Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II - 02
Namun Halayudha yang lebih tajam pendengarannya mengetahui bahwa asal suara itu jauh di belakangnya. Siapa lagi yang berani keluyuran dan menerobos masuk selain Gendhuk Tri?
Kalaupun Baginda mendengar suara itu, hatinya seperti ditoreh sesuatu yang menyakitkan ulu hatinya. Seperti tertusuk belahan bambu tipis yang menimbulkan luka tanpa mengalirkan darah. Pun setelah mengetahui bahwa bukan permaisurinya yang meneriakkan “Kakang”. Torehan yang memilukan itu karena suara Putri Pulangsih yang menyebutkan Kidungan Asmara Dayinta. Yang artinya kira-kira adalah Tembang Asmara Permaisuri, puisi cinta permaisuri.
Sebutan itu tak berarti apa-apa bila saat itu tak ada Upasara Wulung dan Permaisuri Rajapatni alias Gayatri. Sebutan itu tak ada artinya apabila tidak dikaitkan dengan kidungan yang diciptakan Sri Baginda Raja. Bagi Baginda, kata-kata itu menusuk tajam sampai dasar. Karena, seperti hampir semua kerabat Keraton mengetahui atau setidaknya pernah mendengar, Sri Baginda Raja dikenal memanjakan daya asmara secara terbuka.
Pesta-pesta Keraton hampir tak pernah sepi dari tata asmara. Sehingga kidungan yang diciptakan pun, bisa dihubungkan dengan daya asmara. Atau hubungan asmara, yang menjadi inti utama kehidupan. Baginda bisa mengetahui secara tepat karena sudah membaca dari bait pertama hingga bait terakhir. Rasanya saat itu bayang-bayang tubuh Baginda mengecil.
“Nenek tua, apa maksudmu sowan tanpa tinimbalan ngarsaningsun?”
Sebutan ngarsaningsun menunjukkan bahwa segala sesuatu hanya bisa terjadi atas karsa, atau kehendak, Baginda.
Putri Mulanguni
BERAGAM tanda tanya muncul seketika di banyak benak. Gendhuk Tri sendiri bertanya-tanya bagaimana Upasara Wulung bisa mendadak muncul bersama Putri Pulangsih. Mahapatih dan para senopati bertanya-tanya apa yang harus dilakukan untuk melindungi Baginda. Akan tetapi yang terdengar suara lembut dan dingin nadanya.
“Kalau saya mau pergi ke mana, itu atas kemauan sendiri. Tak ada yang harus menentukan. Dulu, sekarang, atau kapan saja. Apakah saya sudah menjadi nenek-nenek atau tidak, apa hubungannya dengan kamu? Siapa kamu sebenarnya, berani berdiri dan membuka kaki?”
“Ingsun Kertarajasa Jayawardhana yang memerintah merah atau birunya Keraton Majapahit.”
“O, rupanya kamu raja. Rasanya terlalu lembut seperti bayi…”
Mahapatih Nambi mengentak, kedua tangannya terulur ke depan. Satu lontaran tenaga meluncur. Akan tetapi kali ini, Mahapatih justru tersungkur ke depan. Rata dengan lantai tak bisa bergerak lagi.
“Siapa namamu dan apa kemauanmu?”
“Nama saya sudah dilupakan, kecuali oleh beberapa orang yang sudah mati. Apa kemauan saya, hanya ingin mendengarkan Kidung Asmara Permaisuri ditembangkan untuk ksatria yang nasibnya sebaik gurunya yang kurang ajar.”
Jelas yang dimaksudkan adalah Upasara Wulung dan Gayatri! Putri Pulangsih tetap berdiri tegak. Tangannya tetap bersilangan, hanya dadanya sedikit bergerak naik-turun.
“Kenapa bersila dan menunduk? Katanya mau bertemu kekasih dan menembangkan daya asmara. Apa lagi yang kamu tunggu?”
Upasara Wulung diam tak bergerak.
“Upasara!” Teriakan Baginda terdengar mengguntur.
“Sembah dalem, Gusti yang dipuja seluruh Keraton."
Apa pun keinginanmu datang kemari, ingsun tidak suka tindakanmu. Sebelum lebih marah lagi, lebih baik kamu meninggalkan Keraton dan tak usah menginjakkan kaki lagi.”
Upasara menyembah.
“Tunggu dulu! Kenapa kamu begitu bodoh? Kenapa kamu tak mewarisi sedikit pun keberanian si Bejujag, yang bisa menaklukkan putri kesayangan Sri Baginda Raja? Lihat baik-baik. Buka mata lebar-lebar. Rasakan getaran asmara yang sama dari kekasihmu, Putri Mulanguni yang tak bisa menahan berahi…”
Bahkan Gendhuk Tri pun merasa wajahnya merah. Rasa malu dan jijik menjadi satu. Selama ini wanita yang dikenalnya yang bisa mengeluarkan kata-kata tidak senonoh adalah Nyai Demang. Tak tahunya ada yang lain. Yang dianggap suci karena masih eyang gurunya. Yang tidak seharusnya berbuat seperti itu. Alangkah sempurnanya bayangan Gendhuk Tri jika saja Eyang Putri Pulangsih moksa begitu saja, seperti Eyang Sepuh. Lebih meninggalkan kesan suci. Dan bukannya malah muncul dengan cara seperti ini.
Selama ini gambaran yang ada di benak Gendhuk Tri sudah membentuk sempurna. Rasa hormat hingga menyerupai pemujaan yang luar biasa dalam terhadap Mpu Raganata serta Eyang Sepuh. Hal yang sama yang dirasakan secara tulus terhadap Eyang Putri Pulangsih. Karena hidup sezaman dan memperlihatkan kebijakan serta kearifan yang sama. Tak tahunya membuatnya sangat jengah. Kikuk. Rendah. Apalagi menyebut Permaisuri Rajapatni dengan sebutan Putri Mulanguni. Sebagai putri yang membangkitkan berahi.
Dewa segala Dewa, apakah serendah itu omongan eyang gurunya? Yang usianya lebih pantas untuk disembah dan dipuja? Sebenarnya yang paling rikuh, paling malu, dan tidak enak hati, adalah Upasara Wulung. Sama sekali tak menyangka akan menghadapi kenyataan yang dalam mimpi pun tak berani dihadapi. Selama ini betapapun rindunya bergolak, Upasara selalu berusaha menenggelamkan. Berusaha mengubur ke bawah sadarnya. Pun di puncak kerinduannya yang tak tertahankan, Upasara memilih tidak menemui Gayatri.
Akan tetapi sekarang justru terjebak dalam keadaan yang sama sekali tak terbayangkan. Tak bisa dihindari. Ini memang perjalanan yang panjang. Sangat panjang. Upasara tidak membayangkan bisa bangkit lagi. Saat ia tergeletak beku merayap dari kedua kaki, Upasara tak mempunyai niatan untuk bangkit lagi. Ia membiarkan tubuhnya terseret oleh arus pukulan yang membekukan, menyesakkan, dan membuatnya tidak sadar. Beberapa kali Upasara tersadar, akan tetapi untuk kesekian kalinya pula tak sadar lagi.
Sampai akhirnya ia menyadari berada di bawah lindungan pohon di tengah malam saat bulan sangat pucat. Ada bayangan lelaki tua di sebelahnya sedang bersemadi, dengan janggut panjang putih seperti menyentuh tanah. Upasara hampir saja berseru kegirangan dan memeluk bayangan kakek yang dikiranya Eyang Sepuh.
“Masih mau mencari mati, anak muda?”
Antara sadar dan tidak, Upasara mengenali nada suara itu. “Eyang…”
“Apa aku masih pantas dipanggil eyang kalau hanya seorang kakek tua tak berguna, yang berjalan menyelusuri bayangan pohon kala rembulan mau bersinar. Upasara, kamu tidak pantas menjadi ksatria. Tidak pantas menjadi senopati Singasari. Putraku lebih pantas menjadi ksatria lelananging jagat daripada kalian semua.”
Upasara memaksa diri duduk dan menyembah. “Eyang Wiraraja…”
“Oho, kamu masih mengenaliku dan mengenali putraku yang gagah?”
”Sembah pangabekti buat Eyang Wiraraja. Mana mungkin saya bisa melupakan Kakang Senopati Lawe yang gagah dan digdaya?”
Eyang Wiraraja mengangguk-angguk. Kini jelas jenggotnya yang putih bagai kapas menyentuh tanah berkali-kali. “Jadi kamu menganggap putraku lelaki gagah, digdaya, perkasa, dan berjiwa ksatria? Tidak sia-sia aku mendidiknya. Tidak sia-sia…”
Upasara bisa merasakan nada getir yang mengalir. Lebih dari itu, Upasara Wulung mengenal tokoh tua yang menolongnya untuk sementara. Ketika prajurit di bawah pimpinan Raden Sanggrama Wijaya menyiapkan benteng pertahanan di desa Tarik, Eyang Wiraraja inilah yang berjasa besar. Bukan hanya melatih para prajurit, mendirikan benteng, dan melindungi dari ancaman masuknya prajurit telik sandi Raja Jayakatwang, melainkan juga yang mengatur siasat sejak semula.
Jauh dalam hatinya, Upasara sangat menghormati tokoh tua yang dianggap sakti serta bijak ini. Apalagi sejak lama Eyang Wiraraja mengabdi kepada Sri Baginda Raja Kertanegara. Hanya saja ketika itu Upasara tak pernah berhubungan langsung. Karena dirinya hanyalah prajurit biasa, sementara Eyang Wiraraja adalah penasihat utama Raden Sanggrama Wijaya. Yang ketika naik takhta pun masih memandang hormat padanya. Jarak pangkat dan derajat yang jauh berbeda.
Meskipun demikian, Upasara cukup mengerti apa yang terjadi pada Eyang Wiraraja. Yang akhirnya memilih menyingkir dari Keraton dan meminta bagiannya di seberang timur. Setelah kecewa atas terbunuhnya putra kesayangannya yang mempunyai nama sama dengannya. Yang lebih dikenal sebagai Senopati Lawe.
Sebaliknya, Upasara juga merasa dikenal. Sekurangnya ketika menyebut ksatria lelananging jagat, menunjukkan bahwa Eyang Wiraraja mendengar dan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia persilatan. Di atas persoalan itu, Upasara juga bertanya-tanya dalam hati. Kalau tokoh yang begitu dihormati dan pernah mengasingkan diri ke tanah timur, kemudian berniat kembali ke Keraton, pasti ada sesuatu yang luar biasa.
