Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS 11 - JILID 03
“Bagaimana Eyang Putri bisa menduga begitu?” Suara Upasara tergetar, terpengaruh perasaannya yang bisa ditebak dengan jitu.
“Persamaanmu terlalu banyak. Terutama dalam ketakutan menghadapi panggilan asmara.”
Upasara menggeleng sedih. “Hamba tak berani membayangkan itu…”
“Juga tak perlu. Suatu waktu mungkin kamu akan mengetahui. Upasara, kalaupun kamu anak keturunan Bejujag, bagiku tak ada persoalan. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa… Mungkin karena aku sedang memikirkan Bejujag, lalu terlintas dan membersit saja. “Lupakan saja, Upasara.”
Tapi Upasara tak bisa melupakan. Gerakan kakinya tak bisa mengimbangi kegesitan Eyang Putri Pulangsih.
“Kamu akan mengerti juga nanti. Bahwa Bejujag tidak mau menerimaku karena keangkuhannya. Karena kekerasan kepalanya tiada bandingannya. Bejujag selalu merasa dirinya lelaki yang tak bisa dikalahkan hatinya. Kepongahannya hanya bisa ditandingi oleh Sri Baginda Raja. Hmmm… Dua-duanya memang lelaki sejati. Tak pernah mau mengalah satu sama lainnya. Ketika Bejujag bisa menyelesaikan Tumbal Bantala Parwa, Sri Baginda Raja tidak mau menerima. Karena jurus-jurus Tumbal adalah jurus-jurus Bantala Parwa. Maka sebagai penyelesaiannya, Tumbal Bantala Parwa termasuk dalam Bantala Parwa. Sehingga dengan demikian bukan Bejujag yang berhasil mengungguli Sri Baginda Raja, melainkan sebaliknya. Kami semua memang memikirkan cara-cara untuk meredam Kitab Bumi. Kami semua menciptakan dengan susah payah. Bejujag yang diakui secara jantan oleh Sri Baginda Raja, tapi sekaligus juga dikalahkan. Dalam kemelut yang luar biasa, Bejujag tak mau menerima perlakuan itu. Ia mengundurkan diri dan makin tak mau bertemu dengan siapa saja. Ia bertapa di Perguruan Awan. Untuk kemudian menciptakan kidungan, yang rasanya kidungan terbaik yang pernah diciptakan. Yaitu Kidung Paminggir. Secara terang-terangan Bejujag mengatakan bahwa yang kelak kemudian hari akan membuat Keraton bersinar jaya menaungi seluruh tanah Jawa dan jagat seisinya adalah orang-orang paminggir. Orang-orang pinggiran yang selama ini tak diperhitungkan. Gampangnya bukan anak-cucu raja. Di sinilah puncak kemurkaan Sri Baginda Raja tak bisa ditunda. Secara resmi Sri Baginda Raja menyatakan Kidung Paminggir adalah kitab yang tidak boleh dibaca, ditembangkan, atau dituliskan. Sebagai gantinya Sri Baginda Raja menuliskan Kidungan Para Raja, yang menurut Raganata ditulis oleh tangan Sri Baginda Raja sendiri. Meskipun itu kidungan khusus untuk raja yang akan memegang mahkota, akan tetapi aku sempat membacanya. Juga Bejujag dan Raganata. Kamu pernah mendengar?”
Upasara menggeleng.
“Bejujag pasti menganggap tak ada nilainya. Maka tak diajarkan. Atau menganggap tak ada gunanya. Karena intinya kurang-lebih sama. Dua-duanya tak mau mengalah. Hanya karena seorang kenyung yang tak berarti.”
Di akhir kalimat, nada suaranya menggantung. Sengaja dibiarkan mengambang.
Upasara mengerti bahwa kenyung adalah sebutan untuk monyet betina. Agak ganjil juga. Seorang raja yang sakti mandraguna berselisih dengan seorang tokoh persilatan yang mumpuni gara-gara monyet betina.
“Akulah kenyung itu. Akulah yang disebut sebagai kenyung oleh Sri Baginda Raja. Dan agaknya ini yang membuat Bejujag tak mau mengerti bahwa hubunganku dengan Sri Baginda Raja tak ada apa-apanya. Ini pula sebabnya mereka menyebutku sebagai Pulangsih. Sebutan yang maksudnya untuk merendahkan derajat ke tingkat yang paling hina. Wanita sebagai tempat hubungan asmara badani belaka.”
Kenyung Sampiran
SUNYI sesaat. Tak ada helaan napas berat. Tapi justru Upasara merasa dadanya pepat. Untuk pertama kalinya ia mendengar cerita langsung dari yang mengalami mengenai masa-masa yang tak pernah dikenalnya. Sekelebat terbayang betapa sesungguhnya terjadi perebutan pengaruh yang besar di antara para ksatria sezaman.
Akan tetapi yang lebih membuat Upasara kagum luar biasa adalah kenyataan Sri Baginda Raja mempunyai jiwa luas bagai laut. Pada saat perbedaan kawruh dengan rakyatnya, Sri Baginda Raja bisa mengedipkan sebelah mata untuk melenyapkan siapa pun yang dianggap mengganjal atau mengganggu kewibawaannya. Nyatanya hal itu tidak dilakukan. Bahkan sebaliknya. Dalam batas-batas tertentu, malah dibiarkan berkembang.
“Apa yang kamu pikirkan, Upasara?”
“Eyang Putri lebih mengetahui…”
“Sri Baginda Raja memang raja segala raja, raja segala Dewa. Sejak tiupan napas kita yang pertama, yang terasakan benar ialah keharuman, kebesaran. Sri Baginda Raja adalah raja yang anjakrawati, maharaja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Terbayangkah olehmu hal itu, Upasara? Terpikirkah olehmu bahwa saat itu aku ini hanyalah gadis remaja yang ingin belajar ilmu silat? Pada saat aku sudah tumbuh remaja, saat itulah Raja Maha diraja tampil dengan gagah. Rasanya kalau bisa membasuh bekas bayangan tubuh Sri Baginda Raja, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Rupanya inilah yang tidak disukai Bejujag. Ia menilai diriku tak berbeda dari wanita yang lain di jagat ini. Saat itu dan sekarang ini juga, aku mengakui bahwa kata-katanya benar. Tak ada bedanya. Tak perlu ada. Kami semua kaum wanita bersedia nyuwita, mengabdi, kepada Sri Baginda Raja. Meskipun ini hanya kata-kata, agaknya ini melukai perasaan Bejujag yang paling dalam. Sehingga ia memutuskan tak mau lagi menemui aku, melihat bayanganku. Kami hanya berhubungan kala Bejujag memberikan tulisan Kitab Bumi yang disampaikan oleh Raganata. Begitu juga aku sebaliknya. Ketika aku menciptakan Kitab Air, Bejujag masih dendam. Ia mencoret kidungan di situ, dan mengatakan apa yang ditulis hanyalah Kidungan Kenyung Sampiran. Bejujag terlalu angkuh. Angkuh untuk menyakiti hatinya sendiri. Itu yang membuatku penasaran.”
Meskipun tak bisa mengetahui dengan tepat, akan tetapi Upasara bisa memperkirakan. Bahwa Eyang Sepuh saat itu paling tidak mau mengakui keberadaan Eyang Putri, dan memakai sebutan kenyung. Tambahan kata sampiran, barangkali saja...
“Apakah Eyang mempergunakan selendang untuk memainkan lebih sempurna? Selendang sebagai pengganti senjata?”
Mendadak Putri Pulangsih tersenyum lebar. Tubuhnya berputar. Tangannya terentang seperti anak kecil.
“Upasara, jangan-jangan kamu ini Bejujag yang sesungguhnya!” Tawa itu melebar. Baru kemudian mereda. “Sama sekali tidak. Aku menciptakan begitu saja. Menciptakan Kitab Air untuk menandingi Kitab Bumi, atau kitab lain yang akan dijadikan panutan di Keraton. Ceritanya lucu. Saat Raganata membawa kembali Kitab Air, ia mengatakan bahwa Bejujag menganggap tidak berarti apa-apa. Ini cuma sampir. Aku tadinya merasa panas, karena kukira Bejujag mau mengatakan bahwa ilmu silat yang kuciptakan hanya gerakan bahu. Artinya baru terhenti pada menggerakkan bahu. Ini namanya penghinaan. Dan memang Bejujag bermaksud menghinaku. Namun sesungguhnya di balik itu, aku bisa menangkap maksudnya yang baik. Bejujag memberitahu bahwa gerakan-gerakan yang kuciptakan akan menemukan bentuk yang sesungguhnya dengan sampiran. Seperti dalam wayang, sampir mempunyai arti selendang yang tersandang di bahu.”
“Maaf, Eyang Putri, kalau begitu…”
“Kamu diam saja. Aku sudah lima puluh tahun tidak bicara seperti sekarang ini.”
Upasara terdiam. Putri Pulangsih juga terdiam.
“Apa yang kamu tanyakan?”
“Apakah Eyang Putri yang kemudian menciptakan gerakan dengan selendang?”
“Tidak. Aku bukan jago silat yang total. Aku tak di bawah Bejujag atau Raganata atau Berune atau Dodot Bintulu. Kamu juga salah sangka dan meremehkanku. Kamu sama piciknya dengan Bejujag!”
Upasara tak menyangka akan diberondong dengan tuduhan yang menyakitkan. Meskipun dalam hatinya juga merasa betapa Eyang Putri Pulangsih lebih sakit hati.
“Kalau aku mengikuti saran Bejujag, berarti ia lebih pintar dariku. Tak mungkin! Itu yang kukatakan kepada Raganata. Tahu apa yang dikatakan Raganata? Aku masih ingat. Ia mengatakan bahwa Bejujag benar sekali. Pendapat Raganata sejalan dengan Bejujag. Aku bersikeras tidak. Raganata meminta izinku, apakah boleh menjajal Kitab Air dengan mempergunakan selendang. Aku katakan boleh saja, tapi jangan sebutkan bahwa Kitab Air sebagai sumbernya. Upasara… padamu aku berterus terang. Mungkin juga Bejujag benar. Tapi aku tak mau mengakui itu. Karena ternyata apa yang dikatakan Raganata ada benarnya. Inti tenaga air, untuk menemukan bentuknya lebih tepat dengan selendang sebagai senjata. Sebagai latihan pernapasan dan mengerahkan tenaga dalam tak menjadi masalah, akan tetapi dalam suatu pertempuran, sibakan selendang bagai gelombang laut, bagai aliran sungai, bagai tetesan hujan, sangat tepat dengan jiwa dasar Kitab Air. Tapi karena memegang janji, Raganata tidak mengatakan apa-apa kepada muridnya. Tidak mengatakan nama ilmu silat. Bahkan mengajarnya pun secara sembunyi-sembunyi.”
