Senopati Pamungkas Kedua Jilid 04

Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 04 karya Arswendo Atmowiloto
Sonny Ogawa
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 04

Biar bagaimanapun, nama besar Upasara selama ini selalu tergema. Namun bagaimana sesungguhnya tingkat penguasaan ilmunya tak banyak diketahui. Kini saatnya menguji dengan mata kepala sendiri. Menghadapi Halayudha yang dengan tenang bisa mempermainkan Pendeta Syangka seperti mempermainkan anak yang baru belajar silat.

Suasana sepi. Lengang. Tapi Upasara seperti mendengar kidungan yang terulang-ulang membisik.

Ingsun menutup rasa
rasa lindungilah ingsun
rasa makan cahaya
abadi dalam cipta
tetap mantap tak berubah


Ini semacam kidungan pambuka yang setiap kali diucapkan jika seseorang mulai berlatih ilmu silat. Untuk memusatkan pikiran, dengan kidungan yang diucapkan dalam batin. Seperti apa yang dikenal dengan mantra. Upasara Wulung makin menyadari bahwa satu tingkat kesadaran baru merasuk dalam dirinya. Yaitu bisa merasakan bisikan lirih mantra yang tidak diucapkan. Sesuatu yang pernah diperlihatkan Eyang Putri Pulangsih dengan sempurna ketika bisa membawa udara pernapasan Upasara!

Mantra yang berada dalam kalbuningsun
ada tempat berisi apa saja
tetaplah di situ, di tempatnya
tidak goyah, tidak berpindah
di situ ada Ingsun
di situ ada sinar
sinar kalbuningsun
bercahaya karena
diriku yang bercahaya
gilang-gemilang bersinar karena rasaku…


Eyang Putri Pulangsih membuat gerakan lirih di bibir. Seakan memendam perasaan bahwa ia mengetahui pertarungan mantra yang terjadi. Pertarungan kekuatan batin untuk mencari pijakan. Kejadiannya hanya sepersekian kejap. Akan tetapi justru pada saat-saat seperti itulah ucapan niyatingsun, kehendak batin, itu tertancap. Yang bisa mempengaruhi kekuatannya sendiri atau kekuatan lawan. Karena menanamkan kepercayaan diri adalah bagian yang penting sebelum menggerakkan tenaga dalam. Atau bahkan sebelum bernapas. Hanya sekejap.

Mendadak tanah seperti menjadi goyang. Getaran terasa menggigilkan tiang-tiang utama. Bersamaan dengan gerakan tangan Halayudha yang makin lama makin kencang. Anginnya memaksa untuk mundur satu-dua tangan. Upasara membiarkan tangan kirinya bergerak leluasa, mencari dan menemukan sumber tenaga; Matanya tertutup, sementara tangan kanan terkulai di lutut. Seluruh kepekaan Upasara hanya berawal dari getaran tenaga yang terasakan lewat udara.

Tubuh Halayudha menekuk sedikit, sebelum dengan satu gerakan sangat cepat bagai berkelebatnya pedang tubuhnya melayang. Menusuk ke arah Upasara. Dengan kedua tangan terkembang ke depan. Tidak memukul, tidak menjotos, tidak menusuk. Lurus terbuka telapak tangannya. Upasara mengangkat tangannya perlahan, menyongsong datangnya serangan. Tubuh Halayudha mendesing di atas kepala Upasara.

Plak!

Terdengar suara lirih. Benturan dua telapak tangan Halayudha dengan satu telapak tangan kiri Upasara. Tubuh yang tengah meluncur bagai tombak dilontarkan dengan sepenuh tenaga terbalik. Memutar di tengah udara, lurus ke arah dinding! Akan tetapi kaki Halayudha bisa menyentuh dinding, atau malah belum menyentuh sama sekali, tubuhnya telah berbalik lagi, menyerang dengan cara yang sama.

Lagi-lagi terdengar “plak” lirih. Tubuh Halayudha meluncur ke tempat semula. Dan mendadak berbalik sebelum kakinya menyentuh tiang Keraton. Berbalik lebih cepat sehingga mengeluarkan desingan suara yang menyobek udara. Sungguh luar biasa! Jarak antara tubuh Upasara dan dinding Keraton cukup jauh. Demikian juga dari tempat di mana Halayudha meluncur. Namun semua itu hanya dilewati dalam sekejap. Benar-benar seperti kecepatan anak panah yang dilepaskan dari busur yang terentang penuh. Bolak-balik. Dan setiap kali hanya terdengar suara “plak” lirih.

Mahapatih Nambi merasa menyaksikan pertarungan yang belum pernah dibayangkan. Tubuh Halayudha bisa meluncur begitu cepat dan berputar balik, tidak terlalu istimewa. Andaikata tidak meluncur tepat di tengah dua tubuh yang berdiri di tempatnya sejak tadi. Di antara tubuh Eyang Putri Pulangsih dan Gendhuk Tri. Yang seakan menjadi tiang, di mana Halayudha menerobos dengan leluasa.

Yang tidak diperhitungkan Mahapatih Nambi ialah bahwa setiap kali tubuh Halayudha meluncur ke dekatnya, Gendhuk Tri merasa tertekan tenaga yang berat sekali. Mengimpit dadanya. Kesiuran angin Halayudha memaksa untuk minggir dua langkah ke samping.

Sementara Eyang Putri Pulangsih masih menyilangkan kedua tangan di depan dada. Halayudha sendiri merasa getaran yang terpancar keras dari tenaga dalamnya, tiap kali seperti membentur permukaan yang licin. Sehingga benturan tenaga itu membuat tubuhnya melesat. Upasara tidak meladeni keras lawan keras. Juga tidak mengisap tenaga lawan. Telapak tangannya seperti membiaskan tenaga yang datang.