Selama mengasingkan diri dan mendirikan keraton pemerintahan di tlatah Madura, boleh dikatakan mengibarkan umbul-umbul, mengibarkan bendera sendiri. Akan malu hati untuk datang ke Keraton Majapahit. Upasara tak melanjutkan jalan pikirannya, karena kebekuan yang menusuk-nusuk membuat tubuhnya kejang dan ngilu. Hawa dingin yang tadinya di ujung kaki, kini telah menjalar sampai perut. Perlahan tetapi pasti, perutnya terasa keras dan tidak memungkinkan bernapas dengan leluasa.
Ada Ketika Tiada
EYANG WIRARAJA ternyata tidak peduli sama sekali dengan penderitaan Upasara. Tetap duduk, tenang. Malah membuka bekalnya yang berupa daun-daun dan mengunyah perlahan.
“Putraku Lawe, lanang yang sesungguhnya. Lelaki sejati. Dan Dewa tak menciptakan lelaki semacam itu dua orang. Cukup seorang. Ketika Tarik masih tinggi dengan ilalang dan binatang buas, dialah yang pertama kali membersihkan. Ketika pertarungan dengan Raja Muda Jayakatwang, dialah yang pertama kali mengangkat pedang, membunyikan genderang perang. Ketika pasukan Tartar digempur, dialah yang maju paling depan tanpa gentar, tanpa menunggu orang lain ikut campur. Dia selalu berani. Berani berbuat apa yang terbaik menurut suara hatinya. Itulah darah lelaki. Yang kuturunkan padanya. Itu sebabnya ia berteriak gusar tatkala Nambi diangkat menjadi mahapatih. Ia tak menghendaki untuk dirinya sendiri. Ia menghendaki yang lebih berhak. Yaitu Sora. Semua mengetahui bahwa yang dikatakan putraku yang benar. Orang yang buta, tuli, lumpuh pun mengetahui dan membenarkan. Akan tetapi, ia bicara seperti itu di depan seorang raja. Raja yang baru. Yang dulunya bersama-sama menebas ilalang dan mengangkat pedang. Putraku salah. Putraku disalahkan. Karena tak mengenal tata krama, tak mengenal unggah-ungguh, tak membedakan bicara dengan siapa. Padahal apa sebenarnya tata krama itu? Bagi kami dari tlatah Madura, mengatakan kebenaran itulah tata krama. Itulah budi pekerti. Itulah jiwa mulia. Kalau putraku dianggap mursal, dianggap kurang ajar, barangkali ada benarnya karena dilihat dari tata krama di tanah Jawa. Tapi kenapa mereka yang di tanah Jawa ini tak sedikit pun mau melihat tata krama Madura? Apakah Madura bukan tanah? Apakah Madura tak punya tata krama? Kalau tak punya, kenapa bisa membangun Tarik? Kenapa bisa merebut Singasari?”
Upasara hanya mendengar sebagian. Hawa dingin yang menusuk makin tak tertahankan. Giginya gemeretak, keringat dinginnya mengucur. Sedemikian hebat rasa sakit sehingga Upasara menggelinding. Tubuhnya terbanting dan melengkung kaku.
“Setua ini, aku menelusuri jalanan. Mencari jawaban. Apa sebenarnya tata krama itu? Apa yang membedakan seorang bekas teman perjuangan untuk mendengar nasihat yang benar? Kutelusuri jalanan. Kutelusuri pinggir sungai. Kudengar Sora, paman putraku yang juga gagah berani, mati karena kraman. Wahai, Dewa, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah perbedaan tata krama harus diartikan kraman. Kenapa bukan Lawe putraku yang memakai takhta sehingga manusia di tanah Jawa ini mengenal tata krama, unggah-ungguh kami? Dan kami yang ganti menghukum mereka? Dewa tak menjawab apa-apa. Hingga kakiku pegal. Hingga kutemukan kamu. Ksatria lelananging jagat bagai anjing, menggeletak tak bergerak. Hanya seperti inikah ksatria hebat tanah Jawa itu?”
Merasa makin sesak napas Upasara, secara tidak sadar tenaga penolakan muncul. Melawan, dalam penyerahan. Pasrah sebagai bentuk perlawanan. Dibiarkannya rasa sakit yang terus menusuk-nusuk, dinikmatinya rasa sakit dengan pemusatan pikiran sepenuhnya. Gigitan rasa sakit makin meninggi. Makin menusuk. Sampai akhirnya Upasara merasa tak sadar. Tak merasakan apa-apa. Tetapi dengan begitu pikirannya menjadi jernih. Tubuhnya yang lemas bisa digerakkan seperti apa maunya. Bungkahan dingin yang membeset seluruh sarafnya yang begitu peka mencair bagai udara.
Eyang Wiraraja melihat perubahan. Dari sekujur tubuh Upasara seperti mengeluarkan asap, bau, yang jernih. Tidak wangi. Tidak busuk. Bersih, jernih, segar. Kesejukan yang menyentuh.
“Apa yang kamu lakukan?”
Upasara mengikuti arah pikirannya. Melambung, lepas, seperti berada dalam lamunan. Jalan pikirannya bisa digerakkan ke mana ia mengerahkan. Tangan dan tubuhnya menjadi sangat ringan. Belum sepenanak nasi, Upasara merasa tubuhnya menjadi segar bugar. Dadanya longgar.
“Kukira kamu Bejujag…”
Terdengar suara halus. Eyang Wiraraja menggeleng. Karena seperti melihat seorang wanita, akan tetapi pada saat betul-betul diperhatikan bayangan itu lenyap. Samar.
Upasara kembali duduk. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Tangan kanannya tergeletak di paha, sementara tangan kirinya terangkat perlahan. Bergerak ke depan.
“Kiranya memang kamu.”
Upasara kali ini benar-benar tersenyum.
“Kiranya benar-benar kamu, Bejujag…”
“Hamba yang rendah bernama Upasara Wulung. Sama sekali bukan bayangan, dan bukan apa-apa dibandingkan dengan Eyang Sepuh. Memang bagian pernapasan ini diajarkan oleh Eyang Sepuh dalam Tumbal Bantala Parwa, akan tetapi hamba tak becus mempelajari. Mohon petunjuk Eyang Putri…”
Karena tidak mengenal siapa tokoh yang dihadapi, Upasara menyebut dengan panggilan Eyang Putri. Suatu tanda memberi hormat yang dalam. Karena Upasara yakin hanya tokoh yang mengenal Eyang Sepuh secara pribadi yang berani memanggil dengan sebutan Bejujag.
“Saya yang menjadikan ilmu itu sempurna. Saya tahu kamu Upasara Wulung atau celeng nggoteng yang lain. Tetapi kamu sesungguhnya Bejujag. Bejujag menjadi ada ketika ia tiada. Pantas ia terus moksa, karena telah menemukan kamu. Bejujag, sungguh beruntung nasibmu dari kita semua.”
Eyang Putri yang tiada lain Putri Pulangsih memandang tajam ke arah Upasara.
“Kepasrahanmu sungguh luar biasa, anak muda. Penderitaan batin apa yang membuat kamu begitu rumangsuk, begitu meresapi?”
Dua kalimat yang membuat Upasara bergidik karenanya. Pertama, meskipun ia disebut sebagai celeng atau babi hutan dan bukan banteng, tapi sangat jelas dikatakan sebagai pewaris ilmu Eyang Sepuh. Memang Upasara sendiri merasakan mukjizat. Beberapa kali berusaha melawan, berusaha pasrah—menyerah, akan tetapi gagal mengusir hawa dingin. Akan tetapi kemudian, tenaga itu terkuasai sepenuhnya dan bisa diatasi. Kedua, karena dengan tepat bisa menebak apa yang dialami Upasara. Apa yang dialami batinnya. Apa yang dirinya sendiri tak berani menatap apalagi mengungkapkan. Akan tetapi sekali ini Upasara tak bisa menyembunyikan. Perasaannya tergetar dan luluh.
“Hanya penderitaan yang membahagiakan yang memungkinkan latihan pernapasan seperti itu. Seperti juga Bejujag, yang secara wadak menolakku akan tetapi secara batin menerima. Ia ada saat tak ada.”
Eyang Wiraraja menggelengkan kepalanya. “Kamu bicara dengan putraku Lawe? Di mana dia?”
“Rasanya aku pernah mendengar suara yang gagah ini. Siapa kamu, kakek tua?”
Upasara menyembah hormat dan menceritakan siapa Aria Wiraraja.
“Ooo, yang pernah sakit hati ketika ikut tersingkir oleh Sri Baginda Raja?”
“Siapa itu?”
“Ah, kamu tak mengenal. Kamu tak mengenal bagaimana menerima secara ikhlas, tanpa ganjalan, tanpa sakit hati, bagaimana pasrah dan berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Upasara, kalau kamu sudah menjadi lelananging jagat, kenapa tidak kamu coba untuk kalahkan aku? Lima puluh tahun tak menjajal, rasanya masih kaku sedikit. Tapi tak apa. Majulah, Upasara!”
“Bagaimana mungkin hamba berani berbuat lancang?”
“Ooo, kenapa kamu tak seperti Bejujag yang sombong itu?”
“Siapa Bejujag?”
Suara Eyang Wiraraja tak terjawab. Karena kini Upasara tak bisa menjawab. Tak tahu harus berbuat apa.
Pernapasan Tujuh Padma
EYANG WIRARAJA menoleh kiri-kanan. “Apakah kamu ditantang seseorang, Upasara?”
Upasara mengangguk pelan.
“Dan kamu takut?”
Upasara terdiam.
“Kalau putraku Lawe masih hidup, sebelum tantangan itu diucapkan, mulut penantangnya telah terkancing tanpa bisa dibuka selamanya.”
“Saya tak seperti Senopati Lawe.”
“Tapi kamu lelaki. Putraku juga lelaki. Aku sendiri juga lelaki.”
Upasara menggeleng. Memandang hormat ke arah bayangan Putri Pulangsih.
“Murid Bejujag satu ini benar-benar cubluk. Tolol dan dungu. Pantas saja dipilih sebagai pewaris ilmunya. Aku tak perlu sakit hati. Untuk apa menyesali lelaki yang punya purus.”
