Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 29
Nyai Demang tak terlalu paham. Akan tetapi bisa merasakan, bahwa pada masanya Kakek Kebo Berune ini boleh dikatakan sejajar dengan tiga tokoh utama. Hanya, barangkali saja, perjalanan hidupnya yang berbeda. Setidaknya kalau dilihat dari penyesalan yang masih tersisa dari kata-kata Kakek Kebo Berune.
Nyai Demang jadi lebih menghormat dalam hati. Kalau kakek tua yang hanya bisa berbaring ini sangat ketus, bisa dimengerti. Dalam dunia persilatan, tokoh yang sakti memang biasa mempunyai tabiat yang berbeda dari kebanyakan orang. Makin aneh kadang makin menandakan kesaktiannya.
Kalau masih ada yang mengganjal dalam hati Nyai Demang, itu adalah sejumlah kecil pertanyaan. Apa yang menyebabkan Kakek Kebo Berune ini menderita penyakit yang begitu parah, sehingga setiap kali menyebut ajalnya sudah dekat? Siapa yang mampu merontokkan tenaga dalam yang masih begitu sempurna? Siapa lagi tokoh yang lebih sakti itu?
Rasa penasaran yang lebih membuat tak bisa menahan rasa ingin tahunya ialah mengenai adanya Tiga Kitab Utama. Selama ini Nyai Demang merasa sudah membaca hampir semua kitab pusaka yang ada. Bahkan lebih dari itu, juga dalam berbagai bahasa lain. Akan tetapi selama ini tak pernah mengetahui bahwa Eyang Sepuh ternyata juga menulis! Seperti apa pula itu?
“Apa betul Eyang Sepuh juga menulis kitab pusaka?”
“Pusaka atau tidak, mana aku tahu? Bejujag itu selalu mengganti setiap kali. Akhirnya ia tak mau menuliskan lagi ilmu silat atau latihan pernapasan. Ia lebih suka melamun. Aku pernah membaca sebagian kidung lamunan untuk menyenangkan nyamuk dan menggelisahkan Raja. Bejujag itu memang licik, licin, pandai, cerdik untuk selalu mencari perhatian.”
“Apakah Eyang Berune mengetahui nama kitab yang ditulis Eyang Sepuh?”
Tubuh yang tergeletak itu tetap tak bergerak. Perubahannya hanya terlihat di bibirnya. Sedikit mengejek. “Kamu akan kecewa. Bejujag itu cuma cari nama. Kitab yang ditulisnya tak lebih dari coretan anak-anak di pinggir sungai. Jauh di bawah kemampuan Bintulu yang dengan tegar dan gagah mampu menulis Kitab Bumi. Jauh di bawah kemampuan Raganata yang menulis Kitab Negara. Baik Bantala Parwa maupun Negara Parwa tak bisa disamai. Hanya disamai saja tak mungkin. Tapi Bejujag pintar, cerdik, nasibnya baik, dihormati, dipuja, disembah. Sejak dulu Baginda Raja selalu terkesima dengan kepandaian Bejujag bertutur kata. Dan Bejujag itu selalu bisa menarik perhatian dunia. Ksatria seluruh jagat merasa terhormat memenuhi undangannya. Akan lain kalau yang mengundang Bintulu, atau bahkan Raganata sekalipun! Padahal Bejujag itu hanya menulis beberapa bait kidungan yang paling kampungan.”
Nyai Demang tak bisa menahan diri. “Apakah itu termasuk ‘bait yang tak terbaca di hati’? Rasanya…”
Napas Eyang Kebo Berune berangsur tenang. Membaik. Wajahnya, sedikit lebih bersemangat. “Itulah kelebihannya. Bait atau huruf yang dipakai selalu menjadi lebih terkenal. Bahkan Kitab Bumi pun dianggap sebagian atau seluruh ksatria sebagai hasil karya Bejujag. Bahkan ketika Bejujag mengatakan bahwa bukan ia yang menciptakan, tak ada yang percaya. Kalau bukan nasib baik, apa lagi namanya?”
“Eyang, apa nama kitab pusaka itu?”
“Lupakan. Itu bukan kitab. Apalagi pusaka. Itu hanya merupakan beberapa baris kidungan, yang dinamai Kidung Paminggir. Entahlah kalau sekarang sudah diganti lagi. Ah, aku tahu. Bejujag tak berani muncul karena takut ketahuan belangnya. Makanya ia menyembunyikan diri. Kalau tidak, ia pasti tahu aku di sini. Bejujag, Bejujag! Sampai kapan kamu dipuja?”
Meskipun meragukan, tak ada rasa dendam dalam nada ucapannya. “Kamu akan kecewa, kalau sudah membaca tulisannya. Aku lebih kecewa, karena aku tahu persis ia main-main. Ia mempermainkan aku, mempermainkan Bintulu dan Raganata. Mempermainkan seluruh ksatria sejagat. Dan ia menikmati. Aha, apakah tidak ada yang lebih ajaib dari hal ini? Bahkan kamu pun tahu ‘bait yang tak terbaca di hati’. Kalau ia berani muncul, akan aku telanjangi ia di sini, memaksanya meminta ampun dan menjilati kakiku, dan aku tak memperbolehkan. Biar tahu rasa.”
NYAI DEMANG, yang merasa begitu tulus menghormat pada Eyang Sepuh, merinding kulitnya. Baru sekarang ia mendengar sendiri, seorang kakek yang terbaring dan sedang sekarat mencaci Eyang Sepuh dengan kata hinaan yang keterlaluan.
“Bisa jadi Eyang Sepuh menulis kitab yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah sampai pada tingkat tinggi.”
“Salah. Keliru. Itu selalu jalan pikiran orang lain. Tapi aku tak pernah bisa dikibuli. Aku tahu persis siapa dia. Upasara, coba kamu mainkan dasar-dasar Kitab Bumi. Aku ingin menyaksikan sebentar.”
Upasara memberi hormat. Lalu berdiri, dengan kaki sedikit mengangkang. Mulailah ia memainkan dengan cepat, Dua Belas Jurus Nujum Bintang secara penuh, kemudian disusul dengan Delapan Jurus Penolak Bumi. Kemampuan Upasara dengan pengaturan tenaga dalam membuat Nyai Demang makin bertambah rasa kagumnya. Getaran tenaga dari seluruh kulit Upasara mampu menggerakkan debu dan abu dalam rumah, akan tetapi setelah selesai memainkan, debu dan abu itu seperti tertumpuk di tempatnya semula! Seperti tak pernah ada angin sebelumnya.
Namun, Eyang Kebo Berune sama sekali tak menoleh. Tetap tergeletak memandang langit-langit. Melirik pun tidak. Yang membuat Nyai Demang heran, justru karena tanpa melirik pun Eyang Kebo Berune bisa mengetahui apa yang dimainkan Upasara.
“Dasar-dasar ilmu Kitab Bumi itu masih saja seperti yang ditulis oleh Bintulu. Hanya delapan jurus terakhir itu dikembangkan sedikit oleh Bejujag. Apa itu yang disebut-sebut sebagai Tepukan Satu Tangan?”
“Pandangan Eyang sangat tepat.”
“Hebat. Sekali lagi aku harus memuji Bejujag itu. Bintulu yang susah payah menemukan, dengan satu polesan saja menjadi Tepukan Satu Tangan yang seolah ciptaan Bejujag. Tapi ada apa dengan tangan kananmu? Bagaimana kamu bisa menjadi lelananging jagat dengan tangan lumpuh seperti itu?”
Upasara menjelaskan bahwa tangan kanannya masih kaku digerakkan, meskipun tidak selalu mengganggu, karena pukulan dari Halayudha.
“Siapa Halayudha? Halayudha atau Bintulu?”
“Besar kemungkinan murid yang mencelakakan Paman Sepuh Dodot Bintulu.”
“Nah, berarti jelas sekali sekarang ini. Ilmu yang dipuji seluruh jagat, yang membuat semua pendekar sejati kelas utama datang ke tanah Jawa ini, bisa dikalahkan. Tepukan Satu Tangan yang hebat itu bisa dipatahkan oleh Bintulu. Berarti ia sudah berhasil memecahkan rahasia ciptaan Bejujag! Bintulu, akhirnya kamu yang paling perkasa juga.” Pujian yang terdengar menggeletar.
Upasara seperti disadarkan bahwa dalam banyak hal, Halayudha memiliki ilmu yang sakti mandraguna. Ilmu sakti sejati, yang bisa mematahkan ciptaan Eyang Sepuh. Pada penguasaan yang sempurna, benar-benar merupakan maha malapetaka di belakang hari. Baru sekarang terjawab, kenapa Upasara bisa dilumpuhkan oleh pukulan Halayudha.
“Upasara, apakah kamu juga murid Bintulu?”
“Saya tak berani mengaku. Sebagian yang saya pelajari adalah dari Kitab Bumi yang ternyata ciptaan besar Paman Sepuh Dodot Bintulu.”
“Bukan, bukan itu. Apa yang kamu mainkan sepenuhnya Kitab Bumi yang sudah disempurnakan Bejujag. Terutama sekali dalam Delapan Jurus Penolak Bumi. Itu tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi tarikan napasmu, adalah murni dari dasar yang diajarkan Bintulu.”
Upasara menyembah hormat. Menjelaskan bahwa ia pernah menghancurkan tenaga dalamnya. Dalam perjalanan kemudian, bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengajarkan cara-cara memanggil kembali yang tersimpan, sehingga kekuatannya pulih kembali.
“Mungkin ini jawabannya.”
“Bukan mungkin. Memang begitu. Kalau begitu bisa bahaya.”
Nyai Demang yang berkeringat. “Bahaya?”
“Kalau kamu menyebut bahaya, cah slemok.”
“Di mana bahayanya?”
“Seperti aku ini. Terbaring seperti ini. Karena pertarungan antara kekuatan tenaga dalam. Berganti-ganti aku mempelajari apa yang ditulis Bintulu dan Bejujag, sehingga akhirnya seperti ini. Aku mempunyai ilmu yang kuberi nama Pukulan Pu-Ni. Nama ini untuk mengingatkan bahwa pukulan ini benar-benar tercipta di tanah Pu-Ni atau Beruni atau Brunei, atau Barune, atau Berune, tergantung lidah kamu mau bilang apa. Pukulan ini, demi Dewa, seperti Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi ternyata tenaga murni yang kumiliki dasarnya berbeda. Waktu aku seusia kamu, hal ini tak terasakan. Sekarang baru terasakan akibatnya. Aku sengaja datang untuk memberitahu Bejujag. Bahwa keduanya adalah manusia paling terkutuk di jagat ini. Bahwa persaingan keduanya menghancurkanku.”
“Kenapa Kakek selalu mendendam pada mereka yang terhormat?”
Pertanyaan Nyai Demang membuat sorot mata Eyang Kebo Berune menatap langit-langit lebih keras. “Kamu akan begitu juga, kalau mengetahui kekasihmu ini hanya bisa berbaring seperti aku, dan susah mati.”
Nyai Demang bergidik. Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune merobek seluruh angan-angannya. Bukan karena disebutnya Upasara sebagai “kekasih”, melainkan karena keadaan Eyang Kebo Berune yang mengenaskan. Seperti sekarang ini! Bukan oleh lawan, melainkan oleh dirinya sendiri.
Benarkah Upasara akan mengalami keadaan sekarat seperti ini? Dan ini karena persaingan antara Paman Sepuh dan Eyang Sepuh?
“Mereka berdua sengaja memberikan ilmu silat dan cara pernapasan yang bertentangan. Agar dipelajari dan masing-masing pastilah berpikir yang lainnya akan rontok dan hancur. Celakanya, justru akulah yang terkena. Upasara, seharusnya kamu bisa membaca bahwa pengerahan tenaga tumbal adalah penyerahan. Yang berarti kerelaan. Kerelaan yang apakah kalau menderita seperti ini juga harus rela? Nah, apakah kalian masih mau mengatakan aku jahat dengan memaki Bejujag? Siapa yang paling jahat? Aku, yang memilih menjadi prajurit dan dikirim ke tanah seberang? Ataukah Bintulu yang merasa dirinya paling tampan dan perkasa? Ataukah Raganata yang ingin menikmati kebesaran duniawi dengan mengabdi kepada Baginda Raja? Ataukah Bejujag yang secara sengaja menuliskan lamunan untuk menjungkirbalikkan ketenteraman? Ataukah Pulangsih yang menggoda itu?”
Kini, Nyai Demang bisa menangkap lebih luas daripada Upasara Wulung. Cepat sekali jalan pikiran Nyai Demang berkembang ke arah masa yang diceritakan Kakek Kebo Berune. Bahwa pada masa-masa itu ada tiga ksatria muda yang mempunyai nama besar. Di samping mereka ada juga seorang ksatria yang menjadi senopati, dan kemudian sesuai dengan sebutannya, dikenal sebagai Kebo Berune.
Ini ternyata belum semuanya. Masih ada satu lagi yang disebut dengan nama Pulangsih. Entah siapa tokoh yang satu ini, dengan kesaktian seperti apa pula. Yang jelas, sebutan nama itu menunjukkan adanya dendam atau kemarahan, penyesalan, tetapi juga kegeraman yang berhubungan dengan asmara. Pulangsih bisa berarti nama seorang wanita, akan tetapi juga bisa berarti kumpul asmara. Bermain asmara.
Nyai Demang bisa mengetahui bahwa tokoh wanita yang satu lagi tidak bernama Pulangsih. Nama itu lebih menunjukkan julukan yang akrab bagi mereka. Seperti halnya menyebut Eyang Sepuh dengan Bejujag atau si Kurang Ajar. Sangat mungkin sekali, di masa mudanya Eyang Sepuh di antara sebayanya dikenal sebagai kurang ajar. Dan nama Pulangsih diberikan karena keempat ksatria ini sama-sama terlibat daya asmara.
Siapa pun orangnya yang disebut Pulangsih ini pasti luar biasa. Kalau tidak, mana mungkin keempat ksatria yang perkasa pada zamannya memperebutkan?
“Kakek Kebo Berune, di manakah Eyang Putri Pulangsih sekarang ini?”
Tak ada jawaban. Hanya dada kakek tua yang tergeletak tanpa gerak itu jadi turun-naik dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal.
“Rasanya aku mati sekarang ini.”
TUBUH kakek tua itu tergetar hebat. Tanpa suara gigi gemeretuk. Tanpa gerak. Hanya dengus napasnya tak teratur. Makin lama makin cepat, bergejolak. Nyai Demang memandang ke arah Upasara. Namun Upasara hanya menunduk tak memperlihatkan reaksi.
“Kakek sedang lelaku…”
Lelaku adalah istilah yang lebih halus dan menghormat daripada sekarat. Intinya sama saja. Menjelang ajal. Biasanya ditandai dengan tarikan napas yang makin lama makin cepat, tersengal. Walau ilmu tenaga dalam Nyai Demang tidak sangat istimewa, akan tetapi cukup bisa merasakan betapa gawatnya keadaan. Nyai Demang tak bisa berdiam diri.
Hatinya tidak tega melihat lelaki tua yang menderita sendirian itu. Tangannya terulur ingin menenangkan. Ingin melakukan sesuatu yang bisa, sedikitnya, memperingan penderitaan. Tubuhnya maju ke depan. Satu jari dari tubuh Kebo Berune, Nyai Demang menjerit. Tubuhnya tertekuk, kedua kakinya mendadak lemas. Ada sengatan tenaga yang menghantam ke ulu hatinya. Bagai kena sentakan halilintar. Sungguh tak dinyana tak diduga.
Dari tubuh yang kering kerontang tergeletak tanpa gerak ini bisa mengalirkan tenaga yang begitu kuat. Nyai Demang memegangi perutnya. Rasa mual dari ulu hati tak bisa ditahan. Saat itu tangan Upasara menyentuh. Dan mendadak Upasara menarik tangannya. Terasakan sentakan yang keras, bagai gelombang tenaga yang sangat tipis menyusup.
Berbeda dengan Nyai Demang yang terhuyung-huyung, Upasara tetap berdiri kukuh. Malah lalu merangkap kedua tangan, menggosok telapak tangan dengan gerakan kaku karena tangan kanannya belum sempurna. Lalu satu tangan maju mendekat ke arah tubuh Nyai Demang. Mendekat. Lekat. Dan ditarik kembali. Nyai Demang mengaduh. Tubuhnya terkulai.
Upasara mengulang kembali setelah memusatkan seluruh pikirannya. Kini, lebih jelas bahwa tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang adalah tenaga yang kelihatan bertentangan, bertarung satu sama lain. Sentuhan tangan Upasara mengalirkan tenaga yang terbendung itu. Ini yang tadi dirasakan oleh Nyai Demang ketika menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.
