Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 17
“Sekurangnya kalau kita mencoba menandai dengan cara di bumi,” kata Gendhuk Tri perlahan.
“Ya. Dan untuk mengetahui, tak ada jalan lain selain menyelam ke dalamnya.”
“Selama ini saya mempelajari Kitab Air, akan tetapi tak pernah mengetahui yang seperti itu. Bahkan tak pernah terpikir ada jalan seperti itu.”
“Tidak menjadi apa, Pangeran Anom. Justru jalan yang Pangeran tempuh bukan tidak mungkin jalan yang sebenarnya. Saya tidak bisa berbuat seperti Pangeran, karena tradisi yang membentuk saya berbeda. Karena dasar-dasar ilmu silat saya berbeda. Itulah sebabnya saya berusaha menyelami. Itulah sebabnya kita bertiga harus menyatukan rasa dan pikir, dan menjadi air. Sebab ketika salah satu dari kita tak mempercayai yang lainnya, usaha kita bertiga tak ada artinya. Maaf, Pangeran Anom yang suci. Saya bukan manusia yang baik menurut ukuran ksatria tanah Jawa. Tata krama di tanah Jawa mempunyai aturan dan ukuran yang tidak bisa saya terima. Akan tetapi kalau saya ingin mendalami dan mengerti, saya harus mau menerima tata krama itu. Sama halnya dengan kalau saya ingin mendalami Kitab Air. Rasanya tak mungkin sama sekali tanpa menjadi air itu sendiri.”
Pengertian itu juga menyusup dalam kesadaran Gendhuk Tri. Itu pula sebabnya ia menerima kehadiran Kiai Sambartaka untuk mencoba berlatih bersama. Paling tidak, selama latihan, mereka tak ada yang berniat lain, tak mempunyai hati yang bercabang. Karena masing-masing mengetahui bahwa kalau itu terjadi, usaha selama ini sia-sia belaka. Maka saat itu juga, Janaka Rajendra mulai menembangkan, menuliskan kidungan dalam Tirta Parwa, untuk perlahan-lahan dipelajari, dipraktekkan.
Kadang Janaka Rajendra bersama Gendhuk Tri, kadang bertiga bersama Kiai Sambartaka, kadang bergantian pasangan. Setiap gerak, setiap lekukan menjadi perhatian bersama. Dalam lima kali berlatih makin terlihat bahwa pasangan Gendhuk Tri dengan Janaka Rajendra kian menyatu. Hasil latihan bersama, memberikan tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan mereka berdua melatih bersama Kiai Sambartaka.
Ketiganya menyadari hal ini, akan tetapi terus juga berlatih. Tanpa mengenal pergantian siang dan malam. Bagi Gendhuk Tri tidak menjadi masalah, karena ia memang gemar belajar ilmu silat. Apalagi ini ilmunya sendiri, yang baru sekarang dibuka dengan pandangan yang lebih urut. Demikian juga Janaka Rajendra yang tampak bersemangat setiap kali berlatih bersama Gendhuk Tri.
Kiai Sambartaka lebih banyak membuat komentar dan penilaian setiap kali selesai melakukan latihan. Satu demi satu kidungan yang ada dilalap, hingga dalam waktu sekejap mereka bertiga berlatih kembali dari awal.
“Sejauh ini rasanya tak ada yang menyebut mengenai ilmu kebal,” kata Janaka Rajendra. “Apakah kita tidak salah duga? Apakah tidak mungkin Pendeta Manmathaba mempelajari dari sumber yang lain?”
“Tidak mungkin, Pangeran Anom. Kita sama-sama melihat bahwa keluwesan pengaturan tenaga dalam itu berasal dari sumber yang sama. Jurus ilmu silatnya bisa saja dikembangkan dari sumber lain, akan tetapi jelas pengaturan tenaga dalamnya dari Kitab"
“Kiai sudah menemukan bagian itu?”
Gendhuk Tri menyeka tangannya. Mendadak ia bersila di lantai. Kedua tangannya terkulai, rambutnya dibiarkan tergerai. Pundaknya bergetar.
“Coba serang.”
Yang Bukan Air, Memisah
JANAKA RAJENDRA tertegun. Sebaliknya Kiai Sambartaka bergerak cepat. Tangannya meraih sebatang kayu yang dengan sangat cepat diruncingkan bagai ujung tombak. Perlahan tombak kayu yang runcing ditimpukkan ke arah Gendhuk Tri. Janaka Rajendra tertegun. Tombak itu mengenai lengan Gendhuk Tri! Tapi terjatuh ke lantai.
“Kita berhasil!”
Gendhuk Tri menghela napas. “Tidak. Kiai menyerang dengan ragu-ragu. Tanpa ilmu apa pun, tongkat ini tak akan melukai saya. Pangeran Anom, pinjam keris…”
Ragu Janaka Rajendra mengambil keris. Gendhuk Tri memberikan kepada Kiai Sambartaka. “Saya akan memainkan kidungan kedua, dan begitu selesai, Kiai menusuk saya.”
“Bagianmana?” tanya Janaka Rajendra cemas. “Mana saja yang dianggap bisa ditusuk, asal jangan bagian mata…”
Gendhuk Tri segera bersiap, kedua tangannya melengkung, kakinya yang lebih dulu bergerak. Bagai penari Keraton yang gemulai. Kiai Sambartaka masih menunggu sampai Gendhuk Tri menjentikkan jari ke arah jakunnya. Dengan sedikit mengelak, Kiai Sambartaka membalas. Ujung keris di tangan kanan menyabet ke arah Gendhuk Tri, tapi mendadak diubah letaknya di tangan kiri dan yang diarah adalah dada.
Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya. Punggungnya rata dengan lantai. Kedua kakinya menggunting kaki Kiai Sambartaka, yang tak membiarkan begitu saja. Dengan meloncat ke atas, tidak secara bersamaan, Kiai Sambartaka berhasil membebaskan diri. Akan tetapi begitu menginjak lantai tubuh Gendhuk Tri yang masih rata dengan lantai tiba-tiba meliuk dan kini ada di punggungnya. Siap memotes dua telinga Kiai Sambartaka.
Tidak menduga serangan semacam itu, Kiai Sambartaka menggerung keras. Tubuhnya berputar membalik, dengan lima kuku siap ganti mencakar, sementara keris menikam di bagian paha Gendhuk Tri justru mempertontonkan kelebihannya dengan membalik. Kakinya terangkat ke atas, dengan tubuh pada posisi yang sama. Serangan lawan bisa dihindari, sementara serangannya sendiri tetap.
Yang dimainkan Gendhuk Tri adalah jurus-jurus yang diandalkan. Menjatuhkan diri kemudian berbalik terbang melayang adalah jurus pancingan untuk menjebak lawan. Jurus ini pula dulu yang bisa melukai Ugrawe. Ditambah pengalamannya selama ini, dan kesadaran baru dalam mempelajari, hasilnya boleh dikata lebih berbahaya dari yang dulu.
Ini yang tak diduga Kiai Sambartaka. Tokoh kelas utama ini justru seperti terdesak. Baik karena tidak bisa mengembangkan permainan keris, maupun karena tempat pertarungan kurang leluasa. Sekurangnya Kiai Sambartaka enggan menghancurkan. Akan tetapi dua-tiga jurus berikutnya, Kiai Sambartaka menemukan kembali kekuatannya. Dengan menindih tenaga lawan, Gendhuk Tri dipaksa mundur. Satu sabetan di belakang, membuat tubuh Gendhuk Tri terputar ke arah lain. Ke arah tiang. Tak bisa mundur. Saat itu tusukan keris menyambar ke arah pipi.
“Awas!” Teriakan Janaka Rajendra terlambat.
Keris itu telah terlepas dan mengenai pipi Gendhuk Tri. Satu pukulan dari Janaka Rajendra telak mengenai dada Kiai Sambartaka yang tidak menangkis, sehingga tubuhnya terdorong mundur, menghantam dinding. Bibirnya meringis dan dari sela-selanya mengalirkan darah, akan tetapi pandangannya tak lepas dari Gendhuk Tri. Yang juga berdiri melongo. Karena tak menyangka bahwa ujung keris yang mengenai pipinya, yang terasa menusuk, terjatuh ke lantai.
“Adik Tri, kamu tidak apa-apa?”
“Tidak… tidak…”
“Bagaimana rasanya?”
“Sakit sedikit, tapi tak apa. Tak terluka. Tak tergores.”
Kiai Sambartaka menghapus ujung bibirnya dengan punggung tangan. Langkahnya tertahan ketika melihat Gendhuk Tri berdiri garang. “Apa…”
“Maaf, Kiai, latihan tak perlu kita teruskan. Kita tidak sejiwa dalam hal ini. Tujuan kita menjadi berbeda. Air hanya berkumpul dengan air. Yang bukan air akan menyingkir dengan sendirinya.”
Kiai Sambartaka mengangguk. “Akhirnya akan begitu, Adik Tri…”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
Kiai Sambartaka melipat tangannya di dada. Kedua kakinya mengangkang gagah. “Kamu yang pertama mendapat pencerahan. Lebih cepat dari dugaanmu sendiri menerima itu. Apakah akan kamu kangkangi sendiri?”
“Apakah Kiai akan memaksaku?”
“Bisa. Tapi tak ada gunanya.”
Gendhuk Tri menemukan tangannya. “Baik. Aku tidak seserakah yang Kiai duga. Tapi aku juga tak mau sedermawan yang Kiai kehendaki. Kidungan mengenai itu ada di bagian kedua belas, dan bagian ketiga belas awal. Dengar baik-baik:
Air berbeda dengan bumi
yang bisa ditandai, dipisahkan
air berbeda dengan api
yang bisa dipadamkan, dibasahi
air berbeda dengan kayu
yang bisa dibakar, diabukan
air tak menyerap bumi
yang berputar
air tak memakan api
yang membakar
air tak merusak kayu
yang tumbuh
setetes air menahan bumi
api
kayu
air tak bisa menolak bumi
api dan kayu
air menyentuh bumi
api dan kayu
tanpa membasahi
tanpa terpanasi, tanpa mengairi…"
Kiai Sambartaka mendongak ke arah langit-langit. Tanpa menoleh ke arah Gendhuk Tri, ia berbalik. “Terima kasih atas penjelasanmu. Karena kita tak berhubungan lagi, karena kita bukan sesama air, jangan sesalkan diri nanti…”
Tubuh Kiai Sambartaka melenyap ke arah luar kamar. Janaka Rajendra masih tertegun. Ketika itu sayup-sayup mulai terdengar langkah mendekati. Gendhuk Tri menjilat bibirnya yang kering.
“Adik Tri berhasil.”
