Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 11
Upasara menunduk. Tak berani memandang. Sejak itu lebih suka tidak makan siang. Tidak makan malam. Bahkan juga tidak melatih diri. Pikirannya hanya terganggu bayangan Gayatri. Yang dalam bayangannya terlalu sempurna sebagai dewi, sebagai bidadari. Alangkah tolol diriku ini, Upasara menyalahkan dirinya. Sejak kapan aku begini kurang ajar mengharapkan yang mustahil?
Upasara merasa dirinya menjadi manusia yang tak berguna. Kenapa justru ia memikirkan Gayatri? Kenapa justru ia memikirkan kata-kata yang bersayap yang bisa diartikan memberi harapan?
Upasara mulai memusatkan diri untuk bergabung dengan para pendekar yang masih menderita kesakitan. Di antara mereka hanya Jaghana yang masih kelihatan tetap tenang. Selalu berusaha memulihkan tenaga dalamnya dengan jalan bersemadi, mengatur napas. Walau di akhirnya selalu menggelengkan kepala.
"Benar-benar ganas luar biasa. Ilmu Ugrawe mempunyai perkembangan yang makin menunjukkan titik-titik tanpa akhir. Makin berbahaya. Jika ini terus dikembangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, barangkali tak akan pernah ada lagi yang mampu mengimbanginya."
"Pak Gundul, kamu ini begitu sengsara. Selama ini ia jeri kepadaku, buat apa gegetun?" teriak Gendhuk Tri lantang.
"Benar, Tole, kita berdua akan mencincangnya," kata Dewa Maut tanpa peduli keadaan dirinya sendiri.
"Banjir Bandang Segara Asat adalah satu tahapan akhir dari semua jurus yang dikenal Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Akan tetapi jurus ini juga membuka tahap lain, yang bisa mencapai puncaknya lagi. Dengan kekuasaan dan kelicikan yang dimiliki, Ugrawe akan terus melaju."
"Bukankah Mpu Ugrawe sedang terluka?"
Jaghana memandang Upasara.
"Ya, tetapi ia bisa dengan cepat memulihkan tenaganya. Bahkan Rawikara pun bisa segera dipulihkan. Asalkan ada korban yang dipindahkan tenaga dalamnya. Dengan mengatur seberapa tenaga dalam yang diisap, Rawikara akan bisa disembuhkan. Sekarang ini masih lemah, jadi bisa dipakai tenaga dalam pada tingkat permulaan untuk memukulnya. Dengan demikian tenaganya berpindah. Rawikara mempunyai modal. Begitu seterusnya, makin lama makin meningkat. Ini berarti akan segera pulih dan berlipat ganda. Aku bilang dengan akal liciknya, dengan kekuasaan yang dimiliki, ia bisa melakukan itu."
Mendadak Upasara menghaturkan sembah. Bersujud. "Saya yang rendah tak bisa melihat cahaya ini. Kalau Mpu Ugrawe bisa melakukan, kenapa kita tidak? Banjir Bandang Segara Asat intinya adalah memindahkan tenaga lain ke dalam diri kita. Bisa juga memindahkan tenaga kita ke dalam diri orang lain. Seumpama kata membuat banjir di daratan dengan mengeringkan laut. Paman Jaghana, bersiaplah...."
Jaghana melengak. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara akan melakukan itu. Akan mengirimkan tenaganya sendiri untuk diserap orang lain. Memberikan tenaga dalamnya sendiri. Bagi Upasara tak terlalu sulit karena bisa memperkirakan tenaga Jaghana. Sehingga pemindahan tenaga itu tak akan melukainya.
"Jangan gegabah...."
"Saya tahu. Paman Jaghana akan menolak. Paman Pembarep akan menolak. Akan tetapi ini satu-satunya cara untuk memulihkan tenaga Paman semua. Paman semua adalah ksatria sejati, pembela kebenaran. Saat ini Keraton sedang dalam bahaya besar. Baik dari rencana Baginda Jayakatwang maupun dari negeri Tartar. Paman semua jauh lebih berguna dari saya. Maaf, maafkan saya... kalau memaksa...."
"Anakmas...," Wilanda bersuara lemah. "Sampai mati pun saya akan menyesali tindakan ini. Sudah jelas sekarang Anakmas Upasara jauh lebih diperlukan."
"Tidak ada artinya satu Upasara dibandingkan dengan Paman semua, para ksatria sejati. Seperempat tenaga dalam pulih, Paman akan bisa terus mengembangkan. Dan dalam waktu singkat kita mempunyai banyak ksatria."
"Tidak bisa. Saya akan menolak."
"Maaf, saya akan memaksa." Bagi Upasara bukan sesuatu yang sulit untuk memaksakan tenaga dalam. Yang ditolong sekarang ini tak mungkin bisa menolak.
"Tidak bisa. Tetap tidak bisa," kata Pembarep. "Jangan lakukan itu, Upasara. Kamu sekarang dipercaya Sanggrama Wijaya. Mana mungkin orang yang dipercaya jadi loyo? Tugas Keraton masih besar bagimu."
"Paman akan segera menggantikan."
Wilanda menggelengkan kepalanya. "Anakmas, sesembahan saya sejak kecil. Kalau Anakmas memaksakan itu, Anakmas akan menyesal. Karena begitu saya mempunyai tenaga, saya akan membunuh diri."
"Saya juga," kata Pembarep.
"Kami semua akan membunuh diri di depanmu."
Sejenak Upasara menahan napas. Tak menyangka sama sekali bahwa niatnya menolong ditolak dengan cara seperti itu. Bisa-bisa malah hancur semuanya.
"Saya percaya, itu tak akan pernah terjadi. Saya mempercayai sikap jiwa besar para ksatria. Tak nanti akan menyia-nyiakan nyawa begitu saja."
Dengan keputusan mantap, Upasara mulai bersila. Memusatkan konsentrasi. Mendadak terdengar suara lembut.
"Saya tak pernah menyangka ada manusia di dunia ini yang begitu jahat dan kejamnya."
Upasara bergeming, kalau saja suara itu bukan suara yang mampu mengusik jiwanya. Benar juga! Ketika matanya terbuka dan helaan napas terdengar, ia melihat wajah Gendhuk Tri yang berubah dongkol. Siapa lagi yang mampu mencemberutkan wajah Gendhuk Tri secara seketika selain Gayatri?
"Kejam apanya?" teriak Gendhuk Tri. "Di seluruh kolong langit ini, biar ayahmu yang raja atau kamu sendiri, tak ada sekuku hitam dibanding Kakang Upasara. Kakang Upasara adalah yang paling mulia. Mengorbankan tenaga dalamnya sendiri untuk orang lain. Nah, yang begini masih kamu sebut kejam?"
"Ugrawe kejam karena sifatnya seperti itu. Akan tetapi Upasara jauh lebih kejam, karena ia mengembangkan ilmu jahat itu."
"Cuh. Kamu ngerti apa? Bedak-pupur kamu tahu. Tapi soal ilmu silat, menggerakkan tangan lebih tinggi dari bahu saja kamu belum pernah. Melangkah lebih besar dari kainmu saja tak mungkin."
"Tetapi aku tak sekejam Kakang Upasara. Dengan memberikan tenaga dalam kepada Paman Jaghana, Paman Dewa Maut, Paman Wilanda, Paman Pembarep, dan yang lainnya, di kemudian hari paman ini semua akan terus-menerus mencari korban. Terus-menerus mencari korban baru. Sampai akhirnya harus bertarung di antara mereka sendiri. Apakah ini tidak kejam dan jahat? Apakah ini tidak menanamkan benih kejahatan dan kekejaman di esok hari?" Lembut nadanya, perlahan iramanya, akan tetapi terasa masuk dan mengena.
Untuk sesaat Upasara tak bisa mengatakan satu patah kata pun.
"Pada saat sekarang ini tak ada yang menghalangi Kakang. Tak ada yang bisa. Saya sendiri tak bisa menghentikan kemauan jahat dan kejam yang dianggap mulia ini. Semua terserah Kakang sendiri."
Jaghana memuji kepandaian Gayatri.
Pembarep menghela napas.
"Ilmu Banjir Bandang Segara Asat memang ilmu yang luar biasa ganasnya. Tapi bukan berarti tanpa kelemahan. Semua ilmu silat, makin kuat, makin tangguh, makin kuat makin tangguh pula kelemahannya. Banjir Bandang hanya mengembangkan salah satu bagian dari sifat-sifat ilmu silat yang sesungguhnya. Dengan demikian, ada bagian lain yang tak bisa dikembangkan. Karena terlalu menyerang, pertahanannya pasti berkurang. Udara yang dilontarkan terlalu banyak. Dalam titik itu, sebelum tenaga mengisap bekerja, kita bisa mencuri ketika itu. Itulah salah satu kelemahan Banjir Bandang...."
Mendadak Jaghana menghaturkan sembah. "Gusti Putri... saya tidak menyangka akan bertemu Gusti Putri...."
Suaranya memelas, penuh rasa hormat yang tulus. Demikian juga Wilanda. Bahwa Gayatri bisa menguraikan dengan jelas mengenai jurus Banjir Bandang, bisa mengundang heran. Karena tak ada yang menyangka ia akan bisa berbicara sefasih itu. Tetapi bahwa Jaghana dan Wilanda menyembah dengan sangat hormat, lebih mengherankan lagi.
"Sungguh tak nyana, hamba masih mendapat berkah untuk mendengarkan. Sungguh tak nyana...." Jaghana menyembah lagi. "Apakah ada titah lain, Gusti Putri?"
Gayatri menghela napas. "Awan di langit bergerak dengan sendirinya, tak usah dipaksa-paksa. Angin dini hari akan menggerakkan sendiri."
Jaghana dan Wilanda menyembah secara bersamaan. Gendhuk Tri pun menjadi terkesima.
"Kami akan berusaha...."
Itu saja jawabnya. Dan sejak memberi jawaban itu Jaghana lalu bersila, bersemadi bersama dengan Wilanda. Sampai Gayatri meninggalkan tempat, tetap bergeming. Sampai akhirnya Upasara pun turut meninggalkan tempat. Dengan beberapa pertanyaan dalam hati. Apa arti kata-kata Gayatri yang begitu besar pengaruhnya bagi Wilanda dan Jaghana? Apa hubungannya dengan jawaban Gayatri dan sikap mereka terus bersemadi mati raga?
"Saatnya akan datang untuk saya ceritakan semuanya, Kakang. Saya berjanji untuk tidak mengatakan sesuatu."
"Gusti berjanji kepada siapa?"
"Kalau saya katakan, berarti saya melanggar janji."
"Kakang Prabu?"
"Kenapa selalu itu yang Kakang bicarakan?"
"Saya tak mempunyai dugaan lain."
"Semua merasa bahwa kami berempat adalah calon istri Kakang Prabu Wijaya. Tak meleset sedikit pun. Memang begitulah seharusnya menurut aturan. Akan tetapi bukankah belum terlambat? Sebelum ada janur kuning tanda peresmian, semua bisa terjadi. Kakang Upasara...." Suara Gayatri menjadi perlahan sekali, tertutup oleh suara tarikan napas yang menggemuruh. "Apakah layak seorang wanita menawarkan kesempatan kepada seorang pria? Apakah tidak membuat wanita itu menjadi sangat rendah di mata pria tersebut?"
Upasara bergeming.
"Jawablah, Kakang. Bila ada wanita mengatakan seperti itu, apakah wanita itu lebih rendah dari seekor cacing?"
"Hamba tak berani mengatakan... Hamba tak mengerti harus bagaimana... Semuanya begitu tiba-tiba dan tak pernah hamba bayangkan. Kehormatan besar ini, entah dengan cara bagaimana hamba bisa menyadari."
"Tentang cacing yang rendah?"
"Hamba yang lebih jahat dan lebih kejam dari cacing, tak bisa memberikan penilaian, Gusti...." Upasara menyembah hormat. "Kalau semua nanti bisa terjadi... hamba tak tahu dengan cara apa mensyukuri anugerah Dewa Yang Mahaagung...."
Ketika akhirnya Raden Sanggrama Wijaya datang kembali, Upasara mendapat tepukan di pundak.
"Tak sia-sia kupercayakan Tarik padamu, Upasara...."
"Hamba menjalankan tugas sebisanya. Selebihnya para prajurit sendiri yang menjalankan tugas dengan baik."
"Ya, akan tetapi kita tetap berada dalam bahaya. Karena kita berlomba dengan waktu. Cepat atau lambat senopati Daha, Sagara Winotan dan Jangkung Angilo, akan mengetahui apa yang kita persiapkan. Jika ini diketahui, habislah riwayat kita. Sementara pasukan negeri Tartar sungguh luar biasa. Prajurit yang benar-benar tangguh, tersusun rapi, dan bukan nama kosong belaka bahwa mereka telah menaklukkan banyak negeri seberang. Aku tak tahu mana yang harus kupilih. Menggempur Keraton Daha secepatnya ataukah menyingkirkan pasukan Tartar. Dua-duanya sangat berat. Tapi aku memilih yang kedua. Dengan bantuan prajurit Keraton Daha, prajurit Tartar akan kusingkirkan. Dengan begitu kepercayaan Baginda Jayakatwang akan membesar. Dan itulah saat terbaik untuk merebut takhta. Bagaimana pendapatmu, Upasara? Hanya kamu yang belum kudengar."
Upasara menghaturkan sembah. "Hamba tak begitu tahu mengenai strategi. Gusti Putri Gayatri barangkali bisa lebih memberikan penjelasan...."
Raden Sanggrama Wijaya mengerutkan alisnya. Beberapa detik cuma. "Itu aku bisa menanyai sendiri. Aku ingin mendengarkan pendapatmu."
"Maafkan, Raden. Menurut saya lebih mudah menggempur Keraton Daha dibandingkan prajurit Tartar. Para senopati di Keraton Daha telah kita ketahui kekuatannya. Dan lebih banyak rakyat yang mendukung kita."
Sanggrama Wijaya tersenyum.
Upasara menjadi kecil.
"Perhitunganmu ada benarnya. Keraton lebih lemah. Akan tetapi perhitunganku lain. Kita harus menggempur Tartar dulu. Dengan cara ini, kita membangkitkan perlawanan seluruh masyarakat. Para ksatria, para pendekar yang selama ini bersembunyi seperti Ngabehi Pandu, akan keluar dari sarangnya. Mereka akan bangkit membela tanah airnya. Lalu kita belokkan untuk menggempur Keraton. Aku sedang menunggu persetujuan Paman Wiraraja. Perhitunganku sederhana: kita bermusuhan dengan Keraton. Akan tetapi dibandingkan dengan Tartar, kita jelas harus lebih memusuhi Tartar. Nah, bagaimana dengan keteranganku ini? Cukup jelas?"
Upasara menyembah.
"Tadi kamu menyebut Gayatri... Kenapa kau tunjuk dia untuk melihat strategi? Kurasa agak salah alamat. Bukan Gayatri yang selama ini ingin mengetahui masalah strategi. Tetapi kenapa kau usulkan, Upasara?"