Sentuhan kedua, masih terasakan getaran yang kuat. Upasara mencoba menolak, akan tetapi tubuh Nyai Demang jadi berkelojotan dan mengeluarkan rintihan memelas. Terpaksa tenaga yang bergolak dari tubuh Nyai Demang diserap, sehingga Upasara merasakan getaran yang dahsyat di ulu hatinya. Sesaat. Tangannya dilepaskan.
Upasara memusatkan perhatian kembali. Mengumpulkan tenaga dalam, dan menjajal kembali. Di luar dugaannya, tenaga bergolak dalam diri Nyai Demang masih tetap kuat menyerang. Dan setiap kali Upasara berusaha menggempur, badan Nyai Demang bergoyang tak tahan. Ini hebat!
Bisa dibayangkan pergolakan tenaga dalam yang luar biasa dalam tubuh Eyang Kebo Berune. Pasti jauh berlipat ganda dari yang sekarang sedang mengamuk dalam tubuh Nyai Demang. Mengejutkan. Upasara cukup pengalaman dalam soal olah pernapasan dan latihan tenaga dalam. Boleh dikatakan unsur-unsur yang sejati dalam cara melatih pernapasan sangat dikuasai. Dengan Kitab Bumi sebagai sumber utama, Upasara tumbuh sebagai ksatria yang bisa disejajarkan dengan pendekar-pendekar berusia lanjut.
Lebih menguntungkan lagi, justru pada usia masih muda Upasara sempat menjajal dengan berbagai pertarungan yang penting dan menentukan. Akan tetapi, tenaga bergolak dari tubuh Nyai Demang tetap menimbulkan teka-teki baginya. Karena agaknya tenaga dalam Nyai Demang seperti terkuras untuk meletup ke luar. Kalau tidak akan menggerogoti kekuatannya sendiri. Seakan butuh penyaluran.
Bahayanya, jika tenaga itu didorong atau dilawan, tubuh Nyai Demang yang termakan, yang menjadi korban. Dengan kata lain, semacam tenaga bebas yang bergerak dan bisa menghantam apa saja. Sejak pertama kali, Upasara telah mengetahui ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Eyang Kebo Berune. Itu sebabnya ia menyabarkan diri untuk tidak bertindak sembrono. Hal itu yang juga diisyaratkan pada Nyai Demang.
Hanya saja pada saat terakhir, Nyai Demang merasa tidak tahan. Ia menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune. Akibatnya cukup gawat. Kini Upasara sendirian. Eyang Kebo Berune masih tetap tak bergerak, sementara Nyai Demang juga mengalami nasib yang sama. Kini saatnya bergerak untuk melakukan sesuatu.
Upasara pernah mengalami kejadian yang kurang-lebih sama. Yaitu saat di mana Gendhuk Tri terkena hawa racun yang luar biasa. Sehingga seluruh tubuhnya dialiri racun berbisa. Siapa yang tercakar, tenaga racun dalam tubuh Gendhuk Tri akan merembes masuk ke arah lawan. Sangat berbahaya, karena ini berarti maut. Bahkan jenis binatang berbisa tak berani mendekati tubuh Gendhuk Tri. Waktu itu Upasara bisa menyembuhkan dengan cara memberikan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa racun. Ini bedanya.
Sekarang ini kalau Upasara akan memberikan tenaga dalamnya, belum tentu berhasil. Karena tenaga dalam yang bergolak tak bisa dijinakkan. Dipaksa keluar dengan perlawanan, akibatnya membahayakan si penderita. Sementara kalau diterima, pengalihan tenaga bergolak ini rasanya tak berkurang. Nyai Demang masih tetap menderita, dan dirinya sendiri diamuk tenaga perlawanan. Tenaga sesat yang menjadi korban lebih banyak.
Upasara mencoba lagi. Kali ini berdiri tegak, dengan kedua kaki mengangkang. Tangan tertekuk di pusar. Perlahan kedua tangan bergerak ke atas, dengan siku mundur. Telapak tangan menghadap ke atas, bergerak naik. Seiring dengan tarikan napas yang dalam. Lewat ujung hidung, masuk ke dalam otak di kepala, lalu turun ke belakang lewat sumsum tulang belakang, dan dikumpulkan di bagian pusar. Sementara kedua tangannya bergerak perlahan ke depan, mendorong. Perlahan, dengan tangan kiri lebih mengarah, mendahului tangan kanan. Bersama dengan embusan napas yang sudah ditahan sebisa mungkin di pusar. Napas Bumi!
Tubuh Nyai Demang bergetar. Gejolak tenaga dalam menembus ke dalam tubuh Upasara lewat tangan Upasara. Yang untuk sementara melekat erat. Upasara menampung sekuat mungkin. Baru kemudian melepaskan dan melampiaskan tenaga yang bergolak ke arah luar. Terdengar gejolak keras. Pohon-pohon di luar rumah bergoyangan dan roboh. Gubuk itu sendiri bergerak, seolah jebol dari dasarnya. Sesaat Upasara menahan diri, merasakan sisa-sisa serangan tenaga Nyai Demang.
“Apakah lebih baik, Mbakyu Demang?”
“Ya.”
“Kalau begitu akan saya coba lagi. Mbakyu jangan melawan. Biarkan saja.” Upasara bersiap lagi.
“Percuma. Kamu akan mati kelelahan. Tenaga Pukulan Pu-Ni tak bisa dipindahkan begitu saja.”
Upasara memandang hormat kepada Eyang Kebo Berune.
“Nyai Demang-mu itu menjadi lebih baik tubuhnya karena memang begitulah adanya. Tenaga Pukulan Pu-Ni akan muncul dan lenyap secara mendadak. Sampai satu saat tertentu, ia tak kuat lagi dan mati. Bukankah sekarang aku segar lagi?”
“Eyang Berune, saya masih terlalu dungu untuk memahami. Akan tetapi rasanya selalu ada jalan keluarnya.”
“Bejujag mungkin tahu. Tapi ia tak mau mengatakan.”
Mendadak Nyai Demang menggeliat dan bangun, seperti segar kembali. “Kakek Berune, coba katakan bagaimana bunyi kidungan yang Kakek sebutkan. Siapa tahu kita bisa bersama-sama memecahkannya. Setidaknya kidungan yang pertama saja.”
“Kenapa kita tidak mati bersama tanpa penasaran? Pupuh pertama atau terakhir, apa ada gunanya?”
SEBENARNYA Nyai Demang sudah sangat merendah. Dengan mengatakan bisa dipecahkan bersama, Nyai Demang tidak ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dalam menguraikan arti Kidungan Paminggir dibandingkan Eyang Kebo Berune. Bahkan dengan menyebutkan pupuh pertama, atau bait pertama saja, Nyai Demang ingin mengetahui sampai sejauh mana kitab yang konon ditulis oleh Eyang Sepuh.
Alasan yang lain bagi Nyai Demang ialah karena secara langsung Eyang Sepuh menyebutkan hal itu dalam pertemuan dengan Upasara. Dan selama ini, beberapa kali Nyai Demang berusaha menerjemahkan makna kata-kata Eyang Sepuh. Dengan membolak-balik arti kidungan dalam Kitab Bumi. Hasilnya? Merasa bisa tapi juga ternyata bukan jawaban yang sebenarnya. Sehingga rasa ingin tahu Nyai Demang makin menggunung.
Sebenarnya Upasara juga mempunyai keinginan yang sama. Alasannya tidak jauh berbeda dari Nyai Demang. Dalam Kitab Bumi, selintas bisa dibaca mengenai cara berlatih tenaga dalam, cara mengatur pernapasan. Akan tetapi dari Kitab Bumi itu pula, dengan lirik kata-kata yang sama, bisa diterjemahkan secara lain. Bahkan kurungan bawah tanah yang berliku-liku juga bisa dipecahkan dengan lirik-lirik Kitab Bumi!
Seperti yang telah dilakukan Dewa Maut ketika memberi petunjuk Nyai Demang. Seperti yang telah diusahakan Nyai Demang untuk memancing kembali tenaga dalam Upasara yang musnah. Seperti yang diajarkan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam mengembalikan tenaga dalam Upasara Wulung.
“Eyang, barangkali ada gunanya dicoba.”
Terdengar helaan napas. “Baik, baik. Kuakui keunggulan Bejujag itu. Di jagat raya ini, rasanya hanya aku yang mendengar Kidung Paminggir. Tinggal aku yang bisa mengajarkan dusta ini. Bintulu sudah tak ada, Raganata sudah musnah, Bejujag sendiri sudah bersembunyi sepenuhnya. Tinggal aku. Kecuali kalau Pulangsih si penggoda masih ada. Baik, baik. Upasara dan Nyai Demang, dengarkan baik-baik. Katakan dengan jujur apakah aku yang membual, atau Bejujag itu yang kurang ajar.”
Sunyi sebentar. Upasara memusatkan perhatiannya. Nyai Demang siap mencatat kidungan di lantai yang berdebu.
KIDUNG PAMINGGIR
Pupuh pertama, rasa syukur kepada segala Dewa
yang memberkati keluhuran raja bijaksana
sembahan seluruh umat manusia
bergelar agung Baginda Raja Sri Kertanegara
tanpa cela, seumpama Dewa yang sesungguhnya
seluruh jagat terpikat mendengarnya!
Upasara masih menunggu. Nyai Demang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa kalian masih ingin mendengarkan pupuh berikutnya?”
“Hanya itu pupuh pertama?”
“Kamu kira Bejujag itu mau bersusah payah menyusun seperti Bintulu?”
Nyai Demang segera menghapus tulisan tangan di tanah.
“Nah, kalian masih beranggapan tulisan Bejujag sejajar dengan kitab yang lain?”
“Rasanya tidak di pupuh pertama.”
Terdengar tawa halus. “Aku lebih hafal dari Bejujag itu sendiri. Sampai pupuh kesembilan tetap tak ada apa-apanya. Bahkan lebih membual. Tapi baiklah, Nyai, karena kamu baik hati mau mati bersamaku, apa salahnya aku kabulkan keinginanmu? Sekalian menjelaskan bahwa Bejujag tak harus dipuja seperti itu. Dengar baik-baik, catat sampai putus jarimu.”
Sunyi lagi. Upasara kuatir jika serangan dalam tubuh Eyang Kebo Berune bergolak lagi. Karena bisa terhenti di tengah jalan. Untuk selamanya. Ini adalah kesempatan yang amat langka. Bisa bertemu secara langsung dengan tokoh yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan mengetahui lebih banyak dari siapa pun.
Pupuh kedua, masih atas Baginda Raja
yang lebih cendekia dari segala Dewa
Duh, Baginda, inilah kisah seorang lelaki
yang bertemu Tamu dari Seberang
memberikan takhta padanya
jadilah ia seorang raja
melahirkan anak cucu bermahkota
sampai akhir turunannya
Sampai akhirnya, adalah kisah lain
lelaki paminggir, lelaki nista dan miskin
mendengar suara, mendapat wahyu
Wahyu Paminggir
menjadi penguasa seperti Dewa
Wahyu Paminggir dimiliki oleh lelaki jelata
tanpa mahkota
Itulah saat, seluruh jagat
menatap kebesaran Keraton
Duh, Baginda Raja yang lebih bijak dari Dewa
ini bukan gempa, bukan bencana
sebab Wahyu Paminggir telah hadir
sejak sebelum dituliskan oleh si pandir!
Nyai Demang jadi ragu-ragu. Cara Kakek Kebo Berune mengidungkan sangat kurang enak di telinga, akan tetapi arti yang tertangkap lebih tidak enak lagi.
“Nah, kalian tahu sendiri bualan itu sekarang. Di saat Bintulu menyusun Kitab Bumi dengan jungkir balik, di saat Raganata merampungkan Kitab Negara, Bejujag justru main-main dengan lamunan. Bukankah semua tahu bahwa dulu ada lelaki bernama Ken Arok yang naik takhta, meskipun ia tidak dialiri darah Dewa? Bukankah Bejujag ingin menjelaskan lagi, bahwa kebesaran semacam itu akan terjadi lagi? Bukankah Bejujag ingin mengatakan ia sangat ingin sekali memegang jabatan itu? Dan ia berhasil. Berhasil mengguncangkan Keraton. Sejak itu Baginda Raja melarang Bejujag menulis. Melarang Raganata membaca semua karyanya.”
“Jangan-jangan yang diramalkan adalah Adimas Upasara.”
“Hmmm.”
“Bukankah paminggir berarti yang tidak pernah dianggap. Berarti selir, gundhik yang tidak resmi? Adimas Upasara juga ksatria yang tidak diakui resmi. Ia yang akan tampil suatu hari nanti. Ya, ya, ramalan dan perhitungan yang jitu.”
“Tolol!” terdengar seruan geram Kakek Kebo Berune menanggapi ucapan Nyai Demang. Untuk seorang tua, suara emosional begini terdengar menggelikan. “Sangat tolol. Karena semua orang yang tidak berdarah turunan merasa bakal jadi pahlawan dan penguasa besar di belakang hari. Ini meracuni jiwa. Dan semua keturunan Dewa dibuat risau karenanya. Lagi pula apa istimewanya nujum seperti ini? Bisa diartikan siapa saja.”
Upasara tetap tenang. Pikirannya lebih jernih dibandingkan Nyai Demang maupun Eyang Kebo Berune.
“Maaf, Eyang Berune, saat apa Eyang Sepuh menyusun Kidung Paminggir itu?”
“Saat apa? Tiap kali, ketiga ksatria perkasa mengirimkan hasil pemikiran dan pencariannya. Tidak saat apa-apa.”
“Apakah bukan jawaban bagi jurus-jurus yang dikemukakan oleh Paman Sepuh Bintulu? Atau jawaban bagi Eyang Mpu Raganata? Atau justru bagi Eyang Kebo Berune sendiri?”
“Atau bagi Eyang Putri Pulangsih?”
Tambahan kalimat Nyai Demang membuat Eyang Kebo Berune berkejap-kejap matanya. “Kenapa kamu berdua mempunyai jalan pikiran yang sama? Apa betul Bejujag itu yang paling sakti di antara kita semua? Sedemikian saktinya sehingga aku tak mampu menangkap kalimatnya? Bejujag, semoga kamu dikutuk semua Dewa yang pernah ada!”
KAKEK tua tetap tergeletak. Hanya jakunnya yang bergerak. Lebih cepat dari biasanya. Helaan napasnya agak tersendat. Nyai Demang terus memperhatikan.
“Maaf, Kakek Berune, kami tak ingin mengganggu Kakek. Apa pun pengalaman masa lampau yang pahit, kami tak ingin menghadirkan kembali. Keinginan kami hanya ingin menjajal sesuatu yang barangkali bisa untuk menyembuhkan saya, atau Kakek sendiri.”
“Dengan kata lain, kalian masih lebih percaya Bejujag. Mungkin harus begitu. Di antara kami berempat, Bejujag adalah yang paling tidak bisa apa-apa. Bintulu yang paling tampan, gagah perkasa tapi sekaligus lembut. Putri-putri Keraton akan merasa bahagia jika mimpi dilirik. Lebih dari ketampanannya, Bintulu paling tekun, paling baik budinya. Di antara kami bertiga, sama-sama mengakui bahwa Bintulu yang paling pantas menjadi pemimpin, yang paling pantas mendapatkan Pulangsih. Aku rela kalau Bintulu yang mendapatkan Pulangsih. Seperti juga Bejujag dan Raganata. Tapi karena perhatian Bintulu yang luar biasa kepada ilmu kanuragan, dan jauh di dalam hatinya ia tak tega mengkhianati sahabat-sahabatnya, maka ia agak malu-malu mendekati Pulangsih. Calon berikutnya, pastilah aku. Saat itu akulah yang paling biru darahnya, paling mapan kehidupannya dengan kemampuan ilmu silat yang tak kalah dari yang lainnya. Akan tetapi Pulangsih kurang menyukai ketika aku memutuskan menjadi prajurit. Apalagi ketika akhirnya aku berangkat sebagai senopati utama yang diutus ke Keraton Berune. Dari semua prajurit muda, akulah yang paling muda dan paling berpengharapan. Kalau aku tak bisa, agaknya Raganata pantas menyanding. Dia termasuk tampan, mempunyai perhatian yang lebih kepada sesama, tutur katanya manis, dan sangat asih kepada wanita. Sebelum aku berangkat, kami berlima mengadakan pertemuan. Aku yang mengutarakan niat baik, kepada siapa Pulangsih akan menjatuhkan pilihannya. Siapa pun di antara kami berempat yang dipilih Pulangsih, kami akan menerima dengan hati terbuka. Inilah kelebihan kami sebagai ksatria muda. Upasara, Nyai Demang, kalian tahu siapa yang dipilih Pulangsih?”
Nyai Demang menjawab perlahan, “Eyang Sepuh.”
