Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 24
Naga Nareswara, maha jago dari Tartar, terbelah sempurna oleh sabetan tongkat kurus. Lukanya juga menggores mencong. Upasara melihat sendiri. Menyaksikan sobekan seluruh urat, daging, dan tulang Naga Nareswara, pada tempat-tempat yang mematikan. Ini berarti bukan hanya sekadar penguasaan ilmu yang luar biasa, akan tetapi Paman Sepuh mengenal rasa welas asih. Rasa kasihan, rasa kemanusiaan yang dalam.
Sabetan tongkat kurus Paman Sepuh adalah sabetan yang memutus kehidupan dalam seketika. Sehingga korbannya tak sempat merasakan rasa sakit. Dalam sekejap, nyawanya telah melayang. Ini justru yang tak terlihat pada tubuh Pak Toikromo! Juga seluruh penduduk desa! Pada kejap-kejap terakhir dalam hidupnya, Pak Toikromo masih merasakan ngilu yang luar biasa pedihnya. Karena disengaja oleh Halayudha, agar korbannya merasakan penderitaan yang luar biasa.
Sebagai jago silat, Upasara mengetahui perihal urat saraf, nadi, dan otot-otot dalam tubuh manusia. Sehingga bisa lebih merasakan betapa sesungguhnya Halayudha adalah iblis di atas iblis yang tak mengenal perikemanusiaan sama sekali. Sungguh aib kalau ada gelar senopati, apalagi ksatria, bagi manusia iblis semacam itu.
Inilah sesungguhnya yang membakar hati Upasara. Lebih dari dendamnya kepada Kiai Sambartaka yang culas di saat-saat terakhir. Yang membuat Eyang Sepuh melakukan ilmu terakhir yang dimiliki, yaitu moksa, lenyap bersama seluruh badan dan sukmanya. Tindakan Kiai Sambartaka lebih dikarenakan terdesak, dan pada saat-saat terakhir mempertahankan hidupnya. Sedangkan Halayudha berbuat kecurangan dan keculasan untuk keserakahannya.
Kalau Upasara, Jaghana, Wilanda tenggelam dalam pikirannya, tidak demikian dengan Nyai Demang. Tanpa lebih dulu menanggalkan pakaiannya, Nyai Demang meloncat ke dalam sungai, menyelam, seakan mengaduk-aduk perut sungai. Dari ujung ke ujung, hingga tiap kali mengambil udara, makin terlihat napasnya tak teratur.
"Apa yang dicari perempuan yang selalu minta diperhatikan itu?" Ucapan Gendhuk Tri yang lirih mendapat jawaban dari Nyai Demang yang muncul sebentar.
"Kamu yang tolol. Sudah jelas Kiai Sambartaka melesat ke dalam sungai, kenapa kalian biarkan saja?"
Gendhuk Tri melengak. "Memang kenapa?"
"Itu yang dinamakan ketololan."
"Aku memang tolol. Tapi katakan dulu, kenapa?"
Nyai Demang menghela napas sambil berenang ke pinggir. "Kiai Sambartaka bukan kamu atau aku. Ia jago utama yang dikirim dari tlatah Hindia. Kemampuannya luar biasa dalam mengatur pernapasan. Rasanya tak mungkin begitu saja mati ketika kecebur ke sungai. Pun andai saat itu sudah terluka parah."
"Kalau begitu aku benar-benar sangat tolol dan dungu."
Nyai Demang menghela napas. "Sudahlah. Belum tentu aku bisa mencari, dan kalau bisa menemukan, belum tentu aku bisa menandingi. Kalau di belakang hari ia muncul lagi, harap kamu berhati-hati."
Biarpun menyadari ketololannya secara tulus, mana mungkin Gendhuk Tri mau dinasihati begitu saja. "Tukang pelihara ular begitu saja ditakuti. Hati-hati atau tidak, itu urusanku."
Gendhuk Tri meludah ke sungai. "Kiai culas, ayo keluar kalau berani. Sekarang tandingi aku. Kalau kamu tetap tak mau keluar, jangan salahkan aku kalau kukencingi wajahmu!"
Mendengar tantangan Gendhuk Tri, yang bisa benar-benar dilakukan, tak urung Upasara tersenyum kecil. Kepada Jaghana dan Wilanda, Upasara menjelaskan maksud berikutnya.
"Saya menangkap kegelisahan Paman berdua mengenai rencana saya membalas dendam. Berarti ini tantangan terbuka buat Baginda Raja, berarti ini membusungkan dada kepada Keraton. Akan tetapi saya tidak melihat pilihan lain. Siapa pun yang melindungi atau campur tangan, saya tak segan-segan akan menghadapi."
Upasara menarik napas panjang.
"Sejak kekuatan saya kembali, ada tuntutan lain yang mendesak. Maaf, Paman, saya belum bisa meredakan keinginan ini. Maka, akan lebih baik lagi kalau urusan saya dengan Senopati Halayudha semata-mata adalah urusan pribadi antara Upasara dan Halayudha. Untuk sementara, urusan Perguruan Awan, Paman berdualah yang menangani."
Jaghana tersenyum arif. "Apa kata Anakmas Upasara, pemimpin kami, tak berani Paman bantah. Hanya saja, kalau Paman boleh menitipkan pesan, bisalah Anakmas mencari waktu yang tepat."
Lembut, lirih, akan tetapi jitu kata-kata Jaghana.
"Karena Baginda Raja sedang membutuhkan Halayudha. Paman mendengar bahwa di samping utusan-utusan dari mancanegara yang sudah berkumpul di Trowulan ini, masih ada yang lainnya. Bukan kebetulan kalau yang sekarang sedang berada di Keraton menjadi tamu kehormatan adalah Ratu Ayu Bawah Langit."
Gendhuk Tri jadi menoleh. Nyai Demang yang tengah mengeringkan rambutnya memasang perhatiannya dengan baik-baik. Jaghana tidak membuat Upasara bertanya-tanya, segera memberi penjelasan.
"Sewaktu kita berangkat kemari, pendengaran Paman yang kurang bagus ini menangkap kabar bahwa Ratu Ayu Bawah Langit datang ke Keraton dan menjadi tamu kehormatan Baginda Raja. Barangkali Anakmas pernah mendengar cerita Ratu Ayu yang keayuannya melebihi 999 bidadari."
"Ini yang baru aku dengar, Naga Nareswara yang sudah mati itu menyebut-nyebut ada perempuan yang berani bergelar Ratu Ayu Bawah Langit. Apa hebatnya perempuan itu, sehingga berani memakai gelaran itu?"
"Ia putri raja, yang sekarang ini pun tengah menunggu pelantikan resmi sebagai ratu."
Penjelasan Nyai Demang membuat Gendhuk Tri lebih penasaran.
"Kalau ia cuma ratu, biar saja. Perlu apa saya peduli. Tapi berani mengaku paling ayu, saya mau lihat sendiri. Apakah hidungnya cuma punya satu lubang? Apa keringatnya bau minyak kesturi? Apa ludahnya wangi seperti kayu cendana?"
Meskipun diucapkan dengan hati yang dongkol, Gendhuk Tri menunjukkan bahwa sebenarnya ia mendengar puji-pujian bagi Ratu Ayu Bawah Langit. Pujian yang membuat perutnya merasa mual. Karena menyinggung harga dirinya sebagai wanita.
NYAI Demang merasa Gendhuk Tri mewakili suara hatinya. Barangkali juga suara hati semua wanita. Bahwa di dunia ini ada wanita yang cantik jelita lebih daripada bidadari, bukan sesuatu yang aneh. Akan tetapi bahwa ada sebutan Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan kepongahan yang luar biasa. Mana mungkin begitu mudah memastikan sebagai ratu ayu di bawah langit?
Namun yang membuat Nyai Demang merasa ngeri, bukan karena Ratu Ayu ini dianggap yang paling jelita di bawah langit, melainkan apa yang sempat diceritakan Kiai Sambartaka kepadanya. Bahwa utusan yang datang dari tlatah Turkana sungguh istimewa. Masih muda, jelita tak tertandingi, akan tetapi ilmunya setara dengan sekian banyak utusan yang datang. Baik dari Tartar, Jepun, maupun Hindia sendiri.
Nyai Demang bisa memperkirakan betapa tangguh dan hebatnya Ratu Ayu. Dan sesungguhnya, kalau dihitung-hitung sejak semula, jumlah utusan dari berbagai penjuru jagat ini sudah diatur sedemikian rupa untuk pertempuran secara langsung dan menyeluruh. Secara bersamaan. Dalam perhitungan para ksatria tingkat jagat ini, nama Upasara tidak termasuk. Tempat yang sesungguhnya ialah untuk Ratu Ayu!
Hanya karena satu dan lain hal, Ratu Ayu tak bisa datang tepat pada saat yang dijanjikan. Sehingga Upasara bisa mengikuti pertarungan. Nyai Demang masih ingat. Bahwa sebelum masuk ke gelanggang pertarungan, Upasara semacam diuji lebih dulu. Pantas atau tidak dalam perebutan gelar Lelananging jagat!
Hal itu tak terjadi andai Ratu Ayu yang masuk ke gelanggang. Keunggulan Ratu Ayu telah diakui oleh Kiai Sambartaka. Juga Naga Nareswara. Itu yang didengar oleh Gendhuk Tri. Tapi Gendhuk Tri sama sekali tak ambil peduli, dan menganggap Naga Nareswara sekadar membual. Ia dijuluki Raja Segala Naga, dan lalu asal menyebutkan nama Ratu Ayu Bawah Langit. Biar dianggap setanding. Memang, dibandingkan dengan Nyai Demang maupun Jaghana, Gendhuk Tri paling kalah dalam pengalaman mengetahui apa yang terjadi di tlatah lain. Bahkan perihal tlatah Melayu saja, Gendhuk Tri baru mengetahui belakangan setelah kembalinya Senopati Anabrang.
Sebaliknya Nyai Demang boleh dikatakan sangat ingin mengetahui segala sesuatu yang terjadi di luar laut dan gunung yang pernah dilihatnya. Itu pula sebabnya sejak dini, Nyai Demang senang mempelajari berbagai bahasa manca. Termasuk bahasa dari tlatah Tartar. Sehingga boleh dikatakan, dirinya satu-satunya yang bisa berbicara secara langsung dan jelas. Itu pula yang menyebabkan rasa ingin tahunya untuk mendekati Kiai Sambartaka.
Jaghana sedikit berbeda. Boleh dikatakan tak pernah mengenal dunia di luar batas hutan Perguruan Awan. Akan tetapi, ia adalah murid langsung Eyang Sepuh. Yang pernah berhubungan langsung sejak berguru. Jaghana adalah murid kepercayaan. Pada saat-saat tertentu Eyang Sepuh banyak berbicara mengenai segala kejadian di jagat. Termasuk saat bakal diadakan pertemuan untuk memperebutkan siapa yang sesungguhnya berhak atas Kitab Bumi, siapa yang paling murni menjalankan kitab yang banyak diperebutkan itu.
Secara jelas Eyang Sepuh mengatakan bahwa sebenarnya hal itu lebih menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang tiada artinya lagi. Manusia menjadi tua oleh usia dan waktu, akan tetapi pikiran dan nafsu ternyata tetap tak bisa dikendalikan. Dalam pertempuran terakhir sebelum meninggalkan Perguruan Awan, Eyang Sepuh menyebut-nyebut bahwa pada waktu yang telah ditentukan akan datang Tamu dari Seberang, tamu-tamu dari tlatah Tartar, Jepun, Hindia, Turkana.
"Semua teman lama. Kecuali yang datang dari tlatah tapel wates. Saya dengar masih muda dan sedang mencari jodohnya."
Hanya itu yang disinggung oleh Eyang Sepuh. Tapi bahwa Eyang Sepuh mengingatkan secara khusus, menandakan bahwa Ratu Ayu memang mempunyai kedudukan yang luar biasa. Eyang Sepuh memang menyebut Turkana sebagai tlatah tapel wates, atau negeri perbatasan. Karena konon negeri itu merupakan perbatasan antara dunia yang masih setia dengan ajaran-ajaran serupa dalam Kitab Bumi, dan ajaran-ajaran lain yang sama sekali tak diketahuinya.
Itu pula yang membuat Jaghana secara khusus mengingatkan Upasara Wulung. Bahwa kalau Ratu Ayu masih di Keraton, dan apalagi menjadi tamu kehormatan Baginda Raja, keinginan mencari Halayudha bisa berakibat lain. Karena Halayudha dengan segala kelicikannya mampu memancing semua empu bertarung. Dan ia sendiri tinggal di Keraton untuk melihat hasil akhir, setelah tak bisa menguasai Naga Nareswara.
Jaghana juga tak bisa menganggap enteng Halayudha. Biar bagaimanapun, Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu. Saudara seperguruan Ugrawe yang di saat kehancuran Keraton Singasari membuktikan diri sebagai yang sangat perkasa. Halayudha yang sama ini pula sudah mempelajari secara tuntas segala isi Bantala Parwa. Masih harus ditambah mempelajari secara langsung dari Naga Nareswara. Terakhir sempat menawan Kama Guru dari Jepun.
Dengan segala akal yang dimiliki, sedikit-banyak Halayudha sekarang ini lawan yang setanding bagi Upasara Wulung. Kalau ia berhasil menarik Ratu Ayu ke pihaknya, Upasara akan menghadapi lawan yang berat. Dalam soal pertarungan ilmu silat, Jaghana masih melihat ada kemungkinan untuk mengungguli lawannya satu demi satu. Namun dalam soal mengatur tipu muslihat, jelas Upasara Wulung bukan apa-apanya dibandingkan Halayudha.
"Kakang tak perlu takut segala kuntilanak atau tuyul perempuan. Walau rasanya juga perlu hati-hati."
Upasara mengangguk pelan kepada Gendhuk Tri, lalu memandang ke arah Nyai Demang.
"Nyai punya wawasan seluas samudra seluas langit. Apakah Nyai sependapat dengan kabar-kabar tentang kehebatan Ratu Ayu Bawah Langit?"
Nyai Demang melirik Gendhuk Tri, seakan memanfaatkan pujian Upasara sebagai kelebihannya atas Gendhuk Tri. Gendhuk Tri pura-pura membersihkan telinga. Seakan tidak mendengar, walau hatinya panas. Wilanda yang mencuri pandang, jadi menunduk malu. Menertawakan dirinya sendiri. Kenapa ia masih memperhatikan persaingan Gendhuk Tri dan Nyai Demang yang memperebutkan perhatian Upasara?
"Sesungguhnya saya tak mengetahui tentang Ratu Ayu. Di jagat hanya ada satu wanita yang paling ayu. Adimas Upasara pasti tahu siapa itu."
Tanpa menyebut nama Gayatri, Nyai Demang sudah membuat wajah Upasara berubah sedikit merah.
"Hanya memang Kiai Sambartaka menyebut-nyebut bahwa utusan dari Turkana ini perlu mendapat perhatian. Kiai sempat murka karena saya menjawab bahwa sesungguhnya saya tak pernah mendengar nama Ratu Ayu Bawah Langit atau Bawah Selokan. Waktu saya tanya kenapa perlu perhatian, Kiai Sambartaka menerangkan bahwa sesungguhnya banyak sekali dasar-dasar persamaan antara Bantala Parwa di tlatah Jawa ini dengan kitab-kitab di Jepun, Hindia, Tartar. Karena sumbernya sama. Kembangan yang ada, hanya pada pengolahan bagian tertentu. Tetapi ciri-ciri dasarnya masih sama. Sementara yang berkembang di tlatah Turkana boleh dikatakan berbeda dasar-dasarnya. Tlatah Turkana merupakan tapal batas budaya yang memiliki dasar-dasar budaya Bantala Parwa, dengan tlatah budaya yang sama sekali berbeda. Betul atau tidak, saya sendiri belum mengetahui, Adimas. Bagi saya yang lebih menarik adalah bahwa ternyata Ratu Ayu ini sedang mencari jodohnya."
"Sungguh tak tahu malu. Bagaimana mungkin ia wanita baik-baik kalau mengaku anak ratu dan calon ratu tapi mengumbar kata-kata mencari jodoh? Seekor ular betina atau cacing tak setebal itu wajahnya."
"Itulah bedanya. Ratu Ayu mewakili suatu tlatah yang berbeda."
"Ini bukan berbeda. Ini saru, memalukan, hina, menjijikkan."
Nyai Demang tersenyum lebar. (Paman Wilanda pernah mendengar kecemburuan?"
"Siapa yang cemburu, jangan bicara seenaknya."
Nyai Demang malah tertawa. "Kok ada yang merasa? Saya kan tidak menyebut nama siapa-siapa. Betul tidak, Paman Wilanda? Jangan hanya mengangguk dalam hati. Nanti yang bersangkutan tidak tahu. Perasaannya sudah tumpul, sudah kebal."
Gendhuk Tri bukan tandingan Nyai Demang dalam sindir-menyindir.
AKHIRNYA menjelang malam, Upasara memutuskan akan tetap menuju Keraton, ditemani oleh Gendhuk Tri. Sedangkan Nyai Demang akan menyusup lebih dulu. Jaghana serta Wilanda dengan berat hati melepaskan kepergian Upasara.
"Tempat kami di antara rumput dan kehijauan daun. Maafkan kami tak bisa menyertai Anakmas."
Sebaliknya, Upasara juga meminta maaf. "Paman, sayalah yang bertanggung jawab dan diserahi tugas Eyang Sepuh untuk berdiam di Perguruan Awan. Namun saat ini rasanya saya masih perlu berkelana."
"Berangkatlah, Anakmas. Dengan iringan doa dan cahaya Dewa."
Upasara menunduk hormat. Jaghana membalas. Demikian juga Wilanda. Walaupun dalam Perguruan Awan tidak ada tata tertib untuk saling menyembah, akan tetapi sikap penghormatan masih tetap dilakukan. Bagi Upasara Wulung, kebiasaan selama ini tak bisa berubah begitu saja. Demikian juga sikap Wilanda kepada Upasara. Biar bagaimanapun, ia dulunya prajurit Keraton Singasari, di mana Upasara masih termasuk Ksatria Pingitan.
Menjelang munculnya rembulan, rombongan berpisah. Upasara melanjutkan perjalanan menuju ke Keraton. Gendhuk Tri merasa sangat girang karena kini bisa mendampingi Upasara terus-menerus. Beberapa langkah, Gendhuk Tri sudah memperingatkan agar sebaiknya Nyai Demang segera berangkat.
"Kalau kamu ingin segera bertemu Dewa Maut, kenapa tidak berangkat lebih dulu?"