Upasara menepuk jidatnya. Cukup keras. Sehingga Eyang Putri Pulangsih seakan menggerakkan alis-nya.
“Kamu menertawakan aku?”
Buru-buru Upasara menggeleng dan menyembah. Kemudian berusaha menceritakan dengan ringkas. Bahwa selama ini ia mengenal seorang tokoh wanita sakti yang biasa mempergunakan selendang sebagai senjata dalam memainkan ilmu silatnya. Tokoh sakti itu bernama Jagaddhita, dan ia tak mengerti bahwa sesungguhnya guru yang mengajarinya adalah Mpu Raganata! Upasara juga tak pernah mengetahui sebelum ini. Karena tadinya hanya mengira bahwa Mpu Raganata sengaja melarikan gadis-gadis yang akan nyuwita kepada Baginda Raja.
“Itu ada benarnya. Raganata memang tak menginginkan semua gadis menjadi nyamikan, makanan kecil, Sri Baginda Raja.”
Upasara juga menceritakan bahwa ia pernah bertemu dan pernah terkurung bersama dengan Jagaddhita, yang kini telah tiada. Namun masih ada salah seorang muridnya, yang biasanya dipanggil dengan nama Gendhuk Tri.
"Aku sudah melihat sendiri. Ia dengan kekasihnya.”
Untuk kedua kalinya, Upasara menepuk jidatnya. Ada perasaan yang bergolak, sehingga ia memalingkan wajahnya karena sungkan. Adalah sesuatu yang luar biasa jika Gendhuk Tri mempunyai kekasih. Sekurangnya dalam bayangannya. Bukan semata karena ia selalu menganggapnya sebagai gadis kecil. Akan tetapi, Gendhuk Tri menempati sudut yang istimewa dalam hati Upasara. Dengan segala kenakalan, kegenitan, dan kemanjaan!
Selama ini Upasara lebih lama dan lebih sering bersama dengan Gendhuk Tri. Jauh lebih mengenal siapa Gendhuk Tri, dibandingkan dengan Gayatri sendiri. Atau bahkan Ratu Ayu Azeri Baijani yang resminya adalah istrinya. Gendhuk Tri telah mempunyai kekasih? Siapa gerangan lelaki yang begitu bahagia hidupnya? Dan apa yang sesungguhnya terjadi?
“Ia ada di Keraton bersama kekasihnya.”
Kalimat ini lebih membulatkan tekad Upasara Wulung datang ke Keraton. Langkahnya bergegas.
Langkah Ganiti Kundha
UPASARA mengerahkan tenaganya. Kedua kakinya ringan melangkah, tubuhnya serasa melayang, mengikuti gerakan yang berada di sebelahnya. Beberapa kali Upasara secara sengaja menambah kecepatan dan memperkuat totolan ujung kakinya. Akan tetapi bayangan di sebelahnya selalu berada di sampingnya. Tidak berkelebat, tidak menimbulkan desiran angin. Seolah melaju tanpa terhalang apa-apa. Ini yang sedikit-banyak meninggalkan pertanyaan dalam benak Upasara.
Dalam soal mengentengkan tubuh, Upasara tidak merasa dirinya paling jago. Bahkan sejak kecil otot-otot kakinya tidak dilatih secara khusus untuk berlari kencang atau untuk meloncat. Ilmu silat Banteng Ketaton justru berintikan kekuatan kaki untuk menahan diri. Seperti umumnya aliran silat yang berkembang di daerah pedalaman, cara-cara meloncat tidak mendapat perhatian utama. Ini bisa dibandingkan dengan mereka yang belajar dari aliran puncak gunung. Karena keadaan alam memaksa siapa yang mempelajari menjadi bisa berloncatan. Dengan sendirinya ilmu meringankan tubuh boleh dikatakan cemerlang.
Sejauh ini Upasara hanya mengenal seorang yang menguasai ilmu meringankan tubuh secara sempurna. Yaitu Wilanda. Bekas pengawal yang kemudian menyepi di Perguruan Awan ini seolah bisa hinggap di ujung ranting tanpa membuatnya bergoyang. Sama seperti capung. Akan tetapi dalam melakukan perjalanan jauh, Upasara yakin ia bisa mengimbangi. Karena, kini, kemampuan tenaga dalamnya jauh lebih kokoh.
Akan tetapi yang membuat Upasara bertanya-tanya, Eyang Pulangsih ini mampu melesat dengan cepat dan tahan lama. Dua kali sepenanak nasi, tubuhnya masih serba ringan. Sehingga Upasara mengentak kembali, agar bisa mengimbangi. Namun masih tercecer. Terutama kalau melalui gerombolan pohon. Mau tak mau Upasara menghindar sedikit. Hanya karena kemampuannya yang tinggi dan tingkat kewaspadaannya tajam, Upasara bisa melakukan dengan cepat.
Yang tetap mengherankan, Eyang Putri Pulangsih seakan tak perlu berkelit atau mengegos. Tubuhnya, atau bayangan tubuhnya, seperti bisa menerabas, melalui penghalang yang ada. Ini bisa terasakan karena mereka berdua berlari bersama, berdampingan.
“Kenapa kamu, Upasara?”
“Tidak apa-apa, Eyang Putri…”
“Kenapa kamu keluarkan tenaga begitu banyak hanya untuk melangkah?”
Telinga Upasara menjadi panas sejenak. Biar bagaimanapun, Eyang Putri yang tua ini kedengarannya sangat angkuh. Bagaimana mungkin dikatakan melangkah kalau ia mengempos seluruh tenaganya? Bagaimana tidak mengeluarkan tenaga kalau harus secepat ini?
“Kamu salah. Itu kebodohan Bejujag. Bumi itu kaku. Diam. Tak bergerak. Sedangkan air mengalir, bergerak. Air bergerak tanpa mengeluarkan tenaga. Tenaga yang dipergunakan ialah tenaga tinggi dan rendah daerah sekitar. Panas dan dingin daerah sekitar. Berangin dan tidaknya daerah sekitar. Perbedaan tinggi-rendah, panas-dingin, berangin-tidak berangin yang membuat air bergerak.”
Upasara jadi ingat Ratu Ayu Bawah Langit. Ratu negeri Turkana yang perkasa itu juga menguasai apa yang disebut Langkah Jong. Yang menjadi sangat istimewa karena bisa meloncati satu benda yang ada di depannya. Sehingga satu kali mengayun langkah, ibarat kata bisa meloncati apa saja yang ada di depannya. Jauh atau dekat benda di depannya tak menjadi masalah. Dengan cara-cara itu pula, jauh atau dekat bisa menjadi sama. Sehingga pendengarannya mampu menerobos. Demikian pula gerakan tubuhnya.
“Kalau matahari bergerak, ia mengikuti gerakan air. Kalau rembulan bergerak, ia mengikuti gerakan air. Bergerak tanpa mengeluarkan tenaga. Kalau seperti kamu ini, bisa pegal sekali kakimu.”
Meskipun gusar, Upasara tetap merendah nadanya. “Mohon Eyang Putri memberi petunjuk.”
“Mana mungkin? Pelajari sendiri saja. Bejujag juga tak mau mendengarkan apa yang kukatakan. Ia lebih suka mencela apa yang kurang dariku, tanpa mau mempelajari untuk dirinya sendiri. Untuk apa aku memberi petunjuk kalau kamu bisa melihat sendiri? Atau warisan Bejujag demikian dangkal sehingga tak bisa melihat mana yang baik dan mana yang biasa-biasa.”
Upasara mengentakkan kakinya. Tubuhnya melesat kedepan. Ia sengaja meninggalkan jauh, karena tak ingin diboncengi. Dibiarkannya tenaga yang terlepas buyar oleh angin. Benar saja, dengan demikian ia bisa maju sendirian. Akan tetapi belum sampai sepeminum teh, bayangan Eyang Putri Pulangsih sudah mendampingi lagi.
“Sudah kukatakan kalau begini caranya, sebelum sampai ke Keraton kamu sudah minta istirahat. Sebelum ketemu Gayatri kamu sudah loyo. Upasara, lihatlah. Jangan gerakkan kakimu. Jangan menotol tanah. Biarkan ia bergerak seperti air. Inilah langkah Ganiti Kundha. Dengan cara ini kamu tak perlu menghindar dari pohon atau gundukan tanah di depanmu. Tak perlu berkelit. Itu membuang waktu percuma. Dan juga tenaga. Lihat baik-baik, Upasara…”
Darah Upasara mendidih. Tetapi memang tubuh Eyang Putri Pulangsih bisa leluasa menerabas halangan yang ada di depannya. Seolah bayangan tubuh itu bisa melalui sela-sela pepohonan yang rapat. Tanpa ada ujung rambut atau kainnya yang tersobek atau tersenggol. Diam-diam Upasara mengakui kehebatan Eyang Putri Pulangsih. Apalagi gerakan terbang seperti ini dikatakan sebagai langkah Ganiti Kundha. Hanya diartikan sebagai langkah! Bukan loncatan. Ganiti Kundha, atau ganitikundha, arti yang sebenarnya ialah tasbih yang biasa digunakan para pendeta. Apa hubungannya dengan tasbih?
“Pasti kamu bertanya-tanya apa hubungannya dengan tasbih. Kenapa kamu sungkan mengakui? Pasang telinga baik-baik. Supaya Bejujag ikut mendengarkan. Langkah yang kuciptakan ini, intinya mempergunakan tenaga air. Tenaga yang mampu menggerakkan dirinya. Ganiti Kundha ialah tasbih. Terdiri atas berbagai biji-bijian yang disambung dengan tali. Apa yang dilakukan air jika ia melewati tasbih? Ia tak perlu membuat lubang. Karena ia bisa melalui lubang yang ada. Ia tak perlu menenggelamkan tasbih, karena tasbih itu akan tenggelam oleh tenaganya sendiri. Ia juga tak perlu mengeluarkan tenaga untuk mengambangkan, karena tasbih itu akan mengambang dengan sendirinya. Segala sesuatu sudah berjalan, bertenaga dengan kemampuannya sendiri. Jadi tak perlu direpotkan. Tinggal mengarahkan saja. Agar tidak menabrak.”
