Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 33
Mimpi pun Gendhuk Tri tak menyangka kalau salah menebak. Ternyata selama ini yang berbisik, yang berbicara padanya adalah wanita. “Bagaimana hamba bisa tahu kalau tak melihat?”
Mendadak desiran angin lembut membuat Gendhuk Tri mendongak. Kini di depannya nampak bayangan yang samar, yang kadang kelihatan, kadang lenyap kembali. Bayangan seorang wanita yang alisnya tebal, berwarna putih. Gendhuk Tri menyembah hingga menyentuh tanah. Tubuhnya gemetar.
“Kiranya hamba bertemu dengan Putri Pulangsih yang mulia, yang mempunyai ilmu Manjing Ajur Ajer seperti halnya Eyang Sepuh. Ah, apakah hamba telah mati?”
“Kamu jenaka dan segar. Gendhuk Tri, budimu cukup baik. Tak sia-sia Raganata memilihmu untuk meneruskan ilmu saya. Hanya kenapa jadinya begitu dangkal? Bukankah air tak pernah membeda-bedakan? Bukankah air menyapa secara sama siapa saja? Raganata, apakah kamu sengaja meremehkan ilmu saya, agar dunia menjadi maklum saya tetap wanita yang hanya bersatu dalam asmara, hanya gumpalan nafsu belaka?”
Pulangsih memang berarti bersatunya daya asmara, alias bertemu badani. Sewaktu diucapkan, Gendhuk Tri masih merasakan getaran hati yang tersayat. Semacam penyesalan yang tak bisa terobati.
SUARA Putri Pulangsih masih menyayat hati Gendhuk Tri. Yang berpikir-pikir, bahwa sekian puluh tahun ternyata ada kenangan yang tak bisa dihapus.
“Eyang Mpu Raganata kelewat sakti dan luhur budinya. Dihormati seluruh Keraton Singasari dan para ksatria. Rasa-rasanya tak mungkin beliau berbuat yang tidak-tidak. Saya yang tak pernah mengerti ajaran itu.”
“Lupakan saja, Gendhuk Tri. Kalau saya mengatakan seseorang buruk perilakunya, tak akan mengubah apa-apa. Tidak bermaksud menggugat atau merendahkan. Raganata sangat baik. Baik sekali. Raganata secara jujur mengakui, bahwa ia tertarik menjadi prajurit. Menjadi abdi dalem, menjadi punggawa Keraton. Dulu ia mengatakan itu pada saya. Karena kesadaran, bahwa satu-satunya cara untuk mengubah dan memperbaiki tanah Jawa ialah melalui Keraton. Sebab Keraton lah yang secara langsung memimpin dan menentukan. Ia meninggalkan saya dan teman-teman, mengabdi kepada Sri Baginda Raja. Lucu juga, membayangkan ia menjadi prajurit. Menjadi empu. Berdiam di Keraton, mengurusi tata negara, mengawasi tata pemerintahan. Tak bisa dibayangkan. Tapi itulah kejujuran yang polos. Raganata membuat Kitab Negara, Nagara Parwa, yang tidak saya mengerti. Tapi ia juga masih membuat tulisan lain, kitab kanuragan yang kemudian dikenal dengan nama ilmu silat Weruh Sadurunging Winarah, Tahu Sebelum Terjadi. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya jiwa yang sesungguhnya adalah jiwa ksatria. Jiwa pendekar, jiwa pengelana. Hanya karena melihat bahwa Keraton bisa menyalurkan hasrat perbaikan, ia bergabung ke dalam Keraton. Diam-diam ia mengajarkan juga ilmu Tirta, ilmu Air, yang saya latih. Ya, Raganata orang yang jujur dan baik.”
"Putri Pulangsih mengenal Mpu Raganata?” Secara samar-samar Gendhuk Tri melihat senyum terkembang.
“Seperti kamu mengenal lelaki di dekatmu itu. Atau malah lebih. Dulu mereka dekat dengan saya. Saling berlomba memilih saya. Raganata, Dodot Bintulu…”
“Paman Sepuh…”
“Juga Bejujag….”
“Eyang Sepuh?”
“Nama yang kemudian memang serba terhormat, serba sepuh. Saya sendiri yang masih memakai nama hina. Tapi apa artinya nama? Ada yang cuma Gendhuk Tri….”
“Maaf, tapi siapa sebenarnya Kakek Berune?”
“Ah, ia juga lelaki yang baik. Ksatria yang setia mengabdi pada Keraton. Dikirim ke tanah seberang. Gendhuk Tri, agaknya kamu cukup mengenal mereka semua.”
Secara singkat Gendhuk Tri menceritakan perkenalan dengan Mpu Raganata, juga Perguruan Awan yang didirikan Eyang Sepuh, pertarungan di Trowulan, serta yang baru saja didengar mengenai Kakek Berune.
“Ia masih tergila-gila pada saya? Aha. Semua masih tergila-gila. Hanya semua lelaki memang lahir bersama keangkuhan.”
Dalam hati, Gendhuk Tri merasa geli juga. Dalam pandangannya, Putri Pulangsih sudah nenek-nenek dan reyot. Akan tetapi penampilan dan gayanya masih seperti gadis muda. Seakan ada perkembangan rasa yang terhenti di saat remaja.
“Saya bintang, saya bunga pujaan. Dan karena saya tak ingin menyakiti hati salah satu, saya menghindari semuanya. Dan semua menyalahkan saya. Menuduh yang bukan-bukan, bahkan sepakat memberi nama yang hina. Sedih? Saya tak pernah punya duka yang tersisa. Saya tahu apa yang harus saya jalani. Menjaga putra-putri Singasari yang hebat. Kalau satu saya pilih, yang lainnya akan bermusuhan. Saya harus menjaga keutuhan ini. Saya juga membuktikan bahwa ilmu silat saya tak bisa diremehkan. Bertahun-tahun saya menuliskan Tirta Parwa atau Kitab Air, seperti Dodot Bintulu menuliskan Bantala Parwa, dan Raganata menuliskan Nagara Parwa. Kami saling membaca tulisan, dan saling mempelajari dan memecahkan. Bejujag melengkapi Bantala Parwa dengan Tumbal Bantala Parwa yang memang luar biasa. Saya melengkapi dengan Gita Parwa, yang saya rasa merupakan ilmu penutup dari semua ilmu silat yang ada. Kalau Bejujag meneruskan inti segala inti bumi, saya memakai inti tenaga air. Seperti sudah kamu ketahui, kami akan menjajal semua kemampuan yang ada saat bertemu di Trowulan, persisnya di tepi Kali Brantas. Saat itu, atas jasa Raganata, Sri Baginda Raja telah menitahkan bahwa Bantala Parwa merupakan kitab resmi mengenai ilmu kanuragan. Namun Bejujag itu memang paling sembrono dalam hidupnya. Mungkin sekali, itu sebabnya saya merasa paling dekat dengannya. Justru pada saat ia dianggap sebagai pencipta ilmu silat yang tiada taranya, yang diakui Sri Baginda Raja, yang bisa malang-melintang dengan gagah perkasa, ia menyelesaikan kidungan yang aneh, Kidung Paminggir, yang membuat Sri Baginda Raja murka. Itulah Bejujag. Saya mengakui sikapnya yang selalu angin-anginan. Selalu sembrono, nakal, dan tak memedulikan. Tumbal Bantala Parwa dikatakan tercipta karena berani menolak daya asmara dari saya. Padahal saya tak pernah memilih dia. Siapa bisa tahan hidup bersama angin? Siapa yang mau mengerti bahwa Kidung Paminggir menuliskan di suatu saat kelak akan muncul seorang paminggir, seorang yang tidak dikenal asal-usulnya, yang akan menjadi panutan, lebih dari raja sendiri. Gendhuk Tri, apakah ada orang yang lebih gila dari dia ini?”
Gendhuk Tri tak bisa menjawab pasti. Bisanya cuma menggeleng.
“Sri Baginda Raja, penguasa tertinggi yang dipuja seluruh rakyat. Semua yang menjadi keinginan rakyat dipenuhi. Tontonan setiap saat bisa diadakan. Bagi mereka yang gemar susastra, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini ditulis ulang. Diberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mempelajari. Semua tanah di jagat ini didatangi, diberi anugerah, dipayungi dengan kebesarannya. Apa pun yang menjadi keperluan para ksatria, dipenuhi. Termasuk Bejujag yang mendirikan Perguruan Awan. Akan tetapi justru di saat itu ia meramalkan akan ada ksatria sejati yang melebihi rajanya! Gila, benar-benar gila! Kenapa ia tulis kidung seperti itu?”
Lama tak ada sahutan. Singanada yang sejak tadi berdiam diri, menghaturkan sembah.
“Kalau benar Baginda Raja adalah penguasa yang bijak dan adil, yang tiada tandingan, kenapa Baginda harus murka kepada Eyang Sepuh?”
“Siapa kamu, anak muda?”
“Hamba prajurit yang juga dikirim ke tanah seberang.”
“Kamu tak tahu, bahwa Baginda murka karena tahu apa yang dikatakan Bejujag bisa benar-benar terjadi! Itulah hebatnya Bejujag.”
Kali ini sunyi berlalu lama sekali.
“Paling tidak, Baginda percaya itu akan terjadi. Dan sebelum menggegerkan Keraton, Baginda melarang Bejujag meneruskan ajarannya. Itu yang membuat kacau, sehingga kami tak bisa saling bertemu atau bertukar pikiran. Karena masing-masing lebih sibuk dengan ilmunya sendiri. Karena untuk memperdalam dan menunggu saat pertarungan yang sesungguhnya diperlukan latihan sepanjang hidup. Saya berani keluar, akan tetapi rasanya terlambat. Pertemuan telah berakhir. Lima puluh tahun lagi, saya akan datang kembali. Untuk menguji, siapa yang lebih murni. Apakah yang berintikan bumi atau air.”
“Kenapa tidak menemui Kiai Sambartaka atau Kakang Upasara saja?”
“Untuk apa? Kami, para ksatria, harus memegang teguh janji. Kami hanya akan mengadu ilmu sejati pada saat dan tempat yang telah ditentukan bersama. Betapa sia-sia dan membuang waktu untuk mengurusi yang kecil dan sepele. Masih lebih baik mempelajari ilmu, yang tak ada habisnya untuk dipelajari. Hari ini saya bicara terlalu banyak. Gendhuk Tri, bebaskan temanmu itu. Lima puluh tahun lagi kita akan saling bertemu kembali.”
GENDHUK TRI berteriak kuat, akan tetapi bayangan samar di depannya menghilang. Singanada menghela napas. Kakinya masih tak bisa digerakkan. Kalaupun bisa, juga tak bisa mengejar. Cebol Jinalaya bingung memandangi Gendhuk Tri yang berteriak. Sejak tadi ia melihat Gendhuk Tri berbicara sendirian, karena ia tak bisa melihat bayangan Putri Pulangsih. Makanya ia menjadi heran ketika Gendhuk Tri berteriak kuat. Apalagi setelah itu, Gendhuk Tri dan Singanada duduk, menyembah dengan hormat.
“Banyak yang ganjil di dunia ini. Tetapi yang namanya tokoh-tokoh terhormat lebih ganjil lagi. Aku tak mengerti kenapa Eyang Putri masih menunggu lima puluh tahun lagi, dan sekarang ini ingin memperdalam ilmunya. Rasa-rasanya aku pun belum tentu masih hidup lima puluh tahun lagi. Sungguh tak bisa dimengerti.”
Maha Singanada berdiam diri. Perlahan anyaman di benak kepalanya membentuk gambaran kebesaran Keraton Singasari. Baginda Raja Sri Kertanegara tetap raja yang paling dahsyat di seluruh jagat. Pada saat memerintah, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini diubah dan dibuat salinannya. Dan itu bukan hanya kitab kanuragan, tetapi juga kitab-kitab susastra yang adiluhung.
Itu yang menyebabkan kedua orangtuanya berangkat ke tanah Campa. Tempat ia dilahirkan, dibesarkan dengan dongengan dan kenyataan. Itu yang menalikan sebagai kekuatan raksasa. Mpu Raganata dengan gemilang menjadi penghubung, termasuk mengirimkan salinan Kitab Bumi yang dipelajari hingga sekarang. Sungguh mengagumkan.
Baru saja disaksikan sendiri salah satu kesaktian yang tiada taranya. Ilmu Manjing Ajur Ajer yang dipelajari, ternyata bisa mencapai puncaknya dengan menghilangkan diri. Menjadi moksa. Menjadi cat katon cat ilang, antara kelihatan dan hilang.
Ini pula yang berbunyi di hati Gendhuk Tri. Seumur hidupnya, ia menyaksikan sendiri dua tokoh sakti memperlihatkan ilmu itu. Yang pertama ialah Eyang Sepuh. Dan kini Putri Pulangsih. Yang sudah mencapai tingkat kasampurnan, sempurna. Sehingga tidak penting lagi, perlu ada secara nyata atau tidak. Ada rasa berbunga-bunga pada Gendhuk Tri. Ternyata, dirinya masih cucu murid kesekian pencipta Tirta Parwa, yang selama ini namanya saja tak diketahui.
“Bagus, bagus sekali ilmu kamu.”
“Ilmunya yang hebat, aku sendiri masih luar biasa gobloknya.”
“Baru bisa mencapai tingkat itu,” kata Maha Singanada. “Apa susahnya mempelajari?”
“Mana mungkin? Aku tak pernah mengetahui.”
“Bukankah Nyai Demang bisa tahu dari Kakek Berune? Bukankah Halayudha menyimpan salinannya?”
“Gila! Benar apa yang kamu katakan. Aku akan merebut kembali.”
“Berangkatlah segera.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
Maha Singanada menggelengkan kepalanya. “Jangan urusi diriku. Perhatianmu sudah cukup melegakanku.”
Wajah Gendhuk Tri merah padam. Ia berpaling ke arah lain. “Aku cuma kasihan melihatmu tak bisa bergerak. Jangan berpikir yang macam-macam.”
“Kakiku kaku. Tapi biar saja.”
“Tadi dikatakan aku bisa menolongmu. Tapi mana bisa?”
Gendhuk Tri bersemadi. Duduk bersanding. Menarik udara keras-keras, menahan di dada. Memusatkan perhatian kalau-kalau mendengar bisikan petunjuk. Lama sekali Gendhuk Tri menunggu. Sampai perasaannya sendiri hanyut terbawa alunan irama angin. Tanpa terasa tangannya bergerak, memegang kaki Singanada. Dirasakannya satu getaran dingin yang menggumpal. Dengan mengikuti tenaga gumpalan, Gendhuk Tri berusaha menyalurkan tenaganya. Perlahan.
Yang terbayang hanyalah air. Bukan selendang warna-warni. Bukan wajah Jagaddhita. Bukan Mpu Raganata. Melainkan air. Gemercik air, tapi bukan bunyinya. Air. Air mengalir. Tapi bukan geraknya. Air yang menggenang. Air yang mengubang. Air. Air. Air.
Singanada juga memusatkan perhatian. Kalau tadi tenaga dalamnya berusaha membebaskan kakinya yang kaku dan selalu terhalang, kini diikutinya saja pelukan tenaga dari telapak tangan Gendhuk Tri yang terasa hangat. Mengurung bagian yang ngilu tak bisa digerakkan.
Cebol Jinalaya menyaksikan semua kejadian dengan diam. Tenang dan menunggu. Ia tak mengerti bahwa pada saat itu Gendhuk Tri dan Maha Singanada sedang memusatkan seluruh kemampuan tenaga dalam mereka. Sedang mencairkan kebekuan!
Bagi Gendhuk Tri maupun Singanada, menerima dan menyalurkan tenaga dalam merupakan latihan sehari-hari. Sehingga meskipun baru sekarang ini bersentuhan, bisa langsung mengatur diri. Hal semacam ini lumrah dalam dunia persilatan. Gendhuk Tri bahkan mengalami yang lebih dari ini. Tenaga dalam Upasara Wulung dimasukkan secara paksa ke dalam tubuhnya untuk membongkar racun ganas dalam tubuhnya. Maka baginya tak terlalu sulit menyalurkan tenaga dalamnya.
Begitu juga Singanada. Tak terlalu sulit menerima saluran tenaga dalam dan digabungkan dengan tenaga dalamnya sendiri. Yang sedikit mengganjal ialah bahwa tenaga dalam dari tangan Gendhuk Tri seperti merembes. Perlahan, lunak, mengalir. Tak bisa dipaksa dan dibantu dengan tenaga dalamnya sendiri. Kadang terasa sangat penuh di kakinya, terkadang justru lenyap kembali. Sampai sepenanak nasi Gendhuk Tri menjajal, hingga seluruh tubuhnya bermandikan keringat dingin.
