Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
BAGIAN 05
Kemunculan Upasara Wulung membuyarkan semua angan-angannya. Mencampuradukkan perasaannya. Ia menjadi kikuk dan serba salah. Tak jauh berbeda dari Upasara Wulung yang menjadi salah tingkah. Hanya karena sejak tadi duduk bersila tanpa bergerak dan tak begitu diperhatikan, jadi tidak begitu kelihatan.
Sebaliknya, Gendhuk Tri tidak terpengaruh selain telinganya sedikit sakit. Bukan karena tak menyimpan duka, melainkan karena dukacita yang dialami Gendhuk Tri bukanlah dukacita yang mengendap ke dalam bawah sadar. Ke lubuk hati yang dalam dan tak tersingkirkan, tak hilang oleh perhatian yang lain.
“Lima puluh tahun aku menunggu. Untuk melihatmu mengakui bahwa aku mempunyai harga yang dibanggakan. Kukeduk semua isi Kitab Bumi, kusempurnakan dalam Kitab Air. Ternyata kamu memang lelaki perkasa. Bejujag, hari ini aku rela menerima kekalahan itu.”
Tangan Eyang Putri Pulangsih mengibas. Untuk pertama kalinya bergerak sejak datang tadi. “Tugasku yang terakhir, mempertemukan Upasara dengan Gayatri, telah selesai. Tugasku menemukan dirimu dengan diriku telah selesai. Bejujag, aku tak bisa iri dengan kabegjan, dengan keberuntungan yang kamu peroleh. Kudengar Raganata pergi, Dodot Bintulu pergi, dan kamu bisa moksa. Aku yang masih hidup ternyata tetap tak bisa membuktikan keunggulanku. Bejujag, kamulah lelaki sejati. Baginda Raja akan menerimamu di sampingnya.”
Halayudha bersiap menggempur Upasara. Sekali dicoba dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Dan membuat heran, karena Upasara seperti merasakan kesakitan yang luar biasa. Daya balik tenaga dalamnya seperti tak terarah. Ini saatnya!
Upasara sendiri merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan kemampuannya mengerahkan tenaga dalam. Sesuatu yang memang kadang masih dirasakan tanpa bisa dikuasai. Hanya saja kalau terjadi di saat segenting ini, bisa berbahaya. Apalagi yang dihadapi adalah Halayudha. Tetapi tak bisa lain. Tak bisa mengubah gerakannya menancap bumi dan menengadah langit. Sedikit saja perubahan, Halayudha bisa merasakan. Dan dengan segera akan menyerbu masuk. Satu kali cukup untuk melukai Upasara. Atau bahkan melumpuhkan. Itu yang akan terjadi, kalau tidak terdengar teriakan dalam nada yang sama tingginya.
“Raganata telah mati, Dodot Bintulu sudah mati. Bejujag sudah sembunyi, sampai mati kering. Tapi masih ada aku. Pulangsih, Pulangsih-ku, masih ingatkah kau padaku?”
Siapa pun yang mendengarkan merasa ganjil. Suara yang sember dengan nada masih remaja. Lebih aneh lagi begitu memperhatikan siapa yang mengatakan itu. Yaitu Nyai Demang yang menggendong tubuh kaku Kebo Berune. Kehadirannya saja aneh. Apalagi suaranya, dan isi ucapan yang menggambarkan kerinduan mendalam.
“Pulangsih, ini aku.”
Eyang Putri Pulangsih menghela napas. “Kebo tolol, kamu mau apa lagi? Semua sudah terlambat. Kamu sendiri sudah terlambat.”
“Sama sekali tidak. Aku masih segar bugar. Lima puluh tahun lalu, seperti yang kujanjikan, aku akan datang merebut kemenangan dan menempatkan kamu di sisiku. Selamanya. Aku mau tahu siapa yang bisa berdiri menghalangi. Raganata? Aha, mayatnya pun sudah jadi tanah. Dodot Bintulu? Cacing yang makan tulangnya sudah berdebu. Bejujag? Apa anehnya lelaki kurang ajar yang beraninya bersembunyi sepanjang hidupnya? Yang kerjanya mencuri dan mengatakan tak bisa apa-apa? Pulangsih, aku Kebo tolol. Tapi akulah yang mendapatkanmu.”
Halayudha tak tahu persis. Apakah ia bergembira atau sedih dengan membawa Nyai Demang ke Keraton. Kalau semula ingin mempelajari ilmunya kini menjadi lain akhirnya.
“Kamu sudah modar. Jangan memaksa diri.”
“Pulangsih, siapa bilang aku mati? Tidakkah kamu lihat diriku sekarang ini?”
Gendhuk Tri menggigil. Ini benar-benar tak masuk akal. Pertarungan lima puluh tahun lalu masih terus berlanjut sampai kini. Eyang Kebo Berune masih merasa hidup. Walau hanya memakai pinjaman tubuh Nyai Demang.
“Nyai…” Teriakan Gendhuk Tri membuat tubuh Nyai Demang miring ke arahnya. “Itu Kakang Upasara. Tidakkah kamu perlu menanyakan kabar keselamatannya?”
Inilah cara Gendhuk Tri untuk memotong hubungan batin antara Eyang Kebo Berune dan Nyai Demang. Karena kalau kesadaran Nyai Demang muncul, pengaruh pada dirinya surut. Dengan menyebutkan nama Upasara, Gendhuk Tri berharap Nyai Demang akan muncul kesadarannya. Perhitungan yang bagus!
Tapi tidak berarti tepat pada sasaran. Karena kini pengaruh Eyang Kebo Berune sangat kuat. Niatan dan keinginan yang selalu mendesak untuk bertemu dengan Eyang Putri Pulangsih, jauh menindih keinginan Nyai Demang untuk menyapa Upasara.
“Nyai…”
“Percuma…” Kalimat Eyang Putri Pulangsih seperti tertuju ke arah Gendhuk Tri dan Nyai Demang sekaligus. “Tak ada gunanya lagi.”
Halayudha mencelos. Kini tubuh Upasara menjadi kokoh lagi. Tak bisa digasak lewat tenaga dalam.
“Nenek tua, kenapa tidak kamu tolong orang itu?”
Kali ini Gendhuk Tri jadi pencilakan. Matanya berputar, mencari-cari suara yang seperti dikenalnya. Benar saja, itu suara Cebol Jinalaya! Yang makin membuat Gendhuk Tri gelisah tak menentu. Bagaimana mungkin si Cebol itu berlaku kurang ajar? Menyebut dengan panggilan nenek tua?
Bukankah tadi masih di depan? Masih menyaksikan pertarungan antara Singanada dan Senopati Agung? Di mana mereka kini, dan apa yang terjadi?
Keraton Tanpa Tata Krama
BARU Gendhuk Tri sadar. Bahwa Singanada juga berada di halaman dalam. Bersama dengan Senopati Agung dan para pengiringnya.
Halaman dalam Keraton benar-benar penuh sesak. Sesuatu yang untuk pertama kalinya terjadi. Orang-orang luar bisa masuk seenaknya. Bisa leluasa berdiri seperti juga yang dilakukan Cebol Jinalaya. Semua terjadi di depan Raja.
Gendhuk Tri bersyukur bahwa Singanada tidak melanjutkan pertarungan mati-hidup dengan Senopati Agung. Ia hanya bisa menduga-duga bahwa pertarungan mereka berdua terhenti. Terhenti sementara. Dugaan Gendhuk Tri tak jauh meleset. Di saat keduanya bertarung makin ketat, makin menuju penentuan, terlihat dua bayangan berkelebat. Yang muncul dan lenyap kembali.
Sebagai sesama jago silat, Singanada maupun Senopati Agung sudah terbiasa dengan kejadian itu. Tak bakal terpengaruh. Akan tetapi sekali ini lain. Desiran bayangan yang muncul dan pergi bukan sekadar bayangan jago silat. Melainkan juga membersitkan sesuatu yang begitu hebat dan dekat dengan mereka.
Bisa dimengerti karena keduanya mempunyai akar yang sama. Yaitu sama-sama bersumber dari Kitab Bumi. Dan yang sedang dimainkan oleh Upasara maupun Halayudha saat itu tak jauh berbeda. Tanpa sungkan-sungkan, Singanada meloncat mundur.
“Aku tetap akan membunuhmu. Tapi rasanya sayang sekali kalau tidak melihat apa yang terjadi di dalam.”
Senopati Agung mengusap janggutnya perlahan. Walau dirinya sangat ingin tahu, hatinya tak bisa mengatakan seperti apa yang diinginkan. Ada perasaan yang tak ingin merendah meminta kesediaan lawan, hanya untuk melihat pertarungan yang lain. Rasa sungkan itu yang justru tak ada dalam diri Singanada.
Melihat Senopati Agung berdiam diri, Singanada menggertak. “Kalau mau bilang mau.”
“Kalau tidak?”
“Aku mau lihat dulu.”
“Hmmm…”
“Apa hmmm? Aku sudah berjanji membunuh siapa pun yang menanyakan dan mengungkapkan asal-usulku. Itu pasti kutepati. Tapi di dalam ada tontonan yang lebih bagus.” Sikap terbuka. Dada yang lapang, mengakui keunggulan orang lain.
“Baik kalau itu keinginanmu.”
“Tunggu saja!”
Tanpa peduli diserang dari bokong, Singanada segera masuk ke dalam. Dan menjadi bagian penonton yang larut dalam pertarungan. Begitu juga halnya Senopati Agung. Hanya perbedaannya, perasaan Senopati Agung seperti ditusuk dengan ujung sapu lidi yang kotor. Merobek wajahnya, meninggalkan luka yang memalukan.
