Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 14
Senopati Anabrang menggerung keras. Tonjokan tenaga ke depan diubah ke samping. Sekuatnya dan sekenanya. Tubuh Gendhuk Tri oleng sedikit, namun cengkeramannya sempat menggores leher dan dada. Darah menetes. Sekejap sudah menjadi berwarna biru kehitam-hitaman!
Gendhuk Tri sendiri tak terbebas begitu saja. Olengan tubuhnya membuat satu pedang hanya menggores rambut dan daun telinganya. Yang satu lagi menyobek pundaknya.
Tanah mulai terang. Bekisar, ayam hutan, sudah berkokok, terbang dari pohon ke pohon.
Jaghana meloncat menyambut tubuh Gendhuk Tri. Dalam keadaan biasa, Gendhuk Tri akan mengibaskan tubuh Jaghana. Sekarang ini pun berusaha begitu. Akan tetapi tenaganya seperti tak bisa diatur. Saraf-saraf bagian tubuhnya sebelah kiri menimbulkan rasa ngilu. Dengan mengertakkan gigi pun, Gendhuk Tri tetap tak bisa menahan rasa sakit.
Luka itu cukup dalam, memutus beberapa urat dan bisa jadi mengenai tulang pundak. Tulang yang menentukan seorang jago silat menggerakkan tangannya. Jika tulang itu sampai patah atau tergores, akibatnya bisa cacat seumur hidup. Paling ringan, Gendhuk Tri tak akan bisa memainkan tangannya sebelah kiri. Ganas dan mengenaskan.
Senopati Anabrang sendiri merasa nyeri yang menggigit pada leher dan pundaknya yang menjadi kaku. Bahwa dalam sekejap darahnya sendiri berubah menjadi racun yang menghanguskan kulit dan daging, membuat semangatnya lepas.
Mpu Sora segera menjilat beberapa bagian tubuh Senopati Anabrang. Sebagai seorang yang juga menggunakan jenis pukulan sengatan mengandung racun, Mpu Sora tak segera berani memberikan obat penawar. Ia sendiri mampu menciptakan pukulan yang mengandung sengatan lebah. Akan tetapi racun yang dihadapi ini dari jenis yang lain sama sekali. Salah-salah bisa berakibat lebih gawat.
Tindakan Mpu Sora tepat sekali. Andai Mpu Sora membubuhkan atau mengoleskan obat penawar seperti yang dilakukan kepada Dyah Palasir, barangkali Senopati Anabrang tak tertolong lagi. Senopati Anabrang sendiri langsung duduk. Memusatkan konsentrasi untuk menghimpun tenaga batinnya. Untuk membendung menjalarnya rasa sakit dan ambrolnya pemusatan pikiran. Yang terakhir itu justru paling sulit dilakukan. Karena secara tiba-tiba menyadari bahwa begitu mudah dikalahkan oleh seorang bocah yang bahkan tak bisa menggelung rambutnya!
Ia adalah senopati utama. Panglima yang dipercaya Baginda Raja Singosari yang gagah perkasa. Ia adalah panglima yang menaklukkan ombak laut dengan gagah, yang masuk ke Melayu tanpa tergores kulit kehormatannya. Betapa nista kalau hari ini harus ambruk di tangan Gendhuk Tri!
Gendhuk Tri tidak mempunyai beban bahwa ia seorang senopati atau tokoh yang terhormat. Akan tetapi tetap masih merasa gondok karena pundaknya bisa disobek, sebagian rambutnya terpotong.
Suasana berubah. Mpu Sora dan Jaghana tidak terjun ke medan pertempuran dan menolong yang terluka, akan tetapi Galih Kaliki mencekal tongkatnya dan mengayunkan ke udara. Ini berarti tantangan. Dan Galih Kaliki, walau bertubuh kasar dan geraknya tak terkendalikan, masih tetap menunjukkan seorang ksatria. Jiwa ksatria itu yang menyebabkan ia memutar tongkat galih asam di tengah udara. Sebagai pembuka. Dan tidak langsung menyerang.
Adipati Lawe meraup dua tombak di kiri dan di kanan. "Aku di sini, Galih."
"Bagus." Tongkat Galih Kaliki mengincar Adipati Lawe. Keras gerakannya, mantap pukulannya mengarah ke batok kepala. Adipati Lawe menyabetkan kedua tombaknya untuk menyongsong.
Traak!
Dua tombak patah dan somplak menjadi beberapa bagian. Adipati Lawe tetap maju mendesak. Empat pukulan dilepaskan secara berturut-turut, sementara kakinya menyapu Galih Kaliki.
"Ini juga bagus!"
Galih Kaliki memutar tongkatnya turun. Ia mengadu benturan kaki, sambil mematahkan serangan di atas dengan tongkatnya. Diam-diam Adipati Lawe memuji kekuatan lawan. Tulang gares-nya, tulang lututnya, seperti membentur pelat baja. Seakan membentur punggung pedang yang sangat tebal. Ia yang mengandalkan ilmu keras, merasa menemukan lawan yang seimbang.
Namun karena tongkat lawan selalu mengarah ubun-ubunnya, Adipati Lawe tak bisa menjajal kerasnya tulang kaki. Ia meloncat mundur, dan mulutnya bersuit keras. Kuda hitam kesayangannya mendekat dan Adipati Lawe mengambil rantai yang ujungnya dibanduli bola besi bulat. Ini baru seimbang!
"Bagus."
Bertarung jarak dekat kurang menguntungkan Adipati Lawe yang bertangan kosong, sementara Galih Kaliki membawa tongkat. Dengan senjata rantai yang panjang dan bisa ditarik mundur atau terulur, Adipati Lawe menemukan dirinya. Kalau ia mundur tadi, juga berarti kalah setindak. Memegang rantai, Adipati Lawe kembali menggertak maju. Ini memang senjata andalannya. Rantai ini disebut sendiri sebagai benang atau kata lain dari lawe. Dan inilah asal nama sebutannya.
"Darah telah tumpah. Prajurit Majapahit, bersiaplah."
Itu aba-aba dari Mpu Nambi! Berarti ia datang sendiri!
KEHADIRAN Mpu Nambi mengubah kesiagaan seluruh prajurit Majapahit. Kalau tadinya serba ragu karena tak ada yang memberi perintah, sekarang jelas. Tadinya memang sempat bingung. Prajurit yang dibawa Dyah Pamasi pun ikut terombang-ambing. Karena Dyah Pamasi tidak meneriakkan aba-aba. Dyah Pamasi sendiri merasa kurang sreg, kalau ia berbuat lancang, karena di situ ada Mpu Sora dan Mpu Renteng yang lebih tinggi jabatannya.
Maka dengan kalimat pendek, seluruh prajurit Majapahit bersiaga tanpa kecuali. Satu aba-aba tambahan, mereka akan menggempur maju. Lautan api tak bakal membuat mereka ngeri. Prajurit Majapahit adalah prajurit pilihan. Prajurit yang lahir dari perjuangan dan dibesarkan dalam medan pertempuran. Hampir semua yang berada di alun-alun sekarang ini pernah mengalami pertumpahan darah. Kebersamaan, setia kawan, terjelma dari perjalanan hidup dan nasib yang sama. Prajurit Majapahit tergembleng dalam tradisi senasib-sepenanggungan.
"Darah telah tumpah. Prajurit Majapahit, bersiaplah," adalah komando yang dulu sering diteriakkan. Apa pun persoalan yang ada di antara mereka, kalau panggilan membela nama baik Majapahit, hanya satu yang berada dalam batin. Membela kehormatan. Mati sebagai prajurit sejati akan dijalani dengan semangat tinggi.
Mpu Sora menunduk. Kembali kecemasan meremas-remas di sekujur pembuluh darahnya. Belum lama ia menduga bahwa Mpu Nambi-lah yang mengatur berbagai rombongan. Sebagai pemimpin bagian telik sandi, hal itu tentu memungkinkan. Akan tetapi ternyata perkiraannya meleset!
Bukan Mpu Nambi yang mengatur semua ini. Kalau ia yang mengatur, tak perlu muncul sendiri. Mpu Sora cukup mengenal cara kerja telik sandi. Kalau ia menggunakan tangan lain, jangan sampai tangan sendiri bergerak. Makin tidak dikenali tindakannya, makin berhasil. Itu kunci gerak bagian telik sandi. Akan tetapi sekarang ini justru secara terang-terangan Mpu Nambi tampil sendiri. Berarti keadaan memang memaksa ia keluar. Seekor macan hanya akan keluar dari sarangnya pada pagi hari kalau hutan terbakar. Ini arti kehadiran Mpu Nambi saat ini.
"Membela nama dan kehormatan Keraton adalah cara berbakti yang terbaik. Hari ini aku, Mpu Nambi, utusan resmi Baginda Raja, ingin menemui Upasara Wulung. Aku datang dengan persiapan perang. Kalau tak bisa diajak bicara baik-baik, jangan salahkan kenapa rumput berwarna merah."
Pongah sikapnya, jemawa kata-katanya. Walau bibirnya memperlihatkan senyum, akan tetapi Mpu Nambi menarik bibirnya ke bawah. Penuh kepercayaan diri dengan cara merendahkan lawan.
Adipati Lawe, yang tengah bertempur dengan Galih Kaliki, menarik mundur "benangnya". Hatinya boleh panas mendengar Mpu Nambi yang ternyata lebih sesongaran darinya, nafsu bertempurnya boleh meninggi melawan Galih Kaliki, akan tetapi ternyata Adipati Lawe tetap berjiwa prajurit. Begitu Mpu Nambi mengambil kepemimpinan pada saat genting, serta-merta Adipati Lawe tunduk.
Jaghana menggendong Gendhuk Tri, melangkah tenang. "Matahari telah datang. Segala telah terang. Mana yang pohon, mana yang manusia."
"Aku tidak mengenal bahasa langit. Katakan apa maksud Paman Jaghana."
"Matahari telah datang. Segalanya telah terang. Senopati Majapahit bisa melihat sendiri apakah kami menyembunyikan sesuatu."
"Kalau Paman Jaghana memilih jalan kekerasan, kami dibesarkan dengan cara itu. Paman mengalami sendiri sewaktu bersama kami."
"Pun, andai bisa memilih, kami tak akan memilih apa-apa. Kalau hidup hanya sementara, kenapa merasa berat melepaskan yang ada dalam genggaman?" Sikap Jaghana jelas. Tantangan Mpu Nambi tak akan ditolak!
Kepungan prajurit pilihan tak membuat Jaghana gentar. Tak membuatnya lebih bersiap diri, atau berusaha meletakkan Gendhuk Tri di tempat yang lebih aman. Tidak memberi aba-aba kepada Galih Kaliki untuk bersiaga. Mpu Renteng tahu bahwa tindakan Jaghana sama sekali bukan didasarkan pada kesombongan, atau menganggap enteng lawan. Juga bukan sikap takut tidak melihat jalan keluar yang lain.
Apa yang ditunjukkan oleh Jaghana merupakan sikap dasar Perguruan Awan. Mereka tak akan berdebat soal siapa benar siapa salah, siapa menang siapa bakal kalah. Mereka tak akan menghindari bahaya yang datang, walau tidak mencari. Kalau saat itu Mpu Nambi memerintahkan penyerangan, Jaghana masih akan tetap menggendong Gendhuk Tri. Dan berusaha mempertahankan diri.
Mendadak Gendhuk Tri bergerak. Kepalanya miring. Sayup-sayup terdengar tembang kidungan:
Kenapa harus memindah gunung,
kalau hanya mencari tempat bermenung
kenapa harus mewarnai langit
kalau hati lagi pahit
kenapa mengaduk tanah
kalau perasaan lagi gundah
biar saja air mengalir ke muara
karena ia tahu sumbernya
biar saja asap menemui awan
mereka dilahirkan berdampingan....
Semua yang berada di lapangan mendengar kidungan yang lirih. Bukan hanya Gendhuk Tri. Akan tetapi bagi Gendhuk Tri, itu kidungan yang biasa ditembangkan oleh Upasara pada saat fajar. Kalau sekarang terdengar, rasanya tidak sesuai lagi. Karena sinar matahari sudah terasakan. Dan yang membuat Gendhuk Tri bertanya-tanya ialah karena nada suara kidungan itu berbeda. Gendhuk Tri tahu persis bahwa itu bukan kidungan Upasara Wulung.
Akan tetapi siapa yang bisa begitu fasih mengucapkan? Kalau tidak dalam keadaan terluka dan susah bergerak, Gendhuk Tri sudah akan mencaci habis. Tapi Gendhuk Tri juga merasa bahwa Jaghana yang menggendongnya bergetar.
"Akhirnya kamu datang juga!" teriak Mpu Nambi.
Namun sekejap kemudian teriakan kesombongannya berubah. Yang mendekat ternyata sesosok tubuh yang wajahnya tertutup oleh klika.
"Klikamuka," terdengar Dyah Palasir mendesis.
Mpu Renteng melirik Mpu Sora. Benar, yang muncul ini adalah Klikamuka yang menculik Permaisuri Gayatri. Hanya kini muncul sendirian. Mpu Sora mengenali sebagai penyerang yang muncul dari sebelah kanan. Mpu Sora membalas lirikan Mpu Renteng. Bukan karena kini mengenali penculik Permaisuri, melainkan karena desisan Dyah Palasir.
Ini berarti Dyah Palasir pernah mendengar, mengenal, atau mengetahui Klikamuka. Sesuatu yang sama sekali tak terucapkan. Mpu Sora jadi ingat sewaktu akan mengejar Klikamuka, tubuhnya bertabrakan dengan Dyah Palasir. Kalau tadinya menduga ini terjadi tanpa sengaja, sekarang pikirannya berubah. Bukan tidak mungkin Dyah Palasir sengaja memberi kesempatan kepada Klikamuka. Namun tetap ruwet.
Kalau benar begitu, apa hubungan Klikamuka dengan Dyah Palasir? Atau lebih jauh lagi dengan Keraton? Bukankah Mpu Nambi yang merupakan pimpinan telik sandi pun masih menduga-duga siapa yang muncul? Klikamuka muncul dari arah matahari terbit. Wajahnya tertutup oleh sinar dari belakang.
"Aku mendengar Keraton baru dibangkitkan. Tembok bata disusun. Aku mendengar para ksatria berbagi pangkat dan kemewahan. Aku mendengar di tanah itu tumbuh pohon kelapa berjajar dari pantai ke pantai. Tapi apa yang kulihat hanyalah klendo."
Dengan tajam Klikamuka mengumpamakan yang hadir bukan buah kelapa, melainkan hanya ampas kelapa yang telah diperas minyaknya! Mpu Nambi boleh membanggakan diri karena bisa mempermainkan kalimat, akan tetapi Klikamuka ternyata lebih cerdik.
"Kalian datang jauh-jauh dari Keraton hanya membuang keringat yang mengotori langit. Jadi air pun membuat rumput tak berwarna hijau. Untuk apa mencari Upasara dengan cara seperti ini? Untuk apa kalian merepotkan diri dengan anak muda yang merasa sakti ketika bersembunyi? Yang merasa menjadi kura-kura ketika melindungi kepalanya? Ini titipan dari Rajapatni."
Apa yang dilakukan Klikamuka benar-benar telengas. Dengan mengayunkan tangannya, dua buah cundhuk atau hiasan rambut Permaisuri Rajapatni menancap di jidat salah seorang prajurit yang tak sempat menjerit.
"Itu milik Permaisuri Rajapatni. Bagaimana bisa dibuang sembarangan?”
Belum habis kalimatnya, Klikamuka menarik tangannya. Tanpa menyentuh prajurit yang rubuh ke tanah, cundhuk itu kembali ke tangannya. Bagian yang kena darah merah dan titik-titik putih dibersihkan dengan telapak tangan. Suatu pertunjukan yang gila-gilaan. Tetapi juga mencengangkan.
Mpu Sora dan Mpu Renteng sudah menjajal kelihaian Klikamuka. Walau Mpu Sora dan Mpu Renteng berbeda dalam menilai lawan, akan tetapi kesan yang bisa sama ialah bahwa Klikamuka memang sangat luar biasa. Mpu Renteng bisa digebrak satu kali dan tengkuknya kena. Mpu Sora kena terpancing dan dikenali jurus andalannya.
Kini mendemonstrasikan tenaga dalam yang hebat. Kalau hanya melemparkan cundhuk hingga menancap di jidat, bukanlah sesuatu yang istimewa. Akan tetapi bisa menarik kembali tanpa menyentuh, itu baru pengendalian yang luar biasa. Menurut cerita, ilmu yang mempergunakan udara serta angin sebagai tenaga penarik hanya dimiliki mereka yang sudah mumpuni, yang sudah betul-betul menguasai secara sempurna. Hingga berjalan di atas air pun bukan persoalan berarti. Itu yang baru dipamerkan oleh Klikamuka.
Bagi Jaghana, apa yang lebih mengejutkan lagi ialah bahwa Klikamuka bisa menghafal kidungan Tumbal Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Sejauh ini tak ada yang benar-benar bisa memiliki atau mendapatkan kitab tersebut. Upasara Wulung dulu secara tidak langsung mendapatkan dari Kawung Sen yang mencuri dari Ugrawe. Kini keduanya sudah tidak ada, sehingga tak bisa dilacak siapa saja yang pernah mengenal atau mempelajari kitab rahasia tersebut.