“Aku tak tahan lagi,” kata Gendhuk Tri sambil menarik kembali tangannya.
Maha Singanada memandang dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. “Kiai Sambartaka memang hebat. Tapi kamu lebih hebat lagi.”
“Tidak, aku sendiri tak mengerti sepenuhnya. Aku hanya menjajalnya. Bagaimana, masih tak bisa digerakkan?”
Singanada menarik kakinya. Masih kaku sedikit, akan tetapi mulai bisa bergerak. Juga jari-jari kakinya bisa digerakkan. Kamu pewaris tunggal Ilmu Air. Pasti bisa.”
“Harusnya begitu. Tapi selama ini aku tak pernah mempelajari secara langsung. Aku hanya mengikuti petunjuk guruku.”
“Jangan tersinggung kalau kukatakan kamu pada dasarnya bodoh. Kalau guru yang sebenarnya bisa mencapai tingkat seperti yang kita lihat, seharusnya kamu bisa mengungguli. Sudah jelas dikatakan intinya adalah air. Tenaga air. Maka kamu tinggal melatih lagi, menjajal lagi.”
Gendhuk Tri berdiri seketika. “Enak saja. Kamu mau memperbudak aku untuk mengobatimu?”
“Tidak apa. Kamu bisa menjajal pada tubuhmu.”
Suara Singanada polos. Pandangan matanya juga polos. Tanpa prasangka apa- apa. Memang itulah Maha Singanada yang diketahui Gendhuk Tri. Berbicara secara terus terang. Apa yang ada di benaknya keluar tanpa disaring dengan basa-basi.
“Ayo kita jajal lagi.”
“Jajal saja sendiri.”
“Tak bisa, tak bisa. Dengan mengatur napas Nawawidha, justru kebekuan dan rasa sakit jadi berlipat sembilan. Barangkali ini yang membuat lebih sakti. Tapi usahamu malah menjadikan lebih baik. Itu, barangkali saja, sifat air. Dan wanita cocok dengan sifat itu. Aku ingin kamu menguasai lebih banyak dan lebih sadar, sehingga bisa merebut kitab salinan dari tangan Halayudha.”
Gendhuk Tri tak menjawab. Cebol Jinalaya mengangguk.
“Kalau saya bisa melakukan, akan saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”
APA yang dikatakan si cebol hitam sangat tepat. Dengan menanyakan “Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”, Cebol Jinalaya masuk ke tengah persoalan. Bahwa ia bisa berbuat sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini.
Gendhuk Tri bukannya tidak mengetahui bagaimana mengatur pernapasan atau menyalurkan tenaga dalam untuk membantu Maha Singanada. Walau secara teori tidak sempurna, akan tetapi sejak masih kecil Gendhuk Tri sudah berlatih secara langsung. Ditambah pengalamannya yang luar biasa dalam berbagai medan pertempuran, dengan sendirinya penguasaan akan ilmunya boleh dikatakan sangat mudah digerakkan semau hatinya.
Yang tak mungkin dilakukan saat itu ialah membantu Singanada dengan memegangi kakinya! Karena Gendhuk Tri yang sekarang bukanlah Gendhuk Tri yang dulu. Sekarang ia adalah gadis remaja yang sedang tumbuh. Yang secara alamiah merasakan getaran aneh yang membuat wajahnya merah padam, daun telinganya terasa panas. Apalagi menghadapi Singanada.
Singanada adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyadarkan Gendhuk Tri akan usianya yang berkembang. Selama ini Gendhuk Tri selalu mendapat perlakuan seperti anak kecil. Karena dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua, yang mengenalnya sejak masih ingusan. Terutama tokoh-tokoh dari Perguruan Awan. Termasuk di dalamnya Upasara Wulung maupun Nyai Demang.
Dalam anggapan mereka, Gendhuk Tri merasa perlu diperlakukan sebagai anak kecil. Sebagai gendhuk. Padahal bibit-bibit kedewasaan mulai tumbuh. Perasaan kewanitaan berkembang sesuai dengan usianya. Gendhuk Tri yang sekarang adalah seorang gadis remaja! Geletar yang paling bisa disadari sendiri ialah ketika rasa cemburunya yang membesar saat melihat Upasara bergandengan tangan dengan Nyai Demang. Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri merasa sangat gusar. Kecemburuan yang mirip persaingan.
Perubahan yang secara agak terlambat disadari oleh Gendhuk Tri. Akan tetapi tumbuhnya kepekaan ini tak bisa ditolak. Maka sekarang ini, kalau ia menolak membantu Singanada, terutama sekali karena tebalnya rasa rikuh, sungkan, malu. Singanada adalah perjaka, dan dirinya adalah perawan. Mana mungkin pegang-pegang kaki segala macam? Hanya saja, jelas Gendhuk Tri tak mungkin bisa menerangkan perasaan hatinya.
Celakanya, Maha Singanada juga tak bisa menangkap gelagat. Bahwa ia menganggap Gendhuk Tri bukan sebagai anak-anak, itu sudah dilakukan sejak pertama kali bertemu. Akan tetapi jiwa Singanada kosong dalam menghadapi soal hubungan lelaki-perempuan. Ia dibesarkan di rantau, digembleng dalam suasana persilatan. Sehingga mengenai hubungan semacam ini kurang diketahui dengan baik. Kalau ia mengusulkan dan mengajak berlatih bersama, semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmu silat. Tidak lebih.
Baru ketika Cebol Jinalaya mengajukan diri, dan Gendhuk Tri melengos ke arah lain, Singanada menyadari. Dalam hatinya timbul rasa senang dan sekaligus penyesalan. Senang karena merasakan getaran yang sama aneh tapi menggugah perasaan yang tak pernah dialami. Penyesalan karena menduga bahwa Gendhuk Tri belum tentu bersedia membantunya.
“Baik, cebol yang baik. Letakkan tanganmu pada kaki Singanada. Aku akan mencoba menjajal seperti tadi.”
Cebol Jinalaya mengangguk. Kedua tangannya bergerak. Akan tetapi Singanada menggeser, meskipun kelihatan masih kaku.
“Apa maumu?” teriak Gendhuk Tri kaget.
Singanada menarik udara dari hidungnya. “Kalau kamu merasa segan, tak usah dipaksakan. Aku tak bisa menerima perlakuan semacam itu.”
“Kamu ingin aku melakukan sendiri?”
Singanada memandang tajam. “Ya.”
“Huh!”
“Bagiku tak ada gunanya kalau kamu sendiri tak rela. Kalau kamu tak suka menolongku, buat apa melalui perantara?”
Cebol Jinalaya berdiri bengong. “Sejak dilahirkan, saya memang tak ada gunanya.”
“Tunggu!” teriak Gendhuk Tri. “Bukan salahmu, cebol yang baik. Ksatria Campa ini mau memaksakan kehendaknya agar aku mau mengurut kakinya. Dan itu tak akan terjadi.”
“Kalau tidak suka, tak perlu dipaksa. Aku sudah bilang tadi.”
“Jangan cerewet. Sudah kukatakan aku mau menolongmu.”
“Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?”
“Aku… aku… aku…”
Singanada menggeleng. “Kalau kamu sudah mempunyai Upasara Wulung, ya sudah. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku juga tidak memaksa kamu mau denganku. Aku tak memaksa berhubungan denganku….”
Gendhuk Tri menggigil. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kalimat Singanada sangat terus terang, terbuka, dan langsung mengenai hatinya. “Singanada, apakah kamu menyukai aku?”
“Ya.”
“Lalu apa maumu?”
“Kalau kamu juga mau denganku, kita jalan bersama. Kita rebut kembali Kitab Air. Karena kamu pewarisnya yang sah.”
Wajah Gendhuk Tri merah terbakar.
“Kalau kamu sudah janji sama Upasara Wulung, ya sudah.”
“Ngawur. Siapa janji sama dia?”
“Atau lelaki lain?”
“Ngawur.”
“Atau tak suka padaku?”
“Ngawur…” Gendhuk Tri gelagapan sendiri. Dengan menjawab ngawur pada pertanyaan terakhir, berarti ia suka kepada Singanada.
Itu yang menyebabkan Singanada bergelak keras sekali. Suaranya mengguntur. “Hebat, hebat sekali tanah Jawa ini. Orangnya serba berbelok, serba berputar. Suka, tapi emoh bilang suka. Tapi aku suka cara begini ini. Ada malu-malu, sungkan, antara iya dan tidak… Ha… ha… ha… Sungguh menarik hidup begini ini. Kanyasukla, di sini hanya ada kamu dan aku. Dan disaksikan cebol yang baik ini, kenapa kamu masih malu-malu? Ayolah kita pelajari bersama.”
Sesungguhnya, Gendhuk Tri masih bimbang. Dalam hatinya yang paling dalam ia tak mengetahui bagaimana harus menghadapi Singanada. Ia tak tahu persis jawabannya: apakah ia menyukai Singanada atau tidak. Yang jelas, ia tak membenci. Tidak menimbulkan rasa muak, seperti misalnya melihat Kala Gemet, walaupun ia putra mahkota! Yang selama ini yang menjadi idamannya adalah Upasara Wulung. Segalanya yang sempurna dalam angannya tercipta dalam diri Upasara Wulung.
Hanya kemudian perasaan itu bergeser karena Upasara Wulung cuma mempunyai satu daya asmara—kepada Gayatri. Perasaan itu lebih bergeser lagi dan mengubah pendiriannya, sewaktu Upasara akhirnya menikah dengan Ratu Ayu Bawah Langit, dan kemudian sekali dilihatnya bergandengan tangan dengan Nyai Demang. Sejak itu berturut-turut kekaguman yang utuh mulai rontok. Pada saat yang tepat, muncul lah Singanada. Ksatria gagah yang mirip Upasara Wulung.
“Kalau kamu menguasai Kitab Air, dan aku menguasai Kitab Bumi, rasanya yang namanya Halayudha atau siapa saja bukan sesuatu yang menyulitkan kita di belakang hari. Cebol yang baik, hari ini kamu menjadi saksi bersatunya bumi dengan air.”
Singanada duduk memusatkan pikiran. Gendhuk Tri memegang tangan Cebol Jinalaya yang segera menggenggam kaki Singanada. Perlahan gelombang tenaga dalam Gendhuk Tri merembes masuk ke kaki. Mengurung rasa dingin yang membeku, mencairkan dan menggiring, mendorong ke segala nadi. Hasilnya memang luar biasa. Dalam waktu sekejap, rasa sakit dan kaku itu lenyap.
Bahkan Gendhuk Tri sendiri tak menyangka akan sehebat itu hasilnya. Kalau sebelumnya ia mencoba sampai kehabisan tenaga, kali ini bisa langsung masuk terserap. Apakah ini perpaduan antara tanah dan air?
KALAU Gendhuk Tri merasa keheranan, Singanada justru sebaliknya. Ia merasakan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya dan yang dimiliki Gendhuk Tri merupakan pasangan yang saling membantu dan berlipat ganda. Jalan pikiran Singanada sangat tepat. Walau tak bisa menerjemahkan secara tepat.
Singanada hanya merasakan bahwa dasar ilmu pernapasan dan ilmu silat yang dimiliki berasal dari Kitab Bumi. Dengan segala perubahan dan kembangan yang ada. Pada puncak perkembangan itu adalah kemampuan untuk melipatkan tenaga dalam sampai sembilan kali. Inti tenaga keras yang dimiliki, ternyata bisa ditandingi dengan tenaga keras yang lain. Yang bisa lebih memusnahkan. Bahwa dalam hal begini lebih ditentukan siapa yang menguasai tenaga dalam lebih kuat, Singanada bisa mengerti sepenuhnya.
Akan tetapi yang membuatnya takjub ialah ketika Putri Pulangsih mengatakan mengenai Kitab Air. Dengan cepat pengertian itu membersit dan masuk ke dalam kepala serta hati Singanada. Jauh lebih cepat membuka mata batin Singanada dibandingkan dengan Gendhuk Tri. Sesungguhnya ini hanya perbedaan sikap dasar ketika sama-sama mempelajari ilmu silat.
Bagi Gendhuk Tri, ia mempelajari ilmu silat secara langsung. Lewat guru yang langsung melatih. Tanpa banyak penjelasan. Hasilnya memang lebih cepat, lebih tangkas, karena tak direpotkan dengan berbagai teori.
Sebaliknya, bagi Maha Singanada, ia dibesarkan dalam ajaran yang disampaikan lewat kidungan. Kedua orangtuanya, paman-paman, serta para senopati yang berada di tanah seberang, harus mempelajari lebih dulu kitab-kitab yang dikirimkan. Sebagai perkembangan yang kemudian lebih didasarkan atas pengalaman batinnya sendiri ketika berlatih.
Cara pendekatan semacam ini lebih melelahkan dan lebih menyita waktu banyak. Akan tetapi keuntungan yang utama ialah mata batinnya siap terbuka. Bahkan segala sesuatu yang baru, bisa dengan cepat ditangkap. Maka sewaktu bayangan Putri Pulangsih menceritakan sekilas mengenai kidungan Tirta Parwa, Singanada bisa menangkap intinya. Bahkan Singanada yang lebih dulu menyadari Kitab Air adalah kitab utama ilmu silat Gendhuk Tri. Bahwa perpaduan tenaga bumi dengan tenaga air bisa hebat luar biasa.
Kalau Singanada mengetahui asal-usul penciptaan kidungan, penciptaan Kitab Bumi maupun Kitab Air, ataupun Pukulan Pu-Ni dan atau yang dikembangkan Mpu Raganata, ia bisa menangkap dan mengungkap lebih banyak lagi. Dan itu juga akan dikatakan secara terus terang kepada Gendhuk Tri. Yang bisa saja malah mengurungkan diri! Karena, sebenarnya masih ada titik keraguan untuk menerima Maha Singanada secara total.
Yang tidak diketahui baik oleh Gendhuk Tri maupun Maha Singanada adalah bahwa Kitab Air diciptakan oleh Putri Pulangsih pada saat-saat setelah Kitab Bumi disempurnakan oleh Eyang Sepuh. Dan niatan untuk menciptakan Kitab Air,nterutama juga didorong karena keinginan menciptakan maha karya yang bisa dipakai sebagai babon ilmu kanuragan.
Akan tetapi di balik kisah ilmu silat yang sakti, terjalin juga hubungan asmara yang sulit diterangkan bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung. Karena saat itu Putri Pulangsih merupakan pilihan utama para ksatria. Dan Putri Pulangsih merasa bisa lebih dekat dengan Eyang Sepuh. Bisa dimengerti kalau ada suasana yang padu. Setidaknya kalau dibandingkan perpaduan Kitab Air dengan sumber penciptaan yang lain. Itu sebabnya dalam sekejap rasa sakit di kaki Singanada lenyap seketika.
Keampuhan perpaduan tenaga dalam Gendhuk Tri dengan Maha Singanada yang terpantul dari perpaduan perasaan, menyebabkan timbulnya tenaga yang hebat. Singanada bisa langsung merasakan, karena inti penguasaan ilmunya adalah kelipatan sembilan kali. Kini yang dirasakan bukan hanya sembilan kali, akan tetapi secara menyeluruh.
“Kita berhasil.” Singanada melompat tinggi. Kakinya bisa digerakkan dengan leluasa.
Cebol Jinalaya pun berseri-seri.bGendhuk Tri membenahi selendangnya.
“Ayo kita kembali ke Keraton. Kita cari Halayudha….”
Gendhuk Tri mengangguk.
“Bagaimana kalau saya ikut ke Keraton?” Suara Cebol Jinalaya terdengar asing di telinga Gendhuk Tri.
“Kenapa, kamu mau cari mati di sana?”
“Entahlah, saya tak tahu. Tadinya saya hanya ingin segera mati. Agar bisa bersatu dengan Baginda Raja. Lagi pula hidup saya tak ada gunanya. Akan tetapi setelah ikutan memegang kaki dan kamu pegangi, ada perasaan segar.”
Gendhuk Tri membelalak. “Apa betul begitu?”
“Ya, segar.”
“Kamu tak mau mencari mati lagi?”
“Entahlah, saya tak mengerti.”
“Itu baik, baik sekali,” kata Singanada. “Kamu terkena sawan tenaga dalam kami berdua.”
Sawan, atau berkah atau tuah atau faedah tak langsung, yang dikatakan Singanada bisa dirasakan pula oleh Gendhuk Tri. Kalau bukan Cebol yang mengatakan, Gendhuk Tri akan curiga. Akan tetapi, ia sendiri mengalami bersama-sama Cebol yang setiap saat ingin mati. Yang sebelum menyentuh kaki Singanada masih merasa dirinya tak pernah ada gunanya.