Lima kali berputar balik, Halayudha menyimpan tenaga benturan yang keras. Ia pusatkan tenaga di pundak. Dengan demikian ia ingin memaksa beradu tangan, dan pada saat yang sama akan menyusul dengan serangan keras. Akan tetapi Halayudha rada kecele. Kembalinya Timinggila KurdaTenaga dalam Upasara sama saja. Tak terdesak tak membalik.

Yang terjadi justru sebaliknya. Tubuhnya sendiri yang terlontar lebih keras dari semula. Di saat meluncur, tenaga dalam Halayudha bereaksi sendiri dengan keras. Sehingga luncuran tubuhnya makin kencang. Dengan mengeluarkan suara keras, Halayudha mendadak membalik tubuhnya. Bagai geliatan yang liat, tubuhnya berbalik seketika, dan kedua tangannya memagut tubuh Upasara! Inilah jurus-jurus Timinggila Kurda atau Ikan Gajah Murka. Jurus-jurus maut andalan Paman Sepuh!

Gendhuk Tri sudah tersingkir makin jauh tanpa terasa. Lingkaran yang mengepung juga membuka makin lebar. Dengan jurus ini, Halayudha memaksa pertarungan jarak pendek. Menggelut Upasara, yang mendadak memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan putaran Halayudha. Masih bersila, tubuh Upasara berputar makin lama makin kencang. Makin lebar putarannya, sehingga kini mengelilingi tubuh Eyang Putri Pulangsih yang masih berdiri tegak sejak tadi.

Apa yang dilakukan Upasara sebenarnya membuka ruang pertarungan yang lebih longgar. Karena merasa bahwa jurus-jurus Timinggila Kurda akan lebih menemukan bentuknya dalam ruang pertarungan yang lebar. Seekor ikan paus yang murka membuat gelombang lebih besar. Halayudha tidak merasa bahwa Upasara terpancing atau terdesak oleh serangannya. Nalurinya yang tajam justru mengatakan sebaliknya. Upasara sedang memberi kesempatan. Untuk menjajal ilmu yang sejati. Halayudha tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Belitan tubuhnya makin menggila. Menerjang bolak-balik dari segala penjuru dengan tangan dan kaki terentang. Seolah seorang anak yang kesetanan, yang menyerang dengan gerakan apa saja. Inti Timinggila Kurda memang demikian halnya. Tak berbeda dari yang dikuasai Upasara ketika masih memainkan Banteng Ketaton. Inti pengerahan tenaga sama caranya. Hanya latihan dan penguasaan tenaga yang jauh berbeda yang juga membedakan kekuatan serangan yang ada.

Tangan kiri Upasara mendadak mengeras. Kepalannya terbentuk. Ke arah mana serangan Halayudha datang, ke arah itu pula tangannya bergerak. Menyambut. Tiga gempuran berlalu. Sebelum kemudian tangan itu bergerak menangkap gerakan Halayudha. Memotong gerakan dengan paksa.

“Hiyah!!”

Halayudha berteriak nyaring. Dua tenaga kuat beradu. Tubuh Halayudha melesat jauh ke dinding Keraton di mana ia memanggang Pendeta Syangka! Sementara Upasara berdiri gagah. Beberapa kejap tubuh Halayudha seperti tertahan di dinding. Akan tetapi beberapa pasang mata yang awas mengetahui, bahwa justru sekarang Halayudha menunjukkan kesaktiannya. Ia terlempar sampai dinding, akan tetapi sekarang ini tubuhnya tidak menempel dinding, dan kakinya tidak menginjak tanah. Seolah mengapung.

“Hebat!”

Upasara tak menjawab pujian Halayudha. Telapak tangannya terdorong ke depan. Tubuh Halayudha bergoyang-goyang sebelum turun ke tanah.

“Hebat! Itukah jurus Penolak Bumi yang kondang tanpa tanding itu?”

“Kondang atau tidak, apa bedanya? Tanpa tanding, apa mungkin?”

Halayudha maju setindak. “Upasara, katakan jurus mana yang kamu mainkan?”

“Tak ada jurus. Saya tak memainkan apa-apa.”

Kalau ada yang menggelengkan kepalanya perlahan, itu hanyalah Eyang Putri Pulangsih. Dalam hatinya seperti terbersit umpatan yang mengatakan bahwa Upasara Wulung sangat tolol. Mengatakan apa adanya. Itulah ketololan yang juga dimiliki Bejujag.

“Coba ini!”

Halayudha menggertak maju. Kedua tangannya terayun ke depan, akan tetapi sapuan kakinya lebih cepat. Jauh sebelum mengenai tubuh Upasara, kakinya telah berputar balik. Pada saat yang sama tangannya mendorong tubuh Upasara. Walaupun kelihatan tetap tenang, Upasara merasa bahwa tekanan tenaga dalam Halayudha makin lama makin berat. Dengan mengosongkan tenaga di bagian kaki dan mendorong di bagian atas, Upasara menyadari bahwa bagian jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat sedang dimainkan.

Dengan tenaga dalam dan penguasaan yang lebih sempurna dari Ugrawe! Saat Ugrawe menguasai jurus itu, ia bisa malang-melintang tanpa lawan. Semua lawan bisa disikat dan dilumpuhkan. Karena tenaga dalam diisap habis, untuk dipindahkan ke dalam dirinya. Memakai perimbangan banjir besar di tubuh sendiri, akan tetapi kering kerontang di laut. Pemindahan tenaga dalam yang sangat berbahaya. Karena ini berarti pertarungan akhir.