Maka cukup mengherankan bahwa Klikamuka, yang selama ini tak dikenal, begitu muncul sudah menunjukkan bagian-bagian yang penting. Dari gaya bicara mengenai "bukan kelapa melainkan ampas", jelas menunjukkan bahwa Klikamuka pernah mempelajari. Jaghana sedikit-banyak mengetahui, karena kitab itu sebetulnya merupakan kitab babon. Atau induk segala kitab yang sekarang dipakai sebagai pedoman untuk perkembangan ilmu silat.
Memang Tumbal Bantala Parwa bukan satu-satunya. Bahkan dari namanya bisa diketahui bahwa sebenarnya telah ada Kitab Bumi, atau Bantala Parwa. Karena Tumbal Bantala Parwa diciptakan secara khusus untuk melawan ajaran di dalam Kitab Bumi yang dianggap sangat berbahaya.
Kitab ketiga adalah yang paling dikenal luas, yaitu Dwidasa Nujum Kartika atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Kitab ini paling dikenal karena secara jelas menggambarkan cara-cara menyerang, memukul, dan menjatuhkan lawan, berdasarkan gerakan-gerakan bintang di langit. Dwidasa Nujum Kartika lebih menarik bagi para ksatria, terutama karena berisi petunjuk-petunjuk yang langsung bisa dilatih.
Ini berbeda dari Tumbal Bantala Parwa yang isinya justru hanya kidungan, tembang yang tidak secara langsung berhubungan dengan gerakan atau jurus tertentu. Tidak ada petunjuk bagaimana menggerakkan atau menahan kaki, tangan, otot, atau mempergunakan senjata. Tidak juga cara bagaimana mengatur pernapasan, sesuatu yang selalu ada pada semua kitab silat!
Namun Tumbal Bantala Parwa banyak dicari para ksatria dari segala penjuru kiblat. Justru karena kitab ini konon mempunyai persamaan dengan kitab-kitab yang ada di belahan dunia lain. Bagian-bagian tertentu dari kitab ini banyak persamaannya dengan yang berasal dari India, yang dikenal dengan ilmu Tepukan Satu Tangan, sementara di belahan negeri Tartar dikenal dengan ilmu Jalan Budha.
Bagaimana sebuah kitab yang berisi tembang bisa menunjukkan persamaan dari berbagai penjuru budaya yang saling berbeda, Hindu, Budha, tak bisa diterangkan oleh mereka yang pernah mendengar. Hanya saja ada persamaan pendapat, barangkali pada masa yang lalu, berasal dari sebuah kitab yang sama sebagai sumber utama. Sehingga sekalipun sudah menyebar jauh dan muncul dengan nama yang berbeda bagai langit dengan bumi, intinya tetap sama.
Sebagai pengikut setia dan lama Perguruan Awan, Jaghana secara langsung mendengar sendiri dari Eyang Sepuh. Ia mendengar bahwa oleh Eyang Sepuh beberapa ilmu dari Tumbal Bantala Parwa dinamakan ilmu Tepukan Satu Tangan, yang menghasilkan gema suara lebih keras, lebih merdu, dari tepukan dua tangan. Hanya saja di masa masih mengajar secara langsung, Eyang Sepuh sendiri tidak berminat untuk menurunkan apa yang dipelajari.
"Ini bukan ilmu yang bisa dipelajari setengah-setengah, atau sepertiga, atau bahkan kurang dari satu kalimat pun. Tetapi begitu kita mempelajari sampai akhir, kita akan menjadi tumbal. Kita harus rela mengorbankan segalanya untuk bukan apa-apa. Tepukan Satu Tangan bisa terdengar tanpa suara, bagai cahaya tanpa dilihat, bagai rasa tanpa dikecap, tanpa disentuh, bagai ada walau sebenarnya tak ada, tapi ketika diadakan, menjadi dusta. Aku tidak berharap kalian semua melatihnya, karena cukup aku sendiri yang menjadi tumbal bumi"
Itu kalimat terakhir Eyang Sepuh sebelum akhirnya lenyap tanpa bekas. Dan sejak itu tak ada seorang pun yang berani mengaku bertemu Eyang Sepuh. Maka aneh kalau sekarang Klikamuka bisa menghafal dengan enteng.
"Kamu kira kami takut padamu? Aku tahu kamu Upasara Wulung yang sedang menyembunyikan diri."
Klikamuka mengeluarkan tawa pendek. Andai tanpa penutup wajah, barangkali tawa itu nadanya seperti Upasara Wulung. Kini Gendhuk Tri pun bimbang. Kalau tadi kidungan terdengar sumbang, bukan karena Klikamuka tak bisa menembang dengan baik. Melainkan karena getaran suaranya tertahan oleh kulit kayu.
"Apa yang dikatakan seseorang, selalu mengenai dirinya. Karena kamu biasa bersembunyi, maka kamu juga menuduh orang lain menyembunyikan sesuatu. Apa untungnya mencurigai telik sandi"
Mpu Nambi maju selangkah. Tubuhnya berdiri gagah. "Klikamuka, sungguh aku tak mengenalmu. Dan kamu mengenaliku dengan baik. Katakan terus terang apa maumu."
"Hmm, kalian semua tak berterus terang. Bagaimana memaksa aku berterus terang? Aku berdiri di tempat terang, kalian semua bisa melihatku."
"Bagus, bagus. Aku mulai menyukai permainan ini," kata Galih Kaliki.
"Kamu tak akan mengerti. Karena kamu hanya mengerti satu permainan. Yaitu menyanjung Nyai Demang. Yang memang wanita luar biasa. Banyak lelaki membuktikan kehebatan Nyai Demang."
Cara menghina yang membuat Galih Kaliki menyambar tongkatnya.
"Berputar ke atas tidak mengarah pundak, pastilah ubun-ubun. Menyerang ubun-ubun dengan berputar, pastilah ubun-ubun. Tongkat berat, ubun-ubun lunak. Tenaga di ujung, pastilah ubun-ubun. Itulah cara mengolah Sekar Sinom."
Galih Kaliki melengak. "Dewa jagat. Aku sendiri tak tahu bahwa ini harus begini dan bernama begini. Dari mana kamu bisa mengetahuinya?" Apa yang dikatakan Galih Kaliki memang senyatanya. Ia selalu jujur dalam menghadapi orang.
"Sekar Sinom tak banyak berguna pada saat jurus pertama kamu mainkan. Inti tenaga jurus ini adalah tenaga seperti yang dimiliki biji asam yang lepas dari kulit buahnya. Berarti itu tenaga yang dipaksa. Kalau kamu mempergunakan pada jurus ketiga, tenaga akan luar biasa. Kalau tidak, dan aku akan menghancurkan ubun-ubunmu, tinggal membalik arah tongkatmu. Seharusnya justru tidak mempergunakan tongkat, karena kemampuannya masih cethek, masih dangkal. Kamu belum bisa mempergunakan tongkat sebagai bagian dari tangan." Klikamuka berdehem kecil.
"Bagus, bagus. Aku perlu belajar apa lagi?"
Klikamuka menggeleng. Tubuhnya berbalik. "Belajar menjadi pengabdi yang baik. Tongkat atau lawe bukan tangan yang baik."
"Tongkring?"
Adipati Lawe menjerit keras. Ia yang merasa tersindir. Bukan karena sebutan lawe, akan tetapi dikaitkan dengan "pengabdian yang baik". Bukankah itu sama dengan menabok mukanya dan mengatakan ia bukan pengabdi Keraton yang baik? Yang meninggalkan kadipaten tanpa izin untuk datang ke Perguruan Awan?
Siapa gerangan Klikamuka sebenarnya? Yang tahu seluk-beluk jurus ilmu silat, mengenai Keraton, seperti mengenali kakinya?
KLIKAMUKA menjauh, tidak memedulikan Adipati Lawe sedikit pun.
"Aku tak bisa melayani kalian satu per satu. Hanya ketahuilah bahwa sebentar lagi matahari tambah tinggi. Bumi Majapahit akan makin panas karena ternyata kesetiaan kalian semua adalah kesetiaan pamrih, kesetiaan karena mengharapkan sesuatu yang rendah. Untuk apa kalian semua, para senopati yang tadinya prajurit biasa, sekarang meributkan siapa yang akan menjadi mahapatih? Kenapa lalu menjadi masalah hidup dan mati? Sehingga kalian semua merasa bisa tegak berdiri kalau Upasara yang diangkat? Kalian semua tak ada yang merasa dikalahkan? Betapa piciknya kalian semua, para senopati terkemuka. Betapa kelirunya kalian menganggap Upasara Wulung sebagai senopati yang hebat. Upasara tak lebih dari sebuah upa, setitik nasi. Ia merasa jago dan tak tergoyahkan, meskipun seorang Toikromo yang pernah menyelamatkan hampir saja mati terbunuh sia-sia. Meskipun seorang permaisuri yang dicintai hilang tanpa bekas. Upasara Wulung tepat sekali disebut Senopati Pamungkas. Bukan senopati yang menyelesaikan perkara, akan tetapi seorang senopati yang telah berakhir. Ia tak akan peduli bumi yang diinjak dan didiami menjadi bara atau lumpur, asal ilmunya tegak menjulang langit. Nah, apakah kalian tidak melihat ini?"
Klikamuka berjalan. Tangannya mengambil sebatang tombak yang patah. Dengan gerakan lunak, patahan tombak itu disambitkan ke arah pohon besar. Amblas tak terlihat ujungnya.
Di mata Mpu Renteng, segala apa yang dilakukan oleh Klikamuka serba luar biasa. Segala apa yang dikatakan Klikamuka serba tak terduga. Akan tetapi ia tak membiarkan pergi begitu saja.
"Kisanak Klikamuka, antara kita berdua masih ada urusan yang belum diselesaikan."
"Lupakan saja, kalau yang dimaksudkan Permaisuri Rajapatni. Tak ada yang akan menangisinya. Baginda Raja juga tidak, karena masih ada tiga saudara perempuan Rajapatni yang tak kalah ayunya. Masih ada dua permaisuri baru dari tlatah Melayu. Kenapa kamu yang repot?"
"Tugas adalah tugas. Berbakti adalah bertanggung jawab."
Klikamuka tertawa. "Tak dinyana, di antara sekian banyak kadal yang melata, ada yang masih memiliki jiwa ksatria."
"Kembalikan Permaisuri!"
"Apa ada gunanya? Ilmu Lebah Bingung temanmu itu telah menyengsarakan."
Mpu Sora bergerak maju. "Dosaku tak bisa dihapus. Aku telah berbuat salah. Akan tetapi kalau Kisanak mau berbaik hati..."
"Kalau tidak, mau apa?"
Klikamuka meloncat mengambil tongkat Dyah Palasir. Dengan mengertakkan geraham, bagian depan diremas. Bagai adonan lumpur di tangan Klikamuka. Tanpa terasa semua prajurit mundur satu tindak. Klikamuka membuang potongan tombak ke dekat Mpu Sora.
"Kalau tidak bisa menemukan Permaisuri Rajapatni, kamu mau bunuh diri? Pakai kayu, jangan pakai besi."
Kini Mpu Nambi-lah yang nggragap. Kalau tadi ia menduga Klikamuka adalah Upasara Wulung, kini dugaannya diakui keliru jauh. Karena Klikamuka mengetahui perihal intrik-intrik Keraton. Secara gamblang diteriakkan mengenai persaingan di antara para adipati, di antara para patih. Mpu Nambi merasa malu. Justru sebagai pimpinan prajurit telik sandi, ia sama sekali tak mengetahui sedikit pun tentang Klikamuka. Tak pernah mengetahui bahwa di dalam wilayahnya ada seorang tokoh yang benar-benar luar biasa.
Mendadak Klikamuka berhenti. Tubuhnya berbalik. Gendhuk Tri berusaha lepas dari Jaghana. Dari tengah hutan muncul dua bayangan yang segera bisa dikenali. Yang satu, dengan cara meloncat enteng adalah Wilanda. Sedang yang di sebelahnya berjalan mendampingi tenang, walau tidak kelihatan menggerakkan kakinya.
"Kakang!" Gendhuk Tri tak bisa menahan dirinya.
Memang yang muncul adalah Upasara Wulung. Mpu Nambi menggigit bibirnya. Tak lebih dari setahun, atau malah setengah tahun, ia tak berjumpa dengan Upasara Wulung. Baru sekarang ini bisa melihat lebih jelas. Masih tetap biasa. Seorang lelaki, memperlihatkan usia muda, dengan dada yang bidang tapi kulitnya sangat lembut. Pandangan matanya tajam. Hanya rambut yang disanggul tanpa ikat kepala memberi kesan lebih tua. Itulah Upasara Wulung!
Tidak nampak aneh dan luar biasa. Tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa kini ia tengah menguasai ilmu yang paling dicari-cari. Sikapnya sangat sederhana, tidak seperti Adipati Lawe yang meloncat turun dari kuda, tidak seperti Klikamuka yang menutupi wajahnya. Upasara Wulung tak beda dengan Dyah Pamasi atau Dyah Palasir atau bahkan para prajurit!
"Ke mana saja kamu ini?"
Teguran Galih Kaliki lebih memperlihatkan hubungan seorang kakak dengan adiknya. Walau secara umum diketahui Upasara Wulung menjadi pemimpin Perguruan Awan, namun tata cara guru-murid tidak mengikat sama sekali.
"Menunggu matahari, Kakang Galih," jawab Upasara sambil memandang sekeliling. Lalu menunduk memberi hormat yang dalam, menyembah. "Kehormatan besar bagi pohon dan isinya, hari ini para pembesar Majapahit yang agung berkenan menginjakkan kakinya kemari. Maafkan, kami tak biasa menerima tetamu. Dan mungkin juga tak akan terbiasa."
Diam-diam Adipati Lawe terkesan oleh sikap Upasara yang biasa-biasa. Jauh dari bayangannya bahwa yang ditemui adalah Upasara yang menjadi aneh, menjadi serba rahasia. Ternyata biasa-biasa.
"Anakmas Upasara," kata Mpu Sora lembut. "Sejak kita bertemu pertama kali, kami selalu membuatmu repot. Sungguh ini bukan cara persahabatan yang baik. Tetapi agaknya memang Anakmas yang ditakdirkan Dewa untuk berkorban bagi kami semua. Rasanya kami tak perlu mengulang, bahwa kami secara sendiri-sendiri dan bersama-sama mengemban dawuh Baginda Raja. Mengiringkan Anakmas menghadap Baginda Raja."
Upasara mendongak. "Maafkan, para senopati agung. Baru saja saya bersama Paman Wilanda menyaksikan matahari terbit. Anugerah Dewa Mahaagung yang menciptakan keindahan abadi tanpa merusak yang disinari. Saya tak bisa sowan.”
Mpu Nambi mengangkat tangan kanannya. Bersama dengan kibasan tangan, mendadak semua prajurit kembali mengambil posisi mengurung. Tak ada yang ketinggalan.
"Saya tahu saya bersalah. Akan tetapi saya tak ingin merusak ketenteraman yang ada. Tak ingin mengotori kursi Keraton. Tadi saya berbincang dengan Paman Wilanda, bekas senopati Singasari yang kini berdiam di tempat yang sangat membahagiakan ini. Paman Wilanda tak diganggu untuk kembali bertugas di Keraton, karena kini tak mempunyai tenaga dalam dan kemampuan bersilat. Hanya bisa berlari-lari kecil. Saya sudah memutuskan akan mengikuti jejak Paman Wilanda."
Seluruh lapangan menjadi sunyi. Klikamuka nampak menahan dadanya yang naik-turun. Mpu Nambi nampak sangat tegang. Jaghana menunduk lesu. Agaknya kearifannya yang membuat paling cepat menangkap maksud Upasara. Wilanda berjongkok, seperti tak kuasa menahan guncangan hatinya.
"Apa yang diharapkan dari saya selama ini adalah anggapan bahwa saya mempunyai dan menguasai ilmu Tepukan Satu Tangan. Ada benarnya. Maka dengan ini saya akan kembalikan semua yang ada dalam diri saya. Sebagian dari kitab-kitab itu ada di sini." Upasara membuka buntalan yang dibawa Wilanda. "Sebagian berada dalam tubuh saya. Keduanya akan saya serahkan kepada para senopati yang lebih mengetahui tugas. Agar dengan demikian, di kelak kemudian hari tak ada lagi permasalahan yang mengganjal. Agar di kelak kemudian hari tak ada alasan untuk menyesali Perguruan Awan. Saya persilakan."
UPASARA bersila. Kedua kakinya ditekuk. Tubuhnya sedikit membungkuk. Kedua tangan dirangkapkan, saling menindih, dengan telapak tangan menengadah. Sunyi. Angin tak bergerak. Dari kejauhan Klikamuka melihat pemandangan yang ganjil. Tubuhnya menggigil tanpa terasa.
Di suatu lapangan yang luas, deretan prajurit dalam keadaan siap tempur tengah mengepung seorang lelaki muda yang justru duduk bersila. Yang menyilakan untuk diapa-apakan. Awan menyingkir sempurna. Langit bersih tanpa warna.