“Itulah gilanya. Pulangsih mengatakan pilihannya jatuh kepada Bejujag. Serta-merta kami bertiga bertanya: Kenapa memilih Bejujag? Jawaban Pulangsih membuat kami terkesima, seakan tak percaya: Dari hati wanita yang paling lembut dan jujur, dialah lelaki yang bisa membahagiakan wanita. O-ho! Sebodoh-bodohnya kura-kura masih lebih bodoh hati wanita! Akan tetapi karena kami berempat sudah sepakat apa pun pilihan Pulangsih, kami menerima. Aku yang berangkat lebih dulu. Dengan janji akan bertemu setiap lima puluh tahun. Mengundang seluruh ksatria di penjuru jagat. Untuk menguji siapa yang paling kuat menyerap ilmu. Agak kekanak-kanakan memang. Lima puluh tahun ternyata sangat lama. Bisa mengubah segalanya. Akan tetapi ternyata tak cukup dua tahun untuk mengetahui siapa sebenarnya Bejujag. Belum dua tahun, Bejujag sudah melemparkan Pulangsih. Menampik Pulangsih dengan cara yang paling menyakitkan. Ia bergendak dengan wanita-wanita yang lain. Rasanya aku ingin segera kembali dan menghajar Bejujag. Tak sepantasnya wanita setulus Pulangsih disia-siakan dengan cara begitu hina. Hanya karena mengemban tugas negara, aku tak kembali waktu itu. Aku kuras kemampuanku untuk memperdalam ilmuku, Pukulan Pu-Ni, yang kuyakin tak ada yang mampu menandingi. Sementara kiriman dari Raganata datang beraturan, dan aku ganti mengirimkan apa yang kuperoleh. Aku makin yakin bahwa aku siap melabrak Bejujag.”
“Kakek juga menanyakan keadaan Putri Pulangsih?”
Wajah Kakek Berune berubah. Ah, masih tersimpan kenangan indah yang mendadak terbuka. “Ya.”
“Juga kabar yang diberikan Mpu Raganata?”
“Ya.”
“Juga dari Paman Sepuh Bintulu?”
“Ya. Kami bertiga ternyata masih menyimpan harapan yang sama. Hanya karena aku paling jauh, aku tak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.”
“Juga dari Eyang Sepuh?”
“Ya.”
“Apakah…”
“Ia menerangkan kemudian, bahwa Pulangsih tak pantas dijadikan pendampingnya, karena Pulangsih mempelajari ilmu Pamiluta, ilmu pelet untuk merayu lelaki dengan bujukan manis. Demi Dewa segala Dewa! Pulangsih tak memerlukan apa-apa untuk membuat Dewa menciumi kakinya minta daya asmara. Bagaimana mungkin aku bisa percaya penjelasan busuk semacam itu? Tiap kali aku kirimkan utusan kembali ke tanah Jawa, hanya untuk mengetahui apa yang terjadi atas diri Pulangsih.”
“Ternyata Putri Pulangsih dilepas oleh Eyang Sepuh.”
“Ya.”
“Ternyata Putri Pulangsih tidak mendendam pada Eyang Sepuh. Malah tetap memujanya?”
“Ya. Hei, dari mana kamu tahu itu, Nyai?”
“Saya dilahirkan sebagai wanita, dengan hati dan perasaan wanita sejati.”
“Apa betul begitu? Setolol itukah semua wanita di jagat ini?”
Nyai Demang mendesis. “Selama lelaki masih menilai begitu kejam, jangan harap bisa memahami hati wanita. Itulah kelebihan Eyang Sepuh.”
“Kelebihan?”
“Ya.”
“Tunggu, jangan kau bikin aku mati penasaran. Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu, Nyai?”
Kini berbalik. Nyai Demang-lah yang ditanyai. Upasara menunduk. Pikirannya sedang berkelebat antara bayangan Ratu Ayu dan Gayatri. Silih berganti saling menindih. Akan tetapi, setiap kali bayangan Gayatri yang muncul lebih jelas. Ah, inikah daya asmara yang luar biasa itu? Yang juga terjadi pada diri Eyang Sepuh, Paman Sepuh Dodot Bintulu, dan Mpu Raganata… serta Eyang Kebo Berune?
“Sederhana sekali, Kakek Berune.”
“Sederhana?”
“Sangat sederhana. Dari penuturan Kakek, jelas sekali Putri Pulangsih tentunya mempunyai nama yang lebih bagus dari julukan jorok seperti itu, sangat ayu dan menawan. Sehingga Kakek berempat tergila-gila padanya.”
“Semua bidadari dikumpulkan menjadi satu pun tak bisa menyamai saat Pulangsih cemberut.”
“Saya percaya itu.”
“Ha-ha… bagaimana mungkin aku bisa bicara seperti ini? Rasanya mulut ini jadi enteng kalau bicara mengenai Pulangsih. Ia bintang pujaan kami, akan tetapi sekaligus sumber kebencian yang tiada habis-habisnya. Justru di saat Pulangsih dicampakkan, dihina, ia menitipkan pesan agar jangan ada yang mengganggu Bejujag. Tak diperbolehkan untuk menantang atau menganiaya. Hanya diizinkan membantu, kalau-kalau Bejujag menemui kesulitan. Pulangsih sendiri yang meminta itu. Seumur hidup hanya sekali aku menerima tulisannya, dan itu pun memintaku agar tidak mengganggu Bejujag! Dewa pun tak bisa percaya.”
“Kakek tahu kenapa Putri Pulangsih justru sangat mencintai Eyang Sepuh?”
“Karena tol…” Nadanya mendadak berubah, seperti teringat apa yang dikatakan Nyai Demang. “Kenapa, Nyai?”
“Karena mencintai.”
“Ya, kenapa?”
“Itulah jawaban, bukan pertanyaan.”
“Dewa segala Dewa. Bagaimana bisa begitu?”
“Seharusnya begitu. Daya asmara bukanlah perhitungan bahwa dengan mengerahkan tenaga ke tangan, tangan akan lebih sakti dari kaki. Dengan menyimpan tenaga di pusar, akan bisa disalurkan ke arah mana saja. Itu perhitungan ilmu kanuragan. Bukan daya asmara.”
Upasara bisa melihat bahwa di bagian tepi mata Eyang Kebo Berune terlihat titik air mata.
“AKU tahu, bahwa selama ini aku tidak mengerti, Nyai. Dan akan tetap tidak bisa mengerti.”
“Bukankah itu sendiri pengertian?”
“Dewa segala Dewa. Kalau aku sudah bertemu denganmu sejak dulu, aku bisa memahami apa yang dilakukan Pulangsih. Hmmm, daya asmara…?”
Hening sunyi. Air mata itu seperti membeku.
“Maaf…”
“Tak apa, Nyai. Justru sekarang ini baru terbuka mata batinku untuk memahami apa yang telah terjadi.”
“Saya tidak bermaksud mengajari Kakek.”
“Kamu sangat baik budi, Nyai. Dewa akan melindungi siang dan malam.”
Nyai Demang mengalihkan ke arah pembicaraan yang lain. “Bagaimana kalau kita cari air kelapa untuk Kakek Berune, Adimas?”
“Tidak perlu. Saat serangan mengancamku seperti ini, aku hanya bisa menggeletak seperti ini. Semua makanan atau minuman akan menjadi racun dahsyat yang merusak. Rasanya aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tergeletak di sini. Hanya nyamuk yang kebetulan lewat di bibir bisa kumakan. Selebihnya menunggu kematian. Tapi aku kini bisa mati dengan lega. Mengagumkan. Ternyata Dewa masih mempunyai rasa welas asih padaku, sehingga ragaku tidak penasaran. Nyai tahu yang dikatakan Raganata mengenai permintaan Pulangsih? Raganata mengatakan bahwa ini kesalahan kita bertiga. Ternyata memburu-memuja-mengharap Pulangsih. Dan Pulangsih sudah muak dengan sikap pemujaan seperti ini. Makanya justru kehadiran Bejujag yang biasa-biasa, menjadikan hatinya tergugah. Bejujag tak pernah memujinya secara terbuka. Bejujag tak memperlakukan Pulangsih secara istimewa. Yang biasa itu yang menarik.”
“Bisa juga begitu. Meskipun sebenarnya setiap penjelasan, tak akan menjawab secara tuntas. Maaf, Adimas, kalau saya menyinggungmu… Adimas Upasara juga terpaut hatinya oleh seorang wanita. Dan tak akan pernah lekang sedikit pun, walau kini wanita yang dikasihi telah mempunyai dua putri. Begitu juga sebaliknya.”
“Itu baik. Artinya Upasara dan kekasihnya menyimpan daya asmara. Bejujag ini betul-betul kurang ajar! Ia sengaja menyakiti hati Pulangsih demi ilmu silatnya! Betapa konyol dan hinanya.”
“Demi ilmu silatnya?”
“Demi keunggulan pribadi Bejujag. Semua ini diceritakan oleh Bejujag dengan segala kemenangan. Dengan segala kebanggaan yang ada. Nyai, kamu tahu apa yang dikatakan Bejujag padaku?”
“Tunggu… Rasanya saya bisa menebak.”
“Apa?”
“Bukankah sikap Eyang Sepuh itu yang mengilhami ilmu silatnya yang kesohor, yang dikenal dengan Tepukan Satu Tangan?”
“Jangan-jangan kamu murid Pulangsih.”
“Kalau saya ada hubungan dengan Putri Pulangsih, saya sudah akan mengubur Kakek hidup-hidup. Tetapi saya kurang mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi.”
“Aku sudah bercerita panjang. Bintulu yang menuliskan bagian pertama Kitab Bumi yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Suatu maha karya yang tiada taranya. Akan tetapi Bintulu merasa belum puas. Masih ingin menyelesaikan satu bagian lagi, yang akan terdiri atas delapan jurus. Itu sebabnya diberi nama Dwidasa Nujum Kartika, walau hanya terdiri atas dua belas jurus. Jalan pikiran Bintulu sangat cemerlang. Mengagumkan. Gagasan dasarnya ialah ingin menciptakan jurus-jurus dan atau latihan pernapasan yang bisa mementahkan semua jurus dan perkiraan, dan meminta pendapat dari kami bertiga. Pada saat seperti itulah, Raganata mengembangkan bagian yang disebut Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Inilah cara mementahkan semua Jurus Bintang. Dengan mengetahui apa yang menjadi sasaran serangan lawan, dengan sendirinya akan berhasil mengatasi. Raganata menempuh latihan pernapasan yang dalam, untuk mengetahui napas lawan. Karena sesungguhnya, di situlah sumber serangan. Bukan gerak kaki atau tangan. Bukan lirikan mata. Melainkan dengus dan tarikan napas. Rumit dan berat, akan tetapi Raganata berhasil melatih dengan luar biasa. Aku tak mau kalah. Aku menunjukkan cara-cara memainkan Pukulan Pu-Ni. Satu pukulan yang bisa membereskan semua serangan. Dengan sekali serang, Pukulan Pu-Ni akan menghancurkan lawan. Dengan demikian serangan yang berikutnya, apa pun bentuknya, tak akan lahir. Sudah ditumpas sejak awal. Kalau Raganata lebih melatih napas dan rasa, aku memakai tenaga keras.”
“Dan Paman Sepuh Dodot Bintulu?” Upasara tak bisa menahan diri ikut bertanya.
“Bintulu? Lebih dekat dengan penyelesaian yang dipakai juga oleh Raganata, tetapi juga dekat dengan cara yang kupakai. Bintulu mengajukan pukulan yang dinamai sementara Banjir Bandang Segara Asat. Menciptakan banjir besar di darat dengan mengeringkan laut. Intinya pukulan keras. Mengadu tenaga dalam, pada saat yang bersamaan, menyedot tenaga dalam lawan untuk dijadikan tenaga dalamnya sendiri. Kalau kita yang memainkan lebih unggul, berarti tenaga dalam lawan terisap. Bahayanya ialah, jika kita kalah kuat, tenaga kita yang terisap.”
“Saya pernah menyaksikan dan merasakan kehebatan ilmu itu, Eyang.”
“Bagus. Kuakui, Bintulu memang cemerlang. Karena di samping tenaga keras, cara-cara mengisap tenaga lawan adalah memakai tenaga lembut, seperti yang pemikirannya dilontarkan oleh Raganata.”
“Eyang Sepuh memperlihatkan Tepukan Satu Tangan. Bukankah begitu, Kakek?”
“Ya, Bejujag mengajukan pemikiran bahwa satu tangan yang bertepuk menimbulkan suara lebih nyaring dari dua tangan. Inti mendasar dari ilmu ini ialah pengorbanan, menjadikan diri kita korban, diri kita tumbal. Maka niatan yang pertama lahir adalah penolakan. Selama kita masih berpikir untuk meraih kemenangan, menginginkan keunggulan atau kepentingan pribadi, nafsu itu yang lebih menguasai. Kita tak mempunyai rasa pasrah. Kita yang akan kalah oleh daya nafsu kita sendiri. Pasrah total. Itulah inti pengorbanan diri.”
“Saya tahu… saya tahu…”
“Kamu tahu bahwa inti ajarannya justru bersumber dari penolakannya kepada Pulangsih? Bejujag gila. Justru dengan menolak Pulangsih, Bejujag akan mendapatkan. Justru dengan mencampakkan Pulangsih, daya asmaranya akan berlipat ganda. Dengan bertepuk sebelah tangan, lebih nyaring gemanya daripada dua tangan bersambut. Dengan tidak memiliki Pulangsih, Bejujag justru mendapatkan seumur hidupnya. Bahkan sampai di alam lain. Nyatanya begitu. Karena justru Pulangsih yang meminta-minta agar ia tak diganggu menyelesaikan ilmunya. Aku paling membenci. Dan kuanggap ilmunya lebih berbahaya dari Banjir Bandang Segara Asat yang diciptakan Bintulu. Akan tetapi segalanya serba gila. Bintulu dan Raganata yang merundingkan, yang berpikir masak-masak, akhirnya memutuskan menerima ilmu Bejujag sebagai pelengkap utama Kitab Bumi. Kitab resmi, untuk diajukan kepada Baginda Raja. Dan Baginda Raja juga memilih serta menyetujui bahwa Kitab Bumi yang utuh terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi! Itulah lahirnya Bantala Parwa. Yang diakui juga oleh Bintulu, Raganata, dan aku sendiri. Mengakui secara resmi, bahwa ajaran utama yang dituliskan adalah apa yang diajukan oleh Bejujag. Ilmu yang didasarkan pada penolakannya kepada Pulangsih. Kemampuannya untuk meniadakan Pulangsih. Maka, sejak itu pula Bantala Parwa direstui menjadi pelengkap yang dipakai sebagai pegangan dan ajaran Keraton Singasari. Sampai jagat ini tamat.”
“KALAUPUN Kitab Bumi yang direstui Baginda Raja, bukankah itu tidak berarti satu-satunya yang boleh dipelajari?”
“Tentu saja tidak, Nyai. Di jagat ini mana ada seorang yang bisa mengharuskan dan melarang hanya mempelajari jurus tertentu? Pukulan Pu-Ni belum tentu kalah dengan Bantala Parwa. Aku masih berniat menguji.”
Nyai Demang tersenyum dalam hati. Kakek Kebo Berune yang napasnya tinggal satu-satu dan tak mampu bergerak, masih bisa menyombongkan diri. “Kakek Berune, kenapa Baginda Raja Sri Kertanegara mempunyai maksud memakai pakem atau kitab pegangan?”
“Agar bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan diri. Ada yang tercatat, dan diakui tak akan membahayakan. Masa soal semudah ini kamu tidak tahu, Nyai.”
“Itulah masalahnya,” tukas Nyai Demang cepat. “Dalam mempelajari ilmu silat, kita cenderung mengagungkan milik kita sendiri. Boleh dikatakan rahasia bagi perguruan lain. Akan tetapi kini malah disatukan. Dan disebarkan. Kakek sendiri juga menerima hasil rembugan para ksatria sejati, walau berada di seberang. Bukankah ini aneh dan bertentangan?”
“Di jagat ini, mana ada raja seperti Baginda Raja? Lebih dari siapa pun. Dewa saja kalah jauh pemikirannya. Kita semua, para ksatria, pendekar, bahkan para durjana, mempunyai rasa hormat yang tinggi kepada Baginda Raja. Beliau raja yang dihormati bukan hanya karena kekuasaannya. Tapi karena kehebatannya. Baginda Raja mempunyai kehendak yang mulia. Keraton Singasari direncanakan akan mencapai seluruh ujung jagat. Itu hanya bisa dicapai jika kekuatan Keraton tak terkalahkan. Dengan membuat pakem dari Kitab Bumi, Baginda Raja ingin menyebarluaskan gagasan itu. Semua prajurit atau bukan prajurit akan dilatih. Sehingga kelak di kemudian hari, Keraton Singasari akan digdaya tanpa tanding. Bahkan Baginda Raja mendirikan Ksatria Pingitan.”