"Hamba salah bicara. Maaf, Raden."
"Katakan, jangan takut-takut."
"Gusti Putri Gayatri ternyata diam-diam mempunyai pengetahuan yang luas. Juga dalam ilmu silat. Setidaknya Paman Jaghana dan Paman Wilanda kini sedang berusaha menawarkan pengaruh pukulan Banjir Bandang atas petunjuk Gusti Putri. Barangkali pengetahuannya..."
Raden Sanggrama Wijaya menggeleng. "Aku tidak percaya. Gayatri tidak mengetahui masalah itu. Tak mungkin. Karena aku mengenalnya. Tetapi sifatku adalah selalu memberi kesempatan. Upasara, kuangkat kamu menjadi senopati hari ini secara resmi. Kalau selesai persoalan ini, kamu bisa menagih padaku. Dan tugasmu yang pertama adalah kembali ke Keraton Daha. Melalui Kiai Sangga Langit, kamu bisa melihat kelemahan prajurit Tartar. Kudengar namamu disebut dengan hormat oleh Kiai Sangga Langit. Kalau kamu menganggap Gayatri bisa memberimu petunjuk, kuizinkan ia ikut serta denganmu. Dan seluruh tanggung jawab ada di pundakmu."
Geledek besar pun tak akan mengguncangkan Upasara seperti sekarang ini! Berangkat ke Keraton Daha dengan putri yang mengguncangkan saraf-saraf yang paling peka? Sesaat Upasara lupa untuk menghaturkan sembah. Menunduk bergeming.
Raden Wijaya segera menyusun kekuatan. Para prajurit dari tlatah Madura yang mulai berdatangan, menyamar sebagai petani, menjadi nelayan di sepanjang Kali Brantas sambil memata-matai. Bagi Raden Wijaya agaknya tidak perlu memusingkan dengan pikiran kenapa kemudian Aria Wiraraja berbalik membantunya. Pada masa Baginda Raja Kertanegara, Aria Wiraraja merasa disingkirkan. Ia berpihak kepada Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang. Akan tetapi agaknya kehancuran Keraton Singasari serta cara-cara Jayakatwang menghancurkan, membuatnya sadar. Bahwa pilihannya keliru. Apalagi ketika Raden Wijaya dan rombongannya melarikan diri dari Keraton dan terlunta-lunta.
Aria Wiraraja adalah ahli strategi yang ulung. Bermain di belakang layar. Seketika itu pula jatuh keputusannya untuk membela Raden Wijaya, yang dianggap akan bisa mengembalikan citra Keraton. Ia mudah dan bisa diterima oleh Raja Jayakatwang ketika mengusulkan untuk memberi pengampunan kepada Raden Wijaya, asal yang terakhir ini membuat tanda penyerahan. Dan Aria Wiraraja mengatur semua ini. Kini setelah merasa tiba saatnya, Aria Wiraraja mengirim prajuritnya untuk bergabung. Sungguh suatu liku-liku yang Ugrawe pun tak mampu mengendusnya.
Raden Wijaya merasa mendapat bantuan sepenuhnya. Maka, dibuat dua rencana sekaligus. Pertama mengadakan persiapan, dan yang kedua mengirim telik sandi, atau tugas rahasia ke Keraton. Tugas inilah yang diberikan kepada Upasara Wulung.
Upasara meminta pamit kepada para pendekar yang masih menderita. Sejak pertama Wilanda dan Jaghana tetap bergeming. Seakan mati raga. Kepada Pembarep, Panengah, Wuragil, Dewa Maut, kedua Pu'un, Upasara menceritakan tugasnya. Hanya ketika tiba giliran Gendhuk Tri, Upasara menjadi bingung. Karena tidak berhasil menemukan. Dalam perjalanan, Gayatri mengingatkan hal ini.
"Pasti ada apa-apanya dengan adik manis yang bandel ini," kata Gayatri yang memakai pakaian lelaki.
"Entahlah, Gusti...."
"Selama Kakang masih memanggil dengan sebutan itu, sama juga membuka rahasia."
"Maaf, Gay...."
"Adik manis Gendhuk Tri kelihatannya kurang suka kita jalan bersama. Sebetulnya tak ada salahnya ia diajak."
"Kita harus berangkat segera."
Dalam perjalanan, mereka berdua menukar dua kuda pada tempat-tempat tertentu. Ternyata pengaturan pasukan di sepanjang Kali Brantas sangat rapi dan teliti. Boleh dikatakan mereka berdua tak menemukan kesulitan sedikit pun. Di setiap tempat yang ditentukan telah disediakan dua ekor kuda segar, berikut makanan sekadarnya. Mereka yang mengganti kuda melakukan tanpa bertanya satu patah kata pun.
"Raden Wijaya memang hebat."
"Dalam hal mengatur seperti ini Kakang Prabu memang luar biasa. Tapi kenapa kamu mengajakku?"
Upasara merah wajahnya.
"Kalau yang ada di jagat ini hanya kita berdua, akankah kamu selalu malu-malu?"
"Hmmmmm." Upasara menghela napas panjang. "Saya tak menyangka bahwa Raden Sanggrama Wijaya akan memberikan izin begitu cepat. Bahkan hanya kita berdua yang disuruh berangkat."
"Kamu menyesal, Kakang?"
"Tidak, Gus... tidak, Gay. Saya merasa bahagia sekali."
"Tahukah kamu kenapa Kakang Prabu memberi izin aku berangkat bersamamu?"
"Karena Kakang... Karena Raden Wijaya mengetahui saya mengharapkan itu?"
"Ada benarnya. Akan tetapi hanya separuh. Kakang Prabu sangat mengharapkan kembalinya takhta. Apa pun akan diberikan untuk merebut kembali Keraton Daha. Jangan kata cuma aku bersama tiga saudariku, akan diberikan. Kakang Upasara, itulah yang kadang membuatku bimbang. Aku sudah ditakdirkan menjadi putri seorang raja. Dan sekarang ini, lelaki yang paling pantas mendampingiku adalah Kakang Prabu. Akan tetapi, sesungguhnya Kakang Prabu mengawiniku sebagai bagian dari kebesaran seorang calon raja. Sebagai yang paling berkuasa. Yang paling tinggi. Kakang, itulah nasib yang selalu kukatakan."
"Apa ruginya mendampingi seorang seperti Raden Wijaya?"
"Tak ada, Kakang. Kakang Prabu jauh lebih tampan darimu, darah birunya murni. Kekuasaan besar dengan persiapan dan masa depan yang disinari bulan kebesaran. Akan tetapi aku merasa, aku hanya sebagian dari kebesarannya itu. Seperti juga tombak pusakanya, seperti para senopatinya, seperti kuda-kuda kesayangannya."
"Juga ketiga saudarimu?"
"Bahkan kalau putri-putri yang melarikan diri sepuluh, semuanya akan diambil oleh Kakang Prabu. Sebagai pertanda kebesarannya. Tidakkah kamu merasakan yang kurasakan, Kakang?"
"Rasanya bisa. Tetapi apakah itu mungkin? Saya tak mempunyai darah biru. Saya hanya bagian yang kecil dari sekian banyak prajuritnya, yang merasa dendam kepada Raja Jayakatwang."
"Kalau kamu berani, kamu bisa, Kakang. Aku tak pantas mengatakan ini, akan tetapi aku akan mengangguk bila Kakang menarikku. Seperti juga ajakan perjalanan ini."
Upasara memandang wajah Gayatri. Ketika Gayatri balik memandang, Upasara menunduk. Bibirnya bergetar. "Setelah semua urusan ini selesai, saya akan mengatakan langsung kepada Raden Wijaya."
Upasara mengempit perut kudanya dan melarikan lebih kencang. Gayatri tersenyum, lalu menyusul. Sebagai putri Keraton, soal menunggang kuda bukan hal yang istimewa. Apalagi putri Baginda Raja Kertanegara yang mempunyai keleluasaan dan pandangan jauh ke depan. Tanpa terasa, malam hari mereka masuk ke dalam Keraton. Melewati gerbang.
"Yayi Gay... malam ini saya akan menyelusup masuk. Sebaiknya Yayi menunggu di luar."
"Kalau aku tak boleh masuk, untuk apa aku diajak kemari?"
"Saya tak mengharapkan rambut Yayi tercerabut karena bahaya yang mungkin datang. Saya mengusulkan mengajak Yayi karena saya ingin berdekatan. Karena Yayi bisa memberi nasihat kepada Paman Jaghana dan Wilanda...."
"Itu soal lain, Kakang. Aku hanya mengulangi kata-kata yang diucapkan di tepi telingaku."
"Siapa tokoh yang begitu sakti? Apa mungkin roh Eyang Raganata?"
"Aku mengenalnya, setidaknya sebutannya. Akan tetapi aku tak boleh mengatakan kepada siapa pun."
Upasara memberi salam hormat. "Maafkan saya telah lancang. Saya tidak memaksa Yayi... Sekarang Yayi menunggu di dalam rumah itu. Kakang akan menemui Kiai Sangga Langit."
Belum selesai ucapannya, tubuh Upasara lenyap dari pandangan. Kadang Gayatri tak mengerti akan sikap Upasara. Ada dorongan begitu kuat dari Upasara untuk mendekatinya, akan tetapi juga ada keinginan untuk segera menghindari. Kadang bisa bicara urut, panjang, kadang berdiam diri saja. Hanya kalau dipancing-pancing baru keluar ucapannya.
Upasara memang merasa jengah. Ingin dekat, ingin menatap, tetapi hatinya selalu menjadi sangat gelisah. Pikirannya tak menentu. Upasara sering menyalahkan dirinya sendiri karena soal ini. Seperti ketika melewati dinding benteng bagian dalam yang terukir "di lautan asmara", Upasara merasa kata-kata itu secara khusus diciptakan untuknya. Untuk menggambarkan kerinduannya kepada Gayatri!
Upasara langsung menuju ke tempat tinggal Kiai Sangga Langit. Baru mau melangkah masuk ketika terdengar suara kasar.
"Aha, aku menunggumu."
Upasara terkesiap. Baru terdengar helaan napasnya. Ternyata Galih Kaliki yang menyambutnya.
"Dewa mempertemukan kita, saudaraku," kata Galih Kaliki, seperti sedang mabuk.
"Terimalah sungkem dari keponakan atau adik atau saudara ini."
"Aha, kau suka basa-basi. Ayo sini, menikmati indahnya surga."
Upasara baru sadar bahwa Galih Kaliki benar-benar dalam keadaan mabuk. Mabuk berat. Memang itulah cara yang dipakai Nyai Demang. Agar Galih Kaliki tidak berbuat kurang ajar, Nyai Demang memberinya arak terus-menerus. Selama beberapa hari Galih Kaliki berada dalam keadaan mabuk, pingsan, mabuk, tertidur, mabuk lagi. Upasara mengeryitkan keningnya. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Nyai Demang yang tubuhnya montok dan suka main mata itu ternyata berhati keji.
"Untung kamu datang kemari. Majulah, Upa... apa pun yang akan kita lakukan, si tua bangka ini tak akan tahu."
"Mbakyu Demang..."
"Aku tahu, Upa. Kamu juga mengharapkan...."
"Saya..."
"Aku terlalu tahu tentang lelaki. Sorot mata lelaki yang bagaimanapun, aku bisa mengetahui. Aku hidup di antara sorot mata seperti itu. Kenapa? Kamu malu? Galih Kaliki tak akan mengetahui apa-apa."
"Benar, saudaraku. Aku tak tahu apa-apa. Apa yang kuketahui tak ada. Begitu, Nyai?"
"Mbakyu Demang, saya datang untuk menemui Kiai Sangga Langit."
"Ada urusan apa?"
"Ada sesuatu yang akan saya katakan."
"Dia akan kuberitahu kalau malam ini kamu menemaniku. Kenapa kamu begitu jual mahal, Upa? Di jagat ini semua lelaki mau menyembah, mau menjadi budak untuk bisa berdekatan denganku. Kenapa kamu sok gagah?"
"Bukan begitu, Mbakyu. Pada kesempatan lain, saya akan mengatakan semua. Malam ini akan menemui Kiai Sangga Langit."
Wajah Nyai Demang berubah merah. "Seumur hidup, inilah pertama kalinya aku ditolak. Galih Kaliki, ambil tongkatmu. Ayam kampung ini perlu dihajar."
Galih Kaliki meraih tongkat hati pohon asam, langsung dipukulkan ke arah Upasara. Dalam keadaan mabuk dan limbung, pukulannya tetap keras dengan penuh tenaga. Upasara menggeser badannya. Dua tangan secara terkepal mencoba merebut. Mengenai angin kosong, tongkat Galih Kaliki berbalik. Tegak. Menghajar secara mendatar. Upasara justru menyongsong maju.
Nyai Demang tak percaya bahwa dalam satu gebrakan tongkat pusaka Galih Kaliki bisa dipegang Upasara. Walau dalam keadaan sangat mabuk, Galih Kaliki jelas bukan tokoh sembarangan! Ataukah dalam sekejap Upasara sudah meloncati tahapan yang luar biasa dalam ilmu silat?
"Kena!" Justru Galih Kaliki yang berteriak. "Kena, Nyai. Ayamnya kena."
"Kena gundulmu. Kamu memang lelaki tak berguna."
Upasara melepaskan genggamannya. Galih Kaliki menarik kepala tongkatnya. Jalannya sempoyongan.
"Pukul sendiri kepala kamu. Itu ayamnya!"
Galih Kaliki menghantam kepalanya sendiri! Upasara lebih dulu meloncat maju menahan arah pukulan ke kepala Galih Kaliki. Di luar dugaan, Galih Kaliki memutar tongkatnya menghindar, kini dipakai mengemplang kepalanya sendiri dari samping. Tak ayal lagi, Upasara meluncur ke atas. Tubuhnya terbang secara terbalik, dengan kaki di atas. Dua tangan sekaligus menahan ayunan tongkat.
Galih Kaliki menggeser agak turun. Kini yang diarah jakunnya sendiri. Terjadi pemandangan yang ganjil. Galih Kaliki yang bertubuh besar dengan gerakan aneh mencoba memukul kepalanya sendiri, sementara justru Upasara berusaha mencegah. Tiga gerakan aneh Galih Kaliki berhasil digagalkan oleh Upasara. Bahkan seakan dengan mudah sekali Upasara menebak gerakan tongkat Galih Kaliki.
"Hah!" Sekali renggut, tongkat hati pohon asam itu berpindah ke tangan Upasara.
"Tak berguna!" teriak Nyai Demang.
"Tunggu," kata Upasara perlahan. "Ada sesuatu yang menarik. Coba kita ulangi lagi. Paman Galih mencoba memukul kepala seperti tadi, dan..."
"Oho, enak saja. Siapa kamu, berani memerintah aku untuk membunuh diri?"
"Mbakyu Demang, bagaimana kalau saya meminta Mbakyu agar Paman Galih Kaliki mengulangi perbuatannya tadi."