Pada saat tenaga dalam Ugrawe kalah kuat, yang terjadi adalah sebaliknya. Tenaga dalamnya yang terisap ke luar. Yang berarti habis! Akan menjadi cacat seumur hidup. Upasara terkesiap. Sama sekali tak menyangka bahwa Halayudha akan memainkan jurus yang paling berbahaya. Kalau berani mengeluarkan Banjir Bandang Segara Asat, berarti sudah menakar kekuatan tenaga dalam lawan. Dan yakin akan memperoleh kemenangan.

Sepersekian kejap Upasara ragu, Halayudha mendesakkan tenaganya. Upasara memutar tubuhnya dengan kencang. Tangan kanannya bergerak ke bawah, memotong arus tenaga isap dan tenaga dorong. Halayudha memutar tubuhnya ke samping. Dua tangannya berada di sebelah atas pundak. Sedikit miring. Siap melancarkan serangan berikutnya.

“Hebat!” Kali ini Upasara yang memuji.

“Tak percuma menjadi lelananging jagat!” teriak Halayudha dengan napas sedikit tersengal.

Pujian Upasara bukan basa-basi. Untuk pertama kalinya ia menyaksikan bahwa Halayudha mampu menguasai pernapasan dan pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Yang sulit dicari tandingannya. Selama ini Upasara hanya mengetahui bahwa jurus maut memindahkan tenaga dalam hanya bisa dimainkan untuk meraih kemenangan atau kalah. Dan bukannya bisa ditarik kembali. Itulah sebabnya ia memuji tulus.

Sebaliknya, Halayudha juga merasakan kekuatan yang sesungguhnya. Sejak melancarkan Banjir Bandang, ia tidak melakukan sepenuh hati. Karena masih menjadi tanda tanya apakah keunggulan penguasaan tenaga dalamnya lebih atau masih kalah. Makanya di tengah perjalanan ia menarik kembali. Pujian Halayudha terutama karena Upasara mampu bergerak memotong gerakannya. Dan bukan sekadar menerima.

Ini juga untuk pertama kali Halayudha mengetahui bahwa gerakan lawan bukan hanya sekadar menerima, akan tetapi juga mementahkan. Meskipun belum tentu Upasara mampu mementahkan serangan kalau dirinya menyerang sepenuh tenaga, Halayudha merasakan keunggulan Upasara menangkap arah dan mengukur serangan.

Mahapatih Nambi yang mencoba mengikuti jalannya pertarungan dengan saksama, memperhitungkan bahwa dalam gebrakan ini Halayudha lebih unggul. Sekurangnya mampu memaksa Upasara berdiri, dan menggunakan tangan kanan. Padahal dalam prinsip-prinsip dasar, jurus-jurus Tumbal Bumi yang disebut Tepukan Satu Tangan, tetap dengan satu tangan. Mahapatih Nambi tidak menganggap dirinya sok tahu. Akan tetapi seperti dimaklumi, Kitab Bumi lengkap dengan bagian Tumbal Bumi atau Penolak Bumi boleh dikatakan dipelajari oleh semua senopati utama.

Halayudha mengibaskan tangannya. Tangan kanannya bergerak melengkung seperti menyampok air di sungai, dan dengan satu gerakan yang sama tubuhnya mengikuti tarikan tenaga sampokannya. Hanyut menuju Upasara.

“Pencuri dungu!” Kali ini Gendhuk Tri yang bersuara keras. Ia mengetahui bahwa Halayudha memainkan ilmu silat yang selama ini dimainkannya! Itu sebabnya Gendhuk Tri menganggap Halayudha sebagai pencuri ilmu orang. Nyatanya memang begitu.

Tirta Karkata
INI yang membuat para senopati menahan napas. Tadinya mereka berharap melihat pertarungan yang seru, yang mengucurkan darah dengan gerakan-gerakan ajaib. Akan tetapi nyatanya yang terjadi hanya gebrakan-gebrakan lirih. Sesekali saja. Perhitungan seperti itu bisa saja keliru. Harapan menyaksikan pertarungan kelas satu pernah diangankan juga oleh Gendhuk Tri. Ketika secara tidak langsung mengetahui pertarungan di Trowulan.

Akan tetapi jangan kata melihat tontonan yang menarik, untuk bisa mengikuti gerakan saja susah. Tidak persis sama, akan tetapi inilah yang tengah terjadi. Halayudha meliuk seolah sedang memamerkan tarian, tubuhnya hanyut secara lembut. Menggelinding ke arah tubuh Upasara. Akan tetapi ketika mendekat, mendadak kedua tangan terulur ke depan. Menjepit tenggorokan Upasara.

“Hhh!” Terdengar tarikan napas pendek.

Upasara seakan mendengar tarikan napas pendek itu. Berarti Eyang Putri Pulangsih pun mau tak mau akhirnya bereaksi. Berarti ada apa-apanya. Dugaan Upasara tak sepenuhnya meleset. Telinganya mendengar desahan napas Eyang Putri Pulangsih. Hanya saja makna yang ditangkap terlalu jauh. Eyang Putri Pulangsih mendengus bukan karena Halayudha memperlihatkan jurusnya secara bagus, akan tetapi melihat bahwa apa yang selama ini diajarkan, bisa menjadi lain.