Upasara menyembah. “Saya didikan Ksatria Pingitan, Eyang.”
“Itulah. Di samping mengirimkan semua senopati ke negara seberang, seperti aku, Baginda Raja memperkuat di dalam. Pada suatu saat nanti, semua penduduk Singasari adalah prajurit sejati. Yang bisa menguasai kanuragan dan sekaligus mempunyai budi pekerti yang baik. Bayangkan kalau itu terjadi!”
“Lalu apa kesulitannya?”
“Tak ada. Tak ada, kan?”
“Kelihatannya…”
“Kelihatannya Baginda Raja menginginkan dari penduduk yang biasa-biasa bisa mempelajari ilmu silat. Mereka akan menjadi bibit-bibit prajurit yang tangguh, yang di kelak kemudian hari menjadi senopati. Dan akan muncul senopati-senopati yang gagah perwira. Tak ada apa-apanya kalau Bejujag tidak mengacaukan semua kehendak Baginda Raja.”
“Mengacaukan?”
“Dengan Kidung Paminggir. Yang meramalkan bahwa suatu hari akan lahir seorang senopati utama, yang lebih besar dari raja itu sendiri. Itu yang dikatakan sebagai Wahyu Paminggir.”
“Maaf, Kakek Berune, saya tak bisa menangkap. Kalau Baginda Raja begitu luas pandangannya, kenapa tak menyukai kemungkinan yang telah diletakkan dasar-dasarnya?”
“Karena Bejujag! Perhitungan atau ramalan atau nujuman Bejujag menegaskan hal itu. Kalian akan mengetahui betapa kurang ajarnya Bejujag jika mengetahui kidungan bagian itu. Akan kubacakan:
Ini pupuh kesekian, mengenai Wahyu Paminggir
Wahyu ialah zat dari Dewa
Sukma kekuasaan tertinggi
hanya ada pada tangan raja
sebab raja adalah raja
raja adalah Dewa
Dewa berada dalam raja
Selain Wahyu Utama milik hanya para Dewa
ada pula Wahyu Paminggir
bagi yang berada dipinggir
tak punya nama besar, bukan keturunan raja
tak punya darah biru, bukan keturunan selir
Mereka ini memperoleh Wahyu Paminggir
yang sinarnya bisa lebih terang
dari Wahyu Utama yang gemilang
Berbahagialah penerima Wahyu Paminggir
Kidungan ini tertuju padanya
yang keringat dan kemauannya
tak bisa berakhir
Berbahagialah raja yang membawahkan
Kidungan itu tertuju hormat padanya
yang kebesaran dan takdirnya
tiada terkalahkan
Antara Wahyu Utama dan Wahyu Paminggir
seperti bibir atas dan bibir bawah
Dewa segala Dewa,
raja segala raja
tak bisa menerka yang mana
Paminggir atau utama…”
Nyai Demang bisa mengerti kalau Baginda Raja murka dengan kidungan yang diciptakan Eyang Sepuh. Dengan mengetengahkan gagasan adanya Wahyu Paminggir, secara jelas Eyang Sepuh mengatakan ada wahyu yang lain, di samping wahyu yang khusus untuk seorang raja! Itu tak boleh terjadi. Tak akan ada raja, di mana pun, menerima kenyataan bahwa ada matahari lain. Kekuasaan mutlak ada padanya.
“Bejujag mau kraman, mau mengambil alih Wahyu Raja. Bukankah itu keterlaluan? Bukankah itu tak bisa diampuni?”
Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune mempunyai gema dalam hati Upasara Wulung. Karena setelah terkurung selama dua puluh tahun, untuk pertama kalinya ia muncul ke dunia persilatan, karena gema adanya Wahyu Paminggir!
Di mana Eyang Sepuh mengisyaratkan datangnya Tamu dari Seberang, yang akan menentukan siapa yang bakal menjadi raja. Eyang Sepuh memakai contoh lahirnya raja pertama yang mendirikan Keraton Singasari, yaitu Ken Arok. Yang tidak berdarah biru.
Saat itu terjadi kegemparan yang luar biasa. Baginda Raja memerintahkan semua senopati untuk melabrak ke Perguruan Awan, untuk mengetahui hal yang sebenarnya. Saat itu, Eyang Sepuh sudah menghilang. Yang ada para pendekar, para ksatria yang justru sedang akan ditumpas habis.
Baru sekarang Upasara mendapat keterangan yang lengkap. Namun tak bisa ditutupi, justru perhitungan Eyang Sepuh mendekati tepat. Saat itu Raja Muda Gelang-Gelang menghancurkan Keraton Singasari, menduduki takhta kehormatan. Dan baru dengan munculnya pasukan Tartar, yang bisa disebut Tamu dari Seberang, bisa menggulingkan Raja Muda Jayakatwang. Dilihat dari sisi ini, segala perhitungan atau ramalan Eyang Sepuh tak bisa dikatakan sekadar lamunan kosong. Nyatanya terbukti.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Upasara. Bejujag dianggap sangat tepat ramalannya. Mungkin begitu, mungkin kebetulan. Yang bisa saja terjadi. Tapi dalam hal ilmu silat, Bejujag tak ada apa-apanya. Tidak bila dibandingkan dengan aku. Bahkan ketika kamu mainkan jurus-jurus Penolak Bumi, aku bisa memecahkan dengan mudah. Juga Bintulu yang sanggup mematahkan satu tanganmu.”
Nyai Demang merintih. Tubuhnya kembali bergoyang, sebelum akhirnya jatuh berkelojotan. Benturan tenaga yang terserap dari Pukulan Pu-Ni kembali muncul. Upasara menjajal kembali. Satu tangan bergerak dari lambung ke arah atas beberapa jari di atas tubuh, dan mendadak terdorong ke depan. Menyentuh kaki Nyai Demang. Sentakan tenaga bagai sabetan halilintar menyergap.
Upasara mendesis. Tubuhnya bagai kosong. Tenaga yang menyerbu masuk dibiarkan melalui semua tenaga penghalang. Ada dua kemungkinan: tenaga dalam Upasara bakal rontok, atau sengatan yang mengalir terhenti. Ternyata tidak dua-duanya!
TENAGA itu tetap masuk menerobos tubuh Upasara. Tidak berhenti. Tubuh Upasara bergeming. Tenaga dalamnya tidak rontok. Karena sekejap kemudian, Upasara bisa melepaskan kembali tangannya tanpa merasa adanya gangguan yang berarti. Juga ketika menghela napas, dan mengatur pernapasan.
“Bisa. Bisa, Mbakyu. Saya bisa.”
Kebo Berune berseru kaget, “Bisa apa?”
“Bisa menyalurkan tenaga bergolak dari dalam tubuh Nyai Demang.”
“Mana mungkin?”
“Maaf, Eyang, saya baru menjajalnya. Rasa-rasanya bisa tersalur.”
“Aku bisa mati membelalak. Selama ini aku mempelajari Pukulan Pu-Ni dengan sepenuh hati seumur hidupku. Dan Nyai Demang itu terkena pula. Bagaimana mungkin kamu bisa mementahkan begitu saja? Apakah kamu disuruh Bejujag memperolok aku?”
Tentu saja Upasara tak mempunyai pikiran untuk mempermainkan Eyang Kebo Berune. Jalan pikirannya sangat polos untuk permainan semacam itu. Yang pertama dirasakan Upasara ialah bahwa tenaga dalam yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang bisa diambil tanpa merusakkan tenaga dalamnya sendiri. Dengan cara membiarkan dirinya kosong, dan tenaga itu tersalur terus. Hilang di dalam bumi.
Upasara memang memakai jalan pernapasan bumi. Sesuai dengan sifat bumi yang menerima segala apa. Sambaran tenaga halilintar yang betapapun hebatnya, lenyap seketika kalau masuk ke perut bumi. Sewaktu Upasara mengutarakan gagasan itu, Eyang Kebo Berune jadi terbengong-bengong.
“Sifat Bumi?”
“Begitulah, Eyang.”
“Tunggu dulu, apakah itu ada di dalam Kitab Bumi? Apakah itu diajarkan dalam Kitab Bumi?”
“Ya, Eyang.”
“Di bagian mana?”
“Di bagian Penolak Bumi. Dalam Tumbal Bantala Parwa, diterangkan pada kidungan awal, bahwa gerakan-gerakan yang ada adalah dengan mempelajari unsur-unsur tanah, tata letak bumi. Dekat gunung, dekat mata air, dekat batu, dan lain sebagainya. Masing-masing kedudukan tanah yang demikian mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Masing-masing bisa membawa rezeki dan bahaya. Untuk yang mengandung bahaya, bisa diatasi dengan tumbal. Kalau kita mengenali sifat tanah, kita mengetahui kekuatannya.”
“Demi Dewa segala Dewa. Bukankah itu bagian yang dituliskan Bejujag?”
“Maaf, saya tak begitu paham.”
“Jelas. Itu akal Bejujag. Kalau benar begitu, ia sebenarnya telah mengalahkan Pukulan Pu-Ni yang kulatih seumur hidup, yang membuatku cacat seperti ini.” Suaranya mengandung penyesalan yang dalam.
Upasara tak mau terganggu pikirannya. Dengan mengosongkan diri, tangannya terulur kembali. Kali ini dengan tenang, tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang tersalur. Amblas ke dalam bumi. Tak sampai sepenanak nasi, tubuh Nyai Demang telah pulih kembali. Seperti sediakala.
“Luar biasa.”
“Maaf, kalau Eyang bersedia, saya ingin mencoba pada Eyang.”
“Tak bisa. Tak bisa. Mana mungkin aku mau dihina begini rupa? Lebih baik aku mati seperti sekarang. Sebentar lagi toh akan mati juga. Buat apa kamu menyombongkan diri sebagai pemenang kepada orang yang sedang sekarat?”
Nyai Demang merasa jengkel juga. “Adimas Upasara telah berbaik hati ingin membebaskan Kakek dari penderitaan yang berkepanjangan, tetapi masih ditolak. Dengan cara menyakitkan. Sudah saja. Mari kita tinggalkan.”
Suara Nyai Demang mengandung kemarahan besar. Bisa dimengerti karena Nyai Demang merasakan siksaan tenaga Pukulan Pu-Ni.
“Mari, Adimas, masih banyak yang harus kita lakukan. Tak bisa menunggui di sini.”
Upasara menggeleng. Ia tak bisa meninggalkan begitu saja. Biar bagaimanapun, Eyang Kebo Berune adalah tokoh tua yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata. Tak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan segala hormat, Upasara justru menyembah lagi.
“Tak perlu, Adimas. Hanya akan membahayakan Adimas sendiri. Saat menyalurkan tenaga Kakek Berune, Adimas berada dalam keadaan kosong. Saat itu kalau saya berniat jahat, dengan mudah bisa membunuh Adimas.”
“Mbakyu tak akan melakukan itu.”
“Jangan bodoh, Adimas. Saya tak akan melakukan itu. Tapi siapa saja bisa melakukan itu. Prajurit dari Keraton atau bahkan Halayudha bisa melakukan itu. Tempat ini tak jauh dari Keraton, di mana setiap saat bisa ada yang lewat. Saya tak bisa melindungi.”
Benar juga yang dikatakan Nyai Demang!
“Aha, kalian bertengkar sendiri. Aku juga tidak sudi kalian tolong. Itu sama juga mengakui keunggulan Bejujag. Aku tak bisa menerima.”
Upasara jadi serbasalah. Menolong, jelas berbahaya. Tidak menolong, hatinya tak tega.
“Sudah pergi sana! Aku masih bisa memanggil orang lain.”
“Eyang…”
“Cukup. Bagiku sudah cukup. Kalian sengaja datang disuruh Bejujag untuk menunjukkan ketinggian ilmu kalian. Sampai di alam sana nanti, tetap akan kucari Bejujag.”
Nyai Demang berdiri. “Mari, Adimas.”
“Mbakyu berangkat saja sendiri.”
Bagi Nyai Demang sangat gampang berangkat sendiri. Tapi ia tak mau melakukan itu. Justru karena mengetahui bahwa Upasara pasti akan tetap menolong Kakek Berune, tanpa memedulikan keselamatannya sendiri. Itu sifat Upasara. Repotnya, Nyai Demang juga tak bisa memaksa Upasara pergi. Jadinya ia berdiri kaku.
“Kakek, lalu Kakek mau apa?”
“Itu bukan urusanmu.”
Mendadak Nyai Demang mengerutkan keningnya. Lapat-lapat telinganya mendengar suara orang mendatangi. Dengan cepat Nyai Demang menuju ke bagian samping yang tak terlihat dari luar. Upasara mengikuti tindakan Nyai Demang. Suara langkah yang mendekati kian jelas. Nada pembicaraan mulai terdengar jelas.
“Mungkin sudah meninggal sekarang ini.”
“Sayang kita belum bisa menyadap ilmunya.”
Dalam sekejap, dua bayangan muncul di pintu. Nyai Demang mengenali bahwa salah seorang dari yang datang ialah Pendeta Syangka. Pendeta Sidateka! Yang seorang lagi tak begitu jelas, karena Nyai Demang tak bisa melihat dengan jelas. Nyai Demang lebih berusaha menyembunyikan diri dengan mengatur jalan napas agar tak dirasakan kehadirannya.
“Berune, kamu belum mati?”
“Belum. Apa maumu, Pendeta Busuk?”
“Tak ada. Selain kami berdua akan menjajal ilmu. Siapa tahu tubuhmu masih bisa dipakai untuk latihan memukul.”
Upasara mengertakkan giginya. Nyai Demang memegang tangan Upasara erat-erat. Terasa dingin.
“Coba saja. Mana ada Pendeta Busuk yang suka berbuat tak senonoh punya pukulan bagus? Pukulan dingin kamu tak lebih dari bau kentut. Lebih memuakkan daripada menakutkan.”
Wajah Pendeta Sidateka berubah gusar. “Kalau kamu tahu siapa yang datang bersamaku, kamu tak akan bermulut besar seperti itu.”
“Segala jenis ular busuk kamu bawa, apa kamu kira ada racun yang bisa melukaiku?”
Nyai Demang merinding. Rasanya ia mengenali siapa yang datang bersama Pendeta Sidateka. Sangat mengenali. Karena tokoh itu tak lain dan tak bukan adalah Kiai Sambartaka!
NYAI DEMANG mengerahkan kemampuannya untuk mengatur jalan napasnya. Agar tidak terdengar oleh Pendeta Sidateka maupun Kiai Sambartaka. Getaran pikiran yang menyeruak membuat sedikit sakit di dada. Cekalan tangan Upasara yang mengalirkan ketenteraman sedikit-banyak membantu penguasaan diri Nyai Demang.
Ini cekalan yang kedua, yang dilakukan secara sadar. Yang pertama ketika Upasara membimbingnya keluar dari Keraton. Bahkan mencekal pinggangnya ketika meloncati tembok. Lalu sekarang ini. Sungguh aneh. Setelah sekian tahun bersama-sama, justru dalam satu malam saja, Upasara telah mencekal tangannya dan mengalirkan tenaga yang menenteramkan.
Kalau usaha penyembuhan juga dihitung, barangkali yang ketiga. Akan tetapi Nyai Demang tidak menghitung itu sebagai perlakuan yang istimewa. Karena untuk menyembuhkan luka. Bagi Nyai Demang sikap Upasara menjadi jauh berbeda. Tadinya adalah perjaka yang serba kikuk, yang menjadi merah padam mukanya, walau hanya saling berbicara. Sekarang berani menyentuh. Nyai Demang membuang jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan.
Hatinya tergetar dan gusar karena mengetahui bahwa Sidateka datang bersama Kiai Sambartaka. Gusar karena Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang sakti dari tlatah Hindia itu, ternyata sangat culas hatinya. Tega mencurangi Eyang Sepuh yang telah menolong jiwanya. Pada pertarungan di Trowulan, Nyai Demang-lah yang berusaha terjun ke Brantas untuk mencari Kiai Sambartaka. Karena merasa dendam!
Bahwa sekarang Kiai Sambartaka bisa muncul lagi dalam keadaan segar bugar, itu tak terlalu mengherankan. Sebagai tokoh sakti tingkat Dewa, hal seperti itu bukan sesuatu yang istimewa. Akan tetapi bahwa kini bergandengan dengan Pendeta Sidateka, itu yang aneh sekali. Tak masuk akal. Sejauh yang diketahui Nyai Demang, kedua negeri, yaitu tlatah Syangka dan tlatah Hindia, tak pernah akur. Dalam segala hal...