“Kiai Sambartaka benar. Sebentar lagi ada rombongan yang datang, dan kita harus menghadapi sendiri.”
“Tidak, kita berdua menghadapi.”
“Apa bedanya kita berdua atau sendirian?”
Janaka Rajendra mundur satu langkah. “Adik Tri tidak percaya kita berdua lebih mampu menghadapi bahaya apa pun?”
“Tidak. Yang datang ini tak bisa dihadapi oleh Pangeran Anom, dengan ilmu silat apa pun…”
“Memangnya siapa mereka?”
Gendhuk Tri tak menjawab.
“Tapi… tapi bagaimana penjelasannya sehingga Adik Tri bisa langsung menemukan pencerahan?”
Langkah terdengar makin mendekat. Janaka Rajendra maju lagi. Mengamati pipi Gendhuk Tri. Tanpa terasa tangannya mengusap. Ketika itulah langkah terdengar di dalam ruangan.
Panggilan Tanah Seberang
GENDHUK TRI masih terdiam, sampai suara kaki yang menapak teratur mulai membentuk lingkaran, berjongkok menyembah.
“Yang Mulia sesembahan Permaisuri berkenan datang dan ingin bertemu dengan Pangeran Anom Janaka Marmadewa Pratapa Krama Rajendra. Mohon kesediaan Paduka…”
Janaka Rajendra kelihatan kikuk disebut dengan nama panggilan selengkap itu. Kikuk karena Gendhuk Tri kelihatan mengangkat alisnya sebelah, sementara bibirnya menyunggingkan senyuman. Ia merasa geli mendengar nama dan gelaran Janaka Rajendra yang sangat panjang.
“Ibu datang…”
“Silakan Pangeran Anom yang Mulia menemui…”
“Adik Tri tahu, saya kurang suka…”
Gendhuk Tri malah menyembah dengan hormat. “Duh, Pangeran Anom Udayadityawarman yang Mulia, adalah kewajiban seorang pangeran Anom untuk menerima ibu kandung, apalagi sesembahan dari Permaisuri Indreswari… Jangan bimbang dan ragu…”
Wajah Janaka Rajendra makin merah. Tak bisa berbuat banyak karena kemudian terdengar langkah, dan semua prajurit menyembah hormat, menunduk, seiring dengan masuknya Dara Jingga, yang dengan sudut matanya mengawasi Gendhuk Tri.
“Putraku, Bagus Mantlorot…”
“Sembah sujud putra Ibu ke hadapan Yang Mulia… Rasanya segala kesalahan dan dosa tak terampuni telah saya lakukan, sehingga Kanjeng Ibu sampai datang kemari.”
“Saya bisa melupakan, memaafkan, dan mengerti. Ketahuilah, anakku lelaki yang bagus, Rama telah berangkat. Berkemaslah, Ibu akan segera menyusul bersamamu.”
Janaka Rajendra menyembah. Tetap menunduk memandang lantai. “Biarlah saya menenteramkan hati di tempat ini…”
“Ini bukan lagi tempat bagimu. Sebentar lagi ada senopati lain yang akan menghuni. Panggilan dari tanah seberang telah terdengar, tanah asal-muasal ibumu.”
“Kalau tak ada tempat di Keraton, masih ada tempat yang lain…" Jelas dari jawaban Janaka ia lebih suka tetap tinggal. Kalau tak bisa berdiam di Keraton, ia akan berada di mana saja.
“Itu artinya menentang perintah Raja…”
Tak ada jawaban segera. Hanya terasakan bahwa para prajurit yang mengawal tadi seperti bersiap sedia. Terasakan dari getaran napas mereka semua.
“Ibu tak pernah memimpikan putranya menjadi pembangkang. Apa pun alasannya, engkau harus berangkat sekarang juga. Kalau tidak bersedia, biarlah Ibu dikeramatkan di sini. Sekarang juga.”
Gendhuk Tri tergetar hatinya. Dalam percakapan yang nadanya sangat halus lembut, ramah ini terkandung kekerasan, keliatan, dan sekaligus juga ancaman. Kalau Pangeran Anom tetap tak mau mengikuti perintah, bisa terjadi pertumpahan darah dengan dingin. Entah dengan cara bagaimana. Yang mengerikan ialah semua tadi diucapkan dengan nada yang seolah tidak mengandung sesuatu yang penting. Mengatakan tentang mati dan hidup, menurut perintah atau kraman, dalam nada yang sama.
“Bagaimana, anakku lelaki?”
Janaka Rajendra melirik ke arah Gendhuk Tri. Nyata sekali bahwa yang membuatnya tak ingin segera meninggalkan Keraton adalah Gendhuk Tri. Yang membalas lirikan secara sembunyi sambil mengangguk. Kali ini Janaka Rajendra mendongak.
“Bagaimana, Adik Tri? Adik Tri ingin saya pergi? Adik Tri tidak mau saya temani?”
“Duh, Pangeran Anom junjungan kawula, sebagai abdi hamba akan mengikuti ke mana pun Pangeran Anom pergi, jika masih diperkenankan melayani.”
“Sungguh?” Janaka Rajendra mendongak lebih tegak. Melihat secara jelas ke arah Gendhuk Tri. Suatu sikap yang tidak biasanya diperlihatkan. Apalagi di depan ibunya.
Gendhuk Tri mengangguk pelan.
“Sekarang juga saya mengikuti perintah Ibu…”
Dara Jingga melirik tipis ke arah Gendhuk Tri. “Gadis manis, siapa namamu? Kamu pelayan di bagian apa? Kenapa selama ini tak pernah kuketahui?”
Janaka Rajendra benar-benar merasa sangat kikuk dan serba salah. Agak sulit baginya untuk menerangkan dalam sekejap. Akan tetapi Gendhuk Tri menyembah dengan khidmat.
“Hamba bernama Gendhuk Tri… abdi bagian… bagian… busana…”
“Gendhuk Tri? Siapa namamu yang lengkap?”
Kali ini Gendhuk Tri tak mau menjawab. Ia bisa menjawab bahwa oleh gurunya ia dipanggil Jagattri. Akan tetapi sejak dipanggil dengan sebutan Gendhuk Tri oleh Upasara Wulung, ia lebih suka memakai sebutan itu. Maka ia tak mau segera menjawab.
“Baiklah kalau kamu tidak mau menyebutkan namamu. Jaga dan rawat putraku…”
Tanpa menunggu sembah Gendhuk Tri, Dara Jingga segera meninggalkan ruangan. Diikuti oleh para prajurit yang mengawal. Tinggal Janaka Rajendra dan Gendhuk Tri yang saling pandang.
“Adik Tri… benar Adik mau pergi ke tanah seberang?”
“Saya sudah mengatakan…”
“Kenapa Adik mau berangkat?”
“Tak ada alasan lain. Kalau saya tidak mengatakan itu, Pangeran tak mau berangkat. Dan bisa terjadi hal-hal yang luar biasa. Lagi pula sebagai abdi, sebagai pelayan, saya…”
Janaka Rajendra menepuk pahanya keras sekali. “Saya tak mau mendengar omongan seperti itu. Kenapa Adik Tri tega mempermainkan perasaan saya?”
Gendhuk Tri bercekat hatinya. Tak menyangka bahwa Janaka Rajendra akan semurka itu. Diam-diam ia merasa bahwa apa yang diperbuat, barangkali saja agak keterlaluan. Ia tak bisa mempermainkan perasaan pangeran seperti Janaka Rajendra. Yang kelihatannya sangat tidak suka diperlakukan sebagai bangsawan yang sesungguhnya sesuai dengan derajatnya.
“Jadi hanya karena itu?”
“Ya.”
Janaka Rajendra menghela napas penyesalan. “Apa pun alasannya, saya bersyukur. Meskipun saya akan lebih bersyukur jika Adik Tri memang ingin pergi bersama saya…”
Kali ini Gendhuk Tri terperanjat. Kali ini perasaan bersalah menjalar ke seluruh tubuhnya. Aku tak bisa main-main, tak bisa berbuat secara sembrono. Ini bukan tempatnya. Suara hatinya mendesak Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia tak bisa meninggalkan Keraton saat ini.
“Karena Kakang Singanada?”
“Karena Kakang Singanada, karena yang lainnya.”
“Apa yang lain itu?”
“Urusan Keraton…”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?”
“Mengikuti perintah, kemudian diam-diam saya akan kembali. Maaf Pangeran Anom, saya tak ingin mengecewakan Pangeran di belakang hari. Saya tak ingin Pangeran berharap yang bukan-bukan. Saya tak tahu bagaimana harus mengatakan, akan tetapi rasanya hubungan kita selama waktu yang singkat ini tidak menjanjikan apa-apa di belakang hari. Saya mengucapkan beribu terima kasih atas kebaikan hati Pangeran selama ini yang telah menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi begitulah sebenarnya yang terjadi. Tak lain. Tak lebih. Maaf, Pangeran… Kata-kata saya kurang tata krama, tetapi saya tak bisa memilih kalimat yang lain.”
“Saya bisa mengerti. Saya juga tak ingin memaksakan kehendak saya. Jadinya tidak baik. Sesama air tak akan saling memaksa. Jangan merasa berutang budi karena saya menolong Adik Tri. Tak perlu beban pikiran seperti itu. Saya bersyukur dan berterima kasih Adik Tri mau menyertai ke kapal…”
Yang sedikit di luar dugaan Gendhuk Tri ternyata bahwa keberangkatan mereka diiringkan pasukan secara lengkap. Dengan upacara kenegaraan, di mana Permaisuri Indreswari sendiri menyusul ke arah rombongan yang akan berangkat. Gendhuk Tri bisa membayangkan bahwa kalau seorang pangeran bepergian pasti repot. Akan tetapi yang disaksikan sekarang ini lebih dan sekadar repot. Puluhan kuda disiapkan hanya untuk mengangkut perlengkapan busana. Puluhan yang lain disiapkan untuk persediaan makanan. Puluhan yang lain untuk keperluan yang Gendhuk Tri sendiri tak bisa memperkirakan.
“Gila. Rasa-rasanya seluruh Keraton ikut boyong…”
“Apa, Adik Tri?”
“Tidak, tidak apa-apa…”
Yang membuat Gendhuk Tri luar biasa risi dan dongkol ialah bahwa semua mata seolah melihat ke arahnya. Semua prajurit memberi hormat yang dalam padanya. Ada lima belas pelayan yang siap di sekelilingnya. Ini tak masuk akal.
