Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 25
Senopati Sariq, Uighur, Karaim, rata-rata setingkat lebih tinggi dari senopati Keraton. Atau bahkan lebih tinggi dari senopati Keraton. Atau bahkan malah setingkat dengan tiga Naga yang dipimpin Naga Nareswara maupun kedua murid Kama Kangkam. Pada tingkat ini, hanya Upasara yang mampu mengungguli. Meskipun juga tidak mudah untuk memperoleh kemenangan. Pada tingkat-tingkat yang sudah mencapai tataran begitu tinggi, sedikit saja kealpaan bisa membuat fatal. Ratu Ayu masih terus berbicara dengan senopatinya, dan sesekali melirik ke arah Nyai Demang.
"Aneh sekali, kenapa senopati Keraton begitu bernafsu melindas kami? Bagaimana mungkin dalam sekejap terjadi perubahan sikap separah ini?
"Nyai, bangsamu sungguh sangat perasa. Bahkan sangat keterlaluan."
Darah Nyai Demang sempat bergolak. Kalau tadi merasa dekat dan akrab karena dikagumi sebagai sesama wanita, kini Nyai Demang merasa bagian dari bangsa dan tanah airnya! Bukan sesama wanita.
"Pasti ada sebab yang sangat penting."
"Ya. Akan tetapi mereka tak akan mampu mengungguli delapan senopati Turkana. Hanya ada satu yang kelihatan agak kuat, yaitu Mahapatih. Kalau saya ikut terjun, apakah ada yang mampu menahan?"
Nyai Demang tak mau kalah. "Dari segi jumlah, senopati Keraton jauh lebih besar. Betapapun keunggulan kalian menjadi tak ada artinya."
"Apa artinya kemenangan kalau hanya mengandalkan jumlah yang besar?"
"Tidak ada artinya jika itu terjadi pada pertarungan para ksatria, Ratu Ayu. Akan tetapi sekarang ini bukan lagi pertarungan para ksatria. Ini pertarungan antara hidup dan mati untuk membela negeri. Ratu Ayu telah membuat kami bangkit semua secara serentak. Kali ini Ratu ayu menghadapi seluruh negeri."
Ratu Ayu menghela napas. "Barangkali ini kunci kemenangan kalian atas serangan pasukan Tartar. Sejengkal tanah kalian bela bersama sampai nyawa terakhir. Ini kekuatan yang luar biasa. Sementara di Turkana, justru sebaliknya yang terjadi. Kekuatan kami tercerai-berai. Padahal kalau satu lawan satu, Khan itu masih tetap bukan tandinganku. Juga rajamu, Nyai."
Nyai Demang mengeluarkan suara di hidung. "Di negeri kami, seorang raja tidak selalu perlu turun tangan secara langsung. Seorang raja lebih mementingkan kebijaksanaan, dan bukan mencari pengesahan dalam pertarungan seperti ini."
"Dengan kata lain, Nyai mengatakan saya lebih sakti?"
"Masih harus dibuktikan."
Mata Ratu Ayu yang cokelat seperti mengeluarkan sinar tajam. Menikam. "Apakah di negerimu ini ada yang mampu mengirimkan suara dengan ilmu Lompat Turkana seperti yang kulakukan?"
"Lebih dari itu pun ada, Ratu Ayu."
Sejenak Ratu Ayu menghela napas pendek. "Kalau benar begitu, rasanya saya perlu turun tangan untuk menjajalnya. Rasanya ia baru pantas menjadi tandinganku. Nyai, siapa orang itu?"
Sejenak Nyai Demang merasa sangsi. Akan tetapi, mengatakan atau tidak, bisa berarti banyak. Mengatakan karena memang kenyataannya begitu. Kalau tidak menyebutkan nama, bisa dianggap asal membual.
"Ratu Ayu telah menyebutkan sendiri."
"Eyang Sepuh?"
"Eyang Sepuh, guru kami."
"Saya mendengar nama besar dan harum Eyang Sepuh. Tolong katakan, dari segi mana Eyang Sepuh mampu mengungguli saya? Pandanganmu sangat luas, dan saya patut mendengarkan."
Pujian Ratu Ayu terdengar sangat tulus. Dan memang diutarakan secara jujur. Nyai Demang bisa merasakan. Bahwa di balik sikapnya yang serba tersembunyi, di balik dendam dan keinginannya merebut kembali takhta Turkana dari tangan bangsa Tartar, Ratu Ayu tetap mempunyai jiwa ksatria. Bahkan di balik pertanyaan itu, Ratu Ayu menghormati bahwa Nyai Demang akan menjawab secara jujur pula. Bukan sekadar mengagungkan Eyang Sepuh karena kebetulan ia guru Nyai Demang.
"Bagaimana, Nyai? Apa hebatnya Tepukan Satu Tangan?"
Nyai Demang menunduk. "Ratu memang luar biasa. Mampu memperpendek jarak dengan Lompat Turkana. Sehingga jarak jauh menjadi pendek. Tapi ini hanya terbatas kepada suara. Eyang Sepuh telah mencapai sesuatu yang lebih dari itu. Beliau mampu memindahkan badannya dari suatu ruang ke ruang yang lain tanpa bergerak. Sehingga pada saat yang sama, seakan berada pada dua tempat atau lebih secara bersamaan."
"Apa itu?"
"Kami menyebutnya moksa."
"O," suara Ratu Ayu seperti patah. "Saya mendengar ilmu semacam itu juga ada di tlatah Hindia, Jepun, dan di tanah Jawa ini. Di negeri kami, cara berlatih pernapasan untuk moksa juga bisa dipelajari. Saya telah mempelajari, Nyai."
"Kenapa tidak dimunculkan?"
"Sulit. Moksa adalah tingkat di mana antara ada dan tiada tidak berbeda. Tingkat antara roh dan raga menyatu, tak bisa dipisahkan. Tingkat antara mati dan hidup susah dipisahkan. Kalau saya menjajal ilmu itu, saya kuatir tak ingin kembali ke Turkana dan menjalankan keinginan semula."
Nyai Demang mengangguk dan membenarkan. Ini memang bagian yang paling menguatirkan, yang oleh Eyang Sepuh disebut sebagai ajaran "bait terakhir yang tak terbaca di hati".
SEMENTARA itu, Gendhuk Tri yang sejak tadi masih berada di sekitar sitinggil, segera menyusup ke arah Kamandungan, melalui pintu benteng. Suara hiruk-pikuk di dalam menyerap perhatiannya. Dan begitu sampai di bagian dalam Keraton, lidahnya terjulur tanpa terasa. Di depan Keraton, kedelapan senopati Turkana membentuk barisan dua lapis. Sekali bergerak, yang berada di belakang meloncati yang ada di depan, langsung melabrak musuh.
Sementara barisan yang di depan, yang diloncati, juga serentak meloncati dan menyerbu ke arah senopati Keraton. Karena kedelapan senopati melompat dan menyerang dengan sangat cepat, barisan para senopati Keraton seperti kucar-kacir. Susunan pertahanan menjadi buyar. Senopati Sariq berada paling depan. Kalau menemui lawan seimbang, hanya memutar ke arah samping. Tempatnya yang kosong segera diisi Senopati Uighur atau Karaim. Begitu juga yang lainnya. Serangan mendadak yang sangat rapi dan kuat. Setiap penghalang disikat dengan tebasan pedang melengkung.
Juluran lidah Gendhuk Tri lebih menunjukkan kekaguman. Matanya pernah menyaksikan barisan murid Kiai Sumelang Gandring yang merangsek maju secara bersamaan. Juga pernah menyaksikan dua murid Kama Kangkam yang menyatu. Dua bentuk barisan, yang kokoh bertahan, dan yang kuat melabrak. Akan tetapi yang disaksikan sekarang, sungguh luar biasa. Kedelapan senopati menggunakan Lompat Turkana seperti dalam permainan 64 petak. Masing-masing saling melompat ke depan, dan atau ke samping kiri maupun kanan. Tak pernah mundur.
Dalam sekejap saja, mereka telah masuk mendesak hingga pintu Keraton, sementara para senopati Majapahit tersisih di sebelah kiri dan kanan. Hanya saja para senopati Turkana ini tidak melabrak terus dan masuk ke dalam, akan tetapi berbalik, siap menghadapi lawan yang bersiaga dari depan. Dari sekian banyak senopati Keraton, hanya Mahapatih yang nampak bisa mengimbangi. Ia selalu berhasil memaksa lawan tidak melompati tubuhnya, akan tetapi memakai gerakan memiring. Hanya saja karena ia seolah sendirian, dalam sekejap saja seperti mendapat keroyokan. Terpaksa bertahan sambil minggir.
"Kok bisa begini jadinya? Sungguh tidak lucu kalau Keraton bisa dicabik-cabik dengan cara murahan seperti ini."
Suara Gendhuk Tri terdengar lantang. Akan tetapi tak ada yang memperhatikan. Dari sitinggil terdengar keributan yang lain. Para calon penari menjadi bubar dengan sendirinya. Begitu pula para calon yang berharap dipilih sebagai suami oleh Ratu Ayu. Sementara para prajurit berkumpul dan masuk ke Kamandungan untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Namun mereka hanya menambah korban yang berjatuhan. Pedang bagai bulan melengkung itu setiap kali berayun, seperti membuat lawan mundur atau terluka. Di tengah ketakberdayaan karena serangan yang mengagetkan, dari arah sitinggil menerobos masuk seorang lelaki.
"Kakang, aku ikut." Gendhuk Tri langsung terjun ke tengah gelanggang. "Kita jajal mereka. Aku jadi ingin tahu."
Gendhuk Tri segera melepaskan selendangnya. "Senopati Majapahit, jangan berdiri terlalu dekat dengan lawan. Beri jarak. Kosongkan di depan, atau merapat. Sehingga mereka tak mampu melompati. Jangan takut bau kambala."
Gendhuk Tri rada terperangah. Ia tak menyangka sama sekali bahwa lelaki yang masuk ke gelanggang bukan Upasara Wulung! Bentuk tubuhnya sama, wajahnya mirip sekali, nada suaranya juga sama! Hanya rambutnya yang kemudian tergerai, membuat Gendhuk Tri yakin bahwa lelaki itu bukan Upasara Wulung. Apalagi ketika menggertak maju sambil memainkan kantar dengan gerakan cepat.
"Mari aku cuci kalian. Katanya kambing takut sama air."
Dengan gesit, lelaki itu maju menerjang. Kantar, atau tombak pendek yang biasanya digunakan sebagai perisai, menyabet maju. Kebetulan yang dihadapi adalah Senopati Chagatai, yang mencongkel dengan pedang lengkungnya. Lelaki itu terus menggebrak maju dengan desakan yang kuat, seolah menempel. Senopati Kazakh yang berada di belakangnya, tak bisa melompati. Tetap menunggu di belakang!
Dalam saat yang bersamaan, Gendhuk Tri juga mendesak maju. Selendang warna-warni mengebut ke arah wajah lawan. Tidak seperti biasanya, Gendhuk Tri kali ini tidak membuat jarak. Ia mendesak maju. Sabetan pedang Senopati Karaim digulung dalam satu selendang, sementara tangannya yang bebas mengancam lawan. Senopati Karaim mengegos ke samping. Gendhuk Tri menyambar dengan kaki. Ke arah terompah lawan.
"Kena kamu, kambing."
Tanpa sadar, Gendhuk Tri mengikuti apa yang dikatakan lelaki yang mirip Upasara Wulung. Dengan menyebutkan kata kambing, seperti tadi ia mendengar ucapan kambala, yang artinya pakaian bulu domba. Bahwa yang dikenakan para senopati itu pakaian bulu domba tanpa lengan atau bukan, tak jadi soal. Senopati Karaim tak menyangka bahwa terompahnya yang digasak. Sewaktu menarik mundur kakinya, Senopati Uighur yang di belakangnya berseru keras. Hampir saja pedang melengkung mengenai kawan sendiri.
"Kanyasukla, sebagai anak kampung, ilmumu boleh juga. Mari kita ajar mereka main lompatan."
Hati Gendhuk Tri menjadi berbunga-bunga. Karena ia dipanggil dengan sebutan kanyasukla yang berarti perawan suci. Rasanya, sepanjang hidupnya tak pernah ada lelaki yang memanggil begitu menyenangkan hatinya. Satu-satunya yang menyayanginya hanyalah Dewa Maut. Yang mau melakukan apa saja bagi Gendhuk Tri. Akan tetapi, Dewa Maut memanggilnya dengan sebutan tole, panggilan buat anak lelaki. Tak pernah terdengar panggilan yang menyejukkan hati kewanitaannya. Tidak juga Upasara Wulung yang dikagumi. Paling jauh hanya menyebut adik manis.
Sekarang ada yang menyebut dengan manis, lembut, dan menganggapnya sebagai gadis. Dan yang memanggil itu adalah seorang lelaki yang... Hmmmmm, tak kalah dengan kakang pujaannya. Mendapat hati, Gendhuk Tri tak berpikir panjang lagi. Kedua kakinya menjejak tanah, dan tubuhnya melayang ke atas, jungkir-balik ke arah belakang. Apa yang dilakukan Gendhuk Tri memang tak terduga. Justru karena mengandung bahaya. Meloncat ke udara sambil membalikkan tubuh untuk menghadapi barisan Lompat Turkana sama juga adu panas dengan sumber api. Akan tetapi justru karena lawan tak menduga itulah pedang melengkung Senopati Uighur bisa tercabut.
"Bagus. Aku juga dapat satu!"
Lelaki itu berseru keras sambil merampas sebilah pedang. Ia berdiri berjajar dengan Gendhuk Tri. Rambutnya yang panjang tergerai di belakang bahunya. Wajahnya gagah, dengan kedua tangan membuka. Salah satu tangannya memegang pedang melengkung. Serentak dengan itu delapan senopati Turkana membalikkan tubuhnya. Menghadapi lelaki gagah dan Gendhuk Tri. Senopati Sariq meloncat ke depan.
"Sungguh mengagumkan. Sepasang senopati yang bisa membaca barisan kami. Apakah Sariq kali ini berhadapan dengan ksatria dari Perguruan Awan yang bernama Upasara Wulung?"
"Hei, domba kuning! Tahu diri sedikit. Yang bisa merebut congkelan pintu bukan hanya dia, tapi aku juga merampas. Bahkan lebih dulu. Bagaimana kamu seenaknya saja memujinya tanpa melirik aku? Apa perlu kucabuti dulu bulu domba di tubuhmu itu?"
Lelaki itu tertawa bergelak. Gendhuk Tri sadar bahwa cara tertawa yang kasar itu membuatnya sangat berbeda dari Upasara.
"Siapa suruh kamu menertawai aku? Apaku yang lucu?"
Lelaki itu menggaruk rambut di belakang telinga. Wajahnya jadi sedikit berubah. "Kanyasukla, aku tertawa bukan karena kamu lucu. Karena Senopati Sariq ini kamu sebut domba kuning. Alangkah lucunya. Domba tak pernah bisa kuning walau makan emas sekalipun."
"Itu tidak lucu sama sekali."
SELURUH Kamandungan jadi senyap. Semua perhatian terserap ke pembicaraan antara Gendhuk Tri dan lelaki gagah yang rambutnya dibiarkan terurai. Merupakan perubahan yang ganjil. Dalam beberapa saat sebelumnya, seakan seluruh senopati Keraton dibikin tak berdaya. Lalu mendadak muncul pasangan yang dalam satu gertakan mampu mematahkan Lompat Turkana. Kini juga setelah bisa unggul, mereka seolah bertengkar sendiri.
"Maaf, pertanyaan saya belum terjawab. Sebelum melanjutkan permainan, perkenankan saya mengetahui nama besar Ksatria."
"Bukankah tadi Sariq telah menyebutkan nama Upasara?"
"Kalau begitu, terimalah hormat saya." Sariq membungkuk memberikan hormat.
Gendhuk Tri berteriak marah. "Ngaco! Mulut bau, dandanan kamu seperti anak kampung, berani mengaku nama besar Kakang Upasara? Sehari mandi seratus kali, kamu tetap tak akan menyamai bayangan Kakang Upasara!"
Lelaki yang mengaku Upasara terkekeh. Walau dalam gusar, sebenarnya Gendhuk Tri memuji. Karena menyebut-nyebut mandi seratus kali. Yang berarti juga mengakui bahwa kulit lelaki itu lebih putih dan lebih bersih daripada warna kulit Upasara.
"Senopati Sariq, begitu banyak orang menyebut katanya aku ini mirip Upasara Wulung. Bahkan kalian yang baru datang dari Turkana juga terkecoh. Terus terang aku tak tahu apakah Upasara cukup tampan hingga bisa disejajarkan dengan diriku."
"Ngaco belo. Kamu ini anak kadal."
Lelaki itu mengangkat alisnya. Rambutnya bergerak-gerak. "Hei, kupanggil kamu kanyasukla, karena kuanggap kamu masih suci pikirannya. Ternyata pikiran kamu sudah terjerumus kepada pemujaan lelaki."
"Siapa memuja lelaki. Jangan asal buka mulut. Upasara adalah kakangku."
"Nah, ketahuan sekali pikiranmu sudah ruwet. Aku hanya menyebut kamu memuja lelaki. Bukan menyebut memuja kekasih atau suamimu."
Gendhuk Tri menggertak. Dua tangan bergerak serentak. Empat ujung selendang menyambar secara bersamaan. Dengan menggoyangkan kepalanya, sambaran empat ujung selendang tersapu minggir oleh rambut lelaki itu. Dua tangan yang bergerak secara serentak dipegang erat.
"Tunggu! Apa hubunganmu dengan Mpu Raganata?"
"Lepaskan!" Gendhuk Tri meronta. Ternyata pegangan itu tidak bersungguh-sungguh. "Tahu apa kamu tentang Mpu Raganata?"
Lelaki itu menatap Gendhuk Tri dengan tajam. Sorot matanya begitu menukik dalam, sehingga Gendhuk Tri menunduk dengan warna merah di pipi. Malu. Sungkan. Gerah. Lelaki itu tak memedulikan Gendhuk Tri. Ia berbalik menghadapi Sariq.