Sebagai pencipta ilmu silat yang bersumber dari Kitab Air yang ditulis oleh tangannya sendiri, Eyang Putri Pulangsih mengetahui persis apa yang terjadi. Akan tetapi tidak menyangka bahwa di tangan Halayudha gerakan itu bisa diubah menjadi gerakan panas. Tak pernah terbayangkan ketika menciptakan dulu. Gendhuk Tri yang tadinya mengenali ilmu silatnya yang ditiru Halayudha, jadi sangsi. Tapi sekaligus juga kuatir. Karena Halayudha memainkan secara telengas.

Memang di tangan Halayudha, segala ilmu silat bercampur aduk menjadi satu. Dengan kemampuan mengendalikan napas dan kemampuan menimba serta menyaring, Halayudha boleh dikata tanpa tandingan dalam soal ini. Ilmu murni yang dipelajari sudah bercampur dengan ilmu yang lain. Yang kebetulan sama-sama ilmu kelas satu.

“Air apa? Air kotor macam begitu dipamerkan?” Suara Gendhuk Tri lebih merupakan gambaran kecemasan yang ada.

Upasara mengertakkan giginya. Jepitan di tenggorokan ditangkis keras, dan dengan gerakan yang sama sikunya amblas ke dada lawan.

Trak! Traak!

Traaaak! Trak!

Empat kali terdengar suara benturan keras, seakan tulang-tulang patah. Upasara mengimbangi kekerasan dengan kekerasan. Jepitan yang masuk ditolak dengan menerobos ke dalam dan dengan tenaga keras coba dipatahkan. Tangan Halayudha yang menjepit menjadi renggang. Seolah jepitan yang menemukan barang lebih keras. Dua kali usaha dilakukan dengan hasil yang sama.

Halayudha mendesis perlahan, mengubah gerakannya menjadi lembut, dan seakan membelai leher Upasara, atau mengili-ngili. Dibarengi gerak tubuhnya yang hanyut oleh irama tangan, sangat kontras dengan apa yang dimainkan sebelumnya. Upasara segera menyadari bahwa Halayudha memperlihatkan kelebihannya dalam mengatur tenaga dalam. Sebelum menggila dengan Timinggila Kurda yang dahsyat serta Banjir Bandang, dalam sekejap sudah mengganti dengan jurus keras yang lembut, lalu berubah lagi dengan jurus lembut yang keras.

“Amati baik-baik. Inilah Tirta Kartaka!”

Gendhuk Tri memang tidak mengenal nama jurus-jurus yang dimainkan. Ia tahu persis arah gerakan dan perubahan-perubahan yang terjadi, akan tetapi secara langsung tidak mengerti istilah atau penamaan jurus-jurus tersebut. Bisa dimengerti karena dulu Eyang Raganata yang menurunkan ilmunya, baik kepada Jagaddhita maupun kepadanya secara langsung, tak pernah memberitahu. Karena memang itu bukan hak Eyang Raganata. Eyang Putri Pulangsih yang lebih berhak.

“Aku sengaja memberikan pelajaran.”

Gendhuk Tri gondok sekali. Dongkol hingga ke pangkal leher. Akan tetapi diam-diam tetap mengagumi kehebatan Halayudha. Bukan hanya lidahnya yang culas dan otaknya yang licin, akan tetapi ilmu silatnya juga serba tak terduga.

“Ia benar sekali, Gendhuk. Kamu perhatikan baik-baik.”

Gendhuk Tri mendengar bisikan di telinganya. Pasti Eyang Putri yang berdiri di kejauhan, yang seperti tak bergerak itu, yang memberitahu.

“Dasar-dasar yang digerakkan adalah dasar yang sama dengan yang kamu pelajari. Sumber gerakan yang ada adalah sumber tenaga air. Akan tetapi ia menggabungkan dengan kemampuannya sendiri untuk mengembangkan. Kembangan atau variasi yang dimunculkan sekarang adalah gabungan tenaga menjepit yang keras-lembut dan lembut-keras, yang tak ada dalam tenaga air. Tenaga air adalah tenaga mengalir. Halayudha ini menghimpun dan memainkannya. Ia menyebutnya sebagai Tirta Kartaka atau bisa berarti Air Udang atau Air Ketam. Udang mempergunakan tenaga lembut-keras, sedangkan ketam mempergunakan tenaga keras-keras dalam menjepit lawan. Boleh juga orang ini! Kartaka yang bisa berarti ketam dan atau udang, sengaja tidak dipisahkan, melainkan digabungkan. Mana ketam dan mana udang tak dipersoalkan lagi. Boleh. Orang ini ilmunya boleh juga.”

Menghadapi benturan yang keras atau elusan, Upasara menggeser kedua kakinya. Miring ke samping, sambil kedua tangannya menarik udara sekitar. Dengan demikian Halayudha menjadi sedikit sempoyongan. Kalau tadinya Halayudha sedikit lebih unggul, kini nampak justru keteter. Gerakannya tak lagi bisa perkasa. Beberapa kali terseret maju, dan dengan membuang tubuhnya, Halayudha berusaha tampil dengan perkasa.

“Kakang bisa mengatasi!”

“Jangan tolol,” bisik suara Eyang Putri Pulangsih agak menyakitkan telinga. “Bukan kakangmu yang hebat. Tapi Bejujag. Apa yang dimainkan sekarang adalah jurus Penolak Bumi. Kembangan yang diperlihatkan Upasara menunjukkan ia sedang mengisap dan membuang habis tenaga sekitar. Tenaga air yang dipakai Halayudha sedang ditawu. Sedang dikuras habis. Bejujag menciptakan Kitab Penolak Bumi secara sempurna. Ilmu yang kuciptakan sekian tahun bisa dimentahkan. Apa artinya udang atau ketam dalam soal menyerang kalau tak ada air? Sayang sekali kalau segera habis. Gendhuk, kamu katakan agar Halayudha segera memainkan Kidungan Lwah Gangga Gahan”

Gendhuk Tri jadi bingung sendiri. Ia menggigit bibirnya.

