Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 26
Kala Gemet tak terlalu merisaukan. Bagi Halayudha, putra mahkota yang satu ini tak lebih dari bocah yang bau kencur. Yang bisa disingkirkan kapan saja, dan bisa diperintah sekehendak hatinya. Kunci kekuatan mereka, selain restu Baginda, hanyalah pada diri Maha Singanada.
Maka Halayudha berusaha menarik Maha Singanada ke arahnya. Dengan cara sesama ksatria. Halayudha menyerahkan klika yang bertuliskan Kitab Bumi secara lengkap, ketika Maha Singanada datang kepadanya.
"Kitab Bumi, pusaka kitab yang ada, rasanya hanya pantas dimiliki dan disimpan Anakmas Maha Singanada."
Halayudha bisa mengerti, sebagai ksatria, sebagai pendekar yang selalu mencari ilmu, pemberian Kitab Bumi merupakan kehormatan yang tak ternilai harganya.
"Aku suka sekali, Paman Halayudha. Tapi kenapa diberikan? Sebaiknya Bantala Parwa ini disimpan di sini saja."
"Paman sudah tua, Anakmas Maha Singanada. Mana mungkin Paman menjaganya? Terimalah. Sedikit-banyak akan ada manfaatnya."
"Baik kalau begitu. Rasanya aku perlu mengucapkan terima kasih yang dalam. Aku berjanji akan mempelajari."
Sepersekian kejap, Halayudha merasa bahwa Maha Singanada selalu menunjukkan sikap kurang ajar. Tidak menyembah, tidak menghormat. "Rasa-rasanya ilmu Anakmas mempunyai sumber yang sama dengan Kitab Bumi!"
"Kata orang, begitu. Aku sendiri ingin membuktikan. Hanya kidungan di dalamnya terlalu sulit bagiku."
"Barangkali Paman bisa sedikit membantu."
"Itu juga baik."
"Tetapi entah sejauh mana bisa berarti. Karena apa yang Anakmas miliki, pelipatan tenaga dalam sembilan kali seperti dalam mengatur pernapasan Nawawidha, tak ada dalam Kitab Bumi. Ah, anggap saja ini pemberian yang sudah ketinggalan zaman."
Maha Singanada menggelengkan kepalanya. "Tak bisa dianggap begitu. Bantala Parwa adalah kitab babon semua persilatan di tanah Jawa. Eyang Sepuh bisa menciptakan jurus Tepukan Satu Tangan berasal dari sini. Pasti ada yang luar biasa. Aku justru heran, karena Kitab Bumi ini katanya memuat Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Bagaimana mungkin dihubungkan dengan ilmu silatku yang bernama Nawa Singanada?"
"Auman Sembilan Singa, siapa tahu justru dasar Kitab Bumi ini? Tapi aneh juga. Betul aneh, Anakmas. Ada Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Ada Delapan Jurus Penolak Bumi. Bagaimana bisa berhubungan dengan Auman Sembilan Singa?"
Dengan cara licin, Halayudha mencoba memancing dasar-dasar ilmu yang dimiliki Maha Singanada. Dan berhasil, karena Maha Singanada menceritakan apa adanya.
"Kukira tak ada yang aneh, Paman. Kitab segala kitab kanuragan di tanah Jawa bersumber kepada Kitab Bumi atau Bantala Parwa. Menurut cerita yang kudengar, kitab ini ditulis oleh Paman Sepuh Dodot Bintulu, bagian dasar-dasarnya yang merupakan ramuan segala aliran persilatan yang ada. Entah dari mana sumber yang sebenarnya, aku tak tahu. Walau dikatakan ditulis oleh Paman Sepuh, akan tetapi banyak persamaannya dengan kitab lain yang berada di negeri seberang."
"Rasanya tidak aneh, Anakmas. Dalam berbagai kitab tuntunan yang ada, kitab yang ditulis belakangan merupakan penyempurnaan atau perubahan kitab yang terdahulu."
"Bisa jadi. Akan tetapi buat apa dipusingkan? Siapa saja yang menuliskan atau tidak menuliskan, apa bedanya? Yang jelas, di zaman itu ada tiga ksatria sejati yang sebaya usianya, sama hebatnya, sama anehnya. Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengikuti secara apa adanya, dan Eyang Sepuh menciptakan jurus Tepukan Satu Tangan yang bergema sampai ke seluruh penjuru jagat dan dianggap puncak yang dahsyat. Satu lagi Mpu Raganata, yang mengabdi langsung kepada Baginda Raja Sri Kertanegara."
Halayudha mengangguk-angguk, seolah belum pernah mendengar. Malah pura-pura bertanya, "Eyang Sepuh, saya pernah mendengar nama besarnya yang ditinggalkan, yaitu Perguruan Awan. Mpu Raganata saya banyak mendengar, karena muridnya bertebaran di berbagai tempat. Akan tetapi siapa sebenarnya Paman Sepuh Dodot Bintulu?"
Darah Halayudha berhenti berdesir. Maha Singanada bisa saja menuding ke arahnya tanpa malu-malu dan meneriakkan: Itu kan guru Paman! Dengan adatnya yang begitu terbuka, hal itu bisa terjadi. Tapi ternyata Maha Singanada menjawab lain.
"Paman Sepuh selalu menyembunyikan diri. Menurut cerita, Paman Sepuh mempunyai dua murid yang mendurhakai. Nasibnya buruk. Arwahnya tak bakal tenteram sebelum muridnya mati berdiri."
"Ah!"
"Suatu hari aku akan membalaskan sakit hati dan dendam Paman Sepuh."
"Kenapa, Anakmas?"
"Karena Paman Sepuh guruku juga."
Kalau ada keris kedua yang menusuk lambungnya, Halayudha tak merasa nyeri seperti sekarang ini. "Oh, alangkah hebat guru Anakmas."
"Tiga-tiganya menjadi guruku. Lebih hebat lagi. Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata adalah guruku. Karena ketiga beliau yang mahasakti ini boleh dikatakan selalu bertemu, berlatih, dan melaporkan hasilnya kepada Baginda Raja Sri Kertanegara, yang kemudian disebarkan ke semua senopatinya, di mana pun berada. Di Perguruan Awan, di Ksatria Pingitan, serta... entah dengan cara bagaimana Paman Sepuh mengajarkan kepada muridnya."
"Dan ilmu Anakmas juga berasal dari situ?"
"Dari mana lagi kalau bukan dari kebesaran Baginda Raja yang memerintah Keraton Singasari yang digdaya?"
"Kalau begitu, kembali ke pertanyaan semula, Anakmas. Bagaimana Kitab Bumi yang memuat Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi sama dengan Auman Sembilan Singa? Tadi aku sudah bilang, tak ada yang aneh. Mpu Raganata yang sering melanglang buana, menjelaskan bahwa kalau Eyang Sepuh dikenal dengan Tepukan Satu Tangan, beliau dikenal dengan jurus-jurus Weruh Sadurunging Winarah, Tahu Sebelum Terjadi. Dasar-dasar ilmu ini sebenarnya sama. Sama anehnya. Kalau dibayangkan. Mana mungkin satu tangan menimbulkan suara lebih nyaring dibandingkan tepukan dua tangan? Mana mungkin mengetahui sesuatu sebelum terjadi? Tapi ya begitulah nyatanya. Dasar yang digunakan Eyang Sepuh ialah angka satu. Dasar yang digunakan Mpu Raganata adalah kosong. Sedangkan Auman Sembilan Singa, adalah angka sembilan. Aku tak menyebutkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang, akan tetapi mengatakan Sembilan ditambah Sembilan dikurangi Enam. Aku tak menyebutkan Delapan Jurus Penolak Bumi, melainkan Sembilan dikurangi Satu Jurus Penolak Bumi. Karena semua angka itu pada dasarnya sembilan. Dan hanya sembilan yang istimewa. Begitu aku melihat Lompat Turkana, aku segera mengetahui bahwa yang mereka mainkan adalah jurus-jurus Sembilan dikurangi Satu. Satu yang kurang itulah aku masuki, dan nyatanya langkah-langkah mereka buyar karenanya."
Halayudha cukup cerdas untuk menangkap apa yang dikatakan Maha Singanada. Ia bisa mengerti bahwa dasar patokan jalan pikiran yang dikatakan adalah sembilan, nawa. Dalam pengucapan sehari-hari pun, tak akan mengatakan sepuluh, akan tetapi sembilan ditambah satu. Ini menyangkut cara dan pola berpikir. Bahwa kemudian berkembang dengan segala bentuk dan pelaksanaan, sangat dimungkinkan sekali.
"Segala apa di jagat ini bersumber pada angka sembilan. Kalau Paman tanya, lubang tubuh manusia jumlahnya pasti sembilan. Kalau Paman bilang manusia hanya mempunyai lima indria, pancadriya, itu berarti belum semua Paman rasakan. Inilah yang biasa disebut cara mengatur pernapasan Nawawidha, seolah seperti pelipatan tenaga sembilan kali. Kalau belum mencapai pengerahan itu, berarti masih perlu berlatih diri."
Maha Singanada berdiri. "Aku ingin membaca dan mempelajari sebentar, Paman."
"Silakan, Anakmas. Tanpa itu pun, nanti malam Anakmas bakal bisa merobohkan Ratu Ayu, sesuai dengan rencana."
Maha Singanada mengangguk. Tidak merendahkan diri sama sekali.
"Bagaimana kalau Paman yang sudah hampir kembali ke alam baka ini meminjam Kitab Auman Sembilan Singa?"
Jawabannya adalah gelengan kepala. "Kitab itu hanya boleh dibaca oleh mereka yang setia kepada Baginda Raja Sri Kertanegara. Aku tak tahu Paman termasuk kelompok singa atau kambing. Aku tak mau meminjamkan."
Maha Singanada lalu meninggalkan begitu saja. Sungguh keterlaluan. Kecongkakan yang juga diperlihatkan oleh Permaisuri Indreswari!
Namun Halayudha mulai menyadari bahwa sebenarnya Maha Singanada tidak secongkak itu. Sikapnya lebih dipengaruhi bahwa segala sesuatu harus mencapai sembilan. Tak diperlukan basa-basi lagi. Tak perlu direndahkan. Tak mungkin. Memang begitulah Maha Singanada. Hanya saja, di dalam hati Halayudha merasa makin yakin bahwa Baginda Raja Sri Kertanegara memang raja yang sangat elok. Bisa menanamkan kesetiaan yang sangat luar biasa. Senopati Anabrang menjelajah tanah Melayu dan kembali dua puluh tahun kemudian. Nyatanya kesetiaannya tak bergeser seujung rambut. Sampai dengan meninggal dunia.
Ternyata itu bukan hanya pada satu dan dua orang saja. Boleh dikatakan semua ksatria, semua senopati yang hidup pada zaman itu atau mendengar namanya, tetap mengagungkan. Bukankah Raja Majapahit yang sekarang ini juga masih merasa perlu memakai nama gelar yang menunjukkan hubungan dengan Keraton Singasari?
Bagi Halayudha ini bisa dijadikan senjata untuk membuka pertentangan lebih luas lagi. Seperti yang selama ini telah dilakukan, akan tetapi belum sepenuhnya. Konflik dan pertarungan antara kekuasaan Raja Majapahit yang sekarang, bisa tetap dipanaskan hingga mendidih. Bukankah Baginda masih murka? Hanya karena dibandingkan dengan pengaruh Baginda Raja Sri Kertanegara? Bukankah Permaisuri Indreswari masih merasa dendam kepada tokoh yang sama?
Betapa hebat. Betapa agung. Betapa kuat gema kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara. Keraton Singasari boleh rata dengan tanah, boleh diubah namanya, boleh diubah bentuk dindingnya. Akan tetapi ternyata keperkasaannya justru tambah melegenda. Seluruh jagat raya mengakui kebesaran Baginda Raja yang mampu menahan payung Khan yang sangat perkasa. Hanya di Keraton Singasari, pasukan Tartar yang telah menaklukkan jagat, bisa disingkirkan.
Sedikit-banyak Halayudha mengetahui bahwa gempuran kepada pasukan Tartar dikarenakan mereka kurang begitu siaga. Akan tetapi biar bagaimanapun, ada akar yang kuat, yang menyebabkan seluruh ksatria bangkit dan bisa berkobar semangatnya. Itu hanya mungkin karena Baginda Raja Sri Kertanegara yang membangun dasar-dasar keperwiraan.
SEWAKTU sang surya benar-benar tenggelam di balik pegunungan di sebelah barat, Keraton bagai mendapatkan surya yang lain. Api penerangan berada di setiap sudut. Sitinggil berubah menjadi pentas yang luar biasa indahnya, dengan hiasan berbagai bunga dan dupa yang selalu mengepul. Sejak sore, suara gamelan telah terdengar bertalu-talu. Seluruh isi Keraton tanpa kecuali berkumpul di alun-alun. Sebagian sekadar ingin melihat Ratu Ayu Bawah Langit, sebagian kecil berharap dipilih sebagai suami.
Lebih dari itu semua, ini pesta yang pertama kali diadakan oleh Baginda. Sejak kemenangan yang gilang-gemilang, sejak Baginda naik takhta, rasanya baru kali inilah disiapkan pesta pora yang melibatkan seluruh penduduk. Sembilan ratus sembilan puluh sembilan penari Keraton siap mempersembahkan tarian pujaan sebagai tanda dimulainya penerimaan tamu negara.
Baginda sendiri sudah bersiaga sejak sore. Didampingi Permaisuri Indreswari. Mahapatih Nambi mengerahkan semua prajurit tanpa kecuali untuk memeriahkan pesta. Di antara lautan manusia di alun-alun, hanya Gendhuk Tri yang mengawasi sekeliling.
"Mana, Nyai?"
"Siapa?"
"Kakang Upasara! Siapa lagi?"
"Saya kira kakang yang lain."
"Nyai yang bersama Kakang Upasara. Harusnya Nyai tahu di mana dia."
"Jangan-jangan Upasara sengaja menyusup ke dalam kaputren untuk menemui Permaisuri Rajapatni."
Sebenarnya Nyai Demang hanya ingin menggoda Gendhuk Tri. Akan tetapi ia sendiri terjebak oleh pikirannya. Karena bukan tidak mungkin Upasara menemui Permaisuri Rajapatni. Karena hanya itu satu-satunya alasan Upasara tidak muncul.
"Kalau begitu, kita ke kaputren?"
"Mau apa ke sana? Malah mengganggu."
"Jangan-jangan Kakang berada dalam bahaya."
"Siapa yang bisa membahayakan kakangmu sekarang ini?"
"Nyai sudah kenal akal licik Halayudha yang telah karatan itu. Manusia culas itu selalu mempunyai rencana busuk."
Kali ini Gendhuk Tri yang terseret jalan pikirannya. Sehingga makin cemas. Dan menggandeng Nyai Demang untuk selalu berpindah tempat, kalau-kalau bisa menemui Upasara! Sampai tidak sadar bahwa upacara sudah dimulai. Rombongan Ratu Ayu Bawah Langit sudah mulai masuk ke dalam ruang pasamuan agung, diiringi para senopatinya, bersamaan dengan dimulainya para penari.
Ketika rombongan Ratu Ayu mulai mengambil tempat duduk, rombongan Putra Mahkota memasuki ruang dari arah lain. Kalau tadi Gendhuk Tri tak berkedip melihat Ratu Ayu, yang seakan tercium bau harum tubuhnya, kini pandangannya beralih ke Maha Singanada. Yang nampak mengiringi Bagus Kala Gemet dan rombongannya. Gagah perkasa, akan tetapi nampak canggung dan kikuk dengan upacara. Atau mengesankan tidak biasa berada di bawah penerangan yang sangat terang.
"Sudah melihat belum?"
"Ayu memang ayu. Tapi apa istimewanya? Sulaman dan pakaiannya juga begitu-begitu saja. Begitu saja berani mengaku Ratu Ayu Bawah Langit."
"Sssttt. Bukan dia yang saya maksudkan."
"Itu ada. Rambutnya tetap diurai seperti tak sempat digelung." Nyai Demang berkata perlahan. Menggenggam tangan Gendhuk Tri lebih keras.
"Kamu mencari Upasara atau Singanada?"
Wajah Gendhuk Tri menjadi merah padam karenanya. Gerakannya menjadi kikuk dan serbasalah. Karena bingungnya, Gendhuk Tri berjongkok. Untung sekali tingkah Gendhuk Tri tidak menjadi pusat perhatian. Karena ketika itu seluruh penduduk yang berada di alun-alun membungkukkan tubuh hingga melengkung setelah menyembah dalam-dalam. Juga para prajurit dan semua yang hadir.
Saat Baginda memasuki pasamuan dengan segala kebesarannya, Gendhuk Tri tak sempat melihat jalannya upacara. Kalaupun mencoba melihat, juga hanya melihat titik-titik kecil yang bergerak lambat. Juga tak mendengar apa yang sedang dibicarakan.
"Dengan segala hormat, Baginda Kertarajasa Jayawardhana, penguasa tunggal, sesembahan seluruh tanah Jawa, Raja Keraton Majapahit yang agung, mengucapkan selamat kepada tetamu, Yang Mulia Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani dari negeri Turkana yang agung." Suara Mahapatih Nambi terdengar lantang berkumandang.
Senopati Sariq ganti mengucapkan ungkapan rasa terima kasih dengan suara terputus, seperti menghafalkan.. Gendhuk Tri berusaha mendongak sedikit. Tetap tak bisa melihat jelas. Hanya melihat dua kursi, yang ditempatkan agak berjauhan. Selebihnya, seluruhnya, duduk bersila di lantai.
"Sekali lagi, kami mengucapkan rasa terima kasih yang agung kepada Baginda Kertarajasa Jayawardhana atas sambutan yang penuh dengan kehormatan ini."
