Senopati Pamungkas Bagian 22

Cerita silat Indonesia Senopati Pamungkas Buku Pertama Bagian 22 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 22

Upasara hanya bisa mengira-ngira. Sebagai ksatria yang tangguh, Dewa Maut pernah malang melintang dalam dunia persilatan. Namun yang bisa menundukkan adalah seorang kekasih. Itulah daya asmara!

Entah kenapa, hubungan Dewa Maut dengan wanita kekasihnya tidak berlangsung selamanya. Sejak itu Dewa Maut mengasingkan diri dengan berdiam di atas perahu yang terus berlayar bolak-balik sepanjang Kali Brantas. Bisa jadi saat bersama kekasihnya, Dewa Maut berjanji tak akan bersentuhan dengan wanita yang lain. Sehingga lebih dekat dengan sesamanya, yaitu Padmamuka. Hubungan ini tidak melanggar sumpah setianya.

Bahwa kemudian sebagian tenaga dalam yang bersifat racun dalam tubuh Padmamuka berpindah ke tubuh Gendhuk Tri, maka Dewa Maut juga menganggap Gendhuk Tri adalah Tole-nya! Yang luar biasa adalah bahwa selama ini Dewa Maut tak pernah menganggap Gendhuk Tri sebagai anak gadis. Melainkan tetap sebagai penjelmaan Padmamuka!

Upasara menertawakan tingkah Dewa Maut. Dalam hati. Menertawakan dengan perasaan yang getir. Karena sesungguhnya, apa beda dirinya dengan Dewa Maut dalam soal terpengaruh oleh daya asmara? Tak ada bedanya. Bahkan barangkali dirinya lebih bisa ditertawakan. Daya asmara Gayatri-lah yang, kalau mau diakui, menyeret semua tindakan ini. Sejak menolak pangkat yang diberikan Baginda dan memilih mengasingkan diri di Perguruan Awan.

Bukankah ini sama dungunya dengan kesetiaan yang ditunjukkan Dewa Maut? Bukankah dengan menjauhkan diri dari Gayatri, sebenarnya sebagai pengakuan bahwa ia masih terikat? Bedanya hanyalah bahwa Dewa Maut sepenuhnya larut dalam suasana, dan dirinya bisa melihat dari suatu jarak. Akan tetapi selebihnya tetap tak berbeda.

"Paman lebih bahagia," kata Upasara lirih. "Sesuatu yang tak berani saya akui."

"Omong kosong! Kamu juga bisa. Apa susahnya bertanam? Omong kosong kalau kamu tak berani mengakui. Bukankah begitu, Upasara?"

Kening Upasara berkerut. Mendadak tangan kirinya terkepal. Matanya mendongak ke arah langit. "Benar, Paman! Omong kosong kalau tak bisa. Sumber segala kehidupan di jagat ini adalah tanah dan air. Baginda Raja Sri Kertanegara adalah raja yang perkasa karena mengetahui kekuatan air. Mengetahui kekuatan gelombang lautan, sehingga bisa menjelang ke segala pelosok jagat! Tanah adalah kehidupan. Air adalah kehidupan."

Ganti Dewa Maut yang menatap heran. "Tanah di sini adalah batu gunung yang menjadi dinding tak tertembusi. Tak mungkin ditanami, bahkan oleh lumut sekalipun."

"Ya, tapi masih ada tanah di bawah buat ditanami."

Upasara menggeleng. Suaranya mengandung semangat tinggi. "Tidak, Paman. Justru tanah batu keras inilah yang akan menghidupi. Kalau kita tak mampu memahami hakikat tanah dan hakikat air yang sesungguhnya, kita akan menyalahkan dinding batu. Paman... gua ini ibarat batang bambu. Lurus mendongak ke langit, dengan bagian pinggir yang licin, keras tak tertembusi."

"Bambu? Aku sudah lupa seperti apa bambu itu."

"Kita adalah dua binatang kecil yang terkurung dalam bambu. Tak bisa mendaki ke atas. Tak bisa menembus dinding. Tapi masih ada budaya air. Paman, mari kita persiapkan. Kita mengumpulkan kayu. Suatu kali akan turun hujan lebat. Jika dinding-dinding batu ini tak membuat air merembes ke luar, tempat ini akan tergenang. Dan air makin naik ke atas. Kita bisa keluar!"

"Untuk apa?"

Wajah Upasara penuh harapan. "Mari kita usahakan agar air hujan tidak terserap oleh dasar tanah. Paman membantu membuat alas gua yang tak merembeskan air. Kita tinggal menunggu hujan besar."

Dewa Maut terkekeh. "Mustahil. Aku sudah menjajal. Dan gagal. Aku sudah menyaksikan beberapa kali musim hujan. Bukankah begitu, Upasara?"

Dua Cundhuk Asmara

Upasara terdiam sesaat. "Paman, ada dua cara. Yang pertama kita menunggu kiriman air hujan hingga menggenangi lubang ini. Sehingga kita berdua bisa lebih dekat ke atas permukaan tanah. Yang kedua, kita bongkar bebatuan di dasar ini. Kita keduk sehingga mengeluarkan mata air. Paling tidak, air akan menggenangi setinggi permukaan air di sumur. Dengan demikian lebih mudah bagi kita untuk meloncat ke luar. Hanya dengan demikian, kebun Paman akan tergenang."

"Itulah yang paling tidak kusukai. Kita merusak apa yang tak perlu kita lakukan." Suara Dewa Maut sangat memelas. Seakan menyesali keputusan Upasara.

"Bagaimana, Paman?"

"Di jagat ini selalu yang memegang pedang lebih tajam yang menguasai alam. Kalau maumu begitu, kenapa harus menunggu? Bukankah begitu, Upasara?"

"Agaknya ini satu-satunya cara keluar. Nyai Demang pernah terperangkap di tempat ini. Berdasarkan tembangan dan kidungan Paman Dewa Maut, bisa meloloskan diri. Pasti bukan hanya satu atau dua jalan keluar. Namun Halayudha telah menutup semuanya."

"Semuanya."

"Kita tak mungkin bisa menembusnya."

"Mungkin saja." Suara Dewa Maut meninggi. "Itu lebih baik daripada menenggelamkan kebun sayurku. Senopati busuk itu menutup semua jalan keluar. Akan tetapi pasti kekuatannya tidak sama. Bukankah begitu, Upasara? Ada yang bisa ditutup kuat dengan tanah dicampur adonan telur atau tetes tebu. Sehingga liat. Tapi mana mungkin semua bisa sekuat itu?"

"Kalau begitu kita coba. Siapa tahu justru bisa menunjukkan tempat di mana Gendhuk Tri dikurung."

"Tole-ku dikurung?"

Upasara menghela napas. "Gendhuk Tri langsung menuju Keraton begitu mendengar Paman Dewa Maut terkurung. Ingin membebaskan. Akan tetapi sejak masuk kemari, saya belum pernah bertemu. Paman sendiri belum bertemu dengannya... Berarti begitu banyak gua kurungan di sekitar sini."

Di luar dugaan, Dewa Maut segera menunjukkan berbagai jalan keluar yang sudah ditutup. Lalu di setiap jalan keluar yang sudah ditimbuni, Dewa Maut berjongkok, menempelkan daun telinganya ke tanah. Beberapa kali diulangi di berbagai tempat.

"Ini salah satu yang paling ringan."

Alis Upasara berkerut.

"Aku tahu, tahu pasti. Aku sudah lama berada di sini, Upasara. Aku mengenal segala getar alam. Suara kibasan angin di mana-mana. Suara akar tumbuh dan daun yang menguning. Aku menanam mangga, jambu, maja, sejak masih biji hingga beberapa kali berbuah. Kau tak usah meragukan. Bukankah begitu, Upasara?"

Upasara tak membuang waktu lagi. Perhitungan Dewa Maut sangat masuk akal. Walau semua jalan keluar telah ditutup, pasti cara menutupnya tidak sama kuat. Dan ini sangat masuk akal, karena tidak semua jalan keluar kurungan ini dikuasai siang dan malam. Salah satu yang mungkin tidak cukup kuat ialah jalan keluar yang bermuara di kaputren!

Bukan kaputren yang lebih menyemangati Upasara. Akan tetapi kini lebih melihat kemungkinan untuk bisa keluar. Maka segera Upasara memainkan Kangkam Galih. Di tangan kirinya Kangkam Galih bergerak menembus, mendongkel, dan Upasara menendang guguran tanah berbatu-batu dengan kedua kakinya. Tanpa kenal lelah Upasara terus menjajal.

Bahkan ketika malam hari pun, ia terus menggebrak. Batu besar disingkirkan, batu kecil dibuang ke kiri dan ke kanan. Hingga tak cukup lama sudah bisa digali terowongan sampai tiga tombak. Tanpa memedulikan keringat, Upasara hanya beristirahat untuk mengembalikan tenaga, lalu menyelusup maju. Membuat terowongan. Walau makin lama batu-batuan yang menghadang makin banyak yang buatan manusia, Upasara sebaliknya malah makin bersemangat. Karena ini berarti makin dekat.

Tiga hari Upasara menjadi manusia tikus yang terus-menerus menggali, akhirnya berhasil juga. Dengan satu gempuran keras, batu terakhir yang menghalangi tergeser. Tinggal bata-bata tanah yang sekali sentak berlubang! Upasara berdiri tegak.

"Paman."

Dewa Maut menggeleng. "Tak selalu tempat di luar lebih baik, aku akan menunggu Tole di tempat ini."

Sekejap darah Upasara berdesir lebih cepat lagi. Dewa Maut tetap menunggu Gendhuk Tri. Yang sekarang ini tak diketahui mati-hidupnya! Upasara menunduk. Tubuhnya membungkuk, dengan tangan terlipat. Tangan kanannya yang masih kaku tertekuk, dengan ibu jari tertuju kepada Dewa Maut.