"Dengan syarat!"
"Saya akan terima, Mbakyu."
Nyai Demang tersenyum. Tubuhnya bergoyang. "Galih... sekarang kemplang sendiri kepalamu seperti tadi. Pergunakan semua jurus dan ilmu yang kamu miliki. Upa, kamu sudah siap?"
Upasara memusatkan perhatian setelah memberikan tongkat. Begitu Galih Kaliki mulai bergerak, ia pun bergerak mengimbangi. Kembali pemandangan aneh terlihat. Kali ini Galih Kaliki mengeluarkan semua ilmunya. Mendesak, berjumpalitan, dan Upasara terus-menerus mengimbangi. Sesekali terdengar seruan tertahan. Teriakan Nyai Demang, karena batok kepala Galih Kaliki seperti bakal menjadi bubur. Tapi toh pada saat terakhir bisa disentil kembali. Hingga arahnya melenceng.
Galih Kaliki mengempos seluruh tenaganya, hingga akhirnya berjalan sempoyongan. Upasara sendiri berhenti karena keringatnya membanjir luar biasa. Diam-diam muncul keringat dinginnya. Permainan yang barusan dilakukan sungguh berbahaya. Meleset satu gerakan saja, nyawa taruhannya. Upasara termenung. Ia seperti menemukan sesuatu yang belum jelas benar di kepalanya. Sesuatu yang seperti sangat dikenal, sangat mudah diketahui. Nyatanya, tadi dengan mudah bisa menghalau gerakan-gerakan Galih Kaliki yang selama ini paling aneh. Gerakan-gerakan itu sama sekali bukan asing baginya. Akan tetapi, di mana ia mempelajari gerakan Galih Kaliki?
Upasara masih termenung. Tak sadar bahwa Nyai Demang datang mendekat ke arahnya. Dan mengelap keringat Upasara dengan selendangnya. Yang tak diketahui oleh Upasara ialah justru saat itu secara diam-diam Gayatri melihatnya!
Bagi Gayatri tak ada kesulitan apa-apa untuk masuk ke bagian dalam Keraton. Sebagai putri Kertanegara, bagian dari Keraton sama dikenal dengan jarinya sendiri. Adalah di luar perkiraannya bahwa ia melihat Upasara sedang dilap keringatnya oleh Nyai Demang. Dengan pandangan mata genit Nyai Demang! Sementara Upasara sendiri tertegun tak bergerak menghindar.
"Upa, kamu memang luar biasa. Mbakyumu senang sekali. Nah, sebelum mbakyumu ini mengajukan permintaan sesuai dengan syarat, apakah kamu mau mengajukan sesuatu? Kamu akan meminta sesuatu? Jangan malu, Upa, katakan saja."
Nyai Demang mengelus rambut Upasara. Mengelus dada Upasara yang bidang.
"Aneh, rasanya saya telah mengenal...."
"Masa kamu lupa sama mbakyumu ini?"
"...telapak tangan keduanya terbuka, membentuk paruh itik. Kekuatan ada di sudut..."
"Aha, kalau yang begitu bisa kita lakukan, Upa. Mau sekarang? Di sini?"
"...tenaga biji pisang. Terbungkus tapi ada. Tenaga utara-selatan..."
"Pisang? Tenaga pisang? Boleh saja." Nyai Demang makin genit.
Gayatri memalingkan wajahnya. Perlahan ia menjauh. Terdengar helaan napas yang panjang, dalam dan berat. "Kenapa aku harus mengharap dari seorang gelandangan seperti Kakang Upasara? Sekali gelandangan tetap gelandangan. Barangkali dewa di langit maha bijaksana. Sehingga di dunia ini ada yang dididik sebagai ksatria keraton dan gelandangan yang tak tahu adat sopan santun. Belum kering bibirnya mengatakan keinginan untuk mengambilku, di depan mataku sendiri melakukan tindakan yang begitu tak senonoh."
Gayatri berjalan ke pinggir. Mendadak tubuhnya merapat ke dinding. Dalam waktu sekejap puluhan prajurit sudah mengepung rapat. Bersenjata lengkap. Bahkan di tengah melayang turun seakan dari langit. Tak salah lagi itulah Ugrawe. Kumisnya yang panjang melengkung, dagunya yang mendongak dengan kecongkakan, tak bisa ditebak orang lain.
"Upasara, Nyai Demang, dan pemabuk Galih Kaliki, ternyata kalian menantangku untuk mengambil tenaga kalian. Bersiaplah, satu lubang cukup untuk kalian bertiga."
Upasara masih berdiri tepekur. Tidak menyadari bahwa kepungan sudah rapat sekali. Dengan Ugrawe yang berdiri di tengah, dan Rawikara sebelah kanan. Di belakang sedikit Sagara Winotan serta Jangkung Angilo. Selebihnya adalah para senopati pilihan yang mengawal Keraton.
"Satu lubang untuk mengubur tiga bangkai ini sudah cukup. Upasara, beberapa kali kita bertemu. Ternyata nasibmu baik, karena kau ditemani setan cilik beracun. Hari ini, tak ada yang menghalangiku untuk menarik tenaga dalammu yang masih murni."
Ugrawe mendengus. "Nyai Demang, kamu sungguh tak tahu diri. Diberi tempat, makan, bukannya menunjukkan rasa hormat malah main gendak-gendakan mengumpulkan lelaki di sini. Siapa menyuruh kalian berlatih silat di sini? Mana kiai yang berkhianat menurunkan ilmunya kepada Upasara itu? Hari ini aku, Ugrawe, Pujangga Pamungkas, pujangga terakhir yang terbesar, terpaksa menyalahi titah Raja dalam soal pengampunan."
Ugrawe menggebrakkan tangannya. Sepuluh prajurit terpilih maju secara serentak. Tiga orang malah meloncat lebih dulu. Nyai Demang menangkis sambil melayang ke atas. Galih Kaliki meraup tongkat dan menangkis sambil maju. Kepalanya masih tetap dikuasai arak secara penuh, akan tetapi begitu melihat bayangan Nyai Demang bergerak, ia pun mengikuti. Rawikara menyambar dua pedang dan ikut menerjang ke tengah pertempuran. Saat itu dari dalam ruangan Mo Ing yang masih terluka karena tusukannya sendiri beberapa waktu yang lalu berjalan terhuyung-huyung. Mendengar suara ribut, ia bangun. Tubuhnya masih lemah. Cara berjalannya masih gontai.
Sementara Rawikara sendiri, dengan pukulan andalan Banjir Bandang Segara Asat telah bisa mengembalikan tenaganya. Seperti yang diduga Jaghana, Rawikara memang mempergunakan tenaga-tenaga prajurit untuk diambil alih. Untuk dipindahkan ke dalam tubuhnya.
Mo Ing mengeluarkan seruan tertahan melihat bayangan Rawikara menebas ke arahnya. Secara spontan tangan terangkat untuk menangkis. Ternyata Rawikara tidak menarik pedangnya. Terdengar pekikan dan darah muncrat.
Saat itulah Upasara tersadar dari lamunannya. Dengan cepat, tubuhnya bergerak. Tangannya menangkis tebasan pedang Rawikara. Caranya sama seperti Mo Ing menangkis. Hanya kini tenaga yang tersalur berbeda. Dan Rawikara melepaskan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Satu pedang lagi dilemparkan bagai tombak. Bahwa Upasara bakal menghindar, Rawikara sudah mengetahui hal itu. Karena melepaskan kedua pedang termasuk dalam rencana untuk segera melancarkan pukulan andalan. Rawikara sangat mengincar tenaga dalam Upasara.
Aneh sekali. Upasara tidak berusaha menghindar dengan menjauhkan diri. Tidak juga melakukan pukulan. Ia justru seperti bergerak sendiri. Tubuhnya melenggok, dadanya menggelombang, dan kedua tangan membuka. Saat yang ditunggu oleh Rawikara untuk melancarkan serangan. Upasara tidak langsung menyerang dengan membalas, tetapi juga menunggu. Seperti bergerak sendiri, dengan berat tubuh ke arah selatan.
Plak. Duk!
Dua tangan bertemu. Tenaga terobosan yang menggempur dari Rawikara menerjang, mendesak. Sesaat Rawikara mengeluarkan sorot mata mengejek. Tangan kirinya menggunakan tenaga menarik. Menguras tenaga dalam Upasara. Mendadak seperti terdengar bunyi "pletak" dan Rawikara terjungkal. Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya teracung ke atas. Sebelum sempurna teracung tubuhnya telah terbanting.
Ugrawe mengeluarkan teriakan mengguntur, kedua tangan menyapu bersamaan. Serentak dengan itu semua prajurit menerjang. Dalam sekejap keroyokan terjadi. Mo Ing menjadi korban, sementara Galih Kaliki juga terdorong oleh tenaga pukulan Ugrawe. Dengan perkasa Ugrawe melayang di angkasa. Kedua tangan dan kakinya bergerak melebar. Sekali kena tendang, Galih Kaliki terpental. Dalam gerakan yang sama, masih satu gerakan, Nyai Demang juga tersapu kedua kakinya. Sempoyongan ketika menghindar dan langsung disibukkan oleh tusukan pedang para prajurit. Dalam putaran itu Ugrawe mencakar Upasara sekaligus. Upasara masih bengong. Ketika cakaran itu mendekat dengan bau amis, baru sadar. Akan tetapi terlambat. Cakaran itu berubah menjadi pukulan dengan telapak tangan.
Bek!
Enteng suaranya. Tapi Upasara terpental hingga ke tiang. Tiang yang kukuh menjadi bergetar. Dahsyat sekali pukulan Ugrawe. Dalam satu gebrak, tiga lawan yang tangguh terpukul mundur. Galih Kaliki memang sedang mabuk, dan Upasara dalam keadaan kurang siap, akan tetapi ini jelas menunjukkan prestasinya. Penguasaan Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Kalau sesaat tadi dengan gemilang Upasara bisa memukul rubuh Rawikara, kini sebaliknya. Dalam satu jurus ia telah dibuat keok. Berbeda dengan Upasara, Ugrawe tidak terhenti di situ. Ia menerjang maju. Upasara berdiri tegak. Ia maju memapak ketika serangan terarah kepada Nyai Demang yang terjatuh tanpa bisa bergerak.
"Cari mati kamu!" Siku Ugrawe masuk ke dada Upasara.
Dua tangan Upasara yang terkepal dan menjaga, dengan mudah diterobos. Sebelum Upasara menguasai dirinya, kaki Ugrawe menjebol pertahanannya. Sia-sia Upasara melayang, karena kali ini pinggangnya justru dicengkeram. Sekali sentak tubuh Upasara terlempar ke atas mengenai atap. Jebol sampai di atasnya.
Gayatri menjerit. Tapi jeritannya tertutup teriakan para prajurit yang kini meringkus Nyai Demang serta Galih Kaliki. Gayatri menjerit karena merasa bahwa keadaan Upasara menjadi sangat buruk karena berusaha membela Nyai Demang.
Ugrawe sendiri langsung menjejakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke atas, melalui jebolan yang dilewati tubuh Upasara. Dalam keadaan melayang jatuh di genteng kayu, Upasara merasa bahwa dadanya kelewat sakit dan pinggulnya sangat nyeri. Ugrawe bukan hanya sakti tetapi juga kasar sekali.
Pikirannya masih kacau. Masih terpusat kepada bagaimana secara agak aneh, ia bisa menebak jurus-jurus Galih Kaliki. Demikian juga jurus Rawikara. Padahal kalau dilihat, apa yang dilakukan Ugrawe tak berbeda jauh. Tetapi kenapa justru yang terakhir ini bisa dibuat keok? Kalau hanya soal perbedaan tenaga dalam, hanya juga tak secepat ini! Tidak dalam satu-dua gebrakan!
Agaknya ini pula yang membuat Ugrawe bertanya-tanya dalam hati. Makanya ia tak memulai menyerang dengan pukulan andalan, melainkan dari bagian tengah. Dan buktinya, Upasara yang dihadapi seperti Upasara yang ketika pertama ditemui. Tak begitu mengejutkan. Malah boleh dikata seperti banteng tanpa tanduk, karena kini tidak memainkan keris.
Muncul dari lubang atap, Ugrawe langsung menggeliat tubuhnya. Kakinya menendang ke arah dada Upasara. Dan tubuh Upasara terpental jatuh ke tanah. Tanpa ampun lagi Upasara langsung bisa diringkus. Dengan gagah, berwibawa, dan senyum kemenangan, Ugrawe melayang turun kembali.
"Sebelum kubunuh, katakan siapa yang mengajarimu jurus Sekar Sinom itu."
Pikiran Upasara bagai disinari oleh kilat. "Sekar Sinom tadi?" Seketika Upasara menjadi ingat semuanya. Kini semua menjadi jelas. Apa yang dipraktekkan tadi adalah bagian yang dipelajari dari klika atau kulit kayu yang berjudul Tumbal Bantala Parwa. Atau Kitab Penolak Bumi! Itu adalah kitab yang dulu dibawa lari oleh Kawung Sen! Kitab yang dicuri dari perbendaharaan Ugrawe. Ataukah kitab yang dibacakan oleh Nyai Demang? Upasara tidak bisa mengingat jelas. Dulu kejadiannya hampir beruntun.
Sekarang jelas. Begitu tadi melihat Galih Kaliki menyerang dirinya sendiri, Upasara justru teringat jurus-jurus Tumbal. Jurus yang menjadi penangkis jurus tersebut! Selama ini Upasara telah melihat permainan silat Galih Kaliki, akan tetapi tak pernah mengetahui jurus apa sebenarnya. Hanya ketika Galih Kaliki menggunakan jurus itu untuk dirinya sendiri, Upasara seperti terbuka matanya. Dan itu pula sebabnya ia begitu mudah menebak arah serangan Rawikara. Bahkan rasanya ia tak usah melawan. Sekadar mengikuti gerakan tubuh yang terjadi dengan sendiri begitu lawan menyerang!
Yang pertama adalah jurus Manik Maya Sirna Lala. Yang membuka dua telapak tangan dengan kekuatan di sudut. Sedangkan yang disebut sebagai Sekar Sinom tadi adalah jurus ketiga. Pukulan dari Rawikara menghantam dirinya sendiri, karena dalam jurus Sekar Sinom, Upasara mempergunakan tenaga dalam biji asam. Biji asam akan membuka sendiri pada saat sudah tua. Kulitnya pecah, biji keluar. Tenaga itulah yang dipakai untuk melawan Rawikara, karena Rawikara-lah yang mematangkan!
"Tumbal Bantala adalah buku yang mudah diperoleh. Untuk apa hal itu ditanyakan?"
"Kamu tetap bermulut lebar. Bagaimana kamu bilang Tumbal Bantala Parwa buku yang mudah diperoleh? Buku itu merupakan lanjutan dari Bantala Parwa, atau buku silat berdasarkan kekuatan bumi. Seorang ksatria tak akan merendahkan diri untuk mempelajari ilmu perguruan lain. Kamu sungguh memalukan. Hina."