Nyai Demang jadi lebih menghormat dalam hati. Kalau kakek tua yang hanya bisa berbaring ini sangat ketus, bisa dimengerti. Dalam dunia persilatan, tokoh yang sakti memang biasa mempunyai tabiat yang berbeda dari kebanyakan orang. Makin aneh kadang makin menandakan kesaktiannya.
Kalau masih ada yang mengganjal dalam hati Nyai Demang, itu adalah sejumlah kecil pertanyaan. Apa yang menyebabkan Kakek Kebo Berune ini menderita penyakit yang begitu parah, sehingga setiap kali menyebut ajalnya sudah dekat? Siapa yang mampu merontokkan tenaga dalam yang masih begitu sempurna? Siapa lagi tokoh yang lebih sakti itu?
Rasa penasaran yang lebih membuat tak bisa menahan rasa ingin tahunya ialah mengenai adanya Tiga Kitab Utama. Selama ini Nyai Demang merasa sudah membaca hampir semua kitab pusaka yang ada. Bahkan lebih dari itu, juga dalam berbagai bahasa lain. Akan tetapi selama ini tak pernah mengetahui bahwa Eyang Sepuh ternyata juga menulis! Seperti apa pula itu?
“Apa betul Eyang Sepuh juga menulis kitab pusaka?”
“Pusaka atau tidak, mana aku tahu? Bejujag itu selalu mengganti setiap kali. Akhirnya ia tak mau menuliskan lagi ilmu silat atau latihan pernapasan. Ia lebih suka melamun. Aku pernah membaca sebagian kidung lamunan untuk menyenangkan nyamuk dan menggelisahkan Raja. Bejujag itu memang licik, licin, pandai, cerdik untuk selalu mencari perhatian.”
“Apakah Eyang Berune mengetahui nama kitab yang ditulis Eyang Sepuh?”
Tubuh yang tergeletak itu tetap tak bergerak. Perubahannya hanya terlihat di bibirnya. Sedikit mengejek. “Kamu akan kecewa. Bejujag itu cuma cari nama. Kitab yang ditulisnya tak lebih dari coretan anak-anak di pinggir sungai. Jauh di bawah kemampuan Bintulu yang dengan tegar dan gagah mampu menulis Kitab Bumi. Jauh di bawah kemampuan Raganata yang menulis Kitab Negara. Baik Bantala Parwa maupun Negara Parwa tak bisa disamai. Hanya disamai saja tak mungkin. Tapi Bejujag pintar, cerdik, nasibnya baik, dihormati, dipuja, disembah. Sejak dulu Baginda Raja selalu terkesima dengan kepandaian Bejujag bertutur kata. Dan Bejujag itu selalu bisa menarik perhatian dunia. Ksatria seluruh jagat merasa terhormat memenuhi undangannya. Akan lain kalau yang mengundang Bintulu, atau bahkan Raganata sekalipun! Padahal Bejujag itu hanya menulis beberapa bait kidungan yang paling kampungan.”
Nyai Demang tak bisa menahan diri. “Apakah itu termasuk ‘bait yang tak terbaca di hati’? Rasanya…”
Napas Eyang Kebo Berune berangsur tenang. Membaik. Wajahnya, sedikit lebih bersemangat. “Itulah kelebihannya. Bait atau huruf yang dipakai selalu menjadi lebih terkenal. Bahkan Kitab Bumi pun dianggap sebagian atau seluruh ksatria sebagai hasil karya Bejujag. Bahkan ketika Bejujag mengatakan bahwa bukan ia yang menciptakan, tak ada yang percaya. Kalau bukan nasib baik, apa lagi namanya?”
“Eyang, apa nama kitab pusaka itu?”
“Lupakan. Itu bukan kitab. Apalagi pusaka. Itu hanya merupakan beberapa baris kidungan, yang dinamai Kidung Paminggir. Entahlah kalau sekarang sudah diganti lagi. Ah, aku tahu. Bejujag tak berani muncul karena takut ketahuan belangnya. Makanya ia menyembunyikan diri. Kalau tidak, ia pasti tahu aku di sini. Bejujag, Bejujag! Sampai kapan kamu dipuja?”
Meskipun meragukan, tak ada rasa dendam dalam nada ucapannya. “Kamu akan kecewa, kalau sudah membaca tulisannya. Aku lebih kecewa, karena aku tahu persis ia main-main. Ia mempermainkan aku, mempermainkan Bintulu dan Raganata. Mempermainkan seluruh ksatria sejagat. Dan ia menikmati. Aha, apakah tidak ada yang lebih ajaib dari hal ini? Bahkan kamu pun tahu ‘bait yang tak terbaca di hati’. Kalau ia berani muncul, akan aku telanjangi ia di sini, memaksanya meminta ampun dan menjilati kakiku, dan aku tak memperbolehkan. Biar tahu rasa.”
Pukulan Pu-Ni
NYAI DEMANG, yang merasa begitu tulus menghormat pada Eyang Sepuh, merinding kulitnya. Baru sekarang ia mendengar sendiri, seorang kakek yang terbaring dan sedang sekarat mencaci Eyang Sepuh dengan kata hinaan yang keterlaluan.
“Bisa jadi Eyang Sepuh menulis kitab yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah sampai pada tingkat tinggi.”
“Salah. Keliru. Itu selalu jalan pikiran orang lain. Tapi aku tak pernah bisa dikibuli. Aku tahu persis siapa dia. Upasara, coba kamu mainkan dasar-dasar Kitab Bumi. Aku ingin menyaksikan sebentar.”
Upasara memberi hormat. Lalu berdiri, dengan kaki sedikit mengangkang. Mulailah ia memainkan dengan cepat, Dua Belas Jurus Nujum Bintang secara penuh, kemudian disusul dengan Delapan Jurus Penolak Bumi. Kemampuan Upasara dengan pengaturan tenaga dalam membuat Nyai Demang makin bertambah rasa kagumnya. Getaran tenaga dari seluruh kulit Upasara mampu menggerakkan debu dan abu dalam rumah, akan tetapi setelah selesai memainkan, debu dan abu itu seperti tertumpuk di tempatnya semula! Seperti tak pernah ada angin sebelumnya.
Namun, Eyang Kebo Berune sama sekali tak menoleh. Tetap tergeletak memandang langit-langit. Melirik pun tidak. Yang membuat Nyai Demang heran, justru karena tanpa melirik pun Eyang Kebo Berune bisa mengetahui apa yang dimainkan Upasara.
“Dasar-dasar ilmu Kitab Bumi itu masih saja seperti yang ditulis oleh Bintulu. Hanya delapan jurus terakhir itu dikembangkan sedikit oleh Bejujag. Apa itu yang disebut-sebut sebagai Tepukan Satu Tangan?”
“Pandangan Eyang sangat tepat.”
“Hebat. Sekali lagi aku harus memuji Bejujag itu. Bintulu yang susah payah menemukan, dengan satu polesan saja menjadi Tepukan Satu Tangan yang seolah ciptaan Bejujag. Tapi ada apa dengan tangan kananmu? Bagaimana kamu bisa menjadi lelananging jagat dengan tangan lumpuh seperti itu?”
Upasara menjelaskan bahwa tangan kanannya masih kaku digerakkan, meskipun tidak selalu mengganggu, karena pukulan dari Halayudha.
“Siapa Halayudha? Halayudha atau Bintulu?”
“Besar kemungkinan murid yang mencelakakan Paman Sepuh Dodot Bintulu.”
“Nah, berarti jelas sekali sekarang ini. Ilmu yang dipuji seluruh jagat, yang membuat semua pendekar sejati kelas utama datang ke tanah Jawa ini, bisa dikalahkan. Tepukan Satu Tangan yang hebat itu bisa dipatahkan oleh Bintulu. Berarti ia sudah berhasil memecahkan rahasia ciptaan Bejujag! Bintulu, akhirnya kamu yang paling perkasa juga.” Pujian yang terdengar menggeletar.
Upasara seperti disadarkan bahwa dalam banyak hal, Halayudha memiliki ilmu yang sakti mandraguna. Ilmu sakti sejati, yang bisa mematahkan ciptaan Eyang Sepuh. Pada penguasaan yang sempurna, benar-benar merupakan maha malapetaka di belakang hari. Baru sekarang terjawab, kenapa Upasara bisa dilumpuhkan oleh pukulan Halayudha.
“Upasara, apakah kamu juga murid Bintulu?”
“Saya tak berani mengaku. Sebagian yang saya pelajari adalah dari Kitab Bumi yang ternyata ciptaan besar Paman Sepuh Dodot Bintulu.”
“Bukan, bukan itu. Apa yang kamu mainkan sepenuhnya Kitab Bumi yang sudah disempurnakan Bejujag. Terutama sekali dalam Delapan Jurus Penolak Bumi. Itu tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi tarikan napasmu, adalah murni dari dasar yang diajarkan Bintulu.”
Upasara menyembah hormat. Menjelaskan bahwa ia pernah menghancurkan tenaga dalamnya. Dalam perjalanan kemudian, bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang mengajarkan cara-cara memanggil kembali yang tersimpan, sehingga kekuatannya pulih kembali.
“Mungkin ini jawabannya.”
“Bukan mungkin. Memang begitu. Kalau begitu bisa bahaya.”
Nyai Demang yang berkeringat. “Bahaya?”
“Kalau kamu menyebut bahaya, cah slemok.”
“Di mana bahayanya?”
“Seperti aku ini. Terbaring seperti ini. Karena pertarungan antara kekuatan tenaga dalam. Berganti-ganti aku mempelajari apa yang ditulis Bintulu dan Bejujag, sehingga akhirnya seperti ini. Aku mempunyai ilmu yang kuberi nama Pukulan Pu-Ni. Nama ini untuk mengingatkan bahwa pukulan ini benar-benar tercipta di tanah Pu-Ni atau Beruni atau Brunei, atau Barune, atau Berune, tergantung lidah kamu mau bilang apa. Pukulan ini, demi Dewa, seperti Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi ternyata tenaga murni yang kumiliki dasarnya berbeda. Waktu aku seusia kamu, hal ini tak terasakan. Sekarang baru terasakan akibatnya. Aku sengaja datang untuk memberitahu Bejujag. Bahwa keduanya adalah manusia paling terkutuk di jagat ini. Bahwa persaingan keduanya menghancurkanku.”
“Kenapa Kakek selalu mendendam pada mereka yang terhormat?”
Pertanyaan Nyai Demang membuat sorot mata Eyang Kebo Berune menatap langit-langit lebih keras. “Kamu akan begitu juga, kalau mengetahui kekasihmu ini hanya bisa berbaring seperti aku, dan susah mati.”
Nyai Demang bergidik. Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune merobek seluruh angan-angannya. Bukan karena disebutnya Upasara sebagai “kekasih”, melainkan karena keadaan Eyang Kebo Berune yang mengenaskan. Seperti sekarang ini! Bukan oleh lawan, melainkan oleh dirinya sendiri.
Benarkah Upasara akan mengalami keadaan sekarat seperti ini? Dan ini karena persaingan antara Paman Sepuh dan Eyang Sepuh?
“Mereka berdua sengaja memberikan ilmu silat dan cara pernapasan yang bertentangan. Agar dipelajari dan masing-masing pastilah berpikir yang lainnya akan rontok dan hancur. Celakanya, justru akulah yang terkena. Upasara, seharusnya kamu bisa membaca bahwa pengerahan tenaga tumbal adalah penyerahan. Yang berarti kerelaan. Kerelaan yang apakah kalau menderita seperti ini juga harus rela? Nah, apakah kalian masih mau mengatakan aku jahat dengan memaki Bejujag? Siapa yang paling jahat? Aku, yang memilih menjadi prajurit dan dikirim ke tanah seberang? Ataukah Bintulu yang merasa dirinya paling tampan dan perkasa? Ataukah Raganata yang ingin menikmati kebesaran duniawi dengan mengabdi kepada Baginda Raja? Ataukah Bejujag yang secara sengaja menuliskan lamunan untuk menjungkirbalikkan ketenteraman? Ataukah Pulangsih yang menggoda itu?”
Kini, Nyai Demang bisa menangkap lebih luas daripada Upasara Wulung. Cepat sekali jalan pikiran Nyai Demang berkembang ke arah masa yang diceritakan Kakek Kebo Berune. Bahwa pada masa-masa itu ada tiga ksatria muda yang mempunyai nama besar. Di samping mereka ada juga seorang ksatria yang menjadi senopati, dan kemudian sesuai dengan sebutannya, dikenal sebagai Kebo Berune.
Ini ternyata belum semuanya. Masih ada satu lagi yang disebut dengan nama Pulangsih. Entah siapa tokoh yang satu ini, dengan kesaktian seperti apa pula. Yang jelas, sebutan nama itu menunjukkan adanya dendam atau kemarahan, penyesalan, tetapi juga kegeraman yang berhubungan dengan asmara. Pulangsih bisa berarti nama seorang wanita, akan tetapi juga bisa berarti kumpul asmara. Bermain asmara.
Nyai Demang bisa mengetahui bahwa tokoh wanita yang satu lagi tidak bernama Pulangsih. Nama itu lebih menunjukkan julukan yang akrab bagi mereka. Seperti halnya menyebut Eyang Sepuh dengan Bejujag atau si Kurang Ajar. Sangat mungkin sekali, di masa mudanya Eyang Sepuh di antara sebayanya dikenal sebagai kurang ajar. Dan nama Pulangsih diberikan karena keempat ksatria ini sama-sama terlibat daya asmara.
Siapa pun orangnya yang disebut Pulangsih ini pasti luar biasa. Kalau tidak, mana mungkin keempat ksatria yang perkasa pada zamannya memperebutkan?
“Kakek Kebo Berune, di manakah Eyang Putri Pulangsih sekarang ini?”
Tak ada jawaban. Hanya dada kakek tua yang tergeletak tanpa gerak itu jadi turun-naik dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal.
“Rasanya aku mati sekarang ini.”
Kidung Paminggir, Pupuh Pertama
TUBUH kakek tua itu tergetar hebat. Tanpa suara gigi gemeretuk. Tanpa gerak. Hanya dengus napasnya tak teratur. Makin lama makin cepat, bergejolak. Nyai Demang memandang ke arah Upasara. Namun Upasara hanya menunduk tak memperlihatkan reaksi.
“Kakek sedang lelaku…”
Lelaku adalah istilah yang lebih halus dan menghormat daripada sekarat. Intinya sama saja. Menjelang ajal. Biasanya ditandai dengan tarikan napas yang makin lama makin cepat, tersengal. Walau ilmu tenaga dalam Nyai Demang tidak sangat istimewa, akan tetapi cukup bisa merasakan betapa gawatnya keadaan. Nyai Demang tak bisa berdiam diri.
Hatinya tidak tega melihat lelaki tua yang menderita sendirian itu. Tangannya terulur ingin menenangkan. Ingin melakukan sesuatu yang bisa, sedikitnya, memperingan penderitaan. Tubuhnya maju ke depan. Satu jari dari tubuh Kebo Berune, Nyai Demang menjerit. Tubuhnya tertekuk, kedua kakinya mendadak lemas. Ada sengatan tenaga yang menghantam ke ulu hatinya. Bagai kena sentakan halilintar. Sungguh tak dinyana tak diduga.
Dari tubuh yang kering kerontang tergeletak tanpa gerak ini bisa mengalirkan tenaga yang begitu kuat. Nyai Demang memegangi perutnya. Rasa mual dari ulu hati tak bisa ditahan. Saat itu tangan Upasara menyentuh. Dan mendadak Upasara menarik tangannya. Terasakan sentakan yang keras, bagai gelombang tenaga yang sangat tipis menyusup.
Berbeda dengan Nyai Demang yang terhuyung-huyung, Upasara tetap berdiri kukuh. Malah lalu merangkap kedua tangan, menggosok telapak tangan dengan gerakan kaku karena tangan kanannya belum sempurna. Lalu satu tangan maju mendekat ke arah tubuh Nyai Demang. Mendekat. Lekat. Dan ditarik kembali. Nyai Demang mengaduh. Tubuhnya terkulai.
Upasara mengulang kembali setelah memusatkan seluruh pikirannya. Kini, lebih jelas bahwa tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang adalah tenaga yang kelihatan bertentangan, bertarung satu sama lain. Sentuhan tangan Upasara mengalirkan tenaga yang terbendung itu. Ini yang tadi dirasakan oleh Nyai Demang ketika menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune.
Sentuhan kedua, masih terasakan getaran yang kuat. Upasara mencoba menolak, akan tetapi tubuh Nyai Demang jadi berkelojotan dan mengeluarkan rintihan memelas. Terpaksa tenaga yang bergolak dari tubuh Nyai Demang diserap, sehingga Upasara merasakan getaran yang dahsyat di ulu hatinya. Sesaat. Tangannya dilepaskan.
