Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 12
Naga Wolak-Walik dengan perkasa berada di tengah lapangan. Dua tombak yang ujungnya mengibarkan bendera dipegang dengan teguh. Gagah. Nyaris sempurna. Naga Murka berada di dekatnya. Sementara Naga Kembar siap dengan aba-aba untuk menggempur. Di bagian depan, Raden Sanggrama Wijaya serta seluruh pengikutnya sudah pula bersiap-siap untuk mati mempertahankan tanah negerinya.
Keduanya dalam keadaan siap tempur. Walau kekuatan kurang seimbang. Prajurit Tartar begitu sempurna mengepung, dengan persenjataan yang bukan alang-kepalang. Sementara Raden Sanggrama Wijaya seperti mengumpulkan prajurit dan pengikutnya seadanya. Bahkan Wilanda yang nampak masih sakit ikut duduk di tanah. Dari semangat bertempur, tak bisa diukur mana yang lebih luhur. Kedua pasukan siap untuk perang habis-habisan.
"Bagaimana? Kami tak mau menunggu lebih lama lagi. Siapkan pemimpin tertinggi kalian dan kami bawa sebagai tawanan kepada kaisar kami. Kalau tidak, semua yang menentang akan dikubur tanpa lubang," teriakan Naga Murka lantang sekali.
"Tunggu sebentar, ini utusanku datang," teriak Raden Wijaya mengguntur.
"Tak ada lagi yang perlu ditunggu."
Naga Murka siap untuk memberi aba-aba. Akan tetapi pandangannya tertuju dengan masuknya Upasara serta Kiai Sangga Langit. Keduanya berjalan bersamaan, tidak menunjukkan tanda-tanda bermusuhan.
Upasara maju menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya. Mendadak telinga Upasara berdenging.
"Upasara, kalau sejak tadi kamu tidak berduaan, aku sudah ingin membisikimu. Kepungan ini tak bisa dilawan. Jangan ceroboh. Wijaya berusaha melawan sepenuhnya. Kalau kalian mendengar cerita Tamu dari Seberang, inilah tamu itu. Inilah yang akan membawa berdirinya Keraton yang lebih bersih, lebih berwibawa, di kelak kemudian hari."
Raden Wijaya memandang Upasara.
"Bagaimana? Apakah Keraton Daha..."
"Baru saja saya mendengar bisikan Eyang Sepuh. Inilah Tamu dari Seberang yang akan..."
Raden Wijaya mengangguk. Bersitan satu kalimat saja sudah lebih dari cukup. Daya tangkap untuk menghubungkan berbagai persoalan hanya terjadi dalam waktu sepersekian detik. Raden Wijaya maju ke tengah.
"Para Dewa Naga yang datang jauh-jauh. Kami adalah prajurit Keraton Singasari. Prajurit sejati yang lebih suka mati untuk membela kebenaran. Kalau kedatangan para Dewa Naga kemari untuk membalas dendam, sekarang kita bisa bekerja sama. Utusanku, Upasara Wulung, baru pulang dari bertarung di Keraton Daha. Di sanalah orang-orang yang menghina kaisar para Dewa Naga. Akan tetapi jika para Dewa Naga ingin melawan kami, kami semua siap melayani."
Naga Wolak-Walik memandang ke arah Kiai Sangga Langit. Mereka berbicara sekejap.
"Baik, kata-katamu bisa dipercaya. Kebetulan Bok Mo Jin, Kiai Sangga Langit, baru saja menyaksikan sendiri. Kalau begitu, hari ini seluruh pimpinan penyerbuan Daha di bawah komando kami."
Peperangan besar antara pasukan Tartar dan prajurit Wijaya berubah menjadi perundingan. Baru kemudian para prajurit Tarik menjadi lebih heran lagi. Karena memang kekuatan pasukan Tartar bukan main-main. Mereka sengaja dikirim untuk menaklukkan sebuah kerajaan. Naga Kembar langsung memberi komando. Ia membagi pasukan besar itu menjadi tiga. Ia sendiri akan memimpin gempuran dari arah timur. Naga Murka akan menggempur dari wilayah barat. Pasukan Raden Wijaya membantu dari arah belakang.
"Semua tanpa kecuali di bawah komando. Kita menyerang lewat Kali Brantas," teriak Naga Kembar lantang.
"Bagaimana dengan strategi jika pihak lawan juga melakukan serangan yang sama?"
Naga Murka tertawa. "Itu bagianku. Selama ini akulah jenderal perang yang tak bisa ditipu lawan. Dari peta yang ada, mereka hanya mungkin unggul di bagian tenggara dan barat. Dan di situlah aku berada akan melindas habis mereka. Siapa yang tidak mematuhi komandoku, akan kucincang sendiri."
Hari itu juga semua pasukan bergerak langsung. Tanpa menyembunyikan diri. Bendera ditarik tinggi-tinggi. Sementara laporan yang diterima oleh Ugrawe sedikit terlambat. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa prajurit Tartar menggempur langsung. Tanpa memedulikan ba dan bu. Ugrawe mengerahkan perlawanan yang gagah berani. Delapan hari delapan malam, ia terus memimpin di barisan terdepan.
Dalam pertempuran yang dahsyat, Ugrawe memperlihatkan dirinya sebagai panglima perang yang ulung. Hanya saja karena lawan lebih kompak, perlahan-lahan Ugrawe terdesak mundur juga. Di benteng Keraton, panglima yang gagah berani ini tak bisa menghadapi keroyokan Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar serta Naga Murka sekaligus. Bertarung sejak dini hari, sebelum matahari sepenggalah, tubuh Ugrawe sudah berlumuran darah, terdesak mundur. Dua tangan, kaki, bagian telinga meneteskan darah.
Naga Kembar berteriak mengguntur dan menyapu dengan kedua tangan. Ugrawe berusaha menahan gempuran, akan tetapi tubuhnya terbetot dan terlontar ke bagian dalam. Begitu menghantam tanah, Gendhuk Tri berjingkrakan di sebelahnya. Sebelah kakinya menginjak Ugrawe. Dewa Maut yang tertawa terbahak jadi ikutan.
"Kita apakan, Tole?"
"Kita bikin panggang? Dagingnya kurang enak. Ikat saja."
Sebenarnya justru ulah Gendhuk Tri ini yang menyelamatkan nyawa Ugrawe. Karena kehadirannya di medan pertempuran membuat orang jeri, takut terluka dan ketularan racun. Dewa Maut sendiri sudah mulai pulih beberapa bagian tenaga dalamnya. Setelah Jaghana dan Wilanda bisa mengembalikan sebagian kekuatannya dengan wejangan yang disampaikan lewat Gayatri, mereka menemukan inti memulihkan tenaga dalam yang diambil. Kini, tanpa kecuali, mereka ikut menggempur Keraton Daha.
Menurut penanggalan modern yang kita kenal sekarang ini, tanggal 20 Maret 1293, Keraton Daha jatuh. Naga Murka yang memimpin serbuan dengan serta-merta menduduki Keraton dan sekaligus menawan Raja Jayakatwang serta Rawikara. Di tengah keributan pesta kemenangan, Raden Wijaya mengumpulkan semua pengikutnya.
"Upasara, kalau benar Eyang Sepuh yang membisikimu mengenai mitos Tamu dari Seberang, apa yang harus kita lakukan sekarang ini?"
"Hamba tak tahu, Raden. Eyang Sepuh tak muncul lagi. Hanya pada saat kritis beliau muncul. Ketika memberitahukan mengenai pukulan Banjir Bandang kepada Gusti Gayatri, dan kedua..."
"Soal Gayatri, jangan terlalu diurusi. Sekarang masalahnya justru lebih besar. Cepat atau lambat para Dewa Naga akan memaksa kita sebagai tawanan untuk dibawa ke negeri Tartar. Soal Raja Daha, aku sendiri tak rela, apalagi kita sendiri. Tak bakal kita menyerah begitu saja. Baginda Raja Kertanegara saja mengangkat senjata. Masa kita anak-cucunya menyerah? Tapi untuk mulai penyerangan saat ini, kita agak sulit. Mungkin kalau pertempuran tidak di Keraton, bisa kita ambil alih. Pasukan Paman Wiraraja telah siap."
Sanggrama Wijaya segera memerintahkan para pengikutnya untuk berkumpul. Ia sendiri memimpin untuk menemui Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Wijaya dengan cerdik menghindar dari Naga Murka. Satu-satunya panglima perang yang begitu penuh kecurigaan yang sebenarnya memperlihatkan strategi yang ulung.
"Kami mengucapkan syukur dan rasa terima kasih yang dalam," kata Nyai Demang menerjemahkan kalimat Raden Wijaya. "Kebesaran pasukan Tartar memang pantas sekali memenangkan ini. Rasa syukur ini akan kami wujudkan, sesuai dengan janji kami, untuk mempersembahkan tanda kehormatan kepada Baginda Raja Kaisar. Kami minta izin untuk membuat persiapan di tanah Tarik, di Majapahit."
"Tidak usah terlalu sungkan," kata Naga Kembar. "Tanpa disebutkan, kami memang yang terbesar di jagat raya ini. Persiapkan persembahan tanda tunduk kepada kaisar kami."
Raden Wijaya tak menunggu lama. Hari itu juga memerintahkan untuk berangkat. Upasara menjadi kagok.
"Raden, saat ini Gusti Putri Gayatri masih berada dalam tawanan. Karena sejak semula Gusti Putri terjebak dalam Keraton. Apa tidak sebaiknya kita bebaskan lebih dulu?"
Raden Wijaya mengentakkan kakinya. "Upasara, kamu ksatria besar. Tapi itu sebabnya kamu tidak akan pernah menjadi pemimpin. Di saat situasi begini menentukan soal mati-hidup, kamu masih memikirkan seorang gadis. Di seluruh tanah Jawa ini, yang kecantikannya melebihi Gayatri tak bisa dihitung. Nah, apakah kamu masih mempertimbangkan itu dibandingkan keselamatan kita semua?"
"Hamba yang membawa dia, Raden."
"Kamu yang membawa. Akan tetapi itu semua atas perintahku. Selama kamu masih menjadi prajurit, kamu harus memenuhi perintahku. Perintahku sekarang ini, kita kembali ke desa Tarik, ke Majapahit."
Rombongan Raden Wijaya berangkat saat itu juga. Dengan pengawalan lebih dari dua ratus prajurit Tartar.
Naga Murka menunjukkan kemarahan yang luar biasa ketika mendengar lolosnya Raden Wijaya. "Demi Kaisar yang menguasai langit. Bagaimana mungkin kalian berdua mengaku jenderal perang, kalau membiarkan musuh melarikan diri? Apakah seorang yang mempersiapkan persembahan dan upeti perlu membawa prajuritnya? Ini sama dengan persiapan perang."
Naga Wolak-Walik juga kaget. "Rasanya tak mungkin. Di dalam tawanan ini masih ada Raja Daha dan putranya. Juga ada seorang putri bernama Gayatri. Mana mungkin mereka membiarkan tawanan di tangan kita kalau mereka mengangkat senjata?"
"Justru karena itu. Tak bisa dibiarkan. Siapkan pasukan. Kalau kalian mabuk kemenangan karena bisa membalas dendam, aku sendiri yang akan turun tangan mengejar. Jangan sampai mereka menjadi kuat. Di tanah Jawa ini semua serba aneh. Para jagoan dan ksatria begitu banyak. Kita tak menyangka bahwa seorang Ugrawe bisa menahan serbuan kita selama delapan hari! Dan yang seperti Ugrawe mungkin banyak jumlahnya, kita sama sekali tak mengerti. Siapkan pasukan."
Kekuatiran Naga Murka tak meleset sedikit pun. Karena di tengah perjalanan, Raden Wijaya dengan mendadak menghentikan pasukannya. Dengan satu kibasan tangan, pengikutnya menyingkir ke bagian lain.
"Saya, Naraya Sanggrama Wijaya, pemimpin prajurit Majapahit, dengan ini mengambil alih kepemimpinan seluruhnya. Kalian para prajurit Tartar, bisa memilih dua jalan. Yang pertama, kembali ke negeri asal. Yang kedua, kita menentukan, siapa yang lebih berhak memerintah di tanah leluhur kami."
Para pengikut Raden Wijaya memuji bahwa dalam saat terakhir, lawan masih diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Pertempuran itu sendiri berlangsung singkat. Raden Wijaya ikut terjun langsung ke medan pertempuran. Dengan Jaghana, sebagian dari Pengelana Gunung Semeru, serta para senopatinya, dengan mudah mengalahkan pasukan Tartar yang melawan. Apalagi rombongan para prajurit Madura sudah ikut datang bergabung.
Sebelum senja tiba, seluruh prajurit Tartar bisa dikalahkan. Sebagian bisa dibekuk, ditawan, sebagian terbunuh, dan sebagian kecil lainnya melarikan diri. Raden Wijaya mengesampingkan semua perhitungan lain. Kini seluruh prajurit diperintahkan untuk langsung kembali menggempur Keraton Daha.
"Kebangkitan Keraton di tangan kita semua. Para prajurit sekalian, inilah saatnya kita membaktikan diri pada tanah, pada bangsa, dan negara. Tak ada pilihan lain. Saya bukan tidak tahu saat ini Baginda Jayakatwang, Rawikara, Gayatri, Gendhuk Tri, serta Dewa Maut, dan sejumlah ksatria yang lain masih berada dalam tawanan. Akan tetapi, kalau kita tidak mau mengorbankan diri, siapa yang akan berkorban? Kalau saat ini saya berada di Keraton sebagai tawanan, saya tetap memerintahkan untuk menyerbu. Sekarang, atau kesempatan itu tak pernah datang."
"Maaf," kata Jaghana sambil menyembah. "Apakah Raden tidak mempertimbangkan bahwa korban yang akan jatuh lebih banyak lagi?"
"Paman Jaghana. Hari ini saya bersabda untuk meneruskan pertempuran. Siapa yang takut berkorban lebih baik menyingkirkan tubuhnya dari sisiku. Saya sendiri bisa menjadi korban. Tetapi saya memilih jalan ini. Saya tak pernah ragu sedikit pun."
"Barangkali kita bisa menunggu..."
"Tidak, Paman Jaghana. Saya tahu bahwa barangkali Eyang Sepuh, tokoh pepunden, tokoh pujaan kita semua, akan memberikan bisikan. Tapi kalau beliau akan melakukan, pasti sudah dilakukan sekarang ini. Ini memang bukan tindakan yang harus diambil oleh seorang yang berbudi luhur seperti Eyang Sepuh. Ini tindakan yang harus diambil Raden Wijaya. Penyerangan kita kepada prajurit Tartar yang mengawal tak akan dibenarkan oleh Eyang Sepuh. Tetapi saya yang bertanggung jawab. Saya yang melakukan. Sebab saya tidak bisa mengasingkan diri dan memuja ilmu jati diri seperti Eyang Sepuh. Masing-masing mempunyai tugas sendiri. Saya tak bisa bersembunyi dan hanya berbisik saat-saat menentukan. Saya manusia biasa. Tanpa mengurangi rasa hormat, rasa terima kasih kepada Eyang Sepuh, kita berangkat sekarang. Mudah-mudahan beliau merestui keberangkatan kita."
Dengan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu, prajurit berangkat dari tlatah Majapahit. Ribuan mengikuti dengan gagah perkasa. Kedua belas senopati utama Raden Wijaya memimpin di barisan depan. Mereka inilah yang sejak awal pertama turut berlari dari Keraton Singasari ketika digempur pasukan Jayakatwang. Mereka inilah yang mengadakan siasat penyerangan total di Canggu, tempat prajurit Naga Murka mengadakan pesta kemenangan.
Bangkitnya keperkasaan, terlibatnya seluruh penduduk untuk memerangi prajurit Tartar, memberontak bagai air bah. Selama ini mereka agak segan bertempur di antara para prajurit sendiri, biar bagaimanapun Jayakatwang masih mempunyai hubungan saudara. Dengan prajurit Tartar, mereka lebih sigap dan lebih total.
Naga Kembar terlambat menyadari ketika seluruh pasukan praktis bisa dikalahkan. Ia menuju Keraton Daha, dan di sanalah terjadi pertempuran berikutnya. Tak ada sebulan prajurit Tartar dengan gagah menduduki Keraton, tapi kini harus mempertahankan. Naga Murka memimpin sendiri pertempuran. Ia berdiri di tempat yang tinggi, diapit oleh Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Di sampingnya, nampak Raja Jayakatwang dan Rawikara sebagai tawanan, serta Gayatri.
"Kalau kalian terus menyerang, orang-orang ini akan mati lebih dulu!" Teriakan mengguntur menghentikan semua gerakan prajurit.
"Tak ada yang menghentikan. Tetap serbu!" teriak Raden Wijaya mengguntur.
Naga Murka kaget melihat bahwa ternyata pertempuran tak bisa dihentikan. Dua tangannya bergerak, ke arah Jayakatwang dan Rawikara. Ketika tangan mau bergerak kembali, sebuah bayangan meluncur dari tanah. Gesit, sangat cepat. Sungguh luar biasa. Bagai anak panah dilepaskan dari busurnya dengan kekuatan penuh. Langsung berdiri dengan gagah, di bagian utama benteng. Dengan dua keris di tangan kanan dan kiri, Upasara siap untuk bertempur antara mati dan hidup. Satu bayangan lain melesat tinggi. Kiai Sangga Langit muncul.
"Awas, jangan bunuh bocah itu. Itu calon murid yang akan kupersembahkan kepada Kaisar. Kaisar sangat menyukai pemuda seperti ini."
Belum selesai omongan Kiai Sangga Langit, bayangan lain melesat. Disusul bayangan kedua dan ketiga. Ngabehi Pandu yang lebih dulu tiba, disusul oleh Jaghana serta Ranggalawe. Di atas benteng yang sempit, berdiri para ksatria utama.
"Kiai, pertempuran kita belum selesai," kata Ngabehi Pandu mulai membuka mulut. "Kita tak ada urusan dengan pertempuran ini. Meskipun kehadiran kita tak bisa dibebaskan dari pertempuran ini."
Di bawah, Raden Wijaya sangat memuji Ngabehi Pandu. Yang memilih lawan tangguh. Apa pun alasan Ngabehi Pandu, dengan menyibukkan lawan tangguh, akan mengurangi pengaruh tekanan lawan.
Kiai Sangga Langit berteriak mengguntur, dan langsung menyerbu. Ngabehi Pandu mengeluarkan semua ilmunya. Menghadapi dengan kekerasan pula. Pukulan dibalas dengan pukulan. Seruan tertahan terdengar setiap kali keduanya bergulung.
Ranggalawe sendiri langsung menyerbu ke arah Naga Wolak-Walik yang dengan cerdik mengincar Jaghana. Meskipun kelihatan luar biasa cara mengentengkan tubuh, akan tetapi mudah dikenali bahwa Jaghana belum sembuh benar. Naga Kembar yang menyambut serangan Ranggalawe.
Upasara pun terjun langsung ke arah pertempuran. Dua kerisnya bagai tanduk banteng yang terluka, menyodet ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Naga Murka, yang paling jagoan, hanya mengeluarkan suara meledek.
"Jangan salahkan aku kalau calon putra Kaisar mati ditanganku."
Dalam medan yang begitu sempit, agak susah mengembangkan permainan. Di satu pihak Kiai Sangga Langit dan Ngabehi Pandu bertarung mati-matian. Keduanya bergulung bagai satu tubuh. Tak bisa dipisahkan. Tak bisa diketahui siapa lebih menguasai siapa.
Sementara Jaghana seperti mudah ditebak mulai berada di bawah angin. Ranggalawe kelihatan lebih unggul. Namun dari semua ini, Upasara yang jelas paling menguatirkan. Karena ia paling muda dan justru menghadapi lawan yang paling tangguh. Semua jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka telah dikeluarkan dengan penuh tenaga, akan tetapi ujung kerisnya belum bisa menyerempet lawan. Malah dengan sapuan kaki, Naga Murka mampu membuat Upasara terlontar mundur. Dua gebrakan lagi, Upasara sudah tak bisa menginjak puncak dinding bagian atas. Tubuhnya melorot turun.
"Kena!"
Di tengah angkasa, Upasara merasakan tendangan kaki yang mengarah ke wajahnya. Dengan nekat Upasara menggunakan tenaga lawan untuk meloncatkan tubuhnya ke atas. Ia memang berhasil. Akan tetapi dengan demikian Naga Murka bisa menyikat habis. Karena kedudukan Naga Murka jauh lebih kuat untuk melancarkan serangan berikut. Sementara Upasara agak kedodoran karena tak mampu mengontrol tubuhnya secara utuh.
Saat itulah Gayatri menjerit. Menguatirkan Upasara. Mendadak Upasara melirik. Sekelebatan melihat sinar mata, bentrok, dan merasa bahagia. Inilah saat terakhir, usaha untuk menolong putri idamannya mendapat balasan.