"Siapa yang mencuri apa? Apakah Paman Ugrawe merasa lebih berhak dari Kakang Galih Kaliki dalam soal Bantala Parwa?"
Ugrawe terkesiap. Ia memang tak pernah menyangka bahwa dasar-dasar gerakan tongkat yang patah itu mempunyai kemiripan dengan gerak-gerak yang dilatih dalam Sindhung Aliwawar. Ugrawe sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi masih sedikit bimbang. Sindhung Aliwawar menitikberatkan pada kekuatan memukul, sementara Galih Kaliki justru mempergunakan tongkat. Tetapi kalau dipikir-pikir memang mirip. Maka gerakan tongkat Galih Kaliki terasa aneh. Karena kurang mempergunakan pergelangan tangan, sebagaimana biasanya mereka yang berlatih menggunakan senjata.
"Pemabuk gila itu tak mengerti apa-apa mengenai Bantala Parwa."
"Terserah mau mengakui atau tidak."
"Dari mana kamu mempelajari kitab utama itu? Serahkan klika itu padaku."
"Sayang yang menulis buku itu telah mengambilnya sendiri. Kalau berani mengambil, kenapa tidak minta kepada orang yang bersangkutan?"
Ugrawe menyipitkan matanya. "Nyai Demang, di mana kiai cabul itu?"
"Tanya pada anaknya."
Ugrawe bergerak ke arah Mo Ing. "Bangsat tanpa kelamin. Di mana bapak atau moyangmu itu? Dari mana kalian mencuri pusaka leluhurku?"
Mo Ing dalam keadaan sekarat. Bekas luka dari Rawikara beberapa waktu lalu belum hilang. Apalagi kini tangannya telah putus. Antara mati dan hidup ia dicaci seperti itu. Dengan mengeraskan hati, Mo Ing menguatkan tenaga untuk meludahi Ugrawe. Ugrawe tak menduga bakal diludahi wajahnya. Tak sempat menghindar lagi.
Plak. Tangan Ugrawe bergerak cepat. Seketika tulang tengkorak Mo Ing retak. Darah menciprat ke seluruh tubuh Ugrawe. Lalu Ugrawe mengambil kain Mo Ing dan melap tubuhnya. Sekaligus melap wajahnya yang kena semburan ludah.
"Upasara, masihkah kamu bertahan untuk menyimpan rahasia buku itu?"
"Tak ada untungnya saya menyimpan. Tetapi saya minta Empu tidak melakukan sesuatu kepada Nyai Demang dan Kakang Galih Kaliki. Mereka tak ada hubungannya dengan saya dan masalah ini."
Ugrawe mengibaskan tangannya. "Itu soal kecil. Tetapi bahwa kamu mau menukar nyawamu untuk wanita genit ini, itu baru luar biasa."
Dengan satu kibasan lagi, Nyai Demang dan Galih Kaliki dibebaskan.
Di kegelapan, Gayatri tak bisa menahan jatuhnya air mata. Kini makin jelas bahwa Upasara lebih suka mengorbankan nyawanya sendiri untuk menolong Nyai Demang. Gayatri tak pernah mengerti bahwa Upasara tidak terlalu memikirkan masalah tersebut. Jalan pikirannya sederhana. Bahwa mereka berdua terlibat dalam masalah ini gara-gara kehadirannya. Dan kini Upasara mau menanggung sendiri akibat perbuatannya.
"Cukup puas?"
"Terima kasih."
"Ada lagi yang ingin kamu bebaskan?"
Gayatri menunggu Upasara mengucapkan namanya. Tetapi ternyata Upasara menggelengkan kepalanya.
"Serahkan kitab itu padaku."
"Sekarang ini masih dibawa oleh Kiai Sangga Langit."
Ugrawe menahan gejolak dalam dadanya. Upasara bukan orang yang suka berbohong. Itu Ugrawe tahu. Apalagi Upasara mengucapkan dengan biasa-biasa. Tanpa maksud menjelekkan atau mencari kambing hitam. Sesungguhnya Upasara juga tidak merasa berbohong sepenuhnya! Apa yang dikatakan adalah mendekati kebenaran. Karena Upasara berpikir bahwa tokoh lain yang bisa dihubungkan dengan soal segala macam kitab hanyalah Kiai Sangga Langit. Imam dari negeri Tartar itu paling getol mempelajarinya. Dan memberikan ilmu kepada orang lain.
Kawung Sen dulu juga mencuri. Tetapi pada dasarnya karena ingin memperolok saja. Tidak punya niatan untuk mempelajari dan mencuri. Hanya karena kesal dengan ulah Ugrawe. Kawung Sen sendiri buta huruf. Jadi kalau Ugrawe pernah merasa kehilangan, Kiai Sangga Langit-lah satu-satunya orang yang mempunyai kemungkinan untuk mengambil.
"Untuk sementara aku pegang omonganmu. Kalau sampai meleset, kamu tahu akibatnya."
"Sekarang pun saya siap untuk menerima akibatnya."
Ugrawe tersenyum. Sifat liciknya muncul. "Kenapa kamu mencari Kiai Sangga Langit?"
"Karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Selain Tumbal Bantala Parwa, Kiai Sangga Langit pernah menceritakan kitab silat yang berdasarkan bintang. Yaitu Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas jurus Bintang. Saya berusaha untuk menerangkan bagian yang tak diketahui untuk berlatih bersama."
Apa yang dikatakan oleh Upasara sangat tepat! Ugrawe memang kehilangan kitab itu. Yang ketika itu dicuri oleh Kawung Sen! Dengan menyebutkan judulnya saja, Ugrawe teringat koleksinya yang hilang! Ugrawe cerdik dan licik, akan tetapi tak mengira bahwa dulu Upasara-lah yang membacakan kitab itu bagi Kawung Sen.
"Aku percaya semua yang kau katakan. Nah, karena kamu telah mempelajarinya, dan aku kehilangan kitab itu, sekarang kau ajari aku."
"Begitu gampang dan hina mempelajari ilmu silat orang lain?"
Ugrawe memandang ke bulan. "Kitab itu justru pusaka leluhur kami yang hilang dicuri. Bagaimana mungkin dituduh mencuri ilmu orang lain?"
"Bagaimana saya bisa mempercayai omongan ini?"
"Baik. Mulai sekarang kamu berada di sini. Aku akan mengatakan satu jurus ilmu yang ada dalam Dua Belas jurus Bintang. Kamu menyebutkan salah satu juga. Kalau aku bohong, pasti salah menyebutkan. Begitu juga sebaliknya. Saat Kiai Sangga Langit datang, aku akan mengatakan bahwa ia imam busuk yang mencuri ilmu silat perguruanku. Bagaimana dengan tawaran ini?"
Ugrawe tersenyum dingin. Tawaran yang terlalu bagus. Sesaat melihat sorot mata Upasara, Ugrawe benar-benar merasa kecolongan. Mana mungkin ksatria seperti Upasara akan memberikan ilmu silat kepada dirinya? Taktiknya ini hanya sekadar untuk meloloskan Galih Kaliki dan Nyai Demang! Tak bisa lain. Ugrawe merasa tertipu. Kesal. Ia selalu keliru, karena justru mengukur sifat-sifat Upasara sebagai manusia biasa.
"Aku tahu tipu muslihatmu, Upasara," kata Ugrawe dengan nada tinggi. "Tapi sengaja kuberikan kesempatan kepada Galih Kaliki dan Nyai Demang busuk itu pergi. Yang kuharapkan adalah menyobek-nyobek tubuhmu. Soal mereka berdua sangat mudah dihadapi."
Ugrawe langsung menggempur. Dengan penuh keyakinan diri, Upasara meloncat maju untuk menghadapi.
"Aku tak berdusta. Akan kuberikan Dwidasa Nujum Kartika. Kalau bisa menghadapi semuanya, berarti masih perlu belajar. Kalau bisa menghentikan pukulan sebelum dua belas jurus ini selesai, bisa menguasai ilmu itu."
Upasara langsung memapak dengan jurus Lintang Sapi Gumarang. Dengan mengisarkan kedua kaki, arah tenaga diambil dari utara-selatan. Upasara memapak maju dengan getaran tenaga musim Kasa, musim pertama. Gerakan dan dorongan tenaga yang sama dengan embun baru menetes, genjotan binatang yang meloncat dari sarangnya. Ugrawe seperti didorong habis. Tersapu dan mendadak menjadi mundur.
Bagi Upasara, menghafalkan jurus-jurus yang sama sekali baru tak terlalu sulit. Modal utama yang dimiliki ialah kemampuan mengonsentrasikan pikiran. Dalam hal begini, barangkali Upasara tiada tandingannya. Memusatkan pikiran sudah dilatih sejak ia lahir. Upasara tak mau memperhitungkan Ugrawe yang mundur, ia menerjang maju, bagai tenaga buah padi yang tumbuh. Lintang Tagih, tenaga luar yang panas mengancam, akan tetapi tetap dingin di dalam.
Ugrawe berseru kaget. Ia bukannya tak bisa mengimbangi. Akan tetapi sangat terpesona. Di satu pihak ingin menjajal, tetapi di lain pihak ingin mengetahui ilmu yang dimainkan Upasara. Ugrawe menangkis serangan atas, dan mendadak tubuhnya terbanting.
Ini adalah jurus Lintang Lumbung, jurus ketiga. Kekuatan utama di kaki, seperti kekuatan akar yang baru tumbuh. Menusuk apa saja yang menghalangi. Terbanting ke atas tanah, Ugrawe segera menggulung dirinya. Bagai putaran angin ribut. Melonjak tinggi ke angkasa. Dua tangannya berputar berusaha menggagalkan serangan berikut. Tapi Upasara malah menarik diri.
"Tiga jurus saja sudah keok. Untuk apa diteruskan?"
Ugrawe melayang turun. Tangannya mengibas. Seluruh prajurit mengepung.
"Upasara, aku datang," terdengar suara Kiai Sangga Langit. "Sungguh berbahagia, aku bisa menemui seorang ksatria dalam jiwa dan tindakan. Karena mereka main keroyok, aku akan membelamu."
Dalam sekejap, pertempuran berubah menjadi keroyokan. Para senopati Keraton tak ragu lagi menyerang dari segala jurusan. Upasara merasa bahwa tubuhnya belum pulih akibat tendangan Ugrawe, merasa was was dengan tenaganya kalau dipakai terus-menerus.
"Kiai, saya masih ada urusan...." Tubuhnya melayang ke arah luar.
"Aku ikut!"
Dua tubuh terbang ke angkasa bagai dua ekor burung. Kiai Sangga Langit yang bertubuh gede bisa melayang dengan enteng, bagai burung gagak. Sedangkan Upasara bagai burung garuda. Perkasa, mengagumkan, dengan dua tangan terentang. Sebuah tombak yang diarahkan kepadanya diraup dengan lembut. Bahkan ketika hinggap di benteng sisi luar, langsung mengukir tulisan. Di bawah tulisan mengenai "lautan asmara".
Gay, kutunggu
Di pelabuhan
di saat kapal
melabuhkan Kerinduan
Memang termasuk luar biasa. Dalam keadaan melayang, Upasara masih bisa mencoretkan kata-kata. Ingatannya kepada Gayatri membuatnya tak bisa meninggalkan begitu saja. Harapan Upasara, Gayatri akan membaca tulisan yang sengaja dibuat besar-besar, untuk segera kembali ke Kali Brantas. Karena situasinya tidak memungkinkan bagi Upasara untuk mencari Gayatri. Kalau saja Upasara tahu bahwa Gayatri ikut masuk ke dalam Keraton dan melihat semuanya, hasilnya akan lain! Turun di tanah, Upasara segera bergegas menjauh. Di depan Kiai Sangga Langit, yang ternyata lebih unggul, sudah menunggu.
"Banyak ksatria kujumpai dalam perjalanan ini, tetapi kamu tetap lain. Sejak pertemuan pertama dulu aku sudah jatuh hati padamu. Kalau ada waktu baik, aku akan memberikan seluruh ilmuku padamu."
Keduanya tetap berlari kencang. Jauh meninggalkan para pengejarnya.
"Aku menjelajah dunia karena mau menyebarkan ilmu yang kumiliki. Seperti ajaran yang kuperoleh selama ini. Aku bukan prajurit. Meskipun kesalahanku yang utama, aku mau diangkat menjadi imam negara. Sekarang aku menemukan bakat besar. Bagaimana, Upasara?"
"Tiada ucapan terima kasih yang bisa saya ucapkan. Akan tetapi sekarang saya masih ada tugas. Saya harus kembali ke desa Tarik. Kesempatan lain, Kiai."
"Untuk apa ke sana, sebentar lagi tempat itu rata dengan tanah."
Upasara kaget. Tanpa terasa tubuhnya jadi bergoyang.
"Para pembesar Tartar tak mau menunggu lebih lama. Saya tak bisa menyalahkan. Mereka diutus oleh Kaisar untuk membalas dendam. Dan itu dijalankan. Kita bisa lain, Upasara. Mari kita lepaskan segala urusan ini. Kita berlatih bersama, dan melanglang jagat. Mensyukuri hidup sebagai ksatria. Untuk apa kita meributkan diri soal takhta?"
"Saya tak bisa melepaskan masalah Keraton lebih dulu. Kiai, marilah kita memilih jalan sendiri-sendiri."
"Selama ini begitu banyak yang menyembah untuk berguru padaku. Tetapi kamu berani menolak."
Kiai Sangga Langit berhenti.
Upasara juga berhenti.
"Tak ada yang bisa menolakku, Upasara."
"Saya tidak menolak. Akan tetapi kalau kita hanya memperhatikan masalah pribadi, apa jadinya kita ini? Kiai juga terpaksa berperang dengan Ngabehi Pandu, soal membela nama negara."
"Itu hanya alasan agar aku bisa menjajal kemampuannya."
"Kalau itu yang juga dipakai alasan untuk menjajal kemampuan saya, saya akan meladeni. Hanya bagi saya alasannya adalah karena Kiai menghalangi jalan saya pulang ke desa Tarik."
Kiai Sangga Langit menggeleng. "Mari kuantar ke Tarik. Dari sana, setelah tanah itu rata, segala dendam ini tertumpahkan, kita berlatih silat."
Aneh sekali perangai Kiai Sangga Langit ini, pikir Upasara. Ia untuk pertama kali mengetahui bahwa di jagat ini ada orang yang begitu kesengsem, begitu tergila-gila oleh ilmu silat. Dan semata-mata demi ilmu itu sendiri. Tapi pikiran Upasara lebih terpusat mengenai rencana penghancuran tempat pertahanan di desa Tarik. Kalau pasukan Tartar menyerbu, benar seperti yang dikatakan Kiai Sangga Langit: bumi bakal rata.