"Kalau Paman lebih suka di sini, saya akan keluar lebih dulu. Suatu hari saya akan balik kemari, menjemput Paman dan kita kembali ke Perguruan Awan."

"Bukankah begitu lebih baik, Upasara?"

Upasara memberi hormat sekali lagi. Satu sentakan, tubuhnya menerobos tembok bikinan. Dan lolos melalui sumur mati. Tak terlalu sulit untuk meloncati. Dengan satu loncatan, Upasara sudah berada di tengah, dengan tangan bertahan satu sisi, tubuhnya meloncat keluar dan membuyarkan penutup sumur yang terdiri atas kayu-kayu gelondongan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Upasara mengembalikan kayu-kayu itu ke tempat semula. Kini ia kembali di udara bebas.

Sinar matahari senja terasa begitu indah. Setelah sekian lama terkurung dalam gua dan hanya sempat menyaksikan matahari persis di tengah langit, sinar senja itu terasa lunak dan enak di mata. Apalagi sinar senja itu terbiaskan oleh tanaman bunga yang ditata dengan tangan dan perawatan penuh kasih.

Sejenak Upasara termangu. Tak masuk akalnya, bahwa di jagat ini ada tanah luas yang ditata begitu sempurna, hanya untuk mengejar keindahan pandangan mata. Sungguh terenyak ia ketika mendengar suara-suara kecil. Dengan sedikit berendap, ia menuju ke bagian samping. Yang ternyata lebih indah, lebih teratur, dengan berbagai kolam dan ikan-ikan yang juga terawat sempurna. Tak salah lagi, inilah kaputren! Tempat para putri Raja.

Meskipun waktu kecil dibesarkan di Keraton Singasari, Upasara tak sempat menikmati pemandangan yang memesona seperti ini. Akan tetapi perhatiannya lebih tertuju kepada dua putri kecil. Ludah Upasara tertahan di tenggorokan. Siapakah dua putri ini?

Sekilas Upasara menemukan wajah yang selama ini dirindukan dalam diri anak-anak itu. Wajah wanita yang pernah mengguncangkan jiwanya. Wajah Gayatri! Wajah yang selalu membayangi. Yang cundhuk pemberiannya masih tetap disimpan.

"Kakangmbok Ayu Tunggadewi, tangkapkan kupu-kupu itu."

Yang dipanggil Kakak Tunggadewi meloncat pendek, akan tetapi kupu-kupu yang tengah diincar lebih dulu menghindar.

"Susah, Yayi Dewi... kupu-kupu punya sayap."

Dada Upasara terguncang hebat. Tak salah lagi, kedua anak ini adalah putri Permaisuri Rajapatni. Yang tua adalah Tribhuana Tunggadewi dan adiknya Dyah Wijah Rajadewi. Bahkan cundhuk yang dikenakan sama seperti yang diberikan kepadanya oleh Halayudha!

Upasara menyalurkan tenaga dalam lewat tangan kirinya. Mengibas pelan ke arah kupu-kupu yang diincar. Sehingga kupu-kupu menjadi oleng terbangnya dan bergoyang, berbalik mendekat ke arah Dyah Wijah Rajadewi.

Apa yang ditunjukkan oleh Upasara adalah penguasaan tenaga dalam murni yang tinggi. Yang digebrak adalah angin, dan dengan tenaga itu mendesak seekor kupu-kupu, tanpa mencelakakannya.

"Kakangmbok Ayu, kupu-kupu ini datang sendiri."

"Sssttt, jangan-jangan ada demit."

Dyah Wijah Rajadewi menangkap kupu-kupu itu dengan hati-hati. "Saya tak takut demit atau setan, kalau ia baik dan mau menangkap kupu-kupu. Lebih banyak lebih baik."

Upasara menggerakkan tangan kirinya lagi. Kali ini bukan hanya satu jari, melainkan kelimanya. Dalam satu tarikan, kelompok kupu-kupu yang sedang terbang jatuh ke pangkuan Rajadewi.

Putra Mahkota yang Berkuasa

Tentu saja Rajadewi berteriak-teriak kegirangan. Sebaliknya, Tunggadewi memandang sekeliling dengan curiga. Untuk usianya yang masih di bawah delapan tahun, ini bisa ditebak dari kain yang dikenakan, Tunggadewi termasuk putri yang cerdas.

"Yayi... di tempat ini ada demit... amit-amit..."

"Kakangmbok Ayu, sudah saya katakan. Kalau demit begitu baik, kenapa kita takut?"

Dibesarkan dalam tradisi Keraton, Upasara cukup mengerti beberapa peraturan yang sangat ketat. Apalagi ini adalah putri langsung Baginda Raja. Semasa masih di Keraton Singasari dulu, Upasara bahkan tak pernah melihat bayangan Gayatri! Tapi, walaupun tumbuh dalam pergaulan yang sangat ketat dan terbatas, keduanya menunjukkan perbedaan. Tunggadewi lebih waspada dan sangat hati-hati, sementara Rajadewi lebih terbuka dan berani.

"Demit yang baik, maukah kamu mengambilkan burung di pohon sawo itu? Saya sudah lama ingin memelihara... ingin sekadar melihat, seperti apa sebenarnya burung itu. Tolonglah, demit yang baik, nanti saya akan memberimu bunga dan kemenyan yang harum baunya."

Upasara berbunga-bunga dadanya. Ada perasaan aneh yang selama ini belum pernah dirasakan. Berhubungan dengan anak-anak. Anak-anak Permaisuri Rajapatni. Sungguh aneh. Tapi inilah yang terjadi. Dirinya disangka demit atau hantu oleh putri kecil yang memakai cundhuk yang sama dengan yang sekarang masih disimpannya erat. Daya asmara menyeruak kembali ke dalam seluruh pembuluh darahnya.

Upasara mengambil tanah dan memelintir dengan dua jari. Dibidiknya seekor burung kecil yang tengah berloncatan di antara dahan pohon sawo kecik. Pohon-pohon sawo kecik sengaja ditumbuhkan di pelataran Keraton, baik di kaputren maupun tempat lain. Karena terawat sempurna dan boleh dikatakan tak pernah diambil buahnya, pohon itu menjadi surga bagi berbagai burung. Agaknya inilah yang menggoda Rajadewi. Setiap hari menyaksikan, mendengar ocehannya, akan tetapi tak pernah mengetahui bentuk sebenarnya. Itulah putri Keraton!

Dalam usia yang sama, Gendhuk Tri bukan hanya telah mengenal berbagai burung, akan tetapi juga segala jenis binatang buas yang lain. Malah boleh dikatakan seluruh binatang hutan dikenalnya!

Tanah yang dipelitir Upasara cukup keras, akan tetapi tak membuat burung kecil itu terluka. Terbang jatuh dan dengan terburu-buru Rajadewi menangkapnya. Burung kecil itu hanya sekali bisa meloncat lagi, sebelum akhirnya tertangkap.

"Kakangmbok Ayu... lihat. Bagus sekali."

Tunggadewi menjauh. "Benar-benar demit itu ada. Dongengan itu tidak berdusta."

"Lihat, Kakangmbok Ayu. Apakah Kakangmbok Ayu juga ingin memiliki sendiri?"

"Ya."

Belum selesai tarikan napas Tunggadewi, seekor burung lain telah terbang ke tanah di dekatnya. Rajadewi makin gembira sehingga berloncatan. Suaranya yang nyaring membuat emban pengasuhnya datang mendekat dan menyembah.

"Kalian pergi dulu, aku masih ingin bermain-main."

"Gusti Putri, sekarang sudah sore..."

"Kalau kamu tidak pergi, aku akan menangis dan menjerit."

Upasara merasa geli. Untuk sesaat terhibur segala duka yang baru saja dialami. Terlupakan kehidupan dalam kurungan bawah tanah. Rajadewi, dengan segala kenakalan dan akalnya, bisa menyuruh emban pengasuhnya mundur kembali. Merasa tak dimata-matai, Rajadewi mendekat ke arah Upasara.

"Aku sudah puas melihat burung ini. Nah, sekarang kulepaskan kembali," Rajadewi melepaskan burungnya. "Kupu-kupu ini kusimpan sebentar. Ibu Permaisuri suka melihat kupu-kupu. Demit, kamu tidak marah, bukan?"

Hampir saja Upasara terpancing mengatakan tidak.

"Kalau tidak, kamu gerakkan bunga Puspanyidra di dekatku ini."

Upasara memang tak mengenal jenis-jenis bunga, akan tetapi ia mengikuti petunjuk tudingan jari Rajadewi.

"Jadi kamu tidak marah?"

Kembali batang pohon Puspanyidra bergoyang.

"Bagus, bagus. Kita bersahabat. Nanti malam akan kubawakan kemenyan dan bunga seperti janjiku. Kita akan main-main terus. Mau?"

Tunggadewi memegang erat tangan adiknya. "Demit, kenapa kamu tidak mau menunjukkan dirimu? Apakah benar tubuh manusia panas bagimu? Apakah wajahmu sangat mengerikan?"

Upasara menggerakkan Puspanyidra seakan menggeleng.

"Iiii, lucu sekali. Ibu Permaisuri bakal senang sekali."

Tunggadewi berdiri ke depan. "Kamu yang menguasai taman ini?"

Pohon Puspanyidra mengangguk.

"Selain burung dan kupu-kupu, kamu bisa memberikan apa lagi?"

Upasara tak pikir panjang melemparkan cundhuk. Tunggadewi terperangah.

"Adik Ayu Rajadewi, ini cundhuk milik kita yang dikatakan hilang oleh Ibu Permaisuri."

"Ya. Ya. Benar. Jadi kamu mencuri, Demit?"

Pohon Puspanyidra menggeleng.

"Waktu cundhuk ini hilang, Ibu Permaisuri tidak marah. Eh, Demit, kamu mengenal Ibu Permaisuri tidak?"

Pohon Puspanyidra mengangguk.