Tapi ternyata belum berakhir. Karena mendadak Ugrawe menggerung keras dan maju ke tengah pertempuran. Sebetulnya Ugrawe dan Gendhuk Tri serta Dewa Maut termasuk yang ditawan. Hanya saja karena Gendhuk Tri menyimpan racun dahsyat, tak ada yang berani menyentuh atau mencelakai. Selama ini pula Gendhuk Tri lebih mirip seorang penawan, karena ia yang menawan Ugrawe. Yang sejak dikalahkan para Dewa Naga tak bisa berkutik.
Melihat pertempuran yang sangat menguatirkan Upasara, perhatian Gendhuk Tri terpecah. Saat itulah digunakan oleh Ugrawe yang selalu bisa memanfaatkan situasi. Tubuhnya melayang, menyongsong ke arah Naga Murka. Dua tangan beradu keras. Tubuh Ugrawe terdesak mundur. Ia mengangkat tangan kanan, memutar tangan kiri. Sambil meneriakkan seruan mengguntur, maju menggempur.
Banjir Bandang Segara Asat yang dahsyat dimuntahkan dengan sepenuh tenaga. Dalam kondisi yang prima, Ugrawe bisa berbuat banyak. Ia menguasai tenaga dalam secara sempurna. Tetapi dalam keadaan terluka, memang tak bisa menggunakan secara penuh. Namun bentrokan yang timbul cukup dahsyat dan menggelegar. Naga Murka terbanting ke samping benteng. Ugrawe sendiri jatuh dan muntah darah. Upasara menyerbu ke arah Ugrawe, menyangga tubuh Ugrawe.
"Aku bukan pahlawan. Aku sekadar bergerak saja. Siapa pun bisa menjadi lawanku." Suaranya melemah. "Aku tahu kunci ilmu silat di dunia ini. Kuncinya ada pada Tumbal Bantala. Aku terlambat menyadari... Kamulah yang tahu kunci itu...."
Ugrawe masih berusaha bertahan, akan tetapi satu muntahan lagi tak bisa menahan keinginannya. Badannya masih hangat, akan tetapi nyawanya telah melayang!
Upasara menggeram. Jaghana telah dikalahkan. Bahkan kini Gendhuk Tri sedang berusaha menahan serbuan Naga Wolak-Walik. Ngabehi Pandu masih terus berkutat dengan Kiai Sangga Langit. Upasara melihat ke bawah. Seluruh pertempuran terhenti. Mereka menyaksikan para pendekar di atas benteng yang bertarung mati-matian. Naga Murka sudah berdiri kembali.
Upasara melirik ke arah Gayatri, tersenyum, dan sambil menghela napas panjang menahan gejolak dalam hatinya. Apa yang bisa dilakukan? Ilmunya kalah jauh oleh Naga Murka. Maksud untuk menolong sia-sia. Malah melibatkan beberapa pendekar dan jatuh pula sebagai korban. Bersiap pun terlambat. Karena Naga Murka menyerbu ke arahnya.
Dalam sepersekian detik, dalam sepersekian kejap, Upasara jadi ingat Ngabehi Pandu yang mendidiknya sejak lahir, persahabatannya dengan Kawung Sen, dengan Galih Kaliki, rasa tertariknya pada Nyai Demang, lalu begitu merindukan Gayatri, Pak Toikromo yang ingin mengambilnya menantu, Gendhuk Tri yang begitu memperhatikan dirinya, bisikan Eyang Sepuh yang tak mau turun ke gelanggang.
Sementara itu pukulan Naga Murka sudah mendekat. Kesiuran angin sangat tajam membabat tubuhnya. Seperti mengiris lehernya, mematikan urat-urat tubuhnya. Melihat untuk yang terakhir kalinya pun tak sempat!
Kosong. Sepersekian kejap yang tersisa adalah kekosongan. Hawa panas makin menekan, mendesak ke dalam tubuh, membuatnya beku, susah bernapas. Dewa Yang Mahakuasa, saya kembali padaMu. Teriakan batin Upasara bagai jeritan kesakitan tapi juga sekaligus rasa syukur, penyerahan total.
Di bawah, Raden Wijaya dan seluruh pengikutnya mengikuti jalannya pertempuran dengan rasa was was. Kalau Ngabehi Pandu masih belum diketahui hasilnya, Jaghana jelas sudah dikalahkan. Gendhuk Tri mengambil alih. Walau kelihatan unggul, Ranggalawe belum diketahui, juga belum bisa memastikan kemenangan. Sementara, kini justru serangan maut Naga Murka sedang mengincar Upasara yang seperti tak bereaksi.
"Kakang..."
Yang terdengar keras adalah teriakan pahit Gendhuk Tri. Suaranya menyayat.
Gayatri juga mengucapkan kata itu, akan tetapi lebih lirih.
Upasara tak mendengar apa-apa. Hanya merasa getaran aneh yang membuatnya setengah sadar dan tidak. Ketika pukulan Naga Murka meremas ulu hati, Upasara justru tidak menghindar. Tubuhnya seperti melorot turun, seakan bagian pinggang ke bawah tak ada tulang penyangga.
Naga Murka kecele. Pukulannya seperti mengenai karung kosong, seperti mengenai gua melompong. Tak bisa ditarik mundur, tubuh Naga Murka tersedot ke depan. Upasara menghindar. Kedua tangannya yang bebas bisa mengetok batok kepala atau leher bagian belakang. Namun, sekali lagi, justru Upasara seperti tak berusaha menghajar. Malah kakinya surut ke arah samping. Naga Murka mencelos beberapa saat. Tapi ia adalah jagoan. Punya pengalaman segudang. Jenderal perang yang paling tangguh. Melihat bahwa lawan tak melanjutkan serangan, Naga Murka memutar tubuhnya, membalik. dan tendangan kaki kirinya mengarah lambung. Saking cepatnya gerakan seketika ini tak sempat terdengar jeritan dari siapa pun.
Keras lontaran hawa, mendekap panas. Upasara terkurung dalam tonjokan udara membara. Dengan wajah tetap kosong dan tatapan seperti tertuju ke titik yang maha jauh, Upasara tak menggeser tubuhnya. Hanya sikutnya tertekuk, tertarik ke bawah. Siku jelas tak akan unggul kena benturan kaki, yang ditendangkan sekuat tenaga.
"Celaka..."
Naga Murka merasa pahanya menjadi ngilu, kaku, tak bisa digerakkan. Kalau tadi tendangannya seperti yang pertama, mengenai ruang kosong, kini sentuhan siku Upasara tepat mengenai urat pahanya. Kaku seketika. Tenaganya tersumbat. Tak bisa digerakkan. Padahal saat itu Upasara terus bergerak, kedua tangannya terjulur. Naga Murka menyampingkan wajahnya. Dan terasa amis di bibirnya. Separuh alisnya somplak, darah mengucur. Juga dari bagian hidung. Naga Murka menjadi panas-dingin.
Sungguh tak terduga. Upasara yang tadinya memperlihatkan kekuatan utama dengan memainkan sepasang keris, kini mempunyai gerak yang mengandalkan tenaga dalam yang nyaris sempurna. Upasara melangkah menjauh, tubuhnya masih menggeliat seperti seorang penari. Dalam keadaan semacam itu, satu gerakan saja sudah cukup untuk menghabisi Naga Murka. Akan tetapi Upasara Wulung berdiri kaku seperti menunggu. Mengetahui bahaya mengancam, Naga Kembar dan Naga Wolak-Walik berusaha membebaskan diri dari tekanan. Mereka berdua secara serentak melemparkan dua senjata andalan, memotong dari sisi kanan dan kiri.
Kembali terjadi pemandangan yang aneh. Bagian pinggang ke bawah seperti tak bertenaga. Tubuh Upasara memendek, sangat pendek sekali. Dua senjata berbenturan, pada saat itu tubuh Upasara memanjang kembali. Kembali dengan gerakan limbung, tangan Upasara mengulurkan tinju. Gerakan pertama tidak tertuju ke arah Naga Kembar ataupun Naga Wolak-Walik. Seperti memukul udara kosong. Naga Wolak-Walik justru meloncat mundur. Berdiri di ujung benteng yang lain. Salah setengah kaki saja, tubuhnya anjlok ke bawah.
Naga Murka menurunkan kakinya yang kejang. Ia tak tinggal diam, merangsek maju. Mencoba memeluk tubuh Upasara, dan siap untuk meremukkan seluruh tulangnya. Sebagai pegulat yang mampu mengerahkan tenaga dalamnya, Naga Murka yakin bisa menembus tenaga kosong yang didemonstrasikan Upasara.
Upasara Wulung ternyata tidak menghindar. Tidak juga memendekkan tubuh. Kedua tangannya terentang, dan kembali ke posisi semula, dalam sikap menyembah. Tetapi justru dengan gerakan ini, tolakan tenaganya begitu keras, sehingga Naga Murka terdorong. Hanya karena tubuhnya tertahan Gayatri yang diikat dan berdiri kaku, tak sampai terguling ke bawah.
"Bok Mo Jin, kamu pengkhianat! Sejak kapan kau ajari dia jurus Jalan Budha?" Teriakan Naga Murka menunjukkan kecemasan yang tinggi.
Mendadak pertempuran di bagian lain terhenti. Kini seluruhnya menjadi senyap. Kiai Sangga Langit berdiri kukuh. Di sudut bibirnya mengalir darah. Ngabehi Pandu demikian juga. Malah kedua kakinya terhuyung-huyung. Naga Wolak-Walik bersiap, tapi pasti. Naga Kembar mengambil posisi bertahan. Sementara itu, Ranggalawe mengatur kuda-kuda, siap untuk melancarkan serangan. Jaghana berdiri, disangga oleh Gendhuk Tri. Upasara Wulung berdiri kukuh. Tegak.
"Aku juga bisa. Aku juga bisa," teriak Galih Kaliki di bawah, sambil berputar menirukan gerak Upasara Wulung.
Bahwa Upasara bisa membalik situasi secara mendadak memang sangat mengejutkan. Tak terkecuali Ngabehi Pandu yang menjadi gurunya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara Wulung bisa memainkan secara nyaris sempurna, apa yang selama ini dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan! Apa yang oleh Naga Murka disebut sebagai jurus Jalan Budha. Apa yang bisa ditirukan dengan baik oleh Galih Kaliki.
Tuduhan Naga Murka bukannya mengada-ada. Karena yang ditunjukkan Upasara Wulung barusan adalah gerakan yang sulit dipahami. Gerakan yang selama ini hanya dipelajari oleh Kiai Sangga Langit sebagai imam negara! Juga tidak terlalu meleset kalau Ngabehi Pandu seperti mengenali. Atau bahkan Galih Kaliki bisa menirukan geraknya dengan sempurna.
Apa yang sebenarnya terjadi, tak bisa diterangkan oleh Upasara sendiri. Semuanya berkecamuk menjadi satu. Bisikan Ugrawe mengenai Tumbal Bantala masih terngiang. Dan itulah gerakan yang muncul begitu saja. Gerakan ini seperti diketahui, dipelajari oleh Upasara Wulung sambil lalu, ketika Kawung Sen mencuri kitab itu dari perbendaharaan Ugrawe. Upasara tidak tertarik mempelajari, karena ketika itu sadar bahwa Kitab Penolak Bumi atau Tumbal Bantala Parwa adalah buku yang mengajarkan cara-cara menolak serangan bumi. Apa artinya kalau jurus mengenai bumi tak diketahui? Upasara bersama Kawung Sen lebih suka mempelajari Kartika Parwa atau Buku Bintang.
Hanya saja, Upasara baru sadar apa yang dipelajari ketika melihat Galih Kaliki mencoba membunuh dirinya. Gerakan Galih Kaliki mengingatkan kepada sesuatu yang bisa untuk menangkis. Dan ternyata gerakan itu kena! Bahkan ketika itu Upasara Wulung menyadari bahwa gerakan-gerakan Galih Kaliki dengan tongkat galih pohon asam sama dengan pukulan tangan kosong Ugrawe. Maka dalam gebrakan awal bisa mengalahkan Ugrawe. Hanya ketika pikirannya bercabang, ketika mau memainkan gerakan Banteng Ketaton, bisa dilukai.
Demikian juga ketika melawan Naga Murka. Jurus-jurus dalam Banteng Ketaton yang cukup sempurna bisa cepat dikalahkan Naga Murka. Bahwa Naga Murka menduga Kiai Sangga Langit mengajari Upasara bukannya tanpa alasan. Kiai Sangga Langit sendiri bukan tak pernah mengatakan jurus-jurus atau cara latihan napas itu. Setidaknya pernah menurunkan lewat Nyai Demang!
Yang tak disadari oleh siapa pun adalah bahwa sebenarnya Kiai Sangga Langit sendiri belum melihat pemecahannya bagaimana cara memainkan jurus Jalan Budha. Ia hanya tahu teorinya! Itu bukan semata-mata hadiah. Akan tetapi siapa tahu Upasara bisa memecahkan rahasianya. Seperti diketahui, Upasara bisa memecahkan cara main congklak yang merupakan inti ilmu tersebut. Upasara, di luar dugaan, bisa menguasai itu semua. Karena memang ilmu itu pada dasarnya mengandalkan pikiran kosong. Suwung, sunya, sepi. Dalam keadaan pasrah tadilah tenaga itu muncul.
"Budha maha welas-asih. Hari ini, aku melihat cahaya dan petunjukmu." Kiai Sangga Langit menunduk berusaha memberi hormat. Akan tetapi tubuhnya jatuh ke bawah. Tak bergerak.
Ngabehi Pandu tertawa pendek. Akan tetapi sebelum tawanya selesai, tubuhnya jatuh ke bawah juga! Dalam duel yang berjalan sekian lama, kedua-duanya telah terluka dalam.
Upasara Wulung menjadi getir hatinya melihat gurunya jatuh. Konsentrasinya buyar.
"Kakang, sikat mereka semua," teriak Gendhuk Tri.
Naga Murka meloncat turun sambil berteriak mengguntur, "Semua kembali ke kapal!"
Naga Wolak-Walik mengikuti turun, disusul Naga Kembar. Dan semua prajurit Tartar mundur secara teratur. Pertempuran di bawah kembali bergolak. Hanya kali ini prajurit Tartar terus didepak mundur. Perlahan-lahan mereka terus terdesak.
Di atas benteng, Upasara membebaskan ikatan Gayatri, lalu bersamaan dengan Gendhuk Tri, Dewa Maut, Jaghana, Ranggalawe melayang turun.
Medan pertempuran telah bergeser ke utara. Prajurit Tartar makin terdesak ke arah pelabuhan. Upasara Wulung berlari kencang, mengangkat Ngabehi Pandu. Lalu membawa ke tempat sepi. Menunduk. Sendirian. Air matanya membeku. Pundaknya berguncangan menahan duka.
"Sudah, Kakang...." Suara Gendhuk Tri seperti tak terdengar.
"Betul, Tole, Kakang tak usah berduka. Toh Ngabehi Pandu mati dalam senyum. Sudah melihat kamu menang. Kamu memang jagoan."
Itu tak menghibur Upasara Wulung. Juga pesta kemenangan yang dirayakan secara besar-besaran. Kini seluruh Keraton telah dikuasai secara mutlak. Pasukan Tartar telah dibuang ke laut. Didesak hingga ke kapal-kapalnya yang segera dilarikan ke laut. Kembali ke negeri asalnya.
Sungguh suatu akhir yang tak menggembirakan. Para prajurit kelas satu yang berhasil menaklukkan separuh belahan bumi, yang tak terhalangi lajunya selama ini, justru bisa dipecundangi oleh prajurit-prajurit yang tadinya tidak diperhitungkan sama sekali. Utusan pertama untuk menaklukkan dibuat tak bermuka oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Kemudian tiga jenderal perang yang paling tangguh, dengan armada yang paling tangguh, kembali pulang dengan tangan hampa dan kekalahan. Walaupun kepulangan kali ini dengan harta karun dari Keraton yang bisa dirampas, akan tetapi tetap tak menghapus aib yang begitu besar. Untuk pertama kalinya Kaisar Langit dan Dewa-Dewa Naga dibuat tak berdaya.
Luapan kegembiraan tak membuat Upasara tersenyum sedikit pun. Kembali wajah duka membebani. Seakan kematian Ngabehi Pandu membuatnya putus harapan. Upasara mulai mengenal kasih sayang, mulai mengenal dunia dari Ngabehi Pandu. Akan tetapi kini, ia kehilangan. Satu demi satu orang yang dihormati, yang menjadi bagian dari keluarga, gugur di medan pertempuran. Sejak Kawung Sen, Jagaddhita, Mpu Raganata, dan Ngabehi Pandu.
Penghargaan resmi dari Sanggrama Wijaya berupa gelar resmi sebagai senopati pamungkas tidak berarti senopati terakhir, melainkan senopati yang bisa menyelesaikan tugas dengan tuntas, tak menggoyahkan hatinya. Juga hadiah berupa tanah luas.
Pada suatu malam Raden Wijaya memanggilnya sendirian. Ketika itu Keraton Majapahit mulai dibangun kembali. Sebagian besar pusaka-pusaka Keraton Daha yang dipindahkan telah diberi tempat tersendiri. Di tempat seperti itulah Upasara Wulung dipanggil menghadap.
"Senopati Wulung, jasamu sangat besar. Terutama di hari-hari terakhir. Di ruang ini ada segala pusaka yang bisa kamu ambil, kamu pilih. Apakah semua ini masih kurang?"
"Terima kasih, Raden. Hamba merasa senjata pusaka ini akan lebih berarti di tempat ini."
"Aku bukannya tidak tahu apa yang kau harapkan. Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara. Aku bukannya tidak mau memberikan, Senopati Wulung. Namun kamu tak bisa melawan kodrat. Menurut perhitungan para resi, para pendeta, Gayatri dan diriku ditakdirkan seperti Dewa Uma dengan Syiwa. Dari Gayatri-lah kelak akan diturunkan raja-raja besar, yang tak ada bandingannya selama beberapa keturunan. Begitulah perhitungan para pendeta yang bijak. Jika menjadi jodohmu, itu menghalangi kodrat. Mengubah sejarah kegemilangan masa yang akan datang. Senopati Wulung, pilihlah putri yang lain. Gayatri tidak seorang diri. Ia mempunyai tiga saudari. Kamu bisa memilih salah satu."
Upasara menunduk, tidak menjawab.
"Aku mendengar laporan, bahwa utusan dari Pamalayu sebentar lagi akan tiba. Mereka membawa putri ayu, berkulit putih, memancarkan cahaya surga. Kamu bisa memilih salah satu, senopatiku, pahlawan perangku."
Upasara menghaturkan sembah. "Hamba tak cukup berharga untuk itu semua, Raden...."
"Hari ini kamu masih bisa memanggilku Raden. Sebentar lagi kamu akan memanggilku Baginda Raja. Namun, Senopati, dengarlah. Apa yang kukatakan tak pernah kutarik pulang. Siapa pun yang kamu minta, akan kuberikan. Asal bukan Gayatri, karena kita semua akan menyalahi kodrat!"
Apakah banyak artinya janji itu? Upasara Wulung tak tahu. Bahkan Kiai Sangga Langit pun dulu masih mempunyai satu janji dengan dirinya. Tapi belum sempat dipenuhi, Kiai Sangga Langit sudah meninggal dunia.
Dalam kehampaan hati, Upasara Wulung secara diam-diam meninggalkan Keraton Majapahit. Menelusuri hutan, melalui rawa dan sungai, hingga akhirnya kembali ke Perguruan Awan. Melihat semua bekas yang masih bisa menggetarkan hatinyabwalaupun secara nyata seolah tak ada yang berubah.
"Eyang Sepuh yang menuntunmu ke tempat ini," kata Jaghana perlahan sambil menyembah. Demikian juga Wilanda.
Upasara Wulung menjadi jengah.
"Eyang Sepuh yang membisiki Anakmas agar berada di tempat ini. Untuk membangun kembali perguruan ini. Di sini tinggal kami berdua."
"Paman Jaghana dan Paman Wilanda, saya memang ingin beristirahat di sini. Akan tetapi soal membangun perguruan..."
Wilanda menghaturkan sembah. "Anakmas, kalau bukan Anakmas yang secara langsung mendapat bisikan Eyang Sepuh, siapa lagi yang pantas memimpin Perguruan Awan ini?"
"Jangan menyembah seperti itu, Paman."
Mendadak Jaghana dan Wilanda berdiri dan tertawa terbahak-bahak. Keras membahana. Lalu keduanya bersujud.
"Eyang Sepuh, sungkem pangabekti. Eyang masih selalu bersama kami."