Tajam dan panas kalimat Putri Pulangsih. Eyang Wiraraja langsung berdiri. Mengurut jenggotnya yang putih dengan tangan gemetar. Ini penghinaan yang menyakitkan. Purus bisa berarti umbi, bisa berarti dasar tiang. Tapi bisa juga berarti umbi atau dasar kelelakian. Mengatakan lelaki tak mempunyai purus berarti lelaki tanpa kelelakian. Rasanya tak pernah ada cacian yang begitu merendahkan seperti ini. Makanya walaupun sudah tua, berdiri juga kedua kakinya.
Bagi Upasara ucapan itu pun membuat daun telinganya panas dan merah. Tapi secepat itu pula kesadarannya timbul. Karena purus bukan hanya diartikan seperti itu. Kata purus terdapat dalam Kitab Bumi dalam olah napas. Dalam latihan pernapasan ada tujuh tempat menahan napas. Salah satunya yang disebut adistara, yaitu memusatkan napas di antara perut dan purus. Upasara menyetdot udara membusung, menempatkan udara ke dalam tataran adisastra.
“Rupanya kamu berani menerima tantangan? Tidak sejelek yang kuduga. Entah sampai mana cakram yang kamu miliki.”
Upasara merasa menjawab dengan tepat. Ketika Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan tantangan, Upasara ragu. Mana mungkin dirinya bertarung dengan tokoh tua yang bisa memanggil Eyang Sepuh dengan sebutan seenaknya. Tak mungkin. Tak mungkin berani. Tak mungkin berani kurang ajar.
Ini yang membedakannya dengan Eyang Wiraraja. Yang menjadi panas hatinya. Sementara Upasara justru menangkap secara lain. Dan menjawabnya dengan tarikan napas, sesuai dengan tantangan yang diterima. Tarikan napas berikutnya, udara naik ke pusar, yang disebut manipura, dan beralih ke dalam hati, anahata.
Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara di hidung. Ternyata dalam jarak yang cukup jauh, bisa mengamati apa yang dilakukan Upasara. Meskipun yang dilakukan itu adalah cara bernapas. Yang sama sekali tak terlihat sedikit pun dari gerakan tangan, atau bahkan gerakan otot perut.
Sewaktu telinganya mendengar cakram, Upasara sudah mengetahui bahwa ia diuji seberapa jauh bisa memutar, bisa men-cakram, cara pernapasan. Itulah sebabnya ia terus melanjutkan dengan wisudi, di mana udara tertahan di tenggorokan, disusul dengan ayana, di antara kedua alis, dan selanjutnya dengan cara sahasraya di dalam hening pikiran otak.
Upasara menahan beberapa lama, sebelum meluncurkan ke bawah, sedikit di atas dubur dengan pernapasan yang disebut adara, yang sebenarnya merupakan permulaan. Tujuh tempat untuk mencari kekuatan pernapasan, juga disebut tujuh padma, yang bisa berarti darah, roh atau juga rasa. Kekuatan yang menjadi latihan utama yang dianjurkan dalam Bantala Parwa. Sesungguhnya, inilah keistimewaan Kitab Bumi.
Yaitu memberi peluang besar untuk menafsirkan, untuk memainkan, dengan memutar, dengan gerakan cakram, arah-arah sumber tenaga. Sehingga setiap saat tenaga bisa dikerahkan dari tujuh tempat yang berbeda. Seperti yang dilakukan Upasara sekarang ini.
Yang lebih istimewa lagi, beberapa pengertian yang terkandung dalam setiap kata. Seperti padma yang bisa menjadi darah, sehingga seolah-olah darah mengalir ke tempat yang disebutkan tadi. Tapi bisa juga berarti pengerahan tenaga. Sebaliknya juga bisa berarti pengerahan atau pemusatan rasa. Perasaan yang dituntun ke arah tujuh tempat. Ini yang luar biasa. Pengertian tenaga dalam, tenaga luar, juga bisa berarti perasaan.
Pengertian yang terakhir ini pula yang digunakan Eyang Putri Pulangsih untuk mengetahui apakah yang dilakukan Upasara betul atau salah. Pertarungan rasa. Yang tidak tertangkap sedikit pun oleh Eyang Wiraraja. Yang merasa aneh melihat Upasara takut menghadapi tantangan dari orang yang tak diketahui. Malah bersila dan berdiam diri. Kelihatannya saja sederhana.
Akan tetapi sesungguhnya Upasara sedang memusatkan pikiran sepenuhnya untuk memutar perputaran udara, melatih pernapasan sesuai dengan rasa yang terwujud dalam udara. Karena sedikit saja meleset, atau tak bisa dikuasai, angin yang sama bisa terputus seketika. Kalau ini terjadi, pernapasan Upasara akan kacau-balau. Tenaga dalamnya akan bertabrakan dengan sendirinya. Pernapasan Tujuh Padma tak bisa berhenti atau menjadi tidak teratur. Inti perputaran atau cakram ini yang tadi diucapkan Eyang Putri Pulangsih sebagai dasar untuk menguji.
“Kang wasesa winisesa wus.”
Suara lirih kembali terdengar. Upasara makin memusatkan perhatiannya. Apa yang diucapkan Eyang Putri Pulangsih adalah pengertian “apa yang terjadi dalam tubuh tergantung pada angin di luar”. Atau menyandarkan pada hubungan dunia kecil, dunia batin, dunia rasa di dalam tubuh dengan dunia di luar. Upasara mengosongkan pikirannya, dan membiarkan udara di luar leluasa, merasuk, mengaduk dalam tubuhnya. Ke mana arah udara mengalir dan berhenti, di adistara, manipura, sahasraya diikuti dengan tenang.
“Dengan cara apa kamu mempelajari Kitab Bumi?”
Pertanyaan itu seperti menggema dalam hati. Karena Upasara tidak mendengar lewat telinga. Seperti juga Eyang Wiraraja yang tidak mendengar apa-apa.
“Dengan rasa.” Jawaban Upasara juga diucapkan dalam hati, dengan rasa.
“Siapa gurumu?”
“Eyang Sepuh.”
“Siapa gurumu?”
“Siapa saja.”
“Apa yang kamu cari?”
“Tidak mencari apa-apa.”
“Dusta. Kamu dusta. Kamu mencariku.”
“Tidak. Bukan.”
“Iya. Kamu mencariku, Kakang.”
Dada Upasara sedikit terguncang. Karena suara yang masuk menyelinap dalam relung hatinya bukan lagi suara Eyang Putri Pulangsih, melainkan suara Gayatri. Baik nadanya, tekukan suaranya. Gambaran yang jelas, seakan berbisik dalam denyut nadi.
“Kenapa kamu menahan diri, Bejujag?”
“Aku tidak menahan diri.” “Kenapa kamu tak datang?”
“Aku menunggu.”
“Aku sudah datang, kamu masih menunggu.”
“Aku sudah menunggu, kamu belum datang.”
“Kita datang bersama, Kakang…”
“Jalan bersama, Yayi…”
“Kakang…”
“Yayi…”
Upasara kadang masih merasa dirinya dipanggil Bejujag, kadang dipanggil sebagai Kakang. Akan tetapi secara perlahan, kemudian menyatu, tak bisa terpisahkan lagi. Juga tak bisa membedakan apakah yang mengajak bicara tanpa suara itu Eyang Putri Pulangsih atau Gayatri. Keduanya menyatu. Tak terpisahkan.
“Kakang…”
“Yayi…”
Panggilan Asmara
TUBUH UPASARA terasa ringan. Dengan satu sentakan napas, kedua tangannya tertarik ke atas. Perlahan tangan kiri mendorong ke depan, sementara tangan kanan lunglai di dekat lutut. Terdengar helaan napas dalam. Helaan napas Eyang Putri Pulangsih. Seperti nada penyesalan dan kebanggaan. Seperti melepaskan suatu perasaan tertentu. Yang tak bisa ditebak dengan pasti oleh Upasara setelah dirinya sadar.
“Upasara, kenapa kamu membuat nasib Bejujag begitu baik? Kenapa kamu tidak menjadi muridku saja? Dewa mana yang pilih kasih? Ketahuilah, Upasara, Bejujag ku adalah Eyang Sepuh mu. Lewat dirimu, aku bisa menemuinya, tanpa menghancurkan dirimu. Tanpa merusak, tanpa kau hambat. Bukankah itu pertanda Dewa pilih kasih? Raganata mempunyai banyak kelebihan, mempunyai ratusan murid. Tapi tak mampu apa-apa. Aku tak bisa menemui. Dodot Bintulu katanya punya murid turunan yang tangguh, tapi serba gelap. Tak bisa ku tengok. Berune masih tersisa. Akan tetapi dengan menyiksa orang lain. Merusak raga yang masih bisa hidup. Bejujag, aku tahu di mana dan siapa kamu sebenarnya. Aku mengaku kalah. Kamu sudah bisa moksa dengan sempurna, selamanya. Aku masih gentayangan. Masih keluyuran tak menentu. Tapi aku bahagia. Bahagia sekali. Bukankah sebaiknya Upasara juga merasakan bahagia? Bahagia sebelum dan sesudah moksa. Ayolah, Upasara! Kita berangkat ke Keraton. Ambil Gayatri-mu. Jangan pedulikan apa saja. Tidak semua kata-kata Eyang Putri Pulangsih bisa ditangkap dan dimengerti secara sempurna. Akan tetapi Upasara menyembah dan segera berdiri. Kamu ksatria. Kamu lelaki. Bukan merenungi kekalahan. Pasrah bukanlah membiarkan penderitaan.”
Upasara mengangguk. Menoleh ke arah Eyang Wiraraja.
“Maaf, Eyang, saya ingin melanjutkan perjalanan…”
“Aku juga akan ke Keraton.”
“Mari kita jalan bersama, Eyang.”
“Tidak. Aku berjalan sebagai lelaki. Berani berjalan mendongak ke atas pada sinar rembulan.”
Upasara menyembah hormat, lalu berjalan cepat. Mendampingi bayangan Eyang Putri Pulangsih.
“Apakah kamu akan mundur lagi setelah bertemu Gayatri?”