Yang membuat Gendhuk Tri sedikit bertanya-tanya dalam hati ialah kenapa pengaruhnya bisa begitu cepat. Akan tetapi pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Ia merasa bersyukur bahwa Cebol mau ikut. Sekurangnya akan membuat dirinya tidak menjadi sangat kikuk kalau harus berduaan saja dengan Singanada.
Dalam perjalanan kembali ke Keraton, mereka berdua sempat berlatih dua kali. Cebol ikut mendengarkan dan mencatat kidungan yang ditembangkan baik oleh Gendhuk Tri maupun oleh Maha Singanada. Singanada sendiri tak segan-segan menggendong ke pundaknya saat mereka melakukan perjalanan.
“Tunggu, rasanya ada apa-apa di dalam Keraton,” kata Gendhuk Tri berbisik.
“Kenapa?”
“Sejak di perbatasan tadi para prajurit disiagakan secara penuh.”
“Lalu kenapa?”
“Jangan-jangan ada huru-hara….”
“Kalaupun ada, apa bedanya? Kita datang untuk merebut Kitab Air, bukan urusan Keraton.”
“Mana mungkin kita bisa bergerak leluasa, kalau urusan seperti ini?”
“Kanyasukla, aku tahu kamu dibesarkan di Keraton. Aku di bawah panji-panji kebesaran Keraton. Tetapi aku sekarang tak peduli lagi. Aku tak menemukan kebesaran Keraton di mana aku harus mengabdi diri. Putra Mahkota yang masih kecil sudah segenit itu, dan aku tak mau jadi korban pemuasan nafsunya. Ayolah kita selesaikan urusan kamu, dan kita bisa keliling jagat.”
Gendhuk Tri merasakan kekecewaan dalam nada suara Singanada. “Mengabdi kepada Keraton adalah tugas mulia. Tanpa harus memedulikan siapa yang duduk di takhta. Itu sudah keputusan para Dewa. Tidak sebaiknya kita mengungkit soal itu.”
“Baik, baik, kalau begitu maumu. Tapi aku tetap mau merebut Kitab Air milikmu. Sebab kita sama-sama. Kalau itu kitab warisan buatmu, berarti juga buatku.”
Hati Gendhuk Tri berdenging. Sama sekali tak disangkanya bahwa perhatian Singanada begitu mendalam padanya. Singanada sudah menganggap Gendhuk Tri adalah bagian dari hidupnya. Diam-diam ada rasa takut dalam hati Gendhuk Tri. Hanya saja ia tak tahu takut soal apa dan bagaimana. Karena Gendhuk Tri kadang masih membayangkan di mana sekarang ini Upasara berada. Apa yang terjadi dengannya? Perasaan itu masih muncul. Walau ditenggelamkan kembali. Ia tak ingin Maha Singanada mengetahui bersitan pikiran semacam itu. Tak tahu kenapa, tapi Gendhuk Tri merasa lebih baik menyembunyikannya.
BUKAN hanya Gendhuk Tri yang keheranan melihat suasana keraton yang nampak tintrim, tenang tapi menakutkan. Perasaan yang sama dialami ketika Halayudha kembali ke Keraton. Sambil membawa Nyai Demang yang masih menggendong Eyang Berune. Hanya saja penciuman Halayudha lebih peka.
Begitu melihat bahwa di perjalanan tak banyak masyarakat lalu-lalang, pun di siang hari, Halayudha merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Apalagi melihat kenyataan bahwa para prajurit disiagakan penuh. Segera ia menghindar. Tidak langsung menuju ke dalam Keraton. Melainkan menyelundup masuk ke bagian belakang. Menyembunyikan Nyai Demang dalam salah satu ruangan. Lalu dengan sigap ia menyusup masuk ke dalam.
Yang pertama dituju ialah Mahapatih Nambi. Karena sebagai mahapatih, Nambi pastilah paling mengetahui keadaan dan keamanan Keraton. Namun, hatinya bercekat, karena sama sekali tak bisa menemukan Mahapatih di tempat kediamannya. Juga lebih kaget lagi ketika menuju ke tempat kediamannya yang sudah dijaga ketat. Tak ada satu pun prajurit yang setia kepadanya berada di tempat.
Dengan kemampuannya, Halayudha bisa menyusup masuk, dan melihat bahwa seluruh isi rumahnya telah diobrak-abrik. Tak ada yang tersisa. Tak ada barang yang tak dipindahkan tempatnya. Luar biasa. Boleh dikatakan ia tak meninggalkan Keraton untuk jangka waktu lama. Tapi begitu melangkah ke luar, kamarnya telah disatroni lawan yang berbuat seenaknya. Seketika darah Halayudha mendidih.
Akan tetapi jalan pikirannya yang mampu menembus kemarahan, membuatnya tidak murka seketika itu juga. Ia ganti masuk ke kaputren. Hasilnya sama saja. Tak ada siapa-siapa, selain prajurit yang menjaga di setiap sudut. Ini sangat aneh. Prajurit Keraton atau pengawal pribadi mana yang mendapat tugas begitu istimewa?
Usaha Halayudha untuk menembus sampai ke dalam Keraton juga tak mungkin. Tempat kediaman Baginda dijaga kelewat ketat. Tak ada ruang tersisa di mana tidak ada prajurit dalam keadaan siaga. Sebenarnya Halayudha bisa muncul dan masuk dengan leluasa. Ia tak perlu terlalu kuatir mengenai dirinya. Siapa pun yang kini menguasai Keraton, pasti dikenalnya. Akan tetapi karena belum tahu pihak mana, membuatnya bersabar untuk tidak segera muncul. Baginya hanya ada perhitungan sederhana.
Kalau sekarang Keraton dikuasai seseorang, pastilah bukan orang yang terlalu asing. Pastilah masih kerabat sendiri. Rasanya tak mungkin ada prajurit atau pendekar lain yang bisa membuat Keraton sunyi dan sepi. Kalau musuh dari luar, pertempuran berdarah yang terjadi. Nyatanya kali ini tidak. Bahkan tanda-tanda pertarungan ramai pun tak ada jejaknya. Kemungkinan yang paling dekat hanyalah dari Putra Mahkota Kala Gemet, yang direstui sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Tak bisa lain.
Akan tetapi kalau ini gebrakan yang dilakukan oleh Putra Mahkota, termasuk modal sumbi, di luar kebiasaan. Putra Mahkota tak perlu melakukan hal seperti ini. Kecuali ada yang mengisiki. Ada yang membakarnya. Kalau perhitungan ini benar, orang di belakang’ Putra Mahkota pastilah Pendeta Sidateka. Tak ada yang lain. Hanya Pendeta Syangka itu yang sangat didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, yang rela memakai gelaran dari negara manca. Pendeta yang cukup sakti itu memperlihatkan taringnya dengan menyapu semua lawannya.
Ini yang paling mungkin terjadi. Dengan memunculkan Putra Mahkota yang kini menghimpun para pendekar, tak akan membuat para senopati lain curiga. Dengan restu Permaisuri Indreswari, gebrakan pembersihan lawan bisa dilakukan dengan mudah. Halayudha benar-benar merasa kecolongan. Hanya sepekan ia meninggalkan Keraton, Pendeta Syangka mampu menjungkir balikkan keadaan. Mengubah peta pemerintahan.
Halayudha sedikit pun tak gentar menghadapi Pendeta Sidateka ataupun para pengikutnya. Ibarat kata, seorang diri pun ia sanggup menghabisi lawan-lawannya. Akan tetapi karena di belakangnya ada Putra Mahkota, juga Permaisuri Indreswari dan sekaligus Baginda, kalau ia bangkit melawan, dirinya yang menjadi pemberontak. Tak jauh berbeda dari Senopati Lawe atau Senopati Sora. Dan setiap pemberontakan atas Keraton harus ditumpas habis! Tanpa ampunan!
Dugaan Halayudha mendekati apa yang sesungguhnya terjadi, sewaktu berhasil menemui Senopati Kuti yang sedang tepekur di taman, duduk bersujud di antara tanaman cabe.
“Senopati dalem, kenapa harus mengendap-endap seperti kadal?”
Halayudha menghaturkan sembah. “Senopati Kuti yang budiman, terkasih di antara para senopati… sengaja saya merayap bagai kadal, karena saya memang hina seperti binatang itu. Saya sowan ke hadapan Senopati Kuti, karena tak bisa lagi melihat siapa yang pantas saya datangi.”
“Apa yang bisa saya lakukan untuk Senopati Halayudha?”
“Berikan petunjuk, kepada siapa saya harus menghaturkan sembah….”
Senopati memotes daun cabe. “Saya tak tahu harus bagaimana. Keadaan Keraton tak menentu.”
“Bagaimana keadaan junjungan kita Baginda?”
“Menurut Senopati Sidateka, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Hanya Baginda tak menghendaki ada hati yang bercabang. Dan menugaskan Senopati Sidateka untuk membersihkan.”
Halayudha bisa dengan cepat menangkap apa yang terjadi. Naiknya Senopati Sidateka sebagai pelaku utama, sudah sangat jelas membuktikan perpindahan kekuasaan dari tangan Mahapatih Nambi. Yang segera terasakan pula oleh Halayudha ialah bahwa Senopati Kuti juga tak sepenuhnya menyetujui apa yang terjadi.
“Tugas yang mulia. Saya pun rela menyerahkan kepala saya ke tangan Senopati Sidateka jika bersalah. Yang merisaukan saya, apakah benar Baginda mengetahui hal ini?”
“Kenapa Senopati Halayudha mempertanyakan hal ini?Tidak ada rasa hormatkah Senopati kepada junjungan kita semua?” Senopati Kuti meraba hulu kerisnya.
“Demi segala Dewa di langit, biarlah saya tak menitis sebagai manusia, biarlah saya tak tumimbal lahir, kalau berani mempertanyakan keadilan Baginda. Hanya rasanya masih ada yang mengganjal. Kenapa Pendeta Sidateka yang diserahi tugas begini penting?”
“Bagi Baginda, siapa saja bisa ditunjuk.”
“Dalam hal begini, kita tak berbeda pendapat,” sahut Halayudha cepat. “Akan tetapi, biar bagaimanapun Pendeta Sidateka yang mengangkat diri menjadi senopati adalah manusia manca. Pendeta tanah sabrang. Apakah kebanggaan kita sebagai prajurit Sri Baginda Raja warisan Singasari tak ada artinya lagi? Apakah telah demikian busuknya kita semua, sehingga merayap seperti kadal pun tak punya keberanian lagi?”
Halayudha mampu mengobarkan perasaan yang paling dalam yang menghuni hati Senopati Kuti. Atau senopati yang lainnya. Yang masih mewarisi semangat dan kebanggaan sebagai prajurit Singasari. Sebagai pengabdi setia Baginda Raja Sri Kertanegara. Siapa pun yang pernah mengenyam zaman itu akan selalu membanggakan! Dengan menyinggung masalah ini, Halayudha bisa merebut simpati.
“Senopati Kuti yang gagah berani. Saya hanyalah senopati yang bertugas di dalam Keraton. Akan tetapi saya tak rela Keraton diinjak-injak semaunya oleh orang sabrang tanpa kejelasan. Saya akan merayap seperti kadal, seperti cacing busuk menggaruk tanah, untuk mendapat kejelasan dari Baginda. Hari ini saya minta izin Senopati Kuti, sebagai sesepuh yang bisa saya temui.”
Senopati Kuti tergerak hatinya. “Apa yang akan Senopati lakukan?”
HALAYUDHA menyembah hormat. Senopati Kuti menjadi kikuk karenanya.nDalam keadaan biasa sehari-hari, Senopati Halayudha tak perlu melakukan sembah padanya. Bahkan sebaliknya. Meskipun dirinya termasuk senopati yang mempunyai hak-hak istimewa, Kuti mengakui bahwa hubungan Halayudha sangat dekat dengan Baginda. Jadi dalam jajaran kepangkatan sama. Tak perlu melakukan sembah. Cukup dengan membungkukkan tubuh menghormat. Bagi Halayudha perbuatan semacam ini tidak membuatnya merasa hina. Justru sebaliknya. Dengan cara begini ia bisa menjadi lebih dekat.
“Saya ingin mendengar langsung atau tidak langsung dari Baginda, mengenai pengikut yang mempunyai hati bercabang.”
“Berarti kita harus menemui Senopati Sidateka.”
“Itu yang tak mungkin. Karena belum tentu Senopati Sidateka bisa menangkap penuh kemauan Baginda.”
“Rasanya tak mungkin menemui Baginda. Bahkan Mahapatih sudah mengajukan diri untuk sowan, akan tetapi ditolak oleh Putra Mahkota Bagus Kala Gemet. Cukup menghadap beliau.”
Ini berarti semua jalan tertutup!
“Kalau bisa, apakah Senopati kira saya akan berdiam di sini menunggui cabe rawit?”
Halayudha menggigit bibirnya. “Kalau begitu tinggal satu jalan saja…”
Senopati Kuti menunggu.
Halayudha menghela napas.
“Saya melihat kemungkinannya hanya satu,” sahut Senopati Kuti. “Hanya seorang seperti Upasara Wulung yang bisa menerobos ini. Upasara adalah senopati kesayangan Baginda. Upasara juga bergelar lelananging jagat, sehingga Pendeta Sidateka akan memperhitungkan kalau ingin menolaknya.”
Halayudha manggut-manggut. “Sayangnya, kita tak tahu di mana Upasara Wulung. Sayang, Putra Mahkota tak menyukai Upasara Wulung, sejak Upasara merebut Ratu Ayu Bawah Langit…”
“Bagaimanapun juga, itu pilihan terbaik. Kami, para senopati, sudah memperhitungkan kemungkinan itu, akan tetapi rasanya tak ada pilihan lain. Tidak saya, atau Senopati Halayudha sendiri….”
“Maaf, bolehkah saya mengajukan usulan?”
“Selama demi kebaikan dan ketenteraman Keraton, setiap prajurit wajib mengutarakan pendapatnya.”
“Kalau misalnya semua senopati menyetujui, kenapa kita tidak menemui Senopati Brahma….”
Kalimat pendek Halayudha bagai sambaran petir. Bagai seratus kilat berpijar bersamaan. Namun yang tak pernah terlintas. Senopati Brahma. Senopati Agung Brahma!
“Perhitungan saya hanyalah, bahwa Senopati Agung Brahma masih didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, sehingga Pendeta Sidateka pun akan menuruti kemauan Putra Mahkota.”
Sangat masuk akal. Sungguh tidak percuma Halayudha berada di dalam Keraton. Senopati Brahma bisa menjadi kunci untuk sowan ke Keraton. Tokoh yang selama ini terlupakan, karena dianggap tak memerintah secara langsung. Pada situasi sekarang ini, kedudukan Senopati Brahma tak mungkin tergantikan oleh yang lain.
“Sungguh cemerlang pikiran Senopati Halayudha…”
“Saya secara kebetulan saja teringat…”
Bagi Halayudha, segala kekuatan dalam kekuasaan di Keraton boleh dikata ia hafal seperti menghafal telapak tangannya sendiri. Seperti menyusun jari-jari untuk mencubit atau menggenggam atau menjitak atau memelintir. Begitu dekat dengan puncak kekuasaan, Halayudha mempelajari situasi secara cermat. Bukan kebetulan jika Halayudha mengingat nama Senopati Brahma.
Senopati Brahma atau Senopati Agung Brahma, tokoh yang cukup disegani oleh Putra Mahkota. Karena masih paman besar, atau paman agung. Baginda sendiri memanggil dengan sebutan hormat karena merasa kalah umur. Adwaya Brahma yang mempersunting Dyah Dara Jingga, kakak perempuan Dyah Dara Petak atau Permaisuri Indreswari. Sehingga Putra Mahkota memberi hormat sebagaimana keponakan. Lebih dari itu, kehadiran Senopati Agung Brahma juga bisa meredam kekuasaan Permaisuri Indreswari. Sekurangnya dari sisi istrinya!
Maka betapa jitu perhitungan dan penunjukan Halayudha. Halayudha akan melakukan sendiri, kalau hal itu memungkinkan. Akan tetapi sejak bertugas di Keraton, Halayudha tak pernah memperhitungkan Senopati Agung Brahma. Yang meskipun mempunyai pangkat sangat tinggi, tak memegang kekuasaan secara langsung. Bahkan kehadirannya tertutup sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Kini saatnya dibuka. Diberi peranan.