Biar bagaimanapun, Senopati Agung adalah kakak ipar Raja. Yang justru lebih ketat memegang tata krama dan aturan Keraton. Sama sekali tidak menduga bahwa halaman dalem, yang biasanya dilewati orang-orang tertentu sambil berjongkok dan menyembah, kini tak bisa dibedakan dengan alun-alun. Diam-diam, Senopati Agung melirik Raja.
Untuk menangkap perasaan yang terpendam. Karena rasanya sangat ganjil bagian utama Keraton diinjak-injak orang luar secara kasar. Ini bisa berarti penghinaan yang memalukan. Tak bisa dibiarkan. Karena membiarkan hal ini berlalu, seperti juga tidak lagi menghormati kebesaran Raja yang tak tertandingi.
Salah satu bentuk penilaian kejayaan Keraton bisa dilihat dari seberapa jauh penduduk menghormati tata krama ini. Ini yang membuatnya sangat sedih. Apa artinya sebuah Keraton megah tanpa tata krama? Apa artinya seorang raja kalau tidak diperhatikan dan tak dihormati? Kerisauan Senopati Agung juga dirasakan oleh para senopati yang lain, termasuk Mahapatih Nambi.
Bahkan sejak semula ia mengalihkan pembicaraan agar medan pertarungan tidak terjadi di dalam. Semua menjadi serbasalah. Menyarankan Raja masuk ke dalam juga salah. Membiarkan pertarungan terus berlangsung juga keliru. Mahapatih Nambi tetap tak bisa menerima, meskipun yang memerintahkan penangkapan Upasara Wulung adalah Raja sendiri.
Singanada mengangguk ke arah Gendhuk Tri, begitu sorot mata gadis itu tertuju ke arahnya. Gendhuk Tri menunduk tersipu. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kikuk. Melihat Singanada dan sekaligus melihat Upasara. Entah kenapa.
“Nenek tua, apa kamu dengar yang kukatakan? Kamu bisa mengucapkan dengan enak, tokoh pujaan yang sakti seperti Eyang Raganata. Berarti mereka temanmu sendiri. Kenapa orang yang sudah mati tak kamu tolong? Bukankah menolong orang yang mau mati termasuk kebajikan yang direstui Baginda Raja yang bijaksana, yang kamu sebut-sebut namanya?”
Eyang Putri Pulangsih menutup matanya sambil menggeleng. “Itu bukan urusanku.”
“Kalau bukan urusan Nenek, urusan siapa? Apa semua menjadi urusan Baginda Raja yang mulia...?”
Mahapatih Nambi menggertak keras. Tombaknya terlepas. Dua tombak meluncur. Tepat di antara dua kaki Cebol Jinalaya. Kemurkaan Mahapatih adalah kemurkaan untuk menghormati Baginda. Bagaimana mungkin seorang yang cebol, berkulit hitam, begitu memuja-muja Baginda Raja Sri Kertanegara di depan Baginda? Hal seperti itu tak bisa dibiarkan. Hanya yang membuatnya sedikit kaget ialah bahwa arahan tombaknya menjadi meleset beberapa jari.
Mahapatih tidak melanjutkan lagi. Hanya berharap Cebol Jinalaya tahu diri. Tak berani mencoba karena tidak mengetahui siapa yang telah menolong Cebol Jinalaya. Begitu banyak tokoh yang sakti di sekelilingnya. Hanya berharap tahu diri, karena sesungguhnya Mahapatih tak bisa terjun langsung ke gelanggang. Tapi juga tak bisa berdiam diri.
“Pulangsih, putri asmaraku. Kamu masih tak percaya aku masih hidup?”
“Terlambat. Tangisan yang paling duka, tak bersisa air mata. Kebo tolol, untuk apa mencari lebih derita. Bahkan selama ini harapanmu sia-sia.”
Eyang Putri Pulangsih mengucapkan dengan datar. Tak ada lagi kata. Tidak seperti orang yang berbicara. Seperti mengeja, dan terbata-bata.
“Apakah itu berarti selama ini kamu tak pernah memperhitungkan diriku? Apakah selama ini kamu tak mempunyai daya asmara setitik pun padaku? Pulangsih, katakanlah!”
Cebol Jinalaya menepuk jidatnya sendiri. “Mayat hidup alias Kebo tolol, kenapa sudah bisa mati malah bicara soal daya asmara?”
Tangan Nyai Demang terangkat. Telunjuknya menuding ke arah Cebol Jinalaya. Pada saat yang bersamaan Singanada dan Gendhuk Tri meloncat masuk ke dalam gelanggang. Bersatu dengan gerakan sama, di angkasa, keduanya mengeluarkan tenaga dalam, menghalang arah tudingan. Dengan terpaksa, dua tenaga gabungan mencoba mematahkan serangan berjarak Nyai Demang.
Singanada terpental kembali. Hingga perlu berjumpalitan untuk menenangkan dirinya. Demikian juga Gendhuk Tri yang merasa ujung selendangnya menjadi beku dan terasa dingin serta perih. Cebol Jinalaya terdorong ke samping, merintih. Tapi senyumnya tersungging.
“Mudah-mudahan ini jalan kematian yang kurindukan itu.”
Perlahan Halayudha mulai mengendurkan tenaganya. Merasa sia-sia. Kalau ia bisa segera melepaskan, ia bisa leluasa dan bertarung dari awal lagi. Sungguh tidak enak berada di tengah lapangan sambil memegangi Upasara yang berdiri mematung.
“Baru menghadapi sebutir air dan secuil bumi kamu sudah tak bisa apa-apa. Kebo tolol, sungguh aneh, kenapa kamu tak tahu diri?”
“Karena aku memang tolol, seperti yang kau katakan, Pulangsih.”
“Tolol. Sangat menyedihkan. Kebo, Kebooo… Kenapa Dewa begitu sampai hati menciptakan manusia sejenis kamu?"
“Apa salahnya jika aku tolol dalam pandanganmu?”
Eyang Putri Pulangsih memalingkan wajah. Sambil meludah. “Kamu membuat kesalahan sejak lahir ke dunia. Juga ketika merasa dirimu ksatria utama, sejajar dengan Raganata, Bejujag, atau Dodot Bintulu. Kamu terlalu memaksa diri dalam segala hal. Juga dalam mengharapkan asmara dariku. Kebo tolol, seujung kuku pun aku tak pernah memperhitungkanmu.” Suaranya terdengar sangat dingin. Ada nada putus asa. Untuk apa kamu memaksa diri? Kamu tak pernah masuk hitungan sejak dulu kala. Akan tetapi kamu merasa sebagai ksatria utama. Ketika Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang diciptakan, tak ada sebaris kidungan pun yang berasal dari sumbanganmu. Ketika beramai-ramai memikirkan tumbal Kitab Bumi, kamu mengeluarkan Pukulan Pu-Ni. Sesat. Pemikiran yang sesat. Sekali lihat aku sudah tahu kamu masuk aliran sesat. Dodot Bintulu yang rakus dan jahat, tidak sesesat dan sehitam apa yang kamu lakukan. Dengarkan baik-baik. Akan kutunjukkan semua kekeliruanmu. Dalam melatih pernapasan, kamu memulai dari titik henti. Bahwa semua tenaga berasal justru dari napas yang tertahan. Bahwa umur menjadi panjang, tenaga menjadi berlipat saat tidak bernapas. Barangkali itu pemikiran yang luhur, terobosan yang mencuat. Akan tetapi sesungguhnya itu pemikiran yang keliru. Asal lain daripada yang lain. Mau aneh saja. Kamu tidak tahu bahwa dasar-dasar ilmu silat adalah kasunyatan, yaitu bumi yang sebenarnya. Mempunyai akar, yaitu bumi yang dipakai Bejujag, air yang kupakai, dan bintang yang dipergunakan Dodot Bintulu kemudian. Yang begini saja kamu belum mengerti. Tapi dasar tolol, kamu justru berlatih makin keras. Tenaga dalam dari napas tertahan kamu latih terus, sehingga seluruh tubuhmu hancur, seluruh tenaga dalammu sungsang-sumbel tak keruan. Kamu jauh memasuki daerah hitam. Kamu kira kami tak mengetahui perkembangan ilmu yang kamu latih sehingga Bejujag pernah mengatakan bahwa ilmu kamu berkembang ke arah mati jroning urip, kematian di dalam kehidupan. Kamu merasa masih hidup, tetapi sebenarnya sudah mati. Kamu merasa melatih tenaga dalam, padahal sebenarnya membunuh tenaga dalam yang murni. Bejujag mengatakan padamu, bahwa kumpuling kawula Gusti, bersatunya manusia dengan Dewa Pencipta, adalah mengagungkan kemanusiaan sebagai ciptaan Dewa. Tidak cukup jelaskah ketika dikatakan bahwa kamu keliru dengan menentang kematian? Pada tahap kamu mampu mematikan darah, daging, kulit, sumsum, jerohan, kamu mulai memutarbalikkan apa yang diwarisi dari ibu…”
Sampai di sini Baginda tertegun. Apa yang dikatakan Eyang Putri Pulangsih bisa dimengerti. Bahwa memang ada aliran hitam yang mampu membunuh rasa dari darah, daging, kulit, sumsum, yang berada di tengah tulang, serta jerohan yaitu segala jenis anggota dalam tubuh seperti paru-paru, hati, limpa, dan lain sebagainya.
Ilmu yang begini menjadikan pemiliknya orang yang kebal. Tidak mempan terkena pukulan atau senjata di bagian-bagian yang disebutkan. Karena cara-cara melatihnya dengan menggunakan mayat, atau kalau perlu orang hidup yang dimayatkan, aliran ini dianggap sesat. Pemikiran kekebalan dengan mematikan rasa bagian-bagian itu disebut sebagai pengkhianatan, atau mbalela, atau menentang kodrat seorang ibu.
Ini memang istilah yang dipergunakan. Akan tetapi di balik istilah “menolak kodrat seorang ibu” tersembunyi kutukan yang luar biasa bagi mereka yang melatih ilmu tersebut. Eyang Putri Pulangsih bisa bercerita dengan jelas, karena mengalami sendiri.