“Hamba bisa mengerti, Eyang Putri… Oleh Eyang Sepuh ini yang disebut sebagai Manjing Ajur Ajer.”
Eyang Putri Pulangsih menggeleng gemas. “Salah. Salah besar. Bejujag salah dalam hal ini. Ia menggunakan ajian Manjing Ajur Ajer untuk memindahkan seluruh raga. Yang pada tingkat tertentu menjadi moksa. Lenyap-muncul tanpa diketahui. Itu berlebihan. Untuk menuju Keraton, untuk melakukan perjalanan, tak perlu ajian seperti itu. Terlalu angkuh. Tapi itulah. Bejujag itu diterima Dewa. Nasibnya baik. Lebih baik daripada nasib Dewa sendiri. Sehingga apa yang dikatakan, apa yang diciptakan, dianggap puncak ciptaan. Dengan ajian Manjing Ajur Ajer, seolah ilmu lain tentang itu tak ada artinya. Apa gunanya air mengalir, kalau bisa berpindah dalam satu ketika? Itu yang dikatakan Raganata. Itu keangkuhannya.”
Eyang Putri Pulangsih seperti masih dibakar gusar, sehingga Upasara tak berani memutuskan kalimat lanjutan.
“Padahal soalnya berbeda. Ini memang gerakan untuk berpindah tempat tanpa mengeluarkan tenaga, sedangkan ilmunya untuk menghilang. Bukankah berbeda, Upasara?”
“Hamba tak tahu.”
“Kamu tahu tapi tolol. Kenyung macam aku saja bisa mengerti. Tapi kamu takut sama Bejujag!”
Pertemuan Kerinduan
TANPA terasa perjalanan jadi bisa cepat sekali. Sebelum Upasara menyadari betul, kakinya sudah memasuki wilayah Keraton. Dan dalam sekejap sudah melewati gerbang. Sampai di halaman depan, Upasara melihat pertarungan antara Maha Singanada dengan Senopati Agung yang tidak dikenal. Upasara juga melihat bayangan Gendhuk Tri yang berdiri di pinggir. Yang mendadak mengentakkan selendangnya! Melibat dua tangan yang sedang bertarung.
“Cukup. Untuk apa mengadu nyawa percuma seperti ini?”
Maha Singanada menyeringai. "Ini bukan urusanmu. Lelaki ini telah menghinaku. Dan aku bersumpah akan membunuhnya.”
Sebaliknya Senopati Agung juga menjadi berang. “Tantangan sesama lelaki, hendaknya jangan diganggu.”
Upasara tak tahu bagaimana kelanjutannya. Hanya masih terlihat sekelebatan Gendhuk Tri menjadi jengkel sekali. Mengibaskan selendangnya hingga terlepas dan bergerak meninggalkan arena. Saat itu Upasara Wulung sudah berada di dalam. Langsung duduk bersila. Karena sekilas melihat cahaya mata Gayatri tertuju ke arahnya. Tertuju ke arahnya. Ke arah bola matanya!
Ah! Pandangan mata yang membuatnya menggeletar. Membuat seluruh bulu tubuhnya berdiri, dan seakan seratus ekor semut merayap secara bersamaan di permukaan kulitnya. Itulah Gayatri-nya. Yang melantunkan kidungan, yang membuat Upasara terbang di antara awan. Sewaktu Eyang Putri Pulangsih menggoda, Upasara masih terus menunduk. Tapi merasakan semua getaran, derit urat-urat tubuhnya. Menjadi lebih mencabik dan menjepit urat-urat itu kala Upasara sadar bahwa Gayatri mengetahui kehadirannya dan menatap dengan tajam.
Upasara benar-benar tak mengetahui bagaimana sebaiknya. Teriakan Gendhuk Tri menyadarkan kembali. Akan tetapi wajahnya tetap tak sepenuhnya bisa menguasai apa yang terjadi. Kerinduannya bagai timbunan segala kerinduan. Selama ini Upasara hanya berani melihat dari kejauhan. Itu pun berakhir ketika Gayatri dibimbing Baginda ke dalam kamar peraduan. Dalam perasaan yang diombang-ambingkan penalarannya sendiri, Upasara bisa merasakan jatuh-bangun, mengawang dan menggelepar. Sendirian.
Tidak seperti sekarang ini. Di depan Gayatri. Di hadapan Baginda, dan sekian banyak senopati. Kalau saat itu Upasara bisa masuk ke liang tanah, Upasara akan menenggelamkan dirinya. Kalau bisa moksa, akan melenyapkan diri. Tapi kini ia terpaku. Bersila. Bahkan ketika Baginda memerintahkannya meninggalkan tempat, Upasara masih belum sepenuhnya sadar harus berbuat apa dan bagaimana. Jadinya berdiam di tempatnya. Tetap bersila.
“Upasara, apakah kamu tidak mendengar perintah rajamu?”
Di akhir kalimatnya, semua senopati yang ada bersiap. Setelah menyembah sekilas, lalu bersiap dengan senjata.
“Saya akan pergi setelah membawa Gayatri…”
Gendhuk Tri menggigil tubuhnya. Sungguh luar biasa. Tak pernah didengarnya kalimat begitu terbuka dari Upasara. Mahapatih Nambi sudah mengayunkan ujung tombak. Satu telapak tangan Upasara menengadah ke depan. Memapak datangnya ujung tombak. Dan tanpa diketahui bagaimana caranya, tombak itu amblas ke telapak tangan. Tidak. Tidak amblas ke telapak tangan. Melainkan dijepit oleh jari tangan.
Bahwa tenaga dalam Upasara Wulung boleh dikata sulit dicari tandingannya sejak menguasai Kitab Bumi, Halayudha mengetahui. Ia pun bisa melakukan apa yang dilakukan Upasara. Yang menjadikannya berpikir keras, ialah bahwa ucapan itu sebenarnya bukan ucapan yang keluar dari bibir Upasara Wulung. Seratus kali keberanian yang dimiliki, tak akan Upasara mengatakan hal itu.
Memang. Yang melakukan adalah Eyang Putri Pulangsih. Yang menirukan suara Upasara Wulung. Upasara sendiri merasa bahwa ia tak bisa berbuat lain. Kalau dulu hanya mengetahui bahwa tokoh yang bisa memainkan suara itu Kiai Sambartaka, atau Paman Sepuh, atau juga Eyang Sepuh, kini jadi bertambah satu. Yang celakanya justru menirukan suaranya. Inilah yang membuat Upasara makin kikuk. Hanya ketika serangan datang, dengan sendirinya tangan Upasara bergerak memapak.
“Bagus! Hari ini secara terbuka kamu menantang rajamu. Upasara…”
Upasara menyembah hormat. Menunduk sampai tanah.
“Sewaktu kuserahkan, kamu menolak. Sewaktu kukirimkan ke Perguruan Awan, kamu tidak mau menemui. Tapi begitu di tanganku, kamu datang merebut. Bagus, sungguh kurang ajar caramu.”
Kini semua mengepung Upasara. Termasuk Halayudha.
“Kamu kira kamu ini siapa dan punya apa? Ambillah jika berani.”
Upasara mendongak. Mendadak pandangannya bentrok dengan sorot mata Gayatri yang melirik sekilas ke arahnya. Kembali perasaannya seperti dilewati seribu semut, terasa di semua kulitnya.
“Sinuwun, dalem tidak berniat kraman atau membantah perintah. Sampai tujuh turunan yang akan datang tidak akan pernah berani. Abdi sinuwun ini hanya…”
Suaranya terhenti. Halayudha memusatkan perhatian. Ia sedang mengerahkan kemampuan apakah ini suara yang keluar dari Upasara atau dari Putri Pulangsih. Semua menunggu.
“Kakang, kenapa sungkan mengatakan apa yang Kakang inginkan?”
Keheningan pecah oleh suara Gendhuk Tri. Dengusan napas terdengar bersamaan dari para senopati. Gendhuk Tri tidak peduli. Ia malah berdiri, mendongak ke arah pucuk atas Keraton.
“Kakang pantas mendampingi Permaisuri Rajapatni. Tak ada yang akan berani menghalangi…”
Nada suara Gendhuk Tri menyayat hati. Tapi juga mengisyaratkan keikhlasan yang tulus. Perasaan yang sesungguhnya terwakili dari ucapannya. Bagi Gendhuk Tri, Upasara Wulung adalah segalanya. Seorang kakak, seorang bapak, seorang teman, seorang sahabat yang lebih tua, seorang yang dipuja. Semua perasaan, semua naluri hubungan perempuan-lelaki berkumpul menjadi satu. Dalam keadaan seperti itu, perasaan Gendhuk Tri tumbuh dan berkembang.
Salah satu bentuk perkembangannya ialah merasa rela jika Upasara Wulung bersanding dengan Gayatri. Karena hati wanita Gendhuk Tri mengatakan itu semua akan membuat Upasara Wulung bahagia. Yang berarti, biar bagaimanapun, dirinya juga bahagia. Perasaan itu berubah jika Upasara berdampingan dengan wanita lain. Termasuk Ratu Ayu Bawah Langit yang kesohor kecantikannya. Termasuk Nyai Demang. Bahkan untuk yang terakhir ini, melihat Upasara menggandeng sewaktu meloncati dinding Keraton pun, membuat Gendhuk Tri murka.
“Adik kecil, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu masih mengenali Eyang Putri Pulangsih yang mulia?”
Eyang Putri Pulangsih menggeleng-geleng. Dalam hatinya menjadi bingung sendiri oleh ulah Upasara Wulung. Di saat yang gawat, di saat yang menentukan, ia justru bicara kepada Gendhuk Tri. Lalu apa maunya lelaki ini? Kenapa Bejujag juga begitu? Selalu begitu?