Upasara baru sadar. Bahwa dengan meminta tidak saling menyembah berarti dirinya masuk ke dalam peraturan Perguruan Awan. Di mana di sini memang tidak ada aturan untuk saling menghormati secara formal. Upasara tak bisa menerangkan lebih jauh. Tetapi juga tak bisa menolak. Karena memang hanya di tempat inilah hatinya merasa tenteram. Tak timbul keinginan melihat Keraton Majapahit dan mendatangi upacara besar-besaran, tak ingin melihat keraton lama di mana di dindingnya pernah dipahatkan kalimat janji dengan Gayatri.
Sejak saat itu Upasara Wulung berdiam di Perguruan Awan. Mulai menghabiskan waktu dengan Jaghana dan Wilanda. Hidup dari buah-buahan, dari menanam dan merawat tumbuhan yang ada. Kadang kala melatih pernapasan secara bersama-sama. Selama ini yang sering datang adalah Gendhuk Tri serta Dewa Maut malah kadang berdiam lama. Juga Galih Kaliki dan Nyai Demang. Biasanya mereka berkumpul bersama, berbicara lama sekali. Dari sore hingga sore hari lagi. Berlatih bersama.
Namun dari luar, hutan itu seperti tak tersentuh manusia. Mereka terlalu kecil dibandingkan dengan alam yang gagah perkasa. Di mana ujung dedaunan mencapai langit, dan akarnya terhunjam dalam ke tanah. Satu-satunya tanda bahwa hutan itu berpenghuni manusia ialah bila suatu ketika ada angin lirih, seperti terdengar tembang, senandung tanpa kata-kata, memberi gambaran ombak yang bergulung ke pantai berlumut....
LANGIT di Keraton Majapahit membersitkan campuran warna merah kekuning-kuningan. Saat menjelang terbenamnya matahari, suasana sangat sepi. Mereka yang bekerja sepenuh hari beristirahat. Tak ada anak-anak yang bermain, baik di perumahan penduduk maupun di dalam Keraton.
Sore hari saat candikala, saat matahari membiaskan sinar merah-kuning, adalah saat untuk hening. Saat pergantian siang dengan malam yang ditandai dengan firasat alam. Berbeda dengan pergantian hari yang biasa, candikala dianggap mempunyai makna bisa mendatangkan bahaya. Karena, menurut kepercayaan itu adalah saat Batara Kala, dewa yang bertubuh raksasa, sedang mencari mangsa. Siapa saja yang masih berada di luar rumah akan ditelan.
Tapi suasana yang tengah dirasakan Baginda Raja Sanggrama Wijaya bukan hanya karena cahaya surya yang sebenarnya sangat indah itu. Yang membuat Baginda Raja gundah adalah masih adanya batu-batu yang terasa mengganggu kesempurnaan kekuasaannya. Batu kecil, karena batu-batu besar telah berhasil disingkirkan. Dengan prajuritnya yang setia, Baginda Raja berhasil membebaskan kekuasaan dari Baginda Jayakatwang. Batu besar yang lebih perkasa, yaitu pasukan Tartar yang pernah dan masih menguasai seluruh jagat raya, berhasil disingkirkan. Bersama dengan para senopati yang pilihan, pendekar-pendekar Tartar bisa dibubarkan, didesak ke pinggir laut dan pulang ke kandangnya.
Sejak itu, desa Tarik diubah menjadi pusat kegiatan. Keraton Majapahit mulai didirikan. Benteng yang kuat, gapura yang indah dan kokoh bisa didirikan. Pembagian kekuasaan untuk para pembantu utama sudah dipersiapkan. Sebagai raja yang baru, Baginda Raja sudah menyusun sejumlah pangkat dan kebesaran yang siap untuk dianugerahkan. Sampai di sini tak ada masalah yang berarti.
Kecuali tentang satu orang. Yaitu Upasara Wulung, ksatria Pingitan didikan zaman Baginda Raja Kertanegara, yang diangkat menjadi senopati. Diangkat sebagai salah satu panglimanya ketika mengusir lawan dalam pertempuran antara mati dan hidup. Itulah sebabnya Baginda Raja memberi sebutan sebagai senopati pamungkas, senopati terakhir. Tetapi bisa juga berarti senopati yang menyelesaikan tugas.
Sebagai seorang yang berdarah ksatria dan berasal dari lapisan tengah sebelum naik takhta, Baginda Raja Sanggrama Wijaya mengenal balas budi. Semua senopati, prajurit yang berjasa, diberi ganjaran atau hadiah yang sesuai dengan jasa pengabdiannya. Bahkan prajurit dalam pangkat yang paling rendah pun menerima. Kecuali satu orang.
Yaitu Upasara Wulung. Yang setelah pertempuran besar-besaran lebih suka kembali ke Perguruan Awan. Dan sejak masuk kembali ke daerah hutan itu, tak pernah muncul lagi. Dua kali Baginda Raja mengirimkan utusan resmi. Akan tetapi jangan kata mendengar jawaban, bertemu dengan orangnya atau bayangannya saja tak bisa.
"Tak mungkin bocah itu tak tahu datangnya utusan resmi," kata Baginda Raja pelan kepada Gayatri, salah seorang permaisurinya. "Ia tahu, dan ia menunjukkan sikap menolak kepada utusanku. Bocah Pingitan itu lupa bahwa yang ditentang sekarang ini adalah perintah seorang raja yang bisa membalik dunia seperti membalik telapak tangan. Aku memanggilmu karena kamu tahu bocah itu."
Gayatri menunduk, memandang lantai Keraton. Hatinya masih berdesir. Masih tersisa kenangan ketika bersama dengan Upasara Wulung menyelinap ke dalam Keraton Daha. Dan saat Upasara Wulung bertarung antara mati dan hidup untuk membebaskannya. Lebih dari itu, diketahuinya bahwa ksatria itu menaruh hati padanya. Hanya karena menurut perhitungan para pendeta dirinya adalah pasangan Baginda Raja, seperti pasangan Dewa Wisnu dan Dewi Sri, Upasara Wulung mengundurkan diri.
Sebagai permaisuri seorang raja, Gayatri sudah sejak semula menutup semua kenangan dan ingatan pada diri Upasara Wulung. Tak ada keinginan sedikit pun untuk membuka hari lampau, karena setiap kali tanpa sengaja nama itu disebut, darahnya masih tetap mengalir lebih kencang.
"Bocah Pingitan itu," suara Baginda Raja sedikit meninggi ketika menyebut sebagai bocah, dan bukan ksatria, "masih menyimpan dendam kekanak-kanakan karena kamu. Aku sudah berjanji memberikan apa saja padanya, kecuali kamu. Akan tetapi ia tetap bocah yang tak tahu bagaimana menikmati hasil perjuangannya sendiri. Ia memilih berada di hutan seolah mau menjadi dewa. Ia boleh mengaku berjasa. Nyatanya memang demikian. Akan tetapi sekali ini aku tak bisa membiarkan ia menolak panggilanku. Itu berarti menentang panggilan seorang raja. Tak ada ampunan bagi seorang yang berani menentang raja."
Gayatri tetap menunduk. Lurus pandangannya ke bawah. Desir darahnya masih menggetar.
"Aku memanggilmu karena aku ingin kamu datang ke Perguruan Awan dan mengatakan bahwa aku memanggilnya, memerintahkan ia sowan, menghadap padaku. Bahwa aku akan memberikan pangkat tertinggi padanya sebagai mahapatih. Bersiaplah. Besok pagi-pagi sekali kamu berangkat."
Gayatri menghaturkan sembah dengan menunduk hormat.
"Aku telah mengangkat para mantri, para bupati, para senopati. Akan tetapi tetap terbuka kemungkinan untuk menjadi mahapatih, menjadi tangan kananku. Akan kulihat apakah kepalanya masih keras menerima tawaranku, menerima kedatanganmu. Sebelum matahari terbit besok, kamu sudah berada dalam perjalanan."
"Sendika dawuh, Gusti." Gayatri menghaturkan sembah. Walau ia termasuk permaisuri, akan tetapi seorang raja tetap seorang raja yang harus dihormati sebagai raja, bukan hanya sebagai suami. Gayatri tetap menghaturkan sembah, dan menyebut sebagai Gusti, kependekan dari Gusti Prabu.
Gayatri menunggu sampai Baginda Raja meninggalkan tempat. Baru kemudian bergerak perlahan. Menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dalam beberapa hari ini. Sesuatu yang lebih menggetarkan hatinya dibandingkan ketika pertama kali menyusup ke dalam Keraton Daha bersama Upasara Wulung. Padahal waktu itu jelas memang menguatirkan, karena soal mati dan hidup.
Sekarang ini seharusnya ia merasa sedikit terhibur. Bukankah ia akan bertemu dengan seorang lelaki, benar-benar seorang lelaki yang pernah mengguncangkan jiwanya? Upasara Wulung seorang lelaki biasa, bukan seorang raja. Bukan seorang pangeran. Bukan juga seorang bupati. Gelar kehormatan yang disandang hanyalah senopati. Suatu gelar kehormatan yang bisa diperoleh setiap prajurit.
Akan tetapi Upasara Wulung memang sepenuhnya seorang lelaki. Gagah, mempunyai jiwa ksatria, seorang prajurit sejati yang hanya tahu satu hal: berbakti kepada Baginda Raja, yang berarti mencintai Keraton, yang juga berarti mencintai tanah tumpah darahnya. Upasara begitu lugu, begitu jujur mengabdi, begitu tulus menjalankan darma baktinya.
Ini semua yang membuatnya makin gelisah ketika akhirnya selepas tengah malam Gayatri masuk ke dalam tandu, dipanggil para prajurit yang telah siap. Saat itulah Gayatri mendengar sendiri dari Mpu Renteng dan Mpu Sora yang mengawal. Bagi Gayatri, Mpu Sora dan Mpu Renteng mempunyai hubungan yang lebih erat. Bukan karena kebetulan kedua tokoh itu adalah dua di antara sekian orang kepercayaan Baginda Raja, akan tetapi karena Mpu Renteng dan Mpu Sora sering mengatakan sesuatu secara berterus terang.
"Paman, katakan padaku, apa sebenarnya maksud Baginda Raja memanggil Kangmas Upasara?"
Mpu Renteng dan Mpu Sora menyembah dengan hormat. Keduanya naik kuda di sebelah kanan dan kiri tandu.
"Seperti yang diperintahkan Baginda."
"Apakah itu yang sesungguhnya, Paman?"
"Itulah yang sesungguhnya, Permaisuri. Baginda Raja saat ini kesulitan memilih siapa sesungguhnya yang berhak menjadi mahapatih. Hamba melihat kelebihan Baginda melihat ke depan. Sekarang ini kalau di antara kami yang diangkat, bisa menjadi bobot pertengkaran. Hamba, Tambi, Renteng, Sasi, Nambi, tumbuh secara bersama. Agak sulit menerima tiba-tiba salah seorang dari kami menjadi mahapatih. Kami terlalu tahu kurang dan juga lebihnya."
"Apakah Paman akan menerima jika Kangmas Upasara yang diangkat Baginda?"
"Kami akan menerima, karena itulah titah Baginda Raja. Akan tetapi lebih dari itu, Upasara pantas menyandang kehormatan itu. Walau masih muda, jasanya besar sekali. Kami semua mengakui, dan menerima."
Terdengar helaan napas dari dalam tandu. "Kalau Baginda berkehendak memberi anugerah pangkat yang begitu tinggi, mengapa disertai ancaman? Mengapa Baginda bisa menjadi murka?"
Kali ini ganti Mpu Sora dan Mpu Renteng menghela napas bersamaan.
HELAAN napas yang bersamaan menunjukkan kecemasan yang sama. Mpu Renteng juga berusaha menenteramkan kegelisahan batinnya. Apa yang diutarakan Mpu Sora sepenuhnya benar. Masalah pengangkatan mahapatih Majapahit sekarang ini masalah yang paling pelik. Upasara Wulung bisa menjadi jalan tengah yang menyelamatkan. Akan tetapi kekuatiran yang diutarakan Permaisuri Gayatri juga ada benarnya.
Mpu Renteng dan Mpu Sora dalam hati was was karena tak bisa sepenuhnya memperkirakan cara bertindak Baginda Raja. Pengalaman masa lampau bersama-sama sejak melarikan diri dari Keraton Singasari ketika Raja Muda Jayakatwang menyerbu, membuat mereka sepenuhnya hormat dan menyatu. Dalam keadaan terlunta-lunta, berjalan sampai ke tlatah Madura, selalu bisa seperasaan. Begitu juga ketika mulai menggempur Raja Jayakatwang di Daha.
Akan tetapi sedikit timbul keraguan ketika dalam saat-saat yang menentukan Baginda Raja tega membiarkan beberapa prajurit yang masih menjadi tawanan. Baginda Raja tetap memerintahkan penyerbuan. Juga ketika prajurit Tartar kemudian digempurnya. Mpu Renteng menganggap ada sesuatu yang tak bisa diduga dalam tindakan Baginda Raja. Biar bagaimanapun, jiwa ksatria Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa menerima begitu saja cara menyingkirkan pasukan Tartar.
"Mereka musuh kita. Harus kita musnahkan. Dengan siasat. Ini bukan kelicikan atau sifat ksatria. Kita harus memenangkan pertempuran yang paling menentukan ini. Kalian adalah prajurit, dan aku yang memikirkan strategi. Aku yang bertanggung jawab kepada Dewa yang Menguasai Langit dan Bumi. Busuk atau tidak kulakukan, aku yang bertanggung jawab. Kalian tidak akan pernah mengerti. Ini urusan pemerintahan. Ini urusan seorang raja!"
Itulah yang dulu didengar langsung dari Baginda Raja. Penjelasan yang diterima saat itu. Akan tetapi setelah beberapa saat dipertimbangkan, setelah Keraton Majapahit mulai dibangun, dan segala hasil dinikmati, kecemasan baru mulai merambat. Kalau hal ini dihubungkan dengan pemanggilan Upasara Wulung, Mpu Renteng juga melihat sesuatu yang selama ini agaknya disembunyikan oleh Baginda Raja. Atau paling tidak, tidak diungkapkan oleh Baginda.
Yaitu tersiarnya berita di luaran bahwa selama ini Upasara Wulung dilupakan oleh Baginda Raja. Bahwa berita pembicaraan di masyarakat itu tidak benar, Mpu Renteng dan Mpu Sora tahu secara pasti. Bukan Baginda Raja yang melupakan, akan tetapi Upasara sendiri yang menolak. Namun ada juga yang dirasakan, bisa benar dan bisa tidak. Yaitu bahwa di belakang hari Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan yang berbahaya. Sejak pertempuran penghabisan dulu, Upasara mengasingkan diri di Perguruan Awan. Sepenuh waktunya dipakai untuk merenung, untuk bersemadi.
Inilah yang berbahaya. Saat ini Upasara telah mulai memperdalam ilmu yang sangat luar biasa, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ilmu yang masih tetap dianggap gaib, karena selama ini tidak ada yang mengetahui secara persis. Bahkan ilmu itu yang oleh para pendeta Tartar, para pendekar Mongolia, dianggap sebagai Jalan Budha. Ilmu yang baru sebagian saja dilihat oleh Mpu Renteng dan Mpu Sora sewaktu Upasara Wulung melabrak habis Naga dari Tartar yang saat itu tak tertandingi.
Ilmu yang luar biasa, karena mereka semua para jago silat seperti mengenali, akan tetapi juga seperti tidak. Dan kalau benar saat ini Upasara Wulung sedang memperdalam ilmunya Tepukan Satu Tangan yang bisa terdengar lebih nyaring dan lebih bertenaga dari dua tangan, bisa dibayangkan bagaimana jika Upasara benar-benar telah menguasai ilmu tersebut.
Upasara akan menjadi tokoh yang tak bisa diramalkan, dan sulit dicari tandingannya. Di zaman dahulu masih ada Mpu Raganata yang perkasa, masih ada Eyang Sepuh yang kini tak diketahui tempat dan bayangannya, akan tetapi sekarang ini Upasara betul-betul tak menemukan lawan yang setanding.
Dalam perkiraan Mpu Renteng, kalau Baginda kuatir, itu cukup beralasan. Karena memang sejak mendiang Baginda Raja Kertanegara, kedigdayaan adalah sesuatu yang mempunyai makna mendalam. Baginda Raja Sri Kertanegara-lah yang secara resmi menentukan bahwa nilai-nilai kedigdayaan, kesaktian, adalah nilai seorang lelaki yang sesungguhnya. Hanya yang kuat dan sakti yang akan memerintah seluruh jagat dan isinya.
Kehadiran Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan di belakang hari. Maka, menurut perkiraan Mpu Renteng dan Mpu Sora serta beberapa senopati, Baginda Raja berusaha menarik Upasara Wulung ke pihak Keraton. Dengan anugerah pangkat mahapatih, Upasara tak akan melawan di kemudian hari. Upasara Wulung, sebaliknya, akan berbakti sepenuhnya.
Kalau ternyata Upasara Wulung menolak, bukan tidak mungkin Baginda akan mengangkat tangan untuk melenyapkan. Sekarang adalah saat yang tepat, sebelum Upasara Wulung tumbuh menjadi besar dan berakar. Pastilah Baginda Raja mempunyai telik sandi atau pasukan rahasia yang mengetahui apa yang tengah terjadi sekarang ini. Dugaan Mpu Renteng ialah prajurit telik sandi di bawah pimpinan Mpu Nambi yang mampu menyusupkan anak buahnya ke Perguruan Awan.
Mpu Renteng bisa mengetahui sedikit-sedikit dan mendengar bahwa sesungguhnya Upasara Wulung saat ini tengah berada dalam situasi yang menentukan. Upasara berada dalam situasi yang sangat menentukan dalam mempelajari Tepukan Satu Tangan. Bagian yang menentukan apakah ia bakal berhasil menguasai ilmu tersebut atau gagal sama sekali.
Mpu Nambi mendapat laporan dari prajuritnya yang menurut cerita mendapat kabar tersebut dari Dewa Maut. Salah seorang tokoh yang semasa jayanya jago dalam bidang racun yang tiada tandingannya. Hanya saja kemudian seluruh tenaga dalamnya musnah serta terganggu jiwanya. Dewa Maut termasuk yang bisa keluar-masuk ke dalam Perguruan Awan bersama dengan Gendhuk Tri gadis remaja yang seluruh tubuhnya dipenuhi dengan racun. Mereka inilah, di samping beberapa murid Perguruan Awan, yang masih tetap mengadakan pertemuan secara tertentu. Sesungguhnya, ini yang dikuatirkan Baginda.
Kalau sampai Upasara berhasil menghimpun para ksatria pilihan dan kemudian mbalela, atau memberontak kepada Baginda. Upasara bagai harimau yang tumbuh sayap. Bahwa Upasara akan sangat membahayakan seluruh ketenteraman Keraton, Mpu Renteng bisa mengerti dan bisa menerima. Akan tetapi nalarnya mengatakan bahwa sangat tidak masuk akal bahwa Upasara Wulung akan mbalela.
Akan tetapi Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa mengutarakan pendapatnya, karena Baginda tak pernah menanyai. Sungguh tak masuk akal kalau tiba-tiba saja mereka mengutarakan pendapatnya. Ini suatu sikap kurang ajar yang tak bisa dimaafkan, tak ada ampunan sama sekali. Yang mencemaskan adalah bahwa Baginda lebih mempercayai Mpu Nambi untuk memecahkan masalah di Perguruan Awan. Dan kemudian menjatuhkan putusannya. Seperti sekarang ini. Mengirim utusan untuk menjemput Upasara.
Mpu Renteng bisa mengerti kalau misalnya saja Baginda memerintahkan para senopati pilihan untuk memaksa Upasara. Lepas dari pertimbangan benar atau tidak— akan tetapi bukankah yang diperintahkan Baginda Raja selalu benar?—ini menunjukkan sifat ksatria. Akan tetapi Baginda justru mengutus Permaisuri Gayatri. Seorang wanita yang sama sekali tidak terlibat dalam percaturan Keraton. Bahkan mungkin sama sekali tidak tahu, seperti pertanyaan yang baru saja didengar.
Hanya karena Permaisuri Gayatri dulu pernah mempunyai perasaan tertentu terhadap Upasara, maka kini hal itu yang dipakai sebagai senjata untuk memaksa Upasara Wulung. Mpu Renteng sempat bertanya-tanya dalam hati ketika menerima titah dari Baginda.
"Kawal Permaisuri."
"Sendika dawuh," jawabnya sambil menyembah bersamaan dengan Mpu Sora.
"Kupercayakan ini kepada kalian berdua. Bertindak atas namaku untuk berbuat apa saja demi perintahku."
"Sendika dawuh, Gusti."
"Ingat. Apa pun yang terjadi, kalian berdua hanya memberikan laporan kepadaku."
Baginda juga memerintahkan untuk membawa prajurit-prajurit pilihan. Bahkan Dyah Palasir dan Dyah Singlar yang selama ini diandalkan untuk menjadi pemimpin prajurit pribadi diikutsertakan. Dyah Palasir termasuk senopati muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Baginda. Dari angkatan muda, Dyah Palasir-lah satu-satunya yang mendapat pangkat sejajar dengan bupati.