Di saat Baginda Raja Sri Kertanegara ingin memasyarakatkan ilmu silat, ingin membuat babon semua kitab silat, banyak yang mengusulkan aliran-aliran sesat semacam ini. Yang memang selintas seperti lebih tangguh dan gampang dipamerkan. Namun Sri Baginda Raja sejak awal memutuskan bahwa ajaran semacam itu dilarang keras. Bahkan harus dihapuskan. Karena pada akhirnya tidak mendidik akal budi yang baik. Padahal justru ini yang menjadi tujuan utama.
“Pada latihan kedua, ketika kamu mematikan barang keras seperti kuku, bulu, otot, urat, gigi, kamu makin jauh melenceng dan tak bisa kembali setelah langkah berikutnya kamu berusaha mematikan otak.”
Tanpa terasa Baginda menggaruk rambutnya. Karena menyadari bahwa untuk melatih setiap tingkatan, seseorang harus mengumpulkan sekian banyak bagian tubuh mayat. Sekian banyak urat, sekian banyak nadi, sekian banyak tulang, sekian banyak gigi, dan sekian banyak otak. Dilihat dari cara berlatih ini saja, pastilah sudah memerlukan sekian ratus mayat, yang terpaksa digali dari kubur. Atau seperti dugaan semula, kalau tak begitu banyak mayat ditemukan, yang hidup dibunuh lebih dulu.
Ilmu mati jroning urip, untuk bisa mencapai tingkat Kakek Kebo Berune yang dipanggil sebagai Kebo tolol ini, pastilah melalui latihan yang memerlukan korban ratusan jiwa. Bisa berarti seluruh pengikut ke tanah Berune dimusnahkan, di samping ksatria setempat. Benar-benar mengerikan.
“Jadi kamu pun menganggap aku tersesat?”
“Cacing pun akan bilang yang sama. Kebo tolol, lihatlah! Apa dan siapa dirimu sekarang? Bejujag bisa moksa sebagai jiwa yang suci. Raganata pergi sebagai ksatria dan prajurit utama. Dodot Bintulu menghadap Dewa Pencipta dengan ikhlas. Kamu, apa yang kamu lakukan sekarang ini? Membonceng seorang yang tak berdosa. Untuk apa memaksa diri seperti itu? Keabadian, kelanggengan, bukanlah dalam mati jroning urip atau sebaliknya, urip jroning mati. Bukan mati di dalam hidup, atau hidup di dalam mati. Mati adalah mati. Hidup adalah hidup. Tak bisa dicampur adukkan. Itu pengertian yang salah. Yang sampai sekarang ini pun tak bisa kamu pahami. Tidakkah itu tolol? Tidakkah itu perlu dikasihani? Ah, apakah aku perlu berkomentar panjang-lebar?”
Cebol Jinalaya mengangguk-angguk, seakan bisa mengerti. “Aku mencari kematian. Bukan mempertahankan. Nenek tua, kata-katamu ada benarnya.”
Eyang Putri Pulangsih melirik Cebol Jinalaya. “Manusia yang tingginya hanya separo, otaknya lebih berguna dari kamu. Rasa yang dimiliki lebih peka.”
Gendongan Nyai Demang bergoyang-goyang. “Apa pun yang kamu katakan, itu tandanya ada daya asmara dalam dirimu yang tersambung dariku.”
“Tidak. Aku sebenarnya tidak bicara denganmu. Tak ada maknanya. Aku bicara dengan diriku sendiri, bahwa sejak semula aku tidak salah menolakmu. Tidak keliru aku tidak memperhitungkanmu.”
“Nenek tua, kalau begitu tolonglah. Biar Nyai Demang atau siapa pun namanya, terbebas dari Kebo tolol itu.”
“Itu bukan urusanku.”
“Kalau kamu tidak mau, jangan halangi aku bertindak.” Cebol Jinalaya bersiap-siap dan maju mendekat.
“Tunggu!” teriak Gendhuk Tri keras. “Cebol, kamu tak tahu angin di atas tubuhmu. Lebih baik kamu berdiri di pinggir dan menyaksikan.”
“Kalau yang tahu tak mau menolong, biar saja yang tak tahu yang menolong.”
Gendhuk Tri tak bisa membalas dengan kata-kata. Walau tak keruan ujung-pangkalnya, kata-kata yang diucapkan Cebol Jinalaya ada benarnya. Setidaknya tak bisa dibantah. Saat itu justru Halayudha yang memanfaatkan keadaan! Merasa bahwa Upasara tak bisa dikalahkan dengan jurusnya, Halayudha mencari kesempatan lain. Genggaman pada tubuh Upasara diperlonggar, dan pada kejapan yang sama meloncat jauh. Meraih Permaisuri Rajapatni yang menggeletak. Sekali raup tubuh itu berada dalam gendongannya.
“Lepaskan!”
Pasangan Asmara
APA yang dilakukan Halayudha memang serba tak terduga. Di saat semua perhatian tercurah dalam bantah kawruh, atau adu ilmu, antara Eyang Putri Pulangsih dan Kebo Berune mengenai ilmu sesat, di saat itu pula Halayudha menggasak Permaisuri Rajapatni yang tak sepenuhnya terjaga oleh para prajurit yang kikuk. Kikuk karena tak bisa segera menolong. Maka dengan satu gerakan, Halayudha mampu meraih Permaisuri Rajapatni dan bisa menggendong.
Merasa bahwa gempuran dalam tubuhnya berkurang, Upasara awas akan adanya perubahan dari Halayudha. Maka begitu Halayudha memindahkan serangan ke arah Permaisuri Rajapatni, saat itu pula Upasara meluncurkan telapak tangannya ke depan. Telapak tangan yang tadinya terbuka ke atas, menyodok ke depan. Ganti meraih Permaisuri Rajapatni.
Justru ini yang diperhitungkan Halayudha. Karena sangatlah mudah menebak bahwa Upasara akan bereaksi cepat mengetahui Permaisuri Rajapatni berada dalam bahaya. Maka Halayudha menunggu sampai telapak tangan Upasara menyentuh tubuh Permaisuri Rajapatni dan berteriak “lepas”. Saat itu beban di pundaknya dilepaskan, dan sebagai gantinya dua tangan menjotos dada Upasara. Dengan jotosan yang mampu melubangi dinding Keraton.
Maha Singanada mencelos. Dialah yang pertama-tama mengeluarkan seruan tertahan. Karena melihat bahwa gerakan Halayudha sangat tepat sekali.
“Celaka!”
Bersamaan dengan itu, Gendhuk Tri melapis dan menyerang. Sedikit-banyak akan membuat Halayudha terganggu pemusatan pikirannya. Kalaupun mengenai Upasara tak akan fatal. Akan tetapi Upasara memang tidak memperhitungkan serangan Halayudha. Begitu Permaisuri Rajapatni diambil dan disampirkan di pundaknya, pukulan Halayudha tak diperhitungkan lagi. Akibatnya tubuhnya terbanting ke belakang. Darah segar menyembur. Membasahi dadanya. Membasahi Permaisuri Rajapatni. Yang menjadi sadar.
“Kakangmas…”
Suara Permaisuri Rajapatni, yang di telinga Upasara tetap seorang Gayatri, menyusup ke sukma. Membuat ubun-ubunnya berdenyut keras. Untuk pertama kalinya kerinduan asmara yang meluap dan terbendung selama ini berhasil diwujudkan. Menggendong kekasihnya. Bibir Upasara tersenyum. Darah segar masih menetes.
“Kakangmas Upasara…”
“Yayimas…” Suara Upasara sama lembut. Mengusap, meniup rasa di sekujur kulit Permaisuri Rajapatni.
“Kakangmas terluka…”
Upasara menggeleng. “Yayi tidak apa-apa?”
Permaisuri Rajapatni menggeleng. Sementara itu dengan dua gerakan pendek, Halayudha bisa mengusir serangan Gendhuk Tri. Gerakan ketiga, Halayudha meluncurkan tubuhnya. Satu tangan memapak tenaga Gendhuk Tri, yang justru dipakai sebagai loncatan untuk menggempur dada Upasara. Dengan kakinya.
Pada saat tubuhnya meluncur, kakinya menjadi keras bagai logam. Ditambah dengan gerakan meluncur cepat, dada Upasara adalah sasaran empuk. Karena tak sempat menghindar. Dan tak mungkin menggunakan tubuh Permaisuri Rajapatni sebagai perisai. Baginda bersorak dalam hati. Kini saatnya Upasara terkalahkan. Bagaimanapun caranya, itu soal nanti.
“Awas, Kakang…”
Teriakan Gendhuk Tri pastilah sudah terlambat. Karena ujung kaki Halayudha sudah menyentuh dada Upasara. Upasara tersenyum ringan. Pandangan matanya masih menatap Permaisuri Rajapatni. Begitu juga sebaliknya. Saling pandang dalam jarak yang begitu dekat. Tidak memedulikan bahwa mereka berdua disaksikan seluruh isi halaman Keraton. Yang sekarang memang penuh sesak.
Sejak para senopati berkumpul, sejak itu pula senopati yang lain siap gegaman, atau dalam keadaan siaga. Tanpa diperintah, kalau Keraton diperkirakan dalam bahaya semua akan berkumpul. Apalagi kini jelas-jelas, bahwa Baginda berada di tengah kerumunan. Maka jadinya suatu pemandangan yang ganjil. Sangat ganjil.
Di satu bagian seorang nenek tua yang bicara keras dan mengajari seorang wanita yang menggendong mayat hidup, di bagian lain ada Gendhuk Tri, yang berdampingan dengan Singanada, serta Halayudha yang perkasa dikepung seluruh prajurit Keraton. Puncak keganjilan itu adalah Upasara yang mengeluarkan darah segar, membopong Permaisuri dan tetap saling pandang. Bahkan kali ini pun, Eyang Putri Pulangsih memandang ke arah Upasara Wulung. Seakan menyetujui teriakan peringatan Gendhuk Tri.