Sayembara Mahapatih
YANG paling murka adalah Baginda. Bisa diduga. Bagi siapa pun, yang mengenal sedikit tata krama, apa yang dilakukan Upasara sangat kurang ajar. Boleh dikatakan biadab. Di saat diajak bercakap oleh Baginda, malah beralih kepada pembicara lain. Ini sama dengan menganggap Baginda tak ada. Ini sama dengan ngilani dada Baginda. Atau mengukur dengan telapak tangan berapa lebar dada Baginda. Suatu perlambang menantang dengan cara yang kurang ajar. Seakan menghitung berapa lebar dada Baginda untuk dipukul. Tak boleh terjadi.
Raja adalah raja. Pusat sesembahan yang paling dihormati. Puncak kesucian seluruh Keraton. Perbuatan Upasara tak akan terampuni. Apalagi dilakukan secara terang-terangan. Padahal Upasara sendiri tak bermaksud demikian. Sama sekali tak terbersit dalam angannya untuk bersikap kurang ajar. Suatu yang tak mungkin terjadi karena ia sendiri dibesarkan dalam tata krama Keraton. Apa yang dilakukan lebih dikarenakan merasa bingung. Merasa nggragap, tak tahu persis harus berbuat bagaimana. Karena kikuknya menghadapi situasi, menghadapi Gayatri. Gendhuk Tri sendiri juga tak peduli bahwa sikapnya merupakan tantangan terbuka.
Menghadapi sikap tak peduli, Baginda makin terbakar murkanya. “Hari ini Ingsun perintahkan untuk menangkap Upasara Wulung. Dalam keadaan hidup atau mati! Sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Yang bisa mengalahkan Upasara, saat itu juga akan kuangkat menjadi mahapatih Keraton."
Sabda Raja tak bisa ditarik kembali. Halayudha menelan napasnya yang mendadak memburu. Ini kesempatan terbuka yang paling bagus untuk tampil. Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengalahkan Upasara, akan tetapi Halayudha mampu meringkus. Dengan satu dan lain cara.
“Kakang, Kakang dengar Sayembara Mahapatih yang baru diucapkan Baginda?”
“Ya…”
“Bagaimana kalau Kakang menyerah di tanganku. Agar aku menjadi mahapatih Keraton?”
Kalaupun merasa geli tak ada yang berani tersenyum! Kalimat Gendhuk Tri lebih kurang ajar dari yang paling kurang ajar. Mana mungkin di saat begini gawat, ia malah bermain-main? Meskipun yang diucapkan tidak keliru, akan tetapi jadinya seperti mempermainkan Baginda.
“Kalau itu baik, silakan…”
Gendhuk Tri baru akan bergerak, ketika mendadak kakinya seperti menginjak tanah longsor. Tubuhnya terseret ke depan tanpa bisa ditahan lagi. Halayudha mendengus sambil menyentakkan tangannya dan tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas.
“Jangan bersikap kurang ajar. Masih ada aku yang tua.” Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara dingin. “Siapa dia ini?”
Jelas sekali bahwa cara mengerahkan tenaga jarak jauhnya cukup kuat, sehingga menarik perhatian Eyang Putri Pulangsih. Karena sejak Mahapatih Nambi bergerak, Halayudha boleh dikatakan tak bergerak sedikit pun.
“Eyang Putri, yang ada di depan Eyang Putri adalah Senopati Halayudha…”
“Itu aku tak peduli. Tapi dari mana ia mempelajari ilmunya?”
Halayudha mendongak. “Cukup untuk meringkus Upasara, Eyang?”
“Itu aku tak peduli. Tapi rasa-rasanya kamu masih saudara. Atau kamu mencuri ilmu siapa?”
“Eyang Putri, saya pernah mengatakan, kita pernah bertemu. Bagaimana mungkin Eyang Putri melupakan?”
Terdengar dari nada dan caranya berbicara, Halayudha seperti merendah. Dengan perhitungan kalau terjadi sesuatu, ia tak ingin menempatkan Eyang Putri Pulangsih pada sudut sebagai lawan. Karena secara terang-terangan, Halayudha merasa jeri akan kemampuan Eyang Putri.
"Kalau ini dianggap perselisihan sesama saudara, biarlah saya minta restu Eyang Putri untuk mengamankan ksatria yang sombong dan besar kepala.”
“Itu bukan urusanku. Tugasku hanya membawa Upasara dan mempertemukan kepada kekasihnya. Selebihnya urusannya sendiri. Aku tak peduli.”
Halayudha menyembah hormat. Rasanya dalam kalimat pertama, ia bisa menyingkirkan penghalang terbesar. “Sungguh, saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”
“Sudah kubilang, itu bukan urusanku.”
Selama pembicaraan berlangsung, Mahapatih Nambi sudah menempatkan posisi melindungi Baginda. Bersama para senopati, ia menempatkan diri sebagai perisai, jika sewaktu-waktu terjadi pertarungan.
“Berdirilah, Upasara! Aku yang tua ini ingin menjajalmu. Atas nama Baginda, sebagai prajurit aku menjalankan tugasku sebisanya.”
Upasara menggelengkan kepalanya. Gendhuk Tri mengentakkan kakinya.
“Jangan biarkan ia menghina Kakang. Bukankah Kakang tidak suka padanya?”
“Ya, akan tetapi… akan tetapi… saya tidak memusuhi karena soal ini. Lagi pula itu sudah lama berlalu. Kalau Senopati Halayudha sudah menyadari kekeliruannya, kenapa dibiarkan mengulangi?”
“Kakang seperti aki tua saja. Musuh besar diampuni. Itu masih tak apa. Tapi kalau kekasih menunggu juga dibiarkan saja, itu namanya keterlaluan.”
Upasara menggeleng. Tidak.”
“Kakang ini bagaimana? Apa Kakang berharap Mbakyu Ayu Permaisuri berkata bahwa Kakang Upasara ditunggu? Kan tidak mungkin. Masa hal semacam ini harus saya katakan? Kakang, Kakang… Kapan Kakang menjadi dewasa?”
“Itulah soalnya,” potong Eyang Putri Pulangsih. “Selama dunia isinya hanya lelaki bimbang, ya tak akan pernah beres. Ini sudah bagus. Persis seperti dulu. Bejujag menghadapi Baginda Raja dalam soal asmara. Bejujag pengecut, takut. Sekarang ini malah diulangi.”
Mahapatih Nambi menggerung keras. “Upasara, mari ke medan yang lebih luas. Agar lebih leluasa melemaskan otot.”
Pertimbangan Mahapatih Nambi hanyalah semakin jauh dari Baginda, semakin besar keselamatan Baginda. Cara yang bijaksana, karena tak mungkin menyarankan agar Baginda masuk ke dalam.
Upasara mengangguk.
“Mbakyu Ayu Permaisuri, mari ikut kami…”
Gendhuk Tri mengulurkan tangan setelah menyembah. Kembali angin panas menyambar dan membuat tubuhnya terputar. Kali ini Gendhuk Tri sudah bersiap, sehingga dengan cepat tangannya ditarik kembali, dan kuda-kudanya diperkuat. Akan tetapi sambaran tenaga Halayudha tetap membuat tubuhnya terputar dua kali. Ulu hatinya terasa panas.
Upasara mengangkat sebelah tangannya, dan impitan tenaga yang memutar tubuh Gendhuk Tri menjadi buyar. Sehingga bisa berdiri tegak kembali.
Halayudha menyembah sekali ke arah Baginda, lalu meloncat ke tengah, dan tangannya menyambar. Sebelum tenaga pukulan mendekat, Upasara menarik mundur Gendhuk Tri dengan cara mengangkat tenaga ke arah kaki Gendhuk Tri. Sehingga seolah-olah Gendhuk Tri sengaja meloncat mundur. Berdiri di samping Upasara.
Pemandangan yang aneh. Upasara tetap bersila di tanah, dengan Eyang Putri Pulangsih di sebelah, sambil tetap menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sementara di sebelahnya lagi Gendhuk Tri.
Halayudha menggerakkan kedua tangannya. Berputar pada persendian di pangkal bahu. Kedua tangannya melengkung bagai busur. Pandangannya menyorot tajam. Pertarungan tak bisa dihindari lagi. Seribu satu alasan menyatu untuk saling bertarung.
Pertarungan Mantra
HALAYUDHA menggerakkan kedua tangan bersumbu pada kedua lengan bukannya tanpa arti. Karena dengan cara pengerahan tenaga dalam ini, Halayudha seketika menutup ruang serang Upasara. Sesuatu yang lebih halus caranya dibandingkan apa yang dilakukan Mahapatih Nambi. Yang secara terang-terangan meminta mengalihkan medan pertarungan untuk melindungi Baginda. Halayudha siap bertarung.
Selama ini menampilkan diri sebagai senopati yang kebawah keprentah, atau senopati bawahan yang selalu diperintah. Yang menurut perhitungannya akan menempatkan diri pada posisi yang aman dan tidak dicurigai. Nyatanya begitu. Hanya saja dorongan untuk tampil ke depan terasa kini sudah saatnya. Halayudha ingin muncul, ingin menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya. Yang dalam ilmu silat menduduki peringkat utama.
Ini juga bukan sesuatu yang mengada-ada. Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh, salah satu tokoh utama yang sakti mandraguna, bahkan yang menciptakan Kitab Bumi. Ditambah dengan kemauan yang keras, ambisinya yang membakar, Halayudha mampu mempelajari hampir semua cabang dan aliran persilatan yang nomor satu. Merasa bekalnya sempurna, Halayudha memperlihatkan dadanya. Itu sebabnya ia mendobrak ke permukaan dan memamerkan ilmunya ketika menaklukkan Pendeta Syangka.
Selama ini bayangan akan kehebatan ksatria lain adalah Upasara Wulung yang memegang gelar lelananging jagat. Adalah hal yang wajar jika Halayudha ingin menjajal. Seperti semua ksatria ingin menguji ilmunya dengan yang paling unggul.
Bagi Upasara, saat ini merupakan cara yang paling baik untuk mengalihkan kekikukannya bertemu dengan Gayatri. Lebih dari itu, Halayudha adalah satu-satunya manusia di bumi ini yang pernah menimbulkan murka. Yang membuatnya tak bisa memusnahkan dendam yang ada. Kalau sekarang Upasara berniat menghadapi, karena merasa inilah kesempatan yang tepat.
Suasana sepi. Lengang. Tak ada yang bergerak. Keinginan yang sama, sebenarnya diam-diam juga bersemi dalam hati yang hadir. Termasuk Baginda.