Upasara menunggu. Wilanda tak berani memandang, tak berani melirik. Ia dibesarkan di Perguruan Awan. Ia salah seorang murid Perguruan Awan, sebelum akhirnya berbakti pada Keraton Singasari sebagai prajurit. Sewaktu berita ada Tamu dari Seberang, Wilanda-lah yang menjadi penunjuk jalan. Ia berangkat mengiringi Upasara Wulung yang untuk pertama kali meninggalkan ksatrian, bersama dengan Ngabehi Pandu, gurunya.
Di sinilah terjadi perang tanding habis-habisan antara tokoh-tokoh kelas satu. Berbagai peristiwa menyeret Wilanda hingga akhirnya diterima kembali sebagai warga Perguruan Awan. Sampai kemudian, Upasara Wulung memilih tempat tersebut dan dianggap sebagai pemimpin. Sedih, pedih, dan batin Wilanda merintih.
Sejak mengasingkan diri ke dalam Perguruan Awan boleh dikatakan Wilanda selalu bersama-sama Upasara Wulung. Nyai Demang dan Galih Kaliki kadang datang dan pergi, begitu juga Gendhuk Tri dan Dewa Maut. Hanya dirinya dan Jaghana yang paling sering bersama-sama. Wilanda jadi lebih mengerti segala perasaan Upasara Wulung yang mencoba hidup sebagaimana alam. Menanam buah-buahan, merawat tetumbuhan, menolong binatang yang terluka, dan hanya mengambil buah untuk makan, sejauh yang diperlukan. Sejak masuk hingga sekarang Upasara membiarkan rambut dan kukunya tumbuh, dan tak mengganti pakaiannya.
Pada saat-saat tertentu, Upasara mengajak Wilanda dan Jaghana melatih pernapasan bersama. Membaca Tumbal Bantala Parwa secara bersama, dan melatih pula secara bersama. Memang begitulah cara hidup dalam Perguruan Awan. Walau resminya Upasara Wulung adalah pemimpin, Jaghana dan Wilanda tidak menyediakan buah-buahan khusus untuk Upasara, tidak juga perlakuan khusus yang lain. Mereka bersama-sama seperti alam, tidak saling mengguru dan memurid.
Cara hidup seperti ini, dalam pandangan Wilanda, sama sekali tak menjadi gangguan bagi Upasara. Bahkan Upasara bisa menikmati. Ini yang membuat Wilanda dan Jaghana merasa tenteram. Hanya saja, kadang masih terlihat Upasara seperti termangu sendirian. Kadang mendongak ke arah langit, seakan mencari sesuatu yang bisa menjawab kegelisahannya.
Selama itu, Upasara tidak pernah membuka percakapan ke arah zaman Singasari. Tidak juga ke arah Keraton Majapahit. Dua kali Nyai Demang datang dan bercerita bahwa Keraton Majapahit kini mulai dibangun. Banyak pesta, banyak cerita. Upasara mendengarkan sambil tersenyum.
Hanya Nyai Demang dan Gendhuk Tri yang bisa menggoda dengan cerita mengenai Gayatri. Tapi Upasara tak menunjukkan tanda-tanda tertarik mendengarkan. Waktunya, secara keseluruhan, digunakan untuk menikmati, untuk menyatu dengan alam. Melihat kupu-kupu, mengamati Cengkerik, menyatu dengan mata air, di sela-sela mencoba memahami Tumbal Bantala Parwa. Sesekali Upasara menyenandungkan kidung, dan membicarakan bersama.
Sebulan sebelum peristiwa ini, Upasara pergi sendirian. Hal yang bisa terjadi, karena masing-masing anggota bebas memilih tempat tinggal di sekitar Perguruan Awan. Mereka tak punya tempat resmi, tak punya tempat bertemu secara pasti. Wilanda secara kebetulan bertemu kembali ketika Upasara menyaksikan matahari terbit.
"Indah sekali, Paman."
"Bagi yang bisa mengerti, Raden." Wilanda masih memanggil seperti ketika berada di Ksatria Pingitan Singasari.
"Ah, untuk menikmati karya Dewa Penguasa Jagat, tak diperlukan bisa mengerti atau tidak. Paman, rasanya saya ingin menikmati dan menyatu dengan sinar itu."
Wilanda bertanya-tanya dalam hati apa maksud Upasara Wulung ketika itu.
"Kita akan lebih menyatu jika kita tidak mempunyai beban. Selama ini kita selalu merasa perlu mempelajari ilmu silat, ilmu surat. Kita tak bisa menikmati secara tuntas, kita tak bisa hanyut. Kita hanya setengah-setengah merasakan saat kita tak berlatih.
"Barangkali satu-dua hari ini tiba saatnya untuk menyatu dengan sinar itu, sejak terbit sampai tenggelam, sampai tengah malam. Sinar itu selalu ada, juga di malam hari. Sinar matahari itu juga indah di siang hari."
Ternyata inilah maksud Upasara yang sebenarnya. Mau melepaskan kembali ilmunya. Mau menghancurkan tenaga dalam, kekuatan batin yang selama ini dilatih. Upasara adalah didikan Ksatria Pingitan, yang didirikan zaman Baginda Raja Sri Kertanegara yang sengaja mendidik sejak lahir. Mendidik ke arah olah keprajuritan. Dengan bibit sejak lahir, akan terciptalah suatu ketika nanti prajurit yang benar-benar tangguh. Dan Upasara tergembleng selama dua puluh tahun. Dalam perjalanannya kemudian, Upasara banyak menemukan ilmu lain. Di antaranya sempat mempelajari Tumbal Bantala Parwa yang menggegerkan, serta Dwidasa Nujum Kartika.
Akan tetapi justru ini yang akan dimusnahkan. Karena ternyata menjadi gangguan bagi Upasara. Karena di luar kemauannya, intrik Keraton menyeret dan menyebut-nyebut namanya. Dengan melepaskan semua ilmunya, Upasara tak ada bedanya dengan pemuda desa yang lainnya. Tak ada bedanya dengan Toikromo! Itulah yang dipilih.
"Maaf, Senopati Anabrang," bisik Upasara lirih sambil mengulurkan telapak tangannya.
Senopati Anabrang yang masih dipapah Mpu Sora tak bisa mengelak. Seketika hawa panas menerobos masuk ke dalam tubuhnya.
Sungai mengalir, tak menahan air
batuan hanya bersentuhan
tidak mendorong tidak menahan
jadilah sungai
batuan hanya bersentuhan
tidak mendorong tidak menahan
tidak hanyut, walau bisa berlumut
jadilah batu
tidak mendorong tidak menahan
tidak hanyut walau bisa berlumut
lumut tak takut air
jadilah lumut!
Kidungan Upasara terdengar merdu. Enak, nyaman, menenteramkan. Senopati Anabrang mendekat seperti terpikat. Memusatkan pikiran dan menjadi sungai tak menahan gelombang panas yang masuk ke dalam tubuhnya, menjadi batu yang kukuh, menjadi lumut yang tak mencurigai kekuatan tenaga dalam Upasara.
Dalam waktu tak terlalu lama, luka yang tadinya berwarna hitam kebiruan mengering, dan berubah warnanya. Kini sudah mendekati warna cokelat tua. Berarti racun yang berada di sekitar luka sudah terusir.
"Gendhuk Tri, mari" sini. Kakang ingin melihatmu."
Jaghana membawa Gendhuk Tri yang meronta sebisanya. Darah mengucur dari seluruh tubuhnya.
"Tidak, Kakang. Aku akan mendendammu seumur hidup ditambah tujuh turunan kalau Kakang lakukan itu padaku." Gendhuk Tri memberontak. Pengerahan tenaga membuat lukanya robek dan tubuhnya ambruk.
Upasara berdiri. Kedua kakinya mengangkang sedikit, seperti menunggang kuda. Kedua tangannya ditekuk, dengan telapak menghadap ke atas, di depan dadanya. Perlahan turun bersamaan dengan tarikan napas yang makin lama makin dalam, makin dalam, seakan semua udara alam disedot ke dalam. Kedua tangan itu naik kembali ke atas.
"Kakang..."
Kedua tangan itu menempel di tubuh Gendhuk Tri, yang berkelojotan dan memuntahkan darah berwarna kebiru-biruan.
Sirna itu sempurna...
Pada Awalnya Adalah Sirna
Upasara kembali bersila. Tak ada suara.
Klikamuka yang berada di tempat agak jauh melihat pemandangan yang sama. Semua prajurit berada dalam keadaan siap siaga. Mengepung seorang lelaki muda, yang bersila. Di tempat agak jauh Jaghana memangku Gendhuk Tri. Terdengar kidungan lirih:
Pada awalnya adalah sirna
pada akhirnya juga sirna
dari sirna kembali ke sirna
sirna itu sempurna
sirna itu tak ada
sempurna itu sirna
tak ada itu sirna
sirna itu kosong
pada awalnya adalah kosong
menyongsong ke arah kosong
berakhir pada sirna
sirna itu biasa
biasa itu sempurna
sirna itu sirna
sirna...
Mpu Renteng merasakan getaran yang dahsyat menyayat. Seakan udara sekitar dipenuhi oleh tenaga menggelegar yang tak terlihat. Barangkali kawanan burung yang terbang di atas lapangan akan jatuh menggelepar. Itu saat yang paling menentukan. Upasara akan memusnahkan tenaga dalamnya! Ilmu yang dimiliki akan dihancurkan. Kidungan itu mengantarkan kepada tahapan sirna.
sirna
sirna
sirna
sempurna
kosong
biasa
sirna
sirna
sirna
Galih Kaliki memandang ke arah lain. Ia tak tahu harus berbuat apa. Wilanda seperti lenyap. Tak terasa kehadirannya. Wilanda yang menyadari bahwa Upasara mulai menghimpun kekuatannya sejak lahir. Sejak hari pertama dilahirkan, Upasara sudah dimasukkan ke Ksatria Pingitan, suatu tempat di mana bayi-bayi dididik dalam kanuragan, dalam soal ilmu silat dan ilmu surat. Agar di kelak kemudian hari menjadi prajurit yang unggul. Baginda Raja Sri Kertanegara yang menancapkan tonggak keperkasaan untuk masa yang akan datang.
Selama dua puluh tahun Upasara boleh dikatakan tak mengenal hal lain selain ilmu silat dan ilmu surat. Tak mengenal kehidupan masyarakat biasa, tak mengenal kehidupan masyarakat Keraton. Apalagi ia kemudian ditangani langsung oleh Ngabehi Pandu, tokoh kampiun yang disegani. Akan tetapi sekarang justru akan dilenyapkan.
Mpu Renteng sendiri sejak lama mendengar Kitab Penolak Bumi yang kesohor. Akan tetapi baru sekarang ini mendengar sebagian kidungannya yang isinya seperti tak lebih dari tembang yang nyaman dinyanyikan:
Sirna itu kembali ke tanah
tanah itu lumpur
lumpur itu air
sirna itu kembali ke air
air itu tanah
tanah itu hidup
air itu hidup
hidup itu sirna
ke mana air mengalir
jawabnya tepukan satu tangan
ke mana angin bertiup
jawabnya tepukan satu tangan
kalau hujan dari tanah ke langit
tepukan satu tangan
kalau sirna
tepukan satu tangan....
Upasara mengangkat tangan kirinya, naik, bergetar, pergelangan tangannya berputar, telapak tangannya menghadap ke depan, bergerak lurus ke depan, menggeletar ketika makin lama makin lurus. Uap putih berkumpul di sekitar tubuh Upasara. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Tak ada awan yang menutupi sinar matahari, tetapi cahayanya serasa terang tanah. Seiring dengan kata "tepukan satu tangan", tangan kiri Upasara lurus ke depan.
Terdengar seruan tertahan. Tubuh Upasara naik ke atas, berhenti di tengah udara, masih dalam keadaan bersila! Begitu tangan ditarik kembali, tubuhnya ambruk. Sirna!
Mpu Sora, Mpu Renteng, dan Mpu Nambi tanpa terasa menyebut Gusti secara bersamaan. Apa yang mereka saksikan adalah perjalanan yang luar biasa dari seorang ksatria yang paling disegani, yang paling diperhitungkan, menjadi manusia biasa. Upasara tak lebih dari seorang Toikromo.
"Gusti Dewa segala Dewa, maha mengetahui apa yang terjadi pada diri hambanya."
Mpu Sora meraupkan kedua tangan ke wajahnya. Mendekat. Memandang Upasara secara lekat. Biar bagaimana, Adipati Lawe dulu berada di ujung medan perang dengan panglima Tartar. Termasuk yang berada di atas benteng melakukan pertarungan mati-hidup bersama-sama.
"Adimas..."
Upasara membuka matanya. Adipati Lawe merangkul. Akan tetapi karena tergetar oleh tenaga yang kuat, Upasara meringis.
"Maaf, Adimas...." Adipati Lawe mengubah rangkulannya. "Adimas tetap lelaki jagat." Kalimat berikutnya tak keluar, walaupun tersendat.
Jaghana menunduk.
"Biarkanlah kami semua beristirahat."
Mpu Nambi memberi aba-aba agar para prajurit seluruhnya menyingkir. Siapa pun yang diutus ke Perguruan Awan boleh menarik napas lega. Setidaknya pertumpahan darah yang tidak dikehendaki tak terjadi. Dengan caranya sendiri Upasara Wulung mencari jalan keluar. Penolakan kepada tawaran Baginda Raja dengan cara menjadi manusia biasa.
Senopati Anabrang membungkuk hormat. Ia paling merasa tertolong jiwanya. Di sat terakhir sebelum membuang tenaga, Upasara telah menyelamatkan. Entah, tanpa bantuan Upasara, racun dalam tubuhnya bisa terusir atau tidak.
Mpu Nambi juga maju membungkuk hormat dan menyalami. Dan merasa kaget sendiri karena ternyata tenaga dalam Upasara betul-betul telah musnah. Sekejap nuraninya seperti dipelintir. Akan tetapi dengan cepat Mpu Nambi mengalihkan pikirannya. Jalan itu yang ditempuh Upasara! Dipilih sendiri tanpa dipaksa!
Terdengar suara Klikamuka. "Ambil Tumbal Bantala Parwa. Hanya seorang raja yang berhak memiliki. Aku tak butuh kidungan untuk bunuh diri."
Mpu Nambi menyembah kitab yang ditulis pada klika kayu, sebelum memasukkan ke dalam buntalan dan menyerahkan kepada Dyah Palasir. "Kakang Sora, Kakang Renteng, kita bersama kembali ke Keraton. Rasanya terlalu jauh kita membuat Perguruan Awan terganggu."
"Silakan Kakang Nambi berangkat lebih dulu. Kami berdua masih perlu mencari Permaisuri."
Mpu Nambi mengerutkan keningnya. "Baginda bisa murka...."
"Kami berdua menanggung akibatnya," jawab Mpu Sora dan Mpu Renteng bersama-sama.
"Kakang jangan salah terima. Saya tak akan melaporkan hal itu. Bahkan saya akan ikut membantu."
"Terima kasih, Kakang Nambi. Tugas di Keraton masih banyak."
Mpu Nambi menghela napas, mengangguk, dan segera berlalu. Mendadak Mpu Nambi berbalik. "Upasara, kembalikan Permaisuri." Tangannya bergerak, dan seketika seluruh prajurit menyerbu.
Mpu Sora, Mpu Renteng, Senopati Anabrang melengak. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Mpu Nambi memberi aba-aba serangan menjapit seperti kepiting. Dari semula para prajurit dalam keadaan siap tempur. Maka begitu ada aba-aba langsung menggasak. Situasi jadi berubah.
Dalam sekejap sabetan pedang, tusukan tombak, tukikan keris menghujani Upasara. Reaksi Upasara masih seperti ketika mempunyai ilmu silat. Kedua tangannya terangkat. Akan tetapi kecepatan dan kekuatan tenaganya sudah tak ada. Sehingga dadanya kena sodok tombak dan langsung terguling. Tangan yang menangkis terlalu lambat dibandingkan kecepatan para prajurit. Dyah Pamasi sendiri menendang keras, sehingga tubuh Upasara terlontar ke atas.
Jaghana sama sekali tak menduga serangan yang begitu keji. Dalam situasi di mana ia masih menggendong Gendhuk Tri yang dalam keadaan setengah hidup, setengah mati, ia tak bisa bergerak leluasa. Ini hanya akan membuat Gendhuk Tri menderita luka berat di dalam. Karena dalam tubuh Gendhuk Tri masih bertarung tenaga dalam yang diberikan oleh Upasara dengan racun yang mengeram dalam tubuhnya!
Akan tetapi melihat Upasara yang terluka dilemparkan ke angkasa, Jaghana menjejakkan kakinya. Tubuhnya mental ke atas, satu tangan mengempit Gendhuk Tri dan menjaga agar tidak tergetar sedikit pun, sementara tangan lain menangkap tubuh Upasara. Hanya saja Jaghana kewalahan. Karena tubuh Upasara yang jatuh ke tanah seperti karung mati. Tidak memberi reaksi seperti seorang jago silat!