“Hamba tak berani menatap Permaisuri…”
“Tak ada permaisuri. Asmara tak mengenal permaisuri atau bukan dalam tarikan daya asmara. Dengarkan panggilan hatimu. Ketuk semua pintu. Upasara, kamu bisa mendengarkan apa yang kualami dulu. Mendengar panggilan asmara, seperti juga Bejujag meneriakkannya. Akan tetapi kami sama-sama tak tahu harus berbuat bagaimana. Kami sama-sama keras kepala. Kami sama-sama memperhitungkan kebahagiaan pasangan yang ternyata buntung. Kalau sejak awal Bejujag, dan juga aku, lebih terus terang, rasanya tak ada pertengkaran dengan Raganata, Bintulu, dan Berune, atau yang lainnya. Kalau kami tidak sama-sama keras kepala. Sok tinggi hati. Seperti sekarang ini.bApakah tanpa itu Bejujag tak bisa menyempurnakan Tumbal Bantala Parwa? Mungkin, mungkin sekali. Tapi mungkin juga ada kitab lain. Kitab bahagia. Kitab yang tidak menjadi tumbal. Kamu tahu itu semua, Upasara?”
Dengan mengerahkan tenaganya Upasara mencoba mengimbangi kecepatan tubuh Eyang Putri Pulangsih yang seperti melayang. Beriringan dengan kecepatan angin berpindah.
“Aku bercerita banyak. Karena barangkali saja ini kesempatan terakhirku. Mempertemukan dua hati yang tergetar panggilan asmara. Aku ingin meninggalkan jagat ini dengan bahagia. Aku telah menunggu lima puluh tahun. Lebih dari yang lainnya, aku bisa bertahan. Sampai sekarang. Sehingga aku mempunyai waktu untuk mempertimbangkan kembali. Kitab dan kitab yang selalu ditulis dengan keyakinan, akan ditulis kembali. Barangkali itu sebabnya aku tak bisa moksa dengan baik, dengan rela. Karena masih ada yang ingin kulakukan. Mempertemukan asmaramu. Kamu tahu semua ini, Upasara?”
“Kenapa hamba yang dipilih? Rasanya begitu banyak yang mendengar panggilan asmara…”
“Karena kamu berbeda dari yang lainnya. Karena kamu Bejujag yang sesungguhnya.”
“Eyang, apa sesungguhnya daya asmara itu? Apakah harus didengar panggilannya? Apakah tidak lebih wigati mendengarkan panggilan daya yang lain?”
Gerakan tubuh Eyang Putri Pulangsih menurun. Tidak secepat sebelumnya. “Manusia harus selalu menjadi manusia.
“Lelaki harus menjadi lelaki. Apakah ia lelananging jagat atau tidak, sama saja. Hanya lebih berarti, menjadi sempurna, setelah berdua. Karena Dewa menitahkan begitu. Ada langit ada bumi, ada tanah ada air, ada rembulan ada matahari… Sri Baginda Raja Kertanegara bisa menyatukan itu.”
“Kalau benar begitu, untuk apa kita ke Keraton? Hamba bisa menemukan air yang lain.”
“Jangan kau ingkari suara hatimu. Jangan kau butakan matamu. Jangan kau tulikan telingamu. Rasa tidak bisa mati. Tak bisa dibunuh. Selama kamu tak berani menemukan jawaban, kamu akan selalu terombang-ambing. Kamu tak mempunyai kekuatan. Seperti aku, seperti Berune, seperti Raganata. Lima puluh tahun mencari-cari, dan terus-menerus gelisah. Dan menyerah. Seperti membiarkan dirimu terbaring diserang udara dingin. Kamu tak menemukan pegangan. Tak menemukan akar kekuatan. Kamu mengemohi, menolak Gayatri, menolak panggilan asmara yang sesungguhnya.”
“Apakah hamba akan menemukan?”
“Bagaimana bisa kamu jawab kalau kamu tak berani mencari?”
“Apakah Eyang Sepuh…”
“Bejujag itu orang yang beruntung. Nasib tak bisa ditiru. Itu sebabnya aku berkata, Dewa pun pilih kasih. Barangkali saja itulah keadilan Dewa, Upasara.”
“Kalau…”
“Kamu sudah memegang gelar lelananging jagat. Akan tetapi lebih ringkih, lebih lemah dari bayi. Apa kamu berhasil atau tidak, bukan urusanku. Juga bukan urusanmu. Tapi coba datangi. Rebut. Menangkan. Sehingga pasrah yang kau rasa, adalah pasrah yang sesungguhnya.”
“Hamba kira…”
“Sebagai Eyang Putri-mu, hari ini kamu antarkan aku. Mengantarkan ke gerbang di mana aku bisa pergi dengan ikhlas, dengan rela. Kalau tidak, aku masih akan terus penasaran hingga lima puluh tahun yang akan datang.”
Upasara mengangguk. Mantap.
“Itulah jiwamu yang kerdil. Yang kekanak-kanakan. Itulah Bejujag.”
Baru sekarang ini Upasara merasa dijungkirbalikkan. Satu saat merasa pasti, menjadi ragu, dan setelah diyakinkan, digoyahkan kembali. Kalau sekarang Upasara menyertai Eyang Putri Pulangsih ke Keraton, karena lebih terdorong niat agar keinginan terakhir Eyang Putri Pulangsih terkabul. Akan tetapi justru itu yang direncanakan Eyang Putri Pulangsih. Yang dipakai sebagai cara untuk membujuk Upasara. Dan itu yang dikatakan.
“Entah kenapa begitu banyak persamaan kedunguan antara kamu dan Bejujag. Darah apa yang bisa sama seperti ini? Upasara, benarkah kamu bukan anak kandung Bejujag?”
Upasara merasa disambar geledek. Tak pernah terduga akan ada pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang membanting kakinya ke tanah kenyataan.
Kidungan Kenyung
UPASARA menjadi peka jika asal-usulnya diusik. Terutama jika yang mengusik seseorang yang dianggap terhormat. Seperti pertanyaan Eyang Putri Pulangsih yang langsung menyodok ulu hatinya. Apakah dirinya masih keturunan langsung Eyang Sepuh?
Pertanyaan itu mengusik, justru karena dirinya tak bisa menjawab dengan pasti, apakah dengan anggukan atau gelengan. Dua-duanya tak memiliki dasar. Upasara tak pernah mengenal dirinya. Sepanjang ia ingat, ia sudah dididik sebagai Ksatria Pingitan. Sepanjang dua puluh tahun, ia tak mengenal dunia luar. Selalu berada dalam ksatrian. Satu-satunya yang dikenal sebagai ayah angkatnya adalah Ngabehi Pandu. Tokoh yang menciptakan ilmu silat mligi, atau khusus baginya. Yang dikenal dengan nama Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Gerakan-gerakan ini disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuannya ketika itu.
Sepanjang yang bisa diingat, Upasara mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat kepada Ngabehi Pandu. Yang bukan hanya mendidiknya dalam kanuragan, akan tetapi juga mengenai kehidupan. Setelah bergaul dengan dunia di luar Keraton, Upasara lebih sadar mengenai asal-usul seseorang. Ia sendiri yang merasa tak memiliki untuk diceritakan. Suatu ketika Upasara pernah menanyakan hal ini.
Akan tetapi Ngabehi Pandu hanya menjawab dengan gelengan, dan kemudian mengalihkan ke pembicaraan yang lain. Dalam hati Upasara timbul pertanyaan yang mengganjal. Akan tetapi tak pernah menjadikan persoalan benar. Hatinya merasa bahagia jika dirinya boleh mengaku anak kepada Ngabehi Pandu. Rasanya semua persoalan telah selesai sampai di situ.
Sampai kemudian Upasara mengalami jalan hidup yang menentukan. Sewaktu bersama Gayatri, saat itu tumbuh daya asmara. Apalagi Gayatri justru memberi semangat dan mengisyaratkan kesediaan mendampingi Upasara. Seribu rembulan bersinar bersama. Dan serentak padam tenggelam oleh awan. Selamanya. Hanya karena ramalan para pendeta, bahwa Gayatri harus diperistri oleh keturunan raja, karena dari rahimnya akan lahir raja yang tiada taranya, yang akan menguasai jagat. Saat itulah Upasara merasa dirinya tidak berarti apa-apa.
Sejak saat itu kepekaan asal-usulnya menjadi tinggi. Kalau saja ia mempunyai darah raja! Persoalan yang sangat mengganjal ialah bahwa bukan tidak mungkin dirinya mempunyai darah raja. Bukan tidak mungkin! Karena Ksatria Pingitan memang hanya diperuntukkan keluarga raja. Yaitu dialiri darah raja, walau tidak dari permaisuri resmi. Bukan tidak mungkin dari sekian banyak yang masuk dan dididik dalam Ksatria Pingitan adalah putra-putra peteng, putra-putra tidak resmi Baginda Raja Sri Kertanegara. Kalau benar begitu, dirinya masih memiliki darah raja. Keturunan langsung!
Namun sayangnya, tak ada yang memberi kepastian siapa sesungguhnya orangtua nya. Siapa sebenarnya yang mempunyai anak lelaki untuk dididik di ksatrian? Kebimbangan yang dikubur perlahan-lahan. Walaupun sesekali muncul kembali. Karena makin direnungkan, makin tidak mungkin keluarga yang agak jauh bisa dididik di Ksatria Pingitan. Anak keturunan senopati pun tak bakal dizinkan masuk mengikuti. Kebimbangan yang memunculkan berbagai gagasan.
Upasara merasakan sendiri keanehan sewaktu menghadapi pasukan Tartar. Saat itu, Eyang Sepuh hanya membisikkan sesuatu kepada dirinya dan kepada Gayatri. Tidak kepada yang lain. Juga tidak kepada Jaghana. Padahal jelas Paman Jaghana merupakan pewaris dan murid Perguruan Awan yang paling setia. Yang lebih tak bisa dipercaya lagi ialah ketika Upasara menuju ke Perguruan Awan, dan akhirnya dipilih sebagai ketua Perguruan Awan, yang menurut kepercayaan Paman Jaghana dan Paman Wilanda karena bisikan dan penunjukan Eyang Sepuh.
Upasara mulai guncang. Justru karena asal-usulnya tidak jelas, siapa saja yang ditunjukkan seakan mempunyai kemungkinan besar. Seperti yang dikatakan oleh Eyang Putri Pulangsih. “Apa anehnya kalau kamu keturunan langsung Bejujag?
“Apa bedanya dengan Sri Baginda Raja yang sama-sama lelaki dan suka mengumbar daya asmara?”