"Namaku Maha Singanada. Senopati Sariq, jangan salah paham. Ini namaku yang sesungguhnya. Bukannya aku sengaja memasang nama artinya mengaum keras seperti singa, dan seekor singa sanggup menelan delapan ekor kambing. Cukup jelas? Maha Singanada juga berarti gelaran Dewa Syiwa sebagai senopati perang. Aku perlu menjelaskan agar kalian semua yang ada di sini tidak salah kaprah bahwa aku adalah Upasara Wulung. Setelah soal nama, mari kita lanjutkan permainan menarik ini. Sudah lama aku mendengar permainan anak-anak dari Turkana ini, dan sekarang bisa menjajalnya."
Dalam hati, Gendhuk Tri merasa dongkol tujuh kali. Nada bicaranya sangat ketus, tinggi hati, menunjukkan kepongahan. Tanpa tata krama sedikit pun. Boleh dikatakan sangat kurang ajar! Bahkan Gendhuk Tri yang selalu bicara seenaknya, tetap merasa ucapan Singanada sangat kasar. Dan sedikit mengherankan bahwa ada pemilik nama yang memakai tambahan maha, serta mengucapkan tanpa merasa risi.
Sariq mengangguk. "Saya akui keunggulan Singanada pada gebrakan pertama. Akan tetapi, marilah kita jajal dari awal. Silakan kalian berdua maju. Biar kami berdua yang menghadapi."
Uighur melompat, mendampingi. "Agar tidak dikatakan curang, jumlah kita sama."
Singanada menggeleng. "Majulah berdua atau berdelapan, aku masih bisa menghadapi sendiri. Aku tak ingin melibatkan orang lain. Karena ini urusanku pribadi. Aku datang untuk melihat apakah benar ada Ratu Ayu Bawah Langit yang benar-benar ayu. Ataukah hanya nenek-nenek yang sulit mencari jodohnya."
Uighur melompati tubuh Sariq dan menggempur. Singanada bergerak sama cepatnya. Begitu Uighur bergerak, Singanada mendahului melompat ke atas. Kantar di tangannya berpindah dari kiri ke kanan dengan cepat. Antara menyerang dan bertahan. Dua bayangan saling bertempur di atas. Sariq menderum keras. Walaupun ada dua orang bertempur di atas, tubuhnya tetap menyela di tengah. Pedang lengkungnya menyodet ke arah perut. Singanada menggeliat, tubuhnya terjatuh di arah belakang Sariq, dengan tangan lebih dulu. Kedua kakinya menggunting!
Sariq tak mau kalah cepat reaksinya. Begitu pedang lengkungnya mengenai udara kosong, tubuhnya segera menggulung, dan melesak masuk ke dalam. Lolos dari guntingan kaki. Bergulingan di tanah sambil menyabit keras. Terdengar suara angin tajam karena sobekan pedang lengkung. Uighur tak kalah lincah. Dengan memakai kaki Singanada sebagai tumpuan, badannya melesat ke angkasa. Singanada mengaum keras. Pedang lengkung yang menyabet ke arahnya diterkam. Dengan kantar untuk menindih. Tidak mengelak atau mengegos. Tapi menindih. Dengan demikian, senjata Sariq terbenam di tanah. Di bawah tindihan kantar!
Pada saat yang sama, rambut Singanada menyambar. Bagai ratusan jarum yang menusuk secara bersamaan. Sariq mengempos semangatnya. Ia bisa melepaskan pedang lengkung dan membuang tubuhnya. Tetapi itu tak dilakukan. Ia tetap membetot pedang dengan satu tangan, dan tangan yang lain menolak sambaran rambut! Gelombang tenaga yang disalurkan seakan menembus jalan buntu. Akan tetapi dalam kejap berikutnya, ternyata tekanan tindihan mengendor. Karena saat itu tubuh Uighur sudah turun. Melayang tepat di atas tubuh Singanada. Yang justru sedang melonjak ke atas.
Kantar yang tadi dipakai untuk menyerang, sekarang dipakai untuk menahan. Berfungsi sebagai perisai. Kali ini, justru Singanada yang memakai tenaga turun Uighur sebagai tumpuan untuk melayang. Begitu tubuhnya melayang di udara, tangan kanan yang memegang kantar terulur ke arah Sariq yang tengah tengadah. Terpaksa menyampok keras. Hingga tertahan geraknya mumbul ke atas. Kejadian berlangsung sangat cepat-keras-berbahaya. Karena Gendhuk Tri tidak ikut terjun ke dalam gelanggang, Singanada seperti dikeroyok dua. Ini terus terang membuat Sariq merasa kurang enak. Akan tetapi tak bisa berbuat lain.
Karena tekanan serangan Singanada amat kuat. Yang membuat Sariq menjadi lebih waspada ialah karena ternyata Singanada mampu memindahkan serangan atas dan serangan bawah dengan sama kuat dan sama gesit. Keunggulan serangan di tengah udara bisa diimbangi, sedangkan serangan bawah, jelas Singanada lebih unggul. Ini mengherankan. Biasanya seorang ksatria lebih menguasai satu jenis penyerangan. Di atas atau di bawah. Gendhuk Tri pun terheran-heran.
DAN penasaran. Betapa tidak, kalau dalam satu gebrakan saja Maha Singanada bisa langsung menebak ilmunya mempunyai kaitan dengan Mpu Raganata. Gendhuk Tri jadi memperhatikan dengan lebih saksama. Dalam waktu tak terlalu lama, dirinya menyaksikan munculnya jago-jago yang unggul. Sejak Naga Nareswara, kemudian Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, serta pemunculan kembali Paman Sepuh. Lalu ditambah Ratu Ayu dengan senopati-senopatinya. Semuanya serba aneh, menimbulkan tanda tanya.
Akan tetapi dengan segera bisa dilacak asal-usulnya. Tidak demikian dengan Maha Singanada. Menyeruak begitu saja, dengan kemampuan yang cukup memesona. Dengan penglihatan yang tajam. Sekali gebrak sudah mengetahui kunci permainan Lompat Turkana, menebak jurus-jurus ilmu yang bersumber dari Mpu Raganata, main silat di tanah dan di angkasa sama mengagumkan. Gendhuk Tri merasa bisa memainkan silat sambil bergulingan di tanah untuk memperdaya lawan. Akan tetapi, walau ilmu mengentengkan tubuhnya termasuk kuat, tak bisa seunggul penguasaan di bawah.
Ini sebenarnya memang ciri-ciri utama seorang jago silat. Mereka yang berlatih di daerah pegunungan, dengan sendiri lebih maju penguasaan ilmu mengentengkan tubuhnya. Ciri-ciri semacam ini, bisa ditandai pada setiap jago silat yang dikenal Gendhuk Tri. Bahkan Dewa Maut, di masa jayanya, adalah jagoan bertarung di atas sungai. Kalaupun kemudian bertempur di darat, ciri-ciri itu masih terasakan. Inilah yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat heran. Tanda tanya yang sama terucapkan oleh Ratu Ayu Azeri Baijani yang berada dalam kamarnya.
"Nyai mengenal ksatria bernama Maha Singanada?"
"Rasanya tidak, Ratu."
"Boleh juga ksatria satu ini. Dasar-dasar yang dimiliki sangat kuat dan cukup terlatih. Kalau benar ini juga bagian ilmu Kitab Bumi, sungguh... tanah Jawa ini luar biasa. Tanah yang sangat subur melahirkan ksatria kelas satu. Kenapa Gendhuk Tri tidak ikut bertarung?"
"Kalau begitu, bukan Maha Singanada. Pasti Upasara Wulung."
Ratu Ayu tersenyum. "Ksatria yang menjadi pewaris Perguruan Awan dan berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan di Trowulan? Hmmm, boleh juga. Boleh juga. Rasanya saya perlu menemui."
Nyai Demang memperlihatkan wajah kurang senang. Ratu Ayu bukannya tidak menangkap perasaan kecut yang tersimpan.
"Barangkali ini lelaki yang saya cari..." Hanya saja, di ujung kalimatnya, Ratu Ayu mendadak berhenti. Pikirannya kembali dipusatkan untuk mengikuti jalannya pertarungan.
Nyai Demang tak bisa menahan dirinya. Kedua tangannya membuat sembah, lalu mundur sambil tetap berjongkok. Sampai di pintu luar, segera melesat ke arah Kamandungan. Apa yang disaksikan, membuat Nyai Demang membelalak dan mengerutkan keningnya sekaligus. Hingga kedua alisnya berjauhan dan bertemu beberapa kali. Yang membuat Nyai Demang terheran-heran bukan karena para senopati Keraton hanya berada di depan kori utama, pintu utama, menuju ke dalam Keraton. Bukan pula Gendhuk Tri yang berdiri bengong dengan pandangan kosong.
Juga bukan wajah Maha Singanada yang sekelebatan mirip Upasara Wulung. Melainkan gerakan-gerakan yang dilakukannya. Rasanya seperti pernah dikenali. Pernah dikenali dengan baik. Hanya tak bisa segera dipastikan di bagian mana ia mengenali gerakan itu. Pernah dimainkan seseorang ataukah hanya dari bayangan dalam pikiran ketika mempelajari kitab-kitab ilmu silat.
Sementara itu Singanada makin ganas bergerak. Kantar di tangannya mengurung lawan, menyodok, menekan pedang lengkung lawan. Sariq maupun Uighur seakan terdesak. Akan tetapi Sariq bukanlah senopati sembarangan. Bukan ksatria yang sekadar di belakang memainkan ilmunya. Dengan barisan Lompat Turkana, bersama dengan Uighur, keduanya tetap bisa bertahan.
Lompat Turkana yang berdasarkan gerak jong, gerak payung atau gerakan tertutup di belakang, tak memberi kesempatan Singanada untuk menguasai dari arah mana pun. Bahkan sebaliknya mereka berdua selalu naik-turun dan menggasak maju. Kalaupun Singanada mampu menerobos ke arah belakang, keduanya langsung berbalik. Titik lemah di bagian belakang juga menjadi kekuatan.
Singanada mengertakkan giginya. Kedua tangannya terangkap menjadi satu, kantar ditarik pendek melekat ke tubuhnya. Kaki kanan terangkat, dengan paha lurus ke depan. Sariq menjajal dengan sabetan pedang lengkung yang seakan mencungkil pinggang. Bersamaan dengan itu, Uighur sudah memotong bagian atas, jika Singanada meloncat. Dalam situasi seperti itu, jalan menyerang Singanada yang lebih kuat meloncat ke atas. Tidak dengan menyapu kuda-kuda lawan, merebut sisi bawah pertahanan.
Akan tetapi justru dengan berani, Singanada tidak meloncat atau menyergap lawan. Sabetan pedang ke arah pinggang ditangkis dengan gerakan pendek. Seolah kantar yang ditempelkan ke pinggangnya cukup aman untuk menahan. Memang. Namun pedang lengkung itu dalam sekejap bisa berubah arah Ke dada. Dengan sangat cepat. Singanada menarik kantar ke atas. Menyambut sabetan ke dada, yang kembali diubah arahnya ke arah leher kanan dan kiri. Tiga kali kantar Singanada membentur lembut.
Sementara Uighur yang meloncat sudah turun ke bawah. Sariq sendiri melihat bahwa meskipun lawan tidak terlalu terdesak, akan tetapi sekali ini tak mampu bergerak leluasa. Maka dengan menggeser satu tindak, Sariq merangsek maju. Dengan kaki satu tetap terangkat, Singanada melayani. Ke arah mana pedang lawan menyapu dan mendesak, ia menangkis.
Begitu kesiuran angin tubuh Uighur menyerbu, Singanada mengubah geraknya. Kaki kanan yang terangkat dalam keadaan tertekuk mendadak terbuka. Lepas di antara sabetan pedang Sariq yang mendadak menarik mundur tubuhnya. Kaki kanan itu terus bergerak lurus ke atas, karena Singanada menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Uighur berseru kaget.
Tendangan Singanada sudah berada di depan wajahnya! Sabetan pedang untuk memotong bisa ditepis oleh kantar yang bahkan menariknya turun. Terkesima kegesitan Singanada yang luar biasa cepat mengubah gerakan, Uighur hanya bisa menarik kedua tangan dengan melindungi dada. Pedangnya terlepas. Kaki kanan Singanada berhasil menendang dada Uighur. Yang telah melindungi dengan kedua tangan.
Perhitungan Uighur bukannya tidak ada. Dengan melindungi dada, kedua tangannya tidak sekadar mempertahankan diri. Akan tetapi juga berusaha membekuk kaki kanan itu. Sekali puntir, rontoklah seluruh tulangnya. Hanya saja tenaga sodokan Singanada begitu liat, sehingga tenaganya yang untuk menyerang terpaksa ditarik. Dengan demikian cukup kuat menahan tendangan. Meskipun tubuh Uighur jadi berjumpalitan di udara.
Sariq menggebrak maju dengan ganas melihat Uighur terdesak. Akan tetapi Singanada telah berubah. Tubuhnya bagai menggeliat dengan pusaran tenaga kuat, bibirnya mengeluarkan teriakan bagaikan auman singa, menubruk ke arah Sariq. Pedang Sariq diterkam. Ditempel oleh kantar-nya, dan dengan satu putaran keras, tubuh Sariq terlempar. Melayang di tengah udara.
Sampai ke gapura Keraton, dan dengan cepat melayang kembali. Sudah berjajar dengan Uighur. Keenam senopati Turkana yang lain juga dengan sangat cepat dan bersamaan membentuk barisan. Singanada berdiri di tengah lapangan Kamandungan dengan gagah. Tangan kanan dan kiri terbuka. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda, seolah sedang menunggang kuda. Tubuhnya sedikit miring. Pandangan matanya menyipit.
"Timinggila Kurda...," desis Nyai Demang gemetar.
Tak bisa lain. Itulah jurus yang mirip sekali dengan Timinggila Kurda, atau jurus Ikan Paus Murka, yang ada di dalam Kitab Bumi. Hanya saja, kalau Paman Sepuh memainkan secara murni sebagai gerakan ikan paus atau ikan gajah, Singanada memakai gerakan singa.
SlNGANADA bergerak setapak demi setapak. Makin gagah karena rambutnya bergerak-gerak mengikuti irama langkahnya, dan sinar sang surya yang mulai condong membuat bayangannya menjadi lebih hidup.
"Cukup..." Terdengar teriakan Mahapatih.
Singanada berhenti. Mahapatih Nambi menghadap ke arah Sariq. "Baginda tidak menghendaki pertarungan dilanjutkan. Kecuali kalau memang Ratu Ayu memaksa."
Sariq berdiri tegak. "Bukan kami yang mulai, Mahapatih."
"Senopati Sariq, saya membawa sabda Baginda. Pertarungan tak perlu dilanjutkan, kecuali kalau Ratu Ayu memaksa. Sebagai tuan rumah, Baginda ingin mengundang Ratu Ayu untuk membicarakan dengan baik. Apakah cukup jelas?"
Sariq mengernyitkan kening. Menangkap suara yang dibisikkan Ratu Ayu. "Sebagai tetamu, Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani, junjungan rakyat negeri Turkana yang elok, tidak ingin berbuat kurang ajar. Kalau tuan rumah memaksa, tak ada pilihan lain. Kami datang tidak untuk mengemis atau minta belas kasihan. Juga tidak untuk dihina. Sebagai sesama ksatria, kami datang dan juga akan pergi. Mohon sabda junjungan kami disampaikan kepada Baginda."
Gendhuk Tri yang mendadak merasa jengkel. "Huuuuu, sudah baik-baik bertarung, kok jadinya bicara melulu. Kamu juga kampungan. Kenapa berhenti? Takut, ya?" Jari Gendhuk Tri menuding ke arah Singanada.
"Kalau takut, aku akan berdiri di tempat kamu berada."
Gendhuk Tri tersentak. "Aku berada di sini bukan karena takut. Tetapi karena aku tak mau main keroyok. Masa begitu saja kamu tidak tahu."
"Tadi memanggil Kakang."
Wajah Gendhuk Tri bersemu merah. "Aku menyesal memanggilmu Kakang. Ternyata kamu begitu takut mendengar aba-aba prajurit Keraton yang tua dan gembrot itu. Ksatria macam apa kamu ini?"
Singanada menyelipkan kantar ke pinggangnya. Matanya mengawasi Mahapatih dan para senopati Majapahit yang mengiringkan Sariq bersama para senopati Turkana kembali ke dalam Keraton.
"Akan kujawab kalau kau katakan apa hubunganmu dengan Mpu Raganata."
"Sudah terang aku saudara seperguruan Mpu Raganata. Kenapa kamu masih bertanya? Mau berguru padaku? Puasa empat puluh hari, mandi keramas sampai bersih, kuku dipotong, dan nanti akan kupertimbangkan."
Singanada tertawa bergelak. "Omongan kamu termasuk kurang ajar. Jarang di tanah Jawa ini ada yang berani bicara selancang mulutmu. Tapi aku suka. Kanyasukla, tolong katakan kepada Mpu Raganata, apakah beliau tidak malu mempunyai cucu murid yang ilmunya pas-pasan tapi mulutnya bawel." Singanada tertawa keras. Tubuhnya bergoyang.
"Singanada."
"Namaku Maha Singanada. Kecuali dengan panggilan Kakang, kamu harus menyebut namaku secara lengkap. Lain kali kita bertemu lagi. Kalau ilmumu sudah agak maju."
Mana mungkin Gendhuk Tri begitu saja menerima ucapan penghinaan seperti ini? Tubuhnya melesat, dan serentak dengan itu empat kibaran selendangnya yang warna-warni menyerbu. Pada saat yang bersamaan Nyai Demang juga melayang ke angkasa.
"Tunggu, adik manis."
Singanada melirik ke arah Nyai Demang. Bibirnya menyunggingkan senyum. Gendhuk Tri merasa kelewat jengkel! Jengkel karena melihat senyuman genit Singanada. Senyum nakal dan murahan kepada Nyai Demang. Jengkel karena Nyai Demang menahannya. Jengkel karena Nyai Demang hanya ingin menarik perhatian Singanada. Jengkel karena Nyai Demang membalas senyuman dengan tambahan mengangguk kepalanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Nyai Demang yang jelita?"