“Persamaanmu terlalu banyak. Terutama dalam ketakutan menghadapi panggilan asmara.”
Upasara menggeleng sedih. “Hamba tak berani membayangkan itu…”
“Juga tak perlu. Suatu waktu mungkin kamu akan mengetahui. Upasara, kalaupun kamu anak keturunan Bejujag, bagiku tak ada persoalan. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa… Mungkin karena aku sedang memikirkan Bejujag, lalu terlintas dan membersit saja. “Lupakan saja, Upasara.”
Tapi Upasara tak bisa melupakan. Gerakan kakinya tak bisa mengimbangi kegesitan Eyang Putri Pulangsih.
“Kamu akan mengerti juga nanti. Bahwa Bejujag tidak mau menerimaku karena keangkuhannya. Karena kekerasan kepalanya tiada bandingannya. Bejujag selalu merasa dirinya lelaki yang tak bisa dikalahkan hatinya. Kepongahannya hanya bisa ditandingi oleh Sri Baginda Raja. Hmmm… Dua-duanya memang lelaki sejati. Tak pernah mau mengalah satu sama lainnya. Ketika Bejujag bisa menyelesaikan Tumbal Bantala Parwa, Sri Baginda Raja tidak mau menerima. Karena jurus-jurus Tumbal adalah jurus-jurus Bantala Parwa. Maka sebagai penyelesaiannya, Tumbal Bantala Parwa termasuk dalam Bantala Parwa. Sehingga dengan demikian bukan Bejujag yang berhasil mengungguli Sri Baginda Raja, melainkan sebaliknya. Kami semua memang memikirkan cara-cara untuk meredam Kitab Bumi. Kami semua menciptakan dengan susah payah. Bejujag yang diakui secara jantan oleh Sri Baginda Raja, tapi sekaligus juga dikalahkan. Dalam kemelut yang luar biasa, Bejujag tak mau menerima perlakuan itu. Ia mengundurkan diri dan makin tak mau bertemu dengan siapa saja. Ia bertapa di Perguruan Awan. Untuk kemudian menciptakan kidungan, yang rasanya kidungan terbaik yang pernah diciptakan. Yaitu Kidung Paminggir. Secara terang-terangan Bejujag mengatakan bahwa yang kelak kemudian hari akan membuat Keraton bersinar jaya menaungi seluruh tanah Jawa dan jagat seisinya adalah orang-orang paminggir. Orang-orang pinggiran yang selama ini tak diperhitungkan. Gampangnya bukan anak-cucu raja. Di sinilah puncak kemurkaan Sri Baginda Raja tak bisa ditunda. Secara resmi Sri Baginda Raja menyatakan Kidung Paminggir adalah kitab yang tidak boleh dibaca, ditembangkan, atau dituliskan. Sebagai gantinya Sri Baginda Raja menuliskan Kidungan Para Raja, yang menurut Raganata ditulis oleh tangan Sri Baginda Raja sendiri. Meskipun itu kidungan khusus untuk raja yang akan memegang mahkota, akan tetapi aku sempat membacanya. Juga Bejujag dan Raganata. Kamu pernah mendengar?”
Upasara menggeleng.
“Bejujag pasti menganggap tak ada nilainya. Maka tak diajarkan. Atau menganggap tak ada gunanya. Karena intinya kurang-lebih sama. Dua-duanya tak mau mengalah. Hanya karena seorang kenyung yang tak berarti.”
Di akhir kalimat, nada suaranya menggantung. Sengaja dibiarkan mengambang.
Upasara mengerti bahwa kenyung adalah sebutan untuk monyet betina. Agak ganjil juga. Seorang raja yang sakti mandraguna berselisih dengan seorang tokoh persilatan yang mumpuni gara-gara monyet betina.
“Akulah kenyung itu. Akulah yang disebut sebagai kenyung oleh Sri Baginda Raja. Dan agaknya ini yang membuat Bejujag tak mau mengerti bahwa hubunganku dengan Sri Baginda Raja tak ada apa-apanya. Ini pula sebabnya mereka menyebutku sebagai Pulangsih. Sebutan yang maksudnya untuk merendahkan derajat ke tingkat yang paling hina. Wanita sebagai tempat hubungan asmara badani belaka.”
Kenyung Sampiran
SUNYI sesaat. Tak ada helaan napas berat. Tapi justru Upasara merasa dadanya pepat. Untuk pertama kalinya ia mendengar cerita langsung dari yang mengalami mengenai masa-masa yang tak pernah dikenalnya. Sekelebat terbayang betapa sesungguhnya terjadi perebutan pengaruh yang besar di antara para ksatria sezaman.
Akan tetapi yang lebih membuat Upasara kagum luar biasa adalah kenyataan Sri Baginda Raja mempunyai jiwa luas bagai laut. Pada saat perbedaan kawruh dengan rakyatnya, Sri Baginda Raja bisa mengedipkan sebelah mata untuk melenyapkan siapa pun yang dianggap mengganjal atau mengganggu kewibawaannya. Nyatanya hal itu tidak dilakukan. Bahkan sebaliknya. Dalam batas-batas tertentu, malah dibiarkan berkembang.
“Apa yang kamu pikirkan, Upasara?”
“Eyang Putri lebih mengetahui…”
“Sri Baginda Raja memang raja segala raja, raja segala Dewa. Sejak tiupan napas kita yang pertama, yang terasakan benar ialah keharuman, kebesaran. Sri Baginda Raja adalah raja yang anjakrawati, maharaja yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Terbayangkah olehmu hal itu, Upasara? Terpikirkah olehmu bahwa saat itu aku ini hanyalah gadis remaja yang ingin belajar ilmu silat? Pada saat aku sudah tumbuh remaja, saat itulah Raja Maha diraja tampil dengan gagah. Rasanya kalau bisa membasuh bekas bayangan tubuh Sri Baginda Raja, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Rupanya inilah yang tidak disukai Bejujag. Ia menilai diriku tak berbeda dari wanita yang lain di jagat ini. Saat itu dan sekarang ini juga, aku mengakui bahwa kata-katanya benar. Tak ada bedanya. Tak perlu ada. Kami semua kaum wanita bersedia nyuwita, mengabdi, kepada Sri Baginda Raja. Meskipun ini hanya kata-kata, agaknya ini melukai perasaan Bejujag yang paling dalam. Sehingga ia memutuskan tak mau lagi menemui aku, melihat bayanganku. Kami hanya berhubungan kala Bejujag memberikan tulisan Kitab Bumi yang disampaikan oleh Raganata. Begitu juga aku sebaliknya. Ketika aku menciptakan Kitab Air, Bejujag masih dendam. Ia mencoret kidungan di situ, dan mengatakan apa yang ditulis hanyalah Kidungan Kenyung Sampiran. Bejujag terlalu angkuh. Angkuh untuk menyakiti hatinya sendiri. Itu yang membuatku penasaran.”
Meskipun tak bisa mengetahui dengan tepat, akan tetapi Upasara bisa memperkirakan. Bahwa Eyang Sepuh saat itu paling tidak mau mengakui keberadaan Eyang Putri, dan memakai sebutan kenyung. Tambahan kata sampiran, barangkali saja...
“Apakah Eyang mempergunakan selendang untuk memainkan lebih sempurna? Selendang sebagai pengganti senjata?”
Mendadak Putri Pulangsih tersenyum lebar. Tubuhnya berputar. Tangannya terentang seperti anak kecil.
“Upasara, jangan-jangan kamu ini Bejujag yang sesungguhnya!” Tawa itu melebar. Baru kemudian mereda. “Sama sekali tidak. Aku menciptakan begitu saja. Menciptakan Kitab Air untuk menandingi Kitab Bumi, atau kitab lain yang akan dijadikan panutan di Keraton. Ceritanya lucu. Saat Raganata membawa kembali Kitab Air, ia mengatakan bahwa Bejujag menganggap tidak berarti apa-apa. Ini cuma sampir. Aku tadinya merasa panas, karena kukira Bejujag mau mengatakan bahwa ilmu silat yang kuciptakan hanya gerakan bahu. Artinya baru terhenti pada menggerakkan bahu. Ini namanya penghinaan. Dan memang Bejujag bermaksud menghinaku. Namun sesungguhnya di balik itu, aku bisa menangkap maksudnya yang baik. Bejujag memberitahu bahwa gerakan-gerakan yang kuciptakan akan menemukan bentuk yang sesungguhnya dengan sampiran. Seperti dalam wayang, sampir mempunyai arti selendang yang tersandang di bahu.”
“Maaf, Eyang Putri, kalau begitu…”
“Kamu diam saja. Aku sudah lima puluh tahun tidak bicara seperti sekarang ini.”
Upasara terdiam. Putri Pulangsih juga terdiam.
“Apa yang kamu tanyakan?”
“Apakah Eyang Putri yang kemudian menciptakan gerakan dengan selendang?”
“Tidak. Aku bukan jago silat yang total. Aku tak di bawah Bejujag atau Raganata atau Berune atau Dodot Bintulu. Kamu juga salah sangka dan meremehkanku. Kamu sama piciknya dengan Bejujag!”
Upasara tak menyangka akan diberondong dengan tuduhan yang menyakitkan. Meskipun dalam hatinya juga merasa betapa Eyang Putri Pulangsih lebih sakit hati.
“Kalau aku mengikuti saran Bejujag, berarti ia lebih pintar dariku. Tak mungkin! Itu yang kukatakan kepada Raganata. Tahu apa yang dikatakan Raganata? Aku masih ingat. Ia mengatakan bahwa Bejujag benar sekali. Pendapat Raganata sejalan dengan Bejujag. Aku bersikeras tidak. Raganata meminta izinku, apakah boleh menjajal Kitab Air dengan mempergunakan selendang. Aku katakan boleh saja, tapi jangan sebutkan bahwa Kitab Air sebagai sumbernya. Upasara… padamu aku berterus terang. Mungkin juga Bejujag benar. Tapi aku tak mau mengakui itu. Karena ternyata apa yang dikatakan Raganata ada benarnya. Inti tenaga air, untuk menemukan bentuknya lebih tepat dengan selendang sebagai senjata. Sebagai latihan pernapasan dan mengerahkan tenaga dalam tak menjadi masalah, akan tetapi dalam suatu pertempuran, sibakan selendang bagai gelombang laut, bagai aliran sungai, bagai tetesan hujan, sangat tepat dengan jiwa dasar Kitab Air. Tapi karena memegang janji, Raganata tidak mengatakan apa-apa kepada muridnya. Tidak mengatakan nama ilmu silat. Bahkan mengajarnya pun secara sembunyi-sembunyi.”