Mpu Sora pun yakin bahwa tugas yang dijalankan kali ini bukan tugas sembarangan. Ada cara halus dengan membawa Permaisuri Gayatri. Tetapi juga ada cara tertentu yang bisa serta-merta diambil jika ada sesuatu yang dianggap perlu. Dyah Palasir pasti telah memilih prajurit-prajurit pilihan yang paling tangguh dan paling setia kepadanya. Ini berarti perjalanan ke Perguruan Awan bisa mengubah sejarah Keraton.
PERGURUAN AWAN masih seperti ketika diciptakan. Awan dan angin masih terasa purba. Bahkan tanahnya masih selalu terkesan basah. Tak ada yang berubah.
Perguruan Awan, atau juga disebut Nirada Manggala, sebenarnya tak jauh berbeda dari hutan-hutan yang lain. Gerombolan pepohonan yang membentuk pagar alam. Tak terlalu istimewa, karena di sini juga tak ada tanda-tanda yang menjadi batas wilayahnya. Satu-satunya pertanda memasuki daerah Perguruan Awan hanyalah sebuah alun-alun yang luas. Sebuah lapangan yang tak ditumbuhi pohon-pohon besar.
Tanah kosong itu dianggap masyarakat sekitar sebagai batas wilayah yang dikeramatkan. Yang membuat penduduk sekitar enggan untuk memasuki, apalagi mengusik tanaman yang ada. Sepotong daun yang mengering akan dibiarkan membusuk dan menjadi pupuk. Irama alam sepenuhnya terjaga sempurna.
Rombongan yang dipimpin Mpu Sora dan Mpu Renteng sampai di pinggir alun-alun. Dyah Palasir segera memerintahkan membuat pondokan sederhana yang dibangun dari kayu-kayu yang sudah disiapkan, dengan atap ilalang yang dibawa dari Keraton. Tak ada pepohonan yang diusik. Tak ada tetumbuhan dan Cengkerik yang diubah letaknya. Bahkan bentuk bangunan pondokan itu dibuat sedemikian rupa sehingga menyatu dengan alam sekitar. Seakan bagian dari belukar menjalar.
Di pondok itu Permaisuri Gayatri bertempat tinggal. Pada jarak sepuluh tombak, para prajurit berjaga-jaga. Ada yang khusus memasak, memasak air untuk Permaisuri. Selebihnya menunggu. Hanya Mpu Sora dan Mpu Renteng yang berada di sekitar pondok, dan tetap berdiam diri. Hanya mengeluarkan jawaban kalau ditanya secara langsung. Permaisuri tak bisa menahan diri ketika malam tiba, dan suara binatang hutan mulai terdengar.
"Paman Sora dan Paman Renteng."
"Sembah dalem, Gusti."
"Sampai kapan kita menunggu?"
"Sampai hamba mendengar titah Permaisuri. Kalau Permaisuri menitahkan untuk masuk ke dalam, kita semua akan masuk ke dalam hutan."
"Kalau saya meminta kita kembali ke Keraton?"
Mpu Sora dan Mpu Renteng menyembah hormat.
"Hamba menerima titah Baginda Raja untuk mengantarkan Permaisuri menemui Senopati Pamungkas."
Jawaban yang tetap menghormat. Menempatkan diri sebagai orang bawahan. Akan tetapi juga sekaligus suatu ketegasan bahwa mereka harus bisa menjalankan tugas. Menemui Senopati Pamungkas. Ini berarti berpantang pulang sebelum tugas dijalankan.
"Saya mengerti, Paman. Hanya saya tidak mengerti apakah Kangmas Upasara mengetahui saya berada di sini."
"Mestinya begitu, Permaisuri."
"Kalau begitu, kenapa Kangmas tak mau menemui?"
Mpu Renteng tak bisa menjawab. Juga Mpu Sora. Bahkan kalaupun mempunyai jawaban, barangkali sulit sekali diutarakan. Karena tugas ke Perguruan Awan ini masih mengandung misteri yang belum terungkapkan. Adalah sangat mungkin sekali Upasara Wulung tak mau menemui. Bukan tidak mungkin menolak muncul, justru karena Baginda Raja mengutus Permaisuri Gayatri untuk menemui.
Baik Mpu Sora maupun Mpu Renteng sedikit-banyak mengenal Upasara Wulung. Senopati muda yang diangkat sebagai senopati perang dalam saat yang menentukan. Yang kemudian memilih kembali ke tengah hutan di saat kemenangan dirayakan. Hanya yang mempunyai hati batu alam mampu menyatukan keinginan, mampu mendengarkan suara hatinya sendiri. Mpu Sora tidak melihat bahwa tindakan Upasara suatu tindakan yang benar, namun jelas menunjukkan suatu keyakinan yang utuh.
"Bagaimana kalau Kangmas Upasara tidak mau menemui saya?"
"Pasti menemui, Permaisuri. Begitulah perkiraan Baginda."
"Perkiraan Baginda," Permaisuri Gayatri meninggikan suaranya. "Apa perkiraan Paman berdua?"
"Apa yang diperkirakan Baginda adalah perkiraan hambanya juga."
"Ya, selalu begitu jawaban Paman. Akan tetapi, apakah Paman yakin Kangmas Upasara berada di hutan ini? Bagaimana kalau ia sedang pergi? Bagaimana kalau sedang sakit?"
"Kalau sedang pergi, hamba tak tahu harus mencari ke mana. Kalau sedang sakit, hamba juga tak tahu harus mencari obat ke mana. Hamba hanya menjalankan perintah."
"Paman, saya pun hanya menjalankan perintah. Titah Baginda Raja, penguasa tunggal atas mati dan hidup kita sekalian. Tetapi saya ini orang bodoh, Paman. Bodoh sekali dan tak mengerti sedikit pun masalah Keraton. Mbakyu Tribhuana, yang digelari mahalalila karena keunggulannya bisa mengetahui maksud Baginda, jauh sebelum diperintah sudah mengetahui maksudnya. Mbakyu Mahadewi yang paling dikasihi Baginda, juga bisa mengetahui. Mbakyu Jayendradewi yang paling setia, bisa mengerti. Tetapi saya ini sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Paman, katakanlah sejujurnya. Apakah maksud Baginda memanggil Kangmas Upasara?"
"Sejauh hamba yang bodoh ini mengetahui, tak lain dan tak bukan seperti yang disabdakan. Ingin mengangkat Senopati Pamungkas menjadi mahapatih Majapahit. Menjadi tangan kanan Baginda. Semua pengikut Baginda telah mendapatkan kehormatan dan anugerah, akan tetapi..."
"Apakah tidak ada maksud lain?"
"Tidak, Permaisuri."
"Mengapa mendadak sekali?"
Mpu Sora menggeleng lemah. Namun hatinya sempat oleng. Hanya karena penguasaan perasaannya sudah sampai tingkat tinggi, perubahan perasaan itu bisa disembunyikan. Mpu Sora dan juga Mpu Renteng bukan tidak mendengar kabar dari prajurit telik sandi, atau prajurit rahasia yang pekerjaannya menyusup dan mencari kabar dari wilayah yang tak terduga.
Mpu Sora mendengar bahwa Upasara Wulung saat ini sedang mempelajari bagian yang paling menentukan dari ilmu Tepukan Satu Tangan. Bagian yang konon akan menentukan apakah si pelatih bisa menguasai ilmu tersebut, atau justru sebaliknya. Ia bakal dihancurkan oleh ilmu tersebut, dan akan menjadi cacat seumur hidup.
Prajurit telik sandi yang dipimpin Senopati Nambi mendapat kabar ini dari salah seorang penghuni Perguruan Awan yang bernama Dewa Maut. Tokoh tua yang seluruh rambutnya putih ini yang paling bisa dihubungi. Menurut cerita, dulunya Dewa Maut adalah tokoh sakti dengan penguasaan atas semua racun Kali Brantas. Hanya saja kemudian kehilangan ingatan, sehingga kelakuannya seperti anak kecil. Dari Dewa Maut inilah tercium bahwa Upasara Wulung kini sampai ke tingkat yang menentukan.
Dan justru pada saat seperti inilah, Baginda Raja memerintahkan untuk menemui Upasara. Dengan perhitungan bahwa dalam keadaan yang genting ini, Upasara akan terdesak. Kalau ia memilih untuk meneruskan latihannya dan tak ingin terganggu, ia akan menerima jabatan tersebut. Kalaupun menolak, berarti Upasara telah ditawari. Ini berarti ia akan turut menjaga Keraton. Dan janji seorang ksatria, akan dibela sampai mati.
Kalau dihubungkan dengan titah Baginda Raja untuk mengambil tindakan yang diperlukan, hal ini sangat masuk akal. Mpu Sora dan Mpu Renteng diberi wewenang penuh untuk mengambil tindakan apa pun. Hal ini juga diperkuat dengan kehadiran Dyah Palasir. Berarti pula Upasara akan digempur saat itu juga. Sebelum kekuatan menggalang persatuan dan ilmunya makin sulit ditandingi. Baginda tak ingin melihat ganjalan menjadi besar. Sekarang ini memang saat yang paling menentukan.
"Paman..."
"Sembah dalem."
"Apakah benar saat ini tidak ada yang pantas mendapat anugerah pangkat menjadi mahapatih?"
"Senopati Pamungkas yang paling pantas menerima kebesaran ini, Tuanku Permaisuri."
Jawaban Mpu Renteng mempunyai dua arti. Pertama, seperti yang diutarakan bahwa Upasara Wulung memang pantas menerima jabatan agung ini. Meskipun masih sangat muda, akan tetapi telah membuktikan diri sebagai pengabdi yang kesetiaannya tak perlu diragukan. Di samping itu juga yang ilmu silatnya paling tinggi. Setidaknya dengan satu atau dua jurus Tepukan Satu Tangan bisa membuyarkan lawan. Kedua, karena sesungguhnya Upasara merupakan jalan keluar yang terbaik. Pengangkatan Upasara akan diterima oleh berbagai pihak. Oleh semua senopati, semua patih yang ada.
Mpu Renteng sadar bahwa Baginda Raja sekarang ini menghadapi situasi yang barangkali lebih sulit dari ketika merebut Singasari, dari ketika mengusir pasukan Tartar, lebih sulit dari ketika memutuskan untuk mengawini keempat putri Sri Baginda Raja Kertanegara. Justru karena kini menghadapi tangan dan kakinya sendiri.
BAGINDA RAJA harus memilih yang terkuat untuk menduduki kursi sebagai mahapatih, menjadi amangkubumi. Yang berarti jabatan yang lebih tinggi dari semua patih atau senopati terkemuka. Yang berarti juga bahwa salah seorang dari senopatinya akan berada di atas yang lainnya. Padahal justru ketika berjuang dulu, semuanya sama pangkat dan kedudukannya.
Untuk jabatan patih, atau juga adipati amancanegara, hal ini tidak menjadi masalah. Keraton Majapahit dibagi atas lima wilayah, yaitu sebelah barat, timur, selatan, utara, serta tengah. Masing-masing akan dipimpin oleh seorang patih atau adipati amancanegara. Seperti juga wilayah utara yang kini diserahkan kepada Ranggalawe, putra Aria Wiraraja yang gagah berani. Bahkan setelah menjadi adipati pun tetap memakai nama Ranggalawe, nama yang disandang ketika masih berpangkat rangga dalam keprajuritan.
Memang setelah semua mendapat jabatan dan pangkat, timbul pertanyaan yang tak terucapkan. Siapa yang bakal diangkat Baginda sebagai mahapatih? Yang berarti membawahkan semua adipati dan atau para patih ini?
Mpu Renteng sadar diri dan sama sekali tidak bermimpi akan menduduki jabatan sebagai pelaksana Keraton. Ada tiga nama yang bisa dipilih Baginda Raja. Ini menurut perhitungannya sendiri, yang barangkali tak berbeda jauh dengan senopati atau adipati yang lain.
Pertama, pastilah Ranggalawe, yang sekarang sebetulnya lebih tepat disebut Adipati Lawe. Senopati yang gagah berani dan mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Perlawanan merebut Singasari dibuktikan dengan luka dan pengorbanan yang tinggi. Dan lagi Adipati Lawe adalah putra Aria Wiraraja dari Madura. Yang sejak lama menunjukkan kesetiaan tanpa tanding. Yang sejak semula berpihak kepada Baginda Raja. Bahkan prajurit dari Madura yang dikirim Aria Wiraraja-lah yang pertama kali membuka hutan, membakar belukar. Para prajurit itulah yang pertama kali membuat rumah dan membangun sawah. Adalah wajar jika Baginda mengangkat Adipati Lawe sebagai mahapatih.
Kelemahan Adipati Lawe hanyalah kurang bisa mengekang perasaan. Apa yang ingin dikemukakan langsung dikatakan. Adipati Lawe seolah masih hidup di saat perjuangan merebut Singasari dahulu. Seakan masih hidup di medan perang, yang menuntut penyelesaian seperti hukum-hukum perang. Namun halangan yang terutama adalah karena adanya Mpu Sora.
Pilihan kedua, Mpu Sora. Tokoh yang bijak, mampu mengekang perasaan, dan secara sempurna menguasai ilmu Bramara Bramana, atau ilmu Sengatan Lebah Seorang Pendeta. Gabungan antara tenaga keras dan kearifan seorang pendeta. Ilmu dari tlatah Madura ini hanya Mpu Sora yang mumpuni, menguasai luar dalam. Dan Mpu Sora masih terhitung paman Adipati Lawe. Sehingga kalau mengikuti tata cara, Mpu Sora-lah yang lebih pantas dibandingkan keponakannya.
Pilihan ketiga, Mpu Nambi. Dalam banyak hal sama seperti juga Mpu Sora. Akan tetapi jabatan utama Mpu Nambi adalah pemimpin utama para prajurit telik sandi. Prajurit rahasia yang mendapat tugas utama dari Baginda Raja. Sebagai pemimpin telik sandi, tentu Mpu Nambi paling mengetahui segala rahasia Keraton, dan paling sering serta dekat berhubungan dengan Baginda. Senopati telik sandi, yang karena tugasnya bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dalam dan di luar Keraton. Bahkan diikutsertakannya Dyah Palasir menunjukkan kekuasaan ini. Dyah Palasir dari prajurit pengawal pribadi yang garis komandonya di bawah pimpinan telik sandi.
Mpu Renteng bisa mengerti kalau untuk permasalahan ini, Permaisuri Gayatri tak merasakan perlunya menemui Upasara Wulung. Yang bagi Baginda Raja hanya ada dua kemungkinannya. Bergabung ke Keraton atau ditumpas.
"Paman Sora, mengapa Kangmas Upasara memilih berdiam di hutan ini?"
"Maafkan hamba, Permaisuri. Maafkan kalau hamba yang bodoh ini mencoba lancang bercerita."
"Paman Sora, janganlah terlalu sungkan."
"Maaf, Permaisuri, bukan hamba sungkan. Akan tetapi sesungguhnya hamba hanya tahu sedikit. Hutan di depan ini dinamakan Perguruan Awan. Dahulunya tempat bertemunya para ksatria dari seluruh penjuru jagat. Di sini pada waktu tertentu yang telah ditetapkan, para ksatria datang untuk saling menguji kesaktiannya. Menentukan siapa yang paling sakti mandraguna, siapa yang ilmunya paling unggul."
"Kalau tidak salah, Perguruan Awan ini sendiri juga mempunyai guru dan murid, Paman."
"Sesungguhnya, Permaisuri lebih mengetahui dari hamba. Perguruan Awan ini memang sebuah nama perguruan silat. Hanya saja berbeda dari perguruan silat yang lain, di sini tak ada sebutan guru atau siswa, semua belajar bersama. Bagi mereka yang masuk perguruan ini, hidup sebagaimana tetumbuhan dan hewan yang ada. Hanya mengambil yang dibutuhkan."
Permaisuri Gayatri mengeluarkan seruan tertahan. Sekelebatan pikirannya melayang ke arah Upasara. Apakah pemuda tampan dan lugu itu juga hidup dengan cara seperti itu? "Kalau hanya tempat berkumpul para ksatria untuk berperang tanding, kenapa Baginda sangat memperhatikan?"
"Permaisuri lebih mengetahui dari hamba yang bodoh. Dulu kala ada dongengan, raja-raja baru akan didengar kabarnya dari Nirada Manggala. Mulai zaman Ken Arok, leluhur Keraton Singasari yang mulia. Ketika itu menurut cerita nenek moyang, ada seorang pendeta muncul dan mengatakan bahwa akan lahir raja. Ini berarti, garis keturunan penguasa yang sekarang akan terputus oleh penguasa yang baru. Seperti kemudian terbukti, Tuanku Permaisuri, pakuwon yang diperintah oleh Tunggul Ametung diganti oleh keturunan Ken Arok. Pada saat Baginda Raja Sri Kertanegara yang bijaksana-luhur-gagah-perwira berkuasa, ada kabar akan datang lagi Tamu dari Seberang yang akan mewartakan lahirnya penguasa baru. Dan kenyataannya memang Raja Muda Jayakatwang memutuskan garis keturunan Baginda Raja Sri Kertanegara yang mulia."
"Paman, bukankah Baginda Raja sekarang ini juga keturunan yang sama? Bukankah saya ini putri Sri Baginda Kertanegara?"
"Dewa dari segala Dewa berkenan mengembalikan takhta kepada yang berhak, Tuanku Permaisuri. Hanya selingan Raja Muda Jayakatwang menjadi pertanda bukti apa yang dikatakan Tamu dari Seberang."
"Ah, Paman sungguh luas pengalamannya."
"Hamba tak pantas menerima sanjungan."
"Paman, guru dari Perguruan Awan yang dijuluki Eyang Sepuh tak pernah kelihatan. Saya pernah dibisiki oleh Eyang Sepuh mengenai Tamu dari Seberang itu adalah pasukan Tartar. Sehingga kemudian pasukan inilah yang dipakai menyerang Keraton Singasari. Tapi saya sendiri tak pernah melihat beliau."
"Rasanya sampai sekarang ini belum ada yang berani mengaku bertemu Eyang Sepuh."
"Paman, apakah kalau Kangmas Upasara menjadi guru di Perguruan Awan ini, akhirnya juga seperti Eyang Sepuh? Kita hanya mengenal namanya? Apakah itu termasuk ilmu sakti yang Paman katakan?"
Jawabannya adalah gerakan seketika secara bersamaan. Mpu Sora meloncat ke belakang, melindungi Permaisuri Gayatri, sementara Mpu Renteng meloncat ke depan. Ujung kainnya, yang disampirkan di pundak, berubah menjadi seekor ular yang mendesis. Kelebatan warna putih di tengah kelamnya malam.
Sungguh suatu gerakan yang indah memesona, dan sekaligus juga berbahaya. Dalam satu tarikan napas, Mpu Renteng mengeluarkan jurus andalan dari ilmu Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora. Dari keadaan bersila, menunduk, tiba-tiba berubah menjadi loncatan, dan juga menyerang. Hal yang sama dilakukan Mpu Sora yang menyadari keadaan cukup gawat.
Gawat karena tiba-tiba saja kedua empu sakti ini menyadari tekanan angin yang berada dalam jarak sepuluh tombak. Dan dalam seketika sudah ada dua bayangan yang menyerang langsung. Ini luar biasa. Pondok mereka agak terpencil di antara para prajurit yang mengawal, akan tetapi boleh dikatakan di tengah lapangan. Dan tanpa tanda-tanda yang mencurigakan, ada serangan mendadak. Ini berarti para prajurit di bawah Dyah Palasir bisa ditaklukkan, tanpa menimbulkan kecurigaan. Berarti penyerangnya yang kini muncul dalam dua bayangan betul-betul menguasai ilmu yang tidak sembarangan.
Mpu Sora nggragap, atau terkesiap. Apalagi ketika mendengar Mpu Renteng mengaduh. Nggragap-nya. Mpu Sora bukan karena Mpu Renteng bisa dikalahkan. Meskipun termasuk senopati pilihan, akan tetapi dalam dunia persilatan, selalu ada ilmu yang lebih sakti. Yang membuat Mpu Sora nggragap adalah karena dalam gebrakan pertama Mpu Renteng sudah bisa ditaklukkan.
Bujangga Andrawina bukan ilmu sembarang ilmu. Tingkat Dyah Palasir pun tak akan bisa memahami andai diajari selama satu tahun. Mpu Renteng mampu menguasai dengan baik. Sabetan ujung kain yang disampirkan di pundak adalah gerakan menyapu semua serangan lawan. Mementahkan gempuran. Sementara serangan yang sesungguhnya adalah jari-jari tangan yang memagut, menggigit kuat. Sepuluh jari Mpu Renteng akan berubah seakan menjadi lima kepala ular yang memagut secara bersamaan. Tapi ternyata bisa dirubuhkan dalam satu gebrakan. Belum satu jurus.
