeng Rama Prabu melihat Keraton yang kembali tenang?"

Sejak itu, setiap siang hari merupakan siksaan tersendiri bagi Upasara Wulung. Kalau menghadapi Tribhuana, justru Upasara banyak belajar mengenai liku-liku Keraton. Dalam hati Upasara memuji bahwa putri Keraton yang satu ini jauh lebih istimewa dari semuanya. Mempunyai keinginan yang kuat sekali untuk mengetahui masalah-masalah politik. Yang benar-benar membuat Upasara mati kutu ialah kalau harus menghadapi Gayatri. Entah kenapa dadanya jadi berdebar, jantungnya berguncang, dan makannya jadi serbasalah. Rasanya menelan buah sawo pun tak bisa. Walau hampir selalu keempat putri menyertai, disertai dayang-dayang yang meladeni, tapi juga ada saat khusus Gayatri begitu dekat dalam pembicaraan.

"Kakang Upasara, bagaimana kabarnya Gendhuk Tri?"

"Ia selalu baik, Gusti Putri... Hanya nakal."

"Gendhuk Tri sangat mengharapkan Kakang."

"Rasanya begitu."

"Kakang juga merasa begitu?"

Guncangan darah di pembuluh tubuh seperti tak terkendalikan. Upasara membuang jauh-jauh pikirannya sendiri.

"Gendhuk Tri sangat manis sekali. Ayu. Dan bisa main silat. Betul-betul wanita yang sempurna. Saya ingin bisa seperti itu, akan tetapi tak mungkin."

"Gusti Ayu bisa kalau mau."

"Kakang Upasara mau melatih?"

"Saya tidak berhak... tidak berani. Empu-empu yang lain lebih bisa."

"Kakang Prabu Wijaya mempercayai Kakang Upasara...."

"Ya, tapi bukan soal berlatih."

"Maafkan saya, Kakang. Kalau Kakang sudah terikat dengan Gendhuk Tri."

Upasara merasa menjadi sangat kikuk. Tak bisa berucap.

Gayatri menghela napas. "Saya makin iri saja kepada Gendhuk Tri."

"Maaf, Gusti Putri... hamba tak bisa melatih. Bukan soal Gendhuk Tri. Ia adik hamba... begitulah kira-kiranya."

Gayatri menghela napas kedua kalinya. "Kalau ada yang harus saya sesali karena saya ini putri Baginda Raja, adalah karena dengan demikian apa yang bisa saya lakukan menjadi terbatas. Semua menganggap seolah masih selalu putri raja yang berkuasa, putri yang harus disanjung dan tak boleh membersihkan sebutir debu pun. Tapi inilah takdir yang harus saya terima. Dan ini tak akan berubah, kalau tak ada yang berani mengubah..."


BAGIAN 09CERSIL LAINNYABAGIAN 11
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.