"Kalau tahu, siapa namanya?"

Upasara mengambil selembar daun, menuliskan nama, dan melemparkan. Tunggadewi memungut. Wajahnya cemberut.

"Salah. Nama Ibu Permaisuri bukan Gayatri, melainkan Ibu Permaisuri Rajapatni!"

Sudah barang tentu, Tunggadewi dan Rajadewi tak mengetahui bahwa ibu kandungnya lebih dikenal Upasara sebagai Gayatri.

"Demit, siapa namamu?"

Upasara sedang menyiapkan daun kedua, ketika mendengar langkah kaki mendekati. Seorang bocah, sedikit di atas usia Tunggadewi, masuk ke dalam taman. Yang membuat Upasara sedikit heran adalah pengiringnya sangat banyak sekali. Dan bocah yang berkulit lebih putih dari kebanyakan orang ini memakai kalung bertatahkan hiasan berkilauan. Tunggadewi dan Rajadewi berjongkok, menyembah.

"Adik Dewi, sejak sekarang kalian berdua tidak boleh ke taman sendirian. Mulai hari ini tak boleh ke taman lagi, untuk seterusnya."

Tunggadewi lebih tenang. Menunduk dan menyembah. Rajadewi berguncang dadanya.

"Aku yang memutuskan. Tak ada yang membantahku. Selesai. Pergilah. Ini perintah Putra Mahkota."

Upasara melihat bahwa Putra Mahkota Kala Gemet nampak begitu yakin dengan penampilannya. Cara tangannya memberi aba-aba mengusir, kelihatan sekilas sudah sangat terbiasa. Dan tanpa menoleh sedikit pun, terus melanjutkan perjalanan. Hilang di bagian lain bersama para pengikutnya. Sementara Tunggadewi dan Rajadewi sudah dibimbing para emban pengasuh.

"Kakang Raja jahat sekali, Kakangmbok Ayu."

"Apa kata Kakang Raja, terjadilah."

"Saya masih ingin bermain dengan Demit."

"Pasti ia akan ke kamar menemui kita. Demit bisa berada di mana-mana."

Kalau tidak menyaksikan sendiri, Upasara tak akan yakin bahwa Putra Mahkota Kala Gemet demikian keras pengawasannya kepada kedua adiknya. Bukan tidak mungkin, seperti banyak cerita yang didengar, Putra Mahkota perlu mengawasi Tunggadewi dan Rajadewi dalam segala hal. Karena sebagai putra mahkota yang dinobatkan sejak kecil, sejak lahir, para pengasuh Kala Gemet sudah mengisiki bahwa Tunggadewi dan Rajadewi bisa menjadi persoalan di belakang hari.

Karena keduanya adalah putri Permaisuri Rajapatni. Yang jika kelak kemudian hari mempunyai suami, bisa menjadi ancaman. Paling tidak, bisa merasa berhak atas takhta! Ini yang tak dikehendaki! Maka segala sesuatu yang bisa tumbuh di luar pengawasan, sedini mungkin dihapuskan. Alangkah menderitanya Tunggadewi dan Rajadewi dalam pengawasan kakaknya.

Kaukah Itu, Kakang...

UPASARA setengah menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan jalan pikirannya yang begitu mudah mendakwa Putra Mahkota Kala Gemet. Belum tentu sejahat yang dipikirkan. Hanya saja, suara Putra Mahkota yang bergema keras, membuat Upasara berpikir kembali. Untuk seorang putra mahkota, rasanya tak perlu berkata dengan nada yang begitu tinggi. Kecuali kalau sedang marah.

"Paman... siapa namamu? ...Taman kaputren ini sungguh bagus. Terawat dengan baik. Kenapa Paman Sora tak pernah bercerita padaku mengenai hal ini?"

Yang dipanggil dan tak dipanggil menunduk, menghaturkan sembah hormat yang dalam. "Duh, Pangeran Pati sesembahan kawula seluruh Majapahit, kalau Yang Mulia Pangeran Pati menghendaki, hamba akan mengusahakan taman seperti ini di Dahanapura."

Putra Mahkota Bagus Kala Gemet mendongakkan wajahnya sambil menarik udara dari hidungnya. Dari tempat persembunyiannya, Upasara bisa melihat jelas sikap unggul yang dilihat. Sebutan sebagai Pangeran Pati, atau pangeran putra-mahkota, agaknya merupakan sebutan yang biasa didengar. Untuk memberikan penghormatan dan sekaligus juga membedakan dari para pangeran yang lain, bahwa hanya dialah yang menjadi putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaan atas Keraton di kelak kemudian hari.

"Makan waktu lama, Paman. Ingsun ingin segera menikmati. Daripada susah-susah membuat taman seperti ini di Dahanapura, bukankah akan lebih baik kalau ingsun yang pindah kemari?"

"Kehendak Pangeran Pati seperti juga kehendak Baginda. Terkabul sesuai dengan keinginan."

Tanpa terasa Upasara mengatupkan gerahamnya. Ada perasaan tidak enak menyeruak dari benak Upasara. Pertama, cara Putra Mahkota menyebut dirinya sendiri sebagai ingsun. Meskipun ingsun juga berarti saya, akan tetapi cara membahasakan diri seperti itu hanya biasa dipergunakan oleh Raja. Kurang pas jika Putra Mahkota menggunakan istilah itu.

Pengalaman hidup di Keraton Singasari mengajarkan hal ini. Ditambah sebagai Ksatria Pingitan, Upasara memang mau tak mau mempelajari segala adat-istiadat yang berlaku dalam Keraton. Bahwa akan lebih baik lagi kalau mau sedikit merendah. Bukan sebaliknya seperti yang digunakan oleh Putra Mahkota!

Sebab kedua adalah mengetahui cara berpikirnya. Bahwa karena tidak mau menunggu lama, akan lebih mudah kalau dirinya pindah. Tak menjadi halangan benar. Karena apa yang diinginkan bakal terlaksana. Ditilik dari usianya, Putra Mahkota sekarang ini masih sekitar dua belas tahun. Namun keinginannya tidak kalah dengan mereka yang telah lama memegang kuasa. Upasara menghela napas.

Barangkali juga bukan kesalahan Putra Mahkota sepenuhnya. Sejak lahir Baginda telah mengangkat sebagai pewaris takhta. Dengan demikian segala perlakuan, sejak masih bayi sudah menjadi sangat istimewa. Hal ini secara tidak langsung sudah tertanam dalam diri para pengasuh dan pengikutnya. Kalau ia bertindak seperti sekarang ini, bisa jadi biasanya sudah seperti itu.

Upasara menunduk. Ia sadar bahwa pikirannya lah yang terlalu lancang. Biar bagaimanapun, dirinya tak bisa dibandingkan dengan Putra Mahkota! Dalam segala hal berbeda, bukan hanya dalam hal daya asmara, seperti ketika ia mengharapkan Gayatri! Ah, putri Keraton Singasari! Andai dirinya seorang yang dilahirkan secara resmi oleh raja, akan lain ceritanya. Akan bisa memahami Putra Mahkota.

Tetapi tidak juga. Para pangeran dalam Keraton Singasari terdidik dalam suasana yang berbeda. Sejak kecil justru lebih dulu diajari untuk tidak berlaku semena-mena, untuk menahan diri bila menginginkan sesuatu.

"Kalau begitu, sampaikan kepada Mahapatih Nambi dan Halayudha bahwa mulai malam nanti ingsun akan bermalam di sini."

Para pengikutnya serentak menyembah.

"Tempat ini jauh lebih asri daripada di Dahanapura."

Tentu saja lebih asri, pikir Upasara. Dahanapura, walau pernah menjadi pusat pemerintahan, tak bisa dibandingkan dengan Keraton yang baru dibangun. Dahanapura tak lebih dari kadipaten, dibandingkan dengan Keraton pusat. Meskipun Putra Mahkota mendapat perlakuan yang teramat istimewa, akan tetapi tetap saja merasa kalah dengan apa yang dialami sekarang ini.

Upasara ingin segera meninggalkan tempat persembunyiannya. Karena merasa kurang senang mendengarkan. Karena pikirannya seperti membenarkan dugaannya bahwa perlakuan kepada Putra Mahkota membuatnya seakan bisa berbuat apa saja. Kalau dugaan ini benar, kesimpulannya yang pertama yang benar. Bahwa Tunggadewi dan Rajadewi sepenuh-penuhnya berada dalam pengawasan Putra Mahkota.

Ibarat kata, tak akan seekor nyamuk bisa menggigit Tunggadewi atau Rajadewi tanpa diketahui oleh Putra Mahkota, atau tanpa izinnya. Upasara jadi bertanya-tanya sendiri. Kenapa ia begitu memikirkan Tunggadewi dan Rajadewi? Mereka berdua bukan apa-apanya. Mereka adalah saudara Putra Mahkota!

Satu-satunya hubungan yang ada ialah bahwa Upasara pernah terkena daya asmara Gayatri. Dan sekarang Gayatri yang telah berubah menjadi Permaisuri Rajapatni itu mempunyai dua putri. Lalu kenapa ia begitu menguatirkan? Lalu kenapa ia mulai memperhitungkan bahwa sebagai lelaki, Putra Mahkota tak diperkenankan masuk ke dalam kaputren. Suatu pantangan besar. Walau hanya menemui saudaranya. Untuk hal semacam ini ada tempat pertemuan tersendiri. Tak perlu datang ke kaputren. Begitu pula sebaliknya. Para putri tak diizinkan masuk ke gerbang ksatrian!

Nyatanya Putra Mahkota masuk dengan leluasa, bersama para pengawalnya yang setia. Untuk apa sesungguhnya ia memikirkan ini semua? Meskipun Upasara Wulung dikenal di seluruh jagat sebagai ksatria yang sakti, yang menguasai ilmu Bantala Parwa, akan tetapi dalam hal usia dan pengalaman hidup masih sederhana. Apalagi yang menyangkut daya asmara. Boleh dikatakan hanya tahu satu hal. Bahwa sepanjang hidupnya, ia pernah hampir tertarik kepada Nyai Demang. Dan kemudian benar-benar tertarik dan berangan-angan hidup bersama Gayatri.