Keduanya dalam keadaan siap tempur. Walau kekuatan kurang seimbang. Prajurit Tartar begitu sempurna mengepung, dengan persenjataan yang bukan alang-kepalang. Sementara Raden Sanggrama Wijaya seperti mengumpulkan prajurit dan pengikutnya seadanya. Bahkan Wilanda yang nampak masih sakit ikut duduk di tanah. Dari semangat bertempur, tak bisa diukur mana yang lebih luhur. Kedua pasukan siap untuk perang habis-habisan.
"Bagaimana? Kami tak mau menunggu lebih lama lagi. Siapkan pemimpin tertinggi kalian dan kami bawa sebagai tawanan kepada kaisar kami. Kalau tidak, semua yang menentang akan dikubur tanpa lubang," teriakan Naga Murka lantang sekali.
"Tunggu sebentar, ini utusanku datang," teriak Raden Wijaya mengguntur.
"Tak ada lagi yang perlu ditunggu."
Naga Murka siap untuk memberi aba-aba. Akan tetapi pandangannya tertuju dengan masuknya Upasara serta Kiai Sangga Langit. Keduanya berjalan bersamaan, tidak menunjukkan tanda-tanda bermusuhan.
Upasara maju menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya. Mendadak telinga Upasara berdenging.
"Upasara, kalau sejak tadi kamu tidak berduaan, aku sudah ingin membisikimu. Kepungan ini tak bisa dilawan. Jangan ceroboh. Wijaya berusaha melawan sepenuhnya. Kalau kalian mendengar cerita Tamu dari Seberang, inilah tamu itu. Inilah yang akan membawa berdirinya Keraton yang lebih bersih, lebih berwibawa, di kelak kemudian hari."
Raden Wijaya memandang Upasara.
"Bagaimana? Apakah Keraton Daha..."
"Baru saja saya mendengar bisikan Eyang Sepuh. Inilah Tamu dari Seberang yang akan..."
Raden Wijaya mengangguk. Bersitan satu kalimat saja sudah lebih dari cukup. Daya tangkap untuk menghubungkan berbagai persoalan hanya terjadi dalam waktu sepersekian detik. Raden Wijaya maju ke tengah.
"Para Dewa Naga yang datang jauh-jauh. Kami adalah prajurit Keraton Singasari. Prajurit sejati yang lebih suka mati untuk membela kebenaran. Kalau kedatangan para Dewa Naga kemari untuk membalas dendam, sekarang kita bisa bekerja sama. Utusanku, Upasara Wulung, baru pulang dari bertarung di Keraton Daha. Di sanalah orang-orang yang menghina kaisar para Dewa Naga. Akan tetapi jika para Dewa Naga ingin melawan kami, kami semua siap melayani."
Naga Wolak-Walik memandang ke arah Kiai Sangga Langit. Mereka berbicara sekejap.
"Baik, kata-katamu bisa dipercaya. Kebetulan Bok Mo Jin, Kiai Sangga Langit, baru saja menyaksikan sendiri. Kalau begitu, hari ini seluruh pimpinan penyerbuan Daha di bawah komando kami."
Peperangan besar antara pasukan Tartar dan prajurit Wijaya berubah menjadi perundingan. Baru kemudian para prajurit Tarik menjadi lebih heran lagi. Karena memang kekuatan pasukan Tartar bukan main-main. Mereka sengaja dikirim untuk menaklukkan sebuah kerajaan. Naga Kembar langsung memberi komando. Ia membagi pasukan besar itu menjadi tiga. Ia sendiri akan memimpin gempuran dari arah timur. Naga Murka akan menggempur dari wilayah barat. Pasukan Raden Wijaya membantu dari arah belakang.
"Semua tanpa kecuali di bawah komando. Kita menyerang lewat Kali Brantas," teriak Naga Kembar lantang.
"Bagaimana dengan strategi jika pihak lawan juga melakukan serangan yang sama?"
Naga Murka tertawa. "Itu bagianku. Selama ini akulah jenderal perang yang tak bisa ditipu lawan. Dari peta yang ada, mereka hanya mungkin unggul di bagian tenggara dan barat. Dan di situlah aku berada akan melindas habis mereka. Siapa yang tidak mematuhi komandoku, akan kucincang sendiri."
Hari itu juga semua pasukan bergerak langsung. Tanpa menyembunyikan diri. Bendera ditarik tinggi-tinggi. Sementara laporan yang diterima oleh Ugrawe sedikit terlambat. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa prajurit Tartar menggempur langsung. Tanpa memedulikan ba dan bu. Ugrawe mengerahkan perlawanan yang gagah berani. Delapan hari delapan malam, ia terus memimpin di barisan terdepan.
Dalam pertempuran yang dahsyat, Ugrawe memperlihatkan dirinya sebagai panglima perang yang ulung. Hanya saja karena lawan lebih kompak, perlahan-lahan Ugrawe terdesak mundur juga. Di benteng Keraton, panglima yang gagah berani ini tak bisa menghadapi keroyokan Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar serta Naga Murka sekaligus. Bertarung sejak dini hari, sebelum matahari sepenggalah, tubuh Ugrawe sudah berlumuran darah, terdesak mundur. Dua tangan, kaki, bagian telinga meneteskan darah.
Naga Kembar berteriak mengguntur dan menyapu dengan kedua tangan. Ugrawe berusaha menahan gempuran, akan tetapi tubuhnya terbetot dan terlontar ke bagian dalam. Begitu menghantam tanah, Gendhuk Tri berjingkrakan di sebelahnya. Sebelah kakinya menginjak Ugrawe. Dewa Maut yang tertawa terbahak jadi ikutan.
"Kita apakan, Tole?"
"Kita bikin panggang? Dagingnya kurang enak. Ikat saja."
Sebenarnya justru ulah Gendhuk Tri ini yang menyelamatkan nyawa Ugrawe. Karena kehadirannya di medan pertempuran membuat orang jeri, takut terluka dan ketularan racun. Dewa Maut sendiri sudah mulai pulih beberapa bagian tenaga dalamnya. Setelah Jaghana dan Wilanda bisa mengembalikan sebagian kekuatannya dengan wejangan yang disampaikan lewat Gayatri, mereka menemukan inti memulihkan tenaga dalam yang diambil. Kini, tanpa kecuali, mereka ikut menggempur Keraton Daha.
Menurut penanggalan modern yang kita kenal sekarang ini, tanggal 20 Maret 1293, Keraton Daha jatuh. Naga Murka yang memimpin serbuan dengan serta-merta menduduki Keraton dan sekaligus menawan Raja Jayakatwang serta Rawikara. Di tengah keributan pesta kemenangan, Raden Wijaya mengumpulkan semua pengikutnya.
"Upasara, kalau benar Eyang Sepuh yang membisikimu mengenai mitos Tamu dari Seberang, apa yang harus kita lakukan sekarang ini?"
"Hamba tak tahu, Raden. Eyang Sepuh tak muncul lagi. Hanya pada saat kritis beliau muncul. Ketika memberitahukan mengenai pukulan Banjir Bandang kepada Gusti Gayatri, dan kedua..."
"Soal Gayatri, jangan terlalu diurusi. Sekarang masalahnya justru lebih besar. Cepat atau lambat para Dewa Naga akan memaksa kita sebagai tawanan untuk dibawa ke negeri Tartar. Soal Raja Daha, aku sendiri tak rela, apalagi kita sendiri. Tak bakal kita menyerah begitu saja. Baginda Raja Kertanegara saja mengangkat senjata. Masa kita anak-cucunya menyerah? Tapi untuk mulai penyerangan saat ini, kita agak sulit. Mungkin kalau pertempuran tidak di Keraton, bisa kita ambil alih. Pasukan Paman Wiraraja telah siap."
Sanggrama Wijaya segera memerintahkan para pengikutnya untuk berkumpul. Ia sendiri memimpin untuk menemui Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Wijaya dengan cerdik menghindar dari Naga Murka. Satu-satunya panglima perang yang begitu penuh kecurigaan yang sebenarnya memperlihatkan strategi yang ulung.
"Kami mengucapkan syukur dan rasa terima kasih yang dalam," kata Nyai Demang menerjemahkan kalimat Raden Wijaya. "Kebesaran pasukan Tartar memang pantas sekali memenangkan ini. Rasa syukur ini akan kami wujudkan, sesuai dengan janji kami, untuk mempersembahkan tanda kehormatan kepada Baginda Raja Kaisar. Kami minta izin untuk membuat persiapan di tanah Tarik, di Majapahit."
"Tidak usah terlalu sungkan," kata Naga Kembar. "Tanpa disebutkan, kami memang yang terbesar di jagat raya ini. Persiapkan persembahan tanda tunduk kepada kaisar kami."
Raden Wijaya tak menunggu lama. Hari itu juga memerintahkan untuk berangkat. Upasara menjadi kagok.
"Raden, saat ini Gusti Putri Gayatri masih berada dalam tawanan. Karena sejak semula Gusti Putri terjebak dalam Keraton. Apa tidak sebaiknya kita bebaskan lebih dulu?"
Raden Wijaya mengentakkan kakinya. "Upasara, kamu ksatria besar. Tapi itu sebabnya kamu tidak akan pernah menjadi pemimpin. Di saat situasi begini menentukan soal mati-hidup, kamu masih memikirkan seorang gadis. Di seluruh tanah Jawa ini, yang kecantikannya melebihi Gayatri tak bisa dihitung. Nah, apakah kamu masih mempertimbangkan itu dibandingkan keselamatan kita semua?"
"Hamba yang membawa dia, Raden."
"Kamu yang membawa. Akan tetapi itu semua atas perintahku. Selama kamu masih menjadi prajurit, kamu harus memenuhi perintahku. Perintahku sekarang ini, kita kembali ke desa Tarik, ke Majapahit."
Rombongan Raden Wijaya berangkat saat itu juga. Dengan pengawalan lebih dari dua ratus prajurit Tartar.
Naga Murka menunjukkan kemarahan yang luar biasa ketika mendengar lolosnya Raden Wijaya. "Demi Kaisar yang menguasai langit. Bagaimana mungkin kalian berdua mengaku jenderal perang, kalau membiarkan musuh melarikan diri? Apakah seorang yang mempersiapkan persembahan dan upeti perlu membawa prajuritnya? Ini sama dengan persiapan perang."
Naga Wolak-Walik juga kaget. "Rasanya tak mungkin. Di dalam tawanan ini masih ada Raja Daha dan putranya. Juga ada seorang putri bernama Gayatri. Mana mungkin mereka membiarkan tawanan di tangan kita kalau mereka mengangkat senjata?"
"Justru karena itu. Tak bisa dibiarkan. Siapkan pasukan. Kalau kalian mabuk kemenangan karena bisa membalas dendam, aku sendiri yang akan turun tangan mengejar. Jangan sampai mereka menjadi kuat. Di tanah Jawa ini semua serba aneh. Para jagoan dan ksatria begitu banyak. Kita tak menyangka bahwa seorang Ugrawe bisa menahan serbuan kita selama delapan hari! Dan yang seperti Ugrawe mungkin banyak jumlahnya, kita sama sekali tak mengerti. Siapkan pasukan."
Kekuatiran Naga Murka tak meleset sedikit pun. Karena di tengah perjalanan, Raden Wijaya dengan mendadak menghentikan pasukannya. Dengan satu kibasan tangan, pengikutnya menyingkir ke bagian lain.
"Saya, Naraya Sanggrama Wijaya, pemimpin prajurit Majapahit, dengan ini mengambil alih kepemimpinan seluruhnya. Kalian para prajurit Tartar, bisa memilih dua jalan. Yang pertama, kembali ke negeri asal. Yang kedua, kita menentukan, siapa yang lebih berhak memerintah di tanah leluhur kami."
Para pengikut Raden Wijaya memuji bahwa dalam saat terakhir, lawan masih diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Pertempuran itu sendiri berlangsung singkat. Raden Wijaya ikut terjun langsung ke medan pertempuran. Dengan Jaghana, sebagian dari Pengelana Gunung Semeru, serta para senopatinya, dengan mudah mengalahkan pasukan Tartar yang melawan. Apalagi rombongan para prajurit Madura sudah ikut datang bergabung.
Sebelum senja tiba, seluruh prajurit Tartar bisa dikalahkan. Sebagian bisa dibekuk, ditawan, sebagian terbunuh, dan sebagian kecil lainnya melarikan diri. Raden Wijaya mengesampingkan semua perhitungan lain. Kini seluruh prajurit diperintahkan untuk langsung kembali menggempur Keraton Daha.
"Kebangkitan Keraton di tangan kita semua. Para prajurit sekalian, inilah saatnya kita membaktikan diri pada tanah, pada bangsa, dan negara. Tak ada pilihan lain. Saya bukan tidak tahu saat ini Baginda Jayakatwang, Rawikara, Gayatri, Gendhuk Tri, serta Dewa Maut, dan sejumlah ksatria yang lain masih berada dalam tawanan. Akan tetapi, kalau kita tidak mau mengorbankan diri, siapa yang akan berkorban? Kalau saat ini saya berada di Keraton sebagai tawanan, saya tetap memerintahkan untuk menyerbu. Sekarang, atau kesempatan itu tak pernah datang."
"Maaf," kata Jaghana sambil menyembah. "Apakah Raden tidak mempertimbangkan bahwa korban yang akan jatuh lebih banyak lagi?"
"Paman Jaghana. Hari ini saya bersabda untuk meneruskan pertempuran. Siapa yang takut berkorban lebih baik menyingkirkan tubuhnya dari sisiku. Saya sendiri bisa menjadi korban. Tetapi saya memilih jalan ini. Saya tak pernah ragu sedikit pun."
"Barangkali kita bisa menunggu..."
"Tidak, Paman Jaghana. Saya tahu bahwa barangkali Eyang Sepuh, tokoh pepunden, tokoh pujaan kita semua, akan memberikan bisikan. Tapi kalau beliau akan melakukan, pasti sudah dilakukan sekarang ini. Ini memang bukan tindakan yang harus diambil oleh seorang yang berbudi luhur seperti Eyang Sepuh. Ini tindakan yang harus diambil Raden Wijaya. Penyerangan kita kepada prajurit Tartar yang mengawal tak akan dibenarkan oleh Eyang Sepuh. Tetapi saya yang bertanggung jawab. Saya yang melakukan. Sebab saya tidak bisa mengasingkan diri dan memuja ilmu jati diri seperti Eyang Sepuh. Masing-masing mempunyai tugas sendiri. Saya tak bisa bersembunyi dan hanya berbisik saat-saat menentukan. Saya manusia biasa. Tanpa mengurangi rasa hormat, rasa terima kasih kepada Eyang Sepuh, kita berangkat sekarang. Mudah-mudahan beliau merestui keberangkatan kita."
Dengan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu, prajurit berangkat dari tlatah Majapahit. Ribuan mengikuti dengan gagah perkasa. Kedua belas senopati utama Raden Wijaya memimpin di barisan depan. Mereka inilah yang sejak awal pertama turut berlari dari Keraton Singasari ketika digempur pasukan Jayakatwang. Mereka inilah yang mengadakan siasat penyerangan total di Canggu, tempat prajurit Naga Murka mengadakan pesta kemenangan.
Bangkitnya keperkasaan, terlibatnya seluruh penduduk untuk memerangi prajurit Tartar, memberontak bagai air bah. Selama ini mereka agak segan bertempur di antara para prajurit sendiri, biar bagaimanapun Jayakatwang masih mempunyai hubungan saudara. Dengan prajurit Tartar, mereka lebih sigap dan lebih total.
Naga Kembar terlambat menyadari ketika seluruh pasukan praktis bisa dikalahkan. Ia menuju Keraton Daha, dan di sanalah terjadi pertempuran berikutnya. Tak ada sebulan prajurit Tartar dengan gagah menduduki Keraton, tapi kini harus mempertahankan. Naga Murka memimpin sendiri pertempuran. Ia berdiri di tempat yang tinggi, diapit oleh Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Di sampingnya, nampak Raja Jayakatwang dan Rawikara sebagai tawanan, serta Gayatri.
"Kalau kalian terus menyerang, orang-orang ini akan mati lebih dulu!" Teriakan mengguntur menghentikan semua gerakan prajurit.
"Tak ada yang menghentikan. Tetap serbu!" teriak Raden Wijaya mengguntur.
Naga Murka kaget melihat bahwa ternyata pertempuran tak bisa dihentikan. Dua tangannya bergerak, ke arah Jayakatwang dan Rawikara. Ketika tangan mau bergerak kembali, sebuah bayangan meluncur dari tanah. Gesit, sangat cepat. Sungguh luar biasa. Bagai anak panah dilepaskan dari busurnya dengan kekuatan penuh. Langsung berdiri dengan gagah, di bagian utama benteng. Dengan dua keris di tangan kanan dan kiri, Upasara siap untuk bertempur antara mati dan hidup. Satu bayangan lain melesat tinggi. Kiai Sangga Langit muncul.
"Awas, jangan bunuh bocah itu. Itu calon murid yang akan kupersembahkan kepada Kaisar. Kaisar sangat menyukai pemuda seperti ini."
Belum selesai omongan Kiai Sangga Langit, bayangan lain melesat. Disusul bayangan kedua dan ketiga. Ngabehi Pandu yang lebih dulu tiba, disusul oleh Jaghana serta Ranggalawe. Di atas benteng yang sempit, berdiri para ksatria utama.
"Kiai, pertempuran kita belum selesai," kata Ngabehi Pandu mulai membuka mulut. "Kita tak ada urusan dengan pertempuran ini. Meskipun kehadiran kita tak bisa dibebaskan dari pertempuran ini."
Di bawah, Raden Wijaya sangat memuji Ngabehi Pandu. Yang memilih lawan tangguh. Apa pun alasan Ngabehi Pandu, dengan menyibukkan lawan tangguh, akan mengurangi pengaruh tekanan lawan.
Kiai Sangga Langit berteriak mengguntur, dan langsung menyerbu. Ngabehi Pandu mengeluarkan semua ilmunya. Menghadapi dengan kekerasan pula. Pukulan dibalas dengan pukulan. Seruan tertahan terdengar setiap kali keduanya bergulung.
Ranggalawe sendiri langsung menyerbu ke arah Naga Wolak-Walik yang dengan cerdik mengincar Jaghana. Meskipun kelihatan luar biasa cara mengentengkan tubuh, akan tetapi mudah dikenali bahwa Jaghana belum sembuh benar. Naga Kembar yang menyambut serangan Ranggalawe.
Upasara pun terjun langsung ke arah pertempuran. Dua kerisnya bagai tanduk banteng yang terluka, menyodet ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Naga Murka, yang paling jagoan, hanya mengeluarkan suara meledek.
"Jangan salahkan aku kalau calon putra Kaisar mati ditanganku."
Dalam medan yang begitu sempit, agak susah mengembangkan permainan. Di satu pihak Kiai Sangga Langit dan Ngabehi Pandu bertarung mati-matian. Keduanya bergulung bagai satu tubuh. Tak bisa dipisahkan. Tak bisa diketahui siapa lebih menguasai siapa.
Sementara Jaghana seperti mudah ditebak mulai berada di bawah angin. Ranggalawe kelihatan lebih unggul. Namun dari semua ini, Upasara yang jelas paling menguatirkan. Karena ia paling muda dan justru menghadapi lawan yang paling tangguh. Semua jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka telah dikeluarkan dengan penuh tenaga, akan tetapi ujung kerisnya belum bisa menyerempet lawan. Malah dengan sapuan kaki, Naga Murka mampu membuat Upasara terlontar mundur. Dua gebrakan lagi, Upasara sudah tak bisa menginjak puncak dinding bagian atas. Tubuhnya melorot turun.
"Kena!"
Di tengah angkasa, Upasara merasakan tendangan kaki yang mengarah ke wajahnya. Dengan nekat Upasara menggunakan tenaga lawan untuk meloncatkan tubuhnya ke atas. Ia memang berhasil. Akan tetapi dengan demikian Naga Murka bisa menyikat habis. Karena kedudukan Naga Murka jauh lebih kuat untuk melancarkan serangan berikut. Sementara Upasara agak kedodoran karena tak mampu mengontrol tubuhnya secara utuh.
Saat itulah Gayatri menjerit. Menguatirkan Upasara. Mendadak Upasara melirik. Sekelebatan melihat sinar mata, bentrok, dan merasa bahagia. Inilah saat terakhir, usaha untuk menolong putri idamannya mendapat balasan.
Tapi ternyata belum berakhir. Karena mendadak Ugrawe menggerung keras dan maju ke tengah pertempuran. Sebetulnya Ugrawe dan Gendhuk Tri serta Dewa Maut termasuk yang ditawan. Hanya saja karena Gendhuk Tri menyimpan racun dahsyat, tak ada yang berani menyentuh atau mencelakai. Selama ini pula Gendhuk Tri lebih mirip seorang penawan, karena ia yang menawan Ugrawe. Yang sejak dikalahkan para Dewa Naga tak bisa berkutik.