Tubuh Halayudha terus meluncur. Gendhuk Tri tak bisa melihat jelas. Apakah menembus dada Upasara atau setidaknya melukai. Yang jelas tubuh itu terus meluncur, sementara Upasara seperti bergeming. Tetap membopong Permaisuri Rajapatni dengan kedua tangannya. Rambut Permaisuri terlepas dari sanggulnya, terurai menyentuh tanah.
Tubuh Halayudha meluncur terus, dan begitu menginjak tanah, berbalik seperti tombak dilepas. Seperti anak panah meluncur dari busur. Kembali berusaha menggunting Upasara. Kali ini benar-benar menggunting. Karena kedua kakinya bergerak sangat cepat sekali. Kalau Upasara tak berkelit, bisa dilipat habis. Upasara memang tak berkelit.
Saat itu Gendhuk Tri sudah berseru keras, membebaskan semua selendang dari tubuhnya. Matanya mengisyaratkan Singanada yang juga sudah menggerung sambil memasang kuda-kuda. Baik Gendhuk Tri maupun Singanada sama-sama menyadari bahwa gabungan kedua ilmu silat mereka mempunyai kelebihan dibandingkan hanya dua kekuatan yang dijumlahkan. Tapi mereka tidak bergerak sendiri.
Mahapatih Nambi sudah mengibaskan tangannya. Semua senopati dan para prajurit pilihan juga sudah meloncat ke tengah pertarungan. Sehingga mau tidak mau Gendhuk Tri dan Singanada terkurung pagar betis dengan tombak, keris, pedang, dan anak panah.
Bagi Mahapatih Nambi tak ada pilihan lain. Sejak Baginda menitahkan bahwa Upasara musuh Keraton, penjabarannya ialah menangkap Upasara. Dalam keadaan hidup atau mati atau terluka. Dengan sendiri-sendiri seperti yang dilakukan Halayudha atau dengan mengeroyok.
Alasan keamanan Baginda bisa membenarkan kenapa dirinya mengeroyok Upasara. Dan berbeda dari saat-saat sebelumnya, kini tidak ada lagi kesangsian sedikit pun untuk menangkap Upasara.
Bahkan Senopati Agung yang sejak tadi hanya bersila di pinggir, ikut terjun ke gelanggang. Yang tidak ikut terlibat hanya Eyang Putri Pulangsih. Dan Cebol Jinalaya yang kebingungan.
Guntingan kaki Halayudha seperti berhasil merontokkan iga Upasara Wulung. Terdengar suara tulang beradu keras. Hanya saja, Upasara masih tetap berdiri tegak. Tetap membopong. Sementara Halayudha terpincang-pincang. Tak masuk akal.
Sepersekian kedipan mata, Mahapatih Nambi menduga bahwa Halayudha berpura-pura. Menduga Halayudha memainkan tipu muslihat yang lain, yang belum diketahui apa rencana sebenarnya. Bisa dimengerti. Karena Halayudha sendiri seakan tidak percaya. Jelas-jelas guntingan kakinya tak bisa dihindari oleh Upasara. Akan tetapi yang ngilu justru kakinya sendiri. Sangat ngilu hingga terpincang-pincang. Inilah yang ajaib.
Seorang jago utama, tokoh silat setingkat Halayudha bisa menjadi terpincang-pincang. Patah tangan atau kaki, tubuh hancur, adalah sesuatu yang bisa dimengerti kalau terlibat dalam pertarungan. Akan tetapi pasti bukan terpincang-pincang. Ini hanya dilakukan seorang pemula. Karena salah urat atau salah melakukan gerakan. Yang mustahil dilakukan Halayudha.
“Kakangmas…” Tangan Permaisuri Rajapatni mengusap lembut tepi bibir Upasara, sementara sorot matanya tetap tertuju ke mata Upasara.
Satebah Lemah, Sanyari Bumi
MENGAGUMKAN! Itulah satu kata yang tepat menggambarkan keberadaan Upasara saat ini. Bahkan Baginda pun mengeluarkan pujian itu. Di dalam hati. Wajah dan sikap tubuhnya tetap dingin, tidak memancarkan perasaan apa-apa.
Seakan mampu mengatasi gelombang keirian. Seakan justru memperlihatkan bahwa sikap Permaisuri Rajapatni yang mengelap darah di sudut bibir Upasara sama sekali tidak menjadi persoalan baginya. Apa yang dilakukan permaisurinya tak cukup membuatnya melirik.
Tindakan permaisurinya tak cukup berharga untuk diperhatikan. Sesungguhnya memang begitu. Bagi Baginda kehadiran Permaisuri Rajapatni hanyalah satu dari sekian banyak permaisuri yang tak resmi. Salah satu dari sedikitnya permaisuri yang resmi. Masih ada puluhan, bahkan ratusan wanita lain yang akan merasa bahagia bisa melayaninya. Dari sisi ini, Baginda tak bisa disalahkan.
Kalau ada sesuatu yang mengganggu kehormatannya dan menimbulkan rasa iri ialah kenyataan bahwa Permaisuri Rajapatni yang telah bersanding dengannya, masih menyimpan ksatria lain. Sesuatu yang seharusnya tak bisa terjadi. Tak boleh terjadi!
Bisa bersanding dan melayani Baginda adalah kehormatan yang tinggi bagi semua wanita Keraton dan wilayah yang dikuasai Majapahit. Kelelakian Baginda tak menghendaki ada lelaki lain yang mendekati atau menyamai.
Akan tetapi kenyataan bahwa permaisurinya, bahwa prameswari dalem, permaisuri raja, menunjukkan perhatian kepada orang lain, lebih dari tamparan terompah kotor ke wajah Baginda.
Padahal Permaisuri Rajapatni tidak secara sengaja menantang. Tidak secara sengaja memamerkan perasaannya. Bahkan secara diam-diam, keinginan dan impian membayangkan Upasara ditenggelamkan ke dalam bawah sadarnya.
Apa yang dilakukan sekarang ini lebih merupakan juluran naluri seorang wanita. Yang ditolong oleh seorang lelaki, dan penolong itu menjadi terluka parah karenanya. Usapan kemesraan itu adalah ungkapan perhatian, tanda terima kasih. Akan tetapi karena sebelumnya ada perasaan asmara, jadinya bermakna lain.
Gendhuk Tri yang berdiri berjajar dengan Maha Singanada menyaksikan pemandangan yang menggetarkan hati.
Upasara Wulung membopong kekasihnya, di tengah kepungan para prajurit dan senopati yang kikuk. Mau menyerang takut keliru mengenai Permaisuri. Tidak menyerang, merasa tidak melakukan kewajiban.
Yang sedikit di luar perhitungan adalah Halayudha. Ternyata ia tidak sekadar terpincang-pincang dan minggir dari gelanggang pertarungan. Lebih dari itu, kakinya seakan tidak kuat menyangga tubuhnya. Sehingga mau tak mau terpaksa duduk! Sambil mengurut kedua kakinya. Tepatnya di keempat mata kaki.
Baginda mengembuskan napas ringan. “Ada apa Halayudha itu?”
Pertanyaan Baginda tak tertuju kepada siapa-siapa. Tak perlu mengetahui siapa yang diajak bicara. Mahapatih Nambi menyembah dengan penuh hormat.
“Menurut dugaan hamba, keempat mata kakinya terluka.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Hamba kurang tahu, Baginda. Barangkali saja sewaktu berusaha menebas tubuh Upasara secara bersamaan, terjadi sesuatu yang keliru. Sehingga saling beradu sendiri.”
Baginda berdehem. “Apa itu bisa terjadi pada seorang semacam Halayudha?”
Tak ada jawaban. Mahapatih Nambi sendiri tak begitu yakin. Tak begitu pasti apa yang sesungguhnya terjadi. Seperti juga para senopati yang lain. Namun dalam satu hal, hati mereka sepakat mengakui keunggulan Upasara. Dalam pertarungan yang mengesankan, Upasara memantapkan dirinya sebagai ksatria yang tiada tandingannya. Dengan sebelah tangan mengungguli Halayudha sehingga pontang-panting. Dengan bantuan Gendhuk Tri, Halayudha bisa mendesak Upasara.
Namun justru ketika sampai pada jurus yang menentukan, tubuh Upasara tak bisa digerakkan. Sewaktu Halayudha mengubah taktiknya, berhasil keras. Akan tetapi segera disusul dengan terjongkok sendiri. Berhasil keras karena membuat Upasara muntah darah. Anehnya, justru setelah itu keempat mata kakinya perlu dipijat-pijat untuk mematikan rasa yang menyebabkan sakit. Berarti untuk sementara, Halayudha tak akan bisa bertarung. Ini berarti rasa sakitnya kelewat batas. Di luar kemampuan Halayudha untuk mengatasi, untuk menahan.
Halayudha sendiri merasa tak sanggup mengalihkan rasa sakit. Berbagai pertarungan telah dijalani. Baik yang membuat jari-jarinya putus, atau yang dijalani sendiri dengan menusukkan keris ke arah lambungnya. Semua rasa sakit masih bisa ditahan. Masih bisa dikuasai. Akan tetapi sekarang ini tidak. Rasanya keempat mata kakinya hancur. Menjadi serpihan kecil-kecil, atau malah menjadi abu. Yang setiap ada aliran darah menuju tempat itu, membuatnya sangat ngilu.
Halayudha setengah menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya, sewaktu serangan pertama dengan menendang lurus meleset, dirinya mulai memperhitungkan bahwa ada sesuatu yang luar biasa dari Upasara. Tapi ternyata itu tak membuatnya waspada, justru karena ia merasa hampir berhasil. Malah mengulangi dan hasilnya luar biasa sakitnya. Kalau tidak malu, mau rasanya Halayudha menjerit!