Upasara memusatkan perhatian kembali. Mengumpulkan tenaga dalam, dan menjajal kembali. Di luar dugaannya, tenaga bergolak dalam diri Nyai Demang masih tetap kuat menyerang. Dan setiap kali Upasara berusaha menggempur, badan Nyai Demang bergoyang tak tahan. Ini hebat!
Bisa dibayangkan pergolakan tenaga dalam yang luar biasa dalam tubuh Eyang Kebo Berune. Pasti jauh berlipat ganda dari yang sekarang sedang mengamuk dalam tubuh Nyai Demang. Mengejutkan. Upasara cukup pengalaman dalam soal olah pernapasan dan latihan tenaga dalam. Boleh dikatakan unsur-unsur yang sejati dalam cara melatih pernapasan sangat dikuasai. Dengan Kitab Bumi sebagai sumber utama, Upasara tumbuh sebagai ksatria yang bisa disejajarkan dengan pendekar-pendekar berusia lanjut.
Lebih menguntungkan lagi, justru pada usia masih muda Upasara sempat menjajal dengan berbagai pertarungan yang penting dan menentukan. Akan tetapi, tenaga bergolak dari tubuh Nyai Demang tetap menimbulkan teka-teki baginya. Karena agaknya tenaga dalam Nyai Demang seperti terkuras untuk meletup ke luar. Kalau tidak akan menggerogoti kekuatannya sendiri. Seakan butuh penyaluran.
Bahayanya, jika tenaga itu didorong atau dilawan, tubuh Nyai Demang yang termakan, yang menjadi korban. Dengan kata lain, semacam tenaga bebas yang bergerak dan bisa menghantam apa saja. Sejak pertama kali, Upasara telah mengetahui ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Eyang Kebo Berune. Itu sebabnya ia menyabarkan diri untuk tidak bertindak sembrono. Hal itu yang juga diisyaratkan pada Nyai Demang.
Hanya saja pada saat terakhir, Nyai Demang merasa tidak tahan. Ia menyentuh tubuh Eyang Kebo Berune. Akibatnya cukup gawat. Kini Upasara sendirian. Eyang Kebo Berune masih tetap tak bergerak, sementara Nyai Demang juga mengalami nasib yang sama. Kini saatnya bergerak untuk melakukan sesuatu.
Upasara pernah mengalami kejadian yang kurang-lebih sama. Yaitu saat di mana Gendhuk Tri terkena hawa racun yang luar biasa. Sehingga seluruh tubuhnya dialiri racun berbisa. Siapa yang tercakar, tenaga racun dalam tubuh Gendhuk Tri akan merembes masuk ke arah lawan. Sangat berbahaya, karena ini berarti maut. Bahkan jenis binatang berbisa tak berani mendekati tubuh Gendhuk Tri. Waktu itu Upasara bisa menyembuhkan dengan cara memberikan tenaga dalamnya untuk mengusir hawa racun. Ini bedanya.
Sekarang ini kalau Upasara akan memberikan tenaga dalamnya, belum tentu berhasil. Karena tenaga dalam yang bergolak tak bisa dijinakkan. Dipaksa keluar dengan perlawanan, akibatnya membahayakan si penderita. Sementara kalau diterima, pengalihan tenaga bergolak ini rasanya tak berkurang. Nyai Demang masih tetap menderita, dan dirinya sendiri diamuk tenaga perlawanan. Tenaga sesat yang menjadi korban lebih banyak.
Upasara mencoba lagi. Kali ini berdiri tegak, dengan kedua kaki mengangkang. Tangan tertekuk di pusar. Perlahan kedua tangan bergerak ke atas, dengan siku mundur. Telapak tangan menghadap ke atas, bergerak naik. Seiring dengan tarikan napas yang dalam. Lewat ujung hidung, masuk ke dalam otak di kepala, lalu turun ke belakang lewat sumsum tulang belakang, dan dikumpulkan di bagian pusar. Sementara kedua tangannya bergerak perlahan ke depan, mendorong. Perlahan, dengan tangan kiri lebih mengarah, mendahului tangan kanan. Bersama dengan embusan napas yang sudah ditahan sebisa mungkin di pusar. Napas Bumi!
Tubuh Nyai Demang bergetar. Gejolak tenaga dalam menembus ke dalam tubuh Upasara lewat tangan Upasara. Yang untuk sementara melekat erat. Upasara menampung sekuat mungkin. Baru kemudian melepaskan dan melampiaskan tenaga yang bergolak ke arah luar. Terdengar gejolak keras. Pohon-pohon di luar rumah bergoyangan dan roboh. Gubuk itu sendiri bergerak, seolah jebol dari dasarnya. Sesaat Upasara menahan diri, merasakan sisa-sisa serangan tenaga Nyai Demang.
“Apakah lebih baik, Mbakyu Demang?”
“Ya.”
“Kalau begitu akan saya coba lagi. Mbakyu jangan melawan. Biarkan saja.” Upasara bersiap lagi.
“Percuma. Kamu akan mati kelelahan. Tenaga Pukulan Pu-Ni tak bisa dipindahkan begitu saja.”
Upasara memandang hormat kepada Eyang Kebo Berune.
“Nyai Demang-mu itu menjadi lebih baik tubuhnya karena memang begitulah adanya. Tenaga Pukulan Pu-Ni akan muncul dan lenyap secara mendadak. Sampai satu saat tertentu, ia tak kuat lagi dan mati. Bukankah sekarang aku segar lagi?”
“Eyang Berune, saya masih terlalu dungu untuk memahami. Akan tetapi rasanya selalu ada jalan keluarnya.”
“Bejujag mungkin tahu. Tapi ia tak mau mengatakan.”
Mendadak Nyai Demang menggeliat dan bangun, seperti segar kembali. “Kakek Berune, coba katakan bagaimana bunyi kidungan yang Kakek sebutkan. Siapa tahu kita bisa bersama-sama memecahkannya. Setidaknya kidungan yang pertama saja.”
“Kenapa kita tidak mati bersama tanpa penasaran? Pupuh pertama atau terakhir, apa ada gunanya?”
Kidung Pujian bagi Baginda Raja
SEBENARNYA Nyai Demang sudah sangat merendah. Dengan mengatakan bisa dipecahkan bersama, Nyai Demang tidak ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dalam menguraikan arti Kidungan Paminggir dibandingkan Eyang Kebo Berune. Bahkan dengan menyebutkan pupuh pertama, atau bait pertama saja, Nyai Demang ingin mengetahui sampai sejauh mana kitab yang konon ditulis oleh Eyang Sepuh.
Alasan yang lain bagi Nyai Demang ialah karena secara langsung Eyang Sepuh menyebutkan hal itu dalam pertemuan dengan Upasara. Dan selama ini, beberapa kali Nyai Demang berusaha menerjemahkan makna kata-kata Eyang Sepuh. Dengan membolak-balik arti kidungan dalam Kitab Bumi. Hasilnya? Merasa bisa tapi juga ternyata bukan jawaban yang sebenarnya. Sehingga rasa ingin tahu Nyai Demang makin menggunung.
Sebenarnya Upasara juga mempunyai keinginan yang sama. Alasannya tidak jauh berbeda dari Nyai Demang. Dalam Kitab Bumi, selintas bisa dibaca mengenai cara berlatih tenaga dalam, cara mengatur pernapasan. Akan tetapi dari Kitab Bumi itu pula, dengan lirik kata-kata yang sama, bisa diterjemahkan secara lain. Bahkan kurungan bawah tanah yang berliku-liku juga bisa dipecahkan dengan lirik-lirik Kitab Bumi!
Seperti yang telah dilakukan Dewa Maut ketika memberi petunjuk Nyai Demang. Seperti yang telah diusahakan Nyai Demang untuk memancing kembali tenaga dalam Upasara yang musnah. Seperti yang diajarkan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam mengembalikan tenaga dalam Upasara Wulung.
“Eyang, barangkali ada gunanya dicoba.”
Terdengar helaan napas. “Baik, baik. Kuakui keunggulan Bejujag itu. Di jagat raya ini, rasanya hanya aku yang mendengar Kidung Paminggir. Tinggal aku yang bisa mengajarkan dusta ini. Bintulu sudah tak ada, Raganata sudah musnah, Bejujag sendiri sudah bersembunyi sepenuhnya. Tinggal aku. Kecuali kalau Pulangsih si penggoda masih ada. Baik, baik. Upasara dan Nyai Demang, dengarkan baik-baik. Katakan dengan jujur apakah aku yang membual, atau Bejujag itu yang kurang ajar.”
Sunyi sebentar. Upasara memusatkan perhatiannya. Nyai Demang siap mencatat kidungan di lantai yang berdebu.
KIDUNG PAMINGGIR
Pupuh pertama, rasa syukur kepada segala Dewa
yang memberkati keluhuran raja bijaksana
sembahan seluruh umat manusia
bergelar agung Baginda Raja Sri Kertanegara
tanpa cela, seumpama Dewa yang sesungguhnya
seluruh jagat terpikat mendengarnya!
Upasara masih menunggu. Nyai Demang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa kalian masih ingin mendengarkan pupuh berikutnya?”
“Hanya itu pupuh pertama?”
“Kamu kira Bejujag itu mau bersusah payah menyusun seperti Bintulu?”
Nyai Demang segera menghapus tulisan tangan di tanah.
“Nah, kalian masih beranggapan tulisan Bejujag sejajar dengan kitab yang lain?”
“Rasanya tidak di pupuh pertama.”
Terdengar tawa halus. “Aku lebih hafal dari Bejujag itu sendiri. Sampai pupuh kesembilan tetap tak ada apa-apanya. Bahkan lebih membual. Tapi baiklah, Nyai, karena kamu baik hati mau mati bersamaku, apa salahnya aku kabulkan keinginanmu? Sekalian menjelaskan bahwa Bejujag tak harus dipuja seperti itu. Dengar baik-baik, catat sampai putus jarimu.”
Sunyi lagi. Upasara kuatir jika serangan dalam tubuh Eyang Kebo Berune bergolak lagi. Karena bisa terhenti di tengah jalan. Untuk selamanya. Ini adalah kesempatan yang amat langka. Bisa bertemu secara langsung dengan tokoh yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan mengetahui lebih banyak dari siapa pun.
Pupuh kedua, masih atas Baginda Raja
yang lebih cendekia dari segala Dewa
Duh, Baginda, inilah kisah seorang lelaki
yang bertemu Tamu dari Seberang
memberikan takhta padanya
jadilah ia seorang raja
melahirkan anak cucu bermahkota
sampai akhir turunannya
Sampai akhirnya, adalah kisah lain
lelaki paminggir, lelaki nista dan miskin
mendengar suara, mendapat wahyu
Wahyu Paminggir
menjadi penguasa seperti Dewa
Wahyu Paminggir dimiliki oleh lelaki jelata
tanpa mahkota
Itulah saat, seluruh jagat
menatap kebesaran Keraton
Duh, Baginda Raja yang lebih bijak dari Dewa
ini bukan gempa, bukan bencana
sebab Wahyu Paminggir telah hadir
sejak sebelum dituliskan oleh si pandir!
Nyai Demang jadi ragu-ragu. Cara Kakek Kebo Berune mengidungkan sangat kurang enak di telinga, akan tetapi arti yang tertangkap lebih tidak enak lagi.
“Nah, kalian tahu sendiri bualan itu sekarang. Di saat Bintulu menyusun Kitab Bumi dengan jungkir balik, di saat Raganata merampungkan Kitab Negara, Bejujag justru main-main dengan lamunan. Bukankah semua tahu bahwa dulu ada lelaki bernama Ken Arok yang naik takhta, meskipun ia tidak dialiri darah Dewa? Bukankah Bejujag ingin menjelaskan lagi, bahwa kebesaran semacam itu akan terjadi lagi? Bukankah Bejujag ingin mengatakan ia sangat ingin sekali memegang jabatan itu? Dan ia berhasil. Berhasil mengguncangkan Keraton. Sejak itu Baginda Raja melarang Bejujag menulis. Melarang Raganata membaca semua karyanya.”
“Jangan-jangan yang diramalkan adalah Adimas Upasara.”
“Hmmm.”
“Bukankah paminggir berarti yang tidak pernah dianggap. Berarti selir, gundhik yang tidak resmi? Adimas Upasara juga ksatria yang tidak diakui resmi. Ia yang akan tampil suatu hari nanti. Ya, ya, ramalan dan perhitungan yang jitu.”
“Tolol!” terdengar seruan geram Kakek Kebo Berune menanggapi ucapan Nyai Demang. Untuk seorang tua, suara emosional begini terdengar menggelikan. “Sangat tolol. Karena semua orang yang tidak berdarah turunan merasa bakal jadi pahlawan dan penguasa besar di belakang hari. Ini meracuni jiwa. Dan semua keturunan Dewa dibuat risau karenanya. Lagi pula apa istimewanya nujum seperti ini? Bisa diartikan siapa saja.”
Upasara tetap tenang. Pikirannya lebih jernih dibandingkan Nyai Demang maupun Eyang Kebo Berune.
“Maaf, Eyang Berune, saat apa Eyang Sepuh menyusun Kidung Paminggir itu?”
“Saat apa? Tiap kali, ketiga ksatria perkasa mengirimkan hasil pemikiran dan pencariannya. Tidak saat apa-apa.”
“Apakah bukan jawaban bagi jurus-jurus yang dikemukakan oleh Paman Sepuh Bintulu? Atau jawaban bagi Eyang Mpu Raganata? Atau justru bagi Eyang Kebo Berune sendiri?”
“Atau bagi Eyang Putri Pulangsih?”
Tambahan kalimat Nyai Demang membuat Eyang Kebo Berune berkejap-kejap matanya. “Kenapa kamu berdua mempunyai jalan pikiran yang sama? Apa betul Bejujag itu yang paling sakti di antara kita semua? Sedemikian saktinya sehingga aku tak mampu menangkap kalimatnya? Bejujag, semoga kamu dikutuk semua Dewa yang pernah ada!”
Pamiluta, Ilmu Bujuk Rayu
KAKEK tua tetap tergeletak. Hanya jakunnya yang bergerak. Lebih cepat dari biasanya. Helaan napasnya agak tersendat. Nyai Demang terus memperhatikan.
“Maaf, Kakek Berune, kami tak ingin mengganggu Kakek. Apa pun pengalaman masa lampau yang pahit, kami tak ingin menghadirkan kembali. Keinginan kami hanya ingin menjajal sesuatu yang barangkali bisa untuk menyembuhkan saya, atau Kakek sendiri.”
“Dengan kata lain, kalian masih lebih percaya Bejujag. Mungkin harus begitu. Di antara kami berempat, Bejujag adalah yang paling tidak bisa apa-apa. Bintulu yang paling tampan, gagah perkasa tapi sekaligus lembut. Putri-putri Keraton akan merasa bahagia jika mimpi dilirik. Lebih dari ketampanannya, Bintulu paling tekun, paling baik budinya. Di antara kami bertiga, sama-sama mengakui bahwa Bintulu yang paling pantas menjadi pemimpin, yang paling pantas mendapatkan Pulangsih. Aku rela kalau Bintulu yang mendapatkan Pulangsih. Seperti juga Bejujag dan Raganata. Tapi karena perhatian Bintulu yang luar biasa kepada ilmu kanuragan, dan jauh di dalam hatinya ia tak tega mengkhianati sahabat-sahabatnya, maka ia agak malu-malu mendekati Pulangsih. Calon berikutnya, pastilah aku. Saat itu akulah yang paling biru darahnya, paling mapan kehidupannya dengan kemampuan ilmu silat yang tak kalah dari yang lainnya. Akan tetapi Pulangsih kurang menyukai ketika aku memutuskan menjadi prajurit. Apalagi ketika akhirnya aku berangkat sebagai senopati utama yang diutus ke Keraton Berune. Dari semua prajurit muda, akulah yang paling muda dan paling berpengharapan. Kalau aku tak bisa, agaknya Raganata pantas menyanding. Dia termasuk tampan, mempunyai perhatian yang lebih kepada sesama, tutur katanya manis, dan sangat asih kepada wanita. Sebelum aku berangkat, kami berlima mengadakan pertemuan. Aku yang mengutarakan niat baik, kepada siapa Pulangsih akan menjatuhkan pilihannya. Siapa pun di antara kami berempat yang dipilih Pulangsih, kami akan menerima dengan hati terbuka. Inilah kelebihan kami sebagai ksatria muda. Upasara, Nyai Demang, kalian tahu siapa yang dipilih Pulangsih?”
Nyai Demang menjawab perlahan, “Eyang Sepuh.”