Melihat pertempuran yang sangat menguatirkan Upasara, perhatian Gendhuk Tri terpecah. Saat itulah digunakan oleh Ugrawe yang selalu bisa memanfaatkan situasi. Tubuhnya melayang, menyongsong ke arah Naga Murka. Dua tangan beradu keras. Tubuh Ugrawe terdesak mundur. Ia mengangkat tangan kanan, memutar tangan kiri. Sambil meneriakkan seruan mengguntur, maju menggempur.
Banjir Bandang Segara Asat yang dahsyat dimuntahkan dengan sepenuh tenaga. Dalam kondisi yang prima, Ugrawe bisa berbuat banyak. Ia menguasai tenaga dalam secara sempurna. Tetapi dalam keadaan terluka, memang tak bisa menggunakan secara penuh. Namun bentrokan yang timbul cukup dahsyat dan menggelegar. Naga Murka terbanting ke samping benteng. Ugrawe sendiri jatuh dan muntah darah. Upasara menyerbu ke arah Ugrawe, menyangga tubuh Ugrawe.
"Aku bukan pahlawan. Aku sekadar bergerak saja. Siapa pun bisa menjadi lawanku." Suaranya melemah. "Aku tahu kunci ilmu silat di dunia ini. Kuncinya ada pada Tumbal Bantala. Aku terlambat menyadari... Kamulah yang tahu kunci itu...."
Ugrawe masih berusaha bertahan, akan tetapi satu muntahan lagi tak bisa menahan keinginannya. Badannya masih hangat, akan tetapi nyawanya telah melayang!
Upasara menggeram. Jaghana telah dikalahkan. Bahkan kini Gendhuk Tri sedang berusaha menahan serbuan Naga Wolak-Walik. Ngabehi Pandu masih terus berkutat dengan Kiai Sangga Langit. Upasara melihat ke bawah. Seluruh pertempuran terhenti. Mereka menyaksikan para pendekar di atas benteng yang bertarung mati-matian. Naga Murka sudah berdiri kembali.
Upasara melirik ke arah Gayatri, tersenyum, dan sambil menghela napas panjang menahan gejolak dalam hatinya. Apa yang bisa dilakukan? Ilmunya kalah jauh oleh Naga Murka. Maksud untuk menolong sia-sia. Malah melibatkan beberapa pendekar dan jatuh pula sebagai korban. Bersiap pun terlambat. Karena Naga Murka menyerbu ke arahnya.
Dalam sepersekian detik, dalam sepersekian kejap, Upasara jadi ingat Ngabehi Pandu yang mendidiknya sejak lahir, persahabatannya dengan Kawung Sen, dengan Galih Kaliki, rasa tertariknya pada Nyai Demang, lalu begitu merindukan Gayatri, Pak Toikromo yang ingin mengambilnya menantu, Gendhuk Tri yang begitu memperhatikan dirinya, bisikan Eyang Sepuh yang tak mau turun ke gelanggang.
Sementara itu pukulan Naga Murka sudah mendekat. Kesiuran angin sangat tajam membabat tubuhnya. Seperti mengiris lehernya, mematikan urat-urat tubuhnya. Melihat untuk yang terakhir kalinya pun tak sempat!
Kosong. Sepersekian kejap yang tersisa adalah kekosongan. Hawa panas makin menekan, mendesak ke dalam tubuh, membuatnya beku, susah bernapas. Dewa Yang Mahakuasa, saya kembali padaMu. Teriakan batin Upasara bagai jeritan kesakitan tapi juga sekaligus rasa syukur, penyerahan total.
Di bawah, Raden Wijaya dan seluruh pengikutnya mengikuti jalannya pertempuran dengan rasa was was. Kalau Ngabehi Pandu masih belum diketahui hasilnya, Jaghana jelas sudah dikalahkan. Gendhuk Tri mengambil alih. Walau kelihatan unggul, Ranggalawe belum diketahui, juga belum bisa memastikan kemenangan. Sementara, kini justru serangan maut Naga Murka sedang mengincar Upasara yang seperti tak bereaksi.
"Kakang..."
Yang terdengar keras adalah teriakan pahit Gendhuk Tri. Suaranya menyayat.
Gayatri juga mengucapkan kata itu, akan tetapi lebih lirih.
Upasara tak mendengar apa-apa. Hanya merasa getaran aneh yang membuatnya setengah sadar dan tidak. Ketika pukulan Naga Murka meremas ulu hati, Upasara justru tidak menghindar. Tubuhnya seperti melorot turun, seakan bagian pinggang ke bawah tak ada tulang penyangga.
Naga Murka kecele. Pukulannya seperti mengenai karung kosong, seperti mengenai gua melompong. Tak bisa ditarik mundur, tubuh Naga Murka tersedot ke depan. Upasara menghindar. Kedua tangannya yang bebas bisa mengetok batok kepala atau leher bagian belakang. Namun, sekali lagi, justru Upasara seperti tak berusaha menghajar. Malah kakinya surut ke arah samping. Naga Murka mencelos beberapa saat. Tapi ia adalah jagoan. Punya pengalaman segudang. Jenderal perang yang paling tangguh. Melihat bahwa lawan tak melanjutkan serangan, Naga Murka memutar tubuhnya, membalik. dan tendangan kaki kirinya mengarah lambung. Saking cepatnya gerakan seketika ini tak sempat terdengar jeritan dari siapa pun.
Keras lontaran hawa, mendekap panas. Upasara terkurung dalam tonjokan udara membara. Dengan wajah tetap kosong dan tatapan seperti tertuju ke titik yang maha jauh, Upasara tak menggeser tubuhnya. Hanya sikutnya tertekuk, tertarik ke bawah. Siku jelas tak akan unggul kena benturan kaki, yang ditendangkan sekuat tenaga.
"Celaka..."
Naga Murka merasa pahanya menjadi ngilu, kaku, tak bisa digerakkan. Kalau tadi tendangannya seperti yang pertama, mengenai ruang kosong, kini sentuhan siku Upasara tepat mengenai urat pahanya. Kaku seketika. Tenaganya tersumbat. Tak bisa digerakkan. Padahal saat itu Upasara terus bergerak, kedua tangannya terjulur. Naga Murka menyampingkan wajahnya. Dan terasa amis di bibirnya. Separuh alisnya somplak, darah mengucur. Juga dari bagian hidung. Naga Murka menjadi panas-dingin.
Sungguh tak terduga. Upasara yang tadinya memperlihatkan kekuatan utama dengan memainkan sepasang keris, kini mempunyai gerak yang mengandalkan tenaga dalam yang nyaris sempurna. Upasara melangkah menjauh, tubuhnya masih menggeliat seperti seorang penari. Dalam keadaan semacam itu, satu gerakan saja sudah cukup untuk menghabisi Naga Murka. Akan tetapi Upasara Wulung berdiri kaku seperti menunggu. Mengetahui bahaya mengancam, Naga Kembar dan Naga Wolak-Walik berusaha membebaskan diri dari tekanan. Mereka berdua secara serentak melemparkan dua senjata andalan, memotong dari sisi kanan dan kiri.
Kembali terjadi pemandangan yang aneh. Bagian pinggang ke bawah seperti tak bertenaga. Tubuh Upasara memendek, sangat pendek sekali. Dua senjata berbenturan, pada saat itu tubuh Upasara memanjang kembali. Kembali dengan gerakan limbung, tangan Upasara mengulurkan tinju. Gerakan pertama tidak tertuju ke arah Naga Kembar ataupun Naga Wolak-Walik. Seperti memukul udara kosong. Naga Wolak-Walik justru meloncat mundur. Berdiri di ujung benteng yang lain. Salah setengah kaki saja, tubuhnya anjlok ke bawah.
Naga Murka menurunkan kakinya yang kejang. Ia tak tinggal diam, merangsek maju. Mencoba memeluk tubuh Upasara, dan siap untuk meremukkan seluruh tulangnya. Sebagai pegulat yang mampu mengerahkan tenaga dalamnya, Naga Murka yakin bisa menembus tenaga kosong yang didemonstrasikan Upasara.
Upasara Wulung ternyata tidak menghindar. Tidak juga memendekkan tubuh. Kedua tangannya terentang, dan kembali ke posisi semula, dalam sikap menyembah. Tetapi justru dengan gerakan ini, tolakan tenaganya begitu keras, sehingga Naga Murka terdorong. Hanya karena tubuhnya tertahan Gayatri yang diikat dan berdiri kaku, tak sampai terguling ke bawah.
"Bok Mo Jin, kamu pengkhianat! Sejak kapan kau ajari dia jurus Jalan Budha?" Teriakan Naga Murka menunjukkan kecemasan yang tinggi.
Mendadak pertempuran di bagian lain terhenti. Kini seluruhnya menjadi senyap. Kiai Sangga Langit berdiri kukuh. Di sudut bibirnya mengalir darah. Ngabehi Pandu demikian juga. Malah kedua kakinya terhuyung-huyung. Naga Wolak-Walik bersiap, tapi pasti. Naga Kembar mengambil posisi bertahan. Sementara itu, Ranggalawe mengatur kuda-kuda, siap untuk melancarkan serangan. Jaghana berdiri, disangga oleh Gendhuk Tri. Upasara Wulung berdiri kukuh. Tegak.
"Aku juga bisa. Aku juga bisa," teriak Galih Kaliki di bawah, sambil berputar menirukan gerak Upasara Wulung.
Bahwa Upasara bisa membalik situasi secara mendadak memang sangat mengejutkan. Tak terkecuali Ngabehi Pandu yang menjadi gurunya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara Wulung bisa memainkan secara nyaris sempurna, apa yang selama ini dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan! Apa yang oleh Naga Murka disebut sebagai jurus Jalan Budha. Apa yang bisa ditirukan dengan baik oleh Galih Kaliki.
Tuduhan Naga Murka bukannya mengada-ada. Karena yang ditunjukkan Upasara Wulung barusan adalah gerakan yang sulit dipahami. Gerakan yang selama ini hanya dipelajari oleh Kiai Sangga Langit sebagai imam negara! Juga tidak terlalu meleset kalau Ngabehi Pandu seperti mengenali. Atau bahkan Galih Kaliki bisa menirukan geraknya dengan sempurna.
Apa yang sebenarnya terjadi, tak bisa diterangkan oleh Upasara sendiri. Semuanya berkecamuk menjadi satu. Bisikan Ugrawe mengenai Tumbal Bantala masih terngiang. Dan itulah gerakan yang muncul begitu saja. Gerakan ini seperti diketahui, dipelajari oleh Upasara Wulung sambil lalu, ketika Kawung Sen mencuri kitab itu dari perbendaharaan Ugrawe. Upasara tidak tertarik mempelajari, karena ketika itu sadar bahwa Kitab Penolak Bumi atau Tumbal Bantala Parwa adalah buku yang mengajarkan cara-cara menolak serangan bumi. Apa artinya kalau jurus mengenai bumi tak diketahui? Upasara bersama Kawung Sen lebih suka mempelajari Kartika Parwa atau Buku Bintang.
Hanya saja, Upasara baru sadar apa yang dipelajari ketika melihat Galih Kaliki mencoba membunuh dirinya. Gerakan Galih Kaliki mengingatkan kepada sesuatu yang bisa untuk menangkis. Dan ternyata gerakan itu kena! Bahkan ketika itu Upasara Wulung menyadari bahwa gerakan-gerakan Galih Kaliki dengan tongkat galih pohon asam sama dengan pukulan tangan kosong Ugrawe. Maka dalam gebrakan awal bisa mengalahkan Ugrawe. Hanya ketika pikirannya bercabang, ketika mau memainkan gerakan Banteng Ketaton, bisa dilukai.
Demikian juga ketika melawan Naga Murka. Jurus-jurus dalam Banteng Ketaton yang cukup sempurna bisa cepat dikalahkan Naga Murka. Bahwa Naga Murka menduga Kiai Sangga Langit mengajari Upasara bukannya tanpa alasan. Kiai Sangga Langit sendiri bukan tak pernah mengatakan jurus-jurus atau cara latihan napas itu. Setidaknya pernah menurunkan lewat Nyai Demang!
Yang tak disadari oleh siapa pun adalah bahwa sebenarnya Kiai Sangga Langit sendiri belum melihat pemecahannya bagaimana cara memainkan jurus Jalan Budha. Ia hanya tahu teorinya! Itu bukan semata-mata hadiah. Akan tetapi siapa tahu Upasara bisa memecahkan rahasianya. Seperti diketahui, Upasara bisa memecahkan cara main congklak yang merupakan inti ilmu tersebut. Upasara, di luar dugaan, bisa menguasai itu semua. Karena memang ilmu itu pada dasarnya mengandalkan pikiran kosong. Suwung, sunya, sepi. Dalam keadaan pasrah tadilah tenaga itu muncul.
"Budha maha welas-asih. Hari ini, aku melihat cahaya dan petunjukmu." Kiai Sangga Langit menunduk berusaha memberi hormat. Akan tetapi tubuhnya jatuh ke bawah. Tak bergerak.
Ngabehi Pandu tertawa pendek. Akan tetapi sebelum tawanya selesai, tubuhnya jatuh ke bawah juga! Dalam duel yang berjalan sekian lama, kedua-duanya telah terluka dalam.
Upasara Wulung menjadi getir hatinya melihat gurunya jatuh. Konsentrasinya buyar.
"Kakang, sikat mereka semua," teriak Gendhuk Tri.
Naga Murka meloncat turun sambil berteriak mengguntur, "Semua kembali ke kapal!"
Naga Wolak-Walik mengikuti turun, disusul Naga Kembar. Dan semua prajurit Tartar mundur secara teratur. Pertempuran di bawah kembali bergolak. Hanya kali ini prajurit Tartar terus didepak mundur. Perlahan-lahan mereka terus terdesak.
Di atas benteng, Upasara membebaskan ikatan Gayatri, lalu bersamaan dengan Gendhuk Tri, Dewa Maut, Jaghana, Ranggalawe melayang turun.
Medan pertempuran telah bergeser ke utara. Prajurit Tartar makin terdesak ke arah pelabuhan. Upasara Wulung berlari kencang, mengangkat Ngabehi Pandu. Lalu membawa ke tempat sepi. Menunduk. Sendirian. Air matanya membeku. Pundaknya berguncangan menahan duka.
"Sudah, Kakang...." Suara Gendhuk Tri seperti tak terdengar.
"Betul, Tole, Kakang tak usah berduka. Toh Ngabehi Pandu mati dalam senyum. Sudah melihat kamu menang. Kamu memang jagoan."
Itu tak menghibur Upasara Wulung. Juga pesta kemenangan yang dirayakan secara besar-besaran. Kini seluruh Keraton telah dikuasai secara mutlak. Pasukan Tartar telah dibuang ke laut. Didesak hingga ke kapal-kapalnya yang segera dilarikan ke laut. Kembali ke negeri asalnya.
Sungguh suatu akhir yang tak menggembirakan. Para prajurit kelas satu yang berhasil menaklukkan separuh belahan bumi, yang tak terhalangi lajunya selama ini, justru bisa dipecundangi oleh prajurit-prajurit yang tadinya tidak diperhitungkan sama sekali. Utusan pertama untuk menaklukkan dibuat tak bermuka oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Kemudian tiga jenderal perang yang paling tangguh, dengan armada yang paling tangguh, kembali pulang dengan tangan hampa dan kekalahan. Walaupun kepulangan kali ini dengan harta karun dari Keraton yang bisa dirampas, akan tetapi tetap tak menghapus aib yang begitu besar. Untuk pertama kalinya Kaisar Langit dan Dewa-Dewa Naga dibuat tak berdaya.
Luapan kegembiraan tak membuat Upasara tersenyum sedikit pun. Kembali wajah duka membebani. Seakan kematian Ngabehi Pandu membuatnya putus harapan. Upasara mulai mengenal kasih sayang, mulai mengenal dunia dari Ngabehi Pandu. Akan tetapi kini, ia kehilangan. Satu demi satu orang yang dihormati, yang menjadi bagian dari keluarga, gugur di medan pertempuran. Sejak Kawung Sen, Jagaddhita, Mpu Raganata, dan Ngabehi Pandu.
Penghargaan resmi dari Sanggrama Wijaya berupa gelar resmi sebagai senopati pamungkas tidak berarti senopati terakhir, melainkan senopati yang bisa menyelesaikan tugas dengan tuntas, tak menggoyahkan hatinya. Juga hadiah berupa tanah luas.
Pada suatu malam Raden Wijaya memanggilnya sendirian. Ketika itu Keraton Majapahit mulai dibangun kembali. Sebagian besar pusaka-pusaka Keraton Daha yang dipindahkan telah diberi tempat tersendiri. Di tempat seperti itulah Upasara Wulung dipanggil menghadap.
"Senopati Wulung, jasamu sangat besar. Terutama di hari-hari terakhir. Di ruang ini ada segala pusaka yang bisa kamu ambil, kamu pilih. Apakah semua ini masih kurang?"
"Terima kasih, Raden. Hamba merasa senjata pusaka ini akan lebih berarti di tempat ini."
"Aku bukannya tidak tahu apa yang kau harapkan. Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara. Aku bukannya tidak mau memberikan, Senopati Wulung. Namun kamu tak bisa melawan kodrat. Menurut perhitungan para resi, para pendeta, Gayatri dan diriku ditakdirkan seperti Dewa Uma dengan Syiwa. Dari Gayatri-lah kelak akan diturunkan raja-raja besar, yang tak ada bandingannya selama beberapa keturunan. Begitulah perhitungan para pendeta yang bijak. Jika menjadi jodohmu, itu menghalangi kodrat. Mengubah sejarah kegemilangan masa yang akan datang. Senopati Wulung, pilihlah putri yang lain. Gayatri tidak seorang diri. Ia mempunyai tiga saudari. Kamu bisa memilih salah satu."
Upasara menunduk, tidak menjawab.
"Aku mendengar laporan, bahwa utusan dari Pamalayu sebentar lagi akan tiba. Mereka membawa putri ayu, berkulit putih, memancarkan cahaya surga. Kamu bisa memilih salah satu, senopatiku, pahlawan perangku."
Upasara menghaturkan sembah. "Hamba tak cukup berharga untuk itu semua, Raden...."
"Hari ini kamu masih bisa memanggilku Raden. Sebentar lagi kamu akan memanggilku Baginda Raja. Namun, Senopati, dengarlah. Apa yang kukatakan tak pernah kutarik pulang. Siapa pun yang kamu minta, akan kuberikan. Asal bukan Gayatri, karena kita semua akan menyalahi kodrat!"
Apakah banyak artinya janji itu? Upasara Wulung tak tahu. Bahkan Kiai Sangga Langit pun dulu masih mempunyai satu janji dengan dirinya. Tapi belum sempat dipenuhi, Kiai Sangga Langit sudah meninggal dunia.
Dalam kehampaan hati, Upasara Wulung secara diam-diam meninggalkan Keraton Majapahit. Menelusuri hutan, melalui rawa dan sungai, hingga akhirnya kembali ke Perguruan Awan. Melihat semua bekas yang masih bisa menggetarkan hatinyabwalaupun secara nyata seolah tak ada yang berubah.
"Eyang Sepuh yang menuntunmu ke tempat ini," kata Jaghana perlahan sambil menyembah. Demikian juga Wilanda.
Upasara Wulung menjadi jengah.
"Eyang Sepuh yang membisiki Anakmas agar berada di tempat ini. Untuk membangun kembali perguruan ini. Di sini tinggal kami berdua."
"Paman Jaghana dan Paman Wilanda, saya memang ingin beristirahat di sini. Akan tetapi soal membangun perguruan..."
Wilanda menghaturkan sembah. "Anakmas, kalau bukan Anakmas yang secara langsung mendapat bisikan Eyang Sepuh, siapa lagi yang pantas memimpin Perguruan Awan ini?"
"Jangan menyembah seperti itu, Paman."
Mendadak Jaghana dan Wilanda berdiri dan tertawa terbahak-bahak. Keras membahana. Lalu keduanya bersujud.
"Eyang Sepuh, sungkem pangabekti. Eyang masih selalu bersama kami."
Upasara baru sadar. Bahwa dengan meminta tidak saling menyembah berarti dirinya masuk ke dalam peraturan Perguruan Awan. Di mana di sini memang tidak ada aturan untuk saling menghormati secara formal. Upasara tak bisa menerangkan lebih jauh. Tetapi juga tak bisa menolak. Karena memang hanya di tempat inilah hatinya merasa tenteram. Tak timbul keinginan melihat Keraton Majapahit dan mendatangi upacara besar-besaran, tak ingin melihat keraton lama di mana di dindingnya pernah dipahatkan kalimat janji dengan Gayatri.