Sebaliknya, Gendhuk Tri tidak terpengaruh selain telinganya sedikit sakit. Bukan karena tak menyimpan duka, melainkan karena dukacita yang dialami Gendhuk Tri bukanlah dukacita yang mengendap ke dalam bawah sadar. Ke lubuk hati yang dalam dan tak tersingkirkan, tak hilang oleh perhatian yang lain.
“Lima puluh tahun aku menunggu. Untuk melihatmu mengakui bahwa aku mempunyai harga yang dibanggakan. Kukeduk semua isi Kitab Bumi, kusempurnakan dalam Kitab Air. Ternyata kamu memang lelaki perkasa. Bejujag, hari ini aku rela menerima kekalahan itu.”
Tangan Eyang Putri Pulangsih mengibas. Untuk pertama kalinya bergerak sejak datang tadi. “Tugasku yang terakhir, mempertemukan Upasara dengan Gayatri, telah selesai. Tugasku menemukan dirimu dengan diriku telah selesai. Bejujag, aku tak bisa iri dengan kabegjan, dengan keberuntungan yang kamu peroleh. Kudengar Raganata pergi, Dodot Bintulu pergi, dan kamu bisa moksa. Aku yang masih hidup ternyata tetap tak bisa membuktikan keunggulanku. Bejujag, kamulah lelaki sejati. Baginda Raja akan menerimamu di sampingnya.”
Halayudha bersiap menggempur Upasara. Sekali dicoba dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Dan membuat heran, karena Upasara seperti merasakan kesakitan yang luar biasa. Daya balik tenaga dalamnya seperti tak terarah. Ini saatnya!
Upasara sendiri merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan kemampuannya mengerahkan tenaga dalam. Sesuatu yang memang kadang masih dirasakan tanpa bisa dikuasai. Hanya saja kalau terjadi di saat segenting ini, bisa berbahaya. Apalagi yang dihadapi adalah Halayudha. Tetapi tak bisa lain. Tak bisa mengubah gerakannya menancap bumi dan menengadah langit. Sedikit saja perubahan, Halayudha bisa merasakan. Dan dengan segera akan menyerbu masuk. Satu kali cukup untuk melukai Upasara. Atau bahkan melumpuhkan. Itu yang akan terjadi, kalau tidak terdengar teriakan dalam nada yang sama tingginya.
“Raganata telah mati, Dodot Bintulu sudah mati. Bejujag sudah sembunyi, sampai mati kering. Tapi masih ada aku. Pulangsih, Pulangsih-ku, masih ingatkah kau padaku?”
Siapa pun yang mendengarkan merasa ganjil. Suara yang sember dengan nada masih remaja. Lebih aneh lagi begitu memperhatikan siapa yang mengatakan itu. Yaitu Nyai Demang yang menggendong tubuh kaku Kebo Berune. Kehadirannya saja aneh. Apalagi suaranya, dan isi ucapan yang menggambarkan kerinduan mendalam.
“Pulangsih, ini aku.”
Eyang Putri Pulangsih menghela napas. “Kebo tolol, kamu mau apa lagi? Semua sudah terlambat. Kamu sendiri sudah terlambat.”
“Sama sekali tidak. Aku masih segar bugar. Lima puluh tahun lalu, seperti yang kujanjikan, aku akan datang merebut kemenangan dan menempatkan kamu di sisiku. Selamanya. Aku mau tahu siapa yang bisa berdiri menghalangi. Raganata? Aha, mayatnya pun sudah jadi tanah. Dodot Bintulu? Cacing yang makan tulangnya sudah berdebu. Bejujag? Apa anehnya lelaki kurang ajar yang beraninya bersembunyi sepanjang hidupnya? Yang kerjanya mencuri dan mengatakan tak bisa apa-apa? Pulangsih, aku Kebo tolol. Tapi akulah yang mendapatkanmu.”
Halayudha tak tahu persis. Apakah ia bergembira atau sedih dengan membawa Nyai Demang ke Keraton. Kalau semula ingin mempelajari ilmunya kini menjadi lain akhirnya.
“Kamu sudah modar. Jangan memaksa diri.”
“Pulangsih, siapa bilang aku mati? Tidakkah kamu lihat diriku sekarang ini?”
Gendhuk Tri menggigil. Ini benar-benar tak masuk akal. Pertarungan lima puluh tahun lalu masih terus berlanjut sampai kini. Eyang Kebo Berune masih merasa hidup. Walau hanya memakai pinjaman tubuh Nyai Demang.
“Nyai…” Teriakan Gendhuk Tri membuat tubuh Nyai Demang miring ke arahnya. “Itu Kakang Upasara. Tidakkah kamu perlu menanyakan kabar keselamatannya?”
Inilah cara Gendhuk Tri untuk memotong hubungan batin antara Eyang Kebo Berune dan Nyai Demang. Karena kalau kesadaran Nyai Demang muncul, pengaruh pada dirinya surut. Dengan menyebutkan nama Upasara, Gendhuk Tri berharap Nyai Demang akan muncul kesadarannya. Perhitungan yang bagus!
Tapi tidak berarti tepat pada sasaran. Karena kini pengaruh Eyang Kebo Berune sangat kuat. Niatan dan keinginan yang selalu mendesak untuk bertemu dengan Eyang Putri Pulangsih, jauh menindih keinginan Nyai Demang untuk menyapa Upasara.
“Nyai…”
“Percuma…” Kalimat Eyang Putri Pulangsih seperti tertuju ke arah Gendhuk Tri dan Nyai Demang sekaligus. “Tak ada gunanya lagi.”
Halayudha mencelos. Kini tubuh Upasara menjadi kokoh lagi. Tak bisa digasak lewat tenaga dalam.
“Nenek tua, kenapa tidak kamu tolong orang itu?”
Kali ini Gendhuk Tri jadi pencilakan. Matanya berputar, mencari-cari suara yang seperti dikenalnya. Benar saja, itu suara Cebol Jinalaya! Yang makin membuat Gendhuk Tri gelisah tak menentu. Bagaimana mungkin si Cebol itu berlaku kurang ajar? Menyebut dengan panggilan nenek tua?
Bukankah tadi masih di depan? Masih menyaksikan pertarungan antara Singanada dan Senopati Agung? Di mana mereka kini, dan apa yang terjadi?
Keraton Tanpa Tata Krama
BARU Gendhuk Tri sadar. Bahwa Singanada juga berada di halaman dalam. Bersama dengan Senopati Agung dan para pengiringnya.
Halaman dalam Keraton benar-benar penuh sesak. Sesuatu yang untuk pertama kalinya terjadi. Orang-orang luar bisa masuk seenaknya. Bisa leluasa berdiri seperti juga yang dilakukan Cebol Jinalaya. Semua terjadi di depan Raja.
Gendhuk Tri bersyukur bahwa Singanada tidak melanjutkan pertarungan mati-hidup dengan Senopati Agung. Ia hanya bisa menduga-duga bahwa pertarungan mereka berdua terhenti. Terhenti sementara. Dugaan Gendhuk Tri tak jauh meleset. Di saat keduanya bertarung makin ketat, makin menuju penentuan, terlihat dua bayangan berkelebat. Yang muncul dan lenyap kembali.
Sebagai sesama jago silat, Singanada maupun Senopati Agung sudah terbiasa dengan kejadian itu. Tak bakal terpengaruh. Akan tetapi sekali ini lain. Desiran bayangan yang muncul dan pergi bukan sekadar bayangan jago silat. Melainkan juga membersitkan sesuatu yang begitu hebat dan dekat dengan mereka.
Bisa dimengerti karena keduanya mempunyai akar yang sama. Yaitu sama-sama bersumber dari Kitab Bumi. Dan yang sedang dimainkan oleh Upasara maupun Halayudha saat itu tak jauh berbeda. Tanpa sungkan-sungkan, Singanada meloncat mundur.
“Aku tetap akan membunuhmu. Tapi rasanya sayang sekali kalau tidak melihat apa yang terjadi di dalam.”
Senopati Agung mengusap janggutnya perlahan. Walau dirinya sangat ingin tahu, hatinya tak bisa mengatakan seperti apa yang diinginkan. Ada perasaan yang tak ingin merendah meminta kesediaan lawan, hanya untuk melihat pertarungan yang lain. Rasa sungkan itu yang justru tak ada dalam diri Singanada.
Melihat Senopati Agung berdiam diri, Singanada menggertak. “Kalau mau bilang mau.”
“Kalau tidak?”
“Aku mau lihat dulu.”
“Hmmm…”
“Apa hmmm? Aku sudah berjanji membunuh siapa pun yang menanyakan dan mengungkapkan asal-usulku. Itu pasti kutepati. Tapi di dalam ada tontonan yang lebih bagus.” Sikap terbuka. Dada yang lapang, mengakui keunggulan orang lain.
“Baik kalau itu keinginanmu.”
“Tunggu saja!”
Tanpa peduli diserang dari bokong, Singanada segera masuk ke dalam. Dan menjadi bagian penonton yang larut dalam pertarungan. Begitu juga halnya Senopati Agung. Hanya perbedaannya, perasaan Senopati Agung seperti ditusuk dengan ujung sapu lidi yang kotor. Merobek wajahnya, meninggalkan luka yang memalukan.
Biar bagaimanapun, Senopati Agung adalah kakak ipar Raja. Yang justru lebih ketat memegang tata krama dan aturan Keraton. Sama sekali tidak menduga bahwa halaman dalem, yang biasanya dilewati orang-orang tertentu sambil berjongkok dan menyembah, kini tak bisa dibedakan dengan alun-alun. Diam-diam, Senopati Agung melirik Raja.