Jaghana memang menyaksikan sendiri Upasara yang menghancurkan tenaga dalamnya. Akan tetapi ternyata tetap sulit menyadari bahwa kini benar-benar telah menjadi manusia biasa. Sehingga tangan yang untuk menyangga seperti diseret ke bawah. Jaghana tetap menyangga dan menjaga agar baik tubuh Gendhuk Tri maupun Upasara tidak tergetar. Jaghana mengorbankan dirinya. Punggungnya menghantam tanah, dengan semua getaran dipendam dalam dadanya! Menghancurkan tenaganya sendiri! Akibatnya, begitu jatuh telentang tak bisa bergerak lagi.
Sementara Wilanda hanya bisa mengelak serbuan yang datang dengan meloncat ke sana-kemari, tanpa bisa memberi balasan yang berarti. Satu-satunya yang bisa bergerak bebas adalah Galih Kaliki. Hanya saja reaksinya tak bisa cepat menangkap situasi yang begitu kejam. Tak masuk akal bagi Galih Kaliki, bahwa Upasara yang telah mengorbankan semua miliknya, masih diserang secara mendadak. Tak masuk akal bagi seorang yang begitu jujur hatinya dan lugas jalan pikirannya!
Ketika menyadari, sudah terlambat. Dan ia repot digempur oleh Dyah Pamasi dan Dyah Palasir secara bersamaan. Unggul atau tidak unggul tak bisa ditentukan dalam sesaat.
"Tongkring! Hentikan semua ini!" Adipati Lawe berteriak mengguntur. Rantai di tangannya bergerak bagai putaran angin yang menyingkirkan semua senjata yang mengarah kepada Upasara Wulung. "Tongkring! Ajaran setan belang mana bersikap begini hina?"
Semua prajurit mundur dan menghentikan serangan. Adipati Lawe menurunkan Upasara dan Gendhuk Tri di tanah. Untuk sementara Jaghana masih belum bisa bergerak. Tangannya masih lurus ke atas dengan tubuh telentang.
"Hari ini kita semua kembali!" Pandangan mata Adipati Lawe menatap tajam ke arah Mpu Nambi.
Mpu Nambi balas menatap. Mpu Sora menyadari bahwa pertentangan telah terobek. Adalah suatu peraturan tidak resmi dalam keprajuritan, bahwa yang berhak memberi komando adalah senopati yang pangkat dan derajatnya paling tinggi. Tak bisa dibantah. Hanya satu senopati yang berhak memerintah!
Dalam hal ini pangkat dan derajat Adipati Lawe tidak di bawah Mpu Nambi. Akan tetapi juga tidak di atasnya. Mereka sama-sama berpangkat patih. Adipati Lawe adalah patih amancanegara, sedangkan Mpu Nambi patih di dalam. Pangkat yang sama yang juga disandang oleh Mpu Sora, Mpu Renteng, atau Senopati Anabrang. Mereka semua ini tanpa kecuali hanya tunduk kepada Baginda Raja, sebelum ada yang menjabat sebagai mahapatih, atau patih amangkubumi.
Adalah suatu peraturan yang tidak resmi dalam keprajuritan, bahwa yang berhak memberi komando pada derajat yang sama adalah yang mengambil prakarsa pertama. Dan patih yang sederajat tidak boleh memotong garis yang telah dibuat. Apalagi di depan para prajurit! Kalaupun mereka berselisih pendapat, Baginda Rajalah yang berhak memutuskan mana yang diturut.
Dalam hal ini, Adipati Lawe memotong perintah Mpu Nambi! Dalam hal begini, Mpu Nambi bisa melaporkan kepada Baginda Raja, bahwa Adipati Lawe membangkang! Melanggar disiplin keprajuritan. Untuk ini sangsinya cukup berat! Nyatanya Adipati Lawe memilih cara dianggap sebagai pembangkang!
Mpu Nambi menarik napas keras. Kalau ia memberi aba-aba penyerangan, prajurit telik sandi yang dipimpinnya bisa bertarung dengan prajurit Kadipaten Tuban yang dipimpin Adipati Lawe. Mpu Nambi tidak gentar. Tetapi nalarnya mengatakan saat ini tak cukup menjamin perimbangan kekuatan. Dalam keadaan seperti sekarang, Mpu Sora bisa memihak Adipati Lawe baik karena pertimbangan sebagai paman ataupun karena menganggap tindakan Adipati Lawe tepat. Dalam hal ini Mpu Renteng juga bisa memihak Mpu Sora, karena selama ini mereka berdua selalu bersatu pendapat.
Mpu Nambi tak merasa kehilangan muka mengalah. Karena kini sudah yakin bahwa Upasara Wulung benar-benar sudah sirna riwayatnya. Benar-benar sudah hancur. Kematian pertama yang dilakukan dengan menghancurkan tenaganya, dan kini karena serangan keras. Lebih dari itu, tak ada jawara dari Perguruan Awan yang perlu diperhitungkan.
Gendhuk Tri yang menggetarkan dan ditakuti karena racun ganas dalam tubuhnya, kini sedang bertarung antara hidup dan mati. Kalau tenaga dalam Upasara Wulung berhasil mengusir racun, itu berarti Gendhuk Tri tak akan membahayakan lagi. Kalau tenaga dalam Upasara gagal mengusir sepenuhnya, berarti lebih bahaya lagi. Karena kini racun dalam tubuh Gendhuk Tri akan menggerogoti dirinya. Racun itu menjadi sesuatu yang menyusahkan, bukan sebagai senjata.
Jaghana yang sakti pun, kini telah terluka. Diperlukan waktu yang lama untuk mengembalikan kekuatannya agar pulih. Diperlukan waktu lebih lama lagi, kalau misalnya ingin membalas dendam. Tokoh lain dari Perguruan Awan yang masih gagah hanyalah Galih Kaliki. Tetapi Mpu Nambi tidak menganggap sebagai bencana di kemudian hari. Galih Kaliki bukan tokoh yang mampu menggerakkan para ksatria. Juga bukan tokoh yang cerdik. Ibarat kata Galih Kaliki hanyalah seorang diri.
Penghuni lain, Dewa Maut, tidak menjadi soal benar. Keadaannya tak lebih dari Wilanda. Sedangkan Nyai Demang, wanita montok yang genit itu, rasanya lebih mudah dihadapi. Dengan pertimbangan itu, Mpu Nambi menahan diri. Kalau maksudnya telah sampai, untuk apa menanggung risiko lagi?
"Satu perintah dalam perang. Kembali ke sarang."
Perintah Mpu Nambi memperlihatkan bahwa ia mengurungkan niatnya bukan karena gentar menghadapi Adipati Lawe. Akan tetapi lebih menunjukkan bahwa ia menjunjung tinggi persatuan para prajurit. Agar tidak muncul pertentangan di antara para senopati! Sungguh cerdik Mpu Nambi menyelamatkan diri. Sebab kalau peristiwa ini dilaporkan ke hadapan Baginda Raja, ia memperoleh nama baik. Biar bagaimanapun, Adipati Lawe akan disalahkan. Biar bagaimanapun, Mpu Sora dan Mpu Renteng dianggap tidak bisa menjalankan tugas menjaga Permaisuri! Para prajurit berkumpul ke barisannya sendiri-sendiri.
Galih Kaliki maju ke tengah. Tongkatnya digenggam erat. "Jaghana, Wilanda, katakan apa yang harus kuperbuat. Apa saja yang kalian katakan, akan kulakukan. Aku tak tahu harus menggempur atau tidak."
Wilanda meloncat mendekati Galih Kaliki. "Paman Jaghana, silakan memberi petunjuk." Ini berarti Wilanda pun siap untuk bertarung sampai mati.
Jaghana berbaring di tanah. Kedua tangannya masih kaku. Akan tetapi suaranya terdengar lembut. "Anakmas Upasara tidak menghendaki pertempuran."
Galih Kaliki tertawa bergelak. "Tetapi kita yang digempur. Jadi bubur!"
"Kita kembali."
"Lho, kalau begitu enak mereka. Main serang seenaknya, lalu ditinggalkan begitu saja. Itu tongkring!"
Adipati Lawe merasa tersulut. Apalagi ucapannya yang khas diambil alih begitu saja. "Aku bersedia menghadapi seorang diri. Majulah, sobat."
Galih Kaliki mengangkat tongkatnya. "Karena menerima tantangan, Paman Jaghana tak bisa melarang."
Mpu Nambi mendehem. "Adipati Lawe adalah senopati Majapahit. Kenapa harus turun tangan sendiri untuk membersihkan kotoran? Bukankah ada anak-anak yang bisa melakukan?"
Dyah Pamasi dan Dyah Palasir langsung maju ke depan.
"Tukang pukul ini biarlah kami yang menghadapi."
Dyah Pamasi bahkan sudah langsung mengayunkan kedua tombak. Dua-duanya mengarah ke arah lambung. Dyah Palasir mengambil gada pusaka andalannya. Langsung mengarah ke bagian dada. Sehingga kalau Galih Kaliki menghindar ke atas, ataupun ke samping, gada besi yang berat siap untuk merontokkannya. Cara menggebrak kedua senopati muda ini benar-benar cara bergerak prajurit cepat. Begitu aba-aba Mpu Nambi terdengar, mereka tak menunggu persetujuan Adipati Lawe.
Adipati Lawe sendiri menjadi dongkol. Namun ia tak bisa ikut maju. Tak masuk akalnya bahwa ia turut mengeroyok lawan. Para prajurit yang lain berjaga-jaga sambil memperhatikan. Karena sesungguhnya ini pertarungan yang bisa disaksikan dengan saksama. Gerak-geraknya bisa menjadi contoh. Berbeda dengan serangan kilat antara Gendhuk Tri dan Senopati Anabrang. Juga berbeda dengan cara Upasara menghancurkan tenaga dalamnya. Kedua peristiwa itu, walau gawat, berlalu terlalu cepat.
Sebaliknya apa yang sekarang terjadi lebih merupakan tontonan. Apalagi Galih Kaliki juga tidak menunjukkan berkelit. Memang Galih Kaliki lebih suka balas menyerang daripada berkelit. Tongkat galih asam diangkat tinggi. Menyerampang dua ujung tombak dan sekaligus gada yang terayun. Adu tenaga keras.
Meskipun terbuat dari kayu, galih asam bukan sembarang kayu. Tongkat ini dibuat dari galih atau hati pohon asam yang sudah sangat tua, dan sudah barang tentu diramu lagi dengan beberapa jamu atau japa-mantra. Sehingga bisa mengimbangi kekerasan besi atau baja. Ditambah lagi tenaga Galih Kaliki seperti terbongkar. Karena dendamnya kepada kedua penyerang yang tadi melukai Upasara.
"Anak kecil seperti ini mau mencoba-coba."
Gregetan Galih Kaliki memutar tongkatnya dan terus melabrak. Dyah Palasir sebaliknya juga tak mau mundur. Ayunan tongkat di atas ubun-ubunnya dilawan sama keras, sementara Dyah Pamasi ganti menyerang. Begitu juga sebaliknya. Saat Dyah Pamasi digertak, Dyah Palasir yang maju. Hingga dalam sekejap lima jurus telah dilampaui.
Bagi Mpu Nambi ini bukan sekadar tontonan kalah-menang. Ada sesuatu yang ingin diketahui. Yaitu cara-cara Kaliki memainkan tongkatnya. Selama ini asal-usul ilmu silat Kaliki termasuk cabang yang sulit dikenali. Tidak mudah ditebak. Bahkan nama-nama jurusnya juga tak begitu dikenali, termasuk oleh Kaliki sendiri. Namun cerita yang terdengar adalah bahwa gebrakan-gebrakan menunjukkan persamaan yang berasal dari ilmu Dwidasa Nujum Kartika. Hanya kalau pada aliran lain, bisa teraba gerakan dasarnya, Galih Kaliki tidak memperlihatkan hal itu.
Seperti diketahui, cara melatih jurus-jurus dalam Dwidasa Nujum Kartika tak terlalu asing bagi para ksatria. Puncak dari ilmu ini adalah yang pernah ditunjukkan oleh Ugrawe, salah seorang panglima terkemuka Raja Muda Jayakatwang. Mpu Ugrawe-lah yang mampu mengolah dan kemudian memberi nama jurusnya, Banjir Bandang Segara Asat, yang dahsyat.
Seperti namanya jurus yang berarti Banjir Bah Laut Kering ini berintikan membuyarkan tenaga lawan, dan menyedotnya menjadi tenaga yang dimiliki. Secara paksa membetot sukma lawan. Membuat banjir besar di daratan dengan mengeringkan laut. Selama lawan kalah tenaga dalam atau kalah mengatur penyalurannya, tenaganya bisa terisap. Akan tetapi jika lawan lebih menguasai, tenaga sendiri yang justru terisap.
Ugrawe, dalam puncak kejayaannya, mampu malang-melintang. Sebelum akhirnya bisa dikalahkan. Meskipun demikian, tidak berarti gagal. Justru apa yang diperlihatkan Mpu Ugrawe adalah terobosan yang berbeda dari yang selama ini ada. Konon, apa yang dimainkan oleh Galih Kaliki mempunyai sumber yang dekat. Maka sesungguhnya, bagi para senopati yang menyaksikan seperti mempelajari apa yang disembunyikan lawan.
Perhitungan Mpu Nambi boleh dikatakan tidak meleset sedikit pun, terutama karena Galih Kaliki membiarkan seluruh kemampuannya muncul semua. Dan dasar-dasar gerakan serangan Galih Kaliki terlihat sederhana. Tujuannya selalu sama: mengetok ubun-ubun lawan. Ke mana pun berputarnya tongkat, sasarannya tak pernah berubah. Sehingga bagi lawan yang bisa membaca tipe permainan Galih Kaliki, tak terlalu sulit untuk memperdayai.
Dyah Pamasi maupun Dyah Palasir bukannya tidak melihat kekuatan dan sekaligus kelemahan Galih Kaliki. Akan tetapi juga tak gampang untuk ganti menindih. Justru karena meskipun begitu-begitu saja irama serangannya, tekanan yang menindih tak pernah kendor. Bahkan makin lama makin menyempitkan ruang gerak mereka berdua.
Galih Kaliki terus menggenjot. Gebukannya ditangkis atau dielakkan tak membuatnya mengganti gerakan. Bahkan beberapa ujung tombak nyaris merobek dadanya. Galih Kaliki lebih percaya bahwa andai dadanya teriris, tongkatnya sudah lebih dulu mengenai sasaran. Dengan batok kepala remuk, serangan lawan bisa terhenti atau buyar dengan sendirinya.
Dyah Palasir berseru keras sambil melabrak maju, "Serang!"
Dengan sepenuh tenaga Dyah Palasir mencoba menahan ayunan tongkat ke ubun-ubunnya, berusaha mematok. Dengan begitu dua tombak yang dipergunakan Dyah Pamasi bisa mencapai sasarannya. Mpu Renteng memuji taktik Palasir yang jitu. Dengan begitu, Kaliki akan bisa ditundukkan.
Pamasi melihat bahwa kesempatan itu terbuka. Temannya menyediakan diri untuk menahan gempuran. Maka begitu ayunan tongkat hampir menyentuh gada, ia menyelusup maju. Dua tongkatnya sekaligus menggunting bagian dada. Sebelah kiri lebih panjang sedikit terulur, karena memperhitungkan cara menghindar Galih Kaliki. Yang berarti justru lehernya menjadi sasaran.
"Bagus!"
Bukannya kaget atau mengubah serangannya, Galih Kaliki alih-alih malah berteriak bagus. Tongkatnya tetap menghantam gada dengan keras, dan dengan cepatnya tongkat itu meluncur turun, masuk di antara dua tombak dan diputar kencang sekali.
Mpu Sora mengeluarkan suara tertahan. Mpu Nambi juga tak mengira bahwa Galih Kaliki bisa bermain sangat cepat. Ketika berulang menggempur ke ubun-ubun tadi, Mpu Nambi bisa melihat persamaannya dengan jurus Lintang Tagih, yaitu sementara tenaga di dalam tetap dingin. Menurut perhitungan musim, Lintang Tagih terlihat di langit saat buah padi tumbuh.
Di dalam kitab aslinya, jurus ini dimainkan setelah memainkan jurus Lintang Sapi Gumarang, atau Bintang Berbentuk Sapi, yaitu dengan menggeser kuda-kuda menyerupai posisi Bintang Sapi Gumarang di langit, bertumpu pada arah utara, atau bisa juga berarti saat embun menetes, saat binatang yang bisa terbang keluar dari sarangnya.
Tapi Galih Kaliki seperti langsung memainkan jurus kedua, dan langsung disambung dengan jurus ketiga yaitu Lintang Lumbung, dengan kekuatan utama di kaki. Kekuatan akar yang baru tumbuh. Menghunjam masuk ke dalam tanah. Dengan lihai Galih Kaliki memindahkan tenaga akar tumbuh itu ke tongkatnya. Sekaligus menangkis dan balas menyerang.
Bahwa Dua Belas Jurus Nujum Bintang ini tercipta karena berhubungan dengan alam, semua sudah maklum. Kunci untuk mengetahui dan mengatur gerakan serta tenaganya, seperti saat-saat mana bintang terlihat di langit. Kejadiannya berhubungan dengan apa, seperti itulah pengerahan tenaga yang dilakukan...