Maka, Upasara memusatkan tenaga untuk berlari sekencang mungkin. Ia kemudian mengambil kuda. Membalap sepenuh tenaga. Akan tetapi begitu masuk daerah Tarik, hati Upasara kecut juga. Seluruh daerah sudah dikepung rapat. Tak ada bagian yang tersisa...
Upasara merasa dirinya menjadi manusia yang tak berguna. Kenapa justru ia memikirkan Gayatri? Kenapa justru ia memikirkan kata-kata yang bersayap yang bisa diartikan memberi harapan?
Upasara mulai memusatkan diri untuk bergabung dengan para pendekar yang masih menderita kesakitan. Di antara mereka hanya Jaghana yang masih kelihatan tetap tenang. Selalu berusaha memulihkan tenaga dalamnya dengan jalan bersemadi, mengatur napas. Walau di akhirnya selalu menggelengkan kepala.
"Benar-benar ganas luar biasa. Ilmu Ugrawe mempunyai perkembangan yang makin menunjukkan titik-titik tanpa akhir. Makin berbahaya. Jika ini terus dikembangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, barangkali tak akan pernah ada lagi yang mampu mengimbanginya."
"Pak Gundul, kamu ini begitu sengsara. Selama ini ia jeri kepadaku, buat apa gegetun?" teriak Gendhuk Tri lantang.
"Benar, Tole, kita berdua akan mencincangnya," kata Dewa Maut tanpa peduli keadaan dirinya sendiri.
"Banjir Bandang Segara Asat adalah satu tahapan akhir dari semua jurus yang dikenal Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Akan tetapi jurus ini juga membuka tahap lain, yang bisa mencapai puncaknya lagi. Dengan kekuasaan dan kelicikan yang dimiliki, Ugrawe akan terus melaju."
"Bukankah Mpu Ugrawe sedang terluka?"
Jaghana memandang Upasara.
"Ya, tetapi ia bisa dengan cepat memulihkan tenaganya. Bahkan Rawikara pun bisa segera dipulihkan. Asalkan ada korban yang dipindahkan tenaga dalamnya. Dengan mengatur seberapa tenaga dalam yang diisap, Rawikara akan bisa disembuhkan. Sekarang ini masih lemah, jadi bisa dipakai tenaga dalam pada tingkat permulaan untuk memukulnya. Dengan demikian tenaganya berpindah. Rawikara mempunyai modal. Begitu seterusnya, makin lama makin meningkat. Ini berarti akan segera pulih dan berlipat ganda. Aku bilang dengan akal liciknya, dengan kekuasaan yang dimiliki, ia bisa melakukan itu."
Mendadak Upasara menghaturkan sembah. Bersujud. "Saya yang rendah tak bisa melihat cahaya ini. Kalau Mpu Ugrawe bisa melakukan, kenapa kita tidak? Banjir Bandang Segara Asat intinya adalah memindahkan tenaga lain ke dalam diri kita. Bisa juga memindahkan tenaga kita ke dalam diri orang lain. Seumpama kata membuat banjir di daratan dengan mengeringkan laut. Paman Jaghana, bersiaplah...."
Jaghana melengak. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara akan melakukan itu. Akan mengirimkan tenaganya sendiri untuk diserap orang lain. Memberikan tenaga dalamnya sendiri. Bagi Upasara tak terlalu sulit karena bisa memperkirakan tenaga Jaghana. Sehingga pemindahan tenaga itu tak akan melukainya.
"Jangan gegabah...."
"Saya tahu. Paman Jaghana akan menolak. Paman Pembarep akan menolak. Akan tetapi ini satu-satunya cara untuk memulihkan tenaga Paman semua. Paman semua adalah ksatria sejati, pembela kebenaran. Saat ini Keraton sedang dalam bahaya besar. Baik dari rencana Baginda Jayakatwang maupun dari negeri Tartar. Paman semua jauh lebih berguna dari saya. Maaf, maafkan saya... kalau memaksa...."
"Anakmas...," Wilanda bersuara lemah. "Sampai mati pun saya akan menyesali tindakan ini. Sudah jelas sekarang Anakmas Upasara jauh lebih diperlukan."
"Tidak ada artinya satu Upasara dibandingkan dengan Paman semua, para ksatria sejati. Seperempat tenaga dalam pulih, Paman akan bisa terus mengembangkan. Dan dalam waktu singkat kita mempunyai banyak ksatria."
"Tidak bisa. Saya akan menolak."
"Maaf, saya akan memaksa." Bagi Upasara bukan sesuatu yang sulit untuk memaksakan tenaga dalam. Yang ditolong sekarang ini tak mungkin bisa menolak.
"Tidak bisa. Tetap tidak bisa," kata Pembarep. "Jangan lakukan itu, Upasara. Kamu sekarang dipercaya Sanggrama Wijaya. Mana mungkin orang yang dipercaya jadi loyo? Tugas Keraton masih besar bagimu."
"Paman akan segera menggantikan."
Wilanda menggelengkan kepalanya. "Anakmas, sesembahan saya sejak kecil. Kalau Anakmas memaksakan itu, Anakmas akan menyesal. Karena begitu saya mempunyai tenaga, saya akan membunuh diri."
"Saya juga," kata Pembarep.
"Kami semua akan membunuh diri di depanmu."
Sejenak Upasara menahan napas. Tak menyangka sama sekali bahwa niatnya menolong ditolak dengan cara seperti itu. Bisa-bisa malah hancur semuanya.
"Saya percaya, itu tak akan pernah terjadi. Saya mempercayai sikap jiwa besar para ksatria. Tak nanti akan menyia-nyiakan nyawa begitu saja."
Dengan keputusan mantap, Upasara mulai bersila. Memusatkan konsentrasi. Mendadak terdengar suara lembut.
"Saya tak pernah menyangka ada manusia di dunia ini yang begitu jahat dan kejamnya."
Upasara bergeming, kalau saja suara itu bukan suara yang mampu mengusik jiwanya. Benar juga! Ketika matanya terbuka dan helaan napas terdengar, ia melihat wajah Gendhuk Tri yang berubah dongkol. Siapa lagi yang mampu mencemberutkan wajah Gendhuk Tri secara seketika selain Gayatri?
"Kejam apanya?" teriak Gendhuk Tri. "Di seluruh kolong langit ini, biar ayahmu yang raja atau kamu sendiri, tak ada sekuku hitam dibanding Kakang Upasara. Kakang Upasara adalah yang paling mulia. Mengorbankan tenaga dalamnya sendiri untuk orang lain. Nah, yang begini masih kamu sebut kejam?"
"Ugrawe kejam karena sifatnya seperti itu. Akan tetapi Upasara jauh lebih kejam, karena ia mengembangkan ilmu jahat itu."
"Cuh. Kamu ngerti apa? Bedak-pupur kamu tahu. Tapi soal ilmu silat, menggerakkan tangan lebih tinggi dari bahu saja kamu belum pernah. Melangkah lebih besar dari kainmu saja tak mungkin."
"Tetapi aku tak sekejam Kakang Upasara. Dengan memberikan tenaga dalam kepada Paman Jaghana, Paman Dewa Maut, Paman Wilanda, Paman Pembarep, dan yang lainnya, di kemudian hari paman ini semua akan terus-menerus mencari korban. Terus-menerus mencari korban baru. Sampai akhirnya harus bertarung di antara mereka sendiri. Apakah ini tidak kejam dan jahat? Apakah ini tidak menanamkan benih kejahatan dan kekejaman di esok hari?" Lembut nadanya, perlahan iramanya, akan tetapi terasa masuk dan mengena.
Untuk sesaat Upasara tak bisa mengatakan satu patah kata pun.
"Pada saat sekarang ini tak ada yang menghalangi Kakang. Tak ada yang bisa. Saya sendiri tak bisa menghentikan kemauan jahat dan kejam yang dianggap mulia ini. Semua terserah Kakang sendiri."
Jaghana memuji kepandaian Gayatri.
Pembarep menghela napas.
"Ilmu Banjir Bandang Segara Asat memang ilmu yang luar biasa ganasnya. Tapi bukan berarti tanpa kelemahan. Semua ilmu silat, makin kuat, makin tangguh, makin kuat makin tangguh pula kelemahannya. Banjir Bandang hanya mengembangkan salah satu bagian dari sifat-sifat ilmu silat yang sesungguhnya. Dengan demikian, ada bagian lain yang tak bisa dikembangkan. Karena terlalu menyerang, pertahanannya pasti berkurang. Udara yang dilontarkan terlalu banyak. Dalam titik itu, sebelum tenaga mengisap bekerja, kita bisa mencuri ketika itu. Itulah salah satu kelemahan Banjir Bandang...."
Mendadak Jaghana menghaturkan sembah. "Gusti Putri... saya tidak menyangka akan bertemu Gusti Putri...."
Suaranya memelas, penuh rasa hormat yang tulus. Demikian juga Wilanda. Bahwa Gayatri bisa menguraikan dengan jelas mengenai jurus Banjir Bandang, bisa mengundang heran. Karena tak ada yang menyangka ia akan bisa berbicara sefasih itu. Tetapi bahwa Jaghana dan Wilanda menyembah dengan sangat hormat, lebih mengherankan lagi.
"Sungguh tak nyana, hamba masih mendapat berkah untuk mendengarkan. Sungguh tak nyana...." Jaghana menyembah lagi. "Apakah ada titah lain, Gusti Putri?"
Gayatri menghela napas. "Awan di langit bergerak dengan sendirinya, tak usah dipaksa-paksa. Angin dini hari akan menggerakkan sendiri."
Jaghana dan Wilanda menyembah secara bersamaan. Gendhuk Tri pun menjadi terkesima.
"Kami akan berusaha...."
Itu saja jawabnya. Dan sejak memberi jawaban itu Jaghana lalu bersila, bersemadi bersama dengan Wilanda. Sampai Gayatri meninggalkan tempat, tetap bergeming. Sampai akhirnya Upasara pun turut meninggalkan tempat. Dengan beberapa pertanyaan dalam hati. Apa arti kata-kata Gayatri yang begitu besar pengaruhnya bagi Wilanda dan Jaghana? Apa hubungannya dengan jawaban Gayatri dan sikap mereka terus bersemadi mati raga?
"Saatnya akan datang untuk saya ceritakan semuanya, Kakang. Saya berjanji untuk tidak mengatakan sesuatu."
"Gusti berjanji kepada siapa?"
"Kalau saya katakan, berarti saya melanggar janji."
"Kakang Prabu?"
"Kenapa selalu itu yang Kakang bicarakan?"
"Saya tak mempunyai dugaan lain."
"Semua merasa bahwa kami berempat adalah calon istri Kakang Prabu Wijaya. Tak meleset sedikit pun. Memang begitulah seharusnya menurut aturan. Akan tetapi bukankah belum terlambat? Sebelum ada janur kuning tanda peresmian, semua bisa terjadi. Kakang Upasara...." Suara Gayatri menjadi perlahan sekali, tertutup oleh suara tarikan napas yang menggemuruh. "Apakah layak seorang wanita menawarkan kesempatan kepada seorang pria? Apakah tidak membuat wanita itu menjadi sangat rendah di mata pria tersebut?"
Upasara bergeming.
"Jawablah, Kakang. Bila ada wanita mengatakan seperti itu, apakah wanita itu lebih rendah dari seekor cacing?"
"Hamba tak berani mengatakan... Hamba tak mengerti harus bagaimana... Semuanya begitu tiba-tiba dan tak pernah hamba bayangkan. Kehormatan besar ini, entah dengan cara bagaimana hamba bisa menyadari."
"Tentang cacing yang rendah?"
"Hamba yang lebih jahat dan lebih kejam dari cacing, tak bisa memberikan penilaian, Gusti...." Upasara menyembah hormat. "Kalau semua nanti bisa terjadi... hamba tak tahu dengan cara apa mensyukuri anugerah Dewa Yang Mahaagung...."
Ketika akhirnya Raden Sanggrama Wijaya datang kembali, Upasara mendapat tepukan di pundak.
"Tak sia-sia kupercayakan Tarik padamu, Upasara...."
"Hamba menjalankan tugas sebisanya. Selebihnya para prajurit sendiri yang menjalankan tugas dengan baik."
"Ya, akan tetapi kita tetap berada dalam bahaya. Karena kita berlomba dengan waktu. Cepat atau lambat senopati Daha, Sagara Winotan dan Jangkung Angilo, akan mengetahui apa yang kita persiapkan. Jika ini diketahui, habislah riwayat kita. Sementara pasukan negeri Tartar sungguh luar biasa. Prajurit yang benar-benar tangguh, tersusun rapi, dan bukan nama kosong belaka bahwa mereka telah menaklukkan banyak negeri seberang. Aku tak tahu mana yang harus kupilih. Menggempur Keraton Daha secepatnya ataukah menyingkirkan pasukan Tartar. Dua-duanya sangat berat. Tapi aku memilih yang kedua. Dengan bantuan prajurit Keraton Daha, prajurit Tartar akan kusingkirkan. Dengan begitu kepercayaan Baginda Jayakatwang akan membesar. Dan itulah saat terbaik untuk merebut takhta. Bagaimana pendapatmu, Upasara? Hanya kamu yang belum kudengar."
Upasara menghaturkan sembah. "Hamba tak begitu tahu mengenai strategi. Gusti Putri Gayatri barangkali bisa lebih memberikan penjelasan...."
Raden Sanggrama Wijaya mengerutkan alisnya. Beberapa detik cuma. "Itu aku bisa menanyai sendiri. Aku ingin mendengarkan pendapatmu."
"Maafkan, Raden. Menurut saya lebih mudah menggempur Keraton Daha dibandingkan prajurit Tartar. Para senopati di Keraton Daha telah kita ketahui kekuatannya. Dan lebih banyak rakyat yang mendukung kita."
Sanggrama Wijaya tersenyum.
Upasara menjadi kecil.
"Perhitunganmu ada benarnya. Keraton lebih lemah. Akan tetapi perhitunganku lain. Kita harus menggempur Tartar dulu. Dengan cara ini, kita membangkitkan perlawanan seluruh masyarakat. Para ksatria, para pendekar yang selama ini bersembunyi seperti Ngabehi Pandu, akan keluar dari sarangnya. Mereka akan bangkit membela tanah airnya. Lalu kita belokkan untuk menggempur Keraton. Aku sedang menunggu persetujuan Paman Wiraraja. Perhitunganku sederhana: kita bermusuhan dengan Keraton. Akan tetapi dibandingkan dengan Tartar, kita jelas harus lebih memusuhi Tartar. Nah, bagaimana dengan keteranganku ini? Cukup jelas?"
Upasara menyembah.
"Tadi kamu menyebut Gayatri... Kenapa kau tunjuk dia untuk melihat strategi? Kurasa agak salah alamat. Bukan Gayatri yang selama ini ingin mengetahui masalah strategi. Tetapi kenapa kau usulkan, Upasara?"
"Hamba salah bicara. Maaf, Raden."
"Katakan, jangan takut-takut."