“Jangan tolol. Ini pelajaran penting bagimu. Kalau pertarungan berjalan lama, kamu bisa mendapatkan banyak kesempatan melihat. Sekalian aku melihat seberapa jauh Bejujag menghadapi ilmuku.”

Dengan napas terengah-engah Gendhuk Tri berteriak, “Halayudha, kamu jangan menjadi tolol. Sudah terang tenaga air kamu menjadi musnah, masih saja nekat. Jangan membuat aku yang mewarisi ilmu itu menjadi malu. Kenapa tidak memainkan Kidungan Lwah. Bukankah Sungai Gangga sangat masyhur?”

Eyang Putri Pulangsih tersenyum dalam hati. Sama sekali tak disangka bahwa “cucu-muridnya” mempunyai lidah yang tajam.

“Aku coba…”

Gendhuk Tri kaget sendiri. Karena Halayudha bisa menangkap dengan baik. Gerakan tangannya ditarik kembali, dan kini tubuhnya mengambang ke atas, bagai gelombang. Begitu saja menyerang ke arah Upasara dengan suara kesiuran angin yang keras.

Halayudha bisa menangkap pengertian Lwah, yaitu tenaga sungai atau tenaga bengawan. Dengan mengambil perumpamaan Sungai Gangga, Halayudha bisa mengubah serangannya yang mulai kering, dengan awalan. Seolah menghapus pertarungan yang tengah berlangsung dan memulai dari awal.

“Lyap-Lyus yang menjadi lanjutannya. Bukankah begitu?”

Gendhuk Tri tertegun. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana. Pertanyaan itu tak bisa dimengerti. Karena kidungan yang utuh tak diketahui. Tapi Gendhuk Tri tak mau kehilangan akal.

“Untuk hal kecil begitu saja pakai tanya segala…”

Prathiwibhara
UPASARA yang merasakan akibatnya. Tubuh Halayudha seakan menyeret dan melontarkan, mengaduk-aduk dirinya. Mau tak mau Upasara mengimbangi dengan meloncat ke atas, membalik, dan membiarkan Halayudha menguasai medan pertarungan. Pukulan kanan-kiri yang menyambar, membuat Upasara bertahan.

Kembali jantung Gendhuk Tri terguncang keras. Lyap-Lyus yang hanya sepatah dan sekali diucapkan, membawa perubahan yang besar. Lyap artinya meluap atau penuh. Kini tenaga bengawan itu diluapkan. Lyus artinya binasa atau meninggal, atau meninggalkan gelanggang. Kemungkinan ketiga inilah yang terjadi pada diri Upasara. Medan pertarungan dikuasai sepenuhnya oleh Halayudha. Yang secara perlahan tapi keras dan pasti mengurung Upasara.

“Katigalyus…”

Seruan di telinga Gendhuk Tri segera tergema tanpa bisa dikuasai sendiri. Padahal Gendhuk Tri mengetahui bahwa ucapan itu berarti petunjuk bagi Halayudha. Mungkin yang menentukan. Karena kini Halayudha meningkatkan serangan menjadi tiga kali lipat. Katigalyus berarti ketiga-tiganya sekaligus! Yang bisa berarti tiga kali lipat. Tiga lawan bisa diringkus dalam saat yang sama.

Brett!

Upasara meloncat mundur dengan sebat hingga ke dinding, dan Halayudha menyambar datang. Bentrokan kecil, membuat Upasara meninggalkan dinding, meloncat ke atas, dan sekejap kemudian gelombang bengawan sudah merangseknya. Dengan menggerung keras, Upasara menyelinap masuk. Ketika Halayudha menerjang ke arahnya, Upasara menyelinap di antara dua kaki Halayudha. Lolos di balik tubuh Halayudha. Luar biasa! Akan tetapi sebelum bisa melancarkan serangan, tubuh Halayudha sudah berbalik dan tangannya terayun, seakan merogoh isi perut Upasara. Diiringi desisan kecil Upasara berusaha menangkis.

Plak!

Terdengar suara kecil, lirih. Tubuh Upasara menjadi bergoyang karenanya. Halayudha tersenyum penuh kemenangan ketika untuk kedua kalinya tangannya terayun. Lompatan Upasara hanya membuat tubuhnya makin jauh saja. Pukulan Halayudha tidak ditarik. Tangannya meluncur terus menembus dinding Keraton. Amblas ke dalam. Baru ketika ditarik kembali, dinding itu menjadi bolong dan debu beterbangan tertiup angin. Di dinding, membekas dua tangan Halayudha, sebatas siku!

Leher Gendhuk Tri menjadi beku. Bisa dibayangkan jika dada atau isi perut Upasara tersambar pukulan ini! Dinding saja amblas. Dan bekasnya hanya sebatas kepalan tangan. Sekitarnya masih utuh. Ludah pun tak bisa ditelan. Sungguh tak masuk akal jika Upasara Wulung dikalahkan oleh Halayudha karena petunjuk Gendhuk Tri. Sampai mati pun ia akan terus menyesali. Tapi Gendhuk Tri tak bisa berbuat lain. Karena yang membisiki adalah eyang gurunya.