Nyai Demang makin lebar senyumnya. Gendhuk Tri yang tadi ditarik menjadi makin dongkol.
"Dasar lelaki buaya!"
Nyai Demang mengangguk dengan sikap hormat. "Sayalah yang bernama Nyai Demang. Mengenai jelita atau tidak, kakek-kakek yang lebih tahu."
"Juga anak-anak muda. Putra Mahkota Bagus Kala Gemet menceritakan Nyai. Sebelum beliau terpesona kepada Ratu Ayu."
"Beliau?"
Bagi Nyai Demang dan Gendhuk Tri, cara Singanada menyebutkan Bagus Kala Gemet dengan penghormatan beliau, cukup menimbulkan rasa ganjil. Kalau tadi menyebut Mpu Raganata dengan sebutan yang sama, bisa diterima. Akan tetapi tidak untuk Bagus Kala Gemet. Walaupun Kala Gemet adalah putra mahkota, akan tetapi di kalangan para ksatria tidak terlalu menimbulkan kesan hormat. Maka cukup mengherankan kalau Singanada menyebutnya sebagai beliau.
"Beliau yang terhormat, junjungan rakyat, Pangeran Pati Bagus Kala Gemet." Singanada justru mengucapkan lebih jelas. "Rasanya apa yang dikatakan beliau tak meleset. Nyai memang jelita."
Wajah Nyai Demang tertekuk. Ada warna marah.
"Apakah begitu kasar tata kramamu, Maha Singanada?"
"Barangkali begitu. Makin lama tanah Jawa ini makin mengerikan, karena sedikit bicara salah saja menjadi orang kasar, dungu, dan tak beradab. Dan saya salah satu contohnya. Maafkan, kalau saya kasar. Maafkan."
"Maha Singanada, kalau saya boleh tahu.. apakah Adimas belum lama kembali ke tanah Jawa?"
Sejenak wajah Singanada berubah. "Nyai lebih tahu daripada saya. Suatu hari saya akan berguru kepada Nyai."
Tanpa mengucapkan kata tambahan, tanpa anggukan, Singanada berjalan meninggalkan Nyai Demang dan Gendhuk Tri. Langsung masuk ke dalam Keraton. Sama sekali tak memedulikan.
Nyai Demang mencekal Gendhuk Tri. "Biar saja."
"Apa hakmu hingga saya ditahan-tahan, diperingatkan, seperti ini?" Gendhuk Tri mengibaskan tangannya.
"Adikku..." Suara Nyai Demang berubah nadanya menjadi lembut, penuh dengan kasih seorang kakak. "Akan terjadi banyak peristiwa yang lebih ramai. Kita menyangka semua tetamu kita ketahui, akan tetapi ternyata masih ada yang tersembunyi."
"Kakangmbok tahu siapa dia?"
Nyai Demang tersenyum, menggandeng Gendhuk Tri ke arah pinggir. Berjalan ke luar, ke arah sitinggil. "Kenapa kamu tidak bertanya mengenai kakangmu Upasara lebih dulu?" Sindiran Nyai Demang mengenai sasaran. Tepat dan menukik.
"Aku sedang marah sama Kakang. Hingga tak perlu kutanyakan."
"Kalau begitu saya tak perlu bercerita."
Gendhuk Tri mati kutu. Tapi tetap tak mau mengalah. "Apa pun yang terjadi terhadap Kakang, biar ditanggung sendiri. Kakang sudah lebih dari dewasa."
Lagi-lagi Nyai Demang tersenyum. "Mudah-mudahan bukan karena hatimu sedang kesengsem Maha Singanada."
Gendhuk Tri menggigit bibirnya. "Kakangmbok kenal dia?"
"Dua kali sudah pertanyaan itu diulang."
"Hmmm. Aku tertarik bukan karena apa. Karena ia disangka Kakang Upasara. Terus terang aku tak rela. Ia lelaki kasar, mulutnya kotor, matanya jelalatan, dan sama sekali tak mengenai tata krama. Memandang saja aku lebih suka mengupah orang lain."
Kali ini senyum Nyai Demang merekah sempurna. Menutup rasa ingin tahu hubungan antara Maha Singanada dan Putra Mahkota.
GENDHUK TRI berhenti melangkah. "Bagaimana kalau kita menyelinap masuk ke dalam Keraton?"
"Biasanya kamu segera melakukan, tanpa minta pertimbangan. Apakah kuatir ditertawai karena ingin membuntuti Maha Singanada?"
Gendhuk Tri benar-benar tak bisa berkutik. Hati Nyai Demang welas juga. Iba melihat Gendhuk Tri yang hanya bisa menggaruk-garuk rambutnya. Walaupun mereka berdua tak pernah bisa akur, akan tetapi Nyai Demang bisa menempatkan diri sebagai kakak yang baik.
"Sebenarnya itu jalan yang terbaik. Hanya saja kini pasti penjagaan sangat kuat, dan kehadiran kita telah diketahui. Tak bisa sembarangan lagi. Lebih baik kita tunggu malam nanti. Kalau benar ada pesta penyambutan Ratu Ayu, segalanya toh bisa kita ketahui bersama."
Gendhuk Tri mengangguk. "Aku masih penasaran mengenai Singanada. Jangan ditertawakan. Aku nangis nanti."
"Saya sendiri penasaran."
"Tetapi Nyai...," suara Gendhuk Tri kembali meninggi, karena mengucap Nyai dan bukan memanggil dengan sebutan Kakangmbok yang lebih akrab, "...bisa menebak dia baru saja datang ke tanah Jawa. Memangnya berasal dari mana? Turkana?"
"Menurut perhitunganku, Maha Singanada baru saja kembali ke tanah kelahirannya ini. Ilmu yang dimainkan, walau banyak sekali perbedaannya, menunjukkan persamaan dasar dengan Kitab Bumi. Bahkan auman singa yang dipamerkan sebelum memunculkan jurus semacam Timinggila Kurda, jelas sekali sumbernya."
"Gerakanku juga bisa ditebak langsung dari Eyang Guru Raganata."
Nyai Demang menjadi bersungguh-sungguh. "Inilah yang menjadi kekuatiranku. Maha Singanada adalah orang dalam. Ksatria Keraton yang mendapat tempat. Nama yang dipakai, singa besar yang mengaum, tak bisa tidak menunjukkan rasa hormat dan hubungan dengan Baginda Sri Kertanegara! Di saat Baginda Raja memegang takhta, banyak senopati yang dikirim ke tlatah seberang. Di antaranya ke Pamalayu. Bisa jadi Maha Singanada adalah salah satu di antaranya."
"Mana mungkin? Dia masih kelihatan muda. Jauh berbeda dari Senopati Anabrang yang sudah kakek-kakek."
"Karena Senopati Anabrang ketika berangkat sudah menjadi senopati. Siapa tahu Maha Singanada masih dalam kandungan ibunya, atau setidaknya masih bayi? Kalau memang begitu, usianya baru sekitar 25 atau 30 tahun. "Memang masih sangat muda. Tapi tidak terlalu muda untuk menentukan pasangan."
"Aku tak tertarik lelaki yang kotor pandangannya dan kasar."
"Jangan kuatir, adik manis. Saya tidak akan merebutnya. Saya tahu diri sudah terlalu tua untuknya. Saya justru berpikir hal lain. Dilihat dari kemampuannya, Maha Singanada mampu menghadapi lawan-lawan yang bakal bermunculan."
"Tidak kalau menghadapi Upasara. Denganku saja belum tentu. Kenapa dirisaukan?"
"Karena kemampuannya yang luar biasa. Telah dibuktikan sendiri dalam menghadapi dua senopati tangguh dari Turkana. Bahwa sekarang kita mampu memecahkan barisan dan ilmu Lompat Turkana, tak terlalu luar biasa. Akan tetapi dalam sekejap sudah bisa membaca cara pemecahan ilmu Lompat Turkana, itu luar biasa. Nyatanya semua senopati Keraton tak mampu. Padahal kurang apa mereka itu?"
Gendhuk Tri membenarkan dalam hati. Mereka berada di salah satu sudut alun-alun yang terlindung bayangan pohon beringin. Sehingga tidak begitu menarik perhatian yang sedang berlatih menari.
"Kenapa menguatirkan?"
"Karena Maha Singanada, kalau tak salah, mengabdi kepada Putra Mahkota Bagus Kala Gemet."
"Kalau iya, di mana bagian yang perlu dikuatirkan?"
Nyai Demang memandang pohon beringin. Memegang akar yang menonjol di permukaan tanah. Tangan yang lain mencabut rumput. "Lihat ini. Yang satu sebesar kaki, yang lain sebesar rambut. Namanya sama, akar. Yang satu akar beringin dan yang lain akar rumput. Meskipun awalnya sama, akan tetapi perkembangannya jadi jauh berbeda. Putra Mahkota adalah akar beringin. Akan menjadi besar. Menjebol apa yang menghalangi. Sekarang ini saja sudah banyak tingkah. Dibantu oleh Maha Singanada, bisa makin menjadi-jadi. Didampingi Senopati Sora, yang mau tak mau bisa menuruti, merupakan bahaya besar. Direstui oleh Raja, putra mahkota yang sekarang ini benar-benar kekuatan raksasa yang akan mengguncang."
"Nyai kok tahu hal-hal semacam ini?"
"Saya dibesarkan dalam lingkungan sebagai abdi dalem, sebagai pegawai kecil. Suami saya demang, lurah dari dusun kecil. Mau tidak mau saya jadi mengerti. Karena justru keluarga kamilah yang pertama kali merasakan bencana. Seperti ketika Raja Muda Jayakatwang mengadakan kraman, memberontak. Suami saya yang terkena dan sangat menyedihkan harus mengakhiri hidupnya. Di satu pihak dianggap membantu pemberontak, sedang di pihak yang lain malah mendapat hukuman dari Keraton dan dari pemberontak." Suara Nyai Demang terdengar sedikit parau. Walau hanya sebentar.
Perasaan Gendhuk Tri tergugah. Untuk pertama kalinya ia sedikit mendengar latar belakang Nyai Demang. Selama ini yang diketahui hanyalah apa yang dilihat dan diduga. Tak pernah diduga bahwa kehidupan masa lalu Nyai Demang penuh dengan cobaan. Walau tidak tahu persis, Gendhuk Tri bisa memperkirakan bahwa keluarga Nyai Demang hancur menjelang pemberontakan dan juga pengkhianatan Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang.
Suara Nyai Demang kembali normal. "Semua sudah berlalu, tak perlu disesali. Suamiku, semoga Dewa Agung memberi tempat yang layak, demang yang setia, mengabdi sepenuhnya kepada Baginda Raja. Hanya kebetulan tanah di mana suamiku diserahi tugas untuk menjaga termasuk wilayah Gelang-Gelang. Jauh sebelum Raja Muda Jayakatwang berkhianat, suamiku sudah sowan ke Keraton dan mengisikkan rencana busuk itu. Tetapi laporan itu dianggap racun belaka. Persoalannya malah diserahkan kepada prajurit Gelang-Gelang. Kami sekeluarga dibunuh dengan cara yang paling menjijikkan. Mayat suamiku, anak-anakku, ditarik kuda sehingga berbentuk segumpal lumpur berdarah."
"Dan Nyai bisa selamat?"
Gendhuk Tri melihat air mata menggelinding di pipi Nyai Demang. Untuk pertama kalinya Gendhuk Tri melihat Nyai Demang berkaca-kaca matanya karena haru. Selama ini yang dilihatnya Nyai Demang selalu bergembira, selalu bersuka ria, dan mengobral senyuman.
"Saya selamat karena saya wanita yang hina. Para pembunuh itu tertarik tubuh saya. Maka saya tidak dibunuh. Saya diberi makanan enak, dan saya menyenangkan mereka. Adakah yang lebih hina daripada itu, adikku? Suami dibunuh, anak-anak disiksa, dan saya bersenang-suka-ria? Adakah yang lebih nista daripada itu? Tak ada yang mengampuni saya. Kecuali suami saya, Pak Demang yang setia, dan Dewa Yang Maha agung. Saya mempertahankan hidup untuk membalas dendam. Untuk mencuci kotoran yang dilekatkan dalam keluarga kami. Keluarga Demang. Ah, sudahlah."
"Maaf." Gendhuk Tri menunduk.. Air matanya jatuh. Tubuhnya gemetar.
Nyai Demang menyeka matanya. "Semua sudah berlalu. Saya mampu mempelajari ilmu silat serba sedikit, walau membaca sangat banyak. Saya bisa membalaskan dendam. Dan akan menghancurkan semua lelaki yang tergila-gila melihat tubuh saya. Tidak peduli siapa saja! Ah, tapi ternyata Dewa Yang Maha agung menunjukkan jalan yang lebih baik dan lebih lurus. Semua harus melewati liku-liku, sebelum menemukan apa yang dicari."
NYAI DEMANG menyandarkan punggungnya ke pohon. Yang muncul adalah bayangan masa silam, di mana ia berusaha bangkit dan mencoba meyakinkan siapa saja yang menjadi atasan suaminya, bahwa suaminya sesungguhnya tidak berdosa. Suaminya bukan pengkhianat. Suaminya abdi Singasari yang tulus dan bekti. Tak ada yang peduli. Yang dijumpai adalah senyum nakal, ajakan asmara berahi. Nyai Demang makin murka. Tapi tak bisa berbuat sesuatu. Selain melenyapkan dan menghancurkan lelaki yang tertarik padanya. Daya berahi asmara dipakai sebagai senjata untuk memikat dan menghancurkan lawan.
Sambil berlatih terus, agar lawan-lawan yang lebih perkasa bisa dikalahkan nantinya. Namun, kekuatannya tak sebanding dengan kemampuannya. Dengan mudah bisa membaca berbagai kitab, dengan tekun Nyai Demang bisa memaksa diri berlatih, akan tetapi hasilnya belum seperti yang dikehendaki. Makin banyak ksatria dan pendekar yang bisa mengalahkannya. Satu demi satu, Nyai Demang menghancurkan mereka. Tak peduli penduduk biasa, atau sentana, kerabat Keraton. Sampai suatu ketika Nyai Demang bertemu dengan seorang lelaki. Yang gagah, kasar, dan sedemikian tergila-gila padanya.
Lelaki itu kini tinggal kenangan. Lelaki itu adalah Galih Kaliki. Yang dengan tulus, dengan murni, mencintai, mengejarnya, dan mau berbuat apa saja asal bisa berdekatan dengan Nyai Demang. Daya asmara semacam ini tak pernah dirasakan. Nyai Demang tergetar. Ambruk semua gagasannya tentang membalas dendam, menyiksa lelaki yang menjamahnya. Justru oleh Galih Kaliki yang penampilannya sangat sederhana dan kasar. Itu adalah masa-masa yang membimbangkan.
Setiap kali Nyai Demang ingin memberi hati kepada Galih Kaliki, setiap kali pula Nyai Demang sadar akan sumpah dendamnya untuk membunuh lelaki yang menjamahnya. Setiap kali teringat suaminya, anak-anaknya yang terhina dan dikutuk. Maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah menghindar. Nyai Demang selalu menghindar dari Galih Kaliki. Setiap kali berdoa memohon petunjuk Dewa Yang Maha agung. Akankah ia menerima Galih Kaliki? Apakah penerimaan Galih Kaliki atau lelaki lain akan membuat arwah suaminya tidak tenteram?
Bagi Nyai Demang, selama hatinya belum bisa tenteram, ia akan tetap membalas dendamnya. Dengan cara apa saja. Nyai Demang berharap, semoga hatinya mendengar bisikan Dewa Yang Maha agung mengenai doanya. Sebab sebelum hatinya tenteram, ia tak bisa menerima kehadiran lelaki secara apa adanya. Itulah sebabnya Nyai Demang tak peduli harus membunuh raja, karena raja yang memerintah itu juga menghendaki tubuhnya. Walau memang percobaan itu gagal. Dan petunjuk itu mulai membisiki secara perlahan.
Saat-saat yang tenteram berada di Perguruan Awan. Saat itu Nyai Demang mulai tak begitu tersiksa kalau harus mengobrol dengan Galih Kaliki. Lalu datanglah berbagai peristiwa. Sehingga Galih Kaliki, lelaki yang pertama dijumpai memiliki daya asmara murni padanya, kembali ke asal hidupnya. Nyai Demang-lah yang paling sedih dan merana. Tapi semua itu berhasil disimpan baik-baik, jauh di lubuk hatinya yang paling tersembunyi. Tak ada yang mengetahui. Tak ada yang bertanya. Baru hari ini. Itu pun hanya sebagian yang bisa diceritakan kepada Gendhuk Tri secara tidak langsung.
"Maaf, Nyai."
Wajah Nyai Demang kembali tersenyum. Semua kebekuan dan perasaan yang tersimpan dalam hatinya lenyap secara seketika. Tak terbayangkan sedikit pun di wajah, maupun sinar matanya. "Tak apa. "Semua sudah berlalu."
"Apakah Kakang Upasara tahu hal ini?"
"Tidak kalau kamu tidak bercerita."
"Aku tak akan menceritakan, kalau Nyai tak mau."
Nyai Demang terdiam. Upasara adalah lelaki yang lain lagi dalam hidup Nyai Demang. Upasara Wulung secara terus terang memperlihatkan niatnya yang tertarik padanya. Saat itu Nyai Demang menyadari sedikit bergolak perasaannya, manakala mengetahui bahwa Upasara masih terlalu hijau dalam petualangan asmara. Boleh dikatakan terlalu hijau. Namun saat itu Nyai Demang sudah memutuskan untuk tidak menjadikan Upasara bagian dari korban pembalasan dendamnya. Ia merasa sayang kepada Upasara yang, rasa-rasanya, inilah salah satu putranya jika tumbuh besar. Andai tidak diseret kuda!