Selamat Jalan, Kakangmbok…
GENDHUK TRI makin kecut hatinya, ketika lima belas pelayan itu menunduk di belakangnya, akan tetapi selalu siaga. Sewaktu akan naik ke joli, kelima belas pelayan bergerak semua melayani. Ada yang memegangi pijakan kaki membuka tirai, mengangkat ujung kain bagian belakang, ada yang dengan ragu menuntun tangannya ke arah pegangan.
Pengalaman yang ganjil bagi Gendhuk Tri yang dibesarkan di alam terbuka. Rasanya seumur-umur ia tak pernah dilayani. Apalagi sekaligus seperti sekarang ini. Belum terhitung yang tak terperhatikan seperti para prajurit yang mengangkat tandu. Hanya karena risi dipandangi, Gendhuk Tri masuk ke joli yang berdupa harum. Yang ternyata dihias dengan pernik-pernik ukiran warna emas.
Joli bergerak. Hampir tanpa bergoyang sedikit pun. Pastilah keempat prajurit yang memanggul tandu adalah prajurit yang terlatih. Sehingga jalan yang naik-turun tidak menyebabkan joli bergerak. Lebih heran lagi ketika baru melangkah belum seratus langkah, joli telah berhenti, diturunkan perlahan. Kembali para pelayan membuka tirai, menuntun tangannya, mengambil tempat pijakan. Gendhuk Tri mengikuti saja. Sekilas terbayang hal yang akan dialami oleh Upasara andai menjadi suami Gayatri. Atau andai berangkat ke tanah Turkana.
Gendhuk Tri melangkah ke luar, dan ikut duduk di belakang Pangeran Anom, yang duduk bersila. Demikian juga prajurit yang lain. Barulah Gendhuk Tri sadar bahwa mereka semua menunggu Permaisuri Indreswari yang melenggang lembut, sementara payung kebesaran menaungi wajah dan seluruh tubuhnya.
“Kakangmbok Ratu berangkat hari ini?”
Dara Jingga menyembah lembut sambil mengangguk.
“Saya hanya bisa mengantarkan sampai tempat ini. Semoga Kakangmbok Ratu selalu dilindungi Dewa Yang Maha Pelindung. Bisa mengembangkan kekuasaan dan kejayaan Keraton di tanah seberang…”
“Doa dan puji Yayi Permaisuri pasti didengar Dewa. Saya menyusul Senopati Agung yang telah lebih dulu berangkat…”
“Saya tak bisa mencegah kehendak Raja, Kakangmbok Ratu. Barangkali justru ini yang terbaik. Apalagi Janaka sudah bisa memilih pasangannya. Rasa-rasanya saya ingin datang saat pesta pernikahan nanti…”
Gendhuk Tri tak ingin usil melihat kesungguhan Pangeran Anom menunduk mendengarkan
“Ada bagian yang selalu menyenangkan, Kakangmbok Ratu. Putramu Bagus Mantlorot bisa memilih pasangan dengan mudah. Akan tetapi tidak demikian dengan anakku. Sebagai raja, tak bisa sembarangan. Sebab darahnya tak bisa diturunkan tanpa perhitungan. Itulah nasib yang ditentukan Dewa. Tak bisa ditolak. Berbahagialah Kakangmbok Ratu. Bisa merasakan hidup seperti ratu, tanpa beban ratu…”
Gendhuk Tri mendesis lirih karena jengkelnya. Dalam benaknya, kata-kata Permaisuri Indreswari sangat merendahkan orang lain. Dengan suara ringan, seolah membuat telinga lain berbahagia, akan tetapi sekaligus menjatuhkan. Ya kalau Kala Gemet susah dan tak bisa sembarangan mencari jodohnya. Tidak asal ambil seperti Mantlorot. Itu sama dengan menampar wajah Gendhuk Tri yang dianggap sembarangan.
“Sungguh aneh hidup ini. Kita dilahirkan sama. Dibesarkan bersama. Diboyong dari seberang bersamaan. Akan tetapi pilihan Dewa berbeda. Saya menjadi permaisuri utama dan Kakangmbok Ratu bersuamikan senopati. Sehingga sebagai kakak, harus bersila di depan adiknya. Demikian juga seluruh keturunannya. Apakah ini bukan nasib? Apakah ini bukan takdir? Dan kita hanya bisa menjalani. Menjalani sebagai yang tertulis oleh tangan Dewa yang tak bisa diubah lagi. Mungkin kehidupan kita sebelumnya yang membuat perbedaan ini. Maka kalau Kakangmbok Ratu bisa berbuat lebih baik, mengabdi atas nama Keraton lebih sujud, rasa-rasanya di kelak kemudian hari, di titisan yang kemudian, bisa berubah. Tidak pantas seorang adik memberi nasihat seperti ini. Akan tetapi hanya ini yang bisa saya antarkan kepada Kakangmbok Ratu.”
Dara Jingga hampir menjawab ketika Permaisuri melanjutkan.
“Jadilah penguasa di tanah seberang, atas nama Raja yang sekarang memegang takhta. Jagalah kebesaran, sebagai tanda bekti dan mengabdi. Jangan lupa kewajiban untuk mengirimkan upeti…”
Inilah yang makin membuat Gendhuk Tri jengkel. Di saat perpisahan, tak ada kata yang menyenangkan, malah mengungkit-ungkit masa lalu. Malah menuntut pengabdian yang lebih tinggi, karena selama ini dinilai kurang berbakti. Sungguh luar biasa, bahwa hal ini bisa terjadi pada sesama saudara.
“Mantlorot anakku. Mulai sekarang kamu bisa belajar lebih baik, lebih tekun, lebih bisa menyadari bahwa semua yang kamu nikmati ini berasal dari kemurahan hati Raja…”
Gendhuk Tri bersiap menyentilkan sepotong tanah untuk menyambit kain Permaisuri, ketika terdengar bisikan lembut, “Jangan, Adik Tri. Kalau itu terjadi, semua pelayan Permaisuri akan dihukum gantung karena dianggap tidak becus mendandani…”
“Apa yang kamu katakan, Mantlorot?”
“Semua yang disabdakan Ibu Permaisuri Utama sangat tepat.”
“Belajarlah bicara lebih jelas, Mantlorot. Kakangmbok Ratu, perahu sudah lama menunggu…”
Hanya dengan satu anggukan kecil, Permaisuri Indreswari berbalik. Masuk ke joli yang lebih indah. Lalu lenyap dari kerumunan. Baru kemudian Dara Jingga melangkah ke dalam tandu. Diikuti yang lain. Dalam pengawalan ketat, rombongan menuju ke dalam perahu besar. Ada tiga perahu yang siap menelusuri sungai, untuk kemudian melintasi samudra yang luas. Pengawalan ini hanya untuk meyakinkan bahwa rombongan memang benar-benar berangkat ke dalam perahu.
Gendhuk Tri berdiam diri. Begitu masuk ke perahu, ia segera bersemadi untuk memulihkan tenaga dalamnya. Begitu malam menjelang, Gendhuk Tri segera berindap ke luar, dan mencebur ke sungai. Walau tidak begitu pandai berenang, tak terlalu sulit Gendhuk Tri menepi. Dengan badan yang basah kuyup hingga ke rambutnya, Gendhuk Tri bisa naik ke darat. Wajahnya berubah ketika melihat bayangan mendekat ke arahnya.
“Pakai yang sudah kering…”
“Pangeran…”
“Saya tahu Adik Tri pasti akan kembali. Makanya saya mendahului, sambil membawa pakaian untuk ganti.”
“Kenapa Pangeran turun?”
“Karena Adik Tri juga turun.”
“Bukankah…”
“Lebih baik Adik Tri ganti pakaian lebih dulu.”
Pangeran Anom segera pergi. Membiarkan Gendhuk Tri sendirian, mengganti pakaiannya di balik pepohonan. Sebenarnya tak bersembunyi pun tak ada yang melihat karena malam sangat pekat. Hati Gendhuk Tri bercekat karena hal lain. Pangeran Anom yang baru saja dikenal ini sudah menunjukkan perangai yang aneh. Di saat ia menjadi putra mahkota yang diberi janji tanah seberang, malah lebih suka memilih keluyuran. Apakah betul ini semua karena daya asmara?
“Saya ingin mendengar jawaban yang jujur, Pangeran…,” kata Gendhuk Tri ketika keduanya berjalan bersama. “Saya tak ingin membuat Pangeran menyesal di belakang hari. Saya tidak menjanjikan apa-apa…”
“Adik Tri, saya tidak menuntut apa-apa. Tidak menuntut janji. Saya hanya merasa bahagia bersama Adik. Kalau Adik Tri merasa terganggu, saya akan pergi…”
“Sama sekali tidak. Tapi apa yang Pangeran harapkan?”
“Merasakan kebahagiaan ini. Sekarang ini. Kalau bisa berlangsung terus, alangkah indahnya. Kalau tidak, ya tak apa-apa. Kalau suatu ketika nanti Adik Tri memutuskan berjalan bersama Kakang Singanada, saya mendoakan agar Adik Tri bahagia, selamanya. Saya tak meminta apa-apa. Saya mungkin bisa membantu sedikit-sedikit untuk mencari Kakang Singanada atau mengobatinya…”
Hati wanita Gendhuk Tri terharu. Tergugah oleh ketulusan Pangeran Anom. Wajahnya yang polos, tekadnya yang membara, semua didasari pengertian, sekurangnya sekarang ini bisa bersama. Alangkah murninya! Apakah pikirannya akan berubah jika mengetahui bahwa yang dipikirkan Gendhuk Tri saat itu justru Upasara Wulung? Bukan Pangeran Anom dan bukan pula Singanada?
Apa yang melintas dalam ingatan Gendhuk Tri saat ini memang bayangan Upasara. Saat mereka berdua-dua di Perguruan Awan. Setelah kemelut Keraton Majapahit dulu, itu adalah waktu yang paling menyenangkan. Saat itu Upasara mempunyai waktu paling banyak bersamanya.
Ilmu Berjalan di Atas Api
KENANGAN yang manis. Saat di mana Upasara memilih berdiam diri di Perguruan Awan. Siang dan malam selalu bersama Gendhuk Tri. Ada saja yang mereka lakukan berdua. Mencari ikan, buah-buahan, berlatih silat, atau kadang mencari kutu. Kadang kala Gendhuk Tri menerima tamu Nyai Demang serta Galih Kaliki.
Suasana lebih ramai, akan tetapi tetap menyinarkan ketenteraman, kebahagiaan. Di luar hutan, kejadian berlangsung seperti sedia kala. Pertarungan, perebutan kekuasaan, saling mengganas. Tetapi alangkah menyenangkan berada dalam rimba ketenteraman. Alangkah indahnya andai saat itu dunia berhenti. Tapi nyatanya tidak.