"Enak saja bicara. Bukankah kamu yang ingin segera bertemu dengan Senopati Turkana yang bernama Sariq? Jangan dikira saya tidak mengetahui."
"Atau justru Adimas yang ingin segera bertemu...?"
Upasara menggelengkan wajahnya perlahan. "Mbakyu Demang, pikiranku sekarang ini dipenuhi keinginan untuk segera bertemu dengan Senopati Halayudha. Di saat Keraton sedang berada dalam kekacauan, di situ Senopati Halayudha makin mempertontonkan kemampuannya untuk memutarbalikkan kenyataan."
"Kakang takut menghadapi Halayudha yang sebelah kakinya sudah menginjak lubang kubur?"
"Takut, karena Senopati Halayudha katengen, dekat dengan Baginda Raja. Dengan kekuasaan seperti itu, Halayudha bisa berbuat apa saja yang membahayakan Keraton dan penduduk."
"Coba Kakang terima pengangkatan Baginda sebagai mahapatih. Tak akan begini jadinya."
Upasara menghela napas. Bayangan tubuh ketiganya menggeliat dalam cahaya bulan.
"Saya tak mampu. Darah Kakang terlalu kotor."
"U-uh. Apa Kakang pikir darah Halayudha tua itu lebih biru?"
Lalu, Gendhuk Tri beralih mengajak bicara Nyai Demang seakan tak ada ganjalan hati.
"Kalau di Keraton ada mahapatih, bukankah Halayudha itu tak bisa berbuat apa-apa?"
"Seharusnya begitu," jawab Nyai Demang dingin. "Akan tetapi masalahnya menjadi lain. Baginda Raja terlalu dekat dan percaya kepada Halayudha. Satu hal yang bisa membahayakan Baginda sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Baginda melupakan bahwa sewaktu merebut takhta, juga karena kepercayaan yang diberikan kepada beliau. Kebetulan saat itu hampir semua senopati perangnya bisa diandalkan. Akan tetapi, ada yang tidak. Ini yang kurang disadari Baginda."
"Kalau ia celaka, biar saja. Kenapa kita harus memikirkan nasibnya, kalau ia justru memerintahkan menggempur habis Perguruan Awan?"
Ganti Nyai Demang yang menghela napas. "Mulutmu bisa bawel, karena kamu tak tahu ujung-pangkal persoalan."
"Baik, aku bawel. Aku tak tahu ujung persoalan. Sekarang katakan, kenapa?"
"Saya sendiri tak memedulikan Baginda. Sengsara atau tidak, bagi saya tak ada bedanya. Akan tetapi Baginda adalah raja kita semua. Raja semua penduduk Majapahit. Baginda masuk angin, seluruh Keraton dan tata pemerintahan bisa berantakan. Sekali Baginda tidak berkenan sesuatu, ratusan prajurit yang merasakan akibatnya. Kini Baginda menghadapi tantangan yang agaknya tidak terlalu disadari. Pertama, dari dalam, yang bisa menjungkirbalikkan takhta. Kedua, utusan dari Turkana. Kalau kedua kekuatan ini bergabung, semua akan terjadi. Entah malam ini atau esok pagi."
Upasara mengangguk membenarkan.
"Apa betul Ratu Turkana itu sedemikian saktinya?"
"Naga Nareswara pasti pernah bercerita."
"Tidak. Naga Nareswara hanya menceritakan bahwa senopati yang mengiringi terdiri atas jago-jago utama. Di antaranya yang disebut Sariq."
Nyai Demang menghela napas. Agak berat. "Sariq dalam bahasa Turkana bisa berarti kuning. Ia memang senopati utama yang dibawa Ratu Ayu Bawah Langit. Dua senopati yang lainnya ialah Senopati Uighur dan Senopati Karaim. Ketiganya merupakan senopati pilihan. Sewaktu prajurit Tartar mampu menaklukkan seluruh jagat raya ini menyerbu masuk Keraton Turkana, ketiganya berhasil mempertahankan diri. Ketiganya bahkan bisa meloloskan diri bersama Ratu Ayu, dan kemudian berkelana ke seluruh jagat."
"Untuk apa melarikan diri kalau memang sakti?"
"Untuk menyempurnakan ilmunya. Sejauh yang saya dengar, ilmu silat seperti yang terdapat dalam Bantala Parwa atau Jalan Budha juga ada di negeri Turkana. Ratu Ayu termasuk yang mempelajari secara mendalam."
"Huh!"
"Menurut Kiai Sambartaka, sebenarnya itulah bagian yang diburu, yang dikejar oleh empu-empu di seluruh kolong langit. Barang siapa bisa mempelajari sampai habis, dialah yang menguasai semua ilmu silat di dunia."
"Aha, kalau begitu Kakang Upasara ini tanpa tanding."
Upasara mengeluarkan suara perlahan. "Saya telah membaca hingga habis. Telah berlatih hingga selesai. Seperti juga Halayudha, seperti juga Paman Sepuh dan Eyang Sepuh. Akan tetapi pencapaian kita masing-masing berbeda, tergantung bersih atau tidaknya hati kita. Walaupun saya telah mempelajari secara mendalam sampai halaman penghabisan, akan tetapi ternyata belum apa-apa. Kalau kita ingat, Eyang Sepuh masih menunjukkan adanya bait terakhir yang perlu dipelajari."
"Padahal Kakang sudah mempelajari!"
"Semua sudah mempelajari, akan tetapi belum bisa menangkap intinya. Adik sendiri sudah membaca dan mempelajarinya. Juga Mbakyu Demang."
Nyai Demang memandang ke arah langit. Matanya berkejap-kejap. "Sungguh aneh Bantala Parwa ini. Namanya sudah aneh sekali. Kitab Bumi, tapi isinya adalah Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Seperti dua bagian, akan tetapi kidungannya sama. Dua Belas Jurus Nujum Bintang berisi serangan-serangan yang ganas. Sedangkan Delapan Jurus Penolak Bumi justru berisi kebalikannya. Jumlahnya tidak sesuai. Dua belas dilawan dengan delapan. Ah, sudahlah, saya tak bisa memahami."
"Lalu, bagian mana yang dimaksud dengan 'bait terakhir' oleh Eyang Sepuh? Jangan-jangan masih ada kitab lanjutannya?"
"Pasti tidak," Upasara memotong dengan mantap. "Justru Eyang Sepuh tidak menyebut kitab yang lain. Eyang Sepuh menyebut 'bait terakhir, tak terbaca di hati'. Paman Jaghana juga tidak mengatakan bahwa selama ini ada kitab lain yang setanding atau merupakan lanjutan."
"Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Kalau Kakang tak mampu memecahkan, pasti orang lain juga tak bisa. Buat apa susah-susah. Biar saja kita bertiga menghadapi ketiga senopati Turkana itu. Rasanya kita tak bakal kalah. Soal Ratu Ayu, lebih gampang membereskannya. Kita lempari cacing pasti ia kelojotan dan melolong minta ampun."
Upasara melirik ke arah Nyai Demang. "Apa yang Mbakyu pikirkan?"
Gendhuk Tri jadi gondok lagi. Upasara lebih memperhatikan Nyai Demang.
"Saya justru kuatir kalau mempelajari sampai bait terakhir, jangan-jangan akan seperti Eyang Sepuh. Moksa, seluruh jiwa-raga lenyap bersama. Rasa-rasanya ada kaitan dengan itu."
Dari suaranya, Upasara bisa menangkap bahwa Nyai Demang lebih menguatirkan kelanjutan mempelajari Kitab Bumi. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan bait terakhir Kitab Bumi!
DUGAAN Upasara beralasan. Nyai Demang sangat peka dan bisa menyelami kemampuan bahasa. Daya tangkapnya sangat luar biasa. Dari rangkaian kidungan yang bisa dihafalkan luar kepala dengan baik, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan kuncinya. Mengetahui dengan tepat bagaimana mencari bait terakhir. Barangkali belum pasti sekali, akan tetapi telah menemukan sesuatu yang bisa dipakai pegangan.
Kalau hal itu dihubungkan dengan keadaan Dewa Maut, lebih masuk akal lagi. Dewa Maut yang terkurung di gua bawah Keraton mampu memecahkan rahasia jalan buntu, juga dari Kitab Bumi! Dengan cara menangkap yang berbeda, memberikan hasil yang berbeda jauh. Namun Upasara tidak mendesak lebih jauh.
Gendhuk Tri yang makin penasaran karena menyadari bahwa Upasara maupun Nyai Demang tenggelam alam pikiran masing-masing. Karena tak tahan akan kejengkelan sendiri, Gendhuk Tri melesat lebih dulu, dan segera bergegas menuju Keraton. Karena tidak dipanggil atau dilarang, Gendhuk Tri makin keras memacu tubuhnya.
Dalam sekejap ia telah meninggalkan Upasara dan Nyai Demang. Dan semakin jauh meninggalkan, Gendhuk Tri jadi makin kencang. Ilmu meringankan tubuh dikerahkan sepenuhnya. Selendangnya berkibaran menyentuh tanah hanya untuk mengambil tenaga, yang melontarkan tubuhnya jauh ke depan. Maka ketika matahari mulai bersinar, bayangan tubuh Gendhuk Tri sudah berada di tapal batas Keraton.
Dilihat dari usianya, Gendhuk Tri memang masih lebih suka menuruti suara hatinya secara seketika. Tidak memedulikan perhitungan yang lain. Pertimbangan ini-itu tak didengarkan. Yang paling mengetahui sifat-sifat Gendhuk Tri barangkali hanya Mpu Raganata maupun Jagaddhita. Namun keduanya sudah kembali ke alam baka.
Baru ketika tenggelam dalam suasana Keraton, Gendhuk Tri sadar bahwa kini Keraton dihiasi warna-warni. Hampir di setiap rumah dipasang janur kelapa dan bunga yang indah. Bahkan di pasar atau perempatan jalan dipasang kembang telon, bunga tiga warna, sebagai tanda syukur.
"Apa sekarang ini panenan berhasil baik? Apakah kalian sudah bisa menanam padi di atas batu karang?"
Pertanyaan yang kurang ajar ini tak menemukan jawaban. Baru setelah mendekati Keraton, Gendhuk Tri mengetahui bahwa di sitinggil-lah yang merupakan pusat kegiatan. Tak bisa menahan dirinya, Gendhuk Tri bertanya kepada salah seorang prajurit yang tengah bertugas membersihkan ukiran kayu dan menambahi ukiran batu di pinggir sitinggil.
"Ke bagian bawah pohon sana."
Gendhuk Tri gregetan. Hampir saja selendangnya bergerak menampar. Akan tetapi perhatiannya tertuju ke bawah pohon beringin yang berada di tengah alun-alun. Ia segera mendekat. Dan langsung ditarik, dimasukkan ke dalam barisan. Berkumpul bersama para wanita, gadis-gadis yang lain.
"Masih kurang... Masih kurang..." Salah seorang prajurit menghitung kembali barisan.
"Hari ini kita akan mulai latihan. Akan tetapi jumlahnya masih kurang. Baginda Raja berkenan bahwa tarian persembahan nanti ditarikan oleh 999 penari. Maka jika kalian masih mempunyai saudara perempuan, kakak, adik, embok, segera panggil kemari!"
Alis mata Gendhuk Tri terangkat. Dalam hatinya merasa geli. Ia masuk dalam barisan penari yang dipersiapkan untuk mengadakan tarian di depan Ratu Ayu. Namun Gendhuk Tri merasa senang juga. Ia adalah penari Keraton sejak masih bayi. Sebelum diculik oleh Mpu Raganata dan dididik Jagaddhita, ia adalah penari.
"Kalau masih kurang, kenapa jumlahnya tidak dikurangi saja. Seadanya saja. Toh tak ada yang menghitung." Suara Gendhuk Tri terdengar sangat lantang. Karena ia satu-satunya wanita yang berani bersuara.
"Tidak bisa. Tidak bisa. Baginda Raja menitahkan 999 penari."
"Saya tahu," jawab Gendhuk Tri tanpa peduli sorot mata tajam menyelidik ke arah dirinya. "Tapi sampai bayi dalam kandungan dihitung, tak akan pernah mencapai jumlah sekian itu."
Pemimpin prajurit melotot ke arahnya.
"Kenapa paman-paman prajurit ini tidak memakai kain saja? Pasti jumlahnya bisa mendekati."
Meskipun kedengarannya berolok-olok, apa yang dikatakan Gendhuk Tri masuk akal juga. Mengumpulkan wanita sejumlah 999 perlu mengerahkan seluruh penduduk wilayah Keraton hingga ke batas terakhir.
"Siapa namamu? Kenapa kamu berani begitu lancang?"
Gendhuk Tri menyembah. "Ampun, Paman. Nama saya Gendhuk Tri, saya penari Keraton. Saat ini lima saudara saya sudah di sini, ibu saya, mertua saya, sudah berkumpul. Dan rasanya tidak ada tambahan lagi." Gendhuk Tri memperlihatkan wajah ketakutan dan tubuhnya seolah menggigil.
"Sangat memalukan bagi prajurit kalau memakai kain dan selendang. Kamu bisa dihukum karena penghinaan ini."
"Maaf, Paman prajurit yang mulia. Sebenarnya hamba ingin mengusulkan, kenapa tidak putri-putri Keraton saja yang diajak? Namun hamba lebih takut dianggap menghina."
Gendhuk Tri makin keras tertawa dalam hati. Ia sudah membayangkan bahwa jika putri-putri Keraton diajak berlatih menari, masalah yang timbul akan sangat menyulitkan. Tapi yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat puas ialah bahwa ia bisa menyaksikan putri Keraton, yang bahkan terkena sinar matahari pun takut, akan dijemur di bawah terik matahari!
Mereka yang selalu melulur tubuhnya, kini disuruh berdiri di lapangan terbuka. Usul Gendhuk Tri justru dianggap masuk akal. Prajurit yang agaknya memegang pimpinan itu segera melaporkan kepada pemimpin yang lebih tinggi.
"Gendhuk, kamu anak siapa?"
Gendhuk Tri menoleh. Baru menangkap bahwa yang bertanya adalah wanita yang duduk di sebelahnya, yang tak berani menoleh atau memandang ke arahnya. Takut mendapat teguran dari prajurit yang mengawasi.
"Saya anak kedua Pak Toikromo."
"O, kalau begitu kita masih saudara."
Gendhuk Tri manggut-manggut hormat.
"Saya tidak mimpi apa-apa bakal mendapat wahyu kehormatan diajak menari bagi Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani."
Gendhuk Tri manggut-manggut. "Saya juga tidak menyangka, Ibu... "Katanya Gusti Ayu sangat cantik jelita, mengalahkan kita semua yang dikumpulkan menjadi satu."
Yang diajak bicara memandang aneh pada Gendhuk Tri. "Saya kira kamu bukan saudara saya, Gendhuk."
Gendhuk Tri meleletkan lidahnya. Lalu pelan-pelan mundur, dan di luar pengetahuan para prajurit ia menuju ke arah samping sitinggil. Dengan berendap-endap, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa di tempat itu juga sedang ada persiapan luar biasa. Kalau di bawah pohon di alun-alun yang dikumpulkan para gadis, di tempat ini adalah para perjaka.
"Siapa tahu sayalah yang dipilih."
"Kalau kamu yang terpilih, sebelum namamu disebut, kamu sudah mati karena kaget!"
"Jangan begitu. Nasib manusia kan ditentukan Dewa yang mengatur jagat ini. Kita hanya menjalani saja."
Di tempat ini, Gendhuk Tri bisa mendengar lebih banyak. Bahwa karena Ratu Ayu Azeri Baijani sedang mencari jodoh, para pemuda semua dikumpulkan. Siapa tahu ada yang terpilih. Sekilas saja Gendhuk Tri bisa mengetahui bahwa yang ikut berkumpul hampir semuanya sentana atau kerabat Keraton.
"Tapi bagaimana kita bisa meladeni. Untuk mandinya saja, Gusti Ayu perlu air sangat panas, lalu air dingin untuk merendam diri. Bisa-bisa sebelum menyiapkan air kita telah mati kelelahan."
Gendhuk Tri tertarik. Biar bagaimanapun, ia adalah gadis yang sedang tumbuh. Meskipun penampilannya asal-asalan, akan tetapi mendengar pembicaraan mengenai perawatan tubuh, hati wanitanya tergerak juga.
"Kalau kita yang berhasil menerima tawaran Gusti Ratu Ayu, kan bukan kita yang menyediakan air. Sudah ada prajurit yang bertugas. Heh, selama ini sudah ada yang pernah mengintip Gusti mandi apa belum? Jangan-jangan Bagin..." Suaranya terhenti. Wajah ketakutan terbayang jelas.
KETIKA Gendhuk Tri terlibat dalam berbagai kesibukan di luar Keraton, di dalam Keraton sebenarnya terjadi kesibukan yang lebih tinggi. Lebih tinggi suasananya karena menyangkut tata krama di antara dua pemimpin tertinggi. Antara Baginda Kertarajasa Jayawardhana dan Ratu Ayu Azeri Baijani.
Yang membuat Baginda sedikit masygul ialah bahwa Ratu Ayu, sejak kedatangannya di Keraton Majapahit dan ditempatkan dalam ruang utama Keraton, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menemui. Dalam tata krama tingkat bangsawan tinggi, hal itu sungguh tercela. Bisa diartikan bahwa Ratu Ayu segan datang menghadap dan tak mau mengakui keunggulan atau wibawa tuan rumah. Ini berarti tidak menganggap Baginda adalah raja yang harus didatangi.
"Taruh kata ia ayu bagai sinar pelangi. Taruh kata keraton pemerintahannya mencakup beberapa tlatah yang luas, tidak seyogyanya sebagai tetamu ia bertindak begitu kurang ajar. "Apakah ia merasa lebih tinggi derajatnya daripada aku?"
Halayudha nampak gemetar ketika menghaturkan sembah sambil menunduk rendah sekali. "Seribu maaf, Baginda. Rasanya kurang pantas Baginda memperhatikan seorang perempuan. Hal ini tak perlu Baginda turun tangan sendiri. Cukup salah seorang senopati untuk memperingatkan. Baginda adalah raja yang mendapat wahyu dari Dewa Segala Dewa, memerintah secara resmi. Sedangkan Ratu Ayu hanyalah ratu dalam pelarian. Masih baik Baginda berkenan memberi tempat yang bagus dengan semua keperluannya."
"Bagaimana kalau Mahapatih yang memberi peringatan?"
Mahapatih Nambi menghaturkan sembah. "Sebelum Baginda menitahkan, hamba sudah bersiap menjalankan titah."