"Gusti Putri Gayatri ternyata diam-diam mempunyai pengetahuan yang luas. Juga dalam ilmu silat. Setidaknya Paman Jaghana dan Paman Wilanda kini sedang berusaha menawarkan pengaruh pukulan Banjir Bandang atas petunjuk Gusti Putri. Barangkali pengetahuannya..."
Raden Sanggrama Wijaya menggeleng. "Aku tidak percaya. Gayatri tidak mengetahui masalah itu. Tak mungkin. Karena aku mengenalnya. Tetapi sifatku adalah selalu memberi kesempatan. Upasara, kuangkat kamu menjadi senopati hari ini secara resmi. Kalau selesai persoalan ini, kamu bisa menagih padaku. Dan tugasmu yang pertama adalah kembali ke Keraton Daha. Melalui Kiai Sangga Langit, kamu bisa melihat kelemahan prajurit Tartar. Kudengar namamu disebut dengan hormat oleh Kiai Sangga Langit. Kalau kamu menganggap Gayatri bisa memberimu petunjuk, kuizinkan ia ikut serta denganmu. Dan seluruh tanggung jawab ada di pundakmu."
Geledek besar pun tak akan mengguncangkan Upasara seperti sekarang ini! Berangkat ke Keraton Daha dengan putri yang mengguncangkan saraf-saraf yang paling peka? Sesaat Upasara lupa untuk menghaturkan sembah. Menunduk bergeming.
Raden Wijaya segera menyusun kekuatan. Para prajurit dari tlatah Madura yang mulai berdatangan, menyamar sebagai petani, menjadi nelayan di sepanjang Kali Brantas sambil memata-matai. Bagi Raden Wijaya agaknya tidak perlu memusingkan dengan pikiran kenapa kemudian Aria Wiraraja berbalik membantunya. Pada masa Baginda Raja Kertanegara, Aria Wiraraja merasa disingkirkan. Ia berpihak kepada Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang. Akan tetapi agaknya kehancuran Keraton Singasari serta cara-cara Jayakatwang menghancurkan, membuatnya sadar. Bahwa pilihannya keliru. Apalagi ketika Raden Wijaya dan rombongannya melarikan diri dari Keraton dan terlunta-lunta.
Aria Wiraraja adalah ahli strategi yang ulung. Bermain di belakang layar. Seketika itu pula jatuh keputusannya untuk membela Raden Wijaya, yang dianggap akan bisa mengembalikan citra Keraton. Ia mudah dan bisa diterima oleh Raja Jayakatwang ketika mengusulkan untuk memberi pengampunan kepada Raden Wijaya, asal yang terakhir ini membuat tanda penyerahan. Dan Aria Wiraraja mengatur semua ini. Kini setelah merasa tiba saatnya, Aria Wiraraja mengirim prajuritnya untuk bergabung. Sungguh suatu liku-liku yang Ugrawe pun tak mampu mengendusnya.
Raden Wijaya merasa mendapat bantuan sepenuhnya. Maka, dibuat dua rencana sekaligus. Pertama mengadakan persiapan, dan yang kedua mengirim telik sandi, atau tugas rahasia ke Keraton. Tugas inilah yang diberikan kepada Upasara Wulung.
Upasara meminta pamit kepada para pendekar yang masih menderita. Sejak pertama Wilanda dan Jaghana tetap bergeming. Seakan mati raga. Kepada Pembarep, Panengah, Wuragil, Dewa Maut, kedua Pu'un, Upasara menceritakan tugasnya. Hanya ketika tiba giliran Gendhuk Tri, Upasara menjadi bingung. Karena tidak berhasil menemukan. Dalam perjalanan, Gayatri mengingatkan hal ini.
"Pasti ada apa-apanya dengan adik manis yang bandel ini," kata Gayatri yang memakai pakaian lelaki.
"Entahlah, Gusti...."
"Selama Kakang masih memanggil dengan sebutan itu, sama juga membuka rahasia."
"Maaf, Gay...."
"Adik manis Gendhuk Tri kelihatannya kurang suka kita jalan bersama. Sebetulnya tak ada salahnya ia diajak."
"Kita harus berangkat segera."
Dalam perjalanan, mereka berdua menukar dua kuda pada tempat-tempat tertentu. Ternyata pengaturan pasukan di sepanjang Kali Brantas sangat rapi dan teliti. Boleh dikatakan mereka berdua tak menemukan kesulitan sedikit pun. Di setiap tempat yang ditentukan telah disediakan dua ekor kuda segar, berikut makanan sekadarnya. Mereka yang mengganti kuda melakukan tanpa bertanya satu patah kata pun.
"Raden Wijaya memang hebat."
"Dalam hal mengatur seperti ini Kakang Prabu memang luar biasa. Tapi kenapa kamu mengajakku?"
Upasara merah wajahnya.
"Kalau yang ada di jagat ini hanya kita berdua, akankah kamu selalu malu-malu?"
"Hmmmmm." Upasara menghela napas panjang. "Saya tak menyangka bahwa Raden Sanggrama Wijaya akan memberikan izin begitu cepat. Bahkan hanya kita berdua yang disuruh berangkat."
"Kamu menyesal, Kakang?"
"Tidak, Gus... tidak, Gay. Saya merasa bahagia sekali."
"Tahukah kamu kenapa Kakang Prabu memberi izin aku berangkat bersamamu?"
"Karena Kakang... Karena Raden Wijaya mengetahui saya mengharapkan itu?"
"Ada benarnya. Akan tetapi hanya separuh. Kakang Prabu sangat mengharapkan kembalinya takhta. Apa pun akan diberikan untuk merebut kembali Keraton Daha. Jangan kata cuma aku bersama tiga saudariku, akan diberikan. Kakang Upasara, itulah yang kadang membuatku bimbang. Aku sudah ditakdirkan menjadi putri seorang raja. Dan sekarang ini, lelaki yang paling pantas mendampingiku adalah Kakang Prabu. Akan tetapi, sesungguhnya Kakang Prabu mengawiniku sebagai bagian dari kebesaran seorang calon raja. Sebagai yang paling berkuasa. Yang paling tinggi. Kakang, itulah nasib yang selalu kukatakan."
"Apa ruginya mendampingi seorang seperti Raden Wijaya?"
"Tak ada, Kakang. Kakang Prabu jauh lebih tampan darimu, darah birunya murni. Kekuasaan besar dengan persiapan dan masa depan yang disinari bulan kebesaran. Akan tetapi aku merasa, aku hanya sebagian dari kebesarannya itu. Seperti juga tombak pusakanya, seperti para senopatinya, seperti kuda-kuda kesayangannya."
"Juga ketiga saudarimu?"
"Bahkan kalau putri-putri yang melarikan diri sepuluh, semuanya akan diambil oleh Kakang Prabu. Sebagai pertanda kebesarannya. Tidakkah kamu merasakan yang kurasakan, Kakang?"
"Rasanya bisa. Tetapi apakah itu mungkin? Saya tak mempunyai darah biru. Saya hanya bagian yang kecil dari sekian banyak prajuritnya, yang merasa dendam kepada Raja Jayakatwang."
"Kalau kamu berani, kamu bisa, Kakang. Aku tak pantas mengatakan ini, akan tetapi aku akan mengangguk bila Kakang menarikku. Seperti juga ajakan perjalanan ini."
Upasara memandang wajah Gayatri. Ketika Gayatri balik memandang, Upasara menunduk. Bibirnya bergetar. "Setelah semua urusan ini selesai, saya akan mengatakan langsung kepada Raden Wijaya."
Upasara mengempit perut kudanya dan melarikan lebih kencang. Gayatri tersenyum, lalu menyusul. Sebagai putri Keraton, soal menunggang kuda bukan hal yang istimewa. Apalagi putri Baginda Raja Kertanegara yang mempunyai keleluasaan dan pandangan jauh ke depan. Tanpa terasa, malam hari mereka masuk ke dalam Keraton. Melewati gerbang.
"Yayi Gay... malam ini saya akan menyelusup masuk. Sebaiknya Yayi menunggu di luar."
"Kalau aku tak boleh masuk, untuk apa aku diajak kemari?"
"Saya tak mengharapkan rambut Yayi tercerabut karena bahaya yang mungkin datang. Saya mengusulkan mengajak Yayi karena saya ingin berdekatan. Karena Yayi bisa memberi nasihat kepada Paman Jaghana dan Wilanda...."
"Itu soal lain, Kakang. Aku hanya mengulangi kata-kata yang diucapkan di tepi telingaku."
"Siapa tokoh yang begitu sakti? Apa mungkin roh Eyang Raganata?"
"Aku mengenalnya, setidaknya sebutannya. Akan tetapi aku tak boleh mengatakan kepada siapa pun."
Upasara memberi salam hormat. "Maafkan saya telah lancang. Saya tidak memaksa Yayi... Sekarang Yayi menunggu di dalam rumah itu. Kakang akan menemui Kiai Sangga Langit."
Belum selesai ucapannya, tubuh Upasara lenyap dari pandangan. Kadang Gayatri tak mengerti akan sikap Upasara. Ada dorongan begitu kuat dari Upasara untuk mendekatinya, akan tetapi juga ada keinginan untuk segera menghindari. Kadang bisa bicara urut, panjang, kadang berdiam diri saja. Hanya kalau dipancing-pancing baru keluar ucapannya.
Upasara memang merasa jengah. Ingin dekat, ingin menatap, tetapi hatinya selalu menjadi sangat gelisah. Pikirannya tak menentu. Upasara sering menyalahkan dirinya sendiri karena soal ini. Seperti ketika melewati dinding benteng bagian dalam yang terukir "di lautan asmara", Upasara merasa kata-kata itu secara khusus diciptakan untuknya. Untuk menggambarkan kerinduannya kepada Gayatri!
Upasara langsung menuju ke tempat tinggal Kiai Sangga Langit. Baru mau melangkah masuk ketika terdengar suara kasar.
"Aha, aku menunggumu."
Upasara terkesiap. Baru terdengar helaan napasnya. Ternyata Galih Kaliki yang menyambutnya.
"Dewa mempertemukan kita, saudaraku," kata Galih Kaliki, seperti sedang mabuk.
"Terimalah sungkem dari keponakan atau adik atau saudara ini."
"Aha, kau suka basa-basi. Ayo sini, menikmati indahnya surga."
Upasara baru sadar bahwa Galih Kaliki benar-benar dalam keadaan mabuk. Mabuk berat. Memang itulah cara yang dipakai Nyai Demang. Agar Galih Kaliki tidak berbuat kurang ajar, Nyai Demang memberinya arak terus-menerus. Selama beberapa hari Galih Kaliki berada dalam keadaan mabuk, pingsan, mabuk, tertidur, mabuk lagi. Upasara mengeryitkan keningnya. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Nyai Demang yang tubuhnya montok dan suka main mata itu ternyata berhati keji.
"Untung kamu datang kemari. Majulah, Upa... apa pun yang akan kita lakukan, si tua bangka ini tak akan tahu."
"Mbakyu Demang..."
"Aku tahu, Upa. Kamu juga mengharapkan...."
"Saya..."
"Aku terlalu tahu tentang lelaki. Sorot mata lelaki yang bagaimanapun, aku bisa mengetahui. Aku hidup di antara sorot mata seperti itu. Kenapa? Kamu malu? Galih Kaliki tak akan mengetahui apa-apa."
"Benar, saudaraku. Aku tak tahu apa-apa. Apa yang kuketahui tak ada. Begitu, Nyai?"
"Mbakyu Demang, saya datang untuk menemui Kiai Sangga Langit."
"Ada urusan apa?"
"Ada sesuatu yang akan saya katakan."
"Dia akan kuberitahu kalau malam ini kamu menemaniku. Kenapa kamu begitu jual mahal, Upa? Di jagat ini semua lelaki mau menyembah, mau menjadi budak untuk bisa berdekatan denganku. Kenapa kamu sok gagah?"
"Bukan begitu, Mbakyu. Pada kesempatan lain, saya akan mengatakan semua. Malam ini akan menemui Kiai Sangga Langit."
Wajah Nyai Demang berubah merah. "Seumur hidup, inilah pertama kalinya aku ditolak. Galih Kaliki, ambil tongkatmu. Ayam kampung ini perlu dihajar."
Galih Kaliki meraih tongkat hati pohon asam, langsung dipukulkan ke arah Upasara. Dalam keadaan mabuk dan limbung, pukulannya tetap keras dengan penuh tenaga. Upasara menggeser badannya. Dua tangan secara terkepal mencoba merebut. Mengenai angin kosong, tongkat Galih Kaliki berbalik. Tegak. Menghajar secara mendatar. Upasara justru menyongsong maju.
Nyai Demang tak percaya bahwa dalam satu gebrakan tongkat pusaka Galih Kaliki bisa dipegang Upasara. Walau dalam keadaan sangat mabuk, Galih Kaliki jelas bukan tokoh sembarangan! Ataukah dalam sekejap Upasara sudah meloncati tahapan yang luar biasa dalam ilmu silat?
"Kena!" Justru Galih Kaliki yang berteriak. "Kena, Nyai. Ayamnya kena."
"Kena gundulmu. Kamu memang lelaki tak berguna."
Upasara melepaskan genggamannya. Galih Kaliki menarik kepala tongkatnya. Jalannya sempoyongan.
"Pukul sendiri kepala kamu. Itu ayamnya!"
Galih Kaliki menghantam kepalanya sendiri! Upasara lebih dulu meloncat maju menahan arah pukulan ke kepala Galih Kaliki. Di luar dugaan, Galih Kaliki memutar tongkatnya menghindar, kini dipakai mengemplang kepalanya sendiri dari samping. Tak ayal lagi, Upasara meluncur ke atas. Tubuhnya terbang secara terbalik, dengan kaki di atas. Dua tangan sekaligus menahan ayunan tongkat.
Galih Kaliki menggeser agak turun. Kini yang diarah jakunnya sendiri. Terjadi pemandangan yang ganjil. Galih Kaliki yang bertubuh besar dengan gerakan aneh mencoba memukul kepalanya sendiri, sementara justru Upasara berusaha mencegah. Tiga gerakan aneh Galih Kaliki berhasil digagalkan oleh Upasara. Bahkan seakan dengan mudah sekali Upasara menebak gerakan tongkat Galih Kaliki.
"Hah!" Sekali renggut, tongkat hati pohon asam itu berpindah ke tangan Upasara.
"Tak berguna!" teriak Nyai Demang.
"Tunggu," kata Upasara perlahan. "Ada sesuatu yang menarik. Coba kita ulangi lagi. Paman Galih mencoba memukul kepala seperti tadi, dan..."
"Oho, enak saja. Siapa kamu, berani memerintah aku untuk membunuh diri?"
"Mbakyu Demang, bagaimana kalau saya meminta Mbakyu agar Paman Galih Kaliki mengulangi perbuatannya tadi."
"Dengan syarat!"
"Saya akan terima, Mbakyu."