Upasara keluar dari sarang perdamaian. Getaran asmara yang mencuat tak bisa disembunyikan, menyeretnya kembali ke Keraton. Daya asmara terhadap Gayatri tak pernah selesai. Saat itulah mulai pergolakan yang menggelora. Menemukan musuh-musuh dari senopati Raja Jayakatwang, atau beberapa pasukan dari Tartar. Mereka bertarung habis-habisan.
Dan setelah selesai tugas utama, kembali ke Perguruan Awan. Menikmati hari-hari yang membahagiakan. Tak peduli dengan urusan pangkat dan derajat. Upasara menolak menjadi mahapatih. Bahkan juga ketika utusan Baginda, Permaisuri Gayatri, datang secara khusus membujuknya.
Namun getaran yang sama pula menyeret kembalinya Upasara ke gelanggang. Dan sejak itu Gendhuk Tri tak pernah mendapat kesempatan berduaan secara khusus. Malah merasa tak terperhatikan. Upasara dengan segala kesibukannya dari matahari terbit hingga tenggelam. Hingga sekarang ini.
“Adik Tri memikirkan apa?”
“Tidak memikirkan apa-apa.”
“Rasanya seperti melamunkan sesuatu.”
“Tidak.”
“Atau masih memikirkan bahwa sekarang Kiai Sambartaka bisa mengenali ilmu kebal?”
Gendhuk Tri menggeleng. “Pangeran, bagi Kiai Sambartaka sebenarnya tak ada masalah untuk mengenali ilmu kebal. Tradisi ilmu dari tlatah Hindia tak berbeda jauh dari tanah Syangka. Segala jenis ilmu kebal bisa dipelajari, dan sudah menjadi ajaran.”
“Kalaupun benar begitu, kenapa Kiai Sambartaka perlu berguru kepada Adik?”
“Pangeran jangan membuat saya malu. Kita mempelajari bersama-sama.”
“Apa pun istilahnya. Nyatanya mengajak kita. Nyatanya juga Adik yang bisa memecahkan dengan cepat.”
Mungkin lebih baik membicarakan hal ini, kata hati Gendhuk Tri. Daripada melamunkan Upasara. Ya, Kakang Upasara yang waktu itu masih beringasan, suka bercanda, dan bisa jengkel. Bukan Upasara yang terlalu angker, yang sedikit bicaranya, dan seolah sama tuanya dengan Eyang Sepuh.
“Bagaimana Adik bisa memecahkan rahasia ilmu kebal Pendeta Manmathaba?”
“Saya teringat ajaran Mbakyu Jagaddhita. Saat itu kami berlatih bersama. Mbakyu Jagaddhita menceritakan bahwa sebenarnya kunci ilmu silat yang kami mainkan berawal dari tarian. Tarian berawal dari gerak. Jadi gerak yang mula-mula adalah sumber utama. Kenapa justru gerak yang menjadi sumber kekuatan, dan bukannya diam? Saat itu Mbakyu Jagaddhita tak bisa menerangkan. Atau tak mau. Atau menganggap tak perlu. Saya baru sadar ketika kita berlatih bersama…”
Sampai di sini Janaka Rajendra tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Kekuatan kita berdasar pada gerak karena sifat air. Air yang bergerak karena mempunyai dan menemukan irama alam. Di samping itu air mempunyai sifat yang tersendiri, yaitu dingin, basah, mengalir. Entah bagaimana, pikiran saya membersit ke arah orang yang biasa berjalan di atas api membara. Suatu pameran ilmu yang sebenarnya tak pernah dipandang sebelah mata, karena dianggap permainan anak-anak.”
“Lalu…”
“Orang yang berjalan di atas api tanpa terbakar, sebenarnya memainkan sifat air. Sifat air yang ada dalam tubuh dipergunakan. Itu sebabnya orang yang akan berjalan di atas api, kakinya berkeringat. Telapak kaki yang berkeringat, yang mengandung air, tak akan terbakar.”
“Apa betul begitu?”
“Ya.”
“Bagaimana mungkin…”
“Sangat mungkin, Pangeran… Ilmu berjalan di atas api sebenarnya bukan ilmu kebal. Bukan sesuatu yang luar biasa dilihat dari pengerahan tenaga dalam. Tak perlu setengah sadar untuk melakukan itu. Sebab yang utama karena dingin tubuh akan menolak api dengan sendirinya. Sebab yang lain ialah karena orang itu berjalan di atas api. Bukan menginjak atau berdiri di atas api.”
“Karena bergerak.”
“Ya. Dengan bergerak, kekuatan panas akan mengalir. Tidak menusuk sepenuhnya. Demikian juga serangan lawan, dalam hal ini tusukan keris Kakang Upasara…” Gendhuk Tri mencoba berbicara dengan nada biasa. Karena kuatir Pangeran Anom merasakan adanya perubahan getaran hatinya. “Tusukan itu bergerak. Dan Manmathaba sendiri bergerak. Pada saat itu sebenarnya yang terjadi adalah singgungan. Seperti ketika Kiai Sambartaka menyerang saya. Sebenarnya, kalau waktunya tidak tepat, saya pasti akan terluka. Hanya saja karena saat itu saya bisa mengerahkan tenaga dalam secara tepat dan mengalir, yang terjadi adalah singgungan. Seperti telapak kaki telanjang yang menginjak api. Semakin bisa dikuasai, semakin leluasa penggunaannya. Pada tingkat Manmathaba, penguasaan itu sudah nyaris sempurna. Hanya saja ia tak bisa terus mengulang dalam jangka yang panjang. Tak ubahnya mereka yang berjalan di atas bara. Hanya mungkin pada jarak tertentu. Kalau terus-menerus pasti akan terbakar, karena daya air dalam tubuh terganggu. Kecuali kalau dilatih.”
“Tunggu dulu, Adik. Dengan kata lain, kalau Pendeta Manmathaba diserang, misalnya dua kali berturut-turut, ia bisa terluka.”
“Tidak begitu persis. Tapi jika lawan telah mengenali rahasia ini, ia menjadi lebih tenang, dan tidak kaget karena serangan utama tiba-tiba saja kandas secara tidak masuk akal. Itu yang terjadi pada Kakang Upasara. Itu yang mengejutkan Manmathaba. Sekarang setelah mengetahui itu, besar kemungkinannya bisa menundukkan. Dengan satu perkecualian, kalau ternyata Manmathaba masih menyimpan kemungkinan yang lain. Dan hal semacam ini sangat mungkin sekali.”
Janaka Rajendra mengangguk-angguk. “Benar sekali. Agaknya Pendeta Manmathaba mempunyai kelebihan ganda. Di samping memang peng-pengan atau sakti, mampu meramu dengan kekuatan-kekuatan tak terpikirkan lawan. Agak licik, tapi cukup bisa mengelabui.”
“Apa yang Pangeran ketahui mengenai Bandring cluring?”
“Tak berbeda dari yang diketahui orang lain secara umum. Hanya saja… hanya saja… Sayang sekali kalau Upasara sampai tak bisa diselamatkan.”
“Kenapa?”
“Ia ksatria sejati. Orang yang baik, gagah, dan besar jiwanya. Dalam jagat yang begini banyak orang jungkir balik, Upasara masih bisa menjadi pendekar sejati. Saya kira gelar lelananging jagat sangat pantas disandang.”
Suara Janaka Rajendra mendadak terhenti.
“Adik sangat mengenal Upasara?”
“Kami pernah bersama-sama ketika Baginda mengutus memerangi pasukan Tartar… Ketika itu…”
Gendhuk Tri tak jadi melanjutkan, karena menyadari saat itu Pangeran Anom belum lahir. Tapi agaknya Janaka Rajendra sedang memikirkan hal lain.
“Akan ke mana kita, Adik?”
“Entahlah, asal jalan saja.”
“Atau kita cari Kakang Singanada? Rasanya kalaupun pergi tak terlalu jauh. Kakinya buntung dan butuh perawatan. Pastilah masih ada di sekitar Keraton.”
Gendhuk Tri menghela napas. “Percayalah, Adik. Apa yang baik bagi Adik, saya juga akan merasakan kebahagiaan itu.”
Sebenarnya Gendhuk Tri masih ingin mendengarkan pujian atau komentar Pangeran Anom mengenai Upasara Wulung. Kalimat yang bagaimanapun pendeknya, ternyata bisa membuat Gendhuk Tri lega. Ah, kenapa pikirannya tak bisa lepas sedikit pun dari Upasara? Ataukah ada sesuatu yang gawat yang terjadi padanya?
Peramal Truwilun
BELUM sepenanak nasi berjalan, mereka berdua sampai ke tempat yang cukup ramai. Gendhuk Tri merasa agak heran. Karena tidak biasanya larut malam seperti sekarang ini masih banyak penduduk berada di luar rumah. Apalagi jumlahnya cukup banyak. Tanpa sengaja, Gendhuk Tri menarik tangan Janaka Rajendra, karena takut dikenali.
“Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak menyenangkan,” bisik Gendhuk Tri.
“Untuk apa kita mencurigai yang belum pasti?”
“Ssstttt. Pangeran tak banyak tahu keadaan di luar Keraton. Kalau begini banyak orang berkumpul…”
Dugaan Gendhuk Tri terbentur pada apa yang dilihatnya. Ternyata penduduk itu bergerombol di halaman sebuah rumah yang cukup besar, diterangi banyak sekali obor. Mereka yang datang dan berkumpul kebanyakan penduduk desa biasa. Bahkan beberapa orang datang bersama dengan keluarganya.
Tak sulit bagi Gendhuk Tri untuk berbaur dan mulai bertanya kiri-kanan. Janaka Rajendra lebih suka memuaskan pandangannya, seolah belum pernah melihat manusia yang begitu banyak berkumpul, dalam keadaan seperti sehari-hari. Baik pakaian yang dikenakan, maupun sikap mereka. Sebagian besar malah tiduran di halaman yang terbuka.
“Kalian pasti datang dari jauh. Inilah rumah Kiai Dukun yang bisa memberikan ketenteraman itu.”
Gendhuk Tri mengangguk-angguk. Ia menganggap wajar jika ada dukun yang dianggap sakti dan masyarakat berbondong-bondong datang. Untuk situasi sekarang ini sangat mungkin sekali. Dalam tata pemerintahan yang mengalami perubahan, di mana pegangan lama terlepas sementara pegangan baru belum di tangan, dukun adalah pilihan utama.
“Apakah Kiai Dukun bisa menyembuhkan segala jenis penyakit?”
“Tidak, kalau beliau tidak berkenan. Lebih suka memberikan jampi-jampi untuk ketenteraman.”
“Kapan giliran kita bisa menemui?”