Yang membuatnya pusing dan tak mengerti ialah, bahwa tadi Eyang Putri Pulangsih datang bersama Upasara Wulung. Dan berdiam diri pada saat permulaan pertarungan. Tapi kini justru berbalik. Membantu Halayudha. Walaupun sebenarnya telah diberitahu, Gendhuk Tri tak bisa menangkap keinginan Eyang Putri Pulangsih. Baginya tidak masuk akal kalau ini semua hanya dikarenakan Eyang Putri Pulangsih ingin menjajal ilmunya dengan apa yang diajarkan Eyang Sepuh. Tak masuk akal karena risikonya begitu tinggi. Sedikit saja salah, tubuh. bisa hancur. Atau setidaknya, cacat seumur hidup.

“Jangan tolol. Semua mempunyai risiko. Kalau tidak mau menjadi ksatria, jangan terjun ke dunia silat. Menenun kain mungkin lebih tepat. Atau menjadi waranggana.”

Eyang Putri Pulangsih mengetahui jalan pikiran Gendhuk Tri dan mencegat dengan pernyataan, bahwa itu sudah biasa. Kalau mau aman ya menjadi pesinden atau penyanyi kidungan diiringi gamelan. Bahwa Gendhuk Tri bisa menolak mengatakan apa yang terbisikkan di telinganya, bukan hal yang sulit. Ia bisa melakukan hal itu. Namun ia juga sadar, bahwa Eyang Putri Pulangsih jauh lebih bisa membisikkan itu secara langsung kepada Halayudha.

“Aku mau tahu, apakah Bejujag bisa menandingiku. “Kitab Bumi macam mana yang tidak hanyut oleh air?”

“Tapi sungguh tidak adil,” kata Gendhuk Tri.

“Apanya yang tidak adil?”

“Kakang Upasara tak ada yang membisiki.”

“Biar saja sampai Bejujag muncul.”

“Kalau tidak?”

“Berarti Bejujag mengakui kekalahannya.”

“Belum tentu, belum tentu…”

“Gendhuk geblek, jadi kamu lebih mengakui keunggulan Bejujag?”

Gendhuk Tri tersenyum tawar. Sunggingan senyuman menjadi gambaran kesakitan.

“Tidak adil, karena Halayudha tinggal memainkan saja. Padahal yang sangat menentukan justru pada jurus keberapa ilmu ini dimainkan. Menentukan itu yang lebih wigati, bukan sekadar memainkannya. Kalau cuma itu, saya juga bisa melakukannya.”

“Belum tentu. Apa yang dimainkan Halayudha mempunyai dasar Kitab Bumi juga. Sekurangnya ketika masih diciptakan Dodot Bintulu.”

Padahal dengan ucapan tadi, Gendhuk Tri mengisyaratkan dirinya yang maju menggantikan Halayudha. Kalau ini bisa terjadi, bukankah adu ilmu antara para tokoh sakti masa lalu tak perlu meninggalkan korban?

"Keampuhan ilmu silat berbeda dengan bunyi kidungan. Ilmu silat harus dilatih, harus ditemukan lawan. Tanpa itu latihan yang ada lebih untuk kesegaran dan olah tubuh. Dan seorang ksatria harus terjun ke medan pertempuran. Dengan menjadi prajurit atau apa saja. Sri Baginda Raja berpesan begitu. Apa gunanya punya ilmu silat tinggi kalau tak bisa membunuh lawan? Itu belum ilmu silat!”

Gendhuk Tri makin merasa jengkel dinasihati seperti itu.

“Kamu masih perlu mendengar lebih banyak. Kalau mengaku pewaris Kitab Air.”

Gendhuk Tri memejamkan matanya.

“Sekarang saatnya… Gendhuk Tri, katakan sekarang saatnya lwa, lwang, lwar”

Gendhuk Tri mengulangi. Halayudha mendadak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya berputar dengan satu kaki sebagai sumbu. Makin kencang, dan bergeser ke arah lwar atau utara. Sementara lwa atau keluasan, kelapangan Lwang atau ruang yang ada, menjadi kekuasaan pengaruh Halayudha. Bagai terseret arus, Upasara tak bisa menghindar ke arah lain. Tubuhnya terseret, menghadap ke arah utara, di mana Halayudha makin gencar melancarkan serangan.

“Bagus! Ikuti aku…”

Halayudha menggeser ke arah timur, dan Upasara mengikuti. Bahkan ketika Halayudha berputar, tubuh Upasara ikutan berputar.

“Bagus! Kumakan kamu…”

Gendhuk Tri menjerit lemas. Bukan hanya dirinya yang mengetahui bahwa permainan Halayudha sudah mencapai puncak yang menentukan kemenangan. Karena kini Halayudha sepenuhnya mendikte pertarungan. Ke arah permainan keras, lembut, keras-lembut, lembut-keras, Halayudha-lah yang menentukan.

Upasara hanya bisa melayani. Tanpa bisa menentukan gerakan atau cara bertarung. Sekuat apa pun bertahan, akan tetapi jika pertarungan mulai dikuasai seseorang, yang terpaksa mengikuti akan kedodoran. Karena tak bisa seperti apa yang diharapkan. Hanya bisa mengimbangi. Kedua tangan Halayudha terangkat tinggi. Upasara mengikuti, seakan siap menahan serangan.

Tapi mendadak sekali, tangan itu terulur turun dengan tubuh terbalik ke atas. Sedemikian cepatnya, sehingga sebelum kedua tangan Upasara mengikuti, tubuhnya kena jamah. Terpegang erat. Tinggal membanting atau meremukkan.

“Prathiwibhara!”