Lagi-lagi Halayudha menghaturkan sembah. "Mahapatih masih terlalu tinggi derajat dan pangkatnya, duhai, Baginda. Cukup pesuruh, bawahan Baginda. Mohon ampun atas kelancangan hamba."
"Menurut kamu, siapa yang pantas?"
Halayudha menyembah lagi. Lebih dalam. "Baginda adalah raja yang bijaksana yang terdengar sampai ke tlatah tapel wates jagat. Para senopati agung Keraton Majapahit, ibarat kata ikan di laut dan burung di hutan, mendengar nama besarnya. Hamba sama sekali tak dikenal. Hamba hanyalah gedibal, alas kaki, Baginda. Biarlah hamba yang menemui. Kalau hamba gagal tak bisa menemui, Keraton tak kehilangan muka. Kalau berhasil, berarti tingkat dan derajat Ratu Ayu jauh di bawah Baginda."
Baginda mengangguk. "Sebelum matahari terbenam nanti, saya ingin mendengar bagaimana jawaban Ratu Ayu."
"Sendika dawuh, siap menjalankan perintah Baginda."
Begitu mendapat perintah, Halayudha segera bergegas menemui Ratu Ayu di tempat kediamannya. Di pintu menuju ke kamar Ratu Ayu, Senopati Sariq mengangguk hormat. Kelihatan jelas bahwa di balik sikapnya yang ramah dan merendah, tersembunyi satu kekuatan yang besar. Di balik pakaiannya yang berseliweran, tersembunyi tubuh gagah yang gesit. Di balik terompah yang dikenakan, ada sepasang kaki yang cekatan bergerak.
"Maaf, Senopati Agung dari negeri yang tak mengenal batas langit, saya menyampaikan sesuatu bagi Ratu Ayu."
Sariq nampak bimbang sesaat. Mendadak dari ruangan dalam terdengar suara yang merdu.
"Katakanlah apa maumu."
Halayudha menunduk dan menyembah. Lalu duduk dan menyembah kembali. "Duh, Ratu Ayu, sungguh hamba tak berani mengatakan secara langsung. Akan tetapi sebagai abdi yang hanya menjalankan perintah, biarlah hamba membunuh diri karena telah berbuat kurang ajar."
"Kamu adalah senopati utama, kenapa perlu merendahkan diri semacam itu?"
Sariq tetap menunduk, bersila sebagaimana Halayudha. Hanya pendengaran dan sikapnya menunjukkan kesiapsiagaan.
"Ampun, Ratu Ayu Bawah Langit, hamba hanya sekadar menyampaikan apa yang diminta Baginda. Berat hamba mengatakan, seakan lidah hamba tak bisa bergerak. Rasa malu dan sungkan yang membuat berat untuk mengutarakan."
"Katakan, Paman Halayudha."
"Baginda menghendaki Ratu Ayu menyerahkan rajutan bulu domba yang berwarna-warni sebagai tanda asok bulu bekti glondong pengareng-areng."
Sariq mengertakkan gerahamnya. Tangannya bergeser ke arah pedang melengkung bagai bulan sabit di pinggangnya. Permintaan Baginda tak bisa ditafsirkan lain. Rajutan bulu domba sebagai babut pramudani, atau babut permadani, adalah karya budaya negeri Turkana. Untuk merajutnya diperlukan seni dan keahlian tertinggi. Dengan meminta itu sebagai glondong pengareng-areng, sebagai tanda upeti, sama juga mengatakan Ratu Ayu sebagai ratu yang di bawah kekuasaan Baginda!
Hanya bawahan yang memberikan glondong pengareng-areng kepada atasannya. Hanya raja bawahan yang mengakui kekuasaan raja yang lebih berkuasa melakukan hal itu. Barangnya bisa jadi tak seberapa, meskipun tetap yang utama. Bahkan dalam istilah pun disebutkan sebagai kayu gelondongan untuk arang atau kayu bakar. Akan tetapi arti simbolis dari itu ialah pengakuan kekuatan yang lebih tinggi.
Dan sesungguhnya itu pula yang diinginkan oleh Raja Tartar, Khan, ketika mengutus para pendekarnya ke tanah Jawa. Agar raja di Jawa mengakui kebesaran negeri Tartar! Itu yang ditolak Baginda Raja Sri Kertanegara! Bukan karena barang yang diminta, akan tetapi ini masalah kehormatan.
"Saya bisa mengerti," terdengar suara dari dalam kamar dengan nada yang tak berubah. "Baginda Kertarajasa telah membuktikan diri lebih perkasa. Di seluruh penjuru jagat ini aku sudah mengelilingi, sudah menginjak tanahnya, dan menyaksikan sendiri. Di mana pun aku berada, panji-panji kebesaran Tartar yang menguasai. Baik di negeri Cina sendiri, di Jepun, bahkan sampai ke Turkana. Tapi Baginda Jayawardhana mampu mengusirnya. Hanya di tanah Jawa yang sering becek karena hujan inilah prajurit utama Khan bisa dipukul mundur. Paman Sariq, sampaikan yang diminta Baginda."
Meskipun nampak tidak setuju, Sariq menunduk hormat sambil menyembah.
"Apa lagi yang dikehendaki Baginda?"
"Hanya dua hal, Gusti Ratu Ayu yang jelita. Yang pertama telah hamba sampaikan. Yang kedua... yang kedua... ah, Baginda berkenan mengambil Gusti Ayu sebagai garwa ampil."
Kali ini Senopati Sariq tak bisa menahan diri. Diambil sebagai garwa ampil, ialah sama juga dijadikan selir, dijadikan istri kesekian yang secara resmi tidak berhak atas kehormatan dan upacara-upacara penting Keraton. Tugas utamanya hanyalah mendampingi Baginda, sebatas kamar tidur!
Dalam upacara penting, tak berhak bersanding dengan Baginda! Ini penghinaan yang kelewat batas. Mengarungi hampir seluruh jagat raya, menginjak berbagai bumi di bawah langit, rasanya Senopati Sariq belum pernah mendengar penghinaan yang begitu menjijikkan.
"Gusti Ratu."
"Sariq... aku yang diminta, bukan kamu."
"Maafkan kelancangan hamba. Namun rasanya hamba tak rela."
"Cukup, Sariq!"
Senopati Sariq menyembah dengan hormat. Halayudha tetap menunduk, meskipun memperhatikan reaksi yang kecil.
"Beribu ampun dan maaf. Dalam pandangan hamba, pertemuan resmi nanti adalah pertemuan dua raja yang sama derajatnya, sama-sama pilihan Dewa. Akan tetapi... duh... Gusti Ratu..."
"Jangan merasa bersalah karena menyalahi titah Raja. Sebagai senopati, itu pantangan utama."
"Maha terima kasih atas petunjuk Gusti Ratu."
"Paman Halayudha, sampaikan kepada Baginda. Saya tidak berkeberatan diambil sebagai garwa ampil. Siapa saja bisa menjadi pendamping saya. Hanya saja sejak semula saya sudah berjanji. Barang siapa mampu mengungguliku, itu yang akan kuhormati sepanjang hidupku. Karena kudengar kalian mempunyai ilmu Tepukan Satu Tangan yang sejajar dengan Jalan Budha, aku ingin menjajalnya. Sampaikan sekarang juga. Sebelum matahari tenggelam, aku sudah mendengar kesediaan Baginda."
SENOPATI SARIQ menghirup napas lega. Ternyata Ratu Ayu yang disembah dan diabdi selama ini tetap tak bergeser dari niatan semula. Hanya yang mampu mengalahkan Ratu Ayu berhak menjadi suaminya. Berhak atas hidup dan matinya Ratu Ayu. Tak peduli ia raja atau rakyat biasa. Sekaligus ini tantangan. Apakah Baginda berani menerima tantangan terbuka ini?
Selama dalam penjelajahan, belum pernah ada yang mampu mematahkan keunggulan ilmu Ratu Ayu. Itu pula sebabnya Ratu Ayu terus-menerus berkelana dari satu negeri ke negeri yang lainnya. Hanya untuk mencari siapa yang bisa mengungguli ilmunya. Satu hal yang tak diketahui oleh Halayudha ialah bahwa rombongan Ratu Ayu memang mencari pemecahan atas ilmu yang sekarang dikuasai. Ada kepercayaan kuat, jika ada yang mampu mengalahkan, ilmu orang tersebut bakal bisa dipadu dengan ilmu yang dimiliki Ratu Ayu, dan akan merupakan ilmu yang paling dahsyat di jagat ini. Dengan bekal itu, Ratu Ayu bermaksud mengusir senopati dari Tartar yang kini menduduki negerinya!
Dalam perjalanan berkelana, Ratu Ayu teringat gurunya pernah mengatakan bahwa di seantero jagat ini hanya ada beberapa negeri yang unggul ilmu silatnya. Yaitu tanah Jawa, tanah Jepun, Hindia, maupun Cina yang jelas sudah dikuasai bangsa Tartar. Dari sekian banyak cabang dan aliran pada pohon utama aliran persilatan, ada garis persamaan sebagai sumber utama. Yaitu yang di tanah Jawa dikenal dengan sebutan ilmu Tepukan Satu Tangan, yang diciptakan oleh seorang empu yang namanya menggema ke seluruh penjuru jagat, yaitu Eyang Sepuh.
Kebetulan sekali Eyang Sepuh pernah mengirimkan undangan untuk mengadakan pertemuan dan menentukan siapa sebenarnya yang paling menguasai ilmu tersebut. Tertarik oleh kabar itu, Ratu Ayu datang ke tanah Jawa. Senopati Sariq yang selalu mendampingi siang dan malam, meyakini apa yang menjadi keyakinan Ratu Ayu. Hanya perpaduan antara ilmu Ratu Ayu dan ilmu yang bisa mengalahkan, menjadi senjata utama untuk membebaskan negerinya! Diam-diam Senopati Sariq menunggu, apa yang akan dijawab oleh Baginda.
Halayudha sendiri segera menyampaikan secara langsung, dalam penuturannya sendiri. Air matanya mengalir ketika melaporkan.
"Duh, Baginda... Ratu Ayu tidak ingin sowan, tidak ingin menghadap Paduka, sebelum Paduka yang mulia mampu memecahkan rahasia ilmu 64 Langkah Jong, yang menjadi kebanggaan Ratu Ayu dan para senopatinya."
Baginda menjadi merah wajahnya. "Mahapatih, apakah kamu mendengar apa yang dikatakan Halayudha?"
"Sembah bekti hamba, Baginda."
"Apa katamu?"
"Ratu Ayu sangat berlebihan. Tak bisa tidak, bilamana Baginda berkenan, biarlah hamba yang menyelesaikan."
"Aku tahu, kamu yang bakal menyelesaikan. Tapi apakah kamu pernah mendengar mengenai 64 Langkah Jong yang diunggulkan itu?"
Bahwa jong bisa berarti payung, bisa pula berarti tertutup, semua mengetahui. Akan tetapi kaitannya dengan ilmu 64 Langkah Jong, itu yang masih merupakan tanda tanya.
"Pengetahuan hamba sangatlah dangkal, Baginda. Akan tetapi kalau tidak salah, ini ilmu silat yang jurus-jurusnya berdasarkan permainan di negeri Turkana."
Halayudha memuji kecerdasan Mahapatih Nambi. Sungguh tak disangkanya bahwa Mahapatih bisa menerangkan dengan tepat. Karena pada pikirnya tadi, Baginda akan mendengar penjelasan darinya.
"Permainan apa?"
"Duh, Baginda, mudah-mudahan dijauhkan dari bencana jika keterangan hamba keliru. Di negeri Turkana ada permainan di antara putra-putri raja. Permainan ini menggunakan sebuah papan, yang dibagi menjadi 64 kotak. Yang memainkan dalam peperangan dua orang. Masing-masing pemain mempunyai enam belas biji yang dilompatkan menuju baris terakhir lawannya. Caranya dengan melompati biji permainannya sendiri, atau melompat biji lawan. Setiap kali melompati biji lawan, berarti ia makan dan menang. Pemain yang masih menyisakan biji paling banyak di garis akhir lawan adalah yang menjadi pemenang."
"Hmmmmm, itu yang menjadi andalan ilmu silat mereka?"
"Tepat apa yang disabdakan Baginda. Permainan ini kita sebut jong, sebab biji yang kita mainkan tertutup kemungkinannya untuk mundur. Tidak dibenarkan mundur. Jadi hanya bisa maju sepetak ke depan, atau ke samping kiri dan kanan, atau menyerong. Tapi tak pernah mundur."
"Itu yang akan kelihatan dalam permainan silat mereka? Hmmmmm, menarik juga. Mahapatih, apakah menurut pendapatmu ilmu silat mereka cukup tangguh?"
"Begitulah yang hamba dengar, Baginda."
Baginda menahan udara di dada. "Kamu sependapat, Halayudha?"
Diiringi sembah hormat, Halayudha berkata, "Serumit dan setinggi apa pun, namanya permainan, tetap saja permainan. Di desa yang paling ujung, anak-anak telah memainkan. Maafkan kelancangan hamba, Baginda. Hamba tak pernah takut atau gentar dengan sesumbar mereka. Yang lebih membuat prihatin hamba, ialah kelancangan Ratu Ayu menilai Baginda."
Seluruh ruangan menjadi senyap. Halayudha sendiri seperti menahan dendam.
"Apa katanya?"
Ruangan masih tetap senyap. Semua pendengaran tertuju kepada Halayudha. Mendadak terdengar suara tepukan keras, nyaring. Mahapatih dan semua senopati yang hadir terkejut. Halayudha menampar bibirnya hingga berdarah.
"Mulut hamba ini busuk kalau sampai menirukan apa yang dikatakan Ratu Ayu."
Melihat dengan lirikan bahwa bibir Halayudha berdarah, tak urung Mahapatih tergetar juga. Dalam perkiraannya, Halayudha menghukum bibirnya yang akan mengucapkan sesuatu yang lancang.
"Katakan!" Suara Baginda terdengar nyaring.
Halayudha menampar pipinya kembali. Kali ini lebih banyak darah mengalir. Halayudha mengambil gigi yang tanggal dan dengan hati-hati menyimpan di balik kainnya.
"Ratu Ayu mengatakan bahwa walaupun pasukan Tartar terusir karena serangan Baginda, akan tetapi sesungguhnya Baginda bukanlah raja yang besar. Masih jauh di bawah bayang-bayang kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara. Baginda Raja Singasari telah membuktikan kebesarannya dengan mengirimkan armada ke tlatah Siam, ke Tartar, sementara Baginda Raja junjungan kita yang mulia, dikatakan lebih banyak mengurusi wanita...."
Tangan Baginda menepak paha. Dua tangan secara serentak. Kemudian meninggalkan pertemuan. Yang tertinggal hanya kesunyian. Tak ada yang mulai bergerak sedikit pun.
Mahapatih dan semua senopati utama mendengarkan sendiri apa yang diucapkan Halayudha dan mendidih darahnya. Ini penghinaan yang paling rendah. Mengungkit masalah lama. Apalagi membandingkan dengan Baginda Raja Sri Kertanegara! Sesuatu yang tak boleh terdengar, walau secara samar. Tapi justru kini diucapkan secara terbuka. Bagi para senopati dan prajurit, membela Raja adalah tugas utama dan mulia. Bukan benar atau tidak yang diucapkan Ratu Ayu, akan tetapi kalimat itu merupakan penghinaan yang tidak ada ampunannya lagi.
Halayudha memang tepat menusuk jantung perasaan. Mencerabut akar kepekaan budaya bangsanya. Intrik mengenai Baginda Raja Sri Kertanegara dengan Baginda Jayawardhana merupakan pertentangan yang pelik dan rumit. Yang bergema karena pemilihan senopati. Lebih banyak pengikut Baginda yang sekarang menduduki jabatan dan kepangkatan tinggi. Dibandingkan dengan senopati yang dulu mengabdi Keraton Singasari.
Halayudha mampu meniupkan api permusuhan di kalangan prajurit, kemudian menjalar ke kalangan senopati. Kini telah mencapai puncak kobaran. Baginda sendiri menjadi murka. Berarti suatu perang terbuka. Pada saat itulah semua rencana yang selama ini tertunda-tunda akan bisa dilaksanakan.
MERASA bagian pertama rencananya berhasil, Halayudha melakukan langkah berikutnya. Dengan menghela napas berat, Halayudha bersujud ke arah kursi yang tadi diduduki Baginda. Selintas matanya yang jeli seperti menangkap bayangan salah seorang dayang-dayang Baginda ada yang nampak berbeda. Cara menunduknya terlalu dalam, melebihi yang lain. Hanya Halayudha yang menangkap kelainan ini. Tidak senopati yang lain.
Bukan karena Halayudha lebih hafal satu per satu dayang-dayang yang biasa mengiringi Baginda, melainkan karena indra keenam yang dimiliki mengisyaratkan sesuatu. Kelebihan Halayudha dalam soal kejelian dan mengatur strategi boleh dikatakan sulit ditandingi. Senopati lain pasti tak berpikir bahwa akan ada seorang wanita yang berani menyamar sebagai dayang-dayang. Karena risikonya terlalu tinggi. Lagi pula kalau berniat jahat juga susah melaksanakan.
Barisan dayang-dayang selalu mengiringkan Raja, akan tetapi tempatnya jauh di belakang. Dan bergerak sedikit saja, boleh dikatakan tidak mungkin. Halayudha merasa bahwa salah seorang dayang-dayang itu sedang menyamar, akan tetapi sama sekali tak menyangka bahwa yang menyamar sebagai dayang itu adalah Nyai Demang. Andai mengetahui, barangkali jalannya peristiwa akan lain.
Adalah keinginan Nyai Demang sendiri untuk menerobos masuk ke dalam Keraton karena ingin mengetahui dari dekat seperti apa keelokan Ratu Ayu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyamar sebagai dayang. Bagi Nyai Demang hal ini tak terlalu merepotkan. Adat-istiadat Keraton sangat dikuasai. Seluk-beluk dan liku-liku Keraton bisa dihafal luar kepala, karena Nyai Demang bahkan pernah menyusup ke dalamnya.
Maka tak terlalu sulit menculik salah seorang dayang yang tubuhnya mirip dengannya. Dan ia mengganti pakaiannya lalu mengikuti iringan. Tak ada yang mencurigai, karena dayang-dayang yang lain selalu menunduk dan boleh dikatakan tak pernah melirik ke arah yang lain.
"Duh, Baginda. Hamba abdi tak tahu diri dan membuat Baginda murka. Sungguh tidak pantas hamba berkata selancang ini. Mohon Baginda memberi ampunan, jalan yang lapang bagi arwah hamba..."