Kalaupun Baginda mendengar suara itu, hatinya seperti ditoreh sesuatu yang menyakitkan ulu hatinya. Seperti tertusuk belahan bambu tipis yang menimbulkan luka tanpa mengalirkan darah. Pun setelah mengetahui bahwa bukan permaisurinya yang meneriakkan “Kakang”. Torehan yang memilukan itu karena suara Putri Pulangsih yang menyebutkan Kidungan Asmara Dayinta. Yang artinya kira-kira adalah Tembang Asmara Permaisuri, puisi cinta permaisuri.
Sebutan itu tak berarti apa-apa bila saat itu tak ada Upasara Wulung dan Permaisuri Rajapatni alias Gayatri. Sebutan itu tak ada artinya apabila tidak dikaitkan dengan kidungan yang diciptakan Sri Baginda Raja. Bagi Baginda, kata-kata itu menusuk tajam sampai dasar. Karena, seperti hampir semua kerabat Keraton mengetahui atau setidaknya pernah mendengar, Sri Baginda Raja dikenal memanjakan daya asmara secara terbuka.
Pesta-pesta Keraton hampir tak pernah sepi dari tata asmara. Sehingga kidungan yang diciptakan pun, bisa dihubungkan dengan daya asmara. Atau hubungan asmara, yang menjadi inti utama kehidupan. Baginda bisa mengetahui secara tepat karena sudah membaca dari bait pertama hingga bait terakhir. Rasanya saat itu bayang-bayang tubuh Baginda mengecil.
“Nenek tua, apa maksudmu sowan tanpa tinimbalan ngarsaningsun?”
Sebutan ngarsaningsun menunjukkan bahwa segala sesuatu hanya bisa terjadi atas karsa, atau kehendak, Baginda.
Putri Mulanguni
BERAGAM tanda tanya muncul seketika di banyak benak. Gendhuk Tri sendiri bertanya-tanya bagaimana Upasara Wulung bisa mendadak muncul bersama Putri Pulangsih. Mahapatih dan para senopati bertanya-tanya apa yang harus dilakukan untuk melindungi Baginda. Akan tetapi yang terdengar suara lembut dan dingin nadanya.
“Kalau saya mau pergi ke mana, itu atas kemauan sendiri. Tak ada yang harus menentukan. Dulu, sekarang, atau kapan saja. Apakah saya sudah menjadi nenek-nenek atau tidak, apa hubungannya dengan kamu? Siapa kamu sebenarnya, berani berdiri dan membuka kaki?”
“Ingsun Kertarajasa Jayawardhana yang memerintah merah atau birunya Keraton Majapahit.”
“O, rupanya kamu raja. Rasanya terlalu lembut seperti bayi…”
Mahapatih Nambi mengentak, kedua tangannya terulur ke depan. Satu lontaran tenaga meluncur. Akan tetapi kali ini, Mahapatih justru tersungkur ke depan. Rata dengan lantai tak bisa bergerak lagi.
“Siapa namamu dan apa kemauanmu?”
“Nama saya sudah dilupakan, kecuali oleh beberapa orang yang sudah mati. Apa kemauan saya, hanya ingin mendengarkan Kidung Asmara Permaisuri ditembangkan untuk ksatria yang nasibnya sebaik gurunya yang kurang ajar.”
Jelas yang dimaksudkan adalah Upasara Wulung dan Gayatri! Putri Pulangsih tetap berdiri tegak. Tangannya tetap bersilangan, hanya dadanya sedikit bergerak naik-turun.
“Kenapa bersila dan menunduk? Katanya mau bertemu kekasih dan menembangkan daya asmara. Apa lagi yang kamu tunggu?”
Upasara Wulung diam tak bergerak.
“Upasara!” Teriakan Baginda terdengar mengguntur.
“Sembah dalem, Gusti yang dipuja seluruh Keraton."
Apa pun keinginanmu datang kemari, ingsun tidak suka tindakanmu. Sebelum lebih marah lagi, lebih baik kamu meninggalkan Keraton dan tak usah menginjakkan kaki lagi.”
Upasara menyembah.
“Tunggu dulu! Kenapa kamu begitu bodoh? Kenapa kamu tak mewarisi sedikit pun keberanian si Bejujag, yang bisa menaklukkan putri kesayangan Sri Baginda Raja? Lihat baik-baik. Buka mata lebar-lebar. Rasakan getaran asmara yang sama dari kekasihmu, Putri Mulanguni yang tak bisa menahan berahi…”
Bahkan Gendhuk Tri pun merasa wajahnya merah. Rasa malu dan jijik menjadi satu. Selama ini wanita yang dikenalnya yang bisa mengeluarkan kata-kata tidak senonoh adalah Nyai Demang. Tak tahunya ada yang lain. Yang dianggap suci karena masih eyang gurunya. Yang tidak seharusnya berbuat seperti itu. Alangkah sempurnanya bayangan Gendhuk Tri jika saja Eyang Putri Pulangsih moksa begitu saja, seperti Eyang Sepuh. Lebih meninggalkan kesan suci. Dan bukannya malah muncul dengan cara seperti ini.
Selama ini gambaran yang ada di benak Gendhuk Tri sudah membentuk sempurna. Rasa hormat hingga menyerupai pemujaan yang luar biasa dalam terhadap Mpu Raganata serta Eyang Sepuh. Hal yang sama yang dirasakan secara tulus terhadap Eyang Putri Pulangsih. Karena hidup sezaman dan memperlihatkan kebijakan serta kearifan yang sama. Tak tahunya membuatnya sangat jengah. Kikuk. Rendah. Apalagi menyebut Permaisuri Rajapatni dengan sebutan Putri Mulanguni. Sebagai putri yang membangkitkan berahi.
Dewa segala Dewa, apakah serendah itu omongan eyang gurunya? Yang usianya lebih pantas untuk disembah dan dipuja? Sebenarnya yang paling rikuh, paling malu, dan tidak enak hati, adalah Upasara Wulung. Sama sekali tak menyangka akan menghadapi kenyataan yang dalam mimpi pun tak berani dihadapi. Selama ini betapapun rindunya bergolak, Upasara selalu berusaha menenggelamkan. Berusaha mengubur ke bawah sadarnya. Pun di puncak kerinduannya yang tak tertahankan, Upasara memilih tidak menemui Gayatri.
Akan tetapi sekarang justru terjebak dalam keadaan yang sama sekali tak terbayangkan. Tak bisa dihindari. Ini memang perjalanan yang panjang. Sangat panjang. Upasara tidak membayangkan bisa bangkit lagi. Saat ia tergeletak beku merayap dari kedua kaki, Upasara tak mempunyai niatan untuk bangkit lagi. Ia membiarkan tubuhnya terseret oleh arus pukulan yang membekukan, menyesakkan, dan membuatnya tidak sadar. Beberapa kali Upasara tersadar, akan tetapi untuk kesekian kalinya pula tak sadar lagi.
Sampai akhirnya ia menyadari berada di bawah lindungan pohon di tengah malam saat bulan sangat pucat. Ada bayangan lelaki tua di sebelahnya sedang bersemadi, dengan janggut panjang putih seperti menyentuh tanah. Upasara hampir saja berseru kegirangan dan memeluk bayangan kakek yang dikiranya Eyang Sepuh.
“Masih mau mencari mati, anak muda?”
Antara sadar dan tidak, Upasara mengenali nada suara itu. “Eyang…”
“Apa aku masih pantas dipanggil eyang kalau hanya seorang kakek tua tak berguna, yang berjalan menyelusuri bayangan pohon kala rembulan mau bersinar. Upasara, kamu tidak pantas menjadi ksatria. Tidak pantas menjadi senopati Singasari. Putraku lebih pantas menjadi ksatria lelananging jagat daripada kalian semua.”
Upasara memaksa diri duduk dan menyembah. “Eyang Wiraraja…”
“Oho, kamu masih mengenaliku dan mengenali putraku yang gagah?”
”Sembah pangabekti buat Eyang Wiraraja. Mana mungkin saya bisa melupakan Kakang Senopati Lawe yang gagah dan digdaya?”
Eyang Wiraraja mengangguk-angguk. Kini jelas jenggotnya yang putih bagai kapas menyentuh tanah berkali-kali. “Jadi kamu menganggap putraku lelaki gagah, digdaya, perkasa, dan berjiwa ksatria? Tidak sia-sia aku mendidiknya. Tidak sia-sia…”
Upasara bisa merasakan nada getir yang mengalir. Lebih dari itu, Upasara Wulung mengenal tokoh tua yang menolongnya untuk sementara. Ketika prajurit di bawah pimpinan Raden Sanggrama Wijaya menyiapkan benteng pertahanan di desa Tarik, Eyang Wiraraja inilah yang berjasa besar. Bukan hanya melatih para prajurit, mendirikan benteng, dan melindungi dari ancaman masuknya prajurit telik sandi Raja Jayakatwang, melainkan juga yang mengatur siasat sejak semula.
Jauh dalam hatinya, Upasara sangat menghormati tokoh tua yang dianggap sakti serta bijak ini. Apalagi sejak lama Eyang Wiraraja mengabdi kepada Sri Baginda Raja Kertanegara. Hanya saja ketika itu Upasara tak pernah berhubungan langsung. Karena dirinya hanyalah prajurit biasa, sementara Eyang Wiraraja adalah penasihat utama Raden Sanggrama Wijaya. Yang ketika naik takhta pun masih memandang hormat padanya. Jarak pangkat dan derajat yang jauh berbeda.
Meskipun demikian, Upasara cukup mengerti apa yang terjadi pada Eyang Wiraraja. Yang akhirnya memilih menyingkir dari Keraton dan meminta bagiannya di seberang timur. Setelah kecewa atas terbunuhnya putra kesayangannya yang mempunyai nama sama dengannya. Yang lebih dikenal sebagai Senopati Lawe.
Sebaliknya, Upasara juga merasa dikenal. Sekurangnya ketika menyebut ksatria lelananging jagat, menunjukkan bahwa Eyang Wiraraja mendengar dan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia persilatan. Di atas persoalan itu, Upasara juga bertanya-tanya dalam hati. Kalau tokoh yang begitu dihormati dan pernah mengasingkan diri ke tanah timur, kemudian berniat kembali ke Keraton, pasti ada sesuatu yang luar biasa.