Untuk menangkap perasaan yang terpendam. Karena rasanya sangat ganjil bagian utama Keraton diinjak-injak orang luar secara kasar. Ini bisa berarti penghinaan yang memalukan. Tak bisa dibiarkan. Karena membiarkan hal ini berlalu, seperti juga tidak lagi menghormati kebesaran Raja yang tak tertandingi.
Salah satu bentuk penilaian kejayaan Keraton bisa dilihat dari seberapa jauh penduduk menghormati tata krama ini. Ini yang membuatnya sangat sedih. Apa artinya sebuah Keraton megah tanpa tata krama? Apa artinya seorang raja kalau tidak diperhatikan dan tak dihormati? Kerisauan Senopati Agung juga dirasakan oleh para senopati yang lain, termasuk Mahapatih Nambi.
Bahkan sejak semula ia mengalihkan pembicaraan agar medan pertarungan tidak terjadi di dalam. Semua menjadi serbasalah. Menyarankan Raja masuk ke dalam juga salah. Membiarkan pertarungan terus berlangsung juga keliru. Mahapatih Nambi tetap tak bisa menerima, meskipun yang memerintahkan penangkapan Upasara Wulung adalah Raja sendiri.
Singanada mengangguk ke arah Gendhuk Tri, begitu sorot mata gadis itu tertuju ke arahnya. Gendhuk Tri menunduk tersipu. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kikuk. Melihat Singanada dan sekaligus melihat Upasara. Entah kenapa.
“Nenek tua, apa kamu dengar yang kukatakan? Kamu bisa mengucapkan dengan enak, tokoh pujaan yang sakti seperti Eyang Raganata. Berarti mereka temanmu sendiri. Kenapa orang yang sudah mati tak kamu tolong? Bukankah menolong orang yang mau mati termasuk kebajikan yang direstui Baginda Raja yang bijaksana, yang kamu sebut-sebut namanya?”
Eyang Putri Pulangsih menutup matanya sambil menggeleng. “Itu bukan urusanku.”
“Kalau bukan urusan Nenek, urusan siapa? Apa semua menjadi urusan Baginda Raja yang mulia...?”
Mahapatih Nambi menggertak keras. Tombaknya terlepas. Dua tombak meluncur. Tepat di antara dua kaki Cebol Jinalaya. Kemurkaan Mahapatih adalah kemurkaan untuk menghormati Baginda. Bagaimana mungkin seorang yang cebol, berkulit hitam, begitu memuja-muja Baginda Raja Sri Kertanegara di depan Baginda? Hal seperti itu tak bisa dibiarkan. Hanya yang membuatnya sedikit kaget ialah bahwa arahan tombaknya menjadi meleset beberapa jari.
Mahapatih tidak melanjutkan lagi. Hanya berharap Cebol Jinalaya tahu diri. Tak berani mencoba karena tidak mengetahui siapa yang telah menolong Cebol Jinalaya. Begitu banyak tokoh yang sakti di sekelilingnya. Hanya berharap tahu diri, karena sesungguhnya Mahapatih tak bisa terjun langsung ke gelanggang. Tapi juga tak bisa berdiam diri.
“Pulangsih, putri asmaraku. Kamu masih tak percaya aku masih hidup?”
“Terlambat. Tangisan yang paling duka, tak bersisa air mata. Kebo tolol, untuk apa mencari lebih derita. Bahkan selama ini harapanmu sia-sia.”
Eyang Putri Pulangsih mengucapkan dengan datar. Tak ada lagi kata. Tidak seperti orang yang berbicara. Seperti mengeja, dan terbata-bata.
“Apakah itu berarti selama ini kamu tak pernah memperhitungkan diriku? Apakah selama ini kamu tak mempunyai daya asmara setitik pun padaku? Pulangsih, katakanlah!”
Cebol Jinalaya menepuk jidatnya sendiri. “Mayat hidup alias Kebo tolol, kenapa sudah bisa mati malah bicara soal daya asmara?”
Tangan Nyai Demang terangkat. Telunjuknya menuding ke arah Cebol Jinalaya. Pada saat yang bersamaan Singanada dan Gendhuk Tri meloncat masuk ke dalam gelanggang. Bersatu dengan gerakan sama, di angkasa, keduanya mengeluarkan tenaga dalam, menghalang arah tudingan. Dengan terpaksa, dua tenaga gabungan mencoba mematahkan serangan berjarak Nyai Demang.
Singanada terpental kembali. Hingga perlu berjumpalitan untuk menenangkan dirinya. Demikian juga Gendhuk Tri yang merasa ujung selendangnya menjadi beku dan terasa dingin serta perih. Cebol Jinalaya terdorong ke samping, merintih. Tapi senyumnya tersungging.
“Mudah-mudahan ini jalan kematian yang kurindukan itu.”
Perlahan Halayudha mulai mengendurkan tenaganya. Merasa sia-sia. Kalau ia bisa segera melepaskan, ia bisa leluasa dan bertarung dari awal lagi. Sungguh tidak enak berada di tengah lapangan sambil memegangi Upasara yang berdiri mematung.
“Baru menghadapi sebutir air dan secuil bumi kamu sudah tak bisa apa-apa. Kebo tolol, sungguh aneh, kenapa kamu tak tahu diri?”
“Karena aku memang tolol, seperti yang kau katakan, Pulangsih.”
“Tolol. Sangat menyedihkan. Kebo, Kebooo… Kenapa Dewa begitu sampai hati menciptakan manusia sejenis kamu?"
“Apa salahnya jika aku tolol dalam pandanganmu?”
Eyang Putri Pulangsih memalingkan wajah. Sambil meludah. “Kamu membuat kesalahan sejak lahir ke dunia. Juga ketika merasa dirimu ksatria utama, sejajar dengan Raganata, Bejujag, atau Dodot Bintulu. Kamu terlalu memaksa diri dalam segala hal. Juga dalam mengharapkan asmara dariku. Kebo tolol, seujung kuku pun aku tak pernah memperhitungkanmu.” Suaranya terdengar sangat dingin. Ada nada putus asa. Untuk apa kamu memaksa diri? Kamu tak pernah masuk hitungan sejak dulu kala. Akan tetapi kamu merasa sebagai ksatria utama. Ketika Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang diciptakan, tak ada sebaris kidungan pun yang berasal dari sumbanganmu. Ketika beramai-ramai memikirkan tumbal Kitab Bumi, kamu mengeluarkan Pukulan Pu-Ni. Sesat. Pemikiran yang sesat. Sekali lihat aku sudah tahu kamu masuk aliran sesat. Dodot Bintulu yang rakus dan jahat, tidak sesesat dan sehitam apa yang kamu lakukan. Dengarkan baik-baik. Akan kutunjukkan semua kekeliruanmu. Dalam melatih pernapasan, kamu memulai dari titik henti. Bahwa semua tenaga berasal justru dari napas yang tertahan. Bahwa umur menjadi panjang, tenaga menjadi berlipat saat tidak bernapas. Barangkali itu pemikiran yang luhur, terobosan yang mencuat. Akan tetapi sesungguhnya itu pemikiran yang keliru. Asal lain daripada yang lain. Mau aneh saja. Kamu tidak tahu bahwa dasar-dasar ilmu silat adalah kasunyatan, yaitu bumi yang sebenarnya. Mempunyai akar, yaitu bumi yang dipakai Bejujag, air yang kupakai, dan bintang yang dipergunakan Dodot Bintulu kemudian. Yang begini saja kamu belum mengerti. Tapi dasar tolol, kamu justru berlatih makin keras. Tenaga dalam dari napas tertahan kamu latih terus, sehingga seluruh tubuhmu hancur, seluruh tenaga dalammu sungsang-sumbel tak keruan. Kamu jauh memasuki daerah hitam. Kamu kira kami tak mengetahui perkembangan ilmu yang kamu latih sehingga Bejujag pernah mengatakan bahwa ilmu kamu berkembang ke arah mati jroning urip, kematian di dalam kehidupan. Kamu merasa masih hidup, tetapi sebenarnya sudah mati. Kamu merasa melatih tenaga dalam, padahal sebenarnya membunuh tenaga dalam yang murni. Bejujag mengatakan padamu, bahwa kumpuling kawula Gusti, bersatunya manusia dengan Dewa Pencipta, adalah mengagungkan kemanusiaan sebagai ciptaan Dewa. Tidak cukup jelaskah ketika dikatakan bahwa kamu keliru dengan menentang kematian? Pada tahap kamu mampu mematikan darah, daging, kulit, sumsum, jerohan, kamu mulai memutarbalikkan apa yang diwarisi dari ibu…”
Sampai di sini Baginda tertegun. Apa yang dikatakan Eyang Putri Pulangsih bisa dimengerti. Bahwa memang ada aliran hitam yang mampu membunuh rasa dari darah, daging, kulit, sumsum, yang berada di tengah tulang, serta jerohan yaitu segala jenis anggota dalam tubuh seperti paru-paru, hati, limpa, dan lain sebagainya.
Ilmu yang begini menjadikan pemiliknya orang yang kebal. Tidak mempan terkena pukulan atau senjata di bagian-bagian yang disebutkan. Karena cara-cara melatihnya dengan menggunakan mayat, atau kalau perlu orang hidup yang dimayatkan, aliran ini dianggap sesat. Pemikiran kekebalan dengan mematikan rasa bagian-bagian itu disebut sebagai pengkhianatan, atau mbalela, atau menentang kodrat seorang ibu.
Ini memang istilah yang dipergunakan. Akan tetapi di balik istilah “menolak kodrat seorang ibu” tersembunyi kutukan yang luar biasa bagi mereka yang melatih ilmu tersebut. Eyang Putri Pulangsih bisa bercerita dengan jelas, karena mengalami sendiri.