Bagi Upasara, Gayatri adalah satu-satunya wanita yang pernah menghiasi mimpinya, serta disebut namanya dalam doa dan semadinya. Sewaktu kemungkinan untuk mendapatkan musnah, Upasara tak tahu lagi harus berbuat apa. Seperti sekarang ini. Perhatian kepada nasib Tunggadewi dan Rajadewi adalah perpindahan dari perhatiannya terhadap ibunya. Itu yang menyebabkan Upasara tidak segera meninggalkan persembunyiannya.

Sampai Putra Mahkota dan rombongannya meninggalkan taman. Sampai burung-burung tak lagi berkicau. Sampai purnama memancarkan sinarnya. Upasara tak beranjak dari tempatnya. Menunggu kalau-kalau bayangan Tunggadewi dan Rajadewi muncul kembali. Betapa menyenangkan kalau ia bisa menghibur. Mencarikan kupu-kupu atau menangkapkan burung. Tetapi tak ada bayangan yang ditunggu. Tak ada suara kaki anak-anak yang lembut beringsut.

Yang terdengar adalah langkah lembut bergeser, seakan ada kain yang disapukan ke lantai kaputren. Tiga langkah yang berbeda. Satu langkah sangat ringan, sedangkan dua langkah yang lain kelihatan berat, ragu, dan berada di belakang. Mulut Upasara terkunci, manakala mengetahui suara langkah kaki itu mendekat ke arahnya. Dan dari ujung muncul bayangan, hampir seluruhnya gelap oleh cahaya bulan yang membelakangi ketiganya. Kalau dua bayangan itu dayang-dayang Keraton, berarti yang satunya adalah tuan putri.

Darah Upasara makin cepat berdesir. Pandangannya menyipit. Apakah yang muncul itu Gayatri? Permaisuri Rajapatni yang menyempatkan diri datang? Karena mendengar cerita kedua putrinya yang memperlihatkan cundhuk padanya? Nyatanya begitu. Bayangan yang di depan terus mendekat ke arah Upasara. Sementara kedua tangannya mengibas pelan, dan dua dayang yang seakan menjadi bayangannya berhenti, dan duduk bersila. Bayangan yang mirip Gayatri itu mendekat. Lembut langkahnya. Seirama dengan sinar bulan, dengan alam kaputren. Lalu berhenti beberapa saat.

"Kakang, kamukah yang menjadi demit itu? Benarkah kamu Kakang Upasara, kakangku?"

Inilah Kakangmu, Yayi...

SUKMA Upasara melayang sempurna. Seakan moksa, lenyap bersama raganya. Tubuhnya tetap berada di tempatnya, akan tetapi serasa tak ada. Suara itu adalah suara lembut yang pernah mengusik telinganya, menerobos jantungnya, dan mengalir dalam darahnya. Suara Gayatri, wanita pertama yang mengguncangkan kesadaran Upasara akan sesuatu yang lain.

Setelah mengenal Gayatri, Upasara menemukan makna-makna yang lain, yang berbeda dari yang selama ini dialami. Dinding gerbang Keraton Majapahit mengingatkan dinding gerbang Keraton Singasari, di mana ia pernah memahatkan kidung kerinduan. Menaiki seekor kuda, Upasara terbetot kembali sukmanya. Hanya karena ia pernah berkuda bersama.

Betapa tiba-tiba alam sekitar dan suasana memperlihatkan warna yang tak dikenali sebelumnya. Adalah aneh bahwa pohon yang sama dengan buah yang sama, seakan bisa bercerita panjang tanpa awal tanpa akhir, tanpa pembuka tanpa penutup. Upasara tak pernah mengalami sebelumnya.

Sepanjang hidupnya, ia bisa memusatkan pikiran dengan penguasaan yang selalu dipuji gurunya yang pelit memberikan rasa kagum. Akan tetapi sekali ini, justru ketika ia mengalihkan ke arah lain, bayangan Gayatri makin jelas. Dan sekarang, yang begitu dirindukan itu berdiri di depannya, menengadahkan wajah ke arahnya. Dengan suara alam yang dulu, dengan perasaan yang menyambar-nyambar jantungnya.

Suara yang secara tak sengaja menyelinap dalam mimpi dan lamunan. Suara menggeletar seakan berbisik di daun telinganya seperti dulu juga.

"Kakang, aku datang untuk menemui Kakang. Sewaktu putriku datang dan bercerita tentang demit pembawa cundhuk yang pernah kutitipkan ke Paman Sora, aku yakin Kakang yang datang. Kakang, aku tak tahu apakah Kakang telah menjadi demit atau roh yang gentayangan karena penasaran. Aku berdoa kepada Dewa yang Maha agung, agar Kakang mendapat tempat yang sempurna-bahagia-selamanya."

Tidak, Yayi, tidak. Akulah Upasara Wulung, bersembunyi di sini, masih hidup. Aku belum menjadi demit. Aku masih di jagat dan lebih bahagia di sampingmu, Yayi. Memandangmu.

"Kakang, kudengar berita Kakang muncul di alun-alun. Rasanya aku tak percaya Kakang mau datang ke Keraton. Rasanya tak mungkin Kakang mau menemui bayanganku lagi. Aku tak cukup berharga untuk ditemui. Tetapi aku tak bisa menutupi keinginan dalam doa-doaku, bahwa sebelum aku menuju alam nirwana, aku bisa melihat Kakang."

Upasara menutup matanya. Bibirnya gemetar, menahan getaran dadanya yang bergelombang. Itulah Gayatri! Tetap Gayatri yang dikenalnya dulu. Yang lembut tetapi menyimpan kekerasan. Pelan bicaranya, akan tetapi menggantungkan kepastian yang begitu mendalam. Gayatri-lah yang berani memulai membicarakan hubungan mereka berdua. Gayatri yang putri Baginda Raja Singasari yang mulai membuka persoalan dan mengakui bahwa ia akan menerima Upasara andai Upasara datang memintanya!

Sesuatu yang tak pernah mampir dalam benak Upasara. Seorang gadis, apalagi bunga segala bunga Keraton, lebih dulu membuka pembicaraan ke arah itu. Dengan mata bening menatap ke arah Upasara. Sambil mengatakan bahwa bibirnya terpaksa memulai bicara karena yakin Upasara tak pernah berani memulai. Nyatanya begitu.

Upasara tak tahu harus berkata bagaimana saat itu. Hatinya dipenuhi dengan bunga-bunga harapan, bunga-bunga impian. Sedemikian penuhnya sehingga hanya bisa menunduk bisu. Sesungguhnya Upasara tak tahu harus bagaimana. Daya asmara telah menutup semua kemampuannya. Selama hidupnya Upasara hanya mengenal dua wanita yang pernah membuatnya tertarik. Diakui bahwa yang pertama adalah Nyai Demang. Wanita gemuk dengan pantat besar itu sangat menggoda berahinya yang sedang tumbuh. Namun kemudian Upasara menyadari bahwa hal itu akan dialami semua lelaki yang berhubungan dengan Nyai Demang. Dengan cepat Upasara bisa melupakan tanpa beban.

Sungguh berbeda perkenalannya dengan Gayatri. Di mata Upasara, Gayatri wanita yang sangat sempurna. Bukan hanya karena putri Baginda Raja, bukan karena cantik jelita, melainkan juga karena seolah Gayatri menjawab semua kerinduannya akan wanita. Kerinduan akan wanita yang berkulit halus, yang lembut gayanya akan tetapi mampu berterus terang. Kerinduan akan wanita yang sebenarnya. Gayatri menjawab segalanya!

Sejak pertemuan dan perjalanan bersama dari desa Tarik menuju Singasari, sejak itu pula bersemi semua akar asmara. Daya asmara yang lekat tumbuh di semua bagian tubuh Upasara. Dalam pertempuran antara mati-hidup melawan Naga-Naga dari Tartar, Upasara nekat menyabung nyawa. Demi Gayatri. Justru ketika Sanggrama Wijaya merasa tak memperhitungkan lagi. Betapa luas dan dalam pengaruh daya asmara.

Pertarungan yang bukan hanya mempertaruhkan nyawa, akan tetapi seperti anai-anai menyerbu ke api. Para senopati pilihan tak bisa menang dalam pertempuran utama. Tetapi Upasara nekat maju menggempur. Betapa bahagianya Upasara ketika usahanya berhasil. Membebaskan Gayatri.

Betapa sakitnya ketika Sanggrama Wijaya mengatakan bahwa Gayatri akan dipermaisuri olehnya karena suratan para Dewa yang didengar para pendeta adalah Gayatri tak akan terpisahkan dari Sanggrama Wijaya. Upasara memilih mundur. Menyembunyikan diri di Perguruan Awan. Menolak segala anugerah, termasuk menjadi mahapatih. Menolak menemui Gayatri yang sudah bergelar Permaisuri Rajapatni ketika diculik Klikamuka yang ternyata adalah Halayudha.

Upasara menghindar karena tak ingin melukai perasaan Gayatri. Baginya, penderitaannya tak menjadi suatu apa, asal Gayatri bahagia sebagai permaisuri. Adalah di luar jangkauan pikirannya, bahwa justru Gayatri yang merasa berdosa. Gayatri-lah yang merasa bersalah karena meninggalkan Upasara. Sehingga merasa pantas jika Upasara tak sudi menemuinya.

"Kakang, katakan apa keinginan Kakang. Aku akan melakukan sebisaku, agar Kakang tenteram dan bahagia. Katakan, kakangku."