Halayudha bisa menyusup sendiri kalau mau. Akan tetapi selain dengan Senopati Brahma yang diberi tambahan gelar Agung, ia pernah bentrok dengan putranya, Janaka Marmadewa atau Mantlorot, yang seusia dengan Bagus Kala Gemet. Ini berarti kalau ia yang maju, malah bisa disikat habis sebagai pembalasan dendam. Itu pula sebabnya Halayudha menghubungi orang lain. Senopati Kuti!
Untuk Senopati Kuti, pujian bagi Halayudha tak ada habisnya. Ia sama sekali tak mengetahui ada peristiwa yang meretakkan hubungan antara Senopati Agung Brahma dan Halayudha. Dari jalan pikiran yang tanpa prasangka, jelas yang diutarakan Halayudha sangat berarti sekali. Pada saat menghadapi jalan buntu, Halayudha tampil dengan gagasan yang cemerlang. Cemerlang dan suci: menyelamatkan Baginda! Senopati Kuti menyembah hormat.
“Hari ini juga saya akan menemui semua senopati, dan menghadap kepada Senopati Agung Brahma. Kalau Senopati Halayudha mengizinkan…”
“Duh, Senopati Kuti yang perwira. Manusia kadal seperti saya tak pantas dibawa ke tempat terhormat dalam urusan sepenting ini. Biarlah saya tinggal di rumah, menjaga rumah ini…”
“Kalau itu kemauan dan budi baik Senopati Halayudha, silakan saja… saya akan segera pamit.”
“Semoga Dewa memberkati tugas mulia ini….”
Saat itu juga Senopati Kuti memerintahkan prajuritnya untuk memberi tempat pada Senopati Halayudha dan menyediakan segala keperluannya. Ia sendiri langsung berangkat dan menemui Mahapatih Nambi untuk melaporkan. Mahapatih Nambi tersentak.
“Selama ini saya selalu menduga jahat kepada Halayudha, nyatanya hatinya begitu baik. Bahkan maksud mulia ini diserahkan kepada orang lain, tanpa ingin pamer kemampuan. Kuti, Halayudha adalah senopati Singasari yang tulen, dari darah dan keringatnya. Kita tak boleh melupakan hal ini.”
Sore itu juga Mahapatih Nambi meminta waktu untuk sowan kepada Senopati Agung Brahma. Sambil mengatakan akan menyerahkan arca yang baru ditemukan. Dengan senang hati, Senopati Agung Brahma menerimanya. Bahkan ia sendiri berkenan untuk melihat wujud arca yang menjadi barang kesayangannya. Pada saat itulah Mahapatih Nambi secara tidak langsung mengutarakan, bahwa sudah saatnya Senopati Agung Brahma menghadap Baginda.
“Sudah dijelaskan, bahwa di Keraton masih ada sisa-sisa prajurit yang hatinya bercabang. Itu perlu dibersihkan. Untuk apa saya mempertanyakan itu?”
“Senopati Agung, meskipun hamba ini mahapatih, tetapi hamba hanyalah prajurit biasa. Tidak mempunyai derajat apa-apa. Hanya Senopati Agung yang mungkin melaksanakan tugas mulia ini. Sekarang ini hanya Paduka yang bisa menemui Baginda.”
“Sungguh menyenangkan. Akhirnya, di samping bersenang-senang di Keraton, ada yang bisa kubuktikan untuk negeri ini. Baiklah, Mahapatih, kusanggupi keinginanmu. Malam ini juga aku akan menghadap ke Keraton.”
Mahapatih menghaturkan sembah tulus dan hormat. Terasa ada pencerahan yang dalam. Kalau saja mengetahui bahwa Halayudha sudah menyusup ke dalam Keraton, perasaan itu berbalik seperti siang dengan malam.
SENOPATI AGUNG BRAHMA menepuk pundak Mahapatih Nambi. Walaupun Mahapatih Nambi adalah pimpinan seluruh senopati Keraton, dalam hal ini Mahapatih yang melakukan sembah. Karena walaupun Brahma hanya senopati, pun ditambah gelar Agung, akan tetapi hubungan darah kekeluargaan yang lebih dituakan dari Baginda menyebabkan siapa pun menyembah padanya.
“Aku tahu kegelisahanmu, Mahapatih. Kita bukan orang yang baru saja mengenal. Dalam darahku masih mengalir deras darah Keraton Singasari. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Bukan karena arca kesayangan itu yang menyebabkan aku menghadap Baginda. Akan tetapi ini adalah kewajiban seorang prajurit, seorang senopati yang pernah dibimbing Sri Baginda Raja.bKukira Mahapatih bisa memahami.”
Mahapatih merunduk hormat. Sekilas bisa menebak kerisauan Senopati Agung Brahma. Dalam jajaran kepangkatan di Keraton, Senopati Agung Brahma tidak mendapatkan derajat tinggi hanya karena kebetulan beristrikan saudari Permaisuri Utama. Bukan hanya itu.
Senopati Adwaya Brahma adalah senopati utama di zaman Baginda Sri Kertanegara memegang tampuk kekuasaan. Bahkan terpilih sebagai salah satu dari sekian banyak senopati yang mewakili untuk dikirim ke tanah seberang, ke tlatah Pagar Ruyung, guna membawa arca Amoghapasa. Suatu cara menaklukkan negeri seberang, cara untuk menundukkan dengan damai.
Kalau tidak cukup sakti dan dianggap mempunyai kebijaksanaan luhur, tak mungkin Senopati Adwaya Brahma menjadi pilihan Sri Baginda Raja. Dan nyatanya tugas suci yang dijalankan berhasil dengan baik. Tlatah Pagar Ruyung di Melayu mengakui kebesaran Keraton Singasari. Bahkan secara suka rela menyerahkan seluruh wilayahnya untuk diambil oleh Sri Baginda Raja, saat kapan pun diperlukan. Bahwa kemudian Baginda Kertarajasa Jayawardhana memilihnya sebagai suami Dyah Dara Jingga, juga menunjukkan penghormatan yang tinggi.
Pengakuan itu tercermin dari perlakuan kepada Senopati Agung Brahma. Berhak memakai kebesaran yang biasanya diperlakukan untuk raja. Pada upacara-upacara yang penting, Senopati Agung selalu diminta hadir. Demikian juga perlakuan kepada putranya, Bagus Janaka Marmadewa, tak dipisahkan sedikit pun dari Bagus Kala Gemet. Dalam segala hal diperlakukan sama. Hanya memang selama ini Senopati Agung tak pernah mau menonjolkan diri. Malah boleh dikatakan sangat menjauhi kesempatan-kesempatan untuk tampil. Baik pada kesempatan yang penting maupun tidak.
Sewaktu Baginda memilih siapa yang pantas menjabat mahapatih, Senopati Agung justru menyurutkan diri. Ia sama sekali tidak memberikan suara, tidak memperlihatkan dirinya. Jauh dalam hati, Senopati Agung merasa bahwa ia tidak pantas untuk pangkat dan derajat yang begitu tinggi, kalau hanya diperhitungkan sebagai saudara ipar raja. Baginya itu penghinaan. Senopati Agung merasa dirinya senopati, prajurit, dan sekaligus seorang yang memiliki jiwa prajurit sejati. Pangkat tinggi, kehormatan yang agung, bukan semata-mata tujuannya.
Inilah kebanggaan para prajurit yang pernah dibesarkan dalam kekuasaan Baginda Raja Sri Kertanegara. Maka kalau Senopati Agung sampai mengatakan bahwa ia bersedia melakukan permintaan Mahapatih Nambi, itu juga karena dasar jiwa prajuritnya. Bukan karena upeti. Betapapun dirinya tergila-gila kepada segala jenis arca yang mempunyai nilai tinggi.
“Maaf, Senopati Agung Brahma. Setitik pun hamba tak mempunyai perasaan dan penilaian…”
“Aku mengerti, Mahapatih.bAku mengerti justru karena kita sama-sama prajurit. Dan sebagai prajurit, aku hanya bisa menunggu titah, menunggu dawuh, menunggu perintah. Kalau suatu saat Bagus Kala Gemet memerintahkan untuk menaklukkan Ratu Ayu Bawah Langit, akan kulakukan juga. Aku bisa menyarankan bahwa Bagus Kala Gemet belum pantas untuk memilih jodoh. Akan tetapi jika itu diperintahkan, akan kulakukan juga. Sampai darah Singasari yang menderas dalam tubuhku ini kering.”
“Hamba mengerti, Senopati Agung…”
“Kamu mengerti. Ya, kamu mengerti. Betapa lama aku merapatkan bibirku erat-erat. Karena aku tak mau membuat kisruh. Karena aku tidak ditanya. Sekarang saatnya aku melakukan dharma baktiku sebagai prajurit. Menyampaikan kepada Baginda. Bahkan tanpa permintaan Mahapatih pun, aku akan sowan. Hanya sekarang ini menjadi lebih mantap, karena kerisauan ini juga tergema dalam dada Mahapatih.”
Senopati Agung menghela napas.
“Jangan kecewa kalau aku tak membawa kabar apa-apa. Aku hanya ngunjuk atur, meminta kesediaan Baginda mengatakan sesuatu. Mahapatih, barangkali sebelum ayam jantan berkokok besok pagi, aku ingin menemuimu. Antarkan arca ini ke sana, dan kita bisa melanjutkan pembicaraan.”
“Sembah bekti bagi Senopati Agung…”
“Mudah-mudahan malam nanti purnama tidak tertutup awan. Pada musim hujan seperti sekarang ini, kadang ada awan yang muncul begitu saja…”
Dengan kalimat isyarat, Senopati Agung memperingatkan bahwa bukan tidak mungkin ada sesuatu yang masih gelap, yang bisa mengacaukan keinginannya menghadap kepada Baginda. Hal yang bisa dimengerti oleh Mahapatih Nambi. Karena secara tiba-tiba, pekan lalu Putra Mahkota Kala Gemet memerintahkan agar semua senopati berkumpul. Pada saat yang sama, Putra Mahkota mengatakan bahwa ia membawa sabda Baginda untuk membersihkan hati yang bercabang, yang masih ditemui pada beberapa senopati Keraton Majapahit.
Saat itu Mahapatih sudah bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Putra Mahkota yang mengatakan hal itu? Lebih menjadi tanda tanya lagi karena Putra Mahkota menunjuk Pendeta Sidateka menjadi senopati yang bertanggung jawab secara penuh atas pembersihan ini. Ini sama artinya dengan mengambangkan atau meniadakan pangkat dan tanggung jawab yang selama ini dipegang oleh Mahapatih Nambi!
Dipecat secara resmi pun tak akan seterkejut sekarang ini. Akan tetapi Putra Mahkota tidak menyinggung sedikit pun masalah pergeseran atau pencabutan pangkat. Putra Mahkota hanya mengatakan bahwa semua prajurit harap disiagakan secara penuh, dengan komando kekuasaan di bawah tangan Senopati Sidateka. Segala sesuatu, baik perintah ataupun ucapan, dijalankan dari Senopati Sidateka. Selebihnya semua berjaga diri. Kenyataan yang sangat membingungkan dan menimbulkan rasa was was.
Mahapatih Nambi tak bisa mengatakan sesuatu atau menanyakan. Bersama para senopati yang lain, hanya bisa menunggu. Menunggu. Dan lebih aneh lagi, selama Senopati Sidateka memegang kekuasaan dan tanggung jawab, tak ada perubahan yang berarti. Hanya beberapa prajurit yang ditangkap dan diperiksa. Akan tetapi tidak ada pergeseran atau perubahan di tingkat atas. Ini yang membingungkan. Dan membuat saling curiga. Pada saat itu, Baginda tidak mungkin bisa ditemui. Sehingga Mahapatih merasa seperti anak ayam yang kehilangan pelindungnya. Tak tahu-menahu harus mempertahankan apa atau siapa.
Semua ini dipendam dalam-dalam, sampai Senopati Kuti muncul dan memberitahukan pendapat Halayudha. Yang serta-merta dilaksanakan. Tidak terlalu meleset karena Senopati Agung juga merasakan keprihatinan yang sama. Bahwa Putra Mahkota melakukan sesuatu yang di luar dugaan, bukan baru sekarang ini. Bahwa tindakan Putra Mahkota untuk mengurung dua putri Permaisuri Rajapatni menimbulkan tanda tanya, itu sudah jelas. Akan tetapi karena ini menyangkut urusan keluarga, Mahapatih Nambi tak berhak bertanya satu patah pun.
Persoalannya menjadi lain, ketika menyangkut masalah ketenteraman dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan. Mahapatih ingin bisa menemui Baginda. Atau sekurangnya Senopati Sidateka. Untuk memperoleh keterangan yang berarti, karena masalah keamanan dan ketenteraman selama ini berada dalam tangannya.
BAHWA munculnya Pendeta Sidateka yang langsung menjabat senopati utama atau satu-satunya, bisa dikaitkan hubungan dan pengaruhnya selama ini. Sidateka sendiri merasa bahwa ia tak bisa berada di balik layar terus-menerus. Ia harus segera tampil. Satu-satunya yang bisa dikendalikan ialah Putra Mahkota. Maka ketika itu Sidateka langsung menghadap Permaisuri Indreswari dan mengatakan gagasannya.
“Sebelum kejadian menjadi berlarut-larut, barangkali saja Permaisuri Indreswari perlu memberi pelajaran kepada para prajurit yang masih bercabang kesetiaannya kepada Putra Mahkota.”
“Atas dasar alasan apa kamu mengatakan itu?”
“Pada saat sekarang ini, kita belum mengetahui jelas siapa yang betul-betul setia kepada Putra Mahkota. Ini bisa menjadi beban dan bencana di kelak kemudian hari yang tak lama, jika Putra Mahkota naik takhta. Maka sebelum bibit kraman, bibit pemberontakan, bersemi, Permaisuri Indreswari perlu memerintahkan pembersihan. Agar bibit kraman itu tak bisa tumbuh.”
“Siapa yang hatinya masih bercabang?”
“Saat ini hamba tak bisa menghaturkan nama-nama, karena akan membuat hamba berdosa. Akan tetapi kalau dilihat sewaktu Putra Mahkota dinobatkan, sewaktu Putra Mahkota menghendaki Ratu Ayu Bawah Langit, terlihat jelas bahwa masih ada yang ragu-ragu untuk mendukung Putra Mahkota secara penuh. Senopati Sora yang sejak kecil mengabdi Putra Mahkota, yang tak pernah kita perhitungkan akan membangkang, ternyata bisa menggagalkan kebesaran Putra Mahkota. Menurut pertimbangan hamba, yang seperti Senopati Sora masih ada.”
“Perasaanku mengatakan hal yang sama. Apa yang akan kau lakukan, Sidateka?”
“Barangkali saja, Putra Mahkota memegang kendali pemerintahan, mengatur Keraton untuk sementara waktu. Pada saat itu akan segera terlihat siapa yang menerima Putra Mahkota dan siapa yang bercabang hatinya. Saat itulah kita bergerak. Kalau dipercaya, rasanya hamba mampu menjalankan tugas ini.”
Permaisuri Indreswari mengelus rambutnya. “Usulmu bagus, akan tetapi berbahaya. Apa sabda Baginda jika mengetahui Putra Mahkota yang menjalankan pemerintahan?”
“Kalau Permaisuri Indreswari bisa membujuk Baginda, rasanya tak ada yang mustahil. Hanya untuk beberapa lama…”
“Aku bisa menangkap maksudmu. Baginda kita minta memberi kesempatan kepada putraku.”
“Demikianlah maksud hamba.”
“Kata-katamu agak lancang, Sidateka. Akan tetapi karena putraku sangat menghormatimu, kelancanganmu bisa kumaafkan sekarang ini.”
Bagi Sidateka, hal yang dianggap menjadi ganjalan utama ialah sewaktu Baginda memerintahkan mengambil Tirta Parwa yang dimilikinya. Sangat gamblang bahwa Baginda tidak berminat lagi pada kidungan di kain sutra tersebut. Pastilah dikendalikan oleh orang lain. Yang tak lain adalah Halayudha. Kalau Halayudha mampu mempengaruhi Baginda dalam satu hal, bukan tidak mungkin dalam hal lain juga bisa menanamkan pengaruhnya. Bisa meminjam tangan dan sabda Baginda. Yang begini sungguh berbahaya.
Justru di saat ia telah bisa begitu dekat dan menguasai Putra Mahkota. Bukankah Putra Mahkota telah berani memakai gelaran raja-raja di negeri Syangka? Dan tidak mengagungkan tetesan darah Sri Baginda Raja Kertanegara...?