Gendhuk Tri sendiri tak terbebas begitu saja. Olengan tubuhnya membuat satu pedang hanya menggores rambut dan daun telinganya. Yang satu lagi menyobek pundaknya.
Tanah mulai terang. Bekisar, ayam hutan, sudah berkokok, terbang dari pohon ke pohon.
Jaghana meloncat menyambut tubuh Gendhuk Tri. Dalam keadaan biasa, Gendhuk Tri akan mengibaskan tubuh Jaghana. Sekarang ini pun berusaha begitu. Akan tetapi tenaganya seperti tak bisa diatur. Saraf-saraf bagian tubuhnya sebelah kiri menimbulkan rasa ngilu. Dengan mengertakkan gigi pun, Gendhuk Tri tetap tak bisa menahan rasa sakit.
Luka itu cukup dalam, memutus beberapa urat dan bisa jadi mengenai tulang pundak. Tulang yang menentukan seorang jago silat menggerakkan tangannya. Jika tulang itu sampai patah atau tergores, akibatnya bisa cacat seumur hidup. Paling ringan, Gendhuk Tri tak akan bisa memainkan tangannya sebelah kiri. Ganas dan mengenaskan.
Senopati Anabrang sendiri merasa nyeri yang menggigit pada leher dan pundaknya yang menjadi kaku. Bahwa dalam sekejap darahnya sendiri berubah menjadi racun yang menghanguskan kulit dan daging, membuat semangatnya lepas.
Mpu Sora segera menjilat beberapa bagian tubuh Senopati Anabrang. Sebagai seorang yang juga menggunakan jenis pukulan sengatan mengandung racun, Mpu Sora tak segera berani memberikan obat penawar. Ia sendiri mampu menciptakan pukulan yang mengandung sengatan lebah. Akan tetapi racun yang dihadapi ini dari jenis yang lain sama sekali. Salah-salah bisa berakibat lebih gawat.
Tindakan Mpu Sora tepat sekali. Andai Mpu Sora membubuhkan atau mengoleskan obat penawar seperti yang dilakukan kepada Dyah Palasir, barangkali Senopati Anabrang tak tertolong lagi. Senopati Anabrang sendiri langsung duduk. Memusatkan konsentrasi untuk menghimpun tenaga batinnya. Untuk membendung menjalarnya rasa sakit dan ambrolnya pemusatan pikiran. Yang terakhir itu justru paling sulit dilakukan. Karena secara tiba-tiba menyadari bahwa begitu mudah dikalahkan oleh seorang bocah yang bahkan tak bisa menggelung rambutnya!
Ia adalah senopati utama. Panglima yang dipercaya Baginda Raja Singosari yang gagah perkasa. Ia adalah panglima yang menaklukkan ombak laut dengan gagah, yang masuk ke Melayu tanpa tergores kulit kehormatannya. Betapa nista kalau hari ini harus ambruk di tangan Gendhuk Tri!
Gendhuk Tri tidak mempunyai beban bahwa ia seorang senopati atau tokoh yang terhormat. Akan tetapi tetap masih merasa gondok karena pundaknya bisa disobek, sebagian rambutnya terpotong.
Suasana berubah. Mpu Sora dan Jaghana tidak terjun ke medan pertempuran dan menolong yang terluka, akan tetapi Galih Kaliki mencekal tongkatnya dan mengayunkan ke udara. Ini berarti tantangan. Dan Galih Kaliki, walau bertubuh kasar dan geraknya tak terkendalikan, masih tetap menunjukkan seorang ksatria. Jiwa ksatria itu yang menyebabkan ia memutar tongkat galih asam di tengah udara. Sebagai pembuka. Dan tidak langsung menyerang.
Adipati Lawe meraup dua tombak di kiri dan di kanan. "Aku di sini, Galih."
"Bagus." Tongkat Galih Kaliki mengincar Adipati Lawe. Keras gerakannya, mantap pukulannya mengarah ke batok kepala. Adipati Lawe menyabetkan kedua tombaknya untuk menyongsong.
Traak!
Dua tombak patah dan somplak menjadi beberapa bagian. Adipati Lawe tetap maju mendesak. Empat pukulan dilepaskan secara berturut-turut, sementara kakinya menyapu Galih Kaliki.
"Ini juga bagus!"
Galih Kaliki memutar tongkatnya turun. Ia mengadu benturan kaki, sambil mematahkan serangan di atas dengan tongkatnya. Diam-diam Adipati Lawe memuji kekuatan lawan. Tulang gares-nya, tulang lututnya, seperti membentur pelat baja. Seakan membentur punggung pedang yang sangat tebal. Ia yang mengandalkan ilmu keras, merasa menemukan lawan yang seimbang.
Namun karena tongkat lawan selalu mengarah ubun-ubunnya, Adipati Lawe tak bisa menjajal kerasnya tulang kaki. Ia meloncat mundur, dan mulutnya bersuit keras. Kuda hitam kesayangannya mendekat dan Adipati Lawe mengambil rantai yang ujungnya dibanduli bola besi bulat. Ini baru seimbang!
"Bagus."
Bertarung jarak dekat kurang menguntungkan Adipati Lawe yang bertangan kosong, sementara Galih Kaliki membawa tongkat. Dengan senjata rantai yang panjang dan bisa ditarik mundur atau terulur, Adipati Lawe menemukan dirinya. Kalau ia mundur tadi, juga berarti kalah setindak. Memegang rantai, Adipati Lawe kembali menggertak maju. Ini memang senjata andalannya. Rantai ini disebut sendiri sebagai benang atau kata lain dari lawe. Dan inilah asal nama sebutannya.
"Darah telah tumpah. Prajurit Majapahit, bersiaplah."
Itu aba-aba dari Mpu Nambi! Berarti ia datang sendiri!
Memindah Gunung, Mewarnai Langit
KEHADIRAN Mpu Nambi mengubah kesiagaan seluruh prajurit Majapahit. Kalau tadinya serba ragu karena tak ada yang memberi perintah, sekarang jelas. Tadinya memang sempat bingung. Prajurit yang dibawa Dyah Pamasi pun ikut terombang-ambing. Karena Dyah Pamasi tidak meneriakkan aba-aba. Dyah Pamasi sendiri merasa kurang sreg, kalau ia berbuat lancang, karena di situ ada Mpu Sora dan Mpu Renteng yang lebih tinggi jabatannya.
Maka dengan kalimat pendek, seluruh prajurit Majapahit bersiaga tanpa kecuali. Satu aba-aba tambahan, mereka akan menggempur maju. Lautan api tak bakal membuat mereka ngeri. Prajurit Majapahit adalah prajurit pilihan. Prajurit yang lahir dari perjuangan dan dibesarkan dalam medan pertempuran. Hampir semua yang berada di alun-alun sekarang ini pernah mengalami pertumpahan darah. Kebersamaan, setia kawan, terjelma dari perjalanan hidup dan nasib yang sama. Prajurit Majapahit tergembleng dalam tradisi senasib-sepenanggungan.
"Darah telah tumpah. Prajurit Majapahit, bersiaplah," adalah komando yang dulu sering diteriakkan. Apa pun persoalan yang ada di antara mereka, kalau panggilan membela nama baik Majapahit, hanya satu yang berada dalam batin. Membela kehormatan. Mati sebagai prajurit sejati akan dijalani dengan semangat tinggi.
Mpu Sora menunduk. Kembali kecemasan meremas-remas di sekujur pembuluh darahnya. Belum lama ia menduga bahwa Mpu Nambi-lah yang mengatur berbagai rombongan. Sebagai pemimpin bagian telik sandi, hal itu tentu memungkinkan. Akan tetapi ternyata perkiraannya meleset!
Bukan Mpu Nambi yang mengatur semua ini. Kalau ia yang mengatur, tak perlu muncul sendiri. Mpu Sora cukup mengenal cara kerja telik sandi. Kalau ia menggunakan tangan lain, jangan sampai tangan sendiri bergerak. Makin tidak dikenali tindakannya, makin berhasil. Itu kunci gerak bagian telik sandi. Akan tetapi sekarang ini justru secara terang-terangan Mpu Nambi tampil sendiri. Berarti keadaan memang memaksa ia keluar. Seekor macan hanya akan keluar dari sarangnya pada pagi hari kalau hutan terbakar. Ini arti kehadiran Mpu Nambi saat ini.
"Membela nama dan kehormatan Keraton adalah cara berbakti yang terbaik. Hari ini aku, Mpu Nambi, utusan resmi Baginda Raja, ingin menemui Upasara Wulung. Aku datang dengan persiapan perang. Kalau tak bisa diajak bicara baik-baik, jangan salahkan kenapa rumput berwarna merah."
Pongah sikapnya, jemawa kata-katanya. Walau bibirnya memperlihatkan senyum, akan tetapi Mpu Nambi menarik bibirnya ke bawah. Penuh kepercayaan diri dengan cara merendahkan lawan.
Adipati Lawe, yang tengah bertempur dengan Galih Kaliki, menarik mundur "benangnya". Hatinya boleh panas mendengar Mpu Nambi yang ternyata lebih sesongaran darinya, nafsu bertempurnya boleh meninggi melawan Galih Kaliki, akan tetapi ternyata Adipati Lawe tetap berjiwa prajurit. Begitu Mpu Nambi mengambil kepemimpinan pada saat genting, serta-merta Adipati Lawe tunduk.
Jaghana menggendong Gendhuk Tri, melangkah tenang. "Matahari telah datang. Segala telah terang. Mana yang pohon, mana yang manusia."
"Aku tidak mengenal bahasa langit. Katakan apa maksud Paman Jaghana."
"Matahari telah datang. Segalanya telah terang. Senopati Majapahit bisa melihat sendiri apakah kami menyembunyikan sesuatu."
"Kalau Paman Jaghana memilih jalan kekerasan, kami dibesarkan dengan cara itu. Paman mengalami sendiri sewaktu bersama kami."
"Pun, andai bisa memilih, kami tak akan memilih apa-apa. Kalau hidup hanya sementara, kenapa merasa berat melepaskan yang ada dalam genggaman?" Sikap Jaghana jelas. Tantangan Mpu Nambi tak akan ditolak!
Kepungan prajurit pilihan tak membuat Jaghana gentar. Tak membuatnya lebih bersiap diri, atau berusaha meletakkan Gendhuk Tri di tempat yang lebih aman. Tidak memberi aba-aba kepada Galih Kaliki untuk bersiaga. Mpu Renteng tahu bahwa tindakan Jaghana sama sekali bukan didasarkan pada kesombongan, atau menganggap enteng lawan. Juga bukan sikap takut tidak melihat jalan keluar yang lain.
Apa yang ditunjukkan oleh Jaghana merupakan sikap dasar Perguruan Awan. Mereka tak akan berdebat soal siapa benar siapa salah, siapa menang siapa bakal kalah. Mereka tak akan menghindari bahaya yang datang, walau tidak mencari. Kalau saat itu Mpu Nambi memerintahkan penyerangan, Jaghana masih akan tetap menggendong Gendhuk Tri. Dan berusaha mempertahankan diri.
Mendadak Gendhuk Tri bergerak. Kepalanya miring. Sayup-sayup terdengar tembang kidungan:
Kenapa harus memindah gunung,
kalau hanya mencari tempat bermenung
kenapa harus mewarnai langit
kalau hati lagi pahit
kenapa mengaduk tanah
kalau perasaan lagi gundah
biar saja air mengalir ke muara
karena ia tahu sumbernya
biar saja asap menemui awan
mereka dilahirkan berdampingan....
Semua yang berada di lapangan mendengar kidungan yang lirih. Bukan hanya Gendhuk Tri. Akan tetapi bagi Gendhuk Tri, itu kidungan yang biasa ditembangkan oleh Upasara pada saat fajar. Kalau sekarang terdengar, rasanya tidak sesuai lagi. Karena sinar matahari sudah terasakan. Dan yang membuat Gendhuk Tri bertanya-tanya ialah karena nada suara kidungan itu berbeda. Gendhuk Tri tahu persis bahwa itu bukan kidungan Upasara Wulung.
Akan tetapi siapa yang bisa begitu fasih mengucapkan? Kalau tidak dalam keadaan terluka dan susah bergerak, Gendhuk Tri sudah akan mencaci habis. Tapi Gendhuk Tri juga merasa bahwa Jaghana yang menggendongnya bergetar.
"Akhirnya kamu datang juga!" teriak Mpu Nambi.
Namun sekejap kemudian teriakan kesombongannya berubah. Yang mendekat ternyata sesosok tubuh yang wajahnya tertutup oleh klika.
"Klikamuka," terdengar Dyah Palasir mendesis.
Mpu Renteng melirik Mpu Sora. Benar, yang muncul ini adalah Klikamuka yang menculik Permaisuri Gayatri. Hanya kini muncul sendirian. Mpu Sora mengenali sebagai penyerang yang muncul dari sebelah kanan. Mpu Sora membalas lirikan Mpu Renteng. Bukan karena kini mengenali penculik Permaisuri, melainkan karena desisan Dyah Palasir.
Ini berarti Dyah Palasir pernah mendengar, mengenal, atau mengetahui Klikamuka. Sesuatu yang sama sekali tak terucapkan. Mpu Sora jadi ingat sewaktu akan mengejar Klikamuka, tubuhnya bertabrakan dengan Dyah Palasir. Kalau tadinya menduga ini terjadi tanpa sengaja, sekarang pikirannya berubah. Bukan tidak mungkin Dyah Palasir sengaja memberi kesempatan kepada Klikamuka. Namun tetap ruwet.
Kalau benar begitu, apa hubungan Klikamuka dengan Dyah Palasir? Atau lebih jauh lagi dengan Keraton? Bukankah Mpu Nambi yang merupakan pimpinan telik sandi pun masih menduga-duga siapa yang muncul? Klikamuka muncul dari arah matahari terbit. Wajahnya tertutup oleh sinar dari belakang.
"Aku mendengar Keraton baru dibangkitkan. Tembok bata disusun. Aku mendengar para ksatria berbagi pangkat dan kemewahan. Aku mendengar di tanah itu tumbuh pohon kelapa berjajar dari pantai ke pantai. Tapi apa yang kulihat hanyalah klendo."
Dengan tajam Klikamuka mengumpamakan yang hadir bukan buah kelapa, melainkan hanya ampas kelapa yang telah diperas minyaknya! Mpu Nambi boleh membanggakan diri karena bisa mempermainkan kalimat, akan tetapi Klikamuka ternyata lebih cerdik.
"Kalian datang jauh-jauh dari Keraton hanya membuang keringat yang mengotori langit. Jadi air pun membuat rumput tak berwarna hijau. Untuk apa mencari Upasara dengan cara seperti ini? Untuk apa kalian merepotkan diri dengan anak muda yang merasa sakti ketika bersembunyi? Yang merasa menjadi kura-kura ketika melindungi kepalanya? Ini titipan dari Rajapatni."
Apa yang dilakukan Klikamuka benar-benar telengas. Dengan mengayunkan tangannya, dua buah cundhuk atau hiasan rambut Permaisuri Rajapatni menancap di jidat salah seorang prajurit yang tak sempat menjerit.
"Itu milik Permaisuri Rajapatni. Bagaimana bisa dibuang sembarangan?”
Belum habis kalimatnya, Klikamuka menarik tangannya. Tanpa menyentuh prajurit yang rubuh ke tanah, cundhuk itu kembali ke tangannya. Bagian yang kena darah merah dan titik-titik putih dibersihkan dengan telapak tangan. Suatu pertunjukan yang gila-gilaan. Tetapi juga mencengangkan.
Mpu Sora dan Mpu Renteng sudah menjajal kelihaian Klikamuka. Walau Mpu Sora dan Mpu Renteng berbeda dalam menilai lawan, akan tetapi kesan yang bisa sama ialah bahwa Klikamuka memang sangat luar biasa. Mpu Renteng bisa digebrak satu kali dan tengkuknya kena. Mpu Sora kena terpancing dan dikenali jurus andalannya.
Kini mendemonstrasikan tenaga dalam yang hebat. Kalau hanya melemparkan cundhuk hingga menancap di jidat, bukanlah sesuatu yang istimewa. Akan tetapi bisa menarik kembali tanpa menyentuh, itu baru pengendalian yang luar biasa. Menurut cerita, ilmu yang mempergunakan udara serta angin sebagai tenaga penarik hanya dimiliki mereka yang sudah mumpuni, yang sudah betul-betul menguasai secara sempurna. Hingga berjalan di atas air pun bukan persoalan berarti. Itu yang baru dipamerkan oleh Klikamuka.
Bagi Jaghana, apa yang lebih mengejutkan lagi ialah bahwa Klikamuka bisa menghafal kidungan Tumbal Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Sejauh ini tak ada yang benar-benar bisa memiliki atau mendapatkan kitab tersebut. Upasara Wulung dulu secara tidak langsung mendapatkan dari Kawung Sen yang mencuri dari Ugrawe. Kini keduanya sudah tidak ada, sehingga tak bisa dilacak siapa saja yang pernah mengenal atau mempelajari kitab rahasia tersebut.