Sejak saat itu Upasara Wulung berdiam di Perguruan Awan. Mulai menghabiskan waktu dengan Jaghana dan Wilanda. Hidup dari buah-buahan, dari menanam dan merawat tumbuhan yang ada. Kadang kala melatih pernapasan secara bersama-sama. Selama ini yang sering datang adalah Gendhuk Tri serta Dewa Maut malah kadang berdiam lama. Juga Galih Kaliki dan Nyai Demang. Biasanya mereka berkumpul bersama, berbicara lama sekali. Dari sore hingga sore hari lagi. Berlatih bersama.
Namun dari luar, hutan itu seperti tak tersentuh manusia. Mereka terlalu kecil dibandingkan dengan alam yang gagah perkasa. Di mana ujung dedaunan mencapai langit, dan akarnya terhunjam dalam ke tanah. Satu-satunya tanda bahwa hutan itu berpenghuni manusia ialah bila suatu ketika ada angin lirih, seperti terdengar tembang, senandung tanpa kata-kata, memberi gambaran ombak yang bergulung ke pantai berlumut....
* * *
Utusan Asmara
LANGIT di Keraton Majapahit membersitkan campuran warna merah kekuning-kuningan. Saat menjelang terbenamnya matahari, suasana sangat sepi. Mereka yang bekerja sepenuh hari beristirahat. Tak ada anak-anak yang bermain, baik di perumahan penduduk maupun di dalam Keraton.
Sore hari saat candikala, saat matahari membiaskan sinar merah-kuning, adalah saat untuk hening. Saat pergantian siang dengan malam yang ditandai dengan firasat alam. Berbeda dengan pergantian hari yang biasa, candikala dianggap mempunyai makna bisa mendatangkan bahaya. Karena, menurut kepercayaan itu adalah saat Batara Kala, dewa yang bertubuh raksasa, sedang mencari mangsa. Siapa saja yang masih berada di luar rumah akan ditelan.
Tapi suasana yang tengah dirasakan Baginda Raja Sanggrama Wijaya bukan hanya karena cahaya surya yang sebenarnya sangat indah itu. Yang membuat Baginda Raja gundah adalah masih adanya batu-batu yang terasa mengganggu kesempurnaan kekuasaannya. Batu kecil, karena batu-batu besar telah berhasil disingkirkan. Dengan prajuritnya yang setia, Baginda Raja berhasil membebaskan kekuasaan dari Baginda Jayakatwang. Batu besar yang lebih perkasa, yaitu pasukan Tartar yang pernah dan masih menguasai seluruh jagat raya, berhasil disingkirkan. Bersama dengan para senopati yang pilihan, pendekar-pendekar Tartar bisa dibubarkan, didesak ke pinggir laut dan pulang ke kandangnya.
Sejak itu, desa Tarik diubah menjadi pusat kegiatan. Keraton Majapahit mulai didirikan. Benteng yang kuat, gapura yang indah dan kokoh bisa didirikan. Pembagian kekuasaan untuk para pembantu utama sudah dipersiapkan. Sebagai raja yang baru, Baginda Raja sudah menyusun sejumlah pangkat dan kebesaran yang siap untuk dianugerahkan. Sampai di sini tak ada masalah yang berarti.
Kecuali tentang satu orang. Yaitu Upasara Wulung, ksatria Pingitan didikan zaman Baginda Raja Kertanegara, yang diangkat menjadi senopati. Diangkat sebagai salah satu panglimanya ketika mengusir lawan dalam pertempuran antara mati dan hidup. Itulah sebabnya Baginda Raja memberi sebutan sebagai senopati pamungkas, senopati terakhir. Tetapi bisa juga berarti senopati yang menyelesaikan tugas.
Sebagai seorang yang berdarah ksatria dan berasal dari lapisan tengah sebelum naik takhta, Baginda Raja Sanggrama Wijaya mengenal balas budi. Semua senopati, prajurit yang berjasa, diberi ganjaran atau hadiah yang sesuai dengan jasa pengabdiannya. Bahkan prajurit dalam pangkat yang paling rendah pun menerima. Kecuali satu orang.
Yaitu Upasara Wulung. Yang setelah pertempuran besar-besaran lebih suka kembali ke Perguruan Awan. Dan sejak masuk kembali ke daerah hutan itu, tak pernah muncul lagi. Dua kali Baginda Raja mengirimkan utusan resmi. Akan tetapi jangan kata mendengar jawaban, bertemu dengan orangnya atau bayangannya saja tak bisa.
"Tak mungkin bocah itu tak tahu datangnya utusan resmi," kata Baginda Raja pelan kepada Gayatri, salah seorang permaisurinya. "Ia tahu, dan ia menunjukkan sikap menolak kepada utusanku. Bocah Pingitan itu lupa bahwa yang ditentang sekarang ini adalah perintah seorang raja yang bisa membalik dunia seperti membalik telapak tangan. Aku memanggilmu karena kamu tahu bocah itu."
Gayatri menunduk, memandang lantai Keraton. Hatinya masih berdesir. Masih tersisa kenangan ketika bersama dengan Upasara Wulung menyelinap ke dalam Keraton Daha. Dan saat Upasara Wulung bertarung antara mati dan hidup untuk membebaskannya. Lebih dari itu, diketahuinya bahwa ksatria itu menaruh hati padanya. Hanya karena menurut perhitungan para pendeta dirinya adalah pasangan Baginda Raja, seperti pasangan Dewa Wisnu dan Dewi Sri, Upasara Wulung mengundurkan diri.
Sebagai permaisuri seorang raja, Gayatri sudah sejak semula menutup semua kenangan dan ingatan pada diri Upasara Wulung. Tak ada keinginan sedikit pun untuk membuka hari lampau, karena setiap kali tanpa sengaja nama itu disebut, darahnya masih tetap mengalir lebih kencang.
"Bocah Pingitan itu," suara Baginda Raja sedikit meninggi ketika menyebut sebagai bocah, dan bukan ksatria, "masih menyimpan dendam kekanak-kanakan karena kamu. Aku sudah berjanji memberikan apa saja padanya, kecuali kamu. Akan tetapi ia tetap bocah yang tak tahu bagaimana menikmati hasil perjuangannya sendiri. Ia memilih berada di hutan seolah mau menjadi dewa. Ia boleh mengaku berjasa. Nyatanya memang demikian. Akan tetapi sekali ini aku tak bisa membiarkan ia menolak panggilanku. Itu berarti menentang panggilan seorang raja. Tak ada ampunan bagi seorang yang berani menentang raja."
Gayatri tetap menunduk. Lurus pandangannya ke bawah. Desir darahnya masih menggetar.
"Aku memanggilmu karena aku ingin kamu datang ke Perguruan Awan dan mengatakan bahwa aku memanggilnya, memerintahkan ia sowan, menghadap padaku. Bahwa aku akan memberikan pangkat tertinggi padanya sebagai mahapatih. Bersiaplah. Besok pagi-pagi sekali kamu berangkat."
Gayatri menghaturkan sembah dengan menunduk hormat.
"Aku telah mengangkat para mantri, para bupati, para senopati. Akan tetapi tetap terbuka kemungkinan untuk menjadi mahapatih, menjadi tangan kananku. Akan kulihat apakah kepalanya masih keras menerima tawaranku, menerima kedatanganmu. Sebelum matahari terbit besok, kamu sudah berada dalam perjalanan."
"Sendika dawuh, Gusti." Gayatri menghaturkan sembah. Walau ia termasuk permaisuri, akan tetapi seorang raja tetap seorang raja yang harus dihormati sebagai raja, bukan hanya sebagai suami. Gayatri tetap menghaturkan sembah, dan menyebut sebagai Gusti, kependekan dari Gusti Prabu.
Gayatri menunggu sampai Baginda Raja meninggalkan tempat. Baru kemudian bergerak perlahan. Menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dalam beberapa hari ini. Sesuatu yang lebih menggetarkan hatinya dibandingkan ketika pertama kali menyusup ke dalam Keraton Daha bersama Upasara Wulung. Padahal waktu itu jelas memang menguatirkan, karena soal mati dan hidup.
Sekarang ini seharusnya ia merasa sedikit terhibur. Bukankah ia akan bertemu dengan seorang lelaki, benar-benar seorang lelaki yang pernah mengguncangkan jiwanya? Upasara Wulung seorang lelaki biasa, bukan seorang raja. Bukan seorang pangeran. Bukan juga seorang bupati. Gelar kehormatan yang disandang hanyalah senopati. Suatu gelar kehormatan yang bisa diperoleh setiap prajurit.
Akan tetapi Upasara Wulung memang sepenuhnya seorang lelaki. Gagah, mempunyai jiwa ksatria, seorang prajurit sejati yang hanya tahu satu hal: berbakti kepada Baginda Raja, yang berarti mencintai Keraton, yang juga berarti mencintai tanah tumpah darahnya. Upasara begitu lugu, begitu jujur mengabdi, begitu tulus menjalankan darma baktinya.
Ini semua yang membuatnya makin gelisah ketika akhirnya selepas tengah malam Gayatri masuk ke dalam tandu, dipanggil para prajurit yang telah siap. Saat itulah Gayatri mendengar sendiri dari Mpu Renteng dan Mpu Sora yang mengawal. Bagi Gayatri, Mpu Sora dan Mpu Renteng mempunyai hubungan yang lebih erat. Bukan karena kebetulan kedua tokoh itu adalah dua di antara sekian orang kepercayaan Baginda Raja, akan tetapi karena Mpu Renteng dan Mpu Sora sering mengatakan sesuatu secara berterus terang.
"Paman, katakan padaku, apa sebenarnya maksud Baginda Raja memanggil Kangmas Upasara?"
Mpu Renteng dan Mpu Sora menyembah dengan hormat. Keduanya naik kuda di sebelah kanan dan kiri tandu.
"Seperti yang diperintahkan Baginda."
"Apakah itu yang sesungguhnya, Paman?"
"Itulah yang sesungguhnya, Permaisuri. Baginda Raja saat ini kesulitan memilih siapa sesungguhnya yang berhak menjadi mahapatih. Hamba melihat kelebihan Baginda melihat ke depan. Sekarang ini kalau di antara kami yang diangkat, bisa menjadi bobot pertengkaran. Hamba, Tambi, Renteng, Sasi, Nambi, tumbuh secara bersama. Agak sulit menerima tiba-tiba salah seorang dari kami menjadi mahapatih. Kami terlalu tahu kurang dan juga lebihnya."
"Apakah Paman akan menerima jika Kangmas Upasara yang diangkat Baginda?"
"Kami akan menerima, karena itulah titah Baginda Raja. Akan tetapi lebih dari itu, Upasara pantas menyandang kehormatan itu. Walau masih muda, jasanya besar sekali. Kami semua mengakui, dan menerima."
Terdengar helaan napas dari dalam tandu. "Kalau Baginda berkehendak memberi anugerah pangkat yang begitu tinggi, mengapa disertai ancaman? Mengapa Baginda bisa menjadi murka?"
Kali ini ganti Mpu Sora dan Mpu Renteng menghela napas bersamaan.
Kekuatiran Baginya Raja
HELAAN napas yang bersamaan menunjukkan kecemasan yang sama. Mpu Renteng juga berusaha menenteramkan kegelisahan batinnya. Apa yang diutarakan Mpu Sora sepenuhnya benar. Masalah pengangkatan mahapatih Majapahit sekarang ini masalah yang paling pelik. Upasara Wulung bisa menjadi jalan tengah yang menyelamatkan. Akan tetapi kekuatiran yang diutarakan Permaisuri Gayatri juga ada benarnya.
Mpu Renteng dan Mpu Sora dalam hati was was karena tak bisa sepenuhnya memperkirakan cara bertindak Baginda Raja. Pengalaman masa lampau bersama-sama sejak melarikan diri dari Keraton Singasari ketika Raja Muda Jayakatwang menyerbu, membuat mereka sepenuhnya hormat dan menyatu. Dalam keadaan terlunta-lunta, berjalan sampai ke tlatah Madura, selalu bisa seperasaan. Begitu juga ketika mulai menggempur Raja Jayakatwang di Daha.
Akan tetapi sedikit timbul keraguan ketika dalam saat-saat yang menentukan Baginda Raja tega membiarkan beberapa prajurit yang masih menjadi tawanan. Baginda Raja tetap memerintahkan penyerbuan. Juga ketika prajurit Tartar kemudian digempurnya. Mpu Renteng menganggap ada sesuatu yang tak bisa diduga dalam tindakan Baginda Raja. Biar bagaimanapun, jiwa ksatria Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa menerima begitu saja cara menyingkirkan pasukan Tartar.
"Mereka musuh kita. Harus kita musnahkan. Dengan siasat. Ini bukan kelicikan atau sifat ksatria. Kita harus memenangkan pertempuran yang paling menentukan ini. Kalian adalah prajurit, dan aku yang memikirkan strategi. Aku yang bertanggung jawab kepada Dewa yang Menguasai Langit dan Bumi. Busuk atau tidak kulakukan, aku yang bertanggung jawab. Kalian tidak akan pernah mengerti. Ini urusan pemerintahan. Ini urusan seorang raja!"
Itulah yang dulu didengar langsung dari Baginda Raja. Penjelasan yang diterima saat itu. Akan tetapi setelah beberapa saat dipertimbangkan, setelah Keraton Majapahit mulai dibangun, dan segala hasil dinikmati, kecemasan baru mulai merambat. Kalau hal ini dihubungkan dengan pemanggilan Upasara Wulung, Mpu Renteng juga melihat sesuatu yang selama ini agaknya disembunyikan oleh Baginda Raja. Atau paling tidak, tidak diungkapkan oleh Baginda.
Yaitu tersiarnya berita di luaran bahwa selama ini Upasara Wulung dilupakan oleh Baginda Raja. Bahwa berita pembicaraan di masyarakat itu tidak benar, Mpu Renteng dan Mpu Sora tahu secara pasti. Bukan Baginda Raja yang melupakan, akan tetapi Upasara sendiri yang menolak. Namun ada juga yang dirasakan, bisa benar dan bisa tidak. Yaitu bahwa di belakang hari Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan yang berbahaya. Sejak pertempuran penghabisan dulu, Upasara mengasingkan diri di Perguruan Awan. Sepenuh waktunya dipakai untuk merenung, untuk bersemadi.
Inilah yang berbahaya. Saat ini Upasara telah mulai memperdalam ilmu yang sangat luar biasa, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ilmu yang masih tetap dianggap gaib, karena selama ini tidak ada yang mengetahui secara persis. Bahkan ilmu itu yang oleh para pendeta Tartar, para pendekar Mongolia, dianggap sebagai Jalan Budha. Ilmu yang baru sebagian saja dilihat oleh Mpu Renteng dan Mpu Sora sewaktu Upasara Wulung melabrak habis Naga dari Tartar yang saat itu tak tertandingi.
Ilmu yang luar biasa, karena mereka semua para jago silat seperti mengenali, akan tetapi juga seperti tidak. Dan kalau benar saat ini Upasara Wulung sedang memperdalam ilmunya Tepukan Satu Tangan yang bisa terdengar lebih nyaring dan lebih bertenaga dari dua tangan, bisa dibayangkan bagaimana jika Upasara benar-benar telah menguasai ilmu tersebut.
Upasara akan menjadi tokoh yang tak bisa diramalkan, dan sulit dicari tandingannya. Di zaman dahulu masih ada Mpu Raganata yang perkasa, masih ada Eyang Sepuh yang kini tak diketahui tempat dan bayangannya, akan tetapi sekarang ini Upasara betul-betul tak menemukan lawan yang setanding.
Dalam perkiraan Mpu Renteng, kalau Baginda kuatir, itu cukup beralasan. Karena memang sejak mendiang Baginda Raja Kertanegara, kedigdayaan adalah sesuatu yang mempunyai makna mendalam. Baginda Raja Sri Kertanegara-lah yang secara resmi menentukan bahwa nilai-nilai kedigdayaan, kesaktian, adalah nilai seorang lelaki yang sesungguhnya. Hanya yang kuat dan sakti yang akan memerintah seluruh jagat dan isinya.
Kehadiran Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan di belakang hari. Maka, menurut perkiraan Mpu Renteng dan Mpu Sora serta beberapa senopati, Baginda Raja berusaha menarik Upasara Wulung ke pihak Keraton. Dengan anugerah pangkat mahapatih, Upasara tak akan melawan di kemudian hari. Upasara Wulung, sebaliknya, akan berbakti sepenuhnya.
Kalau ternyata Upasara Wulung menolak, bukan tidak mungkin Baginda akan mengangkat tangan untuk melenyapkan. Sekarang adalah saat yang tepat, sebelum Upasara Wulung tumbuh menjadi besar dan berakar. Pastilah Baginda Raja mempunyai telik sandi atau pasukan rahasia yang mengetahui apa yang tengah terjadi sekarang ini. Dugaan Mpu Renteng ialah prajurit telik sandi di bawah pimpinan Mpu Nambi yang mampu menyusupkan anak buahnya ke Perguruan Awan.
Mpu Renteng bisa mengetahui sedikit-sedikit dan mendengar bahwa sesungguhnya Upasara Wulung saat ini tengah berada dalam situasi yang menentukan. Upasara berada dalam situasi yang sangat menentukan dalam mempelajari Tepukan Satu Tangan. Bagian yang menentukan apakah ia bakal berhasil menguasai ilmu tersebut atau gagal sama sekali.
Mpu Nambi mendapat laporan dari prajuritnya yang menurut cerita mendapat kabar tersebut dari Dewa Maut. Salah seorang tokoh yang semasa jayanya jago dalam bidang racun yang tiada tandingannya. Hanya saja kemudian seluruh tenaga dalamnya musnah serta terganggu jiwanya. Dewa Maut termasuk yang bisa keluar-masuk ke dalam Perguruan Awan bersama dengan Gendhuk Tri gadis remaja yang seluruh tubuhnya dipenuhi dengan racun. Mereka inilah, di samping beberapa murid Perguruan Awan, yang masih tetap mengadakan pertemuan secara tertentu. Sesungguhnya, ini yang dikuatirkan Baginda.
Kalau sampai Upasara berhasil menghimpun para ksatria pilihan dan kemudian mbalela, atau memberontak kepada Baginda. Upasara bagai harimau yang tumbuh sayap. Bahwa Upasara akan sangat membahayakan seluruh ketenteraman Keraton, Mpu Renteng bisa mengerti dan bisa menerima. Akan tetapi nalarnya mengatakan bahwa sangat tidak masuk akal bahwa Upasara Wulung akan mbalela.
Akan tetapi Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa mengutarakan pendapatnya, karena Baginda tak pernah menanyai. Sungguh tak masuk akal kalau tiba-tiba saja mereka mengutarakan pendapatnya. Ini suatu sikap kurang ajar yang tak bisa dimaafkan, tak ada ampunan sama sekali. Yang mencemaskan adalah bahwa Baginda lebih mempercayai Mpu Nambi untuk memecahkan masalah di Perguruan Awan. Dan kemudian menjatuhkan putusannya. Seperti sekarang ini. Mengirim utusan untuk menjemput Upasara.
Mpu Renteng bisa mengerti kalau misalnya saja Baginda memerintahkan para senopati pilihan untuk memaksa Upasara. Lepas dari pertimbangan benar atau tidak— akan tetapi bukankah yang diperintahkan Baginda Raja selalu benar?—ini menunjukkan sifat ksatria. Akan tetapi Baginda justru mengutus Permaisuri Gayatri. Seorang wanita yang sama sekali tidak terlibat dalam percaturan Keraton. Bahkan mungkin sama sekali tidak tahu, seperti pertanyaan yang baru saja didengar.
Hanya karena Permaisuri Gayatri dulu pernah mempunyai perasaan tertentu terhadap Upasara, maka kini hal itu yang dipakai sebagai senjata untuk memaksa Upasara Wulung. Mpu Renteng sempat bertanya-tanya dalam hati ketika menerima titah dari Baginda.
"Kawal Permaisuri."
"Sendika dawuh," jawabnya sambil menyembah bersamaan dengan Mpu Sora.
"Kupercayakan ini kepada kalian berdua. Bertindak atas namaku untuk berbuat apa saja demi perintahku."
"Sendika dawuh, Gusti."
"Ingat. Apa pun yang terjadi, kalian berdua hanya memberikan laporan kepadaku."
Baginda juga memerintahkan untuk membawa prajurit-prajurit pilihan. Bahkan Dyah Palasir dan Dyah Singlar yang selama ini diandalkan untuk menjadi pemimpin prajurit pribadi diikutsertakan. Dyah Palasir termasuk senopati muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Baginda. Dari angkatan muda, Dyah Palasir-lah satu-satunya yang mendapat pangkat sejajar dengan bupati.