Pengalaman hidup dalam belantara daya asmara, membuat Nyai Demang sering tersenyum simpul melihat tingkah Gendhuk Tri. Di mata Nyai Demang, semua perasaan Gendhuk Tri yang disembunyikan bisa terbaca dengan jelas.
"Di mana Kakang Upasara sekarang?"
"Mana saya tahu?"
"Kan perginya bersama-sama."
"Memang. Akan tetapi begitu masuk ke Keraton, Upasara memilih tempat lain. Saya menuju balai pertemuan."
"Kakang Upasara menuju kaputren?"
"Bisa jadi." Kali ini, Nyai Demang menjawab dengan jujur. Tidak bermaksud mempermainkan perasaan Gendhuk Tri.
"Nyai, kenapa Kakang Upasara sangat setia kepada Gayatri yang sudah diperistri Raja?"
Nyai Demang meluruskan punggungnya. Tak lagi menempel ke pohon. "Nanti kamu akan mengetahui sendiri. Akan mengalami sendiri. Namun sesungguhnya inilah yang perlu kita pikirkan. Perhatian Adimas Upasara kepada Permaisuri Rajapatni sedemikian besar. Dan ini beralih ke putri-putrinya, Tunggadewi maupun Rajadewi. Padahal Putra Mahkota Kala Gemet justru tak menyukai kehadiran dua putri ini."
"Aku mendengar hal itu. Tetapi kenapa ia tidak menyukai?"
"Soal takhta."
"Takhta? Mana mungkin. Begini, Nyai, walaupun umur saya berdiam di Keraton ditambah, saya tetap akan bodoh mengenai masalah takhta. Akan tetapi semua tahu bahwa sudah pasti jatuh ke Kala Gemet. Untuk apa merisaukan adik-adiknya yang perempuan?"
"Ini ada hubungannya dengan Adimas Upasara."
Gendhuk Tri menepuk jidatnya sendiri. "Kakangmbok, kenapa tidak cerita sampai tuntas saja? Atau Kakangmbok ingin agar adikmu ini mati penasaran?"
Nyai Demang menggeleng. "Saya kira sudah tahu."
"Belum."
"Upasara sudah menjalin daya asmara dengan Permaisuri Rajapatni, jauh sebelum dipilih Raja. Tak ada alasan untuk menolak, karena jasa Upasara sangat besar. Nyatanya hal itu tak terjadi. Karena perhitungan para pendeta bahwa Gayatri harus menikah dengan Raja, agar kelak turunannya menjadi raja terbesar di tanah Jawa."
"Lalu apa hubungannya dengan Kakang Upasara?"
"Upasara tidak jadi hidup bersama."
"Itu saya tahu, Kakangmbok."
"Yang kamu tidak sadari adalah bahwa ini berarti turunan Gayatri-Raja, yang berarti Tunggadewi atau Rajadewi, akan menurunkan raja besar. Padahal putra mahkota yang sekarang ialah Bagus Kala Gemet. Dengan sendirinya Bagus Kala Gemet, putra mahkota yang resmi, tak menghendaki ada nama lain yang disangkutkan dengan kebesaran Keraton. Selain dirinya sendiri."
"Kalau begitu aku sekarang tahu. Dengan cara apa pun, Kala Gemet akan menghalangi Tunggadewi dan Rajadewi. Kalau perlu membunuhnya. Padahal sekarang Singanada berpihak padanya, dan Kakang Upasara pasti akan membela Gayatri. Iya, kan?"
GEGER di Kamandungan menunjukkan adanya pengaruh Senopati Halayudha yang luar biasa. Terlibatnya Mahapatih dan para senopati, juga digerakkan oleh perasaan yang sama. Bahwa Halayudha sampai membunuh dirinya karena menirukan apa yang diucapkan Ratu Ayu. Ratu Ayu-lah penyebabnya. Maka begitu Sariq menawarkan pengobatan, malah mengobarkan permusuhan. Ini semua di luar perhitungan Nyai Demang yang paling cerdik. Kalau ia membiarkan saja Halayudha menusuk perutnya, akan terbuka kedok Halayudha bahwa ia berpura-pura membunuh diri. Akan tetapi dengan meluruskan arah keris, Nyai Demang membuat sandiwara Halayudha menjadi sempurna!
Di dalam kamar kepatihan, semua dukun dan ahli pengobatan Keraton berkumpul. Para tabib seolah digerakkan oleh doa dan keinginan yang sama untuk menolong nyawa Halayudha. Penjagaan yang ketat juga menunjukkan bahwa Halayudha mendapat kehormatan besar. Secara berturut-turut para senopati serta Mahapatih memerlukan untuk menjenguk dan berdoa di samping Halayudha. Sedikit di luar dugaan bahwa menjelang senja itu Permaisuri Indreswari memerlukan berkunjung.
Bahwa seorang atasan menjenguk anak buahnya yang terluka, bukan sesuatu hal yang luar biasa. Kalau Mahapatih datang menjenguk, itu hal yang wajar. Walau tidak selalu terjadi. Akan tetapi kunjungan Permaisuri Indreswari bisa ditafsirkan lebih dalam. Bahwa hubungan Halayudha dengan kerabat Keraton terjalin dengan erat.
Permaisuri Indreswari adalah permaisuri utama. Dari lima istri Baginda yang berhak memakai gelar permaisuri, Permaisuri Indreswari adalah yang paling besar kekuasaannya secara resmi. Karena Permaisuri Indreswari yang dianggap permaisuri utama, yang keturunannya bakal menggantikan takhta Majapahit. Berbeda dengan para permaisuri yang lain yang berasal dari Keraton Singasari, Permaisuri Indreswari paling jarang berhubungan dengan orang luar. Tak pernah nampak akrab dengan para senopati. Walaupun keakraban itu hanya berupa percakapan langsung atau tidak langsung.
Sejak diboyong dari tanah Melayu, Permaisuri Indreswari boleh dikata selalu mengurung diri. Hanya bertemu dan melayani Baginda. Meskipun demikian, semua senopati dan para petinggi Keraton menyadari bahwa kekuatan Permaisuri Indreswari atas Baginda sangat terasakan. Boleh dikatakan apa yang menjadi keinginan Permaisuri Indreswari dikabulkan. Termasuk merias kamar-kamar kaputren dengan hiasan dari Melayu. Dan suasana ruangan yang berbeda dari kamar serta ruangan yang lain.
Tidak sedikit para dayang yang diturunkan pangkatnya atau tak bakal dipakai lagi karena dianggap tak bisa melayani Permaisuri Indreswari. Baik dalam menata meja perjamuan ataupun cara mereka berbisik-bisik. Puncak kekuatan dan pengaruh Permaisuri Indreswari ialah sewaktu Baginda mengumumkannya sebagai stri tinuheng pura, atau istri yang dituakan. Alias permaisuri utama!
Bagi sebagian besar pengikut setia Baginda pun, sabda ini termasuk mengejutkan. Sejak lama Baginda menganggap bahwa permaisuri utama adalah Tribhuana. Yang mengikuti Baginda sejak masih berada di tanah Tarik, sebelum akhirnya menggempur Raja Muda Jayakatwang. Ternyata bisa berubah dalam seketika. Dan Bagus Kala Gemet, putra Permaisuri Indreswari, sejak masih kanak-kanak juga sudah ditunjuk secara resmi sebagai pangeran pati, pangeran putra mahkota. Yang mendapat kehormatan, kebesaran, dan perlakuan sebagaimana Baginda. Hanya karena kesetiaan sebagai nilai utama, maka para senopati mengikuti dengan patuh semua sabda Baginda dengan segala titik dan koma tanpa kecuali.
Kehadiran Permaisuri Indreswari sama maknanya dengan kehadiran Baginda. Halayudha berusaha bangkit sambil meringis untuk menghaturkan sembah sewaktu Permaisuri Indreswari masuk ke kamarnya.bSatu tangan kiri bergerak pelan, maka semua tabib dan pengawal segera meninggalkan ruangan.
"Gusti Permaisuri sesembahan seluruh Majapahit, hamba merasa tak pantas Gusti kunjungi."
Permaisuri Indreswari memandang ke arah langit-langit kamar. "Apakah Paman sudah menyampaikan kepada Baginda?"
"Maaf, Gusti Permaisuri Utama, hamba belum sempat mengatakan secara langsung. Akan tetapi rasanya Baginda bisa mengerti bahwa Ratu Ayu Azeri Baijani lebih pantas untuk Gusti Bagus Kala Gemet."
"Aku melihat gelagat yang kurang baik. Kalau sampai Baginda menghendaki Ratu Ayu menjadi salah satu permaisurinya dan itu bisa terjadi, aku merasa sia-sia. Kutinggalkan segala kemewahan di negeri Melayu, hanya untuk berkurung di tempat yang susah kumengerti tata krama dan tata tuturnya. Aku sudah bertekad, bahwa hanya kalau aku bisa meneruskan takhta Melayu, aku mau berada di sini."
"Begitulah semestinya yang terjadi, Permaisuri Utama."
Permaisuri Indreswari menoleh ke arah lain. "Aku belum puas kalau Baginda nanti malam tak mengumumkan secara resmi bahwa Ratu Ayu diperuntukkan bagi putraku Kala Gemet."
Halayudha menghela napas. Perutnya naik-turun. Darah masih merembes dari bubuk obat-obatan. "Kalau perlu, Gusti Permaisuri Utama bisa memaksa dengan cara lain."
"Aku sedang memikirkan jalan itu."
"Maha Singanada mampu menyusup dan memaksa Ratu Ayu."
"Begitu? Bukankah cukup banyak para senopati yang mengawalnya?"
Halayudha berusaha tersenyum. Wajahnya kelihatan makin pucat. "Kalau tak salah, nanti malam ada perjamuan utama. Saat itu adalah saat yang terbaik bagi Maha Singanada untuk menerjang langsung dan menaklukkan Ratu Ayu. Kalau itu terjadi, hamba bisa memperhitungkan, bahwa sekalian senopati Turkana maupun senopati Keraton tak akan bisa turun tangan. Karena ada Baginda di sana."
"Akalmu boleh juga, Paman Halayudha. Kalau Singanada gagal mengalahkan Ratu Ayu?"
"Memang harus gagal. Pada saat terakhir, Maha Singanada harus gagal. Seolah gagal, dan saat itu Gusti Bagus Kala Gemet yang muncul. Menyelesaikan perkara. Kalau Maha Singanada bisa menguras seluruh tenaga Ratu Ayu dengan rangkaian jurus Nawagraha, atau jurus Siasat Sembilan Bintang, yang digabungkan dengan pengerahan tenaga Nawawidha, atau Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan, betapapun hebatnya ilmu dari Turkana, akan tersedot habis tenaganya. Maha Singanada bisa mengerti hal ini, Gusti Permaisuri Utama."
"Putraku juga bisa mengerti?"
"Rasanya kalau Senopati Sora tidak tanggung dalam memberikan ilmunya, dengan jurus-jurus Bramara Bekasakan atau Lebah Hantu, akan bisa menyiksa Ratu Ayu. Syukur-syukur kalau Senopati Sora membantu dengan tenaga dalam mendengungkan suara untuk mengacau perhatian, semua bisa berjalan dengan baik, Gusti Permaisuri Utama."
Permaisuri Indreswari bergerak perlahan. Memunggungi Halayudha. "Sora terlalu merasa dirinya ksatria. Mana mau ia membantu dengan cara seperti itu?"
"Hamba akan mencoba menghubungi. Kalau dikatakan bahwa ini saat yang tepat untuk menunjukkan keahlian putra asuhannya, rasanya bisa disetujui."
"Aku tahu, semua ini memerlukan usaha keras, Paman."
"Akan tetapi, hasilnya luar biasa. Semua mata di seluruh Keraton akan terbuka dan tak tergoyahkan lagi akan kehadiran Gusti Bagus Kala Gemet."
Permaisuri Indreswari berbalik. Memandang Halayudha. "Kalau Singanada menolak bertarung?"
Halayudha menggeleng lemah. "Anak muda itu tak bisa berpikir lebih panjang dari batang hidungnya. Bahkan di mana bayangannya berada, ia tak mengetahui. Memang ilmunya tinggi dan sangat berbahaya, akan tetapi ia hanya mengerti belajar ilmu silat. Selebihnya, asal makan dan kemewahan dipenuhi, tak ada persoalan."
"Paman cukup mengenalnya?"
"Maaf, Gusti Permaisuri Utama. Hamba tak mengenal secara pribadi. Akan tetapi bukankah semua senopati didikan Raja Singasari hanya kuda tunggang yang gagah berani tapi matanya tertutup?"
PERMAISURI INDRESWARI mengangguk. Baru sekarang, setelah lebih lega, duduk di kursi. Tubuhnya tetap tegak. Pandangannya lurus. Halayudha hanya berani mencuri pandang sekelebatan. Dan mengagumi tanpa habis kelembutan kulit dan wajah ningrat Permaisuri Indreswari.
"Aku tak habis pikir, Paman. Baginda Raja Sri Kertanegara begitu dipuji dan dipuja sedemikian hebat. Padahal Baginda Raja itu pula yang menaklukkan negeri kami. Membuat seluruh tanah Melayu tunduk pada kakinya, dan aku sebagai putri boyongan, putri persembahan tanda takluk. Kesombongan Baginda Raja masih mengalir dalam darah putri-putrinya. Putri Tribhuana, Putri Gayatri."
"Hamba bisa merasakan kerisauan Permaisuri Utama. Walaupun resminya Gusti yang menjadi permaisuri utama, nyatanya keempat putri tinggalan Singasari masih berhak memakai gelar permaisuri, dan masih berada di ruang utama Keraton. Tidak berada di kebon atau ruangan lain di luar dinding Keraton. Akan tetapi rasanya, itu tak akan lama lagi."
Alis mata Permaisuri Indreswari bergerak. Terangkat. Lembut. "Katakan, Paman. Aku tak akan melupakan jasa Paman. Sampai kelak kemudian hari."
"Maha Singanada adalah singa yang tak berbeda dengan kuda. Bisa dikendarai sekehendak tuannya. Karena sifatnya yang tak bisa melihat jidat kelimis dan tungkai yang tersibak dari kain, Maha Singanada akan masuk perangkap yang kita buat. Kekuatan utama putri-putri tinggalan Singasari, sesungguhnya berada dalam diri Gayatri.... Maaf, Permaisuri Rajapatni."
Terdengar helaan napas berat. Wajah Permaisuri Indreswari kembali muram. Pandangannya menjadi kosong. "Aku tahu yang kamu maksudkan, Paman. Ramalan nujum para pendeta yang mengatakan bahwa keturunan Gayatri dan Baginda yang kelak akan menjadi raja besar di tanah Jawa dan wilayah di mana ia bertakhta. Aku tahu hal itu, Paman. Aku tahu walaupun Tribhuana sangat pandai mengatur dan menangkap serta mengungkap kejadian di Keraton, Baginda masih lebih suka menceritakan Gayatri. Dalam satu hal ini, rasanya aku tak bisa menerima sikap Baginda."
Suaranya makin lembut. Seolah kuatir terdengar oleh nyamuk. "Sebagai raja yang agung, Baginda bisa memilih seratus wanita lain yang lebih elok dalam segala hal daripada Gayatri."
Halayudha menunggu sampai suara Permaisuri Indreswari mereda nada sengitnya. Baru kemudian berkata perlahan. "Kita bisa menunggang singa, Gusti Permaisuri Utama. Maha Singanada akan menyusup ke dalam kaputren, dan akan menemui Gayatri. Sebaliknya Gayatri akan berusaha menerima. Karena pasti menyangka yang mengunjungi adalah Upasara Wulung."
"Hmmm... Bukankah Upasara Wulung sudah terkubur di bawah Keraton? Baginda mengatakan kepadaku."
"Sebelum melihat mayatnya atau meremukkan tengkoraknya, hamba tak bisa percaya. Akan tetapi kalaupun sudah terkubur, bukan alasan Gayatri untuk tidak menemui. Pada saat pertemuan itulah, Mahapatih yang akan bertindak. Menggerebek langsung. Dan Baginda tak mempunyai alasan untuk tidak mengusir ke luar puri Keraton. Bersama saudara-saudarinya."
Permaisuri Indreswari menelan ludah. Menenggelamkan gundah. "Ada untungnya juga membawa Singanada kemari. Benar. Semua perhitungan Paman benar adanya."
"Hamba tak pantas mendapat pujian Gusti Permaisuri Utama. Hamba hanya sekadar menjalankan tugas dan mengabdi kepada yang ditunjuk Dewa Yang Maha agung."
Permaisuri Indreswari berdiri. "Aku tak akan melupakan semua jasa baik, Paman. Dan aku belum pernah ingkar janji selama ini."
Permaisuri Indreswari mengangguk pendek, lalu melangkah ke luar. Segera meninggalkan ruangan diiringkan para dayang-dayang.
Halayudha memejamkan mata dan mengatur pernapasan. Ada yang bergolak di dalam perasaannya. Rasa muak karena sikap Permaisuri Indreswari. Yang membuat darahnya mendidih bagai bara cair. Bagai magma gunung berapi. Biar bagaimanapun, Halayudha merasa muak diperlakukan seenaknya oleh Permaisuri Indreswari. Ia merasa diperlakukan dengan kehinaan. Seolah abdi yang tak ada artinya.
Akan tetapi, Halayudha sudah terlatih lama menyembunyikan perasaan hatinya. Ia lebih suka memperhitungkan di kelak kemudian hari. Bahwa kalau semua rencananya berhasil, takhta dan kemenangan itu tak akan pernah jatuh ke tangan Permaisuri Indreswari atau Kala Gemet!
Ini semua hanya topangan sementara. Bagi Halayudha, membereskan Permaisuri Indreswari atau Kala Gemet sangat mudah. Lebih mudah daripada membalik telapak tangannya sendiri, yang untuk itu masih memerlukan tenaga. Karena sesungguhnya Permaisuri Indreswari tak mempunyai dukungan kekuatan apa-apa. Selain Baginda yang selama ini menganggapnya istimewa. Kalau Baginda sudah tersingkir, apa lagi yang dimiliki? Prajurit Keraton tidak. Pengawal pribadi pun tak seberapa yang akan tetap setia kepadanya...