Selama mengasingkan diri dan mendirikan keraton pemerintahan di tlatah Madura, boleh dikatakan mengibarkan umbul-umbul, mengibarkan bendera sendiri. Akan malu hati untuk datang ke Keraton Majapahit. Upasara tak melanjutkan jalan pikirannya, karena kebekuan yang menusuk-nusuk membuat tubuhnya kejang dan ngilu. Hawa dingin yang tadinya di ujung kaki, kini telah menjalar sampai perut. Perlahan tetapi pasti, perutnya terasa keras dan tidak memungkinkan bernapas dengan leluasa.
Ada Ketika Tiada
EYANG WIRARAJA ternyata tidak peduli sama sekali dengan penderitaan Upasara. Tetap duduk, tenang. Malah membuka bekalnya yang berupa daun-daun dan mengunyah perlahan.
“Putraku Lawe, lanang yang sesungguhnya. Lelaki sejati. Dan Dewa tak menciptakan lelaki semacam itu dua orang. Cukup seorang. Ketika Tarik masih tinggi dengan ilalang dan binatang buas, dialah yang pertama kali membersihkan. Ketika pertarungan dengan Raja Muda Jayakatwang, dialah yang pertama kali mengangkat pedang, membunyikan genderang perang. Ketika pasukan Tartar digempur, dialah yang maju paling depan tanpa gentar, tanpa menunggu orang lain ikut campur. Dia selalu berani. Berani berbuat apa yang terbaik menurut suara hatinya. Itulah darah lelaki. Yang kuturunkan padanya. Itu sebabnya ia berteriak gusar tatkala Nambi diangkat menjadi mahapatih. Ia tak menghendaki untuk dirinya sendiri. Ia menghendaki yang lebih berhak. Yaitu Sora. Semua mengetahui bahwa yang dikatakan putraku yang benar. Orang yang buta, tuli, lumpuh pun mengetahui dan membenarkan. Akan tetapi, ia bicara seperti itu di depan seorang raja. Raja yang baru. Yang dulunya bersama-sama menebas ilalang dan mengangkat pedang. Putraku salah. Putraku disalahkan. Karena tak mengenal tata krama, tak mengenal unggah-ungguh, tak membedakan bicara dengan siapa. Padahal apa sebenarnya tata krama itu? Bagi kami dari tlatah Madura, mengatakan kebenaran itulah tata krama. Itulah budi pekerti. Itulah jiwa mulia. Kalau putraku dianggap mursal, dianggap kurang ajar, barangkali ada benarnya karena dilihat dari tata krama di tanah Jawa. Tapi kenapa mereka yang di tanah Jawa ini tak sedikit pun mau melihat tata krama Madura? Apakah Madura bukan tanah? Apakah Madura tak punya tata krama? Kalau tak punya, kenapa bisa membangun Tarik? Kenapa bisa merebut Singasari?”
Upasara hanya mendengar sebagian. Hawa dingin yang menusuk makin tak tertahankan. Giginya gemeretak, keringat dinginnya mengucur. Sedemikian hebat rasa sakit sehingga Upasara menggelinding. Tubuhnya terbanting dan melengkung kaku.
“Setua ini, aku menelusuri jalanan. Mencari jawaban. Apa sebenarnya tata krama itu? Apa yang membedakan seorang bekas teman perjuangan untuk mendengar nasihat yang benar? Kutelusuri jalanan. Kutelusuri pinggir sungai. Kudengar Sora, paman putraku yang juga gagah berani, mati karena kraman. Wahai, Dewa, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah perbedaan tata krama harus diartikan kraman. Kenapa bukan Lawe putraku yang memakai takhta sehingga manusia di tanah Jawa ini mengenal tata krama, unggah-ungguh kami? Dan kami yang ganti menghukum mereka? Dewa tak menjawab apa-apa. Hingga kakiku pegal. Hingga kutemukan kamu. Ksatria lelananging jagat bagai anjing, menggeletak tak bergerak. Hanya seperti inikah ksatria hebat tanah Jawa itu?”
Merasa makin sesak napas Upasara, secara tidak sadar tenaga penolakan muncul. Melawan, dalam penyerahan. Pasrah sebagai bentuk perlawanan. Dibiarkannya rasa sakit yang terus menusuk-nusuk, dinikmatinya rasa sakit dengan pemusatan pikiran sepenuhnya. Gigitan rasa sakit makin meninggi. Makin menusuk. Sampai akhirnya Upasara merasa tak sadar. Tak merasakan apa-apa. Tetapi dengan begitu pikirannya menjadi jernih. Tubuhnya yang lemas bisa digerakkan seperti apa maunya. Bungkahan dingin yang membeset seluruh sarafnya yang begitu peka mencair bagai udara.
Eyang Wiraraja melihat perubahan. Dari sekujur tubuh Upasara seperti mengeluarkan asap, bau, yang jernih. Tidak wangi. Tidak busuk. Bersih, jernih, segar. Kesejukan yang menyentuh.
“Apa yang kamu lakukan?”
Upasara mengikuti arah pikirannya. Melambung, lepas, seperti berada dalam lamunan. Jalan pikirannya bisa digerakkan ke mana ia mengerahkan. Tangan dan tubuhnya menjadi sangat ringan. Belum sepenanak nasi, Upasara merasa tubuhnya menjadi segar bugar. Dadanya longgar.
“Kukira kamu Bejujag…”
Terdengar suara halus. Eyang Wiraraja menggeleng. Karena seperti melihat seorang wanita, akan tetapi pada saat betul-betul diperhatikan bayangan itu lenyap. Samar.
Upasara kembali duduk. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Tangan kanannya tergeletak di paha, sementara tangan kirinya terangkat perlahan. Bergerak ke depan.
“Kiranya memang kamu.”
Upasara kali ini benar-benar tersenyum.
“Kiranya benar-benar kamu, Bejujag…”
“Hamba yang rendah bernama Upasara Wulung. Sama sekali bukan bayangan, dan bukan apa-apa dibandingkan dengan Eyang Sepuh. Memang bagian pernapasan ini diajarkan oleh Eyang Sepuh dalam Tumbal Bantala Parwa, akan tetapi hamba tak becus mempelajari. Mohon petunjuk Eyang Putri…”
Karena tidak mengenal siapa tokoh yang dihadapi, Upasara menyebut dengan panggilan Eyang Putri. Suatu tanda memberi hormat yang dalam. Karena Upasara yakin hanya tokoh yang mengenal Eyang Sepuh secara pribadi yang berani memanggil dengan sebutan Bejujag.
“Saya yang menjadikan ilmu itu sempurna. Saya tahu kamu Upasara Wulung atau celeng nggoteng yang lain. Tetapi kamu sesungguhnya Bejujag. Bejujag menjadi ada ketika ia tiada. Pantas ia terus moksa, karena telah menemukan kamu. Bejujag, sungguh beruntung nasibmu dari kita semua.”
Eyang Putri yang tiada lain Putri Pulangsih memandang tajam ke arah Upasara.
“Kepasrahanmu sungguh luar biasa, anak muda. Penderitaan batin apa yang membuat kamu begitu rumangsuk, begitu meresapi?”
Dua kalimat yang membuat Upasara bergidik karenanya. Pertama, meskipun ia disebut sebagai celeng atau babi hutan dan bukan banteng, tapi sangat jelas dikatakan sebagai pewaris ilmu Eyang Sepuh. Memang Upasara sendiri merasakan mukjizat. Beberapa kali berusaha melawan, berusaha pasrah—menyerah, akan tetapi gagal mengusir hawa dingin. Akan tetapi kemudian, tenaga itu terkuasai sepenuhnya dan bisa diatasi. Kedua, karena dengan tepat bisa menebak apa yang dialami Upasara. Apa yang dialami batinnya. Apa yang dirinya sendiri tak berani menatap apalagi mengungkapkan. Akan tetapi sekali ini Upasara tak bisa menyembunyikan. Perasaannya tergetar dan luluh.
“Hanya penderitaan yang membahagiakan yang memungkinkan latihan pernapasan seperti itu. Seperti juga Bejujag, yang secara wadak menolakku akan tetapi secara batin menerima. Ia ada saat tak ada.”
Eyang Wiraraja menggelengkan kepalanya. “Kamu bicara dengan putraku Lawe? Di mana dia?”
“Rasanya aku pernah mendengar suara yang gagah ini. Siapa kamu, kakek tua?”
Upasara menyembah hormat dan menceritakan siapa Aria Wiraraja.
“Ooo, yang pernah sakit hati ketika ikut tersingkir oleh Sri Baginda Raja?”
“Siapa itu?”
“Ah, kamu tak mengenal. Kamu tak mengenal bagaimana menerima secara ikhlas, tanpa ganjalan, tanpa sakit hati, bagaimana pasrah dan berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Upasara, kalau kamu sudah menjadi lelananging jagat, kenapa tidak kamu coba untuk kalahkan aku? Lima puluh tahun tak menjajal, rasanya masih kaku sedikit. Tapi tak apa. Majulah, Upasara!”
“Bagaimana mungkin hamba berani berbuat lancang?”
“Ooo, kenapa kamu tak seperti Bejujag yang sombong itu?”
“Siapa Bejujag?”
Suara Eyang Wiraraja tak terjawab. Karena kini Upasara tak bisa menjawab. Tak tahu harus berbuat apa.
Pernapasan Tujuh Padma
EYANG WIRARAJA menoleh kiri-kanan. “Apakah kamu ditantang seseorang, Upasara?”
Upasara mengangguk pelan.
“Dan kamu takut?”
Upasara terdiam.
“Kalau putraku Lawe masih hidup, sebelum tantangan itu diucapkan, mulut penantangnya telah terkancing tanpa bisa dibuka selamanya.”
“Saya tak seperti Senopati Lawe.”
“Tapi kamu lelaki. Putraku juga lelaki. Aku sendiri juga lelaki.”
Upasara menggeleng. Memandang hormat ke arah bayangan Putri Pulangsih.
“Murid Bejujag satu ini benar-benar cubluk. Tolol dan dungu. Pantas saja dipilih sebagai pewaris ilmunya. Aku tak perlu sakit hati. Untuk apa menyesali lelaki yang punya purus.”