Di saat Baginda Raja Sri Kertanegara ingin memasyarakatkan ilmu silat, ingin membuat babon semua kitab silat, banyak yang mengusulkan aliran-aliran sesat semacam ini. Yang memang selintas seperti lebih tangguh dan gampang dipamerkan. Namun Sri Baginda Raja sejak awal memutuskan bahwa ajaran semacam itu dilarang keras. Bahkan harus dihapuskan. Karena pada akhirnya tidak mendidik akal budi yang baik. Padahal justru ini yang menjadi tujuan utama.
“Pada latihan kedua, ketika kamu mematikan barang keras seperti kuku, bulu, otot, urat, gigi, kamu makin jauh melenceng dan tak bisa kembali setelah langkah berikutnya kamu berusaha mematikan otak.”
Tanpa terasa Baginda menggaruk rambutnya. Karena menyadari bahwa untuk melatih setiap tingkatan, seseorang harus mengumpulkan sekian banyak bagian tubuh mayat. Sekian banyak urat, sekian banyak nadi, sekian banyak tulang, sekian banyak gigi, dan sekian banyak otak. Dilihat dari cara berlatih ini saja, pastilah sudah memerlukan sekian ratus mayat, yang terpaksa digali dari kubur. Atau seperti dugaan semula, kalau tak begitu banyak mayat ditemukan, yang hidup dibunuh lebih dulu.
Ilmu mati jroning urip, untuk bisa mencapai tingkat Kakek Kebo Berune yang dipanggil sebagai Kebo tolol ini, pastilah melalui latihan yang memerlukan korban ratusan jiwa. Bisa berarti seluruh pengikut ke tanah Berune dimusnahkan, di samping ksatria setempat. Benar-benar mengerikan.
“Jadi kamu pun menganggap aku tersesat?”
“Cacing pun akan bilang yang sama. Kebo tolol, lihatlah! Apa dan siapa dirimu sekarang? Bejujag bisa moksa sebagai jiwa yang suci. Raganata pergi sebagai ksatria dan prajurit utama. Dodot Bintulu menghadap Dewa Pencipta dengan ikhlas. Kamu, apa yang kamu lakukan sekarang ini? Membonceng seorang yang tak berdosa. Untuk apa memaksa diri seperti itu? Keabadian, kelanggengan, bukanlah dalam mati jroning urip atau sebaliknya, urip jroning mati. Bukan mati di dalam hidup, atau hidup di dalam mati. Mati adalah mati. Hidup adalah hidup. Tak bisa dicampur adukkan. Itu pengertian yang salah. Yang sampai sekarang ini pun tak bisa kamu pahami. Tidakkah itu tolol? Tidakkah itu perlu dikasihani? Ah, apakah aku perlu berkomentar panjang-lebar?”
Cebol Jinalaya mengangguk-angguk, seakan bisa mengerti. “Aku mencari kematian. Bukan mempertahankan. Nenek tua, kata-katamu ada benarnya.”
Eyang Putri Pulangsih melirik Cebol Jinalaya. “Manusia yang tingginya hanya separo, otaknya lebih berguna dari kamu. Rasa yang dimiliki lebih peka.”
Gendongan Nyai Demang bergoyang-goyang. “Apa pun yang kamu katakan, itu tandanya ada daya asmara dalam dirimu yang tersambung dariku.”
“Tidak. Aku sebenarnya tidak bicara denganmu. Tak ada maknanya. Aku bicara dengan diriku sendiri, bahwa sejak semula aku tidak salah menolakmu. Tidak keliru aku tidak memperhitungkanmu.”
“Nenek tua, kalau begitu tolonglah. Biar Nyai Demang atau siapa pun namanya, terbebas dari Kebo tolol itu.”
“Itu bukan urusanku.”
“Kalau kamu tidak mau, jangan halangi aku bertindak.” Cebol Jinalaya bersiap-siap dan maju mendekat.
“Tunggu!” teriak Gendhuk Tri keras. “Cebol, kamu tak tahu angin di atas tubuhmu. Lebih baik kamu berdiri di pinggir dan menyaksikan.”
“Kalau yang tahu tak mau menolong, biar saja yang tak tahu yang menolong.”
Gendhuk Tri tak bisa membalas dengan kata-kata. Walau tak keruan ujung-pangkalnya, kata-kata yang diucapkan Cebol Jinalaya ada benarnya. Setidaknya tak bisa dibantah. Saat itu justru Halayudha yang memanfaatkan keadaan! Merasa bahwa Upasara tak bisa dikalahkan dengan jurusnya, Halayudha mencari kesempatan lain. Genggaman pada tubuh Upasara diperlonggar, dan pada kejapan yang sama meloncat jauh. Meraih Permaisuri Rajapatni yang menggeletak. Sekali raup tubuh itu berada dalam gendongannya.
“Lepaskan!”
Pasangan Asmara
APA yang dilakukan Halayudha memang serba tak terduga. Di saat semua perhatian tercurah dalam bantah kawruh, atau adu ilmu, antara Eyang Putri Pulangsih dan Kebo Berune mengenai ilmu sesat, di saat itu pula Halayudha menggasak Permaisuri Rajapatni yang tak sepenuhnya terjaga oleh para prajurit yang kikuk. Kikuk karena tak bisa segera menolong. Maka dengan satu gerakan, Halayudha mampu meraih Permaisuri Rajapatni dan bisa menggendong.
Merasa bahwa gempuran dalam tubuhnya berkurang, Upasara awas akan adanya perubahan dari Halayudha. Maka begitu Halayudha memindahkan serangan ke arah Permaisuri Rajapatni, saat itu pula Upasara meluncurkan telapak tangannya ke depan. Telapak tangan yang tadinya terbuka ke atas, menyodok ke depan. Ganti meraih Permaisuri Rajapatni.
Justru ini yang diperhitungkan Halayudha. Karena sangatlah mudah menebak bahwa Upasara akan bereaksi cepat mengetahui Permaisuri Rajapatni berada dalam bahaya. Maka Halayudha menunggu sampai telapak tangan Upasara menyentuh tubuh Permaisuri Rajapatni dan berteriak “lepas”. Saat itu beban di pundaknya dilepaskan, dan sebagai gantinya dua tangan menjotos dada Upasara. Dengan jotosan yang mampu melubangi dinding Keraton.
Maha Singanada mencelos. Dialah yang pertama-tama mengeluarkan seruan tertahan. Karena melihat bahwa gerakan Halayudha sangat tepat sekali.
“Celaka!”
Bersamaan dengan itu, Gendhuk Tri melapis dan menyerang. Sedikit-banyak akan membuat Halayudha terganggu pemusatan pikirannya. Kalaupun mengenai Upasara tak akan fatal. Akan tetapi Upasara memang tidak memperhitungkan serangan Halayudha. Begitu Permaisuri Rajapatni diambil dan disampirkan di pundaknya, pukulan Halayudha tak diperhitungkan lagi. Akibatnya tubuhnya terbanting ke belakang. Darah segar menyembur. Membasahi dadanya. Membasahi Permaisuri Rajapatni. Yang menjadi sadar.
“Kakangmas…”
Suara Permaisuri Rajapatni, yang di telinga Upasara tetap seorang Gayatri, menyusup ke sukma. Membuat ubun-ubunnya berdenyut keras. Untuk pertama kalinya kerinduan asmara yang meluap dan terbendung selama ini berhasil diwujudkan. Menggendong kekasihnya. Bibir Upasara tersenyum. Darah segar masih menetes.
“Kakangmas Upasara…”
“Yayimas…” Suara Upasara sama lembut. Mengusap, meniup rasa di sekujur kulit Permaisuri Rajapatni.
“Kakangmas terluka…”
Upasara menggeleng. “Yayi tidak apa-apa?”
Permaisuri Rajapatni menggeleng. Sementara itu dengan dua gerakan pendek, Halayudha bisa mengusir serangan Gendhuk Tri. Gerakan ketiga, Halayudha meluncurkan tubuhnya. Satu tangan memapak tenaga Gendhuk Tri, yang justru dipakai sebagai loncatan untuk menggempur dada Upasara. Dengan kakinya.
Pada saat tubuhnya meluncur, kakinya menjadi keras bagai logam. Ditambah dengan gerakan meluncur cepat, dada Upasara adalah sasaran empuk. Karena tak sempat menghindar. Dan tak mungkin menggunakan tubuh Permaisuri Rajapatni sebagai perisai. Baginda bersorak dalam hati. Kini saatnya Upasara terkalahkan. Bagaimanapun caranya, itu soal nanti.
“Awas, Kakang…”
Teriakan Gendhuk Tri pastilah sudah terlambat. Karena ujung kaki Halayudha sudah menyentuh dada Upasara. Upasara tersenyum ringan. Pandangan matanya masih menatap Permaisuri Rajapatni. Begitu juga sebaliknya. Saling pandang dalam jarak yang begitu dekat. Tidak memedulikan bahwa mereka berdua disaksikan seluruh isi halaman Keraton. Yang sekarang memang penuh sesak.
Sejak para senopati berkumpul, sejak itu pula senopati yang lain siap gegaman, atau dalam keadaan siaga. Tanpa diperintah, kalau Keraton diperkirakan dalam bahaya semua akan berkumpul. Apalagi kini jelas-jelas, bahwa Baginda berada di tengah kerumunan. Maka jadinya suatu pemandangan yang ganjil. Sangat ganjil.
Di satu bagian seorang nenek tua yang bicara keras dan mengajari seorang wanita yang menggendong mayat hidup, di bagian lain ada Gendhuk Tri, yang berdampingan dengan Singanada, serta Halayudha yang perkasa dikepung seluruh prajurit Keraton. Puncak keganjilan itu adalah Upasara yang mengeluarkan darah segar, membopong Permaisuri dan tetap saling pandang. Bahkan kali ini pun, Eyang Putri Pulangsih memandang ke arah Upasara Wulung. Seakan menyetujui teriakan peringatan Gendhuk Tri.