"Maaf, Ratu Ayu Bawah Langit, hanya ini yang bisa kami sampaikan. Untuk segala kekurangan yang membuat Ratu Ayu Bawah Langit yang mulia kecewa, kami meminta maaf."
"Lebih dari Baginda, seharusnya kami yang meminta ampunan Baginda, karena kejadian tadi siang."
"Melupakan masa lalu yang buruk adalah lebih baik daripada menatap masa depan yang bersahabat."
"Terima kasih, Baginda."
Lalu hening kembali. Lama. Sunyi.
Gendhuk Tri menjadi tidak sabar. "Nyai, untuk apa sebenarnya kita di sini?"
"Kamu yang mengajak."
"Lebih baik kita pergi."
Nyai Demang mengangguk. Mereka berdua makin menepi, ke arah pinggir alun-alun dan menjauh. Hanya kemudian langkah mereka tertahan, karena melihat bayangan berkelebat ke arah sitinggil. Itulah bayangan Maha Singanada. Yang segera disusul bayangan kedua. Memancarkan bau harum. Harum, lembut, seakan mewarnai seluruh alun-alun. Bayangan Ratu Ayu Bawah Langit. Keduanya berdiri berhadapan. Yang satu gagah dengan rambut terurai dan tangan terentang, sedang yang lainnya bertubuh lembut, sedikit jangkung, dengan bibir menyungging senyuman. Kedelapan senopati Turkana berjaga di satu sisi, sementara senopati Keraton juga duduk membentuk lingkaran di sisi lainnya.
"Saya telah menerima undangan dan tantangan Maha Singanada. Karena ini tantangan dari Keraton, saya tak bisa mewakilkan kepada senopati saya. Harap Maha Singanada bisa mengerti." Suaranya lembut mengalun bagai kidungan.
Sebaliknya Maha Singanada bersuara lantang, "Aku tidak tahu siapa yang mengundang dan bagaimana tata kramanya. Tapi itu juga tak ada gunanya. Ratu Ayu, mulailah."
Maha Singanada sedikit membungkukkan badan, lalu mengambil kuda-kuda. Kedua kakinya mengangkang sedikit.
"Saya telah mendengar bahwa barisan Lompat Turkana bisa dipatahkan oleh Maha Singanada. Kalau saya boleh tahu, ilmu apa yang dimainkan?"
Maha Singanada nampak tidak sabar. "Ratu Ayu akan segera mengetahui. Yang jelas inilah ilmu yang lebih jempolan dari Tathagati. Ilmu Budha Wanita yang Ratu Ayu bawa dari jauh, akan kulihat sampai di mana keampuhannya."
Ratu Ayu merangkapkan kedua tangannya. "Sungguh luas dan jauh pandangan Maha Singanada. Baru sekarang ini saya mendengar ada yang mengatakan ilmu Tathagati."
Dari tangan yang terangkap itu mendadak tercium bau harum yang keras, mengentak dan merampas semua udara di sekeliling. Beberapa senopati yang berada di barisan depan bisa merasakan bau harum yang sangat tajam menusuk.
Maha Singanada menunduk sekali lagi, dan kantar yang terselip di pinggangnya dicabut.
Nyai Demang menggigit bibirnya. Tanda berpikir keras. Apa benar ilmu yang dimiliki Ratu Ayu Bawah Langit adalah Tathagati, seperti yang dikatakan Maha Singanada?
PERHATIAN Nyai Demang sepenuhnya tertuju ke ruang tengah sitinggil. Hingga tidak menyadari bahwa rombongan Putra Mahkota, yang diiringkan dua belas pengawal pribadi serta Senopati Sora mulai mengambil tempat di sudut timur.
Halayudha yang menunduk di bagian kaki Baginda sedikit melirik ke arah sitinggil. Suasana senyap untuk sekejap. Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Ia pernah mendengar keampuhan Tathagati. Pengetahuannya yang luas, hubungannya dengan senopati Tartar yang utama, serta Kiai Sambartaka, mengembalikan ingatannya. Yang tak akan hilang, bila itu menyangkut ilmu silat.
Dalam kitab yang diberikan kepada Upasara Wulung sebagai hadiah dulu itu, ada disebut-sebut ilmu Tathagati. Salah satu bagian yang diuraikan dalam kitab Jalan Budha. Bagian tersendiri yang menyebutkan bahwa ada aliran sesat yang disebut Tathagati, yang juga berarti Budha Wanita. Nyai Demang tertarik pada dua hal.
Pertama, karena ilmu itu tak disinggung sedikit pun dalam Kitab Bumi. Kedua, menyebut adanya wanita. Peranan kaum wanita yang justru sangat dibanggakan oleh Ratu Ayu. Sejauh Nyai Demang bisa mengingat, Tathagati boleh dikatakan mempunyai sumber yang sama dengan Jalan Budha, hanya saja mempunyai perubahan dasar yang mencolok.
Dalam Tathagati, gerakan-gerakan untuk melatih pernapasan dilatih sedemikian rupa sehingga paling cocok dimainkan oleh wanita. Yang menjadi masalah ialah dengan demikian menganggap atau mengubah sang Budha, sebagai wanita. Ini yang dianggap jalan yang sesat.
Sehingga Tathagati disingkirkan dari ajaran yang resmi. Dan semua murid perguruan resmi dilarang keras untuk mempelajari. Akan tetapi, sebagai ajaran, tak sepenuhnya bisa lenyap. Banyak wanita yang secara diam-diam mempelajari. Walau tantangannya berat.
Nyai Demang tak mempunyai perbendaharaan lain mengenai Tathagati, karena tak banyak disebut-sebut. Maka termasuk menakjubkan kalau sekali bertemu saja, Maha Singanada mampu mengungkapkan keunggulan Ratu Ayu. Padahal, menurut perhitungan Nyai Demang, tanda pertama yang bisa dikenali hanyalah dari bau harum tubuh Ratu Ayu. Yang memancar dan memenuhi seluruh ruang.
Akan tetapi hal itu bukan merupakan pertanda suatu tenaga dalam yang luar biasa. Cara memancarkan bau harum memang karena tenaga dalam, akan tetapi sembarang tenaga dalam rasanya bisa untuk melontarkan bau harum. Tak perlu pernapasan Tathagati. Sedangkan bau harum itu sendiri, berasal dari ramuan wewangian yang dipakai oleh Ratu Ayu. Karena selama mandi dengan uap air panas dan kemudian diganti dengan uap air dingin, ada ramuan khusus. Jadi dengan cara bagaimana Maha Singanada mengenali? Agaknya ini pula yang tersirat dari pandangan Ratu Ayu.
"Senopati Majapahit yang perkasa, tolong katakan dari mana Senopati bisa mengenali Tathagati?"
"Aku bukan senopati Majapahit. Aku prajurit turunan Keraton Singasari. Mengenali langkah Ratu Ayu dengan gerakan Tathagata Pratiwimba, siapa lagi yang bisa melakukan selain pengikut ajaran Tathagati? Apa susahnya mengenali Tarian Penjemput Maut?"
Ratu Ayu mendongak. Sebaliknya Nyai Demang menunduk. Mata Bagus Kala Gemet memandangi Ratu Ayu sepuasnya. Sedemikian terkesima, sehingga lupa diri bahwa ia adalah putra mahkota yang seharusnya menjaga tata krama. Gendhuk Tri menjadi sangat sebal. Namun sempat juga bercekat. Tathagata Pratiwimba, dalam arti harfiah adalah arca Budha. Atau patung. Akan tetapi Singanada menyebutkan sebagai Tarian Penjemput Maut.
Seperti juga Nyai Demang, isi kepala Gendhuk Tri seperti terkelupas. Sebagai murid Jagaddhita yang merupakan murid langsung Mpu Raganata, keunggulan utama Gendhuk Tri justru pada gerakan-gerakan ilmu silat yang didasarkan dari gerakan tarian. Dengan segala macam kembangan atau variasinya, Gendhuk Tri boleh dikatakan mengenai cabang-cabang dan ranting-ranting yang paling kecil sekalipun. Boleh dikata segala jurus yang mengambil dasar tarian bisa diketahui.
Tetapi nama Tathagata Pratiwimba belum pernah dikenali. Baru sekarang didengar. Ini yang membuat Gendhuk Tri makin mengagumi Singanada. Dalam satu gerakan tangannya, Singanada bisa menebak berasal dari ajaran Mpu Raganata! Kini hanya dengan mengenali gerakan kaki, Singanada juga bisa menebak dengan jitu!
Padahal Gendhuk Tri tak melihat sedikit pun keistimewaan gerakan Ratu Ayu. Sewaktu meloncat atau berlari dari ruang pertemuan utama menuju sitinggil, gerakannya tak berbeda dari yang lain. Malah boleh dikatakan gerakannya sangat kaku. Kedua bahu Ratu Ayu terkulai. Lurus. Kakinya naik-turun, sungguh tidak luwes sama sekali sebagai gerakan wanita, apalagi ratu!
Untuk yang satu ini Gendhuk Tri mengenali dengan baik. Ia sendiri berangkat dari dasar tarian yang oleh Mpu Raganata sudah diubah sedemikian rupa. Sehingga boleh dikatakan melanggar berbagai aturan tarian yang ada. Hanya pada jurus-jurus Gendhuk Tri, gerakan tangan bisa melewati bahu. Sesuatu yang tak ada dalam tarian!
Hanya jurus-jurus yang diajarkan oleh Jagaddhita yang mengajarkan gerakan kaki mengangkang lebih lebar! Sesuatu yang menjadi pantangan dalam tarian. Jenis yang berbeda dari dasar utama itu diketahui Gendhuk Tri dengan baik. Kini matanya baru terbuka melihat gerakan Ratu Ayu.
"Pandangan yang begitu tajam, penyebutan nama yang begitu tepat. Maha Singanada, apakah kita perlu melanjutkan dengan pertarungan?"
"Akan lebih baik begitu, Ratu Ayu. Adakalanya tarian yang dikatakan bisa menjemput maut itu tak ubahnya dengan gerakan kaku!"
Sret! Sret!
Dua kibasan tangan Ratu Ayu sangat tiba-tiba dan membuat obor penerangan seluruh sitinggil tergetar oleh angin. Singanada menggerakkan kantar-nya naik-turun dengan sangat cepat, sementara tubuhnya berkelit ke berbagai arah, sebelum akhirnya kembali ke tempat semula. Padahal gerakan Ratu Ayu sangat sederhana. Kaku.
Namun setiap satu gerakan, betapapun pendek dan sederhana, membuat Singanada bergerak ke segenap penjuru medan yang terkena pengaruh getaran Ratu Ayu. Gendhuk Tri tak bisa menahan keringat tubuhnya. Tangannya mencekal Nyai Demang erat-erat.
"Arca Budha."
Nyai Demang tak segera bisa menangkap apa yang dikatakan Gendhuk Tri.
Sret!
Tangan kiri Ratu Ayu kembali terangkat lurus ke depan, seperti menuding dengan telapak membuka kaku. Singanada meloncat cepat ke arah kiri, membuang tubuhnya, dan begitu kakinya menyentuh lantai, langsung melayang kembali ke tengah. Saat itu Ratu Ayu sudah bergerak maju. Maju lurus ke depan. Dan mendadak berbalik. Membiarkan punggungnya menghadap ke arah Singanada. Tangan kanannya justru menolak ke arah depan. Tidak ke arah Singanada yang berada di belakangnya, sedang meluncur turun.
Anehnya, Singanada membuang tubuhnya ke samping kanan. Tangan kanan yang memegang kantar dipakai sebagai titian untuk mengambil tenaga, dan tubuhnya menggeliat ke arah tengah. Berusaha merebut lantai di mana Ratu Ayu berpijak. Kedudukan kaki yang lebih diutamakan. Sehingga Singanada mengambil tenaga loncatan dengan kakinya.
Gendhuk Tri menggigil. Inilah gerakan yang bisa dimengerti sebagai gerakan Arca Budha. Gerakan kaku, mirip dengan gerakan arca, mirip dengan patung, mirip dengan gerakan boneka. Pantas saja Singanada meledek dengan sebutan kaku atau gerakan siput hitam yang hidup di pinggir sungai. Berlenggok kaku.
Namun jelas sekali, setiap gerakan yang paling kaku dan perlahan pun, membuat Singanada jungkir-balik. Antara membuang tubuh, menghindar, dan berusaha mencari tempat pijakan. Dan ini semua tidak dilakukan dengan mudah. Karena Singanada kelihatan menjadi sangat tegang, wajahnya menjadi keras, kaku, tanpa perasaan. Bertolak belakang dengan penampilannya yang serba jemawa.
NYAI Demang bisa merasakan genggaman Gendhuk Tri yang mengeras dengan mendadak. Juga mengetahui bahwa ujung kaki Gendhuk Tri menyaruk ke dalam tanah. Seakan melampiaskan tenaga dalam yang bergolak. Sesuatu yang bahkan tak dilakukan saat mengikuti pertarungan habis-habisan di Trowulan. Hal ini sebenarnya bisa dimengerti.
Di Trowulan, meskipun itu pertarungan maha raksasa tokoh-tokoh jagat, akan tetapi Gendhuk Tri tak bisa sepenuhnya mengikuti. Bahkan tidak bisa melihat jelas. Secara emosi, tak ada yang membakar hatinya. Satu-satunya perasaan yang ada, hanyalah memasrahkan diri karena tak kuasa. Berbeda dari sekarang ini. Gaya permainan yang ditunjuk oleh Ratu Ayu bisa diikuti dengan baik.
Seperti ketika kedua kaki Singanada yang berusaha merebut kedudukan kaki Ratu Ayu. Dengan guntingan dan sekaligus tendangan. Ratu Ayu mengangkat kaki sebelah, seolah memberikan tempat pijakan. Pada saat yang sama, kakinya turun, siap menindih kaki Singanada!
Saat itu tubuhnya berbalik. Dua tangan terentang kaku. Lalu terpatah di bagian siku. Menempeleng pipi Singanada. Yang justru sedang meluncur. Namun Singanada tidak meneruskan niatnya menempatkan kaki di lantai yang diinjak oleh Ratu Ayu. Sebaliknya ia mengubah gerakan di tengah udara di saat tubuhnya meluncur dengan geliatan dan diikuti oleh auman singa.
Rambutnya yang terurai menyapu lantai, seakan dua kaki yang menyangga. Sebelum tubuhnya membelit Ratu Ayu. Dan melesat ke atas. Ke arah langit-langit sitinggil. Sitinggil adalah bangunan yang tinggi. Langit-langitnya mencapai tiga tombak di ruang tengah. Sehingga Singanada bisa melesat dan seolah burung yang menguasai udara. Ratu Ayu mengeluarkan seruan dingin. Tubuhnya terpatah, pantatnya jatuh mengenai lantai dan dengan seketika melesat ke angkasa. Menyusul tubuh Singanada yang juga masih meluncur ke atas!
Gendhuk Tri mengeluarkan seruan tertahan. Juga hampir seisi sitinggil. Ketika itulah Nyai Demang mendengar suara Upasara Wulung! Nada suaranya yang lembut dan sangat melindungi terdengar di antara helaan napasnya.
"Hati-hati, Putri Junjungan... Kita kembali ke kaputren saja."
Asal suara dari bagian sisi selatan, yang punggungnya mengarah ke Keraton. Dari seorang lelaki yang membungkuk seperti prajurit jaga, dengan kumis sangat tebal menutupi separuh wajahnya. Itu pasti Upasara Wulung! Hanya saja tidak masuk akal kalau Upasara Wulung harus menyamar seperti itu. Sungguh tak bisa diperkirakan. Upasara Wulung bukan orang yang begitu saja menyembunyikan dirinya.
Tapi mengingat bahwa yang diperingatkan dan sekaligus dilindungi disebut dengan "Putri Junjungan", Nyai Demang bisa menebak tepat ke arah dua bocah yang berpakaian terlalu besar bagi tubuh mereka. Dengan mudah Nyai Demang mengetahui bahwa itu pasti Tunggadewi dan Rajadewi. Dua putri Permaisuri Rajapatni! Peringatan Upasara pada dua "Putri Junjungan" mempunyai jangkauan yang luas.
Karena serentak dengan itu, beberapa obor penerangan di sitinggil menjadi padam. Hanya kesiuran angin terasakan di mana-mana. Ratu Ayu menyusul melesat ke angkasa, menyusul Singanada yang juga masih melesat naik. Ini sekaligus menandakan bahwa cara meringankan tubuhnya jauh di atas Singanada.
Nyai Demang tak memperkirakan, bahwa ini juga merupakan bagian jurus Lompat Turkana! Kemampuan utama memindahkan kekuatan, menggeser apa yang ada di depannya menjadi tenaganya sendiri. Seperti yang dilakukan Ratu Ayu kala mencoba menangkap pendengaran jarak jauh. Dengan cara melipat jarak, meloncati barang yang ada di depannya. Seperti yang dipamerkan oleh Senopati Sariq dan senopati Turkana lainnya dalam melabrak senopati Keraton.
Hanya bedanya, Ratu Ayu memainkan dengan tegak lurus! Tidak mendatar. Tubuh Singanada yang dipakai sebagai jembatan meringkas jarak. Sehingga dengan mudah bisa melalui. Singanada tidak membiarkan begitu saja. Begitu merasa ada tenaga yang melalui, dengan segera tubuhnya merebah, tengadah ke arah langit-langit, dan satu tangan meraih pinggang Ratu Ayu. Dengan menekuk dan mengimpit, Singanada berusaha mematahkan Lompat Lurus Turkana.
Gerakan sama yang dipakai ketika mematahkan rangkaian serangan Senopati Sariq. Dengan menempel erat, tak ada tenaga yang bisa "dipinjam" lawan. Sebab, kalau Ratu Ayu berhasil melesat lebih tinggi dan berada di atas Singanada, singa Singasari akan berada di bawah angin. Dalam arti lahiriah maupun dalam arti tersirat.