Sukma dan raga Upasara hanyut. Terserap kekuatan yang tak mampu dikuasainya. Walaupun dirinya disegani semua lawan dan kawan karena ilmunya yang tinggi, tetap saja ia seorang yang tak mampu menguasai terkaman daya asmara. Dalam Kitab Bumi yang dikuasai, tak pernah disebut-sebut mengenai daya asmara. Tidak juga jurus-jurus yang dikenal sebagai Jalan Budha ataupun Tepukan Satu Tangan.

Daya asmara yang dijabarkan adalah daya asmara untuk menyatukan dengan Dewa Segala Dewa, untuk berbakti kepada tanah air kelahiran, untuk menjunjung tinggi Keraton. Bukan daya asmara antara lelaki dan wanita. Sekian tahun Upasara menyembunyikan perasaannya. Bahkan kilasan lamunan pun ditolak. Akan tetapi ia tak bisa mendustai sudut hatinya yang suci. Bahwa Gayatri tetap mampu menggeletarkan hatinya. Tetap dirindukan, di atas segalanya.

Dan ternyata Gayatri pun merasakan hal yang sama. Tetap menyempatkan diri untuk menitipkan cundhuk. Tetap datang ke taman begitu merasa bahwa Upasara muncul. Bagi permaisuri, apa yang dilakukan Gayatri adalah pertarungan nasib yang luar biasa. Betapa aibnya jika diketahui bahwa Permaisuri Rajapatni yang jelita itu keluar dari kamarnya, untuk menemui lelaki!

Aib dan hina. Nista yang akan disandang semua anak-cucunya. Tak bisa disucikan dengan menyiramkan seluruh air Kali Brantas sekalipun. Kalau bukan karena daya asmara yang sama, tak mungkin Gayatri mencarinya.

"Kakang..."

Yayi...

"Kakang..."

"Yayiku..."

Upasara tersentak. Tersadar bahwa ada suara lain yang mengutarakan isi hatinya. Betapa kaget Upasara melihat bayangan mendekati Permaisuri Rajapatni dan sekaligus memanggil "yayiku". Raja Kertarajasa Jayawardhana! Suaminya, rajanya, pemiliknya!

"Yayi Ratu... sudahlah... Jangan membiarkan tubuhmu disinari bulan tengah malam. Kurang baik. Temani aku di dalam. Yang lalu biarlah berlalu. Rembulan dan matahari mempunyai tatanan sendiri. Kenapa berharap rembulan kalau ada matahari bersinar terang?"

Baginda menggerakkan tangannya lembut dan berlalu. Gayatri menyembah, mengikuti dengan menunduk. Tak sedikit pun menengok ke arah Upasara. Semuanya berlalu, begitu cepat dan sempurna.

Jalan Keutamaan di Trowulan

UPASARA masih terkesima. Pandangan kosong tak bertenaga. Kosong yang berbeda dari beberapa kejap sebelumnya. Kosong yang sekarang ini adalah kosong nelangsa, kosong yang hampa. Belum satu tarikan napas, sukmanya seperti dilambungkan ke langit tingkat tujuh. Segala impiannya berubah menjadi kenyataan. Bahkan lebih dari yang diharapkan. Gayatri datang menemuinya. Hanya sekejap. Berubah menjadi kenyataan lain.

Gayatri adalah Permaisuri Rajapatni, yang kemudian mengikuti langkah kaki Baginda. Tak bisa lain. Selesai. Kembali seperti semula. Kenyataan yang ada, bahwa kerinduannya adalah siksaan yang sia-sia. Bahkan wanita yang dipujanya adalah permaisuri seorang raja yang berkuasa.

Sejak semula Upasara menyadari hal ini. Sejak melepaskan niatnya untuk mendampingi Gayatri. Sejak mendengar Gayatri mempunyai putri. Akan tetapi dalam kenangan Upasara, Gayatri masih Gayatri yang dulu menyertai. Putri-putrinya adalah putri yang manis pemberian Dewa. Sekarang, matanya melihat sendiri. Gayatri-nya adalah Rajapatni yang menyertai suaminya, rajanya, pemiliknya yang sah. Berjalan bersama, menuju tempat yang tak diganggu sinar bulan berhawa dingin.

Beberapa kejap Upasara masih bengong. Sebelum akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tamansari. Bayangan ingin menemui Tunggadewi dan Rajadewi mendadak sirna. Yang ingin dilakukan seketika adalah meninggalkan kaputren. Dan itu yang segera dilakukan. Dengan sekali menjejak tanah, tubuh Upasara melayang melewati dinding kaputren. Tanpa menimbulkan kecurigaan penjaga, Upasara meloncat ke arah bangunan Keraton.

Pandangannya sempat melirik ke bawah. Di salah satu bangunan itu, Gayatri bersama Sanggrama Wijaya. Ah, bagaimana nasibnya? Bukankah Baginda mengetahui apa yang dikatakan Permaisuri Gayatri? Mendengar jelas apa yang diucapkan dengan suara lembut? Yang berarti mengetahui kenangan Gayatri akan Upasara? Kemurkaan macam apa yang akan ditumpahkan? Dosa dan hukuman apa yang akan ditanggung?

Upasara merasa bingung. Semalaman penuh ia berlarian kian-kemari di atas bangunan Keraton. Upasara berharap mendengar tangis Gayatri atau penyiksaan. Itu satu-satunya alasan untuk mendobrak, dan dengan Kangkam Galih di tangan kirinya, ia akan melabrak masuk. Menyapu bersih yang menghalangi. Tapi tak ada isak tangis. Di kamar peraduan, Permaisuri Rajapatni tak meneteskan air mata. Hanya bisa menunduk, tepekur, ketika Baginda menghela napas.

"Yayi Ratu, aku tak percaya ketika para emban melaporkan bahwa Yayi Ratu menuju tamansari di tengah malam. Hanya untuk bercakap dengan sukma Upasara. Yayi. Aku merasa bersalah karena tak memberitahumu. Bahwa Upasara Wulung memang telah terkubur hidup-hidup di dalam gua bawah Keraton. Kalau aku tahu, aku akan mencegah Halayudha melakukan hal itu. Tetapi semuanya telah terlambat. Apakah kamu menginginkan aku menghukum Halayudha?"

Permaisuri Rajapatni tetap menunduk. Tak bergeser seujung rambut caranya duduk.

"Kamu ini aneh, Yayi Ratu. Dengan arwah bisa bicara panjang-lebar, akan tetapi dengan raja yang masih berkuasa, kamu membisu. Apa sebenarnya kekuranganku? Apakah ada lelaki di jagat ini yang bisa menyamaiku? Apalagi melebihiku? Katakan, aku bisa melihat siapa lelaki ajaib itu. Tak ada, Yayi. Tak ada. Dari ujung kaki langit hingga ujung kaki langit yang lainnya, tak akan ada yang menyamaiku. Katakanlah. Atau dengan mengangguk saja, aku bisa memperlihatkan kepala Halayudha di depanmu."

Permaisuri Rajapatni bergeming. Suasana sangat hening. Kecuali suara Baginda yang melengking.

"Yayi Ratu Rajapatni. Kamulah satu-satunya sumber kekuatanku. Kalau kamu tersenyum sedikit saja sejak semula, aku tak akan menunjuk Bagus Kala Gemet menjadi putra mahkota. Tetapi kamu selalu membisu. Tertipu oleh bayanganmu. Sesungguhnya, Yayi Ratu, kamulah wanita yang paling bahagia, tetapi sekaligus juga paling sengsara. Aku mendapatkan tubuhmu, tetapi bukan sukmamu. Tetapi kamu tak mendapatkan apa-apa. Upasara tak mendapatkan apa-apa. Tidak sukma, tidak juga raga. Bukankah aku tetap tak bisa dikalahkannya?"

Tak ada isak tangis. Tak ada air mata. Tetapi lolongan serigala yang kesakitan, ringkik orang hutan yang kesakitan, kalah menyayat dengan apa yang dirasakan oleh Gayatri. Juga oleh Baginda.

Dan oleh Upasara. Yang masih terus mengelilingi Keraton hingga fajar dini hari. Baru ketika embun pagi terasakan, Upasara melompat keluar dari benteng sebelah luar. Berjalan tanpa tujuan. Mengitari dinding alun-alun. Pandangannya tertegun melihat satu rangkaian tulisan yang dipahatkan di dinding:

satu-satunya jalan keutamaan
hanya di Trowulan
satu-satunya lelaki sejati
bisa melewati
menjadi lelananging jagat


Yang membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa tulisan itu dibuat dalam beberapa bahasa dengan beberapa huruf. Seakan ditujukan untuk mereka yang tak mengerti bahasa setempat. Upasara jadi teringat bahwa akan ada pertemuan para ksatria seluruh jagat. Di antaranya, Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang keluar dari sarangnya. Jika benar begitu, tulisan di dinding itu juga ditujukan kepadanya. Meski tanpa itu pun, barangkali Upasara akan berangkat ke sana.

Bukan karena ingin berebut gelar sebagai lelananging jagat atau ksatria nomor satu di seluruh jagat, akan tetapi karena masih ada yang perlu dibuat perhitungan dengan Paman Sepuh. Yaitu soal balas dendam kematian Pak Toikromo dan Galih Kaliki! Hanya ini yang tersisa dalam diri Upasara sebagai sesuatu yang harus dilakukan sebelum akhirnya tak peduli dengan sisa hidupnya.

Tanpa membuang waktu, Upasara segera berangkat menuju desa Trowulan. Untuk mencari tahu siapa-siapa yang datang yang berebut gelar, dan mencari Paman Sepuh. Upasara makin yakin karena di berbagai tempat juga ada tulisan terpahat dengan bunyi yang sama yang disalin dalam beberapa huruf dan bahasa. Di antaranya adalah bahasa dan huruf yang dulu digunakan oleh pasukan Tartar. Serta huruf-huruf dari tlatah Hindia.