“Ya. Dan untuk mengetahui, tak ada jalan lain selain menyelam ke dalamnya.”
“Selama ini saya mempelajari Kitab Air, akan tetapi tak pernah mengetahui yang seperti itu. Bahkan tak pernah terpikir ada jalan seperti itu.”
“Tidak menjadi apa, Pangeran Anom. Justru jalan yang Pangeran tempuh bukan tidak mungkin jalan yang sebenarnya. Saya tidak bisa berbuat seperti Pangeran, karena tradisi yang membentuk saya berbeda. Karena dasar-dasar ilmu silat saya berbeda. Itulah sebabnya saya berusaha menyelami. Itulah sebabnya kita bertiga harus menyatukan rasa dan pikir, dan menjadi air. Sebab ketika salah satu dari kita tak mempercayai yang lainnya, usaha kita bertiga tak ada artinya. Maaf, Pangeran Anom yang suci. Saya bukan manusia yang baik menurut ukuran ksatria tanah Jawa. Tata krama di tanah Jawa mempunyai aturan dan ukuran yang tidak bisa saya terima. Akan tetapi kalau saya ingin mendalami dan mengerti, saya harus mau menerima tata krama itu. Sama halnya dengan kalau saya ingin mendalami Kitab Air. Rasanya tak mungkin sama sekali tanpa menjadi air itu sendiri.”
Pengertian itu juga menyusup dalam kesadaran Gendhuk Tri. Itu pula sebabnya ia menerima kehadiran Kiai Sambartaka untuk mencoba berlatih bersama. Paling tidak, selama latihan, mereka tak ada yang berniat lain, tak mempunyai hati yang bercabang. Karena masing-masing mengetahui bahwa kalau itu terjadi, usaha selama ini sia-sia belaka. Maka saat itu juga, Janaka Rajendra mulai menembangkan, menuliskan kidungan dalam Tirta Parwa, untuk perlahan-lahan dipelajari, dipraktekkan.
Kadang Janaka Rajendra bersama Gendhuk Tri, kadang bertiga bersama Kiai Sambartaka, kadang bergantian pasangan. Setiap gerak, setiap lekukan menjadi perhatian bersama. Dalam lima kali berlatih makin terlihat bahwa pasangan Gendhuk Tri dengan Janaka Rajendra kian menyatu. Hasil latihan bersama, memberikan tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan mereka berdua melatih bersama Kiai Sambartaka.
Ketiganya menyadari hal ini, akan tetapi terus juga berlatih. Tanpa mengenal pergantian siang dan malam. Bagi Gendhuk Tri tidak menjadi masalah, karena ia memang gemar belajar ilmu silat. Apalagi ini ilmunya sendiri, yang baru sekarang dibuka dengan pandangan yang lebih urut. Demikian juga Janaka Rajendra yang tampak bersemangat setiap kali berlatih bersama Gendhuk Tri.
Kiai Sambartaka lebih banyak membuat komentar dan penilaian setiap kali selesai melakukan latihan. Satu demi satu kidungan yang ada dilalap, hingga dalam waktu sekejap mereka bertiga berlatih kembali dari awal.
“Sejauh ini rasanya tak ada yang menyebut mengenai ilmu kebal,” kata Janaka Rajendra. “Apakah kita tidak salah duga? Apakah tidak mungkin Pendeta Manmathaba mempelajari dari sumber yang lain?”
“Tidak mungkin, Pangeran Anom. Kita sama-sama melihat bahwa keluwesan pengaturan tenaga dalam itu berasal dari sumber yang sama. Jurus ilmu silatnya bisa saja dikembangkan dari sumber lain, akan tetapi jelas pengaturan tenaga dalamnya dari Kitab"
“Kiai sudah menemukan bagian itu?”
Gendhuk Tri menyeka tangannya. Mendadak ia bersila di lantai. Kedua tangannya terkulai, rambutnya dibiarkan tergerai. Pundaknya bergetar.
“Coba serang.”
Yang Bukan Air, Memisah
JANAKA RAJENDRA tertegun. Sebaliknya Kiai Sambartaka bergerak cepat. Tangannya meraih sebatang kayu yang dengan sangat cepat diruncingkan bagai ujung tombak. Perlahan tombak kayu yang runcing ditimpukkan ke arah Gendhuk Tri. Janaka Rajendra tertegun. Tombak itu mengenai lengan Gendhuk Tri! Tapi terjatuh ke lantai.
“Kita berhasil!”
Gendhuk Tri menghela napas. “Tidak. Kiai menyerang dengan ragu-ragu. Tanpa ilmu apa pun, tongkat ini tak akan melukai saya. Pangeran Anom, pinjam keris…”
Ragu Janaka Rajendra mengambil keris. Gendhuk Tri memberikan kepada Kiai Sambartaka. “Saya akan memainkan kidungan kedua, dan begitu selesai, Kiai menusuk saya.”
“Bagianmana?” tanya Janaka Rajendra cemas. “Mana saja yang dianggap bisa ditusuk, asal jangan bagian mata…”
Gendhuk Tri segera bersiap, kedua tangannya melengkung, kakinya yang lebih dulu bergerak. Bagai penari Keraton yang gemulai. Kiai Sambartaka masih menunggu sampai Gendhuk Tri menjentikkan jari ke arah jakunnya. Dengan sedikit mengelak, Kiai Sambartaka membalas. Ujung keris di tangan kanan menyabet ke arah Gendhuk Tri, tapi mendadak diubah letaknya di tangan kiri dan yang diarah adalah dada.
Gendhuk Tri menjatuhkan dirinya. Punggungnya rata dengan lantai. Kedua kakinya menggunting kaki Kiai Sambartaka, yang tak membiarkan begitu saja. Dengan meloncat ke atas, tidak secara bersamaan, Kiai Sambartaka berhasil membebaskan diri. Akan tetapi begitu menginjak lantai tubuh Gendhuk Tri yang masih rata dengan lantai tiba-tiba meliuk dan kini ada di punggungnya. Siap memotes dua telinga Kiai Sambartaka.
Tidak menduga serangan semacam itu, Kiai Sambartaka menggerung keras. Tubuhnya berputar membalik, dengan lima kuku siap ganti mencakar, sementara keris menikam di bagian paha Gendhuk Tri justru mempertontonkan kelebihannya dengan membalik. Kakinya terangkat ke atas, dengan tubuh pada posisi yang sama. Serangan lawan bisa dihindari, sementara serangannya sendiri tetap.
Yang dimainkan Gendhuk Tri adalah jurus-jurus yang diandalkan. Menjatuhkan diri kemudian berbalik terbang melayang adalah jurus pancingan untuk menjebak lawan. Jurus ini pula dulu yang bisa melukai Ugrawe. Ditambah pengalamannya selama ini, dan kesadaran baru dalam mempelajari, hasilnya boleh dikata lebih berbahaya dari yang dulu.
Ini yang tak diduga Kiai Sambartaka. Tokoh kelas utama ini justru seperti terdesak. Baik karena tidak bisa mengembangkan permainan keris, maupun karena tempat pertarungan kurang leluasa. Sekurangnya Kiai Sambartaka enggan menghancurkan. Akan tetapi dua-tiga jurus berikutnya, Kiai Sambartaka menemukan kembali kekuatannya. Dengan menindih tenaga lawan, Gendhuk Tri dipaksa mundur. Satu sabetan di belakang, membuat tubuh Gendhuk Tri terputar ke arah lain. Ke arah tiang. Tak bisa mundur. Saat itu tusukan keris menyambar ke arah pipi.
“Awas!” Teriakan Janaka Rajendra terlambat.
Keris itu telah terlepas dan mengenai pipi Gendhuk Tri. Satu pukulan dari Janaka Rajendra telak mengenai dada Kiai Sambartaka yang tidak menangkis, sehingga tubuhnya terdorong mundur, menghantam dinding. Bibirnya meringis dan dari sela-selanya mengalirkan darah, akan tetapi pandangannya tak lepas dari Gendhuk Tri. Yang juga berdiri melongo. Karena tak menyangka bahwa ujung keris yang mengenai pipinya, yang terasa menusuk, terjatuh ke lantai.
“Adik Tri, kamu tidak apa-apa?”
“Tidak… tidak…”
“Bagaimana rasanya?”
“Sakit sedikit, tapi tak apa. Tak terluka. Tak tergores.”
Kiai Sambartaka menghapus ujung bibirnya dengan punggung tangan. Langkahnya tertahan ketika melihat Gendhuk Tri berdiri garang. “Apa…”
“Maaf, Kiai, latihan tak perlu kita teruskan. Kita tidak sejiwa dalam hal ini. Tujuan kita menjadi berbeda. Air hanya berkumpul dengan air. Yang bukan air akan menyingkir dengan sendirinya.”
Kiai Sambartaka mengangguk. “Akhirnya akan begitu, Adik Tri…”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
Kiai Sambartaka melipat tangannya di dada. Kedua kakinya mengangkang gagah. “Kamu yang pertama mendapat pencerahan. Lebih cepat dari dugaanmu sendiri menerima itu. Apakah akan kamu kangkangi sendiri?”
“Apakah Kiai akan memaksaku?”
“Bisa. Tapi tak ada gunanya.”
Gendhuk Tri menemukan tangannya. “Baik. Aku tidak seserakah yang Kiai duga. Tapi aku juga tak mau sedermawan yang Kiai kehendaki. Kidungan mengenai itu ada di bagian kedua belas, dan bagian ketiga belas awal. Dengar baik-baik:
Air berbeda dengan bumi
yang bisa ditandai, dipisahkan
air berbeda dengan api
yang bisa dipadamkan, dibasahi
air berbeda dengan kayu
yang bisa dibakar, diabukan
air tak menyerap bumi
yang berputar
air tak memakan api
yang membakar
air tak merusak kayu
yang tumbuh
setetes air menahan bumi
api
kayu
air tak bisa menolak bumi
api dan kayu
air menyentuh bumi
api dan kayu
tanpa membasahi
tanpa terpanasi, tanpa mengairi…"
Kiai Sambartaka mendongak ke arah langit-langit. Tanpa menoleh ke arah Gendhuk Tri, ia berbalik. “Terima kasih atas penjelasanmu. Karena kita tak berhubungan lagi, karena kita bukan sesama air, jangan sesalkan diri nanti…”
Tubuh Kiai Sambartaka melenyap ke arah luar kamar. Janaka Rajendra masih tertegun. Ketika itu sayup-sayup mulai terdengar langkah mendekati. Gendhuk Tri menjilat bibirnya yang kering.
“Adik Tri berhasil.”
“Kiai Sambartaka benar. Sebentar lagi ada rombongan yang datang, dan kita harus menghadapi sendiri.”