Melihat lawan bisa menebak dan memotong rencananya, Ratu Ayu menggeliatkan tubuhnya, seakan babut yang dikebutkan. Seperti permadani yang dikedut agar debu dan kotoran yang melekat musnah terguncang. Tenaga ini yang menggagalkan usaha Singanada. Dan sekaligus memadamkan beberapa obor penerangan. Yang telah terbaca oleh Upasara.
Nyai Demang benar-benar terpesona. Sesaat sebelum obor padam dan suasana menjadi gelap, Nyai Demang sempat melontarkan pandangan kagum ke arah Upasara, yang dibalas dengan sorot mata kikuk. Tentu saja Upasara mengetahui keberadaan Nyai Demang dan Gendhuk Tri. Bahkan bisa mendengar sebagian percakapan mereka. Hanya saja Upasara tak bisa memberitahukan dirinya. Kekikukan pandangan Upasara dalam sekejap bisa dimengerti oleh Nyai Demang.
Walau tidak sepenuhnya tahu bagaimana ceritanya Upasara sampai menjadi pengantar Tunggadewi dan Rajadewi, akan tetapi Nyai Demang bisa memaklumi. Yang barangkali tak terpahami oleh Upasara sendiri! Ia tak menyangka akan berada di sitinggil dengan cara menyamar memakai kumis palsu setebal ini. Sewaktu bersama Nyai Demang menyusup ke dalam Keraton, Upasara berniat mencari Halayudha. Nyai Demang mengisyaratkan bahwa Halayudha sedang berada di ruang pasamuan alit, atau ruang sidang yang lebih kecil dibandingkan dengan wisma pasamuan agung.
Saat itu Nyai Demang menyamar sebagai dayang, dan ikut menyelinap. Sedangkan Upasara, karena merasa tak enak menyelundup, lebih suka mengundurkan diri. Niatannya adalah ingin keluar dari Keraton. Akan tetapi saat itu terbersit dalam pikirannya untuk mengetahui keadaan Dewa Maut. Dengan harapan bisa membujuknya untuk keluar, dan atau membebaskan jika terjadi sesuatu yang membahayakan jiwanya. Salah satu jalan yang diketahui ialah melalui sumur kering di dekat kaputren.
Tak begitu mudah menemukan, karena sumur kering itu telah ditutup oleh Halayudha. Dan selama berada di kaputren, Upasara mendengar suara yang tak asing lagi bagi telinganya. Suara Tunggadewi dan Rajadewi yang meratap. Upasara lebih kaget lagi karena ucapan itu ditujukan ke arah dirinya.
"Demit... Paman Demit yang menguasai alam lembut, kami minta perkenanmu agar bisa turut menyaksikan Ratu Ayu. Paman Demit, maukah kamu mengabulkan permintaan kami?"
Benar adanya. Tunggadewi dan Rajadewi tengah bersila di depan pohon sawo kecik. Seperti ketika Upasara bersembunyi, menangkap kupu-kupu dan burung. Dalam alam pikiran Rajadewi maupun Tunggadewi, demit atau makhluk halus itu benar-benar ada, dan akan menolong mereka!
Upasara menjadi bimbang. Kalau ia muncul, bisa menjadi malapetaka. Sekali saja diketahui oleh prajurit, cerita dan kisah hidup Permaisuri Rajapatni akan berubah menjadi kenistaan yang tak tertanggungkan. Akan tetapi Upasara tak bisa berdiam diri. Hatinya menjadi iba. Bahkan kalau itu bukan putri-putri Gayatri, ia tetap tergerak untuk menolong.
"Paman Demit... nanti malam Ratu Ayu akan muncul. Rakyat kecil pun bisa menyaksikan keayuan yang memadamkan sinar wajah seluruh bidadari, sedangkan kami tak boleh menyaksikan. Paman Demit, tolonglah kami."
UPASARA tak bisa berbuat lain. "Baik, baik. Paman Demit akan mengajak kalian menengok Ratu Ayu. Akan tetapi kalian berdua harus minta izin lebih dulu."
"Wooo, bagaimana mungkin? Paman Demit tahu bahwa Kakangmas Pangeran Pati tak memperbolehkan kami, bahkan kemari sekalipun."
Upasara merasa dirinya sangat tolol. Ia menyarankan meminta izin maksudnya memberitahu Permaisuri Rajapatni. Akan tetapi Tunggadewi menangkapnya sebagai izin dari Pangeran Pati Kala Gemet. Pasti tak akan diberikan! Karena mengingat Nyai Demang, Upasara menyarankan agar kedua putri mengenakan kain yang biasa dipakai prajurit, serta ikat kepala untuk menutup rambut. Ia sendiri kebingungan untuk menyamar.
"Begini, Paman Demit?"
"Ya," jawab Upasara di balik pohon. "Hanya sekarang Paman Demit ini perlu juga menyamar. Kalau tidak, akan sangat menakutkan."
Sebagai demit, Upasara mengetahui bahwa bayangan semua orang mengenai hantu pastilah berwajah seram, menakutkan.
"Tutupi wajah Paman Demit dengan kumis saja."
Dengan polosnya Tunggadewi mengambil cundrik, atau keris kecil, dan memotong sebagian rambutnya! Dan potongan rambut itulah yang dipakai Upasara sebagai kumis. Kalau itu terlalu besar dan tak keruan bentuknya, bisa dimengerti.
Setelah surya tenggelam, Upasara yang menjadi Paman Demit menjemput Tunggadewi dan Rajadewi. Dalam gelap mereka berdua tak begitu mengenali dinding kaputren. Bagi Tunggadewi dan Rajadewi, mereka merasa bahwa demit bisa berbuat apa saja. Termasuk terbang. Jadi tidak begitu hirau akan kehebatan Upasara. Dan tidak bertanya-tanya sesuai dengan pesan Upasara.
Dari kaputren, Upasara justru menyusur lewat dinding atas, meloncat turun di sebelah luar. Kemudian membawa ke arah sitinggil. Menempatkan diri di barisan tempat duduk para putra-wayah, atau anak-cucu Keraton. Kehadiran mereka berdua tak menarik perhatian, karena mereka tampil sebagai anak-anak Keraton bagian ksatrian. Kalau tetap sebagai anak perempuan, bisa menimbulkan tanda tanya besar.
Kehadiran Upasara sendiri tak banyak menarik perhatian. Karena biasanya para putra-wayah selalu dikawal. Sejak pemunculan Ratu Ayu, Tunggadewi dan Rajadewi selalu mencuri pandang, kadang secara terang-terangan. Keberanian baru surut sewaktu rombongan Putra Mahkota juga berpindah ke sitinggil. Ketika itulah Upasara merasa bahwa telah terjadi perkembangan yang bisa membahayakan. Namun ajakan untuk segera berlalu tak digubris. Tunggadewi ingin melihat Ratu Ayu lebih jelas.
Karena tak bisa memaksa, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan Upasara adalah berusaha melindungi sebisa mungkin. Dengan gerakan dan kata-kata yang cukup keras. Yang membuat Nyai Demang mengenalinya.
Dalam kegelapan, Singanada merasa tubuhnya terlempar kencang dan sekaligus terbanting. Kena tindih kebutan Ratu Ayu. Sambil menggerung keras, tubuh Singanada menjulur, dengan kedua tangan meraup ke pinggang Ratu Ayu. Bahwa tubuh dan gerakan Singanada bisa begitu luwes dan cepat bergerak, membuat gerakan kaku Ratu Ayu seperti masuk ke dalam lubang yang kosong. Setiap kali akan meminjam tenaga Singanada, setiap kali itu pula Singanada berhasil membebaskan diri. Maka keduanya turun ke bawah. Berada di tempatnya semula.
Senopati Sora sudah memerintahkan agar obor penerangan dinyalakan kembali. Dalam suasana remang-remang, nampak tubuh Ratu Ayu seperti mengeluarkan sinar hijau berkilau, memancar dari seluruh permukaan kulit. Namun jelas, dengan dua tangan merenggang, dalam bentuk patah. Satu tangan tertekuk ke bawah, satu tertekuk ke atas.
Singanada membuang kantar-nya. Mengikuti gerakan Ratu Ayu, dengan tubuh sedikit miring. Rambut hitam yang tergerai seakan membalikkan warna berkilau.
Upasara merangkul kedua putri, karena penciumannya merasakan bau yang mulai amis, bersamaan dengan warna hijau berkilau.
"Bagus sekali. Marakata Warna yang terlatih. Aku suka, Ratu."
Bersamaan dengan itu, Singanada menggeliat dan kedua tangannya menyentuh lantai. Punggungnya lurus. Menggerung keras, dan menubruk. Benar-benar gerakan seekor singa! Rambutnya seakan berubah menjadi sekian ribu cakar dan sekaligus seperti ekor yang menyabet. Ratu Ayu menggerakkan kedua tangan lurus ke bawah, menolak keras! Gerakan Singanada menjadi oleng, akan tetapi tetap menerkam. Kedua tangan seakan merobek tubuh Ratu Ayu dengan entakan yang keras.
Masih berada di tempat berdiri, bergeming, Ratu Ayu bersiap seperti semula. Hanya kini, warna hijau menyilaukan yang mengelilingi tubuhnya berubah menjadi warna merah. Merah delima. Lebih menyilaukan dan lebih terang.
Nyai Demang sudah menyipitkan mata.
Kedua telapak tangan Upasara menutupi wajah Tunggadewi maupun Rajadewi.
Putra Mahkota yang tetap terbengong tak mendengar nasihat Senopati Sora yang diucapkan cukup keras.
"Tarian Penjemput Maut macam apa ini pakai warna-warni segala macam?"
Nyai Demang memberi isyarat agar Gendhuk Tri berdiam diri. "Hati-hati. Inilah yang disebut Marakata Warna. Tenaga dalam Ratu Ayu jauh di atas tenaga dalammu yang mempergunakan warna-warni selendang. Ratu Ayu mampu mewujudkan dari warna tubuhnya."
Kali ini Gendhuk Tri tak bisa menyembunyikan decak kagumnya. Memang luar biasa sekali. Marakata Warna adalah mengubah diri menjadi sewarna dengan batu mulia, batu zamrud, atau batu ratna. Dalam pengertian biasa, batu zamrud berwarna hijau berkilau. Akan tetapi warna hijau berkilau bukan satu-satunya warna. Ada juga warna lain, yaitu merah. Marakata Mirah adalah warna merah delima.
Selama ini Gendhuk Tri memakai selendang warna-warni tanpa pernah menyadari bahwa sebenarnya, warna itu bisa dipancarkan dari tubuh. Seperti yang dipamerkan oleh Ratu Ayu Bawah Langit. Kalau senopatinya yang unggul diberi nama Sariq, yang artinya kuning, agaknya Ratu Ayu sudah jauh berada di atasnya. Dengan kemampuan menguasai berbagai warna.
Singanada menggerung keras. Kepalanya merendah, akan tetapi tetap mendongak. Disertai satu lompatan keras, Singanada kembali menubruk. Dan Ratu Ayu menangkis. Dalam sekejap seluruh ruangan seakan dipenuhi warna merah, berbias-bias ke segala penjuru. Singanada menggeliat, tubuhnya mengelilingi lebih cepat dan rapat. Bergerak mengikuti gerakan patah-patah Ratu Ayu. Dalam sembilan bayangan.
Dari kejauhan Halayudha bisa menyaksikan pengaturan tenaga Nawawidha, atau Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Sembilan bayangan tubuh Singanada yang berubah menjadi singa, menggempur dan terus mencakar. Geraman dan auman Singanada membuat lingkaran merah delima berkilau yang terpancar dari tubuh Ratu Ayu beberapa kali buyar karenanya.
"Nawadwara," teriak Singanada dengan auman dahsyat, dan mendadak di seluruh ruangan seperti ada bayangan tubuhnya, akan tetapi juga tersisa kesempatan bagi Ratu Ayu buat meloloskan diri.
Nawadwara, adalah jurus yang mengandung pengertian sembilan lubang, atau sembilan pintu. Ilmu andalan Singanada telah mulai tertarik keluar dengan sendirinya. Karena Ratu Ayu ternyata sangat tangguh. Dengan jurus Nawadwara, Singanada tak lagi menyembunyikan dasar-dasar ilmunya. Yang berpatokan kepada angka dan atau hitungan sembilan! Sembilan lubang dalam tubuh. Sembilan indra. Sembilan lubang berarti sembilan kesempatan buat meloloskan diri, akan tetapi juga sembilan tempat yang bisa menindih dan menjebak.
Ratu Ayu mengeluarkan suara pujian. Nyaring.
PUJIAN Ratu Ayu tak bisa dimengerti oleh Singanada. Karena diucapkan dalam bahasa aslinya. Bahkan Nyai Demang tak bisa menangkap sepenuhnya. Akan tetapi mengetahui bahwa ini telah memasuki saat-saat yang menentukan.
Ilmu Auman Sembilan Singa sudah memasuki bagian yang menentukan. Bersambungan jurus demi jurus dilancarkan. Mengalir dengan garang, mengepung Ratu Ayu dari berbagai penjuru. Lompatan Singanada seperti menguasai ruangan secara penuh dan utuh. Ratu Ayu seperti terkurung di tengah. Nyatanya memang begitu.
Lompat Turkana yang tersohor itu menjadi mati langkah. Justru karena Singanada memamerkan lompatan yang berada di sembilan penjuru. Empat penjuru utama, empat penjuru lain di antara sela-sela empat penjuru utama, dan menguasai medan pertarungan di tengah.
Baru kini Nyai Demang menyadari kenapa Maha Singanada selalu berloncatan kian-kemari. Dalam ilmu silat yang dimainkan, selalu berarti sembilan hitungan. Satu gerakan yang biasa, dimainkan sembilan kali. Ini hebat! Tetapi juga ini bahaya.
Sebab dengan demikian Singanada seperti menguras tenaganya secara habis-habisan. Walaupun barangkali teratasi dengan latihan pernapasan Nawawidha yang berarti Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan, akan tetapi ini jelas pengerahan tenaga yang luar biasa.
Kalau mau disamakan dengan jurus-jurus dalam Kitab Bumi, sebenarnya jurus-jurus yang dimainkan dengan tangan kosong ini adalah jurus berputar! Artinya bertarung di tengah angkasa sambil memutar tubuhnya sedemikian rupa.
Nyai Demang cukup kenyang menyaksikan Upasara atau Jaghana memainkan jurus-jurus berputar, yang hebat tetapi juga meminta tenaga sangat banyak. Di samping kedudukan sendiri maupun lawan sama terputar ke dalam satu bahaya yang sama besar. Dalam keadaan tubuh berputar kencang, tak ada istilah menyerang setengah-setengah.
Juga tak mudah menarik kembali serangan yang sudah diluncurkan. Karena akibatnya akan menghentikan tenaga putaran, dan bisa mengakibatkan luka dalam, bagi siapa pun yang melakukan! Karena tarikan tenaganya telah berlipat. Irama tubuh telah mengikuti irama percepatan.
Sampai di sini Nyai Demang bisa menduga-duga asal-usul ilmu Maha Singanada. Tidak berbeda jauh dari sumber utama Kitab Bumi! Hanya berbeda dalam permainan dan ciri-ciri utama. Karena dalam pertarungan ini, tenaga bumi yang ada diubah sedemikian rupa menjadi tenaga sembilan singa!
Walaupun Ratu Ayu seperti terkurung di tengah, akan tetapi sesungguhnya dalam pertarungan yang cukup lama, jelas Ratu Ayu bisa lebih menyimpan tenaga. Apalagi tenaga dalamnya sendiri agaknya lebih daripada Maha Singanada. Ini terlihat dari dengus napas Singanada yang makin lama makin keras.
Tanpa disadari Nyai Demang menggeser tempatnya, ke arah Upasara Wulung. "Adimas."
Upasara menggeleng. "Luar biasa, Nyai. Keduanya luar biasa."
Apa yang dikatakan Upasara sepenuhnya benar dan tepat. Walau mengurung, Singanada tak bisa menindih Ratu Ayu. Walau terkurung di tengah, Ratu Ayu tak mampu mengambil kesempatan untuk menerobos atau mengambil keuntungan dari tenaga lawan yang terbuang.
Ratu Ayu merasakan bahwa bayangan singa yang selalu datang dan pergi, mengaum, mencakar, mengincar, tak bisa dilewatkan begitu saja. Gerakan kaku yang ditampilkan makin lama juga makin cepat. Terseret oleh irama permainan yang ditampilkan Singanada. Kalau dikatakan ia memperoleh kesempatan mengatur tenaga, juga sama sekali tidak tepat. Bahkan bisa jadi Ratu Ayu terpaksa mengerahkan konsentrasi lebih terpusat. Lebih memeras kekuatan dalam.
Sementara terkaman Singanada tak berkurang tekanannya. Bayangannya yang berhasil menutup delapan penjuru serta menguasai titik tengah, betul-betul memperlihatkan penguasaan yang utuh. Beberapa jurus berlalu dengan cepat. Sangat cepat.
Putra Mahkota yang mengikuti menjadi berkunang-kunang. Beberapa kali kepalanya digelengkan untuk menghindarkan campur baur antara bayangan singa dan bayangan Ratu Ayu yang menjadi hijau dan merah.
Sementara di Keraton, Permaisuri Indreswari melirik ke arah Halayudha yang mengangguk pendek ke arahnya. Ini berarti sesuai dengan rencana. Kalau ini berarti pengurasan tenaga, putranya, Bagus Kala Gemet, akan bisa masuk ke dalam pertarungan. Pada saat yang menentukan untuk menjadi pemenang.
Hanya saja, di luar perhitungan Halayudha, Kala Gemet seperti terseret oleh pertarungan. Sehingga kesiagaannya menjadi berkurang. Ini yang akan mengubah seluruh jalannya pertarungan! Dan menyangkut mati-hidupnya beberapa senopati. Bahkan takhta Keraton!
"Bagaimana, Adimas?"