Prathiwitala
GENDHUK TRI merasa pertarungan berakhir. Teriakan itu seperti mengakhiri pertarungan yang sesungguhnya. Karena dengan meneriakkan serangan terakhir, Halayudha yakin dan pasti apa yang dilakukan! Dalam keadaan terdesak, Upasara tak mempunyai pilihan lain. Gendhuk Tri tak berani membuka matanya. Akan tetapi telinganya seperti mendengar desahan napas yang ditarik dengan berat. Barulah kini sadar, bahwa teriakan itu bukan diucapkan oleh Halayudha. Melainkan oleh Upasara Wulung. Ah, bagaimana mungkin ia bisa melupakan nada suara Upasara? Desahan napas berat itu pasti dari Eyang Putri Pulangsih yang merasa kecewa. Berarti…

Gendhuk Tri membuka matanya. Pemandangan yang terlihat masih seperti semula. Upasara Wulung berdiri tegap. Dadanya dipegang kencang oleh Halayudha yang menangkap dari atas. Kini siap membanting atau menghancurkan. Tampak sekali tenaga yang tengah dikerahkan Halayudha, sehingga udara sekitar seperti dipenuhi dengus keras. Tapi anehnya, Upasara bergeming. Tetap berdiri tegak. Kalau pukulan Halayudha bisa membuat lubang di dinding Keraton menganga, kenapa sekarang tak berarti?

Tak kurang kagetnya, Halayudha sendiri. Dengan pengalaman bertarung yang boleh dikatakan lebih dari mengenyangkan, Halayudha sangat yakin bahwa ia sepenuhnya menguasai pertarungan. Bisa memaksa Upasara bertahan. Pada saat yang menentukan tenaga air bah yang ada disalurkan, dan bisa menangkap Upasara. Tanpa sempat melawan.

Akan tetapi seperti ada keajaiban. Tubuh Upasara menjadi kelewat berat. Tak bisa digerakkan, apalagi diangkat. Semakin keras ia mengeluarkan tenaga, semakin yakin bahwa usahanya sia-sia. Bahkan ketika berusaha menyalurkan tenaga dalam untuk menggempur, Upasara tetap bergeming. Seakan tenaga dalamnya demikian kuat mewadahi air bah yang menyerang.

Baginda yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan yakin bahwa kini kemenangan di tangan Halayudha, salah seorang senopatinya. Setidaknya sampai saat bisa menangkap tubuh Upasara. Maka cukup mengherankan, kalau sekarang Halayudha berkutetan sendiri hingga tubuhnya mengepulkan asap tebal berwarna cokelat. Tanda pengerahan tenaga yang berlebihan.

Sebaliknya, Upasara tetap gagah. Bahkan kedua tangan yang tadi mengikuti gerakan Halayudha, masih tetap terbuka telapak tangannya ke arah langit. Bukankah…

“Kemplang saja ubun-ubunnya… atau Kakang pilih pencet hidungnya!”

Perhitungan Gendhuk Tri yang memberi komentar sederhana alasannya. Melihat Halayudha terpaku, Upasara bisa melakukan apa aja sesuka hatinya. Telapak tangan yang menengadah ke langit bisa diturunkan ke ubun-ubun lawan. Andai tahu nasihatnya bisa menghancurkan Upasara, Gendhuk Tri tak punya sisa umur untuk menyesali. Hal ini baru jelas, ketika bisikan Eyang Putri Pulangsih yang geram terdengar lirih.

“Jangan tolol, jangan sembrono. Upasara tak akan mengubah tubuhnya sekarang ini. Ia sedang melakukan pernapasan dan sekaligus juga gerakan Prathiwibhara, atau Memberat Seperti Bumi. Inilah jurus yang paling curang yang diciptakan Bejujag. Gendhuk, kamu tahu air yang bergerak. Bukan oleh tenaganya sendiri, melainkan tenaga lain yang ada. Tanpa memaksa. Bejujag curang. Ia menyandarkan kekuatannya pada bumi, pada tanah. Kekuatan tanah yang diambil untuk intinya. Seperti sekarang ini. Tak apa, hampir semua ilmu begitu. Tapi lihatlah. Telapak tangan Upasara Wulung yang menengadah ke atas. Lihat baik-baik, bukankah itu curang?”

“Curang?”

“Ya. Bejujag curang. Masa kamu pura-pura tak melihat?”

Mata Gendhuk Tri sampai berkejap-kejap karenanya. “Curang?”

“Jangan kamu ulang seperti keheranan. Itulah kecurangan Bejujag. Dalam ilmu pernapasan yang mengambil kekuatan bumi, telapak tangan selalu menghadap ke bawah, berputar gerakannya. Menghadap tanah sebagai tanda hormat. Tapi Bejujag menciptakan itu dengan menghadapkan telapak tangan ke atas. Ke langit. Berarti ia memakai tenaga bumi, tapi juga main mata dengan tenaga langit. Apa itu tidak curang? Kalau Bejujag ada, sekarang ini pasti sudah terkencing-kencing karena malu.”

“Kenapa, Eyang?”

“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Sudah jelas ia mengabdi bumi. Memuliakan bumi. Kenapa memunggungi bumi?”

“Menghormati tidak berarti hanya menyembah. Mencintai tidak berarti hanya memiliki.”

Gendhuk Tri terbelalak. Upasara bersuara dengan keras.

"Apakah itu suara Bejujag, ah maaf, Eyang Sepuh? Bagaimana kamu bisa bilang begitu, Upasara?”

Suara Eyang Putri Pulangsih memecah kesunyian. Kini Eyang Putri Pulangsih tidak melalui bisikan, melainkan langsung menanyakan kepada Upasara yang masih berdiri gagah dengan kedua tangan Halayudha memegangi erat-erat.

“Mencintai adalah menjadi diri sendiri. Dalam diri, tak ada perasaan iri kepada tubuh sendiri.”