Walau keinginannya menggebu, Upasara tak mau bertindak sembrono. Karena mengetahui bahwa yang akan datang ke Trowulan adalah jago dari segala jago, ksatria dari segala ksatria. Yang kalau dilihat sekelebatan mungkin tak ada bedanya dengan penduduk biasa. Akan tetapi pasti, beberapa ksatria dari penjuru yang lain berdatangan. Undangan terbuka di dinding pasti terbaca dan terpahami oleh yang lain.

Upasara merasa yakin, ketika dalam perjalanan melihat bayangan tubuh Jaghana dan Wilanda di tepi Kali Brantas. Paman Jaghana dan Paman Wilanda. Dua tokoh utama yang sejak awal tak pernah meninggalkan Perguruan Awan. Yang tak terpengaruh oleh angin dan badai yang betapapun hebatnya terjadi dalam dunia persilatan. Apalagi untuk waktu sekarang ini.

Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Upasara makin yakin bahwa wajah-wajah yang ditemui seperti berasal dari wilayah yang lain. Cara mereka berdiam, tanpa banyak kata, juga seakan menyembunyikan asal-usul kedatangan mereka. Upasara makin berhati-hati. Dulu semua ksatria juga datang ke Perguruan Awan karena perangkap yang dipasang Ugrawe. Bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi. Walau Ugrawe telah tiada. Upasara tak menduga bahwa Halayudha yang memasang jerat!

Membasmi Hingga Cindil Abang

Halayudha sudah menyiapkan semuanya. Begitu lolos dari kurungan bawah Keraton, Halayudha langsung menghadap Baginda. Serta-merta menyerahkan diri, minta hukuman mati.

"Menjatuhkan hukuman mati bagimu, tak perlu mencuci tangan lebih dulu. Tetapi katakan, apa kesalahanmu."

Dengan segala kecerdikannya, Halayudha menyusun laporan bahwa sebenarnya ia sangat berdosa, karena bersedia dititipi cundhuk kenangan dari Permaisuri Rajapatni buat Upasara. Selama ini ia tak berani melapor ke Baginda. Namun ia mengambil prakarsa sendiri untuk mengurung Upasara secara hidup-hidup. Itulah yang diakui sebagai dosa.

Hal yang kedua yang disampaikan ialah bahwa para jago silat akan berebut kesaktian. Maka Halayudha ingin mengalihkan medan pertempuran ke Trowulan. Agar pihak Keraton tidak terseret, sebaiknya Halayudha secara pribadi yang menangani. Mohon petunjuk Baginda.

Dalam situasi seperti itu, Baginda lebih terpukul oleh berita bahwa permaisurinya ternyata masih menyimpan kenangan terhadap Upasara. Maka keinginan Halayudha diluluskan, sementara Baginda ingin menyelidiki Permaisuri.

Kepada Mahapatih Nambi, Halayudha menjelaskan bahwa sebenarnya ia hanya menjalankan tugas menangkap Upasara hidup atau mati. Karena Upasara sangat kurang ajar berani berhubungan dengan Permaisuri. Karena Upasara mempunyai pengikut yang banyak, atas nama Baginda Halayudha akan membawa senopati pilihan menuju Trowulan. Padahal ia sendiri yang menyebarkan undangan bahwa tempat pertemuan di Trowulan.

Dengan membawa senopati pilihan, Halayudha siap melaksanakan semua impiannya. Menyapu bersih lawan-lawannya. Bagi Halayudha tumpes tekan cindil abang, atau menumpas hingga anak tikus yang masih merah, adalah siasat habis-habisan. Artinya akan menumpas lawan hingga habis. Cindil adalah anak tikus, abang, berarti merah. Jadi bahkan bayi tikus yang masih merah pun harus dibasmi, kalau ingin memusnahkan lawan hingga ke akar-akarnya.

Halayudha tak mempunyai pilihan lain, karena sekarang ini yang bermunculan adalah tokoh-tokoh sakti mandraguna, dalam tingkat yang sulit ditandingi. Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang adalah gurunya sendiri, tak mungkin bisa dihadapi. Untuk itu satu-satunya cara menghadapi adalah mengadu dengan Kiai Sambartaka yang pernah disebut-sebut Naga Nareswara. Atau juga dengan ketiga Kangkam yang rasanya setanding dengan mereka. Dengan perhitungan masih mungkin muncul empu-empu yang kampiun, Halayudha menyiapkan satu medan.

Saat itu ia justru akan melibatkan para senopati Keraton, termasuk Mahapatih Nambi. Sebab ganjalan utamanya tinggal Mahapatih Nambi. Kalau Mahapatih bisa ditarik ke medan pertempuran, berarti pulang hanya tinggal nama. Ia bisa merebut posisi. Ia bisa mengganti. Apa susahnya melaporkan kepada Baginda, bahwa Mahapatih Nambi sudah diberitahu untuk tidak terlibat, akan tetapi ingin memperlihatkan kekuatannya.

Halayudha sedikit kecewa, karena sebenarnya ingin mengajukan satu nama agar sepadan. Yaitu Raja Segala Naga atau Naga Nareswara. Hanya saja ia telah telanjur menguburnya hidup-hidup dengan Gendhuk Tri. Kalau tidak, ini benar-benar menjadi pertarungan puncak di atas puncak. Para pendekar utama dari Tartar, Hindia, Jawa, Jepun, bertarung menjadi satu.

Dari sekian banyak nama, Halayudha hanya takut pada satu nama, yaitu gurunya sendiri. Rasa bersalah tidak terlalu menghantuinya, akan tetapi kalau mengingat pembalasan yang akan diterimanya, membuat tetap gelisah. Banyak tipu muslihat bisa dilakukan dengan sempurna tanpa berkedip. Namun sekali ini Halayudha bergidik. Karena tahu persis apa tindakan yang akan diambil gurunya yang sakti. Halayudha terpaksa memutar otak untuk tidak sampai bertemu dengan bayangan gurunya!

Satu-satunya jalan ialah mengundang para ksatria. Semakin banyak ksatria bermunculan, dirinya akan semakin tersembunyi. Maka yang dikerahkan ikut muncul secara diam-diam adalah para senopati pilihan. Halayudha melihat bahwa undangan yang digoreskan di dinding banyak menarik perhatian para ksatria. Dalam perjalanannya, ia segera mengenali bahwa kedua belas murid Kiai Sumelang Gandring ikut datang. Lengkap seluruhnya.

Demikian juga Jaghana dan Wilanda yang datang tanpa penyamaran. Satu langkah telah berhasil. Menggerakkan semua ksatria ke suatu tempat. Yang segera bisa dikenali ialah hadirnya Kama Kalacakra dan Kama Kalandara. Karena ikatan kucir di rambutnya maupun kepalanya yang separuh botak. Hanya saja Halayudha masih was-was karena guru mereka berdua tokoh utamanya, Kama Kangkam-belum kelihatan.

Dukuh Trowulan mendadak berubah dengan datangnya tokoh-tokoh yang kelihatan saling berdiam diri. Upasara yang sepenuhnya menyembunyikan diri merasa bahwa udara di dukuh itu makin panas dan berbau kematian. Kekuatiran terbukti ketika keesokan harinya sebagian atau seluruh penduduk Trowulan terbunuh. Tubuhnya terbelah dengan sabetan miring!

Ini berarti Paman Sepuh Dodot Bintulu sudah bereaksi untuk memperlihatkan diri. Tokoh sakti yang sejajar dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata ini ternyata begitu ringan tangan untuk menyapu bersih semua penduduk setempat. Menyaksikan begitu banyak mayat bergeletakan, Upasara tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan gagah perkasa ia menuju ke suatu tanah terbuka. Satu tangan memegang Kangkam Galih, Upasara berteriak mengguntur,

"Kesaktian dan bukan kesaktian tidak dibuktikan dengan membunuh penduduk tanpa dosa. Kalau memperebutkan Jalan Budha, kenapa harus melewati jalan yang sesat. Hari ini aku, Upasara Wulung, menunggu di sini. Aku datang untuk menerima undangan, dan siap dengan segala apa yang terjadi. Bukan seperti penduduk setempat yang tidak tahu segala apa. Hari ini, aku menunggu di tempat ini."

Serentak dengan itu semua pandangan tertuju kepada Upasara. Wilanda dan Jaghana segera meloncat mendekat dan saling melemparkan senyum hormat. Kelihatan jelas dari pandangan mereka berdua banyak yang ingin dibicarakan, akan tetapi bisa dipendam.

"Aku, Upasara Wulung, dari Nirada Manggala, menunggu di sini."

Belum habis ucapan Upasara Wulung, kedua belas murid Kiai Sumelang Gandring sudah membentuk barisan yang mengepung. Bagian awal serangan Jiwandana Jiwana.

"Kami murid Kiai Sumelang Gandring mohon dengan sangat diikutkan dalam memilih jalan utama ini."

Kama Kalacakra dan Kama Kalandara juga maju sambil membungkukkan badan. "Kami berdua mewakili guru kami untuk menanyakan mengapa bukan Eyang Sepuh sendiri yang datang menyambut, mengingat kami datang dari jauh."

Upasara balas menghormat. "Maaf, Kisanak dari Jepun. Saya tak bisa mengatakan apa dan bagaimana mengenai Eyang Sepuh pepunden, yang kami muliakan. Beliau telah menyerahkan segala tanggung jawab Perguruan Awan kepada kami."

Jaghana dan Wilanda ikut mengangguk hormat.

"Kalau begitu caranya, rasanya tak perlu guru kami datang sendiri. Cukup diwakili kami berdua."

"Kalau itu yang dikehendaki, silakan."

Mendadak terdengar sindiran halus tapi menyayat. "Segala tikus celurut Jawa ini hanya pintar memutar lidah. Mana mungkin kalian tetap menghormati Eyang Sepuh yang bahkan muncul pun tak berani? Bagaimana kalian bisa mengatakan menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan kalau tak berani mempertanggungjawabkan? Cabut kembali ucapan pemilik Kitab Bumi."