Upasara menggelengkan kepalanya.
"Maha Singanada memainkan sumber asli dari Kitab Bumi."
"Pandangan Nyai sangat tajam. Akan tetapi, saya kira ada beberapa bagian yang menjadi lebih tajam dan mengandung perubahan tak terduga."
"Apakah ini bukan 'baris terakhir yang tak terbaca oleh hati' seperti yang dipesankan oleh Eyang Sepuh?"
Alis mata Upasara mengerut. Bertemu pada satu titik. Suaranya tetap polos. "Saya tak bisa mengerti yang Nyai maksudkan."
Nyai Demang berbisik lirih. "Selama ini, kita semua telah mengetahui Kitab Bumi. Boleh dikatakan telah mempelajari dan mempraktekkan semua kidungan. Akan tetapi di Trowulan, Eyang Sepuh menitipkan pesan, bahwa ada bait terakhir yang belum terbaca atau terpelajari. Jangan-jangan apa yang ditunjukkan Maha Singanada adalah bagian yang terakhir itu."
Upasara mengusap wajahnya. Wajahnya terlihat dingin.
"Adimas Upasara, saya tak bisa menyaksikan dengan jelas karena kemampuan saya terbatas. Cobalah amati dengan baik. Siapa tahu inilah jawabannya."
Upasara menghela napas.
"Jangan kuatir, saya akan menjaga dua momongan yang manis dan ayu ini. Saya akan menjaga lebih daripada pedang berharga."
Upasara mengertakkan giginya. Pandangannya tajam ke tengah pertarungan. Sementara Gendhuk Tri yang kehilangan Nyai Demang mencari-cari. Tak begitu mudah menemukan Nyai Demang yang berada dalam keremangan cahaya antara merah dan hijau berkilau.
"Tak bisa, Nyai. Tak bisa disamakan. Inti Kitab Bumi, terutama delapan jurus terakhir, adalah penolakan, adalah korban, adalah penyerahan. Sedangkan Maha Singanada justru menguasai, menerkam, dan menutup sembilan jalan yang disiapkan."
"Justru itulah. Masa tidak sama dengan jurus Penolak Bumi? Perhatikan lebih saksama. Siapa tahu justru ini yang menjadi kunci memahami 'bait terakhir'. Tak akan lain, kalau dilihat bahwa sumber utama ilmu Maha Singanada tak berbeda jauh dari apa yang diajarkan Eyang Sepuh, Mpu Raganata..."
"Ya, akan tetapi tidak. Justru yang dimainkan Ratu Ayu mempunyai persamaan dengan ilmu Gendhuk Tri. Gerakan patah-patah yang dimainkan Ratu Ayu adalah gerakan tarian boneka. Terarah dan patah. Kebalikan dari gerakan yang luwes."
Komentar Upasara terhenti, karena secara tidak sadar, kedua tangannya merenggang dan melindungi Tunggadewi dan Rajadewi yang seperti tertidur, karena tak bisa mengikuti gerakan dan mulai terpengaruh kilauan cahaya. Gerakan Upasara karena melihat bahwa di angkasa terlihat delapan pedang melengkung beterbangan silih berganti. Delapan pedang lengkung milik senopati Turkan yang kini dipakai sebagai senjata oleh Ratu Ayu. Menusuk secara berturut-turut ke segenap penjuru, ke arah bayangan Singanada!
MELESETNYA delapan pedang lengkung, secara berurutan, membuat Singanada mengubah gerakannya. Tangan kosongnya tak mampu meraup atau mematahkan, dan dengan demikian kantar yang menjadi andalannya dicabut kembali. Dengan sangat cepat, Singanada yang semakin beringas mencoba merebut atau menindih.
Tenaga dan lompatan Nawawidha ternyata tak mampu mengimbangi kecepatan Ratu Ayu. Beberapa kali Singanada seperti terlalu cepat datang. Justru karena arah pedang lengkung tidak seperti pedang lurus. Lebih lambat.
"Bahaya!" seru Gendhuk Tri keras. "Kalau Ratu Ayu berhasil memperlambat gerak, ini berarti bahaya. Nyai, di mana kamu?"
Singanada mengeram keras. Kantar di tangannya disabetkan keras, sementara ujung rambutnya menyampok pedang kedua. Dua-duanya bisa direnggut Ratu Ayu mendesis. Karena kini ia bisa menerjang maju dari sisi timur. Bergerak bagai boneka kayu, membuka kedua tangan, dengan enam pedang lengkung. Dari sini, keenam pedang menyusup ke seluruh tubuh Singanada.
Singanada terpaksa melepaskan kantar-nya., karena tak bisa mengikuti lagi. Satu atau dua bisa dihadang, akan tetapi yang lainnya seperti menerobos secara leluasa. Maka ia lemparkan kantar, untuk menghambat salah satu, dan menggunakan rambutnya untuk mencegat yang lainnya. Tapi jumlah pedang yang dimainkan Ratu Ayu bukan hanya dua. Inilah yang sekarang mencungkil tubuh Singanada.
Yang dengan sebat luar biasa, menjatuhkan tubuhnya ke depan, kedua kaki tertekuk melengkung ke arah pedang. Dua kaki Maha Singanada yang telanjang mencoba menangkap pedang lengkung. Dua pedang bisa dijepit dan sekaligus diputar untuk menyampok pedang yang lain. Terdengar suara nyaring jatuhnya pedang-pedang lengkung. Di sinilah bahayanya!
Karena pada saat itu Putra Mahkota Kala Gemet meloncat ke tengah arena pertarungan! Yang segera disusul Senopati Sora. Secara beruntun jatuhnya pedang-pedang itu dinilai sebagai langkah kemenangan Singanada. Dan Kala Gemet, seperti yang dipesan oleh Halayudha, akan maju pada saat yang menentukan. Untuk meraih kemenangan. Kesalahan terbesar.
Karena dengan jatuhnya beberapa pedang, tidak dengan sendirinya Ratu Ayu terdesak. Justru sebaliknya. Dari sekian banyak pedang lengkung yang tersampok, ada yang datang belakangan. Karena memang Ratu Ayu mampu mengatur tenaga dalam, di mana kecepatan lemparannya tidak sama. Lebih berbahaya, karena Ratu Ayu sangat mengenal sifat dan penggunaan pedang lengkung, di mana daya dorongnya sebagian berkurang. Dipandang dari sisi ini, jelas Ratu Ayu lebih unggul.
Kala Gemet tidak mempunyai perhitungan demikian panjang. Keinginan yang segera adalah menerjang maju, meraih kemenangan dan mendapat Ratu Ayu. Senopati Sora yang melihat adanya bahaya, tak bisa memperingatkan atau berteriak. Ia meloncat maju dan mendahului dengan ilmu andalan utama, Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu. Ujung kain yang tersampir di pundaknya menyapu keras disertai desisan suara bising dari bibirnya.
Sebagai senopati, tugas utama Sora sekarang adalah menjaga Putra Mahkota. Keselamatan Putra Mahkota adalah yang terutama dan satu-satunya. Maka langsung terjun ke tengah gelanggang. Walau ini jelas sangat bertentangan dengan suara ksatria yang masih mengalir dalam darahnya. Masuk ke dalam pertarungan, di mana sedang ada pertarungan secara ksatria adalah hal yang nista. Senopati Sora bahkan telah mengalami sendiri, ketika kemudian membawa akhir yang mengenaskan. Yaitu tewasnya Senopati Anabrang, setelah membunuh Adipati Ranggalawe.
Saat itu jiwa Senopati Sora seperti terombang-ambing dan hidupnya menjadi tidak jelas. Karena semua berlalu begitu saja, tanpa ketegasan apakah dirinya dinyatakan bersalah atau tidak. Apakah ada hukuman yang bakal dijatuhkan Baginda, ataukah pembebasan dari segala dakwaan. Nyatanya tak pernah ada keputusan dan ini membuat pertarungan dalam batinnya. Hukuman Baginda yang keras tidak ada. Selain perpindahannya dari Keraton, dan disingkirkan ke Dahanapura untuk mengawasi Putra Mahkota.
Akan tetapi, hukuman yang lebih berat lagi ialah tuduhan dari para ksatria dan senopati lain. Bahwa dirinya bersalah berat dan melakukan kehinaan. Bahwa nyawanya diselamatkan oleh Baginda karena tidak dihukum mati. Kalau sekarang Senopati Sora menerjang maju, bukan karena melupakan sifat-sifat ksatria. Bukan keinginan untuk membalas keluhuran Baginda, menerjang tanpa memedulikan keselamatannya sendiri.
Bagi senopati yang mengabdi secara tulus, Sora tak memperhitungkan keselamatan dan harga dirinya. Menolong Putra Mahkota yang menjadi tanggung jawabnya lebih berharga daripada apa saja. Itu sebabnya ia meloncat maju, mendorong tubuh Kala Gemet, dan dengan sisa kekuatannya mencoba menyampok pedang lengkung terakhir yang menusuk.
Dorongan kepada Kala Gemet berhasil menjauhkan Putra Mahkota dari ancaman maut. Gebrakan kedua, ujung kainnya bisa menyampok, akan tetapi dorongan lontaran Ratu Ayu lebih keras dari kemampuan menahan. Sehingga melesat dan melukai pundak Senopati Sora serta tertancap di sana. Darah mengucur seketika! Sementara itu Maha Singanada meloncat dan berdiri tegak. Wajahnya kaku.
"Aku menyerah kalah. Ilmu Ratu Ayu Bawah Langit sungguh hebat. Aku menyerah."
Pada saat yang bersamaan, delapan senopati Turkana sudah mempersiapkan diri. Memasang kuda-kuda. Satu kedipan mata dari Ratu Ayu akan membuat mereka menyerbu habis-habisan. Hal yang lumrah, karena setelah Senopati Sora dan Kala Gemet masuk ke dalam medan pertarungan, berarti pertarungan secara ksatria sudah dilanggar.
"Kamu belum kalah, Maha Singanada. Belum ada pemenangnya. Kita bisa melanjutkan."
Kala Gemet yang terhuyung-huyung menjadi merah padam wajahnya. Tangan kanannya bergerak ke udara. Dengan suara lantang ia berseru, "Tumpas musuh!"
Mahapatih Nambi meloncat, dan berdiri dengan gagah. Diikuti oleh senopati yang lain, serta para prajurit.
"Bagus, bagus. Kalau kalian semua mau maju mengeroyok, aku Ratu Azeri Baijani dengan senang hati akan melayani. Inilah sambutan kehormatan yang sesungguhnya. Aku bisa tahu siapa kalian sebenarnya."
Perang habis-habisan bisa segera terjadi. Kala Gemet tak menyadari bahaya. Ia bahkan menggerung, menyerbu masuk ke arah Ratu Ayu dengan ilmu yang diajarkan Senopati Sora. Akan tetapi sebelum tubuhnya mencapai setengah jarak, tangan Senopati Sariq yang terulur berhasil menjangkau dan menahan gerakannya. Dengan satu putaran, tubuh Kala Gemet terbanting ke lantai. Paling tidak, tulang pundaknya akan patah seketika. Itu kalau Kala Gemet cukup jitu menyelamatkan kepalanya. Kalau tidak, bisa dibayangkan tenaga bantingan Senopati Sariq!
"Yang begini mau memakai takhta Turkana, sungguh tak tahu malu sama sekali."
Kejadian berlalu sangat cepat sekali. Dan tak terduga. Siapa pun tak menyangka bahwa Kala Gemet akan menyerang secara serampangan. Kecuali Upasara Wulung. Bahkan rasanya, Upasara Wulung sudah bisa menebak perintah penyerangan yang dikeluarkan Kala Gemet. Saat itu, Upasara sudah bersiap mencegah. Tangan kirinya sudah memegang erat pedang hitam tipis, Galih Kangkam.
Dan melihat tubuh Kala Gemet dibanting bagai benda mati, Galih Kangkam terulur maju. Menahan tubuh Kala Gemet. Sambil melompat, Upasara membebaskan tekanan yang menindih pedangnya. Dengan begitu, Kala Gemet hanya sempoyongan. Tidak sampai terbanting dan luka parah. Tapi dengan begitu, Upasara telah memunculkan dirinya secara resmi.
"Kakang!" Gendhuk Tri menyebut dengan ucapan yang lantang.
Semua perhatian tertuju kepada Upasara Wulung. Kecuali Nyai Demang yang segera melindungi Tunggadewi dan Rajadewi dengan membawa menjauhi medan pertarungan yang setiap saat bisa terjadi.
MAHA SlNGANADA memperhatikan Upasara tanpa berkedip. Selama ini ia hanya mendengar wajah dan penampilannya dikatakan mirip dengan Upasara. Nyatanya begitu. Singanada mengetahui bahwa yang berdiri gagah tetapi penampilannya lembut adalah Upasara Wulung, karena mendengar teriakan Gendhuk Tri yang memanggil dengan sebutan "Kakang".
Sebaliknya, Sariq merasa sedikit heran karena bantingannya yang sepenuh tenaga, bisa dimentahkan dengan besi panjang berwarna hitam dan kelihatan lentur. Berarti pemiliknya mempunyai tenaga dalam yang telah dikuasai secara sempurna. Upasara menunduk, memberi sembah ke Keraton, seolah kembali berjongkok, baru kemudian memberi hormat dengan tangan kanan tertekuk di depan dada dan hanya ibu jarinya yang menonjol.
"Saya mohon ampun atas kelancangan dan kekurangajaran ini. Kiranya Senopati Sariq, juga Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani, serta sekalian para priyagung, sudi mengampuni. Sekali lagi, saya yang rendah meminta ampunan."
Ratu Ayu memandang lebih tajam. Tadinya dirasa aneh. Bukan karena apa, melainkan karena kumis tebal yang dipasang oleh Upasara menjadi mencong. Sehingga wajahnya menjadi lucu. Baru setelah menyadari bahwa yang mengganggu pandangan adalah kumis palsu sembarangan, Ratu Ayu berusaha menahan senyumnya.
"Ksatria penuh sopan, penuh santun, kalau kau senopati, senopati dari mana dan siapa namamu? Kalau pendekar, siapa gelarmu?"
Upasara memberikan hormatnya. "Maaf, Gusti Ratu. Hamba bukan senopati, bukan prajurit, tidak mempunyai gelaran apa-apa. Nama hamba Upasara Wulung, bekas prajurit Ksatria Pingitan."
Suasana menjadi senyap. Ratu Ayu mendongak.
"Hmmm, kiranya ini yang berhasil menjadi lelananging jagat, yang telah mengalahkan semua jago jagat. Tidak percuma nama besarmu. Sungguh kurang pantas, ksatria besar seperti ini harus menyembunyikan diri."
Wajah Upasara menjadi merah. Kata-kata Ratu Ayu bisa juga berarti sindiran yang tajam dan menampar. Dengan mengatakan "menyembunyikan diri" seolah Upasara sengaja mengintip pertarungan yang terjadi. Ini bukan sifat ksatria yang mengambil keuntungan dengan cara curang.
Upasara memang tidak begitu tajam lidahnya, tak bisa merangkai kata-kata pembelaan. Kalaupun ada, juga tak mungkin menerangkan bahwa ia sedang mengawal Tunggadewi dan Rajadewi.
"Maaf, Ratu Ayu."
"Karena kamu sudah masuk ke dalam gelanggang serta membawa pedang terhunus, sungguh tidak enak kalau aku tidak menyambutmu. Aku sudah lama menunggu dan ingin mengetahui apakah sebutan lelananging jagat benar-benar pantas kamu sandang atau tidak."
Upasara menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak pantas, Gusti Ratu Ayu."
"Kalau tidak pantas, kamu harus menyerahkan kepadaku."
Upasara mengangguk. "Kalau saya yang rendah memiliki tanda seperti yang Gusti Ratu Ayu maksudkan, saya akan menyerahkan saat ini juga. Tetapi, sesungguhnya tak pernah ada sebutan untuk itu."
Mendadak Maha Singanada tertawa. "Aneh. Sungguh aneh ksatria tanah Jawa ini. Serba melenggok seperti perempuan saja. Sudah lama dan sering kudengar nama Upasara. Tak tahunya mulutnya terlalu kecil untuk menerima tantangan. Kalah atau menang, apa ruginya? Kalau kamu mengaku ksatria Pingitan, jangan membuat cemar nama Baginda Raja Sri Kertanegara!"
Suara geram Maha Singanada membuat darah Upasara berdesir. Tapi wajah dan suaranya tetap dengan irama yang sama. "Maaf, segala nama besar itu sesungguhnya tidak ada. Bukan maksud saya membuat cemar. Saya hanya mengatakan pernah dididik dan dihidupi di Ksatria Pingitan, karena kebaikan beberapa senopati yang kasihan pada saya. Rasanya, saya tak pantas mengaku seperti ini.”
Ratu Ayu mendecakkan lidahnya. “Aku tak suka tata bicara yang tidak jelas apa maunya. Upasara, kalau kamu menyerah sebelum bertanding, berikan Pedang Nglanglang sebagai upeti bagi Ratu Turkana. Karena telah ikut campur dalam pertarungan ini.”
Upasara mengangsurkan pedangnya. Mendadak Gendhuk Tri berteriak keras.
“Jangan berikan, Kakang! Jangan!”
Upasara menggeleng lagi. “Biar!”
“Tidak bisa! Tidak bisa! Itu bukan pedang Kakang. Itu milik Paman Galih Kaliki. Apa hak Kakang memberikan kepada orang lain?”
Serampangan kata-kata yang diucapkan Gendhuk Tri. Tapi Nyai Demang memuji dalam hati. Dengan cara seperti ini, Gendhuk Tri bisa mematahkan keinginan Upasara Wulung. Karena, nyatanya itu pedang milik Galih Kaliki yang tersimpan dalam tongkatnya...!