Tubuh Halayudha terus meluncur. Gendhuk Tri tak bisa melihat jelas. Apakah menembus dada Upasara atau setidaknya melukai. Yang jelas tubuh itu terus meluncur, sementara Upasara seperti bergeming. Tetap membopong Permaisuri Rajapatni dengan kedua tangannya. Rambut Permaisuri terlepas dari sanggulnya, terurai menyentuh tanah.
Tubuh Halayudha meluncur terus, dan begitu menginjak tanah, berbalik seperti tombak dilepas. Seperti anak panah meluncur dari busur. Kembali berusaha menggunting Upasara. Kali ini benar-benar menggunting. Karena kedua kakinya bergerak sangat cepat sekali. Kalau Upasara tak berkelit, bisa dilipat habis. Upasara memang tak berkelit.
Saat itu Gendhuk Tri sudah berseru keras, membebaskan semua selendang dari tubuhnya. Matanya mengisyaratkan Singanada yang juga sudah menggerung sambil memasang kuda-kuda. Baik Gendhuk Tri maupun Singanada sama-sama menyadari bahwa gabungan kedua ilmu silat mereka mempunyai kelebihan dibandingkan hanya dua kekuatan yang dijumlahkan. Tapi mereka tidak bergerak sendiri.
Mahapatih Nambi sudah mengibaskan tangannya. Semua senopati dan para prajurit pilihan juga sudah meloncat ke tengah pertarungan. Sehingga mau tidak mau Gendhuk Tri dan Singanada terkurung pagar betis dengan tombak, keris, pedang, dan anak panah.
Bagi Mahapatih Nambi tak ada pilihan lain. Sejak Baginda menitahkan bahwa Upasara musuh Keraton, penjabarannya ialah menangkap Upasara. Dalam keadaan hidup atau mati atau terluka. Dengan sendiri-sendiri seperti yang dilakukan Halayudha atau dengan mengeroyok.
Alasan keamanan Baginda bisa membenarkan kenapa dirinya mengeroyok Upasara. Dan berbeda dari saat-saat sebelumnya, kini tidak ada lagi kesangsian sedikit pun untuk menangkap Upasara.
Bahkan Senopati Agung yang sejak tadi hanya bersila di pinggir, ikut terjun ke gelanggang. Yang tidak ikut terlibat hanya Eyang Putri Pulangsih. Dan Cebol Jinalaya yang kebingungan.
Guntingan kaki Halayudha seperti berhasil merontokkan iga Upasara Wulung. Terdengar suara tulang beradu keras. Hanya saja, Upasara masih tetap berdiri tegak. Tetap membopong. Sementara Halayudha terpincang-pincang. Tak masuk akal.
Sepersekian kedipan mata, Mahapatih Nambi menduga bahwa Halayudha berpura-pura. Menduga Halayudha memainkan tipu muslihat yang lain, yang belum diketahui apa rencana sebenarnya. Bisa dimengerti. Karena Halayudha sendiri seakan tidak percaya. Jelas-jelas guntingan kakinya tak bisa dihindari oleh Upasara. Akan tetapi yang ngilu justru kakinya sendiri. Sangat ngilu hingga terpincang-pincang. Inilah yang ajaib.
Seorang jago utama, tokoh silat setingkat Halayudha bisa menjadi terpincang-pincang. Patah tangan atau kaki, tubuh hancur, adalah sesuatu yang bisa dimengerti kalau terlibat dalam pertarungan. Akan tetapi pasti bukan terpincang-pincang. Ini hanya dilakukan seorang pemula. Karena salah urat atau salah melakukan gerakan. Yang mustahil dilakukan Halayudha.
“Kakangmas…” Tangan Permaisuri Rajapatni mengusap lembut tepi bibir Upasara, sementara sorot matanya tetap tertuju ke mata Upasara.
Satebah Lemah, Sanyari Bumi
MENGAGUMKAN! Itulah satu kata yang tepat menggambarkan keberadaan Upasara saat ini. Bahkan Baginda pun mengeluarkan pujian itu. Di dalam hati. Wajah dan sikap tubuhnya tetap dingin, tidak memancarkan perasaan apa-apa.
Seakan mampu mengatasi gelombang keirian. Seakan justru memperlihatkan bahwa sikap Permaisuri Rajapatni yang mengelap darah di sudut bibir Upasara sama sekali tidak menjadi persoalan baginya. Apa yang dilakukan permaisurinya tak cukup membuatnya melirik.
Tindakan permaisurinya tak cukup berharga untuk diperhatikan. Sesungguhnya memang begitu. Bagi Baginda kehadiran Permaisuri Rajapatni hanyalah satu dari sekian banyak permaisuri yang tak resmi. Salah satu dari sedikitnya permaisuri yang resmi. Masih ada puluhan, bahkan ratusan wanita lain yang akan merasa bahagia bisa melayaninya. Dari sisi ini, Baginda tak bisa disalahkan.
Kalau ada sesuatu yang mengganggu kehormatannya dan menimbulkan rasa iri ialah kenyataan bahwa Permaisuri Rajapatni yang telah bersanding dengannya, masih menyimpan ksatria lain. Sesuatu yang seharusnya tak bisa terjadi. Tak boleh terjadi!
Bisa bersanding dan melayani Baginda adalah kehormatan yang tinggi bagi semua wanita Keraton dan wilayah yang dikuasai Majapahit. Kelelakian Baginda tak menghendaki ada lelaki lain yang mendekati atau menyamai.
Akan tetapi kenyataan bahwa permaisurinya, bahwa prameswari dalem, permaisuri raja, menunjukkan perhatian kepada orang lain, lebih dari tamparan terompah kotor ke wajah Baginda.
Padahal Permaisuri Rajapatni tidak secara sengaja menantang. Tidak secara sengaja memamerkan perasaannya. Bahkan secara diam-diam, keinginan dan impian membayangkan Upasara ditenggelamkan ke dalam bawah sadarnya.
Apa yang dilakukan sekarang ini lebih merupakan juluran naluri seorang wanita. Yang ditolong oleh seorang lelaki, dan penolong itu menjadi terluka parah karenanya. Usapan kemesraan itu adalah ungkapan perhatian, tanda terima kasih. Akan tetapi karena sebelumnya ada perasaan asmara, jadinya bermakna lain.
Gendhuk Tri yang berdiri berjajar dengan Maha Singanada menyaksikan pemandangan yang menggetarkan hati.
Upasara Wulung membopong kekasihnya, di tengah kepungan para prajurit dan senopati yang kikuk. Mau menyerang takut keliru mengenai Permaisuri. Tidak menyerang, merasa tidak melakukan kewajiban.
Yang sedikit di luar perhitungan adalah Halayudha. Ternyata ia tidak sekadar terpincang-pincang dan minggir dari gelanggang pertarungan. Lebih dari itu, kakinya seakan tidak kuat menyangga tubuhnya. Sehingga mau tak mau terpaksa duduk! Sambil mengurut kedua kakinya. Tepatnya di keempat mata kaki.
Baginda mengembuskan napas ringan. “Ada apa Halayudha itu?”
Pertanyaan Baginda tak tertuju kepada siapa-siapa. Tak perlu mengetahui siapa yang diajak bicara. Mahapatih Nambi menyembah dengan penuh hormat.
“Menurut dugaan hamba, keempat mata kakinya terluka.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Hamba kurang tahu, Baginda. Barangkali saja sewaktu berusaha menebas tubuh Upasara secara bersamaan, terjadi sesuatu yang keliru. Sehingga saling beradu sendiri.”
Baginda berdehem. “Apa itu bisa terjadi pada seorang semacam Halayudha?”
Tak ada jawaban. Mahapatih Nambi sendiri tak begitu yakin. Tak begitu pasti apa yang sesungguhnya terjadi. Seperti juga para senopati yang lain. Namun dalam satu hal, hati mereka sepakat mengakui keunggulan Upasara. Dalam pertarungan yang mengesankan, Upasara memantapkan dirinya sebagai ksatria yang tiada tandingannya. Dengan sebelah tangan mengungguli Halayudha sehingga pontang-panting. Dengan bantuan Gendhuk Tri, Halayudha bisa mendesak Upasara.
Namun justru ketika sampai pada jurus yang menentukan, tubuh Upasara tak bisa digerakkan. Sewaktu Halayudha mengubah taktiknya, berhasil keras. Akan tetapi segera disusul dengan terjongkok sendiri. Berhasil keras karena membuat Upasara muntah darah. Anehnya, justru setelah itu keempat mata kakinya perlu dipijat-pijat untuk mematikan rasa yang menyebabkan sakit. Berarti untuk sementara, Halayudha tak akan bisa bertarung. Ini berarti rasa sakitnya kelewat batas. Di luar kemampuan Halayudha untuk mengatasi, untuk menahan.
Halayudha sendiri merasa tak sanggup mengalihkan rasa sakit. Berbagai pertarungan telah dijalani. Baik yang membuat jari-jarinya putus, atau yang dijalani sendiri dengan menusukkan keris ke arah lambungnya. Semua rasa sakit masih bisa ditahan. Masih bisa dikuasai. Akan tetapi sekarang ini tidak. Rasanya keempat mata kakinya hancur. Menjadi serpihan kecil-kecil, atau malah menjadi abu. Yang setiap ada aliran darah menuju tempat itu, membuatnya sangat ngilu.
Halayudha setengah menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya, sewaktu serangan pertama dengan menendang lurus meleset, dirinya mulai memperhitungkan bahwa ada sesuatu yang luar biasa dari Upasara. Tapi ternyata itu tak membuatnya waspada, justru karena ia merasa hampir berhasil. Malah mengulangi dan hasilnya luar biasa sakitnya. Kalau tidak malu, mau rasanya Halayudha menjerit!
JILID 04 | BUKU PERTAMA | JILID 05 |
---|