Halayudha cukup lama berbicara, cukup jelas kata-katanya, dan cukup perlahan mengambil keris dari salah seorang prajurit. Baru kemudian menghunus, mengangkat tinggi, dan menusuk ke arah perutnya.
"...Biarlah hamba, Halayudha yang tak berarti ini, menebus dosa."
Jarak waktunya cukup lama, agar ada seseorang yang menghalangi niatan Halayudha bunuh diri. Itu rencana Halayudha. Agar semua yang hadir melihat penyesalan dirinya. Tapi, di luar dugaannya, tak ada senopati yang bergerak. Bukan karena ingin membiarkan Halayudha membunuh diri, melainkan masih tercekam akan kemurkaan Baginda. Ini yang membuat Halayudha mencelos. Tapi jelas, ia tak bisa mengurungkan begitu saja. Bisa terbuka semua kedoknya.
Dalam saat kritis, Halayudha tetap menusuk ke arah perutnya, hanya arahnya sedikit dimiringkan. Saat itulah Nyai Demang bergerak. Kedua tangannya terangkat, disertai teriakan sedikit kaget. Saat itu tenaganya disalurkan sepenuhnya, membentur tangan Halayudha, dan arah yang miring itu menjadi lurus. Langsung menembus ke arah perut.
Senopati Wide yang bereaksi pertama. Segera menyambar ke arah Halayudha. Perut itu tertancap keris. Dengan segera Halayudha diamankan. Dibawa ke dalam. Dan pertemuan menjadi guncang. Bahkan setelah Nyai Demang berteriak, tak ada yang curiga, hal ini bisa dimengerti. Karena teriakan itu lebih mirip sebagai kekagetan. Demikian juga dengan gerakan tangannya. Tak banyak yang menduga bahwa saat itu Nyai Demang mengirimkan tenaga dalam.
Jalan pintas inilah yang dipilih Nyai Demang. Sejak dalam perjalanan, ketika mendengar semua kebusukan Halayudha dari Upasara, Nyai Demang sudah menetapkan tekad. Bahwa Halayudha harus disingkirkan dengan cara yang licik pula. Tak ada cara lain, untuk menghindarkan perang terbuka dengan Upasara. Sebab dalam perkiraan Nyai Demang, betapapun hebat ilmu yang dimiliki Upasara, hasil akhir yang akan keluar sebagai pemenang bisa sangat berbeda. Ketangguhan tapi lugu diri Upasara adalah makanan empuk bagi Halayudha.
Sewaktu gegeran di dalam, segera Nyai Demang mengundurkan diri ke arah dalam. Hanya karena tidak sepenuhnya hafal dengan tempat persinggahan Ratu Ayu, ia telah memasuki pelataran di mana Ratu Ayu menginap. Baru sadar sewaktu sesosok tubuh yang tinggi, kokoh, dengan jenggot lebat, menghadang jalannya.
"Maaf, kami mendengar jeritan di dalam Keraton, apa yang sesungguhnya terjadi?"
Hampir Nyai Demang mendongak dan menghardik, kalau tidak ingat bahwa dirinya berperan sebagai dayang. "Senopati Halayudha membunuh diri."
"Apa benar yang dikatakan orang itu, Senopati Uighur?"
Suara lembut dari dalam ruangan, dan samar-samar Nyai Demang mencium bau harum. Itulah suara Ratu Ayu. Sungguh luar biasa. Pendengaran yang sempurna. Boleh dikatakan mereka berada dalam pelataran yang cukup jauh dari bangunan, akan tetapi Ratu Ayu bisa mendengarkan dengan jelas. Padahal Nyai Demang merasa berbicara dengan nada rendah.
"Begitulah, Ratu Ayu."
"Uighur, kalau masih bisa ditolong, kenapa kamu tidak segera ke sana?"
"Siap menjalankan tugas, Gusti Ratu." Senopati Uighur masih berdiri ragu.
"Berjalanlah. Lakukan apa yang saya perintahkan. Tak perlu kuatir tak ada yang menjaga. Saya masih bisa menjaga diri. Kalau dayang itu begitu ringan langkahnya, pastilah di sini para senopati ilmunya sangat tinggi. Akan tetapi tak perlu kuatir. Saya bisa mengatasi."
Senopati Uighur menyembah dan segera berlalu dengan cepat. Nyai Demang berdiri di tengah pelataran untuk beberapa saat.
"Dayang yang montok, apa yang akan kau katakan? Kenapa kamu termangu disitu?"
"Ratu Ayu, pendengaranmu sungguh tajam luar biasa. Ilmu macam apa yang Ratu gunakan?"
Terdengar tawa kecil, lembut. "Saya tak melihatmu, Dayang. Tetapi saya tahu bahwa tubuhmu sangat montok, gemuk berisi. Goyangan lebih berat ke belakang, berarti pantatmu sangat gede. Mendengar arus udara ketika kamu menarik napas, rasanya lebih pantas kamu menjadi prajurit daripada dayang. Nada bicaramu terlalu berani untuk hamba sahaya."
"Nama saya Nyai Demang."
"Karena kamu sudah berada di pelataran, kenapa tidak masuk ke dalam?"
"Saya akan dihukum mati. Tak pernah ada aturan seorang dayang menyambangi tetamu terhormat."
"Tata krama Keraton, di mana pun sama. Akan tetapi karena kamu bukan dayang, berarti peraturan itu tidak berlaku. Mendekatlah, rasanya saya bahagia melihat kaum wanita yang begitu berani dan mampu menerobos ke dalam Keraton."
Merasa telah diketahui mengenai penyamarannya, Nyai Demang mendekat ke arah bangunan. Sampai di dekat salah satu pintu, Nyai Demang bersila sambil menyembah.
"Tubuhmu pasti bagus sekali, Nyai Demang. Teramat sempurna. Angin di kanan dan kiri tubuhmu seimbang. Bagaimana kamu bisa merawat dengan baik?"
Nyai Demang tak bisa menentukan dengan pasti di arah mana Ratu Ayu berada. Ada beberapa pintu di depannya. Pada salah satu pintu, nampak seorang berjaga.
"Itu Senopati Sariq."
"Senopati Kuning, terimalah hormat Nyai Demang."
Sariq ganti membalas dengan hormat. "Ah, pengetahuanmu sangat luas, Nyai. Pasti sedikit-banyak kamu mengetahui asal-usul kami."
"Tata bicara Gusti Ratu Ayu sungguh menakjubkan. Begitu banyak tetamu dari seberang, akan tetapi rasanya tak ada yang sefasih Gusti Ratu."
Nyai Demang merasa akrab dan dekat dalam waktu sekejap.
"TERIMA kasih atas pujian Nyai... Sungguh bahagia lelaki yang menjadi suami Nyai."
"Ah, rasanya Gusti Ratu tak perlu berbasa-basi semacam itu. Betapa lebih getir kalau dikenang. Betapa lebih mudah membayangkan lelaki yang menjadi suami Ratu Ayu akan merasa lebih bahagia."
Rasanya Nyai Demang mendengar helaan napas. Dan terdengar desahan dalam bahasa tertentu. Nyai Demang mengikuti desahan itu.
"Nyai, kamu mengerti bahasa Turkana?"
"Tidak. Tak lebih dari beberapa patah kata. Barangkali kalau sempat belajar, hamba bisa mengerti beberapa. Karena dalam pengucapan dan pembentukan kata, rasanya sama dengan tata bicara di tanah Jawa."
"Ya, ya... Kamu betul sekali, Nyai. Sariq, kenapa tetamu kita yang terhormat semacam Nyai Demang tak disambut dengan baik?"
Senopati Sariq segera menghidangkan minuman, yang diberikan dalam kantong kulit. Nyai Demang segera meneguk air susu itu.
"Kamu tahu apa yang saya desahkan tadi?"
"Gusti Ratu mendesahkan kata ev? Yang berarti rumah?"
"Mahatinggi Yang Menguasai Alam Semesta... Kamu sungguh luar biasa, Nyai."
"Tidak, hamba hanya mengetahui beberapa patah kata. Tapi rasanya hamba mendengar desahan evlerim..."
"Artinya rumahku."
"Apakah evlerime, berarti pergi ke rumahku?"
"Nyai, masuklah!"
Senopati Sariq menunduk, mempersilakan Nyai Demang. Sekilas Nyai Demang masih melihat ada senopati lain yang berjaga. Nyai Demang melangkah masuk ke dalam salah satu ruangan. Melewati pintu, Nyai Demang berjongkok. Ruangan yang ditempati Ratu Ayu penuh dengan gumpalan asap yang berbau sangat harum, menusuk, tapi tidak mengganggu. Lantainya semua tertutup babut pramudani yang sangat elok. Hanya tak begitu jelas gambarnya, karena ruangan tak begitu terang.
"Silakan duduk di kursi, Nyai."
Suara itu muncul dari balik kabut asap tipis. Samar-samar Nyai Demang melihat bayangan Ratu Ayu Azeri Baijani. Mata yang indah, cokelat, dan bersinar, di bawah sepasang alis mata yang lentik. Hidung mancung, lurus, tapi mengesankan kelembutan di atas bibir yang tipis. Di bagian kepala seperti memakai tutup kain yang berjumbai-jumbai. Selebihnya adalah kulit yang elok. Bahkan sebagai sesama wanita, Nyai Demang terkesima.
"Hampir sepuluh tahun aku tak dilihat orang. Tidak juga senopatiku yang paling setia. Sungguh tak menyesal hari ini bertemu dengan Nyai."
"Nyai Demang menghaturkan sembah bekti kepada Gusti Ratu."
Sekali lagi Ratu Ayu meminta Nyai Demang duduk di kursi atau balai-balai yang ada, akan tetapi Nyai Demang tetap tak bergerak.
"Nyai, dari mana kamu mempelajari bahasa saya?"
"Hamba hanya mendengar sepotong. Hanya mengetahui bahwa ev adalah rumah. Evler adalah rumah-rumah. Sedangkan kuda adalah at, dan kuda-kuda menjadi atlar, sedangkan kudaku, atlarim!"
Ratu Ayu menggelengkan kepalanya. "Tadinya saya menyangka hanya sayalah wanita yang mampu menguasai tata bicara. Sungguh tak dikira, ada juga wanita yang perkasa. Sungguh murah hati Penguasa Jagat Raya ini. Nyai, tata bicara apa yang kamu bisa?"
Dalam sekejap, Ratu Ayu dan Nyai Demang berbicara dalam tata bicara Cina, Hindia, sedikit Jepun, dan akhirnya kembali lagi.
"Nyai belum pernah sekali pun ke tanah Hindia, Cina, dan Jepun?"
"Tanah Jawa ini pun baru seputar Keraton, Gusti."
"Jangan panggil Gusti. Saya tidak ingin mendengar dari Nyai. Kita sesama wanita yang tak perlu memanggil Gusti kepada sesama, juga tidak kepada kaum lelaki."
Suaranya tetap lembut, tapi terasakan gelora perasaan yang dalam.
"Kalau saja di negeri Turkana ada seorang seperti Nyai, pasukan Tartar yang busuk itu sudah lama terusir. Ah, begitu panjang dan jauh saya mencari sahabat. Nyai, salahkah jika kita kaum wanita menjadi prajurit? Menjadi penerus negeri? Salahkah, Nyai?"
"Tidak. Tetapi sangat jarang."
"Nyai tahu, negeri Turkana adalah negeri yang paling elok di dunia. Yang paling indah tak terkatakan. Yang membuat manusia-manusia lelaki berhati busuk ingin memperebutkan dan menghancurkan. Ratusan tahun silih berganti kaum lelaki yang menjadi raja menaklukkan dan menginjak-injak negeri kami. Dari negeri Siprus, dari negeri Sasanid, dari negeri padang pasir pimpinan Umayat, dan kini bangsa Tartar, yang dipimpin Khan. Apakah kami tak berhak merebut tanah tumpah darah kami sendiri? Kalau kaum lelaki lebih menerima, apakah hal itu bisa dibiarkan saja? Nyai, katakanlah. Apakah saya salah kalau saya menginginkan kembalinya takhta yang dikoyak oleh Khan?"
"Tidak, Ratu Azeri."
"Saya tahu tanah ini tanah yang dikasihi Sang Maha Pencipta. Tanah yang mampu berdiri sendiri, yang mempunyai wanita seperti Nyai. Tetapi sesungguhnya Sang Mahakuasa tidak pilih kasih. Tidak hanya memilih tanah Jawa ini. Juga negeri saya, Turkana."
Lalu mendadak terdiam. Nyai Demang menunggu.
"Ada keributan di Keraton, Nyai."
Nyai Demang berusaha menangkap suara-suara yang samar dan tak jelas.
"Uighur agaknya menemui kesulitan. Keinginannya untuk menolong tidak diterima."
"Saya tak mendengar apa-apa, selain suara yang tak jelas."
Ratu Ayu kembali ke kursinya. "Uighur akan bisa mengatasi. Nyai akan bisa mempelajari, kalau mau. Ilmu ini sangat biasa untuk dilatih. Bagilah seluruh ruang ini menjadi 64 bagian. Setiap bagian, jaraknya sama. Kalau dari kamar ini ke Keraton ada sekian ratus langkah, bagilah menjadi 64 bagian yang sama. Delapan bagian ke samping kiri dan kanan. Sehingga jarak antara kamar dan Keraton menjadi delapan petak saja. Seperti dalam permainan Lompat Turkana, setiap jarak yang jauh bisa menjadi pendek dengan melompati bagian yang bisa dilompati. Kalau dari kamar ini ke Keraton ada pohon, ada tiang, kita bisa melompati jarak itu."
Nyai Demang menggelengkan kepalanya. "Hamba bisa menangkap sebagian."
"Nyai akan mampu melatih dengan cepat. Barang siapa mampu mempelajari tata bicara dengan cepat, ia bisa mempelajari segalanya!"
Kembali suaranya menggeletar, walau tetap perlahan dan merdu.
"Banyak alasan saya datang ke tanah Jawa ini. Pertama, karena hanya inilah satu-satunya negeri yang mampu mematahkan Khan. Kekuasaan Khan tak berlaku di negeri ini. Yang kedua, karena di tempat ini ada seorang yang bernama Eyang Sepuh, yang telah menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan. Suatu penguasaan rasa yang luar biasa. Dengan satu tangan bisa mengeluarkan suara lebih nyaring dari tepukan dua tangan.
"Apa bedanya dengan Jalan Budha? Apa bedanya dengan Lompat Turkana, yang memperpendek jarak? Bukankah ilmu congklak yang luar biasa dari Tartar bisa dipecahkan dengan mudah oleh seorang yang tak bernama di tempat ini?"
Nyai Demang ingin mengatakan bahwa "seseorang yang tak bernama" itu adalah Upasara Wulung. Dan itu bukan seseorang yang tak bernama. Akan tetapi Ratu Ayu masih melanjutkan,
"Agaknya tanah ini memang diciptakan secara lain. Saya iri dengan tanah luhur ini. Nyai, bahagialah kamu karenanya." Mendadak Ratu Ayu terdiam sesaat. "Sayang, sungguh sayang. Pertemuan kita agak terganggu. Hmm, akan segera terjadi pertumpahan darah yang tak diinginkan. Uighur tak bisa dikeroyok dengan cara seperti itu. Sariq!"
Terdengar jawaban hormat.
"Mereka yang memaksa pertarungan sia-sia."
Darah Nyai Demang menjadi beku seketika. Ratu Ayu merangkapkan kedua telapak tangan. Matanya tertutup rapat.
RATU AYU sedang memusatkan perhatiannya. Bibirnya mengeluarkan bisikan tipis, seirama dengan gerak tangannya yang halus. Walau tidak tahu secara persis apa yang dibisikkan oleh Ratu Ayu, Nyai Demang yakin bahwa Ratu Ayu sedang memberi perintah kepada para senopatinya yang kini terkepung.
Mendengar arah kejadian, Nyai Demang memperkirakan gegeran yang terjadi berlangsung di Kamandungan. Suatu tempat di luar Keraton sebelum sitinggil. Di situ memang ada pelataran yang luas. Ini berarti para senopati Turkana cukup menaruh hormat, sehingga pertarungan tidak terjadi dalam wilayah di jantung Keraton. Padahal, seharusnya bisa terjadi di bagian dalam.
Nyai Demang memuji kerendahhatian senopati Turkana. Pujian yang lebih merupakan kekaguman tertuju kepada Ratu Ayu. Yang bisa mengirimkan suara dari kamarnya ke arah Kamandungan. Cukup jauh, karena melewati pekarangan, bagian Keraton, dengan segala dinding tebal dan pintu berlapis yang sama tebalnya. Dan Ratu Ayu Bawah Langit ini cukup dengan berbisik.
Nyai Demang membandingkan dengan Eyang Sepuh. Karena selama ini yang mampu melakukan pengiriman suara jarak jauh secara sempurna hanyalah Eyang Sepuh. Dengan tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya, Eyang Sepuh mampu berhubungan dengan orang lain tanpa perlu memperlihatkan diri. Eyang Sepuh pernah membuktikan di tengah kerumunan para prajurit Tarik sewaktu akan merebut Singasari dari tangan kekuasaan Raja Jayakatwang.
Di antara para prajurit dan ksatria yang cukup tinggi ilmunya, Eyang Sepuh mampu membisikkan sesuatu kepada Upasara. Juga kepada Gayatri. Tanpa bisa didengar oleh orang yang berada di sebelahnya. Benar-benar pengaturan tenaga dalam yang luar biasa.
Nyai Demang sedikit pun tidak menyangsikan keunggulan serta kekuatan tenaga dalam Ratu Ayu. Namun ia juga memperhitungkan, bahwa agaknya Ratu Ayu tidak hanya menyandarkan kepada kekuatan tenaga dalam semata. Melainkan juga semacam mantra yang memungkinkan bisa saling berbicara pada jarak jauh. Karena para senopatinya sudah seperasaan dan sehati, hal semacam ini bisa dicapai. Meskipun jelas, bukannya tanpa latihan yang keras dan kemampuan yang mendukung. Bagaimanapun caranya, nyatanya Ratu Ayu mampu melakukan.
Tidak percuma namanya disejajarkan dengan tamu-tamu seberang yang lain. Tak berbeda jauh tingkatnya dengan Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, maupun Kama Kangkam. Bedanya, kalau Kiai Sambartaka datang sendirian, dan Kama Kangkam disertai dua muridnya, serta Naga Nareswara dengan tiga muridnya.