“Siapa mengajarimu itu?”

“Maaf, Eyang Putri, dalam kidungan Penolak Bumi, semua diajarkan. Hamba hanya menghafal belaka.”

“Kenapa telapak tanganmu tidak menutup ke bawah?”

“Tak perlu, Eyang. Bumi adalah diri kita sendiri. Disembah atau tidak, tak mengubah arah.”

“Kalau begitu, kenapa kamu tak berani bergerak?”

“Tenaga berat bumi, menunjukkan penghormatan yang besar kepada bumi. Tenaga yang menyerahkan sepenuhnya kepada bumi.”

“Kenapa tanganmu tak berani bergerak, itu pertanyaanku.”

“Prathiwitala.”

Itu berarti Upasara sedang melakukan gerakan Permukaan Bumi. Prathiwitala artinya adalah Permukaan Bumi. Dengan demikian, Upasara telah menjawab pertanyaan Eyang Putri Pulangsih. Bahwa sebagai permukaan bumi, tangan tengadah juga merupakan bagian dari bumi. Tak peduli ke mana pun tengadahnya. Atau tengkurapnya. Sekilas seperti tanya-jawab yang mengada-ada. Akan tetapi sesungguhnya Eyang Putri Pulangsih sedang menakar sejauh mana kekuatan utama Bejujag yang dikenalnya, yang akan dijajal ilmu silatnya setelah berpisah lima puluh tahun. Setelah saling membicarakan tidak langsung. Dan Bejujag bisa menjawab.

Bejujag-nya bisa menjelaskan bagaimana tenaga bumi yang dipergunakan dengan leluasa, tanpa harus tergantung pada gerakan yang formal. Dengan kata lain, gerakan-gerakan tertentu tak lagi harus mencerminkan pengerahan tenaga tertentu. Gerakan tangan memukul, tidak berarti mengerahkan tenaga ke telapak tangan. Ini pula sebabnya pukulan yang paling berarti diberi nama Tepukan Satu Tangan. Yang sulit diterima akal, bagaimana mungkin bertepuk dengan sebelah tangan, dan menghasilkan suara lebih nyaring. Tapi justru penguasaan inilah yang tertulis dalam Tumbal Bantala Parwa.

“Bukankah pengerahan tenaga dalam seperti itu justru aku yang memulai? Tenaga bisa mengalir dari arah mana saja?”

“Hamba tidak tahu, Eyang.”

“Ya, kamu tidak tahu. Bejujag juga akan menjawab begitu. Karena malu mengakui, akulah sumbernya.”

Gendhuk Tri menggeleng. “Eyang Putri Pulangsih, kenapa meributkan soal itu? Baru saja Eyang Putri mengatakan, tanpa pertarungan tak bisa ditentukan siapa yang mempunyai ilmu lebih tinggi. Bukankah sekarang sudah terbukti?”

Mendadak terdengar suara nyaring. Nadanya tinggi sekali. Sehingga Baginda sempoyongan dan ditopang oleh Mahapatih Nambi. Dan Permaisuri Rajapatni jatuh telentang. Suara Eyang Putri Pulangsih!

Tangisan Manastapa
ROBOHNYA Baginda bukan karena pengaruh tenaga dalam. Seperti juga terjengkangnya Permaisuri Rajapatni. Suara mendesis yang keluar dari tarikan napas berat Eyang Putri Pulangsih adalah apa yang dikenal dengan Tangisan Manastapa, Tangisan Dukacita yang Menyayat.

“Bejujag, kuakui keunggulanmu. Hari ini aku kera wanita yang tak bodoh, sepenuhnya mengakui keunggulanmu. Lima puluh tahun waktu yang lama bagiku untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Akan tetapi kenakalanmu lebih disayang Dewa.”

Selesai berkata, Eyang Putri Pulangsih menunduk. Ganti kini yang bergoyang keras adalah tubuh Upasara Wulung. Halayudha yang sejak tadi berkutetan merasa aneh. Kalau tadi tubuh Upasara Wulung bagai tertanam dalam bumi, kini ada saat-saat luang yang bisa dipakai untuk membedol tubuhnya. Dan seperti rencana semula. Bisa dibanting atau diremukkan.

Kesempatan yang baik. Kesempatan yang baik untuk merenggut kemenangan. Dengan mahapatih sebagai jabatan imbalan. Dan gelar ksatria lelananging jagat. Hanya saja Halayudha ragu. Apakah kondisi Upasara terpengaruh teriakan Eyang Putri Pulangsih atau sedang mencoba sesuatu yang lain. Karena rasanya tak masuk akal jika Upasara bisa tergetarkan hatinya dan terpengaruh tenaga dalamnya. Karena meskipun tenaga dalam yang terpancarkan sangat kuat, akan tetapi Upasara masih bisa mengungguli.

Yang tak pernah terpikirkan oleh Halayudha yang cerdik dan banyak akalnya ialah adanya liku-liku di balik penciptaan segala ilmu yang kini dipertarungkan. Upasara terpengaruh bukan karena tenaga dalamnya terbetot. Melainkan karena duka hati Eyang Putri Pulangsih tergema dalam dirinya. Itu memang keunikan Tangisan Manastapa. Bagi mereka yang tengah dilanda duka, perasaan akan terseret keras.

Begitu juga halnya dengan Baginda. Yang sedang berduka karena satu dan lain hal. Berbeda dari Eyang Putri Pulangsih, Baginda berduka karena merasa caranya mengendalikan kekuasaan gagal. Sementara Permaisuri Rajapatni, mudah diduga...

JILID 03BUKU PERTAMAJILID 05
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.