Upasara menepuk jidatnya. Cukup keras. Sehingga Eyang Putri Pulangsih seakan menggerakkan alis-nya.
“Kamu menertawakan aku?”
Buru-buru Upasara menggeleng dan menyembah. Kemudian berusaha menceritakan dengan ringkas. Bahwa selama ini ia mengenal seorang tokoh wanita sakti yang biasa mempergunakan selendang sebagai senjata dalam memainkan ilmu silatnya. Tokoh sakti itu bernama Jagaddhita, dan ia tak mengerti bahwa sesungguhnya guru yang mengajarinya adalah Mpu Raganata! Upasara juga tak pernah mengetahui sebelum ini. Karena tadinya hanya mengira bahwa Mpu Raganata sengaja melarikan gadis-gadis yang akan nyuwita kepada Baginda Raja.
“Itu ada benarnya. Raganata memang tak menginginkan semua gadis menjadi nyamikan, makanan kecil, Sri Baginda Raja.”
Upasara juga menceritakan bahwa ia pernah bertemu dan pernah terkurung bersama dengan Jagaddhita, yang kini telah tiada. Namun masih ada salah seorang muridnya, yang biasanya dipanggil dengan nama Gendhuk Tri.
"Aku sudah melihat sendiri. Ia dengan kekasihnya.”
Untuk kedua kalinya, Upasara menepuk jidatnya. Ada perasaan yang bergolak, sehingga ia memalingkan wajahnya karena sungkan. Adalah sesuatu yang luar biasa jika Gendhuk Tri mempunyai kekasih. Sekurangnya dalam bayangannya. Bukan semata karena ia selalu menganggapnya sebagai gadis kecil. Akan tetapi, Gendhuk Tri menempati sudut yang istimewa dalam hati Upasara. Dengan segala kenakalan, kegenitan, dan kemanjaan!
Selama ini Upasara lebih lama dan lebih sering bersama dengan Gendhuk Tri. Jauh lebih mengenal siapa Gendhuk Tri, dibandingkan dengan Gayatri sendiri. Atau bahkan Ratu Ayu Azeri Baijani yang resminya adalah istrinya. Gendhuk Tri telah mempunyai kekasih? Siapa gerangan lelaki yang begitu bahagia hidupnya? Dan apa yang sesungguhnya terjadi?
“Ia ada di Keraton bersama kekasihnya.”
Kalimat ini lebih membulatkan tekad Upasara Wulung datang ke Keraton. Langkahnya bergegas.
Langkah Ganiti Kundha
UPASARA mengerahkan tenaganya. Kedua kakinya ringan melangkah, tubuhnya serasa melayang, mengikuti gerakan yang berada di sebelahnya. Beberapa kali Upasara secara sengaja menambah kecepatan dan memperkuat totolan ujung kakinya. Akan tetapi bayangan di sebelahnya selalu berada di sampingnya. Tidak berkelebat, tidak menimbulkan desiran angin. Seolah melaju tanpa terhalang apa-apa. Ini yang sedikit-banyak meninggalkan pertanyaan dalam benak Upasara.
Dalam soal mengentengkan tubuh, Upasara tidak merasa dirinya paling jago. Bahkan sejak kecil otot-otot kakinya tidak dilatih secara khusus untuk berlari kencang atau untuk meloncat. Ilmu silat Banteng Ketaton justru berintikan kekuatan kaki untuk menahan diri. Seperti umumnya aliran silat yang berkembang di daerah pedalaman, cara-cara meloncat tidak mendapat perhatian utama. Ini bisa dibandingkan dengan mereka yang belajar dari aliran puncak gunung. Karena keadaan alam memaksa siapa yang mempelajari menjadi bisa berloncatan. Dengan sendirinya ilmu meringankan tubuh boleh dikatakan cemerlang.
Sejauh ini Upasara hanya mengenal seorang yang menguasai ilmu meringankan tubuh secara sempurna. Yaitu Wilanda. Bekas pengawal yang kemudian menyepi di Perguruan Awan ini seolah bisa hinggap di ujung ranting tanpa membuatnya bergoyang. Sama seperti capung. Akan tetapi dalam melakukan perjalanan jauh, Upasara yakin ia bisa mengimbangi. Karena, kini, kemampuan tenaga dalamnya jauh lebih kokoh.
Akan tetapi yang membuat Upasara bertanya-tanya, Eyang Pulangsih ini mampu melesat dengan cepat dan tahan lama. Dua kali sepenanak nasi, tubuhnya masih serba ringan. Sehingga Upasara mengentak kembali, agar bisa mengimbangi. Namun masih tercecer. Terutama kalau melalui gerombolan pohon. Mau tak mau Upasara menghindar sedikit. Hanya karena kemampuannya yang tinggi dan tingkat kewaspadaannya tajam, Upasara bisa melakukan dengan cepat.
Yang tetap mengherankan, Eyang Putri Pulangsih seakan tak perlu berkelit atau mengegos. Tubuhnya, atau bayangan tubuhnya, seperti bisa menerabas, melalui penghalang yang ada. Ini bisa terasakan karena mereka berdua berlari bersama, berdampingan.
“Kenapa kamu, Upasara?”
“Tidak apa-apa, Eyang Putri…”
“Kenapa kamu keluarkan tenaga begitu banyak hanya untuk melangkah?”
Telinga Upasara menjadi panas sejenak. Biar bagaimanapun, Eyang Putri yang tua ini kedengarannya sangat angkuh. Bagaimana mungkin dikatakan melangkah kalau ia mengempos seluruh tenaganya? Bagaimana tidak mengeluarkan tenaga kalau harus secepat ini?
“Kamu salah. Itu kebodohan Bejujag. Bumi itu kaku. Diam. Tak bergerak. Sedangkan air mengalir, bergerak. Air bergerak tanpa mengeluarkan tenaga. Tenaga yang dipergunakan ialah tenaga tinggi dan rendah daerah sekitar. Panas dan dingin daerah sekitar. Berangin dan tidaknya daerah sekitar. Perbedaan tinggi-rendah, panas-dingin, berangin-tidak berangin yang membuat air bergerak.”
Upasara jadi ingat Ratu Ayu Bawah Langit. Ratu negeri Turkana yang perkasa itu juga menguasai apa yang disebut Langkah Jong. Yang menjadi sangat istimewa karena bisa meloncati satu benda yang ada di depannya. Sehingga satu kali mengayun langkah, ibarat kata bisa meloncati apa saja yang ada di depannya. Jauh atau dekat benda di depannya tak menjadi masalah. Dengan cara-cara itu pula, jauh atau dekat bisa menjadi sama. Sehingga pendengarannya mampu menerobos. Demikian pula gerakan tubuhnya.
“Kalau matahari bergerak, ia mengikuti gerakan air. Kalau rembulan bergerak, ia mengikuti gerakan air. Bergerak tanpa mengeluarkan tenaga. Kalau seperti kamu ini, bisa pegal sekali kakimu.”
Meskipun gusar, Upasara tetap merendah nadanya. “Mohon Eyang Putri memberi petunjuk.”
“Mana mungkin? Pelajari sendiri saja. Bejujag juga tak mau mendengarkan apa yang kukatakan. Ia lebih suka mencela apa yang kurang dariku, tanpa mau mempelajari untuk dirinya sendiri. Untuk apa aku memberi petunjuk kalau kamu bisa melihat sendiri? Atau warisan Bejujag demikian dangkal sehingga tak bisa melihat mana yang baik dan mana yang biasa-biasa.”
Upasara mengentakkan kakinya. Tubuhnya melesat kedepan. Ia sengaja meninggalkan jauh, karena tak ingin diboncengi. Dibiarkannya tenaga yang terlepas buyar oleh angin. Benar saja, dengan demikian ia bisa maju sendirian. Akan tetapi belum sampai sepeminum teh, bayangan Eyang Putri Pulangsih sudah mendampingi lagi.
“Sudah kukatakan kalau begini caranya, sebelum sampai ke Keraton kamu sudah minta istirahat. Sebelum ketemu Gayatri kamu sudah loyo. Upasara, lihatlah. Jangan gerakkan kakimu. Jangan menotol tanah. Biarkan ia bergerak seperti air. Inilah langkah Ganiti Kundha. Dengan cara ini kamu tak perlu menghindar dari pohon atau gundukan tanah di depanmu. Tak perlu berkelit. Itu membuang waktu percuma. Dan juga tenaga. Lihat baik-baik, Upasara…”
Darah Upasara mendidih. Tetapi memang tubuh Eyang Putri Pulangsih bisa leluasa menerabas halangan yang ada di depannya. Seolah bayangan tubuh itu bisa melalui sela-sela pepohonan yang rapat. Tanpa ada ujung rambut atau kainnya yang tersobek atau tersenggol. Diam-diam Upasara mengakui kehebatan Eyang Putri Pulangsih. Apalagi gerakan terbang seperti ini dikatakan sebagai langkah Ganiti Kundha. Hanya diartikan sebagai langkah! Bukan loncatan. Ganiti Kundha, atau ganitikundha, arti yang sebenarnya ialah tasbih yang biasa digunakan para pendeta. Apa hubungannya dengan tasbih?
“Pasti kamu bertanya-tanya apa hubungannya dengan tasbih. Kenapa kamu sungkan mengakui? Pasang telinga baik-baik. Supaya Bejujag ikut mendengarkan. Langkah yang kuciptakan ini, intinya mempergunakan tenaga air. Tenaga yang mampu menggerakkan dirinya. Ganiti Kundha ialah tasbih. Terdiri atas berbagai biji-bijian yang disambung dengan tali. Apa yang dilakukan air jika ia melewati tasbih? Ia tak perlu membuat lubang. Karena ia bisa melalui lubang yang ada. Ia tak perlu menenggelamkan tasbih, karena tasbih itu akan tenggelam oleh tenaganya sendiri. Ia juga tak perlu mengeluarkan tenaga untuk mengambangkan, karena tasbih itu akan mengambang dengan sendirinya. Segala sesuatu sudah berjalan, bertenaga dengan kemampuannya sendiri. Jadi tak perlu direpotkan. Tinggal mengarahkan saja. Agar tidak menabrak.”