Ternyata Naga Nareswara yang mengucapkan itu. Ia tetap duduk bersila, hanya saja tubuhnya terangkat setengah tombak dari tanah. Yang membuat Upasara merasa heran ialah ternyata di sebelah pendeta Tartar ini ada Gendhuk Tri!

"Kalian semua salah tampa. Akulah penulis Bantala Parwa dan bukan si bejujag yang mengaku mendirikan Perguruan Awan. Kepadakulah kalian meminta pertanggungjawaban. Namaku tak ada, tapi mereka menyebutku Dodot Bintulu!"

Dengan wajah tetap tertutupi caping besar, Paman Sepuh Dodot Bintulu duduk di atas tongkat bambu yang kurus. Walau tubuhnya bergoyang-goyang seakan mau jatuh, akan tetapi ternyata kelihatan enak.

"Kalau semua sudah datang, alangkah baiknya kita mulai pertemuan ini. Sebelumnya aku minta maaf, kalau di antara yang datang masih suka makan nasi, harap menyingkir."

Terdengar suara sangat berat sekali nadanya. Membuat sesak!

Pertarungan Penghabisan di Trowulan

UDARA seperti terimpit. Seperti menyempit di tenggorokan. Betul-betul pameran tenaga dalam yang sangat sempurna. Untuk sementara Upasara tak bisa menentukan siapa yang berbicara. Baru kemudian menyadari bahwa arah suara dari sebelah kanannya, dari seorang lelaki yang tinggi, dengan tangan terlipat di dada. Tanpa menggerakkan bibir. Yang lebih membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa Nyai Demang ada si samping tokoh sangat jangkung itu.

"Selamat datang, Kiai Sambartaka, aku sudah menunggu lama."

"Aha, kamu tak pernah mau kalah. Aku membawa wanita, kamu juga membawa. Untuk sementara, kita berdua belum ada yang kalah. Untuk sementara ini saja."

Upasara memang tak begitu mengenal nama Kiai Sambartaka. Akan tetapi melihat bahwa hanya dengan suara perut-tanpa menggerakkan bibir bisa menguasai seluruh udara di tanah terbuka, ini sungguh luar biasa. Kesempurnaan penguasaan tenaga dalam yang Upasara pun merasa tak mampu melakukan. Bahwa yang mengenali dan mengenalkan adalah Naga Nareswara, agaknya antara dua tokoh sakti itu sudah ada hubungan sebelum ini.

"Sahabat-sahabat lama, aku senang dengan pertemuan ini. Tak percuma Dodot Bintulu datang kemari. Mari kita mulai saja, daripada yang Naga juga menjadi tikus celurut karena banyak bicara."

Tanpa terasa Upasara memegang erat Kangkam Galih. Jaghana dan Wilanda mengumpulkan tenaga di dada. Siapa pun yang berada dalam keadaan seperti sekarang ini, rasanya tak bisa menyembunyikan ketegangan yang ada. Perkecualian utama barangkali hanya pada Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, maupun Paman Sepuh.

"Mana bisa main gempur seperti semut?" Mendadak Nyai Demang berteriak nyaring. "Kalau kita semua menginginkan disebut sebagai pewaris tunggal sari ajaran yang kita agungkan, kita bisa bertarung satu lawan satu."

"Tak perlu, tak perlu. Wanita selalu merepotkan. Biar saja kita bertempur terus. Siapa yang berdiri terakhir, itu yang berhak mengaku paling murni ilmunya." Paman Sepuh nampak bergoyang-goyang tubuhnya.

"Paman Dodot Bintulu, kalau Paman tak mau diatur, silakan mulai saja."

"Memang! Ayo, siapa yang akan mulai? Naga tikus yang berani mengatakan aku mencuri ilmunya? Ayo maju saja. Akulah yang menciptakan Bantala Parwa. Kutulis sendiri, dengan tanganku yang ini."

"Baik, Kakek Guru, sekarang saatnya memperlihatkan ilmu yang sesungguhnya. Itu sudah jelas lawannya."

Suara Gendhuk Tri membuat Nyai Demang mengerutkan keningnya. Apakah tak salah dengar, sampai Gendhuk Tri memanggil Kakek Guru kepada Naga Nareswara? Kalau Nyai Demang merasa heran, Gendhuk Tri pun sebenarnya tak mengerti bagaimana Nyai Demang bisa mendampingi Kiai Sambartaka! Padahal kalau diterangkan dengan satu-dua kata, bisa saling mengerti.

Pertemuan Gendhuk Tri dengan Naga Nareswara boleh dikatakan pertemuan tak sengaja. Setelah terjebak dan terkurung, Gendhuk Tri mulai menggali tanah. Terus-menerus tanpa peduli lelah dan istirahat. Naga Nareswara jadi tergerak hatinya. Dan melihat bahwa Gendhuk Tri tetap mempunyai semangat hidup yang luar biasa. Tak surut sedikit pun! Sesuatu yang tak diduga Naga Nareswara. Bahwa ada "tikus" yang melihat jauh ke depan.

Usaha Gendhuk Tri memang melelahkan dan nyaris membuat putus asa. Hanya karena kebetulan pernah terkurung dalam gua saja, maka Gendhuk Tri mempunyai harapan. Pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya hanyalah apakah ia mampu berpacu dengan maut yang datang atau tidak? Mengingat itu Gendhuk Tri jadi makin bersemangat. Itu pula yang menggerakkan Naga Nareswara ikut menggangsir tanah. Tentu saja lebih cepat. Beberapa hari tanpa makan tanpa minum, akhirnya tembus juga!

Tepat di tempat Upasara dikurung. Dan dengan bantuan Dewa Maut akhirnya bisa lolos. Satu-satunya yang menyebabkan Gendhuk Tri hampir menangis ialah bahwa Dewa Maut yang begitu gembira berlonjakan melihatnya, tetap tak mau ikut keluar. Gendhuk Tri tak tahu apakah itu berarti Dewa Maut sudah tak tertolong lagi jiwanya atau malah sudah waras!

Dalam hati, Gendhuk Tri sangat iba. Terasa betul betapa sangat dekat hubungan mereka selama ini, dan ia lebih banyak mengabaikan. Keharuan ini sedikit cair karena mendengar cerita bahwa belum cukup lama Upasara meninggalkan tempat itu. Maka ketika melihat undangan di dinding, Gendhuk Tri segera mengajak Naga Nareswara menuju Trowulan!

Hanya Gendhuk Tri sangsi apakah Upasara sudah kembali seperti sediakala atau masih cacat. Kemungkinan kedua yang masuk akal baginya. Sehingga Gendhuk Tri seperti tak memedulikan Upasara, karena takut semua perhatian tertuju ke arah Upasara yang sudah dikondangkan sebagai pewaris Kitab Bumi!

Hal yang sama, bukan sesuatu yang aneh, juga dirasakan oleh Nyai Demang. Kekuatiran akan keadaan Upasara-lah yang menyebabkan ia setengah menyembunyikan sikap akrabnya. Perjalanan hidup Nyai Demang bisa bersama Kiai Sambartaka, meskipun bisa disebut aneh, tidak terlalu mengherankan. Nyai Demang selalu berkelana, dan kemampuannya menguasai berbagai bahasa dengan mudah membuat Kiai Sambartaka erat dengannya.

Nyai Demang bisa bercakap dengan Kiai Sambartaka dalam bahasa Kiai Sambartaka, sementara Kiai Sambartaka bisa lebih berlatih. Lebih dari semua itu, pandangan luas Nyai Demang akan berbagai ilmu membuat Kiai Sambartaka sangat terikat. Apalagi Nyai Demang memperlihatkan bahwa ia cukup mengenal beberapa jurus dari Tartar. Bahkan bisa menghafal cara berlatihnya. Benar-benar merasa mendapat sahabat yang diturunkan oleh Dewa di Langit!

Nyai Demang mendengar penuturan bahwa selama ini memang ada persaingan antara Kiai Sambartaka terutama dengan Naga Nareswara. Maka kalau bisa lebih mengenal, Kiai Sambartaka mau memberikan apa saja! Kalau tadi Nyai Demang mengusulkan ada aturan pertarungan, semata-mata untuk melindungi Upasara.

Kalau kemudian Gendhuk Tri membujuk Naga Nareswara menghadapi Paman Sepuh, juga untuk melindungi Upasara. Baru setelah kalimat itu diucapkan, baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang menjadi merah wajahnya!

Gendhuk Tri, yang sudah bertambah umurnya beberapa tahun, merasa malu. Hanya Upasara yang sama sekali tidak merasa bahwa sesungguhnya ia begitu diperhatikan oleh Gendhuk Tri dan Nyai Demang.

"Kama murid, kalian berdua menghadapi anak-anak kecil. Yang tua urusan saya."

Kama Kangkam maju ke gelanggang. Pedang panjang dan juga pedang pendeknya digenggam bersamaan di depan dada.

"Saya Kama Kangkam, khusus datang dari Jepun untuk minta pelajaran. Apakah ajaran di tanah Jawa, di tanah Hindia, atau di negeri Cina yang lebih benar? Biarlah anak-anak bermain sendiri, kita yang tua segera menyelesaikan perkara."

"Bagus," kata Kiai Sambartaka. "Semua sudah lengkap. Saat ini kita tuntaskan semua, dan mulai sekarang tak perlu lagi adu mulut untuk perkara semacam ini."

Paman Sepuh meloncat turun dari tongkatnya. Naga Nareswara menurunkan kakinya. Kini berdiri gagah. Membentuk lingkaran bersama Kama Kangkam dan Kiai Sambartaka.

"Tak begitu mudah menganggap kami kanak-kanak." Mendadak dua belas murid Kiai Sumelang Gandring meloncat maju secara bersamaan.

Nyai Demang menarik napas. Ia paling mengenal kehebatan barisan Jiwandana Jiwana atau Tembang Kehidupan. Apalagi kini dimainkan secara komplet. Dua belas orang. Sembilan orang saja sudah sangat merepotkan! Namun agaknya mereka salah perhitungan! Salah besar.