“Itulah gilanya. Pulangsih mengatakan pilihannya jatuh kepada Bejujag. Serta-merta kami bertiga bertanya: Kenapa memilih Bejujag? Jawaban Pulangsih membuat kami terkesima, seakan tak percaya: Dari hati wanita yang paling lembut dan jujur, dialah lelaki yang bisa membahagiakan wanita. O-ho! Sebodoh-bodohnya kura-kura masih lebih bodoh hati wanita! Akan tetapi karena kami berempat sudah sepakat apa pun pilihan Pulangsih, kami menerima. Aku yang berangkat lebih dulu. Dengan janji akan bertemu setiap lima puluh tahun. Mengundang seluruh ksatria di penjuru jagat. Untuk menguji siapa yang paling kuat menyerap ilmu. Agak kekanak-kanakan memang. Lima puluh tahun ternyata sangat lama. Bisa mengubah segalanya. Akan tetapi ternyata tak cukup dua tahun untuk mengetahui siapa sebenarnya Bejujag. Belum dua tahun, Bejujag sudah melemparkan Pulangsih. Menampik Pulangsih dengan cara yang paling menyakitkan. Ia bergendak dengan wanita-wanita yang lain. Rasanya aku ingin segera kembali dan menghajar Bejujag. Tak sepantasnya wanita setulus Pulangsih disia-siakan dengan cara begitu hina. Hanya karena mengemban tugas negara, aku tak kembali waktu itu. Aku kuras kemampuanku untuk memperdalam ilmuku, Pukulan Pu-Ni, yang kuyakin tak ada yang mampu menandingi. Sementara kiriman dari Raganata datang beraturan, dan aku ganti mengirimkan apa yang kuperoleh. Aku makin yakin bahwa aku siap melabrak Bejujag.”
“Kakek juga menanyakan keadaan Putri Pulangsih?”
Wajah Kakek Berune berubah. Ah, masih tersimpan kenangan indah yang mendadak terbuka. “Ya.”
“Juga kabar yang diberikan Mpu Raganata?”
“Ya.”
“Juga dari Paman Sepuh Bintulu?”
“Ya. Kami bertiga ternyata masih menyimpan harapan yang sama. Hanya karena aku paling jauh, aku tak mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.”
“Juga dari Eyang Sepuh?”
“Ya.”
“Apakah…”
“Ia menerangkan kemudian, bahwa Pulangsih tak pantas dijadikan pendampingnya, karena Pulangsih mempelajari ilmu Pamiluta, ilmu pelet untuk merayu lelaki dengan bujukan manis. Demi Dewa segala Dewa! Pulangsih tak memerlukan apa-apa untuk membuat Dewa menciumi kakinya minta daya asmara. Bagaimana mungkin aku bisa percaya penjelasan busuk semacam itu? Tiap kali aku kirimkan utusan kembali ke tanah Jawa, hanya untuk mengetahui apa yang terjadi atas diri Pulangsih.”
“Ternyata Putri Pulangsih dilepas oleh Eyang Sepuh.”
“Ya.”
“Ternyata Putri Pulangsih tidak mendendam pada Eyang Sepuh. Malah tetap memujanya?”
“Ya. Hei, dari mana kamu tahu itu, Nyai?”
“Saya dilahirkan sebagai wanita, dengan hati dan perasaan wanita sejati.”
“Apa betul begitu? Setolol itukah semua wanita di jagat ini?”
Nyai Demang mendesis. “Selama lelaki masih menilai begitu kejam, jangan harap bisa memahami hati wanita. Itulah kelebihan Eyang Sepuh.”
“Kelebihan?”
“Ya.”
“Tunggu, jangan kau bikin aku mati penasaran. Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu, Nyai?”
Kini berbalik. Nyai Demang-lah yang ditanyai. Upasara menunduk. Pikirannya sedang berkelebat antara bayangan Ratu Ayu dan Gayatri. Silih berganti saling menindih. Akan tetapi, setiap kali bayangan Gayatri yang muncul lebih jelas. Ah, inikah daya asmara yang luar biasa itu? Yang juga terjadi pada diri Eyang Sepuh, Paman Sepuh Dodot Bintulu, dan Mpu Raganata… serta Eyang Kebo Berune?
“Sederhana sekali, Kakek Berune.”
“Sederhana?”
“Sangat sederhana. Dari penuturan Kakek, jelas sekali Putri Pulangsih tentunya mempunyai nama yang lebih bagus dari julukan jorok seperti itu, sangat ayu dan menawan. Sehingga Kakek berempat tergila-gila padanya.”
“Semua bidadari dikumpulkan menjadi satu pun tak bisa menyamai saat Pulangsih cemberut.”
“Saya percaya itu.”
“Ha-ha… bagaimana mungkin aku bisa bicara seperti ini? Rasanya mulut ini jadi enteng kalau bicara mengenai Pulangsih. Ia bintang pujaan kami, akan tetapi sekaligus sumber kebencian yang tiada habis-habisnya. Justru di saat Pulangsih dicampakkan, dihina, ia menitipkan pesan agar jangan ada yang mengganggu Bejujag. Tak diperbolehkan untuk menantang atau menganiaya. Hanya diizinkan membantu, kalau-kalau Bejujag menemui kesulitan. Pulangsih sendiri yang meminta itu. Seumur hidup hanya sekali aku menerima tulisannya, dan itu pun memintaku agar tidak mengganggu Bejujag! Dewa pun tak bisa percaya.”
“Kakek tahu kenapa Putri Pulangsih justru sangat mencintai Eyang Sepuh?”
“Karena tol…” Nadanya mendadak berubah, seperti teringat apa yang dikatakan Nyai Demang. “Kenapa, Nyai?”
“Karena mencintai.”
“Ya, kenapa?”
“Itulah jawaban, bukan pertanyaan.”
“Dewa segala Dewa. Bagaimana bisa begitu?”
“Seharusnya begitu. Daya asmara bukanlah perhitungan bahwa dengan mengerahkan tenaga ke tangan, tangan akan lebih sakti dari kaki. Dengan menyimpan tenaga di pusar, akan bisa disalurkan ke arah mana saja. Itu perhitungan ilmu kanuragan. Bukan daya asmara.”
Upasara bisa melihat bahwa di bagian tepi mata Eyang Kebo Berune terlihat titik air mata.
Lahirnya Bantala Parwa
“AKU tahu, bahwa selama ini aku tidak mengerti, Nyai. Dan akan tetap tidak bisa mengerti.”
“Bukankah itu sendiri pengertian?”
“Dewa segala Dewa. Kalau aku sudah bertemu denganmu sejak dulu, aku bisa memahami apa yang dilakukan Pulangsih. Hmmm, daya asmara…?”
Hening sunyi. Air mata itu seperti membeku.
“Maaf…”
“Tak apa, Nyai. Justru sekarang ini baru terbuka mata batinku untuk memahami apa yang telah terjadi.”
“Saya tidak bermaksud mengajari Kakek.”
“Kamu sangat baik budi, Nyai. Dewa akan melindungi siang dan malam.”
Nyai Demang mengalihkan ke arah pembicaraan yang lain. “Bagaimana kalau kita cari air kelapa untuk Kakek Berune, Adimas?”
“Tidak perlu. Saat serangan mengancamku seperti ini, aku hanya bisa menggeletak seperti ini. Semua makanan atau minuman akan menjadi racun dahsyat yang merusak. Rasanya aku sudah empat puluh hari empat puluh malam tergeletak di sini. Hanya nyamuk yang kebetulan lewat di bibir bisa kumakan. Selebihnya menunggu kematian. Tapi aku kini bisa mati dengan lega. Mengagumkan. Ternyata Dewa masih mempunyai rasa welas asih padaku, sehingga ragaku tidak penasaran. Nyai tahu yang dikatakan Raganata mengenai permintaan Pulangsih? Raganata mengatakan bahwa ini kesalahan kita bertiga. Ternyata memburu-memuja-mengharap Pulangsih. Dan Pulangsih sudah muak dengan sikap pemujaan seperti ini. Makanya justru kehadiran Bejujag yang biasa-biasa, menjadikan hatinya tergugah. Bejujag tak pernah memujinya secara terbuka. Bejujag tak memperlakukan Pulangsih secara istimewa. Yang biasa itu yang menarik.”
“Bisa juga begitu. Meskipun sebenarnya setiap penjelasan, tak akan menjawab secara tuntas. Maaf, Adimas, kalau saya menyinggungmu… Adimas Upasara juga terpaut hatinya oleh seorang wanita. Dan tak akan pernah lekang sedikit pun, walau kini wanita yang dikasihi telah mempunyai dua putri. Begitu juga sebaliknya.”
“Itu baik. Artinya Upasara dan kekasihnya menyimpan daya asmara. Bejujag ini betul-betul kurang ajar! Ia sengaja menyakiti hati Pulangsih demi ilmu silatnya! Betapa konyol dan hinanya.”
“Demi ilmu silatnya?”
“Demi keunggulan pribadi Bejujag. Semua ini diceritakan oleh Bejujag dengan segala kemenangan. Dengan segala kebanggaan yang ada. Nyai, kamu tahu apa yang dikatakan Bejujag padaku?”
“Tunggu… Rasanya saya bisa menebak.”
“Apa?”
“Bukankah sikap Eyang Sepuh itu yang mengilhami ilmu silatnya yang kesohor, yang dikenal dengan Tepukan Satu Tangan?”
“Jangan-jangan kamu murid Pulangsih.”
“Kalau saya ada hubungan dengan Putri Pulangsih, saya sudah akan mengubur Kakek hidup-hidup. Tetapi saya kurang mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi.”
“Aku sudah bercerita panjang. Bintulu yang menuliskan bagian pertama Kitab Bumi yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Suatu maha karya yang tiada taranya. Akan tetapi Bintulu merasa belum puas. Masih ingin menyelesaikan satu bagian lagi, yang akan terdiri atas delapan jurus. Itu sebabnya diberi nama Dwidasa Nujum Kartika, walau hanya terdiri atas dua belas jurus. Jalan pikiran Bintulu sangat cemerlang. Mengagumkan. Gagasan dasarnya ialah ingin menciptakan jurus-jurus dan atau latihan pernapasan yang bisa mementahkan semua jurus dan perkiraan, dan meminta pendapat dari kami bertiga. Pada saat seperti itulah, Raganata mengembangkan bagian yang disebut Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Inilah cara mementahkan semua Jurus Bintang. Dengan mengetahui apa yang menjadi sasaran serangan lawan, dengan sendirinya akan berhasil mengatasi. Raganata menempuh latihan pernapasan yang dalam, untuk mengetahui napas lawan. Karena sesungguhnya, di situlah sumber serangan. Bukan gerak kaki atau tangan. Bukan lirikan mata. Melainkan dengus dan tarikan napas. Rumit dan berat, akan tetapi Raganata berhasil melatih dengan luar biasa. Aku tak mau kalah. Aku menunjukkan cara-cara memainkan Pukulan Pu-Ni. Satu pukulan yang bisa membereskan semua serangan. Dengan sekali serang, Pukulan Pu-Ni akan menghancurkan lawan. Dengan demikian serangan yang berikutnya, apa pun bentuknya, tak akan lahir. Sudah ditumpas sejak awal. Kalau Raganata lebih melatih napas dan rasa, aku memakai tenaga keras.”
“Dan Paman Sepuh Dodot Bintulu?” Upasara tak bisa menahan diri ikut bertanya.
“Bintulu? Lebih dekat dengan penyelesaian yang dipakai juga oleh Raganata, tetapi juga dekat dengan cara yang kupakai. Bintulu mengajukan pukulan yang dinamai sementara Banjir Bandang Segara Asat. Menciptakan banjir besar di darat dengan mengeringkan laut. Intinya pukulan keras. Mengadu tenaga dalam, pada saat yang bersamaan, menyedot tenaga dalam lawan untuk dijadikan tenaga dalamnya sendiri. Kalau kita yang memainkan lebih unggul, berarti tenaga dalam lawan terisap. Bahayanya ialah, jika kita kalah kuat, tenaga kita yang terisap.”
“Saya pernah menyaksikan dan merasakan kehebatan ilmu itu, Eyang.”
“Bagus. Kuakui, Bintulu memang cemerlang. Karena di samping tenaga keras, cara-cara mengisap tenaga lawan adalah memakai tenaga lembut, seperti yang pemikirannya dilontarkan oleh Raganata.”
“Eyang Sepuh memperlihatkan Tepukan Satu Tangan. Bukankah begitu, Kakek?”
“Ya, Bejujag mengajukan pemikiran bahwa satu tangan yang bertepuk menimbulkan suara lebih nyaring dari dua tangan. Inti mendasar dari ilmu ini ialah pengorbanan, menjadikan diri kita korban, diri kita tumbal. Maka niatan yang pertama lahir adalah penolakan. Selama kita masih berpikir untuk meraih kemenangan, menginginkan keunggulan atau kepentingan pribadi, nafsu itu yang lebih menguasai. Kita tak mempunyai rasa pasrah. Kita yang akan kalah oleh daya nafsu kita sendiri. Pasrah total. Itulah inti pengorbanan diri.”
“Saya tahu… saya tahu…”
“Kamu tahu bahwa inti ajarannya justru bersumber dari penolakannya kepada Pulangsih? Bejujag gila. Justru dengan menolak Pulangsih, Bejujag akan mendapatkan. Justru dengan mencampakkan Pulangsih, daya asmaranya akan berlipat ganda. Dengan bertepuk sebelah tangan, lebih nyaring gemanya daripada dua tangan bersambut. Dengan tidak memiliki Pulangsih, Bejujag justru mendapatkan seumur hidupnya. Bahkan sampai di alam lain. Nyatanya begitu. Karena justru Pulangsih yang meminta-minta agar ia tak diganggu menyelesaikan ilmunya. Aku paling membenci. Dan kuanggap ilmunya lebih berbahaya dari Banjir Bandang Segara Asat yang diciptakan Bintulu. Akan tetapi segalanya serba gila. Bintulu dan Raganata yang merundingkan, yang berpikir masak-masak, akhirnya memutuskan menerima ilmu Bejujag sebagai pelengkap utama Kitab Bumi. Kitab resmi, untuk diajukan kepada Baginda Raja. Dan Baginda Raja juga memilih serta menyetujui bahwa Kitab Bumi yang utuh terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang dan Delapan Jurus Penolak Bumi! Itulah lahirnya Bantala Parwa. Yang diakui juga oleh Bintulu, Raganata, dan aku sendiri. Mengakui secara resmi, bahwa ajaran utama yang dituliskan adalah apa yang diajukan oleh Bejujag. Ilmu yang didasarkan pada penolakannya kepada Pulangsih. Kemampuannya untuk meniadakan Pulangsih. Maka, sejak itu pula Bantala Parwa direstui menjadi pelengkap yang dipakai sebagai pegangan dan ajaran Keraton Singasari. Sampai jagat ini tamat.”
Wahyu Paminggir
“KALAUPUN Kitab Bumi yang direstui Baginda Raja, bukankah itu tidak berarti satu-satunya yang boleh dipelajari?”
“Tentu saja tidak, Nyai. Di jagat ini mana ada seorang yang bisa mengharuskan dan melarang hanya mempelajari jurus tertentu? Pukulan Pu-Ni belum tentu kalah dengan Bantala Parwa. Aku masih berniat menguji.”
Nyai Demang tersenyum dalam hati. Kakek Kebo Berune yang napasnya tinggal satu-satu dan tak mampu bergerak, masih bisa menyombongkan diri. “Kakek Berune, kenapa Baginda Raja Sri Kertanegara mempunyai maksud memakai pakem atau kitab pegangan?”
“Agar bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan diri. Ada yang tercatat, dan diakui tak akan membahayakan. Masa soal semudah ini kamu tidak tahu, Nyai.”
“Itulah masalahnya,” tukas Nyai Demang cepat. “Dalam mempelajari ilmu silat, kita cenderung mengagungkan milik kita sendiri. Boleh dikatakan rahasia bagi perguruan lain. Akan tetapi kini malah disatukan. Dan disebarkan. Kakek sendiri juga menerima hasil rembugan para ksatria sejati, walau berada di seberang. Bukankah ini aneh dan bertentangan?”
“Di jagat ini, mana ada raja seperti Baginda Raja? Lebih dari siapa pun. Dewa saja kalah jauh pemikirannya. Kita semua, para ksatria, pendekar, bahkan para durjana, mempunyai rasa hormat yang tinggi kepada Baginda Raja. Beliau raja yang dihormati bukan hanya karena kekuasaannya. Tapi karena kehebatannya. Baginda Raja mempunyai kehendak yang mulia. Keraton Singasari direncanakan akan mencapai seluruh ujung jagat. Itu hanya bisa dicapai jika kekuatan Keraton tak terkalahkan. Dengan membuat pakem dari Kitab Bumi, Baginda Raja ingin menyebarluaskan gagasan itu. Semua prajurit atau bukan prajurit akan dilatih. Sehingga kelak di kemudian hari, Keraton Singasari akan digdaya tanpa tanding. Bahkan Baginda Raja mendirikan Ksatria Pingitan.”