Nyai Demang tersenyum. Tubuhnya bergoyang. "Galih... sekarang kemplang sendiri kepalamu seperti tadi. Pergunakan semua jurus dan ilmu yang kamu miliki. Upa, kamu sudah siap?"
Upasara memusatkan perhatian setelah memberikan tongkat. Begitu Galih Kaliki mulai bergerak, ia pun bergerak mengimbangi. Kembali pemandangan aneh terlihat. Kali ini Galih Kaliki mengeluarkan semua ilmunya. Mendesak, berjumpalitan, dan Upasara terus-menerus mengimbangi. Sesekali terdengar seruan tertahan. Teriakan Nyai Demang, karena batok kepala Galih Kaliki seperti bakal menjadi bubur. Tapi toh pada saat terakhir bisa disentil kembali. Hingga arahnya melenceng.
Galih Kaliki mengempos seluruh tenaganya, hingga akhirnya berjalan sempoyongan. Upasara sendiri berhenti karena keringatnya membanjir luar biasa. Diam-diam muncul keringat dinginnya. Permainan yang barusan dilakukan sungguh berbahaya. Meleset satu gerakan saja, nyawa taruhannya. Upasara termenung. Ia seperti menemukan sesuatu yang belum jelas benar di kepalanya. Sesuatu yang seperti sangat dikenal, sangat mudah diketahui. Nyatanya, tadi dengan mudah bisa menghalau gerakan-gerakan Galih Kaliki yang selama ini paling aneh. Gerakan-gerakan itu sama sekali bukan asing baginya. Akan tetapi, di mana ia mempelajari gerakan Galih Kaliki?
Upasara masih termenung. Tak sadar bahwa Nyai Demang datang mendekat ke arahnya. Dan mengelap keringat Upasara dengan selendangnya. Yang tak diketahui oleh Upasara ialah justru saat itu secara diam-diam Gayatri melihatnya!
Bagi Gayatri tak ada kesulitan apa-apa untuk masuk ke bagian dalam Keraton. Sebagai putri Kertanegara, bagian dari Keraton sama dikenal dengan jarinya sendiri. Adalah di luar perkiraannya bahwa ia melihat Upasara sedang dilap keringatnya oleh Nyai Demang. Dengan pandangan mata genit Nyai Demang! Sementara Upasara sendiri tertegun tak bergerak menghindar.
"Upa, kamu memang luar biasa. Mbakyumu senang sekali. Nah, sebelum mbakyumu ini mengajukan permintaan sesuai dengan syarat, apakah kamu mau mengajukan sesuatu? Kamu akan meminta sesuatu? Jangan malu, Upa, katakan saja."
Nyai Demang mengelus rambut Upasara. Mengelus dada Upasara yang bidang.
"Aneh, rasanya saya telah mengenal...."
"Masa kamu lupa sama mbakyumu ini?"
"...telapak tangan keduanya terbuka, membentuk paruh itik. Kekuatan ada di sudut..."
"Aha, kalau yang begitu bisa kita lakukan, Upa. Mau sekarang? Di sini?"
"...tenaga biji pisang. Terbungkus tapi ada. Tenaga utara-selatan..."
"Pisang? Tenaga pisang? Boleh saja." Nyai Demang makin genit.
Gayatri memalingkan wajahnya. Perlahan ia menjauh. Terdengar helaan napas yang panjang, dalam dan berat. "Kenapa aku harus mengharap dari seorang gelandangan seperti Kakang Upasara? Sekali gelandangan tetap gelandangan. Barangkali dewa di langit maha bijaksana. Sehingga di dunia ini ada yang dididik sebagai ksatria keraton dan gelandangan yang tak tahu adat sopan santun. Belum kering bibirnya mengatakan keinginan untuk mengambilku, di depan mataku sendiri melakukan tindakan yang begitu tak senonoh."
Gayatri berjalan ke pinggir. Mendadak tubuhnya merapat ke dinding. Dalam waktu sekejap puluhan prajurit sudah mengepung rapat. Bersenjata lengkap. Bahkan di tengah melayang turun seakan dari langit. Tak salah lagi itulah Ugrawe. Kumisnya yang panjang melengkung, dagunya yang mendongak dengan kecongkakan, tak bisa ditebak orang lain.
"Upasara, Nyai Demang, dan pemabuk Galih Kaliki, ternyata kalian menantangku untuk mengambil tenaga kalian. Bersiaplah, satu lubang cukup untuk kalian bertiga."
Upasara masih berdiri tepekur. Tidak menyadari bahwa kepungan sudah rapat sekali. Dengan Ugrawe yang berdiri di tengah, dan Rawikara sebelah kanan. Di belakang sedikit Sagara Winotan serta Jangkung Angilo. Selebihnya adalah para senopati pilihan yang mengawal Keraton.
"Satu lubang untuk mengubur tiga bangkai ini sudah cukup. Upasara, beberapa kali kita bertemu. Ternyata nasibmu baik, karena kau ditemani setan cilik beracun. Hari ini, tak ada yang menghalangiku untuk menarik tenaga dalammu yang masih murni."
Ugrawe mendengus. "Nyai Demang, kamu sungguh tak tahu diri. Diberi tempat, makan, bukannya menunjukkan rasa hormat malah main gendak-gendakan mengumpulkan lelaki di sini. Siapa menyuruh kalian berlatih silat di sini? Mana kiai yang berkhianat menurunkan ilmunya kepada Upasara itu? Hari ini aku, Ugrawe, Pujangga Pamungkas, pujangga terakhir yang terbesar, terpaksa menyalahi titah Raja dalam soal pengampunan."
Ugrawe menggebrakkan tangannya. Sepuluh prajurit terpilih maju secara serentak. Tiga orang malah meloncat lebih dulu. Nyai Demang menangkis sambil melayang ke atas. Galih Kaliki meraup tongkat dan menangkis sambil maju. Kepalanya masih tetap dikuasai arak secara penuh, akan tetapi begitu melihat bayangan Nyai Demang bergerak, ia pun mengikuti. Rawikara menyambar dua pedang dan ikut menerjang ke tengah pertempuran. Saat itu dari dalam ruangan Mo Ing yang masih terluka karena tusukannya sendiri beberapa waktu yang lalu berjalan terhuyung-huyung. Mendengar suara ribut, ia bangun. Tubuhnya masih lemah. Cara berjalannya masih gontai.
Sementara Rawikara sendiri, dengan pukulan andalan Banjir Bandang Segara Asat telah bisa mengembalikan tenaganya. Seperti yang diduga Jaghana, Rawikara memang mempergunakan tenaga-tenaga prajurit untuk diambil alih. Untuk dipindahkan ke dalam tubuhnya.
Mo Ing mengeluarkan seruan tertahan melihat bayangan Rawikara menebas ke arahnya. Secara spontan tangan terangkat untuk menangkis. Ternyata Rawikara tidak menarik pedangnya. Terdengar pekikan dan darah muncrat.
Saat itulah Upasara tersadar dari lamunannya. Dengan cepat, tubuhnya bergerak. Tangannya menangkis tebasan pedang Rawikara. Caranya sama seperti Mo Ing menangkis. Hanya kini tenaga yang tersalur berbeda. Dan Rawikara melepaskan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Satu pedang lagi dilemparkan bagai tombak. Bahwa Upasara bakal menghindar, Rawikara sudah mengetahui hal itu. Karena melepaskan kedua pedang termasuk dalam rencana untuk segera melancarkan pukulan andalan. Rawikara sangat mengincar tenaga dalam Upasara.
Aneh sekali. Upasara tidak berusaha menghindar dengan menjauhkan diri. Tidak juga melakukan pukulan. Ia justru seperti bergerak sendiri. Tubuhnya melenggok, dadanya menggelombang, dan kedua tangan membuka. Saat yang ditunggu oleh Rawikara untuk melancarkan serangan. Upasara tidak langsung menyerang dengan membalas, tetapi juga menunggu. Seperti bergerak sendiri, dengan berat tubuh ke arah selatan.
Plak. Duk!
Dua tangan bertemu. Tenaga terobosan yang menggempur dari Rawikara menerjang, mendesak. Sesaat Rawikara mengeluarkan sorot mata mengejek. Tangan kirinya menggunakan tenaga menarik. Menguras tenaga dalam Upasara. Mendadak seperti terdengar bunyi "pletak" dan Rawikara terjungkal. Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya teracung ke atas. Sebelum sempurna teracung tubuhnya telah terbanting.
Ugrawe mengeluarkan teriakan mengguntur, kedua tangan menyapu bersamaan. Serentak dengan itu semua prajurit menerjang. Dalam sekejap keroyokan terjadi. Mo Ing menjadi korban, sementara Galih Kaliki juga terdorong oleh tenaga pukulan Ugrawe. Dengan perkasa Ugrawe melayang di angkasa. Kedua tangan dan kakinya bergerak melebar. Sekali kena tendang, Galih Kaliki terpental. Dalam gerakan yang sama, masih satu gerakan, Nyai Demang juga tersapu kedua kakinya. Sempoyongan ketika menghindar dan langsung disibukkan oleh tusukan pedang para prajurit. Dalam putaran itu Ugrawe mencakar Upasara sekaligus. Upasara masih bengong. Ketika cakaran itu mendekat dengan bau amis, baru sadar. Akan tetapi terlambat. Cakaran itu berubah menjadi pukulan dengan telapak tangan.
Bek!
Enteng suaranya. Tapi Upasara terpental hingga ke tiang. Tiang yang kukuh menjadi bergetar. Dahsyat sekali pukulan Ugrawe. Dalam satu gebrak, tiga lawan yang tangguh terpukul mundur. Galih Kaliki memang sedang mabuk, dan Upasara dalam keadaan kurang siap, akan tetapi ini jelas menunjukkan prestasinya. Penguasaan Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Kalau sesaat tadi dengan gemilang Upasara bisa memukul rubuh Rawikara, kini sebaliknya. Dalam satu jurus ia telah dibuat keok. Berbeda dengan Upasara, Ugrawe tidak terhenti di situ. Ia menerjang maju. Upasara berdiri tegak. Ia maju memapak ketika serangan terarah kepada Nyai Demang yang terjatuh tanpa bisa bergerak.
"Cari mati kamu!" Siku Ugrawe masuk ke dada Upasara.
Dua tangan Upasara yang terkepal dan menjaga, dengan mudah diterobos. Sebelum Upasara menguasai dirinya, kaki Ugrawe menjebol pertahanannya. Sia-sia Upasara melayang, karena kali ini pinggangnya justru dicengkeram. Sekali sentak tubuh Upasara terlempar ke atas mengenai atap. Jebol sampai di atasnya.
Gayatri menjerit. Tapi jeritannya tertutup teriakan para prajurit yang kini meringkus Nyai Demang serta Galih Kaliki. Gayatri menjerit karena merasa bahwa keadaan Upasara menjadi sangat buruk karena berusaha membela Nyai Demang.
Ugrawe sendiri langsung menjejakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke atas, melalui jebolan yang dilewati tubuh Upasara. Dalam keadaan melayang jatuh di genteng kayu, Upasara merasa bahwa dadanya kelewat sakit dan pinggulnya sangat nyeri. Ugrawe bukan hanya sakti tetapi juga kasar sekali.
Pikirannya masih kacau. Masih terpusat kepada bagaimana secara agak aneh, ia bisa menebak jurus-jurus Galih Kaliki. Demikian juga jurus Rawikara. Padahal kalau dilihat, apa yang dilakukan Ugrawe tak berbeda jauh. Tetapi kenapa justru yang terakhir ini bisa dibuat keok? Kalau hanya soal perbedaan tenaga dalam, hanya juga tak secepat ini! Tidak dalam satu-dua gebrakan!
Agaknya ini pula yang membuat Ugrawe bertanya-tanya dalam hati. Makanya ia tak memulai menyerang dengan pukulan andalan, melainkan dari bagian tengah. Dan buktinya, Upasara yang dihadapi seperti Upasara yang ketika pertama ditemui. Tak begitu mengejutkan. Malah boleh dikata seperti banteng tanpa tanduk, karena kini tidak memainkan keris.
Muncul dari lubang atap, Ugrawe langsung menggeliat tubuhnya. Kakinya menendang ke arah dada Upasara. Dan tubuh Upasara terpental jatuh ke tanah. Tanpa ampun lagi Upasara langsung bisa diringkus. Dengan gagah, berwibawa, dan senyum kemenangan, Ugrawe melayang turun kembali.
"Sebelum kubunuh, katakan siapa yang mengajarimu jurus Sekar Sinom itu."
Pikiran Upasara bagai disinari oleh kilat. "Sekar Sinom tadi?" Seketika Upasara menjadi ingat semuanya. Kini semua menjadi jelas. Apa yang dipraktekkan tadi adalah bagian yang dipelajari dari klika atau kulit kayu yang berjudul Tumbal Bantala Parwa. Atau Kitab Penolak Bumi! Itu adalah kitab yang dulu dibawa lari oleh Kawung Sen! Kitab yang dicuri dari perbendaharaan Ugrawe. Ataukah kitab yang dibacakan oleh Nyai Demang? Upasara tidak bisa mengingat jelas. Dulu kejadiannya hampir beruntun.
Sekarang jelas. Begitu tadi melihat Galih Kaliki menyerang dirinya sendiri, Upasara justru teringat jurus-jurus Tumbal. Jurus yang menjadi penangkis jurus tersebut! Selama ini Upasara telah melihat permainan silat Galih Kaliki, akan tetapi tak pernah mengetahui jurus apa sebenarnya. Hanya ketika Galih Kaliki menggunakan jurus itu untuk dirinya sendiri, Upasara seperti terbuka matanya. Dan itu pula sebabnya ia begitu mudah menebak arah serangan Rawikara. Bahkan rasanya ia tak usah melawan. Sekadar mengikuti gerakan tubuh yang terjadi dengan sendiri begitu lawan menyerang!
Yang pertama adalah jurus Manik Maya Sirna Lala. Yang membuka dua telapak tangan dengan kekuatan di sudut. Sedangkan yang disebut sebagai Sekar Sinom tadi adalah jurus ketiga. Pukulan dari Rawikara menghantam dirinya sendiri, karena dalam jurus Sekar Sinom, Upasara mempergunakan tenaga dalam biji asam. Biji asam akan membuka sendiri pada saat sudah tua. Kulitnya pecah, biji keluar. Tenaga itulah yang dipakai untuk melawan Rawikara, karena Rawikara-lah yang mematangkan!
"Tumbal Bantala adalah buku yang mudah diperoleh. Untuk apa hal itu ditanyakan?"
"Kamu tetap bermulut lebar. Bagaimana kamu bilang Tumbal Bantala Parwa buku yang mudah diperoleh? Buku itu merupakan lanjutan dari Bantala Parwa, atau buku silat berdasarkan kekuatan bumi. Seorang ksatria tak akan merendahkan diri untuk mempelajari ilmu perguruan lain. Kamu sungguh memalukan. Hina."
"Siapa yang mencuri apa? Apakah Paman Ugrawe merasa lebih berhak dari Kakang Galih Kaliki dalam soal Bantala Parwa?"