Tajam dan panas kalimat Putri Pulangsih. Eyang Wiraraja langsung berdiri. Mengurut jenggotnya yang putih dengan tangan gemetar. Ini penghinaan yang menyakitkan. Purus bisa berarti umbi, bisa berarti dasar tiang. Tapi bisa juga berarti umbi atau dasar kelelakian. Mengatakan lelaki tak mempunyai purus berarti lelaki tanpa kelelakian. Rasanya tak pernah ada cacian yang begitu merendahkan seperti ini. Makanya walaupun sudah tua, berdiri juga kedua kakinya.
Bagi Upasara ucapan itu pun membuat daun telinganya panas dan merah. Tapi secepat itu pula kesadarannya timbul. Karena purus bukan hanya diartikan seperti itu. Kata purus terdapat dalam Kitab Bumi dalam olah napas. Dalam latihan pernapasan ada tujuh tempat menahan napas. Salah satunya yang disebut adistara, yaitu memusatkan napas di antara perut dan purus. Upasara menyetdot udara membusung, menempatkan udara ke dalam tataran adisastra.
“Rupanya kamu berani menerima tantangan? Tidak sejelek yang kuduga. Entah sampai mana cakram yang kamu miliki.”
Upasara merasa menjawab dengan tepat. Ketika Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan tantangan, Upasara ragu. Mana mungkin dirinya bertarung dengan tokoh tua yang bisa memanggil Eyang Sepuh dengan sebutan seenaknya. Tak mungkin. Tak mungkin berani. Tak mungkin berani kurang ajar.
Ini yang membedakannya dengan Eyang Wiraraja. Yang menjadi panas hatinya. Sementara Upasara justru menangkap secara lain. Dan menjawabnya dengan tarikan napas, sesuai dengan tantangan yang diterima. Tarikan napas berikutnya, udara naik ke pusar, yang disebut manipura, dan beralih ke dalam hati, anahata.
Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara di hidung. Ternyata dalam jarak yang cukup jauh, bisa mengamati apa yang dilakukan Upasara. Meskipun yang dilakukan itu adalah cara bernapas. Yang sama sekali tak terlihat sedikit pun dari gerakan tangan, atau bahkan gerakan otot perut.
Sewaktu telinganya mendengar cakram, Upasara sudah mengetahui bahwa ia diuji seberapa jauh bisa memutar, bisa men-cakram, cara pernapasan. Itulah sebabnya ia terus melanjutkan dengan wisudi, di mana udara tertahan di tenggorokan, disusul dengan ayana, di antara kedua alis, dan selanjutnya dengan cara sahasraya di dalam hening pikiran otak.
Upasara menahan beberapa lama, sebelum meluncurkan ke bawah, sedikit di atas dubur dengan pernapasan yang disebut adara, yang sebenarnya merupakan permulaan. Tujuh tempat untuk mencari kekuatan pernapasan, juga disebut tujuh padma, yang bisa berarti darah, roh atau juga rasa. Kekuatan yang menjadi latihan utama yang dianjurkan dalam Bantala Parwa. Sesungguhnya, inilah keistimewaan Kitab Bumi.
Yaitu memberi peluang besar untuk menafsirkan, untuk memainkan, dengan memutar, dengan gerakan cakram, arah-arah sumber tenaga. Sehingga setiap saat tenaga bisa dikerahkan dari tujuh tempat yang berbeda. Seperti yang dilakukan Upasara sekarang ini.
Yang lebih istimewa lagi, beberapa pengertian yang terkandung dalam setiap kata. Seperti padma yang bisa menjadi darah, sehingga seolah-olah darah mengalir ke tempat yang disebutkan tadi. Tapi bisa juga berarti pengerahan tenaga. Sebaliknya juga bisa berarti pengerahan atau pemusatan rasa. Perasaan yang dituntun ke arah tujuh tempat. Ini yang luar biasa. Pengertian tenaga dalam, tenaga luar, juga bisa berarti perasaan.
Pengertian yang terakhir ini pula yang digunakan Eyang Putri Pulangsih untuk mengetahui apakah yang dilakukan Upasara betul atau salah. Pertarungan rasa. Yang tidak tertangkap sedikit pun oleh Eyang Wiraraja. Yang merasa aneh melihat Upasara takut menghadapi tantangan dari orang yang tak diketahui. Malah bersila dan berdiam diri. Kelihatannya saja sederhana.
Akan tetapi sesungguhnya Upasara sedang memusatkan pikiran sepenuhnya untuk memutar perputaran udara, melatih pernapasan sesuai dengan rasa yang terwujud dalam udara. Karena sedikit saja meleset, atau tak bisa dikuasai, angin yang sama bisa terputus seketika. Kalau ini terjadi, pernapasan Upasara akan kacau-balau. Tenaga dalamnya akan bertabrakan dengan sendirinya. Pernapasan Tujuh Padma tak bisa berhenti atau menjadi tidak teratur. Inti perputaran atau cakram ini yang tadi diucapkan Eyang Putri Pulangsih sebagai dasar untuk menguji.
“Kang wasesa winisesa wus.”
Suara lirih kembali terdengar. Upasara makin memusatkan perhatiannya. Apa yang diucapkan Eyang Putri Pulangsih adalah pengertian “apa yang terjadi dalam tubuh tergantung pada angin di luar”. Atau menyandarkan pada hubungan dunia kecil, dunia batin, dunia rasa di dalam tubuh dengan dunia di luar. Upasara mengosongkan pikirannya, dan membiarkan udara di luar leluasa, merasuk, mengaduk dalam tubuhnya. Ke mana arah udara mengalir dan berhenti, di adistara, manipura, sahasraya diikuti dengan tenang.
“Dengan cara apa kamu mempelajari Kitab Bumi?”
Pertanyaan itu seperti menggema dalam hati. Karena Upasara tidak mendengar lewat telinga. Seperti juga Eyang Wiraraja yang tidak mendengar apa-apa.
“Dengan rasa.” Jawaban Upasara juga diucapkan dalam hati, dengan rasa.
“Siapa gurumu?”
“Eyang Sepuh.”
“Siapa gurumu?”
“Siapa saja.”
“Apa yang kamu cari?”
“Tidak mencari apa-apa.”
“Dusta. Kamu dusta. Kamu mencariku.”
“Tidak. Bukan.”
“Iya. Kamu mencariku, Kakang.”
Dada Upasara sedikit terguncang. Karena suara yang masuk menyelinap dalam relung hatinya bukan lagi suara Eyang Putri Pulangsih, melainkan suara Gayatri. Baik nadanya, tekukan suaranya. Gambaran yang jelas, seakan berbisik dalam denyut nadi.
“Kenapa kamu menahan diri, Bejujag?”
“Aku tidak menahan diri.” “Kenapa kamu tak datang?”
“Aku menunggu.”
“Aku sudah datang, kamu masih menunggu.”
“Aku sudah menunggu, kamu belum datang.”
“Kita datang bersama, Kakang…”
“Jalan bersama, Yayi…”
“Kakang…”
“Yayi…”
Upasara kadang masih merasa dirinya dipanggil Bejujag, kadang dipanggil sebagai Kakang. Akan tetapi secara perlahan, kemudian menyatu, tak bisa terpisahkan lagi. Juga tak bisa membedakan apakah yang mengajak bicara tanpa suara itu Eyang Putri Pulangsih atau Gayatri. Keduanya menyatu. Tak terpisahkan.
“Kakang…”
“Yayi…”
Panggilan Asmara
TUBUH UPASARA terasa ringan. Dengan satu sentakan napas, kedua tangannya tertarik ke atas. Perlahan tangan kiri mendorong ke depan, sementara tangan kanan lunglai di dekat lutut. Terdengar helaan napas dalam. Helaan napas Eyang Putri Pulangsih. Seperti nada penyesalan dan kebanggaan. Seperti melepaskan suatu perasaan tertentu. Yang tak bisa ditebak dengan pasti oleh Upasara setelah dirinya sadar.
“Upasara, kenapa kamu membuat nasib Bejujag begitu baik? Kenapa kamu tidak menjadi muridku saja? Dewa mana yang pilih kasih? Ketahuilah, Upasara, Bejujag ku adalah Eyang Sepuh mu. Lewat dirimu, aku bisa menemuinya, tanpa menghancurkan dirimu. Tanpa merusak, tanpa kau hambat. Bukankah itu pertanda Dewa pilih kasih? Raganata mempunyai banyak kelebihan, mempunyai ratusan murid. Tapi tak mampu apa-apa. Aku tak bisa menemui. Dodot Bintulu katanya punya murid turunan yang tangguh, tapi serba gelap. Tak bisa ku tengok. Berune masih tersisa. Akan tetapi dengan menyiksa orang lain. Merusak raga yang masih bisa hidup. Bejujag, aku tahu di mana dan siapa kamu sebenarnya. Aku mengaku kalah. Kamu sudah bisa moksa dengan sempurna, selamanya. Aku masih gentayangan. Masih keluyuran tak menentu. Tapi aku bahagia. Bahagia sekali. Bukankah sebaiknya Upasara juga merasakan bahagia? Bahagia sebelum dan sesudah moksa. Ayolah, Upasara! Kita berangkat ke Keraton. Ambil Gayatri-mu. Jangan pedulikan apa saja. Tidak semua kata-kata Eyang Putri Pulangsih bisa ditangkap dan dimengerti secara sempurna. Akan tetapi Upasara menyembah dan segera berdiri. Kamu ksatria. Kamu lelaki. Bukan merenungi kekalahan. Pasrah bukanlah membiarkan penderitaan.”
Upasara mengangguk. Menoleh ke arah Eyang Wiraraja.
“Maaf, Eyang, saya ingin melanjutkan perjalanan…”
“Aku juga akan ke Keraton.”
“Mari kita jalan bersama, Eyang.”
“Tidak. Aku berjalan sebagai lelaki. Berani berjalan mendongak ke atas pada sinar rembulan.”
Upasara menyembah hormat, lalu berjalan cepat. Mendampingi bayangan Eyang Putri Pulangsih.
“Apakah kamu akan mundur lagi setelah bertemu Gayatri?”