Sabetan tongkat kurus Paman Sepuh adalah sabetan yang memutus kehidupan dalam seketika. Sehingga korbannya tak sempat merasakan rasa sakit. Dalam sekejap, nyawanya telah melayang. Ini justru yang tak terlihat pada tubuh Pak Toikromo! Juga seluruh penduduk desa! Pada kejap-kejap terakhir dalam hidupnya, Pak Toikromo masih merasakan ngilu yang luar biasa pedihnya. Karena disengaja oleh Halayudha, agar korbannya merasakan penderitaan yang luar biasa.
Sebagai jago silat, Upasara mengetahui perihal urat saraf, nadi, dan otot-otot dalam tubuh manusia. Sehingga bisa lebih merasakan betapa sesungguhnya Halayudha adalah iblis di atas iblis yang tak mengenal perikemanusiaan sama sekali. Sungguh aib kalau ada gelar senopati, apalagi ksatria, bagi manusia iblis semacam itu.
Inilah sesungguhnya yang membakar hati Upasara. Lebih dari dendamnya kepada Kiai Sambartaka yang culas di saat-saat terakhir. Yang membuat Eyang Sepuh melakukan ilmu terakhir yang dimiliki, yaitu moksa, lenyap bersama seluruh badan dan sukmanya. Tindakan Kiai Sambartaka lebih dikarenakan terdesak, dan pada saat-saat terakhir mempertahankan hidupnya. Sedangkan Halayudha berbuat kecurangan dan keculasan untuk keserakahannya.
Kalau Upasara, Jaghana, Wilanda tenggelam dalam pikirannya, tidak demikian dengan Nyai Demang. Tanpa lebih dulu menanggalkan pakaiannya, Nyai Demang meloncat ke dalam sungai, menyelam, seakan mengaduk-aduk perut sungai. Dari ujung ke ujung, hingga tiap kali mengambil udara, makin terlihat napasnya tak teratur.
"Apa yang dicari perempuan yang selalu minta diperhatikan itu?" Ucapan Gendhuk Tri yang lirih mendapat jawaban dari Nyai Demang yang muncul sebentar.
"Kamu yang tolol. Sudah jelas Kiai Sambartaka melesat ke dalam sungai, kenapa kalian biarkan saja?"
Gendhuk Tri melengak. "Memang kenapa?"
"Itu yang dinamakan ketololan."
"Aku memang tolol. Tapi katakan dulu, kenapa?"
Nyai Demang menghela napas sambil berenang ke pinggir. "Kiai Sambartaka bukan kamu atau aku. Ia jago utama yang dikirim dari tlatah Hindia. Kemampuannya luar biasa dalam mengatur pernapasan. Rasanya tak mungkin begitu saja mati ketika kecebur ke sungai. Pun andai saat itu sudah terluka parah."
"Kalau begitu aku benar-benar sangat tolol dan dungu."
Nyai Demang menghela napas. "Sudahlah. Belum tentu aku bisa mencari, dan kalau bisa menemukan, belum tentu aku bisa menandingi. Kalau di belakang hari ia muncul lagi, harap kamu berhati-hati."
Biarpun menyadari ketololannya secara tulus, mana mungkin Gendhuk Tri mau dinasihati begitu saja. "Tukang pelihara ular begitu saja ditakuti. Hati-hati atau tidak, itu urusanku."
Gendhuk Tri meludah ke sungai. "Kiai culas, ayo keluar kalau berani. Sekarang tandingi aku. Kalau kamu tetap tak mau keluar, jangan salahkan aku kalau kukencingi wajahmu!"
Mendengar tantangan Gendhuk Tri, yang bisa benar-benar dilakukan, tak urung Upasara tersenyum kecil. Kepada Jaghana dan Wilanda, Upasara menjelaskan maksud berikutnya.
"Saya menangkap kegelisahan Paman berdua mengenai rencana saya membalas dendam. Berarti ini tantangan terbuka buat Baginda Raja, berarti ini membusungkan dada kepada Keraton. Akan tetapi saya tidak melihat pilihan lain. Siapa pun yang melindungi atau campur tangan, saya tak segan-segan akan menghadapi."
Upasara menarik napas panjang.
"Sejak kekuatan saya kembali, ada tuntutan lain yang mendesak. Maaf, Paman, saya belum bisa meredakan keinginan ini. Maka, akan lebih baik lagi kalau urusan saya dengan Senopati Halayudha semata-mata adalah urusan pribadi antara Upasara dan Halayudha. Untuk sementara, urusan Perguruan Awan, Paman berdualah yang menangani."
Jaghana tersenyum arif. "Apa kata Anakmas Upasara, pemimpin kami, tak berani Paman bantah. Hanya saja, kalau Paman boleh menitipkan pesan, bisalah Anakmas mencari waktu yang tepat."
Lembut, lirih, akan tetapi jitu kata-kata Jaghana.
"Karena Baginda Raja sedang membutuhkan Halayudha. Paman mendengar bahwa di samping utusan-utusan dari mancanegara yang sudah berkumpul di Trowulan ini, masih ada yang lainnya. Bukan kebetulan kalau yang sekarang sedang berada di Keraton menjadi tamu kehormatan adalah Ratu Ayu Bawah Langit."
Gendhuk Tri jadi menoleh. Nyai Demang yang tengah mengeringkan rambutnya memasang perhatiannya dengan baik-baik. Jaghana tidak membuat Upasara bertanya-tanya, segera memberi penjelasan.
"Sewaktu kita berangkat kemari, pendengaran Paman yang kurang bagus ini menangkap kabar bahwa Ratu Ayu Bawah Langit datang ke Keraton dan menjadi tamu kehormatan Baginda Raja. Barangkali Anakmas pernah mendengar cerita Ratu Ayu yang keayuannya melebihi 999 bidadari."
"Ini yang baru aku dengar, Naga Nareswara yang sudah mati itu menyebut-nyebut ada perempuan yang berani bergelar Ratu Ayu Bawah Langit. Apa hebatnya perempuan itu, sehingga berani memakai gelaran itu?"
"Ia putri raja, yang sekarang ini pun tengah menunggu pelantikan resmi sebagai ratu."
Penjelasan Nyai Demang membuat Gendhuk Tri lebih penasaran.
"Kalau ia cuma ratu, biar saja. Perlu apa saya peduli. Tapi berani mengaku paling ayu, saya mau lihat sendiri. Apakah hidungnya cuma punya satu lubang? Apa keringatnya bau minyak kesturi? Apa ludahnya wangi seperti kayu cendana?"
Meskipun diucapkan dengan hati yang dongkol, Gendhuk Tri menunjukkan bahwa sebenarnya ia mendengar puji-pujian bagi Ratu Ayu Bawah Langit. Pujian yang membuat perutnya merasa mual. Karena menyinggung harga dirinya sebagai wanita.
Ratu Turkana Mencari Jodoh
NYAI Demang merasa Gendhuk Tri mewakili suara hatinya. Barangkali juga suara hati semua wanita. Bahwa di dunia ini ada wanita yang cantik jelita lebih daripada bidadari, bukan sesuatu yang aneh. Akan tetapi bahwa ada sebutan Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan kepongahan yang luar biasa. Mana mungkin begitu mudah memastikan sebagai ratu ayu di bawah langit?
Namun yang membuat Nyai Demang merasa ngeri, bukan karena Ratu Ayu ini dianggap yang paling jelita di bawah langit, melainkan apa yang sempat diceritakan Kiai Sambartaka kepadanya. Bahwa utusan yang datang dari tlatah Turkana sungguh istimewa. Masih muda, jelita tak tertandingi, akan tetapi ilmunya setara dengan sekian banyak utusan yang datang. Baik dari Tartar, Jepun, maupun Hindia sendiri.
Nyai Demang bisa memperkirakan betapa tangguh dan hebatnya Ratu Ayu. Dan sesungguhnya, kalau dihitung-hitung sejak semula, jumlah utusan dari berbagai penjuru jagat ini sudah diatur sedemikian rupa untuk pertempuran secara langsung dan menyeluruh. Secara bersamaan. Dalam perhitungan para ksatria tingkat jagat ini, nama Upasara tidak termasuk. Tempat yang sesungguhnya ialah untuk Ratu Ayu!
Hanya karena satu dan lain hal, Ratu Ayu tak bisa datang tepat pada saat yang dijanjikan. Sehingga Upasara bisa mengikuti pertarungan. Nyai Demang masih ingat. Bahwa sebelum masuk ke gelanggang pertarungan, Upasara semacam diuji lebih dulu. Pantas atau tidak dalam perebutan gelar Lelananging jagat!
Hal itu tak terjadi andai Ratu Ayu yang masuk ke gelanggang. Keunggulan Ratu Ayu telah diakui oleh Kiai Sambartaka. Juga Naga Nareswara. Itu yang didengar oleh Gendhuk Tri. Tapi Gendhuk Tri sama sekali tak ambil peduli, dan menganggap Naga Nareswara sekadar membual. Ia dijuluki Raja Segala Naga, dan lalu asal menyebutkan nama Ratu Ayu Bawah Langit. Biar dianggap setanding. Memang, dibandingkan dengan Nyai Demang maupun Jaghana, Gendhuk Tri paling kalah dalam pengalaman mengetahui apa yang terjadi di tlatah lain. Bahkan perihal tlatah Melayu saja, Gendhuk Tri baru mengetahui belakangan setelah kembalinya Senopati Anabrang.
Sebaliknya Nyai Demang boleh dikatakan sangat ingin mengetahui segala sesuatu yang terjadi di luar laut dan gunung yang pernah dilihatnya. Itu pula sebabnya sejak dini, Nyai Demang senang mempelajari berbagai bahasa manca. Termasuk bahasa dari tlatah Tartar. Sehingga boleh dikatakan, dirinya satu-satunya yang bisa berbicara secara langsung dan jelas. Itu pula yang menyebabkan rasa ingin tahunya untuk mendekati Kiai Sambartaka.
Jaghana sedikit berbeda. Boleh dikatakan tak pernah mengenal dunia di luar batas hutan Perguruan Awan. Akan tetapi, ia adalah murid langsung Eyang Sepuh. Yang pernah berhubungan langsung sejak berguru. Jaghana adalah murid kepercayaan. Pada saat-saat tertentu Eyang Sepuh banyak berbicara mengenai segala kejadian di jagat. Termasuk saat bakal diadakan pertemuan untuk memperebutkan siapa yang sesungguhnya berhak atas Kitab Bumi, siapa yang paling murni menjalankan kitab yang banyak diperebutkan itu.
Secara jelas Eyang Sepuh mengatakan bahwa sebenarnya hal itu lebih menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang tiada artinya lagi. Manusia menjadi tua oleh usia dan waktu, akan tetapi pikiran dan nafsu ternyata tetap tak bisa dikendalikan. Dalam pertempuran terakhir sebelum meninggalkan Perguruan Awan, Eyang Sepuh menyebut-nyebut bahwa pada waktu yang telah ditentukan akan datang Tamu dari Seberang, tamu-tamu dari tlatah Tartar, Jepun, Hindia, Turkana.
"Semua teman lama. Kecuali yang datang dari tlatah tapel wates. Saya dengar masih muda dan sedang mencari jodohnya."
Hanya itu yang disinggung oleh Eyang Sepuh. Tapi bahwa Eyang Sepuh mengingatkan secara khusus, menandakan bahwa Ratu Ayu memang mempunyai kedudukan yang luar biasa. Eyang Sepuh memang menyebut Turkana sebagai tlatah tapel wates, atau negeri perbatasan. Karena konon negeri itu merupakan perbatasan antara dunia yang masih setia dengan ajaran-ajaran serupa dalam Kitab Bumi, dan ajaran-ajaran lain yang sama sekali tak diketahuinya.
Itu pula yang membuat Jaghana secara khusus mengingatkan Upasara Wulung. Bahwa kalau Ratu Ayu masih di Keraton, dan apalagi menjadi tamu kehormatan Baginda Raja, keinginan mencari Halayudha bisa berakibat lain. Karena Halayudha dengan segala kelicikannya mampu memancing semua empu bertarung. Dan ia sendiri tinggal di Keraton untuk melihat hasil akhir, setelah tak bisa menguasai Naga Nareswara.
Jaghana juga tak bisa menganggap enteng Halayudha. Biar bagaimanapun, Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu. Saudara seperguruan Ugrawe yang di saat kehancuran Keraton Singasari membuktikan diri sebagai yang sangat perkasa. Halayudha yang sama ini pula sudah mempelajari secara tuntas segala isi Bantala Parwa. Masih harus ditambah mempelajari secara langsung dari Naga Nareswara. Terakhir sempat menawan Kama Guru dari Jepun.
Dengan segala akal yang dimiliki, sedikit-banyak Halayudha sekarang ini lawan yang setanding bagi Upasara Wulung. Kalau ia berhasil menarik Ratu Ayu ke pihaknya, Upasara akan menghadapi lawan yang berat. Dalam soal pertarungan ilmu silat, Jaghana masih melihat ada kemungkinan untuk mengungguli lawannya satu demi satu. Namun dalam soal mengatur tipu muslihat, jelas Upasara Wulung bukan apa-apanya dibandingkan Halayudha.
"Kakang tak perlu takut segala kuntilanak atau tuyul perempuan. Walau rasanya juga perlu hati-hati."
Upasara mengangguk pelan kepada Gendhuk Tri, lalu memandang ke arah Nyai Demang.
"Nyai punya wawasan seluas samudra seluas langit. Apakah Nyai sependapat dengan kabar-kabar tentang kehebatan Ratu Ayu Bawah Langit?"
Nyai Demang melirik Gendhuk Tri, seakan memanfaatkan pujian Upasara sebagai kelebihannya atas Gendhuk Tri. Gendhuk Tri pura-pura membersihkan telinga. Seakan tidak mendengar, walau hatinya panas. Wilanda yang mencuri pandang, jadi menunduk malu. Menertawakan dirinya sendiri. Kenapa ia masih memperhatikan persaingan Gendhuk Tri dan Nyai Demang yang memperebutkan perhatian Upasara?
"Sesungguhnya saya tak mengetahui tentang Ratu Ayu. Di jagat hanya ada satu wanita yang paling ayu. Adimas Upasara pasti tahu siapa itu."
Tanpa menyebut nama Gayatri, Nyai Demang sudah membuat wajah Upasara berubah sedikit merah.
"Hanya memang Kiai Sambartaka menyebut-nyebut bahwa utusan dari Turkana ini perlu mendapat perhatian. Kiai sempat murka karena saya menjawab bahwa sesungguhnya saya tak pernah mendengar nama Ratu Ayu Bawah Langit atau Bawah Selokan. Waktu saya tanya kenapa perlu perhatian, Kiai Sambartaka menerangkan bahwa sesungguhnya banyak sekali dasar-dasar persamaan antara Bantala Parwa di tlatah Jawa ini dengan kitab-kitab di Jepun, Hindia, Tartar. Karena sumbernya sama. Kembangan yang ada, hanya pada pengolahan bagian tertentu. Tetapi ciri-ciri dasarnya masih sama. Sementara yang berkembang di tlatah Turkana boleh dikatakan berbeda dasar-dasarnya. Tlatah Turkana merupakan tapal batas budaya yang memiliki dasar-dasar budaya Bantala Parwa, dengan tlatah budaya yang sama sekali berbeda. Betul atau tidak, saya sendiri belum mengetahui, Adimas. Bagi saya yang lebih menarik adalah bahwa ternyata Ratu Ayu ini sedang mencari jodohnya."
"Sungguh tak tahu malu. Bagaimana mungkin ia wanita baik-baik kalau mengaku anak ratu dan calon ratu tapi mengumbar kata-kata mencari jodoh? Seekor ular betina atau cacing tak setebal itu wajahnya."
"Itulah bedanya. Ratu Ayu mewakili suatu tlatah yang berbeda."
"Ini bukan berbeda. Ini saru, memalukan, hina, menjijikkan."
Nyai Demang tersenyum lebar. (Paman Wilanda pernah mendengar kecemburuan?"
"Siapa yang cemburu, jangan bicara seenaknya."
Nyai Demang malah tertawa. "Kok ada yang merasa? Saya kan tidak menyebut nama siapa-siapa. Betul tidak, Paman Wilanda? Jangan hanya mengangguk dalam hati. Nanti yang bersangkutan tidak tahu. Perasaannya sudah tumpul, sudah kebal."
Gendhuk Tri bukan tandingan Nyai Demang dalam sindir-menyindir.
Senopati Sariq
AKHIRNYA menjelang malam, Upasara memutuskan akan tetap menuju Keraton, ditemani oleh Gendhuk Tri. Sedangkan Nyai Demang akan menyusup lebih dulu. Jaghana serta Wilanda dengan berat hati melepaskan kepergian Upasara.
"Tempat kami di antara rumput dan kehijauan daun. Maafkan kami tak bisa menyertai Anakmas."
Sebaliknya, Upasara juga meminta maaf. "Paman, sayalah yang bertanggung jawab dan diserahi tugas Eyang Sepuh untuk berdiam di Perguruan Awan. Namun saat ini rasanya saya masih perlu berkelana."
"Berangkatlah, Anakmas. Dengan iringan doa dan cahaya Dewa."
Upasara menunduk hormat. Jaghana membalas. Demikian juga Wilanda. Walaupun dalam Perguruan Awan tidak ada tata tertib untuk saling menyembah, akan tetapi sikap penghormatan masih tetap dilakukan. Bagi Upasara Wulung, kebiasaan selama ini tak bisa berubah begitu saja. Demikian juga sikap Wilanda kepada Upasara. Biar bagaimanapun, ia dulunya prajurit Keraton Singasari, di mana Upasara masih termasuk Ksatria Pingitan.
Menjelang munculnya rembulan, rombongan berpisah. Upasara melanjutkan perjalanan menuju ke Keraton. Gendhuk Tri merasa sangat girang karena kini bisa mendampingi Upasara terus-menerus. Beberapa langkah, Gendhuk Tri sudah memperingatkan agar sebaiknya Nyai Demang segera berangkat.
"Kalau kamu ingin segera bertemu Dewa Maut, kenapa tidak berangkat lebih dulu?"
"Enak saja bicara. Bukankah kamu yang ingin segera bertemu dengan Senopati Turkana yang bernama Sariq? Jangan dikira saya tidak mengetahui."
"Atau justru Adimas yang ingin segera bertemu...?"
Upasara menggelengkan wajahnya perlahan. "Mbakyu Demang, pikiranku sekarang ini dipenuhi keinginan untuk segera bertemu dengan Senopati Halayudha. Di saat Keraton sedang berada dalam kekacauan, di situ Senopati Halayudha makin mempertontonkan kemampuannya untuk memutarbalikkan kenyataan."