Mendadak desiran angin lembut membuat Gendhuk Tri mendongak. Kini di depannya nampak bayangan yang samar, yang kadang kelihatan, kadang lenyap kembali. Bayangan seorang wanita yang alisnya tebal, berwarna putih. Gendhuk Tri menyembah hingga menyentuh tanah. Tubuhnya gemetar.
“Kiranya hamba bertemu dengan Putri Pulangsih yang mulia, yang mempunyai ilmu Manjing Ajur Ajer seperti halnya Eyang Sepuh. Ah, apakah hamba telah mati?”
“Kamu jenaka dan segar. Gendhuk Tri, budimu cukup baik. Tak sia-sia Raganata memilihmu untuk meneruskan ilmu saya. Hanya kenapa jadinya begitu dangkal? Bukankah air tak pernah membeda-bedakan? Bukankah air menyapa secara sama siapa saja? Raganata, apakah kamu sengaja meremehkan ilmu saya, agar dunia menjadi maklum saya tetap wanita yang hanya bersatu dalam asmara, hanya gumpalan nafsu belaka?”
Pulangsih memang berarti bersatunya daya asmara, alias bertemu badani. Sewaktu diucapkan, Gendhuk Tri masih merasakan getaran hati yang tersayat. Semacam penyesalan yang tak bisa terobati.
Air Tak Bersisa Duka
SUARA Putri Pulangsih masih menyayat hati Gendhuk Tri. Yang berpikir-pikir, bahwa sekian puluh tahun ternyata ada kenangan yang tak bisa dihapus.
“Eyang Mpu Raganata kelewat sakti dan luhur budinya. Dihormati seluruh Keraton Singasari dan para ksatria. Rasa-rasanya tak mungkin beliau berbuat yang tidak-tidak. Saya yang tak pernah mengerti ajaran itu.”
“Lupakan saja, Gendhuk Tri. Kalau saya mengatakan seseorang buruk perilakunya, tak akan mengubah apa-apa. Tidak bermaksud menggugat atau merendahkan. Raganata sangat baik. Baik sekali. Raganata secara jujur mengakui, bahwa ia tertarik menjadi prajurit. Menjadi abdi dalem, menjadi punggawa Keraton. Dulu ia mengatakan itu pada saya. Karena kesadaran, bahwa satu-satunya cara untuk mengubah dan memperbaiki tanah Jawa ialah melalui Keraton. Sebab Keraton lah yang secara langsung memimpin dan menentukan. Ia meninggalkan saya dan teman-teman, mengabdi kepada Sri Baginda Raja. Lucu juga, membayangkan ia menjadi prajurit. Menjadi empu. Berdiam di Keraton, mengurusi tata negara, mengawasi tata pemerintahan. Tak bisa dibayangkan. Tapi itulah kejujuran yang polos. Raganata membuat Kitab Negara, Nagara Parwa, yang tidak saya mengerti. Tapi ia juga masih membuat tulisan lain, kitab kanuragan yang kemudian dikenal dengan nama ilmu silat Weruh Sadurunging Winarah, Tahu Sebelum Terjadi. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya jiwa yang sesungguhnya adalah jiwa ksatria. Jiwa pendekar, jiwa pengelana. Hanya karena melihat bahwa Keraton bisa menyalurkan hasrat perbaikan, ia bergabung ke dalam Keraton. Diam-diam ia mengajarkan juga ilmu Tirta, ilmu Air, yang saya latih. Ya, Raganata orang yang jujur dan baik.”
"Putri Pulangsih mengenal Mpu Raganata?” Secara samar-samar Gendhuk Tri melihat senyum terkembang.
“Seperti kamu mengenal lelaki di dekatmu itu. Atau malah lebih. Dulu mereka dekat dengan saya. Saling berlomba memilih saya. Raganata, Dodot Bintulu…”
“Paman Sepuh…”
“Juga Bejujag….”
“Eyang Sepuh?”
“Nama yang kemudian memang serba terhormat, serba sepuh. Saya sendiri yang masih memakai nama hina. Tapi apa artinya nama? Ada yang cuma Gendhuk Tri….”
“Maaf, tapi siapa sebenarnya Kakek Berune?”
“Ah, ia juga lelaki yang baik. Ksatria yang setia mengabdi pada Keraton. Dikirim ke tanah seberang. Gendhuk Tri, agaknya kamu cukup mengenal mereka semua.”
Secara singkat Gendhuk Tri menceritakan perkenalan dengan Mpu Raganata, juga Perguruan Awan yang didirikan Eyang Sepuh, pertarungan di Trowulan, serta yang baru saja didengar mengenai Kakek Berune.
“Ia masih tergila-gila pada saya? Aha. Semua masih tergila-gila. Hanya semua lelaki memang lahir bersama keangkuhan.”
Dalam hati, Gendhuk Tri merasa geli juga. Dalam pandangannya, Putri Pulangsih sudah nenek-nenek dan reyot. Akan tetapi penampilan dan gayanya masih seperti gadis muda. Seakan ada perkembangan rasa yang terhenti di saat remaja.
“Saya bintang, saya bunga pujaan. Dan karena saya tak ingin menyakiti hati salah satu, saya menghindari semuanya. Dan semua menyalahkan saya. Menuduh yang bukan-bukan, bahkan sepakat memberi nama yang hina. Sedih? Saya tak pernah punya duka yang tersisa. Saya tahu apa yang harus saya jalani. Menjaga putra-putri Singasari yang hebat. Kalau satu saya pilih, yang lainnya akan bermusuhan. Saya harus menjaga keutuhan ini. Saya juga membuktikan bahwa ilmu silat saya tak bisa diremehkan. Bertahun-tahun saya menuliskan Tirta Parwa atau Kitab Air, seperti Dodot Bintulu menuliskan Bantala Parwa, dan Raganata menuliskan Nagara Parwa. Kami saling membaca tulisan, dan saling mempelajari dan memecahkan. Bejujag melengkapi Bantala Parwa dengan Tumbal Bantala Parwa yang memang luar biasa. Saya melengkapi dengan Gita Parwa, yang saya rasa merupakan ilmu penutup dari semua ilmu silat yang ada. Kalau Bejujag meneruskan inti segala inti bumi, saya memakai inti tenaga air. Seperti sudah kamu ketahui, kami akan menjajal semua kemampuan yang ada saat bertemu di Trowulan, persisnya di tepi Kali Brantas. Saat itu, atas jasa Raganata, Sri Baginda Raja telah menitahkan bahwa Bantala Parwa merupakan kitab resmi mengenai ilmu kanuragan. Namun Bejujag itu memang paling sembrono dalam hidupnya. Mungkin sekali, itu sebabnya saya merasa paling dekat dengannya. Justru pada saat ia dianggap sebagai pencipta ilmu silat yang tiada taranya, yang diakui Sri Baginda Raja, yang bisa malang-melintang dengan gagah perkasa, ia menyelesaikan kidungan yang aneh, Kidung Paminggir, yang membuat Sri Baginda Raja murka. Itulah Bejujag. Saya mengakui sikapnya yang selalu angin-anginan. Selalu sembrono, nakal, dan tak memedulikan. Tumbal Bantala Parwa dikatakan tercipta karena berani menolak daya asmara dari saya. Padahal saya tak pernah memilih dia. Siapa bisa tahan hidup bersama angin? Siapa yang mau mengerti bahwa Kidung Paminggir menuliskan di suatu saat kelak akan muncul seorang paminggir, seorang yang tidak dikenal asal-usulnya, yang akan menjadi panutan, lebih dari raja sendiri. Gendhuk Tri, apakah ada orang yang lebih gila dari dia ini?”
Gendhuk Tri tak bisa menjawab pasti. Bisanya cuma menggeleng.
“Sri Baginda Raja, penguasa tertinggi yang dipuja seluruh rakyat. Semua yang menjadi keinginan rakyat dipenuhi. Tontonan setiap saat bisa diadakan. Bagi mereka yang gemar susastra, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini ditulis ulang. Diberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mempelajari. Semua tanah di jagat ini didatangi, diberi anugerah, dipayungi dengan kebesarannya. Apa pun yang menjadi keperluan para ksatria, dipenuhi. Termasuk Bejujag yang mendirikan Perguruan Awan. Akan tetapi justru di saat itu ia meramalkan akan ada ksatria sejati yang melebihi rajanya! Gila, benar-benar gila! Kenapa ia tulis kidung seperti itu?”
Lama tak ada sahutan. Singanada yang sejak tadi berdiam diri, menghaturkan sembah.
“Kalau benar Baginda Raja adalah penguasa yang bijak dan adil, yang tiada tandingan, kenapa Baginda harus murka kepada Eyang Sepuh?”
“Siapa kamu, anak muda?”
“Hamba prajurit yang juga dikirim ke tanah seberang.”
“Kamu tak tahu, bahwa Baginda murka karena tahu apa yang dikatakan Bejujag bisa benar-benar terjadi! Itulah hebatnya Bejujag.”
Kali ini sunyi berlalu lama sekali.
“Paling tidak, Baginda percaya itu akan terjadi. Dan sebelum menggegerkan Keraton, Baginda melarang Bejujag meneruskan ajarannya. Itu yang membuat kacau, sehingga kami tak bisa saling bertemu atau bertukar pikiran. Karena masing-masing lebih sibuk dengan ilmunya sendiri. Karena untuk memperdalam dan menunggu saat pertarungan yang sesungguhnya diperlukan latihan sepanjang hidup. Saya berani keluar, akan tetapi rasanya terlambat. Pertemuan telah berakhir. Lima puluh tahun lagi, saya akan datang kembali. Untuk menguji, siapa yang lebih murni. Apakah yang berintikan bumi atau air.”
“Kenapa tidak menemui Kiai Sambartaka atau Kakang Upasara saja?”
“Untuk apa? Kami, para ksatria, harus memegang teguh janji. Kami hanya akan mengadu ilmu sejati pada saat dan tempat yang telah ditentukan bersama. Betapa sia-sia dan membuang waktu untuk mengurusi yang kecil dan sepele. Masih lebih baik mempelajari ilmu, yang tak ada habisnya untuk dipelajari. Hari ini saya bicara terlalu banyak. Gendhuk Tri, bebaskan temanmu itu. Lima puluh tahun lagi kita akan saling bertemu kembali.”
Pewaris Kitab Air
GENDHUK TRI berteriak kuat, akan tetapi bayangan samar di depannya menghilang. Singanada menghela napas. Kakinya masih tak bisa digerakkan. Kalaupun bisa, juga tak bisa mengejar. Cebol Jinalaya bingung memandangi Gendhuk Tri yang berteriak. Sejak tadi ia melihat Gendhuk Tri berbicara sendirian, karena ia tak bisa melihat bayangan Putri Pulangsih. Makanya ia menjadi heran ketika Gendhuk Tri berteriak kuat. Apalagi setelah itu, Gendhuk Tri dan Singanada duduk, menyembah dengan hormat.
“Banyak yang ganjil di dunia ini. Tetapi yang namanya tokoh-tokoh terhormat lebih ganjil lagi. Aku tak mengerti kenapa Eyang Putri masih menunggu lima puluh tahun lagi, dan sekarang ini ingin memperdalam ilmunya. Rasa-rasanya aku pun belum tentu masih hidup lima puluh tahun lagi. Sungguh tak bisa dimengerti.”
Maha Singanada berdiam diri. Perlahan anyaman di benak kepalanya membentuk gambaran kebesaran Keraton Singasari. Baginda Raja Sri Kertanegara tetap raja yang paling dahsyat di seluruh jagat. Pada saat memerintah, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini diubah dan dibuat salinannya. Dan itu bukan hanya kitab kanuragan, tetapi juga kitab-kitab susastra yang adiluhung.
Itu yang menyebabkan kedua orangtuanya berangkat ke tanah Campa. Tempat ia dilahirkan, dibesarkan dengan dongengan dan kenyataan. Itu yang menalikan sebagai kekuatan raksasa. Mpu Raganata dengan gemilang menjadi penghubung, termasuk mengirimkan salinan Kitab Bumi yang dipelajari hingga sekarang. Sungguh mengagumkan.
Baru saja disaksikan sendiri salah satu kesaktian yang tiada taranya. Ilmu Manjing Ajur Ajer yang dipelajari, ternyata bisa mencapai puncaknya dengan menghilangkan diri. Menjadi moksa. Menjadi cat katon cat ilang, antara kelihatan dan hilang.
Ini pula yang berbunyi di hati Gendhuk Tri. Seumur hidupnya, ia menyaksikan sendiri dua tokoh sakti memperlihatkan ilmu itu. Yang pertama ialah Eyang Sepuh. Dan kini Putri Pulangsih. Yang sudah mencapai tingkat kasampurnan, sempurna. Sehingga tidak penting lagi, perlu ada secara nyata atau tidak. Ada rasa berbunga-bunga pada Gendhuk Tri. Ternyata, dirinya masih cucu murid kesekian pencipta Tirta Parwa, yang selama ini namanya saja tak diketahui.
“Bagus, bagus sekali ilmu kamu.”
“Ilmunya yang hebat, aku sendiri masih luar biasa gobloknya.”
“Baru bisa mencapai tingkat itu,” kata Maha Singanada. “Apa susahnya mempelajari?”
“Mana mungkin? Aku tak pernah mengetahui.”
“Bukankah Nyai Demang bisa tahu dari Kakek Berune? Bukankah Halayudha menyimpan salinannya?”
“Gila! Benar apa yang kamu katakan. Aku akan merebut kembali.”
“Berangkatlah segera.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
Maha Singanada menggelengkan kepalanya. “Jangan urusi diriku. Perhatianmu sudah cukup melegakanku.”
Wajah Gendhuk Tri merah padam. Ia berpaling ke arah lain. “Aku cuma kasihan melihatmu tak bisa bergerak. Jangan berpikir yang macam-macam.”
“Kakiku kaku. Tapi biar saja.”
“Tadi dikatakan aku bisa menolongmu. Tapi mana bisa?”
Gendhuk Tri bersemadi. Duduk bersanding. Menarik udara keras-keras, menahan di dada. Memusatkan perhatian kalau-kalau mendengar bisikan petunjuk. Lama sekali Gendhuk Tri menunggu. Sampai perasaannya sendiri hanyut terbawa alunan irama angin. Tanpa terasa tangannya bergerak, memegang kaki Singanada. Dirasakannya satu getaran dingin yang menggumpal. Dengan mengikuti tenaga gumpalan, Gendhuk Tri berusaha menyalurkan tenaganya. Perlahan.
Yang terbayang hanyalah air. Bukan selendang warna-warni. Bukan wajah Jagaddhita. Bukan Mpu Raganata. Melainkan air. Gemercik air, tapi bukan bunyinya. Air. Air mengalir. Tapi bukan geraknya. Air yang menggenang. Air yang mengubang. Air. Air. Air.
Singanada juga memusatkan perhatian. Kalau tadi tenaga dalamnya berusaha membebaskan kakinya yang kaku dan selalu terhalang, kini diikutinya saja pelukan tenaga dari telapak tangan Gendhuk Tri yang terasa hangat. Mengurung bagian yang ngilu tak bisa digerakkan.
Cebol Jinalaya menyaksikan semua kejadian dengan diam. Tenang dan menunggu. Ia tak mengerti bahwa pada saat itu Gendhuk Tri dan Maha Singanada sedang memusatkan seluruh kemampuan tenaga dalam mereka. Sedang mencairkan kebekuan!
Bagi Gendhuk Tri maupun Singanada, menerima dan menyalurkan tenaga dalam merupakan latihan sehari-hari. Sehingga meskipun baru sekarang ini bersentuhan, bisa langsung mengatur diri. Hal semacam ini lumrah dalam dunia persilatan. Gendhuk Tri bahkan mengalami yang lebih dari ini. Tenaga dalam Upasara Wulung dimasukkan secara paksa ke dalam tubuhnya untuk membongkar racun ganas dalam tubuhnya. Maka baginya tak terlalu sulit menyalurkan tenaga dalamnya.
Begitu juga Singanada. Tak terlalu sulit menerima saluran tenaga dalam dan digabungkan dengan tenaga dalamnya sendiri. Yang sedikit mengganjal ialah bahwa tenaga dalam dari tangan Gendhuk Tri seperti merembes. Perlahan, lunak, mengalir. Tak bisa dipaksa dan dibantu dengan tenaga dalamnya sendiri. Kadang terasa sangat penuh di kakinya, terkadang justru lenyap kembali. Sampai sepenanak nasi Gendhuk Tri menjajal, hingga seluruh tubuhnya bermandikan keringat dingin.
“Aku tak tahan lagi,” kata Gendhuk Tri sambil menarik kembali tangannya.