Mpu Sora pun yakin bahwa tugas yang dijalankan kali ini bukan tugas sembarangan. Ada cara halus dengan membawa Permaisuri Gayatri. Tetapi juga ada cara tertentu yang bisa serta-merta diambil jika ada sesuatu yang dianggap perlu. Dyah Palasir pasti telah memilih prajurit-prajurit pilihan yang paling tangguh dan paling setia kepadanya. Ini berarti perjalanan ke Perguruan Awan bisa mengubah sejarah Keraton.
* * *
Prajurit Teluk Sandi
PERGURUAN AWAN masih seperti ketika diciptakan. Awan dan angin masih terasa purba. Bahkan tanahnya masih selalu terkesan basah. Tak ada yang berubah.
Perguruan Awan, atau juga disebut Nirada Manggala, sebenarnya tak jauh berbeda dari hutan-hutan yang lain. Gerombolan pepohonan yang membentuk pagar alam. Tak terlalu istimewa, karena di sini juga tak ada tanda-tanda yang menjadi batas wilayahnya. Satu-satunya pertanda memasuki daerah Perguruan Awan hanyalah sebuah alun-alun yang luas. Sebuah lapangan yang tak ditumbuhi pohon-pohon besar.
Tanah kosong itu dianggap masyarakat sekitar sebagai batas wilayah yang dikeramatkan. Yang membuat penduduk sekitar enggan untuk memasuki, apalagi mengusik tanaman yang ada. Sepotong daun yang mengering akan dibiarkan membusuk dan menjadi pupuk. Irama alam sepenuhnya terjaga sempurna.
Rombongan yang dipimpin Mpu Sora dan Mpu Renteng sampai di pinggir alun-alun. Dyah Palasir segera memerintahkan membuat pondokan sederhana yang dibangun dari kayu-kayu yang sudah disiapkan, dengan atap ilalang yang dibawa dari Keraton. Tak ada pepohonan yang diusik. Tak ada tetumbuhan dan Cengkerik yang diubah letaknya. Bahkan bentuk bangunan pondokan itu dibuat sedemikian rupa sehingga menyatu dengan alam sekitar. Seakan bagian dari belukar menjalar.
Di pondok itu Permaisuri Gayatri bertempat tinggal. Pada jarak sepuluh tombak, para prajurit berjaga-jaga. Ada yang khusus memasak, memasak air untuk Permaisuri. Selebihnya menunggu. Hanya Mpu Sora dan Mpu Renteng yang berada di sekitar pondok, dan tetap berdiam diri. Hanya mengeluarkan jawaban kalau ditanya secara langsung. Permaisuri tak bisa menahan diri ketika malam tiba, dan suara binatang hutan mulai terdengar.
"Paman Sora dan Paman Renteng."
"Sembah dalem, Gusti."
"Sampai kapan kita menunggu?"
"Sampai hamba mendengar titah Permaisuri. Kalau Permaisuri menitahkan untuk masuk ke dalam, kita semua akan masuk ke dalam hutan."
"Kalau saya meminta kita kembali ke Keraton?"
Mpu Sora dan Mpu Renteng menyembah hormat.
"Hamba menerima titah Baginda Raja untuk mengantarkan Permaisuri menemui Senopati Pamungkas."
Jawaban yang tetap menghormat. Menempatkan diri sebagai orang bawahan. Akan tetapi juga sekaligus suatu ketegasan bahwa mereka harus bisa menjalankan tugas. Menemui Senopati Pamungkas. Ini berarti berpantang pulang sebelum tugas dijalankan.
"Saya mengerti, Paman. Hanya saya tidak mengerti apakah Kangmas Upasara mengetahui saya berada di sini."
"Mestinya begitu, Permaisuri."
"Kalau begitu, kenapa Kangmas tak mau menemui?"
Mpu Renteng tak bisa menjawab. Juga Mpu Sora. Bahkan kalaupun mempunyai jawaban, barangkali sulit sekali diutarakan. Karena tugas ke Perguruan Awan ini masih mengandung misteri yang belum terungkapkan. Adalah sangat mungkin sekali Upasara Wulung tak mau menemui. Bukan tidak mungkin menolak muncul, justru karena Baginda Raja mengutus Permaisuri Gayatri untuk menemui.
Baik Mpu Sora maupun Mpu Renteng sedikit-banyak mengenal Upasara Wulung. Senopati muda yang diangkat sebagai senopati perang dalam saat yang menentukan. Yang kemudian memilih kembali ke tengah hutan di saat kemenangan dirayakan. Hanya yang mempunyai hati batu alam mampu menyatukan keinginan, mampu mendengarkan suara hatinya sendiri. Mpu Sora tidak melihat bahwa tindakan Upasara suatu tindakan yang benar, namun jelas menunjukkan suatu keyakinan yang utuh.
"Bagaimana kalau Kangmas Upasara tidak mau menemui saya?"
"Pasti menemui, Permaisuri. Begitulah perkiraan Baginda."
"Perkiraan Baginda," Permaisuri Gayatri meninggikan suaranya. "Apa perkiraan Paman berdua?"
"Apa yang diperkirakan Baginda adalah perkiraan hambanya juga."
"Ya, selalu begitu jawaban Paman. Akan tetapi, apakah Paman yakin Kangmas Upasara berada di hutan ini? Bagaimana kalau ia sedang pergi? Bagaimana kalau sedang sakit?"
"Kalau sedang pergi, hamba tak tahu harus mencari ke mana. Kalau sedang sakit, hamba juga tak tahu harus mencari obat ke mana. Hamba hanya menjalankan perintah."
"Paman, saya pun hanya menjalankan perintah. Titah Baginda Raja, penguasa tunggal atas mati dan hidup kita sekalian. Tetapi saya ini orang bodoh, Paman. Bodoh sekali dan tak mengerti sedikit pun masalah Keraton. Mbakyu Tribhuana, yang digelari mahalalila karena keunggulannya bisa mengetahui maksud Baginda, jauh sebelum diperintah sudah mengetahui maksudnya. Mbakyu Mahadewi yang paling dikasihi Baginda, juga bisa mengetahui. Mbakyu Jayendradewi yang paling setia, bisa mengerti. Tetapi saya ini sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Paman, katakanlah sejujurnya. Apakah maksud Baginda memanggil Kangmas Upasara?"
"Sejauh hamba yang bodoh ini mengetahui, tak lain dan tak bukan seperti yang disabdakan. Ingin mengangkat Senopati Pamungkas menjadi mahapatih Majapahit. Menjadi tangan kanan Baginda. Semua pengikut Baginda telah mendapatkan kehormatan dan anugerah, akan tetapi..."
"Apakah tidak ada maksud lain?"
"Tidak, Permaisuri."
"Mengapa mendadak sekali?"
Mpu Sora menggeleng lemah. Namun hatinya sempat oleng. Hanya karena penguasaan perasaannya sudah sampai tingkat tinggi, perubahan perasaan itu bisa disembunyikan. Mpu Sora dan juga Mpu Renteng bukan tidak mendengar kabar dari prajurit telik sandi, atau prajurit rahasia yang pekerjaannya menyusup dan mencari kabar dari wilayah yang tak terduga.
Mpu Sora mendengar bahwa Upasara Wulung saat ini sedang mempelajari bagian yang paling menentukan dari ilmu Tepukan Satu Tangan. Bagian yang konon akan menentukan apakah si pelatih bisa menguasai ilmu tersebut, atau justru sebaliknya. Ia bakal dihancurkan oleh ilmu tersebut, dan akan menjadi cacat seumur hidup.
Prajurit telik sandi yang dipimpin Senopati Nambi mendapat kabar ini dari salah seorang penghuni Perguruan Awan yang bernama Dewa Maut. Tokoh tua yang seluruh rambutnya putih ini yang paling bisa dihubungi. Menurut cerita, dulunya Dewa Maut adalah tokoh sakti dengan penguasaan atas semua racun Kali Brantas. Hanya saja kemudian kehilangan ingatan, sehingga kelakuannya seperti anak kecil. Dari Dewa Maut inilah tercium bahwa Upasara Wulung kini sampai ke tingkat yang menentukan.
Dan justru pada saat seperti inilah, Baginda Raja memerintahkan untuk menemui Upasara. Dengan perhitungan bahwa dalam keadaan yang genting ini, Upasara akan terdesak. Kalau ia memilih untuk meneruskan latihannya dan tak ingin terganggu, ia akan menerima jabatan tersebut. Kalaupun menolak, berarti Upasara telah ditawari. Ini berarti ia akan turut menjaga Keraton. Dan janji seorang ksatria, akan dibela sampai mati.
Kalau dihubungkan dengan titah Baginda Raja untuk mengambil tindakan yang diperlukan, hal ini sangat masuk akal. Mpu Sora dan Mpu Renteng diberi wewenang penuh untuk mengambil tindakan apa pun. Hal ini juga diperkuat dengan kehadiran Dyah Palasir. Berarti pula Upasara akan digempur saat itu juga. Sebelum kekuatan menggalang persatuan dan ilmunya makin sulit ditandingi. Baginda tak ingin melihat ganjalan menjadi besar. Sekarang ini memang saat yang paling menentukan.
"Paman..."
"Sembah dalem."
"Apakah benar saat ini tidak ada yang pantas mendapat anugerah pangkat menjadi mahapatih?"
"Senopati Pamungkas yang paling pantas menerima kebesaran ini, Tuanku Permaisuri."
Jawaban Mpu Renteng mempunyai dua arti. Pertama, seperti yang diutarakan bahwa Upasara Wulung memang pantas menerima jabatan agung ini. Meskipun masih sangat muda, akan tetapi telah membuktikan diri sebagai pengabdi yang kesetiaannya tak perlu diragukan. Di samping itu juga yang ilmu silatnya paling tinggi. Setidaknya dengan satu atau dua jurus Tepukan Satu Tangan bisa membuyarkan lawan. Kedua, karena sesungguhnya Upasara merupakan jalan keluar yang terbaik. Pengangkatan Upasara akan diterima oleh berbagai pihak. Oleh semua senopati, semua patih yang ada.
Mpu Renteng sadar bahwa Baginda Raja sekarang ini menghadapi situasi yang barangkali lebih sulit dari ketika merebut Singasari, dari ketika mengusir pasukan Tartar, lebih sulit dari ketika memutuskan untuk mengawini keempat putri Sri Baginda Raja Kertanegara. Justru karena kini menghadapi tangan dan kakinya sendiri.
Serangan Tengah Malam
BAGINDA RAJA harus memilih yang terkuat untuk menduduki kursi sebagai mahapatih, menjadi amangkubumi. Yang berarti jabatan yang lebih tinggi dari semua patih atau senopati terkemuka. Yang berarti juga bahwa salah seorang dari senopatinya akan berada di atas yang lainnya. Padahal justru ketika berjuang dulu, semuanya sama pangkat dan kedudukannya.
Untuk jabatan patih, atau juga adipati amancanegara, hal ini tidak menjadi masalah. Keraton Majapahit dibagi atas lima wilayah, yaitu sebelah barat, timur, selatan, utara, serta tengah. Masing-masing akan dipimpin oleh seorang patih atau adipati amancanegara. Seperti juga wilayah utara yang kini diserahkan kepada Ranggalawe, putra Aria Wiraraja yang gagah berani. Bahkan setelah menjadi adipati pun tetap memakai nama Ranggalawe, nama yang disandang ketika masih berpangkat rangga dalam keprajuritan.
Memang setelah semua mendapat jabatan dan pangkat, timbul pertanyaan yang tak terucapkan. Siapa yang bakal diangkat Baginda sebagai mahapatih? Yang berarti membawahkan semua adipati dan atau para patih ini?
Mpu Renteng sadar diri dan sama sekali tidak bermimpi akan menduduki jabatan sebagai pelaksana Keraton. Ada tiga nama yang bisa dipilih Baginda Raja. Ini menurut perhitungannya sendiri, yang barangkali tak berbeda jauh dengan senopati atau adipati yang lain.
Pertama, pastilah Ranggalawe, yang sekarang sebetulnya lebih tepat disebut Adipati Lawe. Senopati yang gagah berani dan mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Perlawanan merebut Singasari dibuktikan dengan luka dan pengorbanan yang tinggi. Dan lagi Adipati Lawe adalah putra Aria Wiraraja dari Madura. Yang sejak lama menunjukkan kesetiaan tanpa tanding. Yang sejak semula berpihak kepada Baginda Raja. Bahkan prajurit dari Madura yang dikirim Aria Wiraraja-lah yang pertama kali membuka hutan, membakar belukar. Para prajurit itulah yang pertama kali membuat rumah dan membangun sawah. Adalah wajar jika Baginda mengangkat Adipati Lawe sebagai mahapatih.
Kelemahan Adipati Lawe hanyalah kurang bisa mengekang perasaan. Apa yang ingin dikemukakan langsung dikatakan. Adipati Lawe seolah masih hidup di saat perjuangan merebut Singasari dahulu. Seakan masih hidup di medan perang, yang menuntut penyelesaian seperti hukum-hukum perang. Namun halangan yang terutama adalah karena adanya Mpu Sora.
Pilihan kedua, Mpu Sora. Tokoh yang bijak, mampu mengekang perasaan, dan secara sempurna menguasai ilmu Bramara Bramana, atau ilmu Sengatan Lebah Seorang Pendeta. Gabungan antara tenaga keras dan kearifan seorang pendeta. Ilmu dari tlatah Madura ini hanya Mpu Sora yang mumpuni, menguasai luar dalam. Dan Mpu Sora masih terhitung paman Adipati Lawe. Sehingga kalau mengikuti tata cara, Mpu Sora-lah yang lebih pantas dibandingkan keponakannya.
Pilihan ketiga, Mpu Nambi. Dalam banyak hal sama seperti juga Mpu Sora. Akan tetapi jabatan utama Mpu Nambi adalah pemimpin utama para prajurit telik sandi. Prajurit rahasia yang mendapat tugas utama dari Baginda Raja. Sebagai pemimpin telik sandi, tentu Mpu Nambi paling mengetahui segala rahasia Keraton, dan paling sering serta dekat berhubungan dengan Baginda. Senopati telik sandi, yang karena tugasnya bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dalam dan di luar Keraton. Bahkan diikutsertakannya Dyah Palasir menunjukkan kekuasaan ini. Dyah Palasir dari prajurit pengawal pribadi yang garis komandonya di bawah pimpinan telik sandi.
Mpu Renteng bisa mengerti kalau untuk permasalahan ini, Permaisuri Gayatri tak merasakan perlunya menemui Upasara Wulung. Yang bagi Baginda Raja hanya ada dua kemungkinannya. Bergabung ke Keraton atau ditumpas.
"Paman Sora, mengapa Kangmas Upasara memilih berdiam di hutan ini?"
"Maafkan hamba, Permaisuri. Maafkan kalau hamba yang bodoh ini mencoba lancang bercerita."
"Paman Sora, janganlah terlalu sungkan."
"Maaf, Permaisuri, bukan hamba sungkan. Akan tetapi sesungguhnya hamba hanya tahu sedikit. Hutan di depan ini dinamakan Perguruan Awan. Dahulunya tempat bertemunya para ksatria dari seluruh penjuru jagat. Di sini pada waktu tertentu yang telah ditetapkan, para ksatria datang untuk saling menguji kesaktiannya. Menentukan siapa yang paling sakti mandraguna, siapa yang ilmunya paling unggul."
"Kalau tidak salah, Perguruan Awan ini sendiri juga mempunyai guru dan murid, Paman."
"Sesungguhnya, Permaisuri lebih mengetahui dari hamba. Perguruan Awan ini memang sebuah nama perguruan silat. Hanya saja berbeda dari perguruan silat yang lain, di sini tak ada sebutan guru atau siswa, semua belajar bersama. Bagi mereka yang masuk perguruan ini, hidup sebagaimana tetumbuhan dan hewan yang ada. Hanya mengambil yang dibutuhkan."
Permaisuri Gayatri mengeluarkan seruan tertahan. Sekelebatan pikirannya melayang ke arah Upasara. Apakah pemuda tampan dan lugu itu juga hidup dengan cara seperti itu? "Kalau hanya tempat berkumpul para ksatria untuk berperang tanding, kenapa Baginda sangat memperhatikan?"
"Permaisuri lebih mengetahui dari hamba yang bodoh. Dulu kala ada dongengan, raja-raja baru akan didengar kabarnya dari Nirada Manggala. Mulai zaman Ken Arok, leluhur Keraton Singasari yang mulia. Ketika itu menurut cerita nenek moyang, ada seorang pendeta muncul dan mengatakan bahwa akan lahir raja. Ini berarti, garis keturunan penguasa yang sekarang akan terputus oleh penguasa yang baru. Seperti kemudian terbukti, Tuanku Permaisuri, pakuwon yang diperintah oleh Tunggul Ametung diganti oleh keturunan Ken Arok. Pada saat Baginda Raja Sri Kertanegara yang bijaksana-luhur-gagah-perwira berkuasa, ada kabar akan datang lagi Tamu dari Seberang yang akan mewartakan lahirnya penguasa baru. Dan kenyataannya memang Raja Muda Jayakatwang memutuskan garis keturunan Baginda Raja Sri Kertanegara yang mulia."
"Paman, bukankah Baginda Raja sekarang ini juga keturunan yang sama? Bukankah saya ini putri Sri Baginda Kertanegara?"
"Dewa dari segala Dewa berkenan mengembalikan takhta kepada yang berhak, Tuanku Permaisuri. Hanya selingan Raja Muda Jayakatwang menjadi pertanda bukti apa yang dikatakan Tamu dari Seberang."
"Ah, Paman sungguh luas pengalamannya."
"Hamba tak pantas menerima sanjungan."
"Paman, guru dari Perguruan Awan yang dijuluki Eyang Sepuh tak pernah kelihatan. Saya pernah dibisiki oleh Eyang Sepuh mengenai Tamu dari Seberang itu adalah pasukan Tartar. Sehingga kemudian pasukan inilah yang dipakai menyerang Keraton Singasari. Tapi saya sendiri tak pernah melihat beliau."
"Rasanya sampai sekarang ini belum ada yang berani mengaku bertemu Eyang Sepuh."
"Paman, apakah kalau Kangmas Upasara menjadi guru di Perguruan Awan ini, akhirnya juga seperti Eyang Sepuh? Kita hanya mengenal namanya? Apakah itu termasuk ilmu sakti yang Paman katakan?"
Jawabannya adalah gerakan seketika secara bersamaan. Mpu Sora meloncat ke belakang, melindungi Permaisuri Gayatri, sementara Mpu Renteng meloncat ke depan. Ujung kainnya, yang disampirkan di pundak, berubah menjadi seekor ular yang mendesis. Kelebatan warna putih di tengah kelamnya malam.
Sungguh suatu gerakan yang indah memesona, dan sekaligus juga berbahaya. Dalam satu tarikan napas, Mpu Renteng mengeluarkan jurus andalan dari ilmu Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora. Dari keadaan bersila, menunduk, tiba-tiba berubah menjadi loncatan, dan juga menyerang. Hal yang sama dilakukan Mpu Sora yang menyadari keadaan cukup gawat.
Gawat karena tiba-tiba saja kedua empu sakti ini menyadari tekanan angin yang berada dalam jarak sepuluh tombak. Dan dalam seketika sudah ada dua bayangan yang menyerang langsung. Ini luar biasa. Pondok mereka agak terpencil di antara para prajurit yang mengawal, akan tetapi boleh dikatakan di tengah lapangan. Dan tanpa tanda-tanda yang mencurigakan, ada serangan mendadak. Ini berarti para prajurit di bawah Dyah Palasir bisa ditaklukkan, tanpa menimbulkan kecurigaan. Berarti penyerangnya yang kini muncul dalam dua bayangan betul-betul menguasai ilmu yang tidak sembarangan.
Mpu Sora nggragap, atau terkesiap. Apalagi ketika mendengar Mpu Renteng mengaduh. Nggragap-nya. Mpu Sora bukan karena Mpu Renteng bisa dikalahkan. Meskipun termasuk senopati pilihan, akan tetapi dalam dunia persilatan, selalu ada ilmu yang lebih sakti. Yang membuat Mpu Sora nggragap adalah karena dalam gebrakan pertama Mpu Renteng sudah bisa ditaklukkan.
Bujangga Andrawina bukan ilmu sembarang ilmu. Tingkat Dyah Palasir pun tak akan bisa memahami andai diajari selama satu tahun. Mpu Renteng mampu menguasai dengan baik. Sabetan ujung kain yang disampirkan di pundak adalah gerakan menyapu semua serangan lawan. Mementahkan gempuran. Sementara serangan yang sesungguhnya adalah jari-jari tangan yang memagut, menggigit kuat. Sepuluh jari Mpu Renteng akan berubah seakan menjadi lima kepala ular yang memagut secara bersamaan. Tapi ternyata bisa dirubuhkan dalam satu gebrakan. Belum satu jurus.
BAGIAN 11 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 13 |
---|