"Aneh sekali, kenapa senopati Keraton begitu bernafsu melindas kami? Bagaimana mungkin dalam sekejap terjadi perubahan sikap separah ini?
"Nyai, bangsamu sungguh sangat perasa. Bahkan sangat keterlaluan."
Darah Nyai Demang sempat bergolak. Kalau tadi merasa dekat dan akrab karena dikagumi sebagai sesama wanita, kini Nyai Demang merasa bagian dari bangsa dan tanah airnya! Bukan sesama wanita.
"Pasti ada sebab yang sangat penting."
"Ya. Akan tetapi mereka tak akan mampu mengungguli delapan senopati Turkana. Hanya ada satu yang kelihatan agak kuat, yaitu Mahapatih. Kalau saya ikut terjun, apakah ada yang mampu menahan?"
Nyai Demang tak mau kalah. "Dari segi jumlah, senopati Keraton jauh lebih besar. Betapapun keunggulan kalian menjadi tak ada artinya."
"Apa artinya kemenangan kalau hanya mengandalkan jumlah yang besar?"
"Tidak ada artinya jika itu terjadi pada pertarungan para ksatria, Ratu Ayu. Akan tetapi sekarang ini bukan lagi pertarungan para ksatria. Ini pertarungan antara hidup dan mati untuk membela negeri. Ratu Ayu telah membuat kami bangkit semua secara serentak. Kali ini Ratu ayu menghadapi seluruh negeri."
Ratu Ayu menghela napas. "Barangkali ini kunci kemenangan kalian atas serangan pasukan Tartar. Sejengkal tanah kalian bela bersama sampai nyawa terakhir. Ini kekuatan yang luar biasa. Sementara di Turkana, justru sebaliknya yang terjadi. Kekuatan kami tercerai-berai. Padahal kalau satu lawan satu, Khan itu masih tetap bukan tandinganku. Juga rajamu, Nyai."
Nyai Demang mengeluarkan suara di hidung. "Di negeri kami, seorang raja tidak selalu perlu turun tangan secara langsung. Seorang raja lebih mementingkan kebijaksanaan, dan bukan mencari pengesahan dalam pertarungan seperti ini."
"Dengan kata lain, Nyai mengatakan saya lebih sakti?"
"Masih harus dibuktikan."
Mata Ratu Ayu yang cokelat seperti mengeluarkan sinar tajam. Menikam. "Apakah di negerimu ini ada yang mampu mengirimkan suara dengan ilmu Lompat Turkana seperti yang kulakukan?"
"Lebih dari itu pun ada, Ratu Ayu."
Sejenak Ratu Ayu menghela napas pendek. "Kalau benar begitu, rasanya saya perlu turun tangan untuk menjajalnya. Rasanya ia baru pantas menjadi tandinganku. Nyai, siapa orang itu?"
Sejenak Nyai Demang merasa sangsi. Akan tetapi, mengatakan atau tidak, bisa berarti banyak. Mengatakan karena memang kenyataannya begitu. Kalau tidak menyebutkan nama, bisa dianggap asal membual.
"Ratu Ayu telah menyebutkan sendiri."
"Eyang Sepuh?"
"Eyang Sepuh, guru kami."
"Saya mendengar nama besar dan harum Eyang Sepuh. Tolong katakan, dari segi mana Eyang Sepuh mampu mengungguli saya? Pandanganmu sangat luas, dan saya patut mendengarkan."
Pujian Ratu Ayu terdengar sangat tulus. Dan memang diutarakan secara jujur. Nyai Demang bisa merasakan. Bahwa di balik sikapnya yang serba tersembunyi, di balik dendam dan keinginannya merebut kembali takhta Turkana dari tangan bangsa Tartar, Ratu Ayu tetap mempunyai jiwa ksatria. Bahkan di balik pertanyaan itu, Ratu Ayu menghormati bahwa Nyai Demang akan menjawab secara jujur pula. Bukan sekadar mengagungkan Eyang Sepuh karena kebetulan ia guru Nyai Demang.
"Bagaimana, Nyai? Apa hebatnya Tepukan Satu Tangan?"
Nyai Demang menunduk. "Ratu memang luar biasa. Mampu memperpendek jarak dengan Lompat Turkana. Sehingga jarak jauh menjadi pendek. Tapi ini hanya terbatas kepada suara. Eyang Sepuh telah mencapai sesuatu yang lebih dari itu. Beliau mampu memindahkan badannya dari suatu ruang ke ruang yang lain tanpa bergerak. Sehingga pada saat yang sama, seakan berada pada dua tempat atau lebih secara bersamaan."
"Apa itu?"
"Kami menyebutnya moksa."
"O," suara Ratu Ayu seperti patah. "Saya mendengar ilmu semacam itu juga ada di tlatah Hindia, Jepun, dan di tanah Jawa ini. Di negeri kami, cara berlatih pernapasan untuk moksa juga bisa dipelajari. Saya telah mempelajari, Nyai."
"Kenapa tidak dimunculkan?"
"Sulit. Moksa adalah tingkat di mana antara ada dan tiada tidak berbeda. Tingkat antara roh dan raga menyatu, tak bisa dipisahkan. Tingkat antara mati dan hidup susah dipisahkan. Kalau saya menjajal ilmu itu, saya kuatir tak ingin kembali ke Turkana dan menjalankan keinginan semula."
Nyai Demang mengangguk dan membenarkan. Ini memang bagian yang paling menguatirkan, yang oleh Eyang Sepuh disebut sebagai ajaran "bait terakhir yang tak terbaca di hati".
Lompat Turkana
SEMENTARA itu, Gendhuk Tri yang sejak tadi masih berada di sekitar sitinggil, segera menyusup ke arah Kamandungan, melalui pintu benteng. Suara hiruk-pikuk di dalam menyerap perhatiannya. Dan begitu sampai di bagian dalam Keraton, lidahnya terjulur tanpa terasa. Di depan Keraton, kedelapan senopati Turkana membentuk barisan dua lapis. Sekali bergerak, yang berada di belakang meloncati yang ada di depan, langsung melabrak musuh.
Sementara barisan yang di depan, yang diloncati, juga serentak meloncati dan menyerbu ke arah senopati Keraton. Karena kedelapan senopati melompat dan menyerang dengan sangat cepat, barisan para senopati Keraton seperti kucar-kacir. Susunan pertahanan menjadi buyar. Senopati Sariq berada paling depan. Kalau menemui lawan seimbang, hanya memutar ke arah samping. Tempatnya yang kosong segera diisi Senopati Uighur atau Karaim. Begitu juga yang lainnya. Serangan mendadak yang sangat rapi dan kuat. Setiap penghalang disikat dengan tebasan pedang melengkung.
Juluran lidah Gendhuk Tri lebih menunjukkan kekaguman. Matanya pernah menyaksikan barisan murid Kiai Sumelang Gandring yang merangsek maju secara bersamaan. Juga pernah menyaksikan dua murid Kama Kangkam yang menyatu. Dua bentuk barisan, yang kokoh bertahan, dan yang kuat melabrak. Akan tetapi yang disaksikan sekarang, sungguh luar biasa. Kedelapan senopati menggunakan Lompat Turkana seperti dalam permainan 64 petak. Masing-masing saling melompat ke depan, dan atau ke samping kiri maupun kanan. Tak pernah mundur.
Dalam sekejap saja, mereka telah masuk mendesak hingga pintu Keraton, sementara para senopati Majapahit tersisih di sebelah kiri dan kanan. Hanya saja para senopati Turkana ini tidak melabrak terus dan masuk ke dalam, akan tetapi berbalik, siap menghadapi lawan yang bersiaga dari depan. Dari sekian banyak senopati Keraton, hanya Mahapatih yang nampak bisa mengimbangi. Ia selalu berhasil memaksa lawan tidak melompati tubuhnya, akan tetapi memakai gerakan memiring. Hanya saja karena ia seolah sendirian, dalam sekejap saja seperti mendapat keroyokan. Terpaksa bertahan sambil minggir.
"Kok bisa begini jadinya? Sungguh tidak lucu kalau Keraton bisa dicabik-cabik dengan cara murahan seperti ini."
Suara Gendhuk Tri terdengar lantang. Akan tetapi tak ada yang memperhatikan. Dari sitinggil terdengar keributan yang lain. Para calon penari menjadi bubar dengan sendirinya. Begitu pula para calon yang berharap dipilih sebagai suami oleh Ratu Ayu. Sementara para prajurit berkumpul dan masuk ke Kamandungan untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Namun mereka hanya menambah korban yang berjatuhan. Pedang bagai bulan melengkung itu setiap kali berayun, seperti membuat lawan mundur atau terluka. Di tengah ketakberdayaan karena serangan yang mengagetkan, dari arah sitinggil menerobos masuk seorang lelaki.
"Kakang, aku ikut." Gendhuk Tri langsung terjun ke tengah gelanggang. "Kita jajal mereka. Aku jadi ingin tahu."
Gendhuk Tri segera melepaskan selendangnya. "Senopati Majapahit, jangan berdiri terlalu dekat dengan lawan. Beri jarak. Kosongkan di depan, atau merapat. Sehingga mereka tak mampu melompati. Jangan takut bau kambala."
Gendhuk Tri rada terperangah. Ia tak menyangka sama sekali bahwa lelaki yang masuk ke gelanggang bukan Upasara Wulung! Bentuk tubuhnya sama, wajahnya mirip sekali, nada suaranya juga sama! Hanya rambutnya yang kemudian tergerai, membuat Gendhuk Tri yakin bahwa lelaki itu bukan Upasara Wulung. Apalagi ketika menggertak maju sambil memainkan kantar dengan gerakan cepat.
"Mari aku cuci kalian. Katanya kambing takut sama air."
Dengan gesit, lelaki itu maju menerjang. Kantar, atau tombak pendek yang biasanya digunakan sebagai perisai, menyabet maju. Kebetulan yang dihadapi adalah Senopati Chagatai, yang mencongkel dengan pedang lengkungnya. Lelaki itu terus menggebrak maju dengan desakan yang kuat, seolah menempel. Senopati Kazakh yang berada di belakangnya, tak bisa melompati. Tetap menunggu di belakang!
Dalam saat yang bersamaan, Gendhuk Tri juga mendesak maju. Selendang warna-warni mengebut ke arah wajah lawan. Tidak seperti biasanya, Gendhuk Tri kali ini tidak membuat jarak. Ia mendesak maju. Sabetan pedang Senopati Karaim digulung dalam satu selendang, sementara tangannya yang bebas mengancam lawan. Senopati Karaim mengegos ke samping. Gendhuk Tri menyambar dengan kaki. Ke arah terompah lawan.
"Kena kamu, kambing."
Tanpa sadar, Gendhuk Tri mengikuti apa yang dikatakan lelaki yang mirip Upasara Wulung. Dengan menyebutkan kata kambing, seperti tadi ia mendengar ucapan kambala, yang artinya pakaian bulu domba. Bahwa yang dikenakan para senopati itu pakaian bulu domba tanpa lengan atau bukan, tak jadi soal. Senopati Karaim tak menyangka bahwa terompahnya yang digasak. Sewaktu menarik mundur kakinya, Senopati Uighur yang di belakangnya berseru keras. Hampir saja pedang melengkung mengenai kawan sendiri.
"Kanyasukla, sebagai anak kampung, ilmumu boleh juga. Mari kita ajar mereka main lompatan."
Hati Gendhuk Tri menjadi berbunga-bunga. Karena ia dipanggil dengan sebutan kanyasukla yang berarti perawan suci. Rasanya, sepanjang hidupnya tak pernah ada lelaki yang memanggil begitu menyenangkan hatinya. Satu-satunya yang menyayanginya hanyalah Dewa Maut. Yang mau melakukan apa saja bagi Gendhuk Tri. Akan tetapi, Dewa Maut memanggilnya dengan sebutan tole, panggilan buat anak lelaki. Tak pernah terdengar panggilan yang menyejukkan hati kewanitaannya. Tidak juga Upasara Wulung yang dikagumi. Paling jauh hanya menyebut adik manis.
Sekarang ada yang menyebut dengan manis, lembut, dan menganggapnya sebagai gadis. Dan yang memanggil itu adalah seorang lelaki yang... Hmmmmm, tak kalah dengan kakang pujaannya. Mendapat hati, Gendhuk Tri tak berpikir panjang lagi. Kedua kakinya menjejak tanah, dan tubuhnya melayang ke atas, jungkir-balik ke arah belakang. Apa yang dilakukan Gendhuk Tri memang tak terduga. Justru karena mengandung bahaya. Meloncat ke udara sambil membalikkan tubuh untuk menghadapi barisan Lompat Turkana sama juga adu panas dengan sumber api. Akan tetapi justru karena lawan tak menduga itulah pedang melengkung Senopati Uighur bisa tercabut.
"Bagus. Aku juga dapat satu!"
Lelaki itu berseru keras sambil merampas sebilah pedang. Ia berdiri berjajar dengan Gendhuk Tri. Rambutnya yang panjang tergerai di belakang bahunya. Wajahnya gagah, dengan kedua tangan membuka. Salah satu tangannya memegang pedang melengkung. Serentak dengan itu delapan senopati Turkana membalikkan tubuhnya. Menghadapi lelaki gagah dan Gendhuk Tri. Senopati Sariq meloncat ke depan.
"Sungguh mengagumkan. Sepasang senopati yang bisa membaca barisan kami. Apakah Sariq kali ini berhadapan dengan ksatria dari Perguruan Awan yang bernama Upasara Wulung?"
"Hei, domba kuning! Tahu diri sedikit. Yang bisa merebut congkelan pintu bukan hanya dia, tapi aku juga merampas. Bahkan lebih dulu. Bagaimana kamu seenaknya saja memujinya tanpa melirik aku? Apa perlu kucabuti dulu bulu domba di tubuhmu itu?"
Lelaki itu tertawa bergelak. Gendhuk Tri sadar bahwa cara tertawa yang kasar itu membuatnya sangat berbeda dari Upasara.
"Siapa suruh kamu menertawai aku? Apaku yang lucu?"
Lelaki itu menggaruk rambut di belakang telinga. Wajahnya jadi sedikit berubah. "Kanyasukla, aku tertawa bukan karena kamu lucu. Karena Senopati Sariq ini kamu sebut domba kuning. Alangkah lucunya. Domba tak pernah bisa kuning walau makan emas sekalipun."
"Itu tidak lucu sama sekali."
Maha Singanada
SELURUH Kamandungan jadi senyap. Semua perhatian terserap ke pembicaraan antara Gendhuk Tri dan lelaki gagah yang rambutnya dibiarkan terurai. Merupakan perubahan yang ganjil. Dalam beberapa saat sebelumnya, seakan seluruh senopati Keraton dibikin tak berdaya. Lalu mendadak muncul pasangan yang dalam satu gertakan mampu mematahkan Lompat Turkana. Kini juga setelah bisa unggul, mereka seolah bertengkar sendiri.
"Maaf, pertanyaan saya belum terjawab. Sebelum melanjutkan permainan, perkenankan saya mengetahui nama besar Ksatria."
"Bukankah tadi Sariq telah menyebutkan nama Upasara?"
"Kalau begitu, terimalah hormat saya." Sariq membungkuk memberikan hormat.
Gendhuk Tri berteriak marah. "Ngaco! Mulut bau, dandanan kamu seperti anak kampung, berani mengaku nama besar Kakang Upasara? Sehari mandi seratus kali, kamu tetap tak akan menyamai bayangan Kakang Upasara!"
Lelaki yang mengaku Upasara terkekeh. Walau dalam gusar, sebenarnya Gendhuk Tri memuji. Karena menyebut-nyebut mandi seratus kali. Yang berarti juga mengakui bahwa kulit lelaki itu lebih putih dan lebih bersih daripada warna kulit Upasara.
"Senopati Sariq, begitu banyak orang menyebut katanya aku ini mirip Upasara Wulung. Bahkan kalian yang baru datang dari Turkana juga terkecoh. Terus terang aku tak tahu apakah Upasara cukup tampan hingga bisa disejajarkan dengan diriku."
"Ngaco belo. Kamu ini anak kadal."
Lelaki itu mengangkat alisnya. Rambutnya bergerak-gerak. "Hei, kupanggil kamu kanyasukla, karena kuanggap kamu masih suci pikirannya. Ternyata pikiran kamu sudah terjerumus kepada pemujaan lelaki."
"Siapa memuja lelaki. Jangan asal buka mulut. Upasara adalah kakangku."
"Nah, ketahuan sekali pikiranmu sudah ruwet. Aku hanya menyebut kamu memuja lelaki. Bukan menyebut memuja kekasih atau suamimu."
Gendhuk Tri menggertak. Dua tangan bergerak serentak. Empat ujung selendang menyambar secara bersamaan. Dengan menggoyangkan kepalanya, sambaran empat ujung selendang tersapu minggir oleh rambut lelaki itu. Dua tangan yang bergerak secara serentak dipegang erat.
"Tunggu! Apa hubunganmu dengan Mpu Raganata?"
"Lepaskan!" Gendhuk Tri meronta. Ternyata pegangan itu tidak bersungguh-sungguh. "Tahu apa kamu tentang Mpu Raganata?"
Lelaki itu menatap Gendhuk Tri dengan tajam. Sorot matanya begitu menukik dalam, sehingga Gendhuk Tri menunduk dengan warna merah di pipi. Malu. Sungkan. Gerah. Lelaki itu tak memedulikan Gendhuk Tri. Ia berbalik menghadapi Sariq.
"Namaku Maha Singanada. Senopati Sariq, jangan salah paham. Ini namaku yang sesungguhnya. Bukannya aku sengaja memasang nama artinya mengaum keras seperti singa, dan seekor singa sanggup menelan delapan ekor kambing. Cukup jelas? Maha Singanada juga berarti gelaran Dewa Syiwa sebagai senopati perang. Aku perlu menjelaskan agar kalian semua yang ada di sini tidak salah kaprah bahwa aku adalah Upasara Wulung. Setelah soal nama, mari kita lanjutkan permainan menarik ini. Sudah lama aku mendengar permainan anak-anak dari Turkana ini, dan sekarang bisa menjajalnya."