Ugrawe terkesiap. Ia memang tak pernah menyangka bahwa dasar-dasar gerakan tongkat yang patah itu mempunyai kemiripan dengan gerak-gerak yang dilatih dalam Sindhung Aliwawar. Ugrawe sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi masih sedikit bimbang. Sindhung Aliwawar menitikberatkan pada kekuatan memukul, sementara Galih Kaliki justru mempergunakan tongkat. Tetapi kalau dipikir-pikir memang mirip. Maka gerakan tongkat Galih Kaliki terasa aneh. Karena kurang mempergunakan pergelangan tangan, sebagaimana biasanya mereka yang berlatih menggunakan senjata.
"Pemabuk gila itu tak mengerti apa-apa mengenai Bantala Parwa."
"Terserah mau mengakui atau tidak."
"Dari mana kamu mempelajari kitab utama itu? Serahkan klika itu padaku."
"Sayang yang menulis buku itu telah mengambilnya sendiri. Kalau berani mengambil, kenapa tidak minta kepada orang yang bersangkutan?"
Ugrawe menyipitkan matanya. "Nyai Demang, di mana kiai cabul itu?"
"Tanya pada anaknya."
Ugrawe bergerak ke arah Mo Ing. "Bangsat tanpa kelamin. Di mana bapak atau moyangmu itu? Dari mana kalian mencuri pusaka leluhurku?"
Mo Ing dalam keadaan sekarat. Bekas luka dari Rawikara beberapa waktu lalu belum hilang. Apalagi kini tangannya telah putus. Antara mati dan hidup ia dicaci seperti itu. Dengan mengeraskan hati, Mo Ing menguatkan tenaga untuk meludahi Ugrawe. Ugrawe tak menduga bakal diludahi wajahnya. Tak sempat menghindar lagi.
Plak. Tangan Ugrawe bergerak cepat. Seketika tulang tengkorak Mo Ing retak. Darah menciprat ke seluruh tubuh Ugrawe. Lalu Ugrawe mengambil kain Mo Ing dan melap tubuhnya. Sekaligus melap wajahnya yang kena semburan ludah.
"Upasara, masihkah kamu bertahan untuk menyimpan rahasia buku itu?"
"Tak ada untungnya saya menyimpan. Tetapi saya minta Empu tidak melakukan sesuatu kepada Nyai Demang dan Kakang Galih Kaliki. Mereka tak ada hubungannya dengan saya dan masalah ini."
Ugrawe mengibaskan tangannya. "Itu soal kecil. Tetapi bahwa kamu mau menukar nyawamu untuk wanita genit ini, itu baru luar biasa."
Dengan satu kibasan lagi, Nyai Demang dan Galih Kaliki dibebaskan.
Di kegelapan, Gayatri tak bisa menahan jatuhnya air mata. Kini makin jelas bahwa Upasara lebih suka mengorbankan nyawanya sendiri untuk menolong Nyai Demang. Gayatri tak pernah mengerti bahwa Upasara tidak terlalu memikirkan masalah tersebut. Jalan pikirannya sederhana. Bahwa mereka berdua terlibat dalam masalah ini gara-gara kehadirannya. Dan kini Upasara mau menanggung sendiri akibat perbuatannya.
"Cukup puas?"
"Terima kasih."
"Ada lagi yang ingin kamu bebaskan?"
Gayatri menunggu Upasara mengucapkan namanya. Tetapi ternyata Upasara menggelengkan kepalanya.
"Serahkan kitab itu padaku."
"Sekarang ini masih dibawa oleh Kiai Sangga Langit."
Ugrawe menahan gejolak dalam dadanya. Upasara bukan orang yang suka berbohong. Itu Ugrawe tahu. Apalagi Upasara mengucapkan dengan biasa-biasa. Tanpa maksud menjelekkan atau mencari kambing hitam. Sesungguhnya Upasara juga tidak merasa berbohong sepenuhnya! Apa yang dikatakan adalah mendekati kebenaran. Karena Upasara berpikir bahwa tokoh lain yang bisa dihubungkan dengan soal segala macam kitab hanyalah Kiai Sangga Langit. Imam dari negeri Tartar itu paling getol mempelajarinya. Dan memberikan ilmu kepada orang lain.
Kawung Sen dulu juga mencuri. Tetapi pada dasarnya karena ingin memperolok saja. Tidak punya niatan untuk mempelajari dan mencuri. Hanya karena kesal dengan ulah Ugrawe. Kawung Sen sendiri buta huruf. Jadi kalau Ugrawe pernah merasa kehilangan, Kiai Sangga Langit-lah satu-satunya orang yang mempunyai kemungkinan untuk mengambil.
"Untuk sementara aku pegang omonganmu. Kalau sampai meleset, kamu tahu akibatnya."
"Sekarang pun saya siap untuk menerima akibatnya."
Ugrawe tersenyum. Sifat liciknya muncul. "Kenapa kamu mencari Kiai Sangga Langit?"
"Karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Selain Tumbal Bantala Parwa, Kiai Sangga Langit pernah menceritakan kitab silat yang berdasarkan bintang. Yaitu Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas jurus Bintang. Saya berusaha untuk menerangkan bagian yang tak diketahui untuk berlatih bersama."
Apa yang dikatakan oleh Upasara sangat tepat! Ugrawe memang kehilangan kitab itu. Yang ketika itu dicuri oleh Kawung Sen! Dengan menyebutkan judulnya saja, Ugrawe teringat koleksinya yang hilang! Ugrawe cerdik dan licik, akan tetapi tak mengira bahwa dulu Upasara-lah yang membacakan kitab itu bagi Kawung Sen.
"Aku percaya semua yang kau katakan. Nah, karena kamu telah mempelajarinya, dan aku kehilangan kitab itu, sekarang kau ajari aku."
"Begitu gampang dan hina mempelajari ilmu silat orang lain?"
Ugrawe memandang ke bulan. "Kitab itu justru pusaka leluhur kami yang hilang dicuri. Bagaimana mungkin dituduh mencuri ilmu orang lain?"
"Bagaimana saya bisa mempercayai omongan ini?"
"Baik. Mulai sekarang kamu berada di sini. Aku akan mengatakan satu jurus ilmu yang ada dalam Dua Belas jurus Bintang. Kamu menyebutkan salah satu juga. Kalau aku bohong, pasti salah menyebutkan. Begitu juga sebaliknya. Saat Kiai Sangga Langit datang, aku akan mengatakan bahwa ia imam busuk yang mencuri ilmu silat perguruanku. Bagaimana dengan tawaran ini?"
Ugrawe tersenyum dingin. Tawaran yang terlalu bagus. Sesaat melihat sorot mata Upasara, Ugrawe benar-benar merasa kecolongan. Mana mungkin ksatria seperti Upasara akan memberikan ilmu silat kepada dirinya? Taktiknya ini hanya sekadar untuk meloloskan Galih Kaliki dan Nyai Demang! Tak bisa lain. Ugrawe merasa tertipu. Kesal. Ia selalu keliru, karena justru mengukur sifat-sifat Upasara sebagai manusia biasa.
"Aku tahu tipu muslihatmu, Upasara," kata Ugrawe dengan nada tinggi. "Tapi sengaja kuberikan kesempatan kepada Galih Kaliki dan Nyai Demang busuk itu pergi. Yang kuharapkan adalah menyobek-nyobek tubuhmu. Soal mereka berdua sangat mudah dihadapi."
Ugrawe langsung menggempur. Dengan penuh keyakinan diri, Upasara meloncat maju untuk menghadapi.
"Aku tak berdusta. Akan kuberikan Dwidasa Nujum Kartika. Kalau bisa menghadapi semuanya, berarti masih perlu belajar. Kalau bisa menghentikan pukulan sebelum dua belas jurus ini selesai, bisa menguasai ilmu itu."
Upasara langsung memapak dengan jurus Lintang Sapi Gumarang. Dengan mengisarkan kedua kaki, arah tenaga diambil dari utara-selatan. Upasara memapak maju dengan getaran tenaga musim Kasa, musim pertama. Gerakan dan dorongan tenaga yang sama dengan embun baru menetes, genjotan binatang yang meloncat dari sarangnya. Ugrawe seperti didorong habis. Tersapu dan mendadak menjadi mundur.
Bagi Upasara, menghafalkan jurus-jurus yang sama sekali baru tak terlalu sulit. Modal utama yang dimiliki ialah kemampuan mengonsentrasikan pikiran. Dalam hal begini, barangkali Upasara tiada tandingannya. Memusatkan pikiran sudah dilatih sejak ia lahir. Upasara tak mau memperhitungkan Ugrawe yang mundur, ia menerjang maju, bagai tenaga buah padi yang tumbuh. Lintang Tagih, tenaga luar yang panas mengancam, akan tetapi tetap dingin di dalam.
Ugrawe berseru kaget. Ia bukannya tak bisa mengimbangi. Akan tetapi sangat terpesona. Di satu pihak ingin menjajal, tetapi di lain pihak ingin mengetahui ilmu yang dimainkan Upasara. Ugrawe menangkis serangan atas, dan mendadak tubuhnya terbanting.
Ini adalah jurus Lintang Lumbung, jurus ketiga. Kekuatan utama di kaki, seperti kekuatan akar yang baru tumbuh. Menusuk apa saja yang menghalangi. Terbanting ke atas tanah, Ugrawe segera menggulung dirinya. Bagai putaran angin ribut. Melonjak tinggi ke angkasa. Dua tangannya berputar berusaha menggagalkan serangan berikut. Tapi Upasara malah menarik diri.
"Tiga jurus saja sudah keok. Untuk apa diteruskan?"
Ugrawe melayang turun. Tangannya mengibas. Seluruh prajurit mengepung.
"Upasara, aku datang," terdengar suara Kiai Sangga Langit. "Sungguh berbahagia, aku bisa menemui seorang ksatria dalam jiwa dan tindakan. Karena mereka main keroyok, aku akan membelamu."
Dalam sekejap, pertempuran berubah menjadi keroyokan. Para senopati Keraton tak ragu lagi menyerang dari segala jurusan. Upasara merasa bahwa tubuhnya belum pulih akibat tendangan Ugrawe, merasa was was dengan tenaganya kalau dipakai terus-menerus.
"Kiai, saya masih ada urusan...." Tubuhnya melayang ke arah luar.
"Aku ikut!"
Dua tubuh terbang ke angkasa bagai dua ekor burung. Kiai Sangga Langit yang bertubuh gede bisa melayang dengan enteng, bagai burung gagak. Sedangkan Upasara bagai burung garuda. Perkasa, mengagumkan, dengan dua tangan terentang. Sebuah tombak yang diarahkan kepadanya diraup dengan lembut. Bahkan ketika hinggap di benteng sisi luar, langsung mengukir tulisan. Di bawah tulisan mengenai "lautan asmara".
Gay, kutunggu
Di pelabuhan
di saat kapal
melabuhkan Kerinduan
Memang termasuk luar biasa. Dalam keadaan melayang, Upasara masih bisa mencoretkan kata-kata. Ingatannya kepada Gayatri membuatnya tak bisa meninggalkan begitu saja. Harapan Upasara, Gayatri akan membaca tulisan yang sengaja dibuat besar-besar, untuk segera kembali ke Kali Brantas. Karena situasinya tidak memungkinkan bagi Upasara untuk mencari Gayatri. Kalau saja Upasara tahu bahwa Gayatri ikut masuk ke dalam Keraton dan melihat semuanya, hasilnya akan lain! Turun di tanah, Upasara segera bergegas menjauh. Di depan Kiai Sangga Langit, yang ternyata lebih unggul, sudah menunggu.
"Banyak ksatria kujumpai dalam perjalanan ini, tetapi kamu tetap lain. Sejak pertemuan pertama dulu aku sudah jatuh hati padamu. Kalau ada waktu baik, aku akan memberikan seluruh ilmuku padamu."
Keduanya tetap berlari kencang. Jauh meninggalkan para pengejarnya.
"Aku menjelajah dunia karena mau menyebarkan ilmu yang kumiliki. Seperti ajaran yang kuperoleh selama ini. Aku bukan prajurit. Meskipun kesalahanku yang utama, aku mau diangkat menjadi imam negara. Sekarang aku menemukan bakat besar. Bagaimana, Upasara?"
"Tiada ucapan terima kasih yang bisa saya ucapkan. Akan tetapi sekarang saya masih ada tugas. Saya harus kembali ke desa Tarik. Kesempatan lain, Kiai."
"Untuk apa ke sana, sebentar lagi tempat itu rata dengan tanah."
Upasara kaget. Tanpa terasa tubuhnya jadi bergoyang.
"Para pembesar Tartar tak mau menunggu lebih lama. Saya tak bisa menyalahkan. Mereka diutus oleh Kaisar untuk membalas dendam. Dan itu dijalankan. Kita bisa lain, Upasara. Mari kita lepaskan segala urusan ini. Kita berlatih bersama, dan melanglang jagat. Mensyukuri hidup sebagai ksatria. Untuk apa kita meributkan diri soal takhta?"
"Saya tak bisa melepaskan masalah Keraton lebih dulu. Kiai, marilah kita memilih jalan sendiri-sendiri."
"Selama ini begitu banyak yang menyembah untuk berguru padaku. Tetapi kamu berani menolak."
Kiai Sangga Langit berhenti.
Upasara juga berhenti.
"Tak ada yang bisa menolakku, Upasara."
"Saya tidak menolak. Akan tetapi kalau kita hanya memperhatikan masalah pribadi, apa jadinya kita ini? Kiai juga terpaksa berperang dengan Ngabehi Pandu, soal membela nama negara."
"Itu hanya alasan agar aku bisa menjajal kemampuannya."
"Kalau itu yang juga dipakai alasan untuk menjajal kemampuan saya, saya akan meladeni. Hanya bagi saya alasannya adalah karena Kiai menghalangi jalan saya pulang ke desa Tarik."
Kiai Sangga Langit menggeleng. "Mari kuantar ke Tarik. Dari sana, setelah tanah itu rata, segala dendam ini tertumpahkan, kita berlatih silat."
Aneh sekali perangai Kiai Sangga Langit ini, pikir Upasara. Ia untuk pertama kali mengetahui bahwa di jagat ini ada orang yang begitu kesengsem, begitu tergila-gila oleh ilmu silat. Dan semata-mata demi ilmu itu sendiri. Tapi pikiran Upasara lebih terpusat mengenai rencana penghancuran tempat pertahanan di desa Tarik. Kalau pasukan Tartar menyerbu, benar seperti yang dikatakan Kiai Sangga Langit: bumi bakal rata.
Maka, Upasara memusatkan tenaga untuk berlari sekencang mungkin. Ia kemudian mengambil kuda. Membalap sepenuh tenaga. Akan tetapi begitu masuk daerah Tarik, hati Upasara kecut juga. Seluruh daerah sudah dikepung rapat. Tak ada bagian yang tersisa...
BAGIAN 10 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 12 |
---|