Maha Singanada memandang dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. “Kiai Sambartaka memang hebat. Tapi kamu lebih hebat lagi.”
“Tidak, aku sendiri tak mengerti sepenuhnya. Aku hanya menjajalnya. Bagaimana, masih tak bisa digerakkan?”
Singanada menarik kakinya. Masih kaku sedikit, akan tetapi mulai bisa bergerak. Juga jari-jari kakinya bisa digerakkan. Kamu pewaris tunggal Ilmu Air. Pasti bisa.”
“Harusnya begitu. Tapi selama ini aku tak pernah mempelajari secara langsung. Aku hanya mengikuti petunjuk guruku.”
“Jangan tersinggung kalau kukatakan kamu pada dasarnya bodoh. Kalau guru yang sebenarnya bisa mencapai tingkat seperti yang kita lihat, seharusnya kamu bisa mengungguli. Sudah jelas dikatakan intinya adalah air. Tenaga air. Maka kamu tinggal melatih lagi, menjajal lagi.”
Gendhuk Tri berdiri seketika. “Enak saja. Kamu mau memperbudak aku untuk mengobatimu?”
“Tidak apa. Kamu bisa menjajal pada tubuhmu.”
Suara Singanada polos. Pandangan matanya juga polos. Tanpa prasangka apa- apa. Memang itulah Maha Singanada yang diketahui Gendhuk Tri. Berbicara secara terus terang. Apa yang ada di benaknya keluar tanpa disaring dengan basa-basi.
“Ayo kita jajal lagi.”
“Jajal saja sendiri.”
“Tak bisa, tak bisa. Dengan mengatur napas Nawawidha, justru kebekuan dan rasa sakit jadi berlipat sembilan. Barangkali ini yang membuat lebih sakti. Tapi usahamu malah menjadikan lebih baik. Itu, barangkali saja, sifat air. Dan wanita cocok dengan sifat itu. Aku ingin kamu menguasai lebih banyak dan lebih sadar, sehingga bisa merebut kitab salinan dari tangan Halayudha.”
Gendhuk Tri tak menjawab. Cebol Jinalaya mengangguk.
“Kalau saya bisa melakukan, akan saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”
Pasangan Bumi dengan Air
APA yang dikatakan si cebol hitam sangat tepat. Dengan menanyakan “Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”, Cebol Jinalaya masuk ke tengah persoalan. Bahwa ia bisa berbuat sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini.
Gendhuk Tri bukannya tidak mengetahui bagaimana mengatur pernapasan atau menyalurkan tenaga dalam untuk membantu Maha Singanada. Walau secara teori tidak sempurna, akan tetapi sejak masih kecil Gendhuk Tri sudah berlatih secara langsung. Ditambah pengalamannya yang luar biasa dalam berbagai medan pertempuran, dengan sendirinya penguasaan akan ilmunya boleh dikatakan sangat mudah digerakkan semau hatinya.
Yang tak mungkin dilakukan saat itu ialah membantu Singanada dengan memegangi kakinya! Karena Gendhuk Tri yang sekarang bukanlah Gendhuk Tri yang dulu. Sekarang ia adalah gadis remaja yang sedang tumbuh. Yang secara alamiah merasakan getaran aneh yang membuat wajahnya merah padam, daun telinganya terasa panas. Apalagi menghadapi Singanada.
Singanada adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyadarkan Gendhuk Tri akan usianya yang berkembang. Selama ini Gendhuk Tri selalu mendapat perlakuan seperti anak kecil. Karena dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua, yang mengenalnya sejak masih ingusan. Terutama tokoh-tokoh dari Perguruan Awan. Termasuk di dalamnya Upasara Wulung maupun Nyai Demang.
Dalam anggapan mereka, Gendhuk Tri merasa perlu diperlakukan sebagai anak kecil. Sebagai gendhuk. Padahal bibit-bibit kedewasaan mulai tumbuh. Perasaan kewanitaan berkembang sesuai dengan usianya. Gendhuk Tri yang sekarang adalah seorang gadis remaja! Geletar yang paling bisa disadari sendiri ialah ketika rasa cemburunya yang membesar saat melihat Upasara bergandengan tangan dengan Nyai Demang. Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri merasa sangat gusar. Kecemburuan yang mirip persaingan.
Perubahan yang secara agak terlambat disadari oleh Gendhuk Tri. Akan tetapi tumbuhnya kepekaan ini tak bisa ditolak. Maka sekarang ini, kalau ia menolak membantu Singanada, terutama sekali karena tebalnya rasa rikuh, sungkan, malu. Singanada adalah perjaka, dan dirinya adalah perawan. Mana mungkin pegang-pegang kaki segala macam? Hanya saja, jelas Gendhuk Tri tak mungkin bisa menerangkan perasaan hatinya.
Celakanya, Maha Singanada juga tak bisa menangkap gelagat. Bahwa ia menganggap Gendhuk Tri bukan sebagai anak-anak, itu sudah dilakukan sejak pertama kali bertemu. Akan tetapi jiwa Singanada kosong dalam menghadapi soal hubungan lelaki-perempuan. Ia dibesarkan di rantau, digembleng dalam suasana persilatan. Sehingga mengenai hubungan semacam ini kurang diketahui dengan baik. Kalau ia mengusulkan dan mengajak berlatih bersama, semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmu silat. Tidak lebih.
Baru ketika Cebol Jinalaya mengajukan diri, dan Gendhuk Tri melengos ke arah lain, Singanada menyadari. Dalam hatinya timbul rasa senang dan sekaligus penyesalan. Senang karena merasakan getaran yang sama aneh tapi menggugah perasaan yang tak pernah dialami. Penyesalan karena menduga bahwa Gendhuk Tri belum tentu bersedia membantunya.
“Baik, cebol yang baik. Letakkan tanganmu pada kaki Singanada. Aku akan mencoba menjajal seperti tadi.”
Cebol Jinalaya mengangguk. Kedua tangannya bergerak. Akan tetapi Singanada menggeser, meskipun kelihatan masih kaku.
“Apa maumu?” teriak Gendhuk Tri kaget.
Singanada menarik udara dari hidungnya. “Kalau kamu merasa segan, tak usah dipaksakan. Aku tak bisa menerima perlakuan semacam itu.”
“Kamu ingin aku melakukan sendiri?”
Singanada memandang tajam. “Ya.”
“Huh!”
“Bagiku tak ada gunanya kalau kamu sendiri tak rela. Kalau kamu tak suka menolongku, buat apa melalui perantara?”
Cebol Jinalaya berdiri bengong. “Sejak dilahirkan, saya memang tak ada gunanya.”
“Tunggu!” teriak Gendhuk Tri. “Bukan salahmu, cebol yang baik. Ksatria Campa ini mau memaksakan kehendaknya agar aku mau mengurut kakinya. Dan itu tak akan terjadi.”
“Kalau tidak suka, tak perlu dipaksa. Aku sudah bilang tadi.”
“Jangan cerewet. Sudah kukatakan aku mau menolongmu.”
“Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?”
“Aku… aku… aku…”
Singanada menggeleng. “Kalau kamu sudah mempunyai Upasara Wulung, ya sudah. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku juga tidak memaksa kamu mau denganku. Aku tak memaksa berhubungan denganku….”
Gendhuk Tri menggigil. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kalimat Singanada sangat terus terang, terbuka, dan langsung mengenai hatinya. “Singanada, apakah kamu menyukai aku?”
“Ya.”
“Lalu apa maumu?”
“Kalau kamu juga mau denganku, kita jalan bersama. Kita rebut kembali Kitab Air. Karena kamu pewarisnya yang sah.”
Wajah Gendhuk Tri merah terbakar.
“Kalau kamu sudah janji sama Upasara Wulung, ya sudah.”
“Ngawur. Siapa janji sama dia?”
“Atau lelaki lain?”
“Ngawur.”
“Atau tak suka padaku?”
“Ngawur…” Gendhuk Tri gelagapan sendiri. Dengan menjawab ngawur pada pertanyaan terakhir, berarti ia suka kepada Singanada.
Itu yang menyebabkan Singanada bergelak keras sekali. Suaranya mengguntur. “Hebat, hebat sekali tanah Jawa ini. Orangnya serba berbelok, serba berputar. Suka, tapi emoh bilang suka. Tapi aku suka cara begini ini. Ada malu-malu, sungkan, antara iya dan tidak… Ha… ha… ha… Sungguh menarik hidup begini ini. Kanyasukla, di sini hanya ada kamu dan aku. Dan disaksikan cebol yang baik ini, kenapa kamu masih malu-malu? Ayolah kita pelajari bersama.”
Sesungguhnya, Gendhuk Tri masih bimbang. Dalam hatinya yang paling dalam ia tak mengetahui bagaimana harus menghadapi Singanada. Ia tak tahu persis jawabannya: apakah ia menyukai Singanada atau tidak. Yang jelas, ia tak membenci. Tidak menimbulkan rasa muak, seperti misalnya melihat Kala Gemet, walaupun ia putra mahkota! Yang selama ini yang menjadi idamannya adalah Upasara Wulung. Segalanya yang sempurna dalam angannya tercipta dalam diri Upasara Wulung.
Hanya kemudian perasaan itu bergeser karena Upasara Wulung cuma mempunyai satu daya asmara—kepada Gayatri. Perasaan itu lebih bergeser lagi dan mengubah pendiriannya, sewaktu Upasara akhirnya menikah dengan Ratu Ayu Bawah Langit, dan kemudian sekali dilihatnya bergandengan tangan dengan Nyai Demang. Sejak itu berturut-turut kekaguman yang utuh mulai rontok. Pada saat yang tepat, muncul lah Singanada. Ksatria gagah yang mirip Upasara Wulung.
“Kalau kamu menguasai Kitab Air, dan aku menguasai Kitab Bumi, rasanya yang namanya Halayudha atau siapa saja bukan sesuatu yang menyulitkan kita di belakang hari. Cebol yang baik, hari ini kamu menjadi saksi bersatunya bumi dengan air.”
Singanada duduk memusatkan pikiran. Gendhuk Tri memegang tangan Cebol Jinalaya yang segera menggenggam kaki Singanada. Perlahan gelombang tenaga dalam Gendhuk Tri merembes masuk ke kaki. Mengurung rasa dingin yang membeku, mencairkan dan menggiring, mendorong ke segala nadi. Hasilnya memang luar biasa. Dalam waktu sekejap, rasa sakit dan kaku itu lenyap.
Bahkan Gendhuk Tri sendiri tak menyangka akan sehebat itu hasilnya. Kalau sebelumnya ia mencoba sampai kehabisan tenaga, kali ini bisa langsung masuk terserap. Apakah ini perpaduan antara tanah dan air?
Kembali ke Kemelut Keraton
KALAU Gendhuk Tri merasa keheranan, Singanada justru sebaliknya. Ia merasakan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya dan yang dimiliki Gendhuk Tri merupakan pasangan yang saling membantu dan berlipat ganda. Jalan pikiran Singanada sangat tepat. Walau tak bisa menerjemahkan secara tepat.
Singanada hanya merasakan bahwa dasar ilmu pernapasan dan ilmu silat yang dimiliki berasal dari Kitab Bumi. Dengan segala perubahan dan kembangan yang ada. Pada puncak perkembangan itu adalah kemampuan untuk melipatkan tenaga dalam sampai sembilan kali. Inti tenaga keras yang dimiliki, ternyata bisa ditandingi dengan tenaga keras yang lain. Yang bisa lebih memusnahkan. Bahwa dalam hal begini lebih ditentukan siapa yang menguasai tenaga dalam lebih kuat, Singanada bisa mengerti sepenuhnya.
Akan tetapi yang membuatnya takjub ialah ketika Putri Pulangsih mengatakan mengenai Kitab Air. Dengan cepat pengertian itu membersit dan masuk ke dalam kepala serta hati Singanada. Jauh lebih cepat membuka mata batin Singanada dibandingkan dengan Gendhuk Tri. Sesungguhnya ini hanya perbedaan sikap dasar ketika sama-sama mempelajari ilmu silat.
Bagi Gendhuk Tri, ia mempelajari ilmu silat secara langsung. Lewat guru yang langsung melatih. Tanpa banyak penjelasan. Hasilnya memang lebih cepat, lebih tangkas, karena tak direpotkan dengan berbagai teori.
Sebaliknya, bagi Maha Singanada, ia dibesarkan dalam ajaran yang disampaikan lewat kidungan. Kedua orangtuanya, paman-paman, serta para senopati yang berada di tanah seberang, harus mempelajari lebih dulu kitab-kitab yang dikirimkan. Sebagai perkembangan yang kemudian lebih didasarkan atas pengalaman batinnya sendiri ketika berlatih.
Cara pendekatan semacam ini lebih melelahkan dan lebih menyita waktu banyak. Akan tetapi keuntungan yang utama ialah mata batinnya siap terbuka. Bahkan segala sesuatu yang baru, bisa dengan cepat ditangkap. Maka sewaktu bayangan Putri Pulangsih menceritakan sekilas mengenai kidungan Tirta Parwa, Singanada bisa menangkap intinya. Bahkan Singanada yang lebih dulu menyadari Kitab Air adalah kitab utama ilmu silat Gendhuk Tri. Bahwa perpaduan tenaga bumi dengan tenaga air bisa hebat luar biasa.
Kalau Singanada mengetahui asal-usul penciptaan kidungan, penciptaan Kitab Bumi maupun Kitab Air, ataupun Pukulan Pu-Ni dan atau yang dikembangkan Mpu Raganata, ia bisa menangkap dan mengungkap lebih banyak lagi. Dan itu juga akan dikatakan secara terus terang kepada Gendhuk Tri. Yang bisa saja malah mengurungkan diri! Karena, sebenarnya masih ada titik keraguan untuk menerima Maha Singanada secara total.
Yang tidak diketahui baik oleh Gendhuk Tri maupun Maha Singanada adalah bahwa Kitab Air diciptakan oleh Putri Pulangsih pada saat-saat setelah Kitab Bumi disempurnakan oleh Eyang Sepuh. Dan niatan untuk menciptakan Kitab Air,nterutama juga didorong karena keinginan menciptakan maha karya yang bisa dipakai sebagai babon ilmu kanuragan.
Akan tetapi di balik kisah ilmu silat yang sakti, terjalin juga hubungan asmara yang sulit diterangkan bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung. Karena saat itu Putri Pulangsih merupakan pilihan utama para ksatria. Dan Putri Pulangsih merasa bisa lebih dekat dengan Eyang Sepuh. Bisa dimengerti kalau ada suasana yang padu. Setidaknya kalau dibandingkan perpaduan Kitab Air dengan sumber penciptaan yang lain. Itu sebabnya dalam sekejap rasa sakit di kaki Singanada lenyap seketika.
Keampuhan perpaduan tenaga dalam Gendhuk Tri dengan Maha Singanada yang terpantul dari perpaduan perasaan, menyebabkan timbulnya tenaga yang hebat. Singanada bisa langsung merasakan, karena inti penguasaan ilmunya adalah kelipatan sembilan kali. Kini yang dirasakan bukan hanya sembilan kali, akan tetapi secara menyeluruh.
“Kita berhasil.” Singanada melompat tinggi. Kakinya bisa digerakkan dengan leluasa.
Cebol Jinalaya pun berseri-seri.bGendhuk Tri membenahi selendangnya.
“Ayo kita kembali ke Keraton. Kita cari Halayudha….”
Gendhuk Tri mengangguk.
“Bagaimana kalau saya ikut ke Keraton?” Suara Cebol Jinalaya terdengar asing di telinga Gendhuk Tri.
“Kenapa, kamu mau cari mati di sana?”
“Entahlah, saya tak tahu. Tadinya saya hanya ingin segera mati. Agar bisa bersatu dengan Baginda Raja. Lagi pula hidup saya tak ada gunanya. Akan tetapi setelah ikutan memegang kaki dan kamu pegangi, ada perasaan segar.”
Gendhuk Tri membelalak. “Apa betul begitu?”
“Ya, segar.”
“Kamu tak mau mencari mati lagi?”
“Entahlah, saya tak mengerti.”
“Itu baik, baik sekali,” kata Singanada. “Kamu terkena sawan tenaga dalam kami berdua.”
Sawan, atau berkah atau tuah atau faedah tak langsung, yang dikatakan Singanada bisa dirasakan pula oleh Gendhuk Tri. Kalau bukan Cebol yang mengatakan, Gendhuk Tri akan curiga. Akan tetapi, ia sendiri mengalami bersama-sama Cebol yang setiap saat ingin mati. Yang sebelum menyentuh kaki Singanada masih merasa dirinya tak pernah ada gunanya.