Dalam hati, Gendhuk Tri merasa dongkol tujuh kali. Nada bicaranya sangat ketus, tinggi hati, menunjukkan kepongahan. Tanpa tata krama sedikit pun. Boleh dikatakan sangat kurang ajar! Bahkan Gendhuk Tri yang selalu bicara seenaknya, tetap merasa ucapan Singanada sangat kasar. Dan sedikit mengherankan bahwa ada pemilik nama yang memakai tambahan maha, serta mengucapkan tanpa merasa risi.
Sariq mengangguk. "Saya akui keunggulan Singanada pada gebrakan pertama. Akan tetapi, marilah kita jajal dari awal. Silakan kalian berdua maju. Biar kami berdua yang menghadapi."
Uighur melompat, mendampingi. "Agar tidak dikatakan curang, jumlah kita sama."
Singanada menggeleng. "Majulah berdua atau berdelapan, aku masih bisa menghadapi sendiri. Aku tak ingin melibatkan orang lain. Karena ini urusanku pribadi. Aku datang untuk melihat apakah benar ada Ratu Ayu Bawah Langit yang benar-benar ayu. Ataukah hanya nenek-nenek yang sulit mencari jodohnya."
Uighur melompati tubuh Sariq dan menggempur. Singanada bergerak sama cepatnya. Begitu Uighur bergerak, Singanada mendahului melompat ke atas. Kantar di tangannya berpindah dari kiri ke kanan dengan cepat. Antara menyerang dan bertahan. Dua bayangan saling bertempur di atas. Sariq menderum keras. Walaupun ada dua orang bertempur di atas, tubuhnya tetap menyela di tengah. Pedang lengkungnya menyodet ke arah perut. Singanada menggeliat, tubuhnya terjatuh di arah belakang Sariq, dengan tangan lebih dulu. Kedua kakinya menggunting!
Sariq tak mau kalah cepat reaksinya. Begitu pedang lengkungnya mengenai udara kosong, tubuhnya segera menggulung, dan melesak masuk ke dalam. Lolos dari guntingan kaki. Bergulingan di tanah sambil menyabit keras. Terdengar suara angin tajam karena sobekan pedang lengkung. Uighur tak kalah lincah. Dengan memakai kaki Singanada sebagai tumpuan, badannya melesat ke angkasa. Singanada mengaum keras. Pedang lengkung yang menyabet ke arahnya diterkam. Dengan kantar untuk menindih. Tidak mengelak atau mengegos. Tapi menindih. Dengan demikian, senjata Sariq terbenam di tanah. Di bawah tindihan kantar!
Pada saat yang sama, rambut Singanada menyambar. Bagai ratusan jarum yang menusuk secara bersamaan. Sariq mengempos semangatnya. Ia bisa melepaskan pedang lengkung dan membuang tubuhnya. Tetapi itu tak dilakukan. Ia tetap membetot pedang dengan satu tangan, dan tangan yang lain menolak sambaran rambut! Gelombang tenaga yang disalurkan seakan menembus jalan buntu. Akan tetapi dalam kejap berikutnya, ternyata tekanan tindihan mengendor. Karena saat itu tubuh Uighur sudah turun. Melayang tepat di atas tubuh Singanada. Yang justru sedang melonjak ke atas.
Kantar yang tadi dipakai untuk menyerang, sekarang dipakai untuk menahan. Berfungsi sebagai perisai. Kali ini, justru Singanada yang memakai tenaga turun Uighur sebagai tumpuan untuk melayang. Begitu tubuhnya melayang di udara, tangan kanan yang memegang kantar terulur ke arah Sariq yang tengah tengadah. Terpaksa menyampok keras. Hingga tertahan geraknya mumbul ke atas. Kejadian berlangsung sangat cepat-keras-berbahaya. Karena Gendhuk Tri tidak ikut terjun ke dalam gelanggang, Singanada seperti dikeroyok dua. Ini terus terang membuat Sariq merasa kurang enak. Akan tetapi tak bisa berbuat lain.
Karena tekanan serangan Singanada amat kuat. Yang membuat Sariq menjadi lebih waspada ialah karena ternyata Singanada mampu memindahkan serangan atas dan serangan bawah dengan sama kuat dan sama gesit. Keunggulan serangan di tengah udara bisa diimbangi, sedangkan serangan bawah, jelas Singanada lebih unggul. Ini mengherankan. Biasanya seorang ksatria lebih menguasai satu jenis penyerangan. Di atas atau di bawah. Gendhuk Tri pun terheran-heran.
Bumi Mengaum
DAN penasaran. Betapa tidak, kalau dalam satu gebrakan saja Maha Singanada bisa langsung menebak ilmunya mempunyai kaitan dengan Mpu Raganata. Gendhuk Tri jadi memperhatikan dengan lebih saksama. Dalam waktu tak terlalu lama, dirinya menyaksikan munculnya jago-jago yang unggul. Sejak Naga Nareswara, kemudian Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, serta pemunculan kembali Paman Sepuh. Lalu ditambah Ratu Ayu dengan senopati-senopatinya. Semuanya serba aneh, menimbulkan tanda tanya.
Akan tetapi dengan segera bisa dilacak asal-usulnya. Tidak demikian dengan Maha Singanada. Menyeruak begitu saja, dengan kemampuan yang cukup memesona. Dengan penglihatan yang tajam. Sekali gebrak sudah mengetahui kunci permainan Lompat Turkana, menebak jurus-jurus ilmu yang bersumber dari Mpu Raganata, main silat di tanah dan di angkasa sama mengagumkan. Gendhuk Tri merasa bisa memainkan silat sambil bergulingan di tanah untuk memperdaya lawan. Akan tetapi, walau ilmu mengentengkan tubuhnya termasuk kuat, tak bisa seunggul penguasaan di bawah.
Ini sebenarnya memang ciri-ciri utama seorang jago silat. Mereka yang berlatih di daerah pegunungan, dengan sendiri lebih maju penguasaan ilmu mengentengkan tubuhnya. Ciri-ciri semacam ini, bisa ditandai pada setiap jago silat yang dikenal Gendhuk Tri. Bahkan Dewa Maut, di masa jayanya, adalah jagoan bertarung di atas sungai. Kalaupun kemudian bertempur di darat, ciri-ciri itu masih terasakan. Inilah yang membuat Gendhuk Tri merasa sangat heran. Tanda tanya yang sama terucapkan oleh Ratu Ayu Azeri Baijani yang berada dalam kamarnya.
"Nyai mengenal ksatria bernama Maha Singanada?"
"Rasanya tidak, Ratu."
"Boleh juga ksatria satu ini. Dasar-dasar yang dimiliki sangat kuat dan cukup terlatih. Kalau benar ini juga bagian ilmu Kitab Bumi, sungguh... tanah Jawa ini luar biasa. Tanah yang sangat subur melahirkan ksatria kelas satu. Kenapa Gendhuk Tri tidak ikut bertarung?"
"Kalau begitu, bukan Maha Singanada. Pasti Upasara Wulung."
Ratu Ayu tersenyum. "Ksatria yang menjadi pewaris Perguruan Awan dan berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan di Trowulan? Hmmm, boleh juga. Boleh juga. Rasanya saya perlu menemui."
Nyai Demang memperlihatkan wajah kurang senang. Ratu Ayu bukannya tidak menangkap perasaan kecut yang tersimpan.
"Barangkali ini lelaki yang saya cari..." Hanya saja, di ujung kalimatnya, Ratu Ayu mendadak berhenti. Pikirannya kembali dipusatkan untuk mengikuti jalannya pertarungan.
Nyai Demang tak bisa menahan dirinya. Kedua tangannya membuat sembah, lalu mundur sambil tetap berjongkok. Sampai di pintu luar, segera melesat ke arah Kamandungan. Apa yang disaksikan, membuat Nyai Demang membelalak dan mengerutkan keningnya sekaligus. Hingga kedua alisnya berjauhan dan bertemu beberapa kali. Yang membuat Nyai Demang terheran-heran bukan karena para senopati Keraton hanya berada di depan kori utama, pintu utama, menuju ke dalam Keraton. Bukan pula Gendhuk Tri yang berdiri bengong dengan pandangan kosong.
Juga bukan wajah Maha Singanada yang sekelebatan mirip Upasara Wulung. Melainkan gerakan-gerakan yang dilakukannya. Rasanya seperti pernah dikenali. Pernah dikenali dengan baik. Hanya tak bisa segera dipastikan di bagian mana ia mengenali gerakan itu. Pernah dimainkan seseorang ataukah hanya dari bayangan dalam pikiran ketika mempelajari kitab-kitab ilmu silat.
Sementara itu Singanada makin ganas bergerak. Kantar di tangannya mengurung lawan, menyodok, menekan pedang lengkung lawan. Sariq maupun Uighur seakan terdesak. Akan tetapi Sariq bukanlah senopati sembarangan. Bukan ksatria yang sekadar di belakang memainkan ilmunya. Dengan barisan Lompat Turkana, bersama dengan Uighur, keduanya tetap bisa bertahan.
Lompat Turkana yang berdasarkan gerak jong, gerak payung atau gerakan tertutup di belakang, tak memberi kesempatan Singanada untuk menguasai dari arah mana pun. Bahkan sebaliknya mereka berdua selalu naik-turun dan menggasak maju. Kalaupun Singanada mampu menerobos ke arah belakang, keduanya langsung berbalik. Titik lemah di bagian belakang juga menjadi kekuatan.
Singanada mengertakkan giginya. Kedua tangannya terangkap menjadi satu, kantar ditarik pendek melekat ke tubuhnya. Kaki kanan terangkat, dengan paha lurus ke depan. Sariq menjajal dengan sabetan pedang lengkung yang seakan mencungkil pinggang. Bersamaan dengan itu, Uighur sudah memotong bagian atas, jika Singanada meloncat. Dalam situasi seperti itu, jalan menyerang Singanada yang lebih kuat meloncat ke atas. Tidak dengan menyapu kuda-kuda lawan, merebut sisi bawah pertahanan.
Akan tetapi justru dengan berani, Singanada tidak meloncat atau menyergap lawan. Sabetan pedang ke arah pinggang ditangkis dengan gerakan pendek. Seolah kantar yang ditempelkan ke pinggangnya cukup aman untuk menahan. Memang. Namun pedang lengkung itu dalam sekejap bisa berubah arah Ke dada. Dengan sangat cepat. Singanada menarik kantar ke atas. Menyambut sabetan ke dada, yang kembali diubah arahnya ke arah leher kanan dan kiri. Tiga kali kantar Singanada membentur lembut.
Sementara Uighur yang meloncat sudah turun ke bawah. Sariq sendiri melihat bahwa meskipun lawan tidak terlalu terdesak, akan tetapi sekali ini tak mampu bergerak leluasa. Maka dengan menggeser satu tindak, Sariq merangsek maju. Dengan kaki satu tetap terangkat, Singanada melayani. Ke arah mana pedang lawan menyapu dan mendesak, ia menangkis.
Begitu kesiuran angin tubuh Uighur menyerbu, Singanada mengubah geraknya. Kaki kanan yang terangkat dalam keadaan tertekuk mendadak terbuka. Lepas di antara sabetan pedang Sariq yang mendadak menarik mundur tubuhnya. Kaki kanan itu terus bergerak lurus ke atas, karena Singanada menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Uighur berseru kaget.
Tendangan Singanada sudah berada di depan wajahnya! Sabetan pedang untuk memotong bisa ditepis oleh kantar yang bahkan menariknya turun. Terkesima kegesitan Singanada yang luar biasa cepat mengubah gerakan, Uighur hanya bisa menarik kedua tangan dengan melindungi dada. Pedangnya terlepas. Kaki kanan Singanada berhasil menendang dada Uighur. Yang telah melindungi dengan kedua tangan.
Perhitungan Uighur bukannya tidak ada. Dengan melindungi dada, kedua tangannya tidak sekadar mempertahankan diri. Akan tetapi juga berusaha membekuk kaki kanan itu. Sekali puntir, rontoklah seluruh tulangnya. Hanya saja tenaga sodokan Singanada begitu liat, sehingga tenaganya yang untuk menyerang terpaksa ditarik. Dengan demikian cukup kuat menahan tendangan. Meskipun tubuh Uighur jadi berjumpalitan di udara.
Sariq menggebrak maju dengan ganas melihat Uighur terdesak. Akan tetapi Singanada telah berubah. Tubuhnya bagai menggeliat dengan pusaran tenaga kuat, bibirnya mengeluarkan teriakan bagaikan auman singa, menubruk ke arah Sariq. Pedang Sariq diterkam. Ditempel oleh kantar-nya, dan dengan satu putaran keras, tubuh Sariq terlempar. Melayang di tengah udara.
Sampai ke gapura Keraton, dan dengan cepat melayang kembali. Sudah berjajar dengan Uighur. Keenam senopati Turkana yang lain juga dengan sangat cepat dan bersamaan membentuk barisan. Singanada berdiri di tengah lapangan Kamandungan dengan gagah. Tangan kanan dan kiri terbuka. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda, seolah sedang menunggang kuda. Tubuhnya sedikit miring. Pandangan matanya menyipit.
"Timinggila Kurda...," desis Nyai Demang gemetar.
Tak bisa lain. Itulah jurus yang mirip sekali dengan Timinggila Kurda, atau jurus Ikan Paus Murka, yang ada di dalam Kitab Bumi. Hanya saja, kalau Paman Sepuh memainkan secara murni sebagai gerakan ikan paus atau ikan gajah, Singanada memakai gerakan singa.
Karsa Putra Mahkota
SlNGANADA bergerak setapak demi setapak. Makin gagah karena rambutnya bergerak-gerak mengikuti irama langkahnya, dan sinar sang surya yang mulai condong membuat bayangannya menjadi lebih hidup.
"Cukup..." Terdengar teriakan Mahapatih.
Singanada berhenti. Mahapatih Nambi menghadap ke arah Sariq. "Baginda tidak menghendaki pertarungan dilanjutkan. Kecuali kalau memang Ratu Ayu memaksa."
Sariq berdiri tegak. "Bukan kami yang mulai, Mahapatih."
"Senopati Sariq, saya membawa sabda Baginda. Pertarungan tak perlu dilanjutkan, kecuali kalau Ratu Ayu memaksa. Sebagai tuan rumah, Baginda ingin mengundang Ratu Ayu untuk membicarakan dengan baik. Apakah cukup jelas?"
Sariq mengernyitkan kening. Menangkap suara yang dibisikkan Ratu Ayu. "Sebagai tetamu, Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani, junjungan rakyat negeri Turkana yang elok, tidak ingin berbuat kurang ajar. Kalau tuan rumah memaksa, tak ada pilihan lain. Kami datang tidak untuk mengemis atau minta belas kasihan. Juga tidak untuk dihina. Sebagai sesama ksatria, kami datang dan juga akan pergi. Mohon sabda junjungan kami disampaikan kepada Baginda."
Gendhuk Tri yang mendadak merasa jengkel. "Huuuuu, sudah baik-baik bertarung, kok jadinya bicara melulu. Kamu juga kampungan. Kenapa berhenti? Takut, ya?" Jari Gendhuk Tri menuding ke arah Singanada.
"Kalau takut, aku akan berdiri di tempat kamu berada."
Gendhuk Tri tersentak. "Aku berada di sini bukan karena takut. Tetapi karena aku tak mau main keroyok. Masa begitu saja kamu tidak tahu."
"Tadi memanggil Kakang."
Wajah Gendhuk Tri bersemu merah. "Aku menyesal memanggilmu Kakang. Ternyata kamu begitu takut mendengar aba-aba prajurit Keraton yang tua dan gembrot itu. Ksatria macam apa kamu ini?"
Singanada menyelipkan kantar ke pinggangnya. Matanya mengawasi Mahapatih dan para senopati Majapahit yang mengiringkan Sariq bersama para senopati Turkana kembali ke dalam Keraton.
"Akan kujawab kalau kau katakan apa hubunganmu dengan Mpu Raganata."
"Sudah terang aku saudara seperguruan Mpu Raganata. Kenapa kamu masih bertanya? Mau berguru padaku? Puasa empat puluh hari, mandi keramas sampai bersih, kuku dipotong, dan nanti akan kupertimbangkan."
Singanada tertawa bergelak. "Omongan kamu termasuk kurang ajar. Jarang di tanah Jawa ini ada yang berani bicara selancang mulutmu. Tapi aku suka. Kanyasukla, tolong katakan kepada Mpu Raganata, apakah beliau tidak malu mempunyai cucu murid yang ilmunya pas-pasan tapi mulutnya bawel." Singanada tertawa keras. Tubuhnya bergoyang.
"Singanada."
"Namaku Maha Singanada. Kecuali dengan panggilan Kakang, kamu harus menyebut namaku secara lengkap. Lain kali kita bertemu lagi. Kalau ilmumu sudah agak maju."
Mana mungkin Gendhuk Tri begitu saja menerima ucapan penghinaan seperti ini? Tubuhnya melesat, dan serentak dengan itu empat kibaran selendangnya yang warna-warni menyerbu. Pada saat yang bersamaan Nyai Demang juga melayang ke angkasa.
"Tunggu, adik manis."
Singanada melirik ke arah Nyai Demang. Bibirnya menyunggingkan senyum. Gendhuk Tri merasa kelewat jengkel! Jengkel karena melihat senyuman genit Singanada. Senyum nakal dan murahan kepada Nyai Demang. Jengkel karena Nyai Demang menahannya. Jengkel karena Nyai Demang hanya ingin menarik perhatian Singanada. Jengkel karena Nyai Demang membalas senyuman dengan tambahan mengangguk kepalanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Nyai Demang yang jelita?"
Nyai Demang makin lebar senyumnya. Gendhuk Tri yang tadi ditarik menjadi makin dongkol.