"Kakang takut menghadapi Halayudha yang sebelah kakinya sudah menginjak lubang kubur?"
"Takut, karena Senopati Halayudha katengen, dekat dengan Baginda Raja. Dengan kekuasaan seperti itu, Halayudha bisa berbuat apa saja yang membahayakan Keraton dan penduduk."
"Coba Kakang terima pengangkatan Baginda sebagai mahapatih. Tak akan begini jadinya."
Upasara menghela napas. Bayangan tubuh ketiganya menggeliat dalam cahaya bulan.
"Saya tak mampu. Darah Kakang terlalu kotor."
"U-uh. Apa Kakang pikir darah Halayudha tua itu lebih biru?"
Lalu, Gendhuk Tri beralih mengajak bicara Nyai Demang seakan tak ada ganjalan hati.
"Kalau di Keraton ada mahapatih, bukankah Halayudha itu tak bisa berbuat apa-apa?"
"Seharusnya begitu," jawab Nyai Demang dingin. "Akan tetapi masalahnya menjadi lain. Baginda Raja terlalu dekat dan percaya kepada Halayudha. Satu hal yang bisa membahayakan Baginda sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Baginda melupakan bahwa sewaktu merebut takhta, juga karena kepercayaan yang diberikan kepada beliau. Kebetulan saat itu hampir semua senopati perangnya bisa diandalkan. Akan tetapi, ada yang tidak. Ini yang kurang disadari Baginda."
"Kalau ia celaka, biar saja. Kenapa kita harus memikirkan nasibnya, kalau ia justru memerintahkan menggempur habis Perguruan Awan?"
Ganti Nyai Demang yang menghela napas. "Mulutmu bisa bawel, karena kamu tak tahu ujung-pangkal persoalan."
"Baik, aku bawel. Aku tak tahu ujung persoalan. Sekarang katakan, kenapa?"
"Saya sendiri tak memedulikan Baginda. Sengsara atau tidak, bagi saya tak ada bedanya. Akan tetapi Baginda adalah raja kita semua. Raja semua penduduk Majapahit. Baginda masuk angin, seluruh Keraton dan tata pemerintahan bisa berantakan. Sekali Baginda tidak berkenan sesuatu, ratusan prajurit yang merasakan akibatnya. Kini Baginda menghadapi tantangan yang agaknya tidak terlalu disadari. Pertama, dari dalam, yang bisa menjungkirbalikkan takhta. Kedua, utusan dari Turkana. Kalau kedua kekuatan ini bergabung, semua akan terjadi. Entah malam ini atau esok pagi."
Upasara mengangguk membenarkan.
"Apa betul Ratu Turkana itu sedemikian saktinya?"
"Naga Nareswara pasti pernah bercerita."
"Tidak. Naga Nareswara hanya menceritakan bahwa senopati yang mengiringi terdiri atas jago-jago utama. Di antaranya yang disebut Sariq."
Nyai Demang menghela napas. Agak berat. "Sariq dalam bahasa Turkana bisa berarti kuning. Ia memang senopati utama yang dibawa Ratu Ayu Bawah Langit. Dua senopati yang lainnya ialah Senopati Uighur dan Senopati Karaim. Ketiganya merupakan senopati pilihan. Sewaktu prajurit Tartar mampu menaklukkan seluruh jagat raya ini menyerbu masuk Keraton Turkana, ketiganya berhasil mempertahankan diri. Ketiganya bahkan bisa meloloskan diri bersama Ratu Ayu, dan kemudian berkelana ke seluruh jagat."
"Untuk apa melarikan diri kalau memang sakti?"
"Untuk menyempurnakan ilmunya. Sejauh yang saya dengar, ilmu silat seperti yang terdapat dalam Bantala Parwa atau Jalan Budha juga ada di negeri Turkana. Ratu Ayu termasuk yang mempelajari secara mendalam."
"Huh!"
"Menurut Kiai Sambartaka, sebenarnya itulah bagian yang diburu, yang dikejar oleh empu-empu di seluruh kolong langit. Barang siapa bisa mempelajari sampai habis, dialah yang menguasai semua ilmu silat di dunia."
"Aha, kalau begitu Kakang Upasara ini tanpa tanding."
Upasara mengeluarkan suara perlahan. "Saya telah membaca hingga habis. Telah berlatih hingga selesai. Seperti juga Halayudha, seperti juga Paman Sepuh dan Eyang Sepuh. Akan tetapi pencapaian kita masing-masing berbeda, tergantung bersih atau tidaknya hati kita. Walaupun saya telah mempelajari secara mendalam sampai halaman penghabisan, akan tetapi ternyata belum apa-apa. Kalau kita ingat, Eyang Sepuh masih menunjukkan adanya bait terakhir yang perlu dipelajari."
"Padahal Kakang sudah mempelajari!"
"Semua sudah mempelajari, akan tetapi belum bisa menangkap intinya. Adik sendiri sudah membaca dan mempelajarinya. Juga Mbakyu Demang."
Nyai Demang memandang ke arah langit. Matanya berkejap-kejap. "Sungguh aneh Bantala Parwa ini. Namanya sudah aneh sekali. Kitab Bumi, tapi isinya adalah Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Seperti dua bagian, akan tetapi kidungannya sama. Dua Belas Jurus Nujum Bintang berisi serangan-serangan yang ganas. Sedangkan Delapan Jurus Penolak Bumi justru berisi kebalikannya. Jumlahnya tidak sesuai. Dua belas dilawan dengan delapan. Ah, sudahlah, saya tak bisa memahami."
"Lalu, bagian mana yang dimaksud dengan 'bait terakhir' oleh Eyang Sepuh? Jangan-jangan masih ada kitab lanjutannya?"
"Pasti tidak," Upasara memotong dengan mantap. "Justru Eyang Sepuh tidak menyebut kitab yang lain. Eyang Sepuh menyebut 'bait terakhir, tak terbaca di hati'. Paman Jaghana juga tidak mengatakan bahwa selama ini ada kitab lain yang setanding atau merupakan lanjutan."
"Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Kalau Kakang tak mampu memecahkan, pasti orang lain juga tak bisa. Buat apa susah-susah. Biar saja kita bertiga menghadapi ketiga senopati Turkana itu. Rasanya kita tak bakal kalah. Soal Ratu Ayu, lebih gampang membereskannya. Kita lempari cacing pasti ia kelojotan dan melolong minta ampun."
Upasara melirik ke arah Nyai Demang. "Apa yang Mbakyu pikirkan?"
Gendhuk Tri jadi gondok lagi. Upasara lebih memperhatikan Nyai Demang.
"Saya justru kuatir kalau mempelajari sampai bait terakhir, jangan-jangan akan seperti Eyang Sepuh. Moksa, seluruh jiwa-raga lenyap bersama. Rasa-rasanya ada kaitan dengan itu."
Dari suaranya, Upasara bisa menangkap bahwa Nyai Demang lebih menguatirkan kelanjutan mempelajari Kitab Bumi. Dengan kata lain, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan bait terakhir Kitab Bumi!
Tawaran Ratu Azeri Baijani
DUGAAN Upasara beralasan. Nyai Demang sangat peka dan bisa menyelami kemampuan bahasa. Daya tangkapnya sangat luar biasa. Dari rangkaian kidungan yang bisa dihafalkan luar kepala dengan baik, bukan tidak mungkin Nyai Demang telah menemukan kuncinya. Mengetahui dengan tepat bagaimana mencari bait terakhir. Barangkali belum pasti sekali, akan tetapi telah menemukan sesuatu yang bisa dipakai pegangan.
Kalau hal itu dihubungkan dengan keadaan Dewa Maut, lebih masuk akal lagi. Dewa Maut yang terkurung di gua bawah Keraton mampu memecahkan rahasia jalan buntu, juga dari Kitab Bumi! Dengan cara menangkap yang berbeda, memberikan hasil yang berbeda jauh. Namun Upasara tidak mendesak lebih jauh.
Gendhuk Tri yang makin penasaran karena menyadari bahwa Upasara maupun Nyai Demang tenggelam alam pikiran masing-masing. Karena tak tahan akan kejengkelan sendiri, Gendhuk Tri melesat lebih dulu, dan segera bergegas menuju Keraton. Karena tidak dipanggil atau dilarang, Gendhuk Tri makin keras memacu tubuhnya.
Dalam sekejap ia telah meninggalkan Upasara dan Nyai Demang. Dan semakin jauh meninggalkan, Gendhuk Tri jadi makin kencang. Ilmu meringankan tubuh dikerahkan sepenuhnya. Selendangnya berkibaran menyentuh tanah hanya untuk mengambil tenaga, yang melontarkan tubuhnya jauh ke depan. Maka ketika matahari mulai bersinar, bayangan tubuh Gendhuk Tri sudah berada di tapal batas Keraton.
Dilihat dari usianya, Gendhuk Tri memang masih lebih suka menuruti suara hatinya secara seketika. Tidak memedulikan perhitungan yang lain. Pertimbangan ini-itu tak didengarkan. Yang paling mengetahui sifat-sifat Gendhuk Tri barangkali hanya Mpu Raganata maupun Jagaddhita. Namun keduanya sudah kembali ke alam baka.
Baru ketika tenggelam dalam suasana Keraton, Gendhuk Tri sadar bahwa kini Keraton dihiasi warna-warni. Hampir di setiap rumah dipasang janur kelapa dan bunga yang indah. Bahkan di pasar atau perempatan jalan dipasang kembang telon, bunga tiga warna, sebagai tanda syukur.
"Apa sekarang ini panenan berhasil baik? Apakah kalian sudah bisa menanam padi di atas batu karang?"
Pertanyaan yang kurang ajar ini tak menemukan jawaban. Baru setelah mendekati Keraton, Gendhuk Tri mengetahui bahwa di sitinggil-lah yang merupakan pusat kegiatan. Tak bisa menahan dirinya, Gendhuk Tri bertanya kepada salah seorang prajurit yang tengah bertugas membersihkan ukiran kayu dan menambahi ukiran batu di pinggir sitinggil.
"Ke bagian bawah pohon sana."
Gendhuk Tri gregetan. Hampir saja selendangnya bergerak menampar. Akan tetapi perhatiannya tertuju ke bawah pohon beringin yang berada di tengah alun-alun. Ia segera mendekat. Dan langsung ditarik, dimasukkan ke dalam barisan. Berkumpul bersama para wanita, gadis-gadis yang lain.
"Masih kurang... Masih kurang..." Salah seorang prajurit menghitung kembali barisan.
"Hari ini kita akan mulai latihan. Akan tetapi jumlahnya masih kurang. Baginda Raja berkenan bahwa tarian persembahan nanti ditarikan oleh 999 penari. Maka jika kalian masih mempunyai saudara perempuan, kakak, adik, embok, segera panggil kemari!"
Alis mata Gendhuk Tri terangkat. Dalam hatinya merasa geli. Ia masuk dalam barisan penari yang dipersiapkan untuk mengadakan tarian di depan Ratu Ayu. Namun Gendhuk Tri merasa senang juga. Ia adalah penari Keraton sejak masih bayi. Sebelum diculik oleh Mpu Raganata dan dididik Jagaddhita, ia adalah penari.
"Kalau masih kurang, kenapa jumlahnya tidak dikurangi saja. Seadanya saja. Toh tak ada yang menghitung." Suara Gendhuk Tri terdengar sangat lantang. Karena ia satu-satunya wanita yang berani bersuara.
"Tidak bisa. Tidak bisa. Baginda Raja menitahkan 999 penari."
"Saya tahu," jawab Gendhuk Tri tanpa peduli sorot mata tajam menyelidik ke arah dirinya. "Tapi sampai bayi dalam kandungan dihitung, tak akan pernah mencapai jumlah sekian itu."
Pemimpin prajurit melotot ke arahnya.
"Kenapa paman-paman prajurit ini tidak memakai kain saja? Pasti jumlahnya bisa mendekati."
Meskipun kedengarannya berolok-olok, apa yang dikatakan Gendhuk Tri masuk akal juga. Mengumpulkan wanita sejumlah 999 perlu mengerahkan seluruh penduduk wilayah Keraton hingga ke batas terakhir.
"Siapa namamu? Kenapa kamu berani begitu lancang?"
Gendhuk Tri menyembah. "Ampun, Paman. Nama saya Gendhuk Tri, saya penari Keraton. Saat ini lima saudara saya sudah di sini, ibu saya, mertua saya, sudah berkumpul. Dan rasanya tidak ada tambahan lagi." Gendhuk Tri memperlihatkan wajah ketakutan dan tubuhnya seolah menggigil.
"Sangat memalukan bagi prajurit kalau memakai kain dan selendang. Kamu bisa dihukum karena penghinaan ini."
"Maaf, Paman prajurit yang mulia. Sebenarnya hamba ingin mengusulkan, kenapa tidak putri-putri Keraton saja yang diajak? Namun hamba lebih takut dianggap menghina."
Gendhuk Tri makin keras tertawa dalam hati. Ia sudah membayangkan bahwa jika putri-putri Keraton diajak berlatih menari, masalah yang timbul akan sangat menyulitkan. Tapi yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat puas ialah bahwa ia bisa menyaksikan putri Keraton, yang bahkan terkena sinar matahari pun takut, akan dijemur di bawah terik matahari!
Mereka yang selalu melulur tubuhnya, kini disuruh berdiri di lapangan terbuka. Usul Gendhuk Tri justru dianggap masuk akal. Prajurit yang agaknya memegang pimpinan itu segera melaporkan kepada pemimpin yang lebih tinggi.
"Gendhuk, kamu anak siapa?"
Gendhuk Tri menoleh. Baru menangkap bahwa yang bertanya adalah wanita yang duduk di sebelahnya, yang tak berani menoleh atau memandang ke arahnya. Takut mendapat teguran dari prajurit yang mengawasi.
"Saya anak kedua Pak Toikromo."
"O, kalau begitu kita masih saudara."
Gendhuk Tri manggut-manggut hormat.
"Saya tidak mimpi apa-apa bakal mendapat wahyu kehormatan diajak menari bagi Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani."
Gendhuk Tri manggut-manggut. "Saya juga tidak menyangka, Ibu... "Katanya Gusti Ayu sangat cantik jelita, mengalahkan kita semua yang dikumpulkan menjadi satu."
Yang diajak bicara memandang aneh pada Gendhuk Tri. "Saya kira kamu bukan saudara saya, Gendhuk."
Gendhuk Tri meleletkan lidahnya. Lalu pelan-pelan mundur, dan di luar pengetahuan para prajurit ia menuju ke arah samping sitinggil. Dengan berendap-endap, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa di tempat itu juga sedang ada persiapan luar biasa. Kalau di bawah pohon di alun-alun yang dikumpulkan para gadis, di tempat ini adalah para perjaka.
"Siapa tahu sayalah yang dipilih."
"Kalau kamu yang terpilih, sebelum namamu disebut, kamu sudah mati karena kaget!"
"Jangan begitu. Nasib manusia kan ditentukan Dewa yang mengatur jagat ini. Kita hanya menjalani saja."
Di tempat ini, Gendhuk Tri bisa mendengar lebih banyak. Bahwa karena Ratu Ayu Azeri Baijani sedang mencari jodoh, para pemuda semua dikumpulkan. Siapa tahu ada yang terpilih. Sekilas saja Gendhuk Tri bisa mengetahui bahwa yang ikut berkumpul hampir semuanya sentana atau kerabat Keraton.
"Tapi bagaimana kita bisa meladeni. Untuk mandinya saja, Gusti Ayu perlu air sangat panas, lalu air dingin untuk merendam diri. Bisa-bisa sebelum menyiapkan air kita telah mati kelelahan."
Gendhuk Tri tertarik. Biar bagaimanapun, ia adalah gadis yang sedang tumbuh. Meskipun penampilannya asal-asalan, akan tetapi mendengar pembicaraan mengenai perawatan tubuh, hati wanitanya tergerak juga.
"Kalau kita yang berhasil menerima tawaran Gusti Ratu Ayu, kan bukan kita yang menyediakan air. Sudah ada prajurit yang bertugas. Heh, selama ini sudah ada yang pernah mengintip Gusti mandi apa belum? Jangan-jangan Bagin..." Suaranya terhenti. Wajah ketakutan terbayang jelas.
Pertemuan Raja dengan Ratu
KETIKA Gendhuk Tri terlibat dalam berbagai kesibukan di luar Keraton, di dalam Keraton sebenarnya terjadi kesibukan yang lebih tinggi. Lebih tinggi suasananya karena menyangkut tata krama di antara dua pemimpin tertinggi. Antara Baginda Kertarajasa Jayawardhana dan Ratu Ayu Azeri Baijani.
Yang membuat Baginda sedikit masygul ialah bahwa Ratu Ayu, sejak kedatangannya di Keraton Majapahit dan ditempatkan dalam ruang utama Keraton, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan menemui. Dalam tata krama tingkat bangsawan tinggi, hal itu sungguh tercela. Bisa diartikan bahwa Ratu Ayu segan datang menghadap dan tak mau mengakui keunggulan atau wibawa tuan rumah. Ini berarti tidak menganggap Baginda adalah raja yang harus didatangi.
"Taruh kata ia ayu bagai sinar pelangi. Taruh kata keraton pemerintahannya mencakup beberapa tlatah yang luas, tidak seyogyanya sebagai tetamu ia bertindak begitu kurang ajar. "Apakah ia merasa lebih tinggi derajatnya daripada aku?"
Halayudha nampak gemetar ketika menghaturkan sembah sambil menunduk rendah sekali. "Seribu maaf, Baginda. Rasanya kurang pantas Baginda memperhatikan seorang perempuan. Hal ini tak perlu Baginda turun tangan sendiri. Cukup salah seorang senopati untuk memperingatkan. Baginda adalah raja yang mendapat wahyu dari Dewa Segala Dewa, memerintah secara resmi. Sedangkan Ratu Ayu hanyalah ratu dalam pelarian. Masih baik Baginda berkenan memberi tempat yang bagus dengan semua keperluannya."
"Bagaimana kalau Mahapatih yang memberi peringatan?"
Mahapatih Nambi menghaturkan sembah. "Sebelum Baginda menitahkan, hamba sudah bersiap menjalankan titah."
Lagi-lagi Halayudha menghaturkan sembah. "Mahapatih masih terlalu tinggi derajat dan pangkatnya, duhai, Baginda. Cukup pesuruh, bawahan Baginda. Mohon ampun atas kelancangan hamba."
"Menurut kamu, siapa yang pantas?"