Yang membuat Gendhuk Tri sedikit bertanya-tanya dalam hati ialah kenapa pengaruhnya bisa begitu cepat. Akan tetapi pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Ia merasa bersyukur bahwa Cebol mau ikut. Sekurangnya akan membuat dirinya tidak menjadi sangat kikuk kalau harus berduaan saja dengan Singanada.
Dalam perjalanan kembali ke Keraton, mereka berdua sempat berlatih dua kali. Cebol ikut mendengarkan dan mencatat kidungan yang ditembangkan baik oleh Gendhuk Tri maupun oleh Maha Singanada. Singanada sendiri tak segan-segan menggendong ke pundaknya saat mereka melakukan perjalanan.
“Tunggu, rasanya ada apa-apa di dalam Keraton,” kata Gendhuk Tri berbisik.
“Kenapa?”
“Sejak di perbatasan tadi para prajurit disiagakan secara penuh.”
“Lalu kenapa?”
“Jangan-jangan ada huru-hara….”
“Kalaupun ada, apa bedanya? Kita datang untuk merebut Kitab Air, bukan urusan Keraton.”
“Mana mungkin kita bisa bergerak leluasa, kalau urusan seperti ini?”
“Kanyasukla, aku tahu kamu dibesarkan di Keraton. Aku di bawah panji-panji kebesaran Keraton. Tetapi aku sekarang tak peduli lagi. Aku tak menemukan kebesaran Keraton di mana aku harus mengabdi diri. Putra Mahkota yang masih kecil sudah segenit itu, dan aku tak mau jadi korban pemuasan nafsunya. Ayolah kita selesaikan urusan kamu, dan kita bisa keliling jagat.”
Gendhuk Tri merasakan kekecewaan dalam nada suara Singanada. “Mengabdi kepada Keraton adalah tugas mulia. Tanpa harus memedulikan siapa yang duduk di takhta. Itu sudah keputusan para Dewa. Tidak sebaiknya kita mengungkit soal itu.”
“Baik, baik, kalau begitu maumu. Tapi aku tetap mau merebut Kitab Air milikmu. Sebab kita sama-sama. Kalau itu kitab warisan buatmu, berarti juga buatku.”
Hati Gendhuk Tri berdenging. Sama sekali tak disangkanya bahwa perhatian Singanada begitu mendalam padanya. Singanada sudah menganggap Gendhuk Tri adalah bagian dari hidupnya. Diam-diam ada rasa takut dalam hati Gendhuk Tri. Hanya saja ia tak tahu takut soal apa dan bagaimana. Karena Gendhuk Tri kadang masih membayangkan di mana sekarang ini Upasara berada. Apa yang terjadi dengannya? Perasaan itu masih muncul. Walau ditenggelamkan kembali. Ia tak ingin Maha Singanada mengetahui bersitan pikiran semacam itu. Tak tahu kenapa, tapi Gendhuk Tri merasa lebih baik menyembunyikannya.
Senopati Sidateka
BUKAN hanya Gendhuk Tri yang keheranan melihat suasana keraton yang nampak tintrim, tenang tapi menakutkan. Perasaan yang sama dialami ketika Halayudha kembali ke Keraton. Sambil membawa Nyai Demang yang masih menggendong Eyang Berune. Hanya saja penciuman Halayudha lebih peka.
Begitu melihat bahwa di perjalanan tak banyak masyarakat lalu-lalang, pun di siang hari, Halayudha merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Apalagi melihat kenyataan bahwa para prajurit disiagakan penuh. Segera ia menghindar. Tidak langsung menuju ke dalam Keraton. Melainkan menyelundup masuk ke bagian belakang. Menyembunyikan Nyai Demang dalam salah satu ruangan. Lalu dengan sigap ia menyusup masuk ke dalam.
Yang pertama dituju ialah Mahapatih Nambi. Karena sebagai mahapatih, Nambi pastilah paling mengetahui keadaan dan keamanan Keraton. Namun, hatinya bercekat, karena sama sekali tak bisa menemukan Mahapatih di tempat kediamannya. Juga lebih kaget lagi ketika menuju ke tempat kediamannya yang sudah dijaga ketat. Tak ada satu pun prajurit yang setia kepadanya berada di tempat.
Dengan kemampuannya, Halayudha bisa menyusup masuk, dan melihat bahwa seluruh isi rumahnya telah diobrak-abrik. Tak ada yang tersisa. Tak ada barang yang tak dipindahkan tempatnya. Luar biasa. Boleh dikatakan ia tak meninggalkan Keraton untuk jangka waktu lama. Tapi begitu melangkah ke luar, kamarnya telah disatroni lawan yang berbuat seenaknya. Seketika darah Halayudha mendidih.
Akan tetapi jalan pikirannya yang mampu menembus kemarahan, membuatnya tidak murka seketika itu juga. Ia ganti masuk ke kaputren. Hasilnya sama saja. Tak ada siapa-siapa, selain prajurit yang menjaga di setiap sudut. Ini sangat aneh. Prajurit Keraton atau pengawal pribadi mana yang mendapat tugas begitu istimewa?
Usaha Halayudha untuk menembus sampai ke dalam Keraton juga tak mungkin. Tempat kediaman Baginda dijaga kelewat ketat. Tak ada ruang tersisa di mana tidak ada prajurit dalam keadaan siaga. Sebenarnya Halayudha bisa muncul dan masuk dengan leluasa. Ia tak perlu terlalu kuatir mengenai dirinya. Siapa pun yang kini menguasai Keraton, pasti dikenalnya. Akan tetapi karena belum tahu pihak mana, membuatnya bersabar untuk tidak segera muncul. Baginya hanya ada perhitungan sederhana.
Kalau sekarang Keraton dikuasai seseorang, pastilah bukan orang yang terlalu asing. Pastilah masih kerabat sendiri. Rasanya tak mungkin ada prajurit atau pendekar lain yang bisa membuat Keraton sunyi dan sepi. Kalau musuh dari luar, pertempuran berdarah yang terjadi. Nyatanya kali ini tidak. Bahkan tanda-tanda pertarungan ramai pun tak ada jejaknya. Kemungkinan yang paling dekat hanyalah dari Putra Mahkota Kala Gemet, yang direstui sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Tak bisa lain.
Akan tetapi kalau ini gebrakan yang dilakukan oleh Putra Mahkota, termasuk modal sumbi, di luar kebiasaan. Putra Mahkota tak perlu melakukan hal seperti ini. Kecuali ada yang mengisiki. Ada yang membakarnya. Kalau perhitungan ini benar, orang di belakang’ Putra Mahkota pastilah Pendeta Sidateka. Tak ada yang lain. Hanya Pendeta Syangka itu yang sangat didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, yang rela memakai gelaran dari negara manca. Pendeta yang cukup sakti itu memperlihatkan taringnya dengan menyapu semua lawannya.
Ini yang paling mungkin terjadi. Dengan memunculkan Putra Mahkota yang kini menghimpun para pendekar, tak akan membuat para senopati lain curiga. Dengan restu Permaisuri Indreswari, gebrakan pembersihan lawan bisa dilakukan dengan mudah. Halayudha benar-benar merasa kecolongan. Hanya sepekan ia meninggalkan Keraton, Pendeta Syangka mampu menjungkir balikkan keadaan. Mengubah peta pemerintahan.
Halayudha sedikit pun tak gentar menghadapi Pendeta Sidateka ataupun para pengikutnya. Ibarat kata, seorang diri pun ia sanggup menghabisi lawan-lawannya. Akan tetapi karena di belakangnya ada Putra Mahkota, juga Permaisuri Indreswari dan sekaligus Baginda, kalau ia bangkit melawan, dirinya yang menjadi pemberontak. Tak jauh berbeda dari Senopati Lawe atau Senopati Sora. Dan setiap pemberontakan atas Keraton harus ditumpas habis! Tanpa ampunan!
Dugaan Halayudha mendekati apa yang sesungguhnya terjadi, sewaktu berhasil menemui Senopati Kuti yang sedang tepekur di taman, duduk bersujud di antara tanaman cabe.
“Senopati dalem, kenapa harus mengendap-endap seperti kadal?”
Halayudha menghaturkan sembah. “Senopati Kuti yang budiman, terkasih di antara para senopati… sengaja saya merayap bagai kadal, karena saya memang hina seperti binatang itu. Saya sowan ke hadapan Senopati Kuti, karena tak bisa lagi melihat siapa yang pantas saya datangi.”
“Apa yang bisa saya lakukan untuk Senopati Halayudha?”
“Berikan petunjuk, kepada siapa saya harus menghaturkan sembah….”
Senopati memotes daun cabe. “Saya tak tahu harus bagaimana. Keadaan Keraton tak menentu.”
“Bagaimana keadaan junjungan kita Baginda?”
“Menurut Senopati Sidateka, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Hanya Baginda tak menghendaki ada hati yang bercabang. Dan menugaskan Senopati Sidateka untuk membersihkan.”
Halayudha bisa dengan cepat menangkap apa yang terjadi. Naiknya Senopati Sidateka sebagai pelaku utama, sudah sangat jelas membuktikan perpindahan kekuasaan dari tangan Mahapatih Nambi. Yang segera terasakan pula oleh Halayudha ialah bahwa Senopati Kuti juga tak sepenuhnya menyetujui apa yang terjadi.
“Tugas yang mulia. Saya pun rela menyerahkan kepala saya ke tangan Senopati Sidateka jika bersalah. Yang merisaukan saya, apakah benar Baginda mengetahui hal ini?”
“Kenapa Senopati Halayudha mempertanyakan hal ini?Tidak ada rasa hormatkah Senopati kepada junjungan kita semua?” Senopati Kuti meraba hulu kerisnya.
“Demi segala Dewa di langit, biarlah saya tak menitis sebagai manusia, biarlah saya tak tumimbal lahir, kalau berani mempertanyakan keadilan Baginda. Hanya rasanya masih ada yang mengganjal. Kenapa Pendeta Sidateka yang diserahi tugas begini penting?”
“Bagi Baginda, siapa saja bisa ditunjuk.”
“Dalam hal begini, kita tak berbeda pendapat,” sahut Halayudha cepat. “Akan tetapi, biar bagaimanapun Pendeta Sidateka yang mengangkat diri menjadi senopati adalah manusia manca. Pendeta tanah sabrang. Apakah kebanggaan kita sebagai prajurit Sri Baginda Raja warisan Singasari tak ada artinya lagi? Apakah telah demikian busuknya kita semua, sehingga merayap seperti kadal pun tak punya keberanian lagi?”
Halayudha mampu mengobarkan perasaan yang paling dalam yang menghuni hati Senopati Kuti. Atau senopati yang lainnya. Yang masih mewarisi semangat dan kebanggaan sebagai prajurit Singasari. Sebagai pengabdi setia Baginda Raja Sri Kertanegara. Siapa pun yang pernah mengenyam zaman itu akan selalu membanggakan! Dengan menyinggung masalah ini, Halayudha bisa merebut simpati.
“Senopati Kuti yang gagah berani. Saya hanyalah senopati yang bertugas di dalam Keraton. Akan tetapi saya tak rela Keraton diinjak-injak semaunya oleh orang sabrang tanpa kejelasan. Saya akan merayap seperti kadal, seperti cacing busuk menggaruk tanah, untuk mendapat kejelasan dari Baginda. Hari ini saya minta izin Senopati Kuti, sebagai sesepuh yang bisa saya temui.”
Senopati Kuti tergerak hatinya. “Apa yang akan Senopati lakukan?”
Senopati Brahma
HALAYUDHA menyembah hormat. Senopati Kuti menjadi kikuk karenanya.nDalam keadaan biasa sehari-hari, Senopati Halayudha tak perlu melakukan sembah padanya. Bahkan sebaliknya. Meskipun dirinya termasuk senopati yang mempunyai hak-hak istimewa, Kuti mengakui bahwa hubungan Halayudha sangat dekat dengan Baginda. Jadi dalam jajaran kepangkatan sama. Tak perlu melakukan sembah. Cukup dengan membungkukkan tubuh menghormat. Bagi Halayudha perbuatan semacam ini tidak membuatnya merasa hina. Justru sebaliknya. Dengan cara begini ia bisa menjadi lebih dekat.
“Saya ingin mendengar langsung atau tidak langsung dari Baginda, mengenai pengikut yang mempunyai hati bercabang.”
“Berarti kita harus menemui Senopati Sidateka.”
“Itu yang tak mungkin. Karena belum tentu Senopati Sidateka bisa menangkap penuh kemauan Baginda.”
“Rasanya tak mungkin menemui Baginda. Bahkan Mahapatih sudah mengajukan diri untuk sowan, akan tetapi ditolak oleh Putra Mahkota Bagus Kala Gemet. Cukup menghadap beliau.”
Ini berarti semua jalan tertutup!
“Kalau bisa, apakah Senopati kira saya akan berdiam di sini menunggui cabe rawit?”
Halayudha menggigit bibirnya. “Kalau begitu tinggal satu jalan saja…”
Senopati Kuti menunggu.
Halayudha menghela napas.
“Saya melihat kemungkinannya hanya satu,” sahut Senopati Kuti. “Hanya seorang seperti Upasara Wulung yang bisa menerobos ini. Upasara adalah senopati kesayangan Baginda. Upasara juga bergelar lelananging jagat, sehingga Pendeta Sidateka akan memperhitungkan kalau ingin menolaknya.”
Halayudha manggut-manggut. “Sayangnya, kita tak tahu di mana Upasara Wulung. Sayang, Putra Mahkota tak menyukai Upasara Wulung, sejak Upasara merebut Ratu Ayu Bawah Langit…”
“Bagaimanapun juga, itu pilihan terbaik. Kami, para senopati, sudah memperhitungkan kemungkinan itu, akan tetapi rasanya tak ada pilihan lain. Tidak saya, atau Senopati Halayudha sendiri….”
“Maaf, bolehkah saya mengajukan usulan?”
“Selama demi kebaikan dan ketenteraman Keraton, setiap prajurit wajib mengutarakan pendapatnya.”
“Kalau misalnya semua senopati menyetujui, kenapa kita tidak menemui Senopati Brahma….”
Kalimat pendek Halayudha bagai sambaran petir. Bagai seratus kilat berpijar bersamaan. Namun yang tak pernah terlintas. Senopati Brahma. Senopati Agung Brahma!
“Perhitungan saya hanyalah, bahwa Senopati Agung Brahma masih didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, sehingga Pendeta Sidateka pun akan menuruti kemauan Putra Mahkota.”
Sangat masuk akal. Sungguh tidak percuma Halayudha berada di dalam Keraton. Senopati Brahma bisa menjadi kunci untuk sowan ke Keraton. Tokoh yang selama ini terlupakan, karena dianggap tak memerintah secara langsung. Pada situasi sekarang ini, kedudukan Senopati Brahma tak mungkin tergantikan oleh yang lain.
“Sungguh cemerlang pikiran Senopati Halayudha…”
“Saya secara kebetulan saja teringat…”
Bagi Halayudha, segala kekuatan dalam kekuasaan di Keraton boleh dikata ia hafal seperti menghafal telapak tangannya sendiri. Seperti menyusun jari-jari untuk mencubit atau menggenggam atau menjitak atau memelintir. Begitu dekat dengan puncak kekuasaan, Halayudha mempelajari situasi secara cermat. Bukan kebetulan jika Halayudha mengingat nama Senopati Brahma.
Senopati Brahma atau Senopati Agung Brahma, tokoh yang cukup disegani oleh Putra Mahkota. Karena masih paman besar, atau paman agung. Baginda sendiri memanggil dengan sebutan hormat karena merasa kalah umur. Adwaya Brahma yang mempersunting Dyah Dara Jingga, kakak perempuan Dyah Dara Petak atau Permaisuri Indreswari. Sehingga Putra Mahkota memberi hormat sebagaimana keponakan. Lebih dari itu, kehadiran Senopati Agung Brahma juga bisa meredam kekuasaan Permaisuri Indreswari. Sekurangnya dari sisi istrinya!
Maka betapa jitu perhitungan dan penunjukan Halayudha. Halayudha akan melakukan sendiri, kalau hal itu memungkinkan. Akan tetapi sejak bertugas di Keraton, Halayudha tak pernah memperhitungkan Senopati Agung Brahma. Yang meskipun mempunyai pangkat sangat tinggi, tak memegang kekuasaan secara langsung. Bahkan kehadirannya tertutup sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Kini saatnya dibuka. Diberi peranan.