“Tidak, kita berdua menghadapi.”
“Apa bedanya kita berdua atau sendirian?”
Janaka Rajendra mundur satu langkah. “Adik Tri tidak percaya kita berdua lebih mampu menghadapi bahaya apa pun?”
“Tidak. Yang datang ini tak bisa dihadapi oleh Pangeran Anom, dengan ilmu silat apa pun…”
“Memangnya siapa mereka?”
Gendhuk Tri tak menjawab.
“Tapi… tapi bagaimana penjelasannya sehingga Adik Tri bisa langsung menemukan pencerahan?”
Langkah terdengar makin mendekat. Janaka Rajendra maju lagi. Mengamati pipi Gendhuk Tri. Tanpa terasa tangannya mengusap. Ketika itulah langkah terdengar di dalam ruangan.
Panggilan Tanah Seberang
GENDHUK TRI masih terdiam, sampai suara kaki yang menapak teratur mulai membentuk lingkaran, berjongkok menyembah.
“Yang Mulia sesembahan Permaisuri berkenan datang dan ingin bertemu dengan Pangeran Anom Janaka Marmadewa Pratapa Krama Rajendra. Mohon kesediaan Paduka…”
Janaka Rajendra kelihatan kikuk disebut dengan nama panggilan selengkap itu. Kikuk karena Gendhuk Tri kelihatan mengangkat alisnya sebelah, sementara bibirnya menyunggingkan senyuman. Ia merasa geli mendengar nama dan gelaran Janaka Rajendra yang sangat panjang.
“Ibu datang…”
“Silakan Pangeran Anom yang Mulia menemui…”
“Adik Tri tahu, saya kurang suka…”
Gendhuk Tri malah menyembah dengan hormat. “Duh, Pangeran Anom Udayadityawarman yang Mulia, adalah kewajiban seorang pangeran Anom untuk menerima ibu kandung, apalagi sesembahan dari Permaisuri Indreswari… Jangan bimbang dan ragu…”
Wajah Janaka Rajendra makin merah. Tak bisa berbuat banyak karena kemudian terdengar langkah, dan semua prajurit menyembah hormat, menunduk, seiring dengan masuknya Dara Jingga, yang dengan sudut matanya mengawasi Gendhuk Tri.
“Putraku, Bagus Mantlorot…”
“Sembah sujud putra Ibu ke hadapan Yang Mulia… Rasanya segala kesalahan dan dosa tak terampuni telah saya lakukan, sehingga Kanjeng Ibu sampai datang kemari.”
“Saya bisa melupakan, memaafkan, dan mengerti. Ketahuilah, anakku lelaki yang bagus, Rama telah berangkat. Berkemaslah, Ibu akan segera menyusul bersamamu.”
Janaka Rajendra menyembah. Tetap menunduk memandang lantai. “Biarlah saya menenteramkan hati di tempat ini…”
“Ini bukan lagi tempat bagimu. Sebentar lagi ada senopati lain yang akan menghuni. Panggilan dari tanah seberang telah terdengar, tanah asal-muasal ibumu.”
“Kalau tak ada tempat di Keraton, masih ada tempat yang lain…" Jelas dari jawaban Janaka ia lebih suka tetap tinggal. Kalau tak bisa berdiam di Keraton, ia akan berada di mana saja.
“Itu artinya menentang perintah Raja…”
Tak ada jawaban segera. Hanya terasakan bahwa para prajurit yang mengawal tadi seperti bersiap sedia. Terasakan dari getaran napas mereka semua.
“Ibu tak pernah memimpikan putranya menjadi pembangkang. Apa pun alasannya, engkau harus berangkat sekarang juga. Kalau tidak bersedia, biarlah Ibu dikeramatkan di sini. Sekarang juga.”
Gendhuk Tri tergetar hatinya. Dalam percakapan yang nadanya sangat halus lembut, ramah ini terkandung kekerasan, keliatan, dan sekaligus juga ancaman. Kalau Pangeran Anom tetap tak mau mengikuti perintah, bisa terjadi pertumpahan darah dengan dingin. Entah dengan cara bagaimana. Yang mengerikan ialah semua tadi diucapkan dengan nada yang seolah tidak mengandung sesuatu yang penting. Mengatakan tentang mati dan hidup, menurut perintah atau kraman, dalam nada yang sama.
“Bagaimana, anakku lelaki?”
Janaka Rajendra melirik ke arah Gendhuk Tri. Nyata sekali bahwa yang membuatnya tak ingin segera meninggalkan Keraton adalah Gendhuk Tri. Yang membalas lirikan secara sembunyi sambil mengangguk. Kali ini Janaka Rajendra mendongak.
“Bagaimana, Adik Tri? Adik Tri ingin saya pergi? Adik Tri tidak mau saya temani?”
“Duh, Pangeran Anom junjungan kawula, sebagai abdi hamba akan mengikuti ke mana pun Pangeran Anom pergi, jika masih diperkenankan melayani.”
“Sungguh?” Janaka Rajendra mendongak lebih tegak. Melihat secara jelas ke arah Gendhuk Tri. Suatu sikap yang tidak biasanya diperlihatkan. Apalagi di depan ibunya.
Gendhuk Tri mengangguk pelan.
“Sekarang juga saya mengikuti perintah Ibu…”
Dara Jingga melirik tipis ke arah Gendhuk Tri. “Gadis manis, siapa namamu? Kamu pelayan di bagian apa? Kenapa selama ini tak pernah kuketahui?”
Janaka Rajendra benar-benar merasa sangat kikuk dan serba salah. Agak sulit baginya untuk menerangkan dalam sekejap. Akan tetapi Gendhuk Tri menyembah dengan khidmat.
“Hamba bernama Gendhuk Tri… abdi bagian… bagian… busana…”
“Gendhuk Tri? Siapa namamu yang lengkap?”
Kali ini Gendhuk Tri tak mau menjawab. Ia bisa menjawab bahwa oleh gurunya ia dipanggil Jagattri. Akan tetapi sejak dipanggil dengan sebutan Gendhuk Tri oleh Upasara Wulung, ia lebih suka memakai sebutan itu. Maka ia tak mau segera menjawab.
“Baiklah kalau kamu tidak mau menyebutkan namamu. Jaga dan rawat putraku…”
Tanpa menunggu sembah Gendhuk Tri, Dara Jingga segera meninggalkan ruangan. Diikuti oleh para prajurit yang mengawal. Tinggal Janaka Rajendra dan Gendhuk Tri yang saling pandang.
“Adik Tri… benar Adik mau pergi ke tanah seberang?”
“Saya sudah mengatakan…”
“Kenapa Adik mau berangkat?”
“Tak ada alasan lain. Kalau saya tidak mengatakan itu, Pangeran tak mau berangkat. Dan bisa terjadi hal-hal yang luar biasa. Lagi pula sebagai abdi, sebagai pelayan, saya…”
Janaka Rajendra menepuk pahanya keras sekali. “Saya tak mau mendengar omongan seperti itu. Kenapa Adik Tri tega mempermainkan perasaan saya?”
Gendhuk Tri bercekat hatinya. Tak menyangka bahwa Janaka Rajendra akan semurka itu. Diam-diam ia merasa bahwa apa yang diperbuat, barangkali saja agak keterlaluan. Ia tak bisa mempermainkan perasaan pangeran seperti Janaka Rajendra. Yang kelihatannya sangat tidak suka diperlakukan sebagai bangsawan yang sesungguhnya sesuai dengan derajatnya.
“Jadi hanya karena itu?”
“Ya.”
Janaka Rajendra menghela napas penyesalan. “Apa pun alasannya, saya bersyukur. Meskipun saya akan lebih bersyukur jika Adik Tri memang ingin pergi bersama saya…”
Kali ini Gendhuk Tri terperanjat. Kali ini perasaan bersalah menjalar ke seluruh tubuhnya. Aku tak bisa main-main, tak bisa berbuat secara sembrono. Ini bukan tempatnya. Suara hatinya mendesak Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia tak bisa meninggalkan Keraton saat ini.
“Karena Kakang Singanada?”
“Karena Kakang Singanada, karena yang lainnya.”
“Apa yang lain itu?”
“Urusan Keraton…”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?”
“Mengikuti perintah, kemudian diam-diam saya akan kembali. Maaf Pangeran Anom, saya tak ingin mengecewakan Pangeran di belakang hari. Saya tak ingin Pangeran berharap yang bukan-bukan. Saya tak tahu bagaimana harus mengatakan, akan tetapi rasanya hubungan kita selama waktu yang singkat ini tidak menjanjikan apa-apa di belakang hari. Saya mengucapkan beribu terima kasih atas kebaikan hati Pangeran selama ini yang telah menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi begitulah sebenarnya yang terjadi. Tak lain. Tak lebih. Maaf, Pangeran… Kata-kata saya kurang tata krama, tetapi saya tak bisa memilih kalimat yang lain.”
“Saya bisa mengerti. Saya juga tak ingin memaksakan kehendak saya. Jadinya tidak baik. Sesama air tak akan saling memaksa. Jangan merasa berutang budi karena saya menolong Adik Tri. Tak perlu beban pikiran seperti itu. Saya bersyukur dan berterima kasih Adik Tri mau menyertai ke kapal…”
Yang sedikit di luar dugaan Gendhuk Tri ternyata bahwa keberangkatan mereka diiringkan pasukan secara lengkap. Dengan upacara kenegaraan, di mana Permaisuri Indreswari sendiri menyusul ke arah rombongan yang akan berangkat. Gendhuk Tri bisa membayangkan bahwa kalau seorang pangeran bepergian pasti repot. Akan tetapi yang disaksikan sekarang ini lebih dan sekadar repot. Puluhan kuda disiapkan hanya untuk mengangkut perlengkapan busana. Puluhan yang lain disiapkan untuk persediaan makanan. Puluhan yang lain untuk keperluan yang Gendhuk Tri sendiri tak bisa memperkirakan.
“Gila. Rasa-rasanya seluruh Keraton ikut boyong…”
“Apa, Adik Tri?”
“Tidak, tidak apa-apa…”
Yang membuat Gendhuk Tri luar biasa risi dan dongkol ialah bahwa semua mata seolah melihat ke arahnya. Semua prajurit memberi hormat yang dalam padanya. Ada lima belas pelayan yang siap di sekelilingnya. Ini tak masuk akal.
Selamat Jalan, Kakangmbok…
GENDHUK TRI makin kecut hatinya, ketika lima belas pelayan itu menunduk di belakangnya, akan tetapi selalu siaga. Sewaktu akan naik ke joli, kelima belas pelayan bergerak semua melayani. Ada yang memegangi pijakan kaki membuka tirai, mengangkat ujung kain bagian belakang, ada yang dengan ragu menuntun tangannya ke arah pegangan.