"Dasar lelaki buaya!"
Nyai Demang mengangguk dengan sikap hormat. "Sayalah yang bernama Nyai Demang. Mengenai jelita atau tidak, kakek-kakek yang lebih tahu."
"Juga anak-anak muda. Putra Mahkota Bagus Kala Gemet menceritakan Nyai. Sebelum beliau terpesona kepada Ratu Ayu."
"Beliau?"
Bagi Nyai Demang dan Gendhuk Tri, cara Singanada menyebutkan Bagus Kala Gemet dengan penghormatan beliau, cukup menimbulkan rasa ganjil. Kalau tadi menyebut Mpu Raganata dengan sebutan yang sama, bisa diterima. Akan tetapi tidak untuk Bagus Kala Gemet. Walaupun Kala Gemet adalah putra mahkota, akan tetapi di kalangan para ksatria tidak terlalu menimbulkan kesan hormat. Maka cukup mengherankan kalau Singanada menyebutnya sebagai beliau.
"Beliau yang terhormat, junjungan rakyat, Pangeran Pati Bagus Kala Gemet." Singanada justru mengucapkan lebih jelas. "Rasanya apa yang dikatakan beliau tak meleset. Nyai memang jelita."
Wajah Nyai Demang tertekuk. Ada warna marah.
"Apakah begitu kasar tata kramamu, Maha Singanada?"
"Barangkali begitu. Makin lama tanah Jawa ini makin mengerikan, karena sedikit bicara salah saja menjadi orang kasar, dungu, dan tak beradab. Dan saya salah satu contohnya. Maafkan, kalau saya kasar. Maafkan."
"Maha Singanada, kalau saya boleh tahu.. apakah Adimas belum lama kembali ke tanah Jawa?"
Sejenak wajah Singanada berubah. "Nyai lebih tahu daripada saya. Suatu hari saya akan berguru kepada Nyai."
Tanpa mengucapkan kata tambahan, tanpa anggukan, Singanada berjalan meninggalkan Nyai Demang dan Gendhuk Tri. Langsung masuk ke dalam Keraton. Sama sekali tak memedulikan.
Nyai Demang mencekal Gendhuk Tri. "Biar saja."
"Apa hakmu hingga saya ditahan-tahan, diperingatkan, seperti ini?" Gendhuk Tri mengibaskan tangannya.
"Adikku..." Suara Nyai Demang berubah nadanya menjadi lembut, penuh dengan kasih seorang kakak. "Akan terjadi banyak peristiwa yang lebih ramai. Kita menyangka semua tetamu kita ketahui, akan tetapi ternyata masih ada yang tersembunyi."
"Kakangmbok tahu siapa dia?"
Nyai Demang tersenyum, menggandeng Gendhuk Tri ke arah pinggir. Berjalan ke luar, ke arah sitinggil. "Kenapa kamu tidak bertanya mengenai kakangmu Upasara lebih dulu?" Sindiran Nyai Demang mengenai sasaran. Tepat dan menukik.
"Aku sedang marah sama Kakang. Hingga tak perlu kutanyakan."
"Kalau begitu saya tak perlu bercerita."
Gendhuk Tri mati kutu. Tapi tetap tak mau mengalah. "Apa pun yang terjadi terhadap Kakang, biar ditanggung sendiri. Kakang sudah lebih dari dewasa."
Lagi-lagi Nyai Demang tersenyum. "Mudah-mudahan bukan karena hatimu sedang kesengsem Maha Singanada."
Gendhuk Tri menggigit bibirnya. "Kakangmbok kenal dia?"
"Dua kali sudah pertanyaan itu diulang."
"Hmmm. Aku tertarik bukan karena apa. Karena ia disangka Kakang Upasara. Terus terang aku tak rela. Ia lelaki kasar, mulutnya kotor, matanya jelalatan, dan sama sekali tak mengenai tata krama. Memandang saja aku lebih suka mengupah orang lain."
Kali ini senyum Nyai Demang merekah sempurna. Menutup rasa ingin tahu hubungan antara Maha Singanada dan Putra Mahkota.
Bibit Beringin dan Bibit Rumput
GENDHUK TRI berhenti melangkah. "Bagaimana kalau kita menyelinap masuk ke dalam Keraton?"
"Biasanya kamu segera melakukan, tanpa minta pertimbangan. Apakah kuatir ditertawai karena ingin membuntuti Maha Singanada?"
Gendhuk Tri benar-benar tak bisa berkutik. Hati Nyai Demang welas juga. Iba melihat Gendhuk Tri yang hanya bisa menggaruk-garuk rambutnya. Walaupun mereka berdua tak pernah bisa akur, akan tetapi Nyai Demang bisa menempatkan diri sebagai kakak yang baik.
"Sebenarnya itu jalan yang terbaik. Hanya saja kini pasti penjagaan sangat kuat, dan kehadiran kita telah diketahui. Tak bisa sembarangan lagi. Lebih baik kita tunggu malam nanti. Kalau benar ada pesta penyambutan Ratu Ayu, segalanya toh bisa kita ketahui bersama."
Gendhuk Tri mengangguk. "Aku masih penasaran mengenai Singanada. Jangan ditertawakan. Aku nangis nanti."
"Saya sendiri penasaran."
"Tetapi Nyai...," suara Gendhuk Tri kembali meninggi, karena mengucap Nyai dan bukan memanggil dengan sebutan Kakangmbok yang lebih akrab, "...bisa menebak dia baru saja datang ke tanah Jawa. Memangnya berasal dari mana? Turkana?"
"Menurut perhitunganku, Maha Singanada baru saja kembali ke tanah kelahirannya ini. Ilmu yang dimainkan, walau banyak sekali perbedaannya, menunjukkan persamaan dasar dengan Kitab Bumi. Bahkan auman singa yang dipamerkan sebelum memunculkan jurus semacam Timinggila Kurda, jelas sekali sumbernya."
"Gerakanku juga bisa ditebak langsung dari Eyang Guru Raganata."
Nyai Demang menjadi bersungguh-sungguh. "Inilah yang menjadi kekuatiranku. Maha Singanada adalah orang dalam. Ksatria Keraton yang mendapat tempat. Nama yang dipakai, singa besar yang mengaum, tak bisa tidak menunjukkan rasa hormat dan hubungan dengan Baginda Sri Kertanegara! Di saat Baginda Raja memegang takhta, banyak senopati yang dikirim ke tlatah seberang. Di antaranya ke Pamalayu. Bisa jadi Maha Singanada adalah salah satu di antaranya."
"Mana mungkin? Dia masih kelihatan muda. Jauh berbeda dari Senopati Anabrang yang sudah kakek-kakek."
"Karena Senopati Anabrang ketika berangkat sudah menjadi senopati. Siapa tahu Maha Singanada masih dalam kandungan ibunya, atau setidaknya masih bayi? Kalau memang begitu, usianya baru sekitar 25 atau 30 tahun. "Memang masih sangat muda. Tapi tidak terlalu muda untuk menentukan pasangan."
"Aku tak tertarik lelaki yang kotor pandangannya dan kasar."
"Jangan kuatir, adik manis. Saya tidak akan merebutnya. Saya tahu diri sudah terlalu tua untuknya. Saya justru berpikir hal lain. Dilihat dari kemampuannya, Maha Singanada mampu menghadapi lawan-lawan yang bakal bermunculan."
"Tidak kalau menghadapi Upasara. Denganku saja belum tentu. Kenapa dirisaukan?"
"Karena kemampuannya yang luar biasa. Telah dibuktikan sendiri dalam menghadapi dua senopati tangguh dari Turkana. Bahwa sekarang kita mampu memecahkan barisan dan ilmu Lompat Turkana, tak terlalu luar biasa. Akan tetapi dalam sekejap sudah bisa membaca cara pemecahan ilmu Lompat Turkana, itu luar biasa. Nyatanya semua senopati Keraton tak mampu. Padahal kurang apa mereka itu?"
Gendhuk Tri membenarkan dalam hati. Mereka berada di salah satu sudut alun-alun yang terlindung bayangan pohon beringin. Sehingga tidak begitu menarik perhatian yang sedang berlatih menari.
"Kenapa menguatirkan?"
"Karena Maha Singanada, kalau tak salah, mengabdi kepada Putra Mahkota Bagus Kala Gemet."
"Kalau iya, di mana bagian yang perlu dikuatirkan?"
Nyai Demang memandang pohon beringin. Memegang akar yang menonjol di permukaan tanah. Tangan yang lain mencabut rumput. "Lihat ini. Yang satu sebesar kaki, yang lain sebesar rambut. Namanya sama, akar. Yang satu akar beringin dan yang lain akar rumput. Meskipun awalnya sama, akan tetapi perkembangannya jadi jauh berbeda. Putra Mahkota adalah akar beringin. Akan menjadi besar. Menjebol apa yang menghalangi. Sekarang ini saja sudah banyak tingkah. Dibantu oleh Maha Singanada, bisa makin menjadi-jadi. Didampingi Senopati Sora, yang mau tak mau bisa menuruti, merupakan bahaya besar. Direstui oleh Raja, putra mahkota yang sekarang ini benar-benar kekuatan raksasa yang akan mengguncang."
"Nyai kok tahu hal-hal semacam ini?"
"Saya dibesarkan dalam lingkungan sebagai abdi dalem, sebagai pegawai kecil. Suami saya demang, lurah dari dusun kecil. Mau tidak mau saya jadi mengerti. Karena justru keluarga kamilah yang pertama kali merasakan bencana. Seperti ketika Raja Muda Jayakatwang mengadakan kraman, memberontak. Suami saya yang terkena dan sangat menyedihkan harus mengakhiri hidupnya. Di satu pihak dianggap membantu pemberontak, sedang di pihak yang lain malah mendapat hukuman dari Keraton dan dari pemberontak." Suara Nyai Demang terdengar sedikit parau. Walau hanya sebentar.
Perasaan Gendhuk Tri tergugah. Untuk pertama kalinya ia sedikit mendengar latar belakang Nyai Demang. Selama ini yang diketahui hanyalah apa yang dilihat dan diduga. Tak pernah diduga bahwa kehidupan masa lalu Nyai Demang penuh dengan cobaan. Walau tidak tahu persis, Gendhuk Tri bisa memperkirakan bahwa keluarga Nyai Demang hancur menjelang pemberontakan dan juga pengkhianatan Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang.
Suara Nyai Demang kembali normal. "Semua sudah berlalu, tak perlu disesali. Suamiku, semoga Dewa Agung memberi tempat yang layak, demang yang setia, mengabdi sepenuhnya kepada Baginda Raja. Hanya kebetulan tanah di mana suamiku diserahi tugas untuk menjaga termasuk wilayah Gelang-Gelang. Jauh sebelum Raja Muda Jayakatwang berkhianat, suamiku sudah sowan ke Keraton dan mengisikkan rencana busuk itu. Tetapi laporan itu dianggap racun belaka. Persoalannya malah diserahkan kepada prajurit Gelang-Gelang. Kami sekeluarga dibunuh dengan cara yang paling menjijikkan. Mayat suamiku, anak-anakku, ditarik kuda sehingga berbentuk segumpal lumpur berdarah."
"Dan Nyai bisa selamat?"
Gendhuk Tri melihat air mata menggelinding di pipi Nyai Demang. Untuk pertama kalinya Gendhuk Tri melihat Nyai Demang berkaca-kaca matanya karena haru. Selama ini yang dilihatnya Nyai Demang selalu bergembira, selalu bersuka ria, dan mengobral senyuman.
"Saya selamat karena saya wanita yang hina. Para pembunuh itu tertarik tubuh saya. Maka saya tidak dibunuh. Saya diberi makanan enak, dan saya menyenangkan mereka. Adakah yang lebih hina daripada itu, adikku? Suami dibunuh, anak-anak disiksa, dan saya bersenang-suka-ria? Adakah yang lebih nista daripada itu? Tak ada yang mengampuni saya. Kecuali suami saya, Pak Demang yang setia, dan Dewa Yang Maha agung. Saya mempertahankan hidup untuk membalas dendam. Untuk mencuci kotoran yang dilekatkan dalam keluarga kami. Keluarga Demang. Ah, sudahlah."
"Maaf." Gendhuk Tri menunduk.. Air matanya jatuh. Tubuhnya gemetar.
Nyai Demang menyeka matanya. "Semua sudah berlalu. Saya mampu mempelajari ilmu silat serba sedikit, walau membaca sangat banyak. Saya bisa membalaskan dendam. Dan akan menghancurkan semua lelaki yang tergila-gila melihat tubuh saya. Tidak peduli siapa saja! Ah, tapi ternyata Dewa Yang Maha agung menunjukkan jalan yang lebih baik dan lebih lurus. Semua harus melewati liku-liku, sebelum menemukan apa yang dicari."
Daya Asmara Galih Kaliki
NYAI DEMANG menyandarkan punggungnya ke pohon. Yang muncul adalah bayangan masa silam, di mana ia berusaha bangkit dan mencoba meyakinkan siapa saja yang menjadi atasan suaminya, bahwa suaminya sesungguhnya tidak berdosa. Suaminya bukan pengkhianat. Suaminya abdi Singasari yang tulus dan bekti. Tak ada yang peduli. Yang dijumpai adalah senyum nakal, ajakan asmara berahi. Nyai Demang makin murka. Tapi tak bisa berbuat sesuatu. Selain melenyapkan dan menghancurkan lelaki yang tertarik padanya. Daya berahi asmara dipakai sebagai senjata untuk memikat dan menghancurkan lawan.
Sambil berlatih terus, agar lawan-lawan yang lebih perkasa bisa dikalahkan nantinya. Namun, kekuatannya tak sebanding dengan kemampuannya. Dengan mudah bisa membaca berbagai kitab, dengan tekun Nyai Demang bisa memaksa diri berlatih, akan tetapi hasilnya belum seperti yang dikehendaki. Makin banyak ksatria dan pendekar yang bisa mengalahkannya. Satu demi satu, Nyai Demang menghancurkan mereka. Tak peduli penduduk biasa, atau sentana, kerabat Keraton. Sampai suatu ketika Nyai Demang bertemu dengan seorang lelaki. Yang gagah, kasar, dan sedemikian tergila-gila padanya.
Lelaki itu kini tinggal kenangan. Lelaki itu adalah Galih Kaliki. Yang dengan tulus, dengan murni, mencintai, mengejarnya, dan mau berbuat apa saja asal bisa berdekatan dengan Nyai Demang. Daya asmara semacam ini tak pernah dirasakan. Nyai Demang tergetar. Ambruk semua gagasannya tentang membalas dendam, menyiksa lelaki yang menjamahnya. Justru oleh Galih Kaliki yang penampilannya sangat sederhana dan kasar. Itu adalah masa-masa yang membimbangkan.
Setiap kali Nyai Demang ingin memberi hati kepada Galih Kaliki, setiap kali pula Nyai Demang sadar akan sumpah dendamnya untuk membunuh lelaki yang menjamahnya. Setiap kali teringat suaminya, anak-anaknya yang terhina dan dikutuk. Maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah menghindar. Nyai Demang selalu menghindar dari Galih Kaliki. Setiap kali berdoa memohon petunjuk Dewa Yang Maha agung. Akankah ia menerima Galih Kaliki? Apakah penerimaan Galih Kaliki atau lelaki lain akan membuat arwah suaminya tidak tenteram?
Bagi Nyai Demang, selama hatinya belum bisa tenteram, ia akan tetap membalas dendamnya. Dengan cara apa saja. Nyai Demang berharap, semoga hatinya mendengar bisikan Dewa Yang Maha agung mengenai doanya. Sebab sebelum hatinya tenteram, ia tak bisa menerima kehadiran lelaki secara apa adanya. Itulah sebabnya Nyai Demang tak peduli harus membunuh raja, karena raja yang memerintah itu juga menghendaki tubuhnya. Walau memang percobaan itu gagal. Dan petunjuk itu mulai membisiki secara perlahan.
Saat-saat yang tenteram berada di Perguruan Awan. Saat itu Nyai Demang mulai tak begitu tersiksa kalau harus mengobrol dengan Galih Kaliki. Lalu datanglah berbagai peristiwa. Sehingga Galih Kaliki, lelaki yang pertama dijumpai memiliki daya asmara murni padanya, kembali ke asal hidupnya. Nyai Demang-lah yang paling sedih dan merana. Tapi semua itu berhasil disimpan baik-baik, jauh di lubuk hatinya yang paling tersembunyi. Tak ada yang mengetahui. Tak ada yang bertanya. Baru hari ini. Itu pun hanya sebagian yang bisa diceritakan kepada Gendhuk Tri secara tidak langsung.
"Maaf, Nyai."
Wajah Nyai Demang kembali tersenyum. Semua kebekuan dan perasaan yang tersimpan dalam hatinya lenyap secara seketika. Tak terbayangkan sedikit pun di wajah, maupun sinar matanya. "Tak apa. "Semua sudah berlalu."
"Apakah Kakang Upasara tahu hal ini?"
"Tidak kalau kamu tidak bercerita."
"Aku tak akan menceritakan, kalau Nyai tak mau."
Nyai Demang terdiam. Upasara adalah lelaki yang lain lagi dalam hidup Nyai Demang. Upasara Wulung secara terus terang memperlihatkan niatnya yang tertarik padanya. Saat itu Nyai Demang menyadari sedikit bergolak perasaannya, manakala mengetahui bahwa Upasara masih terlalu hijau dalam petualangan asmara. Boleh dikatakan terlalu hijau. Namun saat itu Nyai Demang sudah memutuskan untuk tidak menjadikan Upasara bagian dari korban pembalasan dendamnya. Ia merasa sayang kepada Upasara yang, rasa-rasanya, inilah salah satu putranya jika tumbuh besar. Andai tidak diseret kuda!
Pengalaman hidup dalam belantara daya asmara, membuat Nyai Demang sering tersenyum simpul melihat tingkah Gendhuk Tri. Di mata Nyai Demang, semua perasaan Gendhuk Tri yang disembunyikan bisa terbaca dengan jelas.
"Di mana Kakang Upasara sekarang?"