Maka Halayudha berusaha menarik Maha Singanada ke arahnya. Dengan cara sesama ksatria. Halayudha menyerahkan klika yang bertuliskan Kitab Bumi secara lengkap, ketika Maha Singanada datang kepadanya.
"Kitab Bumi, pusaka kitab yang ada, rasanya hanya pantas dimiliki dan disimpan Anakmas Maha Singanada."
Halayudha bisa mengerti, sebagai ksatria, sebagai pendekar yang selalu mencari ilmu, pemberian Kitab Bumi merupakan kehormatan yang tak ternilai harganya.
"Aku suka sekali, Paman Halayudha. Tapi kenapa diberikan? Sebaiknya Bantala Parwa ini disimpan di sini saja."
"Paman sudah tua, Anakmas Maha Singanada. Mana mungkin Paman menjaganya? Terimalah. Sedikit-banyak akan ada manfaatnya."
"Baik kalau begitu. Rasanya aku perlu mengucapkan terima kasih yang dalam. Aku berjanji akan mempelajari."
Sepersekian kejap, Halayudha merasa bahwa Maha Singanada selalu menunjukkan sikap kurang ajar. Tidak menyembah, tidak menghormat. "Rasa-rasanya ilmu Anakmas mempunyai sumber yang sama dengan Kitab Bumi!"
"Kata orang, begitu. Aku sendiri ingin membuktikan. Hanya kidungan di dalamnya terlalu sulit bagiku."
"Barangkali Paman bisa sedikit membantu."
"Itu juga baik."
"Tetapi entah sejauh mana bisa berarti. Karena apa yang Anakmas miliki, pelipatan tenaga dalam sembilan kali seperti dalam mengatur pernapasan Nawawidha, tak ada dalam Kitab Bumi. Ah, anggap saja ini pemberian yang sudah ketinggalan zaman."
Maha Singanada menggelengkan kepalanya. "Tak bisa dianggap begitu. Bantala Parwa adalah kitab babon semua persilatan di tanah Jawa. Eyang Sepuh bisa menciptakan jurus Tepukan Satu Tangan berasal dari sini. Pasti ada yang luar biasa. Aku justru heran, karena Kitab Bumi ini katanya memuat Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi. Bagaimana mungkin dihubungkan dengan ilmu silatku yang bernama Nawa Singanada?"
"Auman Sembilan Singa, siapa tahu justru dasar Kitab Bumi ini? Tapi aneh juga. Betul aneh, Anakmas. Ada Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Ada Delapan Jurus Penolak Bumi. Bagaimana bisa berhubungan dengan Auman Sembilan Singa?"
Dengan cara licin, Halayudha mencoba memancing dasar-dasar ilmu yang dimiliki Maha Singanada. Dan berhasil, karena Maha Singanada menceritakan apa adanya.
Semua Angka Adalah Sembilan
HALAYUDHA sampai tersedak karena tak menyangka. Maha Singanada mengatakan dengan kalimat yang jujur."Kukira tak ada yang aneh, Paman. Kitab segala kitab kanuragan di tanah Jawa bersumber kepada Kitab Bumi atau Bantala Parwa. Menurut cerita yang kudengar, kitab ini ditulis oleh Paman Sepuh Dodot Bintulu, bagian dasar-dasarnya yang merupakan ramuan segala aliran persilatan yang ada. Entah dari mana sumber yang sebenarnya, aku tak tahu. Walau dikatakan ditulis oleh Paman Sepuh, akan tetapi banyak persamaannya dengan kitab lain yang berada di negeri seberang."
"Rasanya tidak aneh, Anakmas. Dalam berbagai kitab tuntunan yang ada, kitab yang ditulis belakangan merupakan penyempurnaan atau perubahan kitab yang terdahulu."
"Bisa jadi. Akan tetapi buat apa dipusingkan? Siapa saja yang menuliskan atau tidak menuliskan, apa bedanya? Yang jelas, di zaman itu ada tiga ksatria sejati yang sebaya usianya, sama hebatnya, sama anehnya. Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengikuti secara apa adanya, dan Eyang Sepuh menciptakan jurus Tepukan Satu Tangan yang bergema sampai ke seluruh penjuru jagat dan dianggap puncak yang dahsyat. Satu lagi Mpu Raganata, yang mengabdi langsung kepada Baginda Raja Sri Kertanegara."
Halayudha mengangguk-angguk, seolah belum pernah mendengar. Malah pura-pura bertanya, "Eyang Sepuh, saya pernah mendengar nama besarnya yang ditinggalkan, yaitu Perguruan Awan. Mpu Raganata saya banyak mendengar, karena muridnya bertebaran di berbagai tempat. Akan tetapi siapa sebenarnya Paman Sepuh Dodot Bintulu?"
Darah Halayudha berhenti berdesir. Maha Singanada bisa saja menuding ke arahnya tanpa malu-malu dan meneriakkan: Itu kan guru Paman! Dengan adatnya yang begitu terbuka, hal itu bisa terjadi. Tapi ternyata Maha Singanada menjawab lain.
"Paman Sepuh selalu menyembunyikan diri. Menurut cerita, Paman Sepuh mempunyai dua murid yang mendurhakai. Nasibnya buruk. Arwahnya tak bakal tenteram sebelum muridnya mati berdiri."
"Ah!"
"Suatu hari aku akan membalaskan sakit hati dan dendam Paman Sepuh."
"Kenapa, Anakmas?"
"Karena Paman Sepuh guruku juga."
Kalau ada keris kedua yang menusuk lambungnya, Halayudha tak merasa nyeri seperti sekarang ini. "Oh, alangkah hebat guru Anakmas."
"Tiga-tiganya menjadi guruku. Lebih hebat lagi. Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata adalah guruku. Karena ketiga beliau yang mahasakti ini boleh dikatakan selalu bertemu, berlatih, dan melaporkan hasilnya kepada Baginda Raja Sri Kertanegara, yang kemudian disebarkan ke semua senopatinya, di mana pun berada. Di Perguruan Awan, di Ksatria Pingitan, serta... entah dengan cara bagaimana Paman Sepuh mengajarkan kepada muridnya."
"Dan ilmu Anakmas juga berasal dari situ?"
"Dari mana lagi kalau bukan dari kebesaran Baginda Raja yang memerintah Keraton Singasari yang digdaya?"
"Kalau begitu, kembali ke pertanyaan semula, Anakmas. Bagaimana Kitab Bumi yang memuat Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi sama dengan Auman Sembilan Singa? Tadi aku sudah bilang, tak ada yang aneh. Mpu Raganata yang sering melanglang buana, menjelaskan bahwa kalau Eyang Sepuh dikenal dengan Tepukan Satu Tangan, beliau dikenal dengan jurus-jurus Weruh Sadurunging Winarah, Tahu Sebelum Terjadi. Dasar-dasar ilmu ini sebenarnya sama. Sama anehnya. Kalau dibayangkan. Mana mungkin satu tangan menimbulkan suara lebih nyaring dibandingkan tepukan dua tangan? Mana mungkin mengetahui sesuatu sebelum terjadi? Tapi ya begitulah nyatanya. Dasar yang digunakan Eyang Sepuh ialah angka satu. Dasar yang digunakan Mpu Raganata adalah kosong. Sedangkan Auman Sembilan Singa, adalah angka sembilan. Aku tak menyebutkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang, akan tetapi mengatakan Sembilan ditambah Sembilan dikurangi Enam. Aku tak menyebutkan Delapan Jurus Penolak Bumi, melainkan Sembilan dikurangi Satu Jurus Penolak Bumi. Karena semua angka itu pada dasarnya sembilan. Dan hanya sembilan yang istimewa. Begitu aku melihat Lompat Turkana, aku segera mengetahui bahwa yang mereka mainkan adalah jurus-jurus Sembilan dikurangi Satu. Satu yang kurang itulah aku masuki, dan nyatanya langkah-langkah mereka buyar karenanya."
Halayudha cukup cerdas untuk menangkap apa yang dikatakan Maha Singanada. Ia bisa mengerti bahwa dasar patokan jalan pikiran yang dikatakan adalah sembilan, nawa. Dalam pengucapan sehari-hari pun, tak akan mengatakan sepuluh, akan tetapi sembilan ditambah satu. Ini menyangkut cara dan pola berpikir. Bahwa kemudian berkembang dengan segala bentuk dan pelaksanaan, sangat dimungkinkan sekali.
"Segala apa di jagat ini bersumber pada angka sembilan. Kalau Paman tanya, lubang tubuh manusia jumlahnya pasti sembilan. Kalau Paman bilang manusia hanya mempunyai lima indria, pancadriya, itu berarti belum semua Paman rasakan. Inilah yang biasa disebut cara mengatur pernapasan Nawawidha, seolah seperti pelipatan tenaga sembilan kali. Kalau belum mencapai pengerahan itu, berarti masih perlu berlatih diri."
Maha Singanada berdiri. "Aku ingin membaca dan mempelajari sebentar, Paman."
"Silakan, Anakmas. Tanpa itu pun, nanti malam Anakmas bakal bisa merobohkan Ratu Ayu, sesuai dengan rencana."
Maha Singanada mengangguk. Tidak merendahkan diri sama sekali.
"Bagaimana kalau Paman yang sudah hampir kembali ke alam baka ini meminjam Kitab Auman Sembilan Singa?"
Jawabannya adalah gelengan kepala. "Kitab itu hanya boleh dibaca oleh mereka yang setia kepada Baginda Raja Sri Kertanegara. Aku tak tahu Paman termasuk kelompok singa atau kambing. Aku tak mau meminjamkan."
Maha Singanada lalu meninggalkan begitu saja. Sungguh keterlaluan. Kecongkakan yang juga diperlihatkan oleh Permaisuri Indreswari!
Namun Halayudha mulai menyadari bahwa sebenarnya Maha Singanada tidak secongkak itu. Sikapnya lebih dipengaruhi bahwa segala sesuatu harus mencapai sembilan. Tak diperlukan basa-basi lagi. Tak perlu direndahkan. Tak mungkin. Memang begitulah Maha Singanada. Hanya saja, di dalam hati Halayudha merasa makin yakin bahwa Baginda Raja Sri Kertanegara memang raja yang sangat elok. Bisa menanamkan kesetiaan yang sangat luar biasa. Senopati Anabrang menjelajah tanah Melayu dan kembali dua puluh tahun kemudian. Nyatanya kesetiaannya tak bergeser seujung rambut. Sampai dengan meninggal dunia.
Ternyata itu bukan hanya pada satu dan dua orang saja. Boleh dikatakan semua ksatria, semua senopati yang hidup pada zaman itu atau mendengar namanya, tetap mengagungkan. Bukankah Raja Majapahit yang sekarang ini juga masih merasa perlu memakai nama gelar yang menunjukkan hubungan dengan Keraton Singasari?
Bagi Halayudha ini bisa dijadikan senjata untuk membuka pertentangan lebih luas lagi. Seperti yang selama ini telah dilakukan, akan tetapi belum sepenuhnya. Konflik dan pertarungan antara kekuasaan Raja Majapahit yang sekarang, bisa tetap dipanaskan hingga mendidih. Bukankah Baginda masih murka? Hanya karena dibandingkan dengan pengaruh Baginda Raja Sri Kertanegara? Bukankah Permaisuri Indreswari masih merasa dendam kepada tokoh yang sama?
Betapa hebat. Betapa agung. Betapa kuat gema kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara. Keraton Singasari boleh rata dengan tanah, boleh diubah namanya, boleh diubah bentuk dindingnya. Akan tetapi ternyata keperkasaannya justru tambah melegenda. Seluruh jagat raya mengakui kebesaran Baginda Raja yang mampu menahan payung Khan yang sangat perkasa. Hanya di Keraton Singasari, pasukan Tartar yang telah menaklukkan jagat, bisa disingkirkan.
Sedikit-banyak Halayudha mengetahui bahwa gempuran kepada pasukan Tartar dikarenakan mereka kurang begitu siaga. Akan tetapi biar bagaimanapun, ada akar yang kuat, yang menyebabkan seluruh ksatria bangkit dan bisa berkobar semangatnya. Itu hanya mungkin karena Baginda Raja Sri Kertanegara yang membangun dasar-dasar keperwiraan.
Tathagati, Budha Wanita
SEWAKTU sang surya benar-benar tenggelam di balik pegunungan di sebelah barat, Keraton bagai mendapatkan surya yang lain. Api penerangan berada di setiap sudut. Sitinggil berubah menjadi pentas yang luar biasa indahnya, dengan hiasan berbagai bunga dan dupa yang selalu mengepul. Sejak sore, suara gamelan telah terdengar bertalu-talu. Seluruh isi Keraton tanpa kecuali berkumpul di alun-alun. Sebagian sekadar ingin melihat Ratu Ayu Bawah Langit, sebagian kecil berharap dipilih sebagai suami.
Lebih dari itu semua, ini pesta yang pertama kali diadakan oleh Baginda. Sejak kemenangan yang gilang-gemilang, sejak Baginda naik takhta, rasanya baru kali inilah disiapkan pesta pora yang melibatkan seluruh penduduk. Sembilan ratus sembilan puluh sembilan penari Keraton siap mempersembahkan tarian pujaan sebagai tanda dimulainya penerimaan tamu negara.
Baginda sendiri sudah bersiaga sejak sore. Didampingi Permaisuri Indreswari. Mahapatih Nambi mengerahkan semua prajurit tanpa kecuali untuk memeriahkan pesta. Di antara lautan manusia di alun-alun, hanya Gendhuk Tri yang mengawasi sekeliling.
"Mana, Nyai?"
"Siapa?"
"Kakang Upasara! Siapa lagi?"
"Saya kira kakang yang lain."
"Nyai yang bersama Kakang Upasara. Harusnya Nyai tahu di mana dia."
"Jangan-jangan Upasara sengaja menyusup ke dalam kaputren untuk menemui Permaisuri Rajapatni."
Sebenarnya Nyai Demang hanya ingin menggoda Gendhuk Tri. Akan tetapi ia sendiri terjebak oleh pikirannya. Karena bukan tidak mungkin Upasara menemui Permaisuri Rajapatni. Karena hanya itu satu-satunya alasan Upasara tidak muncul.
"Kalau begitu, kita ke kaputren?"
"Mau apa ke sana? Malah mengganggu."
"Jangan-jangan Kakang berada dalam bahaya."
"Siapa yang bisa membahayakan kakangmu sekarang ini?"
"Nyai sudah kenal akal licik Halayudha yang telah karatan itu. Manusia culas itu selalu mempunyai rencana busuk."
Kali ini Gendhuk Tri yang terseret jalan pikirannya. Sehingga makin cemas. Dan menggandeng Nyai Demang untuk selalu berpindah tempat, kalau-kalau bisa menemui Upasara! Sampai tidak sadar bahwa upacara sudah dimulai. Rombongan Ratu Ayu Bawah Langit sudah mulai masuk ke dalam ruang pasamuan agung, diiringi para senopatinya, bersamaan dengan dimulainya para penari.
Ketika rombongan Ratu Ayu mulai mengambil tempat duduk, rombongan Putra Mahkota memasuki ruang dari arah lain. Kalau tadi Gendhuk Tri tak berkedip melihat Ratu Ayu, yang seakan tercium bau harum tubuhnya, kini pandangannya beralih ke Maha Singanada. Yang nampak mengiringi Bagus Kala Gemet dan rombongannya. Gagah perkasa, akan tetapi nampak canggung dan kikuk dengan upacara. Atau mengesankan tidak biasa berada di bawah penerangan yang sangat terang.
"Sudah melihat belum?"
"Ayu memang ayu. Tapi apa istimewanya? Sulaman dan pakaiannya juga begitu-begitu saja. Begitu saja berani mengaku Ratu Ayu Bawah Langit."
"Sssttt. Bukan dia yang saya maksudkan."
"Itu ada. Rambutnya tetap diurai seperti tak sempat digelung." Nyai Demang berkata perlahan. Menggenggam tangan Gendhuk Tri lebih keras.
"Kamu mencari Upasara atau Singanada?"
Wajah Gendhuk Tri menjadi merah padam karenanya. Gerakannya menjadi kikuk dan serbasalah. Karena bingungnya, Gendhuk Tri berjongkok. Untung sekali tingkah Gendhuk Tri tidak menjadi pusat perhatian. Karena ketika itu seluruh penduduk yang berada di alun-alun membungkukkan tubuh hingga melengkung setelah menyembah dalam-dalam. Juga para prajurit dan semua yang hadir.
Saat Baginda memasuki pasamuan dengan segala kebesarannya, Gendhuk Tri tak sempat melihat jalannya upacara. Kalaupun mencoba melihat, juga hanya melihat titik-titik kecil yang bergerak lambat. Juga tak mendengar apa yang sedang dibicarakan.
"Dengan segala hormat, Baginda Kertarajasa Jayawardhana, penguasa tunggal, sesembahan seluruh tanah Jawa, Raja Keraton Majapahit yang agung, mengucapkan selamat kepada tetamu, Yang Mulia Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani dari negeri Turkana yang agung." Suara Mahapatih Nambi terdengar lantang berkumandang.
Senopati Sariq ganti mengucapkan ungkapan rasa terima kasih dengan suara terputus, seperti menghafalkan.. Gendhuk Tri berusaha mendongak sedikit. Tetap tak bisa melihat jelas. Hanya melihat dua kursi, yang ditempatkan agak berjauhan. Selebihnya, seluruhnya, duduk bersila di lantai.
"Sekali lagi, kami mengucapkan rasa terima kasih yang agung kepada Baginda Kertarajasa Jayawardhana atas sambutan yang penuh dengan kehormatan ini."
"Maaf, Ratu Ayu Bawah Langit, hanya ini yang bisa kami sampaikan. Untuk segala kekurangan yang membuat Ratu Ayu Bawah Langit yang mulia kecewa, kami meminta maaf."
"Lebih dari Baginda, seharusnya kami yang meminta ampunan Baginda, karena kejadian tadi siang."