Halayudha menyembah lagi. Lebih dalam. "Baginda adalah raja yang bijaksana yang terdengar sampai ke tlatah tapel wates jagat. Para senopati agung Keraton Majapahit, ibarat kata ikan di laut dan burung di hutan, mendengar nama besarnya. Hamba sama sekali tak dikenal. Hamba hanyalah gedibal, alas kaki, Baginda. Biarlah hamba yang menemui. Kalau hamba gagal tak bisa menemui, Keraton tak kehilangan muka. Kalau berhasil, berarti tingkat dan derajat Ratu Ayu jauh di bawah Baginda."
Baginda mengangguk. "Sebelum matahari terbenam nanti, saya ingin mendengar bagaimana jawaban Ratu Ayu."
"Sendika dawuh, siap menjalankan perintah Baginda."
Begitu mendapat perintah, Halayudha segera bergegas menemui Ratu Ayu di tempat kediamannya. Di pintu menuju ke kamar Ratu Ayu, Senopati Sariq mengangguk hormat. Kelihatan jelas bahwa di balik sikapnya yang ramah dan merendah, tersembunyi satu kekuatan yang besar. Di balik pakaiannya yang berseliweran, tersembunyi tubuh gagah yang gesit. Di balik terompah yang dikenakan, ada sepasang kaki yang cekatan bergerak.
"Maaf, Senopati Agung dari negeri yang tak mengenal batas langit, saya menyampaikan sesuatu bagi Ratu Ayu."
Sariq nampak bimbang sesaat. Mendadak dari ruangan dalam terdengar suara yang merdu.
"Katakanlah apa maumu."
Halayudha menunduk dan menyembah. Lalu duduk dan menyembah kembali. "Duh, Ratu Ayu, sungguh hamba tak berani mengatakan secara langsung. Akan tetapi sebagai abdi yang hanya menjalankan perintah, biarlah hamba membunuh diri karena telah berbuat kurang ajar."
"Kamu adalah senopati utama, kenapa perlu merendahkan diri semacam itu?"
Sariq tetap menunduk, bersila sebagaimana Halayudha. Hanya pendengaran dan sikapnya menunjukkan kesiapsiagaan.
"Ampun, Ratu Ayu Bawah Langit, hamba hanya sekadar menyampaikan apa yang diminta Baginda. Berat hamba mengatakan, seakan lidah hamba tak bisa bergerak. Rasa malu dan sungkan yang membuat berat untuk mengutarakan."
"Katakan, Paman Halayudha."
"Baginda menghendaki Ratu Ayu menyerahkan rajutan bulu domba yang berwarna-warni sebagai tanda asok bulu bekti glondong pengareng-areng."
Sariq mengertakkan gerahamnya. Tangannya bergeser ke arah pedang melengkung bagai bulan sabit di pinggangnya. Permintaan Baginda tak bisa ditafsirkan lain. Rajutan bulu domba sebagai babut pramudani, atau babut permadani, adalah karya budaya negeri Turkana. Untuk merajutnya diperlukan seni dan keahlian tertinggi. Dengan meminta itu sebagai glondong pengareng-areng, sebagai tanda upeti, sama juga mengatakan Ratu Ayu sebagai ratu yang di bawah kekuasaan Baginda!
Hanya bawahan yang memberikan glondong pengareng-areng kepada atasannya. Hanya raja bawahan yang mengakui kekuasaan raja yang lebih berkuasa melakukan hal itu. Barangnya bisa jadi tak seberapa, meskipun tetap yang utama. Bahkan dalam istilah pun disebutkan sebagai kayu gelondongan untuk arang atau kayu bakar. Akan tetapi arti simbolis dari itu ialah pengakuan kekuatan yang lebih tinggi.
Dan sesungguhnya itu pula yang diinginkan oleh Raja Tartar, Khan, ketika mengutus para pendekarnya ke tanah Jawa. Agar raja di Jawa mengakui kebesaran negeri Tartar! Itu yang ditolak Baginda Raja Sri Kertanegara! Bukan karena barang yang diminta, akan tetapi ini masalah kehormatan.
"Saya bisa mengerti," terdengar suara dari dalam kamar dengan nada yang tak berubah. "Baginda Kertarajasa telah membuktikan diri lebih perkasa. Di seluruh penjuru jagat ini aku sudah mengelilingi, sudah menginjak tanahnya, dan menyaksikan sendiri. Di mana pun aku berada, panji-panji kebesaran Tartar yang menguasai. Baik di negeri Cina sendiri, di Jepun, bahkan sampai ke Turkana. Tapi Baginda Jayawardhana mampu mengusirnya. Hanya di tanah Jawa yang sering becek karena hujan inilah prajurit utama Khan bisa dipukul mundur. Paman Sariq, sampaikan yang diminta Baginda."
Meskipun nampak tidak setuju, Sariq menunduk hormat sambil menyembah.
"Apa lagi yang dikehendaki Baginda?"
"Hanya dua hal, Gusti Ratu Ayu yang jelita. Yang pertama telah hamba sampaikan. Yang kedua... yang kedua... ah, Baginda berkenan mengambil Gusti Ayu sebagai garwa ampil."
Kali ini Senopati Sariq tak bisa menahan diri. Diambil sebagai garwa ampil, ialah sama juga dijadikan selir, dijadikan istri kesekian yang secara resmi tidak berhak atas kehormatan dan upacara-upacara penting Keraton. Tugas utamanya hanyalah mendampingi Baginda, sebatas kamar tidur!
Dalam upacara penting, tak berhak bersanding dengan Baginda! Ini penghinaan yang kelewat batas. Mengarungi hampir seluruh jagat raya, menginjak berbagai bumi di bawah langit, rasanya Senopati Sariq belum pernah mendengar penghinaan yang begitu menjijikkan.
"Gusti Ratu."
"Sariq... aku yang diminta, bukan kamu."
"Maafkan kelancangan hamba. Namun rasanya hamba tak rela."
"Cukup, Sariq!"
Senopati Sariq menyembah dengan hormat. Halayudha tetap menunduk, meskipun memperhatikan reaksi yang kecil.
"Beribu ampun dan maaf. Dalam pandangan hamba, pertemuan resmi nanti adalah pertemuan dua raja yang sama derajatnya, sama-sama pilihan Dewa. Akan tetapi... duh... Gusti Ratu..."
"Jangan merasa bersalah karena menyalahi titah Raja. Sebagai senopati, itu pantangan utama."
"Maha terima kasih atas petunjuk Gusti Ratu."
"Paman Halayudha, sampaikan kepada Baginda. Saya tidak berkeberatan diambil sebagai garwa ampil. Siapa saja bisa menjadi pendamping saya. Hanya saja sejak semula saya sudah berjanji. Barang siapa mampu mengungguliku, itu yang akan kuhormati sepanjang hidupku. Karena kudengar kalian mempunyai ilmu Tepukan Satu Tangan yang sejajar dengan Jalan Budha, aku ingin menjajalnya. Sampaikan sekarang juga. Sebelum matahari tenggelam, aku sudah mendengar kesediaan Baginda."
64 Langkah Jong
SENOPATI SARIQ menghirup napas lega. Ternyata Ratu Ayu yang disembah dan diabdi selama ini tetap tak bergeser dari niatan semula. Hanya yang mampu mengalahkan Ratu Ayu berhak menjadi suaminya. Berhak atas hidup dan matinya Ratu Ayu. Tak peduli ia raja atau rakyat biasa. Sekaligus ini tantangan. Apakah Baginda berani menerima tantangan terbuka ini?
Selama dalam penjelajahan, belum pernah ada yang mampu mematahkan keunggulan ilmu Ratu Ayu. Itu pula sebabnya Ratu Ayu terus-menerus berkelana dari satu negeri ke negeri yang lainnya. Hanya untuk mencari siapa yang bisa mengungguli ilmunya. Satu hal yang tak diketahui oleh Halayudha ialah bahwa rombongan Ratu Ayu memang mencari pemecahan atas ilmu yang sekarang dikuasai. Ada kepercayaan kuat, jika ada yang mampu mengalahkan, ilmu orang tersebut bakal bisa dipadu dengan ilmu yang dimiliki Ratu Ayu, dan akan merupakan ilmu yang paling dahsyat di jagat ini. Dengan bekal itu, Ratu Ayu bermaksud mengusir senopati dari Tartar yang kini menduduki negerinya!
Dalam perjalanan berkelana, Ratu Ayu teringat gurunya pernah mengatakan bahwa di seantero jagat ini hanya ada beberapa negeri yang unggul ilmu silatnya. Yaitu tanah Jawa, tanah Jepun, Hindia, maupun Cina yang jelas sudah dikuasai bangsa Tartar. Dari sekian banyak cabang dan aliran pada pohon utama aliran persilatan, ada garis persamaan sebagai sumber utama. Yaitu yang di tanah Jawa dikenal dengan sebutan ilmu Tepukan Satu Tangan, yang diciptakan oleh seorang empu yang namanya menggema ke seluruh penjuru jagat, yaitu Eyang Sepuh.
Kebetulan sekali Eyang Sepuh pernah mengirimkan undangan untuk mengadakan pertemuan dan menentukan siapa sebenarnya yang paling menguasai ilmu tersebut. Tertarik oleh kabar itu, Ratu Ayu datang ke tanah Jawa. Senopati Sariq yang selalu mendampingi siang dan malam, meyakini apa yang menjadi keyakinan Ratu Ayu. Hanya perpaduan antara ilmu Ratu Ayu dan ilmu yang bisa mengalahkan, menjadi senjata utama untuk membebaskan negerinya! Diam-diam Senopati Sariq menunggu, apa yang akan dijawab oleh Baginda.
Halayudha sendiri segera menyampaikan secara langsung, dalam penuturannya sendiri. Air matanya mengalir ketika melaporkan.
"Duh, Baginda... Ratu Ayu tidak ingin sowan, tidak ingin menghadap Paduka, sebelum Paduka yang mulia mampu memecahkan rahasia ilmu 64 Langkah Jong, yang menjadi kebanggaan Ratu Ayu dan para senopatinya."
Baginda menjadi merah wajahnya. "Mahapatih, apakah kamu mendengar apa yang dikatakan Halayudha?"
"Sembah bekti hamba, Baginda."
"Apa katamu?"
"Ratu Ayu sangat berlebihan. Tak bisa tidak, bilamana Baginda berkenan, biarlah hamba yang menyelesaikan."
"Aku tahu, kamu yang bakal menyelesaikan. Tapi apakah kamu pernah mendengar mengenai 64 Langkah Jong yang diunggulkan itu?"
Bahwa jong bisa berarti payung, bisa pula berarti tertutup, semua mengetahui. Akan tetapi kaitannya dengan ilmu 64 Langkah Jong, itu yang masih merupakan tanda tanya.
"Pengetahuan hamba sangatlah dangkal, Baginda. Akan tetapi kalau tidak salah, ini ilmu silat yang jurus-jurusnya berdasarkan permainan di negeri Turkana."
Halayudha memuji kecerdasan Mahapatih Nambi. Sungguh tak disangkanya bahwa Mahapatih bisa menerangkan dengan tepat. Karena pada pikirnya tadi, Baginda akan mendengar penjelasan darinya.
"Permainan apa?"
"Duh, Baginda, mudah-mudahan dijauhkan dari bencana jika keterangan hamba keliru. Di negeri Turkana ada permainan di antara putra-putri raja. Permainan ini menggunakan sebuah papan, yang dibagi menjadi 64 kotak. Yang memainkan dalam peperangan dua orang. Masing-masing pemain mempunyai enam belas biji yang dilompatkan menuju baris terakhir lawannya. Caranya dengan melompati biji permainannya sendiri, atau melompat biji lawan. Setiap kali melompati biji lawan, berarti ia makan dan menang. Pemain yang masih menyisakan biji paling banyak di garis akhir lawan adalah yang menjadi pemenang."
"Hmmmmm, itu yang menjadi andalan ilmu silat mereka?"
"Tepat apa yang disabdakan Baginda. Permainan ini kita sebut jong, sebab biji yang kita mainkan tertutup kemungkinannya untuk mundur. Tidak dibenarkan mundur. Jadi hanya bisa maju sepetak ke depan, atau ke samping kiri dan kanan, atau menyerong. Tapi tak pernah mundur."
"Itu yang akan kelihatan dalam permainan silat mereka? Hmmmmm, menarik juga. Mahapatih, apakah menurut pendapatmu ilmu silat mereka cukup tangguh?"
"Begitulah yang hamba dengar, Baginda."
Baginda menahan udara di dada. "Kamu sependapat, Halayudha?"
Diiringi sembah hormat, Halayudha berkata, "Serumit dan setinggi apa pun, namanya permainan, tetap saja permainan. Di desa yang paling ujung, anak-anak telah memainkan. Maafkan kelancangan hamba, Baginda. Hamba tak pernah takut atau gentar dengan sesumbar mereka. Yang lebih membuat prihatin hamba, ialah kelancangan Ratu Ayu menilai Baginda."
Seluruh ruangan menjadi senyap. Halayudha sendiri seperti menahan dendam.
"Apa katanya?"
Ruangan masih tetap senyap. Semua pendengaran tertuju kepada Halayudha. Mendadak terdengar suara tepukan keras, nyaring. Mahapatih dan semua senopati yang hadir terkejut. Halayudha menampar bibirnya hingga berdarah.
"Mulut hamba ini busuk kalau sampai menirukan apa yang dikatakan Ratu Ayu."
Melihat dengan lirikan bahwa bibir Halayudha berdarah, tak urung Mahapatih tergetar juga. Dalam perkiraannya, Halayudha menghukum bibirnya yang akan mengucapkan sesuatu yang lancang.
"Katakan!" Suara Baginda terdengar nyaring.
Halayudha menampar pipinya kembali. Kali ini lebih banyak darah mengalir. Halayudha mengambil gigi yang tanggal dan dengan hati-hati menyimpan di balik kainnya.
"Ratu Ayu mengatakan bahwa walaupun pasukan Tartar terusir karena serangan Baginda, akan tetapi sesungguhnya Baginda bukanlah raja yang besar. Masih jauh di bawah bayang-bayang kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara. Baginda Raja Singasari telah membuktikan kebesarannya dengan mengirimkan armada ke tlatah Siam, ke Tartar, sementara Baginda Raja junjungan kita yang mulia, dikatakan lebih banyak mengurusi wanita...."
Tangan Baginda menepak paha. Dua tangan secara serentak. Kemudian meninggalkan pertemuan. Yang tertinggal hanya kesunyian. Tak ada yang mulai bergerak sedikit pun.
Mahapatih dan semua senopati utama mendengarkan sendiri apa yang diucapkan Halayudha dan mendidih darahnya. Ini penghinaan yang paling rendah. Mengungkit masalah lama. Apalagi membandingkan dengan Baginda Raja Sri Kertanegara! Sesuatu yang tak boleh terdengar, walau secara samar. Tapi justru kini diucapkan secara terbuka. Bagi para senopati dan prajurit, membela Raja adalah tugas utama dan mulia. Bukan benar atau tidak yang diucapkan Ratu Ayu, akan tetapi kalimat itu merupakan penghinaan yang tidak ada ampunannya lagi.
Halayudha memang tepat menusuk jantung perasaan. Mencerabut akar kepekaan budaya bangsanya. Intrik mengenai Baginda Raja Sri Kertanegara dengan Baginda Jayawardhana merupakan pertentangan yang pelik dan rumit. Yang bergema karena pemilihan senopati. Lebih banyak pengikut Baginda yang sekarang menduduki jabatan dan kepangkatan tinggi. Dibandingkan dengan senopati yang dulu mengabdi Keraton Singasari.
Halayudha mampu meniupkan api permusuhan di kalangan prajurit, kemudian menjalar ke kalangan senopati. Kini telah mencapai puncak kobaran. Baginda sendiri menjadi murka. Berarti suatu perang terbuka. Pada saat itulah semua rencana yang selama ini tertunda-tunda akan bisa dilaksanakan.
Halayudha Menebus Dosa
MERASA bagian pertama rencananya berhasil, Halayudha melakukan langkah berikutnya. Dengan menghela napas berat, Halayudha bersujud ke arah kursi yang tadi diduduki Baginda. Selintas matanya yang jeli seperti menangkap bayangan salah seorang dayang-dayang Baginda ada yang nampak berbeda. Cara menunduknya terlalu dalam, melebihi yang lain. Hanya Halayudha yang menangkap kelainan ini. Tidak senopati yang lain.
Bukan karena Halayudha lebih hafal satu per satu dayang-dayang yang biasa mengiringi Baginda, melainkan karena indra keenam yang dimiliki mengisyaratkan sesuatu. Kelebihan Halayudha dalam soal kejelian dan mengatur strategi boleh dikatakan sulit ditandingi. Senopati lain pasti tak berpikir bahwa akan ada seorang wanita yang berani menyamar sebagai dayang-dayang. Karena risikonya terlalu tinggi. Lagi pula kalau berniat jahat juga susah melaksanakan.
Barisan dayang-dayang selalu mengiringkan Raja, akan tetapi tempatnya jauh di belakang. Dan bergerak sedikit saja, boleh dikatakan tidak mungkin. Halayudha merasa bahwa salah seorang dayang-dayang itu sedang menyamar, akan tetapi sama sekali tak menyangka bahwa yang menyamar sebagai dayang itu adalah Nyai Demang. Andai mengetahui, barangkali jalannya peristiwa akan lain.
Adalah keinginan Nyai Demang sendiri untuk menerobos masuk ke dalam Keraton karena ingin mengetahui dari dekat seperti apa keelokan Ratu Ayu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyamar sebagai dayang. Bagi Nyai Demang hal ini tak terlalu merepotkan. Adat-istiadat Keraton sangat dikuasai. Seluk-beluk dan liku-liku Keraton bisa dihafal luar kepala, karena Nyai Demang bahkan pernah menyusup ke dalamnya.
Maka tak terlalu sulit menculik salah seorang dayang yang tubuhnya mirip dengannya. Dan ia mengganti pakaiannya lalu mengikuti iringan. Tak ada yang mencurigai, karena dayang-dayang yang lain selalu menunduk dan boleh dikatakan tak pernah melirik ke arah yang lain.
"Duh, Baginda. Hamba abdi tak tahu diri dan membuat Baginda murka. Sungguh tidak pantas hamba berkata selancang ini. Mohon Baginda memberi ampunan, jalan yang lapang bagi arwah hamba..."
Halayudha cukup lama berbicara, cukup jelas kata-katanya, dan cukup perlahan mengambil keris dari salah seorang prajurit. Baru kemudian menghunus, mengangkat tinggi, dan menusuk ke arah perutnya.
"...Biarlah hamba, Halayudha yang tak berarti ini, menebus dosa."