Karena hanya dengan menggerakkan tongkat bambu tipis, anginnya sudah cukup untuk menjatuhkan salah satu dari dua belas murid Kiai Sumelang Gandring. Mati seketika dengan luka panjang miring dari samping. Yang di dekat Naga Nareswara remuk kepalanya terkena tongkat emas. Yang di dekat Kama Kangkam tertebas batang lehernya. Di dekat Kiai Sambartaka, jatuh muntah darah. Suara Tanpa Nada, Angin Tanpa Suara

Bahwa yang berkumpul jago di atas jago, dewa dari semua tokoh persilatan, Nyai Demang maupun Gendhuk Tri atau bahkan Upasara Wulung sudah tahu. Sudah bisa memperkirakan keunggulan di atas keunggulan. Akan tetapi tetap tak terbayangkan bahwa ilmunya sudah sedemikian tinggi, sehingga dalam satu gebrakan sanggup menewaskan murid-murid pilihan Kiai Sumelang Gandring, yang justru masuk serempak dengan komplet. Hanya dalam satu gebrakan saja, sepertiga murid utama Kiai Sumelang Gandring mati terbunuh!

Ini berarti kalau yang tersisa membuat gerakan menyerang yang sama, hasilnya juga sama. Diulangi lagi, berarti tamatlah riwayat anak turunan Kiai Sumelang Gandring, empu sakti yang mengembara ke tlatah kulonan, ke wilayah barat. Dan dugaan Nyai Demang tak meleset. Empat bersaudara terbunuh tanpa sempat mengetahui gerakan lawan, delapan yang tersisa justru menggempur maju. Dan kembali terlihat gerakan setengah terlihat setengah tidak. Empat korban jatuh kembali.

Satu korban terbelah mencong dari bagian pundak menyamping. Satu lagi tertebas lehernya. Yang ketiga rontok isi kepalanya bagai bubur. Yang keempat, muntah darah hitam pun tak selesai. Gendhuk Tri mengeluarkan keringat dingin. Pemandangan kali ini sungguh luar biasa. Ia mengikuti banyak pertempuran. Bahkan terakhir kali bersama Naga Nareswara yang ganas lidah maupun ancamannya.

Namun baru sekarang terbuka matanya, bahwa Naga Nareswara memang pantas mengumbar suara. Kalau tidak, tak mungkin bisa mengulangi gerakan yang sama dengan hasil yang sama. Apalagi kalau diperhitungkan bahwa murid Kiai Sumelang Gandring mempunyai kemampuan rata-rata sejajar dengan dirinya. Dan kalau bergabung, bisa berlipat ganda kekuatannya. Toh nyatanya, mereka semua kelihatan tak berdaya seperti nyamuk kelelahan yang tak bisa menghindar.

Keringat dingin Gendhuk Tri menjadi lebih banyak mengalir, jika mengingat jangan-jangan para jawara ini sengaja memamerkan keunggulannya satu sama lain dengan memakai korban mereka yang lancang menyerang. Satu gebrakan lagi, benar-benar tamatlah barisan Jiwandana Jiwana.

Gendhuk Tri tak tahu harus berteriak menahan atau mengoceh seperti biasanya. Pikirannya sangat kacau. Dan sebelum sadar sepenuhnya, terdengar aba-aba dari empat murid sisa Kiai Sumelang Gandring. Ada beberapa gerakan di tengah udara. Dengan hasil akhir yang sama. Satu tertebas kepalanya sebatas leher, satu luka menganga menyamping, satu lagi remuk batok kepalanya, dan satu lagi mati dengan muntah darah!

Jaghana menghela napas sangat berat. Setelah Upasara, Jaghana yang menyadari bahwa tiga kali serangan satu gebrakan, dengan hasil yang sama, ini memperlihatkan beberapa perbedaan mendasar. Memang pada gebrakan yang pertama, Paman Sepuh yang membelah serong lawan yang berada di dekatnya. Akan tetapi sebenarnya pada gebrakan kedua, bukan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang menyobek dengan gaya menebas semacam itu. Melainkan tokoh lain. Kalau bukan Kama Kangkam, Naga Nareswara, atau Kiai Sambartaka! Ajaibnya, tokoh-tokoh unggul ini mengganti pula jurusnya dengan jurus yang diandalkan tokoh lain!

Sementara Paman Sepuh mengganti jurus dengan meremukkan kepala seperti yang dilakukan Naga Nareswara, sementara itu pula Naga Nareswara menebas leher seperti yang dilakukan Kama Kangkam. Dan Kama Kangkam menirukan ilmu Sambartaka, dan Kiai Sambartaka menggunakan jurus Paman Sepuh. Hanya Jaghana tidak bisa memastikan siapa memakai jurus siapa pada gebrakan kedua dan ketiga. Nyai Demang yang menyadari kemudian menjadi terbatuk. Sebaliknya Gendhuk Tri makin banyak keringatnya.

"Dalam satu gebrakan saja, para jawara ini bisa menirukan gebrakan maut lawan, seakan tanpa cacat," katanya dalam hati. "Ini barangkali satu tingkat di atas kesempurnaan. Walau Kakang Upasara adalah tokoh yang paling disegani selama ini dengan penguasaan ilmu Kitab Bumi, rasa-rasanya masih tak mampu melakukan hal ini. Kalau bisa terpancing keempat tokoh yang bertarung ini, tanpa melibatkan Kakang, barangkali..."

Gendhuk Tri pucat wajahnya, karena justru Upasara mengangguk dalam-dalam, sambil menggeser ke tengah arena pertempuran.

"Saya belum mampu menirukan kekejaman tanpa ampun yang kini tengah dipamerkan. Akan tetapi bukan berarti wakil dari Perguruan Awan sebagai pengundang bisa dikesampingkan begitu saja."

Dari kata-katanya jelas terbaca, bahwa Upasara Wulung siap dilibatkan dalam pertarungan habis-habisan. Wilanda dan Jaghana paling bisa mengerti bahwa tindakan Upasara terutama karena beberapa kali disebutkan bahwa Eyang Sepuh yang menjadi pengundang. Sungguh tak masuk akal, kalau sekarang Upasara Wulung yang menjadi penghuni utama, dan dianggap guru dari Perguruan Awan, mencuci tangan. Apa pun alasannya!

Naga Nareswara mendesis. "Tubuhnya masih bau air susu kerbau, bagaimana mungkin lidahnya bisa memaki kita sebagai peniru? Apakah seorang ksatria sejati begitu pengecut sehingga takut dikatakan meniru? Upasara, tikus gunung yang suka makan angin, sebelum ini aku mendengar namamu sekilas disebut-sebut. Tapi agaknya kamu belum pantas mewakili siapa pun. Carilah kesempatan lain. Di pasar malam, di alun-alun waktu terang bulan, kamu akan menemukan kesempatan yang baik untuk memamerkan kebolehanmu. Bukan di sini."

Upasara menggenggam Galih Kangkam erat-erat. "Saya yang menyingkirkan ketiga Naga dari Tartar, sudah sepantasnya saya menjajal Naga yang menganggap dirinya raja. Atas nama penghuni Nirada Manggala, Upasara Wulung siap menghadapi kedatangan Naga Nareswara..."

Nyai Demang menjerit. Gendhuk Tri berkomat-kamit. Tubuh Naga Nareswara bergerak, anginnya menggeleser, dan mendadak tongkat emas menyabet ke arah Upasara! Tongkat yang dengan satu kali gebrakan membuat batok kepala seperti adonan lumpur! Yang bisa untuk menebas leher sama runcingnya seperti pedang panjang Kama Kangkam.

Wilanda yang berada di dekat Upasara terdorong mundur, karena dadanya seperti ditusuk dengan sodokan berat yang membuat ngilu. Bahkan Jaghana pun terpaksa memundurkan kakinya sampai empat langkah, surut ke belakang!

Sebaliknya, Upasara tidak beringsut sedikit pun. Seluruh tenaga menggumpal di dada begitu kesiuran angin menerkam. Pedang tipis hitam ditarik, dengan tangan tertekuk di depan dada. Pandangan Upasara tidak ke arah tongkat emas, melainkan menatap lekat ke arah Naga Nareswara. Begitu tongkat emas menyapu, Upasara menangkis dengan menusukkan Galih Kangkam ke arah lingkaran-lingkaran berlubang di ujung tongkat pusaka! Begitu bersentuhan, Upasara merasakan tenaga pusaran yang luar biasa kuatnya mengisap. Seperti pusaran puting beliung, yang dahsyat mengisap, akan tetapi juga sekaligus bisa berubah arah dan sasarannya.

Ini yang membuat Nyai Demang menjerit. Pengetahuan secara teori, mengajarkan kepada Nyai Demang bahwa tongkat pusaka para pendeta yang kebetulan datang dari Tartar adalah pusaka yang istimewa. Bukan hanya karena terbuat seluruhnya dari logam emas dengan campuran istimewa, akan tetapi justru lubang-lubang berbentuk lingkaran di bagian atas tongkat sengaja untuk meredam semua senjata dan kekuatan lawan. Apa pun bentuk dan kekuatannya-tombak, keris, gada, cemeti, panah-kalau sampai masuk ke dalam lingkaran bisa dimentahkan. Karena dalam hal ini tinggal adu tenaga dalam.

Kalau ada yang berbeda dalam serangan pertama Naga Nareswara hanyalah karena tongkat pusaka itu tidak dipegang secara langsung. Namun untuk tingkatan tokoh sakti mandraguna, hal itu tak banyak bedanya. Upasara menusuk ke tengah pusat kekuatan, dan menerobos semua getaran panas-dingin silih berganti, sambil mencoba mengangkat dan membalikkan...

BAGIAN 21CERSIL LAINNYABAGIAN 23
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.