Halayudha bisa menyusup sendiri kalau mau. Akan tetapi selain dengan Senopati Brahma yang diberi tambahan gelar Agung, ia pernah bentrok dengan putranya, Janaka Marmadewa atau Mantlorot, yang seusia dengan Bagus Kala Gemet. Ini berarti kalau ia yang maju, malah bisa disikat habis sebagai pembalasan dendam. Itu pula sebabnya Halayudha menghubungi orang lain. Senopati Kuti!
Untuk Senopati Kuti, pujian bagi Halayudha tak ada habisnya. Ia sama sekali tak mengetahui ada peristiwa yang meretakkan hubungan antara Senopati Agung Brahma dan Halayudha. Dari jalan pikiran yang tanpa prasangka, jelas yang diutarakan Halayudha sangat berarti sekali. Pada saat menghadapi jalan buntu, Halayudha tampil dengan gagasan yang cemerlang. Cemerlang dan suci: menyelamatkan Baginda! Senopati Kuti menyembah hormat.
“Hari ini juga saya akan menemui semua senopati, dan menghadap kepada Senopati Agung Brahma. Kalau Senopati Halayudha mengizinkan…”
“Duh, Senopati Kuti yang perwira. Manusia kadal seperti saya tak pantas dibawa ke tempat terhormat dalam urusan sepenting ini. Biarlah saya tinggal di rumah, menjaga rumah ini…”
“Kalau itu kemauan dan budi baik Senopati Halayudha, silakan saja… saya akan segera pamit.”
“Semoga Dewa memberkati tugas mulia ini….”
Saat itu juga Senopati Kuti memerintahkan prajuritnya untuk memberi tempat pada Senopati Halayudha dan menyediakan segala keperluannya. Ia sendiri langsung berangkat dan menemui Mahapatih Nambi untuk melaporkan. Mahapatih Nambi tersentak.
“Selama ini saya selalu menduga jahat kepada Halayudha, nyatanya hatinya begitu baik. Bahkan maksud mulia ini diserahkan kepada orang lain, tanpa ingin pamer kemampuan. Kuti, Halayudha adalah senopati Singasari yang tulen, dari darah dan keringatnya. Kita tak boleh melupakan hal ini.”
Sore itu juga Mahapatih Nambi meminta waktu untuk sowan kepada Senopati Agung Brahma. Sambil mengatakan akan menyerahkan arca yang baru ditemukan. Dengan senang hati, Senopati Agung Brahma menerimanya. Bahkan ia sendiri berkenan untuk melihat wujud arca yang menjadi barang kesayangannya. Pada saat itulah Mahapatih Nambi secara tidak langsung mengutarakan, bahwa sudah saatnya Senopati Agung Brahma menghadap Baginda.
“Sudah dijelaskan, bahwa di Keraton masih ada sisa-sisa prajurit yang hatinya bercabang. Itu perlu dibersihkan. Untuk apa saya mempertanyakan itu?”
“Senopati Agung, meskipun hamba ini mahapatih, tetapi hamba hanyalah prajurit biasa. Tidak mempunyai derajat apa-apa. Hanya Senopati Agung yang mungkin melaksanakan tugas mulia ini. Sekarang ini hanya Paduka yang bisa menemui Baginda.”
“Sungguh menyenangkan. Akhirnya, di samping bersenang-senang di Keraton, ada yang bisa kubuktikan untuk negeri ini. Baiklah, Mahapatih, kusanggupi keinginanmu. Malam ini juga aku akan menghadap ke Keraton.”
Mahapatih menghaturkan sembah tulus dan hormat. Terasa ada pencerahan yang dalam. Kalau saja mengetahui bahwa Halayudha sudah menyusup ke dalam Keraton, perasaan itu berbalik seperti siang dengan malam.
Darahku Darah Singasari
SENOPATI AGUNG BRAHMA menepuk pundak Mahapatih Nambi. Walaupun Mahapatih Nambi adalah pimpinan seluruh senopati Keraton, dalam hal ini Mahapatih yang melakukan sembah. Karena walaupun Brahma hanya senopati, pun ditambah gelar Agung, akan tetapi hubungan darah kekeluargaan yang lebih dituakan dari Baginda menyebabkan siapa pun menyembah padanya.
“Aku tahu kegelisahanmu, Mahapatih. Kita bukan orang yang baru saja mengenal. Dalam darahku masih mengalir deras darah Keraton Singasari. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Bukan karena arca kesayangan itu yang menyebabkan aku menghadap Baginda. Akan tetapi ini adalah kewajiban seorang prajurit, seorang senopati yang pernah dibimbing Sri Baginda Raja.bKukira Mahapatih bisa memahami.”
Mahapatih merunduk hormat. Sekilas bisa menebak kerisauan Senopati Agung Brahma. Dalam jajaran kepangkatan di Keraton, Senopati Agung Brahma tidak mendapatkan derajat tinggi hanya karena kebetulan beristrikan saudari Permaisuri Utama. Bukan hanya itu.
Senopati Adwaya Brahma adalah senopati utama di zaman Baginda Sri Kertanegara memegang tampuk kekuasaan. Bahkan terpilih sebagai salah satu dari sekian banyak senopati yang mewakili untuk dikirim ke tanah seberang, ke tlatah Pagar Ruyung, guna membawa arca Amoghapasa. Suatu cara menaklukkan negeri seberang, cara untuk menundukkan dengan damai.
Kalau tidak cukup sakti dan dianggap mempunyai kebijaksanaan luhur, tak mungkin Senopati Adwaya Brahma menjadi pilihan Sri Baginda Raja. Dan nyatanya tugas suci yang dijalankan berhasil dengan baik. Tlatah Pagar Ruyung di Melayu mengakui kebesaran Keraton Singasari. Bahkan secara suka rela menyerahkan seluruh wilayahnya untuk diambil oleh Sri Baginda Raja, saat kapan pun diperlukan. Bahwa kemudian Baginda Kertarajasa Jayawardhana memilihnya sebagai suami Dyah Dara Jingga, juga menunjukkan penghormatan yang tinggi.
Pengakuan itu tercermin dari perlakuan kepada Senopati Agung Brahma. Berhak memakai kebesaran yang biasanya diperlakukan untuk raja. Pada upacara-upacara yang penting, Senopati Agung selalu diminta hadir. Demikian juga perlakuan kepada putranya, Bagus Janaka Marmadewa, tak dipisahkan sedikit pun dari Bagus Kala Gemet. Dalam segala hal diperlakukan sama. Hanya memang selama ini Senopati Agung tak pernah mau menonjolkan diri. Malah boleh dikatakan sangat menjauhi kesempatan-kesempatan untuk tampil. Baik pada kesempatan yang penting maupun tidak.
Sewaktu Baginda memilih siapa yang pantas menjabat mahapatih, Senopati Agung justru menyurutkan diri. Ia sama sekali tidak memberikan suara, tidak memperlihatkan dirinya. Jauh dalam hati, Senopati Agung merasa bahwa ia tidak pantas untuk pangkat dan derajat yang begitu tinggi, kalau hanya diperhitungkan sebagai saudara ipar raja. Baginya itu penghinaan. Senopati Agung merasa dirinya senopati, prajurit, dan sekaligus seorang yang memiliki jiwa prajurit sejati. Pangkat tinggi, kehormatan yang agung, bukan semata-mata tujuannya.
Inilah kebanggaan para prajurit yang pernah dibesarkan dalam kekuasaan Baginda Raja Sri Kertanegara. Maka kalau Senopati Agung sampai mengatakan bahwa ia bersedia melakukan permintaan Mahapatih Nambi, itu juga karena dasar jiwa prajuritnya. Bukan karena upeti. Betapapun dirinya tergila-gila kepada segala jenis arca yang mempunyai nilai tinggi.
“Maaf, Senopati Agung Brahma. Setitik pun hamba tak mempunyai perasaan dan penilaian…”
“Aku mengerti, Mahapatih.bAku mengerti justru karena kita sama-sama prajurit. Dan sebagai prajurit, aku hanya bisa menunggu titah, menunggu dawuh, menunggu perintah. Kalau suatu saat Bagus Kala Gemet memerintahkan untuk menaklukkan Ratu Ayu Bawah Langit, akan kulakukan juga. Aku bisa menyarankan bahwa Bagus Kala Gemet belum pantas untuk memilih jodoh. Akan tetapi jika itu diperintahkan, akan kulakukan juga. Sampai darah Singasari yang menderas dalam tubuhku ini kering.”
“Hamba mengerti, Senopati Agung…”
“Kamu mengerti. Ya, kamu mengerti. Betapa lama aku merapatkan bibirku erat-erat. Karena aku tak mau membuat kisruh. Karena aku tidak ditanya. Sekarang saatnya aku melakukan dharma baktiku sebagai prajurit. Menyampaikan kepada Baginda. Bahkan tanpa permintaan Mahapatih pun, aku akan sowan. Hanya sekarang ini menjadi lebih mantap, karena kerisauan ini juga tergema dalam dada Mahapatih.”
Senopati Agung menghela napas.
“Jangan kecewa kalau aku tak membawa kabar apa-apa. Aku hanya ngunjuk atur, meminta kesediaan Baginda mengatakan sesuatu. Mahapatih, barangkali sebelum ayam jantan berkokok besok pagi, aku ingin menemuimu. Antarkan arca ini ke sana, dan kita bisa melanjutkan pembicaraan.”
“Sembah bekti bagi Senopati Agung…”
“Mudah-mudahan malam nanti purnama tidak tertutup awan. Pada musim hujan seperti sekarang ini, kadang ada awan yang muncul begitu saja…”
Dengan kalimat isyarat, Senopati Agung memperingatkan bahwa bukan tidak mungkin ada sesuatu yang masih gelap, yang bisa mengacaukan keinginannya menghadap kepada Baginda. Hal yang bisa dimengerti oleh Mahapatih Nambi. Karena secara tiba-tiba, pekan lalu Putra Mahkota Kala Gemet memerintahkan agar semua senopati berkumpul. Pada saat yang sama, Putra Mahkota mengatakan bahwa ia membawa sabda Baginda untuk membersihkan hati yang bercabang, yang masih ditemui pada beberapa senopati Keraton Majapahit.
Saat itu Mahapatih sudah bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Putra Mahkota yang mengatakan hal itu? Lebih menjadi tanda tanya lagi karena Putra Mahkota menunjuk Pendeta Sidateka menjadi senopati yang bertanggung jawab secara penuh atas pembersihan ini. Ini sama artinya dengan mengambangkan atau meniadakan pangkat dan tanggung jawab yang selama ini dipegang oleh Mahapatih Nambi!
Dipecat secara resmi pun tak akan seterkejut sekarang ini. Akan tetapi Putra Mahkota tidak menyinggung sedikit pun masalah pergeseran atau pencabutan pangkat. Putra Mahkota hanya mengatakan bahwa semua prajurit harap disiagakan secara penuh, dengan komando kekuasaan di bawah tangan Senopati Sidateka. Segala sesuatu, baik perintah ataupun ucapan, dijalankan dari Senopati Sidateka. Selebihnya semua berjaga diri. Kenyataan yang sangat membingungkan dan menimbulkan rasa was was.
Mahapatih Nambi tak bisa mengatakan sesuatu atau menanyakan. Bersama para senopati yang lain, hanya bisa menunggu. Menunggu. Dan lebih aneh lagi, selama Senopati Sidateka memegang kekuasaan dan tanggung jawab, tak ada perubahan yang berarti. Hanya beberapa prajurit yang ditangkap dan diperiksa. Akan tetapi tidak ada pergeseran atau perubahan di tingkat atas. Ini yang membingungkan. Dan membuat saling curiga. Pada saat itu, Baginda tidak mungkin bisa ditemui. Sehingga Mahapatih merasa seperti anak ayam yang kehilangan pelindungnya. Tak tahu-menahu harus mempertahankan apa atau siapa.
Semua ini dipendam dalam-dalam, sampai Senopati Kuti muncul dan memberitahukan pendapat Halayudha. Yang serta-merta dilaksanakan. Tidak terlalu meleset karena Senopati Agung juga merasakan keprihatinan yang sama. Bahwa Putra Mahkota melakukan sesuatu yang di luar dugaan, bukan baru sekarang ini. Bahwa tindakan Putra Mahkota untuk mengurung dua putri Permaisuri Rajapatni menimbulkan tanda tanya, itu sudah jelas. Akan tetapi karena ini menyangkut urusan keluarga, Mahapatih Nambi tak berhak bertanya satu patah pun.
Persoalannya menjadi lain, ketika menyangkut masalah ketenteraman dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan. Mahapatih ingin bisa menemui Baginda. Atau sekurangnya Senopati Sidateka. Untuk memperoleh keterangan yang berarti, karena masalah keamanan dan ketenteraman selama ini berada dalam tangannya.
Menumpas Bibit Kraman
BAHWA munculnya Pendeta Sidateka yang langsung menjabat senopati utama atau satu-satunya, bisa dikaitkan hubungan dan pengaruhnya selama ini. Sidateka sendiri merasa bahwa ia tak bisa berada di balik layar terus-menerus. Ia harus segera tampil. Satu-satunya yang bisa dikendalikan ialah Putra Mahkota. Maka ketika itu Sidateka langsung menghadap Permaisuri Indreswari dan mengatakan gagasannya.
“Sebelum kejadian menjadi berlarut-larut, barangkali saja Permaisuri Indreswari perlu memberi pelajaran kepada para prajurit yang masih bercabang kesetiaannya kepada Putra Mahkota.”
“Atas dasar alasan apa kamu mengatakan itu?”
“Pada saat sekarang ini, kita belum mengetahui jelas siapa yang betul-betul setia kepada Putra Mahkota. Ini bisa menjadi beban dan bencana di kelak kemudian hari yang tak lama, jika Putra Mahkota naik takhta. Maka sebelum bibit kraman, bibit pemberontakan, bersemi, Permaisuri Indreswari perlu memerintahkan pembersihan. Agar bibit kraman itu tak bisa tumbuh.”
“Siapa yang hatinya masih bercabang?”
“Saat ini hamba tak bisa menghaturkan nama-nama, karena akan membuat hamba berdosa. Akan tetapi kalau dilihat sewaktu Putra Mahkota dinobatkan, sewaktu Putra Mahkota menghendaki Ratu Ayu Bawah Langit, terlihat jelas bahwa masih ada yang ragu-ragu untuk mendukung Putra Mahkota secara penuh. Senopati Sora yang sejak kecil mengabdi Putra Mahkota, yang tak pernah kita perhitungkan akan membangkang, ternyata bisa menggagalkan kebesaran Putra Mahkota. Menurut pertimbangan hamba, yang seperti Senopati Sora masih ada.”
“Perasaanku mengatakan hal yang sama. Apa yang akan kau lakukan, Sidateka?”
“Barangkali saja, Putra Mahkota memegang kendali pemerintahan, mengatur Keraton untuk sementara waktu. Pada saat itu akan segera terlihat siapa yang menerima Putra Mahkota dan siapa yang bercabang hatinya. Saat itulah kita bergerak. Kalau dipercaya, rasanya hamba mampu menjalankan tugas ini.”
Permaisuri Indreswari mengelus rambutnya. “Usulmu bagus, akan tetapi berbahaya. Apa sabda Baginda jika mengetahui Putra Mahkota yang menjalankan pemerintahan?”
“Kalau Permaisuri Indreswari bisa membujuk Baginda, rasanya tak ada yang mustahil. Hanya untuk beberapa lama…”
“Aku bisa menangkap maksudmu. Baginda kita minta memberi kesempatan kepada putraku.”
“Demikianlah maksud hamba.”
“Kata-katamu agak lancang, Sidateka. Akan tetapi karena putraku sangat menghormatimu, kelancanganmu bisa kumaafkan sekarang ini.”
Bagi Sidateka, hal yang dianggap menjadi ganjalan utama ialah sewaktu Baginda memerintahkan mengambil Tirta Parwa yang dimilikinya. Sangat gamblang bahwa Baginda tidak berminat lagi pada kidungan di kain sutra tersebut. Pastilah dikendalikan oleh orang lain. Yang tak lain adalah Halayudha. Kalau Halayudha mampu mempengaruhi Baginda dalam satu hal, bukan tidak mungkin dalam hal lain juga bisa menanamkan pengaruhnya. Bisa meminjam tangan dan sabda Baginda. Yang begini sungguh berbahaya.
Justru di saat ia telah bisa begitu dekat dan menguasai Putra Mahkota. Bukankah Putra Mahkota telah berani memakai gelaran raja-raja di negeri Syangka? Dan tidak mengagungkan tetesan darah Sri Baginda Raja Kertanegara...?
BAGIAN 32 | CERSIL LAINNYA | BAGIAN 34 |
---|