Pengalaman yang ganjil bagi Gendhuk Tri yang dibesarkan di alam terbuka. Rasanya seumur-umur ia tak pernah dilayani. Apalagi sekaligus seperti sekarang ini. Belum terhitung yang tak terperhatikan seperti para prajurit yang mengangkat tandu. Hanya karena risi dipandangi, Gendhuk Tri masuk ke joli yang berdupa harum. Yang ternyata dihias dengan pernik-pernik ukiran warna emas.
Joli bergerak. Hampir tanpa bergoyang sedikit pun. Pastilah keempat prajurit yang memanggul tandu adalah prajurit yang terlatih. Sehingga jalan yang naik-turun tidak menyebabkan joli bergerak. Lebih heran lagi ketika baru melangkah belum seratus langkah, joli telah berhenti, diturunkan perlahan. Kembali para pelayan membuka tirai, menuntun tangannya, mengambil tempat pijakan. Gendhuk Tri mengikuti saja. Sekilas terbayang hal yang akan dialami oleh Upasara andai menjadi suami Gayatri. Atau andai berangkat ke tanah Turkana.
Gendhuk Tri melangkah ke luar, dan ikut duduk di belakang Pangeran Anom, yang duduk bersila. Demikian juga prajurit yang lain. Barulah Gendhuk Tri sadar bahwa mereka semua menunggu Permaisuri Indreswari yang melenggang lembut, sementara payung kebesaran menaungi wajah dan seluruh tubuhnya.
“Kakangmbok Ratu berangkat hari ini?”
Dara Jingga menyembah lembut sambil mengangguk.
“Saya hanya bisa mengantarkan sampai tempat ini. Semoga Kakangmbok Ratu selalu dilindungi Dewa Yang Maha Pelindung. Bisa mengembangkan kekuasaan dan kejayaan Keraton di tanah seberang…”
“Doa dan puji Yayi Permaisuri pasti didengar Dewa. Saya menyusul Senopati Agung yang telah lebih dulu berangkat…”
“Saya tak bisa mencegah kehendak Raja, Kakangmbok Ratu. Barangkali justru ini yang terbaik. Apalagi Janaka sudah bisa memilih pasangannya. Rasa-rasanya saya ingin datang saat pesta pernikahan nanti…”
Gendhuk Tri tak ingin usil melihat kesungguhan Pangeran Anom menunduk mendengarkan
“Ada bagian yang selalu menyenangkan, Kakangmbok Ratu. Putramu Bagus Mantlorot bisa memilih pasangan dengan mudah. Akan tetapi tidak demikian dengan anakku. Sebagai raja, tak bisa sembarangan. Sebab darahnya tak bisa diturunkan tanpa perhitungan. Itulah nasib yang ditentukan Dewa. Tak bisa ditolak. Berbahagialah Kakangmbok Ratu. Bisa merasakan hidup seperti ratu, tanpa beban ratu…”
Gendhuk Tri mendesis lirih karena jengkelnya. Dalam benaknya, kata-kata Permaisuri Indreswari sangat merendahkan orang lain. Dengan suara ringan, seolah membuat telinga lain berbahagia, akan tetapi sekaligus menjatuhkan. Ya kalau Kala Gemet susah dan tak bisa sembarangan mencari jodohnya. Tidak asal ambil seperti Mantlorot. Itu sama dengan menampar wajah Gendhuk Tri yang dianggap sembarangan.
“Sungguh aneh hidup ini. Kita dilahirkan sama. Dibesarkan bersama. Diboyong dari seberang bersamaan. Akan tetapi pilihan Dewa berbeda. Saya menjadi permaisuri utama dan Kakangmbok Ratu bersuamikan senopati. Sehingga sebagai kakak, harus bersila di depan adiknya. Demikian juga seluruh keturunannya. Apakah ini bukan nasib? Apakah ini bukan takdir? Dan kita hanya bisa menjalani. Menjalani sebagai yang tertulis oleh tangan Dewa yang tak bisa diubah lagi. Mungkin kehidupan kita sebelumnya yang membuat perbedaan ini. Maka kalau Kakangmbok Ratu bisa berbuat lebih baik, mengabdi atas nama Keraton lebih sujud, rasa-rasanya di kelak kemudian hari, di titisan yang kemudian, bisa berubah. Tidak pantas seorang adik memberi nasihat seperti ini. Akan tetapi hanya ini yang bisa saya antarkan kepada Kakangmbok Ratu.”
Dara Jingga hampir menjawab ketika Permaisuri melanjutkan.
“Jadilah penguasa di tanah seberang, atas nama Raja yang sekarang memegang takhta. Jagalah kebesaran, sebagai tanda bekti dan mengabdi. Jangan lupa kewajiban untuk mengirimkan upeti…”
Inilah yang makin membuat Gendhuk Tri jengkel. Di saat perpisahan, tak ada kata yang menyenangkan, malah mengungkit-ungkit masa lalu. Malah menuntut pengabdian yang lebih tinggi, karena selama ini dinilai kurang berbakti. Sungguh luar biasa, bahwa hal ini bisa terjadi pada sesama saudara.
“Mantlorot anakku. Mulai sekarang kamu bisa belajar lebih baik, lebih tekun, lebih bisa menyadari bahwa semua yang kamu nikmati ini berasal dari kemurahan hati Raja…”
Gendhuk Tri bersiap menyentilkan sepotong tanah untuk menyambit kain Permaisuri, ketika terdengar bisikan lembut, “Jangan, Adik Tri. Kalau itu terjadi, semua pelayan Permaisuri akan dihukum gantung karena dianggap tidak becus mendandani…”
“Apa yang kamu katakan, Mantlorot?”
“Semua yang disabdakan Ibu Permaisuri Utama sangat tepat.”
“Belajarlah bicara lebih jelas, Mantlorot. Kakangmbok Ratu, perahu sudah lama menunggu…”
Hanya dengan satu anggukan kecil, Permaisuri Indreswari berbalik. Masuk ke joli yang lebih indah. Lalu lenyap dari kerumunan. Baru kemudian Dara Jingga melangkah ke dalam tandu. Diikuti yang lain. Dalam pengawalan ketat, rombongan menuju ke dalam perahu besar. Ada tiga perahu yang siap menelusuri sungai, untuk kemudian melintasi samudra yang luas. Pengawalan ini hanya untuk meyakinkan bahwa rombongan memang benar-benar berangkat ke dalam perahu.
Gendhuk Tri berdiam diri. Begitu masuk ke perahu, ia segera bersemadi untuk memulihkan tenaga dalamnya. Begitu malam menjelang, Gendhuk Tri segera berindap ke luar, dan mencebur ke sungai. Walau tidak begitu pandai berenang, tak terlalu sulit Gendhuk Tri menepi. Dengan badan yang basah kuyup hingga ke rambutnya, Gendhuk Tri bisa naik ke darat. Wajahnya berubah ketika melihat bayangan mendekat ke arahnya.
“Pakai yang sudah kering…”
“Pangeran…”
“Saya tahu Adik Tri pasti akan kembali. Makanya saya mendahului, sambil membawa pakaian untuk ganti.”
“Kenapa Pangeran turun?”
“Karena Adik Tri juga turun.”
“Bukankah…”
“Lebih baik Adik Tri ganti pakaian lebih dulu.”
Pangeran Anom segera pergi. Membiarkan Gendhuk Tri sendirian, mengganti pakaiannya di balik pepohonan. Sebenarnya tak bersembunyi pun tak ada yang melihat karena malam sangat pekat. Hati Gendhuk Tri bercekat karena hal lain. Pangeran Anom yang baru saja dikenal ini sudah menunjukkan perangai yang aneh. Di saat ia menjadi putra mahkota yang diberi janji tanah seberang, malah lebih suka memilih keluyuran. Apakah betul ini semua karena daya asmara?
“Saya ingin mendengar jawaban yang jujur, Pangeran…,” kata Gendhuk Tri ketika keduanya berjalan bersama. “Saya tak ingin membuat Pangeran menyesal di belakang hari. Saya tidak menjanjikan apa-apa…”
“Adik Tri, saya tidak menuntut apa-apa. Tidak menuntut janji. Saya hanya merasa bahagia bersama Adik. Kalau Adik Tri merasa terganggu, saya akan pergi…”
“Sama sekali tidak. Tapi apa yang Pangeran harapkan?”
“Merasakan kebahagiaan ini. Sekarang ini. Kalau bisa berlangsung terus, alangkah indahnya. Kalau tidak, ya tak apa-apa. Kalau suatu ketika nanti Adik Tri memutuskan berjalan bersama Kakang Singanada, saya mendoakan agar Adik Tri bahagia, selamanya. Saya tak meminta apa-apa. Saya mungkin bisa membantu sedikit-sedikit untuk mencari Kakang Singanada atau mengobatinya…”
Hati wanita Gendhuk Tri terharu. Tergugah oleh ketulusan Pangeran Anom. Wajahnya yang polos, tekadnya yang membara, semua didasari pengertian, sekurangnya sekarang ini bisa bersama. Alangkah murninya! Apakah pikirannya akan berubah jika mengetahui bahwa yang dipikirkan Gendhuk Tri saat itu justru Upasara Wulung? Bukan Pangeran Anom dan bukan pula Singanada?
Apa yang melintas dalam ingatan Gendhuk Tri saat ini memang bayangan Upasara. Saat mereka berdua-dua di Perguruan Awan. Setelah kemelut Keraton Majapahit dulu, itu adalah waktu yang paling menyenangkan. Saat itu Upasara mempunyai waktu paling banyak bersamanya.
Ilmu Berjalan di Atas Api
KENANGAN yang manis. Saat di mana Upasara memilih berdiam diri di Perguruan Awan. Siang dan malam selalu bersama Gendhuk Tri. Ada saja yang mereka lakukan berdua. Mencari ikan, buah-buahan, berlatih silat, atau kadang mencari kutu. Kadang kala Gendhuk Tri menerima tamu Nyai Demang serta Galih Kaliki.
Suasana lebih ramai, akan tetapi tetap menyinarkan ketenteraman, kebahagiaan. Di luar hutan, kejadian berlangsung seperti sedia kala. Pertarungan, perebutan kekuasaan, saling mengganas. Tetapi alangkah menyenangkan berada dalam rimba ketenteraman. Alangkah indahnya andai saat itu dunia berhenti. Tapi nyatanya tidak.