Maka cukup mengherankan bahwa Klikamuka, yang selama ini tak dikenal, begitu muncul sudah menunjukkan bagian-bagian yang penting. Dari gaya bicara mengenai "bukan kelapa melainkan ampas", jelas menunjukkan bahwa Klikamuka pernah mempelajari. Jaghana sedikit-banyak mengetahui, karena kitab itu sebetulnya merupakan kitab babon. Atau induk segala kitab yang sekarang dipakai sebagai pedoman untuk perkembangan ilmu silat.
Memang Tumbal Bantala Parwa bukan satu-satunya. Bahkan dari namanya bisa diketahui bahwa sebenarnya telah ada Kitab Bumi, atau Bantala Parwa. Karena Tumbal Bantala Parwa diciptakan secara khusus untuk melawan ajaran di dalam Kitab Bumi yang dianggap sangat berbahaya.
Kitab ketiga adalah yang paling dikenal luas, yaitu Dwidasa Nujum Kartika atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Kitab ini paling dikenal karena secara jelas menggambarkan cara-cara menyerang, memukul, dan menjatuhkan lawan, berdasarkan gerakan-gerakan bintang di langit. Dwidasa Nujum Kartika lebih menarik bagi para ksatria, terutama karena berisi petunjuk-petunjuk yang langsung bisa dilatih.
Ini berbeda dari Tumbal Bantala Parwa yang isinya justru hanya kidungan, tembang yang tidak secara langsung berhubungan dengan gerakan atau jurus tertentu. Tidak ada petunjuk bagaimana menggerakkan atau menahan kaki, tangan, otot, atau mempergunakan senjata. Tidak juga cara bagaimana mengatur pernapasan, sesuatu yang selalu ada pada semua kitab silat!
Namun Tumbal Bantala Parwa banyak dicari para ksatria dari segala penjuru kiblat. Justru karena kitab ini konon mempunyai persamaan dengan kitab-kitab yang ada di belahan dunia lain. Bagian-bagian tertentu dari kitab ini banyak persamaannya dengan yang berasal dari India, yang dikenal dengan ilmu Tepukan Satu Tangan, sementara di belahan negeri Tartar dikenal dengan ilmu Jalan Budha.
Bagaimana sebuah kitab yang berisi tembang bisa menunjukkan persamaan dari berbagai penjuru budaya yang saling berbeda, Hindu, Budha, tak bisa diterangkan oleh mereka yang pernah mendengar. Hanya saja ada persamaan pendapat, barangkali pada masa yang lalu, berasal dari sebuah kitab yang sama sebagai sumber utama. Sehingga sekalipun sudah menyebar jauh dan muncul dengan nama yang berbeda bagai langit dengan bumi, intinya tetap sama.
Sebagai pengikut setia dan lama Perguruan Awan, Jaghana secara langsung mendengar sendiri dari Eyang Sepuh. Ia mendengar bahwa oleh Eyang Sepuh beberapa ilmu dari Tumbal Bantala Parwa dinamakan ilmu Tepukan Satu Tangan, yang menghasilkan gema suara lebih keras, lebih merdu, dari tepukan dua tangan. Hanya saja di masa masih mengajar secara langsung, Eyang Sepuh sendiri tidak berminat untuk menurunkan apa yang dipelajari.
"Ini bukan ilmu yang bisa dipelajari setengah-setengah, atau sepertiga, atau bahkan kurang dari satu kalimat pun. Tetapi begitu kita mempelajari sampai akhir, kita akan menjadi tumbal. Kita harus rela mengorbankan segalanya untuk bukan apa-apa. Tepukan Satu Tangan bisa terdengar tanpa suara, bagai cahaya tanpa dilihat, bagai rasa tanpa dikecap, tanpa disentuh, bagai ada walau sebenarnya tak ada, tapi ketika diadakan, menjadi dusta. Aku tidak berharap kalian semua melatihnya, karena cukup aku sendiri yang menjadi tumbal bumi"
Itu kalimat terakhir Eyang Sepuh sebelum akhirnya lenyap tanpa bekas. Dan sejak itu tak ada seorang pun yang berani mengaku bertemu Eyang Sepuh. Maka aneh kalau sekarang Klikamuka bisa menghafal dengan enteng.
"Kamu kira kami takut padamu? Aku tahu kamu Upasara Wulung yang sedang menyembunyikan diri."
Klikamuka mengeluarkan tawa pendek. Andai tanpa penutup wajah, barangkali tawa itu nadanya seperti Upasara Wulung. Kini Gendhuk Tri pun bimbang. Kalau tadi kidungan terdengar sumbang, bukan karena Klikamuka tak bisa menembang dengan baik. Melainkan karena getaran suaranya tertahan oleh kulit kayu.
"Apa yang dikatakan seseorang, selalu mengenai dirinya. Karena kamu biasa bersembunyi, maka kamu juga menuduh orang lain menyembunyikan sesuatu. Apa untungnya mencurigai telik sandi"
Mpu Nambi maju selangkah. Tubuhnya berdiri gagah. "Klikamuka, sungguh aku tak mengenalmu. Dan kamu mengenaliku dengan baik. Katakan terus terang apa maumu."
"Hmm, kalian semua tak berterus terang. Bagaimana memaksa aku berterus terang? Aku berdiri di tempat terang, kalian semua bisa melihatku."
"Bagus, bagus. Aku mulai menyukai permainan ini," kata Galih Kaliki.
"Kamu tak akan mengerti. Karena kamu hanya mengerti satu permainan. Yaitu menyanjung Nyai Demang. Yang memang wanita luar biasa. Banyak lelaki membuktikan kehebatan Nyai Demang."
Cara menghina yang membuat Galih Kaliki menyambar tongkatnya.
"Berputar ke atas tidak mengarah pundak, pastilah ubun-ubun. Menyerang ubun-ubun dengan berputar, pastilah ubun-ubun. Tongkat berat, ubun-ubun lunak. Tenaga di ujung, pastilah ubun-ubun. Itulah cara mengolah Sekar Sinom."
Galih Kaliki melengak. "Dewa jagat. Aku sendiri tak tahu bahwa ini harus begini dan bernama begini. Dari mana kamu bisa mengetahuinya?" Apa yang dikatakan Galih Kaliki memang senyatanya. Ia selalu jujur dalam menghadapi orang.
"Sekar Sinom tak banyak berguna pada saat jurus pertama kamu mainkan. Inti tenaga jurus ini adalah tenaga seperti yang dimiliki biji asam yang lepas dari kulit buahnya. Berarti itu tenaga yang dipaksa. Kalau kamu mempergunakan pada jurus ketiga, tenaga akan luar biasa. Kalau tidak, dan aku akan menghancurkan ubun-ubunmu, tinggal membalik arah tongkatmu. Seharusnya justru tidak mempergunakan tongkat, karena kemampuannya masih cethek, masih dangkal. Kamu belum bisa mempergunakan tongkat sebagai bagian dari tangan." Klikamuka berdehem kecil.
"Bagus, bagus. Aku perlu belajar apa lagi?"
Klikamuka menggeleng. Tubuhnya berbalik. "Belajar menjadi pengabdi yang baik. Tongkat atau lawe bukan tangan yang baik."
"Tongkring?"
Adipati Lawe menjerit keras. Ia yang merasa tersindir. Bukan karena sebutan lawe, akan tetapi dikaitkan dengan "pengabdian yang baik". Bukankah itu sama dengan menabok mukanya dan mengatakan ia bukan pengabdi Keraton yang baik? Yang meninggalkan kadipaten tanpa izin untuk datang ke Perguruan Awan?
Siapa gerangan Klikamuka sebenarnya? Yang tahu seluk-beluk jurus ilmu silat, mengenai Keraton, seperti mengenali kakinya?
Kidung Pamungkas
KLIKAMUKA menjauh, tidak memedulikan Adipati Lawe sedikit pun.
"Aku tak bisa melayani kalian satu per satu. Hanya ketahuilah bahwa sebentar lagi matahari tambah tinggi. Bumi Majapahit akan makin panas karena ternyata kesetiaan kalian semua adalah kesetiaan pamrih, kesetiaan karena mengharapkan sesuatu yang rendah. Untuk apa kalian semua, para senopati yang tadinya prajurit biasa, sekarang meributkan siapa yang akan menjadi mahapatih? Kenapa lalu menjadi masalah hidup dan mati? Sehingga kalian semua merasa bisa tegak berdiri kalau Upasara yang diangkat? Kalian semua tak ada yang merasa dikalahkan? Betapa piciknya kalian semua, para senopati terkemuka. Betapa kelirunya kalian menganggap Upasara Wulung sebagai senopati yang hebat. Upasara tak lebih dari sebuah upa, setitik nasi. Ia merasa jago dan tak tergoyahkan, meskipun seorang Toikromo yang pernah menyelamatkan hampir saja mati terbunuh sia-sia. Meskipun seorang permaisuri yang dicintai hilang tanpa bekas. Upasara Wulung tepat sekali disebut Senopati Pamungkas. Bukan senopati yang menyelesaikan perkara, akan tetapi seorang senopati yang telah berakhir. Ia tak akan peduli bumi yang diinjak dan didiami menjadi bara atau lumpur, asal ilmunya tegak menjulang langit. Nah, apakah kalian tidak melihat ini?"
Klikamuka berjalan. Tangannya mengambil sebatang tombak yang patah. Dengan gerakan lunak, patahan tombak itu disambitkan ke arah pohon besar. Amblas tak terlihat ujungnya.
Di mata Mpu Renteng, segala apa yang dilakukan oleh Klikamuka serba luar biasa. Segala apa yang dikatakan Klikamuka serba tak terduga. Akan tetapi ia tak membiarkan pergi begitu saja.
"Kisanak Klikamuka, antara kita berdua masih ada urusan yang belum diselesaikan."
"Lupakan saja, kalau yang dimaksudkan Permaisuri Rajapatni. Tak ada yang akan menangisinya. Baginda Raja juga tidak, karena masih ada tiga saudara perempuan Rajapatni yang tak kalah ayunya. Masih ada dua permaisuri baru dari tlatah Melayu. Kenapa kamu yang repot?"
"Tugas adalah tugas. Berbakti adalah bertanggung jawab."
Klikamuka tertawa. "Tak dinyana, di antara sekian banyak kadal yang melata, ada yang masih memiliki jiwa ksatria."
"Kembalikan Permaisuri!"
"Apa ada gunanya? Ilmu Lebah Bingung temanmu itu telah menyengsarakan."
Mpu Sora bergerak maju. "Dosaku tak bisa dihapus. Aku telah berbuat salah. Akan tetapi kalau Kisanak mau berbaik hati..."
"Kalau tidak, mau apa?"
Klikamuka meloncat mengambil tongkat Dyah Palasir. Dengan mengertakkan geraham, bagian depan diremas. Bagai adonan lumpur di tangan Klikamuka. Tanpa terasa semua prajurit mundur satu tindak. Klikamuka membuang potongan tombak ke dekat Mpu Sora.
"Kalau tidak bisa menemukan Permaisuri Rajapatni, kamu mau bunuh diri? Pakai kayu, jangan pakai besi."
Kini Mpu Nambi-lah yang nggragap. Kalau tadi ia menduga Klikamuka adalah Upasara Wulung, kini dugaannya diakui keliru jauh. Karena Klikamuka mengetahui perihal intrik-intrik Keraton. Secara gamblang diteriakkan mengenai persaingan di antara para adipati, di antara para patih. Mpu Nambi merasa malu. Justru sebagai pimpinan prajurit telik sandi, ia sama sekali tak mengetahui sedikit pun tentang Klikamuka. Tak pernah mengetahui bahwa di dalam wilayahnya ada seorang tokoh yang benar-benar luar biasa.
Mendadak Klikamuka berhenti. Tubuhnya berbalik. Gendhuk Tri berusaha lepas dari Jaghana. Dari tengah hutan muncul dua bayangan yang segera bisa dikenali. Yang satu, dengan cara meloncat enteng adalah Wilanda. Sedang yang di sebelahnya berjalan mendampingi tenang, walau tidak kelihatan menggerakkan kakinya.
"Kakang!" Gendhuk Tri tak bisa menahan dirinya.
Memang yang muncul adalah Upasara Wulung. Mpu Nambi menggigit bibirnya. Tak lebih dari setahun, atau malah setengah tahun, ia tak berjumpa dengan Upasara Wulung. Baru sekarang ini bisa melihat lebih jelas. Masih tetap biasa. Seorang lelaki, memperlihatkan usia muda, dengan dada yang bidang tapi kulitnya sangat lembut. Pandangan matanya tajam. Hanya rambut yang disanggul tanpa ikat kepala memberi kesan lebih tua. Itulah Upasara Wulung!
Tidak nampak aneh dan luar biasa. Tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa kini ia tengah menguasai ilmu yang paling dicari-cari. Sikapnya sangat sederhana, tidak seperti Adipati Lawe yang meloncat turun dari kuda, tidak seperti Klikamuka yang menutupi wajahnya. Upasara Wulung tak beda dengan Dyah Pamasi atau Dyah Palasir atau bahkan para prajurit!
"Ke mana saja kamu ini?"
Teguran Galih Kaliki lebih memperlihatkan hubungan seorang kakak dengan adiknya. Walau secara umum diketahui Upasara Wulung menjadi pemimpin Perguruan Awan, namun tata cara guru-murid tidak mengikat sama sekali.
"Menunggu matahari, Kakang Galih," jawab Upasara sambil memandang sekeliling. Lalu menunduk memberi hormat yang dalam, menyembah. "Kehormatan besar bagi pohon dan isinya, hari ini para pembesar Majapahit yang agung berkenan menginjakkan kakinya kemari. Maafkan, kami tak biasa menerima tetamu. Dan mungkin juga tak akan terbiasa."
Diam-diam Adipati Lawe terkesan oleh sikap Upasara yang biasa-biasa. Jauh dari bayangannya bahwa yang ditemui adalah Upasara yang menjadi aneh, menjadi serba rahasia. Ternyata biasa-biasa.
"Anakmas Upasara," kata Mpu Sora lembut. "Sejak kita bertemu pertama kali, kami selalu membuatmu repot. Sungguh ini bukan cara persahabatan yang baik. Tetapi agaknya memang Anakmas yang ditakdirkan Dewa untuk berkorban bagi kami semua. Rasanya kami tak perlu mengulang, bahwa kami secara sendiri-sendiri dan bersama-sama mengemban dawuh Baginda Raja. Mengiringkan Anakmas menghadap Baginda Raja."
Upasara mendongak. "Maafkan, para senopati agung. Baru saja saya bersama Paman Wilanda menyaksikan matahari terbit. Anugerah Dewa Mahaagung yang menciptakan keindahan abadi tanpa merusak yang disinari. Saya tak bisa sowan.”
Mpu Nambi mengangkat tangan kanannya. Bersama dengan kibasan tangan, mendadak semua prajurit kembali mengambil posisi mengurung. Tak ada yang ketinggalan.
"Saya tahu saya bersalah. Akan tetapi saya tak ingin merusak ketenteraman yang ada. Tak ingin mengotori kursi Keraton. Tadi saya berbincang dengan Paman Wilanda, bekas senopati Singasari yang kini berdiam di tempat yang sangat membahagiakan ini. Paman Wilanda tak diganggu untuk kembali bertugas di Keraton, karena kini tak mempunyai tenaga dalam dan kemampuan bersilat. Hanya bisa berlari-lari kecil. Saya sudah memutuskan akan mengikuti jejak Paman Wilanda."
Seluruh lapangan menjadi sunyi. Klikamuka nampak menahan dadanya yang naik-turun. Mpu Nambi nampak sangat tegang. Jaghana menunduk lesu. Agaknya kearifannya yang membuat paling cepat menangkap maksud Upasara. Wilanda berjongkok, seperti tak kuasa menahan guncangan hatinya.
"Apa yang diharapkan dari saya selama ini adalah anggapan bahwa saya mempunyai dan menguasai ilmu Tepukan Satu Tangan. Ada benarnya. Maka dengan ini saya akan kembalikan semua yang ada dalam diri saya. Sebagian dari kitab-kitab itu ada di sini." Upasara membuka buntalan yang dibawa Wilanda. "Sebagian berada dalam tubuh saya. Keduanya akan saya serahkan kepada para senopati yang lebih mengetahui tugas. Agar dengan demikian, di kelak kemudian hari tak ada lagi permasalahan yang mengganjal. Agar di kelak kemudian hari tak ada alasan untuk menyesali Perguruan Awan. Saya persilakan."
Sirna, Sirna Sempurna
UPASARA bersila. Kedua kakinya ditekuk. Tubuhnya sedikit membungkuk. Kedua tangan dirangkapkan, saling menindih, dengan telapak tangan menengadah. Sunyi. Angin tak bergerak. Dari kejauhan Klikamuka melihat pemandangan yang ganjil. Tubuhnya menggigil tanpa terasa.
Di suatu lapangan yang luas, deretan prajurit dalam keadaan siap tempur tengah mengepung seorang lelaki muda yang justru duduk bersila. Yang menyilakan untuk diapa-apakan. Awan menyingkir sempurna. Langit bersih tanpa warna.