Upasara menyembah. “Saya didikan Ksatria Pingitan, Eyang.”
“Itulah. Di samping mengirimkan semua senopati ke negara seberang, seperti aku, Baginda Raja memperkuat di dalam. Pada suatu saat nanti, semua penduduk Singasari adalah prajurit sejati. Yang bisa menguasai kanuragan dan sekaligus mempunyai budi pekerti yang baik. Bayangkan kalau itu terjadi!”
“Lalu apa kesulitannya?”
“Tak ada. Tak ada, kan?”
“Kelihatannya…”
“Kelihatannya Baginda Raja menginginkan dari penduduk yang biasa-biasa bisa mempelajari ilmu silat. Mereka akan menjadi bibit-bibit prajurit yang tangguh, yang di kelak kemudian hari menjadi senopati. Dan akan muncul senopati-senopati yang gagah perwira. Tak ada apa-apanya kalau Bejujag tidak mengacaukan semua kehendak Baginda Raja.”
“Mengacaukan?”
“Dengan Kidung Paminggir. Yang meramalkan bahwa suatu hari akan lahir seorang senopati utama, yang lebih besar dari raja itu sendiri. Itu yang dikatakan sebagai Wahyu Paminggir.”
“Maaf, Kakek Berune, saya tak bisa menangkap. Kalau Baginda Raja begitu luas pandangannya, kenapa tak menyukai kemungkinan yang telah diletakkan dasar-dasarnya?”
“Karena Bejujag! Perhitungan atau ramalan atau nujuman Bejujag menegaskan hal itu. Kalian akan mengetahui betapa kurang ajarnya Bejujag jika mengetahui kidungan bagian itu. Akan kubacakan:
Ini pupuh kesekian, mengenai Wahyu Paminggir
Wahyu ialah zat dari Dewa
Sukma kekuasaan tertinggi
hanya ada pada tangan raja
sebab raja adalah raja
raja adalah Dewa
Dewa berada dalam raja
Selain Wahyu Utama milik hanya para Dewa
ada pula Wahyu Paminggir
bagi yang berada dipinggir
tak punya nama besar, bukan keturunan raja
tak punya darah biru, bukan keturunan selir
Mereka ini memperoleh Wahyu Paminggir
yang sinarnya bisa lebih terang
dari Wahyu Utama yang gemilang
Berbahagialah penerima Wahyu Paminggir
Kidungan ini tertuju padanya
yang keringat dan kemauannya
tak bisa berakhir
Berbahagialah raja yang membawahkan
Kidungan itu tertuju hormat padanya
yang kebesaran dan takdirnya
tiada terkalahkan
Antara Wahyu Utama dan Wahyu Paminggir
seperti bibir atas dan bibir bawah
Dewa segala Dewa,
raja segala raja
tak bisa menerka yang mana
Paminggir atau utama…”
Nyai Demang bisa mengerti kalau Baginda Raja murka dengan kidungan yang diciptakan Eyang Sepuh. Dengan mengetengahkan gagasan adanya Wahyu Paminggir, secara jelas Eyang Sepuh mengatakan ada wahyu yang lain, di samping wahyu yang khusus untuk seorang raja! Itu tak boleh terjadi. Tak akan ada raja, di mana pun, menerima kenyataan bahwa ada matahari lain. Kekuasaan mutlak ada padanya.
“Bejujag mau kraman, mau mengambil alih Wahyu Raja. Bukankah itu keterlaluan? Bukankah itu tak bisa diampuni?”
Apa yang dikatakan Eyang Kebo Berune mempunyai gema dalam hati Upasara Wulung. Karena setelah terkurung selama dua puluh tahun, untuk pertama kalinya ia muncul ke dunia persilatan, karena gema adanya Wahyu Paminggir!
Di mana Eyang Sepuh mengisyaratkan datangnya Tamu dari Seberang, yang akan menentukan siapa yang bakal menjadi raja. Eyang Sepuh memakai contoh lahirnya raja pertama yang mendirikan Keraton Singasari, yaitu Ken Arok. Yang tidak berdarah biru.
Saat itu terjadi kegemparan yang luar biasa. Baginda Raja memerintahkan semua senopati untuk melabrak ke Perguruan Awan, untuk mengetahui hal yang sebenarnya. Saat itu, Eyang Sepuh sudah menghilang. Yang ada para pendekar, para ksatria yang justru sedang akan ditumpas habis.
Baru sekarang Upasara mendapat keterangan yang lengkap. Namun tak bisa ditutupi, justru perhitungan Eyang Sepuh mendekati tepat. Saat itu Raja Muda Gelang-Gelang menghancurkan Keraton Singasari, menduduki takhta kehormatan. Dan baru dengan munculnya pasukan Tartar, yang bisa disebut Tamu dari Seberang, bisa menggulingkan Raja Muda Jayakatwang. Dilihat dari sisi ini, segala perhitungan atau ramalan Eyang Sepuh tak bisa dikatakan sekadar lamunan kosong. Nyatanya terbukti.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Upasara. Bejujag dianggap sangat tepat ramalannya. Mungkin begitu, mungkin kebetulan. Yang bisa saja terjadi. Tapi dalam hal ilmu silat, Bejujag tak ada apa-apanya. Tidak bila dibandingkan dengan aku. Bahkan ketika kamu mainkan jurus-jurus Penolak Bumi, aku bisa memecahkan dengan mudah. Juga Bintulu yang sanggup mematahkan satu tanganmu.”
Nyai Demang merintih. Tubuhnya kembali bergoyang, sebelum akhirnya jatuh berkelojotan. Benturan tenaga yang terserap dari Pukulan Pu-Ni kembali muncul. Upasara menjajal kembali. Satu tangan bergerak dari lambung ke arah atas beberapa jari di atas tubuh, dan mendadak terdorong ke depan. Menyentuh kaki Nyai Demang. Sentakan tenaga bagai sabetan halilintar menyergap.
Upasara mendesis. Tubuhnya bagai kosong. Tenaga yang menyerbu masuk dibiarkan melalui semua tenaga penghalang. Ada dua kemungkinan: tenaga dalam Upasara bakal rontok, atau sengatan yang mengalir terhenti. Ternyata tidak dua-duanya!
Sifat Bumi
TENAGA itu tetap masuk menerobos tubuh Upasara. Tidak berhenti. Tubuh Upasara bergeming. Tenaga dalamnya tidak rontok. Karena sekejap kemudian, Upasara bisa melepaskan kembali tangannya tanpa merasa adanya gangguan yang berarti. Juga ketika menghela napas, dan mengatur pernapasan.
“Bisa. Bisa, Mbakyu. Saya bisa.”
Kebo Berune berseru kaget, “Bisa apa?”
“Bisa menyalurkan tenaga bergolak dari dalam tubuh Nyai Demang.”
“Mana mungkin?”
“Maaf, Eyang, saya baru menjajalnya. Rasa-rasanya bisa tersalur.”
“Aku bisa mati membelalak. Selama ini aku mempelajari Pukulan Pu-Ni dengan sepenuh hati seumur hidupku. Dan Nyai Demang itu terkena pula. Bagaimana mungkin kamu bisa mementahkan begitu saja? Apakah kamu disuruh Bejujag memperolok aku?”
Tentu saja Upasara tak mempunyai pikiran untuk mempermainkan Eyang Kebo Berune. Jalan pikirannya sangat polos untuk permainan semacam itu. Yang pertama dirasakan Upasara ialah bahwa tenaga dalam yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang bisa diambil tanpa merusakkan tenaga dalamnya sendiri. Dengan cara membiarkan dirinya kosong, dan tenaga itu tersalur terus. Hilang di dalam bumi.
Upasara memang memakai jalan pernapasan bumi. Sesuai dengan sifat bumi yang menerima segala apa. Sambaran tenaga halilintar yang betapapun hebatnya, lenyap seketika kalau masuk ke perut bumi. Sewaktu Upasara mengutarakan gagasan itu, Eyang Kebo Berune jadi terbengong-bengong.
“Sifat Bumi?”
“Begitulah, Eyang.”
“Tunggu dulu, apakah itu ada di dalam Kitab Bumi? Apakah itu diajarkan dalam Kitab Bumi?”
“Ya, Eyang.”
“Di bagian mana?”
“Di bagian Penolak Bumi. Dalam Tumbal Bantala Parwa, diterangkan pada kidungan awal, bahwa gerakan-gerakan yang ada adalah dengan mempelajari unsur-unsur tanah, tata letak bumi. Dekat gunung, dekat mata air, dekat batu, dan lain sebagainya. Masing-masing kedudukan tanah yang demikian mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Masing-masing bisa membawa rezeki dan bahaya. Untuk yang mengandung bahaya, bisa diatasi dengan tumbal. Kalau kita mengenali sifat tanah, kita mengetahui kekuatannya.”
“Demi Dewa segala Dewa. Bukankah itu bagian yang dituliskan Bejujag?”
“Maaf, saya tak begitu paham.”
“Jelas. Itu akal Bejujag. Kalau benar begitu, ia sebenarnya telah mengalahkan Pukulan Pu-Ni yang kulatih seumur hidup, yang membuatku cacat seperti ini.” Suaranya mengandung penyesalan yang dalam.
Upasara tak mau terganggu pikirannya. Dengan mengosongkan diri, tangannya terulur kembali. Kali ini dengan tenang, tenaga yang bergolak dalam tubuh Nyai Demang tersalur. Amblas ke dalam bumi. Tak sampai sepenanak nasi, tubuh Nyai Demang telah pulih kembali. Seperti sediakala.
“Luar biasa.”
“Maaf, kalau Eyang bersedia, saya ingin mencoba pada Eyang.”
“Tak bisa. Tak bisa. Mana mungkin aku mau dihina begini rupa? Lebih baik aku mati seperti sekarang. Sebentar lagi toh akan mati juga. Buat apa kamu menyombongkan diri sebagai pemenang kepada orang yang sedang sekarat?”
Nyai Demang merasa jengkel juga. “Adimas Upasara telah berbaik hati ingin membebaskan Kakek dari penderitaan yang berkepanjangan, tetapi masih ditolak. Dengan cara menyakitkan. Sudah saja. Mari kita tinggalkan.”
Suara Nyai Demang mengandung kemarahan besar. Bisa dimengerti karena Nyai Demang merasakan siksaan tenaga Pukulan Pu-Ni.
“Mari, Adimas, masih banyak yang harus kita lakukan. Tak bisa menunggui di sini.”
Upasara menggeleng. Ia tak bisa meninggalkan begitu saja. Biar bagaimanapun, Eyang Kebo Berune adalah tokoh tua yang sezaman dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata. Tak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan segala hormat, Upasara justru menyembah lagi.
“Tak perlu, Adimas. Hanya akan membahayakan Adimas sendiri. Saat menyalurkan tenaga Kakek Berune, Adimas berada dalam keadaan kosong. Saat itu kalau saya berniat jahat, dengan mudah bisa membunuh Adimas.”
“Mbakyu tak akan melakukan itu.”
“Jangan bodoh, Adimas. Saya tak akan melakukan itu. Tapi siapa saja bisa melakukan itu. Prajurit dari Keraton atau bahkan Halayudha bisa melakukan itu. Tempat ini tak jauh dari Keraton, di mana setiap saat bisa ada yang lewat. Saya tak bisa melindungi.”
Benar juga yang dikatakan Nyai Demang!
“Aha, kalian bertengkar sendiri. Aku juga tidak sudi kalian tolong. Itu sama juga mengakui keunggulan Bejujag. Aku tak bisa menerima.”
Upasara jadi serbasalah. Menolong, jelas berbahaya. Tidak menolong, hatinya tak tega.
“Sudah pergi sana! Aku masih bisa memanggil orang lain.”
“Eyang…”
“Cukup. Bagiku sudah cukup. Kalian sengaja datang disuruh Bejujag untuk menunjukkan ketinggian ilmu kalian. Sampai di alam sana nanti, tetap akan kucari Bejujag.”
Nyai Demang berdiri. “Mari, Adimas.”
“Mbakyu berangkat saja sendiri.”
Bagi Nyai Demang sangat gampang berangkat sendiri. Tapi ia tak mau melakukan itu. Justru karena mengetahui bahwa Upasara pasti akan tetap menolong Kakek Berune, tanpa memedulikan keselamatannya sendiri. Itu sifat Upasara. Repotnya, Nyai Demang juga tak bisa memaksa Upasara pergi. Jadinya ia berdiri kaku.
“Kakek, lalu Kakek mau apa?”
“Itu bukan urusanmu.”
Mendadak Nyai Demang mengerutkan keningnya. Lapat-lapat telinganya mendengar suara orang mendatangi. Dengan cepat Nyai Demang menuju ke bagian samping yang tak terlihat dari luar. Upasara mengikuti tindakan Nyai Demang. Suara langkah yang mendekati kian jelas. Nada pembicaraan mulai terdengar jelas.
“Mungkin sudah meninggal sekarang ini.”
“Sayang kita belum bisa menyadap ilmunya.”
Dalam sekejap, dua bayangan muncul di pintu. Nyai Demang mengenali bahwa salah seorang dari yang datang ialah Pendeta Syangka. Pendeta Sidateka! Yang seorang lagi tak begitu jelas, karena Nyai Demang tak bisa melihat dengan jelas. Nyai Demang lebih berusaha menyembunyikan diri dengan mengatur jalan napas agar tak dirasakan kehadirannya.
“Berune, kamu belum mati?”
“Belum. Apa maumu, Pendeta Busuk?”
“Tak ada. Selain kami berdua akan menjajal ilmu. Siapa tahu tubuhmu masih bisa dipakai untuk latihan memukul.”
Upasara mengertakkan giginya. Nyai Demang memegang tangan Upasara erat-erat. Terasa dingin.
“Coba saja. Mana ada Pendeta Busuk yang suka berbuat tak senonoh punya pukulan bagus? Pukulan dingin kamu tak lebih dari bau kentut. Lebih memuakkan daripada menakutkan.”
Wajah Pendeta Sidateka berubah gusar. “Kalau kamu tahu siapa yang datang bersamaku, kamu tak akan bermulut besar seperti itu.”
“Segala jenis ular busuk kamu bawa, apa kamu kira ada racun yang bisa melukaiku?”
Nyai Demang merinding. Rasanya ia mengenali siapa yang datang bersama Pendeta Sidateka. Sangat mengenali. Karena tokoh itu tak lain dan tak bukan adalah Kiai Sambartaka!
Rangkulan Dua Musuh Bebuyutan
NYAI DEMANG mengerahkan kemampuannya untuk mengatur jalan napasnya. Agar tidak terdengar oleh Pendeta Sidateka maupun Kiai Sambartaka. Getaran pikiran yang menyeruak membuat sedikit sakit di dada. Cekalan tangan Upasara yang mengalirkan ketenteraman sedikit-banyak membantu penguasaan diri Nyai Demang.
Ini cekalan yang kedua, yang dilakukan secara sadar. Yang pertama ketika Upasara membimbingnya keluar dari Keraton. Bahkan mencekal pinggangnya ketika meloncati tembok. Lalu sekarang ini. Sungguh aneh. Setelah sekian tahun bersama-sama, justru dalam satu malam saja, Upasara telah mencekal tangannya dan mengalirkan tenaga yang menenteramkan.
Kalau usaha penyembuhan juga dihitung, barangkali yang ketiga. Akan tetapi Nyai Demang tidak menghitung itu sebagai perlakuan yang istimewa. Karena untuk menyembuhkan luka. Bagi Nyai Demang sikap Upasara menjadi jauh berbeda. Tadinya adalah perjaka yang serba kikuk, yang menjadi merah padam mukanya, walau hanya saling berbicara. Sekarang berani menyentuh. Nyai Demang membuang jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan.
Hatinya tergetar dan gusar karena mengetahui bahwa Sidateka datang bersama Kiai Sambartaka. Gusar karena Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang sakti dari tlatah Hindia itu, ternyata sangat culas hatinya. Tega mencurangi Eyang Sepuh yang telah menolong jiwanya. Pada pertarungan di Trowulan, Nyai Demang-lah yang berusaha terjun ke Brantas untuk mencari Kiai Sambartaka. Karena merasa dendam!
Bahwa sekarang Kiai Sambartaka bisa muncul lagi dalam keadaan segar bugar, itu tak terlalu mengherankan. Sebagai tokoh sakti tingkat Dewa, hal seperti itu bukan sesuatu yang istimewa. Akan tetapi bahwa kini bergandengan dengan Pendeta Sidateka, itu yang aneh sekali. Tak masuk akal. Sejauh yang diketahui Nyai Demang, kedua negeri, yaitu tlatah Syangka dan tlatah Hindia, tak pernah akur. Dalam segala hal...
BAGIAN 28 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 30 |
---|