"Melupakan masa lalu yang buruk adalah lebih baik daripada menatap masa depan yang bersahabat."
"Terima kasih, Baginda."
Lalu hening kembali. Lama. Sunyi.
Gendhuk Tri menjadi tidak sabar. "Nyai, untuk apa sebenarnya kita di sini?"
"Kamu yang mengajak."
"Lebih baik kita pergi."
Nyai Demang mengangguk. Mereka berdua makin menepi, ke arah pinggir alun-alun dan menjauh. Hanya kemudian langkah mereka tertahan, karena melihat bayangan berkelebat ke arah sitinggil. Itulah bayangan Maha Singanada. Yang segera disusul bayangan kedua. Memancarkan bau harum. Harum, lembut, seakan mewarnai seluruh alun-alun. Bayangan Ratu Ayu Bawah Langit. Keduanya berdiri berhadapan. Yang satu gagah dengan rambut terurai dan tangan terentang, sedang yang lainnya bertubuh lembut, sedikit jangkung, dengan bibir menyungging senyuman. Kedelapan senopati Turkana berjaga di satu sisi, sementara senopati Keraton juga duduk membentuk lingkaran di sisi lainnya.
"Saya telah menerima undangan dan tantangan Maha Singanada. Karena ini tantangan dari Keraton, saya tak bisa mewakilkan kepada senopati saya. Harap Maha Singanada bisa mengerti." Suaranya lembut mengalun bagai kidungan.
Sebaliknya Maha Singanada bersuara lantang, "Aku tidak tahu siapa yang mengundang dan bagaimana tata kramanya. Tapi itu juga tak ada gunanya. Ratu Ayu, mulailah."
Maha Singanada sedikit membungkukkan badan, lalu mengambil kuda-kuda. Kedua kakinya mengangkang sedikit.
"Saya telah mendengar bahwa barisan Lompat Turkana bisa dipatahkan oleh Maha Singanada. Kalau saya boleh tahu, ilmu apa yang dimainkan?"
Maha Singanada nampak tidak sabar. "Ratu Ayu akan segera mengetahui. Yang jelas inilah ilmu yang lebih jempolan dari Tathagati. Ilmu Budha Wanita yang Ratu Ayu bawa dari jauh, akan kulihat sampai di mana keampuhannya."
Ratu Ayu merangkapkan kedua tangannya. "Sungguh luas dan jauh pandangan Maha Singanada. Baru sekarang ini saya mendengar ada yang mengatakan ilmu Tathagati."
Dari tangan yang terangkap itu mendadak tercium bau harum yang keras, mengentak dan merampas semua udara di sekeliling. Beberapa senopati yang berada di barisan depan bisa merasakan bau harum yang sangat tajam menusuk.
Maha Singanada menunduk sekali lagi, dan kantar yang terselip di pinggangnya dicabut.
Nyai Demang menggigit bibirnya. Tanda berpikir keras. Apa benar ilmu yang dimiliki Ratu Ayu Bawah Langit adalah Tathagati, seperti yang dikatakan Maha Singanada?
Tathagati, Tarian Penjemput Sukma
PERHATIAN Nyai Demang sepenuhnya tertuju ke ruang tengah sitinggil. Hingga tidak menyadari bahwa rombongan Putra Mahkota, yang diiringkan dua belas pengawal pribadi serta Senopati Sora mulai mengambil tempat di sudut timur.
Halayudha yang menunduk di bagian kaki Baginda sedikit melirik ke arah sitinggil. Suasana senyap untuk sekejap. Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Ia pernah mendengar keampuhan Tathagati. Pengetahuannya yang luas, hubungannya dengan senopati Tartar yang utama, serta Kiai Sambartaka, mengembalikan ingatannya. Yang tak akan hilang, bila itu menyangkut ilmu silat.
Dalam kitab yang diberikan kepada Upasara Wulung sebagai hadiah dulu itu, ada disebut-sebut ilmu Tathagati. Salah satu bagian yang diuraikan dalam kitab Jalan Budha. Bagian tersendiri yang menyebutkan bahwa ada aliran sesat yang disebut Tathagati, yang juga berarti Budha Wanita. Nyai Demang tertarik pada dua hal.
Pertama, karena ilmu itu tak disinggung sedikit pun dalam Kitab Bumi. Kedua, menyebut adanya wanita. Peranan kaum wanita yang justru sangat dibanggakan oleh Ratu Ayu. Sejauh Nyai Demang bisa mengingat, Tathagati boleh dikatakan mempunyai sumber yang sama dengan Jalan Budha, hanya saja mempunyai perubahan dasar yang mencolok.
Dalam Tathagati, gerakan-gerakan untuk melatih pernapasan dilatih sedemikian rupa sehingga paling cocok dimainkan oleh wanita. Yang menjadi masalah ialah dengan demikian menganggap atau mengubah sang Budha, sebagai wanita. Ini yang dianggap jalan yang sesat.
Sehingga Tathagati disingkirkan dari ajaran yang resmi. Dan semua murid perguruan resmi dilarang keras untuk mempelajari. Akan tetapi, sebagai ajaran, tak sepenuhnya bisa lenyap. Banyak wanita yang secara diam-diam mempelajari. Walau tantangannya berat.
Nyai Demang tak mempunyai perbendaharaan lain mengenai Tathagati, karena tak banyak disebut-sebut. Maka termasuk menakjubkan kalau sekali bertemu saja, Maha Singanada mampu mengungkapkan keunggulan Ratu Ayu. Padahal, menurut perhitungan Nyai Demang, tanda pertama yang bisa dikenali hanyalah dari bau harum tubuh Ratu Ayu. Yang memancar dan memenuhi seluruh ruang.
Akan tetapi hal itu bukan merupakan pertanda suatu tenaga dalam yang luar biasa. Cara memancarkan bau harum memang karena tenaga dalam, akan tetapi sembarang tenaga dalam rasanya bisa untuk melontarkan bau harum. Tak perlu pernapasan Tathagati. Sedangkan bau harum itu sendiri, berasal dari ramuan wewangian yang dipakai oleh Ratu Ayu. Karena selama mandi dengan uap air panas dan kemudian diganti dengan uap air dingin, ada ramuan khusus. Jadi dengan cara bagaimana Maha Singanada mengenali? Agaknya ini pula yang tersirat dari pandangan Ratu Ayu.
"Senopati Majapahit yang perkasa, tolong katakan dari mana Senopati bisa mengenali Tathagati?"
"Aku bukan senopati Majapahit. Aku prajurit turunan Keraton Singasari. Mengenali langkah Ratu Ayu dengan gerakan Tathagata Pratiwimba, siapa lagi yang bisa melakukan selain pengikut ajaran Tathagati? Apa susahnya mengenali Tarian Penjemput Maut?"
Ratu Ayu mendongak. Sebaliknya Nyai Demang menunduk. Mata Bagus Kala Gemet memandangi Ratu Ayu sepuasnya. Sedemikian terkesima, sehingga lupa diri bahwa ia adalah putra mahkota yang seharusnya menjaga tata krama. Gendhuk Tri menjadi sangat sebal. Namun sempat juga bercekat. Tathagata Pratiwimba, dalam arti harfiah adalah arca Budha. Atau patung. Akan tetapi Singanada menyebutkan sebagai Tarian Penjemput Maut.
Seperti juga Nyai Demang, isi kepala Gendhuk Tri seperti terkelupas. Sebagai murid Jagaddhita yang merupakan murid langsung Mpu Raganata, keunggulan utama Gendhuk Tri justru pada gerakan-gerakan ilmu silat yang didasarkan dari gerakan tarian. Dengan segala macam kembangan atau variasinya, Gendhuk Tri boleh dikatakan mengenai cabang-cabang dan ranting-ranting yang paling kecil sekalipun. Boleh dikata segala jurus yang mengambil dasar tarian bisa diketahui.
Tetapi nama Tathagata Pratiwimba belum pernah dikenali. Baru sekarang didengar. Ini yang membuat Gendhuk Tri makin mengagumi Singanada. Dalam satu gerakan tangannya, Singanada bisa menebak berasal dari ajaran Mpu Raganata! Kini hanya dengan mengenali gerakan kaki, Singanada juga bisa menebak dengan jitu!
Padahal Gendhuk Tri tak melihat sedikit pun keistimewaan gerakan Ratu Ayu. Sewaktu meloncat atau berlari dari ruang pertemuan utama menuju sitinggil, gerakannya tak berbeda dari yang lain. Malah boleh dikatakan gerakannya sangat kaku. Kedua bahu Ratu Ayu terkulai. Lurus. Kakinya naik-turun, sungguh tidak luwes sama sekali sebagai gerakan wanita, apalagi ratu!
Untuk yang satu ini Gendhuk Tri mengenali dengan baik. Ia sendiri berangkat dari dasar tarian yang oleh Mpu Raganata sudah diubah sedemikian rupa. Sehingga boleh dikatakan melanggar berbagai aturan tarian yang ada. Hanya pada jurus-jurus Gendhuk Tri, gerakan tangan bisa melewati bahu. Sesuatu yang tak ada dalam tarian!
Hanya jurus-jurus yang diajarkan oleh Jagaddhita yang mengajarkan gerakan kaki mengangkang lebih lebar! Sesuatu yang menjadi pantangan dalam tarian. Jenis yang berbeda dari dasar utama itu diketahui Gendhuk Tri dengan baik. Kini matanya baru terbuka melihat gerakan Ratu Ayu.
"Pandangan yang begitu tajam, penyebutan nama yang begitu tepat. Maha Singanada, apakah kita perlu melanjutkan dengan pertarungan?"
"Akan lebih baik begitu, Ratu Ayu. Adakalanya tarian yang dikatakan bisa menjemput maut itu tak ubahnya dengan gerakan kaku!"
Sret! Sret!
Dua kibasan tangan Ratu Ayu sangat tiba-tiba dan membuat obor penerangan seluruh sitinggil tergetar oleh angin. Singanada menggerakkan kantar-nya naik-turun dengan sangat cepat, sementara tubuhnya berkelit ke berbagai arah, sebelum akhirnya kembali ke tempat semula. Padahal gerakan Ratu Ayu sangat sederhana. Kaku.
Namun setiap satu gerakan, betapapun pendek dan sederhana, membuat Singanada bergerak ke segenap penjuru medan yang terkena pengaruh getaran Ratu Ayu. Gendhuk Tri tak bisa menahan keringat tubuhnya. Tangannya mencekal Nyai Demang erat-erat.
"Arca Budha."
Nyai Demang tak segera bisa menangkap apa yang dikatakan Gendhuk Tri.
Sret!
Tangan kiri Ratu Ayu kembali terangkat lurus ke depan, seperti menuding dengan telapak membuka kaku. Singanada meloncat cepat ke arah kiri, membuang tubuhnya, dan begitu kakinya menyentuh lantai, langsung melayang kembali ke tengah. Saat itu Ratu Ayu sudah bergerak maju. Maju lurus ke depan. Dan mendadak berbalik. Membiarkan punggungnya menghadap ke arah Singanada. Tangan kanannya justru menolak ke arah depan. Tidak ke arah Singanada yang berada di belakangnya, sedang meluncur turun.
Anehnya, Singanada membuang tubuhnya ke samping kanan. Tangan kanan yang memegang kantar dipakai sebagai titian untuk mengambil tenaga, dan tubuhnya menggeliat ke arah tengah. Berusaha merebut lantai di mana Ratu Ayu berpijak. Kedudukan kaki yang lebih diutamakan. Sehingga Singanada mengambil tenaga loncatan dengan kakinya.
Gendhuk Tri menggigil. Inilah gerakan yang bisa dimengerti sebagai gerakan Arca Budha. Gerakan kaku, mirip dengan gerakan arca, mirip dengan patung, mirip dengan gerakan boneka. Pantas saja Singanada meledek dengan sebutan kaku atau gerakan siput hitam yang hidup di pinggir sungai. Berlenggok kaku.
Namun jelas sekali, setiap gerakan yang paling kaku dan perlahan pun, membuat Singanada jungkir-balik. Antara membuang tubuh, menghindar, dan berusaha mencari tempat pijakan. Dan ini semua tidak dilakukan dengan mudah. Karena Singanada kelihatan menjadi sangat tegang, wajahnya menjadi keras, kaku, tanpa perasaan. Bertolak belakang dengan penampilannya yang serba jemawa.
Demit Pohon Sawo
NYAI Demang bisa merasakan genggaman Gendhuk Tri yang mengeras dengan mendadak. Juga mengetahui bahwa ujung kaki Gendhuk Tri menyaruk ke dalam tanah. Seakan melampiaskan tenaga dalam yang bergolak. Sesuatu yang bahkan tak dilakukan saat mengikuti pertarungan habis-habisan di Trowulan. Hal ini sebenarnya bisa dimengerti.
Di Trowulan, meskipun itu pertarungan maha raksasa tokoh-tokoh jagat, akan tetapi Gendhuk Tri tak bisa sepenuhnya mengikuti. Bahkan tidak bisa melihat jelas. Secara emosi, tak ada yang membakar hatinya. Satu-satunya perasaan yang ada, hanyalah memasrahkan diri karena tak kuasa. Berbeda dari sekarang ini. Gaya permainan yang ditunjuk oleh Ratu Ayu bisa diikuti dengan baik.
Seperti ketika kedua kaki Singanada yang berusaha merebut kedudukan kaki Ratu Ayu. Dengan guntingan dan sekaligus tendangan. Ratu Ayu mengangkat kaki sebelah, seolah memberikan tempat pijakan. Pada saat yang sama, kakinya turun, siap menindih kaki Singanada!
Saat itu tubuhnya berbalik. Dua tangan terentang kaku. Lalu terpatah di bagian siku. Menempeleng pipi Singanada. Yang justru sedang meluncur. Namun Singanada tidak meneruskan niatnya menempatkan kaki di lantai yang diinjak oleh Ratu Ayu. Sebaliknya ia mengubah gerakan di tengah udara di saat tubuhnya meluncur dengan geliatan dan diikuti oleh auman singa.
Rambutnya yang terurai menyapu lantai, seakan dua kaki yang menyangga. Sebelum tubuhnya membelit Ratu Ayu. Dan melesat ke atas. Ke arah langit-langit sitinggil. Sitinggil adalah bangunan yang tinggi. Langit-langitnya mencapai tiga tombak di ruang tengah. Sehingga Singanada bisa melesat dan seolah burung yang menguasai udara. Ratu Ayu mengeluarkan seruan dingin. Tubuhnya terpatah, pantatnya jatuh mengenai lantai dan dengan seketika melesat ke angkasa. Menyusul tubuh Singanada yang juga masih meluncur ke atas!
Gendhuk Tri mengeluarkan seruan tertahan. Juga hampir seisi sitinggil. Ketika itulah Nyai Demang mendengar suara Upasara Wulung! Nada suaranya yang lembut dan sangat melindungi terdengar di antara helaan napasnya.
"Hati-hati, Putri Junjungan... Kita kembali ke kaputren saja."
Asal suara dari bagian sisi selatan, yang punggungnya mengarah ke Keraton. Dari seorang lelaki yang membungkuk seperti prajurit jaga, dengan kumis sangat tebal menutupi separuh wajahnya. Itu pasti Upasara Wulung! Hanya saja tidak masuk akal kalau Upasara Wulung harus menyamar seperti itu. Sungguh tak bisa diperkirakan. Upasara Wulung bukan orang yang begitu saja menyembunyikan dirinya.
Tapi mengingat bahwa yang diperingatkan dan sekaligus dilindungi disebut dengan "Putri Junjungan", Nyai Demang bisa menebak tepat ke arah dua bocah yang berpakaian terlalu besar bagi tubuh mereka. Dengan mudah Nyai Demang mengetahui bahwa itu pasti Tunggadewi dan Rajadewi. Dua putri Permaisuri Rajapatni! Peringatan Upasara pada dua "Putri Junjungan" mempunyai jangkauan yang luas.
Karena serentak dengan itu, beberapa obor penerangan di sitinggil menjadi padam. Hanya kesiuran angin terasakan di mana-mana. Ratu Ayu menyusul melesat ke angkasa, menyusul Singanada yang juga masih melesat naik. Ini sekaligus menandakan bahwa cara meringankan tubuhnya jauh di atas Singanada.
Nyai Demang tak memperkirakan, bahwa ini juga merupakan bagian jurus Lompat Turkana! Kemampuan utama memindahkan kekuatan, menggeser apa yang ada di depannya menjadi tenaganya sendiri. Seperti yang dilakukan Ratu Ayu kala mencoba menangkap pendengaran jarak jauh. Dengan cara melipat jarak, meloncati barang yang ada di depannya. Seperti yang dipamerkan oleh Senopati Sariq dan senopati Turkana lainnya dalam melabrak senopati Keraton.
Hanya bedanya, Ratu Ayu memainkan dengan tegak lurus! Tidak mendatar. Tubuh Singanada yang dipakai sebagai jembatan meringkas jarak. Sehingga dengan mudah bisa melalui. Singanada tidak membiarkan begitu saja. Begitu merasa ada tenaga yang melalui, dengan segera tubuhnya merebah, tengadah ke arah langit-langit, dan satu tangan meraih pinggang Ratu Ayu. Dengan menekuk dan mengimpit, Singanada berusaha mematahkan Lompat Lurus Turkana.
Gerakan sama yang dipakai ketika mematahkan rangkaian serangan Senopati Sariq. Dengan menempel erat, tak ada tenaga yang bisa "dipinjam" lawan. Sebab, kalau Ratu Ayu berhasil melesat lebih tinggi dan berada di atas Singanada, singa Singasari akan berada di bawah angin. Dalam arti lahiriah maupun dalam arti tersirat.
Melihat lawan bisa menebak dan memotong rencananya, Ratu Ayu menggeliatkan tubuhnya, seakan babut yang dikebutkan. Seperti permadani yang dikedut agar debu dan kotoran yang melekat musnah terguncang. Tenaga ini yang menggagalkan usaha Singanada. Dan sekaligus memadamkan beberapa obor penerangan. Yang telah terbaca oleh Upasara.