Upasara menunggu. Wilanda tak berani memandang, tak berani melirik. Ia dibesarkan di Perguruan Awan. Ia salah seorang murid Perguruan Awan, sebelum akhirnya berbakti pada Keraton Singasari sebagai prajurit. Sewaktu berita ada Tamu dari Seberang, Wilanda-lah yang menjadi penunjuk jalan. Ia berangkat mengiringi Upasara Wulung yang untuk pertama kali meninggalkan ksatrian, bersama dengan Ngabehi Pandu, gurunya.
Di sinilah terjadi perang tanding habis-habisan antara tokoh-tokoh kelas satu. Berbagai peristiwa menyeret Wilanda hingga akhirnya diterima kembali sebagai warga Perguruan Awan. Sampai kemudian, Upasara Wulung memilih tempat tersebut dan dianggap sebagai pemimpin. Sedih, pedih, dan batin Wilanda merintih.
Sejak mengasingkan diri ke dalam Perguruan Awan boleh dikatakan Wilanda selalu bersama-sama Upasara Wulung. Nyai Demang dan Galih Kaliki kadang datang dan pergi, begitu juga Gendhuk Tri dan Dewa Maut. Hanya dirinya dan Jaghana yang paling sering bersama-sama. Wilanda jadi lebih mengerti segala perasaan Upasara Wulung yang mencoba hidup sebagaimana alam. Menanam buah-buahan, merawat tetumbuhan, menolong binatang yang terluka, dan hanya mengambil buah untuk makan, sejauh yang diperlukan. Sejak masuk hingga sekarang Upasara membiarkan rambut dan kukunya tumbuh, dan tak mengganti pakaiannya.
Pada saat-saat tertentu, Upasara mengajak Wilanda dan Jaghana melatih pernapasan bersama. Membaca Tumbal Bantala Parwa secara bersama, dan melatih pula secara bersama. Memang begitulah cara hidup dalam Perguruan Awan. Walau resminya Upasara Wulung adalah pemimpin, Jaghana dan Wilanda tidak menyediakan buah-buahan khusus untuk Upasara, tidak juga perlakuan khusus yang lain. Mereka bersama-sama seperti alam, tidak saling mengguru dan memurid.
Cara hidup seperti ini, dalam pandangan Wilanda, sama sekali tak menjadi gangguan bagi Upasara. Bahkan Upasara bisa menikmati. Ini yang membuat Wilanda dan Jaghana merasa tenteram. Hanya saja, kadang masih terlihat Upasara seperti termangu sendirian. Kadang mendongak ke arah langit, seakan mencari sesuatu yang bisa menjawab kegelisahannya.
Selama itu, Upasara tidak pernah membuka percakapan ke arah zaman Singasari. Tidak juga ke arah Keraton Majapahit. Dua kali Nyai Demang datang dan bercerita bahwa Keraton Majapahit kini mulai dibangun. Banyak pesta, banyak cerita. Upasara mendengarkan sambil tersenyum.
Hanya Nyai Demang dan Gendhuk Tri yang bisa menggoda dengan cerita mengenai Gayatri. Tapi Upasara tak menunjukkan tanda-tanda tertarik mendengarkan. Waktunya, secara keseluruhan, digunakan untuk menikmati, untuk menyatu dengan alam. Melihat kupu-kupu, mengamati Cengkerik, menyatu dengan mata air, di sela-sela mencoba memahami Tumbal Bantala Parwa. Sesekali Upasara menyenandungkan kidung, dan membicarakan bersama.
Sebulan sebelum peristiwa ini, Upasara pergi sendirian. Hal yang bisa terjadi, karena masing-masing anggota bebas memilih tempat tinggal di sekitar Perguruan Awan. Mereka tak punya tempat resmi, tak punya tempat bertemu secara pasti. Wilanda secara kebetulan bertemu kembali ketika Upasara menyaksikan matahari terbit.
"Indah sekali, Paman."
"Bagi yang bisa mengerti, Raden." Wilanda masih memanggil seperti ketika berada di Ksatria Pingitan Singasari.
"Ah, untuk menikmati karya Dewa Penguasa Jagat, tak diperlukan bisa mengerti atau tidak. Paman, rasanya saya ingin menikmati dan menyatu dengan sinar itu."
Wilanda bertanya-tanya dalam hati apa maksud Upasara Wulung ketika itu.
"Kita akan lebih menyatu jika kita tidak mempunyai beban. Selama ini kita selalu merasa perlu mempelajari ilmu silat, ilmu surat. Kita tak bisa menikmati secara tuntas, kita tak bisa hanyut. Kita hanya setengah-setengah merasakan saat kita tak berlatih.
"Barangkali satu-dua hari ini tiba saatnya untuk menyatu dengan sinar itu, sejak terbit sampai tenggelam, sampai tengah malam. Sinar itu selalu ada, juga di malam hari. Sinar matahari itu juga indah di siang hari."
Ternyata inilah maksud Upasara yang sebenarnya. Mau melepaskan kembali ilmunya. Mau menghancurkan tenaga dalam, kekuatan batin yang selama ini dilatih. Upasara adalah didikan Ksatria Pingitan, yang didirikan zaman Baginda Raja Sri Kertanegara yang sengaja mendidik sejak lahir. Mendidik ke arah olah keprajuritan. Dengan bibit sejak lahir, akan terciptalah suatu ketika nanti prajurit yang benar-benar tangguh. Dan Upasara tergembleng selama dua puluh tahun. Dalam perjalanannya kemudian, Upasara banyak menemukan ilmu lain. Di antaranya sempat mempelajari Tumbal Bantala Parwa yang menggegerkan, serta Dwidasa Nujum Kartika.
Akan tetapi justru ini yang akan dimusnahkan. Karena ternyata menjadi gangguan bagi Upasara. Karena di luar kemauannya, intrik Keraton menyeret dan menyebut-nyebut namanya. Dengan melepaskan semua ilmunya, Upasara tak ada bedanya dengan pemuda desa yang lainnya. Tak ada bedanya dengan Toikromo! Itulah yang dipilih.
"Maaf, Senopati Anabrang," bisik Upasara lirih sambil mengulurkan telapak tangannya.
Senopati Anabrang yang masih dipapah Mpu Sora tak bisa mengelak. Seketika hawa panas menerobos masuk ke dalam tubuhnya.
Sungai mengalir, tak menahan air
batuan hanya bersentuhan
tidak mendorong tidak menahan
jadilah sungai
batuan hanya bersentuhan
tidak mendorong tidak menahan
tidak hanyut, walau bisa berlumut
jadilah batu
tidak mendorong tidak menahan
tidak hanyut walau bisa berlumut
lumut tak takut air
jadilah lumut!
Kidungan Upasara terdengar merdu. Enak, nyaman, menenteramkan. Senopati Anabrang mendekat seperti terpikat. Memusatkan pikiran dan menjadi sungai tak menahan gelombang panas yang masuk ke dalam tubuhnya, menjadi batu yang kukuh, menjadi lumut yang tak mencurigai kekuatan tenaga dalam Upasara.
Dalam waktu tak terlalu lama, luka yang tadinya berwarna hitam kebiruan mengering, dan berubah warnanya. Kini sudah mendekati warna cokelat tua. Berarti racun yang berada di sekitar luka sudah terusir.
"Gendhuk Tri, mari" sini. Kakang ingin melihatmu."
Jaghana membawa Gendhuk Tri yang meronta sebisanya. Darah mengucur dari seluruh tubuhnya.
"Tidak, Kakang. Aku akan mendendammu seumur hidup ditambah tujuh turunan kalau Kakang lakukan itu padaku." Gendhuk Tri memberontak. Pengerahan tenaga membuat lukanya robek dan tubuhnya ambruk.
Upasara berdiri. Kedua kakinya mengangkang sedikit, seperti menunggang kuda. Kedua tangannya ditekuk, dengan telapak menghadap ke atas, di depan dadanya. Perlahan turun bersamaan dengan tarikan napas yang makin lama makin dalam, makin dalam, seakan semua udara alam disedot ke dalam. Kedua tangan itu naik kembali ke atas.
"Kakang..."
Kedua tangan itu menempel di tubuh Gendhuk Tri, yang berkelojotan dan memuntahkan darah berwarna kebiru-biruan.
Sirna itu sempurna...
Pada Awalnya Adalah Sirna
Upasara kembali bersila. Tak ada suara.
Klikamuka yang berada di tempat agak jauh melihat pemandangan yang sama. Semua prajurit berada dalam keadaan siap siaga. Mengepung seorang lelaki muda, yang bersila. Di tempat agak jauh Jaghana memangku Gendhuk Tri. Terdengar kidungan lirih:
Pada awalnya adalah sirna
pada akhirnya juga sirna
dari sirna kembali ke sirna
sirna itu sempurna
sirna itu tak ada
sempurna itu sirna
tak ada itu sirna
sirna itu kosong
pada awalnya adalah kosong
menyongsong ke arah kosong
berakhir pada sirna
sirna itu biasa
biasa itu sempurna
sirna itu sirna
sirna...
Mpu Renteng merasakan getaran yang dahsyat menyayat. Seakan udara sekitar dipenuhi oleh tenaga menggelegar yang tak terlihat. Barangkali kawanan burung yang terbang di atas lapangan akan jatuh menggelepar. Itu saat yang paling menentukan. Upasara akan memusnahkan tenaga dalamnya! Ilmu yang dimiliki akan dihancurkan. Kidungan itu mengantarkan kepada tahapan sirna.
sirna
sirna
sirna
sempurna
kosong
biasa
sirna
sirna
sirna
Galih Kaliki memandang ke arah lain. Ia tak tahu harus berbuat apa. Wilanda seperti lenyap. Tak terasa kehadirannya. Wilanda yang menyadari bahwa Upasara mulai menghimpun kekuatannya sejak lahir. Sejak hari pertama dilahirkan, Upasara sudah dimasukkan ke Ksatria Pingitan, suatu tempat di mana bayi-bayi dididik dalam kanuragan, dalam soal ilmu silat dan ilmu surat. Agar di kelak kemudian hari menjadi prajurit yang unggul. Baginda Raja Sri Kertanegara yang menancapkan tonggak keperkasaan untuk masa yang akan datang.
Selama dua puluh tahun Upasara boleh dikatakan tak mengenal hal lain selain ilmu silat dan ilmu surat. Tak mengenal kehidupan masyarakat biasa, tak mengenal kehidupan masyarakat Keraton. Apalagi ia kemudian ditangani langsung oleh Ngabehi Pandu, tokoh kampiun yang disegani. Akan tetapi sekarang justru akan dilenyapkan.
Mpu Renteng sendiri sejak lama mendengar Kitab Penolak Bumi yang kesohor. Akan tetapi baru sekarang ini mendengar sebagian kidungannya yang isinya seperti tak lebih dari tembang yang nyaman dinyanyikan:
Sirna itu kembali ke tanah
tanah itu lumpur
lumpur itu air
sirna itu kembali ke air
air itu tanah
tanah itu hidup
air itu hidup
hidup itu sirna
ke mana air mengalir
jawabnya tepukan satu tangan
ke mana angin bertiup
jawabnya tepukan satu tangan
kalau hujan dari tanah ke langit
tepukan satu tangan
kalau sirna
tepukan satu tangan....
Upasara mengangkat tangan kirinya, naik, bergetar, pergelangan tangannya berputar, telapak tangannya menghadap ke depan, bergerak lurus ke depan, menggeletar ketika makin lama makin lurus. Uap putih berkumpul di sekitar tubuh Upasara. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Tak ada awan yang menutupi sinar matahari, tetapi cahayanya serasa terang tanah. Seiring dengan kata "tepukan satu tangan", tangan kiri Upasara lurus ke depan.
Terdengar seruan tertahan. Tubuh Upasara naik ke atas, berhenti di tengah udara, masih dalam keadaan bersila! Begitu tangan ditarik kembali, tubuhnya ambruk. Sirna!
Mpu Sora, Mpu Renteng, dan Mpu Nambi tanpa terasa menyebut Gusti secara bersamaan. Apa yang mereka saksikan adalah perjalanan yang luar biasa dari seorang ksatria yang paling disegani, yang paling diperhitungkan, menjadi manusia biasa. Upasara tak lebih dari seorang Toikromo.
"Gusti Dewa segala Dewa, maha mengetahui apa yang terjadi pada diri hambanya."
Mpu Sora meraupkan kedua tangan ke wajahnya. Mendekat. Memandang Upasara secara lekat. Biar bagaimana, Adipati Lawe dulu berada di ujung medan perang dengan panglima Tartar. Termasuk yang berada di atas benteng melakukan pertarungan mati-hidup bersama-sama.
"Adimas..."
Upasara membuka matanya. Adipati Lawe merangkul. Akan tetapi karena tergetar oleh tenaga yang kuat, Upasara meringis.
"Maaf, Adimas...." Adipati Lawe mengubah rangkulannya. "Adimas tetap lelaki jagat." Kalimat berikutnya tak keluar, walaupun tersendat.
Jaghana menunduk.
"Biarkanlah kami semua beristirahat."
Mpu Nambi memberi aba-aba agar para prajurit seluruhnya menyingkir. Siapa pun yang diutus ke Perguruan Awan boleh menarik napas lega. Setidaknya pertumpahan darah yang tidak dikehendaki tak terjadi. Dengan caranya sendiri Upasara Wulung mencari jalan keluar. Penolakan kepada tawaran Baginda Raja dengan cara menjadi manusia biasa.
Senopati Anabrang membungkuk hormat. Ia paling merasa tertolong jiwanya. Di sat terakhir sebelum membuang tenaga, Upasara telah menyelamatkan. Entah, tanpa bantuan Upasara, racun dalam tubuhnya bisa terusir atau tidak.
Mpu Nambi juga maju membungkuk hormat dan menyalami. Dan merasa kaget sendiri karena ternyata tenaga dalam Upasara betul-betul telah musnah. Sekejap nuraninya seperti dipelintir. Akan tetapi dengan cepat Mpu Nambi mengalihkan pikirannya. Jalan itu yang ditempuh Upasara! Dipilih sendiri tanpa dipaksa!
Terdengar suara Klikamuka. "Ambil Tumbal Bantala Parwa. Hanya seorang raja yang berhak memiliki. Aku tak butuh kidungan untuk bunuh diri."
Mpu Nambi menyembah kitab yang ditulis pada klika kayu, sebelum memasukkan ke dalam buntalan dan menyerahkan kepada Dyah Palasir. "Kakang Sora, Kakang Renteng, kita bersama kembali ke Keraton. Rasanya terlalu jauh kita membuat Perguruan Awan terganggu."
"Silakan Kakang Nambi berangkat lebih dulu. Kami berdua masih perlu mencari Permaisuri."
Mpu Nambi mengerutkan keningnya. "Baginda bisa murka...."
"Kami berdua menanggung akibatnya," jawab Mpu Sora dan Mpu Renteng bersama-sama.
"Kakang jangan salah terima. Saya tak akan melaporkan hal itu. Bahkan saya akan ikut membantu."
"Terima kasih, Kakang Nambi. Tugas di Keraton masih banyak."
Mpu Nambi menghela napas, mengangguk, dan segera berlalu. Mendadak Mpu Nambi berbalik. "Upasara, kembalikan Permaisuri." Tangannya bergerak, dan seketika seluruh prajurit menyerbu.
Kematian Kedua
Mpu Sora, Mpu Renteng, Senopati Anabrang melengak. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Mpu Nambi memberi aba-aba serangan menjapit seperti kepiting. Dari semula para prajurit dalam keadaan siap tempur. Maka begitu ada aba-aba langsung menggasak. Situasi jadi berubah.
Dalam sekejap sabetan pedang, tusukan tombak, tukikan keris menghujani Upasara. Reaksi Upasara masih seperti ketika mempunyai ilmu silat. Kedua tangannya terangkat. Akan tetapi kecepatan dan kekuatan tenaganya sudah tak ada. Sehingga dadanya kena sodok tombak dan langsung terguling. Tangan yang menangkis terlalu lambat dibandingkan kecepatan para prajurit. Dyah Pamasi sendiri menendang keras, sehingga tubuh Upasara terlontar ke atas.
Jaghana sama sekali tak menduga serangan yang begitu keji. Dalam situasi di mana ia masih menggendong Gendhuk Tri yang dalam keadaan setengah hidup, setengah mati, ia tak bisa bergerak leluasa. Ini hanya akan membuat Gendhuk Tri menderita luka berat di dalam. Karena dalam tubuh Gendhuk Tri masih bertarung tenaga dalam yang diberikan oleh Upasara dengan racun yang mengeram dalam tubuhnya!
Akan tetapi melihat Upasara yang terluka dilemparkan ke angkasa, Jaghana menjejakkan kakinya. Tubuhnya mental ke atas, satu tangan mengempit Gendhuk Tri dan menjaga agar tidak tergetar sedikit pun, sementara tangan lain menangkap tubuh Upasara. Hanya saja Jaghana kewalahan. Karena tubuh Upasara yang jatuh ke tanah seperti karung mati. Tidak memberi reaksi seperti seorang jago silat!