“Hamba tak berani menatap Permaisuri…”
“Tak ada permaisuri. Asmara tak mengenal permaisuri atau bukan dalam tarikan daya asmara. Dengarkan panggilan hatimu. Ketuk semua pintu. Upasara, kamu bisa mendengarkan apa yang kualami dulu. Mendengar panggilan asmara, seperti juga Bejujag meneriakkannya. Akan tetapi kami sama-sama tak tahu harus berbuat bagaimana. Kami sama-sama keras kepala. Kami sama-sama memperhitungkan kebahagiaan pasangan yang ternyata buntung. Kalau sejak awal Bejujag, dan juga aku, lebih terus terang, rasanya tak ada pertengkaran dengan Raganata, Bintulu, dan Berune, atau yang lainnya. Kalau kami tidak sama-sama keras kepala. Sok tinggi hati. Seperti sekarang ini.bApakah tanpa itu Bejujag tak bisa menyempurnakan Tumbal Bantala Parwa? Mungkin, mungkin sekali. Tapi mungkin juga ada kitab lain. Kitab bahagia. Kitab yang tidak menjadi tumbal. Kamu tahu itu semua, Upasara?”
Dengan mengerahkan tenaganya Upasara mencoba mengimbangi kecepatan tubuh Eyang Putri Pulangsih yang seperti melayang. Beriringan dengan kecepatan angin berpindah.
“Aku bercerita banyak. Karena barangkali saja ini kesempatan terakhirku. Mempertemukan dua hati yang tergetar panggilan asmara. Aku ingin meninggalkan jagat ini dengan bahagia. Aku telah menunggu lima puluh tahun. Lebih dari yang lainnya, aku bisa bertahan. Sampai sekarang. Sehingga aku mempunyai waktu untuk mempertimbangkan kembali. Kitab dan kitab yang selalu ditulis dengan keyakinan, akan ditulis kembali. Barangkali itu sebabnya aku tak bisa moksa dengan baik, dengan rela. Karena masih ada yang ingin kulakukan. Mempertemukan asmaramu. Kamu tahu semua ini, Upasara?”
“Kenapa hamba yang dipilih? Rasanya begitu banyak yang mendengar panggilan asmara…”
“Karena kamu berbeda dari yang lainnya. Karena kamu Bejujag yang sesungguhnya.”
“Eyang, apa sesungguhnya daya asmara itu? Apakah harus didengar panggilannya? Apakah tidak lebih wigati mendengarkan panggilan daya yang lain?”
Gerakan tubuh Eyang Putri Pulangsih menurun. Tidak secepat sebelumnya. “Manusia harus selalu menjadi manusia.
“Lelaki harus menjadi lelaki. Apakah ia lelananging jagat atau tidak, sama saja. Hanya lebih berarti, menjadi sempurna, setelah berdua. Karena Dewa menitahkan begitu. Ada langit ada bumi, ada tanah ada air, ada rembulan ada matahari… Sri Baginda Raja Kertanegara bisa menyatukan itu.”
“Kalau benar begitu, untuk apa kita ke Keraton? Hamba bisa menemukan air yang lain.”
“Jangan kau ingkari suara hatimu. Jangan kau butakan matamu. Jangan kau tulikan telingamu. Rasa tidak bisa mati. Tak bisa dibunuh. Selama kamu tak berani menemukan jawaban, kamu akan selalu terombang-ambing. Kamu tak mempunyai kekuatan. Seperti aku, seperti Berune, seperti Raganata. Lima puluh tahun mencari-cari, dan terus-menerus gelisah. Dan menyerah. Seperti membiarkan dirimu terbaring diserang udara dingin. Kamu tak menemukan pegangan. Tak menemukan akar kekuatan. Kamu mengemohi, menolak Gayatri, menolak panggilan asmara yang sesungguhnya.”
“Apakah hamba akan menemukan?”
“Bagaimana bisa kamu jawab kalau kamu tak berani mencari?”
“Apakah Eyang Sepuh…”
“Bejujag itu orang yang beruntung. Nasib tak bisa ditiru. Itu sebabnya aku berkata, Dewa pun pilih kasih. Barangkali saja itulah keadilan Dewa, Upasara.”
“Kalau…”
“Kamu sudah memegang gelar lelananging jagat. Akan tetapi lebih ringkih, lebih lemah dari bayi. Apa kamu berhasil atau tidak, bukan urusanku. Juga bukan urusanmu. Tapi coba datangi. Rebut. Menangkan. Sehingga pasrah yang kau rasa, adalah pasrah yang sesungguhnya.”
“Hamba kira…”
“Sebagai Eyang Putri-mu, hari ini kamu antarkan aku. Mengantarkan ke gerbang di mana aku bisa pergi dengan ikhlas, dengan rela. Kalau tidak, aku masih akan terus penasaran hingga lima puluh tahun yang akan datang.”
Upasara mengangguk. Mantap.
“Itulah jiwamu yang kerdil. Yang kekanak-kanakan. Itulah Bejujag.”
Baru sekarang ini Upasara merasa dijungkirbalikkan. Satu saat merasa pasti, menjadi ragu, dan setelah diyakinkan, digoyahkan kembali. Kalau sekarang Upasara menyertai Eyang Putri Pulangsih ke Keraton, karena lebih terdorong niat agar keinginan terakhir Eyang Putri Pulangsih terkabul. Akan tetapi justru itu yang direncanakan Eyang Putri Pulangsih. Yang dipakai sebagai cara untuk membujuk Upasara. Dan itu yang dikatakan.
“Entah kenapa begitu banyak persamaan kedunguan antara kamu dan Bejujag. Darah apa yang bisa sama seperti ini? Upasara, benarkah kamu bukan anak kandung Bejujag?”
Upasara merasa disambar geledek. Tak pernah terduga akan ada pertanyaan semacam ini. Pertanyaan yang membanting kakinya ke tanah kenyataan.
Kidungan Kenyung
UPASARA menjadi peka jika asal-usulnya diusik. Terutama jika yang mengusik seseorang yang dianggap terhormat. Seperti pertanyaan Eyang Putri Pulangsih yang langsung menyodok ulu hatinya. Apakah dirinya masih keturunan langsung Eyang Sepuh?
Pertanyaan itu mengusik, justru karena dirinya tak bisa menjawab dengan pasti, apakah dengan anggukan atau gelengan. Dua-duanya tak memiliki dasar. Upasara tak pernah mengenal dirinya. Sepanjang ia ingat, ia sudah dididik sebagai Ksatria Pingitan. Sepanjang dua puluh tahun, ia tak mengenal dunia luar. Selalu berada dalam ksatrian. Satu-satunya yang dikenal sebagai ayah angkatnya adalah Ngabehi Pandu. Tokoh yang menciptakan ilmu silat mligi, atau khusus baginya. Yang dikenal dengan nama Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Gerakan-gerakan ini disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuannya ketika itu.
Sepanjang yang bisa diingat, Upasara mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat kepada Ngabehi Pandu. Yang bukan hanya mendidiknya dalam kanuragan, akan tetapi juga mengenai kehidupan. Setelah bergaul dengan dunia di luar Keraton, Upasara lebih sadar mengenai asal-usul seseorang. Ia sendiri yang merasa tak memiliki untuk diceritakan. Suatu ketika Upasara pernah menanyakan hal ini.
Akan tetapi Ngabehi Pandu hanya menjawab dengan gelengan, dan kemudian mengalihkan ke pembicaraan yang lain. Dalam hati Upasara timbul pertanyaan yang mengganjal. Akan tetapi tak pernah menjadikan persoalan benar. Hatinya merasa bahagia jika dirinya boleh mengaku anak kepada Ngabehi Pandu. Rasanya semua persoalan telah selesai sampai di situ.
Sampai kemudian Upasara mengalami jalan hidup yang menentukan. Sewaktu bersama Gayatri, saat itu tumbuh daya asmara. Apalagi Gayatri justru memberi semangat dan mengisyaratkan kesediaan mendampingi Upasara. Seribu rembulan bersinar bersama. Dan serentak padam tenggelam oleh awan. Selamanya. Hanya karena ramalan para pendeta, bahwa Gayatri harus diperistri oleh keturunan raja, karena dari rahimnya akan lahir raja yang tiada taranya, yang akan menguasai jagat. Saat itulah Upasara merasa dirinya tidak berarti apa-apa.
Sejak saat itu kepekaan asal-usulnya menjadi tinggi. Kalau saja ia mempunyai darah raja! Persoalan yang sangat mengganjal ialah bahwa bukan tidak mungkin dirinya mempunyai darah raja. Bukan tidak mungkin! Karena Ksatria Pingitan memang hanya diperuntukkan keluarga raja. Yaitu dialiri darah raja, walau tidak dari permaisuri resmi. Bukan tidak mungkin dari sekian banyak yang masuk dan dididik dalam Ksatria Pingitan adalah putra-putra peteng, putra-putra tidak resmi Baginda Raja Sri Kertanegara. Kalau benar begitu, dirinya masih memiliki darah raja. Keturunan langsung!
Namun sayangnya, tak ada yang memberi kepastian siapa sesungguhnya orangtua nya. Siapa sebenarnya yang mempunyai anak lelaki untuk dididik di ksatrian? Kebimbangan yang dikubur perlahan-lahan. Walaupun sesekali muncul kembali. Karena makin direnungkan, makin tidak mungkin keluarga yang agak jauh bisa dididik di Ksatria Pingitan. Anak keturunan senopati pun tak bakal dizinkan masuk mengikuti. Kebimbangan yang memunculkan berbagai gagasan.
Upasara merasakan sendiri keanehan sewaktu menghadapi pasukan Tartar. Saat itu, Eyang Sepuh hanya membisikkan sesuatu kepada dirinya dan kepada Gayatri. Tidak kepada yang lain. Juga tidak kepada Jaghana. Padahal jelas Paman Jaghana merupakan pewaris dan murid Perguruan Awan yang paling setia. Yang lebih tak bisa dipercaya lagi ialah ketika Upasara menuju ke Perguruan Awan, dan akhirnya dipilih sebagai ketua Perguruan Awan, yang menurut kepercayaan Paman Jaghana dan Paman Wilanda karena bisikan dan penunjukan Eyang Sepuh.
Upasara mulai guncang. Justru karena asal-usulnya tidak jelas, siapa saja yang ditunjukkan seakan mempunyai kemungkinan besar. Seperti yang dikatakan oleh Eyang Putri Pulangsih. “Apa anehnya kalau kamu keturunan langsung Bejujag?
“Apa bedanya dengan Sri Baginda Raja yang sama-sama lelaki dan suka mengumbar daya asmara?”
JILID 01 | BUKU PERTAMA | JILID 03 |
---|