Nyai Demang benar-benar terpesona. Sesaat sebelum obor padam dan suasana menjadi gelap, Nyai Demang sempat melontarkan pandangan kagum ke arah Upasara, yang dibalas dengan sorot mata kikuk. Tentu saja Upasara mengetahui keberadaan Nyai Demang dan Gendhuk Tri. Bahkan bisa mendengar sebagian percakapan mereka. Hanya saja Upasara tak bisa memberitahukan dirinya. Kekikukan pandangan Upasara dalam sekejap bisa dimengerti oleh Nyai Demang.
Walau tidak sepenuhnya tahu bagaimana ceritanya Upasara sampai menjadi pengantar Tunggadewi dan Rajadewi, akan tetapi Nyai Demang bisa memaklumi. Yang barangkali tak terpahami oleh Upasara sendiri! Ia tak menyangka akan berada di sitinggil dengan cara menyamar memakai kumis palsu setebal ini. Sewaktu bersama Nyai Demang menyusup ke dalam Keraton, Upasara berniat mencari Halayudha. Nyai Demang mengisyaratkan bahwa Halayudha sedang berada di ruang pasamuan alit, atau ruang sidang yang lebih kecil dibandingkan dengan wisma pasamuan agung.
Saat itu Nyai Demang menyamar sebagai dayang, dan ikut menyelinap. Sedangkan Upasara, karena merasa tak enak menyelundup, lebih suka mengundurkan diri. Niatannya adalah ingin keluar dari Keraton. Akan tetapi saat itu terbersit dalam pikirannya untuk mengetahui keadaan Dewa Maut. Dengan harapan bisa membujuknya untuk keluar, dan atau membebaskan jika terjadi sesuatu yang membahayakan jiwanya. Salah satu jalan yang diketahui ialah melalui sumur kering di dekat kaputren.
Tak begitu mudah menemukan, karena sumur kering itu telah ditutup oleh Halayudha. Dan selama berada di kaputren, Upasara mendengar suara yang tak asing lagi bagi telinganya. Suara Tunggadewi dan Rajadewi yang meratap. Upasara lebih kaget lagi karena ucapan itu ditujukan ke arah dirinya.
"Demit... Paman Demit yang menguasai alam lembut, kami minta perkenanmu agar bisa turut menyaksikan Ratu Ayu. Paman Demit, maukah kamu mengabulkan permintaan kami?"
Benar adanya. Tunggadewi dan Rajadewi tengah bersila di depan pohon sawo kecik. Seperti ketika Upasara bersembunyi, menangkap kupu-kupu dan burung. Dalam alam pikiran Rajadewi maupun Tunggadewi, demit atau makhluk halus itu benar-benar ada, dan akan menolong mereka!
Upasara menjadi bimbang. Kalau ia muncul, bisa menjadi malapetaka. Sekali saja diketahui oleh prajurit, cerita dan kisah hidup Permaisuri Rajapatni akan berubah menjadi kenistaan yang tak tertanggungkan. Akan tetapi Upasara tak bisa berdiam diri. Hatinya menjadi iba. Bahkan kalau itu bukan putri-putri Gayatri, ia tetap tergerak untuk menolong.
"Paman Demit... nanti malam Ratu Ayu akan muncul. Rakyat kecil pun bisa menyaksikan keayuan yang memadamkan sinar wajah seluruh bidadari, sedangkan kami tak boleh menyaksikan. Paman Demit, tolonglah kami."
Marakata Warna
UPASARA tak bisa berbuat lain. "Baik, baik. Paman Demit akan mengajak kalian menengok Ratu Ayu. Akan tetapi kalian berdua harus minta izin lebih dulu."
"Wooo, bagaimana mungkin? Paman Demit tahu bahwa Kakangmas Pangeran Pati tak memperbolehkan kami, bahkan kemari sekalipun."
Upasara merasa dirinya sangat tolol. Ia menyarankan meminta izin maksudnya memberitahu Permaisuri Rajapatni. Akan tetapi Tunggadewi menangkapnya sebagai izin dari Pangeran Pati Kala Gemet. Pasti tak akan diberikan! Karena mengingat Nyai Demang, Upasara menyarankan agar kedua putri mengenakan kain yang biasa dipakai prajurit, serta ikat kepala untuk menutup rambut. Ia sendiri kebingungan untuk menyamar.
"Begini, Paman Demit?"
"Ya," jawab Upasara di balik pohon. "Hanya sekarang Paman Demit ini perlu juga menyamar. Kalau tidak, akan sangat menakutkan."
Sebagai demit, Upasara mengetahui bahwa bayangan semua orang mengenai hantu pastilah berwajah seram, menakutkan.
"Tutupi wajah Paman Demit dengan kumis saja."
Dengan polosnya Tunggadewi mengambil cundrik, atau keris kecil, dan memotong sebagian rambutnya! Dan potongan rambut itulah yang dipakai Upasara sebagai kumis. Kalau itu terlalu besar dan tak keruan bentuknya, bisa dimengerti.
Setelah surya tenggelam, Upasara yang menjadi Paman Demit menjemput Tunggadewi dan Rajadewi. Dalam gelap mereka berdua tak begitu mengenali dinding kaputren. Bagi Tunggadewi dan Rajadewi, mereka merasa bahwa demit bisa berbuat apa saja. Termasuk terbang. Jadi tidak begitu hirau akan kehebatan Upasara. Dan tidak bertanya-tanya sesuai dengan pesan Upasara.
Dari kaputren, Upasara justru menyusur lewat dinding atas, meloncat turun di sebelah luar. Kemudian membawa ke arah sitinggil. Menempatkan diri di barisan tempat duduk para putra-wayah, atau anak-cucu Keraton. Kehadiran mereka berdua tak menarik perhatian, karena mereka tampil sebagai anak-anak Keraton bagian ksatrian. Kalau tetap sebagai anak perempuan, bisa menimbulkan tanda tanya besar.
Kehadiran Upasara sendiri tak banyak menarik perhatian. Karena biasanya para putra-wayah selalu dikawal. Sejak pemunculan Ratu Ayu, Tunggadewi dan Rajadewi selalu mencuri pandang, kadang secara terang-terangan. Keberanian baru surut sewaktu rombongan Putra Mahkota juga berpindah ke sitinggil. Ketika itulah Upasara merasa bahwa telah terjadi perkembangan yang bisa membahayakan. Namun ajakan untuk segera berlalu tak digubris. Tunggadewi ingin melihat Ratu Ayu lebih jelas.
Karena tak bisa memaksa, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan Upasara adalah berusaha melindungi sebisa mungkin. Dengan gerakan dan kata-kata yang cukup keras. Yang membuat Nyai Demang mengenalinya.
Dalam kegelapan, Singanada merasa tubuhnya terlempar kencang dan sekaligus terbanting. Kena tindih kebutan Ratu Ayu. Sambil menggerung keras, tubuh Singanada menjulur, dengan kedua tangan meraup ke pinggang Ratu Ayu. Bahwa tubuh dan gerakan Singanada bisa begitu luwes dan cepat bergerak, membuat gerakan kaku Ratu Ayu seperti masuk ke dalam lubang yang kosong. Setiap kali akan meminjam tenaga Singanada, setiap kali itu pula Singanada berhasil membebaskan diri. Maka keduanya turun ke bawah. Berada di tempatnya semula.
Senopati Sora sudah memerintahkan agar obor penerangan dinyalakan kembali. Dalam suasana remang-remang, nampak tubuh Ratu Ayu seperti mengeluarkan sinar hijau berkilau, memancar dari seluruh permukaan kulit. Namun jelas, dengan dua tangan merenggang, dalam bentuk patah. Satu tangan tertekuk ke bawah, satu tertekuk ke atas.
Singanada membuang kantar-nya. Mengikuti gerakan Ratu Ayu, dengan tubuh sedikit miring. Rambut hitam yang tergerai seakan membalikkan warna berkilau.
Upasara merangkul kedua putri, karena penciumannya merasakan bau yang mulai amis, bersamaan dengan warna hijau berkilau.
"Bagus sekali. Marakata Warna yang terlatih. Aku suka, Ratu."
Bersamaan dengan itu, Singanada menggeliat dan kedua tangannya menyentuh lantai. Punggungnya lurus. Menggerung keras, dan menubruk. Benar-benar gerakan seekor singa! Rambutnya seakan berubah menjadi sekian ribu cakar dan sekaligus seperti ekor yang menyabet. Ratu Ayu menggerakkan kedua tangan lurus ke bawah, menolak keras! Gerakan Singanada menjadi oleng, akan tetapi tetap menerkam. Kedua tangan seakan merobek tubuh Ratu Ayu dengan entakan yang keras.
Masih berada di tempat berdiri, bergeming, Ratu Ayu bersiap seperti semula. Hanya kini, warna hijau menyilaukan yang mengelilingi tubuhnya berubah menjadi warna merah. Merah delima. Lebih menyilaukan dan lebih terang.
Nyai Demang sudah menyipitkan mata.
Kedua telapak tangan Upasara menutupi wajah Tunggadewi maupun Rajadewi.
Putra Mahkota yang tetap terbengong tak mendengar nasihat Senopati Sora yang diucapkan cukup keras.
"Tarian Penjemput Maut macam apa ini pakai warna-warni segala macam?"
Nyai Demang memberi isyarat agar Gendhuk Tri berdiam diri. "Hati-hati. Inilah yang disebut Marakata Warna. Tenaga dalam Ratu Ayu jauh di atas tenaga dalammu yang mempergunakan warna-warni selendang. Ratu Ayu mampu mewujudkan dari warna tubuhnya."
Kali ini Gendhuk Tri tak bisa menyembunyikan decak kagumnya. Memang luar biasa sekali. Marakata Warna adalah mengubah diri menjadi sewarna dengan batu mulia, batu zamrud, atau batu ratna. Dalam pengertian biasa, batu zamrud berwarna hijau berkilau. Akan tetapi warna hijau berkilau bukan satu-satunya warna. Ada juga warna lain, yaitu merah. Marakata Mirah adalah warna merah delima.
Selama ini Gendhuk Tri memakai selendang warna-warni tanpa pernah menyadari bahwa sebenarnya, warna itu bisa dipancarkan dari tubuh. Seperti yang dipamerkan oleh Ratu Ayu Bawah Langit. Kalau senopatinya yang unggul diberi nama Sariq, yang artinya kuning, agaknya Ratu Ayu sudah jauh berada di atasnya. Dengan kemampuan menguasai berbagai warna.
Singanada menggerung keras. Kepalanya merendah, akan tetapi tetap mendongak. Disertai satu lompatan keras, Singanada kembali menubruk. Dan Ratu Ayu menangkis. Dalam sekejap seluruh ruangan seakan dipenuhi warna merah, berbias-bias ke segala penjuru. Singanada menggeliat, tubuhnya mengelilingi lebih cepat dan rapat. Bergerak mengikuti gerakan patah-patah Ratu Ayu. Dalam sembilan bayangan.
Dari kejauhan Halayudha bisa menyaksikan pengaturan tenaga Nawawidha, atau Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Sembilan bayangan tubuh Singanada yang berubah menjadi singa, menggempur dan terus mencakar. Geraman dan auman Singanada membuat lingkaran merah delima berkilau yang terpancar dari tubuh Ratu Ayu beberapa kali buyar karenanya.
"Nawadwara," teriak Singanada dengan auman dahsyat, dan mendadak di seluruh ruangan seperti ada bayangan tubuhnya, akan tetapi juga tersisa kesempatan bagi Ratu Ayu buat meloloskan diri.
Nawadwara, adalah jurus yang mengandung pengertian sembilan lubang, atau sembilan pintu. Ilmu andalan Singanada telah mulai tertarik keluar dengan sendirinya. Karena Ratu Ayu ternyata sangat tangguh. Dengan jurus Nawadwara, Singanada tak lagi menyembunyikan dasar-dasar ilmunya. Yang berpatokan kepada angka dan atau hitungan sembilan! Sembilan lubang dalam tubuh. Sembilan indra. Sembilan lubang berarti sembilan kesempatan buat meloloskan diri, akan tetapi juga sembilan tempat yang bisa menindih dan menjebak.
Ratu Ayu mengeluarkan suara pujian. Nyaring.
Bait Terakhir, Bait Kesembilan?
PUJIAN Ratu Ayu tak bisa dimengerti oleh Singanada. Karena diucapkan dalam bahasa aslinya. Bahkan Nyai Demang tak bisa menangkap sepenuhnya. Akan tetapi mengetahui bahwa ini telah memasuki saat-saat yang menentukan.
Ilmu Auman Sembilan Singa sudah memasuki bagian yang menentukan. Bersambungan jurus demi jurus dilancarkan. Mengalir dengan garang, mengepung Ratu Ayu dari berbagai penjuru. Lompatan Singanada seperti menguasai ruangan secara penuh dan utuh. Ratu Ayu seperti terkurung di tengah. Nyatanya memang begitu.
Lompat Turkana yang tersohor itu menjadi mati langkah. Justru karena Singanada memamerkan lompatan yang berada di sembilan penjuru. Empat penjuru utama, empat penjuru lain di antara sela-sela empat penjuru utama, dan menguasai medan pertarungan di tengah.
Baru kini Nyai Demang menyadari kenapa Maha Singanada selalu berloncatan kian-kemari. Dalam ilmu silat yang dimainkan, selalu berarti sembilan hitungan. Satu gerakan yang biasa, dimainkan sembilan kali. Ini hebat! Tetapi juga ini bahaya.
Sebab dengan demikian Singanada seperti menguras tenaganya secara habis-habisan. Walaupun barangkali teratasi dengan latihan pernapasan Nawawidha yang berarti Aturan Tenaga Dalam Lipat Sembilan, akan tetapi ini jelas pengerahan tenaga yang luar biasa.
Kalau mau disamakan dengan jurus-jurus dalam Kitab Bumi, sebenarnya jurus-jurus yang dimainkan dengan tangan kosong ini adalah jurus berputar! Artinya bertarung di tengah angkasa sambil memutar tubuhnya sedemikian rupa.
Nyai Demang cukup kenyang menyaksikan Upasara atau Jaghana memainkan jurus-jurus berputar, yang hebat tetapi juga meminta tenaga sangat banyak. Di samping kedudukan sendiri maupun lawan sama terputar ke dalam satu bahaya yang sama besar. Dalam keadaan tubuh berputar kencang, tak ada istilah menyerang setengah-setengah.
Juga tak mudah menarik kembali serangan yang sudah diluncurkan. Karena akibatnya akan menghentikan tenaga putaran, dan bisa mengakibatkan luka dalam, bagi siapa pun yang melakukan! Karena tarikan tenaganya telah berlipat. Irama tubuh telah mengikuti irama percepatan.
Sampai di sini Nyai Demang bisa menduga-duga asal-usul ilmu Maha Singanada. Tidak berbeda jauh dari sumber utama Kitab Bumi! Hanya berbeda dalam permainan dan ciri-ciri utama. Karena dalam pertarungan ini, tenaga bumi yang ada diubah sedemikian rupa menjadi tenaga sembilan singa!
Walaupun Ratu Ayu seperti terkurung di tengah, akan tetapi sesungguhnya dalam pertarungan yang cukup lama, jelas Ratu Ayu bisa lebih menyimpan tenaga. Apalagi tenaga dalamnya sendiri agaknya lebih daripada Maha Singanada. Ini terlihat dari dengus napas Singanada yang makin lama makin keras.
Tanpa disadari Nyai Demang menggeser tempatnya, ke arah Upasara Wulung. "Adimas."
Upasara menggeleng. "Luar biasa, Nyai. Keduanya luar biasa."
Apa yang dikatakan Upasara sepenuhnya benar dan tepat. Walau mengurung, Singanada tak bisa menindih Ratu Ayu. Walau terkurung di tengah, Ratu Ayu tak mampu mengambil kesempatan untuk menerobos atau mengambil keuntungan dari tenaga lawan yang terbuang.
Ratu Ayu merasakan bahwa bayangan singa yang selalu datang dan pergi, mengaum, mencakar, mengincar, tak bisa dilewatkan begitu saja. Gerakan kaku yang ditampilkan makin lama juga makin cepat. Terseret oleh irama permainan yang ditampilkan Singanada. Kalau dikatakan ia memperoleh kesempatan mengatur tenaga, juga sama sekali tidak tepat. Bahkan bisa jadi Ratu Ayu terpaksa mengerahkan konsentrasi lebih terpusat. Lebih memeras kekuatan dalam.
Sementara terkaman Singanada tak berkurang tekanannya. Bayangannya yang berhasil menutup delapan penjuru serta menguasai titik tengah, betul-betul memperlihatkan penguasaan yang utuh. Beberapa jurus berlalu dengan cepat. Sangat cepat.
Putra Mahkota yang mengikuti menjadi berkunang-kunang. Beberapa kali kepalanya digelengkan untuk menghindarkan campur baur antara bayangan singa dan bayangan Ratu Ayu yang menjadi hijau dan merah.
Sementara di Keraton, Permaisuri Indreswari melirik ke arah Halayudha yang mengangguk pendek ke arahnya. Ini berarti sesuai dengan rencana. Kalau ini berarti pengurasan tenaga, putranya, Bagus Kala Gemet, akan bisa masuk ke dalam pertarungan. Pada saat yang menentukan untuk menjadi pemenang.
Hanya saja, di luar perhitungan Halayudha, Kala Gemet seperti terseret oleh pertarungan. Sehingga kesiagaannya menjadi berkurang. Ini yang akan mengubah seluruh jalannya pertarungan! Dan menyangkut mati-hidupnya beberapa senopati. Bahkan takhta Keraton!
"Bagaimana, Adimas?"
Upasara menggelengkan kepalanya.