“Hamba bisa mengerti, Eyang Putri… Oleh Eyang Sepuh ini yang disebut sebagai Manjing Ajur Ajer.”
Eyang Putri Pulangsih menggeleng gemas. “Salah. Salah besar. Bejujag salah dalam hal ini. Ia menggunakan ajian Manjing Ajur Ajer untuk memindahkan seluruh raga. Yang pada tingkat tertentu menjadi moksa. Lenyap-muncul tanpa diketahui. Itu berlebihan. Untuk menuju Keraton, untuk melakukan perjalanan, tak perlu ajian seperti itu. Terlalu angkuh. Tapi itulah. Bejujag itu diterima Dewa. Nasibnya baik. Lebih baik daripada nasib Dewa sendiri. Sehingga apa yang dikatakan, apa yang diciptakan, dianggap puncak ciptaan. Dengan ajian Manjing Ajur Ajer, seolah ilmu lain tentang itu tak ada artinya. Apa gunanya air mengalir, kalau bisa berpindah dalam satu ketika? Itu yang dikatakan Raganata. Itu keangkuhannya.”
Eyang Putri Pulangsih seperti masih dibakar gusar, sehingga Upasara tak berani memutuskan kalimat lanjutan.
“Padahal soalnya berbeda. Ini memang gerakan untuk berpindah tempat tanpa mengeluarkan tenaga, sedangkan ilmunya untuk menghilang. Bukankah berbeda, Upasara?”
“Hamba tak tahu.”
“Kamu tahu tapi tolol. Kenyung macam aku saja bisa mengerti. Tapi kamu takut sama Bejujag!”
Pertemuan Kerinduan
TANPA terasa perjalanan jadi bisa cepat sekali. Sebelum Upasara menyadari betul, kakinya sudah memasuki wilayah Keraton. Dan dalam sekejap sudah melewati gerbang. Sampai di halaman depan, Upasara melihat pertarungan antara Maha Singanada dengan Senopati Agung yang tidak dikenal. Upasara juga melihat bayangan Gendhuk Tri yang berdiri di pinggir. Yang mendadak mengentakkan selendangnya! Melibat dua tangan yang sedang bertarung.
“Cukup. Untuk apa mengadu nyawa percuma seperti ini?”
Maha Singanada menyeringai. "Ini bukan urusanmu. Lelaki ini telah menghinaku. Dan aku bersumpah akan membunuhnya.”
Sebaliknya Senopati Agung juga menjadi berang. “Tantangan sesama lelaki, hendaknya jangan diganggu.”
Upasara tak tahu bagaimana kelanjutannya. Hanya masih terlihat sekelebatan Gendhuk Tri menjadi jengkel sekali. Mengibaskan selendangnya hingga terlepas dan bergerak meninggalkan arena. Saat itu Upasara Wulung sudah berada di dalam. Langsung duduk bersila. Karena sekilas melihat cahaya mata Gayatri tertuju ke arahnya. Tertuju ke arahnya. Ke arah bola matanya!
Ah! Pandangan mata yang membuatnya menggeletar. Membuat seluruh bulu tubuhnya berdiri, dan seakan seratus ekor semut merayap secara bersamaan di permukaan kulitnya. Itulah Gayatri-nya. Yang melantunkan kidungan, yang membuat Upasara terbang di antara awan. Sewaktu Eyang Putri Pulangsih menggoda, Upasara masih terus menunduk. Tapi merasakan semua getaran, derit urat-urat tubuhnya. Menjadi lebih mencabik dan menjepit urat-urat itu kala Upasara sadar bahwa Gayatri mengetahui kehadirannya dan menatap dengan tajam.
Upasara benar-benar tak mengetahui bagaimana sebaiknya. Teriakan Gendhuk Tri menyadarkan kembali. Akan tetapi wajahnya tetap tak sepenuhnya bisa menguasai apa yang terjadi. Kerinduannya bagai timbunan segala kerinduan. Selama ini Upasara hanya berani melihat dari kejauhan. Itu pun berakhir ketika Gayatri dibimbing Baginda ke dalam kamar peraduan. Dalam perasaan yang diombang-ambingkan penalarannya sendiri, Upasara bisa merasakan jatuh-bangun, mengawang dan menggelepar. Sendirian.
Tidak seperti sekarang ini. Di depan Gayatri. Di hadapan Baginda, dan sekian banyak senopati. Kalau saat itu Upasara bisa masuk ke liang tanah, Upasara akan menenggelamkan dirinya. Kalau bisa moksa, akan melenyapkan diri. Tapi kini ia terpaku. Bersila. Bahkan ketika Baginda memerintahkannya meninggalkan tempat, Upasara masih belum sepenuhnya sadar harus berbuat apa dan bagaimana. Jadinya berdiam di tempatnya. Tetap bersila.
“Upasara, apakah kamu tidak mendengar perintah rajamu?”
Di akhir kalimatnya, semua senopati yang ada bersiap. Setelah menyembah sekilas, lalu bersiap dengan senjata.
“Saya akan pergi setelah membawa Gayatri…”
Gendhuk Tri menggigil tubuhnya. Sungguh luar biasa. Tak pernah didengarnya kalimat begitu terbuka dari Upasara. Mahapatih Nambi sudah mengayunkan ujung tombak. Satu telapak tangan Upasara menengadah ke depan. Memapak datangnya ujung tombak. Dan tanpa diketahui bagaimana caranya, tombak itu amblas ke telapak tangan. Tidak. Tidak amblas ke telapak tangan. Melainkan dijepit oleh jari tangan.
Bahwa tenaga dalam Upasara Wulung boleh dikata sulit dicari tandingannya sejak menguasai Kitab Bumi, Halayudha mengetahui. Ia pun bisa melakukan apa yang dilakukan Upasara. Yang menjadikannya berpikir keras, ialah bahwa ucapan itu sebenarnya bukan ucapan yang keluar dari bibir Upasara Wulung. Seratus kali keberanian yang dimiliki, tak akan Upasara mengatakan hal itu.
Memang. Yang melakukan adalah Eyang Putri Pulangsih. Yang menirukan suara Upasara Wulung. Upasara sendiri merasa bahwa ia tak bisa berbuat lain. Kalau dulu hanya mengetahui bahwa tokoh yang bisa memainkan suara itu Kiai Sambartaka, atau Paman Sepuh, atau juga Eyang Sepuh, kini jadi bertambah satu. Yang celakanya justru menirukan suaranya. Inilah yang membuat Upasara makin kikuk. Hanya ketika serangan datang, dengan sendirinya tangan Upasara bergerak memapak.
“Bagus! Hari ini secara terbuka kamu menantang rajamu. Upasara…”
Upasara menyembah hormat. Menunduk sampai tanah.
“Sewaktu kuserahkan, kamu menolak. Sewaktu kukirimkan ke Perguruan Awan, kamu tidak mau menemui. Tapi begitu di tanganku, kamu datang merebut. Bagus, sungguh kurang ajar caramu.”
Kini semua mengepung Upasara. Termasuk Halayudha.
“Kamu kira kamu ini siapa dan punya apa? Ambillah jika berani.”
Upasara mendongak. Mendadak pandangannya bentrok dengan sorot mata Gayatri yang melirik sekilas ke arahnya. Kembali perasaannya seperti dilewati seribu semut, terasa di semua kulitnya.
“Sinuwun, dalem tidak berniat kraman atau membantah perintah. Sampai tujuh turunan yang akan datang tidak akan pernah berani. Abdi sinuwun ini hanya…”
Suaranya terhenti. Halayudha memusatkan perhatian. Ia sedang mengerahkan kemampuan apakah ini suara yang keluar dari Upasara atau dari Putri Pulangsih. Semua menunggu.
“Kakang, kenapa sungkan mengatakan apa yang Kakang inginkan?”
Keheningan pecah oleh suara Gendhuk Tri. Dengusan napas terdengar bersamaan dari para senopati. Gendhuk Tri tidak peduli. Ia malah berdiri, mendongak ke arah pucuk atas Keraton.
“Kakang pantas mendampingi Permaisuri Rajapatni. Tak ada yang akan berani menghalangi…”
Nada suara Gendhuk Tri menyayat hati. Tapi juga mengisyaratkan keikhlasan yang tulus. Perasaan yang sesungguhnya terwakili dari ucapannya. Bagi Gendhuk Tri, Upasara Wulung adalah segalanya. Seorang kakak, seorang bapak, seorang teman, seorang sahabat yang lebih tua, seorang yang dipuja. Semua perasaan, semua naluri hubungan perempuan-lelaki berkumpul menjadi satu. Dalam keadaan seperti itu, perasaan Gendhuk Tri tumbuh dan berkembang.
Salah satu bentuk perkembangannya ialah merasa rela jika Upasara Wulung bersanding dengan Gayatri. Karena hati wanita Gendhuk Tri mengatakan itu semua akan membuat Upasara Wulung bahagia. Yang berarti, biar bagaimanapun, dirinya juga bahagia. Perasaan itu berubah jika Upasara berdampingan dengan wanita lain. Termasuk Ratu Ayu Bawah Langit yang kesohor kecantikannya. Termasuk Nyai Demang. Bahkan untuk yang terakhir ini, melihat Upasara menggandeng sewaktu meloncati dinding Keraton pun, membuat Gendhuk Tri murka.
“Adik kecil, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu masih mengenali Eyang Putri Pulangsih yang mulia?”
Eyang Putri Pulangsih menggeleng-geleng. Dalam hatinya menjadi bingung sendiri oleh ulah Upasara Wulung. Di saat yang gawat, di saat yang menentukan, ia justru bicara kepada Gendhuk Tri. Lalu apa maunya lelaki ini? Kenapa Bejujag juga begitu? Selalu begitu?
Sayembara Mahapatih
YANG paling murka adalah Baginda. Bisa diduga. Bagi siapa pun, yang mengenal sedikit tata krama, apa yang dilakukan Upasara sangat kurang ajar. Boleh dikatakan biadab. Di saat diajak bercakap oleh Baginda, malah beralih kepada pembicara lain. Ini sama dengan menganggap Baginda tak ada. Ini sama dengan ngilani dada Baginda. Atau mengukur dengan telapak tangan berapa lebar dada Baginda. Suatu perlambang menantang dengan cara yang kurang ajar. Seakan menghitung berapa lebar dada Baginda untuk dipukul. Tak boleh terjadi.