Jarak waktunya cukup lama, agar ada seseorang yang menghalangi niatan Halayudha bunuh diri. Itu rencana Halayudha. Agar semua yang hadir melihat penyesalan dirinya. Tapi, di luar dugaannya, tak ada senopati yang bergerak. Bukan karena ingin membiarkan Halayudha membunuh diri, melainkan masih tercekam akan kemurkaan Baginda. Ini yang membuat Halayudha mencelos. Tapi jelas, ia tak bisa mengurungkan begitu saja. Bisa terbuka semua kedoknya.
Dalam saat kritis, Halayudha tetap menusuk ke arah perutnya, hanya arahnya sedikit dimiringkan. Saat itulah Nyai Demang bergerak. Kedua tangannya terangkat, disertai teriakan sedikit kaget. Saat itu tenaganya disalurkan sepenuhnya, membentur tangan Halayudha, dan arah yang miring itu menjadi lurus. Langsung menembus ke arah perut.
Senopati Wide yang bereaksi pertama. Segera menyambar ke arah Halayudha. Perut itu tertancap keris. Dengan segera Halayudha diamankan. Dibawa ke dalam. Dan pertemuan menjadi guncang. Bahkan setelah Nyai Demang berteriak, tak ada yang curiga, hal ini bisa dimengerti. Karena teriakan itu lebih mirip sebagai kekagetan. Demikian juga dengan gerakan tangannya. Tak banyak yang menduga bahwa saat itu Nyai Demang mengirimkan tenaga dalam.
Jalan pintas inilah yang dipilih Nyai Demang. Sejak dalam perjalanan, ketika mendengar semua kebusukan Halayudha dari Upasara, Nyai Demang sudah menetapkan tekad. Bahwa Halayudha harus disingkirkan dengan cara yang licik pula. Tak ada cara lain, untuk menghindarkan perang terbuka dengan Upasara. Sebab dalam perkiraan Nyai Demang, betapapun hebat ilmu yang dimiliki Upasara, hasil akhir yang akan keluar sebagai pemenang bisa sangat berbeda. Ketangguhan tapi lugu diri Upasara adalah makanan empuk bagi Halayudha.
Sewaktu gegeran di dalam, segera Nyai Demang mengundurkan diri ke arah dalam. Hanya karena tidak sepenuhnya hafal dengan tempat persinggahan Ratu Ayu, ia telah memasuki pelataran di mana Ratu Ayu menginap. Baru sadar sewaktu sesosok tubuh yang tinggi, kokoh, dengan jenggot lebat, menghadang jalannya.
"Maaf, kami mendengar jeritan di dalam Keraton, apa yang sesungguhnya terjadi?"
Hampir Nyai Demang mendongak dan menghardik, kalau tidak ingat bahwa dirinya berperan sebagai dayang. "Senopati Halayudha membunuh diri."
"Apa benar yang dikatakan orang itu, Senopati Uighur?"
Suara lembut dari dalam ruangan, dan samar-samar Nyai Demang mencium bau harum. Itulah suara Ratu Ayu. Sungguh luar biasa. Pendengaran yang sempurna. Boleh dikatakan mereka berada dalam pelataran yang cukup jauh dari bangunan, akan tetapi Ratu Ayu bisa mendengarkan dengan jelas. Padahal Nyai Demang merasa berbicara dengan nada rendah.
"Begitulah, Ratu Ayu."
"Uighur, kalau masih bisa ditolong, kenapa kamu tidak segera ke sana?"
"Siap menjalankan tugas, Gusti Ratu." Senopati Uighur masih berdiri ragu.
"Berjalanlah. Lakukan apa yang saya perintahkan. Tak perlu kuatir tak ada yang menjaga. Saya masih bisa menjaga diri. Kalau dayang itu begitu ringan langkahnya, pastilah di sini para senopati ilmunya sangat tinggi. Akan tetapi tak perlu kuatir. Saya bisa mengatasi."
Senopati Uighur menyembah dan segera berlalu dengan cepat. Nyai Demang berdiri di tengah pelataran untuk beberapa saat.
"Dayang yang montok, apa yang akan kau katakan? Kenapa kamu termangu disitu?"
"Ratu Ayu, pendengaranmu sungguh tajam luar biasa. Ilmu macam apa yang Ratu gunakan?"
Terdengar tawa kecil, lembut. "Saya tak melihatmu, Dayang. Tetapi saya tahu bahwa tubuhmu sangat montok, gemuk berisi. Goyangan lebih berat ke belakang, berarti pantatmu sangat gede. Mendengar arus udara ketika kamu menarik napas, rasanya lebih pantas kamu menjadi prajurit daripada dayang. Nada bicaramu terlalu berani untuk hamba sahaya."
"Nama saya Nyai Demang."
"Karena kamu sudah berada di pelataran, kenapa tidak masuk ke dalam?"
"Saya akan dihukum mati. Tak pernah ada aturan seorang dayang menyambangi tetamu terhormat."
"Tata krama Keraton, di mana pun sama. Akan tetapi karena kamu bukan dayang, berarti peraturan itu tidak berlaku. Mendekatlah, rasanya saya bahagia melihat kaum wanita yang begitu berani dan mampu menerobos ke dalam Keraton."
Merasa telah diketahui mengenai penyamarannya, Nyai Demang mendekat ke arah bangunan. Sampai di dekat salah satu pintu, Nyai Demang bersila sambil menyembah.
"Tubuhmu pasti bagus sekali, Nyai Demang. Teramat sempurna. Angin di kanan dan kiri tubuhmu seimbang. Bagaimana kamu bisa merawat dengan baik?"
Nyai Demang tak bisa menentukan dengan pasti di arah mana Ratu Ayu berada. Ada beberapa pintu di depannya. Pada salah satu pintu, nampak seorang berjaga.
"Itu Senopati Sariq."
"Senopati Kuning, terimalah hormat Nyai Demang."
Sariq ganti membalas dengan hormat. "Ah, pengetahuanmu sangat luas, Nyai. Pasti sedikit-banyak kamu mengetahui asal-usul kami."
"Tata bicara Gusti Ratu Ayu sungguh menakjubkan. Begitu banyak tetamu dari seberang, akan tetapi rasanya tak ada yang sefasih Gusti Ratu."
Nyai Demang merasa akrab dan dekat dalam waktu sekejap.
Rerasan Hati Wanita
"TERIMA kasih atas pujian Nyai... Sungguh bahagia lelaki yang menjadi suami Nyai."
"Ah, rasanya Gusti Ratu tak perlu berbasa-basi semacam itu. Betapa lebih getir kalau dikenang. Betapa lebih mudah membayangkan lelaki yang menjadi suami Ratu Ayu akan merasa lebih bahagia."
Rasanya Nyai Demang mendengar helaan napas. Dan terdengar desahan dalam bahasa tertentu. Nyai Demang mengikuti desahan itu.
"Nyai, kamu mengerti bahasa Turkana?"
"Tidak. Tak lebih dari beberapa patah kata. Barangkali kalau sempat belajar, hamba bisa mengerti beberapa. Karena dalam pengucapan dan pembentukan kata, rasanya sama dengan tata bicara di tanah Jawa."
"Ya, ya... Kamu betul sekali, Nyai. Sariq, kenapa tetamu kita yang terhormat semacam Nyai Demang tak disambut dengan baik?"
Senopati Sariq segera menghidangkan minuman, yang diberikan dalam kantong kulit. Nyai Demang segera meneguk air susu itu.
"Kamu tahu apa yang saya desahkan tadi?"
"Gusti Ratu mendesahkan kata ev? Yang berarti rumah?"
"Mahatinggi Yang Menguasai Alam Semesta... Kamu sungguh luar biasa, Nyai."
"Tidak, hamba hanya mengetahui beberapa patah kata. Tapi rasanya hamba mendengar desahan evlerim..."
"Artinya rumahku."
"Apakah evlerime, berarti pergi ke rumahku?"
"Nyai, masuklah!"
Senopati Sariq menunduk, mempersilakan Nyai Demang. Sekilas Nyai Demang masih melihat ada senopati lain yang berjaga. Nyai Demang melangkah masuk ke dalam salah satu ruangan. Melewati pintu, Nyai Demang berjongkok. Ruangan yang ditempati Ratu Ayu penuh dengan gumpalan asap yang berbau sangat harum, menusuk, tapi tidak mengganggu. Lantainya semua tertutup babut pramudani yang sangat elok. Hanya tak begitu jelas gambarnya, karena ruangan tak begitu terang.
"Silakan duduk di kursi, Nyai."
Suara itu muncul dari balik kabut asap tipis. Samar-samar Nyai Demang melihat bayangan Ratu Ayu Azeri Baijani. Mata yang indah, cokelat, dan bersinar, di bawah sepasang alis mata yang lentik. Hidung mancung, lurus, tapi mengesankan kelembutan di atas bibir yang tipis. Di bagian kepala seperti memakai tutup kain yang berjumbai-jumbai. Selebihnya adalah kulit yang elok. Bahkan sebagai sesama wanita, Nyai Demang terkesima.
"Hampir sepuluh tahun aku tak dilihat orang. Tidak juga senopatiku yang paling setia. Sungguh tak menyesal hari ini bertemu dengan Nyai."
"Nyai Demang menghaturkan sembah bekti kepada Gusti Ratu."
Sekali lagi Ratu Ayu meminta Nyai Demang duduk di kursi atau balai-balai yang ada, akan tetapi Nyai Demang tetap tak bergerak.
"Nyai, dari mana kamu mempelajari bahasa saya?"
"Hamba hanya mendengar sepotong. Hanya mengetahui bahwa ev adalah rumah. Evler adalah rumah-rumah. Sedangkan kuda adalah at, dan kuda-kuda menjadi atlar, sedangkan kudaku, atlarim!"
Ratu Ayu menggelengkan kepalanya. "Tadinya saya menyangka hanya sayalah wanita yang mampu menguasai tata bicara. Sungguh tak dikira, ada juga wanita yang perkasa. Sungguh murah hati Penguasa Jagat Raya ini. Nyai, tata bicara apa yang kamu bisa?"
Dalam sekejap, Ratu Ayu dan Nyai Demang berbicara dalam tata bicara Cina, Hindia, sedikit Jepun, dan akhirnya kembali lagi.
"Nyai belum pernah sekali pun ke tanah Hindia, Cina, dan Jepun?"
"Tanah Jawa ini pun baru seputar Keraton, Gusti."
"Jangan panggil Gusti. Saya tidak ingin mendengar dari Nyai. Kita sesama wanita yang tak perlu memanggil Gusti kepada sesama, juga tidak kepada kaum lelaki."
Suaranya tetap lembut, tapi terasakan gelora perasaan yang dalam.
"Kalau saja di negeri Turkana ada seorang seperti Nyai, pasukan Tartar yang busuk itu sudah lama terusir. Ah, begitu panjang dan jauh saya mencari sahabat. Nyai, salahkah jika kita kaum wanita menjadi prajurit? Menjadi penerus negeri? Salahkah, Nyai?"
"Tidak. Tetapi sangat jarang."
"Nyai tahu, negeri Turkana adalah negeri yang paling elok di dunia. Yang paling indah tak terkatakan. Yang membuat manusia-manusia lelaki berhati busuk ingin memperebutkan dan menghancurkan. Ratusan tahun silih berganti kaum lelaki yang menjadi raja menaklukkan dan menginjak-injak negeri kami. Dari negeri Siprus, dari negeri Sasanid, dari negeri padang pasir pimpinan Umayat, dan kini bangsa Tartar, yang dipimpin Khan. Apakah kami tak berhak merebut tanah tumpah darah kami sendiri? Kalau kaum lelaki lebih menerima, apakah hal itu bisa dibiarkan saja? Nyai, katakanlah. Apakah saya salah kalau saya menginginkan kembalinya takhta yang dikoyak oleh Khan?"
"Tidak, Ratu Azeri."
"Saya tahu tanah ini tanah yang dikasihi Sang Maha Pencipta. Tanah yang mampu berdiri sendiri, yang mempunyai wanita seperti Nyai. Tetapi sesungguhnya Sang Mahakuasa tidak pilih kasih. Tidak hanya memilih tanah Jawa ini. Juga negeri saya, Turkana."
Lalu mendadak terdiam. Nyai Demang menunggu.
"Ada keributan di Keraton, Nyai."
Nyai Demang berusaha menangkap suara-suara yang samar dan tak jelas.
"Uighur agaknya menemui kesulitan. Keinginannya untuk menolong tidak diterima."
"Saya tak mendengar apa-apa, selain suara yang tak jelas."
Ratu Ayu kembali ke kursinya. "Uighur akan bisa mengatasi. Nyai akan bisa mempelajari, kalau mau. Ilmu ini sangat biasa untuk dilatih. Bagilah seluruh ruang ini menjadi 64 bagian. Setiap bagian, jaraknya sama. Kalau dari kamar ini ke Keraton ada sekian ratus langkah, bagilah menjadi 64 bagian yang sama. Delapan bagian ke samping kiri dan kanan. Sehingga jarak antara kamar dan Keraton menjadi delapan petak saja. Seperti dalam permainan Lompat Turkana, setiap jarak yang jauh bisa menjadi pendek dengan melompati bagian yang bisa dilompati. Kalau dari kamar ini ke Keraton ada pohon, ada tiang, kita bisa melompati jarak itu."
Nyai Demang menggelengkan kepalanya. "Hamba bisa menangkap sebagian."
"Nyai akan mampu melatih dengan cepat. Barang siapa mampu mempelajari tata bicara dengan cepat, ia bisa mempelajari segalanya!"
Kembali suaranya menggeletar, walau tetap perlahan dan merdu.
"Banyak alasan saya datang ke tanah Jawa ini. Pertama, karena hanya inilah satu-satunya negeri yang mampu mematahkan Khan. Kekuasaan Khan tak berlaku di negeri ini. Yang kedua, karena di tempat ini ada seorang yang bernama Eyang Sepuh, yang telah menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan. Suatu penguasaan rasa yang luar biasa. Dengan satu tangan bisa mengeluarkan suara lebih nyaring dari tepukan dua tangan.
"Apa bedanya dengan Jalan Budha? Apa bedanya dengan Lompat Turkana, yang memperpendek jarak? Bukankah ilmu congklak yang luar biasa dari Tartar bisa dipecahkan dengan mudah oleh seorang yang tak bernama di tempat ini?"
Nyai Demang ingin mengatakan bahwa "seseorang yang tak bernama" itu adalah Upasara Wulung. Dan itu bukan seseorang yang tak bernama. Akan tetapi Ratu Ayu masih melanjutkan,
"Agaknya tanah ini memang diciptakan secara lain. Saya iri dengan tanah luhur ini. Nyai, bahagialah kamu karenanya." Mendadak Ratu Ayu terdiam sesaat. "Sayang, sungguh sayang. Pertemuan kita agak terganggu. Hmm, akan segera terjadi pertumpahan darah yang tak diinginkan. Uighur tak bisa dikeroyok dengan cara seperti itu. Sariq!"
Terdengar jawaban hormat.
"Mereka yang memaksa pertarungan sia-sia."
Darah Nyai Demang menjadi beku seketika. Ratu Ayu merangkapkan kedua telapak tangan. Matanya tertutup rapat.
Gegeran di Kamandungan
RATU AYU sedang memusatkan perhatiannya. Bibirnya mengeluarkan bisikan tipis, seirama dengan gerak tangannya yang halus. Walau tidak tahu secara persis apa yang dibisikkan oleh Ratu Ayu, Nyai Demang yakin bahwa Ratu Ayu sedang memberi perintah kepada para senopatinya yang kini terkepung.
Mendengar arah kejadian, Nyai Demang memperkirakan gegeran yang terjadi berlangsung di Kamandungan. Suatu tempat di luar Keraton sebelum sitinggil. Di situ memang ada pelataran yang luas. Ini berarti para senopati Turkana cukup menaruh hormat, sehingga pertarungan tidak terjadi dalam wilayah di jantung Keraton. Padahal, seharusnya bisa terjadi di bagian dalam.
Nyai Demang memuji kerendahhatian senopati Turkana. Pujian yang lebih merupakan kekaguman tertuju kepada Ratu Ayu. Yang bisa mengirimkan suara dari kamarnya ke arah Kamandungan. Cukup jauh, karena melewati pekarangan, bagian Keraton, dengan segala dinding tebal dan pintu berlapis yang sama tebalnya. Dan Ratu Ayu Bawah Langit ini cukup dengan berbisik.
Nyai Demang membandingkan dengan Eyang Sepuh. Karena selama ini yang mampu melakukan pengiriman suara jarak jauh secara sempurna hanyalah Eyang Sepuh. Dengan tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya, Eyang Sepuh mampu berhubungan dengan orang lain tanpa perlu memperlihatkan diri. Eyang Sepuh pernah membuktikan di tengah kerumunan para prajurit Tarik sewaktu akan merebut Singasari dari tangan kekuasaan Raja Jayakatwang.
Di antara para prajurit dan ksatria yang cukup tinggi ilmunya, Eyang Sepuh mampu membisikkan sesuatu kepada Upasara. Juga kepada Gayatri. Tanpa bisa didengar oleh orang yang berada di sebelahnya. Benar-benar pengaturan tenaga dalam yang luar biasa.
Nyai Demang sedikit pun tidak menyangsikan keunggulan serta kekuatan tenaga dalam Ratu Ayu. Namun ia juga memperhitungkan, bahwa agaknya Ratu Ayu tidak hanya menyandarkan kepada kekuatan tenaga dalam semata. Melainkan juga semacam mantra yang memungkinkan bisa saling berbicara pada jarak jauh. Karena para senopatinya sudah seperasaan dan sehati, hal semacam ini bisa dicapai. Meskipun jelas, bukannya tanpa latihan yang keras dan kemampuan yang mendukung. Bagaimanapun caranya, nyatanya Ratu Ayu mampu melakukan.
Tidak percuma namanya disejajarkan dengan tamu-tamu seberang yang lain. Tak berbeda jauh tingkatnya dengan Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, maupun Kama Kangkam. Bedanya, kalau Kiai Sambartaka datang sendirian, dan Kama Kangkam disertai dua muridnya, serta Naga Nareswara dengan tiga muridnya.
Ratu Ayu tidak kepalang tanggung. Delapan pengikutnya yang setia datang menyertai. Dan kalau dilihat selintasan, kemampuan kedelapan pengikutnya yang sekaligus menjadi senopatinya tak berbeda jauh darinya. Kalau sekarang kedelapan senopati Turkana ini maju secara serentak, bisa membahayakan para senopati Majapahit.
BAGIAN 23 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 25 |
---|