"Maha Singanada memainkan sumber asli dari Kitab Bumi."
"Pandangan Nyai sangat tajam. Akan tetapi, saya kira ada beberapa bagian yang menjadi lebih tajam dan mengandung perubahan tak terduga."
"Apakah ini bukan 'baris terakhir yang tak terbaca oleh hati' seperti yang dipesankan oleh Eyang Sepuh?"
Alis mata Upasara mengerut. Bertemu pada satu titik. Suaranya tetap polos. "Saya tak bisa mengerti yang Nyai maksudkan."
Nyai Demang berbisik lirih. "Selama ini, kita semua telah mengetahui Kitab Bumi. Boleh dikatakan telah mempelajari dan mempraktekkan semua kidungan. Akan tetapi di Trowulan, Eyang Sepuh menitipkan pesan, bahwa ada bait terakhir yang belum terbaca atau terpelajari. Jangan-jangan apa yang ditunjukkan Maha Singanada adalah bagian yang terakhir itu."
Upasara mengusap wajahnya. Wajahnya terlihat dingin.
"Adimas Upasara, saya tak bisa menyaksikan dengan jelas karena kemampuan saya terbatas. Cobalah amati dengan baik. Siapa tahu inilah jawabannya."
Upasara menghela napas.
"Jangan kuatir, saya akan menjaga dua momongan yang manis dan ayu ini. Saya akan menjaga lebih daripada pedang berharga."
Upasara mengertakkan giginya. Pandangannya tajam ke tengah pertarungan. Sementara Gendhuk Tri yang kehilangan Nyai Demang mencari-cari. Tak begitu mudah menemukan Nyai Demang yang berada dalam keremangan cahaya antara merah dan hijau berkilau.
"Tak bisa, Nyai. Tak bisa disamakan. Inti Kitab Bumi, terutama delapan jurus terakhir, adalah penolakan, adalah korban, adalah penyerahan. Sedangkan Maha Singanada justru menguasai, menerkam, dan menutup sembilan jalan yang disiapkan."
"Justru itulah. Masa tidak sama dengan jurus Penolak Bumi? Perhatikan lebih saksama. Siapa tahu justru ini yang menjadi kunci memahami 'bait terakhir'. Tak akan lain, kalau dilihat bahwa sumber utama ilmu Maha Singanada tak berbeda jauh dari apa yang diajarkan Eyang Sepuh, Mpu Raganata..."
"Ya, akan tetapi tidak. Justru yang dimainkan Ratu Ayu mempunyai persamaan dengan ilmu Gendhuk Tri. Gerakan patah-patah yang dimainkan Ratu Ayu adalah gerakan tarian boneka. Terarah dan patah. Kebalikan dari gerakan yang luwes."
Komentar Upasara terhenti, karena secara tidak sadar, kedua tangannya merenggang dan melindungi Tunggadewi dan Rajadewi yang seperti tertidur, karena tak bisa mengikuti gerakan dan mulai terpengaruh kilauan cahaya. Gerakan Upasara karena melihat bahwa di angkasa terlihat delapan pedang melengkung beterbangan silih berganti. Delapan pedang lengkung milik senopati Turkan yang kini dipakai sebagai senjata oleh Ratu Ayu. Menusuk secara berturut-turut ke segenap penjuru, ke arah bayangan Singanada!
Takhta Turkana
MELESETNYA delapan pedang lengkung, secara berurutan, membuat Singanada mengubah gerakannya. Tangan kosongnya tak mampu meraup atau mematahkan, dan dengan demikian kantar yang menjadi andalannya dicabut kembali. Dengan sangat cepat, Singanada yang semakin beringas mencoba merebut atau menindih.
Tenaga dan lompatan Nawawidha ternyata tak mampu mengimbangi kecepatan Ratu Ayu. Beberapa kali Singanada seperti terlalu cepat datang. Justru karena arah pedang lengkung tidak seperti pedang lurus. Lebih lambat.
"Bahaya!" seru Gendhuk Tri keras. "Kalau Ratu Ayu berhasil memperlambat gerak, ini berarti bahaya. Nyai, di mana kamu?"
Singanada mengeram keras. Kantar di tangannya disabetkan keras, sementara ujung rambutnya menyampok pedang kedua. Dua-duanya bisa direnggut Ratu Ayu mendesis. Karena kini ia bisa menerjang maju dari sisi timur. Bergerak bagai boneka kayu, membuka kedua tangan, dengan enam pedang lengkung. Dari sini, keenam pedang menyusup ke seluruh tubuh Singanada.
Singanada terpaksa melepaskan kantar-nya., karena tak bisa mengikuti lagi. Satu atau dua bisa dihadang, akan tetapi yang lainnya seperti menerobos secara leluasa. Maka ia lemparkan kantar, untuk menghambat salah satu, dan menggunakan rambutnya untuk mencegat yang lainnya. Tapi jumlah pedang yang dimainkan Ratu Ayu bukan hanya dua. Inilah yang sekarang mencungkil tubuh Singanada.
Yang dengan sebat luar biasa, menjatuhkan tubuhnya ke depan, kedua kaki tertekuk melengkung ke arah pedang. Dua kaki Maha Singanada yang telanjang mencoba menangkap pedang lengkung. Dua pedang bisa dijepit dan sekaligus diputar untuk menyampok pedang yang lain. Terdengar suara nyaring jatuhnya pedang-pedang lengkung. Di sinilah bahayanya!
Karena pada saat itu Putra Mahkota Kala Gemet meloncat ke tengah arena pertarungan! Yang segera disusul Senopati Sora. Secara beruntun jatuhnya pedang-pedang itu dinilai sebagai langkah kemenangan Singanada. Dan Kala Gemet, seperti yang dipesan oleh Halayudha, akan maju pada saat yang menentukan. Untuk meraih kemenangan. Kesalahan terbesar.
Karena dengan jatuhnya beberapa pedang, tidak dengan sendirinya Ratu Ayu terdesak. Justru sebaliknya. Dari sekian banyak pedang lengkung yang tersampok, ada yang datang belakangan. Karena memang Ratu Ayu mampu mengatur tenaga dalam, di mana kecepatan lemparannya tidak sama. Lebih berbahaya, karena Ratu Ayu sangat mengenal sifat dan penggunaan pedang lengkung, di mana daya dorongnya sebagian berkurang. Dipandang dari sisi ini, jelas Ratu Ayu lebih unggul.
Kala Gemet tidak mempunyai perhitungan demikian panjang. Keinginan yang segera adalah menerjang maju, meraih kemenangan dan mendapat Ratu Ayu. Senopati Sora yang melihat adanya bahaya, tak bisa memperingatkan atau berteriak. Ia meloncat maju dan mendahului dengan ilmu andalan utama, Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu. Ujung kain yang tersampir di pundaknya menyapu keras disertai desisan suara bising dari bibirnya.
Sebagai senopati, tugas utama Sora sekarang adalah menjaga Putra Mahkota. Keselamatan Putra Mahkota adalah yang terutama dan satu-satunya. Maka langsung terjun ke tengah gelanggang. Walau ini jelas sangat bertentangan dengan suara ksatria yang masih mengalir dalam darahnya. Masuk ke dalam pertarungan, di mana sedang ada pertarungan secara ksatria adalah hal yang nista. Senopati Sora bahkan telah mengalami sendiri, ketika kemudian membawa akhir yang mengenaskan. Yaitu tewasnya Senopati Anabrang, setelah membunuh Adipati Ranggalawe.
Saat itu jiwa Senopati Sora seperti terombang-ambing dan hidupnya menjadi tidak jelas. Karena semua berlalu begitu saja, tanpa ketegasan apakah dirinya dinyatakan bersalah atau tidak. Apakah ada hukuman yang bakal dijatuhkan Baginda, ataukah pembebasan dari segala dakwaan. Nyatanya tak pernah ada keputusan dan ini membuat pertarungan dalam batinnya. Hukuman Baginda yang keras tidak ada. Selain perpindahannya dari Keraton, dan disingkirkan ke Dahanapura untuk mengawasi Putra Mahkota.
Akan tetapi, hukuman yang lebih berat lagi ialah tuduhan dari para ksatria dan senopati lain. Bahwa dirinya bersalah berat dan melakukan kehinaan. Bahwa nyawanya diselamatkan oleh Baginda karena tidak dihukum mati. Kalau sekarang Senopati Sora menerjang maju, bukan karena melupakan sifat-sifat ksatria. Bukan keinginan untuk membalas keluhuran Baginda, menerjang tanpa memedulikan keselamatannya sendiri.
Bagi senopati yang mengabdi secara tulus, Sora tak memperhitungkan keselamatan dan harga dirinya. Menolong Putra Mahkota yang menjadi tanggung jawabnya lebih berharga daripada apa saja. Itu sebabnya ia meloncat maju, mendorong tubuh Kala Gemet, dan dengan sisa kekuatannya mencoba menyampok pedang lengkung terakhir yang menusuk.
Dorongan kepada Kala Gemet berhasil menjauhkan Putra Mahkota dari ancaman maut. Gebrakan kedua, ujung kainnya bisa menyampok, akan tetapi dorongan lontaran Ratu Ayu lebih keras dari kemampuan menahan. Sehingga melesat dan melukai pundak Senopati Sora serta tertancap di sana. Darah mengucur seketika! Sementara itu Maha Singanada meloncat dan berdiri tegak. Wajahnya kaku.
"Aku menyerah kalah. Ilmu Ratu Ayu Bawah Langit sungguh hebat. Aku menyerah."
Pada saat yang bersamaan, delapan senopati Turkana sudah mempersiapkan diri. Memasang kuda-kuda. Satu kedipan mata dari Ratu Ayu akan membuat mereka menyerbu habis-habisan. Hal yang lumrah, karena setelah Senopati Sora dan Kala Gemet masuk ke dalam medan pertarungan, berarti pertarungan secara ksatria sudah dilanggar.
"Kamu belum kalah, Maha Singanada. Belum ada pemenangnya. Kita bisa melanjutkan."
Kala Gemet yang terhuyung-huyung menjadi merah padam wajahnya. Tangan kanannya bergerak ke udara. Dengan suara lantang ia berseru, "Tumpas musuh!"
Mahapatih Nambi meloncat, dan berdiri dengan gagah. Diikuti oleh senopati yang lain, serta para prajurit.
"Bagus, bagus. Kalau kalian semua mau maju mengeroyok, aku Ratu Azeri Baijani dengan senang hati akan melayani. Inilah sambutan kehormatan yang sesungguhnya. Aku bisa tahu siapa kalian sebenarnya."
Perang habis-habisan bisa segera terjadi. Kala Gemet tak menyadari bahaya. Ia bahkan menggerung, menyerbu masuk ke arah Ratu Ayu dengan ilmu yang diajarkan Senopati Sora. Akan tetapi sebelum tubuhnya mencapai setengah jarak, tangan Senopati Sariq yang terulur berhasil menjangkau dan menahan gerakannya. Dengan satu putaran, tubuh Kala Gemet terbanting ke lantai. Paling tidak, tulang pundaknya akan patah seketika. Itu kalau Kala Gemet cukup jitu menyelamatkan kepalanya. Kalau tidak, bisa dibayangkan tenaga bantingan Senopati Sariq!
"Yang begini mau memakai takhta Turkana, sungguh tak tahu malu sama sekali."
Kejadian berlalu sangat cepat sekali. Dan tak terduga. Siapa pun tak menyangka bahwa Kala Gemet akan menyerang secara serampangan. Kecuali Upasara Wulung. Bahkan rasanya, Upasara Wulung sudah bisa menebak perintah penyerangan yang dikeluarkan Kala Gemet. Saat itu, Upasara sudah bersiap mencegah. Tangan kirinya sudah memegang erat pedang hitam tipis, Galih Kangkam.
Dan melihat tubuh Kala Gemet dibanting bagai benda mati, Galih Kangkam terulur maju. Menahan tubuh Kala Gemet. Sambil melompat, Upasara membebaskan tekanan yang menindih pedangnya. Dengan begitu, Kala Gemet hanya sempoyongan. Tidak sampai terbanting dan luka parah. Tapi dengan begitu, Upasara telah memunculkan dirinya secara resmi.
"Kakang!" Gendhuk Tri menyebut dengan ucapan yang lantang.
Semua perhatian tertuju kepada Upasara Wulung. Kecuali Nyai Demang yang segera melindungi Tunggadewi dan Rajadewi dengan membawa menjauhi medan pertarungan yang setiap saat bisa terjadi.
Pedang Nglanglang
MAHA SlNGANADA memperhatikan Upasara tanpa berkedip. Selama ini ia hanya mendengar wajah dan penampilannya dikatakan mirip dengan Upasara. Nyatanya begitu. Singanada mengetahui bahwa yang berdiri gagah tetapi penampilannya lembut adalah Upasara Wulung, karena mendengar teriakan Gendhuk Tri yang memanggil dengan sebutan "Kakang".
Sebaliknya, Sariq merasa sedikit heran karena bantingannya yang sepenuh tenaga, bisa dimentahkan dengan besi panjang berwarna hitam dan kelihatan lentur. Berarti pemiliknya mempunyai tenaga dalam yang telah dikuasai secara sempurna. Upasara menunduk, memberi sembah ke Keraton, seolah kembali berjongkok, baru kemudian memberi hormat dengan tangan kanan tertekuk di depan dada dan hanya ibu jarinya yang menonjol.
"Saya mohon ampun atas kelancangan dan kekurangajaran ini. Kiranya Senopati Sariq, juga Gusti Ratu Ayu Azeri Baijani, serta sekalian para priyagung, sudi mengampuni. Sekali lagi, saya yang rendah meminta ampunan."
Ratu Ayu memandang lebih tajam. Tadinya dirasa aneh. Bukan karena apa, melainkan karena kumis tebal yang dipasang oleh Upasara menjadi mencong. Sehingga wajahnya menjadi lucu. Baru setelah menyadari bahwa yang mengganggu pandangan adalah kumis palsu sembarangan, Ratu Ayu berusaha menahan senyumnya.
"Ksatria penuh sopan, penuh santun, kalau kau senopati, senopati dari mana dan siapa namamu? Kalau pendekar, siapa gelarmu?"
Upasara memberikan hormatnya. "Maaf, Gusti Ratu. Hamba bukan senopati, bukan prajurit, tidak mempunyai gelaran apa-apa. Nama hamba Upasara Wulung, bekas prajurit Ksatria Pingitan."
Suasana menjadi senyap. Ratu Ayu mendongak.
"Hmmm, kiranya ini yang berhasil menjadi lelananging jagat, yang telah mengalahkan semua jago jagat. Tidak percuma nama besarmu. Sungguh kurang pantas, ksatria besar seperti ini harus menyembunyikan diri."
Wajah Upasara menjadi merah. Kata-kata Ratu Ayu bisa juga berarti sindiran yang tajam dan menampar. Dengan mengatakan "menyembunyikan diri" seolah Upasara sengaja mengintip pertarungan yang terjadi. Ini bukan sifat ksatria yang mengambil keuntungan dengan cara curang.
Upasara memang tidak begitu tajam lidahnya, tak bisa merangkai kata-kata pembelaan. Kalaupun ada, juga tak mungkin menerangkan bahwa ia sedang mengawal Tunggadewi dan Rajadewi.
"Maaf, Ratu Ayu."
"Karena kamu sudah masuk ke dalam gelanggang serta membawa pedang terhunus, sungguh tidak enak kalau aku tidak menyambutmu. Aku sudah lama menunggu dan ingin mengetahui apakah sebutan lelananging jagat benar-benar pantas kamu sandang atau tidak."
Upasara menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak pantas, Gusti Ratu Ayu."
"Kalau tidak pantas, kamu harus menyerahkan kepadaku."
Upasara mengangguk. "Kalau saya yang rendah memiliki tanda seperti yang Gusti Ratu Ayu maksudkan, saya akan menyerahkan saat ini juga. Tetapi, sesungguhnya tak pernah ada sebutan untuk itu."
Mendadak Maha Singanada tertawa. "Aneh. Sungguh aneh ksatria tanah Jawa ini. Serba melenggok seperti perempuan saja. Sudah lama dan sering kudengar nama Upasara. Tak tahunya mulutnya terlalu kecil untuk menerima tantangan. Kalah atau menang, apa ruginya? Kalau kamu mengaku ksatria Pingitan, jangan membuat cemar nama Baginda Raja Sri Kertanegara!"
Suara geram Maha Singanada membuat darah Upasara berdesir. Tapi wajah dan suaranya tetap dengan irama yang sama. "Maaf, segala nama besar itu sesungguhnya tidak ada. Bukan maksud saya membuat cemar. Saya hanya mengatakan pernah dididik dan dihidupi di Ksatria Pingitan, karena kebaikan beberapa senopati yang kasihan pada saya. Rasanya, saya tak pantas mengaku seperti ini.”
Ratu Ayu mendecakkan lidahnya. “Aku tak suka tata bicara yang tidak jelas apa maunya. Upasara, kalau kamu menyerah sebelum bertanding, berikan Pedang Nglanglang sebagai upeti bagi Ratu Turkana. Karena telah ikut campur dalam pertarungan ini.”
Upasara mengangsurkan pedangnya. Mendadak Gendhuk Tri berteriak keras.
“Jangan berikan, Kakang! Jangan!”
Upasara menggeleng lagi. “Biar!”
“Tidak bisa! Tidak bisa! Itu bukan pedang Kakang. Itu milik Paman Galih Kaliki. Apa hak Kakang memberikan kepada orang lain?”
Serampangan kata-kata yang diucapkan Gendhuk Tri. Tapi Nyai Demang memuji dalam hati. Dengan cara seperti ini, Gendhuk Tri bisa mematahkan keinginan Upasara Wulung. Karena, nyatanya itu pedang milik Galih Kaliki yang tersimpan dalam tongkatnya...!
BAGIAN 25 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 27 |
---|