Jaghana memang menyaksikan sendiri Upasara yang menghancurkan tenaga dalamnya. Akan tetapi ternyata tetap sulit menyadari bahwa kini benar-benar telah menjadi manusia biasa. Sehingga tangan yang untuk menyangga seperti diseret ke bawah. Jaghana tetap menyangga dan menjaga agar baik tubuh Gendhuk Tri maupun Upasara tidak tergetar. Jaghana mengorbankan dirinya. Punggungnya menghantam tanah, dengan semua getaran dipendam dalam dadanya! Menghancurkan tenaganya sendiri! Akibatnya, begitu jatuh telentang tak bisa bergerak lagi.
Sementara Wilanda hanya bisa mengelak serbuan yang datang dengan meloncat ke sana-kemari, tanpa bisa memberi balasan yang berarti. Satu-satunya yang bisa bergerak bebas adalah Galih Kaliki. Hanya saja reaksinya tak bisa cepat menangkap situasi yang begitu kejam. Tak masuk akal bagi Galih Kaliki, bahwa Upasara yang telah mengorbankan semua miliknya, masih diserang secara mendadak. Tak masuk akal bagi seorang yang begitu jujur hatinya dan lugas jalan pikirannya!
Ketika menyadari, sudah terlambat. Dan ia repot digempur oleh Dyah Pamasi dan Dyah Palasir secara bersamaan. Unggul atau tidak unggul tak bisa ditentukan dalam sesaat.
"Tongkring! Hentikan semua ini!" Adipati Lawe berteriak mengguntur. Rantai di tangannya bergerak bagai putaran angin yang menyingkirkan semua senjata yang mengarah kepada Upasara Wulung. "Tongkring! Ajaran setan belang mana bersikap begini hina?"
Semua prajurit mundur dan menghentikan serangan. Adipati Lawe menurunkan Upasara dan Gendhuk Tri di tanah. Untuk sementara Jaghana masih belum bisa bergerak. Tangannya masih lurus ke atas dengan tubuh telentang.
"Hari ini kita semua kembali!" Pandangan mata Adipati Lawe menatap tajam ke arah Mpu Nambi.
Mpu Nambi balas menatap. Mpu Sora menyadari bahwa pertentangan telah terobek. Adalah suatu peraturan tidak resmi dalam keprajuritan, bahwa yang berhak memberi komando adalah senopati yang pangkat dan derajatnya paling tinggi. Tak bisa dibantah. Hanya satu senopati yang berhak memerintah!
Dalam hal ini pangkat dan derajat Adipati Lawe tidak di bawah Mpu Nambi. Akan tetapi juga tidak di atasnya. Mereka sama-sama berpangkat patih. Adipati Lawe adalah patih amancanegara, sedangkan Mpu Nambi patih di dalam. Pangkat yang sama yang juga disandang oleh Mpu Sora, Mpu Renteng, atau Senopati Anabrang. Mereka semua ini tanpa kecuali hanya tunduk kepada Baginda Raja, sebelum ada yang menjabat sebagai mahapatih, atau patih amangkubumi.
Adalah suatu peraturan yang tidak resmi dalam keprajuritan, bahwa yang berhak memberi komando pada derajat yang sama adalah yang mengambil prakarsa pertama. Dan patih yang sederajat tidak boleh memotong garis yang telah dibuat. Apalagi di depan para prajurit! Kalaupun mereka berselisih pendapat, Baginda Rajalah yang berhak memutuskan mana yang diturut.
Dalam hal ini, Adipati Lawe memotong perintah Mpu Nambi! Dalam hal begini, Mpu Nambi bisa melaporkan kepada Baginda Raja, bahwa Adipati Lawe membangkang! Melanggar disiplin keprajuritan. Untuk ini sangsinya cukup berat! Nyatanya Adipati Lawe memilih cara dianggap sebagai pembangkang!
Mpu Nambi menarik napas keras. Kalau ia memberi aba-aba penyerangan, prajurit telik sandi yang dipimpinnya bisa bertarung dengan prajurit Kadipaten Tuban yang dipimpin Adipati Lawe. Mpu Nambi tidak gentar. Tetapi nalarnya mengatakan saat ini tak cukup menjamin perimbangan kekuatan. Dalam keadaan seperti sekarang, Mpu Sora bisa memihak Adipati Lawe baik karena pertimbangan sebagai paman ataupun karena menganggap tindakan Adipati Lawe tepat. Dalam hal ini Mpu Renteng juga bisa memihak Mpu Sora, karena selama ini mereka berdua selalu bersatu pendapat.
Mpu Nambi tak merasa kehilangan muka mengalah. Karena kini sudah yakin bahwa Upasara Wulung benar-benar sudah sirna riwayatnya. Benar-benar sudah hancur. Kematian pertama yang dilakukan dengan menghancurkan tenaganya, dan kini karena serangan keras. Lebih dari itu, tak ada jawara dari Perguruan Awan yang perlu diperhitungkan.
Gendhuk Tri yang menggetarkan dan ditakuti karena racun ganas dalam tubuhnya, kini sedang bertarung antara hidup dan mati. Kalau tenaga dalam Upasara Wulung berhasil mengusir racun, itu berarti Gendhuk Tri tak akan membahayakan lagi. Kalau tenaga dalam Upasara gagal mengusir sepenuhnya, berarti lebih bahaya lagi. Karena kini racun dalam tubuh Gendhuk Tri akan menggerogoti dirinya. Racun itu menjadi sesuatu yang menyusahkan, bukan sebagai senjata.
Jaghana yang sakti pun, kini telah terluka. Diperlukan waktu yang lama untuk mengembalikan kekuatannya agar pulih. Diperlukan waktu lebih lama lagi, kalau misalnya ingin membalas dendam. Tokoh lain dari Perguruan Awan yang masih gagah hanyalah Galih Kaliki. Tetapi Mpu Nambi tidak menganggap sebagai bencana di kemudian hari. Galih Kaliki bukan tokoh yang mampu menggerakkan para ksatria. Juga bukan tokoh yang cerdik. Ibarat kata Galih Kaliki hanyalah seorang diri.
Penghuni lain, Dewa Maut, tidak menjadi soal benar. Keadaannya tak lebih dari Wilanda. Sedangkan Nyai Demang, wanita montok yang genit itu, rasanya lebih mudah dihadapi. Dengan pertimbangan itu, Mpu Nambi menahan diri. Kalau maksudnya telah sampai, untuk apa menanggung risiko lagi?
"Satu perintah dalam perang. Kembali ke sarang."
Perintah Mpu Nambi memperlihatkan bahwa ia mengurungkan niatnya bukan karena gentar menghadapi Adipati Lawe. Akan tetapi lebih menunjukkan bahwa ia menjunjung tinggi persatuan para prajurit. Agar tidak muncul pertentangan di antara para senopati! Sungguh cerdik Mpu Nambi menyelamatkan diri. Sebab kalau peristiwa ini dilaporkan ke hadapan Baginda Raja, ia memperoleh nama baik. Biar bagaimanapun, Adipati Lawe akan disalahkan. Biar bagaimanapun, Mpu Sora dan Mpu Renteng dianggap tidak bisa menjalankan tugas menjaga Permaisuri! Para prajurit berkumpul ke barisannya sendiri-sendiri.
Galih Kaliki maju ke tengah. Tongkatnya digenggam erat. "Jaghana, Wilanda, katakan apa yang harus kuperbuat. Apa saja yang kalian katakan, akan kulakukan. Aku tak tahu harus menggempur atau tidak."
Wilanda meloncat mendekati Galih Kaliki. "Paman Jaghana, silakan memberi petunjuk." Ini berarti Wilanda pun siap untuk bertarung sampai mati.
Jaghana berbaring di tanah. Kedua tangannya masih kaku. Akan tetapi suaranya terdengar lembut. "Anakmas Upasara tidak menghendaki pertempuran."
Galih Kaliki tertawa bergelak. "Tetapi kita yang digempur. Jadi bubur!"
"Kita kembali."
"Lho, kalau begitu enak mereka. Main serang seenaknya, lalu ditinggalkan begitu saja. Itu tongkring!"
Adipati Lawe merasa tersulut. Apalagi ucapannya yang khas diambil alih begitu saja. "Aku bersedia menghadapi seorang diri. Majulah, sobat."
Taktik Sekul Seta
Galih Kaliki mengangkat tongkatnya. "Karena menerima tantangan, Paman Jaghana tak bisa melarang."
Mpu Nambi mendehem. "Adipati Lawe adalah senopati Majapahit. Kenapa harus turun tangan sendiri untuk membersihkan kotoran? Bukankah ada anak-anak yang bisa melakukan?"
Dyah Pamasi dan Dyah Palasir langsung maju ke depan.
"Tukang pukul ini biarlah kami yang menghadapi."
Dyah Pamasi bahkan sudah langsung mengayunkan kedua tombak. Dua-duanya mengarah ke arah lambung. Dyah Palasir mengambil gada pusaka andalannya. Langsung mengarah ke bagian dada. Sehingga kalau Galih Kaliki menghindar ke atas, ataupun ke samping, gada besi yang berat siap untuk merontokkannya. Cara menggebrak kedua senopati muda ini benar-benar cara bergerak prajurit cepat. Begitu aba-aba Mpu Nambi terdengar, mereka tak menunggu persetujuan Adipati Lawe.
Adipati Lawe sendiri menjadi dongkol. Namun ia tak bisa ikut maju. Tak masuk akalnya bahwa ia turut mengeroyok lawan. Para prajurit yang lain berjaga-jaga sambil memperhatikan. Karena sesungguhnya ini pertarungan yang bisa disaksikan dengan saksama. Gerak-geraknya bisa menjadi contoh. Berbeda dengan serangan kilat antara Gendhuk Tri dan Senopati Anabrang. Juga berbeda dengan cara Upasara menghancurkan tenaga dalamnya. Kedua peristiwa itu, walau gawat, berlalu terlalu cepat.
Sebaliknya apa yang sekarang terjadi lebih merupakan tontonan. Apalagi Galih Kaliki juga tidak menunjukkan berkelit. Memang Galih Kaliki lebih suka balas menyerang daripada berkelit. Tongkat galih asam diangkat tinggi. Menyerampang dua ujung tombak dan sekaligus gada yang terayun. Adu tenaga keras.
Meskipun terbuat dari kayu, galih asam bukan sembarang kayu. Tongkat ini dibuat dari galih atau hati pohon asam yang sudah sangat tua, dan sudah barang tentu diramu lagi dengan beberapa jamu atau japa-mantra. Sehingga bisa mengimbangi kekerasan besi atau baja. Ditambah lagi tenaga Galih Kaliki seperti terbongkar. Karena dendamnya kepada kedua penyerang yang tadi melukai Upasara.
"Anak kecil seperti ini mau mencoba-coba."
Gregetan Galih Kaliki memutar tongkatnya dan terus melabrak. Dyah Palasir sebaliknya juga tak mau mundur. Ayunan tongkat di atas ubun-ubunnya dilawan sama keras, sementara Dyah Pamasi ganti menyerang. Begitu juga sebaliknya. Saat Dyah Pamasi digertak, Dyah Palasir yang maju. Hingga dalam sekejap lima jurus telah dilampaui.
Bagi Mpu Nambi ini bukan sekadar tontonan kalah-menang. Ada sesuatu yang ingin diketahui. Yaitu cara-cara Kaliki memainkan tongkatnya. Selama ini asal-usul ilmu silat Kaliki termasuk cabang yang sulit dikenali. Tidak mudah ditebak. Bahkan nama-nama jurusnya juga tak begitu dikenali, termasuk oleh Kaliki sendiri. Namun cerita yang terdengar adalah bahwa gebrakan-gebrakan menunjukkan persamaan yang berasal dari ilmu Dwidasa Nujum Kartika. Hanya kalau pada aliran lain, bisa teraba gerakan dasarnya, Galih Kaliki tidak memperlihatkan hal itu.
Seperti diketahui, cara melatih jurus-jurus dalam Dwidasa Nujum Kartika tak terlalu asing bagi para ksatria. Puncak dari ilmu ini adalah yang pernah ditunjukkan oleh Ugrawe, salah seorang panglima terkemuka Raja Muda Jayakatwang. Mpu Ugrawe-lah yang mampu mengolah dan kemudian memberi nama jurusnya, Banjir Bandang Segara Asat, yang dahsyat.
Seperti namanya jurus yang berarti Banjir Bah Laut Kering ini berintikan membuyarkan tenaga lawan, dan menyedotnya menjadi tenaga yang dimiliki. Secara paksa membetot sukma lawan. Membuat banjir besar di daratan dengan mengeringkan laut. Selama lawan kalah tenaga dalam atau kalah mengatur penyalurannya, tenaganya bisa terisap. Akan tetapi jika lawan lebih menguasai, tenaga sendiri yang justru terisap.
Ugrawe, dalam puncak kejayaannya, mampu malang-melintang. Sebelum akhirnya bisa dikalahkan. Meskipun demikian, tidak berarti gagal. Justru apa yang diperlihatkan Mpu Ugrawe adalah terobosan yang berbeda dari yang selama ini ada. Konon, apa yang dimainkan oleh Galih Kaliki mempunyai sumber yang dekat. Maka sesungguhnya, bagi para senopati yang menyaksikan seperti mempelajari apa yang disembunyikan lawan.
Perhitungan Mpu Nambi boleh dikatakan tidak meleset sedikit pun, terutama karena Galih Kaliki membiarkan seluruh kemampuannya muncul semua. Dan dasar-dasar gerakan serangan Galih Kaliki terlihat sederhana. Tujuannya selalu sama: mengetok ubun-ubun lawan. Ke mana pun berputarnya tongkat, sasarannya tak pernah berubah. Sehingga bagi lawan yang bisa membaca tipe permainan Galih Kaliki, tak terlalu sulit untuk memperdayai.
Dyah Pamasi maupun Dyah Palasir bukannya tidak melihat kekuatan dan sekaligus kelemahan Galih Kaliki. Akan tetapi juga tak gampang untuk ganti menindih. Justru karena meskipun begitu-begitu saja irama serangannya, tekanan yang menindih tak pernah kendor. Bahkan makin lama makin menyempitkan ruang gerak mereka berdua.
Galih Kaliki terus menggenjot. Gebukannya ditangkis atau dielakkan tak membuatnya mengganti gerakan. Bahkan beberapa ujung tombak nyaris merobek dadanya. Galih Kaliki lebih percaya bahwa andai dadanya teriris, tongkatnya sudah lebih dulu mengenai sasaran. Dengan batok kepala remuk, serangan lawan bisa terhenti atau buyar dengan sendirinya.
Dyah Palasir berseru keras sambil melabrak maju, "Serang!"
Dengan sepenuh tenaga Dyah Palasir mencoba menahan ayunan tongkat ke ubun-ubunnya, berusaha mematok. Dengan begitu dua tombak yang dipergunakan Dyah Pamasi bisa mencapai sasarannya. Mpu Renteng memuji taktik Palasir yang jitu. Dengan begitu, Kaliki akan bisa ditundukkan.
Pamasi melihat bahwa kesempatan itu terbuka. Temannya menyediakan diri untuk menahan gempuran. Maka begitu ayunan tongkat hampir menyentuh gada, ia menyelusup maju. Dua tongkatnya sekaligus menggunting bagian dada. Sebelah kiri lebih panjang sedikit terulur, karena memperhitungkan cara menghindar Galih Kaliki. Yang berarti justru lehernya menjadi sasaran.
"Bagus!"
Bukannya kaget atau mengubah serangannya, Galih Kaliki alih-alih malah berteriak bagus. Tongkatnya tetap menghantam gada dengan keras, dan dengan cepatnya tongkat itu meluncur turun, masuk di antara dua tombak dan diputar kencang sekali.
Mpu Sora mengeluarkan suara tertahan. Mpu Nambi juga tak mengira bahwa Galih Kaliki bisa bermain sangat cepat. Ketika berulang menggempur ke ubun-ubun tadi, Mpu Nambi bisa melihat persamaannya dengan jurus Lintang Tagih, yaitu sementara tenaga di dalam tetap dingin. Menurut perhitungan musim, Lintang Tagih terlihat di langit saat buah padi tumbuh.
Di dalam kitab aslinya, jurus ini dimainkan setelah memainkan jurus Lintang Sapi Gumarang, atau Bintang Berbentuk Sapi, yaitu dengan menggeser kuda-kuda menyerupai posisi Bintang Sapi Gumarang di langit, bertumpu pada arah utara, atau bisa juga berarti saat embun menetes, saat binatang yang bisa terbang keluar dari sarangnya.
Tapi Galih Kaliki seperti langsung memainkan jurus kedua, dan langsung disambung dengan jurus ketiga yaitu Lintang Lumbung, dengan kekuatan utama di kaki. Kekuatan akar yang baru tumbuh. Menghunjam masuk ke dalam tanah. Dengan lihai Galih Kaliki memindahkan tenaga akar tumbuh itu ke tongkatnya. Sekaligus menangkis dan balas menyerang.
Bahwa Dua Belas Jurus Nujum Bintang ini tercipta karena berhubungan dengan alam, semua sudah maklum. Kunci untuk mengetahui dan mengatur gerakan serta tenaganya, seperti saat-saat mana bintang terlihat di langit. Kejadiannya berhubungan dengan apa, seperti itulah pengerahan tenaga yang dilakukan...
BAGIAN 13 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 15 |
---|