Upasara keluar dari sarang perdamaian. Getaran asmara yang mencuat tak bisa disembunyikan, menyeretnya kembali ke Keraton. Daya asmara terhadap Gayatri tak pernah selesai. Saat itulah mulai pergolakan yang menggelora. Menemukan musuh-musuh dari senopati Raja Jayakatwang, atau beberapa pasukan dari Tartar. Mereka bertarung habis-habisan.
Dan setelah selesai tugas utama, kembali ke Perguruan Awan. Menikmati hari-hari yang membahagiakan. Tak peduli dengan urusan pangkat dan derajat. Upasara menolak menjadi mahapatih. Bahkan juga ketika utusan Baginda, Permaisuri Gayatri, datang secara khusus membujuknya.
Namun getaran yang sama pula menyeret kembalinya Upasara ke gelanggang. Dan sejak itu Gendhuk Tri tak pernah mendapat kesempatan berduaan secara khusus. Malah merasa tak terperhatikan. Upasara dengan segala kesibukannya dari matahari terbit hingga tenggelam. Hingga sekarang ini.
“Adik Tri memikirkan apa?”
“Tidak memikirkan apa-apa.”
“Rasanya seperti melamunkan sesuatu.”
“Tidak.”
“Atau masih memikirkan bahwa sekarang Kiai Sambartaka bisa mengenali ilmu kebal?”
Gendhuk Tri menggeleng. “Pangeran, bagi Kiai Sambartaka sebenarnya tak ada masalah untuk mengenali ilmu kebal. Tradisi ilmu dari tlatah Hindia tak berbeda jauh dari tanah Syangka. Segala jenis ilmu kebal bisa dipelajari, dan sudah menjadi ajaran.”
“Kalaupun benar begitu, kenapa Kiai Sambartaka perlu berguru kepada Adik?”
“Pangeran jangan membuat saya malu. Kita mempelajari bersama-sama.”
“Apa pun istilahnya. Nyatanya mengajak kita. Nyatanya juga Adik yang bisa memecahkan dengan cepat.”
Mungkin lebih baik membicarakan hal ini, kata hati Gendhuk Tri. Daripada melamunkan Upasara. Ya, Kakang Upasara yang waktu itu masih beringasan, suka bercanda, dan bisa jengkel. Bukan Upasara yang terlalu angker, yang sedikit bicaranya, dan seolah sama tuanya dengan Eyang Sepuh.
“Bagaimana Adik bisa memecahkan rahasia ilmu kebal Pendeta Manmathaba?”
“Saya teringat ajaran Mbakyu Jagaddhita. Saat itu kami berlatih bersama. Mbakyu Jagaddhita menceritakan bahwa sebenarnya kunci ilmu silat yang kami mainkan berawal dari tarian. Tarian berawal dari gerak. Jadi gerak yang mula-mula adalah sumber utama. Kenapa justru gerak yang menjadi sumber kekuatan, dan bukannya diam? Saat itu Mbakyu Jagaddhita tak bisa menerangkan. Atau tak mau. Atau menganggap tak perlu. Saya baru sadar ketika kita berlatih bersama…”
Sampai di sini Janaka Rajendra tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Kekuatan kita berdasar pada gerak karena sifat air. Air yang bergerak karena mempunyai dan menemukan irama alam. Di samping itu air mempunyai sifat yang tersendiri, yaitu dingin, basah, mengalir. Entah bagaimana, pikiran saya membersit ke arah orang yang biasa berjalan di atas api membara. Suatu pameran ilmu yang sebenarnya tak pernah dipandang sebelah mata, karena dianggap permainan anak-anak.”
“Lalu…”
“Orang yang berjalan di atas api tanpa terbakar, sebenarnya memainkan sifat air. Sifat air yang ada dalam tubuh dipergunakan. Itu sebabnya orang yang akan berjalan di atas api, kakinya berkeringat. Telapak kaki yang berkeringat, yang mengandung air, tak akan terbakar.”
“Apa betul begitu?”
“Ya.”
“Bagaimana mungkin…”
“Sangat mungkin, Pangeran… Ilmu berjalan di atas api sebenarnya bukan ilmu kebal. Bukan sesuatu yang luar biasa dilihat dari pengerahan tenaga dalam. Tak perlu setengah sadar untuk melakukan itu. Sebab yang utama karena dingin tubuh akan menolak api dengan sendirinya. Sebab yang lain ialah karena orang itu berjalan di atas api. Bukan menginjak atau berdiri di atas api.”
“Karena bergerak.”
“Ya. Dengan bergerak, kekuatan panas akan mengalir. Tidak menusuk sepenuhnya. Demikian juga serangan lawan, dalam hal ini tusukan keris Kakang Upasara…” Gendhuk Tri mencoba berbicara dengan nada biasa. Karena kuatir Pangeran Anom merasakan adanya perubahan getaran hatinya. “Tusukan itu bergerak. Dan Manmathaba sendiri bergerak. Pada saat itu sebenarnya yang terjadi adalah singgungan. Seperti ketika Kiai Sambartaka menyerang saya. Sebenarnya, kalau waktunya tidak tepat, saya pasti akan terluka. Hanya saja karena saat itu saya bisa mengerahkan tenaga dalam secara tepat dan mengalir, yang terjadi adalah singgungan. Seperti telapak kaki telanjang yang menginjak api. Semakin bisa dikuasai, semakin leluasa penggunaannya. Pada tingkat Manmathaba, penguasaan itu sudah nyaris sempurna. Hanya saja ia tak bisa terus mengulang dalam jangka yang panjang. Tak ubahnya mereka yang berjalan di atas bara. Hanya mungkin pada jarak tertentu. Kalau terus-menerus pasti akan terbakar, karena daya air dalam tubuh terganggu. Kecuali kalau dilatih.”
“Tunggu dulu, Adik. Dengan kata lain, kalau Pendeta Manmathaba diserang, misalnya dua kali berturut-turut, ia bisa terluka.”
“Tidak begitu persis. Tapi jika lawan telah mengenali rahasia ini, ia menjadi lebih tenang, dan tidak kaget karena serangan utama tiba-tiba saja kandas secara tidak masuk akal. Itu yang terjadi pada Kakang Upasara. Itu yang mengejutkan Manmathaba. Sekarang setelah mengetahui itu, besar kemungkinannya bisa menundukkan. Dengan satu perkecualian, kalau ternyata Manmathaba masih menyimpan kemungkinan yang lain. Dan hal semacam ini sangat mungkin sekali.”
Janaka Rajendra mengangguk-angguk. “Benar sekali. Agaknya Pendeta Manmathaba mempunyai kelebihan ganda. Di samping memang peng-pengan atau sakti, mampu meramu dengan kekuatan-kekuatan tak terpikirkan lawan. Agak licik, tapi cukup bisa mengelabui.”
“Apa yang Pangeran ketahui mengenai Bandring cluring?”
“Tak berbeda dari yang diketahui orang lain secara umum. Hanya saja… hanya saja… Sayang sekali kalau Upasara sampai tak bisa diselamatkan.”
“Kenapa?”
“Ia ksatria sejati. Orang yang baik, gagah, dan besar jiwanya. Dalam jagat yang begini banyak orang jungkir balik, Upasara masih bisa menjadi pendekar sejati. Saya kira gelar lelananging jagat sangat pantas disandang.”
Suara Janaka Rajendra mendadak terhenti.
“Adik sangat mengenal Upasara?”
“Kami pernah bersama-sama ketika Baginda mengutus memerangi pasukan Tartar… Ketika itu…”
Gendhuk Tri tak jadi melanjutkan, karena menyadari saat itu Pangeran Anom belum lahir. Tapi agaknya Janaka Rajendra sedang memikirkan hal lain.
“Akan ke mana kita, Adik?”
“Entahlah, asal jalan saja.”
“Atau kita cari Kakang Singanada? Rasanya kalaupun pergi tak terlalu jauh. Kakinya buntung dan butuh perawatan. Pastilah masih ada di sekitar Keraton.”
Gendhuk Tri menghela napas. “Percayalah, Adik. Apa yang baik bagi Adik, saya juga akan merasakan kebahagiaan itu.”
Sebenarnya Gendhuk Tri masih ingin mendengarkan pujian atau komentar Pangeran Anom mengenai Upasara Wulung. Kalimat yang bagaimanapun pendeknya, ternyata bisa membuat Gendhuk Tri lega. Ah, kenapa pikirannya tak bisa lepas sedikit pun dari Upasara? Ataukah ada sesuatu yang gawat yang terjadi padanya?
Peramal Truwilun
BELUM sepenanak nasi berjalan, mereka berdua sampai ke tempat yang cukup ramai. Gendhuk Tri merasa agak heran. Karena tidak biasanya larut malam seperti sekarang ini masih banyak penduduk berada di luar rumah. Apalagi jumlahnya cukup banyak. Tanpa sengaja, Gendhuk Tri menarik tangan Janaka Rajendra, karena takut dikenali.
“Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak menyenangkan,” bisik Gendhuk Tri.
“Untuk apa kita mencurigai yang belum pasti?”
“Ssstttt. Pangeran tak banyak tahu keadaan di luar Keraton. Kalau begini banyak orang berkumpul…”
Dugaan Gendhuk Tri terbentur pada apa yang dilihatnya. Ternyata penduduk itu bergerombol di halaman sebuah rumah yang cukup besar, diterangi banyak sekali obor. Mereka yang datang dan berkumpul kebanyakan penduduk desa biasa. Bahkan beberapa orang datang bersama dengan keluarganya.
Tak sulit bagi Gendhuk Tri untuk berbaur dan mulai bertanya kiri-kanan. Janaka Rajendra lebih suka memuaskan pandangannya, seolah belum pernah melihat manusia yang begitu banyak berkumpul, dalam keadaan seperti sehari-hari. Baik pakaian yang dikenakan, maupun sikap mereka. Sebagian besar malah tiduran di halaman yang terbuka.
“Kalian pasti datang dari jauh. Inilah rumah Kiai Dukun yang bisa memberikan ketenteraman itu.”
Gendhuk Tri mengangguk-angguk. Ia menganggap wajar jika ada dukun yang dianggap sakti dan masyarakat berbondong-bondong datang. Untuk situasi sekarang ini sangat mungkin sekali. Dalam tata pemerintahan yang mengalami perubahan, di mana pegangan lama terlepas sementara pegangan baru belum di tangan, dukun adalah pilihan utama.
“Apakah Kiai Dukun bisa menyembuhkan segala jenis penyakit?”
“Tidak, kalau beliau tidak berkenan. Lebih suka memberikan jampi-jampi untuk ketenteraman.”
“Kapan giliran kita bisa menemui?”
JILID 16 | BUKU PERTAMA | JILID 18 |
---|