Raja adalah raja. Pusat sesembahan yang paling dihormati. Puncak kesucian seluruh Keraton. Perbuatan Upasara tak akan terampuni. Apalagi dilakukan secara terang-terangan. Padahal Upasara sendiri tak bermaksud demikian. Sama sekali tak terbersit dalam angannya untuk bersikap kurang ajar. Suatu yang tak mungkin terjadi karena ia sendiri dibesarkan dalam tata krama Keraton. Apa yang dilakukan lebih dikarenakan merasa bingung. Merasa nggragap, tak tahu persis harus berbuat bagaimana. Karena kikuknya menghadapi situasi, menghadapi Gayatri. Gendhuk Tri sendiri juga tak peduli bahwa sikapnya merupakan tantangan terbuka.
Menghadapi sikap tak peduli, Baginda makin terbakar murkanya. “Hari ini Ingsun perintahkan untuk menangkap Upasara Wulung. Dalam keadaan hidup atau mati! Sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Yang bisa mengalahkan Upasara, saat itu juga akan kuangkat menjadi mahapatih Keraton."
Sabda Raja tak bisa ditarik kembali. Halayudha menelan napasnya yang mendadak memburu. Ini kesempatan terbuka yang paling bagus untuk tampil. Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengalahkan Upasara, akan tetapi Halayudha mampu meringkus. Dengan satu dan lain cara.
“Kakang, Kakang dengar Sayembara Mahapatih yang baru diucapkan Baginda?”
“Ya…”
“Bagaimana kalau Kakang menyerah di tanganku. Agar aku menjadi mahapatih Keraton?”
Kalaupun merasa geli tak ada yang berani tersenyum! Kalimat Gendhuk Tri lebih kurang ajar dari yang paling kurang ajar. Mana mungkin di saat begini gawat, ia malah bermain-main? Meskipun yang diucapkan tidak keliru, akan tetapi jadinya seperti mempermainkan Baginda.
“Kalau itu baik, silakan…”
Gendhuk Tri baru akan bergerak, ketika mendadak kakinya seperti menginjak tanah longsor. Tubuhnya terseret ke depan tanpa bisa ditahan lagi. Halayudha mendengus sambil menyentakkan tangannya dan tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas.
“Jangan bersikap kurang ajar. Masih ada aku yang tua.” Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara dingin. “Siapa dia ini?”
Jelas sekali bahwa cara mengerahkan tenaga jarak jauhnya cukup kuat, sehingga menarik perhatian Eyang Putri Pulangsih. Karena sejak Mahapatih Nambi bergerak, Halayudha boleh dikatakan tak bergerak sedikit pun.
“Eyang Putri, yang ada di depan Eyang Putri adalah Senopati Halayudha…”
“Itu aku tak peduli. Tapi dari mana ia mempelajari ilmunya?”
Halayudha mendongak. “Cukup untuk meringkus Upasara, Eyang?”
“Itu aku tak peduli. Tapi rasa-rasanya kamu masih saudara. Atau kamu mencuri ilmu siapa?”
“Eyang Putri, saya pernah mengatakan, kita pernah bertemu. Bagaimana mungkin Eyang Putri melupakan?”
Terdengar dari nada dan caranya berbicara, Halayudha seperti merendah. Dengan perhitungan kalau terjadi sesuatu, ia tak ingin menempatkan Eyang Putri Pulangsih pada sudut sebagai lawan. Karena secara terang-terangan, Halayudha merasa jeri akan kemampuan Eyang Putri.
"Kalau ini dianggap perselisihan sesama saudara, biarlah saya minta restu Eyang Putri untuk mengamankan ksatria yang sombong dan besar kepala.”
“Itu bukan urusanku. Tugasku hanya membawa Upasara dan mempertemukan kepada kekasihnya. Selebihnya urusannya sendiri. Aku tak peduli.”
Halayudha menyembah hormat. Rasanya dalam kalimat pertama, ia bisa menyingkirkan penghalang terbesar. “Sungguh, saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”
“Sudah kubilang, itu bukan urusanku.”
Selama pembicaraan berlangsung, Mahapatih Nambi sudah menempatkan posisi melindungi Baginda. Bersama para senopati, ia menempatkan diri sebagai perisai, jika sewaktu-waktu terjadi pertarungan.
“Berdirilah, Upasara! Aku yang tua ini ingin menjajalmu. Atas nama Baginda, sebagai prajurit aku menjalankan tugasku sebisanya.”
Upasara menggelengkan kepalanya. Gendhuk Tri mengentakkan kakinya.
“Jangan biarkan ia menghina Kakang. Bukankah Kakang tidak suka padanya?”
“Ya, akan tetapi… akan tetapi… saya tidak memusuhi karena soal ini. Lagi pula itu sudah lama berlalu. Kalau Senopati Halayudha sudah menyadari kekeliruannya, kenapa dibiarkan mengulangi?”
“Kakang seperti aki tua saja. Musuh besar diampuni. Itu masih tak apa. Tapi kalau kekasih menunggu juga dibiarkan saja, itu namanya keterlaluan.”
Upasara menggeleng. Tidak.”
“Kakang ini bagaimana? Apa Kakang berharap Mbakyu Ayu Permaisuri berkata bahwa Kakang Upasara ditunggu? Kan tidak mungkin. Masa hal semacam ini harus saya katakan? Kakang, Kakang… Kapan Kakang menjadi dewasa?”
“Itulah soalnya,” potong Eyang Putri Pulangsih. “Selama dunia isinya hanya lelaki bimbang, ya tak akan pernah beres. Ini sudah bagus. Persis seperti dulu. Bejujag menghadapi Baginda Raja dalam soal asmara. Bejujag pengecut, takut. Sekarang ini malah diulangi.”
Mahapatih Nambi menggerung keras. “Upasara, mari ke medan yang lebih luas. Agar lebih leluasa melemaskan otot.”
Pertimbangan Mahapatih Nambi hanyalah semakin jauh dari Baginda, semakin besar keselamatan Baginda. Cara yang bijaksana, karena tak mungkin menyarankan agar Baginda masuk ke dalam.
Upasara mengangguk.
“Mbakyu Ayu Permaisuri, mari ikut kami…”
Gendhuk Tri mengulurkan tangan setelah menyembah. Kembali angin panas menyambar dan membuat tubuhnya terputar. Kali ini Gendhuk Tri sudah bersiap, sehingga dengan cepat tangannya ditarik kembali, dan kuda-kudanya diperkuat. Akan tetapi sambaran tenaga Halayudha tetap membuat tubuhnya terputar dua kali. Ulu hatinya terasa panas.
Upasara mengangkat sebelah tangannya, dan impitan tenaga yang memutar tubuh Gendhuk Tri menjadi buyar. Sehingga bisa berdiri tegak kembali.
Halayudha menyembah sekali ke arah Baginda, lalu meloncat ke tengah, dan tangannya menyambar. Sebelum tenaga pukulan mendekat, Upasara menarik mundur Gendhuk Tri dengan cara mengangkat tenaga ke arah kaki Gendhuk Tri. Sehingga seolah-olah Gendhuk Tri sengaja meloncat mundur. Berdiri di samping Upasara.
Pemandangan yang aneh. Upasara tetap bersila di tanah, dengan Eyang Putri Pulangsih di sebelah, sambil tetap menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sementara di sebelahnya lagi Gendhuk Tri.
Halayudha menggerakkan kedua tangannya. Berputar pada persendian di pangkal bahu. Kedua tangannya melengkung bagai busur. Pandangannya menyorot tajam. Pertarungan tak bisa dihindari lagi. Seribu satu alasan menyatu untuk saling bertarung.
Pertarungan Mantra
HALAYUDHA menggerakkan kedua tangan bersumbu pada kedua lengan bukannya tanpa arti. Karena dengan cara pengerahan tenaga dalam ini, Halayudha seketika menutup ruang serang Upasara. Sesuatu yang lebih halus caranya dibandingkan apa yang dilakukan Mahapatih Nambi. Yang secara terang-terangan meminta mengalihkan medan pertarungan untuk melindungi Baginda. Halayudha siap bertarung.
Selama ini menampilkan diri sebagai senopati yang kebawah keprentah, atau senopati bawahan yang selalu diperintah. Yang menurut perhitungannya akan menempatkan diri pada posisi yang aman dan tidak dicurigai. Nyatanya begitu. Hanya saja dorongan untuk tampil ke depan terasa kini sudah saatnya. Halayudha ingin muncul, ingin menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya. Yang dalam ilmu silat menduduki peringkat utama.
Ini juga bukan sesuatu yang mengada-ada. Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh, salah satu tokoh utama yang sakti mandraguna, bahkan yang menciptakan Kitab Bumi. Ditambah dengan kemauan yang keras, ambisinya yang membakar, Halayudha mampu mempelajari hampir semua cabang dan aliran persilatan yang nomor satu. Merasa bekalnya sempurna, Halayudha memperlihatkan dadanya. Itu sebabnya ia mendobrak ke permukaan dan memamerkan ilmunya ketika menaklukkan Pendeta Syangka.
Selama ini bayangan akan kehebatan ksatria lain adalah Upasara Wulung yang memegang gelar lelananging jagat. Adalah hal yang wajar jika Halayudha ingin menjajal. Seperti semua ksatria ingin menguji ilmunya dengan yang paling unggul.
Bagi Upasara, saat ini merupakan cara yang paling baik untuk mengalihkan kekikukannya bertemu dengan Gayatri. Lebih dari itu, Halayudha adalah satu-satunya manusia di bumi ini yang pernah menimbulkan murka. Yang membuatnya tak bisa memusnahkan dendam yang ada. Kalau sekarang Upasara berniat menghadapi, karena merasa inilah kesempatan yang tepat.
Suasana sepi. Lengang. Tak ada yang bergerak. Keinginan yang sama, sebenarnya diam-diam juga bersemi dalam hati yang hadir. Termasuk Baginda.
JILID 02 | BUKU PERTAMA | JILID 04 |
---|