"Mana saya tahu?"
"Kan perginya bersama-sama."
"Memang. Akan tetapi begitu masuk ke Keraton, Upasara memilih tempat lain. Saya menuju balai pertemuan."
"Kakang Upasara menuju kaputren?"
"Bisa jadi." Kali ini, Nyai Demang menjawab dengan jujur. Tidak bermaksud mempermainkan perasaan Gendhuk Tri.
"Nyai, kenapa Kakang Upasara sangat setia kepada Gayatri yang sudah diperistri Raja?"
Nyai Demang meluruskan punggungnya. Tak lagi menempel ke pohon. "Nanti kamu akan mengetahui sendiri. Akan mengalami sendiri. Namun sesungguhnya inilah yang perlu kita pikirkan. Perhatian Adimas Upasara kepada Permaisuri Rajapatni sedemikian besar. Dan ini beralih ke putri-putrinya, Tunggadewi maupun Rajadewi. Padahal Putra Mahkota Kala Gemet justru tak menyukai kehadiran dua putri ini."
"Aku mendengar hal itu. Tetapi kenapa ia tidak menyukai?"
"Soal takhta."
"Takhta? Mana mungkin. Begini, Nyai, walaupun umur saya berdiam di Keraton ditambah, saya tetap akan bodoh mengenai masalah takhta. Akan tetapi semua tahu bahwa sudah pasti jatuh ke Kala Gemet. Untuk apa merisaukan adik-adiknya yang perempuan?"
"Ini ada hubungannya dengan Adimas Upasara."
Gendhuk Tri menepuk jidatnya sendiri. "Kakangmbok, kenapa tidak cerita sampai tuntas saja? Atau Kakangmbok ingin agar adikmu ini mati penasaran?"
Nyai Demang menggeleng. "Saya kira sudah tahu."
"Belum."
"Upasara sudah menjalin daya asmara dengan Permaisuri Rajapatni, jauh sebelum dipilih Raja. Tak ada alasan untuk menolak, karena jasa Upasara sangat besar. Nyatanya hal itu tak terjadi. Karena perhitungan para pendeta bahwa Gayatri harus menikah dengan Raja, agar kelak turunannya menjadi raja terbesar di tanah Jawa."
"Lalu apa hubungannya dengan Kakang Upasara?"
"Upasara tidak jadi hidup bersama."
"Itu saya tahu, Kakangmbok."
"Yang kamu tidak sadari adalah bahwa ini berarti turunan Gayatri-Raja, yang berarti Tunggadewi atau Rajadewi, akan menurunkan raja besar. Padahal putra mahkota yang sekarang ialah Bagus Kala Gemet. Dengan sendirinya Bagus Kala Gemet, putra mahkota yang resmi, tak menghendaki ada nama lain yang disangkutkan dengan kebesaran Keraton. Selain dirinya sendiri."
"Kalau begitu aku sekarang tahu. Dengan cara apa pun, Kala Gemet akan menghalangi Tunggadewi dan Rajadewi. Kalau perlu membunuhnya. Padahal sekarang Singanada berpihak padanya, dan Kakang Upasara pasti akan membela Gayatri. Iya, kan?"
Kunjungan Permaisuri Indreswari
GEGER di Kamandungan menunjukkan adanya pengaruh Senopati Halayudha yang luar biasa. Terlibatnya Mahapatih dan para senopati, juga digerakkan oleh perasaan yang sama. Bahwa Halayudha sampai membunuh dirinya karena menirukan apa yang diucapkan Ratu Ayu. Ratu Ayu-lah penyebabnya. Maka begitu Sariq menawarkan pengobatan, malah mengobarkan permusuhan. Ini semua di luar perhitungan Nyai Demang yang paling cerdik. Kalau ia membiarkan saja Halayudha menusuk perutnya, akan terbuka kedok Halayudha bahwa ia berpura-pura membunuh diri. Akan tetapi dengan meluruskan arah keris, Nyai Demang membuat sandiwara Halayudha menjadi sempurna!
Di dalam kamar kepatihan, semua dukun dan ahli pengobatan Keraton berkumpul. Para tabib seolah digerakkan oleh doa dan keinginan yang sama untuk menolong nyawa Halayudha. Penjagaan yang ketat juga menunjukkan bahwa Halayudha mendapat kehormatan besar. Secara berturut-turut para senopati serta Mahapatih memerlukan untuk menjenguk dan berdoa di samping Halayudha. Sedikit di luar dugaan bahwa menjelang senja itu Permaisuri Indreswari memerlukan berkunjung.
Bahwa seorang atasan menjenguk anak buahnya yang terluka, bukan sesuatu hal yang luar biasa. Kalau Mahapatih datang menjenguk, itu hal yang wajar. Walau tidak selalu terjadi. Akan tetapi kunjungan Permaisuri Indreswari bisa ditafsirkan lebih dalam. Bahwa hubungan Halayudha dengan kerabat Keraton terjalin dengan erat.
Permaisuri Indreswari adalah permaisuri utama. Dari lima istri Baginda yang berhak memakai gelar permaisuri, Permaisuri Indreswari adalah yang paling besar kekuasaannya secara resmi. Karena Permaisuri Indreswari yang dianggap permaisuri utama, yang keturunannya bakal menggantikan takhta Majapahit. Berbeda dengan para permaisuri yang lain yang berasal dari Keraton Singasari, Permaisuri Indreswari paling jarang berhubungan dengan orang luar. Tak pernah nampak akrab dengan para senopati. Walaupun keakraban itu hanya berupa percakapan langsung atau tidak langsung.
Sejak diboyong dari tanah Melayu, Permaisuri Indreswari boleh dikata selalu mengurung diri. Hanya bertemu dan melayani Baginda. Meskipun demikian, semua senopati dan para petinggi Keraton menyadari bahwa kekuatan Permaisuri Indreswari atas Baginda sangat terasakan. Boleh dikatakan apa yang menjadi keinginan Permaisuri Indreswari dikabulkan. Termasuk merias kamar-kamar kaputren dengan hiasan dari Melayu. Dan suasana ruangan yang berbeda dari kamar serta ruangan yang lain.
Tidak sedikit para dayang yang diturunkan pangkatnya atau tak bakal dipakai lagi karena dianggap tak bisa melayani Permaisuri Indreswari. Baik dalam menata meja perjamuan ataupun cara mereka berbisik-bisik. Puncak kekuatan dan pengaruh Permaisuri Indreswari ialah sewaktu Baginda mengumumkannya sebagai stri tinuheng pura, atau istri yang dituakan. Alias permaisuri utama!
Bagi sebagian besar pengikut setia Baginda pun, sabda ini termasuk mengejutkan. Sejak lama Baginda menganggap bahwa permaisuri utama adalah Tribhuana. Yang mengikuti Baginda sejak masih berada di tanah Tarik, sebelum akhirnya menggempur Raja Muda Jayakatwang. Ternyata bisa berubah dalam seketika. Dan Bagus Kala Gemet, putra Permaisuri Indreswari, sejak masih kanak-kanak juga sudah ditunjuk secara resmi sebagai pangeran pati, pangeran putra mahkota. Yang mendapat kehormatan, kebesaran, dan perlakuan sebagaimana Baginda. Hanya karena kesetiaan sebagai nilai utama, maka para senopati mengikuti dengan patuh semua sabda Baginda dengan segala titik dan koma tanpa kecuali.
Kehadiran Permaisuri Indreswari sama maknanya dengan kehadiran Baginda. Halayudha berusaha bangkit sambil meringis untuk menghaturkan sembah sewaktu Permaisuri Indreswari masuk ke kamarnya.bSatu tangan kiri bergerak pelan, maka semua tabib dan pengawal segera meninggalkan ruangan.
"Gusti Permaisuri sesembahan seluruh Majapahit, hamba merasa tak pantas Gusti kunjungi."
Permaisuri Indreswari memandang ke arah langit-langit kamar. "Apakah Paman sudah menyampaikan kepada Baginda?"
"Maaf, Gusti Permaisuri Utama, hamba belum sempat mengatakan secara langsung. Akan tetapi rasanya Baginda bisa mengerti bahwa Ratu Ayu Azeri Baijani lebih pantas untuk Gusti Bagus Kala Gemet."
"Aku melihat gelagat yang kurang baik. Kalau sampai Baginda menghendaki Ratu Ayu menjadi salah satu permaisurinya dan itu bisa terjadi, aku merasa sia-sia. Kutinggalkan segala kemewahan di negeri Melayu, hanya untuk berkurung di tempat yang susah kumengerti tata krama dan tata tuturnya. Aku sudah bertekad, bahwa hanya kalau aku bisa meneruskan takhta Melayu, aku mau berada di sini."
"Begitulah semestinya yang terjadi, Permaisuri Utama."
Permaisuri Indreswari menoleh ke arah lain. "Aku belum puas kalau Baginda nanti malam tak mengumumkan secara resmi bahwa Ratu Ayu diperuntukkan bagi putraku Kala Gemet."
Halayudha menghela napas. Perutnya naik-turun. Darah masih merembes dari bubuk obat-obatan. "Kalau perlu, Gusti Permaisuri Utama bisa memaksa dengan cara lain."
"Aku sedang memikirkan jalan itu."
"Maha Singanada mampu menyusup dan memaksa Ratu Ayu."
"Begitu? Bukankah cukup banyak para senopati yang mengawalnya?"
Halayudha berusaha tersenyum. Wajahnya kelihatan makin pucat. "Kalau tak salah, nanti malam ada perjamuan utama. Saat itu adalah saat yang terbaik bagi Maha Singanada untuk menerjang langsung dan menaklukkan Ratu Ayu. Kalau itu terjadi, hamba bisa memperhitungkan, bahwa sekalian senopati Turkana maupun senopati Keraton tak akan bisa turun tangan. Karena ada Baginda di sana."
"Akalmu boleh juga, Paman Halayudha. Kalau Singanada gagal mengalahkan Ratu Ayu?"
"Memang harus gagal. Pada saat terakhir, Maha Singanada harus gagal. Seolah gagal, dan saat itu Gusti Bagus Kala Gemet yang muncul. Menyelesaikan perkara. Kalau Maha Singanada bisa menguras seluruh tenaga Ratu Ayu dengan rangkaian jurus Nawagraha, atau jurus Siasat Sembilan Bintang, yang digabungkan dengan pengerahan tenaga Nawawidha, atau Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan, betapapun hebatnya ilmu dari Turkana, akan tersedot habis tenaganya. Maha Singanada bisa mengerti hal ini, Gusti Permaisuri Utama."
"Putraku juga bisa mengerti?"
"Rasanya kalau Senopati Sora tidak tanggung dalam memberikan ilmunya, dengan jurus-jurus Bramara Bekasakan atau Lebah Hantu, akan bisa menyiksa Ratu Ayu. Syukur-syukur kalau Senopati Sora membantu dengan tenaga dalam mendengungkan suara untuk mengacau perhatian, semua bisa berjalan dengan baik, Gusti Permaisuri Utama."
Permaisuri Indreswari bergerak perlahan. Memunggungi Halayudha. "Sora terlalu merasa dirinya ksatria. Mana mau ia membantu dengan cara seperti itu?"
"Hamba akan mencoba menghubungi. Kalau dikatakan bahwa ini saat yang tepat untuk menunjukkan keahlian putra asuhannya, rasanya bisa disetujui."
"Aku tahu, semua ini memerlukan usaha keras, Paman."
"Akan tetapi, hasilnya luar biasa. Semua mata di seluruh Keraton akan terbuka dan tak tergoyahkan lagi akan kehadiran Gusti Bagus Kala Gemet."
Permaisuri Indreswari berbalik. Memandang Halayudha. "Kalau Singanada menolak bertarung?"
Halayudha menggeleng lemah. "Anak muda itu tak bisa berpikir lebih panjang dari batang hidungnya. Bahkan di mana bayangannya berada, ia tak mengetahui. Memang ilmunya tinggi dan sangat berbahaya, akan tetapi ia hanya mengerti belajar ilmu silat. Selebihnya, asal makan dan kemewahan dipenuhi, tak ada persoalan."
"Paman cukup mengenalnya?"
"Maaf, Gusti Permaisuri Utama. Hamba tak mengenal secara pribadi. Akan tetapi bukankah semua senopati didikan Raja Singasari hanya kuda tunggang yang gagah berani tapi matanya tertutup?"
Menunggang Singa
PERMAISURI INDRESWARI mengangguk. Baru sekarang, setelah lebih lega, duduk di kursi. Tubuhnya tetap tegak. Pandangannya lurus. Halayudha hanya berani mencuri pandang sekelebatan. Dan mengagumi tanpa habis kelembutan kulit dan wajah ningrat Permaisuri Indreswari.
"Aku tak habis pikir, Paman. Baginda Raja Sri Kertanegara begitu dipuji dan dipuja sedemikian hebat. Padahal Baginda Raja itu pula yang menaklukkan negeri kami. Membuat seluruh tanah Melayu tunduk pada kakinya, dan aku sebagai putri boyongan, putri persembahan tanda takluk. Kesombongan Baginda Raja masih mengalir dalam darah putri-putrinya. Putri Tribhuana, Putri Gayatri."
"Hamba bisa merasakan kerisauan Permaisuri Utama. Walaupun resminya Gusti yang menjadi permaisuri utama, nyatanya keempat putri tinggalan Singasari masih berhak memakai gelar permaisuri, dan masih berada di ruang utama Keraton. Tidak berada di kebon atau ruangan lain di luar dinding Keraton. Akan tetapi rasanya, itu tak akan lama lagi."
Alis mata Permaisuri Indreswari bergerak. Terangkat. Lembut. "Katakan, Paman. Aku tak akan melupakan jasa Paman. Sampai kelak kemudian hari."
"Maha Singanada adalah singa yang tak berbeda dengan kuda. Bisa dikendarai sekehendak tuannya. Karena sifatnya yang tak bisa melihat jidat kelimis dan tungkai yang tersibak dari kain, Maha Singanada akan masuk perangkap yang kita buat. Kekuatan utama putri-putri tinggalan Singasari, sesungguhnya berada dalam diri Gayatri.... Maaf, Permaisuri Rajapatni."
Terdengar helaan napas berat. Wajah Permaisuri Indreswari kembali muram. Pandangannya menjadi kosong. "Aku tahu yang kamu maksudkan, Paman. Ramalan nujum para pendeta yang mengatakan bahwa keturunan Gayatri dan Baginda yang kelak akan menjadi raja besar di tanah Jawa dan wilayah di mana ia bertakhta. Aku tahu hal itu, Paman. Aku tahu walaupun Tribhuana sangat pandai mengatur dan menangkap serta mengungkap kejadian di Keraton, Baginda masih lebih suka menceritakan Gayatri. Dalam satu hal ini, rasanya aku tak bisa menerima sikap Baginda."
Suaranya makin lembut. Seolah kuatir terdengar oleh nyamuk. "Sebagai raja yang agung, Baginda bisa memilih seratus wanita lain yang lebih elok dalam segala hal daripada Gayatri."
Halayudha menunggu sampai suara Permaisuri Indreswari mereda nada sengitnya. Baru kemudian berkata perlahan. "Kita bisa menunggang singa, Gusti Permaisuri Utama. Maha Singanada akan menyusup ke dalam kaputren, dan akan menemui Gayatri. Sebaliknya Gayatri akan berusaha menerima. Karena pasti menyangka yang mengunjungi adalah Upasara Wulung."
"Hmmm... Bukankah Upasara Wulung sudah terkubur di bawah Keraton? Baginda mengatakan kepadaku."
"Sebelum melihat mayatnya atau meremukkan tengkoraknya, hamba tak bisa percaya. Akan tetapi kalaupun sudah terkubur, bukan alasan Gayatri untuk tidak menemui. Pada saat pertemuan itulah, Mahapatih yang akan bertindak. Menggerebek langsung. Dan Baginda tak mempunyai alasan untuk tidak mengusir ke luar puri Keraton. Bersama saudara-saudarinya."
Permaisuri Indreswari menelan ludah. Menenggelamkan gundah. "Ada untungnya juga membawa Singanada kemari. Benar. Semua perhitungan Paman benar adanya."
"Hamba tak pantas mendapat pujian Gusti Permaisuri Utama. Hamba hanya sekadar menjalankan tugas dan mengabdi kepada yang ditunjuk Dewa Yang Maha agung."
Permaisuri Indreswari berdiri. "Aku tak akan melupakan semua jasa baik, Paman. Dan aku belum pernah ingkar janji selama ini."
Permaisuri Indreswari mengangguk pendek, lalu melangkah ke luar. Segera meninggalkan ruangan diiringkan para dayang-dayang.
Halayudha memejamkan mata dan mengatur pernapasan. Ada yang bergolak di dalam perasaannya. Rasa muak karena sikap Permaisuri Indreswari. Yang membuat darahnya mendidih bagai bara cair. Bagai magma gunung berapi. Biar bagaimanapun, Halayudha merasa muak diperlakukan seenaknya oleh Permaisuri Indreswari. Ia merasa diperlakukan dengan kehinaan. Seolah abdi yang tak ada artinya.
Akan tetapi, Halayudha sudah terlatih lama menyembunyikan perasaan hatinya. Ia lebih suka memperhitungkan di kelak kemudian hari. Bahwa kalau semua rencananya berhasil, takhta dan kemenangan itu tak akan pernah jatuh ke tangan Permaisuri Indreswari atau Kala Gemet!
Ini semua hanya topangan sementara. Bagi Halayudha, membereskan Permaisuri Indreswari atau Kala Gemet sangat mudah. Lebih mudah daripada membalik telapak tangannya sendiri, yang untuk itu masih memerlukan tenaga. Karena sesungguhnya Permaisuri Indreswari tak mempunyai dukungan kekuatan apa-apa. Selain Baginda yang selama ini menganggapnya istimewa. Kalau Baginda sudah tersingkir, apa lagi yang dimiliki? Prajurit Keraton tidak. Pengawal pribadi pun tak seberapa yang akan tetap setia kepadanya...
BAGIAN 24 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 26 |
---|